1
VIII PENGAWASAN DAN SUPERVISI PENDIDIKAN
8.1 Pengawasan Pendidikan A. Konsep Pengawasan Pendidikan Pengawasan (pengendalian) atau controlling adalah bagian terakhir dari fungsi
manajemen.
Fungsi
manajemen
yang
dikendalikan
adalah
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan itu sendiri. Kasus-kasus yang banyak terjadi dalam suatu organisasi adalah akibat masih lemahnya pengendalian sehingga terjadilah berbagai penyimpangan antara yang direncanakan dengan yang dilaksanakan. Pada dasarnya rencana dan pelaksanaan merupakan satu kesatuan tindakan, walaupun hal ini jarang terjadi. Pengawasan diperlukan untuk melihat sejauh mana hasil tercapai. Pengawasan sebagai tugas disebut supervisi pendidikan. Sebagai pemahaman lanjut dari istilah tersebut, berikut ini mencoba memaparkan hal-hal terkait dengan pengawasan dan supervisi pendidikan. Pengawasan ialah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan telah dilakukan sesuai dengan rencana semula. Kegiatan pengawasan pada dasarnya membandingkan kondisi yang ada dengan yang seharusnya terjadi. Menurut Murdick
sebagaimana dikutip
oleh Fattah (2000: 101)
dikatakan bahwa “pengawasan merupakan proses dasar yang secara esensial tetap diperlukan bagaimanapun rumit dan luasnya suatu organisasi”. Proses dasarnya terdiri dari tiga tahap; pertama, menetapkan standar pelaksanaan; kedua, pengukuran pelaksanaan pekerjaan dibandingkan dengan standar, dan ketiga, menentukan kesenjangan (deviasi) antara pelaksanaan dengan standar dan rencana.
2
Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan
bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang
direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan. Pengawasan juga merupakan fungsi manajemen yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit dalam suatu organisasi guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang dikehendaki. Oleh karena itu mudah dipahami bahwa pengawasan pendidikan adalah fungsi manajemen pendidikan yang harus diaktualisasikan, seperti halnya fungsi manajemen lainnya.
Berdasarkan konsep tersebut, maka proses
perencanaan yang mendahului kegiatan pengawasan harus dikerjakan terlebih dahulu.
Perencanaan
pengorganisasian,
yang
wadah,
dimaksudkan
struktur,
fungsi
mencakup dan
perencanaan:
mekanisme,
sehingga
perencanaan dan pengawasan memiliki standar dan tujuan yang jelas. Pengawasan
dimaksudkan
keterbukaan.
Pengawasan
pembenahan
atau
untuk
pada
koreksi yang
meningkatkan
dasarnya
akuntabilitas
menekankan
dan
langkah-langkah
objektif jika terjadi perbedaan atau
penyimpangan antara pelaksanaan dengan perencanaannya. Dalam makna ini pengawasan juga berarti mengarahkan atau mengoordinasi antar kegiatan agar pemborosan sumber daya dapat dihindari. B. TQM dan QA sebuah Inovasi dalam Pendidikan Di era kontemporer dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan
pendidikan
berbasis
industri.
Pengelolaan
model
ini
mengandaikan adanya upaya pihak pengelola institusi pendidikan untuk meningkatkan
mutu
pendidikan
berdasarkan
manajemen
perusahaan.
Penerapan mana¬jemen mutu dalam pendidikan ini lebih populer dengan sebutan istilah Total Quality Education (TQE). Dasar dari manajemen ini dikembangkan dari konsep Total Quality Management (TQM), yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis kemudian diterapkan pada dunia
3
pendidikan. Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan adalah, institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa. Yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan (customer). Jasa atau pelayanan yang diinginkan oleh pelanggan tentu saja merupakan sesuatu yang ber-mutu dan memberikan kepuasan kepada mereka. Maka pada saat itulah, dibutuhkan suatu sistem manajemen yang mampu memberdayakan institusi pendidikan agar lebih bermutu. Manajemen pendidikan mutu terpadu berlandaskan pada kepuasan pelanggan sebagai sasaran utama. Pelanggan dapat dibedakan menjadi pelanggan dalam (internal customer) dan pelanggan luar (external customer). Dalam dunia pendidikan yang termasuk pelanggan dalam adalah pengelola institusi
pendidikan
itu
sendiri,
misalkan
manajer,
guru,
staff,
dan
penyelenggara institusi. Sedangkan yang termasuk pelanggan luar adalah masyarakat, pemerintah dan dunia industri. Jadi, suatu institusi pendidikan disebut bermutu apabila antara pelanggan internal dan eksternal telah terjalin kepuasan atas jasa yang diberikan. Maka dari itu, untuk memposisikan institusi pendidikan sebagai industri jasa, harus memenuhi standar mutu. Institusi dapat disebut bermutu, dalam konsep Total Quality Management, harus memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan. Secara operasional, mutu ditentukan oleh dua faktor, yaitu terpenuhinya spe-sifikasi yang telah ditentukan sebelumnya dan terpenuhinya pengguna
spesifikasi jasa.
yang
Mutu
diharapkan yang
pertama
menurut disebut
tuntutan quality
dan in
kebutuhan fact
(mutu
sesungguhnya) dan yang kedua disebut quality in perception (mutu persepsi).
4
Standar mutu produksi dan pelayanan diukur dengan kriteria sesuai dengan spesifikasi, cocok dengan tujuan pembuatan dan penggunaan, tanpa cacat (zero defects) dan selalu baik sejak awal (right first time and every time). Mutu dalam persepsi diukur dari kepuasan pelanggan atau pengguna, meningkatnya
minat,
penyelenggaraannya,
harapan
quality
in
dan fact
kepuasan merupakan
pelanggan. profil lulusan
Dalam institusi
pendidikan yang sesuai dengan kualiflkasi tujuan pendidikan, yang berbentuk standar
kemampuan
dasar
berupa
kualiflkasi akademik
minimal yang
dikuasai oleh peserta didik. Sedangkan pada quality in perception pendidikan adalah kepuasan dan bertambahnya minat pelanggan eksternal terhadap lulusan institusi pendidikan.
Beranjak dari pembahasan tersebut, dalam operasi Total Quality Management dalam dunia pendidikan ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan,
menurut
Edward
Sallis
yang
dikutip
oleh
Djadja
(http://pendidikpembebas.wordpress.com/2013/05/01/edward-sallismanajemen-kualitas-total-dalam-pendidikan-bagian-2/), yaitu sebagai berikut: Pertama, perbaikan secara terus-menerus (continuous improvement). Konsep
ini mengandung pengertian bahwa pihak
pengelola senantiasa
melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan secara terus menerus untuk
5
menjamin
semua
komponen
penyelenggara
pendidikan
telah
mencapai
standar mutu yang ditetapkan. Konsep ini juga berarti bahwa antara institusi pendidikan senantiasa memperbaharui proses berdasarkan kebutuhan dan tuntutan pelanggan. Jika tuntutan dan kebutuhan pelanggan berubah, maka pihak pengelola institusi pendidikan dengan sendirinya akan merubah mutu, serta selalu memperbaharui komponen produksi atau komponen-komponen yang ada dalam institusi pendidikan. Kedua, menentukan standar mutu (quality assurance). Paham ini digunakan untuk menetapkan standar-standar mutu dari semua komponen yang bekerja dalam proses produksi atau transformasi lulusan insti¬tusi pendidikan. Standar mutu pendidikan misalnya dapat berupa pemilikan atau akuisisi kemampun dasar pada masing-masing bidang pembelajaran, dan sesuai
dengan
jenjang
pendidikan
yang
ditempuh.
Selain
itu,
pihak
manajemen juga hams menentukan standar mutu materi kurikulum dan standar evaluasai yang akan dijadikan sebagai alat untuk mencapai standar kemampuan dasar. Standar mutu proses pembelajaran harus pula ditetapkan, dalam arti bahwa pihak manajemen perlu menetapkan standar mutu proses pembelajaran yang diharapkan dapat berdaya guna untuk mengoptimalkan proses produksi dan untuk melahirkan produk yang sesuai, yaitu yang menguasai standar mutu
pen¬didikan
berupa
penguasaan
standar
kemampuan
dasar.
Pembelajaran yang dimaksud sekurang-kurangnya memenuhi karakteristik; menggunakan
pendekatan
pembelajaran
pelajar
aktif
(student
active
learning), pembelajaran koperatif dan kolaboratif, pembelajaran konstruktif, dan pembelajaran tuntas (mastery learning). Begitu pula pada akhirnya, pihak pengelola pendidikan menentukan standar mutu evaluasi pembel-ajaran. Standar mutu evaluasi yaitu bahwa evaluasi harus dapat mengukur tiga bentuk penguasaan peserta didik atas standar kemampuan dasar, yaitu penguasaan materi (content objectives),
6
penguasaan
metodologis
(methodological
objectives),
dan
penguasaan
keterampilan yang aplikatif dalam kehidupan sehari-hari (life skill objectives). Dengan kata lain, penilaian diarahkan pada dua aspek hasil pembelajaran, yaitu instructional effects dan nurturant effects. Instructional effaces adalah hasil-hasil yang kasat mata dari proses pembelajaran, sedangkan nurturant effect adalah hasil-hasil laten proses pembel¬ajaran, seperti terbentuknya kebiasaan membaca, kebisaan pemecahan masalah. Ketiga, perubahan kultur (change of culture). Konsep ini bertujuan membentuk budaya organisasi yang meng-hargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasional.
Jika manajemen ini
ditetapkan di institusi pendidikan, maka pihak pim-pinan harus berusaha membangun kesadaran para anggotanya, mulai dari pemimpin sendiri, staf, guru, pelajar, dan berbagai unsur terkait, seperti pemimpin yayasan, orangtua, dan para pengguna lulusan pendi¬dikan akan pentingnya mempertahankan dan mening-katkan mutu pembelajaran, baik mutu hasil maupun proses pembelajaran. Di sinilah letak penting dikem-bangkannya faktor rekayasa dan faktor motivasi agar secara bertahap dan pasti kultur mutu itu akan berkembang di dalam organisasi institusi pendidikan. Di sini pula penting diterapkan bentuk-bentuk hubungan manusia yang efektif dan konstruktif, agar semua anggota organisasi institusi pendidikan merasakan ada hubungan intim dan harmonis bagi terbentuknya kerjasama yang berdaya guna dan berhasil guna. Per-ubahan kultur ke arah kultur mutu ini antara lain dilakukan dengan menempuh cara-cara; perumusan keyakinan bersama, intervensi nilai-nilai keagamaan, yang dilan-jutkan dengan perumusan visi dan misi organisasi institusi pendidikan. Keempat, perubahan organisasi (upside-down organization). Jika visi dan
misi,
serta
tujuan
organisasi
sudah
berubah
atau
mengalami
perkembangan, maka sangat dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi. Perubahan
organisasi
ini
bukan
berarti perubahan
wadah
organisasi,
melainkan sistem atau struktur organisasi yang melambangkan hubungan-
7
hubungan kerja struktur organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan kerja dan kepengawasan dalam organisasi.
Perubahan ini menyangkut
perubahan kewenangan, tugas-tugas dan tanggung jawab. Misalnya, dalam kerangka manajemen berbasis sekolah, struktur orga¬nisasi dapat berubah terbalik dibandingkan dengan struktur konvensional. Jika dalam struktur konvensional berturut-turut dari atas ke bawah; senior manager, middle manager, teacher dan support staff. Sedalam struktur yang baru, yaitu dalam struktur organisasi layanan, keadaannya berbalik dari atas ke bawah berturutturut; learner, team, teacher and support, staff, dan leader. Kelima, mempertahankan hubungan dengan pelanggan (keeping close to the customer). Karena organisasi pendidikan menghendaki kepuasan pelanggan,
maka
perlunya
mempertahankan
hubungan
baik
dengan
pelanggan menjadi sangat penting. Dan inilah yang dikembangkan dalam unit public
relations.
Berbagai informasi antara
organisasi pendidikan
dan
pelanggan harus terus menerus dipertukarkan, agar institusi pendidikan senantiasa dapat melakukan perubahan-perubahan atau improvisasi yang diperlukan, terutama berdasarkan perubahan sifat dan pola tuntutan serta kebutuhan pelanggan. melakukan
kunjungan,
Bukan hanya itu, pelanggan juga diperkenankan pengamatan,
penilaian
dan
pemberian
masukan
kepada institusi pendidikan. Semua masukan itu selanjutnya akan diolah dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu proses dan hasilhasil pembelajaran. Dan yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam manajemen berbasis sekolah, guru dan staff justru dipandang sebagai pelanggan
internal,
sedangkan
pelajar,
termasuk
orangtua pelajar dan
masyarakat umum, termasuk pelanggan eksternal. Maka, pelanggan baik internal maupun eksternal harus dapat terpuaskan melalui interval kreatif pimpinan institusi pendidikan. Untuk keberhasilan penerapan Manajemen Mutu Terpadu tersebut memang tidak mudah, diperlukan komitmen dan kerjasama yang baik antara departemen terkait, antara departemen pusat dengan departemen pendidikan
8
daerah serta institusi pendidikan setempat sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya kejelasan secara sistemik
dalam
memberikan
kewenangan
antar
institusi
terkait.
Jika
manajemen ini diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada dengan segala dinamika dan fleksibilitasnya, maka akan menjadi perubahan yang cukup efektif bagi pengembangan dan peningkatan mutu dan mutu pendidikan nasional. 8.2 Supervisi Pendidikan A. Konsep Supervisi Pendidikan Konsep supervisi tidak bisa disamakan dengan inspeksi, inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan bersifat otoriter, sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru, karena bersifat demokratis. Istilah supervisi berasal dari dua kata, yaitu “super” dan “vision”. Dalam Webstr’s New World Dictionary (Suhardan, 2010:35-36) mengartikan bahwa: “Istilah super berarti “higher in rank or position than, superior to (superintendent), a greater or better than others”, sedangkan kata vision berarti, “the ability to perceive not actually visible, as through mental acutness or keen foresight”. Selanjutnya konsep supervisi dapat diartikan sebagai “pengawasan profesional dalam bidang akademik, dijalankan berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan tentang bidang kerjanya, memahami tentang pembelajaran lebih mendalam dari sekedar pengawas biasa” (Suhardan, 2010:36). Kimball Wiles (Sutisna, 1989:264) menjelaskan supervisi sebagai “bantuan dalam pengembangan situasi mengajar belajar yang lebih baik”. Selanjutnya
Wiles
mengatakan
bahwa supervisi yang baik
hendaknya
mengembangkan kepemimpinan di dalam kelompok, membangun program
9
latihan dalam jabatan untuk meningkatkan keterampilan guru, dan membantu guru meningkatkan kemampuannya dalam menilai hasil pekerjaannya. Dalam sistem sekolah,
khususnya
sistem sekolah
yang
sudah
berkembang, situasainya berbeda, dalam Carter Good’s Dictionary of Education (Sutisna, 1989:264), supervisi didefinisikan sebagai: “Segala usaha dari pejabat sekolah yang diangkat dan diarahkan kepada penyediaan kepemimpinan bagi para guru dan tenaga kependidikan lain dalam perbaikan pengajaran; melibat stimulasi pertumbuhan profesional dan perkembangan dari para guru, seleksi dan revisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran, dan metode-metode mengajar, dan evaluasi pengajaran.” Sedangkan menurut Boardman (Daryanto, 2008:170) menjelaskan bahwa: “Supervisi adalah usaha menstimulir, mengkoordinir, dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru-guru sekolah, baik secara individual mapun secara kolektif, agar lebih mengerti, dan lebih efektif dalam menujudkan seluruh fungsi pengajaran, sehingga dengan demikian mereka mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam mesyarakat demokrasi modern." Supervisi adalah pekerjaan memberi bantuan. Sedangkan ketika kata supervisi melekat pada kata pendidikan, makna yang yang dimilikinyapun sempit. Supervisi juga merupakan bantuan dalam mengembangkan situasi belajar mengajar secara lebih baik. Selanjutnya supervisi meliputi segenap aktivitas yang dirancang untuk mengembangkan pengajaran pada semua tingkatan organisasi sekolah. Supervisi dapat diartikan sebagai prosedur memberi pengarahan atau petunjuk dan mengadakan penilaian terhadap proses pengajaran. Oleh karena itu, perlu digarisbawahi adanya beberapa pokok pikiran tentang supervisi pendidikan, yakni: bahwa supervisi pendidikan pada hakekatnya merupakan segenap bantuan yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan dan pembinaan aspek pengajaran. Melalui kegiatan supervisi, segala faktor yang berpengaruh terhadap
proses
pengajaran
dianalisis,
dinilai
dan
ditentukan
jalan
10
pemecahannya sehingga proses belajar mengajar di sekolah/madrasah dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. B. Proses dan Kegiatan Supervisi Pendidikan Proses dilaksanakan
supervisi dalam
pengajaran
penyelenggaraan
merupakan
kegiatan
pendidikan.
yang
Pelaksanaan
wajib kegiatan
supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses kegiatan pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Kegiatan pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran. Pemberian bantuan pada supervisi pendidikan harus disesuaikan dengan masalah yang dihadapi oleh sekolah tersebut. Terdapat beberapa tahapan sebelum melakukan supervisi pendidikan yaitu monitoring dan evaluasi. Sebelum melakukan pengawasan maka pengawas harus menyiapkan instrumen terlebih dahulu, sehingga mengetahui hal-hal yang akan ditanyakan dan diamati. Pelaksanaan supervisi pengajaran dilakukan secara sistematis oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru agar dapat melaksanakan tugasnya secara efektif dan efisien.
Dalam
pelaksanaannya,
baik
kepala
sekolah
dan
pengawas
menggunakan lembar pengamatan yang berisi aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru dan kinerja sekolah. Untuk melakukan supervisi terhadap guru digunakan lembar observasi yang berupa alat penilaian kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi kinerja sekolah dilakukan dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan, personalia, keuangan, sarana dan prasarana, serta hubungan masyarakat.
11
Adapun
kegiatan-kegiatan
supervisi
pendidikan
yang
dimaksud
menurut Sutisna (1989: 267-268) adalah sebagai berikut: 1. Menilai hasil pendidikan mengingat sasaran-sasaran pendidikan yang telah disetujui. a. Penentuan
dan
analisis
tujuan-tujuan
dengan
kritis secara
kooperatif. b. Analisis data untuk menemukan kekuatan dan kelamahan pada hasil pendidikan. c. Seleksi dan penerapan cara-cara penilaian. 2. Mempelajari situasi mengajar belajar untuk menetapkan faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan prestasi murid yang memuaskan dan tidak memuaskan. a. Mempelajari pedoman mengajarkan bidang-bidang studi dan kurikulum dalam pelaksanaan. b. Mempelajari alat peajaran, perlangkapan, dan lingkungan sosial fisik dari belajar dan pertumbuhan. c. Mempelajari faktor-faktor yang bertalian dengan pengajaran yang terdapat pada guru. d. Faktor-faktor yang terdapat pada pelajar. 3. Memperbaiki situasi mengajar belajar. a. Memperbaiki pedoman mengajarkan bidang-bidang studi dan mengembangkan
bahan
kerangka
pejalaran,
mata
instruksional, memilih
termasuk buku
menyusun
pelajaran,
buku
pelengkap, dan bahan cetak lain. b. Memperbaiki alat pelajaran, perlengkapan, dan lingkungan sosio fisik dari belajar dan pertumbuhan. c. Memperbaiki perbuatan (performance) guru dengan penggunaan teknik-teknik
supervisi
yang
individual maupun kelompok.
sesuai,
baik
yang
bersifat
12
d. Memperbaiki faktor-faktor yang terdapat pada pelajar, yang mempengaruhi pertumbuhan dan prestasinya. 4. Memilih sasaran, metode, dan hasil supervisi. a. Memilih dan menerapkan teknik-teknik evaluasi yang paling cocok. b. Menilai hasil program-program supervisi tertentu,
termasuk
faktor-faktor yang membatasi program-program itu. c. Menilai dan memperbaiki perbuatan personil supervisi. C. Perkembangan Supervisi Supervisi pada awalnya merupakan bagian dari aktivitas manajemen pemerikasaan atau inspeksi oleh pihak eksternal. Kepala sekolah harus menunjukkan
bukti
kinerja
pelaksanaan
tugasnya.
Pendidik
harus
menunjukkan bagaimana membelajarkan siswa, menerapkan kurikulum, dan menyerap pelajaran. Pada decade ini tema memeriksa tertanam kuat dalam praktek supervisi. Pada dekade awal abad kedua puluh, seiring dengan gerakan dalam bidang industri yang menerapkan model manajemen, supervisi semakin berrkembang dengan semakin berpusat pada siswa. Hal ini dipengaruhi oleh berkembangnya teori-teori kurikulum yang berkembang di Eropa seperti Friedrich Froebel, Johan Pestalozzi, Johan Herbart, serta filsuf Amerika terkemuka John Dewey. Pekembangan ini jelas sangat berpengaruh terhadap perkembangan sekolah. Perkembangan lebih jauh dengan berkembangnya berbagai penelitian dalam bidang
pendidikan,
pengawasan
sering terjebak
pada kegiatan
mengevaluasi guru secara ilmiah yang simultan dengan mengembangkan model pembelajaran
yang
mekanistis
,
mengulang,
dan meningkatkan
partisipasi untuk lebih meningkatkan ragam tanggapan siswa yang tumbuh dari rasa ingin tahu. Perkembangan ini telah menyebabkan meningkatnya standar persyaratan sistem pembelajaran. Pendekatan supervisi yang ilmiah
13
telah
memunculkan
ketegangan
psikologis
guru
yang
cendrung
lebih
memperhatikan aspek pragmatis. Paradigma mekanistik dibangun berdasarkan paradigma lingkungan yang berfokus pada empat komponen dasar, yaitu hubungan antara sistem alam
dan
menggunakan
sosial,
mengintegrasikan
teknologi
dalam
nilai
kemanusian
mengembangkan
dengan
alam,
alternatif,
dan
mengembangkan kegiatan pembelajaran dalam siklus kehidupan manusia. (Disinger, John F. – Roth, Charles E, 1992) Sampai kini ketegangan antara pengawas dengan pendidik akibat dari pengawasan yang menggunakan pendekatan ilmiah tidak pernah pudar. Oleh karena itu berkembanglah pemikiran lanjut untuk mengembangkan supervisi dengan pendekatan yang lebih fleksibel, dialogis, kolaboratif, melibatkan hati secara alamiah, dan lebih komunikatif. Supervisi menjadi bagian dari usaha meningkatkan mutu penerapan kewenangan profesional. Perkembangan selanjutnya adalah berkembangnya konsep supervisi klinis. Awalnya konsep itu dikembangkan oleh profesor Harvard Morris Cogan dan Robert Anderson serta mahasiswa pascasarjana mereka. Supervisi dan supervisi klinis mengintegrasikan unsur objektif dan ilmiah melalui pengamatan kelas yang bersifat kolegial, menekankan pada aspek pembinaan, serta didasari dengan perencanaan rasional, pelaksanaan yang fleksibel dengan pendekatan utama membantu memecahkan masalah yang terdapat pada pembelajaran siswa. Tahun 1969 Robert Goldhammer mengusulkan pelaksanaan supervisi klinis dalam lima tahap, yaitu: (1) Pertemuan pra-observasi antara pendidik dan pengawas untuk menyepakati komponen-komponen kegiatan yang akan menjadi materi analisis; (2) observasi kelas; (3) catatan analisis supervisor untuk bahan kajian dari hasil observasi; (4) pertemuan pendidik dengan supervisor pasca observasi; dan (5) pertemuan para pengawas untuk membahas hasil pertemuan akhir dengan para pendidik.
14
Di samping itu, Cogan menegaskan bahwa pelaksanaan supervisi hendaknya berlangsung dalam hubungan kolegial, terfokus pada kepentingan guru dalam meningkatkan standar pembelajaran siswa, dan dengan sistem pengamatan yang tidak menghakimi. Pada era tahun 1970-1980-an, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kurikulum berubah pandang dengan lebih menekankan pada struktur disiplin akademik. Tak lama setelah itu, perspektif baru yang berhasil dirumuskan dari produk penelitian dalam konteks pengembangan sekolah efektif dan kelas efektif, dan belajar efektif. Pada periode ini ini tercatat nama Madeline Hunter yang berhasil mengadaptasi hasil penelitiannya pada bidang psikologi belajar dengan memperkenalkan, quasi-ilmiah atau dikenal juga dengna
istilah
analisis
konsteks.
Quasi-eksperimen
selanjutnya
menjadi
sangat populer dan berkembang menjadi metode penelitian dalam ilmu sosial. Para akademisi selanjutnya mengikuti siklus sebagaimana Cogan dan Goldhamer rumuskan yaitu proses supervisi dilakukan secara dialogis dan replektif. Pendekatan supervisi ini kemudian banyak diterapkan. Lebih jauh pendekatan ini telah menjadi pemicu muncul model supervisi teman sejawat dengan difasilitasi hubungan kolegial antar guru dengan melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Meskipun supervisi klinis menjadi salah satu cara yang sangat efektif dalam membantu memecahkan masalah yang guru dalam memperbaiki pekerjaannya, namun mengingat jumlah guru yang semakin banyak maka pelaksanaannya memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang besar sehingga hal ini menjadi mustahil diperlakukan kepada semua guru. Sejalan dengan berkembangnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan mutu siswa belajar dan peningkatan mutu guru.,Thomas
Sergiovanni dan Robert Starratt (1998) mengembangkan
sistem supervisi multi proses. Konsep ini menekankan akan pentingnya mengingkatkan mutu pengawas supaya dapat mendorong pertumbuhan mutu
15
guru. Pelaksanaan supervisi dilakukan multi tahun serta multi proses. Sistem supervisi memperlakukan pendidik dan tenaga pendidik menigkatkan mutu profesinya dalam satu siklus yang terdiri atas bergai komponen kegiatan. Siklus dapat dikembangkan dalam 3 sampai 5 tahun, tergantung pada kebutuhan. Pendidik dan tenaga kependidikan mendapat perlakuan satu model atau banyak perlakuan formal, seperti evaluasi diri, supervisi teman sejawat, pengembangan kurikulum, penelitian tindakan kelas, lesson study (peningkatan mutu profesi melalui perbaikan mutu pelaksanaan tugas secara ilmiah),
penelitian
tindakan
penerapan
strategi
pembelajaran
baru,
pemagangan, dan menggabung dalam proyek pembaharuan sekolah. Sergiovanni and Starratt juga menegaskan pentingnya setiap tindakan itu memberikan dampak
pada meningkatnya kemampuan profesi pada
indikator yang terukur. Juga dari sisi ruang lingkup kegiatan terluas adalah membuka peluang pendidik dan tenaga kependidikan untuk berpartisipasi secara sengaja pada agenda pembaruan seluruh sekolah. Hal itu dimaksudkan agar dapat merangsang pertumbuhan kompetensi profesional supervisi dalam konteks sistem sekolah yang lebih besar. Belakangan para ahli juga menemukan model perbaikan pelaksanaan tugas yang berbasis kepakaran guru dalam kegiatan lesson study yang sudah lama berkembang dan efektif digunakan Jepang dalam memperbaiki tugas profesinya dalam kelas. Yang menarik dari strategi ini, fokus kajian tidak berkonsentrasi pada masalah yang guru hadapi dalam kelas, namun lebih fokus pada indentifikasi keunggulan guru dalam mempengaruhi siswa belajar dalam kelas. Peningkatan diarahkan pada menambah kekuatan itu sehingga menjadi lebih berarti. D. Model Supervisi Pendidikan Cooperative Profesional Development (CPD) Fenomena supervisi pendidikan
di Indonesia yang diwarnai oleh
sejumlah produk-konsep "ekspor" tersebut, sehingga terjadi "servitude of the
16
mind" atau
ketergantungan
intelektual.
Padahal
sistem
dan
kegiatan
pendidikan di Indonesia unik. Bagi sebagian guru kegiatan supervisi baik yang
dilakukan
oleh
supervisior
sekolah/madrasah
maupun
kepala
sekolah/madrasah dianggap bentuk evaluasi, sehingga guru cenderung resah ketika menerima supervisi yang merupakan program dari atasan. Pelaksanaan supervisi selama ini ada yang hanya mencari kelemahan para guru sehingga para guru merasa was-was bila didatangi supervisor. Sasaran pengamatan yang dilakukan supervisor terlalu luas dan bersifat umum sehingga sukar memberikan umpan balik yang terarah dan bermanfaat bagi pembelajaran siswa di kelas. Umpan balik hanya bersifat pengarahan ancaman,
yang dan
mengedepankan power, layaknya
tidak
melibatkan
instruksi yang berbau
guru dalam menganalisis serta tidak
menemukan cara mengatasi kesulitan guru dalam mengajar. Supervisor jarang melakukan monitoring proses belajar di kelas, hanya mengandalkan laporan dokumen yang diberikan guru. Adapun sasaran utama supervisi pembelajaran adalah guru, yaitu membantu guru dengan cara melakukan perbaikan situasi belajar-mengajar dan menggunakan keterampilan mengajar dengan tepat. Bantuan melalui kegiatan supervisi pembelajaran guru akan mampu mengidentifikasi perilaku guru yang mendasari konsep
pembelajaran.
Dalam hal ini supervisor
membantu guru antara lain menyusun silabus dan RPP mengacu pada standar isi, memberikan contoh dan menjelaskan penggunaan model dan strategi pembelajaran,
mengulang
pertanyaan
dan
penjelasan
jika siswa tidak
memahaminya. Melalui pelaksanaan supervisi pembelajaran yang dilakukan oleh supervisor maka kondisi nyata di kelas tentang rendahnya mutu layanan belajar dapat dilihat bersama. Rendahnya mutu layanan belajar di kelas dapat saja sebagai akibat tata kelola sekolah yang tidak baik, supervisioran sekolah yang kurang berkualitas, rendahnya kualitas guru dalam mengajar, minimnya fasilitas pembelajaran yang kesemuanya itu berdampak negatif terhadap keberhasilan kinerja sekolah (achieved pereformance).
17
Supervisior
dan
pemimpin
harus
meneliti,
mendiskusikan
dan
merefleksikan sikap dan nilai-nilai yang berlaku yang tidak sejajar dengan filosofi
kualitas.
Mereka
harus
mempertimbangkan
dampak
potensial
Peningkatan Mutu Berkelanjutan pada sekolah daerah. Seorang supervisior membutuhkan waktu yang banyak untuk mencoba memahami konsep-konsep kualitas, peralatan dan bagaimana CQI mungkin dapat diberlakukan untuk daerah yang dapat menunjukkan komitmennya. Jika staff pusat melihat supervisior meluangkan waktu untuk mencoba memahami Peningkatan Mutu Berkelanjutan, mereka pasti akan melihatnya sebagai hal yang penting dan melakukan hal yang sama. Dalam hal ini penulis mengambil model kesupervisioran Cooperative Profesional Developmen (CPD) sebagai konsep yang cocok dengan materi tersebut.
Model
Kesupervisioran
Cooperative
Profesional
Development (CPD) atau disebut juga Model Pengembangan Kerjasama Profesional yang dapat diartikan sebagai sebuah model kesupervisioran yang difasilitasi oleh kepala sekolah atau supervisior sekolah melalui proses yang diformulasikan secara moderat oleh dua orang guru atau lebih yang setuju bekerjasama profesionalnya.
untuk
menumbuhkan
Biasanya
dan
mengembangkan
kemampuan
dilakukan melalui kegiatan saling mengadakan
observasi kelas, saling memberikan umpan balik, dan menguasai tentang masalah-masalah kesupervisian. Dalam menerapkan model CPD ini hendaknya dapat menyediakan setting dimana guru secara informal dapat membicarakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi, saling menukar gagasan, saling membantu dalam mempersiapkan
pembelajaran,
pertukaran berbagai petunjuk
dan saling
memberi dukungan. Kepala Sekolah / Supervisior Sekolah
dapat memilih sendiri bentuk
kerjasama pengembangan profesi, sesuai dengan karakter dan budaya sekolah setempat. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kepala sekolah / supervisior sekolah dalam merencanakan dan menerapkan model ini, yaitu:
18
1. Guru diikutsertakan dalam menentukan siapa yang dapat diajak untuk bekerja sama. 2. Kepala
sekolah
hendaknya bertindak
sebagai penanggung jawab
terakhir dalam membentuk tim CPD. 3. Struktur supervisi hendaknya bersifat formal, terutama dalam hal pemeliharaan catatan-catatan mengenai bagaimana cara dan dalam waktu apa yang digunakan serta memeberikan deskripsi umum tentang kegiatan CPD. Catatan tersebut bersifat laporan tahunan kepala sekolah / supervisior sekolah. 4. Kepala sekolah / Supervisior sekoalah hendaknya memberikan sumbersumber
yang
diperlukan
dan
dukungan
administrasi
yang
memungkinkan tim CPD berfungsi setiap saat. 5. Kepala sekolah/Pengaawas sekolah tidak menerima informasi mengenai hasil-hasil kerja tim dalam pembelajaran, jika hal itu tidak perlu dievaluasi. Jadi, informasi tersebut tetap disimpan oleh tim. 6. Jika kepala sekolah / supervisior sekolah perlu mengadakan evaluasi yang mendalam, hendaknya data tersebut dinilai melalui seorang guru tentang pekerjaan guru yang lain. 7. Masing-masing
guru
hendaknya
mencatat
perkembangan
profesionalnya masing- masing sebagai hasil dari kegiatan CPD. 8. Kepala
sekolah
/
supervisior
sekolah
hendaknya
mengadakan
pertemuan dengan tim CPD sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun untuk melakukan penilaian proses CPD. 9. Kepala
sekolah
/
supervisior
sekolah
hendaknya
mengadakan
pertemuan individual dengan setiap
anggota tim CPD sekurang-
kurangnya satu kali dalam setahun
untuk membicarakan catatan
pertumbuhan profesionalnya dan memberikan dorongan serta bantuan yang diperlukan. 10. Secara umum, tim-tim baru hendaknya dibentuk setiap dua atau tiga tahun.
19
Dengan mengutip pemikiran Heller, dikemukakan pula beberapa keuntungan dari penerapan
Model Kesupervisioran/Supervisi Pendidikan
Cooperative Profesional Development (CPD) , diantaranya: 1. Merupakan wahana bagi guru untuk
mengetahui pekerjaan guru
lainnya. 2. Memberian suatu mekanisme bagi mereka untuk saling berkomunikasi mengenai belajar dan pembelajaran. 3. Kegiatan yang bersifat kontinyu akan sangat meningkatkan motivasi belajar bagi guru. 4. Interaksi intelektual akan memberi efek induksi karena akan terjadi saling menerima dan saling memberi informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 5. Melalui CPD akan menimbulkan kesan adanya upaya perbaikan perilaku inovatif, disiplin, dan self control dalam pelaksanaan tugastugas mengajar. 6. Menunjukkan bahwa guru-guru banyak belajar dari teman guru lain dan mempercayai satu sama lain sebagai sumber ide baru dan membagi masalah yang mereka hadapi. Dengan supervisi dapat memastikan apakah yang dikerjakan sesuai dengan rencana, dengan supervisioran yang seksama dapat pula ditemukan kelemahan-kelemahan
dalam
pelaksanaan,
dapat
diketahui
kesalahan-
kesalahan dalam cara bekerja. Atau supervisioran merupakan tindakan pencegahan yang bersifat preventif agar terhindar dari kesalahan-kesalahan atau
kelalaian-kelalaian
dalam melaksanakan tujuan dan dapat segera
diketahui dan ditemukan usaha perbaikannya. Dalam hal supervisi harus menyangkut pada norma-norma umum dalam supervisioran yaitu : A. Supervisi tidak mencari-cari kesalahan yaitu tidak mencari siapa yang salah tetapi apabila ada penyimpangan atau kesalahan prosedural
20
supaya dilaporkan sebab-sebab dan bagaimana terjadinya, serta menemukan cara bagaimana memperbaikinya. B. Supervisi merupakan proses berlanjut, yaitu dilaksanakan secara continue sehingga dapat memperoleh hasil supervisioran yang berkesinambungan C. Supervisi harus menjamin adanya kemungkinan pengambilan koreksi yang cepat dan tepat terhadap penyimpangan dan penyelewengan yang ditemukan, untuk mencegah berlanjutnya kesalahan atau penyelewengan. D. Supervisi bersifat mendidik dan dinamis, yaitu dapat menimbulkan kegairahan memperbaiki, mengurangi atau meniadakan penyelewengan “bukan sebaliknya”. Menurut teori, semestinya tenaga supervisior itu dipilih diantara tenaga-tenaga yang terbaik sehingga akan memiliki bobot yeng lebih terhadap yang diawasi, baik ditinjau terhadap materi/bidang yang diawasi maupun ditinjau dari segi kualitas mental. Dalam segala hal diharapkan seorang supervisior itu lebih baik dari yang diawasi. Ini merupakan cita-cita, kenyataannya masih jauh dari itu. Bahkan diwaktu ini banyak dijumpai bahwa supervisior adalah jabatan batu loncatan untuk kejenjang yang lebih baik secara materi. Sebagai supervisior kita perlu terlebih dahulu mengawasi diri sendiri sebelum mengawasi orang lain. Supervisior dituntut dalam segala hal lebih baik dari yang diawasi. Untuk itu kita harus mawas diri, yang berarti selalu mengawasi dan mengendalikan diri sendiri. Dengan menyadari pentingnya upaya peningkatan mutu dan efektifitas sekolah dapat (dan memang tepat) dilakukan melalui supervisioran. Atas dasar itu maka kegiatan supervisioran harus difokuskan pada kurikulum/mata pelajaran, organisasi sekolah, kualitas belajar mengajar, penilaian/evaluasi, sistem
pencatatan,
kebutuhan
bimbingan dan konseling,
khusus,
administrasi
dan
manajemen,
peran dan tanggung jawab orang tua dan
21
masyarakat (Law dan Glover 2000). Lebih lanjut Ofsted (2005) menyatakan bahwa fokus supervisioran sekolah meliputi: (1) standard dan prestasi yang diraih siswa, (2) kualitas layanan siswa di sekolah (efektifitas belajar mengajar, kualitas program kegiatan sekolah dalam memenuhi kebutuhan dan minat siswa,
kualitas bimbingan siswa), serta (3) kepemimpinan
dan
manajemen sekolah. Dari uraian di atas dapat dimaknai bahwa supervisi merupakan kegiatan atau tindakan supervisi dari seseorang yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang melakukan pembinaan dan penilaian terhadap orang dan atau lembaga yang dibinanya. Supervisi perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan secara berkesinambungan pada sekolah yang diawasinya. Pada
Peningkatan
Mutu
Berkelanjutan
berbasis
tim,
pemimpin
tertinggi sekolah di daerah harus mengkoordinir sebuah tim untuk belajar sebanyak mungkin tentang CQI (Peningkatan Mutu Terus-Menerus) dan aplikasinya untuk pendidikan secara umum. Sebuah pilihan yang penting bagi dewan daerah adalah untuk memilih koordinator kualitas. Hal Ini tidak harus dilakukan dengan tergesa-gesa. Dewan harus menunggu juara yang muncul. Nantinya yang terpilih,
berfungsi sebagai kaki tangan dewan daerah, yang
sangat erat bekerja sama mencapai kualitasbersama. Mutu memaksa orang untuk menjalankan pekerjaan dengan cara yang berbeda. Sayangnya ada orang yang tidak mau berubah dan tang lainnya hanya sekedar tidak ingin perubahan terjadi. Komite perngarah harus menghalangi orang-orang tersebut. Perbaikan terus menerus merupakan perbaikan sedikit demi sedikit, inspirasional,
dan
menyeluruh,
namun
praktis, dan berkembang. Esensi Keizen
implementasinya
berskala
kecil,
adalah proyek kecil yang berupaya
membangun kesuksesan dan kepercayaan diri, dan mengembangkan dasar peningkatan selanjutnya. Perubahan yang solid dan bertahan lama didasarkan pada kontinuitas rangkaian proyek yang kecil dan mungkin.
22
Sebuah intuisi harus melakukan aktifitas dengan teliti, proses demi proses, isu demi isu. Dalam jangka waktu, metode ini lebih berhasil dari pada langsung melakukan perubahan dalam skala besar. Hal lain yang perlu ditekankan untuk melakukan perbaikan mutu adalah bahwa implementasi tersebut tidak harus menjadi proses yang mahal, menghabiskan uang tidak dengan sendirinya bisa menghasilkan mutu, meskipun dalam tahap-tahap tertentu dapat membantu. Tenaga kerja profesional dalam pendidikan yang secara tradisional dalam pendidikan yang secara tradisional melihat diri mereka sendiri sebagai pelindung dari mutu dan standar intuisi. Pelatihan guru dalam konsep mutu merupakan elemen penting dalam upaya merubah kultur. Mutu terpadu bukan membuat
pelanggan
senang
dan
tersenyum,
mutu
terpadu
adalah
mendengarkan dan berdialog tentang kekhawatiran dan aspirasi pelanggan. Aspek terbaik dari profesional adalah perhatian secara standar akademi dan kejuruan tinggi. Memadukan aspek terbaik dari profesionalisme dengan mutu terpadu merupakan hal yang esensial untuk mencapai sukses.
E. Perbedaan antara Supervisi, Pengawasan, dan Inspeksi Perbedaan supervisi dengan pengawasan adalah supervisi merupakan pengawasan diiringi dengan pemberian bantuan, sedangkan pengawasan hanya membandingkan antara yang seharusnya dengan realita. Pengawasan terbagi menjadi dua yaitu pengawasan fungsional dan pengawasan struktural. Pengawasan
fungsional
merupakan
pengawasan
yang
dilakukan
oleh
pengawas karena memang sudah menjadi tugasnya. Contohnya seorang pengawas melakukan pengawasan kepada kepala sekolah, struktural
guru,
dan tenaga kependidikan lain.
merupakan
pengawasan
yang
Sedangkan pengawasan
dilakukan
karena
jabatan
strukturalnya. Contohnya kepala sekolah melakukan pengawasan sebagai atasan terhadap guru dan tenaga kependidikan lain yang dipimpinnya dalam
23
suatu satuan pendidikan. Kepala sekolah mempunyai banyak salah satu tugasnya adalah mengawasi guru. Tabel 8.1 Perbedaan Supervisi dan Pengawasan Aspek Pembeda
Supervisi
Pengawasan
Pemimpin
Supervisior (kepala sekolah/ badan khusus yang telah dibentuk) Lebih khusus menilai tentang kinerja guru
Pengawas
Penilaian
Ruang Lingkup
Kegiatan dan Sasaran
Hanya pada sekolah yang dipimpin atau dikelola Melakukan semua kegiatan untuk memajukan kinerja guru, dan kemajuan pembelajaran pesera didik
Menilai secara umum penyelenggaraan pendidikan di sekolah Seluruh sekolah yang telah ditugaskan untuk diawas Memebri pengarahan, pembinaan kepada kepala sekolah untuk kemajuan pelaksanaan pendidikan
Dalam perkembangan konsep dan praktek supervisi pendidikan terdapat dua
kecenderungan
pendidikan.
yang menonjol sehubungan dengan tuntutan tugas
Pada satu sisi terdapat kecenderungan untuk menjalankan
supervisi secara otokratis, sedangkan pada sisi lain terdapat kecenderungan demokratis. Supervisi yang otokratis seringkali disebt dengan inspeksi atau supervisi tradisional, sedangkan supervisi yang demokratis disebut dengan supervisi modern. Marks et al mengutip pendapat Burton dan Brueckner (Hariwung, 1989: 36), tentang perbedaan corak inspeksi dan supervisi adalah sebagai berikut:
24
Tabel 8.2 Perbedaan Supervisi dan Inspeksi
Supervisi
Inspeksi
Studi pragmatis dan analisis
Difokuskan pada tujuan, material, teknik, metode, guru, siwa, dan lingkungan Bermacam-macam fungsi yang berbeda Terorganisir dan terencana secara tegas Menemukan asal kelemahan dan kooperatif
Tidak pragmatis dan kurang analisis Berfokus pada guru
Kunjungan dan pertemuan
Perencanaan yang kurang baik
Menghukum dan otoriter
25
Daftar Pustaka
Daryanto. (2008). Administrasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Djadja. (2013). Edward Saliis: Manajemen Kualitias Total dalam Pendidikan. http://pendidikpembebas.wordpress.com/2013/05/01/edward-sallismanajemen-kualitas-total-dalam-pendidikan-bagian-2/
(11
September
2013). Fattah, Nanang. (2000).
Landasan Manajemen Pendidikan.
Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya. Hariwung. (1989). Sipervisi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti. Rachmawati, Ruzi. (2012).
Pengawas dan Supervisi. [Online]. Tersedia:
http://ruzirahmawati.blogspot.com/2012/03/pengawas-dan-supervisi.html. (11 September 2013) Suhardan, Dadang. (2010). Supervisi Profesional (Layanan dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran di Era Otonomi Daerah). Bandung: Alfabeta. Sutisna, Oteng. (1989). Administrasi Pendidikan (Dasar Teoritik untuk Praktik Profesional). Bandung: Angkasa.