Vol. XI, No. 1, April 2013
Alamat: Universitas Malikussaleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jl. Tgk. Chik Ditiro No. 26, Lhokseumawe P.O. Box 141, telp. (0645) 41373-40915, Fax. 44450 Terbit 3 kali setahun, sejak 2003 Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
i
Jurnal SUWA UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. XI, No. 1, April 2013
Penasehat: Rektor Universitas Malikussaleh Penanggung Jawab: Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Ketua Dewan Redaksi: M. Husen MR, SP., MA Wakil Dewan Redaksi: Muhammad Fazil, S.Ag., M.Soc.Sc Sekretaris Redaksi: Ade Muana Husniati, S.Sos., M.Si Bendahara: Ainol Mardhiah, S.Ag., M.Si Anggota Dewan Redaksi:Dr. Muhammad Bin Abubakar, M.A Maryam, S.Sos., MSP Deddy Satria M, S.Sos., M.Si Agung Utama Lubis, S.Sos., M.Si Fajri, S.PdI., M.Soc.Sc Redaksi Pelaksana: T. Alfiady, S.Sos., MSP Zulham, BA., M.A Iskandar Zulkarnaen, SE., M.Si Mauludi, S.Sos., MSP Taufik Abdullah, S.Ag., M.A M. Rizwan, S.Ag., M.A Muntasir, S.Ag., M.A Ti Aisyah, S.Sos., MSP Nur Hafni, S.Sos., MPA Editor Ahli: Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid (Sosiolog Unsyiah) Prof. Dr. Badaruddin Rangkuti Prof. A. Hadi Arifin, M.Si Dr. Maidar (LIPI) Dr. Muklir, S.Sos., SH., MAP Dr. M. Nazaruddin, M.Si Dr. Nirzalin Rasyidin, S.Sos., MA., Ph.D M. Akmal S.Sos., M.A. (Ilmuwan Politik Unimal) Drs. Humaizi, M.A. (Ilmuwan Komunikasi USU) Alwi Budiman, S.Sos., M.Si Staf Tata Usaha: Yusriadi, SE T. Deni Saputra
Alamat: Universitas Malikussaleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jl. Tgk. Chik Ditiro No. 26, Lhokseumawe P.O. Box 141, telp. (0645) 41373-40915, Fax. 44450
Terbit 3 kali setahun, sejak 2003
ii
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Jurnal SUWA terbit 3 kali setahun pada bulan April, Agustus dam Desember. Didistribusikan pada kantor-kantor: lembaga penelitian, kampus-kampus pemerintah sipil dan militer, kedutaan besar asing, LSM dalam dan luar negeri. SUWA diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu-ilmu sosial dan politik. Oleh karena itu, redaksi menerima sumbangan artikel, kolom, hasil penelitian, maupun tinjauan buku (book review). Tulisan tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Khusus tinjauan buku: tentang ilmu-ilmu sosial dan politik. Buku yang dikaji berlaku bagi buku yang diterbitkan 2 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Naskah diserahkan kepada redaksi sebanyak 2 berkas dengan format program MS-Word atau RTF spasi rangkap, di atas kertas HVS kuarto dengan panjang karangan maksimal 4.000 kata. Pengiriman naskah disertai dengan Softcopy dalam CD. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Catatan kaki agar ditulis di bagian bawah halaman dan tidak pada bagian belakang artikel. Daftar pustaka agar dibuat menurut abjad nama pengarang dengan contoh sebagai berikut: Geertz, C. 1984 “Tihingan: Sebuah Desa di Bali”, dalam Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di lndonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hal. 246-274. Koentjaraningrat, 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 “Terorisme: Perspektif dari Indonesia”, SUWA I(1):6-21. Sertakan nama lengkap, organisasi/institusi, biodata singkat, alamat, dan nomor telepon/fax/e-mail.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
iii
iv
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Jurnal SUWA UNIVERSITAS MALIKUSSALEH Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. XI, No. 1, April 2013
Daftar Isi Kecerdasan Politik Dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012 Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA
1-15
Nasionalisme Acheh Versus Indonesia Alfian, S.HI., MA
17-26
Kerjasama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM Dan Sira Dalam Perpolitikan Di Aceh) Suadi, M.Si
27-42
Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat Pasca Perdamaian Aceh Mursyidin, S.Ag., MA
43-50
Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas Kabupaten Aceh Utara Bobby Rahman, S.Sos., M.Si
51-67
Urgensi Komunikasi Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Moral Anak Muhammad Ali, S.Ag., M.Si
69-76
Pemberdayaan Kepribadian Muslim Melalui Psikologi Qurban Safuwan, M.Psi& Subhani, S.Sos., M.Si
77-82
Riwayat Hidup Penulis
84-86
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
v
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
KECERDASAN POLITIK DAN PARTISIPASI POLITIK WARGA KOTA LHOKSEUMAWE PADA PILKADA TAHUN 2012 Oleh : Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA
Abstract Political intelligence community can not occur naturally, but it requires effort and effort of the instrument of political education are persistent and continuous. With political acumen possessed by every citizen, then by itself will affect the level of political participation. Lhokseumawe city residents have not received significant study in the politics. Instrument of political education in the city, such as political parties both local political parties (PARLOK) and national political party (Parnas) has not run in earnest, only political parties ahead of the General Election society requires it. In addition, higher education institutions are also not doing community service, particularly in providing political education to the community. Other instruments of political education are also experiencing problems are not much different, for example the role of the city government and the Legislative Lhokseumawe city in political education barely visible at all, while the role of Non Governmental Organization (NGO) in the city is also still very limited. Totality instrument singifikan not perform, then by itself is still very limited political intelligence, automatically political participation was not in accordance with the expectations of applicable laws both at the province level and at the level of the Republic of Indonesia Key Word: Political Intelligence
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
1
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
1.
Pendahuluan Partisipasi merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan berdemokrasi, bahkan partisipasi sebagai pilar utama dalam bernegara dan berpolitik. Oleh sebab itu partisipasi tidak dapat dipisahkan dengan demokrasi. Oleh karena itu, partisipasi politik merupakan kehendak sukarela masyarakat baik individu maupun kelompok dalam mewujudkan kepentingan umum. Sebagaimana dikemukakan oleh ‘Herbert Miclosky” (1991:9) bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui dimana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum. Dalam hal ini setiap sikap dan perilaku politik individu seyogyanya mendasari pada kehendak hati nurani secara suka rela dalam konteks kehidupan politik. Partisipasi politik amat urgen dalam kontes dinamika perpolitikan di suatu masyarakat. Sebab dengan partisipasi politik dari setiap individu maupun kelompok masyarakat maka niscaya terwujud segala yang menyangkut kebutuhan warga secara universal. Sehingga demikian, keikutsertaan individu dalam masyarakat merupakan faktor yang sangat penting dalam mewujudkan kepentingan umum. Dan paling ditekankan dalam hal ini terutama sikap dan perilaku masyarakat dalam kegiatan politik yang ada. Dalam artian setiap individu harus menyadari peranan mereka dalam mendirikan kontribusi sebagai insan politik. Dalam hal ini peranan meliputi pemberian suara, kegiatan menghadiri kampanye serta aksi demonstrasi. Namun kegiatan-kegiatan itu sudah barang tentu harus dibarengi rasa sukarela sebagai kehendak spontanitas individu maupun kelompok masyarakat dalam partisipasi politik. Dengan kegiatan-kegiatan politik ini pula, intensitas daripada tingkat partisipasi politik warga masyarakat dapat termanifestasi. Oleh karena itu, sikap dan perilaku warga masyarakat dalam kegiatan politik berupa pemberian suara dan kegiatan kampanye dalam pemilihan kepala daerah merupakan parameter dalam mengetahui tingkat kesadaran partisipasi politik warga masyarakat. Paling tidak warga masyarakat ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik sekaligus mengambil bagian untuk mempengaruhi pemerintah dalam keputusan politik. Pemilihan kepala daerah sebagai wahana menyalurkan segala aspirasi masyarakat melalui suksesi dalam pemilihan kepala daerah, peran warga masyarakat terutama dalam mempengaruhi keputusan politik sangat prioritas. Dengan adanya pemilihan kepala daerah setiap individu maupun kelompok masyarakat dapat memanifestasikan kehendak mereka secara sukarela, tanpa pengaruh dari siapapun. Dalam hal ini setiap anggota masyarakat secara langsung dapat memberikan suara dalam pemilihan serta aktif dalam menghadiri kegiatan-kegiatan politiknya, seperti kampanye. Keaktifan anggota masyarakat baik dalam memberikan suara maupun kegiatan kampanye tentu harus didorong oleh sikap orientasi yang begitu tinggi. Di samping itu pula kesadaran dan motivasi warga masyarakat dalam kegiatan politik sebagaimana dikemukakan tadi sangat penting untuk menopang tingkat
2
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
partisipasi politik terhadap pemilihan kepala daerah. Karena dengan adanya sikap antusias dari warga masyarakat dalam partisipasi politik tentu membawa pada konsekuensi pada tatanan politik yang stabil. Oleh karena kesadaran dan pemahaman politik merupakan penunjang dalam mewujudkan stabilitas politik masyarakat dengan kesadaran dan pemahaman politik pula setiap sikap dan perilaku masyarakat secara partisipasi dapat terwujud sebagaimana mestinya. Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa kecerdasan dan partisipasi politik dalam konteks Kota Lhoseumawe belum menunjukkan perkembengan yang berarti, artinya masih terdapat berbagai hambatan dan kendala. Berhubung pendidikan politik kepada warga kota Lhoksemawe belum optimal, maka sangat berpengaruh kepada Partisipasi politik dan kecerdasaran belum maksimal. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian berkenaan dengan kecerdasan dan partisipasi politik warga kota Lhokseumawe.
2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana tingkat partisipasi politik Masyarakat kota Lhokseumawe dalam Pilkada tahuan 2012? 2. Bagaimana peran instrument pendidikan politik untuk meningkatkan kecerdasan politik masyarakat kota Lhokseumawe pada pilkada tahun 2012 ? 3.
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang diskriptif analisis. Metode penelitian ini dipergunakan tidak lain karena masalah yang diteliti sangat beragam. holistik, dinamis dan belum jelas atau samarsamar yang dihadapi. Adapun instrument pengumpul data adalah pertama Interview (wawancara) dengan informan ditentukan dengan cara purposive sampling, yaitu dengan cara menetapkan criteria dan ukuran tertentu untuk seseorang informan. Kedua, menggunakan observasi langsung kepada masyarakat pada pilkada yang berlangsung pada tahun 2012 di kota Lhokseumawe 3.1.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui bagaimana kecerdasaan politik masyarakat kota Lhokseumawe dalam mengikuti Pilkada tahun 2012 yang baru selesai, dengan adanya hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kepada partai politik yang ada di kota Lhokseumawe sebagai dasar pengambilan keputusan untuk mewujudkan pendidikan politik bagi konstituennya. Di samping itu hasil penelitian ini juga mempunyai keperluan Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
3
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
untuk mengurangi berbagai hambatan dalam menjalankan pendidikan politik bagi masyarakat kota Lhokseumawe pada masa-masa yang akan datang sehingga partisipasi politik masyarakat mengalami peningkatan secara signifikan pada pemilu-pemilu yang akan datang seperti pemilhan umum legislative dan presiden/wakil presiden pada tahun 2014 nantinya.
4.
Pengertian Partisipasi Untuk mendukung penelitian ini perlu kiranya menggunakan beberapa teori yang menjadi kerangka fikir untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan sebelumnya, diantaranya adalah: Partisipasi atau keikutsertaan atau keterlibatan Menurut Ach. Wazir Ws., et al. (1999: 29) partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan atau keikutsertaan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama. Partisipasi masyarakat menurut Isbandi (2007: 27) adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. Menurut Mikkelsen (1999: 64) membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu: a) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan; b) Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan; c) Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri; d) Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu; e) Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial; f) Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka. Berdasarkan beberapa definisi partisipasi di atas, maka dapat dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau
4
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam berbagai aktivitas politik dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi. Oleh karena pentingnya partisipasi seperti yang dikemukakan oleh Conyers (1991: 154-155) yaitu: pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya dalam aktivitas politik akan gagal; kedua, bahwa masyarakat akan lebih mempercayai aktivitas politik jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk-beluk proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut; ketiga, bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam kegiatan politik masyarakat mereka sendiri. Apa yang ingin dicapai dengan adanya partisipasi adalah meningkatnya kecerdasan politik masyarakat sehuingga setiap orang yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah aktivitas politik dengan cara melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan kegiatan-kegiatan lain seumpamanya.
4.1.
Politik Politik yang merupakan strategi atau taktik atau cara untuk meraih sesuatu yang ingin diraih secara signifikan dan konprehensif. Dengan demikian politik tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia, secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan. Memperhatikan pendapat dari pakar politik seperti Aristoteles (384322 SM) merupakan sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut sebagai zoon politikon. Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya. Aristoteles berkesimpulan bahwa usaha memaksimalkan kemampuan individu dan mencapai bentuk kehidupan sosial yang tinggi adalah melalui interaksi politik dengan orang lain. Interaksi itu terjadi di dalam suatu kelembagaan yang dirancang untuk memecahkan konflik sosial dan membentuk tujuan negara. Dengan demikian kata politik menunjukkan suatu aspek kehidupan, yaitu kehidupan politik yang lazim dimaknai sebagai kehidupan yang menyangkut segi-segi kekuasaan dengan unsur-unsur: negara (state), kekuasaan Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
5
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
(power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policy, beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation). Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi terhadap beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Sedangkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) dari sumbersumber (resources) yang ada. Untuk bisa berperan aktif melaksanakan kebijakankebijakan itu, perlu dimiliki kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan digunakan baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses itu. Cara-cara yang digunakan dapat bersifat meyakinkan (persuasive) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa unsur paksaan, kebijakan itu hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka. Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan negara atau tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh penguasa negara. Dalam beberapa aspek kehidupan, manusia sering melakukan tindakan politik, baik politik dagang, budaya, sosial, maupun dalam aspek kehidupan lainnya. Demikianlah politik selalu menyangkut tujuantujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (private goals). Politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok, termasuk partai politik dan kegiatan-kegiatan perseorangan (individu). Berbeda dengan Aristoteles, Johan Kaspar Bluntschli menyatakan bahwa Ilmu Politik adalah ilmu yang memerhatikan masalah kenegaraan, dengan memperjuangkan pengertian dan pemahaman tentang negara dan keadaannya, sifat-sifat dasarnya, dalam berbagai bentuk atau manifestasi pembangunannya.” (The science which is concerned with the state, which endeavor to understand and comprehend the state in its conditions, in its essentials nature, in various forms or manifestations its development). Harold D. Laswell dan A. Kaplan Ilmu Politik mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan”, disebutkan bahwa politik adalah Who gets What, When and How, dengan pengertian “Politik adalah masalah siapa, mendapat apa, kapan dan bagaimana.” sedangkan W.A. Robson “Ilmu Politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat yaitu sifat hakiki, dasar, prosesproses, ruang lingkup dan hasil-hasil. Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.” (Political science is concerned with the
6
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
study of power in society … its nature, basis, processes, scope and results. The focus of interest of the political scientist … centres on the struggle to gain or retain power, to exercise power of influence over other, or to resist that exercise). Lain pula pendapat yang dikemukakan oleh David Easton Ilmu politik adalah studi mengenai terbentuknya kebijakan umum.” Menurutnya “Kehidupan politik mencakup bermacam-macam kegiatan yang memengaruhi kebijakan dari pihak yang berwenang yang diterima oleh suatu masyarakat dan yang memengaruhi cara untuk melaksanakan kebijakan itu. Kita berpartisipasi dalam kehidupan politik jika aktivitas kita ada hubungannya dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan untuk suatu masyarakat.” (Political life concerns all those varieties of activity that influence significantly the kind of authoritative policy adopted for a society and the way it is put into practice. We are said to be participating in political life when our activity relates in some way to the making and execution of policy for a society). Masih banyak pengertian tentang politik dan atau ilmu politik yang disampaikan para ahli. Namun dari yang sudah dirkutip kiranya dapat dipahami bahwa politik secara teoritis meliputi keseluruhan azas dan ciri khas dari negara tanpa membahas aktivitas dan tujuan yang akan dicapai negara. Sedangkan secara praktis, politik mempelajari negara sebagai suatu lembaga yang bergerak dengan fungsi-fungsi dan tujuan-tujuan tertentu, negara sebagai lembaga yang dinamis.
4.2.
Partisipasi Politik Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, memberi catatan berbeda: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik. 5.
Model Partisipasi Politik Model partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Model partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah model partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
7
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror.
5.1.
Bentuk Partisipasi Politik Jika model partisipasi politik bersumber dari pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi: 1. Kegiatan Pemilihan – yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu; 2. Lobby – yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu; 3. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah; 4. Contacting – yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan 5. Tindakan Kekerasan (violence) – yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huruhara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan. Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian ini. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson relatif lengkap. Hampir setiap fenomena bentuk partisipasi politik kontemporer dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mereka. Namun, Huntington dan Nelson tidak memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subyektif individu.
8
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
5.2.
Dimensi Subyektif Individu Dimensi subyektif adalah serangkaian faktor psikologis yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk terlibat dalam partisipasi politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk kepentingan tulisan ini hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection dan Political Efficacy. Political Disaffection adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan adalah media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael J. Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan istilah “videomalaise”.Dengan banyaknya individu menyaksikan acara televisi, utamanya berita-berita politik, mereka mengalami keterasingan politik (political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk partisipasi yang sinis ini. Disamping itu Political Efficacy juga mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses politik berikutnya. Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political Political Efficacy ini. Political efficacy terbagi 2 yaitu external political efficacy dan internal political efficacy. External political efficacy ditujukan kepada sistem politik, pemerintah, atau negara dan diwakilinya. Sementara internal political efficacy merupakan kemampuan politik yang dirasakan di dalam diri individu, yang mewakili sebuah peryataan. Dari sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik menganggap bahwa stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political efficacy rendah dan tingkat external political efficacy tinggi. 6.
Kecerdasan Politik Kecerdasan Politik Kecerdasan kekuatan dalam hal politik juga semakin penting di jaman modern, dimana persaingan semakin rumit dan majemuk. Lebih mudah bagi kita untuk menghadapi musuh yang muncul terang-terangan, sebaliknya jauh lebih sulit menghadapi musuh dalam selimut. Kecerdasan dalam hal politik berperan penting karena setiap orang menghadapi konflik politik setiap hari dalam kehidupannya. Politik dapat muncul dalam keributan kecil Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
9
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
dalam rumah tangga, persaingan antara saudara kandung, kehidupan bertetangga, dan juga di kantor. Politik bukan hanya ada dalam kegiatan mengurus negara, melainkan hadir dalam setiap kegiatan antar manusia. Sebagian orang memandang politik sebagai kegiatan yang tercela, karena di dalamnya terdapat intrik manipulasi, penipuan, dan lain sebagainya. Padahal politik merupakan bawaan alamiah manusia karena merupakan konsekuensi dari terjadinya hubungan antar manusia, sama halnya dengan kegiatan ekonomi, hokum dan budaya serta social lainnnya. Sungguh banyak sekali kegiatan politik yang bernilai etis dan bermaatabat. Berpolitik tidak berarti melakukan hal yang tercela. Politik yang dipahami dan dikuasai dengan baik akan membantu mencapai tujuan dengan cara yang lebih efisien dalam semua aktivitas yang ingin dilakukan. Misalnya menjadi pemimpin atau seorang yang adil juga memerlukan keahlian politik yang baik dan komprehensife..
7. Analisis Kecerdasan Politik dikalangan warga kota Lhokseumawe Merujuk kepada hasil penelitian yang telah dilakukan yang dikaitkan dengan definisi-definisi yang dikemukakan oleh berbagai sarjana diatas, maka kecerdasan politik dikalangan warga kota Lhokseunawe masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan kecerdasan politik di daerah lain di Indonesia, misalnya dengan Kota Medan. Hal ini terjadi karena pendidikan politik kepada mereka sangat terbatas bahkan hampir tidak ada sama sekali. Penyebab utamanya adalah, berbagai instrument pendidikan politik di kota Lhokseumawe belum berjalan optimal untuk memberikan pendidikan politik kepada anggotanya, jika pendidikan politik tidak optimal dilakukan otomatis kesadaran politik, budaya politik dan partisipasi politik akan mengalami hambatan yang amat signifikan dikalangan warga kota Lhokseumawe. Instrumen pendidikan politik yang paling memungkinkan dalam memberikan pendidikan politik adalah partai politik, baik partai politik lokal maupun partai politik nasional sejauhmana Partai-partai politik menjalankan skema konseptual politiknya. Skema konseptual politik seperti yang dikemukakan oleh Rafael Raga Maran (2004) adalah Sosialisasi politik, Komunikasi Politik, Rekruimen Politik dan Partisipasi politik. Rata-rata partai politik di Aceh dan Kota Lhokseumawe belum memahami skema ini secara optimal. Di samping itu partai politik juga tidak terlalu memperhatikan pendidikan politik kepada anggotanya, maka dengan sendirinya kecerdasan politikpun lahir seadanya saja, sehingga sangat berpengaruh dengan aktivitasaktivitas politik lainnya. Apabila keadaan yang seperti ini dipelihara, maka banyak masyarakat kota Lhokseumawe yang awam terhadap politik. Di samping itu pendidikan politik juga perlu diberikan oleh lembagalembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi. Institusi dapat memberikan pendidikan politik dengan cara langsung maupun tidak langsung kepada masyarakat, dengan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat secara langsung mereka telah melaksanakan tri dharma perguruan tinggi yaitu 10
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
pengabdian kepada masyarakat. Dengan melaksanakan pendidikan mereka mendapat efek ganda yang saling menguntungkan baik untuk masyarakat maupun untuk kalangan perguruan tinggi yang bersangkutan. Hasil amatan peran ini belum optimal dijalankan oleh lembaga pendidikan terutama pendidikan tinggi yang ada di kota Lhokseumawe maupun kabapaten Aceh Utara bahkan di provinsi Aceh sekalipun. Peran Partai politik yang sangat penting adalah mencerdaskan anggota menjadi politisi yang memiliki kecerdasan politik. Dengan telah ditetapkan 10 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal oleh KPU Negara Republik Indonesia, maka sudah sepatutnya seluruh Partai politik tersebut melakukan aktivitas tersebut secepat mungkin, sehingga pada Pemilu tahun 2014 masyarakat kota Lhokseumawe akan memiliki kecerdasan politik yang sangat sognifikan. Para kader partai politik mesti dibekali dengan berbagai pengetahuan politik yang mencukupi, sehingga mereka memiliki kecerdasan politik yang memadai. Apabila pendidikan politik dilakukan oleh partai politik secara signifikan maka pendidikan politik masyarakat semakin meningkat pula. Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa sampai saat ini, belum ada upaya yang dilakukan oleh instrument pendidikan politik di kota Lhokseumawe dalam meningkatkan kecerdasan politik masyarakat. Keluarga dan masyarakat kelihatannya masih apatis dalam memberikan pendidikan politik kepada konstituennya. Hasil penelitian dapat dihimpunkan bahwa banyak masyarakat kota Lhokseumawe belum mandapatkan pendidikan politik yang layak dan patut untuk mereka. Oleh karena itu masih sangat terbatasnya kecerdasan mereka dalam bidang politik. Kondisi seperti itu sangat berpengaruh dalam menguwujudkan partisipasi politik, karena kebudayaan politik sangat dipengaruhi oleh sejauhmana pendidikan politik yang diterima. Dengan demikian sudah sewajarnyalah kecerdasan politik di kalangan masyarakat Lhokseumawe masih sangat terbatas.
8. Analisa Partisipasi Politik warga Kota Lhokseumawe Partisipasi Politik merupakan salah satu skema konseptual politik seperti yang dinyatakan oleh Rafael Raga Maran. Aktivitas ini tidak bisa dilepaskan dengan kumunikasi politik, sosialisasi politik dan rekruimen politik. Partisipasi politik secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik, hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
11
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy. Hasil penelitian mendapatkan bahwa, tingkat partisipasi politik warga Kota Lhokseumawe pada dasaranya belum dapat dikatakan sebagai partisipasi politik karena masih terdapat berbagai intimidasi politik dari berbagai pihak. Melihat kepada hasil tersebut, maka aktivitas yang terjadi di kalangan warga kota Lhokseumawe lebih tepat disebutkan sebagai mobilisasi politik. Dalam wawancara dengan Warga kota Lhokseumawe mereka menyebutkan, mereka tidak mengenal atau tidak mengerti apa itu partisipasi politik, mereka ikut memilih dalam pilkada atau pemilu hanya karena ikut-ikutan saja. Partisipasi politik seperti yang katakana oleh Mekkelsen ada 6 jenis partisipasi politik, salah satu diantaranya adalah partisipasi dapat dimaknakan sebagai keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka. Bahkna ada anggapan bahwa keterlibalan masyarakat luas di dalam politik pada masa itu lebih bersifat mobilisasi daripada partisipatif. Alasannya ialah bahwa sifat otoriter politik menghilangkan atau mengecilkan derajat kesukarelaan anggota masyaranguakat untuk melibatkan diri di dalam proses politik. Mungkin untuk sebagian pandangan itu benar.
9. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan temuan penelitian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : a. Partisipasi politik masyarakat kota Lhokseumawe pada pilkada tahun 2012 secara umum belum terlalu menggairahkan, hal ini disebabkan oleh tingkat kecerdasan politik masyarakat masih terlalu rendah. Budaya yang dianut masyarakat kota Lhokseumawe masih berkisar dengan budaya politik parochial. Partisipasi politik masihb ada kalangan menganggap bahwa ikut memilih pada pilkada, pada hal memilih merupakan unsure yang paling kecil dalam urutan partisipasi politik. b. Dalam meningkatkan pendidikan politik kepada masyarakat kota Lhokseumawe masih terdapat berbagai hambatan, baik hambatan struktural maupun hambatan kuntural, sehingga instrument pendidikan politik kepada belum berjalan sebagaimana mestinya, Partai politik yang mempunyai fungsi untuk mencerdaskan konstituennya belum bekerja secara maksimal, bahkan ada partai politik belum mengetahui fungsinya sebagai alat pendidikan politik untuk masyarakat. Pemerintah Kota Lhokseumawe dan Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) pun belum melakukan aktivitas yang memadai dalam mencerdaskan masyarakat 12
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
di bidang politik. Demikin pula tokoh masyarakat dan keluiarga belum memberikan kontribusi yang signifikan dalam melakukan pembelajaran politik kepada masyarakat umum di kota Lhokseumawe
10.
Saran-saran Berdasarakan uraian dan kesimpulan yang telah disampaikan diatas, maka disarankan sebagai berikut : a. Partsipasi politik warga kota Lhokseumawe diharapkan dapat meningkat pada pilkada yang akan datang (Pilkada tahun 2014), dan pendidikan politik perlu diberikan oleh instrument pendidikan politik yang ada di kota Lhokseumawe. Dengan berjalannya pendidikan politik secara signifikan maka dengan sendirinya budaya politik parochial dapat berubah menjadi budaya politik Kaula atau budaya politik partisipan. b. Semua hambatan partisipasi politik dan pendidikan politik harus dikurangi dengan memaksimalkan kinerja instrument pendidikan politik yang ada. Pendidikan tinggi diharuskan untuk memberikan pendidikanb politik kepada warga kota Lhokseumawe, Pemintah kota Lhokseumawe harus bersinergi dengan lembaga pendidikan tinggi dalam mewujudkan kecerdasan politik bagi warganya, DPRK juga mendukung program yang dibuat oleh institusi pendidikan tinggi dan pemerintaha kota dengan mengalokasikan anggaran diklat politik dikalangan warga kota Lhokseumawe, demikian juga dengan LSM, Keluarga dan masyarakat mendukung program ini, sehingga akhirnya memperoleh partisipasi politik warga kota Lhokseumawe akan mengalami perubahan yang signifikan.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
13
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
Daftar Pustaka
Ach. Wazir Ws., et al., ed. 1999. Panduan Penguatan Menejemen Lembaga Swadaya Masyarakat. Jakarta: Sekretariat Bina Desa dengan dukungan AusAID melalui Indonesia HIV/AIDS and STD Prevention and Care Project. Christina Holtz-Bacha, 2008. Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, California : Sage Publications, Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia ketiga. Yogyakarta: UGM Press. Holil Soelaiman. 1980. Partisipasi Sosial dalam Usaha Kesejahteraan Sosial. Bandung: Rosda Karya. Isbandi Rukminto Adi. 2007. Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas: dari Pemikiran Menuju Penerapan. Depok: FISIP UI ress. Jan W. van Deth, 1993. Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia. Kai Arzheimer, 2002. Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia. Mikkelsen, Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan: sebuah buku pegangan bagi para praktisi lapangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Oscar Garcia Luengo, 2008. E-Activism New Media and Political Participation in Europe, CONFines. Pengertian Politik. http://ruhcitra.wordpress.com/2008/11/21/pengertianpolitik/diakses 30 Desember 2012 Ross, Murray G., and B.W. Lappin. 1967. Community Organization: theory, principles and practice. Second Edition. NewYork: Harper & Row Publishers. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta.
14
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Dr. H. Rasyidin, S.Sos., MA Kecerdasan Politik dan Partisipasi Politik Warga Kota Lhokseumawe Pada Pilkada Tahun 2012
Seta Barsi : Partisipasi Politik. http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/ partisipasi-politik.html (down load, 31 Desember 20012) Sumampouw, Monique. 2004. “Perencanaan Darat-Laut yang Terintegrasi dengan Menggunakan Informasi Spasial yang Partisipatif.” Jacub Rais, et al. Menata Ruang Laut Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita. Rengganis :http://renggani.blogspot.com/2007/07/multiple-intelegencekecerdasan-majemuk. Html ( 31 Desember 2012)
ooOoo
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
15
Alfian, S.HI., MA Nasionalisme Acheh Versus Indonesia
NASIONALISME ACHEH VERSUS INDONESIA Oleh : Alfian, S.HI., MA
Pendahuluan Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggeris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identiti bersama untuk sekelompok manusia. Para kumpulan nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa “kebenaran politik” (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu “identitas budaya”, debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber daripada kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu. Konflik Acheh merupakan fenomena sejarah terpenting dalam memahami nasionalisme Indonesia di Acheh. Ketegangan konflik dalam rentang masa yang lama dan bentuknya yang radikal (perang) menunjukkan realiti konflik Acheh tidak mudah dipahami dan dijelaskan dengan pendekatan- pendekatan simplistik. Kekuatan nasionalisme telah menyatukan dan membebaskan banyak bangsa daripada tirani penjajahan. Nasionalisme pula telah menjadi semangat untuk melawan ketidakadilan politik, sosial dan ekonomi. Oleh itu, nasionalisme menjadi penting kewujudannya untuk mempertahankan integriti sebuah bangsa. Kalau sebahagian komuniti masyarakat dalam wilayah tertentu tidak ada lagi niat dan keinginan untuk menjadi bahagian dari suatu negara kesatuan maka situasi yang mereka alami pun berubah menjadi suatu warga negara kerena keterpaksaan dan bahkan merasa sebagai pihak yang terjajah. Hubungan antara Acheh dan Indonesia memperlihatkan suatu gambaran yang unik dalam sejarah Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
17
Alfian, S.HI., MA Nasionalisme Acheh Versus Indonesia
nasionalisme. Kekhasan sejarah dan kebudayaan masyarakatnya menjadikan Acheh daerah yang khas yang harus dijaga kerajaan pusat, terutama sekali pada tahun- tahun pertama sesudah tercapainya kemerdekaan Indonesia. Tertubuhnya semangat nasionalisme di dunia pada umumnya dan Acheh di Indonesia khususnya, apabila kita lihat pada masa dahulu, selain dimatangkan oleh keadaan (kolonialisme), juga kerana pengaruh kebangkitan nasionalisme yang tertubuh di Eropah pada abad ke-18 dan 19. Belahan Eropah masa itu, setelah perang dunia pertama, Prusia (Germani) yang kalah perang merasa sebagai bangsa terhina, terutama oleh kemenangan Perancis. Sejak itu filsafat Germani yang mengajarkan nasionalisme seperti dikemukakan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel, dan Bismark mendapat tempat dalam pemikiran masyarakat Germani. Filsafat nasionalisme abad pertengahan itu banyak mempengaruhi kalangan terpelajar, misalnya, ketika mereka merumuskan konsep negara integralistik banyak memakai pikiran Hegel. Bahkan secara terang- terangan mengutip beberapa pemikiran Hegel tentang prinsip persatuan antara pimpinan dan rakyat serta persatuan dalam negara seluruhnya.
Bentuk- bentuk nasionalisme Nasionalisme dapat berkesan sebagai sebahagian faham negara atau gerakan (bukan negara) yang popular berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berhubungkait dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. Oleh itu, ada beberapa bentuk nasionalisme antara lain sebagai berikut; Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik daripada penyertaan aktif rakyatnya, “kehendak rakyat”; “perwakilan politik”. Teori ini dipopular dan dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadikannya bahan- bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku bertajuk Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia “Mengenai Kontrak Sosial”). Nasionalisme etnis: ianya sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik daripada budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Germani untuk “rakyat”). Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identiti) adalah lanjutan daripada nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi (“organik”) hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menempati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya “Grimm Bersaudara” yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisahkisah yang berkaitan dengan etnis Germani.
18
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Alfian, S.HI., MA Nasionalisme Acheh Versus Indonesia
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras- ras minoriti lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRC kerana pemerintahan tersebut berfaham komunis. Nasionalisme kenegaraan merupakan variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontra dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah ‘national state’ adalah suatu argumen yang utama, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan model tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme dan nasionalisme Turki kontemporer serta dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayapkanan di Spanyol, sikap ‘Jacobin’ terhadap unitari dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgium yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih autonomi untuk golongan Fleming, nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Spanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan dan Corsica. Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik daripada persamaan ugama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keugamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber daripada persamaan ugama mereka iaitu Katolik, nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber daripada ugama Hindu. Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis ugama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kumpulan tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut ugama Protestan. Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata- mata. Mereka berjuang untuk menegakkan faham yang berhubungkait dengan Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia. Oleh itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
19
Alfian, S.HI., MA Nasionalisme Acheh Versus Indonesia
Teori konsep Penubuhan nasionalisme adalah suatu proses penyatuan massa manusia kedalam suatu kesamaan politik. oleh itu, rasa nasionalisme mengungkapkan keberadaannya ataupun sebagai bentuk ideal daripada pemerintahan sentralisasi atas wilayah yang luas dan berbeza-beza (Hans Kohn, 1961: 12). Kepelbagaian rute teritorial negara merdeka dilengkapi oleh jajahan poli etnik dengan satu etnik yang lebih dominan atau strategis seperti Indonesia. Dalam hal ini kita menemui gerakan nasionalis yang menjelaskan tujuan dan dasar sehubungan dengan unit teritorial yang lebih luas dan juga secara jelas dipimpin oleh etnik strategis lainnya, misalnya Kikiyu di Kenya, Jawa di Indonesia dan Baganda di Uganda (Smith, 1976: 5) adalah tidak keterlaluan apabila dikatakan bahawa usaha- usaha untuk menciptakan sebuah bangsa baru dengan meleburkan kaum lain sering dilakukan melalui sentralisasi oleh kaum yang kuat dan dominan. Nasionalisme sering diertikan sebagai sikap dan tingkah laku individu atau masyarakat yang merujuk kepada loyaliti dan pengabdian terhadap bangsa dan Negara. Namun, secara empiris nasionalisme tidaklah sesederhana makna tersebut. Nasionalisme pada masa prakemerdekaan Indonesia (atau fasa ini sebagai nasionalisme gelombang pertama) semula difahami sebagai manifestasi patriotisme radikal untuk melawan imperialisme dan kolonialisme mewujudkan sebuah bangsa sehingga dipandang sebagai renaissance. Merujuk pada pandangan Ernest Gellner tentang nasionalisme: “Nasionalisme adalah prinsip politik, yang bererti bahawa satuan nation harus sejalan dengan satuan politik. Nasionalisme sebagai sentimen atau sebagai gerakan, didefinisikan dalam konteks prinsip ini. Sentimen nasionalis adalah rasa marah yang tertubuh akibat pelanggaran prinsip ini atau rasa puas kerana prinsip ini dijalankan dengan baik. Gerakan nasionalis diaktualisasikan oleh sentimen semacam ini”. Pandangan Gellner tentang nasionalisme ini lebih cocok dalam konteks negara- bangsa (nation state). Gellner juga masih melihat “satuan nasion” sama dengan kelompok etnik atau setidak tidaknya suatu kelompok etnik yang diklaim keberadaannya oleh para nasionalis :” oleh itu, nasionalisme adalah suatu teori legitimasi politik, iaitu bahawa batas- batas etnik tidak harus terpotong dengan batas- batas politik” (Gellner 1983: 1). Dengan bahasa lain bahawa, nasionalisme menurut pandangan Gellner adalah merujuk kepada keterkaitan antara etnisiti dan negara. Nasionalisme adalah ideologi etnik yang dipelihara sedemikian sehingga kelompok etnik ini mendominasi suatu negara. Negara-bangsa dengan sendirinya adalah negara yang didominasi oleh suatu kumpulan etnik, yang ciri identitinya seperti bahasa atau ugama dan ternampak dalam simbolisme resmi dalam institusi perundang- undangannya. Mengikut Benedict Anderson yang menyatakan bangsa adalah sesuatu yang diimaginasikan. (Benedict Anderson, 1999: 6- 7). Beliau mendefinisikan nasion sebagai “an imagined political community” dan dibayangkan baik terbatas secara inheren mahupun berdaulat. Kata “imagined” di sini lebih bererti “orang20
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Alfian, S.HI., MA Nasionalisme Acheh Versus Indonesia
orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai anggota suatu nation, meskipun mereka tak pernah mengenal, bertemu atau bahkan mendengar tentang warga negara yang lain, namun dalam fikiran mereka hidup suatu citra (image) mengenai kesatuan komunion bersama. Jadi, berbeza daripada pendapat Gellner yang lebih memusatkan perhatian pada aspek politik dari nasionalisme, Anderson lebih suka memahami kekuatan dan persistensi identiti dan sentimen nasional. Fakta bahawa banyak orang yang rela mati membela bangsa menunjukkan adanya kekuatan yang luar biasa. Meskipun Gellner dan Anderson memusatkan perhatian pada tema yang berbeza, prinsip politik dan sentimen identiti, keduanya sesungguhnya saling mendukung. Keduanya menekankan bahawa bangsa adalah konstruksi ideologi demi untuk menemukan keterkaitan antara kelompok kebudayaan (sebagaimana didefinisikan warga masyarakat yang bersangkutan) dan negara, bahawa mereka menciptakan komuniti abstrak (abstract communities) daripada keteraturan yang berbeza daripada Negara dinasti atau komuniti berbasis kekerabatan yang menjadi sasaran perhatian masa lalu. Pandangan Marxis dan teori- teori sosial liberal tentang modernisasi, nasionalisme seharusnya tidak lagi relevan di dunia individualis pasca Pencerahan, kerana nasionalisme itu berbau kesetiaan primodial dan solidariti yang berbasis asal-usul dan kebudayaan yang sama. Oleh itu, apabila kita kini menyaksikan “goyahnya” nasionalisme di Indonesia, hal ini mungkin disebabkan antara lain oleh masuk dan berkembangnya pemikiran liberal dalam ilmu- ilmu sosial di Indonesia dan menjadi bahagian daripada cara ilmu- ilmu sosial memikirkan Negara bangsa dan nasionalisme kita sendiri ataupun kerana system pentadbiran yang salah (Noorsalim, eds, 2007: 12) Dalam bukunya Theories of Nationalism (1971), Antoni D. Smith membahagikan nasionalisme kepada dua bahagian, iaitu nasionalisme etnosentrik (etno nasionalism) dan nasionalisme polisentrik. Kedua kumpulan nasionalisme ini harus dibezakan kerana hal tersebut penting bagi memulakan suatu defenisi yang sebenar daripada nasionalisme itu sendiri. Nasionalisme etnosentrik merupakan suatu semangat perjuangan yang berasaskan kepada nilai yang melekat kuat pada kumpulan budayanya, iaitu untuk mewujudkan keberadaan etnik dan untuk melawan atau menentang hegemoni etnik lain. Manakala, nasionalisme polisentrik adalah sebaliknya, ianya tumbuh berdasarkan kemajmukan dan dialog daripada pelbagai kumpulan yang melakukan penyesuaian untuk membentuk suatu lembaga yang bermamfaat secara bersama (Smith, 1971: 158- 160) namun konsep nasionalisme seperti ini sangatlah bercanggah daripada apa yang diterapkan oleh kerajaan Indonesia terhadap Acheh masa dahulu dalam sistem pentadbiran politik dan budaya. Ketika Ernest Renan (1823 – 1892) mengatakan dalam tulisannya yang sangat terkenal Qu’est-ce qu’une Nation? (What is Nation?) bahawa timbulnya nasionalisme didasarkan kepada perasaan menderita bersama (having suffered together), sehingga dirasa perlu menjemput “kegemilangan asasi” (genuine glory), Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
21
Alfian, S.HI., MA Nasionalisme Acheh Versus Indonesia
tak ada yang meragukan itu. Apalagi melihat sejarah gerakan nasionalisme yang berkembang setelah idenya itu tersebar di akhir abad kesembilan belas menjadi inspirasi bangsa- bangsa Asia- Afrika ramai- ramai menuntut kemerdekaan awal abad duapuluh daripada penjajah kulit putih yang memang beza nasib dan sejarah. Tak ada yang menganggu pula jika Renan mengatakan ketika memori nasional diangkat, ungkapan perih dan duka cita memang lebih mengemuka dalam risalah- risalah nasional. Kepemilikan memori ini mungkin sahaja awalnya eksklusif, hanya milik para elite yang berpendidikan. Tetapi ketika ia menjadi plebisit, ianya bersifat massif, dipahami dan dicintai oleh seluruh (atau sebagian besar) rakyat.
Nasionalisme Acheh Mungkin sahaja istilah nasionalisme Acheh dalam konteks NKRI yang berumur hampir 60 tahun seperti sekarang kurang baik didengar. Menyebut nasionalisme Acheh seperti menangkap sesuatu yang ganjil, subversif dan tentu sahaja bermasalah jika dihadapkan dengan wacana pedoman, penghayatan dan pengamalan Pancasila, terutama lagi di sila ketiga, “Persatuan Indonesia.” Tidak ada kebenaran bagi seluruh ethnie, bahasa, subculture daripada Sabang sampai Meurauke menyatakan dirinya tidak mensifatkan Indonesia, tidak merujuk kepada nasionalisme Indonesia. Tidak ada nasionalisme Acheh yang benar hanya nasionalisme Indonesia. Namun, kerana mulai banyak penggunaan istilah etno- nasionalisme terutama dalam khazanah post-colonial studies, penulis pun tak merasakan perlu menggunakan istilah ini. Banyak kesalahan secara fungsional yang mungkin akan menghadang kerana asal- muasal kata itu sendiri dalam bahasa Yunani, ethnikos, berarti “ yang bukan orang Yahudi” (gentile/ non-israelite) atau “penyembah berhala” (heathen), yang sebenarnya berkonotasi menghina atau mengecilkan. Menyebut ethnic sama dengan menyebut segerombolan orang yang berada di sebelah hutan sana, dan kita tak tahu apa (Bill Ashcroft, et.al, The Post-Colonial Studies Reader, 1995 : 219). Konsep ideal daripada tujuan nasionalisme Indonesia sering disalahgunakan oleh tokoh-tokoh politik nasionalis untuk melaksanakan hegemoni politik yang diciptakan atas dasar idea ‘negara kesatuan’ seperti negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam konteks negara kesatuan, kerajaan pusat melakukan pelbagai manipulasi nilai untuk memangkinkan semangat nasionalisme melalui proses pemeribumian (indigenization) nilai-nilai bangsa dan negara. Melalui semangat patriotisme baru, sejarah yang diperbaharui, sistem politik, ekonomi dan budaya serta pendidikan yang terpusat. Untuk melaksanakan program ini diperlukan jentera kekuasaan yang kuat, iaitu kekuatan tentera yang represif. Sebuah kerajaan totaliter akhirnya muncul sebagai hasil daripada program nasionalisme yang dipaksakan (Akmal, 2001:11) Dalam penyatuan Indonesia, Soekarno mencita-citakan sebuah negara kesatuan yang integratif, sehingga fahaman nasionalisme yang dibangunnya adalah nasionalisme integralistik iaitu fahaman yang menekankan pentingnya 22
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Alfian, S.HI., MA Nasionalisme Acheh Versus Indonesia
bangsa mengatasi individu dan memperkuat negara sendiri dengan mengorbankan negara dan bangsa lain (Hermawan, 2001: 10). Oleh itu, tidaklah hairan apabila Soekarno pernah melakukan konfrontasi dengan Malaysia kerana dipengaruhi oleh fahaman nasionalisme integralistik itu. Nasionalisme yang integralistik tersebut, diguna pakai oleh kerajaan Jakarta dalam menaklukkan daerah lain mulai daripada pemerintahan Soekarno sampai ke pemerintahan Megawati. Acheh merupakan satu wilayah yang telah lama mempunyai nasionalisme dan rasa kebangsaan sendiri, Dapat difahami bahawa nasionalisme Acheh pada awalnya merupakan nasionalisme polisentrik ketika melawan penjajah Belanda. Apabila Indonesia merdeka, dengan konsep nasionalisme integralistik yang menganggap diri mereka yang terbaik dan bangsa- bangsa lain harus lebur dalam bangsa mereka, nasionalisme semu difahamkan daripada “integral nasionalism” sebagaimana diperkenalkan oleh seorang aktivis nasionalis sayap kanan Perancis Charles Maurras yang menyebutnya sebagai identiti individu dan kumpulan yang dipaksakan oleh kekuasaan yang sangat kuat untuk meleburkan diri ke dalam suatu negara. (Bima Arya Sugiarto. 2001). maka di sini bertembunglah dua nasionalisme. Selama lebih 50 tahun Acheh menjadi bahagian daripada teritorial Indonesia sah atau tidak sah, Acheh telah mengalami kemunduran di pelbagai bidang. Kegagalan dan krisis yang timbul selalu diakibatkan oleh kerajaan pusat yang selalu memaksakan kehendaknya dan memperlakukan wilayah ini dengan cara top down iaitu pengambilan kebijakan daripada pusat ke daerah, walaupun kebijakan tersebut telah melanggar prinsip-prinsip yang dipegang oleh wilayah tersebut. Mulai pemerintahan Soekarno dan Soeharto, Acheh telah kehilangan identitinya. Struktur pemerintahan Acheh telah diubah oleh kerajaan Indonesia dengan model struktur pemerintahan kerajaan Jawa. Krisis hegemoni yang terjadi pada era pemerintahan Soekarno merupakan suatu pemaksaan kehendak penguasa Jakarta untuk menghilangkan wilayah Acheh serta identitinya kedalam kuasa Indonesia supaya daerah ini hilang sejarahnya dan kemengahannya sepertimana pernah gemilang pada masa-masa kerajaan Acheh dahulu (M. Isa Sulaiman, 1997: 24) Apa yang terjadi dengan Indonesia yang sudah berusia setengah abad ini, membuat bangsa ini menjadi contoh kes yang menarik keberadaan negara bangsa di dunia. Sementara pada posisi yang lain, kekuatan republik ini pun tidak mahu mundur selangkah pun dalam memperjuangkan dan mempertahankan nasionalismenya di Acheh biarpun kemanusiaan yang menjadi taruhannya. Pada keadaan yang demikian, negara sudah lupa dengan kemanusiaan kerana atas nama bangsa tidak perlu ada tolak ansur. Oleh itu, kemanusiaan yang semestinya dikedepankan hanya menjadi retorika emosional. Kekerasan atau yang sering diistilahkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sudah menjadi kebiasaan negara Indonesia melalui tenteranya di Acheh, pelbagai kes yang selalu diselesaikan melalui pembunuhan merupakan bahagian Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
23
Alfian, S.HI., MA Nasionalisme Acheh Versus Indonesia
sisi gelap negara dalam memaksakan nasionalismenya. Hal ini tentu sahaja menjadikan satu referensi bagi mereka yang pernah menjadi korban kekerasan oleh negara untuk terus dendam dengan pemerintah. Nasionalisme Indonesia telah mengalami perubahan dikalangan rakyat Acheh, kerana kerajaan Indonesia menerapkan nasionalisme polisentrik integralistik dengan cara paksaan di masa 30 tahun yang lalu, orang-orang bersatu kerana alasan nasionalisme dan berpisah juga atas alasan yang sama. dalam konteks Indonesia dan Acheh telah terjadi pertembungan dua nasionalisme, polisentrik yang bersifat integralistik dan etnonasionalisme serta kedua-duanya memiliki matlamat yang sama iaitu mempertahankan identiti kebangsaan masing-masing, kesadaran nasionalis Acheh berakar umbi pada sistem politik yang tidak seimbang sehingga munculnya ideologi nasionalisme Acheh merupakan matlamat politik menuju kepada apa yang mereka kehendaki, iaitu sebuah wilayah yang merdeka. Pasca damai Helsingky, Acheh membuat consensus dengan Jakarta secara politik nyakni Acheh di bolehkan adanya Parti sendiri dengan hukum lokal serta menjadikan pemerintahan sendiri walaupun tetap dalam wilayah negara Indonesia. Memang benar nasionalisme Indonesia banyak dipengaruhi de facto oleh budaya sentral iaitu Jawa dan budaya-budaya periferal (seperti Acheh) selanjutnya terinfeksi oleh budaya sentral itu. Namun, pernyataan ini tidak membenarkan bahawa sudah ada yang namanya pemilahan etnik Acheh dan Jawa dalam konsep sejarah nasionalisme Indonesia. Oleh itu, kiranya tepat jika saya cukup menggunakan istilah nasionalisme Acheh, dengan pengertian ada sejarah baru yang terbentuk daripada masyarakat Acheh sendiri dan tak salah juga jika disimpulkan mengkritik total nasionalisme Indonesia. Sejauh ini saya setuju paham dengan proposisi yang pernah disampaikan oleh Ernest Gellner (1983) bahawa nasionalisme pada dasarnya hanya sebuah kebetulan, sebuah kecelakaan. Kebutuhannya tergantung dengan tempat dan waktu yang melangkauinya. Ada keterpengaruhan yang terus- menerus membentuk kesadaran nasionalisme sebuah masyarakat, yang itu dapat berasal daripa apa sahaja dan dimana sahaja. Apabila rasa kebangsaan rakyat yang masih kuat di sesebuah wilayah bertemu dengan karakter negara pasca kolonialisme yang umumnya didominasi oleh kumpulan utama yang melaksanakan tekanan politik untuk menjalankan pemerintahan, maka muncullah perlawanan (resistance) oleh bangsa tersebut. Apabila langkah-langkah peminggiran, pemusatan, ketidakadilan, eksploitasi dan penindasan terus menerus dijalankan, maka wajarlah bangsa tersebut menggagas nasionalismenya sendiri di luar nasionalisme negara demi masa depannya.
Kesimpulan Masa ini, kita dihadapkan dengan nasionalisme Indonesia yang sedang retak, dan di depannya telah bangkit sebuah nasionalisme baru, nasionalisme 24
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Alfian, S.HI., MA Nasionalisme Acheh Versus Indonesia
Acheh yang dikembangkan dan diimajinasikan oleh kelompok muda. Nasionalisme yang dikembangkan oleh pemuda Acheh tidak terlalu menyibukkan diri dengan sejarah nasionalisme Indonesia dan memang bahagi mereka sama sekali tidak perlu. Objektifitinya adalah pelanggaran HAM dan kekejaman yang mereka lihat dan dengar sejak tragedi Daerah Operasi Militer hingga kejahatan Darurat Militer. Filosofinya dibangun di tengah narasi kekuasaan yang muncul, seperti bahasa perang oleh Negara Indonesia Ryamizard Ryacudu (mantan panglima tentara darat), “tidak ada dialog dengan pemberontak Acheh”; Amien Rais, “pendekatan militerisme perlu diambil untuk mempertahankan NKRI”; R. Pramono (Mantan Panglima kodam Militeri Bukit Barisan akhir awal 90-an), “Jika kalian melihat GPK (gerakan pengacau keamanan) jangan ragu sedikit pun, ambil parang, serang dan tebas mereka!.” Jika demikian hal ehwalnya, pantaskah menilai bahawa sebenarnya nasionalisme Acheh terbangun kerana penderitaan yang berturut- turut datang pergi dan tak berhenti. Kehadiran sebuah nasionalisme seperti yang telah, sedang muncul di Acheh tidak harus merujuk kepada sebuah persyaratan khusus dengan pelbagai kriteria yang membatasi, sehingga imajinasi ini tak boleh tumbuh. Seperti yang dikatakan Gellner (1964), “nasionalisme bukanlah tentang bangkitnya kesadaran diri bangsa, ia adalah buatan yang sebelumnya tidak pernah ada.” Ia seperti melati yang kuncup dan mekar. Ketika ia tumbuh di tanah terlarang sekalipun ia harus diperiksa berdasarkan motif- motifnya dan gagasan- gagasannya. Sebagai sebuah gagasan ia punya alur narasinya sendiri ini yang lebih menarik untuk dilihat dan dipelajari bukan direpresi (ditindak keras). Sebagai sebuah imajinasi tentang kedaulatan (sovereignity) ia tentu akan terbatas dalam praktik- praktiknya. Praktik inilah yang akan dinilai oleh rakyat Acheh sendiri apakah seindah pelangi. Ketika imajinasi yang “abstrak” dan “fiktif” itu dikerahkan, apakah masih ada aspek benefidnya di dunia nyata. Pembuktiannya ada di tangan generasi muda Acheh untuk merekonstruksinya. Perlu beberapa juru bicara nasionalisme tangguh yang boleh melihat pelbagai aspek dengan sensitif dan meng- counter gagasan anti- nasionalisme dengan mata menerawang di sudut- sudut jauh. Harus ada yang menjadi wasit bahawa kerikil yang tersangkut di sepatu itu boleh juga melukai. Lagi pula ketika nasionalisme Indonesia terus dibiarkan berlubang dengan berbagai mal-praktik kebangsaan yang dicontohkan elitnya sekarang ini, liang besar itu mahu tidak mahu akan diisi oleh nasionalisme periferal yang ada di Indonesia. Memang nyatanya banyak rakyat (populus) dan bangsa (natio) sangat sulit untuk disatukan di kehidupan ini. Selalu ada pertaruhan besar untuk rela membunuh dan dibunuh atas nama bangsa dan cinta tanah air serta itulah misteri nasionalisme hingga dua ratus tahun yang lalu. Jawabannya ternyata ada di akar-akar budaya nasionalisme itu sendiri. Masa ini perselisihan itu adalah lubang yang telah dibeton oleh kesadaran nasionalisme yang muncul dari generasi muda Acheh. Imajinasinya seperti Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
25
Alfian, S.HI., MA Nasionalisme Acheh Versus Indonesia
kerinduan seorang peziarah yang terus ingin kembali dan bernyanyi. Kerana belum terbukti nyata hingga masa ini kecuali hanya sebagai “senjata orang lemah”, penulis yakin kegagalan ambisi nasionalisme Acheh akan sama besar peluangnya dengan keberhasilan politiknya. Sejarah yang akan mencatat.
Rujukan: Akmal, 2001, Perbandingan Perjuangan Kemerdekaan Aceh dan Timor Timur. TESIS Anderson Benedict, 1999, Komunitas Imajiner, Renungan Tentang Asal-Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yokyakarta: Pustaka Pelajar-Insist Bima Arya Sugiarto. 2001. Nasionalisme: antara universalisme dan partikularisme. Jurnal Universitas Paramadina. 1. Bill Ashcroft, 1995, et.al, The Post-Colonial Studies Reader, Jakarta : Gramedia Gellner, E. (1983) Nations and Nationalism. Oxford : Blackwell. Hans kohn, 1961, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: PT. Pembangunan Hermawan, 2001, Fahaman nasionalisme integralistik, Jakarta: Erlangga M. Isa Sulaiman, 1997, Sejarah Acheh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Noorsalim (eds). 2007, Hak Minoritas. Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa. Jakarta. Smith Anthoni D, 2003, Nasionalisme Teori, Ideologi dan Sejarah. Jakarta: Erlangga Renato Constantino, 1989, Pilihan Nasionalis. Selangor: Dewan Bahasa dan Pustaka
ooOoo
26
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
KERJASAMA YANG TERBELAH (SATU ANALISIS KONFLIK ANTARA GAM DAN SIRA DALAM PERPOLITIKAN DI ACEH) Oleh : Suadi, M.Si
Abstrak Sebelum terjadinya perdamaian antara Pemerintah Republik Indoneisa dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005, GAM dan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dikenal sebagai organisasi yang mengancam disintegrasi Indonesia. Mereka bersatu bekerja sama melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Pusat. Kerjasama yang baik antara mereka masih terlihat dalam pelaksanaan Pilkada 2006, GAM dan SIRA mencalonkan pasangan kepala daerah melalui jalur independen baik di tingkat provinsi maupun di beberapa tingkat kabupaten/kota. Namun pada Pemilu 2009 GAM dan SIRA mendirikan partai masing-masing, mereka berkompetisi dan berkonflik dalam merebut kekuasaan legislatif. Berdasarkan hal ini permasalahan penelitian adalah kenapa GAM dan SIRA berkompetisi bahkan berkonflik. Untuk menjawab permasalah tersebut digunakan metode kuliatatif deskriptif. Data dikumpulkan melalui observasi pasif, wawancara dan analisa dokumen. Hasil penelitian menunjukkan penyebab terjaCdinya konflik antara GAM dan SIRA pada Pemilu 2009 adalah adanya perbedaan pandangan dalam strategi menguasai lembaga legislatif dan perbedaan pemahaman terhadap klausul MoU Helsinki mengenai Partai Politik Lokal. Selain itu, perbedaan kepentingan elit pun turut mempertajam konflik antara mereka dan adanya provokasi pihak ketiga yang tidak menginginkan mereka solid untuk menguasai parlemen secara signifikan. Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa konflik antara dua atau lebih organisasi politik tidak luput dari faktor perbedaan kepentingan elit organisasi walaupun yang dikemukakan ke public adalah perbedaan ideologi. Dalam perpolitikan pihak ketiga
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
27
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
selalu mempertajam konflik antara organisasi-organisasi atau partai-partai yang dipandang dapat mengancam eksistensinya. Key Words: Kerjasama, konflik, GAM dan SIRA
Abstract Free Aceh Movement (GAM) and Aceh Referendum Information Center (SIRA) were known as organizations that threaten disintegration of Indonesia. They were united to against Indonesia Government. Their good cooperation was still visible on elections in 2006, GAM and SIRA nominated candidate of the region leader through an independent path. However on election 2009 GAM and SIRA established their respective parties to compete and conflict to obtain legislative power. Research problem is why GAM and SIRA competed and conflicted. Researcher used qualitative descriptive method which data collected through observation, interviews and document analysis. The results shows that conflict between GAM and SIRA in the election in 2009 were coused by different views in parliamentary control strategy and different understanding of the clauses of the Helsinki MoU on Local Political Party. In addition, different interests of its elites also sharpen the conflict between them and provocation of third parties who do not want them to control parliamentary significantly. Based on description, it can be concluded that the conflict between two or more political organizations is related to different interests of elites organization. In politics, third-parties always sharpen conflict between organizations or parties which considered able to threaten its existence. Key Words: Cooporation, Conflict, GAM and SIRA
28
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
I.
PENDAHULUAN Kerjasama yang baik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dalam melawan Pemerintah Pusat, ternyata berubah menjadi konflik ketika Pemilu 2009 berlansung, di mana pada saat ini perdamaian antara Aceh (GAM) dan pemerintah Pusat (RI) yang dikenal dengan MoU Helsinki baru berlansung sekitar empat tahun. Secara umum pada masa konflik vertikal Aceh - Pemerintah Pusat Indonesia, relasi GAM dan SIRA adalah sangat harmonis. Mereka bekerja sama melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Pusat, saling mendukung dalam membebaskan Aceh dari penindasan dan penguasaan ‘Jakarta-Jawa’ atau memisahkan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). GAM dengan kekuatan senjata berusaha melumpuhkan pemerintahan ‘Jakarta’ di Aceh. Sedangkan SIRA dengan kekuatan intelektual mengkampanyekan pelanggaran HAM dan tindak kekerasan yang terjadi di Aceh dalam upaya mencari perhatian dan dukungan internasional terhadap pelaksanaan referendum sebagai solusi penyelasaian konflik secara damai dan demokratis. Kerjasama dua organisasi tersebut masih terlihat dalam pelaksanaan Pimilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2006, di mana GAM dan SIRA masih tetap bekerja sama mencalonkan satu pasangan kepala daerah melalui jalur independen baik di tingkat provinsi maupun di beberapa tingkat kabupaten/kota. Walaupun secara resmi GAM melalui Komite Peralihan Aceh (KPA) menyatakan netral atau tidak ikut serta dalam Pilkada, sehingga GAM pun pecah dalam mendukung kandidat Gubenur/Wakil Gubernur kepada pasangan Irwandi-Nazar (SINAR) dan Humam-Hasbi (H2O), tetapi menyatu dalam mendukung kandidat Bupati/Wakil Bupati atau Wali Kota dan Wakil Wali kota. Dengan demikian banyak kalangan menilai pasangan SINAR adalah duet GAM – SIRA. Kerjasama dua organisasi ini ternyata hanya bertahan sampai tahun 2007, ketika pemilihan legislatif (Pemilu) mulai didengungkan dan di Aceh diperbolehkan berdirinya partai lokal untuk mengikuti pesta demokrasi tersebut, hubungan keduanya mulai telihat tidak harmonis. GAM membentuk satu partai lokal dengan sebutan GAM (Gerakan Aceh Mandiri), yang kemudian berubah menjadi Partai Aceh (PA) dan SIRA pun memutuskan untuk membuat partai sendiri dengan sebutan tetap SIRA tetapi beda kepanjangannya, yaitu Suara Independen Rakyat Aceh. Pada saat ini benih konflik mulai muncul. GAM menghendaki partai lokal hanya satu di Aceh dan SIRA tetap menyatu dengan GAM, seperti dalam pemilihan kepala daerah pada tahun 2006. Namun SIRA tetap pada keputusannya, sehingga pada tahun 2009 GAM dan SIRA berkompetisi dan berkonflik dalam merebut kekuasaan legislatif. Kenapa hal ini terjadi?.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
29
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
II.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukaan di Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Pidie dan Kota Banda Aceh, dengan pertimbangan wilayah ini banyak terdapat anggota organisasi dari GAM dan SIRA yang dapat dijadikan sebagai informan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Dalam proses pengumpulan data, teknik yang digunakan adalah; Observasi non partisipan yang diarahkan pada gejala sosial, peristiwa, pembicaraan yang berkaitan dengan pertanyaan penelitian; In-depth Interview di mana pertanyaan diajukan tak tersrtuktur, sedapat mungkin diupayakan tidak formal; Dokumentasi, peneliti mempelajari dokumendokumen yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data dianalisis secara kualitatif melalui tiga tahapan; Reduksi data, data yang terkoleksi direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok dan difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan masalah; Display data, data disajikan dalam bentuk tabulasi guna memudahkan pendeskripsian secara detail; Kesimpulan dan Verifikasi, data yang disusun secara sistematik diintepretasi kemudian disimpulkan untuk menemukan makna yang terkandung pada data tersebut. Agar kesimpulannya lebih menyakinkan maka dilakukan verifikasi dengan melakukan cross check antara data primer dengan skunder.
III.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1.
Gambaran Singkat Organisasi GAM dan SIRA
3.1.1.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) diproklamasikan oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro pada masa Orde Baru, tepatnya pada tanggal 4 Desember 1976 di bukit Cokan, pedalaman kecamatan Tiro, Pidie (Sulaiman, 2000). Gerakan ini muncul akibat dari ketidakseriusan Pemerintah Pusat Indonesia dalam membangun Aceh dan mensejahterakan masyarakatnya, padahal Aceh merupakan ‘sumber modal’ bagi Republik Indonesia, sehingga Aceh tertinggal dalam pembangunan (Sulaiman, 2000; Tippe, 2000). GAM dalam pandangan Pemerintah Indonesia merupakan organisasi illegal, pemberontak, dan gerakan separatis yang menganggu integritas dan stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu, GAM dianggap sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang harus dibumi-hanguskan. Sedangkan proklamtor Aceh Merdeka beserta pengikutnya menggangap GAM sebagai gerakan Perjuangan Aceh Merdeka yang bertujuan membebaskan Aceh dari penguasaan dan penjajahan Jawa di Jakarta. Hal ini terlihat dalam Naskah Proklamasi pada alinea pertama “Kamoe Bangsa Atjeh, Sumatera, deungon hak kamoe bak peuteuntee nasib droe nyang diakui uleh donya, dan deungon hak kamoe
30
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
ateueh tanoh pusaka endatu nyang handjeuet gob ganggu, deungon njoe kamoe peujata ubak donya kamoe ka mupeumeurdehka droemeuh nibak peundjadjahan Djawa njang tjuba-tjuba djak ganroe Beulanda1” (Dokumen salinan Sulaiman, 2000). Seperti dijelaskan oleh Kirten (2004), “GAM’s ideology is one of national liberation aimed at freeing Aceh from all political control of the foreign regime of Jakarta”. Pasca perdamaian Mou Helsinki, GAM di kalangan masyarakat Aceh dikenal dengan KPA (komite Peralihan Aceh). Namun di kalangan GAM sendiri KPA tidak sama dengan GAM, tetapi merupakan organisasi sipil yang anggotanya terdiri dari mantan Tentera Negara Aceh (TNA). KPA walaupun dinyatakan sebagai organisasi sipil yang mewadahi mantan TNA, struktur komando militernya masih dipertahankan. Menurut Muzakkir Manaf/Mu’allim (mantan Panglima TNA), KPA dibentuk pasca pembubaran TNA pada tanggal 27 Desember 2005 (Serambi, 29 Desember 2005) yang bertugas mengawal proses demobilisasi dan reintegrasi para mantan TNA. KPA diharapkan menjadi fasilitator dan jembatan bagi mantan anggota GAM untuk menyatu sebagai masyarakat sipil untuk seiring sejalan dalam membangun masa depan (Pidato ketua DPR RI Agung Laksono, 12 Januari 2006). Hingga pelaksanaan Pilkada 2006 GAM belum memiliki nama selain KPA, namun menjelang Pemilu 2009 dan panasnya isu politik mengenai partai lokal yang diamanatkan dalam MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA), GAM membentuk satu partai lokal pada Juli 2007, yang pada awalnya dikenal dengan Partai GAM, tanpa kepanjangan, kemudian Partai GAM dengan kepanjangan (Gerakan Aceh Mandiri) dan akhirnya sebagai Partai Aceh (PA). Perubahan nama sebagaimana diutarakan di atas, menurut Muzakir Manaf tidak menyebabkan perubahan pada struktur partai, “Kita hanya ubah nama saja, sedangkan struktur masih tetap yang lama,” (Rakyat Merdeka, 30 April 2008). Perubahan ini salah satu tujuannya adalah memuluskan langkah menuju Pemilu 2009. Hal senada juga diungkapkan oleh juru bicara PA, Adnan Beuransyah, “Partai GAM hanya mengganti nama saja, dengan tetap mempertahankan latar belakang merah dan garis putih hitam di sisi atas dan bawah bendera. Pergantian nama itu lebih didasarkan pada ketaatan pengurus partai terhadap aturan hukum” (Aceh Independen, 22 Mei 2008). Dalam visi dan misinya PA menitikberatkan bahwa partai itu tidak lagi beraspirasi untuk memisahkan Aceh dari Indonesia dan telah menunjukkkan kesediaannya untuk melaksanakan mekanisme partai sesuai dengan aturan NKRI, dengan menjunjung tinggi MoU Helsinki. PA juga ingin mentranformasikan serta membangun wawasan berpikir masyarakat Aceh dari
1 Artinya, “Kami bangsa Aceh Sumatera berhak menentukan nasib sendiri dan berhak atas tanah warisan nenek moyang yang tidak boleh diganggu pihak lain, maka dengan ini kami menyatakan kepada dunia bahwa kami merdeka dari penjajahan Jawa-Belanda.”
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
31
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
citra revolusi kepada citra development yang berazaskan transparansi untuk kemakmuran rakyat (Detiknews, 25 Desember 2008). PA walaupun berpisah dengan ‘sekutunya’ SIRA, pada Pemilu perdananya 4 April 2009 dapat memenangkan Pemilu dengan mendominasi perolehan suara secara signifikan, sehingga parlemen di tingkat provinsi (DPRA) dan kabupaten/kota (DPRK) dikuasai secara dominan. PA memperoleh 33 (46%) kursi di DPRA dari 69 kursi yang tersedia, dan 60% - 75% kursi di DPRK di wilayah bagian Pantai Timur. Sementara di wilayah pantai Barat Selatan memperoleh kursi kurang dari 50%2. 3.1.2.
Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) Berbeda dengan GAM yang lahir pada masa Orde Baru, SIRA dibentuk pada masa Reformasi tepatnya pada tanggal 4 Pebruari 1999 (Tippe 2000), ketika eskalasi konflik antara RI dan GAM telah memasuki skala tinggi, sehingga yang menjadi korban bukan saja dari pihak bersenjata, tetapi juga masyarakat sipil yang tak terlibat secara lansung. Dalam kondisi seperti ini, mahasiswa, pemuda dan santri Aceh pada umumnya cenderung menilai bahwa kedua belah pihak telah mengabaikan hak-hak sipil di Aceh. Dengan demikian mereka sepakat untuk mengadakan kongres yang mempertemukan seluruh kelompok pemuda Aceh baik yang berada di luar maupun di dalam Aceh. Kongres ini diprakarsai oleh Komite Reformasi Mahasiswa Aceh (KARMA) dan Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN) pada tanggal 31 Januari – 04 Pebruari 1999. Kemudian kongres ini diberi nama KOMPAS (Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau)3. KOMPAS tersebut dihadiri oleh 106 delegasi organisasi, mereka menyepakati referendum sebagai solusi penyelesain konflik secara demokratis dan damai. Wacana referendum tersebut terinspirasi dari keberhasilan pelaksanaan referendum di Timor Leste pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie, sebagaimana dikatakan Hamzah (2009) bahwa tawaran referendum di Aceh yang diajukan SIRA adalah diilhami dari referendum di Timor Leste. Untuk itu KOMPAS membentuk satu wadah yang dapat mensosialisasikan referendum, dinamakan SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) (Fasya, 2005). Referendum dipandang sebagai satu solusi terbaik dalam penyelesaian konflik Aceh (Adan, 2006: 20) secara “berdaulat dan bermartabat”. Sebagaimana visi dan misi SIRA yang tertuang dalam Rekomendasi KOMPAS
2
Wawancara dengan anggota KIP dan anggota Tim Ahli PA di Reuleut Aceh Utara, 17/12/
2009 3 Wawancara dengan presidium SIRA dan mantan Sekjen KMPAN di Banda Aceh 04/08/ 2009. Serantau memiliki arti di luar Aceh, tetapi kongres tersebut bukan dihadiri oleh mahasiswa dan pemuda di luar Aceh saja, namun juga dihadiri oleh mahasiswa dan pemuda di dalam wilayah Aceh.
32
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
I, yaitu “Menyatakan penentuan nasib sendiri (Self Determination) berdasarkan kemerdekaan, kebebasan dan keadilan bagi semua rakyat Aceh secara damai, yuridis dan demokratis”. Referendum dianggap sebagai jalan terbaik menuju kedaulatan rakyat dalam mewujudkan keinginan menentukan pilihan bagi lahirnya masyarakat yang bermartabat dan berkeadilan (Tarmizi, 1999). Tema pertemuan KOMPAS II tanggal 20 sampai 23 Februari 2000 “Menuju Aceh Masa Depan yang Berkeadilan dan Bermartabat” (Sudirman, 2000). Pada tanggal 8 Nopember 1999 SIRA menunjukkan kekuatannya kepada Pemerintah RI dan dunia internasional melalui Sidang Umum Majelis Pejuang Referendum (SU-MPR). Peristiwa itu merupakan aksi massa terbesar dalam sejarah politik Aceh. Diklaim bahwa dua jutaan orang berkumpul di depan masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Kesuksesan SIRA dalam mobilisasi massa memang tidak terlepas dari dukungan GAM yang ketika itu dikomandoi oleh Tgk. Abdullah Syafi’I (alm). Beliau berkomitmen GAM ikut mengamankan acara tersebut dan mensosialisakannya kepada masyarakat serta melakukan koordinasi dengan Organda untuk membantu menyediakan transportasi mobilisasi massa ke Banda Aceh (Fasya, 2005). Menurut mantan kombatan GAM4 bahwa pada saat mobilisasi massa (SU-MPR) mereka meminta pinjam mobil-mobil kepada orang kaya untuk mobilisasi massa ke Banda Aceh dan menempatkan satu personil GAM dalam setiap kendaraan. Di mata banyak masyarakat Aceh SIRA adalah ‘organisasi pejuang’ yang memperjuangkan nasib rakyat Aceh melalui referendum. Sementara Pemerintah Pusat, khususnya TNI/POLRI, memandang SIRA sebagai sayap intelektualnya GAM yang mengancam integritas NKRI, sehingga Pasca Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Kedamaian (SIRA-RAKAN) Nopember 2000 hingga 2005 sebelum Mou Helsinki banyak anggota SIRA yang keluar dari Aceh karena khawatir diperlakukan sama dengan anggota GAM oleh aparat keamanan; ditangkap, dipukul, dipenjara dan bahkan dibunuh. Penangkapan Muhammad Nazar sebagai Presidium SIRA menjadi warning and threat bagi anggota lainnya. SIRA pun “meredup dan mencair”. Pasca MoU Helsinki, SIRA mulai menunjukkan eksistensinya kembali terutama pada pelaksanaan Pilkada 2006. SIRA secara institusi menyatakan keikutsertaannya dalam Pilkada melalui jalur independen, sementara GAM secara resmi menyatakan tidak ambil bagian secara institusi dalam Pilkada tersebut. Namun secara de facto GAM tidak dapat memungkiri keterlibatan anggotanya secara lembaga dalam mendukung kandidatnya yang dimotori oleh anggota KPA, sehingga masyarakat pun menilai kandidat Gubernur/Wakil Gubernur Irwandi/Nazar sebagai Paket Duet GAM dan SIRA.
4 Wawancara dengan mantan TNA Pidie, 10/08/2009 di Sigli dan mantan TNA di Kuta Blang dan Jeunib Bireun, 08/08/2009.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
33
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
Menjelang pelaksanaan Pemilu legislatif 2009, SIRA berinisiatif membentuk partai lokal sendiri berpisah dengn GAM. Secara resmi partai SIRA didirikan pada tanggal 10 Desember 2007, yang diketuai oleh Taufik Abda, sementara Muhammad Nazar selaku inisiator menjabat sebagai ketua Majelis Tinggi Partai. SIRA dalam penamaan partainya tetap menggunakan nama SIRA tetapi berubah makna, yaitu Sentral Informasi Referendum Aceh menjadi Suara Independen Rakyat Aceh. Pembentukan partai SIRA tidaklah menghilangkan “SIRA-REFERENDUM”. Sebagaimana diuangkapkan Muhammad MTA (Kepala Humas SIRA) “Perlu kami sampaikan bahwa terbentuknya Partai SIRA bukanlah organisasi SIRA itu dialihkan menjadi partai, tetapi organisasi SIRA tetap utuh sebagaimana adanya, partai SIRA hanyalah alat bagi SIRA dalam pergulatan politik praktis di Aceh saat ini” (Gatra, 2007), agar dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat Aceh secara adil dan demokrasi untuk mewujudkan kesejahteraan. Penamaam Partai SIRA dapat dikatakan tidak mendapat tantangan dan penolakan dari pemerintah, sehingga SIRA tidak perlu melakukan perubahan nama sebagaimana yang dilakukan Partai GAM. Namun ternyata hasil Pemilu menentukan nasib mereka yang berbeda, PA “bersuka” dan SIRA “berduka”. SIRA tidak satu pun memperoleh kursi di DPRA dan hanya beberapa kursi saja di sebagian DPRK (Aceh Timur, Kota Langsa 1 kursi, Kota Lhokseumawe 1 kursi, Aceh Utara 1 kursi dan Pidie 1 kursi, Banda Aceh 1 kursi, dan Aceh Selatan 1 kursi)5. Kekalahan SIRA memang di luar dugaan pengamat politik di Aceh, yang pada awalnya memprediksikan partai lokal menang dengan urutan PA, SIRA dan PRA (Akbar, 2009).
3.2.
GAM dan SIRA Berkonflik pada Pemilu 2009 Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif 2009 di Aceh sedikit berbeda dengan Pemilu di propinsi lain di Indonesia. Aceh berdasarkan MoU Helsinki dan UUPA telah memberikan peluang kepada masyarakatnya untuk mendirikan partai lokal yang berfungsi sebagai wadah pendidikan politik, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik serta partisipasi politik rakyatnya dalam upaya transformasi Aceh menjadi Self Government. Berlandaskan ini masyarakat Aceh yang terpanggil ke kancah politik mendirikan partai lokal, yang berjumlah 12 partai, tetapi yang lulus verifikasi KIP Aceh untuk ikut Pemilu 2009 adalah 6 (enam) partail6 (Aguswandi, 2008). Awalnya kehadiran Partai Lokal (Parlok) di Aceh dipersepsikan dan diharapkan oleh banyak kalangan masyarakat menjadi oposisi terhadap Partai
5
Wawancara dengan pengurus partai SIRA Pusat di Banda Aceh 17/12/2009 Enam Partai Lokal, yaitu Partai Aceh (PA), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), dan Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS). 6
34
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
Nasional (Parnas) yang sudah duluan ada, dan sudah kurang dipercayai rakyat, sebagaimana yang terlihat pada Pilkada 2006, terutama di tingkat provinsi. Kandidat kepala daerah yang diusungkan partai nasional mengalami kekalahan atau kurang mendapat legitimasi rakyat Aceh. Namun realitasnya tidak demikian, pertarungan tidak terjadi antara Parnas vs Parlok. Dalam Pemilu 2009 dua partai muncul sebagai partai besar – Partai Aceh sebgai partai lokal dan Partai Demokrat sebagai partai nasional. GAM dan SIRA yang bersekutu melawan Pemerintah Pusat pada tahun 1999 sampai 2005 tidak lagi bermitra. Kenapa GAM dan SIRA ‘bercerai’ dan berkonflik? Sebenarnya GAM/ PA sangat berharap SIRA tetap bersatu dengan GAM seperti pada Pilkada 2006, namun SIRA dengan berbagai alasan dan pertimbangan akhirnya memutuskan membuat partai sendiri dan berpisah dengan GAM/PA walaupun pada awalnya terjadi pro dan kontra di kalangan SIRA sendiri; berkoalisi dengan GAM atau berpisah. Sebagaimana dikatakan Sekretaris Presidium SIRA, Ruslan bahwa dalam SIRA sendiri terbagi ke dalam dua kelompok. Satu kelompok menghendaki SIRA membentuk Parlok sendiri, satu kelompok lagi ingin bergabung dengan Parlok bentukan GAM. Hal ini akan diputuskan dalam Sidang Istimewa SIRA, rencana koalisi juga sangat tergantung dari sikap panitia pembentukan parlok GAM. “Apabila respon mereka baik kemungkinan koalisi besar, tetapi apabila mereka impulsif kemungkinan SIRA membentuk Parlok sendiri” (Rakyat Aceh, 6 Mei 2007). Ini dapat dimaknai bahwa SIRA berkoalisi atau tidaknya dengan GAM tergantung pada tingkat kepentingan SIRA atau bargaining position yang diakomodir oleh panitia pembentukan Parlok GAM. Selanjutnya menurut Muhammad Nazar bahwa kalau ingin mensukseskan perjuangan keadilan, maka kita harus menguasai parlemen melalui partai lokal dan menghadang laju partai nasional. Untuk itu partai lokal tak boleh dibatasi hanya dua partai saja karena partai nasional yang bertarung dalam Pemilu di Aceh akan membangun koalisi untuk menghadang laju partai lokal (Taufik, 2007). SIRA sebenarnya sudah membicarakan wacana pembentukan partai lokal jauh hari sebelum Pemilu 2009 bahkan sebelum Pilkada 2006, yaitu pada awal perdamaian dalam Sidang Umum V di Grong-Grong Pidie pada tanggal 22 – 25 Oktober 2005 (Modus Aceh, 2007). Namun pada saat ini wacana pembentukan partai ditolak oleh mayoritas peserta sidang, termasuk Muhammad Nazar7. Selanjutnya Rapat Koordinasi SIRA di Sabang tanggal 10 – 11 Maret 2007, merekomendasikan; ‘SIRA tetap berdiri sebagai satu organisasi perjuangan politik rakyat Aceh yang permanen dan tidak akan berubah atau membubarkan diri. SIRA tetap mengakui GAM sebagai PNA,8 SIRA akan mengupayakan pendirian Parlok SIRA dengan melakukan koordinasi,
7 Wawancara dengan mantan presidium SIRA dan Pimpinan Sidang Umum V, Aceh Utara, 17/12/2009 8 PNA adalah Pemerintahan Negara/Nangroe Aceh
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
35
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
musyawarah dan mufakat dengan pimpinan KPA dan/atau GAM, sehingga terbentuk koalisi yang permanen dengan partai dari GAM. SIRA akan mengupayakan agar GAM membentuk beberapa partai lokal untuk memperkuat perjuangan cita-cita menjadi satu’. Jika merujuk kepada uraian di atas perpisahan bukan untuk berkompetisi dan berkonflik yang saling menghancurkan, tetapi lebih sebagai strategi mengepung atau memblokir ‘musuh’ (Parnas) menguasai parlemen Aceh. Hal ini dipertegas kembali dalam Sidang Luar Biasa (SLB) SIRA pada tanggal 24 Juli 2007 di Banda Aceh; “Pertama, mendorong GAM untuk tetap menjadi Stakeholder dari MoU – Helsinki. Kedua, melihat, meng analisa dan mengkaji perkembangan berbagai aspirasi dan untuk memperkuat kekuatan strategis GAM, maka SIRA mendorong GAM untuk mengkonsolidasikan partai – partai politik lokal dalam satu barisan perjuangan. Ketiga, mengintensifkan komunikasi dengan pimpinan GAM agar mendukung pembentukan partai politik dari SIRA. Keempat, pemetaan kekuatan yang mereka miliki baik dukungan financial maupun SDM. Kelima, konsolidasi internal dan eksternal. Keenam, merasionalisasi dan mengkonsultasikan pembentukan parlok dari SIRA dengan pimpinan GAM”. “……Pembentukan partai politik SIRA tidak melakukan pembusukan terhadap GAM. Tidak berkonfrontasi dengan GAM”(Modus Aceh, 2007). SIRA membuat partai dengan tujuan memperkuat GAM, karena tidak mungkin satu partai (PA) dapat menguasai parlemen melebihi 60%. Jika pun menguasai perolehan suara dan kursi, parlemen belum dapat dikusai karena sistem parlemen Indonesia menganut prinsip “satu partai adalah satu fraksi.” Jadi SIRA tidak berkompetisi dengan GAM, tetapi mendukung seperti pada saat konflik dahulu, artinya dengan adanya partai SIRA, Aceh akan dikuasai oleh orang Aceh sendiri.9 SIRA sebagai alternatif bagi masyarakat Aceh yang kurang suka dengan gaya perjuangan GAM. Selanjutnya kalau satu partai (PA) saja sebagai kendaraan politik bagi mantan aktivis GAM dan SIRA, kendaraan politiknya sangat kecil, kader SIRA tidak dapat terakomodir secara maksimal.10 Kemudian dengan adanya partai lokal selain PA, masyarakat dapat belajar politik dengan baik, karena adanya komparasi pendidikan politik bagi
9 Wawancara aktivis SIRA di Banda Aceh 04/08/2009 dan aktivis SIRA di Lhokseumawe 09/ 08/2009. Orang Aceh sendiri masih dipahami adalah GAM dan SIRA, yang melawan penindasan RI terhadap Aceh dan belum terkontaminasi pikirannya oleh Pemerintah Indonesia. 10 Wawancara dengan mantan aktivis SIRA Referendum di Aceh Utara 20/08/2009
36
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
masyarakat,11 artinya dengan multi partai masyarakat mendapat ‘suguhan’ pendidikan politik yang variatif. Namun demikian dalam pandangan GAM, terutama di tingkat wilayah, SIRA adalah pengkhianat. Stigma pengkhianat sebenarnya sudah mulai muncul pasca pencalonan Gubernur/Wakil Gubernur, H2O dan IRNA pada Pilkada 2006, khususnya di Pidie (Taufik, 2007). GAM Pidie yang mendukung H2O menilai paket IRNA adalah hasil rekayasa SIRA yang menyebabkan perpecahan di internal GAM,12 sehingga muncul ke publik istilah ‘GAM tua’ (pendukung H2O) dan ‘GAM muda’ (pendukung IRNA). Namun kondisi ini kurang terlihat di wilayah lainnya kecuali sebagian wilayah sagoe13 di Bireun, sehingga di Bireun juga sedikit terjadi ketegangan antara pendukung H2O dan Pendukung IRNA waktu itu, terjadinya serangan terhadap H2O oleh pendukung IRNA. Tim kampanye H2O juga tidak diperboleh menggunakan sumberdaya dan fasilitas sagoe untuk kampanye di Bener Meriah (Forbes, 2006). Pada Pemilu 2009 stigma pengkhianat bagi SIRA oleh GAM/PA tidak hanya di Pidie tetapi sudah meluas ke wilayah Aceh lainnya yang dikuasai oleh PA. Dalam wawancara dengan Pengurus PA di Lhokseumawe, Aceh Utara, Bireuen dan Pidie, semua mengatakan SIRA pengkhianat. Sebagian mereka ada yang masih menghargai SIRA Referendum14 dan mengklaim pengkhianat bagi yang mendirikan SIRA Partai. Namun secara umum, mereka menjawab secara spontan SIRA Pengkhianat! ketika ditanyakan bagaimana hubungan GAM dengan SIRA. Salah satu contoh statemennya adalah “Awai tanyoe memang sangat jroh hubungan dengan SIRA, sapoe kheun dan saboh tujuan, Jinoe SIRA bagi kamoe pengkhianat”.15 Anggapan SIRA adalah pengkhianat karena GAM menilai SIRA bagian dari GAM dan Muhammad Nazar selaku presidium SIRA telah mengingkari janjinya pada tahun 2006, bahwa dia tidak akan membuat partai sendiri dan tetap bersama GAM. Label pengkhianat yang ditujukan kepada SIRA bermakna GAM mempunyai harapan besar kepada SIRA untuk tetap bersatu dengan GAM dalam Partai Aceh. Menurut mantan Sekjen SIRA16, pertama kali pulang Mentro ke Aceh untuk mendirikan partai GAM, beliau mendatangi teman-teman elit SIRA mengajak untuk membuat satu partai, tetap bergabung dengan GAM. 11
Wawancara dengan mantan aktivis SIRA di Lhokseumawe 01/08/2009 Wawancara dengan anggota KPA di Pidie, 13/08/2009 13 Sagoe adalah sebutan yang digunakan oleh GAM untuk sub-distrik wilayah kabupaten/ 12
kota. 14 SIRA Referendum adalah organisasi yang didirikan pada tahun 1999 yang menginginkan konflik Aceh diselesaikan melalui referendum. Organisasi ini dianggap oleh pemerintah Pusat sebagai sayap intelaktual GAM. 15 Wawancara di Lhokseumawe, 08/08/2009, Aceh Utara, 09/08/2009, Bireun, 10/08/2009 Pidie, 13/08/2009. Artinya, “Dulu kita (GAM) memang sangat baik berhubungan SIRA, satu kata dan satu tujuan, tetapi sekarang bagi GAM, SIRA adalah pengkhianat.” 16 Wawancara dengan mantan Sekjen SIRA yang telah bergabung dengan PA di Banda Aceh, 04/08/2009
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
37
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
Hal ini juga terefleksi dari ungkapan anggota KPA/anggota legislatif terpilih dari PA Pidie17, “Dalam program GAM orang-orang SIRA yang menjadi calon legislatif bukan saya, saya tidak berminat sedikit pun”. Hal senada juga diungkapkan oleh KPA Bireun, “Muhammad Nazar sebenarnya akan dijadikan ‘Raja Aceh’ setelah Wali, Mentroe, dan Muzakir Manaf. Tapi dia sudah berkhianat hari ini”18. Sejalan dengan ini juga diutarakan oleh anggota legislatif Aceh dari PA,19 “Orang SIRA tidak sabar, ujung tongkat (puncak pimpinan) sudah diserahkan kepada mereka tetapi mereka menarik paksa sebelum dilepaskan”. Deskripsi di atas berbeda dengan pendapat di kalangan SIRA. Menurut mereka konflik terjadi karena belum paham atau salah paham dengan strategi yang ditawarkan SIRA,20 dan sudah dimasuki keinginan-keiginan orang lain yang tidak disadari oleh orang GAM. Adanya provokasi bahwa SIRA adalah orang pintar dan akan menduduki jabatan strategis, sementara GAM adalah orang bodoh akan tersisihkan (ini skenario Jakarta).21 Namun pada sisi lain GAM memang menuding bahwa SIRA dalam kampanyenya sering membuat statemen-statemen yang menunjukkan GAM bodoh dan tidak pantas untuk dipilih menjadi anggota legislatif jika Aceh diinginkan lebih maju. SIRA dalam komapanye selebaran dan kampanye podium mengatakan GAM itu bodoh22. Hal senada juga diungkapkan KPA Pidie, “wakil bupati dari orang SIRA juga pengkhianat, dia katakan untuk apa kita pilih orang bodoh (GAM)”. Jika dilihat kampanye GAM pada Pemilu 2009, konflik juga dapat dikatakan akibat beda pandangan atau pemahaman terhadap klausul MoU tentang pembentukan partai lokal. GAM memandang berdasarkan MoU merekalah yang berhak membuat partai lokal di Aceh. Dalam kampanye selebaran yang ditempelkan di tempat- tempat keramaian GAM mengambarkan dua pihak yang bertanggung jawab terhadap MoU, RI dan GAM. Dalam Pemilu 2009 pihak Indonesia direpresentasikan oleh partai nasional, sementara GAM diwakilkan oleh Partai Aceh. Berbeda pendapat dengan GAM, SIRA menilai yang memungkinkan lahirnya Partai SIRA juga bedasarkan klausul MoU tersebut, MoU telah memberikan peluang kepada seluruh elemen masyarakat Aceh untuk membuat partai politik lokal. MoU memberi hak yang besar bagi pelaksanaaan proses demokrasi di Aceh. Selanjutnya Taufik Abda mengatakan “kita membangun partai bukan karena GAM, tetapi karena MoU Helsinki (Modus, 20 Desember, 2007).
17
Wawancara di Pidie, 13/08/2009 Wawancara dengan KPA, anggota legislatif Aceh dari PA di Bireun 10/08/2009 19 Wawancara di Banda Aceh 04/08/2009 20 Wawancara dengan Pengurus SIRA di Bireun, 10/08/2009 21 Wawancara dengan aktivis SIRA di Banda Aceh, 04/08/2009 22 Wawancara dengan personil KPA Wilayah Pasee, 08/08/2009 18
38
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
Sesuai dengan uraian di atas Rizwan (2008) mengatakan bahwa salah satu pesan politik yang ditampilkan GAM adalah klaim bahwa PA satu-satunya partai politik lokal yang diamanahkan MoU Helsinki, sementara partai lokal lainnya adalah ‘anak haram’ yang menyalip di tikungan dan memanfaatkan perdamaian untuk merebut kekuasaan politik. Klaim atau pemahaman inilah yang dijadikan alasan kuat oleh GAM untuk menghambat laju partai lokal lainnya, terutama sekali partai SIRA yang dipandang mengancam eksistensi PA mengingat SIRA juga memiliki basis hampir sama dengan basis GAM. Menurutnya juga konflik GAM dan SIRA tidak terlepas dengan cara pandang diri masing-masing, GA M memandang SIRA sebagai underbownya GAM, sementara SIRA melihat dirinya independen bukan bagian dari GAM. Mungkin atas dasar ini pula GAM menilai SIRA sebagai pengkhianat karena sudah keluar dari GAM23 Berdasarkan deskripsi di atas dapat dipahami bahwa konflik antara GAM dan SIRA terjadi disebabkan adanya perbedaan persepsi terhadap klausul dalam MoU Helsinki yang berkaitan dengan hak mendirikan partai lokal, SIRA tidak memperoleh kesepakatan dalam bargaining position pada kepengurusan partai GAM dan kadernya tidak terakomodir secara maksimal, berbeda pemahaman terhadap sistem dan strategi dalam upaya menguasai parlemen, dan SIRA merasa berpeluang memenangkan Pemilu. Penyebab terjadinya konflik antara GAM dan SIRA sebagaimana diuraikan di atas nampaknya sedikit berbeda dengan pendapat Hugh Miall (dalam Agustino, 2007) bahwa konflik politik di tingkat regional disebabkan oleh ambisi-ambisi pribadi para elit pimpinan, dan rasa tidak puas kelompok terhadap kondisi realitas. Begitu juga dengan Kreitner & Kinicki (1995) yang berpendapat, “All kinds of opposition or antagonistic interaction, It based on scarcity of power, resources or social position, and differing value systems”. Secara manifes penyebab konflik antara dua oraganisasi tersebut lebih disebabkan perbedaan pandangan, yaitu pandangan terhadap klausul MoU Helsinki dan strategi menguasai parlemen, dan kelangkaan posisi, yaitu possisi kepengurusan yang ada dalam PA tidak mampu mengakomodir aktivis SIRA secara maksimal. Dengan demikian SIRA lebih memilih mendirikan partai sendiri dan akan melakukan koalisi dengan PA di parlemen.
IV.
KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya konflik antara GAM dan SIRA adalah: 1) Perbedaan pemahaman terhadap klausul MoU Helsinki tentang Partai Lokal. GAM memahami bahwa partai lokal untuk Aceh hanya satu dan diwakili oleh GAM, sementara SIRA
23 Wawancara dengan Rizwan di Lhokseumawe, 23/08/2009. Ia adalah mantan ketua konsulat SIRA wilayah Pase.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
39
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
memahami multi partai dan semua elemen masyrarakat Aceh berhak membuat partai lokal; 2) Perbedaan pandangan dalam strategi menguasai lembaga legislatif. GAM beranggapan bahwa dengan satu Parlok parlemen akan dapat dikuasai secara maksimal, karena rakyat Aceh tidak terpecah, dan semua elemen menyatu dalam satu partai, sementara SIRA berpandangan bahwa dengan satu partai tidak mungkin dapat mengusai parlemen, karena tidak semua masyarakat pro terhadap GAM. Untuk itu diperlukan wadah alternatif sebagai tempat penyaluran aspirasinya. Disamping itu SIRA juga menilai jika pun dapat menguasai parlemen dengan satu partai lokal, Parlok juga belum bisa berbuat maksimal karena satu partai dihitung satu fraksi. Konflik tersebut kemudian dipertajam oleh perbedaan kepentingan elit dalam dua organisasi tersebut. Disamping itu, juga adanya provokasi pihak ketiga yang tidak menginginkan mereka menguasai parlemen secara signifikan, terutama para competitor Pemilu dari partai lainnya, baik partai nasional maupun partai lokal. Konflik tersebut merupakan perubahan bentuk interaksi, kerjasama ke konflik. Sebagian orang memandang hal ini wajar karena masyarakat selalu berwajah dua, yaitu consensus dan konflik (meminjam istilah Dahrendorf, 1986). Oleh sebab itu, konflik GAM dan SIRA bukan merupakan hal aneh, apalagi dalam dunia politik, tidak mengenal persahabatan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Namun bagi Aceh kondisi politik seperti ini tentu dapat menggangu pembangunan Aceh karena keduanya sedang berkuasa di Aceh. Untuk itu, penulis menyarankan kepada ke dua organisasi tersebut untuk bersatu kembali guna dapat membangun Aceh sesuai dengan cita-cita yang pernah disepakati bersama. Lihat dan renungkan kembali siapa yang pantas dijadikan sebagai musuh abadi yang merusak Aceh. Masa depan Aceh sangat ditentukan oleh solidaritas dan komitmen para pejuang.
40
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
DAFTAR PUSTAKA Buku Teks dan Jurnal Adan, Hasanuddin (2006). Politik dan Tamaddun Aceh. Banda Aceh: Adnin Foundation Agustino, Leo (2007). Perihal Ilmu Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu Aguswandi (2008). Proses Politik di Aceh: Sebuah Awal Baru?. Accord, London: Conciliation Resources. Dahrendorf, Ralf (1986). Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. Jakarta: Rajawali. Fasya, Kemal, T. (2005). Ritus Kekerasan dan Libido Nasionalisme. Yogyakarta: BukuBaik Kreitner, Robert, & Kinicki, Angelo (1995). Organizational Behavior. Chicago: Irwin Rizwan, M. (2009). Transformasi Gerakan: Dari Gerakan Senjata ke Kotak Suara. Prisma, 1 (28), 99-114. Sulaiman, Isa (2000). Aceh Merdeka; Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan. Jakarta: Pustaka Al-Kausar. Tipe, Syarifuddin (2000). Aceh di Persimpangan Jalan. Jakarta: Pustaka Cidesindo
Internet/Media Aceh Independen (2008). Partai GAM Kembali Ganti Nama. http:// www.acehforum.or.id Akbar, Zulfikar (2009). Menakar Peluang Tiga Partai, http://id.acehinstitute.org. Forbes Damai (2006). Laporan Dinamika www.conflictanddevelopment.org
Pilkada
Aceh.
http://
Gatra (2007) Partai SIRA Gelar Kongres., http://www.gatra.com.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
41
Suadi, M.Si Kerja Sama Yang Terbelah (Satu Analisis Konflik Antara GAM dan SIRA dalam Perpolitikan Di Aceh)
Hamzah, Murizal (2009). “Bukan Preh Mandum”, Refleksi 10 Tahun Referendum. http://m.serambinews.com. Kirsten (2004). The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization. By the East-West Center Washington, http:// www.tamilnation.org Metrotvnews, 27 Nopember 2006, http://www2.metrotvnews.com/new/ berita. Modus Aceh (2007). Merekam Jejak Lahirnya Partai SIRA. Edisi IV, Desember, 2007, http//www.modusaceh.com. Modus Aceh (2009) Partai Aceh Meraih Kemenangan yang Signifikan. Edisi VI, 2009, http//www.modusaceh.com. Pidato Ketua DPR RI (2005). Rapat Paripurna DPR RI Penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2005 – 2006 30 September 2005, http://www.parlemen.net. Rakyat Aceh (2007). SIRA Isyaratkan Koalisi dengan GAM, http://202.152.32.84/ ~rakyat/ Rakyat Merdeka (2008). Biar Lolos Pemilu 2009, Partai GAM Ganti Nama. http:/ /www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara Sudirman, Ahmad (2000). Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau II. http:/ /www.library.ohiou.edu. Taufik, Almubarak (2007). Partai SIRA Seutot Indatu. http:// almubarak.multiply.com Tarmizi (Presedium SIRA) (1999). Rekomendasi Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau, http://www.mail. archive.com/
[email protected]
ooOoo
42
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Mursyidin, SAg., MA Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat Pasca Perdamaian Aceh
PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN ACEH BARAT PASCA PERDAMAIAN ACEH Oleh : Mursyidin, S.Ag., MA Abstrak Fungsi legislasi ialah kekuasaan dalam membuat peraturan atau undang-undang. Dalam tahapan dan pelaksanaan fungsi legislasi ini di Kabupaten Aceh Barat masih sangat lemah. Hal ini dilihat dalam fungsi legislasi secara nominal dalam pelaksanaan Qanun Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pemerintahan Gampong di Kabupaten Aceh Barat, dan fungsi legislasi dalam supremasi yaitu pelaksanaan peraturan Bupati Aceh Barat Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penegakan Syariat Islam dalam Pemakaian Busana Muslim di Kabupaten Aceh Barat hingga tempoh kini belum berjaya. Hambatan ini mengenai pendidikan, pengalaman, dan masalah kondisi sosial ekonomi yang rendah akan mengakibatkan pengawasan bersifat politis dan pragmatis, program kerja tidak jelas dan tidak terarah. Sehingga mengakibatkan peranan DPRK Kabupaten Aceh Barat akan melemah sebagai pelaksana fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah. Kajian ini ialah metodologi kajian ini kualitatif dengan analisa deskriptif, dan diperkuat dengan kajian teoritis berasaskan dari kajian lepas. Pelaksanaan fungsi legislasi perimbangan harus secara kesinambungan sebagai fungsi legislasi senantiasa aspek partisipasi, responsibiliti, transparansi, keberkesanan dalam pelaksanaan peraturan perundangan. Dan hingga kini terjadi hambatan mengenai pendidikan, pengalaman, dan masalah kondisi sosial ekonomi yang rendah akan mengakibatkan pengawasan bersifat politis dan pragmatis, program kerja tidak jelas dan tidak terarah. Kesimpulan dalam kajian ini ialah maka sangat diperlukan penguatan kapasitas sumber daya lembaga legislatif dengan memberikan pendidikan politik dalam menjaringkan demokrasi kepada masyarakat pasca perdamaian Aceh. Sehingga dalam kajian ini dicadangan agar ada kajian lanjutan untuk kesinambungan peranan Dewan Perwakilan Rakyat ialah Optimal Peranan Ahli-Ahli Perwakilan Rakyat Aceh dalam Pembangunan Perdamaian yang berkelanjutan. Key Word : Fungsi Legislasi, DPRK, Perdamaian Aceh Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
43
Mursyidin, SAg., MA Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat Pasca Perdamaian Aceh
Pengenalan Salah satu dampak dari orde reformasi yang menjadi perhatian utama sampai saat ini ialah menyangkut isu dasar otonomi daerah. Pemerintah melalui pelaksanaan dasar “Desentralisasi” politik, hukum, dan fiskal dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan telah dicabut dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Lahirnya kedua Undang-undang tersebut telah membawa perubahan signifikan dalam beberapa aspek seperti politik, pembentukan daerah dan kawasan khusus, pengelolaan keuangan daerah, pemanfaatan sumber-sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat lokal terhadap hubungan Pemerintah Pusat dan daerah. Proses pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berjalan sejak Januari 2001 dalam kenyataannya belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Adanya interpretasi yang berbeza antara pusat dan daerah merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pelaksanaan aturan pemerintahan tidak berjalan. Selain juga adanya tumpang tindih antara peraturan perundangan yang ada di daerah dengan pusat, hal tersebut bisa berupa peraturan perundangan yang sama ataupun peraturan perundangan yang berlawanan antara aturan yang berada di bawah dengan aturan yang ada di atasnya secara hirarki. Pembentukan undang-undang merupakan salah satu unsur penting di samping unsur-unsur lainnya dalam rangka pembangunan sistem hukum nasional. Salah satunya dalam pelaksanaan fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif telah menyetujui rancangan perundangundangan Pemerintah Aceh pada 5 Juli 2006 yang diwakili oleh 10 (sepuluh) fraksi DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Rancangan undang-undang ini yang terdiri dari 40 bab dan 273 pasal. Ini momentum awal Aceh memulai pembangunan dan melupakan masa konflik pada masa silam. Maka inilah sebagai salah satu peranan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai fungsi legislasi. Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) merupakan pelaksanaan isi Nota Perdamaian Helsinki yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) demi penyelesaian secara damai akibat konflik yang berkepanjangan di Aceh. Setelah perundingan sangat panjang, akhirnya pada tanggal 15 Agustus 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melakukan dalam materai mereka Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesefahaman di Helsinki, akibat lahir MoU ini maka lahirlah Undang-undang Pemerintahan Aceh. Berdasarkan dalam UUPA Nomor 11 Tahun 2006, Tentang Pemerintahan Aceh dalam Pasal 24 menyatakan bahwa DPRK sebagai fungsi legislasi mempunyai tugas dan kuasa dalam membuat qanun kabupaten/kota yang dibahas dengan Pemerintah Daerah yaitu Bupati untuk mendapat persetujuan bersama dan melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan qanun kabupaten/kota dan peraturan perundang-undangan lain dari peraturan
44
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Mursyidin, SAg., MA Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat Pasca Perdamaian Aceh
yang umum mengikuti peraturan yang khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Latar Belakang Masalah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Bab VI berkaitan Pemerintah Daerah telah menetapkan kewujudan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dibagi atas Provinsi, Kabupaten dan Kota yang mempunyai Pemerintahan sendiri yang diatur dalam UUD 1945, juga menetapkan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dengan memperhatikan dan kekhususan dan keragaman daerah yang diatur dengan undang-undang. Hal yang demikian merupakan salah satu perwujudan desentralisasi dalam kehidupan negara. Secara umum DPRD mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu: fungsi perw akilan, fungsi pembuatan dasar legislasi, dan fungsi pengawasan. Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi legislasi dinilai oleh banyak kalangan sebagai fungsi yang paling sedikit kurang mendapat perhatian dari para anggota dewan. Untuk dapat melaksanakan fungsi ini dengan baik memang sangat diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap persoalan yang dihadapi, wawasan yang luas, dan tentu saja kemampuan tenis yang memadai. Selain itu tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk dapat menghasilkan suatu produk legislasi yang berkualiti, memerlukan proses yang tidak gampang (Wismar E, 2004). Demikian hal dalam pembuatan pengambilan dasar yang merupakan realisasi dari UUPA Nomor 11 Tahun 2006 sebagai wujud perdamaian Aceh menjelaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten adanya kewajiban mengawasi pelaksanaan desentralisasi pengambilan keputusan dasar terhadap perundangan yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan Qanun Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Kekhususan Pemerintahan Gampong di Kabupaten Aceh Barat, namun dalam analisa dari Qanun tersebut tidak adanya kekhususan sama seperti idealnya dalam Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong yang telah diperlakukan oleh Pemerintah Provinsi di seluruh Aceh. Namun dengan demikian berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan oleh (Fadmi, 2012) dalam analisis Pasal 12 dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2010 ini tentang kedudukan Geucik sebagai Pemerintah Gampung dan Imam Mesjid sehingga terdapat dualisme kepemimpinan di dalam struktur pemerintahan. Dan dalam pelaksanaan peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penegakan Syariat Islam dalam Pemakaian Busana Muslim di Kabupaten Aceh Barat. Hal inilah yang menjadi objektif dalam kajian ini yaitu tentang penguatan fungsi legislasi dalam penyusunan perundang-undangan dan pengawasan pengambilan keputusan Pemerintah Daerah yang telah diakui kepada masyarakat pasca perdamaian Aceh saat ini. Adapun yang dimaksudkan kekuasaan legislasi ialah kekuasaan membuat peraturan atau undang-undang. Lembaga negara yang disebut lembaga legislasi Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
45
Mursyidin, SAg., MA Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat Pasca Perdamaian Aceh
menurut UUD 1945 ada 2 (dua), yaitu: Lembaga legislatif tertinggi (MPR) dan lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Rakyat. Pengertian lembaga legislatif sehari-hari yaitu DPR menurut UUD 1945 dapat diartikan hampir sama dengan pengertian lembaga legislatif dalam teori negara modern, badan legislatif diartikan sebagai lembaga “legislate” atau membuat undang-undang. Anggotaanggotanya dianggap mewakili rakyat, maka dari itu badan ini sering dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nama lain yang sering dipakai adalah parlemen. Badan legislasi dalam kajian ini adalah badan yang anggota-anggotanya merupakan perwakilan politik atau perwakilan rakyat yang bertugas untuk merumuskan kemauan rakyat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengikat rakyat secara umum, serta melakukan pengawasan terhadap terpenuhinya kemauan rakyat. Menurut (Waning, 1982) Berdasarkan kedudukan dan kekuasaannya badan legislasi dibedakan menjadi ke dalam 3 (tiga) peranan yaitu : a. Legislasi Nominal, hakikat peranannya hanya terbatas pada formalitas saja. Kekuasaan tertinggi dan mempunyai kuasa untuk membuat undangundang, tetapi lembaga legislatif tersebut tunduk koordinasi kepada lembaga atau badan eksekutif; b. Legislasi Supremasi, ini berarti yang mempunyai kedudukan kekuasaan supremasi di dalam negara dan mempunyai peranan yang menentukan. Lembaga legislatif ini tidak saja menentukan dalam peraturan perundangundangan, tetapi juga memilih hak untuk mengawasi lembaga eksekutif bahkan jika perlu dapat menjatuhkan kabinet; c. Legislasi Perimbangan, dalam sistem ini kedudukan dalam lembaga legislatif seimbang dan mempunyai peranan yang sama dengan lembaga eksekutif, demikian juga dengan lembaga yudikatif dan ketiga-tiganya sejajar; Demikian juga dalam kajian (Susilo, 2008) Peranan DPRD Kabupaten Sleman dalam Pembuatan Peraturan Nomor 6 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, salah satu adanya hak yang dimiliki oleh DPRD berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan DPRD dalam mengajukan rancangan peraturan daerah. Hasil kajiannya menyimpulkan DPRD Kabupaten Sleman mempunyai komitmen yang cukup tinggi untuk terus berupaya menciptakan pemerintahan yang senantiasa mengedepankan aspek partisipasi, responsibilitis, transparansi, keberkesanan, guna mendukung pelaksanaan peraturan daerah tersebut. Menurut Manzilati (Manzilati, 2006) penguatan fungsi legislatif dan evolusi kerja menjelaskan peranan DPRD dalam keberadaan produk legislatif masih rendah, keadaan demikian menunjukkan perlembagaan legislatif belum memperlihatkan prakarsa yang maksimal sesuai dengan aspirasi masyarakat dalam perwujudan demokrasi yang diwakilkan oleh rakyat, agar suatu kegiatan yang dilaksanakan punya pedoman sehingga dapat terlaksana dengan baik. Begitu pula dalam kajian ini fungsi DPRD sebagai
46
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Mursyidin, SAg., MA Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat Pasca Perdamaian Aceh
fungsi legislatif (legislative function) dalam dasar kerajaan dalam perundangundangan masih terjadi kontradiksi belum menunjukkan perwujudan demokrasi aspirasi masyarakat. Dan dalam kajian Sipayung (Sipayung, 2008), Peranan DPRD terhadap implementasi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati di Kabupaten Deli Serdang. DPRD sebagai perlembagaan yang mengawasi Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati dimaksudkan bahwa DPRD melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah serta Peraturan Bupati. Peraturan tersebut dapat dibuat secara bersama antara DPRD dan Bupati. Maka DPRD masih perlu mengawasi atas berlakunya Peraturan Daerah. Hasil kajiannya pelaksanaan DPRD terhadap implementasi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati pada dasarnya pengawasan dilakukan empat hal, pertama, tingkat implementasi. Kedua, Program pembangunan masyarakat. Ketiga, kasus-kasus penting strategis. Keempat, hambatan yang berasal dari internal dewan dan dari luar dewan. Hambatan ini mengenai pendidikan, pengalaman, dan masalah kondisi sosial ekonomi yang rendah akan mengakibatkan pengawasan bersifat politis dan pragmatis, program kerja tidak jelas dan tidak terarah. Sehingga mengakibatkan peranan DPRD akan melemah sebagai pelaksana fungsi pengawasan terhadap implementasi Peraturan Daerah. Sedangkan Menurut dari hasil kajian (Lgnatius, 2011) menurut hasil Pusat Studi Hukum Dasar dari tahun 2004-2009 dan sebagai tahap berikutnya 2009-2014, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam menyuarakan kepentingan rakyat yang memiliki sejumlah masalah Tidak semua anggota DPRD memiliki kapasitas yang memadai dalam membahas perundangan diajukan oleh eksekutif kepada legislatif. Supporting system yang dimiliki DPRD dibandingkan dengan eksekutif, baik dari sisi kuantitas ataupun kualitas, jauh dari memadai. Hambatan politis berupa tarik menarik kepentingan antar partai yang direpresentasikan oleh anggota DPRD belum memiliki suara bulat mengusung agenda-agenda pro rakyat. Undang-undang yang tidak diiringi dengan peraturan pelaksanaan yang jelas dan tegas aturan pelaksanaan yang berganti-ganti. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan dasar kondisi seperti inilah yang harus dihadapi oleh para anggota dewan, namun tentu saja kondisi ini harusnya tidak mencatukan semangat anggota dewan untuk menghasilkan polisi yang terbaik. Adanya kekurangan-kekurangan tersebut harusnya memacu para wakil rakyat untuk makin memperbaiki diri dan pada akhirnya membela kepentingan masyarakat yang sesungguhnya
Metodologi Kajian Metodologi yang digunakan berbentuk tinjauan pendekatan metode kualitatif dengan analisis berasaskan deskriptif. Kajian kualitatif dalam Bogdan dan Taylor (1975), mentakrifkan sebagai prosedur penyelidikan yang menjadi data deskriptif, yaitu maklumat dalam bentuk tulisan, perkataan dan Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
47
Mursyidin, SAg., MA Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat Pasca Perdamaian Aceh
pemerhatian yang dihasilkan oleh penyelidik sendiri. Sikap seseorang penyelidik dalam penyelidikan bercorak kualitatif haruslah lebih cenderung menghargai dan memahami suatu perlakuan daripada cuba membaiki dan membentuk semula sesuatu yang telah berlaku. Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan observes dengan menentukan key informan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dalam kajian ini.
Keputusan dan Perbincangan Peranan Legislasi di Kabupaten Aceh Barat dalam menjalankan tugasnya sebagai pengambilan dasar terhadap perundangan-undangan baik secara nominal maupun supremasi masih sangat lemah. Hal ini dilihat dalam pelaksanaan Qanun Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pemerintahan Gampong. Dalam pernyataan di pasal 12 berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan adanya dualisme kepemimpinan Imam Masjid dan Imam Meunasak sebagai pihak pemerintah yang mengurus perkantoran dan pengurusan kegiatan di Gampong. Serta apabila dilihat dari fungsi legislasi supremasi tidak berjalan dengan baik. Hal ini dilihat dalam pelaksanaan Peraturan Bupati Kabupaten Aceh Barat Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penegakan Syariat Islam dalam Pemakaian Busana Muslim. Pelaksanaan peraturan ini cenderung adanya pro dan kontra dalam kehidupan masyarakat sebab terikat dengan aturan tertentu, sebab bukan menanam kesadaran masyarakat dalam berprilaku dengan baik dengan mentaati aturan tersebut. Dan sampai saat ini peraturan tersebut belum Berjaya dijalankan. Begitu pula dalam pelaksanaan fungsi legislasi perimbangan harus secara kesinambungan sebagai fungsi legislasi senantiasa aspek partisipasi, responsibiliti, transparansi, keberkesanan dalam pelaksanaan peraturan perundangan. Dan hingga kini terjadi hambatan mengenai pendidikan, pengalaman, dan masalah kondisi sosial ekonomi yang rendah akan mengakibatkan pengawasan bersifat politis dan pragmatis, program kerja tidak jelas dan tidak terarah. Sehingga mengakibatkan peranan DPRK akan melemah sebagai pelaksana fungsi pengawasan terhadap implementasi peraturan daerah. Maka dalam hal sangat penting diperkuat kapasitas sumber daya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Aceh Barat agar dapat mewujudkan pembangunan perdamaian yang berkelanjutan di Kabupaten Aceh Barat. Kesimpulan Dan Cadangan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat harus lebih diperkuatkan kapasitas para anggota dalam menjalankan peranannya sebagai fungsi legislasi nominal, supremasi dan perimbangan. Dalam menjalankan fungsi legislasi ini masih sangat lemah, sebab dilihat dari pelaksanaan Qanun sebagai keputusan pengambilan dasar lembaga legislatif dan pelaksanaan Peraturan Bupati Aceh Barat dalam penegakan Syariat 48
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Mursyidin, SAg., MA Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat Pasca Perdamaian Aceh
Islam belum berjaya. Hambatan ini mengenai pendidikan, pengalaman, dan masalah kondisi sosial ekonomi yang rendah akan mengakibatkan pengawasan bersifat politis dan pragmatis, program kerja tidak jelas dan tidak terarah. Sehingga mengakibatkan peranan DPRD akan melemah sebagai pelaksana fungsi pengawasan terhadap implementasi peraturan daerah Maka sangat diperlukan penguatan kapasitas sumber daya dengan memberikan pendidikan politik lembaga legislatif dalam menjaringkan demokrasi kepada masyarakat pasca perdamaian Aceh. Dan dalam kajian ini dicadangkan adanya kajian lanjutan agar kesinambungan peranan Dewan Perwakilan Rakyat ialah Optimal Peranan anggota Perwakilan Rakyat Aceh dalam Pembangunan Perdamaian yang berkelanjutan.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
49
Mursyidin, SAg., MA Penguatan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Barat Pasca Perdamaian Aceh
Daftar Pustaka Budiardjo, M (1986). Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia. Jakarta. P. 173 Bogdan. R dan Taylor, S.J. (1995), Introduction to Qualitative Research Methods. New York: J. Wiley Fadmi, (2012), Analisis Kanun Nombor 2 Tahun 2010 Tentang Pemerintahan Kampung di Kabupaten Aceh Barat pada kes fasal 12 tentang Peranan dan fungsi Imam meunasah dan imam Masjid, Universitas Teuku Umar, Meulaboh Aceh Barat. Lgnatius, (2011), Implementasi Dasar dalam Perancangan berasaskan Pelaksanaan Fungsi Legislatif, DEMOS, Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. P. 37 Manzilati, (2006), Penguatan Fungsi Legislatif dan Evoluasi Kerja. Journal of Indonesia Applied Economic. Vol (5) No (2) P. 6 Sipayung, (2008), Peranan DPRD terhadap Implementasi Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati, Thesis, Universitas Sumatera, Medan, P. 23 Sosilo, (2008), Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sleman dalam Pembuatan Peraturan Daerah Nombor 6 Tahun 2007 Tentang APBD, Thesis Universitas Islam Indonesia, Yokyakarta. P. 1 Wismar, E. (2004). Analisis Peranan Badan Legislatif Daerah dalam pembentukan perundangan. Gramedia. Jakarta. P. 76 Warning, (1982). Aneka Asas Ilmu Negara. PT Bina Ilmu. Surabaya. P. 62-66 Dokumen : Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Keistimewaan Aceh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Autonomi Khusus di Aceh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Kerajaan Daerah Undang-undan Nomor 32Tahun 2004 Tentang Kerajaan Daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 / UUPA Tentang Pemerintah Aceh. Kanun Kabupaten Aceh Barat Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Pemerintahan Kampung di Kabupaten Aceh Barat Peraturan Bupati Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Penegakan Syariat Islam dalam Pemakaian Busana Muslim di Kabupaten Aceh Barat
ooOoo
50
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
MENGUKUR TINGKAT KEPUASAN PASIEN DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS KABUPATEN ACEH UTARA Oleh : Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Abstrak Pemerintah sebagai salah satu penyedia layanan dituntut untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, hal ini bertujuan agar kebutuhann masyarakat yang dilayani dapat terpenuhi. PUSKESMAS sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) diberikan kewenangan dan kemandirian oleh Dinas Kesehatan di tingkat Kabupaten untuk melaksanakan tugas-tugas teknis operasional pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan. Pada kenyataannya diidentifikasikan adanya kesenjangan antara persepsi konsumen dan persepsi penyedia jasa pelayanan kesehatan yang mengakibatkan gagalnya penyampaian pelayanan jasa yang berkualitas. Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kepuasan pasien dalam pelayanan kesehatan PUSKESMAS di Kabupaten Aceh Utara. Sesuai dengan karakteristik masalah, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Data dan informasi yang didapatkan berasal dari observasi dan wawancara berupa : observasi langsung, catatan wawancara, rekaman wawancara dan data-data dokumentasi lapangan yang kemudian selanjutnya dilakukan pengujian keabsahan data dengan teknik triangulasi.Hasil penelitian membuktikan bahwa persepsi pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan termasuk dalam tingkat kategori yang kurang memuaskan. Kata Kunci : Tingkat Kepuasan, pelayanan kesehatan.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
51
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
Abstract Government, as one of the service providers, is expected to improve the quality of the service delived to the public in order to fullfil their needs. PUSKESMAS (Public Healthcare Centre), as a Technical Unit of Execution of the National Department (Unit Pelaksana Teknis Dinas - UPTD), is given authority and autonomy by the Health National Department at the regency level to execute technical and operational tasks in the district zone. In fact, discrepencies are identified between the customers’ perceptions and the health service provider’ s perceptions. These discrepencies result in failure in delivering quality service.Based on this fact, the present research is aimed to measure the patients satisfaction on services provided by the PUSKESMAS in the regency of North Aceh. According to the problem characteristics, the research is using a qualitative methode, with a descriptive design. Data and information are collected through observation and interviews, including direct observation, interview notes, interview camera recording and documentations in the field. The validity of the data is analysed with the triangulation technique.The research findings show that the PUSKESMAS service quality, based on the patients’ perceptions, is not satisfactory. Key words : satisfaction level, health service
1.
Pendahuluan Dalam era globalisasi dengan makin meningkatnya perkembangan zaman, pelayanan kepada pelanggan merupakan faktor yang sangat penting. Oleh kerena itu provider harus mampu memberikan kepuasan kepada para pelanggannya, misalnya dengan memberikan produk yang lebih bermutu, lebih murah dan pelayanan yang lebih baik. Suatu produk dikatakan bermutu apabila dapat memenuhi kebutuhan pelanggannya. Oleh karena itu pengetahuan tentang kebutuhan dan kepuasan pelanggan (customer requirements) sangatlah penting. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang kebijakan Otonomi Daerah yang mengacu pada Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang kesehatan pasal 11 ayat 2 disebutkan bahwa kewenangan pemerintah dalam bidang kesehatan merupakan salah satu kewenangan wajib yang harus dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Adanya desentralisasi sektor kesehatan memang sudah merupakan salah satu strategi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat. Pemerintah sebagai salah satu penyedia pelayanan, dituntut untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat agar kepuasan masyarakat yang dilayani terpenuhi. Dengan demikian pelayanan diarahkan pada perspektif kepentingan masyarakat luas. Hal tersebut selaras dengan visi dan misi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara sebagai perangkat pemerintah daerah yang diberi kepercayaan dan tanggungjawab dalam bidang kesehatan. Dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan aparat pemerintah kepada masyarakat, maka sejak tahun 1993 dikeluarkan Keputusan Menteri Negara Pemberdayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 81 Tahun 1993 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM), yang intinya berisi prinsip-
52
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
prinsip pelayanan prima kepada masyarakat antara lain berupa kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisiensi dan ekonomis. Melayani masyarakat merupakan peluang bagi suatu organisasi untuk menunjukkan kredibilitas dan kapabilitasnya. Dengan demikian pelaksanaan kegiatan pemerintahan di daerah atas dasar acuan kepada Standar Pelayanan Minimum (SPM) akan menjadi suatu jaminan terhadap masyarakat yang kebutuhannya dilayani dengan baik oleh pemerintah sebagai pelayan masyarakat. Selain itu Standar Pelayanan Minimum dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pemerintah daerah setempat di dalam menyelenggarakan urusan wajibnya. Dasar kebijakan SPM adalah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terutama pada pasal 11 (4), yang menyatakan bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimum. Penegasan wajib, mengandung konsekuensi pemerintah daerah untuk memenuhi berbagai kebutuhan mendasar di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Selama ini bukan berarti tidak ada pelayanan dari pemerintah kepada masyarakat, namun kenyataan yang ada banyak muncul keluhan dan ketidakpuasan dari masyarakat jika memerlukan bantuan dari pemerintah yang terkait dengan pelayanan yang tidak memuaskan. Persoalan ini lebih disebabkan kurangnya kesadaran dari aparat pemerintah sebagai pelayan publik dan kurangnya pemahaman menyangkut filosofi dari pelayanan itu sendiri. Sifat pelayanan harus memperhatikan beberapa indikator antara lain sederhana, terbuka, mudah diukur, jelas, dan dapat dipertanggung jawabkan; memperhatikan keterkaitan dengan bidang lain; dapat dipantau dan dievaluasi oleh pemerintah yang lebih atas; menyiapkan sarana dan pejabat untuk menerima pengaduan; memperhatikan hak dan kewajiban klien; menyiapkan kompetensi petugas (pengetahuan yang memadai, memiliki kecakapan/ keahlian, keterampilan, kedisiplinan, sikap yang sopan dan ramah); menyiapkan kondisi pelayanan yang nyaman, tertib, teratur, bersih dan sehat. Puskesmas sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yaitu unit organisasi yang diberikan kewenangan kemandirian oleh Dinas Kesehatan Kabupaten untuk melaksanakan tugas-tugas teknis operasional pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan. Sebagai sarana pelayanan kesehatan terdepan, Puskesmas bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat dengan mutu yang baik dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Di sisi lain, Puskesmas dituntut untuk meningkatkan pendapatan sebagai sumber peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Oleh karena itu Puskesmas harus melakukan upaya agar pasien tetap datang untuk menerima pelayanan kesehatan dari Puskesmas. Dalam rangka meningkatkan Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
53
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
kunjungan pasien Puskesmas, maka Puskesmas harus mampu menampilkan dan memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu sehinggga mampu memberikan kepuasan pasien. Kepuasan pasien dapat juga diartikan sebagai tingkat perasaan pasien setelah membandingkan dengan harapannya. Seorang pasien jika merasa puas dengan nilai yang diberikan oleh jasa pelayanan, sangat besar kemungkinannya untuk menjadi pelanggan dalam waktu yang lama. Kepuasan pasien merupakan reaksi perilaku sesudah menerima jasa pelayanan kesehatan. Hal itu mempengaruhi pengambilan keputusan pemanfaatan ulang yang sifatnya terus-menerus terhadap pembelian jasa yang sama dan akan mempengaruhi penyampaian pesan/kesan kepada pihak/orang lain tentang pelayanan kesehatan yang diberikan. Tingkat kepuasan pelanggan sangat tergantung pada mutu pelayanan. Pengukuran tingkat kepuasan pelanggan erat hubungannya dengan mutu pelayanan. Pengukuran aspek mutu bermanfaat bagi Puskesmas untuk : 1. Mengetahui mekanisme proses pelayanan. 2. Mengetahui upaya perubahan untuk melakukan perbaikan secara terus menerus guna memuaskan pelanggan, terutama hal-hal yang dianggap penting oleh pelanggan. 3. Menentukan upaya perubahan yang dilakukan agar mengarah kepada perbaikan. Parasuraman, Zeithaml dan Berry (1991) mengidentifikasi adanya kesenjangan antara persepsi konsumen dan persepsi penyedia jasa pelayanan kesehatan yang mengakibatkan kegagalan penyampaian jasa yang berkualitas. Langkah pertama untuk mengatasi kesenjangan antara persepsi pasien dan persepsi penyedia jasa pelayanan kesehatan /Puskesmas adalah mengidentifikasi atau mengenal kebutuhan pasien dan faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap mutu pelayanan yang diterimanya. Dengan mengenal hal tersebut maka akan memberikan suatu pemahaman yang lebih baik mengenai mutu pelayanan yang telah diterima oleh pasien sehingga Puskesmas akhirnya dapat memahami bagaimana gambaran kepuasan pasien terhadap pelayanan yang telah diberikan. Harus disadari bahwa dengan semakin berkembangnya pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh swasta baik Balai Pengobatan (BP) maupun dokter praktek swasta merupakan pesaing Puskesmas pada saat sekarang ini. Tanpa adanya peningkatan mutu pelayanan dari Puskesmas, maka dalam jangka panjang masyarakat menengah ke atas akan memanfaatkan BP swasta, sedang Puskesmas akan semakin dijauhi. Apabila pendapatan penduduk membaik maka masyarakat cenderung menggunakan fasilitas pelayanan swasta.
54
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
2.
Metode Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Metode ini digunakan dengan harapan agar dapat melakukan proses penelitian dan mengungkap masalah dengan menyesuaikan pada keadaan dan kondisi real serta mengungkapkan fakta menurut keadaan atau situasi sosial yang sedang berlangsung sehingga seluruh aktifitas yang terjadi dapat diamati dan dijelaskan. Penelitian ini bercirikan kegiatan menggumpulkan, menggambarkan dan menafsirkan data tentang situasi yang dialami, hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang ditunjukkan; atau tentang kecenderungan yang tampak dalam proses yang sedang berlangsung, pertentangan yang meruncing serta kerjasama yang dilakukan. Melalui desain ini akan diperoleh gambaran gejala, sifat serta hubungannya sebagaimana adanya komprehensif. Data dan informasi yang didapatkan berasal dari observasi dan wawancara berupa: observasi langsung, catatan wawancara, rekaman wawancara, dan foto-foto kegiatan. Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data ini. Proses pemeriksaan data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengecek dan membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil observasi dan data pelengkap lainnya. 3.
Teori-teori Yang Relevan
Puskesmas Puskesmas adalah suatu unit pelaksana pembangunan kesehatan diwilayah kecamatan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yaitu unit organisasi yang diberikan kewenangan kemandirian oleh Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota untuk melaksanakan tugas-tugas teknis operasional pembangunan kesehatan di wilayah kecamatan. Sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional, Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama mempunyai 3 (tiga) fungsi sebagai berikut: 1. Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan Puskesmas harsus mampu membantu menggerakan (motivator, fasilitator) dan turut serta memantau pembangunan yang diselenggarakan ditingkat kecamatan agar dalam pelaksanaannya mengacu, berorientasi serta dilandasi oleh kesehatan sebagai faktor pertimbangan utama. 2. Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitas yang bersifat non instruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat atau keluarga agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan dan mengambil keputusan untuk pemecahannya dengan benar. Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
55
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
3.Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama, yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health service) adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic health service), yang sangat dibutuhkan oleh sebagian masyarakat serta mempunyai nilai strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Mutu Pelayanan Kesehatan Konsumen pelayanan kesehatan tidak dapat dinilai secara teknis medis, oleh karena itu mereka menilai dari sisi non teknis. Ada dua penilaian tentang pelayanan kesehatannya yaitu kenyamanan dan nilai pelayanan yang diterima. Konsumen pelayanan dengan harapan terhadap pelayanan yang diberikan sehingga membentuk kepuasan mutu pelayanan. Hasil yang dapat terjadi : 1. Jika harapan itu terlampaui, pelayanan tersebut dirasakan sebagai kualitas pelayanan yang luar biasa. 2. Jika harapan sama dengan pelayanan yang dirasakan, maka kualitas memuaskan 3. Jika harapan tidak sesuai atau tidak terpenuhi maka kualitas pelayanan tersebut dianggap tidak dapat diterima atau mengecewakan pasien. Robert & Provest (1987) dalam Azrul, bahwa penilaian dimensi mutu pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari penyelenggara pelayanan, penyandang dana dan pemakai jasa pelayanan kesehatan. Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan penilaian mutu lebih terkait dengan dimensi kesesuaian mutu pelayanan yang diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir dan atau otonomi profesi dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Bagi penyandang dana penilaian mutu lebih terkait dengan dimensi efisiensi pemakaian sumber dana, kewajiban pembiayaan kesehatan dan atau kemampuan pelayanan kesehatan, mengurangi kerugian penyandang dana pelayanan. Adapun mutu pelayanan bagi pasien, penilaian jasa pelayanan kesehatan lebih terkait pada ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, empati dan keramah tamahan petugas dalam melayani pasien dalam kesembuhan penyakit yang diderita oleh pasien. Untuk mengatasi perbedaan dimensi nilai mutu pelayanan kesehatan telah disepakati bahwa penilaian mutu pelayanan seyogyanya berpedoman pada hakekat dasar diselenggarakannya pelayanan kesehatan yaitu memenuhi kebutuhan dan tuntutan pemakai jasa pelayanan. Penentuan kualitas suatu jasa pelayanan sangatlah kompleks, Zeithaml et.al (1991), mengemukakan lima dimensi dalam menentukan kualitas jasa, yaitu: 1. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan.
56
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
2. Responsiveness (daya tanggap), yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi : kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi dan penanganan keluhan pelanggan/ pasien 3. Assurance (jaminan), meliputi kemampuan karyawan atas : pengetahuan terhadap produk / jasa secara tepat, kualitas keramah tamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberikan pelayanan, keterampilan dalam memberikan informasi, kemampuan dalam memberikan keamanan di dalam memamfaatkan jasa yang ditawarkan dan kemapuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan. Dimensi kepastian atau jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi : 1) Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan 2) Kesopanan (Courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian dan sikap para karyawan 3) Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi dansebagainya. 4. Emphaty (Empati), yaitu perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggannya. Dimensi emphaty ini merupakan penggabungan dari dimensi: 1) Akses (Acces), meliputi kemudahan untuk memafaatkan jasa yang ditawarkan 2) Komunikasi (Communication), merupakan kemapuan melaukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari pelanggan 3) Pemahaman kepada pelanggan (Understanding the Customer), meliputi usaha perusahaan untuk mengetahui dan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan 5. Tangibles (Bukti Langsung), meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan front office, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan, komunikasi dan penampilan petugas.
Pelayanan Prima Pelayanan prima diartikan sebagai pelayanan yang terbaik, yang dapat diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Ukuran “terbaik “ ini sangat relatif, dan biasanya dikaitkan dengan Standar Pelayanan Prima (SPP). Sebagai patokan pelayanan prima dibedakan atas 3 tingkatan :
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
57
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
1. Pelayanan yang dianggap terbaik oleh lembaga-lembaga pemerintah yang belum memiliki SPP. Lembaga semacam ini memiliki kewajiban untuk segera menyusun SPP 2. Pelayanan yang sesuai dengan SPP, bagi lembaga pemerintah yang sudah memiliki SPP 3. Pelayanan terobosan yang mampu melebihi persyaratan SPP, bagi lembaga pemerintah yang selama initingkat pelayanannya sudah secara rutin dapat memenuhi SPP mereka. Batasan pengertian diatas adalah dari sisi kacamata pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik. Namun masyarakat memiliki ukuranya sendiri. Sebuah pelayanan dikatakan terbaik apabila paling tidak dapat memenuhi rasa kepuasan mereka. Kepuasan tercapai jika layanan yang nyata-nyata mereka terima dapat melebihi apa yang mereka harapkan.
Kepuasan Pasien Kepuasan pasien dalam mengkonsumsi jasa pelayanan kesehatan cenderung bersifat subyektif, setiap orang tergantung pada latar belakang yang dimilikinya, dapat menghasilkan tingkat kepuasan yang berbeda untuk satu pelayanan kesehtana yang sama. Untuk menghindari adanya subyektivitas individual yang dapat mempersulit pelaksanaan pelayanan kesehatan perlu adanya pembatasan derajat kepuasan pasien, antara lain : 1. Pembatasan derajat kepuasan pasien, diakui bahwa kepuasan pasien bersifat individual, tetapi ukuran yang digunakan adalah yang bersifat umum sesuai dengan tingkat kepuasan rata-trata pasien. 2. Pembatasan pada upaya yang dilakukan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Untuk melindungi pemakai jasa pelayanan kesehatan yang pada umumnya awam terhadap tindakan pelayanan kesehatan, maka pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kode etik dan standar pelayanan profesi. (Azrul, 1996) Apabila dalam identifikasi faktor yang berpengaruh terhadap pemamfaatan pelayanan kesehatan lebih banyak untuk pengenalan kebutuhan konsumen, maka kepuasan pasien atau pelanggan lebih cenderung untuk mengevaluasi hasil pemamfatan yang lalu dan pengalaman tersebut akan dijadikan sebagi dasar untuk pemamfaatan berikutnya. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap persepsi pelanggan atas suatu jasa adalah : 1. Harga, harga yang rendah menimbulkan persepsi produk tidak berkualitas. Harga yang terlalu rendah menimbulkan persepsi pembeli tidak percaya kepada penjual. Sebaiknya harga yang tinggi menimbulkan persepsi produk
58
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
tersebut berkualitas. Harga yang terlalu tinggimenimbulkan persepsi penjual tidak percaya kepada pembeli. 2. Citra, citra yang buruk menimbulkan persepsi produk tidak berkualitas, sehingga pelanggan mudah marah untuk kesalahan kecil sekalipun. Citra yang baik menimbulkan persepsi produk berkualitas, sehingga pelanggan memaafkan suatu kesalahan, meskipun tidak untuk kesalahan selanjutnya. 3. Tahap pelayanan, kepuasan pelanggan ditentukan oleh berbagai jenis pelayanan yang didapatkan oleh pelanggan selama ia menggunakan beberapa tahapan pelayanan tersebut. Ketidakpuasan yang diperoleh pada tahap awal pelayanan menimbulkan persepsi berupa kualitas pelayanan yang buruk untuk tahap pelayanan selanjutnya, sehingga pelanggan merasa tidak puas dengan pelayanan secara keseluruhan. 4. Momen pelayanan, kinerja pelayanan ditentukan oleh pelayan, proses pelayanan dan lingkungan fisik dimana pelayanan diberikan. (Supranto, 1997) Setelah mendapatkan pelayanan, pelanggan akan memberikan reaksi terhadap hasil pelayanan yang diberikan, apabila pelayanan yang diberikan sesuai dengan harapan / keinginan pasien maka akan menimbulkan kepuasan pelanggan, namun sebaliknya apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan harapan / keinginan pelanggan maka akan menimbulkan ketidakpuasan pelanggan atau keluhan pelanggan.
4.
Pelayanan Puskesmas di Kabupaten Aceh Utara Mutu pelayanan administrasi sebagian besar belum dapat dikategorikan cukup, meskipun ada beberapa aspek yang berkategori cukup. Hal tersebut disebabkan oleh ketidakmaksimalan petugas administrasi dalam memberikan pelayanannya. Pelayanan administrasi yang menunjukan belum maksimal diantaranya : 1. Kehandalan pelayanan administrasi, faktor pelayanan yang belum baik adalah tentang kedisplinan waktu pelayanan terutama dalam waktu membuka loket pendaftaran. Kedisiplinan waktu dalam membuka loket pendaftaran masih kurang. Walaupun provider telah mengetahui bahwa jam kerja adalah pukul 08.00-15.00, padahal pasien sakit bisa terjadi kapanpun dan datang ke Puskesmas tentu saja ingin segera mendapatkan pelayanan. Apabila telah datang pagi, tetapi petugas pendaftaran belum siap melayani, maka akan ada kecenderungan kecewa menunggu. Kondisi semacam ini bila berjalan secara terus menerus tanpa ada upaya perbaikan, dapat menyebabkan kurang puasnya pasien terhadap pelayanan di Puskesmas. Salah satu efek dari hal tersebut adalah terjadinya penurunan angka kunjungan pasien. Untuk mengatasi kedisiplinan petugas pelayanan administrasi di Puskesmas, diperlukan adanya kesadaran petugas yang didukung dengan pembinaan dan motivasi serta keteladanan dari Kepala Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
59
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
Puskesmas selaku pemegang kebijakan operasional di Puskesmas. Kepala Puskesmas dapat memberikan penghargaan dan sangsi (reward and punishment) terhadap petugas Puskesmas guna meningkatkan motivasi kepada pegawai yang ada untuk meningkatkan pelayanan kepada pasien. Sebagian besar pasien merasa kurang puas terhadap pelayanan administrasi karena proses pelayanan yang cenderung lambat karena terlalu lama menunggu akibat dari petugas yang dalam memberikan pelayanan sambil mengerjakan urusan lain, sehingga dalam memberikan pelayanan kepada pasien menimbulkan persepsi pasien yang kurang memuaskan. Hal ini terjadi karena keterbatasan tenaga yang khusus menangani pelayanan administrasi. Namun hal itu merupakan faktor intern Puskesmas, sementara pasien akan kurang memahami faktor tersebut karena anggapan pasien bahwa pegawai Puskesmas (provider) merupakan petugas yang telah profesional dan mampu dalam melaksanakan tugas dengan baik. Hal ini cukup wajar (logis) karena apabila pasien datang ke Puskesmas, tentu pelayanan yang paling awal adalah pelayanan administrasi yaitu tercatat dalam loket pendaftaran. Kaitan dengan administrasi, pasien akan mengetahui langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk mendapatkan pelayanan yang dibutuhkan di Puskesmas. Pasien mendapatkan pelayanan administrasi merupakan palang pintu pertama untuk terlibat dalam suatu sistem yang ada. 2. Daya tanggap pelayanan administrasi, faktor yang masih kurang adalah kelambanan dalam proses pelayanan administrasi, Kelambanan dalam proses pelayanan administrasi dapat menyebabkan perasaan pasien merasa kurang sabar dalam menunggu proses untuk mendapatkan pelayanan berikutnya. Kebutuhan pasien terhadap pelayanan administrasi berbagai macam jenisnya. Hal ini tentunya membutuhkan kesigapan petugas untuk melayani. Bila hal tersebut diabaikan akan menimbulkan kekecewaan terhadap pasien yang pada akhirnya dikhawatirkan akan berpaling ke sarana kesehatan yang lain. Kepuasan pasien terhadap pelayanan tergantung kecepatan provider dalam melayani segala kebutuhan atau keperluannya juga kemampuan petugas dalam memberikan informasi tentang penyakitnya. Bila pasien puas diharapkan dapat meningkatkan jumlah kunjungan serta pelanggan dapat memanfaatkan ulang sarana pelayanan itu kembali. 3. Jaminan pelayanan, faktor yang belum maksimal adalah keyakinan atas kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pekerjaan serta keyakinan atas kemampuan petugas administrasi dalam memberikan informasi masih dalam kategori cukup. Keyakinan atas kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pekerjaan serta keyakinan atas kemampuan petugas dalam memberikan informasi. Mutu yang baik dikaitkan dengan kesembuhan dari penyakit, peningkatan derajat kesehatan, kecepatan pelayanan, keramahan petugas dan kemudahan prosedur. 4. Empati pelayanan petugas administrasi, faktor yang belum maksimal adalah kemauan petugas untuk mendengarkan setiap keluhan terhadap pelayanan
60
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
administrasi yang dibutuhkan. Pasien yang merasakan adanya keluhan terhadap pelayanan pada dirinya apabila diperhatikan cenderung akan merasa puas. Petugas administrasi yang kurang tanggap atau kurang memperhatikan untuk mendengarkan keluhan pasien, dapat menyebabkan kekecewaan bagi dirinya. Hal ini merupakan faktor yang cukup penting bagi pelayanan bidang administrasi. 5. Bukti fisik pelayanan petugas administrasi, yaitu berupa penampilan sikap dan kerapihan petugas masih dirasakan cukup. Penampilan dan kerapian petugas sangat memegang peranan penting terhadap mutu pelayanan. Sikap petugas yang ramah serta menyenangkan serta berpenampilan rapi akan semakin meningkatkan kepercayaan dan simpati dari pasien. Hal ini tentunya akan meningkatkan sarana pelayanan tersebut lebih kredibel di mata pelanggan. Mutu pelayanan Dokter dirasakan masih belum makksimal, hal ini ditunjukkan dengan: 1. Kehandalan pelayanan dokter, faktor kekurangan yang paling dirasakan oleh responden adalah ketepatan waktu dalam memulai pelayanan Kedisiplinan waktu dalam memulai pelayanan masih kurang. Walaupun provider telah mengetahui bahwa jam kerja adalah pukul 08.00-15.00, padahal pasien sakit bisa terjadi kapanpun dan datang ke Puskesmas tentu saja ingin segera mendapatkan pelayanan. Apabila telah datang pagi, tetapi dokter belum datang, maka akan ada kecenderungan kecewa menunggu. Kondisi semacam ini bila berjalan secara terus menerus tanpa ada upaya perbaikan, dapat menyebabkan kurang puasnya pasien terhadap pelayanan dokter di Puskesmas. Salah satu efek dari hal tersebut adalah terjadinya penurunan angka kunjungan pasien. Untuk mengatasi kedisiplinan dokter di Puskesmas, diperlukan adanya kesadaran petugas yang didukung dengan pembinaan dari Dinas Kesehatan dan organisasi profesi (IDI), serta motivasi dan keteladanan dari Kepala Puskesmas selaku pemegang kebijakan operasional di Puskesmas. Dinas Kesehatan dan Kepala Puskesmas dapat memberikan penghargaan dan sangsi (reward and punishment) terhadap petugas Puskesmas guna meningkatkan motivasi kepada dokter yang ada untuk meningkatkan pelayanan kepada pasien. Dokter merupakan orang ahli yang bisa memberikan ketenangan kepada orang sakit tetapi disisi lain kalau dokter selalu datang terlambat dengan alasan praktek terlebih dahulu, maka dilihat dari segi moral maka tanggung jawabnya bisa saja kurang. Bekerja di institusi pemerintah dituntut suatu pengabdian yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan praktek dokter yang secara ekonomis akan berbeda. Hal ini tentunya harus ada penanganan secara intensif karena kepentingan publik dapat terabaikan dan fungsi dari Puskesmas kurang maksimal. Salah satu efek yang terjadi diantaranya dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara optimal cenderung mendapat hambatan. Untuk mencari Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
61
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
solusi permasalahan tersebut, maka semua pihak termasuk Dinas Kesehatan harus turun tangan dalam rangka upaya memberikan pelayanan secara prima kepada pasien. 2. Daya tanggap pelayanan dokter, faktor yang paling dirasakan kurang memuaskan bagi pasien adalah mengenai jawaban dokter dalam menjawab pertanyaan tentang penyakit pasien Kurangnya pelayanan dokter yang lain yaitu meskipun sudah masuk ke tempat kerja, dokter tersebut menurut pasien jarang memberikan konsultasi atau ketika ditanya oleh pasien tentang penyakit yang diderita tidak kurang menunjukan suasana yang bersahabat sehingga pasien merasa bingung / kurang paham untuk menentukan tindak lanjut berikutnya. Seperti yang telah dibahas di atas, bahwa dokter merupakan orang yang ahli dalam bidang kesehatan sehingga perlu adanya pelayanan prima kepada pasien karena untuk mengobati secara psikologis orangnya adalah dokter yang akan memberikan ketenangan kepada pasien. Tetapi pada kenyataannya dokter lebih mementingkan kondisi di luar tersebut atau lebih mementingkan praktek terlebih dahulu di rumah dimana nilai ekonomisnya berbeda jauh dengan tempat kerjanya sehingga pelayanan pasien otomatis terabaikan. Kemudian meskipun dokter telah masuk tempat kerja ketika memeriksa pun tidak memberikan palayanan yang prima hal ini dipersepsikan oleh pasien ketika mereka mau bertanya dokter tidak memberikan peluang untuk bertanya atau disuruh keluar secara halus,walaupun bertanya kadang jawabannya tidak membuat puas bahkan suka menakuti, kondisi ini tentunya akan memberikan efek secara psikologis dimana pasien tidak akan merasa tenang karena bingung mengenai penyakitnya. Menurut Susman et.al, bahwa gambaran pasien tentang mutu pelayanan pengobatan antara lain dilihat dari dokter yang terlatih dengan baik, perhatian yang diberikan oleh dokter, waktu tunggu yang singkat, dan informasi yang diberikan oleh dokter. 3. Jaminan pelayanan dokter, faktor yang masih dirasakan belum memuaskan bagi yaitu keyakinan atas keterampilan dokter dalam melakukan pemeriksaan / pelayanan Dokter merupakan orang yang ahli dalam bidang ilmu penyakit dan pengobatan. Dokter juga selaku orang yang mempunyai kewenangan dan tugas serta tanggung jawab terhadap pemberian resep untuk mengobati pasien. Tentu saja untuk mengetahui kondisi pasien, diperlukan pemeriksaan yang intensif, cermat dan ramah, serta profesional. Pelayanan prima bukan hanya dipandang dari aspek profesionalisme dalam memberikan pelayanan kesehatan secara fisik, tetapi diperlukan juga pelayanan yang bersifat psikologis. Semuanya itu akan berhubungan dengan perasaan pasien. 4. Empati pelayanan dokter, faktor yang belum memuaskan diantaranya adalah sikap dokter masih dirasakan menunjukan adanya perbedaan dalam memberikan pelayanan pada setiap pasien dan kemauan dokter untuk mendengarkan setiap keluhan penyakitnya. Pada dasarnya pasien merupakan orang yang membutuhkan terapi baik yang bersifat fisik maupun
62
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
psikologis. Dokter mempunyai kewajiban memberikan pelayanan kepada pasien yang membutuhkan terapi. Karena pelayanan pengobatan merupakan hak bagi pasien, maka dokter tidak boleh membeda-bedakan antara pasien yang satu dengan yang lain. Pasien yang merasa dibedakan dengan pasien yang lain apabila hendak membutuhkan pelayanan dari dokter akan cenderung kecewa dan sedih. Hal ini tentu saja dapat berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien. 5. Bukti fisik pelayanan dokter yaitu berupa penampilan sikap dan kerapihan dokter Penampilan dan kerapian petugas sangat memegang peranan penting terhadap mutu pelayanan. Sikap petugas yang ramah serta menyenangkan serta berpenampilan rapi akan semakin meningkatkan kepercayaan dan simpati dari pasien. Hal ini tentunya akan meningkatkan sarana pelayanan tersebut lebih kredibel di mata pelanggan Mutu pelayanan perawat juga dirasa yang belum maksimal diantaranya: 1. Kehandalan pelayanan perawat, faktor yang menjadi masalah utama yaitu ketepatan waktu dalam memulai pelayanan; kecepatan perawat dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan; ketelitian perawat dalam membantu melakukan pemeriksaan dan penjelasan perawat tentang perawatan penyakit. Kedisiplinan waktu dalam memulai pelayanan masih kurang. Walaupun provider telah mengetahui bahwa jam kerja adalah pukul 08.00-15.00, padahal pasien sakit bisa terjadi kapanpun dan datang ke Puskesmas tentu saja ingin segera mendapatkan pelayanan. 2. Daya tanggap pelayanan perawat, faktor yang menjadi masalah adalah jawaban perawat dalam menjawab setiap pertanyaan tentang penyakit penderita. Dalam hal ini kemampuan perawat dalam memberikan jawaban kepada pasien tentang penyakit, upaya pengobatan dan upaya perawatan yang seharusnya dilakukan pasca pengobatan kurang jelas. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan perawat tentang pengobatan dan ilmu penyakit. Dengan demikian pasien akan merasa bingung / kurang paham untuk menentukan tindak lanjut berikutnya. 3. Empati pelayanan perawat, faktor yang bermasalah adalah Kemauan perawat untuk mendengarkan setiap keluhan penyakit pasien. Pasien merupakan individu yang membutuhkan kesembuhan tidak hanya fisik namun juga psikis. Dalam hal ini tentunya segala keluhan-keluhan pasien semestinya didengarkan dengan baik dan difollow up demi mempercepatkan proses kesembuhannya. Mutu pelayanan yang baik dikaitkan dengan kesembuhan dari penyakit, peningkatan derajat kesehatan, kecepatan pelayanan, keramahan petugas dan kemudahan prosedur. 4. Bukti fisik pelayanan perawat berupa penampilan dan sikap perawat. Penampilan dan kerapian perawat sangat memegang peranan penting terhadap mutu pelayanan. Sikap perawat yang ramah serta menyenangkan serta berpenampilan rapi akan semakin meningkatkan kepercayaan dan Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
63
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
simpati dari pasien. Hal ini tentunya akan meningkatkan sarana pelayanan tersebut lebih kredibel di mata pelanggan. Mutu sarana dan prasarana juga dirasakan belum maksimal, hal ini dapat dilihat dari beberapa faktor berikut: 1. Bukti fisik ketersediaan sarana diantaranya penerangan di ruang pemeriksaan masih kurang; kursi dan tempat tidur pasien yang belum baik serta ketersediaan air pada WC masih terbatas. 2. Bukti ketepatan penggunaan sarana diantaranya kelayakan (ruang pemeriksaan, kursi, tempat tidur periksa, penggunaan Ambulance) yang masih kurang. 3. Bukti kemudahan pemanfaatan sarana diantaranya kemudahan dalam menggunakan Ambulance dan kemudahan dalam penggunaan sarana lain di ruang pemeriksaan yang masih terbatas. 4. Bukti kebersihan sarana diantaranya kebersihan BP Umum secara keseluruhan (ruang pemeriksaan, tempat tidur periksa, WC pasien, lantai, selasar ruangan dan alat kesehatan diruangan) masihkurang. 5. Bukti pemenuhan kebutuhan fasilitas sarana kesehatan di ruang pemeriksaan dan sekitarnya belum sesuai harapan
5.
Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan Berdasarkan hasil uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Persepsi pasien terhadap mutu pelayanan (administrasi, dokter, perawat, sarana dan fasilitas penunjang) termasuk kategori kurang, 2) Tingkat kepuasan pasien pada pelayanan BP Umum Puskesmas masuk dalam kategori kurang. 3) Hubungan antara pelayanan administrasi dengan tingkat kepuasan pasien sangat erat kaitannya dengan persepsi pasien 4) Ada hubungan antara pelayanan dokter dengan tingkat kepuasan pasien 5) Ada hubungan antara pelayanan perawat dengan tingkat kepuasan pasien 6) Ada hubungan antara persepsi mutu sarana dengan tingkat kepuasan pasien 7) Ada hubungan antara mutu fasilitas penunjang dengan tingkat kepuasan pasien.
64
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
2.
Saran Berdasarkan hasill kesimpulan tersebut untuk meningkatkan kepuasan pasien, beberapa saran atau rekomendasi yang dapat diajukan antara lain : 1) Bagi Dinas Kesehatan a. Dinas Kesehatan diharapkan lebih menekankan kepada dokter dan perawat, untuk meningkatkan profesionalisme dan kinerja dalam upaya menuju pelayanan prima terhadap pasien. b. Dinas Kesehatan perlu melaksanakan pembinaan intensif ke Puskesmas dengan cara melaksanakan pembinaan wilayah secara lintas program. 2) Bagi Puskesmas a. Petugas administrasi supaya lebih meningkatkan kinerja terutama dalam memberikan pelayanan yang cepat. b. Dokter dan perawat supaya lebih mengutamakan dalam memberikan pelayanan yang hubungannya dengan keluhan dan tuntutan pasien.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
65
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:Rineka Cipta. Azwar, Azrul, 1994, Program Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Yayasan Penerbit IDI, Jakarta ., 1996, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan Aplikasi Prinsip Lingkaran Pemecahan Masalah,. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Creswell, John W. 1994. Research Design. Qualitative & Quantitative Approaches. California: Sage Publication. Gani, A., 1995, Aspek Ekonomi Pelayanan Kesehatan, Cermin Dunia Kedokteran nomor 90, Persi, Jakarta. Garna, Judistira K. 2009. Metode Penelitian: Kualitatif. Bandung: Primaco Milles, Mathew B & A. Michael Huberman. 1992. Qualitative Data Analysis. California: Sage Publication Inc. Muhadjir, N. 2000. Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rako Sarasin. Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosdakarya Nasution S.. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung: Tarsito. Parasuraman, A. Zeithaml, V. Berry L, 1991, Kefinement and Reassesment of the SERVQUAL Scale, Journal of Retailing, 67 ; 420-450. Robbins, Stephen. P, Luthan, 1995, Organization Behavior Concept, Cotroversies, Aplications, Prentice Hall. Inc, Englewood Cliffs. Sugiono. 2001. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta. Supranto, J., 1997, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan Pangsa Pasar, Rineka Cipta, Jakarta.
66
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Bobby Rahman, S.Sos., M.Si Mengukur Tingkat Kepuasan Pasien Dalam Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas kabupaten Aceh Utara
Widjono, Djoko., 1999, Manajemen AirlanggaUniversity Press, Surabaya.
Mutu
Pelayanan
Kesehatan,
Widodo, Joki. 2001. Good Governance. Telaahan dari: Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi, Surabaya: Insan Cendekia.
ooOoo
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
67
Muhammad Ali, S.Ag., M.Si Urgensi Komunikasi Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Moral Anak
URGENSI KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER MORAL ANAK Oleh : Muhammad Ali, S.Ag., M.Si Abstrak Problema degradasi moral atau perilaku merupakan sumber daya manusia perlu secara dini mendapat perhatian secara khusus. Hal ini berkaitan dengan masalah kesiapan penguasa menuju zaman era komunikasi dan globalisasi. Metode penanganan ini adalah melalui komunikasi keluarga dalam bingkai pendidikan moral yang selalu utamakan. Karena pendidikan dan pembentukan moral dalam keluarga merupakan pendidikan nilai dan kemampuan bersikap baik, dimana pihak pertama yang paling tepat dan mengarahkan dalam membentuk karakter anak adalah keluarga. Fenomenanya adalah bagaimana keluarga dapat memberikan kontribusi pada komunikasi pendidikan keluarga menyangkut menyangkat pembentukan karakter anak. Untuk dapat memberikan kontribusi.pada pendidikan budi pekerti. Untuk dapat melaksanakan pendidikan budi pekerti kita tidak dapat meminta setiap keluarga menjadi keluarga harmonis tanpa masalah. Oleh sebab itu, kita harus berangkat dari kondisi nyata keluarga dewasa ini. Dimana ada keluarga yang sudah cukup harmonis, ada keluarga bermasalah, dan ada keluarga gagal. Namun demikian, ada beberapa syarat mutlak yang harus dimiliki keluarga apabila mau memberi pendidikan budi pekerti secara berkesinambungan dan efektif. Syarat tersebut adalah komitmen bersama untuk memperhatikan anak-anaknya, memperlihatkan keteladanan, dan melakukan komunikasi aktif. Sedangkan nilai budi pekerti yang dapat diberikan dalam keluarga adalah nilai kesalehan, ketaqwaan, dan keimanan, toleransi, dan keperibadian sehat. Jika seseorang telah memiliki dasar budi pekerti yang kuat dalam keluarga, hendaknya ia akan lebih mengerti dan mampu dalam membentengi diri saat pengaruh yang tidak baik datang dari lingkungan sekitar baik internal maupun ekternal. Dengan demikian peran keluarga dalam pembentukan karakter anak sangatlah besar.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
69
Muhammad Ali, S.Ag., M.Si Urgensi Komunikasi Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Moral Anak
1.
PENDAHULUAN Jauh sebelum kita memasuki dekade tahun 2000an, dalam sidang Pleno ke XI OIEC menyerukan empat nilai yang perlu diarahkankan dan menjadi fokus dalam menyongsong tahun 2000. keempat nilai universal tersebut adalah hormat kepada sesama, kreativitas, solidaritas yang bertanggung jawab dan kerohanian (Dick Hartoko, 1985:50). Apabila seruan ini dapat kita refleksiakan kembali pada saat sekarang ini, tepatlah kekhawatiran banyak pihak yang terjadi saat itu, yaitu bahwa dunia akan dilanda degradasi moral secara global dan menyeluruh bila nilai-nilai universal seperti dikatakan di atas tetap tidak mendapat perhatian lebih serius akan menemukan jalan buntu dan persoalan ini tidak akan terjawab alias jalan ditempat. Dalam hubungan dengan kondisi kemanusiaan dewasa ini kita ketahui bahwa persoalan krisis ekonomi dan pilitik yang telah lebih dari tiga tahun ini, mampu menimbulkan berbagai permasalahan yang sangat mendasar sekali. Permasalahan yang kian menajam dan perlu segera mendapat penanganan adalah masalah merosotnya moral dalam wujud sumber daya manusia. Banyak kasus yang menjadi bukti akan merosotnya moralitas manusia negara kita misalnya saja kasus perampasan, perampokan, perzinaan, maraknya pemakaian obat-obatan terlarang, pembunuhan,amuk masa dan masih banyak lagi. Masalah kemerosotan moral manusia Indonesia itu menjadi semakin terlihat ironis ketika kita sedang gencar-gencaarnya merencanakan peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam rangka menghadapi era globalisasi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kunci kemampuan kita menghadapi era globalisasi karena jika tidak memilki sumber daya manusia yang handal tentu kita akan kalah bersaing di negeri sendiri manakala sumber daya manusia dari negara asing bebas masuk ke negara kita. Maka dapat kita lihat betapa maraknya berbagai instansi maupun perguruan tinggi berlombalomba maningkatkan kualitas sumber daya manusianya dengan menciptakan berbagai karya yang tepat terhadap perpaduan sumber daya alam dengan sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ternyata terbukti bahwa kita memang belum memiliki sumber daya manusia yang berkualitas karena sumber daya manusia kita gagal mengatasi krisis ekonomi, politik, sampai hampir-hampir mengakibatkan krisis moral masyarakat dan bangsa. Jika masalah kemerosotan ini tidak segera diatasi, perlahan-perlahan bangsa ini kan terjerumus pada kehancuran yang lebih parah. Untuk itu perlu kiranya segera dicari cara pemecahan yang terstruktur, efektif dan tepat sasran. Dengan demikian dalam waktu yang relatif singkat kita mampu mengembalikan kualitas moral sumber daya manusia pada kondisi normal.
70
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Muhammad Ali, S.Ag., M.Si Urgensi Komunikasi Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Moral Anak
II. PENT INGNYA PENDIDIKAN KARAKTER ANAK DALAM KELUARGA Kiranya Kita sepakat bahwa pembanguanan dan reformasi membawa dampak dalam kehidupan masyarakat pemerintahan kita secara keseluruhan. Dimana, dampak perubahan ada yang cenderung ke arah positif, tapi ada pula yang cenderung ke arah negatif. Pengaruh positif yang selama ini dilihat adalah iklim demokrasi dan kebebasan yang lebih baik dari masa sebelumnya. Sampaisampai orang tidak mengerti dan tidak memahami pengaruh negatif dari reformasi karena perhatian terfokus pada masalah demokrasi. Andai saja reformasi tidak dibarengi dengan adanya krisis ekonomi, politik dan pada akhirnya krisis moralitas, pasti lah reformasi akan menghasilkan kejayaan bagi bangsa saat ini dan seterusnya ke depan namun, ketika perhatian terfokus pada masalah keuntungan politis dari reformasi, orang menutup mata akan adanya bahaya besar yang dihadapi negara kita. Bahaya besar dan mendasar tersebut adalah krisis moralitas bangsa. Gejala-gejala ke arah krisis moralitas bangsa sudah tampak jelas. Kasus Ambon dan Aceh, kerusuhan, pembakaran , dan pemerkosaan merupakan kasus-kasus monumental yang mengindikasikan adanya krisis moral bangsa. Sedangkan kasus-kasus lainnya seperti narkotika, pemalsuan uang, utang konglomerat, lambannya penyelesaian masalah KKN, pembunuhan , tawuran, pemogokan dan asal demostrasi merupakan indikator lebih jauh merosotnya moral bangsa. Rasanya kita sudah terlalu jenuh dengan masalah krisis multidimensial ini. Untuk itu perlu segera dilakukan upaya agar pemerintahan kita kembali pada keadaan semula sehingga siap lebih cepat dalam menyambut perkembangan dunia. Upaya yang sekiranya tepat dan langsung menyentuh hakikat dasar perkembangan suatu bangsa adalah upaya penanganan moralitas sumber daya manusia Indonesia Indonesia seutuhnya. Masyarakat Indonesia perlu disapa sehingga moralitasnya normal kembali. Pihak yang sekiranya masih terlihat netral dalam menangani masalah moralitas sumber daya manusia ini dalah lembaga keagamaan dan lembaga pendidikan. Lembaga keagamaan tentu berkepentingan lansung dengan penigkatan kualitas moral umat manusia. Karena berkepentingan lansung maka dengan sendirinya mereka akan berupaya keras untuk menumbuhkan kesadaran dan meningkatakan kualitas moral umatnya. Namun upaya mereka terbatas pada kontels religius masing-masing agama. Lembaga pendidikan rasanya lebih mampu menjangkau khalayak tanpa memandang golongan agama. Pendididikan yang selam ini menawarkan kebenaran-kebenaran ilmiah dan universal tampaknya lebih bisa masuk ke segala lapisan masyarakat. Lembaga ini juga bisa memainkan posisi strategi ketika masyarakat kita sudah mulai terpecah-pecah karena masalah keagamaan. Karena pendidikan dipandang lebih masuk ke berbagai lapisan dan golongan tanpa mempedulikan unsur SARA maka sudah layak dan sepantasnya Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
71
Muhammad Ali, S.Ag., M.Si Urgensi Komunikasi Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Moral Anak
jika lembaga pendidikan dititipi masalah pendidikan budi pekerti. Dengan masuknya pendidikan budi pekerti dalam pendidikan secara umum, hal itu berarti bahwa pendidikan budi pekerti dapat dilaksanakan secara sistematis dan jangkauannya sangat luas. Terlepas dari pro dan kontra masalah pendidikan budi pekerti yang jelas bagi praktisi pendidikan cara itulah yang menjadi sumbangan terbaik dari dunia pendidikan. Tentu saja pendidikan budi pekerti yang dimaksud bukan melulu pendidikan dalam arti formal, yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, melainkan pendidikan dalam arti luas, yaitu bahwa pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah.
III.
PERAN KELUARGA DALAM PERKEMBANGAN ANAK Masyarakat kita dikenal sebagai masyarakat yang memiliki tradisi kekerabatan yang panjang dan kompleks. Di beberapa daerah dikenal istilah nama marga atau suku yang menunjukkan adanya hubungan kekeluargaan. Di Aceh walaupun jarang sekali digunakan nama marga tetapi hubungan kekeluargaan tidak kalah eratnya dengan daerah yang mempergunakan nama marga. Bahkan dalam kebudayaan Aceh istilah yang digunakan untuk menyebut hubungan kekeluargaan bertingkat sampai tujuh turunan. Eratnya hubungan kekeluargaan dalam masyarakat Indonesia merupakan indikator kuatnya dominasi keluarga dalam kehidupan seseorang. Norma-norma keluarga tampaknya masih dijunjung tinggi. Bahkan sampai seseorang membentuk keluarga sendiri pun, asal usul keluarganya masih selalu dibawa. Dalam hubungannya dengan perkembangan seseorang, keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam perkembangan seseorang. Dikatakan tempat pertama karena seseorang pertama kali belajar bersosialisasi dan berkomunikasi dalam lingkungan keluarga (Kaswanti Purwo, 1990:101103). Sejak masih dalam kandungan, kelahiran, masih bayi, masa kanak-kanak, remaja, sampai masa dewasa, seseoranng tentu berinteraksi secara intensif dengan keluarga dalam berbagai situasi. Interaksi dengan keluarga baru mulai terbagi ketika seseorang telah mengikatkan diri dengan orang lain dalam suatu hubungan perkawinan. Itu saja hubungan keluarga pasti tidak terputus seratus persen. Dikatakan menjadi tempat utama dan paling awal karena pola komunikasi dan tatanan nilai dalam suatu keluarga memberikan pengaruh sangat besar terhadap pembentukan perilaku atau moralitas seorang anak ( Gordon,1984; 6 ). Misalnya saja keluarga yang harmonis dan demokratis. Nilai keharmonisan dan demokratis yang dimiliki keluarga itu tentu diwarisi oleh anak-anaknya. Dalam bahasa Jawa ada peribahasa yang sangat sesuai dengan hal itu yaitu “Meunan U Lageenyan Minyek”. Artinya, perilaku anak tidak jauh dengan perilaku orangtuanya. Karena keluarga menduduki posisi sentral dalam pembentukan dan perkembangan awal anak menuju kemandirian, banyak ahli memberikan perhatian pada masalah hubungan harmonis orangtua
72
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Muhammad Ali, S.Ag., M.Si Urgensi Komunikasi Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Moral Anak
dan anak. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kasus ketidak harmonisan hubungan antara orangtua dan anak padahal dalam konteks perkembangan anak, orangtua berperan sangat besar ( Gordon,1984 : 1-9 ). Dalam konteks konseling terhadap para remaja di SMU diketahui bahwa kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah budi pekerti anak biasanya dapat dilacak dari latar belakang keluarganya. Misalnya saja anak yang mempunyai penyimpangan pergaulan biasanya latar belakang ketidakharmonisan keluarga. Atau ada anak yang kecanduan narkoba karena kurangnya kasih sayang dari orangtua mereka.
IV. PERAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK KARAKTER ANAK SERTA KOMUNIKASI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI Seperti halnya diketahui, komunikasi pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu komunikasi pendidikan informal, komunikasi pendidikan formal dan komunikasi pendidikan nonformal (Tamsik Udin dan Sopandi, 1967 : 31-33). Komunikasi Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswi. Komunikasi pendidikan non formal dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan nilai. Hal ini berhubungan dengan proses tranfornmasi budaya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita (Moedjanto, Rahmanto, dan J. Sudarminto, 1992:141-142). Pihak yang masih dapat diharapkan adalah pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga. Komunikasi pendidikan dalam keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nilai karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk berinteraksi dan memperoleh dasar-dasar budi pekerti yang baik (Ambroise, 1987: 28). Proses komunikasi pendidikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi pemahaman dan pengetahuan ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan- kebiasaan yang mengarah pada kebaikan. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana keluarga berperan dalam memberikan komunikasi pendidikan budi pekerti pada anak secara simultan. Hal ini tentu tidak mudah mengingat kondisi keluarga dewasa ini sangat bervariasi. Secara umum kondisi keluarga negara kita dapat dikelompokkan ke dalam 3 variasi. Pertama, keluarga harmonis. Yang dimaksud keluarga harmonis disini adalah keluarga yang tidak memiliki masalah yang begitu berarti baik dari segi masalah hubungan antarpribadi maupun masalah finansial. Kedua, keluarga bermasalah. Yang dimaksud keluarga bermasalah disini adalah keluarga yang memiliki masalah baik masalah hubungan antar pribadi atau masalah finansial. Ketiga, keluarga gagal. Yang dimaksud keluarga gagal disini adalah keluarga ynag mengalami kegagalna dalam membangun keluarga sehinmgga keluarga menjadi terpecah belah. Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
73
Muhammad Ali, S.Ag., M.Si Urgensi Komunikasi Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Moral Anak
Karena kompleknya permasalah keluarga di negara kita, pendidikan yang diberikan pun tidak dapat disamaratakan. Peran masing-masing keluarga dalam pendidikan budi pekerti pun tidak dapat disamakan satu keluarga dengan keluaga lain. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang rasanya harus ada jika keluarha ingin berperan dalam pendidikan budi pekerti. Pertama, komitmen keluarga untuk memperhatikan anak-anaknya. Terlepas dari apakha suatu keluarga merupakan keluarga harmonis, bermasalah, ataupun keluarga gagal, komitmen untuk memperhatikan anak-anaknya menjadi kunci pendidikan budi pekerti bagi keluarga. Walaupun suatu keluarga merupakan keluarga yang tampaknya sangat harmonis tetapi jika kedua orang tuanya tidak memilki komitmen untuk memperhatikan anak-anaknya maka anak-anaknya akan kekeringan perhatian dan pengarahan. Akibatnya bsa jadi anak akan mudah mendapat pengaruh negatif dari lingkungan pergaulannya yang pada akhirnya mengalami kemerosotan moral dan budi pekerti. Sebaliknya walaupun keluarga bermasalah, jika mereka punya komitmen besar untuk memperhatikan ank-anaknya, niscaya anak-anaknya akan berkembang sangat baik dan memiliki budi pekerti luhur. Kedua, keteladanan. Proses pendidikan dalam keluarga mengandalkan pada masalah keteladanan orangtua. Hal ini berbeda dengan pola pendidikan sekolah yang lebih menekankan pada pola indoktrinasi dan peluasan wawasan. Jika dalam keluarga diberlakukan pola indoktrinasi dan peraturan, maka keluarga justru akan menjadi tidak harmonis. Bahkan bisa jadi anak justru akan menjadi agresif dan antipati terhadap keluarga. Akibatnya anak justru lebih kerasan tinggal di luar rumah daripada berada di rumahnya sendiri. Jika demikian artinya pendidikan budi pekerti dalam keluarga kurang berhasil. Ketiga, komunikasi aktif. Kasus-kasus renggangnya hubungan antara anak dan orang tua lebih banyak disebabkan oleh kurangnya komunikasi antara anak-orangtua. Karena kesibukan masing-masing, anggota keluarga jarang bertemua. Akibatnya walaupun mereka berada dalam satu rumah tetapi jarang sekali terjadi komunikasi langsung. Jika ketiga prasyarat komunikasi pendidikan budi pekerti dalam keluarga yang telah utarakan dapat terpenuhi, maka secara otomatis dan pertimbangan keluarga akan lebih mampu berperan dalam komunikasi pendidikan budi pekerti pada diri anak. Persoalannya pada saat ini adalah bentuk budi pekerti yang manakah yang dapat ditanamkan dalam komunikasi keluarga. Kiranya hal ini mulai tergambar ada empat bentuk dan nilai yang dapat ditanamkan dalam keluarga. Pertama, nilai kesalehan. kesalehan merupakan salah satu perwujudan sikap atau budi pekerti. Dimana orang yang memiliki kesalehan tentu lebih menghargai kerukunan dan kebersamaan daripada perpecahan. Jika dalam keluarga sudah sejak dini ditanamkan nilai-nilai kesalehan tersebut dan anak selalu dibiasakan menyelesaikan masalah dengan musyawarah maka dalam
74
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Muhammad Ali, S.Ag., M.Si Urgensi Komunikasi Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Moral Anak
kehidupan di luar keluarga mereka juga akan terbiasa menyelesaikan masalah berdasarkan permusyawarahan secara baik. Kedua, nilai ketakwaan dan keimanan. Ketaqwaan dan keimanan merupakan pengendali utama budi pekerti. Seseorang yang memiliki ketaqwaan dan keimanan yang benar dan mendasar terlepas dari apa agamanya tentu akan mewujudkannya dalam perilaku dirinya. Dengan demikian sangat tidak mungkin jika seseorang memiliki kadar ketakwaan dan keimanan yang mendalam melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya itu memiliki budi pekerti yang sangat hina. Ketiga, nilai toleransi. Yang dimaksud toleransi di sini terutama adalah mau memperhatikan sesamanya. Dalam keluarga nilai toleransi ini dapat ditanamkan melalui proses saling memperhatikan dan saling memahami antaranggota keluarga. Jika berhasil, tentu hal itu akan terbawa dalam pergaulannya. Keempat, nilai kebiasaan sehat. Yang dimaksud kebiasaan sehat di sini adalah kebiasaan-kebiasaan hidup yang sehat dan mengarah pada pembangunan diri lebih baik dari sekarang. Penanaman kebiasaan pergaulan sehat ini tentu saja akan memberikan dasar yang kuat bagi anak dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya.
Komunikasi Keluarga
Karakter Anak
Moral Anak
Pengaruh Positif
-
Bersikap Baik Keshalehan Ketekunan Keluarga Harmonis
Pengaruh Negatif
-
Berbudi Pekerti Toleransi Keperibadian Sehat Mampu Membentingi Diri
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
75
Muhammad Ali, S.Ag., M.Si Urgensi Komunikasi Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Moral Anak
V.
PENUTUP Tinggi rendahnya moralitas atau budi pekerti seseorang tidak dapat diukur hanya dari angka-angka seperti angka ropor pada ujian akhir sekolah. Budi pekerti atau moralitas hanya bisa diukur dengan mengamati perilaku dan perubahan perilaku seseorang. Komunikasi pendidikan budi pekerti juga bukan pendidikan instant yang segera dapat diketahui hasilnya. Mungkin saja nilai-nilai budi pekerti yang ditawarkan saat ini baru terlihat hasilnya satu dekade kedepan atau 10 tahun kemudian. Satu hal yang menjadi kunci masalah komunikasi pendidikan budi pekerti adalah bahwa kita harus sepakat berkomitmen moralitas SDM bangsa kita perlu segera dibenahi bagaimanapun caranya. Jika perlu, kita harus menanamkan ke dalam diri para pendidik dan orangtua bagaiman kunci utama untuk mengatasi krisis berkepanjangan ini adalah dengan menaruh perhatian besar pada komunikasi pendidikan budi pekerti lewat berbagai sektor dan bidang. Daftar Pustaka Thomas, Gordon,. 1984. Menjadi Orangtua Efektif. Jakarta : Gramedia. Hartoko, Dick. Ed. 1985. Memanusiakan Manusia Muda. Yogyakarta : Kanisius. Elisabeth B, Hurlock. 1980. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga. Yvon, Ambroise. 1987. “Pendidikan Nilai” dalam Pendidikan Nonformal sebagai Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta : LPPS-KWI. Moedjanto, G, B. Rahmanto, dan J. Sudarminto. Ed. 1992. Tantangan Kemanusiaan Universal. Yogyakarta : Kanisius Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. “Perkembangan Bahasa Anak dari Lahir Sampai Masa Prasekolah” dalam PELLBA 3, penyunting Bambang Kaswanti Purwo. Yogyakarta : Kanisius. Sanggar Talenta. 1996. Biarkan Kami Bicara Tentang Orangtua dan Pergaulan. Yogyakarta : Kanisius. Udin, AM. Tamsik dan Sopandi. 1987. Ilmu Pendidikan. Bandung : Epsilon Grup.
ooOoo
76
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Safuwan, M.Psi & Subhani, S.Sos., M.Si Pemberdayaan Kepribadian Muslim Melalui Psikologi Qurban
PEMBERDAYAAN KEPRIBADIAN MUSLIM MELALUI PSIKOLOGI QURBAN Oleh : Safuwan, M.Psi & Subhani, S.Sos., M.Si
Abstrak Perintah Qurban bagi umat Islam yang memiliki rezeki lebih mampu menerobos mental, memberdayakan ranah kognisi, afeksi dan konasi hingga menentramkan jiwa manusia sebagai manifestasi perilaku mulia, ritual ibadah dan amalan dalam rangka peningkatan kualitas SDM muslim dihadapan Allah SWT. Dari kajian psikologi, manusia yang berqurban akan membuka ranah kesadaran bahwa setiap perbuatan baik selalu memiliki ganjaran atau hadiah sehingga daya pikir manusia juga selalu terbuka untuk berbuat kebaikan. Cernaan pikiran yang mendalam menjadi konteks yang esensial dimaknai bagi kepentingan jiwa raga sehingga terasa indah dan memuaskan batin bagi yang ikhlas berqurban. Oleh karena itu, tanpa hendak memaerkan, manusia ketika mengetahui dan memahami arti qurban sebagai perintah Allah, setiap muslim akan berlomba-lomba untuk melakukan qurban. Kata kunci: qurban, pemberdayaan kepribadian, muslim
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 2, Agustus 2013
77
Safuwan, M.Psi & Subhani, S.Sos., M.Si Pemberdayaan Kepribadian Muslim Melalui Psikologi Qurban
Pengantar: Konsepsi kurban atau Qurban dinamakan pula dengan Udhhiyah atau Dhahiyyah, yang secara harfiah berarti penyembelihan hewan. Sedangkan ritual Qurban merupakan salah satu pelaksanaan ibadah kaum muslimin, dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT. Pelaksanaan ibadah kurban itu dilakukan pada bulan Dzulhijjah, yang dalam penanggalan Islam, adalah tanggal 10 (hari nahar) dan 11,12 dan 13 (hari tasyrik) bertepatan dengan Hari Raya Idul Adha. Seorang mukmin sejati, selalu mendambakan keridhaan dan kasih sayang Allah sepanjang hidupnya. Karenanya, kaum muslimin selalu ingin berkorban dan berjuang di jalan Allah SWT dengan seluruh harta, waktu, dan segenap pontensi yang dimilikinya, meskipun jiwa taruhannya. Mukmin sejati tahu benar makna psikologis dari peristiwa qurban yang dilakukan Nabi Ibrahim AS, ketika beliau diperintah Allah SWT untuk menyembelih putra kesayangannya, Nabi Ismail sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ash-Shaaffaat ayat 102 yang artinya: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu”, ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Psikologi Qurban: Dengan turunnya perintah Allah SWT itu, secara manusiawi, juga merasa kesedihan untuk menyembelih putranya yang sudah lama diidamidamkan. Namun Nabi Ibrahim tidak menampakkan hal itu dalam keluarganya, agar keluarga tidak merasa sedih. Dengan segala cara Nabi Ibrahim memanjatkan do’a kepada Allah agar diberikan kekuatan lahir batin dalam menghadapi cobaan tersebut. Nabi Ibrahim lebih tunduk dan ta’at pada perintah Allah SWT untuk segera melalukan qurban, walaupun anaknya sendiri. Firman Allah dalam lanjutan surat Ash-Shaaffaat, ayat 103-107 yang artinya: “Tatkala keduanya Telah berserah diri (kepada Allah) dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”.
78
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 2, Agustus 2013
Safuwan, M.Psi & Subhani, S.Sos., M.Si Pemberdayaan Kepribadian Muslim Melalui Psikologi Qurban
Secara manusiawi akan terlintas dalam benak bahwa mengapa Nabi Ibrahim, tidak menampakkan sikap dan perilaku kesusahan, gelisah atau takut kehilangan anak kesayangannya? Lantaran Nabi Ibrahim sangat mencintai Allah SWT dengan sepenuh jiwa dan raga. Selain itu, Nabi Ibrahim juga sangat taat kepada segala perintah Allah SWT. Harta benda, jiwa raga, bahkan keluarga sekalipun wajib dikorbankan di jalan Allah SWT agar menjadi mukmin sejati. Di sisi lain, seorang mukmin sejati juga selalu ingin belajar dari akhlak dan sikap Rasul SAW beserta para sahabat beliau, saat mereka meninggalkan kampung halaman, tanah air, harta benda, dan keluarga mereka. Mereka hijrah ke Madinah menyelamatkan diri dan agama mereka (Islam) semata-mata mengharapkan ridha dan karunia Allah SWT. Para orang-orang terdahulu rela dengan ikhlas mengorbankan diri dan hartanya dijalan agama demi menggapai surga Allah. Tengoklah pengorbanan salah seorang sahabat Nabi SAW, Shuhaib ar-Rumi. Ia berkata; “Ketika aku hendak berhijrah dari Mekkah kepada Nabi SAW di Madinah, Bangsa Qurasy berkata kepadaku, “Wahai Shuhaib, kamu datang kepada kami sedang tidak ada harta disisimu, padahal kamu akan keluar dari kota Mekkah ini beserta hartamu. Demi Allah, yang demikian itu tidak terjadi selama-lamanya. Lalu aku berkata kepada mereka, “Bagaimana jika harta ini aku serahkan kepada kalian, apakah kalian akan melepasakan diriku?” Bangsa Qurasy menjawab, “Ya.” Maka aku serahkan hartaku kepada mereka, lalu akupun dibebaskan. Setelah itu aku pergi hingga sampai ke kota Madinah. Setiba di kota Madinah, peristiwa yang dialami Shuhaib terdengar oleh Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, “Untunglah Shuhaib, Untunglah Shuhaib”. Terkait dengan peristiwa ini, maka turunlah firman Allah SWT, yang artinya: “Dan diantara manusia ada yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah” (QS. Al-Baqaraah: 207). Sungguh orang-orang yang sudah memahami arti agama secara mendalam, mereka tidak akan ragu berjuang dan memberikan segala yang ada pada dirinya untuk kemuliaan agamanya. Di sisi lain, orang mukmin sejati adalah orang telah mengikat janji dengan Allah SWT karena mengharap ridha dan syurga-Nya. Orang mukmin yang demikian tidak pernah ingkar janji terhadap waktu, tenaga, harta, dan jiwa demi membela agama Allah. Karenanya, diantara ciri orang mukmin sejati adalah ikhlas yang setiap saat siap membuktikan kesungguhannya berkorban karena Allah SWT dalam setiap denyut dan langkah di realitas ini. Ia selalu mendahulukan kepentingan agama Allah daripada kepentingan mengejar duniawi. Jika ada dua kepentingan yang kontradiksi, orang mukmin sejati ini selalu menyegerakan kepentingan menjalankan perintah-perintah Allah SWT daripada kepentingan dirinya.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 2, Agustus 2013
79
Safuwan, M.Psi & Subhani, S.Sos., M.Si Pemberdayaan Kepribadian Muslim Melalui Psikologi Qurban
Pemberdayaan Kepribadian Muslim Melalui Qurban Peristiwa qurban atau berkurban, baik yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, pengorbanan yang dilaksanakan sahabat Rasulullah SAW, Shuhaib ar-Rumi, sejumlah qurban setelah shalat ‘Idul Adha, serta pengorbanan yang diperankan oleh pribadi-pribadi muslim di seantero jagat ini, termasuk kaum muslimin di Indonesia dapat dikatakan sebagai bentuk pemberdayaan kepribadian manusia (muslim) secara utuh, baik dari aspek daya kesadaran, rasa/resap maupun daya kerja. Upaya pemberdayaan ini dimaksudkan agar pribad-pribadi muslim dalam mengkonstruksi diri dapat menjadi mukmin sejati yang mampu mengenali, menganalisis, memahami dan memaknai ajaran agamanya secara haqqul yaqin (segi kognisi). Chaplin (1995), memandang kognisi sebagai suatu konsep umum yang meliputi semua bentuk pengenalan. Termasuk di dalamnya hal; mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan membayangkan, memperkirakan, berfikir, mempertimbangkan, menduga dan menilai. Sisi kognisi sebagai salah satu aspek kepribadian yang menekankan pikiran-pikiran sadar pada manusia. Proses kognisi itu berkembang dalam beberapa tahap; yang dimulai dari sejak bayi hingga dewasa. Jeans Piaget mengemukakan teori perkembangan kognisi dengan empat tahapan perkembangan, yaitu sensor motorik (0-2 tahun), praopreasional (2-7 tahun), operasional konkret (7-12 tahun) dan operasional formal (12 tahun ke atas). Oleh karena itu, bila dikaitkan dengan peristiwa qurban, maka segala tindakan yang dilakukan pribadi muslim bermula dari penalaran, cernaan pikiran dan penilaian yang mendalam hingga menemukan kesimpulan bahwa qurban memiliki nilai-nilai yang esensial untuk diimplementasikan sebagai wujud pengamalan ajaran agama. Dengan pengembangan sisi kesadaran ini, selanjutnya akan membentuk dan menguatkan aspek resap/rasa (segi afektif) yang mendalam, sehingga sejumlah pengetahuan, pemahaman dan pemaknaan mengenai perbuatan qurban tidaklah sia-sia dilakukan, dan bila tidak dilaksanakan akan merasa kurang dalam dirinya. Dimensi afeksi ini merupakan bagian kepribadian yang berupa perasaan atau emosi pada diri individu. Chaplin (1995) menjelaskan afeksi sebagai “satu kelas yang luas dari proses-proses mental, termasuk perasaan, emosi suasana hati, dan temperamen. Perkembangan tahapan ranah afeksi ini pada hakikatnya juga dimulai sejak bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa dan lansia. Oleh karena itu, hasil resapan yang mendalam itu coba diinternalisasikan dan dikaitkan dengan berbagai gambaran ganjaran yang akan diterimanya, akan menenangkan batin dan merasakan gejala mampu dalam dirinya sehingga rela melakukan qurban semata-mata mengharap ridha Ilahi. Dengan begitu, arah kepada konsepsi “sami’na wa ata’na” yang disebutkan dalam Al-Qur’an menjadi karakter yang siap melekat dalam dirinya.
80
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 2, Agustus 2013
Safuwan, M.Psi & Subhani, S.Sos., M.Si Pemberdayaan Kepribadian Muslim Melalui Psikologi Qurban
Berpijak dari internalisasi kedua aspek tersebut, baru kemudian seorang muslim bergegas untuk melakukan tindakan nyata dengan berqurban (ranah konasi). Hal ini juga didasarkan pada reward yang akan diperoleh dari peristiwa qurban, yaitu balasan kebajikan yang melimpah dari Allah nanti di akhirat. Perbuatan yang dilakukan itu semata-mata mengahrap ridha dan rahmat Allah. Orang-orang yang mendapat rahmat dan ridha Allah orang-orang yang bertakwa dan tunduk atas segala perintah Allah. Penampakan dimensi konasi pada diri manusia dapat berupa reaksi, berusaha, berkemauan, dan berkehendak. Menurut Freud konasi merupakan wujud dari kognisi dan afeksi dalam bentuk tingkah laku. Pada perkembangan kepribadiannya, Freud memandang bahwa tahun-tahun permulaan masa kanak-kanak merupakan dasar pembentukan kepribadian. Dengan demikian secara bertahap sejalan dengan perkembangan anak menjadi remaja dan dewasa, maka perubahan perilaku juga mengiringi kehidupan seseorang. Gejala ini akan tampak pada realitas seseorang dalam berqurban, bukan hanya sekedar ria atau ingin dilihat orang lain agar dikenal taat dan beriman. Jika seperti ini niat dan perbuatannya, maka pelaksanaan qurban yang dilakukan tidak bernilai apa-apa dihadapan Allah. Namun jika perbuatan yang dilakukan berlandaskan pada ketakwaan dan keimanan, maka dimensi ikhlas akan terpatri pada pribadi muslim yang berqurban. Dan wacana ini akan sangat bernilai dihadapan Allah. Allah tidak butuh daging qurban yang disembelih oleh hamba-hambanya pada saat Idul Adha, yang Allah nilai adalah sikap dan perbuatan ikhlas, ketakwaan dan keimanan hamba-hambaNya dalam melaksanakan qurban sebagai perintah-Nya.
Oleh karena itu, hanya orang-orang yang mampu memberdayakan aspek kognisi, afeksi dan konasi secara baik, benar dan mendalam saja yang mendapat reward (pahala) dari hasil berqurbannya di dunia. Bahkan, dalam perintah berqurban itu pula akan memberi insight psikologis bagi pemberdayaan mentalitas, religiusitas dan spiritualitas muslim dalam realitas sosialnya untuk menjadi manusia insan kamil (muslim sejati).
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 2, Agustus 2013
81
Safuwan, M.Psi & Subhani, S.Sos., M.Si Pemberdayaan Kepribadian Muslim Melalui Psikologi Qurban
Kepustakaan Depag, 2008: Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Muhibbin Syah, 2003: Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya Utsman Nadjati, 1985: Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, Bandung: Pustaka Salman, ITB Ratna Wilis Dahar, 2006 : Teori-Teori Belajar, Jakarta: Erlangga Safwan Amin, 2005: Pengantar Psikologi Pendidikan, Banda Aceh: Yayasan PeNa Zakiyah Dardjat, 1996: Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang
ooOoo
82
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 2, Agustus 2013
Riwayat Hidup Penulis
Alfian, S.HI., MA. Dosen Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh. Lahir di Guha Uleue, 24 Januari 1977 beralamat di Gampong Cot Girek Kandang Muara Dua Lhokseumawe. Pendidikan formal a). Sekolah Dasar Negeri Mesjid Meunjee A. Utara Lulus 1988; b). Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Buloh Blang Ara A. Utara Lulus 1991; c). Dayah Babus Salam Blang Bladeh, Darul Huda Paldeng / Darul Ulum Tanoh Mirah Kab Bireuen Lulus 1996; d). IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh (S1) Lulus 2002; e).Universitas Kebangsaan Malaysia (S2) Lulus 2005 Bobby Rahman, S.Sos., M.Si., lahir di Lhokseumawe, 03 September 1984. Laki-laki yang sudah menikah dan berpangkat III/a dengan NIP. 198409032008011004 ini beralamat di Jln. Cot Sabong No. 9D Uteunkot Cunda - Lhokseumawe. Jalur pendidikan yang pernah dilaluinya adalah: 1. SDS Muhammadiyah – 6 Lhokseumawe (tamat tahun 1996); SMPS Muhammadiyah Lhokseumawe (tamat tahun 1999); 3. SMUN 1 Sewon Yogyakarta (tamat tahun 2002); 4. S1 Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh (tamat tahun 2007); 5. S2 Magister Administrasi Publik Universitas Padjadjaran (tamat tahun 2011). Pengalaman organisasinya adalah pernah terlibat aktif pada BEM FISIP dan BEM UNIMAL, UKM Seni dan Budaya UNIMAL, Sekjen Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh – Bandung (IMPS), Sekretaris Jurusan Ilmu Administrasi Negara Unimal (2009), Dosen lepas di STIA Nasional Lhokseumawe, STIE Lhokseumawe dan kini sebagai Dosen tetap di FISIP Universitas Malikussaleh. Pelatihan yang pernah diikutinya adalah E-Learning System, Soft Skill, Digital Content, Bagaimana Lulus Sertifikasi Dosen, Pekerti dan AA (Semua dilaksanakan di Universitas Airlangga). Muhammad Ali, S. Ag, M.Si, lahir di Lhokseumawe, 5 Mei 1972. Alamat di Jl. Nelayan No.75 Pusong Baru Kota Lhokseumawe. Pekerjaan Dosen Tetap Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh tahun 1998 – sekarang. Riwayat Pendidikan: 1. SD Negeri No.8 Pusong Lama Lhokseumawe 1985; 2. SMP Negeri 3 Lhokseumawe 1989; 3. SMA Muhammadiyah No.3 Lhokseumawe 1991; 4. Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry. Banda Aceh 1998; 5. Program Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung.
84
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013
Mursyidin, S.Ag., M.A, adalah dosen tetap pada Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh sejak tahun 2009. dilahirkan di Aceh Barat pada tanggal 20 Juli 1977. Pendidikan S1 di IAIN Ar-Raniry tahun 2000, S2 Ilmu Sosiologi dan Antropologi Universitas Kebangsaan Malaysia tahun 2006. Sekarang menduduki jabatan Kepala Laboratorium Antropologi. Dr. H. Rasyidin, S.Sos, M.A, Lahir di Gandapura, 06 Mei 1961,Jenis Kelamin laki-laki, menikah dengan Hj. Nur Asma, HS, Lektor Kepala IV/b, Pangkat Pembina Tingkat 1/IV/b dengan NIP 196105062001121001 beralamat Jln.Medan-Banda Aceh KM 169.5 Dusun 1 Laoskala, Desa Blang Panyang Kecamatan Muara Satu Kota Lhokseumawe. Jalur pendidikan yang dilalui adalah: 1. Madrasah Ibtidaiyah Negeri Gandapura (tamat tahun 19740), 2. SMP Persiapan Negeri Cunda (Tamat tahun 19770), 3. SMAN 1 Lhokseumawe Jurusan Ilmu Pengetahun Alam (tamat tahun 1980/1981), 4. Strata satu (S1) Universitas Malikussaleh, Jurusan Ilmu Administrasi Negara (tamat tahun 1997), 5 Strata dua (Master) Universiti Kebangsaan Malaysia (tamat tahun 2004), dan 6. Strata tiga (Doktor) Universiti Kebangsaan Malaysia (tamat Tahun 2012). Pengalaman Organisasi: 1. Anggota Pengurus Acheh Post Graduate Associaton Malaysia (2002-2003, 2. Pengurus Badan Kebajikan Mahasiswa Aceh Kuala Lumpur (20022004), 3. Pengurus Ikatan Cendikiawan Muslem Indonesia (ICMI) Kota Lhokseumawe (2006-2010). 4. Ketua Bidang Organisasi Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Cab, Kota Lhokseumawe (2005-sekarang), 5. Dewan Pakar Majelis Pendidikan Daerah Kota Lhokseumawe (2011-2015). Penelitian dan Karya Ilmiah yang dihasilkan adalah : 1. Pada tahun 1999. Perubahan Perilaku Sosial dalam era Reformasi. 2. Pengaruh Hubungan Masyarakat dalam mendukung kebijakan pimpinan Pada tahun 2002, 1. Masyarakat Sivil dalam pandangan Islam. 2. Ideologi politik Negara-negara dunia ketiga. Tahun 2003, 1.5. Terorisme dalam pandangan Amerika Serikat. 4. Partisipasi politik masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam setelah penerapan Undang- undang Nomor 18 tahun 2001. Tahun 2004. 1. Perubahan perilaku Masyarakat Aceh pasca diberlakukan darurat militer 2. Partisipasi Politik Perempuan di NAD, studi Kota Lhokseumawe.3. Pembangunan dalam perspektif perempuan. Tahun 2005. 1. Aceh Development Model in The Future. Tahun 2006. 1. E-learning dalam peningkatan SDM di NAD. Tahun 2007. .Pemberdayaan Gender dalam pembangunan Nanggroe Aceh Darussalam. Tahun 2009. 1. Swing Voter di Pemilu 2009 di Indonesia.Tahun 2010. 1. Pemberdayaan Politik Gender : Kasus Aceh sebelum dan setelah MoU Helsinki. 2. Pendidikan Politik dan Politik Pendidikan.Tahun 2011. .Sulthan Malikussaleh Dulu Kini dan Esok dalam perspektif Ekonomi Politik. 2. Konflik Politik di dunia ketiga. Tahun 2012. 1. Pengaruh Komunikasi Politik terhadap Pemilihan Umum Pimpinan Daerah di Provinsi Aceh. 2. Pengaruh KBK terhadap kualitas lulusan Perguruan tinggi.
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2012
85
Safuwan, M.Psi, Dosen Tetap dalam bidang Psikologi dan Filsafat Ilmu pada Fak. FISIP Unimal Lhokseumawe, sejak tahun 2006. Lahir di Paloh Baro Ujong Rimba, Kec.Mutiara Timur, Kab. Pidie, 17 Oktober 1971. Menyelesaikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas di Beureunun, Kec. Mutiara Timur Kab. Pidie. Pada tahun 1990 meneruskan studi S1 ke Jurusan Aqidah & Filsafat IAIN (kini UIN) Banda Aceh, tamat tahun 1995. Pada tahun 1996 melanjutkan studi S2 dalam Bidang Psikologi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), selesai tahun 1999. Suadi, S.Ag., M.Si, lahir di Meureudu Pidie Jaya 16 Agustus 1976, pendidkan; SD Neg. Beuracan Jaya, tamat 1988; SMP Neg. II Meureudu, tamat 1992; MAS Darul Arafah Medan, tamat 1995; Sarjana, STAI Malikussaleh, tamat 2000; Pascasarjana, Unpad Bandung, tamat 2005. Sekarang aktif sebagai Dosen tetap pada Program Studi Sosiologi FISIP-Unimal. Karya ilmiah yang telah dipublikasi, di antaranya: Konflik Kepentingan antara Majelis Permusyawaratan Ulama dan Pemerintah Daerah dalam Implementasi Syari’at Islam, 2005; Implementasi Syari’at Islam di Aceh: Suatu Analisis Kepincangan Syari’at, 2006; Pembangunan Pertanian Berkelanjutan sebagai Livelihood Guarantee, 2007; Kepercayaan dan Harapan Masyarakat Aceh kepada Pemimpin Terpilih dari Unsur Independen, 2007; Strategi Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Institusi Lokal, 2008; Efektivitas Qanun Nomor 14 tentang Khalwat terhadap Perilaku Masyarakat Aceh, 2008. Subhani, S.Sos., M.Si. Adalah dosen tetap pada Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Unimal sejak Agustus 2002. Dilahirkan di Keutapang Nisam pada tanggal 25 Mei 1978. Pendidikan SD dan SMP diselesaikan tempat kelahirannya Nisam Aceh Utara, kemudian melanjutkan sekolah atas di SMA Negeri Krueng Geukueh Kabupate Aceh Utara. Meraih gelar S1 Ilmu Adnibistrasi Negara dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tahun 2002 dan menyelesaikan pendidikan S2 Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran Bandung tahun 2007. Pernah menduduki jabatan struktural sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Unimal tahun 2007-2011.
OOOOO
86
Jurnal SUWA Universitas Malikussaleh, Vol. XI, No. 1, April 2013