Volume 14 Nomor 2, Juli – Desember 2015: 21 - 34 PERBANDINGAN PEREMPUAN DALAM OLAHRAGA DI INDONESIA DENGAN NEGARA COLOMBIA Raswin * Abstrak: Olahraga perempuan termasuk kompetisi amatir dan profesional di hampir semua olahraga dan Negara di Dunia. Partisipasi perempuan dalam olahraga meningkat secara dramatis pada abad kedua puluh, terutama pada kuartal terakhir, yang mencerminkan perubahan dalam masyarakat modern yang menekankan kesetaraan gender. Diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia menyebabkan sempitnya kesempatan mereka untuk berperan di masyarakat. Dilain pihak pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen bersama masyarakat internasional untuk mengatasi aneka diskriminasi tersebut dengan ikut serta meratifikasi konvensi penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) pada tahun 1975 di markas besar PBB. Padahal sebagai payung hukum baik CEDAW maupun UU RI no 7 tahun 1984 harus mampu melindungi perempuan dalam berbagai aktivitasnya. Namun isi konvensi dan Undang-Undang tersebut belum sepenuhnya diwujudkan, hingga berhasil mendudukkan perempuan setara dengan kaum laki-laki. Di Kolombia, kehadiran perempuan dalam sepakbola telah tidak diterima oleh pemimpin olahraga khususnya, maupun oleh penonton pada umumnya. Hal ini dianggap sebagai sebuah 'lelucon motif' dimana wanita mencoba untuk meniru laki-laki, dan bahwa, dari perspektif teknik, taktik, strategi, kapasitas dan kemampuan, mereka akan pernah mencapai tingkat yang sama sesuai dengan bukti-bukti yang diberikan oleh penelitian peduli dengan kemampuan motorik dan jenis kelamin. Kata Kunci : Perempuan dalam Olahraga, Indonesia dan Colombia PENDAHULUAN Perempuan dalam berbagai hal senantiasa menjadi perbincangan yang menarik untuk disimak. Pergulatan wacana yang mempertentangkan keberadaan kaum perempuan dalam struktur tata sosial seolah intensitasnya tidak pernah mereda. Ketegangan semakin muncul dikarenakan sekian banyak orang berpihak mengatas namakan pada satu sisi yang dikatakan cenderung dirugikan. Sebut saja perempuan dalam sekian banyak perbincangan dengan disertai fakta menunjukkan bahwa kaum perempuan lebih banyak pada posisi yang merugi dalam struktur budaya yang berkembang. Dapat disimak dan disaksikan bahwasanya eksploitasi dan marginalisasi peran perempuan dalam segala lini sosial seolah hal yang tidak terbantahkan lagi. Contohnya saja dalam dunia kerja, misalnya ketika mendengar kata ‘direktur’, senantiasa yang terbayangkan adalah sosok laki-laki, sementara kalau disebutkan *
Penulis adalah Staf Edukatif Fakultas Ilmu Keolahragaan UNIMED
21
Raswin: Perbandingan Perempuan Dalam Olahraga Di Indonesia Dengan Negara Colombia kata ‘sekretaris’ niscaya hal yang biasa terbayang adalah sosok perempuan yang cantik, seksi, dan penuh daya tarik. Begitu pula kalau dicermati lebih lanjut dengan beberapa predikat seperti; ‘pilot dan pramugari’, ‘dokter dan perawat’, serta banyak lagi hal yang lainnya. Nampak jelas disana, walaupun bukan sebuah kepastian, namun predikat sub-ordinat senantiasa akrab dilekatkan pada sosok perempuan. Seperti halnya di institusi sosial lain dimana pergulatan wacana mengenai kesetaraan gender senantiasa hangat untuk dibicarakan, begitu pula dengan yang mengemuka di dunia olahraga. Pertarungan konsep mengenai kesetaraan gender lebih makin terasa dalam dunia olahraga dikarenakan sampai saat ini olahraga senantiasa difahami terkait erat dengan tradisi maskulin. Ketika mencoba untuk dicermati lebih lanjut, ternyata permasalahan olahraga dan wanita sampai saat ini masih saja berlanjut. Berbagai faktor seperti halnya mitos, etika, struktur budaya sampai pada tafsir keagamaan telah menyudutkan wanita pada posisi yang tidak lazim untuk secara utuh terjun dalam dunia olahraga. Padahal telah banyak payung hukum di Indonesia yang dibuat terkait dengan kesetaraan gender, seperti: konsep diskriminasi (discrimination) gender dalam konvensi CEDAW yang menyuarakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Demikian pula Undang-Undang Republik Indonesia No 3 Thn 2005 Pasal 6 Bab IV tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) yang menegaskan mengenai hak yang sama bagi setiap warga negara untuk berolahraga, serta memperoleh pelayanan sesuai dengan kemampuan dalam kegiatan olahraga. Meskipun demikian aneka diskriminasi terhadap hak dan peranan kaum perempuan di Indonesia seperti dalam bidang sosial, ekonomi, dan lebih-lebih bidang politik masih merupakan masalah yang sangat kompleks dengan akar sejarah yang cukup panjang, dan simptomnya jelas tampak dalam kehidupan sehari-hari. Sementara di Negara Kolombia tidak ada budaya motivasi yang ditujukan untuk promosi olahraga bakat untuk memastikan representasi domestik dalam kompetisi internasional. Ini Situasi yang menghambat partisipasi pria, bahkan lebih menguntungkan di kasus wanita yang berkomitmen untuk olahraga kompetitif dan yang terlibat dari motivasi pribadi dan bukan dukungan dari kelembagaan dan Organisasi. Budaya olahraga Kolombia adalah nyata macho/jantan dan berasal dari hak istimewa partisipasi laki-laki dalam olahraga, dan orientasi struktural sama lakilaki. Perempuan lebih banyak diarahkan kepada kontes kecantikan yang deselengkarakan setiap tahunnya di masing-masing daerah bagian di Kolombia, hal ini sebanding dengan hasil dimana dua prutri dunia (miss Universe) berasal dr Kolombia. Kehadiran perempuan telah berada secara signifikan sejak tahun 1980an, tetapi masih pada olahraga individu. Berdasarkan kajian dan uraian diatas perlu kiranya penulis membahas beberapa hal yang dapat menjadi perbandingan peranan perempuan dalam olahraga di Indonesia maupun di Negara Kolombia. Sejarah Olahraga Perempuan di Dunia. Olahraga perempuan termasuk kompetisi amatir dan profesional di hampir semua olahraga dan Negara di Dunia. Partisipasi perempuan dalam olahraga meningkat secara dramatis pada abad kedua puluh, terutama pada kuartal terakhir, yang mencerminkan perubahan dalam masyarakat modern yang menekankan
22
Volume 14 Nomor 2, Juli – Desember 2015: 21 - 34 kesetaraan gender. Meskipun tingkat partisipasi dan kinerja masih sangat bervariasi menurut negara dan olahraga, olahraga perempuan memiliki penerimaan yang luas di seluruh dunia. Sebelum Olimpiade kuno ada acara atletik perempuan yang terpisa, yang Heraean Games, yang didedikasikan untuk dewi Hera dan diadakan di stadion yang sama di Olympia. Mitos menyatakan bahwa Heraea didirikan oleh Hippodameia istri raja yang mendirikan Olimpiade. Meskipun wanita menikah dikeluarkan dari Olimpiade bahkan sebagai penonton , Cynisca memenangkan pertandingan Olimpiade sebagai pemilik sebuah kereta ( juara dari ras kereta yang pemilik tidak pengendara ) , seperti yang dilakukan Euryleonis , Belistiche , Zeuxo , Encrateia dan Hermione , Timareta , Theodota dan Cassia . Olimpiade pertama di era modern , yang pada tahun 1896 tidak terbuka untuk perempuan , tetapi sejak itu jumlah perempuan yang telah berpartisipasi dalam Olimpiade telah meningkat secara dramatis. Komite pendidikan Revolusi Perancis (1789) termasuk pendidikan intelektual, moral, dan fisik untuk anak perempuan dan anak laki-laki sama. Dengan kemenangan Napoleon kurang dari dua puluh tahun kemudian, pendidikan jasmani berkurang menjadi kesiapan militer untuk anak laki-laki dan laki-laki. Di Jerman, pendidikan fisik GutsMuths (1793) termasuk pendidikan gadis. Ini termasuk pengukuran kinerja anak perempuan. Hal ini menyebabkan olahraga perempuan menjadi lebih aktif dikejar di Jerman daripada di sebagian besar negara-negara lain. Ketika Fédération Sportive feminin Internationale dibentuk sebagai organisasi internasional semua perempuan itu laki-laki Jerman wakil presiden, dan keberhasilan internasional Jerman di olahraga elit Olahraga perempuan di akhir 1800-an terfokus pada postur tubuh yang benar, kecantikan wajah dan tubuh, otot, dan kesehatan. Pada tahun 1916 Amateur Athletic Union (AAU), mengadakan kejuaraan nasional pertamanya bagi perempuan. Beberapa perempuan berkompetisi di olahraga di Eropa dan Amerika Utara sampai akhir abad kedua puluh kesembilan belas dan awal, perubahan sosial disukai peningkatan partisipasi perempuan dalam masyarakat sebagai sama dengan laki-laki. Meskipun perempuan secara teknis diizinkan untuk berpartisipasi dalam banyak olahraga, relatif sedikit lakukan. Ada sering ketidak setujuan dari orang-orang yang melakukan. Olimpiade modern memiliki pesaing perempuan dari 1900 dan seterusnya, meskipun wanita pada awalnya berpartisipasi dalam acara jauh lebih sedikit daripada laki-laki. Wanita pertama membuat penampilan mereka di Olimpiade di Paris pada tahun 1900. Tahun itu, 22 perempuan berkompetisi di tenis, berlayar, helipad, berkuda, dan golf. Pada IOC-Kongres di Paris 1914 medali wanita memiliki secara formal Berat yang sama sebagai manusia dalam tabel medali resmi. Ini meninggalkan keputusan tentang partisipasi perempuan untuk individu federasi olahraga internasional. Keprihatinan atas kekuatan fisik dan stamina wanita menyebabkan kekecewaan partisipasi perempuan di lebih intensif secara fisik olahraga, dan dalam beberapa kasus menyebabkan kurang fisik menuntut versi perempuan olahraga laki-laki. Jadi netball dikembangkan dari basket dan softball dari bisbol. Menanggapi kurangnya dukungan untuk olahraga internasional perempuan Fédération Internationale Sportive feminin didirikan di Perancis. Organisasi ini diprakarsai Wanita Dunia Games, yang menarik partisipasi hampir 20 negara dan diadakan empat kali antara 1922 dan 1934. 23
Raswin: Perbandingan Perempuan Dalam Olahraga Di Indonesia Dengan Negara Colombia Komite Olimpiade Internasional mulai memasukkan partisipasi perempuan di Olimpiade dalam menanggapi. Jumlah atlet wanita Olimpiade meningkat selama lima kali lipat pada periode, pergi dari 65 di Olimpiade 1920 untuk 331 pada Olimpiade 1936. Profesional liga olahraga Kebanyakan wanita awal yang kandas. Hal ini sering dikaitkan dengan kurangnya dukungan penonton. Kompetisi amatir menjadi tempat utama untuk olahraga perempuan. Sepanjang pertengahan abad kedua puluh, negara komunis didominasi banyak olahraga Olimpiade, termasuk olahraga perempuan, karena program atletik yang disponsori negara yang secara teknis dianggap sebagai amatir. Warisan dari program ini bertahan, sebagai negaranegara bekas komunis terus menghasilkan banyak atlet wanita atas. Jerman dan Skandinavia juga mengembangkan program atletik perempuan yang kuat dalam periode ini. Pandangan Partisipasi Wanita dalam Olahraga di Indonesia. Diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia menyebabkan sempitnya kesempatan mereka untuk berperan di masyarakat. Dilain pihak pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen bersama masyarakat internasional untuk mengatasi aneka diskriminasi tersebut dengan ikut serta meratifikasi konvensi penghapusan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan atau CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) pada tahun 1975 di markas besar PBB. Komitmen itu diperkuat pula dengan diterbitkannya Undang-Undang RI no 7 tahun 1984 sebagai implementasi CEDAW yang berjalan 20 tahun lamanya, meski hanya segelintir orang tahu dan menjalankannya. Padahal sebagai payung hukum baik CEDAW maupun UU RI no 7 tahun 1984 harus mampu melindungi perempuan dalam berbagai aktivitasnya. Namun isi konvensi dan Undang-Undang tersebut belum sepenuhnya diwujudkan, hingga berhasil mendudukkan perempuan setara dengan kaum laki-laki. Bahkan potret popular yang ditampilkan wanita di Indonesia tak ubahnya dengan profil wanita di kawasan Asia Tenggara yakni sosok korban yang mengalami tingginya angka buta huruf, kemiskinan, dan rendahnya harapan hidup (Rena,1998:12). Mereka melancarkan kegiatan pembebasan untuk melepas rantai yang membelenggu kaum perempuan yang diungkapkan dalam istilah‘pingitan’. Beberapa tokoh yang dikenal oleh masyarakat luas seperti Tjut Nyak Dien, Dewi Sartika, Rasuna Said, Rahmah El Yunusiah, dan khususnya Raden Ajeng Kartini, melancarkangerakan pembebasan kaum wanita melalui program pendidikan. Fakta sejarah ini terekam dalam surat-surat Kartini, seperti tertuang dalam naskah alih bahasa Sulastin Sutrisno (1981) dari buku edisi Belanda yang berjudul Door Duisternis tot Licht yang ditulis oleh keluarga Abendanon pada sekitar tahun 1911, adalah “lebih mirip artinya adalah memperlihatkan gerak aktif melintasi kegelapan untuk sampai pada terang” Kondisi yang menghambat kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan formal, berawal dari budaya ‘pingitan’ dalam bentuk aneka pembatasan yang diperlakukan terhadap perempuan pada semua lapisan sosial di berbagai daerah di Indonesia. Budaya seperti ini bermula dari kecenderungan masyarakat untuk mendidik anak perempuan dengan perlakuan yang berbeda dengan laki-laki seperti tercermin dalam pola asuhan di lingkungan keluarga dan perlakuan ini merambah hingga pada kalangan masyarakat umum. Mengutip istilah Rusli Lutan
24
Volume 14 Nomor 2, Juli – Desember 2015: 21 - 34 (2004:90) fenomena ini disebut proses ’perambatan’, yakni proses yang menjalar dari keluarga ke masyarakat luas yang terjadi pada semua faset kehidupan, seperti pemilihan jenis permainan, warna pakaian, dan prilaku sehari-hari hingga pada perolehanpendidikan dan aktivitas lainnya seperti keterlibatan dalam kegiatan berolaraga. 1.1 Kesepahaman Menentukan Perspektif Status dan Peranan Sosial Wanita Dalam Olahraga Olahraga merupakan aktivitas sosial, samahalnya dengan aktivitas lain dalam proses sosial yang menyebabkan terjadinya interaksi antar satu individu dengan individu yang lainnya serta dengan lingkungan dimana individu berada. Dalam interaksi sosial yang terjalin dengan teratur dan tersusun, maka setiap orang mempunyai situasi tertentu yang menyebabkan terjadinya perubahan pada“hal apa” yang harus diemban dan dikerjakannya. Kenyataannya bahwa manusia memiliki dua segi kehidupan, yaitu kehidupan publik dan kehidupan pribadinya. Dalam kasus olahraga pun, interaksi yang terjadi diantara partisipannya melahirkan tingkatantingkatan tertentu atau stratifikasi sosial sebagai sistem lapisan masyarakat. Bukan hanya pada jenis aktivitasnya melainkan pelaku yang terlibat didalamnya. Misalnya ada istilah olahraga elit, olahraga masyarakat, olahraga amatir dan profesional, olahraga khusus untuk pria dan olahraga khusus wanita dan lain sebagainya. Wanita yang aktif berolahraga berarti dia terlibat secara intens dalam pola interaksi tertentu di masyarakat. Dari sinilah masyarakatnya akan memandang, dan akan memberikan penilaian hingga akhirnya memberikan status kepadanya. Status sebagai kedudukan seseorang di masyarakat, yang artinya adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak serta kewajibannya (Soekanto, 1990), dan merupakan kedudukan obyektif yang memberi hak dan kewajiban kepada orang yang menempati kedudukan tadi (Susanto, 1985). Faktor yang menentukan para wanita yang berolahraga dalam masyarakat adalah jaringan interaksinya. Seberapa luas dia mampu membentuk pola interaksi dengan yang lainnya, dan seberapa dalam interaksi serta komunikasi yang mampu dia lakukan dengan yang lainnya. Salah satu alat ukur untuk ini adalah frekuensi keterlibatannya pada aktivitas olahraga dan prestasi yang telah dicetaknya. Dengan itu pula masyarakat akan memberikan status padanya. 1.2 Status Wanita dalam Olahraga di Indonesia Tidak ada satupun wanita terlahir yang secara otomatis mendapatkan status sebagai olahragawan atau atlet. Status partisipan olahraga hanya diperoleh melalui tindakan yang ditunjukkan dengan perbuatannya pada aktivitas olahraga. Hal ini yang membedakan dengan status bangsawan (raden, roro) yang secara otomatis dimiliki ketika seseorang dilahirkan. Dapat dikatakan bahwa status atlet, yang dimiliki wanita, merupakan achieved-status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran (ascribe-status). Achieved status bersifat terbuka bagi siapa saja tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya.
25
Raswin: Perbandingan Perempuan Dalam Olahraga Di Indonesia Dengan Negara Colombia Peningkatan status sosial wanita berolahraga memaksakannya untuk terus memobilisasi setiap tindakan. Mobilitas sebagai salah satu peningkatan status sosial menurut Ralph H. Turner memiliki dua bentuk yaitu: a. Contest mobility (mobilitas sosial berdasarkan persaingan pribadi), b. Sponsored mobility (mobilitas sosial berdasarkan dukungan). Dengan mencermati bentuk mobilitas maka pemberian status sosial kepada wanita berolahraga hendaknya mampu diberikan sesuai porsi proses yang telah dilakukannya. Hal ini mungkin berdampak kepada proses menghilangkan perbedaan pemberian penghargaan diantara atlet pria dan wanita yang sama-sama menjadi juara di kelompoknya (gender). Misalnya sejumlah hadiah yang masih dibedakan diberikan antara kelompok putra dengan putri. Meski mungkin pertimbangannya adalah ketika pertandingan putra sering melahirkan tindakan yang lebih akrobatik, atraktif, skill tinggi (jika dibandingkan dengan kelompok putri), terlebih jika didramatisir oleh pers yang secara jumlah memang kaum pria di kalngan pers lebih banyak yang tentu saja akan selalu memberikan dukungan lebih pada sesamanya, yang berdampak pada semakin banyaknya jumlah penonton dan secara otomatis pemasukan keuntungan dari penjualan karcispun lebih besar. Terlepas dari itu, status wanita berolahraga memang masih menempati porsi lebih rendah dari kaum pria. Anekdotnya bisa dikatakan karena wanita kalah “start”. Semenjak zaman Yunani dan Romawi, sebagai perintis olahraga modern, wanita belum memperoleh kesempatan yang luas dibandingkan pria, bahkan dilarangnya berpartisipasi meski sebenarnya telah memiliki kemampuan yang sama dengan pria (dari beberapa mitolog Artemis dan Athena, Theseus, Hippolyta). 1.3 Peranan Wanita Dalam Olahraga Peranan (role) merupakan dinamika dari status atau penggunaan dari hak dan kewajiban (Susanto, 1985), aspek dinamis kedudukan (status) (Soekanto, 1990). Sehingga apabila wanita melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan mungkin mencakup tiga hal yaitu : 1. Meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi seseorang, serangkaian peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan. 2. Konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. 3. Perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Susanto, Astrid S.1985).
Peranan dengan status keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung kepada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Maka sudah selayaknya seorang wanita partisipan olahraga yang telah bebuat sesuai norma di masyarakat, berperilaku di masyarakat sebagai organisasi (resmi dan tidaknya, olahraga adalah sebuah organisasi), dan merupakan struktur sosial masyarakat mendapat peranan sosial dari kedudukannya sebagai wanita yang berolahraga. Hanya saja sering dilupakan bahwa dalam interaksi sosial yang paling penting adalah melaksanakan peranan. Dalam dunia olahraga ketimpangan ini menyebabkan terjadinya ketidakmerataan kesempatan. Wanita hanya dijadikan sebagai faktor pendukung
26
Volume 14 Nomor 2, Juli – Desember 2015: 21 - 34 yang keberadaannya bukan prioritas, bukan yang utama. Misalnya dalam beberapa kasus olahraga profesional, wanita hanya sebagai objek pelengkap seperti umbrella girls di otomotif sports, atau pemandu sorak dalam beberapa olahraga permainan. Hingga status dan peranannya bukan sebagai “bintang”, tidak pula sebagai pemain utama. 1.4 Masyarakat Olahraga Indonesia Masih Kuat dengan Konsep Kalah Menang Bahwa suatu pertandingan hanya sebatas pemenang dan pecundang. Sehingga identik dengan menyamaratakan status tanpa memahami peranan yang diemban. Kita menyamakan status atlet kita dengan atlet dunia, tanpa mengerti proses untuk memperoleh status terlebih peranannya seperti apa. Dunia olahraga wanita lebih memperoleh “kesialan” dari konsep ini. Kita lebih tahu bahwa tim putri kita adalah lemah tanpa mengerti siapa lawannya dan proses untuk menjadi menang (karena kita memang kalah start dalam proses pembinaan olahraga wanita). Tim sepakbola kita lebih banyak kalahnya, tim bulutangkis semakin terpuruk, berpindahnya pebulutangkis putri harapan kita ke negara lain, ketidakmampuan induk olahraga dalam proses regenerasi atlet wanita. Ini semua adalah trend yang semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap aktivitas wanita berolahraga. Harusnya Indonesia memiliki keuntungan dalam hal kesempatan wanita berolahraga, karena negara ini dipimpin oleh seorang perempuan juga, yang secara karakter psikis lebih menonjolkan perasaan. Wanita pun berkeinginan sama untuk mendapat penghargaan selayaknya pria. Hanya proses ke arah itu tidak berkesempatan sama dengan yang dimiliki pria karena terkait kebijakan yang dihasilkan adalah kesepakatan dominasi pria yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif. Seandainya presiden negara ini berprioritas pada peningkatan sumber daya perempuan (bukan sebatas retorika) denga tegas memberikan ascribe status dan achieved status sebagai individu yang berhak mendapatkan kesempatan dan penghargaan yang sama dengan lawan jenisnya. Hal inilah yang setidaknya memberikan kontribusi bagi pemikiran agar status dan peranan wanita dalam olahraga memperoleh porsi yang lebih luas lagi menyerupai kesempatan yang diperoleh pria. Wanita tidak lagi berada di belakang dalam startnya untuk memperoleh status dan peranan sosial di masyarakat dibandingkan kaum pria. Faktor pendukung ke hal itu adalah kesadaran seluruh masyarakat. Bahwa bagaimanapun juga suatu keberhasilan yang meningkatkan status bangsa di dunia internasional adalah buah kerja sama antara pria dengan wanita. Andai saja bangsa ini adalah negara yang menghormati sejarah serta terus mengenangnya, kita diingatkan pada prestasi tertinggi yang diperoleh duta-duta bangsa dalam olimpiade 1996 saat pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang adalah buah kerja keras seorang wanita bernama Susi Susanti. Wanitalah sebenarnya yang menjadi perintis bagi KONI untuk terus mencanangkan upaya mendulang medali pada olimpiade-olimpiade berikutnya. Hanya saya kita adalah masyarakat hedonis yang bersuka cita sesaat tanpa mampu mengambil makna dari setiap peristiwa yang mampu menorehkan prestasi spektakuler. Yang pada akhirnya kita tetap lupa (atau mungkin mengabaikan) akan “kemashuran” atlet wanita yang berhasil mencetak prestasi melebihi kaum pria. 27
Raswin: Perbandingan Perempuan Dalam Olahraga Di Indonesia Dengan Negara Colombia Sehingga status dan peranan wanita dalam olahraga masih terus berada di belakang kaum pria. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun juga semakin banyak wanita yang menyukai kegiatan fisik dengan tingkat penampilannya yang terus meningkat. Walaupun terdapat masalah kesehatan khusus yang berhubungan dengan fungsi reproduksinya yang unik, tetapi manfaatnya bagi kesehatan dan pergaulan sosial, jauh melebihi pengarug-pengaruh merugikan yang terjadi selama ini (Giriwijoyo, 2003 : 45). Pandangan Partisipasi wanita dalam Olahraga di Kolombia Sebuah tinjauan dari tiga puluh tahun terakhir menggambarkan serbuan perempuan dalam olah raga yang berbeda. Budaya olahraga Kolombia adalah nyata macho/jantan dan berasal dari hak istimewa partisipasi laki-laki dalam olahraga, dan orientasi struktural sama laki-laki. Referensi/acuan tidak hanya dibuat untuk keamanan internal dan Logika yang bersifat maskulin, yang melekat dalam olahraga, tetapi juga untuk disebut 'olahraga kepemimpinan'. Sebagai contoh, dalam satu negara Kolombia, dari 33 liga olahraga, 26 yang dipimpin oleh lakilaki; 22 dari mereka memiliki asisten laki-laki; dan memiliki 25 pengulas/komentator fiskal laki-laki (Indeportes Antioquia, 1999). Kehadiran perempuan telah berada secara signifikan sejak tahun 1980-an. Sebelum tahun 1980-an, akan lebih bermanfaat menyoroti tahun 1938, ketika perwakilan wanita pertama ditampilkan dalam sebuah acara internasional. Penampilan internasional pertama perempuan dalam olahraga adalah langsung berhubungan dengan realisasi Pertama Bolivarian Sport Games (I Juegos Deportivos Bolivarianos) yang berlangsung di Bgotá tahun 1938: Cecilia Navarrete, Adela Jiménez, Raquel Gómez dan Berta Navia berpartisipasi dalam atletik yang berbeda. Pada 1970-an, kehadiran perempuan di tingkat kompetitif adalah langka dan sporadic/jarang: terutama, Juana Mosquera berpartisipasi dalam atletik di Olimpiade Munich pada tahun 1972, dan Judy de Hasbun berpartisipasi dalam Kejuaraan Dunia Skittles (Skittles adalah sebuah game rumput seperti bermain bowling) di Manila pada tahun 1979. Jika tidak, ada beberapa kasus petinju wanita dan dua perempuan, Candelaria Rojas dan Maldito 'La Sucreña', mendapat pengakuan di tingkat nasional. Sejak 1980-an, jumlah peserta wanita telah meningkat dan ada lebih peristiwa di mana beberapa wanita telah muncul. Dalam periode dua tahun ini, dimana partisipasi yang lebih besar tampak jelas menonjol: 1987 dan 1989. Dari jumlah perempuan peserta pada periode 1980-1990, 51% berada di dua tahun (Vallejo et al 2000.). Meskipun atletik terus menjadi disiplin persetujuan yang lebih besar, ada olahraga jenis baru seperti Skittles, angkat besi, event berkuda, anggar, senam, judo, renang, softball, tenis, tenis meja, menembak, bersepeda gunung, golf, bridge, berenang disinkronkan, catur, basket, voli pantai dan skating yang telah muncul. Dalam atletik, perempuan menonjol untuk mencapai nomor satu posisi di tingkat dunia. Pertumbuhan partisipasi perempuan dalam olahraga yang disebutkan di atas kontras dengan praktek tradisional laki-laki sepak bola, olahraga ideologis terkait dengan olahraga maskulin dan yang sementara wanita diversifikasi skenario mereka, laki-laki merapatkan barisan di sekitar permainan, sarat dengan makna tertanam dalam dimensi 'inisiasi ritual untuk kejantanan'. Hanya sejak pertengahan
28
Volume 14 Nomor 2, Juli – Desember 2015: 21 - 34 tahun 1990-an bahwa kelompok resmi telah dibentuk di Kolombia yang mendorong permainan sepak bola untuk perempuan dan organisasi negara untuk sepak bola wanita milik 'liga laki-laki' telah terbentuk. Pada tahun 2000, Corporation Kolombia Perempuan Pesepak bola dan pada tahun 2001 Perempuan Inggris untuk organisasi Football diciptakan. Pada saat ini, ada Bagian Kolombia Muda Perempuan Football yang melayani perempuan muda dalam rentang usia 12-15. Meskipun ada contoh organisasi sepak bola perempuan di beberapa lingkungan dan organisasi kecil dari pihak swasta dari universitas-universitas dan perusahaan-perusahaan yang termasuk sepak bola perempuan sebagai salah satu olahraga mereka ditawarkan, belum ada struktur organisasi yang telah mencapai tingkat perwakilan. Di Kolombia, kehadiran perempuan dalam sepakbola telah tidak diterima oleh pemimpin olahraga khususnya, maupun oleh penonton pada umumnya. Hal ini dianggap sebagai sebuah 'lelucon motif' dimana wanita mencoba untuk meniru laki-laki, dan bahwa, dari perspektif teknik, taktik, strategi, kapasitas dan kemampuan, mereka akan pernah mencapai tingkat yang sama sesuai dengan bukti-bukti yang diberikan oleh penelitian peduli dengan kemampuan motorik dan jenis kelamin (Arboleda et al. 2000). 1.1 Ketidaksetaraan : Perempuan dan Olahraga Laki-laki di Kolombia Ketidaksetaraan Saat ini, partisipasi perempuan dalam olahraga kompetitif memiliki fitur tertentu yang membedakannya dari partisipasi pria: jenis favorit olahraga perempuan adalah olahraga individu. Dari dua puluh delapan olahraga di mana perempuan telah menemukan, (atletik, renang, angkat besi, Skittles, event berkuda, senam, judo, softball, tenis, tenis meja, menembak, bersepeda gunung, golf, bridge, berenang disinkronkan, catur , basket, skating, voli pantai, bersepeda, gulat, ski air, triathlon, karate lakukan, squash, taekwondo, polo, bola voli) 5 adalah olahraga tim 23 olahraga individual. Trek and field adalah jenis olahraga yang dilakukan kebanyakan oleh perempuan, dan satu di mana sebagian besar keberhasilan yang telah dicapai (Arboleda et al. 2000).† Inventarisasi representasi internasional dalam olahraga individual ini dari 1970-2000 menunjukkan dua puluh delapan wanita dengan prestasi berjasa, yang mencerminkan perbedaan dari lakilaki, yang selalu digambarkan dalam sepakbola, olahraga tim (Arboleda et al. 2000). Keterlibatan perempuan dalam olahraga kompetitif terutama sebagai keterlibatan langsung sebagai peserta permainan. Partisipasi mereka dalam bidang administrasi, dalam pelatihan dan atau Penjurian(wasit), sangat terbatas seperti yang ditunjukkan dalam Berikut data. Dengan mengacu pada partisipasi pada tingkat administrasi, dari 30 liga di mana olahraga di Antioquia diatur, 7 diketuai oleh perempuan; dari 156 direktif dan pelatihan biaya, hanya 27 perempuan (Indeportes Antioquia, 1999). Dewan administrasi Coldeportes tidak memiliki wanita pada stafnya. Berkenaan dengan partisipasi perempuan dalam kegiatan penjurian olahraga, data yang ditawarkan oleh National Games 2000 mencerminkan beberapa peluang untuk perempuan untuk bertindak sebagai hakim dan keterbatasan mereka untuk beberapa olahraga. Dari total 305 hakim dari Olimpiade, hanya 61 adalah perempuan (20 di artistik dan ritmik senam, 8 dalam atletik, 7 dalam kegiatan air, 5 †
Ilse Hartmann-tews and Gentrud Pfister. 2003. Op.Cit. P. 198
29
Raswin: Perbandingan Perempuan Dalam Olahraga Di Indonesia Dengan Negara Colombia di berkuda, 3 di basket, 3 di bersepeda, 3 di taekwondo, 3 di panahan, 2 di judo, 2 di diskus melempar, 1 masing-masing di pagar, karate, softball, menembak dan bola voli. Selain itu, dalam Olimpiade tidak ada wanita yang bertindak sebagai wasit sepak bola; pada kenyataannya, dalam sejarah olahraga Kolombia hanya satu wanita yang pernah menjadi wasit sepak bola: Martha Liliana Toro, yang juga wanita pertama yang memenuhi fungsi ini pada tingkat profesional di Amerika Selatan (Vallejo et al. 2000). 1.2 Pola Dasar Maskulinitas dan Feminitas dalam Olahraga Ketika menyelidiki untuk karakteristik olahraga perempuan di Kolombia, itu tidak kebetulan menemukan bahwa dari jenis praktek, harapan, dan opini yang ini menghasilkan, ada muncul pola pemikiran pola dasar dalam cara representasi kolektif yang menempatkan perempuan dalam konvensional stereotip feminitas: wanita masih diharapkan untuk menjadi cantik, dan laki-laki untuk menjadi kuat. Jadi, sementara kontes olahraga (terutama sepakbola) dipromosikan untuk pria, wanita dipanggil untuk berpartisipasi dalam kontes kecantikan. Kedua modalitas, sepak bola dan kecantikan kontes, menghasilkan uang dalam jumlah besar, yang merupakan absurditas bila dibandingkan dengan kurangnya investasi dalam olahraga perempuan. Dengan kata lain, 'perempuan lebih berharga sebagai objek hias dari subyek olahraga', seperti yang terbukti dalam Dimensi Seksualitas (dimensi Sexualidad) dari proyek penelitian tentang budaya somatik, di mana bukti yang dikumpulkan di mana laki-laki mengacu pada wanita dari estetika mereka prospek dan dengan 'tubuh terfragmentasi', sementara wanita merujuk pada laki-laki dari fitur kepribadian mereka, dan dalam perspektif yang lebih terpisahkan tentang tubuh (Arboleda et al. 2000). Setiap tahun, 'beauty contest' berlangsung di Kolombia, sebuah acara dirayakan selama setengah abad. Untuk kesempatan ini, wanita dimulai dari anak usia dini: mereka akan dikirim ke model akademi, merangsang kontes kecantikan sebagai bagian untuk permainan anak, sedangkan anak-anak dengan minat dalam olahraga yang dikirim ke sekolah-sekolah inisiasi olahraga yang bukan bagian untuk sistem pendidikan negara, tetapi lembaga bukan pribadi yang diselenggarakan oleh olahragawan aktif atau pensiun. Mereka hanya dikhususkan untuk olahraga modalitas tunggal. Fakta ini, tampaknya tertanam dalam kesombongan, menandai jarak besar dalam hubungan Wanita / body dan manusia / tubuh. Dari sudut pandang budaya, atribut estetika fisik diperlukan untuk laki-laki (yang kuat, kuat, berotot, dll) telah diturunkan dari nilai-nilai yang berhubungan dengan olahraga - Citius, Altius, Fortius - berbeda dengan nilai-nilai estetika fisik diperlukan untuk wanita: halus, tipis, bergaya, dan sebagainya. Orientasi terhadap Motricity yang memiliki latar belakang. latihan olahraga merupakan jalan akses ke kualitas yang akan mendukung kompetisi sosial laki-laki, sementara perempuan risiko bahwa yang membuat mereka feminin; tidak sia-sia, mereka menjauhkan diri dari berpartisipasi dalam beberapa modalitas menghindari, di satu sisi, modifikasi fisik, dan pada lainnya, penilaian sosial.
30
Volume 14 Nomor 2, Juli – Desember 2015: 21 - 34 Partisipasi Perempuan dalam Olahraga Kunci untuk Meningkatkan Kesetaraan Gender. Ketika berbicara mengenai hubungan antara gender dan olahraga, maka isu yang diangkat akan berhubungan dengan kesetaraan dan keadilan sebagaimana halnya dengan ideologi serta budaya, Sejarah penggunaan istilah kesetaraan gender pada olahraga mulai menguat pada tahun 1999 ketika publikasi olahragam elalui media rnemuat daftar teratas atlet abad 20. Gender adalah prinsip utama dalam kehidupan sosial sehingga ideologi gender mempengaruhi cara berpikir kita dano rang lain, bagaimana kita berhubungan dengan orang lain, dan bagaimana kehidupan sosial diatur pada semua level dari keluarga sampai masyarakat. Kecenderungan mengabaikan ideologi merupakan masalah serius ketika membicarakan keadilan dan isu kesetaraan didalam olahraga. Hal ini disebabkan karena kesetaraan dan keadilan tidak dapat dicapai kecuali kita mengubah ideologi gender yang digunakan pada masa lampau. Perlu diketahui bahwa kemunculan ideologi gender dalam masyarakat mempengaruhi hidup kita dalam kaitannya dengan olahraga dan beberapas trategi untuk mengubahnya (Coakley,2004: 263). Partisipasi yang lebih besar dari perempuan dan anak perempuan dalam olahraga dapat membantu mengangkat keterlibatan mereka dalam masyarakat, melawan stereotip gender dan mempercepat kemajuan kesetaraan gender, kepala badan PBB untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.“Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan telah menjadi suatu lomba,” kata Eksekutif Direktur UN Women Phumzile Mlambo-Ngcuka dalam suatu pertemuan di Markas Besar PBB. “Tapi saya berharap kami dapat melihat garis akhir, sehingga semua orang dapat menjadi penggerak sekarang.”Acara tersebut–yang berjudul ‘Melihat ke depan: olahraga sebagai tempat untuk pemberdayaan perempuan pasca-2015’ dan diselenggarakan di sela-sela sesi ke-59 Komisi Status untuk Perempuan (CSW) yang sedang berlangsung–menggaris bawahi peran multidimensi dari olahraga untuk lebih meningkatkan keterlibatan perempuan dalam masyarakat. Berbagai program olahraga, kepala UN Women mengatakan, dapat mengisi, baik kesenjangan dasar dalam nutrisi dan perawatan kesehatan, telah menyatukan mereka yang mungkin terisolasi, dan mengatasi secara langsung momok dari kekerasan berbasis gender, dengan membongkar stereotip mengenai perempuan kurang mampu bila dibandingkan dengan laki-laki. Panelis dan juara Olimpiade seluncur es Michelle Kwan menyetujuinya, dan mengatakan kepada mereka yang hadir bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan atletik “bukan hanya sekedar tentang memberikan seorang gadis kesempatan untuk bermain, tapi tentang memberikan seorang gadis suatu kesempatan untuk bermimpi.” “Ketika perempuan dan anak perempuan dapat sepenuhnya mampu berpartisipasi dalam masyarakat, semua perempuan dan anak perempuan memiliki kesempatan yang setara,” kata Kwan. Pada saat yang bersamaan, berbicara mengenai manfaat pendidikan olahraga untuk anak perempuan, Werner Obermeyer, Wakil Direktur Eksekutif Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO), menjelaskan bahwa berbagai tim olahraga menawarkan diri sebagai tuan rumah untuk mendapatkan keuntungan fisik dan mental bagi anak perempuan, seraya membantu mereka membangun jaringan sosial dan mempelajari “etos bekerja sama sebagai sebuah tim”. Selain itu, beliau menambahkan, berbagai kegiatan atletik yang dapat membantu menjaga tingkat obesitas pada perempuan tetap rendah, mengurangi biaya keseluruhan bagi sektor kesehatan dan ekonomi yang mungkin dapat menjadi 31
Raswin: Perbandingan Perempuan Dalam Olahraga Di Indonesia Dengan Negara Colombia “sangat besar”. “Melalui terlibatan dalam olahraga dan menjalankan nilai-nilainya, perempuan dan anak perempuan dapat mengembangkan keterampilan kepemimpinan, mengatasi prasangka, memperbaiki kesehatan mereka dan menjadi diberdayakan”, lanjut Mlambo-Ngcuka. “Kami bersikeras bahwa olahraga harus menjadi fitur dalam agenda pembangunan pasca-2015, dimana Kepala Negara dan Pemerintahan akan mengadopsinya pada bulan September mendatang”. 1.1 Belum Mendapat Tempat Setara Namun, terlepas dari prestasi yang ditorehkan Roche dan Vonn, stigma mengenai posisi perempuan sebagai atlet masih belum juga hilang. Di beberapa negara konservatif, perempuan masih belum mendapat tempat setara. Salah satunya Arab Saudi yang dikritik tidak mengikutsertakan atlet dalam Asian Games di Incheon, Korea Selatan tahun lalu. Saat itu otoritas olahraga Arab sendiri berkilah mereka tak mengikutsertakan atlet karena tak ada yang kompeten untuk berkompetisi. Di sisi lain, Jepang mencoba menghilangkan diskriminasi gender dalam dunia olahraga lewat aksi menunjuk atlet perempuan, Hiromi Miyake, sebagai kapten kontingen dan Kaori Kawanaka sebagai pemegang bendera dalam Asian Games 2014.Kala itu adalah yang pertama bagi Jepang menunjuk atlet perempuan untuk memimpin para atlet mereka dalam ajang olahraga internasional. Masih adanya diskriminasi gender dalam dunia olahraga juga diakui Presiden IOC, Thomas Bach. Seperti dikutip dari situs IOC, Bach mengatakan pihaknya telah berupaya untuk memperjuangkan partisipasi perempuan dalam olahraga selama lebih dari dua dekade."Hasilnya terlihat. Sebanyak 23 persen atlet pada Olimpiade 1984 di Los Angels adalah perempuan dan lebih dari 44 persen perempuan lagi pada Olimpiade 2012 di London. Selain itu, jika semula hanya ada dua perempuan yang jadi bagian anggota komisi IOC pada 1981, kini menjadi 24 pada 2014," tuturnya saat konferensi di Helsinki. 1.2 Deklarasi tentang Perempuan dan Olahraga Kesepakatan internasional yang menyokong kesetaraan gender dalam dunia olahraga ditandatangani di Brighton, Inggris pada 1994. Deklarasi itu ditujukan kepada setiap pihak, pemerintah, otoritas, organisasi, dan sebagainya terlibat dalam advokasi perempuan dalam olahraga. Organisasi olahraga yang pertama kali menandatangani itu adalah IOC. Sejak saat itu sampai dengan saat ini sudah lebih dari 400 entitas yang menyokong deklarasi tersebut. PENUTUP Faktor yang menentukan para wanita yang berolahraga dalam masyarakat adalah jaringan interaksinya. Seberapa luas dia mampu membentuk pola interaksi dengan yang lainnya, dan seberapa dalam interaksi serta komunikasi yang mampu dia lakukan dengan yang lainnya. Salah satu alat ukur untuk ini adalah frekuensi keterlibatannya pada aktivitas olahraga dan prestasi yang telah dicetaknya. Dengan itu pula masyarakat akan memberikan status padanya. Dengan mencermati bentuk mobilitas maka pemberian status sosial kepada wanita berolahraga hendaknya mampu diberikan sesuai porsi proses yang telah dilakukannya. Hal ini mungkin berdampak kepada proses menghilangkan
32
Volume 14 Nomor 2, Juli – Desember 2015: 21 - 34 perbedaan pemberian penghargaan diantara atlet pria dan wanita yang sama-sama menjadi juara di kelompoknya (gender). Misalnya sejumlah hadiah yang masih dibedakan diberikan antara kelompok putra dengan putri. Bahwa bagaimanapun juga di Indonesia suatu keberhasilan yang meningkatkan status bangsa di dunia internasional adalah buah kerja sama antara pria dengan wanita. Andai saja bangsa ini adalah negara yang menghormati sejarah serta terus mengenangnya, kita diingatkan pada prestasi tertinggi yang diperoleh duta-duta bangsa dalam olimpiade 1996 saat pertama kalinya lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang adalah buah kerja keras seorang wanita bernama Susi Susanti. Wanitalah sebenarnya yang menjadi perintis bagi negara untuk terus mencanangkan upaya mendulang medali pada olimpiade-olimpiade berikutnya. Prestasi olaraga dikolombia juga didominasi seorang putri dimana prestasi perempuan sudah setar dengan laki-laki. Begitu juga tim sepak bola laki-laki di Kolombia juga prestasinya tidak jauh berbeda dengan perempuan. Tetapi dinegra Kolombia masih mempersepsikan bahwasanya perempuan lebih baik ikut kontes kecantikan karena kontes kecantikan ini sudah turun temurun dilakukan disetiap daerah di Negara Kolombia. Negara didunia senangtiasa terus berusaha untuk mempromosikan keseteraan gender agar kesempatan laki-laki dengan perempuan tidak dibedakan disetiap kegitan khususnya dibidang Olahraga. Kesepakatan internasional yang menyokong kesetaraan gender dalam dunia olahraga ditandatangani di Brighton, Inggris pada 1994. Deklarasi itu ditujukan kepada setiap pihak, pemerintah, otoritas, organisasi, dan sebagainya terlibat dalam advokasi perempuan dalam olahraga. DAFTAR PUSTAKA ArndKrüger (2003): Germany,in: James Riordan &Arnd Krüger (eds.): European Cultures in Sport. Examining the Nations and Regions. Bristol: Intellect 2003, pp. 57 – 88 Arnd Krüger: Forgotton Decisions. The IOC on the Eve of World War I, in: Olympika 6 (1997), 85 – 98. (http://www.la84foundation.org/SportsLibrary/Olympika/Olympika_199 7/olympika0601g.pdf) Berliana, - (2009) PARTISIPASI WANITA DALAM OLAHRAGA PRESTASI :Sebuah Analisis Tentang Peran Pola Asuhan dan Proses Sosialisasi ke dalam Olahraga dari Perspektif Kesetaraan Gender. S3 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia. "Equality for Women in the Olympics." Feminist Majority Foundation. Web. November 2014.http://www.feminist.org/sports/olympics.asp Giriwijoyo, Santoso (2003). Wanita dan Olahraga. FPOK UPI Bandung. Jay Coakley.(2003). Sports in Society. Issues & Controversies. Eight Edition. Published by Mc.Graw-hill, a business unit of The McGrawHillCompanies, Ins1221 Avenue of the Americas, Yew York, NY 10020. Ilse Hartmann-tews and Gentrud Pfister. 2003. Sport and women social Issues In Internatinal Perspective. Simultancoulsy published in the USA and Canada by routledge.29 West 35 th street, new York NY 10001.p 195 Lutan, Rusli (2004) Perencanaan dan strategi pembelajaran Penjaskes. Depdikbud. Jakarta 33
Raswin: Perbandingan Perempuan Dalam Olahraga Di Indonesia Dengan Negara Colombia Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 2005 Tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Jakarta: Kemenegpora, 2005. Scanlon, Thomas F. "Games for Girls". "Ancient Olympics Guide". Retrieved February 18, 2006. "Women and Sport Commission". RetrievedJanuary 14, 2014. Soekanto, Soerjono (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Keempat. Rajawali Pers – Jakarta. Susanto, Astrid S. (1985). Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Bina Cipta. http://en.wikipedia.org/wiki/Women%27s_sports#cite_note-4/diunduh tanggal 29 Mei 2015/pukul 23.05 http://en.wikipedia.org/wiki/Women%27s_sports#cite_note-1, diunduh tanggal 01 Mei 2015/ pukul 23.00 wib http://en.wikipedia.org/wiki/Womens_sports.cite_note-4 /diunduh tanggal 29 Mei 2015/pukul 23.05 wib http://file.upi.edu/Direktori/FPOK/JUR._PEND._OLAHRAGA /197409072001121DIDIN_BUDIMAN/sosiologi_olahraga/wanita_%2 6_or.pdf/diunduh tgl 28 Mei 2015/pukul 10.40 wib. http://www.cnnindonesia.com/olahraga/20140919083652-178-3725/arab-sauditidak-sertakan-atlet-wanita/diunduh tanggal 29 Mei 2015/pukul 20.45 wib
34