W artaPenelitianPerhubungan ISSN. 0852 - 1824
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Terakreditasi B, Nomor 300/ AU2/P2.MB1/08/2010 Tanggal 26 Agustus 2010
KEMENTERIAN PERHUBUNGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Jl. Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat 10110 Telepon 021 34832945 Fax. 34833065
Warlit Perhub
Volume. 24
No. 03
Halaman 218-326
Jakarta Maret 2012
ISSN 0852 -1824
cp -
uji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dan salam sejahtera untuk para pembaca, Warta Penelitian Perhubungan kembali terbit dengan beberapa topik yang mungkin bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan para peneliti khususnya.
Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya disampaikan kepada para penulis yang sudah menyumbangkan pemikirannya yang diwujudkan dalam karya ilmiah yang dapat menambah wacana serta isi dari Warta Penelitian Perhubungan ini, semoga membawa manfaat bagi kita semua dan dapat mendorong kemajuan Warta Penelitian Perhubungan sebagai wadah informasi bagi masyarakat tentang pengetahuan bidang transportasi.
Atik S Kuswati dalam tulisannya "Kriteria Penetapan Lokasi Stasiun Kereta Api Penumpang" mengemukakan bahwa aspek regulasi merupakan prioritas utama dalam penentuan lokasi stasiun penumpang kereta api, diikuti oleh aspek lingkungan ekonomi, aksesibilitas dan konektivitas serta operasional. Aspek-aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam arti saling mendukung dan mempengaruhi. Kendala yang dihadapi oleh pelayaran rakyat adalah masih tingginya tingkat kecelakaan yang terjadi, terlebih lagi penyebab kecelakaan masih di dominasi oleh sumber daya manusia. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan langkah strategi antara lain peningkatan kemampuan SOM untuk membangun kapal, mendorong peningkatan standar pembangunan kapal, standar klasifikasi kapal dan kemampuan penguasaan sistem bongkar muat di pelabuhan. Masalah tersebut diulas oleh Johny Malisan dan Yamin Jinca dalam "Kajian Strategi Peningkatan Keselamatan Pelayaran Kapal-Kapal Tradisional".
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Rute Penerbangan Non Komersial (Perintis) menjadi Rute Penerbangan Komersial yang diitulis oleh Dina Yuliana dimaksudkan untuk mengidentifikasi kriteria perubahan rute tersebut. Berdasarkan analisis diperoleh 4 faktor perubahan rute perintis menjadi rute komersial yaitu pertumbuhan angkutan udara perintis, daya tarik angkutan udara perintis, daya dorong sektor lain, dan pangsa pasar angkutan udara perintis. Disamping itu ada beberapa judul dengan topik yang berbeda, yang kami tampilkan dalam Warta Penelitian Perhubungan Edisi 3 (tiga) bulan Maret Tahun 2012 . Akhirnya kami dari Redaksi sekali lagi mengucapkan banyak terima kasih kepada para penulis yang telah menyumbangkan pemikirannya dalam rangka pengembangan dan peningkatan kualitas Warta Penelitian Perhubungan, semoga Tuhan senantiasa memberikan petunjuk kepada kami Dewan Redaksi agar Warta Penelitian Perhubungan kedepan lebih baik dan sempurna, Amien.
ISSN : 0852 -1824
Warta Penelitian Perhubungan Volume 24, Nomor 3,Maret2012 Warta Penelitian merupakan majalah ilmiah transportasi diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan, terbit sejak tahun 1989 dengan teratur 12 kali dalam setahun. Terakreditasi B dengan Nomor : 300/ AU2/P2MB1/08/2010 tanggal 26 Agustus 2010. Redaksi berhak mengadakan perubahan tulisan tanpa mengubah isi. Memuat sebuah tulisan tidak berarti Badan Lltbang Perhubungan/Redaksi setuju akan isinya Pelindung
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan
Penasehat
Sekretaris Badan Lltbang Perhubungann ; Kepala Pusat Lltbang Manajemen Transportasi Multimoda; Kepala Pusat Lltbang Perhubungan Darat; Kepala Pusat Lltbang Perhubungan Laut; Kepala Pusat Lltbang Perhubungan Udara
Pemimpin Umum
Ir. Nugroho Eddy Purnomo. (Set. Badan LltbangPerhubungan)
Pemimpin Redaksi
Ir. Mutharuddin, M. Si, M. MTr ~BadanlithmgPerhul:ungpn)
Redaktur Pelaksana
FeronikaSekarP$,MMTr (Set. Badan LltbangPerhubungan)
Wakil Redaktur Pelaksana
Drs.Budi Prayitno, M. MTr(Set Badan Lltbang Perhubungan)
Dewan Redaksi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Drs. Edward Marpaung, MM, APU Prof. Ir. Panal Sitorus, M.Si, APU (Pakar Trans Darat); Idjon Sudjono, SST, MM APU (Puslitbang Phb. Udara); Ir. Johny Malisan, DESS (Puslitbang Phb. Laut); Muhammad IZI, AID (Puslitbang Phb. Darat); Dra.Atik S.Kuswati M. MTr(Set BadanlithmgPedrul:ung;:m); Ir. Nanang Ariantono, Ms. Tr (Puslitbang MTM);
Mitra Bestari
1. 2. 3. 4. 5.
Ir.RJachriz.al.Sumabrata,MSc(Eng).PhD(AhliTrans Jalan); Dr.Ir.Indrayati Subagio,DEA (Ahli Trans Perkotaan); Prof.Dr.Ing.M.Yamin Jinca,Ms.Tr (Ahli Trans Laut); Prof.Dr.H.K.Martono,SH.LLM.MSc (Ahli Trans Udara); Dr.Drs.YaddySupriyadi,SH,MM,SS.iT(AhhTrans Udara);
Penyunting Editor
1. 2.
Ratna Herawati, BSc. (Set. Badan Lltbang Perhubungan); R Sukhiar Bastaman P (Set. Badan Lltbang Perhubungan);
Desain Grafis
Fita Kurniawati, S. Pd, MT.
ALAMAT REDAKSI BADAN PENEUIIAN DAN PENGEMBANGAN PERHUBUNGAN Jalan Medan Merdeka Tnnur 5 Jakarta 10110 Telepon: (021) 34832945, Faksimil: (021) 34833065.
[email protected]
.,.,. ~17
Warta Penelitian Perhubungan
Volume 24, Nomor 03, Maret 2012
ISSN. 0852 -1824
Terakreditasi B, Nomor .300/AU1,IP2MB:t,.QV2010 Tanggal, 26 Agusutus 2010
DAFTAR ISi Kajian Strategi Peningkatan Keselamatan Pelayaran Kapal-Kapal Tradisional
218-231
Johny Malisan danM. Yamin Jinca Sebaran Pergerakan Pengguna Kendaraan Pribadi Bekasi Barat-DKI Jakarta _
232-243
Herawati dan Rini Suliyanti Kriteria Penetapan Lokasi Stasiun Kereta Api Penumpang _ _ _ _ __
244-259
Atik S Kuswati Kajian Penyederhanaan Penerbitan "Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air _ _ _ __
260-272
Feronika Sekar Puriningsih Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Rute Penerbangan Non Komersial (Perintis) Menjadi Rute Penerbangan Komersial Dina Yuliana Evaluasi Kriteria Penetapan Lokasi Terminal Tipe A (Studi Kasus: Terminal Leuwipanjang, Bandung dan Terminal Giwangan Surabaya)
273-282
283-302
Noviyanti Comparative Analysis Of Transportation Infrastructure Development Through PPP Scheme In Indonesia And Japan
Siti Maimunah
303-326
ISSN. 0852 - 1824
Volume 24, Nomor 03, Maret 2012
Terakreditasi B, Nomor .300/AU?/P2MB1ft>&'2010 Tanggal, 26 Agusutus 2010
ABSTRAK
KAJIAN STRATEGI PENINGKATAN KESELAMATAN
PELAYARAN KAPAL-KAPAL TRADISIONAL Halaman 218-231
Johny Malisan *)
M. Yamin Jinca *)
MahasiswaS3 TeknikTransportasi UNHAS
KPS Magister Transportasi
Jin Perintis kemerdekaan KM 10 Makassar
PPs-UNHAS Makassar
[email protected]
[email protected]
ABSTRACT Construction and shipbuilding of traditional ships are individual character, and should be preserved Traditional ships are generally managed by middle economic groups of people, but very strategic in distributing public goods to the islands that are difficult for conventional vessels. Problem that emerged in traditional ships is high level of accidents and caused predominantly by their human resources. Therefore, in this research attempted strategies to overcome the problem through SWOT analysis in order to improve safety peiformance of traditonal ships. Result of analysis showed the need some strategies among others capacity building of human resource in shipbuilding, to encourage the improvement of shipbuilding standards, to encourage the improvement of ship classification standards, and to encourage their ability in mastery of loading and unloading systems. Keywords : safety of ships, traditional ships.
ABSTRAK
Konstruksi dan bangunan kapal tradisional memiliki karakter tersendiri yang mestinya tetap dipertahankan. Kapal-kapal tradisional umumnya dikelola secara tradisional oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah namun strategis dalam mendistribusikan kebutuhan pokok masyarakat di daerah yang sulit dijangkau okleh pelayaran konvensional. Alam tetapi permasalahan yang muncul adalah masih tingginya tingkat kecelakaan dan penyebabnya didominasi oleh sumber daya manusia. Oleh karena itu dalam penelitian ini diupayakan solusi strategi untuk mengatasi hal tersebut melalui analisis SWOT dalam rangka meningkatkan kinerja keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal tradisional. Hasil analisis menunjukkan perlunya melakukan langkah strategi antara lain peningkatan kemampuan SDM untuk membangun kapal, mendorong peningkatan standar pembangunan kapal, mendorong peningkatkan standar klasifikasi kapal, dan mendorong kemampuan penguasaan sistem bongkar muat di pelabuhan. Kata kund : keselamatan pelayaran, kapal tradisional.
SEBARAN PERGERAKAN PENGGUNA KENDARAAN PRIBADI BEKASI BARAT-DKI JAKARTA Halaman 232-243
Herawati*) Rini Suliyanti**) Peneliti Badan Litbang Perhubungan Jalan Merdeka Timur No 5 Jakarta Pusat ABSTRACT
The high traffic in OKI Jakarta is not only influenced by movements in but also commuters from suburban areas like Bekasi District. For that we need to know the characteristics and distribution of the movement from North Bekasi to Jakarta. The purpose of this study was to determine the distribution of travelling from Bekasi to Jakarta. The research methods used are the establishment of Inter-Zone Travel Time Matrix, trip generation modeling (multiple regression analysis), Travel Distribution Modeling. In addition, the quantity method is used to identify travel time, total travel costs and advanced modes are used when using public transport.
Based on the results obtained by the analysis of trip generation models Y = -1.44 of public transport + 2:14 of private vehicles. Trip distribution of Bekasi's population towards OKI Jakarta are Central Jakarta (261 trips/day), East Jakarta (180 trips/ day), South Jakarta (125 trip/day), West Jakarta (74 trips/day), and East Jakarta (87 trips/day). The different of travel time between private vehicles and public transport is average 30 minutes. Private vehicle users must expend more vehicle surcharge of Rp. 11 553 which compared with public transport. Keywords. Trip Distribution, Private Vehicle, Trip characteristic
ABSTRAK
Tingginya pergerakan petjalanan di Daerah DK.I Jakarta tidak hanya dipengaruhi oleh pergerakan dalam tetapi dipengaruhi oleh pergerakan daerah sub urban seperti Kabupaten Bekasi. Untuk itu perlu mengetahui karakteristik pergerakan penduduk Kelurahan Bekasi Utara ke DK.I Jakarta beserta sebarannya. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran petjalanan penduduk Kelurahan Bekasi Barat menunju Jakarta. Tujuan dari penelitian ini dapat digunakan sebagai karakteristik pergerakan dari Kelurahan Bekasi menuju wilayah DK.I Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah pembentukan matrix travel time antar zona, pemodelan bangkitan perjalanan (analisis regresi berganda), pemodelan distribusi perjalanan. Selain itu, digunakan metode analisis kuantitatif untuk mengidentifikasi waktu perjalanan, total biaya perjalanan dan moda lanjutan yang digunakan apabila menggunakan angkutan umum. Berdasarkan hasil analisis diperoleh model bangkitan petjalanan Y= -1.44 angkutan umum + 2.14 kendaraan pribadi. Sebaran pergerakan penduduk Bekasi Barat menuju
Jakarta Pusat sebanyak 261 perjalanan/hari, Jakarta Timur sebanyak 180 perjalanan/hari, Jakarta Selatan 125 perjalanan. hari dan Jakarta Barat serta Jakarta Timur berturut-turut adalah 74 perjalanan/hari dan 87 perjalanan/hari. Selisi waktu perjalanan antara kendaraan pribadi dan angkutan umum rata-rata adalah 30 menit. Pengguna kendaraan pribadi hams mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp. 11.553.- jika dibandingkan dengan angkutan umum.
Kata kunci: Distribusi Perjalanan Kendaraan Pribadi, Karakteristik Pergerakan.
KRITERIA PENETAPAN LOKASI STASIUN KERETA API PENUMPANG Halaman 244-259
Atik S. Kuswati*) Peneliti Badan Litbang Perhubungan Jalan Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat
ABSTRACT This study intends to detenninate criteria of the station location which the aim is to praviding input in the policy that criteria. The priority of creteria and sub criteria the station location is detenninated by using Analytical Hierarchy Process (AHP). Based on processing and analysis of data are obtained the aspect of regulation is more priority than other criteria in detennining the railway passenger station location. The other aspects are of the economic environment, accessibility and connectivity, as well as operational. For sub-criteria, the suitability of the national railway master plan (Ripnas) is more priority than land-use aspects (spatial plan). For Sub-economic criteria, the first aspect is the economic potential in the region/ growth area. For sub accessibility and connectivity criteria consider about distance within the downtown station.
Key words: criteria, passenger station. ABSTRAK
Kajian ini bermaksud menyusun kriteria penetapan lokasi stasiun kereta api penumpang dengan tujuan memberikan masukan dalam kebijakan kriteria penetapan lokasi stasiun kereta api penumpang. Dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) maka akan ditentukan prioritas dari kriteria dan sub kriteria untuk penentuan lokasi stasiun. Dari pengolahan dan analisis data diperoleh hasil bahwa aspek regulasi merupakan prioritas utama dalam penentuan lokasi stasiun penumpang kereta api, diikuti oleh aspek lingkungan ekonomi, aksesibilitas dan konektivitas, serta operasional. Untuk sub kriteria, kesesuaian rencana induk perkeretaapian nasional (Ripnas) sebagai prioritas dibandingkan aspek tata guna lahan (rencana tata ruang wilayah). Sub kriteria ekonomi yang menjadi urutan pertama adalah potensi ekonomi di wilayah/kawasan pertumbuhan. Untuk sub kriteria aksesibilitas dan konektivitas adalah pertimbangan jarak stasiun dengan pusat kota.
Kata kunci: kriteria, stasiun penumpang
KAJIAN PENYEDERHANAAN PENERBITAN
"SURAT PERSETUJUAN KEGIATAN PEKERJAAN SALVA(iE DAN SURAT PERSETUJUAN KEGIATAN PEKERJAAN BAWAH AIR" Halaman 260-272
Feronika Sekar Puriningsih, S.S., M.MTr.*) Penelilit Badan Litbang Perhubungan Jl. Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat
[email protected]
ABS1RACT The rapid advancement of science, inforrna.tion and communication technology as well as changes in the strategic environment demands for reform of government bureaucracy and tailored to the demands of the community dynamics. Therefore it should be taken the steps that are fundamental, comprehensive and systemic so that goals and targets that can be achieved effectively and efficiently. Assessment Approval for Issuance of Salvage Job Activity and Job Approval Undenvater Activities that took place in Jakarta is intended to provide licensing services that are transparent, accountable, faster and ensure legal certainty and certainty for actors in the field of transportation. Sampling was conducted on 17 companies salvage and undenvater works in Jakarta and surrounding areas. Analysis of simplification and analysis of public satisfaction index (IKM) is used to measure people's satisfaction. From the results of the study appear in the overall value of the index is 3.02 expressed satisfaction both categories because they are on the range of values from 2.51 to 3.25. Highest satisfaction scores are at the service of security elements (3.5) is very good and the lowest satisfaction scores are at the speed of service element (2. 7) and certainty of service charges (2. 7), this value is still in good assessment scores for respondents. Simplification of the analysis, the publication "approval letter salvage work activities and work activities subpoena under water" still can be simplified, include: processing time, the implementation of one-stop service, and application of ICT.
Keywords: Salvage, regulation, public satisfaction index ABSTRAK
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistemik sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Kajian Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air yang mengambil lokasi di Jakarta dimaksudkan untuk dapat memberikan pelayanan perizinan yang transparan, akuntabel, cepat dan menjamin kepastian hukum serta kepastian berusaha bagi pelaku di bidang transportasi. Pengambilan sampel dilakukan terhadap 17 perusahaan salvage dan pekerjaan bawah air di DKI Jakarta dan sekitarnya. Analisis
simplikasi dan analisis indek kepuasan masyarakat (IKM) digunakan untuk mengukur kepuasan masyarakat. Dari hasil penelitian terlihat secara keseluruhan nilai indek kepuasan masyarakat adalah 3,02 menyatakan kategori baik karena berada pada rentang nilai 2,51-3,25. Nilai kepuasan tertinggi berada pada unsur keamanan pelayanan (3,5) sangat baik dan nilai kepuasan terendah berada pada unsur kecepatan pelayanan (2,7) dan kepastian biaya pelayanan (2,7), nilai ini masih dalam skor penilaian baik bagi reponden. Dari hasil analisis simplikasi, penerbitan "surat persetujuan kegiatan pekerjaan salvage dan surat persetujuan kegiatan pekerjaan bawah air" masih dapat disederhanakan, meliputi; waktu pengurusan, penerapan pelayanan satu atap, dan penerapan TIK. Kata kunci: Salvage, regulasi, indek kepuasan masayrakat (IKM)
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN RUTE PENERBANGAN NON KOMERSIAL (PERINTIS) MENJADI RUTE PENERBANGAN KOMERSIAL Halaman 273-282
Dina Yuliana*) Peneliti Badan Litbang Perhubungan Jalan Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat
[email protected]
ABSTRACT The Research aims to identify the factors that affects the pioneering flight routes change to route commercial. This research use sample purpose to get the sample to observed. Factor analysis is used to obtain new factors as the criteria to change non-commercial route (pioneer) to commercial route. The results of this study obtained four factors from the highest to the lowest of importance level that is potential routes (22.04 %), air transport companies that operated (21.43%), air fare and airtransportation networks (19.43%), then air transport demand (15%). Keywords: pioneer route changes, commercial route, factor analysis ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memperngaruhi perubahan rute penerbangan perintis menjadi rute komersial. Pengambilan sampel menggunakan teknik purpose sample. Analisis Faktor digunakan untuk memperoleh faktor baru sebagai kriteria perubahan rute non komersial (perintis) menjadi rute komersial. Hasil penelitian diperoleh empat faktor dari yang tertinggi sampai yang terendah tingkat pentingnya yaitu potensi rute penerbangan (22,04 %), perusahaan angkutan udara yang beroperasi (21,43 %), tarif penerbangan dan jaringan angkutan udara (19,43%), dan demand angkutan udara (15%) . Kata kunci: perubahan rute perintis, rute komersial, analisis faktor
EVALUASI KRITERIA PENETAPAN LOKASI TERMINAL TIPE A (STUDI KASUS: TERMINAL LEUWILIANG, BANDUNG DAN TERMINAL GIWANGAN, YOGYAKARTA) Halaman 283-302
Noviyanti *) Peneliti Badan Litbang Perhubungan Jalan Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat 10110
ABSTRACT In Indonesia there are some tenninal type A that perceived lack benefits for users because the location is less representative. With quantitative analysis by AHP method the survey held on Bus Terminal at Giwangan and Leuwipanjang. The criteria to decide the location of tenninal type A are passanger demand (0.39), density of traffic and road capacity (0.17), environmental sustainability (0.13), integration between modes (0.10), RUTR (0.09), topography (0.07), and security and safety (0.06). The criteria below passanger demand are number of routes, transportation nodes, travel deployment, travel destination and origin. The density of traffic and road capacity has 4 sub-criteria: low-side constraints, the degree of saturation> 0.7, on arterial roads min IIIA, and have access at least 100 m Sub criteria of environment sustainability: AMDAL documents, lower emissions, noise level <74 dB. Sub criteria of integration between modes are intennodal transfer facilities, 5 routes of public transportation, and b us shelter around bus tenninal. Sub criteria for RUTR are located in capital of province, on the AKAP route network, located on the edge city, and the distance between tenninal is 20 km. Sub criteria of topography are: easy access AKAP traffic and has at least 5 ha land area in Java. Sub criteria for safety and security are low fatality, safe from safety interruption, easy access for safety official. Keywords: Terminal, Detennination of location, AHP ABSTRAK
Di Indonesia terdapat beberapa terminal A yang kurang dirasakan manfaatnya bagi pengguna kendaraan angkutan umum yang salah satu penyebabnya dikarenakan lokasinya yang kurang representatif. Dengan mengevaluasi kriteria penetapan lokasi terminal type A dengan analisis kuantitatif menggunakan metode AHP, dari lokasi terminal Leuwipanjang dan Giwangan sebagai lokasi survey, tersusunlah konsep kriteria penempatan lokasi terminal tipe A dengan urutan prioritas demand terminal (0,39), kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan (0,17), kelestarian lingkungan (0,13), keterpaduan antar moda (0,10), RU1R (0,09), Kondisi topografi (0,07), dan keamanan dan keselamatan (0,06). Dari tiap kriteria utama terdapat subkriteria yaitu untuk demand terminal adalah jumlah trayek, simpul transportasi, penyebaran perjalanan, dan asal tujuan perjalanan. Kriteria kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan memiliki 4 sub kriteria yaitu hambatan samping yang rendah, derajat jenuh
>0,7, terdapat pada jalan arteri min IIIA, dan rnemiliki akses rnasuk minimal 100 rn. Untuk kriteria kelestarian lingkungan rnemiliki urutan sub kriteria yaitu dokurnen AMDAL, nilai emisi yang rendah, kebisingan <74 dB. Urutan sub kriteria untuk keterpaduan antar rnoda yaitu adanya fasilitas transfer, 5 rute jalur angkot, dan terdapat halte angkot di terrninal.Kriteria RUIR rnemiliki urutan sub kriteria yaitu terletak di ibukota propinsi, terletak pada jaringan trayek AKAP, terletak di pinggir kota, dan jarak antar terminal 20 krn.Kriteria kondisi topografi rnerniliki 2 sub kriteria yaitu akses yang rnudah untuk lalu lintas AKAP dan rnemiliki luas lahan minimal 5 Ha di Pulau Jawa. Untuk sub kriteria kearnanan dan keselarnatan yaitu fatalitas rendah, arnan dari gangguan keselarnatan, akses petugas rnudah.
Kata kunci : Terminal, Penetapan lokasi, AHP
COMPARATIVE ANALYSIS OF TRANSPORTATION INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT THROUGH PPP SCHEME IN INDONESIA AND JAPAN Halarnan 303-326
Siti Maimunah*) Peneliti Badan Litbang Perhubungan Jalan Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat ABSTRACT
During the last decade, infrastructure development has become the main focus for several developing countries seeking to achieve a high economic growth rate. However, developing sufficient infrastructure to meet the demand side is quite challenging, especially given the financing required. To fulfill this condition, methodology for financing schemes for infrastructure projects with Public Private Partnerships (PPP) has recently been significantly increased in both developed and developing countries. To attract private investments, the government has attempted to improve the legal and regulatory framework at transportation sector. However, revising the infrastructure laws is not enough to attract private sector investment. The government of Indonesia still needs more efforts to create an attractive investment climate. Although Indonesia has had a system for PPP methodology, only a few projects have been implemented. The objectives of this study are to learn about and understand Japan's PFI methodology, particularly type I, and find the benefits of its implementation in terms of the development of public infrastructures and it can be implemented in Indonesia. Through comparative analysis between PFI methodology in Japan and PPP methodology in Indonesia, it can be concluded that in general, since the project scope between Japan's PFI and Indonesia's PPP are fundamentally different, not all procedures in Japan's PFI methodology can be applied to improve Indonesia's PPP methodology. To apply some lessons learned from Japan's PFI, it is necessary to consider the nature and culture of the
country. Based on the current condition of PPP projects in Indonesia, the government needs to take specific actions, including: institutional framework, service payment scheme and risk allocation. Keywords: Japan's PFI, Indonesia's PPP, Comparative Analysis0.037 unit. ABSTRAK
Selama dekade terakhir, pembangunan infrastruktur telah menjadi fokus utama bagi beberapa negara berkembang untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, mengembangkan infrastruktur untuk memenuhi permintaan cukup menantang, terutama mengingat pembiayaan yang diperlukan. Untuk memenuhi kondisi ini, maka dikembangkan metodologi pembiayaan yang dikenal dengan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), yang akhir-akhir ini telah meningkat secara signifikan di banyak negara maju dan berkembang. Untuk menarik investor, pemerintah telah berusaha untuk memperbaiki kerangka hukum dan peraturan disektor transportasi. Namun, merevisi undang-undang infrastruktur tidak cukup untuk menarik investor. Pemerintah Indonesia masih membutuhkan lebih banyak upaya untuk menciptakan iklim investasi yang menarik. Meskipun Indonesia telah memiliki sistem untuk metodologi KPS, hanya beberapa proyek telah dilaksanakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan memahami metodologi PFI di Jepang, terutama tipe I, dan menemukan manfaat dari pelaksanaannya dalam hal pembangunan infrastruktur umum dan dapat diterapkan di Indonesia. Melalui analisis komparatif antara metodologi PFI di Jepang dan PPP metodologi di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa secara umum, karena ruang lingkup proyek antara PFI di Jepang dan di KPS di Indonesia pada dasarnya berbeda, tidak semua prosedur dalam metodologi PFI di Jepang dapat diterapkan untuk meningkatkan PPP di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis PFI di Jepang, maka perlu mempertimbangkan sfat dan budaya negara. Berdasarkan kondisi saat ini, maka pemerintah perlu mengambil tindakan tertentu untuk proyek KPS di Indonesia, termasuk: kerangka kelembagaan, skema layanan pembayaran dan alokasi risiko. Kata kunci: PFI di Jepang PFI, KPS di Indonesia, Analisis Perbandingan
KAJIAN STRATEGI PENINGKATAN KESELAMATAN
PELAYARAN KAPAL-KAPAL TRADISIONAL Johny Malisan *) Mahasiswa S3 Teknik Transportasi UNHAS, Jln. Perintis kemerdekaan KM 10 Makassar
[email protected]
M. Yamin Jinca *) KPS Magister Transportasi PPs-UNHAS Makassar
[email protected]
ABS1RACT Construction and shipbuilding of traditional ships are individual character, and should be preserved. Traditional ships are generally managed by middle economic groups of people, but very strategic in distributing public goods to the islands that are difficult for conventional vessels. Problem that emerged in traditional ships is high level of accidents and caused predominantly by their human resources. Therefore, in this research attempted strategies to overcome the problem through SWOT analysis in order to improve safety performance of traditonal ships. Result of analysis showed the need some strategies among others capacity building of human resource in shipbuilding, to encourage the improvement of shipbuilding standards, to encourage the improvement of ship classification standards, and to encourage their ability in mastery of loading and unloading systems. Keywords : safety of ships, traditional ships. ABSlRAK Konstruksi dan bangunan kapal tradisional memiliki karakter tersendiri yang mestinya tetap dipertahankan. Kapal-kapal tradisional umumnya dikelola secara tradisional oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah namun strategis dalam mendistribusikan kebutuhan pokok masyarakat di daerah yang sulit dijangkau okleh pelayaran konvensional. Akan tetapi permasalahan yang muncul adalah masih tingginya tingkat kecelakaan dan penyebabnya didominasi oleh sumber daya manusia. Oleh karena itu dalam penelitian ini diupayakan solusi strategi untuk mengatasi hal tersebut melalui analisis SWOT dalam rangka meningkatkan kinerja keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal tradisional. Hasil analisis menunjukkan perlunya melakukan langkah strategi antara lain peningkatan kemampuan SDM untuk membangun kapal, mendorong peningkatan standar pembangunan kapal, mendorong peningkatkan standar klasifikasi kapal, dan mendorong kemampuan penguasaan Kata kunci : Keselamatan pelayaran, Kapal tradisional
218
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
PENDAHULUAN Konsep negara kepulauan (nusantara) memberikan kita anugerah yang luar biasa. Letak geografis yang strategis, dan wilayah laut yang luas dengan ± 17.000 pulau, memberikan akses pada sumber daya laut, sumber energi, wisata bahari, dan juga media transportasi antar pulau yang sangat ekonomis. Oleh karena itu, kepentingan Indonesia perlu tetap dipertahankan dengan memperhatikan aspek kesatuan wilayah, kesejahteraan, keamanan dan aturan main (rule of law) di wilayah laut nasional [Mulya Wirana, 2009] . Predikat negara maritim terbesar semestinya dapat menggugah seluruh komponen bangsa dalam rangka menumbuhkan komitmen untuk memanfaatkan perairan yang dapat memberikan mata pencaharian bagi warga masyarakat oleh karena sumber daya yang dikandung di dalamnya cukup besar. Hal ini juga telah mendapat dukungan melalui Deklarasi Bunaken yang dicanangkan Presiden BJ Habibi pada tahun 1998 sebagai upaya untuk memanfaatkan kembali laut, setelah sebelumnya pembangunan lebih berorientasi darat [Dina Sunyowati, 2012]. Transportasi laut merupakan unsur vital dalam kehidupan bangsa dan dalam memupuk kesatuan dan persatuan bangsa. Sebagai negara maritim, transportasi laut berperan besar dalam fungsinya melayani mobilitas orang, barang, dan jasa baik lokal, regional, nasional maupun internasional, serta peranannya sebagai pendukung pembangunan sektor lainnya. Disamping itu~ peran transportasi tentunya sebaga1 sarana utama dalam mewujudkan konektifitas antar pulau di Indonesia.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana meningkatkan penyediaan jaringan prasarana dan sarana transportasi yang dapat menjamin kelancaraan arus barang dan jasa serta penyebaran aliran investasi secara merata di seluruh daerah [Ahmad Munawar, 2007]. Karena itu pembinaan dan pengembangan transportasi laut terus digalakkan sampai mencapai tingkat pelayanan yang optimal bagi masyarakat pengguna jasa. Melalui transportasi laut, telah terbentuk jaringan pelayaran yang luas, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri. Jaringan pelayanan yang luas ini dapat terselenggara dengan baik apabila didukung oleh sistem keselamatan dan keamanan yang kondusif dan sumber daya manusia yang mengendalikan keberhasilan pelayanan ini. Dengan demikian maka pemenuhan kualifikasi sumber daya manusia transportasi laut khususnya tentu harus memenuhi standar kualifikasi yang telah ditentukan [Iswanto, 2009]. Banyaknya jumlah angkutan laut akan sangat erat kaitannya dengan pola perdagangan baik nasional maupun internasional. Peran sumberdaya manusia sebagai pelaku transportasi laut dengan berbagai tingkat keahlian dan ketrampilannya perlu disesuaikan dengan standar rule of law yang telah ditetapkan berdasarkan daerah pelayaran, ukuran dan jenis kapal, serta daya penggerak kapal. Hal yang sama juga berlaku bagi kapal-kapal tradisional karena penyelenggaraan transportasi laut oleh setiap jenis kapal pada prinsipnya berupaya menciptakan iklim yang kondusif bagi kelancaran roda perekonomian nasional dan meningkatkan aksesibilitas masyarakat. Kapal-kapal tradisional merupakan jenis usaha yang banyak dilakukan oleh pengusaha
219
pribumi, bersifat tradisional dan memiliki peran penting dan karakteristik tersendiri Uinca M.Y.,2002]. Demikian pentingnya kapal-kapal ini dalam menggerakkan perekonomian, maka harus dioperasikan dengan selamat, aman, lancar, teratur, nyaman dan efisien. Namun hingga saat ini sulit untuk berkembang seperti pelayaran lainnya karena banyak yang mempertanyakan aspek-aspek tersebut di atas terutama keselamatan pelayaran. Hal ini menimbulkan kesan bahwa operasi kapal-kapal tradisional atau pelayaran rakyat kurang mendapat perhatian sebagai salah satu komponen pelayaran nasional. Padahal kapal-kapal ini berperan penting dalam distribusi barang sampai ke pelosok tanah air bahkan lintas negara. Karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana upaya yang perlu dilakukan dalam meningkatkan aspek keselama tannya. Berdasarkan PP 20/ 2010 tentang Angkutan Perairan, kapal angkutan laut pelayaran rakyat terdiri atas: (i) Kapal Layar (KL) tradisional yang digerakkan sepenuhnya oleh tenaga angin; (ii) Kapal Layar Motor (KLM) berukuran tertentu dengan tenaga mesin dan luas layar sesuai ketentuan; (iii) Kapal Motor (KM) dengan ukuran tertentu. Penelitian ini tidak termasuk KM dengan ukuran tertentu karena merupakan kapal yang tidak dibuat secara tradisional. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kinerja keselamatan transportasi laut yang ada pada pelayaran rakyat sehingga diharapkan dapat ditemukan solusi terhadap perbaikan kinerja melalui rumusan strategi penerapan sistem keselamatan pelayaran dalam mendukung perwujudan kebijakan roadmap to zero accident.
220
TINJAUAN PUSTAKA 1. Perkembangan Kapal-kapal Tradisional
Kemampuan kapal-kapal tradisional tidak hanya terbatas pada perairan dalam negeri saja melainkan juga sudah terbukti sampai ke manca negara sejak awal mula pembentukannya. Horst Liebner (2004) mengemukakan bahwa jenis asli kapal Indonesia adalah memakai layar seperti tampak pada relief dinding candi Borobudur sejak abad ke-9 dan bahkan telah digunakan sejak petama kali berhubungan dengan Cina, Arab dan Ero pa. Dari bentuknya, kapal/ perahu yang digunakan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain Pinisi, Lambo, Lete dan Nade. Keempat jenis kapal ini dikenal sebagai armada semut yang difungsikan sebagai bagian dari sistem pelayaran nasional. Pelayaran rakyat mengandung nilai-nilai budaya bangsa yang tidak hanya terdapat pada cara pengelolaan usaha serta pengelolanya misalnya mengenai hubungan kerja antara pemilik kapal dengan awak kapal, tetapi juga pada jenis dan bentuk kapal yang digunakan. Akan tetapi, peran pelayaran rakyat semakin surut dan memprihatinkan seiring dengan perkembangan teknologi kapal yang mengarah kepada kapal yang lebih cepat, lebih besar dan pada umumnya lebih ekonomis. Pelayaran rakyat tampaknya hanya sesuai untuk angkutan dengan demand yang kecil, menghubungkan pulau-pulau yang jumlah penduduknya masih rendah, ataupun pada angkutan pedalaman guna memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah kepulauan khususnya yang sulit terjangkau oleh pelayaran komersial
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
lainnya seperti pada daerah aliran sungai. Akan tetapi hal yang mulai tampak membanggakan dan menarik untuk disimak adalah jika pada abad XIX dan awal abad XX hanya terpaku pada jenis perahu pengangkut barang, maka kini memasuki dekade abad XXI terjadi perubahan pola pikir dari para pembuat perahu Pinisi mulai berevolusi kearah perahu sebagai angkutan wisata (perahu pesiar). Rancangan dan bahan bakunya belum berubah, serta bagian interior kapal masih kental dengan sentuhan alami [Arman M, 2010]. Pelayaran rakyat masih menjadi sarana angkutan yang relatif disenangi terutama untuk mendistribusikan barang ke wilayah kepulauan yang sulit dimasuki oleh jenis pelayaran lainnya. Dengan jumlah pulau yang mencapai ± 17.000 pulau tentu saja tidak semua pulau dapat disinggahi oleh kapal-kapal besar, dan karena itu pelayaran rakyat masih diperlukan. Namun sampai saat ini pelayaran rakyat sulit untuk berkembang maju seperti pelayaran konvesional. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada kegiatan layanan di pelabuhan pelra, seperti pola sandar kapal di dermaga yang tidak teratur menimbulkan kesulitan dalam pengaturan keluar masuknya kapal dari dermaga sehingga bisa menyebabkan waktu di pelabuhan yang tidak tinggi, waktu tunggu kapal di pelabuhan pelayaran rakyat baik menunggu muatan dan sebagainya juga sangat tinggi, fasilitas dan sistem pelayanan kapal di pelabuhan yang jarang diperbaharui. Oleh karena itu untuk memacu perkembangan angkutan laut pelayaran rakyat, sebagaimana tecantum dalam PP 20 / 2010 tentang angkutan perairan, Pemerintah mencanangkan untuk mengembangkan pelayaran ini melalui:
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
a . peningkatan keterampilan sumber daya manusia bagi pengusaha dan awak kapal di bidang nautis, teknis, radio, serta pengetahuan kepelautan melalui pendidikan/ pelatihan kepelautan yang diselenggarakan termasuk di pelabuhan sentra pelayaran rakyat; b. peningkatan keterampilan manajemen bagi perusahaan berupa pendidikan di bidang ketatalaksanaan pelayaran niaga tingkat dasar di pelabuhan sentra pelayaran rakyat; c. penetapan standarisasi bentuk, ukuran, konstruksi, dan tipe kapal disesuaikan dengan daerah dan/ atau rute pelayaran yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi ekonomi maupun dari segi kelaiklautan kapalnya; dan d. kemudahan dalam hal pendirian usaha, operasional, dan penyiapan fasilitas pelabuhan serta keringanan tarif jasa kepelabuhanan.
2. Peningkatan Peran Pelayaran Rakyat Kapal-kapal tradisional sebagai bagian dari armada angkutan laut pelayaran-rakyat dapat dioperasikan pada jaringan trayek angkutan dalam negeri dan trayek lintas batas, baik dengan trayek tetap dan teratur maupun trayek tidak tetap dan tidak teratur. Dengan demikian maka kapal-kapal ini telah terbukti mampu berlayar pada bagian wilayah manapun, sehingga memicu beragam penelitian tentang hal ini, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun lembaga penelitian lainnya antara lain: a . Lembaga Penelitian UI dan Badan Litbang Perhubungan tentang "Studi Peningkatan Peran Pelayaran Rakyat Dalam Memperoleh Pangsa Muatan" menyimpulkan:
221
Pembangunan kapal harus mengunakan teknologi yang sesuai dengan standar teknis tertentu dan dilakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan motor. Diiku tsertakan dalam angku tan laut perintis. Melakukan diversifikasi usaha dan meningkatan daya saing untuk meraih pangsa muatan. Memberikan proteksi terhadap eksistensi pelayaran rakyat. Dalam jangka pendek, untuk mempertahankan eksistensinya maka pelaku usaha pelayaran rakyat perlu dikembalikan pada habitatnya yakni sebagai pedagang bukan sebagai pelayan jasa transportasi laut. Dalam jangka menengah, melakukan redefinisi pelayaran rakyat, mengubah arsitektur kapal, mengubah perilaku. Dalam jangka panjang, melakukan diversifikasi usaha melalui usaha wisata bahari. b . Puslitbang Perhubungan laut tentang "Kajian Pemanfaatan Kapal Layar Motor (KLM) Untuk Angkutan Perintis" menyimpulkan: Armada pelayaran rakyat dapat dimanfaatkan dalam melayani angkutan perintis sepanjang memenuhi kriteria keselamatan dan keamanan yang dipersyaratkan. Untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan kapal pelayaran rakyat pada jalur pelayaran perintis, maka hal yang sangat perling mendapat pertimbangan adalah daerah pelayaran dan teknologi kapal yang masih tradisional.
222
Kapal layar motor sekalipun dibangun secara tradisional namun telah mengalami modifikasi dengan dimotorisasi dan mampu mencapai seluruh perairan Indonesia. c. Johny Malisan tentang "Kajian Kemungkinan Pemanfaatan Pelayaran Rakyat Sebagai Angkutan Komersial Di Daerah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)" yang diterbitkan dalam Warta Penelitian Perhubungan, menyimpulkan: Tipologi kapal dengan bobot mati berdasarkan keinginan pasar mampu mencapai perairan pedalaman, dan perlu menerapkan desain kapal dengan alternatif teknologi yang tidak hanya mengandalkan layar. Pengoperasian kapal yang mampu meraih pangsa muatan yang lebih besar lagi melalui upaya perbaikan standar pembangunan dan sesuai desain yang diinginkan. Modemisasi teknologi kapal pelra dan optimasi rancangan sesuai dengan permintaan transportasi dan kondisi pelabuhan singgah. Perbaikan performansi kapal melalui pembangunan sesuai dengan permintaan pasar dengan upaya penciptaan standar baku. METODOLOGI PENELITIAN
Analisis yang digunakan adalah analisis SWOT yang menghasikan suatu strategi. Secara garis besar, teori SWOT terbagi kedalam 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal [Rangkuti, 2002; Sianipar, 2001; Balamuralikrishna and John C. Dugger 1995]. Faktor internal merupakan kondisi yang telah dimiliki oleh sistem yang dapat
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
dikondisikan, diatasi dengan tindakan yaitu "Strength" dan 'Weakness". Sedangkan faktor ekstemal merupakan kondisi yang berasal dari luar sistem, yang hanya dapat diatasi dengan tindakan antisipasi yaitu "Opportunity" dan "Threat". Setelah itu, dilakukan analisis untuk selanjutnya dirumuskan strategi dengan menyandingkan faktor internal dan eksternal. Penetapan strategi didasarkan pada logika yang memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (oppoturnitties), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakeness) dan ancaman (threats) [Rangkuti, 1998]. Perumusan alternatif strategi peningkatan keselamatan pelayaran kapal-kapal tradisional dilakukan melalui tiga tahapan yaitu (i) identifikasi faktor internal dan ekstemal (identification of internal and external factor); (ii) tahap penggabungan (matching stage); serta (iii) tahap pengambilan keputusan (decision making) . Metode analisis yang digunakan adalah Strength Weakn ess Opportunity Threat (SWOT) analysis dan Quantitative Strategic Planning (QSP) analysis dalam bentuk matriks.
jiwa dan hilang sebanyak 74 orang. Kemudian, pada tahun 2007 data kecelakaan menunjukkan bahwa telah terjadi kecelakaan kapal sebanyak 159 kali dengan korban jiwa dan hilang sebanyak 688 otang. Data tersebut menunjukkan frekuensi jumlah kecelakaan kapal telah meningkat sebanyak 75 % dan korban jiwa sebesar 829,73 %. Disamping itu, angka kecelakaan kapal pelayaran rakyat juga menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah. Jika pada tahun 2001 frekuensi jumlah kecelakaan kapal sebanyak 51 kali diantaranya 6 kapal Pelra maka pada tahun 2008 jumlah kecelakaan meningkat sebanyak 138 kali dan diantaranya sebanyak 29 kapal pelayaran rakyat dengan rata-rata peningkatan kecelakaan 49,14 % per tahun dalam kurun waktu tahun 2001-2008 (kapal non pelra sebesar 17,12 % per tahun) seperti tampak pada Gambar 1. 180 • Kecdakaan Kapal Pelra ~
z~
160
~
120
~
100
~
80
'l i
;i
• Total Kecelaken Kapel
140
60
"'
"' 10 0
"
"
51
40
HASIL DAN PEMBAHASAN 2001
1. Kecelakaan kapal
Unsur keselamatan pelayaran merupakan salah satu mata rantai, yang memberi pengaruh sangat besar pada ekonomi dari keseluruhan rantai usaha transportasi laut Ginca, 2007). Akan tetapi seringkali aspek keselamatan kurang mendapat perhatian sehingga dalam penyelenggaraan transportasi laut diketahui bahwa aspek ini tidak memadai. Data kecelakaan kapal tahun 2003 menunjukkan telah terjadi kecelakaan kapal sebanyak 91 kali dengan korban
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
T.AHU N L
Sumber : Ditjen Perhubungan Laut (diolah)
Gambar 1 Potret Kecelakaan Kapal di Perairan Indonesia
Disamping itu, lokasi kecelakaan terjadi di hampir seluruh wiayah perairan Indonesia . Secara keseluruhan penyebaran kecelakan kapal pelayaran rakyat berdasarkan data pada Gambar 2 di bawah ini adalah Laut Jawa sebagai wilayah yang terbanyak terjadinya kecelakaan kapal (27,64 %), Perairan Bali dan Nusa Tengara (13,82%), dan Perairan Sulawesi (15,47%).
223
Meskipun demikian, prosentase kecelakaan di Kawasan Timur Indonesia sangat mendominasi angka kecelakaan kapal (± 69 %). Seperti tampak pada gambar 1 dan 2. Hal ini disebabkan oleh karena kondisi wilayah perairan yang cukup berat dibandingkan dengan wilayah barat. Data statistik seperti tersebut di atas yang menunjukkan bahwa prosentase peningkatan kecelakaan kapal pelayaran rakyat lebih besar dari kapal-kapal non pelayaran rakyat, memberi indikasi bahwa kecelakaan kapal yang terns meningkat merupakan bukti kurangnya perhatian atau kekurangped ulian semua pihak terkait dalam penyelenggaran transportasi. Oleh karena itu analisis terhadap kecenderungan peningkatan kecelakaan kapal dilakukan dalam rangka untuk mengetahui penyebabny a dan mencari solusi terhadap permasalahan yang ditimbulkan dalam kejadian yang menyebabkan kinerja transportasi laut tidak optimal.
11"
Lau!Jawa · - - - - - - - 2764
Pera1ranKepulauanMaluku · - - - - · 18Ell
~c Sela!MakassardanSelatanSulawesr
. J "'
~
· - - - · 1547
Se\atSundadan Se!atKanma!a · - - - 14 63
BahdanNusaTenggara · - - - 1382 La1n-la1n
9 75
ooo
5 00
moo
~oo
~oo
~oo
menggambarkan adanya dominasi kasus kecelakaan kapal akibat kesalahan manusia (human error). Fenomena ini menunjukkan betapa peran dan kualitas SDM sangat besar. Faktor-faktor dari penyebab kecelakaan kapal karena sumber daya manusia antara lain kurangnya ketrampilan dan kedisiplinan dalam mematuhi sistem kerja; kurangn ya pemahaman awak kapal terhadap pentingnya pelatihan penanganan dan penanggulangan kecelakaan di laut; kurangnya disiplin awak kapal dalam mematuhi peraturan keselamatan kerja pada akhirnya dapat menimbulkan kecelakaan. Oleh karena itu, ketentuan tentang keselamatan harus tetap dilaksanakan untuk mencegah terjadiny a kecelakaan (zero accident). Keselamatan transportasi guna terwujudnya zero accident, yang terdiri dari kegiatan pemenuhan fasilitas keselamatan dengan rasio kecukupan dan keandalan yang memadai; kegiatan capacity building dalam rangka menyediakan sumber daya manusia untuk memberikan pelayanan di bidang keselamatan dengan jumlah dan kompetensi yang memadai; dan sosialisasi peraturanpera turan yang terkait dengan keselamatan transportasi secara terns menerus perlu mendapat perhatian khusus agar tidak terulang lagi kejadian yang sama.
~oo 7-'6
Persentasi Kejadian Kecelakea n (%)
Sumber: Ditjen Hubla (diolah)
Gambar 2. Prosentase dan Lokasi Kejadian kecelakaan kapal Pelra Banyak hal yang mengakibatkan seolah kejadian kecelakaan kapal di perairan Indonesia tidak pemah surnt, dan untuk memudahkan pemahaman maka secara umum penyebab kecelakaan dibagi kedalam 3 kelompok yaitu manusia, teknis dan alam (gambar 4) . Data tersebut
224
g ~_,, "';:!z
"'"' "'
101-150
- - -,.,,"" 1 ,.,..
37-100
<7
m~ 15 1-20J >DJ
t:::
I
tQfj]
975
I
4 87
- 243 IO
15
20
25
PE RSENTA SI KEJ A DIAN KECELAKAAN (O o)
~1
Sumber: Ditjen Hula (diolah)
Gambar 3. Prosentase dan Ukuran kapal yang mengalami kecelakaan
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Telms, 24 43\o - - . _
Sumber: Ditjen Hubla (diolah)
Gambar 4. Prosentase dan Ukuran kapal yang mengalami kecelakaan
Aktivitas perkembangan transportasi laut sebagai urat nadi perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia semakin meningkat namun di sisi lain juga berdampak pada meningkatnya insiden dan kecelakaan yang terjadi. Tingginya kecelakaan laut di Indonesia saat ini hendaknya menjadi perhatian seluruh pihak, baik pemilik dan operator kapal maupun pemerintah, instansi terkait dan masyarakat agar lebih aktif dalam memberikan informasi. Layanan transportasi dengan jaminan keselamatan akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi pemakai jasa transportasi laut atau pemilik barang karena aktivitas sosial ekonomi masyarakat dapat terlindungi. Adanya jaminan keselamatan transportasi laut dan hak masyarakat yang terlindungi maka diharapkan tidak akan muncul biaya-biaya yang tidak diperlukan yang kontra produktif. Oleh karena itu, perlu perencanaan yang berlandaskan pada kemampuan mengadopsi teknologi yang sesuai dengan kondisi perairan dimana sarana transportasi tersebut akan dioperasikan. Dalam menempuh suatu perjalanan selain harus memenuhi kelayakan kapal, sebuah
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
kapal harus mempunyai perangkat atau perlengkapan, antara lain pengemudi kapal atau dikenal sebagai nakhoda, perwira kapal, dan juga beberapa anak buah kapal (kelasi), dimana ketiga pihak tersebut dituntut untuk saling mendukung dan bekerja sama agar proses pelayaran dapat berjalan dengan baik. Pentingnya faktor perhubungan dan pengangkutan pada saat ini, sehingga dituangkan dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran y ang menyebutkan bahwa pelayaran diselenggarakan dengan tujuan antara lain memperlancar arus perpindahan orang dan/ a tau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional; membina jiwa kebaharian; menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional. 2. Hasil Analisis SWOT Analisis SWOT pada dasamya dilakukan pada dua lokasi utama survei yakni Makassar dan Jakarta. Hal ini dilakukan terutama karena mempertimbangkan fenomena rute pelayaran yang tampaknya setiap kapal tidak melayari seluruh wilayah, melainkan terjadi fenomena penyebaran rute kapal yang terbagi pada wilayah barat dan timur. Oleh karena itu diadakan pembagian analisis SWOT untuk wilayah Jakarta yang mewakili penyebaran rute kapal pada wilayah barat, dan untuk wilayah timur difokuskan pada wilayah Makassar. Untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan s trategi model pengelolaan irigasi memperhatikan kearifan lokal, perlu analisis yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength)
225
dan peluang (opportunities), serta dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan
ancaman (threat), maka hasil analisis SWOT seperti pada tabel barikut ini.
. l as1. Ha SI·1 A nar!SIS . SWOT Tab el l R e ka p1tu No I
2 ~
3
4 5 6
7 -
8 9 10 -
- 11 12 13 14 15 f--
16 17 18 19 -
VARIABEL SWOT INTERNAL Pelayaran rakyat ticlak memerlukan fasi litas do king untuk 1oerawatan karena claoat dilakukan di pantai Pelayaran rakyat clapat diklasifikasikan sebagai industri yang ticlak terpengaruh pada gtjolak finaisial. Ukuran kapal pelra dan sarat pada umumnya kecil, clan mampu melayani claerah terpenci I dan tidak bergantung pacla infrastruktur pelabuhan. Pelra rrerupakan usaha swasembacla clan ticlak terikat dengan aturan vang ketat, dan oola traveknva tramper. Pacla dasamya stabilitas kapal pelra cukup baik j ika ticlak mengalami kelebihan beban, clan bocor. Masih renclahnya tingkat keselamatan dan kelaiklautan kapal pelra sehingga mengurangi kepercayaan asuransi dan pemilik barang. Jumlah Skor Ke kuatan - S(A) Rendahnya tingkat kemampuan manajemen dan keterampilan ABK. Rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan operasional baikdi darat mauoun di laut Umurmya kapal pelra ticlak memiliki stanclar klasifi kasi . Kapa! tidak dilengkapi dengan fasilitas bongkar muat, clan sistem komunikasi clan navigasi yang mernadai. Kapa! sang at bergantung pacla kondisi cuaca. Jumlah Skor Kelemahan - W(B) EKSTERNAL Proses rekruitmen SDM relatifsederhaia, tidak rremerlukan qualifaed seafarer. Kapa! pelra diberi keistimewaan dalam aktivitas pelayaran seperti prosedur bongkar muat proses clearence tarif rendah. Masih banyaknya pelabuhan yang belum berkernbang di claerah terpenci I sehingga menjadi potensi pasar pelra. Pelautpelra wnurmya telah mengikuti program pendidikan peningkatan ski! I penanganan operasi kapal. Jumlah Skor Peluang- O(C) Galangan kapal pelra umumnya tid!K memiliki staida- formal loembuatan kaoal. Pengalaman industri pembuatan kapal yang hanya pada kapal kayu. Pemil ik barang menghendaki pelayanan yang aman, bi a ya rendah dan skedul vang reguler, cukup sulit bagi kapal pelra Pengembangan in frastruktur pelabuhan di d:oerah terpenci I mengunclang kompetitor Pe Ira untuk masuk. Jumlah Skor Ancaman-T(D)
Berdasarkan hasil analisis matriks internal dan eksternal diatas ternyata peta kekuatan yang dihasilkan dari matriks tersebut berada pada kuadran IV dengan posisi -2,34 dan -4,53
226
Bobot Mks Jkt 0,Q35 0,069
Rata2 0,052
Rating Jkt Mks 4 3
Rata2
Skor
3
0,18
0,047
0 , 119
0,083
3
3
3
0,25
0,053
0,069
0, 052
4
4
3
0 ,18
O,o78
0 ,356
0,217
4
4
4
0,86
0,139
0,637
0, 388
4
5
4
1,67
0,132
0 ,696
0, 414
3
5
4
1,49
0,117
0,477
0,297
4
4
4
3,14 1, 17
0,098
0 ,213
0, 156
4
4
4
0 ,58
0,070 0,o75
0 , 126 0 ,272
0,098 0, 17 3
2 3
2 3
2 3
0 ,18 0,49
0,155
0,699
0,427
3
5
4
1,57 5 48
0,046
0 ,004
0,025
4
4
4
0 , 10
0,099
0 , 129
0, 114
4
5
4
0 ,50
0,105
0 , 129
0, 117
4
5
4
0 ,51
0,105
0,093
0,099
4
5
4
0,41
0,084
0 ,305
0, 194
4
3
3
1,52 0 ,64
0,157
0,469
0,313
4
3
4
1,09
0,214
0 ,880
0,547
3
4
4
2, 11
0,190
0 ,887
0,539
4
5
4
2,21
~
6,05
sehingga diperlukan langkah penerapan strategi yang bersifat defensif, diamana permasalahan tentang kelemahan dan ancaman yang mendominasi aktivitas pelayaran rakyat.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Tabel 2. Pemetaan Faktor Internal dan Eksternal STRENGTH (S) INTERNAL - Pelayaran rakyat tidak memerlukru1 fasilitas do king untuk pera watan karena dapat dilakukan di pantai - Pelayaran rakyat dapat diklasifikasikan rebaga i indu&ri yang tidak le 11Jengan1h pada gejolak finansial. - Ukuran kapal pelra dan sarat pada umumn ya kecil , dan mampu melayani daerah terpencil dan tidak bergantung pada infrastruktur pelabuhan. - Pelra merupakan usaha swasembada dan tidak terikat dengpn aturan yang keta~ dan pola trayeknya tramper. - Pada dasamya stab ilit as kapal pelra cukup baikjika tidak menga lami kelebihan beban , dan bocor. EKSTERNAL OPPORTUNITY 10) - Proses rekruitmen SOM relatif sederhana, tidak memerlukan qua Ii fired seafa rer. - Ka pal pelra diberi ke i&imewaan da lam akti vitas pclayaran seperti proredur bongkar mua~ proses clearence , tarif rendah. - Masih banyaknya pelabuhan yang be lum berkembang di daerah lerpencil se hingga menjadi porensi oasar oelra. - Pelaut pelra umumnya telah mengikuti program pendidikan pe ningkatan skill pe nangru1an operasi kapal. THREAT(T) - Ga langan kapa l pelra umumnya tidak memiliki standar fo rma l pembuatan kapal. - Pengalaman industri pembuatan kapal yang hanya pada kapal kayu.
- Pemi lik barang menghendaki pe layana n yru1g aman, bia)'I rendah dan skedul ya ng reguler, cukup sulit bagi kaoal oelra. - Pengembangiin infrastruklur pelabuhan di daerah lelpencil mengundang kompetitor Pelra untuk masuk.
STRATEGI S-0 - Meningkatkan kualitas SOM
-
-
-
WEAKNESS (W)
- Masih renda hn ya tingkat keselamatan dan -
kelaiklautan kapal pelra 9'!hi nggp mefllurangi ketiercavaan asuransi dan pemilik barang. Rendahnya tingkat kemampuan manajemen dan keterampi lan ABK.
- Renda hnya tingkat pendidikan dan kemampuan operasional baik di darat maupun di la ul
- U mumnya kapal pelra tidak memiliki sta ndar klasifikas i. - Ka pal tidak dilengkapi dengan fasilitas bongkar muat, dan si&em komunikasi dan navigasi ya ng memadai. - Kaoal sanl!at bernantunl! oada kondisi cuaca. ST RATEGI W-0 - Meningkatkan pendidikan dan kemampuan operasional SOM Peh·a saat dilakukan pcre krutan. - Mergefis ienkan sistem bongkar muat kapa~ untuk memuda hkan prosdurdan meningkatkan daya saing
Pelayaran rakyat agiir mampu mempertihitungkan stabilita s kapal Mengintensilkan program pendidikan dan pelatihan ketrampilan dan peraw.itan kapal meski pun dilakukan di teoi oantai . Meningkatkan produktivitas pelayanan - Mergupayakan penerapan standar reknis kapal , kapal ke daerah terpencil , dan kinerja mela lui program pendidikan dan peningkatan fas ilitas pelabuhan yang menjadi skill penanganan operas i kapal. ootensi oelavaran rakvat. Mengoptimalkan aktivitas kapal pelra - Melakukan perbaikan sisrem bongkar muat dan navigas i pelayaran tentama untuk melayani dengpn pola lrayek tramper. daerah ya ng menjadi potc nsi pasarnya.
STRATEGlS-T
- Meningkatkan standar pembuatan kapal pelayaran rakyal clan menirnoavakan dilakukan di gaJangan. - Mengupayakan pembuatan kapal yru1g bukan kayu agar dapal 1neningkatkan kine.rja kek10tan dru1 stabilita s kapal. - Meningkatkan klasifikasi kapal pelra yang dapat memberikanjaminan kerelamatan kepada pemilik barang.
- Meningkatkan pengembangan infratrukturpada wilayal1 potcnsi pasar pelayaran rakyal ntuk menin gkatkan oelava nannva.
ST RATEGI W-T - Meningkatkan standar klasifikasi kapal dan standar pembuatan ko1'6truksi dan material.
- Meningkatkan kemampuan SOM dan -
kemampuan pembangunan kapal )'I ng tidak hanya te rbatas pada kavu Peningkatan sta ndar pembanglDla n kapal agar dapal mengatas~ mengidenifikasi kondisi cuaca.
- Meningkatkan standar klasifikasi kapal agar dapal memberikanjaminan keselamalan kepada pemilik barang. - Meningkatkan kinerja bongkar muat kapal agar produktivitas pelayanan angk utan lokal semakin membaik se rta peningkatan kinerja sarana navigasi kapa l antara lain dengan sisrem GPS agar pelayanan ke seluruh wi layah dapat terjangkau dengan selamat dan aman.
3. Strategi Peningkatan Keselamatan Pelayaran Dari hasil pengamatan clan wawancara dengan para responden diperoleh bebe-
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
rapa faktor strategis yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal tradisional. Faktor strategis tersebut terdiri dari faktor
227
internal meliputi kekuatan dan kelemahan sedangkan faktor eksternal meliputi peluang dan ancaman. Selanjutnya berdasarkan hasil olahan data dari kuesioner responden dan dengan analisis SWOT, diperoleh bahwa peta posisi persepsi responden tersebut berada pada kuadran IV, yang mengindikasikan penilaian responden baik sebagai operator dan pemilik terdapat kelemahan dan ancaman yang masih dominan sehingga memerlukan langkah-langkah strategi untuk lebih meningkatkan kinerja keselamatan kapal pelayaran rakyat agar revitalisasi armada dapat dilakukan dengan lebih intensif. Strategi-strategi yang dapat diaplikasikan dalam kaitan dengan teknologi dan keselamatan transportasi pelayaran rakyat antara lain: a. Strategi S-0 adalah : (i) Meningkatkan kualitas SDM pelayaran rakyat agar mampu mempertihitungkan stabilitas kapal; (ii) Mengintensifkan program pendidikan dan pelatihan ketrampilan dan perawatan kapal meskipun dilakukan di tepi pantai; (iii) Meningkatkan produktivitas pelayanan kapal ke daerah terpencil, dan kinerja fasilitas pelabuhan yang menjadi potensi pelayaran rakyat, (iv) Mengoptimalkan aktivitas kapal pelayaran rakyatn dengan pola trayek tromper. b. Strategi S-T adalah : (i) Meningkatkan standar pembuatan kapal pelayaran rakyat dan mengupayakan dilakukan di galangan; (ii) Mendukung upaya pembuatan kapal yang bukan kayu agar dapat meningkatkan kinerja kekuatan dan stabilitas kapal; (iii) Meningkatkan pengembangan infrastruktur pada wilayah potensi pasar pelayaran rakyat untuk meningkatkan
228
pelayanannya, (iv) Meningkatkan klasifikasi kapal pelayaran rakyat yang dapat memberikan jaminan keselamatan kepada pemilik barang. c. Strategi W-0 adalah: (i) Meningkatkan pendidikan dan kemampuan operasional SDM pelayaran rakyat saat dilakukan perekrutan; (ii) Meningkatkan kecepatan bongkar muat kapal untuk memudahkan prosedur dan meningkatkan daya saing; (iii) Mengupayakan penerapan standar teknis kapal, melalui program pendidikan dan peningkatan skill penanganan operasi kapal; (iv) Melakukan perbaikan sistem bongkar muat dan navigasi pelayaran terutama untuk melayani daerah yang menjadi potensi pasamya. d. Strategi W-T adalah: (i) Meningkatkan kemampuan SDM dan kemampuan pembangunan kapal yang tidak hanya terbatas pada kayu; (ii) Peningkatan standar pembangunan kapal agar dapat mengatasi/ mengidenifikasi kondisi cuaca; (iii) Meningkatkan standar klasifikasi kapal agar dapat memberikan jaminan keselamatan kepada pemilik barang; (iv) Meningkatkan kinerja bongkar muat kapal agar produktivitas pelayanan angkutan lokal semakin membaik serta peningkatan kinerja sarana navigasi kapal antara lain dengan sistem GPS agar pelayanan ke seluruh wilayah dapat terjangkau dengan selamat dan aman. Sesuai dengan hasil olahan data, peta posisi hasil analisis ini berada pada kuadran IV dimana faktor kelemahan (weakness) dan ancaman (threat) lebih mendominasi. Dengan demikian, strategi yang perlu mendapat perhatian adalah
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
strategi W-T yang merupakan kombinasi antara fak-tor internal (kelemahan) dengan faktor eksternal (ancaman) dengan cara meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman. Dari hasil analisis diperoleh empat alternatif strategi yakni pertama meningkatkan kemampuan SDM untuk membangun kapal dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan yang tidak hanya terbatas pada pemahaman tradisional saja sehingga dapat mengatasi kendala bahan baku kayu . Kedua, mendorong peningkatan standar pembangunan kapal agar dapat mengatasi mengidenifikasi kondisi cuaca. Strategi ini dimaksudkan agar pengrajin kapal kayu atau kapal rakyat dapat menambah wawasan pengetahuan tentang standar kapal non konvensi sehingga mampu membangun kapal sesuai standar yang telah ditetapkan. Ketiga, mendo rong peningkatkan standar klasifikasi kapal agar dapat memberikan jaminan keselamatan kepada pemilik barang, serta mendukung kebijakan pemerintah untuk memerapkan peraturan tentang kapal non konvensi. Keempat, mendorong kemampuan penguasaan sistem bongkar muat agar mampu meningkatkan daya saing sehingga dapat mengurangi waktu kapal di pelabuhan. Strategi ini dirumuskan untuk meminimalkan kelemahan pendapatan masyarakat pelayaran tradisional yang tidak stabil, kurangnya keberpihakan dari pemilik barang terhadap keberadaan kapal tradisional.
sulit dimasuki oleh kapal modem, atau daerah ya ng memiliki infrastruktur pelabuhan yang belum memadai. b. Kendala yang dihadapi oleh p elayaran rakyat adalah masih tingginya tingkat kecelakaan y ang terjadi, terlebih lagi bahwa penyebab kecelakaan masih didominasi oleh sumber daya manusia karena hal ini masih menjadi kendala utama dalam mengembangkan pelayaran rakyat. c. Berdasarkan analisis SWOT diperoleh bahwa hasil perhitungan menunjukkan peta posisi hasil penelitian tentang keselamatan pelayaran kapal-kapal tradisional berada pada kuadran ke IV. Hal ini mengindikasikan opini responden didominasi oleh kelemahan dan ancaman sehingga perlu strategi yang dapat membantu meningkatkan keselamatannya yang terkait dengan hal ini adalah: 1) Meningkatkan kemampuan SDM dalam pembangunan kapal yang tidak hanya terbatas pada kayu; 2) Meningkatkan s tandar pembangunan kapal agar dapat mengatasi/ mengidentifikasi kondisi cuaca; 3) Meningkatkan standar klasifikasi kapal untuk menjamin keselamatan kapal; 4) Meningkatkan kinerja bongkar muat kapal agar produktivitas pelayanan angkutan lokal semakin membaik serta peningkatan kinerja sarana navigasi kapal.
KESIMPULAN DAN SARAN 2. Saran 1 . Kesimpulan
a. Peran pelayaran rakyat masih sangat diperhitungkan untuk mengangkut komoditi kebutuhan masyarakat kepulauan terutama pada daerah yang
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
a. Meskipun kapal sudah memiliki kondisi prima, kapal baru akan dapat beroperasi dengan baik jika diawaki oleh awak kapal yang memiliki kecakapan sesuai peraturan perundang-
229
•
undangan, memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan kapal dan keselamatan serta petunjuk teknis terkait pelayaran. Awak kapal harus memiliki kemampuan untuk mempersiapkan kapalnya dan harus mampu melayarkan kapal dan muatan secara aman dan selamat sampai tujuan. b. Nakhoda dan awak kapal perlu mengikuti ketentuan standar kriteria yang sesuai dalam menduduki jabatan tertentu di atas kapal. Hal yang sama juga berlaku bagi kapal pelayaran rakyat. Oleh karena itu, para pelaut perlu juga mengikuti pendidikan formal lebih dahulu sebelum melaksanakan tugasnya di kapal. Awak kapal yang memahami tugas dan fungsinya akan sangat menguntungkan bagi perusahaan, dan akan tetap mempertahankan kondisi teknis kapal tetap terjaga sehingga umur kapal lebih lama. c. Aspek keselamatan bukan sematamata menjadi tugas pemerintah sebagai regulator, melainkan juga sudah semestinya menjadi perhatian pihak pengelola pelayaran (operator) maupun awak kapal. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan keselamatan kapal tradisional dan mengatasi tingginya angka kecelakaan, pemilik kapal atau operator kapal yang mengoperasikan kapal tersebut wajib memiliki awak kapal yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan. Perusahaan pelayaran juga perlu mendorong dan mengikutsertakan mereka secara aktif pada pendidikan dan pelatihan sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan kompetensinya.
230
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Munawar, 2007. Pengembangan Transportasi yang Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas TeknikUGM. Arman Muhamad. 2010. Menengok Evolusi Perahu Pinisi di Tanaberu Bulukumba, Oulu Kapal Kargo, Sekarang Kapal Pesiar. Fajar News. 21 September 2010.
Balamuralikrishna Radha, John C. Dugger. 1995. SWOT analysis: a management tool for initiating new programs in vocational schools. Journal of Vocational and Technical Education. 12 [1}, Iowa State University, http:// scholar.
lib.vt.edu/ ejournals/JVTE/v12n1/ Balamuralikrishna.html (diakses 12 november 2010) Dina Sunyowati. 2012. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia. Fakultas Hukum, Universi-
tas Airlangga. joumal.lib.unair.ac.id/ index.php/YRDK/ article/ download/ 574/573 European Maritime Heritage. 2011. Guidance for the Implementation of a Safety Management System for the Operation of Traditional Ships based on the International Safety Management ISM Code, Annex II.2.
Horst Liebner. 2004. Traditional Boats. tilltzi Lwww.forumms.com/ (diakses 10 oktober 2011) Harian Kompas. 2009.
Pelayaran Rakyat
Semakin Terpuruk, http:// cetak. kompas.com (diakses 23 maret 2009).
Johny Malisan. 2005. Kajian Kemungkinan Pemanfaatan Pelayaran Rakyat Sebagai Angkutan Komersial Di Daerah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Jurnal
Penelitian Perhubuangan Laut.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Iswanto. 2009. Strategi Pengembangan Armada Transportasi Laut Nasional di Era Global. Jurnal Sains dan Teknologi Maritim. VII [2]. Lembaga Penelitian UL 2002. Studi Peningkatan Peran Pelayaran Rakyat Dalam Memperoleh Pangsa Muatan . Laporan Akhir. Kerjasama dengan Badan Litbang Perhubungan. Jakarta. Mulya Wirana. 2009. Negara Kepulauan Dalam Perspektif Hukum Internasional. http://www.tabloiddiplomasi.org/ previous-isuue/39-april-2009 /148 Lopa Baharuddin. 1982. Hukum Lau t Pelayaran dan Perniagaan, Penggalian dari Bumi Indonesia Sendiri, Disertasi, Universitas Diponegoro.
Puslitbang Perhubungan Laut. 2002. Kajian Pemanfaatan Kapal Layar Motor (KLM) UntukAngkutan Perintis. LaporanAkhir. Rangkuti Freddy. 2002. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis : Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21, Gramedia Pustaka Utama, ISBN: 979605-718-2. Sianipar J.P.G dan Entang H.M. 2001. Teknik Analisis Manajemen (TAM). Bahan Ajar Diklatpim Tingkat III. Jakarta. *)
52 Genie Portuaire et Cotier, Peneliti Madya Bid ang Transportasi Laut
Nurwahida. 2003. Persepsi Pengambilan Keputusan Terhadap Implem en tasi Standar manajemen Keselamatan Kapalkapal Pelayaran Rakyat. Program Pasca Sarjana UNHAS. Makassar.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
231
SEBARAN PERGERAKAN PENGGUNA KENDARAAN PRIBADI BEKASI BARAT-DKI JAKARTA Herawati*) Rini Suliyanti**) Peneliti Badan Litbang Perhubungan Jalan Merdeka Timur No 5 Jakarta Pusat
ABS1RACT The high traffic in OKI Jakarta is not only influenced by mavements in but also commuters from sub-urban areas like Bekasi District. For that we need to know the characteristics and distribution of the movement from North Bekasi to Jakarta. The purpose of this study was to determine the distribution of travelling from Bekasi to Jakarta. The research methods used are the establishment of Inter-Zone Travel Time Matrix, trip generation modeling (multiple regression analysis), Travel Distribution Modeling. In addition, the quantity method is used to identify travel time, total travel costs and advanced modes are used when using public transport. Based on the results obtained by the analysis of trip generation models Y = -1 .44 of public transport + 2:14 of private vehicles. Trip distribution of Bekasi's population towards OKI Jakarta are Central Jakarta (261 trips/day), East Jakarta (180 trips/ day), South Jakarta (125 trip/day), West Jakarta (74 trips/day), and East Jakarta (87 trips/day). The different of travel time between private vehicles and public transport is average 30 minutes. Private vehicle users must expend more vehicle surcharge of Rp. 11 553 which compared with public transport. Keywords. Trip Distribution, Private Vehicle, Trip characteristic ABSTRAK
Tingginya pergerakan perjalanan di Daerah DKI Jakarta tidak hanya dipengaruhi oleh pergerakan dalam tetapi dipengaruhi oleh pergerakan daerah sub urban seperti Kabupaten Bekasi. Untuk itu perlu mengetahui karakteristik pergerakan penduduk Kelurahan Bekasi Utara ke DKl Jakarta beserta sebarannya. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran perjalanan penduduk Kelurahan Bekasi Barat menunju Jakarta. Tujuan dari penelitian ini dapat digunakan sebagai karakteristik pergerakan dari Kelurahan Bekasi menuju wilayah DKl Jakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah pembentukan matrix travel time antar zona, pemodelan bangkitan perjalanan (analisis regresi berganda), pemodelan distribusi perjalanan. Selain itu, digunakan metode analisis kuantitatif untuk mengidentifikasi waktu perjalanan, total biaya perjalanan dan moda lanjutan yang digunakan apabila menggunakan angkutan umum. Berdasarkan hasil analisis diperoleh model bangkitan perjalanan Y= -1.44 angkutan umum + 2.14 kendaraan pribadi. Sebaran pergerakan penduduk Bekasi Barat menuju Jakarta Pusat sebanyak 261 perjalanan/hari, Jakarta Timur sebanyak 180 perjalanan/
232
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
hari, Jakarta Selatan 125 perjalanan. hari dan Jakarta Barat serta Jakarta Timur berturutturut adalah 74 perjalanan/hari dan 87 perjalanan/hari. Selisi waktu perjalanan antara kendaraan pribadi dan angkutan umum rata-rata adalah 30 menit. Pengguna kendaraan pribadi harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp. 11.553.- jika dibandingkan dengan angkutan umum. Kata kunci: Distribusi Perjalanan Kendaraan Pribadi, Karakteristik Pergerakan.
PENDAHULUAN Perkembangan pusat Kota Jakarta sebagai daerah komersial yang diimbangi dengan perkembangan daerah sub-urban seperti Ko ta Bekasi. Perkembangan tersebut mendorong banyaknya penduduk yang bekerja di Kota Jakarta memilih Kabupaten Bekasi Barat sebagai tempat tinggal karena kemudahan akses kendaraan dari daerah Kabupaten Bekasi sehingga pada akhirnya mendorong semakin menjamurnya keberadaan kawasan permukiman yang dilengkapi dengan sarana pendukung lainnya. Penyebaran pembangunan perkotaan (urban sprawl) ini berdampak terhadap perkembangan jumlah penduduk yang melakukan pergerakan setiap harinya yaitu sekitar 30 persen penduduk Ja karta pada jam kerja a dalah mereka yang bertempat tinggal di wilayah Bekasi. Hal ini berdampak pada sistem transportas i dari Kota Bekasi ke Kot a Jakarta dengan tingginya kebutuhan permintaan akan sarana dan prasarana transportasi. Dala m proses perencanaan sistem tra nsportasi yang disebut distrib usi perjalanan (trip generation) diharapkan akan diketahui dan dipahami pada dis tribusi perjalanan penduduk Kabupaten Bekasi. Misalnya darimana dan hendak kemana, kapan terjadi nya pergerakan itu dilakukan dan diketahui pola pergerakan yang terjadi pada saat sekarang. Sehingga kebijaksanaan transportasi yang dilakukan bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat Kabu-
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
paten Bekasi pada khususnya dan seluruh pemakai jalan pada umumnya. Tingginya pergerakan perjalanan di Daerah DKI Jakarta ti dak h anya dipengaruhi oleh pergerakan dalam tetapi dipengaruhi oleh pergerakan daerah sub urban seperti Kabupaten Bekasi. Untuk itu perlu mengetahui karakteristik pergerakan penduduk Kelurahan Bekasi Utara ke DKI Jakarta beserta sebarannya. Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran perjalanan penduduk Kelurahan Bekasi Barat menunju Jakarta. Tujuan dari penelitian ini dapat d igunakan sebagai karakteristik pergerakan dari Kelurahan Bekasi menuju wilayah DKI Jakarta. TINJAUAN PUSTAKA Amal AS, (2001) Analisis Model Sebaran Perjalanan Internal Masyarakat Kota Batu Dengan Menggunakan Metode Gravitasi. Tujuan dari analisis distribusi perjalanan ini adalah untuk mengetahui jumlah perjalanan yang berasal dari kota Batu ke zona kota Batu (intern zona) dan dari kota Batu ke zona kabupaten Malang (ekstern zona). Dari hasil analisis distribusi perjalanan dengan metode gravitasi jumlah perjalanan yang dihasilkan oleh masyarakat kota Batu sebesar 1746 perjalanan/ hari. Untuk jumlah produksi perjalanan terbesar adalah di Kecamatan Junrejo sebesar 217 perjalanan/hari. Sedangkan jumlah produksi perjalanan terkecil
233
•
adalah kecamatan di Punten sebesar 49 perjalanan/hari. Rezky A (2007) pada studi Pemodelan Sebaran Perjalanan Dikota Banjarmasin Dengan Model Gravitasi Gravity Model Trip Distribution Modelling For Banjarmasin diperoleh MAT Hasil Pengamatan dengan total Trip Generation (Bangkitan dan Tarikan) sebesar 2666 trip. Untuk model bangkitan hasil survei kota Banjarmasin Y=2,672+0,464X2-K),640X3, dimana X2 adalah populasi dan X3 adalah kepemilikan kendaraan dengan H.2 0,944. Dengan kalkulasi trip generation asli dengan trip generation model, untuk fungsi Eksponensial Negatif diperoleh selisih sebesar 113,3147 trip sedangkan untuk Tanner diperoleh selisih sebesar 17,487 trip. Jadi dapat disimpulkan bahwa MAT DCGR dengan Fungsi Tanner lebih mendekati realita karena memiliki jumlah selisih yang paling minimal dibandingkan dengan MAT DCGR Eksponensial Negatif baik dari perhitungan kalkulasi trip generation maupun dari perhitungan SSE (Sum of Square Error), sehingga total Trip Generation Populasi Kota Banjarmasin y ang sebenarnya adalah sebesar 293.087,52 trip . Hariyono (2005), penelitian Analisis Bangkitan dan Distribusi Perjalanan Masyarakat Kota Pamekasan ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui model b angkitan dan distribusi perjalanan masyarakat Kota Pamekasan saat ini. Hasil akhir analisis tersebut dapat d iketahui model bangkitan pergerakan dalam persamaan, Y = -0.0037 + 1.004X2 + 0.997X3 + 0.979X4, dengan r = 0.996 d an H.2 = 0.992. Untuk distribusi perjalanan inter zona yang dihasilkan masyarakat Kota Pamekasan terbesar terjadi pada zona 5, yaitu sebesar 2720
234
perjalanan setiap hari. Dan perjalanan antar zona berasal dari zona 6 menuju zona 5, yaitu sebesar 2460 perjalanan setiap hari. LANDASAN TEORI 1. Konsep dan Ruang Lingkup Perencanaan Transportasi
Data jaringan lransportasi
Model bangkitan petjalanan
Data sistemzona wilayah studi
Biaya perjalanan an tar zona (aksesibilitas r------tl
Karakteristik pelaku perjalanan
Analisis lanjutan
Gambar 1 Four Steps Modelling
2. Penentuan batas-batas wilayah studi dan sistem zona Batas wilayah studi dapat berupa batas administratif, batas alam, atau batas lainnya (seperti: jalan, rel kereta api, dll). Wilayah studi dibagi-bagi kedalam zona, dimana jumlah zona menentukan tingkat kedalaman analisis, Makin banyak zona, makin detail analisis diperlukan. Pembagian zona dapat didasarkan perwilayahan adminstratif, kondisi alam, atau berdasarkan tata guna lahan. Sistem zona ini digunakan sebagai dasar pergerakan.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
3. Bangkitan Perjalanan Bangkitan perjalanan yang terjadi merupakan perkiraan jumlah pergerakan tarikan kesuatu tata guna lahan atau zona dimana meru pakan fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalu lintas. Bangkitan perjalanan mencakup tentang perjalanan yang meninggalkan suatu lokasi dan perjalanan yang menuju lokasi tersebut. Representasi sederhana bangkitan perjalanan dan tarikan perjalanan dapat diperlihatkan dalam gambat berikut (Tamin, O.Z., 1997). 4. Sebaran Perjalanan Model sebaran perjalanan ini digunakan untuk menghitung Matriks Asal Tujuan (MAT) atau memperkirakan asal dan tujuan perjalanan yang tertarik atau terbangkit dari suatu zona. Representasi model sebaran perjalanan disajikan pada gambar berikut :
Tidadalah
perjalanan yang berasal dari zona i
aksesibilitas yang menunjukkan kemudahan untuk m enuju zona tujuan perjalanan yang dikehendaki.
•
METODOLOGI PENELITIAN
1. Metode Penelitian a. Pembentukan matrix travel time antar zona Pencatatan waktu dilakukan berdasarkan hasil kuesioner terhadap pertanyaan waktu perjalanan yang diperlukan responden menuju ke tempat tujuan. b. Pemodelan bangkitan perjalanan. Analisis regresi berganda Analisis bangkitan dan tarikan perjalanan dengan menggunakan analisis regresi yang membutuhkan variabel-valiabel berupa data sosioekono mi . Bagan di bawah ini menunjukkan alur perhitungan bangkitan dan tarikan perjalanan dengan analisis regresi. Hal in i sangat diperlukan dalam realita yang menunjukkan bahwa beberapa peubah tata guna lahan secara simultan ternyata mempengaruhi bangkitan pergerakan. Persamaan berikut memperlihatkan bentuk umum metode analisis regresi linear berganda.
Sumber: Tamin, 0, 1997
Gambar 2. Model Sebaran Perjalanan
Sebaran perjalanan menggamba rkan interaksi antara tata guna lahan zona dan karakteristik populasi dengan sistem jaringan transportasi yang menghubungkan antar zona-zona yang dianalisis. Dalam penyederhanaannya karakteristik jaringan direpresentasikan dengan
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
dimana: Y= produksi perjalanan (petjalanan/ hari)
X,, ...., xn A B1 ,
= peubah acak konstanta regresi ••.• , B = koefisien regresi =
11
235
•
2. Pemodelan Distribusi Perjalanan
Dalam gravity model, jarak, waktu tempuh atau biaya perjalanan dianggap mempunyai pengaruh terhadap besar atau kecilnya perjalanan. Bila jarak antara dua zona semakin jauh (atau waktu tempuh semakin lama, atau biaya petjalanan semakin mahal), maka banyaknya orang yang melakukan petjalanan semakin sedikit. Terdapat dua jenis fungsi hambatan yang umum diaplikasikan, yaitu fungsi exponensial dan fungsi pangkat, sebagai berikut Fungsi pangkat
: f(cij) = cij-a
Fungsi exponensial: f(cij)
=exp(-~
x cij)
Dimana: a dan ~: faktor pangkat dan faktor exponensial 3. Metode Pengumpulan Data
a. Kebutuhan Data Sekunder Data Sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini antara lain meliputi: Peta wilayah studi dengan batasan administrasi, jaringan jalan, kereta api dan batas alam (Dinas Perhubungan Kota Bekasi); Data sosial ekonomi (BPS); Data kependudukan (BPS); dan Data Tata Guna lahan (BPS). Data tersebut diperoleh melalui pengumpulan data instansional termasuk pada kantor-kantor kecamatan di Surabaya. b. Kebutuhan Data Primer Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain meliputi: Pengumpulan data dari kuesioner (karakteristik rumah
236
tangga dan data asal tujuan perjalanan) dan pengumpulan data waktu .tempuh melalui jalanj alan utani.a. Data tersebut diperoleh dengan melakukan survei wawancara rumah tangga (home interview survey), dan survei jarak/waktu tempuh antar zona lalu lintas. SEBARAN PERGERAKAN PENGGUNA KENDARAAN BERMOTOR DARI BEKASI BARAT ARAH DKI JAKARTA
1. Pembagian Zona
Zoning ditentukan berdasarkan batas administratif yaitu batas kota/kabupaten. Zona asal merupakan wilayah administratif kecamatan Bekasi Barat dan zona tujuan pembagiannya didasarkan pada jumlah batas kabupaten/kota yang meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta utara, jakarta Timur, Dan Jakarta Selatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3 Pembagian Zona
2. Pemodelan Bangkitan Perjalanan
Matriks korelasi antara peubah tidak bebas dan peubah bebas untuk bangkitan dan tarikan menjadi masukan untuk analisis
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
regresi linier. Dilakukan analisis regresi linier terhadap peubah bebas dan tidak bebas yang telah dipilih. Pada tahap ini, analisis regresi linier dilakukan berulangulang dengan mengurangi satu persatu peubah bebas berdasarkan urutan koefisien korelasi dari yang terkecil hingga terbesar. Tahap ini dilakukan hingga tersisa diperoleh model yang terbaik. Tabel 1 Analisis Regresi Model Bangkitan Perjalanan Model3 0
a. Analisa Matrik Asal Tujuan (MAT)
Tahap ini merupakan proses untuk mengestimasi jumlah perjalanan yang akan melakukan perjalanan diantara zona-zona. Proses ini mencoba mendistribusi jumlah perjalan yang diprediksi dari setiap sel matrix sehingga petjalanan yang diprediksi mendekati dengan jumlah perjalanan yang sebenarnya. Berdasarkan hasil pengumpulan data kuesioner diperoleh besaran pergerakan responden menuju kota-kota di DKI Jakarta. Sebaran pergerakan responden dapat di lihat pada tabel 2. T a bel 2 Sebaran Perge rakan Respon d en
MAT Observations Sign F stat Sumber: Olah data 2011
Model bangkitan yang dipilih adalah hasil regresi linier pada tahap 2. Dengan melihat hasil R2, maka Model 1 adalah yang terbaik namun nilai sign > 0.05. Model 2 dipilih karena peubah bebas (jumlah kendaraan pribadi) bertanda positif dan angkutan umum bertanda negatif dan memiliki R2 yang cukup besar yaitu 0,98. 3. Pemodelan Distribusi Perjalanan
Dalam pemodelan transportasi empat langkah, pemodelan sebaran perjalanan merupakan langkah kedua setelah pemodelan bangkitan perjalanan. Terdapat beberapa metode untuk membentuk sebaran perjalanan agar bisa mereplikasi sesuai hasil survei, salah satu metode dimana faktor pemisah antar zona dipertimbangkan dalam proses perhitungannya adalah gravity model.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Jakasampuma Bintara Jaya Bintara Kranji Medan Satria
Jakarta Jakarta Jakarla Jaliarta Jakarta P1111it Uara Timar Selatan Barat 49,76
18,66
55,98
18,66
24,88
31,10 87,08 49,76
6,22 31,10 12,44
24,88 6,2L 37,3 2
18,66 49,76 43,54
18,66 18,66 6,22
43,54 261,24
18,66 87,08
55,98 180,38
6,22 136,84
6,22 74,64
Sumber: Olah data 2011
Gravity model merupakan pengembangan hukum Newton (fisika) yang menyatakan bahwa gaya tarik-menarik antara dua benda sebanding dengan masa kedua benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda tersebut. Aplikasi dalam bidang transportasi dapat dikembangkan dalam beberapa jenis model. Bila data diperoleh dari household interview survey, maka tiga jenis model layak dipertimbangkan: Variabel zona i dan j yang diduga berpengaruh terhadap bangkitan perjalanan zona i dan tarikan petjalanan zona j (Wi dan Wi)' Besarnya bangkitan petjalanan zona i dan tarikan perjalanan zona j(q dan Di)' dan fungsi hambatan (f(ci)). Tabel 3 merupakanfungsi hambatan yang merupakan fungsi waktu. Gravity model sebagai metode kalibrasi untuk mendapatkan jumlah perjalanan
237
•
yang dipresiksi dapat menggambarkan jumlah petjalanan yang sebenarnya. Tabel 3. Matrikscost(cid) Zona 1 2
3 4 5
1 0,09 0,07 0,09 0,10 0,09
3 0,05 0,07 0,08 0,08 0,08
2 0,07 0,07 0,09 0,06 0,08
4 0,11 0,08 0,10 0,09 0,10
5 0,10 0,10 0,11 0,10 0,11
Sumber: Olah data 2011
Dengan menganggap fungsi ham-batan mengikuti fungsi eksponensial-negatif didapat matriks exp (-BCid) seperti Tabel 4 berikut dengan menganggap nilai B= 0.7999. .
Untuk model gravity, persyaratan yang diperlukan adalah total pergerakan yang dihasilkan model (o) harus sama dengan total pergerakan yang didapat dari hasil bangkitan pergerakan (0). Selain itu, persyaratan yang diperlukan adalah total pergerakan yang menuju setiap zona asal sama dengan total pergerakan (yang tertarik) yang dihasilkan oleh tahap bangkitan perjalanan. Dengan menggunakan persamaan sebelumnya perkalian berikut dilakukan untuk setiap sel matriks untuk mendapatkan matrik akhir. Setelah melakukan 12 pengulangan (iterasi) dan mendapatkan persyaratan yang diperlukan, maka diperoleh matriks akhir sebagaimana terlihat pada tabel 5.
Jakasampurna Bintara Jaya
0.928
0.944
0.%3
0.949
0.944
Bintara Kranji Medan Satria
0.933
0.927
0.946
0.918 0.940
0.927
0.934
0.938
0.920
0.913
0.924
0.951
0.939
0.928
0.922
0.931
0.936
0.942
0.923
0.918
Sumber: Olah data 2011
Tabel 5. Distribusi perjalanan masyarakat Kecamatan Bekasi Barat Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Zona oi Oi Pu sat Utara Timur Sela tan Bar at 59 41 31 17 168 168 20 Jakasampurna 36 3 24 19 10 91 100 Bintara Jaya Bintara 68 22 46 35 19 191 193 52 18 36 28 15 148 149 Kranji 15 32 13 46 Medan Satria 13 119 131 dd 261 78 180 125 74 Dd
261
87
180
137
75
Ed
1,0
1,1
1,0
1,1
1,0
Bd
0,0014 0,0014 0,0014
Ei
Ai
1,00 1,09 1,01 1,01
l,OC 1,00 1,00 1,00
1,10 1,00
0,0015 0,0015
Surnber: Olah data 2011
238
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa zona yang paling berpotensi sebagai zona penghasil (pembangkit petjalanan) dengan menggunakan angkutan pribadi adalah zona Bintara-Jakarta Pusat dimana terletak sebagai pusat kota, dengan petjalanan sebesar 9% dari seluruh petjalanan dengan menggunakan angkutan pribadi. Pemanfaatan lahan di zona tersebut didominasi oleh kawasan perkantoran (pemerintah dan swasta), perdagangan dan jasa, tempat pendidikan industri dan permukiman, Zona penarik lainnya adalah zona Bintara-Jakarta Timur sebesar 6% dan disusul oleh zona Bintara-Jakarta Selatan sebesar 5%, Zona Jakasampuma-Jakarta Utara dan zona Bintara-Jakarta Barat sebesar 3 % dari seluruh petjalanan dalam kota dengan menggunakan kendaraan pribadi. Berdasarkan persentase pergerakan tertinggi untuk Kabupaten Bekasi Barat, Kelurahan Bintara merupak zona yang berpontensi sebagai pembangkit petjalanan terbesar menuju semua kota di DKl Jakarta. Dari tabel 5 dapat juga menunjukkan tujuan pengguna angkutan pribadi penduduk Bekasi Barat tidak hanya beroerientasi salah satu kota di DKl Jakarta (Jakarta Timur) akan tetapi menyebar keseluruh kota di DKI Jakarta. Aktivitas penduduk dalam melakukan pergerakan dengan menggunakan kendaraan
Sumber. Olah data
~11
Gambar 4 Desire Line Pergeraka n Bekasi Barat-DKI Jakarta
pribadi relatif terdistribusi keseluruh bagian kota.
b. Peramalan Sebaran Pergerakan Peramalan sebaran pergerakan diperkirakan besarnya pergerakan dari setiap zona asal ke setiap zona tujuan. Besarnya pergerakan tersebut ditentukan oleh besamya bangkitan setiap zona asal dan tarikan setiap zona tujuan serta tingkat aksesibilitas sistem jaringan antar zona yang biasanya dinyatakan dengan jarak, waktu dan biaya. Besarnya pergerakan terdistribusi menuju/dari masng-masing zona umumnya tergantung pada tingkat keterkaitanantarzona. Umumnyahasildari sebaran adalah berupa matriks asal tujuan yaitu representasi besarnya pergerakan menurut pasangan zona-zona tujuan.
Tabel 6. Distribusi petjalanan masyarakat Kecamatan Bekasi Barat Tahun 2015 Zona Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Oi Pusat Utara Timur Selatan Barat
---------................................
...............""'"*'........--~
~....r--
Sumber: Olah data 2011
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
239
Tabel 7. Distribusi petjalanan masyarakat Kecamatan Bekasi Barat Tahun 2020
46
J·~-
Bintara Jaya
-
...
65 \
Kranji
.. liiili it ,. dd
114 76
~ 407
,,
Jakarta Timur
8
51
65
90
Jakarta Utara
Jakarta Pus at
Zona
.·. I,:.
44
. .
204
·.·
Jakarta Barat
59, .' ,
O;
' G
3CJJ
35
203
. '61
4(IJ
53
41
276
--:--~
37
t. ~ ,!fj
2~
326
272
220
10
_.,
Jakarta Sela tan
...;.
61
45 78··
'- 'I'.
Sumber: Olah data 2011
Berdasarkan tabel 6 diperoleh sebaran pergerakan pengguna kendaraan pribadi dari Bekasi Barat menuju DKI Jakarta pada tahun 2015 dengan persentase peningkatan tertinggi pergerakan terjadi pada pergerakan penduduk dari Bekasi Barat menu.ju Jakarta Barat yaitu sebesar 34%. Tingginya peningkatan pertumbuhan perjalanan disebabkan karena kendaraan pribadi dan buruknya kualitas angkutan umum sehingga pengguna kendaraan pribadi dari Bekasi Barat menuju Jakarta Barat mengalami peningkatan yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di wilayah DKI Jakarta. Selain itu, terjadi peningkatan pergerakan pengguna kendaraan pribadi dari Bekasi Barat menuju Jakarta Pusat (13%), Jakarta Utara (29%), Jakarta Timur (17%), dan Jakarta Selatan (24%). Rendahnya persentase peningkatan pergerakan kendaraan pribadi dari Bekasi Barat rnenuju Jakarta Pusat dikarenakan integrasi angkutan umum dari Bekasi Barat-Jakarta Pusat semakin terintegrasi dengan baik seperti jaringan rel kereta api dan TransJakarta.
katan penggunaan kendaraan pribadi yang tinggi, pada tahun 2020, persentase peningkatan pengguna kendaraan pribadi tidak setinggi pada tahun 2015. Hal ini dapat di lihat pada tabel 7. Peningkatan persentase pengguna kendaraan pribadi pada tahun 2020 dari Bekasi Barat menuju Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat berturut-turut adalah 9%, 18%, 12%, 15% dan 19%. c. Cara mencapai lintasan rute yang dilewati angkutan umum
Dalarn melakukan perjalanan dari tempat asal ke tujuan utuk melakukan aktivitasnya, penduduk Bekasi Barat didukung oleh berbagai jenis angkutan umum baik jalan rel maupun jalan raya. Tabel 8 berikut merupakan hasil pengolahan data terhadap jenis angkutan umum sebagai alternatif apabila responden tidak menggunakan mobil pribadi. Tabel 8 Angkutan Umum Alternatif Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Pusat Utara Timur Se Iatan Bar at 23% 22,3% 22% 43% 10% IKRL Jabodetabek 30% 67% 18% Bus Kota 29% 10% 45% 38% 11% 1An2kutan kota 21% 80% 7% 7% 5% bjek Sumber. Olah data 2011
Berbeda dengan peramalah pergerakan pengguna kendaraan pribadi pada tahun 2015 yang memiliki persentase pening-
240
Dari tabel 8 diatas terlihat bahwa dominasi jenis angkutan umum alternatif berbeda
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
untuk setiap kota di DKI Jakarta. Untuk daerah Jakarta Pusat, KRL Jabodetabek memiliki persentase paling besar untuk melakukan perjalanan yaitu 43%, kemudian bus kota sebanyak 29%, jenis angkutan kota juga memiliki persentase yang hampir sama dengan angkutan kota yaitu 21%. Jenis KRL Jabodetabek ini memiliki peminat yang cukup banyak untuk daerah sub urban seperti bekasi karena ketersediaan armada dan ketepatan waktu yang lebih baik jika dibandingkan dengan jenis angkutan umum lainnya. Faktor lain yang menjadi alasan pengguna mobil pribadi ini akan menggunakan KRL Jabodetabek sebagai angkutan alternatif adalah ketersediaan feeder dari asal perjalanan menuju stasiun keberangkatan dan stasiun kedatangan menuju tujuan akhir. Bus kota atau angkutan kota menjadi pilihan angkutan umum alternatif untuk responden yang memiliki akses ke stasiun kereta yang kurang baik. Untuk d aerah Jakarta Utara, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, angkutan kota menjadi a lternatife angkutan paling diminati karena ketersediaan rute yang melintasi rute Bekasi Barat dengan kotakota tersebut. Selain itu ketersediaan armada yang melayani rute tersebut dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Trayek-trayek pendek dengan waktu tunggu angkutan kota yang p endek memberikan peluang yang lebih besar kepada masyarakat untuk menggunakan jenis angkutan umum tersebut. Bus Kota atau yang lebih sering dikenal dengan istilah P ATAS merupakan salah satu jenis angkutan umum yang diminati oleh penduduk Bekasi menuju Jakarta Barat. Jarak tempuh yang relatife lebih lama membuat masyarakat memilih
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
menggunakan jenis ini dengan fasilitas penunjang yang lebih lengkap dan nyaman. d. Waktu Perjalanan Waktu tempuh merupakan salah satu faktor utama yang sangat diperhatikan dalam transportasi karena merupakan daya tarik utama dalam pemilihan moda yang akan digunakan oleh suatu perjalanan. Bertambahnya waktu tempuh pada suatu moda akan menurunkan jumlah pengguna moda tersebut. Tabel 9 merupakan lama waktu perjalanan responden pengguna kendaraan pribadi apabila menggunakan kendaraan umum. Dari hasil survei diperoleh data waktu perjalanan antara kendaraan pribadi dan kendaraan umum untuk setiap tujuan yang berbeda. Dari data tersebut di atas diperoleh ra ta-rata selisih perjalanan antara kendaraan pribadi dan kendaraan umum adalah sebesar 29,711 menit atau sekitar 30 m enit. Lamanya perjalanan apabila menggunakan kendaraan umum merup akan salah satu bukti kurangnya kepercayaa n masyarakat akan pelayanan angkutan umum sehingga mereka beralih menggunakan kendaraan pribadi yang waktu perjalanannya lebih cepat. Tabel 9 Waktu Perjalanan WPP Tujuan (Menit) 75 Jakarta Pusat Jakarta Utara Jakarta Timur Jakarta Selatan Jakarta Barat Rata-rata
67 56.32 73 93.75 73.039
WPA (Menit) 107 112
Selisih (Menit) 32 45
81 102.5
24.68 29.375
111.25 102.75
17.5 29.711
Sum be-: Olah data 2011 Ket WP A: Waktu Perplanan Angk utan U mum WPP: Waktu Perialanan Kendaraan Pri oodi
241
e. Biaya Perjalanan Biaya perjalanan merupakan total biaya yang dikeluarkan pengguna jalan ke tujuan akhir. Untuk kendaraan pribadi, biaya perjalanan merupakan biaya BBM dan biaya toll serta biaya parkir. Sedangkan biaya kendaraan umum adalah biaya tiket/ biaya alih moda/ feeder yang dikeluarkan pengguna angkutan umum. Untuk lebih detailnya, dapat dilihat pada tabel 10 selisih biaya yang dikeluarkan pengguna angkutan pribadi baik menggunakan mobil pribadi maupun menggunakan angkutan umum. Tabel 10 Bia ya Petjalanan Selisih PersenBPA BPP Tujuan 'rupiah' (rupiah) (rupiah) tase Jakarta Pusat
30000
Jakarta Utara Jakarta Tunur Jakarta Selatan Jakarta Barat Rata-rata
18.333
11667
34850
20916
13934
40%
27500
20054
7146
26%
31,500
19700
11800
37%
28666
15444
13222
46%
30503.2 18949.4
39%
1155:3.8
S umber: Olah data 2011 Ket:
BP A: Biaya Perjalamn Angkutan Umurn BP P: Biaya Perjalanan Kendaraan Pribadi
Rata-rata biaya yang hams dikeluarkan pengguna kendaraan pribadi adalah Rp.30.503,-. Nilai tersebut dinilai sangat kecil apabila menggunakan angkutan umum dengan biaya perjalanan sebesar Rp.18.949,-. Perbedaan biaya perjalanan tersebut tidak begitu signifikan yang membuat masyarakat lebih memilih menggunakan angkutan pribadi dibanding dengan angkutan umum. Faktor ketidaknyamanan baik di kendaraan maupun aksesibilitas yang kurang baik menyebabkan masyarakat mampu mengeluarkan biaya perjalanan yang lebih besar dibandingkan apabila mereka harus menggunakan angkutan umum. Selisih biaya perjalanan terbesar ada pada tujuan Jakarta Barat yang disebabkan oleh
242
pembebanan biaya toll yang besar oleh pengguna kendaraan pribadi. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diperoleh karakteristik pergerakan Kelurahan bekasi Barat menuju DKI Jakarta: a. Bangkitan perjalanan Y= -1.44 angkutan umum + 2.14 kendaraan pribadi. b. Sebaran pergerakan penduduk Bekasi Barat menuju Jakarta Pusat sebanyak 261 perjalanan/hari, Jakarta Timur sebanyak 180 perjalanan/hari, Jakarta Selatan 125 perjalanan/hari dan Jakarta Barat serta Jakarta Timur berturut-turut adalah 74 perjalanan/ hari dan 87 perjalanan/hari. c. Terjadi peningkatan perjalanan pengguna kendaraan pribadi Bekasi Barat- DKI Jakarta pada tahun 2015 dan 2020. Pada tahun 2015 persentase peningkatan pergerakan menuju Jakarta Pusat (13%), Jakarta Utara (29% ), Jakarta Timur (17% ), Jakarta Selatan (24%) dan Jakarta Barat (34%). Sedangkan pada tahun 2020, terjadi peningkatan sebesar 9% (Jakarta Pusat), 18% (Jakarta Utara), 12% aakarta Timur), 15% aakarta Selatan), dan 19% (Jakarta Barat). Tingginya pergerakan tersebut disebabkan Karena banyaknya penduduk Bekasi Barat yang bekerja di DKI Jakarta. d. Penggunaan kendaraan pribadi memperpendek waktu perjalanan menjadi 30 menit jika dibandingkan dengan angkutan umum meskipun total travel cost yang dikeluarkan pengguna kendaraan pribadi lebih
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
tinggi yaitu Rp. 11.553.- jika dibandingkan dengan angkutan umum.
peningkatan kinerja angkutan umum yang telah ada, penataan struktur tata ruang untuk mengatur pola perjalanan penduduk, dan perbaikan manajemen lalu lintas untuk mengoptimalkan pelayanan jalan yang ada seperti pedagang kaki lima.
2. Saran
a. Perlu penerapan angkutan umum massal yang efektif dan efisien dalam mengantisipasi pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi masyarakat sub urban seperti Bekasi Barat ke DKI Jakarta. Selain itu dibutuhkan suatu kebijakan untuk menekan tingkat pertumbuhan kendaraan pribadi. b. Berdasarkan hasil analisis peramalan pergerakan kendaraan pribadi pada tahun 2015 dan 2020 terjadi peningkatan pengguna kendaraan pribadi yang sangat signifikan dari Bekasi Barat menuju Jakarta Barat sehingga Dinas Perhubungan dan D inas Pekerjaan Umum Kota Bekasi dan DKI Jakarta perlu mengantisipasi titik-titik rawan kecelakaan pada jalur tersebut. c. Selisih biay a perjalanan tidak sebanding dengan waktu perjalanan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat sehingga penggunaan kendaraan pribadi merupakan pilihan yang tepat. Untuk itu, D inas Perhubungan Ko ta Bekasi menerapakan kebijakan dalam rangka
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
DAFTAR PUSTAKA
Amal A.S, 2001. Analisa Model Sebaran Perjalanan Internal Masyarakat Kata Batu Dengan Menggunakan Metode Gravitasi. Rezky A. 2007, Gravity Model Trip Distribution Modelling For Banjarmasin. Master Theses. Institute Teknologi Surabaya. Hariyono. 2005 Analisa Bangkitan Dan Distribusi Perj alanan Ma syarakat Kata Pamekasan. Thesis. Universitas Muhammadiah Malang. Tamin. 0. 2007. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Ganesha. Bandung *)
Lahir di Jeneponto 4 oktober 1982, Program Diploma Tiga Teknik Sipil Universitas Hasanuddin 2004, Sarjana Teknik Sipil Universitas Gajah Mada Tahw1 2007, Pascasarjana Program double degree Magister Sistem dan Teknik Tran sportasi Universitas Gajah Mada dan Technology Engineering Asian Institute of Technology.
**) Lahir di Purworejo Ja wa Ten ga h 6 Juni 1956, Peneliti Badan Litbang Perhubungan.
243
KRITERIA PENETAPAN LOKASI STASIUN KERETA API PENUMPANG Atik S. Kuswati *) Peneliti Badan Litbang Perhubungan Jalan Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat ABSTRACT
This study intends to determinate criteria of the station location which the aim is to providing input in the policy that criteria. The priority of creteria and sub criteria the station location is determinated by using Analytical Hierarchy Process (AHP). Based on processing and analysis of data are obtained the aspect of regulation is more priority than other criteria in determining the railway passenger station location. The other aspects are of the economic environment, accessibility and connectivity, as well as operational. For sub-criteria, the suitability of the national railway master plan (Ripnas) is more priority than land-use aspects (spatial plan). For Sub-economic criteria, the first aspect is the economic potential in the region/ growth area. For sub accessibility and connectivity criteria consider about distance within the downtown station.
Key words: criteria, passenger station. ABSTRAK Kajian ini bermaksud menyusun kriteria penetapan lokasi stasiun kereta api penumpang dengan tujuan memberikan masukan dalam kebijakan kriteria penetapan lokasi stasiun kereta api penumpang. Dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) maka akan ditentukan prioritas dari kriteria dan sub kriteria untuk penentuan lokasi stasiun. Dari pengolahan dan analisis data diperoleh hasil bahwa aspek regulasi merupakan prioritas utama dalam penentuan lokasi stasiun penumpang kereta api, diikuti oleh aspek lingkungan ekonomi, aksesibilitas dan konektivitas, serta operasional. Untuk sub kriteria, kesesuaian rencana induk perkeretaapian nasional (Ripnas) sebagai prioritas dibandingkan aspek tata guna lahan (rencana tata ruang wilayah). Sub kriteria ekonomi yang menjadi urutan pertama adalah potensi ekonomi di wilayah/kawasan pertumbuhan. Untuk sub kriteria aksesibilitas dan konektivitas adalah pertimbangan jarak stasiun dengan pusat kota. Kata kunci: kriteria, stasiun penumpang PENDAHULUAN
Stasiun kereta api berfungsi sebagai ternpat kereta api berangkat atau berhenti untuk melayani naik dan turun penumpang, bongkar muat barang; dan/ atau keperluan operasi kereta api. Oleh karena itu stasiun harus dirancang dengan baik, memperhati-
244
kan estetika, dan nyaman bagi penumpang serta efisien dalam tata letak dan operasi. Stasiun hams dikelola dengan benar dan dipelihara serta harus dioperasikan dengan aman. Dalam perencanaan pembangunan atau pengembangan stasiun setidaknya
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
mempertimbangkan integrasi dengan kondisi lingkungan misalnya rencana tata ruang, penggunaan lahan, distribusi penduduk dan ketenagakerjaan untuk memastikan bahwa mereka akan lebih baik dilayani oleh kereta api tersebut. Untuk meningkatkan layanan kereta api, peluang pengembangan di sekitar stasiun kereta api juga perlu dipertimbangkan. Stasiun juga sebaiknya terletak dalam jarak yang cukup bagi pejalan kaki, dari perumahan, tempat kerja, dan komersial. Hal ini akan membantu untuk mempromosikan penggunaan layanan transportasi kereta api dan untuk mengurangi kemacetan jalan dengan mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi. Maksud kajian adalah menyusun kriteria penetapan lokasi stasiun k ereta api penumpang, tujuannya adalah memberikan masukan dalam kebijakan kriteria penetapan lokasi stasiun kereta api penumpang. Lingkup kajian meliputi identifikasi peraturan perundangan yang terkait dengan kajian, identifikasi kebijakan di bidang pembangunan stasiun kereta api, pengolahan data dan analisis. Hasil yang diharapkan adalah tersusunnya rekomendasi kriteria penetapan lokasi stasiun kereta api penumpang. TINJAUAN PUST AKA 1. Pengertian Kriteria Istilah atau pengertian kriteria antara lain digunakan pada umumnya hanya sebagai salah satu alat bantu dalam proses atau teknis pengambilan keputusan. Dari buku Karn us Besar Bahasa Indonesia pengertian kriteria yang berlaku secara umum adalah ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu. 2. Stasiun
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Stasiun mempunyai fungsi yang sama dengan simpul pada moda lainnya yaitu untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, memuat dan membongkar barang, mengatur perjalanan kereta api serta perpindahan antar dan atau intermoda. Stasiun dapat diklasifikasikan berdasarkan pada fungsi maupun pengelolaannya. METODOLOGI 1. Metode Pengumpulan Data dan lnformasi Metode pengambilan sampel menggunakan proporsive sampling untuk menghimpun responden dengan mengajukan pertanyaan kepada para para ahli di bidang yang mengetahui. Penggunaan proporsive sampling ini disebabkan adanya kualifikasi khusus dalam penetapan responden sebab tidak semua responden menguasai hal-hal yang terkait, serta tidak akan mengurangi tingkat akurasi dari penelitian. 2. Metode Analisis Dalam menentukan kebijakan penetapan lokasi stasiun kereta api penumpang dapat menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan beberapa variabel. Dalam AHP akan dikembangkan berbagai kriteria (multi kriteria) sesuai jenjang kriteria variabel penentu lokasi stasiun. Metode AHP merupakan altematif teknik analisis yang mampu menggabungkan sejumlah kriteria (multi kriteria) dengan besaran yang berbeda (multi-variable) dan dalam persepsi pihak terkait yang bermacammacam (multi facet). AHP merupakan alat pendukung keputusan yang pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. AHP merupakan s istem pembuat keputusan dengan menggunakan model matematis yang digunakan untuk
245
•
membantu dalam menentukan prioritas dari beberapa kriteria dengan melakukan analisis perbandingan berpasangan dari masing-masing kriteria. AHP digunakan untuk menurunkan skala rasio dari beberapa perbandingan berpasangan yang bersifat diskrit maupun kontinyu. Perbandingan berpasangan dapat diperoleh melalui pengukuran aktual maupun relatif dari derajat kesukaan, atau kepentingan atau perasaan. Penggunaan AHP dimulai dengan membuat struktur hierarki atau jaringan dari permasalahan yang ingin diteliti. Perbandingan berpasangan dipergunakan untuk membentuk hubungan di dalam s truktur. Hasil dari perbandingan berpasangan ini akan membentuk matrik dimana skala rasio diturunkan dalam bentuk eigenvektor utama atau fungsieigen. Matriks tersebut berciri positif dan berbalikan, yaitu a I). = 1/aJI.. Jika terdapat n altematif/kriteria, maka akan terdapat nx < n;i) perbandingan berpasangan.
Penetapan kriteria dan sub-kriteria 1. Kebijakan/regulasi a. Kesesuaian dengan rencana pengembangan berdasarkan Rencana Induk Perkeretaapian. Hal prioritas yang menjadi pertimbangan dalam penetapan lokasi stasiun harus mengacu pada Rencana Induk Perkeretaapian Nasional yang memberikan arahan pengembangan prasarana perkeretaapian baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. b. Kesesuaian dengan peruntukan penggunaan lahan berdasar kan rencana tata ruang wilayah.
246
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) merupakan rencana tata ruang yang mengarahkan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah nasional. Dalam rangka mewujudkan kebijakan dan strategi tersebut ditetapkan fungsi dan peran masing-masing wilayah menurut potensi dan kondisi sumber daya yang dimiliki serta adanya faktor ekstemal yang menjadi salah satu penentu kebijakan tersebut. Persyaratan penetapan lokasi stasiun juga harus sesuai dengan RTRW baik nasional maupun daerah, sehingga diperoleh gambaran hirarki fungsi kawasan yang berkaitan dengan fungsinya sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL).
2. Operasional a. Mengacu pada pola operasi perjalanan kereta. Secara umum operasional pelayanan kereta api meliputi pelayanan kereta api yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan nasional yang juga merupakan daerah perkotaan serta pelayanan pada pusat-pusat kegiatan propinsi dan beberapa hinterland-nya . Pola operasi ini juga terkait dengan frekuensi lalu lintas yaitu banyaknya kereta api yang berangkat, berhenti dan melintas di suatu stasiun selama kurun waktu tertentu. b. Mempertimbangkan jarak minimal dengan stasiun lainnya. Dalam rangka perencanaan lokasi stasiun, maka yang perlu menjadi perhatian salah satunya adalah kedekatan antar stasiun sehingga kinerja antar stasiun dalam
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
pemenuhan aktivitasnya dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Dalam hal ini jarak minimum guna terwujud jaringan prasarana transportasi kereta api yang efektif. c. Mempertimbangkan jarak maksimal dengan stasiun lainnya. Dalam penetapan lokasi stasiun penumpang salah satu persyaratan adalah dengan memperhatikan jarak dengan stasiun lainnya (antar stasiun), yang dalam hal ini jarak maksimum guna terwujud jaringan prasarana transportasi kereta api yang efektif.
3. Ekonomi a. Adan ya potensi ekonomi wilayah/ kawasan pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial daerah setempat yang berdampak pada peningkatan aktivitas penumpang dan barang dari dan ke stasiun menjadi pertimbangan. Kelayakan ekonomis dengan memperhatikan produk domestik regional bruto, aktivitas perdagangan dan industri yang ada, serta prediksi di masa mendatang, perkembangan aktivitas volume barang dan penumpang, kontribusi pada peningkatan taraf hidup penduduk dan perhitungan ekonomis/ finansial. b. Pertumbuhan penduduk. Setiap wilayah memiliki potensi masing-masing dan jumlah penduduk pada suatu wilayah memberikan gam baran pada besaran potensi wilayah yang bersangkutan, sebaliknya akumulasi penduduk yang rendah mengindikasikan bahwa peluang perekonomian wilayah juga terbatas.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Kondisi ini juga mempengaruhi pada pengembangan stasiun kereta api sebagai simpul yang dapat memenuhi kebutuhan aktivitas penduduk. c. Potensi permintaan penumpang. Penempatan lokasi stasiun penumpang tentunya juga mempertimbangkan adanya potensi masyarakat di sekitar lokasi yang mempergunakan angkutan kereta api.
4. Aksesibilitas dan Konektivitas a . Memiliki kemudahan akses menujuke stasiun. Aksesibilitas menuju stasiun artinya kemudahan/ akses terhadap sis tern jaringan transportasi, terutama sistem jaringan transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya dengan stasiun. Semakin dekat jarak stasiun dengan sistem jaringan transportasi primer maka aksesnya semakin baik. b. Memiliki kemudahan akses dari stasiun. Aksesibilitas dari stasiun menuju ke tempat tujuan artinya kemudahan/ a kses terhadap sistem jaringan transportasi, terutama sistem jaringan transportasi yang menghubungkan dengan wilayah sekitamya, diantaran ya sistem jaringan jalan. Semakin dekat jarak stasiun dengan sistem jaringan transportasi primer maka aksesnya semakin baik. c. Adanya konektivias layanan dengan moda transportasi lainnya. Konektivitas saat ini menjadi isu yang sedang mengemuka. Terkoneksinya jaringan suatu moda transportasi dengan moda transportasi lainnya yang semakin memudahkan para pengguna
247
jasa/ masyarakat akan menjadi pilihan. d. Mempertimbangkan jarak dengan pusat kota. Kedekatan jarak dengan pusat kota, artinya faktor kedekatan terhadap aktivitas perekonomian, perdagangan, dll maka peluang stasiun tersebut berkembang karena banyaknya mobilitas naik turun penumpang akan semakin besar. e. Terintegrasi dengan jaringan jalan. Terdapatnya integrasi antara stasiun dengan jaringan jalan di sekitarnya tentunya akan memudahkan bagi pengguna jasa/ masyarakat yang memanfaatkan fasilitas stasiun. 5. Lingkungan
a. Sesuai dengan perkembangan kondisi lingkungan. Kelayakan lingkungan dengan memperhatikan daya dukung lokasi, dan kawasan sekitarnya. b. Meminimalkan dampak negatif. Pembangunan di segala sektor tidak hanya memberi pengaruh pada pengembangan kegiatan perekonomian, akan tetapi perkembangan sosial di sekitamya juga merupakan faktor y ang saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Dengan menggunakan kriteria tersebut, penilaian dilakukan dengan memberikan nilai untuk masing-masing usulan kriteria. Penilaian diberikan oleh beberapa pakar (expert) yang memiliki pengetahuan dan pengalaman serta mampu memberikan penilaian secara obyektif. Adapun untuk mendapatkan prioritas setiap kriteria dengan metode perbandingan berpasangan. 248
Sama Pentin g (Eq ually Impor fllnce)
Kedua aspek sama penting seb agai kriteria penetaµm lo kas i
Lebih Pentin g (Mo derately Impor tance)
Satu aspe k lehih penting sebagai kriteria dibandin gkan satu aspek · yang lain
Sangat Lebi h Pen ting (Strongly Imp ortance)
Satu aspe k s angat lebih penting sebag ai kriteria dib andin gkan satu as pek yang Iain
7
Sangat Lebih Pen ting Seka! i (Very Strongly Imp ortance)
Satu aspek sangat lebih penting sekali sebagai krrteria di bandingkan satu aspek yang lain
9
Satu aspek paling penting scbagai Paling Penting (Extremely Imp orta nce) kriteria dibandingkan satu aspek yang la in
2,4,6,8 Nilai ten gah diantara dua nilai keputusan yang berdekatan
Bi la kompromi dibutuhkan
Dari nilai skala perbandingan yang diperoleh kemudian dituangkan ke dalam matriks perbandingan berpasangan. Kepentingan relatif dari tiap faktor dari setiap baris dari matrik dapat dinyatakan sebagai bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative weight). Bobot relatif yang dinormalkan ini merupakan suatu bobot nilai relatif untuk masing-masing faktor pada setiap kolom, dengan membandingkan masing-masing nilai skala dengan jumlah kolomny a. Eigenvektor utama yang dinormalkan (normalized principal eigenvector) adalah identik dengan menormalkan kolomkolom dalam matriks perbandingan berpasangan. Nilai ini merupakan bobot nilai rata-rata secara keseluruhan, yang diperoleh dari rata-rata bobot relatif yang dinormalkan masing-masing faktor pada setiap barisnya. Tabel 2. Matriks Perbandingan 8 erpasangm k1
kz
k:i
1
a1 2
a z1 a 31
1
a 13 a z3
a z3
1
... ... ... ...
...
...
...
...
1
km
3m1
3m2
a m3
...
k1 kz k3
kn 31n a zn a 3n
1
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Konsistensi AHP Salah satu permasalahan dalam pengukuran pendapat manusia adalah apakah jawaban yang diberikan tersebut konsisten a tau tidak. Terlalu banyak ketidakkonsistenan tidak diinginkan karena akan berdampak pada kevalidan data yang diperoleh. Batas ketidakkonsistenan yang ditetapkan Saaty diukur dengan menggunakan rasio konsistensi atau Consistency Ratio (CR), yakni perbandingan indek konsistensi dengan nilai indeks random (Random Index;RI). Jika aij mewakili derajat kepentingan faktor i terhadap faktor j dan aik menyatakan kepentingan dari faktor j terhadap faktor k, maka agar keputusan menjadi konsisten, kepentingan dari faktor i terhadap faktor k hams sama dengan aifaik atau jika aifajk = aik untuk semua i, j, k maka matriks tersebut konsisten. Indek konsistensi dari matrik berordo n dapat diperoleh dengan rumus: CI
= Ama1c"fmum -
n
n - 1
dimana: CI = Consistency Index (Indek konsistensi) emaksimum = Nilai eigen terbesar dari matrik berordo n emaksimum diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian jumlah kolom dengan eigen vektor utama. Setelah diperoleh nilai CI langkah selanjutnya adalah menghitung CR dengan rumus sebagai berikut: CJ CR= RI
Dengan: CR= Consistency Ratio (Rasio Konsistensi) CI= Consistency Index (Indeks Konsistensi) RI= Random Index (Indeks Random)
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Nilai RI tergantung pada ordo (ukuran) matriks yaitu n atau jumlah faktornya. Tabet 3. Indeks Random (RI)
1
0
6
124
11
1,51
2
0
7
1,32
12
1,48
3
0,58
8
1,41
13
1,56
4
0,9
9
1,45
14
1,57
5
1,12
10
1,49
15
1,5 9
Sumber: Snaty, T'10111as L., and Luis G. Vargas, 1994, Th e Analytical Hiern rc/1yProcess Vol. VII : " Decisio n Making in Econo111ic, Po litical, Social, Technological Environments, 1st Edition, RWS Publ ica tions, Pittsburgh, p.9)
Jika nilai CR lebih kecil atau sama dengan 0.1 (10%) maka ketidakkonsistenan masih dapat diterima sehingga hasil penelitian dapat diterima atau dipertanggungjawabkan. Jika tida k, maka pengambilan keputusan harus meninjau ulang masalah dan merevisi matriks perbandingan berpasangan. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 1. Identifikasi Kajian Terkait a. Railroad Corridor Transportation Plans A Guidance Manual US Department of Transport dalam bukunya Railroad Corridor Transportation Plans - A Guidance Manual membuat panduan mengenai lokasi stasiun kereta api. Aspek fundamental yang membuat seseorang menggunakan kereta api dipengaruhi oleh aksesibilitas dari dan ke stasiun serta jadwal kereta api. Untuk stasiun dalam kota, lokasi stasiun dalam beberapa kasus didasarkan pada permintaan dan situasi lokasi, meskipun dalam beberapa hal terkadang bertentangan, misalnya:
249
1) Harus mudah diakses dari dan ke tempat kerja serta tempat tinggal. 2) Apabila terlalu banyak stasiun maka akan memperpanjang waktu perjalanan. 3) Apabila stasiun terlalu sedikit akan lebih sulit bagi pengguna untuk menggunakan angkutan kereta api. 4) Lokasi stasiun dapat memenuhi keperluan dari aspek bisnis dan wisata.
b. Railroad Corridor Transportation Plans A Guidance Manual
Federal Railroad Administration (FRA) dalam makalah tentang Railroad Corridor Transportation Plans A Guidance Manual, memberikan panduan dalam meningkatkan layanan kereta api antar kota berkecepatan tinggi. Disamping perencanaan rute yang akan dipilih, elemen mendasar lainnya adalah pemilihan lokasi stasiun. 1) Setiap kota harus memiliki stasiun yang terletak di atau dekat pusat bisnis. Hal ini wajib untuk kota besar (Metropolitan Area), dengan populasi 150.000 atau lebih. Lokasi di pusat kota sangat dianjurkan, dan jika memungkinkan, juga untuk kota-kota kecil. Stasiun di pusat kota harus memiliki akses langsung ke sistem transit lokal (bis, kereta api, taksi, dll) serta kapasitas yang memadai untuk tempat parkir mobil pribadi. 2) Satu atau lebih stasiun di pinggiran kota perlu disediakan di wilayah metropolitan dengan memberikan kemudahan ke sistem jalan lokal primer untuk mengakomodasi pengendara potensial yang tinggal di luar pusat kota.
c. Station Planning, Process & Guidelines
Dalam artikel berjudul Station Planning, Process & Guidelines (www.sw2neRAIL. com)
250
menyebutkan bahwa tujuan pengembangan stasiun antara lain adalah untuk meningkatkan layanan dalam melakukan mobilitas, menciptakan keberlanjutan dan benefit lingkungan sosial. Sejumlah tujuan dan kriteria ditetapkan untuk mengevaluasi dan menentukan lokasi stasiun yang optimal.
1) Kompatibilitas Lingkungan Stasiun harus terintegrasi dengan lingkungan yang ada dan meminimalkan dampak negatif. Stasiun ini harus memberikan benefit bagi masyarakat, disamping harus melayani lingkungan sekitarnya. Kriteria spesifik yang berhubungan meliputi kompatibilitas dengan penggunaan lahan yang ada dan rencana tata guna lahan serta dampak karena pembebasan lahan untuk pembangunan stasiun.
2) Sosial-Ekonorni Lokasi stasiun di daerah dengan kepadatan yang tinggi dapat memaksimalkan penumpang dengan didukung akses jalan yang nyaman khususnya untuk kebutuhan bekerja dan perumahan, teru tama jika potensi penumpang cukup tinggi di daerah tersebut. Kriteria spesifik yang akan digunakan meliputi: a. Kepadatan penduduk eksisting maupun yang akan datang dalam jarak 1/ 2 mil dari stasiun. b. Tenaga kerja eksisting dan proyeksi masa yang akan datang dalam 1/2 mil dari stasiun. c. Pertumbuhan populasi dalam 1/2 mil dari stasiun. d. Terletak dekat dengan pusat aktivitas/ kegiatan. 3) Proyeksi perjalanan
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Lokasi stasiun hams dapat melayani penumpang yang ada (eksisting) dan jumlah penumpang yang diproyeksikan ke depan serta memaksimalkan selumh sistem transportasi. Kriteria spesifik yang dipergunakan meliputi rata-rata harian penumpang yang naik, rata-rata periode puncak yang naik, dan p erkiraan jam puncak penumpang. 4) Jarak Stasiun Stasiun harus menyediakan akses ke lokasi terdekat dan pusat kegiatan, namun tetap mempertimbangkan efisiensi operasional system kereta api. Stasiun harus mengoptimalkan waktu perjalanan dan memberikan layanan seefisien mungkin, dengan demikian dapat memaksimalkan pengguna jasa. Untuk kereta api komuter, jarak antara stasiun hams 2-10 mil, tergantung pada teknologi yang digunakan untuk mencapai kecepatan op erasi maksimum dan efisiensi operasi. 5) Aksesibilitas dan Konektivitas Stasiun harus terintegrasi d engan sistem transportasi yang ada, dengan menyediakan akses yang memadai untuk bus dalam kota/luar ko ta. Dampak terhadap lalu lintas jalan hams diminimalkan. Kriteria sp esifik antara lain jarak ke jalan primer, dekat dengan jalan raya, jumlah rute bus lokal yang melayani, poten si penumpang transit (seperti kereta api komuter dan hub bus atau antar moda transportasi lainnya.). 6) Aksesibilitas pejalan kaki Pembangunan stasiun yang diusulkan harus menyediakan jalur sepeda yang aman, nyaman, dan dapat diakses oleh pejalan kaki. Rute untuk jalur sepeda Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
dan pejalan kaki ke dan dari stasiun harus terintegrasi. 7) Keberlanjutan/ Sus tainability Stasiun harus meminimalkan dampak terhadap lingkungan alam dan harus mengintegrasikan dengan lingkungan yang ada ke dalam desain mereka. Pertimbangan juga harus diberikan untuk menghindari dampak terhadap lingkungan alam yang memiliki biaya mitigasi tinggi. Rencana yang di u s ulkan h a ru s memiliki dukungan yang kuat dan konsisten dengan mengadopsi rencana pengembangan yang komprehensif, dalam arti kompatibel dengan rencana tata ruan g daerah, memperoleh dukungan, mempunyai potensi untuk dikembangkan secara ekonomi. 2. Analisis Kriteria Kriteria in i memberikan ketentuan ukuran sebagai dasar penilaian atau penetapan lokasi stasiun penumpang kereta api. Berdasarkan studi literatur dan p u s taka, secara garis be sar terdapat lima kriteria penetapan lokasi stasiun penumpang yaitu dilihat dari aspek regulasi, operasional, ekonomi, aksesibilitas dan konektivitas, serta lingk un gan. Dengan menggunakan A nalytical Hierarchy Proces s (AHP) maka akan ditentukan prioritas dari kelima kriteria tersebut untuk penentuan lokasi stasiun. Berdasarkan tabel 4 responden menyatakan bahwa aspek regulasi berada di nilai tengah antara sama penting dan lebih penting, aspek regulasi sangat lebih penting dibandingkan aspek eko n o mi, demikian seterusn y a . Kepentingan relatif dari setiap aspek dari setiap baris dapat dinyatakan
251
•
Tabel 4. Matriks Perbandingan Berpasangan untuk Responden 1
Konektivitas Lingkungan
Jumlah
0.17
0.33 0.33
0.17 2.03
0.33 4.00
2.00
3.00 0.50 1.00
0.33 0.33
3.00 14.00
3.00 13.50
1.00 10.67
1.00
Sumber: HasilAnalisis , 2012
Tabel 5. Has ii Perhitungan Bobot Relatifyang Dinormalkan untuk Respond en 1
Regulasi
0.49
0.50
0.36
0.44
0.56
0.47
1
Operasional
0.25 0.10
0.25 0.08
0.21 0.07
0.22 0.04
0.28 0.03
0.24 0.06
2 5
0.08
0.08
0.14
0.07
0.03
0.08
4
0.08 1.00
0.08 1.00
0.21 1.00
0.22 1.00
0.09 1.00
0.14 1.00
3
Ekonomi Aksesibi Ii tas dan Konektivitas
Sumber: HasilAn a lisis, 2012
sebagai bobot relatif yang dinormalkan (nonnalized relative weight). Bobot relatif yang dinormalkan ini merupakan suatu bobot nilai relatif untuk masingmasing aspek pada setiap kolom, dengan membandingkan masingmasing nilai skala dengan jumlah kolomnya. Eigenvektor utama yang dinormalkan (normalized principal eigenvector) adalah identik dengan menormalkan kolom-kolom dalam matriks perbandingan berpasangan. Eigenvektor merupakan bobot nilai rata-rata secara keseluruhan, yang diperoleh dari rata-rata bobot relatif yang dinormalkan masing-masing faktor pada setiap barisnya. Sebagai contoh, bobot relatif yang dinormalkan dari aspek regulasi terhadap operasional pada tabel 4 adalah 2/ 4 = 0.5. Sedangkan bobot relatif yang dinormalkan dari aspek regulasi terhadap ekonomi adalah 5/14 = 0.36 dan seterusnya. Tabel 5 merupakan
252
hasil perhitungan bobot relatif yang dinormalkan dari tabel 4. Setelah didapatkan nilai eigenvektor langkah selanjutnya adalah menghitung rasio konsistensi. Ini untuk mengukur konsistensi jawaban yang diberikan respond en. 2.03*0.47) + (4*0.24) + (14*0.06) + (13.50*0.08) + (10.67*0.14)
A.maks im um
5.42919556
CI
CR
=
IL maksrnrn . m-n n-1
=
0.1073
CI
5.42919556 - 5 5-1
0.1073
-- =--RI 1.12
0.096 (< 0.1, konsistensi jawaban responden dapat diterima) Berdasarkan nilai-nilai eigen dapat dibuat peringkat sebagai berikut:
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Aksesibilitas dan Konektivitas 0.14
Lin un an Sumber. Hasil Anali sis , 201 2
3
Dari tabel 6 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pendapat responden 1 yang harus diprioritaskan dalam penentuan lokasi stasiun penumpang adalah aspek regulasi. Aspek yang kedua yaitu operasional, kemudian lingkungan, aksesibilitas dan konektivitas dan yang terakhir adalah aspek ekonomi. Dari tabel 7 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pendapat responden 2 yang diprioritaskan dalam penentuan lokasi s tasiun penumpang adalah aspek lingkungan. Selanjutnya adalah aspek ekonomi, aksesibilitas dan konektivitas, aspek operasional dan yang terakhir adalah aspek regulasi.
Regulasi Operasional
Setelah didapatkan nilai eigenvektor langkah selanjutnya adalah menghitung rasio konsistensi. (17.0*0.06) + (9.33*0.14) + ,1, ma ks1111 . 11111 (5.70*0.21) + (4.33*0.21) + (2. 73*0.39) 5.37566884 ,1,maks1111u111 . -n
CI
n-1 =
0.0939
CI RI
CR
0.0939 1.12
0.083 (<0.1 , konsistensi jawaban responden dapat diterima) Dari tabel 8 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pendapat responden 3 yang menjadi prioritas dalam penentuan lokasi stasiun adalah aspek lingkungan. Aspek berikutnya adalah ekonomi, aksesibilitas dan konektivitas serta aspek regulasi.
0 .04 0.11
0.08 0.23
om
0.09
O.Q4
5.37566884 - 5 5-1
O.Q7
0.06 0.14
5 4
Ekonomi
0 .29
0.21
0.18
0.23
0 .12
0.21
2
Akses ibilitas dan Konekti vi tas Lingkungan
0 .18
0.11
0.18
0.23
0 .37
0.21
3
0.2 9 1.00
0 .54 1.00
0.53 l.00
0.23 1.00
0.37 1.00
0.39 1.00
Sumbe l'. Ha sil Anali sis, 201 2
Tabet 8. Hasil Perhitung;rn Bobot Relatif yang Dinorma lkan untuk Re sponden 3
0.04
O.Q3
0.04
0.03
5 4
Operasional
0 .17
0.07
0.14
0.05
0.06
0.10
Ekonomi
0.24
0. 14
0.27
0.19
0.39
0.25
2
Akses ibilitas dan Konektivitas Lingkungan
0 .24
0.28
0.27
0 . 19
0. 13
0.22
3
0 .31
0.49
0.27
0.56
0.39
0.40
1.00
1.00
1. 00
1.00
1.00
1.00
Sumber: Hasil Anali sis, 201 2
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
253
Setelah didapatkan nilai eigenvektor langkah selanjutnya adalah menghitung rasio konsistensi. A
111
aksilll u/I/
(29.0*0.03) + (14.20*0.10) + (3.64*0.25) + (5.39*0.22) + (2.59*0.40) = 5.4197471 . 111 -n = /l maks11nu
CI
n-1
5.4197471 - 5 5-1
= 0.1049
CI 0.1049 -=--RI 1.12
CR
= 0.0937 (<0.1, konsistensi jawaban responden dapat diterima) Dari tabel 9 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pendapat responden 4 yang menjadi prioritas dalam penentuan lokasi stasiun penumpang kereta api adalah aspek regulasi. Sedangkan ke empat aspek lainnya secara berurutan adalah aspek lingkungan, ekonomi, operasional serta aksesibilitas dan konektivitas. Langkah selanjutnya adalah menghitung rasio konsistensi. A 111 aks im ulll
(3.50*0.28) + (6.50*0.18) + (6.00*0.19) + (8.00*0.12) + (5.00*0.23) = 5.3149542
= /lmaks1.mu rn -n
CI
5.3149542 - 5 5-1
n-1 = 0.1037
CI RI
CR
= --
0.1037 1.12
=---
0.092623 (<0.1, konsistensi jawaban responden dapat diterima) Dari tabel 10 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan pendapat responden 5 · pilihan prioritas dalam penentuan lokasi stasiun penumpang kereta api adalah aspek regulasi. Selanjutnya adalah aspek aksesibilitas dan konektivitas, lingkungan, ekonomi, dan operasional. Setelah didapatkan nilai eigenvektor langkah selanjutnya adalah menghitung rasio konsistensi. (3.40*0.32) + (24.0*0.04) + /lmaksimum (8.17*0.18) + (4.17*0.23) + (4.17*0.23) 5.44806146 =
CI
Amaks imu m-n
n-1
CR
=5.44806146 - 5 5-1
= 0.1120 CI 0.1120 -- =--RI 1.12 0.1000 (konsistensi jawaban responden dapat diterima)
Tabel 9 Hasil Perhitungan Bobot Relatif yang Dinormalkan untuk Responden 4 I
I.II ill
l~1..'~ til.1-..1
( ll'
1..
i .1-..1
l k\
I
lh) 1111
l,11,11
\ ,,,,t!,t!1L1' ,\. f-..1>\k k \\I I I.I'
I
I ll.C
k
I I .c ,, \ ..._i._!tll
!-'.
Ill f-1 IL'
Regulasi
0 .29
0 .31
0.33
0.25
0.20
0.28
I
Opera;ional
0 .14
0 .15
0.08
0. 13
0.40
0.18
4
Ekonomi
0 .14
0.31
0. 17
0.25
0. 10
0. 19
3
Aks esibilitas dan Konektivitas
0 .14
0.15
0.08
0. 13
0. 10
0. 12
5
Lingkungan
0 .29
0.08
0.33
0.25
0.20
0.23
2
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
Sumber: Hasil Analisis, 2012
254
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Tabet 10. Hasil Perhitungan Bo bot Relatif yang Dinomrnlkan untuk Responden 5 ( l
I
Reg ul as1 Operasional Ekono mi Aksesibilitas dan Konektivitas Linclrnngan
~
,
I
\
,,
I
I'
'
'
•II
0 29 0.06 0.06
0 21 0.04 0.25
0 61 0.02 0.12
0 24 0.04 0.24
0 24 0.04 0.24
0 32 0.04 0. 18
5 4
0.29 0.29 1.00
0.25 0.25 1.00
0 .12 0.12 1.00
0. 24 0.24
0.24 0.24
0.23 0.23
2 3
1.00
1.00
1.00
Sumber: HasilAnalisis, 2012
Dari tabel 11 terlihat bahwa tiga dari responden menyatakan bahwa aspek regulasi merupakan prioritas utama dalam penentuan lokasi stasiun penumpang kereta api dibandingkan ke empat aspek lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam penentuan lokasi stasiun aspek yang menjadi prioritas adalah regulasi. Selanjutnya aspek yang menjadi prioritas adalah lingkungan, diikuti aspek ekonomi, aksesibilitas dan konektivitas, serta operasiona 1. Tabel 11. Rekapitulasi Hasil Analisis
2.
Aksesi l:i Ii tas dan Konektivi tas Ekonomi Lin kun an Ekonomi Aksesi l:i Ii tas dan Konektivi tas
3.
4.
5.
Sumber: Hasi IAnalis is 2012
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
0.14 0.08 0.06 0.39 0.21 0.21 0.14 0.06 0.39 0.25 0.22 0.10 0.03 0.28 0.23 0.19 0.18 0.12 0.32 0.23 0.23 0.18 0.04
2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
3. Analisis Sub Kriteria Penilaian bobot setiap sub kriteria didapat dari pengolahan data hasil op1m responden yang diolah menggunakan Analytichal Hirarchy Proces. Data yang diolah adalah opini mengenai tingkat kepentingan dengan menggunakan skala 1 s.d. 9. Tabel 12. Sub kiiteria dari Aspek Kebijakan/Regulasi 1.
Kesesuaian dengan rencana pengernbangan berdasarkan RIPNAS Kesesuian dengan penmtukan penggunaan lahan berdasarkan RTRW 2. Kesesuaian dengan rencana oengernbangan berdasarkan RLPNAS Kesesuian dengan peruntukan penggunaan lahan berdasarkan RTRW 3. Kesesuaian dengan rencana oengernbangan berdasarkan RIPNAS Kesesuian dengan penmtukan pcnggunaan lahan berdasarkan RTRW 4. K esesu i an d cngan pc run tu kan penggunaan lahan berdasarkan RTRW Kesesuaian dengan rencana oengernbangan berdasarkan RIPNAS Kesesuaian dengan rencana 5. loengentiangan berdasarkan RIPNAS Kesesuaian dengan peruntukan penggunaan lahan berdasarkan RTRW S umber: Has ii anahs1s, 20 12
I 2
I I
I 2
I
2 I I
Tabel 12 menunjukkan hasil opm1 responden untuk aspek kebijakan/ regulasi dimana menurut responden 1 dan responden 3, kesesuaian dengan rencana
255
pengembangan berdasarkan RIPNAS lebih penting jika dibandingkan dengan kesesuaian dengan peruntukan penggunaan lahan berdasarkan rencana tata ruang wilayah. Responden 2 dan responden 5 menilai kesesuian dengan rencana pengembangan berdasarkan RIPNAS sama penting jika dibandingkan dengan kesesuaian dengan peruntukan penggunaan lahan berdasarkan rencana tata ruang wilayah. Responden 4 menilai kesesuaian dengan peruntukan penggunaan lahan berdasarkan rencana tata ruang wilayah paling penting jika dibandingkan dengan rencana pengembangan berdasarkan RIPNAS.
kereta api. Hal ini sesuai dengan kondisi dimana pola perjalanan kereta api yang terbagi dalam layanan tingkat nasional, antar propinsi dan kabupaten/kota. Selanjutnya yang menjadi pertimbangan adalah jarak antar stasiun, yang dikategorikan dalam jarak minimal dan jarak maksimal. Pertimbangan jarak ini adalah dalam rangka efektivitas pembangunan stasiun. Ta be I 14. Sub kriteria dari Aspek Ekonomi 1.
2.
wilayah/
Tabet 13. Sub kriteria dari Aspek Operasional I.
2.
3.
4.
5.
Mengacu oada oola o
Ksimal stasiun dengan stasiun lainnva Menoacu pada pola oKsimal stasiun dengan stasiun lainnva
1 2
3. 2
3
3 I
4.
Adanya potensi ekonomi wilayah kawasan pertumbuha1
5.
Adanya potensi ekonomi wilayah/ kawasan rtumbuha1 Perturrbuhan nduduk Potensi permintaan penumpang
2 2 I
2 3 I I
2 I I I
Sumber: Ha.;;11anal1S1s,2012
Untuk sub kriteria dari aspek operasional yang terdiri dari tiga sub variabel yaitu penetapan stasiun penumpang kereta api harus mengacu pada pola operasional serta mempertimbangkan jarak minimal dan maksimal antar stasiun. Dari hasil opini responden menunjukkan bahwa yang menjadi urutan pertama adalah varibel yang mengacu pada pola perjalanan
256
2 2
Sumber: Hasilanalisis, 2012
Untuk sub kriteria dari aspek ekonomi yang terbagi dalam tiga variabel, dari hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi urutan pertama adalah potensi ekonomi di wilayah/kawasan pertumbuhan dalam penetapan lokasi stasiun penumpang. Adanya potensi ekonomi di wilayah tersebut tentunya akan menarik berbagai aktivitas yang pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap pengembangan stasiun. Disamping itu faktor berikutnya yang menentukan adalah pertumbuhan penduduk, serta adanya potensi permintaan penumpang di sekitar wilayah yang akan menjadi lokasi stasiun.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
. d an"As;pe kAks CSI"b"li . Tabel 15. Subk ntena I tas dan Kone k ttVJtas I.
2.
3.
4.
5.
Men:vertimbangkanjarakdengan pusat kom Teri ntegras i d engan j aringan j a Ian Memiliki kerrudahan akses menuju smsiun Adan ya konektivims layanan dengan moda transport a; i lainnya Memiliki kerrudahan akses dari smsiun Menl)ertimbangkanjarak dengan pusat ko13 Memiliki kerrudahan akses dari stasiun Terintegrasi dengan j aringan j aIan Memiliki ken'l!dahan akses menuju smsiun Adan ya konektivims layanan dcngan moda transporta;i laim1ya Mermertimbancl
Tabel 16. Sub kriteria dari A~ek Lingkungan I
2 3 3 4 I 2 2
3 5 I 2 3 3 4 I I I I
I I
2 2 2
3
Sumber: Has 1l llllahsi s, 2012
Untuk sub kriteria dari aspek aksesibilitas dan konektivitas terdapat lima variabel yang menjadi pilihan bagi responden. Setelah dilakukan analisis diperoleh hasil bahwa yang menjadi pilihan terbanyak adalah pertimbangan jarak stasiun dengan pusat kota. Kedekatan jarak stasiun dengan pusat kota akan mempengaruhi seseorang atau pengguna jasa dalam melakukan pilihan terhadap moda kereta api. Faktor berikutnya yang memiliki nilai sama adalah terintegrasinya lokasi stasiun dengan jaringan jalan dan kemudahan akses menuju ke stasiun. Semakin mudahnya akses dari dan ke stasiun akan mendorong atau bahkan meningkatnya pengguna layanan kereta. Terkait sub kriteria aspek lingkungan, diperoleh gambaran bahwa responden 1 dan responden 5 menilai kesesuaian dengan perkembangan kondisi ling-
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
I.
Sesuai dengan perkembangan kondisi lingkungan Meminirmlkan da1mak negaif 2. Meminirmlkan darrvak negaif Sesuai dengan perkembangan kondisi lingkungan 3. Meminirmlkan da!T1'ak negaif Sesuai dengan perkembangan kondisi lingkungan 4. Meminirmlkan darrvak negaif Sesuai dengan perkembangan kondisi lingkungan 5. Sesuai dengan perkembangan kondisi lingkungan Meminirmlkan da!T1'ak negaif Sumber : Hasil anahs1s, 2012
I 1 l
2 l
2 l
2 l
I
kungan sama penting jika dibandingkan dengan meminimalkan dampak negatif. Sedangkan responden 2, 3, dan 4 menilai kesesuaian dengan perkembangan kondisi lingkungan lebih penting jika dibandingk an dengan meminimalkan dampak negatif. Hal ini memperlihatkan bahwa kesesuaian dengan kondisi lingkungan merupakan aspek yang lebih penting untuk dipertimbangkan dalam penetapan lokasi stasiun kereta api. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a. Penetapan lokasi stasiun dipengaruhi oleh beberapa faktor / aspek antara lain dari kebijakan/ regulasi, operasional k ereta api, ekonomi wilayah, aksesibilitas dan konektivitas, serta lingkungan. Faktor- faktor tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dalam arti saling mendukung dan mempengaruhi pada saat akan merencanakan lokasi suatu stasiun. b. Mempertimbangkan banyaknya faktor tersebut, maka analisis kriteria dipergunakan guna melihat prioritas yang menjadi pilihan sesuai opini
257
responden. Dari pengolahan data diperoleh hasil bahwa sebagian besar responden menyatakan aspek regulasi merupakan prioritas utama dalam penentuan lokasi stasiun penumpang kereta api dibandingkan ke empat aspek lainnya. c. Analisis sub kriteria yang merupakan penjabaran dari kriteria menempatkan sub kriteria kesesuaian rencana induk perkeretaapian nasional (Ripnas) sebagai prioritas dibandingkan aspek tata guna lahan (rencana tata ruang wilayah). Pada sub kriteria lingkungan, kesesuaian dengan perkembangan kondisi lingkungan menjadi aspek yang lebih penting. Sedangkan sub kriteria dari aspek ekonomi menunjukkan bahwa yang menjadi urutan pertama adalah potensi ekonomi di wilayah/kawasan pertumbuhan dalam penetapan lokasi stasiun penumpang. Untuk sub kriteria dari aspek aksesibilitas dan konektivitas yang menjadi pilihan terbanyak adalah pertimbangan jarak stasiun dengan pusat kota.
2. Saran Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan maka disusun rekomendasi kriteria penetapan lokasi stasiun kereta api penumpang sesuai prioritas hasil analisis sebagai berikut: a. Aspek kebijakan/ regulasi, dengan sub kriteria : 1) Kesesuaian dengan rencana pengembang an berdasarkan rencana induk perkeretaapian nasional. 2) Kesesuaian dengan peruntukan penggunaan lahan berdasar kan rencana tata ruang wilayah.
258
b. Aspek lingkungan, dengan sub kriteria: 1) Kesesuaian dengan perkembangan kondisi lingkungan. 2) Meminimalkan dampak negatif. c. Aspek ekonomi, dengan sub kriteria: 1) Potensi ekonomi di wilayah/ kawasan pertumbuhan 2) Pertumbuhan penduduk 3) Potensi permintaan penumpang di sekitar wilayah yang akan menjadi lokasi stasiun. d. Aspek aksesibilitas dan konektivitas, dengan sub kriteria: 1) Pertimbangan jarak stasiun dengan pusat kota 2) Terintegrasinya lokasi stasiun dengan jaringan jalan 3) Kemudahan akses menuju dan dari stasiun. e. Aspek operasional, dengan sub kriteria: 1) Sesuai/ mengacu pada pola perjalanan kereta api 2) Mempertimbangkan jarak minimal dengan stasiun lainnya 3) Mempertimbangkan jarak maksimal dengan stasiun lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek . Rineka Cipta . Jakarta. Burhan, Gunawan, Marzuki. 2002. Statistik Terapan Untuk Penelitian Sosial. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Clifford Bonnett, 2005. Practical Railway Engineering. 2nd edition. Imperial College Press. London.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Edward, K.Morlock. 1994. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Erlangga. Jakarta. Guilermo A Mendoza dan Phil Macoun. 1999. Panduan Untuk Menerap kan Analisis Multi Kriteria. (alih bahasa Ani Kartikasari & Rita Maharani) . Jakarta. Peraturan Pemerintah No.56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian Peraturan Pemerintah No.72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api
The Analytical HierarchyProcess Vol. VII: "Decision Making in Economic, Political, Social, Technological Environments, 1st Edition, RWS Publications, Pittsburgh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian. www.keretaapi.co.id. *)
Lahir Magetan 8Desember1963, S-1 Manajemen, S-2 Transportasi Dara t, Peneliti Mad ya Bidang Transportasi Darat da n Perkeretaapian.
Peraturan Menteri Nomor 29 Tahun 201 ltentang Persyaratan Teknis Bangunan Stasiun Kereta Api Sugiyono. 2000. Statistik Untuk Penelitian. Alfabeta. Bandung. Supranto, J. 2000. Teknik Sampling Untuk Survei dan Eksperiman.Rineka.Jakarta. Saaty, Thomas L., and Luis G. Vargas, 1994,
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
259
KAJIAN PENYEDERHANAAN PENERBITAN
"SURAT PERSETUJUAN KEGIATAN PEKERJAAN SALVAGE DAN SURAT PERSETUJUAN KEGIATAN PEKERJAAN BAWAH AIR" Feronika Sekar Puriningsih *) Peneliti Badan Litbang Perhubungan Jl. Medan Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat [email protected]
ABSTRACT
The rapid advancement of science, information and communication technology as well as changes in the strategic environment demands for reform of government bureaucracy and tailored to the demands of the community dynamics. Therefore it should be taken the steps that are fundamental, comprehensive and systemic so that goals and targets that can be achieved effectively and efficiently. Assessment Approval for Issuance of Salvage Job Activity and Job Approval Underwater Activities that took place in Jakarta is intended to provide licensing services that are transparent, accountable, faster and ensure legal certainty and certainty for actors in the fi eld of transportation. Sampling was conducted on 17 companies salvage and underwater works in Jakarta and surrounding areas. Analysis of simplification and analysis of public satisfaction index (IKM) is used to measure people's satisfaction. From the results of the study appear in the overall value of the index is 3.02 expressed satisfaction both categories because they are on the range of values from 2.51 to 3.25. Highest satisfaction scores are at the service of security elements (3.5) is very good and the lowest satisfaction scores are at the speed of service element (2.7) and certainty of service charges (2.7), this value is still in good assessment scores for respondents. Simplification of the analysis, the publication "approval letter salvage work activities and work activities subpoena under water" still can be simplified, include: processing time, the implementation of one-stop service, and application of ICT. Keywords: Salvage, regulation, public satisfaction index ABSTRAK Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta p erubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistemik sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Kajian Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air yang mengambil lokasi di Jakarta dimaksudkan untuk dapat memberikan pelayanan perizinan yang transparan, akuntabel, cepat dan menjamin kepastian hukum serta kepastian berusaha bagi pelaku di bidang transportasi. Pengambilan sampel dilakukan terhadap 17 perusahaan salvage dan pekerjaan bawah
260
V nlnmP ?4
l\Jrurnn.- 'l
l\A" .., _ _ ., ,..,,,..,...
air di DKI Jakarta dan sekitamya. Analisis simplikasi dan analisis indek kepuasan masyarakat (IKM) digunakan untuk mengukur kepuasan masyarakat. Dari hasil penelitian terlihat secara keseluruhan nilai indek kepuasan masyarakat adalah 3,02 menyatakan kategori baik karena berada pada rentang nilai 2,51-3,25. Nilai kepuasan tertinggi berada pada unsur keamanan pelayanan (3,5) sangat baik dan nilai kepuasan terendah berada pada unsur kecepatan pelayanan (2,7) dan kepastian biaya pelayanan (2,7), nilai ini masih dalam skor penilaian baik bagi reponden. Dari hasil analisis simplikasi, penerbitan "surat persetujuan kegiatan pekerjaan salvage dan surat persetujuan kegiatan pekerjaan bawah air" m asih dapat disederhanakan, meliputi; waktu pengurusan, penerapan pelayanan satu atap, dan penerapan TIK. Kata kunci: Salvage, regulasi, indek kepuasan masayrakat (IKM)
PENDAHULUAN Salah satu faktor utama yang tu ru t berperan dalam perwujudan pemerintahan yang bersih (clean government) dan kepemerintahan yang baik (good governance) adalah birokrasi. Birokrasi sangat menentukan efisiensi dan ku a litas pelayanan kepada masyarakat, sert a efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangu n an . Reformasi birokrasi adalah lang k ah strategis untuk membangun aparatur Negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tu gas umum pemerin-tahan dan pembangunan nasional. Pesatny a kemajuan ilmu pengetahuan,teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkahlangkah yang bersifat mendas ar, komprehensif, dan sistemik sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi birokrasi dimaksud merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berke-lanjutan. Salah satu reformasi yang dilakuka n adalah reformasi di sektor perhubungan
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
laut te rutama dalam hal perizinan. Permasala han panjangnya birokrasi dalam pengurusan perizinan masih perlu pembenahan sehingga tercipta perizinan yang tra nsparan, akuntabel, cepat dan menjamin kepastian hukum serta kepastian berusaha bagi pelaku usaha di bidang transportasi. Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air merupakan layan an yang langsung dirasakan oleh masyarakat dan selalu diupayakan tingkat perbaikannya, namun demikian perlu ditingkatkan lagi untuk dapat memberikan kepuasan secara maksimal.
TINJAUAN PUSTAKA Pelayaran adalah segala sesuatu yang , berk aitan dengan angkutan perairan, kepelabuhanan, keamanan dan keselamat anny a . UU No. 17 Tahun 2008 men ye butkan bahwa pelayaran bagi Negara Republik Indonesia sebagai Negara kepulauan merupakan salah satu moda transportasi, tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain yang diatata dalam sistem transportasi nasional yang din a m is dan mampu mengadaptasi kemajuan di masa depan, Pelayaran perlu lebih dikembangkangkan potensinya dan
261
•
ditingkatkan peranannya baik nasional maupun intemasional, sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satuu sasaran transportasi nasional adalah terwujudnya layanan transportasi yang aman dan selamat. Keselamatan pelayaran menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan layanan transportasi laut. Untuk menjamin keselamatan dan dan keamanan berlayar, pemerintah melakukan perencanaa, pengadaan, pengoperas ian, pemeliharaan dan pengawasan terhadap sarana bantu navigasi pelayaran sesuai dengan ketentuan intemasional. Terjadinya kecelakaan di laut menimbulkan ganguan baik terhadap pengangkutan orang maupun barang melalui laut. Lokasi keberadaan kapal yang mengalami musibah dapat menimbulkan gangguan keselamatan berlayar bagi kapal-kapal lainnya sehingga perlu diadakan pengangkutan dan/ atau penyingkiran kerangka kapal. Kegiatan pengangkatan dan/ a tau penyingkiran kerangka kapal agar dapat terlaksana dengan baik, kegiatan tersebut diselenggarakan oleh usaha salvage yang j uga berfungsi memberikan pertolongan terhadap kapal dan/ atau muatannya yang mengalami musibah, serta membersihkan alur pelayaran dari segala rintangan bawah air, demi kepentingan keselamatan berlayar dan maupun keselamatan lingkungan.
kerangka atau rintangan bawah air atau benda lainnnya. Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal dan/ a tau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam. Pelaksanaan kegiatan salvage harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi: a. metode kerja; b. kelengkapan peralatan; dan c. tenaga kerja. Setiap pelaksanaan kegiatan salvage harus mendapat izin Menteri. 2. Pekerjaan bawah air
Pekerjaan bawah air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi atau kapal, yang dilakukan di bawah air dan/ a tau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air. Kegiatan pekerjaan bawah air dapat dilakukan untuk pemasangan: a. kabel bawah air; b. pipa bawah air; dan/ atau c. bangunan atau instalasi bawah air. Pelaksanaan kegiatan pekerjaan bawah air hams memenuhi persyaratan teknis yang meliputi: a. metode kerja; b. kelengkapan peralatan; dan c. tenaga kerja. Setiap pelaksanaan kegiatan pekerjaan bawah air hams mendapat izin Menteri.
1. Salvage
3. Badan Usaha
Menurut PP Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Kenavigasian, Salvage adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi atau kapal, yang dilakukan di bawah air dan/ atau pekerjaan bahaya di perairan termasuk mengangkat
Badan uasaha adalah badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk pelayaran.
262
Kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
hanya dapat dilakukan oleh badan u saha yang khusus didirikan untuk kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air.
IKM =
Badan usaha tersebut wajib memiliki izin usaha. Izin usaha diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan:
Untuk memperoleh nilai indek kepuasan masyarakat unit pelayanan digunakan pendekatan nilai rata-rata tertimbang dengan rumus sebagai berikut ini.
a. administrasi: 1) akte pendirian perusahaan; 2) Nomor Pokok Wajib Pajak; dan 3) surat keterangan domisili. b.
teknis: 1) memiliki tenaga penyelam yang bersertifikat; 2) memiliki paling sedikit 1 (satu) unit kapal kerja;dan 3) memiliki peralatan kerja, paling sedikit berupa peralatan scuba, peralatan potong, dan peralatan penyelaman.
Izin usaha berlaku selama badan usaha masih menjalankan kegiatannya dan memenuhi persyaratan.
METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam melakukan analisis, yaitu analisis simplikasi dan analisis indek kepuasan masyarakat (IKM) untuk mengukur kepuasan masyarakat. Nilai Indek Kepuasan Mas yarakat dihitung dengan menggunakan nilai ratarata tertimbang masing-masing u nsur pelayanan. Dalam penghitungan indek
Total dari njJai Per Unsur Total Unsur yan g Terisi
x Nilai Penimbang
Untuk memudahkan interprestasi terhadap IKM Unit Pelayanan x 25 penilaian indek kepuasan masyarakat yaitu antara 25 s/ d 100 maka hasil penilaian tersebut di atas dikonversikan dengan nilai dasar 25, dengan rumus sebagai berikut ini. Mengingat unit pelayanan mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, maka setiap unit pelayanan dimungkinkan untuk : Tabel I. Ni lai Perseµ;i, Interval IKM , lnterv al Konversi IKM, Mutu Pelavanan dan Kineria Unit oelavanan Nilai Nilai Interval Nilai Interval Mutu Kinerja Unit Persen
a. menamba h uns ur y ang dianggap relevan. b. memberikan bobot y ang berbeda terhadap 14 unsur y ang dominan dalam unit pelayanan, dengan catatan jumlah bobot seluruh unsur tetap 1.
Pengumpulan Data 1 Bob o t nil ai ra a-= =rata tertimbang Jumlah Unsur 4 = 0,071 .
t
Jumlah Bobot
kepuasan masyarakat terhadap 14 unsur pelayanan yang dikaji, setiap unsur pelayanan memiliki penimbang yang sama dengan rumus sebagai berikut ini.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Pengambilan sampel dalam kajian ini dilakukan terhadap 17 perusahaan salvage dan pekerjaan bawah air di DKI Jakarta dan sekitamya. Data sekunder yang dibutuhkan antara lain prosedur penerbitan, biaya pengurusan, lama waktu pengurusan, persyaratan
263
yang diperlukan, dasar hukum, instansi pemberi izin dan data jumlah penerbitan yang sudah dikeluarkan selama ini. Pengumpulan data primer dilakukan melalui penyebaran questioner kepada perusahaan salvage dan pekerjaan bawah air untuk menjaring opini responden terkait dengan Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air. DATA DAN HASIL PENELITIAN 1. Pekerjaan Salvage dan Pekerjaan Bawah Air yang dilakukan selama tahun 2011
a. Pekerjaan Salvage yang dilakukan selama tahun 2011 sampai dengan bulan Juni 2011. 1) Pengangkatan/ pengapungan terhadap kerangka kapal TKM Nusantara Sprite-02 beserta muatannya. 2) Asistensi salvage terhadap BC. MOONDANCE II yang kandas. 3) Melanjutkan dan menambah kapal kerja dalam rangka kegiatan asistensi salvage terhadap BC. NOBLE HA WK, Bendera Panama yang kandas. 4) Menambah kapal kerja dalam rangka pelaksanaan kegiatan asistensi salvage terhadap BC. MOONDANCE II yang kandas. 5) Menambah kapal kerja dalam rangka pelaksanaan kegiatan asistensi salvage terhadap BC. NOBLE HAWK, Bendera Panama yang kandas. 6) Penanggulangan kandasnya Tongkang BG. LABROY 148 milik PT Segara Gloria Anugerah Marine. 7) Melanjutkan kegiatan asistensi sal-
264
vage terhadap BC.NOBLE HA WK, Bendera Panama yang kandas. 8) Pembersihan alur barat Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dari kerangka kapal eks. KM Kawitan dan Eks. KM. Numangguri. 9) Pemompaan minyak (HSD) dan pengapungan Tongkang PB. 17. 10) Asistensi salvage terhadap MV. SILVER ARROW, Bendera Panama GT. 34-932 yang mengalami kandas. 11) Pengangkatan dan penyingkiran terhadap KM. Pulau Nanan yang tenggelam. 12) Penambahan kapal kerja dalam rangka pelaksanaan kegiatan salvage berupa pengangkatan kerangka kapal KM. HYUNDAI 105 yang tenggelam. 13) Melaksanakan kegiatan salvage terhadap MV. AL RAWDAH yang mengalami kandas 14) Penambahan kapal kerja dalam rangka pelaksanaan kegiatan salvage terhadap MV. AL RA WDAH yang mengalami kandas 15) Melaksanakan kegiatan salvage terhadap MV. SUNNY PARTNER yang mengalami kandas b. Pekerjaan Bawah Air yang dilakukan selama tahun 2011 sampai dengan bulan Juni 2011 1) Perbaikan sistem komunikasi kabel laut (SKKL), serat optik jalur Panaran-Pemping milik PT PGAS Telekomunikasi Nusantara. 2) Perbaikan sistem komunikasi kabel laut (SKKL) Sea Me We 3 Seg. 3.3 milik PT Indosat 3) Perbaikan/ penggantian LPG FSO
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Calm Mooring Buoy, milik Conoco Phillips Indonesia Inc. Ltd. 4) Perbaikan system komunikasi kabel laut (SKKL) Jakarta - P. Belitung P. Bangka milik PT Excelcomindo Pratama. 5) Perbaikan sistem komunikasi kabel laut (SKKL) Sea Me We 4 Seg. 1.03 Sea Me We 4 Procurement Group. 6) Kegiatan Penyelidikan Akuisisi Seismic Zona Transisi 2 D dan 3 D. 7) Kegiatan pemeliharaan sal uran kabel bawah laut tegangan tinggi 150 Kv Jawa Madura. 8) Penggantian pipa tailing (pembuangan limbah) bawah laut. 9) Kegaitan under water survey & photografi terhadap Subsea Hose Tanker FPSO BROTOJOYO. 10) Pendalaman pemendaman p i p a gas bawah air (PGBA) yan g memotong alur pelay aran barat Surabaya (APBS) milik Kodeco Energy Co. Ltd. Sedalam -19 meter LWS. 11) Perbaikan sistem komunikasi kabel laut (SKKL) Jakarta - P u la u Belitung - Pulau Bangka m ilik Excelcomindo Pratama 12) Survey Bathymetry dan Burial Assesment serta survey ana lisa dampak lingkungan dalam rangka persiapan pemasangan sistem komunikasi kabel laut (SKKL) Java - Bali (JA VALI). 13) Perbaikan system komunikasi kabel laut (SKKL) Matrix cable sys tem milik PT. NAP Info Lintas Nusa. 14) Perbaikan single point light (SPL) pipe line and manifold (PL EM) dan single point mooring (SPM).
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
15) Perbaikan sistem komunikasi kabel laut (SKKL) JAKABARE (JawaKalimantan-Batam-Singapore) milik PT Indosat. 16) Diving services "Oyong dan Maleo Underwater Inspection Services" .
17) Survey Bathymetry Cable Route dan Burial As sesment Sistem Kabel Listrik Pemda DKI. 18) Perbaikan sistem komunikasi kabel laut (SKKL) C2C. 19) Pen ggelaran pipa penyalur gas baw ah laut diameter 24 inchi sepanjang ± 15 km dari Floating Storage Regassification Unit (FSRU) ke Onshore Receiving Facilities (ORF).
20) Cable Route Survey Dumai- Malaka (Malaysia) 21) Cable Route Survey untuk A sia Submarine Cable Express (ASE) yang melin tasi Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) Indonesia. 22) Pembangunan dua unit platform dan pemasangan pipa penyalur 16 in chi milik BPMIGAS/KKKS Primier Oil Natuna Sea B.V pada proyek Gajah Baru di lapangan Primier Oil Natuna Sea B.V. 23) Perbaikan sistem komunikasi kabel laut (SKKL) JAKA2LADEMA Seg. 4.3 milik PT Telokom Indonesia Tbk. 24) Cable Route Survey untuk sistem k omunika si kabel laut (SKKL) South East Asia Japan Cable (SJC) yan g melintasi zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia. 25) Saturation and surface Diving Works for Sisinubi Phase 2 Project. 26) Perbaikan sis tem komunika si
265
I
kabel laut (SKKL) SEA MEWE4 Seg. 1.1 Sea-Me We 4 Procurement
Kebutuhan Perubahan Tidak Tahu 6%
Group. 27) Per baikan
sistem komunikasi kabel laut (SKKL) JAKA@LADEMA Seg. 4.3 milik PT Telkom Indonesia Tbk.
2.
Peril 65%
Hasil Penelitian
a. Prosedur PenerbitanSuratPersetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air
Gambar 2. Prosentase pendapat perlunya dilakukan perubahan
Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air tidak perlu dilakukan perubahan atau penyederhanaan karena sudah simple dan tentunya peru bahan akan membawa kerepotan dan 29% menyatakan perlu dilaku kan perubahan� selebihnya seba nyak 6 % menyatakan tidak tahu.
Apabila dilihat dari pendapat responden menunjukan bahwa
1)
Kesesuaian Oengan Aturan Tidak
Sud ah
Tahu
53%
3596
Kemungkinan Memperpendek Proses TidakTahu 29% Gambar 1. Prosentase
pendapat
terhadap
kesesuaian
d engan
peraturan yang ada
menyatakan Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air telah sesuai dengan peraturan yang ada, sedangkan 12 % menya takan belum dan 35% menyatakan tidak tahu. 53 %
2)
266
Apabila dilihat dari pendapat responden menunjukan bahwa 65% menyatakan Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan
Dapat
Tidak Oapat
59%
12% Gambar 3.
Prosentase
Pendapat Terhadap
Kemungkinan Untuk
Memperpende k Proses
3) Apabila dilihat dari pendapat responden menunjukan bahwa 59% menyatakan Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air dapat dilakukan memperpendek proses tahapan pengurusan, 12 % menyatakan tidak dapat dan 29%
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
nya lengkap, seclangkan yang
Kemungkinan Pengurangan
menyatakan ticlak clapat sebanyak
Persyaratan
6
%,
aclapaun yang menyatakan
lidakTahu Kemungkinan Pelayanan Satu Atap TidakTahu [•a1>at 65% Tidak Da1>at Garnbar 4. Prosentase Pendapat Kesponden terhadap Kemungkinan Pengurangan Persyaratan
menyatakan ticlak tahu.
4)
Garn bar 6.
ticlak tahu sebesar
responclen menunjukan bahwa
70%
Penerbitan Surat Persetujuan
Surat
Persetujuan
:rcrhadap
23%.
6) Apabila clilihat clari penclapat responclen menunjukan bahwa
Kegiatan
65% Penerbitan Surat Persetujuan
Peketjaan Bawah Air ticlak clapat
Kegiatan Pekerjaan Salvage clan
clilakukan mengurangi persya
Surat Persetujuan Kegiatan Peker
ratan clokumen pengurusan clan
30%
65%
Prosentasc Pendapat Rcsponden Kcmungkinan Pelayanan Satu Atap
Apa bila clilihat clari penclapat
Kegiatan Pekerjaan Salvage dan
Oapat
11%
jaan Bawah Air clapat clilakukan
menyatakan clapat.
penerapan pelayanan satu atap,
12%
5) Apabila clilihat clari penclapat
menyatakan ticlak clapat clan
responclen menunjukan bahwa l<emungkinan Melalui l
Pengurangan Waktu Proses
lidak
lidak
lidak Da1>at 71%
Da1>at
Dapat
6%
71%
Gambar 7.
Prosentase Pendapat Responden Terhadap Kemungkinan Melalui Komputer
Gambar 5. Pr osenta se
Pendapat
Responden
Terhadap
23%
Penngurangan Waktu Proses
71 % Penerbitan Surat Persetujuan
Kegiatan Pekerjaan Salvage clan Surat Persetujuan Kegiatan Peker jaan Bawah Air clapat clilakukan mengurangi waktu proses setiap tahapan pengurusan bila ticlak menyalahi aturan clan persyaratan-
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
7)
menyatakan tidak tahu.
Apa bila clilihat clari penclapat responclen menunjukan bahwa 71 % Penerbitan Surat Persetujuan
Kegiatan Pekerjaan Salvage clan Surat Persetujuan Kegiatan Peker jaan Bawah Air clapat clilakukan penerapan teknologi informasi
267
perhitungan dalam KepmenPAN tentang
Pendelegasian Kewenangan
IKM No. KEP/25/M.P AN/2/2004 seba gaimana tabel 2.
TidakTahu 2.4%
1) Prosedur Pelayanan
Dapat 53%
Tida
Prosedur pelayanan yang dimaksud dalam survei ini difokuskan pada
Gambar 8. Prosentase Pendapat Responden Terhadap Pendelegasian
Kewenangan
pertanyaan mengenai prosedur yang berkaitkan dengan Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Peketjaan Sal
komputer dan 6 % menyatakan
vage dan Surat Persetujuan Kegiatan
tidak dapat, adapun yang menya
Peketjaan Bawah Air. Kepada respon
takan tidak tahu sebanyak 23%.
8)
Apa bila dilihat dari pendapat responden menunjukan bahwa 53 % Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Peketja an Bawah Air dapat dilakukan pen-
Tabet 2. Hasil P en=kuran IKM Jumlah No.
lndikator
Nilai
Nilai
Per Unsur Per Unsur
I 2 3 4 5 6 7 8 9 10 ll
Prosedur Persva ratan Keielasan Petugas Ke disiplinan Petugas Tang g u ngjawab Petugas Ke mampuan Petugas Kecepatan Keadilan Kesopamn dan K eramahan Kewaiaran Biava Kepastian Biava
12 Keoastian Jadual 13 Kenvamanan 14 Keamanan
NRR
Rata-Rata Tertimbang
51 54 51 54 52 53 46 52 56 50 46 46 52 59
PerU nsur
3 3 3 3 3 3 2 3 3 2,9 2,7 2,7 1 3,1 3.5
02 , 02 , 02 , 02 , 02 , 02 , 02 , 02 02 , 02 , 02 , 02 , 02 , 0,3
delegasian kewenangan penetapan, 23 % menyatakan tidak dapat dan 24% menyatakan tidak tahu. b. Hasil Pengukuran IKM
den ditanyakan tentang bagaimana kemudahan prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat dalam penga juan kepada Direktorat KPLP. Hasil survei terhadap unsur pelayanan ini menunjukkan bahwa pada umumnya responden menilai prosedur pelaya nan mudah dipenuhi dan dinilai dengan baik dengan nilai 3. 2) Persyaratan Pelayanan Persyaratan pelayanan yang dimaksud dalam survei ini adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh masyarakat dalam mengajukan penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Sal vage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air. Persyaratan pelayanan yang dimak-sud dapat berupa per syaratan administrasi maupun persyaratan lainnya. Kepada responden
ditan ya-kan
tentang
bagaimana kemudahan prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat dalam pengajuan kepada Direktorat KPLP. Hasil survei terhadap unsur pelayanan ini
menunj ukkan
bahwa
pada
Hasil Pengukuran Kepuasan Masyarakat
umumnya
untuk Jenis Pelayanan Penerbitan Surat
persyaratan pelayanan sesuai dengan
Persetujuan Kegiatan Peketjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Peketjaan
responden
menilai
pelayanan yang diberikan dengan nilai 3,2, baik.
Bawah Air dengan menggunakan metode
268
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
3) Kejelasan Petugas Pelayanan Kejelasan petugas pelayanan yang dimaksud adalah petugas dalam pengurusan pelayanan Penerb~tan Surat Persetujuan Kegiatan Pekeriaan Salvage dan Surat Persetuju~n Kegiatan Pekerjaan Bawah Air. Pertanyaan yang diajukan respanden adalah terdapat petugas khusus yang melayani kebutuhan masyarakat, misalnya dengan atribut tertentu atau lakasi pendaftaran, penyampaian keluhan dan lain-lain. Skar yang diperoleh untuk unsur pelayanan kejelasan petugas adalah 3 (baik) yang berarti petugas yang memberikan pelayanan jelas atau mudah dikenal aleh pengguna. 4) Kedisiplinan Petugas Pelayanan Kedisiplinan petugas pelayanan adalah kedisiplinan petugas dalam melaksanakan tugasnya misalnya kedisiplinan petugas administarsi dalam melayani pengajuan, kedisiplinan petugas dalam mengerjaka~ proses pengajuan permahanan, ked1siplinan petugas melayani, sehingga masyarakat tidak menunggu terlalu lama. Pertanyaan yang diaju kan kepada respanden adalah sebe~ap~ jauh petugas layanan mem1hk1 kedisiplinan dalam mengerjakan tugas pakak dan fungsinya. Skar yan? diperoleh untuk unsur pelayanan ked1siplinan petugas pelayanan adalat: ~,~ (baik) yang berarti petugas mermlik1 kedisiplinan dalam menjalankan tugasnya. 5) Tanggung Jawab Petugas Pelayanan Tanggung jawab petugas pelayanan yang dimaksud dalam survei ini adalah rasa tanggung jawab yang dimilik aleh
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
petugas dalam melaksanakan tugasnya di lapangan. Skar untuk unsur pelayanan tanggung jawab petuga~ pelayanan adalah 3 (baik) yang berarh petugas tersebut memiliki rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. 6) Kemampuan Petugas Pelayanan Kemampuan petugas pelayanan yang dimaksud dalam survei ini adalah adalah kemampuan petugas dalam menjalankan tugasnya. Skar untuk unsur pelayanan kemampuan petugas adalah 3,1 (baik) yang berarti pengguna pelayanan menilai bahwa petugas pelayanan memiliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya, misalnya dalam menjawab pertanyaan respanden mengenai persyaratan dan prosedur pelayanan penerbitan buku pelaut. 7) Kecepatan Pelayanan Kecepatan pelayanan yang dimaksud dalam survei ini lebih difokuskan kepada kecepatan pelayanan pada saat melaksanakan tugas. Skar untuk unsur kecepatan pelayanan adalah 2,7 (baik). Penilaian ini didasari aleh argument bahwa setelah persyaratan lengkap dipenuhi aleh pengguna jasa, waktu yang diperlukan untuk memperoleh Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air sesuai dengan standar waktu yang dipublikasikan yakni selama 3 hari. 8) Keadilan Mendapatkan Pelayanan Keadilan mendapatkan pelayanan yang dimaksud dalam survei ini adalah perlakuan yang sama ketika mengajukan permahanan penerbitan Penerbi tan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetu-
269
juan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air. Skor hasil penelitian yang diperoleh adalah 3 (baik). 9) Kesopanan dan Keramahan Kesopanan dan keramahan yang dimaksud dalam survei ini adalah kesopanan dan keramahan petugas dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya di lapangan. Skor yang diperoleh dari hasil penelitian adalah 3,2 (baik). Ini berarti kesopanan dan keramahan petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dinilai baik sopan dan ramah. 10) Kewajaran Biaya Pelayanan K_ewajaran biaya pelayanan yang d1maksud adalah kewajaran biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pelayanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai yang diperoleh dari pertanyaan mengenai kewajaran biaya pelayanan adalah 2,9 (baik) yang berarti masyarakat menilai biaya Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air masih wajar. 11) Kepastian Biaya Pelayanan K_epastian biaya pelayanan yang drmaksud adalah kepastian biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakat.. Skor yang diperoleh dari hasil penelitian sebesar 2,7 (baik). 12) Kepastian Jadwal Pelayanan
K_epastian jadwal pelayanan yang d1maksud adalah kepastian jadwal pelayanan yang berkaitan dengan kapan permohonan penrbitan buku pelaut dipenuhi. Hasil penelitian yang ~erk~itan dengan pertanyaan kepashan Jadwal pelayanan memiliki skor sebesar 2,71 ( baik).
270
13) Kenyamanan Lingkungan Kenyamanan lingkungan yang dimaksudkan dalam survei ini adalah kenyamanan lingkungan yang berkaitkan dengan kenyamanan menggunakan fasilitas pelayanan Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air. Kenyamanan biasanya menyangkut kualitas dan kuantitas sarana di di tempat pengurusan perizinan yaitu di Direktorat KPLP. Skor hasil kajian menunjukkan dengan nilai 3,1 ( baik). 14) Keamanan Pelayanan Keamanan pelayanan yang dimaksud dalam survei ini adalah keamanan di lingkungan unit pelayanan Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air, sehingga masyarakat merasa nyaman dan aman dalam mengurus buku pelaut. Hasil penelitian berkenaan dengan pertanyaan keamanan pelayanan diperoleh skor 3.5 (sangat baik). Nilai indek kepuasan masyarakat adalah: (3 x 0,071) + (3,2 x 0,071) + (3 x 0,071) + (3,2 x 0,071) + (3,0 x 0,071) + (3,1 x 0,071) + (2,7 x 0,071) + (3,0 x 0,071) + (3,28 x 0,071) + (2,9 x 0,071) + (2,7 x 0,071) + (2,71 x 0,071) + (3,1 x 0,071) + (3,5 x 0,071) = 3,02
Dengan demikian nilai indeks unit pelayanan hasilnya dapat disimpulkan sebagai berikut: a . Nilai IKM setelah dikonversi = Nilai Indeks x Nilai Dasar = 3,02 x 25 = 75,5 b . Mutu pelayanan B
Volume 24. Nomor :I. MarPt ?01?
c. Kinerja unit pelayanan Baik. Secara keseluruhan nilai indek kepuasan masyarakat untuk pelayanan Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air di Direktorat KPLP adalah 3,02 menyatakan kategori baik karena berada pada rentang nilai 2,513,25, dengan mutu layanan mendapat nilai B, dan kinerja dari unit pelayanan juga mendapat predikat baik. Nilai kepuasan tertinggi adalah untuk unsur keamanan pelayanan (3,5) sangat baik dan nilai kepuasan terendah adalah untuk unsur kecepatan pelayanan (2,7) dan kepastian biaya pelayanan (2,7) walaupun masih dalam skor penilaian baik bagi reponden. Keamanan pelayanan memperoleh penilain kepuasan tertinggi karena masyarakat pengguna jasa merasa bahwa selama mengurus Penerbitan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air situasinya aman bahkan sangat aman. Sebaliknya nilai kepuasan terendah yakni unsur kecepatan pelayanan (2,7) dan kepastian biaya pelayanan (2,7) walaupun masih dalam skor penilaian baik bagi reponden, responden merasa masih kurang cepat. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan a. Pengurusan penerbitan "surat persetujuan kegiatan pekerjaan salvage dan surat persetujuan kegiatan pekerjaan bawah air" sudah berjalan dengan baik dengan syarat-syarat yan g mudah dipenuhi oleh pemohon. Nilai Indek Kepuasan Masyarakat (IKM) untuk prosedur pelayanan Penerbitan
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Salvage dan Surat Persetujuan Kegiatan Pekerjaan Bawah Air adalah 3,02 yang termasuk dalam kategori Baik, dengan mutu layanan mendapat nilai B dan kinerja unit pelayananna juga mendapat penilaian baik. Nilai kepuasan tertinggi adalah unsur keamanan pelayanan (3,5) sangat baik, dan unsure yang lain, dari hasil penilaian responden semua unsur dinilai baik antara 2,7 sampai dengan 3,2. b . Penerbitan "surat persetujuan kegiatan pekerjaan salvage dan surat persetujuan kegiatan pekerjaan bawah air" masih bisa disederhanakan, meliputi: 1) Waktu pengurusan masih bisa diperpendek dari yang semula membutuhkan waktu selama 3 hari kerja, dapat diperpendek menjadi 2 hari kerja. 2) Pengurusan yang selama ini dilakukan di Direktorat KPLP dapat digabung dengan pelayanan satu atap sehingga akan lebih memudahkan bagi si pemohon dan terlokalisasi dalam satu tempat, dengan jam kerja dan petugas yang jelas. 3) Seiring dengan kemajuan di bidang telekomunikasi dan menghindari praktek korupsi, prosedur pengurusan penerbitan "surat persetujuan kegiatan pekerjaan salvage dan surat persetujuan kegiatan pekerjaan bawah air" dapat dialihkan melalui sistem elektronik, dengan mengirimkan persyaratan administrasi melalui internet. Selanjutnya akan dilakukan keabsahan data untuk penerbitan SPKnya.
271
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
a. Walaupun pendapat responden terhadap semua unsur dinilai baik, namun tetap hams memperhatikan masukan dari masyaraka t untuk selalu meningkatkan mutu layanan yang lebih efektif, mudah, murah dan lebih cepat.
Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan, 2010, Penyusunan
b. Perlu kajian yang lebih mendalam un tuk pen y eder hanaan "s ura t persetujuan kegiatan pekerjaan salvage dan surat persetujuan kegiatan pekerjaan bawah air". c. Memperpendek waktu proses pengurusan dari tiga hari menjadi 1 hari. d. Penerapan pengurusan pelayanan satu atap. e. Pengusulan pengurusan melalui internet. f. Menerapkan sistem penilaian mutu kinerja secara obyektif melalui penyusunan dan penerapaan standar pelayanan minimal dan standar operasional prosedur, sehingga kapasitas kerja dari pihak aparat dapat dipantau dan kemungkinan penyimpangan dapat dihindarkan sedini mungkin.
g. Meningkatkan kapasitas pelayanan aparat melalui keikut sertaan dalam berbagai program pendidikan dan pelatihan serta kursus-kursus manajemen publik sehingga akan terbentuk mindset aparat layanan yang mendahulukan kepuasan pelanggan.
272
Prosedur Baku Penerbitan Perizinan di Lingkungan Kementerian Perhubungan.
Hamzah, A, 1988, Laut Teritorial dan Perairan Indonesia: Himpunan Ordonansi, Undang-Undang dan Peraturan Lainnya, Akademika Pressindo; Undang Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran; Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Kenavigasian; Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan; Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan; Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/15/M.PAN/7 /2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi; KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. *)
Lahir di Purbalingga, 20 Januari 1966, Satjana Sastra Sejarah Tahun 1991, Magister Manajemen Transportasi STMT Trisakti Tahun 2010, Peneliti Muda Bidang Perhubungan Laut.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN RUTE PENERBANGAN NON KOMERSIAL (PERINTIS) MENJADI RUTE PENERBANGAN KOMERSIAL Dina Yuliana *)
Peneliti Badan Litbang Perhubungan Jalan Medan Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat [email protected]
ABSTRACT The Research aims to identify the factors that affects the pioneering flight routes change to route commercial. This research use sample purpose to get the sample to observed. Factor analysis is used to obtain neuJ factors as the criteria to change non-commercial route (pioneer) to commercial route. The results of this study obtained four factors from the highest to the lawest of importance level that is potential routes (22.04%), air transport companies that operated (21.43%), air fare and airtransportation networks (19.43%), then air transport demand (15%).
Keywords: pioneer route changes, commercial route, factor analysis ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memperngaruhi perubahan rute penerbangan perintis menjadi rute komersial. Pengambilan sampel menggunakan teknik purpose sample. Analisis Faktor digunakan untuk memperoleh faktor baru sebagai kriteria perubahan rute non komersial (perintis) menjadi rute komersial. Hasil penelitian diperoleh empat faktor dari yang tertinggi sampai yang terendah tingkat pentingnya yaitu potensi rute penerbangan (22,04 %), perusahaan angkutan udara yang beroperasi (21,43 %), tarif penerbangan dan jaringan angkutan udara (19,43%), dan demand angkuta:n udara (15%). Kata kunci: perubahan rute perintis, rute komersial, analisis faktor PENDAHULUAN
Peran penerbangan perintis sangat penting untuk membuka daerah-daerah terisolir, mengembangkan dan membangun daerah. Dengan adanya penerbangan perintis dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sosial budaya di daerah serta mampu memberikan kontribusi nyata pada pembangunan Nasional. Berdasarkan
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Undang - Undang Nomor 1 tahw1 2009 tentang Penerbangan, Pasal 104 disebutkan bahwa angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional berdasarkan perjanjia:n dengan Pemerintah. Dalam penyelenggaraa:nnya, pemerintah daerah wajib menyediakan lahan, prasarana angkutan udara,
273
keselamatan dan keamanan penerbangan serta kompensasi lainnya. Dalam pasal 104 ayat 4 disebutkan, angkutan udara perintis dievaluasi oleh pemerintah setiap tahun. Hal ini berarti kontrak penyelenggaraan penerbangan perintis diberikan hanya dalam jangka satu tahun. Dilain pihak Pemerintah melihat semakin baiknya pertumbuhan penumpang di beberapa rute perintis tertentu, sehingga Kementerian Perhubungan akan mencabut status sejumlah penerbangan perintis. Kementerian Perhubungan berencana menggantinya dengan status penerbangan komersil dengan tujuan untuk mengurangi subsidi. Dalam UndangUndang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 105 disebutkan bahwa angkutan udara perintis dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga. Meskipun angkutan udara niaga dan bukan niaga keduanya bisa melakukan penerbangan perintis, namun perlu dihindari adanya duplikasi pelayanan penerbangan di satu rute, mengingat pada umumnya, suatu rute perintis pasarnya belum berkembang. Hal ini sempat dikeluhkan oleh Merpati, dimana setelah membuka rute penerbangan perintis hingga ke pelosok-pelosok dan sudah mempertaruhkan segalanya untuk membuka jalur baru tersebut, tapi ternyata Pemerintah juga memberikan jalur tersebut kepada maskapai lain yang ingin ikut menikmatinya. Akibatnya, keduanya malah terancam mengalami kerugian, karena pasarnya memang belum mencukupi. Pemerintah sebaiknya mengevaluasi terlebih dahulu, apakah pasarnya sudah berkembang atau belum. Jika belum, idealnya memberikan kesempatan kepada operator perintis untuk menerbangkannya sesuai skala
274
ekonomis minimal 3 (tiga) tahun. Jika dalam evaluasi, pasar ternyata sudah mencukupi, kalau perlu merubah rute perintis tersebut untuk dikembangkan lagi menjadi rute penerbangan komersil. Berdasarkan hal diatas maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah faktor-faktor apa saja yang dapat digunakan sebagai kriteria dalam penghapusan status/perubahan status dari rute penerbangan perintis menjadi rute penerbangan komersial? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan rute penerbangan perintis menjadi rute komersial sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan instansi terkait di bidang angkutan udara. TINJAUAN PUST AKA
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, angkutan udara perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan. Berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, angkutan udara perintis wajib diselenggarakan oleh Pemerintah, dan pelaksanaannya dilaku-kan oleh badan usaha angkutan udara niaga nasional berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah. Dalam penyeleng-garaan angkutan udara perintis, pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya lahan, prasarana angkutan udara, keselamatan
VolumP 24 _ Nnmnr .1 M"r"t ?01'?
dan keamanan penerbangan, serta kompensasi lainnya. Rute perintis ditetapkan untuk mewujudkan stabilitas pertahanan dan keamanan Negara, memenuhi kriteria kedudukan daerah tersebut berdekatan dengan daerah perbatasan dan negara lain, serta dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial dibandingkan dengan daerah lain. Angkutan udara perintis dievaluasi oleh Pemerintah setiap tahun. Hasil evaluasi dapat digunakan sebagai acuan dalam mengubah suatu r ute angkutan udara perintis menjadi rute komersial. Pengusahaan angkutan udara perintis dipengaruhi oleh beberapa hal: a. Transport demand (permintaan akan transport) merupakan jenis permintaan tidak langsung, berawal dari kebutuhan manusia akan berbagai jenis barang dan jasa. Sarana transportasi adalah 'barang produsen' yang turut berperan dalam proses produksi. Fungsi utamanya adalah menjembatani jarak geografis antara produsen dan konsumen. Transport demand termasuk jenis permintaan turunan (derived demand) dan terdapat saling ketergantungan yang luas antara transportasi dengan industri, pertanian, perdagangan dan perkembangan perekonomian suatu negara atau daerah. b. Rute penerbangan perintis ditetapkan berdasarkan pertimbangan antara lain menghubungkan daerah terpencil a tau pedalaman, mendorong pertumbuhan dan pengembangan wilayah, dan mewujudkan stabilitas pertahanan dan keamanan negara. c. Angkutan udara perintis dilaksanakan
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah. Dalam keadaan tertentu angkutan udara perintis dapat dilakukan oleh pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga. Badan usaha angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara perintis dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga diberi kompensasi untuk menjamin kelangsungan pelayanan angkutan udara perintis sesuai dengan rute dan jadwal yang telah ditetapkan. Kompensasi dapat berupa pemberian rute lain di luar rute perintis bagi badan usaha angkutan udara niaga berjadwal untuk mendukung kegiatan angkutan udara perintis, bantuan biaya operasi angkutan udara; dan/ atau bantuan biaya angkutan bahan bakar minyak. d. Menurut Nefiadi (2001), penerapan tari£ penumpang di sektor transportasi, terutama dengan mempertimbangkan aspek kemampuan daya beli dan keinginan untuk membeli konsumen serta keuntungan yang wajar bagi investor. Perumusan kebijakan dan strategi tarif angkutan penumpang difokuskan kepada kriteria efisiensi ekonomi dan menciptakan struktur pasar yang optimal (untuk mendukung kompetisi yangfair antar operator). METODE ANALISIS
Penelitian mengambil lokasi di Jakarta dan Bandar Udara Iskandar Muda - Aceh dengan sampel penelitian adalah pengguna jasa angkutan udara yang betjumlah 139 orang dengan menggunakan teknik purpose sampling. Data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada penumpang, perusahaan ang-
275
kutan udara, p enyel enggara bandar
telah cukup untuk difaktorkan. Apabila
udara, regulator dan pakar transportasi
nilai KMO lebih besar dari 0,5 maka terima
dengan lima belas pertanyaan sebagai
Ho sehingga dapat disimpulkan jumlah
berikut:
data telah cukup difaktorkan.
a . pertumbuhan angkutan udara perintis
Uji Bartlett bertujuan untuk mengetahui
b. pangsa pasar angkutan udara perintis
apakah terdapat hubungan antar variabel
potensi demand angku tan udara
dalam kasus multivariat. Jika variabel �' X2, ,XP independent (bersifat saling bebas),
c.
perintis d. daya tarik rute angkutan udara perintis e.
keterpaduan rute angkutan udara
•
•
•
maka matriks korelasi antar variabel sama
dengan matriks identitas. Maka variabel variabel saling berkorelasi hal ini berarti
perintis
terdapat hubungan antar variabel. Jika
f.
dikategorikan dalam rute padat
ditolak maka analisis multivariat layak
g.
potensi rute angkutan udara perintis
untuk digunakan terutama metode analisis
h. program pembangunan daerah 1.
J.
komponen utama dan analisis faktor.
daya dorong sektor lain
Kelebihan dari analisis faktor adalah dapat
tarif angkutan udara perintis
digunakan untuk menentukan dimensi
k. keteraturan jadwal p enerbangan perintis 1.
f\
jenis dan tipe pesawat udara
m. potensi bandar udara perintis n. keterjangkauan rute angkutan udara perintis o. perusahaan angkutan udara yang beroperasi Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan SPSS. Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik responden, sedangkan metode yang digunakan untuk mengolah data yang menyangkut identifikasi kriteria adalah analisis faktor. Tujuan dari analisis faktor adalah untuk menggambarkan hubungan h u bungan ko varian antara beberapa
baru suatu faktor atau komponen serta digunakan untuk mereduk si jumlah variabel independen (prediktor) dalam sistem pengembangan modeling regresi baik yang linier maupun non linier (e.g.
logistic regress ion). Selain itu hubungan setiap variabel dapat diolah melebihi hubungan dua variat atau dikenal dengan hubungan multivariat, sedang hubungan dua variat terbatas pada hubungan dengan metoda korelasi konvensional yang dikenal dengan koefisien Pearson untuk data parametrik atau koefisien
rank Spearman Rho untuk data non parametrik. HASIL DAN PEMBAHASAN Bandar Udara Internasional Sultan
variabel yang mendasari tetapi tidak
Iskandar Muda, kini menempati areal
teramati, kuantitas random yang disebut
seluas 230 hektar dengan gedung termi
faktor, (Johnson dan Wichern, 2002). Uji
nal 3 lantai dengan luas 2.500 m2 dengan
statistik yang digunakan adalah Uji KMO
kapasitas 1.750.000 pergerakan penum
dan Uji Bartlett.
pang per tahun. Selain itu, landasan pacu
Uji KMO bertujuan untuk mengetahui apakah semua data yang telah terambil
276
(Runway) juga diperpanjang dari 2500 m menjadi 3 000 m. sehingga mampu menampung pesawat berbadan lebar
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
seperti B oeing 747. Terminal baru ini j uga
sampai dengan tahun 2011 sebagai
dilengkapi dengan Garbarata sebanyak 2
berikut: tingkat pertumbuhan penumpang
unit yang ditempatkan di ked u a sisi
sebesar 5%, tingkat pertumbuhan bagasi
gedung.
sebesar 4,5%, tingkat pertumbuhan kargo
Tingkat pertumbuhan angkutan udara pertahun di Bandara Sultan Iskandar Muda - Aceh berdasarkan data tahun 2006
sebesar 8,7% dan tingkat pertumbuhan pos sebesar 9,25%, sedangkan pesawat udara mengalami penurunan sebesar 7,9%.
2006
4736
4734
265468
255574
2.558.237
2.457.684
1.748.676
420.950
105.651
14.427
2007
3.623
3.622
271.408
278.777
3.173.671
2.546.996
1.945.442
445.115
95.126
26.766
2008
3.337
3.336
277.166
290.687
2.944.251
2.510.890
2.511.385
744.751
146.418
22.182
2009
2.994
2.993
286.298
292.644
3.838.999
3.516.740
2.304.483
1.486.772
73.830
28.813
2010
3.104
3.105
306.742
314.974
3.065.940
2.510.915
1.887.002
347.891
120.434
29.533
2011
3.050
3.049
328.70 I
328.805
3.202.492
2.486.135
2.174.972
550.159
117.172
31.984
Sumber- Statistk Agkutan Udara Tahun
Tabel No
2010, Di¢n
Perhubungan Udara
2 Rute yang Dilayam. d.1 Bandar a Sultan Is kanda nnuda- Aceh Tah un 2012 Rute yang Dilayani
1
Rute Domestik
Banda Aceh - Medan Banda Aceh- Jakarta
2
Rute Penerbangan Perintis
3
Rute Penerbangan Internas ional
Banda Aceh - Meulaboh, Banda Aceh -Blangpidie, Banda Aceh- Tapaktuan, Banda Aceh- Sinabang, Banda Aceh - Takengon Banda Aceh- Kuala Lumpur, Banda Aceh- Penang, Banda Aceh- Jeddah (Haji Reguler), Banjarmasin-B. Aceh- J eddah ( Haji Transit )
Sumber Data Bandara Sul tan lskan dar Muda - Aceh
Tabel 3.
Perusahaan angkutan udara yang beroperasi di Bandar Udara Sultan Iskandar Muda - Aceh Tahun 2012
No 1
2 3
Perusahaan Angkutan Udara G aruda Indonesia Lion Air Sriwnava Air Air A sia Ma laysia Fire Fly NB A S usi A ir
Rute dan Frekuensi CG K- MES -BTT- MES - CGK CG K-BTJ - CGK lX /HARI CGK- MES -BTJ- MES - CGK
=
2X/HARI
=
=
lX/HARI
CG K- MES -BTT- MES - CGK lX/HARI KUL-BTJ - KUL 4X/MINGGU PEN -BTJ - PEN= 4X/MINGGU Bandara Perintis Wilayah Prov .Aceh NGR/MEQ-BTJ- NGR/MEQ Sabtu dan Minggu =
=
=
Sumber Data Bandara Sultan lskandar Muda - Aceh
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
277
HASIL PENGOLAHAN DATA
1.
Uji Realibilitas
Responden terdiri dari pengguna
Uji Realibilitas menggunakan rumus Al
jasa angkutan udara. Jumlah sampel
pha Cronbach. Uji realibilitas dilakukan
penelitian sebanyak 139 orang dengan
pada hasil pengumpulan data didapatkan
perincian sebagai berikut PNS sebanyak 51
nilai t!!J: 0,897, sehingga dapat disimpul
orang (37%), BUMN sebanyak 55 orang
kan bahwa nilai alpha lebih dari 0,7, maka
(39% ), dan swasta sebanyak 33 orang
dikatakan hasil uji realibilitas adalah
(24%).
realibel. 2.
Re�1>onden Penelltlan
Hasil Uji Kelayakan Data Untuk Analisis Faktor
Langkah awal yang akan dilakukan tentunya adalah dengan mencermati apakah data yang telah diperoleh dari •BUI\lN'
hasil penyebaran kuisioner di lapangan
•PNS
telah cukup layak untuk menggunakan analisis faktor. Beberapa cara dapat dilakukan untuk tujuan ini, yaitu suatu proses pembuktian apakah gugusan atau kumpulan
Gambar 1. Prosentase Jumlah Responden
Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 87 orang (63%), sedangkan jumlah responden dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 52 orang (37% ).
pengamatan
yang
akan
menggunakan analisis faktor telah terbukti saling interdependen. Beberapa pengu kuran yang dapat dilakukan antara lain dengan memperhatikan hasil tingkat signifikan matriks korelasi, nilai deter minan, hasil uji Bartlett, nilai KMO dan nilai MSA (Sharma: 1996, Hair: 1995).
JenlsKelamln Re�1>onden
a. Pet:euipua
Matriks Korelasi Dari hasil analisis correlation matrix
11
menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,224 sehingga dapat dibuktikan bahwa telah ada keterkaitan yang signifikan antar variabel. b.
Nilai Determinan Nilai determinan matriks k orelasi
Gambar 2.
Prosenta& Jumlah Responden BerdasarkanJenis Kelamin
sebesar 0,0000000468 juga mendukung adanya saling keterkaitan antar variabel. Dari sudut pandang nilai
Langkah yang digunakan untuk menda
determinan, beberapa variabel diang
patkan faktor-faktor yang mempengaruhi
gap saling terkait jika nilai determinan
perubahan rute perintis menjadi rute
pada matriks korelasinya mendekati
komersial adalah sebagai berikut:
nol.
278
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Tabel 4. Output KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling A dequacy. Bartlett's Test of Approx. Chi-Square Sphericity df Sig.
0.645
2230.578 105 0.000
Surnber: ha sil olah data
c. Nilai KMO Nilai KMO (Kaiser-Meyer-Olkin) dari 15 variabel seperti yang ada pada Tabel 4 menghasilkan nilai yang cu kup tinggi yaitu sebesar 0,839 sehingga berada pada klasifikasi bermanfaat (meritorious). Hal ini untuk menunjukkan adanya ukuran kedekatan sampel. d. Uji Bartlett Uji Bartlett adalah suatu pengujian secara statistik apakah suatu matriks korelasi telah cukup layak untuk dilakukan analisis faktor . Hal ini bisa dibuktikan dari nilai c2 pada hasil uji sebesar 2230,578 dengan nilai signifikan sebesar 0,000. e. Nilai MSA Perhitungan MSA untuk setiap variabel pada penelitian ini berada pada rentang 0,500 hingga 0,804. 3. Ekstraksi Jumlah Faktor
Berikut hasil ekstraksi seluruh faktor yang terbentuk dan perubahan nilai komunalitas yang terjadi. Nilai komunalitas untuk seluruh variabel setelah diekstrak menjadi 15 faktor umumnya masih berada di atas nilai 0,5. Artinya common faktor masih cukup kuat dalam menjelaskan keragaman setiap variabel asal. Untuk variabel pertumbuhan angkutan udara perintis, diperoleh angka 0,659. Hal ini berarti sekitar 65,9% varians dari pertanyaan satu d a pat dijelaskan oleh faktor y ang
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
terbentu k. Sedangkan hubungan paling kuat dengan faktor yang terbentuk adalah pangsa p asar angkutan udara perintis dan program pembangunan daerah. Ekstraksi faktor menyebabkan perubahan komposisi variabel dengan mengelompokan variabel awal (manifest) menjadi 4 variabel laten sehingga terbentuk kelompok dari variabel manifest. Totak keragaman yang dapat dijelaskan dari ekstraksi faktor sebesar 77,915%. Tabel 5. Faktor Loading berd asa rkan rotasi vari max Variabel per tum bu han angkutan uda ra oerintis pangsa pasar angk utan uda ra perin tis potensi demand angkutan uda ra nerin tis d aya tarik rute angkutan uda ra oerintis keterpaduan rute ang kutan ~ra perintis dikategorikan dalam ru te pad at potensi rute angkutan udara perintis program pembangunan daerah d~ dorono: sektor h in tarif ano:kutan udara oerint is keteraturan jadwal oenerban
Faktor 1 0.742
2
3
4
0 .824 -
-·
0 .809 0.935 0.754 0.805 0.517 ~
0.920 0.790 0 .647 0.688 0.646 0 .667 0.804 0.551 22,04
21,43
19,43
15,00
77,915
Sumber: hasil o lah da ta
Tabel 5 menunjukkan besarnya koefisien tertinggi pada masing-masing variabel di setiap faktor setelah dilakukan rotasi varimax. H al ini tentu saja sesuai dengan tujuan d ilakukan rotasi yaitu untuk men capai struktur faktor yang lebih sederhana dan memiliki interpretasi yang berm akna agar diperoleh nilai loading yang
279
lebih optimal daripada sebelum dirotasi. Rotasi varimax dipilih untuk menghasilkan struktur faktor yang setiap faktor akan memiliki nilai loading tertinggi di salah satu faktor dan akan mendekati nol pada loading faktor lainnya. Nilai-nilai loading faktor yang terhitung pada umumnya akan diperhatikan jika lebih besar dari 0,5. Komponen matrik hasil memperlihatkan bobot akhir faktor setelah dilakukan rotasi. a. Faktor pertama terdiri dari pertumbuhan angkutan udara pada rute penerbangan non komersial sebaiknya terus meningkat pertahunnya, rute angkutan udara non komersial hams dapat dilayani oleh angkutan udara niaga berjadwal secara berkesinambungan, rute penerbangan non komersial sebaiknya mempunyai potensi untuk dikembangkan, rute penerbangan non komersial sebaiknya dapat menunjang program pengembangan dan pembangunan antar kota dalam propinsi dan antar pulau di Indonesia, dan frekuensi penerbangan pada rute angkutan udara non komersial harus mempunyai jadwal tetap setiap harinya. b. Faktor kedua terdiri dari banyak perusahaan angkutan udara yang tertarik dan bersedia melayani penerbangan pada rute non komersial, rute penerbangan non komersial sebaiknya dapat dikategorikan dalam rute padat yaitu jumlah penumpang lebih dari 250.000 sampai dengan 1.000.000 orang pertahunnya, tipe pesawat udara yang digunakan harus sesuai dengan kondisi bandar udara, dan rute penerbangan non komersial sebaiknya dilakukan oleh perusahaan angkutan udara niaga berjadwal.
280
c. Faktor ketiga terdiri dari rute penerbangan non komersial sebaiknya dapat mendorong perkembangan sektor lain, tarif perintis harus sesuai dengan tarif angkutan udara niaga berjadwal, dan bandar udara yang melayani rute non komersial sebaiknya dapat melayani penerbangan antar pulau di wilayah Indonesia d. Faktor keempat terdiri pangsa pasar demand angkutan udara pada rute penerbangan non komersial harus mempunyai potensi dan daya saing yang besar, prakiraan demand angkutan udara penumpang/kargo pada rute angkutan udara non komersial harus terus meningkat untuk jangka waktu sekurangkurangnya 5 (lima) tahun mendatang, dan bandar udara yang melayani rute penerbangan non komersial sebaiknya mempunyai potensi untuk dikembangkan. Analisis faktor pada prinsipnya digunakan untuk mengelompokkan data berdasarkan interkorelasi antar butir. Analisis digunakan untuk mereduksi variabel pertanyaan menjadi lebih sedikit dan menamakannya sebagai faktor. Berdasarkan hasil diatas maka langkah selanjutnya adalah menamakan/interpretasi faktor baru, dan penamaan kelima faktor dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Penamaan Faktor Kriteria potensi rute penerbangan perusahaan angkutan udara yang beroperasi tarif penerbangan dan jarinj?p.h angkutan udara demand angkutan udara
Nilai
Faktor
22,04% 21,43
1 2
19,43%
3
15%
4
Surnber: hasil olah data
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Faktor paling tinggi adalah faktor dengan nama potensi rute penerbangan (22,04 %). Perubahan rute perintis menjadi rute komersial sebaiknya dapat menunjang program pengembangan dan pembangunan antar kota dalam propinsi dan antar pulau di Indonesia, karena diperkirakan pertumbuhan angkutan udara pada rute penerbangan non komersial terns meningkat pertahunnya, sehingga dapat dilayani oleh angkutan udara niaga berjadwal secara teratur setiap harinya. Faktor kedua adalah indikator perusahaan angkutan udara yang beroperasi (21A3) . Sebaiknya semakin banyak peru sahaan angkutan udara niaga berjadwal yang tertarik dan bersedia melayani penerbangan pada rute non komersial (perintis) dikarenakan rute penerbangan di beberapa daerah dikategorikan sebagai rute padat dengan jumlah penumpang 250.000 sampai dengan 1.000.000 orang pertahunnya. Faktor ketiga adalah tarif penerbangan dan jaringan angkutan udara (19A3 %). Rute penerbangan non komersial sebaiknya dapat mendorong perkembangan sektor lain dan dapat melayani penerbangan antar pulau di wilayah Indonesia, oleh karena itu tarif perintis yang dikenakan perlu disesuaikan dengan perhitungan tarif yang berlaku saat ini. Faktor keempat adalah demand angkutan udara (15% ). Prakiraan demand angkutan udara penumpang/kargo pada rute angkutan udara non komersial terus meningkat dari tahun ke tahun dengan pangsa pasar angkutan udara yang mempunyai potensi dan daya saing yang besar sehingga rute penerbangan non komersial dapat dijadikan rute komersial.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis diatas maka dapat disimpulkan hal-hal berikut: 1. Terdapat empat faktor perubahan rute perintis menjadi rute komersiat yaitu: a. Faktor yang pertama adalah pertumbuhan angkutan udara perintis, keterpaduan rute angkutan udara perintis, Potensi rute angkutan udara perintis, program pembangunan daerah dan Keteraturan jadwal penerbangan perintis. b. Faktor yang kedua adalah daya tarik rute angkutan udara perintis, kategori dalam rute padat, jenis dan tipe pesawat udara, perusahaan angkutan udara yang beroperasi. c. Faktor ketiga adalah daya dorong sek tor lain, tarif angkutan udara perintis, ketetjangkauan rute angkutan udara perintis. d. Faktor keempat adalah pangsa pasar angkutan udara perintis, potensi demand angkutan udara perintis, dan potensi bandar udara perintis. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan rute penerbangan non komersial (perintis) menjadi rute penerbangan komersial di Indonesia yaitu potensi rute penerbangan (Kl), perusahaan angkutan udara yang beroperasi (K2), tarif penerbangan dan jaringan angkutan udara (K3), demand angkutan udara (K4). DAFTAR PUSTAKA
Efi N.N, 2001, Problema dan Formulasi Tarif Sektor Transportasi, BPPN, Jakarta. Sharma, S. 1996. Applied Multivariate
281
Techniques, New-York: John Wiley & Sons, Inc. Suhartono. 2009. Analisis Data Statistik dengan R, Edisi Pertama, Yogyakarta: Graha Ilmu. Singgih Santoso & Pandy Tjiptono, 2001, Riset Pemasaran Konsep dan Aplikasi dengan SPSS, Elex Media Komputindo, Jakarta. Wahana Komputer, 2005, Pengembangan Analisis Multivariate dengan SPSS 12, Salemba Infotek, Jakarta. *)
282
Lahir di Boyolali 5 Juli 1979 . Pendidikan Sarjana Matematika (1999-2004) clan Program Magister Sistem Teknik Transportasi (20062008) pada Universitas Gadjah Mada (UGM) .
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
EVALUASI KRITERIA PENETAPAN LOKASI TERMINAL TIPE A (STUDI KASUS: TERMINAL LEUWIPANJANG, BANDUNG DAN TERMINAL GIWANGAN, YOGYAKARTA) Noviyanti*) Penehlti Badan Litbang Perhubungan Jalan Medan Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat 10110
ABSTRACT In Indonesia there are some terminal type A that perceived lack benefits for users because the location is less representative. With quantitative analysis by AHP method the survey held on Bus Terminal at Giwangan and Leuwipanjang. The criteria to decide the location of terminal type A are passanger demand (0.39), density of traffic and road capacity (0.17), environmental sustainability (0.13), integration between modes (0.10), RUTR (0.09), topography (0.07), and security and safety (0.06). The criteria below passanger demand are number of routes, transportation nodes, travel deployment, travel destination and origin. The density of traffic and road capacity has 4 sub-criteria: low-side constraints, the degree of saturation> 0.7, on arterial roads min IIIA, and have access at least 100 m Sub criteria ofenvironment sustainability: AMDAL documents, lower emissions, noise level <74 dB. Sub criteria of integration between modes are intermodal transfer facilities, 5 routes of public transportation, and b us shelter around bus terminal. Sub criteria for RUTR are located in capital of province, on the AKAP route network, located on the edge city, and the distance between terminal is 20 km. Sub criteria of topography are: easy access AKAP traffic and has at least 5 ha land area in Java. Sub criteria for safety and security are low fatality, safe from safety interruption, easy access for safety official. Keywords: Terminal, Determination of location, AHP ABSTRAK Di Indonesia terdapat beberapa terminal A yang kurang dirasakan manfaatnya bagi
pengguna kendaraan angkutan umum yang salah satu penyebabnya dikarenakan lokasinya yang kurang representatif. Dengan mengevaluasi kriteria penetapan lokasi terminal type A dengan analisis kuantitatif menggunakan metode AHP, dari lokasi terminal Leuwipanjang dan Giwangan sebagai lokasi survey, tersusunlah konsep kriteria penempatan lokasi terminal tipe A dengan urutan prioritas demand terminal (0,39), kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan (0,17), kelestarian lingkungan (0,13), keterpaduan antar moda (0,10), RUTR (0,09), Kondisi topografi (0,07), dan keamanan dan keselamatan (0,06). Dari tiap kriteria utama terdapat subkriteria yaitu untuk demand terminal adalah jumlah trayek, simpul transportasi, penyebaran perjalanan, dan asal tujuan perjalanan. Kriteria kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan memiliki 4 sub kriteria yaitu hambatan samping yang rendah, derajat jenuh > 0,7, terdapat pada
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
283
jalan arteri min IIIA, dan memiliki akses masuk minimal 100 m. Untuk kriteria kelestarian lingkungan memiliki urutan sub kriteria yaitu dokumen AMDAL, nilai emisi yang rendah, kebisingan <74 dB. Urutan sub kriteria untuk keterpaduan antar moda yaitu adanya fasilitas transfer, 5 rute jalur angkot, dan terdapat halte angkot di terminal.Kriteria RUTR memiliki urutan sub kriteria yaitu terletak di ibukota propinsi, terletak pada jaringan trayek AKAP, terletak di pinggir kota, dan jarak antar terminal 20 km.Kriteria kondisi topografi memiliki 2 sub kriteria yaitu akses yang mudah untuk lalu lintas AKAP dan memiliki luas lahan minimal 5 Ha di Pulau Jawa. Untuk sub kriteria keamanan dan keselamatan yaitu fatalitas rendah, aman dari gangguan keselamatan, akses petugas mudah. Kata kunci: Terminal, Penetapan lokasi, AHP PENDAHULUAN
Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam pasal 33 sampai dengan pasal 46 diatur mengenai fungsi, klasifikasi tipe, lokasi, fasilitas, lingkungan kerja, pembangunan dan pengoperasian, fasilitas parkir dan fasilitas pendukung terminal. Dalam pasal 37 tentang penetapan lokasi terminal ayat (1) disebutkan bahwa penentuan lokasi terminal dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan terminal yang meru pakan rencana bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, juga pada ayat (2) disebutkan bahwa penetapan lokasi terminal dengan memperhatikan beberapa hal yaitu sebagai berikut : 1. Tingkat aksesibilitas pengguna jasa angkutan, 2. Kesesuaian lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/kota, 3. Kesesuaian dengan pembangunan / kinerja jaringan jalan, jaringan trayek, dan jaringan lintas, 4. Kesesuaian dengan rencana pengembangan /pusat kegiatan, 5. Keserasian dan kesimbangan dengan kegiatan lain, 6. Permintaan angkutan, 7. Kelayakan teknis finansial, 8. Keamanan
284
dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan atau kelestarian lingkungan hidup. Kondisi saat ini adalah terminal yang kurang dapat dirasakan manfaatnya bagi pengguna kendaraan angkutan umum yang salah satunya dikarenakan lokasinya yang kurang representatif. Karena tidak dapat memenuhi kebutuhan dan memuaskan masyarakat penguna angkutan umum dalam terminal, sehingga banyak terdapat terminal bayangan dan lokasi lain yang digunakan untuk tempat menaikkan dan menurunkan penumpang. Sedangkan Pemerintah/Pemerintah Daerah yaitu menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya bertugas melakukan evaluasi secara berkala terhadap kondisi terminal sesuai dengan perkembangan kehidupan dan kebutuhan masyarakat yang amat pesat. Hal ini untuk meminimalkan faktor-faktor yang menyebabkan adanya terminal yang sudah dibangun dengan biaya yang cukup besar tetapi tidak efisien dan efektif. Akan tetapi berdasarkan penetapan lokasi terminal yang telah diatur oleh undangundang tersebut, perlu diatur kriteria yang lebih mendetail mengenai persyaratan lokasi terminal sehingga layak dibangun Terminal tipe A. Walaupun terdapat
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
persyaratan yang telah diatur pada KM no.31 Tahun 1995 tentang terminal Transportasi Jalan, namun dengan adanya perundangan yang terbaru (UU N0.22 Tahun 2009) dan kondisi eksisting yang terus berkembang di lapangan, maka diperlukan penetapan kriteria yang lebih update. Maksud kajian ini adalah menyusun kriteria penempatan lokasi terminal tipe A. Sedangkan tujuan kajian ini adalah memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait prioritas kriteria penempatan lokasi terminal tipe A dengan mengambil studi kasus Terminal Leuwipanjang di Bandung dan Terminal Giwangan, Yogyakarta. Sedangkan ruang lingkup penelitian kajian ini dibatasi hanya inventarisasi peraturan yang terkait dengan terminal, persyaratan lokasi dalam membangun terminal tipe A, melakukan analisis dan evaluasi kriteria penetapan lokasi terminal tipe A, benchmarking mengenai penetapan lokasi terminal di negara lain, serta menyusun rekomendasi yang berkaitan dengan prioritas dalam kriteria penempatan lokasi terminal Tipe A. Dari kajian ini hasil yang diharapkan adalah tersusunnya konsep kriteria penempatan lokasi terminal tipe A yang dapat memenuhi kebutuhan serta menjamin keselamatan, keamanan dan kenyamanan para pengguna jasa di terminal. TINJAUAN PUSTAKA Definisi Terminal
Berdasarkan, Juknis LLAJ, 1995, Terminal Transportasi merupakan: 1. Titik simpul dalam jaringan transpor-
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
tasi jalan yang berfungsi sebagai pelayanan umum. 2. Tempat pengendalian, pengawasan, pengaturan dan pengoperasian lalu lintas. 3. Prasarana angkutan yang merupakan bagian dari sistem transportasi untuk melancarkan arus penumpang dan barang. 4. Unsur tata ruang yang mempunyai peranan penting bagi efisiensi kehidupan kota. Jenis Terminal
Berdasarkan, Juknis LLAJ, 1995, Terminal dibedakan berdasarkan jenis angkutan, menjadi: 1. Terminal Penumpang, adalah prasarana transportasi jalan untuk keper1uan menaikkan dan menurunkan penumpang, perpindahan intra dan/ atau antar moda transportasi serta pengaturan kedatangan dan pemberangkatan kendaraan umum.
2. Terminal Barang, adalah prasarana transportasi jalan untuk keperluan membongkar dan memuat barang serta perpindahan intra dan/ a tau antar moda transportasi. Ketentuan Mengenai Angkutan Penumpang
Terminal
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 31/1995, Terminal penumpang berdasarkan fungsi pelayanannya dibagi menjadi: 1. Terminal Penumpang Tipe A, berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan angkutan pedesaan.
285
-
2. TerminalPenumpangTipe B, berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan/ a tau angkutan pedesaan. 3. Terminal Penumpang Tipe C, berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan pedesaan. Tabel I T"1po,og1 I . ~ermma Ketentuan Fungsi Terminal (KM 31/ 1995) pasal 2
Fasilitas Terminal (KM 31 TH l 995)pasal 3
Lokasi Terminal (KM 31 TH 1995) pasal 11 , 12, dan 13
Instansi Penetap Lokasi Terminal (KM 31 IB 1995) pasal 14 Ketentuan ftnyelen~ara Terminal (KM 31 TI! 1995) Pasal 17
TIPEA Melayani kendaraan umum untuk angkutan antar kota antar propinsi dan atau angkutan lintas batas negara. angkutan an tar kota dalam propinsi , angkutan kota dan angkutan pedesaan (a) j alur pemberan~atan dan kedatangan (b) tempat parl< ir (c) kantorterminal ( d) tempat tunggu ( e) menara pengawas (f) loket penjualan karcis (g) rambu-rambu dan papan inlOrmasi (h) pelataran parkir pengantar atau taksi (a) terletak dalamjaringan trayek antar kota antar propinsi dan/atau angkutan lintas batas negara (b) terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang.kurangnya kelas IJIA (c) jarak antar dua terminal penumpang tipe A "'kurangkurangnya 20 KM di Pulau Jawa (d) Luas lahan yang tersedia sekurang-kurangn ya 5 ha ( e) Mernpunyai akses jalan masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal dengm jarak sekurang-kurarw;n va 100 m Dirjend HubDar mendengar pendapat Gubernur dan Kepala Kanwil DepHub setempat Direktorat Jenderal
Secara tabelaris tipologi terminal dapat disarikan menjadi sebagai berikut: Persyaratan Lokasi Terminal Tipe A
Berdasarkan KM No.31 Tahun 1995 disebutkan bahwa persyaratan lokasi terminal tipe A adalah sebagai berikut: 1. Terletak di Ibukota Propinsi, Kotamadya
286
atau Kabupaten dalam jaringan trayek antar kota antar propinsi dan/ atau angkutan lintas batas negara. 2. Terletak di jalan arteri dengan kelas jalan sekurang-kurangnya kelas IIIA. 3. Jarak antara dua terminal penumpang Tipe A sekurang-kurangnya 20 km di Pulau Jawa, 30 km di Pulau Sumatera dan 50 km di pulau lainnya. Luas lahan yang tersedia sekurangkurangnya 5 ha untuk terminal di Pulau Jawa dan Sumatera, dan 3 ha di pulau lainnya. 4. Mempunyai jalan akses masuk atau jalan keluar ke dan dari terminal, sekurang-kurangnya berjarak 100 meter di Pulau Jawa dan 50 meter di pulau lainnya. Kriteria Pembangunan Terminal
Pembangunan terminal dilengkapi dengan: 1. Rancang bangun terminal 2. Analisis dampak lalu lintas 3. Analisis mengenai dampak lingkungan Dalam rancang bangun terminal penumpang harus memperhatikan: 1. Fasilitas penumpang yang disyaratkan. 2. Pembatasan yang jelas antara lingkungan kerja terminal dengan lokasi peruntukkan lainnya, misalnya pertokoan, perkantoran, sekolah dan sebagainya. 3. Pemisahan antara lalu lintas kendaraan dan pergerakan orang di dalam terminal. 4. Pemisahan yang jelas antara jalur angkutan antar kota antar propinsi, angkutan antar kota dalam propinsi, angkutan kota dan angkutan
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
pedesaan. Manajemen lalu lintas di dalam terminal dan di daerah pengawasan terminal. Sirkulasi Lalu Lintas Terminal Jalan masuk dan keluar kendaraan harus lancar, dan dapat bergerak dengan mudah. Jalan masuk dan keluar calon penumpang kendaraan umum harus terpisah dengan keluar masuk kendaraan. Kendaraan di dalam terminal harus dapat bergerak tanpa halangan yang tidak perlu. Sistem sirkulasi kendaraan di dalam terminal ditentukan berdasarkan: 1 . Jumlah arah perjalanan 2. Frekuensi perjalanan 3. Waktu yang diperlukan untuk turun/ naik penumpang Akses Akses jalan masuk dari jalan umum ke terminal, berjarak minimal: 1. Untuk terminal tipe A di pulau Jawa 100 m dan di pulau lainnya 50 m, 2. Untuk terminal penumpang tipe B di pulau Jawa 50 m dan di pulau lainnya 30 m, 3. Untuk terminal penumpang tipe C sesuai dengan kebutuhan. METODOLOGI PENELITIAN Studi Pustaka Tahap awal dari penelitian ini adalah melakukan studi pustaka yang relevan dan dapat dijadikan acuan dalam proses analisis, serta melakukan identifikasi halhal yang berkaitan dengan data yang akan dikumpulkan pada waktu melakukan survei. Pengumpulan Data
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
1. Data primer Data primer diperoleh dengan hasil reconaissance (pengamatan lapangan) dan dengan menggunakan instrumen pengumpul data berupa kuesioner AHP kepada Pemerintah Daerah terkait seperti Dinas Perhubungan Propinsi dan Kabupaten/Kota, Bappeda Propinsi, dan pihak petugas terminal. 2 . Data Sekunder Data sekunder yang merupakan penunjang survai lapangan dikumpulkan melalui inventarisasi peraturan terdahulu yang mengatur mengenai terminal. Studi Tabel 2. Daftar Kebutuhan Data Sekunder dan Sumber Potensial No
Kelompok Data
I
Peraturan perundangan memzenai ternlinal Persyaratan pe netapan lokasi Daftar persyaratan pe netapan lokasi termin al di luar nl"':Qeri Swdi Terdahulu
2 3
4
5 Kond isi Eksisting
Jmis Data
Sumber Potm sial
Perundangan te rm inal
Internet, Ditjen Darat
Da ftar persyaratan lo kasi ter minal yang telah ad a Pe rs.yarata n penetapan lokas i termi n al di luar
Internet, Ditje n Darat Intern et
ne ~ri
D aftar persyaratan lokasi terminal yang telah ad a Data penggunaan terminal Gika ada). M isal nya jumlah pen umpang, jumlah bus yang m emasu ki term inal , dl l
Bal it bang Phb Peru. gas Te rminal, Dinas lbhubunga n Propinsi, D inas Perhubungan Kota
terdahulu, literatur, artikel, buku, internet, instansi/ lembaga yang berkaitan, serta contoh penentuan lokasi terminal di luar negeri. Metode Analisis Pada kajian ini menggunakan analisis kuantitatif dengan menggunakan Analisis Hirarchy Proses. Analisis Hirarchy Proses (AHP) adalah sebuah pengambilan keputusan yang dikembangkan untuk masalah kompleks. Melalui proses AHP akan diperoleh peringkat antar prioritas sesuai dengan kemampuannya dalam memenuhi tingkat kepentingan kriteria yang dikembangkan. 287
Data pembobotan ini diperoleh dengan menganalisis hasil survei wawancara dimana responden yang dipilih dihadapkan pada pertanyaan yang mengarah kepada perbandingan tingkat kepentingan antar kriteria. selanjutnya dilakukan analisis multi kriteria melalui informasi bobot relatif antar kriteria agar diperoleh perbandingan bobot antar kriteria (weighting) yang temomalisasi dan secara objektif akan menentukan tingkat kepentingan Tabel 3.
Bobot antar !Criteria .Penetapan Kriteria Penentuan Lokasi Terminal
"' §_
Kriteria
~ a
Kriteria I Kriteria2
Kriterian
a b c d e f g h
.!'il
ll ~
.!'il N
b
Jl,..,
~
c
I Xab Xac Xbc Xba I Xca Xcb I Xda Xdb Xdc Xea x,;, Xec Xia IX/b IXlc :oc X= XPb Xha Xhb Xhc
.!l!
)l..,.
.!l! -~ ilV>
~
~ d
.,
.
"'. §"' 00 ii ll 'O ."r~ ~ ~- 11 -.,~
e
h
Xad Xae Xbd Xbe Xcd )(a )(de I Xed I
Xah Xbh Xch Xdh Xeh XJh XPh I
f g Xaf Xt11 Xbf Xix! Xcf Xcv Xdf Xdv Xef x ... IXlif XIP I X& . of :ad "oe I Xhd )(he Xhf Xhg
Xa Xb Xe Xe Xd
lxr IXP Xh
Keterangan . Xij boOOt rela!:if antara iterhadap kriterioaj Xi = total bobot kriteria
=
antar variabel yang dipertimbangkan. Secara sederhana, hasil perbandingan antar kriteria seperti matrik perbandingan berikut.
Prioritas Terhadap Kriteria
Untuk penentuan lokasi terminal tipe A, telah dirumuskan 7 kriteria utama dengan beberapa sub kriteria dibawahnya. Adapun rumusan kriteria seperti yang terdapat pada kuesioner yaitu sebagai berikut. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Terminal Leuwipanjang, Bandung
Terminal Bus Leuwi Panjang di Bandung adalah Terminal angkutan penumpang umum type A yang berada di sebelah barat kota Bandung di Jl. Soekamo Hatta No. 205, dibangun pada tahun 1994 dan dioperasikan pada tahun 1996 dengan luas 4 Ha. Berbagai trayek datang dalam setiap harinya ke Leuwipanjang diantaranya antar kota antar provinsi (AKDP), trayek dari Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi), dari Merak, Serang, Indramayu, Sukabumi dan Cianjur. Serta trayek Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia atau DAMRI dari terminal ini ke Dago, Ledeng, dan Cicaheum. Begitu juga dengan trayek antar-pulau seperti ke Sumatera, juga ada di terminal ini. Peta Lokasi Terminal Leuwipanjang adalah sebagai berikut.
lertetetcljllan a~mlnl111al
bMslllA
288
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Terminal Giwangan, Yogyakarta Terminal Giwangan sejak 2 tahun lalu telah menggantikan Terminal Umbul harjo. Yang beralamat di Jl. Imogiri 1, Yog yakart a 55163. Terminal tipe A terbesar di Indonesia dengan luas 5,8 ha ini merupakan tempat singgah bis dari seluruh kota besar di Sumatra, Jawa, Bali
Sumber: Googlemap, 2012
Gambar 1. Peta Lokasi Terminal Leuwipanjang
dan Nusa Tenggara. Adapun peta termi nal giwangan dan data arus bus yang
Sedangkan ams kendaraan yang berada
melaluinya terdapat pada gambar 3 dan
di terminal pada 2 tahun terakhir terdapat
4 serta tabel 5 berikut.
pada tabel berikut. Arns kendaraan bus dan penumpang yang diberangkatkan Dan. TermmalLeuw1·paniang, B an dung
Tabel 4.
No
Bul
an
Tahllll 2010 Bus
Rit
Tahllll2011
Jumlah
Bus
Penumoang
Rit
Jumlah Pmumnam•
I
Januari
14.128
13.743
Pebruari Man•
16.450
387.463
2
12.312
14.543
367.792
12.161
14.454
339.214
3
14.027
16.430
414.657
13.343
16.055
384.684
4
Aoril
13.451
15.957
378.117
13.343
15.900
392.092
15.682
456.295
13.343
16.239
412.653
Juni
13.832
15.849
378.691
13.377
15.896
406.901
Juli
13.717
17.457
434 .397
13.890
16.812
439.100
13.641
17.976
386.439
13.446
15.957
385.795
14.919
17.752
455.784
13.129
15.756
422.601
15.872
471.2 47
Mei
6 7 9
IO II 12
IAm>Stus September Oktober Nooember
>Umber
466.155
13.287
5
8
16.297
Desember
13.880
16.577
383.628
13.470
13.526
16.107
383.747
13.385
15.792
366.399
13.730
16.483
413.194
18.010
16.714
431.210
Laporan tahunan Terminal Laiwt PanJang,Bandu ng Tahun 2010 dan 2011
Sumber: Googlemap, 2012
Gambar 3. Layout Terminal Giwangan
20.000 18.000 16.000 14.000 12.000 10.000
-t-2010Bus
...,_2010Ril
20.000
18.000
Sumber: Googlemap, 2012
16.000
Gambar 4. Peta Lokasi Terminal Giwangan
14.000
-+-2011Bus -9-2011Rit
Tabel 5. Rekapitulasi Rit Bus AKAP, AKDP, Perkotaan Dan Parkir Bus Tahun2005sd2011
12.000
Kedatangan Kedatangan Keditangan 10.000
No. l
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
AKDP
Perkotaan
Rit/Tahun
Rit/Tahun
Kedatangan Bus Rit/TahlUl
2011
313.380
2 13.8 23
203.944
73Ll47 8!0.639
Jumlah Kefuar-
Masuk Orarui:/TSl.un 2.471.342
2010
2009
335.762
235.995
238.882
3
336.950
247255
213.079
797.284
2.582.586
4
2008
337.837
2 66.620
260.987
865.444
2.596.294
5
2007
321.043
287.655
256.673
865.371
3.073.920
2
Gambar 2. Grafik Arus kendaraan bus di Terminal Leuwi Panjang Tahun 2010 dan 2011
Total
AKAP Ritffahun
Tohuo
518219 2 2 1.977 271.290 1.011.486 2006 337.24R 7 2005 309.854 624.710 1.271.812 Surrber: UPT. Pengelolaan Terminal, D±nas Perhub.ingan Kota Yogyakarta 6
2.658.359
2.594.586
2.794.663
289
nal Leuwipanjang dan Giwangan sudah
Jumlah Kedatangan Bus di Terminal Giwangan
berdasarkan RUTR yang ada. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat sekitar 30% responden yang menyatakan bahwa terminal yang ada belum sesuai dengan RUTR sehingga mereka menyaran
2011
201C
..... Al(j1.p Ril/Tahun
Gambar 5.
2009
200S
-'1111 - AADP Ril/T
2::Kl7
200f,
2!lOS
- Penol.J
GrafikJumlah Kedatangan Bus di Ter minal Giwangan
kan untuk uji ulang kelayakan terminal pada Terminal Giwangan serta perluasan/ pemindahan Terminal Leuwipanjang agar tidak mengganggu lingkungan
Sebelum melakukan survei dengan metode kuesioner Analisis Hirarki Proses (AHP), terlebih
sekitar, yaitu kawasan pemukirnan. 2.
Keterpaduan Antar Moda
terhadap para pakar dan petugas teknis
Sebagai tempat pemberhentian bus,
yang terlibat langsung menangani tentang
diharapkan term inal juga terkoneksi
terminal. Tujuan dari survei ini adalah
dengan moda lain sehingga memudahkan
untuk mengetahui bagairnana kondisi ter
penumpang untuk melanjutkan perja
minal yang telah ada saat ini diban
lanannya. Para petugas teknis di lapangan
dingkan dengan kriteria yang dirumuskan
dan para pakar di kedua wilayah survey
(dari kuesioner AHP) mengenai lokasi ter
menyatakan bahwa lokasi terminal di
minal. Dari kedua lokasi survei didapat
wilayah mereka telah terpadu dengan
kan hasil sebagai berikut:
moda lain yaitu untuk intermoda seperti BRT dan angkutan kota. Narnun respon
1.
Rencana Umum Tata Ruang
den berpendapat bahwa keterpaduan tersebut perlu ditingkatkan terutama untuk integrasi di dalam terminal. Keterpaduan Antar moda
RUTR
• giwangan
• leuwipanjang leuwipanjang
tidak tahu
ya
•giwangan
tidak
Gambar 6. Pendapat Responden Dari Kriteria RUTR
Dari kuesioner AHP mengenai penetapan lokasi terminal yang dibuat, terdapat
Gambar 7.
beberapa sub kriteria yang mendukung kriteria ini, yaitu terletak di ibukota propinsi/kabupaten/kotamadya, dalam
Pendapat
Responden
Kriteria
Keterpaduan Antar Moda
3.
Topografi Terminal
jaringan trayek A.KAP, terletak di pinggir
Kondisi topografi disini lebih kepada
kota, jarak antar terminal minimal 20 krn
kondisi lahan terminal dan penataan in
di Pulau Jawa. Dari pendapat responden,
ternal tata ruang. Walaupun lebih dari
lebih dari 50% menyatakan lokasi termi-
50% responden menyatakan terminal yang
290
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
ada saat ini sudah memenuhi kondisi
Kelestarian Lingkungan
topografi, namun beberapa responden menyarankan untuk penataan zonasi agar diefektifkan ruangnya, yaitu salah satunya dengan perluasan terminal, terutama pada Terminal Leuwipanjang.
• eiwangan
"'" 1 ; f lh r!0,5 ya
Topografi Terminal
W giwangan
teowipanjang
'
"' mp 316
"""' 78,3
tida>tahu
• leuwipanjane
Gambar 9.
Pendapat
Responden
Kriteria
Kelestarian Lingkungan
tid3kt.Jhu
•
TrayekAKAP
• leuw1pa111ang
tidak
yo
Garnbar 8. Pendapat Responden Kriteria Topog;afi Terminal
4.
tidok tahu
Kelestarian Lingkungan
I
tidak
ya
Gambar 10. Pendapat Responden Dari Kriteria
Kelestarian lingkungan ini dapat diukur dari adanya dokumen AMDAL pada saat
TrayekAKAP
awal pembangunan terminal, tingkat
6. Jalan Arteri IHA
kebisingan, serta polusi udara yang ada
Lokasi terminal yang seharusnya berada
di sekitar terminal. Dari hasil survey
di Jalan arteri kelas IIIA, terdapat pada KM
dida patkan bahwa
78,3% responden
31/1995. Namun kenyataannya tidak
menyatakan bahwa kondisi di Terminal
semua
Giwangan sudah memenuhi kelestarian
tersebut. Berdasarkan hasil survei yang
lingkungan. Di lain pihak, lebih dari
50%
responden di wilayah Bandung menya
terminal m emenuhi kriteria
terdapat pada gambar
5.
6 dibawah ini,
terlihat bahwa Terminal Giwangan sudah
takan bahwa Terminal Leuwipanjang
berada pada jalan arteri kelas IIIA, akan
belum memenuhi kelestarian lingkungan
tetapi Terminal Leuwipanjang belum
disekitarnya sehingga perlu pengelolaan
terletak pada jalan arteri kelas IIIA.
sampah dan tambahan buffer dengan lingkungan sekitar mengingat lokasinya
Jalan Arteri lllA
saat
l!li leuwipan1ang
ini
yang
berdekatan
d engan
pemukiman warga. t1dak
5.
Trayek AKAP
Hampir
90% responden di Bandung dan
80% responden di Yogyakarta menya takan bahwa lokasi terminal su dah dilewati oleh rute dari bus AKAP.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
, ...
• giwangan
2 6 •3 _____ 95,7 .
--�����,... � ...,.. �, ; 173,7 J,' � C. i ;;; ;; .3 1
ya
Gambar 11. Pendapat Responden Dari Kriteria Jalan Arteri IIIA
291
-
Akses Jalan Keluar Masuk 100 m
7. Jarak Antar Terminal
9.
Seperti yang terdapat pada KM 31/1995
Terminal Giwangan dan Leuwipanjang
bahwa jarak antar terminal pada kelas A
telah memenuhi salah satu kriteria pada
minimal sejauh 20 km. adapun kondisi
KM31/1995 yaitu memiliki akses jalan
eksisting pada 2 lokasi survey, berdasarkan
keluar masuk 100m.
pendapat para responden telah memenuhi Akses Jalan Keluar Masuk 100m
persyaratan tersebut.
• glwangan
lcuw1panJang
JarakAntarTerminal Min 20 km
•
giwangan
. �/i � �
a leuwlpanJang
Nwlp•ni•ns
lwt1ngan
Udi>k ti:ihu
yll
tld•k
Gambar 14. Pendapat Responden Kriteria Akses tidak tahu
ya
Jalan Keluar Masuk 100
lldak
Gambar 12. Pendapat Responden Kriteria Jarak
Antar Terminal
m
10. AMDAL
Dokumen AMDAL seharusnya merupakan 8. Luas Terminal 5 Ha
Seperti yang telah diatur pada KM 31/ 1995 bahwa kriteria teminal tipe A adalah 5 Ha. Dari gambar 13 dikatakan bahwa Terminal Giwangan telah memenuhi kriteria tersebut karena memiliki luasan total 5,885 Ha. seda ngkan Terminal Leuwipanjang hanya memiliki luas 3,8 ha sehingga belum memenuhi persyaratan tersebut.
persyaratan pada saat akan membangun sebuah prasana publik, termasuk terminal. Pada terminal Leuwipanjang dinyatakan bahwa
sep ertiga
menyatakan
tidak
dari tahu,
responden sepertiga
menyatakan tidak terdapat dokumen AMDAL, dan sepertiganya menyatakan terdapat dokumen AMDAL. Sedangkan hampir 80% responden di Yogyakarta menyatakan bahwa terminal Giwangan memiliki dokumen AMDAL pada saat awal pembangunannya.
Luas Terminal 5 Ha
Gambar 13. Pendapat Responden Kriteria Luas
Terminal 5 Ha
292
AMDAL
Gambar 15. Pendapat Responden Dari Kriteria
AMDAL
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Di Yogyakarta, hampir 80% ahli disana
A kses Mudah Terhadap Petugas Keamanan dan Keselamatan
menyatakan bahwa jarang terdapat angka
Sebagai salah satu bentuk dalam melayani
kecelakaan di sekitar Terminal Giwangan.
pengguna terminal dengan baik, maka
Hampir serupa pula di Terminal Giwangan
lokasi terminal hendaknya memiliki akses
11.
Angka Kecelakaan Tinggi
13.
terdapat hampir 60% menyatakan bahwa
yang mudah terhadap petugas kesela
di sekitar lokasi Terminal Leuwipanjang
matan sebagai upaya terhadap kecelakaan
angka kecelakaannya rendah.
dan petugas keamanan sebagai upaya dalam menangani tindak kejahatan. Hampir 80% responden menyatakan
Angka Kecelakaan Tinggi • leuwipanjang
bahwa lokasi terminal tipe A yang
• giw
disurvey memiliki akses yang mudah
/' 73.9
tid.lk
v•
tidaktahu
26,l iiiiiiii'2:1ill,6
terhadap
petugas
keamanan
dan
keselamatan. Akses Mudah Terhadap
-10. 5 lj
Petugas Keamanan dan Keselamatan
Gambar 16. Pendapat Responden Kriteria Angka Kecela kaan Tinggi
12.
tidak
Keamanan Rendah
v•
Angka keamanan merupakan hal yang penting dalam menentukan suatu lokasi terkait dengan kenyamanan pengguna. Lokasi terminal hendaknya aman dari
tid.aktahu
Garnbar 18. Pendapat Responden Kriteria A kses Mudah Terhadap Petugas Keselarnatan
kejahatan seperti penjambretan dan penculikan. Lebih dari 50% responden menyatakan bahwa lokasi terminal yang ada saat ini aman dari kejahatan, walaupun
l•s.3 ·w
14.
Hambatan Samping Rendah
Seperti yang terdapat dalam MKJI 1997,
sekitar 40% menyatakan sebaliknya, yang
hambatan samping adalah dampak
membutuhkan penanganan segera.
terhadap perilaku lalu lintas akibat kegiatan sisi jalan seperti pejalan kaki, penghentian angkot dan kendaraan
Keamanan Rendah • giwane.an
lainnya, kendaraan masuk dan keluar sisi
U leuwipan1ang
jalan dan kendaraan lambat. Hambatan samping yang rendah akan meningkatkan kapasitas jalan sehingga dapat mening leuwtpanj.lng
tidaktahu
ya
katkan volume kendaraan yang ada pada jalan tersebut. Sebagaian besar responden menyatakan bahwa lokasi terminal
tid;Jk
Giwangan memiliki hambatan samping Gambar 17. Pendapat
Responden
Ke arnanan Rendah
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Kriteri a
yang rendah. Akan tetapi berbeda dengan di Bandung, yang perlu diperhatikan
293
-
bahwa
leb ih
dar i
40%
respon den
sekitarnya. Bahkan di terminalGiwangan,
menyatakan hambatan samping yang
didalamnya terdapat halte BRT Trans
tinggi di sekitar Terminal Leuwipanjang.
Jogja
akrena
terminal
Giwangan
merupakan tujuan akhir dan awal pada Hambatan Samplng Rendah • e1wanean
salah satu rute Trans Jogja.
leuwipanjane
Terdapat Halte di Sekitar Termlnal •ya
tid;;ik
'(J
Gambar 19.
tldak
Pendapat Responden Kriteria Hambatan 'Samping Rendah Gambar 21.
15. Lalu Lintas Jenuh Seperti yang terlihat di kondisi eksisting yang terdapat pada gambaran umum, Terminal Leuwipanjang memiliki lalu lintas yang jenuh disekitarnya yang terkadang menyebabkan kemacetan. Berbeda dengan k ondisi di Terminal Leuw ipanjang, Terminal Giwangan
Pendapat Responden Kriteria Terdapat halte di Sekitar Terminal
17. Kebisingan Rendah Terkait dengan lalu lintas yang ada, di Terminal Leuwipanjang memiliki kebi singan yang tinggi sedangkan diTerminal Giwangan dengan lalu lintas yang rendah sehingga memiliki kebisingan yang rendah.
memiliki lalu lintas yang tidak jenuh yaitu
Kebisingan Rendah
lalu lintas yang tidak terlalu padat
leuwipanjang
disekitarnya. tidak
Lalu Lintas Jenuh leuwipanjang
• giwangan
• giwangan
va
t1dak tahu
Gambar 22.
Pendapat Responden Dari Kriteria Keb isingan Rendah
18. Emisi Tinggi Gambar 20.
Pendapat Responden Kriteria Lalu Lintas Jenuh
Seperti perhitungan tingkat kebisingan, lalu lintas juga berpengaruh terhadap
16. Terdapat halte di Sekitar Terminal
emisi lingkungan.DiTerminalGiwangan memiliki emisi yang rendah sedangkan
Hampir seluruh responden menyatakan
terminal Leuwipanjang memiliki emisi
bahwa lokasi terminal tipe A yang ada di
yang tinggi karena lalu lintas yang tinggi
w ilayah
di sekitarnya.
294
survey
terdapat
halte
�.i
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
T abel 7. Kriteria Utama di Terminal Giwammn :EXa rtiatif Bobot Kriteria Kriteria Utama 0,08 RUTR 1,64 0,04 K e arn anan dan keselamatan 0,92 0,10 2,17 Kete rpaduan antar mod a 0,06 1,17 Kondi
Emlsl tlnggl • alwilnean
• lc�1wlpanj!llng
L
2.
tidJk
,,
Gambar
Sumber Hasil Anahsts, 2012
Ruang
23. Pendapat RespondenDari Kriteria
a.
Emisi Tinggi
Sub Kriteria Rencana Umum Tata
Terminal Leuwipanjang, Bandung
Hasil survei kepada para pakar dan ahli
Dari kriteria Rencana Umum Tata
teknis yaitu sebagai berikut:
Ruang, sub kriteria yang paling dipertimbangkan untuk kriteria ini
1.
a.
Kriteria Utama
a d al ah t e r l etak p a d a jaringan trayek AKAP, diikuti oleh
Terminal Leuwipanjang, Bandung Pada terminal Leuwipanjang, disebut kan bahwa kriteria utama dalam menentukan l o kasi terminal yang
Tabel 8. Sub K riteria Ren cana U mum Tata Ruang di Terminal Leuwinanialll!
hams dipertimbangkan adalah de
Terletak di Ibukota prop
keamanan dan keselamatan lalu keles
Terletak di J ar ingan trayek AK.AP
lalu lintas dan jalan serta kondisi topo grafi memiliki bobot kriteria yang sama. Tabel 6. Kriteria U tama di Terminal Leuwipanjang Kriteria Utama
:EXa tr!latif
RUTR
1,31
Keamanan clan kesel amatan
1,01
Kete rpaduan antar mod a
1,25
Konclisi topo grafi
1,03
Kelestarianlingkungan
1,72
Kepadatan lalin dan kapasitas jalan
2,00
De mand terminal
2,67
Terletak di
Pinggu kota
Jarak antarterminal Total
20 km
26,12 27,77 19,76 7,41
3,31 3,79 2,72 1,18
81,0S
Bobot Kriteria 0,30 0,34 0,25 0,11
II
Sumbcr Hasil Anal1s1s, 2012
b.
Terminal Giwangan, Yogyakarta
0,11 0, 09 0,16 0,18 0,24
ta menyatakan bahwa harus terletak
Hampir mirip dengan kondisi di Ter
pakar dan pegawai teknis di Yogyakar di jaringan AKAP, terletak di ibukota propirisi merupakan 2 prioritas utama pada kriteria RUTR. Di urutan ketiga perlu dipertimbangkan bahwa jarak antar terminal tipe A minimal 20 km. T abel 9. Sub Kriteria Renc ana Umu m Tata Ruang di
minal Leuwipanjang, demand termi
Terminal Gi wangan
nal merupakan prioritas utama dalam
Sub Kriteria
menentukan lokasi terminal tipe A,
Terleta kdi Ibukota prop
menurut para pakar di Yogyakarta.
Terletak di J aringan trayek AKAP
Selanjutnya dipertimbangkan keama nan dan keselamatan terminal serta
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
. :EXa rtiatif
Dengan prioritas yang sama, para
Terminal Giwangan, Yogyakarta
kelestarian lingkungan.
:EXa
Bobot Kriteria 0,12 0,09
Sumber: Hast1Anahs1s, 2012
b.
Sub Kriteria
mand terminal yang diikuti oleh tingkat tarian lingkungan. Adapun kepadatan
ibukota
propirisi untuk prioritas kedua.
Terletak di Pinggir kota Jarak antarterminal 20 km
Total
49,22
:EXa re/atif 5,33
B obot Kriteria 0,25
78,91 31,04 34,74 193,91
8,41 3,50 3,76 21
0,40 0,17 o, 18 1
:EX a
5umb!r: Ha.il AnahsIS, 2012
295
3. Sub Kriteria Kepadatan Lalu Lintas dan Kapasitas Jalan a. Terminal Leuwipanjang, Bandung Di Bandung, prioritas utama dalam menentukan kriteria kepadatan lalu lintas dan kepadatan jalan yang dapat dilihat kasat mata adalah adanya hambatan samping yang rendah. Selanjutnya diikuti oleh derajat jenuh < 0,7 dan akses masuk keluar minimal 100 m dengan bobot yang sama. Tabel 10. Sub Kriteria Kepadatan Lalu Lintas dan Kapasitas Ja1an di Termina1 Leuwipanjang Bo bot Kriteria
Sub Kriteria
L'Xa
EXa relatif
DS>0,7 Hambatan samping rendah Akses masuk min IOOm Jalan arteri min IIIA
16,48 24,39 16,18 22,02
2,31 3,42 2,32 2,95
0,21 0,31 0,21 0,27
Total
79,07
11
1
Sumber: Hasil AnallSls, 2012
b. Terminal Giwangan, Yogyakarta Berbeda dengan di Yogyakarta, para pakar berpendapat bahwa sub kriteria utama dalam menentukan kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan adalah derajat jenuh lalu lintas di sekitar terminal yang seharusnya <0,7. Selanjutnya adalah hambatan samping yang rendah dan terminal hams terletak di jalan arteri dengan min kelas IIIA. Tabel 11. Sub Kriteria Kepadatan Lalu Lintas dan Kapasitas Jalan di Terminal G'iwanmn Sub Kriteria
EXa
DS>0,7 Hambatan samping rendah Akses masukmin lOOm Jalan arteri min IHA Total
50,50 51,88 27,87 39,82 170,08
Surrber: HaSil Anahsts. 2012
296
Bobot Kriteria 6,34 . 0,30 6,10 0,29 0,17 3,62 4,94 0,24 21 1
EXa re/atf
4. Sub Kriteria Keterpaduan Antar Moda
a. Terminal Leuwipanjang, Bandung Sub Kriteria tertinggi untuk kriteria keterpaduan antar moda adalah adanya fasilitas transfer di dalam terminal, misalnya papan petunjuk untuk beralih ke moda lain serta kemudahan dalam mendapatkan tiket, seperti tiket terusan atau loket yang gampang diakses. Tabel 12. Sub Kriteria Keterpaduan Antar Moda di Terminal Leuwipanjang Sub Kriteria
EXa
Fasilitas transfer Terdapat 5 rute jalur angkot Terdapat halte angkot d terminal Total
L'Xa Bobot relatif Kriteria
39,22 6,29 13,81 - 2,76 8,77 1,96 11 61,80
0,57 0,25 0,18 1
Sumber: Hasil Analisis, 2012
b. Terminal Giwangan, Yogyakarta Seperti terminal Leuwipanjang, selain dibutuhkan fasilitas transfer untuk menentukan kriteria keterpaduan antar moda, responden memberikan prioritas pula pada lokasi yang terdapat 5 rute jalur angkot sehingga memudahkan pengguna terminal untuk melanjutkan perjalanannya. Tabel 13. Sub Kriteria Keterpaduan Antar Mada di
Terminal Giwangan SubKriteria
l:Xa
l:Xa
Bobot
relatif
Kriteria
Fasilitas transfer Terdapat 5 rute jalur angkot Terdapat halte angkot d terminal Total
97,33
13,47
31,09 17,25
4,63 2,90
0,64 0,22 0,14
145,68
21
1
Sumber: HasilAnaltsts, 2012
5. Sub Kriteria Kondisi Topografi a. Terminal Leuwipanjang, Bandung Dari dua kriteria dalam menetukan kondisi topografi pada penentuan lokasi terminal, akses mudah untuk
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
lalu lintas AKAP lebih prioritas dibandingkan sub kriteria yang lain. Tabel 14. Sub Kriteria Kondisi Topografi di Terminal Leuwipanjang .EXa Bobot relatif Kriteria . Lah an min 5 ha di pulau jawa 11,39 4,90 0,45 Alcses mudah untuk lalinAKAP 16,63 6, IO 0,55 28,01 11,00 1,00 Total
.EXa
Sub Kriteria
Sumber: Hasil
Analis1 ~
2012
b. Terminal Giwangan, Yogyakarta
Tabel 15. Sub Kriteria Kondisi Topografi di Terminal Giwangan :EXa
Lahanmin 5 ha di pulaujawa Alcses m udah untuk lalin AKAP Total Sumber: Hasil
AnaliSI~
:EXa Bobot relatif Kriteria 6,66 0,32
21,41 56,39 14,34 77,80 21,00
0,68 1,00
2012
6. Sub Kriteria Kelestarian Lingkungan a. Terminal Leuwipanjang, Bandung Untuk sub kriteria kelestarian lingkungan, adanya dokumen AMDAL merupakan prioritas utama. Selanjutnya diikuti oleh tingkat kebisingan <74 dB lalu nilai emisi yang rendah. Tabel 16.
Sub Kriteria Kelestarian Lingkungan diTierrmna . IL euwipamang
Sub Kriteria AMDAL Kebising;m < 74dB Nilai ernisi rendah Total ..
l:Xa 40,33 13,58 10,50 64 41
l:Xa relatif .6,27 2,60 2,12
llOO
Bo bot Kriteria 0,57 0,24 0,19 I 00
Sumber: Hasil Anahs1s, 2012
b. Terminal Giwangan, Yogyakarta Agak berbeda dengan kondisi di Terminal Leuwipanjang, dengan doku-
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Tabd 17.
Sub Kriteria Kelestarian Lingkungan di Tenninal Giwanl!an l:Xa Bobot Sub Kriteria l:Xa relatif Kriteria AMDAL 11,34 75,55 0,54
Kebisingan < 74dB
Sama halnya di Yogyakarta, akses mudah untuk lalu lintas AKAP memiliki bobot yang lebih tinggi hingga 0,68 dalam menentukan kriteria kondisi topografi.
Sub Kriteria
men AMDAL di prioritas utama, namun di peringkat kedua adalah nilai emisi yang rendah dengan bobot kriteria 0,26.
23,30
4,11
0,20
Nilai ernisi rendah
. 35,61
5,55
0,26
total
134,46
21,00
1,00
Sumber. Hasil Analisis, 2012
7. Sub Kriteria Keamanan dan keselamatan a. Terminal Leuwipanjang, Bandung Rendahnya nilai fatalitas, yaitu nilai kerri.atian per angka kecelakaan, merupakan faktor penting dalam menentukan kriteria keamanan dan keselamatan. Selanjutnya adalah akses petugas yang mudah dan aman dari gangguan keamanan di urutan berikutnya. Tabel 18. Sub Kriteria Keamanan dan Kesela· matan di Terminal Leuwipanjang
4,SO 3,19
0,41
Aman dari gangguan keamanan
.EX. a 22,84 15,64
Alcses petugas mudah
lcS,30 3,31
0,30
Total
54,78 11,00
1,00
Sub Kriteria . Fatalitas rendah
Sumber: Hasil
Analis1~
.EXa Bobot relatif Kriteria 0,29
2012
b. Terminal Giwangan, Yogyakarta Di Yogyakarta, bobot kriteria tertinggi adalah 0,42 yaitu rendahnya fatalitas . Selanjutnya adalah lokasi yang aman dari gangguan dan akses yang mudah untuk menuju petugas keamanan dan keselamatan.
297
Tabd 19.
Sub Kriteria Keamanan dan Keselamatan di Terminal Giwangan Sub Kriteria
..rxa Bobot re/atif Kriteria
l:Xa
Fatalitas rendah Aman dari gangguan keamanan
48,90
8,74
0,42
38,03
6,84
0,33
Alcses petu~s mud ah
26,46· 5,42 0,26
Total
113,39 21,00
Dari kedua wilayah survey didapatkan hasil akhir untuk penentuan lokasi terminal tipe A yaitu sebagai berikut. Tabel 21. Sub Kriteria Demand Terminal di Terminal Giwangan
1,00
Sub Kriteria
Sumb
8. Sub Kriteria Demand Terminal
a. Terminal Leuwipanjang, Bandung Kriteria demand terminal terdiri dari 4 sub kriteria. Adapun sub kriteria tertirrggi adalah jumlah trayek yang melalui lokasi terminal dengan bobot kriteria 0,32. Selanjutnya adalah letaknya yang terdapat di simpul transportasi sertaasal tujuan perjalanan dan lokasi yang terdapat di penyebaran perjalanan dengan skor yang sama. Adapun bobot lebih lengkapnya terdapat pada tabel berikut. Tabel 20. Sub Kriteria Demand Terminal di
TerminalLeuwipanjang Sub Kriteria
.I'Xa
.EXa Bobot relatif Kriteria
Simpul transportasi
22,23 14,26 16,89 .
Penyebaran perjalanan
15,75
3,48 2,37 2,77 2,38
Total
69,13
11,00
Jumlah Trayek: Asal tujuan perjalanan
0,32 0,22 0,25 0,22 1,00
Sumber: Hasil Analisis, 2012
b. Terminal Giwangan, Yogyakarta Untuk kondisi di Yogyakarta kriteria demand termirral memiliki sub kriteria dengan urutan pr~oritas: jumlah trayek yang inelalui, lokasinya yang terletak di simpul transportasi, lokasinya yang terdapat di penyebaran perjalanan, dan yang terakhir ditinjau dari asal tujuan perjalanan dari pengguna, terutama saat menggunakan bus AKAP.
298
J:Xa re/atif
1:.Xa
Jumlah Trayek Asal Tujuan perjalanan
58,98 32,08
7,01 4,19
Simpul transportasi
40,89
5,40
Penyebaran perjalanan Total
34,72
4,41
166,66
21,00
Bobot
1,
Swnber: Hasil Analisis, 2012
1. Kriteria Utama
Terdapat 7 kriteria utama yang telah dirumuskan dalam menentukan lokasi termirral tipe A. dari kriteria tersebut terdapat urutan prioritas sebagai bahan pertimbangan oleh penentu kebijakan dalam menentukan wilayah yang akan dijadikan termirral tipe A. 3 urutan teratas yaitu demand terminal, kepadatan lalin dan kapasitas jalan, serta kelestarian lingkungan di sekitar lokasi. Selanjutnya yang tidak kalah penting untuk dijadikan pertimbangan yaitu keterpaduan antar moda, RUTR, kondisi topografi, serta kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan di sekitar area lokasi. Pada setiap kriteria tersebut terdapat beberapa sub kriteria dalam menentukan masingmasing kriteria. Tabel 22. !Criteria Utama Penempatan Lokasi Tenninal Tipe A
IXa Bobot Rankin relatif Kriteria g
Kriteria
12,48 Demand terminal Kepadatan Lalin dan Kapasitas Jalan 5,39 Kelestarian lingkungan 4,03 Keterpaduan antar.moda 3,31
RUTR Kondisi topografi Keamanan dan keselamatan
2,83 2,12 1,85
0,39 0,17 0,13 0,10 0,09
l
2 3 4
5
O,D7
6
0,06
7
Sumber: Hasil Analisi s. 2012
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
2. Sub Kriteria Rencana Umum Tata Ruang Rencana Umum Tata Ruang tiap propinsi memiliki karakteristik yang berbeda, tergantung dari kebijakan dan pengembangan di wilayah tersebut. Untuk penentuan lokasi terminal tipe A, pada kriteria Rencana Umum Tata Ruang memiliki beberapa sub kriteria dengan urutan prioritas Terletak di Ibukota Propinsi, terletak di jaringan trayek AKAP, terletak di pinggir kota, dan jarak antar terminal tipe A adalah 20 km. rincian bobot kriterianya adalah sebagai berikut. Tabel 23. Sub Kriteria Rencana Urrrum Tata Ruang Sub Kriteria
IXa
Bobot . Kriteria Rankmg
106,67
0,38
75,34
0,27
2
Terletak di Pinggir kota
50,llO
0,19
3
Jarak antar terminal 20 km
42,15
0,15
4
Terletak di Ibukota prop Terletak di
Jarin~n
trayek AKAP
Sumbe r. Hasil Analis1 ~ 201 2
3. Sub Kriteria Kepadatan Lalu Lintas dan Kapasitas Jalan
Tabel 24. Sub Kriteria Kepadatan Lalu Lintas dan Kapasitas Jalan Sub Kriteria
:EXa Bobot Rankin relatif Kriteria g
Hambatan samping rendah
9,33
0,29
DS>0,7
8,58
0,27
2
Terdapat di jalan arteri min IIIA
7,33
0,23
3
Aksesmasukmin IOOm
S,76
0,18
4
Sumber. Hasil A nalisi ~ 2012
4. Sub Kriteria Keterpaduan Antar Moda Dengan bobot kriteria tertinggi sebesar 0,62, adanya fasilitas transfer di terminal merupakan prioritas utama dalam menentukan kriteria keterpaduan antar moda. Selanjutnya adalah adanya 5 rute angkot untuk melanjutkan perjalan pengguna selanjutnya dan adanya halte angkot di dalam/ sekitar terminal. Tabel 25. Sub Kriteria Keterpaduan Antar Moda ?Xa
Bo bot
Ranking
Sub Kriteria
re/atif
Kriteria
Fasilitas transfer
19,76
0,62
5 rutejalur angkot
7,39
0,23
2
Halte angkot di terminal
4,85
O,IS
3
Sumber. Hasil Analis i ~ 2012
Untuk kriteria kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan dibangun oleh beberapa sub kriteria. Adapun yang utama adalah hambatan samping yang rendah. Seperti yang terdapat di MKJI 1997, hambatan samping yang rendah berarti besar arus berangkat pada tempat masuk dan keluar tidak berkurang oleh hambatan samping. Selanjutnya adalah tingkat derajat jenuh dari lalu lintas jalan < 0,7, karena derajat jenuh maksimal bagi kondisi lalu lintas yang jenuh adalah 0,85. Prioritas selanjutnya yang tidak kalah penting adalah lokasi terminal yang terdapa di jalan arteri minimal Illa dan akses jalan untuk keluar-masuk selebar lOOm. Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
5. Sub Kriteria Kondisi Topografi Dari dua sub kriteria untuk kondisi topografi, perlunya akses yang mudah untuk lalu lintas AKAP merupakan hal yang lebih penting dibandingkan luas lahan minimal 5 ha. Tabel 26. Sub Kriteria Kondisi Topografi Bobot R nking Kriteria a
Sub Kriteria
l:Xa relatif
Akses mudah untuk lalin AKAP
20 ,44
0,64
Lahan min 5 ha djawa
11,56
0,36
2
Sumber. Hasil A nalisi ~ 201 2
6. Sub Kriteria Kelestarian Lingkungan Adanya dokumen AMDAL merupakan urutah prioritas dalam mendukung kriteria kelestarian lingkungan
299
dnegna bobot kriteria 0,55. Selanjutnya adalah perlunya adanya nilai ernisi yang rendah dan tingkat kebisingan yang besarnya <74dB. Tabel 2 7. Sub Kriteria Kelestarian Lingkungan Sub Kriteria AMDAL Nilai emisi rendah Kebisingan < 74dB
EX.ti r
Bobot Kriteria
17,62 7,67
o,ss 0,24
2
6,71
0,21
3
Ranking
Sumber. Hasil Analisi~ 2012
7. Sub Kriteria keselamatan
Keamanan
dan
Berdasarkan para pakar, nilai fatalitas yang rendah pada lokasi tersebut menempati urutan tertinggi dengan bobot kriteria 0,41. Sedangkan aman dari gangguan keselamatan seperti perampokan dan penjambretan menempati urutan kedua dengan bobot kriteria 0,31. Di urutan terakhir adalah akses petugas keamanan dan keselamatan yang mudah sehingga mendapat penanganan yang cepat terhadap kecelakaan dan kejahatan Tabel 28. Sub Kriteria Keamanan dan keselamatan SubKriteria
EX.
relatif
Bobot R nking Kriteria a
Fatalitas rendah
13,24
0,41
Aman dari gangguan keselamatan
10,03
0,31
2
Akses petugas mudah
8, 73
0,27
3
Sumber: Hasil Analisis, 2012
yang mungkin terjadi. 8. Sub Kriteria Demand Terminal Dengan urutan prioritas tertinggi dalam menentukan lokasi terminal, demand terminal memiliki sub kriteria yang mendukung dalam menyusun kriteria ini. Jumlah trayek yang melintas menempati urutan pertama dalam menentukan demand terminal dengan bobot kriteria sebesar 0,33.
300
Selanjutnya adalah letaknya pa~a simpul transportasi, letaknya pada penyebaran perjalanan, dan melihat faktor asal dan tujuan perjalanan. Tabel 29. Sub Kriteria Demand Terminal l:Xa
Sub Kriteria
relatif
Bobot Ranking Kriteria
Jumlah Trayek
10,41
0,33
1
Simpul transportasi
8,17
0,26
2
Penyebaran perjalanan
6,79
0,21
3
Asaltujuan perjalanan
6,56
0,21
4
Sumber. Hasil Analis1~ 2012
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan dari kajian ini adalah: 1. Dari kedua lokasi terminal didapatkan hasil bahwa untuk urutan kriteria utama dalam menentukan lokasi terminal berdasarkan bobot kriteria yaitu demand terminal (0,39), kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan (0,17), kelestariari lingkungan (0,13), keterpaduan antar moda (0,10), RUTR (0,09), Kondisi topografi (0,07), dan keamanan dan keselamatan (0,06); 2. Kriteria demand terminal memiliki urutan prioritas sub kriteria yaitu jumlah trayek (0,33), simpul transportasi (0,26), penyebaran perjalanan (0,21), asal tujuan perjalanan (0,21); 3. Kriteria kepadatan lalu lintas dan kapasitas jalan memiliki 4 sub kriteria dengan urutan yaitu hambatan samping yang rendah (0,29), derajat jenuh > 0,7 (0,27), terdapat pada jalan arteri min IIIA (0,23), dan memiliki akses masuk minimal 100 m (0,18); 4. Untuk kriteria kelestarian lingkungan memiliki urutan sub kriteria yaitu
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
dokumen AMDAL (0,55), nilai emisi yang rendah (0,24), kebisingan <74 dB (0,21); 5. Urutan sub kriteria untuk keterpaduan antar moda yaitu adanya fasilitas transfer (0,62), 5 rute jalur angkot (0,23), dan terdapat halte angkot fi terminal (0,15); 6. Kriteria RUTR memiliki urutan sub kriteria yaitu terletak di ibukota propinsi (0,38), terletak pada jaringan trayek AKAP (0,27), terletak di pinggir kota (0,19), dan jarak antar terminal 20 km( 0,15); 7. Kriteria kondisi topografi memiliki 2 sub kriteria yaitu akses yang mudah untuk lalu lintas AKAP (0,64) dan memiliki luas lahan minimal 5 Ha di Pulau Jawa (0,36); 8. Urutan prioritas sub kriteria keamanan dan keselamatan yaitu fatalitas rendah (0,41), aman dari gangguan keselamatan (0,31), akses petugas mudah (0,27) 9. Telah dilakukan benchmarking di Terminal Puduraya, Malaysia, Terminal Mahatma Gandhi, India, serta terminal Ang Mo Kio, Singapore yang ketiganya berada di tengah kota dengan beberapa halte yang terdapat di sekitamya sehingga memudahkan akses penumpang menuju tujuannya di wilayah lain di perkotaan. SARAN
1. Diperlukan komitmen pemerintah untuk menegakkan urutan prioritas terhadap lokasi perletakan terminal sesuai dengan kajian ini supaya penggunaan terminal dapat lebih maksimal;
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
2. Jika terminal yang dibangun sudah memenuhi kriteria diatas, diperlukan juga komitmen dari operator dan masyarakat untuk menggunakan terminal sebagaimana mestinya; 3. Jika saat ini terdapat beberapa terminal yang tidak kondusif dilihat dari lokasinya, maka diperlukan perbaikan terhadap manajemen akses atau dilakukan perpindahan lokasi terminal ke lokasi yang lebih sesuai dengan kriteria yang telah disusun. 4. Diperlukan kajian lebih lanjut terkait dengan persyaratan teknis dari kriteria perletakan lokasi terminal seperti tersebut diatas; DAFTAR PUSTAKA
Dillon, W.R. and Golstein, M., 1984, Multivariate Analysis, Methods Applications, John Wiley & Sons, New York- USA KM no.31 Tahun 1995 tentang Terminal Transportasi Jalan Nugroho, H., 2008, Analisis Peralihan Mada dari Pengguna Sepeda Motor ke Angkutan Umum (studi kasus Penerapan Bus Patas di Yogyakarta, Tesis, MSTT-UGM, tidak dipu blikasikan. Peraturan Pemerintah No 32/2011 tentang Manajemen dan Rekayasa , Analisis Dampak, serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas. Santoso, S.,2006, Menggunakan SPSS untuk Statistik Multivariat, Elex Media Computindo, Jakarta. Suroto, W.,2010, Dampak Kebisingan Lalu Lintas Terhadap Pemukiman Kata (Kasus Kata Surakarta), Journal of Rural and Development, Universitas Sebelas Maret.
301
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; http:/ /www.backpackingmalaysia.com/ things-to-do/ puduraya-bus-terminal/ kuala-lumpur
302
http:/ /www.singaporemalaysiabus. com/ genting.html *)
Sl- Administrasi Negara, Peneliti Muda Bidang Transportasi Jalan
Volume 24, Nornor 3, Maret 2012
COMPARATIVE ANALYSIS OF TRANSPORTATION INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT THROUGH PPP SCHEME IN INDONESIA AND JAPAN Siti Maimunah*)
Peneliti Badan Litbang Perhubungan Jalan Medan Merdeka Timur No. 5 Jakarta Pusat ABSTRACT
During the last decade, infrastructure development has become the main focus for several developing countries seeking to achieve a high economic gr()'l,()th rate. H()'l,()ever, developing sufficient infrastructure to meet the demand side is quite challenging, especially given the financing required. To fulfill this condition, methodology for financing schemes for infrastructure projects with Public Private Partnerships (PPP) has recently been significantly increased in both developed and developing countries. To attract private investments, the government has attempted to improve the legal and regulatory framework at transportation sector. H()'l,()ever, revising the infrastructure laws is not enough to attract private sector investment. The government of Indonesia still needs more efforts to create an attractive investment climate. Although Indonesia has had a system for PPP methodology, only a few projects have been implemented. The objectives of this study are to learn about and understand Japan's PFI methodology, par-
ticularly type I, and find the benefits of its implementation in terms of the development of public infrastructures and it can be implemented in Indonesia. Through comparative analysis between PFI methodology in Japan and PPP methodology in Indonesia, it can be concluded that in general, since the project scope between Japan's PFI and Indonesia's PPP are fundamentally different, not all procedures in Japan's PFI methodology can be applied to improve Indonesia's PPP methodology. To apply some lessons learned from Japan's PFI, it is necessary to consider the nature and culture of the country. Based on the current condition of PPP projects in Indonesia, the government needs to take specific actions, including: institutional framework, service payment scheme and risk allocation. Keywords: Japan's PFI, Indonesia's PPP, Comparative Analysis ABSTRAK
Selama dekade terakhir, pembangunan infrastruktur telah menjadi fokus utama bagi beberapa negara berkembang untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, mengembangkan infrastruktur untuk memenuhi permintaan cukup menantang, terutama mengingat pembiayaan yang diperlukan. Untuk memenuhi kondisi ini, maka dikembangkan metodologi pembiayaan yang dikenal dengan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), yang akhir-akhir ini telah meningkat secara signifikan di banyak negara maju dan berkembang. Untuk menarik investor, pemerintah telah berusaha untuk memperbaiki kerangka hukum dan peraturan di sektor
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
303
-
transportasi. Namun, merevisi undang-undang infrastruktur tidak cukup untuk menarik investor. Pemerintah Indonesia masih membutuhkan lebih banyak upaya untuk menciptakan iklim investasi yang menarik. Meskipun Indonesia telah memiliki sistem untuk metodologi KPS, hanya beberapa proyek telah dilaksanakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan memahami metodologi PFI di Jepang, terutama tipe I, dan menemukan manfaat dari pelaksanaannya dalam hal pembangunan infrastruktur umum dan dapat diterapkan di Indonesia. Melalui analisis komparatif antara metodologi PFI di Jepang dan PPP metodologi di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa secara umum, karena ruang lingkup proyek antara PFI di Jepang dan di KPS di Indonesia pada dasamya berbeda, tidak semua prosedur dalam metodologi PFI di Jepang dapat diterapkan untuk meningkatkan PPP di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis PFI di Jepang, maka perlu mempertimbangkan sfat dan budaya negara. Berdasarkan kondisi saat ini, maka pemerintah perlu mengambil tindakan tertentu untuk proyek KPS di Indonesia, termasuk: kerangka kelembagaan, skema layanan pembayaran dan alokasi risiko.
Kata kunci: PFI di Jepang PF!, KPS di Indonesia, Analisis Perbandingan
BACKGROUND In the last decade, infrastructure development is the main focus for some developing countries to achieve a high economic growth rate. Infrastructure development is not only limited to specific sectors, but also in almost all sectors such as, electricity, transportation and clean water provision. However, to develop infrastructure in order to meet the demand side is very hard, especially for its financing. To fulfill this condition, recently financing scheme for infrastructure projects with the Public Private Partnerships (PPP) methodology has been increased significantly both in developed and developing countries. Public sector governance in many developing countries is still weak. Experience with private sector involvement in infrastructure projects underlines the need not only for innovative regulatory and financial structures to deal with a multitude of contractual, political, market, and credit risks, but also for building credible struc-
304
tures to ensure that projects are environmentally responsive, socially sensitive, economically viable, and politically feasible. Following up the government attention, there is a need to establish a PPP organizational unit for policy and planning which has an important role to formulate the PPP policy and plan. As Indonesia launched the next Five-Year National Development Planning, the time is now critical for the government to address and overcome several problems in developing infrastructures and attaining their full potencies. One of the government efforts in solving those problems is by renewing the focus of National Development Planning in order to attract private-sector investments. To attract the private investments, government has attempted to improve the legal and regulatory framework at the sector level. Since 1999, as shown in Table 1, the process of dismantling public monopolies and creating a more open market for infrastructure investments was initiated.
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Under the new laws, the private sector can invest in several sectors independently, which was not regulated under the previTable 1. The Revision of Sector Laws ~l'l' IOI'
Telecommunications Oil and Gas Roads & Toll Roads Railwavs Sea Transport & Ports Air Transport & Airports Lam Transport Electricity Water
Old I "'" I Sl.11l' \lonnJll>~\I
Law No. 3/1989 Law No. 8/1971 LawNo. 13/ 1980 LawNo. 13/ 1992 Law No. 21/ 1992 LawNo. 15/1992 LawNo. 14/1992 LawNo. 15/ 1985 LawNo. 11/1974
\t.'" I·'"' I Opl'n \larl,,•I)
Law No. 3611999 Law No. 22/2001 Law No. 38/2004 Law No. 23/2007 LawNo. 17/2008 Law No. 1/2009 Law No. 22/2009 Law No. 30/2009 LawNo. 7/2004
Source: Authors analysis
ous sector law. The new sector law represents a legal milestone that provides a wider scope for private sector involvement. Beside the sector regulatory reform, the Government has reformed the cross sector regulatory. The Presidential Regulation No. 67 year 2005 concerning cooperation between Government and Business Entities in Infrastructure Provision is being amended under the Presidential Regulation Number 13, 2010. The Government expects that the new regulation is able to solve the bottlenecking problems in PPP implementation. By revising some basic laws at each sector level, it is expected to support for successful PPP projects in developing infrastructure in Indonesia. However, revising the infrastructure laws is not enough to attract private-sector investment. GOI still needs more efforts to create an attractive investment climate. Although Indonesia has had a system for PPP methodology, but there are only few projects implemented. The objectives of this study are to learn and to understand the Japan PFI methodology particularly type I and to find the benefits of its implementation in term of development of public infrastructures. The understanding of Japan PFI Methodology
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
will be obtained by studying the procedure and process of Japan PFI and some examples of PFI projects. In addition, the comparison between Japan PFI and Indonesia PPP will be done to gain a best practice from the implementation of Japan PFI methodology to indicate the issues/problems of Indonesia PPP that should be improved. METHODOLOGY
The methodology to learn PFI/PPP in Japan through: 1. Class learning: Lecture by the specialists/ experts of the Japan PFl/PPP Association, presentation materials, discussion, case studies, and group presentations at the Japan PFI PPP Association.
...
2. Field visits: carried out with a visit to the Diet Members Building and some Government Office Buildings in Tokyo, Michino Eki and bus terminal in Miyazaki Prefecture, discussion and question and answer with some staffs. 3. Analysis: team discussion to gather the information from the material obtained in the classroom and field visits 4. Resume: carried out by making a conclusion/ summary of all materials provided by instructors and information obtained from the field visits. 5. Presentation of tentative report to professors of University of Miyazaki and Indonesian students who are studying in the Linkage Master Double Degree Program, and discussion. 6. Library Research: obtaining additional information/ differences, either from books, guidelines, annual reports, and the internet.
305
-
7. Final Presentation and discussion: presenting the comparison of Japan PFI and the Indonesia PPP at the Japan PFI PPP Association. 8. Final Assignment: Preparing reports to be submitted to National Development Planning Agency and to our own institutions. PRIVATE FINANCE INITIATIVE (PFI) IN JAPAN
PFI in Japan was inspired by PFI success story in England. There are some reasons to learn PFI England. One of the reasons is the failure of previous joint privatepublic ventures or a cooperation owned both by private and public due to poor risk allocation and planning. On the other hand, the shortage in tax revenue due to the depression over the years and a small government budget to rebuild the social infrastructure, for example increasing earthquake resistance of old buildings. The number of PFI projects increases every year and it reaches 352 projects at the end of June 2009. There are some characteristics of PFI projects based on the number of population and Life Cycle Cost (LCC). Among the government level, the number of PFI projects in prefectures (local government) is the most compared to the number of projects conducted by the ministries (central government) and universities (national agency). Japan PFI Law Number 117 was stipulated on 30th July 1999 (effective on 24th September 1999). The article number 1 states that the purpose of PFI is to improve the social infrastructure efficiently and effectively and to ensure the affordable provision and good service to the citizen. By measuring
306
the provision of public facilities through utilization of private finance, management abilities and technical capabilities, it will contribute to healthy development of the national economy. It is followed by article number 2 that explains the definition of public facilities which mean: 1. Public facilities, such as roads, railways, ports and harbors, airports, rivers, parks, water services, sewage systems and industrial water supplies. 2. Official facilities, such as government buildings and accommodations. 3. Public interest facilities, such as public housing, educational and cultural facilities, waste treatment facilities, medical facilities, social welfare facilities, offender rehabilitation facilities and underground malls. 4. Information and communication facilities, heat supply facilities, new energy facilities, recycling facilities (excluding waste treatment facilities), tourist facilities and research facilities. 5. Other facilities. In addition, there is a mandatory policy for government to realize social infrastructures efficiently as well as affectively to supply public services in high quality. To reach this goal, it is being required to entrust to private enterprises to build public facilities. In October 1999, government created "The Committee for Promotion of PFI" under the Cabinet Office and in March 2000, government released the "Policy Framework" or "Basic Policy". Based on the Basic Policy with respect to Implementation of Public Facilities development by utilizing private funds, there are eight principles:
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
1. Public interest means to implement an undertaking having public interest. 2. Utilize private' s managerial resources means profiting to use private' s funds, managerial as well as technical skills. 3. Efficiency means an efficient and effective way by respecting independence, inequality and innovative ideas by private enterprises. 4. Fairness means during conducting selection of the specified undertaking and the selected enterprise, the procedure should aim fairness. 5. Transparency means transparency for whole process from initiation of the specified undertaking until the end of such undertaking. 6. Objectivity means for determination of evaluation shall be required at each step. 7. Contractual means it being mandatory requirement to clarify in writing contractual substance like allocation of role and responsibility of the concerned parties. 8. Independence means independence as a legal entity or independence as to accounting separation between department assuming the undertaking and its parent entity. Then, it was follwed by releasing the Process Guideline and Risk Sharing Guideline in January 2001. After issuing the two guidelines, government was continuing to release many documents to improve the PFI methodology, such as revision of PFI Law, Value for Money (VFM) Guideline, Contract Guideline and Monitoring Guideline, interim report of the committee for promotion of PFI, arrangement paper of Directors from PFI Liaison Conference of
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
the Relevant Ministers and Agencies. In 2006, they released annual report of 2005, the first annual report that was issued. In November 2007, PFI Promotion Office launched a report of the Committee for Promotion of PFI. 1. Objective of PFI Methodology
The objective of PFI is to establish the framework for promoting private sector activity to build social infrastructure and to contribute to the development of the national economy. PFI methodology is expected to be able to maximize the VFM. This objective can be achieved by introduction of a new tender system which consists of a lifecycle-cost-based pricing and quality of proposed services. 2. Benefits and Impacts of PFI Methodology By implementing PFI, it is expected to get some benefits as it is mentioned below: a. It will enable to supply economical and better public services to national citizen. b. It will innovate ways of involvement of public administration in supplying public services. c. It will contribute to activate economy by creating business opportunities for private sector. While the impacts of implementing PFI methodology to the existing system in Japan (Ueda, 2010) are as follows. a. Transparency: Transparency of all the steps b. Life cycle cost management: Improvement of financial problems and efficiency of public works
307
c. Principle of contract: Detailed contract has to spell out clearly roles, risks and responsibilities allocation and procedures in case of project failure. d. Project finance: There is feasibility in public works, risk analysis and allocation and present value.
3. Basic Concepts of PFI Methodology Regarding Nippon Life Insurance (NLI) Research Institute (1998), the basic concept of PFI methodology can be explained as follows. a. Public sector's role is to purchase appropriate services. b. PFI methodology is applicable to all public activities. c. PFI methodology offers the best value of service delivery to taxpayers. Therefore, public expenditure must satisfy the VFM requirement. d. Based on market testing, if the private sector can deliver services more efficient than the public sector, then the service will be privatized. e. There is an optimum point to get the best VFM by transferring risk to private sector. f. Full disclosure The contracts should stipulate information about bidding process and contract conditions, if they are not against the public interest.
4. Alternatives of PFI Methodology There are three alternatives based on the characteristics of the project. a. Type I (Recovery Investment from Tax) A private supplier, upon receiving approval from the relevant public
8""~r~':!"'"°) PR:,;rr ~
body, design, builds, maintains and operates a public facility or service. Fees or other income from those benefiting from the project enables the private supplier to recover part of the project costs. For this type, there is no public contribution. b. Type II (Recovery of investment from fees)
•tz:tbA*~I "':;;· !~-
Source: Ueda (2010)
A private sector supplier design, builds, maintains and operates the public facility and public sector is the purchaser of the services . The private supplier recovers its project costs by the tax of public sector.
~~a==>l"'=r-1=•
c. Type III (Public-private joint project) Both public and private capitals are used to design, build, maintain and operate the public facility. The private sector takes the lead in operations.
5. Implementation Process There are two types of the PFI implementation process that is called as unsolicited and solicited projects. The steps of the process for both types are almost same (see Figure 1). The main difference of these two types lies on the initiative to develop the projects. If the initiative comes from the private, then it is known as unsolicited and if the initiative to develop the projects comes from the governments, then it is known as solicited. In case of unsolicited projects under Japan PFI, the private sectors submit their proposal to the govern-
Source: Ueda (2010)
308
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
........ ... .. . ...1.U•UllUVJlUJ I UW"U"'U'0... 101''"U.' U " -' ".!lU•U.! ft..
I Private Enterprise
._., , ..,. , ., ,., , .,., ., ,. ,,., .. ...... , .,,,. ,., , ., , ., .,,.,,.., .... ,.,.
1
,,, ,,..,,~
0000 , .,,., ,,., .,,,..~,
Ad9iw'
I Public Sector Qlent
! j
Screenqmo• dttee SOLICl11ED4'
UNSOLICITED4'
Proposal
- Feasibility Study - Lettl!r of Intent issued by banks ·Member of consortium, etc Submtssion of.pi.,sal }apanPPI Assoctatlon Clents
Note: * sta rting p roc ess. ~ it show.; the fo llowing steps. Source: Ueda (2010)
Figure 1. Two Types of the Implementation Process of PFI
ment for evaluation. If the CA thinks that the proposal is worthy, then the CA will approve the proposal and it is vice versa. For solicited projects, it is started from the public announcement to the contract signing (these steps also belong to the unsolicited projects). 6. Example of PFI Project in Japan. Tokyo (Haneda) International Airport-ReExpansion PFI Projects The purposes of expanding the Haneda Airport are: a . To increase annual aircraft movement; b. To improve services for travelers and visitors; c. To strengthen competitiveness of
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Haneda Airport among international airport; d. To strengthen competitiveness of Tokyo among international cities; e. To promote regional interchange and vitalizing regional economy. The expansion of Haneda Airport consists of: a. Passenger terminal b. Cargo terminal c. Apron development The passenger and cargo terminal is expanded by using PFI methodology type II (recovery investment from user fees) and apron development is expanded by using PFI methodology type I (recovery investment from tax).
309
Table 2. The Detail Projects of Re-Expansion Haneda Airport
1. Type of PFl Methodology
2. Transfer Asset Methods 3. Duration of operation and monitoring 4. Project costs 5. Risk Allocation
310
Passenger Tenninal PFI Project Type II (recovery of investment from user fees) BOOT (Build, Own, Operate, Transfer) 27 years
Cargo Terminal PFIProject Type II (recovery of investment from user fees) BOOT (Build, Own, Operate, Transfer) 28 years
80,000 million yen 25,000 million yen Risks to be taken by Ministry (for Type 11): 1. Mis takes in the tender documents 2. Delay of obtaining licenses to be issued by Ministries 3. Claims from residents due to proposals by Ministries 4. Obligations to pay reparations due to proposals and instructions by Ministries 5. Early termination requested by Ministries 6. Early termination due to recession caused by introduction of government's new policy 7. Delay of signing contract due to Ministry's fault 8. 1ncompleteness of survey related to the project due to Ministry's fault 9. Change of construction cost due to request of Min is tries 10. Change of construction cost due to underground undesired obstacle 11. Change of demand standard (requirements) requested by Ministries 12. Change of policy in relation with operational matter by Ministries 13. Repayments of the facilities due to inappropriate usage by Ministries.
Apron Development PFI Project Type 1 (recovery of investment from tax) BTO (Build, Transfer, Operate) 25years
52,000 million ven Risks to be taken by Ministry (for Type 1): 1. Mistakes in the tender documents 2. Change of Laws to affected to government project and PFl project 3. Change of tax system to be affected to governmentprojectandPFl project 4. Change of consumer tax 5. Delay ofobtaining licenses to be issued by Ministries 6. Claims from residents due to proposals by Ministries 7. Obligations to pay reparations due to proposal and instructions by Ministries 8. Change of interest rate 9. Early termination registered by Ministries 10. Force majeure 11. Delay of signing contract 12. Incompleteness of survey related to the project due to Ministry's fault 13. Delay of completion due to instruction by Ministries 14. Delay of completion due to underground un-described obstacles 15. Change of construction cost due to instruction of Ministries 16. Change of construction cost due to underground un-described obstacles 17. Change of demand standard (requirements) regulated by Ministries 18. Repayment of the facilities due to instruction of Ministries 19. Change of price within agreed price range
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
The PFI Projects
The re-expansion of Haneda Airport uses the PFI methodology. Table 2. shows the detail explanation of the projects in the passenger terminal, cargo terminal and apron development. COMPARATIVE AN AL YSIS OF JAPAN PFI AND INDONESIA PPP 1. Regulatory Framework
Japan PFI and Indonesia PPP have differences in the regulatory framework. In Ja-
pan, the regulatory framework is much more efficient, because there is only one law regulating the mechanism of PFI implementation. Based on the PFI Law, every ministries and local government stipulated their own guidelines, if it's necessary. Whilst in Indonesia, there are too many regulations stipulating PPP implementation. The basic law is the Presidential Regulation (PR) No . 67 year 2005 as amended by PR No. 13 year 2010, while the implementation guidelines are stipulated in several regulations. In addi-
Table 3. Comparison of the Regulatory Framework between Japan PF! and Indonesia PPP Basic Law & Regulation
General Guidelines
JAPAN PFI There are three basic laws in japan: - PF! Law No.117 year 1999 (The Law regarding to Promote Provision of Public Facilities and Other Related Services by Use of Private Capital and other Resources - Basic Policy (by Prime Minister: 13 Man:h 2000 - Notice by Ministry of Home Affairs (by Vice Minister 29 March 2000)
INDONESIA PPP There are several basic laws in Indonesia: - Presidential Regulation No. 67 year 2005 concerning Cooperation between Government and Business Entities in Infrastructure Provision as amended by Presidential Regulation No.13year2010 - Presidential Regulation No. 42 year 2 005 concerning The Committee on the Policy for the Acceleration of Infrastructure Provision (KKPPI). - Regulation of the Minister of Finance No. 38 year 2 006 concerning Implementation Instructions forThe Control and Management of Infrastructure Provision Risks. - Regulation of The Coordinating Minister For Economic Affairs As Head Of The Committee For Acceleration Of Infrastructure Provision No. 4 year 2006 concerning Procedures for Evaluation of Public Private Projects in the Provision oflnfrastructure Which Require Government Suooort - Regulation of Coordinating Minister for Economic Affairs as Head of Committee for Acceleration of Infrastructure Provision no. 3 year 2006 concerning Procedures and Criteria for Preparation of Priority Listfor Public Private Partnershio Infrastructure Proiects - Regulation of State Minister of National Development Planning/Head of National Development Planning Agency Number 3 year 2009 Concerning Procedure fur Preparation of the List of Plan of Cooperation Project Between Government and Business Entity in Infrastructure Provision ~uidelines issued by Cabinet Regulation of State Minister of National Development Planning /Head of National Development Planning Agency Number 4 ~ffice: year 2010 Concerning Guidelines for Implementation of 1. Guideline for Process Cooperation Between Government and Business Entity in 2. Guideline VFM Infrastructure Provision 3. Guideline Risk Sharing 4. Guideline for Contract 5. Guideline for Monitoring
Source: Authors' analysis (2010)
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
311
tions to the general PPP regulations, to implement PPP Project, it is necessary to refer to each law and regulations governing infrastructure sector. Table 3 shows the comparison of the regulatory framework between Japan PFI and Indonesia PPP. Based on the comparison above, herewith are the fact findings: a. The basic regulatory for PPP Indonesia is in the form of Presidential Regulation, while in Japan is in the form of Law. In the Regulatory Framework, law is higher than the presidential regulation. This is one barrier why PPP in Indonesia can't be implemented clearly. b. Beside PPP general regulations, there are several laws and regulation governing infrastructure sector which is related to PPP implementation. Those laws and regulation are sometimes overlapping each others. The Government has to consider doing some regulatory impact assessment to overcome this problem. 2. Institutional Framework
a. Japan PFI Japan PFI institutional framework is based on the Act on Promotion of PFI. To implement the PFI methodology, the Cabinet Office issued general guidelines for: 1) Process; 2) VFM; 3) Risk sharing; 4) Contract; and 5) Monitoring. Under the Cabinet Office there is the PFI Promotion office and Committee for Promotion of PFI. The PFI Promotion office is responsible to interpret PFI law, promoting and disseminating the PFI information among the Governments. The member of this PFI promotion office comprises merely govern-
312
ment staffs. In the PFI implementation, in case there are certain things that cannot be regulated by or doesn't match with the stipulation in the guidelines or PFI law, the Committee for Promotion will issued recommendations to solve the problems, rather than changing the Guidelines or PFI law. The members of Committee for promotion come from independent authority from several professionals. If needed, the PFI Promotion Office and Committee for Promotion will cooperate to suggest amendments of guidelines or PFI law. For other problems that may arise not because of the guideline or PFI law but may affect in the implementation of PFI, the PFI liaison conference has responsibility to solve the problems. The liaison conference member consists of the members of Cabinet Secretariat, PFI promotion office, and committees from 14 ministries/ agencies, those are: Japan Fair Trade Commission, National Police Agency, Financial Services Agency, Ministry of Internal Affairs and Communication, Ministry of Justice, Ministry ofForeign Affairs, Ministry of Finance, Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology, Ministry of Health, Labor, and Welfare, Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries, Ministry of Economy, Trade and Industry, Ministry of Land, Infrastructure Transport and Tourism, Ministry of Environment, and Ministry of Defense. Each ministry and local governments have the authority to announce their PFI projects and stipulate their own guidelines on PFI implementation, if it necessary. The local governments do not need to obtain an approval from
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
, ... ....,.,u•uu.•" '"" ""',."' 1.1 1ww.•u,. •1u;uJ•_1_,. •.,, ,.J1u1 •11• u.o• •••t>•"·' """-" "·" "-" ' ..." """"'''"'""' ''"' " ' '" ..
I Private Enterprise
j
'""'"~"' '_...,..., .,...._..._._.,,....,..., , ..,,,,,._.._.., _,
..
,.,,.,,...., ~
,,. ,..,.,..,.,,,, ,,, ,,,.,,,..,.,,..,,.,.,,.,,,,,,.,,,,,,,,,,.,., ,,,,, ,, ,,,,, ,, ,,.,,,.,.,,,.,.,,.,.,,,,
Ad9isor ! '-----------1 i
Publlc Sector Oient
i
- - - - - - - - -
5cremb11m+a•llltee
SOLICITED*
UNSOLICITED*
Publlc:8DJIClll111.......a: of the tmpenwd:8tkm poUcy
i,
i
'-----------11
i
- FeaslbllltyStudy - Letter ti Intent issued by banks - Memberof consortium, etc JapanPPI Assodatlon
J\Jmaupi ••IW!lt of winner
Clients
Note: •starting process. 7 it shows the following steps. Source: Ueda (2010)
Figure 1. Two Types of the Implementation Process of PFI
ment for evaluation. If the CA thinks that the proposal is worthy, then the CA will approve the proposal and it is vice versa. For solicited projects, it is started from the public announcement to the contract signing (these steps also belong to the unsolic.ited projects). 6. Example of PFI Project in Japan. Tokyo (Haneda) International Airport-ReExpansion PFI Projects The purposes of expanding the Haneda Airport are: a. To increase annual aircraft movement; b. To improve services for travelers and visitors; c. To strengthen competitiveness of
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Haneda Airport among international airport; d. To strengthen competitiveness of Tokyo among international cities; e. To promote regional interchange and vitalizing regional economy . The expansion of Haneda Airport consists of: a. Passenger terminal b. Cargo terminal c. Apron development The passenger and cargo terminal is expanded by using PFI methodology type II (recovery investment from user fees) and apron development is expanded by using PFI methodology type I (recovery investment from tax).
309
ning Agency, and BKPM. They agreed to make acceleration on PPP implementation. In the MOU, BKPM will act as the front office that is responsible to promote the PPP projects to the investors through market sounding, road show, and investor forum. National Development Planning Agency and the MOF will act as the back office on PPP project. National Development Planning Agency will coordinate with each line ministries to ensure that the PPP projects are in line with the National Development Plan and each ministries annual work plan. National Development Planning Agency will also be responsible to promote the PPP methodology to the line ministry and local government through capacity building and technical assistance. MOF will be in charge of the Government Guarantee and Government Support of the PPP Project. Government guarantee is financial compensation and/ or other form of compensation that provided by Minister of Finance to the Business Entity through risk allocation scheme for Cooperation Project while government support is fiscal or non-fiscal contribution that provided by the Minister/ Chairman of Institution/Head of Regional and/ or Minister of Finance according to its authority pursuant to the laws and regulations in order to increase financial viability of the Project.
and Demand risk. There have been recent changes to the contingent government support system. In December 2009, the government established PT. Penjaminan lnfrastruktur Indonesia (PT. PII) with basic capital of 1 trillion rupiahs from the state budget (APBN) under Government Regulation number 35 year 2009. In addition, World Bank will provide a US$150 million backstop facility to PT. PII. Notably, under the regulation, local governments are eligible to apply for government guarantees for the Central Government for their PPP projects. This is a significant development, as local Governments acting as a Government Contracting Agency (GCA) are prevented by law to provide guarantees to a private investor (stipulated in PR No. 13 year 2010). PT PII, accountable to the RMU, will operate the IGF (Infrastructure Guarantee Fund), and will act as a one-stop operation for handling requests for contingent government support, while the RMU will be responsible for policy development. The RMU is considering to revise the PMK 38/ 2006. One consideration is to widen its remit to include projects that are deemed not
MOF
A special unit in the MOF, RMU (Risk Management Unit), prepares recommendations on government guarantees for PPPs. The responsibility of RMU is defined by the MOF regulation number 38 year 2006, which states that contingent government support can only be provided to PPP projects that are assessed financially viable from the viewpoints of three categories of risk: Political risk; Project performance risk;
314
:-:------- -----------
,,
-:---
RM U
MOHA
MSOE
----- ---- --- -- ---- -,
'
::
'
:
,, ,,
PTPll
PTSM I
··PRI VATE
SECTOR
LOCA L GOVE RNMENT
PPPNbDES
LOCAL GOVERNMENT
--t> •--• _____. __,.
CoordinatlonLine Subordinatim Line Info r mat ion Line Function Line
Figure 3. Institutional Framework of Indonesia PPP
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
financially viable. Another is to issue the revision as a Presidential Regulation to make it a stronger legal basis. A non-bank financial institution, PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI), wholly owned by the GOI was established in February 2009. PT SMI provides financing to infrastructure projects through various financing scheme including loan, mezzanine and equity. In January 15, 2010 MOF, through PT SMI, established PT Indonesia Infrastructure Finance (PT IIF). PT IIF will be privately owned and managed with initial shareholders being the Asian Development Bank (ADB), International Finance Corporation (IFC) and Deutsche Investitions-und Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG) and PT SMI. PT IIF as an infrastructure financing company is expected to increase the availability of equity and long term debt, particularly Rupiah, available for private infrastructure investment in Indonesia. PT IIF will provide funding towards commercially feasible, mainly private, infrastructure projects through debt instruments, equity participation or infrastructure financing guarantee for credit enhancement. Each line ministries and local government are instructed by the President to form a special unit for PPP or PPP Nodes (Presi-
dential Instruction No. 1 Year 2010 concerning Acceleration on Implementation of National Development Priority year 2010). Some line ministries already have their PPP nodes, for example the MOT with the Pusat Kajian Kemitraan dan Pelayanan Jasa Transportasi, MPW with the BPJT for toll road and BPPSPAM for water and sanitation. This PPP nodes function among other functions is to issuing licenses needed for the PPP implementation. Detailed comparison on Institutional Framework between Indonesia PPP and Japan PFI is shown on the table 4. 3. Project Finance Cycle Conceptually, project finance cycle between Japan PFI and Indonesia PPP is almost similar. The differences lie on: a. Contracting Agency (Government) definition b. SPC definition c. Funds sources d. Government Guarantee and Government Support e. Financial Institution/Lender definition Both in Japan PFI and Indonesia PPP the contracting agency could be from Ministry or Local Government, but the difference is in Japan PFI, incorporated admin-
Table 4. Comparison oflnstitutional Framework between Indonesia No Inoonesia PPP I Independent institution No independent institution KKPPI(headffi bythe ministerofCMEA , 2 Policies its member are minister from related sector) 3 Guideline I. State Minister of National Development Planning/Head ofNational Development Planning 2. Ministry of Finance 3. Related Ministries 4 Government Guarantee PT PII (in some cases co guarantee with Government) Contracting Agency 5 Government Support
PPP arxl Japan PF! Japan PFI PFVPPP Japan Association Cabinet Office I . Cabinet Office (PFI Promotion Committee) 2. Ministry oflntemal Affairs 3. Local Governments None None
S ru rce: Authors' analysis
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
315
-
istration agency can also act as Contracting Agency while in Indonesia PPP SOE or ROE can also act as Contracting Agency. For the investor, Japan PFI projects scope are only social infrastructure so there is a chance that the investor is a single investor and not consortium. Since Indonesia PPP projects scope are basic infrastructures so most of the investor comes in form of consortium. The reasons why PFI Projects have low risks because most of the projects scope is social
infrastructure projects which payments are based on government regular payment. PPP projects scope is basic infrastructure projects which payment depends on the user fees. Up to now, Japan never uses PFI methodology to provide basic infrastructures. Without Government Guarantee on the payment, the project will be a risky business for the investors. Therefore, most basic infrastructures, such as toll roads and railways, are constructed by the Government (conventional methodology) rather than PFI methodology. To monitor the level of pub-
amendment
Cabinet Secretariat
PP! Promotion Office
ministries/ agencies lnformatio~.· desk
,
!
!
recommendation 1
L---·--f-------j
cp,llSll!ttni-------------------J
,
Local
1'
.W:m~~~
'"'~···
-,---------~
;
II
Day to day communication
Japan PPIJilPP Auodatton Communication and
..... - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
-'~i?i:.~•!i~n- -
Guideline for PF! ·Guideline for Process • Guideline VFM · Guideline Risk Sharing ·Guideline for Contract - Guideline for
Monitoring
r-___ !d_u:£:~:~~~-~;--) [ ..............*"'""""""" 1
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - _;
Source: Ueda (2010)
Figure 4.a. Project Finance in Japan PFI
lie services conducted by the SPC PFI Japan has an independent committee called as the PFI Project Committee. Figure 4.a and 4.b are showing the differences of project finance in Japan PFI and Indonesia PPP.
E-4Cooperation line if needed
~Provide
Source: Ueda (2010)
Detailed comparison on Project Finance Cycle between Indonesia PPP and Japan PFI is shown on table 5.
Figure 4. b. Project Finance Cycle in Indonesia PPP
316
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Table 5. Comparison on Project Finance Cycle between Indones ia PPP an d Ja pa n PFI lanan PFI No Indonesia PPP 1 Contract ing Agency a. Minister/ Head o f a. Ministries/Local Institution/ Head Government/inco rpor (Government) ated adm in is tration of Regional/SOE or ROE as stipulated agency by the laws b. Consul tants b. Consultants c. ln vestors/SPC c. lnvestors / SPC a. National Taxes For a. User Fees 2 Fund Sources Central PF I projects b. Fiscal [if government agree b. Local Taxes and Government s ub sidies to support) for local PFI Pro;ects Mostly consortium Consortium o r singl e 3 Investor
investor 4
Govt Guarantee and Govt Support
Yes with tight requirements
None
5
Relationship between lender a nd Government Relationship between lender
Have no direct relation ship
DirectAweeme nt
Financial funding
• Financial fWlding • Lend er has authority
6
and investor
to as k SPC to ch ange
th e s ub co ntra ctors 7
Financial
Banks, PT SMI
Inst itution/ Lender
Banks, Insurance Comoanv, eauitv holders
Source: Authors analys is (2010)
4. PFI and PPP Stages a. Before Contract Sealing In Japan PFI project, after the stages of conceptual planning, the Government will have an adviser selection process. The adviser is needed to do the daily job in preparing the project. After that the Government, with the help of selected adviser, prepares the Feasibility Study and Value for Money test. Before the announcement of PFI implementation and the issuance of Letter of Intent, there is a stage of Q&A with the stakeholders and the process of final VFM test. The Q and A stages are needed for clarifying the detail of the Project with the private sector. While the final VFM test is needed because the source of the payment comes from the tax, so the government has to be firmly sure that the project has the value for money. The bidding process itself is done by an independent committee, namely the PFI Screening Committee. This committee is formed before the announcement of PFI methodology and supported by
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
the adviser in preparing and implementing the selection. After the negotiation process, the SPC has to be formed before the contract sealing. These stages are different from the PPP Indonesia project. In Indonesia PPP, after the stages of planning, the Government conducts a preliminary study that denotes the basic for the Pre Feasibility Study. Between the planning and Pre FS stages, the Government will conduct a Public Consultation where community and the stakeholder will be invited to join. In this Public Consultation, they will discuss the Government project plan. Tl)is Public Consultation/hearing is aimed to prevent any objection from the community on the project and to inform/ explain the investors about the project briefly. Before the bidding process started, the Government conducts one more Public Consultation, namely Market Sounding. This Market Sounding is mainly aimed to find potential investors for the project. In this market sounding, initial prediction for the Government Guarantee and/ or Government Support for the project is being informed to the investor. The Government will ask the investor about their thoughts of that Government Guarantee and/ or Government Support. Their opinion will be considered by the Government in confirming the final decision for Government Guarantee and/ or Government Support. Besides, CA has to submit an application for Government Guarantee to PT PII and/ or clarified. The Government Support for the project. The Government Guarantee and/ or Government Support have to be confirmed and
317
Table 6. Comparison on Before Contract Sealing Process between Indonesia PPP and Japan PFI Indonesia Japan PFI PPP Screening/ Pro cure men t PF! Screening Procurement Committee Committee (Government (independent Committee staff) and voluntarily members from professionals)
stated in the bidding documents. The bidding itself is being conducted by the procurement committee. The procuremenl committee member is from consists of the government staffs maximum 6 month after the contract negotiation and awarded bidding winner, the SPC has to be formed legally. Detailed comparison on Before Contract Sealing Process between Indonesia PPP and Japan PFI is shown on table 6. b. After Contract Sealing In Japan PFI, the most important stages after contract sealing is Loan agreement sealing between SPC and Lender, followed by the direct agreement between the Government and lender. The loan agreement is for the financii:ig of the project, while the direct agreement is just a way for communicating between the lender and the Government. Direct agreement is not a guarantee agreement, but it is a precautionary action, in case if something happens to the SPC that might affected the project implementation then the lender will inform this to the Government, so the Government will take some action to the SPC. After the completion of the project, the asset will be transferred to the Government. In these stages the Government through the Contract Management Unit will moni-
318
tor the project implementation. If there is any problems arouse in this stages, the Government will be helped by the PFI Project Committee to solve the problems. In Indonesia, since the Government gives the Government Guarantee, direct agreement between the Government and Lender is not necessary. The PR No. 13 year 2010 stipulated that the financial closure must be made within 12 month after the contract sealing. The period for the financial closure can be extended only if the failure to obtain funding is not contributable to failure of Business Entity pursuant to criteria as determined by Government. If the financial closure period or the extended period of financial closure can't be met by the private sector, then the Cooperation Agreement? The performance bond may be cleared by the Government. To monitor the project, the Government formed a unit called Contract Management Unit. The unit started to work from the transaction project. In the transaction project, along with the drafting of the agreement, the unit · Table 7. Comparison on After Contract Sealing between Indonesia PPP and Japan PFI Indonesia No Japan PFI PPP 1 After Financial Followed by loan contract closure agreement sealing and sealing max 12 month direct a!lreement Source: Authors' analysis, 2010
started to plan for their contract management. After the contract sealing, they started to monitor the implementation of the contract. Before the end of the contract, the Government
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
formed another unit, the transferring assets unit. The unit will take care for the procedure for transfer assets to the
Figure 5.a.So\icited Prqect in Japan PF!
·=-"' ...,_ - ..
··--·--..:::...
~
·~
Figure 5.b . Solicited Project in Indonesia PPP
Government after the contract ends. Detailed comparison on After Contract Sealing between Indonesia PPP and Japan PFI is shown on table below: 5. Solicited and Unsolicited Project a. Solicited Project In the solicited project, there is no significant difference between Japan PFI and Indonesia PPP. Both of the mechanisms basically have similar process, from the planning stages until the contract signing. FACT FINDINGS: Basically there are similarities in the stages between Japan PFI and Indonesia PPP. b. Unsolicited Project For unsolicited project, in Japan PFI, the proposer (private sector) submitted their proposal to the Government. After the evaluation of the proposal, if the Government thinks that the proposal is worthy, and then the Government
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
will approve the proposal, if it is vice versa, then the proposal will be returned to the proposer. Same with the Table 8. Comparison on Unsolicited Project between Ind ones1a . PPP an d 1a pan PFI No Indone!ia PPP Japan PFI l Compensation a. Award project initiator up to none methods l 0% bonus points; or b. Right to ma1ch; or c. Purchase of the intellectual property rights. Source: Authors' amlysis (2010)
PFI Japan, in Indonesia, the proposer submitted the proposal directly to CA. CA will evaluate the proposal based on the criteria stipulated in PR No. 13 year 2010. After the evaluation, the Government will decide which comTable 9. Comparison of Risk Allocation in Japan and Indonesia Risk ADocation Japan PFI Indonesia PPP The objective Focus more on Focus more on addressing ofPFL'PPP maximizing Value the budget constrain in of Money (Make infrastructure development. the efficient use loublic resources). Source of Government Tax User Fee (Mostly) Payment !(Mostly) Implementation Level Regulation Act and Basic Framework Policy Level <Ministry offimnce Decreej Risk Specific at Project Broad, from Country Level Risk until Project Classification Performance Ri!k Performance Risk Level Focus Level Source: Authors' analys1S (2010)
319
pensation methods will be given to the proposer. Both methods, Japan PFI and Indonesia PPP require the proposer to follow the bidding process, so there is no direct appointment for the proposer. Detailed comparison on Unsolicited Project between Indonesia PPP and Japan PFI is shown on table 8. 6. Matrix Comparisson of Japan PFI and Indonesia PPP Risk Allocation System
In a brief the comparison of JAPAN PFI and INDONESIA PPP scheme in Risk Allocation can be summarized in table as follows: In Japan PFI, applying PFI objective with focus more on maximizing Value of Money are benefitted by the regular subsidies scheme provided by the government. By having regular payment from the government the investor is more secure in the revenue income in the long run. Therefore the guarantees for risk are less needed in PFI Japan scheme. In the contrary, in Indonesia PPP, due to the objective of introducing PPP scheme are caused by the limitation of budget for infrastructure development, user fee/ tipping fee plays very dominant role as revenue. Government payment to the private usually are avoided as far as possible. However, to compensate the security feeling on the invested project, the government provide guarantee for a wide range of risk potential from the country risk (political risk), project performance risk (land acquisition risk) and demand risk (minimum income revenue and maximum income revenue). 7. Project Finance
Project finance is one of the essential part in applying PFI or PPP scheme. Even though the primary domain area of project finance closely related to financing mat-
320
ters such as providing loans (course and non-recourse) from banks or a group of investors, the characteristic of its form is depend on the situation and condition of each country. Based on the experience in applying Japan PFI scheme, there are several elements to be noticed in Project Financing: a. Sponsors
Sponsorship is the most important element in the project financing. In PFI/ PPP scheme, usually a Special Purpose Company (SPC) is established for each project. The interest investors will provide capital to contribute to the SPC. In case of higher amount of capital is needed, the investors may seek banks to borrow some money. However, asking loans from banks are not simple matters. Banks .usually need guarantees which are provided by investors (recourse loans) or credibility (non recourse loans). In recourse loans, a group of investors agree to pay the whole money (fully recourse) or only part of it (limited recourse) in case of the project is fail. In case of non recourse loans, the sponsors will play an important role. Highly credible sponsors such as, Chevron, Nippon Steel, and Toyota are very creditworthy, and hence banks are undoubtedly to provide loans for them. Therefore, sponsorship credibility should have a high evaluation score in the process of selection bidder. b. The Objectives To decide to use PFI methodology, there are two objectives to be considered. 1) Worthy project whereas the government is willing to have such kind of services. 2) Having the ability to deliver a des-
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
ignated service. Therefore, project objective is an important element to determine feasibility of project. c. Philosophy among stakeholders Project financing is not about the money. The underlying reason in which groups of investors attracted in contributing to a project may indicates the level of significant credibility. Why they are interested in the project, or why they think the investment are reasonable, and how the stakeholder feels/understands about the project may impact the implementation of the project as well. The good understanding among stakeholders may incur a strong partnership. Besides a partnership, a project should have a person who acts as a project defender such as lawyers. In a project scheme, the lawyers usually are recruited by two parties, the public and the private. Each lawyer will be on the side of their employers. However, since PFI projects are supposed to deliver public services, then there should be a project lawyer who stands on the side of public interest. In some cases, government's lawyer is possible to be chosen as the project lawyer. d. Contract and Culture Every country has its own culture that affects the style of contract arrangement. Even though, some countries attempt to pursue a global standard contract, the scheme may not fit to be implemented in all countries. Contract arrangement may differ for each country depends on their law systems (Civil
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Law or Common Law). Each country should learn from its own experience to apply which law system is best for contract arrangement. e. Regulator, regarding Excess Profit In some cases, the project may gain excess profits. When it is occurred, many third parties may intervene the excess profit. This intervenes will cause problem in implementing the project. Therefore, to avoid such things, an exact system to manage excess profit is highly necessary to be stipulated in the contract. 8. Monitoring System And Payment Mechanism In terms of institutional framework that in charge in project monitoring, Indonesia PPP has a similar scheme with that of Japan PFI. The difference is in the existing of Table 10. Comparison Between Monitoring Indonesia PPP an d Janan PF! No Indonesia PPP Janan PFI I Regulation General guidance for Basic policy monitoring spread in General guideline for some regulations monitorinQ 2 Projects are Government (Project Government monitored Management (Consultant) by Team/Unit) lndepoodent Auditors Independent Aud it ors SPC SPC Beneficiaries Beneficiaries Lender Lender Investor PF! Project Investor Committee* 3 Subject Pra·construction Design process process Construction process Cons tru cti on process Operation process Operation !lld Maintenance process maintenance nrocess 4 Object Service level Service level perfonnance performance Environmental imoact Environmental imoact Source. Authors analysis (2010)
PFI Project Committee. Indonesia PPP does not have such kind of committee as PFI Japan do.
321
In addition, there is no direct monitoring done by the lenders, because the government gives a guarantee and support to SPC for the PPP project. As mentioned before, government guarantees and support are given to the SPC after PT PII (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund/ IIGF) completed the risk analysis. If the risk happens, SPC will be able to withdraw that government guarantee. Comparison between monitoring between Japan PFI and Indonesia PPP can be siinNo 1
objective
2 3
Scopes Fund Sources
4 5
Investor In charge Institution for: 1. Policies
2. Guidelines
3. Contracting Agency
4. Monitoring
5. Government Guarantee 6. GovernmentSuooort *7.Independent PF! Institution
322
ply explained in the Table 10. As Japan PFI, for project management, public sector will establish the contract management unit. This unit has duty to monitor the project in stage of transaction (start from bidding process till contract sealing) till its iinplementation. Its member consists of government staff member. In case of PPP done by local government, local government will establish the cooperation unit to support in management, monitoring and evaluation of PPP iinplementation.
PPP Indonesia To address the budget constrain in infrastructure develooment. Basic Infrastructures • User Fees • Fiscal (if Government agree to support) • Mostly consortium
PFIJapan To maximize Value of Money (Make the efficient use public resources). Social Infrastructures • National Taxes For Central PF! projects • Local Taxes and Government subsidies for local PF! Projects • Consortium or single investor
KKPPI (headed by the Cabinet Office minister of CMEA, its member are minister from related sector) 1. State Minister of National 1. Cabinet Office (PFI Promotion Development Committee) Planning/Head of Na ti on al 2. Ministry of Internal Affairs Development Planning 3. Local Governments 2. Ministry of Finance 3. Related Ministries Minister/ Head of Institution/ Ministries/Local Governments, incorporated administration Head of Regional/SOE or ROE agency as stipulated by the laws • Government (Project • Government (consultant, PF! Management Team/Unit), Screening Committee) consultant) • Independent auditors • Independent auditors • Beneficiaries • Beneficiaries • SPC • SPC • Lender • Lender • investor • investor • PFI Project Committee* PT. PI I (in certain case co None guarantee with the MOF) Contracting Agency None Have no independent PPP PF! Association institution
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
No
8. Financial institution/ lender 9. Screening/Procurement Committee
PPP Indonesia Banks, PT SM!
Procurement Committee (Government staff)
6
Relationship between lender and Government
Have no direct relationship
7
Government support and Guarantee Relationship between lender and SPC
Yes with tight requirements
After contract sealing
Financial closure max. 12 month 1. Operational guideline manual 2. Risk Sharing Guideline 3. Technical guideline for each sectors
8*
9
10
Guidelines
11
Process done by Government (consultant, if need)
12
Compensation methods for unsolicited projects
PFI Japan Banks, Insurance Company, equity shareholders PF! Screening Committee (independent and voluntarily mem hers from professionals) • Direct Agreement (Direct Contract) • Lender has step-in right to negotiate with CA to change SPC and sub-contractors • Mutual Benefit Communication None
1. Financial funding 2. Lender has authority to change
Financial funding
• • • • •
13
Risk Classification Focus
• •
14
Risk allocation
• •
Preliminary Study Pre-Feasibility Study Transaction Proiect Management Award project initiator up to 10% bonus points; or Rightto match; or Purchase of the intellectual orooertv rights. Broad, Country Level Risk- Project Level SPC Government
15
Stages to be Monitored by Contract Management Unit
16
Object/Outcome Monitoring
• • • • • • •
Pre-construction Construction Commercial Operation Asset Transfer Availability Service level performance environment impact
• •
SPC Followed by loan agreement sealing and direct agreement Practical Guidelines for: 1. Process 2. VFM 3. Risk Sharing 4. Contract 5. Monitoring* (Local Governments provides their owned Guidelines) • Conceptual Planning • FS and VFM test • Tender • MonitoringandPavment none
• Specific, • Project Level • • • • • • • • • • • • •
Government SPC/1 nvestor Equityinvestor(shareholders) Lender Subcontractor Insurance company Design Construction Maintenance Operating Availability Service level performance Environment impact
Source: Authors' analysis (2010)
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
323
CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS 1. Conclusions
In general, since the project scope between Japan PFI and Indonesia PPP are mainly different, not all procedures in Japan PFI methodology can be applied to improve the Indonesia PPP methodology. To apply some Lessons learnt from Japan PFI, it is necessary to consider the nature .and culture of a country. ·
mation on PPP law and guidelines 4) To support the by preparing the bidding documents and implementing the bidding process 5) To help the Contracting Agency in preparing the project 6) To monitor the level of public services of PPP Project
The detailed differences between Japan PFI Japan and Indonesia PPP can be described in table below: 2. Recommendation
Based on the current condition of PPP projects in Indonesia, government needs to take some actions such as: a. Institutional Framework Adopting Japan PFI institutional framework which has independent institution such as Japan PFI/PPP Association, PFI Screening Committee, and PFI Project Committee. The combination of these institution will create a one stop service for PPP in Indonesia called PPP Central Unit. This institution is an independent private. institution, Non Profit Organization. The tasks of the PPP Central Unit are: 1) To promote PPP methodology to the private d public sector through conducting dissemination and training & education. 2) To act as an advisor (information desk) for the relevant ministries/ agencies. 3) To conduct day to day contact with KKPPI regarding the update infor-
324
Figure 7. New Institutional Framework for PPP Scheme in Indonesia
7) To conduct an enhancement policy
EqultylnwSUlrs
Lender
Figure 8. Service Payment System Suggestion
review 8) To conduct survey and publication regarding PPP activities 9) To provide and manage database on PPP activities The members: 1) Professional (finance, law, etc) 2) Academician 3) Government staff
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
Risk Allocation
In Japan PFI, the PFI Screening Committee and PFI Project Committee is a project basis institution, while PPP Centra1 Unit is a steady institutiona1 and not an ad hoc institution.
r··- - - - - - - -1
l ~··:~;:=]~~·-_J . j
ISk
b. Service Payment Scheme To level up the focus on using PPP scheme into the Japan PFI/PPP methodology which emphasizes the concept of maximizing value for money in order to achieve optimum quality of public services with efficient budget. Having good quality of public services may give impact to the economic as a whole rather than individual project finance return ca1culation. As consequences, government may consider a new perspective of using private sector involvement from addressing the budget constraint into pursuing the improvement of all aspect of economic condition at reasonable cost. Therefore the decision on using PPP scheme is not necessary to avoid government expenditure in providing public service but to get better public service quality with agreed cost which mutually benefiting both side (public and private). This perspective may a1so other significant impact in attracting investors especially those from overseas with this side of view. Investors would feel more secure if government is willing to purchase the service quality as a whole package without sharing market risks with the investors. The accountability of such mechanism can be secured by introducing an escrow account on all collected revenue obtained from the service provided. The escrow account then can be used as a basis for project financing and repayment mechanism. Surely in applying the PFI
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012
............ llK~
................... . ~- ,RISK
:
Public Sector
l
•
: r~"...;...eom;-.;-i r------. ............ ~~--c.omp..., : t
RISK
llfCI
'-··-·-·.:!
•
RISK
RISK
Figure 9. Risk Allocation in PFl/PPP Japan
methodology the government budget capacity should be taken into account to design such long term financing scheme.
c
Risk Allocation For the risk classification focus, Indonesia can learn how the project level risk identifications and risk allocations are managed between parties in Japan. Figure 9. explains the risk allocation in Japan PFl/PPP scheme.
d. Due the existing of many ineffective laws and regulation, government needs to do some regulatory impact assessments. Existing condition shows that too many referred laws and regulations can affect investor interest in PPP projects. While on the other hand the basic law for PPP implementation is not high enough, it is only in the Presidentia1 Regufation level. Therefore in the PPP implementation the Presidential Regulation may conflict with the higher sector laws and regulations. Concerning the regulatory framework, it may be worth to continue the efforts to have a higher regulation level such as Law level which has legal mandate to perform as an umbrella for other sectors/local laws and regulations.
325
ning Agency Staff Enhancement Program, November 13- December 11th, 2010.
REFERENCES Government of Japan, 1999, Act Number 117 of 1999 on Promotion of Private Finance Initiative.
--~2010,
Activities of Japan PFl/PPP Association, Module of National Development Planning Agency Staff Enhancement Program, November 13December 11th, 2010.
Government of Miyazaki City, Division of City Planning, Redevelopment of the surrounding area of Miyazaki station. _ _ _ 2010\), Fundamental Policy with respect to implementation of undertaking of public facilities by utilizing private funds, unofficial translated by Toru Mihara. HOC Giinkaikan, 2010, Construction and Operation of Diet Members' Building (The House of Councilors). Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency, PPP Book, Public Private Partnerships Infrastructure Projects in Indonesia 2010-2014, Nagahama, Toshiki, 2010, Monitoring in PFI No.1, Module of National Development Planning Agency Staff Enhancement Program, November 13December 11th, 2010. _ _ _ 2010, Monitoring in PFI No. 2, a case study of Wakkanai City Waste Final Final Disposal Site, Module of National Development Planning Agency Staff Enhancement Program, November 13- December 11th, 2010. National Development Planning Agency of Republic of Indonesia , 2010. Ueda, Kazuo, 2010, PFI in Japan, Module of National Development Planning Agency Staff Enhancement Program, November 13- December 11th, 2010. _ _ _2010, Purpose and Process of PFI, Module of National Development Plan-
326
____2010, Measures with respect to a proposal initiated by Private Enterprises under PFI Law, Module of National Development Planning Agency Staff Enhancement Program, November 13- December 11th, 2010. Wakkanai City Waste Final Disposal Site, retrieved from http:/ /www.obayashi. co.jp / service_and_technology / n_010detail26, accessed date on December 81h, 2010. Yamazaki, Tetsu, 2010, Risk Allocation between public and private "key success factors for PFI deals, Module of National Development Planning Agency Staff Enhancement Program, November 13- December 11th, 2010. ____ 2010, the private finance initiative in Japan-the challenges ahead, Privatization Japanese PFI. Module of National Development Planning Agency Staff Enhancement Program, November 13- December 11th, 2010. _ _ _ (2010), Risk Allocation Table and extract of project contract for a waste disposal plant in Japan, Module of National Development Planning Agency Staff Enhancement Program, November 13- December 11th, 2010. *)
Lahir di Malang, 23 Mei 1978 Peneliti Muda/ Kasubag Rencana Setbadan Litbang Perhubungan, Sarjana Statistika IPB Tahun 2000, Magister Sains Ekonomi, Universitas Indonesia Tahun 2009, Master of Arts, Hiroshima University, Tahun 2009
Volume 24, Nomor 3, Maret 2012