http://karyailmiah.polnes.ac.id
WACANA BARU SISTEM PENUNJUKAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM PERSPEKTIF TEORI KOMUNIKASI HABERMAS Yunus Tulak Tandirerung (Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda) Abstrak
YUNUS TULAK TANDIRERUNG: Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang dilakukan Tandirerung (2007) dan Tandirerung (2012) dalam pengkajian khusus konsep independensi auditor. Independensi auditor menjadi penting dalam fungsi audit karena terkait dengan objektivitas penilaian. Penelitian Tandirerung (2007) menyimpulkan bahwa hubungan yang terjadi antara auditor atau Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan klien sebagai akibat ketergantungan atas penggunaan jasa audit sangat berpotensi melemahkan independensi dan cenderung berpihak pada pembeli jasa mereka. Penelitian Tandirerung (2012) menyimpulkan bahwa sistem pembayaran fee audit secara langsung berpotensi menciptakan hubungan emosional antara auditor dengan klien. Penelitian ini bertujuan mengkaji dan menemukan sistem penunjukan KAP dan pembayaran fee audit sebagai solusi pengingkaran konsep independensi. Pengkajian permasalahan dalam penelitian ini menggunakan alat analisis Teori Komunikasi Habermas. Ciri utama dari Teori Komunikasi Habermas adalah: (1) berdasarkan pradigma komunikasi, (2) menggunakan metode dialogis untuk pencerahan, dan (3) menempuh jalan konsensus menuju perubahan. Penerapan pradigma komunikasi dalam bentuk pendialogan data empiris diwujudkan melalui perbandingan independensi antara auditor dengan profesi penilaian yang lain yakni kehakiman dan penjurian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profesionalisme akan sulit diwujudkan jika seorang auditor tidak berada pada kondisi yang independen. Berdasarkan perbandingan yang dilakukan dengan profesi kehakiman dan penjurian disimpulkan bahwa kondisi independen hanya dimungkinkan ketika pihak penilai bebas kepentingan dengan pihak yang dinilai. Sistem penunjukan dan pembayaran fee audit secara langsung berpotensi menciptakan hubungan emosional antara audit dengan klien. Sebagai solusinya penulis menawarkan wacana baru sistem penunjukan KAP dan pembayaran fee audit yang dilakukan oleh pihak ketiga (Tandirerung, 2007). Pihak ketiga yang dimaksudkan bisa diperankan oleh pengurus IAI di daerah atau pihak lain yang ditunjuk oleh Kementerian Keuangan. Kata Kunci: Independensi auditor, penugasan auditor, Teori Komunikasi Habermas.
PENDAHULUAN Menurut Koesbandijah, ketidakandalan informasi akuntansi karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam mengelola perusahaan. Sistem pengendalian intern yang baik sekalipun tidak akan efektif bila tidak disertai integritas manajemen dan seluruh staf perusahaan. Beberapa hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah bentuknya yang tidak sempurna, konsepnya, implementasinya, atau lingkungannya. Kalau penyebabnya adalah sistem yang belum
Riset / 2245
terpadu, maka perlu perumusan konsep yang lebih baik, sehingga kredibilitas laporan keuangan dapat diandalkan (Media Akuntansi, 1999). Memang profesi akuntansi tidak pernah sepi dari kecaman berbagai pihak. Karena ambruknya perekonomian Indonesia diyakini sebagian kalangan sebagai suatu kejadian yang tidak bisa dipisahkan dari peran profesi akuntan. Nasution dalam Media Akuntansi (2000), mantan dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan mantan deputi senior Bank Indonesia (BI) yang sekarang menjadi Ketua BPK pernah melntarkan
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
kritik keras terhadap profesi akuntan. Beliau bertitik tolak dari salah satu hasil audit akuntan di BI yang dianggapnya tidak benar. Sehingga dia mengatakan bahwa pemeriksaan akuntan harus diperbaiki. Hal yang sama dikemukakan Taylor, et al. (2003) bahwa kegagalan bisnis dan pengauditan menunjukkan adanya masalah serius profesi auditing dari aspek independensi. Dibutuhkan sebuah level pemikiran baru tentang independensi dan mengenai dimensi terkait, yakni: keahlian, integritas, objektivitas, kredibilitas, kerajinan, dan reliabilitas. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana mengatasi persoalan-persoalan yang dapat menghambat penerapan konsep independensi seorang auditor agar dia dapat memberikan penilaian yang objektif terhadap asersi suatu entitas yang diauditnya? Apakah dapat ditanggulangi dengan penyempurnaan system pengawasan dari asosiasi profesi, ataukah melalui penyempurnaan system terkait lainnya? Penulis melihat suatu faktor yang potensial menjadi penyebabnya adalah sistem penunjukan KAP dan pembayaran fee audit secara langsung oleh manajemen perusahaan. Klien membayar jasa auditor tapi auditor dituntut untuk melakukan audit secara independen (Reiter, 1997). Sementara penentuan jenis penelitian terinspirasi oleh pernyataan Umar dan Andarajan (2004) bahwa sudah banyak penelitian yang menemukan faktorfaktor yang mempengaruhi independensi dan tekanan yang dihadapi auditor, tapi tidak ada penyelidikan empirik untuk memahami dimensi mendasar dari tekanan tersebut. Penelitian ini diarahkan untuk meneliti secara mendalam faktorfaktor penyebab adanya tekanan dan faktor-faktor yang menyebabkan auditor tidak bisa keluar dari tekanan. Perbedaan utama antara terdahulu dengan penelitian ini adalah:
penelitian
Pertama, secara umum penelitian terdahulu melihat hubungan auditor dengan klien dari aspek pembayaran fee audit yang dilakukan oleh klien sebagai permasalahan utama yang melemahkan independensi (Mautz dan Sharaf, 1964:255; Francis, 1990; Reiter, 1997; Lindberg dan Beck, 2004). Menurut penulis di samping pembayaran fee audit, permasalahan pokoknya terletak pada kewenangan penunjukan yang dilakukan oleh klien. Memang pembayaran fee audit juga terkait dengan kewenangan penunjukan, tetapi pada kondisi yang lain dapat mempunyai pengaruh secara terpisah. Kedua, penelitian Tandirerung (2007) baru sampai pada kesimpulan akan adanya hubungan yang terjadi antara auditor atau Kantor Akuntan Publik (KAP) dengan klien sebagai akibat ketergantungan atas penggunaan jasa audit sangat berpotensi melemahkan independensi dan cenderung
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
berpihak pada pembeli jasa mereka. Kesimpulan tersebut dipertajam oleh penelitian Tandirerung (2012a) yang mengatakan bahwa sistem pembayaran fee audit secara langsung berpotensi menciptakan hubungan emosional antara auditor dengan klien. Ketiga, regulasi di bidang pengauditan umumnya disandarkan pada kesadaran etika dan moral para professional (Pernyataan Etika No.1; Standar Umum Kedua No.1), padahal menurut peneliti sangat sulit mengharapkan kesadaran moral pada dunia materialitas. Terbukti dari berbagai skandal pengauditan yang terjadi misalnya: kebangkrutan Enron (Lindberg dan Beck, 2004), 10 kasus audit yang dilaporkan dalam rapat IAI (IAI, 1997), 100 tuntutan pengauditan di AS setiap tahun (Boyton dan Kell dalam Subekti, 2004). Fokus penelitian ini berfungsi sebagai frame terhadap lingkup penelitian. Adapun fokus penelitian yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) sikap auditor terkait sistem penunjukan dan pembayaran fee audit langsung auditor (KAP) dari aspek ketergantungan secara psikologis, (2) implementasi konsep independensi di bidang pengauditan, dan (3) sistem yang terbaik dalam penunjukan auditor ekstern agar independensi auditor tetap dipertahankan. Tujuan penelitian ini diletakkan pada kaitan logis dengan fokus kajian penelitian di atas dan diarahkan untuk memahami penomena sosial yang berkaitan dengan tema penelitian. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: “mengkaji dan menemukan sistem baru penunjukan KAP dan pembayaran fee audit sebagai solusi pereduksian nilai independensi. Kajian Permasalahan Pengauditan a. Fungsi Auditor Manajemen
dan
Kepentingan
Auditing ditujukan untuk menentukan secara objektif keadaan informasi yang disajikan oleh manajemen dalam laporan keuangan.oleh karena itu, auditing harus dilakukan oleh pihak yang bebas dari manajemen dan dapat diandalkan dari aspek profesionalismenya. Sementara dalam kode etika akuntan Indonesia pada bab I diatur sebagai berikut (Mulyadi dan Puradireja, 1998:48): (1) kewajiban semua anggota IAI untuk menjaga nama baik profesi dan menjunjung tinggi etika professional serta hokum yang berlaku di tempat anggota menjalankan profesinya; (2) kewajiban semua anggota IAI untuk mempertahankan integritas dan objektivitas dalam menjalankan tugasnya. Hal yang tak kalah pentingnya yang perlu diperhatikan oleh auditor adalah good governance. Namu good governance bukan hanya ditujukan kepada akuntan publik tetapi bagi semua
Riset / 2246
http://karyailmiah.polnes.ac.id profesi akuntansi. Akuntan harus menyadari fungsi dan tugasnya di bidang keuangan. Baik tidaknya pengelolaan keuangan perusahaan sangat tergantung pada peran para akuntan yang dipercayakan. Kata kunci dan pernyataan di atas ialah “bebas, integritas, dan obyektif”. Artinya seorang auditor adalah sosok yag andal dalam melaksanakan tugas profesionalnya dan bebas dari kepentingan pribadi dan pihak lain termasuk kepentingan pihak manajemen yang memberi penugasan audit dan harus dapat memberi penilaian seobjektif mungkin terhadap laporan keuangan yang diauditnya. Dari penjelasan tersebut, yang perlu dipersoalkan adalah frase “bebas dari kepentingan pribadi dan pihak lain termasuk kepentingan manajemen yang memberikan penugasan audit”. Memperhatikan penjelasan pendahuluan mengenai tujuan pihak manajemen dalam menyajikan laporan keuangan, yaitu untuk menunjukkan prestasi kerja yang dicapai. Untuk mencapai tujuan tersebut maka mereka membutuhkan auditor untuk memberi kesaksian atau untuk memperkuat kebenaran laporannya, Karena laporan keuangan auditan nantinya akan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepetingan. Itu berarti yang diharapkan pihak manajemen adalah penilaian yang terbaik dengan pendapat unqualified. Hal ini juga dibuktikan oleh hasil penelitian Chow dan Rice (1985) yang menjelaskan bahwa sebagian dari perusahaan yang diberi pendapat qualified oleh auditor harus mengganti auditornya pada periode akuntansi berikutnya. Penggantian ini dilakukan hanya untuk mengejar predikat penilaian unqualified. Asosiasi profesi akuntan telah berusaha menyusun dan mengembangkan seperangkat pedoman untuk meningkatkan keandalan informasi akuntansi. Salah satu usaha yang bersifat mendasar adalah merumuskan tujuan akuntansi untuk menghasilkan informasi yang akan disajikan dalam laporan keuangan. Menurut Cyert dan Ijiri dalam Rosyidi (1999: 140-143) mengatakan bahwa penyajian informasi keuangan harus memperhatikan kebutuhan tiga kelompok yang berbeda yaitu: (1) para pemakai laporan keuangan yang mempengaruhi penciptaan informasi akuntansi sesuai dengan kepentingannya (antara lain: para emegang saham, analis keuangan, pemerintah, kreditur, dan masyarakat luas); (2) perusahaan terutama kepentingan pelaksanaan transaksi akuntansi untuk menghasilkan laporan keuangan; (3) profesi akuntan berkepentingan dengan pengujian dan penilaian, apakah informasi akuntansi telah sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
Riset / 2247
Uraian di atas menunjukkan adanya pertentangan antara pihak yang berkepentingan. Misalnya antara manajemen dan pihak auditor sebagai penilai. Di satu pihak, manajemen menghendaki penilaian dengan predikat terbaik (unqualified opinion), sedang di pihak lain fungsi auditor menghendaki penilaian secara obyektif. Artinya asersi suatu entitas selalu terbuka kemungkinan untuk mendapatkan penilaian di luar pendapat unqualified, sesuai keadaannya. Pertanyaan adalah, apa yang harus dilakukan oleh auditor? Kalau dia mempertahankan idealismenya dan memberi pendapat sesuai laporan keuangan, maka kemungkinan akan mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan perspektif manajemen dan selanjutnya kemungkinan akan kehilangan klien. Tetapi kalau dia menuruti keinginan klien dengan memberi pendapat unqualified, namun tidak sesuai dengan keadaan laporan keuangan, berarti dia melanggar kode etika. b. Penyebab Menurunnya Kadar Independensi Menurut Kosasih (2000), ada beberapa keterlibatan akuntan dalam organisasi bisnis yang dapat menurunkan kadar independensinya antara lain: (1) keterlibatan keuangan dengan klien, (2) hubungan bisnis dengan klien, (3) perusahaan klien, (4) mantan pejabat kunci pada perusahaan klien, (5) pemberian jasa lain kepada klien, (6) penyusunan laporan keuangan klien, (7) penilaian aktiva dan kewajiban klien, (8) wakil klien dalam menyelesaikan perselisihan, (9) rekruitmen manajer senior untuk klien. Keterlibatan keuangan dengan klien. Jika akuntan publik atau anggota keluarga dekatnya punya kepentingan keuangan atau jabatan penting dalam perusahaan klien, keandalan yang signifikan tidak ada pengemannya selain akuntan publik menolak atau menarik diri dari penugasan (kecuali jika kepentingan tersebut tidak signifikan). Khusus apabila ada kepentingan keuangan keluarga jauh, akuntan publik harus mempertimbangkan mutu kedekatan hubungan dan letak geografis domisili anggota keluarga jauh dan materialitas jumlah semua kepentingan keuangan, akibat adanya unsur risiko self interst. Jika signifikan dan mutu hubungan dengan anggota keluarga tersebut sangat erat dan tidak bisa dilepaskan (disposed), maka tidak ada pilihan lain selain akuntan publik menolak/menarik diri dari penugasan. Pengamanan independensi dapat dilakukan dengan memberi keleluasaan kepada staf untuk berkomunikasi dengan seniornya. Apabila dalam praktek ada hal-hal yang bias mengurangi independensi dan objektivitas, anggota tim audit atau penugasan lain yang membutuhkan independensi. Staf harus mengetahui prosedur apa yang ditempuhnya. Tim penugasan dapat
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
berkomunikasi juga dengan pihak ketiga di luar, seperti badan pengatur profesional misalnya Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Kantor akuntan publik dapat juga mengganti akuntan publik profesional yang kurang independent dengan akuntan publik lain. Hubungan bisnis yang erat dengan klien. Akuntan publik mungkin punya bisnis pribadi dengan kliennya, sehingga bisa timbul resiko independensi berkurang akibat pengaruh klien dan benturan kepentingan akuntan publik. Akuntan publik mungkin punya kepentingan bisnis dengan perusahaan bukan klien, tetapi perusahaan ini punya hubungan investasi dengan klien akuntan publik. Akuntan publik juga bisa punya pinjaman atau menjamin pinjaman-pinjaman klien. Pinjaman yang diperoleh akuntan publik dari klien sebelum penugasan dengan persyaratan normal tidak mengurangi independensi. Jika hubungan bisnis tersebut signifikan dan tidak bisa dilepaskan, maka satu-satunya cara pengamanan adalah penolakan atau penarikan diri akuntan publik dari penugasan. Berfungsi sebagai direktur atau jabatan kunci pada klien. Akuntan publik yang menjabat sebagai direktur atau jabatan penting lain pada klien atau afiliasinya, atau induknya punya risiko terhadap independensi yang tidak bisa diselesaikan dengan pengamanan apapun, selain penolakan atau penarikan diri dari penugasan, karena ada risiko self interest atau clien influence risk, kecuali mantan akuntan publik tersebut tidak lagi punya manfaat apapun pada KAP dan tidak ikut campur lagi dalam bisnis KAP. Demikian pula apabila akuntan publik dalam waktu dekat akan menjadi pejabat penting dalam perusahaan klien terdapat risiko pengaruh klien terhadap independensi karena ia ingin memelihara hubungan baik. Mantan pegawai/pejabat kunci/direktur klien. Sebaliknya apabila mantan pegawai/pejabat kunci/direktur klien menjadi akuntan publik, akan menimbulkan risiko self review terhadap independensi. Akuntan publik akan melaporkan akun atau elemen laporan keuangan yang dulunya ia lihat dalam proses pembuatan keputusan. Akuntan publik seperti dalam kasus ini tidak boleh berpartisipasi dalam penugasan keandalan terhadap entitas di mana sebelumnya ia bekerja, setidaknya dalam dua tahun terakhir. Pemberian jasa lain kepada klien. Pemberian jasa lain kepada klien selain jasa keandalan sebenarnya menguntungkan, baik bagi klien maupun bagi pemakai laporan, karena akuntan publik lebih memahami bisnis klien dan berbagai risikonya, sehingga diharapkan hasil penugasan keandalan akan lebih baik. Jasa lain yang dapat ditawarkan oleh profesi akuntan adalah konsultan manajemen. Tetapi pemberian jasa lain tersebut dapat menciptakan risiko self interest dan
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
clien influence terhadap independensi akuntan publik. Masalah ini dapat dijaga keamanannya dengan cara kantor akuntan publik menugaskan tim yang berbeda dan adanya cross review akuntan publik lain yang tidak terlibat. Penyiapan catatan dan penyusunan laporan keuangan klien. Jika akuntan publik menerima penugasan untuk menyiapkan catatan utama dan penyusunan laporan keuangan klien, kemudian ditugaskan pula untuk mengauditnya mengauditnya, dapat mengakibatkan adanya risiko self review atau clien influence walaupun dalam standar hal ini dimungkinkan dan harus dianggap sebagai penugasan audit yang paling tinggi derajatnya. Tetapi pihak ketiga yng mengetahuinya akan merugikan independensi akuntan publik setidak-tidaknya dalam penampilan. Kantor akuntan publik sebaiknya menghindarkan risiko ini dengan menolak penugasan atau dapat saja dilakukan dengan penugasan tim yang berlainan. Hal seperti ini biasanya terjadi apada perusahaan yang tidak begitu besar dan tidak punya personil akuntansi yang memadai kompetensinya. Akuntan publik sebaiknya tidak ikut mengambil keputusan mengenai cara penilaian dan penyajian laporan yang menjadi tanggung jawab manajemen entitas sepenuhnya yang dimuat tertulis dalam surat representasi manajemen. Pada beberapa negara terdapat larangan terhadap akuntan publik untuk melakukan penugasan rangkap seperti termaksud di atas. Penilaian aktiva dan kewajiban klien. Apabila akuntan publik tidak ditugaskan untuk menilai aktiva dan kewajiban yang material yang sifatnya subyektif, kemudian menerima penugasan keandalan, maka terdapat risiko self review terhadap independensi yang menghendaki pengamanan yang sepatutnya. Jika manajemen klien tidak secara tertulis menyatakan menerima tanggung jawab penuh atas penilaian tersebut, risiko terhadap independensi hanya bisa diamankan dengan menolak atau tidak menerima penugasan keandalan. Wakil klien dalam penyelesaian ligitasi/perslisihan. Dalam keadaaan tertentu mungkin akuntan publik diminta untuk membantu atas nama klien dalam menyelesaikan perselisihan atau ligitasi (tuntutan perkara). Permintaan ini harus dipertimbangkan oleh akuntan publik, apakah jumlah yang terlibat material bila dikaitkan dengan laporan keuangan yang diauditnya dan apakah tingkat subjektivitasnya cukup tinggi dalam penyelesaian tersebut. Jika memenuhi kedua syarat tersebut, sebaiknya akuntan publik menolak penugasan dimaksud, karena akan merusak independensinya bila ditinjau dari risiko self review. Penugasan seperti ini dapat diamankan dengan menunjuk tim terpisah dan melibatkan partner yang
Riset / 2248
http://karyailmiah.polnes.ac.id berbeda serta menerapkan tambahan.
prosedur review
Rekrutmen manajemen senior untuk klien. Jika klien meminta bantuan kantor akuntan publik untuk rekrutmen manajemen seniornya, misalnya kepala keuangan dan akuntansi atau kepala audit internal, halini akan menimbulkan risiko self interest dan clien influence terhadap independensi dalam penugasan keandalan. Pengamanan harus dilakukan kantor akuntan publik dengan memasang iklan, wawancara calon kepala tersebut dan membuat daftar urut calon potensial yang keputusan akhir pemilihannya tetap berada pada klien. Memperhatikan permasalahan pengauditan sebagai suatu kejadian yang bertentangan dengan harapan, Francis (1990) menyatakan bahwa etika profesi dalam pengauditan tidak dapat menjamin suatu kebajikan dari segi independensi. Auditor dipandang independen jika dia tidak melanggar berbagai macam aturan berkaitan dengan pemberian dari klien, kepentingan keuangan klien, dan hubungan keluarga dengan klien. Aturan etika atas independensi tersebut adalah untuk konsumsi eksternal, untuk membangun image mereka dan sama sekali tidak berhubungan dengan etika riil. Hal itu sama sekali tidak berkaitan dengan kebajikan independensi, Karena sekedar mengikuti aturan kode etika professional auditor independen tidak akan mencapai kebajikan dari independensi. Pendapat Francis tersebut sebagai ungkapan pesimisme yang didasari oleh terjadinya berbagai skandal bisnis yang melibatkan kinerja auditor. Hal itu terjadi karena regulasi yang ada tidak diikuti dengan system pengawasan yang tepat. Pada hal ketatnya pengawasan akan sangat menentukan kinerja yang baik. Meuwissen (2004) meneliti hubungan antara regulasi independensi auditor dan kualitas pendapatan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa regulasi tentang independensi auditor berhubungan dengan kualitas pendapatan yang lebih tinggi. Perusahaan yang listing di AS melaporkan pendapatan yang lebih tinggi ketika ada di sebuah negara yang memperketat regulasi independensi auditor. Praktik audit yang diwarnai oleh berbagai tekanan dan pengaruh yang berdampak pada persepsi negatif terhadap independensi auditor (Lindberg dan Beck, 2004) khususnya yang berkaitan dengan skandal kebangkrutan Enron. Dampak lain yang diakibatkan oleh penyimpangan independensi adalah melemahnya konfidensi para investor dalam memilih jenis bisnis (Wyman,2004). Berkaitan dengan ketidakmampuan para auditor mengimplementasikan konsep independensi, Umar dan Anandarajan (2004a) menyatakan bahwa profesi akuntan publik berada pada titik yang kritis dalam mempertahankan kepercayaan publik.
Riset / 2249
Menyimak berbagai permasalahan pengauditan yang terungkap dalam terdahulu, ternyata independensi auditor merupakan suatu masalah yang serius pada profesi pengauditan (Taylor et al., 2003). Sehubungan dengan itu, maka permasalahan pengauditan khsususnya yang terkait dengan independensi auditor perlu diteliti lebih jauh dalam rangka pencarian solusi. Kondisi inilah yang menginspirasi peneliti untuk mengangkat permasalahan yang terkait dengan independensi auditor. Auditor memerankan fungsi ganda dalam pengauditan yakni sebagai mediator dan sebagai ajudikator. Ditinjau dari aspek kepentingan yang bisa saling terkait dan kadang saling bertentangan, maka auditor berfungsi sebagai mediator. Mediator adalah pihak ketiga yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai persetujuan. Mediator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang netral dari berbagai pihak yang dimediasinya (Ibrahim, 2000:60). Ditinjau dari sifat penetapan putusan, auditor berfungsi sebagai ajudikator. Menurut Ibrahim (2000:60): “Ajudikasi adalah bentuk penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh pihak ketiga yang mempunyai kewenangan untuk campur tangan dan mengambil serta melaksanakan keputusan tanpa memperhatikan, apakah pihakpihak yang bersengketa menghendaki atau tidak. “Ajudikasi merupakan bentuk penetapan putusan pihak ketiga tanpa memperhatikan persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan. Sebagai mediator yang independen, auditor seharusnya menentukan putusan sebagai ajudikator tanpa mengindahkan harapan/keinginan pihak-pihak yang terkait dengan entitas bisnis. Mekanisme pemecahan permasalahan penelitian ditempuh melalui teknik perbandingan. Sebelum memahami interaksi yang terjadi antara klien dan auditor, terlebih dahulu dilakukan penelitian tentang implementasi konsep independensi pada aktivitas sejenis yakni hakim dan juri. Penelitian di bidang ini dimaksudkan untuk memahami sistem dan regulasi yang diberlakukan pada kedua aktivitas tersebut. Hasil penelitian inilah yang digunakan sebagai bahan pembanding dalam penerapan konsep independensi karena: (1) kedua aktivitas memiliki kesamaan dengan profesi akuntan publik dari segi peran dan penekanan konsep independensi (UU No.4 thn 2004 psl.1, psl.4 ayat 3, psl.5 ayat 1; SPAP, 2001:220.1 baris 18-19), (2) profesi kehakiman dan penjurian memiliki jarak yang jelas dan tidak ada keterkakitan dengan pihak yang berkepentingan. Kehakiman, penjurian dan pengauditan mempunyai persamaan peran sebagai penilai. Profesi hakim bertindak menilai kesalahan terdakwa berdasarkan peraturan yang ada dan
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
menetapkan tingkat kesalahan serta lamanya hukuman atau/dan banyaknya denda sebagai ganjaran atas kesalahannya. Sementara juri berfungsi sebagai penilai penampilan peserta dalam perlombaan atau pertandingan berdasarkan kriteria penilaian yang telah ditetapkan dan mementukan penilaian.pengauditan juga merupakan aktivitas penilaian. Auditor menilai kewajaran esersi tersebut melalui opini audit. Sebagai profesi penilai maka sikap independen menjadi suatu persyaratan utama karena ini merupakan sifat bawaan (Mertokusumo, 1998:18). Pada kehakiman dan penjurian, penilai menempati jarak yang jelas dengan dinilai atau pihak yang berkepentingan dangan hasil penilaian. Hakim yang bertugas mengadili sebuah perkara tidak boleh ada hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda sampai tingkat ketiga dengan pihak yang diadili (Mertokusumo, 1997:19). Sementara di bidang penjurian disyaratkan untuk selau memilih juri dari luar kelompok yang bertanding (wawancara dengan Suma) dan yang tidak memiliki hubungan emosional dengan salah satu kelompok dalam perlombaan (wawancara dengan Loren). Polisi hakim dan juri dengan jarak yang jelas di anatara pihak yang berkepentingan sanngat dibutuhkan untuk menyoroti posisi auditor di antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan entitas bisnis. Selain kehakiman dan penjurian di atas, pada awalnya penulis juga merencanakan untuk mengambil data pembandingan dari aktivitas perwasitan.namun melalui penelitian pendahuluan ternyata perwasitan sudah terwakili oleh penjurian maka penelitian hanya diarahkan pada profesi kehakiman dan penjurian. Keputusan penentuan penjurian dan bukan perwasitan karena ternyata pemerhati penjurian lebih sensitif terhadap konsep independensi (wawancara dengan Suma). Kaitannya dengan profesi hakim, peneliti akan berusaha mencari tahu berbagai langkahlangkah yang ditetapkan oleh organisasi kehakiman dan pihak yang terkait termasuk di dalamnya berbagai regulasi yang berkaitan, untuk tetap mempertahankan kondisi independen seorang hakim. Peneliti juga ingin melihat sejauh mana mereka mengapresiasikan dan menerapkan sikap independensi dalam menilai suatu kasus/perkara. Langkah-langkah yang dimaksudkan adalah system penunjukan seorang hakim untuk menangani kasus/perkara tertentu. Hal-hal apa yang patut diperhatikan seorang pimpinan kehakiman dan menentukan hakimketua dan hakim anggota dalam menangani sebuah kasus/perkara. Peneliti juga akan mencari data berbagai system yang diterapkan dalam kaitan independensi, misalnya dalam hal pelaksanaan mutasi di kantor kehakiman tersebut. Apakah mutasi yang dilakukan
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
pada periode tertentu hanya sebagai mekanisme biasa ataukah ada kaitannya dengan independensi seorang hakim. Kaitannya dengan perwasitan/penjurian, peneliti akan mencari data-data yang berkaitan dengan proses penentuan seorang juri/wasit dalam suatuu perlombaan/pertandingan. Dengan upaya apa mereka menjamin posisi independen seorang juri/wasit. Apakah langkah-langkah yang mereka tempuh sudah merupakan tindakan yang paling terbaik atau optimal? Tentunya penelitian tentang penjurian/perwasitan dapat dimulai dari proses penentuan seorang juri/wasit. Selanjutnya mempertanyakan mengapa mereka yakin bahwa sosok yang sudah ditentukan sebagai calon juri/wasit tersebut adalah orang yang posisinya independen dalam suatu perlombaan atau pertandingan. Karena perlu diketahui pertimbangan utama yang mendasari penunjukan seorang juri/wasit. Apakah memang karena posisinya sebagai orang yang independent ataukah karena pertimbangan lain? Untuk meyakini posisi penilai sebagai sosok yang independen, salah satu indikasinya adalah tidak adanya protes dari semua pihak yang dinilainya dalam sebuah pertandingan atau perlombaan. Dilain pihak akan terlihat dukungan yang meriah dari penonton dan peserta lomba saat penyampaian hasil perlombaan. Indikasi yang paling menentukan adalah dipanggilnya kembali seorang juri/wasit pada periode berikutnya dalam pertandingan yang berkelanjutan. Lokasi penelitian Penelitian ini dipusatkan pada sebuah kantor akuntan publik di kota Samarinda propinsi Kalimantan Timur, yang bernama “Kantor Akuntan Publik Drs. Prana Palo, Ak” (nama samaran). Yang merupakan kantor akuntan skala menengah di kota Samarinda. Pemilihan kantor akuntan publik ini sebagai tempat penelitian didasari pertimbangan bahwa penunjukan/penentuan kantor akuntan (auditor) sebagian besar atau hampir seluruh kliennya dilakukan/ditentukan oleh manajer perusahaan (merupakan penunjukan langsung) dan bukan dilakukan oleh Dewan Komisaris untuk Perseroan Terbatas atau Dewan Pengawas untuk Koperasi. Pertmbangan lain pemilihan “Kantor Akuntan Publik Drs. Prana Palo, Ak” bahwa partner Prana Palo sebagai pimpinan KAP masih aktif terjun langsung pada sebagian besar pengauditan. Keaktifan pimpinan KAP dalam pengauditan diharapkan memberikan informasi yang lengkap tentang interaksi antara pihak KAP dalam pengauditan diharapkan memberikan informasi yang lengkap tentang interaksi antara pihak KAP dengan klien.
Riset / 2250
http://karyailmiah.polnes.ac.id Perbandingan Independensi Auditor dengan Profesi Hakim dan Juri Melalui Teori Kritis Habermas sebagai Instrumen analisis Data Setelah data terkumpul melalui penelitian literatur dan penelitian lapangan melalui wawancara dan interaksi dengan pelaku penaguditan, praktisi peradilan, dan aktivis penjurian, selanjutnya akan dilakukan analisis data. Data ini akan digunakan sebagai cermin atau perbandingan dengan system yang diberlakukan dalam penunjukan dan pembayaran fee auditor. Data dianalisis dengan menggunakan Teori Kritis Habernas khususnya paradigma dianalogis atau komunikasi. Profesi hakim dan juri dipilih sebagai instrumen pembanding dalam penerapan independensi seperti halnya pada profesi tersebut sangat mengutamakan prinsip independensi seperti halnya pada profesi akuntan publik. Mekanisme pemanfaatan kedua profesi tersebut dalam analisis data adalah sebagai pembanding. Peneliti akan berupaya menggali berbagai sistem dan regulasi yang diberlakukan pada kedua profesi (hakim dan juri) untuk menjamin terwujudnya sikap independen setiap anggota profesi yang ditugaskan. Sistem dan regulasi serta implementasinya akan digunakan untuk mengkonpirmasikan hal yang sama pada profesi akuntan publik. Pada kondisi yang demikian inilah yang terjadi proses dianalogis ilmiah menurut teori Habermas (Hardiman, 1990:84). Pada awalnya data yang dikumpulkan pada kasus perkasus atau dari setiap informan akan dilakukan penyimpulan sementara. Jika terdapat perbedaan antara kasus yang satu dengan kasus yang lain atau antara informasi yang satu dengan informasi yang lain, maka akan dilakukan konfirmasi pada kasus berikutnya dan seterusnya. Selanjutnya dilakukan analisis lintas kasus secara menyeluruh. Pada tahap akhir akan disusun konsepsi sistematis berdasarkan hasil analisis data dan interpretasi teoritik yang bersifat naratif dalam bentuk simpulan sebagai temuan akhir. Melalui perbandingan tersebut diharapkan dapat ditemukan interpretasi penggunaan sistem yang sedang ditinjau dari aspek independensi. Sebagai akhir dari analisis data ini akan diberikan pendapat dan solusi yang tepat. Beberapa peneliti di bidang akuntansi berupaya meningkatkan pemahaman metodologi dan teoritik untuk penelitian akuntansi dengan menggunakan pikiran dan thesis Habermas di antaranya adalah Laughlin dan Arrington dengan Puxty. Laughlin (1987) mengatakan bahwa kerangka kritis Habermas mempunyai potensi terbesar untuk digunakan sebagai sebuah pendekatan metodologi untuk memahami dan mengubah desain system akuntansi dan untuk
Riset / 2251
menyelidiki fenomena social yang lebih luas. Sehubungan dengan itu, pada penelitian ini digunakan teori kritis Habermas dalam analisis data. Menurut Hardiman (1990:31) dan Muhadjir (2000:205), teori kritis yang dianut Juergen Habermas berbeda dengan pemikiran Marxis. Perbedaan itu dimungkinkan karena kehidupan mereka pada era yang berbeda. Pendekatan Habermas didasarkan pada pertimbangan bahwa: (1) politik tidak lagi menjadi super struktur; (2) standar hidup menjadi semakin baik, sehingga revolusi tidak dapat lagi digerakkan dengan termterm ekonomi; dan (3) antagonisme proletar-borjuis menjadi semakin tidak valid dengan munculnya kelas menengah yang semakin besar jumlahnya, (4) jalan sosial terbukti tidak dapat terwujud. Pendekatan yang digunakan Habermas adalah paradigma komunikasi, berbeda dengan revolusi Marx yang menggunakan pendekatan paradigma kerja. Komunikasi dan dialog yang dikembangkan Habermas dimaksudkan untuk menciptakan pencerahan, bukan ntuk menjungkirbalikkan struktur masyarakat Habermas berjuang dengan jalan consensus, berbeda dengan Marx yang menempuh jalan revolusi (Hardiman, 1990:30-32). Perbedaan antara pendekatan Habermas dan Marx dapat dilihat pada tabel berikut:
Kerangka Kerja Teori Kritis Habermas dalam Konteks Pencarian Makna Independensi Informasi yang diperoleh melalui langkahlangkah penelitian di atas selanjutnya akan diolah pada tahapan analisis data. Analisis data menggunakan pendekatan teori kritis Habermas dengan ciri utama seperti yang dijelaskan sebelumnya, yakni: (1) berdasarkan paradigma komunikasi, (2) menggunakan metode dialogis untuk pencerahan, dan (3) menempuh jalan konsensus (Muhadjir, 2000:205-206). Pertama, paradigma komunikasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini menyangkut penyampaian pendapat atau pemahaman melalui metode ilmiah yakni logika berpikir yang diolah secara ilmiah melalui penelitian ilmiah dan berbeda dengan kritik yang disampaikan secara radikal. Habermas dalam bukunya Theory and Practice, menguraikan demikian: “Saya dapat menerapkan teori-teori seperti psikoanalisis … untuk membimbing proses refleksi dan untuk menghancurkan rintangan-rintangan komunikasi…” (Habermas, 1994:30). Penegasan Habermas ini
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
dapat dipahami karena psikoanalisis bukan sekedar ilmu pengetahuan, melainkan juga bersifat praktis dan emansipatoris. Komunikasi yang dibangun dalam penelitian ini dimulai dari proses pengumpulan data yang diarahkan pada tiga profesi yang berbeda yakni kehakiman, penjurian, dan pengauditan. Perolehan data penelitian dari ketiga profesi tersebut tidak terlepas dan penggunaan metode komunikasi sehingga memungkinkan untuk diolah menjadi suatu produk ilmiah. Kedua, metode dialogis untuk pencerahan masih berkaitan dengan paradigma komunikasi yang memungkinkan adanya komunikasi timbal balik, baik melalui penelitian ilmiah secara teoritis maupun melalui komunikasi langsung. Itu berarti sebuah kritik yang dilontarkan dengan suatu argumentasi tertentu atau melalui logika ilmiah dapat saja ditanggapi atau dikritisi melalui metode yang sama. Hal senada dikemukakan oleh Hardiman (1990:84) yang merujuk pada pandangan Habermas bahwa secara konkret kegiatan berteori itu terlaksana dalam bentuk argumentasi-argumentasi rasional yang bersifat dialogal.dialog yang diwujudkan dalam bentuk argumen rasional tersebut bukan saja dilaksanakan antar kelompok sasaran tetapi juga dalam satu kelompok tertentu untuk mendorong pemahaman diri. Dialog ini penting untuk membina suasana saling memahami dan mencapai consensus. Itu berarti bahwa perjuangan untuk memerangi ketimpangan social yang diharapkan Habermas semestinya diwujudkan dalam bentuk argument rasional secara timbal balik. Aplikasi metode dialogis yang hendak dicapai dalam penelitian ini terdiri dari tiga tahap yaitu: (1) penelitian terdahulu yang menciptakan ide penelitian, (2) penerapan konsep independensi profesi kehakiman dan penjurian dalam menyorot independensi auditor, dan (3) hasil penelitian akan menjadi instrument dialog dalam mencari solusi. Sasaran yang hendak dicapai melalui proses dialogis adalah pengayaan pamahaman secara bersama untuk menciptakan pencerahan. Implementasi dari paradigma komunikasi Habermas ini adalah memahami praxis emansipatoris melalui tindakan komunikatif untuk menghasilkan pencerahan dan refleksi diri (Hardiman, 1990:83). Sebagaimana refleksi diri dipahami Habermas sebagai pembatinan suatu perbincangan yang menyembuhkan (Habermas, 1994:28). Itu berarti tujuan dari dialog-dialog komunikatif itu terarah pada kesadaran diri atas kepentingan kelompok manusia tertentu sebagai proses emansipatoris dari berbagai bentuk dogmatisme dan ideology yang dipahami sebagai proses pencerahan. Kaitan dengan penelitian ini diharapkan adanya pemahaman tentang permasalahan implementasi independensi dalam
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
pengauditan sehingga dapat menciptakan kesadaran untuk melakukan penyesuaian system. Kritik yang didasarkan pada etika kepedulian terhadap independensi auditor dapat memudahkan kita untuk melihat masalah yang muncul dari etika hak atau pemikiran pemisahan. Pemaknaan istilah independensi bias mempengaruhi para penentu kebijakan profesi dalam menghadapi dan mengatasi masalah yang masih mengganggu independensi auditor (Reiter, 1997). Ketiga, jalan konsensus yang dimaksudkan dalam hal ini adalah adanya pemahaman secara bersama yang menimbulkan kesadaran diri yang pada gilirannya menciptakan komitmen bersama untuk melakukan suatu perubahan atau penyesuaian. Berbagai judgement yang diperoleh melalui kajian ilmiah dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi organisasi profesi, praktisi, akademis, dan masyarakat pengguna jasa profesi akuntan publik. Pemahaman yang sama tentang suatu permasalahan akan dapat menciptakan konsensus bersama untuk melakukan perbaikan atau penyesuaian sistem yang belum tepat, khususnya yang terkait dengan independensi auditor. Jalan konsensus ini merupakan pengganti jalan konflik revolusioner yang ditawarkan Marx (Hardiman, 1990:105; Muhadjir, 2000:2005), karena konsep Marx dianggap tidak relevan lagi dengan perubahan zaman yang diperkenalkan sebagai spatkapitalismus (late capitalism) dalam (Habermas, 1974:195-198; Magnis-Suseno, 2001:xxii). Habermas meyakini jalan konsensus dan komunikasi sebagai konsep yang lebih tepat di era kini karena empat alasan historis: (1) politik tidak lagi menjadi superstruktur, (2) standar hidup menjadi semakin baik, (3) kehadiran kelas menengah semakin besar jumlahnya sehingga antagonisme proletar-borjuis menjadi tidak valid, dan (4) jalan sosialis terbukti tidak dapat terwujud (Muhadjir, 2000:2005). Kesimpulan Terdapat beberapa persamaan profesi akuntan publik, kehakiman, dan penjurian dari aspek independensi. Kesamaan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Pertama, konsep indenpendensi mutlak dimiliki oleh ketiga profesi untuk membentengi dari berbagai intervensi pihak lain dan sebagai penentu objektivitas penilaian. Kedua, setiap profesi wajib memiliki integritas diri agar dia mampu menjalankan tugasnya secara bertanggung jawab.
Riset / 2252
http://karyailmiah.polnes.ac.id Ketiga, pertimbangan professional sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan, untuk menghasilkan professional judgment.
kehakiman dan penjurian dilakukan secara terbuka (pasal 19 ayat 1 UU No. 4 thn 2004), sedang untuk pengauditan dilakukan secara tertutup.
Keempat, instrument pengawasan terhadap para profesional. Ketiga profesi sejenis dilakukan pengawasan terhadap para peofesional. Profesi kehakiman dilakukan oleh bidang cambre d’ accusation di pengadilan tinggi (Siahaan 1980:93). Profesi akuntan publik di Indonesia pengawasan dilakukan oleh BPKB, Dewan kehormatan IAI dan di USA dilakukan oleh PCAOB, (Charmichael, 2004). Sedang untuk perwasitan dilakukan oleh bidang disiplin KONI, kecuali bidang penjurian yang tidak melakukan aktivitas secara rutin, umumnya belum ada pengawasan terhadap pelaksanaan tugas para juri. Pengawasan tersebut penting untuk memelihara kebebasan secara bertanggung jawab.
Keempat, karakteristik regulasi. Karakteristik regulasi pada kedua profesi kehakiman dan penjurian bersifat aktuil sedang pada pengauditan bersifat anjuran. Ketentuan yang ditetapkan di kedua profesi yang lain umumnya diterapakan secara nyata karena merupakan persyaratan pelaksanaan suatu persidangan dan penjurian. Sedang pada pengauditan memang disyaratkan untuk mematuhi segala ketentuan yang ada tetapi dalam pelaksanaannya belum tentu terpenuhi karena bersifat anjuran, sementara pengawasannya tidak memadai terlebih pelaksanaannya bersifat tertutup antara auditor dank lien.
Selain persamaan, ditemukan juga beberapa perbedaan antara profesi akuntan publik dengan profesi kehakiman dan penjurian. Perbedaan dimaksud antara lain:
Kelima, spiritualitas pada profesi kehakiman dan penjurian menjadi salah satu penekanan. Pada profesi kehakiman ditetapkan secara redaksional dalam setiap putusan peradilan (pasal 4 ayat 1 UU No. 4 thn 2004) dan di bidang penjurian terkait penentuan calon juri (wawancara dengan Suma). Di bidang pengauditan unsur spiritual kurang diperhatikan, baik pada saat penerimaan calon auditor maupun dari segi redaksional opini audit. Pada hal kejujuran (tuntutan indenpendensi dalam kenyataan) yang diharapkan dari setiap profesional ummnya terkait dengan kualitas keimanan mereka.
Pertama, penentuan hakim dan juri didasarkan pada personil yang independen terhadap pihak-pihak yang berkepantingan (Metrokusumo 1998:19). Kebijakan ini diapresiasi oleh Mautz dan Sharaf (1964:252) sebagai independensi yang ideal, karena hakim tidak dependen pada terdakwa. Sedang penunjukkan auditor secara langsung oleh klien pada profesi akuntan publik, bukan memposisikan auditor sebagai pihak yang independen tapi malah terjadi sebaliknya, auditor menjadi dependen terhadap klien. Sistem ini sangat melehmakan independensi auditor. Kedua, untuk menjaga objektifitasnya, hakim dan juri berada pada jarak yang jelas dengan pihak-pihak yang berkepentingan, sementara auditor independen tidak harus menjaga jarak dengan pihak yang berkepentingan, bahkan dimungkinkan untuk memberikan bantuan tertentu kepada pihak klien, misalnya penyusunan sistem akuntansi, pembuatan laporan keuangan (Mautz dan Sharaf, 1964:252; Linberg dan Beck, 2004). Dalam standar auditing disebutkan: “Auditor independen dapat memberi saran tentang bentuk dan isi laporan keuangan atau membuat draft laporan keuangan, seluruhnya atau sebagian, berdasarkan informasi dari sistem akuntansi yang digunakan oleh manajemen” (SPAP, 1994:110.2 kalimat 29-32). Peran ganda ini sangat berpotensi melemahkan indenpendensi auditor. Menanggapi peran ganda auditor, Mautz dan Sharaf (1964:252) secara sinis mengajukan satu pertanyaan: ”Dapatkah fungsi independen diperankan dengan baik oleh seorang penegak hukum yang bertindak sebagai advokat bagi kliennya?” Ketiga, keterbukaan dalam pelaksanaan penlaian. Pelaksanaan penilaian pada profesi
Riset / 2253
Implikasi hasil penelitian Menindaklanjuti hasil analisis yang menyimpulkan bahwa sistem penunjukan dan pembayaran fee audit yang diberlakukan selama ini ternyata sangat melemahkan independensi dan obyektivitas auditor dalam pengambilan keputusan, maka penulis mengusulkan kemungkinan perlakuan sistem baru penunjukan auditor (KAP). Wacana baru penunjukan KAP dimaksudkan adalah bahwa manajemen perusahaan tidak menunjuk langsung KAP calon auditor tetapi melalui instansi perantara yang ditentukan pemerintah. Instansi perantara itulah yang akan menunjuk calon auditornya. Jadi perusahaan tidak akan pernah berurusan dengan KAP, tetapi kepada instansi perantara termasuk urusan penentuan dan pembayaran fee audit. Wacana sistem baru tersebut, selain ditujukan untuk menjaga jarak antara auditor dan klien, juga untuk mengatasi sifat ketergantungan auditor terhadap klien. DAFTAR PUSTAKA Carmichael, Douglas R. (2004). The PCAOB and the Social Responsibility of the Independent. Auditor. Accounting Horizons, vol. 18, No. 2, pp. 127-135.
JURNAL EKSIS
Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
Chow, Chee W. and Steven J. Rice (1985). Qualified Audit Opinions and Auditor Switching, Journal of Accountancy, pp. 326-335. Francis, J.R (1990). After Virtue? Accounting as A Moral and Discursive Practice. Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol.3, No.3, pp. 5-17. Habermas, Jurgen (1994). Theory and Practice. Heinemann, London. Hardiman, Francisco B. (1990). Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Ibrahim,
Anis (2000). Penyelesaian di Luar Pengadilan Terhadap Pemakaian Tanah oleh Rakyat di Kawasan Hutan Negara. Tesis Magister Universitas Brawijaya, Malang.
Ikatan Akuntan Indonesia (1999). Sosok Akuntan Publik Masa Depan. Media Akuntansi, No. 16, hal.30-31. Ikatan Akuntan Indonesia (2000). Analisa Risiko Independensi Akuntan Publik pada Penugasan Keandalan. Media Akuntansi, Ed. 13, hal. 24-27. Ikatan
Akuntan Indonesia (2001). Profesional Akuntan Publik. Salemba Empat, Jakarta.
Standar Penerbit
Laughlin, R.C. (1987). Accounting System in Organization Theory: A Case for Critical Theory. Accounting, Organizations and Society, Vol.12, pp. 479-502. Linberg, Deborah L., and Frank D. Beck (2004). The CPA Journal, Vol.74, No.11, pp.36-40.
Mulyadi, dan Kanaka Puradiredja (1998). Auditing. Jilid 1, Edisi 5, Salemba 4, Jakarta. Reiter, Sara (1997). The Ethics of Care and New Paradigms for Accounting Practice. Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol.10, Iss.3, pg.299. Siahaan, Lintong Oloan (1980). Jalannya Peradilan Prancis lebih Cepat dari Peradilan Kita. Ghalia Indonesia, Jakarta. Taylor, Mark H, F.T de Zoort, E. Munn, and Martha W. Thomas (2003). A Proposed Framework Emphasizing Auditor Reability over Auditor Independence. Acounting Horizon, Vol.17, No.3, pp. 257-266. Tandirerung, Yunus T. (2007). Kajian Independensi Auditor dari Aspek Sistem Penunjukan dan Pembayaran Fee Audit secara Langsung oleh Klien. Eksis: Ekonomi, Sosial, dan Bisnis, Vol.3, No.1 Maret 2007. Tandirerung, Yunus T. (2012). Independensi Kantor Akuntan Publik (KAP) dari Aspek Pembayaran Fee Audit. Eksis: Ekonomi, Sosial, dan Bisnis, Vol.8, No.1 Maret 2012. Umar,
Ahson, and A. Anandarajan (2004a). Auditors’ Independence of Judgement under Pressure. Internal Auditing, Vol.19, No.1, pp.22-32.
Wyman, Peter (2004). Is Auditor Independence Really the Solution? The CPA Journal, Vol.74, No.4, pp.6-9. ………Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan Kehakiman. Sinar Grafika, Jakarta.
Magnis-Suseno, Frans (2001). Pemikiran Karl Marx, dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Mautz, R.K., and Hussein A. Sharaf (1964). The Philosophy of Auditing. American counting Association, USA. Mertokusumo, Sudikno (1998). Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberti, Yogyakarta. Meuwissen, Roger, F. Moels, E. Peek, and A. Vanstraelen (2004). The Influence of Auditor Independence Regulation on Earnings Quality: An Empirical Analysis of firms Cross-Listed in the U.S. Email:
[email protected]. Muhadjir, H. Noeng (2000). Metode Penelitian Kualitatif. Edisi 4, Rake Serasin,Yogyakarta.
JURNAL EKSIS Vol.8 No.2, Agustus 2012: 2168 – 2357
Riset / 2254