perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
WACANA DALAM PERPUISIAN ABDUL WACHID B.S. TESIS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Gelar Magister Program Studi Kajian Budaya Minat Utama: Sastra
oleh Arif Hidayat S701008002
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
WACANA DALAM PERPUISIAN ABDUL WACHID B.S. TESIS
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Meraih Gelar Magister Program Studi Kajian Budaya Minat Utama: Sastra
oleh Arif Hidayat S701008002
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
WACANA DALAM PERPUISIAN ABDUL WACHID B.S.
oleh Arif Hidayat S701008002
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing :
Jabatan
Nama
Tanda tangan
Tanggal
…………… ……….....
Pembimbing I Prof. Dr. Soediro Satoto NIP. 130516319
Pembimbing II Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop.Arch …………… …………. NIP.19680609 199402 1 001
Mengetahui, Ketua Program Studi Kajian Budaya
Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum. NIP. 19640918 198903 1 001 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Judul
WACANA DALAM PERPUISIAN ABDUL WACHID B.S.
oleh Arif Hidayat S701008002 Telah Disetujui dan Disahkan oleh Tim Penguji: Jabatan
Nama
Tanda tangan Tanggal
Ketua
Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum. NIP. 19640918 198903 1 001
…………… …………
Sekretaris
Dr. Nooryan Bahari, M.Sn. NIP. 19650220 199003 1 001
…………… …………
…………… ……….....
Pembimbing I Prof. Dr. Soediro Satoto NIP. 130516319
Pembimbing II Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop.Arch …………… …………. NIP.19680609 199402 1 001 Mengetahui, Direktur Program Pascasarjana
Ketua Program Studi Kajian Budaya
Prof. Ir. Dr. Ahmad Yunus, M.S. NIP. 19610717 198601 1 001
Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum. NIP. 19640918 198903 1 001
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Arif Hidayat NIM
: S701008002
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul “Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S.” adalah betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam tesis ini, diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar akademik yang saya peroleh.
Surakarta, 7 Juni 2012 Peneliti,
Arif Hidayat S701008002
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Tesis ini peneliti persembahkan kepada: 1. Bapak dan Ibu tercinta sebagai rasa hormat, bakti dan terima kasih untuk segalanya yang telah diberikan; 2. Adikku tercinta yang memberikan semangat dan kritikan; dan 3. Orang-orang yang memberikan motivasi untuk selalu berproses kreatif.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
1. Belajarlah untuk melihat gelap dan terang di sekitarmu agar keseimbangan dan keadilan tercipta dari batin ketika menemukan rahasia tersembunyi. 2. Kehidupan manusia selalu dijajah oleh pengetahuannya sendiri dan pengetahuan dapat tersembunyi di mana pun. Seluruh kehidupan ini berisikan pengetahuan. 3.
Sebagian kecil dari rahasia Tuhan telah terpampang luas di alam semesta, tapi rahasia Tuhan yang besar masih tersembunyi dalam diri-Nya.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Arif Hidayat, S701008002. 2012: Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S. TESIS. Pembimbing I: Prof. Dr. Soediro Satoto, Pembimbing II: Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop.Arch, Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Puisi mampu mengonstruksi realitas melalui permainan bahasa berdasarkan konvensi estetis untuk memperebutkan kebenaran. Setiap penyair berusaha untuk membentuk rangkaian wacana dengan gaya, karakter, dan pola yang berbeda dengan penyair lainnya sebagai inovasi. Selain itu, penyair berusaha untuk memberi keyakinan berdasarkan pandangan-pandangan yang termarginal di dalam kehidupan melalui penanda-penanda, baik yang hadir maupun tak hadir. Tidak heran jika puisi dipandang sebagai bagian dari budaya karena memainkan kebenaran di suatu zaman. Puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. menggunakan medium bahasa, yang di sisi lain “bahasa itu tidaklah nertral,” melainkan bahasa mengkonstruks realitas. Perpuisian Abdul Wachid B.S. lebih banyak dipahami memiliki nilai dan makna mengenai sufi. Padahal, makna tidak dapat muncul secara kolektif. Pemahaman seperti ini ada kekeliruan dengan pretensi pemaknaan didasarkan pada labelitas terdahulu. Pemaknaan seharusnya tidak hanya berhenti pada puisi itu sendiri, melainkan pada entitas, yakni makna-makna yang berada di sekitarnya secara berserakan. Perpuisian Abdul Wachid B.S. memiliki entitas yang dapat ditelusuri lebih jauh karena adanya sistemisasi dalam menulis puisi. Keterhubungan Abdul Wachid B.S. dengan bahasa, realitas, dan institusi sosial merupakan acuan dan makna dari wacana yang terus dikonstruks untuk berdiri pada posisi idealitas, yang bergerak dalam lingkup arena produksi kultural. Penelitian berjudul “Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S.” berusaha untuk mendeskripsikan secara mendalam strategi wacana dari puisi-puisi Abdul Wachid B.S.; Mengungkapkan secara mendalam rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. mampu memperebutkan makna; dan Memformulasikan secara mendalam transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara multiinterdisipliner dengan melibatkan lebih dari dua bidang ilmu untuk digunakan dalam mengalisis masalah yang sama. ada disiplin mayor yang digunakan, yakni teks yang ditelaah berdasarkan wacana kritis. Teori wacana yang dikemukakan oleh Michel Foucault akan didukung oleh teori stilistika untuk mengungkap karakteristik teks, semiotika untuk mengungkap produksi makna, dan strukturasi untuk mengungkap arah transformasinya. Perpuisian Abdul Wachid B.S., yang menjadi objek di dalam penelitian ini, akan dianalisis secara to user mendalam. Data diperoleh melaluicommit wawancara mendalam, observasi langsung, dan analisis dokumen. vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil dari penelitian ini adalah deskripsi secara mendalam mengenai wacana yang terkandung di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Pertama, strategi wacana di dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. terbentuk oleh politik metonimi dan metafora. Pertautan antara metonimi dan metafora itu tersembunyi dalam simbol-simbol sehingga variasi bahasa lebih termungkinkan. Dalam bahasa yang bervariatif dapat memungkinkan penyair untuk meyakinkan kepada publik tentang tanda dan substansi dari puisi modern, yang pada tahun 1980-an hingga 2000 kental dengan simbol. Kedua, rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. dimulai dengan mengkritisi modernisasi, terutama dengan pembangunan kota yang di sisi lain menyebabkan orang kecil tersisih. Pembangunan yang terjadi pada rezim Orde Baru ditulis dengan serangkaian dialektika, terutama dengan wacana religius yang berusaha untuk mengingatkan kembali hakikat manusia pada nilai. Abdul Wachid B.S. melalui puisi untuk mewacanakan sesuatu yang termarginal dari realitas yang diimpikan oleh rezim Orde Baru. Ketiga, transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S. terbentuk oleh wacana religius yang secara sosial mulai memudar di kalangan modern, tetapi juga sedang berkembang di Indonesia seiring munculnya sastra sufi dan sastra profetik.
Kata Kunci: Puisi, Wacana, Bahasa, Teks, dan Perpuisian Abdul Wachid B.S.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Arif Hidayat, S701008002. 2012: Discourse in Concerning of Poetry’s Abdul Wachid B.S. THESIS. First Consultant: Prof. Dr. Soediro Satoto, Second Consultant Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop.Arch. Cultural Studies in Faculty of Literature and Fine Arts, Postgraduate Program of Surakarta Sebelas Maret University. Poetry can construct reality through language games based on aesthetic conventions to fight the truth. Each poet trying to form a series of discourses in the style, characters, and patterns that are different from other poets as innovation. In addition, the poet sought to give confidence based on the views of the marginalized in the life through the markers, both present and absent. No wonder if the poem is seen as part of the culture due to play in an age of truth. Poems written by Abdul Wachid B.S. using the medium of language, which on the other side "of that language is not nertral," but the reality mengkonstruks language. Abdul collection of poems Wachid B.S. more widely understood to have value and meaning of the Sufis. In fact, the meaning can not appear collectively. Understanding of such misconduct by the pretense of meaning based on previous labelitas. Meaning should not just stop at the poem itself, but the entity, namely the meanings that are scattered around him. Abdul collection of poems Wachid B.S. have entities that can be traced back even further because of the systemization of writing poetry. Connectedness Abdul Wachid B.S. with language, reality, and social institutions are a reference and meaning of the discourse that continues to stand in the shoes dikonstruks ideals, which move within the arena of cultural production. The study entitled "Discourse in Collection of Poems Abdul Wachid BS" trying to describe in depth the discourse strategies of the poems of Abdul Wachid BS; Reveals in depth reconstruction of the discourse in the perpuisian Abdul Wachid BS able to fight over the meaning, and formulate in-depth transformation of the discourse of perpuisian Abdul Wachid BS. The approach used in this study carried out multiinterdisipliner involving more than two fields of science for use in mengalisis same problem. no major discipline is used, the text is analyzed based on critical discourse. Discourse theory put forward by Michel Foucault will be supported by theory stilistika to reveal the characteristics of the text, semiotics to reveal the production of meaning, and structuration to reveal the direction of transformation. Abdul collection of poems Wachid BS, which is the object in this study, will be analyzed in depth. Date were obtained through in-depth interviews, direct observation and document analysis. The results of this study was in depth description of the discourse that is commit to user contained in BS Wachid Abdul collection of poems: First, discourse strategies in the poetry of Abdul Wachid BS formed by the political metonym and metaphor. ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Linkage between metonymy and metaphor that is hidden in symbols so that variations in language more possible. Can be varied in a language that allows the poet to convince the public about the sign and substance of modern poetry, which in the 1980's to 2000 is thick with symbols. Secondly, the reconstruction of the discourse in the perpuisian Abdul Wachid BS begins with critiquing modernization, especially with urban development on the other hand leads to a small isolated. Development that occurs in the New Order regime was written by a series of dialectics, especially with religious discourses that seek to recall the nature of human values. Abdul Wachid B.S. through poetry for marginalized mewacanakan something of the reality envisioned by the New Order regime. Third, the transformation of the discourse of perpuisian Abdul Wachid BS formed by religious discourses that are socially began to fade in the modern, but is also being developed in Indonesia as the emergence of Sufi literature and prophetic literature. KEY WORDS: Poetry, Discourse, Language, Text, and Collection of Poems Abdul Wachid BS.
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Dengan telah selesainya penelitian ini, peneliti mengucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah, inayah, dan karunia yang begitu berlimpah. Peneliti sadar bahwa tidak ada kekuatan apapun selain pertolongan Allah. Untuk itu, tidak lupa pula peneliti haturkan salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT yang telah memberikan pencerahan kepada umat manusia mengenai pengetahuan, temasuk kepada peneliti. Dalam kesempatan ini, perkenankanlah peneliti mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Bani Sudardi, M. Hum., selaku Ketua Program Studi Kajian Budaya, yang telah memberikan kesempatan dan memberi izin kepada penulis untuk melakukan penelitian ini; 2. Prof. Dr. Soediro Satoto, selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam penelitian ini dengan bijak dan sabar; dan 3. Dr. Titis Srimuda Pitana, ST., M.Trop.Arch, selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritikan dalam penulisan kajian ini.
Surakarta, 7 Juni 2012
Peneliti
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL ...............................................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................
ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI .......................................................................
iii
PERNYATAAN ..................................................................................................
iv
PERSEMBAHAN ..............................................................................................
v
MOTTO ..............................................................................................................
vi
ABSTRAK ..........................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................
xi
DAFTAR ISI .......................................................................................................
xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ..............................................................................
1
1.2 Masalah .....................................................................................................
12
1.2.1. Identifikasi Masalah .................................................................................
12
1.2.2. Pembatasan Masalah.................................................................................
14
1.2.3. Rumusan Masalah.....................................................................................
14
1.3 Tujuan Penelitian .........................................................................................
15
1.3.1. Tujuan Umum ...........................................................................................
15
1.3.2. Tujuan Khusus ..........................................................................................
15
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................
16
1.5 Sistematika Penelitian..................................................................................
16
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................
19
2.1 Kerangka Konsep ........................................................................................
19
commit to user 2.1.1 Wacana .....................................................................................................
19
2.1.2 Wacana Puisi ............................................................................................ xii
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.3 Perpuisian Abdul Wachid B.S. .................................................................
24
2.2 Kajian Teori
............................................................................................
26
2.2.1 Produksi Wacana ......................................................................................
30
2.2.2 Teori Strukturasi .......................................................................................
42
2.2.3 Teori Semiotika ........................................................................................
51
2.2.4 Teori Stylistika .........................................................................................
61
2.3 Kontribusi Pustaka Terdahulu .....................................................................
70
BAB III METODE PENELITIAN......................................................................
79
3.1 Model Penelitian ..........................................................................................
79
3.2 Jenis Penelitian dan Pendekatan ..................................................................
80
3.3 Metode Penelitian ........................................................................................
81
3.2.1. Bentuk dan Strategi Penelitian ................................................................
81
3.2.2. Sumber Data ............................................................................................
84
3.2.2.1. Informan .............................................................................................
84
3.2.2.2. Arsip atau Dokumen ............................................................................
85
3.2.2.3. Instrument Penelitian ...........................................................................
85
3.2.3. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................
86
3.2.3.1. Interviewing/ Wawancara Mendalam ..................................................
87
3.2.3.2. Observasi Langsung .............................................................................
87
3.2.3.3. Content Analysis/ Analisis Dokumen...................................................
88
3.2.3.4. Teknik Cuplikan ..................................................................................
88
3.2.3.5. Validitas Data .....................................................................................
88
3.2.3.6. Teknik Analisi Data .............................................................................
89
BAB IVANALISIS DAN PEMBAHASAN .......................................................
92
commitPenelitian to user (Proses Kreatif Kepenyairan 4.1 Gambaran Umum Fenomena Objek Abdul Wachid B.S.) .....................................................................................
93
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.2 Tema-tema Khusus (Tema dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S.) ..............
109
4.2.1. Buku Puisi Rumah Cahaya .....................................................................
110
4.2.2. Buku Puisi Tunjammu Kekasih ...............................................................
118
4.2.3. Buku Puisi Ijinkan Aku Mencintaimu dan Beribu Rindu Kekasihku.......
122
4.2.4. Buku Puisi Yang .....................................................................................
129
4.3 Analisis Wacana
.....................................................................................
132
Puisi dan Strategi Wacana .......................................................................
132
4.3.1.1. Politik Metonimi ....................................................................................
134
4.3.1.2. Politik Metafora .....................................................................................
143
4.3.2
Rekonstruksi Wacana Puisi .....................................................................
160
4.3.2.1. Produksi Wacana ...................................................................................
160
4.3.2.2. Kritik Modern sebagai Pengetahuan......................................................
169
4.3.3
Wacana Religius yang Terpinggirkan Mampu Melahirkan Kuasa .........
192
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
205
5.1. Simpulan ....................................................................................................
205
5.2. Saran ...........................................................................................................
207
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
208
DAFTAR WAWANCARA ..............................................................................
212
LAMPIRAN 1 ..................................................................................................
213
LAMPIRAN 2 ..................................................................................................
224
GLOSARIUM ...................................................................................................
226
4.3.1
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR DAN MATRIK
Gambar 3.1. Model Penelitian ..........................................................................
79
Gambar 4.1. Keterhubungan membaca dan menulis ........................................
97
Gambar 4.2. Lingkaran Komunitas Sastra ........................................................
101
Matrik Pengaruh: Relasi-relasi Proses Kreatif Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S. ......................................................................................................
111
Matrik Perubahan: Tipe Tema pada Buku Puisi Abdul Wachid B.S. ...............
136
Matrik Strategi Wacana.....................................................................................
164
Matrik Rekonstruksi Wacana ............................................................................
197
Matrik Transformasi: Penyair, Teks dan Pembaca ...........................................
206
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Foucault (dalam Sarup 2003:102), ―menghargai sastra transgresi—sastra yang berusaha merongrong pembatasan-pembatasan yang diberikan semua bentuk wacana karena kelainannya.‖ Ada pandangan bahwa teks-teks sastra dapat memberikan ruang bicara bagi sisi yang lain: dunia yang selama ini terabaikan. Pandangan ini lebih tertuju pada teks-teks sastra yang mengungkap sisi tersembunyi, yakni wilayah yang lebih partikular dengan menggunakan citra bahasa yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Ini terutama puisi karena memiliki kekentalan bahasa melalui metonimi, metafora maupun permainan simbol yang lebih kaya sehingga dapat menciptakan bermacam kemungkinan makna baru. Makna dan pesan di dalam puisi yang disampaikan lebih terbuka untuk dipahami sebagai pengetahuan oleh pembaca. Sekalipun ide kreatif seorang penyair dalam mencipta puisi bermula dari kepekaan rasa dalam membaca situasi dan kondisi melalui pengalaman, namun di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sekalipun penyair seperti
Emily Dickinson
tidak pernah bermaksud
hati
untuk
mempublikasikan puisi-puisinya, dan memilih menjilid rapi di laci meja kerja, namun curahannya tetap terkandung pesan: entah kegelisahan hati ataupun sebagai curahan. Kehadiran puisi di satu sisi memiliki elemen imitatif, tetapi juga mengandung pesan. Ada pesan denotatif muncul sebagai yang tersurat dan commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
konotatif sebagai yang tersirat. Kedua pesan itu membentuk wacana sebagai yang disodorkan kepada masyarakat sebagai pandangan terhadap kebenaran. Di dalam setiap kata-kata, ada pesan yang mampu diterima sebagai kebenaran, namun itu diterima dalam multi-interpretable (Pradobo, 1997: 5-6). Akan tetapi, ketika memahami puisi dari segi pesan akan tertuju pada amanat, yang masih mengacu pada arahan dari pengarang. Padahal, Roland Barthes (1986) telah menulis esai berjudul ―La Mort de L’auteur‖ (Kematian Pengarang). Segera setelah fakta dinarasikan, diskoneksi terjadi, suara kehilangan jejak sumber asalnya, pengarang menyongsong kematiannya sendiri dan tulisan mengada (Barthes, 2010:145). Kematian pengarang itu sendiri bukan dimaksudkan bahwa pengarang tidak punya hak bicara, melainkan agar pemaknaan (interpretasi) tidak percaya secara penuh yang disampaikan oleh pengarang di luar teks. Pengarang boleh saja berbicara di luar puisinya, namun yang dibicarakan oleh pengarang adalah bagian dari sekian banyak pemaknaan yang ada. Dalam memahami puisi, kebanyakan memahami dari wilayah intrinsik dan ekstrinsik secara terpisah, kemudian baru disatukan. Aspek-aspek seperti diksi, gaya bahasa, tipografi, rima, dan unsur dari luarnya dianalisis dengan sendirisendiri kemudian disatukan. Ada kesan bahwa analisis seperti itu dilakukan dengan menjadikan teks dibedah kemudian dijahit ulang sesuka pembaca. Dalam memahami puisi seperti itu, arah ujungnya akan mencari nilai atau konsep yang terkandung di dalam suatu teks dengan berujung pada penilaian baik dan buruk secara
dikotomis.
Pembacaan
juga
dilakukan
secara
linear,
tanpa
mempertimbangkan kekuatan teks yang senyatanya berbeda dengan teks lain. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
Sementara itu, Ignas Kleden (2004:71) menekankan upaya kritik kebudayaan terhadap teks sastra dilakukan ―bukan sekadar refleksi intelektual.‖ Ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, seorang peneliti dapat memosisikan diri untuk konsisten dangan gelaja-gejala kebudayaan di dalam karya sastra dengan melihat bahwa kebudayaan di dalam karya sastra tidak memanipulasi dan tidak mendominasi, melainkan mengemansipasikannya. Semakin teks diposisikan sebagai nilai, semakin akan kokoh sebagai warisan, produk, dan condong pada tradisionalisme. Kedua, dengan menempatkan teks sebagai wacana (discourse) untuk berinteraksi dengan ide-ide dan kepercayaan yang dibangun, dikukuhkan, yang bisa digusur, didekonstruksi atau dihancurkan. Ada usaha untuk memosisikan teks sebagai hasil produksi yang penuh dengan kepentingan, pembenaran atas ide-ide untuk membuat rasa percaya yang baru, maka rasa tradisionalisme semakin berkurang. Sifat bahasa di dalam puisi yang berusaha untuk menerobos pemaknaan secara semantik sesungguhnya lebih menarik jika ditinjau dari wacana yang berkembang secara bebas. Wacana di dalam puisi dengan kekuatan subjektif dari penyair dalam memainkan kata-kata telah membentuk makna yang dapat diterapkan dalam keadaan berlainan. Dalam pandangan Ignas Kleden (2004:212213), penyair berbeda dengan pemakai bahasa lainnya karena menyikapi ―katakata
untuk
mengaktifkan
polisemi,
mengarahkan
ambivalensi,
sambil
mengintensifkan ambiguitas dan merayakannya.‖ Ini berarti bahwa sekalipun penyair lebih ekspresif dengan pengalaman, namun juga memiliki kerangka commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
konseptual terhadap puisi-puisi yang diciptakannya. Pernyair –lewat puisi— berusaha memproduksi pengetahuan dalam dinamika kebudayaan. Michel Foucault termasuk tokoh yang banyak melihat ―pembentukan wacana‖ terjadi dalam arena aktivitas (Barker, 2008:83). Dia memang bukanlah orang yang ahli dalam hal puisi, namun puisi memiliki pengetahuan dengan adanya bahasa sebagai medium. Foucault termasuk orang yang kritis terhadap bahasa untuk melihat pembentukan wacana. ―Pembentukan wacana muncul dengan adanya rangsangan kebenaran melalui bahasa‖ yang dikendalikan untuk melahirkan objek-objek yang dapat dikendalikan. Karya Foucault pada tahun 1960 memusatkan perhatian pada bahasa dan pembentukan subjek dalam wacana (Sarup, 2003:124). Wacana itu sendiri dapat muncul di mana pun karena ―tidak ada pengetahuan yang bebas oleh kekuasaan.‖ Dalam pandangan Foucault (2002b:162), politik umum wacana muncul dengan kebenaran yang diterima dan difungsikan sebagai benar. Hal itu untuk memberikan status bagi mereka yang mengatakan akan dianggap sebagai benar. Kekuasaan muncul seperti jaring dengan kekuatan imanen yang terus bergerak melalui bahasa dan membentuk subjek berada dalam pengaruh setelah kristalisasi kelembagaan diwujudkan. Puisi, sekalipun ditulis dengan bahasa yang rumit, namun dapat menjadi media untuk berkomunikasi dengan pembaca. Menurut Abdul Wachid B.S. (2005b:65), mendiang Presiden Amerika Serikat, Jhon F. Kennedy pernah mengungkapkan bahwa ―Jika politik bengkok puisi akan meluruskannya.‖ Ini berarti bahwa puisi memiliki kekuatan yang mampu bergerak melalui kekuatan bahasa untuk meluruskan politik. Ada pengetahuan di dalam puisi sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
kebenaran. Rahasia sebuah puisi terletak pada kekuatan sebagai pengetahuan yang terus bergerak dalam arena struktur sosial. Lazimnya, orang (pembaca) akan mengatakan bahwa isi puisi itu benar karena sudah diproduksi menjadi puisi. Serangkaian teori telah mengategorikan dan mendeskripsikan pengetahuanpengetahuan di dalam puisi memiliki dimenasi humanis. Puisi sebenarnya terasa sangat subjektif dan penyair dapat diperlakukan sebagai individu dalam gelora rasa untuk mengekspresikan segala yang diketahuinya. Adapun penyair, menurut Kleden (2004:214), adalah ―intelektual publik‖ kerena memiliki kesadaran terhadap batas-batas puisi dan bukan puisi, bahkan kesadaran ungkap melalui bahasa untuk menampilkan pengetahuan. Pengetahuan penyair didapat berdasarkan rasa dan pengalaman. Pengetahuan-pengetahuan di dalam puisi –yang terwujud melalui bahasa— itulah elemen penting sebagai representasi realitas. Pengetahuan dan bahasa tersatukan di dalam wacana dari puisi yang melahirkan pengetahuan bagi pembaca maupun penikmat. Kehadiran pengetahuan di dalam puisi tidak datang begitu saja sebagai kejutan atau kebetulan, melainkan ia hadir karena adanya sistem produksi sosial atas puisi sehingga menjadi diterima oleh masyarakat. Hal ini karena, sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault dalam esai ―What Is an Author‖ (1978:1), ―pengarang (baca:penyair) adalah produktor ideologi‖ dalam setiap makna-makna yang diciptakan di dalam teks, baik melalui sisi estetika maupun etika. Kehadiran pengetahuan di dalam puisi tidak lepas dari pengaruh lingkup sosial seorang pengarang, yang memberikan kontribusi cukup besar bagi cara pandangnya, yang kemudian dimunculkan di dalam setiap susunan kata di dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
puisinya. Dalam relasi sosial, eksistensi seorang penyair tidak lepas dari perputaran pengetahuan dalam sebuah arena. Michel Foucault (2002b:158) mengungkapkan bahwa ketika kekuasaan yang politis untuk menguasai intelektual melalui pembagian pengetahuan, maka ia mulai menyentuh arahan-arahan dalam relasi tersebut. Intelektual—di sini, dapat pula dimasukkan dalam ranah penyair sebagai intelektualitas karena menulis sesuatu tentang keadaan entah wilayah batin, maupun luaran—masuk pada wilayah terminologi tersendiri, yang berada dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat untuk menjadikan dirinya memiliki karya yang diakui. Penyair memiliki sisi kreatif atas intelektualitas yang dimilikinya dalam menyusun teks. Keadaan politis tersebut merupakan arena tersendiri yang memberikan pengaruh kuat pada gaya penyair dalam menampilkan estetika sehingga tulisan yang ditampilkan tidak murni dari idealitas, melainkan ada usaha menjangkau arena produksi dan pemilihan posisi diri. Keadaan ini muncul melalui transformasi wacana dalam relasi sosial oleh gejolak antara nilai dan struktur, yang merupakan proyeksi dan refleksivitas dari keterulangan dalam reproduksi sosial. Dalam kaitan ini, penyair, sebagai manusia, merupakan ―agen‖ yang terlibat untuk melakukan tindakan-tindakan, yang kemudian memunculkan wacana sebagai bentuk kuasa. Wacana, yang dapat hadir melalui tanda-tanda secara utuh dan saling berkaitan di dalam sistem bahasa. Hubungan antartanda di dalam puisi yang terwujud melalui bahasa—sebagai sistem yang mengorganisasi untuk membina makna berdasarkan representasi realitas. Ada pembakuan wacana melalui commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
penulisan setiap kata, yang secara komparatif kemudian diakui oleh masyarakat sebagai ―puisi.‖ Masyarakat tidak akan menerima begitu saja sebuah puisi tanpa ada pengetahuan yang ditampilkan, juga kebenaran mengenai sastra di masa itu. Untuk alasan inilah, A. Teeuw (1981:4-6) memandang sastra modern (termasuk juga puisi modern.-pen) telah menciptakan berbagai inovasi yang lepas dari kestatisan sesuai dengan perkembangan, yang masih merujuk pada konvensi. Rachmat Djoko Pradopo (2002:3-5) menandai kesusastraan Indonesia modern pada tahun 1920, yang bersamaan dengan itu juga lahir kritik sastra tulis dengan pengaruh Barat, khususnya Belanda, yang masuk dalam pengajaran kesusastraan. Namun, A. Teeuw (1981:7) sendiri melihat modern dengan terjadinya perombakan dari sastra tradisional. Perubahan dari struktur yang ketat menjadi bentuk yang bebas dan longgar telah dimulai oleh Chairil Anwar di tahun 1945. Adapun wacana mengenai perkembangan teknologi sebagai sistem dari modern telah muncul juga dalam teks-teks yang ditulis oleh Balai Pustaka. Kajian terhadap puisi seharusnya secara jernih menyikapi puisi bukan sebatas ideologi komunikatif yang melihatnya dalam kerangka universal dan pragamatis secara kaku, yakni hubungan teks dan pembaca saja. Kajian terhadap puisi perlu untuk melihat ideologi sebagai upaya transformasi bahasa dengan realitas antara ada dan tiada. Pada akhirnya, gaya bahasa di dalam suatu teks sebenarnya untuk meningkatkan komunikasi, dengan menjadikan adanya kesankesan lebih mendalam. Hal itu ditentukan dengan daya horizon baca berdasarkan latar belakang sosial budaya yang pembaca miliki. Di masa sekarang ini, setiap pembaca dapat dan berhak menjadi kritikus untuk melakukan interpretasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
berdasarkan horizon pembacaannya sehingga teks puisi tidak lagi dalam kategori baik dan buruk, melainkan dapat menghadirkan kebenaran atas rekonstruksi realitas, berdasarkan pembacaan yang cermat dan kritis. Fenomena teralienasi dan eksistensialisme, juga pewacanaan nilai-nilai lokal yang memuat mitos dan pembentuk budaya menjadi penting sebagai identitas, yang kerap kali dimunculkan oleh para penyair. Puisilah yang menyampaikan dengan bahasa yang lembut, halus, indah, perbandingan, dan polisemik, dengan masuk pada daya imajinasi dan keterharuan bagi pembaca. Penelitian ini mengungkap sisi terdalam dari puisi lebih mengarah pada wacana yang ditampilkan untuk memandangnya sebagai teks, bukan sebatas sebagai karya yang mati. Puisi lebih plural, tidak berhenti sebagai tulisan, merupakan respon dari tanda-tanda realitas, dan dapat dicermati ke dalam dan ke luar. Metonimi, metafora maupun permainan simbol bekerja dengan cermat untuk merepresentasikan realitas. Ada makna yang selalu berubah dalam menyampaikan pengetahuan dan membentuk pola hubungan yang kompleks. Puisi memiliki kekayaan bahasa yang mampu membentuk realitas baru, berdasarkan kenyataan sehari-hari. Penelitian ini berusaha mencermati wacana-wacana (yang dimiliki oleh) Abdul Wachid B.S., yang muncul dalam wacana perpuisiannya sebagai penyair mulai tahun 1980-an, dan mulai dikenal pada tahun 1990-an. Puisi Abdul Wachid B.S. tidak berhenti hanya dituliskan saja, tetapi terus berusaha hidup pada ingataningatan pembaca, bahkan sebagai suatu pandangan yang terus diperbincangkan. Puisi-puisinya banyak dimuat di media massa, baik koran maupun majalah. Tahun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
1995, buku puisinya yang berjudul Rumah Cahaya diterbitkan oleh ITTAQ Press, yang diberi kata pengantar oleh K.H. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), yang di tahun 2002 dan 2003 buku tersebut terpilih sebagai buku ajar yang disebarkan di SMA seluruh Indonesia. Puisinya yang terhimpun dalam buku Tunjammu Kekasih (Abdul Wachid B.S.; 2003) terpilih sebagai seri penyair pilihan Indonesia versi Bentang Budaya. Adapun buku puisi yang berjudul Ijinkan Aku Mencintaimu (Abdul Wachid B.S.; 2002) menjadi buku best seller. Adalagi yang menarik, yakni buku puisinya yang berjudul Rumah Cahaya (Abdul Wachid B.S.; 1995) sempat menjadi polemik di Kedaulatan Rakyat pada tahun 1997. Dia oleh Korrie Layun Lampan sebagai angkatan 2000 dinyatakan sebagai penyair Indonesia kontemporer. Tahun 1980-an sampai 1990-an, dikatakan oleh Heru Kurniawan (2009:5) bahwa Abdul Wachid B.S. sebagai generasi penerus yang menuliskan puisi sufi. Pada permasalahan ini, untuk dicermati lebih dalam, bahwa puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. menggunakan medium bahasa, yang di sisi lain ―bahasa itu tidaklah nertral,‖ melainkan bahasa mengkonstruks realitas dengan kebenaran-kebenaran dari asumsi alamiah. Untuk menentukan kedirian wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S., penelitian ini tidak hanya mengungkap pengetahuan di dalam, melainkan juga pada entitas Abdul Wachid B.S. secara total
dengan
melihat
struktur
sosial-budaya
sebagai
institusi
yang
mengelilinginya. Kajian ini sangat penting kiranya untuk menemukan wacana secara total yang ada pada puisi sehingga terungkap tatanan simbolik yang telah menjadi teks. Hal ini karena Abdul Wachid B.S. tidak hanya menulis puisi, namun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
juga menulis esai, dan kritik sastra. Buku esainya, yang berjudul Sastra Pencerahan ditulis dalam kesadarannya membaca fenomena politik yang terkait dengan dunia sastra. Buku kritik sastranya ada tiga: pertama, yang berjudul Membaca Makna ditulis dalam rangka mengkritisi teks-teks sastra dalam relasi sosialnya, kedua, yang berjudul Religiositas Alam; berisikan perkembangan surealisme di Indonesia pada tahun 1980-an, dengan titik perhatian pada sajaksajak yang ditulis oleh D. Zawawi Imron, dan ketiga, yang berjudul Gandung Cinta mengenai kesufian dari A. Mustofa Bisri yang mewujud dalam puisi-puisi. Oleh karena itu, dalam memahami puisi-puisi Abdul Wachid B.S. tidak hanya tertuju pada teks-teksnya saja, melainkan juga pada aspek itu juga teks yang memiliki relasi dengan puisi yang ia tulis. Tulisan-tulisan itu merupakan pengetahuan dari Abdul Wachid B.S. mengenai puisi, baik secara estetika maupun etika. Penelitian untuk memahami perpuisian Abdul Wachid B.S. tidak hanya ditelaah pada makna-makna yang hadir secara konotatif, melainkan juga pada caranya membentuk pengetahuan hingga diterima oleh masyarakat, yakni lebih pada perpuisiannya. Perpuisian Abdul Wachid B.S. lebih banyak dipahami memiliki nilai dan makna mengenai sufi. Padahal, makna tidak dapat muncul secara kolektif. Pemahaman seperti ini ada kekeliruan dengan pretensi pemaknaan didasarkan pada labelitas terdahulu. Pemaknaan seharusnya tidak hanya berhenti pada teks puisi itu sendiri, melainkan pada entitas, yakni makna-makna yang berada di sekitarnya secara berserakan. Keberadaan puisi itu hanya sebagai jejak karena makna yang sesungguhnya berada tidak hanya yang hadir, tetapi juga yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
tidak hadir karena semuanya adalah teks. Dalam penelitian ini, yang perlu dicermati bahwa kehadian puisi sebagai representasi melalui bahasa sehingga perlu upaya berkelanjutan untuk membongkar sisi yang menjadi wacana. Kajian ini tidak hanya menganalisis makna puisi-puisi Abdul Wachid B.S. secara sturktural, bahkan juga mengungkapkan kejelasan wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Perlu diketahui, wacana memiliki paradigma yang lebih luas daripada pemaknaan terhadap kode-kode bahasa yang disampaikan dalam bentuk tulis maupun ujaran. Foucault (dalam Eriyanto, 2008:65) memandang wacana mengarah pada ide, konsep, dan pandangan hidup dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak. Sementara itu, linguistik hanya memberikan persepsi yang lain antara wacana dan makna melalui bahasa dari satu arah. Wacana itu sendiri membentuk rangkaian jalur yang bercabang dari praktikpraktik sosial berdasarkan perentangan ruang-waktu yang sistemik karena adanya dualitas struktur. Puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. bukanlah cerminan realitas, melainkan representasi yang dikonstruksi melalui bahasa. Kehadiran bahasa sebagai media ini akan membentuk realitas yang lain karena bahasa selalu menciptakan makna-makna secara terus-menerus. Puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. dibentuk dengan adanya ―konvensi estetis‖. Adapun pandangan tentang konvensi ini tidak hanya tertuju pada aturan-aturan di dalam sebuah puisi, tetapi juga pada penerimaan masyarakat terhadap sebuah puisi. Pandangan ini jelas mengacu pada puisi yang menggunakan medium bahasa untuk menyampaikan setiap wacana yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
diproduksi oleh penyair sehingga ada strategi-strategi yang dibentuk agar masyarakat menerima teks tersebut. Perpuisian Abdul Wachid B.S. memiliki entitas yang dapat ditelusuri lebih jauh karena adanya sistemisasi dalam menulis puisi. Keterhubungan Abdul Wachid B.S. dengan bahasa, realitas, dan institusi sosial merupakan acuan dan makna dari wacana yang terus dikonstruks untuk berdiri pada posisi idealitas, yang bergerak dalam lingkup arena produksi kultural (Bourdieu, 2010:15). Arena produksi kultural memuat serangkaian konvensi estetis yang harus mewujud agar dapat diterima, meskipun di sisi lain kesadaran praktis berusaha untuk menciptakan makna-makna baru.
1.2 Masalah 1.2.1. Identifikasi Masalah Ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan tersebut. 1. Puisi di tengah realitas ditulis oleh penyair berdasarkan rasa dan pengalaman yang terkait dengan kondisi sosial. Walaupun puisi dibuat berdasarkan sisi subjektif dari penyair, namun terdapat pengetahuan di dalamnya. Penyair sebagai produktor wacana membentuk kebenarankebenaran yang akan diterima oleh pembaca. Proses konstruksi wacana perlu untuk ditelusuri lebih mendalam untuk mengungkap kekuatan teks tersebut. 2. Puisi adalah penjelmaan realitas melalui peristiwa kebahasaan, yang terkandung pengetahuan. Tidak banyak orang yang kritis untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
mencermati puisi sebagai pengetahuan, yang pada akhirnya mampu mengarah sebagai kuasa. 3. Dari pola interaksi, pola relasi, pola praktik sosial, dan aktivitas penyair sebagai aktor sosial memunculkan konsekuensi dalam sebuah tindakan untuk mencipta. Hal itulah yang mendasari adanya rekonstruksi wacana di dalam puisi sebagai kebenaran yang diyakini berdasarkan konsensus sosial. 4. Wacana pada sebuah puisi dapat muncul melalui apa saja karena seluruh elemen di dalamnya adalah sistem. Kehadiran tanda-tanda sangat diperhitungkan oleh penyair. Adapun bagian yang paling banyak digunakan menyisipkan pengetahuan, yakni melalui politik kebahasaan dengan karakteristik yang unik. 5. Masalah-masalah mengenai wacana yang ada di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. dengan berbagai pengaruh dari relasi sosial yang sangat kompleks dan luas. Masalah ini lebih disebabkan oleh Abdul Wachid B.S. yang tidak hanya menulis puisi saja, tetapi juga beberapa tulisan lain yang berkaitan dengan puisi seperti esai, dan kritik sastra, bahkan juga cerpen. Pandangan yang ada di dalam esai dan kritik tersebutlah yang cukup memberikan warna mengenai pengetahuan-pengetahuan yang ada di dalam puisinya. Hal tersebut banyak diabaikan dengan meneliti lebih kepada struktur dalam puisinya saja, bahkan hal itu dilakukan secara terpisah. Pengetahuan-pengetahuan Abdul Wachid B.S. mengenai puisi tidak lepas dari pengaruh perkembangan sastra yang dia ketahui, baik pandangan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
untuk isi maupun bentuk. Penyair yang sadar dengan konsep kebahasaan dan berkecimpung dalam dunia akademik sastra akan banyak tahu tentang teori sastra dan berusaha untuk mengikuti perkembangan gejolak sastra.
1.2.2. Pembatasan Masalah Adanya latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan tersebut merupakan masalah yang cukup beragam, maka perlu ada pembatasan masalah agar arah pembahasan dalam penelitian ini menjadi lebih terfokus dan mendalam. Pembatasan masalah akan diarahkan pada puisi sebagai media representasi yang dikonstruksi oleh penyair, wacana yang membentuk teks-teks tersebut, struktur sosial yang melingkupi konvensi, dan arah transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S. Tiga aspek tersebut menjadi ruang bertemunya wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S.
1.2.3. Rumusan Masalah Permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut ini. 1. Bagaimanakah strategi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S.? 2. Bagaimanakah rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. mampu memperebutkan makna? 3. Bagaimanakah transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini hendak mendeskripsikan secara holistik mengenai wacana yang terkadung di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Dalam usaha mendeskripsikan, lebih mengarah pada produksi wacana yang memandang teks sebagai pengetahuan. Puisi yang kebanyakan hanya diungkap makna masih perlu untuk ditelusuri lagi makna-makna yang tersembunyi di dalam bahasa dan keterkaitannya dengan realitas. Pengetahuan diproduksi melalui bahasa dengan dibentuk, didefinisikan, dinarasikan maupun dideskripsikan. Hal tersebut karena teks diciptakan berdasarkan representasi yang dikonstruksi untuk mendapatkan makna. Penelitian ini memahami secara mendalam bahwa puisi memiliki pengetahuan, maka haruslah diungkap mengenai politik bahasa yang diciptakan oleh penyair di dalam teks-teksnya sebagai konstruks pengetahuan, mengenai realitas yang merupakan praktik yang merumuskan pengetahuan sebagai rekonstruksi wacana, dan mengenai kekuatan puisi dalam membentuk kebenaran. Sementara itu, pengetahuan itu sendiri akan direspons oleh pembaca secara kompleks untuk menjadi benar. Adapun puisi juga menampilkan pengetahuan yang akan diterima oleh pembaca pakar, pembaca ahli, dan pembaca awam.
1.3.2. Tujuan Khusus Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini diarahkan untuk mencapai tujuan penelitian seperti berikut ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
1. Untuk mengetahui dan memahami kejelasan tentang strategi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S. 2. Untuk mengetahui dan memahami tentang rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. agar mampu memperebutkan makna. 3. Untuk mengetahui dan memahami tentang transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini dibagi menjadi dua macam, yaitu teoretis dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini berguna untuk memperkaya khazanah penelitian kajian budaya dan untuk memberikan wacana teks puisi yang terjalin berdasarkan struktur sosial, yang melingkupi penyair; untuk menambah wawasan tentang proses produksi wacana, strategi wacana dalam teks puisi; dan untuk memberikan wawasan kepada masyarakat tentang perpuisian Abdul Wachid B.S. Adapun manfaat penelitian secara praktis, yakni penelitian ini berguna untuk kerangka acuan untuk meletakkan reformulasi wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. dalam konstruks sosial maupun peninjauan kembali tatanan struktur perpuisiannya.
1.5 Sistematika Laporan Penelitian Sebagai pemerjelas kepada pembaca untuk memahami tulisan ini, maka peneliti membuat sistematika laporan penelirian. Sistematika dalam penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab pertama akan menguraikan tentang latar belakang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
masalah, masalah (identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah), tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika tulisan. Di dalam bab I ini, akan dimulai dengan pandangan bahwa puisi sebagai pengetahuan. Bagian ini penting, yakni sebagai sumber dari permasalahan karena banyak orang yang tidak sadar dengan puisi yang memiliki keindahan kata-kata merefleksikan wacana. Terlebih lagi, jika puisi tersebut ditulis oleh Abdul Wachid B.S. yang sadar dengan teori, kritik, dan dunia akademik sastra. Pengetahuan yang ada di dalam puisi sangat diperhitungkan, meskipun ditulis berdasarkan pengalaman dan perasaannya. Pada bab kedua, memuat tentang landasan teori yang terdiri dari tinjauan pustaka, konsep, dan landasan teori. Tinjuan pustaka ini penting karena sebagai penentu bahwa penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian yang pernah dilakukan. Konsep memberikan penjelasan tentang beberapa hal penting tentang istilah yang harus dipahami berdasarkan penelitian ini. Sementara itu, disiplin teori dalam penelitian ini menjelaskan tentang dasar dan acuan untuk meneliti, yaitu dengan menggunakan teori stilistika, teori semiotik, teori wacana yang dikembangkan oleh Michel Foucault, dan teori strukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens. Bab tiga dalam penelitian ini yaitu metode penelitian yang terdiri atas jenis penelitian dan pendekatan, dan metode penelitian. Metode penelitian ini mengungkapkan mengenai rancangan penelitian, lokasi penelitian, bentuk dan strategi penelitian, sumber data dan teknik pengumpulan data. Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari informan, dan arsip atau dokumen. Teknik pengumpulan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi langsung, analisis dokumen, teknik cuplikan, validitas data dan dengan analisis deskripsi mendalam. Metode penelitian ini bekerja dalam ranah berpikir kritis untuk memahami objek sebagai teks sehingga tidak ada yang berada di luar teks. Hal ini untuk menemukan makna-makna lain yang tersembunyi di dalam konteks. Pada bab empat diuraikan tentang gambaran umum fenomena objek penelitian, tema-tema khusus yang akan dibahas, dan pembahasan itu sendiri sebagai hasil penelitian. Buku puisi yang menjadi objek dalam pembahasan ini adalah buku Rumah Cahaya, Tunjammu Kekasih, Ijinkan Aku Mencintaumu, Beribu Rindu Kekasihku, dan Yang. Namun demikian, pembahasan mengenai perpuisian itu sendiri harus pada seluruh aspek yang melingkupi puisi-puisi Abdul Wachid B.S., dan karenanya pandangan-pandangannya mengenai puisi yang termuat dalam buku lain seperti Membaca Makna, Sastra Penceraha, Religiositas Alam dan Gandrung Cinta menjadi pertimbangan yang cukup penting. Dalam pembahasan itu sendiri dipaparkan mengenai subbab puisi dan strategi wacana, rekonstruksi wacana, dan transformasi wacana. Wacana sebagai pengetahuan tidak muncul sebagai makna yang diterima begitu saja, melainkan harus ditelusuri lagi praktik sosialnya, subjek, dan agen-agen yang terus bergerak. Subjek wacana muncul dengan adanya karakteristik yang memunculkan pancaran makna kepada pembaca. Agen wacana muncul dari interpretator ahli yang memiliki pengetahuan teoretik untuk memberikan pengetahuan baru mengenai puisi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
Adapun pada bab kelima adalah penutup, yang berisi kesimpulan paparan dari pembahasan dan saran untuk penelitian lain. Pada bagian ini diuraikan tumbuhnya wacana dan arah persebarannya juga posisinya dalam tatanan sosial.
commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Kerangka Konsep Penelitian ini diarahkan pada wacana yang ada di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Untuk membuat arahan tersebut, perlu dibuat kerangka konsep sebagai usaha pemerjelas terhadap istilah (hipoksi operasional) yang akan dipakai dalam penelitian ini. Hal ini juga dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman oleh pembaca ketika membaca hasil penelitian ini.
2.1.1 Wacana Kris Budiman (1999:121) mendefinisikan ‗wacana‘ mengacu pada aspekaspek evaluatif, persuasif, atau retoris dari suatu teks, yang dipertentangkan dengan aspek-aspek seperti menamakan, melokasikan, atau mengisahkan karena terkait dengan produksi sosial. Eriyanto juga mengatakan hal yang serupa. Dalam pandangan Eriyanto (2008:65), wacana dapat dideteksi karena secara sistematis ada ide, opini, konsep, dan pandangan hidup yang ditransformasikan untuk mengarahkan cara berpikir dan bertindak. Wacana ini mendistribusikan konsep untuk memasukkan arahan dengan tujuan akan terjadi pola-pola tertentu yang terpengaruh. Wacana mampu mengkonstruks pikiran seseorang ke dalam suatu keadaan untuk menjalin relasi sehingga pemikirannya sesuai dengan konsep yang ada di dalam suatu teks. Pada akhirnya, wacana membentuk ―kuasa‖ karena commit to user 19
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adanya kebenaran-kebenaran yang diyakini oleh seseorang secara individu maupun dalam lingkup komunal. Istilah ―wacana yang membentuk kuasa‖ dipopulerkan oleh Michel Foucault. Dalam pandangannya, wacana yang berkembang di tengah masyarakat membentuk relasi kuasa karena diterima sebagai kebenaran (Foucault, 2002b:143). Pengetahuan secara umum membuat manusia berada di bawah kekuatan absolut, dan manusia berada di dalamnya seperti terpenjara—tepatnya pembolehan dan penidakbolehan yang diliputi aturan-aturan untuk mengontrol individu-individu yang terus bergerak (Foucault, 2002a:43). Transformasi wacana yang beredar di tengah masyarakat, yang kemudian diyakini sebagai kebenaran, sepenuhnya mengikat masyarakat untuk ―tunduk dan patuh‖. Ketertundukan dan kepatuhan oleh wacana karena diterima oleh masyarakat sebagai hal yang ―benar‖. Kata wacana ini memiliki perspektif yang sangat beragam, terkait dengan disiplin tertentu. Dalam penelitian ini, wacana mampu membentuk kuasa sesuai dengan pemikiran Michel Foucault. Penggunaan wacana di sini, lebih untuk menitikberatkan perhatian pada pandangan kritis. Wacana adalah pengetahuan yang
memberikan
definisi-definisi
melalui
normalisasi
sehingga
ketika
ditransformasikan akan diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat. Menurut Chris Barker (2008:83), bahwa Michel Foucault telah menyatukan wacana bahasa dengan praktik sosial yang mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang mampu memberikan makna kepada tiap-tiap subjek ketika menafsirkan. Wacana melibatkan adanya konteks untuk diteliti, bukan persoalan bahasa semata. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
Konteks, dalam hal ini, dipandang sebagai struktur dan sistem yang bergerak dalam praktik sosial. Wacana mengarah pada kekuasaan yang mengontrol pergerakan sosial yang ada. Hal tersebut disebabkan oleh adanya kebenaran di dalam wacana yang diyakini sehingga membentuk individu-individu bergerak berdasarkan arahan wacana.
2.1.2 Wacana Puisi Wacana puisi ditulis dengan kedalaman perasaan dan imajinasi penyair atas realitas. Bahasa yang ada di dalam puisi lebih konotatif (bukan makna sebenarnya), analogis (perbandingan), dan multi-interpretable (banyak makna/ polisemi). Hakikat tersebut berbeda dengan dengan wacana ilmiah yang menuntut untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan logis. Wacana puisi lebih memungkinkan untuk memunculkan banyak makna dan memberikan pencerahan kepada pembaca secara subjektif. A. Teeuw (1982: 3) melihat puisi menggunakan bahasa dalam kekentalan yang indah dan menarik dengan adanya keseluruhan yang berhingga, mampu membentuk makna, dan dapat diterima oleh masyarakat. Wacana pada puisi lebih terbentuk oleh ketidaklangsungan ekspresi di dalam permainan bahasa untuk menampilkan makna secara tersembunyi. Wacana di dalam puisi terbentuk dengan karakteristik tersendiri. Misalnya saja, dalam puisi lirik, kekuatan teks lebih bertumpu pada dekonstruksi kata-kata yang bertaut dengan keterlibatan penyair, kekuatan puisi surealis lebih tertuju pada efektifitas simbol untuk merepresentasikan realitas, sementara puisi imajis lebih dekat pada permainan suasana dalam bahasa yang singkat dan padat. Diksi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
22 digilib.uns.ac.id
dan gaya bahasa lebih menandai hakikat puisi yang destruktif terhadap realitas. Wacana puisi memiliki keunggulan tersendiri dengan poros dari subjektivitas penyair dan jenis puisi yang ditulisnya. Puisi sebagai genre sastra juga berbeda dengan prosa dan drama. Drama yang lebih menonjolkan dialog-dialog untuk memainkan konflik. Dialog-dialog antartokoh itulah yang digunakan untuk mengungkap peristiwa, yang kemudian ditampilkan dalam prilaku yang telah ditentukan polanya. Karakteristik pada naskah drama akan terlihat dari pola dialog dari suatu tokoh. Tindak-prilaku bahasa dalam teks drama tidak membahas sesuatu, melainkan berbuat sesuatu, untuk menimbulkan reaksi pada lawan bicara (Hasanuddin, 1996:17). Pada intinya, wacana drama terbentuk oleh serangkaian kejadian atau peristiwa yang didialogkan. Pristiwa demi peristiwa ditampilkan dalam dialog-dialog untuk menciptakan aksi dan reaksi. Dalam kaitan tersebut, puisi juga berbeda dengan prosa yang lebih naratif untuk menyusun pengetahuan. Prosa berusaha menampilkan permasalahan dengan disampaikan secara naratif sehingga ada tema, alur, dan setting. Unsur tersebut menjadi pokok dalam sebuah cerita dengan adanya kronologi kejadian, yang terkait dengan pengisahan peristiwa (Nurgiyantoro, 1997:91). Puisi menyampaikan pengetahuan dengan cara yang unik. Puisi terus ditulis dalam zaman yang penuh dengan media digital, yang lebih menawarkan imaji sensasional yang mengasyikkan. Penyair seolah harus repot-repot menulis puisi dengan kadar menyampaikan makna secara tidak langsung, yang justru membuat banyak orang merasa bingung untuk menemukan maknanya dengan susunan katacommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23 digilib.uns.ac.id
kata yang rumit. Puisi terus ditulis dengan variasi atas kekuatan gaya, bentuk dan isi sebagai pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca, untuk dipahami maksudnya, bahkan untuk diinterpretasikan. Tidak banyak orang yang tahu alasan puisi harus multi-interpretable yang akan menjadi perdebatan oleh banyak orang, yang mungkin dapat memicu terjadinya perselisihan. Jhon Fiske (1990:15) menekankan untuk melakukan ―pemaknaan secara aktif‖ pada wacana di dalam puisi dengan tugas utama yang harus dilakukan adalah melihat hubungan puisi di dalam sosio-kultur tentang alasan menjadi begitu, yakni menjadi ada dan hadir. Pasti ada jejak tersendiri dari puisi itu tercipta, yang akan mendorong menembus batas yang telah digariskan oleh konvensi sebagaimana tanda-tanda mengungkapkan kembali realitas itu menjadi teks. Konvensi bukan hanya berarti aturan, juga dapat berarti kebiasaan ataupun kesepakatan dalam suatu masyarakat, maka apapun dapat saja menjadi mungkin terjadi dan penyair selalu memiliki cara tersendiri untuk menyatakan pesan. Itulah uniknya wacana puisi yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan kadar ideologinya. Wacana dalam puisi berbeda dengan pesan langsung (semacam seruan dalam ceramah, seminar, maupun buku pelajaran di sekolah) yang justru setelah selesai banyak dilupakan oleh audien atau dalam buku teori yang setelah membaca sampai selesai, ternyata lupa isinya. Justru setelah membaca puisi, dalam aktivitas tak sadar sering mengucapkan kembali diksi-diksinya, teringat dan terkenang. Hal itu karena ada pertautan perasaan melalui bahasa sehingga serasa mengalami peristiwa yang ada di dalam puisi. Wacana puisi yang demikian commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
24 digilib.uns.ac.id
tersebut tercipta dalam kadar tak langsung melalui nuansa keindahan. Wacana puisi mampu masuk pada unsur normatif dan kode penandaan sebagai koordinasi ideologis, yang nantinya akan diterima sebagai kebenaran oleh pembaca, sedangkan ―bahasa sebagai medianya.‖ Dalam puisi, yang terpenting pada wacana yang disampaikan dengan tidak langsung justru memberikan daya sugestif untuk praktik pembentukan pengetahuan kepada pembaca, kebenaran, juga kesadaran akan realita yang kini menjadi teks. Wacana puisi tidak hanya tertuju pada kerumitan kata-kata, melainkan wacana mengenai kehidupan diekspresikan oleh penyair lewat puisi. Adapun difungsikan untuk mendeskripsikan atau mendefinisikan fenomena kehidupan. Penulisan puisi dengan simbol, tanda, metafora maupun metonimi, ataupun paradoks dan ironi bukan dalam rangka mempersulit posisi makna untuk dipahami pembaca. Puisi bukanlah permainan kata-kata untuk menemu arti, melainkan susunan realitas yang memberikan pengetahuan bagi pembaca untuk terus memahami dan mencermati pengetahuan.
2.1.3 Perpuisian Abdul Wachid B.S. Abdul Wachid B.S. mulai menulis puisi sejak dekade 1980-an hingga sekarang. Ada pandangan bahwa dari masa itulah Abdul Wachid B.S. mulai merintis jalan kepenyairan sebagai pilihan hidup, baik untuk ekspresi diri maupun dalam transformasi ideologis. Banyak sekali karya-karya dari Abdul Wachid B.S. yang telah diterbitkan, baik di media massa, dalam bentuk antologi, maupun dalam buku tunggal. Perpuisian Abdul Wachid B.S. adalah struktur melingkupi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
puisi-puisi Abdul Wachid B.S. dari mulai makna yang ada, bahasa yang digunakan, proses kreatif, transformasinya, maupun sudut pandangannya. Sudut pandang puisi Abdul Wachid B.S. mengarah pada nilai religius, sosialis, bahkan sufistik. Hal itu telah dibicarakan dan berdasarkan pemaknaan-pemaknaan oleh kritikus maupun oleh beberapa orang yang meneliti puisi-puisi Abdul Wachid B.S. Perpuisian dari Abdul Wachid B.S. juga merupakan kecenderungankecenderungan dari puisi-puisi Abdul Wachid B.S. sebagai jalur yang ditempuh selama menjadi penyair. Kecenderungan-kecenderungan ini menjadi identifikasi dan inventarisasi mengenai gaya sebagai keidentikan. Searah dengan istilah yang telah dipaparkan tersebut, penelitian untuk mengungkap wacana dalam bahasa sebagai suatu narasi dapat didekati secara tekstual dengan melibatkan struktur sosial yang mengkonstruknya. Wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. terus muncul sejak 1980-an hingga sekarang. Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. dipublikasikan di media massa, dalam antologi bersama, ataupun dalam antologi. Puisi-puisi tersebut hadir dengan melibatkan konteks sebagai struktur dan sistem yang terus menampilkan pengetahuan sebagai kebenaran. Wacana itu sendiri terlahir berdasarkan idealitas Abdul Wachid B.S., dalam memandang realita sosial berdasarkan pandangannya. Abdul Wachid B.S. dengan seperangkat ―sistem nilai‖ berusaha menuliskan puisi (sebagai sudut pandang), yang di sisi lain dia akan ditentukan oleh arena produksi kultural agar karya-karyanya diterima di media massa, masuk dalam antologi bersama, ataupuan antologi tunggal. Konvensi estetika yang telah ada pada masa 1980-an mempengaruhi kedirian dari Abdul Wachid B.S. dalam memproduksi puisi. commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bahkan, pemilihan wacana yang menarik itu sendiri belum tentu murni dari kesadaran praktis, melainkan karena telah dibentuk oleh institusi sosial untuk peka terhadap realitas tertentu. Arahan dari institusi ini menjadi disiplin atas aturanaturan yang megondisikan cara berpikir Abdul Wachid B.S. dalam menyikapi realitas untuk ditulis menjadi puisi. Wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. lebih diarahkan pada upaya membentuk karakterisasi melalui kekuatan bahasa sebagai strategi literar dalam mengungkapkan pandangan sehingga teks mampu diserap oleh pembaca. Keseluruhan dari puisi harus dipahami untuk mengukuhkan corak yang melekat sebagai wacana yang diproduksi di tengah realitas. Dari segi tema, gaya bahasa, pandangan, dan proses penciptaan makna merupakan wacana secara individual yang memiliki ideologi. Bahasa yang diproduksi oleh Abdul Wachid B.S. itu sendiri pada akhirnya menjadi kebenaran yang diterima oleh pembaca.
2.2 Kajian Teori Wacana dalam puisi memiliki berbagai macam kemungkinan makna yang dapat ditelusuri. Namun demikian, dengan adanya pandangan tentang ―wacana kritis‖ akan mengarah pada relasi dan praktik sosial yang harus dipahami secara keseluruhan. Salah satu acuan dari wacana kritis adalah dengan adanya usaha untuk mengungkap pengetahuan dengan keterkaitannya dengan struktur sosial, yakni dengan curiga untuk melihat arena kemungkinan-kemungkinan yang dibentuk oleh konsensus. Wacana tidak diterima dalam kerangka yang tampaknya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
27 digilib.uns.ac.id
objektif, melainkan harus diamati juga mengenai produksi wacana, juga relasi yang melingkarinya. Untuk menuju pada wacana yang kritis dalam puisi tidak dapat langsung mengungkapnya dengan mudah sebagaimana memahami wacana dalam teks berita, pamflet, pengumuman, maupun buku ilmiah. Kajian terlebih dahulu perlu untuk menelusuri lebih mendalam mengenai hakikat puisi itu sendiri karena sangat dimungkinkan sekali permainan wacana juga berada di dalam. Analisis wacana, seperti yang diarahkan oleh Michel Foucault, menekankan pemaknaan untuk ke dalam dan ke luar sehingga yang tampak juga perlu diungkap terlebih dahulu. Ada arahan bahwa subjek juga dapat sebagai wacana karena terlibat dalam praktik sosial. Dengan demikian, selain teori utama (grand-theory) tentang wacana –yang dalam hal ini merujuk pada pemikiran Michel Foucault— juga menggunakan teori lain yang diposisikan sebagai teori pendukung (midle-theory) seperti teori stilistika, semiotika, dan teori strukturasi. Seperti yang telah diketahui oleh para pakar ilmu pengetahuan, bahwa pada hakikatnya ilmu pengetahuan saling terkait dengan disiplin lainnya sehingga kadang kala kerja dari satu teori itu sendiri tidak dapat optimal. Adanya interdisipliner untuk mengalisis wacana dalam puisi akan mengungkap pengetahuan sebagai bentuk kuasa di dalam praktik sosial. Teori stilistika digunakan untuk melihat pada wacana yang dibentuk oleh permainan bahasa secara tekstual di dalam puisi. Stilistika melihat pada cara penyair dalam memainkan gaya bahasa dengan membentuk karakteristik yang berbeda dengan penyair lainnya. Proses pembentukan makna dapat saja terjadi commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan kelihaian dari penyair memainkan bahasa untuk memunculkan polisemi sehingga pengetahuan yang tersampaikan menjadi beragam. Seorang penyair baik secara sadar ataupun tidak sadar menulis puisi dengan kerangka pengetahuan yang diketahui. Bagi penyair yang secara tidak sadar memiliki keinginan dengan daya ungkap secara khas, dia sesungguhnya telah membentuk pola pada struktur bahasa untuk menampilkan wacana. Bagi penyair yang sadar dengan aktivitas kebahasaan, dia berusaha untuk membuat karakteristik pada dirinya. Karakteristik akan memainkan identitas melalui struktur kebahasaan sebagai sistem signifikasi. Sumbangan dari stilistika untuk melihat teks dengan berujung cara menandai karakteristik di dalam teks sebagai produktifitas pengetahuan. Pengarang
sebagai
subjek
berusaha
menciptakan
struktur
teks
yang
terepresentasikan melalui bahasa. Dengan kata lain, penyair sebagai subjek sosiologis yang berbeda dengan orang pada umumnya sehingga mampu menangkap realitas sebagai pengetahuan untuk ditulis menjadi puisi. Wacana dalam puisi muncul dengan adanya identifikasi kultural dari penyair yang peka terhadap realitas. Sumbangan dari stilistika tersebut masih kurang mendalam untuk memahami teks dalam rekonstruksi makna. Adapun untuk memperdalam hal-hal yang berkaitan dengan penandaan, maka dibutuhkan semiotika. Teori semiotika akan bekerja untuk arena penandaan dalam melihat teks sebagai praktik signifikasi. Wacana dalam perpuisian seorang penyair merupakan rekonstruksi realitas. Roland Barthes (dalam Budiman, 2004:55-57) memahami suatu teks dalam kode-kode yang tersusun oleh realitas, yang diciptakan oleh pengarang (baca:penyair). Memahami suatu teks tidak lepas dari arena makna commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
untuk melihat bahasa bukan sebagai media yang netral, melainkan sebagai upaya pembentukan makna baru yang berisikan pengetahuan. Puisi adalah dunia yang tersusun atas bahasa dalam menampilkan realitas, maka puisi bukan realitas yang sebenarnya. Puisi hadir dengan menampilkan realitas yang telah dikonstruksi oleh penyair dengan berbagai kekuatan bahasa. Makna perlu ditelaah secara mendalam dengan mengacu pada praktik sosial yang terartikulasikan di dalamnya. Kemungkinan lain dari kemunculan makna sebuah puisi dan arena persebaran pengetahuan justru muncul pula pada pandangan pembaca yang berusaha memaknai. Operasi makna hadir pada tataran kedua. Pemaknaan atas puisi perlu dilihat dari distribusi pengetahuan yang mewujud di dalamnya. Sifat puisi yang polisemik akan menghadirkan berbagai macam pandangan, yakni dalam fungsi pemancar. Terlebih lagi, jika yang membaca adalah kritikus yang memiliki pengetahuan untuk menciptakan pengetahuan baru tentang teks. Pembaca sangat plural dalam tatanan sosial dan mereka dapat saja memantulkan makna teks. Pada titik inilah, dibutuhkan suatu teori yang mampu melihat pembaca sebagai agen, yakni teori strukturasi dari Anthony Giddens. Teori strukturasi akan membantu memahami wacana di dalam suatu teks yang telah terbentuk oleh arena. Teori ini akan melihat wacana mampu membentuk kuasa melalui kode-kode penanda. Refleksivitas dari wacana akan mengarah pada pembaca sebagai agen. Reflektivitas dari pengetahuan bergerak secara terus-menerus. Hal ini sejalan dengan pemikiran Foucault tentang kedisiplinan. Kekuasaan suatu pengetahuan membentuk jaringan dalam tatanan sosial. Pembaca pada intinya adalah subjek yang berpengetahuan, menangkap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
30 digilib.uns.ac.id
pengetahuan, dan dapat menciptakan pengetahuan. Pandangan tersebut sejalan dengan Foucault yang sudah memikirkan tentang wacana yang tercipta berdasarkan ―subjek diskursus.‖ Menurut Barker (2009:86), Foucault juga memperhatikan pada etika yang terpusat pengatuaran orang lain dan diri sendiri, juga membentuk strategi untuk diperhitungkan dan member refleksi wacana.
2.2.1 Produksi Wacana Pandangan-pandangan Michel Foucault yang kritis pada kehadiran wacana membentuk makna dan pengetahuan tentang dunia telah menunjukkan suatu kecermatan yang sangat membantu paradigma kritis. Chris Barker (2008:83) mengatakan bahwa Foucault menentang formalis bahasa dengan menitikberatkan perhatian pada praktik-praktik diskursif. Ann Brooks (2009:72) mengatakan arah konsep wacana yang dikembangkan oleh Foucault bukan dengan pikiran, melainkan dengan ‗bidang praktis di mana ia disebarkan.‘ Cara tersebut harus disikapi dengan menentukan posisi wacana yang tidak netral, juga mengungkap perwujudan adanya realitas baru yang menghadirkan kekuasaan setelah pengetahuan diyakini sebagai kebenaran. Keyakinan-keyakinan mengenai suatu pengetahuan akan memunculkan kepatuhan-kepatuhan terhadap substansi yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, posisi bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang memiliki permainan bebas (Norris, 2009:64) akan membentuk penandaan baru bagi suatu masyarakat. Adanya komunikasi yang melampaui pandangan-pandangan suatu masyarakat membuat interaksi sosial dipenuhi dengan pemaknaan-pemaknaan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
31 digilib.uns.ac.id
Keterikatan wacana dengan bahasa akan menghadirkan makna baru dan makna lain untuk diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat. Adanya bahasa dengan sistem retorika membuat rasionalitas pengetahuan menjadi terselubung, dan hadir dengan diam-diam untuk memberikan arahan-arahan. Bahkan, dalam pandangan Jurgen Habermas (2007a:109) konsep kepatuhan individu terhadap wacana yang rasional dapat hadir karena adanya citra. Cara-cara dari agen dalam mengakses komunikasi pada interaksi dilakukan dengan usaha mencapai pemahaman selaras berdasarkan kesepakatan yang dimainkan oleh pengetahuan pada situasi dan kondisi. Bahasa bergerak dengan sangat bebas untuk membentuk penandaanpenandaan terhadap individu dalam memahami kehadiran wacana. Dalam sebuah fenomena, formasi sosial dan strategi kekuasaan dari sebuah wacana yang beredar itu seharusnya dilihat dengan keterlibatan institusi di belakangnya. Michel Foucault (2002b:192-193) mengatakan kenyataan dari kekuasaan beroprasi dengan biasanya, maka dari situlah perlunya institusi sosial menggerakkan wacana menembus hambatan dan rintangan. Kekuasaan suatu teks tidak akan berjalan dengan baik tanpa ada persebaran pengetahuan yang diyakini sebagai benar. Kuasa membentuk jaringan yang beroprasi di dalam individu untuk tunduk pada serangkaian kebenaran: yang di dalamnya ada norma atau hukuman bagi yang melanggar. Wacana itu bukanlah hanya sebuah bahasa yang mati, melainkan keluasaan dari sebuah tanda mengkonstruks individu-idividu untuk masuk pada penandaan lain. Ada kesadaran manusia yang terperangkap di dalam kebenaran wacana karena terpengaruh oleh makna-makna sebagai peristiwa yang dipahami dengan persepsi keliru karena tidak melihat struktur yang berada di commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
baliknya. Inilah mekanisme wacana yang membentuk kontrol untuk menjadikan keadaan berlaku dan diterima secara universal dalam relasi sosial. Sebagai contoh, negara tidak perlu mengontrol fisik, cukup berada dalam tataran wacana yang diyakini benar untuk memapankan kekuasaan. Negara membuat pilihan-pilihan dari sebuah wacana yang disesuikan dengan sistem nilai masyarakat untuk mengarahkan pemahaman yang sama. Masyarakat berada dalam pengawasan yang diterima sebagai sistem. Adanya institusi sosial mungkin hanya sebagai suatu prosedur, tetapi itu memberikan kerangka untuk tunduk dengan sederet resiko yang harus dijalani oleh individu-individu di dalamnya. Persebaran dari wacana sendiri sebagai suatu efek pada akhirnya dapat masuk pada partikel terkecil yang mengontrol dan sebagai kesadaran. Dalam hal ini, segala sesuatu di dalam wacana dapat dijadikan tanda selama menyampaikan pesan tersembunyi, yang bergerak di balik kesadaran (Sturrock dalam Al-Fayyadl, 2005:337). Michel Foucault (2002a:56) mencotohkan wacana membuat manusia untuk tunduk dan patuh. Dia mengarahkan penelitian pada beberapa orang gila. Di dalam buku Madness and Civilization, dia menguraikan proses pembentukan seseorang itu
gila berdasarkan wacana kegilaan
yang membentuknya.
Pengetahuan masyarakat yang waras memiliki kriteria tersendiri untuk mengategorikan pengetahuan yang tidak sepaham sebagai gila. Penekanan perbedaan antara kepentingan jangka panjang dan jangka pendek melibatkan kepatuhan karena adanya kepentingan diri yang tercerah melalui moralitas pengetahuan (Hazlitt, 2003:159). Penempatan orang lain untuk gila dengan adanya standardisasi moral, etika, dan rasional ini memenjarakan orang dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
rumah sakit, maupun penjara sebagai institusi mental. Orang yang tidak berada dalam pengetahuan waras—sebagai wacana yang diproduksi oleh rumah sakit— maka didapat dan dikategorikan sebagai orang gila, walaupun yang dikatakannya dapat dibuktikan di kemudian hari. Adanya ketidaklogisan dan esensi yang menyimpang itu disebut sebagai gila. Di sinilah orang dibentuk untuk selalu tunduk dan patuh terhadap aturan maupun kategori-kategori tertentu berdasarkan ilmu pengetahuan. Foucault menyibukkan diri untuk mengungkap pembentukan wacana yang diakhiri dengan kebenaran, yang pada akhirnya akan menindas orang-orang gila. Adanya sebuah perlakuan-perlakuan yang tidak wajar dan kurang manusiawi itulah yang membuat Foucault melakukan identifikasi panjang terhadap wacana kegilaan di penjara-penjara Jerman. Persebaran wacana mengontrol aktor-aktor sosial untuk bertindak di bawah tekanan yang ada dalam relasi sosial. Pandangan-pandangan wacana mengenai orang gila dalam aspek-aspek tertentu telah mengontrol masyarakat untuk masuk ke dalam wacana (Foucault, 2002a:234). Masyarakat yang dirinya takut untuk diklaim gila akan berjuang keras menampilkan rasionalitas sebagai kewajaran. Pandangan komunikatif pada manusia sebagai pemikir yang cerdas untuk membuat keputusan berdasarkan informasi ini diliputi oleh resiko dan kensekuensi (Severin dan Tankard, 2009:196). Maka daripada itu, ketentuan yang berlaku di masyarakat menjadi tatanan simbolik yang direspon dengan berbagai fantasi untuk terakui eksistensinya. Mark Bracher (1997:187) menjelaskan tatanan simbolik yang beredar di masyarakat telah membuat penandaan-penandaan baru sebagai wacana. Bracher commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyoroti tentang kampanye partai politik yang sejatinya adalah permainan wacana, namun mampu mengontrol aktor-aktor sosial untuk terpengaruh. Adanya wacana yang menghadirkan penandaan-penandaan membuat aktor sosial hanya memunculkan fantasi makna dari citra, tetapi mereka melupakan relasi sosial. Citra dari tanda-tanda yang hadir secara kompleks membentuk pemaknaan secara aktif (Eco, 2009:228). Keadaan itu membuat wacana dengan mudah beroprasi sebagai pengetahuan untuk diterima oleh mayarakat. Uraian panjang mengenai wacana oleh Michel Foucault juga mengarah ke tubuh dalam The History of Sexuality (Reitzer, 2008, 109). Dia memahami tubuh dijadikan cara maupun konsep untuk
mendapatkan kekuasaan
dengan
melontarkan wacana seks. Tubuh menjadi arahan yang menarik karena ada moral dan agama yang selama ini telah mengaturnya, maka pemerintah tinggal membuat wacana untuk menguasai kondisi sosial-budaya tertentu. Kode moral menjadi tidak berarti lagi dengan berbagai pertimbangan berdasarkan perbandingan moral yang ada (Nietzsche, 2002:94). Gagasan itu memberikan suatu anasir mengenai moral sebagai sarana untuk mengontrol individu atas persoalan-persoalan pengetahuan yang seharusnya diungkapkan. Pada wilayah inilah, tampak dengan jelas adanya usaha pembenaran yang dibuat dalam serangkaian tanda untuk menentramkan diri. Menurut Foucault, seperti yang diungkapkan oleh George Rietzer (2008:112) mengatakan sebagai berikut ini, ―Kekuasaan meminta seksualitas untuk melakukan persetubuhan, mencumbunya dengan mata, mengintensifkan bagian-bagiannya, membangkitkan permukaannya, mendramatisasi kondisi yang kacau. Ia melilitkan tubuh yang seksual dengan rangkulannya.” commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kutipan di atas menjelaskan mengenai upaya pembentukan wacana dengan objek seks. Proses transformasi wacana ini muncul sebagai kontrol tubuh untuk selalu mengontrol, memantau, bahkan mengidentifikasi agar tetap ada dalam rangkulannya. Dengan sangat jelas, ada wacana yang melingkupi tubuh untuk tidak dapat bergerak dari pengetahuan tersebut. Tubuh menjadi objek wacana untuk mengarahkan dan menguasai. Kondisi sosial budaya berada dalam suatu kekuasaan atas seperangkat pengetahuan karena adanya moral yang membuat sistem nilai manusia berada dalam lingkar satu arena. Arah dari konsep Michel Foucault dalam The History of Sexuality agak serupa dengan konsep yang dikembangkan oleh Roland Barthes mengenai proses perwujudan dari mitologi. Kaum gereja yang memiliki otoritas mengenai etika telah banyak sekali memainkan wacana mengenai seks berdasarkan mitos-mitos yang terbentuk melalui kitab suci. Pandangan-pandangan kaum Gereja ini berdasarkan konstruksi wacana lampau, yang hadir berdasarkan penandaan terhadap bentuk untuk memunculkan penandaan baru pada realitas menjadi fenomena. Mitos sebagai sistem komunikasi dapat disajikan oleh sebuah wacana yang memiliki kebenaran (Barthes, 2006:152). Adapun yang menarik dari kerja mitos ini adalah pada cara menyampaikan pesan yang membutuhkan alam untuk ditandai dan ditafsirkan oleh masyarakat. Sebuah pesan yang ada pada level abstraksi suatu tempat seringkali berada dalam stagnasi (Severin dan Tankard, 2009:113). Namun demikian, posisi wacana tidak hanya sebatas konstruks atas penandaan realitas baru, melainkan juga pada efek-efek wacana itu menyebar dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
36 digilib.uns.ac.id
mengontrol aktor sosial. Michel Foucault (2000:18) mengatakan tentang subjek diskursus sebagai berikut ini, Wacana tentang seks—wacana khusus, yang berbeda, baik dari segi bentuk maupun objeknya—terus bertambah dan meluas: semacam pembiakan wacana yang semakin cepat sejak abad ke-18. Yang saya maksud di sini bukanlah pelipatgandaan dari wacana yang ―diharamkan‖, dari wacana yang menyimpang, yang membuat kata-kata mesum untuk menghina atau untuk memperolok pola susila baru. Pengetatan kaidah kesantunan tampaknya telah menimbulkan reaksi berupa penguggulan dan intensifikasi perkataan kotor. Namun, yang terpenting adalah pelipatgandaan wacana mengenai seks, di dalam wilayah kuasa itu sendiri, yaitu berupa dorongan institusional untuk membicarakannya, dan bahkan untuk semakin sering membicarakannya; dan kemauan dari instansi-instansi seks serta untuk membuat seks itu sendiri ―berbicara‖ dalam bahasa yang sangat menjurus, disertai bertumpuk-tumpuk rincian. Pernyatan Foucault tersebut mengarah pada wacana seks yang mengontrol dan memiliki efek-efek bagi penandaan bentuk-bentuk yang terkait. Penandaan dari wacana seks, yang telah didukung oleh berbabagi mitos, juga akan hadir dengan institusional di kemudian karena transformasi bahasa yang mengkonstruks realitas. Adanya norma-norma yang secara historis melekat pada masyarakat dimanfaatkan untuk menjadikan wacana diterima secara halus. Di sini, ada struktur diskursif yang bekerja membentuk persebaran wacana di tengah realita sehingga tampak nyata, jelas, normal, dan logis. Namun demikian, kesadaran bahwa wacana ini mengontrol aktor sosial untuk bergerak dalam bimbingan dan arahan pengetahuan tidak disadari. Wacana justru diterima sebagai kebenaran ataupun keyakinan sehingga dijalani dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara aktor sosial sebagai subjek yang memaknai etika sebagai nasihat praktis merupakan produksi diri sebagai suatu praktik diskursif (Barker, 2008:86). commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setelah adanya rasionalisasi dari kehadiran sebuah wacana yang selaras dengan wacana lampau, maka pembatasan-pembatasan itu bekerja untuk diakui oleh subjek secara universal. Oleh karenanya, masyarakat menerima wacana dengan membenarkan. Mereka akan mempraktikkan kebenaran yang dipersepsi berdasarkan kemampuan interpretasi terhadap simbol-simbol wacana bersadarkan realitas sebelumnya. Akan tetapi, pandangan-pandangan Jurgen Habermas (2007b:148) yang tidak melihat institusi sosial dalam memainkan peran wacana membuat pemaknaan terhadap realitas secara sekilas. Pemaknaan oleh aktor sosial itu tidak mengacu pada entitas dari sebuah wacana sebagai praktik diskursif. Pemahaman terhadap agen-agen yang terus bergerak mengalami titik hambat ketika harus berhadapan dengan penjelasan yang rasional, tetapi memunculkan efek-efek yang lain, yang tidak sesuai dengan harapan. Senyatanya, usaha yang diserukan untuk memasuki dunia wacana dalam ruang dan waktu berbeda akan dipahami oleh agen sebagai hal yang berbeda pula. Pretensi dari sebuah wacana sendiri hadir bukan dalam tataran ideologis atau represif (baca:penekanan). Michel Foucault (2002b:152) sendiri menolak dan merasa keberatan pada dua hal tersebut. Dia mengungkapkan keberatannya ketika ideologi dan represi dimasukkan dalam persebaran wacana. Wacana sebagai pengetahuan mucul dalam jejak-jejaknya yang jamak dan tak terbatas sehingga mampu membentuk kekuasaan. Menurutnya, bahwa pengetahuan itulah yang bekerja dan diterima oleh masyarakat, dan ketika masyarakat mulai meyakini pengetahuan sebagai kebenaran, maka pengetahuan itu memiliki seperangkat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
kuasa yang terus bergerak. Secara lebih jelas, Foucault (2002b:147) mengatakan sebagai berikut ini: ―Bagi saya, istilah ideologi sendiri sangat sulit digunakan karena tiga alasan. Pertama, suka atau tidak suka, ia selalu berada di dalam oposisi semu dengan sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran. Sekarang saya percaya bahwa masalahnya bukanlah menarik garis antara wacana yang memiliki kategori ilmiah atau kebenaran dengan wacana yang memiliki kategori lainnya, melainkan melihat secara historis bagaimana efek-efek kebenaran diproduksi melalui wacana yang di dalam dirinya tidak dapat dikatakan benar atau salah. Kedua adalah konsep ideologi selalu mengacu pada sesuatu yang berasal dari aturan-aturan subjek sendiri. Ketiga, ideologi berada dalam posisi sekunder terhadap sesuatu dengan berfungsi sebagai infrastrukturnya, materi, pembatasan ekonomis dan lain sebagainya. Sementara itu, konsep represi lebih halus lagi maknanya sehingga setiap kali ingin menggunakannya, saya selalu menghadapi banyak masalah, karena saya berusaha agar terbebas darinya karena tampaknya ia berkaitan dengan seluruh fenomena efek-efek kekuasaan.‖ Pernyataan Foucault tersebut menegaskan bahwa arah dari wacana itu sendiri tidak pada sebuah kekuasaan menekan, melainkan pada efek-efek persebaran wacana itu sendiri. Manusia sebagai subjek dibentuk dan diatur oleh ilmu pengetahuan untuk tunduk dan berdampak pada kesadaran aktor untuk melakukan pemahaman terhadap kehadiran wacana itu sendiri. Titik inilah yang berusaha untuk dipahami sebagai wacana oleh Foucault, yang tentunya berbeda dengan fenomenologi Marxis atau Marxisme. Penekanan-penekanan yang dilakukan secara ideologis pada hakikatnya belum tentu berhasil mengubah tatanan karena manusia sebagai agen terus bergerak. Adanya wacana yang dipahami oleh agen-agen ini justru pada akhirnya memunculkan efek-efek berdasarkan pemahamannya dengan menciptakan makna baru. Dalam praktik transformasi wacana ini ada normalisasi. Normalisasi ini dilakukan dengan cara memunculkan wacana untuk disampaikan dengan berada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
pada hukuman dari wacana. Usaha ini terjalin, di mana wacana-wacana itu dimunculkan dengan beberapa kesepahaman dengan masyarakat, dengan memanfaatkan ketentuan-ketentuan yang telah ada. Oleh karenanya, transformasi ini tidak mengalami kesulitan diterima oleh masyarakat untuk diyakini sebagai kebenaran yang ada dan diterima tanpa adanya prasangka apapun di luar kebenaran itu. Kebenaran inilah yang pada akhirnya dipahami sebagai bentuk praktik kekuasaan. Michel Foucault memahami bahwa kekuasaan hadir di mana-mana dan kadang-kadang membentuk sistem yang komprehensif untuk dianalisis dan dipahami kurang lebih secara independen (Rietzer, 2008:115). Kekuasaan terjadi dalam dominasi dan marginalisasi karena adanya suatu kekuatan. Pengetahuanpengetahuan yang diyakini sebagai kebenaran akan mendominasi struktur sehingga pada akhirnya menjadi sistem. Individu yang bergerak sebagai agen akan berada dalam wilayahnya, yang tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh tersebarnya wacana. Dalam praktik, kuasa dari sebuah wacana tidak hanya berlaku bagi negara, melainkan pada aspek-aspek lain yang memiliki kuasa dan menyebarkan wacana untuk membuat objek tampak nyata sebagai benar. Proses persebaran wacana ini juga berada dalam wilayah intelektualitas yang bermain politik. Intelektualitas membangun wacana untuk mendapatkan kebenaran sehingga dia memiliki kekuasaan. Praktik ini dapat ditemukan di beberapa tempat, di mana ada wacana yang diterima dan difungsikan dalam kerangka benar dan salah sehingga objek berada di bawah kontrol wacana. Kontrol-kontrol yang dilakukan oleh suatu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
perusahaan pada pekerja melalui kenaikan gaji, tunjangan, absensi, dan pemotongan gaji bila tidak melakukan kerja dengan baik merupakan wacana yang terus-menerus digulirkan untuk membentuk pekerja dalam disiplin. Persebaran wacana ini memunculkan klasifikasi tertentu, yang pada akhirnya menjadi stigma karena sudah menjadi kebiasaan yang telah disepakati. Contoh lain, dapat ditemukan pada sekolah yang bagus berdasarkan standard internasional berdasarkan kelengkapan sarana dan prasaran juga beberapa guru yang memiliki lulusan S-2, di mana sekolah lainnya yang tidak memiliki standard tersebut akan dikatakan sebagai sekolah yang jelek. Hal lain juga dapat dilihat dalam penentuan pintar dan tidak pintar berdasarkan nilai ujian akhir nasional sehingga yang tidak memenuhi dikatakan tidak pintar. Oleh karena itu, masyarkat yang ingin dikategorikan pintar mengikuti wacana tersebut. Pembatasan dari wacana tersebut akan membentuk sistem yang mengikat masyarakat sehingga muncul generalisasi. Wilayah wacana inilah yang harus dibongkar, untuk memberikan kesadaran-kesadaran baru atas realita yang kini dipahami secara keliru. Konsep untuk menemukan adanya pengetahuan yang diyakini kebenaran dan menjadi suatu kuasa dapat dibongkar dengan analisis yang kritis. Konsep berpikir kritis ini dengan melihat adanya ketimpangan sosial terhadap struktur maupun sistem yang terlibat di dalam kuasa itu serta pengaruh-pengaruh dari dominasi suatu wacana. Praktik dari kuasa wacana juga dapat saja hadir pada karya sastra. Pierre Bourdieu (2010:5) memunculkan konsep mengenai arena di dalam sastra yang memberikan alternatif estetika. Struktur arena menjadikan aktor sosial untuk commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menempatkan posisi yang tentukan oleh pemilik modal. Harapan dari pemilik modal untuk menerima karya sastra berdasarkan wacana yang telah ditentukan ruang kemungkinan untuk ditempati oleh aktor sosial. Pada wilayah ini, wacana sangat menentukan sastrawan dalam menghasilkan karya-karyanya untuk diterima oleh masyarakat. Permainan strategi suatu kuasa memunculkan efek-efek sendiri sehingga aktor sosial berusaha untuk menempatkan posisinya. Ketika penentangan dan usaha untuk melawan itu tidak menunjukkan suatu kebenaran lain, resiko terbuang posisinya dari suatu arena. Wilayah ini sangat dipahami oleh harapan sastrawan sebagai aktor sosial untuk bertahan. Ukuran dari aktor sosial yang terbuang tidak sebanyak kekuasaan yang membatasi, mendasari atau menyerang, yang selalu mereka tanggapi dengan perlawanan (Foucault, 2002b:171). Maka daripada itu, arena memunculkan (bisa juga dimunculi oleh) diskursus menjadi prinsip yang sangat penting untuk mengembangkan kreativitas dari seorang pengarang. Kekuatan sastrawan untuk mencipta berada di bawah wacana mengenai konsep estetika suatu arena. Adapun setiap arena memiliki batas ketentuan untuk memainkan kerangka konseptual sebagai upaya pengondisian kreativitas. Arena sastra dapat menjadi cara untuk memainkan formasi sosial. Arena itu sendiri dapatlah dikatakan sebagai institusi yang memainkan beberapa komponen dengan
adanya
pola-pola.
Meskipun
Pierre
Bourdieu
(2010:4)
selalu
mengingatkan adanya ‗individu besar‘ yang mampu menampilkan karya unik dan bersebrangan dengan wacana yang diproduksi oleh arena kultural, namun posisi itu sendiri tidak lepas dari pertarungan wacana. Dalam hal ini, kemungkinan yang commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ada adalah kemenangan dari individu besar atas wacana lampau dan menjadi wacana baru atau hanya sebatas pengakuan eksistensi. Fenomena itu menjadi kode dalam rangkaian metasemiotis, di mana akan ada peralihan pada warisan kultural itu sendiri ke wilayah institusional, pada pandangan dunia itu sendiri, untuk memilik subkode yang ingin diterapkan pada pesan (Eco, 2009:433). Pandangan mengenai keadaan untuk diterima dalam suatu wacana menjadi idealitas pengarang untuk berada di antara ―inovasi dan konvensi‖ suatu masa. Ketegangan kreativitas antara inovasi dan konvensi telah dipaparkan oleh Andreas Teeuw (1981:3-4) bahwa karya sastra sebagai kreativitas selalu memuculkan inovasiinovasi, namun konsep mengenai karya sastra itu sendiri memiliki landasan konvensional yang sulit untuk ditolak. Dalam ketegangan antara inovasi dan konvensi, reproduksi teks sangat mungkin dilakukan untuk mencapai popularitas berdasarkan arena yang melingkupi. Dalam hal ini, konvensi itu sendiri dipengaruhi oleh adanya relasi-relasi sosial yang saling memunculkan wacana dalam lingkaran arena. Adanya konvensi sebagai batasan pengetahuan masyarakat,
adapun
inovasi
berada
dalam
wilayah
kreativitas—yang
sesungguhnya merupakan medan untuk melakukan transformasi wacana. Transformasi ini akan meruntuhkan dominasi dari kaidah-kaidah yang melekat pada sistem lama.Pada wilayah ini, wacana memainkan retorika yang menggeser kode-kode kultural atas wacana lampau. Dengan demikian, bagian yang lebih penting lagi adalah melihat perubahan sosial yang terjadi atas wacana. Wacana tidak menghadirkan revolusi, melainkan menggeser
tatanan
dari
―ruang kesadaran commit to user
sosial‖
untuk
masuk
pada
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
multidimensional sturktur diskursif. Ruang kesadaran sosial akan terbentuk dengan adanya pemahaman dari masyarakat terhadap perputaran wacana, citra, maupun refleksivitas dari keadaan-keadaan yang terus memproduksi tanda. Ruang kesadaran akan membentuk individu-individu di masyarakat menjadi lebih peka dan selektif terhadap arah perubahan sebagai fenomena. Selain itu, ruang ini juga akan membuat individu tidak lagi terjebak dan terikat pada arena yang telah membelenggu dan membuat individu cermat dalam merespons setiap kejadian untuk tidak langsung menerima kebenaran, melainkan menyaringnya terlebih dahulu dengan interpretasi yang kritis. Pemahaman-pemahaman seseorang terhadap reproduksi sosial dari sebuah rutinitas akan membentuk proses kehidupan yang lain dari yang lain.
2.2.2 Teori Strukturasi Anthony Giddens tidak mendefinisikan secara rinci mengenai teori strukturasi. Namun demikian, dari pandangan-pandangannya dalam menyikapi pola persebaran suatu masyarakat, teori strukturasi adalah pandangan mengenai hierarki, dari individu, dalam praktik sosial di sepanjang ruang dan waktu karena adanya penciptaan sarana dan prasarana yang menyebabkan adanya refleksivitas, rasionalisasi dan motivasi tindakan manusia sebagai agen (Giddens, 2008:5). Pada inti terpenting dari strukturasi ini adalah membicarakan mengenai tindakan individu dalam struktur sosial kemudian bergulir menjadi sistem dan melakukan perubahan sosial dalam relasi yang homogen maupun heterogen. Interaksi sosial commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berimplikasi pada pengungkapan mengenai institusional bekerja menjalin hubungan-hubungan berdasarkan konsekuensi yang mesti diterima. Anthony Giddens tidak puas dengan teori struktural-fungsional karena berada dalam lingkaran naturalistik dan pada akhirnya berkutat pada generalisasi. Ketidakpuasan
Anthony
Giddens
juga
muncul
pada
konstruksionisme-
fenomenologis yang terlalu subjektif. Dia membuat dualitas struktur untuk mengetahui aktivitas sosial yang terus-menerus diproduksi dalam bentuk ―kesadaran praktis‖. Struktur yang selama ini dianggap sebagai ikatan, bagi Giddens juga mengikat dan membebaskan sehingga perubahan dapat dilakukan pada struktur. Dia memunculkan adanya dualitas, yakni dengan menggabungkan dua unsur yang berasal dari struktur dan sistem. Eksistensi dari dua unsur tersebut bukan untuk saling bertempur dan meniadakan, melainkan dua unsur tersebut agar saling melengkapi dan bekerja untuk melahirkan transformasi pada ruang-ruang sosial. Bentuk mengenai ketimpangan sosial, gerakan sosial, teori konflik, maupun aktualisasi diri, berada dalam pola untuk bergerak ke arah perubahan sosial. Arah perubahan sosial itu sendiri, dalam pandangan Giddens (2010:500), akan membentuk kota, seperti misalnya pada Inggris yang berpusat di London. Dalam hal ini, London menjadi dominasi dari modal industrial Inggris dalam beberapa waktu, di mana akhirnya kapitalisme global bekerja untuk membuat pasar yang dimainkan untuk mengelola mata uang. Usaha untuk mengkritisi fenomena London sebagai kota maju ini, Giddens meminjam beberapa pemikiran dari Ingham, berujung pada mengenai ketimpangan sosial, gerakan sosial, teori konflik, maupun aktualisasi diri untuk merujuk pada London sebagai contoh. Ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
dilakukan dengan adanya ramalan-remalan masa depan mengenai kondisi perkembangan dalam suatu masyarakat. Giddens menolak adanya generalisasi terhadap masyarakat London oleh Ingham mengenai proses perkembangan endogen di London. Dalam teori ini, Giddens menitikberatkan kajiannya pada nilai, struktur dan sistem sosial yang ada pada antarmasyarakat, tepi ruang dan waktu, aspek-aspek yang berbeda dari regionalisasi. Bentuk itu membuat relasi sosial yang khas dari masyarakat. Dia juga menghindari adanya objektivisme dan subjektivisme dan dia menganggap bahwa manusia merupakan agen yang bertindak sebagai aktor sosial. Ada struktur, sistem, dualitas struktur yang mengarah pada aturan-aturan yang ada dalam realitas (Giddens, 2010:26). Upaya reproduksi sosial, menjadi ketentuan yang harus diterima. Teori strukturasi tidak melepaskan aturan-aturan dan sumber daya yang terlibat dalam produksi dan reproduksi dalam tindakan sosial sekaligus sarana reproduksi sistem tersebut. Teori strukturasi membaca situasi dan kondisi sebagai aktivitas manusia yang terus terjalin, baik individual maupun komunal. Perubahan sosial dapat bermula karena adanya wacana. Hadirnya penandaan-penandaan yang dipahami oleh setiap individu terhadap wacana memainkan pengetahuan untuk dikonsumsi. Kerangka dekonstruksi diarahkan untuk membentuk suatu tatanan sosial sebagai ruang sangat ditentukan oleh kekuatan dari struktur diskursus (Bracher, 1997:88-91). Pemahaman individu tertentu terhadap tatanan simbolik yang ada dalam realitas sosial membutuhkan keyakinan tertentu pula untuk menerimanya berdasarkan citra yang terus memainkan reproduksi. Hubungan antara diri dan realitas dalam suatu konsep commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
wacana akan memperjelas hadirnya penandaan baru untuk diterima sebagai kebenaran sehingga terbukalah sistem nilai yang baru bagi individu. Pemahaman aktor sosial dalam merespon penandaan ini sejalan dengan nilai-nilai. Hubungan antara nilai dan wacana mengalami pertarungan dalam suatu pemaknaan (Eco, 2009:214). Aturan-aturan yang ada di dalam suatu wacana menjadi bentuk komunikasi, yang akan membentuk entitas individu. Namun demikian, pada wilayah yang tak terbayangkan, disiplin yang terjadi itu karena adanya eliminasi dalam pemaknaan wacana. Keinginan untuk menyampaikan hasrat yang terpendam dengan hasrat yang terkondisikan membawa individu untuk terus bergerak dalam konsekuensi dan resiko. Kajian pada ruang dan waktu menjadi sangat menarik oleh pemikiran Anthony Giddens, yakni mengenai kecenderungan institusional bergerak untuk terus berlanjut sebagai perubahan (Giddens, 2005:250-266). Paradigma ini diarahkan oleh Giddens dalam bentuk realisme utopis untuk meminimalisasi datangnya resiko. Kepekaan dan bentuk-bentuk kesadaran manusia sebagai subjek menjadi sangat penting untuk membaca arah perkembangan sehingga bisa menata diri. Jalan mengenai perubahan sosial secara institusional akan dipantau secara realis untuk menentukan kadar kemungkinan pada perubahan-perubahan yang akan terjadi. Relasi-relasi yang terus terbentuk di dalam masyarakat sebagai bagian dari kolektivitas akan menjadi organisasi yang dijalankan secara regular. Ada suatu pemahaman dari masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan berdasarkan sistem yang telah disepakati. Adanya pola, di mana kolektivitas itu bergulir commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merupakan bagian integral yang harus dipahami dengan cermat dan kritis karena akan tampak pada refleksivitas sosial. Namun demikian, pola ini harus dibaca dalam bentuk yang kritis. Reflektivitas yang bergerak di dalam struktur memiliki efek-efek yang perlu diperhatikan sebagai realiasasi. Pada kaitan itu, ada pemahaman mengenai strukturasi, yakni mengenai penentuan ruang dan waktu sebagai panggung aktivitas manusia yang terus dilakukan. Hanya saja, ada sedikit kesalahan mengenai generalisasi dalam aktivitas yang beragam. Aktivitas-aktivitas itu membentuk kemungkinan yang akan terjadi dengan adanya perubahan-perubahan, bahkan perubahan secara konseptual dalam organisasi. Keterlibatan manusia (yang memiliki nilai) dalam interaksi dipengaruhi oleh struktur dan sistem yang melingkupi. Aktivitas manusia dalam kehidupan menggunakan aturan-aturan dan kebiasaan-kebiasaan dalam berbagai motif. Hal itu berjalan situasi dan kondisi berdasarkan mode yang diproduksi. Selanjutnya, ada pemahaman
mengenai sistem itu bekerja
mengarahkan manusia untuk bertindak dan berprilaku. Manusia dalam perilaku akan bergerak dalam lingkaran struktur dan sistem. Aktivitas atau kegiatan manusia dalam pandangan strukturasi dianggap sebagai praktik sosial karena adanya komposisi dalam wilayah tertentu. Interaksi-interaksi yang terjadi ini merupakan reproduksi sosial sehingga manusia pada akhirnya membentuk praktik sosial sebagai agen yang memproduksi suatu keadaan. Interaksi sosial pada akhirnya menjadi kebiasaan yang terus dijalani oleh manusia. Aktivitas-aktivitas ini menjadi rangkaian perubahan sosial yang terus bergerak dan menjadi pola di dalam hidupnya. Sebagai contoh, pada wilayah moral ada commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kewajiban yang dilawan dengan resiko (Hazlitt, 2003:141). Seseorang harus menolak atau melakukan sesuatu karena adanya pandangan-pandangan wacana terkait dengan moral, yang resikonya terlalu tinggi apabila menolak atau melakukan. Dorongan dari kesadaran praktis membuatnya harus bersikeras untuk menentukan pilihan dengan berbagai konsekuensi dan resiko yang harus diterima. Dia tidak akan gagal dalam wilayah manapun dengan memainkan dan memperhitungkan konsekuensi dan resiko dengan baik. Akan tetapi, kebanyakan dari orang akan berpikir pragmatis dalam kesejahteraan atau kelangsungan hidup, bukan berjuang untuk hidup dengan mempertahankan idealitas. Untuk meneliti konsep strukturasi bekerja ini harus melalui perbandingan langsung dengan masyarakat yang berlainan. Hal ini difungsikan untuk menentukan (dalam proses identifikasi) berdasarkan nilai individual, struktur yang melingkupi, sampai adanya sistem yang bekerja dalam suatu tatanan. Arah pemahaman diharuskan untuk lebih mencerahkan bagi pengetahuan dengan mengungkap struktur diskursif melalui metalinguistik (Giddens, 2010:514). Hal ini dikarenakan adanya konstruksi wacana pada aktor sosial yang datang dari struktur, yakni dari tatanan keluarga, kelompok, dan institusi sosial, yang tidak pernah mereka sadari, juga dari bawah. Maka daripada itu, arah perubahan dari sebuah wacana akan diterima pada kesadaran praktis atas sistem sosial yang terus bereproduksi. Pemunculan aturan-aturan sebagai suatu disiplin akan membangun kekuasaan intensional. Adapun rasionalitas yang bergerak ke arah kesadaran praktis merupakan strategi terselubung untuk mengontrol pretensi kebenaran. commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Teori strukturasi menekankan bahwa untuk mengungkapkan ciri struktur dari sistem sosial dengan mangacu pada pengetahuan dari pelaku yang bersangkutan. Tentunya, hal ini tidak mengarah pada fungsionalisme, melainkan analisis
mengenai
kondisi
integritas
sosiologis
dan
sistem
melalui
pengidentifikasian komponen institusional utama dari sistem sosial (Giddens, 2010:515). Arahan-arahan inilah yang sangat ditekankan oleh Anthony Giddens dalam mengungkap ruang sosial serta interaksi yang terjadi di dalamnya. Pemikirannya sendiri berada di antara dua kutub teori dengan membuat keduanya saling melengkapi. Teorinya bisa juga sebagai kritik, namun dapat masuk juga dalam suatu tatanan metodologis untuk melihat fenomena secara lebih mendalam dan komprehensif. Dalam karya sastra, perubahan-perubahan yang terjadi terhadap arena produksi sangat mempengaruhi kreativitas sastrawan. Arena itu sendiri berada di dalam suatu kekuasaan politis berdasarkan wacana-wacana yang diyakini. Proses transformasi
wacana
dalam
sebuah
arena
akan
mengontrol
sastrawan
menempatkan posisinya dalam prinsip hierarkis yang terpendam. Adanya konsep estetika sebagai standar penilaian di dalam arena merupakan suatu wacana yang akan mengontrol sastrawan untuk menciptakan karya-karya berada di atas standar tersebut. Secara kritis, sastrawan dapat memahami peta sosial untuk melakukan pengondisian diri menjadi cara yang paling aman untuk diakui eksistensinya di hadapan publik dan terus menjalin relasi untuk mempertahankan hidup. Namun demikian, yang menarik di sini adalah pertarungan wacana antara individu dengan konsep estetika wacana yang ada di dalam arena. Pertarungan itu commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akan memungkinkan individu menjadi makin terakui atau justru menjadi tersingkir dari sebuah produksi. Interaksi individu di dalam arena sebagai agen yang terus bergerak akan selalu memunculkan perubahan-perubahan seiring dengan inovasi-inovasi yang terus dilakukan. Inovasi menjadi bagian penting dalam sebuah kreativitas untuk menunjukkan kemampuan. Hanya kreativitas yang memenuhi pasar, yang pada nantinya akan mengubah seluruh tatanan arena yang bersifat kapitalis. Hubungan timbal balik dalam relasi sosial juga akan menempatkan individu berada dalam cita-cita kelompok antara hasrat diri dan pengakuan eksistensi. Teori strukturasi ini akan mengungkapkan mengenai wilayah kerja dari kondisi-kondisi yang mengatur adanya transformasi struktur berdasarkan reproduksi sistem sosial. Arena produksi akan berada di bawah wacana yang bergerak, baik yang memunculkan kritik maupun yang mendukung secara penuh. Sastrawan sebagai aktor sosial akan menciptakan wilayah institusional dalam batas-batas kontekstual sebagai transformasi berdasarkan idealitasnya. Kondisi ini bekerja dengan perkembangan manusia sebagai agen yang dipahami sebagai subjek untuk melakukan perubahan berdasarkan waktu, ruang dan regionalisasi. Sementara itu, struktur, sistem, dan reproduksi sosial membentuk agen itu untuk bekerja, yakni pembaca. Adapun perwujudannya adalah perubahan, evolusi dan wilayah institusional sebagai pola baru yang hadir di waktu kemudian dari subjek, yang secara implementatif muncul pada teks-teks sastra yang diproduksi untuk diterima oleh pembaca. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
Akan tetapi, yang lebih terpenting lagi adalah memainkan (baca:membuat strategi) wacana untuk dipercaya oleh masyarakat. Arena wacana menuntut adanya tatanan simbolik diterima dan disebarkan oleh pembaca. Arena produksi wacana menjadi wilayah yang menjadikan pembaca menyebarkan wacana yang diterima. Pengetahuan memegang peran yang sangat penting untuk memainkan wacana dan mengontrol sastrawan untuk memproduksi teks-teks yang laku di pasaran. Perjuangan sastrawan untuk menampilkan karya unik diliputi dengan resiko dan konsekuensi yang sangat besar, maka pilihan yang paling praktis untuk diterima dalam suatu arena adalah dengan memproduksi teks-teks berdasarkan harapan arena, yang sesungguhnya mereka terjebak pada repetisi. Konsep sastrawan sebagai agensi yang bergerak dalam ranah sosial hadir secara bervariatif. Agen yang memiliki ranah berpikir lebih dalam akan mengakumulasikan sesuatu yang lebih inovatif dan kreatif dalam ruang sosial, meskipun berada dalam konstruksi sosial yang sama. Dalam struktur sosial ini, ada nilai yang bekerja sehingga pembaca menerima dan dengan sendirinya berusaha menyebarkan wacana yang telah diterima tersebut. Pengetahuan yang terus direproduksi oleh subjek dalam ruang sosial ini juga dapat masuk pada wilayah institusional. Pilihan-pilihan sastrawan menciptakan teks dengan genre tertentu berusaha untuk menembus konsekuensi yang harus dan akan diterima dalam perubahan masyarakat. Pilihan-pilihan ini bekerja atas stuktur sosial yang memberikan jalan, namun subjek memiliki nilai sehingga selalu memunculkan pengetuhan yang sejajar dengan nilai-nilai kemanusiaan. Posisi sastrawan dalam suatu arena mendorong strategi-strategi khusus untuk menampilkan citra agar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
diterima kehadirannya. Arena sebagai institusi menampilkan ruang dan waktu yang mempengaruhi beberapa tindakan pembaca dalam praktik sosial untuk memproduksi wacana baru berdasarkan tanda-tanda yang telah dibaca.
2.2.3 Teori Semiotika Semiotika itu sendiri adalah ilmu tentang tanda. Untuk memahami semiotika secara lebih dalam, perlu untuk mencermati tanda. Semiotika tidak dapat melepaskan diri dari tanda. Jhon Fiske (2010:61) mengatakan bahwa ―tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik dan bisa dipersepsi indra‖, namun tanda mengacu pada sesuatu yang berada di sekitar tanda tergantung pada penggunanya memahami sebagai tanda. Definisi tanda ini mirip dengan arti dari ―penanda‖ (yakni sesuatu yang bisa dipersepsi indra), yang juga membutuhkan keterangan dari ―petanda‖ (yakni mengenai sesuatu itu dipahami sebagai konsep). Dalam pandangan Barthes (dalam Budiman 2002:63) bahwa tanda pada tataran utamanya hanya akan menjadi penanda-penanda yang berhubungan dengan petanda-petanda pada tataran kedua, yakni pemaknaan untuk menemukan konotator yang telah berlapis ganda. Pemahaman tentang tanda adalah cara untuk menemukan makna dari keberadaan tanda itu sendiri. Tidak mengherankan, jika tanda menurut Martinet (2010:45), tanda sebagai sesuatu yang bisa ditangkap dan memperlihatkan dirinya sendiri. Keberadaan suatu tanda di masa sekarang sebagai fenomena dapat ditelusuri dari cara masyarakat mempersepsi benda sebagai tanda. Pada ranah inilah, dinamika pengetahuan manusia tersimpan berbagai macam petunjuk, baik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
untuk menghindarinya agar terhindar dari bahaya, maupun merespon dengan menanggapinya sebagai pemahaman bersama. St. Sunardi (2002:37-43) memulai mendefinisikan tanda dari pemikiran Roland Barthes, yakni dari buku Element of Semiology. Tanda, menurutnya, berasal dari kata Latin, yakni signum, yang juga dekat dengan pernyataan dari Ferdinand de Saussure tentang signified dan signifier. De Saussure (1993:147) menyatakan sebagai berikut ini: Kami usulkan untuk tetap memakai kata signe (tanda) untuk menunjuk keseluruhannya, dan mengganti kata concept (konsep) dan image acoustique (gambaran akustik) masing-masing dengan petanda dan penanda; istilah-istilah yang terakhir ini memiliki kelebihan, yaitu menandai oposisi yang memisahkan keduanya, atau memisahkan mereka dari keseluruhan di mana mereka menjadi bagian. Itulah dasar dari tanda: sesuatu yang bergerak dan dipahami dari benda yang dikonsepkan untuk memahaminya. Pemaknaan tanda dari Saussure dengan mengacu pada ―oposisi‖ (baik X buruk) dari setiap kata untuk menentukan eksistensinya. Cara kerja ini sangat dimungkinkan terjadi spekulasi dari interpretator hanya berdasarkan dugaan semata. Semiotika terus mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan tanda-tanda yang ada di realitas, dan juga hasil pemaknaan manusia terhadap kehadiran dari penanda itu sendiri. Inilah alasan bahwa semiotika terus saja diperdebatkan oleh para ahli dengan menjalin relasi bersama disiplin ilmu pengetahuan. Munculnya pemaknaan manusia terhadap sejarah, mitos, dan budaya pada perkembangan tatanan global juga memberikan dampak yang besar pada semiotika untuk mencermati pergeseran kode ideologi. Konstruksi realitas dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
bentuk simulasi yang memunculkan hiper-realitas melalui teknologi telah membuat kode menjadi sedemikian terbuka untuk diinterpretasi. Tanda-tanda terus saja diproduksi dengan kehadiran struktur sosial-budaya dengan adanya kemungkinan retoris pada setiap berlangsungnya pesan. Semiotika menjadi ilmu yang sangat luas karena tanda-tanda dapat bergerak ke mana saja. Di sekeliling kehidupan, akan banyak sekali ditemukan tanda yang bergerak, sejauh manusia itu mencermatinya. Apapun bisa menjadi tanda ketika hubungan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya terjadi dan membentuk makna. Artur Asa Berger (2005:29-32) mengkategorikan empat bentuk tanda secara umum, yaitu ―tanda-tanda periklanan, objek dan budaya material, aktivitasaktivitas dan penampilan, serta suara dan musik.‖ Bentuk-bentuk tersebut dapat ditemui di mana saja, dan itu pun masih dalam kategori yang terbatas karena dalam pemahaman historis telah menyatakan bahwa alam telah menyajikan berbagai keanekaragaman tanda, yang dapat diidentifikasi dan diamati. Semiotika yang struktural mengalami kesulitan untuk membaca setiap tanda karena sesungguhnya semiotika hanyalah kerangka berpikir dengan dipenuhi oleh berbagai macam konsep. Kehadiran tanda-tanda itu sendiri akan terbaca dengan interpretator yang memiliki wawasan dan pengetahuan luas, baik dengan sejarah, tradisi, budaya, fenomena, dan tatanan global dalam setiap ruangnya. Semuanya adalah teks yang menampilkan representasi, maka kandungan metonimi, metafora dan simbol selalu terbersit di dalamnya yang dapat dimaknai sesuai dengan prilaku sosial. Kota sebagai regionalitas, manusia sebagai pelaku, pola prilaku sebagai susunan aktivitas dan kontradiksi dari setiap gejala merupakan tanda yang commit to user
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dapat diperbicarakan oleh semiotika, yang tentunya dengan juga mengacu pada perubahan yang terjadi. Perkembangannya sangat heterogen dengan arah dan pertumbuhan yang hampir tidak pernah disadari. Ada zona tersendiri yang muncul dan hilang sebagai simbol setiap fenomena yang dapat dipelajari. Tanda-tanda akan selalu berubah berdasarkan pada fenomena yang terjadi. Semiotika hanya beruasaha untuk membaca setiap fenomena. Apa yang tertemukan di dalam semiotika bukanlah sesuatu yang basi begitu saja, namun itu akan sangat berguna untuk memahami setiap fenomena yang bergerak dalam dinamika sosiokultur karena adanya produksi yang terus-menerus dilakukan oleh manusia. Sebenarnya, kehidupan sudah menyediakan (tepatnya ―menampilkan‖) begitu banyak tanda-tanda, bahkan orang yang tidak tahu semiotika saja, dan masyarakat bisa memaknakan tanda-tanda tersebut. Manusia memiliki pikiran juga ingatan, yang semua itu tersampaikan melalui bahasa mereka sendiri-sendiri. Bahasa
adalah
kompleksitas
pengetahuan
secara
representatif.
Manusia
memahami tanda berdasarkan bahasa. Pemahaman terhadap bahasa tidak terikat pada lisan dan tulisan, melainkan pada susunan alam dalam melakukan komunikasi dan menciptakan arti bagi yang lain. Sesungguhnya, dalam pemukiman tanda-tanda terdapat ruang komunikatif yang menyajikan berbagai kemungkinan makna seiring dengan tersebarnya konsep-konsep. Orang mungkin tidak memahami teori tanda-tanda, tetapi ia telah lama bermukim dalam tandatanda sehingga menemukan konvensi untuk memperlakukan tanda-tanda tersebut, meskipun tanda-tanda selalu bergerak dari konvensi sebelumnya. commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Semiotika sebagai ilmu yang mempelajari tanda-tanda di dalam kehidupan, tidak dapat berdiri sendiri. Butuh disiplin lain untuk menuju pada tataran esensi, konsep, ideologi, dan juga tentang cara tanda tersebut diproduksi untuk menemukan
sesuatu
yang
terartikulasikan.
Disiplin
ilmu
sosial
akan
menempatkan pemaknaan dalam interpretasi masa kini karena ―kebenaran tidaklah tunggal‖, melainkan memiliki ruang-ruang tersendiri berdasarkan konteks yang sedang dihadapinya sebagai fenomena. Semiotika sebenarnya sebagai karangka untuk memahami, juga sebagai cara-cara setiap tanda bergerak menuju ke arah makna dengan tidak sama: setiap tanda memiliki cara tersendiri untuk membuka setiap dimensi dan ruangnya. Bahasa menjadi bagian penting dalam semiotika. Seperti yang dikatakan oleh Christopher Norris (2008:61) bahwa ―dengan hadirnya semiotika, atau ilmu tentang tanda, bahasa kemudian ―menyadari‖ posisi pentingnya dalam kehidupan sosial tanda-tanda pada umumnya.‖ Peranan bahasa yang begitu penting dalam semiotika harus membuat interpretasi dilakukan secara hati-hati untuk mengungkap tentang ―struktur pengandaian‖ pada kerja metaphor, metonimi dan simbol di dalam bahasa. Saussure (1993:147) telah menyusun serangkaian tanda pada struktur lisan dan tulisan sebagai bahasa, bahwa tanda adalah kombinasi konsep dan akustik. Tanda dapat muncul melalui bahasa sebagai konsep kesatuan atas komponen yang bertaburan. Bahasa—sebagai penamaan—membentuk identitas untuk membedakan dengan bentuk lainnya sehingga refleksi akan muncul dari kehadiran bahasa. Kehadiran suatu bahasa akan memunculkan imajinasi bagi seseorang dengan ia commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
membayangkan peristiwanya. Kata [sekolah] akan menimbulkan imajinasi mengenai keadaan yang berseragam, dengan ada murid dan guru yang saling berinteraksi. Konotasi akan muncul melalui denotasi, meskipun penjelasan mengenai sekolah tidak mesti dengan kegiatan belajar yang tertib. Kesepakatan masyarakat memahami tanda dalam realitas muncul dan membentuk sistem sosial yang terus bergulir. Bahasa sediri hadir untuk menuju pada kesepakatan masyarakat, yang juga di dalamnya terkandung pengetahuan baik secara historis maupun kontemporer. St. Sunardi (2004:64) menjelaskan ―bahasa adalah pranata sosial dan sistem nilai.‖ Pemahaman mengenai bahasa tercipta bisa berdasarkan sejarah, pola kebiasaan, juga melalui struktur masyarakat yang membuat kesepakatan. Bisa saja bahasa diciptakan oleh individu, tetapi untuk bahasa tersebut menjadi universal, maka ia harus mendapat pengakuan dari masyarakat dengan adanya kesepakatan pada setiap elemen. Adanya kesepakatan antar individu menjadikan bahasa berlaku secara universal dilakukan secara dialektis karena setiap orang memiliki cara tersendiri dalam membuat tanda untuk dapat diterima oleh masyarakat. Ada subjektivitas dalam permainan pengetahuan yang berkembang pesat dan di kalangan luas, maka interpretasi sangat dibutuhkan untuk mengungkap tandatanda sosial. Penerimaan masyarakat terhadap bahasa hadir berdasarkan acuan yang diketahuinya. Bahasa ada yang berbentuk warisan, juga ada yang berbentuk temuan (baca:baru). Ferdinand de Saussure (1993:146) memahami bahasa yang berbentuk warisan dengan ia melihat cara bahasa tersebut dipahami oleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
masyarakat, maka lisan sebagai bahasa primer dan tulisan sebagai bahasa sekunder. Namun demikian, perlu dilihat dalam perkembangan lanjut, bahwa bahasa terus saja hadir dan berubah-ubah seiring dengan penggunanya itu sendiri. Sistem nilai dan pranata sosial sedikit demi sedikit juga mengalami perubahan dengan terciptanya kesepakatan baru. Manusia yang selalu arbitrair dengan sistem pengetahuannya mencoba terus untuk menemukan bahasa baru untuk diterima oleh masyarakat berdasarkan ―pemahaman dan penjelasan,‖ juga ―penjelasan dan pemahaman.‖ Transformasi pengetahuan ini terjadi lewat bahasa yang diyakini oleh sistem pengetahuan yang ada di dalamnya. Esensi perubahan makna dapat ditemukan pada cara masyarakat itu sendiri dalam memahami. Penanda yang sama ketika sudah difungsikan dan dipahami dalam posisi berbeda akan mengalami makna yang berbeda pula: sudah tidak sebagaimana pada awal kehadiran tanda itu sendiri. Keadaan ini dapat terlihat misalnya, pada tanda-tanda kebahasaan dalam puisi yang maknanya mengalami perubahan dari bahasa yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memahami fenomena itu, maka butuh interpretasi sosial yang kritis. Sistem bahasa perlu diungkap sebagai fenomena. Struktur, sistem dan reproduksi sosial yang menjadi prilaku manusia merupakan fenomena yang dapat dicermati berdasarkan ilmu pengetahuan, dengan adanya wacana yang terkandung di dalamnya sehingga esensinya sama dengan tulisan yang dikaji. Pengetahuan dapat menjadi determinasi bagi masyarakat. Kontrol dibentuk dalam geneologi konsep. Ideologi akan diraih oleh kelompok dominan yang disepakati oleh elemen masyarakat, meskipun tidak commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
secara keseluruhan. Kelompok dominan dapat saja lahir di mana pun, yang jelas dia memenangkan kesepakatan berdasarkan motif-motifnya. Cara kerjanya dengan meletakkan tanda sesuai yang telah disepakati oleh masyarakat sehingga konsensus dapat berlangsung dengan mudah tanpa ada perlawanan. Roland Barthes (dalam Budiman, 2004:64) menawarkan strategi pembacaan tanda yang cukup baik. Hubungan antara penanda dan petanda berhubungan dengan petanda-petanda yang mampu menghasilkan tanda. Selanjutnya, tanda itu sendiri dapat menjadi ideologi yang masih dapat dimaknai lagi. penanda
Petanda tanda
PENANDA
PETANDA TANDA
Gambar arah pergerakan tanda (sumber Budiman, 2004:64) Dari gambar tersebut, untuk membaca tanda yang terus bergerak dan bertingkat, maka dibutuhkan teks-teks lain. Tanda-tanda yang tersusun atas bahasa terus saja bergerak menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru pada setiap ruang dan waktu dengan fenomena yang berbeda pula (Fayyadl, 2005:39-42). Bahasa tidak bersifat statis, melainkan dinamis dengan proses dialektika yang melibatkan diferensi. Usaha bahasa dalam rangka menyusun identitas-identitas tanda akan memproduksi konsep yang baru. Hubungan aspek konseptual dan material (antara petanda dan penanda) yang sebenarnya memungkinkan terjadinya pergeseran pemahaman ketika sudah diinterpretasi oleh masyarakat. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
Tanda yang bergerak dalam wacana bagi semiotika tidak hanya berlangsung dalam pesan linguistik, tetapi sudah pada cara imaji denotatif memiliki pesan literal. Bahasa pada puisi memungkinkan imaji berurusan dengan sisi simbolik dengan sekumpulan konotator yang terus bermain. Sekumpulan konotator telah meninggalkan arenanya dan menciptakan arena yang lain dengan bangunan baru setelah melakukan berbagai pertemuan. Bagi Barthes (2010:38), bahwa ―puisi, pada gilirannya, bervariasi tergantung pada substansinya, tetapi bentuknya tidak bervariasi, bahkan mungkin sekali jika hanya berlaku bagi bentuk retoris tunggal, yang lazim muncul dalam sastra imaji.‖ Pergerakan setiap tanda dalam puisi hadir pada upaya wacana membentuk identitas baru sehingga menghasilkan konsep yang berbeda dari kehidupan sehari-hari. Kehadiran suatu puisi akan membentuk pemaknaan yang lain karena ―bahasa tidaklah netral‖, di mana di sekelilingnya muncul entitas baru. Barthes (2006: 152) melihat ―kode sebagai cara penandaan‖ yang mengandung cara-cara berkomunikasi di dalam tulisan. Tulisan apapun dapat saja menjadi mitos karena tulisan juga media, juga bahasa, sebagai cara untuk melakukan komunikasi. Puisi adalah media komunikasi, tetapi menulis puisi untuk perempuan cantik memiliki maksud lain, yakni menyatakan cinta. Puisi sebagai cara komunikasi, yang bisa saja berarti cinta. Puisi sebenarnya adalah tulisan, namun terjadi kesepakatan di sana dari kehendak rasa. Secara mitologis, ini juga wicara yang menampilkan pesan dengan didukung oleh makna karena puisi juga tanda ekspresif bagi seseorang untuk bisa memiliki sesuatu. Sejarahnya telah terbentuk lama untuk memaksudkan suatu makna yang dilakukan oleh masyarakat. Wacana yang ada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
dalam konotasi dari menulis menghasilkan varian makna untuk dapat ditelusuri setiap kemungkinan yang hadir. Bagaimana pun juga, pada hakikatnya, setiap teks memiliki sejarah yang juga berarti memiliki pengetahuan atas teks tersebut sehingga manusia dengan insting ke-liyan-annya berusaha untuk memaknai. Adapun upaya untuk melakukan pemaknaan harus dilakukan dengan tiga langkah, yakni ―pengaruh yang jelas‖, ―bersifat kolektif‖, dan ―subjektif‖. Caranya yakni dengan melihat artefak dari suatu kebudayaan atas wacana yang beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat. Penanda yang muncul dengan juga memunculkan berbagai petanda sosial adalah fenomena kebudayaan yang dapat menjadi identitas bagi seseorang. Keyakinan kolektif yang terbentuk melalui hasrat sosial telah membangun wacana sehingga dapat menaklukkan ruang. Makna yang hadir bukanlah pada benda itu sendiri, melainkan cara orang memaknai benda karena adanya konstruksi wacana dalam relasi sosial. Kehadiran wacana membentuk pengetahuan baru bagi masyarakat untuk menampilkan aksi dalam identitas sosial tertentu. Proses legitimasi itu sendiri membutuhkan wacana. Pembacaan Foucault (1987) terhadap ―bahasa yang tidak netral‖ merujuk pada setiap media yang memiliki wacana. Cara kerja dari konsepkonsep itulah hakikat makna yang terus diproduksi dalam struktur diskursif yang terkatulisasi melalui pengetahuan. ―Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, tetapi pengetahuan berada dalam relasi kuasa itu sendiri‖ (Eriyanto, 2008:66). Tanda yang tersebar luas pada seluruh elemen masyarakat begitu bebas untuk ditafsirkan oleh siapa saja, namun keadaan ini bisa ditentukan batascommit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
batasnya juga diarahkan oleh pihak-pihak yang bermain di belakangnya. Makna yang berada dalam arena pengondisian bukanlah makna itu sendiri, melainkan teks karena makna yang sesungguhnya berada di sekitarnya, yaitu tentang alasan keadaan bisa itu terjadi, bukan kejadian apa dan mengenai caranya saja. Dari keadaan inilah, secara holistik, dapat terbaca mengenai arus interaksi yang kompleks dengan kerja tanda yang ada di dalamnya. Daya pikir yang kritis, dengan ditunjang pada wawasan yang luas, akan membuka pengetahuan yang memberi kesadaran dari pengaruh pengetahuan yang telah dikondisikan. Kebenaran-kebenaran pada setiap makna tidak lagi seperti yang telah ditentukan. Setiap individu memiliki kemampuan untuk membaca setiap fenomena, tergantung dia sadar atau tidak terhadap fenomena itu. Dalam rangkaian interpretasi parsial, semiotika perlu untuk terus membaca setiap fenomena. Konstruksi tanda dalam realitas sosial untuk membentuk struktur sosial menuju wilayah institusional perlu dilihat secara sadar dan mendalam. Pemaknaan bukan berdasarkan semiotika itu sendiri, melainkan berdasarkan tanda-tanda yang terselubung di dalam teks. Semiotika akan membantu mengidentifikasi warisan kultural, kemudian baru melihat cara tanda-tanda dimainkan untuk menuju pada konsep, sekaligus membedah alasan produksi tanda dalam maksud dan tujuan yang lebih holistik. Semiotika berusaha untuk membaca entitas-entitas yang bertebaran di sekeliling teks, sedangkan entitas itu sendiri sebenarnya bagian dari teks yang dapat dianalisis untuk menuju pada esensi makna. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
2.2.4 Teori Stilistika Nyoman Kutha Ratna (2009:3) memandang stilistika sebagai ―ilmu gaya,‖ dengan acuan bahwa makna dari kata ‗stil‘ (style) sebenarnya lebih tertuju pada cara-cara yang khas, berkaitan dengan karakteristik dengan peranan besar dari adanya majas. Pandangan ini akhirnya tertuju pada gaya bahasa yang mewujud di dalam suatu teks sehingga gejolak bahasa memiliki ciri tersendiri, yang berbeda dengan lainnya. Aminuddin (1997:3) juga memandang stilistika pada gaya bahasa dengan menyadari bahwa komunikasi sangat beragam, yang dapat ditandai melalui bahasa yang digunakan. Jauh sebelumnya, Umar Junus (1989:xvii) pernah memandang hakikat dari stilistika dihubungkan dengan penggunaan bahasa di dalam karya sastra. Beberapa pandangan ini memberikan kejelasan mengenai stilistika tertuju pada gaya bahasa. Adapun gaya bahasa itu sendiri dapat muncul di mana saja, dengan syarat ada komunikasi, baik lisan maupun tulisan: tepatnya ketika terjadi penyampaian pesan melalui bahasa. Bahasa memungkinkan ―elemen ketakterhinggaan‖ di dalam suatu teks. Di dalam bahasa, selalu tertoreh aneka macam permainan dari penciptanya, masih memungkinkan kemunculan makna tidak patuh pada pikiran. Berbagai macam sistem tercipta di dalamnya. Makna sebuah kata bisa saja berubah, tidak seperti yang tertera di dalam kamus. Kata-kata dalam satuan sintaksis dapat saja berupa kesadaran untuk membangkitkan orang lain (pembaca atau pendengar). Komponen linguistik seperti pembentukan frase dan sistem sintaksis harus dicermati karena di situlah makna tercipta. Menurut Foucault (2007:47), bahasa selain sebagai materi penulisan benda-benda, juga menemukan wilayah dalam commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
himpunan tanda-tanda representasi yang umum. Makna suatu kata lebih ditentukan oleh perpaduan yang mengawali atau mengikutinya dengan konteks yang cukup beragam. ―Sebagai medium, bahasa adalah fakta kultural dengan hukum positif,‖ seperti penerapan kaidah-kaidah linguistik yang kompleks (Ratna, 2009:44). Elemen yang terkandung di dalam bahasa sangat luas dan plural, dengan adanya relasi dengan fenomena sosial-budaya yang melingkupinya. Bahasa untuk menjelaskan realitas penuh dengan artikulasi tersendiri. Dari beragamnya
bahasa
yang ada, justru
memunculkan pilihan
kemungkinan tersendiri. Ini tidak sekadar persoalan pemilihan variasi ungkap, tetapi lebih pada pilihan kemungkinan dari berbagai macam ketersediaan bahasa. Ada dua hal yang menarik menurut Umar Junus ( 1989:63), yakni pertama, karena adanya variasi bahasa yang sebenarnya tidak memberikan kemungkinan pilihan karena keterikatan pada komposisi tertentu, dan kedua karena terbukanya pilihan dan menulis dalam posisi antara sadar dan tidak telah membuat pola di dalam diri seseorang dalam memilih bahasa tertentu. Oleh karena itu, yang terjadi di dalam sebuah tulisan adalah artikulasi interpretatif berdasarkan persepsi dari penulisnya dalam memahami realitas. Stilistika juga harus melihat pola pemilihan kata dalam arena keserbamungkinan dari seorang pengarang dalam memahami fenomena untuk dimunculkan sebagai tulisan. Jangkauan stilistika cukup luas dengan melihat pada seluruh aspek yang dapat menandai aktivitas kebahasaan. Jika ada persepsi yang lebih memandang stilistika untuk mengungkap gaya bahasa saja, maka hal itu adalah kekeliruan. Aktivitas
kebahasaan
tertuju
pada keindahan, commit to user
produksi
bahasa
untuk
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menghasilkan pesan-pesan, produksi bahasa, dan pola-pola bahasa, yang sekaligus dapat menandai kualitas individu (baca:pengarang) yang berada di baliknya. Turner (1973:8) mengakui bahwa ―we know what language is in the sense that we can identity it or simply construct a sample of it.‖ Bahasa sebagai ekspresi menampilkan identitas seseorang, maka ada ciri yang khas dari setiap penyampaian kata-kata. Dalam persepsi ini, stilistika menjadi menarik karena ia adalah ilmu yang berusaha mengungkap sistem kebahasaan berdasarkan karakteristik, ciri, gaya, kekhasan, dan relasi tipikalitas pemilihan bahasa. Kekuatan silistika sebagai ilmu muncul dari gabungan antara linguistik dan sastra (Junus, 1989:xviii). Dalam ranah yang lebih luas, karya sastra merupakan bagian dari stilistika budaya (Ratna, 2009:5). Aktivitas dan pola tersebut seperti bentuk spiral yang saling terkait (terhubung) wilayahnya. Bahasalah yang merangkai wilayah terebut sehingga dapat dipahami dan dapat diposisikan sebagai ‗teks‘ untuk menemukan karakteristik. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2009:19), stilistika dapat dimasuki melalui dua hal, yakni ―ruang lingkup yang berkaitan dengan objek stilistika dan ruang lingkup dalam suatu aktivitas penelitian.‖ Dua ranah tersebut terbuka untuk melihat
aspek
kepribadian
dengan
mempermasalahkan
bahasa
sebagai
mediumnya. Dalam sistem bahasa, ada kemungkinan bahwa bahasa menampilkan tanda-tanda budaya berdasarkan kebutuhan pribadi seseorang untuk membentuk komunikasi. Kreativitas individu yang terwujud melalui bahasa memainkan wilayah pengetahuan seseorang berdasarkan realitas yang ada di sekelilingnya. Sistem bahasa yang diproduksi—meskipun sebagai inovasi sekalipun— commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
menggunakan sistem yang tidak dapat dilepaskan berdasarkan praktik kehidupan. Objek yang ada di dalam stilistika harus dipahami dan dicermati karakteristiknya, maka akan terlihat sistem produksi bahasa seseorang. Aminuddin (1997:75-76) memetakan tentang stilistika yang dapat dilakukan melalui pendekatan monisme, dualisme dan pluralisme. Pendekatan monisme dilakukan dengan menyikapi teks sebagai sistem tanda dengan adanya kesatuan antara bentuk dan isi. Elemen antara bentuk dan isi tidak dapat dipisahkan begitu saja karena merupakan suatu sistem yang saling mendukung. Pendekatan dualisme menekankan pada bentuk dan isi sebagai elemen yang berbeda, yang dapat dipisahkan untuk menuju pada tataran makna. Ada ketidakidentikan antara bentuk dan isi, yang sesungguhnya keduanya saling berhubungan secara erat. Pendekatan pluralisme lebih menitikperhatiankan bahasa pada fungsinya yang sangat beragam. Suatu teks yang terdiri atas bahasa memungkinkan kedirian dari seorang pengarang dengan terkait pada fakta sosial yang melingkupi dan ia memiliki penafsiran tersendiri terhadap realita. Persepsi ini lebih memungkinkan arah perhatian dilakukan secara luas dengan mengacu pada sistem tanda yang harus dipaparkan tersendiri. Arah dari pendekatan pluralisme di dalam stilistika lebih mengarah pada struktur sosial dan budaya pengarang sebagai karakteristik yang muncul di dalam suatu teks. ―Makna suatu teks sendiri tidak lepas dari ideologi pengarangnya‖ (AlMa‘ruf, 2009:27). Stilistika memandang ideologi sebagai ―gagasan dan pandangan‖ seorang pengarang—yang secara sadar maupun tidak sadar— dimunculkan di dalam teks secara konsisten dan dapat menandai kepribadiannya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
Makna yang dimunculkan di dalam suatu teks mengarah pada hasil interpretasi pengarang atas realitas. Dia berusaha untuk merenungi, dan memikirkan realitas di sekelilingnya, sebelum pada akhirnya mewujud menjadi teks dengan medium bahasa. Pengarang menyerap pengetahuan dengan ada usaha melampaui batasbatas bahasa keseharian untuk disusun menjadi pengetahuan dengan berbagai macam politik yang digunakan. Politik bahasa dengan pola retorika akan menandai karakteristik seorang pengarang di dalam karya-karyanya. Bahasa telah dipenuhi dengan metafora, metonimi dan simbol untuk merepresentasikan aneka elemen sosial-budaya menjadi teks yang padat. Di dalam sastra banyak ditemukan elemen bahasa yang padat. ―Sastra adalah sesuatu yang menggantikan fungsi penandaan dari bahasa (dan bukan menegaskannya) (Foucault, 2007:49). Karena itulah, sastra menjadi berbeda dengan kehidupan sehari-hari. Ada titik pandang yang dapat ditandai melalui bahasa yang berbeda, memiliki ciri, karakter, pola, dan kesatuan yang telah dibentuk untuk unik dan menarik. Metafora selalu memunculkan upaya pembebasan pada bahasa dengan daya yang kreatif dan imajinatif. Metafora bukan sekadar kata-kata manis, tapi mampu membentuk, menciptakan, dan mempertahankan pandangan dunia (Sarup, 2003:83). Metonimi sendiri mampu menjadikan keterwakilan melalui hal-hal yang penting dan dapat dijangkau oleh imajinasi orang lain. Munculnya metonimi memang telah didahului oleh konvensi, namun tetap menjadikan bahasa bersinar dan menjadikan wacana lebih hidup. Metonimi sangat berkaitan dengan penandaan yang hadir untuk membaca yang tidak hadir. Adapun simbol yang harus dirujuk pada referen terasa menyulitkan, tapi ia menampakkan diri untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
memahami dunia secara lebih mendalam. Aneka politik dari komposisi metafora, metonimi dan simbol di dalam suatu teks menjadi ruang fundamental dengan kandungan yang ditandai. Ruang itu menunjukkan sebagaimana teks tersebut muncul dan membentuk pola yang berbeda dengan teks lainnya. Stilistika yang berusaha untuk menemukan arti dari suatu teks harus mampu mendeskripsikan gaya, yakni dengan akhirnya sastra lebih dominan untuk menandai capaian dari seseorang yang berbeda dengan orang lain. ―Gaya sebagai milik pribadi‖ dikaitkan dengan obsesifitas, keinginan, maupun lingkungan sosial budaya yang melatarbelakanginya. Upaya untuk melihat ciri pribadi haruslah ditentukan dengan gaya orang lain sebagai perbandingan (Junus, 1989:21). Adapun yang menjadi karakteristik ini mengungkap pemikiran dan penciptaan yang dilihat dari teksnya. Teks sebagai diskursus yang dibakukan (Riceour, 2006:196) menyisakan jejak yang dapat ditelusuri. Adapun ―jejak itulah sebagai entitas‖ yang memuat pemikiran dan penciptaan berdasarkan struktur sosial dan budaya. Keberadaan bahasa di dalam suatu teks berada di bawah level identitas yang telah diartikulasikan. Dengan begitu, di luar jalinan bahasa yang terbangun dengan baik, sesungguhnya melintasi seluruh bidang representasi (Foucault, 2007:138-139). Gaya pribadi di dalam kreativitas seorang pengarang dapat saja dimunculkan sebagai kredo (Aminuddin:1997:29). Kredo dibangun berdasarkan kesadaran dari seorang pengarang untuk membuat tipikalitas di dalam teksteksnya. Tipikalitas sengaja untuk diciptakan. Pengarang ingin agar masyarakat menandai dan menganggap berbeda dengan yang lain. Pengarang secara sadar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
bahwa ia diharuskan memiliki inovasi sehingga tidak ingin terkesan sebagai epigon. Dalam usaha membentuk kredo, serangkaian konsep telah dipersiapkan untuk mengutuhkan pandangan-pandangan terhadap suatu fenomena. Untuk memunculkan kredo tidaklah mudah karena harus berhadapan dengan kemapanan-kemapanan yang telah ada. Ketika kredo telah menjadi miliki pribadi, maka individu yang lainnya apabila memproduksi teks yang serupa akan dianggap meniru. Pemunculan kredo bagi terciptanya karya-karya seorang pengarang dibentuk melalui wacana. Kredo yang hadir sebagai ciri yang khas, tetapi juga dibentuk berdasarkan konsep yang kuat. Untuk memunculkan suatu konsep adalah dengan adanya pengetahuan. Komposisi pengetahuan itu sendiri dapat hadir berdasarkan wacana, baik yang diucapkan (dijelaskan) maupun dilakukan (terus dimunculkan di dalam karyanya). Tindakan juga menyertai sebuah teks dengan adanya pretensi untuk dibakukan. Umar Junus (1989:76-90) melihat arah perkembangan stilistika pada wacana. Dia melihat pada kehadiran tiap kata di dalam suatu wacana memiliki makna untuk tujuan retorik. Dia sendiri mengacu pada pendapat Foucault tentang wacana yang menguasai pembaca. Pandangan ini berdasar pada wacana yang memiliki elemen bahasa secara kompleks. ―Bahasa dan teks adalah proses daur ulang tanpa akhir‖, walaupun teks bukanlah bahasa, dan ―teks lebih terkandung di dalam bahasa‖ (Ratna, 2009:222). Dalam kaitan ini, menjadi sangat mungkin ketika, stilistika—ilmu tentang gaya bahasa—harus berurusan dengan wacana yang menggunakan bahasa. Elemen komunikasi termuat di dalam wacana dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
memuat ilusi dan kemiripan yang berbeda untuk menyatakan maksud. Ada usaha untuk menaksir setiap kata-kata sebagai interpretasi atas pengetahuan yang ditandai sehingga pesan ditransmisikan. Dengan demikian, ―ada cara-cara tersendiri dalam rekonstruksi wacana untuk memberi kebenaran.‖ Gaya bahasa menjadi elemen yang penting dalam suatu wacana untuk membentuk jalur distribusi pengetahuan yang hendak disampaikan. Gaya bahasa dapat menjadikan seseorang tertarik dalam mengikuti alur pikir di dalam suatu wacana. Dengan adanya tata bahasa yang rapi, puitik, dan menyenangkan dapat menjadikan seseorang betah dalam memahami pesan-pesan di dalam wacana tanpa adanya paksaan. Wacana yang ada di dalam karya sastra dibentuk oleh serangkaian gaya bahasa yang indah untuk mampu berkesan pada benak pembaca. Seorang sastrawan yang mampu peka terhadap momen puitik sebagai suatu ide berusaha untuk membangun wacana berdasarkan kelengkapan antara keindahan dan pesan. Melalui keindahan-keindahan itulah, pembaca secara tidak sadar menerima pengetahuan-pengetahuan yang dituliskan secara empiris. Daya sugestif dari gaya bahasa merupakan arena pemosisian sebagai sesuatu yang benar. Wacana membentuk dan mengonstruksi peristiwa sehari-hari untuk dapat ditandai sebagai pengetahuan. Setiap kata yang ada di dalam wacana memiliki berbagai macam kemungkinan untuk menandai. Keberadaan kata-kata tidak hanya untuk melihat pada keindahan suatu teks, melainkan selalu memungkinkan terjadinya proses pemaknaan dengan adanya ciri metafora untuk memperhalus. Keberadaan metafora ini berhubungan dengan pengetahuan-pengetahuan dari realitas karena commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
pengetahuan itu sendiri tidak selalu konkret, juga abstrak. Untuk menjelaskan pengetahuan dibutuhkan perumpamaan yang mampu menggambarkan sebagai sesuatu yang mesti dipahami. Penggunaan metafora di dalam suatu wacana mampu sebagai retorika untuk mengalirkan pendapat dan ide agar mudah dipahami, yang ketika pembaca tidak tahu latar belakang sosial budayanya menjadi sangat bingung. Munculnya metafora sendiri dapat menghadirkan suasana dengan membentuk kekuatan baru untuk terasa segar. Kemampuan retorika di dalam wuatu wacana melalui metafora akan mengarahkan pada kemiripan yang terus berkembang dan melampaui batasan-batasan bahasa yang mulanya telah digariskan secara konvensional. Michel Foucault (2007:54-55) sendiri melihat bahwa bahasa di dalam wacana mampu merekonstruksi pengalaman bahasa baru dan benda-benda dengan kesalingpengaruhan distingsi yang digambarkan di dalamnya.
2.3 Kontribusi Pustaka Terdahulu Kajian mengenai wacana di dalam sebuah puisi pada umumnya diarahkan pada wacana kebahasaan secara umum saja. Istilah mengenai wacana sendiri memang dipakai di banyak disiplin. Namun, kebanyakan pandangan mengenai wacana di dalam bahasa akan merunut pada kaum positivisme-empiris dan konstruktivisme (Erianto, 2008:4-5). Wacana dalam pandangan positivisme-empiris dapat dilihat pada struktur yang ada di dalam bahasa itu sendiri. Pertama, penelititan yang dilakukan oleh Kenfitria Diah Wijayanti di Program Studi Linguistik Deskriptif, Program commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul ―Wacana Kartun dalam Majalah Berbahasa Jawa (Suatu Kajian Sosiopragmatik)‖ berusaha untuk mengungkap mendeskripsikan jenis TT, TT yang dominan, dan penanda lingual, mendeskripsikan maksud implikatur dan daya pragmatik, menjelaskan bentuk penyimpangan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan, menjelaskan wujud aspek kebahasaan, mendeskripsikan fungsi kartun. Penelitian ini lebih meninjau wacana sebagai komunikasi verbal dengan objek tulisan berdasarkan tanda-tanda untuk memahami makna secara pragmatis. Wacana dalam perspektif ini tertuju pada kesatuan struktur bahasa secara lengkap dengan adanya keterhubungan antar proporsi. Kedua, penelitian lain dilakukan oleh Raharjo Dwi Untoro dengan judul ―Analisis Wacana Lisan Interaksi Guru dan Siswa di Kelas SMA Negeri 3 Sragen‖ sebagai tesis di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Analisis wacana di dalam penelitian ini bertujuan mengungkapkan struktur wacana lisan, fungsi bahasa dalam tindak tutur interaksi, dan partikel wacana lisan dalam tindak tutur interaksi guru dan siswa dalam kelas di SMA Negeri 3 Sragen pada waktu proses belajar mengajar. Analisis wacana yang seperti ini merupakan reaksi linguistik formal dalam interaksi yang harus dipahami dan direspon. Wacana lebih ditinjau dari komunikasi lisan yang dilihat dari nilai dan pertukaran antara pembaca dan pendengar sebagai aktivitas sosial. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Sri Widyarti Ali yang berjudul ―Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal dalam Cerpen ―The Killers‖ Karya Ernest Hemingway‖, yang merupakan tesis di Program Pascasarjana Universitas commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebelas Maret, Surakarta. Penelitian ini mengungkap kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal dan kohesi leksikal dalam cerpen ‖The Killers‖ karya Ernest Hemingway. Di dalam penelitian tersebut, mementingkan proposisi dan keterikatan makna yang serasi dalam teks narasi. Di dalam penelitian-penelitian tersebut, analisis wacana lebih diarahkan pada tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama secara pragmatis dan sosiologis. Pertimbangan-pertimbangan kebenaran suatu pernyataan lebih diarahkan pada susunan yang membentuk bahasa secara tekstual, yang ada di dalam bahasa tersebut. Hal ini terasa membosankan dan tidak berkembang sebagai sebuah penelitian karena ranah yang dapat dipahami oleh publik tidak terlalu luas. Cara kerja penelitian seperti itu berusaha untuk menemukan makna objektif saja, tanpa mempertimbangkan bahwa makna juga tersusun oleh subjektivitas. Keempat, analisis wacana yang berusaha untuk mengungkap dan membongkar makna-makna tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Jalil, dengan judul ―Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Karya A. Mustofa Bisri (Kajian Sosiologi Sastra, Nilai Religius, dan Nilai Pendidikan)‖ sebagai tesis di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini melihat hubungan antara sikap penyair dengan gagasan tentang corak kehidupan sosial masyarakat dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, nilai-nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus, dan nilai-nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus. Penelitian ini tidak lagi memandang bahasa sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
kesatuan yang harus dipahami secara terstruktur, melainkan sudah melihat pada makna yang ada di dalam karya sastra. Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Eko Sri Israhayu dengan judul ―Telaah Historis, Sosiologis, dan Estetis Puisi-puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia Karya Taufiq Ismail‖ yang merupakan tesis di Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Penelitian ini membahas tentang mengungkap aspek historis; aspek sosiologis dan aspek estetis puisi-puisi Taufiq Ismail dalam MAJOI. Di dalam penelitian ini, bahasa di dalam puisi memiliki aspek historis dan sosiologis sehingga harus dipahami maknanya. Pengungkapan makna mengikuti struktur teks dari yang telah dikonstruk pengarang. Keenam, Heru Kurniawan pernah meneliti puisi Abdul Wachid B.S dengan judul ―Konsep Mistisisme Cahaya dalam Buku Puisi Rumah Cahaya Karya Abdul Wachid B.S.‖ yang membahas tentang metafora, simbol-simbol dam konsep mistisisme cahaya buku puisi Rumah Cahaya karya Abdul Wachid B.S. Simbol cahaya merepresentasikan keimanan kepada Tuhan, dan konsep cahaya mengacu pada petunjuk untuk membimbing ―aku-lirik‖. Adapun kesimpulannya bahwa wacana kesufian dari puisi Rumah Cahaya adalah kesadaran ―aku-lirik‖ tentang hidayah dari Tuhan, yang muncul dalam bentuk cahaya. Namun, hal ini dilakukan dalam level semantik untuk menuju simbol, sedangkan level eksistensial dan ontologism tidak diungkap dengan baik. Pandangan-pandangan tersebut senyatanya masih kurang karena tidak mendasarkan pemaknaan pada puisi-puisi itu sendiri pada sebuah entitas untuk membongkar relasi-relasi sosial dan permainan strategi wacana dari Abdul commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
75 digilib.uns.ac.id
Wachid B.S. Padahal, pandangan mengenai teks, dalam pandangan Derrida, adalah dapat mengonstuksi adanya teks lain dan membuat lingkungan baru sehingga untuk membongkarnya harus memosisikan entitas sebagai keseluruhan dari teks (Al-Fayyadl, 2005:xxii). Oleh karena itu, proses terhadap diri Abdul Wachid B.S. sebagai aktor sosial yang terus bergerak dalam realita menjadi bagian dari teks itu sendiri. Praktik-praktik sosial yang secara struktur membentuk adanya keadaan untuk mewacanakan religiositas dan kesufian menjadi penting untuk dicermati. Perkembangan penulisan puisi sufi dan puisi religi pada masa kemunculan Abdul Wachid B.S. dapat berlangsung serentak sehingga hal ini pantas untuk dipertanyakan dalam sebuah penelitian yang lanjut. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Heru Kurniawan tersebut, sebenarnya dia pun mengungkap tentang wacana, yakni tentang kesufian yang terkandung di dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. pengungkapannya lebih diarahkan pada teks yang dilihat sebagai cara untuk mengungkapkan yang tersembunyi, yakni simbol dan metafora. Ada maksud dari Heru Kurniawan untuk mengungkap maknamakna yang terkandung di dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. dengan penafsiran yang masih sangat terstruktur. Penelititan terhadap wacana dengan menggunakan cara pandang dari kaum positivisme-empiris dan konstrukstivisme bukan berarti keliru atapun salah. Penelitian itu benar dengan adanya temuan-temuan tersendiri berdasarkan permasalahan yang muncul. Hanya saja penelitian itu masih menjadikan teks secara tunggal memiliki makna penuh. Senyatanya, kehadiran suatu teks selalu diliputi dengan kekuasaan yang membentuk. Kemunculan suatu teks juga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
membentuk kekuasaan baru. Oleh karena itu, analisis mengenai wacana tidak lagi dipusatkan pada benar atau tidak benarnya makna dari sebuah teks, melainkan dilihat pada produksi wacana, reproduksi dan transformasinya mampu membentuk makna baru. Analisis wacana seharusnya dilakukan secara kritis untuk memahami teks yang diciptakan oleh seorang pengarang sebagai representasi. Analisis wacana dapat diarahkan untuk membongkar kuasa yang ada di dalamnya secara bebas dengan melihat pada strategi-strategi yang telah dibentuk. Kajian wacana kritis biasanya lebih banyak dilakukan untuk membongkar kebenaran di dalam suatu berita. Buku Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media yang ditulis oleh Eriyanto mengungkap dominasi media melalui wacana. Tetik acuannya adalah berita, yang banyak dianggap benar oleh masyarakat sebagai informasi. Eriyanto melihat alasan dan strategi berita tersebut dihadirkan, yang ternyata ada penyalahgunaan kekuasaan, dominasi, dan ketidakadilan yang diproduksi secara samar sehingga harus dibongkar. Tulisannya cukup detail dan kritis, namun masih terpecah-pecah sebagai artikel, yang sifatnya sebagai pengantar memasuki wacana secara kritis. Sekalipun demikian, buku ini cukup memberikan masukan yang berharga. Keenam, penelitian yang dilakukan oleh Sumantri Raharjo dengan judul ―Wacana Kritis Komodifikasi Budaya Lokal dalam Televisi (Studi Kasus Komodifikasi Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta)‖ di Program Studi:Ilmu Komunikasi Program Pasca sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 2010. Penelitian ini mengungkap proses komodifikasi, bentuk-bentuk komodifikasi dalam acara Pangkur Jenggleng dan alasan komodifikasi tersebut dilakukan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
Sekalipun penelitian ini mengambil tema wacana kritis, namun arah bahasan sebenarnya lebih tertuju pada perubahan Pangkur Jenggleng menjadi komodifikasi di dalam televisi. Usaha untuk membongkar memang kritis, tetapi tidak membongkar bahwa teks memiliki pretensi untuk menguasai. Sebenarnya, telah ada buku berjudul Menelanjangi Kuasa Bahasa:Teori dan Praktik Sastra Poskolonial yang ditulis oleh Bill Ascroft, Gareth Griffith dan Helen Tiffin. Buku ini secara tegas melihat kuasa melalui bahasa di dalam karya sastra dalam praktik kebudayaan, yakni pada daerah yang pernah di jajah (khususnya bekas jajahan Inggris) masih belum bebas karena ada dominasi wacana yang terbentuk melalui bahasa. Dia mampu memahami sastra diciptakan dalam elemen periferial yang hendak masuk ke wilayah pusat, justru diserap oleh pusat. Bahasa di dalam karya sastra menjadi tidak netral lagi karena berada di bawah arena pemosisian. Namun, objek bidikan di dalam buku ini terlalu luas sehingga imbasnya kurang mendalam dengan memahami sastra secara universal. Tidak banyak kajian wacana kritis yang berusaha untuk mengungkap wacana di dalam puisi. Ada kesulitan tersendiri memang, yakni karena ketika seseorang berhubungan dengan puisi, maka yang pertama dia harus berhadapan dengan makna. Biasanya, orang yang sudah menemukan makna di dalam suatu puisi sudah merasa puas, terlebih lagi terkesan dengan puitika bahasa yang dibangun. Usaha menembus batas makna terdalam sebuah puisi harus dihadapkan pada serangkaian gaya bahasa yang cukup kompleks. Keindahan-keindahan yang dibangun di dalam puisi –yang berbeda dengan bahasa sehari-hari—telah mendorong bentuk sugestif untuk mempercayai pengetahuan-pengetahuan yang commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mewujud di dalamnya. Kesulitan seperti itu juga harus dihadapkan pula pada tidak banyaknya orang yang mampu dengan cermat dan kritis terhadap puisi, kebanyakan orang lebih menerima makna secara universal, terlebih lagi bila penyair itu telah mapan dalam konstelasi sosial-budaya. Arah dari penelitian ini untuk mengungkap dan mengetahui secara mendalam wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Oleh karena itu, teori Michel Foucault tentang adanya struktur diskursif dan wilayah opreasi wacana dalam membentuk kuasa menjadi sangat berarti. Puisi ditulis oleh Abdul Wachid B.S. menggunakan medium bahasa, yang di sisi lain bahasa itu tidaklah nertral, melainkan bahasa mengonstruks realitas dengan kebenaran-kebenaran dari asumsi alamiah. Untuk menentukan kedirian wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S., penelitian ini tidak hanya mengungkap wacana yang hadir di puisi, melainkan pada entitas Abdul Wachid B.S. secara total dengan melihat struktur sosial-budaya sebagai institusi yang mengelilinginya. Hal itu dimaksudkan untuk menemukan hasrat yang ada pada proses penciptaan puisi sehingga lahir tatanan simbolik berdasarkan konstruks imajiner. Dengan demikian, terdapat suatu perbedaan yang sangat signifikan antara penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian ini. Perbedaan itu terlihat pada arahan, yang mana penelitian terdahulu lebih memaknai pesan-pesan dari puisi Abdul Wachid B.S., sedangkan penelitian ini untuk mengungkap entitas di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Untuk mengungkap entitas ini, tidak hanya pada puisi itu sendiri, melainkan juga pada institusi yang membentuk dan oprasi strateginya.
commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Model Penelitian Model penelitian menjadi kerangka berpikir dalam suatu penelitian. Kerangka pikir dari penelitian ini dimulai dengan wacana perpuisian Abdul Wachid B.S. semenjak tahun 1980-an, dengan berbagai faktor yang mendorong. Wacana dalam Perpuisian Indonesia tahun 1980-an hingga sekarang FAKTOR EKTERNAL
Perebutan Makna dalam Praktik Sosial
Perpuisian Abdul Wachid B.S.
Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S
FAKTOR INTERNAL
Strategi penciptaan teks Rekonstruksi wacana
Konstilasi global
(1) Bagaimanakah strategi
wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S.?
(2) Bagaimanakah rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. mampu memperebutkan makna?
(3) Bagaimanakah transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S?
KESIMPULAN
Gambar 3.1 Model Penelitian. Beberapa faktor (baik dari internal maupun eksternal) muncul sebagai masalah karena merupakan relasi wacana, yang pada nantinya menjadi identitas user B.S. memiliki strategi tersendiri (karakteristik). Dalam prosesnya,commit Abdul to Wachid 79
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
dalam penciptaan teks untuk memperebutkan makna dalam praktik sosial melalui puisi-puisi yang ia produksi. Dalam penelitian ini, strategi wacana harus dibongkar terlebih dahulu untuk mengetahui rekonstruksi yang terkandung di dalamnya. Setelah itu, barulah bias dicermati mengenai arah dari transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S.
3.2 Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian di Kajian Budaya melibatkan berbagai disiplin untuk memberikan kemungkinan yang sangat luas dalam menampilkan sumber data yang akan menyediakan berbagai pengetahuan (Ratna, 2010:189). Penelitian ini lebih mengungkap pada wacana di dalam perpuisian, tetapi itu tidak cukup hanya berdasarkan sumber yang ada di dalam puisi-puisi yang telah ditulis oleh Abdul Wachid B.S saja. Penelitian ini masih membutuhkan data-data empiris dan eklektis. Mengacu pada pandangan tersebut, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara multi-interdisipliner dengan melibatkan lebih dari dua bidang ilmu untuk digunakan dalam mengalisis masalah yang sama. Ada disiplin mayor yang digunakan, yakni teks yang ditelaah berdasarkan wacana kritis. Teks akan dipahami sebagai diskursus yang muncul dalam praktik sosial dan budaya yang berisikan pengetahuan. Teori wacana yang dikemukakan oleh Michel Foucault akan didukung oleh teori stilistika untuk mengungkap karakteristik teks, semiotika untuk mengungkap produksi makna, dan strukturasi untuk mengungkap arah transformasinya. Teori wacana dari Michel foucault commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
menekankan untuk memahami teks ke dalam dan keluar, Adapun pendekatan tekstual pada wacana yang bergerak dalam ranah kritis berusaha untuk mengungkap konstruksi, rekonstruksi dan transformasi dari perpuisian Abdul Wachid B.S.
3.3 Metode Penelitian Menurut Barker (2008:83), metode dalam Kajian Budaya (Cultural Studies) tidak hanya menggunakan metode interpretatif dan hermeneutis untuk mengungkap makna „tersembuyi‟ bahasa, melainkan juga memberikan perhatian kepada deskripsi dan analisis diskursus secara mendalam. Bahasa selalu memunculkan kemungkinan makna dari jejak yang berserakan berdasarkan konstruksi sosial. Untuk sampai pada praktik sosial, penelitian juga memerlukan seperangkat konsep untuk membongkar kebenaran dalam arena tertentu. Antara teks, jejak, dan relasi sosial harus jelas untuk diungkap dengan strategi tertentu yang telah dipersiapkan oleh seorang peneliti.
3.2.1. Bentuk dan Strategi Penelitian Penelitian ini berada pada wilayah Kajian Budaya yang berusaha untuk mengungkap ilmu pengetahuan untuk membuktikan kebenaran melalui deskripsi mendalam karena memasuki ranah berpikir kritis. Nyoman Kutha Ratna (2010:2933) membedakan antara pengetahuan (knowledge) dengan ilmu pengetahuan (science). Dalam pandangannya, “pengetahuan mengungkap sesuatu secara spontan tanpa memahami asal-usul dan kebenaran yang kurang terbuktikan,” commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
sedangkan “ilmu pengetahuan bersifat sistematis, logis, metodis, dan teoritis”. Ilmu pengetahuan di Kajian Budaya berusaha untuk mengungkap potensi makna melalui jejak-jejak yang tersatukan oleh bahasa dan praktik wacana berdasarkan sistem berpikir yang dapat dipertanggungjawabkan. Perpuisian Abdul Wachid B.S. menjadi objek yang akan didukung dengan beberapa penjelasan dari teks-teks lain yang membicarakan perpuisian Abdul Wachid B.S., yang juga didukung dengan wawancara dengan Abdul Wachid B.S. itu sendiri. Ada potensi makna dari puisi-puisi Abdul Wachid B.S. yang muncul tidak hanya dari struktur luarnya saja, melainkan dengan nilai di dalam dirinya sehingga arahan tekstual terhadap puisi-puisi Abdul Wachid B.S. ini membutuhkan wawancara mendalam. Pemahaman terhadap wacana yang membentuk perpuisian Abdul Wachid B.S. ini masuk dalam intensitasnya sebagai penyair sehingga mempunyai gaya (style) tersendiri. Sebagai penyair, Abdul Wachid B.S. mengkonstruks gaya tersebut dalam proses yang sangat panjang sebagai aktor sosial yang melakukan tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Dia mengatakan bahwa “puisi juga menuntut eksistensi dirinya sebagai pribadi yang tak hanyut begitu saja oleh pembacanya”. Pernyataan ini menegaskan bahwa seorang penyair butuh eksistensi atas karya-karyanya kepada pembaca sehingga dalam usaha untuk menulis puisi, penyair juga sedang melakukan praktik sosial, meskipun ia sedang bertualang dengan wilayah imajinasi. Usaha memahami penyair melakukan tindakan sosial ini membutuhkan uraian (baca:konsep analisis) dari Anthony Giddens tentang strukturasi. Penyair commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menulis puisi berada dalam kesadaran praktis untuk terus mencipta dan mencipta. Proses penciptaan puisi ini merupakan tindakan sosial yang akan terkait dengan kehidupan sosial. Tindakan ini terjadi antara kognisi dan motivasi yang terusmenerus diproduksi dalam kehidupan sosial. Ada ruang dan waktu tentunya sebagai kejadian yang berulang dan menimbulkan implikasi pada suatu term. Ada transformasi yang dilakukan berdasarkan kebiasaan mencipta puisi untuk menemukan wilayah institusional yang menjadi gaya (style) dari seorang penyair. Arahan penelitian ini bukan hanya interpretasi sebuah teks, melainkan lebih pada pemerincian tatanan institusional mengenai wacana-wacana sebagai integrasi sosial dan sistem sosial. Peneliti berupaya untuk melakukan interpretasi juga menggali makna yang terdapat dalam sistem dan struktur. Sebagaimana yang ditekankan oleh Anthony Giddens sendiri bahwa strukturasi ini akan bekerja dalam dualitas struktur. Dalam praktik penelitian ini, bahwa semua yang ada tersebut dipandang sebagai teks agar penelitian lebih terfokuskan. Hal ini juga selaras dengan pemikiran Derrida (dalam Norris, 2008:74), yang mengatakan bahwa “tidak ada sesuatu apapun di luar teks,” di mana seluruh alam ini dipahami sebagai bahasa yang akan memunculkan makna-makna tersembunyi. Wilayah itulah yang kemudian dikenal sebagai entitas untuk dapat dimaknai dan dibongkar. Perpuisian Abdul Wachid B.S. tidak hanya dimaknai berdasarkan puisi itu sendiri, melainkan juga diungkap mengenai proses kreatif, arahan wacana, pandangan, juga efek yang muncul. Puisi sebagai tanda adalah representasi yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
dikonstuksi. Puisi penuh dengan makna dan kebenaran dalam menampilkan berbagai peristiwa melalui kekuatan kata-kata.
3.2.2. Sumber Data Data dalam penelitian ini bukanlah angka-angka. Data yang diperoleh di dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yakni berupa dokumen dan ungkapan dari hasil wawancara mendalam. Penelitian untuk mengungkap kebenaran dari teks mengacu pada produksi pengetahuan, maka data yang diperlukan adalah teks dan entitas untuk mengekspos ruang-ruang yang menjadi ladasannya.
3.2.2.1. Informan Informan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga macam, yakni informan kunci, informan ahli dan informan umum. Pertama, informan kunci di dalam penelitian ini adalah Abdul Wachid B.S. itu sendiri. Keterangan-keterangan darinya merupakan data yang dioleh dan harus dimaknai, bukan untuk diterima begitu saja. Infomasi dari Abdul Wachid B.S. mengenai seputar proses kreatif, konsep berpuisi, juga pengetahuannya tentang puisi harus dioleh untuk menjadi data. Data dari informan bukan untuk dibenarkan, melainkan untuk dimaknai kembali. Pernyataan dari informan dianggap sebagai artikulasi untuk melihat identitas yang dipikirkan dan dilakukan sebelum makna secara arbitrair diungkap. Kedua, informan ahli dalam penelitian ini adalah orang-orang yang tahu puisi dengan syarat; mengetahui baik dan buruk suatu puisi, mengetahui proses commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kreatif Abdul Wachid B.S. atau pernah memiliki pergaulan dengan Abdul Wachid B.S., dan bergiat dalam penulisan puisi (data untuk informan ahli ada dalam lampiran 2). Dalam aktivitas, seorang penyair tidak hidup sendirian. Penyair berada di tengah realitas dan mengungkapkan pengetahuan yang ada di sekitarnya. Penyair juga memiliki pergaulan dengan penyair-penyair lainnya. Jelasnya, mereka juga bertukar pengetahuan dalam acara kegiatan sastra. Ketiga, informan umum dapat saja tidak tahu-menahu tentang sastra, tetapi pernah membaca puisi-puisi Abdul Wachid B.S. Dia dapat saja sebagai penggemar maupun apresiator.
3.2.2.2. Instrumen Penelitian Data penelitian ini dikumpulkan oleh peneliti dengan menggunakan alat-alat berikut. Pertama, instrumen ini digunakan sebagai panduan dalam melakukan wawancara dengan informan agar diperoleh data yang diperlukan dalam upaya menemukan
jawaban
atas
rumusan
masalah
penelitian,
yakni
dengan
menggunakan alat perekam suara untuk merekam informasi yang didapat dari wawancara dengan informan. Kedua, alat tulis digunakan dalam proses pencatatan sebagai bagian proses pengumpulan data, yaitu dalam wawancara, observasi, dan kepustakaan. Ketiga, media elektonik yang dapat menunjang proses komunikasi jaraka jauh seperti HP, ataupun situs jejaring sosial. Hal ini dikarenakan bahwa sekarang ini komunikasi dapat dilakukan dalam jarak yang jauh. Tentunya, tindak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
komunikasi ini dilakukan dengan kepastian bahwa yang berkomunikasi adalah orang yang benar-benar sebagai sumber. Kepastian itu didapat dalam kejelasan atas pemahaman biodatanya sendiri.
3.2.2.3. Arsip atau Dokumen Sumber data yang berupa dokumen diperoleh di dalam puisi-puisi yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. yang dibukukan dalam Rumah Cahaya, Tunjamu Kekasih, Ijinkan Aku Mencintaimu, Beribu Rindu Kekasihku dan Yang. Selain itu, ada bukunya yang lain, yakni Sastra Pencerahan, Membaca Makna, Religiusitas Alam dan Gandung Cinta yang turut dipertimbangkan juga sebagai data karena pengetahuan Abdul Wachid B.S. tentang puisi juga tersampaikan sebagai pemikiran yang utuh. Arsip atau dokumen juga didapat dari orang-orang yang memaknai Abdul Wachid B.S., baik yang terpublikasikan di buku, internet, skripsi, tesis, maupun media massa. Penelitian terkhadap teks puisi Abdul Wachid B.S. sebagai mula untuk menemukan wacana yang terdapat di dalamnya. Teksteks ini banyak diteliti di kalangan akademik, maupun di kalangan kritikus sastra. Teks-teks tersebut merupakan tonggak wacana sebagaimana proses pemahaman itu bermula. Wacana menyebar sebagai konotator dalam bentuk ideologi. Sekalipun teks-teks tersebut memiliki kebenaran, tetapi
juga
memproduksi wacana yang dapat dimaknai. Makna teks tersebut adalah makna yang berusaha untuk menyatakan diri dengan jelas berdasarkan interpretasi. Dengan demikian, perlu juga mengungkap padangan-pandangan ahli sastra terhadap wacana pada puisi-puisi Abdul Wachid B.S. untuk mengidentifikasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
87 digilib.uns.ac.id
penerimaan teks dalam ranah publik. Dalam sastra, teks yang banyak disinggung atau dikritik berarti memiliki kekuasaan yang cukup heterogen.
3.2.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan terhadap teks-teks puisi Abdul Wachid B.S., melalui pengamatan dengan berperan serta, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Hal itu dilakukan untuk menjangkau data secara holistik agar deskripsi dalam analisis dapat dilakukan secara mendalam.
3.2.3.1. Interviewing/ Wawancara Mendalam Wawancara mendalam ini dilakukan kepada Abdul Wachid B.S. untuk mengetahui nilai-nilai yang membentuknya selama dalam proses kreatif. Usaha ini sebagai bentuk pemahaman mengenai kesadaran praktis dan motif utuk menulis puisi, yang dalam hal ini merupakan praktik sosial. Praktik ini merupakan hal yang dipikirkannya. Ada ruang pengetahuan yang muncul dan membentuk jaring-jaring dalam struktur dalam diri setiap individu. Pemahaman individu harus diungkap dan ditelusuri secara mendalam melalui wawancara.
3.2.3.2. Observasi Langsung Pengamatan dengan berperan serta dilakukan oleh peneliti dengan selama ini telah berproses kreatif bersama Abdul Wachid B.S., yakni boleh dikatakan semenjak tahun 2006. Pengamatan ini, dalam praktinya, lebih dititikberatkan pada capaian-capaian Abdul Wachid B.S. dalam menulis puisi sebagai wacana-wacana commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
yang terus beredar dan berkembang di dalam pemikirannya. Pengamatan ini mengenai praktik puisi yang juga ternyata berdampak pada identitas sosial dan religius yang muncul atas produksi wacana di dalam diri Abdul Wachid B.S.
3.2.3.3. Content Analysis/ Analisis Dokumen Dengan objek utama adalah puisi-puisi dari Abdul Wachid B.S., maka analisis dokumen (content analysis) menjadi sangat penting untuk dilakukan. Puisi adalah wacana yang dibakukan melalui tulisan, maka perlu juga untuk dianalisis kandungan makna yang ada di dalamnya. Makna itu sendiri tidak hanya ada pada puisi, melainkan juga pada praktik sosial yang melingkupinya. Pada hakikatnya, suatu teks meliki konteks yang mengalami kontekstualisasi. Wacana yang ada di dalam puisi terhubung dengan realitas sosial yang melingkupi. Analisis dokumen tidak hanya dilakukan untuk memaknai puisi, melainkan juga pada teks-teks lain yang diproduksi oleh Abdul Wachid B.S., yakni ada buku esai dan kritik sastra. Selain itu, tulisan-tulisan lain yang membicarakan perpuisian Abdul Wachid B.S. juga harus dianalisis untuk melihat kebenaran wacana. Dari beberapa teks tersebut, dapat dibandingkan untuk melihat produksi makna.
3.2.3.4. Teknik Cuplikan Teknik cuplikan dilakukan untuk data-data yang original sehingga harus disampaikan dengan apa adanya. Teknik cuplikan dibutuhkan untuk data-data yang akan dimasukkan pada pembahasan. Teknik ini mengambil data dari commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dokumen sebagai bukti. Teknik cuplikan ini ada yang langsung dan tidak langsung. Teknik cuplikan yang langsung akan ditulis dalam tanda kutip, dan jika lebih dari tiga baris akan ditulis dalam spasi tunggal dengan alinea menjorok. Sementara itu, untuk teknik cuplikan tidak langsung ditulis biasa dengan redaksional bahasa yang telah dirubah oleh peneliti dan sumber tetap dicantumkan sebagai keterangan.
3.2.3.5. Validitas Data Validitas data dilakukan dengan triangulasi. Triangulasi adalah usaha memahami data melalui berbagai sumber, subjek peneliti, cara (teori, metode, teknik), dan waktu (Ratna, 2010:241). Sumber data dalam penelitian ini berasal dari dokumen (puisi-puisi Abdul Wachid B.S, buku esai dan kritik sastra dan tulisan lain yang membahas), wawancara, dan keterlibatan dati peneliti. Peneliti dalam mendapatkan data juga melakukan penjarakan untuk melihat otonomi semantik teks agar tidak muncul bias subjektivitas. Peneliti tidak hanya menggunakan pendapat sendiri, melainkan juga ada pendapat orang lain sebagai perbandingan. Teori yang digunakan di dalam penelitian ini juga tidak hanya bertumpu pada teori wacana, tetapi juga pada stylistika, semiotika, dan strukturasi. Dengan adanya usaha tersebut, penelitian ini akan menjangkau pada ranah yang komprehensif dan dilakukan secara holistik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
3.2.3.6. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan deskripsi mendalam terhadap perpuisian Abdul Wachid B.S. Dalam hal ini, peneliti menggunakan teori wacana Michel foucault dan teori strukturasi Anthony Giddens untuk mengungkapkan struktur wacana, produksi wacana, dan strategi wacana dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. Peneliti memahami bahwa Abdul Wachid B.S. sebagai aktor sosial bergerak dalam lingkaran struktur dan sistem menuju pada perubahan sosial sebagai pencapaian transformasi. Pengungkapan mengenai wacana-wacana yang ada di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. yang mulai muncul sebagai penyair di dekade 1980-an, yakni pada masa Orde Baru. Sebelum memasuki ke ranah itu, sesungguhnya penyair adalah intelektualitas yang memiliki pengetahaun. Sebagaimana yang ditekankan oleh Foucault bahwa kekuasaan bukan hanya negara, tetapi juga pada sentral-mikro kekuasaan, di mana pengetahuan membentuk struktur diskursif. Kekuasaan-kekuasaan Abdul Wachid B.S. dalam mengontrol teks-teks puisi ke dalam simbol-simbol religious, sosial maupun sufistik akan dianalisis dengan deskripsi mendalam. Analisis dilakukan dengan meneliti struktur-struktur yang terdapat di dalam puisi Abdul Wachid B.S. Struktur ini dapat juga merupakan tanda, maupun simbol yang sengaja dibentuk di dalam teks puisi Abdul Wachid B.S. Dalam tahap ini, peneliti berpikir reflektif, yakni bolak-balik antara teks dan konteks dan kontekstualisasi untuk mengungkapkan proses produksi wacana yang terjadi. Analisis produksi wacana dilakukan dengan mengurai pola antara nilai dan struktur dari Abdul Wachid B.S. sebagai praktik sosial. Selanjutnya, praktik sosial commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ini akan dianalisis untuk menemukan upaya-upaya transformasi wacana yang dilakukan oleh Abdul Wachid B.S. terhadap puisi-puisinya dalam proses penciptaan ulang sebagai sistem yang bekerja di dalam institusional.
commit to user
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Teks, pada dasarnya, merepresentasikan suatu konteks yang dalam pemaknaannya dapat disesuaikan dengan sosio-kultur, sejauh hal ini memiliki inter-relasi. Namun demikian, puisi bukan sejarah, dan terdapat perbedaan aksentuasi makna dan semangat ketika puisi dipahami sebagai periode kesejarahan, atau bahkan mode pemikiran, meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang amat erat. Puisi memang diproduksi dalam arena tertentu oleh penyair untuk menghasilkan pengetahuan sehingga dapat diterima sebagai kebenaran. Puisi tercipta berdasarkan imajinasi penyair, yang mendapatkan ide dari lingkungan sekitarnya. Pembacaan-pembacaan puisi dalam bentuk apresiasi, ulasan, kritik, maupun telaah selalu menampilkan sosok baru terhadap teks dengan adanya pemahaman yang berbeda. Hal ini dikarenakan adanya berbagai macam teori yang membukakan
kemungkinan-kemungkinan
baru
terhadap
puisi
sehingga
memunculkan pemahaman terhadap sisi yang berbeda pula. Esensi teks (dalam wilayah ini) menjadi sangat kaya antara corak, isi, gaya, dan efek ketika diapresiasi, dikritik, maupun ditelaah dengan membuka sisi yang berbeda. Keberbedaan itu bukanlah pertentangan yang harus diperdebatkan, melainkan suatu ‗fenomena yang saling memberikan kelengkapan‘ terhadap puisi. Perbedaan-perbedaan pemahaman terhadap puisi itu akan selalu muncul berdasarkan konteks yang dipahami oleh interpretator dari latar belakang sosiocommit to user
92
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kulturnya. Keadaan inilah yang masih kurang diterima oleh beberapa kalangan— terutama kaum strukturalis—yang pada akhirnya selalu mempertanyakan yang benar dan yang salah. Padahal, puisi dapat dilihat dari pengetahuan yang memainkan kebenaran, dengan mengacu pada arena produksinya. Untuk memasuki teks yang ditulis oleh Abdul Wachid B.S. dalam bentuk puisi, terlebih dahulu perlu untuk diungkapkan mengenai proses kreatif dan tematema khusus yang terkandung. Pengungkapan tentang proses kreatif bukan berarti penafsiran diarahkan pada pengarang untuk menemukan kebenaran makna (maksud), melainkan sebagai proses identifikasi subjek yang kecil dan konstruks wacana dalam menampilkan pengetahuan. Tema-tema khusus memberikan pandangan secara umum cara positif dan produktif dari operasi wacana untuk membentuk kebenaran. Setelah itu, barulah memasuki ruh dari teks untuk melihat strategi wacana dalam bertransformasi dengan realitas sehingga mampu memproduksi kebenaran.
4.1 Gambaran
Umum
Fenomena
Objek
Penelitian
(Proses
Kreatif
Kepenyairan Abdul Wachid B.S.) Abdul Wachid B.S. dalam sastra Indonesia dikenal sebagai penyair. Sekalipun dia juga menulis cerpen, esai dan kritik sastra. Publik terlanjur mengenal dan memandang puisi-puisinya. Cerpennya tidak terantologikan secara tunggal, labih dipublikasikan di koran, tapi ada yang diantologikan bersama dalam buku Robingah Cintailah Aku dengan judul cerpen ―Jalan Gelap Langit Terang‖. Buku kritik sastra, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri commit to user
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(Grafindo, 2005), Gandrung Cinta (buku kajian sastra dan tasawuf; Pustaka Pelajar, 2008) dan
Analisis Struktural Semiotik:Puisi Surealistis Religius D.
Zawawi Imron (Penerbit Cintabuku, 2009). Adapun buku esai adalah Sastra Pencerahan (Grafindo, 2005). Seseorang disebut sebagai penyair manakala menulis puisi yang diterima atau diakui oleh masyarakat. Penyair berusaha untuk menemukan ide baru (inovasi), sedangkan masyarakat membentuk kesepakatan (konvensi). Abdul Wachid B.S. (2005a:11) sepakat bahwa ―penyair selalu mencari ide baru, tema baru dan bahan pokok tanpa paksaan dan tekanan dari pihak luar.‖ Inovasi yang selalu digali oleh penyair tersebut, selanjutnya akan diakui ataupun ditolak oleh masyarakat. Dengan kata lain, pembaca yang menentukan:ada pembaca awam, pembaca ahli, dan pembaca pakar. Predikat sebagai penyair didapat bukan karena capaian dalam institusi tertentu seperti perguruan tinggi, melainkan muncul dari tatanan sosial atas konsekuensi tindakan menulis puisi. Abdul Wachid B.S. sudah punya buku puisi sendiri, yakni Rumah Cahaya (edisi revisi Gama Media, 2003), Ijinkan Aku Mencintaimu (Buku Laela, Cet.I-2002, Cet.II-2004), Tunjammu Kekasih (Bentang, 2003), Beribu Rindu Kekasihku (Amorbooks, 2004), dan Yang (Cinta Buku, 2011), yang secara keseluruhan tersebar di masyarakat. Selain buku tunggal tersebut, sebagian sajak Abdul Wachid B.S. terdokumentasi dalam antologi sajak:(1) Sembilu (Dewan Kesenian Yogya, 1991), (2) Ambang (DKY, 1992), (3) Oase (Titian Ilahi Press, 1994), (4) Serayu (Harta Prima Press, 1995), (5) Lirik-lirik Kemenangan (Taman Budaya Yogya, 1994), (6) Tabur Bunga (Seperempat Abad Haul Bung Karno, 1995), (7) Negeri Poci-3 (Tiara Jakarta, commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1996), (8) Mimbar Penyair Abad
21
(Balai Pustaka, 1996), (9)
Gerbong
(Cempaka Kencana, 1998), (10) Tamansari (Festival Kesenian Yogya X, 1998), (11) Aceh Mendesah dalam Nafasku (Kampanye Seni untuk HAM Aceh, 1999), (12) Embun Tajali (Aksara Indonesia, 2000), (13) Angkatan Sastra 2000 (Grasindo, 2000), (14)
Hijau Kelon (Kompas, 2002), (15)
Medan Waktu
(Cakrawala Sastra Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta, 2004), dan (16) Untuk Sebuah Kasihsayang (Penerbit Bukulaela, 2004). Dia oleh Korrie Layun Rampan digolongkan sebagai Angkatan 2000 dalam buku Angkatan Sastra 2000, dan juga termasuk dalam generasi 1980-an (Kurniawan, 2005:196). Sebelum menulis puisi, Abdul Wachid B.S. juga membaca beberapa buku puisi. Kemampuan menulis puisi dari Abdul Wachid B.S. tidak datang begitu saja melalui bakat, melainkan melalui proses pembacaan yang cukup panjang. Dia (dalam wawancara 21 Nopember 2011) mengakui bahwa puisi pertamakali yang dibaca adalah karya Rendra, melalui buku Empat Kumpulan Sajak dengan tujuan untuk keperluan membalas surat cinta, yakni ketika SMP kelas 1 cawu 2. Dia merasa bahwa di dalam puisi ada yang unik:berbeda dengan bahasa sehari-hari. Menurut Abdul Wachid B.S. (2005a:9), ―yang membedakan bahasa di dalam sajak dengan bahasa di luar sajak adalah adanya kenyataan lain yang tersembunyi sebagai wilayah baru yang dijelajahi penyair‖. Puisi memang memiliki ketidaklangsungan ekspresi yang mampu membangkitkan perasaan pembaca. Setelah itu, dia membaca Balada Orang-orang Tercinta, Sajak-sajak Sepatu Tua, dan Blues Untuk Bonie. Khusus untuk buku Blues Untuk Bonie, dia baca semasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
96 digilib.uns.ac.id
di SMA Negeri Argomulyo kelas satu karena memang tidak ada di SMP tempatnya bersekolah. Seorang sastrawan memulai menulis karya sastra dengan ia juga membaca. Dalam pengertian membaca ini, tidak harus yang dibaca adalah tulisan, tetapi juga dapat lingkungan keseharian dari sastrawan itu sendiri. Namun, kebanyakan dari sastrawan menulis dimulai dengan membaca tulisan-tulisan, seperti Ignas Kleden membaca sastra klasik Latin semasa di SMA, bahkan sastrawan kelas dunia seperti William Shakespeare pun membaca karya-karya para penulis dan filosofis dari Yunani Kuno dan Romawi terdahulu. Membaca bagi sastrawan merupakan proses kreatif yang sangat penting dalam menemukan inspirasi, menuliskan ide, dan mendekonstruksi realitas menjadi teks-teks yang dia tuliskan. Membaca adalah proses tanpa henti untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan. Mula membaca bagi seseorang merupakan penjelalahan dari rasa ingin tahu. Keadaan sosial yang tampak biasa dan tidak ingin membuang-buang waktu senggang begitu saja menjadi dorongan penting bagi seseorang untuk membaca. Adakalanya juga seseorang tidak menemukan jawaban atas persoalan yang dihadapi sehingga membutuhkan bacaan untuk menjelajah pengetahuan yang lebih luas. Penjelajahan rasa ingin tahu muncul dari ketertarikan terhadap suatu kejadian untuk menemukan titik terang di dalam bacaan. Dari bacaan itulah, seseorang bertambah luas wawasannya dengan pengetahuan yang berkembang. Ada proses kopi imajinasi melalui membaca. Pembaca dapat saja merespon bacaan dengan meniru, bahkan menyangkal. Persepsi yang ditunjukkan dari membaca atas dasar ingin tahu memberikan dorongan pengetahuan untuk commit to user
97 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berkembang melalui bacaan. Abdul Wachid B.S. dengan adanya mula keperluan keperluan membalas surat cinta adalah kekaguman tersendiri kepada puisi. Pengetahuan yang berkembang pada pembacaan itu sendiri mendorong untuk kreatif dan memiliki perbendaharaan kata tentang puisi itu sendiri. Rutinitas dengan karakteristik sosial di dalam lingkungan akademik dan dorongan dari Drs. Nursisto menambah pembacaan terhadap sastra makin dalam. Kesinambungan antara membaca dan menulis tidak dapat dilihat secara langsung, melainkan melalui sublimasi yang cukup panjang. Sublimasi
Ide Membaca
Menulis
Gambar 4. 1. Keterhubungan membaca dan menulis Membaca puisi dari SMP hingga kuliah bukanlah waktu yang singkat. Dalam
rentang itu,
berbagai
fenomena
kehidupan
juga
terjadi,
yang
memungkinkan terjadi internalisasi ataupun eksternalisasi. Kesadaran maupun ketaksadaran menjadi sangat susah teridentifikasi dalam relasi simbolik. Keanekaragaman wacana yang diperbaharui terus menerus dari setiap waktu ke waktu lain melahirkan bentuk baru sebagai artikulasi kedalaman hidup Abdul Wachid B.S. yang tertuang pada puisi. Dia (2005a:22) sadar bahwa ―menjadi penyair yang baik adalah suatu proses‖. commit to user
98 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Abdul Wachid B.S. mulai dikenal oleh publik melalui puisi-puisi yang dia tulis. Sebenarnya, dia mulai menulis puisi sejak SMP kelas I untuk majalah dinding di sekolah, dan mulai dimuat di majalah Hai saat SMA, yakni tahun 1983 dengan judul ―Nina Bobo Si Pendamba‖ dan ―Musim Tanam.‖ Menurut Abdul Wachid B.S., puisi tersebut tidak disertakan dalam buku puisi manapun, termasuk Rumah Cahaya dengan alasan tidak selaras dengan puisi lain, jadi tak bisa diidentifikasi dan dianalisis keterpengaruhan Rendra pada dua puisi tersebut. Dia termasuk orang yang berusaha untuk menulis puisi, walaupun setelah itu, lama tidak dimuat lagi. Dia dimuat lagi di media massa, yakni di Kedaulatan Rakyat pada tahun 1986, yang pada waktu itu sebenarnya lebih memprioritaskan penyair-penyair besar seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi. Kala itu, dia sudah mahasiswa dan puisi-puisi yang dibaca sudah semakin banyak. Semenjak saat itu, dia makin intens dalam membaca dan menulis puisi. Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. sebelum dibukukan mulanya diterbitkan di media massa seperti koran dan majalah. Dalam ―Prakata‖ di buku Rumah Cahaya, Abdul Wachid B.S. (2003:x) mengatakan: Di samping itu, ternyata dalam perjalanan puisi itu sendiri pernah dimuat di koran, majalah, antologi puisi, bahkan ada yang dibacakan di radio, auditorium pertunjukan, kamar tidur atau dimusikalisasi; mereka semua yang terlibat dalam hal tanpa sengaja memposisikan sebagai creator sebab turut melakukan pengubahan. …Namun, puisi juga menuntut eksistensi dirinya sebagai pribadi yang tak hanyut begitu saja oleh pembacanya. Saya berterimakasih atas ―penciptaan‖ mereka terhadap puisi saya yang pernah mereka baca atau salin. Tapi, sekaligus saya perlu mengadakan pakem sebab tuntutan pribadi puisi itu sendiri. Karenanya, seorang penyair perlu mengukuhkan pribadi puisi itu di dalam sebuah buku pilihan puisi. commit to user
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Abdul Wachid B.S. sadar bahwa puisinya berserakan. Pada buku Rumah Cahaya adalah puisi pilihan dengan karakteristik yang padu, setelah mulanya beredar dengan kehendak cipta dan kreasi. Ada puisi yang sengaja untuk dihancurkan karena ketidaksesuaian dengan karakteristik berdasarkan gaya bahasa maupun tema. Dalam bacaan yang sudah banyak pada pengetahuan seseorang, membaca akan
makin
memperkaya
wawasan
untuk
menemukan
kesejatian
diri.
Pengetahuan yang banyak dan bersumber dari manapun akan mendorong seseorang untuk merefleksikan diri. Abdul Wachid B.S. merefleksikan dirinya melalui menulis puisi-puisi yang kemudian diterima oleh publik, yakni dengan diterbitkan di media massa dan dibukukan. Citra imajiner dari tulisan yang dibaca akan menyingkap realitas yang dipandang oleh Abdul Wachid B.S. Subjektivitas dari sistem nilai yang melekat semenjak kecil akan mendorong untuk menciptakan puisi-puisi gaya (style) dan persepsi tertentu. Seperti yang dikatakan oleh Lacan (dalam Bracher, 1997:98-100), analisis yang dilakukan oleh seseorang terhadap tanda dalam mendapatkan rasa suka cita mendorong untuk menemukan identitas dari penanda utama. Tulisan (dapat berbentuk buku, majalah, ataupun koran) yang dibaca oleh seseorang diterima sebagai pesan yang memberikan pengetahuan, namun seseorang tersebut memiliki penyaringan dari informasi-informasi sebelumnya. Selanjutnya, sistem nilai yang mengarahkan untuk menjadi milik pesan atau memainkan pesan dalam rangka menghasilkan pesan baru. Semasa kuliah, dia lebih intens lagi dalam membaca puisi-puisi. Dia mulai banyak mengenal puisi-puisi dari Puisi Prancis Modern yang diterjemahkan oleh commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Wingkarjo sejak tahun 1986. Dia merasa tidak cukup dengan itu, yang kemudian menelusuri puisi dari Prancis lain seperti Altur Rimbaund, Paul Verlin, Stephane Mallarme, dan Charles Boudelaire, juga Andre Breton dan Luis Aragon sekalipun tidak paham dengan baik bahasa Prancis. Dalam keadaan itu, dia berusaha untuk menjangkau irama bunyi dengan menyuruh Muslih Madian (teman) untuk membaca dan menerjemahkan. Hal ini diuntungkan dengan adanya jurusan sastra Prancis di UGM. Dalam posisi dan waktu yang agak bersamaan, puisi-puisinya banyak diterima di media massa, yang terhimpun dalam buku Rumah Cahaya. Proses membaca Abdul Wachid B.S. sebenarnya tidak hanya dilakukan secara individu, tetapi juga dalam bentuk komunitas sebagai wadah kreativitas. Dalam perkembangan sastra Indonesia, ada beberapa sastrawan yang muncul dari kantong-kantong kesenimanan kecil. Menurut Budi Darma (dalam Ahmadun dkk. (peny), 2007:51) bahwa Sutan Takdir Alisyahbana juga membentuk komunitas dengan sering berdiskusi dengan teman-teman sebaya seperti Armyn Pane, hanya saja kegiatan tersebut tidak diberi lebel komunitas:lebih sebatas diskusi. Di masa angkatan 45 juga sering terjadi kumpulkumpul untuk melakukan diskusi, baik wacana maupun mengkritisi karya sebagaimana yang tertera dalam surat Idrus untuk H.B. Jassin. Di awal tahun 1970-an
ada Persada Studi Klub (PSK) yang dipimpin oleh Umbu Landu
Panranggi untuk saling membicarakan sastra di Jalan Malioboro. Adapun di tahun 1990-an muncul komunitas sastra dengan berbagai nama seperti Revitalisasi Sastra Pedalaman di Semarang, Roda-Roda Budaya di Tanggerang, Masyarakat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
101 digilib.uns.ac.id
Sastra Jakarta, yang juga di tahun 1996 lahir pula Komunitas Sastra Indonesia (KSI).
Individu teman Kebersamaan
Gambar 4.2. Lingkaran Komunitas Sastra Adanya komunitas dalam lingkaran sastra terjadi karena masyarakat Indonesia yang komunal. Rasa kebersamaan dan senasib sepenanggungan dalam bersastra diwujudkan sebagai cara untuk menemukan tema, estetika, etika, dan pencapaian standardisasi. Diskusi sastra yang sering dilakukan oleh Abdul Wachid B.S. banyak membicarakan mengenai usaha untuk melihat batas-batas teks untuk saling menghujat atau menghabisi. Tidak ada yang marah setelah diskusi tersebut karena memberi kesadaran terhadap capaian yang telah dilakukan dalam karya-karya mereka. Dulu, dia juga sering diskusi sastra dalam Teras Sastra ada Muslih Madian (dosen Sastra Prancis), Heri Mardianto (sekarang peneliti ahli di Balai Bahasa Yogya), Aprinus Salam (dosen FIB UGM), Ngarto Februana (wartawan Tempo), Ikun Sri Kuncoro (dosen komunikasi UGM), dan lainnya (dalam wawancara 21 Nopember 2011). Namun, dia mendapatkan aksentuasi kesenimanan dari teater Eska, teater Sunan Kalijaga. Di situ berkumpul beberapa seniman seperti Ahmad Shubanudin Alwi, Abidah El Khaliqie, Hamdi Salad, Labibah Yahya, Ulfatin Ch, Matori A.toElwa, commit user Adi Wicaksono. Ada kegiatan
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
diskusi sastra yang mereka lakukan. Pada tahun 1989, mereka membuat forum pengadilan penyair Yogyakarta, yang mulanya forum kecil yang dimotori oleh Teater Eska itu sendiri. Forum tersebut akhirnya tambah banyak, yang akhirnya juga dihadiri oleh Suminto A. Sayuti, Indra Tenggono, Faruk HT, Emha Ainun Nadjib, dan Mustofa W Hasyim. Dalam forum ini terjadi persilangan wacana antara penyair yang sudah dianggap mapan dan penyair yang baru mulai menampakkan karyanya. Pembacaan puisi sepanjang Jalan Malioboro, ejekmengejek karya, pamer karya yang sudah dimuat, juga penolakan terhadap rezim melalui puisi-puisi, meskipun secara sembunyi. Dari masa kreativitas itulah, lahir buku puisi Rumah Cahaya. Di dalam buku tersebut, puisi tertua pada tahun 1985 dan termuda adalah tahun 1993. Buku puisi dengan warna surealisme yang cukup kental mendapat banyak sorotan dari publik. Setidaknya, menjadi polemik selama tujuh kali berturut-turut di Kedaulatan Rakyat, yakni oleh Aprinus Salam dengan judul ―Kadar Sufisme Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. (Masih Berada di Area ―Penghindaran Duniawi‖) yang ditanggapi oleh Pujiharto dengan judul ―Catatan untuk Aprinus Salam:Si Aku Lirik Baru ―Hamba‖, Belum Jadi Tuhan‖, kemudian mendapat respon dari M. Thoha Umar dalam judul ―Lagi, Tanggapan pada Rumah Cahaya:Sufisme di Tengah Gejolak Perubahan?‖, yang kemudian direspons kembali oleh Aprinus Salam dengan judul ―Catatan Balik Buat Pujiharto dan M. Thoha Umar:Puisi Wachid, Pateisme dan Kategori Russel‖, yang ternyata masih mendapat tanggapan dari M. Subhan Suaidi dan R. Toto Sugiharto dalam judul ― Catatan Lain tentang Rumah Cahaya:Si ―Aku lirik‖, Eksistensialis Berjubah Sufi‖, ternyata commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
103 digilib.uns.ac.id
membangkitkan Abdul Wachid B.S. untuk menulis ―Dari ‗dalam‘ tentang Rumah Cahaya:Menegakkan Pengharapan, Merobohkan Keputusasaan‖, yang akhirnya ditutup oleh Piek Ardijanto Soeprijadi dalam judul ―Menatap Rumah Cahaya (kumpulan Puisi Abdul Wachid B.S.)‖. Perdebatan ini akan menjadi data yang menarik dalam pembahasan yang selanjutnya. Peneliti memosisikan mereka sebagai pembaca ahli. Sekalipun ada Abdul Wachid B.S., tetapi dalam perdebatan ini pendapatnya dapat diposisikan sebagai variasi interpretasi dari sisi maksud, bukan memosisikan makna secara tunggal. Dalam analisis strukturalisme ada bagian di mana pengarang memasukkan ―amanat‖ sebagai penyampai pesan kepada pembaca. Pada sisi ini, teks menjadi tidak bebas lagi untuk ditafsirkan oleh pembaca. Padahal, Roland Barthes, dan Derrida misalnya, telah menekankan untuk selalu mengacu kepada teks. Warna surealisme dalam buku puisi Rumah Cahaya setidaknya dapat dilihat dalam petikan di bawah ini. Sepertinya ada yang lepas Saat kau dikepung angin di jalan raya Dan menapaki lorong lorong gelap kota yang menolak langit Burung-burung begitu indah dan menderita Di sebuah sangkar trotoar yang digetarkan gerimis Yang mengandung racun Dalam petikan sajak berjudul ―Imaji Burung dan Lorong Kota-suatu hari dari Malioboro ke Tamansari‖ tampak bahwa ada gambaran peristiwa, yang mudah dipahami dan dicerna. Peristiwa tersebut adalah peristiwa simbolik yang mengekspos kota dalam keterkekangan. Hidup disimbolkan seperti ‗burung yang commit to mengenai user indah dan menderita.‘ Penggambaran angin yang mengepung
perpustakaan.uns.ac.id
104 digilib.uns.ac.id
memperlihatkan ada penangkapan, kerusuhan, dan kekacauan. Pembaca di bait ketiga diajak untuk ―dengarlah gebalau/ Genangan darah begitu memukau di situ/ Di tengah-tengah kota/‖. Simbol yang disusun oleh Abdul Wachid B.S. sangat individual (personal) sehingga cukup susah untuk melacak kesejatian burung, tanpa pembaca menyadari konteks Orde Baru. Burung adalah simbol kebebasan, juga simbol Indonesia, yakni Burung Garuda. Abdul Wachid B.S. tidak mengeksplisitkan hakikat burung, hanya menderskripsikan peristiwa secara imajinatif untuk menuju konteks. Perimbangan Alam adalah kuil di mana pilar-pilarnya yang hidup Kadangkala menggumamkan omongan-omongan balau; Manusia di sana nybrang hutan lambang Yang menatapnya dengan pandangan akrab Bagai gema memanjang yang di kejauhan bergalau Dalam satu kesatuan yang kelam dan dalam, Luas bagai malam dan bagai benderang, Bau-bau, warna-warna dan bunyi-bunyian saling bersahutan Ada suara segar seperti tubuh bocah Lembut bagai seruling, hijau bagai padang --Dan yang lain, busuk, kaya dan megah Merasuk bagai hal-hal yang tiada terwatas— Seperti ambar, kasturi, kemenyan dan cendana, Yang menyanyikan gairah semangat dan indra. Sajak tersebut adalah sajak dari Charles Boudelaire yang diterjemahkan oleh Wing Karjo dalam kumpulan Sajak-sajak Modern Prancis dalam Dua Bahasa. Surealisme pada puisi tersebut memiliki keserupaan pada puisi di dalam buku Rumah Cahaya, terutama dalam permainan simbol dan gaya. Abdul Wachid B.S. membicarakan ―Surealisme dan Puisi Indonesia‖ commit user Makna:dari Chairil Anwar ke sebagai esai yang terhimpun dalam buku to Membaca
perpustakaan.uns.ac.id
105 digilib.uns.ac.id
A. Mustofa Bisri. ―Berbicara surealisme dalam puisi Indonesia, sebenarnya unsure-unsur surealisme itu telah digunakan sejak puisi Cahiril Anwar‖ begitu tutur Abdul Wachid B.S. (2005a:37). Hanya saja, dalam pandangannya lebih lanjut, ―Chairil Anwar lebih didasari ekspresionisme dan membicarakan eksistensialisme.‖ Surealisme itu sendiri muncul dengan pengaruh alam pikir Eropa yang berkembang di Indonesia. Peranan politis zaman Orde Baru juga membentuk dialektika dalam sastra Indonesia yang dirundung ketakutan untuk mengekspresikan secara langsung. ―Catatan Pengantar‖ yang ditulis oleh Faruk HT untuk buku Sastra Melawan Slogan, yakni kumpulan esai dari Abdul Wachid B.S., memperlihatkan pertempuran sastra dalam arena hiruk-pikuk Orde Baru. Faruk mengatakan bahwa Abdul Wachid B.S. merekam peristiwa itu dalam bentuk esai. Esai itu sendiri ditulis sebagai cerita yang mengandung wacana. Pembicaraan suatu esai tidak lepas dari konteks zaman yang membutuhkan rangsangan ataupun sebagai upaya penolakan terhadap zaman. Dengan kesadaran (katakanlah mengetahui) Abdul Wachid B.S. terhadap fenomena di Indonesia yang mengalami keterkekangan politis, maka lebih memungkinkan untuk menyampaikan kritik sosial melalui puisi yang penuh dengan simbol. Sekalipun esai tersebut dia tulis setelah jauh puisi-puisi tertuliskan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa yang terkandung di dalam esai tersebut adalah pengendapan selama proses kreatif dalam menulis puisi. Pandangan Abdul Wachid B.S. tentang surealisme juga dapat ditemukan pada buku Religiositas Alam:dari Surealisme ke Spirituaisme D. Zawawi Imron. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
Buku ini membahas tentang puisi-puisi D. Zawawi Imrom, yakni Bulan Tertusuk Lalang, Celurit Emas, dan Nenekmoyangku Airmata. Dalam aktivitas, dia juga sering bertemu dengan D. Zawawi Imron. Pengalaman-pengalaman bertemu dengan D. Zawawi Imron memang tidak terlalu tersorot publik karena memang tidak banyak yang mengaitkan puisi Abdul Wachid B.S. dalam interpretasi sureal. Namun demikian, Abdul Wachid B.S. lebih banyak dikenal sebagai ―penyair cinta‖ karena dua buku yang ditulis bertemakan cinta, yakni Ijinkan Aku Mencintaimu (2002) dan Tunjammu Kekasih (2004). Dalam dua puisi ini, begitu kental dengan warna lyrik dengan personalitas yang sangat kuat. Bahasa yang ketat melalui pengaturan rima dan irama tampak sangat diperhitungkan, bahkan kadang memaksa untuk kesesuaian bunyi. Obesesifitas dari masa lalu, yakni rasa penasaran dari untuk menciptakan bunyi muncul pada dua kumpulan sajak tersebut. Keketatan bahasa tersebut tampak dengan sangat diperhitungkannya diksi dan gaya bahasa sebagaimana Chairil Anwar dalam menyusun puisi. Selamat Tinggal Aku berkaca Ini muka penuh luka Siapa punya ? Kudengar seru menderu dalam hatiku Apa hanya angin lalu? Lagu lain pula Menggelepar tengah malam buta Ah……….!! Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal……..!! commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
107 digilib.uns.ac.id
Selamat tinggal………..!! Chairil Anwar dalam menulis puisi perlu untuk ―menimang, menimbang, bahkan membuang‖ kata di dalam puisinya. Ia banyak mencoret-coret puisinya sendiri, sebelum pada akhirnya sampai merasa sempurna dan puas. Ia pahami, teliti kembali bahwa yang ada di dalam puisi adalah system makna yang saling membangun, mengutuhkan, dan membentuk. Misalnya, ia memilih kata:―ini muka penuh luka” dan ia tidak mengatakan ―muka ini penuh luka‖ karena ―ini muka penuh luka” mengandung rasa dan kesan yang mampu menggetarkan pembaca. Ini memang terkesan semacam kerja mekanik, yakni dengan bongkar pasang katakata untuk menjadi teks. Tetapi, itu perlu dilakukan untuk mendapatkan komposisi yang tertata rapi antara estetika dan etika dengan bernilai seni, juga bermanfaat. Pembelajaran dari Ragil Suwaropragolapati tentang logika di dalam puisi masih berbekas dalam ingatannya. Dulu, semasa muda Abdul Wachid B.S. dan teman-teman sering pamer setelah ada karya yang dimuat. Dia menunjukkan puisinya kepada Ragil Suwaropragolapati. Di dalam puisinya ada kata ―seorang perempuan sembahyang di tepi pematang.‖ Pernyataan itu dihabisi oleh Ragil Suwaropragolapati terkait dengan logika sastra, logika bahasa, dan logika keterkaitan dengan realitas. Itu puisi yang dimuat di majalah Hai. Itu puisi jaman SMA sebetulnya, lah aku kan pamer. Jadi, dulu teman-teman itu suka saling pamer. Kalau dimuat, begitu ya. Itu klipingan korannya difotokopi banyak. Disebar. Disebari ke kos-kosan dan rumah, yang kira-kira tidak ada orangnya. Ditaruh melalui bawah pintu. Saya juga melakukan itu. Saya naik sepeda onthel dari kos-kosan ke rumah Mas Ragil. Ternyata konangan Mas commit user Ragil arepe ngekekna kowi. ―Eh, to dek Wahid sini-sini.‖ Ngobrolah saya.
perpustakaan.uns.ac.id
108 digilib.uns.ac.id
Dengan bangga, saya bercerita.Ini puisi saya sejak SMA sudah dimuat. ―Nina Bobo Si Pendamba‖ dan ―Musim Tanam‖. Dibaca oleh dia. Di situ ada kalimat:―Seorang perempuan sembahyang di tepi pematang‖. Saya ditanya:―Pematangnya itu besarnya sebesar seberapa? Kok, bisa sembahyang di tepi pematang.‖ ―Lho ini kan sajak surealis. Masuk akal saja hal-hal yang tidak masuk akal.‖ Katanya Mas Ragil:―Lho tidak bisa. Di dalam sajak surealis juga ada logika. Ini tidak masuk akal bangat karena tidak dibangun sejak awal bahwa ini berpandangan surealsime. Lagi pula di dalam surealis juga tidak memungkinkan untuk seorang wanita sembahyang di tepi pematang.‖ Pada waktu itu, saya tidak terima, sekalipun dengan sopan santun. Saya kemudian menulis di koran Mutiara yakni ―Logika Fiksi‖ untuk membela diri. Itu menjadi pelajaran berharga bagi saya. O, ternyata puisi itu ada logika bahasa juga ada logika tentang masuk akal atau tidak dengan realitas. Peristiwa itu memberinya kesadaran mengenai puisi yang tidak hanya sebatas ekspresi belaka. Sekalipun puisi ditulis dengan sangat personal dan begitu kental dengan subjektivitas, tetapi aspek-aspek kesusastraan tetap diperhatian. Ada usaha dari Abdul Wachid B.S. untuk menyadari hakikat puisi dalam hal diksi, gaya bahasa, persepsi, maupun ideologi. Dalam pengantar buku puisi Rumah Cahaya, Abdul Wachid B.S. (1995:xi-xii) mengaku bahwa ―tak mengenakkan sebab ternyata tak terhindarkan dari pekerjaan merevisi, yang hal ini membutuhkan stamina tersendiri‖, dan dia mengibaratkan pekerjaan merevisi ―seperti meniupkan ruh baru.‖ Kehadiran suatu kata di dalam puisi menjadi warna yang saling melengkapi dan berefek karena segalanya adalah tanda yang kompleks. Mencipta puisi adalah upaya untuk sadar pada setiap kata-kata yang mengandung arti (memiliki sebuah dunia), yang ditampilkan melalui berbagai commit to user macam gaya, metonimi, metafora, personifikasi, perumpamaan, alegori, dan gaya
perpustakaan.uns.ac.id
109 digilib.uns.ac.id
lainnya. Itulah sebabnya, puisi dikatakan sebagai miniatur. Plato melihatnya sebagai tiruan (mimesis), juga kaum struktural yang memandang tulisan sebagai bahasa sekunder (kedua). Walau puisi sebagai tiruan, namun tiruan itu sudah berbeda:ada tambahan imajinasi dari penyair, yang membuat antara yang asli dan yang kata-kata hanya mirip, yakni tidak sama dengan rekonstruksi realitas menjadi bentuk kata-kata. Adanya perumpaan untuk menggambarkan secara analogis, dengan nantinya interpretasi diserahkan pada pembaca untuk membongkar serangkaian makna yang tersusun secara fragmentaris. Maka itu, kaum post-strukturalis memandang puisi sebagai ―simulasi dari realitas‖:ada konstruks kata-kata yang berusaha menghadirkan kembali realitas dalam bentuk mozaik-mozaik. Dunia di dalam puisi adalah dunia campuran antara realita dan imajinasi, maka tampak sudut pandang dan rasa berdasarkan pandangan dunia penyair, meskipun bisa saja tidak memakai cara itu—tentunya dengan kemampuan horison baca berdasarkan latarbelakang sosial-budaya penyair. Haruslah diyakini bahwa keterjalinan antarkata membentuk dunia tersendiri, yang sesungguhnya berbeda dari realitas harus disadari apabila ingin menjadi penyair. Merevisi keberadaan suatu kata di dalam puisi menjadi totalitas penyair dalam menghayati suasana, dan usaha untuk mengerahkan segenap kemampuan dengan kesadarannya. Menulis puisi sebagai aktivitas yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran dalam mengolah kata-kata menjadi teks. Memang, adakalanya ide datang melintas dalam momen puitik seperti kata-kata yang tumpah di depan mata. Namun, itu adalah kebertemuan ide, yang muncul dari ilham, maunah, ataupun karomah. Penyair tidak harus menunggu datangnya ide commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
seperti itu, tetapi penyair dapat melakukannya dengan ikhtiar (usaha terusmenerus) sampai bisa dikehendaki bisa menulis puisi, dengan merevisi berulangulang hingga habis seluruh pengetahuan. Puisi bukanlah ungkapan untuk membebaskan rasa gelisah, cemas, maupun sendiri karena kegagalan dengan kehidupan yang dihadapi. Puisi itu terbentuk oleh koherensi gaya bahasa yang pas dari antarkata, pertautan sebagai koherensi, juga keseluruhan makna yang dihadirkan dalamnya. Semua itu membutuhkan kejelian, ketelitian, keseriusan, dan pencermatan. Abdul Wachid B.S. bukanlah penyair yang baik dalam hal teori. Dia tidak pernah menang dalam lomba cipta puisi. Namun, dia orang yang sadar dengan perkembangan wacana sastra di media. Puisinya lebih diterima di media. Dia mengakrabi teori sebagai mediasi. Teori harus sesuai dengan objek. Dia termasuk orang yang tidak tunduk pada teori, dan berusaha untuk menciptakan teori. Sifatnya yang cukup temperamental berusaha untuk melepaskan teori. Namun, dia sebenarnya mengakrabi teori semiotika sebagai pisau analisis terhadap puisi, yang memang popular di tahun 1990-an. Banyak pendapat Roland Barthes yang mewarnai pikiran-pikiran dari Abdul Wachid B.S. dan juga pandangan Micheal Riffaterre tentang puisi, sebagaimana pandangan ini juga dikembangkan oleh A. Teeuw. Setidaknya, buku Religiositas Alam:dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron yang diterbitkan ulang dengan judul Analisis Struktural Semiotik memuat implementasi semiotika yang dikembangkan oleh Micheal Riffaterre. Sekalipun seorang penyair menguasai teori analisis, bukan berarti akan menambah kreativitas. Teori analisis lebih commit to user
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjadikan ketelitian saja ketika memahami makna yang terkandung pada teks. Peranan teori bagi kesuksesan kepenyairan memang tak terlalu signifikan karena penyair yang baik selalu berusaha untuk mengekspos kebebasan, yang di sisi lain berusaha untuk meyakinkan pembaca melalui konstruks wacana yang ia produksi. Matrik Pengaruh: Relasi-relasi Proses Kreatif Wacana dalam Perpuisian Abdul Wachid B.S. Relasi
Teman
Guru
Komunitas
Bacaan Teori
Kritik (Masukan)
Media
Pemerintah
Proses Kreatif
Wacana
Mendapat motivasi Berproses bersama Terjadi gesekan untuk menulis Menjaga intensitas Mendapat arahan dan motivasi
Interaksi dengan teman tidak memunculkan persinggungan wacana secara langsung, tapi hubungan dengan teman memberikan relasi sudut pandang wacana yang bersinggungan Guru tidak sepenuhnya membentuk wacana pada perpuisian Abdul Wachid B.S., setidaknya guru memberikan contoh dan praktik. Silang pendapat yang ada di dalam komunitas akan mengarahkan pada idealitasi teks yang harus diproduksi
Mendapat rangsangan untuk menulis puisi Mendapat wadah untuk bertukar pikiran dan Mendapat pengetahuan dan wawasan Menjadi paham dengan keterbandingan pada teks lain
Bacaan memberikan andil besar pada gaya
ungkap (sisi kebahasaan) sebagai cara bertutur melalui tulisan. Teori membentuk sublimasi, yang mulai tampak pada puisi Abdul Wachid B.S. yang ketat secara struktur dan terkonsep Abdul Wachid B.S.menjadi sadar tentang Ada kesadaran tentang puisi yang tidak sepenuhnya bebas, namun kesalahan ada batas-batas tertentu dalam penyampaian pesan Membentuk pemosisian dalam Adanya kriteria pada media membuat Abdul Wachid B.S. berusaha untuk menulis tekspenyebaran teks teks yang muncul di Indonesia pada umumnya. Dia tidak berani menulis teks yang menyimpang secara penuh. Pengawasan Tahun 1980-an ada pengawasan yang cukup ketat terhadap teks yang mengkritik pemerintah secara langsung, maka kritik lebih ditnjukkan pada kota. Teks-teks yang diproduksi lebih simbolik.
Adapun yang biasanya mengental dan dapat mewujud bagi penyair di dalam perpuisian adalah wacana yang dimilikinya. Beberapa pemikiran akhir Abdul commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
112 digilib.uns.ac.id
Wachid B.S. banyak diwarnai oleh wacana sufistik, terutaman tentang tesisnya pada perpuisian A Mustofa Bisri, yang kemudian diterbitkan dalam judul Gandrung Cinta. Beberapa pemikirannya dipengaruhi oleh William C. Chittick dan Annemarie Schimmel, yang membahas tentang cinta dalam puisi-puisi Rumi. Metodenya menggunakan hermeneutika Paul Ricoeur, meskipun aplikasinya lebih cenderung seperti yang dikatakan oleh Fakhrudin Faiz dalam Hermeneutika alQur’an. Dia cukup lama dan mencoba untuk perfect dalam memetakan kesufian A Mustofa Bisri. Pola pembacaan yang intens inilah yang mempengaruhi buku puisi buku puisi Yang. Hanya saja, tidak seluruh teks memuat wacana berdasarkan konstuks pikiran. Penyair dengan dorongan subjektivitasnya berusaha untuk memunculkan obsesifitas. Dengan demikian, untuk membaca teks bukan berdasarkan pada praduga, melainkan memberikan otonomi terhadap teks tersebut dengan cara yang hati-hati.
4.2 Tema-tema Khusus (Tema-tema dalam Puisi-puisi Abdul Wachid B.S.) Memahami puisi—banyak berkutat pada wilayah makna secara universal— pada akhirnya membuat puisi sebagai teks yang otonom kehilangan otoritasnya untuk dipahami dari berbagai macam sisi. Banyak cara untuk memahami puisi untuk memasuki ranah misteri dengan dilihat dari potensi-potensi yang tampak. Konon, karya sastra memiliki wilayah makro dan mikro yang dapat dipahami oleh pembaca. Namun, perlu diingat bahwa puisi sebagai teks yang memiliki ―karakteristik‖ sekalipun selalu membukakan ruang-ruang tersembunyi, yang kahadirannya tak sempat dipersiapkan oleh penyair dalam menulis. Dengan kata commit to user
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lain, puisi memiliki cakrawala tertentu sehingga menampilkan kekayaan wawasan dan pengetahuan baru sebagai kebenaran di dalam persepsi pembaca. Tema-tema khusus dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. dalam rangka memasuki wilayah mikro untuk mendalami otonomi teks dengan memberikan kemungkinan lain berdasarkan karakteristiknya. Puisi sebagai artefak adalah media untuk mengkonstruksi realitas menjadi realitas yang terbakukan melalui bahasa. Ada penciptaan estetika tertentu yang dibentuk berdasarkan kesepakatan masyarakat, baik masyarakat sastra maupun masyarakat secara umum. Masyarakat telah memiliki keyakinan tentang hakikat puisi dengan ekspresi tidak langsung. Semua itu dibentuk berdasarkan wacana dalam arena pemosisian untuk disiplin. Adapun puisi-puisi Abdul Wachid B.S. yang dibukukan disatukan dalam tema-tema tertentu, baik sesuai dengan gaya (style) maupun tema. Buktinya, adalah adanya puisi ―Nina Bobo Si Pendamba‖ dan ―Musim Tanam‖ yang tidak disertakan dalam buku manapun, juga ada puisi-puisi yang disertakan kembali dalam buku lain seperti puisi ―Gelas Sunyi‖, ―Burung‖ dan ―Nyanyian Cinta‖ yang pernah dibukukan dalam Rumah Cahaya kemudian dibukukan lagi dalam Ijinkan Aku Mencintaimu. Alasannya bukan semata-mata ada kesukaan dari penyair, tetapi lebih pertimbangan kategori tema, di samping untuk mempertebal jumlah halaman. Akan tetapi, Abdul Wachid B.S. memiliki standardisasi tersendiri dengan penyeleksian yang ketat untuk buku Tunjammu Kekasih sebagai seri pustaka puisi yang diterbitkan oleh Bentang. Dalam keterangan, disebutkan bahwa seri pustaka puisi adalah seri penerbitan penyair Indonesia terkemuka yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
114 digilib.uns.ac.id
telah menampilkan karakter estetika. Seri ini dimaksudkan sebagai upaya membentangkan panorama puisi Indonesia.
4.2.1. Buku Puisi Rumah Cahaya Buku puisi Rumah Cahaya yang diterbitkan oleh ITTAQA Press di tahun 1995 dengan puisi Rumah Cahaya (edisi revisi) yang diterbitkan oleh Gama Media mengalami perbedaan. Abdul Wachid B.S. (2003a:xi) mengatakan: Sajak-sajak dalam Rumah Cahaya ini merupakan periode awal kepenyairan saya yang amat menggairahkan. Semula hanya berisi 51 sajak yang terpilih dalam buku Rumah Cahaya (27 sajak) dan buku Manusia Pergi (24 sajak). Pada terbitan kali ini, buku Manusia Pergi diganti judul dengan Cahaya Nyala dalam Gelas. Kemudian, ada 24 sajak lain yang terkumpul dalam Mencari Malam Seribu Bulan, diletakkan di buku pertama, yang melengkapi sosok perpuisian periode Rumah Cahaya ini. Sesungguhnya, Mencari Malam Seribu Bulan ada perpektif yang agak lain sekalipun merupakan pengembangan bentuk puisi dari Rumah Cahaya. Jikapun diterbitkan sendiri akan terlalu tipis sebagai buku. Dalam kutipan tersebut, Abdul Wachid B.S. menyatakan langsung perbedaannya. Dengan juga, buku edisi revisi 2003 dilengkapi dengan perdebatan di koran Kedaulatan Rakyat sebagai lampiran. Akan tetapi, dalam edisi revisi tidak disertai esai dari Abdul Wachid B.S. yang berjudul ―Bahasa Sajak di Antara Subjektivitas‖, ―Situasi Penciptaan Sastra yang (Ber)pribadi‖ dan ―Religiositas Islam dalam Sastra‖, sebagaimana mulanya ada di dalam buku Rumah Cahaya tahun 1995. Perbedaan dari buku Rumah Cahaya 1995 dan edisi revisi lebih terletak pada yang mulanya tidak ada menjadi ada, atau yang ada kemudian ditiadakan. Untuk hal-hal yang ditiadakan juga tampak pada sajak berjudul ―Eksposisi Kota Tua‖ misalnya. commit to user
115 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Versi Terbitan 1995
Edisi Revisi 2003
Dan pohon nenekmoyang ditanam di tengah kota Memaksa berbuah di sanubari manusia kita ―Jika kelak musim memilih tiba kalian mesti memetiknya!‖ begitu seru serdadu Lalu kita pun nyusuri jejak jilatan matahari kota Jiwa yang gersang namanya Dilecuti tahun dan sia-sia
Dan pohon nenekmoyang ditanam di tengah kota Memaksa berbuah di sanubari manusia kita ―Jika kelak musim memilih tiba kalian mesti memetiknya!‖ begitu seru serdadu Lalu kita pun nyusuri jejak jilatan matahari kota
―Apa yang kau pikirkan tentang kota tua ini?‖ Kau menduga, ―Ini sebuah kuburan raksasa yang Dipenuhi nisan serta berhala‖ ―Ya. Dan pohon nenekmoyang itu memaksa Menghisap segala di sekitarnya!‖ kita lalu menghibur diri dengan menatap langit Lalu tahu bulan sabit akan jadi senjata Dan purnama
―Apa yang kau pikirkan tentang kota tua ini?‖ Kau menduga, ‗Ini sebuah kuburan raksasa yang Dipenuhi nisan serta berhala‘ ―Ya. Dan pohon nenekmoyang itu memaksa Menghisap segala di sekitarnya!‖ Kita lalu menghibur diri dengan menatap langit Lalu tahu bulan sabit akan jadi senjata Dan purnama 1990
1990
Dari perbandingan tersebut, dapat dilihat dengan jelas ada perbedaan pada ungkapan ―Jiwa yang gersang namanya/ Dilecuti tahun dan sia-sia‖ yang tidak dimunculkan lagi dalam edisi revisi. Selain itu, pada ungkapan ―kita lalu‖ dalam versi terbitan 1995 berada satu baris dengan ungkapan:Menghisap segala di sekitarnya!‖, sementara itu dalam edisi revisi dibuat menjadi baris tersendiri dengan huruf kapital pada huruf /k/ dalam kata [kita]. Dalam usaha untuk mengedit (atau lebih tepatnya merevisi untuk edisi revisi), ada penilaian tersendiri dari Abdul Wachid B.S. terhadap estetika maupun untuk wacana yang hendak ditransformasikan. Keadaan mengedit puisi adalah keadaan sadar secara estetik dengan diimbangi pengetahuan mengenai konvensi puisi. Teks yang mengandung pengetahuan berusaha menampilkan realitas untuk memperebutkan makna dan kebenaran sesuai dengan keyakinan dari penyair. Dalam adanya pengeditan pada perbandingan tersebut memperlihatkan usaha untuk mengkonstruksi realitas sebagai refleksi di dalam teks secara implesit. commit to user
116 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Namun demikian, dalam wacana secara universal dari buku Rumah Cahaya antara versi terbitan 1995 dan edisi revisi 2003 menampilkan wacana yang relative tidak jauh berbeda. Sekalipun ada tambahan dari buku puisi Mencari Malam Seribu Bulan (24 sajak), secara tematik tidak jauh berbeda dengan sajaksajak lainnya. Dapat dilihat pada sajak ―Terpukau Kau‖ (2003a:2) berikut ini. di biskota. jalan-jalan dibakar api kota silang-siur rupa. membaurlah hidup kini terpukau pada dinding dan tembok kota pohonan tepi jalan berlari menjauh hari 1985 Selain itu, dapat juga dilihat pada sajak berjudul ―Orang Sunyi‖ (2003a:11) berikut ini. aku hanya mengikut jalanan waktu terseret, lalu hanyut dipukau luka masasilam lewat belantara kota diserbu rasa sepi dan asing terlempar sebagai rontokan daun di musim penghabisan seperti sukma kemarau aku tandus, lalu senyap terbaring pada padang runput kering terbakar api sangsi dan sia-sia dan gemerincing ribuan daun gugur itu menyiapkan kamar kubur kurasakan Tuhan di depanku kini sepertinya di mata-Nya tertidur aku tapi, kembali sepi itu menyeret pergi membawa ruhku menjauh aku memanggil-manggil pucat terkapar dalam dekapan darah hamper beku 1990
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
117 digilib.uns.ac.id
Dari dua puisi yang hanya ada dalam buku Rumah Cahaya edisi revisi 2003 memperlihatkan adanya tema sosial dengan usaha mengkritisi kota. Ketika manusia dalam pengaruh modern, maka pandangan-pandangan akan selalu tertuju pada rasionalisme. Segala bentuk-bentuk irasional seperti pandangan agama mengenai Tuhan menjadi bentuk lain yang sangat jauh; seperti impian yang menumbuhkan impian lain. Untuk pernyataan ini, Henryk Skolimowski (2004:33) mengatakan bahwa peradaban sekarang ini adalah peradaban ―skizofrenik‖ yang menipu diri bahwa ia adalah peradaban terbesar yang pernah ada sementara rakyatnya sedang berjalan mewujudkan kesengsaraan dan kecemasan. Ketika Indonesia membangun infrastruktur kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan sebagainya, ternyata semakin banyak pengangguran yang berada di kolong jembatan ataupun trotoar. Masih ingatlah benak masyarakat Indonesia terhadap penertiban-penertiban pedagang kaki lima. Ilustrasi ini merupakan kenyataan dari skizofrenik dari pengembangan peradaban. Puisi-puisi yang ada di dalam buku Rumah Cahaya lebih mengarah pada imajinasi atas realita, yang diungkapkan dengan kegelisahan hati dan kemudian dihubungkan dengan Tuhan atau gagasan religi secara retoris. Perubahan sosial dari tahun 1985-1993 memperlihatkan adanya kekacauan-kekacauan dalam bentuk-bentuk kota dan penghuninya akibat dari industrialisasi. Perpuisian Indonesia pada periode 1970-an sampai 1980-an banyak diwarnai dengan perkembangan puisi sufi sebagai konsep estetika yang menawarkan kebaruan tersendiri. Padahal, pada periode 1965-an, perpuisian Indonesia diwarnai oleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
ideologi politik, terutama keterlibatan sastrawan Indonesia dalam partai (Rosidi, 1986:164-166), di mana pada waktu itu, sastra (di dalamnya juga puisi) dimaksudkan sebagai usaha untuk menyampaikan gerakan politis. Semenjak rezim Orde Baru, naiknya Soeharto sebagai presiden, dan sastra Indonesia mulai menapakkan kemapanan untuk menyuarakan idealitas (Yudiono KS, 2006:47). Sastra Indonesia tahun 1965-1998 merupakan masa pemapanan setelah berakhirnya penumpasan PKI. Mulailah ada penerbitan majalah Horison, yang kemudian memunculkan inisiatif dari koran-koran untuk terbit. Koran dan majalah menjadi alternative publikasi bagi sastrawan untuk memunculkan karyakaryanya. Fenomena ini sebenarnya telah dimulai pada masa Belanda masih di Indonesia, yang ketika itu yang dimuat hanya karya-karya yang selaras dengan Belanda. Sastrawan mulai masuk untuk menggali dan mengeksplorasi wilayah estetika dengan berbagai sudut pandang, salah satunya munculnya inisiatif untuk menulis sastra yang bercorak sufi(stik) seperti Kuntowijoyo, Danarto, Sutardjo Calzaoum Bachri, M. Fudoli Zaini, Abdul Hadi W.M. dan Emha Ainun Nadjib. Ada banyak perdebatan mengenai terminologi sastra sufi itu sendiri. Ada yang mengatakan bahwa kriteria sastra sufi harus ditulis oleh serang sufi, sementara itu ada juga yang mengatakan bahwa sastra sufi itu bukan penyairnya yang sufi, melainkan karya sastra yang memuat nilai-nilai kesufian. Dalam menentukan sastra sufi itu sendiri memiliki wilayah yang berbeda dengan sastra profetik. Sastra sufi lebih memuat konsep ketuhanan yang dijalin dengan cinta, sedangkan sastra profetik memuat dimensi ketuhanan yang dijalin dalam hubungan yang jauh. Mengenai batas sufi itu sendiri, sesungguhnya terkait dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
119 digilib.uns.ac.id
persebaran wacana yang dilontarkan oleh Abdul Hadi W.M. di Indonesia, sedangkan sastra profetik diungkapkan oleh Kuntowijoyo dengan banyak memuat pesan-pesan kenabian di dalam karya sastra. Inisiatif untuk menuliskan puisi tentang realitas sosial dan mengajak untuk kembali pada Tuhan dianggap bercorak sufi(stik) sehingga menjadi wacana yang menarik perhatian dari berbagai kalangan. Dalam pandangan ini, karya sastra dapat difungsikan untuk menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang telah ada dalam diri manusia. Oleh karena itu, manusia diharuskan kritis dan bijaksana terhadap fenomena yang ada di sekitarnya. Karya sastra yang pengetahuan dalam menyikapi realitas sebagai suatu keberadaan yang memiliki pengaruh dengan nilai (Skolimowski, 2004:26-27). Di sinilah peranan dari sastra religius dapat merevitalisasi akhlak manusia. Pada akhirnya kebuntuan menghadapi realitas tak terbantahkan lagi. Manusia kembali berlari kepada agama untuk memecahkan permasalahan yang telah melingkupinya. Dalam hal ini, manusia merasa ingin menemukan kembali nilai-nilai yang telah membentuknya. Agama menjadi bagian penting dalam mentransformasikan nilai-nilai ke dalam diri manusia. Di sinilah politisi seperti Soekarno, Jhon F. Kennedy, Vaclav Havel, Pablo Neruda, dan Mahatma Gandhi yang menyakini karya sastra memiliki kekuatan untuk menggerakkan nurani pembaca. Dalam relasi sosial, eksistensi seorang penyair tidak lepas dari perputaran pengetahuan dalam sebuah arena. Michel Foucault (2002b:158) mengungkapkan ketika kekuasaan yang politis untuk menguasai intelektual melalui pembagian pengetahuan, maka ia mulai menyentuh arahan-arahan dalam relasi tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
120 digilib.uns.ac.id
Kekuasaan yang dimaksud tidak harus negara, atau yang berkaitan dengan pemerintahan. Namun, hadirnya ―wacana‖ itu sendiri juga merupakan sebuah kekuasaan. Relasi-relasi sosial yang terbentuk dari interaksi maupun internalisasi terbangun berdasarkan wacana, yakni adanya kekuasaan yang terus bergerak. Konsep-konsep untuk menjalani kehidupan merupakan arahan tersendiri, yang sesungguhnya merupakan suatu kuasa yang hadir karena adanya pengtahuan. Intelektual—di sini, dapat pula dimasukkan dalam ranah penyair sebagai intelektualitas karena menulis sesuatu tentang keadaan entah wilayah batin, maupun luaran—masuk pada wilayah terminologi tersendiri, yang berada dalam hubungan-hubungan dengan masyarakat untuk menjadikan dirinya memiliki karya yang diakui. Penyair memiliki kapabilitas untuk menyuarakan zaman berdasarkan realita yang dicermati, namun di sini tampak simpang-siur mengenai keadaan penyair sebagai intelektualitas yang peka terhadap keadaan karena wacana yang diungkakannya tidaklah netral. Keadaan politik di Indonesia misalnya, merupakan arena tersendiri yang memberikan pengaruh kuat pada gaya penyair-penyair dalam menampilkan estetika sehingga tulisan yang ditampilkan tidak murni dari idealitas. Rezim Orde Baru membolehkan penyair untuk berekspresi dengan tidak memiliki ideologi yang tidak mengkritik pemerintah. Oleh karenanya, wilayah religious, juga pandangan tentang sufi menjadi bagian yang paling aman untuk dituliskan. Mereka memilih menyampaikan wacana sufi karena ada dalam suatu ranah yang tidak mengusik pemerintah:di satu sisi meraka akan aman untuk membuat sejarah sastra baru, juga aman untuk mendekati publik. Wacana ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
121 digilib.uns.ac.id
berkembang di kalangan penyair (maupun sastrawan secara umum) untuk kritis mencermati realitas sosial, di mana kecendrungan untuk mempublikasikan pada media masa (koran) dan majalah menjadi alternatif untuk popular, selain juga mendapatkan honor; yang padahal koran dan majalah itu sendiri memiliki kepentingan pragmatis untuk diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, kendali dari suatu wacana ada pada koran dan majalah. Kondisi ini diakui oleh Abdul Wachid B.S. (2005:95) dalam buku Sastra Pencerahan. ―Bahkan, banyak penulis yang bertarget asal dimuat dan mendapatkan honor, yakni dengan cara mereproduksi ―bentuk‖ dan ―isi‖ terhadap kecendrungan karya sastra yang sering dimuat di suatu koran. Puisi memang tetap ditulis dan dimuat, tetapi dengan cara menulis ―puisi yang baik dan benar‖, begitu pula dengan ―cerpan yang baku‖, juga ―novel yang sesuai dengan kaidah-kaidah‖. Segala itu serba lewat begitu saja senyampang dengan datangnya koran besok pagi, maka koran kemarin tidak dibaca lagi sebab tidak ada sesuatu yang baru ditawarkan di dalam karya sastra. Padahal, masyarakat dan pers hanya akan memperhitungkan hal-hal yang baru, yang luar biasa, dan ha semacam itu tidak dapat disalahkan sebab jadi imbang hal yang rutin keseharian, yang biasa-biasa saja.‖ Pada razim Orde Baru ini, pemerintah tidak menjadikan puisi (sastra secara umum) untuk memapankan kekuasaan. Pemerintah lebih menggunakan agen-agen yang bergerak pada ranah institusi, yang secara publik memiliki kewenangan. Sementra itu, sastra (baca:puisi) berada ada ―wilayah lain‖, yang telah dikondisikan oleh wacana mengenai konvensi estetika yang diinginkan oleh media. Sesungguhnya, wacana memiliki aturan-aturan yang mengondisikan suatu keadaan. Kehadiran dan posisi dari wacana itu sendiri dapat diinterpretasikan dengan berbagai macam respon oleh masyarakat yang membentuk hubungan timbal-balik sebagai suatu relasi sosial. Bahkan, transformasi wacana dalam relasi sosial yang diakibatkan oleh gejolak antara nilai dan struktur merupakan proyeksi commit to user
122 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan
refleksivitas
dari
keterulangan
dalam
reproduksi
sosial
(Giddens,
2010:xxxiii). Dalam kaitan ini, penyair, sebagai manusia, merupakan ―agen‖ yang terlibat untuk melakukan tindakan-tindakan. Aprinus Salam (2004:66-67) mengatakan ada fenomena kecendrungan sastrawan/penyair Yogya dalam menyiasati dari kemiskinan dengan memilih menulis puisi kritik sosial, ada yang mengasikkan diri untuk melahirkan pengalaman individual dengan sambil beribadah sehingga lahir puisi religious atau sufistik. Di sini, berarti penyair sebagai agen yang menolak struktur dari rezim Orde Baru. Dalam ranah kesadaran ataupun ketidaksadaran, itu menjadi tidak terlalu penting, yang terpenting adalah perwujudan dari tindakan perlawanan maupun kritik terhadap perkembangan zaman dan pemerintahan.
4.2.2. Buku Puisi Tunjammu Kekasih Buku puisi Rumah Cahaya memang cukup menjadi perbincangan, namun buku Tunjammu Kekasih juga memberikan wacana yang cukup menarik. Ada banyak deskripsi realitas sosial yang ditampilkan di dalam buku Tunjammu Kekasih. Dalam dua buku tersebut, dia mampu menangkap realita dengan kritis sehingga memunculkan bahasa yang segar untuk membuat pembaca terharu. Ada inovasi-inovasi dalam setiap kreatifitas memahami keadaan yang ada di sekitarnya untuk ditulis menjadi puisi. Selain kreativitas, juga peran dari ruang-ruang kebudayaan dalam memosisikan puisinya untuk diterima menjadi hal yang penting tentang keterakuian seorang penyair. Kondisi sosiologis ini tentunya ada relasi-relasi di antara penyair itu sendiri untuk membentuk idealitas dengan secara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
123 digilib.uns.ac.id
realitas mendapatkan posisi sebagai individu yang ingin memiliki ruang dalam menghadapi perputaran eksistensi. Keterlingkupan ruang produksi dari sebuah kreativitas ini masuk dalam satu ―arena‖ yang sama. Lihat saja misalnya pada sajak berjudul ―Sepertinya‖ (2003b:18) berikut ini. Sepertinya neraka hari ini menggeliat Dari tarian ke tarian kecemasan akan hari esok Sepanjang jalan pasar, ketika sebuah dunia Yang lebih luas dari kota besar ini, yakni hatimu Kembali menyempit, menjadi sekedar kalender yang Berguguran seperti daun-daun melayang diliputi debu Lalu hujan kota yang di matamu telah beracun itu Mengembalikannya pada bumi yang sedang bermimpi Tamu kubur itu, yang menampakkan wajah Dari balik tembok? Dari kutipan tersebut, wacana yang terkandung masih memperlihatkan tentang keadaan kota yang hiruk-pikuk, yakni pada:―hujan kota yang di matamu telah beracun.‖ Kekacauan yang ada di kota masih lebih disebabkan oleh dirimanusia yang kurang sadar pada jagat kecil. Kerusakan dan kekacauan disebabkan oleh manusia itu sendiri. Ada usaha dari penyair untuk menyadarkan pada pembaca tentang eksistensi alam lain, yakni neraka dan kubut. Hidup di dunia tidak hanya hitungan kalender seperti yang banyak diburu oleh manusia modern dengan mementingkan materi. Penyair berusaha untuk mewacanakan idealitas untuk mengkritik zaman, terutama kota dengan arah pembangunan yang mekanistik. Penyair menggunakan elemen bahasa sebagai rangkaian untuk memungkinkan memasukkan nilai. Pengetahuan yang dicerap dan diterima sebagai kebenaran akan menukarkan rasa percaya pada alam yang luas. Banyaknya diksi seperti ‗jalan‘, ‗trotoar‘, ‗malam‘, ‗cahaya‘, ‗airmata‘, commit to user ‗lelaki‘, ‗sendiri‘, ‗kota‘, ‗pasar‘, dan ‗rumah‘, meperlihatkan tentang regionalisasi
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari struktur sosial penyair sebagai rutinitas. Perjumpaan-perjumpaan dalam tatanan sosial berulang pada puisi yang ditulis sehingga dapat mengindikasikan keseharian mengenai sistem rutinitas yang menjadi ide. Dilematisasi antara dunia yang dipenuhi dengan kehampaan diarahkan pada aspek-aspek transendental untuk melihat ―cahaya‖. Spiritualitas ini muncul berdasarkan konstruks sosial yang penuh dengan kekacauan. Rutinitas yang terkespresikan bukan sekadar bahasa secara semantik, melainkan kesadaran diskursif untuk mewacanakan sesuatu dalam pergeseran nilai. Realitas sosial yang kacau dengan adanya arahan untuk berbenah melalui doa masih menjadi kunci untuk memahami puisi-puisi dalam buku Tunjammu Kekasih. Doa gerimis memanjang seekor angsa di halaman mengepakkan sayap sepi 1994 Pada puisi berjudul ―Doa‖ (2003b:22) ditampilkan dalam bentuk imajinasi dengan citra yang kuat. Sajak itu adalah sajak tentang suasana. Doa dengan tangis yang tak berkesudah seperti gerimis yang panjang untuk mengharap belas kasih. Namun, doa itu adalah doa kesepian. Sayap sepi yang mengepak muncul karena problematika kehidupan yang telah menjadikan doa tidak lagi dilakukan secara komunal. Doa dijalankan dengan eksistensi diri yang nista, rasa dingin oleh peradaban, juga ketiadaan teman dalam mengartikulasikan nilai. Di dalamnya, perasaan membentuk sintagma lebih melankolik sehingga membuka ruang-ruang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
kontemplatif. Ada usaha untuk membuka kesadaran melalui doa yang hening dan terasing. Dalam buku Tunjammu Kekasih, realita dipotret menjadi bentuk narasi sehingga bahasa sosial didekonstruski sebagai upaya memainkan estetika dan tanda. Pada tahun 1991-1999, Abdul Wachid B.S. masih memperlihatkan kekacauan dalam bentuk-bentuk kota, namun dia sudah masuk ke wilayah partikular dengan ketajaman intuisi. Pengalaman-pengalaman berkesan menjadi moment puitik yang melahirkan kreativitas. Dalam buku ini, banyak dipenuhi perjumpaan dengan teman-teman, baik kalangan sastrawan maupun teman secara individual, yang kemudian melahirkan sajak. Ada perjumpaan dengan Mator A. Elwa, operasi nyonya Y, Kang Dalhar, Santosa Warna Atmaja, D. Zawawi Imron dan Nyai Maskiyah, Joni Ariadinata, Ahmad Tohari bertemu KH. A. Mustofa Bisri, Nyonya Har, Lian Sahar, dan untuk anak sendiri yaitu Sayfa dan Hilly. Persepsi perjumpaan muncul bukan kareona kontinuitas ruang dan waktu, melainkan keberkesanan yang secara instingtif melahirkan wacana. Hujan Saat Panen Usai Lebaran -ditinggal kang Dalhar Di tengah sawah dusun Rabak, langit terbelah Oleh hujan yang berletusan Aku tinggal sendiri, gemetar dalam doa kecemasan Mengingatkan Hallaj di hadapan tiang akhir Seperti batang tebu dan padi disujudkan angin itu Ini juga jarak maut tinggal selecutan petir yang Dekatkan tangan takdir ke perih leher Kini juga kecemasan menjadi satunya bahasa yang Merangkaki pematang. Dan orang berpanen Telah pulang ke dusun lebaran Tinggal berapa bayangnya di antara user Petak tanah yang menyusut.commit Tinggaltodoa yang menjadi
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jembatan, yang dekatkan jarak langit dan bumi Tapi di situ tubuhku keburu disebut kabut Perjumpaan dengan Kang Dalhar yang harus diakhir dengan kepergian disampikan dengan peristiwa yang sangat dramatik yakni dengan adanya hujan yang dahsyat dengan ―langit terbelah/ Oleh hujan yang berletusan.‖ Peristiwa itu dihubungkan dengan wacana mengenai peristiwa ―Hallaj di hadapan tiang akhir‖. Dalam hal ini, penyair memahami mengenai wacana yang berelasi untuk menjadikan pengalaman makin kompleks. Hal seperti inilah yang kadang banyak disalahpahami oleh pembaca secara awam sebagai sajak sufi. Padahal, sajak tersebut lebih mengungkapkan mengenai peristiwa mencekam dengan ditinggal oleh Kang Dalhar. Pengetahuan dari penyair yang pernah membaca atau mendengar
riwayat
al-Hallaj
menjadi
dihubungkan
melalui
ingatan.
Kebermaknaan itu muncul dengan proses bahasa yang saling bertaut pada distribusi peristiwa lahir dan perasaan. Wilayah partikular puisi ditentukan berdasarkan kemampuan penyair dalam melakukan sublimasi untuk menjadikan adanya dinamisasi antara bentuk dan isi. Adanya ornamen dalam pembentukan keindahan dapat dikategorikan sebagai bagian tersendiri untuk mencapai wilayah partikular. Setiap individu memiliki persepsi yang berbeda, yang membuatnya memiliki nilai estetik yang unik sebagai konsep. Adanya pola dalam penciptaan teks berdasarkan intuisi dan bimbingan spiritual ini menjadikan adanya hakikat tersembunyi yang lain daripada yang lain. Bimbingan spiritualitas ini tidak serta merta harus dipahami sebagai konsep ibadah, namun dorongan dari nilai yang melekat di dalam diri sebagai ―kekuatan commit to userimajiner di dalam dirinya, hanya imajiner.‖ Setiap manusia memiliki kekuatan
perpustakaan.uns.ac.id
127 digilib.uns.ac.id
haja ada kemauan untuk menggali kekuatan imajiner tersebut atau tidak. Di sinilah, kreativitas dikaitkan dengan kepekaan untuk menyikapi fenomena yang tampaknya sepele menjadi sangat berarti dan bermakna dengan adanya kekayaan dan pengetahuan.
4.2.3. Buku Puisi Ijinkan Aku Mencintaimu dan Beribu Rindu Kekasihku Dua buku tersebut dijadikan satu tema karena masing-masing mengungkap pola wacana yang serupa. Puisi baru dalam buku Ijinkan Aku Mencintaimu sebenarnya hanya 29 sajak, namun dalam buku ini ditambahi beberapa tema cinta yang sebenarnya sudah terbukukan dalam buku Rumah Cahaya versi 1995 dan dalam buku Tunjammu Kekasih. Puisi baru dalam buku Ijinkan Aku Mencintaimu memiliki pola yang hampir serupa dengan buku Beribu Rindu Kekasihku, baik tema maupun secara estetik. Tema cinta sebagai wacana di dalam dua buku tersebut lebih berpretensi pada hubungan dengan manusia yang diposisikan memiliki nilai yang agung. Cinta dalam pandangan dua buku ini dapat menjelma apapun, baik sebagai ekspresi, kekaguman, rasa sakit maupun pengingkaran. Cinta di dalam kedua buku tersebut tidak bertaut dengan cinta ketuhanan sebagaimana kalangan sufi. Cinta yang diekspresikan oleh kalangan sufi muncul dengan adanya ma‘rifat dengan melakukan persatuan mistik dengan melampaui kenyataan (Hadi W.M., 2001:35-36). Pada sajak-sajak sufistik pengalaman yang dialami oleh seorang sufi sangat berbeda dengan pengalaman manusia pada umumnya. Abubakar Aceh (1996:29) menjelaskan bahwa orang-orang sufi meletakkan pengertian yang sangat berlainan dengan mereka, yang melihat perbaikan akhlak commit to user
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manusia dari sudut kemajuan dunia. Dari perbedaan itu membuat banyak orang akhirnya tidak dapat memahami, memaknai dan mendalami nilai-nilai estetik sajak-sajak sufistik dengan bermacam pengalaman rohaninya dan kebenaran ketika merintis jalan kehidupan hingga mendapatkan jati dirinya. Biasanya dalam penuangan ke bahasa sehari-hari atau pengungkapan pengalaman rohani lebih menggunakan simbol atau lambang. Sebagaimana tradisi sastra dunia yang lain, simbol-simbol atau citraan simbolik yang terdapat dalam khasanah sastra sufi selalu berkitan dengan sejarah dan latar belakang, dan akar tersendiri yang khusus, yaitu gagasan keruhanian di mana tasawuf mula-mula tumbuh dan berkembang (Hadi WM, 2001:90-91). Hal ini menandakan menelaah sajak-sajak sufistik tidak cukup hanya dengan teksnya saja, tetapi kesinambungan antara teks, konteks dan kontekstualisasi wacana sehingga dapat ditemukan kebenaran mengenai simbolisasi puisi sufistik. Cinta di kalangan sufi adalah cinta sebagai tingkatan keruhanian untuk mencapati pengetahuan ketuhanan tentang rahasia yang tersembunyi. Abdul Wachid B.S. dalam beberapa sajak menggunakan idiom religi seperti yang ada dalam sajak ―Kangen‖ (2002:76) berikut ini. jika kangen merajam kekasih telponlah aku dengan fatihah sayapnya akan terbang hingga ke lubuk sanubari tak ada sepeka ia tak ada setujam ia yang hilangkan jarak ke paling satu sukmaku sukma kau berpeluk dalam tari
commit to user
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jika kangen merajam kekasih lewat kawat sukma membisik telinga batin ―ada pagutan masih memerah panasnya di dada hingga tak ada sekujur hari tersisa tanpa nyala warna cinta‖ 2000 Dari puisi tersebut, ada beberapa idiom yang dapat menjadikan orang terjebak seperti ‗fatihah‘, dan ‗berpeluk dalam tari‘. Pembacaan harus dilakukan secara hati-hati dan menyeluruh untuk tidak terjebak dalam filosofi semantik. Pengungkapan filosofi seharusnya lebih tertuju pada keseluruhan untuk melihat pada konteks yang sebenarnya. Wacana dalam puisi tersebut menampilkan bermacam kemungkinan dengan pembungkusan bahasa untuk menampilkan diri dalam menjalin cinta dengan kekasih yang saling merindu. Kekasih berada di tempat
yang
jauh
dengan
lokus
yang
memungkinkan
batin
untuk
mengekspresikan harapan-harapan melalui bayangan. Sirkulasi kata-kata yang seperti ini memang sangat mirip dengan pola penuturan puisi sufi dengan kata [batin] dan [sukma] yang menjadi kedalaman manusia. Susunan yang tersembuyi memperlihatkan tanda yang berada dalam ekspresi cinta datar. Dalam buku Izinkan Aku Mencintaimu cinta menjadi ruang instrumental atas pengalaman, tetapi penggantian arti dalam simbol-simbol cinta seolah ditujukan pada Tuhan. Bisa jadi pada tahun 2000-an, wacana mengenai kekacauan sosial sudah menjadi hal yang biasa, maka Abdul Wachid B.S. melihat cinta sebagai commitAbdul to userWachid B.S. tidak lagi banyak disposisi yang mesti diaktulisasikan.
perpustakaan.uns.ac.id
130 digilib.uns.ac.id
berolah rasa dengan keadaan kota dan penyeruan untuk kembali ke jalan yang benar. Sejarah Indonesia dalam pasca reformasi telah mengubah tatanan menjadi lebih bebas, namun secara personal ada yang berubah pada individu (penyair) dalam menjalani realitas. Obsesifitas masa lalu sewaktu muda dalam kegagalan menyatakan cinta menjari peristiwa yang ekslusif untuk menampilkan puisi-puisi cinta dengan perhatian panca indra yang lebih disempurnakan oleh struktur bahasa pantun. Tema cinta selalu ditulis oleh penyair dengan keberbedaan pengalaman, konflik, dan peristiwa karena waktu selalu mengubah peradaban. Setiap orang memiliki cinta dengan pengalaman berbeda-beda, unik seperti belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagaimana dalam sajak ‖Cintaku Jauh di Pulau‖ yang ditulis oleh Chairil Anwar cinta seperti ‖/Di air yang tenang, di angin mendayu/di perasaan penghabisan segala melaju/Ajal bertahta sambil berkata:/―Tunjukan perahu ke pangkuanku saja,/‖ telah menunjukan ekspresi penyair ketika menjalani kisah cinta, walau dalam kondisi fisik yang terpisah, yaitu jauh di pulau. Bahkan, dalam kondisi ajal mulai mendekat, ia lebih menginginkan perahu untuk menemui cintanya. Sampai pada akhirnya benar-benar meninggal dunia, tanpa sempat berpeluk dengan cintanya. Penyair sebagaimana pada umumnya manusia, dia membutuhkan apa yang menjadi daya untuk hidup, dan memenuhi kebutuhannya sesuai kodratnya. Kekayaan pengalaman cinta, menjadikan pengendapan dalam pemikiran penyair semakin kaya sehingga puisi yang ditulisnya lebih kompleks, bersistem, dan memiliki konstruksi leksikal yang renyah. Informasi-informasi dalam puisi dapat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
131 digilib.uns.ac.id
tersampaikan dengan baik, namun masih mengandung ketaklangsungan ekspresi sebagai gaya bahasa yang khas. Oleh karenanya, antara tanda, penanda, dan petanda sepenuhnya merupakan proyeksi yang memiliki kebenaran seperti dalam alam pikiran, dan kejiwaan penyair. Pengetahuan dari Abdul Wachid B.S. dengan banyak bersentuhan dengan puisi-puisi sufi dan makin diperkaya oleh teori sastra, menjadikan kecerdikan tersendiri dalam memposisikan bahasa untuk tidak tampak memaksa melalui kecermatan kata. Bahasa mengungkapkan pengalaman cinta dalam keyakinan wacana sebagai penyair yang tumbuh dalam karakteristik individu dewasa. Dengan kata lain, puisi cinta Abdul Wachid B.S. diterima oleh publik dengan adanya kematangan bahasa untuk memberikan deskripsi pada sebagai nilai yang penting dalam diri manusia dan tidak dapat diingkari. Cinta itu menjadi tidak hanya sebatas ekspresi, namun memberikan pengetahuan tentang konsep yang memungkinkan untuk melampaui batas personal. Adapun dalam buku Beribu Rindu Kekasihku, beberapa ikon dari budaya popular yang terkait dengan cinta sengaja dimasukkan. Di sini, tahun 2003-an, menampilkan bagaimana cinta menjadi sangat popular dan merebak dengan adanya teknologi HP, dan cinta disampaikan lewat SMS. Namun, jauh dari itu, ada moralitas dalam cinta yang menjadi representasi hubungan sepasang kekasih lewat teknologi seperti misalnya ‗SMS Sarie untuk Steve‘ dan ‗SMS Steve untuk Sarie‘.
Sampailah kau aku di suatu gerimis yang lain Putih seperti kelambu to user Kau aku tiba-tiba terkurung commit di dalamnya
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ini ruang hidup para pecinta yang diasingkan Cahaya telah menjauh disergap kegelapan Pengungkapan kau aku masih muncul sebagai identitas yang sengaja dibangun, namun yang sangat ketara dari Abdul Wachid B.S. adalah narasi dengan kebersahajaan yang menjadikan puisi itu utuh. Narasi ini kadang-kadang juga diperlakukan sebagai eksposisi atas pengalaman indrawi yang menjadikan suasana terbangun dalam /gerimis yang lain/Putih seperti kelambu/. Imajinasi menjadi eksplisit; dan seolah-oleh melihat sekaligus merasakan, tapi tidak terlibat. Setelah itu, barulah wacana cinta dilontarkan. Bahasa di dalam karya sastra sebagai medium penghubung antara pembaca ketika memahami teks, berada pada sisi simbolis, terlebih lagi bahasa puisi. Kemampuan penyair merepresentasikan cinta menjadi bentuk tulis masih memiliki sisi perumpamaan karena banyaknya realitas yang sulit terpahami dan terjangkau dengan paradigma berpikir pada umumnya. Oleh sebab itu, muncul simbol yang tidak terikat oleh waktu (mereka adalah tempat bagi konflik masa kanak-kanak yang tertindas dan pada saat yang sama ada dalam kesadaran manusia) dapat memberikan inspirasi dengan persoalan yang dihadapinya (Kursweil, 2004:143-144). Bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang mengindentifikasikan hakikat keberadaan cinta, pemikiran, pandangan hidup, dan filosofi sehingga bahasa berada pada sisi simbolis dan harus ditafsirkan dengan mempertanyakan kembali pemahaman yang telah direpresentasikan di dalam teks. Hal itu dapat menyebut istilah tersebut ―reinterpretasi realitas‖ karena pada commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
133 digilib.uns.ac.id
dasarnya kemunculan suatu teks berdasarkan interpretasi terhadap kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan manusia cinta sering dipahami secara erotik. Di dalam jiwa amnesia hanya ada nafsu pada birahi. Sesuatu hal yang membawa kepada kefanaan. Pada tataran ini, manusia hanya melihat sesuatu yang bisa dilihat, tanpa adanya sebuah kekuatan yang tersembunyi di dalam cinta. Cinta dapat menghinggapi siapa pun. Cinta dalam konteksnya tidak hanya menerangkan hubungan antara manusia dengan manusia lawan jenis. Cinta dapat muncul dari dahsyatnya getaran perasan antarnaluri. Cinta kadang begitu dekat, kadang gaib melintas begitu saja. Cinta adalah sejenis intuisi yang sulit untuk dijelaskan lewat kata-kata karena bersifat abstrak. Dalam kehidupan, bahasa bersifat terbatas untuk menerangkan objek yang tersembunyi dari kehidupan, sedangkan puisi merupakan pengungkapan bayangan perasaan dan kejadian yang memiliki kebenaran. Antara cinta dan puisi, sering muncul bersamaan tanpa diduga. Pada akhirnya, cinta dan puisi dapat dijangkau, bahkan dikendalikan dengan kesadaran pada keseimbangan antara emosi, akal, dan pikiran yang dapat diwacanakan melalui puisi.
4.2.4. Buku Puisi Yang Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. banyak diwarnai dengan ziarah. Makam memiliki banyak simbol yang dapat dipahami dalam berbagai terminologi. Makam-makam para wali selalu menjadi kunjungan banyak orang untuk berdoa karena diyakini sebagai tempat suci. Meksipun berziarah sering menjadi perdebatan sebagai syirik, namun mengunjungi makam-makam sebagai pengingat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
134 digilib.uns.ac.id
eksistensi manusia di dunia ini yang bakal melewati alam kubur menjadi penting. Modernisme yang menuntut aktivitas kerja dan kerja, sering membuat kira terlupa dengan dengan kebutuhan spiritual. Wacana-wacana yang dilontarkan tampaknya lebih ke arah antroposentris daripada kosmosentris ataupun teosentris, di mana subjek sebagai pemeroleh pengalaman (experience) yang kemudian direlasikan aktivitas sosial. Secara konseptual, wacana yang dibangun oleh Abdul Wachid B.S. bisa digeneralisasi dari wilayah estetika, namun wilayah kontrol berada dalam pengalaman yang menjadi kensekuensi dari abstraksi, tapi Tuhan berada dalam ruang imajiner yang selalu diposisikan sebagai penangguh atas dualitas:antara subjek dan objek. Sayangnya, dasar adanya doa yang diekspresikan di dalam puisi Abdul Wachid B.S. lebih merupakan kegelisahan, bukan ungkapan ‗syukur sebagai doa‘. Bahkan, adanya puisi-puisi ziarah lebih merupakan ekspresi kekaguman yang mengalir dalam bentuk intuitif. Memahami puisi dalam buku Yang karya Abdul Wachid B.S. tidak hanya sebatas puisi itu sendiri, melainkan proses puisi itu terbentuk menjadi sangat penting dalam rangka memahami sosio-kultur yang melingkupinya. Hanya mengandalkan pemhaman secara tekstual akan kurang tanpa mengaitkan estetika perpuisian Abdul Wachid B.S. berdasarkan relasi yang dibangunnya selama proses kreatif. Namun, apa boleh dikata, wacana ada di dalam teks senyatanya adalah konstruks sosial, di mana Abdul Wachid B.S., yang dalam hal ini sebagai agen, terikat oleh relasi sosiologis. Pertemuannya dengan A. Mustofa Bisri dari mulai memberi kata pengantar buku puisi Rumah Cahaya sampai pada pertemuan commit to user
135 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang hanya silaturahmi, dan pertemuan dengan D. Zawawi Imron yang saling membicarakan proses penciptaan puisi; semua itu adalah pertemuan ideologis yang berpengaruh terhadap pembentukan wacana di dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. (―Ini
pertemuan
pertama,
guru/Tapi
seakan
bertahun
kerinduan
terbayar/Tempat dan peristiwa yang kau singgah/Kini meresap kalbu‖) dalam puisi ―Tamu –di rumah Ahmad Tohari bertemu KH. A. Mustofa Bisri‖ Guru dalam pandangan Abdul Wachid B.S. menjadi tindakan suci dan mulia. Betapa besar ilmu yang terjalin oleh seorang guru kepada murid walaupun bertemu dalam waktu yang singkat. Guru menjadi pembimbing spiritual untuk menunjukan jalanjalan yang mesti ditempuh agar murid tidak tersesat. Oleh karena itu, betapa lembut penghormatan terhadap guru di pondok pesantren dengan mulia. Kepergian Abdul Wachid B.S. dari Lamongan menuju Yogya, membuatnya bertarung dengan struktur kota, sementara orangtua secara fisik terpisah yang membuat batas komunikasi dan batas kasih sayang sebatas doa. Meskipun sampai sekarang, belum menuliskan puisi-puisi tentang Ibu atau Ayah, namun kegemarannya berziarah ini menampakkan seseorang yang sedang membutuhkan bimibingan spiritual. Relasi metafisis ini menghubungkan perasaan-perasaan transcendental. Berbagai kisah dalam proses kreatif tak semua teringat, tetapi caranya memfigurkan tokoh-tokoh seperti Mbah Jogoreso, Syeikh Makdum Wali, dan beberapa ulama yang berpengaruh terhadap persebaran Islam di Jawa, membuatnya tidak sebatas kagum. Wujud kecintaan dan kerinduan amal commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perbuatan itu ditampilkan dalam ziarah yang terus-menerus dicapai, walau dalam citra simbolis sekalipun. Tentu saja ini bukan sebuah rekayasa, tetapi perkembangan manusia pada tingkat tertentu mencapai kesadaran sebagai komposisi untuk meletakkan diri dalam perenungan. Ziarah adalah perenungan panjang sebagai kunjungan untuk daya spiritualitas manusia dalam membersihkan pikiran, perasaan, dan jiwanya. Self-control dilakukan oleh setiap manusia yang sadar pada posisi dirinya bahwa dalam lingkup waktu tertentu perasaan akan lebih dominan sehingga untuk menjaga dia melakukan sistematisasi diri dari jarak jauh. Maka dari itu, apabila ditarik sebuah garis bidang yang bersinggungan sehingga dapat menemukan bahwa puisi-puisi Abdul Wachid B.S. sebagai wacana karena adanya reproduksi sosial yang panjang sehingga memunculkan interaksi spiritualitasnya. Di dalam buku tersebut, ada ―medan wacana‖, yang perlu untuk dilihat dengan ranah struktur sosial yang mendasari setiap gaya (sebagai pemilihan ungkapan) maupun dalam relasi-relasi sosial dalam membentuk pandangan bagi Abdul Wachid B.S. dalam menulis puisi. Matrik Perubahan: Tipe Tema pada Tiap-tiap Buku Puisi Abdul Wachid B.S. Buku
Tahun Produksi Teks
Rumah Cahaya
Tahun 1986 hingga 1994
Tunjamu Kekasih
Tahun 2000
1992-
Ijinkan Aku Dari 2000 mencintaimu dan 2002 Beribu Rindu Dari 2000 Kekasihku 2003 Yang
2003-2008
-
Kondisi Sosial
Wacana pada Teks
Modernisasi, pembangunan, dan ketimpangan sosial Ketimpangan sosial dan ketermarginalisasian
Kritik sosial dengan arah tuju kembali pada religiusitas
Orang bebas untuk mengekspresikan diri, dan pola pandang lebih teknologis
commit to user Mulai
lunturnya
Kritik sosial melalui representasi aku dan bentuk narasi Tema cinta dengan diksi yang ketat, dan idiom religius Tema cinta, dan beberapa unsur teknologis Tema cinta (antara manusia
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
demokrasi, pluralitas yang terlalu lebih, dan mulai menghilangnya religiusitas
dan tuhan). Bayang-bayang keduanya dimunculkan secara bersamaan
Dalam empat buku yang mengalami proses panjang, berbagai perubahan struktur sosial terbentuk berdasarkan infra struktur dan suprastruktur masyarakat. Setiap perubahan sosial mengalami strukturasi, yang dapat dicermati melalui penanda-penanda yang tampak di dalam teks.
4.3 Analisa Wacana 4.3.1 Puisi dan Strategi Wacana Untuk mendalami puisi-puisi Abdul Wachid B.S., maka perlu diungkap wacana-wacana yang dikonstruks di dalam puisi itu sendiri. Wacana di dalam puisi membentuk rangkaian jalur yang bercabang antara perasaan, pemikiran, dan pengalaman. Arah berpikir ini, pada nantinya, akan memahami teks tidak hanya sebatas peristiwa bahasa, tetapi lebih pada teks yang mengkonstruksi makna. Wacana yang dibangun oleh Abdul Wachid B.S. di dalam puisi sebagai cara menjalin objek dan subjek yang memunculkan karakteristik, yang dapat ditandai melalui
kebenaran
yang diproduksi. Penyair, sebagai
manusia
kreatif,
memunculkan wacana dalam keindahan kata-kata yang berbeda dengan penyair lainnya sebagai penanda. Dalam praktik tersebut, terdapat ruang yang menyajikan entitas sebagai modus kehadiran wacana. Memahami puisi kadangkala mengabaikan bahasa dari beban makna. Bahasa—dalam pandangan ketidaktahuan—dipahami sebagai keindahan, yang commitpengetahuan. to user justru sebenarnya juga menyampaikan Pemahaman ini menjadikan
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembacaan terhadap puisi mengabaikan bahasa. Bahasa puisi seolah-oleh dianggap keindahan yang menjadikan pembaca tertarik, dan di balik hanya kekosongan, fantasi dan ilusi yang tidak perlu. Di dalam bahasa, ornamenoranamen tidak hanya hanya sebagai pembentuk keindahan dengan adanya permainan bentuk saja. Padahal, untuk mencapai pada tahap keindahan (yang konon estetika) itu sendiri membutuhkan kerja yang lebih dan luar biasa dengan keterlibatan berbagai elemen bahasa; perasaan dan pikiran yang bertaut dalam ―gerak intuisi‖. Bahasa di dalam puisi juga harus disikapi sebagai pengetahuan, yang mnampilkan jaring-jaring makna. Dalam puisi yang ditulis Abdul Wachid B.S. juga ada ―bahasa yang tidak netral‖ dengan pengetahuan yang terus berkembang. Ada wacana bergerak secara sugestif dalam diri subjek-pembaca. Betapa kehalusan bahasa menciptakan keramahan, keharmonisan, dan kebersatuan—itulah yang terjadi ketika puisi masih menjadi bagian dari sepasang kekasih, juga untuk permintaan maaf melalui pesan singkat di Lebaran. Betapa keindahan bahasa yang polisemik menjadi pemersatu atas daya apresiasi dan interpretasi makna yang mengharukan bagi yang membaca. Oleh karena itu, dalam memahami bahasa di dalam suatu puisi, tidak hanya sebagai pernik-pernik (baca:hiasan) yang membuatnya indah. Bahasa kadang memang berfungsi untuk memperindah, tetapi posisi bahasa sendiri merupakan daya kreasi yang merujuk pada ―kode-kode‖ yang disesuaikan dengan isi. Bahasa ini juga dapat menampilkan esensi sebagai produk dari bentuk dan isi untuk menampilkan satu kekuatan yang sublim. Ada berapa politik bahasa yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
139 digilib.uns.ac.id
digunakan oleh Abdul Wachid B.S. dan menjadi poros di dalam puisi-puisinya, yakni politik metonimi, politik metafora, dan politik simbol.
4.3.1.1. Politik Metonimi ―Metonimi bekerja dengan representasinya‖ begitulah tegas Jhon Fiske. Memang biasanya puisi bekerja dengan kekuatan metafora, tapi tidak dengan upaya deskriptif mengenai tatanan ―sosial lain‖ yang belum terbaca oleh masyarakat. Metonimi tidak bekerja sendiri, tapi ia harus melakukan rekonstruksi realitas dalam susunan yang lain, yang tak pernah disadari secara umum dengan membentuk dialektika untuk melampaui batas-batasnya. ―Seorang perempuan berpupur gelisah di trotoar‖ adalah bentuk metonimi yang dalam indeksial akan merujuk pada ―pelacur‖ dari eksposisi kota. Abdul Wachid B.S. membentuk ―metonimi sosial‖ dalam sajak ―Malioboro Malamhari‖ seperti yang tertera berikut ini. Malioboro Malamhari Jalan dengan Yogya malamhari, Malioboro dengan lampu-lampu muram. Misalkan saja, seorang penyair dengan rambut-rambut akar, dua kantong kosong, dan sungai kecil masasilam menggemercik di urat darahnya. Seorang lelaki lebih liat dari kerikil jalanan. Tapi lebih lemah dari perempuan dengan nyanyi-nyanyi kecil dan tarian dari dapur, ke ranjang, ke ruang tamu. Lelaki itu berkeluh sepuluh tahun mencari rumahnya yang hilang. Tubuhnya tipis tapi batubatu, tumbuh akar kesadaran. Bahwa langit dan perempuan sama rahasianya. Sedang ia didera sepi sekalipun membenci puisi sunyi, bahasa kosong, tanpa kerikil, tanpa ledakan. Tambah mengental malam. Misalkan ia tidak bolak-balik Tugu alun-alun, apa malam commit to user memberi benderang?
140 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Lengan legam oleh cat nasib, tapi tetap ia kehilangan warna siang. Pecahan rembulan, beberapa bintang masih di sakunya, juga gemuruh laut selatan di jantung. Tatkala di hadapan:Yogya dengan tongkat ajaibnya, menyulap perutnya penuh batu-batu. Dan matanya kunang-kunang memberi warna malam. Di seberang jalan seorang perempuan seperti putri duyung. Mengingatkan ibunya di dusun, dengan rangkaian doa dan kembang di tangan. 1998 Sajak tersebut memperlihatkan keadaan kota Yogyakarta dengan metonimi di Jalan Malioboro. Jalan ini seolah mewakili keberadaan Yogyakarta dalam proses
urbanisasi.
Penanda
mengenai
―lampu-lampu
yang
muram‖
memperlihatkan terbenamnya tatanan ruang oleh kemegahan infrastruktur kota. Lampu adalah penerang, yang dalam arsitektur kota menjadi keindahan tersendiri dalam gemerlap malam. Di pedesaan tidak banyak lampu, tapi kota berusaha membangun aktivitas sepanjang waktu sehingga sudut-sudut yang gelap harus diberi penerang, yakni lampu. Aktivitas manusia yang padat memungkinkan bergerak di setiap waktu dengan akumulasi yang tak terhitung. Manusia susah hidup dalam kegelapan sehingga dalam masyarakat yang beragam di perkotaan, lampu sangat dibutuhkan. Lampu di Jalan Malioboro telah popular dan dikenal oleh kalangan luas sebagai ruang yang menyajikan keindahan kota. Aktivitas malam hari Yogyakarta banyak terpusat antara Jalan Malioboro dan alun-alun. Aprinus Salam mengakui bahwa para penyair di Yogyakarta dulu sering melakukan aktivitas di Jalan Malioboro. Tempat ini menjadi sentral, terutama ketika ada Umbu Landu Paranggi. Mereka sering mengadakan baca puisi bersama dan diskusi sastra.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
141 digilib.uns.ac.id
Dalam perkembangan, tidak heran jika tempat ini menjadi titik perhatian bagi Abdul Wachid B.S. dalam menulis puisi. Aktivitas dan lingkup proses kreatifnya di Jalan Malioboro menjadikan tempat ini berkesan, sekaligus menjadi metonimi dengan adanya kesepakatan bersama: bahwa wilayah ini menjadi aktivitas seniman; tempat yang ramai dan penting; juga terpublikasikan secara luas; dan menjadi ikon kota Yogyakarta. Zaman, peradaban, dan ruang-waktu selalu mengalami perubahan setiap detiknya. Ada sesuatu yang tumbuh, dan ada sesuatu yang musnah. Seperti yang Giddens ucapkan mengenai modernitas dan pascamodernitas bahwa manusia mengalami gerakan yang sewajarnya, yaitu mengalami perubahan. Gerakan manusia secara sosiologis berpengaruh terhadap sastra, lukisan, seni plastis, dan arsitektur. Ada gerakan, maka ada yang ditinggalkan. Metonimi bergerak pada wilayah manifestasi sublimatif karena adanya transformasi pada bentuk, isi maupun efek (Fiske, 2010:36-52) Sublimasi bentuk karena adanya keindahan yang tampak pada bentuk bahasa (bila seni lain, yakni dalam wilayah lahir) yang dalam pandangan mata, dan telinga tampak memiliki keterkaitan dengan referen. Sublimasi isi karena adanya keindahan dalam hakikat terdalam, yang diwadahi bentuk untuk dinikmati dengan adanya hubungan yang panjang. Adapun sublimasi efek karena adanya dinamisasi antara bentuk dan isi sehingga memunculkan efek untuk mempengaruhi kesadaran dalam memunculkan persepsi pada wilayah horizon pembacaan untuk memenukan referen. Adanya sublimasi tersebut membuat metoniminisasi tidaklah sekadar indah dalam wilayah luaran saja, namun keindahan itu masih pada wilayah dalam. Keindahancommit to user
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keindahan antara luar dan dalam terjalin dalam kompleksitas yang saling mendukung sebagai aksentuasi teks. Untuk mencapai dua keindahan tersebut, perlu adanya sublimasi dalam bentuk, isi, maupun efek. Sublimasi tersebut tampak nyata dengan adanya pola-pola baru yang interaktif di dalam teks sebagai metonimi. Dari metonimi ―Jalan Malioboro‖, Abdul Wachid B.S. memainkan paradoks dengan keadaan yang muram. Jika selama ini orang menganggap Jalan Malioboro dan alun-alun adalah kemegahan, justru dalam puisi ini dilukiskan sebaliknya. Ruang dan distribusi budaya menjadi kritik tersendiri. Keadaan ini terbentuk oleh perubahan yang cepat dalam era pembangunan, yang juga mengubah pola pikir masyarakat modern yang lebih mementingkan kemeriahan, namun tidak sadar pada yang hilang. Era 1980-1990 kondisi sosial Indonesia ditandai dengan mekarnya kota menjadi modern dengan. Agus R. Sarjono (2001:181) melihat dalam keadaan itu banyak kota yang memetropolitankan diri melalui pembangunan infrastruktur, yang berpengaruh juga pada pola tata kemanusiaan. Orientasi lebih pada politik dan ekonomi, yang semua itu didasari oleh kebijakan pemerintah. Pada kondisi sosial yang seperti itu, penyair merindukan ruang untuk kontemplatif sebagai bentuk kesadaran. ―Tidak mengherankan jika era 80-an ditandai oleh dominannya sajak-sajak ketuhanan dan kecendrungan sufistik yang tidak jarang tiba-tiba pada mistikisme‖ (Sarjono, 2001:182). Pola ini terbentuk oleh ruang sosial yang membentuk formasi sehingga secara perlahan membentuk dialektika pada teksteks yang mereka produksi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
143 digilib.uns.ac.id
Beberapa teks puisi yang ada dalam buku Tunjammu Kekasih, yang bercerita tentang kota lebih banyak diartikulasikan melalui metonimi. Sajak ―Solo dalam Mei‖ yang menceritakan seorang gadis yang terlantar. Ada kritik mengenai rumah yang hilang, padahal zaman sudah merdeka sehingga ―panorama kota, seperti/ tangis kehilangan air mata.‖ Juga tentang ―Senjakala di Tanah Aceh‖ yang mengisahkan keadaan yang subur justru harus menangis. Abdul Wachid B.S. memulai teks-teksnya dengan metonimi yang menyebar seperti pohon yang menyebar dengan akar dan ranting. Dia mencoba memulai dengan penanda paling sederhana, yang tampak dalam keseharian kemudian dikaitkan dengan fenomena sehingga teks adalah keutuhan. Sajak berjudul ―Kabar Kasmin bagi Istrinya‖ (2003a:27) memperlihatkan hubungan desa dan kota yang terpisah. istri di kota semua minta dibaca tapi mataku Cuma digambari kemlaratan semata dan putusasa makin memnjara tapi, pulang begini lebih tak mungkin seadang otakku dibayangi neraka kesepian tentu ini bukan kesunyian malam pertama ataukah derai-derai doa? Sajak tersebut memperlihatkan kondisi sosial modern yang memisahkan antara desa dan kota sehingga menyebabkan keterasingan. Adanya pemerintahan yang sentral menjadikan orang dari desa harus merantau ke kota untuk mengadu nasib, namun berada di kota tidak seindah bayangan. Kisah tersebut dituliskan oleh Abdul Wachid B.S. sebagai representasi, yang tidak hanya dialami oleh satu orang saja. Pengetahuan yang ditulis menjadi puisi tersebut juga pengetahuan commit to tatanan user sosial. Wacana tersebut adalah dirinya yang memungkinkan merefleksikan
144 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
permainan metonimi, yakni hanya terfokus pada satu kisah, namun kisah tersebut muncul dalam kehidupan masyarakat. Model sajak yang demikian adalah sajak yang berusaha untuk memberikan ruang berbicara bagi yang lain. Abdul Wachid B.S. berkisah tentang ―Kabar Kasmin bagi Istrinya‖ sebagai medium bicara, yang sebenarnya membicarakan orang-orang yang merantau di kota dengan nasib yang kurang lurus karena gagal dalam pertarungan kondisi modern. Metonimi yang dibangun oleh Abdul Wachid B.S. adalah perwakilan dari kisah yang nista, tragik dan paradoks. Wilayah ini sangat ideal untuk menggetarkan perasaan pembaca melalui puisi. Relasi sosial dan rutinitas yang berkelindan antara kota dan kemiskinan menjadikan modernitas berada pada sisi yang ambigu. Puisi berada pada wilayah emotif yang dalam komunikasi menginginkan pembaca lebih terhanyut pada wacana yang dituliskan berdasarkan keterlibatan indrawi. Puisi memberikan jejak yang sangat dalam pada ingatan pembaca dengan adanya kisah yang mengesankan, sementara paradoks menjadi orang tertarik untuk mendalami lebih dalam. Dalam sajak ―Kaki-kakiKecil Itu Meluncur‖, kota dan alam yang terabai, dengan sisi pembangunan yang berada dalam dunia tunggal untuk uang, telah menandai sebuah masa ketika ―kaki-kaki kecil itu tanpa alas terus meluncur berebut uang logam.‖ Simulasi perekonomian yang berada di wilayah utopis telah membuka sisi dramatis, sekaligus paradoks bagi
kehidupan.
Wilayah
inilah
yang
menjadi
pengetahuan—sebagai
pencerahan—yang pada akhirnya akan merujuk pada ―kuasa‖ sebuah teks atas kekuatan sosial dalam jaringan kode. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
145 digilib.uns.ac.id
Menurut Jhon Fiske (2010:91) ―kode tersusun oleh sistem pengorganisasian dari tanda.‖ Kemunculan dari kode ini sudah ada aturan yang membuat kesepakatan itu terjadi. Pelaksanaan kesepakatan terbentuk melalui disiplin masyarakat yang telah meyakini. Masyarakat terbentuk berdasarkan rangsangan wacana. Foucault (2001:17-18) melihat rangsangan wacana muncul dengan adanya kesan dan persepsi untuk menjadikan setiap orang patuh dalam kebijakan bahasa:praktik bahasa dapat dikendalikan, bahkan melalui bidang yang sangat kecil. Kode muncul dengan adanya kesalingterkaitan di dalam teks sehingga maksud masih dapat diterima secara luas. Selanjutnya, kode tersebut dapat menjadi petunjuk (indeks) untuk menghindari keterbatasan makna. Namun, untuk menjadi indeks dan bergulir dalam simbol perlu ada signifikasi lebih dalam pada realitas itu sendiri. Hanya saja, metonimi sering bermain dengan ekspresi untuk memunculkan ostensifikasi ketika segalanya sudah berubah menjadi tulisan:dan realitas telah menjadi realitas yang lain dalam susunan kata-kata yang telah dibakukan: Jika gelap mulai mencat langit Seorang perempuan berpupur gelisah di trotoar Menghitung batu-batu Seorang laki-laki menanti pacar Menghitung batu-batu Bagian itu bukanlah realitas yang sesungguhnya (bukan pula potretan atau cerminan), melainkan konstruksi bahasa—dari sebuah sudut pandang—yang menandai aktivitas sosial di perkotaan mengenai malam hari, yang tak sepenuhnya semua kota berlaku demikian. Dalam hal ini, perlu melihat bidikan lebih analitis, ketimbang membacanya sebagai fenomena sosial yang lumrah karena sistem commit to user
146 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bergerak dengan jejak-jejak dari yang ―hadir‖ dan ―tak hadir.‖ Identitas yang dibangun dari teks tersebut adalah identitas kolektif, yang dilakukan secara metonimis. Rangkaian tanda itu disusun seminimal mungkin seperti ―arena bermain‖ bagi siapapun yang lewat dan menyukai (tempat kehidupan dinyalakan oleh segala gerak waktu) yang tampak dari sebuah lubang kecil, dan itu adalah kerja dari metonimi. Kumpulan metonimi dalam sajak ―Kaki-kaki Kecil Itu Meluncur‖ menjadi kunci:penanda yang berkumpul dalam langue. Metabahasa terjadi dalam usaha untuk mendekonstruksi realitas (semisal ―darah tambah membasah di headline‖), di mana kumpulan metonimi membentuk metafora dalam keadaan yang kontradiktif sehingga menjadi kombinasi yang sangat menarik, dan yang dibutuhkan adalah pengenalan dengan konteks. Semua metonimi itu bekerja dengan
baik,
yang
tak
memerlukan
repetisi
untuk
memberikan
penekanan:….Kaki-kaki kecil itu/ Tanpa alas terus meluncur, berebut uang logam/ Hari jauh dari malam, terasa kelam//. Pernyataan itu arbitrair, tetapi dipaksakan untuk menjadi kata kunci yang menyimpan segala rahasia. Penekanan yang kontemplatif untuk memikirkan anak-anak masa depan sebagai tulang punggung bangsa, yang kerjanya hanya berebut uang logam sebagai pencapaian buruk dalam imaji peradaban. Abdul Wachid B.S. membuat penanda yang bergulir terus seperti waktu yang harus disi oleh fragmen-fragmen. Di dalam teks:―Bocah-bocah tak henti mainkan musik jalan/ Surat kabar tak henti dari teriakan/ Darah tambah membasah di headline/‖ dari sajak ―Kaki-kaki Kecil Itu Meluncur‖ membentuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
147 digilib.uns.ac.id
zona waktu yang perlu untuk dilihat dari peristiwanya, yaitu konteks. Ada batas yang dapat diidentifikasi mengenai kejadian yang teralienasi. Kejadian yang sudah termuat di surat kabar pun harus dimaknai secara simbolis di dalam puisi. Relasi dengan konteks yang memilukan harus dirujuk untuk mencermati kondisi sosial yang dipenuhi dengan kerusuhan atau tindak kriminal lainnya, namun ini bukan potret realitas, melainkan realitas tiruan. Pernyataan:“Darah tambah membasah di headline‖ telah menjelaskan pemaknaan penyair untuk meng―indah‖-kan bahasa, juga menampilkan corak artian baru mengenai pembunuhan yang terbiarkan. Keadaan sosial yang ditulis menjadi puisi oleh Abdul Wachid B.S. adalah kegelisahan dirinya dalam kenyataan dan khayalan. Kepekaan terhadap kemiskinan dalam tatanan modern dituliskan dalam bentuk yang kecil, yang seolah terpinggirkan. Ada kekuasaan besar yang mengurung kebebasan sehingga perlu untuk menulis yang kecil-kecil agar terkesan tidak menampilkan secara keseluruhan. Dalam itu, ada permainan ―ketidaklangsungan pernyataan‖ dengan kemungkinan terjadinya representasi. Padangan-pandangan Abdul Wachid B.S. menjadi diterima oleh publik karena bermain dalam kategori puisi, yang dalam kesepakatan boleh membicarakan hati nurani rakyat. Penyair masih bisa bermainmain dalam kategori imajinasi untuk membentuk wacana yang diterima sebagai makna baru. Tanpa memainkan metonimi, puisi justru akan jatuh sebagai teks yang mampu berbicara secara terlibat:yang akan sama dengan khotbah ataupun ceramah. Justru, yang menjadi kekuatan dari puisi (pun karya sastra secara umum) adalah masuk ke dalam ruang yang lebih personal dan subjektif untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
148 digilib.uns.ac.id
membongkar realitas. Kisah menjadi representasi yang berusaha untuk mengungkap melalui pengetahuan yang tidak terlihat oleh umum. Metonimi tentang, kota, trotoar, dan pasar begitu berwarna dalam buku Rumah Cahaya dan Tunjammu Kekasih. Dua buku tersebut memang ditulis dalam rezim Orde Baru dengan tekanan kekuasaan modern melalui pembaharuan masa depan lewat pembangunan. Praktik-praktik sosial yang menjadi keseharian dituturkan dalam posisi dan pola yang berbeda dari struktur birokratik. Realitas yang bervariasi menjadikan representasi kesengsaraan tampak kental sebagai wacana yang memberikan pengetahuan. Ketidakstabilan kondisi sosial menjadi suara yang dilantangkan untuk bergema melalui puisi. Semua itu disampikan dalam komunikasi tidak langsung untuk menjadikan makna berpandangan dan penuh dengan inovasi.
4.3.1.2. Politik Metafora Bahasa, dalam wilayah ini adalah tulisan, bersifat dialektis, dibakukan dan memiliki metafor dengan elemen ketidakpastian pada sistem komunikasi. Oleh karenanya, memahami metafora berdasarkan keindahan-keindahan saja menjadi sangat keliru. Di dalam metafora, ada ―pengetahuan agung‖ yang mengungkap rahasia dalam gerak intuitif, yang membimbing manusia untuk menemukan pengetahuan pada wilayah imajinasi. Metafora bergerak dalam ranah keindahan untuk menjangkau objek berdasarkan pengamatan indrawi, maupun nurani dalam perasaan-perasaan yang mengalir dari pengalaman rohani maupun konsepsi pengetahuan yang lebih luas dengan adanya jangkauan intelektualitas penyair. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
149 digilib.uns.ac.id
Menurut Derrida (dalam Sarup 2003:78), ―kajian metafora menjadi penting seiring dengan semakin luasnya kesadaran bahwa bahasa tidak sekadar mencerminkan, tapi juga membentuk realitas.‖ Bahasa di dalam puisi tidak hanya sekadar keindahan atas cerminan, tetapi membentuk dunia yang baru melalui retorika dan imajinasi yang persepsionalistis. Adapun untuk memahami puisi berdasarkan metafora, perlu untuk membuang paradigma terhadap pemaknaan terdahulu dari teks tersebut. Pengetahuan bahasa yang hadirlah yang akan membimbing untuk menemukan esensi yang terkandung di dalam teks. Teks menyajikan jejak akan selalu membimbing ketertarikan terhadap realitas untuk melihat artikulasi yang sebagai representasi. Paradigma ini sebagai konsekuensi untuk memulai melihat adanya bentuk, isi, dan efek dari proses sublimitas teks dalam variasi bahasa yang hidup. Metafora dalam puisi Abdul Wachid B.S. berusaha untuk menjangkau wilayah kritis, dengan upaya melepaskan justifikasi dan legitimasi untuk memunculkan eksistensi. Jika hari merapat ke pagi Adzan subuh hanya luruh Embun hanya jerit, tergelincir di sela batu Kini matahari hanya tahu bahasa debu Di dalam teks tersebut dapat menjelma sebagai deskripsi suasana, namun bersifat dialektis dengan telah meloncat dari unsur semantik. Metafora bekerja dengan menyingkirkan persepsi, juga telah melampui batas-batas yang ditentukan dalam keseharian. Yang dibutuhkan adalah ―pengenalan‖ kepada sebuah dunia untuk masuk pada sebuah regionalisasi. Deksripsi suasana mirip sebuah commit to user ―gambar,‖ namun ia berpretensi sebagai ―petunjuk‖ dalam menuju kepada
150 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
petunjuk lainnya sehingga bergulir terus-menerus. Metafora ruang mengambil bagian paling besar dalam korelasi antara ―pagi‖, ―subuh‖, ―embun‖ dan ―matahari‖ sebelum menuju pada simbolitas yang sesungguhnya; dalam kumpulan petunjuk. Metarofa dapat memperlihatkan teks mampu yang berhubungan dengan realitas dalam pengaruh kekuasaan bahasa penyair. Dalam metafora, topik-topik pembicarakan akan diarahkan pada seperangkat bahasa yang padu, nilai dan konsep yang ada di dalam puisi sebagai kompleksitas. Sajak berjudul ―Orang Sunyi‖ (2003a:11) berikut ini memperlihatkan adanya kesepian di tengah kota yang ditulis melalui metafora. aku hanya mengikut jalanan waktu terseret, lalu hanyut dipukau luka masa silam lewat belantara kota diserbu rasa sepi dan asing terlempar sebagai rontokan daun di musim penghabisan Dalam sajak tersebut, ada gambaran bahwa [aku] berjalan seakan berada dalam sungai. Ada kata /seperti/ di tengah-tengah:aku seperti hanya mengikut jalanan waktu. Proses tersebut masih dalam bahasa, namun dalam tataran filosofis, puisi tersebut memetaforakan adanya padangan hidup yang ―mengalir saja mengikuti arus‖ untuk hidup yang masih belum bisa diprediksi. Hidup mengikuti arus seperti berada dalam sungai, namun arus yang diikuti adalah arus waktu yang mengartikan adanya takdir. Arus yang harus dijalani berada antara masa lalu dan sekarang sehingga banyak menjadikan orang terasing oleh kota dengan berbagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
151 digilib.uns.ac.id
macam perubahan, yakni dengan terlempar seperti ―rontokan daun‖ (artinya seperti sampah = tidak berguna). Melalui metafora, pembaca akan bisa membayangkan keadaan yang tak lazim, kemudian akan berpikir bahwa:―tentu ada alasan bagian itu penting dan masuk di dalam puisi, di mana setiap bagian di dalam puisi memiliki posisi yang berharga, dan jelas bukan hanya sebatas ambiguitas semata.‖ Goenawan Mohamad telah jauh mengembangkan ‗susunan suasana‘ untuk menandai perlukisan keadaan yang sangat detail dalam Parikesit. Orang dengan mudah akan membayangkan keadaan-keadaan sehingga perasaan yang terbimbing (bukan pikiran) yang akan berkata mengenai puisi itu sendiri. Hal ini karena puisi tidak dapat berdiri tanpa ada realitas melalui dialektika dengan keperibadian. Suasana di dalam puisi bukan keindahan, namun dapat hadir sebagai metafora untuk menggapai nilai. Metafora mencipta keindahan di dalam puisi yang berbeda dengan keindahan dalam kehidupan. Keindahan di dalam puisi itu diciptakan oleh penyair untuk membuat terharu (Mohamad, 1993:78-79). Abdul Wachid B.S. memainkan metafora yang cukup rumit dalam buku Rumah Cahaya dan Tunjammu Kekasih. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) mengatakan: Puisi yang baik adalah puisi yang sulit dipahami. Jika anda termasuk orang kebanyakan, jangan harap bisa mengerti puisi. Puisi yang gampang dipahami seperti koran atau pidato bukanlah sebenar puisi. Demikianlah anggapan atau olok-olok atau keluhan yang sering kita dengar. Atau barangkali memang itulah yang sebenarnya. Karenanya puisi, dibandingkan saudaranya, prosa, menjadi ―kurang kaku‖ di masyarakat yang tentu saja terdiri atas orang-orang kebanyakan melulu. Pernyataan itu berusaha menyindir bahwa Abdul Wachid B.S. memiliki metafora yang cukup ketat sehingga puisi menjadi rumit untuk dipahami. Simbolcommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
152 digilib.uns.ac.id
simbol yang terbentuk begitu liar muncul dengan petualangan imajinasinya. Misalnya saja pada sajak ―Rumah di Atas Batu Tua‖ (2003a:16) berikut ini. Sepertinya kita mesti membangun rumah di atas batu. Seperti berhala-berhala yang ditegakkan dalam hati manusia kita Dan kita pun telah membiakkan dalam berbagai rupa dan warna Seperti asesori atau make-up-mu yang riuh. Hingga ruang-ruang kerja dan mimpi-mimpi. Dalam teks itu, tampak susunan yang sangat rumit untuk melihat perbandingan antara rumah dan berhala. Perbandingan ini harus masuk pada berhala seperti rumah dengan kadar bahwa rumah itu bukan yang sesungguhnya. Rumah menjadi simbol untuk keadaan diri yang membutuhkan tempat nyaman karena begitu berupa dan berwarna pesona dunia sehingga membutuhkan tempat yang khusus. Keadaan sosial yang menjadi urban menjadikan orang mulai lalai dengan sistem nilai dari dasar dan yang dipentingkan hanya materi di ―ruang kerja‖ beserta harapan-harapan untuk sukses. Pemakaian bentuk analogi ini tentunya menggunakan bahasa-bahasa yang dekat dengan murid agar ilmu pengetahuan lebih aplikatif (kontekstual). Tanpa itu semua, pembelajaran menjadi monoton, tidak berkembang, dan terasa sangat asing. Penjelasan-penjelasan itu menjadi serangkaian metafora dikarenakan ada perbedaan dimensi. Sementara itu, penyair dalam memproyeksikan pengalaman melalui bahasa terbatas pada bahasa imajinal yang personal. Wilayah bahasa yang dimiliki oleh penyair menjadi sisi subjektif. Wilayah yang mencakup citra estetik (style) dalam mengungkapkan gagasan atau ide, untuk itu dapat dilihat pada sajak commit to user berjudul ―Rumah Cahaya‖ (2003a:58) berikut ini.
perpustakaan.uns.ac.id
153 digilib.uns.ac.id
Rumah Cahaya kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap manusiaku yang selalu pergi di dalamnya tergaung adzan kefakiran apakah pasar dunia telah usai di sini? yang batas tawa manusiamu; dan sunyi yang nyanyi yang tegakkan sujud airmata yang di dalamnya mengalir malaikat seperti sungai waktu, menangisi pelayaran manusiamu melewati pelabuhan-pelabuhan ke sebelah barat benak dunia o, panorama alam benda! kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap bumi manusiaku yang begitu sibuk yang di kotanya menyalalah konser perempuan, menari-nari dibalut tipis pakaian musim panas di trotoar bunga yang terselip payudara telah hilang wangi kasihsayang aih! surga sungguh menjelma di hadapan dalam fantasia kota malam, begitu temeram begitu megah dan mengerikan apakah pasar dunia tanpa tiang akhir? orang datang orang pergi tanpa manusia kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit, mendirikan tangga-tangga langit di tengah pasar mengadzankan manusiamu ya, manusiaku, sampai ke sebelah barat benakdunia manusia kita 1992 Teks tersebut mampu menjadi mitos. Bentuk mitos di dalam puisi tampak dengan adanya perumpamaan sebagai metafora yang hadir menjadi ambiguitas. Metafora itu bukanlah bimbingan yang membingungkan, namun bentuk perumpamaan yang difungsikan untuk menjelaskan realitas di alam imajinasi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
154 digilib.uns.ac.id
Sebagai contoh, seorang guru yang menerangkan pelajaran kepada muridnya. Ia mengilustrasikan ilmu pengetahun untuk ditransfer ke murid melalui bentuk analogi. Dengan demikian, suatu titik tengah yang dapat dipetik dari uraian tersebut bahwa puisi yang melalui imajinasi mengandung pengetahuan mengenai berbagai realitas yang diproyeksikan. Pengaruh puisi dapat terjalin melalui nuansa keindahan yang memunculkan keberkesanan dan ketakjuban. Pesona alam di dalam puisi bersifat historis hadir sebagai metafor dan personifikasi. Di sinilah, imajinasi menyusun metafora dan pengatahuan dapat berubah menjadi mitos. Permainan metafora yang demikian tampak sangat rumit. Dengan nada humor, A. Mustofa Bisri (dalam pengantar Rumah Cahaya) mengatakan puisi yang baik sebagai puisi yang sulit dipahami yang sering menjadi keluhan. Puisi dengan lambang-lambang tertentu berdasarkan konvensi subjektivitas penyair mengharuskan pemaknaan dilakukan dengan bolak-balik untuk keluar masuk antara teks, imajinasi, kenyataan, dan sudut pandang. Ada yang hilang saat senja mencat pelangi kanvas langit:Sebentuk kata Digelombangkan hujan yang memberkati pohon-pohon jalan raya, dan rerumputan kering mencium bumi Sajak berjudul ―Yang Hilang Saat Senja‖ (2003a:47) pada bait pertama tersebut tampak begit rumit dan susah membongkar makna yang disusun. Teks lebih menampilkan imajinasi dengan sudut pandang yang subjektif. Makna belum tertemukan, meski kenyataan begitu tampak oleh bahasa. Teks tersebut menjadi dapat dipahami dengan bait kedua berikut ini. Ada yang hilang, ―tapi kita di mana?‖ tanyamu Jejaknya nyelinap antara orang bergantungan commit to user di buskota. Mamam pun berhias lampu warna-warni
perpustakaan.uns.ac.id
155 digilib.uns.ac.id
Menandai kota. Menandai dunia yang kian renta. Kerumitan yang ada pada bait pertama menjadi jelas dengan bait kedua. Susunan peristiwa mengenai keterasingan itu ditampilkan dalam keadaan yang hilang menjelang senja. Kata /senja/ itu sendiri tidak hanya sebagai waktu setelah sore, tapi sebelum magrib. Senja lebih merujuk pada gambaran dunia yang mulai berakhir, dengan pretensi kata tersebut sebagai simbol yang sureal. Sudut pandang itu tertuju pada Islam, yang memberikan keterangan tentang ciri-ciri zaman yang berubah adalah menuju keberakhiran. Hal itu dibandingkan dengan senja dengan tatanan nilai yang hilang di tengah perkotaan. Abdul Wachid B.S. tak hanya itu, ia juga memiliki komposisi sureal dengan memainkan metafora dengan citraan dan dengan refleksi pemikiran:….Kaki-kaki kecil itu/ Tanpa alas terus meluncur, berebut uang logam/ Hari jauh dari malam, terasa kelam//. Wacana mengenai ―Kaki-kaki kecil‖ bersifat metonimis yang pada akhirnya simbolis ketika berkorelasi dengan ―Tanpa alas meluncur‖, yang kemudian ditutup dengan citraan ―Hari jauh dari malam,‖ (bukan suasana karena digunakan untuk menandai sekaligus menyimbolkan). Ada penemuan fisik yang bergerak seperti halnya agen untuk memainkan wacana menuju kebenaran, meskipun bernada pseudo-realis. Secara utuh, sajak ―Kaki-kaki Kecil Itu Meluncur‖ menggunakan sarana retorika dengan gaya sureal. Kesan hiperbolik banyak muncul seperti ―darah tambah membasah di haedline‖ atau ―kata-kata hujatan seperti hujan‖ dan banyak lainnya, yang akan menghantarkan pesan dalam ketakjuban:dalam hiper-realitas. Kombinasi artikulasi akan memusatkan perhatian pada konkretasi susunan sosial yang mudah dipahami seperti:bocah yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
156 digilib.uns.ac.id
memainkan musik jalanan, seorang perempuan yang berpupur gelisah di trotoar, para politisi yang tak henti dari teriakan, sampai penegasan pada sebuah kota yang diserang perang. Penanda itu muncul sebagai kompleksitas dari wacana sosial yang beredar dalam perkembangan modern. Dengan demikian, sarana retorika dengan gaya sureal masih menjadi komunikasi kultural dalam produksi dan pertukaran makna dalam keyakinan masyarakat. Abdul Wachid B.S. dalam sajak ―Kaki-kaki Kecil Itu Meluncur‖ tidak sedang menyampaikan informasi, ia bekerja dalam ‗arena yang bebas‘ untuk menandai struktur, relasi dan institusi sosial. Tidak ada ajakan yang dogmatis, namun ia berusaha untuk memberikan pengetahuan dalam dampak modern, yang sesunguhnya di situlah sebuah wacana sedang beroprasi. Penyair adalah salah satu intelektualitas, di mana ia akan memainkan tanda-tanda sosial menjadi teks pada setiap susunan kata. Abdul Wachid B.S. sendiri menyadari bahwa dekade 19801990-an merebak citraan yang mengacu pada masyarakat kota, seperti yang dituliskan oleh Afrizal Malna, Soni Farid Maulana atau Ahmad Syubbanuddin Alwy, seperti yang pernah ditulisnya di dalam buku Religiositas Alam (hal. 170171) untuk membedakan kekhasan alam dari D. Zawawi Imron yang tak tereduksi oleh apapun. Metafora selalu berusaha untuk memakai sudut pandang dengan warna lain untuk bisa memosisikan teks itu lebih bervariatif sehingga pembacaan bisa lebih beragam, sebagaimana hakikat karya sastra yang selalu multi-interpretable dan kaya makna. Dalam wilayah ini, metafora peka terhadap politisasi yang menerpa diri pembaca sebelum berkomentar, atau jangan-jangan justru pembaca itu sedang commit to user
157 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masuk dalam wilayah politisi tertentu dalam memahami teks. Abdul Wachid B.S. memainkan metafora cinta yang berada di antara:cinta sufi dan manusia. Cinta antara manusia dengan manusia dilukiskan dengan idiom-idiom sufi, yang tentu memainkan kebenaran dalam makna yang berantai. Hal itu dapat dilihat pada sajak ―Ijinkan Aku Mencintaimu‖ (2002:124) berikut ini. Ijinkan Aku Mencintaimu waktu batu kaulayangkan wajahku terasa benar rindu berpijar waktu batu kaulayangkan wajahku semua arah cinta berserah betapa rajam ke sukma menghujam betapa ganas hasrat berbalas waktu batu kaulayangkan wajahku ijinkan aku mencintaimu Dalam sajak tersebut, cinta menjadi sangat multi-interpretable. Pemaknaan yang berlebih terhadap puisi persebut akan menempatkan pada cinta kepada Tuhan seperti yang dialami oleh para sufi. Abdul Wachid B.S. memainkan cinta dengan objek yang menyebar dan bergerak melalui meafora. Bayangan imajiner lebih memungkinkan cinta tampak begitu sakral dan berada dalam wilayah batin, namun seseungguhnya hal itu dapat dijangkau oleh kekuatan rasa dalam melihat cinta.
commit to user
158 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Persoalan cinta dalam proses kreatif seorang penyair terkait pada obsesifitas dan lingkup sosial yang melatarbelakangi. Sebagaimana yang sudah diceritakan dalam proses kreatif bahwa Abdul Wachid B.S. memulai membaca puisi karena untuk membalas surat cinta. Ada pandangan indah dan keterkesanan terhadap cinta dan puisi yang menjadikan permainan imajiner begitu kuat. Hal itu dilakukan dengan bahasa yang telah dikuasai sehingga realitas menjadi terbentuk lagi di dalam teks. Proses penciptaan sajak itu sendiri dibentuk dengan kondisi sosial yang memungkinkan penyair dapat memainkan kebenaran dalam kekeliruan. Kondisi sosiologis ini tentunya ada relasi-relasi sosial di antara penyair itu sendiri untuk membentuk idealitas dengan menyampaikan wacana cinta, perputaran politik pupuler. Wilayah ideologis yang terkait dengan politik metafora memungkinkan bahasa dapat berkembang dengan baik. Ada banyak kemungkinan yang dapat ditelusuri jejaknya sebagai suatu historis dalam perpuisian Indonesia, yang senyatanya mengalami perubahan dari rezim Orde Baru ke pasca-reformasi. Segala praktik sosial itu, berada dalam wilayah tekanan, termasuk kegiatan menulis puisi, dan wilayah distribusinya. Keterlingkupan ruang produksi dari sebuah kreativitas ini masuk dalam satu ―arena‖ yang sama, yang mengondisikan penyair untuk menciptakan puisi cinta dalam metafora yang ketat. Abdul Wachid B.S. sendiri juga menulis puisi berjudul ―Metafora I‖ (2004:55) tentang cinta yang dianalogikan dengan pohon, seperti yang tertera beriku ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
159 digilib.uns.ac.id
Metafora I Cinta itu telah tumbuh Akarnya mengakar ke dalaman lubuk hati Tanahnya keras berlapis-lapis Menembusnya begitu linggis Cinta itu telah tumbuh Pohonnya merindangi bagi burung-burung Begitu tamparan angin mau merapuh Akarnya mengokohkan, sambung-menyambung Tapi begitu pemilik kebun mau mencabutnya Akar-akar itu terasa mengelupas di lubuk hati Ada rasa sakit berlapis-lapis Ada beribu kenangan mengiris-iris 2004 Puisi tersebut memperlihatkan suasana tumbuh-tumbuhan yang ada di kebun. Tanda-tanda tentang alam hanyalah suasana. Ada maksud yang tersembunyi melalui gambaran kisah tersebut, yakni tentang cinta. Cinta seperti tumbuhan yang kadang tumbuh dengan jerih payah, namun harus rela hilang ketika si Pemilik akan mengambilnya. Hakikat hubungan manusia dengan manusia dijalin melalui kisah yang tidak mudah, namun harus ikhlas ketika pada akhirnya harus berpisah juga. Pada buku puisi Ijinkan Aku Mencintaimu dan Beribu Rindu Kekasihku, cinta menjadi tema sentral dengan metafora yang ketat dalam struktur bahasa yang ia ciptakan. Hakikat puisi adalah metafora yang mampu mengubah realitas menjadi realitas baru. Ada konstruksi yang dimainkan oleh penyair melalui kekuatan bahasa. Pembaca akan melihat bahasa sebagai keindahan dan kebenaran dengan mampu membentuk sebagai wacana. Kepenyairan Abdul Wachid B.S. commit to user yang telah dimulai pada pertengahan 80-an telah cukup membuktikan eksistensi
160 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam sastra Indonesia untuk diakui. Oleh karena itu, ketika pada awal tahun 2000-an, dia memproduksi puisi-puisi cinta telah diterima oleh publik sebagai keindahan dan kebenaran. Hal ini ditunjang dengan kekuatan bahasa yang matang sebagai titik tumpu puisi untuk membentuk beraneka tafsiran. Puisi Abdul Wachid B.S. justru terlahir dalam tahun 2000-an terasa mengikuti mainstream ―pasar‖. Penyair hanya mengeksplorasi metafora sebagai poros kekuatan puisi, tanpa mengindahkan persoalan-persoalan yang ―luput‖. Eksplorasi metafora digunakan untuk memiliki otoritas atas karakter dan subjektivitas imajinasi. Hal itu dapat dilihat pada sajak ―SMS Semu Merah‖ (2004:6) berikut ini. SMS Semu Merah Jika kau henti pikirkanku Nanti puisi tak mau lagi dituliskan Maka berkali sms-lah aku Lantaran itu kau aku berdekatan Jika nanti henti sms kamu Nanti pulsaku tak habis, sayang Maka kuhabis-habiskan kata Lantaran itu kau aku menjadi puisi 2003 Kecendrungan itu memunculkan lirisisme dan ekspresionisme cinta. Sebuah ungkapan tersirat yang dipahami secara pragmatis atas keinginan penyair dari puisinya dalam tradisi lirisisme dan ekspresionisme. Kenyataan ini menjadikan puisi lupa kepada bundanya; ―…kehidupan/mereka yang alot dan berat/‖, yang mana puisi hanyalah menjadi alat ungkap dari penyair untuk menemukan jati commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
161 digilib.uns.ac.id
dirinya. Penyair telah terhanyut oleh legitimasi eksistensi ―ke-Aku-annya‖. Sebuah proses kreatif sia-sia karena diburu oleh angin. Padahal, Rendra dengan seksama mengilustrasikan realitas yang tampaknya sepele, namun mengandung dinamika yang problematis. Konsepsi itu dapat dilihat pada kekayaan pengalaman dan gagasan yang mewujud dalam beberapa bukunya, semisal Potret Pembangunan, Orang-orang Rangkas Bitung. Rendra sangat sadar akan keeadaan masyarakat Indonesia yang tidak semuanya terpelajar dan lebih senang dengan eforia. Oleh karena itu, selain puisi itu ditulis, Rendra juga membacakan puisinya di tengah lingkaran orang. Hal itu sebagai kesadaran bahwa masyarakat Indonesia tak sepenuhnya menguasai budaya tulis, tatapi lebih berkecendrungan memiliki budaya lisan. Secara prosesnya, kepekaan—menangkap fonemena melalui intuisi— menjadi hal penting, sekaligus sebagai tenaga mistik untuk memunculkan sense dan aura. Di dalam kepekaan memahami peristiwa, daya naluri dan perasaan mewujudkan gerakan-gerakan yang membimbing untuk menemukan pengetahuan. Karena itu, puisi tidak hanya berisi ekspresi, namun kumpulan benang pengetahuan kejiwaan mengenai realitas atas peristiwa-peristiwa yang (mungkin) terlupakan. Benang-benang itu menjadi pakaian yang unik dan menarik, yang menjadi wacana baru (pesan). Dalam pandangan Roland Barthes (2006), wacana baru (pesan) dapat menjadi mitos. Ideologis atau tidak ideologis sesungguhnya puisi adalah persoalan kehidupan, tetapi acuannya bukanlah empirisme murni, melainkan berporos pada humanisme sehingga puisi mampu melampaui pengalaman panca indra dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
162 digilib.uns.ac.id
adanya konsepsi imajinasi di dalamnya. Seyogianya, puisi memiliki kedekatan dengan realita, di samping juga memiliki aktualitas dan relevansi bagi peradaban sehingga eksistensinya terus dibutuhkan sebagai bagian dari ilmu humaniora. Karenanya, tingkat pendewasaan dalam diksi, metafora, dan simbol untuk mengalirkan gagasan menjadi terbendung. Sebuah prespektif yang baik selalu diimbangi dengan kekayaan pengetahuan. Dalam kaitan ini, wacana bermukim dan menempatkan kebenaran-kebenaran dengan membebaskan metafisika beserta batasan-batasannya. Tata bahasa mengendalikan penafsiran dengan mendatangkan imajinasi tersendiri. Penciptaan puisi seperti itu didukung dengan simbol yang kuat mengacu ke beberapa referen. Metafora itu menjadikan dunia ini tampak lain di dalam bahasa dan bergetarlah perasaan. Hal itu bisa dilihat dalam sajak ―Hujan Gemuruh di Tengah Malam‖ (2011:56-57) berikut ini. Hujan Gemuruh di Tengah Malam Hujan gemuruh di tengah malam Seperti beribu sayap malaikat mendarat Langit sebermula benderang ditaburi bintang Berubah pekat, dan kini dicambuki kilat Maka terkagetlah orang-orang bercinta Yang dosa, dan yang mensyukuri surga Maka makin dinginlah orang-orang trotoar Yang lapar, dan dahaga dari doa Hujan gemuruh di tengah malam Daun-daun gemerincing, pohon-pohon berderakan Seperti peperangan, malaikat maut mengancam Mimpi-mimpi buruk dinganunkan oleh kenyataan Dia yang kemarin memuja tanya, tak sempat lagi bertanya Ini Tuhan yang melahirkan ketakutan? commit toTuhan? user Ataukah ketakutan yang melahirkan
163 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hujan gemuruh di tengah malam Dia yang gentayangan di jalan malam Tergoda kepada megah perempuan Tetapi senantiasa berujung pada ketakberdayaan Dan Tuhan? Selalu hadir tepat saat dibutuhkan Bahkan si Pendosa yang ngrasa pongah Ini gagah berjalan di jalan-jalan yang salah Dia terima, menjelma jadi kurcai di telapak tangan-Nya Diberinya kehangatan, lalu dia pulang pada ketentraman Tuhan, Engkau hadir bahkan tanpa diminta Menguati hati orang-orang yang terjatuh Oleh derita dan nestapa Oleh baying-bayang yang mereka ciptakan sendiri Setelah capek memanjakan kelamin Mereka takut pada ketakutannya sendiri Setelah kenyang menikmati buah-buah dosa Kini aku pun menjadi ngeri pada duri-duri kematian Hujan gemuruh di tengah malam Hujan menyebar racun ke segenap penjuru malam Dan sudut kamar, aku diteror oleh dosa-dosa masa silam ―Tuhan, aku kalut, tak berdaya, aku butuh pertolongan!‖ Yogyakarta, 31 Desember 2008 Metafora yang tersusun dalam sajak tersebut seperti sajak-sajak yang termuat dalam buku Rumah Cahaya dan Tunjammu Kekasih. Melalui bahasa yang tidak terduga, puisi mengalirkan suara kecil ke rongga tubuh untuk menggetarkan bulu-bulu halus. Dengan gerak lambat, puisi menampilkan komposisi naturalistik atas fonemena yang dialami oleh penyair dan diucapkan dengan bahasa singkat dan padat, serta dalam bentuk perumpamaan (mistal). Fonemena tersebut terjadi dengan telah tersublimasi di dalam ruang penyair yang hadir bersama imajinasi sehingga melahirkan wajah metafora dengan tidak terduga. Sebuah metafora ―aneh‖ datang dari bayangan.
commit to user
164 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Adanya metafora di dalam puisi justru akan membuka emosi pembaca dengan tergugahnya perasaanmelalui citra bahasa yang indah. Mislanya, di pipimu mekar mawar merah. Teks itu memang membingungkan, tetapi membuat orang yang mendengar akan tergugah perasaanya dan sekaligus merasakan senang karena tersanjung oleh citra bahasa, bahkan ada kemungkinan lain yang dapat ditemukan oleh pendengar. Dalam keadaan itu, pendengar juga pembaca akan menemukan berbagai makna dari sebuah puisi, di mana pada akhirnya teks tidak hanya terbatas dalam satu peristiwa, tetapi melampaui ruang dan waktu. Matrik Strategi Wacana Strategi Wacana Politik Metonimi Politik Metafora
Komponen
Wacana yang Terungkap
Ideologi, artikulasi, representasi Ideologi, sudut pandang, analogis
Satu peristiwa, tapi melampaui ruang dan waktu Beraneka peristiwa dengan ruang dan waktu yang berbeda dalam elemen ketakterhinggan
Dari matrik tersebut, kerja dari imajinasi penyair dalam rangka menyimulasikan realitas melalui bahasa ia gunakan untuk menjelaskan. Bahasa itu bukan cerminan, tapi perwakilan yang dapat ditandai dalam susunan alam dan budayanya. Pernyataan ‗hanya ada satu kata: lawan!‖ akan membawa pada kondisi ketertekanan dan penindasan sehingga perlu adanya perlawanan. Teks tersebut puisi dengan nada tuturan. Itu akan merujuk pada konteksseperti juga pada sajak, ‗Kalian : pun‘ merupakan wacana untuk menyajikan pandangan antitesis, sekaligus juga sebagai refleksi. Untuk menciptakan teks-teks yang padat dan singkat semacam itu membutuhkan daya imajinasi agar bisa menyiratkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
165 digilib.uns.ac.id
Fenomena-fenomena sosial yang secara esensinya sudah puisi, yang pada akhirnya dipahami oleh penyair sebagai ide yang bergerak.
4.3.2 Rekonstruksi Wacana Puisi 4.3.2.1. Produksi Wacana Puisi adalah wacana yang menampilkan realitas —sekaligus realitas itu sendiri—, tapi puisi juga berada di bawah pemosisian wacana, sebagaimana yang pernah dibicarakan oleh Pierre Bourdieu (2010: 3-5) dalam membaca sastra secara sosiologis, yang dilakukan di Prancis, untuk melihat relasi sastra dan posisinya dalam arena kultural. Menurutnya, ada arena wacana yang membuat karya sastra (baca:puisi) diterima oleh suatu masyarakat dan ditolak, menjadi dikenang dan dilupakan. Puisi sebagai bagian dari dunia sosial senantiasa terbuka bagi perubahan yang tidak hanya merekonstruksi masa lalu saja. Puisi adalah jaminan konsep yang dinarasikan secara kompleks sehingga membentuk wacana, sebab itu pembelajarannya pun harus kontekstual dalam ruang yang serba dilematis. Seorang petani tengah hari Di jauh beberapa orang menuju jalan pulang Sedang ia masih tinggal di pematang Pergantian musim hampir panen Sedang angin pegununga nyebar wangi kembang kopi Sesuatu yang mengingatkan akan seorang yang Tak mungkin terganti semayamnya di hati Dari puisi berjudul ―Tembang Tengah Hari‖ memperlihatkan bahwa puisi sebagai bagian dari kehidupan. Fenomena tentang seorang petani yang berada di pematang dengan dituliskan secara berkisah. Puisi harus dilihat terlebih dahulu mengenai bahasa yang dibentuk oleh penyair. Bahasa adalah media, yang commit to user merepresentasikan alam pikir seseorang mengenai realitas. Memahami puisi
perpustakaan.uns.ac.id
166 digilib.uns.ac.id
melalui bahasa, bukan hanya merupakan pekerjaan (baca:bagian) dari ilmu yang mempelajari gaya bahasa (stilistika) saja untuk melihat kepribadian (karakteristik) dari seorang pengarang (baca:penyair). Namun, jauh dari itu, bahasa merefleksikan sisi lain dalam bentuk penandaan baru yang berelasi dengan pemaknaan. Bahasa hadir bukan saja untuk menampilkan bentuk, tapi juga merupakan keutuhan antara isi dan bentuk. Dari itulah, dapat menemukan kode dan kaidah kombinasional bahasa untuk memasuki pengetahuan terjauh sebuah puisi. Pandangan untuk menekankan ‗bahasa sebagai proyeksi dari ide,‘ banyak dikemukakan, sekaligus ditekankan oleh pemikir-pemikir post-strukturalis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Jacques Lacan, Roland Barthes, Julia Kristeva, dan Paul Riceour. Mereka menganggap bahwa bahasa sebagai ‗media‘ untuk menyampaikan konsep sehingga dalam pemaknaan mereka menekankan pada ‗teks‘ itu sendiri, yang baru kemudian merujuk pada identitas budaya (penanda entitas). Kami masih disiangi arus cahaya yang 32 tahun padam dalam hari-hari. Melewati jalanan aspal. Tugu. Malioboro. Air di simpang yang bertahun terkubur itu kembali berterjunan, dalam warna pelangi disepuh senjahari. Orang gentayangan. Orang bercinta. Di bawah payung, corong demokrasi. Dan moncong senjata mengarah ke mukaku. Tapi sajak demi sajak melesat ke udara, menjelma api di tengah gerimis. Pada sajak berjudul ―Panorama Permulaan Hujan‖ tersebut, bahasa menampilkan realitas yang lain. Abdul Wachid B.S. memainkan metafora ―cahaya‖ agar tampak lain: realitas menjadi berubah, tetapi pembaca masih bias merasakan. Penanda [32 tahun] memberikan ketegasan tentang rezim Orde Baru commit to user
167 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang selama itulah berkuasa. Puisi menjadi narasi pinggir yang seolah bercerita bahwa selama 32 tahun ada kekangan rezim yang begitu ketat. Sebuah permulaan dari musim hujan yang megah, kebebasan kami tenggak. Mandi pelangi. Dan entah bagaimana baris sajak Rendra itu turut menggemburkan wajah-wajah tanah. Dengan bahasanya, air mengikis kekuasaan batu-batu, yang 32 tahun menyumbat sungai hari kami. Tapi di alun-alun kota kenangan rajaraja hujan mengucurkan doa. Dalam puisi tersebut, hujan sebagai simbol bahwa orang mulai mendapatkan kebebasan. Ada suasana seolah-olah aroma kesejukan itu terasa. Bahasa
yang
digunakan
mengargumentasikan,
ataupun
untuk
mendeskripsikan,
menerjemahkan
realitas
menarasikan,
‗tidaklah
netral‘,
melainkan ada sudut pandang tersendiri dari penulis (baca:penyair). Adanya keterbatasan bahasa untuk mengungkapkan realitas mengharuskan simbolisasi terjadi—maka bisa dilihat, banyaknya hiperrealitas yang terjadi melalui berbagai media (seni, media cetak, maupun elektronik). Bahasa yang tidak mampu menjelaskan segalanya, maka bahasa di dalam puisi (yang penuh dengan dekonstruksi kata-kata) hanyalah sebagai ‗representasi‘. Beberapa pandangan dari para pemikir post-strukturalis sebenarnya hanya melakukan pembacaan atas fenomena yang telah terjadi, yang kemudian baru menteorikannya. Suatu teori memang lahir atas ‗gejala sosial‘ sehingga mewajibkan untuk melakukan pembacaan sesuai dengan ruang dan waktunya. Gejala sosial ini juga terjadi pada perkembangan puisi kekinian dengan menekankan pada bahasa untuk merefleksikan realitas sehingga membentuk bayangan tersendiri sebagai struktur dasar komunikasi. commit to user
168 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penyair seperti T.S. Eliot, telah mengarahkan perhatian untuk menulis puisi dengan mentransformasikan bahasa berdasarkan gaya personal dan bahasa privat berdasarkan eksternalitas gaya bahasa tanpa ampun. Lelampu jalan berkata,/ "Beri hormat itu perempuan/ Yang menggamangkanmu ke sinar pintu itu/ pintu yang membuka padanya seperti seringai./ Kau lihat, ujung gaunnya/ koyak berlumur pasir/ dan kau lihat sudut matanya/ mengerling bagai lencana yang dipakai miring. Tak ada yang lebih istimewa selain citra yang terbentuk melalui petunjuk antara malam dengan cahaya dan perempuan. Ketiga kata tersebut hadir membentuk bayangan mengenai sisi dari kehidupan seorang perempuan hingga tengah malam, dengan ia hadir untuk memangku cahaya, yang seharusnya perempuan tersebut telah terlelap di dalam tidur. Di sini, ada struktur dasar komunikasi yang saling membentuk relasi sehingga merujuk pada konteks (dan interpretator
sebagai
pembaca)
menemukan
pola
signifikasi
melalui
pembayangan. Tapi apa artinya harapan Kalau lumbung menggunung hanya di tanah mereka? Dan kami dibayangi salib hidup singa di semua ruang Dan kami tak mendapati tidur sepanjang malam Seandainya pun mata ini terlelap Sekawanan kaki tikus akan semakin liar Menjengkal setiap ruang mimpi Lalu kami menandai segala gerak sebagai kepasrahan Hingga curah cahaya rembulan sampai juga kegelapan dada Puisi berjudul ―Keluarga Larut Malam‖ tersebut, memainkan paradok dan ironi. Puisi tersebut menceritakan tentang sebuah keluarga yang dikatakan memiliki lumbung untuk menyimpan hasil bumi, namun kenyataanya kelaparan. Mereka hanya dijarah oleh tikus yang senantiasa berkeliaran. Paradok ini commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
169 digilib.uns.ac.id
membentuk ironi—dengan usaha untuk menampilkan yang lebih kecil—dari keadaan Indonesia yang gemah limpah loh jinawi, tetapi banyak rakyat yang kelaparan. Radhar Panca Dahana (dalam wawancara 2011 November 2011) mengatakan bahwa puisi bukanlah tiruan realitas, melainkan sudah menjadi simulasi dan permainan bahasa oleh penyair. Setiap penyair memiliki sudut pandang yang berbeda terhadap realitas, maka ia dengan subjektivitasnya berusaha meramu bahasa untuk mengungkapkan pandangannya. Menulis puisi dalam masa citra, mengharuskan bahasa dipilih dengan sedemikian rupa untuk menampilkan realitas yang mengharukan. Bahasa menjadi media untuk menciptakan kesan dan pesan sehingga dipersepsi dengan telah menjangkau beberapa identitas budaya. Terlepas dari itu, perlu untuk direnungi lebih dalam pada lingkup kesadaran diskursif dan praktis atas bahasa itu sendiri. Dalam pepatah, ―bahasa adalah pakaian bangsa‖, maka identifikasi suatu bangsa dapat pula dilakukan berdasarkan bahasa yang mereka gunakan. Kontjaraningrat dalam buku Politik Bahasa Nasional juga pernah menuliskan bahwa ―bahasa sebagai sakaguru kebudayaan‖ karena mengonsepsi isi dan pikiran manusia sehingga membentuk identitas. Dalam pandangannya, isi dan pikiran manusia tidak akan terwujud tanpa adanya bahasa untuk menjalin komunikasi, yang dapat juga diabadikan dalam bentuk tulis. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh keadaan Indonesia sebagai negara berkembang sehingga masyarakatnya telah mengalami rasionalitas dalam memandang kehidupan. Dalam itu, kepentingan-kepentingan yang muncul lebih commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
170 digilib.uns.ac.id
terarah pada sisi pragmatis dalam bentuk ekonomi. Imajinasi berkembang dengan refleksi alam sekitar dan lingkup sosialbudaya sebagai pembentuk kepribadian, maka zaman sekarang imajinasi tersusun atas citra teknologi yang menempatkan fantasi dalam lingkaran praktis. Imajinasi yang telah terikat oleh citra teknologi tidak akan dapat berkembang karena hanya sebagai konsumen. Citra inilah yang melekat sebagai struktur keadaan modern dalam memandang imaji kemakmuran yang menyebabkan kepekaan ide untuk membaca ide-ide yang berserakan di sekitar menjadi tumpul. Kemampuan dari segenap panca indra untuk memahami kesadaran sehari-hari pada wilayah internalisasi suprastruktur dan infrastruktur hanya mengaitkan rasionalisasi simbol-simbol teknologi. SMS Tak Terkirim Bila HPmu kau matikan melulu Lama-lama padam pula hatimu Kau aku tersekat ruang waktu Lantaran itu sms kukirim selalu Kurasa kau sedingin es Suaramu via HP, di balasan sms Wujud tanpa bentuk Tapi kenapa aku begitu takluk? Menunggu-nunggu kabarmu Seperti si pendoa melafalkan rayu Tapi bila HPmu kau matikan melulu Lama-lama terhenti detik jantungku 2003 Dalam puisi tersebut, simbol teknologi berupa HP (yang merupakan alat komunikasi) menjadi perantara bagi aku dan kau lirik, namun adanya HP tersebut tidak mengurangi estetika. Abdul Wachid B.S. sengaja membentuk rima dan commitkadar to user irama, dengan tetap tidak mengurangi metafora. Ia sengaja merefleksikan
perpustakaan.uns.ac.id
171 digilib.uns.ac.id
imajinasi tentang teknologi yang mampu mendekatkan yang jauh. Langkah imajinatif harus tersusun melalui personalitas penyair untuk bisa menangkap serpiahan kode, yang kemudian disusun menjadi teks. Antara bahasa dan ide, tercipta dari kesadaran seorang penyair untuk menampilkan susunan fenomena. Mencermati keadaan demikian, berati karya sastra menampilkan berdasarkan realita manusia dan institusi-institusinya yang ditentukan sosio-kultur yang ada di sekitarnya. Perubahanan mengenai realita yang ada, mengakibatkan pula perombakan dalam struktur masyarakat, yang dalam setiap zaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik. Dengan demikian, dalam masalah ini, metafora maupun simbol bukan untuk meng-indah-kan bahasa, melainkan menyajikan ‗fragmen peristiwa‘ dengan bahasa yang seperlunya dan dapat merepresentasikannya. Metarofa mengonstruksi realitas yang baru di dalam puisi. Bahasa sebagai penyampai ide dari penyair berusaha untuk menciptakan bayangan-bayangan kepada pembaca sehingga yang muncul adalah citra. Kata ‗aku‘ yang ada di dalam teks, bukanlah ‗aku‘ milik pengarang, melainkan ‗aku‘ dari pembaca. Ini, sebenarnya kembali pada gagasan Barthes yang mengatakan bahwa ‗pengarang telah mati‘, Derrida yang mengatakan bahwa ‗seluruhnya adalah teks‘. Oleh karena itu, kehadiran makna bukan berupa kehadiran dari nilai dan konsep, melainkan ‗ruang kesadaran‘ baru bagi pembaca. Ruang kesadaran tercipta untuk melihat beberapa fenomena secara kritis. Pembacaan ini dilakukan berdasarkan entitas sehingga melihat teks bukan pada gaya bahasa, melainkan kumpulan dari kode-kode dalam satu keutuhan. Kata commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
172 digilib.uns.ac.id
sebagai unit terkecil bukan untuk dipisahkan karena jalinan antar kata membentuk susunan makna yang berbeda pula. Penyair yang berada di tengah realitas menemukan ide (gagasan) dari dunia di sekitarnya berdasarkan penglihatan dan pendengaran yang dipadukan dengan perasaannya. Harus diakui bahwa saat membicarakan puisi, akan dihadapkan pada infrastruktur dan suprastruktur masyarakat sebagai ideologi. Munculnya ideologi ini tidak lepas dari keadaan sosial budaya maysarakat yang telah terbentuk melalui kurun waktu panjang. Joko Pinurbo menuliskan sajak ―Jalan Sunyi‖://Ada jalan kecil di kebunmu:/ ada hujan mungil merayap pelan/ke liang kuburmu//. Yang hadir dari sajak ini adalah citra kematian yang sunyi dan selalu terkait dengan kesunyian, yakni kuburan. Kuburan hanya akan riuh ketika ada yang meninggal saja. Kehadiran dari sajak ―Jalan Sunyi‖ ini menampilkan bayangan mengenai jalan kecil menuju pemakaman, yang mengingatkan kepada banyak orang bahwa di tengah zaman modern ini masih tersisa ruang kesunyian dalam grimis kecil. Namun, model sajak yang memberikan ruang kontemplatif dengan permainan citra melalui imaji telah dimunculkan oleh Pound, dan Hulme, di mana bahasa penuh dengan simbol dengan kehadiran dari metonimi dan metafora mengalir secara bebas dalam alegori. Penemuan untuk menekankan pada bahasa didasari oleh pola pikir masyarakat yang terlalu rasional dengan mendasarkan pemahaman terhadap teknologi, maka kepercayaan terhadap bentuk-bentuk ‗ritual‘ telah bergeser pada logika. Untuk tetap menghadirkan puisi memiliki wilayah ‗magis‘, yakni dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
173 digilib.uns.ac.id
masuk pada ruang kesadaran baru melalui bahasa dengan menampilkan bayanganbayangan beberapa fenomena secara integral. Di Indonesia sendiri, hal itu muncul ketika era pembangunan menjadikan banyak industri berdiri, model perpuisian dengan citra dan suasana telah diawali oleh Goenawan Mohamad, yang terus mengalami evolusi hingga masa kini.
4.3.2.2. Kritik Modern sebagai Pengetahuan Karya sastra tidak hanya mengungkap fenomena yang ada di dalam teks itu sendiri, melainkan relasinya dengan konteks sehingga, seperti yang dikatakan oleh Derrida (dalam Fayadl, 2005:229) bahwa, ―tidak ada yang di luar teks‖. Karya sastra sebagai representasi realitas maksudnya adalah kumpulan penanda dari sosial budaya yang dikonstruksi ke dalam (baca:menjadi) realitas baru. Pandangan sosiologi sastra, yang memandang teks diciptakan oleh pengarang karena pengaruh dari dunia yang ada di sekelilingnya, maka sedemikian pesat perkembangan zaman, representasinya hadir pada teks sastra. Keadaan itu semua, harus dilakukan dengan kesadaran untuk memberlakukan karya sastra memiliki ―otonomi‖ untuk mempertanyakan ideologi. Puisi sebagai salah satu genre sastra, yang menekankan pada bahasa untuk mendekonstruksi realitas sehingga menjadi realitas baru, juga tersusun atas penanda sosial-budaya. Namun, yang hadir di dalam puisi adalah sisi partikularitas dari sudut pandang penyair dalam menyikapi realitas. Melalui puisinya, ia menampilkan wacana berdasarkan kumpulan penanda—yang secara sengaja ataupun tidak sengaja—merupakan entitas. Penyair, sebagai manusia yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
174 digilib.uns.ac.id
terbiasa melatih kepekaan, berusaha untuk kritis dalam memandang dunia (tradisi, modern, maupun berbagai perkembangannya) melalui puisi-puisi sebagai teks. Struktur kesadaran sosial yang bertumpu pada rasio (dengan berbagai kelemahan karena terlalu antroposentris) berusaha untuk dikritisi oleh para penyair. Pandangan dari penyair yang mencoba bersikap tegas kepada realitas perlu dilihat sebagai tindakan sosiologis karena setiap puisi yang ditulisnya tidak hanya sebatas ekspresi, juga ruang komunikasi. Adanya pandangan-pandangan di dalam puisi merupakan wacana yang berpretensi melakukan komunikasi, di mana ―bahasa yang digunakan tidaklah netral‖ sebagai ―cerminan sosial‖, tapi lebih struktur diskursif yang membentuk wacana. Puisi modern berada dalam fase terciptanya pola pikir masyarakat yang rasional untuk merespons setiap perubahan pada infrastruktur dan suprastruktur. Abdul Wachid B.S. (2005b:57) telah melihat ―sastra‖ (baca:puisi.pen-) ―dalam konteks masyarakat tidak dapat lepas dari soal politik‖ sebab ia adalah kehidupan. Lanjutnya, bahwa ―puisi memiliki kekuatan air‖ yang dengan keheningan mampu untuk masuk ke dalam struktur kesadaran. Setiap realitas sosial, menjadi penting bagi puisi dengan perubahan sosial. Perubahan-perubahan yang didasarkan pada ―rasio‖ telah menciptakan kesenjangan yang teramat jauh sehingga banyak manusia menjadi korban dari teknologi. Pola pandang ini banyak tampil pada masyarakat yang dipandang secara kolektif untuk menerima perubahan pola pikir dari tradisional menuju modern dengan adanya teknologi yang dapat diterima oleh akal, dibandingkan percaya kepada hal-hal yang tidak tampak oleh indra. Perubahan ini terjadi dengan pesat semenjak Revolusi Industri menyebar ke commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
175 digilib.uns.ac.id
berbagai negara, dan mesin telah membentuk kerja dari manusia. Perubahan dari masyarakat yang mistis menuju rasional tidak hanya memberikan keuntungan, tetap juga memunculkan efek-efek, baik oleh manusia yang melakukan penyimpangan terhadap teknologi, maupun rancangan yang kurang matang pada teknologi itu sendiri sehingga dianggap tidak ramah lingkungan. Ketika seseorang tidak memiliki kemampuan rasional, maka dia hanya berada di arena komunikatif, yang diposisikan sebagai konsumen. Sulit untuk memberikan kategori perpuisian Abdul Wachid B.S. sepenuhnya merupakan abstraksi modern karena harus berpikir ulang mengenai dunia modern dalam kesusastraan Indonesia dalam medan wacana. Kendati, posisi modern itu sendiri bisa ditemukan di dalam puisi, tapi ruang sosiologis perlu dibuka untuk memasuki sisi yang lain. Selain itu, adanya pergeseran pada setiap wacana dan pola bahasa sebagai cara ungkap; bahasa bukan dipandang dari gaya bahasa, tapi bahasa sebagai cara ungkap adalah ―bahasa sebagai pengetahuan.‖ Roland Barthes (2010:36) menggunakan bahasa untuk melihat kode-kode sebagai elemen, dan menurutnya ―bahasa tidak sekadar ujaran yang terungkapkan atau tersampaikan, bahasa mesti membuka diri bagi ‗keserbamungkinan‘ pemaknaan.‖ Oleh karenanya, pemilihan bahasa sebagai cara ungkap merupakan pola pengetahuan. Derrida (dalam Norris, 2008:69-70) menekankan bahasa pada tulisan, yakni ―permainan bebas‖ dan ia adalah ―sumber dari seluruh aktivitas kultur.‖ Yang muncul di dalam tulisan, adalah konstruksi bahasa, yang sesungguhnya ada aktivitas lain. Tulisan bukanlah kebenaran itu sendiri, ia harus dirujuk lebih jauh pada kultur atau keberadaan dari teks-teks lain. commit to user
176 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam membaca puisi Indonesia modern, juga perlu untuk melihat kultur dan keserbamungkinan dari posisi puisi—sebagai teks. Rachmat Djoko Pradobo (2002:3-5) menandai kesusastraan Indonesia modern pada tahun 1920, yang bersamaan dengan itu juga lahir kritik sastra tulis dengan pengaruh Barat, khususnya Belanda, yang masuk dalam pengajaran kesusastraan. Balai Poestaka telah berdiri sejak 1917, hanya karya-karya yang diterbitkan bersifat pragmatis dan mengurangi nilai kesastraanya. Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh oleh Dr. Mikihiro Moriyama berjudul ―Ketika Sastra Dicetak:Perbandingan Tradisi Tulis Tangan dan Cetakan dalam Bahasa Sunda pada Paruh Kedua Abad ke-19‖ terjemahan dari Nazan University, Faculty of Foreign Studies, menyebutkan bahwa munculnya keberaksaraan cetak dari Belanda telah menggoyahkan jagat kehidupan orang Sunda untuk memasukkan ideologi Belanda untuk secara perlahan-lahan diterima oleh masyarakat Sunda. Pada masa itu, ketika masuknya tradisi tulis ke Sunda, adalah kemungkinan bahwa bahasa telah memasuki modern. Pengetahuan terbentuk dengan kesadaran untuk menyimpan setiap jejak, tepatnya paruh kedua abad ke19. Akan tetapi, Indonesia sendiri adalah modern, dengan ia telah memiliki bahasa sendiri, dengan struktur pemerintahan lengkap, dan skala pengetahuan yang penuh dengan perkembangan. Indonesia adalah varian dari berbagai macam kebudayaan, lokal, India, Arab dan Kolonial. Membicarakan kesusastraan Indonesia modern tidak hanya berkutat pada sejarah—dalam kewaktuan—sebagai poros untuk memahami sistematikanya, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
177 digilib.uns.ac.id
maupun kerangka metodologisnya. Berikut ini, pendapat dari Perry Anderson (2008:137) mengenai dielektika sejarah dalam perkembangan modern. ―Sejarah adalah apa yang terluka, sejarah adalah apa yang menolak kehendak dan menetapkan batas-batas yang tidak mengenal ampun terhadap individual dan juga praksis kolektif—di atas segalanya dalam ―kegagalan tidak tertentu dari semua revolusi yang telah berlangsung dalam sejarah manusia‖ sampai hari ini. Tetapi kerinduan utopia tidak dengan mudah ditekan, dan dapat dibangkitkan kembali dalam penyamaran-penyamaran yang paling tidak dapat diprediksi. Ini adalah juga catatan—kerasnya kehendak bawah tanah untuk berubah—yang telah member kekuatan daya tarik pada Jemeson melampaui wilayah-wilayah Barat yang letih dan lesu.‖ Pendapat tersebut juga berlaku pada puisi, seperti yang diakui oleh Abdul Wachid B.S. (2005a:11) bahwa ―penyair mencari ide baru, tema baru bahkan bahan pokok baru bagi penciptaan sajaknya.‖ Inovasi bagi penyair merupakan penghayatan yang total, dan setiap inovasi terkait dengan pola keasadaran masyarakat untuk menemukan partikularitas yang unik. Puisi (yang sebagai salah satu genre sastra) memiliki penanda khusus dari penyair, yang di satu sisi dipengaruhi oleh struktur sosial. Sebagaimana temuan dari Bourdieu (2010:4-5) bahwa ―sastra (baca:puisi,pen.) berada dalam arena tertentu terkait pada posisinya dan relasinya‖ sehingga ada wacana khusus yang tampil berdasarkan zamannya. Penggolongan kriteria puisi berdasarkan kewaktuan selain menghilangkan identitas penyair secara partikular juga terlalu melegitimasi pola sastra secara estetik. Setiap penyair memiliki pola tersendiri, terkait dengan visi-misi berpuisi dan intensitasnya dalam suatu arena kultural. Dengan mengutip kata Sutan Takdir Alisjahbana, Goenawan Mohamad (2009) mengatakan bahwa ―sifat khusus puisi Indonesia yang baru ditandai tiga kata, yakni ekspresionisme, lyrik, dan romantik‖. Tiga wilayah tersebut, yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
178 digilib.uns.ac.id
nantinya harus berhadapan dengan ―eksotisme rasa dan indra‖, terkait dengan situasi masa:ruang penciptaan sebagai referensi secara genetis. Bentuk yang bebas dalam puisi modern Indonesia muncul pertama oleh Chairil Anwar dengan kekuatan ekspresi menampilkan daya lyrik dan beberapa nuansa keindahan agoni. Kendati, kemudian muncul gaya realisme-sosialis dan surealisme adalah bentukan dari kerangka konseptual mengenai puisi di era modern Indonesia selanjutnya, melalui pergolakan politik, dan usaha untuk merekonstruksi cara komunikasi melalui teks. Alex Callinicos (2008:31) menggunakan beberapa karya penyair ternama seperti T.S Eliot, Pound, dan Joice untuk melihat perubahan mendasar dari seni romantik menuju klasik. Artinya, bahwa puisi dengan berbagai relasi sosial dari ideologi estetis memiliki visi-misi struktur sosial, yang tidak hanya luapan ekspresi. Penyair melalui pencermatan dan kedalaman intusi secara empiris berusaha untuk menemukan konstelasi. Melalui puisi—sebagai teks—dapat dilihat pola kondisi sosial, dengan mengacu pada ambivalensi, ambiguitas, penciptaan arti dan pergantian makna baru. Aspek itulah yang merupakan entropi, selebihnya adalah redundasi dengan keterikatan pada realitas, melalui petujukpetunjuk yang hadir di dalam teks. Abdul Wachid B.S. (1995:37), dalam sajak ―Diam Mawar‖, melihat era modern sebagai ―yang berdentang dan pergi hingga ruang dikosongkan di dalam pusat:di kening dan dadaku.‖ Sisi kehidupan dunia memang selalu menampilkan kelahiran dan kematian, juga bagi kemunculan sains yang menyejahterakan, juga memiskinkan. Sesuatu hal yang hilang lagi, adalah nalar metafisis yang diganti commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
179 digilib.uns.ac.id
oleh rasionalisasi. Jurgen Habermas memandang dunia modern sebagai masa yang menampilkan rasio dari setiap individu sehingga dalam tataran masyarakat mengalami kepercayaan kepada kemampuan pikirnya masing-masing dengan pengaruh teknologi yang sangat kuat. Kemampuan Abdul Wachid B.S. merespon gejala sosial dengan eksistensialisme untuk mengkritisi hedonisme sebelum hidup benar-benar mati. Pengetahuan sebagai struktur kesadaran memasuki kedalaman rasa untuk menampilkan wacana dalam bentuk artifisial. Rasionalitas Abdul Wachid B.S. hadir untuk membangun bahasa menjadi sistem makna yang indah saat dirasakan. Dia sadar bahwa bahasa adalah segalanya untuk mengungkap wacana:tempat segala hal saling bertempur. Ada upaya untuk memasuki struktur kesadaran sosial, dengan menarik kenyataan bahwa dunia modern telah mengubah tatanan kehidupan, yang menjadikan pola pikir masyarakat juga berubah—ruang komunikasi juga berubah. Maka, ―lewat trotoar/ sosok keheningan itu mulai bangkit/ di tengah kota kekosongan‖. Trotoar sebagai penanda arsitektur modern diwacanakan sebagai tempat pembuangan, dan di situlah tempat untuk melihat yang ―esensial dari modern‖. Kehadiran trotoar adalah tepian modern, sebagai ruang yang bebas, dengan telah memungkinkan segala hal berinteraksi, dan melakukan pendekatan kepada kultur. Dasar perubahan masyarakat tradisional menuju masyarakat modern yang terjadi karena adanya struktur-struktur sosial yang berubah sehingga pola pikir terkondisikan untuk rasional. Abdul wachid B.S. melihatnya ―sebagai tahun yang lepas satu-satu‖ ketika para tua memahatkan adat yang memberhala.‖ Dalam pandangan Piotr Sztompka (2007:15), ―proses sosial yang mengarah mungkin commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
180 digilib.uns.ac.id
bertahap, meningkat atau adakalanya linear.‖ Adanya penemuan teknologi (misalnya mesin) yang dapat diterima oleh manusia dengan tingkat kerja yang efektif (karena memberikan kemudahan-kemudahan) menjadi lekas diterima dalam beberapa tingkatan. Namun, modern tidak hanya menciptakan teknologi, tapi juga pada ruang sosial, yang ditata untuk terjadinya pertemuan antar elemen masyarakat secara bertahap. Perubahan-perubahan itu menciptakan keterasingan hingga ―ada yang hilang saat senja‖. Ada yang hilang, ―tapi kita di mana?‖ tanyamu Jejaknya nyelinap antara orang bergantungan di biskota. Malam pun berhias lampu warna-warni Menandai kota. Menandai dunia kian renta. Perubahan dari setiap kehadiran teknologi membawa Abdul Wachid B.S. mencapai pada wilayah eksistensial. Riuh kota yang mungkin secara umum tampak semarak, namun baginya adalah tanda bahwa ―dunia kian renta‖, meksipun dalam tataran wacana ia mencoba memasukkan mitos rawa pening dengan ―lidi telah dicabut‖. Namun, wacana itu diambil untuk menunjukkan potret keterasingan yang makin menjadi untuk menuju pada kehancuran, melalui malapetaka. ―Tapi kita di mana?‖ tanyamu ada yang hilang Dengan berprahu lesung dan berdayung alu Mari melaju sampai laut lain Sampai di luar dunia yang ini Dia berusaha menunjukkan bahwa ada tataran (dimensi) yang lain:bahwa hedonisme (kesenangan-kesenangan hidup di dunia) membuat manusia tidak sadar. Kesadaran adalah pengetahuan. Dan, ia mengetahui, maka mewacanakan pula untuk sadar kepada yang lain. Ada tataran Yang Lain, yang perlu dipahami, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
181 digilib.uns.ac.id
yakni eksistensi setelah kematian:―di luar dunia yang ini‖. Sesungguhnya, Abdul Wachid B.S. membuat relasi antara bentuk dan isi secara dinamis dan interaktif. Jalinan kata-katanya—dengan sendirinya—adalah paket transmisi pesan yang memiliki kekuasaan, yang saling memadukan entitas. Setiap perubahan adalah entitas baru yang unik sebagai teks, Umberto Eco dan Jacques Derrida (dalam Budiman, 2004:26) merumuskannya dalam semiosis tanpa batas. Penemuaan masyarakat (melalui teknologi) atas terciptanya strukturstruktur yang baru kemudian menjadi sistem karena dilakukan dalam reproduksi sosial yang panjang, dan di situlah perubahan terjadi. Maka, persoalan persepsi dan makna secara bergantian membaca antara penanda dan petanda sebagai hierarki. ―Tapi kita di mana?‖ adalah pertanyaan yang memandang persepsi bagi pembaca atas setiap peruabahan (secara evolutif) yang terjadi hingga tak sadar bahwa tatanan sosial telah berubah. Sistem sosial yang telah didasarkan pada teknologi sebagai benda ciptaan manusia, membuat manusia hanya percaya kepada dirinya sendiri yang telah menciptakan ‗benda‘ untuk bisa lebih hebat, maka pengetahuan hanya terpusat padanya, tanpa mempertimbangkan keadaan secara utuh. Pandangan Anthony Giddens (2010:251) menegaskan bahwa sifatsifat struktural masyarakat memandu stabilitas dan perubahan. Dalam hal ini, segala sesuatunya telah dihitung atau diprediksi oleh pikiran manusia sebagai perkembangan organisme. Segala teknologi (ciptaan manusia) dalam hitungan atau prediksi telah mengarahkan pada adanya ‗kepastian‘ dari pikiran manusia. Kepastian adalah dasar dari logika yang dibangun manusia untuk menentukan commit to user
182 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
batas-batas kebenaran berdasarkan pada perkiraan, pemaknaan, dan pecernaan terhadap setiap fenomena, dari yang telah terjadi, sedang terjadi dan yang akan terjadi. Oleh karena itu, rasional menjadi ‗struktur kesadaran‘ bagi manusia untuk menyikapi setiap fenomena yang berkembang atau berubah dalam ruang dan waktu. Terciptanya pandangan rasional bagi manusia membuat arah pandang menjadi antroposentris. Setelah itu, ―prasyarat modernisasi ditentukan oleh elite modern baru yang menang dalam persaingan‖ (Sztompka, 2007:155). ―Setiap tatanan sosial yang berubah, selalu membentuk setiap resiko baru dan sejumlah konsekuensi yang harus diterima‖ (Giddens, 2005:165) karena hidup, memberikan pilihan kepada manusia. Abdul Wachid B.S. memilih ―untuk sendiri‖, dan ―bangkit mendirikan tiang langit‖ untuk mendapatkan petunjuk di tengah dominasi rasionalitas. Nalar metafisisi terhadap Yang Lain merupakan pilihannya, dengan konsekuensi dia harus sendiri. Nihilisme Nietzche (2008:83) juga pernah berbicara mengenai keterasingan diri agar tidak memakai topeng. Penyair yang mencermati setiap gerak perubahan tidak hanya melihat yang universal, juga pada sisi yang teralienasi, yang hilang, dan persoalan ketimpangan sosial. Melalui sajak ―Diam Mawar‖, Abdul Wachid B.S. dengan simbol mawar mengatakan “biarlah aku tinggal diam/ diutuhkan Cinta-Mu”, maka ada konstruksi wacana untuk mengembalikan ‗sistem nilai‘ masyarakat melalui akumawar, untuk mencermati kehadiran Tuhan dalam anugrah cinta:sebuah kasih sayang yang sulit terdefinisikan. Posisi ―diam‖ bukan berarti sebuah kekalahan, melainkan
―tawaran
mengahadapi kedatangan commit to user
dan
kepergian,‖
meski
perpustakaan.uns.ac.id
183 digilib.uns.ac.id
sesungguhnya yang terjadi adalah kepergian dengan ―jam tak kembali‖ sebagai musuh modern yang tidak bisa dipecahkan melalui waktu. Anthony Giddens (2005:23) mencermati waktu terkait dengan ruang yang mesti dicocokkan dengan organisasi sosial untuk melakukan standardisasi modern dalam menandai setiap kejadian:antara pagi, siang, sore dan malam. Waktu yang mungkin sangat penting dalam studi historis, tapi dalam modern berada dalam perkembangan dan setiap perubahan baru dari tatanan sosial. Tidak pantas untuk curiga kiranya. Bagi Abdul Wachid B.S., bahasa adalah kesatuan lingual yang merepresentasikan makna. Subjektivitas berada pada sisi yang jauh, namun tersembunyi di dalam sistem semantik. Abdul Wachid B.S. telah mencipta ―Sajak Kami Datang Padamu‖: Seribu-ribu semut mengendus gula Kamilah semut itu ya rabbi Mengitari gula-gula dunia Sembari berharap cemas gula surga Labaika, alahuma labaika Hadirnya bahasa [seribu-ribu] untuk menyatakan [banyak] adalah kesatuan lingual, dengan pernyataan bahwa modern telah menghadirkan beragam jenis sehingga manusia seperti semut. Kenikmatan-kenikmatan pada gula teriring dengan kemampuan rasional manusia mencermati perputaran bumi, sehingga ia juga harus berputar pada pusat, yakni ka‘bah. Pusat merupakan ciri dari modern. Pusat bagi Abdul Wachid B.S. bukalah pusat struktur sosial sebagaimana pemerintahan yang sentral, melainkan pusat terbentuknya kosmologi. Anehnya, sistem semantiknya terhenti oleh petunjuk Labaika, alahuma labaika. Simbol semut dan rekonstruksi dialog terasa sia-sia karena berubah menjadi pesan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
184 digilib.uns.ac.id
dakwah dalam terapi modern. Rekonstruksi dialogis membentuk hubungan formal dengan tanda di sekitarnya. Seruan-seruan dengan representasi realitas masuk dalam tataran psikologis karena adanya ―harapan cemas pada gula surga‖, yakni kenikmatan lain. Labaika, alahuma labaika terbentuk oleh redundasi. Konvensinya, tertuju pada haji, sebagai tindakan religius, yang di satu sisi juga memperkuat hubungan sosial:dengan adanya ―seribu-ribu‖ untuk menyatakan banyak. Keadaan ini berbeda dengan sajak ―Sekuntum Doa yang Mekar‖: sekuntum doa mekar dari bibirnya yang mawar. ia menyebut Satu Nama hingga hilang segala sangsai dari sayap waktu angin menerbangkan dari mimpinya yang terberai Upaya paling penting di dalam sajak itu adalah untuk memperjelas doa, kemudian secara visual dapat diterima oleh pembaca. Kode telah tertuju pada kaidah bahasa sebagai medium. Bahasa subjektif Abdul Wachid B.S. menata berbagai ruang ke luar kodratnya untuk melakukan redeskripsi terhadap realita, yakni doa. Keidentikan doa dengan bunga akan terjalin dalam konsep individual, namun abstraksi Abdul Wachid B.S. mencapai tataran metafisis untuk melukiskannya melalui bahasalah yang memberikan keterangan itu. Maka, kehadirannya menjadi simbol individual dari kalangan sufi yang biasa menjalin hubungan dengan tuhan dalam konteks percintaan. Kodrat ―doa‖ sebagai permohonan menjadi bentuk pernyataan cinta, dengan julukan tertentu untuk menerbangkan mimpi (hadapan). Kumpulan ingatan membentuk mimpi bagi manusia modern untuk melakukan penandaan berada dalam refleksi, terkait commit to user
185 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan berbagai tindakan. Representasi visual atas doa yang hadir seperti ―bunga‖ memberikan kesan puitik (indah) dari sebuah analogi. Abdul Wachid B.S. sebagai manusia senang menyusun simbol berdasarkan kedalaman jiwanya. Sejak dulu, Ernest Cassirer (dalam Subiyantoro, 2010:1) telah menyatakan manusia sebagai animal symbolicum. Susunan simbol Abdul Wachid B.S. dipilih dengan bahasa yang sangat ketat sehingga wajar jika buku puisi Rumah Cahaya harus mengalami edisi revisi, sesuai dengan pola pengetahuan terbarunya. Bahasalah yang sebagai alat kesadaran menyusun kata-kata sehingga puisi menjadi medan makna. Bahasa, sebagaimana telah disebutkan di awal, adalah
prasyarat
dari
tetanan
modern
sebagai
susunan
kode.
Ketika
mengungkapkan percintaan (yang senyatanya berada dalam dimensi perasaan), bahasa menampilkan kesadaran tersendiri sehingga letusan api (dari gelora perasaan) mampu diredam, seperti pada bait sajak ―Pematang Kita‖: Pematang itu masih utuh Ada dam. Gejolak diredam Saat itu tengah bulan jatuh Nafasmu, lava yang dalam Perlukisan cinta dalam gejolak romantik masih mampu diredam oleh sebentuk kesadaran. Sususnan rima a/b/a/b/ pada akhir bukanlah berpretensi sebagai pantun, seperti yang diungkapkan oleh Katrin Bandel di dalam kata pengantar buku Beribu Rindu Kekasihku menyebutkan:―ketika bahasa puisi yang arkais/ tradisional bertemu dengan bahasa sehari-hari, tidak terjadi peleburan, melainkan kontras dan kejanggalan tetap dipertahankan.‖ Justru, yang terpenting bukanlah susunan bentuk yang hadir berdasarkan rima saja yang menandai commit to user(tradisional). Kontruksi metafora kepenyairan seseorang dalam masa lampau
perpustakaan.uns.ac.id
186 digilib.uns.ac.id
pada:nafasmu, lava yang dalam, merupakan susunan khas dari puisi lyrik yang kuat pada bahasa, dengan sedikit mempermainkan makna sehingga terkumpullah beberapa petunjuk untuk menemukan entitas. Bahasa adalah medium pengetahuan yang disusun dalam wilayah representasional dan memberikan berbagai macam tanda. Dari tanda itu, menuju pada satu keseluruhan teks sehingga susunan yang romantik itu menjadi jalur kesadaran, bagi kritik terhadap kehidupan modern, yang saling sentuh terhadap tubuh. Wacana yang terbentuk dalam medan ini bukanlah ilustrasi itu, tetapi untuk tidak dalam keadaan di luar ketaksadaran agar pada akhirnya yang tiada menjadi ada. Abdul Wachid B.S. memasuki dunia romatik, justru ketika dewasa. Kesan percintaan terbangun melalui buku puisi Ijinkan Aku Mencintaimu dan Beribu Rindu Kekasihku. Dalam buku Ijinkan Aku Mencintaimu, dunia romantik yang ditampilkan berada dalam sisi simbolik. Pengaburan antara cinta terhadap sesama manusia dengan tuhan terjadi begitu dominan, dengan mengalihkannya pada sisi sufi, semisal ketika ―kangen ingin ditelpon dengan fatihah.‖ Susunan bahasa puisi lyrik yang ketat bagi Abdul Wachid B.S. telah menciptakan ambiguitas petunjuk. waktu batu kulayangkan wajahku terasa benar rindu berpijar Penyusunan bahasa khas Chairil Anwar dengan kata-kata yang padat penuh pertimbangan hadir untuk membentuk puisi lyrik. Aspek semantik sangat diperhitungkan untuk menyatakan maksud secara ekspresionis. Kekuatan rasa menjadi warna dalam ―rindu berpijar‖. Asonansi bunyi dipilih untuk commit to user daya intuisi Abdul Wachid B.S. memperdalam renungan:waktu batu. Persentuhan
perpustakaan.uns.ac.id
187 digilib.uns.ac.id
dengan benda-benda sebagai media tidak hadir pada buku Ijinkan Aku Mencintaimu, namun justru hadir pada Tunjammu Kekasih. Pemahaman realita yang dekat, yang berkaitan dengan dunia sosial, sebagai perkembangan modern ketika ―Malioboro Malam‖:Di sebrang jalan seorang perempuan seperti putri duyung. Mengingatkan ibunya di dusun, dengan rangkaian doa dan kembang di tangan.‖ Menyikapi berapa puisi Abdul Wachid B.S yang ketat pada bahasa bukanlah pada cara dia membentuk susunan bunyi, sebagaimana ingin menyamakannya dengan pantun. A. Teeuw ketika memaknai sajak ―Si Anak Hilang‖ karya Sitor Situmorang melihatnya sebagai sajak modern, padahal ada sampiran dan isi. Anak disuruh duduk bercerita Ayam disembelih nasi di masak Seluruh desa bertanya-tanya Sudah beristri, sudah beranak? Kata A. Teeuw (1983:33) bahwa ―Sajak ini menunjukkan bentuk tradisional, walaupun makna utamanya justru meniadakan dan memungkiri kemungkinan seorang anak muda yang sudah merantau untuk pulang, kembali ke tradisi dan suasanya lama‖. Pada sajak tersebut bisa dicermati mengenai alasan orang desa perlu bertanya:Sudah beristri, sudah beranak? Karena lama tak jumpa. Yang terpenting di sini, adalah keseluruhan dari isi untuk memperlihatkan konteks dunia modern dengan bahasa yang ketat. Sementara itu, pantun lebih mementingkan keindahan bunyi untuk mengguggah rasa. Kehadiran dari pantun dalam tradisi lisan, membut susunan bunyilah yang membentuk suasana dalam menjalin dengan isi. Pantun disusun dengan rima dan irama yang tetap untuk commit to user memperindah struktur bunyi karena pada masa itu begitu kuat tradisi lisan
perpustakaan.uns.ac.id
188 digilib.uns.ac.id
sehingga keharuan perasaan ditentukan oleh bentuk rima, yang secara isi harus ada sampiran untuk memulai percakapan. Sampiran menjadi ketidaklangsungan ekspresi, sebelum menuju inti atau maksud untuk diutarakan. Sementara itu, dalam tradisi lyric, ekspresionisme dan romantisme, ketidaklangsungan ekspresi untuk menimbulkan keharuan dan keterkesanan melalui bahasa imajinatif untuk menciptakan renungan-renungan. Struktur kesadaran orang modern berada dalam rasionalitas, maka metafora akan dipikirkan sebagai hal yang ambingu dan tak lazim, dan secara magis memberikan suasana kontemplatif. Abdul Wachid B.S. akan terlihat arkaik ketika dia harus bersentuhan dengan pengulangan-pengulangan sejarah. Mircea Eliade (2002:2) menyebutkan bahwa orang primitif bukan hanya melakukan ritual yang memiliki model mistis, melainkan ada usaha untuk mengulangi tindakan yang dilakukan pada awal waktu dewa, pahlawan ataupun leluhur. Dalam buku puisi Rumah Cahaya, ekspresi diri Abdul Wachid B.S. banyak dipandu oleh susunan kata Chairil Anwar dengan skema narasi Rendra. Abdul Wachid B.S. senantiasa menggali kekuatan ―rasa‖ melalui diri sehingga ekspresi begitu kental seperti ―Topan begitu menderu/ hingga tak terduga/ laut dalam dadamu mengombak kembali.‖ Gelora-gelora rasa sangat terasa sebagai wilayah ungkap, namun sekema beralih dengan serentetan kisah panjang. Konstruksi sebuah sajak dengan berbagai pola mengikuti pola sosial budaya, dalam pandangan penyair terhadap lingkungan. Skolimowski (2004:124) mencermati sejumlah arsitektur sebagai fungsi dari kebudayaan yang dominan. Dalam sastra, A. Teeuw (1988:100) telah mendasarkan pemikiran pada Roland commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
189 digilib.uns.ac.id
Barthes mengenai ―kode budaya‖ yang hadir sebagai penanda, juga pada Julia Kristeva bahwa ―sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya.‖ Kumpulan penanda sosial budaya di dalam teks itulah representasi. Dan, setiap penanda memiliki cara ungkap tersendiri, sesuai dengan selera penyair membakukannya lewat tulisan. Masa pencermatan terhadap Chairil Anwar menjadi pupus ketika kesadaran untuk bernarasi terjadi di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S, di mana peristiwa itulah sendiri yang lebih penting di dalam kehadiran puisi. Jika pada puisi yang ketat pada bahasa kekuatan ditampilkan pada dekonstruksi kata-kata, tetapi pada puisi yang membebaskan bahasa kekuatan muncul pada dekonstruksi peristiwa, baik suasana, maupun narasi. Ciri khas dari sajak panjang memiliki keutuhan peristiwa dengan realitas yang dinarasikan oleh empirisme penyair. Pola ini mendekati gaya berkisah dan balada Rendra. Ada kesadaran untuk menjadikan ―puisi adalah ruang‖ sehingga dapat menampung berbagai fenomena, namun ia juga dapat diterima sebagai bunyi yang bergaung di auditorium, semisal sajak ―Kasidah Negeri Hijau Mimpi‖ bila dibandingkan dengan ―Sajak Lisong‖. Menghisap lisong Melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengakang berak di atas kepala mereka Sajak tersebut akan dapat dipadukan dengan sajak ―Kasidah Negeri Hijau Mimpi‖ berikut ini: di situlah negeriku, di mana para pejalan sunyi memetik mawar hari-hari yang commit to user menyimpan keharuman masadepan yang
perpustakaan.uns.ac.id
190 digilib.uns.ac.id
tak kunjung hilang Perbedaan mendasar dari Abdul Wachid B.S. lebih terlihat pada wilayah intuisi. Rendra dengan kemampuan intuisi sosial yang kuat berusaha untuk menjadikan realita tampil seperti ilustrasi peristiwa, sedangkan intuisi Abdul Wachid B.S. berada dalam kontemplasi sehingga konteks sosial menjadi penuh dengan simbol, yang selalu terkait dengan religiusitas. Cara pengulangan yang dilakukan oleh Abdul Wachid B.S. adalah bentuk kreatif dengan mempertemukan berbagai komposisi puisi modern. Kemampuan dan kemauan untuk bebas, masih mencoba sedikit terikat pada struktur. Paparan-paparan dari A. Teeuw terlampau menjejaki konsep kepenyairan Abdul Wachid B.S. Cara untuk menemukan tradisi kepenyairannya muncul dengan keterikatan teks pada bahasa sebagai sistem semiotik primer. Bahasa sebagai sistem khas:retorik dan stilistik mempengaruhi subjektivitas kepenyairan (Teeuw, 1988:70), tapi Abdul Wachid B.S. juga mengetahui permainan makna sebagai hal yang penting. Maka, ia pun perlu untuk membaca makna, yang dimulai dari Chairil Anwar sampai ke A. Mustofa Bisri melalui semiotika. Abdul Wachid B.S. selalu berusaha untuk peka dalam melihat perkembangan sastra Indonesia modern. Setidaknya, dia berhasil menandai rezim Orde Baru dalam berbagai tekanan di dalam Sastra Pencerahan. Oleh karena itu, dia harus hati-hati pada setiap kata-katanya. Kata-kata disikapi dengan cermati, dan perlu untuk menyimbolkan. Yang terjadi adalah sentuhan surealis, yang masuk kemudian. Ia mencermati bahwa ―surealisme di Indonesia melompatlompat‖ dan ―berbeda dengan di Prancis sebagai aliran yang memberontak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
191 digilib.uns.ac.id
rasionalisme‖ (2005b:37-48). Asumsinya lebih untuk meruntuhkan Freud mengenai simbol yang disusun berdasarkan bawah sadar, padahal simbol juga tersusun atas imajinasi untuk menciptakan realitas baru. Tetapi, pandanganpandangannya hanya didasarkan pada konteks Indonesia modern, dan tidak mencermati Indonesia yang terkolonialisasi, seperti halnya Faruk (2001:8) melihat struktur sosial yang menyerupai piramida telah menempatkan penguasa pada lingkup tertinggi. Kemunculan puisi surealis di Indonesia pada tahun 1980-an karena belenggu rasional yang ketat pada Rezim Orde Baru (dalam masa modern) sehingga menuntut bahasa simbolik agar tidak terlalu dimaksud oleh penguasa, tetapi meggerakan elemen masyarakat. Dunia modern menampilkan kepercayaan pada sistem abstrak yang simbolik (Giddens, 2005:117), yang memberikan rasa aman pada setiap model lingkungan sosial dan fisik terhadap konsekuensikonsekuensi. Kehadiran surealis bagi Abdul Wachid B.S. yang paling terang adalah dengan memasukkan imaji visual, seperti pada sajak ―Doa‖: gerimis memanjang seekor angsa di halaman mengepakkan sayap sepi Suasana yang dihubungkan dengan judul ―Doa‖ membentuk simbol. Kendati simbol itu tidaklah serumit Rimabud, namun konstruksi imajis harus dihayati secara dalam. Hubungan doa dan sepi, terlihat pada perjuangan seekor angsa untuk terus mengepakkan sayap:itu adalah sebuah perjuangan besar dalam keadaan gerimis. Banyangan itu adalah sisi lain, di mana teks dan konteks tidak dapat dipisahkan sehingga terjadilah kontektualisasi. Pada ungkapan inilah, Abdul commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
192 digilib.uns.ac.id
Wachid B.S. telah lebih jauh melampaui modern. Ia membentuk hiper-realitas ‗doa‘ dengan citra. Doa yang biasanya berada dalam tataran sakral, justru telah didekonstruksi realitas kesediahan melalui simbol angsa yang sendiri. Efek dari perkembangan modern selalu berdampak pada rentang jarak yang jauh:dengan adanya pemisahan. Anthony Giddens (2005:26-27) mengakui masalah batas telah muncul sebagai akibat dari resiko adanya modernitas. Keterpisahan ibu, yang berada sangat jauh (di dalam ingatan) adalah resiko dari pilihan hidup, karena berubahnya tatanan sosial. Antara masa silam, dan sekarang seolah-olah saling berdialog dan ―ibu‖ adalah sosok penting dalam membentuk penandaan:sesuatu yang ditinggalkan. Kendati kisah perpisahan ibu dan anak, telah jauh muncul semasa mitos Maling Kundang, tapi dalam efek modern, ibu adalah sosok yang paling setia dengan rumah. Ibu merupakan penanda asal-usul seseorang karena dari rahimnyalah menjadi ada. Rentang kenangan yang sangat panjang membuat ingatan hanya membaca arketip. Sosok ibu yang secara mitologis adalah agung. Ia hadir dalam berbagai rupa:perempuan, cantik, kasih sayang. Namun, berbagai penanda lain tentang ibu (seiring dengan terbukanya kemungkinan) dapat saja hadir dalam ―gairah yang medesak‖ seperti berbagai ekspresi kerinduan. Ibu menampilkan persona rasa, yang sangat terlihat dalam ―Wanita Mengandung Sembilan Purnama‖. Pembelaan terhadap perempuan yang mengandung adalah mengembalikan esensi wanita sebagai makhluk yang keberadaannya diperlukan. tapi, wanita yang mengandung sembilan purnama terlanjur tak memakan kata sebab pahit hidup lebih kenyang bicara ia seperti melihat celurit commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
193 digilib.uns.ac.id
atas emas yang ngancam di tiap sudut ia bangkit limbung, menghujat bayang-bayang Posisi perempuan yang telah memperjuangkan hidup (pertaruhan nyawa) untuk kandungan, perlu mendapatkan penghargaan. Abdul Wachid B.S. tak sedang menjadikan perempuan sebagai objek, tetapi ia mengkonstruksi perjuangan perempuan (yang mungkin dalam sudut pandang laki-laki adalah lazim untuk mengandung). Ia menempatkan perempuan sebagai gaung yang berkorespondensi dengan rasa. Makanya, susunan makna tidak hanya dalam citra bahasa, tetapi juga citra peristiwa ketika terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Ketika suami bermaksud akan menceraikan istri kalau melahirkan anak laki-laki lagi dan akan mencari sosok perempuan lain, yang mungkin dari rahimnya akan lahir anak perempuan, semua itu adalah konstruksi peristiwa untuk mencitrakan betapa perjuangan perempuan yang mengandung tidak hanya karena ingin punya anak saja, melainkan juga perjuangan untuk mendapatkan cinta dari suami. Tersedianya pilihan perempuan bagi suami telah memosisikan perempuan sebagai objek. Post-feminisme menekankan agar terjadi pemahaman untuk tidak menjadikan perempuan sebagai objek. Ann Brooks (2009:105) mengarahkan untuk menempatkan perempuan sebagaimana mestinya, agar tidak keliru. Upaya yang dilakukan oleh Abdul Wachid B.S. melalui puisi adalah mengembalikan esensi perempuan yang agung karena telah berani mengorbankan dan menghargai kecintaan. Hubungan antara perempuan dan laki-laki makin terpisah karena konsep rasional manusia modern akibat tatanan sosial yang membagi peran. to user Kurindui airmata disebabkancommit asap trotoar
perpustakaan.uns.ac.id
194 digilib.uns.ac.id
Segala air kasihmu, Ibu, ditimbun kubur Mengisyaratkan Yang paham geliat embun mengerti bahasamu Kehadiran ibu sebagai perempuan karena adanya rasa yang terbangkitkan. Dunia modern yang membuat jarak telah menyusun berbagai isyarat baru. Keganjilan-keganjilan pada dunia modern membuat kekuatan rasa dicari. Ibu, (karena telah membuatnya hingga kini ada) secara halus memiliki kekuatan rasa. Di sini, tataplah bahwa puisi berkaitan erat dengan ―rasa‖ sebagai harmonisasi. Puisi di tangah modern, di tengah berbagai kemungkinan, Abdul Wachid B.S. membangun spiritualitas, sebagai suasana jiwa. Penciptaan itu sendiri, baginya, adalah ―moment puitik‖ yang dinikmati dengan rasa:segala keindahan bertaut, membentuk pola kreatif dengan daya cipta bahasa. Ambivalensi terjadi, yakni antara kemampuan menunggu ide dan kemampuan teoritik. Sejumlah referensi telah memberikan pengaruh kuat pada berbagai bacaan, yang membuatnya harus berpikir sesuai dengan struktur sosial, dan sedikit inovasi. Yang ada, tidak lain utopia zaman. Kesenjangan sosial akibat merebaknya pembangunan telah menunjukkan kritik-kritik tegas oleh Abdul Wachid B.S. dalam memahami berbagai gejala kehidupan. Manakala, pola kehidupan yang terang di malam hari telah membuat orang betah lama-lama di luar, membuat ilustrasi mengenai ―Gentayangan Pulang‖ adalah efek terbesar dari modern. Kekuatan citra muncul dalam redeskripsi: Kamar mandi penuh cucian dengan kran-kran yang meruncingkan taringnya. Mengancamku segera pergi. Gentayangan dalam cuaca beku. commit topiring, user sendok, garpu. Sebuah konser, Masih terdengar dapur memainkan
perpustakaan.uns.ac.id
195 digilib.uns.ac.id
memukau pada jarak kebisuan. Dan dahaga mendadak mendesak dari arah perut ke puncak Menyeretku ke sudut-sudut kafe. Kemana sepatu? Tanggal malam. Tanpa bulan. Tanpa kopi. Tanpa puisi. Tanpa dirimu. Tinggalkan bayang-bayang. Gentayangan. Dan aku bimbang mengubah arah, mencari pulang. Sebab memanggil kelebat tiap jejakmu : Sebuah kamar, yang seluruh perabotnya mengubah diri, menjadi ciuman. Citra mengenai ketidakharmonisan sebuah keluarga muncul dengan redeskripsi ruang. Representasi bahasa yang melukiskan dan memberikan keyakinan pada kedalaman pengalaman. Sentuhan dengan dunia secara langsung telah menyusun pilihan sendiri secara bebas. Perkembangan lajut, ditandai dengan dominasi teknologi sebagai bentukan baru oraganisasi sosial. Abdul Wachid B.S. menulis ―SMS Biru‖, ―SMS Putih‖, ―SMS Semu Merah‖, ―SMS Pucat Kapas‖, ―SMS Sahaya‖, ―SMS Tak Hingga‖, ―SMS Pagi‖, ―SMS Tak Terkirim‖, ―SMS Harap-harap Cemas‖, ―SMS Firdausi‖, SMS Sarie untuk Steve‖, ―SMS Steve untuk Sarie‖, dan ―SMS Rindu‖. Perkembangan teknologi tidak lagi disikapi sebagai potret keterasingan, melainkan sebagai budaya popular dan masa, dalam dialogis global secara individual. Ruang dialogis yang disusun adalah percintaan, dan sangat mempertimbangkan setiap diksi juga tanda baca. Justru berdesakan keinginan Sedu rayu, jeritan doa-doa, berhamburan Ke nomormu. Bahkan angan-angan Cemburu, curiga :jangan-jangan Secara bahasa, Abdul Wachid B.S. tidak ada peralihan persandaran pada Chairil Anwar yang selalu ―menimang, menimbang, bahkan membuang‖ pada commit to user setiap kata. Elemen yang terhubung dengan elemen lainnya memproduksi relitas
perpustakaan.uns.ac.id
196 digilib.uns.ac.id
baru secara paralel. Keindahan bahasa ditampilkan untuk menciptakan bentuk dan makna secara ketat, yang masih khas dari tradisi modern dengan menekankan pada medium literar, tanpa lagi merespon media mekanis. Yang terjadi adalah peralihan wacana, perjalanan perasaan, perjumpaan emosi dengan teknologi, dan hasrat untuk menganggap ―teknologi menciptakan pertemuan.‖ Ruang kosmologi yang mulanya berada pada eksistensial, berubah dalam kultur baru melalui HP yang memberikan kemudahan komunikasi sebagai budaya masa sehingga interaksi sosial bisa berlangsung secara terpisah. Penembusan ruang dan waktu oleh teknologi membentuk penyatuan antar individu. Pengetahuan refleksif Abdul Wachid B.S. memutuskan untuk menerima teknologi yang aman bagi manusia dan membuang yang merugikan, atau mencipta yang baru. Mungkin untuk lebih mengefektifkan transmisi komunikasi perlu mempertimbangkan kerja dari media mekanis mengabstraksikan realita dalam bentuk citra. Abdul Wachid B.S. memilih kemungkinannya sendiri dalam menciptakan puisi di tengah kondisi rezim yang penuh modern. Perpuisian modern Abdul Wachid B.S. tidak hanya tataran tema modern yang dia garap, tapi juga pada cara tradisi modern dalam menyikapi bahasa. Bahasa adalah sebuah arena permainan yang penuh dengan ambiguitas, tetapi ia juga jaringan dari antar titik budaya yang harus disikapi dengan hati-hati karena setiap kemungkinan dapat lahir. Kondisi modern bagi perpuisian Abdul Wachid B.S. menyusun pola pada pengetahuan bahasa yang ketat untuk menekankan titik budaya pada antar kata, sedangkan susunan narasi memberikan aspek dekonstruktif pada peristiwa dengan pemilihan suasana yang dramatis. Postmodernisme—yang menurut Perry commit to user
197 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Anderson muncul pada awal 1970-an awal—memiliki bahasa yang unik, seperti filsafat yang bersatu dengan teori, namun memiliki kekuatan yang luar biasa, meskipun tak sepenuhnya juga. Matrik Rekonstruksi Wacana Dimensi Ide Lingkup sosio-kultur Penyampaian Pesan Keterhambatan
Realitas Bacaan, realitas Tradisi, modern dan pascamodern Bahasa Tanda, kode dan simbol
Wacana Identitas Ruang ungkap Style Varian
Dari matrik tersebut, dapat dicermati yang ketat dan dramatis merupakan ambivalensi berbagai kultur, yakni kultur tradisi, modern, dan pasca-modern. Namun,
ia tidak menepatkan penanda-penanda identitas
tradisi
dalam
kemodernannya sebagai cara mencari kemungkinan baru untuk memasukki berbagai ruang. Persentuhannya dengan media dan persebaran dari perubahan tatanan sosial banyak muncul sebagai kritik, di satu sisi juga ada upaya menempatkan tradisi sebagai cara ungkap, pola struktur kebahasaan sebagai varian dari penyair terdahulu, bukan varian berdasarkan persentuhan dengan realitas. Padahal, dalam Tunjammu Kekasih dialetika dengan realitas begitu kuat dalam menghadirkan bebagai sisi dari ruang sosial secara abstrak.
4.3.3 Wacana Religius yang Terpinggirkan Mampu Melahirkan Kuasa Wacana religius menjadi bagian penting dalam sastra Indonesia, terutama dalam munculnya sastra sufi dan sastra profetik. Hal itu dengan ditandai oleh beberapa sastrawan Indonesia yang menuis karya sastra memuat wacana religius, commit to user
198 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan menjadi perbincangan. Heru Kurniawan (2009:1-5) mencatat bahwa jejak sastra sufi sebenarnya sudah mulai ada sejak abad ke -16, namun mulai banyak ditulis pada periode 1970-an sampai 1990-an, di antaranya oleh Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, M. Fudoli Zaini, Kuntowijoyo, Taufik Ismail, Abdul Hadi W.M., Hamid Jabbar, Emha Ainun Nadjib, A. Mustofa Bisri, dan Ahmadun Y. Herfanda. Maraknya sastra sufi, atau lebih tepatnya puisi sufi, kususnya di Yogyakarta pada tahun 1980-an hingga 1990-an. Sementara itu, munculnya sastra profetik dimulai dengan pandangan Kuntowijoyo dalam sebuah tulisan Maklulat Sastra Profetik. Adapun Abdul Wachid B.S. mulai menuliskan puisi-puisi yang memiliki wacana religius semenjak tahun 1980-an hingga sekarang. Abdul Wachid B.S. sengaja mencantumkan esai berjudul ―Religiositas Islam dalam Sastra‖ di dalam buku puisi Rumah Cahaya. Esai tersebut seolah memperkukuh bahwa puisi yang ditulis memiliki nilai religius, meskipun dia tidak mengkrucutkan pada karyanya sendiri. Setidaknya, esai tersebut menjadi konsep dalam menulis puisi. Dengan demikian kesuastraan menjadi religius bila di dalamnya mempersoalkan dimensi kemanusiaan dalam kaitannya dengan dimensi transcendental. Kesusastraan religius selalu membicarakan persoalan kemanusiaan yang bersifat profan dengan topang nilai kerohanian, yang berpuncak pada Tuhan melalui lubuk hati terdalam kemanusiannya (Wachid B.S., 1995:95-96). Pandangan mengenai wacana religius yang dibangun oleh Abdul Wachid B.S. dapat dilihat pada sajak berjudul ―Kasidah dari Negeri Hijau Mimpi‖ berikut ini. commit to user
199 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kasidah dari Negeri Hijau Mimpi
Kasidah dari Negeri Hijau Mimpi
Sebuah pematang lurus ke senja Ke kedalaman jiwa Di mana matahari membiaskan impian Impian pelangi. Hingga ke cakrawala
sebuah pematang lurus ke senja ke kedalaman jiwa di mana matahari membiaskan impianimpian pelangi, hingga ke cakrawala
Di situlah negeriku, di mana para pejalan sunyi memetik mawar hari-hari yang Menyimpan keharuman masadepan yang Tak kunjung hilang Lewat hutan tanda Di mana orang datang orang pergi memanah harapan dan bintang, pada sayap burung Burung yang mabuk cahaya Sebab negeriku bangkit dari kehijauan yang Tumbuh dari senyuman sampai ke matahari
di situlah negeriku, di mana para pejalan sunyi, memetik mawar hari-hari yang menyimpan keharuman masadepan yang tak kunjung hilang lewat hutan tanda di mana orang datang orang pergi memanah harapan dan bintang, pada sayap burungburung yang mabuk cahaya sebab negeriku bangkit dari kehijauan yang tumbuh dari senyuman sampai ke matahari
Dan o, telah kau gelar negeriku Seperti mimpi-mimpi pelangi Hingga ladang-ladang batinku Dan kutanam doa di situ dengan keringat dan airmata Sebab negeriku hijaunya hanya tumbuh Dalam mimpi
dan o, telah kau gelar negeriku seperti mimpi-mimpi pelangi hingga ladang-ladang batinku dan kutanam doa di situ dengan keringat dan airmata sebab negeriku hijaunya hanya tumbuh dalam mimpi
1992 1992
Dalam sajak tersebut, memperlihatkan tentang puisi yang memiliki wacana religius, namun lebih disebabkan oleh desakan negeri yang tak kunjung memberikan
kemakmuran.
Kekuasaan
dan
politik
dari
sebuah
negara
menyababkan aku-lirik harus mencari masa depan lewat mimpi. Negeri yang sebenarnya begitu subur dengan memancarkan kehijauan, namun hanya anganangan. Aku-lirik harus berdoa agar negerinya hijau kembali. Wacana religius yang dibangun oleh Abdul Wachid B.S. di dalam puisinya berdasarkan kegelisahan sosial. Ketika ruang publik, infrastruktur dan suprastruktur tidak lagi memberikan ketentraman batin, maka Tuhan menjadi satu-satunya harapan atas kegelisahan. Tuhan menjadi harapan atas kesetabilan melalui doa dan airmata.
commit to user
200 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keadaan ini menjadi logis bagi Abdul Wachid B.S. dengan adanya basis Islam dan sosio-kultur yang melatarbelakangi hingga melekat pada sistem nilai, yang dalam proses kreatif menjadi elemen ketaksadaran, bahkan sudut pandang untuk penyelesaian konflik. Kekacauan sosial adalah konflik yang tak berkesudah, yang menjadi dorongan untuk menyandarkan diri pada Tuhan dalam menyelesaikan masalah. Tuhan dalam keyakinan dapat memberikan ketenangann jiwa. Keyakinan inilah yang mendasari sebagian masyarakat Indonesia tentang keberadaan Tuhan, yang seolah memberikan jawaban—setidaknya petunjuk dalam kehidupan. Pemahaman mengenai Tuhan sebagai petunjuk sangat disadari oleh seorang yang
sedang
menempuh
kehidupan
dan
mengalami
berbagai
macam
probelematika karena dapat memberikan sugesti untuk melakukan perbuatan tanpa mengenal lelah. Dari itulah, puisi ditulis. Barisan Doa Kembali menyusun barisan doa dari tangan-tangan yang dilukai Negeri ini bulannya telah lingsir dari hati manusianya hingga gerak jam kerja melayang menendang-nendang waktu sujud sunyi juga gelap kegilaan menyergap setiap nafas Di jalanan lelaki berdecak kata-kata cabul menatapi gadis datang gadis pergi dalam mode mini dan segalanya Amerika ―Aih, inilah tuhan!‖ gumamnya Hanya kami yang menepi, keluar Dari segala itu Kembali menyusun barisan doa sendiri dari tangan-tangan hingga hati sendiri Sepanjang Barat dan Timur kami tak berjarak commit to user dalam dzikir dan pikir
perpustakaan.uns.ac.id
201 digilib.uns.ac.id
menyelakan jalanan waktu mereka yang telah lama padam 1987, 1990 Pada sajak berjudul ―Barisan Doa‖ memperlihatkan dinamika masyarakat yang telah terpengaruh oleh budaya asing. Kegelisahan dari aku-lirik dimunculkan dalam puisi, yang juga gelisah dengan mengungkapkan dzikir. Perububahan sosial yang disebabkan oleh bercampurnya kebudayaan menyebakan tata ruang berdampak pada moralitas, dan nilai. Memang, pada periode 1980-an, perkembangan pemerintahan Indonesia sedang mengalami era transisi urban sehingga masyarakat mengalami kegelisahan mengahdapi kemajuan zaman yang mengubah warisan leluhur. Kegelisahan itu dialami oleh Abdul Wachid BS, dan sebagai penyair ia menyikapinya dengan menulis puisi. Dengan itu, diharapkan pembaca akan tersentak hatinya setelah membaca kenyataan-kenyataan hidup yang serba modern, yang ternyata tidak selalu berdampak positif. Pelukisan-pelukisan mengenai kota dapat terlihat pada puisi ―Eksposisi Kota Tua –bersama Ahmad Dja‘far Sudjatmoko‖, ―Imaji Burung dan Lorong Kota‖, ―Meditasi dari Trotoar‖, ―Patung di Pagi Sebuah Negeri‖, ―Kasidah Orang ke Pinggir‖, dan ―Kupu-Kupu Terperangkap Gelap‖. Untuk mencapai hal itu, pemikiran Abdul Wachid BS terpengaruh ajaran sufisme. Kalau saya amati pemikirannya tidak jauh berbeda dengan pemikiranpemikiran penyair yang muncul tahun 1980-an. Dia mampu menangkap kejadian di sekelilingnya melalui pendekatan diri kepada Tuhan. Pengaruh-pengaruh sufisme terlihat pada sajak ―Mabuk dan Menari‖, ―Diam Mawar‖, ―Kasidah commit to user
202 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengambara‖, ―Manusia Pergi‖, ―Sekeliling Gelas Oleng‖, dan ―Ungkapan Penari‖. Penggunaan istilah-istilah sufi tersebut tidak hanya sebagai lambang atau simbol, tetapi juga pada kisah-kisanya yang merupakan kontekstualisasi dari situasi dan kondisi tahun 1980-an. Sebagai contoh pada sajak ―Manusia Pergi‖ dan ―Kasidah Pengambara‖, mengingatkan pada kisah sufi, mereka gemar melakukan perajalanan jauh untuk menempuh kehidupan. Adapun yang dituliskan oleh Abdul Wachid BS hanya sebagian pengalaman menempuh dan mengamati perjalannya. Wacana mengenai sufi yang sedang populer di tahun 1980-an menjadi pandangan tersendiri dalam puisi sebagai ―suara yang lain‖. Puisi yang menuju Tuhan tidak lagi dalam kadar murni tentang sebuah percintaan agung seperti yang dijalan oleh Rumi ataupun Rabiah. Rumi misalnya, menulis puisi sufi karena mengalami secara langsung hubungan percintaan dengan Tuhan hingga mencapai peleburan. Rabiah pun demikian, walaupun substansi cinta agak berbeda, dengan sampai memilih tidak menikah dengan siapapun karena takut bahwa Tuhan cemburu. Namun demikian, kadar kesufian yang ditulis di sini adalah perlambang dan simbol, atas kegelisahan sosial yang begitu mendera hingga Tuhan adalah petunjuk satu-satunya.
commit to user
203 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rumah Cahaya yang Sendiri
Rumah Cahaya
Kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit Mendekap manusiaku yang senantiasa pergi Di dalamnya terngaung iguan adzan Adzan kefakiran Apakah pasar dunia telah usai di sini? Yang batas antara tawa manusiamu Dan yang sunyi menyanyi Yang menegakkan sujud air mata yang Di dalamnya mengalir malaikat seperti Sungai waktu. Menangisi pelayaran manusiamu Melewati pelabuhan-pelabuhan: Ke sebelah Barat benak dunia O, panorama alam benda!
kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap manusiaku yang selalu pergi di dalamnya terngaung adzan kefakiran apakah pasar dunia telah usai di sini? yang batas antara tawa manusiamu dan yang sunyi menyanyi yang menegakkan sujud air mata yang di dalamnya mengalir malaikat seperti sungai waktu, menangisi pelayaran manusiamu melewati pelabuhan-pelabuhan: ke sebelah barat benak dunia o, panorama alam benda!
Kesendirian rumah cahaya yang bangkit Mendekap bumi manusiaku yang begitu hibuk Yang di kotanya menyalakan konser perempuan Perempuannya menari-nari Dibalut tipis pakaian Musim panas. Di trotoar Bunga-bunga yang terselip sepasang payudara Telah letih dari perlambang cinta Aih, surga benar telah menjelma di hadapan Dalam fantasi kota malam Begitu temeram, begitu megah dan mengerikan! Apakah pasar dunia tanpa tiang akhir Di situ? Orang datang orang pergi tanpa Manusia Kesendirian rumah cahaya inilah yang Bangkit. Mendirikan tiang langit Di tengah pasar Mengadzankan manusiamu ya manusiaku sampai Ke sebelah Barat benak dunia Manusia kita
kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit mendekap bumi manusiaku yang begitu hibuk yang di kotanya menyalakan konser perempuan menari-nari dibalut tipis pakaian musim panas di trotoar bunga-bunga yang terselip payudara telah wangi kasih sayang aih! surga benar telah menjelma di hadapan dalam fantasi kota malam, begitu temeram, begitu megah dan mengerikan apakah pasar dunia tanpa tiang akhir? orang datang orang pergi tanpa manusia kesendirian rumah cahaya inilah yang bangkit, mendirikan tangga-tangga langit di tengah pasar mengadzankan manusiamu ya manusiaku sampai ke sebelah barat benak dunia manusia kita 1992
1992
Dalam sajak di atas ada simbol yang sulit untuk diterima secara akal sehat karena tidak ada rumah yang dapat terbuat dari cahaya. Konsep ‗rumah cahaya‘ hanya terdapat dalam filosofi Islam bahwa rumah yang juga difungsikan sebagai tempat ibadah dapat berkilau dan mendapatkan cahaya kehidupan sesuai dengan surat An Nur. Selain dari pada itu, konsep cahaya dekat dengan petunjuk-petunjuk dari Allah terhadap kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi oleh manusia. commit to user Menurut Imam al-Ghazali dalam Abdul Hadi WM (2001: 106) bahwa ―Tuhan
perpustakaan.uns.ac.id
204 digilib.uns.ac.id
sebagai cahaya atas cahaya yang akan menuntun siapa yang Dia kehendaki kepada cahayaNya‖ yang jelas tidak dapat dipahami secara hardiah melalui tafsir formal. Secara estetik, sajak ―Rumah Cahaya Yang Sendiri‖ memiliki kebaruan-kebaruan yang mempu berpengaruh besar terhadap pembaca. Pertama mendorong pembaca untuk senantiasa mendekatkan diri pada Allah SWT ketika menghadi berbagai macam persolan dengan bersujud air mata di atas keheningan sajadah. Dalam hal ini, terdapat ralaitas kehidupan yang nampak akan tetapi sulit untuk dipahami apabila tidak ada penghayatan dalam diri pelaku. Kedua adalah mendorong pembaca menghindari perbuatan hina, maksiat, jahat, sombong, takabur, dengki dan tidak terdorong hawa nafsu. Sastra profetik tidak pernah melepaskan keterkaitan antara alam batin dan pengalaman-pengalaman yang telah dialami oleh sastrawan. Sastra profetik mengingatkan pula pada kita, betapa pentingnya mempelajari kembali nilai hakiki agama dan politik, serta hubungan erat keduanya, dalam membangun masyarakat dan kebudayaan (Hadi WM, 2004: 23). Sastra profetik mengajak pembaca menelaah kehidupan melalui Hidayah serta Inayah-Nya sehingga cara pandang manusia tidak hanya bertumpu pada kemampuan akal saja, tetapi lebih merupakan kesinambungan antara akal dan hati, yang memilik pegangan kokoh pada alQuran dan al-Sunnah. Dalam hal itu, Abdul Wachid BS meyakini bahwa puisi mampu meluruskan beberapa jalan kehidupan yang melenceng, dengan menonjolkan nilai moral. Dengan kata lain, ia sanagat mengupayakan amanat tersalurkan dengan baik kepada pembaca, tetapi pengungkapannya tidak dogmatis karena dia mampu commit to user
205 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memperlihatkan dinamika puitis. Cara tersebut diraihnya melalui ketaklangsungan ekspresi aku-lirik sebagai pelaku dan narator. ―//Kesendirian rumah cahaya inilah yang/Bangkit. Mendirikan langit/Di tengah pasar/mengadzankan manusiamu ya manusiaku sampai/Ke sebelah Barat benak dunia/Manusia kita//‖ (sajak ―Rumah Cahaya Yang Sendiri‖). Pada ungkapan ―Kesendirian rumah cahaya inilah‖ merupakan presentasi kehidupan aku-lirik kepada pembaca, bahwa ia mampu mendirikan tiang langit di tengah keriuhan kota. Kata ―pasar‖ pada konteksnya tidak dapat ditemukan di desa. Kata ―pasar‖ di sini tidak bermakna konotatif, yang merupakan simbol dari keriuhan kehidupan kota. Pertalian antara ―kesendirian‖ dan ―pasar‖ pada akhirnya menyebabkan hubungan paradoks, di mana tercapai kekhusu‘an aku-lirik mencapai kegiatan spiritualnya. Pada hemat penulis, ―Rumah Cahaya Yang Sendiri‖ adalah pelarian dari aku-lirik setelah mengetahui efek yang ditimbulklan oleh modernisasi terhadap keberlangsungan kehidupan. Hal itu sesuai dengan konsep ajaran agama Islam, bahwa dengan mendekatan diri kepada Tuhan, baik melalui shalat maupun amalan lainnya, akan dicerahkan mata hatinya dari kegelapan, dalam bahasa puisi dilambangkan sebagai ―cahaya‖. Di dalam Al-Quran terdapat surat An-Nur yang menceritakan tentang pecerahan pemikiran manusia, eksistensi kejadian-kejadian transenden, dan Tuhan sebagai Cahaya Maha Cahaya. Pada prinsipnya kehidupan di dunia ini, memiliki batasanbatasan dan hanya dapat dilihat dengan mata batin. Penglihatan mata batin akan terjadi apabila seseorang memiliki kesadaran akan keberadaan dirinya dan Tuhannya. commit to user
206 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kendati dipengaruhi oleh wacana religius, Abdul Wachid BS memiliki keunikan dalam metafora filsafat, yang selalu terngiang oleh pembaca, yaitu pada ungkapan ―//Ada yang hilang saat senja/‖, (sajak ―Yang Hilang Saat Senja‖) dan ―//Sepertinya ada yang lepas/Saat kau dikepung angin di jalanan/‖, (sajak ―Imaji Burung dan Lorong Kota‖). Pada ungkapan-ungkapan tersebut memiliki kebenaran semu, di mana peristiwa tersebut telah dilampaui oleh makna dan mampu menciptakan bahasa sesuai dengan dunia. Sesunggunya metafora yang baik adalah metafora yang menimbulkan perenungan bagi pembaca, namun selalu diingat dalam keseharian karena begitu dekat dengan kehidupan. Bagi Abdul Wachid BS dalam kumpulan sajak ―Rumah Cahaya‖, kekuatan metafora lebih banyak terletak pada kerumitan bahasa. Akan tetapi, dalam kerumitan bahasa tersebut, ia berusaha keras menyampaikan nilai moral agama. Penyampaian nilai moral cukuplah berlangsung sederhana disertai pengalaman empirikal, dalam artian tidak memperkerut pembaca lewat pemutar-balikkan kata-kata. Maka, kesegaran ekspresi akan tetap terjaga, di suatu sisi mampu menampilkan variasi bahasa secara indah dan menyenangkan. Matrik Transformasi: Penyair, Teks dan Pembaca Penyair Bahasa Ungkap
Permainan tanda
Usaha Menampilka Isi Sudut pandangan
Transformasi Wacana Simbolik melalui metafora dan metonimi
Pembaca
Mengakuinya sebagai hakikat puisi, yang memang sedang popular di tahun 1980-an hingga 1990-an mengenai puisi surealis Antara inovasi dan Puisi sudah seharusnya berada di antara inovasi konvensi dan konvensi, yang mencerminkan ada kreativitas dari pengarang juga tetap terakui sebagai puisi Religius, sosial, moral Sisi ini sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang banyak diperbicarakan dalam sastra Partikular Pembaca akan merasa menjadi bagian dari teks karena commit to user ia dapat saja menjelma tokoh aku, ataupun sebagai bagian dari narasi melalui
207 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pemosisian diri
Berada dalam garis pola
kesamaan kisah Pola-pola yang umum akan lebih mudah diakui, teruntuk bagi individu kecil.
Proses transformasi teks dilakukan dalam tiga cara. Pertama, mengartikan makna verbal teks secara utuh. Teks (yang memiliki sisi religius) diposisikan sebagai wacana yang memiliki konteks (realitas keberagamaan di Indonesia) sehingga pemahaman pembaca itu tidak hanya melulu berkutat pada tulisan, namun juga pada kemungkinan teks berpolisemi. Ada makna-makna yang di luar pikiran dari pengarang itu muncul menjadi makna yang mesti dipahami sebagai bagian dari teks. Pikiran pengarang terhadap teks bisa saja dikabiri oleh arah komunikasi yang membentuk ruang simbolik sehingga harus ditelusuri jejak-jejak simbolik tersebut. Jejak-jejak tersebut menuntut adanya berbagai macam cara sebagaimana teks diposisikan sebagai representasi. Kedua memaknai teks sebagai sebuah individu. Pembaca memahami puisipuisi Abdul Wachid B.S. bukanlah memahami pengarang (baca: pencipta). Memahami puisi-puisi Abdul Wachid B.S. adalah memahami teks itu sendiri sebagai wacana. Fenomena-fenomena yang melingkupi puisi-puisi Abdul Wachid B.S. dapat saja muncul dan lenyap karena berada dalam lingkup ruang dan waktu yang selalu saja memberikan lingkaran-lingkaran berdasarkan realita. Ada tindakan yang bermakna, yang menjalin hubungan dengan teks sebagai rujukan yang ostensif. Realita membukakan kemungkinan-kemungkinan atas interpretasi yang akan menentukan makna dalam dialektika sosial. Ketiga, puisi-puisi Abdul Wachid B.S. secara literar melibatkan horizon potensial makna, yang dapat diaktualisasikan commit to userdengan cara yang berbeda. Puisi-
perpustakaan.uns.ac.id
208 digilib.uns.ac.id
puisi Abdul Wachid B.S. —pada kahikatnya—memiliki perluasan-perluasan atas konstruks simbol yang ada di dalamnya. Potensialitas dari puisi-puisi Abdul Wachid B.S. akan muncul dari berbagai macam sisi yang berbeda. Pembaca memiliki horizon (cakrawala pikir) sebagai persepsi atas simbol-simbol yang hadir di permukaan, maupun simbol yang tersembunyi. Kekuatan pembaca untuk memberikan pembacaan terhadap teks sangat dipengaruhi oleh sosio-kultur yang melingkupinya. Antara pembaca yang satu dengan pembaca yang lainnya memiliki arah pandang yang berbeda, yang akan saling melengkapi interpretasi, dan di sini tidak ada benar dan salah. Pembaca memiliki otoritas terhadap teks untuk memberikan kesimpulan maupun pandangan berdasarkan pikiran dan pengalaman. Puisi-puisi Abdul Wachid B.S. memiliki beberapa sisi yang dapat dilihat oleh pembaca sehingga memungkinkan pembacaan dengan orang lain. Pembaca harus berpegang penuh terhadap aksentuasi pikir teks. Dari keadaan-keadaan bahasa yang telah mengkonvensi dalam kehidupan sehari-hari, kemudian dipahami berdasarkan pantulan-pantulan dari fenomena. Transformasi menjadi bentuk teks dimungkinkan ada beberapa lingkup tertentu yang menjadikan adanya ketidaksempurnaan. Pantulan-pantulan lain yang berimbas terhadap teks ini harus disikapi dengan jeli dan teliti sehingga terbuka paradigm tersendiri. Adapun untuk menjelaskan teks, konsep mengenai untuk membuka keberadaan teks dalam dunia ini menjadi sangat penting. Adanya lingkaran hermeneutis antara penjelasan dan pemahaman, serta antara pemahaman dan penjelasan tersebut harus relevan dengan ilmu pengetahuan dan ideologi karena commit to user
209 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
simbol itu bergerak dalam ranah aktivitas pikir. Segala bentuk perilaku dan keseharian manusia merupakan mozaik-mozaik dari panjangnya rangkaian ideologi yang bergerak terus-menerus.
commit to user
210 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Wacana dapat berada di mana saja, termasuk puisi. Sekalipun puisi memiliki kerumitan pada kata-kata, namun terhubung dengan tanda dalam praktik sosial. Bahasa di dalam puisi bukan hanya sebatas satuan gramatikal, juga memproduksi pengetahuan dengan cara tertentu melihat realitas. Adapun bahasa itu sendiri pada akhirnya dapat diposisikan sebagai media untuk mengungkapkan sesuatu yang dapat dikatakan dari yang dipikirkan oleh penyair berdasarkan cara pandang untuk melihat kebenaran. Pada wilayah itulah, puisi terlibat dalam formasi sosial dengan ia kembali memproduksi realitas. Hal ini berlangsung dalam puisi yang memainkan politik kebahasaan untuk berkomunikasi dengan membentuk kebenaran. Dengan mengacu pada paparan yang termuat di dalam analisis dan pembahasan, maka ada tiga simpulan di dalam penelitian ini. Pertama, strategi wacana di dalam puisi-puisi Abdul Wachid B.S. terbentuk oleh politik metonimi dan metafora. Dua politik kebahasaan ini begitu dominan, terutama di dalam buku Rumah Cahaya dan Tunjamu Kekasih, sedangkan di dalam buku Ijinkan Aku Mencitaimu dan Beribu Rindu Kekasihku lebih memainkan metafora sebagai kesegaran bahasa. Adapun di dalam buku Yang lebih memilih metonimi religius. Pertautan antara metonimi dan metafora itu tersembunyi dalam simbol-simbol sehingga variasi bahasa lebih termungkinkan. Dalam bahasa yang bervariatif commit to user 210
perpustakaan.uns.ac.id
211 digilib.uns.ac.id
dapat memungkinkan penyair untuk meyakinkan kepada publik tentang tanda dan substansi dari puisi modern, yang pada tahun 1980-an hingga 2000 kental dengan simbol. Pada waktu itu, memang sastra di Indonesia dituntut untuk bisa memainkan tautologis antara penanda dan petanda. Abdul Wachid B.S. memainkan corak tersebut dalam arah antara puisi lyric dan berkisah, meskipun dalam puisi Ijinkan Aku Mencitaimu dan Beribu Rindu Kekasihku lebih dominan puisi lyric. Kedua, rekonstruksi wacana di dalam perpuisian Abdul Wachid B.S. dimulai dengan mengkritisi modernisasi, terutama dengan pembangunan kota yang di sisi lain menyebabkan orang kecil tersisih. Pembangunan yang terjadi pada rezim Orde Baru ditulis dengan serangkaian dialektika, terutama dengan wacana religius yang berusaha untuk mengingatkan kembali hakikat manusia pada nilai. Abdul Wachid B.S. melalui puisi untuk mewacanakan sesuatu yang termarginal dari realitas yang diimpilan oleh rezim Orde Baru. Puisinya berkembang dalam operasi kebenaran ketika memasuki reformasi (tepatnya tahun 2003-2003) dengan puisinya yang dijadikan sebagai bahan ajar di SMA seluruh Indonesia. Ketiga, transformasi wacana dari perpuisian Abdul Wachid B.S. terbentuk oleh wacana religius yang secara sosial mulai memudar di kalangan modern, tetapi juga sedang berkembang di Indonesia seiring munculnya sastra sufi dan sastra profetik. Abdul Wachid B.S. dengan tegas mengambil istilah “Religiusitas Islam dalam Sastra” berdasarkan pandangan Paul Tillich. Pandangan bagi Abdul Wachid B.S. sendiri sudah terbentuk dalam sistem nilai dalam proses kepenyairan, commit to user
212 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang kemudian wacana mengenai sufi muncul dalam buku Gandrung Cinta, yakni tafsir mengenai puisi-puisi A. Mustofa Bisri.
5.2. Saran Ada dua saran dalam penelitian ini. Pertama, penelitian terhadap puisi seharusnya untuk tidak hanya mengungkap makna secara terpotong-potong. Puisi terbentuk dalam aktivitas keseluruhan dalam praktik sosial. Perpuisian Abdul Wachid B.S. hendaknya diposisikan sebagai media yang mampu mengkonstruks makna dari realitas. Interpretasi terhadap puisi harus dipahami secara mendalam dengan mengacu pada arena produksi teks sehingga lapisan-lapisan makna dapat terbongkar seluruhnya melalui jejak yang ada dan tersembunyi. Dengan puisi dapat ditelusuri melalui jejak-jejak yang tersembunyi, maka seharunya penelitian terhadap puisi dapat melihat kondisi zaman secara partikular. Puisi, dalam hal ini, dapat diposisikan sebagai narasi kecil untuk membongkar rezim kebenaran yang juga dapat dibongkar proses pembentukan wacana. Kedua, bagi kritikus sastra, seharusnya untuk melihat perpuisian Abdul Wachid B.S. tidak hanya dalam kadar baik dan buruk sebagai peniliaian, tetapi lebih melihat teks dalam berdialektika untuk memainkan wacana. Penilaian teks yang hanya berorientasi pada baik dan buruk hanya sebatas permukaan pada sistem kebahasaan.
commit to user