Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film Green Street Holigans (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce)
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada Konsentrasi Jurnalistik Program Studi Ilmu Komunikasi
Oleh Alif Risna Fauzi NIM 6662103153
KONSENTRASI JURNALISTIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA SERANG, 2015 ii
ii
iii
iv
ABSTRAK
Alif Risna Fauzi. NIM. 6662103153. Skripsi. Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film Green Street Holigans (Analisis Semiotika Charles Sanders Peirce). Pembimbing I: Mia Dwianna, S.Sos, M.Ikom dan Pembimbing II: Yoki Yusanto, S.Sos, M.Ikom
Visualisasi mempunyai kemampuan untuk menimbulkan kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan menungkannya ke atas layar. Visualisasi perfilman merupakan penampilan informasi yang komplek kedalam bentuk visual, visualisasi dimanfaatkan dimana penerima harus berusaha untuk mengartikan simbol tersebut. Film Green Street Holigans adalah penggambaran hooliganisme supporter sepak bola di Inggris. Di Amerika dan di Australia film ini disebut Green Street Hooligan, di Negara lain disebut football hooligan atau hanya hooligan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana sign, object, interpretant visualisasi anarkis supporter sepakbola. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan model yang digunakan dalam menganalisis adalah model analisis semiotika, tiga unsur makna Charles Sanders Peirce yaitu Sign/tanda, object, dan intrepetant. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi tidak langsung yaitu mengamati Film Green Street Holigans dan menggunakan triangulasi teori untuk menguatkan hasil intrepetasi data. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa sign, objek dan intrepetant saling berhubungan satu sama lain dalam proses penyampaian pesan ideologi.
Kata Kunci: Visualisasi, Film, Anarkisme.
v
ABSTRACT
Alif Risna Fauzi. NIM. 6662103153. Undergraduate Thesis. Visualization Anarkisme Football Holigans of Green Street Holigans (Semiotics Analysis of Charles Sanders Peirce) Guide. I: Mia Dwianna, S.Sos, M.Ikom and Guide II: Yoki Yusanto, S.Sos, M.IKom
Visualization has the ability to give rise to criticism that appears on this perspective is based on the argument that the film is a portrait of a society in which the film was made. Movies always record the reality that grows and develops in the community, and pour it over the screen. Visualization of the film is the appearance of complex information into visual form, visualization is used in which the receiver should attempt to interpret the symbols. The film is a portrayal of Green Street Holigans football hooliganism in England supporters. In America and in Australia this movie called Green Street Hooligans, in other countries is called football hooligans or just hooligans. The aim of this study was to see how the sign, object, interpretant visualization anarchist football supporters. This study uses descriptive qualitative approach and the model used in the analysis is the semiotic analysis model, the three elements of the meaning of Charles Sanders Peirce, namely Sign, object, and intrepetant. Data collection techniques using indirect observation of observing film Green Street Holigans and using triangulation theory to corroborate the results of the data intrepetasi. The results of this study revealed that the sign, object and intrepetant relate to each other in the process of delivering a message ideology.
Keywords: Visualization, Film, Anarkisme.
vi
MOTTO & PERSEMBAHAN
“How many roads must a man walk down Before you call him a man? How many seas must a white dove sail Before she sleeps in the sand? Yes, how many times must the cannon balls fly The answer my friends is blowin’ in the wind…” __Bob Dylan - Blowin’ in the wind Song __
Skripsi ini kupersembahkan untuk Mamahku yang terus berjuang dalam hidupnya agar anaknya dapat mengangkat harkat, martabat dan derajat keluarga untuk mendapatkan hidup yang lebih baik.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Visualisasi Anarkisme Suporter Sepakbola Dalam Film Green Street Holigans (Analisis Semiotika Charles Sander Peirce)” dengan baik. Adapun penelitian ini dilakukan dan disusun dengan tujuan untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian sarjana pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam melakukan penelitian ini, penulis tetap bertumpu pada landasan akademis dan menggunakan teori komunikasi yang ada untuk mengupas dan mengemas hasil penelitian ini sehingga menjadi sebuah karya ilmiah yang diharapkan bermanfaat dan dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu komunikasi, khususnya yang berhubungan dengan analisis semiotika. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tentu tidak luput dari kekurangan-kekurangan yang ada, sebagaimana fitrah manusia yang diciptakan oleh Tuhan tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari kesalahan. Dan selama masa penyusunan skripsi ini penulis banyak sekali mendapat bantuan, dorongan dan motivasi penting dari semua pihak. Maka dalam kesempatan ini
viii
dengan ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. KH. Soleh Hidayat, M.Pd. Selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 3. Ibu Neka Fitriyah, S.Sos. M.Si, selaku Ketua Prodi Ilmu Komunikasi dan dosen pembimbing akademik penulis dari semester awal sampai akhir. 4. Ibu Mia Dwianna S.Sos, M.Ikom selaku dosen pembimbing pertama yang telah banyak memberi waktu, bimbingan ilmu, arahan dan kesempatan pengalaman kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini. 5. Bapak Yoki Yusanto S.Sos, M.Ikom selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberi waktu, bimbingan ilmu, arahan dan kesempatan pengalaman kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini. 6. Ibu Puspita Asri Praceka, S.Sos. M.Ikom, selaku Sekertaris Jurusan Prodi Ilmu Komunikasi. 7. Para Dosen dan staf TU Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik atas segala sumbangsihnya. 8. Mamah tercinta yang tidak pernah lelah berdoa yang terbaik untuk anak mu ini. Skripsi ini adalah bukti Alif berhasil menyelesaikan pendidikan S1.
ix
9. Buat abah Slamet yang tidak pernah lelah berdoa yang terbaik untuk anak mu ini, ibu Supi Yati yang sekarang sudah bahagia di surga. Skripsi ini adalah bukti Alif berhasil menyelesaikan pendidikan S1. 10. Rangga Andriana dan Putut Wiroreksono. Terimakasih banyak sudah membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini. 11. Sausan Saidah Salam. Terimakasih banyak telah menemani selama 7 bulan ini, segala baik dan buruk yang kau terima apa adanya. Terimakasih. 12. Imagine family, Erzha, Bofal, Kotay aka Arief, Gugie, Dandy, Joe, Kiki Discongs. Terimakasih atas kebersamaan, kekeluargaan kalian dan atas dorongan semangat kalian. 13. Teman-Teman Jurnalistik Komunikasi Kelas J Angkatan 2010, Putut Wiro Reksono, Rangga Andriana, Sumardi Noviono, M.Vicky(Lacuk), Maulana Yusuf, Otnay aka Suryanto, Romi Fatullah, Windi Tresnanda. Selalu semangat dalam menempuh perjanalan kuliah ini. 14. Teman-teman seperjuangan 2010 Teguh Cipta, M. Fandi, Dhamar Indraloka, Step Ian Akbar, Akmal Alamsyah, Tirta Lestari Coppo, Natasya, Bunda Shinta, Sari Puji Fitriani dan Puput Jolie, M Nida, Ichawan (icon), Sausan, Nadia, Indra, Akmal, Stef, Dhamar, Teguh Cipta, Andi Hidayatullah Ocha, Windi, Nanis, Ncek. Semangat buat kalian semua. 15. Teman-teman KKM 140 (Gea, Lingga, Dian, Adi, Andika, Tirta, Novi, Andri, Budi, Intan, Anggit, Maya, Ridwan, dll)
x
16. Semua pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu yang membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini dan selama perkuliahan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa ini. Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan kalian semua dengan yang lebih baik, Amin. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, tidak hanya untuk diri sendiri, namun untuk seluruh pembaca pada umumnya. Serang, April 2015 Penulis
Alif Risna Fauzi
xi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN................................... Error! Bookmark not defined. ABSTRAK .............................................................................................................. ii MOTTO & PERSEMBAHAN .............................................................................. vii KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi DAFTAR TABLE ............................................................................................... xvii BAB I ...................................................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
1.2
Perumusan Masalah .................................................................................. 5
1.3
Identifikasi Masalah ................................................................................. 5
1.4
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
1.5
Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
1.5.1
Manfaat Akademis ............................................................................ 6
1.5.2
Manfaat Praktis ................................................................................. 6
BAB II ..................................................................................................................... 7 2.1
Kajian Teoritis .......................................................................................... 7
2.1.1
Visualisasi ......................................................................................... 7
2.1.2
Definisi Film ................................................................................... 11
2.1.3
Film sebagai Media Massa .............................................................. 12
2.1.4
Film Sebagai Realitas Tanda ........................................................... 16 xii
2.1.5
Film Sebagai Representasi Realitas ................................................ 19
2.1.6
Holigans .......................................................................................... 20
2.1.7
Anarkisme ....................................................................................... 26
2.1.8
Semiotika Film ................................................................................ 27
2.1.9
Teori Psikologi Massa ..................................................................... 38
2.2
Kerangka Berfikir ................................................................................... 40
2.3
Penelitian Terdahulu ............................................................................... 42
BAB III ................................................................................................................. 45 3.1
Pendekatan dan Metode Penelitian ......................................................... 45
3.2
Fokus Penelitian .................................................................................... 46
3.4
Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 47
3.4.1
Dokumentasi ................................................................................... 47
3.4.2
Data Sekunder ................................................................................. 47
3.5
Instrumen Penelitian ............................................................................... 48
3.5.1
Unit Analisis ................................................................................... 48
3.6
Teknik Unit Analisis Data ...................................................................... 53
3.7
Validitas Data ......................................................................................... 54
BAB IV ................................................................................................................. 56 4.1
Gambaran Umum Oddlot ....................................................................... 56
4.1.1 4.2
Sejarah Singkat Oddlot Entertainment ............................................ 56
Gambaran Umum Film Green Street Hooligans .................................... 57 xiii
4.2.1
Sejarah Singkat Film Green Street Hooligans ................................ 57
4.2.2
Penghargaan Film Green Street Hooligans..................................... 58
4.2.3
Sinopsis Film Green Street Hooligans............................................ 59
4.2.4
Insert Triangle ................................................................................. 63
4.2.5
Pemain & karakter Film Green Street Hooligans ........................... 64
4.3
Hasil Penelitian dan Pembahasan ........................................................... 68
4.3.1
Analisis Scenes 1 ............................................................................. 69
4.3.2
Analisis Scenes 2 ............................................................................. 80
4.3.3
Analisis Scenes 3 ............................................................................. 87
4.3.4
Analisis Scenes 4 ............................................................................. 93
4.3.5
Analisis Scenes 5 ........................................................................... 101
4.3.6
Analisis Scenes 6 ........................................................................... 107
4.3.7
Analisis Scenes 7 ........................................................................... 112
4.4
Intrepetasi Data ..................................................................................... 116
4.4.1
Sign Dalam Film Green Street Holigans ....................................... 116
4.4.2
Object Dalam Film Green Street Holigans ................................... 118
4.4.3
Intrepetant Dalam Film Green Street Holigans ............................. 119
4.4.4
Visualisasi Anarkisme................................................................... 120
BAB V................................................................................................................. 123 5.1
Kesimpulan ........................................................................................... 123
5.2
Saran ..................................................................................................... 125 xiv
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 126 LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................. 130 DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ 142
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006, 63) …………………
35
Gambar 2.0.2 Bagan Kerangka Berfikir ……………………………………...
41
Gambar 3.0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006, 63) …………………
53
Gambar 4.0.1 Ikon Oddlot Enterainment ……………………………………..
56
Gambar 4.0.2 Poster Film Green Street Hooligan ……………………………
57
Gambar 4.0.3 Tokoh Matt Buckner …………………………………………..
64
Gambar 4.0.4 Tokoh Pete Dunham …………………………………………...
65
Gambar 4.0.5 Tokoh Shannon Buckner ………………………………………
65
Gambar 4.0.6 Tokoh Steve Dunham ………………………………………….
66
Gambar 4.0.7 Tokoh Bovvers ………………………………………………...
66
Gambar 4.0.8 Tokoh Tommy Hatcher ………………………………………..
67
Gambar 4.0.9 Tokoh Dave ……………………………………………………
67
Gambar 4.0.10 Bagian Scenes 1 ………………………………………………
69
Gambar 4.0.11 Bagian Scenes 2 ………………………………………………
80
Gambar 4.0.12 Bagian Scenes 3 ………………………………………………
87
Gambar 4.0.13 Bagian Scenes 4 ………………………………………………
93
Gambar 4.0.14 Bagian Scenes 5 ………………………………………………
101
Gambar 4.0.15 Bagian Scenes 6 ………………………………………………
107
Gambar 4.0.16 Bagian Scenes 7 ………………………………………………
112
xvi
DAFTAR TABLE
Tabel 2.0.1 Penjelasan Ikon, Indeks, Simbol ………………………………..
37
Tabel 2.0.2 Penelitian Terdahulu …………………………………………….
43
Tabel 3.0.1 Sample Unit Analisis …………………………………………....
49
Tabel 4.0.1 Pembagian Tanda Scenes 1 ……………………………………..
71
Tabel 4.0.2 Pembagian Tanda Scenes 2 ……………………………………..
82
Tabel 4.0.3 Pembagian Tanda Scenes 3 ……………………………………..
88
Tabel 4.0.4 Pembagian Tanda Scenes 4 ……………………………………..
95
Tabel 4.0.5 Pembagian Tanda Scenes 5 ……………………………………..
102
Tabel 4.0.6 Pembagian Tanda Scenes 6 ……………………………………..
108
Tabel 4.0.7 Pembagian Tanda Scenes 7 ……………………………………..
113
xvii
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Visualisasi yang ada pada suatu film dapat menimbulkan kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikanya ke atas layar (Sobur 2009: hal 127). Bukti dari realitas tersebut dapat terlihat pada supporter sepak bola di Indonesia, yang tidak pernah bisa lepas dari tindak kekerasaan. Visualisasi perfilman merupakan penampilan informasi yang komplek kedalam bentuk visual. Visualisasi dimanfaatkan dalam perfilman yang akan lebih menarik bila dibuat dimana penerima harus berusaha untuk mengartikan symbol tersebut. Dengan disajikannya visualisasi dengan gambar-gambar atau tulisan dan grafik, maka mempermudah penikmat untuk menimbulkan persepsinya sendiri terhadap apa yang sedang mereka tonton. Visualisasi dalam film pun selalu menceritakan bagaimana tingkah dan perilaku yang memiliki maksud tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat.
1
2
Dalam sebuah perfilman pun visualisasi gambar merupakan bagian yang penting. Visualisasi diartikan sebagai pengungkapan suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata dan angka), peta, atau grafik. Secara umum film menggambarkan kisah real yang ada dalam kehidupan nyata. Dan bila ditelusuri lebih jauh akan banyak ditemukan muatan-muatan pesan yang ingin disampaikan oleh sang sutradara.
Muatan-muatan
pesan
tersebut
di
visualisasikan
yang
mengidentifikasikan adanya pesan ideologi yang terkandung dalam isi cerita film ini. Pada kesempatan peneliti ingin mengulas tentang film olahraga yang bertema sepak bola, khususnya kepada supporter sepak bola. Film yang berjudul Green Street Hooligans, menceritakan tentang hooliganisme supporter sepak bola di Inggris, film ini di sutradarai oleh Lexi Alexander dan dibintangi oleh Elijah Wood dan Charlie Hunnam. Di Amerika dan di Australia film ini disebut Green Street Hooligan, di Negara lain disebut football hooligan atau hanya hooligan. Dalam film ini seorang mahasiswa perguruan tinggi yang berkuliah di Harvard terlibat dengan firma hooligan West Ham United atau biasa disebut GSE (Green Street Elite) yang dikelola oleh kaka iparnya. Cerita dan skenario tersebut dikembangkan oleh mantan hooligan yang menjadi penulis yang bernama Dougie. Berbagai kepentingan, baik bisnis maupun politik sangat mempengaruhi dalam membingkai suatu peristiwa tertentu, sehingga suatu peristiwa akan dibingkai sedemikian rupa agar menarik
3
perhatian masyarakat. Sebagai contoh ialah pembuatan film mengenai fanatisme supporter yang di bumbui cinta. Pembanding yang dilakukan oleh sutradara bisa membuat citra ribuan supporter menjadi harum bahkan bisa juga menjadi buruk. Contoh pembingkaian film yang membuat citra supporter menjadi buruk. Dikutip dari film Romeo Juliet supporter persib vs persija yang mengangkat tentang fanatisme supporter di Indonesia khususnya persib dan persija yang dibumbui dengan cinta. Sifat loyalitas itu menunjukkan bahwa supporter tersebut memang benar-benar setia memberikan motivasi buat tim maupun fanatisme. Fanatisme supporter sepakbola yang berujung pada aksi kekerasan dan bentrok antar pendukung pun acapkali di belahan benua manapun. Andibachtiar Yusuf, penulis naskah dan sutradara film ini, menyatakan “fanatisme telah hidup dalam diri para supporter berlandaskan berbagai motif, baik yang rasional maupun yang di luar nalar. Mereka bahkan rela mati demi klub kesayanganya.” Film yang di mulai dari seorang Ranggamobe Larico (Edo Borne) sebagai pendukung persija yang bertemu dengan seorang lady viker yang bernama Dessy Kasih Purnamasari (Sissy prescilia), dalam bentrok tersebut terjadilah kisah klasik itu, cinta pada pandangan pertama antara Rangga dan Dessy. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cerita fiksi merupakan cerita rekaan tentang peristiwa-peristiwa yang didasarkan pada anganangan atau fantasi, sedangkan cerita non fiksi adalah yaitu karangan yang
4
dibuat berdasarkan fakta, realita, atau hal-hal yang benar dan terjadi pada kehidupan kita sehari-hari. Beberapa contoh diatas menunjukkan bahwasannya pembingkaian cerita berpengaruh besar kepada para penontonnya. Cerita fiksi yang di angkat oleh sutradara dapat membingkai sebuat cerita film juga bisa membuat citra supporter menjadi buruk. Setelah banyak contoh berita yang dibingkai media diatas, penulis tertarik untuk meneliti visualisasi anarkisme supporter sepakbola dalam film green street holigans. Green Street Hooligans ini menjadi menarik ketika muatan pesan tersebut dapat dilihat dari penggambaran visual yang dibangun pada film tersebut mengenai fanatisme supporter sepak bola terhadap klub kesayangannya yaitu West Ham United. Dari fanatisme itu sendiri yang akhirnya menimbulkan anarkis antar holigans yang tervisualisasikan pada film tersebut. Berbicara mengenai simbol dan tanda maka tepat kiranya jika semiotika dijadikan pisau bedah untuk meneliti lebih jauh tetang film Green Street Hooligans ini. Peneliti memilih simiotika karena kemampuan pendekatan ini memilih dan memilah setiap tanda dalam film baik audio maupun visual, verbal maupun nonverbal. Selain itu semiotika berkaitan erat dengan ideology. Semiotika sering ditunjuk sebagai model awal dari analisis yang mempu menampilkan bekerjanya ideology dalam teks. Dalam film Green Street Hooligans ini diharapkan kecurigaan penulis mengenai
5
pesan-pesan ideology mengenai fanatisme dan anarkisme dapat dikupas secara detail dengan teori simiotika. Dengan pertimbangan itulah penulis ingin mengangkat sebuah film sebagai objek penelitian semiotika sebagai pisau bedahnya. Karena unsur fanatisme dan anarkisme di film ini sangatlah kuat dan sangat berkarakter sehingga para penonton bisa menyimpulkan tayangan yang mereka tonton. Berdasarkan paparan di atas, penulis merasa perlu mengkaji lebih jauh film ini ke dalam bentuk penelitian yang berjudul “Visualisasi anarkisme supporter sepak bola pada film Green Street Hooligans” 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan
pokok-pokok
pemikiran
pada
pemaparan
latar
belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana “Visualisasi anarkisme supporter sepak bola dalam film Green Street Hooligans”? 1.3
Identifikasi Masalah Masalah dalam penelitian ini diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Bagaimana Sign anarkis dalam film Green Street Hooligans? 2. Bagaimana Object symbol anarkis dalam film Green Street Hooligans? 3. Bagaimana Interpretan anarkis dalam film Green Street Hooligans?
6
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam penulisan ini ialah: 1. Mengungkapkan Sign apa yang muncul tentang visualisasi anarkis yang terjadi dalam film Green Street Hooligans. 2. Mengungkapkan Object symbol-symbol anakis dalam film Green Street Hooligans. 3. Mengungkapkan Interpretan anarkis dalam film Green Street Hooligan
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi studi komunikasi, khususnya mengenai media film yang berkaitan dengan studi semiotika baik dalam pembelajaran teori pada perkuliahan mengenai semiotika komunikasi maupun sinematografi. 1.5.2 Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan baru kepada khalayak mengenai pesan-pesan yang terkandung dalam sebuah film. Juga sebagai masukan untuk para sineas perfileman tanah air baik untuk produser, pekerja film.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kajian Teoritis
2.1.1 Visualisasi Visualisasi berasal dari kata, yaitu: 1.
Visual berarti berdasarkan penglihatan atau dapat dilihat.
2.
Visualization berarti pemberian gambar
3.
Visualize berarti memberi gambar tentang sesuatu. Visualisasi diartikan sebagai pengungkapan suatu gagasan atau
perasaan dengan menggunakan bentuk gambar, tulisan (kata dan angka), peta, atau grafik. Juga diartikan sebagai proses pengubahan konsep menjadi gambar untuk disajikan lewat media misalnya televisi oleh produsen. Edward Tufte (1997: hal 23) mengatakan bahwa “Visualization is successful if it reveals this structure. A different way to express this it to say that information design works with information, while information visual information works with data as it always the case with the actual cultural practice, it is easy to find example that do not fit such distinction but a majority do. Therefore, I think that this distinction can be useful in allowing us to understand the practices of information visualization design as partially overlapping but ultimately different in terms of their functions”. Visualisasi (Inggris: visualization) adalah rekayasa dalam pembuatan
7
8
gambar, diagram atau animasi untuk penampilan suatu informasi. Secara umum, visualisasi dalam bentuk gambar baik yang bersifat abstrak maupun nyata telah dikenal sejak awal dari peradaban manusia. Contoh dari hal ini meliputi lukisan di dinding-dinding gua dari manusia purba, bentuk huruf hiroglip Mesir, sistem geometri Yunani, dan teknik pelukisan dari Leonardo da Vinci untuk tujuan rekayasa dan ilmiah. Visualisasi adalah suatu bentuk penyampaian informasi yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu dengan gambar, animasi atau diagram yang bisa dieksplor, dihitung dan dianalisis datanya. Menurut McCormick (et al., 1987), visualisasi memberikan cara untuk melihat yang tidak terlihat. Beberapa hal yang menyusun terbentuknya visualisasi: 1.
Penggunaan tanda-tanda (signs)
2.
Gambar (drawing)
3.
lambang dan symbol
4.
Ilmu dalam penulisan huruf (tipografi)
5.
Ilustrasi dan warna Visualisasi merupakan upaya manusia dalam mendeskripsipkan
maksud tertentu menjadi sebuah bentuk informasi yang lebih mudah dipahami. Biasanya pada jaman sekarang manusia menggunakan komputer. Visualisasi berkembang dengan perkembangan teknologi, diantaranya rekayasa, visualisasi disain produk, pendidikan, multimedia interaktif, kedokteran, dan lain-lain. Pada dasarnya visualisasi digunakan untuk
9
mendiagnosa dan menganalisis data yang ditampilkan agar dapat memprediksi kesimpulan. 2.1.1.1 Visualisasi Berdasarkan Komunikasi Massa Elvinaro menyebutkan komunikasi massa dapat dijelaskan melalui beberapa karakteristik (Elverano 2004: hal 57). Karakteristik tersebut antara lain: komunikator dalam komunikasi massa terlembagakan, komunikasi massa menggunakan media massa, baik media cetak maupun elektronik. Komunikasi massa juga melibatkan lembaga dan komunikatornya bergerak dalam organisasi yang kompleks (Elvirano 2004: hal 57). Pesan yang disampaikan komunikasi massa bersifat umum. Komunikasi massa bersifat terbuka, artinya komunikasi massa itu ditunjukan untuk semua orang dan tidak untuk sekelompok orang tertentu (Cangara Hafied 2004: hal 14). Pesan adalah sesuatu yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan melalui proses komunikasi. Ada juga yang mengatakan bahwa pesan adalah serangkaian isyarat atau simbol yang diciptakan oleh seseorang untuk maksud tertentu dengan harapan bahwa penyampaian isyarat atau simbol itu akan berhasil dalam menimbulkan sesuatu. Bahasa verbal sebagai bentuk pesan yang digunakan oleh manusia untuk mengadakan kontak dengan realitas lingkungnnya (Daryanto 2010: hal 97).
10
Bentuk yang paling umum dari bahasa verbal manusia adalah bahasa terucapkan. Bahasa tertulis adalah sekedar cara untuk merekam bahasa terucapkan dengan membuat tanda – tanda pada kertas ataupun pada lembaran tembaga dan lain-lain. Penulisan ini memungkinkan manusia untuk merekam dan menyimpan pengetahuan sehingga dapat digunakan dimasa depan atau di transmisikan pada generasi - generasi berikutnya. a.
Bahasa sebagai lambang
b.
Bahasa dan makna
c.
Bahasa dan kebudayaan
d.
Bahasa dan kenyataan Komunikasi massa bersifat anonim dan heterogen. Komunikator
dalam komunikasi massa tidak mengenal komunikan (anonym), karena komunikasinya menggunakan media dan tidak tatap muka. Selain itu, komunikan komunikasi massa adalah heterogen, karena terdiri dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda, yang dapat dikelompokkan berdasarkan factor: usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, latar belakang budaya, agama, dan tingkat ekonomi (Daryanto 2010: hal 97). Komunikasi
massa
menimbulkan
keserempakan.
Kelebihan
komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relative banyak dan tidak terbatas. Bahkan lebih dari itu, komunikan yang banyak tersebut
11
secara serempak pada waktu yang bersamaan memperoleh pesan yang sama (Daryanto 2010: hal 97). Komunikasi massa mengutamakan dimensi isi ketimbang dimensi hubungan. Sedangkan pada komunikasi antara personal unsur hubungan sangat penting. Dimensi isi menunjukkan muatan atau isi komunikasi, yaitu apa yang dikatakan, sedangkan dimensi hubungan menunjukkan bagaimana cara mengatakannya, yang juga mengisyaratkan bagaimana hubungan para peserta komunikasi itu. 2.1.2 Definisi Film Menurut Undang-Undang Perfilmn No. 8 tahun 1992, Pasal 1 Ayat 1. Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi
massa
pandang-dengar
yang
dibuat
berdasarkan
asas
sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya. Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (UU baru tentang perfilman) “Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan”.
12
Film dihasilkan dengan rekaman dari orang dan benda (termasuk fantasi dan figure palsu) dengan kamera, dan atau oleh animasi. Kamera film menggunakan pita seluloid (atau sejenisnya, sesuai perkembangan teknologi). Butiran silver halida yang menempel pada pita ini sangat sensitif terhadap cahaya. Saat proses cuci film, silver halida yang telah terekspos cahaya dengan ukuran yang tepat akan menghitam, sedangkan yang kurang atau sama sekali tidak terekspos akan tanggal dan larut bersama cairan pengembang (developer).
Pada dasarnya film dapat dikelompokkan ke dalam dua pembagian besar, yaitu kategori film cerita dan film non-cerita. Terkadang suka digolongkan menjadi film fiksi dan non-fiksi. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya, film cerita bersifat komersial, artinya dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar di televisi dengan dukungan iklan tertentu. Film non-cerita merupakan kategori film yang mengambil kenyataannya sebagai subyeknya. Jadi merekam kenyataan daripada fiksi tentang kenyataan (Himawan Pratista 2008, 24)
2.1.3 Film sebagai Media Massa Film adalah gambar yang bergerak yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukan di gedung-gedung pertunjukan (bioskop), film ini jenisnya teatrikal. Hal ini diperkuat dengan pendapat atau pandangan undang-undang nomor 8 tahun 1992, yang mengatakan bahwa film adalah
13
karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dIbuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan / atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan / atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan / atau lainnya. Media
massa
(film)
merupakan
perpanjangan
tangan
dari
masyarakat, sehingga apa yang terkandung dalam media tersebut merupakan gambaran realitas sosial di masyarakat, yang mempunyai kekuatan dalam menyampaikan suatu makna, tentunya dengan ide yang dituangkan oleh komunikator lewat berita dan hIburan yang dikemas dalam isi pesan media. McQuail (1987) mendefinisikan pandangannya tentang media sebagai berikut: 1. Media massa sebagai penterjemah yang menolong kita, menjadikan pengalaman diri menjadi suatu yang masuk akal. 2. Media adalah angkutan yang menyampaikan informasi. 3. Media merupakan sarana komunikasi interaktif yang memberikan kesempatan kepada khalayak atau masyarakat untuk memberikan tanggapan atau umpan balik. 4. Media merupakan tanda yang memberikan intruksi dan menunjukkan arah.
14
5. Media merupakan filter yang memfokuskan kita pada beberapa bagian dari pengalaman pribadi dan mengalihkannya dari beberapa bagian yang lain. 6. Media merupakan cermin yang merefleksikan diri kita. 7. Media merupakan pagar pembatas yang memblokir suatu kebenaran. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film, radio, dan televisi (Cangara 1998). Media massa juga mempunyai kemampuan yang kuat dalam mengubah perilaku khalayak (komunikan) melalui proses imitasi (belajar sosial). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya stasiun televisi, radio, perusahaan media cetak, baik itu surat kabar, majalah, dan media cetak lainnya, sebab masyarakat selalu haus akan informasi, hIburan dan lain sebagainya yang disediakan oleh media massa. Hal ini dipertegas oleh McQuil (1987), yang mengatakan” Media massa merupakan salah satu sarana untuk pengembangan kebudayaan, bukan hanya udaya dalam pengertian seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata-cara, mode, gaya hidup dan norma-norma”. Sementara menurut Liliweri (2001), jenis media massa berorientasi pada 3 aspek penting. Pertama mengenai penglihatan (visual dan verbal) dalam hal ini media cetak, kedua mengenai pendengaran (audio) semata-mata (radio, tape recorder), verbal vokal dan yang ketiga mengenai pendengaran dan
15
penglihatan (televisi, film, video) yang bersifat verbal visual vokal. Bahkan menurut Nurudin (2007), media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas. Selain itu media massa juga mempunyai fungsi. Menurut Bungin (Bungin 2007: hal 78-81) fungsi Komunikasi massa adalah fungsi pengawasan, fungsi sosial learning, fungsi penyampaian informasi, fungsi tranformasi budaya, dan fungsi hIburan. 1. Fungsi pengawasan, media massa merupakan sebuah medium dimana dapat digunakan untuk pengawasan aktivitas masyarakat pada umumnya. Fungsi pengawasan ini bisa berupa peringatan dan kontrol sosial maupun kegiatan persuasif. 2. Fungsi social learning, fungsi utama dari komunikasi media massa adalah melakukan guiding dan pendidikan sosial kepada seluruh masyarakat. Media massa bertugas untuk memberikan pencerahanpencerahan kepada masyarakat dimana komunikasi massa itu berlangsung. 3. Fungsi penyampaian informasi, komunikasi massa mengandalkan media massa, sebagai alat dalam proses penyampaian informasi kepada masyarakat luas. Komunikasi massa memungkinkan informasi dari institusi publik tersampaikan kepada masyarakat secara luas dalam waktu yang cepat dan singkat. 4. Fungsi transformasi budaya, merupakan fungsi yang yang bersifat dinamis. Komunikasi massa sebagaimana sifat-sifat budaya massa,
16
maka yang terpenting adalah komunikasi massa menjadi proses transformasi budaya yang dilakukan bersama-sama oleh semua komponen komunikasi massa, terutama yang didukung oleh media massa. 5. Fungsi hiburan, komunikasi massa juga digunakan sebagai medium hIburan, terutama karena komunikasi massa menggunakan media massa. Jadi fungsi hIburan yang ada pada media massa, juga merupakan bagian dari fungsi komunikasi massa. Dengan demikian, maka fungsi hIburan dari komunikasi massa saling mendukung fungsi-fungsi lainnya dalam proses komunikasi massa. 2.1.4 Film Sebagai Realitas Tanda Media dalam hal ini film, bisa diartikan sebagai sistem tanda atau lambang tertentu yang berada ditengah khalayak, yang diekspresikan sebagai seni dan karya sastra kemudian ditungkan dalam isi pesan pada sebuah film. Sebagai realitas tanda, isi pesan film banyak dipandang sebagai gambaran simbolik (symbolic representation), dari suatu budaya dan latar belakang di masyarakat. Sehingga isi pesan dalam film yang disampaikan oleh sutradara (komunikator), merupakan cerminan dari realitas sosial yang berupa nilai-nilai, aturan, dan tatanan normatif, yang diangkat dari simbol-simbol realitas menjadi tontonan yang dipadukan antara berita dan hiburan.
17
Tanda dalam realitas tersebut diangkat dari persepsi sutradara (komunikator) sendiri, yang dimaknai dari pengalaman yang didapat atau dilihat dari lingkungan sosial budaya. Sehingga film tidak semata membentuk realitas tapi memberikan penekanan persepsi di depan kamera. Hal ini diperkuat oleh pandangan Alex Sobur pada tahun 2004, bahwa film bukan semata-mata memproduksi realitas tetapi juga mendefinisikan realitas. Film dibagi kedalam tiga kategori yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi yang biasa disebut dengan film kartun. 1. Film fitur, merupakan karya fiksi yang stukturnya berupa narasi yang dIbuat dengan tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan tahap ketika skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, cerita pendek atau karya cetakan lainya. Bisa juga dIbuat secara khusus untuk dIbuat filmnya. Tahap produksi yaitu masa berlangsunganya pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap terakahir, adalah posproduksi (editing), ketika semua bagian film dalam pengambilan gambar tidak sesuai urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu. 2. Film
dokumenter,
merupakan
film
yang
nonfiksi
yang
menggambarkan situasi kehidupan nyata, dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamanya dalam situasi apa adanya. Tanpa persiapan, langsung pada kamera dan pewawancara.
18
Film dokumenter sering kali diambil tanpa skrip dan jarang ditampilkan di gedung bioskop seperti film fitur. Film jenis ini biasanya ditampilkan di televisi. 3. Film animasi, merupakan film yang menggunakan teknik ilusi gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan peyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohya. Selain berbagai jenis film tersebut di atas, Ardianto (2004), mengelompokkan film menjadi 4 jenis salah satunya adalah film cerita (story film): Film cerita adalah film yang mengandung suatu cerita, dan biasanya cerita yang diangkat untuk membuat sebuah film jenis ini, bisa fiksi dan bisa juga berdasarkan kisah nyata yang sudah dimodifikasi oleh sutradara, supaya lebih terlihat menarik baik dari segi cerita maupun dari segi gambarnya. Film yang penulis teliti merupakan film yang termasuk ke dalam jenis film cerita seperti yang telah disebutkan oleh Ardianto, karena isi pesan dalam film ini merupakan kisah nyata atau realitas sesungguhnya yang diangkat oleh sutradara menjadi sebuah film cerita.
19
2.1.5 Film Sebagai Representasi Realitas Secara etimologis, film berarti moving image, gambar bergerak. Awalnya, film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi. Ia ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Thomas Edison yang untuk pertama kalinya mengembangkan kamera citra bergerak pada tahun 1888 ketika ia membuat film sepanjang 15 detik yang merekam salah seorang asistennya ketika sedang bersin. Segera sesudah itu, Lumiere bersaudara memberikan pertunjukkan film sinematik kepada umum di sebuah kafe di Paris (Danesi 2010: hal 132). Pada titik ini film telah menjadi media bertutur manusia, sebuah alat komunikasi, menyampaikan kisah. Jika sebelumnya bercerita dilakukan dengan lisan, lalu tulisan, kini muncul satu medium lagi: dengan gambar bergerak, yang diceritakan adalah perihal kehidupan. Di sinilah kita lantas menyebut film sebagai representasi dunia nyata. Eric Sasono menulis, dibanding media lain, film memiliki kemampuan untuk meniru kenyataan sedekat mungkin dengan kenyataan sehari-hari. Film dIbuat representasinya oleh pembuat film dengan cara melakukan pengamatan terhadap masyarakat, melakukan seleksi realitas yang bisa diangkat menjadi film dan menyingkirkan yang tidak perlu, dan direkonstruksi yang dimulai saat menulis skenario hingga film selesai di buat.
20
Meski demikian, realitas yang tampil dalam film bukanlah realitas sebenarnya. Film menjadi imitasi kehidupan nyata (Irwansyah 2009: hal 12), yang merupakan hasil karya seni, di mana di dalamnya di warnai dengan nilai estetis dan pesan-pesan tentang nilai yang terkemas rapi (AlMalaky 2004: hal 139). Dalam kajian semiotik, film adalah salah satu produk media massa yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh sesuatu, bagaimana makna itu digambarakan, dan mengapa ia memiliki makna sebagaimana ia tampil. Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotik media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikansi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan pada tingkat interpretant (Danesi 2010: hal 134). 2.1.6 Holigans Menurut Chols, kata ‚supporter/hooligans ‚ berasal dari kata kerja (verb) dalam bahasa Inggris to support dan akhiran (suffict) –er. To support artinya mendukung, sedangkan akhiran –er menunjukkan pelaku. Suporter dapat diartikan sebagai orang yang memberikan suporter atau dukungan
21
(Kamus Bahasa Inggris, 1988). Sementara itu, menurut Yasyin (Kamus Bahasa Indonesia, 1997) istilah‚ penonton berasal dari awalan pe- dan kata kerja tonton dalam bahasa Indonesia. Awalan pe- dalam hal ini berarti orang yang melakukan pekerjaan sesuai dengan kata kerja. Bila kata kerjanya tonton, maka penonton berarti orang yang menyaksikan suatu pertunjukan atau tontonan. Ada perbedaan yang tipis antara „penonton‟ dan „suporter‟, terlebih lagi apabila kata tersebut digunakan dalam persepakbolaan. Penonton adalah orang yang melihat atau menyaksikan pertandingan sepakbola, sehingga bersifat pasif. Sedangkan suporter adalah orang yang memberikan dukungan, sehinga bersifat aktif. Dalam lingkungan sepakbola, suporter erat kaitannya dengan dukungan yang dilandasi oleh perasaan cinta dan fanatisme terhadap tim. Selain penonton dan suporter, istilah lain juga muncul berkenaan dengan sebutan terhadap sekelompok orang yang sedang menyaksikan pertandingan sepakbola. Sindhunata pada tahun 2002 mengatakan bersumber dari sejumlah terbitan surat kabar di Surabaya maupun tulisan hasil penelitian sejumlah ahli, peneliti melansir adanya beberapa istilah untuk penonton sepakbola, seperti istilah tifosi dari Italia, yang berarti pendukung fanatik dalam sepakbola Italia, begitu pula halnya dengan istilah torsedor dari Amerika Latin, Hooligans dari Inggris, Istilah The Jak dari Jakarta, Deltamania dari Sidoarjo, dan yang paling fenomenal di Indonesia adalah istilah Bonek serta Boling dari Surabaya. Istilah Bonek dan Boling
22
merupakan singkatan atau akronim dari kata ‟bondho nekat‟ dan „bondho maling‟. Dapat disimpulkan bahwa Suporter yang fanatis mempunyai pandangan sempit terhadap tim sepakbola yang dicintai dan berantusias atau
bersemangat
yang
tinggi
untuk
mendukung
tim
sepakbola
kesayangannya serta ditunjukkan dengan berperilaku yang irrasional ketika kesebelasannya dicemooh atau kalah dalam bertanding. Suporter akan betindak sangat emosional dan misinya, praktis tak mengenal batas-batas. Begitu pula sebaliknya ketika kesebelasannya menang dalam pertandingan, suporter mengalami rasa kegembiraan yang luar biasa dan larut dalam euforia. 2.1.6.1 Sejarah Hooligans Harus diakui, Inggris adalah pelopor sepakbola modern karena Negara inilah yang menyempurnakan peraturan sepak bola menjadi menarik seperti sekarang ini. Pada tahun 1845 baru dibuat peraturan yang mengenai permainan sepakbola. Sebelumnya sepakbola masih sama dengan rugby, pemain masih boleh menggunakan tangan untuk menangkap dan membawa bola. Baru pada tahun 1949 ada peraturan, pemain sepak bola tidak boleh menggunakan tangannya dan sepakbola „berpisah‟ dengan rugby (Arifin 2011: hal 17). Bagi penggila sepak bola, istilah hooligan bukanlah kosa kata asing lagi. Sebutan hooligan merujuk pada fans fanatik Inggris yang hampir di
23
setiap pertandingan berbuat ulah, ricuh dan rusuh. Dalam banyak kasus, terlebih saat Inggris mengalami kekalahan dalam pertandingan tandang maupun di kandang sendiri, hooligan kerap berurusan dengan kepolisian karena tidak menunjukkan perilaku sportif yang berujung anarkistis. Jika melihat tampilan para hooligan, dalam keadaan biasa, memang lucu kelihatannya. Namun, begitu mereka beraksi, tak ada lagi yang patut ditertawakan. Mereka suka mabuk-mabukan, muntah, dan kencing sembarangan. Berkelahi dengan siapa saja yang dijumpainya, terutama terhadap pendukung musuh kesebelasannya. Polisi pun tidak segan dilabrak. Penyakit hooliganisme tersebut kini menular ke seluruh penjuru dunia, mulai dari daratan Eropa, ujung Afrika, pedalaman Cina hingga pelosok Indonesia. Bahkan, hooliganisme di negeri ini juga menyulut banalisme di luar stadion. Kisah kekerasan suporter bola, termasuk di Indonesia, melahirkan tanda tanya besar di benak kita: ada apa dengan sepak bola dan suporternya? Sejak kapankah hooligan muncul dalam dunia sepak bola? Buku The Land of Hooligans ini secara lugas mengisahkan sejarah para perusuh sepak bola di berbagai negara. Penulis juga berusaha mengurai variabel sosial. Ini hanya satu di antara puluhan buku, atau bahkan ratusan buku, yang pernah ditulis mengenai kekerasan suporter sepak bola. Tapi, buku ini punya keistimewaan sebab mencatat kronik sejarah secara detail, Istilah hooliganisme muncul sejak akhir abad ke 19, tepatnya pada 1898 di Inggris.
24
Tak heran jika Inggris adalah gudang penghasil hooligan yang paling padat. Sementara studi mengenai suporter sepak bola dimulai akhir 1960-an. Sejak itu pula, ada kepedulian politis, sosial, dan media yang besar terhadap. Puncak aksi hooliganisme terjadi pada 29 Mei 1985 ketika suporter Liverpool menyerang suporter Juventus dalam final Champions Cup di Stadion Heysel, Brussel, Belgia. Peristiwa ini bermula dari pendukung masing-masing klub yang saling mengejek dan melecehkan. Kemudian, para pendukung Juventus mulai melemparkan kembang api ke arah pendukung Liverpool. Huru-hara pun meledak. Akibat peristiwa itu, 39 orang tewas mengenaskan. Kisah-kisah kekerasan hooligan terus mewarnai dunia sepak bola, termasuk dalam pertandingan derby. Di Skotlandia, yang paling sering terjadi adalah perang antar-suporter Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers. Celtic adalah klub yang dianggap mewakili agama Katolik, sedangkan Rangers mewakili Protestan. Masing-masing hooligan siap bertaruh nyawa. Suporter Rangers sering menamakan diri Billy Boys, yakni geng yang menghabisi umat Katolik Glasgow semasa Perang Dunia I dan II. Akibatnya, derby kedua klub ini selalu panas. Pendukung kedua klub pun sering terlibat bentrok sebab setiap Celtic dan Rangers bertanding, olok-olokan suporter saling menyerang. Di Italia, pertandingan derby Inter Milan versus AC Milan disebutsebut sebagai perang kaum miskin (Milan) melawan kaum kaya (Inter). Konteks yang sama terjadi pula di Turki. "Derby Istanbul" yang
25
memertemukan Fenerbahce versus Galatasaray adalah pertandingan yang dianggap sebagai perang kaum miskin (Fenerbahce) versus aristokrat (Galatasaray) bawah. Secara sosiologis, popularitas sepak bola mempresentasikan permainan kelas bawah. Maklum, media massa sebelum era 1995-an masih senang mencemooh sepak bola milik kelas proletar di Eropa, milik masyarakat Dunia Ketiga di Asia dan Amerika Latin, dan milik penduduk terbelakang di Benua Afrika. Sebagaimana ditulis Jim White dalam buku Manchester United; The Biography (edisi 2009), sepakbola memang tidak bisa dipisahkan dari persoalan sosial. Apayang terjadi di antara suporter itu adalah fenomena sosial yang kompleks. Menurut survey pada 1960 terhadap 520 perusuh Inggris yang ditahan polisi menunjukkan, buruh kasar (68, 1%). Kaum buruh menyukainya karena sepak bola adalah orahraga kasar. Kenyataan menegaskan, sebagian besar pemain sepak bola, kendati sekarang sudah menjadi jutawan atau miliarder, berasal dari lingkungan buruh. Dengan sendirinya sepak bola menemukan akar yang kuat di komunitas buruh. Sosiolog John William dari Leicester University yang memimpin penelitian tentang kekerasan dalam sepak bola menemukan fakta lain. Kini, muncul kesadaran baru di kalangan buruh, yaitu bangga pada kulturnya yang kasar. Alasannya, tidak berubahnya status mereka dalam jangka waktu yang panjang membuat kelompok ini patah semangat
26
untuk mengubah keadaanya. Kompetisi dalam sepak bola lalu dianggap relevan sebagai sikap pelarian. Frustasi dalam hidup bermasyarakat kerap dijadikan alasan melancarkan agresi dan tidak banyak sarana untuk menyalurkannya. Dalam hal ini, pertandingan sepak bola yang dipadati ribuan penonton 'dibajak' sebagai sarana pelampiasan. Karena itu, sesungguhnya ada mata rantai antara kekerasan dalam sepak bola dan agresi sosial tersebut. Salah satu pihak yang turut bertanggungjawab mematahkan mata rantai itu adalah pemain. Pemain sejatinya menampilkan permainan yang menarik tanpa kekerasan. Begitu memeragakan kekerasan, dia wajib dihukum seberat-beratnya sehingga dapat meredam emosi suporter dan harus sportif. Itulah sepak bola yang memiliki kisahnya sendiri. 2.1.7 Anarkisme Adanya fanatisme dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang mengalami deindividuasi. Ciri-ciri yang jelas dari sifat anarkis adalah ketidakmampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Ahmad Kursyid (1993: hal 30) fanatisme akan lebih berkembang bila agama tidak mengambil bagian dalam percarturan politik atau berperan besar dalam kekuatan politik. Istilah fanatisme dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok, tidak jarang juga dapat menimbulkan agresi dan tindak
27
kekerasan. Sebagai bentuk kognitif, individu yang fanatik akan cenderung kurang terkontrol dan tidak rasional. Apabila bentuk kognitif ini mendasari setiap beperilaku, maka peluang munculnya agresi akan semakin besar. Berdasarkan beberapa uraian pendapat diatas maka penulis dapat mendefinisikan bahwa fanatisme merupakan suatu antusiasme pada sesuatu, sehingga menimbulkan agresi atau yang sering disebut dengan tindak kekerasan dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya. Fanatisme juga merupakan suatu pemikiran akan ketertarikan individu terhadap objek fanatis (individu atau kelompok ataupun barang) yang dianggap layak sebagai panutan atau hal-hal yang tertentu yang menyebabkan individu yang bersangkutan tertarik dan diyakini secara mendalam, sehingga sulit diluruskan atau diubah. Fanatis dapat berbahaya jika fanatis tersebut bersifat ekstrim, individu yang fanatis mempunyai pandangan yang sempit terhadap figur atau kelompok yang dicintai sebagai yang paling benar dan harus jadi nomor satu. Maka timbulah suatu anarkisme atau kerap dikatakan dengan kekerasaan. 2.1.8 Semiotika Film Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti yang dikemukakan oleh van Zeost, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu trermasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang
28
diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Pada film digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Ciri gambar gambar film adalah persamaanya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya (Sobur 2004: hal 128). Alex Sobur (2004: hal 128) juga mengatakan bahwa film menuturkan ceritanya dengan cara khususnya sendiri. Kekhususan film adalah
mediumnya,
cara
pembuatannya
dengan
kamera
dan
pertunjukkannya dengan proyektor dan layar. Ada hal-hal yang dapat dilakukan film yang tidak dapat dilakukan cerita tertulis dan sebaliknya. Film televisi memiliki bahasanya sendiri dengan sintaksis dan tata bahasa yang berbeda. Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsure yang akrab, seperti pemotongan, (cut), pemotretan jarak dekat (close up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (long shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve),gerakan lambat (slow motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect) (Sobur 2004: hal 128). Semiotika sebagai suatu cara untuk mengkaji tentang film. Semiotika beroperasi dalam wilayah tanda. Film dikaji melalui sistem tanda, yang terdiri dari lambing baik verbal maupun yang berupa ikon-ikon atau gambar.
29
Dari berbagai tanda dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise en scene yang terkait dengan penempatan posisi dan pergerakan actor pada set (blocking), serta sengaja dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan (scene) dan sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera. Mise en scene berarti menempatkan sesuatu pada satu layar, unsure-unsurnya antara lain actor’s performance yang terdiri dari script adalah sebuah naskah yang berisi semua kalimat yang diucapkan oleh pemain film, dan movement yaitu semua hal dan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemain film (Bordwell dan Thomson 1993: hal 45). Selain itu menurut Bordwell dan Thomson (1993: hal 45) mise en scene juga terdiri dari unsur suara (sound). Sound yaitu latar belakang suara pemain, lagu sound effect, atau nat sound (suara di sekeliling pemain film). Suara yang dapat didengar mendampingi visualisasi gambar pada layar. Adapun kategori suara antara lain: Spoken word berupa perkataan, komentar, dialog, maupun monolog dari seorang pemain film. Natural sound berupa semua suara selain ucapan pemain film dan musik yang berfungsi sebagai ilusi realitas dan simbilisasi keadaan. Serta, music berupa instrumen atau nyanyian yang berfungsi untuk membantu transisi antar sequence, membentuk suasana latar tempat, membentuk kesan emosi pemain lebih hidup, untuk membentuk atmosfer, menambah kesan dramatis ataupun sekedar menyampaikan pesan non verbal (Bordwell dan Thomson 1993: hal 45).
30
Unsur selanjutnya dalam mise en scene yaitu production design. Production design yang terdiri dari setting berupa lokasi pengambilan gambar, property berupa segala peralatan atau barang yang mendukung pelaksaan produksi film, dan costum berupa segala pakaian yang dipakai oleh pemain. Penerapan metode semiotika dalam film berkaitan erat pula dengan media televisi. Karena televisi merupakan medium yang kompleks yang menggunakan bahasa verbal, gambar dan suara untuk menghasilkan impresi dan ide-ide pada orang. Aspek-aspek yang diperhatikan dari medium yang berfungsi sebagai tanda, untuk membedakan sebagai pembawa tanda. Berkesinambungan dengan objek yang peneliti ambil. 2.1.8.1 Semiotika Charles Sander Peirce Secara etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti”tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dan dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Sobur 2004: hal 95). Secara terminologis, semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan; cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaan oleh mereka yang mempergunakannya (Sujiman and Zoest 1992: hal 5). Semiotik ini menekankan pada fungsi tentang yang tanda yang kita gunakan dalam rangka komunikasi baik itu secara verbal, non verbal dan
31
maupun visual (Senel 2007: hal 118). Analisis semiotik merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks (Pawito 2007: hal 155-156). Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk sistem lambang (sign) baik yang terdapat pada media massa maupun yang terdapat diluar media massa. Urusan analisis semiotik adalah melacak makna-makna yang diangkut dengan teks berupa lambanglambang (signs). Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik. Di dalam setiap teks, tanda-tanda di organisasikan ke dalam sistem tanda yang oleh ilmu semiotika merupakan sebuah kode. Kode mempunyai sejumlah unit (atau kadang-kadang satu unit) tanda. Cara menginterpretasi pesan-pesan yang tertulis yang tidak mudah dipahami. Jika kode sudah diketahui, makna akan bisa dipahami. Dalam semiotik, kode dipakai untuk merujuk pada struktur perilaku manusia (Rachmat 2006: hal 269). Jika dalam teks kita dapat memilih dan menghubungkan tanda-tanda dalam hubungannya dengan kode-kode yang sudah kita kenali maknanya, selanjutnya dilanjutkan kepada sasaran informasi atau pembaca yang kita inginkan. Karena sistem tanda sifatnya konteksual dan bergantung pada pengguna tanda. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada. Dalam membaca sebuah teks, pembaca menginterpretasikan tanda dengan acuan
32
yang telah dipahami dan dimengerti. John Fiske menyebut bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu (Fiske 2006: hal 60): Jika dalam teks kita dapat memilih dan menghubungkan tanda-tanda dalam hubungannya dengan kode-kode yang sudah kita kenali maknanya, selanjutnya dilanjutkan kepada sasaran informasi atau pembaca yang kita inginkan. Karena sistem tanda sifatnya konteksual dan bergantung pada pengguna tanda. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada. Dalam membaca sebuah teks, pembaca menginterpretasikan tanda dengan acuan yang telah dipahami dan dimengerti. John Fiske menyebut bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama, yaitu (Fiske 2006: hal 60): a. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. b. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikasikannya.
33
c. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Dalam semiotika komunikasi, tanda atau signal dikaji dalam konteks komunikasi yang lebih luas yaitu melibatkan berbagai elemen komunikasi. Charles Sanderss Peirce melihat tanda (representamen) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda (interpretant) (Piliang 2003: hal 266). Tampak pada definisi Peirce tersebut peran subjek (somebody) sebagai bagian tidak terpisahkan dari pertandaan, yang menjadi landasan semiotika komunikasi. Penempatan
tanda
atau
signal
didalam
rantai
komunikasi
menyebabkan tanda atau signal mempunyai peran yang penting dalam penting dalam komunikasi. Jadi, dalam teori komunikasi perhatian lebih kepada kondisi penyampaian signifikasi, yaitu ada saluran komunikasi. Berkat saluran komunikasi inilah pesan dapat disampaikan (Sujiman and Zoest 1992: hal 6). Peirce juga mengungkapkan bahwasanya makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu (Sujiman and Zoest 1992: hal 7). Tanda sebagai produksi pesan, direkonstruksi berdasarkan konteks atau sistem sosial-budaya. Jadi, tanda bersumber dari referensi sosial-budaya yang disepakati bersama untuk dijadikan sebagai pedoman dan acuan untuk berkomunikasi. Menurut Peirce, suatu sistem semiotik terdiri dari tanda, object dan interpretant, dimana interpretant datang dari interpreter di
34
dalam
sistem dan mengambil bagian aktif dalam
proses
semiosis
(Barbieri 2008: hal 1-3). Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni representamen (R), objek (O), dan interpertant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi (secara fisik atau mental). Pada bagian inilah, seorang manusia mempersepsi dasar (ground). Selanjutnya, tanda ini merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Bagian ini menuntun seseorang mengaitkan dasar (ground) dengan suatu pengalaman.
I merupakan bagian dari proses yang
menafsirkan hubungan R dengan O. Di sini seseorang bisa menafsirkan persepsi atas dasar yang merujuk pada objek tertentu. Dengan demikian, Peirce menjadikan tanda tidak hanya sebagai representatif, tetapi juga interpretatif. Peirce melihat subjek sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
proses
signifikasi.
Model
triadik
Peirce
(representamen+objek+interpretan=tanda) memperlihatkan peran besar subjek dalam proses transformasi bahasa. Tanda dalam pandangan Peirce selalu berada di dalam proses perubahan tanpa henti, yang disebut proses semiosis tidak berbatas (unlimited semiosis), yaitu proses penciptaan rangkaian interpretan yang tanpa akhir (Piliang 2003: hal 266).
35
Gambar. 2.0.1: Elemen Makna Charles Sander Pierce (Fiske 2006: hal 63) Model triadik Peirce tersebut memperlihatkan tiga elemen utama pembentuk tanda, yaitu representamen (sesuatu yang merepresentasikan sesuatu yang lain), objek (sesuatu yang direpresentasikan), dan interpretan (interpretasi seseorang tentang tanda) (Piliang 2003: hal 267). Panah dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri-objek, dan ini dipahami oleh seseorang; dan ini memiliki efek di benak penggunanya-interpretant (Fiske 2006: hal 63). Prinsipnya, segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesan dapat pula berfungsi sebagai tanda. Pentingnya hal ini terletak pada perhatian yang kemudian diarahkan pada keseluruhan sistem tanda, karena dari sini dan dari pengetahuan kitalah hal itu kita peroleh. Tanda yang terpisah mendapatkan arti dari pembedaan, pembandingan, dan pemilihan yang dilakukan secara sistematis, diatur dalam ilmu bahasa atau kaidah sistem
36
tanda dari nilai yang diberikan oleh kaidah budaya dan sistem tanda (McQuill 1995: hal 182). Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan sifat ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda (Sobur, Semiotika Komunikasi 2004: hal 32). Berdasarkan sifat hubungan antara ground dan objek-nya, Peirce membedakan tanda atas lambang (symbol), ikon (icon), dan indeks (index). Peirce berpendapat bahwasanya model tersebut bermanfaat dan fundamenal mengenai sifat tanda. Ketiganya dapat dijelaskan demikian (Fiske 2006: hal 70-71): a. Lambang (symbol): suatu tanda dimana hubungan antara tanda dan acuannya merupakan hubungan yang sudah terbentuk secara konvensional. Lambang ini adalah tanda yang dibentuk karena adanya konsensus dari para pengguna tanda. b. Ikon (icon): suatu tanda dimana hubungan antara tanda dan acuannya berupa hubungan berupa kemiripan. Jadi, ikon adalah bentuk tanda yang dalam berbagai bentuk menyerupai objek dari tanda tersebut.
37
c. Indeks (index): suatu tanda yang hubungan eksistensinya langsung dengan objeknya. Jadi, indeks adalah suatu tanda yang mempunyai hubungan langsung (kausalitas) dengan objeknya. Tabel 2.0.1 Penjelasan Ikon, Indeks, Simbol Jenis Tanda
Ikon
Hubungan Antara Tanda dan Sumber Acuannya Tanda dirancang untuk merepresentasikan sumber acuan melalui sumulasi atau persamaan (artinya, sumber acuan dapat dilihat, didengan, dan seterusnya dalam ikon).
Indeks
Tanda dirancang untuk mengindikasikan sumber acuan atau saling menghubungkan sumber acuan.
Simbol
Tanda dirancang untuk menyandikan sumber acuan melalui kesepakatan atau persetujuan
Contoh Segala macam gambar (bagan, diagram, dan lainlain), photo, katakata onomatopoeia, dan seterusnya. Jari yang menunjuk kata kerengan seperti disini, disana, kata ganti seperti aku, kau, ia dan seterusnya Simbol social seperti mawar, simbil matematika, dan seterusnya
Lalu berdasarkan Intrepetant, tanda dibagi menjadi atas Rheme, dicisign dan Argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya jika pada suatu jalan serng terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan
38
dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa disitu sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu. 2.1.9 Teori Psikologi Massa Crowd psikologi adalah cabang dari psikologi social, orang-orang biasanya dapat memperoleh kekuasaan langsung dengan bertindak secara historis, karena besar kelompok masyarakat telah mampu membawa dramatis dan tiba-tiba perubahan social dengan cara yang bypasses didirikan proses hukum, mereka juga menimbulkan kontroversi. Ilmuwan social telah mengembangkan teori berbeda untuk menjelaskan psikologi orang, dan cara dimana psikologi orang banyak berbeda secara signifikan dari psikologi individu-individu di dalamnya. Menurut mengemukakan
Sigmund bahwa
Freud
kerumunan
orang-oramg
adalah
yang
Teori
berada
yang dalam
kerumunan/kelompok, tindakan berbeda terhadap orang dari mereka yang berfikir secara individu. Pikiran kelompok akan bergabung untuk membentuk sebuah cara berfikir. Antusiasme setiap anggota akan meningkat sebagai akibatnya, dan satu menjadi kurang menyadari sifat sejati dari tindakan seseorang (Suwarno 2005: hal ). Secara deskriptif Milgram pada tahun 1977 melihat kerumunan sebagai: 1. Sekelompok orang yang membentuk agregasi(kumpulan), 2. Jumlahnya semakin lama semakin meningkat,
39
3. Orang-orang ini mulai membuat suatu bentuk baru, 4. Memiliki distribusi diri yang bergabung pada suatu saat dan tempat tertentu dengan lingkaran yang semakin jelas, dan 5. Titik pusatnya permeable dan saling mendekat. Ada beberapa bentuk kerumunan (Crowd) yang ada dalam masyarakat: 1. Temporary Crowd: orang yang berada pada situasi saling berdekatan di suatu tempat dan pada situasi sesaat 2. Casual Crowd: sekelompok orang yang berada di ujung jalan dan tidak memiliki maksud apa-apa 3. Conventional Crowd: audience yang sedang mendengarkan ceramah 4. Expressive Crowd: sekumpulan orang yang sedang nonton konser music menari sambil sesekali ikut melantunkan lagu 5. Acting Crowd atau rioting crowd: sekelompok massa yang melakukan tindak kekerasan/tindakan anarkis 6. Solidaristic Crowd: kesatuan massa yang munculnya karena didasari oleh kesamaan ideologi. MOB Adalah kerumunan (crowds) yang emosional yang cenderung melakukan kekerasan/penyimpangan (violence) dan tindak destruktif. Umumnya mereka melakukan tindak melawan tatanan social yang ada secara langsung. Hal ini terjadi karena adanya rasa ketidakpuasan, ketidakadilan, frustasi, adanya perasaan dicederai oleh instuti yang lebih tinggi.
40
2.2
Kerangka Berfikir Menurut Uma Sekaran dalam Sugiyono tahun 2009 mengemukakan bahwa kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah yang penting. Dalam kerangka berfikir yang dibuat peneliti, akan menggambarkan bagaimana visualisasi anarkisme dalam film tersebut akan dikupas dengan dua teori, yang berdasarkan model dari Charles Sanders Pierce, dan teori Psikologi massa digunakan sebagai satu teori pendukung. Sebagai contoh dalam film Greent Street Hooligans yang berdasarkan teori semiotika Charles Sanders Pierce akan ditemukan sejumlah signifier (penanda) dan signified (petanda) berupa mise en scene (set, property, actor, kostum) dan sinematografi
visual,
serta
jumlah
tanda
merepresentasikan anarkisme dalam film tersebut.
lainnya
yang
hasilnya
41
Gambar 2.0.2 Bagan Kerangka Berfikir Peneliti
Film Green Street Hooligans
Film Sebagai Komunikasi Massa
Teori Psikologi Massa
Visualisasi Anarkisme Supporter Sepak Bola Film Green Street Hooligan
Sigmund Freud (Sebagai Teori Pendukung)
Semiotika Charles Sanders Pierce Interpretant
Sign Object Legisign
Qualisign
Rhame
Argument
Simbol
Ikon Sinsign
Dicent Indeks s
Sumber; Peneliti
42
2.3
Penelitian Terdahulu Terdapat dua penelitian yang dianggap relevan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu Christina Ineke Widhiastuti (2012) dengan judul “Representasi Nasionalisme Film Merah Putih”. Christina Ineke melihat Representasi Nasionalisme yang ada dalam film merah putih. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Representasi Nasionalisme Film Merah Putih. Selanjutnya yaitu Alfariz (2008), dengan judul “Representasi Loyalitas Supporter Persib dan Persija dalam film Romeo Juliet (Viking vs The Jack)”. Rumusan masalah pada penelitian ini Alfariz ingin Representasi Loyalitas Supporter Persib dan Persija dalam film Romeo Juliet. Alfariz melihat representasi loyalitas supporter Persib dan Persija dalam mencintai klub kesayanganya.
43
Tabel 2.0.1 Peneliti Terdahulu
NO
Item
1
Peneliti A (Christina Ineke Widhiastuti) Representasi Nasionalisme Film Merah Putih
Peneliti C (Alif Risna Fauzi)
Tahun
2012
Representasi Loyalitas Supporter Persib dan Persija dalam film Romeo Juliet (Viking vs The Jack) 2008
Tujuan
Mengetahui Representasi Nasionalisme yang ada dalam film
Mengetahui Representasi yang muncul dalam film
Mengungkapkan Sign, Object keanarkisan supporter sepak bola dalam Film Green Street Hooligans
Teori
Semiotika Roland Barthes
Semiotika Charles Sanders Pierce Kualitatif
Semiotika Charles Sanders Pierce
Judul
2
Peneliti B (Alfariz)
3
4
5
Metode/para digma
Kualitatif/kritis
6
Representasi nasionalisme dalam film Merah Putih masih disimbolkan dengan hal-hal Hasil/Kesim yang bersifat fisik. pulan Nasionalisme hanya dihubungkan dengan senjata, bambu runcing, bendera, tentara
Representasi loyalitas Supporter Persib dan Persija dalam film Romeo Juliet (Viking vs The Jack)
Visualisasi Anarkisme Supporter Sepak Bola dalam Film Green Street Hooligans
2014
Kualitatif/ Paradigma Kritis Visualisasi Anarkisme Holigans dalam film Green Street Holigans di tandai dengan suatu perilaku yang menyatakan kekuatan dan kekerasan pada setiap firma
44
7 Persamaan
8
Perbedaan
9
ataupun perang yang mengarah pada pertempuran fisik. Sama-sama Mengungkap simbol-simbol yang ada pada Film
Mengungkapkan tanda-tanda pada per adegan yang ada di dalam film
Penelitian mencoba Peneliti mencoba untuk untuk merepresentasikan merepresentasika isi dari film Merah n isi dari film Putih Romeo Juliet
Perpustakaan FISIP Sumber
sepakbola disetiap Negara.
Perpustakaan Universitas Muhammadiyah
Mencoba memaparkan sign,objek yang ada pada film Green Street Hooligans Peneliti mencoba memfokuskan kepada tandatanda tindakan anarkisme pada setiap scene, baik dari segi gerak tubuh maupun teks yang diucapkan Skripsi Peneliti
45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Pendekatan dan Metode Penelitian Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif, dimana penelitian kualitatif terebut bertujuan untuk mempertahankan bentuk dan isi prilaku manusia dan menganalisa kualitas-kualitasnya. Penelitian yang menggunakan latar alamiah yang menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada (Moleong 2006: hal 5). Sifat yang diambil adalah jenis deskriptif, yaitu peneliti yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data (Narbuko dan Abu Achmadi 2005). Pertimbangan penulis menggunakan metode deskriptif karena memiliki tujuan yang sama dengan keinginan penelitian penulis, yaitu hanya untuk melihat kondisi objektif yang terjadi di lapangan, lalu memaparkan keadaan atau peristiwa tersebut apa adanya, tidak untuk mencari atau menjelaskan. Penelitian kualitatif juga bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek peneliti misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. 45
46
Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Di sini yang lebih ditekankan adalah persoalan kedalam (kualitas) data bukan banyaknya (kuantitas) data (Kriyantono 2008: hal 56-57). 3.2
Fokus Penelitian Setiap manusia memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu hal. Untuk itu perlu diberikan untuk menghindari penafsiran yang keliru atas judul
peneliti. Untuk menghindari kesalah pahaman dalam
menginterpretasi, sekaligus memudahkan pembaca dalam memahami judul peneliti ini, maka penulis merasa perlu untuk mencantumkan batasan masalah
dalam
penelitian
ini,
sehingga
tidak
menimbulkan
kesimpangsiuran dalam pembahasan selanjutnya. Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Peneliti memfokuskan penelitian ini pada tanda-tanda visualisasi yang ada dalam film. 2. Peneliti mendiskripsikan tanda-tanda kekerasan yang terdapat dalam film. Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana proses mengolah dan menganalisa objek film tersebut. Seluruh data nya akan dianalisa menurut acuan pesan ideologi yang merujuk kepada penelitian penulis, baik berupa gambar/shot yang terlihat yang mewakili pesan ideologi, adegan/ yang mencerminkan pesan ideologi yang hendak disampaikan.
47
3.4
Teknik Pengumpulan Data
3.4.1 Dokumentasi Dalam penelitian “Visualisasi anarkisme suporter sepak bola pada film Green Street Hooligan” peneliti melakukan dengan mengolah dan menganalisa objek film tersebut. Data yang dipakai berupa rekaman film dalam format DVD ini, seluruh data nya akan dianalisa menurut acuan pesan ideologi yang merujuk kepada penelitian penulis, baik berupa gambar/shot yang terlihat yang mewakili pesan ideologi, adegan/ yang mencerminkan pesan ideologi yang hendak disampaikan maupun dari segi Mise-En-Scene yang terlihat sebagai pelengkap bahan kajian penelitian yang kesemuanya mengacu pada pendekatan Peirce dengan teori Triangle Of Meaning dengan katagorisasi pada Ikon,Indeks & Simbol. Dari data yang didapat berupa gambar dan adegan tersebut, penulis akan memilih mana saja dari bagian film tersebur yang mengindikasikan adanya pesan ideologi. Dalam hal ini penulis didukung oleh tabel visualisasi dari film tersebut yang membedah secara umum bagian-bagian baik dari shot dan adegan yang memperlihatkan adanya pesan ideologi. 3.4.2 Data Sekunder Data sekunder diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan tersebut diperoleh dari artikel, majalah maupun internet yang
48
berhubungan dengan masalah yang diangkat mengenai film tersebut. Datadata ini selanjunya digunakan untuk melengkapi data yang sudah ada. 3.5
Instrumen Penelitian
3.5.1 Unit Analisis Unit Analisis adalah setiap unit yang akan dianalisa, digambarkan atau dijelaskan dengan pernyataan-pernyataan deskriptif, yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah tanda-tanda anarkis dalam film Green Street Hooligans yang divisualisasikan melalui simbol-simbol tertentu dalam Scene. Scenes/adegan adalah gambaran motion visual audio yang bergerak yang mempunyai makna atau pesan didalamnya. Peneliti memilih 7 scenes sample yang mewakili objek dari penelitian. Adapun 7 scenes ini diambil berdasarkan kategori-kategori tanda yang ditonjolkan dalam film green street holigans yang dimaknai dan diaplikasikan sebagai. Tindak keanarkisan suporter sepakbola. Peneliti menggunakan beberapa Scene dalam film dengan pertimbangan adanya muatan pesan-pesan atau gerakan yang menimbulkan keanarkisan.
49
Table. 3.0.1 Sample Unit Analisis No
Durasi
Shot
1
00:01:53
Medium long shot
2
00:01:54
Medium close up
3
00:02:19
Medium close up
Visualisasi
50
4
00:02:20
Medium shot
5
00:29:47
Medium close up
6
00:29:40
Medium long shot
7
00:30:50
Medium shot
51
8
00:34:14
High angel
9
00:31:33
Low angle
10
01:11:50
Medium shot
11
01:12:00
High angel
52
12
01:18:13
Two shot
13
00: 28:04
Medium close up
14
00:27:47
Medium shot
53
3.6
Teknik Unit Analisis Data Unit analisis yang sudah terkumpul dan dikategorikan lalu dianalisis dengan menggunakan analisis Semiotika Charles Sanders Peirce. Menurut Peirce semiotika adalah suatu hubungan antara tanda, objek dan makna. Pemikiran Charles Sanders Peirce bisa dijelaskan melalui bagan segitiga makna pada gambar dibawah berikut.
Gambar 3.0.1 Model Unsur Makna Peirce (Fiske 2006: hal 63) Menurut Charles sanders Peirce tanda dibentuk oleh hubungan segitiga yaitu representemant, yang oleh Peirce juga disebut tanda (sign) berhubungan dengan object yang dirujuk. Tahapan teknik analisis data yang peneliti gunakan adalah sebagai berikut: a. Inventarisasi data, yaitu dengan cara mengumpulkan data sebanyakbanyaknya baik melalui observasi maupun dokumentasi. b. Teknik menonton dua kali atau lebih, yang terfokus pada bagaimana dan mengapa (hows and whys).
54
c. Kategori model semiotikanya, menemukan model semiotika yang digunakan, yaitu model semiotika Charles Sanders Peirce. d. Klasifikasi data, identitas teks (tanda), alasan-alasan tanda tersebut dipilih, temukan pola semiosis dan tentukan kekhas wacananya dengan mempertimbangkan elemen semiotika dalam scene yang dianggap mewakili representasi visualisasi anarkisme supporter sepak bola. e. Penemuan scene tersebut menentukan tanda (sign), objek (object), dan makna (interpretant) yang merupakan representasi visualisasi anarkisme. f. Penarikan kesimpulan dan penilaian terhadap data-data yang dibahas dan dianalisis selama penelitian. Seluruh data nya akan dianalisa menurut acuan pesan ideologi yang merujuk kepada penelitian penulis, baik berupa gambar/shot yang terlihat yang mewakili pesan ideologi, adegan/ yang mencerminkan pesan ideologi yang hendak disampaikan maupun dari segi Mise-En-Scene yang terlihat sebagai pelengkap bahan kajian penelitian yang kesemuanya mengacu pada pendekatan Peirce dengan teori Triangle Of Meaning dengan katagorisasi pada Ikon,Indeks & Simbol. 3.7
Validitas Data Validitas data dalam penelitian komunikasi kualitatif lebih menunjukkan pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh telah secara akurat mewakili realitas atau gejala yang diteliti (Pawito 2007:hal 97). Oleh karena itu Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan uji kredibilitas
55
(derajat kepercayaan), salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi, Triangulasi data adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Moleong 2004: hal 178). Jenis triangulasi yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu Triangulasi Teori. Triangulasi teori memanfaatkan teori yang diperlukan untuk rancangan riset, pengumpulan data, dan analisis data yang lengkap supaya hasilnya komprehensif (Kriyantono 2009: hal 70-71). Dalam penelitian ini menggunakan data dokumentasi sebagai pengukurnya. Yang dimaksud dengan data dokumentasi di dalam penelitian ini yaitu: mengetahui bagaimana tanda-tanda tindak anarkis dalam dunia supporter yang ada dalam film green street holigans tersebut.
56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Gambaran Umum Oddlot
4.1.1 Sejarah Singkat Oddlot Entertainment Deskripsi Perusahaan: Odd Lot Entertainment Didirikan pada tahun 2001 oleh Gigi Pritzker dan Deborah Del Prete (The Wedding Planner), adalah produksi film dan perusahaan pembiayaan berbasis di Culver City,California.
Gambar 4.0.1 Ikon Oddlot Entertainment (http://www.zoominfo.com/#!search/profile/company?companyId=168821578&targetid=profile) Menurut
situs
yang
di
akses
pada
tanggal
24-06-2010
(http://www.zoominfo.com/#!search/profile/company?companyId=168821578&targetid=p rofile)
Produser The Wedding Planner, Green Street Hooligans dan Berarti
56
57
Creek, Odd Lot Entertainment adalah sebuah perusahaan berbasis di Los Angeles yang berkembang, keuangan, memproduksi, dan mengatur distribusi untuk properti film komersial $ 5 - kisaran $ 60 juta baik di pasar domestik dan internasional. Pada batu tulis yang akan datang adalah Marc Platt Drive, sekarang dalam pra-produksi dan yang mulai syuting pada bulan September 2010, dibintangi Ryan Gosling dan Carey Mulligan, dan disutradarai oleh Nicolas Winding Refn, dan Dari Prada untuk Nada, yang akan dirilis teatrikal oleh Lionsgate pada awal 2011, dibintangi Camilla Belle, Alexa Vega dan Adriana Barraza. Menurut novelis Orson Scott Card, Odd Lot akan memproduksi versi film novel, permainan sci-fi Ender itu nya. Sebuah versi film novel ini telah di pekerjaan, dalam satu bentuk atau lain, selama lebih dari satu dekade. 4.2
Gambaran Umum Film Green Street Hooligans
4.2.1 Sejarah Singkat Film Green Street Hooligans
Gambar 4.0.2 Poster Film Green Street Hooligans
58
Green Street adalah sebuah film tentang hooliganisme sepak bola di Inggris. Film ini disutradarai oleh Lexi Alexander dan dibintangi oleh Elijah Wood dan Charlie Hunnam. Di Amerika Serikat dan Australia, film ini disebut Green Street Hooligans. Di negara lain, dinamakan Football Hooligans atau hanya Hooligans. Dalam film ini, seorang mahasiswa perguruan tinggi Amerika terlibat dengan firma hooligan West Ham (Green Street Elite) yang dikelola oleh kakak iparnya.
Cerita dan skenario tersebut dikembangkan oleh mantan hooligan yang menjadi penulis, Dougie Brimson. Sepanjang film, Green Street Elite bertarung dengan "firma" lainnya seperti Yid Army, kelompok pendukung Tottenham Hotspur, Birmingham Zulus, Red Army dan Millwall Bushwackers.
4.2.2 Penghargaan Film Green Street Hooligans
Green Street memenangkan beberapa penghargaan termasuk Penampilan Terbaik di Festival Film LA Femme, Film Terbaik di Festival Film Malibu, dan Penghargaan Khusus Juri di Festival Film SXSW (Richard 2006).
Film ini dinominasikan untuk Penghargaan Emas William Shatner untuk Film Underground Terbaik, film nominasi lainnya adalah MirrorMask garapan Neil Gaiman dan Dave McKean, dokumenter bisbol
59
pemenang penghagaan Up for Grabs dan Opie Gets Laid (Tyler Joshua 2006). 4.2.3 Sinopsis Film Green Street Hooligans
Matt Buckner (Elijah Wood), mahasiswa jurnalisme, dikeluarkan dari Universitas Harvard setelah kokain ditemukan di kamarnya. Namun, kokain itu milik Jeremy Van Holden (Terence Jay), teman sekamarnya. Buckner takut untuk berbicara karena Van Holdens adalah keluarga yang kuat, dan Jeremy menyogoknya dia $10.000. Matt berkunjung ke Inggris untuk tinggal bersama adiknya Shannon (Claire Forlani), suaminya Steve Dunham (Marc Warren) dan anak mereka, Ben (James Allison). Di sana, Matt bertemu saudara Steve, Pete (Charlie Hunnam), seorang Cockney yang keras dan preman yang menjalankan sebuah firma hooligan sepak bola setempat - kelompok pendukung sepak bola yang mengatur perkelahian setelah pertandingan - dan mengajar di sekolah lokal. Steve meminta Pete membawa Matt untuk pertandingan sepak bola antara West Ham dan Birmingham City, meskipun Pete enggan untuk membawa seorang "Yankee" ke pertandingan sepak bola, karena sifat xenophobia teman-temannya. Dia diyakinkan karena Steve hanya akan memberikan uang yang diperlukan Pete jika dia membawa Matt. Setelah mengalahkan Matt dalam perkelahian, Pete memutuskan untuk membawa Matt ke pertandingan sepak bola, berpikir dia bisa belajar satu atau dua hal.
60
Matt bertemu teman Pete dan firmanya di Abbey, pub lokal mereka. Semua hooligan bersikap ramah dengan Matt, dengan pengecualian yang agak menjengkelkan dengan tangan kanan Pete, Bovver (Leo Gregory). Setelah menghabiskan beberapa gelas bir, mereka menuju ke Boleyn Ground untuk pertandingan. Setelah pertandingan, Pete, Bovver, dan anggota perusahaan lain setuju untuk pergi dan melawan beberapa fan Birmingham, tapi Matt memutuskan bahwa dia tidak akan ikut campur dan mengatakan pada Pete bahwa ia akan pulang sendiri. Dalam perjalanan kembali ke stasiun bawah tanah, Matt diserang oleh tiga penggemar Birmingham, yang hampir memberinya Chelsea Grin, tapi dia diselamatkan oleh beberapa anggota GSE, yang sedang dalam perjalanan mereka ke pertarungan yang lebih besar. Meskipun kalah jumlah, GSE berhasil mempertahankan posisi mereka sampai bala bantuan dari firma pusat datang untuk mengejar para penggemar Birmingham. Matt cukup baik dalam pertarungan pertama yang sebenarnya dan dilantik menjadi anggota GSE. Setelah bertengkar dengan Steve, Matt berpindah ke rumah Pete, dan dua orang tersebut bertukar cerita.
GSE kemudian mengatur perjalanan ke pertandingan tandang melawan Manchester United di Old Trafford. Matt tidak dimaksudkan untuk datang, tetapi akhirnya menyelinap ke dalam kereta. Sementara di kereta, mereka memperingatkan bahwa 40 anggota Manchester United menunggu mereka di stasiun. Bovver menekan tombol perhentian darurat
61
yang
memungkinkan
GSE
untuk
turun
di
stasiun
sebelumnya
(Macclesfield). Setelah gagal menemukan taksi, mereka membujuk sopir van untuk membawa mereka ke Manchester. Matt duduk di depan van dengan sopir, sisa anggota GSE lain berada di belakang. Ketika van mendekati tempat firma United, Matt mengatakan kepada mereka bahwa mereka membawa peralatan untuk film Hugh Grant, sehingga para fan membiarkan mereka lewat. Ketika melewati mereka, ia menghentikan van, membuka pintu keluar, dan anggota GSE keluar untuk menyerang para anggota firma United. Mereka memenangkan pertarungan dan melarikan diri sambil bernyanyi, "There's your famous GSE!"
Hal ini segera diberitahukan kepada Matt bahwa musuh bebuyutan GSE adalah firma Millwall (di dunia nyata, Millwall Bushwackers), yang dipimpin oleh Tommy Hatcher (Geoff Bell), dengan siapa Bovver membuat negosiasi setelah cemburu dengan Matt. Diliputi kemarahan, Bovver pergi ke pub lokal Millwall dan meminta Tommy Hatcher untuk menyergap GSE di Abbey. Awalnya enggan, Tommy Hatcher setuju setelah mengetahui bahwa Steve Dunham ada di sana. Pete marah pada Matt di kamar mandi atas karena menutupi identitas aslinya. Firma Millwall kemudian menyerang Abbey, dan mengebom bar tersebut dengan bom bensin. Setelah tiba, Tommy Hatcher menghadapi Steve. Upaya Steve meyakinkan Hatcher Tommy bahwa ia tidak lagi terlibat dalam GSE hanya lebih lanjut mengingatkan Hatcher tentang anaknya, dan ia menusuk Steve di leher
62
dengan pecahan botol, mengatakan kepadanya bahwa jika ia mati malam ini, maka Steve juga harus mati. Bovver, yang telah disingkirkan oleh Tommy Hatcher, datang tepat pada waktunya untuk membantu Steve, yang terluka
parah.
Di
rumah
sakit,
Pete
memarahi
Bovver
karena
pengkhianatannya. Shannon memutuskan untuk kembali ke Amerika Serikat untuk menjamin keamanan keluarganya.
Setelah kejadian itu, dua perusahaan bertemu di dekat Millennium Dome untuk perkelahian berdarah dan habis-habisan. Matt dan Bovver muncul untuk memperjuangkan GSE, tapi selama pertarungan, adik Matt, Shannon, dengan anak mereka, dan diserang oleh hooligan Millwall. Matt dan Bovver datang untuk menyelamatkan mereka. Pete melihat Tommy Hatcher mendekati mobil, dan mengalihkan perhatian Tommy dan mengejek dia untuk "menghabisinya." Ketika Tommy Hatcher menyatakan dia akan "menghabisinya, Pete membalas bahwa Tommy Hatcher yang harus disalahkan atas kematian anaknya, setelah gagal untuk melindungi dia, berteriak "dia anakmu!". Tommy Hatcher, didorong oleh kegilaan, menyerang dan mengalahkan Pete sampai mati, sambil meneriakkan variasi dari kata-kata untuk nyanyian 'Hanya seorang Hammer kecil yang malang,' menggunakannya sebagai analogi untuk kondisi Pete. Pertarungan sepenuhnya terhanti pada titik ini, dan Hatcher pada akhirnya melepas Pete pada beberapa teman-temannya saat ia jatuh menangis. Semua orang di
63
kedua belah pihak berkumpul mengelilingi mayat Pete, dengan Bovver menangis di sisinya.
Matt kembali ke Amerika Serikat dan mengonfrontasi Jeremy Van Holden di toilet restoran, di mana Jeremy sedang menghisap kokain. Jeremy dengan angkuh memberitahu Matt untuk pergi selama diskusi singkat di mana ia mengaku identitasnya sebagai pemilik simpanan kokain tersebut. Matt kemudian menarik keluar sebuah perekam dan memutar kembali apa yang baru saja dikatakan Jeremy, mengatakan bahwa itu adalah "tiket kembali ke Harvard." Jeremy mencoba untuk mendapatkan rekaman itu, tapi Matt dengan santai membalikkan serangan dan meningkatkan tinjunya seolah pukulan Jeremy. Dia tidak melakukannya, dan berjalan keluar dengan senyum ketika Jeremy ambruk ke lantai, terkalahkan. Film berakhir dengan Matt berjalan menyusuri jalan di luar restoran sambil bernyanyit "I'm Forever Blowing Bubbles."
4.2.4 Insert Triangle Pembuatan film Green Street Hooligans ini tidak terlepas dari peranan ketiga tokoh kunci yang ada dibalik layar yang mengkonsep, memproduksi. Ketiga tokoh dalam film ini sebagai berikut: Director
: Lexi Alexander
Scriptwriter
: Lexi Alexander
Producer
: Deborah Del Prete
64
4.2.5 Pemain & karakter Film Green Street Hooligans Dalam film Green Street Hooligans ini, diisi oleh beberapa artis yang mempunyai talenta yang luar biasa sebut saja salah satunya Elijah Wood yang memerankan peran sebagai Matt buckner. Karakter-karakter difilm Green Street Hooligans ini tergolong baru bagi penonton di layar lebar. Berikut daftar pemain dan karakternya di film Green Street Hooligans:
1. Elijah Wood sebagai Matt Buckner
Gambar 4.0.3 Elijah wood ialah seorang jurnalis Harvard yang sudah dikeluarkan oleh Universitasnya setelah di temukan kokain di kamarnya. Karena difitnah oleh teman sekamarnya. Elijah memiliki sosok mudah bergaul, ramah dan ambissius. Hingga ia bisa masuk ke dalam firma GSE. 2. Charlie Matthew Hunnam sebagai Pete Dunham
65
Gambar 4.0.4 Pete Dunham adalah seorang Cockney yang keras dan preman yang menjalankan sebuah firma hooligan sepak bola setempat - kelompok pendukung sepak bola yang mengatur perkelahian setelah pertandingan dan mengajar di sekolah local. 3. Claire Forlani sebagai Shannon Buckner Dunham
Gambar 4.0.5 Shannon Buckner Dunham adalah sosok ibu yang menyayangi keluarganya. Dalam film Green Stret Hooligans ini dikisahkan bahwa Shannon Buckner Dunham adalah adik Matt Buckner.
66
4. Marc Warren sebagai Steve Dunham
Gambar 4.0.6 Steve Dunham adalah pria yang tegas dan berwibawa. Dalam film ini Steve Dunham adalah mantan ketua firma GSE yang sudah tidak menjabat lagi sebagai ketua karena sudah menikah dengan Shannon. 5. Leo Gregory sebagai Bovvers
Gambar 4.0.7 Bovvers adalah sosok yang sangat ambisius, memiliki watak yang keras dan tidak pernah mau kalah. Di film ini ia sebagai anggota firma GSE dan juga sebagai orang kepercayaan Pete Dunham.
67
6. Geoff Bell sebagai Tommy Hatcher
Gambar 4.0.8 Tommy Hatcher mempunyai sifat yang keras, sombong n arogan. Daloam film ini Tommy adalah seorang ketua firma Millwall Bushwackers yang tidak lain adalah musuh bebuyutan dari Pete dan Steve Dunham. 7. Ross McCall sebagai Dave
Gambar 4.0.9 Dave mempunyai sosok yang humoris, intelektual, dan tegas. Dalam film Green Street Hooligans ini Dave sebagai anggota firma GSE yang merangkap menjadi pilot, tetapi ia rela melakukan apapun demi GSE.
68
Selain dari karakter-karakter diatas juga terdapat beberapa karakter pembantu yang melengkapi film Green Street Hooligans ini menjadi menarik yaitu tim anggota firma lainnya yang mempunyai karakterisitik masing-masing yang berbeda seperti : Rafe Spall sebagai Swill, Kieran Bew sebagai Ike, Richard Harden sebagai Bar Tender. 4.3
Hasil Penelitian dan Pembahasan Menurut Edward Tufte visualisasi adalah bagian tak terpisahkan dalam penelitian sebuah film. Visualisasi merupakan alat untuk membantu memahami dan menterjemahkan apa yang ditangkap oleh indera penglihatan kita. Begitu juga dengan film Green Street Hooligans ini, hasil penemuanya akan berbentuk visualisasi-visualisasi yang diwakili oleh suatu gambar dari adegan tertentu dalam film tersebut dan kemuadian dimuat dalam suatu tabel dengan keterangan-keterangan penunjang sebagai penafsiaran dari maksud gambar yang tervisualisasikan tersebut. Hasil penelitian ini akan dihadapkan pada beberapa temuan terutama dari kecurigaan akan adanya pesan tertentu yang diwakili oleh suatu simbol yang tertuang dalam bentuk scene yaitu segala hal yang terletak di depan kamera yang akan diambil gambarnya dalam sebuah produksi film. Bagianbagian tersebut meliputi banyak hal seperti kostum, atribut, aksesoris yang dipakai para tokoh, setting, lokasi, latar bahkan properti yang ada disekitar film tersebut juga dapat dijadikan acuan untuk penelitian lebih lanjut.
69
Selain itu struktur film dalam film ini juga menjadikan temuantemuan yang ada lebih mudah dideskripsikan. Struktur film dalam hal ini meliputi Shot yang dapat diartikan sebagai pengambilan gambar dalam satu kali take. Kemudian ada Scene yaitu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi cerita, tema, karakter,atau motif dan Sequence yaitu satu segmen besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Elemen Scene dan struktur film ini menjadi kesatuan utuh yang saling mempengaruhi dan dibuktikan dengan bentuk penjabaran dari data-data yang telah diperoleh. 4.3.1 Analisis Scenes 1
Frame 1-1 - menit 00:01:53
Frame 1-2 – menit 00:01:54
Gambar 4.0.10 Bagian Scenes 1
70
Frame 1-1
: supporter tothenham melontarkan penghinaan kepada supporter west ham united.
Frame 1-2
: Salah satu anggota West ham united merasa emosi atas
perilaku
penghinaan
yang
dilontarkan
kelompok tothenham.
Penghinaan (Sign)
Meludahi (Object)
Tindakan supporter yang melecehkan dan menghina kelompok lain. (Intepretant)
71
Table 4.0.1 Pembagian Tanda Scenes 1 Sign
Object
Interpr etan
Qualisign
Enam orang suporter totthenham berusia sedang bernyanyi dan bersorak menghina suporter west ham united.
Sinsign
Laki-laki dengan tubuh besar dari pihak totthenham yang meludah ke arah pihak west ham.
Legisign
Meludah kearah seseorang didalam kode etik itu tindakan yang tidak baik.
Ikon
Dua kelompok suporter sepak bola totthenham united dan West ham united yang beradu menghina.
Indeks
Salah seorang pihak west ham united menunjuk dengan ekspresi marah
Simbol
Kata-kata “kau keparat.kau” yang diucapkandengan penuh emosi oleh pihak west ham united
Rheme
Dilihat dari keseluruhan gambar yang menandakan terjadinya tindak anarkisme
Dicent
Keributan antar dua kelompok suporter menjadi pemandangan yang tidak etis terjadi di stasiun kereta api.
Argument
Tindakan dua belah pihak yang memicu kekerasan.
Dari gambar 1, 2 di atas tanda-tanda non verbal yang didapatkan berupa latar belakang yang cukup sepi di stasiun kereta, dua kelompok supporter, gesture tangan yang merentang, laki-laki yang berbadan tinggi besar sedang meludahi ke arah lawan, seorang laki-laki dengan pakaian berjaket biru dongker berambut pendek menunjuk dan berkata kasar. Teknis pengambilan gambar yang diambil pada scene pertama ini adalah
72
long shot dan close up. Teknik long shot memberikan gambaran setting latar berada di tempat stasiun kereta, dan bagaimana keadaan yang terjadi di sekitar objek utama pada foto. Sedangkan penggunaan close up pada foto diatas bertujuan untuk menunjukkan bagaimana ekspresi (Wright Terence 1999). Pada gambar diatas jika dilihat berdasarkan qualisgn. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda. Kata keras menunjukkan suatu tanda. Misalnya, suaranya keras yang menunjukkan orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan (Sobur 2003: hal 41). Qualisign yang ada pada gambar diatas divisualisasikan sekelompok supporter tottenham yang berada di stasiun kereta api bertemu dengan kelompok west ham united. Enam orang supporter totthenham yang melontarkan penghinaan kepada supporter west ham united. Dilihat dari penghinaan yang dilontarkan menandakan ketua dari supporter totthenham memiliki dendam terhadap ketua west ham. Dalam pengertiannya suatu kekerasan dapat timbul dan terjadi dikarenakan berkembangnya kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian ini berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan (Walgito 2006: hal 96).
Dendam pribadi yang dimiliki oleh ketua
totthenham ini berimbas kepada semua anggotanya, yang dimana mau tidak mau para anggota mereka pun harus ikut merasakan dendam yang dirasakan oleh ketua mereka. Menurut Bimo Walgito (2006: hal 96)
73
berdasarkan psikologi massa, bagaimana kelompok lain dengan sengaja menghilangkan rasa empati mereka terhadap kelompok lainnya, dengan tujuan dimana mereka ingin mempertahankan harga diri dari masingmasing kelompok. Dari perkataan dan yel-yel kasar yang dilontarkan oleh supporter totthenham kepada supporter west ham united menandakan bahwa mereka tidak akan memberi pengampunan kepada west ham united. Walgito Bimo pada tahun 2006 menjelaskan bahwa hambatan yang termasuk dalam hambatan psikologis adalah kepentingan (interest), prasangka (prejudice), steorotip (stereotype), dan motivasi (motivasion). Disebut sebagai hambatan psikologis karena hambatan-hambatan tersebut merupakan unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia.. Selain itu dilatar belakangi juga dengan adanya konflik atas pertandingan totthenham berlaga melawan west ham united yang akan mulai. Para masing-masing supporter kedua belah pihak saling beradu ego yang didasari harga diri firma mereka. Kurang mampunya mereka untuk mengendalikan ego masing-masing berimbas kepada keseluruhan anggota dan masyarakat yang merasa resah dan takut. Kekurangan empati pada diri masing-masing supporter merupakan faktor yang berkontribusi terhadap kekerasan yang terjadi antar dua belah pihak supporter sepak bola, seperti yang ada pada gambar diatas. Sedangkan pihak west ham yang menunjuk dengan berkata “kau keparat.kau” menandakan bahwa dirinya merasa tersinggung dan kesal atas
74
penghinaan yang diucapkan pihak totthenham. Raut wajah yang terlihat begitu besar amarah yang muncul, menandakan bahwa mereka pihak west ham tidak akan berdiam diri. Symbol mewakili sumber acuannya dalam cara yang konvensional. Kata-kata pada umumnya merupakan symbol. Tetapi penanda manapun sebuah objek, suara, sosok, dan seterunya dapat bersifat simbolik. Tangan yang menunjuk menandakan keamarahan, menunjukkan lokasi tempat dan seterusnya (Marcel Danesi 2004: hal 45). Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang tidak dilambangkan dapat merupakan setting. Misal jerit kesakitan, heran atau ketawa riang. Kita dapat mengenal orang dan cara berjalan, ketawanya, nada suara yang semuanya itu merupakan sinsigns (Sobur 2003: hal 42). Sinsign yang ada pada gambar peristiwa bentrok tersebut dilihat dari latar tempatnya, yang menunjukkan setting an, tempat yang terlihat sepi dan jauh dari pihak keamanan yang ketat, dan seorang peria bertubuh tinggi besar mengenakan jaket berwarna krem meludahi pihak lawan dengan sengaja, yang bertujuan menghina kelompok supporter west ham. Dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harifah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Metafora visual sering menyinggung
objek-objek
dan
simbol-simbol
dunia
nyata
serta
mengonotasikan makna-makna sosial dan budaya. Pada keabsahannya
75
petanda meludahi orang dengan secara sengaja itu merupakan tindakan yang tidak etis, tindakan seperti itu mengakibatkan kekerasan diantara banyak pihak (Alex Sobur 2003: hal 42). Pada tataran gambar bergerak, kode-kode gambar dapat diinternalisasikan sebagai bentuk representasi mental. Jadi, orang (dan sering) berfikir dalam gambar bergerak dengan kilas balik, gerakan cepat dan lambat, pelaturan ke dalam waktu lain dan tempat lain. Kejadian yang ditunjukkan gambar diatas yang berawal dari hinaan yang akirnya mencapai titik akhir tindak kekerasan pun terjadi. Kita ketahui banyak kejadian-kejadian, banyak konflik-konflik yang didasari atas tindak kekerasan yang dilakukan sebuah kerumunan, terutama yang sudah tidak lazim terjadi adalah tindak kekerasan yang terjadi atas pemberontakan dari supporter-supporter sepak bola di berbagai belahan dunia. Semua itu terjadi berdasarkan mereka yang tidak dapat membuat sebuah pertahanan ego. Sebagai sistem yang bertugas mengelola energi-energi yang datang dari kedua sistem yang lain, ego seringkali berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan, seperti ketegangan dan kecemasan ( Wirawan S 2008: hal 126). Peristiwa kekerasan yang terjadi di dalam film green street holigans ini disebabkan tidak bisa nya mereka dalam membuat pertahanan ego dalam diri mereka. Hal ini dapat disebabkan karena psikologi mereka yang mengalami sedikit gangguan. Gangguan psikologi seperti ini dapat
76
dikarenakan terlalu sering dan banyaknya mengkonsumsi alkohol. Pada dasarnya alkohol dapat merubah sistem emosional dalam tubuh seseorang, sehingga orang susah dalam mengontrol emosinya sendiri. Dilihat berdasarkan Legisign. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Tanda-tanda lalu lintas merupakan legisigns. Hal itu juga dapat dikatakan dari gerakan isyarat tradisonal, seperti mengangguk yang berarti “ya”, mengerutkan alis, cara berjabat tangan (Alex Sobur 2003: hal 42). Legisign yang ada pada foto tersebut menunjukkan bahwa meludahi orang dengan secara sengaja itu merupakan tindakan yang tidak etis, tindakan seperti itu mengakibatkan kekerasan diantara banyak pihak. Sebagai seorang supporter sepak bola pun etika supporter juga dibutuhkan untuk menjaga prilaku. Pentingnya bukan hanya untuk menjaga prilaku terhadap teman sekelompok, melainkan juga untuk melindungi atau menghindarkan seseorang dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari supporter yang bersangkutan (Wirawan S 2008: hal 136). Setiap supporter harus memiliki etika dalam mendukung yang mengatas namakan pembela team kesayangan mereka. Jika dilihat potongan scene dalam film green street holigans ini, mereka tidak lagi menjaga nama baik team kesayangan yang mereka idolakan. Namun sebaliknya, mereka hanya memegang teguh mempertahankan kehormatan firma (kelompok) mereka dengan berbagai cara. Agar firma mereka dapat di takuti dan di
77
hargai oleh firma-firma lainnya. Yang dimana permasalahan itu timbul atas perselisihan antar pribadi. Seperti yang dijelaskan oleh gambar di atas, awal mula permasalahan terjadi hanya berdasarkan dendam pribadi antara ketua satu dan ketua pihak lain, yang akhirnya berunjuk kepada permasalahan antar firma (kelompok). Hasil analisis berdasarkan objek pada potongan scene diatas dilihat dari ikon. Menurut Alex Sobur (2003: hal 42) Ikon adalah tanda yang dicirikan oleh persamaannya dengan objek yang digambarkan. Tanda visual seperti potongan scene dalam sebuah film adalah ikon, karena tanda yang ditampilkan mengacu pada persamaanya dengan objek. Potongan gambar dari scene diatas dapat dilihat dari mulai latar belakang tempatnya, dari dua kelompok supporter, hingga pada tindakan-tindakan penghinaan dapat dijadikan suatu ikon karena dilihat dari situasi latar tempatnya menandakan lokasi itu sepi dari masyarakat yang menyebabkan memberi peluang untuk kedua kelompok supporter melakukan perkelahian atau keributan (Widodo 2006: hal 81). Visualisasi dua kelompok supporter yang saling menghina tersebut memperlihatkan berkembangnya prasangka kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian ini berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan (Widodo 2006: hal 82). Menurut Alex Sobur (2003: hal 42) Indeks adalah hubungan langsung antara sebuah tanda dan objek yang kedua-duanya dihubungkan.
78
Indeks, merupakan tanda yang hubungan eksistensinya langsung dengan objeknya. Sebuah indeks dapat dikenali bukan hanya dengan melihat seperti halnya dalam ikon, tetapi juga perlu dipikirkan hubungan antara dua objek tersebut. Indeks pada potongan scene tersebut adanya kekesalan yang diekspresikan oleh salah satu anggota west ham menunjukkan bahwa ada kekerasan yang timbul disekitar tempat tersebut, karena hinaan dan celaan terhadap kelompok west ham itulah yang mengakibatkan kemarahan yang dirasakan oleh salah satu anggota tersebut. Peristiwa penghinaan dengan perkataan dan tindakan meludahi yang menjadi indeks dalam potongan scene dua kelompok supporter. Sedangkan Simbol menurut alex sobur (2003: hal 155) adalah tanda yang memiliki hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan. Ada pula yang menyebut simbol, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Makna dari suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran tanda. Simbol yang didapat pada gambar tersebut menurut peneliti adalah perkataan “kau keparat. kau” yang dituturkan oleh salah satu anggota west ham menandakan bahwa konflik kekerasan itu terjadi. Berdasarkan semiotika yang membahas akan simbolsimbol, perkataan seperti yang diucapkan diatas yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. (Hartoko & Rahmanto, 1998: hal 133). Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif,
79
terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Walaupun demikian berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan makna. Peneliti mencoba menganalisis terjadinya simbol kekerasan juga disebabkan akibat dari masing-masing kelompok yang tidak bisa memberikan pertahanan ego dalam diri mereka. Tingkat empati yang sudah tidak digunakan dalam diri mereka terhadap kelompok-kelompok lain. Masyarakat lain sering menjadi korban atas perilaku dan tidak ke empatiannya mereka terhadap lingkungan sekitar. Proses yang kacau seakan-akan membuat supporter sepak bola menjadi suatu kerumunan yang terpuruk dari segi kemanusiaannya. Hasil dari analisis berdasarkan klasifikasi interpretan, peneliti dapat menjabarkan bahwa Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan (Sobur 2003: hal 44). Rhame yang ada pada foto dalam penelitian dilihat dari keseluruhan foto menandakan terjadinya konflik kekerasan baik kekerasan mental maupun keanarkismean fisik. Dilihat dari latar belakang permasalahannya yang dimana sorang holigans akan bertindak kasar apabila dirinya sudah merasakan hal yang membuat diri dan kelompoknya kesal. Seperti hal nya yang divisualisasikan pada gambar diatas, tindakan-tindakan yang tidak etis dilakukan seakan itu adalah tindakan yang wajar untuk seorang musuh. Bagaimana musuh harus dilihat dengan sebelah mata dan hanya harus mendapatkan hinaan.
80
Jika dilihat dari dicentsign peneliti menjabarkan bahwa dicentsign adalah tanda sesuai dengan kenyataan yang ada. Dicentsign pada foto diatas menurut peneliti merupakan suatu pamandangan yang sangat memalukan kenyataan bahwa nama persepak bolaan dunia hanya dirusak oleh para kelompok-kelompok holigans yang pada dasarnya holigans ini adalah supporter dari team yang mereka idolakan. Keanarkismean yang terjadi ditempat umum membuat dan mencoreng nama baik suporter sepak bola. Yang pada akhirnya banyak masyarakat yang membenarkan hal itu, bahwa suporter sepak bola hanya segelincir kerumunan yang bisanya hanya membuat keanarkismean dan perusakan atas segala hal. Peneliti mendapatkan argument atas apa yang telah divisualisasikan dari gambar tersebut. Dua belah pihak yang memicu keanarkismean karena didasari atas hilangnya rasa empati dari masing-masing kelompok. 4.3.2 Analisis Scenes 2
Frame 2-1 menit 00:02:19
Frame 2-2 menit: 00:02:20
Gambar 4.0.11 Bagian Scenes 2
81
Frame 2-1 : bovver mengayunkan kepala musuhnya kearah tiang pipa air Frame 2-2 : bovver memukuli dan membuli salah satu anggota tothenham sampai babak belur
Anarkisme (sign)
Anggota tothenham (Object)
Tindak anarkisme ditunjukkan oleh
supporter
dengan
perkelahian dan pengerusakan (Intepretant)
82
Table 4.0.2 Pembagian Tanda Scenes 2 Sign
Object
Interpr etan
Qualisign
Seorang pemuda yang menganiaya lawan yang sudah babak belur tidak sanggup melawan.
Sinsign
Latar yang gelap menandakan hari sudah malam dan lokasi yang sepi
Legisign
Memukuli seseorang hingga babak belur melanggar hak asasi
Ikon
Dua orang pemuda yang berkelahi
Indeks
Tangan yang memegangi kepala bagian belakang
Simbol
Raut wajah kedua pemuda
Rheme
Dilihat dari keseluruhan gambar yang menandakan terjadinya tindak anarkisme
Dicent
Pemuda yang dihajar hingga tidak berdaya
Argument
Seorang pemuda yang terus menikam lawan yang sudah tidak dapat melawan sama dengan penganiayaan.
Dari gambar di atas tanda-tanda non verbal yang didapatkan berupa warna pada latar, dua supporter, gesture tangan yang meregas kepala bagian belakang, raut wajah yang penuh dengan amarah, raut wajah korban yang sudah tidak sanggup memberikan perlawanan. Teknis pengambilan gambar yang diambil pada scene ini adalah medium close up. Teknik medium shot untuk menjelaskan hubungan antarpersonal, hubungan antara satu dengan yang lainnya.
83
Pada gambar diatas jika dilihat berdasarkan klasifikasi sign, menurut peneliti mendapatkan beberapa tindak keanarkismean yang dilakukan seorang pemuda west ham terhadap pemuda totthenham. Dilihat dari warna latar yang terlihat gelap menandakan bahwa hari sudah malam, menandakan lokasi yang sepi dari masyarakat. Perkelahian yang melibatkan dua kelompok supporter ini mengakibatkan salah seorang anggota totthenham terluka parah dan tak sanggup untuk melakukan perlawanan. Perkembangan pola pikir kepemudaan berkembang melalui masyarakat disekitarnya. Perilaku yang digambarkan diatas menandakan bagaimana pola pikir yang sudah keliru. Mereka memukuli orang hingga babak belur seperti orang yang kesetanan tanpa memikirkan dampak apa pun, hal ini merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Yang mereka fikirkan hanyalah martabat dan harga diri firma (kelompok). Keterlibatan pemuda di dalam kelompok supporter adalah bagian bentuk dari fanatisme supporter dimana dalam komunitas memiliki sebuah ikatan dan integritas yang kuat. Pada umumnya mereka melakukan pembelaan pada klub secara berkelompok dengan mengesampingkan kesalahan atau kualitas klub yang merupakan wujud adanya collective consciousness (kesadaran kolektif) pada komunitas supporter. Maka tidak jarang ada hal yang menyulut amarah dan memancing emosi supporter tidak jarang melakukan aksi diluar akal sehat. Dapat dikatakan kelompok ini menjadi
84
begitu ekstream tatkala dihadapi pada konflik yang mereka tidak bisa terima. Pada umumnya permasalahan anarkisme pemuda dalam konteks supporter sepakbola sebagian besar didominasi oleh faktor fanatisme. Hal ini seringkali dimaknai anak muda sebagai cara pandang hidup yang bersifat sesaat. Parsons (1942, 1943), menyatakan bahwa anak muda merupakan kategori social yang muncul bersama perubahan peran keluarga yang tumbuh dari perkembangan kapitalisme. Kemunculan orang dewasa di dalam struktur kapitalis membuat terjadinya suatu diskontinuitas antara keluarga dan masyarakat (Wirawan S 2008: hal 8). Masa transisi inilah yang terkadang sering disalah artikan oleh para kaum muda. Posisi sosial dimana pada masa ini anak muda berada di antara anak-anak yang masih bergantung pada orang-orang dewasa. Dari gambar yang divisualisasikan diatas peneliti mengklasifikasikan tindakan anarkisme berdasarkan object nya, yang meliputi icon, indeks, dan symbol yang terdapat pada gambar tersebut. Pada gambar tersebut terdapat icon yang menandakan dimana terdapat dua orang dewasa yang sedang berkelahi. Reaksi yang digambarkan pada pria berjaket hitam itu menjelaskan kebrutalannya terhadap seorang musuh. Bagaimana dia memukuli musuhnya seperti orang yang benar-benar kehilangan kendalai. Pada sisi indeks nya pada gambar tersebut bagaimana peria yang menggunakan jaket hitam itu memegang kepala bagian belakang musuhnya
85
yang menandakan, dalam posisi seperti ini apa pun bisa dia lakukan, bukan hanya membuat musuhnya terluka dia pun bisa membunuhnya. Dengan memegang kepala musuhnya pria berjaket hitam itu menghantam kepalanya ke tiang saluran air. Dengan raut wajah yang begitu penuh dengan amarah menurut peneliti ini adalah bagian dari symbol yang terdapat pada gambar tersebut. Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tak sadar. Jenis ekspresi sadar pada efeknya merupakan jenis sinyal khusus. Pada tahun 1963, ahli psikologi Paul Ekman mendirikan Human Interaction Laboratory di jurusan Psikiatri, University of California, San Fransisco, yang bertujuan mempelajari sinyal wajah (Marcel Danesi 2004: hal 69-70). Pada efeknya, ekspresi wajah adalah penanda tak sadar universal yang menciptakan tanda wajah terhibur, marah, terkejut, dan sedih. Berdasarkan Alex Sobur ( 2003: hal 44) Hasil dari analisis berdasarkan klasifikasi interpretan, peneliti dapat menjabarkan bahwa Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Rhame yang ada pada foto dalam penelitian dilihat dari keseluruhan foto menandakan terjadinya konflik kekerasan/keanarkismean yang dilakukan secara berutal. Dilihat dari latar belakang permasalahannya yang dimana seorang holigans akan bertindak kasar apabila dirinya sudah merasakan hal yang membuat diri dan kelompoknya kesal. Seperti hal nya yang divisualisasikan pada gambar diatas, tindakan yang tidak etis
86
dilakukan seakan itu adalah tindakan yang wajar untuk seorang musuh. Bagaimana musuh harus dilihat dengan sebelah mata dan hanya harus mendapatkan hinaan. Jika dilihat dari dicentsign peneliti menjabarkan bahwa dicentsign adalah tanda sesuai dengan kenyataan yang ada. Dicentsign pada foto diatas menurut peneliti merupakan suatu pamandangan yang sangat memilukan melihat seseorang yang sudah tidak bisa melawan tetapi terus menerus diberi hantaman di wajahnya. Keanarkismean yang terjadi ditempat umum membuat dan mencoreng nama baik suporter sepak bola. Yang pada akhirnya banyak masyarakat yang membenarkan hal itu, bahwa suporter sepak bola hanya segelincir kerumunan yang bisanya hanya membuat keanarkismean dan perusakan atas segala hal. Peneliti mendapatkan argument atas apa yang telah divisualisasikan dari gambar tersebut. Keanarkismean karena didasari atas hilangnya rasa empati dari masingmasing individu mau pun kelompok. Suporter sepakbola tidak pernah lepas dari stigma negatif. Dalam hal ini kita bisa melihat suporter sepakbola yang yang telah mendapat lebel dari masyarakat atas segala perilaku negatif yang pernah mereka lakukan seperti tindak kekerasan, tindak anarkis menyanyikan lagu yang bernuansa rasis dan provokatif, dan hal lainnya dimana pada akhirnya suatu kelompok suporter sepakbola mendapatkan lebel sebagai kelompok suporter yang anarkis.
87
4.3.3 Analisis Scenes 3
Frame 3-1-menit: 00:29:40
Frame 3-2-menit: 00:29:55
Gambar 4.0.12 Bagian Scenes 3 Frame 3-1
: Tiga orang kelompok chelsea menyerang Matt seorang touris yang berasal dari Amerika dengan berkata “Pernah mendengar seringai Chelsea?”
Frame 3-2
: Tiga orang holigans ini menyumpal mulut Matt dengan menggunakan kartu kredit dengan berkata “katakan pada GSE agar tidak begitu ceroboh”.
88
Penyerangan (sign)
Touris (Object)
Matt
sebagai
touris
diserang
kelompok Chelsea dan mulutnya disumpal
dengan
kartu
kredit
(Intepretant) Table 4.0.3 Pembagian Tanda Scenes 3 Sign
Qualisign
Tiga orang supporter chelsea yang menyerang matt sebagai touris
Sinsign
Latar yang menunjukkan tempat yang berada dibalik bangunan yang sepi, dan kartu kredit yang digunakan sebagai penyumpal mulut touris. Menarik matt kepojok bangunan.
Legisign Object
Interpr etan
Ikon
Tiga orang suporter chelsea dan satu touris dari Amerika.
Indeks
Laki-laki yang menggunakan jaket hitam dan tutup kepala yang memegangi matt.
Simbol
Ekspresi wajah matt yang ketakutan dan kesakitan.
Rheme
Dilihat dari keseluruhan gambar yang menandakan terjadinya tindak anarkisme.
Dicent
Touris yang diserang oleh suporter chelsea.
Argument
Perilaku penyumpalan mulut matt dengan kartu kredit menunjukkan tindakan anarkis.
89
Dari gambar di atas tanda-tanda non verbal yang didapatkan berupa warna pada latar, tiga supporter, gesture tangan yang memegangi turis, raut wajah korban yang takut dan kesakitan. Teknis pengambilan gambar yang diambil pada scene ini adalah medium shot dan close up. Ardiansyah pada tahun 2005 menjelaskan bahwa teknik medium shot menjelaskan hubungan antarpersonal, hubungan antara satu dengan yang lainnya, sedangkan teknik close up menjelaskan bagaimana ekspresi. Pesan sign dari film ini ditunjukkan dengan beberapa bentuk. Pesan yang tak berkode yang pertama adalah gambar lelaki yang berjaket biru dongker sebelah kanan gambar yang sedang menatap turis yang yang sedang dipegangi oleh temannya. Sikap pergerakan dari ketiga laki-laki ini seakan saling memberi kode terhadap teman-temannya. Sedangkan ekspresi wajah laki-laki berjaket hitam yang pas berada ditengah memperlihatkan senyum lebar ekspresi kebahagiaan kearah turis tersebut. Ketiga lelaki pada gambar
menggunakan
pakaian
yang
casual,
meperlihatkan
ke
holiganismean mereka. Pada potongan gambar lelaki berjaket hitam terlihat sedang memegangi turis yang terlihat memberi perlawanan. Laki-laki berjaket hitam dan coklat tua terlihat mengenakan penutup kepala sedangkan laki-laki berjaket biru dongker memiliki kepala yang botak. Background pada scene ini lebih didominasi oleh situasi yang sepi dari masyarakat.
90
Adegan dimana tiga supporter Chelsea yang menyerang matt, dilihat dari cara geraknya dapat memahami maksud dan tujuan. Seorang berbadan tinggi besar menggunakan jaket tebal berwarna gelap dan penutup kepala dapat menandakan bahwa dia kuat, memiliki keberanian untuk memberi ancaman kepada orang yang membuat dirinya merasa terusik atau terganggu. Dan seorang yang berkepala tanpa rambut yang menggunakan jaket berwarna biru dengan melipat lengan didadanya, menandakan bahwa ingin melihat sebatas mana perlawanan korban terhadap tindakan yang diperbuat, memiliki rasa meremehkan kemampuan orang yang mendapat tekanan. Sedangkan lelaki yang berbadan tinggi, berkulit hitam, menggunakan jaket coklat, dan penutup kepala di adegan ini menjelaskan, seorang kulit hitam merupakan orang yang tidak bisa dianggap remeh, memiliki sifat yang keras dan mudah emosional, dan dapat memberi ancaman kepada siapa saja yang membuat dirinya merasa kesal (Marcel Danesi 2004: hal 292-297). Dilihat dari sisi teori semiotika bahwa tubuh adalah sumber utama signifikasi, dan sarana untuk memahami hubungan antara alam dan budaya dalam kehidupan manusia. Ekspresi wajah yang bersifat universal dan lintas budaya serta diprogram pada diri kita oleh alam senantiasa diubah menjadi bentuk penandaan dalam cara-cara yang spesifik menurut budaya. Marcel Danesi (2004: hal 292-297) kita menggunakan tubuh, wajah, tangan,
dan
bagian
tubuh
lainnya
untuk
merepresentasikan
dan
91
mengkomunikasikan maksud, peran, kesan, kebutuhan, dan seterusnya. Jika dilihat dari sisi keilmuan berdasarkan pandangan psikologi kerumunan, prilaku seperti ini terjadi karena timbulnya kekesalanan atau tekanan sosial, yaitu kondisi karena sejumlah besar anggota dan adegan ini pun menggambarkan, berkembangnya prasangka kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Setiap komunikasi mempunyai efek yang dirasakan oleh satu orang atau keduanya (Walgito 2006: hal 84-85). Secara object potongan gambar pada scene ini tiga laki-laki menggambarkan sebagai pelaku keanarkisan yang dilakukan kepada seorang turis. Tiga laki-laki ini memiliki badan yang terlihat kuat dan menyeramkan. Penggunaan tiga laki-laki ini menunjukkan pembuat film ingin menceritakan bagaimana perilaku holigans di Negara mereka. Secara pemikiran peneliti melihat bahwa tiga laki-laki sebagai pelaku tindak kekerasan dalam film tersebut merupakan ikon berkode yang berarti lakilaki sebagai holigans yang kuat dan terkadang membuat kerusuhan didalam lingkup masyarakat. Kekuatan dan keanarkisan supporter sepak bola digambarkan pada film. Dilihat berdasarkan warna pakaian mereka dapat di jelaskan bahwa laki-laiki berpakaian jaket berwarna hitam memiliki kepribadian yang misterius, memiliki pendirian yang teguh, dan tidak suka membuang waktu dan selalu serius dalam melakukan sesuatu. Warna coklat menandakan kepribadian seseorang yang mencintai hal klasik, setia, dan dikenal sebagai
92
pribadi yang memegang teguh prinsip yang diyakininya. Warna biru sosok yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dan dikenal sebagai orang yang
serius,
memegang
teguh
aturan,
dan
bisa
diandalkan
(http//www.fitiline.com/perilaku-seseorang-berdasarkan-warna-pakaian. Diakses pada 2014-18-02). Jika di hubungkan dengan potongan gambar diatas dari cara memilih warna pakaian yang mereka kenakan merupakan petanda seperti warna hitam menandakan dirinya berpegang teguh dengan perilaku hooliganisme yang ada pada dirinya. Warna coklat menandakan bahwa dirinya setia terhadap team kesayangannya, dia akan memberi ancaman kepada siapa pun yang mencoba meremehkan kesetiaanya. Sedangkan, warna biru tua menandakan bahwa dirinya memiliki kepercayaan diri yang tinggi, dan dikenal sebagai orang yang serius, memegang teguh aturan yang telah diperintahkan oleh ketuanya. Pada pengklasifikasian intepretan pada gambar tersebut peneliti melihat lelaki yang terlihat kuat dan menakutkan dengan memperlihatkan perilaku kasar terhadap touris tersebut. Menginterpretasikan makna kekerasan dan kebrutalan para supporter Chelsea terhadap siapa pun dan dimana pun. Seperti yang ada pada gambar, kelompok supporter Chelsea yang menyerang touris yang berasal dari Amerika. Repsersentasi keanarkisan supporter sepakbola pada potongan gambar scene terlihat pada ketiga supporter Chelsea tersebut. Tiga lelaki dalam adegan ini digambarkan memiliki kekuatan yang lebih untuk melukai siapa pun.
93
Bentuk tindak anarkisme tergambar pada bagian dimana tiga lelaki tersebut membentak dan menyumpal mulut touris dengan kartu kredit. Pembuat film bebas memanfaatkan kepribadian pemain sebagai daya Tarik untuk mengambil perhatian penonton. Dengan adegan seperti ini dengan secara tidak langsung menceritakan bagaimana perilaku buruk, perilaku anarkis sebuah supporter atau holigans kepada masyarakat luas. Ini lah yang membuat lebel holigans dipandang negatif. 4.3.4 Analisis Scenes 4
Frame 4-1 menit: 00:30:50
Frame 4-2 menit: 00:31:33
Frame 4-3 menit: 00: 34:14 Gambar 4.0.13 Bagian Scenes 4
94
Frame 4-1
: Seorang anggota Chelsea melempar batu dan mengenai kaca mobil Dave.
Frame 4-2
: Matt tersungkur akibat di pukul oleh salah satu anggota Chelsea
Frame 4-3
: Kerumunan west ham yang datang membantu temantemannya yang diserang oleh supporter Chelsea.
Bentrok (sign)
Suporter (Object)
Tempat sepi biasa dijadikan dua
kelompok
suporter
sepakbola yang melakukan perkelahian (Interpretan)
95
Table 4.0.4 Pembagian Tanda Scenes 4 Sign
Object
Interpr etan
Qualisign
Dua kelompok suporter sepak bola chelsea dan West ham united yang berkelahi.
Sinsign
Wajah pria berjaket biru yang memar terluka
Legisign
Bentrokan suporter sepakbola yang meresahkan masyarakat
Ikon
Lima orang suporter yang sedang berkelahi
Indeks
Ekspresi wajah pria bertopi dan gestur lengan yang menggengam.
Simbol
Ekspresi wajah pria berkepala botak, dan pria berjaket biru yang terpental menerima pukulan
Rheme
Dua kelompok suporter sepakbola yang berada disuatu tempat yang sepi
Dicent
Tempat sepi yang dijadikan lokasi bertemunya dua kelompok suporter sepakbola
Argument
Lokasi yang jauh dari keramaian masyarakat dijadikan tempat bertemunya dua kelompok suporter sepakbola untuk beradu kekerasan
Dari gambar di atas tanda-tanda non verbal yang didapatkan berupa eksprsi wajah pria berkepala botak, ekspresi wajah pria bertopi, gesture lengan pria bertopi, ekspresi pria berjaket biru, latar lokasi, dan ekspresi wajah pria yang berada paling belakang pada gambar.Teknis pengambilan gambar yang diambil pada scene ini adalah medium shot, high angel dan low close up. Teknik medium shot untuk menjelaskan hubungan antarpersonal, hubungan antara satu dengan yang lainnya, high angel untuk menjelaskan tindak keanarkisan yang terjadi di sekitar lokasi, sedangkan
96
low angel untuk menjelaskan tindakan apa yang dilakukan oleh supporter tersebut (Ardiansyah 2005). Sedangkan teknik close up memberi penjelasan pada pesan keanarkisan yang sengaja di visualisasikan pada seoarang anggota baru klub west ham yang sedang dipukul. Pada potongan gambar diatas jika dilihat berdasarkan qualisgn. Qualisign yang ada pada gambar diatas divisualisasikan dua kelompok supporter Chelsea dan west ham united melakukan tindak keanarkisan. Dalam pengertiannya suatu kekerasan dapat timbul dan terjadi dikarenakan berkembangnya kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian ini berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan (Walgito 2006: hal 96).
Dendam pribadi dan dendam antar kelompok dapat memicu
perkelahian diantara dua belah kubu. Menurut Bimo Walgito pada tahun 2006 berdasarkan psikologi, dijelaskan bagaimana kelompok lain akan dengan sengaja menghilangkan rasa empati mereka terhadap kelompok lainnya, dengan tujuan dimana mereka ingin mempertahankan harga diri dari masing-masing kelompok. Hambatan psikologis pada potongan gambar diatas, menurut peneliti yaitu mengenai kepentingan (interest), prasangka (prejudice), dan steorotip (stereotype). Disebut sebagai hambatan psikologis karena hambatan-hambatan tersebut merupakan unsur-unsur dari kegiatan psikis manusia (Walgito 2006: hal 97). Selain itu dilatar belakangi juga dengan
97
adanya konflik atas pertandingan Chelsea berlaga melawan west ham united yang baru saja selesai. Para masing-masing supporter kedua belah pihak saling beradu ego yang didasari harga diri firma mereka. Kurang mampunya mereka untuk mengendalikan ego masing-masing berimbas kepada keseluruhan anggota dan masyarakat yang merasakan keresahan atas perilaku anarkis yang dilakukan oleh supporter-suporter tersebut. Alex Sobur (2003: hal 41 ) menjelaskan Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan. Sinsign yang ada pada gambar peristiwa bentrok tersebut dilihat dari latar tempatnya, yang menunjukkan setting an, tempat yang terlihat sepi dan jauh dari pihak keamanan yang ketat. Dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harifah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Menurut Alex Sobur (2003) Metafora visual sering menyinggung objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial dan budaya. Pada tataran gambar bergerak, kode-kode gambar dapat di internalisasikan sebagai bentuk representasi mental. Wajah pria berjaket biru yang memiliki luka memar menandakan kejadian yang sebenarnya sedang terjadi. Luka memar terjadi akibat pukulan, maka luka memar tersebut menandakan ada suatu peristiwa keanarkismean yang sedang terjadi di antara dua kelompok suporter sepakbola.
98
Dilihat berdasarkan Legisign. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Tanda-tanda lalu lintas merupakan legisigns. Hal itu juga dapat dikatakan dari gerakan isyarat tradisonal, seperti mengangguk yang berarti “ya”, mengerutkan alis, cara berjabat tangan (Sobur 2003: hal 41). Legisign yang ada pada foto tersebut menunjukkan bahwa tindak keanarkisan di lingkup suporter merupakan tindakan yang tidak etis, tindakan seperti itu mengakibatkan tercorengnya nama suporter sepakbola dipandangan masyarakat. Sebagai seorang supporter sepak bola pun etika supporter juga dibutuhkan untuk menjaga prilaku. Pentingnya bukan hanya untuk menjaga prilaku terhadap teman sekelompok, melainkan juga untuk melindungi atau menghindarkan seseorang dari kemungkinan dampak yang merugikan dari tindakan atau perilaku keliru dari supporter yang bersangkutan (Wirawan S 2008: hal 136). Tindakan perovokator dalam suatu kerumunan seperti ini menjadi masalah besar, tingkat emosional suporter yang mudah berapi-api disalah gunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengadu satu dengan yang lainnya. Pesan adegan disini ialah lebih difokuskan kepada seseorang anggota baru west ham united yang dipukul oleh pihak lawan, dan bukti visualisasi kekerasan pada adegan ini terlihat pada seoarang suporter west ham united yang memakai jaket biru yang telah babak belur akibat dipukul oleh pihak lawan. Hasil analisis berdasarkan objek pada potongan scene diatas dilihat dari ikon. Ikon adalah tanda yang dicirikan oleh persamaannya dengan
99
objek yang digambarkan. Tanda visual seperti potongan scene dalam sebuah film adalah ikon, karena tanda yang ditampilkan mengacu pada persamaanya dengan objek. Potongan gambar dari scene diatas dapat dilihat dari mulai latar belakang tempatnya, dari dua kelompok supporter, hingga pada tindakantindakan perkelahian dapat dijadikan suatu ikon karena dilihat dari situasi latar tempatnya menandakan lokasi itu sepi dari masyarakat yang menyebabkan memberi peluang untuk kedua kelompok supporter melakukan perkelahian atau keributan. Visualisasi dua kelompok supporter yang saling berkelahi tersebut memperlihatkan berkembangnya prasangka kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian ini berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan (Widodo 2006: hal 82). Indeks pada potongan scene tersebut adanya kekesalan yang diekspresikan oleh salah satu anggota west ham yang menggenggam tangannya untuk memukul menunjukkan bahwa ada kekerasan yang timbul di tempat tersebut, karena ego dari para supporter yang begitu tinggi yang mengakibatkan perkelahian itu terjadi. Sedangkan, makna dari suatu simbol ditentukan oleh suatu persetujuan bersama, atau diterima oleh umum sebagai suatu kebenaran tanda. Simbol yang didapat pada gambar tersebut menurut peneliti adalah ekspresi wajah bahagia dan penggambaran seorang anggota west ham yang tersungkur akibat pukulan yang diberikan oleh
100
lawannya, menandakan bahwa konflik kekerasan itu terjadi. Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Walaupun demikian berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan makna. Peneliti pun mendapatkan simbol-simbol yang menjelaskan bahwa tindak keanarkismean itu terjadi. Dari eksprsi wajah pria berkepala botak, ekspresi wajah pria bertopi, gesture lengan pria bertopi, ekspresi pria berjaket biru, latar lokasi, dan ekspresi wajah pria yang berada paling belakang pada gambar, itu semua dapat menandakan bagaimana tindak keanarkisan. Dalam konteks komunikasi non verbal, Argyle menyebutkan, postur, ekspresi wajah seringkali terkait dengan sikap interpersonal: bersahabat, bermusuhan, superioritas atau inferiroritas yang semuanya bisa ditunjukan lewat postur dan ekspresi (John Fiske 2006: hal 70). Pada gambar diatas terlihat gesture tubuh pada supporter west ham yang akan memukul pria berbaju hitam, pria tersebut menunjukkan sikap bermusuhan. Meskipun kedekatannya berada dalam jarak lingkar 3 kaki, dimana dijelaskan oleh Argyle bahwa kedekatan dalam jarak lingkar 3 kaki merupakan suatu hubungan relasi intim, namun dalam foto diatas tidak memperlihatkan sebuah
keintiman
dalam
suatu
relasi
atau
hubungan
melainkan
melambangkan sikap bermusuhan. Pada gambar diatas peneliti dapat
101
mengatakan bahwa dari luka yang ada di wajah pria berjaket biru menandakan tindak kekerasan yang tejadi. 4.3.5 Analisis Scenes 5
Frame 5-1 menit: 01:11:50
Frame 5-2 menit: 01:12:00
Gambar 4.0.14 Bagian scenes 5
Frame 5-1
: Pete dan teman-temannya melakukan pengeroyokan terhadap Matt. Kakak Pete yang ada disitu melerai perkelahian karena hanya kesalah pahaman dengan perkataan “Kakak Pete: kau tahu apa yang kau lakukan? Pete: Dia menyamar!”
Frame 5-2
: Matt yang memiliki luka diwajahnya berkata “itu hanya buku harian”
102
Kekerasan (Sign)
Bar (object)
Tingkat agresif seseorang dapat terpengaruh
atas
alkohol
yang
dikonsumsi (Interpretant). Table 4.0.5 Pembagian Tanda Scenes 5 Sign
Object
Interpr etan
Qualisign
Matt yang di pukuli oleh bovver dan pete
Sinsign
Ekspresi wajah matt yang jatuh ke lantai
Legisign
Pemukulan berdasarkan kesalah pahaman antar anggota
Ikon
Anggota west ham berdiri yang sedang menghakimi Matt yang berbaring di lantai
Indeks
Ekspresi shock yang diperlihatkan dengan gerak lengan
Simbol
Wajah matt yang terluka hingga berdarah
Rheme
Berdasarkan permasalahan kelompoknya
Dicent
Pemukulan yang dilakukan didalam BAR
Argument
antara
matt
dan
teman
Perkataan matt yang menjelaskan bahwa itu hanya sebuah buku harian.
103
Dari gambar di atas divisualisasikan matt yang dipukuli oleh pete dan bovver dikarenakan kesalah pahaman yang disebabkan tulisan jurnal yang dibuat oleh matt, hal itu membuat pete dan bovver kecewa dan marah. Matt dipukuli oleh bovver dan pete dikarenakan bovver dan pete yang mencurigai matt adalah seorang jurnalis/wartawan media. Dari gambar di atas terdapat tanda-tanda non verbal yang berupa eksprsi wajah matt, gesture lengan matt, dan latar lokasi. Teknis pengambilan gambar yang diambil pada scene ini adalah Medium shot dan High
angel.
Teknik
medium
shot
untuk
menjelaskan
hubungan
antarpersonal, hubungan antara satu dengan yang lainnya (Ardiansyah 2005) sedangkan teknik close up menggunakan high angel. Biasanya dalam penggambilan gambar menggunakan high angel ingin menunjukkan bahwa objek dalam keadaan lemah dan tidak berdaya, serta menurut Selby dan Cowdery (2007: hal 6) pengambilan gambar menggunakan high angel menceritakan adanya dominasi dan perbedaan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari gambar pria yang tergeletak dilantai. Alex Sobur (2003: hal 41 ) menjelaskan Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilan dalam kenyataan. Sinsign yang ada pada gambar peristiwa pemukulan
tersebut dilihat dari latar tempatnya,
yang
menunjukkan setting an, latar tempat terjadinya, menjadi petanda bahwa bar merupakan tempat dimana orang-orang yang mengkonsumsi alkohol.
104
Tindakan agresi seperti diatas merupakan akibat penyalahgunaan zat atau alkohol dan riwayat prilaku kriminal lebih jauh lebih kuat terkait dengan kriminalitas yang disertai kekerasan (Walgito 2006: hal 95). Dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harifah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Menurut Alex Sobur (2003) Metafora visual sering menyinggung objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial dan budaya. Pada tataran gambar bergerak, kode-kode gambar dapat di internalisasikan sebagai bentuk representasi mental. Dilihat berdasarkan Legisign. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda. Tanda-tanda lalu lintas merupakan legisigns. Hal itu juga dapat dikatakan dari gerakan isyarat tradisonal, seperti mengangguk yang berarti “ya”, mengerutkan alis, cara berjabat tangan (Sobur 2003: hal 41). Legesign pada gambar diatas adalah bagaimana matt yang di pukuli hingga mengeluarkan darah tanpa membicarakan atau mencari tahu kebenaran atas prasangka buruk. Yang sebaliknya pete dan bovver menghakimi matt dengan berutal. Machieavelli (2006: hal 95) pernah mengatakan bahwa, kekerasan menjadi absah untuk mempertahankan ancaman dan dapat dipraktekkan oleh penguasa. Kecintaan yang lebih adalah faktor dari semua ini. Kekhasan untuk menggambarkan manusia dalam persepektif cinta memberikan kesan filosofi yang mendalam bahwa kehidupan seni mencintai (the art of loving) (Walgito 2006: hal 95). Maka
105
dengan cinta manusia berubah dengan sadis, ambisius, dan bahkan mematikan. Ikon yang terdapat pada potongan gambar diatas adalah anggota west ham berdiri yang sedang menghakimi Matt yang berbaring di lantai yang berada didalam sebuah bar. Sedangkan indeks yang terdapat pada gambar diatas adalah ekspresi shock yang di gambarkan oleh wajah matt, dan ekspresi wajah kesal para anggota lainnya. Gerak tangan matt yang mengusap/membersihkan luka di wajahnya pun merupakan indeks yang terdapat didalamnya. Simbol yang didapatkan dari potongan gambar diatas adalah kata-kata anggota lain yang menuduh matt adalah seorang wartawan media, dan sedangkan matt mengakuinya bahwa itu semua hanya sebuah buku harian. Berdasarkan simbol tersebut, peneliti dapat menjabarkan bahwa tindak salah paham seperti ini didalam suporter sepakbola dapat mengakibatkan akibat yang amat sangat fatal. Keanarkismean mereka bisa keluar dimana dan kapan saja. Perilaku yang digambarkan pada scene diatas menurut faktor psikologis menurut Sigmund Freud (2006: hal 94) dalam diri manusia ada naluri kematian yang ia sebut pula thanatos yaitu energy yang bertujua untuk perusak. Agresi terutama berakar dalam naluri kematian yang diarahkan bukan ke dalam diri sendiri melainkan diarahkan pada orang lain. Dan jika dilihat dari faktor situasionalnya termasuk dalam faktor ini antara lain adalah rasa kecewa, kesal, marah dan ia tidak tahu bagaimana cara
106
semestinya
untuk
mengungkapkan
perasan-perasaan
itu,
maka
ia
melampiaskan dengan perilaku agresif. Dalam hal ini dapat menimbulkan kategorisasi prasangka ingroup dan outgroup. Apabila ada kategorisasi kita (us) dan mereka (them), maka akan menimbulkan ingroup dan outgroup. Seseorang dalam suatu kelompok merasa dirinya sebagai ingroup dan orang lain dalam kelompok lain sebagai outgroup. Ada beberapa dampak yang akan timbul dalam kategori ingoup, yaitu: Anggota ingroup mempersepsi anggota ingroup yang lain lebih mempunyai kesamaan apabila dibandingkan dengan anggota outgroup. Hal seperti demikianlah yang sering disebut similarity effect. Jadi, keadaan ingroup mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan outgroup. Hal diatas dapat menimbulkan prasangka satu dengan yang lain. Tidak jarang terjadi prasangka antara satu kelompok dengan kelompok yang lain (Walgito 2006: hal 96).
107
4.3.6 Analisis Scenes 6
Frame 6-1 menit: 01:18:13 Gambar 4.0.15 Bagian scenes 6
Frame 6-1
: Tommy Hacher yang mendatangi Bar markas West Ham United untuk menemui Steve Dunham untuk membalas dendam atas kematian anaknya. Tommy mencekik dan menusuk leher Steve Dunham dengan pecahan botol
108
Dendam(Sign)
Mencekik dan menusuk (Object)
Dendam antar kedua ketua yang menimbulkan rasa ingin membunuh (Interpretan)
Table 4.0.6 Pembagian Tanda Scenes 6 Qualisign
Tom yang mencekik steve dunham dengan emosi
Sign
Object
Interpr etan
Sinsign
Adegan tom yang mencekik tom sebagai tanda pembalas dendam
Legisign
Tanda mencekik adalah sebagai representasi bahwa Tom menginginkan Steve dunham mati
Ikon
Tom dan steve yang berselisih didalam bar
Indeks
Tangan Tom yang mencekik leher steve
Simbol
Ekspresi tom yang menginginkan steve dunham mati
Rheme
Tom dendam atas kematian anaknya
Dicent
Mencekik leher seseorang dapat mengakibatkan kematian
Argument
Steve dunham seorang ketua lama west ham yang membunuh anak Tom. Tom yang ingin membunuh steve bahwa Tom yang menyimpan dendam atas kematian anaknya.
109
Dari gambar di atas terdapat tanda-tanda non verbal yang berupa eksprsi wajah Tom, gesture lengan Tom, dan latar lokasi.
Teknis
pengambilan gambar yang diambil pada scene ini adalah medium close up. Teknik medium shot untuk menjelaskan hubungan antarpersonal, hubungan antara satu dengan yang lainnya di jelaskan pada Ardiansyah tahun 2005. Qualisign yang ditandakan pada foto diatas adalah cara tom yang menginginkan rifalnya untuk mati. “kau harus mati steve dunham, aku akan membalas kematian anakku”, itu kata-kata yang diucapkan tom saat mencekik leher steve dunham dengan amar yang meluap. Dengan ekspresi dan nada bicara yang tinggi sebagai qualisign, maka kualitas pada tanda (amarah/dendam) dapat termanifestasi secara efektif. Sehingga khalayak beranggapan bahwa sikap amarah dan tindakkan kekerasan itu didasari atas dendam yang ada dalam diri. Signsins eksistensi aktual yang menandakan peristiwa ada pada tanda yaitu dengan perkataan tom yang akan membalaskan dendam anaknya. Dendam yang tersimpan setelah bertahun-tahun setelah kematian anaknya tom adalah representasi peristwa yang berhubungan dengan tanda (dendam). Legisign atau norma yang dikandung dalam adegan mencekik adalah sebagai representasi bahwa Tom menginginkan Steve dunham mati. Scenes ini menekankan bahwa kejadian masalalu merupakan kejadian yang harus dibayar sampai kapan pun.
110
Ikon yang terdapat pada adegan ini adalah dua orang ketua firma yang bertemu di suatu bar, yang menandakan dimana mereka sedang berkelahi. Reaksi yang digambarkan pada Tom yang mencekik leher steve dunham menjelaskan kebencian. Koentjoro pada tahun 2009 menjelaskan bahwa tindakan seperti ini dapat dikatakan dalam kategori perilaku hoestil aggression yaitu kekerasa yang dipicu akibat dendam dan dilakukan dengan tujuan akhir memang melukai musuh. Pada sisi indeks nya pada gambar tersebut bagaimana Tom yang mencekik steve dunham yang menandakan, dalam posisi seperti ini apa pun bisa dia lakukan, bukan hanya membuat musuhnya terluka dia pun bisa membunuhnya. Symbol yang terdapat pada gambar tersebut adalah tangan Tom yang mencekik dan menginginkan steve dunham mati menandakan bahwa dendam lah yang menguasai tindak anarkisme seseoarang. Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tak sadar. Jenis ekspresi sadar pada efeknya merupakan jenis sinyal khusus. Pada tahun 1963, ahli psikologi Paul Ekman mendirikan Human Interaction Laboratory di jurusan Psikiatri, University of California, San Fransisco, yang bertujuan mempelajari sinyal wajah (Marcel Danesi 2004: hal 69-70). Pada efeknya, ekspresi wajah adalah penanda tak sadar universal yang menciptakan tanda wajah terhibur, marah, terkejut, dan sedih. Rhame yang dijadikan sebagai tanda untuk memperkuat Intrepetant adalah tanda tersebut dapat ditafsirkan kedalam beberapa hal. Tanda
111
tersebut bisa dilihat dengan perilaku supporter sepakbola saat ini, mereka seakan menjadi kepribadian yang berbeda saat team kesayangan mereka memiliki dendam dengan team lawannya. Mereka menjadi buas saat kerumunan mereka digangu. Tidak hanya pada para supporter sepak bola, bagi masyarakat pun permasalahan dendam merupakan permasalahan yang sah untuk dimiliki satu dengan yang lain, yang akhirnya menimbulkan perselisihan antar individu maupun kelompok. Dicentsign tanda yang sesuai kenyataan muncul sama seperti Rheme, perilaku supporter sepakbola saat ini, mereka seakan menjadi kepribadian yang berbeda. Tidak hanya pada para supporter sepak bola, bagi masyarakat pun permasalahan dendam merupakan permasalahan yang akhirnya menimbulkan perselisihan antar individu maupun kelompok. Dendam sebagai tanda dan perilaku seseorang sebagai kenyataan. Argument, dendam adalah panutan yang sangat amat keliru dan yang seharusnya tidak dijadikan suatu patokan untuk memiliki prasangka buruk terhadap seseorang menjadi alasan sebagai tanda Argument. Alasan ini pula yang mencerminkan bahwa supporter sepakbola Negara lain yang melakukan perbuatan anarkis karena mereka semua tidak dapat menghilangkan rasa dendam pada diri masing-masing.
112
4.3.7 Analisis Scenes 7
Frame 7-1 menit: 00:27:47
Frame 7-2 menit: 00: 28:04
Gambar 4.0.16 Bagian scenes 7 Frame 7-1
: Bovver dengan menggunakan pakai media mendatangi tribun supporter Brimingham dan melontarkan kata-kata yang tidak etis dengan maksud menantang untuk berkelahi. “Ayo, kau bajingan”
Frame 7-2
: Bovver yang ditangkap oleh pihak keamanan karena membuat kerusuhan,
mengacungkan
jari
tengah
kepada
supporter
Brimingham. Provokator (Sign)
Jari tengah(object)
Mengacungkan jari tengah kepada seseorang atau kelompok identik dengan
memancing
(Interpretan)
keributan
113
Table 4.0.7 Pembagian Tanda Scenes 7 Sign
Object
Interpr etan
Qualisign
Bovver menantang dan menghina suporter brimingham
Sinsign
Kata-kata “ ayo, kau bajingan”
Legisign
Menghina dan mengejek mengandung perbuatan negatif
Ikon
Bovver yang menghina lawan
Indeks
Pihak lawan yang menunjuk-nunjuk kearah bovver dengan raut wajah yang marah.
Simbol
Mengacungkan jari tengah kepada supporter lawan.
Rheme
Suporter brimingham yang kesal atas perilaku bovver selaku suporter west ham
Dicent
Mengacungkan jari tengah identik mencari keributan
Argument
Menghina dan mengacungkan jari tengah mengakibatkan kekerasan terjadi
Dari gambar di atas di gambarkan, ada 2 frame yang saling berhubungan. Pada frame 13 divisualisasikan bovver mengejek dan menghina
supporter
Brimingham
dari
pinggir
lapangan
dengan
menggunakan seragam media (pers). Selanjutnya pada frame selanjutnya yaitu frame 14 di visualisasikan bovver yang di tangkap oleh petugas keamanan mengacungkan jari tengah kepada supporter Brimangham yang bertujuan supaya menambah tingkat emosi pihak lawan.
114
Pada scene yang dipilih ini, dilihat dalam cara pengambilan gambar dengan high angle shot memperlihatkan seorang supporter yang sedang mengacungkan jari tengah yang merupakan pesan tidak kesopanan dan ini merupakan unsur pemancingan emosi lawan dengan menantang dan menghinanya. Mengacungkan jari tengah adalah hal yang sangat tidak etis dan tidak berbudaya, mengacungkan jari tengah biasanya dilakukan untuk mencari keributan agar musuh marah besar, dan dalam adegan ini sengaja ditampilkan seorang suporter west ham united yang mengacungkan jari tengah ke suporter brimingmham. Hal ini dilakukan karena sebatapa besar kesalnya seorang suporter kepada supporter lawan. Adegan ini dilakukan karena menggambarkan bagaimana seorang supporter yang sudah kehilangan rasa empati dan simpati kepada supporter yang menjadi lawannya (Walgito 2006: hal 85). Dalam komunikasi verbal mau pun nonverbal, simbol mewakili sumber acuan dalam cara yang konvensional. Kata-kata pada umumnya merupakan simbol. Tanda berbentuk jari tengah dapat mewakili “penghinaan, kasar untuk diungkapkan” (Marcel Danesi 2004: hal 44). Makna-makna seperti ini dibangun berdasarkan melalui kesepakatan sosial atau memalui saluran berupa tradisi hostoris. Jika digabungkan antara visualisasi pada scene diatas dengan tindak kekerasan, tindakan mengacungkan jari tengah dan melontarkan kata-kata kasar kepada seseorang dapat di katakana melakukan prilaku kekerasan.
115
Karena berasal dari tindakan-tindakan seperti itulah yang mengacu terjadinya tindak kekerasan, seperti perkelahian dan kerusuhan massa. Jika dilihat berdasar indeks nya scene diatas masuk kedalam lingkup indeks ruang. Yang dimana indeks ruang itu mengacu pada lokasi spsial (ruang) sebuah benda, makhluk dan peristiwa dalam hubungan dengan pengguna tanda (Marcel Danesi 2004: hal 43). Indekstial membuktikan bahwa kesadaran manusia bukan hanya memerhatikan pola warna, bentuk, dan lain-lain dan menghasilkan tanda ikonis, tetapi juga memperhatikan pola berulang dalam hubungan serta sebab-sebab yang tidak pasti dalam waktu dan ruang (Danesi 2004: hal 43). Bahasa tubuh adalah istilah umum yang digunakan untuk mengindikasikan komunikasi melalui isyarat, postur, dan sinyal serta tanda tubuh lainnya baik yang sadar maupun tidak (Danesi 2004: hal 74). Bahasa
tubuh
yang
dilakukan
bovver
pada
adegan
ini
mengisyaratkan bahwa dia begitu kesal dan benci akan hal lainnya yang dianggapnya sebagai musuh. Bahasa tubuh yang banyak dilakukan oleh bovver seperti menggambarkan, meluapkan kemarahan dan emosinya terhadap lawannya. Disisi lain bovver pun menginginkan agar lawannya tersebut masuk kedalam emosi yang telah dia timbulkan. Seperti yang dikatakan
Marcel
mengkomunikasikan
Danesi
(2004:
informasi
tak
hal
74)
terucapkan
bahasa mengenai
tubuh
itu
identitas,
hubungan, dan pikiran seseorang, juga susasana hati, dan sikap. Bahasa ini
116
memainkan peran sangat penting dalam hubungan antarpribadi. Agresivitas yang umumnya dikaitkan dengan adanya perasaan marah perumusan atau tindakan melukai orang lain baik dengan tindakan kekerasan fisik, verbal, maupun menggunakan ekspresi wajah dan gerak tubuh. Tindakan agresi merupakan tindakan yang disengaja oleh pelaku untuk mencapai tujuan tertentu (Widodo 2006: hal 82). Menurut Ardianto, Elvinaro (2004: hal 57-58) media massa secara pasti mempengaruhi pemikiran dan tindakan khalayak. Media membentuk opini publik untuk membawanya pada perubahan yang signifikan. Kadangkadang kekuatan media massa hanya sampai ranah sikap (Agee 2001: hal 24-25). Dalam bahasa semiotika, sebuah film dapat didefinisikan sebagai sebuah teks yang, pada tingkat penanda, terdiri atas serangkaian imaji yang merepresentasikan aktivitas dalam kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film adalah cermin metaforis kehidupan (Danesi 2004: hal 122). 4.4
Intrepetasi Data
4.4.1 Sign Dalam Film Green Street Holigans Pada bagian analisis data, peneliti menemukan tanda-tanda disetiap 7 scenes yang diteliti. Tanda-tanda yang muncul dalam setiap 7 scenes saling berhubungan antara scenes satu dengan scenes yang lainnya.
117
Pada scenes pertama sutradara menekankan bahwa penghinaan (sign) sebagai representasi bahwa perilaku seorang supporter sepak bola pada saat ini tidak lekang dari suatu tindakan saling menghina. Pada scene kedua menekankan bahwa anarkisme (sign) sebagai representasi bahwa tindak anarkisme holigans di Negara mereka masih ramai terjadi. Perilaku yang sangat meresahkan masyarakat, perilaku yang selalu merusak fasilitas umum. Pada scene ketiga sutradara menekankan bahwa penyerangan kepada seorang touris (sign) sebagai representasi bahwa banyak tindakan yang dilakukan oleh para holigans di Negara mereka untuk menimbulkan sikap anarkis. Pada scene keempat sutradara menekankan bahwa bentrokan (sign) sebagai representasi bahwa konflik tersebut selalu rutin terjadi disetiap seusai pertandingan. Yang bertujuan untuk kehormatan pada holigans atau firma (kelompok). Pada scene kelima terdapat kekerasan (sign) sebagai representasi bahwa holigans itu suatu perkumpulan yang memiliki sifat yang keras. Bukan hanya melukai mereka pun dapat membunuh. Pada scene keenam sutradara menekankan bahwa dendam (sign) sebagai representasi bahwa para holigans melakukan tindak keanarkisan berdasarkan dendam antar individu mau pun kelompok. Pada scene ketujuh sutradara menekankan bahwa provokator (sign) sebagai representasi bahwa
118
dari perselisihan antara holigans-holigans ini tidak lepas dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dari ketujuh scenes yang telah diamati, peneliti mendapatkan satu benang merah yang dimana sign dalam film ini merupakan sign perilaku. Perilaku para holigans-holigans yang anarkis terhadap siapapun dan dimana pun. 4.4.2 Object Dalam Film Green Street Holigans Object-object yang digunakan merupakan tanda terpenting agar representament dan interpretant saling berhubungan satu sama lain. Tanpa adanya object sebagai penghubung, pesan, representasi dan interpretasi yang ingin disampaikan oleh sutradara tidak akan berhasil. Object sebagai alat penghubung juga dapat digambarkan melalui peristiwa-peristiwa yang relevan agar representasi dan intrepetant dapat dicerna dan diasosiasi oleh khalayak. Dalam film ini object cenderung menggunakan perilaku, budaya, dan peristiwa-peristiwa yang dialami atau terjadi pada kehidupan para holigans. Sehingga dalam penyampaiannya, objek yang ditampilkan tidak sulit untuk menghubungkan antara representament/sign dengan intrepetant. Object-object yang dimunculkan dalam setiap scenes film ini mempunyai makna-makna yang berbeda namun mempunyai fungsi yang sama yaitu menghubungkan representament/sign dengan intrepetant. Object dibuat dengan terstruktur rapih bertahap, sehingga tidak terdapat bias yang
119
membuat khalayak tidak mengerti pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara. Object yang diperoleh dalam setiap scenes nya dapat berupa property, perilaku, gerak tubuh, serta ungkapan-ungkapan perkataan yang menghubungkan dengan tindak anarkis para holigans. 4.4.3 Intrepetant Dalam Film Green Street Holigans Intrepetant atau makna interpretasi adalah rangkaian gabungan dari Rheme, Dicent sign dan Argument. Intrepetant muncul sebagai hasil dari penafsiran tanda object dan representasi yang muncul melalui tanda-tanda. Intrepetant dapat muncul berupa gagasan-gagasan, argumentasi, dan kesimpulan penafsiran dari dari setiap tanda object dan representament disetiap scenes. Disetiap scenes yang peneliti analisis, intrepetasi yang muncul berbeda-beda. Pada scenes pertama intrepetant yang muncul adalah perilaku holigans yang selalu beradu menghina dan melecehkan satu sama lain, yang selalu menyebabkan tindak anarkisme terjadi antar individu mau pun kelompok. Pada scenes kedua intrepetant muncul karena tindak anarkisme
ditunjukkan
oleh
supporter
dengan
perkelahian
dan
pengerusakan, dari cara kekerasan yang terjadi diatara para hooliganholigan tersebut.
120
Pada scenes ketiga intrepetant muncul karena tindakan para holigans yang menyerang seorang touris yang berasal dari amerika, atas prasangka bahwa touris tersebut merupakan salah satu anggota dari west ham united. Mereka menyumpal mulut touris itu dengan kartu kredit hingga terluka. Pada scene keempat interpretan muncul karena situasi dan kondisi yang memungkinkan untuk para holigans melakukan perkelahian, tempat yang memungkin mereka untuk melakukan perusakan dan tindak keanarkisan. Pada scene kelima interpretan muncul karena dilihat dari kesimpulan latar tempatnya tindakan agresi seperti itu merupakan akibat penyalahgunaan zat atau alkohol dan riwayat prilaku kriminal lebih jauh lebih kuat terkait dengan kriminalitas yang disertai kekerasan. Pada scene keenam interpretan muncul karena ada nya dendam antar individu. Dendam antar kedua ketua yang menimbulkan rasa ingin membunuh. Pada scene ketujuh interpretan muncul karena tindakan mengacungkan jari tengah kepada seseorang atau kelompok identik dengan memancing suatu kekerasan. Tindakan seperti ini merupakan tindakan yang tidak etis untuk dilakukan. 4.4.4 Visualisasi Anarkisme Penelitian ini memfokuskan pada visualisasi pesan-pesan yang mengandung anarkisme. Adapun pesan-pesan kekerasan yang dimaksud dapat dilihat dari visualisasi yang terlihat seperti pada bagian Scene seperti
121
kostum, aksesoris, setting maupun property yang berhubungan dengan pesan-pesan kekerasan yang hendak disampaikan. Film sendiri seperti media massa lain tidak beroperasi dalam kekosongan. Film dapat dilihat sebagai satu medium untuk menstrukturkan proses pengeluaran makna dalam masyarakat. Anarkisme dalam film memperlihatkan keadaan social dalam sebuah masyarakat dan bisa dianggap sebagai suatu kebiasaan yang sering terjadi di berbagai wilayah. Agar
masyarakat
dapat
meningkatkan
kontrol
sosial
kemampuan
masyarakat untuk mengendalikan situasi. Semakin kuat kontrol sosial, semakin kecil kemungkinan untuk terjadinya kerusuhan. Contohnya dalam film yang dikaji mengenai film Green Street Hooligans ini memperlihatkan perwujudkan pesan-pesan anarkisme dan fanatisme yang ada dalam film tersebut. Dalam konteks ini juga film sebagai satu bentuk budaya popular hanya digunakan untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan pihak tertentu saja. Salah satunya adalah film Green Street Hooligans ini dijadikan medium dari kepentingan pihak tersebut untuk menyisipkan dan mendoktrin para penontonya agar terbiasa dengan konsep-konsep yang ada dalam film tersebut. Secara langsung maupun tidak langsung hal yang paling ditakutkan adalah pergeseran dan perubahan seseorang dalam memahami suatu unsur fanatisme.
122
Setiap film pada prinsipnya mencerminkan ideologi tertentu. Hal tersebut
menunjukan
adanya
hubungan
bagaimana
makna
yang
diungkapkan dalam film seperti bangsa, pemerintahan atau industri yang secara langsung atau tidak langsung saling bekerja sama. Bisa dikatakan film membawa pesan tertentu yang mengandung unsur kepentingan dari pihak tertentu ataupun oknum tertentu, tak terkecuali Amerika serikat karena negara ini memiliki industri film massal yang sangat terkenal didunia dengan karya-karyanya yaitu Holywood yang sekarang mungkin sudah menjadi kiblat industri film di negara-negara lainya. Visualisasi
anarkisme/kekerasan,
mengindikasikan
bahwa
permasalahan seperti di awal bab penelitian ini sudah dapat terpecahkan dimana visualisasi kekerasan/anarkisme pada film Green Street Hooligans ini terwakili oleh adegan dan simbol yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pesan yang hendak disampaikan kepada para penontonya.
123
BAB V
KESIMPULAN & SARAN
5.1
Kesimpulan Penelitian ini akhirnya akan kembali pada permasalahan awal yang telah dirumuskan yaitu bagaimana visualisasi anakisme suporter sepak bola pada film Green Street Hooligans ini disampaikan kepada penontonya. Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa visualiasi anarkisme nya adalah: 1. Sign ditampilkan dalam film Green Street Holigans yang diwakilkan oleh 7 scenes, adalah untuk menandakan realitas sikap dan perilaku para holigans. Visualisasi image holigans yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada khalayak bahwa pada kenyataannya holiganisme memang mempunyai sikap dan perilaku yang keras dan berbahaya. Sign anarkisme ada pada tindak perilaku-perilaku yang dilakukan. 2. Object visualisasi dalam film Green Street Holigans berupa kerumunan supporter sepakbola atau yang biasa disebut holigans. Perilaku objectobject yang dimunculkan dalam setiap scenes film ini mempunyai makna-makna yang berbeda namun mempunyai fungsi yang sama yaitu menghubungkan representament/sign dengan intrepetant.
123
124
3. Interpretan dalam film Green Steet Holigans menandakan intrepetasi cenderung mempunyai tujuan untuk menjelaskan latar belakang kehidupan para kerumunan holigans. Visualisasi yang diterapkan melalui scene mempermudah sutradara menyampaikan isi pesan informasi kepada penonton bahwa seperti itu lah keadaan para holigans di Inggris. 4. Visualisasi anarkisme dalam film memperlihatkan keadaan sosial dalam sebuah masyarakat dan bisa dianggap sebagai suatu kebiasaan yang sering terjadi di berbagai wilayah. Agar masyarakat dapat meningkatkan kontrol sosial kemampuan masyarakat untuk mengendalikan situasi. Semakin kuat kontrol sosial, semakin kecil kemungkinan untuk terjadinya kerusuhan. Contohnya dalam film yang dikaji mengenai film Green Street Hooligans ini memperlihatkan perwujudkan pesan-pesan fanatisme dan anarkisme yang ada dalam film tersebut. Secara langsung maupun tidak langsung hal yang paling ditakutkan adalah pergeseran dan perubahan seseorang dalam memahami suatu unsur fanatisme. Dari kesimpulan diatas dapat dikatakan bahwa film Green Street Hooligans ini mengandung visualisasi anarkisme suporter sepak bola, yang secara sistematis dan terencana didesain ada dalam pesan ceritanya. Dari 7 analisis kesimpulan diatas mengandung unsur semiotika Charles Sanders Pierce.
125
5.2
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti ingin memberikan saran yang mungkin dapat berguna bagi berbagai pihak khususnya bagi para akademisi maupun para penikmat film dimanpun berada. 1. Untuk kalangan akademisi, diharapkan untuk terus membuka dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan paradigma yang seluasluasnya dalam mengkaji sebuah film misalnya kajian tentang semiotika, khususnya tentang bagaimana seorang sutradara dapat menyisipkan unsurunsur ideologinya untuk disampaikan kepada para penonton. 2. Untuk penikmat film, hendaknya meningkatkan ketajaman intelektual dan emosional sehingga bisa menyaring pesan-pesan yang hendak disampaikan dalam suatu film, khususnya film-film Holywood yang pada prakteknya selalu menyisipkan agenda setting yang hendak ditanamkan kedalam alam bawah sadar penontonya.
126
DAFTAR PUSTAKA
Ardianto dan Lukiati, k. (2007). Komunikasi Massa Suatu Pengantar . Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Ahmadi, abu. (2007). Psikologi Komunikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Arifin, Januar MS. 2011. PSSI JUARA. Jakarta : Kosakatakita. Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatf, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. . 2007. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus. Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Bumi Aksara. Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra. . 2010. Pesan, Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Daryanto. 2010. Ilmu Komunikasi. Bandung : Satu Nusa Studio. Effendy, Onong Uchjana. 2006. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Elvinaro, Ardianto., Erdinaya., Komala Lukiati. 2004. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS. Fiske, John. 2006. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif,. Yogyakarta: Jalasutra. Irwansyah, Ade. 2009. Seandainya Saya Kritikus Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka. J. M dan Hassan, S. Chols. 1988. Kamus Bahasa Inggris – Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
127
Kriyantono, Rachmat. 2009. Tekhnik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Kursyid, Ahmad. 1993. Menjawab Tuduhan Barat. Surabaya :Pustaka Progressif. Marzuki. 2003. Metodelogi Riset. Yogyakarta: PT Prasetya Widya Pratama. Mulyana, Deddy. 2008. Komunikasi Massa Aplikasi.Bandung: Widya Padjajaran.
Kontroversi,
Teori,
dan
McQuill, Dennis. 1995. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Erlangga. Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal, Edisi Kedua. Jakarta: Rineka Cipta. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS. Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika : Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra. Rakhmat, Jalalludin. 2005. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya. Richard West dan Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory: Analysis and Aplication, 3rd ed. New York: Mc Graw Hill. 2007. Pengantar Teori . Komunikasi, Edisi 3 Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika. 2008. Sawarno, Sarlito., W. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi kelompok dan Psikologi Terapan. Jakarta: Balai Pustaka. Sindhunata. 2002. Catatan Sepakbola Sindhunata: Bola-bola Nasib. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakayarya. . 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
128
Sujiman, Panuti, and Aart Van Zoest. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Thompson, David and Kristin Bordwell. 2008. Film Art: An Introduction. New York: The Mc. Graw Hill Companies, Inc. Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Jalan Sutra. Tufte, Edward. 1997. Visual Explanations: Images and Quantities, Evidence and Narrative. Cheshire, CT: Graphics Press. Walgito, bimo. 2006. Psikologi Kelompok. Yogyakarta: Andi Offset. Widodo, Heri. 2006. Psikologi Sosial. Anantasari. Wirawan, S, S. 2008. Teori-Teori Psikologi Sosial. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
129
Sumber Internet 1. Prof. Dr. Achmad Mubarok, MA. 2006. Psikologi Fanatik. (Online). http:// Mubarok
Institute.blogspot.com/2006/08/psikologi-fanatik.html.
Diakses
tanggal 4 november 2011. 2. Nasional, Departemen Pendidikan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-3. Jakarta: Balai Pustaka. 3. http://www.zoominfo.com/#!search/profile/company?companyId=168821578 &targetid=profile 4. http://www.Rogerebert.com./reviews/green-street-hooligans. Diakses 201211-06. 5. Tyler, Joshua (January 10, 2006). "Shatner Gets His Own Award". Cinema Blend. Diakses 2009-09-10. 6. Von Busack, Richard (March 8, 2006). "Sunnyvale". Metroactive. Diakses 2009-09-10. 7. http://nikenbicarafilm.blogspot.com/green-street-hooligan.html. Diakses pada tanggal 16-04-2011 8. https://intanoorahma.wordpress.com. Diakses pada 06-07-2012. 9. http://fitinline.com/article/read/mengenal-kepribadian-dari-warna-pakaian. Diakses pada 18 februari 2014
130
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1 Oddlot Entertainment
131
Lampiran 2 Unit Analisis
132
133
134
Lampiran 3 Cover DVD
135
Lampiran 4
136
Lampiran 5 Surat Tugas
137
Lampiran 6
138
Lampiran 7 Bukti Bimbingan
139
140
Lampiran 8 ACC Sidang Skripsi
141
Lampiran 8 ACC Sidang Skripsi
142
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi Nama Lengkap
: Alif Risna Fauzi
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Tempat/Tinggal Lahir
: Lampung, 14 Mei 1992
Alamat
: Perumahan Keroncong Permai Ep 4 no. 24 RT/RW 07/03 Kecamatan Jatiuwung, Kelurahan KeroncongTangerang
Email
:
[email protected]
Kode post
: 15134
Perguruan Tinggi
: Universitas Sultan Ageng Titayasa, Serang – Banten
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)
Jurusan
: Ilmu Komunikasi (Konsentrasi Jurnalistik)
Angkatan
: 2010
143
Riwayat Pendidikan dan Pelatihan Jenjang Pendidikan
Periode
Sekolah / Institusi / Universitas
Kota
1998
-
2004
SD Negeri 1
Lampung
2004
-
2007
SMP Negeri 1
Lampung
2007
-
2010
SMA 1 YUPPENTEK
Tangerang
2010
-
2015
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Serang
Pengalaman Organisasi No.
Nama Organisasi
Jabatan
Tahun
1.
PASKIBRA di Lampung Tengah
Pengibar Bendera
2005-2007
2.
UTV (Untirta TV)
Anggota
2011 - 2012
3.
Komunitas Fotografer Banten Exposure
Anggota
2011 - 2013
144
» Pengalaman Bekerja No.
Tahun
1.
2010
2.
2014
3.
2013 – Sekarang
Jabatan
Deskripsi Pekerjaan
Magang sebagai
Upload data, Manage Data
Operator Data
melalui FTP Client.
Team Leaders
Pengawas SPG Djarum
Phtographer NICANI|
Sebagai photographer wedding di
Creative and Photo
daerah kota Serang, Cilegon,
Wedding
Tangerang