VERBA LOKATIF DALAM KALIMAT TUNGGAL BAHASA JAWA (Kajian Struktur Sintaksis) Bayu Indrayanto*
Abstrak:Verba lokatif dalam kalimat tunggal bahasa Jawa (kajian struktur sintaksis) dapat dianalisis dari sisi bentuk, fungsi, dan peran. Bentuk verba lokatif dalam kalimat tunggal bahasa Jawa dapat berupa monomorfemis dan polymorfemis. Verba lokatif bahwa sifat nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif inheren, bersifat intrinsik; nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif takinheren, bersifat takintrinsik. Kata kunci : verba, verba lokatif, kalimat tunggal. PENGANTAR Verba lokatif dalam bahasa Jawa mempunyai pengertian yang sama dengan dalam bahasa Inggris, seperti yang diungkapkan oleh Chafe dalam bukunya Meaning The Structure of Language (1970). Bahwa verba lokatif adalah verba yang mampu menghadirkan unsur nomina tempat/lokasi di dalam suatu kalimat. Kemampuan verba lokatif untuk menghadirkan nomina lokatif bersifat inheren dan tak inheren/ eksternal. Kemampuan inheren, artinya verba itu sudah otomatis menghadirkan nomina lokatif. Kemampuan takinheren/eksternal, artinya verba itu harus diderivasikan dahulu untuk dapat menghadirkan nomina lokatif (Chafe, 1970 : 156). Diungkapkan pula oleh Chafe bahwa sifat nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif inheren, bersifat intrinsik; nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif takinheren, bersifat takintrinsik. Namun demikian, ada juga nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif inheren, bersifat takintrinsik. Nomina lokatif intrinsik, artinya nomina tersebut bersifat ketat, jelas, dan sudah secara eksplisit terkandung dalam verba lokatifnya. Nomina lokatif tak intrensik, artinya nomina tersebut bersifat longgar, umum (general).
Kejelasan tentang verba lokatif dan nomina lokatif yang mengikutinya dapat dilihat pada contohcontoh berikut. (1) Ibu masak sayur. ‘Ibu memasak sayur’ (2) Adhik lagi adus. ‘Adik baru mandi’ Verba lokatif masak ‘memasak’ pada kalimat (1) bersifat inheren, artinya verba itu sudah mengandung nomina lokatif, yaitu di dapur. Dengan demikian, verba tersebut tanpa diikuti nomina lokatif pun tetap eksis sebagai verba lokatif. Selain itu, verba tersebut membangun relasi lokatif secara intrinsik, artinya arah relasi ke dalam verba itu. Verba adus ‘mandi’ mengandung nomina instrumen, sesuatu tempat yang digunakan untuk mandi yaitu di kamar mandi. Dengan itu, verba lokatif tersebut bersifat inheren (jenis nomina lokatif sudah tercermin di dalam verbanya). Akan tetapi, nomina yang mengikutinya bersifat takintrinsik, artinya, nomina itu bersifat longgar (tidak ketat). Ketidakketatan nomina itu ditandai dengan dapatnya bermacam-macam jenis lokatif yang mampu mengikuti verbanya. Namun demikian, meskipun nomina itu
* Progdi Pend. Bahasa Jawa, FKIP, UNWIDHA Klaten
32
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
bermacam-macam, jenis nomina itu masih di dalam satu wadah kehiponiman. Dengan demikian, nomina
hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan bahasa yang lebih besar itu dalam bahasa,
lokatif pada kalimat (2) bersifat takintrinsik.
(2) subsistem bahasa yang menyangkut hal tersebut sering dianggap bagian dari gramatikal; bagian lain ialah morfologi, (3) cabang linguistik yang mempelajari hal tersebut (2001 : 199). Pengertian
Keketatan nomina lokatif yang telah tercermin (hadir) di dalam verba lokatif dapat dilihat dengan kurang berterimanya kalimat berikut. (1a) Ibu masak sayur ing pawon. ‘Ibu memasak sayur di dapur’ Kehadiran satuan lingual ing pawon ‘di dapur’ justru membuat kalimat tersebut menjadi kaku dan kurang efektif. Memang, konstituen itu sebagai nomina lokatif, tetapi kehadirannya tidak dibutuhkan karena nomina lokatif itu sudah terkandung dalam verba lokatifnya. Kehadiran satuan lingual ing pawon ‘di dapur’ justru membuat kalimat tersebut menjadi kaku dan kurang efektif. Memang, konstituen itu sebagai nomina lokatif, tetapi kehadirannya tidak dibutuhkan karena nomina lokatif itu sudah terkandung dalam verba lokatifnya. LANDASAN TEORI 1. Pengertian Sintaksis Sintaksis berasal dari kata sun yang berarti ‘dengan’ dan kata tassein yang berarti ‘menempatkan’. Jadi secara etimologi, sintaksis adalah ‘menempatkan secara bersama-sama katakata menjadi kelompok kata atau kalimat’ (Abdul Chaer, 1994: 206). Istilah sintaksis secara langsung terambil dari bahasa Belanda syntaxis, dalam bahasa Inggris digunakan istilah syntax. Sintaksis adalah salah satu cabang dari tata bahasa yang membicarakan struktur-struktur kalimat, klausa, dan frasa (Tarigan1985:4). Menurut Harimurti Kridalaksana yang
sintaksis menurut Chomsky dalam Paina Partana, dkk adalah telaah mengenai prinsip-prinsip dan proses-proses yang dipergunakan untuk membangun kalimat-kalimat dalam bahasa tertentu (1990 : 2), sedangkan menurut Abdul Chaer, sintaksis adalah ilmu bahasa yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata lain atau unsur-unsur lain sebagai satuan ujaran (1994 : 206). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, sintaksis adalah salah satu cabang linguistik yang mempelajari pangaturan hubungan antara kata dengan kata, atau satuan yang lebih besar yang membentuk kalimat dasar dan jenis-jenisnya. Sintaksis merupakan studi tentang perangkaian dan tentang timbal balik antara kata-kata menjadi frasa atau klausa untuk membentuk kalimat. Dapat dikatakan bahwa sintaksis adalah ilmu bahasa yang mempelajari tata kalimat. Satuan yang terdapat dalam sintaksis terdiri dari kata, frasa, klausa, dan kalimat. Di dalam satuan sintaksis, kalimat itu sendiri memiliki beberapa pengertian antara lain keseluruhan pemakaian kata yang berlagu, disusun menurut sistem bahasa yang bersangkutan (Slamet Mulyono dalam Paina Partana, dkk, 1990: 40). Kalimat adalah konstruksi gramatikal yang terdiri atas satu atau lebih klausa yang ditata menurut pola tertentu, dan dapat berdiri sendiri sebagai satuan (Harimurti Kridalaksana, 2001: 71). Menurut Anton Moeliono dan Dardjowidjojo,
dimaksud sintaksis adalah: (1) pengaturan
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
33
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
kalimat merupakan bagian terkecil teks yang mengungkapkan pikir an yang utuh secara ketatabahasaan (1988 : 254). Pengertian kalimat menurut Abdul Chaer adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final (1994 : 240). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar kalimat adalah konstituen dasar dan intonasi final. Konstituen dasar berupa klausa, frasa, dan kata sedangkan intonasi final dibagi menjadi tiga macam, yaitu (1) intonasi deklaratif, dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik; (2) intonasi interogatif, ditandai dengan tanda tanya; (3) intonasi seru, ditandai dengan tanda seru (Abdul Chaer, 1994: 241).
43). Contoh kalimat tunggal : Adi tuku buku ‘Adi membeli buku’. b. Kalimat Majemuk Menurut Sudaryanto kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih (1992 : 159). Menurut Ramlan kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri lebih dari satu klausa. Kalimat majemuk terdiri dari kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat (2001 : 29) c. Kalimat Beruas Menurut Sudaryanto kalimat beruas adalah kalimat yang merupakan hasil penggabungan dua klausa atau lebih namun belum dapat disebut sebagai kalimat majemuk (1992 : 180). Kalimat beruas dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu : i. Kalimat beruas lengkap
2. Klasifikasi Kalimat Kalimat dalam bahasa Jawa menurut Sudaryanto (1992 : 70-179) diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: a. Kalimat Tunggal Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas S-P atau S-P-O saja (Sudaryanto,1992 : 68). Menurut Gorys Keraf kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri dari dua unsur inti dan boleh diperluas dengan satu atau lebih unsur tambahan, namun unsur-unsur tambahan itu tidak boleh membentuk pola baru (1984: 152). Menurut Harimurti Kridalaksana, kalimat tunggal adalah kalimat yang terjadi dari satu klausa bebas (2001 : 95). Kalimat tunggal menurut Ramlan adalah kalimat yang terdiri atas satu subjek dan satu predikat saja (2001 :
34
Kalimat beruas lengkap adalah kalimat beruas yang unsurnya berupa klausa lengkap. Kelengkapan itu tampak sebagai struktur S-P. ii. Kalimat beruas tak lengkap Kalimat beruas tak lengkap adalah kalimat beruas yang klausa-klausa unsurnya berupa klausa tak lengkap. Kalimat berstruktur P-O + P-O dan P + P. iii. Kalimat beruas puntung Kalimat beruas puntung adalah kalimat beruas yang salah satu unsurnya berupa klausa puntung. Klausa puntung adalah penggalan dari konstituen sebuah klausa yang ditempatkan secara terpisah di bagian awal kalimat dan menjadi ruas tersendiri.
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
Ramlan (2001 : 130-136) membagi kalimat berdasarkan jenis verba yang menduduki fungsi predikat, terdiri atas : a. Kalimat verbal adjektif Kalimat ini predikatnya terdiri dari kata golongan verbal yang termasuk golongan kata sifat, atau frase yang unsur pusatnya berupa kata sifat (2001 : 132). Contoh: Dheweke pinter banget ‘ Dia sangat pintar’. b. Kalimat verbal intransitif Kalimat ini predikatnya terdiri dari kata golongan verbal yang termasuk golongan kata kerja yang intransitif, atau terdiri dari frase verbal yang unsur pusatnya berupa kata kerja intransitif (2001 : 133). Contoh: Ani turu ‘Ani tidur’. c. Kalimat verbal aktif Kalimat ini predikatnya terdiri dari kata golongan verbal yang termasuk golongan kata kerja yang transitif, atau terdiri dari frase verbal yang unsur pusatnya berupa kata kerja transitif (2001 : 133). Contoh: Reni mangan roti ‘Reni makan roti’. d. Kalimat verbal pasif Kalimat ini predikatnya terdiri dari kata golongan verbal yang termasuk golongan kata kerja yang pasif, atau terdiri dari frase verbal yang unsur pusatnya berupa kata kerja pasif (2001 : 133). Contoh: Bukune daktulisi ‘Bukunya saya tulisi’. e. Kalimat verbal yang refleksif Kalimat ini predikatnya terdiri dari kata golongan verbal yang termasuk golongan kata kerja yang refleksif (2001 : 136). Contoh: Dedi lungguh ‘Dedi duduk’.
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
f. Kalimat verbal yang resiprok Kalimat ini predikatnya terdiri dari kata golongan verbal yang termasuk golongan kata kerja yang resiprok (2001 : 136). Contoh: Bocah loro balang-balangan watu ‘Dua anak saling melempar batu’. Berdasarkan klasifikasi kalimat di atas, maka dalam penelitian ini akan difokuskan pada kalimat verbal dan kalimat tunggal. Hal ini berdasarkan bentuk verba pengisi predikat yang terdapat pada kalimat serta banyaknya klausa yang terdapat dalam suatu kalimat. 3. Struktur Sintaksis Struktur adalah pengaturan pola-pola secara sintagmatis atau dapat juga diartikan sebagai perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik (Harimurti Kridalaksana, 2001: 203). Menurut Sudaryanto struktur sintaksis meliputi bentuk, fungsi, kategori, dan peran (1983: 13-14). a. Bentuk Bentuk adalah penampakan satuan bahasa atau rupa/wujud dari satuan gramatikal. Bentuk dibedakan menjadi lima yaitu: bentuk asal, bentuk dasar, bentuk kata, bentuk bebas, dan bentuk terikat (Harimurti Kridalaksana, 2001: 28-20). Bentuk asal atau underlying form adalah satuan dasar yang dianggap sebagai dasar untuk membentuk atau menurunkan seperangkat satuan/variasi dari sebuah satuan yang lebih besar. Bentuk dasar atau base form merupakan bentuk satuan morfemis/morfem yang paling umum dan tidak terbatas. Bentuk kata atau word form merupakan ujud kata tertentu yang mengisi fungsi tertentu dalam paradigma. Bentuk bebas atau free form yaitu
35
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
bentuk bahasa yang dapat berdiri sendiri dan bermakna jelas, serta bentuk terikat atau bound
dalam klausa tersebut, Bapak berfungsi sebagai subjek/jejer. Ciri-ciri subjek adalah
form merupakan bentuk bahasa yang harus bergabung dengan unsur lain dengan makna jelas. Di dalam penelitian ini akan dibahas mengenai bentuk kata berupa bentuk dasar,
biasa di depan P, tidak berupa kata tanya, dapat diuji dengan kata tanya “siapa”, bagian klausa berwujud nomina.
bentuk bebas, dan bentuk terikat yang secara morfologis digolongkan ke dalam bentuk monomorfemis dan polimorfemis. Suatu bentuk dikatakan monomorfemis apabila dalam sebuah kata terdiri atas satu morfem saja, berasal dari kata Yunani monos ‘sendiri’. Apabila dalam suatu kata terdiri atas lebih dari satu morfem disebut polimorfemis, berasal dari kata Yunani polys ‘banyak’ (Verhaar, 1992: 54). b. Fungsi Fungsi secara sintaktis diartikan sebagai hubungan antara unsur-unsur bahasa dilihat dari sudut pandang penyajiannya dalam ujaran (Harimurti Kridalaksana, 2001: 62). Ciri-ciri fungsi sintaksis adalah urutan kata/frase dalam kalimat, mengacu ke tugas unsur sintaksis, peran sebuah unsur dalam satuan sintaksis yang lebih luas yaitu struktur kalimat. Fungsi bersifat relasional, adanya fungsi yang satu berhubungan dengan fungsi yang lain. Bagian fungsi terdiri atas subjek, predikat, objek, dan keterangan. Di dalam bahasa Jawa subjek disebut jejer, predikat disebut wasesa, objek disebut lesan, dan keterangan disebut panerang (Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, 2008: 143-149). i. Subjek/jejer adalah bagian klausa berwujud nomina atau frase nomina yang menandai apa yang dikatakan oleh pembicara. Contoh dalam klausa Bapak tindak kantor. Di
36
ii. Predikat/wasesa adalah bagian klausa yang menandai apa yang dikatakan oleh pembicara tentang subjek, contoh dalam klausa Bapak tindak kantor. Bagian yang berfungsi sebagai predikat/wasesa dalam klausa tersebut adalah kata tindak. Ciri-ciri predikat yaitu: predikat harus mengandung unsur verba, unsur inti dalam satuan gramatikal, lebih bersifat wajib dalam pola kalimat dasar, dibatasi jeda longgar. iii. Objek/lesan adalah nomina atau kelompok nomina yang melengkapi verba-verba tertentu dalam klausa, contoh: Bapak tindak kantor. Bagian yang berfungsi sebagai objek/lesan dalam kalimat tersebut adalah kata kantor yang berupa nomina. Adapun ciri-ciri objek yaitu: dilihat dari Pnya aktif atau transitif dengan afiks {-ke, ake, -i, pa-}, objek bisa jadi S pada kalimat pasif dengan P berimbuhan {dak-, kok-, di-, -a, -na, -ana}. iv. Keterangan/panerang adalah kata atau kelompok yang dipakai untuk meluaskan atau membatasi makna subjek atau predikat dalam klausa, contoh: Aku lunga neng toko. Bagian yang berfungsi sebagai keterangan dalam kalimat tersebut adalah neng toko yang berupa nomina. Ciri-ciri keterangan adalah (1) keberadaannya bebas dan tidak harus ada dalam kalimat, (2) apabila keberadaan keterangan dalam suatu kalimat
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
dihilangkan maka tidak akan mempengaruhi kegramatikalan kalimat, (3) di dalam suatu
morfologis dapat dilihat apabila suatu kata dapat digabung dengan morfem terikat: ka-
kalimat, keterangan dapat menempati awal kalimat, akhir kalimat, atau diantara subjek dan predikat.
, ka-an, pa-, pi-, pa N-, pa-an, pa N-an, -an. Ciri-ciri sintaksis kelas kata benda yaitu: (1) dalam bentuk ingkar/negatif kata tersebut dapat didahului oleh dudu ‘bukan’,
c. Kategori Kategori secara umum diartikan sebagai: (1) bagian dari suatu sistem klasifikasi; (2)
misalnya dudu kursi dan sebagainya ; (2) dalam suatu sintaksis kata tersebut dapat menduduki urutan pertama dalam sebuah
golongan satuan bahasa yang anggotanya mempunyai perilaku sintaksis dan memiliki sifat
kalimat inti dan berfungsi sebagai subjek (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979: 77).
hubungan yang sama. Jenis kategori dibedakan menjadi 3 macam yaitu: (1) kategori gramatikal yaitu golongan satuan bahasa yang dibedabedakan atas bentuk, fungsi, dan makna; (2) kategori leksikal yaitu golongan satuan bahasa yang diungkapkan dengan morfem bebas; (3) kategori sintaksis yaitu golongan yang diperoleh suatu satuan bahasa sebagai akibat hubungan dengan kata lain dalam konstruksi sintaksis (Harimurti Kridalaksana, 2001: 101). Kategori bersifat sistemik, artinya verba tidak harus dihubungkan dengan kategori. Kategori dalam bahasa Jawa terdiri atas: nomina/kata benda, verba/kata kerja, adjektiva/kata sifat, numeralia/kata bilangan, pronomina/kata ganti, interjeksi/kata seru, adverbia/kata tambah, dan kata tugas (Sudaryanto, 1992: 7073). Berikut ini penjelasannya. i. Nomina/kata benda adalah kelas kata yang biasanya dapat berfungsi sebagai subjek atau objek dari klausa, kelas kata ini sering berpadanan dengan orang, benda, atau hal lain yang dibedakan. Contoh: Adhik tuku buku ‘Adik membeli buku’. Bagian yang berkategori sebagai nomina dalam kalimat tersebut adalah kata adhik dan buku. Ciriciri kelas nomina/kata benda secara
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
ii. Verba/kata kerja adalah kata yang bisa mengikuti gatra yang diisi dengan L atau lingga. Contoh: Bapak nandur pari ‘Ayah menanam padi’. Bagian yang berkategori sebagai verba dalam kalimat tersebut adalah kata nandur ‘menanam’. Menurut Soepomo Poedjosoedarmo dalam Sujono dan Sumarlam verba/kata kerja menunjukkan ciri-ciri fraseologis atau sintaksis yaitu: (1) kata kerja dapat diikuti kelompok kata tugas yang didahului kata karo, (2) untuk membentuk kalimat ingkar/ negatif digunakan kata ora, (3) kata kerja menduduki urutan kedua dalam pola dasar kalimat inti (1996 : 57). Ciri-ciri kelas verba/ kata kerja secara morfologis dapat dilihat apabila suatu kata dapat digabung dengan morfem terikat : -i, -ake, -a, -ana, -na, tak-, di-, -en. iii. Adjektiva/kata sifat adalah kata yang menerangkan kata benda. Contoh: Andi bocah males ‘Andi anak malas’. Bagian yang berkategori sebagai adjektiva dalam kalimat tersebut adalah males ‘malas’. Adapun ciri-ciri morfologis menurut Soepomo Poedjosoedarmo dalam Sujono
37
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
dan Sumarlam (1996 : 57) yaitu: (1) bentuk ke-D-en seperti pada kegampangen, kepinteren, (2) kata sifat selalu dapat mengalami proses pergantian suara untuk menyatakan intensifikasi sifat kata tersebut , (3) kata sifat dapat diketahui berdasarkan ciri sintaksis, seperti nampak jelas pada slotslot berikut. Kata benda + ..... + banget Kata benda + ..... + dhewe Kata benda + luwih + .... Kata benda + rada + ..... iv. Numeralia/kata bilangan adalah kata yang menunjukkan bilangan atau kuantitas. Contoh: Telu pitik ireng ‘tiga ekor ayam hitam’. Di dalam frasa tersebut, bagian yang menujukkan numeralia adalah kata telu ‘tiga’. Ciri-ciri sintaksis numeralia (kata bilangan) yaitu: (1) menunjukkan suatu jumlah, tingkatan, atau urutan dan jika ditulis secara grafis dapat dipergunakan angka, (2) memodifikasi kata benda dalam hal jumlah, tingkatan atau urutannya, (3) dapat terletak di depan atau di belakang kata benda yang dimodifikasi (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979: 145). Ciri-ciri morfologis numeralia (kata bilangan) dapat dilihat apabila suatu kata menunjukkan jumlah atau urutan dapat bergabung dengan morfem: -ng, -q, -las-, likur, ka- (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979: 145). v. Pronomina/kata ganti adalah kata yang menggantikan nomina atau frase nomina. Contoh : Bocah enom kuwi dadi direktur perusahaan iki, dheweke sregep banget ‘Anak muda itu menjadi direktur perusahaan
38
ini, ia sangat aktif.’ Kata dheweke ‘ia’ dalam kalimat tersebut berkategori sebagai pronomina. vi. Interjeksi/kata seru adalah bentuk yang tak dapat diberi afiks dan yang tidak mempunyai dukungan sintaksis dengan bentuk lain, dan yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan. Contoh: Ah ! Angel banget soal iki ‘Ah ! Sulit sekali soal ini’. Kata ah dalam kalimat tersebut berkategori sebagai interjeksi. vii. Adverbia/kata tambah adalah kata yang dipakai untuk memerikan verba, adjektiva, misalnya: sangat, tidak, lebih, dan lain-lain. Di dalam bahasa Jawa sejajar dengan kata banget, ora, luwih. Penanda morfologis adverbia antara lain: L, DL/DL semu, -an, DP-an, DL-an, ke-an, -i, ke-en, ke-DL, N-. Ciri sintaksis adverbia yaitu (1) adverbia dapat mengikuti kata kerja dan kata sifat, (2) dapat diberi modifikasi oleh adverbia lain seperti rada ‘agak’, luwih ‘lebih’, banget ‘sekali’, dhewe ‘sendiri’. viii. Kata tugas adalah kata yang terutama menyatakan hubungan gramatikal yang tidak dapat bergabung dengan afiks dan tidak mengandung makna leksikal, misalnya preposisi, konjungsi, dan pronomina. d. Peran Peran secara sintaktis diartikan sebagai hubungan antara predikator dengan sebuah nomina dalam proposisi (Harimurti Kridalaksana, 2001: 168). Peran bersifat relasional dan struktural. Selain itu, peran berkaitan dengan bentuk dan makna. Macam peran dibagi atas peran konstituen pusat dan
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
peran konstituen pendamping. Peran konstituen pusat terdiri dari peran aktif, peran pasif, peran
kalimat tersebut Ali berperan sebagai agen atau pelaku.
resiprokal, dan peran refleksif. Peran konstituen pendamping terdiri atas peran agentif, objektif, reseptif, benefaktif, faktor, target, lokatif, kompanional, dan
vi. Peran objektif adalah peran yang
instrumental (Sudaryanto, 1992: 142-153). Berikut ini penjelasannya. i.
Peran aktif adalah peran yang menyatakan tindakan aktif. Contoh: Adhik nyapu latar ‘adik menyapu halaman’. Kata nyapu ‘menyapu’ dalam kalimat tersebut menunjukkan tindakan aktif.
ii.
Peran pasif adalah peran menyatakan tindakan pasif. Contoh: Latar disapu adhik ‘halaman disapu adik’. Kata disapu ‘disapu’ dalam kalimat tersebut menunjukkan tindakan pasif.
iii. Peran resiprokal adalah peran yang menyatakan ketimbal-balikan tindakan atau kesalingan. Contoh: Dheweke jiwitjiwitan karo kancane ‘Dia cubit-cubitan dengan temannya’. Kata jiwit-jiwitan ‘cubit-cubitan’ menunjukkan peran resiprokal. iv. Peran refleksif adalah peran yang menyatakan tindakan yang mengenai atau dinikmati oleh yang bertindak sendiri. Contoh: Ani adus neng kali ‘Ani mandi di sungai’. Kata adus ‘mandi’ menunjukkan peran refleksif.
menampilkan objek. Contoh: Ani mangan sega ‘Ani makan nasi’. Kata sega ‘nasi’ dalam kalimat tersebut menunjukkan peran objektif. vii. Peran reseptif adalah peran yang menyatakan subjek mengalami keadaan psikologis dari P. Contoh: Aku tiba ‘Aku jatuh’. Di dalam kalimat tersebut Aku menunjukkan peran reseptif. viii. Peran benefaktif adalah peran yang menyatakan perbuatan yang dilakukan untuk orang lain. Contoh: Aku mbukakake lawang kanggo adhikku ‘Aku membukakan pintu untuk adikku’. ix. Peran faktor adalah peran yang menyatakan faktor atau sebab. Contoh: Rambute nutupi rai ‘Rambutnya menutupi muka’. Kata rambute ‘rambutnya ‘dalam kalimat tersebut menunjukkan peran faktor. x.
Peran target adalah peran yang menyatakan sasaran yang ingin dicapai dari suatu perbuatan. Contoh: Dheweke golek gaweyan ‘dia mencari pekerjaan’. Kata gaweyan ‘pekerjaan’ dalam kalimat tersebut menyatakan target.
xi. Peran lokatif adalah peran yang
v. Peran agentif adalah peran yang
menunjukkan tempat. Contoh: Ibu tindak pasar ‘Ibu pergi ke pasar’. Di dalam
menampilkan perbuatan atau yang menyebabkan suatu kejadian. Contoh: Ali tuku buku ‘Ali membeli buku’. Di dalam
kalimat tersebut pasar menunjukkan peran lokatif.
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
39
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
xii. Peran kompanional adalah peran yang menyatakan kesertaan. Contoh: Adi dolan
dikeluarkan dapat digunakan untuk mengetahui
karo kancane ‘Adi bermain dengan temannya’. Kata karo kancane dalam kalimat tersebut menunjukkan peran kompanional.
Guna menunjang keperluan analisis, ada dua macam jenis makna yang diperlukan yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Pengertian dari kedua makna itu sebagai berikut:
xiii. Peran instrumental adalah peran yang menyatakan alat. Contoh: Dewi gelangan karet ‘Dewi bergelang karet’. Kata karet berperan instrumental. 4. Makna Slamet Mulyana menuturkan bahwa sebagai unit terkecil dari perbendaharaan sebuah bahasa,
a. Makna Leksikal Makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain. Makna leksikal ini dipunyai unsurunsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Harimurti Kridalaksana, 2001: 133). Menurut Abdul Chaer makna leksikal
3) hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar
adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun, dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra atau makna apa adanya (1994 : 189). Makna lesikal menurut Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka adalah makna sebuah kata ketika kata itu masih berdiri sendiri atau ketika kata itu masih bebas (2001 : 199). Makna leksikal tidak tergantung dengan kalimat sebab makna leksikal sebuah kata dapat dilihat dalam kamus. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna sebenarnya dari suatu kata ketika kata tersebut masih berdiri sendiri dan belum terikat
bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang
dengan unsur yang lain.
kata mengandung dua aspek bentuk/ekspresi dan aspek isi/makna. Bentuk/ekspresi adalah segi yang dapat diserap pancaindra sedangkan aspek isi/ makna adalah segi yang menimbulkan reaksi karena aspek bentuk tadi (1964 : 42). Bentuk adalah kata atau tanda bunyi filosofis, sedangkan isi adalah reaksi yang timbul berupa gagasan. Apabila tanda linguistik itu disamakan dengan kata maka berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata. Menurut Harimurti Kridalaksana makna memiliki pengertian: 1) maksud pembicaraan; 2) pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia;
ditunjuknya; 4) cara menggunakan lambanglambang bahasa (2001 : 132). Berdasarkan pengertian makna di atas, dapat disimpulkan bahwa makna adalah cara menggunakan lambang bahasa yakni pengeluaran gagasan berupa pengertian yang dimiliki oleh lambang bahasa tersebut. Pengertian yang telah
40
maksud pembicara.
b. Makna Gramatikal Makna gramatikal adalah hubungan antara unsur-unsur bahasa dalam satuan-satuan yang lebih besar (Harimurti Kridalaksana, 2001 : 132). Menurut Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka, makna gramatikal adalah makna suatu kata dalam sebuah kalimat. Artinya
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
makna suatu kata harus dihubungkan dengan kalimatnya (2008 : 200), sedangkan makna
‘lebih’ atau “luwih” dalam bahasa Jawa, dan dapat dinegatifkan dengan kata ‘tidak’atau “ora” dalam
gramatikal menurut Abdul Chaer adalah makna suatu kata yang timbul karena adanya proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau pengulangan kata. Komposisi
bahasa Jawa.
berupa penggabungan kata, dan kalimatisasi berupa pemakaian kata dengan kata, frase atau klausa menjadi sebuah kalimat (1994 : 290). Berdasarkan pengertian ter sebut dapat disimpulkan bahwa makna gramatikal adalah makna suatu kata yang sudah mengalami proses gramatikal dan terangkai dalam sebuah kalimat. 5. Verba Verba adalah semua kata yang menyatakan perbuatan atau laku (Gorys Keraf, 1984: 64). Verba menurut Harimurti Kridalaksana adalah kelas kata yang biasanya berfungsi sebagai predikat yang tidak mungkin berpotensi untuk diawali dengan kata ‘lebih’ (2001 : 226). Verba menurut Soepomo Poedjosudarmo dkk. adalah jenis kata yang menunjukkan tindakan atau perbuatan suatu makhluk (1979 : 22). Wedhawati, dkk. mendefinisikan verba sebagai kategori kata yang menyatakan perbuatan, peristiwa atau keadaan yang secara dominan menduduki fungsi predikat (1990 : 7). Verba menurut Ramlan adalah katakata pada tataran klausa yang cenderung menduduki predikat dan pada tataran frasa dapat dinegatifkan dengan kata ‘tidak’ (2001 : 49). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa verba termasuk kelas kata yang menyatakan perbuatan, berfungsi sebagai predikat
Secara sintaktis verba adalah kategori keterangan gramatikal yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. a Verba dapat diingkarkan dengan kata ’tidak’ yang sejajar dengan kata “ora” dalam bahasa Jawa, tetapi tidak dapat diingkarkan dengan kata ’bukan’ yang sejajar dengan kata “dudu”dalam bahasa Jawa. b Verba tidak dapat berangkai dengan kata ’paling’ yang sejajar dengan kata “dhewe” dalam bahasa Jawa sebagai makna superlatif. Jadi tidak ada bentuk seperti: ngimpi dhewe. c Verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau inti predikat di dalam kalimat meskipun pula mempunyai fungsi lain. d Verba aksi/verba yang mengandung makna perbuatan atau tindakan tidak dapat berangkai dengan kata yang menyatakan makna ‘kesangatan’ yang sejajar dengan kata “banget” dalam bahasa Jawa. Jadi tidak ada bentuk seperti: mulih banget. e Verba aksi dapat diikuti fungsi sintaksis keterangan yang didahului kata ‘dengan’ yang sejajar dengan kata “karo” atau “kanthi” dalam bahasa Jawa. f Verba aksi dapat dijadikan bentuk perintah, sedangkan verba proses dan keadaan tidak, misalnya: sinau ! tetapi tidak ada bentuk ngimpi ! (Ramlan, 2001: 67).
dalam kalimat, tidak berpotensi diawali dengan kata
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
41
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
Secara morfologis verba mencakup kategorikategori sebagai berikut. a Kategori D dengan kemungkinan duplikasinya. b Kategori N-D (baik berpasangan dengan di-D maupun tidak), N-D-i, N-D-ake, masingmasing dengan kemungkinan duplikasinya. c Kategori di-D, di-D-ake, di-D-i, dan kemungkinan duplikasinya. d Kategori tak-D, tak-D-i, tak-D-ake, tak-De, tak-D-ane, tak-D-ne, kok-D-i, kok-Dake. e Kategori ka-D, ka-D-an, K-D-ake, in-D, inD-ake, dan kemungkinan duplikasinya. f Kategori D-en, D-ana, D-na, dan kemungkinan duplikasinya (Edi Subroto, dkk 1994: 20). Pada umumnya verba bahasa Jawa diklasifikasikan menjadi dua kelas, yaitu: a. Verba kelas I Verba kelas I adalah verba yang terdapat dalam kategori N-D yang diperkirakan dapat berpasangan dengan di-D. Contoh : mangan berpasangan dengan dipangan. b. Verba Kelas II Verba kelas II yaitu verba yang terdapat dalam kategori N-D yang tidak dapat berpasangan dengan di-D. Contoh: mbadhut tidak dapat berpasangan dengan *dibadhut (Edi Subroto dkk., 1994: 22). Berdasarkan dua klasifikasi verba tersebut, secara umum verba antipasif dapat dimasukkan ke dalam golongan verba kelas II.
PEMBAHASAN Pembahasan mengenai bentuk, fungsi dan peran verba lokatif dalam kalimat tunggal bahasa Jawa akan dibahas secara besamaan. Bentuk verba lokatif berkaitan dengan bidang morfologis yang digolongkan ke dalam bentuk monomorfemis dan polimorfemis. Fungsi dan peran verba lokatif ada kaitannya dengan argumen yang mendampingi dalam satu bentuk kalimat. Fungsi merupakan hubungan antara unsurunsur bahasa dalam ujaran, sedangkan peran merupakan hubungan predikator dengan sebuah nomina. Pada data berikut ini akan dibahas mengenai bentuk, fungsi dan peran yang mampu ditempati verba lokatif dalam kalimat sebagai berikut. (3) Simbah nembe sare. ‘Simbah baru tidur.’ Verba sare ‘tidur ’ mengandung nomina instrumen, sesuatu tempat yang digunakan untuk tidur yaitu di kamar tidur. Dengan itu, verba lokatif tersebut bersifat inheren (jenis nomina lokatif sudah tercermin di dalam verbanya). Akan tetapi, nomina yang mengikutinya bersifat takintrinsik, artinya, nomina itu bersifat longgar (tidak ketat). Ketidakketatan nomina itu ditandai dengan dapatnya bermacam-macam jenis lokatif yang mampu mengikuti verbanya. Namun demikian, meskipun nomina itu bermacam-macam, jenis nomina itu masih di dalam satu wadah kehiponiman. Dengan demikian, nomina lokatif pada kalimat (3) bersifat takintrinsik. Verba sare ‘tidur’ pada data (3) secara morfologi berbentuk monomorfemis. Data (3) merupakan kalimat tunggal yang mengandung verba lokatif monomorfrmis berupa kata sare ‘tidur,’ dengan struktur kalimat: Simbah/Nom + nembe sare/FV. S P
42
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
Kata simbah dalam kalimat tersebut menempati fungsi S, dan nembe sare ‘baru tidur’ menempati fungsi P. Adapun kategori yang menempati kalimat (3) adalah simbah sebagai nomina, dan nembe sare ‘baru tidur’ berupa frase verba. Peran verba lokatif kalimat (3) adalah refleksif. peran argumen pendamping adalah kata simbah sebagai agentif. Makna gramatikal Simbah nembe sare adalah suatu tindakan kondisional (keadaan) yang mengenai dan atau dimanfaatkan atau dinikmati oleh pelaku (agen). (4) Budhe nembe tandur. ‘Budhe baru menanam (padi).’ Verba lokatif tandur ‘menanam’ pada kalimat
(5) Saiki dheweke wis kuliyah. ‘Sekarang dia sudah bersekolah (di perguruan tinggi).’ Verba kuliyah ‘bersekolah’ mengandung nomina instrumen, sesuatu tempat yang digunakan untuk bersekolah yaitu di sebuah perguruan tinggi. Dengan itu, verba lokatif tersebut bersifat inheren (jenis nomina lokatif sudah tercermin di dalam verbanya). Akan tetapi, nomina yang mengikutinya bersifat takintrinsik, artinya, nomina itu bersifat longgar (tidak ketat). Ketidakketatan nomina itu ditandai dengan dapatnya bermacam-macam jenis lokatif yang mampu mengikuti verbanya. Namun demikian,
(4) bersifat inheren, artinya verba itu sudah mengandung nomina lokatif, yaitu di sawah. Dengan demikian, verba tersebut tanpa diikuti nomina lokatif pun tetap eksis sebagai verba lokatif. Selain itu, verba tersebut membangun relasi lokatif secara intrinsik, artinya arah relasi ke dalam verba itu. Verba tandur ‘menanam’ pada data (4) secara morfologi berbentuk monomorfemis.
meskipun nomina itu bermacam-macam, jenis nomina itu masih di dalam satu wadah kehiponiman. Dengan demikian, nomina lokatif pada kalimat (5) bersifat takintrinsik. Verba kuliyah ‘bersekolah’ pada data (5) secara morfologi berbentuk monomorfemis.
Data (4) merupakan kalimat tunggal yang mengandung verba lokatif monomorfrmis berupa kata tandur ‘menanam,’ dengan struktur kalimat:
Saiki/Adv + dheweke/Nom + wis kuliyah/FV.
Budhe/N + nembe tandur/Frase Verba. S P
Data (5) merupakan kalimat tunggal yang mengandung verba lokatif monomorfrmis berupa kata kuliyah ‘bersekolah,’ dengan struktur kalimat:
Ket S P
Kata dheweke dalam kalimat tersebut menempati fungsi S, dan kuliyah ‘bersekolah’ menempati fungsi P, dan kata saiki ‘sekarang’ menempati fungsi keterangan. Adapun kategori yang
Kata Budhe dalam kalimat tersebut menempati fungsi S, dan nembe tandur ‘baru menanam’ menempati fungsi P. Adapun kategori yang menempati kalimat (3) adalah Budhe sebagai nomina, dan nembe
nomina, kuliyah ‘bersekolah’ berupa verba, dan saiki ‘sekarang berupa adverbia. Peran verba lokatif
tandur ‘baru menanam’ berupa frase verba. Peran verba lokatif kalimat (4) adalah aktif. Peran argumen
kalimat (5) adalah refleksif. peran argumen pendamping adalah kata dheweke sebagai agentif.
pendamping adalah kata Budhe sebagai agentif. Makna gramatikal Budhe nembe tandur adalah suatu tindakan aktif yang dilakukan oleh pelaku (agen).
Makna gramatikal saiki dheweke wis kuliyah adalah suatu tindakan kondisional (keadaan) yang mengenai
menempati kalimat (5) adalah dheweke sebagai
dan atau dimanfaatkan atau dinikmati oleh pelaku (agen).
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
43
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
SIMPULAN Verba lokatif dalam kalimat tunggal bahasa Jawa (kajian struktur sintaksis) dapat dianalisis dari sisi bentuk, fungsi, dan peran. Bentuk verba lokatif dalam kalimat tunggal bahasa Jawa dapat berupa
Harimurti Kridalaksana. 1990. Kelas Kata Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. .................2001. Kamus Linguistik. Jakarta : PT Gramedia.
monomorfemis dan polymorfemis. Verba lokatif bahwa sifat nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif inheren, bersifat intrinsik; nomina lokatif yang
Henry Guntur Tarigan. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sintaksis. Bandung: Angkasa.
mengikuti verba lokatif takinheren, bersifat takintrinsik. Namun demikian, ada juga nomina lokatif yang mengikuti verba lokatif inheren, bersifat takintrinsik. Nomina lokatif intrinsik, artinya nomina tersebut
dalam Bahasa Jawa. Jakarta: WYNT Grafika.
Maryono Dwiraharjo. 2004. Kata Kerja Pasif {di-}
M. Ramlan. 2001. Sintaksis. Yogyakarta : CV. Karyono.
bersifat ketat, jelas, dan sudah secara eksplisit terkandung dalam verba lokatifnya. Kalimat yang terdapat verba lokatif kebanyakan berpola S dan P, dengan fungsi sintaksis verba lokatif berupa predikat dengan kategori verba/frase verba.
Padmosoekotjo.S. 1987. Paramasastra Jawa. Surabaya: PT Citra Jaya Murti.
DAFTAR PUSTAKA
Slamet Mulyana. 1964. Semantik. Jakarta: Mutiara.
Abdul Chaer. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka. 2001. Paramasastra Gagrag Anyar Basa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua.
Anton M. Moeliono. dkk. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. D. Edi Subroto. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta : Sebelas Maret University Pers. Gorys Keraf. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende Flores: Nusa Indah.
44
Paina Partana. dkk. 1990. Sintaksis Jawa. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
………….. 2008. Paramasastra Gagrag Anyar Basa Jawa. Jakarta: Yayasan Paramalingua. Sudaryanto. 1983. Predikat – Objek Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Djambatan. ....................1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta : Duta Wacana University Press.
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
Verba Lokatif Dalam Kalimat Tunggal Bahasa Jawa(Kajian Struktur Sintaksis)
…………… 1992. Metode Linguistik. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. …………... 1993. Metode Dan Aneka Teknik
Sujono dan Sumarlam. 1996. Morfologi Bahasa Jawa. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Verhaar. J.W.M 1992. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soepomo Poedjosudarmo. dkk. 1979. Morfologi Bahasa Jawa. Yogyakarta : Pusat Penelitian Bahasa.
Wedhawati. dkk. 1990. Tipe-tipe Semantik Verba Bahasa Jawa. Jakarta : Departemen Pendidikan
Magistra No. 94 Th. XXVII Desember 2015 ISSN 0215-9511
dan Kebudayan.
45