PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL DALAM STAND UP COMEDY INDONESIA SEASON 4 DI KOMPAS TV: TINJAUAN PRAGMATIK
Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Marius Peng Mitang 124114003
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016
i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Skripsi ini saya persembahkan kepada keluarga: Bapa Bonefasius Osias, Mama Petronela Emiliana Nimat, serta Adik Yoseph Venansius Mitang dan Yohana Dalima Mitang
Tinggallah di dalam Aku, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa (Yoh, 15:14-15)
Sangkan Paraning Dumadi
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang tidak jemu memberikan rahmat, penyertaan, dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Skripsi ini terselesaikan berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum. selaku dosen pembimbing I yang telah banyak membantu dalam penyusunan skripsi ini. Tuntunan dan dukungan moril beliau banyak bermanfaat dalam membentuk dan mematangkan kemampuan berpikir penulis.
2.
Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum. selaku dosen pembimbing II, yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan skripsi ini. Ilmu dan petuah yang beliau berikan dalam perjalanan akademik ini telah menuntun penulis menuju ke kematangan berpikir dan kematangan jiwa.
3.
Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia Indonesia: Drs. Hery Antono, M.Hum., Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Drs. F.X. Santosa, M.S., S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Dra. F. Tjandrasih Adji, M. Hum., dan Sony Christian Sudarsono, S.S., M.Hum. yang telah menuntun dan membekali berbagai ilmu pengetahuan, semangat spiritual, dan falsafah kehidupan kepada penulis.
4.
Segenap staf sekretariat Fakultas Sastra atas pelayanan administrasi.
5.
Keluarga penulis, yang senantiasa bernama anugerah, doa, motivasi, pengorbanan, dan terima kasih: Bapa Bonefasius Osias, Mama Petronela Emiliana Nimat, serta adik Yoseph Venansius Mitang dan Yohana Dalima Mitang.
6.
Ibu Agnes Triana sekeluarga. Terima kasih atas segala kebaikan yang tersemat dalam setiap kebersamaan, dukungan, dan doa yang terucap.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK Mitang, Marius Peng. 2016. “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik”. Skripsi Strata Satu (S-1). Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Skripsi ini membahas wacana humor kritik sosial (WHKS) dalam acara Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) di Kompas TV. Dua masalah yang dibahas: (a) siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4; serta (b) bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama? Kajian dilakukan dengan pendekatan pragmatik. Data penelitian ini berupa WHKS yang diperoleh dari situs YouTube yang menayangkan pertunjukan SUCI 4. Data dikumpulkan dengan metode simak, lalu ditranskrip sebagai bahasa tulis. Data kemudian dianalisis menggunakan metode padan dengan submetode padan pragmatik. Hasil penelitian disajikan dengan metode informal dan formal. Hasil penelitian ialah sebagai berikut. Pertama, pihak yang dikritik dan hal yang dikritik adalah: (a) pemerintah (kebijakan diskriminatif, kinerja, dan kegagalan penegakan aturan); (b) anggota DPR (kinerja, kebiasaan tidur saat rapat, dan perilaku korupsi); (c) anggota ormas (sikap munafik dan sikap intoleransi); (d) perempuan Indonesia (kesalahpahaman atas konsepsi kesetaraan gender, profesi perempuan, kecemburuan yang berlebihan, dan kesadaran wanita muslim untuk berkerudung,); (e) pertelevisian Indonesia (kualitas program, jam tayang iklan, diskriminasi peran keaktoran); (f) pedangdut wanita (musikalitas); (g) orangtua (pola asuh terhadap anak); (h) masyarakat lokal (sikap apatis pemuda Betawi pada tanjidor, kesadaran masyarakat Jakarta dalam penanganan banjir, perilaku penonton dangdut, tingkah laku pelajar Bintaro, stigma masyarakat terhadap orang kurus); (i) masyarakat luas (sikap politik dalam Pileg dan Pilpres 2014, minimnya penghargaan terhadap dokter, sikap individualistis akibat penggunaan handphone); (j) persepakbolaan (kualitas permainan tim nasional Indonesia, kualitas wasit Indonesia, tindakan provokasi); (k) institusi pendidikan (implementasi metode pembelajaran kontekstual, ketiadaan pembelajaran sasando, pelaksanaan MOS, kualitas gizi di pesantren); (l) tokoh (pemilihan lokasi pendeklarasian sebagai capres, dan tindakan kekerasan fisik). Kedua, humor pada WHKS dalam SUCI 4 diciptakan dengan mematuhi dan/atau tidak mematuhi prinsip kerja sama. Kepatuhan dan ketakpatuhan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu: (a) tuturan yang mematuhi tiga maksim, tetapi tidak mematuhi satu maksim (Tipe I); (b) tuturan yang mematuhi dua maksim, tetapi tidak mematuhi dua maksim (Tipe II); (c) tuturan yang mematuhi satu maksim, tetapi tidak mematuhi tiga maksim (Tipe III).
Kata kunci: humor, kritik sosial, SUCI 4, prinsip kerja sama, pragmatik
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT Mitang, Marius Peng. 2016. “The Social Criticism Humor Discourse in Stand Up Comedy Indonesia Season 4 on Kompas TV: Pragmatics Study”. An Undergraduate Thesis. Study Program of Indonesian Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University. This research discusses the social criticism humor discourse (TSCHD) in Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) show on Kompas TV. There are two matters to be observed: (a) who are the targets of criticism and what are the criticisms of humor in SUCI 4; and (b) how does the obedience and disobedience utterance of TSCHD in SUCI 4 to cooperative principle? The main problems were analyzed with pragmatics approach. The data are TSCHD that collected from YouTube contains SUCI 4 show. The method that be used to collect data is simak method, and then the data were transcribed into written language. The data were analyzed using padan method and padan pragmatics sub-method. The researcher served informal method and formal method to present the analytic result. The researcher finds out two results of this research. First, the targets of criticism and the criticisms in SUCI 4 humor discourse are (a) the government (discriminatory policy, achievement, and regulation established); (b) the People‟s Representative Council Members (achievement, sleep in the meeting, and corruption); (c) the mass organization members (the hypocrisy and intolerant behavior); (d) the Indonesian women (misunderstanding of gender equality concept, occupation, excessive jealousy in relationship, and awareness to wear a hijab); (e) Indonesian television (the program quality, the time of commercial break, and discrimination on role play scenarios); (f) the women dangdut musician (musicality); (g) the parents (parenting), (h) the local society (Betawi youth is apathy toward tanjidor, awareness to beating the Jakarta floods, the behavior of Bintaro‟s student, and stigma of being naturally skinny); (i) the general society (political preference in Indonesian Legislative Election and Presidential Election in 2014, unappreciated for the doctor‟s kindness, and individualistic disposition caused by cellphone usage); (j) football (Indonesian national team quality, Indonesian referee quality, the provocation); (k) the educational institutions (implementation of contextual learning method, lack of sasando learning, implementation of orientation programs, and nutritional quality of food in pesantren); (l) the public figure (the place where to declaration as a presidential candidate, and the violent behavior). Second, humor of TSCHD in SUCI 4 are created by obeying and/or disobeying cooperative principle. The obedience and disobedience are classified to three types, which include: (a) the utterance that obeys three maxims, but disobeys one maxim (Type I); (b) the utterance that obeys two maxims, but disobeys two maxims (Type II); (c) the utterance that obeys one maxim, but disobeys three maxims (Type III). Keywords: humor, social criticism, SUCI 4, cooperative principle, pragmatics
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR SINGKATAN
1
O
: orang pertama dalam wacana SUCI 4 berupa dialog
O2
: orang kedua dalam wacana SUCI 4 berupa dialog
O3
: orang ketiga dalam wacana SUCI 4 berupa dialog
O4
: orang keempat dalam wacana SUCI 4 berupa dialog
SUC
: Stand Up Comedy
SUCI 4 : Stand Up Comedy Indonesia Season 4 WHKS : Wacana Humor Kritik Sosial
DAFTAR TANDA PADA DATA
U
: Tanda garis bawah menandai punch line atau tuturan yang mengandung efek humor
B
: Tulisan bercetak tebal menandai sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam wacana.
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................ iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................ iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................. v HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii ABSTRAK ....................................................................................................... ix ABSTRACT ....................................................................................................... x DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA .......................................................... xi DAFTAR ISI .................................................................................................... xii DAFTAR TABEL............................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 a.
Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
b.
Rumusan Masalah ................................................................................... 11
c.
Tujuan Penelitian .................................................................................... 11
d.
Manfaat Penelitian .................................................................................. 11
e.
Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 13
f.
Landasan Teori ........................................................................................ 17 1.6.1 Pengertian Wacana ......................................................................... 17 1.6.2 Pengertian Humor .......................................................................... 18 1.6.3 Wacana Humor Kritik Sosial ......................................................... 19 1.6.4 Prinsip Kerja Sama ........................................................................ 20 a. Maksim Kuantitas ...................................................................... 21 b. Maksim Kualitas ....................................................................... 21 c. Maksim Relevansi ..................................................................... 22 d. Maksim Cara ............................................................................. 22 1.6.5 Penciptaan Humor secara Pragmatis ............................................. 23
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1.6.6 Konteks .......................................................................................... 24 1.6.7 Komponen Tutur ............................................................................ 24 1.6.8 Struktur Wacana Stand Up Comedy............................................... 25 1.7 Metode dan Teknik Penelitian ................................................................ 26 1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ......................................... 26 1.7.2 Metode Analisis Data ..................................................................... 27 1.7.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ........................ 31 1.8 Sistematika Penyajian ............................................................................. 32
BAB II SASARAN KRITIK DAN HAL YANG DIKRITIK DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4 ................ 33 2.1 Pengantar ................................................................................................ 33 2.2 Pemerintah .............................................................................................. 35 2.2.1 Kebijakan Diskriminatif ................................................................ 37 2.2.2 Kinerja Pemerintah ........................................................................ 40 2.2.3 Kegagalan Penegakan Aturan ........................................................ 43 2.3 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ........................................... 45 2.3.1 Kinerja Anggota DPR .................................................................... 47 2.3.2 Kebiasaan Tidur saat Rapat ........................................................... 50 2.3.3 Perilaku Korupsi ............................................................................ 52 2.4 Anggota Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) ...................................... 54 2.4.1 Kemunafikan Anggota Ormas Islam ............................................. 56 2.4.2 Sikap Intoleransi Ormas Islam ...................................................... 56 2.5 Perempuan Indonesia .............................................................................. 57 2.5.1 Kesalahpahaman atas Konsepsi Kesetaraan Gender ..................... 59 2.5.2 Profesi Perempuan......................................................................... 60 2.5.3 Kecemburuan yang Berlebihan ..................................................... 61 2.5.4 Kesadaran Wanita Muslim untuk Berkerudung ............................ 63 2.6 Pertelevisian Indonesia ............................................................................ 64 2.6.1 Kualitas Program ........................................................................... 66 2.6.2 Jam Tayang Iklan........................................................................... 69
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2.6.3 Diskriminasi Peran Keaktoran ...................................................... 71 2.7 Pedangdut Wanita ................................................................................... 72 2.7.1 Musikalitas..................................................................................... 73 2.8 Orangtua .................................................................................................. 74 2.8.1 Pola Asuh terhadap Anak ............................................................... 76 2.9 Masyarakat Lokal .................................................................................... 79 2.9.1 Sikap Apatis Pemuda Betawi pada Tanjidor .................................. 80 2.9.2 Kesadaran Masyarakat Jakarta dalam Penanganan Banjir ............ 82 2.9.3 Perilaku Penonton Dangdut ........................................................... 83 2.9.4 Tingkah Laku Pelajar Bintaro ........................................................ 84 2.9.5 Stigma Masyarakat terhadap Orang Kurus .................................... 85 2.10 Masyarakat Luas .................................................................................... 86 2.10.1 Sikap Politik dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014 ............................................................. 88 2.10.2 Minimnya Penghargaan terhadap Dokter .................................... 89 2.10.3 Sikap Individualistis akibat Penggunaan Handphone ................. 90 2.11 Persepakbolaan ...................................................................................... 91 2.11.1 Kualitas Permainan Tim Nasional Indonesia ............................... 93 2.11.2 Kualitas Wasit Indonesia .............................................................. 94 2.11.3 Tindakan Provokasi...................................................................... 95 2.12 Institusi Pendidikan ............................................................................... 96 2.12.1 Ketiadaan Pembelajaran Sasando ................................................ 98 2.12.2 Pelaksanaan Masa Orientasi Siswa .............................................. 99 2.12.3 Kualitas Gizi di Pondok Pesantren .............................................. 100 2.13 Tokoh ..................................................................................................... 101 2.13.1 Pemilihan Tempat Pendeklarasian sebagai Calon Presiden ......... 103 2.13.2 Tindakan Kekerasan Fisik ........................................................... 104
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III KEPATUHAN DAN KETAKPATUHAN TUTURAN DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4 PADA PRINSIP KERJA SAMA ..................................................
106
3.1 Pengantar ................................................................................................ 106 3.2 Tuturan yang Mematuhi Tiga Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Satu Maksim (Tipe I) .................................................................................................... 109 3.2.1 Subtipe Ia ....................................................................................... 109 3.2.2 Subtipe Ib ....................................................................................... 113 3.2.3 Subtipe Ic ....................................................................................... 115 3.3 Tuturan yang Mematuhi Dua Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Dua Maksim (Tipe II) ................................................................................................... 117 3.3.1 Subtipe IIa ...................................................................................... 117 3.3.2 Subtipe IIb ..................................................................................... 119 3.3.3 Subtipe IIc ...................................................................................... 122 3.3.4 Subtipe IId ..................................................................................... 130 3.3.5 Subtipe IIe ...................................................................................... 133 3.4 Tuturan yang Mematuhi Satu Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Tiga Maksim (Tipe III) ................................................................................................. 136 3.4.1 Subtipe IIIa .................................................................................... 136 3.4.2 Subtipe IIIb .................................................................................... 137
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 140 4.1 Kesimpulan ............................................................................................. 140 4.2 Saran ....................................................................................................... 144
DAFTAR KEPUSTAKAAN ............................................................................ 145 PUSTAKA LAMAN ........................................................................................ 147 LAMPIRAN ..................................................................................................... 149
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Sasaran Kritik dan Hal yang Dikritik dalam WHKS SUCI 4 ............ 33
Tabel 2: Tipe-tipe Kepatuhan dan Ketakpatuhan Tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada Prinsip Kerja Sama .................................................................... 108
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian ini membahas wacana humor kritik sosial (WHKS) dalam pertunjukan Stand Up Comedy Indonesia Season 4 (SUCI 4) yang ditayangkan di Kompas TV secara pragmatis. Stand up comedy (SUC) adalah salah satu bentuk komedi verbal yang dilakukan secara perseorangan atau bermonolog mengenai suatu
topik
di
hadapan
penonton
secara
langsung
(https://id.wikipedia.org/wiki/pelawak_tunggal). SUC dapat disebut juga sebagai komedi tunggal. Di Indonesia, pelaku SUC biasa disebut comic, komika, atau stand up comedy-an. SUCI 4 adalah kompetisi SUC atau ajang pencarian bakat di bidang SUC musim keempat yang ditayangkan di Kompas TV pada Februari sampai Juni 2014. Tahapan penyelenggaraan kompetisi ini diawali dengan audisi di beberapa kotakota besar di Indonesia. Para comic yang lolos babak audisi tampil pada babak utama di Jakarta. Pada babak utama, pertunjukan diadakan sekali dalam seminggu. Pada setiap pekannya para juri akan mengeliminasi salah seorang comic. Puncak dari babak utama ini menyisakan atau menghasilkan dua comic yang bertarung pada babak final untuk memperebutkan status jawara dalam kompetisi ini. Humor dalam SUC berbeda dengan genre komedi-komedi lainnya. Kekuatan SUC terletak pada penggunaan bahasa verbal yang sangat dominan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2
Comic secara aktif bercerita tentang hasil pengalaman, pengamatan, dan aspirasinya terhadap kehidupan di sekitarnya yang dikemas menjadi sesuatu yang lucu kepada penonton. Mengacu pada hal tersebut, sebagai entitas komunikasi verbal, tuturan di dalam SUCI 4 pun tidak terlepas dari maksud dan tujuan tertentu. Sebagaimana Leech (1983: 24) menyatakan bahwa di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Tuturan yang disampaikan oleh penutur pada hakikatnya dilandasi oleh maksud dan tujuan tertentu. Demikian pun dengan wacana SUC –yang di dalamnya tercakup berbagai dimensi makna dan maksud yang luas. Pertunjukan SUC tidak hanya sebagai sarana hiburan semata, tetapi juga dapat berperan sebagai media didaktis karena informasi atau materi yang disampaikan mengandung pesan-pesan yang bersifat informatif dan mengedukasi para penonton. Di panggung pertunjukan SUCI 4, para comic sering kali membawakan materi humor yang mengandung kritik sosial. Secara umum, kritik sosial tersebut meliputi kritik terhadap konstelasi sosial, ekonomi, dan tirani kekuasaan, baik dalam lingkup daerah asal comic maupun dalam lingkup nasional. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini akan dibahas dua masalah terkait dengan WHKS dalam SUCI 4.
Pertama, siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritikkan comic?
Perhatikan beberapa contoh WHKS dalam SUCI 4 berikut ini. (1)
Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Bener nggak sih? Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Contohnya begini. Gua naik bis, gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya cuma satu. Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3
tetapi proporsional karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau pakai solusi yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku. Ini cewek mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat duduk cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua terus. Ya, nggak gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang kedua: elu gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku, ya adik gua berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya sudah silakan duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri lagi. (Dzawin, show 10). (2)
Ketika semua yang di sini sudah bersistem dengan online, di tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. (Abdur, show 3).
(3)
Nih ya, gua kasih tahu. Anak-anak Cilincing tekun-tekun, maksudnya nurut, nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener. Anak kecil di sekolahan gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Ya Allah, kita gerah kalau ngelihatin yang kayak gitu, you can see. Kita samperin; kita omelin. O1: Neng, mohon maaf nih. Kenape pakai baju you can see? O2: Bang, mohon maaf nih Bang. Aye mendingan pakai baju you can see daripada you can touch. Ya Allah gue kesel, gua marahin. O1: Eh, anak sape loe? Pulang sono! O2: Ngapain, Bang? O1: Ganti you can touch. (David, show 7).
Sasaran kritik comic dalam wacana (1) adalah kaum perempuan, secara khusus yang sering kali membicarakan dan menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki. Hal tersebut ditandai melalui kalimat Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Hal yang dikritik pada wacana ini ihwal kesalahpahaman kaum perempuan terhadap konsepsi kesetaraan gender. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Dalam ilustrasinya di atas: seorang wanita di kereta api yang tengah berdiri karena tidak mendapatkan kursi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4
kosong; ia selalu memandangi comic yang sedang duduk bersama adiknya, dengan harapan comic mempersilakan wanita tersebut menduduki kursinya. Comic tidak memberikan kursinya untuk ditempati oleh wanita tersebut karena (1) ia memiliki hak untuk tetap menduduki kursi yang sudah ditempatinya sejak awal dan (2) ia merasa tidak adil jika ia harus berdiri karena memberikan kursi yang didudukinya ditempati oleh wanita tersebut. Dengan kata lain, wanita itu ingin berusaha mendapatkan haknya untuk menduduki kursi tersebut dengan melanggar atau mengabaikan hak comic menempati kursi itu. Comic penutur wacana (2) bernama Abdur, yang berasal dari Desa Lamakera, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Yang menjadi sasaran kritik comic adalah pemerintah. Hal tersebut ditunjukkan dalam tuturan di tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. Tuturan tersebut mengimplikasikan kegagalan pemerintah dalam pengadaan teknologi informasi di kampung halaman comic. Kritikan
comic
menyiratkan
sikap
diskrimitif
pemerintah
dalam
memeratakan fasilitas teknologi informasi pada berbagai daerah di Indonesia. Pada wacana ini, comic mengungkapkan dikotomi keberadaan dan kemajuan teknologi antara daerah asalnya yang sangat memprihatinkan, yang ditandai melalui tuturan oh lain, dengan Jakarta, yang diungkapkan melalui frasa di sini, yang
perkembangan
teknologinya
informasinya
sudah
maju,
yaitu
tersistematisasinya berbagai aktivitas berbasis online. Hal ini diterangkan melalui tuturan semua yang di sini sudah bersistem dengan online. Comic yang mennuturkan wacana (3) adalah David, yang berasal dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5
Bintaro, Jakarta Selatan. Wacana di atas disampaikannya di hadapan para siswa SMAN 52 Jakarta di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Sasaran kritik comic adalah pelajar di Bintaro, yang ditandai melalui tuturan nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener. Hal yang dikritik pada wacana ini adalah perihal tingkah laku pelajar Bintaro. Kritikan tersebut ditunjukkan melalui tuturan Anak kecil di sekolahan gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Adapun tuturan pada frasa baju you can see mengimplikasikan masalah tingkah laku pelajar yang dimaksud, karena merunut pada konteks etika sosial, baju you can see atau baju tanpa lengan dianggap tidak memenuhi kaidah kesopanan. Kedua, bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice? Masalah ini terkait dengan proses penciptaan humor secara pragmatis. Menurut Wijana (2003:6), salah satu bentuk penciptaan wacana humor yaitu melalui penciptaan tuturan yang tidak mematuhi norma-norma pragmatik bahasa, yang terdiri prinsip kerja sama (cooperative principle) Grice dan prinsip kesopanan (politeness principle) Leech. Dalam penelitian ini, peneliti hanya membahas prinsip kerja sama. Grice (1975), menyebut ada empat maksim percakapan dalam prinsip kerja sama yang berfungsi untuk mengatur proses komunikasi antara peserta tutur, yaitu maksim kuantitas (quantity maxim), maksim kualitas (quality maxim), maksim relevansi (relation maxim), dan maksim cara (manner maxim). Maksim kuantitas menekankan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang secukupnya yang dibutuhkan atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya. Maksim
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6
kualitas mewajibkan setiap peserta tutur mengatakan hal yang sebenarnya atau apa adanya. Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan masalah pembicaraan. Maksim cara mewajibkan setiap peserta tutur berbicara secara jelas, tidak ambigu, tidak kabur, serta runtut. Wijana (2003: 6) menyebutkan, wacana humor secara tekstual dan interpersonal tidak patuh pada (salah satunya) prinsip kerja sama Grice. Dengan menyimpangkan tuturan dari keempat maksim di atas, tujuan penutur dalam menyampaikan humornya dapat tercapai, yaitu timbulnya efek lucu (comic effect). Di samping itu, proses penciptaan humor pada wacana SUCI 4 ini tidak hanya menekankan pada penciptaan tuturan yang tidak mematuhi prinsip pragmatik Grice. Penelitian ini juga mengemukakan bahwa tuturan yang mematuhi prinsip kerja sama dapat memberikan efek lucu dan komunikatif – sebagaimana hakikat komunikasi– bagi yang menyaksikan pertunjukan SUCI 4. Perhatikan contoh berikut ini: (4)
Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Bener gak sih? Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Contohnya begini. Gua naik bis, gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya cuma satu. Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara tetapi proporsional karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau pakai solusi yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku. Ini cewek mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat duduk cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua terus. Ya, nggak gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang kedua: elu gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku, ya adik gua berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya sudah silakan duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri lagi. (Dzawin, show 10).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7
(5)
Ketika semua yang di sini sudah bersistem dengan online, di tempat saya itu, aduh, oh lain, lain dari yang lain. (Abdur, show 3).
(6)
Nih ya, gua kasih tahu. Anak-anak Cilincing tekun-tekun, maksudnya nurut, nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener. Anak kecil di sekolahan gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Ya Allah, kita gerah kalau ngelihatin yang kayak gitu, you can see. Kita samperin; kita omelin. O1: Neng, mohon maaf nih. Kenape pakai baju you can see? O2: Bang, mohon maaf nih Bang. Aye mendingan pakai baju you can see daripada you can touch. Ya Allah gue kesel, gua marahin. O1: Eh, anak sape loe? Pulang sono! O2: Ngapain, Bang? O1: Ganti you can touch. (David, show 7).
Wacana (4) memiliki tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara. Wacana ini mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh comic memadai. Yang menjadi pokok permasalahan pada wacana di atas yaitu perihal kesalahpahaman konsepsi kesetaraan gender oleh kaum perempuan. Hal tersebut terimplikasi melalui tuturan comic yang mempersoalkan keseringan kaum perempuan membicarakan masalah kesetaraan gender serta mempertanyakan esensi dari konsepsi kesetaraan tersebut. Berikut tuturan kuncinya: Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Untuk mengurai kesalahpahaman tersebut, comic lantas memberikan informasi pendukung berupa ilustrasi praktis dan solusi terkait masalah tersebut. Berikut tuturan kuncinya: Contohnya begini. Gua naik bis… dan seterusnya. Wacana di atas juga mematuhi maksim relevansi karena pokok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8
pembicaraannya bersangkut paut secara langsung dengan infromasi pendukung. Selain itu, wacana ini memiliki tuturan yang mematuhi maksim kualitas. Hal tersebut ditunjukkan melalui tuturan Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Jika merunut pada faktanya, persoalan kesetaraan gender menjadi salah satu isu aktual dan kontekstual yang masih dan sering kali diperbicarakan dalam berbagai forum perbincangan kaum perempuan. Tuturan yang menimbulkan efek humor terletak pada ambiguitas frasa adik gua. Pada awal tuturan, frasa adik gua bermakna „saudara kandung yang lebih muda‟. Sementara pada akhir tuturan, frasa „adik gua‟ (yang bergaris bawah) dapat bermakna „kemaluan laki-laki‟ mengalami ketaksaan, terutama saat diikuti oleh kata kerja „berdiri‟. Maknanya tidak saja berarti tunggal „saudara mudanya yang berdiri‟, namun bisa juga berarti „kemaluannya berereksi‟. Dengan demikian, tuturan ini tidak mematuhi maksim cara. Wacana (5) memiliki tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Wacana ini mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh comic tidak kurang dan tidak lebih. Wacana ini juga mematuhi maksim kualitas. Berikut penjelasannya. Comic yang menuturkan wacana (5) adalah Abdur, seorang warga Desa Lamakera, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tuturan comic berkenaan dengan kondisi faktual pembangunan atau keberadaan sarana dan pra-sarana dalam bidang informasi dan teknologi di Desa Lamakera atau daerah-daerah di NTT yang belum terlaksana atau memadai. Provinsi NTT mengalami
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9
keterbelakangan dalam hal perkembangan dan pertumbuhan informasi dan teknologi. Wacana ini juga mematuhi maksim cara karena karena comic menyampaikan tuturannya secara jelas dan tidak ada tuturan yang ambigu. Wacana (5) tidak mematuhi maksim relevansi. Hal tersebut diterangkan melalui tuturan online dan oh lain. Terminologi online memiliki makna „konektivitas antarperanti elektronik atau peranti elektronik dengan jaringan internet‟. Pada
wacana ini, tuturan tersebut mengimplikasikan kemajuan
teknologi informasi di Pulau Jawa, khususnya Jakarta. Sementara itu, tuturan oh lain bukan merupakan terminologi khusus sebagai antitesis dari istilah online, meskipun tuturan tersebut mengimplikasikan disparitas perkembangan teknologi informasi di Nusa Tenggara Timur, secara khusus Larantuka. Wacana (6) berikut ini memiliki tuturan yang mematuhi maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi. Wacana ini mematuhi maksim cara karena penuturannya jelas dan tidak mengandung informasi yang ambigu. Wacana tersebut mengandung tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas. Hal ini tampak pada tuturan you can touch. Tuturan ini diasumsikan sebagai model baju yang mengumbar aurat. Pada kenyataannya, baju yang memiliki desain atau nama tersebut tidak ada. Wacana di atas juga memiliki tuturan yang tidak relevan, yaitu tampak pada percakapan O1 dan O2. Percakapan berawal dari pertanyaan O1 kepada O2 mengenai alasannya memakai baju yang mengumbar aurat tersebut. O1 bertanya dengan maksud memarahi O2 dan menasihatinya agar memakai pakaian yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10
lebih sopan. O2 menjawabnya tidak secara langsung. O2 berasumsi bahwa O1 menganggapnya sebagai gadis yang nakal. Melalui tuturan aku mendingan pakai you can see daripada you can touch, O2 ingin menegaskan bahwa ia bukanlah gadis yang seperti disangkanya karena baju yang dikenakannya masih dalam tataran wajar. O1 yang bertambah kesal terhadap jawaban O2 karena iktikad baiknya ditolak sontak berang, menanyakan siapa orangtuanya, lalu menyuruhnya pulang. Dalam percakapan yang wajar, seseorang yang disuruh pulang atau diusir umumnya akan memberikan dua kemungkinan jawaban: iya atau tidak. Akan tetapi, O2 justru balik bertanya kepada O1 untuk apa dia harus pulang. Di sinilah letak ketidakterkaitan pertama tuturan di atas. Pada akhir percakapan, O1 menyuruh O2 untuk mengganti baju you can seenya dengan baju you can touch. Ungkapan O1 ini tidak selaras atau relevan dengan sikapnya pada awal percakapan yang kesal dengan perangai buruk gadisgadis di kampung halamannya. Hal ini bisa berarti bahwa maksud dan motivasi baik dari comic mengalami pembiasan, yakni O1 menggoda O2. Oleh karena tuturan O1 yang berlebihan tersebut, maka tuturan itu tidak mematuhi maksim kuantitas. Peneliti memilih topik ini sebagai objek kajian penelitiannya berdasarkan alasan-asalan berikut. Pertama, pertunjukan SUCI 4 di Kompas TV masih relatif baru, sehingga sejauh kajian tinjauan pustaka yang dilakukan oleh peneliti, kajian wacana humor verbal secara pragmatik, khususnya mengkaji kepatuhan dan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama Grice sebagai wahana penciptaan humor belum pernah dilakukan. Kedua, penelitian terhadap penciptaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11
wacana humor pada umumnya masih ditinjau berdasarkan aspek ketidakpatuhan prinsip kerja sama. Melalui kajian ini, peneliti tidak hanya akan mengkaji proses penciptaan wacana humor SUCI 4 berdasarkan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama, tetapi juga akan mengkajinya berdasarkan kepatuhan tuturannya tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4? 2. Bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4. 2. Mendeskripsikan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian Hasil penelitian berjudul “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12
Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik” adalah deskripsi tentang: (1) sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4; serta (2) kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice. Adapun manfaat hasil penelitian ini dijabarkan sebagai berikut.
1.4.1. Manfaat Teoretis Secara pragmatis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan penjelasan bagaimana mengkaji (mengungkap) sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam wacana humor kritis verbal serta proses penciptaan WHKS pada SUCI 4 berdasarkan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama Grice. Sejauh penelusuran peneliti, kajian perihal aspek-aspek penciptaan wacana humor verbal pada umumnya hanya berdasarkan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama dan kesopanan saja. Oleh karena itu, penelitian ini, secara khusus kajian ihwal penciptaan humor berdasarkan kepatuhan tuturannya pada prinsip kerja sama, dapat menjadi informasi atau referensi bagi penelitianpenelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan secara praktis agar dapat melakukan kritikan yang jenaka dan tidak menyinggung perasaan orang yang dikritik. Penelitian ini juga dapat dipakai sebagai salah satu acuan bagi untuk melakukan SUC dengan memanfaatkan prinsip-prinsip pragmatik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13
1.5 Tinjauan Pustaka Kajian tentang wacana humor yang berkaitan dengan linguistik pernah dilakukan oleh Sudarsono (2013), Cahyaprasetya (2015), Wati (2013), Sari (2012), Fadilah (2015), dan Wijayanti (2015). Sudarsono (2013), melalui skripsinya “Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural, Pragmatis, dan Kultural”, melihat penciptaan humor dalam wacana gombal melalui proses berikut ini. Pertama, pemanfaatan aspek kebahasaan dari tataran yang rendah hingga tataran yang tinggi, yaitu (1) aspek fonologi, berupa permainan fonem dan penambahan suku kata, (2) aspek sintaksis, berupa pertalian kata dalam frasa dan pertalian antarklausa, (3) aspek semantik, berupa polisemi, homonimi, idiom, peribahasa, hiperbola, elipsis, metafora, dan personifikasi, dan (4) aspek wacana, berupa pantun, silogisme, dan entailmen. Kedua, proses penciptaan humor dalam wacana gombal dilakukan dengan membelok dari prinsip kerja sama untuk menghasilkan nilai rasa gombal. Wujud pelanggaran prinsip kerja sama berupa sumbangan informasi yang berlebihan, kurang logis, keluar dari konteks, dan ambigu. Cahyaprasetya (2015), dalam skripsinya: “Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesopanan dalam Acara Tatap Mata Trans 7 sebagai Wahana Menciptakan Humor Verbal Lisan”, menemukan hasil kajiannya sebagai berikut. Pertama, ditemukan wujud pelanggaran prinsip kerja sama sebagai wahana penciptaan humor dalam acara Tatap Mata Trans 7, yang meliputi: (1) maksim kuantitas berupa informasi yang berlebihan dan informasi yang kurang informatif, (2) maksim kualitas berupa informasi yang salah dan informasi tidak logis, (3)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14
maksim relevansi berupa informasi tidak relevan dengan masalah pembicaraan, dan (4) maksim pelaksanaan berupa kesalahan dalam menafsirkan mitra tutur, informasi implisit. Kedua, ditemukan wujud pelanggaran prinsip kesopanan, yaitu (1) maksim kebijaksanaan berupa perintah yang mempermalukan mitra tutur dan informasi yang membingungkan mitra tutur, (2) maksim kemurahan berupa pemanfaatan ketidaktahuan mitra tutur dan permintaan sesuatu kepada mitra tutur, (3) maksim penerimaan berupa merendahkan mitra tutur dan mencela mitra tutur, (4) maksim kerendahan hati berupa bangga terhadap diri sendiri, (5) maksim kecocokan berupa informasi tidak sebenarnya, dan (6) maksim kesimpatian berupa sikap antipati terhadap kesusahan mitra tutur. Wati (2013) mengkaji humor SUC dalam skripsinya yang berjudul “Bahasa Humor Pertunjukan: Kajian Prinsip Kerja Sama terhadap Pertunjukan Stand Up Comedy Show di Metro TV”. Penelitian ini membahas bentuk pendayagunaan maksim-maksim dalam prinsip kerja sama Grice dan implikatur tuturan humor yang mendayagunakan prinsip kerja sama dalam SUC Show di Metro TV. Berikut ini adalah hasil penelitiannya. Pertama, pendayagunaan maksim kualitas pada terbagi atas sembilan jenis: pelesetan, pemahaman yang salah, dianggap salah oleh comic, generalisasi yang salah, tidak masuk akal, tidak didukung bukti-bukti, hal yang belum tentu benar, pemikiran yang menyimpang atau tidak lazim, dan kombinasi tidak masuk akal dan dianggap salah oleh comic. Kedua, pendayagunaan maksim cara terdiri atas penuturan yang tidak jelas, kabur, dan tidak langsung. Ketiga, pendayagunaan maksim relevansi terdiri dari selipan, ketidaksinambungan
dengan
pernyataan
sebelumnya
dalam
satu
topik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15
pembicaraan, ketidaksinambungan karena ambiguitas, ketidaksinambungan karena tuturan yang kurang lengkap, dan penggunaan kata yang kurang tepat. Sari (2012), dalam skripsi berjudul “Humor dalam Stand Up Comedy oleh Raditya Dika (Kajian Tindak Tutur, Jenis, dan Fungsi)”, mengkaji tentang jenis tindak tutur dan penerapan prinsip kerja sama beserta penyimpangan yang terjadi dalam humor SUC oleh Raditya Dika serta mengetahui jenis dan fungsi humor yang digunakan. Adapun hasil penelitiannya sebagai berikut. Pertama, jenis tindak tutur dalam humor SUC oleh Raditya Dika yang menimbulkan kelucuan adalah tindak tutur lokusi naratif, deskriptif, dan informatif; ilokusi asertif, direktif, deklaratif, dan ekspresif; serta tindak tutur perlokusi. Kedua, ditemukannya penerapan dan penyimpangan maksim-maksim prinsip kerja sama dan prinsip sopan santun dalam tuturan untuk memancing tawa penonton. Ketiga, jenis humor yang terdapat dalam SUC oleh Raditya Dika adalah guyonan parikena, satire, sinisme, plesetan, analogi, unggul-pecundang, dan apologisme. Keempat, fungsi yang termuat di dalam SUC oleh Raditya Dika adalah fungsi (1) membantu pendidikan anak muda, (2) meningkatkan solidaritas suatu kelompok, (3) sebagai sarana kritik sosial, (4) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, dan (5) mengubah pekerjaan yang menyenangkan menjadi permainan. Fadilah (2015), melalui skripsinya: “Humor dalam Wacana Stand-up Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV”, mengemukakan hasil penelitiannya sebagai berikut. Pertama, penciptaan humor SUCI 4 menggunakan teknik praanggapan, teknik implikatur, dan teknik dunia kemungkinan. Kedua, tuturan humor SUCI 4 berfungsi sebagai penyalur keinginan dan gagasan, pemahaman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16
diri untuk menghargai orang lain, pemahaman kritis terhadap masalah yang ada, penghibur, penyegaran pikiran, dan peningkatan rasa sosial. Wijayanti dalam tesisnya: “Analisis Wacana Stand Up Comedy Indonesia Session 4 Kompas TV” menemukan bahwa struktur wacana SUCI 4 terdiri atas struktur wajib, yaitu isi lawakan yang terdiri atas pengantar dan punch line, serta unsur opsional yang terdiri atas salam pembukan, pertanyaan kabar, kalimat penutup, dan penyebutan nama. Selain itu, kepaduan antarpremis dalam wacana ditemukan wacana yang kohesif saja, kohesif dan koheren, serta tidak kohesif dan koheren. Wijayanti juga menemukan berbagai fenomena kebahasaan dalam acara SUCI 4 untuk menimbulkan efek humor, yaitu permainan bunyi yang terdiri atas penggantian bunyi pada kata dan suku kata, ambiguitas yang terdiri dari ambiguitas gramatikal (kata majemuk, frasa, amfipoli) dan ambiguitas leksikal (polisemi dan homonimi), relasi leksikal (hiponimi dan kohiponimi, meronimi, kolokasi, sinonimi, antonimi), permainan unsur pembatas, metonimi, hiperbola, simile, visualisasi referen, dan entailment. Fungsi komunikatif SUCI 4 yaitu untuk bercanda, menertawakan diri sendiri, menyindir, mengkritik, mempengaruhi penonton, dan menginformasikan budaya. Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka di atas, kebaruan yang ditemukan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, penciptaan wacana humor secara pragmatis, terutama humor dalam SUCI 4, tidak hanya dapat dilakukan dengan tidak mematuhi prinsip pragmatik saja, tetapi juga dengan mematuhi prinsip pragmatik tersebut. Penelitian ini melengkapi tesis Wijayanti (2015) yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 17
hanya mengkaji humor dalam SUCI 4 secara struktural dan skripsi Fadilah (2015) yang hanya mengkaji proses penciptaan humor dengan teknik praanggapan, teknik implikatur, dan teknik dunia kemungkinan. Kedua, entitas wacana SUCI 4 adalah komunikasi verbal. Di dalam pragmatik, kegiatan berbicara berorientasi pada maksud dan tujuan. Humor dalam pertunjukan SUC tersebut tidak semata-mata untuk menghibur para penonton, tetapi juga menyingkap banyak persoalan sosial masyarakat Indonesia. Di atas panggung, para comic menyuarakan kritikan dan aspirasi melalui lawakan-lawakannya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan membahas secara komprehensif siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik oleh comic di dalam SUCI 4. Pembahasan ini tidak ditemukan di dalam penelitian pada tinjauan pustaka di atas.
1.6 Landasan Teori Dalam landasan teori ini dipaparkan tentang (1) wacana, (2) humor, (3) wacana humor kritik sosial, (4) prinsip kerja sama, (5) penciptaan humor secara pragmatis, (6) konteks, (7) komponen tutur, dan (8) struktur wacana SUC.
1.6.1 Wacana Poerwadarminta (dikutip Baryadi, 2002: 1) mendefinisikan kata wacana merunut pada akar atau asal-usul katanya. Kata wacana berasal dari kata vacana yang berarti „bacaan‟ dalam bahasa Sanskerta yang kemudian masuk sebagai kosakata bahasa Jawa Kuna dan Jawa Baru wacana yang berarti „bicara, kata, ucapan‟. Dalam linguistik, istilah wacana dipandang sebagai satuan kebahasaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18
tertinggi atau terbesar karena mencakup kalimat, gugus kalimat, alinea, penggalan wacana, dan wacana utuh (Ibid., hlm.2).
1.6.2 Humor Humor menurut KBBI (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 512) berarti (i) sesuatu yang lucu dan (ii) keadaan yang menggelikan hati; kejenakaan, kelucuan. Sedangkan menurut Wijana (2003: xx), humor adalah rangsangan verbal dan, atau visual yang secara spontan dimaksudkan dapat memancing senyum dan tawa pendengar atau orang yang melihatnya. Berkenaan dengan hal tersebut, ada tiga aspek yang layak diperhatikan, yakni tindakan verbal atau nonverbal yang merupakan stimulusnya, aktivitas kognitif dan intelektual sebagai alat persepsi dan evaluasi rangsangan itu, dan respon yang dinyatakan dengan senyum (Ibid., hlm.37). Menurut Danandjaja, seperti dikutip Wijana (2003: 3), menyatakan bahwa di dalam masyarakat, humor, apapun bentuknya, harus dapat menjadi pelipur lara. Humor, melalui reaksi emosional, misalnya tawa, dapat mengendurkan ketegangan batin dan pikiran akibat persoalan sosial yang dihadapi masyarakat tersebut. Dengan demikian, humor bukan hanya sebagai hiburan semata, melainkan dapat menciptakan kondisi psikis seseorang menjadi lebih baik dan keseimbangan jiwa tetap terjaga. Wacana di dalam SUC termasuk wacana humor karena penciptaannya ditujukan untuk menghibur para penonton. Di dalam pertunjukan SUC, manifestasi dari penikmatan humor berupa tawa dan/atau tepukan tangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19
1.6.3 Wacana Humor Kritik Sosial Untuk menerangkan pengertian WHKS, diuraikan terlebih dahulu pengertian kritik sosial. Istilah kritik sosial terdiri dari dua kata, yaitu kritik dan sosial. Kata kritik, secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani krinein yang artinya „memisahkan, memerinci dan menimbang‟. Pengkritik berarti orang yang membuat pemisahan, perincian, dan penimbangan antara nilai dan yang bukan nilai, arti dan yang bukan arti, baik dan jelek (Kwant, 1975: 12). Kritik di dalam KBBI (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 742) berarti „kecaman atau tanggapan, kadangkadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya‟. Seorang pengkritik harus lebih dahulu mengenal dan mengetahui kenyataan dari hal yang dikritiknya, menentukan apakah kenyataan yang dihadapinya itu benar-benar seperti apa yang seharusnya, lalu mengidealkan kenyataan yang dinilainya itu sesuai norma, hukum, atau falsafah masyarakat yang bersangkutan. Sementara itu, orang yang dikritik memiliki kewajiban untuk memenuhi kritikan atau harapan pengkritik (Kwant, 1975: 11). Kata sosial berasal dari bahasa Latin socius yang berarti „teman, kawan‟, dan kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris social yang artinya „berteman, bersama, berserikat‟ (Shadily, 1993: 1). Kata social pun lalu diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi sosial yang berarti „berkenaan dengan masyarakat‟ (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 1331). Berdasarkan pengertian kata kritik dan sosial di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kritik sosial adalah gambaran, kecamanan, tanggapan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20
penilaian terhadap persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Damono (1983: 22) menyebutkan, persoalan itu mencakup masalah manusia dengan lingkungannya, manusia dengan manusia lain, manusia dengan kelompok sosial, manusia dengan kelompok penguasa, dan manusia dengan institusi-institusi yang ada. WHKS adalah wacana hiburan yang penciptaannya ditujukan untuk menghibur penonton (membangkitkan rasa tawa) di samping sebagai wahana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Humor merupakan salah satu sarana yang efektif di saat saluran kritik lainnya tidak dapat menjalankan fungsinya (Wijana, 2003: 1). Dengan humor, manusia dapat menghadapi persoalan sosial dengan canda dan tawa, terutama bagi masyarakat yang tengah menghadapi situasi yang pelik (Ibid., hlm.3). Sementara itu, bagi sasaran kritik dalam WHKS, kritikan-kritikan yang diungkapkan tidak begitu dirasakan melecehkan atau mempermalukan karena disampaikan dengan jenaka.
1.6.4 Prinsip Kerja Sama Grice (1975: 45), yang diterangkan kembali oleh Baryadi (2015: 88-89), mengemukakan prinsip kerja sama sebagai berikut. “Make your conversation contribution such as is required, at the stage at which it occurs, by the accepted purpose or direction of the talk exchange in which you are engaged”. „Buatlah percakapan Anda sebagaimana yang diminta, sesuai dengan taraf percakapan itu terjadi, dengan tujuan dan arah yang dapat diterima dalam pertukaran percakapan yang Anda terlibat di dalamnya‟.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21
Lebih lanjut, Grice (1975: 47) menjelaskan bahwa dengan memperhatikan dan menaati prinsip kerja sama ini, tuturan-tuturan yang diutarakan dapat diterima secara efektif oleh mitra tutur. Dalam prinsip kerja sama ini, Grice menyebutkan empat maksim percakapan yang harus dipatuhi oleh setiap partisipan tutur, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim, relevansi, dan maksim cara.
a. Maksim Kuantitas Menurut Grice (1975: 45), yang diperjelas oleh Baryadi (2015: 89), ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim kuantitas, yaitu: (1) Make your contribution as informative as is required (for current purposes of the exchange). „Sampaikan informasi seinformatif mungkin (sesuai dengan tujuan percakapan)‟; (2) Do not make your contribution more informative than required. „Jangan menyampaikan informasi yang berlebihan yang melebihi yang dibutuhkan‟. Tuturan yang tidak mematuhi ketentuan ini maka dianggap tidak mematuhi maksim kuantitas.
b. Maksim Kualitas Grice (1975: 46), yang dikemukakan kembali oleh Baryadi (2015: 89), menjelaskan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim kualitas, yaitu: (1) Do not say what you believe to false. „Jangan mengatakan sesuatu yang tidak benar‟; (2) Do not say that for which you lack adequate evidence. „Jangan mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara memadai‟. Tuturan yang tidak mematuhi ketentuan ini maka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22
dianggap tidak mematuhi maksim kuantitas.
c. Maksim Relevansi Berikut pendapat Grice (1975: 46), yang diperjelas kembali oleh Baryadi (2015: 89) tentang maksim relevansi.
Under the category of RELATION I place single maxim, namely, „Be relevant.‟ Di bawah kategori hubungan saya menempatkan sebuah maksim tunggal, „Usahakan relevan‟.
Maksim ini menekankan mewajibkan setiap peserta tutur memberikan kontribusi yang relevan dengan persoalan yang sedang diperbincangkan.
d. Maksim Cara Menurut Grice (1975: 46), yang diterangkan kembali oleh Baryadi (2015: 90), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menegakkan maksim ini.
Finally, under the category of MANNER, which I understand as relating not (like the previous categories) to what is said but, rather, to HOW what is said is to be said, I include the supermaxim –„Be perspicuous‟– and various maxims such as. „Akhirnya, dalam kategori CARA, dalam hal ini saya memahami bukan sebagai apa yang dikatakan (seperti kategori sebelumnya), melainkan tentang BAGAIMANA apa yang dikatakan itu harus diungkapkan, saya merumuskan supermaksim –Ungkapan secara tepat– dan bermacam-macam maksim sebagai berikut. 1. Avoid obscurity of expression. „Hindari ungkapan yang kabur‟. 2. Avoid ambiguity. „Hindari ketaksaan‟. 3. Be brief (avoid unnecessary prolixity). „Buatlah ringkas (hindari ungkapan yang berkepanjangan‟. 4. Be orderly. „Ungkapkanlah sesuatu itu secara runtut‟.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23
Maksim
cara
berhubungan
dengan
cara
mengutarakan
maksud.
Pengungkapan maksud tuturan dilakukan dengan cara berbicara secara langsung, menghindari
tuturan
yang
kabur,
menyampaikan
tuturan
yang
bukan
mulitinterpretatif atau tidak taksa, berbicara secara singkat (tidak berlebihlebihan), dan runtut (berbicara dengan teratur, tidak berbelit-belit).
1.6.5 Penciptaan Humor secara Pragmatis Penciptaan wacana humor dapat dilakukan dengan memanfaatkan aspekaspek lingual maupun prinsip-prinsip pragmatik. Pemanfaatan kedua aspek tersebut dapat menimbulkan efek ketidakterdugaan bagi mitra tutur. Unsur ketidakterdugaan ini menjadi hal yang pokok dalam proses penciptaan humor agar menimbulkan reaksi emosial dari mitra tutur (Ibid., hlm.280-281). Lebih lanjut, Wijana (Ibid., hlm.17 dan 36) mengemukakan, unsur ketidakterdugaan dapat diperoleh dengan melakukan penyimpangan pada aspek semantis bahasa dan prinsip-prinsip pragmatik. Di samping itu, berkenaan dengan kajian ini, penciptaan humor juga dapat dilakukan dengan mematuhi aspek-aspek tersebut, secara khusus aspek pragmatis. Di dalam penelitian ini, penciptaan wacana humor SUC tidak hanya menekankan pada bentuk tuturan-tuturan yang tidak mematuhi prinsip kerja sama agar dapat menggelakkan penonton. Sebagai pertunjukan komedi yang mengedepankan aspek verbal, tuturan di dalam SUC pun dilandasi oleh maksud dan tujuan tertentu. Salah satunya untuk menyampaikan kritik. Agar kritikan tersebut tersampaikan dan terpahami oleh penonton, maka tuturan dalam wacana humor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24
SUC pun haruslah komunikatif dan informatif. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menyampaikan tuturan yang mematuhi prinsip kerja sama.
1.6.6 Konteks Menurut Kridalaksana (2008: 134), konteks adalah (1) aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial yang kait-mengkait dengan ujaran tertentu; (2) pengetahuan yang sama-sama dimiliki pembicara dan pendengar sehingga pendengar paham akan apa yang dimaksud pembicara. Sementara itu, di dalam KBBI (Sugono, dkk. (eds.), 2008: 728) konteks didefinisikan sebagai (1) bagian suatu uraian atau kalimat yg dapat mendukung atau menambah kejelasan makna; (2) situasi yg ada hubungannya dengan suatu kejadian. Sementara itu, Leech (1983: 13) menerangkan bahwa konteks merupakan pengetahuan latar apapun yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur yang membantu mitra tutur dalam menafsirkan apa yang dimaksud oleh penutur.
1.6.7 Komponen Tutur Teori komponen tutur yang digunakan dalam kajian ini adalah teori komponen tutur yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo (via Baryadi, 2015: 2425). Adapun komponen-komponen tutur tersebut yang digunakan dan berkaitan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, orang ke-satu (O1), yaitu penutur –dalam pertunjukan SUC mengacu pada comic. Pribadi si penutur berkaitan dengan dua hal, yaitu siapakah O1 dan dari manakah asal atau latar belakang O1. Kedua, orang ke-dua (O2), yaitu mitra tutur –dalam pertunjukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25
SUC mengacu pada penonton. Dalam kajian ini, peneliti juga bertindak sebagai penonton. Ketiga, maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak O1 sangat mempengaruhi bentuk-bentuk tutur yang diujarkannya.
1.6.8 Struktur Wacana SUC Struktur atau bagian utama dari wacana SUC terdiri atas setup dan punch line. Menurut Dean (2012: 14), setup adalah bagian pertama dari humor SUC, yang menyiapkan orang untuk tertawa. Punch line adalah bagian kedua dari humor SUC, yang membuat orang tertawa. Dengan kata lain, setup menciptakan ekspektasi dan punch line menghadirkan kejutan. Bagian setup menuntun penonton menuju sebuah ekspektasi. Selanjutnya, punch line mengejutkan penonton, namun berbeda dengan ekspektasi yang telah terbentuk di dalam benak penonton. Dean (Ibid., hlm.18) memberi contoh sebagai berikut. (7)
Saya sudah menikah selama empat puluh tahun dan cinta sejati saya hanya ada di satu perempuan. Andai istri saya kenal perempuan itu, saya bisa dibunuh.
Setup: Saya sudah menikah selama empat puluh tahun dan cinta sejati saya hanya ada di satu perempuan.
Saat dan setelah comic mengucapkan setup-nya, di benak penonton akan tercipta asumsi pada tuturan tersebut yang kira-kira seperti ini: Pria ini membanggakan betapa ia mencintai istrinya sepenuh hati. Mereka sudah menikah selama empat puluh tahun dan mereka sangat bahagia. Pria ini tidak pernah sekali pun berselingkuh dan akan setia seumur hidupnya. Melalui asumsi itu, para penonton akan menduga dan berekspektasi bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26
perempuan yang dicintai laki-laki itu adalah istrinya sendiri. Akan tetapi, comic memberikan punch line dan sekaligus mematahkan atau membelokkan ekspektasi penonton.
Punch Line: Andai istri saya kenal perempuan itu, saya bisa dibunuh.
Ternyata, meskipun sudah menikahi istrinya selama empat puluh tahun, laki-laki ini tidak bahagia dan lebih memilih untuk mencintai perempuan lain. Akan tetapi, laki-laki ini merasa takut dibunuh oleh istrinya jika mengetahui perselingkuhannya dengan perempuan lain.
1.7 Metode dan Teknik Penelitian 1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Objek penelitian ini adalah (1) siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4 dan (2) bagaimana kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice. Objek ini berada dalam data berupa wacana humor SUCI 4. Data-data diperoleh dari situs YouTube yang menayangkan pertunjukan SUCI 4 pada Februari sampai Juni 2014. Data yang dikumpulkan berupa tuturan yang mengandung nilai humor kritik sosial. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data-data ini adalah metode simak, yaitu metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 2015: 203). Metode ini diwujudkan dalam dua teknik penjaringan data. Dalam kajian ini, teknik sadap berperan sebagai teknik dasar; teknik simak bebas libat cakap sebagai teknik lanjutannya; lalu diakhiri dengan teknik catat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27
Pelaksanaan teknik sadap dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang (Ibid., hlm.203). Sementara itu, teknik simak bebas libat cakap dilakukan dengan hanya menyimak tuturan yang disampaikan oleh penutur secara reseptif atau tanpa terlibat dalam pembentukan dan pemunculan calon data (Ibid., hlm.203). Untuk melengkapi teknik ini, digunakan teknik catat, yaitu teknik yang dilakukan dengan mentranskripsikan tuturan humor yang mengandung kritik sosial.
1.7.2 Metode Analisis Data Metode yang digunakan untuk menganalisis data sesuai rumusan masalah dan tujuan penelitian dalam kajian ini adalah metode padan pragmatis. Metode padan pragmatis yaitu metode yang alat penentunya mitra tutur (Ibid., hlm.18). Dalam metode padan pragmatis, segala reaksi atau tanggapan mitra tutur menjadi penentu identitas satuan-satuan lingual tertentu. Adapun dalam kajian ini, peneliti berperan sebagai penonton SUCI 4 sekaligus penafsir tuturan comic. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi tuturan-tuturan humor yang mengandung kritik sosial. Dalam penerapannya, metode ini akan didahului dengan mengidentifikasi clue (tanda, isyarat) (Titscher, dkk. via Subagyo, 2012: 59). Clue dalam wujud tanda baca, kata, frasa, kalimat atau tuturan tunggal, gugus kalimat atau gugus tuturan, hingga paragraf. Selanjutnya, clue tersebut diidentifikasikan, ditafsirkan, dan dipaparkan sesuai konteks (Ibid., hlm.59). Pada kajian ini, pengidentifikasian clue untuk menentukan dan mendeskripsikan: (1) sasaran kritik dan hal yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 28
dikritik dalam WHKS SUCI 4; (2) kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama. Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang akan dikaji di dalam penelitian ini, maka tahapan analisis data dilakukan sebagai berikut. Pertama, untuk mendeskripsikan siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4, maka dilakukan pengidentifikasian clue berupa kata ganti orang, nama orang, nama lembaga, dan pernyataan-pernyataan bermuatan informasi kritik sosial, lalu dideskripsikan, ditafsirkan, dan dijelaskan sesuai konteks WHKS SUCI 4. Selanjtunya, data-data yang telah dianalisis diklasifikasi menurut kesamaan sasaran kritiknya. Berikut ini adalah contoh analisis datanya. (8)
Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya melihat pengemis, dia itu kasihan, naik turun angkot susah. Saya pengen nganu, mbarengi. Saya pengen membonceng dia. Saya kan naik motor. O1: Ayo Bu, saya bonceng. Naik motor saya. Ngeng. O1: Silakan turun, Bu. Kita sudah sampai. O2: Di mana nih? O1: Kantor Satpol PP. Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita untuk mengemis. (Dodit, show 8).
Sasaran tutur pada wacana (8) mengacu pada kaum perempuan. Hal tersebut ditunjukkan dengan kata pengemis dan Bu. Tuturan ini mengimplikasikan seorang ibu yang berprofesi sebagai pengemis. Pada wacana (8), comic mengimbau kaum perempuan untuk mengilhami dan memanifestasikan perjuangan Kartini. Hal ini ditandai melalui tuturan Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita untuk mengemis. Kartini mengangkat martabat perempuan Indonesia agar dapat hidup secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29
mandiri, cerdas, produktif, dan tangguh. Berkat kegigihannya itu, dewasa ini, sudah banyak perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi sosok penting dan sumber inspirasi bagi rakyat Indonesia. Namun, pada kenyataan lain, gambaran nasib kaum perempuan Indonesia ada yang masih memilukan. Comic mencontohkan perempuan yang berprofesi sebagai pengemis: para perempuan yang hanya mendapat uang hasil rasa haru orang lain. Pada wacana (8) diceritakan bahwa comic (O1) menaruh iba pada seorang perempuan pengemis (O2) yang kesulitan menaiki dan menuruni angkutan umum. Oleh karena itu, O1 pun berinisiatif untuk mengantar O2 dengan menggunakan sepeda motornya. Tanpa disadari oleh O2, O1 justru mengantarnya ke kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). O1 bermaksud agar O2 mendapat pembinaan agar kelak tidak mengemis lagi. Menilik sikap comic pada seorang perempuan pengemis yang semula dikasihaninya, hal ini dimaksudkan agar siapapun dapat terlibat dan bahu-membahu bersama para aparatur pemerintah terkait dalam pengentasan persoalan pada penyandang masalah kesejahteraan sosial. Di samping itu, comic juga memberi peringatan kepada kaum perempuan agar terus menghidupkan semangat, perjuangan, dan cita-cita Kartini untuk memperadabkan diri perempuan itu sendiri maupun kaum perempuan pada umumnya. Kedua, untuk mendeskripsikan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama Grice, maka dilakukan pengidentifikasian data
(tuturan)
yang
menghasilkan
tawa.
Langkah
berikutnya
adalah
mendeskripsikan setiap tuturan yang telah teridentifikasi berdasarkan kepatuhan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30
dan ketakpatuhan pada prinsip kerja sama. Langkah terakhir dalam tahapan ini adalah mengelompokkan setiap tuturan berdasarkan tipe-tipe kepatuhan dan ketakpatuhannya pada prinsip kerja sama. Berikut ini adalah contoh hasil analisis datanya. (9)
Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya melihat pengemis, dia itu kasihan, naik turun angkot susah. Saya pengen nganu, mbarengi. Saya pengen membonceng dia. Saya kan naik motor. O1: Ayo Bu, saya bonceng. Naik motor saya. Ngeng. O1: Silakan turun, Bu. Kita sudah sampai. O2: Di mana nih? O1: Kantor Satpol PP. Kartini membuat emansipasi tidak mengajarkan wanita untuk mengemis. (Dodit, show 8).
Wacana (9) mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Bagian wacana ini yang mematuhi maksim kuantitas dapat dilihat dari tuturan O1 yang menggambarkan dirinya sebagai pribadi yang memiliki kelembutan hati dan punya empati terhadap orang lain. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Saya itu memiliki kelembutan hati seperti Ibu saya. Kalau saya melihat pengemis, dia itu kasihan. Sebagai bukti kebaikan hatinya, lantas comic menerangkannya berupa tuturan tambahan melalui dialog. O2,
yang
merupakan
seorang
pengemis,
dibantu
oleh
O1
dengan
memboncengkannya di sepeda motornya karena tidak tahan melihat O2 yang kesulitan saat keluar-masuk dari angkutan umum. Nahasnya, O1 tidak mengantarkan O2 ke tempat yang dikehendakinya, melainkan menurunkannya di kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Sementara itu, bagian wacana (9) yang mematuhi maksim kualitas yakni
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31
terdapat pada tuturan Saya pengen membonceng dia dan Ayo Bu, saya bonceng. Kedua tuturan ini mengimplikasikan keselarasan perbuatan dan perkataan comic. Selain itu, wacana ini mematuhi maksim cara karena penuturan comic jelas dan tidak ada tuturan yang taksa. Berkenaan dengan ketaksaan, tuturan yang bergaris bawah di atas menimbulkan reaksi tawa karena adanya pemahaman penonton terhadap konteks tuturan tersebut, yakni bahwa pengemis yang dibawa maupun ditahan di kantor tersebut pada umumnya akan diberi pendampingan dan pembinan agar tidak mengemis lagi. Hal ini justru tidak dikehendaki oleh pengemis karena meminta-minta adalah satu-satunya jalan bagi mereka agar tetap hidup. Wacana di atas tidak mematuhi maksim relevansi karena tuturan awal O1 yang mengklaim dirinya sebagai pribadi yang memiliki kelembutan hati, tidak sejalan dengan realitasnya, yaitu ketika O1 memboncengi O2, O1 justru mengantarkannya ke kantor Satpol PP.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode infromal dan metode formal. Metode informal menyajikan hasil analisis data berupa kata-kata biasa yang dapat dipahami secara mudah oleh pembaca, sedangkan metode formal menyajikan hasil analisis data berupa tanda dan lambang (Sudaryanto, 2015: 241).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32
1.8 Sistematika Penyajian Penyajian hasil penelitian ini dijabarkan ke dalam empat bab. Bab I merupakan pendahuluan, yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi pembahasan perihal sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4. Bab III berisi analisis kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama. Bab IV merupakan bab penutup, yang mencakup kesimpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33
BAB II SASARAN KRITIK DAN HAL YANG DIKRITIK DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4
2.1 Pengantar Stand Up Comedy merupakan genre komedi yang disampaikan melalui aktivitas berbicara (secara lisan).
Di dalam pragmatik, berbicara merupakan
aktivitas yang berorientasi pada tujuan. Dengan demikian, pertunjukan SUC, termasuk SUCI 4, dilandasi oleh orientasi pada tujuan tertentu, di samping sebagai media hiburan. Di dalam penelitian ini, tujuan komedi para comic dalam SUCI 4 berorientasi pada kritik sosial. Berkenaan dengan itu, hal yang dikaji dalam bab ini adalah siapa sasaran kritik dan apa hal yang dikritikkan oleh comic. Pada pembahasan berikut ini, data pertama-tama diklasifikasi menurut siapa sasaran kritik, kemudian ditelaah apa saja hal yang dikritik. Sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS dijabarkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1 Sasaran Kritik dan Hal yang Dikritik dalam WHKS SUCI 4
No.
Sasaran Kritik
Hal yang Dikritik Kebijakan Diskriminatif
1
Pemerintah
Kinerja Pemerintah Kegagalan Penegakan Aturan Kinerja Anggota DPR
2
Anggota DPR
Kebiasaan Tidur saat Rapat Perilaku Korupsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34
3
Anggota Ormas
Kemunafikan Anggota Ormas Islam Sikap Intoleransi Ormas Islam Kesalahpahaman atas Konsepsi Kesetaraan Gender
4
Perempuan Indonesia
Profesi Perempuan Kecemburuan yang Berlebihan Kesadaran Wanita Muslim untuk Berkerudung Kualitas Program
5
Pertelevisian Indonesia
Jam Tayang Iklan Diskriminasi Peran Keaktoran
6
Pedangdut Wanita
Musikalitas
7
Orangtua
Pola Asuh Orangtua terhadap Anak
Masyarakat Lokal
Sikap Apatis Pemuda Betawi pada Tanjidor Kesadaran Masyarakat Jakarta dalam Penanganan Banjir Perilaku Penonton Dangdut
8
Tingkah Laku Pelajar Bintaro Stigma Masyarakat terhadap Orang Kurus Sikap Politik dalam Pileg dan Pilpres 2014 9
Masyarakat Luas
Minimnya Penghargaan terhadap Dokter Sikap Individualistis akibat Penggunaan Handphone Kualitas Permainan Timnas Indonesia
10
Persepakbolaan
Kualitas Wasit Indonesia Tindakan Provokasi Ketiadaan Pembelajaran Sasando
11
Institusi Pendidikan
Pelaksanaan MOS Kualitas Gizi di Pondok Pesantren
12
Tokoh
Pemilihan Lokasi Pendeklarasian sebagai Capres Tindakan Kekerasan Fisik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35
2.2 Pemerintah Pemerintah, baik pusat maupun daerah, merupakan badan negara yang bertanggung jawab atas tata kelola pemerintahan. Adapun tugas pemerintah secara garis besar yaitu menjalankan kekuasaan atas tugas (undang-undang dan peraturan/hukum) yang dibuat oleh anggota legislatif (Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, 2010: 91). Pelaksanaan kekuasaan tersebut meliputi wewenang mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik dalam suatu kelompok masyarakat dan wilayah, baik pada tataran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah bertanggung jawab secara penuh dan langsung terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat. Oleh karena perannya tersebut, pemerintah pun menjadi salah satu lembaga negara yang mendapat perhatian publik. Masyarakat melaksanakan fungsi pengawasan untuk mengetahui dan mengkritisi kinerja pemerintah. Perhatikan ketiga wacana berikut. (10) Teman-teman, teman-teman tahu gedung Kementerian Desa Tertinggal itu ada di mana? Ada di Jakarta. Fungsinya apa? Itu sama seperti kita buat orang-orangan sawah taruh di laut. Buat apa? Mau usir paus pakai orang-orangan sawah, hah? Maksud saya, tempatkan segala sesuatu itu berdasarkan fungsinya. Kementerian Desa Tertinggal ya taruh di desa tertinggal begitu. Taruh di desa tertinggal. Kalau taruh di Jakarta, tiap pagi dia bangun buka jendela, begitu. Dia buka. O1: Wah, bangunan sudah banyak, gedung sudah banyak. Wah, Indonesia sudah maju. Kalau taruh di desa tertinggal, begitu buka jendela. O1: Hei, ini jendela di mana ini? Saking tertinggalnya, jendela saja tidak ada. Mungkin itu karena namanya Kementerian Desa Tertinggal, jadi menterinya di sini, desanya ditinggal. (Abdur, show 17).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36
(11) Saya kasih tahu ya, kehidupan di Lampung itu keras, ekstrim. Tingkat kejahatan di Lampung itu tinggi, bahkan lebih tinggi daripada Jakarta. Di Jakarta ini kan jarang ada begal, ada rampok, rampok motor. Kalau di Lampung itu banyak betul. Iya serius ini. Tawa kamu. Di Lampung itu banyak begal. Kalau orang naik motor sendirian, apalagi kalau di jalan sepi, udah itu. Berharap aja di rumah punya nyawa cadangan, karena pasti dibegal. Iya. Orang mau ke pasar aja kebegal. Bahkan mau ke warung aja kebegal. Orang mau ngebegal, dibegal. Karena begal itu suka nyari tempat sepi; bawa golok nungguin orang datang. Tiba-tiba di belakangnya ada begal, bawa pistol, todong. O1: Oi, sini motor kamu. O2: Oi, saya ini begal. Kok kamu begal? Saya ini bawa golok saya ini. O1: Woi, saya bawa pistol. O2: Senjata kamu lebih canggih rupanya. Ya udahlah, ambil motor saya. Udahnya, dia nelpon polisi kan. O2: Pak, tolong Pak. Ini motor saya dibegal Pak. O3: Oh iya, tunggu, Dek. Saya juga lagi dibegal ini. (Wendi, pre show 2). (12) Ngomongin transportasi, khususnya di Jakarte, orang Betawi punya peran penting: jaga parkir. Parkir itu vital banget di Jakarta, sampai ada kebijakan dilarang parkir. Yang ngelanggar dicabut pentilnya. Tapi, kebijakan itu gagal. Ya iyalah. Pentil doang mah bisa beli. Kalau mau sukses, pentilnya loe taroh, motornya loe angkut. (David, show 10). Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada pemerintah. Wacana (10) ditandai dengan frasa kementerian desa tertinggal. Tuturan ini mengimplikasikan Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, yang juga termasuk dalam jajaran pemerintah. Wacana (11) ditunjukkan melalui tuturan Tingkat kejahatan di Lampung itu tinggi. Tuturan ini mengimplikasikan pemerintah provinsi Lampung, yang berfungsi sebagai penanggung jawab dalam memberikan perlindungan dan pengamanan bagi masyarakat Lampung. Wacana (12) ditandai melalui tuturan parkir itu vital banget di Jakarta, sampai ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37
kebijakan dilarang parkir. Tuturan ini mengimplikasikan pemerintah sebagai sasaran kritik –karena sebagai pencanang dan pelaksana aturan tersebut. Hal-hal yang dikritik kepada pemerintah adalah sebagai berikut. Pertama, kebijakan diskriminatif pemerintah pusat. Kedua, kinerja pemerintah. Ketiga, kegagalan penegakan aturan.
2.2.1 Kebijakan Diskriminatif Wacana (13) memuat kritikan comic atas sikap diskriminasi pemerintah pusat perihal pelaksanaan dan pemerataan pembangunan daerah-daerah di Indonesia. (13) Saya heran, pembangunan itu selalu dibeda-bedakan, selalu dibeda-bedakan. Padahal, kita ini kan satu Ibu Pertiwi, temanteman, satu Ibu Pertiwi. Saya itu terkadang berpikir itu dengan frasa Ibu Pertiwi. Kalau kita memang satu Ibu Pertiwi begitu, apakah memang dulu itu ada satu seorang perempuan, kemudian melahirkan pulau-pulau di Indonesia kah? Iya, jadi kamar bersalin begitu, lampu terang, follow spot di mana-mana begitu, kemudian Ibu Pertiwi berbaring. O1: Ya, Ibu Per. Ini panggilan akrab Ibu Pertiwi, ya. O1: Ya, Ibu Per, tarik nafas dalam-dalam, Ibu. Terus Ibu, terus, iya, terus, kuat, terus, kepalanya sudah keluar, oke, ya. Sumatera. Sumatera lahir, dan itu adalah pulau yang paling susah lahir karena gunungnya paling banyak. Itu Ibu Pertiwi sampai robekrobek itu. Dan mungkin setelah itu, Kalimantan lahir, Jawa lahir, Bali lahir, dan pulau-pulau di bagian Indonesia Timur itu lahirnya paling terakhir. O1: Ya, Ibu Per, tarik nafas dalam-dalam, Ibu. Terus Ibu, iya terus, sedikit lagi, sedikit lagi, kepalanya sudah keluar, oke, iya, listrik mati. Begitulah cara kami lahir. Makanya wajar kalau kami gelap-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38
gelap. (Abdur, show 17).
Wacana di bawah ini berisi kritikan comic atas sikap diskriminasi pemerintah pusat perihal pemerataan pembangunan infrastruktur daerah-daerah di Indonesia. (14) Di Malang itu teman-teman, saya suka sekali nonton Arema di stadion; dan aremania di sana itu sudah mulai ada kubukubunya. Jadi, ada aremania tribun utara, tribun selatan, tribun ekonomi, manajemen, akuntasi, oi macam-macam, macammacam. Akhirnya saya berpikir, kayaknya saya juga harus buat kubu sendiri. Saya beri nama Aremania tribun tenggara timur laut. Yang lain bawa terompet, kami bawa kompas. “Ini tenggara timur laut di bagian mana?” Begitu dapat tempat duduk, ada yang protes, “ Ah, di sini bukan tenggara timur laut. Di sini ini selatan barat daya.” Akhirnya harus cari lagi. Begitu dapat tempat duduk yang benar, pertandingan sudah bubar. Tapi teman-teman, paling tidak enak itu kalau kalian nonton dari tribun timur, karena kalau di tribun barat itu nonton pakai lampu, cahaya terang kelap-kelip di mana-mana, tapi di tribun timur itu masih gelap, listrik tidak ada. Di tribun barat itu dikasih kursi, dikasih sofa, makan enak-enak, tapi di tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Bahkan orang dari tribun barat itu berteriak ke tribun timur, “Woi, kalian yang ada di tribun timur, sabar saja, nanti kami bangun kursi di situ. Kami kasih makan enak.” Tetapi, sampai pertandingan berakhir tidak ada yang datang. (Abdur, show 9). Wacana (15) mengandung kritikan comic atas sikap diskriminasi pemerintah pusat terhadap penanggulangan bencana alam di daerah terpencil di Indonesia. (15) Teman-teman, di sini ada yang tahu Rokatenda? Tidak ada. Inilah suara minor yang mau saya bawa malam ini. Temanteman, Rokatenda adalah gunung berapi di Pulau Flores. Dia meletus dari bulan Oktober 2012 sampai Desember 2013. Empatbelas bulan, empatbelas bulan. Bahkan dari pertama kali dia meletus sampai dia ulang tahun yang pertama, tiuptiup lilin, tidak ada kado yang datang, tidak ada. Wajar kalau teman-teman tidak tahu karena memang berita Rokatenda meletus pada waktu itu, itu tertutup oleh berita banjir Jakarta. Bahkan berita banjir Jakarta itu diarahkan menjadi bencana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39
nasional karena merugikan negara hampir duapuluh triliun. Rokatenda selama empatbelas bulan meletus itu negara cuma rugi seribu rupiah. Iya, dua koin lima ratus untuk tutup telinga. (Abdur, show 1). Abdur, penutur wacana (13) merupakan comic yang berasal dari Desa Lamakera, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Dalam penampilannya, Abdur sering kali mengungkapkan keprihatinannya dengan mengangkat isu sosial seputar kehidupan masyarakat Indonesia Timur (kawasan Indonesia yang merujuk pada daerah Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara). Pada wacana (13), comic mengkritisi sikap diskriminatif pemerintah pusat dalam melaksanakan
pembangunan (seperti
pembangunan manusia dan
pembangunan infrastruktur) di Indonesia Timur. Hal ini ditandai melalui tuturan (1) Saya heran, pembangunan itu selalu dibeda-bedakan, selalu dibeda-bedakan dan (2) Pulau-pulau di bagian Indonesia Timur itu lahirnya paling terakhir. Kedua tuturan kunci di atas mengimplikasikan kesenjangan dan dikotomi pembangunan manusia dan pembangunan infrastruktur antara daerah-daerah di Indonesia, khususnya di kawasan Indonesia Timur. Dalam pembangunan nasional, Indonesia Timur memang selalu dikebelakangkan. Pada wacana (14), comic mengkritisi perbedaan perlakuan pemerintah dalam pemerataan pembangunan daerah-daerah di Indonesia. Hal ini ditunjukkan pada tuturan Tapi teman-teman, paling tidak enak itu kalau kalian nonton dari tribun timur, karena kalau di tribun barat itu nonton pakai lampu, cahaya terang kelap-kelip di mana-mana, tapi di tribun timur itu masih gelap, listrik tidak ada. Di tribun barat itu dikasih kursi, dikasih sofa, makan enak-enak, tapi di tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Pernyataan ini merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40
tuturan figuratif yang mengimplikasikan konteks ketidakmerataan pembangunan di Indonesia. Frasa tribun timur mengacu pada daerah-daerah Indonesia Timur yang digambarkan miskin infrastruktur dan kebutuhan hidup. Sebaliknya, frasa tribun barat mengacu pada daerah-daerah Indonesia Barat yang dilukiskan memiliki pembangunan infrastruktur yang baik dan berpenduduk sejahtera. Pada wacana (15), comic mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah pusat pada daerah-daerah terpencil di Indonesia. Hal ini ditandai pada kalimat Bahkan dari pertama kali dia meletus sampai dia ulang tahun yang pertama, tiuptiup lilin, tidak ada kado yang datang, tidak ada. Tuturan ini mengimplikasikan periode terakhir letusan Gunung Rokatenda yang terjadi selama satu tahun, yakni pada Oktober hingga Desember 2013. Rokatenda merupakan gunung berapi yang tepatnya berada di Pulau Palue, sebelah utara Pulau Flores. Akibat letusan ini, beberapa desa dihujani kerikil dan abu vulkanik, ketersediaan pangan dan air bersih berkurang, dan lima warga sekitar Rokatenda meregang nyawa akibat tersapu awan panas. Meskipun bencana alam ini berlangsung lama, comic mengklaim bahwa pemerintah pusat tidak memberikan bantuan logistik dan uang kepada korban letusan Rokatenda.
2.2.2 Kinerja Pemerintah Wacana (16) berikut memuat kritikan terhadap kinerja Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia. (16) Teman-teman, teman-teman tahu gedung Kementerian Desa Tertinggal itu ada di mana? Ada di Jakarta. Fungsinya apa? Itu sama seperti kita buat orang-orangan sawah taruh di laut. Buat apa? Mau usir paus pakai orang-orangan sawah, hah?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41
Maksud saya, tempatkan segala sesuatu itu berdasarkan fungsinya. Kementerian Desa Tertinggal ya taruh di desa tertinggal begitu. Taruh di desa tertinggal. Kalau taruh di Jakarta, tiap pagi dia bangun buka jendela, begitu. Dia buka. O1: Wah, bangunan sudah banyak, gedung sudah banyak. Wah, Indonesia sudah maju. Kalau taruh di desa tertinggal, begitu buka jendela. O1: Hei, ini jendela di mana ini? Saking tertinggalnya, jendela saja tidak ada. Mungkin itu karena namanya Kementerian Desa Tertinggal, jadi menterinya di sini, desanya ditinggal. (Abdur, show 17).
Wacana berikut berisi kritikan terhadap kinerja pemerintah Lampung dalam melindungi dan mengamankan masyarakat Lampung dari tindakan kejahatan. (17) Saya kasih tahu ya, kehidupan di Lampung itu keras, ekstrim. Tingkat kejahatan di Lampung itu tinggi, bahkan lebih tinggi daripada Jakarta. Di Jakarta ini kan jarang ada begal, ada rampok, rampok motor. Kalau di Lampung itu banyak betul. Iya serius ini. Tawa kamu. Di Lampung itu banyak begal. Kalau orang naik motor sendirian, apalagi kalau di jalan sepi, udah itu. Berharap aja di rumah punya nyawa cadangan, karena pasti dibegal. Iya. Orang mau ke pasar aja kebegal. Bahkan mau ke warung aja kebegal. Orang mau ngebegal, dibegal. Karena begal itu suka nyari tempat sepi; bawa golok nungguin orang datang. Tiba-tiba di belakangnya ada begal, bawa pistol, todong. O1: Oi, sini motor kamu. O2: Oi, saya ini begal. Kok kamu begal? Saya ini bawa golok saya ini. O1: Woi, saya bawa pistol. O2: Senjata kamu lebih canggih rupanya. Ya udahlah, ambil motor saya. Udahnya, dia nelpon polisi kan. O2: Pak, tolong Pak. Ini motor saya dibegal Pak. O3: Oh iya, tunggu, Dek. Saya juga lagi dibegal ini. (Wendi, pre show 2). Pada wacana (16), comic mengkritisi kinerja Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Republik Indonesia. Hal ini ditandai berupa tuturan Teman-teman tahu gedung Kementerian Desa Tertinggal itu ada di mana?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42
Ada di Jakarta. Fungsinya apa? Tuturan ini mengimplikasikan gagasan comic yang menganggap bahwa hasil kinerja Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal dalam pembangunan dan pengembangan daerah tertinggal tidak berjalan optimal. Comic beranggapan bahwa hal ini terjadi karena lokasi kantor kementerian tersebut berada di Jakarta, sehingga tidak menjangkau dan melihat persoalan rakyat secara dekat dan empiris. Berdasarkan Indeks Pembangunan Desa 2014, terdapat 20.168 desa tertinggal. Adapun sebaran desa tertinggal terbanyak di Pulau Papua, dengan jumlah mencapai 6.139 desa. Secara umum, desa-desa tertinggal banyak terdapat pada wilayah yang berada di kawasan Indonesia Tengah dan Indonesia Timur (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/20/141445026/20.168.Desa.di.I ndonesia.Masih.Tertinggal). Menilik pada kenyataan itu, comic berpandangan bahwa pengurangan jumlah desa tertinggal di Indonesia dapat ditempuh dengan menempatkan kantor Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal di kawasan atau daerah yang tergolong tertinggal. Langkah ini bertujuan agar kementerian tersebut mengenal secara dekat persoalan dan kebutuhan masyarakat desa tertinggal, sehingga kebijakan dan program untuk mengurangi keberadaan dan pertumbuhan desa tertinggal pun dapat terimplementasi dengan baik. Pada wacana (17), comic mengkritisi kinerja pemerintah Lampung dalam memberikan perlindungan dan keamanan bagi masyarakatnya seiring dengan maraknya aksi kejahatan begal di Lampung saat itu. Hal tersebut ditunjukkan pada tuturan Kehidupan di Lampung itu keras, ekstrim. Tingkat kejahatan di Lampung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43
itu tinggi dan Di Lampung itu banyak begal. Tuturan ini mengimplikasikan tingginya angka kejahatan begal di Lampung. Berikut ini adalah fakta kejahatan begal yang terjadi di Lampung pada 2014 lalu. Teraslampung.com (18/9/14) mewartakan, gembong komplotan begal bersenjata api asal Lampung Timur berhasil diringkus Resmob Subdit III Ditkrimum Polda Lampung, Kamis (18/9) siang. Tersangka yang diamankan yaitu Suheili, warga Dusun Mas, Desa Tebing, Kecamatan Melinting, Kabupaten Lampung Timur dan Afen Kurniawan, warga Maringgai, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Kedua tersangka telah melakukan pencurian motor puluhan kali di beberapa tempat. Dalam beraksi, keduanya membekali diri dengan senjata api maupun senjata tajam. Seorang wanita pernah menjadi korban pembunuhan mereka saat menjalankan aksi pencurian (http://www.teraslampung.com/2014/09/gembongkomplotan-begal-bersenpi.html).
2.2.3 Kegagalan Penegakan Aturan Wacana (18) berisi kritikan terhadap kegagalan pemerintah DKI Jakarta dalam menegakkan aturan tertib parkir kendaraan bermotor. (18) Ngomongin transportasi, khususnya di Jakarte, orang Betawi punya peran penting: jaga parkir. Parkir itu vital banget di Jakarta, sampai ada kebijakan dilarang parkir. Yang ngelanggar dicabut pentilnya. Tapi, kebijakan itu gagal. Ya iyalah. Pentil doang mah bisa beli. Kalau mau sukses, pentilnya loe taroh, motornya loe angkut. (David, show 10). David adalah comic yang berasal dari suku Betawi. Dalam penampilannya, David sering kali menuangkan keresahannya dengan mengangkat isu sosial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44
seputar kehidupan masyarakat Betawi dan masyarakat Jakarta pada umumnya. Pada wacana (18), comic mengkritisi kegagalan kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam memberlakukan sanksi pencabutan pentil pada kendaraan bermotor yang melanggar rambu larangan parkir dan berhenti di bahu jalan raya. Hal ini ditandai melalui tuturan Parkir itu vital banget di Jakarta, sampai ada kebijakan dilarang parkir. Tapi, kebijakan itu gagal. Pada 2014 yang lalu, pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan aturan berupa larangan memarkir dan memberhentikan kendaraan bermotor di bahu jalan yang telah diberi rambu larangan tersebut sebagai upaya untuk menegakkan kembali aturan lalu lintas dan mengurai kemacetan. Comic mengungkapkan bahwa aturan ini gagal ditegakkan. Sanksi atas pelanggaran peraturan itu tidak membuat jera karena pelanggar akan dengan mudah membeli dan memasang kembali pentil pada kendaraan bermotornya. Berikut ini adalah salah satu penyebab gagalnya aturan ini ditegakkan, seperti penuturan Kompas.com (24/9/2013). Tukang parkir yang menyediakan lahan parkir di bahu jalan tidak mau kalah dengan aksi cabut pentil ban kendaraan oleh petugas Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Mereka memberi jaminan pentil dan dipompa. Di samping itu, minimnya fasilitas parkir yang tersedia di Jakarta menyebabkan pemilik kendaraan kembali pada kebiasaan lamanya, yakni parkir secara
serampangan
(http://nasional.kompas.com/read/2013/09/24/0842289/
Tukang.Parkir.Beri.Garansi.Pentil.Ban.yang.Dicabut). Pemerintah melalui Dinas Perhubungan harus lebih keras dalam menindak para pelaku parkir liar. Comic pun mengusulkan agar kendaraan bermotor, baik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45
sepeda motor maupun mobil, yang diparkir di badan jalan secara liar untuk diderek atau diangkut ke kantor dinas atau lembaga terkait untuk menimbulkan efek jera bagi pemilik kendaraan tersebut.
2.3
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik pusat maupun daerah, merupakan
salah satu lembaga tinggi negara yang secara konstitusional mengemban tugas melaksanakan kedaulatan rakyat. Berdasarkan UUD 1945, DPR RI memiliki wewenang dan fungsi sebagai berikut: membentuk undang-undang bersama-sama presiden, menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara bersama-sama presiden dan melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara dan atas kebijaksanaan pemerintah (Budiardjo, (eds.), 1993: 8). Sementara itu, pada tataran daerah (provinsi dan kabupaten/kota), DPR Daerah (DPRD) berwewenang dan berfungsi sebagai berikut: membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah, menetapkan anggaran dan belanja daerah bersama-sama kepala daerah dan melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan peraturan daerah dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sebagai institusi demokrasi, DPR belum menjalankan fungsinya dengan baik (Ibid., hlm.5). Oleh karena itu, kiprah dan kinerja para legislator ini pun selalu dipantau oleh para konstituennya maupun rakyat Indonesia secara umum. Adapun fungsi pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengetahui tanggung jawab dan komitmen anggota DPR dalam menjalankan fungsi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46
keterwakilan dan sebagai pelayan masyarakat. Perhatikan ketiga wacana di bawah ini. (19) DPR itu tugasnya kan untuk mendengarkan suara rakyat, aspirasi rakyat. Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara rakyat ketika DPR dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi, pakai, naik ke kantor, ke kantor itu pakai Camry. Ya kan? Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di tengah-tengah pasar. Iya. Di pasar itu kan segala macam ada kan? Dari tukang ayam sampai tukang cabe, ayam kampus, cabe-cabean. Ada gitu. (Dzawin, show 6). (20) Caleg. Caleg ini mereka berebut kursi, tapi setelah mereka menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur, dan lebih parahnya lagi yang mimpin rapat udah tahu yang dengerin tidur, rapatnya masih gitu-gitu aja. Ini harusnya dibikin rapat yang lebih meriah. Jadi, begitu masuk ruang rapat: O1: Oke, peserta rapat paripurna, mana suaranya? Yang di sebelah sana, mana suaranya? O2: Rghhh (Mendengkur). O1: Yang sebelah, sana mana suaranya? O3: Rghhh (Mendengkur). Akhirnya, O1: Oke, kita mulai rapatnya. Pas dia duduk, tidur. Ini kan sama aja ya? (Coki, show 6). (21) Saya itu selalu bingung. Kita itu selalu bingung kalau pemilihan. Kita selalu bingung memikirkan caleg. Padahal caleg tidak pernah bingung memikirkan kita. Caleg tidak pernah bingung memikirkan kita. Padahal seperti ini. Mereka juga tidak mengingat kita. Maksud saya, ingatlah kita, ingat kita, apalagi kalau kalian sudah korupsi. Ingat, bagi-bagi hasil korupsi. Dan begini, kalau misalnya. Tapi, jangan kalian pilih caleg yang seperti itu. Itu tidak baik. Yang harus kalian pilih itu caleg yang jujur. Jujur kalau butuh uang rakyat. (Sri, show 6). Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada anggota DPR. Wacana (19) ditandai melalui kata DPR. Wacana (20) ditunjukkan melalui kata Caleg dan klausa Duduk di kursi itu. Kata caleg merupakan akronim dari frasa calon anggota legislatif (peserta pemilu legislatif). Tuturan Duduk di kursi itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47
merupakan ungkapan figuratif yang bermakna „menduduki jabatan sebagai anggota DPR‟. Wacana (21) ditandai melalui kata Caleg. Hal yang dikritik kepada anggota DPR adalah sebagai berikut. Pertama, kinerja anggota DPR. Kedua, kebiasaan tidur saat rapat. Ketiga, perilaku korupsi.
2.3.1 Kinerja Anggota DPR Wacana berikut ini memuat kritikan terhadap kinerja anggota DPR. (22) DPR itu tugasnya kan untuk mendengarkan suara rakyat, aspirasi rakyat. Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara rakyat ketika DPR dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi, pakai, naik ke kantor, ke kantor itu pakai Camry. Ya kan? Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di tengah-tengah pasar. Iya. Di pasar itu kan segala macam ada kan? Dari tukang ayam sampai tukang cabe, ayam kampus, cabe-cabean. Ada gitu. (Dzawin, show 6).
Wacana (23) berisi kritikan terhadap hasil kerja anggota DPR perihal memperjuangkan nasib rakyat kecil. (23) Meskipun suara saya cempreng emejing gila, suara saya ini juga menentukan siapa yang bakal duduk di DPR. Dan demokrasi ini berjalan tanpa suara saya itu nggak bakal bisa. Suara rakyat kecil, dalam arti sebenarnya. Dan pemerintah ini cuma janjijanji kosong. Katanya memperjuangkan rakyat kecil. Bohong. Kalau memang memperjuangkan, kenapa sampai sekarang tes CPNS masih menggunakan tinggi badan sebagai syarat utama. Saya kerja apa? (Arif, show 6).
Wacana (24) berikut mengandung kritikan terhadap kinerja anggota DPR yang sering kali memberi harapan palsu pada rakyat. (24) Emang pemilu suka bikin bingung ya. Partai banyak. Namanya p anu lah, p itu lah. Menurut gua, percuma bang kalau ujungujungnya jadi PHP, Partai Harapan Palsu. (David, show 6).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48
Pada wacana (22), comic mengungkapkan, fungsi keterwakilan suara rakyat yang diemban oleh anggota DPR tidak berjalan secara ideal. Hal ini ditandai melalui tuturan Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara rakyat ketika DPR dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi, pakai, naik ke kantor, ke kantor itu pakai Camry. Tuturan Tembok yang begitu tinggi merupakan ungkapan asosiatif dari Kantor DPR RI di Senayan. Kata Camry mengacu pada mobil sedan berkelas menengah ke atas yang bernama lengkap Toyota Camry. Tuturan ini merupakan asosiasi dari simbol kemewahan (anti-kemasyarakatan). Dengan demikian, tuturan kunci tersebut mengimplikasikan para anggota DPR, yang begitu sulit didekati, ditemui, dan tidak merakyat. Sikap para wakil rakyat yang memisahkan jarak dengan rakyatnya ini berdampak langsung dengan rendahnya aspirasi rakyat yang dapat terpenuhi. Kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan pun tidak mampu mengatasi persoalan masyarakat secara komprehensif. Sebagai simbol kerakyatan, comic mengusulkan agar kantor DPR RI dipindahkan ke lingkungan sosial yang dekat dengan masyarakat, misalnya pasar tradisional –sebagai simbol kerakyatan, pasar menjadi tempat berjubelnya masyarakat, terutama masyarakat lapisan menengah ke bawah–, agar anggota DPR ini bisa mengetahui masalah nyata yang dialami masyarakat serta mendengarkan aspirasi dan kebutuhan mereka secara langsung. Pada wacana (23), comic mengkritisi kinerja anggota DPR yang sering kali memburas atau membohongi masyarakat. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Pemerintah ini cuma janji-janji kosong. Katanya memperjuangkan rakyat kecil. Bohong. Terminologi pemerintah dalam tuturan tersebut mengacu bukan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49
lembaga eksekutif, melainkan lembaga legislatif, dalam hal ini yaitu anggota DPR. Hal ini selaras dengan tuturan awal comic yang mengungkapkan Suara saya ini juga menentukan siapa yang bakal duduk di DPR. Sebagai contoh buruknya hasil kerja anggota legislatif, comic menyebutkan langkah diskriminatif anggota DPR dalam menetapkan aturan terkait syarat pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Salah satu persyaratan pendaftaran tersebut yakni adanya batas minimal tinggi badan bagi para pendaftar. Aturan ini mendiskriminasi masyarakat yang memiliki tinggi badan yang tidak memenuhi kualifikasi itu untuk mendapatkan hak dan kesempatan kerja yang sama dengan masyarakat lainnya. Comic pun merasa dirugikan oleh aturan ini karena memiliki ukuran tubuh yang relatif pendek, sehingga menganggap anggota DPR tidak dapat memperjuangkan kebutuhan dan aspirasi segala lapisan dan golongan masyarakat. Pada wacana (24), comic mengeluhkan kinerja para anggota DPR yang tidak memberikan kontribusi nyata dan baik bagi kehidupan rakyat, meskipun jumlah partai politik (termasuk anggota DPR) di Indonesia relatif banyak. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan Partai banyak. Menurut gua, percuma bang kalau ujung-ujungnya jadi PHP, Partai Harapan Palsu. Runtuhnya rezim Orde Baru pada Mei 1998 sebagai penanda lahirnya reformasi demokrasi –yang direpresi pertumbuhannya pada masa pemerintahan Soeharto. Kini, sebagai masyarakat demokratis, rakyat dapat terlibat langsung ataupun tidak langsung –melalui wakil rakyat di badan legislatif– dalam membantu penyelenggaraan negara. Entitas keterlibatan rakyat itu meliputi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50
kegiatan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hal ini pun tercantum dan dijamin secara konstitusional oleh negara melalui Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 amandemen IV yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Singkatnya, aturan ini pun memicu kelahiran dan pertumbuhan partai politik (parpol) baru di Indonesia. Tercatat, parpol (nasional maupun lokal) peserta pemilu 1999 berjumlah 48, parpol peserta pemilu 2004 berjumlah 24, parpol peserta pemilu 2009 berjumlah 44, dan parpol peserta pemilu 2014 berjumlah 15. Idealnya, keberadaan parpol-parpol ini tentu membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia, terutama karena jumlahnya relatif banyak. Logikanya, semakin besar jumlahnya, maka harapan dan cita-cita rakyat semakin banyak yang tersalur dan terserap. Akan tetapi, berjibunnya jumlah parpol pada setiap penyelenggaraan pemilu nyatanya berbanding terbalik dengan hasil pengentasan persoalan ekonomi dan sosial masyarakat. Salah satu indikatornya: jumlah penduduk miskin Indonesia masih memilukan, yaitu pada angka 27,73 juta jiwa per
September
2014
(http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/03/
070700226/Turun.Jumlah.Penduduk.Miskin.Capai.27.7.Juta.Orang). Oleh karena itu, comic lantas menyimpulkan bahwa partai-partai politik di Indonesia adalah partai harapan palsu alias pemberi harapan palsu.
2.3.2 Kebiasaan Tidur Saat Rapat Wacana berikut ini memuat kritikan terhadap kebiasaan tidur anggota DPR saat rapat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 51
(25) Caleg. Caleg ini mereka berebut kursi, tapi setelah mereka menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur, dan lebih parahnya lagi yang mimpin rapat udah tahu yang dengerin tidur, rapatnya masih gitu-gitu aja. Ini harusnya dibikin rapat yang lebih meriah. Jadi, begitu masuk ruang rapat: O1: Oke, peserta rapat paripurna, mana suaranya? Yang di sebelah sana, mana suaranya? O2: Rghhhh (Mendengkur). O1: Yang sebelah, sana mana suaranya? O3: Rhghhh (Mendengkur). Akhirnya, O1: Oke, kita mulai rapatnya. Pas dia duduk, tidur. Ini kan sama aja ya? (Coki, show 6). Comic mengkritik perilaku atau tingkah buruk para anggota DPR saat mengikuti rapat. Hal ini terimplikasi dalam kalimat Caleg ini mereka berebut kursi, tapi setelah mereka menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur. Pada nukilan tersebut, tuturan berebut kursi bermakna „merebut atau meraih jabatan‟ sebagai anggota legislatif dan tuturan duduk di kursi itu bermakna „menduduki jabatan‟ sebagai anggota legislatif. Di tengah bertumbuh dan berkembangnya sikap kritis dan skeptis rakyat Indonesia terhadap para wakilnya di kursi legislatif, para wakil rakyat ini belum mampu menunaikan sumpah jabatannya. Harapan dan tuntutan rakyat tidak kunjung tercapai. Sebagai bukti, hasil survei nasional Institut Riset Indonesia (Inisis) dan Poltracking Institute masing-masing pada September dan Oktober 2013 lalu menunjukkan bahwa DPR mendapatkan tingkat kepuasan publik paling rendah. Survei Inisis menunjukkan sebanyak 60,9 persen responden menilai kinerja anggota
DPR
tidak
memuaskan
(http://nasional.kompas.com/read/2013/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52
09/29/1224051/Survei.Insis.Publik.Makin.Tak.Puas.pada.Kinerja.DPR).
Survei
Poltracking Institute juga memperlihatkan tingkat ketidakpuasan responden sebesar
61,68
persen
(http://nasional.tempo.co/read/news/2013/10/20/
078523131/lagi-hasil-survei-kinerja-dpr-buruk). Alhasil, kebiasaan tidur anggota DPR saat rapat –yang seharusnya membahas kebijakan-kebijakan publik– sudah barang tentu membuat masyarakat Indonesia semakin berang. Comic memberikan ide yang inovatif untuk mencegah rasa kantuk yang dialami anggota DPR saat rapat. Pemimpin rapat harus melakukan tindakan atraktif, seperti menyapa para anggota rapat layaknya seorang biduan menyapa para penontonnya. Hal ini diyakini oleh comic dapat meningkatkan antusiasme para peserta rapat untuk terus terjaga saat sidang atau rapat berlangsung. Namun, anggapan itu lantas dipatahkan oleh rasa skeptis comic bahwa tabiat anggota DPR ini tidak dapat berubah dalam waktu relatif singkat. Alhasil, pada akhir wacana di atas comic menuturkan bahwa anggota DPR tetap pada kebiasaannya: tidur saat rapat.
2.3.3 Perilaku Korupsi Wacana (26) berikut ini berisi kritikan terhadap perilaku koruptif anggota DPR. (26) Biasa ke kantor pakai Camry, ini jalan kaki. Pas lagi jalan ketemu preman. Tapi, nggak akan dipalak. Ya, kali preman pasar malak preman negara? Loe tahu kan preman pasar itu. O1: Woi, siapa loe? O2: Tukang daging, bang. O1: Duit, duit! O1: Woi, siapa loe?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53
O2: Anggota dewan. O1: Duit. O2: Kenapa, kok saya nggak jadi dipalak? O1: Maaf nih ya, Pak. Saya preman biasa malak duit halal. Kalau saya malak Bapak, dosanya dobel. (Dzawin, show 6).
Wacana berikut ini mengandung kritikan terhadap perilaku korupsi anggota DPR. (27) Saya itu selalu bingung. Kita itu selalu bingung kalau pemilihan. Kita selalu bingung memikirkan caleg. Padahal caleg tidak pernah bingung memikirkan kita. Caleg tidak pernah bingung memikirkan kita. Padahal seperti ini. Mereka juga tidak mengingat kita. Maksud saya, ingatlah kita, ingat kita, apalagi kalau kalian sudah korupsi. Ingat, bagi-bagi hasil korupsi. Dan begini, kalau misalnya. Tapi, jangan kalian pilih caleg yang seperti itu. Itu tidak baik. Yang harus kalian pilih itu caleg yang jujur. Jujur kalau butuh uang rakyat. (Sri, show 6). Pada wacana (26), comic mengeluhkan tindakan korupsi yang marak terjadi di lingkungan pejabat DPR. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan Saya preman biasa malak duit halal. Kalau saya malak Bapak, dosanya dobel. Di dalam tuturan kunci tersebut, diceritakan bahwa seorang preman enggan memalak salah seorang anggota DPR karena curiga dan takut uang yang dimiliki oleh pejabat legislatif itu adalah hasil korupsi. Tuturan ini mengimplikasikan tabiat buruk anggota DPR ihwal perilaku koruptif. Tempo.co (23/9/14) mengungkapkan, berdasarkan data KPK, terdapat 466 politikus yang terjerat kasus korupsi. Ada sembilan partai politik yang kadernya melakukan
tindakan
korupsi
(https://m.tempo.co/read/news/2014/09/23/
063609068/anas-dan-466-politikus-yang-dijerat-kasus-korupsi). Pada pemberitaan tersebut, tidak dijelaskan rentang waktu korupsi itu terjadi. Pada wacana (27), comic mengkritisi tindakan korupsi yang dilakukan para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54
anggota DPR. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan Ingat, bagi-bagi hasil korupsi dan Jujur kalau butuh uang rakyat. Tuturan ini mengimplikasikan sifat ketidakjujuran anggota DPR yang menyelewengkan uang negara, dan dipakai untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Menjelang pemilihan umum, para pemilih sering kali dihadapkan pada berbagai pilihan politik untuk menentukan siapa caleg yang pantas menduduki kursi jabatan tersebut. Hak suara yang digunakan oleh para pemilih adalah simbol pencurahan harapan dan mimpi kepada para calon anggota terpilih untuk membawa para konstituennya dan masyarakat dalam lingkup yang lebih luas mendapat kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi, pada kenyataannya, kinerja para anggota DPR ini memprihatinkan. Sikap skeptis pun berkembang di masyarakat. Sebagai bentuk kekecewaannya, comic lantas mengasosiasikan anggota DPR dengan sifat koruptif, ketidakjujuran, dan tamak.
2.4 Anggota Organisasi Kemasyarakatan Organisasi Kemasyarakatan (ormas) adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang
berdasarkan
Pancasila
(https://id.wikipedia.org/wiki/
Organisasi_massa). Adapun salah satu fungsi ormas bagi masyarakat yaitu melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat. Nahasnya, fungsi ini sering kali dijalankan dengan tindakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55
banal. Oleh karena itu, sikap dan pandangan kritis diperlukan untuk mengontrol dan menilai peran ormas dalam kehidupan bermasyarakat. Perhatikan wacanawacana berikut ini. (28) Menurut gua mah, ormas berani kalau rame-rame. Sendiri mah belom tentu. Kita tempatin, Pak, ormas di tempat prostitusi. Rame-rame dia sweeping, Pak. Kemarin gua temuin ormas sendiri, Pak. Pakai peci, pakai sticklight. Bener, ada mobil mewah mau masuk, dia setopin. O1: Stop! Ya, kiri dikit, Pak. Kanan, kanan, mundur dikit. (David, show 17) (29) Kalau menurut gua, fungsi dari pakaian, fungsi dari pakaian, fungsi dari fesyen itu ada dua: yang pertama visual, yang kedua fungsional. Enak dilihat dan bisa merepresentasikan sikap. Percuma pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi pas giliran puasa ada warteg masih digerebek. Ya kan? Padahal udah ditirai. Padahal udah ditirai, masih digerebek. Kan kasihan. Gua belum kenyang. (Dzawin, show 13). Sasaran kritik pada kedua wacana di atas mengacu pada anggota ormas Islam. Wacana (28) ditunjukkan melalui kata Ormas dan klausa Pakai peci. Tuturan ini mengimplikasikan ormas Islam (yang diasosiasikan melalui klausa Pakai peci yang lazimnya merupakan atribut dari agama Islam). Wacana (29) ditunjukkan melalui tuturan Percuma pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi pas giliran puasa ada warteg masih digerebek. Tuturan tersebut mengimplikasikan ormas Islam (yang diasosiasikan melalui frasa peci-kokosarung serta kata gerebek yang berkenaan dengan aksi penggeledahan, razia, bahkan pengrusakan rumah makan oleh ormas Islam tertentu pada Bulan Ramadhan). Hal yang dikritik kepada ormas adalah sebagai berikut. Pertama, kemunafikan anggota ormas Islam. Kedua, intoleransi ormas Islam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56
2.4.1
Kemunafikan Anggota Ormas Islam Wacana (30) berisi kritikan terhadap kemunafikan anggota ormas Islam. (30) Menurut gua mah, ormas berani kalau rame-rame. Sendiri mah belom tentu. Kita tempatin, Pak, ormas di tempat prostitusi. Rame-rame dia sweeping, Pak. Kemarin gua temuin ormas sendiri, Pak. Pakai peci, pakai sticklight. Bener, ada mobil mewah mau masuk, dia setopin. O1: Stop! Ya, kiri dikit, Pak. Kanan, kanan, mundur dikit. (David, show 17). Comic mengkritisi sikap munafik anggota ormas yang hanya berani
menjalankan aksinya secara massal. Hal ini diungkapkan dalam tuturan Menurut gua mah, ormas berani kalau rame-rame. Sendiri mah belom tentu. Ormas sering kali melaksanakan aksinya secara kolektif. Menurut comic, keberanian anggota ormas ini dilatarbelakangi oleh jumlah dan kekuatan massanya yang masif. Sebaliknya, anggota ormas belum tentu berani menjalankan aksinya secara individu. Sebagai contoh, comic mengilustrasikan O1, salah seorang anggota ormas Islam, yang sedang berada di sebuah tempat prostitusi. Oleh karena tanpa dukungan anggota ormas yang lainnya, O1 pun tidak berani melaksanakan penertiban penyakit masyarakat (Pekat) di lokalisasi itu. O 1 hanya menjadi penjaga parkir kendaraan-kendaraan di lokasi tersebut.
2.4.2 Sikap Intoleransi Ormas Islam Wacana (31) berikut memuat kritikan terhadap sikap intoleransi ormas Islam terhadap masyarakat. (31) Kalau menurut gua fungsi dari pakaian, fungsi dari pakaian, fungsi dari fesyen itu ada dua: yang pertama visual, yang kedua fungsional. Enak dilihat dan bisa merepresentasikan sikap.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57
Percuma pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi pas giliran puasa ada warteg masih digerebek. Ya kan? Padahal udah ditirai. Padahal udah ditirai, masih digerebek. Kan kasihan. Gua belum kenyang. (Dzawin, show 13). Comic mengkritisi sikap intoleransi ormas Islam kepada masyarakat. Hal ini diungkapkan melalui tuturan Percuma pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi pas giliran puasa ada warteg masih digerebek. Tuturan ini mengimplikasikan sikap intoleran ormas Islam yang melakukan razia rumah makan secara sewenang-wenang. Dalam contoh kasus yang disebutkan comic, ormas tersebut digambarkan tidak bersikap toleran dengan menggerebek rumah makan yang tetap dibuka pada masa Ramadan, meskipun etalase, jendela, dan pintunya telah ditirai –tindakan ini sebagai bentuk pengormatan bagi masyarakat yang menjalankan puasa. Comic mengecam tindakan ormas tersebut. Menurutnya, perilaku banal ormas itu tidak mencerminkan nilai-nilai agamais dari atribut keagamaan yang dikenakannya.
2.5 Perempuan Indonesia Persoalan gender merupakan salah satu isu penting dan aktual yang sering kali dibahas dalam kajian ilmiah maupun pada berbagai forum perbincangan masyarakat Indonesia. Masalah kesenjangan kedudukan sosial, kekerasan, hingga eksploitasi seksual sampai saat ini terus memecut perempuan Indonesia. Langkah afirmatif dan konstruktif dalam memperjuangkan hak-hak kaum perempuan terus digalakkan untuk mewujudkan wajah peradaban perempuan Indonesia menjadi lebih baik lagi. Perhatikan beberapa wacana di bawah ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58
(32) Gua resah banget, resah banget. Sebagai anak muda yang religius, gua resah, sampai gua bela-belain survei tuh tempat. Survei, serius gua survei. Gua masuk ke dalem ditawarin pakai foto. O1: Mau yang mana, Mas? O2: Yang ini ajalah. Kite masuk ke dalam kamar. Asyik nih. Jablaynya masuk. O3: Bang. O2: Iye. O3: Mau mulai dari mana? O2: Aduh, mulai dari mana. Neng muslim? O3: Iya, Bang. O2: Ya udah, kita mulai dari surat Al-Isra ayat 32. Wa la taqrabuz zina. Janganlah kau mendekati zinah. Ya Allah, tuh jablay bengong. Lima menit dia cabut. O2: Eh, mau ke mana, loe? O3: Ambil mukenah. (David, show 17). (33) Kalau menurut gua, kalau menurut gua, cewek cantik itu adalah cewek yang dapat memantaskan dan melindungi dirinya sendiri. Makanya gua suka banget sama cewek-cewek yang berkerudung. Tapi, banyak yang bilang cewek yang berkerudung itu kuno, nggak modern. Eh, kata siapa? Sekarang banyak kok kerudung-kerudung modern yang udah digaya-gayain. Hijabers kan, yang kerudungnya warna-warni, dikasih bunga, tancepin batang singkong, pohon kelapa. (Dzawin, show 10). (34) Betawi mah mohon maaf, bukannya kita nggak mau dandan. Laki-bini di rumah sering berantem gara-gara dandan. Coba, lakinya tadinya kagak rapi, rapi sedikit bininya nyap-nyap. O1: Kampung mane yang baru ade jande? Nyisir sedikit, bininya nyap-nyap, nyanyi. O1: Biasanya tak pakai minyak wangi. Lakinya marah. O2: Eh, loe nyanyi kagak joget. Joget dong. Biasanya tak pakai minyak wangi. (David, show 13). Sasaran kritik ketiga wacana di atas ialah kaum perempuan Indonesia. Wacana (32) diungkapkan dalam kata Jablay dan frasa tuh tempat. Kata jablay merupakan akronim dari istilah jarang dibelai. Kata ini berpadanan dengan istilah pelacur, pramuria, sundal, atau tuna susila. Frasa tuh tempat mengimplikasikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59
sebuah tempat prostitusi yang didatangi oleh comic. Wacana (33) ditandai dengan kata Cewek. Wacana (34) ditunjukkan melalui tuturan rapi sedikit bininya nyapnyap dan Nyisir sedikit, bininya nyap-nyap. Tuturan ini mengimplikasikan kaum perempuan Betawi sebagai sasaran kritik karena sering kali mencereweti suaminya jika berpenampilan rapi dan menarik. Hal yang dikritik kepada perempuan Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, kesalahpahaman atas konsepsi kesetaraan gender. Kedua, profesi perempuan. Ketiga. rasa cemburu berlebihan perempuan Betawi yang sudah berumah tangga terhadap suaminya. Keempat, kesadaran wanita muslim untuk berkerudung.
2.5.1 Kesalahpahaman atas Konsepsi Kesetaraan Gender (35) Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Bener nggak sih? Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Contohnya begini. Gua naik bis, gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya cuma satu. Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara tetapi proporsional karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau pakai solusi yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku. Ini cewek mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat duduk cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua terus. Ya, nggak gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang kedua: elu gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku, ya adik gua berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya sudah silakan duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri lagi. (Dzawin, show 10).
Hal yang dikritik pada wacana ini ihwal kesalahpahaman kaum perempuan terhadap konsepsi kesetaraan gender. Hal ini ditunjukkan melalui tuturan Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60
sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Tuturan ini mengimplikasikan keraguan comic terhadap kaum perempuan dalam memahami esensi kesetaraan gender. Dalam ilustrasinya di atas: seorang wanita di kereta api yang tengah berdiri karena tidak mendapatkan kursi kosong; wanita itu memandangi comic yang sedang duduk bersama adiknya, dengan harapan comic mempersilakannya menduduki kursi tersebut. Comic tidak memberikan kursinya untuk ditempati oleh wanita tersebut karena: (1) ia memiliki hak untuk tetap menduduki kursi yang sudah ditempatinya sejak awal; (2) ia merasa tidak adil jika ia harus berdiri karena memberikan kursi yang didudukinya ditempati oleh wanita tersebut. Dengan kata lain, wanita itu ingin berusaha mendapatkan haknya untuk menduduki kursi tersebut dengan melanggar atau mengabaikan hak comic menempati kursi itu.
2.5.2 Profesi Perempuan Wacana (36) mengandung kritikan terhadap profesi perempuan sebagai pelacur. (36) Gua resah banget, resah banget. Sebagai anak muda yang religius, gua resah, sampai gua bela-belain survei tuh tempat. Survei, serius gua survei. Gua masuk ke dalem ditawarin pakai foto. O1: Mau yang mana, Mas? O2: Yang ini ajalah. Kite masuk ke dalam kamar. Asyik nih. Jablaynya masuk. O3: Bang. O2: Iye. O3: Mau mulai dari mana? O2: Aduh, mulai dari mana. Neng muslim? O3: Iya, Bang. O2: Ya udah, kita mulai dari surat Al-Isra ayat 32. Wa la
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61
taqrabuz zina. Janganlah kau mendekati zinah. Ya Allah, tuh jablay bengong. Lima menit dia cabut. O2: Eh, mau ke mana, loe? O3: Ambil mukenah. (David, show 17). Wacana (36) memuat kritikan dan ajakan comic terhadap wanita pelacur untuk kembali menapaki laku sosial yang baik agar menjadi wanita yang salih. Hal ini diungkapkan melalui tuturan Wa la taqrabuz zina. Janganlah kau mendekati zinah. Tuturan tersebut merupakan nukilan sebuah ayat pada Al-Quran yang berisi larangan bagi pemeluk Islam untuk berzinah. Keresahan dan kepedulian comic untuk memartabatkan kembali kaum yang dianggap amoral dan termarginalkan dalam struktur sosial masyarakat ini didasarkan pada semangat religiusitas yang dimilikinya. Sebagai perbuatan terlarang yang termaktub dalam kepercayaannya, comic ingin mencerahkan dan menginsafkan kembali budi pekerti dan moral seorang perempuan penjaja syahwat dengan memberikannya semangat spritualitas.
2.5.3 Kecemburuan yang Berlebihan Wacana berikut berisi kritikan terhadap kecemburuan berlebihan perempuan terhadap pasangan hidupnya. (37) Betawi mah mohon maaf, bukannya kita nggak mau dandan. Laki-bini di rumah sering berantem gara-gara dandan. Coba, lakinya tadinya kagak rapi, rapi sedikit bininya nyap-nyap. O1: Kampung mane yang baru ade jande? Nyisir sedikit, bininya nyap-nyap, nyanyi. O1: Biasanya tak pakai minyak wangi. Lakinya marah. O2: Eh, loe nyanyi kagak joget. Joget dong. Biasanya tak pakai minyak wangi. (David, show 13). Comic mengkritik sikap wanita Betawi yang sudah menikah yang sering
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62
kali menaruh cemburu dan curiga berlebih kepada suaminya. Hal ini diungkapkan melalui tuturan Coba, lakinya tadinya kagak rapi, rapi sedikit bininya nyap-nyap dan Kampung mane yang baru ade jande. Wacana ini bercerita tentang kehidupan sepasang keluarga Betawi yang bertengkar karena sikap apriori dan skeptis istri terhadap sang suami. Adapun keluarga yang dikisahkan ini diasumsikan sebagai representasi kehidupan keluarga Betawi. Comic menuturkan, orang Betawi, khususnya pria, termasuk tipikal masyarakat yang tidak suka berdandan dalam kehidupan sehari-harinya. Kaum pria Betawi yang sudah berumah tangga enggan berpenampilan rapi dan menarik karena selalui dicurigai, diomeli, dan disangka berselingkuh oleh pasangannya. Kepedulian para pria Betawi pada diri sendiri dan kehendak untuk menyenangi sang istri dengan berpenampilan rapi, bersih, dan menarik bukan hanya disalahartikan oleh para istri, namun juga sering kali berujung pada pertengkaran keduanya. Sebagai laki-laki dan masyarakat Betawi, comic pun resah dihadapkan pada kenyataan tersebut. Sindiran berupa ilustrasi yang dikisahkan comic bermaksud untuk mengajak para wanita Betawi agar dapat mengendalikan kebiasaan curiga dan gampang marah pada pasangannya serta menghargai dan menghormati tindakan para suami yang berdandan jika memang dimaksudkan untuk membahagiakan istrinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63
2.5.3 Kesadaran Wanita Muslim untuk Berkerudung Wacana (38) berikut ini memuat kritikan terhadap kesadaran wanita muslim untuk mengenakan kerudung. (38) Kalau menurut gua, kalau menurut gua, cewek cantik itu adalah cewek yang dapat memantaskan dan melindungi dirinya sendiri. Makanya gua suka banget sama cewek-cewek yang berkerudung. Tapi, banyak yang bilang cewek yang berkerudung itu kuno, nggak modern. Eh, kata siapa? Sekarang banyak kok kerudung-kerudung modern yang udah digaya-gayain. Hijabers kan, yang kerudungnya warna-warni, dikasih bunga, tancepin batang singkong, pohon kelapa. (Dzawin, show 10). Comic mengkritik sikap wanita muslim yang enggan mengenakan kerudung. Hal tersebut ditunjukkan dalam tuturan Tapi, banyak yang bilang cewek yang berkerudung itu kuno, nggak modern. Comic penutur wacana (38) adalah alumnus salah satu pondok pesantren (ponpes) modern di Jawa Barat. Sebagai institusi pendidikan Islam, tata hidup dan aturan di ponpes pun mengacu pada ajaran Islam. Beberapa contoh umum –yang berkenaan dengan analisis wacana ini–, para para santri wanita wajib berkerudung dan berpakaian tertutup serta secara aktif mempelajari ilmu agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wanita-wanita seperti ini pada umumnya dicitrakan sebagai wanita yang salih. Sebagai bentuk pengamalan nilainilai Islam dan kecintaan pada budi pekerti seperti yang dimiliki para santri wanita, comic lantas menaruh hati pada wanita seperti itu, di antaranya yaitu yang mengenakan kerudung. Maraknya tren berbusana modern dan mutakhir ala negeri asing, membuat kaum wanita, terutama kawula muda, terpincut untuk mengikutinya demi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64
menunjang penampilan yang lebih cantik dan menarik, tanpa mempertimbangkan kepantasannya dan kesesuaiannya dengan tradisi masyarakat Indonesia. Bagi comic, hal ini bertentangan dengan nilai yang dianutnya. Comic beranggapan, wanita, khususnya penganut ajaran Islam, akan terlihat cantik jika dapat memantaskan dan melindungi dirinya sendiri, yakni dengan mengenakan kerudung. Kerudung masa kini pun telah banyak diinovasi, modern, dan disesuaikan dengan selera pemakai. Hal ini tentu saja dapat memikat hati para wanita muslim untuk mengenakannya. Dengan demikian, para wanita muslim tidak dapat lagi berkilah bahwa mengenakan kerudung memiliki kesan atau citra wanita kolot.
2.6 Pertelevisian Indonesia Televisi merupakan media komunikasi massa yang berperan sebagai penyampai informasi dan sarana hiburan. Dewasa ini, banyak terdapat konten siaran pada sejumlah media penyiaran televisi yang tidak mendidik, destruktif, dan tidak aman bagi kelompok umur tertentu. Mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran yang diterbitkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia, tayangan televisi harus dapat membina watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, media penyiaran dalam menayangkan siaran harus mempertimbangkan penghormatan terhadap nilai kesukuan, agama, dan ras, norma kesusilaan dan kesopanan, perlindungan terhadap anak dan remaja, kepentingan publik, dan perlindungan kepada orang dan kelompok masyarakat tertentu. Perhatikan beberapa wacana berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65
(39) Waktu itu saya hampir ikut kontes nyanyi Factor X, tapi nggak jadi. Soalnya yang dinilai bukan suaranya, tapi tampangnya. Lihat aja Mika tuh ya. Mika itu cuma modal tampang cakep. Coba kalo dia nggak cakep, pasti jelek. Pasti komentarnya kayak gini, “Lagu kamu pernah dinyanyiin sama Once, tapi aku lebih suka waktu kamu nyanyiinnya. Feel-nya lebih dapet.” Ini bahaya kalau penontonnya itu kebawa ke kehidupan sehari-hari gitu ya. Ada guru gitu, misal. O1: Fatin, satu tambah satu berapa? O2: Dua, Bu. O1: Kemarin Tuti juga jawab seperti kamu, tapi saya lebih suka, tapi saya lebih suka suka jawaban kamu ya. Feel-nya lebih dapet. (Beni, show 1). (40) Ini keresahan gua sebenarnya. Gua benci sama acara Dunia dan Lain-lain. Ya, loe tahu lah acara itu ya. Ini gua benci banget. Gua benci. Menurut gua, acara itu ngeselin karena hanya menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani. Harusnya dibikin lebih bermanfaat. Acara uji nyali menghasilkan pribadipribadi yang pemberani, cerdas, tangkas, dan ceria. Jadi, bikin acara uji nyali yang berfaedah dan edukatif. Jadi, nanti kalau ada setan gitu nakut-nakutin, jadi berpendidikan. O1: Oi …. O2: Apa rumus pitagoras? Atau, atau misalnya nanti kalau kesurupan ditanya-tanyanya bisa lebih interaktif gitu. O3: Oe…. O4: Namanya siapa, Pak? O3: Joko. O4: Oke, Mbah Joko, apa ibukota Indonesia? O3: Sunda Kelapa. O4: Salah. Jakarta. O3: Eh, waktu saya masih hidup mah namanya Sunda Kelapa. (Coki, show 5). (41) Film-film di Indonesia tuh mendiskriminasikan orang timur sebenarnya, teman-teman. Iya. Orang timur itu, misalkan kita ambil contoh Iko Uwais gitu. Iko Uwais kalau mau main film berperan jadi orang timur itu gampang. Tinggal jemur dia di panas pakai baju merah, celana biru, sepatu hijo, goyang-goyang bombastic, selesai. Selesai. Tapi, kalau orang timur mau jadi Iko Uwais itu susah. Kalau pun main dengan Iko Uwais paling jadi penjahat, tukang pukul, pegang parang, kemudian, “Hei, ko stop tipu-tipu saya e.” (Abdur, show 16).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66
Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada pertelevisian Indonesia. Wacana (39) ditunjukkan dalam frasa Kontes nyanyi Faktor X. Tuturan ini mengimplikasikan sebuah ajang pencarian bakat dalam bidang tarik suara bernama X Factor yang ditayangkan di RCTI pada 2013 lalu. Wacana (40) ditunjukkan melalui
tuturan
acara
Dunia
dan Lain-lain. Tuturan ini
mengimplikasikan sebuah acara uji nyali bertajuk (Masih) Dunia Lain yang ditayangkan di Trans 7. Wacana (41) diungkapkan melalui tuturan Film-film di Indonesia. Hal yang dikritikkan kepada pertelevisian Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, kualitas program televisi Indonesia. Kedua, jam tayang iklan. Ketiga, diskriminasi peran keaktoran.
2.6.1 Kualitas Program Wacana berikut memuat kritikan terhadap kualitas acara kompetisi bernyanyi X Factor di RCTI. (42) Waktu itu saya hampir ikut kontes nyanyi Factor X, tapi nggak jadi. Soalnya yang dinilai bukan suaranya, tapi tampangnya. Lihat aja Mika tuh ya. Mika itu cuma modal tampang cakep. Coba kalo dia nggak cakep, pasti jelek. Pasti komentarnya kayak gini, “Lagu kamu pernah dinyanyiin sama Once, tapi aku lebih suka waktu kamu nyanyiinnya. Feel-nya lebih dapet.” (Beni, show 1).
Wacana (43) mengandung kritikan atas kualitas acara (Masih) Dunia Lain di Trans 7. (43) Ini keresahan gua sebenarnya. Gua benci sama acara Dunia dan Lain-lain. Ya, loe tahu lah acara itu ya. Ini gua benci banget. Gua benci. Menurut gua, acara itu ngeselin karena hanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67
menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani. Harusnya dibikin lebih bermanfaat. Acara uji nyali menghasilkan pribadipribadi yang pemberani, cerdas, tangkas, dan ceria. Jadi, bikin acara uji nyali yang berfaedah dan edukatif. Jadi, nanti kalau ada setan gitu nakut-nakutin, jadi berpendidikan. O1: Oi…, apa rumus pitagoras? Atau, atau misalnya nanti kalau kesurupan ditanya-tanyanya bisa lebih interaktif gitu. O2: Oe…. O3: Namanya siapa, Pak? O2: Joko. O3: Oke, Mbah Joko, apa ibukota Indonesia? O2: Sunda Kelapa. O3: Salah. Jakarta. O2: Eh, waktu saya masih hidup mah namanya Sunda Kelapa. (Coki, show 5).
Wacana (44) berikut ini berisi kritikan terhadap kualitas iklan di Indonesia. (44) Banyak iklan di Indonesia ini yang memicu kita untuk nonton bola, tapi nggak ada satupun iklan di Indonesia yang memacu kita untuk sholat tahajud. Bener nggak, sih? Iya, nggak? Emang di sini ada yang pernah lihat iklan sholat tahajud gitu? Nggak ada, kan? Seharusnya ada, men, kayak “Extra joss susu jahe untuk menemani sholat tahajudmu”; atau “Kuku bima religi”; atau “Jangan sholat tahajud tanpa kacang garudo”. (Dzawin, show 11).
Pada wacana (42), comic mengkritisi kualitas ajang pencarian bakat dalam bidang tarik suara X Factor Indonesia musim pertama yang ditayangkan stasiun televisi RCTI pada 2013. Hal tersebut diungkapkan melalui tuturan Soalnya yang dinilai bukan suaranya, tapi tampangnya. Tuturan ini mengimplikasikan rendahnya kualitas kompetisi bernyanyi X Factor Indonesia tahun 2013. Sebagai contoh, comic mempermasalahkan kemampuan bernyanyi Mika, kontestan ajang tersebut, dan berasumsi jika keberadaan Mika dalam panggung pertunjukan tersebut disebabkan bukan pada kepiawaiannya menarik perhatian juri dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68
penonton melalui kualitas suaranya, melainkan pada paras rupawan yang dimilikinya. Berdasar pada dugaan ini, comic yang pada awalnya memiliki niat mengikuti kontes itu, mengurungkan niatnya karena merasa tidak memiliki tampang yang dapat memikat perhatian juri dan penonton untuk berkompetisi di ajang tersebut. Pada wacana (43), comic mengkritisi kualitas tayangan uji nyali bertajuk Dunia dan Lain-lain. Nama acara ini mengimplikasikan sebuah acara bernama (Masih) Dunia Lain yang ditayangkan di stasiun televisi Trans 7. Kritikan comic ditandai melalui kalimat Acara itu ngeselin karena hanya menghasilkan pribadipribadi yang pemberani. Tuturan ini mengimplikasikan opini comic perihal minimnya nilai edukasi pada tayangan ini bagi para penonton. (Masih) Dunia Lain menayangkan acara realitas yang bertemakan supranatural. Acara ini menampilkan kegiatan para peserta dalam melakukan uji nyali. Para peserta pun harus berbekal keberanian spiritual dan ragawi karena akan ditempatkan dan dibiarkan sendiri di sebuah lokasi angker sepanjang malam hingga fajar. Wacana (43) bersifat satiris yang mengungkapkan keresahan comic pada acara (Masih) Dunia Lain yang dianggapnya tidak bernilai edukatif, sebagaimana tertuang dalam Bab VII Pasal 11 ayat (1) Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program
Siasaran:
Lembaga
penyiaran
wajib
memperhatikan
kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik. Acara ini tidak hanya gagal memuat nilai didaktis, namun juga dapat menciptakan ketakutan dan kengerian publik. Oleh karena itu, dengan menimbang dan memperhatikan hak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69
tahu atau pemenuhan informasi masyarakat, comic memberi solusi untuk memperbaiki kualitas program tersebut. Secara implisit, anjuran dan ilustrasi comic sebagai bentuk sindiran. Ilustrasi berupa dialog itu bermaksud untuk menggambarkan betapa minimnya kualitas tayangan (Masih) Dunia Lain jika ditilik dari parameter kebermanfaatannya bagi khayalak. Di dalam wacana (44), comic mengkritisi tayangan iklan di televisi yang hanya menampilkan konten produk barang dan jasa, tanpa memiliki pesan moral tertentu pada masyarakat, misalnya ajakan beribadah. Imbasnya, kesadaran masyarakat untuk menjalankan ibadah pun berkurang. Hal ini ditunjukkan pada kalimat Banyak iklan di Indonesia ini yang memicu kita untuk nonton bola, tapi nggak ada satupun iklan di Indonesia yang memacu kita untuk sholat tahajud. Sebagai contoh, beberapa iklan produk makanan dan minuman ringan mempersuasi masyarakat untuk lebih menyaksikan pertandingan sepak bola pada dini hari atau subuh, alih-alih melaksanakan sholat tahajud (bagi pemeluk Islam). Oleh karena itu, comic mengusulkan agar iklan di televisi harus dapat menumbuhkan, mengajak, dan memicu kesadaran masyarakat untuk taat beribadah.
2.6.2 Jam Tayang Iklan Wacana di bawah ini memuat kritikan terhadap jam tayang iklan kondom di Indonesia. (45) Menurut gua, kondom itu nggak ada gunanya karena sudah gagal memenuhi fungsinya untuk mencegah pertambahan penduduk. Kenapa bisa gagal? Alasannya simpel: karena iklan kondom ditaroh jam 1 malam. Ini yang mau nonton siapa?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70
Setan? Ini mungkin makanya di zaman modern nggak ada lagi film horor beranak dalam kubur, karena setannya udah pakai kondom. (Coki, pre show 1). Comic mengkritisi gagalnya promosi atau iklan penggunaan kondom, sehingga berdampak pada tingginya pertumbuhan penduduk Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dalam tuturan Kondom itu nggak ada gunanya karena sudah gagal memenuhi fungsinya untuk mencegah pertambahan penduduk dan Karena iklan kondom ditaroh jam 1 malam. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami peningkatan dari setiap tahun. Menurut data yang dilansir Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada 2011, penduduk Indonesia dalam interval 2000 hingga 2010 bertambah 3,5 juta jiwa setiap tahunnya (http://nasional.kompas.com/read/ 2011/07/13/2024416/Penduduk.Indo.Tambah.3.5.Juta.Jiwa.Per.Tahun). Sementara itu, data sensus penduduk menurut Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, pada 2010 jumlah penuduk Indonesia menyentuh angka 237 juta jiwa, sementara pada 2015 mengalami pertumbuhan yang signifikan, yaitu sebanyak
252
juta
jiwa
penduduk
(https://m.tempo.co/read/news/2016/
01/14/173736151/tiap-tahun-penduduk-indonesia-bertambah-3-juta-orang). Pengendalian laju pertumbuhan ini sebagai salah satu dampak dari minimnya minat penggunaan alat kontrasepsi oleh masyarakat, di samping meningkatnya jumlah pasangan usia muda. Hal ini jugalah yang diyakini oleh comic. Menurutnya, promosi penggunaan kondom melalui iklan di televisi tidak menjangkau atau merangkum masyarakat secara luas karena minimnya jumlah penonton televisi pada jam tayang iklan tersebut. Iklan kondom yang ditayangkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71
pada jam tayang utama (prime time) bersifat lebih promotif dan persuasif karena mendapatkan perhatian masyarakat (penonton) lebih banyak. Penayangan iklan kondom pada malam hari memang didasarkan pada regulasi –yang menyangkut norma kesopanan, norma kesusilaan, dan kewajiban perlindungan dan pemberdayaan anak dan remaja dari produk yang diiklankan– yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.
2.6.2 Diskriminasi Peran Keaktoran Wacana (46) berisi kritikan terhadap diskriminasi peran aktor Indonesia Timur dalam karya sinematografi Indonesia. (46) Film-film di Indonesia tuh mendiskriminasikan orang Timur sebenarnya, teman-teman. Iya. Orang timur itu, misalkan kita ambil contoh Iko Uwais gitu. Iko Uwais kalau mau main film berperan jadi orang timur itu gampang. Tinggal jemur dia di panas pakai baju merah, celana biru, sepatu hijo, goyang-goyang bombastic, selesai. Selesai. Tapi, kalau orang timur mau jadi Iko Uwais itu susah. Kalau pun main dengan Iko Uwais paling jadi penjahat, tukang pukul, pegang parang, kemudian, “Hei, ko stop tipu-tipu saya e.” (Abdur, show 16). Comic
mengkritik
karya-karya
sinematografi
Indonesia
yang
mendiskreditkan orang-orang Timur karena sering kali melakoni peran-peran subversif. Hal ini ditunjukkan melalui kalimat (1) Film-film di Indonesia tuh mendiskriminasikan orang timur sebenarnya dan (2) Kalau pun main dengan Iko Uwais paling jadi penjahat, tukang pukul, pegang parang. Terminologi „orang Timur‟ mengacu pada masyarakat Indonesia yang berasal dari wilayah geografis Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72
Sebagai salah satu contoh, comic menyebutkan lakon antagonis seorang aktor bernama Alfridus Godfred –yang merupakan orang timur– dalam sebuah film laga berjudul The Raid. Hal tersebut diungkapkan melalui tuturan Hei, ko stop tipu-tipu saya e yang merupakan penggalan dialog Alfridus Godfred dalam film The Raid. Aktor itu melakoni peran sebagai salah seorang gangster. Serupa dengan Alfridus Godfred, dalam film-film laga, aktor-aktor timur (aktor yang berasal dari Indonesia Timur) lain pun banyak yang melakoni peran sebagai tokoh antagonis, sebuah peran yang diantaranya identik dengan kekerasan, sehingga menjauhkan tokoh dari simpati dan empati penonton.
2.7 Pedangdut Wanita Dewasa ini, pertunjukan musik dangdut kian marak ditayangkan di televisitelevisi lokal dan nasional, serta situs web berbagi video YouTube. Dangdut begitu dekat dan hidup di tengah-tengah masyarakat. Nahasnya, sejak dua windu terkini, pertunjukan dangdut sering kali berbenturan dengan nilai normatif masyarakat. Busana dan aksi panggung bernuansa erotis dijadikan produk jualan utama sebagian besar pedangdut. Sebagai tontonan dan simbol kesenian rakyat, pedangdut tersebut perlu dikritisi agar menghidupkan kembali nilai-nilai estetika dan etika musik dangdut yang telah mengalami pembiasan sejak awal 2000-an – yang sangat identik dengan goyangan pantat. Perhatikan wacana berikut. (47) Dangdut yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan daripada lagu. Teman-teman ada yang tahu lagunya Zaskia? Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang itik. Teman-teman tahu lagunya Inul Daratista? Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang ngebor. Teman-teman tahu lagunya Angel Elga? Tidak tahu. Kita tahunya dia mantan Rhoma Irama. (Abdur, show 15).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73
Sasaran tutur pada wacana (47) mengacu pada seniman dangdut. Hal tersebut ditunjukkan melalui tuturan Zaskia, Inul Daratistata, dan Angel Elga. Nama-nama tersebut menjadi representasi dari ciri musik dangdut dan biduannya pada masa kini. Adapun hal yang dikritikkan kepada pedangdut wanita generasi terkini yakni perihal rendahnya musikalitas mereka.
2.7.1 Musikalitas Wacana (48) memuat kritikan terhadap musikalitas pedangdut wanita masa kini. (48) Dangdut yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan daripada lagu. Teman-teman ada yang tahu lagunya Zaskia? Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang itik. Teman-teman tahu lagunya Inul Daratista? Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang ngebor. Teman-teman tahu lagunya Angel Elga? Tidak tahu. Kita tahunya dia mantan Rhoma Irama. (Abdur, show 15).
Comic mengeluhkan karya musik seniman dangdut masa kini yang lebih identik dengan goyangannya, alih-alih lagu-lagunya. Hal ini ditunjukkan melalui kalimat Dangdut yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan daripada lagu. Tuturan ini mengimplikasikan penjelasan berikut ini. Dangdut merupakan salah satu dari genre seni musik Indonesia. Merunut pada sejarahnya, dangdut adalah musik popular tradisional yang sebagian berasal dari musik Hindustan, Melayu, dan Arab. Musik dangdut mengalami transformasi menjadi kontemporer pada tahun akhir 1960-an. Rhoma Irama yang pertama kali memperkenalkan dan menyebarluaskan musik dangdut kepada masyarakat Indonesia (https://id.wikipedia.org/wiki/Dangdut ).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74
Lagu-lagu yang digubahnya identik dengan nafas religi hingga bernuansa kritis, baik yang ditujukan kepada khayalak maupun bagi para penguasa negeri. Para pedangdut lain pada masa itu pun satu per satu bermunculan dan meramaikan jagat hiburan tanah air. Lambat laun, lagu dangdut pun menjadi sangat populer di tengah masyarakat. Dua unsur pokok yang dijunjung dan menjadi karakteristik pedangdut pada masa itu: etika dan estetika. Keberadaan musik dangdut dalam khazanah panggung hiburan Nusantara masih terus terjaga hingga kini. Nahasnya, comic berpandangan, dangdut yang diperkenalkan dan dibawakan oleh generasi 2000-an sangat kontradiktif dengan karya-karya para seniman yang mendahuluinya. Para seniman dangdut era 2000an dianggap membiaskan dan mengaburkan esensi dari seni yang mereka bawakan, sehingga secara ironis publik lebih mengenal mereka karena goyangannya, alih-alih lagu yang mereka lantunkan. Sebut saja Inul Daratista yang lebih dikenal karena goyang ngebor, Zaskia Gotik yang termahsyur akibat goyangan itiknya, dan lain sebagainya. Sementara itu, pedangdut Angel Elga terkenal karena hubungan asmaranya dengan Rhoma Irama.
2.8 Orangtua Pola asuh orangtua dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebagai contoh, kebiasaan para orangtua yang memberi represi dan memaksakan kehendaknya terhadap anak untuk menggeluti bidang ilmu tertentu, tanpa menimbang tingkat kercerdasan, minat, dan bakat sang anak, sering kali dapat
membebani
dan
mengganggu
perkembangan
anak.
Pendidikan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75
pembimbingan, dan pengasuhan yang baik kepada anak menjadi sangat penting agar kelak dapat menjadi bekal sang anak untuk menjalani kehidupannya pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, diperlukan sikap kritis untuk membantu mengkonstruksi perilaku orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak. Perhatikan beberapa wacana di bawah ini. (49) Orangtua sekarang itu masih banyak yang berpikir bahwa anak yang cerdas adalah anak yang pintar matematika, sedangkan anak yang pintar di bidang lain itu enggak dibilang cerdas. Sekarang gini, untuk orang-orang yang tidak mencintai matematika, buat apa loe belajar matematika terlalu dalam. Ingat, men, loe belajar matematika dari SD sampai SMA persamaan linear dua variable enggak kepakai pas loe lagi beli siomay. Ya kan? Ya kali gitu beli siomay. O1: Bang, beli siomay. Bang, kalau siomay 1, tahunya 3 kan tiga ribu. Kalau siomay 2, tahunya 5 kan lima ribu. Berapakah harga satu siomay? Ya, enggak gitu, kan? (Dzawin, show 8). (50) Sampai sekarang masih banyak orangtua yang berpikir, anak yang mendalami hobinya itu, itu nggak baik, orangtua nggak senang. Karena banyak orangtua sekarang berpikir bahwa anak SD lebih baik pintar matematika, anak SMP pintar fisika dasar, anak SMA pintar kimia, mahasiswa pintar dialektika. Kalau semua orang beranggapan seperti itu, terus bidang-bidang lain siapa yang mau ngisi? Siapa yang mau ngisi? Ya, diisi sama anak yang dulunya dianggap bodoh di sekolah yang bahkan nggak naik kelas dua kali: Pras Teguh. Bidang lain mau diisi sama siapa? Anak pinggiran, anak Betawi pinggiran yang dulunya tukang ojek? Yang kalau omong apa-apa nyai, apa-apa nyai. Bidang lain mau diisi sama siapa? Sama anak pesisir timur yang datang ke Malang buat belajar, dan ketika datang ke Jakarta, masuk hotel ngelihat air langsung teriak, “Eh, Dzawin, Dzawin, sumber air su dekat.” Ya kan? Dan bidang lain mau diisi sama siapa? Bidang lain diisi sama anak pesantren yang dulunya hanya bisa dianggap hanya bisa ngaji dan ceramah, padahal nggak bisa dua-duanya. (Dzawin, show 15).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 76
Sasaran tutur pada kedua wacana tersebut mengacu pada orangtua. Wacana (49) ditunjukkan melalui kata Orangtua. Wacana (50) diungkapkan melalui kata Orangtua. Adapun hal yang dikritikkan kepada orangtua adalah pola asuh terhadap anak.
2.5.1 Pola Asuh terhadap Anak Wacana berikut memuat kritikan terhadap pola asuh terhadap anak. (51) Orangtua sekarang itu masih banyak yang berpikir bahwa anak yang cerdas adalah anak yang pintar matematika, sedangkan anak yang pintar di bidang lain itu enggak dibilang cerdas. Sekarang gini, untuk orang-orang yang tidak mencintai matematika, buat apa loe belajar matematika terlalu dalam. Ingat, men, loe belajar matematika dari SD sampai SMA persamaan linear dua variable enggak kepakai pas loe lagi beli siomay. Ya kan? Ya kali gitu beli siomay. O1: Bang, beli siomay. Bang, kalau siomay 1, tahunya 3 kan tiga ribu. Kalau siomay 2, tahunya 5 kan lima ribu. Berapakah harga satu siomay? Ya, enggak gitu, kan? (Dzawin, show 8).
Wacana (52) mengandung kritikan atas pola asuh terhadap anak. (52) Sampai sekarang masih banyak orangtua yang berpikir, anak yang mendalami hobinya itu, itu nggak baik, orangtua nggak senang. Karena banyak orangtua sekarang berpikir bahwa anak SD lebih baik pintar matematika, anak SMP pintar fisika dasar, anak SMA pintar kimia, mahasiswa pintar dialektika. Kalau semua orang beranggapan seperti itu, terus bidang-bidang lain siapa yang mau ngisi? Siapa yang mau ngisi? Ya, diisi sama anak yang dulunya dianggap bodoh di sekolah yang bahkan nggak naik kelas dua kali: Pras Teguh. Bidang lain mau diisi sama siapa? Anak pinggiran, anak Betawi pinggiran yang dulunya tukang ojek? Yang kalau omong apa-apa nyai, apa-apa nyai. Bidang lain mau diisi sama siapa? Sama anak pesisir timur yang datang ke Malang buat belajar, dan ketika datang ke Jakarta, masuk hotel ngelihat air langsung teriak, “Eh, Dzawin, Dzawin, sumber air su dekat.” Ya kan? Dan bidang lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77
mau diisi sama siapa? Bidang lain diisi sama anak pesantren yang dulunya hanya bisa dianggap hanya bisa ngaji dan ceramah, padahal nggak bisa dua-duanya. (Dzawin, show 15). Pada wacana (51), comic mengeluhkan sikap dan perilaku orangtua dalam mengasuh dan menumbuhkembangkan kecerdasan anaknya, seperti memaksakan kecerdesan dan minat anak pada bidang tertentu, misalnya matematika. Hal tersebut ditunjukkan melalui tuturan Orangtua sekarang itu masih banyak yang berpikir bahwa anak yang cerdas adalah anak yang pintar matematika, sedangkan anak yang pintar di bidang lain itu enggak dibilang cerdas. Seperti yang dilansir Kompas.com (3/10/15), disebutkan bahwa ada delapan jenis kecerdasan anak. Kecerdasan itu meliputi word smart (kecerdasan linguistik), number smart (kecerdasan logika atau matematis), self smart (kecerdasan intrapersonal), people smart (kecerdasan interpersonal), music smart (kecerdasan musikal), picture smart (kecerdasan spasial), body smart (kecerdasan kinetik), dan nature smart (kecerdasan naturalis) (http://health.kompas.com/read/ 2015/10/03/174041923/8.Jenis.Kecerdasan.Anak.dan.Cara.Mengembangkannya). Setiap anak dapat memiliki tipe-tipe kecerdasan yang berbeda atau menonjol pada kecerdasan tertentu. Berkenaan dengan hal ini, comic mengimbau para orangtua agar tidak membabaskan anaknya pada bidang yang tidak sesuai dengan kecerdasannya. Misalnya, anak-anak yang barangkali tidak meminati dan membakati bidang matematika, namun dipaksa oleh orangtuanya untuk menekuni bidang tersebut agar sang anak (dianggap atau menjadi) cerdas. Perkembangan kecerdasan anak tidak saja terganggu, kebermanfaatan pengetahuan atau yang dimiliki oleh sang anak pun menjadi tidak berguna dalam kehidupan sehari-hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 78
Parameter kecerdasan seseorang tidak hanya dapat diukur berdasarkan kecakapannya dalam bidang matematika. Tugas orangtua adalah mengenali dan membantu mengembangkan kecerdasan apapun yang dimiliki anaknya. Pada wacana (52), comic mengkritisi pola asuh para orangtua yang menuntut anaknya untuk menekuni bidang eksakta dan menentang minat dan bakat anak dalam bidang lain. Hal tersebut ditunjukkan melalui tuturan Banyak orangtua sekarang berpikir bahwa anak SD lebih baik pintar matematika, anak SMP pintar fisika dasar, anak SMA pintar kimia, mahasiswa pintar dialektika. Sikap tersebut dapat mendiskreditkan bidang lain serta anak yang membakati atau meminati bidang lain tersebut. Comic mencontohkan dirinya dan ketiga comic SUCI 4: Pras Teguh, David Nurbianto, dan Abdur Arsyad. Oleh karena ketiganya, kecuali Abdur Arsyad –ketika itu sedang menempuh program Magister Matematika– tidak berbekal kecerdasan matematis, lantas dianggap bodoh, lalu terpaksa menekuni bidang keilmuan lain. Kecerdasan itu bersifat majemuk. Setiap anak dilahirkan dengan kecerdasan, bakat, dan minat yang beragam. Dengan demikian, tolok ukur kecerdasan anak pun tidak hanya mengacu pada satu jenis kecerdasan atau bidang tertentu, dalam hal ini kecerdasan logika atau matematis, sebagaimana pandangan umum masyarakat yang diyakini oleh para orangtua. Guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak, orangtua tidak hanya harus mengetahui kecerdasan, bakat, dan minat anaknya; orangtua juga harus membantu dan memfasilitasi anaknya untuk menunjang kecerdasan, bakat, dan minat tersebut. Dengan demikian, keberagaman bidang-bidang keilmuan dalam pendidikan formal, pendidikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79
informal, dan pendidikan nonformal pun untuk mengakomodasi berbagai macam kompetensi setiap anak.
2.9 Masyarakat Lokal Setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk persoalan yang berbeda dan beragam. Tidak sedikit di antaranya berakar pada perilaku masyarakat. Misalnya, pengentasan masalah banjir di beberapa kota-kota besar mengalami stagnansi, yang di antaranya disebabkan oleh rendahnya kepedulian masyarakat untuk menjaga kebersihan drainase, sungai, dan waduk. Oleh karena itu, agar terciptanya lingkungan hidup dan sosial yang aman dan nyaman, diperlukan sikap kritis oleh siapa saja untuk mengingatkan dan menyadarkan masyarakat untuk memiliki kepedulian dan kecintaan pada lingkungan tempatnya berada, baik dalam hubungannya dengan alam maupun dengan sesama manusia. Perhatikan wacana-wacana di bawah ini. (53) Di sini ada yang tahu tanjidor? Tanjidor itu musik asli Betawi sejak tahun 1918. Nggak cuma musiknya yang tua, pemainnya juga. Ini anak mudanya pada kemane? Loe kagak cukup naroh aki-aki buat adzan subuh? Ini aki-aki kasihan. Pagi adzan subuh, siang main tanjidor, ini Maghrib masih hidup sujud syukur. (David, show 2). (54) (Lagu: Buang sampah ke dalem kali. Kalo banjir, setenge mati). Stop! Banjir setenge mati. Jakarta banjir salah siapa? Salah kite. Tempat air loe tempatin. Zaman dulu Pitung bisa jalan di air itu sakti. Salah. Pitung visioner. Zaman sekarang nemu orang jalan di air mah banyak. Saban banjir kita jalan di air. Saktian kita ama Pitung. Jalan di airnya rutin setahun sekali. (David, show 14). (55) Orang Betawi mah kenal pelem dari layar tancap. Untung penonton layar tancap ini tertib, gelar koran, baris rapi, kagak kayak nonton dangdut: rusuh. Yang nonton lulusan SSB,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80
Sekolah Senggol Bacok. Senggol dikit berantem. Kita lagi joget enak-enak. Ya elah. O1: (disenggol) Woi...! Anak mana loe? O2: Anak elu! Pulang, Pa! Emak nyariin ono. (David, show 5). Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada masyarakat lokal. Wacana (53) ditunjukkan dalam tuturan Anak mudanya dan Loe kagak cukup naroh aki-aki buat adzan subuh. Tuturan ini mengimplikasikan kaum muda Betawi sebagai sasaran kritik comic. Wacana (54) ditandai melalui tuturan Jakarta banjir salah siapa? Salah kite. Tuturan ini mengimplikasikan masyarakat Jakarta sebagai sasaran kritik. Wacana (55) diungkapkan melalui tuturan kagak kayak nonton dangdut dan Yang nonton SSB, Sekolah Senggol Bacok. Tuturan ini mengimplikasikan masyarakat penonton pertunjukan dangdut. Adapun kelompok masyarakat ini identik dengan tindakan kekerasan saat sedang menyaksikan pertunjukan musik dangdut. Hal yang dikritikkan kepada masyarakat lokal adalah sebagai berikut. Pertama, sikap apatis pemuda Betawi pada kesenian tanjidor. Kedua, kesadaran masyarakat Jakarta dalam penanganan banjir. Ketiga, perilaku penonton dangdut. Keempat, stigma buruk masyarakat terhadap orang kurus.
2.9.1 Sikap Apatis Pemuda Betawi pada Tanjidor Wacana (56) berikut memuat kritikan terhadap sikap apatis pemuda Betawi pada kesenian tanjidor. (56) Di sini ada yang tahu tanjidor? Tanjidor itu musik asli Betawi sejak tahun 1918. Nggak cuma musiknya yang tua, pemainnya juga. Ini anak mudanya pada kemane? Loe kagak cukup naroh aki-aki buat adzan subuh? Ini aki-aki kasihan. Pagi adzan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81
subuh, siang main tanjidor, ini Maghrib masih hidup sujud syukur. (David, show 2). Comic mengkritisi sikap ketidakpedulian anak muda Betawi pada kesenian tanjidor. Hal tersebut diterangkan melalui tuturan Ini anak mudanya pada kemane. Tanjidor adalah sebuah kesenian Betawi berbentuk orkes. Tanjidor umumnya dipakai pada perhelatan masyarakat Betawi, seperti mengiringi pengantin atau pesta cap gomeh di kalangan Cina Betawi (https://id.wikipedia. org/wiki/Tanjidor). Pemain tanjidor ini umumnya berasal dari kelompok masyarakat Betawi yang sudah memasuki usia senja. Demikian pun dengan para penikmatnya. Sejak pertama kali muncul pada tahun 1918, tanjidor berkembang menjadi salah satu kesenian yang digandrungi oleh masyarakat Betawi. Bersama ondelondel, tanjidor menjadi ikon dan identitas kultur masyarakat Betawi. Nahasnya, dewasa ini kebudayaan ini tengah mengalami situasi yang muskil. Eksistensi tanjidor dalam khazanah kebudayaan Betawi mengalami dekadensi: mulai ditinggalkan dan dilupakan. Meregenerasi seniman gaek tanjidor dengan kaum muda sebagai usaha konservatif agar menjadi budaya sintas pun mengalami kendala. Comic menyayangkan mentalitas dan inisatif anak muda Betawi yang acuh tak acuh pada kesenian tersebut. Tidak hanya itu, aktivitas keagamaan dalam lingkungan masyarakat Betawi, seperti shalat-shalat di tempat ibadah sering kali dikumandangkan oleh tetua-tetua masyarakat Betawi, alih-alih para kawula mudanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82
2.9.2 Kesadaran Masyarakat Jakarta dalam Penanganan Banjir Wacana di bawah ini memuat kritikan terhadap kesadaran masyarakat Jakarta dalam penanganan banjir. (57) (Lagu: Buang sampah ke dalem kali. Kalo banjir, setenge mati). Stop! Banjir setenge mati. Jakarta banjir salah siapa? Salah kite. Tempat air loe tempatin. Zaman dulu Pitung bisa jalan di air itu sakti. Salah. Pitung visioner. Zaman sekarang nemu orang jalan di air mah banyak. Saban banjir kita jalan di air. Saktian kita ama Pitung. Jalan di airnya rutin setahun sekali. (David, show 14). Hal yang dikritikkan comic ditandai melalui tuturan Buang sampah ke dalem kali dan Tempat air loe tempatin. Tuturan Buang sampah ke dalem kali mengimplikasikan rendahnya kesadaran dan ketertiban masyarakat Jakarta dalam menjaga kebersihan lingkungan alam. Tuturan Tempat air loe tempatin mengimplikasikan Jakarta sebagai kawasan yang rentan terhadap genangan air. Nahasnya, kesadaran masyarakat pun terbilang rendah, sehingga masih banyak masyarakat yang tetap menempati kawasan ini. Merunut pada aspek historis dan geologisnya, permasalahan banjir dan genangan air di Jakarta telah berlangsung lama sejak zaman pemerintahan Kolonial Belanda, dan penanganannya pun hingga kini tidak kunjung usai. Sebagian daratan pada kawasan Jakarta juga merupakan dataran rendah yang pada zaman dulu merupakan rawa-rawa yang dikepung banyak sungai. Rawa-rawa itu dikeringkan dan dijadikan hunian. Akibatnya, kawasan untuk resapan air justru mengirim lebih banyak air permukaan ke Jakarta. Kedudukan permukaan tanah di Jakarta juga mengalami penurunan pada kisaran 4-20 sentimeter per tahun. (http://sains.kompas.com/read/2013/01/18/9141229/Bagi.Jakarta.Banjir.Seolah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83
Menjadi.Takdir). Menilik pada realitas ini, comic pun mengungkapkan bahwa Jakarta memang merupakan kawasan genangan air dan masyarakat Jakarta terlalu gegabah untuk menempati daerah tersebut.
2.9.3 Perilaku Penonton Dangdut Wacana (58) berisi kritikan terhadap perilaku kasar penonton dangdut. (58) Orang Betawi mah kenal pelem dari layar tancap. Untung penonton layar tancap ini tertib, gelar koran, baris rapi. Kagak kayak nonton dangdut: rusuh. Yang nonton lulusan SSB, Sekolah Senggol Bacok. Senggol dikit berantem. Kita lagi joget enak-enak. Ya elah. O1: (disenggol) Woi...! Anak mana loe? O2: Anak elu! Pulang, Pa! Emak nyariin ono. (David, show 5). Comic mengeluhkan tabiat penonton konser dangdut yang identik dengan perkelahian saat menyaksikan pertunjukan dangdut. Implikasi kebanalan penonton dangdut tersebut ditunjukkan melalui tuturan Kagak kayak nonton dangdut: rusuh. Yang nonton lulusan SSB, Sekolah Senggol Bacok. Senggol dikit berantem. Prevalensi kerusuhan dalam konser dangdut terus terjadi. Kegaduhan itu akibat sifat eksplosif serta tingginya antusiasme dan dinamika pentonton –karena harus bergoyang saat menikmati dendangan lagu– sehingga sentuhan atau gesekan antarpenonton pun menjadi hal yang mutlak, terutama jika sebelumnya sudah menenggak minuman keras dan sedang di bawah pengaruhnya. Senggolan itu pun sering kali dianggap sebagai tindakan intimidatif dan provokatif. Perkelahian hingga kerusuhan pun sering kali tidak terhindarkan. Berikut ini adalah salah satu contoh kasus kerusuhan dalam konser dangdut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84
Detik.com (28/8/12) mengabarkan, dua kelompok pemuda di Desa Karangtawar, Kecamatan Laren, Lamongan Jawa Timur terlibat tawuran saat konser musik dangdut dalam rangka memperingati HUT ke-67 RI, Senin (27/8) sore. Tawuran dipicu saling ejek antarkelompok pemuda hingga terjadi aksi saling lempar (http://tv.detik.com/readvideo/2012/08/28/092238/120828019/ 080609680/ rusuhkonser-dangdut). Comic mengimbau para penonton dangdut untuk mencontoh laku para penonton layar tancap. Ketertiban dan kerapian adalah yang hal yang dijunjung penonton layar tancap untuk menciptakan situasi yang aman dan nyaman saat menikmati tontonan yang disajikan.
2.9.4 Tingkah Laku Pelajar Bintaro Wacana (59) berikut memuat kritikan atas tingkah laku pelajar Bintaro. (59) Nih ya, gua kasih tahu. Anak-anak Cilincing tekun-tekun, maksudnya nurut, nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener. Anak kecil di sekolahan gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Ya Allah, kita gerah kalau ngelihatin yang kayak gitu, you can see. Kita samperin; kita omelin. O1: Neng, mohon maaf nih. Kenape pakai baju you can see? O2: Bang, mohon maaf nih Bang. Aye mendingan pakai baju you can see daripada you can touch. Ya Allah gue kesel, gua marahin. O1: Eh, anak sape loe? Pulang sono! O2: Ngapain, Bang? O1: Ganti you can touch. (David, show 7)
Comic penutur wacana (59) adalah David, yang berasal dari Bintaro, Jakarta Selatan. Wacana di atas disampaikannya di hadapan para siswa SMAN 52 Jakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85
di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Sasaran kritik comic adalah pelajar Bintaro, yang ditandai melalui tuturan nggak kayak di daerah gua, Masya Allah, anak sekolahnya bandel bener. Hal yang dikritik pada wacana ini adalah perihal tingkah laku pelajar Bintaro. Kritikan tersebut ditunjukkan melalui tuturan Anak kecil di sekolahan gue, cewek-ceweknya kalau nongkrong pakai baju you can see. Adapun tuturan pada frasa baju you can see mengimplikasikan masalah tingkah laku pelajar yang dimaksud, karena merunut pada konteks etika sosial, baju you can see atau baju tanpa lengan dianggap tidak memenuhi kaidah kesopanan.
2.9.5 Stigma Masyarakat terhadap Orang Kurus Wacana berikut ini memuat kritikan atas stigma masyarakat terhadap orang kurus. (60) Selain diejek kecil, saya juga sering diejek kurus. Dan orangorang itu melihat orang kurus itu cacingan. Tapi. Betulan, itu salah. Itu pendapat yang salah. Itu pendapat yang salah. Hilangkan. Orang kurus itu ndak cacingan. Orang kurus itu ndak cacingan. Tunggu dulu, kenapa gatal pantatku? (Sri, pre show 1).
Comic mengkritisi pandangan masyarakat bahwa orang kurus identik dengan penyakit cacingan. Implikasi kritikan ini ditandai melalui tuturan Orangorang itu melihat orang kurus itu cacingan. Tuturan ini juga mengimplikasikan comic penutur wacana ini merupakan penderita cacingan karena bertubuh kurus. Cacingan merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing. Gejala umum yang terlihat secara kasat mata pada penderita cacing biasanya badan (menjadi) kurus dan perut membuncit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86
Comic memiliki ukuran tubuh yang kurus. Akibatnya, ia tidak hanya diejek kurus; ia juga selalu disangka sebagai penderita cacingan. Dengan tegas, comic menampik sangkaan itu. Pada dasarnya, orang kurus disebabkan oleh berbagai macam hal, bukan karena cacingan semata. Tuturan comic bermaksud untuk memperbaiki cara pandang masyarakat dengan tidak menaruh sikap apriori terhadap orang kurus. Nahasnya, setelah comic menyatakan dirinya bebas dari penyakit cacingan, ia justru mengungkapkan tuturan Tunggu dulu, kenapa gatal pantatku? Tuturan ini mengimplikasikan comic ternyata penderita cacingan. Adapun gejala lainnya yang dirasakan penderita penyakit ini adalah gatal-gatal di sekitar area dubur. Hal ini juga berarti penonton telah dibohonginya. Akan tetapi, tanpa mengaburkan sikap kritis comic, tuturan pada akhir wacana ini pun hanya pretensi comic untuk menciptakan efek humor bagi penonton.
2.10 Masyarakat Luas Masyarakat Indonesia sering kali dikepung oleh persoalan kolektif. Rendahnya kepekaan dan kepedulian social serta tingkat akses informasi masyarakat yang minim adalah beberapa penyebab masalah bersama tersebut. Penyelesaian setiap masalah ini pun harus dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat
Indonesia. Oleh sebab itu, dibutuhkan sikap kritis untuk
mengingatkan, menyadarkan, dan menggerakkan masyarakat untuk bahumembahu mengentaskannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87
(61) Jadilah pemilih yang kritis. Gampang belajar kritis mah ama komentator bola tarkam. Ada yang tahu? Antarkampung. Ini komentator kritis banget. Dia ngenalin pemain nggak cuma namanya. Dia kenal nama sama aibnya. O1: Nomor punggung sepuluh, Zaenudin. Wah, ini bininya tiga nih. 1 O : Nomor punggung duapuluh, Bambang. Ya elah Bambang, cieh abis ketahuan selingkuh. (David, show 6). (62) Saya tuh lagi kesel banget sama orang-orang yang main handphone. Orang zaman sekarang itu lebih senang ngobrol di aplikasi messenger daripada ngomong di kehidupan nyata. Kayak saya itu punya temen-temen saya yang merantau ke mana-mana itu punya grup What‟s Ap. Itu kalau ngobrol di grup What‟s Ap itu seru banget. “Eh, nanti kita kalau ketemu, kita ngobrol bareng, ya. Kita ngopi bareng. Kita berenang di langit.” Tapi kalau pas ketemu langsung, semuanya pada main handphone, What‟s Ap-an gitu kan. O1: Dzi, aku minta jus kamu dong. O2: Ya elah, tinggal minta langsung aja kali. Ngapain lewat What‟s Ap? 1 O : Oke, Dzi. O1: Dzi, cek What‟s Ap. (Hifdzi, show 9). (63) Tapi gitu, gue ngelihat tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia kurang dihargai. Yang klise aja nih ya, misalnya habis operasi, “Bapak, operasinya berhasil.” “Terima kasih, Tuhan.” Tapi, kalau kejadiannya lain. “Bapak, kami telah berusaha, tapi anak Bapak tidak bisa selamat dalam operasi ini.” “Dokter melakukan malpraktek! Dokter melakukan malpraktek!” Tuh. Kalau berhasil, yang diterimkasihin Tuhan; kalau gagal yang disalahi dokter. Mungkin orang-orang lupa, tangan Tuhan bekerja lewat siapa. Maradona, tangan Tuhan. (Liant, show 6). Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada masyarakat luas. Wacana (61) diungkapkan melalui tuturan Jadilah pemilih yang kritis. Tuturan ini mengimplikasikan masyarakat umum yang memiliki hak memilih pada Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden pada 2014 silam. Wacana (62) ditandai melalui frasa Orang-orang yang main handphone. Wacana ini mengimplikasikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 88
masyarakat yang gemar bersosialisasi melalui perangkat komunikasi telepon seluler. Wacana (63) ditunjukkan melalui tuturan gue ngelihat tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia kurang dihargai. Tuturan ini mengimplikasikan masyarakat sebagai sasaran kritik comic karena selaku pengguna jasa dan layanan kesehatan. Hal yang dikritikkan kepada masyarakat luas adalah sebagai berikut. Pertama, sikap politik dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014. Kedua, minimnya penghargaan terhadap dokter. Ketiga, sikap individualistis akibat penggunaan handphone.
2.10.1 Sikap Politik dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014 Wacana berikut berisi kritikan terhadap sikap politik masyarakat dalam perhelatan Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014. (64) Jadilah pemilih yang kritis. Gampang belajar kritis mah ama komentator bola tarkam. Ada yang tahu? Antarkampung. Ini komentator kritis banget. Dia ngenalin pemain nggak cuma namanya. Dia kenal nama sama aibnya. O1: Nomor punggung sepuluh, Zaenudin. Wah, ini bininya tiga nih. O1: Nomor punggung duapuluh, Bambang. Ya elah Bambang, cieh abis ketahuan selingkuh. (David, show 6). Comic mengimbau masyarakat untuk bersikap kritis dalam menjatuhkan preferensi politiknya pada perhelatan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2014 silam. Hal tersebut diungkapkan melalui tuturan Jadilah pemilih yang kritis. Perpolitikan nasional mengalami kegaduhan menjelang Pemilu 2014. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 89
kampanye dan debat capres-cawapres, baik para kandidat, tim sukses, dan para pendukung saling melakukan intrik dan intimidasi. Sementara itu, di kompleks parlemen (gedung MPR/DPR/DPD) di Senayan, beberapa anggota DPR ada yang dimejahijaukan akibat terlilit kasus hukum. Melihat realitas tersebut, comic menyarankan rakyat Indonesia untuk menjadi pemilih yang cerdas dan berhati-hati dalam menentukan pilihannya pada pasangan capres-cawapres dan caleg yang bertarung dalam Pemilu. Serupa komentator bola tarkam yang memiliki kemampuan mengenali persona (terutama aib) para pemain sepak bola, comic bermaksud mengajak masyarakat untuk mengetahui rekam jejak para kandidat yang akan dipilih guna memperbaiki kualitas pemerintah dan parlemen Indonesia.
2.10.2 Minimnya Penghargaan terhadap Dokter Wacana (65) memuat kritikan terhadap minimnya penghargaan masyarakat atas jasa dokter Indonesia. (65) Tapi gitu, gue ngelihat tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia kurang dihargai. Yang klise aja nih ya, misalnya habis operasi, “Bapak, operasinya berhasil.” “Terima kasih, Tuhan.” Tapi, kalau kejadiannya lain. “Bapak, kami telah berusaha, tapi anak Bapak tidak bisa selamat dalam operasi ini.” “Dokter melakukan malpraktek! Dokter melakukan malpraktek!” Tuh. Kalau berhasil, yang diterimkasihin Tuhan; kalau gagal yang disalahi dokter. Mungkin orang-orang lupa, tangan Tuhan bekerja lewat siapa. Maradona, tangan Tuhan. (Liant, show 6). Comic mengeluhkan kurangnya penghargaan masyarakat Indonesia atas hasil kerja jasa tenaga kesehatan Indonesia, secara khusus dokter. Hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90
ditunjukkan melalui tuturan Tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia kurang dihargai. Sebagai contoh, comic menyebut perilaku diskriminasi pasien beserta keluarganya kepada dokter. Para pengguna jasa kesehatan sering kali melayangkan tuduhan hingga pengajuan somasi jika dokter tidak mampu mengobati atau menyelamatkan nyawa pasien. Dokter dianggap melakukan kelalaian medis apabila pengobatannya tidak menuai kesembuhan atau keselamatan pada pasien. Sebaliknya, jika pasien sembuh, keluarga pasien pertama-tama mengucap terima kasih kepada Tuhan, alih-alih dokter yang telah berusaha mengobati dan menyembuhkannya.
2.10.3 Sikap Individualistis akibat Penggunaan Handphone Wacana berikut memuat kritikan terhadap sikap individualistis masyarakat akibat penggunaan handphone (telepon seluler). (66) Saya tuh lagi kesel banget sama orang-orang yang main handphone. Orang zaman sekarang itu lebih senang ngobrol di aplikasi messenger daripada ngomong di kehidupan nyata. Kayak saya itu punya temen-temen saya yang merantau ke mana-mana itu punya grup What‟s Ap. Itu kalau ngobrol di grup What‟s Ap itu seru banget. “Eh, nanti kita kalau ketemu, kita ngobrol bareng, ya. Kita ngopi bareng. Kita berenang di langit.” Tapi kalau pas ketemu langsung, semuanya pada main handphone, What‟s Ap-an gitu kan. O1: Dzi, aku minta jus kamu dong. O2: Ya elah, tinggal minta langsung aja kali. Ngapain lewat What‟s Ap? O1: Oke, Dzi. O1: Dzi, cek What‟s Ap. (Hifdzi, show 9).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 91
Comic mengkritisi perilaku individualistis ihwal rendahnya interaksi sosial secara langsung masyarakat dewasa ini akibat gemar berkomunikasi melalui telepon seluler (ponsel) pintar. Hal ini diungkapkan melalui tuturan Orang zaman sekarang itu lebih senang ngobrol di aplikasi messenger daripada ngomong di kehidupan nyata dan Tapi kalau pas ketemu langsung, semuanya pada main handphone. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Google, pengguna ponsel pintar di Indonesia didominasi oleh aktivitas di media sosial dan bertukar pesan melalui aplikasi pepesan instan (http://tekno.kompas.com/read/2015/11/19/23084827/ Mau.Tahu.Hasil.Riset.Google.Soal.Penggunaan.Smartphone.di.Indonesia). Akibat buruk dari kebiasaan berkomunikasi melalui ponsel adalah minimnya interaksi sosial secara langsung Comic pun mengalami kenyataan itu. Melalui ilustrasinya, comic menggambarkan
potret
laku
masyarakat
pengguna
ponsel.
Kebiasaan
berkomunikasi melalui ponsel tidak hanya dapat mengganggu kepekaan terhadap lingkungan sosial individu itu berada, namun juga dapat mereduksi kebiasaan berkomunikasi secara lisan terhadap orang-orang yang berada di sekitarnya.
2.11 Persepakbolaan Persepakbolaan Indonesia tengah mengalami krisis. Krisis itu di antaranya seret prestasi, kualitas pemain dan perangkat pertandingan (wasit), hingga kekisruhan dalam pertandingan. Perihal krisis, persepakbolaan dunia pun mengalami persoalan yang sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 92
Sebut saja diskriminasi serta kekerasan fisik dan verbal, baik yang melibatkan pemain, perangkat pertandingan, maupun pendukung. Sebagai olahraga yang dimiliki masyarakat dunia, tidak terkecuali rakyat Indonesia, upaya dan sikap kritis-konstruktif pun perlu dilakukan untuk membangun persepakbolaan tanah air maupun dunia menjadi lebih baik. (67) Selain jadi comic, gua juga seneng sepak bola. Di sini ada fans Barcelona? Gua kasih tahu, Barcelona ini memiliki taktik yang nggak dimiliki sama klub-klub lain: tiki-taka. Tiki-taka ini permainan dari kaki ke kaki, dari Xavi ke Iniesta, Iniesta ke Messi, gol. Keren kan. Dan, sebenarnya Indonesia memiliki taktik juga, tapi nggak dimiliki sama negara-negara lain: tekateki. Karena dia nggak bakal tahu ngoper ke mana. (Pras Teguh, pre show 1). (68) Tapi, emang menurut gua, wasit itu harus tegas. Loe lihat di Piala Dunia, kalau ngasih kartu kuning ya ngasih aja. Wasit Indonesia ragu-ragu. Pelanggaran: O1: Hei! Aduh kasih nggak ya? Kasih nggak ya? O2: Apa, kartu? O1: Ha? Enggak, gatel. (Pras Teguh, show 15) (69) Tapi sebenarnya, jujur, gua kurang suka sama bola, gua kurang suka nonton bola, nggak suka bahkan. Karena kalau menurut gua, bola itu penuh dengan provokasi. Loe lihat kemarin itu ada kasus Materazzi disundul sama Zidane. Itu karena Materazzi memprovokasi Zidane. O1: Eh, Zidane, ibu kamu teroris ya? Zidane masih sabar. O1: Eh, Zidane, adik kamu teroris ya? Zidane masih sabar. O1: Eh, Zidane, Bapak kamu tukang siomay ya? O2: Eh, anjir, gua digombalin. Derrr (menanduk dada O1) (Dzawin, show 15). Sasaran tutur pada ketiga wacana tersebut mengacu pada insan persepakbolaan nasional dan internasional. Wacana (67) ditunjukkan dalam kata Indonesia. Tuturan ini mengimplikasikan tim nasional (timnas) sepak bola
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 93
Indonesia. Wacana (68) diungkapkan melalui frasa Wasit Indonesia. Wacana (69) ditandai melalui tuturan (1) bola itu penuh dengan provokasi, (2) Materazzi, dan (3) Zidane. Ketiga tuturan tersebut mengimplikasikan kasus provokasi berbau isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang dilakukan oleh pemain bertahan timnas Italia, Marco Materazzi terhadap Zinedine Zidane, gelandang sekaligus kapten timnas Perancis pada babak final Piala Dunia 2006. Hal yang dikritikkan kepada persepakbolaan nasional dan internasional adalah sebagai berikut. Pertama, kualitas permainan timnas sepak bola Indonesia. Kedua, kualitas wasit sepak bola Indonesia. Ketiga, tindakan provokasi dalam sepak bola.
2.11.1 Kualitas Permainan Timnas Indonesia Wacana (70) mengandung kritikan terhadap kualitas permainan kualitas timnas Indonesia. (70) Selain jadi comic, gua juga seneng sepak bola. Di sini ada fans Barcelona? Gua kasih tahu, Barcelona ini memiliki taktik yang nggak dimiliki sama klub-klub lain: tiki-taka. Tiki-taka ini permainan dari kaki ke kaki, dari Xavi ke Iniesta, Iniesta ke Messi, gol. Keren kan. Dan, sebenarnya Indonesia memiliki taktik juga, tapi nggak dimiliki sama negara-negara lain: teka-teki. Karena dia nggak bakal tahu ngoper ke mana. (Pras Teguh, pre show 1). Comic mengkritisi strategi dan kualitas permainan timnas sepak bola Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan dalam tuturan Sebenarnya Indonesia memiliki taktik juga, tapi nggak dimiliki sama negara-negara lain: teka-teki. Karena dia nggak bakal tahu ngoper ke mana. Indonesia seret prestasi dalam kancah persepakbolaan internasional sejak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 94
dua dekade terkini. Terakhir kali timnas sepak bola Indonesia meraih juara yakni dalam ajang SEA Games pada 1991. Comic berasumsi bahwa penyebab kegagalan sepak bola Indonesia karena salah menerapkan strategi permainan dan bahkan telah menjadikannya sebagai identitas sepak bola tanah air. Comic menamai taktik itu teka-teki. Menurut comic, taktik ini layaknya menebak sebuah enigma: penuh misteri, rahasia, terkaan, dan pertanyaan. Demikian halnya dengan permainan sepak bola Indonesia: antarpenggawa timnas Indonesia menyimpan teka-teki, dan menebak-nebak ke arah mana atau kepada siapa bola yang sedang dalam kendali rekan timnya akan dituju. Bola operan pun tidak jarang jatuh pada kubu lawan atau bahkan meninggalkan lapangan pertandingan.
2.11.2 Kualitas Wasit Indonesia Wacana berikut ini berisi kritikan terhadap kualitas wasit sepak bola Indonesia. (71) Tapi, emang menurut gua, wasit itu harus tegas. Loe lihat di Piala Dunia, kalau ngasih kartu kuning ya ngasih aja. Wasit Indonesia ragu-ragu. Pelanggaran: O1: Hei! Aduh kasih nggak ya? Kasih nggak ya? O2: Apa, kartu? O1: Ha? Enggak, gatel. (Pras Teguh, show 15). Comic mengkritisi kualitas wasit sepak bola Indonesia dalam memimpin dan menjalankan pertandingan. Hal tersebut ditunjukkan melalui kalimat Wasit Indonesia ragu-ragu. Tuturan ini mengimplikasikan ketidaktegasan sikap wasit Indonesia dalam mengambil sebuah keputusan pada pertandingan sepak bola. Dalam perhelatan kompetisi sepak bola nasional pada setiap divisi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 95
kepemimpinan wasit selalu dikeluhkan oleh para peserta kompetisi. Tidak jarang penampilan wasit di atas lapangan pun
memicu perdebatan bagi tim yang
bertanding. Keputusannya pun sering kali mengernyitkan dahi pemain, pelatih, hingga kubu pendukung. Rendahnya kualitas penyelenggaraan sepak bola Indonesia sebagai salah satu dampak dari minimnya kompetensi para wasit. Akibatnya, pertandingan yang bergulir pun tidak jarang jauh dari rasa adil dan bersih. Sebagai contoh, comic menyoroti kualitas wasit Indonesia melalui dialog. Pada dialog tersebut, O1 (wasit) digambarkan tidak tegas dalam menentukan sikap untuk memberi kartu kuning pada O2 (pemain) yang melakukan pelanggaran. Akibat mendapat intimidasi O2, O1 menjadi takut. Lantas, O1 pun mengurungkan niatnya untuk memberi hukuman pada O2.
2.11.3 Tindakan Provokasi Wacana (72) berikut memuat kritikan terhadap tindakan provokasi dalam dunia sepak bola. (72) Tapi sebenarnya, jujur, gua kurang suka sama bola, gua kurang suka nonton bola, nggak suka bahkan. Karena kalau menurut gua, bola itu penuh dengan provokasi. Loe lihat kemarin itu ada kasus Materazzi disundul sama Zidane. Itu karena Materazzi memprovokasi Zidane. O1: Eh, Zidane, ibu kamu teroris ya? Zidane masih sabar. O1: Eh, Zidane, adik kamu teroris ya? Zidane masih sabar. O1: Eh, Zidane, Bapak kamu tukang siomay ya? O2: Eh, anjir, gua digombalin. Derrr (menanduk dada O1) (Dzawin, show 15).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 96
Comic mengeluhkan maraknya berbagai tindakan provokasi di dalam sepak bola. Hal ini diungkapkan melalui tuturan Karena kalau menurut gua, bola itu penuh dengan provokasi. Pada wacana di atas, comic mencontohkan kisah tandukan keras Zidane, kapten Timnas Perancis, ke dada Materazzi, bek Timnas Italia, pada partai final Piala Dunia 2006. Tindakan Zidane dipicu oleh ucapan Materazi yang tertuju kepadanya. Tuturan tersebut –yang diduga berunsur SARA– menyulut emosi Zidane, yang lantas menandukkan kepalanya tepat pada dada Materazzi hingga jatuh tersungkur dan terkapar beberapa saat di atas lapangan. Kisah itu pun menjadi salah satu drama sekaligus kisah kontroversial dalam sejarah sepak bola modern. Keengganan comic menyukai sepak bola disebabkan oleh maraknya kontroversi dan friksi yang terjadi pada cabang olahraga ini. Namun, upaya-upaya menanggulangi berbagai entitas kekerasan, seperti kampanye antidiskriminasi (SARA) telah dilakukan dan terus digalakkan oleh federasi sepak bola negaranegara di dunia.
2.12 Institusi Pendidikan Institusi
pendidikan
merupakan
lembaga
formal
negara
yang
menyelenggarakan pendidikan, baik yang berbasis sekolah atau madrasah pada pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi pada pendidikan tinggi. Secara umum, institusi pendidikan berperan dan bertanggung jawab pada pembangunan dan pengembangan kecerdasan intelektual maupun karakter atau kepribadian yang berbudaya, berakhlak, dan bermoral bagi peserta didik. Oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 97
karena itu, diperlukan sikap kritis untuk menilai dan mengawasi proses penyelenggaraan pendidikan di Indonesia guna meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Perhatikan ketiga wacana di bawah ini. (73) Sebenarnya malam hari ini tuh saya kepingin sekali berada di panggung ini, kemudian bawa sasando, alat musik asli NTT begitu. Cuma apa daya, saya tidak bisa main sasando. Temanteman, di NTT sekalipun belajar sasando itu tidak masuk dalam kurikulum. Tidak masuk. Sedikit lagi masuk museum itu. Saya takutnya, ini lama-kelamaan sasando itu hanya bisa tinggal cerita. Saya punya anak begitu, kemudian saya punya anak datang, tanya ke saya. O1: Bapa, katanya sasando itu alat musik NTT. Itu dia pung cara main bagaimana e? O2: Ah, dia punya cara main itu, anak, ya begitu. O1: Ya begitu bagaimana? O2: Ya, begitu. Ya, kalau gitar kan begini (sambil memetik gitar). Nah, gitar begini. Nah, sasando begitu. O2: Ah, sudah anak. Tidak usah pikir. Mari kita minum tuak saja. (Abdur, show 14). (74) Tapi, kalau loe sadar ya, kalau loe sadari, sebenarnya MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus. Iya. Kan kalau kita disuruh pakai aksesoris kalau aksesorisnya nggak lengkap itu kita dihukum ya. Coba kalau yang dihukum itu cewek, cantik, terus hidung mancung, kayak Nabila gitu lah, eh Nadia, kayak Nadia gitu, ya kan. O1: O2: O1: O2: O1:
Eh, kamu. Kenapa aksesoris kamu enggak lengkap? Maaf, Kak, tadi ketinggalan. Enggak ada alesan. Kamu harus dihukum! Hukumannya apa, Kak? Nanti kakak kasih tahu lewat SMS. Mana nomor kamu? (Dzawin, show 7).
(75) Eh, loe tahu nggak sih, dari sekian banyak makanan nusantara, makanan yang paling enak itu adalah makanan pesantren. Kenapa? Karena makanan pesantren itu bergizi, men, bergizi rendah. Pagi-pagi kita makan nasi, tahu, kerupuk;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 98
siang-siang kita makan nasi, tempe, kerupuk; malam-malam kita makan hati, men. Makannya itu-itu mulu. (Dzawin, show 3). Sasaran kritik pada ketiga wacana tersebut mengacu pada institusi pendidikan. Wacana (73) ditunjukkan dalam tuturan di NTT sekalipun belajar sasando itu tidak masuk dalam kurikulum. Tuturan ini mengimplikasikan institusi pendidikan selaku salah satu pihak yang memiliki wewenang dalam menyusun dan menjalankan kurikulum pendidikan. Wacana (74) ditunjukkan melalui tuturan sebenarnya MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus. Tuturan ini mengimplikasikan institusi pendidikan sebagai pelaksana dan penanggung jawab atas penyelewengan pelaksanaan masa orientasi siswa (MOS). Wacana (75) diungkapkan melalui tuturan Karena makanan pesantren itu bergizi, men, bergizi rendah. Tuturan ini mengimplikasikan pesantren sebagai sasaran kritik. Hal yang dikritikkan kepada institusi pendidikan adalah sebagai berikut. Pertama, ketiadaan pembelajaran kesenian sasando. Kedua, pelaksanaan Masa Orientasi Siswa. Ketiga, kualitas gizi di pesantren.
2.12.1 Ketiadaan Pembelajaran Sasando Wacana (76) berikut mengandung kritikan atas ketiadaan pembelajaran kesenian sasando. (76) Sebenarnya malam hari ini tuh saya kepingin sekali berada di panggung ini, kemudian bawa sasando, alat musik asli NTT begitu. Cuma apa daya, saya tidak bisa main sasando. Temanteman, di NTT sekalipun belajar sasando itu tidak masuk dalam kurikulum. Tidak masuk. Sedikit lagi masuk museum itu. Saya takutnya, ini lama-kelamaan sasando itu hanya bisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99
tinggal cerita. Saya punya anak begitu, kemudian saya punya anak datang, tanya ke saya. O1: Bapa, katanya sasando itu alat musik NTT. Itu dia pung cara main bagaimana e? 2 O : Ah, dia punya cara main itu, anak, ya begitu. O1: Ya begitu bagaimana? O2: Ya, begitu. Ya, kalau gitar kan begini (sambil memetik gitar). Nah, gitar begini. Nah, sasando begitu. 2 O : Ah, sudah anak. Tidak usah pikir. Mari kita minum tuak saja. (Abdur, show 14). Pada wacana (76), comic mengkritisi ketidakpedulian institusi pendidikan di Nusa Tenggara Timur untuk memasukkan kesenian sasando dalam kurikulum pembelajaran di sekolah. Hal tersebut diungkapkan melalui tuturan Di NTT sekalipun belajar sasando itu tidak masuk dalam kurikulum. Sebagai salah satu ikon kesenian NTT, sasando menghadapi situasi yang muskil dan ironis: hingga tahun 2014, sasando belum pernah diajarkan secara formal oleh sekolah-sekolah di NTT. Secara implisit, comic menilai, salah satu upaya pelestarian sasando adalah dengan mewariskan dan mengajarkannya kepada generasi muda melalui pelajaran di sekolah. Dengan demikian, sasando akan tetap menjadi kebudayaan sintas dan dapat dikenal serta dimainkan oleh generasi-generasi saat ini dan yang akan datang.
2.12.2 Pelaksanaan Masa Orientasi Siswa (MOS) Wacana berikut memuat kritikan terhadap pelaksanaan MOS. (77) Tapi, kalau loe sadar ya, kalau loe sadari, sebenarnya MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus. Iya. Kan kalau kita disuruh pakai aksesoris kalau aksesorisnya nggak lengkap itu kita dihukum ya. Coba
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100
kalau yang dihukum itu cewek, cantik, terus hidung mancung, kayak Nabila gitu lah, eh Nadia, kayak Nadia gitu, ya kan. O1: Eh, kamu. Kenapa aksesoris kamu enggak lengkap? O2: Maaf, Kak, tadi ketinggalan. O1: Enggak ada alesan. Kamu harus dihukum! O2: Hukumannya apa, Kak? O1: Nanti kakak kasih tahu lewat SMS. Mana nomor kamu? (Dzawin, show 7).
Comic mengkritisi penyimpangan pelaksanaan MOS pada jenjang pendidikan sekolah menengah. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan Sebenarnya MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus. Tuturan
tersebut
mengimplikasikan
penjelasan
berikut.
Comic
mengungkapkan, MOS kini bukanlah sekadar kegiatan yang bertujuan untuk mengenalkan dan mengendapkan tata nilai dan aturan lingkungan sekolah tersebut kepada siswa baru. Motif laten yang sering kali terungkap dalam pelaksanaan MOS adalah upaya pendekatan relasional para panitia kegiatan kepada para peserta. Dalam konteks ini, terminologi pendekatan tersebut mengacu pada aktivitas para panitia yang berusaha mencari perhatian dan mendekati para peserta dengan tujuan menjadikannya pacar. Comic menilai, realitas ini telah menjauhkan pelaksanaan MOS dari esensinya.
2.12.4 Kualitas Gizi di Pondok Pesantren Wacana (78) berisi kritik terhadap kualitas gizi makanan di pondok pesantren.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101
(78) Eh, loe tahu nggak sih, dari sekian banyak makanan nusantara, makanan yang paling enak itu adalah makanan pesantren. Kenapa? Karena makanan pesantren itu bergizi, men, bergizi rendah. Pagi-pagi kita makan nasi, tahu, kerupuk; siang-siang kita makan nasi, tempe, kerupuk; malam-malam kita makan hati, men. Makannya itu-itu mulu. (Dzawin, show 3). Comic mengkritisi tindakan pondok pesantren selaku institusi pendidikan Islam yang tidak memberikan perhatian serius pada persoalan kebutuhan gizi pangan para santri. Hal tersebut diungkapkan melalui tuturan Karena makanan pesantren itu bergizi, man, bergizi rendah. Pada pagi hari, para santri ditemani dengan hidangan nasi, tahu, dan kerupuk. Pada siang hari, nasi, tempe, dan kerupuk menjadi menu santap siang para santri. Jika menakar kandungan gizi makanan tersebut, maka didapat hasil sebagai berikut: nasi mengandung karbohidrat; tahu mengandung protein, lemak, dan karbohidrat; tempe mengandung protein, lemak, dan karbohidrat; kerupuk mengandung karbohidrat serta kadar gula dan garam yang tinggi. Comic menilai, kandungan dan keseimbangan gizi dari pangan-pangan tersebut memprihatinkan. Sementara itu, tuturan makan hati yang diungkapkan comic bukan mengacu pada aktivitas mengonsumsi jeroan ati ampela, melainkan sebuah idiom yang bermakna „kecewa, sedih, atau kesal‟. Comic kecewa dan sedih karena sepanjang dan setiap hari para santri selalu disajikan menu makanan yang sama yang memiliki kualitas gizi yang rendah dan tidak seimbang.
2.13 Tokoh Terminologi tokoh dalam pembahasan ini mengacu pada tokoh masyarakat yang mencakup pejabat dan pemuka agama. Dalam sebuah masyarakat, lazim
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102
muncul tokoh atau orang terkemuka, baik karena jabatannya maupun peran sosialnya. Tokoh-tokoh ini tidak terlepas dari pembicaraan publik, terutama jika kiprah dan pemberitaannya mencakup skala nasional. Pada pembahasan ini, akan dikemukakan tokoh-tokoh yang ketika itu menjadi pembicaraan publik karena alasan berikut ini. Pertama, tokoh politik yang dinilai salah memilih tempat pendeklarasiannya sebagai calon presiden (capres) pada Pilpres 2014. Kedua, ada tokoh agama yang melakukan kekerasan fisik. (79) Capres menurut gua yang paling terpenting adalah harus tahu sejarah. Karena kemarin ada capres deklarasi, salah milih tempat sejarah. Dia deklarasi di Rumah Si Pitung. Padahal dia nggak tahu dulu rumah sejarahnya si Pitung gimana. Pak, Pitung mah kagak pernah punya rumah. Lah, seumur hidup dikejar Belande, gimana mau punya rumah, Pak? Entuh rumah yang dirampok Pitung sejarahnye. Ini orang katanya, “Biarin, saya deklarasi di sini, biar menularkan semangat si Pitung.” Semangat ape? Ngerampok? (David, show 17). (80) Percuma loe pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi giliran pas lagi ceramah di atas panggung, kepala orang dipiting. Percuma. Siapa namanya tuh? Ustad apa? Ustad apa? Ya, Ustad Harajuku. Ini mungkin waktu dia masih di pesantren, temen-temennya bangun malam buat sholat tahajud, dia bangun malam buat nonton smackdown. (Dzawin, show 13). Sasaran kritik pada kedua wacana tersebut mengacu pada tokoh atau orang terkemuka Indonesia. Wacana (79) ditunjukkan melalui kalimat Capres deklarasi dan Dia deklarasi di rumah Si Pitung. Tuturan ini mengimplikasikan Joko Widodo yang pada Maret 2014 silam mendeklarasikan keikutsertaannya sebagai capres dalam Pemilihan Presiden 2014 di salah satu lokasi cagar budaya Betawi: Rumah Pitung. Wacana (80) ditandai melalui tuturan Ustad Harajuku dan pas lagi ceramah
di
atas
panggung,
kepala
orang
dipiting.
Tuturan
tersebut
mengimplikasikan Ustad Hariri, salah seorang ustad yang pernah tersangkut kasus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 103
sebagai pelaku kekerasan fisik kepada salah seorang penata suara dalam sebuah acara yang diikutinya. Hal yang dikritikkan kepada kedua tokoh tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, kesalahan Joko Widodo dalam memilih tempat pendeklarasiannya sebagai capres pada Pilpres 2014. Kedua, tindakan kekerasan fisik Ustad Hariri.
2.13.1 Pemilihan Tempat Pendeklarasian sebagai Calon Presiden Wacana (81) memuat kritikan terhadap kesalahan Joko Widodo dalam memilih tempat pendeklarasian sebagai capres pada 2014 silam. (81) Capres menurut gua yang paling terpenting adalah harus tahu sejarah. Karena kemarin ada capres deklarasi, salah milih tempat sejarah. Dia deklarasi di Rumah Si Pitung. Padahal dia nggak tahu dulu rumah sejarahnya si Pitung gimana. Pak, Pitung mah kagak pernah punya rumah. Lah, seumur hidup dikejar Belande, gimana mau punya rumah, Pak? Entuh rumah yang dirampok Pitung sejararhnye. Ini orang katanya, “Biarin, saya deklarasi di sini, biar menularkan semangat si Pitung.” Semangat ape? Ngerampok? (David, show 17) Comic mengkritisi keputusan Joko Widodo yang memilih Rumah Pitung untuk mendeklarasikan keikutsertaannya sebagai capres dalam Pilpres 2014. Hal tersebut diungkapkan dalam tuturan Kemarin ada capres deklarasi, salah milih tempat sejarah. Tuturan ini mengimplikasikan fakta pendeklarasian Joko Widodo sebagai capres dalam Pilpres 2014 yang bertempat di Rumah Pitung. Ketika itu, tindakan Jokowi tersebut menuai polemik. Kompas.com (22/3/14) melansir, Ketua Lembaga Antar Bidang Badan Musyawarah Masyarakat Betawi, Muhammad Rifky menyatakan keberatan dan meminta agar Jokowi segera meminta maaf kepada masyarakat Betawi karena telah menggunakan nama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 104
pahlawan Si Pitung untuk kepentingan politik. Hal berikutnya yang membuat dirinya beserta tokoh Betawi lainnya geram dengan deklarasi Jokowi, yakni penggunaan kata Si Pitung yang merupakan simbol perlawan. Menurutnya, perkataan itu tidak tepat diucapkan oleh Jokowi pada saat itu. Tokoh Pitung merupakan penggambaran pahlawan yang berjuang tidak mementingkan kelompok, tapi untuk masyarakat. Berbeda dengan Jokowi yang mencalonkan diri menjadi presiden dari kelompok tertentu (http://nasional.kompas.com/read/ 2014/03/22/1010023/Deklarasi.di.Rumah.Si.Pitung.Jokowi.Harus.Minta.Maaf). Comic juga turut melayangkan kritik keras kepada Jokowi atas tindakannya tersebut. Comic menilai, Jokowi tidak memahami budaya Betawi, khususnya sejarah Rumah Pitung. Menurut comic, Rumah Pitung bukanlah rumah asli Si Pitung, melainkan rumah hasil merampok. Oleh karena ketidaktahuan Jokowi, comic lantas menyindirnya dengan mengatakan bahwa Jokowi ingin menularkan semangat merampok Pitung. Hal ini mengacu pada pernyataan Jokowi yang menyatakan ingin menularkan semangat tokoh Pitung yang lantas menimbulkan banyak penafsiran oleh berbagai lapisan masyarakat.
2.13.2 Tindakan Kekerasan Fisik Wacana di bawah ini berisi kritikan atas tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh Ustad Hariri. (82) Percuma loe pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi giliran pas lagi ceramah di atas panggung, kepala orang dipiting. Percuma. Siapa namanya tuh? Ustad apa? Ustad apa? Ya, Ustad Harajuku. Ini mungkin waktu dia masih di pesantren, temen-temennya bangun malam buat sholat tahajud, dia bangun malam buat nonton smackdown. (Dzawin, show 13).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 105
Comic mengkritisi perilaku salah seorang ustad yang melakukan tindakan kekerasan. Hal tersebut diterangkan dalam tuturan Percuma loe pakai peci-kokosarung, peci-koko-sarung, tapi giliran pas lagi ceramah di atas panggung, kepala orang dipiting. Adapun orang yang dimaksudkan oleh comic adalah Ustad Hariri, yang ketika itu (diduga) menekan kepala seorang penata suara dengan dengkulnya dalam sesi ceramah yang dibawakannya di sebuah acara hajatan pernikahan pada 7 Januari 2014 silam (http://m.tempo.co/read/news/2014/02/13/058553740/VideoUstad-Hariri-di-Youtube-Bikin-Geger). Comic menyayangkan tindakan sang ustad yang harusnya dapat menjadi panutan dengan memberi contoh laku dan teladan yang baik seturut nilai-nilai Islam yang dianutnya. Comic pun menyindir bahwa tindakan Ustad Hariri terinspirasi oleh aksi para pegulat dalam smackdown, sebuah acara gulat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 106
BAB III KEPATUHAN DAN KETAKPATUHAN TUTURAN DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4 PADA PRINSIP KERJA SAMA
3.1 Pengantar Wacana humor dapat tercipta melalui pemanfaatan berbagai aspek kebahasaan yang digunakan secara tidak semestinya (Wijana, 2003: 33). Pemanfaatan aspek kebahasaan yang digunakan secara tidak semestinya tersebut salah satunya dengan menciptakan tuturan yang tidak mematuhi maksim-maksim prinsip kerja sama Grice. Hal ini juga berlaku dalam penciptaan wacana SUC secara
pragmatis.
Melalui
ketakpatuhan
tersebut,
tujuan
comic
untuk
menggelakkan penonton melalui humornya bisa terwujud. Di samping itu, pada penelitian ini juga akan dibuktikan bahwa proses penciptaan wacana humor SUC tidak hanya menekankan pada bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang dari prinsip kerja sama Grice, melainkan juga dengan mematuhinya. Sebagai wacana verbal, tuturan dalam wacana humor SUC pun haruslah komunikatif dan informatif agar pesan yang disampaikan comic dapat dipahami oleh audiensi. Oleh karena itu, penuturan wacana SUCI 4 ini harus mematuhi prinsip kerja sama. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam Bab III dikaji ihwal kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 107
Pada pembahasan berikut ini, hasil klasifikasi data diidentifikasi menjadi 3 (tiga) tipe berdasarkan jumlah maksim yang dipatuhi dan yang tidak dipatuhi. Pertama, tuturan yang mematuhi tiga maksim, tetapi tidak mematuhi satu maksim (Tipe I). Tipe ini mencakup 3 (tiga) subtipe, yakni: (a) Subtipe Ia, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas; (b) Subtipe Ib, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi; (c) Subtipe Ic, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara. Kedua, tuturan yang mematuhi dua maksim, tetapi tidak mematuhi dua maksim (Tipe II). Tipe ini mencakup 5 (lima) tipe, yakni: (a) Subtipe IIa, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim kualitas, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi dan maksim cara; (b) Subtipe IIb, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim cara; (c) Subtipe IIc, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim relevansi; (d) Subtipe IId, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kualitas dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim relevansi, (e) Subtipe IIe, yaitu tuturan yang mematuhi maksim relevansi dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim kualitas. Ketiga, tuturan yang mematuhi satu maksim, tetapi tidak mematuhi tiga maksim. Tipe ini mencakup 2 (dua) subtipe, yakni: (a) Subtipe IIIa, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; (b)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 108
Subtipe IIIb, yaitu tuturan yang mematuhi maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara. Dari ketiga tipe ini, ditemukan bahwa sebagian besar tuturan dalam WHKS SUCI 4 berupa tuturan yang mematuhi dua maksim, tetapi melanggar dua maksim. Tiga tipe dan sepuluh subtipe tersebut dapat dijabarkan melalui tabel berikut ini.
Tabel 2 Kepatuhan dan Ketakpatuhan Tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada Prinsip Kerja Sama
Tipe
Patuh pada Tiga Maksim, Tidak Patuh pada Satu Maksim (Tipe I)
Patuh pada Dua Maksim, Tidak Patuh pada Dua Maksim (Tipe II)
Patuh pada Satu Maksim, Tidak Patuh pada Tiga Maksim (Tipe III)
Keterangan: : Mematuhi X : Tidak Mematuhi
Maksim
Subtipe Kuantitas
Kualitas
Relevansi
Cara
Ia
x
Ib
x
Ic
x
IIa
x
x
IIb
x
x
IIc
x
x
IId
x
x
IIe
x
x
IIIa
x
x
x
IIIb
x
x
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 109
3.2 Tuturan yang Mematuhi Tiga Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Satu Maksim (Tipe I) Tipe ini mencakup tiga subtipe, yaitu Subtipe Ia, Subtipe Ib, dan Subtipe Ic. Berikut ini penjabarannya.
3.2.1 Subtipe Ia Subtipe Ia adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas. Berikut wacana-wacana yang tergolong dalam Subtipe Ia. (83) Jadilah pemilih yang kritis. Gampang belajar kritis mah ama komentator bola tarkam. Ada yang tahu? Antarkampung. Ini komentator kritis banget. Dia ngenalin pemain nggak cuma namanya. Dia kenal nama sama aibnya. O1: Nomor punggung sepuluh, Zaenudin. Wah, ini bininya tiga nih. 1 O : Nomor punggung duapuluh, Bambang. Ya elah Bambang, cieh abis ketahuan selingkuh. (David, show 6). (84) Saya heran, pembangunan itu selalu dibeda-bedakan, selalu dibeda-bedakan. Padahal, kita ini kan satu Ibu Pertiwi, temanteman, satu Ibu Pertiwi. Saya itu terkadang berpikir itu dengan frasa Ibu Pertiwi. Kalau kita memang satu Ibu Pertiwi begitu, apakah memang dulu itu ada satu seorang perempuan, kemudian melahirkan pulau-pulau di Indonesia kah? (Abdur, show 17). (85) Banyak iklan di Indonesia ini yang memicu kita untuk nonton bola, tapi nggak ada satupun iklan di Indonesia yang memacu kita untuk sholat tahajud. Bener nggak, sih? Iya, nggak? Emang di sini ada yang pernah lihat iklan sholat tahajud gitu? Nggak ada, kan? Seharusnya ada, men, kayak “Extra joss susu jahe untuk menemani sholat tahajudmu”; atau “Kuku bima religi”; atau “Jangan sholat tahajud tanpa kacang garudo”. (Dzawin, show 11).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 110
Wacana (83) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang memadai. Comic mengharapkan agar masyarakat bersikap kritis dalam menentukan pilihan politiknya pada Pileg dan Pilpres 2014. Berikut tuturan kuncinya: Jadilah pemilih yang kritis. Untuk menerangkan tuturan tersebut, lebih lanjut comic memberikan informasi agar masyarakat untuk mencontoh sikap kritis komentator bola antarkampung (tarkam) dalam memperkenalkan para pemain. Berikut tuturan kuncinya: Dia ngenalin pemain nggak cuma namanya. Dia kenal nama sama aibnya. Sikap kritis itu pun ditunjukkan comic melalui tuturan O1. Berkenaan dengan penjelasan di atas, wacana ini juga mematuhi maksim relevansi karena adanya pertalian antarinformasi. Hal tersebut ditandai melalui tuturan kunci Ini komentator kritis banget. Dia ngenalin pemain nggak cuma namanya. Dia kenal nama sama aibnya. Di samping itu, wacana (81) mematuhi maksim cara karena tidak ada tuturan yang taksa dan multiinterpretasi. Wacana ini tidak mematuhi maksim kualitas karena memiliki tuturan yang tidak benar. Hal tersebut ditandai melalui tuturan kunci berikut ini: 1) Dia kenal nama sama aibnya; 2) Wah, ini bininya tiga nih; 3) cieh abis ketahuan selingkuh. Informasi pada tuturan tersebut berhasil memicu tawa penonton karena ketidaklazimannya. Sulit mendapati fakta komentator pertandingan sepak bola antarkampung mengumbar secara langsung di hadapan penonton ihwal aib kehidupan rumah tangga para pesepak bola yang bertanding. Wacana (84) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang diberikan memadai. Adapun pokok persoalan pada wacana ini yakni perihal diskriminasi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan daerah-daerah di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 111
Indonesia, yang ditandai melalui tuturan kunci Saya heran, pembangunan itu selalu dibeda-bedakan, selalu dibeda-bedakan. Lebih lanjut, comic pun menuturkan argumentasi imajinatifnya yang memenuhi pokok pembicaraannya dengan
mempertanyakan
akar
pembedaan
perlakuan
pemerintah
dalam
menjalankan pembangunan, yang ditunjukkan melalui tuturan kunci Padahal, kita ini kan satu Ibu Pertiwi, teman-teman, satu Ibu Pertiwi. Selain itu, melalui pemaparan tersebut, tuturan comic tidak hanya memadai, tetapi juga informasi-informasi yang terkandung di dalamnya saling bersangkutpaut (relevan). Wacana ini juga mematuhi maksim cara karena tuturan yang disampaikan tidak mengandung informasi yang taksa dan multitafsir. Wacana (84) tidak mematuhi maksim kualitas karena mengandung tuturan yang tidak benar. Hal ini ditandai melalui tuturan Saya itu terkadang berpikir itu dengan frasa Ibu Pertiwi. Kalau kita memang satu Ibu Pertiwi begitu, apakah memang dulu itu ada satu seorang perempuan, kemudian melahirkan pulaupulau di Indonesia kah? Terminologi Ibu Pertiwi merupakan ungkapan idiomatis yang bermakna „tanah air‟ atau „tanah tumpah darah‟, bukan sosok seorang perempuan yang bernama Pertiwi yang melahirkan pulau-pulau di Indonesia. Wacana (85) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang diberikan comic memadai. Pokok pembicaraan wacana ini menceritakan tentang keresahan comic terhadap konten iklan komersial di Indonesia yang lebih mempersuasi masyarakatnya untuk menonton tayangan sepak bola daripada beribadah. Berikut ini tuturan kuncinya: Banyak iklan di Indonesia ini yang memicu kita untuk nonton bola, tapi nggak ada satupun iklan di Indonesia yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 112
memacu
kita
untuk
sholat
tahajud.
Lebih
lanjut,
comic
memerikan
argumentasinya agar konsep penayangan iklan minuman energi dan makanan ringan diberi pesan religius, yang ditandai melalui tuturan kunci Extra joss susu jahe untuk menemani sholat tahajudmu, atau Kuku bima religi, atau Jangan sholat tahajud tanpa kacang garudo. Kontribusi tiap informasi pada tuturan ini pun tidak kurang dan tidak lebih. Di samping itu, mengacu pada penjelasan tersebut, wacana di atas memenuhi kaidah maksim relevansi: adanya pertautan setiap informasi dengan pokok pembicaraan yang disampaikan comic. Tuturan-tuturan pada wacana ini juga mematuhi maksim cara karena comic tidak mengungkapkan informasi-informasi yang ambigu. Frasa extra joss susu jahe, kuku bima, dan kacang garudo (yang berhasil menggelakkan penonton) mengacu pada produk-produk minuman berenergi dan kacang yang memiliki nama serupa seperti yang disebutkan comic, kecuali kacang garudo yang dipelesetkan dari nama sebenarnya, yaitu kacang garuda. Wacana (85) tidak mematuhi maksim kualitas karena terkandung tuturantuturan yang tidak benar. Tuturan Extra joss susu jahe untuk menemani sholat tahajudmu, Kuku bima religi, dan Jangan sholat tahajud tanpa kacang garudo memiliki efek humor karena dianggap sebagai tuturan yang keliru dan tidak logis. Produk minuman berenergi seperti extra joss dan kuku bima berfungsi untuk menambah energi bagi yang meminumnya, terutama ketika akan melakukan pekerjaan berat. Demikian juga dengan produk kacang garuda, yang biasanya dimakan saat sedang santai. Produk makanan dan minuman ini pun lazimnya tidak dikonsumsi saat sedang beribadah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 113
3.2.2 Subtipe Ib Subtipe Ib adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Wacana di bawah ini digolongkan ke dalam Subtipe Ib. (86) Dangdut yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan daripada lagu. Teman-teman ada yang tahu lagunya Zaskia? Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang itik. Teman-teman tahu lagunya Inul Daratista? Tidak tahu. Kita tahunya dia goyang ngebor. Teman-teman tahu lagunya Angel Elga? Tidak tahu. Kita tahunya dia mantan Rhoma Irama. (Abdur, show 15). (87) Selain diejek kecil, saya juga sering diejek kurus. Dan orangorang itu melihat orang kurus itu cacingan. Tapi. Betulan, itu salah. Itu pendapat yang salah. Itu pendapat yang salah. Hilangkan. Orang kurus itu ndak cacingan. Orang kurus itu ndak cacingan. Tunggu dulu, kenapa gatal pantatku? (Sri, preshow 1). Wacana (86) mematuhi maksim kuantitas karena alasan berikut. Pokok pembicaraan wacana ini yakni perihal rendahnya musikalitas pedangdut wanita masa kini, yang ditandai melalui tuturan Dangdut yang sekarang itu lebih mementingkan goyangan daripada lagu. Untuk memerikan gagasan pokok di atas, comic lantas memberi argumentasi pendukung ihwal para pedangdut yang lebih dikenal publik karena goyangan dan sensasinya, alih-alih karya musiknya. Wacana (86) juga mematuhi maksim kualitas karena comic menyampaikan tuturan yang benar adanya. Hal ini ditandai melalui tuturan kunci Kita tahunya dia goyang itik, Kita tahunya dia goyang ngebor, dan Kita tahunya dia mantan Rhoma Irama. Jika merunut pada situasi faktualnya, Zaskia Gotik, Inul Daratista, dan Angel Elga memang lebih dikenal publik sebagai seniman dangdut bukan karena ketenaran lagu-lagu yang mereka nyanyikan, melainkan goyangan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 114
kehebohan perihal kehidupan yang mereka jalani. Selain itu, wacana di atas mematuhi maksim cara karena tidak ada satupun tuturan comic yang taksa. Efek humor pada wacana (86) terjadi karena adanya tuturan yang tidak mematuhi maksim relevansi. Hal tersebut ditandai melalui tuturan Teman-teman tahu lagunya Angel Elga? Tidak tahu.Kita tahunya dia mantan Rhoma Irama. Tuturan ini tidak berkaitan dengan pokok pembicaraan comic atau informasiinformasi yang mendahuluinya karena pedangdut yang dimaksudkan comic hanya terbatas pada mereka yang dikenal karena memiliki goyangan khas, bukan karena sensasi hubungannya dengan pedangdut pria. Wacana (87) mematuhi maksim kuantitas karena alasan berikut. Pada wacana tersebut, comic memulai tuturannya dengan mendeskripsikan dirinya: berbadan kecil dan kurus. Menurut comic, banyak orang yang berpandangan bahwa orang kurus (termasuk dirinya) selalu cacingan. Melalui wacana di atas, comic mengkritisi pandangan umum masyarakat yang sering kali mengecap orang kurus sebagai penderita cacingan. Penjelasan tersebut menjadi intisari dari wacana di atas, yang ditunjukkan melalui tuturan kunci berikut: Selain diejek kecil, saya juga sering diejek kurus. Dan orang-orang itu melihat orang kurus itu cacingan. Lebih lanjut, comic memberikan argumentasinya (informasi tambahan) berupa sanggahan atas pandangan umum masyarakat tersebut. Comic berasalan, sebagai orang kurus ia merasa tidak mengalami hal tersebut. Selain itu, melalui penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumbangan informasi-informasi yang disampaikan comic memadai. Tuturan wacana (87) juga mematuhi maksim kualitas, yang ditandai oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 115
tuturan kunci berikut: Dan orang-orang itu melihat orang kurus itu cacingan. Jika merunut pada kenyataan dan kebiasaannya, pada umumnya orang kurus sering kali dianggap menderita cacingan. Wacana tersebut memiliki tuturan yang tidak mematuhi maksim relevansi, yakni ditandai dalam tuturan kunci berikut: Orang kurus itu ndak cacingan. Tunggu dulu, kenapa gatal pantatku? Tidak lama setelah menyatakan dirinya tidak menderita cacingan, comic tiba-tiba memegang pantatnya karena merasa gatal. Salah satu indikasi seseorang cacingan ialah mengalami gatal-gatal pada bagian dubur. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa si comic juga ternyata cacingan. Di situlah letak ketidakrelevansian tuturan tersebut.
3.2.3 Subtipe Ic Subtipe Ic adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara. Wacana berikut tergolong ke dalam subtipe ini. (88) Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Bener nggak sih? Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Contohnya begini. Gua naik bis, gua naik kereta sama adek gua. Tempat duduknya cuma satu. Adik gua duduk, gua berdiri; nggak setara tetapi proporsional karena gua lebih kuat, hitungannya setara. Atau pakai solusi yang kedua, gua duduk, adik gua gua pangku. Ini cewek mintanya kesetaraan gender, tapi giliran di kereta tempat duduk cuma satu gua duduk dia berdiri, ngelihatin gua terus. Ya, nggak gua kasih. Kan setara. Kalau mau, pakai solusi yang kedua: elu gua pangku. Iya, nggak? Kalau elu gua pangku, ya adik gua berdiri. Iya kan? Kalau masih nggak mau juga, ya sudah silakan duduk, tapi elu pangku gua, ya adik gua berdiri lagi. (Dzawin, show 10).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 116
Wacana (88) memiliki tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara. Wacana ini mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh comic memadai. Yang menjadi pokok permasalahan pada wacana di atas yaitu perihal kesalahpahaman atas konsepsi kesetaraan gender oleh kaum perempuan. Hal tersebut terimplikasi melalui tuturan comic yang mempersoalkan keseringan kaum perempuan dalam membicarakan masalah kesetaraan gender serta mempertanyakan esensi dari konsepsi kesetaraan tersebut. Berikut tuturan kuncinya: Lagian kesetaraan gender itu maksudnya apa sih? Setara itu kan artinya sama, padahal sama belum tentu proporsional, belum tentu pas. Untuk mengentaskan keresahannya pada kesalahpahaman tersebut, comic lantas memberikan informasi pendukung berupa ilustrasi praktis dan solusi terkait masalah tersebut. Berikut tuturan kuncinya: Contohnya begini. Gua naik bis…dst. Wacana di atas juga mematuhi maksim relevansi karena pokok pembicaraannya bersangkut paut secara langsung dengan informasi pendukung. Selain itu, wacana ini memiliki tuturan yang mematuhi maksim kualitas. Hal tersebut ditunjukkan melalui tuturan Cewek itu sering banget ngomongin masalah kesetaraan gender. Jika merunut pada konteks riilnya, persoalan kesetaraan gender menjadi salah satu isu aktual dan kontekstual yang masih dan sering kali diperbicarakan dalam berbagai forum perbincangan kaum perempuan. Hal ini tidak terlepas dari maraknya persoalan sosial yang masih mendera kaum perempuan. Tuturan yang menimbulkan efek humor terletak pada ambiguitas frasa adik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 117
gua. Pada awal wacana, frasa adik gua (yang tidak bergaris bawah) bermakna „saudara kandung yang lebih muda‟. Sementara pada akhir wacana, frasa „adik gua‟ (yang bergaris bawah) bermakna „kemaluan laki-laki‟. Saat diikuti oleh kata kerja „berdiri‟, frasa „adik gua‟ tidak saja berarti „saudara mudanya yang berdiri‟, namun bisa juga berarti „kemaluannya berereksi‟. Dengan demikian, tuturan ini tidak mematuhi maksim cara.
3.3 Tuturan yang Mematuhi Dua Maksim, tetapi Tidak Patuh pada Dua Maksim (Tipe II) Tipe ini mencakup lima subtipe, yaitu Subtipe IIa, Subtipe IIb, Subtipe IIc, Subtipe IId, dan Subtipe IIe. Berikut pemaparannya.
3.3.1 Subtipe IIa Subtipe IIa adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim kualitas, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi dan maksim cara. Berikut ini adalah wacana yang termasuk dalam Subtipe IIa. (89) Eh, loe tahu nggak sih, dari sekian banyak makanan nusantara, makanan yang paling enak itu adalah makanan pesantren. Kenapa? Karena makanan pesantren itu bergizi, men, bergizi rendah. Pagi-pagi kita makan nasi, tahu, kerupuk; siang-siang kita makan nasi, tempe, kerupuk; malam-malam kita makan hati, men. Makannya itu-itu mulu. (Dzawin, show 3). Bagian wacana (89) yang mematuhi maksim kuantitas ditunjukkan melalui penjelasan berikut. Pokok pembicaraan wacana ini ihwal minimnya gizi makanan di pesantren, yang ditunjukkan melalui tuturan Karena makanan pesantren itu bergizi, man, bergizi rendah. Lebih lanjut, comic memberi tuturan tambahan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 118
berupa informasi perihal menu makanan di pesantren yang secara implisit menunjukkan bahwa kandungan dan keseimbangan gizi dari pangan-pangan tersebut rendah. Berikut ini tuturan kuncinya Pagi-pagi kita makan nasi, tahu, kerupuk; siang-siang kita makan nasi, tempe, kerupuk; malam-malam kita makan hati, men. Di samping mematuhi maksim kuantitas, kedua tuturan kunci tersebut juga menunjukkan kepatuhan terhadap maksim kualitas. Konteks faktual (fakta keras) perihal persoalan yang diangkat comic dalam wacana ini hanya sebatas pada pengalaman empiris comic selama mengenyam pendidikan di pondok pesantren tersebut, sebagaimana yang dituturkannya pada wacana (89). Sementara itu, bagian wacana (89) yang tidak mematuhi maksim relevansi ditandai dalam tuturan berikut: 1) Eh, loe tahu nggak sih, dari sekian banyak makanan nusantara, makanan yang paling enak itu adalah makanan pesantren; 2) Karena makanan pesantren itu bergizi, man, bergizi rendah. Tuturan ini menerangkan bahwa comic membelokkan harapan penonton yang semula berasumsi bahwa pernyataan comic ihwal makanan pesantren itu enak dan bergizi adalah benar. Akan tetapi, asumsi penonton dipatahkan oleh comic dengan berujar bahwa makanan pesantren ternyata bergizi rendah. Lantas, tuturan ini mengundang tawa penonton. Bagian wacana di atas yang tidak mematuhi maksim cara terdapat pada tuturan malam-malam kita makan hati, men. Tuturan makan hati diasumsikan mengandung dua arti. Pertama, makan hati yang berarti aktivitas mengonsumsi jeroan ati ampela. Kedua, ungkapan idiomatis yang bermakna kecewa, sedih, atau kesal. Adapun yang dimaksudkan comic mengacu pada arti yang kedua.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 119
Sementara itu, penonton bisa saja menafsirkannya pada pengertian yang pertama. Oleh karena ketaksaannya, maka tuturan yang tidak mematuhi maksim cara ini memiliki efek humor.
3.3.2 Subtipe IIb Subtipe IIb adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim cara. Ketiga wacana berikut ini digolongkan ke dalam Subtipe IIb. (90) Emang pemilu suka bikin bingung ya. Partai banyak. Namanya p anu lah, p itu lah. Menurut gua, percuma bang kalau ujungujungnya jadi PHP, Partai Harapan Palsu. (David, show 6). (91) Percuma loe pakai peci-koko-sarung, peci-koko-sarung, tapi giliran pas lagi ceramah di atas panggung, kepala orang dipiting. Percuma. Siapa namanya tuh? Ustad apa? Ustad apa? Ya, Ustad Harajuku. Ini mungkin waktu dia masih di pesantren, tementemennya bangun malam buat sholat tahajud, dia bangun malam buat nonton smackdown. (Dzawin, show 13). (92) Meskipun suara saya cempreng emejing gila, suara saya ini juga menentukan siapa yang bakal duduk di DPR. Dan demokrasi ini berjalan tanpa suara saya itu nggak bakal bisa. Suara rakyat kecil, dalam arti sebenarnya. Dan pemerintah ini cuma janjijanji kosong. Katanya memperjuangkan rakyat kecil. Bohong. Kalau memang memperjuangkan, kenapa sampai sekarang tes CPNS masih menggunakan tinggi badan sebagai syarat utama. Saya kerja apa? (Arif, show 6). Wacana (90) mematuhi maksim kuantitas karena kontribusi informasi yang disampaikan comic terhadap intisari pembicaraan yang disampaikannya mencukupi. Pokok gagasan dari wacana di atas berisi tentang keresahan comic terhadap keberadaan dan peran partai-partai politik di Indonesia bagi masyarakat. Hal itu ditandai dalam tuturan Partai banyak. Lebih lanjut, untuk mendukung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 120
gagasan itu, comic lantas menambah informasi pendukung, yaitu partai-partai politik ini pada kenyataannya tidak memberikan kontribusi bagi masyarakat. Berdasarkan penjelasan tersebut, wacana di atas juga mematuhi maksim relevansi karena pertautan antarinformasi-informasinya tersebut. Wacana (90) tidak mematuhi maksim kualitas karena terkandung informasi yang tidak benar, yaitu pada frasa Partai Harapan Palsu. Faktanya, partai politik tersebut memang tidak pernah ada. Penuturan frasa tersebut dimaksudkan comic sebagai ungkapan metaforis untuk menyindir kinerja partai politik Indonesia yang tidak jarang memberikan harapan palsu kepada masyarakat. Di samping itu, pada wacana ini juga terdapat informasi yang ambigu, yang ditandai dalam ujaran PHP. Berdasarkan pengertian umumnya, kata PHP merupakan singkatan dari istilah Pemberi Harapan Palsu. Untuk menghasilkan gelak tawa penonton, comic pun memberikan makna lain (ganda) pada kata PHP tersebut. Wacana (91) mematuhi maksim kuantitas karena jumlah informasi yang disampaikan comic terhadap pokok pembicaraan yang disampaikannya memadai. Intisari tuturan di atas ihwal kritikan terhadap perilaku banal individu yang agamis. Untuk mendukung informasi tersebut, comic lantas memberikan informasi tambahan berupa contoh salah seorang yang memiliki laku demikian: Ustad Harajuku, serta hal yang melatarbelakangi atau memengaruhi tindakan ustad tersebut. Berdasarakan penjelasan tersebut, informasi-informasi yang dipaparkan comic juga saling bertalian. Dengan demikian, tuturan comic mematuhi maksim relevansi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 121
Pada wacana di atas, terdapat informasi yang tidak mematuhi maksim kualitas, yakni pada tuturan dia bangun malam buat nonton smackdown. Tuturan ini tidak mematuhi maksim kualitas karena hanya merupakan asumsi comic yang bisa saja tanpa berdasarkan fakta, dengan maksud untuk menyindir Ustad Hariri. Sementara itu, tuturan yang tidak mematuhi maksim cara terdapat pada frasa Ustad Harajuku. Nama sebenarnya yang dimaksudkan comic ialah Ustad Hariri, salah seorang ustad yang pernah tersangkut kasus sebagai pelaku kekerasan fisik kepada salah seorang penata suara pada sebuah acara yang diikutinya. Oleh karena itu, efek humor pada tuturan ini terjadi karena beberapa hal: ujaran tersebut menjadi tidak jelas (kabur), tidak diketahui penonton, atau konteks individu yang dimaksud dapat dikenali oleh penonton. Wacana (92) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan oleh comic memadai. Wacana ini mengangkat persoalan lemahnya kinerja anggota DPR dalam memperjuangkan hak rakyat untuk mendapatkan kesempatan kerja. Berikut tuturan kuncinya: pemerintah ini cuma janji-janji kosong. Katanya memperjuangkan rakyat kecil. Bohong. Berkenaan dengan hal tersebut, comic pun memberikan informasi tambahan perihal aturan ukuran tinggi badan sebagai salah satu syarat utama untuk mengikuti tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang ditetapkan oleh pemerintah. Bagi comic, yang juga berukuran tubuh pendek, aturan ini merupakan sikap diskriminasi pemerintah dalam menjamin hak bagi setiap masyarakat Indonesia untuk memperoleh pekerjaan. Berikut tuturan kuncinya: kenapa sampai sekarang tes CPNS masih menggunakan tinggi badan sebagai syarat utama. Di samping itu, berdasarkan ulasan di atas,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 122
hal tersebut juga menunjukkan bahwa wacana ini mematuhi maksim relevansi karena keterkaitan setiap informasi yang disampaikan comic. Adapun bagian wacana yang tidak mematuhi maksim kualitas diungkapkan melalui tuturan kenapa sampai sekarang tes CPNS masih menggunakan tinggi badan sebagai syarat utama. Tuturan tersebut diasumsikan oleh penonton sebagai informasi yang tidak valid, karena pada umumnya aturan tersebut memang jarang ada atau tidak diketahui publik, dan hanya sebagian kecil instansi pemerintah yang memberlakukan aturan tersebut. Sementara itu, ujaran yang tidak mematuhi maksim cara diungkapkan melalui tuturan berikut: 1) Rakyat kecil, dalam arti sebenarnya; 2) Katanya memperjuangkan rakyat kecil. Untuk menciptakan efek humor, frasa rakyat kecil pada kedua tuturan tersebut dibuat taksa oleh comic dengan membiaskannya dari pengertian umumnya „orang yang tingkat sosial ekonominya rendah‟ menjadi „orang yang berukuran tubuh kecil atau pendek‟.
3.3.3 Subtipe IIc Subtipe IIc adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim relevansi. Perhatikan keempat wacana yang tergolong ke dalam Subtipe IIc berikut ini. (93) Saya tuh lagi kesel banget sama orang-orang yang main handphone. Orang zaman sekarang itu lebih senang ngobrol di aplikasi messenger daripada ngomong di kehidupan nyata. Kayak saya itu punya temen-temen saya yang merantau ke mana-mana itu punya grup What‟s Ap. Itu kalau ngobrol di grup What‟s Ap itu seru banget. “Eh, nanti kita kalau ketemu, kita ngobrol bareng, ya. Kita ngopi bareng. Kita berenang di langit.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 123
Tapi kalau pas ketemu langsung, semuanya pada main handphone, What‟s Ap-an gitu kan. (94) Tapi teman-teman, paling tidak enak itu kalau kalian nonton dari tribun timur, karena kalau di tribun barat itu nonton pakai lampu, cahaya terang kelap-kelip di mana-mana, tapi di tribun timur itu masih gelap, listrik tidak ada. Di tribun barat itu dikasih kursi, dikasih sofa, makan enak-enak, tapi di tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Bahkan orang dari tribun barat itu berteriak ke tribun timur, “Woi, kalian yang ada di tribun timur, sabar saja, nanti kami bangun kursi di situ. Kami kasih makan enak.” Tetapi, sampai pertandingan berakhir tidak ada yang datang. (Abdur, show 9). (95) Ini keresahan gua sebenarnya. Gua benci sama acara Dunia dan Lain-lain. Ya, loe tahu lah acara itu ya. Ini gua benci banget. Gua benci. Menurut gua, acara itu ngeselin karena hanya menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani. Harusnya dibikin lebih bermanfaat. Acara uji nyali menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani, cerdas, tangkas, dan ceria. Jadi, bikin acara uji nyali yang berfaedah dan edukatif. Jadi, nanti kalau ada setan gitu nakut-nakutin, jadi berpendidikan. O1: Oi …. O2: Apa rumus pitagoras? Atau, atau misalnya nanti kalau kesurupan ditanya-tanyanya bisa lebih interaktif gitu. O3: Oe…. O4: Namanya siapa, Pak? O3: Joko. O4: Oke, Mbah Joko, apa ibukota Indonesia? O3: Sunda Kelapa. O4: Salah. Jakarta. O3: Eh, waktu saya masih hidup mah namanya Sunda Kelapa. (Coki, show 5). (96) DPR itu tugasnya kan untuk mendengarkan suara rakyat, aspirasi rakyat. Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara rakyat ketika DPR dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi, pakai, naik ke kantor, ke kantor itu pakai Camry. Ya kan? Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di tengah-tengah pasar. Iya. Di pasar itu kan segala macam ada kan? Dari tukang ayam sampai tukang cabe, ayam kampus, cabe-cabean. (Dzawin, show 6).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 124
Wacana (93) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan comic atas pokok pembicaraan yang disampaikannya memadai. Intisari tuturan comic yakni perihal kekesalannya pada perilaku masyarakat pengguna telepon seluler (ponsel) pintar yang lebih gemar berkomunikasi melalui peranti tersebut, alih-alih secara langsung. Berikut ini tuturan kuncinya: Orang zaman sekarang itu lebih senang ngobrol di aplikasi messenger daripada ngomong di kehidupan nyata. Untuk mendukung gagasan ini, comic lantas memberikan argumentasi dan ilustrasi ihwal perilaku komunikasi pengguna ponsel pintar, yaitu ditunjukkan melalui dialog. Wacana (93) mematuhi maksim cara karena penyampaiannya jelas dan terutama tuturan yang bersifat ambigu tidak terdapat di dalam wacana ini, secara khusus pada punch line (tuturan yang bergaris bawah). Tuturan tersebut menimbulkan efek humor semata-mata karena memuat unsur ketidaklogisan dan ketidakrelevansian. O1 meminta jus kepada O2 melalui aplikasi WhatsAap. O2 yang merasa kesal karena O1 memintanya menggunakan aplikasi obrolan elektronik tersebut lantas menyuruhnya untuk memintanya secara langsung, tanpa melalui medium alat komunikasi. Ini tuturan pertama yang tidak mematuhi maksim relevansi. Selanjutnya, O1 pun menanggapi anjuran O2 dengan berbicara langsung kepadanya. Nahasnya, yang diminta O1 dalam percakapan langsung itu bukanlah jus, melainkan menyuruh O2 untuk mengecek aplikasi WhatsAap-nya karena O1 baru saja mengirim pesan yang berisi permintaan jus kepadanya. Tentu yang dimaksudkan O2 bukanlah demikian. Tuturan ini jelas tidak mematuhi prinsip
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 125
maksim relevansi. Tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas tampak pada pernyataan O2 yang menceritakan tentang rencana mereka saat berjumpa: ngobrol bareng, ngopi bareng, dan berenang di langit. Hal ketiga dianggap tidak logis karena lazimnya aktivitas berenang hanya dilakukan di air, bukan di darat maupun di langit. Wacana (94) mematuhi maksim kuantitas karena informasi yang disampaikan comic memberi kontribusi yang memadai terhadap informasi yang lainnya. Wacana ini menceritakan tentang disparitas pembangunan infrastruktur antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Comic mendeskripsikan dikotomi tersebut secara informatif dalam bentuk ilustrasi. Berikut bagian wacana yang menunjukkan pematuhan maksim kuantitas: (1) paling tidak enak itu kalau kalian nonton dari tribun timur; (2) karena kalau di tribun barat itu nonton pakai lampu, cahaya terang kelap-kelip di mana-mana, tapi di tribun timur itu masih gelap, listrik tidak ada; (3) Di tribun barat itu dikasih kursi, dikasih sofa, makan enakenak; (4) di tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Tuturan (2), (3), dan (4) memberikan informasi deksriptif pada tuturan (1) untuk menerangkan informasi perihal situasi yang tidak mengenakkan saat berada di tribun timur akibat penyelenggaraan pembangunan infrastruktur yang cenderung berpusat di tribun barat. Selain itu, pada wacana (94) tidak terdapat tuturan yang ambigu. Penggunaan terminologi dan dikotomi tribun barat dan tribun timur dapat dipahami oleh penonton sebagai analogi dari kesenjangan pembangunan Indonesia Barat dan Indonesia Timur, sebagaimana yang dimaksudkan oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 126
comic. Pemahaman penonton terbangun karena entitas komedi yang dibawakan Abdur pada umumnya berkenaan dengan fenomena persoalan sosial-ekonomi di Indonesia Timur beserta komparasinya dengan Indonesia Barat. Di samping itu, tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas ditunjukkan melalui ujaran berikut: di tribun barat itu nonton pakai lampu..., tapi di tribun timur itu masih gelap, listrik tidak ada. Di tribun barat itu dikasih kursi..., tapi di tribun timur itu masih beralaskan tanah, makan seadanya. Tuturan ini mengimplikasikan fakta kesenjangan pembangunan di Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Jika konteks (implikasi) itu dilepaskan, maka nilai kebenaran dari informasi pada tuturan itu pun hampa, karena faktanya, perbedaan fasilitas pada setiap tribun di stadion tidak semencolok tuturan comic, terutama stadion yang diilustrasikan di atas merupakan milik Arema, yang pada kenyataanya tidak sama seperti yang dideskripsikan comic melalui ilustasi tersebut. Bagian wacana (94) yang tidak mematuhi maksim relevansi terdapat pada tuturan Tetapi, sampai pertandingan berakhir tidak ada yang datang. Ujaran ini berhasil memicu tawa karena disimpangkan dari tuturan sebelumnya serta asumsi penonton. Comic mengawali punch line itu dengan memberikan set up melalui tuturan Woi, kalian yang ada di tribun timur, sabar saja, nanti kami bangun kursi di situ. Kami kasih makan enak. Idealnya, setelah menyampaikan tuturan tersebut, penonton akan berasumsi bahwa comic akan berujar bahwa penghuni tribun barat akan menepati perkataannya, sehingga penghuni tribun timur terbebas dari situasi muskil. Akan tetapi, comic membelokkan harapan penonton. Penghuni tribun barat justru hanya memburas, dan penghuni tribun timur tetap menjalani
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 127
kehidupannya dengan penuh kemalangan. Wacana (95) mematuhi maksim kuantitas. Berikut beberapa tuturan kunci yang menerangkan unsur informatif setiap ujaran yang disampaikan comic: 1) acara itu ngeselin karena hanya menghasilkan pribadi-pribadi yang pemberani; 2) bikin acara uji nyali yang berfaedah dan edukatif. Adapun wacana ini mengungkapkan kritikan comic terhadap acara uji nyali bertajuk (Masih) Dunia Lain (yang dipelesetkan comic menjadi Dunia dan Lain-lain). Keresahan comic ini
terimplikasi
melalui
tuturan
kunci
pertama.
Untuk
menanggulangi
keresahannya pada acara tersebut, comic memberikan ide inovatif bagi acara itu agar dapat memberikan manfaat bagi penonton. Hal tersebut diterangkan pada tuturan kunci kedua. Kehadiran dialog O1, O2, dan O3 juga memberikan kontribusi memadai untuk mengilustrasikan dan menegaskan kebermanfaatan acara (Masih) Dunia Lain jika mengusung nilai-nilai didaktis. Selain mematuhi maksim kuantitas, wacana di atas pun mematuhi maksim cara. Tidak ada satupun tuturan yang mengandung ketaksaan. Meskipun penyebutan nama tayangan Dunia dan Lain-lain dipelesetkan dari nama sebenarnya, konteks tuturan tersebut tetap dapat dipahami oleh penonton, sebagaimana yang dimaksudkan comic, yaitu tayangan uji nyali bertajuk (Masih) Dunia Lain. Sementara itu, bagian wacana (95) yang tidak mematuhi maksim kualitas ditandai melalui tuturan kunci berikut: Jadi, nanti kalau ada setan gitu nakutnakutin, jadi berpendidikan. Ujaran ini dianggap tidak logis dan benar karena pada hakikatnya tayangan ini merupakan sebuah acara uji nyali dengan hal-hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 128
mistis (roh halus). Setiap kontestan uji nyali akan berada di lokasi gelap dan angker sendirian selama semalam hingga dua malam konsekutif. Kontestannya pun sering kali mengalami kerasukan. Pada saat itulah, pakar supranatural yang mendampingi acara ini biasanya menjalin komunikasi dengan kontestan. Nahasnya, ilustrasi ihwal interaksi komunikatif dan edukatif yang disampaikan comic melalui dialog, justru tidak masuk akal. Sulit membayangkan dan mempercayai perstiwa seseorang yang sedang dirasuki dan dikuasai oleh roh halus memberikan ilmu pengetahuan bagi penonton tayangan itu. Selain itu, ujaran pada wacana ini yang tidak mematuhi maksim relevansi ditunjukkan melalui tuturan Sunda Kelapa. Tuturan ini merupakan punch line, Punch line tersebut dibangun oleh set up pada tuturan Oke, Mbah Joko, apa ibukota Indonesia? Pada tuturan yang wajar, setelah comic mengucapkan set up tersebut, penonton berasumsi bahwa jawaban ideal atas pertanyaan tersebut ialah DKI Jakarta. Akan tetapi, untuk menciptakan efek komedi, comic mematahkan harapan penonton dengan mengatakan Sunda Kelapa sebagai ibukota Indonesia. Wacana (96) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang disampaikan memadai. Sisi informatif wacana ini dapat dilihat dari pokok pembicaraan wacana ini, yakni sorotan comic atas rendahnya kinerja anggota DPR dalam mengemban amanah rakyat kecil. Hal ini ditandai melalui tuturan kunci berikut ini: DPR itu tugasnya kan untuk mendengarkan suara rakyat, aspirasi rakyat. Tapi, gimana caranya DPR mendengarkan suara rakyat ketika DPR dihalangi oleh tembok yang begitu tinggi.... Lebih lanjut, comic pun memaparkan opininya berupa solusi bagi anggota dewan untuk dapat memperjuangkan suara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 129
dan nasib masyarakat, yang ditandai melalui tuturan Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di tengah-tengah pasar. Wacana di atas juga mematuhi maksim cara karena comic menyampaikan tuturannya secara jelas, tidak ada tuturan yang memiliki tafsiran ganda. Sementara itu, ujaran yang tidak mematuhi maksim kualitas ditandai melalui tuturan Seharusnya DPR itu bukan diletakkan di Senayan, tapi di tengahtengah pasar. Pendapat comic melalui tuturan tersebut terlalu mengada-ada dan mustahil terjadi karena luasnya cakupan tugas dan fungsi anggota DPR, terlebih kompleksitas persoalan parlemen tidak hanya mencakup pada ranah pasar atau pada level rakyat kecil. Bagian wacana (96) yang tidak mematuhi maksim relevansi terdapat pada tuturan ayam kampus dan cabe-cabean. Kedua tuturan ini merupakan punch line atau tuturan yang memiliki efek humor. Frasa ayam kampus merupakan ungkapan idiomatis yang bermakna „penjaja seks yang berasal dari kalangan mahasiswi‟, dan frasa cabe-cabean bermakna „gadis di bawah umur yang baru menggeluti profesi sebagai pramuria‟. Punch line ini dibangun oleh set up yang terdapat pada tuturan Dari tukang ayam sampai tukang cabe. Ketika comic menyampaikan set up tersebut, penonton akan berasumsi bahwa tuturan berikutnya berupa informasi profesi lainnya yang ada pada ranah pasar tradisional. Namun, comic membelokkan dugaan tersebut dengan melontarkan ujaran ayam kampus, cabecabean. Pada umumnya, keberadaan perempuan yang berasal dari kedua kelompok ini bukan di pasar tradisional, melainkan di tempat-tempat orang mencari hiburan. Dengan demikian, tuturan ini pun berhasil mengundang gelak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 130
tawa penonton.
3.3.4 Subtipe IId Subtipe IId adalah tuturan yang mematuhi maksim kualitas dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim relevansi. Berikut ini wacana yang termasuk dalam Subtipe IId. (97) Caleg. Caleg ini mereka berebut kursi, tapi setelah mereka menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur, dan lebih parahnya lagi yang mimpin rapat udah tahu yang dengerin tidur, rapatnya masih gitu-gitu aja. Ini harusnya dibikin rapat yang lebih meriah. Jadi, begitu masuk ruang rapat: O1: Oke, peserta rapat paripurna, mana suaranya? Yang di sebelah sana, mana suaranya? 2 O : Rghhh (Mendengkur). O1: Yang sebelah, sana mana suaranya? O3: Rghhh (Mendengkur). Akhirnya, O1: Oke, kita mulai rapatnya. Pas dia duduk, tidur. Ini kan sama aja ya? (Coki, show 6). (98) Tapi sebenarnya, jujur, gua kurang suka sama bola, gua kurang suka nonton bola, nggak suka bahkan. Karena kalau menurut gua, bola itu penuh dengan provokasi. Loe lihat kemarin itu ada kasus Materazzi disundul sama Zidane. Itu karena Materazzi memprovokasi Zidane. O1: Eh, Zidane, ibu kamu teroris ya? Zidane masih sabar. O1: Eh, Zidane, adik kamu teroris ya? Zidane masih sabar. O1: Eh, Zidane, Bapak kamu tukang siomay ya? O2: Eh, anjir, gua digombalin. Derrr (menanduk dada O1). (Dzawin, show 15). (99) Kalau menurut gua, kalau menurut gua, cewek cantik itu adalah cewek yang dapat memantaskan dan melindungi dirinya sendiri. Makanya gua suka banget sama cewek-cewek yang berkerudung. Tapi, banyak yang bilang cewek yang berkerudung itu kuno, nggak modern. Eh, kata siapa? Sekarang banyak kok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 131
kerudung-kerudung modern yang udah digaya-gayain. Hijabers kan, yang kerudungnya warna-warni, dikasih bunga, tancepin batang singkong, pohon kelapa. (Dzawin, show 10). Wacana (97) mematuhi maksim kualitas karena comic menyampaikan tuturan yang mengandung kebenaran. Hal ini dapat dilihat dari tuturan kunci berikut: Caleg ini mereka berebut kursi, tapi setelah mereka menang dan duduk di kursi itu, mereka malah tidur. Tuturan kunci tersebut mengimplikasikan fakta kebiasaan tidur anggota DPR saat mengikut rapat. Wacana ini mematuhi maksim cara karena tidak mengandung tuturan yang taksa dan multitafsir. Wacana (97) tidak mematuhi maksim kuantitas karena informasi yang disampaikan berlebihan. Pokok pembicaraan wacana ini membahas kebiasaan tidur anggota DPR saat sidang. Oleh karena keresahan comic pada hal tersebut, ia lantas memberikan ide solutif agar anggota dewan bisa menghentikan tabiatnya itu. Hal tersebut ditunjukkan melalui dialog. Nahasnya, jalan keluar yang disampaikan comic ternyata tidak menyelesaikan persoalan tersebut. Berikut tuturan yang menerangkan hal tersebut: Pas dia duduk, tidur. Ini kan sama aja ya? Alhasil, di samping kuantitas informasi yang berlebih, tuturan itu pun tidak mematuhi maksim relevansi. Wacana (98) memiliki tuturan yang mematuhi maksim kualitas yang ditandai melalui tuturan Loe lihat kemarin itu ada kasus Materazzi disundul sama Zidane.
Itu
karena
Materazzi
memprovokasi
Zidane.
Tuturan
ini
mengimplikasikan salah satu fakta provokasi yang terjadi dalam ranah sepak bola. Wacana di atas juga mematuhi maksim cara karena tidak ada satupun tuturan yang mengandung ketaksaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 132
Sementara itu, bagian wacana (98) yang tidak mematuhi maksim kuantitas dan relevansi secara bersamaan terdapat pada dialog terakhir O1dan O2: “Eh, Zidane, Bapak kamu tukang siomay ya?” “Eh, anjir, gua digombalin. Derrr (menanduk dada O1).” Sumbangan tuturan tersebut tidak informatif dan tidak relevan karena kehadiran kedua bagian wacana tersebut justru berlebihan dan tidak menambah informasi apapun yang relevan dengan tindakan provokasi berupa ucapan berbau SARA O1 kepada O2. Wacana (99) mengandung tuturan yang mematuhi maksim kualitas, yang ditandai dalam tuturan kunci berikut: Sekarang banyak kok kerudung-kerudung modern yang udah digaya-gayain. Hijabers kan, yang kerudungnya warna-warni, dikasih bunga. Tuturan ini mengimplikasikan suatu fakta bahwa model dan desain kerudung telah mengalami transformasi, menyesuaikan diri dengan tren busana masa kini. Wacana ini juga mematuhi maksim cara karena tidak ada satupun tuturan yang mengandung ambiguitas. Bagian wacana (99) yang tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim relevansi ditandai oleh tuturan yang sama: tancepin batang singkong, pohon kelapa. Tuturan tersebut tidak menambah informasi apapun dengan tuturan yang mendahuluinya. Tuturan itu juga tidak relevan dengan tuturan sebelumnya, secara khusus tuturan dikasih bunga. Tuturan ini menjadi set up pamungkas comic untuk membelokkan persepsi dan harapan penonton pada tuturan yang akan disampaikan comic berikutnya. Oleh karena ada unsur “tumbuhan” pada set up (dikasih bunga) tersebut, maka comic lantas memberi dimensi informasi yang mirip pada punch line-nya (tancepin batang singkong, pohon kelapa), yakni sama-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 133
sama memiliki unsur “tumbuhan”. Akan tetapi, baik secara tekstual maupun kontekstual, set up dan punch line ini tidak saling terkait, karena yang menjadi inti wacana di atas ihwal model kerudung kontemporer.
3.3.5 Subtipe IIe Subtipe IIe adalah tuturan yang mematuhi maksim cara dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim kualitas. Perhatikan kedua wacana yang tergolong ke dalam Subtipe IIe di bawah ini. (100) Capres menurut gua yang paling terpenting adalah harus tahu sejarah. Karena kemarin ada capres deklarasi, salah milih tempat sejarah. Dia deklarasi di Rumah Si Pitung. Padahal dia nggak tahu dulu rumah sejarahnya si Pitung gimana. Pak, Pitung mah kagak pernah punya rumah. Lah, seumur hidup dikejar Belande, gimana mau punya rumah, Pak? Entuh rumah yang dirampok Pitung sejarahnye. Ini orang katanya, “Biarin, saya deklarasi di sini, biar menularkan semangat si Pitung.” Semangat ape? Ngerampok? (David, show 17). (101) Menurut gua, kondom itu nggak ada gunanya karena sudah gagal memenuhi fungsinya untuk mencegah pertambahan penduduk. Kenapa bisa gagal? Alasannya simpel: karena iklan kondom ditaroh jam 1 malam. Ini yang mau nonton siapa? Setan? Ini mungkin makanya di zaman modern nggak ada lagi film horor beranak dalam kubur, karena setannya udah pakai kondom. (Coki, pre show 1). Wacana (100) mematuhi maksim relevansi karena setiap informasi di dalam tuturan ini saling terkait. Adapun intisari wacana ini berisi tentang kesalahan salah satu capres pada Pilpres 2014 dalam memilih tempat pendeklarasiannya. Berikut tuturan kuncinya: Capres menurut gua yang paling terpenting adalah harus tahu sejarah. Karena kemarin ada capres deklarasi, salah milih tempat sejarah. Lebih lanjut, comic membeberkan alasannya mengapa ia menganggap capres tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 134
salah dalam memilih tempat deklarasi. Tuturan kuncinya sebagai berikut: Pak, Pitung mah kagak pernah punya rumah. Lah, seumur hidup dikejar Belande, gimana mau punya rumah, Pak? Entuh rumah yang dirampok Pitung sejarahnye. Selain itu, wacana di atas juga mematuhi maksim cara karena tidak ada satupun tuturan yang bersifat ambigu. Bagian wacana (100) yang tidak mematuhi maksim kuantitas ditandai dalam tuturan kunci ini yang juga menjadi punch line-nya: Semangat ape? Ngerampok? Kontribusi tuturan ini dianggap berlebihan karena tidak informatif dan hanya merupakan opini comic yang mempertanyakan (memojokkan) pernyataan capres tersebut yang terdapat pada tuturan berikut: Biarin, saya deklarasi di sini, biar menularkan semangat si Pitung. Sementara itu, tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas terdapat pada bagian wacana berikut: Pitung mah kagak pernah punya rumah. Lah, seumur hidup dikejar Belande, gimana mau punya rumah, Pak? Tuturan ini dapat menghasilkan lebih dari satu interpretasi, yang disebabkan oleh beragamnya versi cerita tentang sejarah hidup Pitung. Tuturan ini bisa jadi menimbulkan efek humor jika diasumsikan bahwa penonton menganggap informasi pada tuturan tersebut tidak benar. Terlepas dari perdebatan kepemilikan Rumah Pitung –apakah itu kediaman asli Pitung atau bukan–, tuturan comic yang mengungkapkan bahwa Pitung sama sekali tidak memiliki rumah (selain Rumah Pitung), dapat menimbulkan keraguan bagi penonton karena dianggap tidak logis. Wacana (101) mematuhi maksim cara karena tuturan yang disampaikan tidak mengandung informasi yang taksa. Wacana di atas juga mematuhi maksim
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 135
relevansi. Pokok pembicaraan wacana ini berisi tentang kritik comic atas kegagalan kondom dalam memenuhi fungsinya sebagai pencegah pertambahan jumlah penduduk. Lebih lanjut, comic pun menerangkan opininya (alasan gagalnya fungsi kondom) yang bertalian dengan masalah pada pokok pembicaraannya. Sementara itu, bagian wacana (101) yang tidak mematuhi maksim kuantitas diterangkan dalam tuturan kunci berikut: Ini yang mau nonton siapa? Setan? Ini mungkin makanya di zaman modern nggak ada lagi film horor beranak dalam kubur, karena setannya udah pakai kondom. Tuturan ini menimbulkan efek humor karena kontribusi informasinya berlebihan. Idealnya, wacana di atas berakhir pada tuturan Karena iklan kondom ditaroh jam 1 malam. Wacana ini juga tidak mematuhi maksim kualitas karena comic menyampaikan informasi yang tidak benar. Melalui imajinasinya, comic beropini atau menduga bahwa iklan kondom yang ditayang pada tengah malam hanya ditonton oleh setan, sehingga kondom lebih banyak dipakai oleh setan-setan tersebut ketimbang manusia. Imbasnya, eskalasi pertumbuhan manusia terus meningkat, sedangkan angka reproduksi setan menjadi berkurang –hal itu tampak pada minimnya keberadaan film horor yang mengisahkan tentang mayat wanita yang beranak di dalam kubur. Secara fungsional dan logika, yang hanya menggunakan kondom adalah manusia dan yang mampu bereproduksi atau berkembang biak adalah manusia, hewan, dan tumbuhan. Dengan demikian, tuturan si comic tidak memiliki nilai kebenaran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 136
3.4 Tuturan yang Mematuhi Satu Maksim, tetapi Tidak Mematuhi Tiga Maksim (Tipe III) Tipe ini mencakup dua subtipe, yaitu Subtipe IIIa dan Subtipe IIIb. Berikut ini adalah penjabarannya.
3.4.1 Subtipe IIIa Subtipe IIIa adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Wacana berikut tergolong dalam Subtipe IIIa. (102) Orang Betawi mah kenal pelem dari layar tancap. Untung penonton layar tancap ini tertib, gelar koran, baris rapi. Kagak kayak nonton dangdut: rusuh. Yang nonton lulusan SSB, Sekolah Senggol Bacok. Senggol dikit berantem. Kita lagi joget enak-enak. Ya elah. O1: (disenggol) Woi...! Anak mana loe? O2: Anak elu! Pulang, Pa! Emak nyariin ono. (David, show 5). Wacana (102) mematuhi maksim kuantitas karena sumbangan informasi yang diberikan memadai. Pokok pembicaraan wacana ini ihwal perbedaan tingkah laku penonton layar tancap dan penonton dangdut. Lebih lanjut, comic memberikan ilustrasi melalui dialog O1 dan O2 untuk menunjukkan perilaku kasar penonton konser dangdut. Wacana ini memiliki tuturan yang tidak mematuhi maksim kualitas, yaitu ditandai dengan tuturan kunci kagak kayak nonton dangdut: rusuh. Yang nonton lulusan SSB, Sekolah Senggol Bacok. Informasi pada tuturan ini tidak valid karena keberadaan Sekolah Senggol Bacok pada kenyataannya tidak pernah ada. Tuturan ini dimaksudkan comic untuk mengimplikasikan kelakuan penonton dangdut agar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 137
mengundang gelak tawa penonton. Selain itu, pada wacana di atas terdapat tuturan yang mengandung informasi yang ambigu, yakni pada kata SSB. Pada umumnya, terminologi ini dipahami sebagai singkatan dari Sekolah Sepak Bola. Namun, untuk menciptakan efek humor, comic menyimpangkan artinya menjadi Sekolah Senggol Bacok. Wacana (102) juga tidak mematuhi maksim relevansi, yakni ditandai melalui tuturan dalam dialog O1 dan O2. Pada saat O1 memarahi dan menanyai O2 karena menyenggolnya, penonton berasumsi bahwa O2 adalah orang lain (orang yang tidak dikenalinya) atau tidak setempat asal dengan O1. Akan tetapi, comic membelokkan asumsi penonton dengan menyebut bahwa O2 adalah anak O1.
3.4.2 Subtipe IIIb Subtipe IIIb adalah tuturan yang mematuhi maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi. Wacana di bawah ini termasuk dalam Subtipe IIIb. (103) Waktu itu saya hampir ikut kontes nyanyi Factor X, tapi nggak jadi. Soalnya yang dinilai bukan suaranya, tapi tampangnya. Lihat aja Mika tuh ya. Mika itu cuma modal tampang cakep. Coba kalo dia nggak cakep, pasti jelek. Pasti komentarnya kayak gini, “Lagu kamu pernah dinyanyiin sama Once, tapi aku lebih suka waktu kamu nyanyiinnya. Feel-nya lebih dapet.” Ini bahaya kalau penontonnya itu kebawa ke kehidupan sehari-hari gitu ya. Ada guru gitu, misal. O1: Fatin, satu tambah satu berapa? O2: Dua, Bu. O1: Kemarin Tuti juga jawab seperti kamu, tapi saya lebih suka, tapi saya lebih suka suka jawaban kamu ya. Feel-nya lebih dapet. (Beni, show 1).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 138
Wacana (103) tidak memiliki tuturan yang bersifat ambigu. Adapun namanama penyanyi, seperti Mika, Once, dan Fatin, yang disebutkan pada wacana ini, diucapkan secara jelas (tanpa dipelesetkan) oleh comic. Lain halnya dengan ujaran Factor X. Tuturan ini dipelesetkan comic dari nama sebenarnya X Factor –salah satu ajang pencarian bakat dalam bidang tarik suara, yang tayang di stasiun RCTI–, tetapi tidak menimbulkan ambiguitas. Bagian wacana (103) yang tidak mematuhi maksim kuantitas ditandai dalam tuturan kalo dia nggak cakep, pasti jelek. Keberadaan tuturan pasti jelek berlebihan dan tidak menambah informasi apapun dari tuturan sebelumnya. Frasa nggak cakep merupakan parafrasa dari kata jelek. Dengan demikian, kedua tuturan tersebut memiliki dimensi makna yang sama. Adapun tuturan yang tidak mematuhi masim kualitas ditandai pada ujaran Kemarin Tuti juga jawab seperti kamu, tapi saya lebih suka, tapi saya lebih suka suka jawaban kamu ya. Feel-nya lebih dapet. Tuturan tersebut dinilai tidak logis dan tidak benar, karena pada kenyataannya penilaian yang diberikan oleh guru atas jawaban siswa tidak berdasarkan pada nilai rasa yang didapatkannya saat siswa menjawab pertanyaannya, melainkan karena nilai kebenarannya. Sementara itu, tuturan yang tidak mematuhi maksim relevansi terdapat pada tuturan Coba kalo dia nggak cakep –bagian set up– dan tuturan pasti jelek – yang menjadi punch line. Idealnya, setelah comic melontarkan set up ini, penonton akan berasumsi bahwa jika Mika, kontestan bertampang rupawan di X Factor, diandaikan berburuk rupa, maka keberadaannya pada kontes tersebut tidak akan pernah ada, karena menurut opini comic ajang kontes bernyanyi ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 139
hanya diperuntukkan bagi individu yang memiliki tampang menarik. Akan tetapi, comic membiaskan asumsi tersebut dengan memberi punch line yang tidak koheren dengan harapan penonton.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 140
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Penelitian bertajuk “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik” ini membahas dua masalah, yaitu: (1) sasaran kritik dan hal yang dikritik dalam WHKS SUCI 4; (2) kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama. Berdasarkan pembahasan pada Bab II dan Bab III, diperoleh hasil sebagai berikut. Pertama, pihak yang dikritik adalah: (a) Pemerintah, dengan hal yang dikritik: (i) kebijakan diskriminatif; (ii) kinerja; (iii) kegagalan penegakan aturan. (b) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dengan hal yang dikritik: (i) kinerja; (ii) kebiasaan tidur saat rapat; (iii) korupsi. (c) Anggota organisasi kemasyarakatan Islam, dengan hal yang dikritik: (i) sikap munafik; (ii) sikap intoleransi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 141
(d) Perempuan Indonesia, dengan hal yang dikritik: (i) kesalahpahaman atas konsepsi kesetaraan gender; (ii) profesi; (iii) kecemburuan yang berlebihan; (iv) kesadaran wanita muslim untuk berkerudung. (e) Pertelevisian Indonesia, dengan hal yang dikritik: (i) kualitas program; (ii) jam tayang iklan; (iii) diskriminasi peran keaktoran. (f) Pedangdut wanita, dengan hal yang dikritik: (i) musikalitas. (g) Orangtua, dengan hal yang dikritik: (i) pola asuh terhadap anak. (h) Masyarakat lokal, dengan hal yang dikritik: (i) sikap apatis pemuda Betawi pada tanjidor; (ii) kesadaran masyarakat Jakarta dalam penanganan banjir; (iii) perilaku penonton dangdut; (iv) tingkah laku pelajar Bintaro; (v) stigma masyarakat terhadap orang kurus. (i) Masyarakat luas, dengan hal yang dikritik: (i) sikap politik dalam Pemilihan Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014; (ii) minimnya penghargaan terhadap dokter; (iii) sikap individualistis akibat penggunaan handphone;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 142
(j) Persepakbolaan, dengan hal yang dikritik: (i) kualitas permainan timnas sepak bola; (ii) kualitas wasit Indonesia; (iii) tindakan provokasi. (k) Institusi pendidikan, dengan hal yang dikritik: (i) ketiadaan pembelajaran sasando; (ii) pelaksanaan masa orientasi siswa; (iii) kualitas gizi di pondok pesantren. (l) Tokoh, dengan hal yang dikritik: (i) pemilihan tempat pendeklarasian sebagai capres; (ii) tindakan kekerasan fisik Ustad Hariri. Kedua, perihal dengan penciptaan humor, kepatuhan dan ketakpatuhan tuturan dalam WHKS SUCI 4 pada prinsip kerja sama terdiri dari tiga tipe utama. (a) Tuturan yang mematuhi tiga maksim, tetapi tidak mematuhi satu maksim (Tipe I). Tipe ini mencakup: (i) Subtipe Ia, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas; (ii) Subtipe Ib, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. (iii) Subtipe Ic, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim cara. (b) Tuturan yang mematuhi dua maksim, tetapi tidak mematuhi dua maksim (Tipe II) . Tipe ini mencakup:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 143
(i) Subtipe IIa, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim kualitas, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi dan maksim cara; (ii) Subtipe IIb, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim cara; (iii) Subtipe IIc, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas dan maksim relevansi; (iv) Subtipe IId, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kualitas dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim relevansi; (v) Subtipe IIe, yaitu tuturan yang mematuhi maksim cara dan maksim relevansi, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas dan maksim kualitas. (c) Tuturan yang mematuhi satu maksim, tetapi tidak mematuhi tiga maksim (Tipe III). Tipe ini mencakup: (i) Subtipe IIIa, yaitu tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara; (ii) Subtipe IIIb, yaitu tuturan yang mematuhi maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim relevansi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 144
4.2 Saran Penelitian ini berjudul “Wacana Humor Kritik Sosial dalam Stand Up Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV: Tinjauan Pragmatik”. Sebelum penelitian ini dilakukan, telah ditemukan sekurang-kurangnya dua penelitian terkait wacana humor SUCI 4 (lihat tinjauan pustaka). Berdasarkan hasil penelitian ini maupun kedua penelitian tersebut, hal yang dapat dikaji untuk penelitian selanjutnya perihal wacana SUCI 4 yaitu proses penciptaan wacana humor SUCI 4 berdasarkan kepatuhan dan ketakpatuhan tuturannya pada prinsip kesopanan Leech. Selain mengkaji wacana humor SUCI 4, peneliti selanjutnya pun dapat mengkaji berbagai pertunjukan SUC termutakhir, seperti Stand Up Comedy Acadamy (SUCA 1) di Indosiar dan Stand Up Comedy Indonesia Season 5 (SUCI 5) serta Stand Up Comedy Indonesia Season 6 (SUCI 6) yang masing-masing tayang di Kompas TV. Hal ini sangat memungkinkan bagi peneliti lain karena maraknya fenomena tuturan di dalam wacana SUC yang terbilang unik atau berbeda dari tuturan pada umumnya. Dengan demikian, kajian linguistis terhadap wacana SUC pun dapat terus berlanjut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 145
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Baryadi, I. Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli. _________________. 2015. Teori-teori Linguistik Pascastruktural Memasuki Abad ke-21. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Budiardjo, Miriam dan Ibrahim Ambong (Editors). 1993. Fungsi Legislatif dalam Sistem Politik Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada Cahyaprasetya, Vicky Puri. 2015. “Pelanggaran Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Kesopanan dalam Acara Tatap Mata Trans 7 sebagai Wahana Menciptakan Humor Verbal Lisan”. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dean, Greg. 2012. Step by Step To Stand-Up Comedy. Jakarta: Bukune. Fadilah, Emy Rizka. 2015. “Humor dalam Wacana Stand-Up Comedy Indonesia Season 4 di Kompas TV”. Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Grice, H.P. 1975. “Logic and Conversation”. Dalam Syntax and Semantics: Speech Act 3. New York: Academic Press. Halaman 41-58. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kwant. 1975. Manusia dan Kritik. Yogyakarta: Kanisius. Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London and New York: Longman Press. Sari, Chyndy Febrinda. 2012. “Humor dalam Stand Up Comedy oleh Raditya Dika: Kajian Tindak Tutur, Jenis, dan Fungsi”. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya. Shadily, Hassan. 1993. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Subagyo, Paulus Ari. 2012. “Bingkai dalam Wacana Tajuk Tentang Terorisme:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 146
Kajian Pragmatik Kritis atas Editorial Suara Pembaruan dan Republika”. Disertasi pada Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sudarsono, Sony Christian. 2013. “Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural, Pragmatis, dan Kultural”. Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakrta: Sanata Dharma University Press. Sugono, Dendy, dkk (eds.). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tim
Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan: Paradigma Terbaru untuk Mahasiswa. Bandung: Alfabeta.
Wati, Desy Winda. 2013. “Kajian Prinsip Kerja Sama terhadap Pertunjukan Stand Up Comedy Show di Metro TV”. Skripsi pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Malang. Wijana, I Dewa Putu. 2004. Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa. Yogyakarta: Ombak. Wijayanti, Asri. 2015. “Analisis Wacana Stand Up Comedy Indonesia Session 4 Kompas TV”. Tesis pada Program Studi Linguistik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 147
PUSTAKA LAMAN Anshari, Dian Fath Risalah El. 2014. “Deklarasi di Rumah Si Pitung Jokowi Harus Minta Maaf”. Stable URL: http://nasional.kompas.com/read/2014/ 03/22/1010023/Deklarasi.di.Rumah.Si.Pitung.Jokowi.Harus.Minta.Maaf. Diunduh pada 19/3/2016, 12.10. Arif, Ahmad. 2013. “Bagi Jakarta Banjir Seolah Menjadi Takdir”. Stable URL: http://sains.kompas.com/read/2013/01/18/09141229/Bagi.Jakarta.Banjir. Seolah.Menjadi.Takdir. Diunduh pada 12/3/2016, 09.10. Asikin, Zainal. 2014. “Gembong Komplotan Begal Bersenpi”. Stable URL: http://www.teraslampung.com/2014/09/gembong-komplotan-begalbersenpi.html. Diunduh pada 12/3/2016, 09.15. Auliani, Palupi Annisa. 2015. “Mau Tahu Hasil Riset Google soal Penggunaan Smartphone di Indonesia”. Stable URL: http://tekno.kompas.com/read/ 2015/11/19/23084827/Mau.Tahu.Hasil.Riset.Google.soal.Penggunaan. Smartphone.di.Indonesia. Diunduh pada 12/3/2016, 09.30. “Dangdut,” Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Dangdut. Diunduh pada 1/3/2016, 11.40 Djumena, Erlangga. 2015. “Turun, Jumlah Penduduk Miskin Capai 27,7 Juta Orang”. Stable URL: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/01/03/ 070700226/Turun.Jumlah.Penduduk.Miskin.Capai.27.7.Juta.Orang. Diunduh pada 12/3/2016, 11.00. Gatra, Sandro. 2013. “Survei Insis Publik Makin Tak Puas pada Kinerja DPR”. Stable URL: http://nasional.kompas.com/read/2013/09/29/1224051/Survei. Insis.Publik.Makin.Tak.Puas.pada.Kinerja.DPR. Diunduh pada 12/3/2016. 11.30. Maharani, Dian. 2015. “Jenis Kecerdasan Anak dan Cara Mengembangkannya”. Stable URL: http://health.kompas.com/read/2015/10/03/174041923/8.Jenis. Kecerdasan.Anak.dan.Cara.Mengembangkannya. Diunduh pada 15/3/2016, 16.20. Mulia, Prima. 2016. “Tiap Tahun Penduduk Indonesia Bertambah 3 Juta Orang”. Stable URL: https://m.tempo.co/read/news/2016/01/14/173736151/tiaptahun-penduduk-indonesia-bertambah-3-juta-orang. Diunduh pada 15/3/2016, 16.30. “Organisasi Massa,” Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/ Organisasi massa. Diunduh pada 1/3/2016, 11.15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 148
“Pelawak Tunggal,” Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/ pelawak_tunggal. Diunduh: 9/2/2016, 11.00. “Penduduk Indonesia Tambah 3,5 Juta Jiwa Per Tahun,” Stable URL: http://nasional.kompas.com/read/2011/07/13/2024416/Penduduk.Indo. Tambah.3.5.Juta.Jiwa.Per.Tahun. Diunduh pada 15/3/16, 16.40 Rastika, Icha. 2014. “Tahun 2035 Proyeksi Jumlah Penduduk Indonesia 305 Juta Jiwa”. Stable URL: http://nasional.kompas.com/read/2014/01/29/1643028/ Tahun.2035.Proyeksi.Jumlah.Penduduk.Indonesia.305.Juta.Jiwa. Diunduh pada 15/3/2016, 17.00. Rusli, Andi. 2014. “Anas dan 466 Politikus yang Dijerat Kasus Korupsi”. Stable URL: https://m.tempo.co/read/news/2014/09/23/ 063609068/anas-dan-466politikus-yang-dijerat-kasus-korupsi. Diunduh pada 16/3/16, 08.15. “Rusuh Konser Dangdut,” Stable URL: http://tv.detik.com/readvideo/2012/08/ 28/092238/120828019/080609680/rusuh-konser-dangdut. Diunduh pada 17/3/2016, 12.15. Sukamto, Imam. 2013. “Lagi, Hasil Survei Kinerja DPR Buruk”. Stable URL: http://nasional.tempo.co/read/news/2013/10/20/078523131/lagi-hasil-survei kinerja-dpr-buruk. Diunduh pada 17/3/2016, 10.25. Suryowati, Estu. 2015. “Desa di Indonesia Masih Tertinggal”. Stable URL: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/10/20/141445026/20.168. Desa.di.Indonesia.Masih.Tertinggal. Diunduh pada 17/3/2016, 11.10. Syatiri, Ana Shofiana. 2013. “Tukang Parkir Beri Garansi Pentil Ban yang Dicabut”. Stable URL: http://nasional.kompas.com/read/2013/09/24/ 0842289/Tukang.Parkir.Beri.Garansi.Pentil.Ban.yang.Dicabut..Diunduh pada 17/3/2016, 11.40. “Tanjidor,” Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Tanjidor. Diunduh pada 1/3/2016, 11.50 Utama, Praga. 2014. “Video Ustad Hariri di Youtube Bikin Geger”. Stable URL: http://m.tempo.co/read/news/2014/02/13/058553740/Video-Ustad-Hariri-diYoutube-Bikin-Geger. Diunduh pada 19/3/16, 12.30.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 149
LAMPIRAN KEPATUHAN DAN KETAKPATUHAN TUTURAN DALAM WACANA HUMOR KRITIK SOSIAL SUCI 4
1. Subtipe Ia Subtipe Ia adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim kualitas. Wacanawacana berikut ini dikelompokkan ke dalam Subtipe Ia. (104) Teman-teman, di sini ada yang tahu Rokatenda? Tidak ada. Inilah suara minor yang mau saya bawa malam ini. Teman-teman, Rokatenda adalah gunung berapi di Pulau Flores. Dia meletus dari bulan Oktober 2012 sampai Desember 2013. Empatbelas bulan, empatbelas bulan. Bahkan dari pertama kali dia meletus sampai dia ulang tahun yang pertama, tiup-tiup lilin, tidak ada kado yang datang, tidak ada. Wajar kalau teman-teman tidak tahu karena memang berita Rokatenda meletus pada waktu itu, itu tertutup oleh berita banjir Jakarta. Bahkan berita banjir Jakarta itu diarahkan menjadi bencana nasional karena merugikan negara hampir duapuluh triliun. Rokatenda selama empatbelas bulan meletus itu negara cuma rugi seribu rupiah. Iya, dua koin lima ratus untuk tutup telinga. (Abdur, show 1). (105) Orangtua sekarang itu masih banyak yang berpikir bahwa anak yang cerdas adalah anak yang pintar matematika, sedangkan anak yang pintar di bidang lain itu enggak dibilang cerdas. Sekarang gini, untuk orang-orang yang tidak mencintai matematika, buat apa loe belajar matematika terlalu dalam. Ingat, men, loe belajar matematika dari SD sampai SMA persamaan linear dua variabel enggak kepakai pas loe lagi beli siomay. Ya kan? Ya kali gitu beli siomay. O1: Bang, beli siomay. Bang, kalau siomay 1, tahunya 3 kan tiga ribu. Kalau siomay 2, tahunya 5 kan lima ribu. Berapakah harga satu siomay? Ya, enggak gitu, kan? (Dzawin, show 8). (106) Biasa ke kantor pakai Camry, ini jalan kaki. Pas lagi jalan ketemu preman. Tapi, nggak akan dipalak. Ya, kali preman pasar malak preman negara? Loe tahu kan preman pasar itu. O1: Woi, siapa loe?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 150
O2: Tukang daging, bang. O1: Duit, duit! O1: Woi, siapa loe? O2: Anggota dewan. O1: Duit. O2: Kenapa, kok saya nggak jadi dipalak. O1: Maaf nih ya, Pak. Saya preman biasa malak duit halal. Kalau saya malak Bapak, dosanya dobel. (Dzawin, show 6). (107) Di sini ada yang tahu tanjidor? Tanjidor itu musik asli Betawi sejak tahun 1918. Nggak cuma musiknya yang tua, pemainnya juga. Ini anak mudanya pada kemane? Loe kagak cukup naroh aki-aki buat adzan subuh? Ini aki-aki kasihan. Pagi adzan subuh, siang main tanjidor, ini Maghrib masih hidup sujud syukur. (David, show 2). (108) (Lagu: Buang sampah ke dalem kali. Kalo banjir, setenge mati). Stop. Banjir setenge mati. Jakarta banjir salah siapa? Salah kite. Tempat air loe tempatin. Zaman dulu Pitung bisa jalan di air itu sakti. Salah. Pitung visioner. Zaman sekarang nemu orang jalan di air mah banyak. Saban banjir kita jalan di air. Saktian kita ama Pitung. Jalan di airnya rutin setahun sekali. (David, show 14). (109) Selain jadi comic, gua juga seneng sepak bola. Di sini ada fans Barcelona? Gua kasih tahu, Barcelona ini memiliki taktik yang nggak dimiliki sama klub-klub lain: tiki-taka. Tiki-taka ini permainan dari kaki ke kaki, dari Xavi ke Iniesta, Iniesta ke Messi, gol. Keren kan. Dan, sebenarnya Indonesia memiliki taktik juga, tapi nggak dimiliki sama negara-negara lain: teka-teki. Karena dia nggak bakal tahu ngoper ke mana. (Pras Teguh, pre show 1). (110) Tapi, emang menurut gua, wasit itu harus tegas. Loe lihat di Piala Dunia, kalau ngasih kartu kuning ya ngasih aja. Wasit Indonesia ragu-ragu. Pelanggaran: O1: Hei! Aduh kasih nggak ya? Kasih nggak ya? O2: Apa, kartu? O1: Ha? Enggak, gatel. (Pras Teguh, show 15). (111) Lampung itu banyak begal. Kalau orang naik motor sendirian, apalagi kalau di jalan sepi, udah itu. Berharap aja di rumah punya nyawa cadangan, karena pasti dibegal. Iya. Orang mau ke pasar aja kebegal. Bahkan mau ke warung aja kebegal. Orang mau ngebegal, dibegal. Karena begal itu suka nyari tempat sepi; bawa golok nungguin orang datang. Tiba-tiba di belakangnya ada begal, bawa pistol, todong.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 151
O1: Oi, sini motor kamu. O2: Oi, saya ini begal. Kok kamu begal? Saya ini bawa golok saya ini. 1 O : Woi, saya bawa pistol. O2: Senjata kamu lebih canggih rupanya. Ya udahlah, ambil motor saya. Udahnya, dia nelpon polisi kan. O2: Pak, tolong Pak. Ini motor saya dibegal Pak. O3: Oh iya, tunggu, Dek. Saya juga lagi dibegal ini. (Wendi, pre show 2).
2. Subtipe Ib Subtipe Ib adalah tuturan yang mematuhi maksim kuantitas, maksim kualitas, dan maksim cara, tetapi tidak mematuhi maksim relevansi. Wacana di bawah ini digolongkan ke dalam Subtipe IIb.
(112) Betawi mah mohon maaf, bukannya kita nggak mau dandan. Lakibini di rumah sering berantem gara-gara dandan. Coba, lakinya tadinya kagak rapi, rapi sedikit bininya nyap-nyap. O1: Kampung mane yang baru ade jande? Nyisir sedikit, bininya nyap-nyap, nyanyi. O1: Biasanya tak pakai minyak wangi. Lakinya marah. O2: Eh, loe nyanyi kagak joget. Joget dong. Biasanya tak pakai minyak wangi. (David, show 13). (113) Gua resah banget, resah banget. Sebagai anak muda yang religius, gua resah, sampai gua bela-belain survei tuh tempat. Survei, serius gua survei. Gua masuk ke dalem ditawarin pakai foto. O1: Mau yang mana, Mas? O2: Yang ini ajalah. Kite masuk ke dalam kamar. Asyik nih. Jablaynya masuk. O3: Bang. O2: Iye. O3: Mau mulai dari mana? O2: Aduh, mulai dari mana. Neng muslim? O3: Iya, Bang. O2: Ya udah, kita mulai dari surat Al-Isra ayat 32. Wa la taqrabuz zina. Janganlah kau mendekati zinah. Ya Allah, tuh jablay bengong. Lima menit dia cabut. O2: Eh, mau ke mana, loe? O3: Ambil mukenah. (David, show 17).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 152
(114) Sampai sekarang masih banyak orangtua yang berpikir, anak yang mendalami hobinya itu, itu nggak baik, orangtua nggak senang. Karena banyak orangtua sekarang berpikir bahwa anak SD lebih baik pintar matematika, anak SMP pintar fisika dasar, anak SMA pintar kimia, mahasiswa pintar dialektika. Kalau semua orang beranggapan seperti itu, terus bidang-bidang lain siapa yang mau ngisi? Siapa yang mau ngisi? Ya, diisi sama anak yang dulunya dianggap bodoh di sekolah yang bahkan nggak naik kelas dua kali: Pras Teguh. Bidang lain mau diisi sama siapa? Anak pinggiran, anak Betawi pinggiran yang dulunya tukang ojek? Yang kalau omong apa-apa nyai, apa-apa nyai. Bidang lain mau diisi sama siapa? Sama anak pesisir timur yang datang ke Malang buat belajar, dan ketika datang ke Jakarta, masuk hotel ngelihat air langsung teriak, “Eh, Dzawin, Dzawin, sumber air su dekat.” Ya kan? Dan bidang lain mau diisi sama siapa? Bidang lain diisi sama anak pesantren yang dulunya hanya bisa dianggap hanya bisa ngaji dan ceramah, padahal nggak bisa dua-duanya. (Dzawin, show 15). (115) Menurut gua mah, ormas berani kalau rame-rame. Sendiri mah belom tentu. Kita tempatin, Pak, ormas di tempat prostitusi. Ramerame dia sweeping, Pak. Kemarin gua temuin ormas sendiri, Pak. Pakai peci, pakai sticklight. Bener, ada mobil mewah mau masuk, dia setopin. O1: Stop! Ya, kiri dikit, Pak. Kanan, kanan, mundur dikit. (David, show 1) (116) Tapi gitu, gue ngelihat tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia kurang dihargai. Yang klise aja nih ya, misalnya habis operasi, “Bapak, operasinya berhasil.” “Terima kasih, Tuhan.” Tapi, kalau kejadiannya lain. “Bapak, kami telah berusaha, tapi anak Bapak tidak bisa selamat dalam operasi ini.” “Dokter melakukan malpraktek! Dokter melakukan malpraktek!” Tuh. Kalau berhasil, yang diterimkasihin Tuhan; kalau gagal yang disalahi dokter. Mungkin orang-orang lupa, tangan Tuhan bekerja lewat siapa. Maradona, tangan Tuhan. (Liant, show 6). (117) Sebenarnya malam hari ini tuh saya kepingin sekali berada di panggung ini, kemudian bawa sasando, alat musik asli NTT begitu. Cuma apa daya, saya tidak bisa main sasando. Teman-teman, di NTT sekalipun belajar sasando itu tidak masuk dalam kurikulum. Tidak masuk. Sedikit lagi masuk museum itu. Saya takutnya, ini lamakelamaan sasando itu hanya bisa tinggal cerita. Saya punya anak begitu, kemudian saya punya anak datang, tanya ke saya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 153
O1: Bapa, katanya sasando itu alat musik NTT. Itu dia pung cara main bagaimana e? O2: Ah, dia punya cara main itu, anak, ya begitu. O1: Ya begitu bagaimana? O2: Ya, begitu. Ya, kalau gitar kan begini (sambil memetik gitar). Nah, gitar begini. Nah, sasando begitu. O2: Ah, sudah anak. Tidak usah pikir. Mari kita minum tuak saja.(Abdur, show 14). (118) Tapi, kalau loe sadar ya, kalau loe sadari, sebenarnya MOS itu bukan ajang untuk perkenalan sekolah, tapi dipakai sama senior-senior ini dipakai untuk ajang obral cinta, tebar pesona, modus. Iya. Kan kalau kita disuruh pakai aksesoris kalau aksesorisnya nggak lengkap itu kita dihukum ya. Coba kalau yang dihukum itu cewek, cantik, terus hidung mancung, kayak Nabila gitu lah, eh Nadia, kayak Nadia gitu, ya kan. O1: O2: O1: O2: O1:
Eh, kamu. Kenapa aksesoris kamu enggak lengkap? Maaf, Kak, tadi ketinggalan. Enggak ada alesan. Kamu harus dihukum! Hukumannya apa, Kak? Nanti kakak kasih tahu lewat SMS. Mana nomor kamu? (Dzawin, show 7).
(119) Kalau menurut gua fungsi dari pakaian, fungsi dari pakaian, fungsi dari fesyen itu ada dua: yang pertama visual, yang kedua fungsional. Enak dilihat dan bisa merepresentasikan sikap. Percuma pakai pecikoko-sarung, peci-koko-sarung, tapi pas giliran puasa ada warteg masih digerebek. Ya kan? Padahal udah ditirai. Padahal udah ditirai, masih digerebek. Kan kasihan. Gua belum kenyang. (Dzawin, show 13). (120) Saya itu selalu bingung. Kita itu selalu bingung kalau pemilihan. Kita selalu bingung memikirkan caleg. Padahal caleg tidak pernah bingung memikirkan kita. Caleg tidak pernah bingung memikirkan kita. Padahal seperti ini. Mereka juga tidak mengingat kita. Maksud saya, ingatlah kita, ingat kita, apalagi kalau kalian sudah korupsi. Ingat, bagi-bagi hasil korupsi. Dan begini, kalau misalnya. Tapi, jangan kalian pilih caleg yang seperti itu. Itu tidak baik. Yang harus kalian pilih itu caleg yang jujur. Jujur kalau butuh uang rakyat. (Sri, show 6). (121) Teman-teman, teman-teman tahu gedung Kementerian Desa Tertinggal itu ada di mana? Ada di Jakarta. Fungsinya apa? Itu sama seperti kita buat orang-orangan sawah taruh di laut. Buat apa? Mau usir paus pakai orang-orangan sawah, hah? Maksud saya, tempatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 154
segala sesuatu itu berdasarkan fungsinya. Kementerian Desa Tertinggal ya taruh di desa tertinggal begitu. Taruh di desa tertinggal. Kalau taruh di Jakarta, tiap pagi dia bangun buka jendela, begitu. Dia buka. O1: Wah, bangunan sudah banyak, gedung sudah banyak. Wah, Indonesia sudah maju. Kalau taruh di desa tertinggal, begitu buka jendela. O1: Hei, ini jendela di mana ini? Saking tertinggalnya, jendela saja tidak ada. Mungkin itu karena namanya Kementerian Desa Tertinggal, jadi menterinya di sini, desanya ditinggal. (Abdur, show 17).