VOLUME V
NOMOR 8
EDISI AGUSTUS 2015
www.ekon.go.id
‘THE ALL NEW’
KREDIT USAHA RAKYAT
“LEBIH RINGAN, LEBIH FOKUS DAN LEBIH TEPAT SASARAN”
DAFTAR ISI 03
EDITORIAL
KEUANGAN 04
PAKET KEBIJAKAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN DAN KETAHANAN EKONOMI NASIONAL
LAPORAN TPI - TPID 07
PEMBINA:
ASPEK HUKUM KERJASAMA ANTAR DAERAH
INFRASTRUKTUR
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
09
PENGARAH: Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan
KOORDINATOR:
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PANGAN DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFLASI
LAPORAN UTAMA 13
PROGRAM PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN UMKM
15
THE “ALL NEW” KUR
Bobby Hamzar Rafinus
EDITOR:
PANGAN 19
Edi Prio Pambudi
TOKO TANI INDONESIA
EKONOMI DOMESTIK
Puji Gunawan Ratih Purbasari Kania
21
ANALIS:
UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAN DUA SISI MATA UANG DISKRESI PEJABAT
Puji Gunawan, Thasya Pauline, Sri Purwanti, Susiyanti, Trias Melia, Desi Maola Ayu Saputri
KONTRIBUTOR:
BUMN 24
PENGUATAN PERUM BULOG
FIEB UI
02
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
EDITORIAL
ARTI PENTING UMKM BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki posisi strategis dalam perekonomian Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari besarnya kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan. Keunggulan kompetitif UMKM lain yang mungkin merupakan faktor penyebab relatif tahannya UMKM terhadap dampak goncangan ekonomi global adalah terkait pola sebaran UMKM secara kewilayahan maupun diverisifikasinya secara sektoral. Namun di sisi lain, UMKM juga menghadapi banyak sekali permasalahan. Beberapa diataranya meliputi terbatasnya modal kerja, Sumber Daya Manusia yang rendah, dan minimnya penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi (Sudaryanto dan Hanim, 2002) Pemberdayaan UMKM dalam menghadapi era globalisasi dan tingginya persaingan, membuat UMKM harus m ampu menghadapi tantangan global.. Hal ini perlu dilakukan untuk menambah nilai jual UMKM itu sendiri, utamanya agar dapat bersaing dengan produk-produk asing yang kian membanjiri sentra industri dan manufaktur di Indonesia. Berbagai program yang diluncurkan Pemerintah untuk meningkatkan kapasitas dan mengembangkan UMKM. Kementerian, Kepala Daerah dan Otoritas yang ada juga telah bersinergi untuk terus mengembangkan UMKM. secara keseluruhan, dukungan yang diberikan bersifat terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makrodan mikro yang meliputi 1. penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi; 2. pengembangan sistem pendukung usaha untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; 3. pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif 4. pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil. sisi dukungan anggaran yang tersebar di kementerian teknis dan dalam bentuk subsidi bunga kredit program
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
03
KEUANGAN
Dalam
rangka
Pencapaian
tujuan
PAKET KEBIJAKAN OTORITAS JASA KEUANGAN DALAM MENDUKUNG
Pembangunan nasional yang telah digariskan dalam
Rencana
Pembangunan
jangka
menengah (RPJMN) 2015-2019 maupun yang bersifat jangka pendek dalam rencana kerja
PEMBANGUNAN DAN KETAHANAN EKONOMI NASIONAL
Pemerintah (RKP) tahun 2015, Pemerintah memerlukan keterlibatan aktif dari berbagai pihak. Keterbatasan ini disebabkan oleh
oleh: Puji Gunawan
beberapa faktor seperti kapasitas fiskal dan
keterbatasan kewenangan. Keterbatasan kewenangan sendiri timbul dengan adanya pelimpahan kewenangan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan Undang undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah
ataupun
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan,
beberapa
sektor
pembangunan telah menjadi ranah insitutusi lain. Sektor Keuangan misalnya. Berdasarkan Undang-undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berdasarkan undangundang ini, OJK dirancang sebagai lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. Namun demikian, dengan semakin kompleks hubungan sektor-sektor dalam perekonomian, dan untuk mencapai tujuan pembangunan serta dalam menghadapi kondisi ekonomi global yang melemah yang akan mempengaruhi ekonomi domestik, maka sinergitas antar Otoritas dan Pemerintah adalah sebuah keniscahyaan. Ditahun
2014
misalnya.
Otoritas
Jasa
Keuangan
mengeluarkan
enam peraturan di
bidang
Perbankan. Kebijakan OJK ini diterbitkan sebagai bagian dari rangkaian kebijakan yang dikeluarkan OJK dalam rangka memperkuat pengawasan sektor jasa keuangan, pendalaman pasar keuangan dan perluasan akses keuangan masyarakat. Semua ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya sektor jasa keuangan yang kokoh, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, merata dan berkesinambungan. Regulasi tersebut terkait dengan : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penerapan Tata Kelola Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Penyediaan Modal Minimum Perbankan Syariah Kualitas Aset Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Menghadapi perlambatan ekonomi global dan mengantisipasi pengaruhnya kepada sektor keuangan Indonesia, Di tahun 2015 OJK juga kembali mengeluarkan berbagai paket kebijakan diantaranya :
04
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Sektor Perbankan 1.
Tagihan atau kredit yang dijamin oleh Pemerintah Pusat dikenakan bobot risiko sebesar 0 (nol) persen dalam perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk risiko kredit;
2.
Bobot risiko untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) ditetapkan sebesar 75% dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit;
3.
Penerapan penilaian Prospek Usaha sebagai salah satu persyaratan restrukturisasi kredit tanpa mempertimbangkan kondisi pasar maupun industri dari sektor usaha debitur;
4.
Pelaksanaan restrukturisasi kredit sebelum terjadinya penurunan kualitas kredit;
5.
Penurunan bobot risiko kredit beragun rumah tinggal non program pemerintah ditetapkan sebesar 35%, tanpa mempertimbangkan nilaiLoan To Value (LTV) dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit;
6.
Penurunan bobot risiko KPR Rumah Sehat Sejahtera (RSS) dalam rangka program Pemerintah Pusat Republik ditetapkan sebesar 20%, tanpa mempertimbangkan nilai Loan To Value (LTV) dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit;
7.
Penurunan bobot risiko Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dijamin oleh Jamkrida dapat dikenakan bobot risiko sebesar 50%;
8.
Penilaian kualitas kredit kepada 1 (satu) debitur atau 1 (satu) proyek hanya berdasarkan ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga dinaikkan dari paling tinggi Rp 1 milyar menjadi paling tinggi Rp 5 milyar hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan atau/ bunga;
9.
Penilaian kualitas kredit kepada UMKM dengan jumlah lebih dari Rp 5 milyar yang dikaitkan dengan pering kat penilaian Kualitas Penerapan Manajemen Risiko (KPMR) dan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan bank;
10. Penetapan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi; 11. Penetapan kualitas kredit setelah dilakukan restrukturisasi dengan tenggat waktu pembayaran (grace period) pokok, selama masa grace period; 12. Persyaratan Peringkat Komposit Tingkat Kesehatan bagi bank yang melakukan penyertaan modal dalam rangka: Sektor Pasar Modal 1.
2. 3.
4.
5. 6. 7. 8.
Pengembangan Infrastruktur Pasar Repurchase Agreement (REPO), mencakup pengaturan mengenai Repo, pengembangan produk Repo, serta layanan settlement transaksi REPO yang dilengkapi monitoring dan konsep 3rd party Repo Pengembangan UKM untuk Go Public, mencakup penyusunan ketentuan untuk pengembangan UKM, serta Pembuatan papan khusus untuk UKM; Penetapan Electronic Trading Platform (ETP), mencakup pengembangan trading platform surat utang terintegrasi yang digunakan oleh pelaku dan dimanfaatkan untuk kebutuhan pengawasan; Penggunaan Bank Sentral untuk Penyelesaian Transaksi, mencakup implementasi penggunaan Bank Sentral selain pengunaan Bank Pembayaran untuk layanan jasa penyelesaian dana di pasar modal; Rencana penerbitan produk derivatif Indonesia Government Bond Futures (IGBF), dalam rangka pengembangan Pasar Surat Berharga Negara (SBN); Pengembangan Obligasi Daerah dalam rangka mendukung program pemerintah terkait pembangunan infrastruktur; Penggunaan Bond Index Surat Utang sebagai indikator acuan di pasar surat utang Indonesia yang digunakan secara luas oleh pelaku pasar; Perluasan produk investasi di Pasar Modal melalui Penerbitan Efek Beragun Aset Surat Partisipasi (EBA-SP), untuk meningkatkan pertumbuhan pembiayaan perumahan di Indonesia
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
05
9. 10.
11. 12.
13.
14.
serta membantu Lembaga Jasa Keuangan dalam memperoleh likuiditas dari pasar modal sebagai sumber pembiayaan yang terjangkau bagi masyarakat menengah dan kecil; Peraturan Segmentasi Perizinan Wakil Perantara Pedagang Efek (WPPE) yang meliputi 3 (tiga) tingkatan, yaitu WPPE, WPPE khusus pemasaran, dan WPPE khusus agen pemasaran; Peraturan Tentang Sistem Pengelolaan Investasi Terpadu, dalam rangka mengoptimalisasi dan melakukan efisiensi atas proses transaksi dan operasional di dalam industri pengelolaan investasi; Penerapan Extensible Business Reporting Language (XBRL) dalam rangka penyediaan informasi yang akurat dan dapat diandalkan; Peningkatan BUMN dan anak BUMN yang Go Public, dalam rangka membantu BUMN dalam penggalangan dana untuk kegiatan pengembangan usaha, sekaligus mendorong likuiditas pasar; Implementasi Electronic Book Building, dalam rangka meningkatkan transparansi dan fairness antar investor; Peraturan terkait Pasar Modal Syariah, dalam rangka memberikan relaksasi pengaturan dan kepastian hukum terkait efek syariah sehingga mempunyai level of playing field dengan efek konvensional; Penerbitan Pedoman Tata Kelola Emiten atau Perusahaan Publik, dalam rangka mendorong perusahaan untuk mempraktikkan tata kelola perusahaan yang baik;
Sektor Industri Keuangan non Bank 1. Relaksasi Kebijakan Non Performing Financing (NPF) Perusahaan Pembiayaan, dalam rangka mendorong pertumbuhan piutang pembiayaan oleh industri Perusahaan Pembiayaan (PP); 2. Pengembangan Asuransi Pertanian, untuk meningkatkan akses para petani ke sistem keuangan sehingga sektor pertanian nasional dapat terus tumbuh dan berkembang; 3. Pembentukan Rating Agency Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dalam rangka mengurangi isu asymmetric information dalam pendanaan UMKM dan menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA); 4. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro, yang difokuskan pada upaya mendorong LKM yang belum berbadan hukum agar segera mengajukan permohonan pengukuhan menjadi LKM sesuai UU LKM. Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen 1. 2.
3. 4.
06
Peningkatan Budaya Menabung, dalam rangka mendukung peningkatan akses keuangan masyarakat; Edukasi dan Akses Keuangan UMKM, dalam rangka mendorong peningkatan akses pembiayaan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) kepada UMKM dan mendorong capacity building UMKM di bidang pengelolaan keuangan; Pemberdayaan Konsumen, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Industri Jasa Keuangan maupun LJK; Pencegahan Penghimpunan Dana/In vestasi Tanpa Izin, dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga jasa keuangan formal
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Laporan tpi-tpid
ASPEK HUKUM KERJASAMA ANTAR DAERAH
Foto: www.ciputranews.com
Oleh Susiyanti
Payung hukum dalam kerjasama antar daerah sejatinya telah di siapkan dalam UndangUndang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dimana daerah harus mampu menjamin keserasian hubungan antar daerah dan membangun kerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama serta mencegah ketimpangan antar daerah. Karena pada kenyataanya tidak ada daerah yang dapat berkembang sendiri tanpa dukungan maupun keberadaan daerah yang lainnya. Rasanya akan sulit bagi daerah-daerah di Indonesia untuk tidak menjalin kerjasama. Indonesia yang begitu luas dengan keragaman potensi yang ada pun keragaman persoalan yang dihadapi. Dari sisi geografi saja, Indonesia sebagai negara kepulauan telah memberikan bayak pengaruh dalam beragam aspek, termasuk pengaruh pada pertumbuhan ekonomi hingga penyebab inflasi di daerah. Belum lagi berbagai permasalah struktural yang dialami daerah, ketergantungan pasokan satu daerah dengan daerah lain, struktur pasar
yang tak efisien sampai panjangnya jalur distribusi barang. Kondisi ini membuat penguatan kerjasama antar daerah menjadi alternatif dalam menjamin ketersediaan barang dan jasa sehingga laju inflasi rendah dan stabil. Dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir tekanan inflasi IHK di Indonesia banyak dipengaruhi oleh komponen inflasi administered price dan inflasi volatile food. Kondisi ini menunjukan bahwa inflasi di Indonesia lebih banyak karena faktor shock. Inflasi administered price disebabkan adanya kenaikan harga BBM dan tariff dasar listrik. Sementara inflasi administered disebabkan adanya kenaikan dari bahan pangan seperti beras, daging sapi, cabai, bawang merah dan produk hortikultura lainnya. Tingginya inflasi karena gejolak harga bahan pangan membuat daerah sadar terhadap dampak inflasi bagi kegiatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat mulai tinggi seiring dengan pembentukan TPID di daerah-daerah.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
07
Inisiatif pembentukan TPID sendiri dimulai sejak 2008 dan hingga saat ini telah terbentuk 93 TPID di 33 provinsi yang kemudian melahirkan Kelompok Kerja Nasional (Pokjanas) TPID April 2011. Keanggoatanya terdiri dari Bank Indonesia (BI), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Keberadaan TPID dengan pojaknas TPID juga menekankan pentingnya kerangka kerjasama yang lebih bersinergi antar daerah. Pokjanas TPID bersama TPID sendiri telah melakukan pemetaan surplus defisit tiga komoditas pangan yang menjadi sumber utama penyebab inflasi di Indonesia yakni beras, daging sapi, dan daging ayam. Hasil pemetaan inilah yang diharapkan dapat menjadi dasar bagi daerah untuk melihat potensi kerja sama perdagangan antar daerah dengan daerah lainnya. Sejumlah perangkat hukum sejatinya telah disiapkan pemerintah dalam mengatur bagaimana hubungan kerjasama antar daerah ini akan dilakukan. selain Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 sebagai salah satu payung hukum terbesarnya, sejumlah perangkat aturan hukum lain yang menjadi turunanyapun telah disaipakan. Dalam rangka menjaga stabilitas harga pangan melalui kerjasama antar daerah, aspek hukum dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah setidaknya melingkupi pada tiga dominasi besar kerjasama antar daerah. Yakni terkait dengan objek kerjasama antar daerah, kelembagaan kerjasama serta dalam pembiayaan kerjasama itu sendiri.
dalam kerjasama sama antar daerah yang dilakukan. Setidaknya ada tiga kelembagaan yang diatur dan diakui dalam undang-undang. Yakni dalam bentuk sekertariat kerjasama sebagaimana yang di amanatkan dalam UU no 23/2014 pasal 364 ayat 6 dimana Pemda dapat membuat sektertariat kerjasama dalam format kelembagaan kerjasama antar daerah yang dilakukan. Pemda juga dapat berkerjasama dengan BUMD sebagai penyedia kebutuhan masyarakat termasuk salah satunya adalah kebutuhan pangan sebagaimana di atur dalam pasal 331 UU no 23/2014. Dalam Kepmendagri 43/2000 pasal 6 perusahaan dagang bisa melakukan kerjasama dalam bentuk joint operation dan joint venture. Bahkan dalam format kelembagaan kerjasama, UU no 23/2014 pasal 363 ayat 2 memberikan jaminan hukum kerjasama pemda dengan pihak ketiga dalam skema kerjasama antar daerah tersebut. Terkait dengan mekanisme pembayaran, UU no 23/2014 memberikan ruang bagi program kerjasama antar daerah untuk mendapatkan alokasi dana dari APBD sebagaimana diterangkan dalam pasal 281 ayat 2 undangundang tersebut. Dimana sekteratriat kerjasama dapat dibiayai antar daerah yang bekerjasama melalui pos hibah. Sementara pembiayaan kerjasama antar daerah dengan menggunakan jasa pihak ketiga dapat dibiayai dengan pos pengadaan jasa lainnya.
Dalam hal objek kerjasama, ketahanan pangan menjadi salah satu objek penekanan dalam pelaksanan kerjasama antar daerah ini. Secara ekplisit dalam PP no 50/2007 dan UU no 23/2014 meyebutkan bahwa objek kerjasama antar daerah adalah pangan. Perangkat hukum tersebut juga diperkuat dengan UU no 18/2012 dimana Pemerintah Daerah wajib mewujudkan keterjangkauan dan ketersedian pangan. Selain objek, aspek hukum lain yang telah disiapkan dan diatur pemerintah adalah terkait dengan kelembagaan kerjasama antar daerah. Dalam sejumlah peraturan yang diterbitkan, pemerintah telah mengatur dan memberikan kekuatan hukum pada format kelembagaan
08
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
INFRASTRUKTUR
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR PERTANIAN DALAM MENDUKUNG KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFLASI Oleh Susiyanti
Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Keberhasilan pembangunan di sektor pertanian dapat tercermin dari kemampuan negara dalam swasembada pangan atau paling tidak ketahanan pangan. Oleh sebab itu, buruknya kinerja di sektor pertanian dapat berdampak pada terancamnya ketahanan pangan nasional. Data dari Kementrian Pertainan menunjukkan pada tahun 2020 dan 2025 kebutuhan beras diperkirakan masing-masing sebesar 62,3 juta ton dan 65,8 juta ton. Upaya pemenuhan kebutuhan beras nasional hingga tahun 2025 akan ditempuh melalui dua cara yaitu peningkatan produktivitas padi dengan laju pertumbuhan 1,0-1,5% per tahun dan peningkatan areal panen padi melalui peningkatan intensitas tanam yang tentunya didukung dengan infrastruktur di sektor pangan khususnya irigasi. Namun dalam perjalanannya, sektor pertanian banyak menghadapi permasalahan yang berdampak pada penurunan produktivitas dan produksi pertanian. Salah satunya adalah terbatasnya aspek
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
09
ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian. Infrastruktur pertanian yang berperan penting dalam peningkatan produksi pangan khususnya beras adalah irigasi. Saluran irigasi merupakan hal yang vital dalam pembangunan pertanian. Karena dengan ketersediaan saluran irigasi yang baik, diharapkan dapat meningkatkan volume produksi dan kualitas komoditas pertanian, terutama tanaman pangan. Sebagaimana data inventarisasi jaringan irigasi yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Alam pada 2014 maka tercatat total luas areal pertanian sebanyak 9.136.028 ha yang terdiri dari areal irigasi sebanyak 7.302.998 ha dan rawa sebanyak 1.833.030 ha. Dari luas areal pertanian itu, yang menjadi kewenangan pusat sebanyak 33% (2.376.521 ha), dengan 79% irigasi dalam kondisi baik dan 21% irigasi dalam kondisi rusak. Luas areal irigasi yang menjadi kewenangan Provinsi sebanyak 16% (1.105.475 ha), 39% (555.056 ha) dalam kondisi baik dan 61% (868.166 ha) dalam kondisi rusak. Luas areal irigasi yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota sebanyak 51% (3.663.172 ha), 48% (1.670.141 ha) irigasi dalam kondisi baik dan 52% (1.815.820 ha) dalam kondisi rusak. Sebaran areal sawah beririgasi tersebut terdiri dari waduk sebanyak 797.971 ha (11%) dan non waduk sebanyak 6.432.212 ha (89%). Selain itu, saat ini banyak kondisi waduk yang memprihatinkan. Setidaknya, dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa 42 waduk saat ini dalam kondisi waspada akibat berkurangnya pasokan air selama kemarau. Sepuluh waduk telah kering, sementara hanya 19 waduk masih berstatus normal. Padahal keberadaan waduk sangat penting dalam menopang produksi pertanian. Masih rendahnya kesadaran dari para pemangku kepentingan di daerah-daerah untuk mempertahankan lahan pertanian produksi, menjadi salah satu penyebab keberadaan infrastruktur pertanian itu menjadi buruk. Padahal irigasi merupakan infrastruktur yang mempunyai peranan sangat penting dalam mendukung produksi padi nasional. Berdasarkan data dari BPS ATAP di tahun 2009, 2010, dan 2011, tercatat ratarata kontribusi irigasi terhadap produksi padi nasional selama tiga tahun kurang lebih sebesar 85%. Total produksi dari areal dengan irigasi sebanyak 64.544.500,55 ton (84,70%) tahun 2009, sebesar 56.441.642,53 ton (84,48%) tahun 2010 dan sebesar 55.741.818,86 ton (84,77%) tahun 2011. Peran penting irigasi dalam meningkatkan produksi pertanian juga didukung oleh hasil penelitian JICA pada tahun 2014 yang menemukan bahwa irigasi memberikan dampak langsung terhadap produktivitas pertanian yang pada akhirnya memberikan dampak terhadap rumah tangga. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi potensi peran irigasi dan efektivitas pembangunan dan manajemen irigasi. Selain itu juga perlu untuk dilakukan perbaikan kondisi jalan di pedesaan untuk mempermudah distribusi (konektivitas) hasil pertanian. Oleh karenanya, upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi pertanian khususnya padi dengan intesifikasi pertanian adalah melalui penyediaan sistem irigasi yang andal. Sistem irigasi yang andal itu ditentukan oleh keandalan air irigasi yang diwujudkan melalui pembangunan waduk, bendungan, pompa dan jaringan drainase yang memadai. Keandalan prasarana irigasi harus diwujudkan melalui peningkatan operasi dan pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi. Peningkatan produksi pertanian khususnya padi untuk ketahanan pangan dapat dilakukan dengan meminimalisir alih fungsi lahan dan meningkatkan pembangunan irigasi. Total potensi pengembangan irigasi di Indonesia saat ini sebesar 10.865.200 ha. Dengan adanya perbaikan infrastruktur pangan diharapkan produktivitas padi meningkat menjadi 5,15 ton per hektar gabah kering giling (GKG) pada
10
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
tahun 2019, naik 0,12 ton per hektar GKG dibandingkan tahun 2014 yang hanya sebesar 5,04 ton per hektar GKG. Upaya Pemerintah dalam mendukung intensifikasi sektor pertanian terus dilakukan melalui perbaikan infrastruktur pangan. Pemerintah menargetkan pembangunan 65 bendungan pada 2015 hingga 2019. Pembangunan bendungan itu diperkirakan akan membutuhkan dana sebesar 89,5 triliun, dengan volume total irigasi mencapai 7,78 milyar m3 dengan kemampuan irigasi sebanyak 571.559 ha. Sebaran bendungan tersebut ada di Sumatera (12 bendungan), Jakarta (27 bendungan), Kalimantan (4 bendungan), Sulawesi (9 bendungan), Bali (3 bendungan), Nusa Tenggara (4 bendungan), Nusa Tenggara Timur (5 bendungan), Papua (1 bendungan). Selain pembangunan bendungan, Pemerintah juga menargetkan kebutuhan pembangunan 49 waduk baru, dengan kebutuhan anggaran mencapai 73,9 triliun. Saat ini baru 33 waduk yang sudah diselesaikan dengan volume total 1,88 milyar m 3 dengan kemampuan irigasi sebanyak 178.303 ha. Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian tahun 2015 mengemukakan, ada sebanyak 1 juta ha jaringan irigasi yang harus direhab pada tahun 2015. Sebanyak 143,1 ribu ha menjadi kewengan Pusat, sebanyak 281,6 ribu ha menjadi kewenangan Provinsi, dan sebanyak 575,4 ribu ha menjadi kewenangan Kabupaten/ Kota. Program Rehabilitasi Jaringan Irigasi juga didukung dengan penyediaan benih, pupuk, alsintan dan penyuluhan. Dengan adanya program ini diharapkan akan diperoleh produksi padi 73,40 juta ton GKG, sehingga surplus beras 9,63 juta ton dengan asumsi tingkat konsumsi 124,89 kg/kapita/tahun. Infrastruktur pangan yang baik juga akan mampu mengendalikan inflasi. Tentu saja dengan didukung pembangunan infrasturuktur lain yang menunjang konektivitas dan pasokan energi secara simultan. Mengingat sektor pangan masih mempengaruhi secara signifikan angka inflasi di Indonesia. Tingkat produksi yang rendah akan berpengaruh pada pasokan bahan pangan di pasar, ditambah dengan tata niaga yang buruk di sektor pertanian akan membuat harga-harga kebutuhan pangan menjadi tidak terkendali. Dibutuhkan sinergi Pusat dan Daerah dalam pengendalian inflasi yang disumbang oleh bahan pangan. Rehabilitasi infrastruktur pangan termasuk irigasi dan waduk yang telah menjadi kewenangan Pusat dan Daerah menjadi tantangan utama sinergi tersebut.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
11
LAPORAN UTAMA
PROGRAM PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN UMKM
THE “ALL NEW” KUR 2015
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
LAPORAN UTAMA PROGRAM PEMERINTAH DALAM
PENGEMBANGAN UMKM Oleh Desi Maola
Dalam perekonomian Indonesia, UMKM merupakan kelompok usaha yang memiliki jumlah paling besar dan terbukti tahan terhadap berbagai macam goncangan krisis ekonomi. Kriteria usaha yang termasuk dalam UMKM telah diatur dalam payung hukum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM ada beberapa kriteria yang dipergunakan untuk mendefinisikan pengertian dan kriteria UMKM. Perkembangan UMKM di Indonesia tidak terlepas dari dukungan perbankan dalam penyaluran kredit kepada UMKM. Setiap tahun kredit kepada UMKM mengalami pertumbuhan dan secara umum pertumbuhannya lebih tinggi dibanding total kredit perbankan. Kredit UMKM adalah kredit kepada debitur usaha mikro, kecil dan menengah yang memenuhi definisi dan kriteria usaha mikro, kecil dan menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 Tentang UMKM. Berdasarkan UU tersebut, UMKM adalah usaha produktif yang memenuhi kriteria usaha dengan batasan tertentu kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan. Keberhasilan UMKM di Indonesia juga tidak terlepas dari dukungan dan peran
pemerintah
dalam
mendorong
penyaluran
kredit
kepada
UMKM.
Berbagai
skim
Kredit/pembiayaan UMKM diluncurkan oleh pemerintah dikaitkan dengan tugas dan program pembangunan ekonomi pada sektor sektor usaha tertentu, misalnya ketahanan pangan, perternakan dan perkebunan. Teknologi informasi merupakan bentuk teknologi yang digunakan untuk menciptakan, menyimpan, mengubah, dan menggunakan informasi dalam segala bentuknya. Melalui pemanfaatan teknologi informasi ini, perusahaan mikro, kecil maupun menengah dapat memasuki pasar global. Perusahaan yang awalnya kecil seperti toko buku Amazon, portal Yahoo, dan perusahaan lelang sederhana Ebay, ketiganya saat ini menjadi perusahaan raksasa hanya dalam waktu singkat karena memanfaatkan teknologi informasi dalam mengembangkan usahanya. Pemanfaatan teknologi informasi dalam menjalankan bisnis atau sering dikenal dengan istilah e-commerce bagi perusahaan kecil dapat memberikan fleksibilitas dalam produksi, memungkinkan pengiriman ke pelanggan secara lebih cepat untuk produk perangkat lunak, mengirimkan dan menerima penawaran secara cepat dan hemat, serta mendukung transaksi cepat tanpa kertas. Pemanfaatan internet memungkinkan UMKM melakukan pemasaran dengan tujuan pasar global, sehingga peluang menembus ekspor terbuka luas. Pemerintah sebagai regulator, pada dasarnya telah banyak mengeluarkan program atau skim yang telah disediakan untuk memberdayakan UMKM. Program ini hendaknya terus dioptimalisasikan. Programprogram tersebuta antara lain. 1. Kredit Usaha Rakyat (KUR), sebagaimana telah di bahas di atas. 2.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
13
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), KKPE adalah kredit investasi atau modal kerja yang diberikan dalam rangka mendukung program ketahanan pangan, dan diberikan melalui kelompok tani atau koperasi. 3. Program Usaha Agrobisnis Pertanian (PUAP) 5 Andang Setyobudi, dalam Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5, nomor 2, Agustus 2007 berjudul “Peran serta Bank Indonesia dalam Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)”. 21 PUAP merupakan fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga tani yang dikoordinasikan oleh gabungan kelompok tani (Gapoktan). 4. Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) 5. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Demikian juga program-program yang dikeluarkan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam bentuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Program ini berangkat dari kepedulian dari BUMN untuk memberdayakan UMKM melalui bagian laba sebesar 2,5% yang digunakan untuk pemberdayaan UMKM. Disisi lain Kementrian Koperasi dan UMKM dan Kementrian lainnya langsung melakukan pembinaan terhadap UMKM di seluruh wilayah tanah air. Termasuk Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan langsung melakukan pembinaan dan pemberian fasilitas pajak kepada UMKM. Menurut Badan Kebijakan Fiskal, Secara rinci beberapa insentif fiskal yang telah terssedia untuk mendorong perkembangan UMKM di Indonesia antara lain pemberian Tax Holiday, Tax Allowance, batasan Harga Rumah Sederhana Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, PPh Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk komoditas panas bumi dan bunga imbal hasil atas SBN yg diterbitkan di pasar internasional, Pembebasan/pengurangan PPnBM untuk kendaraan bermotor (hybrid dan low cost green car). Demikian juga diberikan fasilitas tidak dipungut PPN dan PPnBM terhadap barang kena pajak (BKP) yang mendapatkan pembebasan bea masuk, sesuai dgn kriteria tertentu, misal impor barang untuk eksplorasi hulu migas dan panas bumi. Termasuk penurunan beberapa tarif Bea Masuk, pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum serta Pemberian Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP).
14
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
LAPORAN UTAMA
THE “ALL NEW” KUR 2015 oleh Puji Gunawan
Sektor Keuangan memiliki peran vital dalam mendukung perekonomian suatu negara. Dari sisi penawaran, lembaga keuangan yang kuat dapat menopang penuh kebutuhan sektor lain dari sisi pembiayaan, investasi dan mitigasi resiko. Dari sisi permintaan, masyarakat dan pelaku usaha yang terlibat dan memanfaat produk-produk keuangan dapat memperkuat fundamental permodalan institusi sektor keuangan, mengurangi biaya, mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan serta stabilitas sistem keuangan. Jika melihat kondisi sektor keuangan Indonesia, maka dari sisi penawaran data pada triwulan III Tahun 2015 menunjukkan bahwa Industri Perbankan masih sangat dominan dibanding dengan industri lainnya dalam sektor keuangan. Porsi aset perbankan terhadap PDB masih berada pada angka 54,1%. Sisanya dibagi atas pasar modal (49,6%) dan Industri Keuangan Non bank (IKNB) sebesar 14%. Jika dari sisi permintaan, Survei Bank Dunia pada tahun 2010 menunjukkan hanya 49% rumah tangga
Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Hal serupa ditemukan Bank Indonesia dalam Survei Neraca Rumah Tangga di tahun 2011 yang menunjukkan bahwa persentase rumah tangga yang menabung di lembaga keuangan formal dan non lembaga keuangan sebesar 48%. Kedua survei tersebut saling menguatkan dan mendukung bahwa akses keuangan masyarakat Indonesia ke lembaga keuangan formal dan non formal masih relatif rendah sehingga penduduk Indonesia yang memiliki akses yang terbatas terhadap sistem jasa keuangan masih perlu ditingkatkan. Data OJK dan BPS (2014) juga menunjukkan bahwa Tingkat literasi dan inklusi keuangan di Indonesia masih menunjukkan tingkat yang rendah. Tingkat literasi masyarakat terhadap produk asuransi masih berada di level 18%, pegadaian 15%, perusahaan pembiayaan 10%, dan dana pensiun 7%. Jika kita melihat dukungan sektor keuangan kepada UMKM, data Perkembangan kredit UMKM di Indonesia pada triwulan III-2015 menunjukkan porsi kredit Perbankan kepada UMKM baru mencapai 18,5%. Penyaluran kredit UMKM sebagian besar besar pada sektor perdagangan, diikuti industri pengolahan, dan pertanian. Sebaran penyaluran kredit UMKM sebagian besar masih terpusat di Pulau Jawa dan Sumatera dengan total porsi mencapai 58,1%. Hal ini berbeda dibandingkan dengan penyebaran di wilayah Indonesia Bagian Tengah dan Timur hanya mencapai 22,3%. Melihat kondisi sektor keuangan dan dukungannya terhadap UMKM yang masih rendah, maka Pemerintah terus melakukan upaya-upaya perbaikan. Salah satu terobosan yang dilakukan adalah melalui program kredit usaha rakyat. Pada tanggal 5 November 2007, Presiden saat itu meluncurkan Kredit dengan fasilitas penjaminan kredit dari Pemerintah melalui PT Askrindo dan Perum Jamkrindo.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
15
Program KUR secara umum adalah kredit/pembiayaan yang diberikan oleh perbankan kepada UMKMK yang feasible tapi belum bankable atau dengan kata lain usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang baik dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan kredit. Penyaluran KUR dapat dilakukan langsung di Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank Pelaksana atau secara tidak langsung, melalui Lembaga Keuangan Mikro dan koperasi simpan pinjam, atau melalui kegiatan linkage program lainnya yang bekerjasama dengan Bank Pelaksana. Dalam skema awal KUR, KUR dibagi atas (1) KUR Mikro dengan plafon sampai dengan Rp 20 Juta dikenakan suku bunga kredit maksimal 22% per tahun (2) KUR Ritel dengan plafon dari Rp 20 Juta sampai dengan Rp 500 Juta dikenakan suku bunga kredit maksimal 13% per tahun, (3) KUR Linkage dengan plafon sampai dengan Rp 2 milyar. KUR Linkage biasanya menggunakan lembaga lain, seperti Koperasi, BPR, dan Lembaga Keuangan Non-bank, untuk menerus-pinjamkan KUR dari Bank Pelaksana kepada UMKMK Dalam perkembangannya, maka dalam kurun waktu 2007 – 2014, data dari Komite Kebijakan KUR menunjukkan total penyaluran KUR telah mencapai sebesar Rp 178,85 triliun dengan NPL sebesar 3,3%. Tenaga kerja yang berhasil diserap dari program KUR adalah sebanyak 20.344.639 Memasuki era Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Program KUR yang sebelumnya sempat dihentikan pelaksanaannya telah diputuskan untuk dilanjutkan. Hal ini tentunya tidak terlepas dari dampak positif program KUR terhadap pengembangan UMKM, pengentasan kemiskinan serta perekonomian secara nasional. Pada tahap kedua pelaksaaan KUR ini, diputuskan untuk dilakukan penguatan regulasi dan perbaikan skemanya. Skema KUR yang baru juga diupayakan tepat sasaran, baik dalam hal keberpihakan Pemerintah maupun dari sektor yang dianggap penting untuk dikembangkan. Beberapa upaya perbaikan skema KUR dapat disarikan dalam tabel di bawah ini : A. KUR MIKRO NO.
URAIAN
LAMA
BARU
1
Suku Bunga
KUR Mikro maksimal 22% efektif per tahun
KUR Mikro maksimal 12% efektif per tahun
2
Plafon Pinjaman
KUR Mikro maksimal Rp 20 juta
KUR Mikro maksimal Rp 25 juta
3
Maksimal Plafon
Tidak diatur
Maksimal Rp 75 juta
4
Cakupan Penjaminan
• Sektor Prioritas (pertanian, perikanan, industri kecil, dan TKI) = 80% • Sektor Non Prioritas = 70%
Kesepakatan Bank Pelaksana Perusahaan Penjamin
5
Target Group
Usaha yang produktif, namun belum bankable
layak,
Usaha mikro yang produktif , layak dan belum memenuhi persyaratan agunan.
6
Pengecekan SID
KUR Mikro pengecekan SID
perlu
KUR Mikro perlu pengecekan SID
16
tidak
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
dan
NO.
URAIAN
LAMA Menjadi tanggung Kementerian Teknis
BARU
7
Basis Data
jawab
8
Jangka Waktu Kredit
9
Jangka Waktu Perpanjangan
• KI = 10 tahun • KMK = 6 tahun
• KI = 8 tahun • KMK = 4 tahun
10
Tarif dan Perhitungan IJP
3,25% , dihitung berdasarkan plafon
Kesepakatan Bank Pelaksana Perusahaan Penjamin
11
Penyaluran Linkage
Linkage Executing Linkage Channelling
Linkage Chanelling)
12
Agunan Pokok Agunan Tambahan
Kegiatan usaha Tidak ada
Kegiatan usaha. Sesuai penilaian Bank Pelaksana KUR Mikro namun tanpa perikatan.
13
Online Sistem
Tidak diatur
Bank Pelaksana dan Perusahaan Penjamin berkewajiban untuk membangun online sistem
14
Sektor
Seluruh sektor usaha mikro
Usaha mikro di sektor pertanian, perikanan, industri pengolahan dan perdangangan yang terkait
•KI = 5 tahun •KMK = 3 tahun
Pengembangan Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) secara bertahap dengan server dari Kementerian Keuangan. • KI = 4 tahun • KMK = 2 tahun
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
dan
17
B. KUR RITEL NO.
URAIAN
LAMA
BARU
1
Suku Bunga
KUR Ritel maksimal 13% efektif per tahun
KUR Ritel maksimal 12% efektif
2
Plafon Pinjaman
> Rp 25 juta s.d. Rp 500 juta
> Rp 25 juta s.d. Rp 500 juta
3
Maksimal Plafon
Tidak diatur
Tidak diatur
4
Cakupan Penjaminan
5
Target Group
Usaha yang produktif, namun belum bankable
layak,
Usaha mikro dan atau usaha kecil yang produktif , layak dan belum memenuhi persyaratan agunan.
6
Basis Data
Menjadi tanggung Kementerian Teknis
jawab
Pengembangan Sistem Informasi Kredit Program (SIKP) secara bertahap dengan server dari Kementerian Keuangan.
7
Jangka Waktu Kredit
• KI = 5 tahun • KMK = 3 tahun
• KI = 4 tahun • KMK = 2 tahun
8
Jangka Waktu Perpanjangan
• KI = 10 tahun • KMK = 6 tahun
• KI = 8 tahun • KMK = 4 tahun
9
Tarif dan Perhitungan IJP
3,25% , dihitung berdasarkan plafon
Kesepakatan Bank Pelaksana Perusahaan Penjamin
10
Penyaluran Linkage
Linkage Executing Linkage Channelling
Linkage Chanelling)
11
Agunan Pokok Agunan Tambahan
Kegiatan usaha Tidak ada
Kegiatan usaha. Sesuai penilaian Bank Pelaksana.
12
Online Sistem
Tidak diatur
Bank Pelaksana dan Perusahaan Penjamin berkewajiban untuk membangun online sistem
13
Sektor
Seluruh sektor usaha
Usaha mikro dan atau usaha kecil di sektor pertanian, perikanan, industri pengolahan dan perdangangan yang terkait
18
• Sektor Prioritas (pertanian, perikanan, industri kecil, dan TKI) = 80% • Sektor Non Prioritas = 70%
Kesepakatan Bank Pelaksana Perusahaan Penjamin
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
dan
dan
PANGAN
TOKO TANI INDONESIA SEBAGAI PEMUTUS RANTAI DISTRIBUSI BARANG KEBUTUHAN POKOK MASYARAKAT oleh Puji Gunawan
RPJMN 2015-2019 masih menjadikan pertanian sebagai sektor strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian tersebut diwujudkan dalam bentuk penyediaan bahan pangan dan bahan baku industri, penyumbang Produk Domestik Bruto, penghasil devisa negara, penyerap tenaga kerja, sumber utama pendapatan rumah tangga perdesaan, penyedia bahan pakan dan bioenergi, serta berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
Dengan sasaran strategis tersebut, maka salah satu strategi yang akan dijalankan Kementerian Pertanian melakukan penguatan jaringan pasar produk pertanian. Dalam lima tahun mendatang, arah penguatan tersebut dilakukan melalui : 1. Penyusunan peta jalur pemasaran komoditas strategis termasuk komoditas yang sering terkendala distribusi guna membangun pasar yang terintegrasi dengan baik dari daerah produksi hingga ke konsumen. 2. Memperkuat kelembagaan dan sistem pelayanan informasi pasar dan jaringan pasar produk pertanian 3. Fasilitasi kelembagaan pasar dan sistem resi gudang 4. Membuka target pasar baru
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
19
Dalam tataran implementasinya, jaringan pasar produk pertanian akan diwujudkan dalam bentuk Toko Tani Indonesia (TTI). Adapun tujuan Program TTI adalah menyerap produk pertanian nasional khususnya bahan pangan pokok dan strategis, mendukung stabilisasi harga dan memberikan kemudahan akses konsumen/masyarakat terhadap bahan pangan pokok dan strategis. Adapun lokasi dari TTI sendiri diarahkan kepada daerah-daerah konsumen, utamanya yang menjadi barometer fluktuasi harga dan pasokan komoditas pangan pokok dan strategis. Untuk tahun Tahun 2015 di rencanakan akan dibangun di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta dan JawaTimur. Sedangkan untuk tahun 2016-2019 akan dilanjutkan di 34 Provinsi lainnya. Dalam APBN-2016 yang telah disepakati Pemerintah dengan DPR, sebanyak Rp200 Milyar telah dialokasikan untuk membangun jaringan 1.000 TTI di seluruh Indonesia. SYARAT LOKASI Untuk dapat dibangun TTI, setidaknya terdapat 4 syarat yang harus dipenuhi, yaitu Daerah tersebut merupakan sentra produksi 2 (dua) atau lebih komoditas pangan pokok strategis, Daerah sentra konsumen dan sering mengalami gejolak harga, Merupakan pasar regional yang mempengaruhi stabilitas harga dan pasokan pangan di wilayah sekitar pasar yang ditetapkan dan Merupakan pasar pencatatan inflasi BPS Terdapat beberapa kriteria pelaku usaha / individu yang dapat menerima penugasan pembukaan TTI : 1. Pedagang tetap dan Memiliki tempat usaha milik pribadi atau sewa 2. Berlokasi strategis yang mudah dijangkau konsumen. 3. Memiliki SIUP / NPWP / UD (surat izin usaha dari desa) 4. Pengalaman usaha minimal 4 tahun. 5. Tidak sedang bermasalah dalam hutang/piutang dengan pihak manapun. 6. Bersedia kerja sama dengan PerumBULOG/Mitra perumBULOG yang tertuang dalam kontrak. 7. Bersedia menjual produk pangan TTI 8. Bersedia membuat catatan transaksi penjualan khusus kegiatan TTI
20
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
EKONOMI DOMESTIK
UU Administrasi Pemerintahan dan Dua Sisi Mata Uang Diskresi Pejabat Oleh Susiyanti
Dalam keterangan resminya Mei lalu, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Biorkarasi Yuddy Chrisnandi mengatakan
Undang Undang (UU) 30/2014 tentang administrasi pemerintahan
menjadi pilar keempat dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia, setelah UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Keempat UU tersebut berkaitan dengan implementasi tata kelola pemerintaha yang baik untuk masa depan Indonesia. Ada tujuan mulia di balik pengesahan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Para wakil rakyat menginginkan terciptanya sistem pemerintahan yang menjunjung tinggi hak-hak warga negara. Dapat dikatakan bahwa UU tersebut merupakan wujud dari komitmen pemerintah untuk tetap melaksanakan reformasi birokrasi di semua aspek, khususnya lingkup ketatalaksanaan pemerintahan dan pelayanan publik. Secara keseluruhan, UU 30/2014 ini memuat 89 pasal dengan ruang lingkup meliputi semua aktifitas baik itu badan atau pejabat pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintahan (eksekutif, legislatif maupun yudikatif), hak kewajiban pejabat, kewenangan pemerintah, administrasi pemerintahan dan lain sebagainya. Dalam UU tersebut termasuk tentang penyelenggaraan administrasi pemerintahan, aparatur pengawasan internal pemerintah mendapat porsi kewenangan strategis serta wajib berperan aktif memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi badan/pejabat pemerintah dalam pengambilan keputusan.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
21
Kehadiran UU ini juga dimaksudkan antara lain untuk menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, dan menjamin akuntabilitas badan dan/atau pejabat pemerintahan. Tujuan lain adalah memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan dalam melaksanakan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan dan menerapkan azas-azas umum pemerintahan yang baik (AUPB), serta memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat. UU ini memuat kejelasan jenis-jenis kewenangan atribusi, delegasi, dan mandat. Kejelasan tanggung jawab terhadap kewenangan agar terdapat kejelasan tanggung jawab dan tanggung gugat terhadap pelaksanaan kewenangan. Selain itu, UU ini mengatur larangan penyalahgunaan wewenang, sehingga badan atau pejabat pemerintahan dalam membuat keputusan atau tindakan sesuai dengan batas kewenangan yang dimiliki. Salah satu ruang lingkup yang dibahas dalam UU Nomor 30 tahun 2014 ini adalah terkait dengan persoalan diskresi. Pembahasan ini tidak lepas dari kriminalisasi kebijakan publik akhir-akhir ini yang sering terjadi dimana pejabat banyak menjadi korban atas terjadinya kriminalisasi tersebut. Penjelasan mengenai diskresi dalam UU Nomor 30/2014 adalah keputusan dan atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Ruang lingkup diskresi pejabat pemerintahan sebagai mana diatur dalam Pasal 23, yakni meliputi, pengambilan keputusan dan atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan; pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; pengambil keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas. Adapun tujuan diskresi adalah demi melancarakan penyelenggaraan pemerintahaan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum serta mengatasi stagnasi pemerintahaan dalam kondisi tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Dengan demikian, diskresi tak lain adalah kebebasan mengambil keputusan sendiri yang dimungkinkan oleh pejabat. Tentunya dalam syarat dan kondisi yang telah diatur dalam undang-undang tersebut. Beberapa diskreasi ada yang harus meminta ijin atasan sesuai dengan tata aturan di perudanganundangan. Namun ada juga di diskresi yang dilaksanakan sendiri.
22
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan atau pejabat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sementara dalam kondisi darurat, mendesak dan bencana alam, diskresi tidak memerlukan persetujuan namun diperlukan pelaporan atas penggunaan diskresi tersebut. Meski demikian, penggunaan diskresi harus oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan tujuannya. Pejabat pemerintahan yang dimaksud yaitu unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan, baik di lingkungan pemerintahan maupun penyelenggara negara lainnya. Contoh sederhana dari diskresi yang jelas dan dapat dilihat di kehidupan sehari-hari adalah seorang polisi lalu lintas yang mengatur lalu lintas di suatu perempatan jalan, yang mana hal ini sebenarnya sudah diatur oleh lampu pengatur lalu lintas (traffic light). Menurut UU Lalu Lintas, polisi dapat menahan kendaraan dari satu ruas jalan meskipun lampu hijau atau mempersilakan jalan kendaraan meskipun lampu merah. Diskresi juga dapat dilakukan oleh penyelenggara negara yaitu pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang kepala daerah dapat mengambil keputusan apapun meski melanggar peraturan, sepanjang itu bertujuan demi keuntungan rakyatnya, bukan keuntungan pribadi. Hal ini mestinya membuat kepala daerah memunculkan langkah terobosan untuk mengatasi permasalahan di daerah mereka masing-masing. Ambil contoh ancaman kekeringan yang dialami oleh Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Dalam catatan Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian, hingga kini, ada sekitar 4.000 hektar tanaman padi yang gagal panen. Meski demikian, masih ada ketakutan dari para kepala daerah dalam mengaplikasikannya. Kepala daerah rata-rata takut gunakan anggaran. Jadi lebih baik anggaran itu disimpan di dalam bank daerah, bahkan terjadi peningkatan sebelumnya di April Rp 253 triliun dapat membengkak menjadi Rp273 triliun. Hal itu berdampak pada rendahnya penyerapan APBD. Hingga bulan Agustus ini, serapan anggaran pemerintah baru 20%. Dalam pertemuan dengan Presiden, banyak Gubernur, Bupati dan Walikota mengaku tak berani menggunakan APBD karena masih ada ketakutan dikriminalisasi dalam persoalan hukum. Oleh karena itu diperlukan payung hukum dalam peraturan perlaksanan yang lebih rinci terutama dalam kasus-kasus yang sifatnya mendesak dan perlu penanganan darurat. Bahkan Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan, administratif dalam kondisi darurat untuk kepentingan rakyat sebaiknya jangan dipidanakan.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
23
BUMN
PENGUATAN PERUM
BULOG oleh Susiyanti
Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah satu hak asasi manusia yang harus terpenuhi. Sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia maka panganpun harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan dalam kualitas yang baik. Sayangnya, selama ini justru persoalan pangan di Indonesia sendiri tidak dapat dipisahkan dari berbagai persoalan, terutama masalah harga pangan yang menjadi salah satu aspek yang mencerimnakan ketersedian atau produksi pangan nasional. Sebagaimana diketahui, salah satu persoalan dalam pemenuhi pangan di Indonesia adalah persoalan harga pangan. Hampir setiap tahun, persoalan pangan di Indonesia selalu dihadapkan pada kondisi harga pangan yang selalu mengalami gejolak. Beberapa komoditas seperti beras, bawang merah, cabai dan daging sapi menjadi contoh komoditas yang terus silih berganti bergejolak. Kenaikan harga pangan jelas berdampak besar pada masyarakat sebagai konsumen. Tidak terjangkaunya pangan, membuat kelompok keluarga miskin atau keluarga dengan kemampuan di bawah rata-rata tidak mampu lagi membeli makanan bergizi. Akibatnya, mereka akan membeli makan yang lebih murah dan tak bergizi. Kondisi ini tentu memberikan dampak buruk pada jangka panjang. Selain itu, tak sedikti dari mereka yang terpaksa harus mengeluarkan anakanak mereka dari sekolah karena beban ekonomi yang semakin tinggi akibat pangan yang terus melambung naik. Indonesia sejatinya memiliki sebuah badan yang diharapkan dapat menjadi stabilitator harga komoditi pangan nasional agar tetap stabil yakni Badan Urusan Logistik atau sering disingkat dengan Bulog. Perjalanan Perum BULOG sendiri dimulai saat dibentuknya BULOG pada tanggal 10 Mei 1967 berdasarkan keputusan presidium kabinet No.114/U/Kep/5/1967, dengan tujuan pokok untuk mengamankan penyediaan pangan dalam rangka menegakkan eksistensi Pemerintahan baru.
24
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Peraturan tentang Bulog terus mengalami beberapa revisi untuk menyesuaikan tugas dan peran Bulog dari masa ke masa. Temasuk salah satunya tugas bulog dalam meningkatkan mutu gizi pangan sebagaimana tercantum dalam Keppres No. 103 tahun 1993. Penyempurnaan peran Bulog kembali ditungkan dalam Keppres No 50 tahun 1995 dimana tanggung jawab BULOG lebih difokuskan pada peningkatan stabilisasi dan pengelolaan persediaan bahan pokok dan pangan. Tugas pokok BULOG sesuai Keppres tersebut adalah mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan dan bahan pangan lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam rangka menjaga kestabilan harga bahan pangan bagi produsen dan konsumen serta memenuhi kebutuhan pangan berdasarkan kebijaksanaan umum Pemerintah. Hanya berselang dua tahun, seiring dengan keluarnya Keppres No. 45 tahun 1997, kewenangan Bulog dibatasi dan hanya tinggal beras dan gula. Keppres ini malah di kemudian di kuatkan dengan Keppres No 19 tahun 1998 tanggal 21 Januari 1998 dimana Pemerintah mengembalikan tugas BULOG seperti Keppres No 39 tahun 1968. Ruang lingkup komoditas yang ditangani BULOG kembali dipersempit seiring dengan kesepakatan yang diambil oleh Pemerintah dengan pihak IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI). Saat ini, seperti diketahui Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya bisa melakukan stabilisasi harga beras dan tidak bisa untuk komoditas pangan lain seperti cabai, bawang merah ataupun kedelai yang sempat melonjak dan komodtas lainnya. Tidak hanya persoalan komoditas yang terbatas, beberapa kendala lain juga di hadapi bulog dalam menjalankan tugasnya. Termasuk keterbatasan dalam sumber daya manusia, terbatasnya anggaran dana hingga dalam hal intstumen hukum, pembagian fungsi dan kewenangan. Sebagai contoh, selama ini Bulog menampung beras dari petani saat panen raya sebagai cadangan beras pemerintah. Meski memiliki Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang cukup banyak, namun Bulog tidak bisa mengeluarkan atau mendistribusikan beras tersebut untuk menstabilkan harga breas di pasar karena bulog tidak memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Direktur Utama Perum Bulog, Djarot Kusumayakti kerap menyerukan agar peran-peran Bulog bisa diperluas. Tidak hanya sebatas pada beras semata. Djarot meminta pemerintah segera memberikan payung hukum untuk memperkuat peran Bulog dalam menstabilkan harga pangan secara menyeluruh tidak hanya sebatas beras. Seperti Jagung, Kedelai, Minyak goreng, daging sapi, daging ayam, bawang merah, cabai bahkan hingga telur.
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
25
"Komoditas bahan pokok tidak melulu beras. Keterbatasan wewenang yang dimiliki membuat peran Perum Bulog sebagai stabilisator masih terbatas. Untuk itu, kewenangan yang ada pada Perum Bulog masih harus ditingkatkan untuk dapat menjalankan peran strategisnya sebagai penjaga stabilitas harga. Sebagai direktur utama Bulog, Djarot menilai Bulog telah siap jika dilimpahi kewenang
untuk
mengamankan harga kebutuhan bahan bokok selain beras. Dari aspek infrastruktur, menurut Djarot Bulog telah memiliki sejumlah infrastruktur penunjang seperti gudang-gudang, cold storage, drying center dan sebagainya yang direncanakan akan di bangun mulai 2016 mendatang. Penguatan kembali peran Bulog tidak hanya disuarakan oleh Djarot. Sebagai mana dikutip dari sebuah portal berita nasional,
Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron juga melihat perlunya pemerintah
memperkuat Perum Bulog dengan mengintegrasikan Bulog dalam Badan Ketahanan Pangan yang pembentukannya telah diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan). Sebenarnya Pemerintah tidak perlu membuat lembaga baru untuk pembentukan Badan Ketahanan Pangan, cukup 'menaikkan kelas' Bulog menjadi Badan Ketahanan Pangan. Dengan begitu, Bulog bisa lebih leluasa dalam menstabilkan harga pangan. Integrasi Bulog dalam Badan Ketahanan Pangan, bukan hanya sebagai operator, namun juga pengambil kebijakan pangan sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Keinginan untuk merevitalisasi fungsi Bulog nampaknya menjadi kebutuhan yang dirasa perlu dilakukan saat ini. Bulog harus dikembalikan pada peranannya sebagai stabilitator harga pangan, bukan lagi hanya menangani cadangan beras saja. Fenomena melonjaknya harga komoditas pangan seharusnya dapat dikurangi karena Bulog mampu berperan sebagai buffer stock. Jika revitalisasi Bulog akan dilakukan pemerintah, peran bulog seharunya bisa lebih luas dan optimal dari apa yang bisa dilakukan saat ini.
26
TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN VOLUME V NOMOR 6 EDISI AGUSTUS 2015
Untuk informasi lebih lanjut hubungi: REDAKSI TINJAUAN EKONOMI DAN KEUANGAN Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gedung Sjafruddin Prawiranegara (d.h. Gd. PAIK II) Lantai 4 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2 – 4 Jakarta, 10710 Telp. 021-3521843, Fax. 021-3521836 Email:
[email protected]
Tinjauan Ekonomi dan Keuangan dapat diunduh pada website www.ekon.go.id