PENGKAYAAN SELENIUM ORGANIK,, INORGANIK DAN VITAMIN E DALAM DA PRODUK PUYUH MELALUI SUPPLEMENTASI LEMENTASI DALAM RANSUM SERTA POTENSI TELUR PUYUH SEBAGAI BAHAN PEMBUAT JUICE TELUR KAYA SELENIUM
SYAHRIR AKIL
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E dalam produk puyuh melalui supplementasi dalam ransum serta potensi telur puyuh sebagai bahan pembuat juice telur kaya selenium adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi. Bogor, Agustus 2009
Syahrir Akil NRP D061065011
ABSTRACT SYAHRIR AKIL. Enrichment of organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in quail products through its supplementation in the diet and its potency of quail eggs as an ingredient in selenium-rich egg juice. Under the supervisions of WIRANDA GENTINI PILIANG, HANNY WIJAYA, DESIANTO BUDI UTOMO AND KOMANG G WIRYAWAN. This study was aimed to achieve an optimum level of combine organic selenium, inorganic selenium and vitamin E in obtaining the best production and reproduction as well as the highest level of selenium in quail eggs. This study was conducted from January to August 2008. Numbers of observed quails were 720 (360 females and 360 males). The treatments were applied when the quails were six weeks old. Nine treatment diets were: To (commercial diet), T1 (0.46 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T2 (0.46 ppm inorganic Se + 87.00 ppm vitamin E), T3 (0.92 ppm inorganic Se + 43.50 ppm vitamin E), T4 (0.92 ppm inorganic Se +87.00 ppm vitamin E), T5 (0.46 ppm organic Se + 43.50 ppm vitamin E), T6 (0.46 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E), T7 (0.92 ppm organic Se + 43.50 vitamin E) and T8 (0.92 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E). The design in this expriment was a factorial – nested design. The significant difference among treatments was further analysed using Duncan's test. The results of this study indicated that 0.92 ppm organic selenium + 43.50 ppm vitamin E (T7) in the diet, in general, gave the highest content of selenium in egg yolk, albumin, and meat. The highest vitamin E in egg yolk, glutathione peroxidase ( GSH-Px), hatchability and d.o.q weight were also found in quails fed 0.92 ppm organic Se + 87.00 ppm vitamin E (T7). The low mortality was also found in this treatment. The egg juice made from eggs produced by quails fed this diet (T7), with additional ingredients such as lemon, honey and white grape (sparkling), red wine with the ratio of 50% : 10% : 30% : 10% : 0% respectively was best accepted by the panelist based on the hedonic test (colour, odor, taste and viscosity) and rank test. Keywords: Quail, organic Selenium, inorganic Selenium, vitamin E, hedonic test, rank test.
RINGKASAN SYAHRIR AKIL. Pengkayaan Selenium Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Produk Puyuh melalui Supplementasi dalam Ransum serta Potensi Telur Puyuh sebagai Bahan Pembuat Juice Telur Kaya Selenium. Dibimbing oleh WIRANDA GENTINI PILIANG, HANNY WIJAYA, DESIANTO BUDI UTOMO DAN KOMANG G WIRYAWAN. Perubahan gaya hidup, stres, serta pola konsumsi masyarakat saat ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan memberikan kontribusi terhadap timbulnya berbagai penyakit. Hal ini disebabkan karena kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap produksi dan metabolisme radikal bebas di dalam tubuh yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan gangguan metabolisme tubuh. Kelebihan radikal bebas dan kurangnya kemampuan antioksidan tubuh untuk menghambat serta menghancurkan radikal bebas akan mengakibatkan timbulnya kerusakan oksidatif di dalam tubuh sehingga memicu timbulnya berbagai penyakit. Salah satu langkah penting untuk meningkatkan antioksidan tubuh adalah dengan meningkatkan konsumsi asupan antioksidan. Selenium (Se) merupakan komponen fungsional berbagai selenoprotein tubuh yang berinteraksi dengan vitamin E, keduanya merupakan nutrisi antioksidan yang berperan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E dalam ransum puyuh dapat memperbaiki performa produksi dan reproduksi serta kandungan produk sehingga dapat dijadikan sebagai komponen juice telur kaya selenium yang bermanfaat dan dapat diterima melalui uji sensori. Tujuan dari penelitian untuk mendapatkan level optimum kombinasi Se organik, inorganik dan vitamin E terbaik dalam menghasilkan performa produksi dan reproduksi burung puyuh serta telur dengan kandungan antioksidan tinggi untuk dijadikan komponen utama penyusun juice telur kaya selenium yang palatable. Penelitian ini berlangsung selama 29 minggu, terdiri dari tiga tahap penelitian yaitu tahap pemeliharaan induk, tahap penetasan dan tahap pembuatan juice telur kaya selenium. Burung puyuh yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 720 ekor terdiri dari 360 ekor betina dan 360 ekor jantan, empat ulangan yang masing-masing terdiri dari 10 ekor jantan dan 10 ekor betina. Perlakuan ransum terdiri dari sembilan jenis perlakuan dengan rincian sebagai berikut : T0 (Ransum Komersial ), T1 (Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + Vitamin E 43.50 ppm), T2 (Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + Vitamin E 87 ppm), T3 (Ransum + Se inorganik 0.92 ppm +Vitamin E 43.50 ppm), T4 (Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + Vitamin E 87 ppm), T5 (Ransum + Se organik 0.46 ppm + Vitamin E 43.50 ppm), T6 (Ransum + Se organik 0.46 ppm + Vitamin E 87 ppm), T7 (Ransum + Se organik 0.92 ppm + Vitamin E 43.50 ppm) dan T8 (Ransum + Se organik 0.92 ppm + Vitamin E 87 ppm). Penetasan telur dimulai pada umur induk 12, 14, 16, 18 dan 20 minggu, dan selanjutnya anak puyuh yang diperoleh dari hasil penetasan dipelihara selama dua minggu. Proses selanjutnya adalah tahap pembuatan juice telur kaya selenium dengan formula sebagai berikut : kode 101 terdiri dari telur, lemon, madu, white grape (sparkling), red wine dengan perbandingan (100% : 0% : 0% : 0% : 0%) ; kode 121 terdiri dari telur, lemon, madu, white grape (sparkling), red
wine dengan perbandingan (45% : 10% : 30% : 15% : 0%); kode 242 terdiri dari telur, lemon, madu, white grape (sparkling), red wine dengan perbandingan (50% : 10% : 30% : 10% : 0%); kode 434 terdiri dari telur, lemon, madu, white grape (sparkling, red wine dengan perbandingan (45% : 10% : 30% : 0% : 15%); kode 565 terdiri dari telur, lemon, madu, white grape (sparkling), red wine dengan perbandingan (50% : 10% : 30% :0% : 10%). Hasil penelitian tahap pertama (pemeliharaan induk) menunjukkan konsumsi ransum berkisar antara 2.69 – 2.80 kg per ekor, berat badan 159.53 – 165.82 gram per ekor selama 22 minggu (P<0.01), umur mulai bertelur puyuh berkisar antara 43.50 – 46.25 hari, produksi telur (% hen day) berkisar antara 66.79 – 73.35%, produksi telur dalam kg berkisar antara 0.89 – 1.01 kg (P<0.05), konversi ransum 2.72 – 3.08 (P<0.05) selama 22 minggu, selenium daging (dada) berkisar antara 18.55 – 20.24 µg/100 gram, selenium albumin telur berkisar antara 12.45 – 14.05 µg/100 gram, kandungan selenium kuning telur berkisar antara 16.77 – 19.72 µg/100 gram, vitamin E kuning telur berkisar antara 0.76 – 0.81 mg/100 gram dan aktivitas enzim gluthathione peroksidase (GSH-Px) 0.21 – 1.21 unit/100 g sample. Hasil penelitian tahap kedua (penetasan telur) menunjukkan fertilitas telur berkisar antara 84.89 – 93.68 % (P<0.01), daya tetas telur berkisar antara 71.92 – 82.91% (P<0.01), bobot tetas berkisar antara 7.48 – 8.21 gram/ekor, mortalitas berkisar antara 10.97 – 26.00 % (P<0.01), konsumsi anak berkisar antara 34.93 – 40.19 gram/ekor dan pertambahan bobot badan berkisar antara 36.1 – 39.38 gram/ekor selama dua minggu pemeliharaan. Hasil penelitian tahap ketiga (Pembuatan juice telur kaya selenium) menunjukkan uji hedonik juice telur kaya selenium terhadap warna juice (skor kesukaan berkisar antara 3.08 – 4.01), aroma juice (skor kesukaan berkisar antara 2.01 – 4.04), rasa juice (skor kesukaan berkisar antara 1.77 – 4.03), kekentalan juice (skor kesukaan berkisar antara 2.84 – 4.05), skor kesukaan secara keseluruhan juice berkisar antara 2.01 – 4.01, dan untuk uji ranking tingkat kesukaan panelis dengan urutan sebagai berikut : kode 242, kode 121, kode 434, kode 565, kode 101. Aktivitas antioksidan juice telur kaya selenium berdasarkan perhitungan berkisar antara 509.21 µgAEA/ml – 961.13 µgAEA/ml dan selanjutnya kandungan selenium juice berkisar antara 23.96 µg – 33.77 µg/100g berdasarkan hasil perhitungan. Pada penelitian ini secara keseluruhan perlakuan T7 (Ransum + Se organik 0.92 ppm + Vitamin E 43.50 ppm) memberikan hasil yang terbaik (berat badan yang paling tinggi, umur bertelur paling cepat, kandungan selenium (kuning telur dan albumin), kandungan vitamin E kuning telur serta aktivitas GSH – Px darah yang paling tinggi (penelitian tahap I). Demikian pula dengan fertilitas telur, daya tetas telur, mortalitas anak puyuh, konsumsi ransum dan pertambahan berat badan anak puyuh (penelitian tahap II) perlakuan T7 lebih baik daripada perlakuan lainnya. Sehingga dapat disarankan untuk diterapkan penggunaannya dilapangan sebagai sumber selenium dari produk puyuh. Kata Kunci : Puyuh, selenium organik, vitamin E, uji hedonik
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
PENGKAYAAN SELENIUM ORGANIK, INORGANIK DAN VITAMIN E DALAM PRODUK PUYUH MELALUI SUPPLEMENTASI DALAM RANSUM SERTA POTENSI TELUR PUYUH SEBAGAI BAHAN PEMBUAT JUICE TELUR KAYA SELENIUM
SYAHRIR AKIL
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Disertasi :
Nama NRP
: :
Pengkayaan Selenium Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Produk Puyuh melalui Supplementasi dalam Ransum serta Potensi Telur Puyuh sebagai Bahan Pembuat Juice Telur Kaya Selenium Syahrir Akil D061065011
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir.Wiranda G.Piliang, M.Sc. Ketua
Prof.Dr.Ir.C.Hanny Wijaya, M.Agr. Anggota
Dr. Desianto B.Utomo, DVM, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. I Komang G. Wiryawan Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 30 Juni 2009
Tanggal Lulus :
PRAKATA Pertama-tama saya memanjatkan puji dan syukur pada Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia, berkah dan hidayah-Nya dan salam untuk Rasulullah SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Doktor hingga tahap akhir penyusunan disertasi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih setulusnya kepada Prof. Dr. Ir. Wiranda G. Piliang, MSc., Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr, Dr. Desianto Budi Utomo, DVM, M.Sc dan Dr. Ir. I Komang G. Wiryawan sebagai komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan, kritikan, saran dan dorongan serta semangat selama proses studi Doktor yang dilakukan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Presiden PT.Charoen Pokphand Indonesia, Bapak Hadi Gunawan, yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi di Sekolah Pasca Sarjana IPB. Disampaikan juga ucapan terima kasih kepada Bapak Jemmy Wijaya, Bapak Askam Sudin, Bapak Moch.Filhasny Junus, Prof. Dr. drh. Aminuddin Parakkasi, M.Sc, Prof. Dr. drh. Harimurti Martojo, M.Sc, Dr. Ir. Muh. Ridla, M.Agr, selanjutnya kepada Rektor, Dekan SPS, dan seluruh staf SPS IPB atas seluruh layanan akademik yang diberikan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc atas kesediaannya sebagai penguji ujian tertutup, Prof. Dr. Rudy I Hutagalung, DVM, M.Sc dan Dr. Ir. Sumiati, M.Si atas kesediaannya sebagai penguji ujian terbuka, teman – teman mahasiswa program Doktor Ilmu Ternak Angkatan 2006 (Syahriani, Fauziah Agustin, Dede Kardaya, Maijon Purba dan Muh. Daud) serta sahabat-sahabat yang tak dapat disebutkan satu per satu atas bantuan dan kerjasamanya. Kepada seluruh keluarga besar terima kasih atas dukungan, do’a dan kasih sayangnya, khususnya kepada kedua orang tua saya Haji Muhammad Akil (Alm) dan H. Sitti Naidah (Alm), saudara saya Marhadiah Akil, Rohani Akil, Mansur Akil, Nurhayati Akil, Faridah Akil, Muh. Yahya Akil, Wahyuddin Akil, Amir Hamzah Akil, istri saya Erniwati dan anak saya tercinta Lutfia Zahra Talita, terima kasih telah melakukan berbagai hal untuk kesuksesan saya. Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan yang telah diberikan dan melipatgandakan amalannya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dibidang ilmu peternakaan, khususnya bidang ilmu nutrisi unggas.
Bogor, Agustus 2009
Syahrir Akil
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Watampone, Kabupaten Bone (Sulawesi Selatan) pada hari Senin 5 Februari 1973 sebagai anak kedelapan dari sembilan bersaudara dari pasangan (Alm) Haji Muhammad Akil dan Hajjah Sitti Naidah (Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1996. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan studi S2 di Program Magister Ilmu Ternak (Nutrisi Unggas) Institut Pertanian Bogor, pada tahun 2006 melanjutkan ke program Doktor (Program Alih Jenjang) di Program Studi Ilmu Ternak (Nutrisi Unggas), Sekolah Pascasarjana IPB. Sejak mahasiswa penulis aktif menjadi asisten luar biasa di Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Hasanuddin pada mata kuliah : Fisiologi Ternak Dasar, Biokimia Nutrisi, Dasar Ilmu Reproduksi Ternak, Inseminasi Buatan, Dasar Ilmu Ternak Potong dan Kerja, Ilmu Tilik Ternak, Dasar Ilmu Ternak Perah, Ilmu Tatalaksana Ternak Perah, Parasitologi dan Kesehatan Ternak. Tahun 1997 - 1998 penulis bekerja sebagai Supervisor pada PT.Satwa Utama Raya IV, Surabaya (Group Charoen Pokhand Indonesia), Tahun 1998 – 1998 Supervisor pada PT.Satwa Utama Raya V, Makassar (Group Charoen Pokphand Indonesia), Tahun 1998 – 2000 sebagai Kepala Produksi Agro Integration PT.Bina Pratama Satwa, Makassar (Group Charoen Pokphand Indonesia), Tahun 2000 – 2003 sebagai Pimpinan PT.Bina Pratama Satwa, Makassar (Group Charoen Pokphand Indonesia), Tahun 2003 – 2004 sebagai Pimpinan PT. Aneka Satwa Perkasa, Lombok (Group Charoen Pokphand Indonesia) Tahun 2004 – 2006 Manager Technical Service & Development PT.Charoen Pokphand Indonesia Area Jawa Barat & Jawa Tengah, Tahun 2006 – 2007 Deputy General Manager Technical Service & Development PT. Charoen Pokphand Indonesia – Divisi Broiler dan Tahun 2007 – sekarang sebagai Deputy General Manager Technical Service & Development PT.Charoen Pokphand Indonesia Area Jawa Barat. Penulis pernah menjadi mahasiswa teladan di Fakultas Peternakan dan Perikanan - Universitas Hasanuddin (Tahun 1995), lulusan terbaik pada wisudawan sarjana Fakultas Peternakan dan Perikanan (Tahun 1996), The Best Performance tingkat Section Head dan Manager Integration Area Timur, PT.Charoen Pokphand Indonesia (Tahun 2003). Di bidang organisasi, penulis pernah menjadi Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Mahasiswa Profesi Peternakan Fakultas Peternakan & Perikanan – Universitas Hasanuddin (Tahun 1995), Ketua Komite Sekolah SMK Negeri 1 Lombok (Tahun 2003), sebagai Ketua Umum Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Asal Sulawesi Selatan (Tahun 2007 – 2008), sebagai wakil Ketua Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (Tahun 2007 – 2008), sebagai Dewan Penasehat Forum Mahasiswa Pasca Sarjana asal Sulawesi Selatan Institut Pertanian Bogor (Tahun 2008 – 2009) dan sebagai Dewan Penasehat Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (Tahun 2008 – 2009).
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN………………………………………...........
i
DAFTAR ISI………………………………………………………………
ii
DAFTAR TABEL………………………………………………………….
iii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………...........
iv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………
v
PENDAHULUAN Latar Belakang………………………………………………...........
1
Tujuan Penelitian……………………………………………...........
3
Manfaat Penelitian……………………….…………………………
3
Hipotesis Penelitian…………………………………………...........
3
TINJAUAN PUSTAKA Burung Puyuh ………………………………………………...........
4
Fertilitas dan Daya Tetas …………………………………………..
6
Peranan Selenium (Se) dan Vitamin E……………………………..
6
Selenium Organik dan Inorganik…………………………………...
9
Metabolisme Selenium Organik dan Inorganik……………………. 12 Vitamin E…………………………………………………………... 14 Metabolisme Vitamin E……………………………………............ 15 Selenium dan Vitamin E sebagai Antioksidan ……………………
15
Minuman Kaya Antioksidan……………………..………………..
20
Lemon………………………………………………………........... 27 Wine……………………………………………………………….. 28 Madu………………………………………………………………. 29 Organoleptik ………………………………………………………
30
MATERI DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian..…………………………………… 33 Materi Penelitian………………………………………………….. 37 Metode Penelitian…………………………………………………
38
Rancangan Penelitian………………………………….................. 40 Peubah yang Diukur……………………………………………… 42 HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum………………………………………………...
50
Berat Badan Puyuh Betina………………………………………..
51
Umur Mulai Bertelur ….…………….…………………………… 52 Produksi Telur…………………………………………………….. 53 Konversi Ransum…………………………………………………. 56 Selenium Daging………………………………………………….. 58 Selenium Telur……………………………………………………. 60 Vitamin E Kuning Telur……………………………………..........
63
Aktivitas Enzim Gluthatione Darah………………………………. 65 Fertilitas…………………………………………………………...
67
Daya Tetas………………………………………………………… 69 Bobot Tetas………………………………………………………..
71
Mortalitas………………………………………………………….
72
Konsumsi Anak…………………………………………………… 74 Pertambahan Bobot Badan………………………………………..
75
Uji Mikrobiologi Telur……………………………………………. 77 Uji Mikrobiologi Juice Telur.……………......................................
80
Komposisi Juice Telur...……………..……….....….……………..
81
Kekentalan Minuman Juice Telur……...………..…………..……. 84 Aktivitas Antioksidan …………...……………….…………..…..
85
Kandungan Selenium Juice Telur ……………….……………….
87
Penerimaan terhadap Atribut Sensori Juice Telur………………...
89
a.Uji Hedonik Terhadap Warna Juice Telur………………………
89
b.Uji Hedonik Terhadap Aroma Juice Telur………………............ 91 c.Uji Hedonik Terhadap Rasa Juice Telur ……………….…….....
92
d.Uji Hedonik Terhadap Kekentalan Juice Telur……………….... 94 e.Uji Hedonik Secara Overall Juice Telur ………………..….…... 95 f.Uji Ranking………….…………………………………………..
97
PEMBAHASAN UMUM
99
SIMPULAN
102
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………...........
103
LAMPIRAN………………………………………………………………..
113
DAFTAR TABEL No 1
Halaman Kandungan nutrisi telur puyuh……………………………………….. 5
2
Komposisi kimia jus jeruk lemon……………………………………..
27
3
Komposisi nutrisi red wine…………………………………………..
29
4
Komposisi nutrisi madu……………………………………………….
30
5
Komposisi nutrisi ransum control…………………………………….. 37
6
Komposisi nutrisi ransum perlakuan………………………………….
7
Perlakuan pengkayaan Se dan vitamin E……………………………... 39
8
Hasil pengamatan mutu mikroba telur puyuh perlakuan T7………………..
78
9
Total plate count juice telur …………………………………………..
80
10
Komposisi juice telur ……………...………………………………...
81
11
Aktivitas antioksidan komponen penyusun juice telur………………..
85
12
Kandungan selenium komponen penyusun juice telur………………..
87
13
Hasil uji ranking juice telur…………………………………………...
97
38
DAFTAR GAMBAR No 1
Halaman 7 Keseimbangan antioksidan-prooksidan pada organisme……...……....
2
Gambaran pencernaan selenium, penyerapan dan transpor…………...
12
3
Metabolisme selenium ………………..………………………………
13
4
Level pertahanan antioksidan di dalam sel…………………………....
18
5
Kerangka pemikiran…………………………………………………...
35
6
Diagram alir penelitian………………………………………………..
36
7
Pengukuran aktivitas antioksidan metode DPPH……………………..
49
8
Rataan konsumsi ransum dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E selama 22 minggu....…………………..………………
50
9
Rataan berat badan puyuh betina (Gram/Ekor) dengan pengkayaan Se 51 organik, inorganik dan vitamin E……………………..………………
10
Rataan umur pertama kali bertelur dengan pengkayaan Se organik, 53 inorganik dan vitamin E……………………………………………….
11
Rataan produksi telur Hen Day (%) dengan pengkayaan Se organik, 54 inorganik dan vitamin selama 22 minggu……..……………………....
12
Rataan produksi telur (Kg) dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E selama 22 minggu …………………………………….
55
13
Rataan konversi ransum dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E selama 22 minggu ………….…………………………
57
14
Kandungan selenium daging dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E………………………………………………
58
15
Hubungan antara bentuk Se yang dimakan dan Se dalam jaringan......
60
16
62 Kandungan selenium albumin telur dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E.………………………………………………
17
63 Kandungan selenium kuning telur dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E….……………………………………………
18
Vitamin E kuning telur dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E..………………………………………………………...
64
19
Aktivitas glutathione peroksidase (GSH-Px) dengan pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E…………………………...
66
20
Rataan fertilitas telur dengan pengkayaan selenium organik, 68 inorganic dan vitamin E………………….............................................
21
Rataan daya tetas telur dengan pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E………………………....................................
69
22
Rataan bobot tetas dengan pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E………………………….................................................
71
23
Mortalitas selama dua minggu pemeliharaan setelah menetas dengan pengkayaan selenium organik,inorganik dan vitamin E......................
72
24
Konsumsi ransum anak selama dua minggu dengan pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E.........................................
74
25
Pertambahan bobot badan anak selama dua minggu dengan pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E.....................
76
26
Hasil pengukuran kekentalan dari masing-masing formula juice 84 telur........................................................................................................ Hasil perhitungan aktivitas antioksidan berdasarkan formula dan 86 komponen penyusun juice.....................................................................
27 28
Hasil perhitungan kandungan selenium juice berdasarkan formula 88 dan komponen masing-masing penyusun juice telur. ..........................
29
Skor rata-rata penerimaan panelis terhadap warna juice telur………... 90
30
Skor rata-rata penerimaan panelis terhadap aroma juice telur ...…….. 91
31
Skor rata-rata penerimaan panelis terhadap rasa juice telur ..………..
93
32
Skor rata-rata penerimaan panelis terhadap kekentalan juice telur......
94
33
Skor rata-rata penerimaan panelis secara overall juice telur ………...
96
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1
Analisis ragam konsumsi ransum………………………………..........
113
2
Analisis ragam berat badan betina.......…………………………..........
115
3
Analisis ragam umur mulai bertelur …………………………....….....
117
4
Analisis ragam hen day (%)..........…………………………………..... 119
5
Analisis ragam produksi telur (Kg)……………………………….......
6
Analisis ragam konversi ransum.....................................…………....... 123
7
Analisis ragam fertilitas .…………………………...............................
125
8
Analisis ragam daya tetas ………………………….............................
128
9
Analisis ragam bobot tetas..................................................................... 131
10
Analisis ragam mortalitas…………………………..............................
133
11
Analisis ragam konsumsi anak …….…………………………………
136
12
Analisis ragam pertambahan bobot badan anak………………………
139
13
Form uji hedonik juice telur.......................................…….................... 141
14
Rekapitulasi skor uji hedonik juice telur.............................….…….....
15
Hasil uji hedonik juice telur..............................………………..…...... 145
16
Form uji ranking juice telur................................……...……………....
17
Rekapitulasi skor uji ranking juice telur dan uji friedman..................... 150
18
Perhitungan aktivitas antioksidan juice telur berdasarkan analisa 152 aktivitas antioksidan masing-masing komponen penyusun ………….
19
Perhitungan kandungan selenium juice telur berdasarkan analisa 153 kandungan selenium masing-masing komponen penyusun…………..
20
Komposisi nutrien white grape.............................................................. 154
21
Komposisi red wine..............................................................................
154
22
Hasil analisa kandungan selenium telur puyuh komersial
154
121
142 149
PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan gaya hidup, stres, serta pola konsumsi masyarakat saat ini sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan memberikan kontribusi terhadap timbulnya berbagai penyakit. Hal ini disebabkan karena kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap produksi dan metabolisme radikal bebas di dalam tubuh yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan gangguan metabolisme tubuh. Kelebihan radikal bebas dan kurangnya kemampuan antioksidan tubuh untuk menghambat serta menghancurkan radikal bebas akan mengakibatkan timbulnya kerusakan oksidatif di dalam tubuh sehingga memicu timbulnya berbagai penyakit seperti kanker, jantung koroner, hipertensi, diabetes dan berbagai penyakit degeneratif lainnya. Salah satu langkah penting untuk meningkatkan antioksidan tubuh adalah dengan meningkatkan asupan antioksidan. Selenium (Se) merupakan komponen fungsional berbagai selenoprotein tubuh yang berinteraksi dengan vitamin E, keduanya merupakan antioksidan yang berperan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkan oleh radikal bebas. Vitamin E merupakan komponen antioksidan utama dalam sistem biologis dan berperan penting dalam pengaturan metabolisme, melindungi struktur seluler dan menjaga stabilitas membran biologi dari kerusakan dan juga merupakan bagian penting dari reaksi reduksi oksidasi sel. Vitamin E tidak dapat disintesis di dalam tubuh manusia, karena itu peningkatan konsumsi vitamin E akan dapat mengurangi resiko berbagai penyakit. Berbagai penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa konsumsi produk ternak yang mengandung Se melalui pakan ternak dapat menjadi langkah efektif untuk meningkatkan konsumsi Se pada manusia. Produk unggas dapat memberikan kontribusi besar terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan nutrisi antioksidan. Produk unggas yang meliputi daging dan telur umum dikonsumsi masyarakat karena mudah diperoleh dan harganya lebih terjangkau dibandingkan ternak besar lainnya, disamping itu siklus produksi
unggas yang cepat menjadikan unggas sebagai ternak yang sangat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat yang terus meningkat. Puyuh merupakan salah satu jenis unggas yang memiliki siklus produksi tercepat sehingga dapat diandalkan untuk pemenuhan kebutuhan nutrisi dan antioksidan pada manusia. Oleh karena itu peningkatan dan perbaikan reproduksi puyuh perlu dilakukan untuk meningkatkan populasi dan kualitas nutrisi produk puyuh yang meliputi daging dan telur sehingga memberikan kontribusi besar terhadap konsumsi nutrisi pada manusia. Kesadaran masyarakat yang tinggi akan pentingnya konsumsi nutrisi untuk menjaga kesehatan dan mencegah penyakit mengakibatkan permintaan produk konsumsi bernutrisi tinggi meningkat. Karena itu aneka produk makanan dan minuman bernutrisi makin banyak diproduksi untuk memenuhi permintaan tersebut.
Minuman kaya antioksidan sedang diminati oleh konsumen karena
dipercaya berkhasiat terhadap kesehatan, karena itu komponen-komponen penyusun minuman diupayakan berasal dari bahan bernutrisi tinggi. Telur merupakan salah satu produk puyuh yang dapat diandalkan untuk menjadi makanan kaya antioksidan, dan sebagai produk yang kaya nutrisi dapat diandalkan menjadi komponen pembentuk minuman, karena itu telur yang dihasilkan harus berkualitas dengan nilai nutrisi dan antioksidan yang tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan manipulasi pada pakan puyuh induk untuk menghasilkan telur kaya antioksidan. Pemanfaatan selenium organik berpotensi meningkatkan kandungan Se pada telur, disamping itu Se organik sangat berperan dalam meningkatkan reproduksi puyuh sehingga memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan populasi. Aspek sensori meliputi cita rasa dan warna juga merupakan faktor utama yang menentukan penerimaan konsumen, karena itu selain aspek nutrisi yang berpengaruh terhadap kesehatan, nilai palatabilitas juga menjadi faktor penting dalam formulasi minuman kaya antioksidan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan suatu formulasi yang tepat untuk menjadikan telur sebagai minuman yang kaya antioksidan dan mempunyai cita rasa, aroma dan
2
warna yang digemari sehingga akan terbentuk minuman yang bermanfaat bagi kesehatan dan palatable untuk dikonsumsi. Berdasarkan hal-hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang pengkayaaan selenium organik, inorganik dan vitamin E dalam produk puyuh terhadap performa serta potensi telur puyuh sebagai bahan pembuat juice telur. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mendapatkan level optimum kombinasi selenium organik, inorganik dan vitamin E terbaik dalam menghasilkan performa produksi dan reproduksi burung puyuh (2) mendapatkan level optimum kombinasi selenium organik, inorganik dan vitamin E terbaik dalam menghasilkan telur dengan kandungan selenium tinggi untuk dijadikan bahan pembuat juice telur kaya selenium. (3) Mendapatkan level komposisi telur terbaik untuk menghasilkan juice telur kaya selenium yang palatable. Manfaat Penelitian Di harapkan hasil penelitian ini menjadi bahan informasi
untuk
pengembangan dibidang peternakan khususnya burung puyuh dalam aspek nutrisi tentang level
Se organik, Se inorganik dan vitamin E dalam ransum untuk
peningkatan performa serta pemanfaatan produk puyuh sebagai bahan pembuat juice telur kaya selenium. Hipotesis Penelitian 1. Pengkayaan Se organik, inorganik, vitamin E
dan kombinasinya dapat
meningkatkan produksi dan reproduksi . 2. Se organik, inorganik dan vitamin E dalam ransum dapat menghasilkan telur yang kaya selenium. 3. Telur puyuh dapat dijadikan komponen juice telur kaya selenium yang palatable.
3
TINJAUAN PUSTAKA Burung Puyuh Bangsa burung puyuh hampir terdapat di seluruh belahan dunia yaitu benua Amerika, Eropa, Afrika, Asia sampai Australia (Woodard et al. 1973). Burung puyuh termasuk genus Coturnix dari family Phasianidae. Di Indonesia burung puyuh yang biasa dipelihara adalah Coturnix-coturnix japonica. Wilson et al. (1961) menyatakan bahwa burung puyuh betina mulai bertelur pada umur 35 hari (rata-rata 40 hari) dan berproduksi penuh pada umur 50 hari. Dalam lingkungan yang sesuai puyuh berproduksi dalam periode yang lama, menghasilkan telur rata-rata 250 butir per tahun. Puyuh mampu menghasilkan 3 sampai 4 generasi dalam satu tahun. Menurut Yuwanta (1998) produksi telur ditentukan oleh produksi ovum, dan produksi ovum ditentukan oleh jumlah pakan yang dikonsumsi. Produksi telur yang tinggi sampai akhir produksi dapat dicapai dengan memberikan makanan yang berkualitas baik yang sesuai dengan kebutuhan. Woodard et al. (1973) mengemukakan bahwa waktu untuk pertama kali bertelur pada burung puyuh dicapai pada umur sekitar 42 hari, dimana dewasa kelamin lebih cepat dicapai oleh puyuh betina namun dewasa tubuh lebih cepat oleh puyuh jantan. Kemudian dilaporkan bahwa kematangan seksual puyuh dicapai pada pakan yang mengandung 25% protein sedangkan pada level 20% protein diperoleh produksi, fertilitas dan daya tetas telur yang optimal, disamping itu puyuh juga membutuhkan beberapa trace element seperti zinc, selenium dan magnesium. Fertilitas optimum diperoleh dari perkawinan rasio 1 jantan dengan 1 atau 2 betina, fertilitas yang rendah dengan rasio perkawinan yang tinggi disebabkan oleh preferensi tingkah laku kawin (Woodard dan Abplanalp 1967). Selama penyimpanan daya tetas telur menurun secara konstan sekitar 3% per hari. Kandungan nutrisi telur puyuh disajikan pada Tabel 1.
4
Tabel 1 Kandungan nutrisi telur puyuh Nutrisi Air (g) Energi (Kcal) Protein (g) Total Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Mineral Kalsium (mg) Besi (mg) Magnesium (mg) Phospor (mg) Potassium (mg) Sodium (mg) Seng (mg) Tembaga (mg) Mangan Selenium (mcg) Vitamin Vitamin C (mg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niacin (mg) Asam panthothenat (mg) Vitamin B-6 (mg) Folat (mcg) Vitamin B-12 (mcg) Vitamin A (IU) Vitamin A, RE (mcg) Vitamin E (mg) Sumber : Riana (2000)
Komposisi/100 g 74.35 158.439 13.05 11.09 0.41 0 64 3.65 12.53 226 132.4 141 1.47 0.062 0.038 32 0 0.13 0.79 0.15 1.761 0.15 66.3 1.577 300 90 0.74
Umur induk berpengaruh terhadap daya tetas, dimana daya tetas telur maksimum terjadi pada umur induk 8-24 minggu (Woodard et al. 1973). Selanjutnya dijelaskan bahwa kematian sebagian besar embrio puyuh terjadi selama 3 hari pertama inkubasi dan sesaat sebelum menetas. Puncak kematian umumnya disebabkan ketidakmampuan embrio berkembang membentuk organ vital atau kegagalan perkembangan embrio dalam fungsi-fungsi kritis yang meliputi: pertukaran posisi embrio sebelum piping (pemecahan kerabang), pemanfaatan sisa albumen dan penyerapan kantong kuning telur. Woodard dan Wilson (1963) menyebutkan bahwa Telur puyuh mempunyai karakteristik pola warna yang bervariasi mulai dari coklat gelap, putih kekuningan
5
dengan corak warna hitam, coklat atau biru. Telur puyuh pertama lebih kecil dibandingkan dengan telur puyuh berikutnya. Kemudian Mohmond dan Coleman (1967) melaporkan bahwa proporsi relatif dari telur puyuh adalah 47.4% albumen, 31.9% kuning telur, 20.7% membran dan kerabang telur, sedangkan ketebalan kerabang dan membran adalah 0.197 dan 0.063 mm. Berat rata-rata telur puyuh 10 gram (sekitar 8% dari berat tubuh betina). Fertilitas dan Daya tetas Fertilitas telur dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain adalah kualitas sperma, kualitas ransum dan umur induk (North dan Bell 1990; Funk dan Irwin 1955). Fertilitas akan menurun apabila induk dan pejantan puyuh telah berusia lebih dari enam bulan (Woodard dan Abplanalp 1967) North dan Bell (1990) mengemukakan bahwa ada 2 pengertian daya tetas, yang pertama adalah persentase telur yang menetas dari sejumlah telur yang ditetaskan. Kedua adalah persentase telur yang menetas dari telur yang fertil. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi daya tetas, diantaranya adalah umur telur atau lamanya penyimpanan telur (Fasenko et al. 1992), dan ukuran telur (Tullet dan Burton 1982). Imbangan antara jantan dan induk juga akan mempengaruhi daya tetas (McDaniel et al. 1981), kualitas jantan ikut berperan dalam daya tetas. Inovasi dalam manajemen penetasan dan teknologi penetasan berkaitan erat dengan mortalitas embrio (Roque dan Soares 1994). Peranan Selenium (Se) dan Vitamin E Bowie dan O’Neill (2000) menyatakan bahwa keseimbangan antioksidan dan prooksidan merupakan unsur penting dalam pembentukan gen. Keseimbangan antioksidan merupakan salah satu jalan untuk memelihara efisiensi produksi dan reproduksi pada ternak. Jaeschke (1995) menyebutkan bahwa kondisi stres berhubungan dengan produksi radikal bebas yang menyebabkan stres oksidasi, dan keseimbangan prooksidan-antioksidan berpotensi mengakibatkan kerusakan jaringan. Gambar 1 menjelaskan keseimbangan antioksidan-prooksidan di mana selenium dan vitamin E sebagai komponen antioksidan dan keterkaitannya dalam produksi dan reproduksi ternak.
6
Pertahanan Antioksidan Antioksidan dalam pakan (Vitamin A, E, C, Carotenoid, Flavonoid)
Kondisi Stres Se ,Mn Zn, Cu
Faktor nutrisi
Toksik, PUFA tinggi Defisiensi vitamin E Se, Mn, Zn,kelebihan Fe
Lingkungan
Pakan optimum
Temperature, Kelembaban, radiasi ultraviolet etc Kondisi Lingkungan Optimun
Internal Pencegahan penyakit dan pengobatan dengan antibotik dan obat-obatan lain
Sistem antioksidan organisme
Penyakit, bakteri, virus, alergi
Pembentukan radikal bebas Rantai transpor elektron, phagosit, oksidasi xantin
Vitamin A,E,C, Carotenoid, Glutathione, asam urea, Enzim antioksidan (SOD,GSH-Px, Katalase)
Kerusakan membran
Penurunan umur simpan dan kualitas daging Cita rasa susu berbau
Peroksidasi lemak, kerusakan lemak protein, DNA
Ketidakmampuan sistem kekebalan Kerusakan terhadap hati, pembuluh darah, otak,syaraf dan sistem otot
Penurunan absorsi nutrisi
Ketidakseimbangan nutrisi
Performa produksi dan reproduksi menurun.
Gambar 1 Keseimbangan antioksidan-prooksidan pada organisme (Surai 2003) Dalton et al. (1999) menerangkan bahwa berbagai kondisi stres merangsang pembentukan radikal bebas yang disebabkan penurunan rangkaian oksidasi dan phosporilasi dalam mitokondria sehingga menghasilkan peningkatan kerusakan elektron dan produksi radikal superoksida yang berlebihan. Kondisi stres secara umum dibagi kedalam tiga kategori utama. Kategori terpenting adalah stres nutrisi meliputi level tinggi asam lemak polyunsaturated pada pakan, defisiensi vitamin
7
E, Selenium, Zinc atau mangan, kelebihan besi, hipervitaminosis A dan kehadiran bermacam–macam racun serta komponen-komponen racun. Kelompok kedua adalah stres kondisi lingkungan seperti peningkatan temperatur, kelembaban, radiasi dan lain–lain. Kategori ketiga yaitu stres internal yang disebabkan oleh bermacam–macam bakteri atau virus penyebab penyakit. Selain itu penetasan, anak yang berada pada inkubator sesaat setelah menetas, pengangkutan dari inkubator ke kandang serta vaksinasi dapat meningkatkan stres. Produksi radikal bebas melebihi kapasitas sistem antioksidan untuk menetralkan peroksida lemak mengakibatkan kerusakan lemak tak jenuh pada sel membran, asam amino pada protein dan nukleotida pada DNA. Sebagai hasilnya keutuhan sel dan membran terganggu (Surai 1999). Kerusakan membran dapat mengakibatkan penurunan efisiensi absorbsi nutrisi (meliputi vitamin larut dalam air) dan menimbulkan ketidakseimbangan vitamin, asam amino dan bahan bahan inorganik. Keadaan ini mengakibatkan penurunan produksi dan penampilan reproduksi, kondisi ini semakin memburuk dengan penurunan kekebalan dan perubahan pada Cardiovascular, otak, saraf dan otot disebabkan peningkatan peroksida lemak. Surai (2003) mengatakan bahwa konsumsi nutrisi antioksidan pada pakan dapat memelihara status antioksidan alami ternak. Selanjutnya dijelaskan bahwa penyediaan optimal selenium organik (Se) dengan kombinasi vitamin E memperbaiki stres dan daya tahan terhadap penyakit sebagai hasilnya performa produksi dan reproduksi meningkat. Kerja Se berhubungan erat dengan antioksidan lainnya terutama vitamin E, manfaat selenium pada dasarnya terbentuk dari interaksi dengan vitamin E. Menurut Wilson (1997), dalam perkembangan embrio vitamin E dan selenium saling berinteraksi. Selanjutnya MacPherson (1994) menyatakan bahwa aktivitas Se dan vitamin E bekerja secara sinergis sebagai antioksidan utama menghilangkan radikal lemak, radikal bebas oksigen atau metabolit reactive oksigen yang merupakan bagian yang penting dari fungsi sel, akan tetapi berpotensi mengakibatkan kerusakan sel dan proses penyakit bila pola mekanisme pertahanannya berlebihan. Sitompul (2003) menjelaskan bahwa peran antioksidan diartikan sebagai suatu fungsi homeostatis
8
dari organisme untuk menanggulangi akibat kerusakkan sel, jaringan dan organ akibat pengaruh radikal bebas. Selenium dapat menghemat atau mengurangi kebutuhan vitamin E dengan tiga cara: (1) menjaga fungsi pankreas, yang membuat pencernaan lemak normal sehingga penyerapan vitamin E lebih baik; (2) menurunkan jumlah vitamin E yang dibutuhkan untuk menjaga keutuhan membran lemak melalui GSH-Px; (3) membantu retensi vitamin E dalam plasma darah (Scott et al. 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa vitamin E dapat mengurangi kebutuhan selenium dengan cara: (1) mencegah hilangnya selenium dari tubuh dengan jalan mempertahankan selenium dalam tubuh dalam bentuk aktif; (2) mencegah terjadinya rantai otooksidasi yang reaktif dalam membran sehingga menghambat produksi hidroperoksida. Selenium Organik dan Inorganik Selenium suatu unsur semilogam (metalloid) yang mempunyai sifat-sifat kimia mirip dengan sulfur. Selenium mempunyai nomor atom 34 dan berat atom 78.96. (McDowell 1992). Dalam beberapa nomor senyawa, Se menggantikan S atau Se ditemukan sebagai kompleks dengan S melalui ikatan kovalen koordinat (Scott et al. 1982). Mineral Se dapat direduksi menjadi bentuk oksidasi -2 (selenida) atau dioksidasi menjadi bentuk reduksi +4 (selenit) atau +6 (selenat) (McDowell 1992). Se mempunyai dua bentuk asam yaitu selenious (H2SeO3) dan selenic (H2SeO4), dimana dalam bentuk garamnya berturut-turut adalah selenit dan selenat (Georgievskii 1982). Tanaman dan mikroorganisma dapat mengganti S dalam sistein dan methionine dengan Se dengan demikian menghasilkan selenosistein dan selenomethionin (Scott et al. 1982). Selenium secara kimiawi mempunyai 2 bentuk, organik dan inorganik. Selenium inorganik dapat ditemukan dalam bentuk logam selenit, selenat dan selenide. Sebaliknya dalam unsur sayuran selenium merupakan bagian dari asamasam amino meliputi methionine dan sisteine yang menggantikan sulfur. Di alam ternak menerima selenium terutama dalam bentuk organik (Surai 1999). Selenoaminoacid adalah Selenomethionin, selenosisteine, dan selenosistine sumber utamanya terdapat pada selenium tumbuhan (Levander 1986).
9
Total selenium di dalam tumbuhan dan biji-bijian 50-80% merupakan selenoaminoacid yang terikat didalam protein sebagai selenomethionin dan selenosistine (Butler dan Peterson 1967). Keterbatasan penggunaan selenium inorganik adalah dapat bersifat racun, penyimpanan rendah, efisiensi transfer ke susu dan daging rendah dan kemampuan untuk mempertahankan cadangan selenium tubuh rendah, sehingga sebagian besar dari selenium yang dikonsumsi akan diekskresikan (Surai 1999). Selenomethionin tidak dapat disintesis dari selenit atau selenat pada ternak, tetapi selenosistein dapat ditemukan pada tubuh ternak yang mengkonsumsi selenium inorganik seperti selenit dan selenat, hal ini disebabkan karena selenosistein tergabung
didalamnya
sintesis
glutathione
dan
selenoprotein
lainnya
(Sunde 1990). Unggas tidak dapat mensintesis sistein sehingga selenomethionin dibutuhkan
untuk
konversi
selenomethionin
menjadi
selenosistein.
Selenomethionin berubah menjadi selenosistein melalui enzim sistothionase (Esaki et al. 1981). Lebih lanjut Sunde (1990) memaparkan, selenosistein dapat menggantikan sistein pada banyak protein, agar selenosistein dapat bergabung kedalam selenoprotein maka dibutuhkan reaksi selenosistein-β-lyase. Arthur (1997) melaporkan bahwa selenium organik harus berubah dari bentuk dasar inorganik dan kemudian kembali lagi kedalam bentuk organik untuk memenuhi fungsi biologisnya dalam sintesis selenoprotein. Kemudian Hawks et al. (1985) menambahkan bahwa 30-80% dari selenium didalam tubuh adalah selenosistein. Selenosistein adalah asam amino yang sangat penting dalam sintesis sitosolik glutathione peroksidase (Rotruck et al. 1973). Pada umumnya deposit Se dalam jaringan mempunyai konsentrasi lebih tinggi bila Se tersedia dalam bentuk organik dibandingkan dalam bentuk inorganik (McDowell 1992). Kelebihan selenium organik dibandingkan dengan selenium inorganik adalah dapat berakumulasi pada jaringan dalam menyediakan cadangan selenium. Cadangan selenoaminoacid akan digunakan pada kondisi stres untuk sintesis selenoprotein dan mengatasi pengaruh buruk radikal bebas. Transfer yang efisien dari makanan induk ketelur dan jaringan embrio dapat memperbaiki pertahanan antioksidan anak yang baru menetas dan meningkatkan resistensi terhadap penyakit serta memperbaiki daya tahan hidup anak. Transfer Se ketelur dan
10
daging lebih efektif sehingga menghasilkan produk ternak yang dapat dikonsumsi kaya kandungan Se (Surai 2003).
Se organik memiliki sifat antioksidan
sedangkan Se inorganik bersifat prooksidan dapat memicu pembentukan superoksida dan stres oksidasi melalui reaksi reduksi dengan glutathion. Selenomethionin relatif tidak toksik, tidak katalitik dan tidak menghasilkan superoksida (Steward et al. 1999). Selenomethionin menyebabkan respon perbaikan DNA dan melindungi fibroblast dari kerusakan DNA (Seo et al. 2002). Sementara itu selenit dan selenat meningkatkan oksidasi elektron dan pemutusan rantai DNA (Sugiyama et al. 1987; Snyder 1988; Milligan et al. 2002). Selenomethionin dipertimbangkan sebagai antioksidan yang sangat kuat melindungi kerusakan sel dari pengaruh peroksinitrit. Selenoaminoacid ini secara langsung terlibat dalam garis ketiga dari pertahanan antioksidan (Sies et al. 1998). Groof dan Sareen (2005) mengemukakan bahwa selenium dalam bentuk organik dan inorganik semuanya efisien diserap, meskipun berbeda tingkatannya dalam saluran pencernaan. Duodenum kelihatannya menjadi tempat penyerapan, beberapa penyerapan terjadi dalam jejenum dan ileum tetapi sesungguhnya tidak terjadi dalam perut. Keseimbangan dan stabilitas perunut isotop menunjukkan secara umum selenomethionin lebih efektif diserap daripada selenit. Penyerapan asam amino, yang mana terjadi melalui sistem transportasi asam amino, diperkirakan lebih 80 %. Selenomethonin lebih baik diserap daripada selenocysteine. Beberapa penelitian menunjukkan penyerapan selenit melebihi 85 %, selenat lebih baik diserap daripada selenit.
Faktor yang meningkatkan
penyerapan selenium termasuk vitamin C, vitamin A dan vitamin E, memperbaiki keberadaan gluthathione reduksi dalam lumen usus. Logam berat seperti merkuri dan phytat menghambat penyerapan selenium melalui penghambatan dan pengikatan. protein
Selanjutnya
penyerapan dari usus, selenium masuk ke transpor
untuk masuk kedalam darah, hati dan jaringan lain.
Dalam darah
selenium berikatan dengan kelompok sulfyhydryl dalam alfa dan beta globulin seperti
VLDL dan
selenoprotein P
LDL. Selenocysteine
mengandung protein
plasma,
juga memperlihatkan fungsinya sebagai transpor protein,
membawa (50 %) selenium dalam plasma. Selenoprotein P mengandung residu
11
selenocysteine tetapi mungkin telah mengalami sintesis dengan selenium yang terbatas. Glikoprotein disentesis banyak dalam hati dan selebihnya dalam ginjal, jantung dan paru-paru. Disirkulasikan dalam darah dan juga ditemukan bergabung dengan sel-sel endothelial capillary. Dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini :
Gambar 2 Gambaran pencernaan selenium, penyerapan dan transpor (Groof dan Sareen 2005) Metabolisme Selenium Organik dan Inorganik Menurut Groof dan Sareen (2005) jaringan seperti hati, asam-asam amino dan selenium dalam bentuk inorganik mengalami metabolisme. Selenomethionine yang berasal dari makanan, mungkin disimpan sebagai selenomethionine dalam pool asam amino, untuk sintesis protein hanya menggunakan asam amino methionine, atau katabolisme asam-asam amino,
12
selenocysteine dan selenocystine. Metabolisme selenomethionine sama dengan metabolisme methionine. Metabolisme selenium dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3 Metabolisme selenium (Groof dan Sareen 2005) Di dalam jaringan hati, selenomethionin yang diperoleh dari makanan kemungkinan akan disimpan di dalam kelompok asam amino, atau digunakan untuk sintesis protein khususnya asam amino methionine atau dikatabolisme menjadi
Se-Adenosylmethionin
(SeAm)
yang
akhirnya
menghasilkan
selenosistein dan selenosistin. Selenosistein yang diperoleh dari makanan atau
13
hasil dari metabolisme selenomethionin akan didegradasi oleh selenosistein β-lyase untuk menghasilkan selenium bebas. Selenium bebas tersebut kemudian menempel pada transfer RNA yang berisi serin dan akhirnya bergabung ke dalam kelompok enzim-enzim selenium. Selenium yang tidak digunakan sebagai kofaktor enzim kemungkinan disimpan untuk pemanfaatan berikutnya atau diubah menjadi selenid (H2Se) dan selenit, atau diekskresikan (Groof dan Sareen 2005). Selenat di dalam tubuh diubah menjadi selenit kemudian dimetabolisme menjadi selenodigluthatione yang kemudian diubah menjadi selenide, selanjutnya selenide didegradasi menjadi selenophosphat atau methylselenide yang akan diekskresikan. Selenophosphat dimetabolisme dan kemudian menempel pada tRNA untuk sintesis 5-deiodinase atau gluthatione peroksidase. Vitamin E Vitamin E baru ditemukan sekitar tahun 1922 oleh Herbert Evans (Sell 1993). Kemudian Piliang (2004) menambahkan bahwa nama vitamin E dibuat oleh Evan (1925) yang kemudian peneliti lain yaitu Emerson mencoba memurnikan faktor tersebut dan menamakannya tocopherol yang berasal dari bahasa Yunani (tokos = kelahiran bayi dan kata kerja pherein = membawa atau menyebabkan). Penambahan akhiran ol pada akhir kata menunjukkan bahwa vitamin tersebut termasuk golongan alkohol. Vitamin E meliputi 8 komponen yang disintesis oleh tumbuh-tumbuhan. Komponen ini dibagi menjadi 2 kelas yaitu: tocols yang mempunyai rangkaian jenuh (saturated) dan tocotrienols (trienol) yang mempunyai rangkaian tak jenuh (unsaturated). Masing-masing kelas tersusun dari 4 vitamer yaitu α, β, γ, dan δ yang memiliki karakteristik dan aktivitas biologis. Komponen yang paling aktif adalah α-tocopherol kemudian β-tocopherol yang lebih aktif dari γ dan δ tocopherol. Sedangkan untuk tocotrienols, hanya β-tocotrienols yang mempunyai aktivitas sedikit lebih tinggi dari α-tocotrienols, sementara aktivitas γ dan δ tocotrienol tidak diketahui. Komponen lain dari vitamin E adalah α-tocopheryl acetat (Groff dan Sareen 1999). Ekstraksi tocopherol dari minyak tumbuhtumbuhan menghasilkan dl-α-tocopheryl acetat. dl-α-tocopheryl acetat merupakan sumber vitamin E terbesar untuk suplementasi (McDowel 2000).
14
Farrel dan Robert (1994) mengemukakan bahwa secara umum vitamin E berfungsi sebagai antioksidan biologis yang melindungi membran seluler dari kerusakan oksidatif dan membersihkan (scavenger) membran dari radikal-radikal bebas. Vitamin E berpengaruh terhadap aktivitas enzim pada plasma, juga berperan dalam pengaturan sintesis asam nukleat, ekspresi gen dan kontrol daur hidup beberapa protozoa tertentu. Selanjutnya dikatakan, phospolipid pada sel dan subsel membran mengandung asam-asam lemak tak jenuh yang mudah mengalami peroksidasi karena itu vitamin E sebagai antioksidan yang larut dalam lemak melindungi asam-asam lemak tersebut dengan jalan memecahkan radikal bebas yang dapat mengakibatkan kerusakan membran. Groff dan Sareen (1999) menambahkan bahwa fungsi vitamin E memelihara integritas sel tubuh, mencegah peroksidasi asam-asam lemak tak jenuh yang berada
pada
phospolipid membran seluler, membran mitokondria
dan
endoplasmik retikulum. Metabolisme Vitamin E Absorbsi vitamin E berhubungan dengan pencernaan lemak, dipermudah dengan adanya empedu dan lipase pankreas. Usus halus merupakan tempat utama absorbsi vitamin E dalam bentuk alkohol bebas maupun ester, sebagian besar vitamin E diabsorbsi sebagai alkohol. Alkohol memasuki usus dan ditranspor ke seluruh sirkulasi darah melalui kelenjar getah bening. Aktivitas terbesar vitamin E pada plasma dan jaringan hewan dalam bentuk α-tocopherol. Tocopherol masuk ke dalam sistem sirkulasi, menyebar keseluruh tubuh dan penyimpanan terbesar berada pada jaringan lemak. Vitamin E disimpan di dalam seluruh jaringan tubuh, terutama disimpan dijaringan adiposa, hati dan otot, penyimpanan terbesar berada pada hati. Sejumlah kecil vitamin E akan tersimpan di dalam tubuh dalam waktu yang lama. Jalur ekskresi utama dari absorbsi vitamin E adalah empedu. Biasanya kurang dari 1% konsumsi vitamin E akan diekskresikan melalui urine (McDowel 2000). Selenium dan Vitamin E sebagai Antioksidan MacPherson (1994) menjelaskan bahwa Se merupakan mineral jarang (trace mineral) yang sangat efektif sebagai antioksidan yang penting untuk ternak.
15
Peranan Se yang sangat penting bagi ternak adalah fungsinya dalam aktivitas selenoenzim (Gluthation peroksidase (GSH-Px), GSH-Px bersama dengan katalase, melindungi sel dari kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas, peroksida dan oksidasi asam-asam lemak tak jenuh yang mengakibatkan kerusakan sel lemak serta menghancurkan peroksida sebelum peroksida dapat merusak membran seluler. Berbagai reaksi dan fungsi GSH-Px dalam tubuh meliputi detoksifikasi mencegah berakumulasinya hidrogen peroksida (HOOH) dan organik peroksida (ROOH), menjaga gugus sulfhydryl dalam bentuk tereduksi, sintesis hormon-hormon tertentu yang berasal dari asam lemak arakhidonat, dan metabolisme senyawa-senyawa asing. Disamping itu glutathione sebagai kofaktor dalam metabolisme aldehida tertentu (methylglyoxal dan formaldehid), kemungkinan juga sebagai transport asam amino dalam ginjal. Brody (1994) menjelaskan, reabsorpsi asam amino yang terdapat dalam filtrat glomerulus menggunakan bermacam-macam sistem transport, salah satu sistem transport ini melibatkan glutathione. Sistem yang melibatkan glutathione erat hubungannya dengan enzim batas luar membran yaitu -glutamyltranspeptidase, enzim ini membatasi sel-sel epitel yang menempel pada lumen tubulus ginjal. Subtrat asam amino yang dikenali oleh enzim ini adalah sistein, glutamin, methionin, alanin dan serin, juga beberapa substrat dipeptida. Produk reaksi ini dipindahkan ke dalam sel epitel, dan kemudian dipecah kedalam asam amino sel. Selain itu Brigelius-Flohe (1999) menyebutkan bahwa fungsi utama dari GSH-Px adalah mengatur keseimbangan reaksi redoks. GSH-Px mengkatalisis pelepasan H2O2 menurut sepasang reaksi dibawah ini (Underwood 1977). Glutation Peroksidase
2GSH + H2O2
GSSG + H2O Glutation peroksidase
GSSG + NADPH peroksidase
2GSH + NADP+
Selenium merupakan komponen penting sejumlah selenoprotein yang terlibat dalam aktivitas antioksidan. Selenoprotein P, selenoprotein W dan ke empat tipe GSH-Px berperan dalam menetralkan hidroperoksida dan radikalradikal bebas oksigen pada berbagai jaringan. Selenoprotein terbaik adalah tipe
16
GSH-Px. Empat tipe GSH-Px yaitu classical GSH-Px (Rotruck et al. 1973; Flohe et al. 1973). Kemudian Ursini et al. (1982) menemukan selenoperoksida kedua adalah phospholipid hidroperoksida GSH-Px (PH-GSH-Px). Maddipati dan Marnett (1987) menyebutkan selenoperoksida tipe ketiga adalah
plasma
GSH-Px
(PGSH-Px).
Selenoperoksida
keempat
adalah
gastrointestinal GSH-Px (GI-GSH-Px) (Chu et al. 1993). Enzim-enzim ini berbeda pada spesifik jaringan dan fungsi utamanya adalah memusnahkan dan detoksifikasi hidrogen peroksida dan hidroperoksida lemak (Ursini et al. 1982). MacPherson (1994) menyebutkan bahwa distribusi masing-masing tipe gluthatione peroksidase berbeda-beda tiap jaringan dan species, sehingga kebutuhan dan gejala defisiensi tiap species juga berbeda. Cytosolic GSH-Px merupakan selenoprotein yang termasuk ke dalam salah satu enzim antioksidan yang meliputi katalase, glutathion transferase dan superoksida dismutase. Enzimenzim ini menetralkan radikal-radikal oksigen dan hidrogen peroksida yang dihasilkan didalam sel. Bersama-sama enzim-enzim tersebut mengurangi persediaan superoksida dan peroksida sehingga mengurangi kemungkinan kerusakan isi sel dan membran sel (Combs dan Combs 1986). Phospholipid hidroperoksida GSH-Px, erat kaitannya dengan membran sel, pada tipe GSH-Px ini terjadi interaksi antara selenium dan vitamin E, enzim ini dapat menetralkan peroksidasi lemak dan secara langsung melindungi membran. PH-GSH-Px kurang sensitif dibandingkan dengan cytosolic GSH-Px (McPherson 1994). Selanjutnya dikatakan bahwa plasma GSH-Px (PGSH-Px) adalah antioksidan ekstraseluler yang bersumber dari ginjal, berperan melindungi sel endothelial lapisan darah dan pembuluh getah bening. Gastrointestinal GSH-Px (GI-GSH-Px) merupakan bentuk enzim dalam sel sistem gastrointestinal. Selenoprotein P memiliki peranan antioksidan, di dalam fraksi protein plasma darah mengandung 60-80% Se. Selenoprotein W merupakan antioksidan yang berada di dalam hati dan jaringan otot, dan kemungkinan jumlahnya didalam jaringan tersebut sama dengan jumlah GSH-Px. Konsentrasi selenoprotein jaringan tergantung pada konsumsi selenium (Chen et al. 1990; Persson-Moschos et al. 1998).
17
Vitamin E melindungi hati dari peroksidasi lemak dan kerusakan membran sel (Whitehead et al. 1998). Kemudian Halliwell dan Gutteridge (1999) mengemukakan bahwa vitamin E dikenal sebagai komponen biologi membran dan dipertimbangkan sebagai rantai antioksidan dalam peroksidasi lemak. Vitamin E terutama ditemukan pada hidrokarbon membran lemak sebagai alat penghubung membran dan erat kaitannya dengan oksidasi enzim yang mengakibatkan produksi radikal bebas, vitamin E melindungi sel dan jaringan dari kerusakan oksidasi oleh radikal bebas (Gallo-Toress 1980). Selanjutnya disebutkan bahwa vitamin E memegang peranan penting dalam metabolisme Se, dan Se dibutuhkan untuk fungsi normal dari pankreas. Defisiensi selenium dan tocopherol mengakibatkan kerusakan jaringan dan kematian sel yang disebabkan karena oksidasi membran sel lemak dan hidroperoksida lemak. Peroksidasi lemak dapat menghancurkan keutuhan struktur sel dan menyebabkan kekacauan metabolisme (McDowell 1992; Brody 1994). Gambar 4 menyajikan tiga level pertahanan antioksidan di dalam sel.
Gambar 4 Level pertahanan antioksidan didalam sel (Surai 2000)
18
Surai (1999) mengemukakan bahwa sistem antioksidan pada sel hidup meliputi tiga level pertahanan utama, level pertahanan pertama bertanggung jawab mencegah pembentukan radikal bebas yang dilakukan oleh tiga enzim antioksidan, superoksida dismutase (SOD), glutathione peroksidase (GSH-Px) dan katalase bersama metal-binding protein. Halliwell dan Gutteridge (1999) menjelaskan bahwa Radikal superoksida adalah radikal bebas utama yang dihasilkan oleh sel hidup. Aktivitas penting dalam pertahahan antioksidan disediakan oleh GSH-Px dan katalase. Yu (1994) melaporkan bahwa GSH-Px ditemukan pada bagian-bagian yang berbeda pada sel, sedangkan katalase lokasi utamanya pada peroksisom. Pemusnahan hidrogen peroksida dari sel akan lebih tinggi dilakukan oleh GSHPx. Selenium merupakan bagian integral dari enzim antioksidan GSH-Px, berada pada level pertama pertahanan antioksidan. Garis pertama dari pertahanan antioksidan sel tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk mencegah pembentukan dan perkembangan radikal bebas secara sempurna. Selanjutnya berperan pertahanan antioksidan level kedua yang meliputi glutathione, vitamin larut dalam lemak (A, E, carotenoid, ubiquinon) dan vitamin larut dalam air (asam askorbat, asam urea dll). Antioksidan ini merupakan komponen rantai pemecah yang potensial mencegah pembentukan dan perkembangan rantai radikal bebas. Selenium sebagai bagian integral dari GSH-Px, yang juga termasuk kedalam level kedua pertahanan antioksidan tidak mampu untuk mencegah peroksidasi lemak sehingga beberapa molekul biologis mengalami kerusakan. Pada level ketiga pertahanan antioksidan, enzim-enzim spesifik seperti protease, lipase dan beberapa enzim lainnya berperan melakukan perbaikan terhadap molekul-molekul yang rusak. Selanjutnya seluruh element-element sistem antioksidan berinteraksi membentuk pertahanan antioksidan yang efisien. Interaksi ini dimulai pada saat absorbsi nutrisi dan berlanjut selama metabolisme nutrisi (Brigelius-Flohe 1999). Selenium dianggap penting dalam nutrisi ternak karena kedua level pertahanan antioksidan (pertahanan pertama dan kedua) dalam sel tergantung pada aktivitas GSH-Px, yang keberadaannya tergantung pada kecukupan selenium.
19
Minuman Kaya Antioksidan Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi lipid walaupun dalam konsenterasi yang sedikit (Sampels 2005). tubuh untuk menetralisir
Antioksidan adalah substansi yang diperlukan radikal bebas dan mencegah kerusakan yang
ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas (free radical scavenger), dekomposer peroksida, mereduksi singlet oksigen dan menghambat enzim (Dean 2003; Simpson 2006). Tubuh manusia memiliki aktivitas antioksidan endogenus. Enzim-enzim antioksidan seperti superoksida dismutase (SOD), katalase (CAT) dan glutation peroksidase (GPX) berperan dalam meredam oksidan dan mencegah sel dari kerusakan. Disamping enzim-enzim tersebut molekul non enzim dalam sel seperti thioredoksin, thiol dan ikatan disulfida berperan dalam sistem pertahanan antioksidan tubuh. Hasil studi epidemilogi mekanisme antioksidan endogenous ini tidak mampu mengimbangi jumlah radikal bebas yang dihasilkan tubuh dan pada kondisi tertentu aktivitasnya menjadi tidak efisien sehingga radikal bebas tersebut menyebabkan kerusakan oksidatif pada biomolekul (Yang et al. 2007; Aqil et al. 2006; Mosquirea et al. 2007). Proses oksidasi lipid terjadi dalam tiga tahap yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Reaksi inisiasi terjadi ketika lemak tidak jenuh berinteraksi dengan oksigen membentuk radikal bebas.
Radikal bebas tersebut akan berlanjut
mengalami reaksi berantai membentuk radikal bebas-radikal bebas lain dalam tahap reaksi propagasi. Selanjutnya dalam reaksi terminasi, radikal bebas yang bersifat sangat reaktif akan membentuk ikatan yang stabil bila bereaksi dengan senyawa radikal lain (Jadhav et al. 1996). Ketiga tahap reaksi oksidasi lipid tersebut adalah sebagai berikut : Tahap reaksi inisiasi
:
RH
R* + H*
:
ROOH
RO* + HO*
:
ROOH
RO* + ROO*
20
Tahap reaksi propagasi
Tahap reaksi terminasi
R* + O2
ROO*
ROO* + RH
ROOH + R*
:
R* + R*
R–R
:
R* + ROO*
ROOR
:
ROO* + ROO* ROOR + O2
:
Secara umum, menurut Coppen (1983), antioksidan diharapkan memiliki ciri-ciri sebagai berikut (a) aman dalam penggunaan, (b) tidak memberi flavor, odor, warna pada produk, (c) efektif pada konsentrasi rendah, (d) tahan terhadap proses pengolahan produk (berkemampuan antioksidan yang baik), (e) tersedia dengan harga yang murah. Ciri keempat merupakan hal yang sangat penting karena sebagian proses pengolahan menggunakan suhu tinggi. Suhu tinggi akan merusak lipida dan stabilitas antioksidan
yang ditambahkan sebagai bahan
tambahan pangan. Kemampuan bertahan antioksidan terhadap proses pengolahan sangat diperlukan untuk dapat melindungi produk akhir. Sebagaimana suatu benda pada umumnya, antioksidan juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan tersebut meliputi (a) antioksidan tidak dapat memperbaiki flavor lipida yang berkualitas rendah, (b) antioksidan tidak dapat memperbaiki lipida yang sudah tengik, (c) antioksidan tidak dapat mencegah kerusakan hidrolisis, maupun kerusakan mikroba (Coppen 1983). Beberapa minuman dikonsumsi untuk memperoleh manfaat dari nilai nutrisinya (misalnya susu), sedangkan beberapa minuman lainnya dikonsumsi karena kemampuan minuman tersebut untuk menghilangkan rasa haus atau sekedar untuk kesenangan (Potter dan Hotchkiss 1995). Selanjutnya dilaporkan bahwa minuman dibagi ke dalam tiga kategori: (1) minuman berkarbonat (soda) tanpa alkohol, misalnya soft drink; (2) minuman berkarbonat atau tanpa karbonat dengan kandungan alkohol rendah, misalnya: beer dan wine; (3) minuman perangsang (stimulan) tanpa karbonat, misalnya teh dan kopi. Masing-masing jenis minuman dapat dikategorikan sebagai makanan karena terbentuk dari unsurunsur – unsur makanan. Beer, wine dan soft drink dilengkapi dengan kalori sedangkan teh dan kopi tanpa kalori dan umumnya dikonsumsi dengan krem atau gula. Minuman tanpa alkohol berkarbonat (soft drink)
umumnya manis,
21
beraroma, asam, berwarna dan terkadang dilengkapi dengan pengawet kimia. Ekstrak dan sari buah terkadang ditambahkan ke dalam minuman untuk meningkatkan cita rasa. Komponen utama soft drink adalah air, karbondioksida, gula, aroma warna dan asam. Ada banyak bahan pangan yang dapat menjadi sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, dedaunan, teh, kokoa, biji-bijian, serealia, buah-buahan, sayur-sayuran dan tumbuhan/alga laut. Bahan pangan ini mengandung jenis senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan, seperti asam-asam amino, asam askorbat, golongan flavonoid, tokoferol, karotenoid, tannin, peptida, melanoidin, produk-produk reduksi, dan asam-asam organik lain (Pratt 1992). Tumbuhan rempah-rempah sudah sejak lama dikenal kegunaannya untuk manusia, misalnya untuk memberi aroma, rasa pada makanan, untuk obat-obatan, atau memiliki sifat antiseptik. Nakatani (1992) telah merangkum hasil penelitian dari beberapa peneliti dunia dan menyebutkan bahwa tumbuhan rosemary dan sage memiliki antioksidan efektif untuk memperlambat kerusakan oksidatif pada lemak babi, begitu pula antioksidan dari tumbuhan thyme, oregano, pala, bunga pala dan kunyit. Sementara cengkeh memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi didalam emulsi minyak dalam air dibanding kunyit, bunga pala, rosemary, pala, jahe, oregano, dan sage. Tumbuhan laut yang diketahui mempunyai senyawa antioksidan adalah Gelidiopsis sp. Keefektifan antioksidan dari rempah-rempah kemudian menarik untuk dicobakan pada berbagai jenis makanan, dan hasil-hasil penelitian tersebut merangsang para peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi komponen-komponen aktif dari berbagai jenis rempah. Senyawasenyawa fenolik volatile seperti eugenol, isoeugenol, thymol dan lain-lain memiliki aktivitas antioksidan menonjol, namun mereka memiliki odor yang terlalu kuat sehingga membatasi kegunaannya sebagai bahan tambahan pangan. Curcumin adalah antioksidan berwarna kuning pekat yang diisolasi dari kunyit, sementara Capsaicin yang diisolasi dari cabe berasa sangat pedas, warna dan rasa tersebut menyebabkan kurang praktisnya dalam penggunaan. Oleh karena itu, para peneliti kemudian mengalihkan perhatian pada isolasi komponen aktif antioksidan dari fraksi-fraksi non volatile yang memiliki sifat-sifat antioksidan
22
lebih menyenangkan, tidak berbau, berasa dan tidak berwarna. Kemudian lebih lanjut penelitian ditekankan pada senyawa-senyawa fenolik non volatil yang memiliki aktivitas antioksidan (Nakatani 1992). Daun Rosemary (Rosmarinus officinalis L)
merupakan salah satu
rempah-rempah efektif yang telah luas digunakan dalam pengolahan makanan. Oleh beberapa peneliti ditemukan bahwa dari daun rosemary ini telah berhasil diisolasi beberapa senyawa antioksidan yaitu karnosol, rosmanol, isorosmanol, epirosmanol, rosmaridifenol dan rosmariquinon. Akar jahe (Zingiber officinale Roscoe) biasa digunakan sebagai bumbu atau obat tradisional. Komponen-komponen pedas dari jahe seperti 6 gingerol dan 6-shogaol dikenal memiliki aktivitas antioksidan cukup. Dari ekstrak jahe yang telah dibuang komponen volatilnya dengan destilasi uap, maka dari fraksi non volatilnya setelah pemurnian ditemukan empat senyawa turunan gingerol dan empat macam diarilheptanoid yang memiliki aktivitas antioksidan kuat. Cabe (Capsicum frutescens L) memiliki senyawa antioksidan yang disebut Capsaicin dan Capsaicinol, sementara dari lada dapat diisolasi lima macam senyawa antioksidan fenolik amida yang tidak berasa pedas serta memiliki struktur kimia yang serupa dengan senyawa piperin yang berasa pedas (Nakatani 1992). Ada beberapa senyawa fenolik yang memiliki aktivitas antioksidan telah berhasil diisolasi dari kedelai (Glycine max L.), salah satunya adalah flavonoid. Flavonoid kedelai adalah unik dimana dari semua flavonoid yang terisolasi dan teridentifikasi adalah isoflavon. Isoflavon kedelai terutama berupa 7-O-monoglukosida-isoflavon, dimana bagian glikosidanya 100 kali bagian aglikonnya. Senyawa antioksidan alami isoflavon dari kedelai tersebut adalah 5,7,5’-trihidroksiisoflavon-7-0-monoglukosida (genistein) 7,4’dihidroksiisoflavon-7-0monoglukosida (daidzein), dan 7,4;-dihidroksi6-metoksiisoflavon-7-0-monoglukosida (glycitein). Isoflavon lain dari kedelai adalah 6,7,4’-trihidroksiisoflavon yang hanya terdapat pada produk-produk kedelai terfermentasi (Pratt 1992).
23
Menurut Shahidi dan Naczk (1995), selain isoflavon, kedelai dan produkproduk kedelai merupakan sumber berbagai macam senyawa antioksidan yang merupakan golongan dari turunan asam sinamat, fosfolipida, tokoferol, asam amino dan peptida. Pratt (1992), dari biji kapas dapat diisolasi beberapa antioksidan alami dari golongan flavonoid, yaitu dari jenis aglikon flavonol, dan dari jenis flavonol glikosida.
Jenis aglikon flavonol
dari biji kapas meliputi
quersetin, kaemferol, gosipetin, dan herasetin.Antioksidan flavanonol adalah dihidroquersetin, sedangkan jenis flavonol glikosida meliputi rutin (quersetin3-ramnoglukosida), quersetrin (quersetin– 3 - ramnoglukosida), dan isoquersitrin (quersetin-3-glukosida). Pada kacang (Arachis hypogea) ditemukan senyawa antioksidan alami taxifolin, dan pada wijen (Sesamum indicum) memiliki antioksidan sesamin, sesamolin, dan sesamol (Sherwin 1990). Sementara dari biji bunga matahari dapat diperoleh antioksidan alami turunan asam sinamat, yaitu asam klorogenat dan asam kafeat (Shahidi dan Naczk 1995). Pangan fungsional yaitu pangan yang berdasarkan pengetahuan tentang hubungan antara pangan atau komponen pangan dan kesehatan diharapkan mempunyai manfaat tertentu (Broek 1993. Sedangkan menurut Scheeman (2000) pangan fungsional yaitu produk pangan yang dimodifikasi atau diformulasi untuk menghasilkan efek fisiologis atau gizi yang spesifik meliputi penambahan komponen dan modifikasi distribusi
energi dengan aktivitas psikologis yang
relevan. Formulasi yang dimaksud meliputi penambahan atau pengurangan satu atau lebih komponen pangan atau zat gizi.
Menteri kesehatan dan kesejahteraan
jepang, pangan fungsional adalah pangan yang berdasarkan pengetahuan antara pangan atau komponen pangan dan kesehatan, diharapkan memiliki keuntungan dalam kesehatan dan telah dinyatakan bahwa orang yang menggunakan produk tersebut untuk kesehatan akan memperoleh kesehatan (Fardiaz 2003). Muchtadi (2001) mengatakan bahwa para ilmuwan jepang menekankan pada tiga fungsi dasar pangan fungsional yaitu sensori (warna dan penampilan menarik serta citarasa yang enak), nutritional (bergizi tinggi), dan fisiologikal (memberi
24
pengaruh fisiologis bagi tubuh).
Beberapa fungsi fisiologis yang diharapkan
antara lain pencegah dari timbulnya penyakit, meningkatkan daya tahan tubuh, regulasi kondisi ritme fisik tubuh, memperlambat proses penuaan, dan penyehatan kembali (recovery). Ichikawa (1994) menyatakan bahwa suatu pangan dapat dikatakan pangan fungsional bila memenuhi syarat-syarat berikut: 1.Dapat digunakan sebagai makanan dan memiliki fungsi untuk kesehatan. 2.Manfaatnya bagi kesehatan dan pemenuhan gizi harus didasarkan data ilmiah. 3.Jumlah yang dikonsumsi setiap hari harus ditentukan dan diizinkan oleh ahli kesehatan dan gizi. 4.Aman dalam diet yang seimbang. 5.Memiliki karakteristik sifat fisik dan kimia disertai analisa yang jelas, serta sifat kuantitatif dan kualitatifnya didalam bahan pangan dapat ditentukan. 6.Tidak mengurangi nilai gizi pangan. 7.Dikonsumsi dengan cara yang wajar. 8.Tidak dikonsumsi dalam bentuk tablet, kapsul ataupun serbuk. 9.Berasal dari bahan-bahan alami. Selanjutnya Wijaya (2002) menyatakan bahwa pangan fungsional adalah bahan pangan yang berpengaruh positif terhadap kesehatan seseorang, penampilan jasmani dan rohani selain kandungan gizi dan cita-rasa yang dimilikinya. Fungsi pangan tidak lagi ada dua tetapi menjadi tiga, yaitu segi gizi, cita rasa dan kemampuan fisiologis aktifnya. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
menyatakan bahwa
pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan hasil kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan.
Pangan fungsional dikonsumsi layaknya makanan atau minuman,
mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa
25
yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberikan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan pada jumlah penggunaan yang dianjurkan. Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk kapsul, tablet atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Badan Pengawasan Obat dan Makanan 2001). Produk minuman fungsional yang beredar dipasaran tersedia dalam berbagai bentuk, seperti jus (Sari buah), serbuk minuman cepat larut (Serbuk instan), serta dalam bentuk teh herbal (Teh celup) mengkudu. Oguni (1996)
menyatakan bahwa makanan fungsional dapat memenuhi
kebutuhan tubuh dalam meningkatkan hal-hal berikut: 1. Sistem pertahanan biologis tubuh, misalnya mereduksi alergi, aktivasi sistem kekebalan, dan memperkaya sistem getah bening. 2. Sistem pencegahan penyakit, misalnya pencegahan tekanan darah tinggi dan diabetes, pencegahan kelainan metabolisme bawaan, serta pencegahan tumor. 3. Sistem penyembuhan penyakit; misalnya pengendali kolesterol dalam darah, mencegah terjadinya agregasi darah dan pengatur "hematosis" . 4. Sistem pengendali irama/gerak fisik, misalnya stimulasi sistem saraf pusat dan perifer , pengatur penyerapan dan masukan makanan. 5. Sistem penghambatan ketuaan, misalnya pengendali pembentukan peroksida lemak. Konsep pangan fungsional menurut PA consulting Group (1990) yang dikutif oleh Golberg (1994) adalah : 1. Merupakan pangan (bukan kapsul, tablet, ataupun serbuk) yang berasal dari bahan alami. 2. Pangan yang dapat dikonsumsi sebagai bagian dari makanan sehari-hari. 3. Pangan tersebut mempunyai fungsi tertentu ketika dikonsumsi, memperlancar dan membantu metabolism tubuh seperti meningkatkan imunitas, kesegaran tubuh, dan lain-lain.
26
Lemon Hampir semua jenis buah jeruk berasal dari Asia Tenggara, terutama dari India,Cina, dan kepulauan Malaysia. Jenis jeruk lemon dan nipis (Lime) tersebar mulai dari Himalaya ke arah selatan di India dan ke bagian timur menuju daerah malaysia (Nagy dan Shaw 1990). Jeruk lemon dipanen ketika warna buahnya masih hijau. Jeruk lemon yang sudah matang ditandai dengan dengan munculnya warna kuning keputih-putihan (whitish yellow) pada buah, dan ditandai dengan semakin tipisnya kulit buah dengan munculnya lapisan lilin tebal pada kulit untuk memperlambat proses repirasi dan memperpanjang umur simpan (Swisher dan Swisher 1980 seperti dikutip oleh : Nagy dan Shaw 1990).
Jeruk lemon tidak dikonsumsi secara
langsung,melainkan banyak digunakan sebagai perisa dan asidulan alami, serta penguat citarasa (flavour enhancer) pada makanan maupun minuman (Swisher dan Swisher 1980 seperti dikutip oleh : Nagy dan Shaw 1990). Tabel 2 Komposisi kimia jus jeruk lemon Penyusun Kadar air
Jumlah (g/100 g jus) 92.36
TPT (ºBrix)
8.30
Asam sitrat
5.98
pH
2.2
Gula Total
1.17
Sukrosa
0.09
Gula pereduksi
1.09
Kadar abu (mineral)
0.25
Sumber : Nagy dan Shaw (1990) Jeruk lemon memiliki kandungan total fenolik yang tinggi, yaitu sekitar 81.9±3.5 mg gallic acid equiv/100 g berat dapat dimakan. Aktivitas antioksidan pada jeruk lemon juga diukur dan dinyatakan dalam µmol vitamin C equiv/g berat dapat dimakan sebesar 42.8±1.0µmol/g. Selain itu, ekstrak jeruk lemon juga
27
diketahui memiliki aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan sel-sel kanker HepG2 yang dinyatakan dalam EC 50 (mg/ml), yaitu sebesar 30.6±0.8 mg/ml (Sun et al. 2002). Arthey dan Ashurst (1996) mengatakan bahwa sari buah (juice) seratus persen terdiri dari buah. Sari buah merupakan cairan yang mengandung jaringan buah. Sari buah dapat berbentuk konsentrat yang harus ditambahkan air untuk mengembalikan kebentuk cairan asal. Lemon merupakan buah yang sangat dimanfaatkan untuk membuat sari buah, daging dan kulit buahnya juga dapat dimanfaatkan. Sari buah lemon mengandung lima persen asam dengan pH dua sampai tiga yang mengakibatkan lemon berasa asam. Lemon mengandung vitamin C tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk kesehatan sebagai penguat sistem pencernaan, sistem kekebalan dan bermanfaat untuk kulit. Seratus mililiter sari buah lemon mengandung lima puluh miligram vitamin C dan lima gram asam sitrat. Lemon juga dimanfaatkan untuk pengawetan jangka panjang, mencegah terjadi browning effect, sehingga memperpanjang umur buah (Wikipedia 2007). Wine Potter dan Hotchkiss (1995) mengatakan bahwa wine dapat dibuat dari berbagai macam buah-buahan tetapi buah anggur merupakan buah yang paling populer dan sering digunakan sebagai bahan mentah untuk pembuatan wine. Bermacam-macam nama diberikan pada wine yang menggambarkan daerah asal dari berbagai jenis anggur yang digunakan sebagai bahan penyusunnya dengan sifat-sifat tertentu seperti tingkat kemanisan, warna, kandungan alkohol dan sifat berbusa. Tingkatan warna kulit anggur bermacam-macam dari ungu tua sampai hijau pucat. Alkohol memberikan kontribusi besar terhadap warna ekstraksi. Kemanisan dan kandungan alkohol dari wine saling berhubungan karena fermentasi mengubah gula anggur menjadi alkohol. Semakin banyak alkohol yang dihasilkan maka kemanisan akan berkurang. Sifat berbusa dari wine tergantung dari kandungan karbondioksida. Kandungan karbondioksida terjadi secara alami sebagai hasil dari fermentasi tetapi dapat juga ditambahkan.
Komposisi nutrisi
red wine dan white grape dapat dilihat pada Tabel 3.
28
Tabel 3 Komposisi nutrisi red wine dan white grape per 100 grm Red Wine Nutrien Air (gram) 88.5 Energi (kcal) 72 Protein (gram) 0.2 Lemak (gram) 0 Abu (gram) 0.3 Serat (gram) 0 Gula (gram) N/A Mineral Ca (mg) 8 Fe (mg) 0.43 Mg (mg) 13 P (mg) 14 K (mg) 112 Na (mg) 5 Zn (mg) 0.09 Cu (mg) 0.02 Mn (mg) 0.597 Se (µ) 0.2 Vitamin Vitamin C (mg) 0 Vitamin B-1 (mg) 0.005 Vitamin B-2 (mg) 0.028 Vitamin B-3 (mg) 0.081 Vitamin B-5 (mg) 0.035 Vitamin B-6 (mg) 0.034 Vitamin B-12 (µg) 0.01 Vitamin A (µg) 0 Vitamin E (µg) N/A Sumber : www.calorie-counter (2009) *www.foodstandards.gov.au (2006)
White grape* 86.2 222 0.2 0
13.7 6 0.2 4 11 89 7 0.1
11 0 0 0.4
0
Madu Madu merupakan cairan kental dan manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari bunga-bunga. Madu dinyatakan sebagai produk alami tanpa tambahan unsurunsur lainnya termasuk air atau pemanis. Sebagian besar mikroorganisme tidak dapat hidup pada madu karena madu memiliki aktivitas air yang rendah.Madu mengandung gula dan komponen-komponen lainnya terutama karbohidrat dengan
29
komponen utama fruktosa 38.5%, glukosa 31% dan sisanya maltosa, sukrosa dan karbohidrat komples lainnya. Disamping itu madu juga mengandung beberapa vitamin seperti B6, vitamin C, thiamin, niacin, riboflavin dan asam panthotenat serta mengandung beberapa mineral penting meliputi kalsium, copper, besi, magnesium, mangan, fosfor, sodium, seng. Asam-asam amino dan beberapa komponen antioksidan seperti katalase dan vitamin C juga ditemukan pada madu. Madu dapat berperan sebagai antibakteri untuk pengobatan berbagai penyakit ringan, sifat antibakteri madu dihasilkan dari aktivitas air yang rendah dan keasaman yang tinggi. Madu juga mengandung polyphenol yang berperan sebagai antioksidan. Disamping itu madu juga efektif meningkatkan populasi probiotik pada usus yang kan memperkuat sistem kekebalan, memperbaiki pencernaan dan menurunkan kolestrol serta mencegah kanker usus. Karena memiliki sifat antiseptik terutama bila dikombinasi dengan lemon maka keduanya dapat diberikan pada penderita pharingitis dan laringitis untuk menenangkan mereka (Anonim 2006). Komposisi nutrisi madu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi nutrisi madu No Komposisi 1 Air 2 Fruktosa 3 Glukosa 4 Maltosa 5 Karbohidrat 6 Sukrosa 7 Enzim,Mineral dan viamin 8 Energi (kalori/100 gram) Sumber : Lamerkabel (2008)
Jumlah 17.00% 38.50% 31.00% 7.20% 4.20% 1.50% 0.50% 294.00
White (1976) menyatakan komponen utama madu adalah karbohidrat dalam bentuk gula yang jumlahnya 80%. Levulosa (Fruktosa) dan dekstrosa (Glukosa) mencakup 85-90% dari gula yang terdapat dalam madu, selebihnya adalah disakarida, polisakarida dan oligosakarida. Organoleptik Penerimaan konsumen pada suatu produk dapat dilihat dengan melakukan uji organoleptik. Penilaian dengan indera atau yang disebut penilaian organoleptik
30
atau penilaian sensorik merupakan cara penilaian kuno. Penilaian mutu atau analisis sifat-sifat sensorik suatu komoditi yang diperlukan panelis yang bertindak sebagai instrumen atau alat. Alat ini terdiri dari orang atau kelompok orang yang disebut panelis yang bertugas menilai sifat atau mutu produk berdasarkan kesan subjektif. Pengukuran ini menggantungkan pada kesan atau reaksi kejiwaan (psikis) manusia dengan jujur, spontan dan murni tanpa dipengaruhi oleh faktorfaktor dari luar atau kecenderungan (bias). Cara ini sudah banyak digunakan untuk menilai mutu komoditi hasil pertanian atau makanan. Jadi, penilaian makanan secara panelis berdasarkan kesan subjektif dari para panelis dengan prosedur sensorik tertentu harus dituruti (Soekarto 1985). Pengujian organoleptik mempunyai bermacam-macam cara. Cara-cara pengujian itu dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, yaitu; cara pengujian yang paling populer adalah kelompok kelompok pengujian pembedaan (difference tests) dan kelompok pengujian pemilihan (preference tests). Disamping kedua kelompok pengujian itu, dikenal juga pengujian skalar dan pengujian deskripsi. Jika kedua pengujian pertama banyak digunakan dalam penelitian, analisis proses, dan penilaian hasil akhir, maka dua kelompok pengujian terakhir ini banyak digunakan dalam pengawasan mutu (quality control) (Soekarto 1985). Pengujian pembedaan digunakan untuk menetapkan apakah ada perbedaan sifat sensorik atau orgonoleptik antara dua contoh. Meskipun dalam pengujian dapat saja sejumlah contoh disajikan bersama tetapi untuk melaksanakan pembedaan selalu ada dua contoh yang dapat dipertimbangkan. Uji-uji ini digunakan untuk menilai pengaruh macam-macam perlakuan modifikasi proses atau bahan dalam pengolahan pangan bagi industri, atau untuk mengetahui adanya perbedaan atau persamaan antara dua prosuk dari komoditi yang sama (Soekarto 1985). Uji pembedaan biasanya menggunakan 15–30 panelis yang terlatih. Menggunakan panelis terlatih maka biaya penyelenggaraan lebih kecil dan hasil pengujiannya cukup peka (Soekarto 1985). Uji hedonik juga disebut uji kesukaan. Dalam uji hedonik panelis dimintakan
tanggapan
pribadinya
tentang
kesukaan
atau
sebaliknya
ketidaksukaan. Panelis akan mengemukakan tanggapan senang, suka atau kebalikannya, disamping itu meraka juga mengemukakan tingkat kesukaannya.
31
Tingkat-tingkat kesukaan ini disebut juga skala hedonik. Misalnya dalam hal “suka”, dapat mempunyai skala hedonik seperti: amat sangat suka, sangat suka, suka, agak suka. Sebaliknya jika tanggapan itu “tidak suka”, dapat mempunyai skala hedonik seperti: amat sangat tidak suka, sangat tidak suka, tidak suka, agak tidak suka. Diantara agak tidak suka dan agak suka kadang-kadang ada tanggapan yang disebut sebagai netral, yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka (neither like non dislike) (Soekarto 1985). Teknologi yang terus berkembang mampu menghasilkan instrumen atau alat canggih yang dapat digunakan untuk mengukur atau menilai suatu parameter dari produk tertentu.
Meskipun demikian.perlu disadari bahwa tidak semua hasil
ciptaan manusia mampu digunakan sebagai alat bantu untuk mengukur kualitas suatu produk, misalnya mutu sensori bahan pangan.
Indera manusia telah
dilengkapi oleh Tuhan dengan sensor yang paling canggih. Oleh karena itu, penggunaan subyek manusia sebagai instrumen dalam mengevaluasi atribut sensori dalam bahan pangan menjadi sangat penting. Meskipun demikian,karena jumlah
panelis yang terlalu sedikit, dan penilaian yang mengakibatkan
munculnya peranggapan terhadap suatu produk yang sedang diuji ( Meilgaard et al.1999). Oleh karena itu banyak peneliti yang berusaha mengembangkan teknik evaluasi sensori dalam bentuk yang lebih formal,terstruktur, dan dengan metode yang baku sehingga dapat meminimalkan aspek subjektivitas yang dilakukan oleh panelis dalam menilai suatu pahan pangan (Meilgaard et al.1999).
32
MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung selama 29 minggu dari bulan Januari – Agustus 2008. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapangan Nutrisi dan Makanan Ternak (Kandang C) Kampus Institut Pertanian Bogor–Darmaga, Laboratorium Animal Health
PT. Charoen Pokphand Indonesia, Laboratorium Balai Besar
Pasca Panen Departement Pertanian, Laboratorium Uji Organoleptik Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium
Jasa Analisis Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor – Darmaga. Tahapan Penelitian Penelitian ini terdiri atas tiga tahap penelitian: Tahap I (Pemeliharaan Induk) Tahap pemeliharaan puyuh. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Se organik , inorganik serta vitamin E terhadap : 1. Konsumsi ransum, berat badan induk, umur pertama kali bertelur, produksi telur dan konversi pakan. 2. Kandungan selenium daging dan telur. 3. Kandungan vitamin E kuning telur. 4. Aktivitas gluthathione peroksidase (GSH-Px) darah. Tahap II (Penetasan Telur Puyuh) Penelitian Tahap II ini merupakan lanjutan dari penelitian Tahap I. Pada penelitian Tahap II ini dilakukan penetasan telur dan pemeliharaan anak puyuh. Telur mulai ditetaskan saat induk puyuh berumur 12, 14, 16, 18, 20 minggu dan dilanjutkan dengan pemeliharaan anak puyuh selama 2 minggu. Ransum yang diberikan pada anak selama pemeliharaan tanpa pengkayaan Se dan vitamin E. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas Se organik, inorganik dan vitamin E pada ransum induk terhadap :
33
1. Fertilitas dan daya tetas. 2. Bobot tetas, mortalitas, bobot badan dan konsumsi ransum. Tahap III (Pembuatan Juice Telur) Tahap penelitan III merupakan lanjutan dari penelitian Tahap I dan Tahap II, dimana perlakuan yang memberikan performa terbaik pada kedua tahap tersebut akan dipilih dan diambil produknya yang berupa telur untuk pembuatan juice telur kaya selenium. Pada tahap ini telur mulai dikumpulkan untuk pembuatan minuman setelah selesai tahap penetasan telur sampai pemeliharaan anak.
Tahap ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas selenium organik,
inorganik dan vitamin E terhadap : 1. Komposisi kimia juice telur puyuh. 2. Viskositas juice berbasis telur puyuh. 3. Aktivitas antioksidan juice telur puyuh. 4. Uji mikrobiologi (Total Plate Count).
5. Tingkat penerimaan panelis terhadap beberapa formula juice berdasarkan uji hedonik dan uji ranking.
34
Kebutuhan pangan yang kaya antioksidan
Burung puyuh
Produktivitas tinggi
Siklus reproduksi cepat
Harga terjangkau
Budidaya masih dapat ditingkatkan
Penelitian ransum yang diperkaya dengan mikro nutrient (Se organik, inorganik & vitamin E)
Performa puyuh meningkat
Produk mengandung antioksidan
Daging kaya antioksidan
Telur kaya antioksidan
Juice telur kaya antioksidan
Gambar 5 Kerangka Pemikiran
35
Puyuh dipelihara mulai umur 4 minggu. Pemeliharaan dan adaptasi 720 ekor puyuh selama 2 minggu.
Tahap I Umur 5 minggu 20 ekor puyuh , ♂ & ♀ ratio 1: 1 ditempatkan dalam 1 kandang. Ada 36 unit kandang. perlakuan mulai diberikan umur 6 minggu
T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T8
T7
Koleksi telur mulai umur 7 minggu & untuk ditetaskan umur 12, 14, 16, 18, 20 mg
Penetasan Fertilitas, Daya tetas
Tahap II
DOQ Dipelihara sampai 2 minggu
–Analisis Se,Vit E
Bobot Tetas, Mortalitas, Konsumsi, PBB Kombinasi perlakuan terbaik ♂ di keluarkan, umur 25 minggu Semua ♀ diadaptasi dengan ransum terbaik perlakuan selama 2 minggu ( Sampai umur 26 – 27 minggu ) Koleksi telur 28 – 29 minggu
Tahap III
Pembuatan juice telur kaya selenium Juice telur kaya selenium 121,242 (white grape) (100 Ml)
Uji organoleptik
-Uji mikrobiologi Kontrol (101 )
Juice telur kaya selenium 434,565 (red wine) (100 Ml)
-Uji Hedonik,-Uji Ranking
-Uji mikrobiologi -Analisis aktivitas antioksidan
Analisa proksimat
-Uji mikrobiologi -Analisis aktivitas antioksidan
Gambar 6 Diagram Alur Penelitian
36
Materi Penelitian Penelitian ini menggunakan puyuh sebanyak 720 ekor (360 jantan dan 360 betina) berumur 4 minggu. Puyuh di bagi kedalam 9 perlakuan ransum dengan 4 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 20 ekor puyuh dengan perbandingan jantan dan betina 1:1 (10 ekor jantan dan 10 ekor betina). Puyuh ditempatkan pada 36 unit petak kandang percobaan yang merupakan kandang baterai berukuran 60 cm x 60 cm x 20 cm. Sebelum diisi kandang disanitasi terlebih dahulu dengan desinfektan demikian pula tempat makan dan minum. Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E (dL-α- tocopherol acetat) ke dalam ransum sebagai perlakuan, diberikan selama pemeliharaan puyuh. Selama penelitian menggunakan ransum komersial untuk periode pertumbuhan dan bertelur. Pemberian ransum pada umur 4 minggu adalah ransum periode pertumbuhan, sedangkan pada umur 6 minggu sampai akhir penelitian pakan diganti dengan ransum periode bertelur yang diberikan ad libitum. Kandungan nutrisi ransum kontrol dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Komposisi nutrisi ransum kontrol Ransum No
Nutrisi
Pertumbuhan
Petelur
1
Protein (%)
21.50
20.00
2
Lemak (%)
6.09
4.15
3
Serat kasar (%)
2.82
3.74
4
Abu (%)
5.34
11.53
5
Kalsium (%)
0.89
3.88
6
Phospor (%)
0.70
0.84
7
Vitamin E (ppm)
50.00
43.50
8
Selenium (ppm)
0.21
0.46
9
Energi metabolis (kkal)
3005
2610
Keterangan : Hasil analisis Laboratorium PT. Charoen Pokphand Indonesia, Tbk (2008).
37
Kandungan nutrien ransum perlakuan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi nutrisi ransum Perlakuan No 1
Nutrisi Protein (%)
Ransum Perlakuan 20.00
NRC - 1994 20
2
Lemak (%)
4.15
1
3
Serat kasar (%)
3.74
-
4
Abu (%)
11.53
-
5
Kalsium (%)
3.88
2.5
6
Phospor (%)
0.84
0.35
7
Vitamin E 43.50 (ppm)
53.7
8
Vitamin E 87.00 (ppm)
97.2
9
Selenium 0.46 (ppm)
0.48
10
Selenium 0.92 (ppm)
0.94
11
Energi metabolis (kkal)
2610
2900
12
Arginine (%)
1.38
1.26
13
Lysine (%)
0.96
1.00
14
Methionine (%)
0.48
0.45
15
Meth + Cys (%)
0.86
0.70
16
Threonine (%)
0.77
0.74
17
Tryptophan (%)
0.22
0.19
25 0.2
Keterangan : Hasil Analisis Laboratorium PT. CPI, Tbk & Balai Besar Pasca Panen (2008)
Metode Penelitian Pemeliharaan Induk (Tahap I) Penelitian ini terdiri dari 9 kombinasi perlakuan pengkayaan Se organik, inorganik, vitamin E serta lemak SFA (Saturated fatty acid) dengan perincian sebagai berikut : T0 = Ransum Komersial Petelur CP T1 = Ransum + 1.19 % SFA + Se In Organik 0.46 ppm + Vitamin E 43.50 ppm. T2 = Ransum + 1.19 % SFA + Se In Organik 0.46 ppm + Vitamin E 87 ppm. T3 = Ransum + 1.19 % SFA + Se In Organik 0.92 ppm + Vitamin E 43.50 ppm.
38
T4 = Ransum + 1.19 % SFA + Se In Organik 0.92 ppm + Vitamin E 87 ppm. T5 = Ransum + 1.19 % SFA + Se Organik 0.46 ppm + Vitamin E 43.50 ppm. T6 = Ransum + 1.19 % SFA + Se Organik 0.46 ppm + Vitamin E 87 ppm. T7 = Ransum + 1.19 % SFA + Se Organik 0.92 ppm + Vitamin E 43.50 ppm. T8 = Ransum + 1.19 % SFA + Se Organik 0.92 ppm + Vitamin E 87 ppm. Kombinasi perlakuan suplementasi Se, vitamin E dan SFA (Saturated Fatty Acid) disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Perlakuan pengkayaan Se dan vitamin E Selenium Vitamin E
Se1 ( Organik )
Se2 ( In Organik )
Se1(1)0.46
Se2(1)0.92
Se1(2)0.46
Se2(2)0.92
E1(43.50)
E1Se1Se1(1)
E1Se1Se2(1)
E1Se2Se1(2) E1Se2Se2(2)
E2 (87 )
E2Se1Se1(1)
E2Se1Se2(1)
E2Se2Se1(2) E2Se2Se2(2)
Penetasan Telur (Tahap II) Pada tahap ini dilakukan penetasan telur sebanyak 5 kali , dengan perincian sebagai berikut : - Penetasan I induk puyuh berumur 12 minggu. - Penetasan II induk puyuh berumur 14 minggu. - Penetasan III induk puyuh berumur 16 minggu. - Penetasan IV induk puyuh berumur 18 minggu. - Penetasan V induk puyuh berumur 20 minggu. Telur dikumpulkan selama 4 hari berturut-turut untuk sekali penetasan. Semua telur yang dihasilkan tiap unit ulangan terlebih dahulu ditimbang untuk mengetahui berat telur dan kemudian dimasukkan ke dalam mesin tetas. Berat telur yang ditetaskan berkisar 10-11 gram/butir. Pembalikan telur dilakukan secara manual 2 kali sehari, yaitu ujung tumpul dan ujung runcing telur dibalik bergantian dan candling telur dilakukan pada hari kelima. Telur menetas pada hari ke-17 setelah dimasukkan dalam mesin tetas. Pemecahan kerabang telur
39
dilakukan pada hari ke 18 pada telur yang tidak menetas untuk memastikan penyebab tidak menetas, karena tidak fertil atau penyebab lainnya. Setelah telur menetas maka anak puyuh dipelihara selama dua minggu, guna mengetahui performa anak. Anak puyuh diberi pakan periode pertumbuhan tanpa pengkayaan Se dan vitamin E. Pembuatan Juice Telur Kaya Selenium (Tahap III) Pengumpulan telur untuk pembuatan juice kaya selenium dilakukan ketika puyuh berumur 28, 29 minggu yaitu setelah selesai tahap penetasan dan pemeliharaan anak. Telur yang dikumpulkan berasal dari puyuh betina yang diberi ransum terbaik dari kesembilan perlakuan ransum, setelah dievaluasi berdasarkan hasil kualitas telur, performa reproduksi yang meliputi fertilitas dan daya tetas serta performa anak, tahap ini tidak menggunakan pejantan. Sebelum telur dibuat minuman terlebih dahulu diuji secara mikrobiologi untuk mengetahui kandungan salmonella pada telur dan juga dilakukan analisis kandungan Se dan vitamin E telur. Pembuatan juice telur kaya selenium, dibuat dengan 5 kode formula juice telur (dalam 100 ml) sebagai berikut : -kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Prosedur Pembuatan Juice Telur Kaya Selenium : Telur puyuh dikoleksi selama 3 hari, dibersihkan dengan air hangat, setelah itu didesinfeksi dengan alkohol 70 %, dan dicampur dengan bahan-bahan seperti komposisi diatas, kemudian disimpan pada suhu +4ºC selama 7 hari di dalam botol kaca ( Djujic et al. 2005 ). Rancangan Penelitian Penelitian (Pemeliharaan Induk) menggunakan 3 faktor, 2 faktor masing – masing memiliki dua taraf. Dosis selenium merupakan faktor yang tersarang
40
didalam faktor jenis selenium (organik dan inorganik), artinya pemilihan dosis dilakukan pada setiap jenis selenium dan tidak dilakukan pengacakan pada kedua taraf faktor jenis selenium . Faktor selanjutnya adalah vitamin E yang terdiri dari dua taraf, sedangkan untuk faktor lemak dianggap sama, karena dosis yang sama, dengan model matematika sebagai berikut : Yijkl
= + δi + ßj + γk(j) + (δß)ij + (δγ) ik(j) + (ijk)l
Keterangan : Yijkl
= Nilai pengamatan respon pada vitamin E taraf ke – i, Se jenis ke – j, Se dosis ke – k, ulangan ke – l.
µ
= Nilai tengah umum
δi
= Pengaruh aditif vitamin E jenis ke- i
ßj
= Pengaruh aditif Se jenis ke- j
γk( j )
= Pengaruh aditif Se dosis ke – k dalam Se jenis ke - j
( δß )ij
= Pengaruh interaksi vitamin E taraf ke – i dan Se jenis ke – j.
( δγ ) ik(j) = Pengaruh interaksi vitamin E jenis ke – i dan Se dosis ke – k dalam Se jenis ke – j. ijkl
= Pengaruh Galat Percobaan Selanjutnya untuk penelitian penetasan telur, karena selain nilai
pengamatan Y yang diamati, juga terdapat nilai lainnya yaitu peubah umur induk puyuh (X), sehingga peubah ini disebut peubah tambahan (Covariate), dengan model linier sebagai berikut : YijkL = + δi + βj + γk(j) + αxijkl +(δß)ij + (δγ)ik(j) + εijkl Dimana : YijkL
= Nilai respon pada faktor vitamin E ke-i, faktor selenium ke-j, dosis selenium ke – k pada jenis selenium ke – j ulangan ke – l.
= Nilai tengah umum.
i
= Pengaruh aditif vitamin E ke –i.
βj
= Pengaruh aditif selenium jenis ke-j.
γk(j )
= Pengaruh aditif dosis selenium ke – k dalam selenium jenis ke – j.
xijkl
=Umur induk pada vitamin E ke – i, selenium jenis ke – j, dosis
41
selenium ke – k dan ulangan ke – l. (δß)ij
= Pengaruh interaksi vitamin E ke – i, selenium jenis ke – j.
(δγ)ik(j) = Komponen acak waktu pengamatan εijkl
= Galat percobaan. Analisis yang digunakan adalah analisis kovariasi (Montgomery 2001).
Data perlakuan yang diperoleh dari percobaan dianalisa menggunakan analisa ragam Faktorial - Nested dan jika data yang dihasilkan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan Uji Duncan (Montgomery 2001). Peubah yang Diukur : Penelitian Tahap I (Pemeliharaan Induk) 1. Produksi telur Produksi hen day (%) =
Jumlah telur selama penelitian x 100% Jumlah puyuh x jumlah hari selama penelitian
Produksi telur (Kg) adalah total berat telur yang dihasilkan tiap perlakuan selama pemeliharaan. Penimbangan telur dilakukan setiap hari perunit ulangan, di mulai dari puyuh bertelur sampai berumur 22 minggu. 2. Konsumsi Ransum Konsumsi ransum adalah jumlah ransum yang dimakan oleh puyuh selama pemeliharaan. Ransum yang dikonsumsi ditimbang setiap minggu. Konsumsi = Jumlah ransum yang diberikan – jumlah ransum yang tersisa 3. Konversi Ransum Konversi ransum diperoleh dengan cara membagi jumlah ransum yang dikonsumsi dengan produksi telur (total berat telur) yang diperoleh selama penelitian. Konversi = 4.
Total Konsumsi pakan (Gram) Total Produksi telur (Gram)
Kandungan selenium daging Daging yang dijadikan sampel adalah daging dada, diambil secara acak
sebanyak 2 ekor tiap unit ulangan dari masing-masing perlakuan.
Prosedur
pengukuran selenium dengan menggunakan Hydride Vapour Generator Method AAS
sebagai berikut (1) Daging dada ditimbang sebanyak 0.5 gram – 1 gram
42
contoh kedalam labu destruksi, lalu ditambahkan asam nitrat pekat, panaskan pada kompor listrik dengan suhu yang tidak terlalu panas ± 80 - 90ºC dan dipanaskan sampai dengan jernih (6 jam). (2) Kemudian timbang sebanyak 0.5 – 1 gram blangko (Larutan baku standar Se (1000 ppm) dengan cara pengenceran : 40, 80, 100, 200, 400 ppb. (3) Larutan pereduksi 20 ml ditambahkan kedalam standar dan contoh, ditepatkan sampai dengan 100 ml dengan aquades. (4) Contoh siap dibaca di AAS dan siap untuk dianalisis. mcg Abs cth Volume akhir Kadar Se : ----------- = ------------ x ( Konsentrasi std ) x ---------------------- x fp 100 Abs std Bobot contoh 5.
Kandungan selenium telur. Telur yang dijadikan sampel uji kandungan selenium diambil secara acak
sebanyak 2 butir tiap unit ulangan dari masing-masing perlakuan. Selenium telur dipisahkan antara albumin dan kuning telur.
Prosedur pengukuran selenium
dengan menggunakan Hydride Vapour Generator Method AAS sebagai berikut (1) Kuning telur atau albumin ditimbang sebanyak 0.5 gram–1 gram contoh ke dalam labu dekstruksi, lalu ditambahan 10 ml asam nitrat pekat panaskan pada kompor listrik dengan suhu yang tidak terlalu panas ± 80-900C dan dipanaskan sampai dengan jernih (6 jam). (2). Kemudian ditimbang sebanyak 0.5 gram–1 gram blanko (larutan baku standar Se (1000 ppm)) dengan cara pengeceran : 40, 80, 100, 200, 400ppb. (3). Larutan pereduksi 20 ml ditambahkan kedalam standar dan contoh, ditepatkan sampai dengan 100 ml dengan Aquades. (5). Contoh siap di baca di AAS dan siap untuk dianalisis. Kadar Se:
mcg 100 gr
=
Abs cth x (konsentrasi std) x Volume akhir Abs std Bobot contoh
x fp
6. Kandungan vitamin E telur. Telur yang dijadikan sampel uji kandungan vitamin E diambil secara acak sebanyak 2 butir tiap unit ulangan dari masing-masing perlakuan. Kandungan vitamin E telur adalah gabungan antara putih dan kuning telur. Proses analisis vitamin E adalah sebagai berikut: (1) Sampel disiapkan dengan menimbang 0.5 gram sampel kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 20 ml. (2) Selanjutnya ditambahkan enzim makatase 40 mg dan 2 ml amonia 0.02%. (3) Campuran
43
dimasukkan ke dalam ultrasonik selama 20 menit pada suhu 65oC. Lalu campuran didinginkan pada suhu ruang dan tambahkan etanol 10 ml. (4) Dimasukkan kembali ke dalam ultrasonik selama 10 menit. (5) Selanjutnya ditambahkan etanol hingga volumenya 20 ml dan dikocok kembali. (6) Larutan disentrifuse dan 5 ml supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam labu ukur 5 ml. (7) Larutan siap untuk diinjeksikan ke alat HPLC. Perhitungan: Kadar vitamin E:
Luas area sampel x 25 ppm x 10 Luas area standar 0.5
Keterangan: 25 : Konsentrasi standar 10 : Volume akhir (ml) 0.5 : Volume sampel yang diinjeksikan (ml) 7. Aktivitas GSH – Px dalam darah Pembuatan sampel 100 µl plasma darah ditambah dengan 200 µl buffer phosfat pH 7.0, kemudian dikocok dengan vortex. Larutan disentrifus pada 3,000 rpm selama 5 menit dalam kondisi dingin . Supernatan digunakan untuk mengukur aktivitas glutathion peroksidase (GSH-Px). 200 µl buffer phosfat 0.1 M pH 7.0 mengandung 0.1 mM EDTA ditambahkan dengan 200 µl sampel. 200 µl glutathion tereduksi(GSH) 10 nM dan 200 µl enzim glutathion reduktase 2.4 unit kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37ºC. Tambahan 200 µl NADPG 1.5 nM kedalam larutan, diinkubasi lagi pada suhu yang sama selama 3 menit. Tambahkan 200 µl H2O2 1.5 nM. Absorbansi dibaca pada spektrofotometer diantara waktu 1-2 menit pada panjang gelombang 340 nm. Perhitungan : ∆absorban x Vt 1 mUnit GSH-Px =---------------------------x 2 x 1,000-----------------------6.22 x Vs
mg protein
44
Keterangan : ∆Abs
= Perubahan absorban
Vt
= Volume total dalam ml
6.22
= Koefisien ekstrensik dari NADPH
2
= 2 mol GSH yang setara dengan 1 mol NADPH
1000
= Perubahan menjadi milliunit
Vs
= Volume sampel dalam ml
Penelitian Tahap II (Penetasan Telur) 1. Fertilitas yaitu persentase telur yang fertil dari telur yang ditetaskan. Fertilitas dilihat dari seberapa banyak telur yang dibuahi, hal ini akan diukur setelah dilakukan peneropongan (candling) telur pada hari ke-5 . 2. Daya tetas yaitu persentase telur puyuh yang menetas dari jumlah telur yang fertil. Telur-telur yang tidak menetas akan dipecah dan selanjutnya diperiksa untuk memastikan penyebab telur tidak menetas. 3. Bobot tetas yaitu berat DOQ setelah menetas dalam gram. 4. Mortalitas anak dihitung selama dipelihara dua minggu. 5. Konsumsi ransum anak dihitung selama dipelihara dua minggu. 6. Pertambahan bobot badan. Penelitian Tahap III (Pembuatan Juice Telur Kaya Selenium) 1.Total Mikroba Telur (Total Plate Count) (Maturi dan Peeler 2001) Sebanyak satu ml sampel dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer. Selanjutnya
dilakukan
pengocokan
hingga
homogen
dengan
vorteks. -2
Pengenceran dan pemupukan dilakukan dengan tingkat pengenceran 10 . Dari tiap-tiap pengenceran, dipipet secara aseptis 1 ml untuk dimasukkan ke dalam cawan petri steril (pemupukan) secara duplo dan ditambahkan media PCA ( Plate Count Agar ) steril sebanyak 15 – 20 ml. Segera setelah penuangan, cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-hati untuk menyebarkan sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan melingkar atau angka delapan. Setelah medium membeku, cawan petri
45
diinkubasikan dengan posisi terbalik pada inkubator suhu 37 º C selama 2 hari (48 jam). Perhitungan jumlah total mikroba dilakukan dengan menggunakan Standard Plate Count (SPC) metode Harrigan. 3. Kadar air (AOAC 1995) Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven suhu 105ºC selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit sampai tidak panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Lalu ditimbang sampel sebanyak 5 gram didalam cawan tersebut. Sampel dikeringkan dalam oven sampai bobotnya konstan (perubahan bobot tidak boleh lebih dari 0.003 gram). Setelah itu cawan yang berisi sampel kering didinginkan didalam desikator,kemudian bobot akhirnya ditentukan. Kadar air dihitung dengan persamaan sebagai berikut : ( X – Y) Kadar air (%bb) = --------- x 100 % (X – A) (X – Y) Kadar air (%bk) = --------- x 100 % (Y – A) Keterangan : X : berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan Y : berat cawan dan sampel setelah dikeringkan A : berat cawan aluminium kosong (g) 3. Kadar abu (AOAC 1995) Sampel sebanyak
± 2 gram ditempatkan dalam cawan porselin dan
dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600 ºC. Proses pengabuan dilakukan selama ± 6 jam, kemudian sampel dimasukkan ke dalam desikator untuk didinginkan lalu ditimbang. Berat abu Kadar abu (% berat kering) = --------------- x 100 % Berat sampel
46
4. Kadar lemak (AOAC,1995) Sebanyak 2 gram sampel bebas air (hasil pengukuran kadar air) diekstruksi dengan pelarut heksana dalam alat ekstraksi soxhlet selama 6 jam. Sampel hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan kemudian dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105ºC dan didinginkan dalam desikator sampai bobotnya konstan. Labu tersebut ditimbang sehingga diperoleh bobot lemak. Berat lemak (g) Kadar lemak (%bahan kering) =------------------ x 100 % Berat sampel (g) 5. Kadar Protein (Metode Semi Kjeldahl) (AOAC 1995) Sampel sebanyak 0.1 gram, dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml kemudian ditambahkan dengan 2.5 ml H2SO4 pekat, 1 gram katalis dan batu didih. Sampel didihkan selama 1 – 1.5 jam atau sampai cairan berwarna jernih. Labu beserta isinya didinginkan lalu isinya dipindahkan ke dalam alat destilasi dan titambahkan 15 ml larutan NaOH 50 %, kemudian dibilas dengan air suling. Labu erlenmeyer
berisi HCL 0.02 N diletakkan dibawah kondensor. Sebelumnya
ditambahkan ke dalamnya 2 – 4 tetes indikator (campuran metil merah 0.02 % dalam alkohol dan metil biru 0.02% dalam alkohol dengan perbandingan 2 : 1). Ujung tabung kondensor harus terendam dalam labu larutan HCL kemudian dilakukan destilasi sampai diperoleh sekitar 25 ml destilat dalam labu erlenmeyer. Ujung kondensor dibilas dengan sedikit air destilata dan biasanya ditampung di dalam erlenmeyer dan dititrasi dengan NaOH 0.02 N sampai terjadi perubahan warna hijau menjadi ungu. Penetapan blangko dengan cara yang sama. (Y-Z) x N x 0.014 x 6.25 Kadar protein (%) =----------------------------- x 100 % W Keterangan : Y
: ml NaOH titer untuk blangko
Z
: ml NaOH titer untuk sampel
W
: bobot sampel
47
N
: Normalitas NaOH
6.25 : Faktor konversi (cake) 6. Kadar karbohidrat (By difference) Kadar karbohidrat dalam sampel dihitung dari sisa kandungan komponen kimia lainnya untuk mencapai 100 %. % Karbohidrat : 100% - (Kadar Air +Kadar Abu+Kadar Lemak+ Kadar Protein). 7. Uji kekentalan ( Metode Haake ) Pengukuran
kekentalan
(viskositas)
minuman
fungsional
dengan
menggunakan alat Haake Viskometer RC – 20. Sejumlah sampel (± 40 ml) dimasukkan ke dalam wadah khusus pada alat Haake viskometer. Pengukuran kekentalan dilakukan pada suhu 25ºC. Nilai viskositas yang terukur dalam satuan Pascal – detik (Pa.s). Nilai yang diperoleh dikonversi menjadi satuan centipoises (cp). Nilai viskositas terukur Perhitungan (cp) = --------------------------1000 8. Aktivitas antioksidan, metode DPPH (Kubo et al. 2002; Molyneux 2004) Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode radikal bebas stabil DPPH (1,1 – diphnyl-2picrylhydrazil radical-scavenging). Keenam formula minuman digunakan sebagai sampel uji aktivitas antioksidan. Asam askorbat digunakan sebagai standar
pembanding terhadap aktivitas antioksidan yang
dimiliki oleh formula minuman. Oleh karena itu, aktivitas antioksidan juice telur akan dihitung berdasarkan kesetaraannya dengan aktivitas antioksidan asam askorbat yang dinyatakan dalam ppm AEAC (Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity). Secara fisik, metode pengukuran aktivitas antioksidan dapat dilihat pada gambar 7.
48
Dicampur 2 ml larutan bufer asetat (pH 5.5) 3.75 ml metanol,dan 200 µl larutan DPPH 3 mM dalam metanol Divorteks larutan campuran Ditambah 50 µl larutan sampel atau larutan standar antioksidan Diinkubasi pada suhu 37ºC selama 30 menit Dibaca absorbansi sampel dengan spektrofotometer pada λ = 517nm Gambar 7 Pengukuran aktivitas antioksidan metode DPPH (Kubo et al. 2002;Molyneux 2004). 9. Total Mikroba Juice Telur Kaya Selenium (Maturi dan Peeler 2001) Sebanyak satu ml sampel dimasukkan ke dalam 9 ml larutan pengencer. Selanjutnya
dilakukan
pengocokan
hingga
homogen
dengan
vorteks. -2
Pengenceran dan pemupukan dilakukan dengan tingkat pengenceran 10 . Dari tiap-tiap pengenceran, dipipet secara aseptis 1 ml untuk dimasukkan ke dalam cawan petri steril (Pemupukan) secara duplo dan ditambahkan media PCA ( Plate Count Agar ) steril sebanyak 15 – 20 ml. Segera setelah penuangan, cawan petri digerakkan di atas meja secara hatihati- untuk menyebarkan sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan melingkar atau angka delapan.
Setelah medium membeku, cawan petri
diinkubasikan dengan posisi terbalik pada inkubator suhu 37 º C selama 2 hari (48 jam).
Perhitungan jumlah total mikroba dilakukan dengan menggunakan
Standard Plate Count (SPC) metode Harrigan. 10. Uji Hedonik, dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap
kelima juice telur kaya selenium yang telah dibuat.
Panelis yang
digunakan pada uji ini adalah panelis tidak terlatih sejumlah 83 orang. Sampel untuk uji ini sebanyak 15 ml. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan ANOVA dan uji lanjut yang digunakan adalah Uji Duncan. 11. Uji Ranking, dengan tujuan mengetahui urutan ranking dari kelima formula juice telur kaya selenium yang telah dibuat, data yang diperoleh diolah dengan menggunakan ANOVA dan uji lanjut yang digunakan adalah Uji Friedman.
49
HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I : Pemeliharaan Puyuh Konsumsi Ransum Rata-rata rata konsumsi ransum selama 22 minggu penelitian berkisar antara 2.69 kg – 2.80 kg per ekor (17.46 gram – 18.18 gram perhari), Gambar 88. Pengkayaan engkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E secara keseluruhan keseluruhan tidak berbeda nyata baik dari segi bentuk selenium, level selenium, level vitamin E maupun interaksinya pada konsumsi ransum (Lampiran 1). Hal ini disebabkan kandungan nutrisi dari ransum kontrol maupun ransum perlakuan adalah sama, yang hanya membedakan bentuk, level selenium dan level vitamin E, dimana hal ini tidak mempengaruhi kandungan energi maupun kandungan nutrisi ransum lainnya sehingga tidak mempengaruhi konsumsi ransum. ransum Hal al ini didukung oleh pendapat Leeson dan Summer (2001) bahwa ko konsumsi nsumsi ransum tergantung pada bangsa, temperatur lingkungan, banyaknya produksi telur yang dihasilkan dan
Konsumsi ransum (kg/ekor)
kandungan energi ransum. ransum 2.80 2.75 2.70 2.65 2.60
2.80a ± 0.06 2.70a ± 0.02
T0
T1
2.72a ± 0.07 2.69a ± 0.06
T2
2.74a ± 0.09
2.76a ± 0.09 2.72a ± 0.04
2.69a ± 0.04
T3
T4
T5
T6
T7
2.73a ± 0.04
T8
Perlakuan
Keterangan : Huruf superskrip yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata To : Ransum komersial mersial T1 : Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm T2 : Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm T3 : Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm T4 : Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm T5 : Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm T6 : Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm T7 : Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm T8 : Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Gambar 8 Rataan konsumsi ransum dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin tamin E selama 22 minggu.
Konsumsi ransum yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Lubis (2007) yaitu berkisar antara 3.315 – 3.616 kg/ekor selama 23 minggu (20.54 gram – 22.46 gram perhari) demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Subekti et al (2006) berkisar antara 4.689 – 4.835 kg/ekor selama 25 minggu (26.77 gram – 27.63 gram perhari). Hal ini disebabkan isebabkan komposisi nutrisi ransum yang diberikan dari masing-masing burung puyuh berbeda berbeda. Berat Badan Puyuh Betina Berat badan puyuh betina selama 22 minggu penelitian berkisar antara 159.53 – 165.82 gram per ekor dapat dilihat pada gambar 9. 9
Berat badan (gram/ekor)
165.82a±2.47 2.47
166 164 163 161 160 158 157 155
161.53ab±4.47 161.95ab±1.79
160.93ab±2.87
159.91b±4.28 159.53b±5.03
T0
T1
T2
164.03ab±2.58
163.13ab±1.89
T3
T4
T5
159.84b±4.74
T6
T7
T8
Perlakuan
Keterangan : Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 87 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 9 Rataan berat badan puyuh betina yang diberi ransum dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E. Interaksi vitamin E dan dosis selenium berpengaruh nyata (P<0.0 (P<0.05) terhadap berat badan puyuh betina (Lampiran 2). 2) Pengaruh ini disebabkan karena perbedaan kandungan selenium dalam dal daging (Gambar 14), albumin (Gambar 16)
dan kuning telur (Gambar 17). Perlakuan T7 berbeda nyata dengan perlakuan T2, T3 dan T8 akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan T0, T1, T4, T5 dan T6. Tingginya berat badan dari perlakuan T7 (Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) dibandingkan dengan perlakuan lainnya, disebabkan kandungan selenium daging, selenium albumin dan selenium kuning telur serta aktivitas GSH-Px pada perlakuan T7 jauh lebih tinggi (Gambar 14, gambar 16 dan gambar 17) dibandingkan dengan perlakuan lain, dimana selenium mampu mengurangi stres yang disebabkan karena faktor nutrisi, lingkungan dan internal sehingga performa lebih baik (Surai 2003). Umur Mulai Bertelur Rataan umur bertelur yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar 43.50 – 46.25 hari (Gambar 10). Pengkayaan Se inorganik, organik dan vitamin E tidak nyata mempercepat umur pertama kali bertelur burung puyuh, akan tetapi kalau kita melihat hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ransum T7 (Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) memperlihatkan waktu umur bertelur lebih dini yaitu 43.50 hari. Hal ini disebabkan karena bobot badan perlakuan T7 paling tinggi dari semua perlakuan yang mana bobot badan erat kaitannya dengan dewasa kelamin, yang ditandai dengan pertama kali bertelur.
Hal ini sesuai
dengan pendapat North dan Bell (1990) bahwa dewasa kelamin dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya kesehatan, tata laksana dan makanan serta faktor lainnya seperti genetik, pencahayaan dan bobot badan. Umur pertama kali burung puyuh bertelur pada penelitian ini sesuai dengan pendapat Hasan et al (2003) bahwa umur pertama kali bertelur burung puyuh rata-rata tujuh minggu, akan tetapi Trollope (1992) dan Mufti (1997) melaporkan bahwa burung puyuh mulai bertelur pada umur enam minggu, selanjutnya hasil penelitian Lubis (2007) melaporkan bahwa umur pertama kali bertelur burung puyuh adalah 41.33 hari dan Subekti et al (2006) melaporkan bahwa umur pertama kali bertelur burung puyuh adalah 46 hari.
52
47
46.25a±3.20 45.75a±0.96
46
Umur bertelur (hari)
45
45.25a±2.06 44.50a±3.42 44.00a±1.41
43.75a±1.50 1.50
44
44.50a±2.38
44.25a±2.87 43.50a±2.89 2.89
43 42 41 40 T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
Keterangan : Huruf superskrip yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin v E 87.00 ppm
Gambar 10 Rataan umur mur mulai bertelur dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E. Produksi Telur Pengambilan data produksi telur burung puyuh dimulai pada awal bertelur sampai umur 22 minggu. Produksi telur dalam Hen Day (%) yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 66.79 % - 73.35% (Gambar 11).
74
73.35a± 3.95 71.91a± 4.65 70.99a± 3.01
72
71.25a± 4.73 70.12a± 3.91
Produksi telur (% Hen Day)
70
68.51a± 4.16
67.22a± 1.59
68
67.24a± 9.45
66.79a± 5.25
66 64 62 60 T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
Keterangan :Huruf superskrip yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda antara perlakuan. akuan. To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 11 Rataan produksi roduksi telur Hen Day (%) dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E selama 22 minggu. Bentuk entuk selenium, level selenium, level vitamin E maupun interaksinya tidak menghasilkan perbedaan yang nyata pada produksi pr telur Hen Day (%), namun perlakuan T3 (Ransum yang mengandung Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) memiliki produksi telur Hen Day (%) yang lebih baik sebanyak 73.35 %. Perbedaan yang tidak nyata menunjukkan bahwa kondisi dari semua burung puyuh dalam kondisi fisiologis fisiol gis yang sehat dan mendapat nutrisi yang cukup dari ransum untuk memproduksi telur telur. Produksi telur merupakan sifat yang diwariskan oleh induk (Ensminger 1992).
Disamping itu
produksi telur
dipengaruhi oleh cahaya dan kandungan kandungan protein pakan (Mufti 1997), selanjutnya Romanoff dan Romanoff (1963) mengatakan bahwa untuk dapat bertelur burung
harus memiliki sifat (kkemampuan) emampuan) bertelur yang baik, bebas dari gangguan fisiologis dan mendapatkan pakan dan lingkungan yang baik. Produksi telur Hen Day (%) dalam penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Lubis (2007) yakni sebesar 75.43 – 76.64 % (23 minggu) dan Subekti et al (2006)) yakni sebesar 61.03 – 63.71% (25 minggu),, perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan yang diberikan dan lama pemeliharaan. pemeliharaan Rataan produksi telur (kg) selama penelitian berkisar antara 0.89 kg – 1.01 kg/ekor ekor selama awal produksi sampai umur 22 minggu (Gambar 12). Produksi telur tertinggi 1.01 kg/ekor ekor yang dihasilkan oleh perlakuan T3 (Se inorganik 00.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) selama 22 minggu. 1.05
Produksi telur (kg/ekor)
1.00
1.01a±0.05 0.97ab ± 0.08
ab 0.97ab±0.03 0.97 ±0.05
0.95ab±0.06 0.06 0.94ab±0.05
0.95
0.90b±0.03
0.90b±0.08
0.89ab±0.10
0.90 0.85 0.80 T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
Keterangan :Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 4 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum m + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 12 Rataan produksi roduksi telur (kg) ( g) dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E selama 22 minggu.
Selenium inorganik nyata (Lampiran 5) meningkatkan produksi telur dibandingkan dengan kontrol (Gambar 12). Paton et al. (2000) melaporkan pada pakan ayam petelur yang mengandung selenium organik tidak berpengaruh nyata pada performa produksi. Perlakuan T3 berbeda dengan perlakuan T4,T5 dan T8. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa selenium dalam bentuk inorganik (Perlakuan T3) memberikan konstribusi produksi telur dalam kg lebih baik jika dibandingkan dengan bentuk organik, karena menggunakan Se inorganik dalam bentuk Na2SO3, hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Latshaw dan Osman (1974) bahwa pada ayam penambahan selenium dalam bentuk Na2SeO3 dalam ransum ternyata dapat meningkatkan produksi telur. Disebabkan karena selenium inorganik dalam bentuk Na2SO3 di dalam tubuh ternak akan ditemukan Se dalam bentuk selenosistein. Selenosistein yang ditemukan dapat bergabung di dalam sintesis gluthathione dan selenoprotein lainnya, Sunde (1990). Selenosistein sangat penting untuk sintesis sitosolik gluthathione peroksidase (Rotruck et al. 1973).
Untuk memenuhi kebutuhan biologis dalam sintesis selenoprotein Se
organik harus berubah menjadi bentuk dasar inorganik (Arthur 1997). Produksi telur (kg) pada penelitian ini berbeda dengan hasil yang dilaporkan oleh Lubis (2007) yaitu berkisar antarar 0.975 – 1.090 kg/ekor (23 minggu) demikian pula hasil penelitian dari Subekti et al. (2006) yaitu berkisar antara 0.815 – 0.915 kg/ekor (25 minggu). Konversi Ransum Konversi merupakan ukuran efisiensi penggunaan ransum pada ternak, dalam hal ini pada burung puyuh. Semakin rendah nilai konversi menunjukkan semakin efisien penggunaan ransum, karena semakin sedikit jumlah ransum yang dibutuhkan untuk membentuk satu kilogram telur.
Tinggi rendahnya nilai
konversi ransum sangat dipengaruhi oleh kualitas ransum, dan kemampuan burung puyuh dalam mengubah ransum yang dikonsumsi menjadi telur, akan tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi atau status kesehatan dari burung puyuh.
Pengkayaan selenium nyata mempengaruhi konversi ransum
(Lampiran 6).
56
Konversi onversi ransum berkisar antara 2.72 – 3.08 (Gambar 13).. Konversi ransum terbaik pada perlakuan T3 (Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm).
Analisa uji statistik lebih lanjut menunjukkan bahwa selenium dalam
bentuk inorganik mempunyai pengaruh yang lebih baik dalam hal konversi pakan dibandingkan dengan selenium dalam bentuk organik (Lampiran 6). 3.08a±0.32
3.06a±0.25
3.10
2.77b±0.08 ±
FCR
2.90
2.95ab±0.12
2.97ab±0.05
2.89ab±0.13
2.86ab±0.18
2.80ab±0.13 2.72b±0.12
2.70 2.50 2.30 T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
Keterangan :Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm p Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 13 Rataan konversi ransum dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E selama 22 minggu. Perlakuan T5, T8 berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan T1, T3.
Hal
ini karena penggunaan jenis selenium yang berbeda, T5, T8 menggunakan selenium organik sedangkan T1, T3 menggunakan selenium inorganik. Menurut Paton et al.. (2000) bahwa pada pakan ayam petelur yang mengandung selenium organik tidak berpengaruh nyata pada performa produksi.
Selanjutnya jjika
melihat konversi ransum yang diperoleh pada penelitian ini
jauh lebih baik
dibandingkan dengan penelitian Mufti (1997) (1997) dilaporkan konversi ransum puyuh berkisar antara 4.03 – 4.73, Nur (2001) konversi ransum puyuh berkisar antara 4.31 – 10.18, Lubis (2007) melaporkan konversi ransum puyuh berkisar antara
3.05 – 3.71 dan Subekti et al (2006) melaporkan konversi ransum burung puyuh berkisar antara 5.36 – 5.87. Namun lebih baik yang dilaporkan oleh Wilson et al. (1961) bahwa konversi ransum puyuh 3.0 yang dicapai pada umur 175 – 224 hari. Selenium Daging Pengkayaaan selenium organik, inorganik dan vitamin E meningk meningkatkan selenium daging (dada). ada). Konsentrasi selenium daging dada dalam penelitian ini
Se daging dada (µg /100 gram)
secara deskriptif berkisar erkisar antara 18.55 – 20.24 µg/100 g (Gambar 14).
21.00 19.00 17.00 15.00 13.00 11.00
18.63
18.88
18.55
T0
T1
T2
19.78
19.64
19.73
19.23
T3
T4
T5
T6
20.24
20.14
T7
T8
Perlakuan
To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 14 Kandungan andungan selenium daging dada dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E. Gambar 14
menunjukkan kandungan selenium daging tertinggi pada
perlakuan T7 (Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan lainnya, hal ini disebabkan perbedaan bentuk dari selenium yang diberikan. Selenium organik lebih efisien dibandingkan dengan selenium inorganik serta penggunaan selenium inorganik terbatas karena dapat bersifat
racun, penyimpanan rendah, efisiensi transfer ke susu dan daging rendah dan kemampuan untuk mempertahankan cadangan selenium tubuh rendah, sehingga sebagian besar selenium yang dikonsumsi dieksresikan (Surai 1999). Peningkatan kandungan selenium daging pada perlakuan T7 karena respon dari sumber selenium yaitu selenium dalam bentuk organik, hal ini seiring pendapat Down (2000) bahwa peningkatan level selenium pada pektoralis mayor (dada) sebagai respon dari selenium organik yang dibandingkan dengan selenium inorganik atau tanpa selenium. Hal lain yang menyebabkan selenium organik lebih banyak dideposit di daging dada dibandingkan dengan selenium inorganik karena keduanya mempunyai mekanisme absorbsi yang berbeda. Selenium organik diabsorbsi secara aktif melalui suatu mekanisme transpor asam amino dan langsung menyebar keseluruh bagian tubuh, akan tetapi selenium inorganik diserap secara pasif, dimana selama absorbsi selenium inorganik direduksi menjadi selenid dan untuk memudahkan absorbsi perlu oksidasi tinggi, selanjutnya selenium berikatan dengan protein plasma yang kemudian ditransport ke hati untuk menjadi cadangan selenium dalam pembentukan selenoprotein (Groof dan Sareen 2005), hal inilah yang menyebabkan selenium organik lebih banyak dideposit di daging dada. Pada penelitian ini bentuk selenium inorganik yang dipakai adalah sodium selenite sedangkan selenium bentuk organik yang dipakai dalam bentuk selenomethionine.
Sodium selenite akan diubah menjadi selenate (+6) lalu
menjadi selenite (+4) kemudian selenide(-2) dan jika berlebih akan dieksresikan melalui urine (selenium yang hilang) dan selanjutnya menjadi selenoprotein aktif. Selanjutnya selenium organik dalam bentuk selenomethionine (-2) diproses menjadi selenoprotein aktif, hal ini juga diperkuat oleh Kobayashi et al. (2001) bahwa retensi selenium organik di dalam tubuh lebih tinggi dibandingkan dengan selenium inorganik. Dalam tubuh, selenometionin nampaknya mengikuti pola dari metionin, jika metionin rendah, maka pool metionin akan menekan atau mengurangi katabolisme, sebaliknya jika kadar metionin tinggi ketersediaannya, maka pool akan mengkatabolisir metionin dalam jumlah lebih besar, dan jika bentuknya selenometionin secara biologis nampaknya selenium tidak aktif dan bukan pusat
59
pengaturan selenium, akan tetapi hasil katabolisme dari selenometioninlah yang masuk ke dalam pool Se, yang mana dapat digabungkan kedalam selenoprotein sebagai komponen GSH – Px atau dieksresikan.
Dalam bentuk selenosistein,
tidak dapat bergabung secara langsung kedalam protein melainkan dikatabolisasi terlebih dahulu, sehingga dihasilkan Se siap pakai.
Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 15. Selenometionin
Protein (sebagai selenometionin)
Katabolisme Pusat Pool Selenium
Selenite
GSH-Px (sebagai selenosistein)
Selenate
Katabolisme Selenosistein
Yang dieksresi
Bentuk beracun
Gambar 15 Hubungan antara bentuk Se yang dikonsumsi dan Se dalam jaringan (Burk, 1986) Berbeda dengan Se dalam bentuk inorganik yang biasa diberikan atau dalam bentuk suplementasi, maka Se tersebut langsung masuk ke pool Se. Apabila Se inorganik yang masuk ke pool tadi melebihi kebutuhan sintetis selenoprotein, maka unsur Se tersebut akan dikeluarkan, jika sekiranya berlebihan, maka terjadi bentuk toksik Se dalam jaringan. Sebagai implikasinya bahwa makanan yang mengandung Se dalam bentuk selenometionin akan menghasilkan kadar Se jaringan lebih tinggi daripada makanan yang mengandung Se dalam jumlah yang sama tetapi dalam bentuk selenosistein atau Se inorganik. Selenium Telur Kandungan selenium albumin telur pada penelitian pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E tertinggi pada perlakuan T7 (Ransum yang mengandung Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm). Selenium albumin
60
telur burung puyuh pada penelitian ini berkisar antara 12.45 – 14.05 µg/100 gram. Peningkatan konsentrasi selenium dalam albumin disebabkan peningkatan kandungan selenium dan bentuk selenium yang diberikan yakni selenium dalam bentuk organik. Selenium organik memiliki ketersediaan biologis yang lebih tinggi, diabsorbsi secara aktif dibandingkan dengan selenium inorganik yang ketersediaan biologisnya rendah dan diserap secara pasif.
Bentuk selenium
organik yang digunakan dalam penelitian ini adalah selenomethionine dimana diketahui bahwa dalam bentuk selenomethionine lebih nyata dideposit dalam otot dan hal ini sangat penting untuk meningkatkan selenium dari telur dan embrio, sedangkan selenium inorganik yang dipakai dalam penelitian ini adalah sodium selenit dimana diketahui bahwa selenit tidak mampu menyediakan selenium yang dideposit pada jaringan, hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Leng et al. (2003) bahwa selenit tidak mampu menyediakan selenium yang dideposit pada jaringan, namun ketika disuplai dalam bentuk organik, jaringan otot lebih nyata menyimpan selenium dalam bentuk selenomethionin. Penggunaan selenomethionine oleh protein otot merupakan hal yang sangat penting untuk meningkatkan selenium dari telur dan embrio, selanjutnya jika pakan disuplementasi dengan selenium akan berpengaruh pada kandungan selenium komponen-komponen telur, sehingga peningkatan konsentrasi selenium akan meningkat juga pada albumin telur. Hal ini didukung oleh Surai et al (2006) yang menyatakan bahwa konsentrasi selenium di dalam komponen-komponen telur meningkat sebagai hasil suplementasi selenium di dalam pakan. Peningkatan konsentrasi selenium tertinggi 8.8 kali ditemukan pada putih telur dan peningkatan 2 kali pada kerabang dan kuning telur bila dibandingkan konsentrasi selenium dengan pemakaian selenit, demikian pula yang disampaikan oleh Roch (2007) bahwa suplementasi selenium organik pada ayam petelur meningkatkan selenium telur dibandingkan dengan selenit dan berkorelasi linear antara selenium yeast dalam pakan dan kandungan selenium telur. Interaksi antara selenium dan vitamin E juga memiliki peran penting dalam mekanisme ini, dimana diketahui bahwa jika didalam tubuh selenium sudah cukup maka selenium dapat menggantikan fungsi vitamin E, hal ini terjadi jika vitamin E didalam tubuh tidak tercukupi. Kandungan selenium albumin telur dapat dilihat pada Gambar 16
61
16.00 Se albumin (µg /100 gram)
14.00
12.82
12.87
T0
T1
13.55 12.45
14.05
13.24
12.94
12.65
T4
T5
T6
13.51
12.00 10.00 8.00 T2
T3
T7
T8
Perlakuan
To
: Ransum komersial
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : :
Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 16 Kandungan selenium albumin telur dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E. Kandungan selenium kuning telur pada penelitian pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E tertinggi pada perlakuan T7 (Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm).
Selenium kuning telur burung puyuh pada
penelitian ini secara deskriptif berkisar antara 16.77 – 19.72 µg/100 g/100 gram (Gambar 17). ). Peningkatan konsentrasi selen selenium ium dalam kuning telur disebabkan karena peningkatan kandungan selenium dalam ransum dan bentuk selenium yang diberikan yakni selenium dalam bentuk organik. Selenium berpengaruh pada kandungan
selenium
komponen-komponen komponen komponen
telur,
sehingga
peningkatan
konsentrasi rasi selenium akan meningkat juga pada kuning telur. Sebagaimana Surai et al (2006) menyatakan bahwa konsentrasi selenium didalam komponen komponenkomponen telur meningkat sebagai hasil suplementasi selenium didalam pakan.
Se kuning telur (µg /100 gram)
18.96
19.00
18.31
18.00 17.00
19.72
19.50
20.00
19.07
18.58
17.91
17.55
16.77
16.00 15.00 T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 17 Kandungan selenium kuning telur dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E. Pada prinsipnya penyimpanan atau deposit selenium didalam kuning telur memiliki mekanisme yang sama seperti pada penyimpanan atau depo deposit sit selenium pada albumin telur, hal ini sesuai dengan apa yang dilaporkan oleh Cantor (2000) bahwa selenium organik dalam bentuk selenium yeast lebih efektif meningkatkan level selenium pada telur dibandingkan dengan selenium inorganik. Vitamin E Kuning Telur Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E meningkatkan kandungan vitamin E kuning telur. Rataan kandungan vitamin E kuning telur secara deskriptif berkisar antara 0.76 – 0.81 mg/100 gram (Gambar 18). ).
0.81
Vit E kuning telur (mg /100 gram)
0.82 0.80
0.78
0.78
0.79 0.77
0.78
0.79
0.80
0.78
0.76
0.76 0.74 0.72 T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum sum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 18 Kandungan vitamin E kuning telur dengan pengkayaan Se organik, inorganik dan vitamin E. Kandungan vitamin E tertinggi 0.81 mg/100 gram didapatkan dari perlakuan T7 (Se organik 0.92 ppm+ itamin E 43.50 ppm) dan yang terendah didapat dari perlakuan T2 (Se inorganik 0.46 ppm pm + vitamin E 87.00 ppm). ppm) Peningkatan vitamin E kuning telur ini disebabkan karena level selenium yang tinggi dalam ransum, walaupun level vitamin E dalam ransum rendah. Penggunaan selenium pada pakan pembibitan berpengaruh meningkatkan konsentrasi vitamin min E pada kuning telur.
Akumulasi vitamin E pada telur
menggambarkan level vitamin tersebut pada level suplementasi selenium dalam pakan pembibitan dan peningkatan suplementasi vitamin E dalam pakan dianggap efektif untuk meningkatkan konsentrasi vitamin E dalam kuning telur.
Suplementasi selenium organik meningkatkan level vitamin E pada kuning telur (Surai 2003). Selain daripada itu selenium dapat menggantikan fungsi vitamin E dalam tiga hal yaitu : 1. Diperlukan untuk menjaga integritas kelenjar pankreas agar terjadi pencernaan lemak secara normal, pembentukan garam empedu micelle secara normal dan absorbsi vitamin E secara normal pula. 2. Karena mineral selenium merupakan bagian integral dari sistem enzim glutathione peroksidase, yang merubah bentuk reduksi
glutathione
menjadi bentuk oksidase glutathione dan pada waktu yang bersamaan merusak peroksida dengan cara konversi peroksida menjadi bentuk alkohol yang tidak berbahaya. Reaksi tersebut mencegah terjadinya proses peroksidasi terhadap asam-asam lemak yang tidak jenuh pada membran sel, dan oleh karena itu menurunkan jumlah vitamin E yang diperlukan untuk menjaga integritas sel-sel membran. 3. Mineral selenium, dengan cara yang tidak diketahui membantu retensi vitamin E dalam plasma (Piliang 2006). Aktivitas Enzim glutathion Peroksidase (GSH-Px) Darah Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E dalam ransum menghasilkan aktivitas GSH – Px yang berbeda pada darah masing-masing perlakuan. Rataan GSH – Px darah yang diperoleh dalam penelitian pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E ini secara deskriptif berkisar antara 0.21- 1.21 unit/100 gram (Gambar 19). Rataan GSH – Px darah yang diperoleh dalam penelitian pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E ini adalah 0.21- 1.21 unit/100 gram. Aktivitas GSH-Px tertinggi didapatkan dari perlakuan T7 (Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm), aktivitas GSH – Px lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Ransum yang diperkaya dengan selenium organik aktivitas GSH-Px lebih tinggi dibandingkan dengan ransum yang diperkaya dengan selenium inorganik. Pada penelitian ini bentuk selenium organik yang digunakan adalah selenomethionine, dimana diketahui bahwa jika selenium dalam bentuk selenomethionine akan menghasilkan kadar selenium jaringan lebih tinggi daripada makanan yang mengandung selenium dalam jumlah yang sama tetapi
65
dalam bentuk selenium inorganik, hal inilah yang menyebabkan aktivitas GSH GSH-Px pada perlakuan T7 lebih tinggi, karena sintesis enzim tersebut sangat dipengaruhi oleh ketersediaan selenium didalam tubuh, semakin tersedia maka semakin tinggi
Aktivitas GSH - Px darah (unit)
pula sintesis enzim tersebut.
1.50 1.00
1.18 0.97 0.81
1.09
0.88
1.21 0.97
0.93
T5
T6
1.04
0.50 0.00 T0
T1
T2
T3
T4
T7
T8
Perlakuan
To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + See organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 19 Aktivitas glutathion peroksidase (GSH-Px) (GSH Px) dengan pengkayaan Se organik inorganik dan vitamin E. Tingginya aktivitas GSH GSH-Px pada perlakuan T7 juga didukung oleh pengkayaan selenium dalam ransum menyebabkan ketersediaan selenium tubuh puyuh lebih besar dibandingkan dengan kontrol dan ransum yang yang diperkaya dengan selenium inorganik, dimana selenium tersebut akan disimpan sebagai cadangan selenium sehingga selenium yang dibutuhkan untuk sintesis sinte is GSH GSH-Px tersedia (Surai 2003).
Surai et al (2006) menyebutkan, selenium berperan dalam pertahanan antioksidan merupakan bagian penting dari GSH-Px dan ketersediaan selenium merupakan kunci efektif sintesis GSH-Px.
Kandungan slenium 0.2 mg/kg pada
pakan induk menyediakan selenium yang cukup untuk telur dan jaringan embrio serta memenuhi syarat untuk aktivitas GSH-Px. Yang menarik bahwa ternyata dalam mekanisme ini selenium dalam bentuk organik, dalam hal ini selenomethionine akan mengisi pool selenium dengan sejumlah unsur selenium yang dimakan, dan sebagian unsur tersebut akan didaur ulang serta terikat dengan protein dalam pool metionin, sehingga tercipta pool selenomethionine dalam protein jaringan, dimana besarnya pool yang terbentuk proporsional dengan konsumsi selenomethionine, dan makanan yang mengandung selenium inorganik tidak dapat atau tidak mempunyai jalur untuk masuk kedalam pool tersebut, sehingga dengan demikian menyebabkan ketersediaan selenium yang tinggi untuk sintesis enzym GSH-Px dibandingkan dengan dalam bentuk selenium inorganik (sodium selenit). Hal ini diperkuat oleh Burk (1986) yang melaporkan bahwa pada kondisi “steady –state” selenomethionine akan mengisi pool selenium dengan sejumlah unsur selenium yang dimakan. Makanan yang mengandung selenosistein atau selenium inorganik, tidak dapat atau tidak mempunyai jalur untuk masuk ke pool metionin, tetapi dapat menyebabkan selenium teregulasi dalam jaringan membentuk selenoprotein yang nantinya akan mempengaruhi aktivitas GSH-Px. Tahap II : Penetasan dan Pemeliharaan anak Fertilitas Rataan fertilitas yang diperoleh pada penelitian pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E berkisar antara 84.89 % - 93.68 % (Gambar 20). Dosis selenium berpengaruh nyata terhadap fertilitas (P<0.05).
Uji analisis
statistik lebih lanjut menunjukkan bahwa umur berpengaruh tehadap fertilitas, dalam arti bahwa seiring dengan bertambahnya umur penetasan fertilitas juga akan menurun (Lampiran 7).
67
Fertilitas telur (%)
93.68a±2.36
94 92 90 88 86 84 82 80 78
89.44ab±4.92
87.88b±5.31 87.24b±3.69
86.89b±3.24
86.28b±2.93
85.91b±4.30
85.01b±2.97
84.89b±6.08
T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05) 0.05). To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 20 Rataan fertilitas telur dengan pengkayaan Selenium organik, inorganikk dan vitamin E. Hal ini sesuai pendapat Woodard dan Abplanap (1967) bahwa fertilitas akan menurun apabila induk dan pejantan puyuh telah berusia lebih dari enam bulan. Fertilitas tertinggi 93.68 % diperoleh pada perlakuan T2 (Se inorganik 0. 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm) yang ang diperkaya dengan selenium inorganik, sedangkan fertilitas yang diperkaya diperkaya dengan selenium organik fertilitas yang dicapai hanya 89.44 % (T6: Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm ppm). Perlakuan T0, T1, T3, T4, T5, T7 dan T8 tidak menunjukkan perb perbedaan, perlakuan T2 dan T6 tidak menunjukkan perbedaan, demikian pula T6 dengan perlakuan
T0, T1, T3, T4, T5, T7 tidak menunjukkan ada perbedaan, namun
perlakuan T2 berbeda dengan Perlakuan T0, T1, T3, T4, T5, T7 dan T8. Penelitian enelitian pengkayaan pengk yaan selenium organik, inorganik dan vitamin E menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis vitamin E semakin tinggi fertilitas yang diperoleh walaupun dosis selenium rendah, hal ini disebabkan fungsi serta peranan dari vitamin E bukan hanya sebagai antioksidan akan tetapi juga
mempunyai peranan penting dalam hal peningkatan fertilitas,, disamping itu juga dengan adanya suplementasi vitamin E dalam pakan menyebabkan peningkatan konsentrasi vitamin E pada kuning telur dan ini akan berpengaruh pada peningkatan fertilitas.. Fertilitas yang diperoleh dalam penelitian ini berbeda dengan apa yang dilaporkan oleh Nur (2001) yaitu berkisar antara 84.33 – 98.33 %, Lubis (2007) berkisar antara 86.60 – 97.56 % Daya Tetas Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E sangat nyata (P<0.01)) mempengaruhi daya tetas (Lampiran 8).
Rataan daya tetas
yang
diperoleh selama penelitian berkisar antara 71.92% - 82.91 % (Gambar 21). Daya tetas tertinggi pada perlakuan T7 (See organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50
Daya tetas telur (%)
ppm). 84 82 80 78 76 74 72 70 68 66 64
82.71a± 5.46
76.79ab± 3.57 73.57b± 7.02
T0
T1
T2
T3
73.84b± 2.61
73.13b± 6.04 72.79b± 5.47
72.50b± 3.93 71.92b± 6.98
73.00 b± 4.32
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
Keterangan : Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0.01). To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 21 Rataan daya aya tetas telur dengan pengkayaan Selenium organik, inorganik dan vitamin E.
Perlakuan T7 berbeda sangat nyata dengan perlakuan lain kecuali dengan perlakuan T4. Daya tetas yang tertinggi diperoleh dari perlakuan yang diperkaya dengan selenium organik sebesar 82.71 % (T7) sedangkan untuk perlakuan yang diperkaya dengan selenium inorganik hanya mencapai daya tetas paling tinggi 76.79 % (T4). Peningkatan daya tetas telur dengan pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E karena kandungan selenium dan vitamin E pada telur tetas meningkat (Gambar 16, 17 dan 18), kandungan nutrisi antioksidan pada telur tetas mencukupi untuk perkembangan embrio. Ini berhubungan dengan proses embriogenesis, selenium dan vitamin E melindungi perkembangan embrio dari kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh radikal bebas dan meningkatkan daya tahan hidupnya sampai menetas. Surai (2000) melaporkan manfaat penting dari selenium berhubungan dengan kemampuannya untuk melindungi perkembangan embrio burung dari peroksidasi selama embriogenesis. Peningkatan selenium dalam jaringan bertanggung jawab terhadap peningkatan pertahanan antioksidan di dalam jaringan puyuh melawan stres oksidasi tinggi yang mengganggu proses penetasan. Peningkatan level selenium potensial memperbaiki ekspresi berbagai selenoprotein yang bermanfaat bagi penetasan. Penggunaan selenium dalam pakan puyuh (0.5 mg/kg) potensial sebagai sumber selenium tambahan untuk perkembangan embrio (Surai et al. 2006). Usaha paling efektif meningkatkan konsentrasi selenium telur adalah melalui penggunaan selenium dalam pakan induk. Suplementasi selenium 0.5 mg/kg ransum signifikan meningkatkan konsentrasi selenium komponen-komponen telur, albumin meningkat 8.8 kali dari kontrol, dimana selenium kontrol 41.8 ŋg/g meningkat menjadi 0.368 mcg/g sedangkan konsentrasi kuning telur meningkat dua kali yaitu selenium kontrol 0.459 mcg/g setelah disuplementasi meningkat menjadi 0.865 mcg/g (Surai 2006). Selanjutnya Renema (2004) mendapatkan perbaikan daya tetas sebagai hasil penggantian sodium selenit dengan selenium organik. Daya tetas yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Nur (2001) yaitu berkisar antara 74.94 – 89.52 % dan Lubis (2001) yaitu berkisar antara 81.45 – 93.48 %.
70
Bobot Tetas Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E berdasarkan hasil analisis uji statistik tidak nyata mempengaruhi bobot tetas (Lampiran 9). Rataan bobot tetas dalam penelitian ini berkisar antara 7.48 – 8.21 gram/ekor (Gambar 22).
Bobot tetas anak (gram/ekor)
9.00 8.00
8.21a ± 0.39 8.06a ± 0.63 7.81a ± 1.22 7.82a ± 0.51 a 7.79 ± 0.97 7.67a ± 0.62 7.72a ±0.74 7.55a ± 0.61 7.48a ± 0.60
7.00 6.00 5.00 T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial mersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 22 Rataan bobot obot tetas dengan pengkayaan Selenium organik, inorganik dan vitamin E. Bobot tetas tertinggi diperoleh dari perlakuan T7 (Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) sebesar 8.21 gram/ekor. Bobot tetas yang diperoleh dari selenium inorganik organik sebesar 8.06 gram/ekor (T2) sedangkan untuk selenium organik bobot tetas yang diperoleh sebesar 8.21 gram/ekor (T7) ini menunjukkan bahwa pengkayaan dengan menggunakan selenium organik mampu mampu menghasilkan berat tetas puyuh yang tinggi. Tingginya berat tetas dari perlakuan T7 (Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) disebabkan oleh kecukupan nutrisi yang ada dalam telur telur, dengan demikian akan berpengaruh terhadap bobot tetas. tetas. Tingginya kandungan nutrisi
didalam telur ini juga dipengaruhi dipengaruhi oleh konsumsi induk (Wilson 1997). Perlakuan T7 mengkonsumsi ransum lebih tinggi dari T2.
Pengaruh umur terhadap bobot
tetas (Lampiran 9)) menunjukkan bahwa semakin bertambah umur, bobot tetas akan semakin bertambah karena ukuran tel telur juga akan bertambah sampai berat telur maksimal imal diumur 76 minggu. Mortalitas Secara umum pengkayaan selenium organik, selenium inorganik dan vitamin E berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap mortalitas anak selama pemeliharaan dua minggu (Lampiran 10). Rataan mortalitas selama dua minggu pemeliharaan berkisar antara 10.97 – 26.00 % (Gambar 23). 30
Mortalitas (%)
25
26.00a±7.33 25.75a±5.28 a 23.34 ±7.74 ± 22.68a±4.73
23.43a±5.13
18.92a±5.97
23.94a±5.38
21.89a±1.20
20 15
10.97b±4.02
10 5 0 T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
Keterangan :Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0.01). To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 23 Mortalitas selama dua minggu pemeliharaan setelah setelah menetas dengan pengkayaan selenium organik,inorganik dan vitamin E. Mortalitas terendah diperoleh pada perlakuan yang menggunakan selenium organik (T7 : Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) yaitu sebesar 10.97
%, sedangkan yang menggunakan selenium inorganik diperoleh mortalitas sebesar 26.00 % (T2 : Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm). Rendahnya mortalitas yang diperoleh pada perlakuan T7, disebabkan pengaruh bentuk selenium, dimana selenium organik lebih efisien dibandingkan dengan selenium inorganik. Transfer selenium dari telur ke embrio berpengaruh pada pertahanan antioksidan tidak hanya pada saat penetasan tapi juga kehidupan setelah menetas. Pakan induk berpengaruh terhadap level selenium jaringan hasil tetas.
Konsentrasi selenium pada kuning dan putih telur berpengaruh pada
peningkatan selenium jaringan puyuh yang baru menetas (Gambar 16 & 17). Jaringan puyuh yang baru menetas nyata diperkaya dengan selenium sebagai hasil manipulasi pakan induk (Surai et al. 2006). Kehidupan awal setelah menetas pada ayam, ada perubahan strategi pertahanan antioksidan dari akumulasi antioksidan alami selama embriogenesis menjadi sintesis tambahan enzim antioksidan seperti GSH-Px (Surai 2003). Pappas et al. (2005) melaporkan pemakaian selenium (0.4 mg/kg) dalam pakan menurunkan mortalitas 3.1 sampai 6.2 %. Surai et al. (2006) melaporkan bahwa sistem kekebalan unggas yang baru menetas belum stabil dan tidak sempurna karena sistem kekebalan utama berasal dari antibodi induk yang ditransfer melalui telur. Peningkatan konsentrasi selenium dalam jaringan puyuh selama 2 minggu pertama setelah menetas bermanfaat untuk perkembangan sistem kekebalan. Peningkatan konsentrasi selenium dan pertahanan antioksidan pada puyuh diawal kehidupan setelah menetas dapat berpengaruh sebagai perlindungan anti stres. Keadaan ini dapat dicapai dengan suplementasi selenium pada pakan induk. Selanjutnya Huang dan Cheng (1996) melaporkan bahwa penggunaan 0.6 mg/kg selenium dalam pakan ayam akan meningkatkan kemampuan menghancurkan radikal bebas oksigen dan peroksida lemak sehingga dapat mencegah kerusakan jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas oksigen serta dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit mareks. Speake et al. (1998) melaporkan bahwa jaringan embrio unggas mengandung asam-asam lemak tidak jenuh di dalam fraksi lemak, karena itu perlu perlindungan antioksidan yang efektif, pertahanan antioksidan jaringan unggas yang baru menetas tersusun atas antioksidan alami (vitamin E, karotenoids, asam
73
askorbat dan glutathione) dan enzim antioksidan (Superoxide dismutase, glutathione peroksidase dan katalase). Absorbsi selenium yang berasal be dari pakan tidak mencukupi untuk kehidupan awal unggas dan anak harus bergantung pada cadangan mineral yang terakumulasi selama embriogenesis (Surai 2003). Konsumsi Anak Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E terhadap konsumsi anak puyuh selama 2 minggu dapat dilihat pada Gambar 24. Ratan konsumsi anak puyuh selama dua minggu berkisar antara 34.93 – 40.19 gram/ekor. 42
40.19a±5.64 39.98a±2.10
Konsumsi (gram/ekor)
40
38.05a±4.44 37.75a±3.29
37.75a±4.72
38
37.50a±1.86
37.16a±4.15
36.70a±5.00 34.93a±4.10 4.10
36 34 32 T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
Keterangan :Huruf superskrip yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 24 Konsumsi ransum anak selama dua minggu dengan pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E.
Hasil analisis uji statistik (Lampiran 11) menunjukkan bahwa pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E terhadap konsumsi
anak tidak
berpengaruh nyata. Konsumsi ransum paling rendah sebesar 34.93 gram/ekor diperoleh dari perlakuan T7 (Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) dan paling tinggi diperoleh dari perlakuan T4 (Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm).
Besarnya konsumsi ransum anak puyuh selama dua minggu
pemeliharaan disebabkan beberapa faktor, seperti faktor lingkungan (eksternal) maupun internal tubuh puyuh. Faktor eksternal dapat berupa stres panas yang dapat menurunkan konsumsi sedangkan internal berupa pengaturan fungsi fisiologis tubuh yang berpengaruh terhadap konsumsi, misalnya enzim pencernaan.
Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E dapat
mencegah stres pada ternak sehingga ternak tetap mengkonsumsi pakan dengan baik.
Rendahnya konsumsi menunjukkan bahwa efisiensi dalam penggunaan
ransum, hal ini disebabkan selenium dan vitamin E berperan melindungi jaringan pankreas dari kerusakan oksidatif, sehingga pankreas dapat berfungsi dengan baik menghasilkan enzim-enzim pencernaan yang akan meningkatkan daya cerna nutrisi (MacPherson 1994). Meningkatnya daya cerna akan mempercepat proses metabolisme nutrisi sehingga konsumsi ternak meningkat, akan tetapi hal ini tidak menunjukkan bahwa konsumsi yang tinggi menghasilkan performa yang lebih baik, karena tidak efisien dalam mengkonsumsi ransum. Pertambahan Bobot Badan (PBB) Rataan pertambahan berat badan dalam penelitian pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E selama dua minggu berkisar antara 36.1 – 39.38 gram/ekor (Gambar 25). Hasil analisis uji statistik menunjukkan bahwa pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan (Lampiran 12). Pertambahan bobot badan tertinggi diperoleh dari perlakuan T7 (Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) dan pertambahan bobot badan terendah diperoleh dari perlakuan T2 (Se organik 0.46 pp + vitamin E 87.00 ppm.
75
39.38 a± 1.59
40
38.52a ±3.18
Bobot badan anak (gram/ekor)
39 38
38.03a ± 2.51
38.76a ± 3.69 38.55a ± 1.89
38.51a ±3.83 37.43a ± 2.17
37.43a 2.40
37
36.21a ± 4.31
36 35 34 T0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
T7
T8
Perlakuan
Keterangan :Huruf superskrip yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. To T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8
: : : : : : : : :
Ransum komersial Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se inorganik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.46 ppm + vitamin E 87.00 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm Ransum + Se organik 0.92 ppm + vitamin E 87.00 ppm
Gambar 25 Pertambahan bobot badan anak selama dua minggu dengan pengkayaan selenium organik, inorganik inor dan vitamin E. Walaupun pada penelitian ini tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata namun menunjukkan bahwa selenium organik memberikan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi (Perlakuan T7). Hal ini disebabkan kandungan selenium induk yang tinggi tinggi (Gambar 14, 16 dan 17). Kandungan selenium yang tinggi akan ditransfer secara efisien melalui telur dan jaringan embrio yang akan memperbaiki pertahanan antioksidan anak serta daya tahan hidup anak lebih baik. bai Adanya perbaikan status pertahanan antioksidan dan daya tahan hidup akan berpengaruh juga terhadap pertambahan bobot badan. badan. Hal ini didukung oleh apa
yang telah dilaporkan oleh Surai (2003) bahwa kelebihan selenium organik dibandingkan dengan selenium inorganik adalah dapat jaringan dalam menyediakan cadangan selenium.
berakumulasi pada
Cadangan selenoaminoacid
akan digunakan pada kondisi stres untuk sintesis selenoprotein dan pengaruh buruk radikal bebas. Transfer yang efisien dari pakan induk ketelur dan jaringan embrio yang dapat memperbaiki pertahanan antioksidan anak yang baru menetas dan meningkatkan resistensi terhadap penyakit serta memperbaiki daya tahan hidup anak. Disamping itu juga selenium mempunyai peran penting dalam metabolisme tiroksin sebagai bagian dari enzim iodothyronine deiodinase. Enzim deiodinase untuk konversi tiroksin (T4) ke triiodothyronine (T3) membutuhkan selenium (Bredbenner et al. 2009). Tiroksin berperan untuk pertumbuhan, sehingga pada penelitian ini menunjukkan pertambahan bobot badan lebih tinggi pada perlakuan T7 karena ketersediaan selenium untuk mendukung proses reaksi tersebut. Tahap III : Pembuatan Juice Telur Uji Mikrobiologi Telur Uji mikrobiologi yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengamatan terhadap total plate count (TPC) dari telur puyuh dan dilanjutkan lagi dengan pengujian
yang
lebih
spesifik
terhadap
Coliform
Count,
Salmonella,
Pseudomonas, Escherichia coli serta Staphylococcus pada telur yang menjadi pilihan untuk dijadikan sebagai bahan utama pembuatan juice kaya selenium (Perlakuan T7 : Se organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm). Pengujian ini perlu dilakukan karena telur utuh (dengan kulit) akan dijadikan komponen utama pembuat juice, dimana telur tersebut harus bersih dan tidak tercemar bakteri patogen baik dari jumlah koloni maupun ditinjau dari jenis bakteri yang ada pada telur. Hasil pengamatan total plate count, Salmonella, Pseudomonas, Escherichia coli serta Staphylococcus telur puyuh dapat dilihat pada Tabel 8.
77
Tabel 8 Hasil pengamatan mutu mikroba telur puyuh perlakuan T7. Exp Exp CC (10n) (10n) 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 3 1.0 1 0 0 Yolk + Albumin (Tidak dibersihkan) 4 0 0 0 0 5 2.0 1 0 0 6 0 0 0 0 1 0 0 0 0 2 0 0 0 0 Yolk + Albumin 3 0 0 0 0 (Dibersihkan dengan air hangat dan 4 0 0 0 0 alcohol 70%) 5 0 0 0 0 6 0 0 0 0 1 2 3 Egg Shell (Tidak dibersihkan) 4 5 6 1 2 Egg Shell 3 (Dibersihkan dengan air hangat dan 4 alcohol 70%) 5 6 Hasil Analisa Laboratorium Animal Health PT.CPI (2008) Source
Ulangan
TPC
S
P
EC
ST
N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N N
N N N N N N N N N N N N -
N N N N N N N N N N N N -
N N N N N N N N N N N N -
Keterangan : TPC: Total Plate Count, CC: Coliform Count, S: Salmonella, P: Pseudomonas, EC: Escherichia coli, ST: Staphylococcus, N : Negatif, ─ : Tidak diamati. Hasil pengamatan Total Plate Count (Tabel 8) menunjukkan bahwa telur yang dicuci dengan air hangat dan alkohol 70 % tidak ditemukan sejumlah mikroba berdasarkan uji Total Plate Count, dibandingkan dengan telur yang tidak dibersihkan dengan air hangat dan alkohol 70. SNI 01 – 6366 – 2000
(SNI
bahan asal hewan, telur segar) menetapkan bahwa telur yang layak dikonsumsi dengan batas maksimun total plate count 1 x 105 CFU/gram. Pada penelitian ini diharapkan tidak ditemukan sejumlah bakteri karena telur akan digunakan sebagai bahan baku juice termasuk kulit telur.
78
Pengujian Total Plate Count menunjukkan (Tabel 8) telur yang dicuci dengan air hangat dan alkohol 70 % efektif membersihkan telur yang akan dijadikan sebagai komponen juice telur. Uji Coliform count (Tabel 8) menunjukkan tidak ditemukan bakteri Coliform pada telur puyuh yang diuji dari kedua metode pembersihan telur. SNI 01 – 6366 – 2000 (SNI bahan asal hewan, telur segar)
memberikan batas
maksimun untuk telur dilihat dari Coliform count sebesar <1 x 102 CFU/gram. Coliform dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan gangguan pencernaan, oleh karena itu diharapkan telur tidak tercemar, mengingat telur akan digunakan sebagai bahan baku juice termasuk kulit telur. Uji Salmonella pada telur (Tabel 8) menunjukkan bahwa pada telur uji tidak ditemukan Salmonella, hal ini sesuai dengan SNI 01 – 6366 – 2000 (SNI bahan asal hewan, telur segar) bahwa Salmonella pada telur harus negatif. Salmonella dapat menyebabkan penyakit seperti diare akibat dari enterotoksin yang dihasilkan (Zein 2004). Uji terhadap Pseudomonas juga menunjukkan hasil negatif. Hasil ini menguatkan keamanan mikrobiologis telur sebagai bahan baku produk pangan. Uji Escherichia coli (Tabel 8) menunjukkan bahwa pada telur puyuh tidak ditemukan adanya Escherichia coli. Berdasarkan SNI 01 – 6366 – 2000 (SNI bahan asal hewan, telur segar) bahwa batas maksimun Escherichia coli adalah 1 x 101 CFU/gram. Mengingat telur akan dijadikan bahan baku juice termasuk kulit telur maka diinginkan agar telur bebas Escherichia coli. Hasil Uji Staphylococcus pada Tabel 8 menunjukkan bahwa telur puyuh tidak mengandung bakteri tersebut. SNI 01 – 6366 – 2000 (SNI bahan asal hewan, telur segar) memberikan batas maksimun bahwa untuk telur
< 1 x 102
CFU/gram, namun kriteria ini dapat digunakan mengingat telur akan
dijadikan
bahan baku juice termasuk kulit telur. Telur yang dibersihkan dengan air hangat dan alkohol 70 % dapat menekan keberadaan mikroba-mikroba yang tidak dikehendaki.
79
Uji Mikrobiologi Juice Telur Hasil uji mikrobiologi juice dari telur kaya selenium dengan menggunakan metode Total Plate Count (TPC) dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Total plate count (TPC) juice telur Kode Juice
Total Place Count (CFU/ml)
101 121
1.2 x 104 <2.5
242 434
1.4 x 101 <2.5
565
1.4 x 101
Keterangan : Hasil Analisa Laboratorium Ilmu Pangan – IPB (2008) Keterangan :
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Hasil pengamatan Total Plate Count (Tabel 9) Juice telur berkisar antara < 2.5 – 1.2 x 104 CFU/ml. Kode juice 121, kode juice 434 memiliki Total Plate Count yang paling rendah (<2.5 CFU/ml) dan yang paling tinggi juice dengan kode 101 (1.2 x 104). Kode juice 121, 242, 434 dan 565 memiliki total plate count yang rendah dibandingkan dengan kode juice 101 mungkin disebabkan adanya tambahan dari bahan-bahan lain, terutama dari white grape dan wine. Kandungan alkohol dari bahan tersebut yang menjadi penyebab rendahnya total plate count dari juice yang mengandung bahan-bahan tersebut, karena alkohol dan formula yang mengandung alkohol 70 % menurunkan E. Coli dan rotavirus (Ansari et al. 1989). Alkohol efektif membunuh bakteri dan cendawan, tetapi tidak dapat merusak spora bakteri.
80
Mekanisme kerja alkohol adalah merusak protein, mengganggu membran dan melarutkan lemak (Tortora et al. 1998). Hasil total plate count dari semua juice masih dapat diterima berdasarkan SNI 01 – 3141 – 1998 (SNI susu segar) yang mensyaratkan total kuman maksimum 106 CFU/ml. SNI 01 – 3141 – 1998 (SNI susu segar) ini digunakan karena belum ada standar SNI khusus juice telur. Komposisi Juice Telur Hasil analisa komposisi juice telur dari lima formula juice telur, masingmasing memiliki kandungan nutrisi yang berbeda, hal ini disebabkan karena perbedaan komponen penyusun dari masing-masing juice telur. Komposisi nutrisi dari berbagai formula juice dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Komposisi nutrisi juice telur Nutrisi
No
Kode Juice
Kadar Air (%)
1 2 3 4 5
101 121 242 434 565
74.08 60.30 59.04 63.66 64.64
Abu (% bk) 4.59 1.51 1.56 1.84 2.06
Lemak (% bk) 38.93 5.21 5.03 9.66 12.30
Protein (% bk) 49.77 13.50 14.26 15.80 18.24
KH (% bk) 6.71 79.77 79.15 72.70 67.39
Hasil Analisa Laboratorium Ilmu Pangan – IPB (2008) Keterangan :
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Kadar Air Kadar air yang diperoleh dari juice telur berkisar antara 59.04 – 74.08 %, formula juice telur kode 101 memiliki kandungan air yang paling tinggi (74.08 %) dan yang paling rendah formula juice telur kode 242 (59.04 %). Dalam bahan
81
makanan, air merupakan komponen yang penting karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan (Winarno 1992). Formula juice telur yang mengandung white grape (Kode formula 121 dan 242) kadar air lebih rendah dibandingkan dengan formula juice telur yang mengandung red wine (Kode formula 434 dan 565). Perbedaan ini disebabkan karena kandungan air white grape lebih rendah dari red wine sebagai komponen penyusun juice. White grape memiliki kandungan kadar air sebesar 86.2 gram per 100 gram sedangkan red wine memiliki kandungan kadar air 88.5 per 100 gram (AnneCollins Weight Loss Program 2008 , Food Standards 2006). Kadar Abu Kadar abu juice telur berkisar antara 1.51% - 4.59%, formula juice telur kode 101 mengandung kadar abu paling tinggi (4.59 % bk) dan yang paling rendah formula juice telur kode 121 (1.51 % bk). Pada proses pengolahan pada umumnya mineral tidak terpengaruh (Muchtadi 1997). Tingginya kadar abu juice telur kode 101 dibandingkan dengan formula lainnya disebabkan komponen penyusun juice telur kode 101 semua dari telur sebagai komponen utama penyusun juice, diketahui bahwa telur kaya dengan makro dan mikro mineral (Riana 2000). Formula juice telur yang mengandung red wine (Kode formula 434 dan 565) memiliki kandungan kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan dengan formula juice telur yang mengandung white grape (Kode formula 121 dan 242), ini disebabkan karena red wine memiliki kandungan mineral yang lebih tinggi dibandingkan dengan white grape (AnneCollins Weight Loss Program 2008 , Food Standards 2006). Kadar Lemak Kandungan kadar lemak juice telur berkisar antara 5.03% - 38.93%, kode formula 101 memiliki kandungan kadar lemak yang paling tinggi dibandingkan dengan formula juice 121, 242, 434 dan 565. Tingginya kandungan lemak juice telur kode formula 101 karena terbuat dari telur tanpa tambahan komponen lain, di mana telur kaya dengan asam-asam lemak. Telur puyuh mengandung lemak
82
13.05 mg per 100 gram (Riana 2000). Hasil kandungan lemak yang diperoleh dari masing-masing formula juice telur dapat dipakai untuk menghitung energi yang dapat diperoleh dari juice telur. Kadar Protein Kandungan kadar protein juice telur berkisar antara 13.50% - 49.77%. Formula juice telur kode
formula 101 mengandung protein yang tertinggi.
Tingginya kadar protein formula juice telur kode 101 karena terbuat dari telur secara tanpa adanya tambahan komponen lain. Telur merupakan sumber protein yang tinggi, yakni sebesar 663 mg per 100 gram (Riana 2000). Hasil kandungan protein yang diperoleh dari masing-masing formula juice telur dapat dipakai untuk menghitung energi yang dapat diperoleh dari juice telur. Kadar Karbohidrat Kadar karbohidrat juice telur berkisar antara 6.71 % - 79.77 % , formula juice telur kode 121 memiliki kandungan karbohidrat yang paling tinggi yaitu sebesar 79.77 % dan yang terendah formula juice telur kode 101. Rendahnya kandungan karbohidrat dari juice telur formula kode 101 disebabkan karena tidak adanya tambahan komponen lain yang mengandung karbohidrat. Hal ini terlihat dengan jelas dengan formula juice telur yang mengandung madu (Formula juice telur kode 121, 242, 434 dan 565) .Madu mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sebesar 76 % (Suharjo et al. 1985). Tambahan karbohidrat diperoleh dari penambahan komponen white grape, karena itu formula juice telur yang mengandung white grape (Formula juice telur kode 121 dan 242 ) kandungan karbohidratnya lebih tinggi dari formula juice telur yang mengandung red wine (formula juice telur kode 434 dan 565). White grape mengandung karbohidrat 13.7 gram (Lampiran 21) sedangkan untuk red wine tidak ada data (AnneCollins Wight Loss Program 2008 , Food Standards 2006). Hasil kandungan karbohidrat yang diperoleh dari masing-masing formula juice telur dapat dipakai untuk menghitung energi yang dapat diperoleh dari juice telur.
83
Kekentalan Juice Telur Kekentalan merupakan gaya gesekan antara molekul-molekul molekul molekul yang menyusun suatu fluida. Molekul-molekul Molekul molekul yang membentuk suatu fluida saling gesek-menggesek menggesek ketika fluida mengalir. Hasil pengukuran kekentalan juice telur dari berbagai formula berkisar antara 12.50 – 21.00 cP dapat dilihat pada Gambar 26 . 25.00
18.50
21.00
18.00
Kekentalan (cP)
20.00 15.00
18.00
12.50
10.00 5.00 0.00 101
121
242
434
565
Kode Juice Telur Keterangan :
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Gambar 26 Hasil pengukuran viskositas dari masing-masing masing formula juice telur Kekentalan tertinggi diperoleh pada juice telur dengan formula kode 242 dan yang terendah formula juice telur dengan kode 101. Tingginya kekentalan formulasi Juice telur 121, 121 242, 434 dan 565 dibandingkan dengan juice telur yang hanya mengandung telur (formula kode 101) dapat dijelaskan dari komposisi formula yang mengandung madu. Madu memiliki viskositas sebesar 3.86 Pa s
(3860 Cp) pada temperatur 24.8 ºC (Steffe 1983). Sedangkan telur memiliki viskositas sebesar 20 Cp (temperatur 5ºC), 7 Cp (temperatur 60ºC), (Stadelman dan Cotteril 1995). Hal inilah yang membuat formula juice yang mengandung madu memiliki kekentalan yang lebih tinggi. Aktivitas Antioksidan Hasil pengukuran aktivitas antioksidan komposisi penyusun juice telur dengan menggunakan metode DPPH (1,1 – diphnyl-2picrylhydrazil radicalscavenging) dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Aktivitas antioksidan komponen penyusun juice telur No Nama bahan Aktivitas Antioksidan (µgAEA/ml) 1 Telur 961.13 2 Lemon 496.18 3 Madu 0 4 White grape 180.58 Red Wine 1809.18 5 Hasil analisa Laboratorium Ilmu Pangan – IPB (2009) Pemilihan penggunaan metode penangkapan senyawa radikal bebas stabil DPPH karena metode ini dapat mengukur aktivitas antioksidan semua jenis substrat dalam sampel, baik substrat yang bersifat hidrofilik maupun lipolifik sehingga diharapkan dapat menghasilkan hasil pengukuran yang lebih baik dibandingkan metode pengukuran aktivitas antioksidan lainnya (Vankar et al. 2006). Hasil pengukuran aktivitas antioksidan berbagai bahan penyusun juice telur (Tabel 11) berkisar antara 0 – 1809.18 µgAEA/ml.
Aktivitas antioksidan
tertinggi diperoleh dari red wine dan terendah adalah madu. Hasil pengukuran aktivitas antioksidan komponen penyusun juice digunakan untuk menghitung aktivitas antioksidan berdasarkan formula juice telur kaya selenium dapat dilihat pada Gambar 27.
85
A.Aantioksidan juice (µgAEA/ml)
961.13
1,000.00
753.50 509.21
711.10
548.24
500.00 0.00 101
121
242
434
565
Kode Juice Telur
Keterangan :
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Gambar 27 Hasil perhitungan erhitungan aktivitas antioksidan berdasarkan formula dan komponen penyusun juice. Aktivitas antioksidan berdasarkan hasil perhitungan komponen penyusun dan formula juice telur berkisar antara 509.21 – 961.13 µgAEA/ml (Gambar 227). Formula juice telur kode 101 memiliki nilai aktivitas antioksidan yang paling tinggi dan yang paling rendah formula juice telur kode 121. Formula juice telur kode 101 101 memiliki aktivitas antioksidan yang paling tinggi disebabkan karena komponen penyusunnya hanya dari telur. Telur tersebut berasal dari burung puyuh yang pakannya telah diperkaya dengan antioksidan (selenium dan vitamin E), sehingga aktivitas antioksidan an didalam telur terukur cukup tinggi (lihat Tabel 11) namun Surai et al (2006) menyatakan konsentrasi Selenium
di
suplementasi
dalam
komponen-komponen
telur meningkat sebagai hasil
selenium didalam pakan. Selanjutnya Surai (2003) mengatakan
bahwa konsumsi nutrisi antioksidan pada pakan dapat memelihara status antioksidan alami ternak ternak. Formula juice telur yang mengandung red wine (formula kode 434 dan 565) terhitung memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan juice telur yang mengandung white grape (formula kode 121 dan 242) hal ini dapat dipahami mengingat aktivitas antioksidan red wine lebih tinggi tinggi dari white grape. Kondo et al (1999) menyatakan bahwa red wine memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dari rose dan white wine. Selanjutnya Skrede dan Wrostald (2002) menyatakan bahwa tingginya aktivitas antioksidan karena tingginya konsentrasi polyphenol seperti anthocyanin dan flavanol dalam red wine. Hal inilah yang mengakibatkan juice telur yang mengandung red wine memiliki aktivitas antioksidan tinggi. Hasil perhitungan aktivitas antioksidan (Gambar 27) yang diperoleh jika dibandingkan
dengan
aktivitas
antioksidan
dari
beberapa
minuman
fungsional seperti minuman segar rasa lemon (900.11 ppm AEAC), minuman jahe (379.56 ppm AEAC), minuman temulawak (337.33 ppm AEAC), minuman kunyit asam (366.78 ppm AEAC), minuman segar berbasis Zingiberaceae (439.56 ppm AEAC) dan minuman segar rasa jeruk sebesar 391.78 ppm AEAC (Herold 2007) masih masuk dalam kisaran memiliki kandungan aktivitas antioksidan yang cukup baik.
Sebetulnya aktivitas antioksidan akan lebih akurat dengan
pengukuran langsung pada produk, hingga penelitian berakhir belum didapatkan cara pengukuran yang tepat. Kekeruhan produk mempersulit pengukuran dengan spektrometer, perlu dilanjutkan dengan mencari cara pengukuran aktivitas antioksidan yang lebih tepat. Kandungan Selenium Juice Telur Hasil pengukuran kandungan selenium dari berbagai komponenkomponen penyusun juice telur dapat dilihat pada Tabel 12 kandungan selenium berkisar antara 10.51 – 33.77 µg/100 gram. Tabel 12 Kandungan selenium komponen penyusun juice telur No
Nama bahan
Selenium (µg/100grm)
1 Telur 2 Lemon 3 Madu 4 White grape 5 Red Wine Hasil Analisa Laboratorium Pasca Panen (2009)
33.77 10.72 20.37 10.51 12.63
87
Kandungan
selenium
tertinggi juice terdapat pada telur saja (Kode
101) yaitu sebesar 33.77 µg/100 gram. gram Tingginya kandungan Se dari kontribusi telur yang diperoleh dari penambahan selenium pada ransum burung puyuh yang telurnya menyatakan
diambil
sebagai
konsentrasi
bahan
utama
juice. Surai et al (2006)
selenium di dalam komponen-komponen komponen komponen telur
meningkat sebagai hasil suplementasi selenium didalam pakan. Kandungan selenium telur ini ni lebih tinggi dari kandungan rata rata-rata selenium elenium telur komersial yaitu sebesar 27.35 µg/100 gram g (Lampiran 23). Selanjutnya hasil perhitungan kandungan selenium juice telur berdasarkan formula juice dapat dilihat pada Gambar 28. 33.77
35.00
Kandungan Se (µg/100 gram)
30.00
23.96
25.12
24.27
25.33
25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 101
121
242
434
565
Kode Juice Telur
Keterangan :
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Gambar 28. Hasil perhitungan kandungan selenium juice berdasarkan formula dan komponen masing-masing masing penyusun juice telur.
Rata-rata kandungan selenium juice telur berkisar antara 23.96 µg – 33.77 µg/100g berdasarkan hasil perhitungan komponen penyusun dan formula. Kandungan selenium yang tertinggi diperoleh dari juice telur formula kode 101, sedangkan pada formula juice telur hampir sama. Tingginya kandungan selenium juice kode 101 karena tidak ada tambahan komponen bahan lain. Kandungan selenium juice walaupun dalam jumlah kisaran antara 23.96 µg – 33.77 µg/100g menunjukkan bahwa juice tersebut dapat digunakan sebagai sumber selenium didalam tubuh. RDA merekomendasikan kebutuhan selenium sebesar 70 µg/day (Bredbenner et al. 2009). Jika dipersentasekan berdasarkan Recomendation Daily Allowance (RDA) maka dengan mengkonsumsi salah satu juice telur dari kelima formula sebesar 100 gram, maka akan diperoleh selenium sebesar 34.22 – 48.24 % dari kebutuhan. Selenium merupakan mikronutrien esensial bagi hewan dan manusia, menyusun asam amino selenosistin dan selenometionin. Selain dari itu selenium merupakan penyusun enzim tertentu serta selenium sangat diperlukan pada fungsi sel untuk semua mahluk hidup. Selenium berfungsi sebagai kofaktor untuk enzim yang terlibat dalam oksidasi asam lemak dan penghancuran asam amino, mampu melakukan detoksifikasi melalui penghambatan oksidasi lemak, khususnya oleh enzim GSH – Px dan bahkan juga mampu menghambat perkembangan kanker (Djujic et al. 2005). Penerimaan terhadap Atribut Sensori Juice Telur a. Uji Hedonik terhadap Warna Juice Telur Rataan nilai kesukaan terhadap warna juice telur berkisar antara 3.08 – 4.01 untuk 5 skala kisaran kesukaan yang berarti dari segi warna, tingkat kesukaan panelis terhadap juice telur adalah netral sampai suka. Hasil uji hedonik terhadap warna juice telur dari beberapa formula dapat dilihat pada gambar 29.
89
Tingkat kesukaan terhadap warna
6.00
3.33a
3.72b
4.01c
121
242
3.24a
4.00
3.08a
2.00 0.00 101
434
565
Kode Juice
Keterangan : skala hedonik (1:sangat tidak suka,2:tidak suka,2:t suka, 3:netral, 4: suka, 5: sangat angat suka).
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Gambar 29 Skor rata-rata rata penerimaan panelis terhadap warna juice telur Hasil analisis sidik ragam menunjukkan warna kelima juice telur terdapat perbedaan antar juice pada taraf 5 % (P<0.05).
Hasil sil uji
lanjut Duncan
(Lampiran 15) formula juice telur kode 101, kode 434 dan kode 565
tidak
berbeda nyata pada selang kepercayan 95%. 95 Selanjutnya sampel 121 berbeda nyata dengan sampel 101, 434, 565 dan 121, 121 demikian pula dengan sampel 242 berbeda nyata dengan sampel sampe 101,434,565 dan 121. Skor rata-rata rata penerimaan warna terhadap juice telur tertinggi dimiliki oleh juice telur formula 242 sebesar 4.01 dan terendah dimiliki juice telur formula 565 sebesar 3.08.
Melihat hasil skor ini menunjukkan menunj bahwa formula juice yang
mengandung white grape tingkat penerimaan panelis terhadap warna lebih tinggi dibandingkan dengan formula juice yang mengandung red wine. Penambahan white grape meningkatkan skor kesukaan panelis terhadap warna juice telur (formula kode 121 dan 242), hal ini mungkin disebabkan karena pengaruh warna dari white grape yang lebih cerah. Penambahan enambahan red wine (formula kode 434 dan 565) tidak meningkatkan skor tingkat kesukaan panelis
terhadap warna juice telur, hal ini mungkin disebabkan oleh warna red wine yang lebih gelap, sehingga mempengaruhi warna juice telur setelah dicampur. Warna merupakan sifat sensoris pertama yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Warna bahan yang menyimpang dari normal atau tidak sesuai dengan selera, maka bahan tersebut tidak dipilih untuk dikonsumsi, walaupun nilai gizi dan faktor lainnya normal (Sukarni (S dan Kusno 1980). b. Uji Hedonik terhadap erhadap Aroma Juice Kaya Selenium Aroma adalah bau dari produk yang telah terdeteksi jika menguap melewati hidung dirasakan oleh pencium sistem (Meilgaard et al.. 1999). Sistem olfaktori pada indera penciuman manusia akan memberikan respon pada sampel yang diuji, kemudian signal akan dikirim ke sistem syaraf dan diteruskan ke otak. Setelah otak sebagai pusat sistem syaraf memberikan signal balik, maka indera kitaa akan memberi penilaian apakah menyukai atau tidak menyukai aroma yang ditimbulkan sampel. Hasil uji hedonik terhadap aroma juice telur dari kelima
Tingkat kesukaan terhadap aroma
formula dapat dilihat pada gambar 30. 3 5.00
3.47b
4.04c
3.28b
3.34b
2.01a
0.00 101
121
242
434
565
Kode Juice
Keterangan : skala hedonik (1:sangat angat tidak suka,2:tidak suka,2: suka, 3:netral, 4: suka, 5: sangat angat suka).
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Gambar 30 Skor rata-rata rata penerimaan panelis terhadap aroma juice telur
Rataan nilai kesukaan terhadap aroma juice telur berkisar antara 2.01 – 4.04 untuk skala 5 dan secara deskriptif dapat diartikan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma juice telur tidak suka sampai suka. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa aroma kelima juice telur terdapat perbedaan antar juice pada taraf 5 % (P<0.05).
Hasil uji
lanjut Duncan (Lampiran 15)
menunjukkan aroma formula juice telur kode 101 berbeda dengan juice telur kode 434, kode 565 dan kode 121 pada selang kepercayan 95%. Selanjutnya aroma juice kode 242 berbeda dengan aroma juice kode 101, kode 434, kode 565 dan kode 121 . Aroma juice telur yang tidak ada campuran komponen lain (formula kode 101), skor kesukaan panelis terhadap aroma lebih rendah.
Hal ini mungkin
disebabkan oleh aroma amis dari telur. Selanjutnya aroma juice telur yang mengandung white grape 10 % (kode 242) skor kesukaan panelis lebih tinggi dibandingkan dengan skor kesukaan panelis terhadap aroma juice telur yang mengandung white grape 15 % (kode 121) maupun juice telur yang mengandung red wine (kode 434 dan kode 565). Hal ini mungkin dominan aroma fruity dari white grape yang dapat menutup aroma amis dari telur. Sementara itu aroma red wine yang khas kurang diminati walau pada jumlah lebih banyak juga tidak memberikan peningkatan penerimaan. c. Uji Hedonik terhadap Rasa Juice Telur Rasa dapat dinilai dengan adanya rangsangan kimiawi oleh indera pencicip. Rasa produk merupakan faktor kedua yang mempengaruhi cita rasa suatu produk setelah penampilan produk itu sendiri. Rasa berbeda dengan dengan aroma atau bau dan lebih banyak melibatkan panca indera lidah (cecapan). Penginderaan cecapan dapat dibagi menjadi empat cecapan utama yaitu asin, asam, manis dan pahit (Winarno 1997). Hasil uji hedonik terhadap rasa juice telur dari kelima formula dapat dilihat pada Gambar 31.
92
Tingkat kesukaan terhadap rasa
5.00
3.78c
4.04c
4.00 3.00
3.46b
3.47b
1.77a
2.00 1.00 0.00 101
121
242
434
565
Kode Juice
Keterangan : skala hedonik (1:sangat angat tidak suka,2:tidak suka,2: suka, 3:netral, 4: suka, 5: sangat angat suka).
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Gambar 31 Skor rata-rata rata penerimaan panelis terhadap rasa juice telur Rataan skor kesukaan terhadap rasa juice telur berkisar antara 1. 77 sampai 4.03, yang berarti bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa juice telur berkisar tidak suka sampai suka. Hasil asil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa rasa kelima juice telur terdapat perbedaan antar juice pada taraf 5 % (P<0.05). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 15) menunjukkan rasa formula juice telur kode 101 berbeda dengan rasa juice telur kode 434, kode 565, kode 121 dan kode 242 pada selang kepercayan 95%. Selanjutnya rasa juice kode 242 dan kode 121 berbeda dengan rasa juice kode 434 dan kode 565 . Juice telur yang mendapat tambahan white grape memiliki skor tingkat kesukaan rasa yang tinggi (formula kode 121 dan kode 242)
dibandingkan
dengan juice telur yang ditambahkan red wine (formula kode 434 dan kode 565). Juice telur yang g mendapatkan tambahan red wine (formula kode 434 dan kode 565) skor tingkat kesukaan rasa masih lebih tinggi dibandingkan dengan juice yang hanya terdiri dari telur (formula kode 101).
Rasa manis white grape diduga penyebab tingginya skor tingkat kesukaa kesukaan panelis terhadap rasa juice kode 121 dan kode 242. Rasa sepat dari red wine diduga sebagai penyebab rendahnya skor tingkat kesukaan panelis terhadap rasa juice kode 434 dan kode 565, walaupun jauh lebih tinggi daripada juice kode 101 yang hanya terdirii dari telur telur. Penambahan white grape,, madu, ataupun red wine meningkatkan kesukaan panelis terhadap rasa juice telur. d. Uji Hedonik terhadap erhadap Kekentalan Juice Telur Rataan skor tingkat kesukaan terhadap kekentalan juice telur bberkisar antara 2.84 sampai 4.05 yang berarti tingkat kesukaan panelis terhadap kekentalan juice telur berkisar antara tidak suka sampai suka.. Tingkat kesukaan panelis terhadap kekentalan semua formula juice telur dapat dilihat pada Gambar 32.
Tingkat kesukaan terhadap kekentalan
5.00 4.00
2.84a
3.53b
4.05c
3.34b
3.42b
3.00 2.00 1.00 0.00 101
121
242
434
565
Kode Juice
Keterangan : skala hedonik (1:sangat angat tidak suka,2:tidak suka,2: suka, 3:netral, 4: suka, 5: sangat angat suka).
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Gambar 32 Skor rata-rata rata penerimaan panelis terhadap kekentalan juice telur Hasil analisis sidik ragam menunjukkan kekentalan kelima juice telur terdapat perbedaan antar juice pada taraf 5 % (P<0.05). Hasil uji lanjut Duncan
(Lampiran 15) kekentalan formula juice telur kode 101 berbeda
dengan
kekentalan juice telur kode 434, kode 565 dan kode 121 pada selang kepercayan 95%. Selanjutnya kekentalan juice kode 242, berbeda dengan juice kode 434, kode 565, kode 121 dan kode 101. Skor tingkat kesukaan terhadap kekentalan juice telur tertinggi pada formula juice 242 sebesar 4.05 dan terendah pada formula juice 101 sebesar 2.84 0% : 0%). Juice telur yang mengandung white grape 10 % (kode 242) memiliki skor tingkat kesukaan panelis terhadap kekentalan lebih tinggi dibanding juice telur yang mengandung white grape 15 % (kode 121) dan red wine (kode 434 dan kode 565). Sedangkan skor tingkat kesukaan panelis terhadap kekentalan yang terendah terlihat pada juice kode 101. Berdasarkan uji kekentalan pada halaman sebelumnya nampak bahwa kekentalan produk berkorelasi nyata dengan tingkat kesukaan panelis. Dari hasil korelasi kedua uji dapat dikatakan bahwa semakin kental produk semakin kurang disukai.
Penambahan white grape sangat menurunkan kekentalan dan
meningkatkan penerimaan. e. Uji Hedonik secara Keseluruhan Juice Telur Daya terima terhadap bahan pangan dapat diukur dari mutu sensorinya, faktor yang dapat dinilai dari segi sensori meliputi rupa (warna, bentuk dan ukuran), aroma dan rasa. Rataan skor secara overall (keseluruhan) penerimaan panelis terhadap sensori dari formula juice telur berkisar antara 2.01 sampai 4.01 yang berati tingkat kesukaan panelis
secara overall
juice
telur berkisar
dari tidak suka sampai suka, hasil uji dapat dilihat pada Gambar 33. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan secara overall kelima juice telur terdapat perbedaan antar juice pada taraf 5 % (P<0.05). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 15) secara overall formula juice telur kode 101 berbeda dengan juice telur kode
434, kode 565 dan kode 121 pada selang kepercayan 95%.
Selanjutnya secara overall juice kode 242, berbeda dengan
juice kode 434,
kode 565, kode 121 dan kode 101.
95
Tingkat kesukaan secara keseluruhan
5.00
3.53b
4.00 3.00
4.01c
3.55b
3.41b
2.01a
2.00 1.00 0.00 101
121
242
434
565
Kode Juice
Keterangan : skala hedonik (1:sangat angat tidak suka,2:tidak suka,2: suka, 3: netral, 4: suka, 5: sangat angat suka).
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
Gambar 33 Skor rata-rata rata penerimaan panelis secara overall terhadap juice telur Hasil analisis sidik ragam menunjukkan secara overall kelima juice telur terdapat perbedaan antar juice pada taraf 5 % (P<0.05). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 15) secara overall formula juice telur kode 101 berbeda dengan juice telur kode
434, kode 565 dan kode 121 pada selang kepercayan 95%.
Selanjutnya secara overall juice kode 242, berbeda dengan
juice kode 434,
kode 565, kode 121 dan kode 101. Jelas terlihat bahwa skor tingkat kesukaan panelis secara overall terhadap juice yang mengandung white grape 10 % (kode kode 242) lebih tinggi dari juice dengan formula lain (formula kode 121, 434 dan 565). ).
Tingkat kesukaan
terendah pada juice telur tanpa campuran apapun (kode 101). Penambahan white grape, red wine dan madu nyata meningkatkan penerimaan juice secara keseluruhan.
Penilaian hedonik terhadap overall atribut sesuai dengan hasil hedonik masing-masing atribut yang diukur dari penilaian atribut sensori yang meliputi warna, rasa, aroma dan kekentalan. Juice yang ditambahkan dengan white grape 10 % (kode 242) memiliki skor tingkat kesukaan yang tinggi dibandingkan dengan formula juice yang lainnya. f. Uji Ranking Juice Telur Guna
mengetahui
keunggulan
masing-masing
formula
dari
segi
penerimaan sensorinya, pada penelitian ini juga dilakukan uji ranking. Uji ranking dapat dilakukan untuk mengetahui produk yang terbaik dan produk mana yang paling disukai konsumen, sehingga untuk selanjutnya jenis dan tingkat mutu produk tersebut dapat digunakan sebagai standar proses suatu produk (Meilgaard et al. 1999). Pada uji ranking panelis diminta membuat urutan dari contoh-contoh yang diuji menurut perbedaan tingkat mutu sensorik (Soekarto 1985). Hasil uji ranking dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil uji ranking juice telur Formula
Rata-rata ranking
242 121
2 2.5
434 565
2.7 2.9
101
4.9
Keterangan :
-kode 101 : telur 100% -kode 121 : telur 45% -kode 242 : telur 50% -kode 434 : telur 45% -kode 565 : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
97
Uji Friedman menunjukkan pada taraf 5 % (P<0.05) ada perbedaan ranking antar formula-formula kode juice yang diuji, oleh karena itu dilanjutkan dengan uji LSD.
Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa secara ranking
formula kode 101 (100% telur : 0% lemon : 0% madu : 0% white grape (sparkling)
berbeda
nyata dibanding
dengan keempat formula kode juice
lainnya (Lampiran 17). Urutan ranking berdasarkan nilai rata-rata ranking yang diperoleh,
dimana semakin rendah nilai rata-rata rankingnya menunjukkan
semakin tinggi rankingnya. Hasil uji ranking (Tabel 13) menunjukkan juice formula kode
242
memiliki rata-rata ranking paling kecil, diikuti secara berurutan oleh juice formula kode 121, 434, 565 dan juice formula kode 101. Secara deskriptif juice dengan formula kode
242 menempati ranking pertama,
juice formula kode 121
menempati ranking kedua, juice formula kode 434 menempati ranking ketiga, juice formula kode 565 menempati ranking keempat dan juice formula kode 101 menempati ranking kelima.
98
PEMBAHASAN UMUM Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E didalam ransum puyuh memperlihatkan peningkatan performans burung puyuh. Umur waktu bertelur menjadi lebih cepat, produksi telur meningkat, efisiensi pakan meningkat, persentase hen day meningkat. Selain daripada itu hasil kandungan antioksidan berupa selenium daging, telur meningkat demikian pula vitamin E kuning telur. Pada penelitian ini juga mengakibatkan terjadinya peningkatan vitamin E kuning telur. Selenium
merupakan bagian
dari
enzim
antioksidan
gluthatione
peroksidase (GSH – Px) memusnahkan radikal-radikal bebas dari membran sel, sehingga tidak terjadi kerusakan struktur dan fungsi membran (Surai 2000). Perbedaan bentuk selenium yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa selenium organik menghasilkan performans burung puyuh yang lebih baik dibandingkan dengan selenium dalam bentuk inorganik secara keseluruhan. Induk puyuh yang mendapat ransum yang diperkaya dengan selenium organik, inorganik dan vitamin E menghasilkan performans anak yang lebih baik. Performans ini meliputi fertilitas, daya tetas, bobot tetas, mortalitas, konsumsi dan pertambahan berat badan. Hal ini disebabkan karena adanya transfer selenium dari induk ke telur tetas, sehingga dengan demikian akan memperbaiki performans anak. Daya tetas telur yang meningkat karena selenium dan vitamin E telur berperan memelihara perkembangan dan daya tahan hidup embrio selama proses embriogenesis.
Perkembangan embrio selama masa penetasan menghasilkan
radikal-radikal bebas. Gluthathione peroksidase (GSH – Px) dan vitamin E akan mengubah radikal-radikal bebas menjadi alkohol yang tidak berbahaya. Selenium dan vitamin E pada embrio ditranspor dari hati dan kantung kuning telur (Surai dan Spark 2001).
Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E
menurunkan angka kematian pada anak-anak puyuh selama dua minggu pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena kandungan selenium dan vitamin E pada telur meningkat sehingga berpengaruh terhadap antioksidan anak setelah menetas.
99
Sistem kekebalan tubuh anak puyuh yang baru menetas belum stabil dan tidak berfungsi sempurna oleh karena itu sistem kekebalan utama berasal dari antibodi induk yang ditrasfer melalui telur. Absorbsi selenium yang berasal dari makanan tidak mencukupi pada kehidupan awal unggas dan anak harus bergantung pada cadangan mineral yang terakumulasi selama embriogenesis (Surai 2003). Performans anak menjadi lebih baik karena kandungan selenium jaringan anak yang lebih besar mendukung sintesis berbagai selenoprotein, salah satunya adalah iodotironin deiodinase yang berperan dalam pertumbuhan sehingga pertumbuhan anak dapat berjalan dengan baik. Selanjutnya telur yang diperoleh dari pemeliharaan induk perlakuan terbaik (Perlakuan T7 : Selenium organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm) akan dijadikan sebagai komponen utama pembuat juice. Hasil uji total plate count menunjukkan pembersihan alkohol 70% dapat menihilkan total mikroba. Dari uji total plate count ini diketahui bahwa telur tanpa kupas aman secara mikrobiologis untuk dijadikan
sebagai komponen
pembuat juice telur. Uji total plate count terhadap juice yang dibuat berdasarkan kelima formula juice juga menunjukkan
produk aman dari segi mikrobiologis
walaupun tidak nol. Komposisi nutrisi yang diperoleh dari kelima formula juice telur, berdasarkan SNI susu segar (SNI 01 – 3141 – 1998) dapat dikatakan sumber nutrisi setara susu. Menurut SNI untuk kadar protein susu adalah minimal 2.7 % dan kadar lemak susu adalah minimal 3.0 %.
Hasil komposisi nutrisi yang
diperoleh dari kelima formula juice dengan standar ini, masih jauh lebih tinggi kandungan protein dan lemaknya.
Kandungan protein juice telur berkisar
antara 13.50 – 49.77% dan kandungan lemak juice telur berkisar antara 5.03 – 38.93%. Standar susu segar digunakan karena belum ada standar khusus untuk juice telur mengenai komposisi nutrisi juice telur. Hasil uji hedonik baik terhadap warna, aroma, kekentalan dan secara keseluruhan juice telur dari formula kode 242 (50% telur : 10% lemon : 30% madu : 10% white grape (sparkling) menunjukkan produk lebih dapat diterima oleh panelis dibandingkan dengan formula-formula lainnya. Sementara pada rasa,
100
terlihat bahwa penambahan white grape meningkatkan penerimaan panelis. Fenomena ini dapat dilihat pula pada uji ranking kesukaan panelis terhadap produk. Formula juice telur 242 (50% telur : 10% lemon : 30% madu : 10% white grape (sparkling) menempati ranking tertinggi dibandingkan dengan formulaformula lainnya. Dari segi aktivitas antioksidan juice telur, aktivitas antioksidan tertinggi berdasarkan perhitungan diperoleh pada formula juice telur kode 101. Demikian pula kandungan selenium juice telur berdasarkan perhitungan menunjukkan dari komponen penyusun formula juice formula kode 101 (100% telur : 0% lemon : 0% madu : 0% white grape (sparkling) memiliki kandungan selenium yang paling tinggi. Ini mungkin disebabkan karena formula juice kode 101 terdiri atas 100 % telur puyuh dan telur puyuh yang digunakan adalah telur dari puyuh dengan penambahan selenium dalam ransum induk puyuh. Juice kode 101 dari segi sensori kurang dapat diterima oleh panelis. Juice telur kode formula 242 (50% telur : 10% lemon : 30% madu : 10% white grape (sparkling) walaupun aktivitas antioksidan terhitung hanya sebesar 548.24 µgAEA/ml dan kandungan seleniumnya 25.12 µg/100 gram berdasarkan hasil perhitungan, ternyata lebih dapat diterima oleh panelis berdasarkan hasil uji hedonik dan uji ranking. Hasil uji hedonik terhadap formula ini baik pada setiap atribut maupun secara overall pada kisaran angka 4 (disukai) sehingga berpotensi untuk dikembangkan sebagai minuman kaya selenium.
101
SIMPULAN Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E nyata memberikan performa produksi, reproduksi baik dalam fertilitas, daya tetas maupun performa anak yang berbeda dari kedua bentuk selenium (Selenium organik dan selenium inorganik). Selenium organik (selenomethionine) memberikan performa secara keseluruhan lebih baik dibandingkan dengan selenium dalam bentuk inorganik (sodium selenite). Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E meningkatkan status antioksidan puyuh, karena terjadi peningkatan kadar selenium dan vitamin E serta aktivitas enzim gluthatione peroksidase dalam darah. Pengkayaan selenium organik, inorganik dan vitamin E dengan level Selenium organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm (perlakuan T7) menghasilkan performa induk, anak yang lebih baik serta kandungan selenium yang tinggi dalam telur dan daging. Kandungan selenium telur puyuh yang dihasilkan dalam penelitian ini (perlakuan T7) sebesar 33.77 µg/100 gram, sedangkan telur puyuh komersial sebesar 27.35 µg/100. Kandungan selenium telur puyuh dari penelitian ini (perlakuan T7) 23.47 % lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan selenium telur puyuh komersial. Penambahan Selenium organik 0.92 ppm + vitamin E 43.50 ppm dalam ransum perlu diaplikasikan dilapangan agar diperoleh performa burung puyuh yang lebih baik, serta kandungan selenium dalam produk (daging dan telur) lebih tinggi dan dapat dijadikan sebagai sumber tambahan selenium bagi masyarakat yang mengalami defisiensi selenium dalam tubuh. Juice telur formula 100% telur : 0% lemon : 0% madu : 0% white grape (sparkling) walaupun memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi (961.13 µgAEA/ml) berdasarkan hasil perhitungan, demikian pula kandungan selenium tinggi (33.77 µg/100 grm), namun dari segi sensori tidak disukai oleh panelis. Juice telur dengan formula 50% telur : 10% lemon : 30% madu : 10% white grape (sparkling) memiliki aktivitas antioksidan sebesar 548.24 µgAEA/ml, kandungan selenium 25.12 µg/100gram (35.88% dari RDA), secara sensori disukai dengan tingkat kesukaan hedonik paling tinggi, dan uji ranking menempati urutan pertama dibandingkan dengan formula juice telur yang lain.
102
DAFTAR PUSTAKA AnneCollins Weight Loss Program 2008. Red Wine. http://www.caloriecounter/calories-alcohol/red-wine.htm. 2009 (24 Februari 2009). Ansari SA, Sattar SA, Springthorpe VS, Wells GA, Tostowaryk W. 1989. Invivo Protocol for Testing Efficacy of Hand- Washing Agents Viruses and Bacteria: Experiments With Rotavirus and E. Coli. Appl Environ Microbiol 26(8): 1513 – 1518. Arthey D, Arshurst PR.1996. Fruit Processing. 1th Edition. The University Press, Cambridge. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Method of Analysis, 16th Ed.AOAC, Arlington, VA. Arthur JR. 1997. Non Glutathione Peroxidase Function of Selenium. In: Lyons TP and KA Jacques, editor. Biotechnology In The Feed Industry Proceedings of the 13th Annual Symposium: Nottingham UK. Nottingham University Press. Bowie A, LAJ O Neil. 2000. Oxidative Stress And Nuclear Factor-Kb Activation. A Reassessment of Evidence In The Light Of Recent Discoveries. Pharmacol 59:13-23. Bredbenner CB, Beshgetoor D, Moe G, Berning J. Nutrition. Ed8th. McGraw – Hill. New York.
2009.
Perspective in
Brigelius-Flohe R. 1999. Tissue-Specific Functions of Individual Glutathione Peroxidases. Free Rad Biol Med 27:951-965. Brody T. 1994. Nutritional Biochemistry. Toronto: Academic Press. Broek 1993. Functional Food. The Japanese Approach. IFI. ½ : 4 – 9. Burk RF. 1986. Selenium and Cancer : meaning of serum selenium levels. J Nutr 116: 1584 – 1586. Butler J, Peterson W. 1967. Effect of Various Dietary Levels Of Selenium As Selenite or Selenomethionine on Tissue Selenium Levels And Glutathione Peroxidase Activity In Rats. J Nutr 118:846-52. Cantor AH, Straw ML, Ford MJ, AJ Pescatore, MK Dunlap. 2000. Effect of Feeding Organic Selenium in Diets of Laying Hens on Egg Selenium Content. Departement of Animal Sciences, University of Kentucky, Lexington, USA.
103
Chen J, TC Cambell, J Li, R Peto. 1990. Diet, Life Style and Mortality In China. A Study of Characteristic of 65 Chinese Counties. Oxford University Press. Oxford. Combs GF, Comb SB. 1986. Absorption And Transfer. In: The Role Of Selenium In Nutrition. New York: Academic Press. Coppen, P.P 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton, editor. Rancidity in Foods. Applied Science Publishers, London. Dalton TP, Shertzer HG, Puga A. 1999. Regulation of Gen Expression By Reactive Oxigen. Annu Rev Pharmacol Toxicol 39:67-101. Dean JD 2003. Flavone : The molecular and Mechanistic Study of How a Simple Flavonoid Protects DNA from Oxidative Damage. [thesis] Department of Biochemistry and Molecular Biology, East Tennesse State University. Djujic I, Demajo M, Jozanov-Stankov O, Markovic LJ Health benefits of consuming selenium – enriched quail eggs. Proceedings 5th International Symposium On Trace Elements In Human New Perspectives : October, 13th – 15th 2005, Athens Greece. pp 662-668. Downs K.M., Hess J.B.,Bilgili S.F. 2000. Selenium Source Effect On Broiler Carcass Characteristic, Meat Quality and Drip Loss. J Appl Anim Res 18: 61-72 Ensminger ME. 1992. The Interstate Printers and Publisher Inc. Denville. Illionis. Poult Sci 71: 1163 – 1169. Esaki N, H Tanaka, S Uemura, T Suzuki, K Soda. 1981. Catalytic Action of Lmethionine-g-lyase on Selenomethionine and Selenols. J Inorg Biochem 19:407-410. Fardiaz D. 2003. Peraturan dalam Pangan Fungsional dan Pangan Suplemen. Seminar Internasional Functional Food and Neutraceuticals Based on Marine Products, 23 Agustus 2003, Bogor. Farrell PM, Robert JR. 1994. Vitamin E. In: Shils ME, James AO, Moshe S, Editor. Modern Nutrition in Health and Desease. Ed ke-8. Vol.1. US: Lea and Febiger. A Waverly Company. Fasenko GM, FE Robinson, RT Hardin, JL Wilson. 1992. Variability in Preincubation Embryonic Development In Domestic Fowl. Effects of Duration of Egg Storage Period. Poult Sci 71:2129 – 2132. Flohe L, Gunzler WA, Schock HH. 1973. Glutathione Peroxidase: A Selenoenzyme. FEBS Lett 32:132-134.
104
Food Standards 2006. Grape Juice, Sparkling, White, Non-Alcoholic. http://www.foodstandards.gov.au/monitoringandsurveillance (15 April 2009). Funk EM, Irwin MR. 1955. Hatchery Operation and Management. Ed ke-1. New York: John Viiley and Sons Inc. Gallo – Torres H. 1980. Absorption. In: Machlin LJ, editor. Vitamin E: A Comprehensive Treatise. New York: Marcel Dekker Inc. Georgievskii VI. 1982. The Physiological Role Of Microelements. In: Georgievskii VI, BN Annenkov VT, editor. Mineral Nutrition of Animal. London: Butterworths. Goldberg I. 1994. Functional Food, Designer Food, Pharmafood, Neutraceuticals. Chapman and Hall, New York. Groff JL, Sareen SG. 2005. Advance Nutrition and Human Metabolism. Student International Edition. California: Wadsworth. Halliwel B, JMC Gutteridge. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine. Third Edition. New York. Oxford University Press. Hasan SM, ME Mady, AL Cartwright, HM Sabri, Ms Mobarak. 2003. Effect of Early Restriction on Reproductive Performance In Japanese Quail (Coturnix coturnix japonica). J Poult Sci 82: 1163 – 1169. Herold. 2007. Formulasi Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq) yang Didasarkan pada Optimasi Aktivitas Antioksidan, Mutu Citarasa dan Warna. [skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hawks WC, Wilhelmsen EC, Tappel AL. 1985. Abundance And Tissue Distribution of Selenocysteine-Containing Proteins In The Rat. J Inorg Biochem 23:77-92. Huang KH and Chen WF. 1996. Effect Of Selenium on The Resistance of Chicken To Mareks Disease And Its Mode of Action. Acta Veterinaria Zootechnica Sinica 27:448-455. Ichikawa T. 1994. Functional Food In Japan. Di dalam I.Golberg (ed) 1994. Functional Food. Designer, Pharmafoods, Neutraceuticals. Chapman and Hall Inc, New York. Jadhav SS, Nimbalkar SS, Kulkarni AD. 1996. Lipid Oxidation In Biological and Food System. Di dalam : DL Madhavi, DS Despande and DK Salunkhe. Food Antioxidants : Technological, Toxicological and Health Perspectives. Marcel Dekker, Ins. New York.
105
Jaeschke H. 1995. Mechanism of Oxidant Stress-Induced Acute Tissue Injury. Biol Med 209:104-111. Kobayashi Y, Y Ogra ,KT Suzuki. 2001. Speciation and Metabolism of Selenium Injected with Se Enriched Selenite and Selenate in Rats. J Chromatog B 760 : 73 – 81. Kondo, Y. M Ohnishi, M Kawaguchi. 1999. Detection Of Lipid Peroxidation Catalysed By Chelating Iron and Measurement of Antioxidant Activity in Wine By Chemiluminesence Analyser. J Agric Food Chem 47(5) : 17811785. Kubo I, Masuoka N, Xiao P, Haraguchi H. 2002. Antioxidant Activity of Dodecyl Gallate. J Agric Food Chem 50:3533 – 3539. Lamerkabel SA. 2008. Lebah Madu Hasil Ikutan dan Ternak Harapan. Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. Ambon. Larson RA. 1997. Naturally Occuring Antioxidants. Di dalam Windono T., S Soedirman, U. Yudawati, E. Ermawaty, A. Srielitas dan TI. Erowati. Uji Peredam Radikal Bebas Terhadap 1,1 Diphenyl -2-Picrylhydrazil (DPPH) dari Ekstrak Kulit Buah dan Biji Anggur (Vitis vinifera L.) Probolinggo Biru dan Bali. Artocarpus, Surabaya. 1:34-43. Latshaw JD, Osman M. 1974. A Selenium and Vitamin E Responsive Condition in The Laying Hen. Poult Sci 53 : 1704-1708. Leeson S, Summers JD. 2001. Nutrition of the Chicken. 4th Edition. University Books. Guelph. Leng L, R Bobcek, S Kuricova, K Boldizarova, L Gresakova, Z Sevcikova, M Levkutova, M.Levkut. 2003. Comparative Metabolic and Immune Responses of Chickens Fed Diets Containing inorganic Selenium and SelPlex Organic Selenium. Proceedings of Alltech’s Nineteenth Annual Symposium : Nottingham, August 10th-12th. pp 131-138. Levander OA. 1986. Selenium. In: Mertz W, editor. Trace Elements In Human and Animal Nutrition. Ed ke-5. Vol. 2. Orlando: Academic Press Inc. Harcourt Brace Jovanovich. FL. Pg. 209-279. Lubis FN. 2007. Efektivitas Suplementasi Selenium (se) Organik dan Vitamin E dalam Ransum Komersial terhadap Reproduksi Puyuh. [tesis]. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Maddipati KR, Marnett LJ. 1987. Characterization of The Major Hydroperoxide Reducing Activity of Human Plasma. Purification and Properties of A Selenium-Dependent Glutathione Peroxidase. J Biol Chem 262:1739817403.
106
Maturin L, Peeler JT. 2001. Aerobic Plate Count. In : Bacteriological Analytical Manual Online. Centre for Food Safety and Applied Nutrition. US Food and Drug Administration. McDaniel GRJ, Brake, Eckman MK. 1981. Factors Affecting Broiler Breeder Performance. The Interrelationship Of Some Reproductive Traits. Poult Sci 60:1792-1797. McDowell LR. 1992. Mineral in Animal and Human Nutrition. California: Academic Press Inc.
San Diego
MacPherson A. 1994. Selenium, Vitamin E and Biological Oxidation. In: Recent Advances In Animal Nutrition. P.C. Garnsworthy and DJA Cole, eds. Notthingham UK. Nottingham University Press. Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rd Ed. USA : CRC Press. Milligan JR, Aguilera JA, Paglinawan RA, Ward JF. 2002. One-Electron Oxidation of Plasmid DNA By Selenium (V) Species. Int J Radiat Biol 78:359-374. Mohmond TH, Coleman TH. 1967. A Comparition of The Proportion of Component Parts of Bob White And Coturnix Eggs. Poultry sci 46: 11681171. Molyneux P. 2004. The Use of the Stable Free Radical Diphenylpicryl-Hydrazyl (DPPH) for Estimating Antiooxidant Activity. Songklanakarin J Sci Technol 26 (2): 211 – 219. Montgomery, Douglas C. 2001. York:Wiley and Sons.
Design and Analysis of Experiments. New
Mosquirea OM, OM Correa, DC Buitrago, J Nino. 2007. Antioxidant Activity Of Twenty Five Plants From Colombian Biodiversity. Men Inst Oswaldo Cruz 102 (5) : 631 – 634. Mufti M. 1997. Dampak Fotoregulasi dan Tingkat Protein Ransum Selama Periode Pertumbuhan Terhadap Kinerja Burung Puyuh Petelur. [tesis]. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muchtadi D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. PAU Pangan dan Gizi-IPB, Bogor. Muchtadi D. Potensi Pangan Tradisional Sebagai Pangan Fungsional dan Suplemen. Di dalam L Nuraida dan RD Hariyadi (Eds). Pangan Tradisional. Pusat Kajian Makanan Tradisional. 2001. IPB.
107
Muchtadi TR, Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nagy S, Shaw PE. 1990. Factor Affecting The Flavour of Citrus Fruit. Di dalam I.D. Morton dan A.J. Macleod (Eds). Food Flavours. Part C. The Flavour of Fruits. New York :Elseiver. Nakatani, N. 1992. Natural Antioxidants From Spices. Di dalam : M.T. Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health. American Society, Washington DC. North OM, Be11 DD. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Fourth Edition. New York:An Avi Book Publ. [NRC] National Research Council. 1994. Nutrient Requirements of Poultry. 9th Rev.Ed. Washinton DC. National Academy Press. Nur H. 2001. Peranan Konsentrasi Vitamin E dan Selenium dalam Ransum terhadap Reproduksi Puyuh. [Disertasi]. Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Oguni I. 1996. Green Tea and Human Health. Japan Tea Exporter's Association. Shizuoka Japan. Ohkawa H, Ohishi N, Yagi K. 1979. Assays for lipid peroxides in animal tissues by thiobarbituric acid reaction. Anal Biochem 95:351 – 358. Oliveri O, Girelli D, Stanzial AM, Rossi L, Bassi A, Corrocher. 1996. Selenium, Zinc, and Thyroid Hormones in Healthy Subjects: low T3/T4 ration in the elderly is related to impaired Se status. Biological Trace Element Research 51:31-41. Pappas AC, Acamovic T, Sparks NHC, Surai PF, McDevitt RM. 2005. Effect of Supplementing Broiler Breeder Diets With Organic Selenium and Polyunsaturated Fatty Acids on Egg Quality During Storage. Poult Sci 84:898-902. Paton ND, Cantor AH, Pescatore AJ, Ford MJ, Smith CA. 2000. Effect of Dietary Selenium Source and Level of Inclusion on Selenium Content of Incubated Eggs. Poult Sci 79:40-48. Persson-Moschos, MG Alfthan, B Akesson. 1998. Plasma Selenoprotein P Levels of Healthy Males In Different Selenium Status After Oral Supplementation With Different Form of Selenium. Eur J Clin Nutr 52 : 363-367. Piliang WG. 2006. Nutrisi Vitamin. Vol 2. Bogor. IPB Press.
108
Potter NN, Hotchkiss JH. 1995. Food Science. 5th Edition. USA: Chapman & Hall. Pratt, D.E. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T. Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health. Washinton DC : American Society. Renema RA. 2004. Reproductive Responses To Sel-Plex Organic Selenium In Male and Female Broiler Breeders Impact on Production Traits and Hatchability. In: Lyond TP and Jacques KA. (Eds) Nutritional Biotechnology In The Feed and Food Industries. Proceeding of 19th Alltech Annual Symposium: August 8th-10th. Nottingham. pp. 81-91. Riana A. 2000. Telur puyuh. (http://www.asiamaya.com/nutrients/telurpuyuh.htm) (23 Januari 2007). Roch G. 2007. Selenium Yeast in Poultry Production. International Selenium Yeast Seminar. Grenna : Denmark. Romanoff AL, AJ Romanoff. 1963. The Avian Egg. New York. John Wiley and Sons, Inc. Roque L, Soares MC. 1994. Effects of Eggshell Quafity And Broiler Breeder Age On Hatchability. Poult Sci 73:1838-1845. Rotruck JT et al. 1973. Selenium: Biochemical Role As A Component Of Glutathione Peroxidase. Poult Sci 179:588-590. Sampels S. 2005. Fatty Acids and Antioxidants in Reindeer and Red Deer. [dissertation]. Swedish University of Agricultural Sciences. Scheeman BO. Relationship of Food, Nutrition, and Health. Di dalam Essentials of functional foods. Schmidi MK dan Labuza TP (Eds).2000. Scott ML, Nesheim MJ, Young RJ. 1982. Nutrition of the Chicken. M.L. Scott & Association. New York: Ithaca. Skrede G, Wrostald RE. Flavonoids from Berries and Grapes. Di dalam: Shi J, Mazza G, Maguer ML, editor. Functional Foods Biochemistry and Processing Aspects. Volume 2. New York:CRC Press;2002.hlm 112 – 113. Sell JL. 1993. The Need For Use of Supplemental Vitamin B In Laying Hens. Special Assignment. IOWA : State University. Seo YR, Sweeneyand C, Smith ML. 2002. Selenomethionine Induction of DNA Repair Response in Human Fibroblast. Oncogene 21:3663-3666.
109
Shahidi, F. dan M. Naczk. 1995. Food Phenolics. Technomic pub. Co. Inc. Lancester-Basel. Sies H, Klotz LO, Sharov VS, Assmann A, Briviba K. 1998. Protection Against Peroxynitrite By Selenoproteins. Zeitschrift fur Naturforschung C 53:228232. Simson JA. 2006. Antioxidant Properties Of Peanuts Plant Leaves and Roots and Contribution Of Specific Phenolitic Compounds to Antioxidant Capacity. [thesis]. Food Science. North Carolina State University. Sitompul B. 2003. Antoksidan dan Penyakit Aterosklerosis. Medika 6 (29) 373377. SNI 01-3141. 1998. Susu Segar. Departemen Perindustrian RI, Jakarta. SNI 01- 6366. 2000. Bahan Asal Hewan. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Snyder RD. 1988. Role of Active Oxigen Species in Metal-Induce DNA Strand Breakage in Human Diploid Fibroblast. Mutat Res 193:237-246 Soekarto S. 1985. Penilaian Organoleptik. Jakarta: Bhatara Karya Aksara. Speake BK, Murray AMB, Noble RC. 1998. Transport and Transformation of Yolk Lipids During Development of the Avian Embryo in Prog. Lipid Res 37:1-32. Stadelman WJ, Cotteril OJ. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Food Product Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc. New York. Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Alih bahasa: B. Sumantri. Edisi ke-2. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama. Steffe JF. 1983. Rheological properties of liquids food processing. ASAE Paper (83) 6512. Michigan : St. Joseph. Stewart MS, Spallholz JE, Neldner KH, Pence BC. 1999. Selenium Compounds Have Disparate Abilities To Impose Oxidative Stress and Induce Apoptosis. Free Rad Biol Med 26:42-48. Subekti S, Piliang WG, Manalu W, Murdiati TB. 2006. Penggunaan Tepung Daun Katuk dan Ekstrak Daun Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) sebagai Substitusi Ransum yang Dapat Menghasilkan Produk Puyuh Jepang Rendah Kolesterol. JITV 11(2) :254-259. Sugiyama M et al. 1987. Effects of Vitamin E, Vitamin B2 And Selenite On DNA Single Strand Breaks Induced By Sodium Chromate (VI). Cancer Lett 38:1-7.
110
Suhardjo LJ, Harper ID, Brady and Judy AD. Pertanian. Jakarta : UI Press.
1985.
Pangan, Gizi, dan
Sukarni M, Kusno SR. 1980. Metode Penilaian. Cita Rasa II. Bogor: Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga. Institut Pertanian Bogor. Sun, J, Chu YF, Wu X, Liu RH. 2002. Antioxidant and antiproliferative activities of common fruits. J Agric Food Chem 50:7449 – 7454. Sunde RA. 1990. Intercelluler Glutathione Peroxidase-Structure, Regulation and Function. In Burk, R.F Springer, Editor. Selenium In Biology and Human Health. New York: M.L. Scott & Association. Surai PF. 1999. Vitamin E In Avian Reproduction. Poultry Avian Boil Rev 10:1-60. Surai PF. 2000. Organic Selenium: Benefit to Animals and Human, a Biochemist̀s View. In: Biotechnology In The Feed Industry, Proceedings of alltech΄s 16th Annual Symposium :Nottingham, August 10th–12th 2000. Pp 351 – 358. Surai PF, Sparks, NHC. 2000. Effect the selenium content of the maternal diet on the antioxidant system of the yolk. Departement of Biochemistry and Nutrition, Scottish Agricultural College Auchincruive, Ayr, KA6 5HN, Scotland, UK, British Society of Animal Science. Surai PF. 2003. Natural Antioxidants In Avian Nutrition and Reproduction. Nottingham UK. Nottingham University Press. Surai PF, F Karadas, AC Pappas, NHC Sparks. 2006. Effect of Organic Selenium In Quail Diet On Its Accumulation In Tissues and Transfer to The Progeny. Brit Poult Sci 47:65-72. Tortora GJ, BP Funke, C Casw. 1998. Microbiology, An Introduction. Ed Ke-6. California: Addison Wesley Longman. Trollope J. 1992. Seed-eating Bird. Their Care and Breeding. London. Blanford. Tullet SG, FG Burton. 1982. Factors Affecting The Weight and Water Status of The Chick at Hatch. Poult Sci 23 : 361 – 369. Underwood EJ. 1977. Trace elements in Human and Animal Nutrition. 4th ed. London: Academic Press. Ursini F, Maiorino M, Valente M, Ferri L, Gregolin C. 1982. Purification From Pig Liver of A Protein Which Protects Liposomes and Biomembranes From Peroxidative Degradation and Exhibits Glutathione Peroxidase
111
Activity on Phosphatidylcholine Hydroperoxides. Biochim Biophys Acta 710:197-211. Vankar PS, V Tiwari, R Shanker, J Srivastava. 2006. Change in Antioxidant Activity of Spices-Tumeric and Ginger on Heat Treatment. EJEAFChe 5(2): 1313-1317. White JW. 1976. Composition of Honey. Di dalam : Honey: A Comprehensive Survey . London : Crane Ed. Whitehead CC, Portsmouth JL. 1998. Vitamin Requirements and Allowances for Poultry. In Haresign W, Cole DJA, Editor. Recent Advance in Animal Nutrition. London. Butterworths. pp35-86. Wijaya CH. 2002. Pangan Fungsional dan Konstribusinya Bagi Kesehatan. Makalah Seminar Online Kharisma Ke-2. Wikipedia 2006. Lemon. http://www.wikipedia.org/wiki/Lemon ( 5 Mei 2007 ) Wilson HR. 1997. Effect Of Maternal Nutrition On Hatchability. Poult Sci 76: 134-143. Wilson WO, Ursula, Abbot K, Abplanalp H. 1961. Evaluation Of Coturnix (Japanese Quail) as Pilot Animal For Poultry. Poultry Sci (3):651-657 Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Woodard AE, Wilson WO. 1963. behavioral patterns associated with aviposition in Japanese quail and chicken. Jour of Interdiscipl Cycle Res 1(2):173180. Woodard AE, Abplanalp H. 1967. The Effect of Mating Ratio and Age On Fertility and Hatchability in Japanese Quail. Poult Sci 46:383-388. Woodard AE, Abplanalp H, Wilson WO, Vohra P. 1973. Japanese Quail Husbandry In The Laboratory (coturnix-coturnix japonica). Departement of Avian Science. University of California. Yang D, Q Wang, L Ke, J Liang, T Ying 2007. Antioxidants activities of various extracts of lotus (Nelumbo nucifera Gaerth) rhizome. Asia Pac J Clin Nutr 16 (Suppl 1) : 158 – 163. Yu BP. 1994. Cellular Defences Agents Damage From Reactive Oxygen Species. Physiol Reviews 74:139-162. Yuwanta T. 1998. Pengaruh Berat Badan Inisial dan Model Distribusi Pakan Terhadap Hirarkis Folikuler dan Persistensi Produksi Ayam Petelur. Buletin Peternakan 22 (1):14-24. Zein U. 2004. Diare Akut Infeksius pada Dewasa. Fakultas Kedokteran Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam. USU Repository. Sumatra Utara.
112
Lampiran 1. Analisa ragam konsumsi pakan induk The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
VIT
Values
2
E1 E2
SE
2
IO
DOSIS
2
0.46 0.92
Number of observations in data set = 32 The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Konsumsi pakan induk Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
0.02058750
0.00294107
0.73
0.6462
Error
24
0.09630000
0.00401250
Corrected Total
31
0.11688750
R-Square 0.176131 Source
DF
Vit Se Dosis (Se) Vit*Se Vit*Dosis (Se)
1 1 2 1 2
C.V. 2.330441
Root MSE 0.06334430
Konsumsi Mean 2.71812500
Type I SS
Mean Square
F Value
0.00031250 0.01361250 0.00370000 0.00211250 0.00085000
0.00031250 0.01361250 0.00185000 0.00211250 0.00042500
0.08 3.39 0.46 0.53 0.11
Pr > F 0.7826 0.0779 0.6361 0.4751 0.8999
113
The SAS System General Linear Models Procedure Level of
---------------------Konsumsi pakan induk-----------------------
SE
N
I O
16 16
Level of
Mean
SD
2.69750000 2.73875000
0.04959839 0.06652067
Level of -----------------Konsumsi pakan induk---------------
VIT
SE
N
E1 E1 E2 E2
I O I O
8 8 8 8
Mean 2.70875000 2.73375000 2.68625000 2.74375000
SD 0.04969550 0.06781013 0.05012484 0.06947507
114
Lampiran 2. Analisa ragam berat badan betina The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
VIT
2
E1 E2
SE
2
I
DOSIS
2
O
0.46 0.92
Number of observations in data set = 32 The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Berat Badan Betina Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
144.6389469
20.6627067
1.76
0.1422
Error
24
281.6422750
11.7350948
Corrected Total
31
426.2812219
R-Square 0.339304 Source VIT SE DOSIS(SE) VIT*SE VIT*DOSIS(SE)
C.V. 2.116017
DF
Type I SS
1 1 2 1 2
2.1580031 18.6813281 2.9201063 6.7252781 114.1542312
Root MSE
Berat Badan Betina Mean
3.425652
161.8916
Mean Square 2.1580031 18.6813281 1.4600531 6.7252781 57.0771156
F Value
Pr > F
0.18 1.59 0.12 0.57 4.86
0.6719 0.2192 0.8836 0.4564 0.0169
115
The SAS System General Linear Models Procedure Level of SE
------------Berat Badan Betina (Gram) ----------N Mean SD
I O
16 16
161.127500 162.655625
3.52255494 3.84251648
Level of Level of --------------Berat Badan Betina (Gram)----------VIT SE N Mean SD E1 E1 E2 E2
I 8 160.928750 3.22900444 O 8 163.373750 3.60073777 I 8 161.326250 4.00907163 O 8 161.937500 4.18271187 General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: Betina NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 27 MSE= 12.65351 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 Critical Range 5.161 5.422 5.591 5.711 5.801 5.871 5.927 5.973 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
PERL
A
165.818
4
T7
B
A
164.033
4
T6
B
A
163.125
4
T4
B
A
161.948
4
T1
B
A
161.528
4
T0
B
A
160.930
4
T5
B
159.910
4
T3
B
159.843
4
T8
B
159.528
4
T2 116
Lampiran 3. Analisa ragam umur mulai pertama bertelur The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
VIT
2
Values E1 E2
SE
2
I
O
DOSIS
2
0.46 0.92
Number of observations in data set = 32 The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Umur Mulai Bertelur Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
27.46875000
3.92410714
0.75
0.6339
Error
24
125.75000000
5.23958333
Corrected Total
31
153.21875000
R-Square 0.179278 Source Vit Se Dosis (Se) Vit*Se Vit*Dosis(Se)
DF 1 1 2 1 2
C.V. 5.125853
Root MSE 2.28901362
Umur Mean 44.65625000
Type I SS
Mean Square
F Value
0.28125000 0.78125000 4.56250000 1.53125000 20.31250000
0.28125000 0.78125000 2.28125000 1.53125000 10.15625000
0.05 0.15 0.44 0.29 1.94
Pr > F 0.8187 0.7028 0.6520 0.5938 0.1658
117
The SAS System General Linear Models Procedure Level of
----------------------UMUR-----------------------------
SE
N
Mean
I O
16 16
44.8125000 44.5000000
Level of
SD 2.19753650 2.30940108
Level of -------------Umur mulai bertelur---------------
VIT
SE
N
E1 E1 E2 E2
I O I O
8 8 8 8
Mean 44.5000000 44.6250000 45.1250000 44.3750000
SD 1.85164020 2.32609421 2.58774585 2.44584195
118
Lampiran 4. Analisa ragam hen day ( % ) The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
VIT
2
E1 E2
SE
2
IO
DOSIS
2
0.46 0.92
Number of observations in data set = 32 The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Hen Day Produksi ( % ) Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
156.45648750
22.35092679
0.90
0.5236
Error
24
597.12770000
24.88032083
Corrected Total
31
753.58418750
R-Square 0.207616 Source
DF
Vit Se Dosis(Se) Vit*Se Vit*Dosis(Se)
1 1 2 1 2
C.V. 7.183787
Root MSE 4.98801773
Hen Day Mean 69.43437500
Type I SS
Mean Square
F Value
Pr > F
24.71045000 51.61280000 7.03446250 11.11561250 61.98316250
24.71045000 51.61280000 3.51723125 11.11561250 30.99158125
0.99 2.07 0.14 0.45 1.25
0.3289 0.1627 0.8689 0.5103 0.3057
119
The SAS System General Linear Models Procedure Level of
------------------------Hen Day-----------------------------
SE
N
Mean
I O
16 16
70.7043750 68.1643750
Level of
Level of
SD 3.88668491 5.62954465
------------------Hen Day---------------------------
VIT
SE
N
Mean
E1 E1 E2 E2
I O I O
8 8 8 8
72.1725000 68.4537500 69.2362500 67.8750000
SD 3.48580694 4.64168054 3.91065554 6.79517055
120
Lampiran 5 Analisa ragam produksi telur ( Kg ) The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
VIT
2
E1 E2
2
IO
2
0.46 0.92
SE DOSIS
Number of observations in data set = 32 The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Produksi Telur ( Kg ) Source
DF
Model
7
Mean Square
F Value
Pr > F
0.04673750
0.00667679
1.83
0.1282
24
0.08775000
0.00365625
Corrected Total 31
0.13448750
R-Square 0.347523
C.V. 6.411338
Error
Source Vit Se Dosis (Se) Vit*Se Vit*Dosis(Se)
Sum of Squares
Root MSE 0.06046693
DF
Type I SS
Mean Square
1 1 2 1 2
0.00911250 0.01445000 0.00091250 0.00320000 0.01906250
0.00911250 0.01445000 0.00045625 0.00320000 0.00953125
Produksi Telur Kg Mean 0.94312500 F Value
Pr > F
2.49 31.67 0.12 0.34 2.61
0.1275 0.0302 0.8833 0.6209 0.0945
121
The SAS System General Linear Models Procedure Level of SE
------------------Produksi Telur ( Kg )---------------------N Mean SD
I O
16 16
Level of VIT
Level of SE
E1 E1 E2 E2
I O I O
0.96437500 0.92187500
0.05476845 0.07073130
-------------Produksi Telur ( Kg )------------N Mean SD 8 8 8 8
0.99125000 0.92875000 0.93750000 0.91500000
0.04549333 0.06854352 0.05203021 0.07690439
General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: GRAM NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 27 MSE= 0.00392 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 Critical Range .0908 .0954 .0984 .1005 .1021 .1033 .1043 .1051 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N Perl
A
1.01000
4 T3
B
A
0.97500
4 T0
B
A
0.97250
4 T1
B
A
0.97000
4 T2
B
A
0.95500
4 T7
B
A
0.93500
4 T6
B
0.90500
4 T4
B
0.90250
4 T5
B
0.89500
4 T8 122
Lampiran 6 Analisa ragam konversi pakan The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
VIT
2
E1 E2
SE
2
IO
DOSIS
2
0.46 0.92
Number of observations in data set = 32 The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: FCR Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
7
0.49240000
0.07034286
2.22
0.0691
Error
24
0.76160000
0.03173333
Corrected Total
31
1.25400000
R-Square 0.392663
C.V. 6.137417
Root MSE 0.17813852
FCR Mean 2.90250000
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
ViT Se Dosis (Se) Vit*Se ViT*Dosis(Se)
1 1 2 1 2
0.07605000 0.23120000 0.01885000 0.01445000 0.15185000
0.07605000 0.23120000 0.00942500 0.01445000 0.07592500
2.40 7.29 0.30 0.46 2.39
Pr > F 0.1347 0.0125 0.7457 0.5063 0.1129
123
The SAS System General Linear Models Procedure Level of SE
---------------------------FCR----------------------------N Mean SD
I O
16 16
Level of VIT
Level of SE
E1 E1 E2 E2
I O I O
2.81750000 2.98750000
0.13208583 0.22525541
--------------------FCR-----------------------------N Mean SD 8 8 8 8
2.74750000 2.96000000 2.88750000 3.01500000
0.09808888 0.23071318 0.12870231 0.23188667
General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: FCR NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 27 MSE= 0.030174 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 Critical Range .2520 .2648 .2730 .2789 .2833 .2867 .2894 .2917 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Perl
A
3.0775
4
T8
A
3.0600
4
T5
B
A
2.9700
4
T4
B
A
2.9525
4
T6
B
A
2.8950
4
T0
B
A
2.8600
4
T7
B
A
2.8050
4
T2
B
2.7725
4
T1
B
2.7225
4
T3 124
Lampiran 7 Analisa ragam fertilitas The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
VIT
2
E1 E2
SE
2
IO
DOSIS
2
0.46 0.92
Number of observations in data set = 40 The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Fertilitas Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
8
358.96015875
44.87001984
3.13
0.0104
Error
31
444.73441875
14.34627157
Corrected Total
39
803.69457750
R-Square 0.446638
C.V. 4.332788
Root MSE 3.78764723
Fertilitas Mean 87.41825000
Source
DF
Type I SS
Mean Square
F Value
Vit Se Dosis (Se) Vit*Se Vit*Dosis (Se) Umur
1 1 2 1 2 1
28.17362250 10.53702250 145.86636500 10.74332250 101.52932500 62.11050125
28.17362250 10.53702250 72.93318250 10.74332250 50.76466250 62.11050125
1.96 0.73 5.08 0.75 3.54 4.33
Pr > F 0.1710 0.3980 0.0123 0.3935 0.0413 0.0458
125
The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Fertilitas Parameter
T for H0: Parameter=0
Estimate
INTERCEPT VIT SE DOSIS(SE)
92.05900000 B 1.88200000 B -0.11400000 B 8.78600000 B 4.43200000 B VIT*SE -0.86400000 B VIT*DOSIS(SE) -7.46600000 B -5.04800000 B Umur penetasan -0.44056250
Pr > |T|
24.31 0.79 -0.05 3.67 1.85 -0.26 -2.20 -1.49 -2.08
Std Error of Estimate
0.0001 0.4380 0.9623 0.0009 0.0738 0.8004 0.0351 0.1463 0.0458
3.78764723 2.39551845 2.39551845 2.39551845 2.39551845 3.38777468 3.38777468 3.38777468 0.21173592
NOTE: The X'X matrix has been found to be singular and a generalized inverse was used to solve the normal equations. Estimates followed by the letter 'B' are biased, and are not unique estimators of the parameters. The SAS System General Linear Models Procedure Level of SE I O Level of VIT E1 E1 E2 E2
N 20 20
-----------Fertilitas----------Mean SD 87.9315000 86.9050000
-------------Umur----------------Mean SD
5.29453072 3.70311746
16.0000000 16.0000000
Level of -----------FERTILE----------SE N Mean SD I O I O
10 10 10 10
86.5740000 86.5840000 89.2890000 87.2260000
3.83817433 2.93036668 6.35232844 4.48707081
2.90190500 2.90190500
-------------USIA--------------Mean SD 16.0000000 16.0000000 16.0000000 16.0000000
2.98142397 2.98142397 2.98142397 2.98142397
126
The SAS System General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: Fertilitas NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 36 MSE= 17.21603 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 Critical Range 5.322 5.595 5.773 5.901 5.998 6.075 6.137 6.188 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N Perl
A
93.682
5 T2
A
89.442
5 T6
B
87.884
5 T0
B
87.234
5 T1
B
86.892
5 T7
B
86.276
5 T5
B
85.914
5 T3
B
85.010
5 T8
B
84.896
5 T4
B
127
Lampiran 8 Analisa ragam daya tetas The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
VIT
2
E1 E2
SE
2
IO
DOSIS
2
0.46 0.92
Number of observations in data set = 40 The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Daya Tetas Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
8
765.20930000
95.65116250
4.96
0.0005
Error
31
597.41674000
19.27150774
Corrected Total 39
1362.62604000
R-Square 0.561570 Source
DF
Vit Se Dosis (Se) Vit*Se Vit*Dosis (Se) Umur
1 1 2 1 2 1
C.V. 5.880135 Type I SS 21.66784000 37.01776000 159.10658000 77.84100000 150.05594000 319.52018000
Root MSE 4.38993254 Mean Square 21.66784000 37.01776000 79.55329000 77.84100000 75.02797000 319.52018000
Daya Tetas Mean 74.65700000 F Value 1.12 1.92 4.13 4.04 3.89 16.58
Pr > F 0.2972 0.1757 0.0257 0.0532 0.0310 0.0003
128
The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Daya tetas Parameter
T for H0: Parameter=0
Estimate
INTERCEPT VIT SE DOSIS(SE)
89.83000000 B 8.86400000 B 2.95000000 B -4.87600000 B -0.70800000 B VIT*SE -13.15400000 B VIT*DOSIS(SE) 5.94400000 B -9.20400000 B USIA -0.99925000
Pr > |T|
20.46 3.19 1.06 -1.76 -0.26 -3.35 1.51 -2.34 -4.07
Std Error of Estimate
0.0001 0.0032 0.2962 0.0889 0.8004 0.0021 0.1402 0.0257 0.0003
4.38993254 2.77643712 2.77643712 2.77643712 2.77643712 3.92647503 3.92647503 3.92647503 0.24540469
NOTE: The X'X matrix has been found to be singular and a generalized inverse was used to solve the normal equations. Estimates followed by the letter 'B' are biased, and are not unique estimators of the parameters. The SAS System General Linear Models Procedure Level of SE I O
N 20 20
Level of Level of VIT SE E1 E1 E2 E2
I O I O
-------------Daya Tetas------------ -------------Umur--------------------Mean SD Mean SD 73.6950000 75.6190000
5.50503263 6.28199591
16.0000000 16.0000000
-------------Daya Tetas-----------N Mean SD 10 10 10 10
73.0360000 77.7500000 74.3540000 73.4880000
5.39133502 7.33839068 5.82636002 4.40094636
2.90190500 2.90190500
-------------Umur-----------------Mean SD 16.0000000 16.0000000 16.0000000 16.0000000
2.98142397 2.98142397 2.98142397 2.98142397
129
The SAS System General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: Daya Tetas NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 36 MSE= 27.54622 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 Critical Range 6.732 7.077 7.302 7.464 7.587 7.684 7.763 7.828 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A B
A
Mean
N
Perl
82.706
5 T7
76.792
5
T4
B
73.842
5
T8
B
73.570
5
T1
B
73.134
5
T6
B
73.004
5
T0
B
72.794
5
T5
B
72.502
5
T3
B
71.916
5
T2
130
Lampiran 9 Analisa ragam bobot tetas The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
VIT
2
E1 E2
SE
2
IO
DOSIS
2
0.46 0.92
Number of observations in data set = 40 The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Bobot Tetas Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
8
2.74842000
0.34355250
0.59
0.7755
Error
31
17.93918000
0.57868323
Corrected Total
39
20.68760000
R-Square 0.132853
C.V. 9.771513
Root MSE 0.76071231
DF
Type I SS
Mean Square
1 1 2 1 2 1
0.14161000 0.02116000 0.44168000 0.18769000 1.31546000 0.64082000
Source Vit Se Dosis (Se) Vit*Se Vit*Dosis (Se) Umur
0.14161000 0.02116000 0.22084000 0.18769000 0.65773000 0.64082000
Bobot Tetas Mean 7.78500000 F Value 0.24 0.04 0.38 0.32 1.14 1.11
Pr > F 0.6243 0.8496 0.6859 0.5731 0.3339 0.3008
131
The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Bobot Tetas Parameter
T for H0: Parameter=0
Estimate
INTERCEPT VIT SE DOSIS(SE )
6.838000000 B 0.652000000 B -0.076000000 B 0.586000000 B 0.252000000 B VIT*SE -0.344000000 B VIT*DOSIS(SE) -0.652000000 B -0.792000000 B Umur 0.044750000
8.99 1.36 -0.16 1.22 0.52 -0.51 -0.96 -1.16 1.05
Pr > |T| 0.0001 0.1852 0.8755 0.2324 0.6042 0.6167 0.3453 0.2533 0.3008
Std Error of Estimate 0.76071231 0.48111671 0.48111671 0.48111671 0.48111671 0.68040178 0.68040178 0.68040178 0.04252511
NOTE: The X'X matrix has been found to be singular and a generalized inverse was used to solve the normal equations. Estimates followed by the letter 'B' are biased, and are not unique estimators of the parameters. The SAS System General Linear Models Procedure Level of SE
N
------------Bobot Tetas-----------Mean SD
I O
20 20
7.76200000 7.80800000
Level of VIT E1 E1 E2 E2
Level of SE I O I O
N 10 10 10 10
0.71932424 0.75516886
-------------Umur-----------------Mean SD 16.0000000 16.0000000
2.90190500 2.90190500
-----------Bobot Tetas---------------------------Umur-----------------Mean SD Mean SD 7.75300000 7.93600000 7.77100000 7.68000000
0.81547600 0.56659215 0.65357904 0.92004831
16.0000000 16.0000000 16.0000000 16.0000000
2.98142397 2.98142397 2.98142397 2.98142397
132
Lampiran 10 Analisa ragam mortalitas The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
VIT
2
E1 E2
SE
2
IO
DOSIS
2
0.46 0.92
Number of observations in data set = 40 The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Mortalitas Source
DF
Sum of Squares
Model
8 31
Error
Corrected Total 39 R-Square 0.552352 Source Vit Se Dosis (Se) Vit*Se Vit*Dosis(Se) Umur
DF 1 1 2 1 2 1
Mean Square
F Value
Pr > F
960.61695125
120.07711891
4.78
0.0007
778.52248875
25.11362867
1739.13944000 C.V. 23.41971 Type I SS 66.56400000 71.71684000 210.52762000 98.09424000 314.34970000 199.36455125
Root MSE 5.01134998 Mean Square 66.56400000 71.71684000 105.26381000 98.09424000 157.17485000 199.36455125
Mortalitas Mean 21.39800000 F Value 2.65 2.86 4.19 3.91 6.26 7.94
Pr > F 0.1136 0.1011 0.0245 0.0571 0.0052 0.0083
133
The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Mortalitas Parameter
T for H0: Parameter=0
Estimate
INTERCEPT VIT SE DOSIS(SE)
11.30700000 B -12.96400000 B -5.01200000 B 7.07400000 B -2.04200000 B 16.72200000 B -6.41200000 B 14.50400000 B 0.78931250
VIT*SE VIT*DOSIS(SE) Umur
2.26 -4.09 -1.58 2.23 -0.64 3.73 -1.43 3.24 2.82
Pr > |T|
Std Error of Estimate
0.0313 0.0003 0.1240 0.0330 0.5241 0.0008 0.1626 0.0029 0.0083
5.01134998 3.16945602 3.16945602 3.16945602 3.16945602 4.48228769 4.48228769 4.48228769 0.28014298
NOTE: The X'X matrix has been found to be singular and a generalized inverse was used to solve the normal equations. Estimates followed by the letter 'B' are biased, and are not unique estimators of the parameters. The SAS System General Linear Models Procedure Level of ------------Mortalitas--------------------------Umur---------------------------SE N Mean SD Mean SD I O
20 20
22.7370000 20.0590000
Level of Level of VIT SE
N
E1 E1 E2 E2
10 10 10 10
I O I O
6.54568970 6.70171848
16.0000000 16.0000000
2.90190500 2.90190500
------------Mortalitas-------------------------------Umur--------Mean SD Mean SD 23.0130000 17.2030000 22.4610000 22.9150000
6.05637231 7.87500413 7.32146532 3.83074768
16.0000000 16.0000000 16.0000000 16.0000000
2.98142397 2.98142397 2.98142397 2.98142397
134
The SAS System General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: Mortalitas NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 36 MSE= 30.25945 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 Critical Range 7.056 7.418 7.654 7.823 7.952 8.054 8.136 8.204 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Perl
A
25.998
5
T2
A
25.752
5
T0
A
23.936
5
T8
A
23.434
5
T5
A
23.344
5
T1
A
22.682
5
T3
A
21.894
5
T6
A
18.924
5
T4
B
10.972
5
T7
135
Lampiran 11 Analisa ragam konsumsi anak The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
VIT
2
E1 E2
SE
2
IO
DOSIS
2
0.46 0.92
The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Konsumsi Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Model
8
243.23313875
30.40414234
2.24
Error
31
420.63103875
13.56874319
Corrected Total
39
663.86417750
R-Square 0.366390 Source Vit Se Dosis (Se) Vit*Se Vit*Dosis (Se) Umur
DF 1 1 2 1 2 1
C.V. 9.821367 Type I SS 20.86580250 17.83560250 13.93554500 2.04756250 20.31962500 168.22900125
Root MSE 3.68357750
Pr > F 0.0513
Konsumsi Mean 37.50575000
Mean Square
F Value
Pr > F
20.86580250 17.83560250 6.96777250 2.04756250 10.15981250 168.22900125
1.54 1.31 0.51 0.15 0.75 12.40
0.2243 0.2604 0.6034 0.7003 0.4813 0.0014
136
The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Konsumsi anak Parameter
T for H0: Parameter=0
Estimate
INTERCEPT VIT SE DOSIS(SE) VIT*SE VIT*DOSIS(SE) Umur
48.76500000 B -2.23000000 B 3.02600000 B -2.13600000 B 0.34000000 B -1.25800000 B 3.18200000 B 2.47600000 B -0.72506250
13.24 -0.96 1.30 -0.92 0.15 -0.38 0.97 0.75 -3.52
Pr > |T|
Std Error of Estimate
0.0001 0.3459 0.2036 0.3663 0.8849 0.7052 0.3416 0.4580 0.0014
3.68357750 2.32969897 2.32969897 2.32969897 2.32969897 3.29469187 3.29469187 3.29469187 0.20591824
NOTE: The X'X matrix has been found to be singular and a generalized inverse was used to solve the normal equations. Estimates followed by the letter 'B' are biased, and are not unique estimators of the parameters. The SAS System General Linear Models Procedure Level of SE I O
---------------Konsumsi anak---------------------Umur-------------------------------N Mean SD Mean SD 20 20
38.1735000 36.8380000
4.74481909 3.38942411
16.0000000 16.0000000
2.90190500 2.90190500
Level of Level of ------------- Konsumsi----------------------------Umur-------------------VIT SE N Mean SD Mean SD E1 E1 E2 E2
I O I O
10 10 10 10
37.2250000 36.3420000 39.1220000 37.3340000
4.61759497 3.80555968 4.92002891 3.03708266
16.0000000 16.0000000 16.0000000 16.0000000
2.98142397 2.98142397 2.98142397 2.98142397
137
The SAS System General Linear Models Procedure Duncan's Multiple Range Test for variable: Konsumsi NOTE: This test controls the type I comparisonwise error rate,not the experimentwise error rate Alpha= 0.05 df= 36 MSE= 16.84645 Number of Means 2 3 4 5 6 7 8 9 Critical Range 5.265 5.535 5.711 5.837 5.933 6.009 6.071 6.122 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping
Mean
N
Perl
A
40.190
5
T4
A
39.980
5
T0
A
38.054
5
T2
A
37.750
5
T5
A
37.748
5
T1
A
37.504
5
T6
A
37.164
5
T8
A
36.702
5
T3
A
34.934
5
T7
138
Lampiran 12 Analisa ragam pertambahan bobot badan The SAS System General Linear Models Procedure Class Level Information Class
Levels
Values
VIT
2
E1 E2
SE
2
IO
DOSIS
2
0.46 0.92
The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: PBB Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
8
47.16927125
5.89615891
0.65
0.7319
31
282.22163875
9.10392383
Corrected Total 39
329.39091000
Error
R-Square 0.143201 Source Vit Se Dosis (Se) Vit*Se Vit*Dosis (Se) Umur
C.V. 7.904098
Root MSE 3.01727092
DF
Type I SS
Mean Square
1 1 2 1 2 1
9.98001000 4.98436000 13.49545000 0.06724000 4.38705000 14.25516125
9.98001000 4.98436000 6.74772500 0.06724000 2.19352500 14.25516125
PBB Mean 38.17350000 F Value
Pr > F
1.10 0.55 0.74 0.01 0.24 1.57
0.3032 0.4649 0.4848 0.9321 0.7873 0.2202
139
The SAS System General Linear Models Procedure Dependent Variable: Pertambahan Bobot Badan ( PBB ) Parameter
T for H0: Parameter=0
Estimate
INTERCEPT VIT SE DOSIS(SE)
41.92300000 B 0.83200000 B -0.03600000 B -2.29600000 B -1.12000000 B VIT*SE -0.81800000 B VIT*DOSIS(SE) 1.80600000 B 0.49800000 B Umur -0.21106250
Pr > |T|
13.89 0.44 -0.02 -1.20 -0.59 -0.30 0.67 0.18 -1.25
0.0001 0.6659 0.9851 0.2380 0.5615 0.7638 0.5083 0.8548 0.2202
Std Error of Estimate 3.01727092 1.90828969 1.90828969 1.90828969 1.90828969 2.69872916 2.69872916 2.69872916 0.16867057
NOTE: The X'X matrix has been found to be singular and a generalized inverse was used to solve the normal equations. Estimates followed by the letter 'B' are biased, and are not unique estimators of the parameters. The SAS System General Linear Models Procedure Level of SE
---------------PBB-----------------------------------Umur- ------------------N Mean SD Mean SD
I O Level of VIT E1 E1 E2 E2
20 20 Level of SE I O I O
37.8205000 38.5265000
3.37766265 2.38021511
16.0000000 16.0000000
2.90190500 2.90190500
-----------------PBB-------------------------------Umur----------------N Mean SD Mean SD 10 10 10 10
38.2790000 39.0670000 37.3620000 37.9860000
2.71753340 2.69799535 4.02898057 2.00797410
16.0000000 16.0000000 16.0000000 16.0000000
2.98142397 2.98142397 2.98142397 2.98142397
140
Lampiran 13. Form uji hedonik juice telur UJI HEDONIK Produk Nama Alamat
: Juice telur :…………………….. :……………………….
Tanggal : 9 Agustus 2008 NRP :………………… HP :…………………
Instruksi : 1.Cicipilah sampel satu persatu, diamkan dalam mulut 3 – 5 detik, dan selanjutnya ditelan. Pada kolom yang tersedia, berikan penilaian anda berdasarkan tingkat kesukaan terhadap : Warna, Aroma, Rasa, Kekentalan, Overall ( Keseluruhan ). 2.Penilaian dengan memberikan tanda √ ( Checklist ) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian anda. 3..Bilaslah indera pencicip anda dengan air yang telah disediakan sebelum mencicipi sampel berikutnya. 4.Jangan membandingkan antara sampel yang satu dengan yang lain. 5.Dimohon untuk memberikan komentar dan saran anda dalam ruang yang disediakan. Penilaian
Warna 242
Aroma
101
121
434
565
101
121
101
Kekentalan 121 242 434
565
101
121
242
Rasa 434
565
Overall 242 434
565
101
121
242
434
Sangat Suka Suka Netral Tidak Suka Sangat Tidak Suka Penilaian Sangat Suka Suka Netral Tidak Suka Sangat Tidak Suka
Komentar : Dari segi warna, tingkat kecerahan:----------------------------------------------------------Dari segi rasa, kesan yang timbul, aftertaste :----------------------------------------------Dari segi aroma, kesan yang timbul :--------------------------------------------------------Dari segi kekentalan, kesan yang timbul :---------------------------------------------------Secara keseluruhan, kesan yang timbul :-----------------------------------------------------
141
565
Lampiran 14 Rekapitulasi skor uji hedonik juice telur Warna Panelis 1
Aroma
Rasa
Kekentalan
Overall
101 121 242 434 565 101 121 242 434 565 101 121 242 434 565 101 121 242 434 565 101 121 242 434 565 3
4
5
2
3
4
2
4
3
3
2
4
4
2
3
3
4
3
2
3
3
4
4
3
3
2
4
5
4
4
3
2
4
4
2
1
2
4
5
2
4
2
4
4
4
4
2
4
4
2
4
3
2
3
5
4
4
2
3
3
4
4
2
4
4
4
4
2
2
5
4
4
2
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
2
3
3
3
4
1
3
2
3
4
3
3
3
3
4
1
3
3
3
4
5
3
4
4
3
4
2
4
3
3
4
2
4
4
4
4
3
4
4
4
4
2
4
4
3
4
6
2
4
4
5
4
1
3
3
3
4
1
4
5
5
4
1
5
4
4
3
1
3
5
4
4
7
1
4
3
5
2
2
2
4
3
4
2
2
4
3
2
4
4
4
3
4
2
2
4
3
4
8
4
4
4
4
4
2
4
4
4
2
2
4
5
5
4
4
4
4
4
3
2
4
5
5
4
9
4
5
5
4
4
4
3
3
1
1
1
2
2
5
3
1
3
5
4
5
2
5
5
5
4
10
2
3
4
2
4
2
4
3
2
3
3
3
4
2
2
3
4
4
2
2
3
4
4
2
2
11
4
4
5
5
4
4
5
4
4
4
2
5
4
2
2
4
5
3
3
4
2
5
4
4
4
12
4
2
4
5
3
4
3
5
5
5
1
2
2
5
5
4
3
5
2
5
2
2
5
5
5
13
3
3
4
2
2
3
4
5
5
2
1
4
3
1
1
4
4
3
2
2
3
4
4
2
2
14
5
3
2
4
1
4
3
4
3
2
3
3
4
4
3
4
4
4
3
2
4
4
3
3
3
15
4
5
4
3
3
1
5
3
2
4
1
4
5
3
2
1
2
3
5
4
1
2
4
5
3
16
2
3
4
2
1
3
4
4
4
5
2
4
4
2
5
3
4
4
4
5
3
4
4
3
5
17
2
5
5
3
4
2
4
3
2
5
1
2
4
3
5
3
2
3
1
4
1
2
3
5
5
18
5
5
5
2
3
2
5
5
3
4
1
5
5
3
2
3
4
4
3
4
3
4
4
3
4
19
4
4
4
2
2
1
5
3
5
2
1
5
4
5
5
4
5
5
4
4
1
5
4
4
4
20
4
4
3
4
4
1
2
4
3
4
2
2
3
4
5
4
3
4
3
3
3
3
4
4
3
21
3
3
3
4
3
2
3
3
3
3
2
4
4
4
3
3
3
3
3
3
2
3
3
3
3
22
4
5
5
5
3
2
4
4
5
3
1
4
5
5
4
2
3
4
4
3
2
5
3
2
3
23
3
5
5
4
3
1
5
3
2
3
2
5
5
2
5
5
4
5
2
4
3
5
5
4
5
24
4
5
4
5
5
3
4
5
4
2
3
5
5
4
3
4
4
5
3
3
4
5
5
5
5
25
3
5
4
5
2
4
5
5
5
4
4
5
5
5
5
3
5
4
5
5
1
5
4
4
4
26
3
3
5
3
4
1
5
4
5
5
1
5
5
5
4
2
4
4
4
3
4
5
5
4
3
27
3
4
4
4
2
2
4
2
4
5
2
3
3
5
1
4
4
4
4
4
1
2
3
4
1
28
5
4
4
4
3
3
3
3
4
4
2
4
4
4
3
2
3
4
4
2
1
3
4
4
4
29
2
3
5
4
4
2
3
3
2
4
2
4
3
4
5
3
4
4
2
2
2
5
4
4
4
30
5
5
4
4
4
1
2
3
5
4
1
5
4
4
4
2
3
4
4
4
4
5
5
4
5
31
3
5
4
5
4
2
5
5
3
5
2
5
5
2
5
3
5
5
5
5
4
5
4
4
5
32
3
4
4
3
3
4
4
4
4
4
3
5
5
4
4
2
3
3
3
3
3
4
4
3
4
33
4
5
4
4
2
4
4
3
3
3
2
4
3
2
4
3
4
3
3
4
2
4
4
4
4
34
4
3
4
3
4
2
4
4
4
4
2
4
3
4
3
2
4
4
4
4
2
2
4
3
4
35
4
3
3
4
4
5
3
4
2
4
2
2
4
2
5
3
3
4
4
4
2
2
3
3
3
36
1
2
2
4
5
2
2
4
5
2
1
3
3
2
2
3
3
3
3
3
1
2
3
4
4
37
4
4
4
2
3
3
4
4
4
4
3
2
2
5
4
2
2
3
4
4
2
3
4
5
4
38
5
4
4
3
3
1
4
4
4
5
1
5
2
5
4
4
2
4
1
4
2
4
4
2
2
39
3
3
5
4
4
2
4
4
2
4
2
4
4
2
4
2
3
3
4
3
2
2
5
4
4
40
5
2
2
4
3
1
3
3
3
2
2
3
3
2
4
2
3
3
3
3
2
4
4
5
4
41
3
3
3
4
3
2
2
3
2
3
2
3
4
4
5
3
3
3
3
3
2
3
3
4
4
142
42
4
2
3
2
1
2
4
4
4
4
2
4
4
4
3
4
2
4
3
3
3
3
3
3
3
43
5
4
4
2
2
2
2
3
4
4
1
4
4
2
2
3
3
3
3
3
1
4
4
2
2
44
4
4
4
4
4
1
4
4
2
1
1
4
4
4
3
4
3
5
4
3
2
5
4
4
2
45
2
4
3
1
2
2
5
5
4
1
2
5
4
2
2
4
5
4
4
2
2
4
4
2
2
46
2
4
5
2
2
2
4
4
4
4
3
4
4
2
2
4
4
4
2
4
5
4
4
2
3
47
2
3
5
2
3
3
4
4
2
2
3
5
5
5
4
4
4
4
2
2
2
3
4
3
3
48
5
4
4
2
2
4
5
4
2
3
2
5
5
5
5
2
4
5
4
3
1
4
3
2
2
49
4
4
5
2
4
2
4
5
4
4
2
4
4
4
4
2
4
4
4
4
2
2
3
3
3
50
3
3
5
4
3
2
4
5
4
4
2
4
3
4
4
2
4
4
4
4
2
4
4
4
4
51
4
4
2
4
4
2
4
5
4
4
2
3
4
4
2
2
3
4
4
4
2
4
4
4
4
52
3
4
2
4
2
2
4
3
4
3
1
4
4
4
2
4
3
4
4
3
2
3
4
4
2
53
2
4
4
3
3
2
2
5
2
2
1
4
3
4
4
2
4
5
2
2
2
4
4
3
4
54
2
4
4
4
4
1
3
5
3
4
2
5
4
2
2
2
4
4
4
4
2
3
4
4
3
55
2
2
5
2
2
2
4
4
2
4
2
4
4
4
5
4
4
4
3
2
2
3
3
4
4
56
2
3
4
2
2
2
3
5
3
4
2
2
5
2
2
4
5
4
4
5
2
3
5
2
2
57
4
5
4
2
2
2
2
4
2
2
2
3
2
2
2
2
4
4
2
2
2
3
3
4
4
58
3
4
3
3
3
2
4
5
1
3
2
4
4
3
3
3
3
4
2
2
2
4
3
3
2
59
2
2
2
2
2
2
4
4
2
2
2
4
4
5
4
4
3
4
5
3
2
5
4
4
5
60
3
3
3
2
3
2
4
4
3
4
1
2
4
4
2
3
4
4
4
4
2
2
4
2
2
61
5
4
4
3
3
1
2
4
4
3
1
4
4
4
4
4
4
4
4
4
2
3
4
2
2
62
5
5
4
3
3
2
2
2
3
3
1
1
5
4
4
3
3
5
4
4
2
3
4
4
5
63
4
4
5
4
4
1
1
5
2
2
1
5
5
5
5
2
2
5
4
4
1
1
5
4
4
64
4
4
5
4
4
1
3
3
4
4
2
4
4
5
4
3
3
4
3
3
1
4
4
4
4
65
4
5
5
2
2
2
4
4
4
4
2
5
5
5
5
4
4
4
4
4
1
2
4
4
4
66
3
3
5
3
4
1
5
5
5
5
3
4
4
2
4
3
4
4
4
5
2
3
4
4
5
67
5
4
4
1
1
1
2
4
4
4
2
4
4
4
3
3
4
4
2
4
1
4
4
2
4
68
5
4
5
4
4
1
4
5
3
4
1
4
4
5
4
3
4
5
4
4
2
4
5
3
3
69
4
4
3
2
4
1
5
5
4
4
1
4
4
3
4
2
4
4
4
4
1
3
4
4
5
70
3
4
4
3
4
1
3
4
2
1
2
2
5
2
2
2
3
5
3
3
1
3
5
3
4
71
4
3
3
4
4
1
2
5
4
2
1
4
4
2
5
3
4
4
3
4
1
4
4
3
5
72
4
3
4
2
2
1
3
4
4
4
1
3
4
4
4
1
4
4
3
3
1
3
4
3
4
73
1
4
5
2
2
2
3
5
3
2
2
4
4
2
2
2
2
4
3
3
2
4
4
3
2
74
1
3
5
4
4
2
3
4
2
4
1
4
5
4
3
2
3
4
3
2
2
3
4
2
4
75
3
2
3
2
2
1
3
5
2
2
4
3
5
2
2
3
3
5
3
2
3
3
5
2
2
76
4
4
4
4
4
2
3
4
3
4
3
4
4
4
4
4
3
4
4
4
3
3
4
4
4
77
2
2
5
4
4
1
3
5
4
5
1
3
5
5
4
3
2
5
4
5
1
3
5
4
5
78
3
2
5
4
5
1
4
5
3
4
1
4
5
2
4
3
4
4
4
4
1
4
4
3
4
79
4
4
3
2
2
2
2
4
3
2
2
3
5
5
4
3
3
5
3
3
3
3
4
5
4
80
2
4
5
4
3
2
4
5
5
3
1
4
4
4
2
1
3
4
3
3
1
4
5
4
2
81
2
4
3
2
2
1
3
5
2
3
2
4
4
2
2
2
4
4
2
2
2
4
4
2
3
82
2
3
5
4
2
2
4
5
4
3
1
4
4
2
3
1
4
5
3
3
1
4
4
2
3
83
4
5
4
2
3
1
1
5
3
2
1
5
5
2
2
1
4
5
3
2
1
4
5
2
3
Total Rataan SD
276 309 333 269 256 167 288 335 272 277 147 314 335 288 287 236 293 336 277 284 167 293 333 283 295 3.33 3.72 4.01 3.24 3.08 2.01 3.47 4.04 3.28 3.34 1.77 3.78 4.04 3.47 3.46 2.84 3.53 4.05 3.34 3.42 2.01 3.53 4.01 3.41 3.55 1.12 0.90 0.89 1.08 0.99 0.97 1.02 0.82 1.05 1.11 0.74 0.96 0.85 1.21 1.14 0.97 0.80 0.64 0.89 0.90 0.89 0.97 0.63 0.95 1.00
143
Keterangan : 1 (Sangat Tidak Suka). 2 (Tidak Suka). 3. (Netral). 4. (Suka ). 5. (Sangat Suka ). -kode 101 -kode 121 -kode 242 -kode 434 -kode 565
: telur 100% : telur 45% : telur 50% : telur 45% : telur 50%
: lemon 0% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10% : lemon 10%
: madu 0% : madu 30% : madu 30% : madu 30% : madu 30%
: white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 15% : white grape (sparkling) 10% : white grape (sparkling) 0% : white grape (sparkling) 0%
: red wine 0% : red wine 0% : red wine 0% : red wine 15% : red wine 10%
144
Lampiran 15 Hasil uji hedonik Hasil sidik ragam warna juice telur Type III Sum df Mean Square of Squares Model 5193.417(a) 87 59.694 Panelis 121.176 82 1.478 Sampel 47.817 4 11.954 Error 286.583 328 .874 Total 5480.000 415 a R Squared = .948 ( Adjusted R Squared = .934 ) Source
F
Sig.
68.321 1.691 13.682
.000 .001 .000
Hasil uji lanjut duncan warna juice telur Duncan a,b Sampel
N
Subset 2
1 3 565 83 3.0843 434 83 3.2410 101 83 3.3373 121 83 3.7229 242 83 4.0120 Sig. .100 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .874. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 83.000. b Alpha = .05. Hasil sidik ragam aroma juice telur Type III Sum df Mean Square of Squares Model 4617.573(a) 87 53.076 panelis 114.308 82 1.394 Sampel 182.973 4 45.743 Error 293.427 328 .895 Total 4911.000 415 a. R Squared = .940 ( Adjusted R Squared = .924 ) Source
F
Sig.
59.329 1.558 51.133
.000 .004 .000
145
Hasil uji lanjut duncan aroma juice telur Duncan a,b Sampel
N
Subset 2
1 2.0120
3
101 83 434 83 3.2771 565 83 3.3373 121 83 3.4699 242 83 4.0361 Sig. 1.000 .218 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square( Error ) = .895. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 83.000. b Alpha = .05. Hasil sidik ragam rasa juice telur Type III Sum df Mean Square of Squares Model 4907.429(a) 87 56.407 Panelis 115.345 82 1.407 Sampel 262.829 4 65.707 Error 291.571 328 .889 Total 5199.000 415 a R Squared = .944 ( Adjusted R Squared = .929 ) Source
F
Sig.
63.455 1.582 73.917
.000 .003 .000
Hasil uji lanjut duncan rasa juice telur Duncana,b Sampel
N
1 1.7711
Subset 2
3
101 83 565 83 3.4578 434 83 3.4699 121 83 3.7831 242 83 4.0361 Sig. 1.000 .934 .085 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square( Error ) = .889. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 83.000. b Alpha = .05.
146
Hasil sidik ragam kekentalan juice telur Type III Sum df Mean Square of Squares Model 5041.817(a) 87 57.952 Panelis 80.058 82 .976 Sampel 61.817 4 15.454 Error 214.183 328 .653 Total 5256.000 415 a R Squared = .959 ( Adjusted R Squared = .948 ) Source
F
Sig.
88.748 1.495 23.667
.000 .008 .000
Hasil uji lanjut duncan kekentalan juice telur Duncan a,b Sampel
N
1 2.8434
Subset 2
3
101 83 434 83 3.3373 565 83 3.4217 121 83 3.5301 242 83 4.0482 Sig. 1.000 .149 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square( Error ) = .653. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 83.000. b Alpha = .05. Hasil sidik ragam overall juice telur Type III Sum df Mean Square of Squares Model 4821.116(a) 87 55.415 Panelis 101.345 82 1.236 Sampel 190.516 4 47.629 Error 229.884 328 .701 Total 5051.000 415 a R Squared = .954 (Adjusted R Squared = .942) Source
F
Sig.
79.067 1.763 67.957
.000 .000 .000
147
Hasil uji lanjut duncan kekentalan juice telur Duncan a,b Sampel
N
1 2.0120
Subset 2
3
101 83 434 83 3.4096 121 83 3.5301 565 83 3.5542 242 83 4.0120 Sig. 1.000 .298 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .701. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 83.000. b Alpha = .05.
148
Lampiran 16 Form uji ranking Uji Ranking Produk : Juice Telur Tanggal :14 Agustus 2008 Nama
:
NRP
Alamat :
:
No HP :
Instruksi :
1. Cicipilah sampel satu persatu, diamkan dalam mulut selama 3 – 5 detik, dan selanjutnya ditelan. 2. Urutkan tingkat kesukaan anda terhadap sampel, dari yang paling disukai ( Ranking 1 ) sampai yang paling tidak disukai ( Ranking 5 ). 3. Bilaslah indera pencicip anda dengan menggunakan air yang disediakan sebelum mencicipi sampel berikutnya.
Sampel 101 121 242 434 565
Ranking
149
Lampiran 17. Rekapitulasi skor uji ranking juice telur Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Total Rataan SD
101 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 147 4.90 0.31
121 4 2 4 4 1 1 1 4 2 2 1 1 4 2 3 1 2 2 1 2 1 4 1 4 1 4 4 4 4 3 74 2.47 1.31
Skor Ranking 242 1 1 3 2 2 3 2 1 1 1 2 2 3 1 1 2 4 1 2 1 4 2 2 2 2 1 3 3 3 2 60 2.00 0.91
434 2 4 1 3 3 4 5 2 3 3 4 4 2 3 2 3 3 4 3 3 3 1 4 1 4 3 1 1 2 1 82 2.73 1.14
565 3 3 2 1 4 2 3 3 4 4 3 3 1 4 5 5 1 3 4 4 2 3 3 3 3 2 2 2 1 4 87 2.90 1.12
150
Hasil Uji friedman terhadap skor ranking kesukaan juice telur kaya selenium Mean Rank rank_101 4.90 rank_121 2.47 rank_242 2.00 rank_434 2.73 rank_565 2.90 Test Statistics(a) N 30 Chi-Square 59.707 df 4 Asymp. Sig. .000 a Friedman Test Hasil uji lanjut LSD terhadap skor ranking kesukaan juice telur
( I ) Sampel
101
121
242
434
565
( J ) Sampel 121 242 434 565 101 242 434 565 101 121 434 565 101 121 242 565 101 121 242 434
Rank Sum Difference |(I-J)| 73* 87* 65* 60* 73* 14 8 13 87* 14 22 27 65* 8 22 5 60* 13 27 5
151
Lampiran 18 Perhitungan aktivitas antioksidan juice telur berdasarkan analisa aktivitas antioksidan masing-masing komponen penyusun
Formula 101 =Telur : Lemon : Madu : White Grape (Sparkling):Wine / 100% : 0% : 0% : 0%:0% =[(
x 961.13)+(
x496.18) )+(
x0) )+(
x180.58) )+(
x1809.18)]
= 961.13 Formula 121 =Telur : Lemon : Madu : White Grape (Sparkling):Wine / 45% : 10% : 30% :15%:0% =[(
x961.13)+(
x496.18)+(
x0)+(
x180.58)+(
x0)]
=509.21 Formula 242 =Telur : Lemon : Madu : White Grape (Sparkling):Wine / 50% : 10% : 30% :10%:0% =[(
x961.13)+(
x496.18)+(
x0)+(
x180.58)+(
x0)]
=548.24 Formula 434 =Telur : Lemon : Madu : White Grape (Sparkling):Wine / 45% : 10% : 30% :0%:15% =[(
x961.13)+(
x496.18)+(
x0)+(
x180.58)+(
x1809.18)]
=753.50 Formula 565 =Telur : Lemon : Madu : White Grape (Sparkling):Wine / 50% : 10% : 30% :0%:10% =[(
x961.13)+(
x496.18)+(
x0)+(
x180.58)+(
x1809.18)]
=711.10
152
Lampiran 19 Perhitungan kandungan selenium juice telur berdasarkan analisa kandungan selenium masing-masing komponen penyusun Formula 101 =Telur : Lemon : Madu : White Grape (Sparkling):Wine / 100% : 0% : 0% : 0%:0% =[(
x 33.77)+(
x10.72) )+(
x20.37) )+(
x10.51) )+(
x12.63)]
= 33.77 Formula 121 =Telur : Lemon : Madu : White Grape (Sparkling):Wine / 45% : 10% : 30% :15%:0% =[(
x33.77)+(
x10.72)+(
x20.37)+(
x10.51)+(
x12.63)]
=23.96 Formula 242 =Telur : Lemon : Madu : White Grape (Sparkling):Wine / 50% : 10% : 30% :10%:0% =[(
x33.77)+(
x10.72)+(
x20.37)+(
x10.51)+(
x12.63)]
=25.12 Formula 434 =Telur : Lemon : Madu : White Grape (Sparkling):Wine / 45% : 10% : 30% :0%:15% =[(
x33.77)+(
x10.72)+(
x20.37)+(
x10.51)+(
x12.63)]
=24.27 Formula 565 =Telur : Lemon : Madu : White Grape (Sparkling):Wine / 50% : 10% : 30% :0%:10% =[(
x33.77)+(
x10.72)+(
x20.37)+(
x10.51)+(
x12.63)]
=25.33
153
Lampiran 20 Komposisi nutrien white grape No 1 2 3 4 5 6
Kandungan Nutrien Protein Karbohidrat Lemak Vitamin C Yodium Kalori
Jumlah 0 17 grm 0 25 mg 1.5 mg 289 KJ
Keterangan
Keterangan Hillsview Cabernet Sauvignon 2001 Wine of australia
Per 100 ml
Lampiran 21 Komposisi red wine (750 ml) No
Kandungan
Jumlah
1
Alkohol
14 %
Lampiran 22 Kandungan selenium telur puyuh komersial No
Kandungan 1
1
Selenium
27.23
Hasil (µg/100 gram) 2 3 27.69
27.12
Rataan
Keterangan
27.35µg/100 gram
Hasil Analisa Laboratorium Balai Besar Pasca Panen
4 27.36
154