ISSN : 1411 - 9161
Velab
KEMENTERIAN PERTANIAN
BALAI VETERINER LAMPUNG
O
Buletin Laboratorium Veteriner VOLUME xx - EDISI xx DESEMBER 2015
bvetlampung @pertanian.go.id
http://bvetlampung.ditjennak.per tanian.go.id SMS Center
081379230195
@bvetlampung
Balai Veteriner Lampung
Balai Veteriner
KEMENTERIAN PERTANIAN
BALAI VETERINER LAMPUNG Jl. Untung Suropati No.2 Labuhan Ratu Kedaton - Bandar Lampung 35142 Velab Volume xx - Edisi xx - Desember (0721) 7018512015 / 772894 (0721) 772894 O
FIND US ONLINE
Kat Pengantar Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya Buletin Laboratorium Veteriner ( VELABO ) Volume xx No. 01 Edisi Desember 2015, dapat diterbitkan kembali ke hadapan pembaca sekalian. Pada Velabo ini, pembaca dapat mengupas tentang Isolasi dan Uji Sensitivitas Antibiotik Moraxella sp. pada Kejadian Konjungtivitis Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Taman Nasional Way Kambas (Studi Kasus), Kajian Status Gangguan Reproduksi Sapi Bali di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah, Analisis Molekuler Filogenetik Dan Struktur Antigenic Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Lampung Tahun 2008-2013, Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Rabies di Pulau Enggano, Teknik Elisa Untuk Mendeteksi Secara Serologis Penyakit Sistiserkus Di Provinsi Lampung, Isolasi Jamur yang Mengkontaminasi Sampel Pakan di Balai Veteriner Tahun 2014, serta Deteksi Dini Trikinosis Secara Serologis Di Provinsi Lampung Harapan kami sajian Velabo ini dapat bermanfaat untuk pembaca Selamat membaca Redaksi
O
BULETIN LABORATORIUM VETERINER
PENANGGUNG JAWAB
Diterbitkan 2 kali setahun
SEKRETARIAT REDAKSI Tuti Mulyani Ferro Safryl A,Md
Kepala Balai Veteriner Lampung
drh. Syamsul Ma’arif, M.Si
PEMIMPIN REDAKSI drh. Tri Guntoro, MP
EDITOR drh. Eko Agus Srihanto, M.Sc
ALAMAT REDAKSI Jl. Untung Suropati No. 2 Labuhan Ratu Kedaton Bandar Lampung 35142
TELP / FAX Telp. 0721 701851 / 772894 Fax. 0721 772894
H T T P : // B V E T L A M P U N G . D I TJ E N N A KVolume . P E R xx T A- Edisi N I AxxN- Desember . G O . I D2015
Velab
O
Velab
BALAI VETERINER LAMPUNG DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN
ISSN : 1411 - 9161
Velab
KEMENTERIAN PERTANIAN
BALAI VETERINER LAMPUNG
O
Buletin Laboratorium Veteriner VOLUME xx - EDISI xx
FIND US ONLINE bvetlampung @pertanian.go.id
DESEMBER 2015
http://bvetlampung.ditjennak.per tanian.go.id SMS Center
081379230195
@bvetlampung
Balai Veteriner Lampung
Balai Veteriner
Content VOLUME xx - EDISI xx DESEMBER 2015
DAFTAR ISI KEMENTERIAN PERTANIAN
BALAI VETERINER LAMPUNG
1
Isolasi dan Uji Sensitivitas Antibiotik Moraxella sp. pada Kejadian Konjungtivitis Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Taman Nasional Way Kambas (Studi Kasus)
5
Kajian Status Gangguan Reproduksi Sapi Bali Di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah
10
Analisis Molekuler Filogenetik Dan Struktur Antigenic Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Lampung Tahun 2008-2013
17
Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Rabies Di Pulau Enggano
22
Teknik Elisa Untuk Mendeteksi Secara Serologis Penyakit Sistiserkus Di Provinsi Lampung
26
Isolasi Jamur Yang Mengkontaminasi Sampel Pakan Di Balai Veteriner Tahun 2014
30
Deteksi Dini Trikinosis Secara Serologis Di Provinsi Lampung
TAKE US ANYWHERE
Velab
O
KEMENTERIAN PERTANIAN
BALAI VETERINER LAMPUNG
Buletin Laboratorium Veteriner VOLUME xx - EDISI xx DESEMBER 2015
FIND US ONLINE bvetlampung @pertanian.go.id ISSN : 1411 - 9161
Velab
O
HT TP:// BVETLAMPUNG. DITJENNAK. PERTANIAN. GO.ID
ISSN : 1411 - 9161
http://bvetlampung.ditjennak.per tanian.go.id SMS Center
081379230195
@bvetlampung
Balai Veteriner Lampung
Balai Veteriner
KEMENTERIAN PERTANIAN
BALAI VETERINER LAMPUNG
Buletin Laboratorium Veteriner VOLUME xx - EDISI xx
FIND US ONLINE bvetlampung @pertanian.go.id
DESEMBER 2015
http://bvetlampung.ditjennak.per tanian.go.id SMS Center
081379230195
@bvetlampung
Balai Veteriner Lampung
Balai Veteriner
KEMENTERIAN PERTANIAN
BALAI VETERINER LAMPUNG Jl. Untung Suropati No.2 Labuhan Ratu Kedaton - Bandar Lampung 35142
(0721) 701851 / 772894 (0721) 772894
KEMENTERIAN PERTANIAN
BALAI VETERINER LAMPUNG Jl. Untung Suropati No.2 Labuhan Ratu Kedaton - Bandar Lampung 35142
(0721) 701851 / 772894 (0721) 772894
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Jl. Untung Suropati No.2 Labuhan Ratu Kedaton - Bandar Lampung 35142
(0721) 701851 / 772894 (0721) 772894
Isolasi dan Uji Sensitivitas Antibiotik Moraxella sp. pada Kejadian Konjungtivitis Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Taman Nasional Way Kambas (Studi Kasus) Eva Yulianti 1 dan Arie Khoiriyah 1 1 Laboratorium Bakteriologi - Balai Veteriner Lampung Email:
[email protected]
Abstrak Telah dilakukan pengujian terhadap 1 sampel swab mata badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang mengalami konjungtivitis dari Taman Nasional Way Kambas. Pengujian sampel dilakukan untuk mengetahui dan mengisolasi adanya agen infeksi dan sensitifitasnya terhadap antibiotik. Isolasi bakteri dilakukan pada Plat Agar Darah Domba 5% dan Mac Conkey. Bakteri yang tumbuh saat diisolasi dilanjutkan dengan identifikasi spesies melalui tehnik pengecatan gram dan uji biokimia. Uji sensitivitas dilakukan dengan menggunakan disk antibiotik. Hasil isolasi menunjukkan bahwa sampel mengandung bakteri Moraxella sp. Bakteri ini sensitif terhadap oksitetrasiklin dan streptomycin dan resisten terhadap penicillin, sulfonamide, cloramphenicol, ampicillin dan erytromicin. Kata kunci : konjungtivitis, badak, moraxella sp, antibiotik
Isolation and Antibiotics Sensitivity Test to Moraxella sp. on Conjunctivitis Case of Sumateran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis) in Way Kambas National Park (Case Study) Abstract Has been done to test one eye swab samples of Way Kambas National Park 's Sumatran rhino (Dicerorhinus sumatrensis) who have conjunctivitis. Sample testing was did to detect infectious agents and the sensitivity to antibiotics. Isolation of bacteria carried on 5% Sheep Blood Agar and Mac Conkey Agar plats. Bacteria which can be isolated identified to the species level by gram staining and biochemical tests. Sensitivity test performed using antibiotic disks. Isolation results indicate that the sample contains bacteria Moraxella sp. This bacteria sensitive with oxytetracycline and streptomycin and resistant with penicilline, sulfonamides, cloramphenicol, ampicilline and erytromicine. Keywords: conjunctivitis, rhinoceros, Moraxella sp, antibiotics
Populasi badak di seluruh dunia cenderung menurun, dimana hanya tinggal tersisa 5 spesies yaitu badak jawa (Rhinoceros sondaicus), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), badak india (Rhinoceros unicornis), badak hitam (Diceros bikornis) dan badak putih (Ceratotherium somum) dari Afrika (Suzzana dan Tutik ; 1991). Badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas diperkirakan hanya tinggal sekitar 30 ekor (Sadjudin; 2015). Penurunan populasi disebabkan berbagai macam faktor seperti pemburuan liar, penurunan potensi habitat, maupun penyakit. Penyakit pada badak dapat
disebabkan oleh berbagai macam agen infeksi maupun non-infeksi. Konjungtivitis pada badak sering terjadi pada badak. Kejadian konjungtivitis atau disebut juga ocular disorder pada badak sudah pernah dilaporkan oleh Krezschamr et al. (2009)di Malaysia, dimana kejadian ini belum bisa diidentifikasi penyebabnya namun diduga ada pengaruh dari paparan sinar matahari. Diperlukan pemeriksaan dan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab penyakit tersebut. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui adanya agen infeksi bakterial pada mata Badak Sumatera di Taman Nasional Way Kambas dan mengetahui tingkat sensitivitasnya terhadap antibiotik.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Pendahuluan
1
Isolasi dan Uji Sensitivitas Antibiotik Moraxella sp. pada Kejadian Konjungtivitis Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Taman Nasional Way Kambas (Studi Kasus)
Materi Pengujian Data riwayat kasus yang diterima, badak tersebut mengalami konjungtivitis pada mata sebelah kiri sejak minggu keempat bulan Agustus 2015. Gejala yang terjadi yaitu mata berair, konjungtiva merah dan membran nictitan mengalami prolaps. Setelah pemberian Ofloxacin selama satu minggu kondisi membaik, namun m a t a m u l a i b e ra i r d a n d i l a n j u t k a n p e m b e r i a n chloramfenicol eye ointment. Sampel yang digunakan untuk isolasi bakteri yaitu swab mata. Swab dibiakan pada media Buffered Pepton Water (BPW) dan diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 24 jam untuk pengayaan. Suspensi kemudian diinokulasikan pada media Plat Agar Darah (PAD) yang mengandung 5% darah Domba dan Mac Conkey (MCA). Agar kemudian diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 24 jam. Media Uji Biokimia yang digunakan terdiri dari 11 macam media gula-gula, reagen Uji katalase (H₂O₂) 3%, Kertas Oksidase serta NaCl fisiologis steril. Uji resistensi menggunakan Plat Nutrient Agar (NA) dan 9 disk antibiotik produk Oxoid yaitu penicillin (10 unit), sulfonamide (300µg), cloramphenicol (30µg), ampicillin (10µg), erytromicin (15µg), Kanamycin (30 µg), G e n t a m y c i n ( 1 0 µ g ) , S t r e p to m y c i n ( 1 0 µ g ) , d a n Oxytetracyclin (30µg).
Metode Pengujian Isolasi dan identifikasi dilakukan dengan pengamatan langsung warna koloni pada PAD dan MCA. Koloni yang diduga merupakan agen infeksi dimurnikan kembali pada PAD dan MCA untuk identifikasi lanjutan dan uji biokimia. Pewarnaan Gram digunakan untuk mengetahui jenis dan bentuk bakteri. Metode identifikasi yang digunakan menggunakan metode Cowan dan Steel's (1973). Isolat bakteri dari koloni yang telah diindentifikasi tersebut kemudian disuspensikan pada Nacl Fisiologis dengan kekeruhan standar. Sebanyak 0,1 ml suspensi diinokulasi pada plat agar NA menggunakan ose bengkok. Pengujian sensitivitas dilakukan dengan metode difusi Kirby Bauer. Disk atau kertas cakram antibiotik diletakkan diatas biakan tersebut dan diinkubasi pada suhu 37⁰C selama 24 jam. Karakterisasi
diukur dengan membandingkan zona hambatan atau diamater daerah hambat (DDH) terhadap tabel standar. Pengulangan uji sensitivitas dilakukan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan rata-rata DDH lalu diinterpretasikan sebagai Sensitif (S), Intermediat (I), dan Resisten (R). Tabel 1. Zone Diametes of Microbial Agents According to CLSI guidelines 2011 (Rao, 2011) Zona Inhibisi (mm)
Antibiotik
Potensi Kertas Cakram
Ampicillin
10µg
Cloramphenicol Erytromycin
30 µg 15 µg
≥26 ≥23
20-25 14-22
≤19 ≤13
Gentamycin Kanamycin
10 µg 30 µg
≥15 ≥18
13-14 14-17
≤12 ≤13
Penicillin
10 unit
≥47
27-47
≤26
Streptomycin Sufonamide
10 µg 300 µg
≥15 ≥17
12-14 13-16
≤11 ≤12
oxytetracyclin
30 µg
≥15
12-14
≤11
Sensitif (S) ≥
15
Intermediat Resisten (I) (R)
12-14
≤
11
Hasil dan Pembahasan Isolasi dan Identifikasi Dari hasil pengujian yang dilakukan diperoleh koloni bakteri berwarna putih keabua-abuan, permukaan cembung, dan berbentuk bulat pada media Plat Agar Darah (Gambar 1). Pada media Mac Conkey Agar berwarna pink.
Gambar 1. Koloni pada Plat Agar Darah (PAD)
Pada hasil pengecatan gram dari koloni yang terpisah diperoleh bakteri gram negatif dan berbentuk kokobasil berantai pendek seperti pada Gambar 2.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Materi dan Metode
2
Isolasi dan Uji Sensitivitas Antibiotik Moraxella sp. pada Kejadian Konjungtivitis Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Taman Nasional Way Kambas (Studi Kasus)
sebagian besar berwarna putih keabu-abuan dimana pada pengecatan gram berbentuk kokobasil berpasangan maupun berbentuk rantai pendek (Vannechoutee et al., 2011).
Gambar 2. Hasil Pengecatan Gram
Beberapa spesies Moraxella dilaporkan sebagai agen infeksi kasus kerokonjungtivitis pada mamalia. Seperti Moraxella bovis penyebab pink eye pada sapi, Moraxella ovis pada mamalia kecil dan Moraxella equi yang b e ra s o s i a s i d e n g a n k o n j u n g t i v i t i s p a d a k u d a (Vannechoutee et al., 2011). Hal ini juga didukung oleh Cowan (1973) yang menyatakan bahwa sebagian genus ini dapat diisolasi dari konjungtiva. Uji Biokimia didasarkan pada berbagai hasil metabolisme yang disebabkan oleh daya kerja enzim. Uji biokimia digunakan untuk menentukan spesies dari bakteri. Dari hasil pengujian biokimia diperoleh bahwa bakteri bersifat motil, uji katalase positif, uji oksidase positif, memfermentasi glukosa dan xylose, tidak memfermentasi lactose dan maltose. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan acuan Cowan (1973) yang ditunjukan pada Tabel 2 di bawah ini:
Resistensi dan Sensitivitas Isolat terhadap Antibiotik Interpretasi hasil uji resistensi dan sensitifitas bakteri Moraxella sp. ditentukan oleh nilai rata-rata diameter 3 zona hambat yang dibentuk oleh antibiotik yang diberikan seperti Gambar 3. Gambar 3. Zona hambat yang dibentuk pada antibiotik Oxitetracyclin
Tabel 2. Hasil identifikasi bakteri berdasarkan Cowan (1973) Acuan Cowan (1973) Moraxella sp.
Putih keabu -abuan
-
Negatif Kokobasil
Negatif Sphere/Rod
Motilitas Katalase
+ +
+/+
Oksidase
+
+
Glukosa Lactose
+ -
+ -
Maltose Xylose
+
-/+
Warna koloni Gram Bentuk
M o ra x e l l a m e r u p a k a n b a g i a n d a r i k e l o m p o k Acinetobacter yang memiliki karakter berupa gram negatif kokobasil atau batang pendek, katalase positif dan tidak memfermentasi karbohidrat (Cowan, 1973). Menurut Songer, J.Glenn and Karen (2005) sebagian besar Moraxella merupakan bakteri gram negatif berbentuk kokobasil namun pada beberapa spesies lebih cocoid atau lebih berbentuk batang. Bakteri ini tumbuh baik pada plat agar darah domba berupa koloni yang
Nilai rata-rata diameter zona hambat tersebut kemudian dibandingkan standar zona hambat bakteri Moraxella sp. pada Zone Diametes of Microbial Agents According to CLSI guidelines 2011 (Rao, 2011). Hasil uji resistensi dan sensitifitas isolat dapat dilihat pada Tabel 3. Terdapat 5 disk antibiotik yang tidak menunjukan zona hambatan yaitu penicillin, sulfonamide, cloramphenicol, ampicillin dan erytromicin. Hal ini berarti isolat Moraxella sp. ini resisten terhadap antibiotik-antibiotik tersebut dan sensitif terhadap streptomycin dan oxytetracyclin.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Hasil Isolasi Bvet
Uji Fisik / Biokimia
3
Isolasi dan Uji Sensitivitas Antibiotik Moraxella sp. pada Kejadian Konjungtivitis Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Taman Nasional Way Kambas (Studi Kasus)
Antibiotic
Rata -rata Zona Hambatan (mm)
Keterangan
Ampicillin
-
R
Cloramphenicol Erithromicin
-
R R
Gentamycin
14,87
I
Kanamycin Oxitetracyclin
15,62 20,59
I S
Penicillin Streptomycin
19,35
R S
Sulfonamide
-
R
Sensitivitas kuman terhadap antibiotik ditentukan oleh diameter zona hambat yang terbentuk dalam milimeter. Semakin besar diameter maka semakin terhambat pertumbuhan kuman (Haris et al., 2012). Diameter zona hambatan beragam tergantung jenis bakteri dan antibiotik yang digunakan (Adjid,R.M.A dan Agus, 1992). Oxytetracyclin yang dikombinasikan dengan corticosteroid merupakan preparat terbaik untuk diberikan pada pengobatan kasus outbreak keratokonjungtivitis akibat infeksi M. bovis pada sapi (Songer, J.Glenn dan Karon, 2005). Dengan demikian, preparat ini disarankan untuk pengendalian infeksi bakteri pada kasus ini.
Kesimpulan Hasil isolasi menunjukan bahwa sampel mengandung bakteri Moraxella sp..Bakteri ini sensitif terhadap oksitetrasiklin dan streptomycin serta resisten terhadap penicillin, sulfonamide, cloramphenicol, ampicillin dan erytromicin.
Saran Masih perlu dilakukan pemeriksaan dan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui penyebab kejadian konjungtivitis pada badak sumatera di Taman Nasional Way Kambas ini, serta untuk mengetahui apakah bakteri Moraxella sp. merupakan agen infeksi primer atau sekunder pada kasus ini.
Daftar Pustaka Adjid, R.M.A dan Agus Sudibyo.1992. Identifikasi Bakteri yang berperan sebagai Infeksi Sekunder pada Kejadian Penyakit ORF (EKTIMA KONTAGIOSA). Jurnal Penyakit Hewan Vol.XXIV No.44 Semester II Th.1992 Cowan, ST. 1973. Cowan and Steel's Manual for the Identification of Medical Bacteria. Inggris: Cambrigde University Press Haris, Syafruddi et al. Kejadian Infeksi Saluran Kemih di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Dr.Zainoel Abidin Bada Aceh. Kretzscmhmar,P. et al. 2009. Eye Disorders in Captive Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus Sumatrensis Harissoni) in Sabah, Malaysia. Full Paper Proc Int Conf Dis Zoo Wild Anim 2009. Rao, Shidar. 2011. Zone Diametes of Microbial Agents According to CLSI guidelines 2011. Dept. Of Microbiology JJMMC, Davangere. Sadjudin, Haerudin R.2015. Lestarikan, Dua Jenis Badak Ini Sudah diambang Kepunahan. http://www.mongabay.co.id/2015/01/20/lestarik an-dua-jenis-badak-ini-sudah-diambangkepunahan. Diakses pada 10 Oktober 2015 Songer, J.Glenn and Karon W. Post. 2005. Veterinary Microbiology;Bacterial and Fungal Agents of Animals Disease.Missouri:Elsevier Saunders Suzanna, Erna dan Tutik Wresdiyati. 1991. Penangkaran Badak ditinjau dari segi Penyakit. Media Konservasi Vol.III (3). September 1991:35-39 Vaneechoutte, Mario. et al. 2011. Acinetobacter, Chryseobacterium, Moraxella, and Other Nonfermentative Gram-Negatif Rods. Manual of Clinical Microbiology, 10th Edition
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Tabel 3. Hasil Uji Resistensi dan Sensitifitas terhadap Antibiotik
4
Kajian Status Gangguan Reproduksi Sapi Bali Di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah Tarsisius Considus. T 1, Amalia Mukhlis 2, Triguntoro 3, Safryl Ferro 3 1 Bagian Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Nusa Cendana, Kupang 2 Puskeswan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Tengah, 3 Laboratorium Epidemiologi - Balai Veteriner Lampung
Abstrak Gangguan reproduksi akan mempengaruhi penampilan reproduksi sapi. Penampilan reproduksi dapat digunakan sebagai penilaian terhadap efisiensi reproduksi sapi. Adanya gangguan reproduksi akan menyebabkan panjangnya days open > 5 bulan, estrous postpartum > 90 hari, dan calving interval > 15 bulan, conception rate < 60 %, servis per conception > 1,5 kali serta mengakibatkan penurunan popoulasi dan kerugian ekonomi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui macam dan penanganan status gangguan reproduksi sapi Bali. Jumlah sapi yang dipergunakan dalam kegiatan ini sebanyak 60 ekor sapi Bali betina dengan umur minimal 2 tahun.Metode yang dipergunakan adalah wawancara untuk pengisian kuisioner, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan status reproduksi secara per rektal.Analisa yang dipergunakan adalah analisa deskriptif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa rata rata pregnancy rate 31, 66 %, estrous postpartum 8 bulan dan calving interval 17 bulan. Kondisi ini disebabkan oleh adanya gangguan reproduksi 68,33 % yang meliputi delayed pubertas, hipofungsi ovarium dan endometritis. Kondisi ini menggambarkan bahwa terjadinya penurunan efisiensi reproduksi sapi Bali pada peternakan rakyat di Talang Empat Bengkulu Tengah, sehingga masih memerlukan perbaikan dari sisi manajemen reproduksi. Kata kunci : Gangguan Reproduksi, Sapi Bali, Bengkulu Tengah
Study Of Bali Cattle Reproductive Disorder In Talang Empat Sub-district Of Central Bengkulu District Abstract Reproductive disorders affect the reproductive performance in heifers and cows. Reproductive performance can be used as an assessment of the reproductive efficiency of cattle. The existence of reproductive disorders cause the length of the open days > 5 months, postpartum estrous > 90 days, and the calving interval > 15 months, conception rate < 60%, services per conception > 1.5 times, and resulted in a decrease popoulation and economic losses. The aim of this study is to determine the type and treatment of female Bali cattle reproductive disorders. The number of cattle wereused in this study as much as 60 females Bali cattle with at least 2 years of age. The method wereused by interviews for filling the questionnaire, clinical examination and examination of reproductive status by palpation rectally. Data of all examination were analyzed by descriptive analysis. The results showed that the average pregnancy rate of 31, 66%, postpartum estrous 8 monthsand calving interval of 17 months. This condition were caused by the presence of 68.33% reproductive disorders which include delayed puberty, ovarian hypofunction and endometritis. This condition showed that the decreaseof reproductive efficiency of Bali cattle in Talang Empat sub district of Central Bengkulu district, so that still need improvement in terms of reproductive management. Keywords: Reproductive Disorders, Balicattle, Central Bengkulu
Aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, dapat dikatakan bahwa tanpa reproduksi tidak akan terjadi produksi atau penambahan populasi (WodzickaTomaszewska et al. 1988). Adanya Gangguan reproduksi akan mempengaruhi penampilan reproduksisapi. Penampilan reproduksi dapat digunakan sebagai
penilaian terhadap efisiensi reproduksi sapi (Burke, 2003).Efisiensi reproduksi dapat dilihat dari, service per conception, conception rate, pregnancy rate, calving rate,estrous postpartum dan calving interval (Hafez, 2000). Lebih lanjut Hafez (2000) menyatakan bahwa angka ideal untuk calving interval adalah 12 bulan, conception rate 60%, dan conception rate 1,5 kali. Gangguan reproduksi akan menyebabkan panjangnya days open > 5 bulan, estrous postpartum > 90 hari, dan
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Pendahuluan
5
Kajian Status Gangguan Reproduksi Sapi Bali Di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah
Dalimunthe, et al.,(2013), menyatakan bahwa penampilan reproduksi sapi potong pada peternakan rakyat sistem pemeliharaan intensif dengan penerapan inseminasi buatan di Daerah Istimewa Yogyakarta diketahui calving interval 20 bulan, conception rate 32%, dan servis per conception 3,6 kali. Lebih lanjut Dalimuntheet al., (2013), menyatakan bahwa panjangnya anestrus postpartum (62%), gangguan fungsional pada ovarium dan uterus (26%) dan gangguan lain (12%).Lebih lanjut dilaporkan, bahwa penyebab utama anestrus adalah hipofungsi ovaria, sista luteal dan sista korpus luteum.Disamping itu estrus yang tidak teramati merupakan hal umum dijumpai pada sapi potong postpar tum.Menurut Toelihere (2003), sapi Bali merupakan sapi yang sangat fertil dibandingkan jenis sapi yang lain, karena fertilitas sapi Bali dapat mencapai 80 %. Gangguan reproduksi karena faktor non infeksi dan infeksi adalah yang paling umum dijumpai pada sapi potong. Gangguan reproduksi yang sering terjadi adalah cysta ovaria, luteal deficiency, subestrus, anestrus, anovulasi, ovulasi tertunda, subestrus, estrus yang panjang, silent estrus, hipofungsi ovaria, metritis puerpureal, endometritis dan piometra. Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa gangguan reproduksi masih banyak terjadi pada sapi potong dan masih minimnya kajian status gangguan reproduksi sapi Bali pada peternakan rakyat.Penanganan gangguan reproduksi dan penerapan teknologi reproduksi, seperti sinkronisasi estrus dan inseminasi buatan akan mampu meningkatkan reproduktivitas dan produktivitas sapi Bali yang pada dasarnya memiliki tingkat fertilitas yang tinggi dan daya adaptasi yang baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui status dan penanganan gangguan reproduksi sapi Bali pada peternakan rakyat, serta mendukung program pemerintah agar tercapainya swasembada daging.
Materi Sapi Bali yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sapi Bali pada peternakan rakyat di Kecamatan Talang Empat (Desa Jayakarta, Air Sebakul, Nakau) Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu.Penelitian ini dilakukan pada tanggal 14 – 22 September 2015.Sapi yang digunakan adalah sapi Bali betina dengan umur minimal 2 tahun, penentuan umur berdasarkan wawancara, estimasi gigi atau lingkar tanduk.Sistem pemeliharaan sapi Bali tersebut adalah sistem semi intesif “ Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit” (SISKA). Sistem ini merupakan pola pemeriharaan sapi Bali dengan cara pada waktu pagi 10.00 WIB sapi ditambat atau dilepas di perkebunan kelapa sawit dan pada sore hari 18.00 WIB sampai pagi harisapi ditambat dalam kandang disekitar rumah pemilik. Sapi Bali tersebut memperoleh pakan berupa rumput dan daun kelapa sawit diarea perkebunan. Air minum dibawakan oleh peternak atau peternak membawa sapi ke sumber air pada saat-saat tertentu di siang hari. Bahan yang digunakan adalah hormon, antara lain prostaglandin (Lutalyse), GnRH (Fertagyl), Vitamin ADE, Kapas, Alkohol 70 %, Albendazole, Povidone Iodine, Aquades steril, Veterinary Examination Glove, Plastik Sheat, Spuit Disposable, Jarum 18 G dan Tisu. Alat yang digunakan adalah Insemination Gun.
Metode Pelaksanaan pemeriksaan sapi Bali dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu penelitian pendahuluan dengan metode wawancara untuk pengisian kuisionerdan penelitian utama yang meliputi pemeriksaan klinis, pemeriksaan status reproduksi secara per rektaldan penanganan gangguan reproduksi. Data yang diperoleh dari penelitian pendahuluan dijadikan dasar pada penelitian utama.Pemeriksaan klinis meliputi Body Condition Score (BCS), tingkah laku, leleran pada vulva dan warna pada mukosa vagina.Pemeriksaan status reproduksi dilakukan secara per rektal terhadap cervix, corpus dan cornu uterus serta ovarium.Penentuan status gangguan reproduksi berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan per rektal.Penanganan gangguan reproduksi sapi Bali tersebut dilakukan kasus per kasus dari individu per individu berdasarkan prosedur standar
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
calving interval > 15 bulan, conception rate < 60 %, servis per conception > 1,5 kali. Kerugian ekonomi akibat gangguan reproduksi adalahmenurunnya angka kelahiran pedet pertahun, menurunnya populasi, meningkatnya biaya tambahan untuk pengobatan dan perkawinan, panjangnya masa tidak produktif serta meningkatnya jumlah sapi yang harus diafkir (Azawi, 2008).
6
Kajian Status Gangguan Reproduksi Sapi Bali Di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah
Hasil dan Pembahasan Hasil pemeriksaan status gangguan reproduksi pada sapi Bali dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Tabel 1. Rerata umur, body condition score (BCS), paritas, pregnancy rate, caving interval (CI) dan gangguan reproduksi.
Populasi BCS
Paritas
Calving Estrous Pregnancy interval postpartum rate (%) (bln) (bln)
60
2.6 x
31, 66
2
17
8
Gangguan reproduksi (%)
68, 33
Tabel 2. Status gangguan reproduksi Status gangguan reproduksi
Jumlah
Delayed pubertas Hipofungsi ovarium
24 ekor 7 ekor
Endometritis Status gangguan reproduksi
10 ekor Jumlah
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 1 dan 2 dapat diketahui penampilan reproduksi sapi Bali di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah meliputi pregnancy rate 31, 66 %, estrous postpartum 8 bulan, caving interval 17 bulan. Kondisi ini disebabkan oleh adanya gangguan reproduksi 68,33 % yang meliputi delayed pubertas, hipofungsi ovarium dan endometritis. Kondisi ini menggambarkan bahwa terjadinya penurunan efisiensi reproduksi sapi Bali yang terkenal meiliki tingkat fertilitas dan daya adaptasi yang tinggi. Hal ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan sapi Bali yang digembalakan dilahan kering Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan sistem perkawinan alami conception rate mencapai 80 – 90 %, caving interval 13 – 15 bulan, serta puncak kelahiran dan perkawinan terjadi pada puncak musim kemarau (Talib, 2002). Sedangkan menurut Budiyanto, et al., (2013) menyatakan bahwa caving intervalsapi Bali di Kupang NTT pada sistem pemeliharaan intensif adalah 370 ± 33.78 hari dan pada sistem pemeliharaan semi intensif adalah 350. 46 ± 27.98 hari.
Delayed pubertas adalah keterlambatan pubertas pada seekor betina. Pubertas adalah usia dimana seekor betina pertama kali menunjukan gejala estrus dan diikuti ovulasi pada akhir estrus (Senger, 2003). Idealnya sapi Bali mencapai pubertas pada usia 18 – 24 bulan dan beranak pertama kali pada usia 30 – 38 bulan (Talib, 2002). Delayed pubertas dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain genetik, nutrisi dan faktor manajemen reproduksi. Manifestasi klinis dari kekurangan nutrisi dapat dilihat dari BCS .Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan anestrus, karena sintesis dan sekresi beberapa hormon reproduksi membutuhkan kecukupan nutrisi.(Arthur et al., 2001; Senger, 2003a; Ahuja and Montiel, 2005). Faktor genetik ternak menentukan kemampuan yang dimiliki oleh seekor ternak sedang faktor lingkungan memberi kesempatan kepada ternak untuk menampilkan kemampuannya. Selanjutnya ditegaskan bahwa seekor ternak tidak akan menunjukkan penampilan reproduksi yang baik apabila tidak didukung oleh lingkungan yang baik dimana, sebaliknya lingkungan yang baik tidak menjamin panampilan reproduksi yang baik apabila ternak tidak memiliki mutu genetik yang baik (Hardjosubroto, 1994; Budiyanto, et al., 2013). Diagnosa delayed pubertas pada penelitian ini dilakukan berdasarkan umur dan pemeriksaan per rektal pada ovarium. Pada saat pemeriksaan per rektal struktur ovarium hanya berupa pertumbuhan folikel tanpa mencapai ukuran folikel dominan (dominan ovulasi, dominan atresia).Pada penelitian ini diketahui 24 ekor sapi Bali dengan usia rata-rata 2,5 tahun mengalami delayed pubertas. Penanganan delayed pubertas pada penelitian ini dilakukan dengan perbaikan pakan (kualitas dan kuantitas), penyuntikan hormon GnRH (fertagyl) dan vitamin ADE. Respon dari penanganan ini berupa timbulnya estrus pada 13 ekor sapi Bali, sedangankan yang lainnya belum menunjukkan gejala estrus dan masih dalam pemantuan. Hipofungsi ovaria adalah menurunnya fungsi ovaria dalam menghasilkan ovum secara rutin. Hipofungsi ovarium merupakan salah satu gangguan fungsi pada ovarium yang bersifat reversible. Penyebab utama dari hipofungsi ovaria adalah defisiensi gonadotropinreleasing hormone, akibat dari berbagai faktorantara lain : defisiensi nutrisi, pakan yang tidak memadai, termasuk energi, protein, vitamin dan mineral, menyusui pedet,
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
yang sudah umum dilakukan. Penanganan gangguan reproduksi dinyatakan sembuh apabila timbulnya respon klinis berupa estrus.Data yang diperoleh pada pemeriksaan dan respon klinis dari penanganan gangguan reproduksi tersebut kemudian dicatat dan dianalisa secara deskriptif.
7
Kajian Status Gangguan Reproduksi Sapi Bali Di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah
Hipofungsi ovarium yang tidak segera ditangani akanmelanjut menjadi atropi ovaria yang bersifat irreversible. Atropi akan menyebabkan tidak berfungsinyaovarium secara permanen, disebabkan oleh stroma jaringan ovaria diganti dengan jaringan ikat. Selain gejala klinis yang timbul berupa anestrus, atropi ovarium dapat didiagnosa melalui pemeriksaan per rektal ovarium akan teraba semakin kecil dengan diameter sekitar 0,5 cm dan permukaan ovarium menjadi keras karena stroma ovariumdigantikan oleh jaringan ikat (Arthur et al., 2001). Endometritis adalah kondisi peradangan pada uterus yang paling umum ditemukan.Endometritis merupakan suatu proses inflamasi yang mencakup endometrium dan merupakan salah penyebab pentingdarikejadian infertilitas pada sapi. Kejadian endometritis sering terjadi pada waktu 2 - 3 minggu postpartum yang akan
menyebabkan delayed involusi uterus (LeBlanc, 2008).Karakteristik klinis dari endometritis adalah a d a n y a l e l e ra n p u r u l e n t b e r w a r n a p u t i h k e r u h kekuningan sampai muco pulent yang keluar melalui vulva dengan volume leleran bervariasi (Azawi, 2008; LeBlanc, 2008).Endometritis dapat disebabkan oleh kontaminasi bakteri non spesifik saat perkawinan (alami, inseminasi buatan), distokia, kebuntingan kembar, retensi plasenta, metritis puerpuralis dan penurunan atau kegagalan mekanisme aktivitas phagositosisoleh leukosit pada uterus (Azawi, 2008). Diagnosa endometritis pada penelitian inidilakuan melalui pendekatan terhadap pengamatan gejala klinis dan palpasi per rektal. Pemeriksaan per rektal dilakukan terhadap ukuran, simetris, ketebalan dan konsistensi dari cervix uterus dan uterus. Kondisi ini sangat bervariasi tergantung pada derajat infeksi.Pada pemeriksaan per rektal kasus endometritis akan diketahui adanya peningkatan ukuran diameter cornu uterus 2.5 – 3.7 cm pada infeksi ringan, 3.73 – 5 cm pada infeksi sedang dan > 5 cm pada infeksi berat. Kedua cornu uterus menjadi simetris, terjadi penebalan dinding endometrium dan hilangnya tonus uterus (Azawi, 2008). Selanjutnya menurut Azawi, (2008) pendekatan diagnosa endometritis dapat dilakukan melalui pemeriksaan vagina, kultur bakteri, biopsi endometrium dan pemeriksaan sitologi endometrium.Pada penelitian ini diketahui 10 ekor sapi Bali primipara dan pluripara mengalami endometritis. Endometritis adalah gangguan fungsi pada uterus yang dapat menyebabkan kegagalan fertilisasi dan inplantasi. Karena fertilisasi dapat terjadi apabila ada pertemuan dan interaksi yang kompleks antara oosit matur dan spermatozoa yang sudah mengalami kapasitasi, sedangkan inplantasi membutuhkan lingkungan uterus yang sesuai (Talevi and Gualtieri, 2004; Paul et al.,2005; Roelofs et al., 2006). Kondisi tersebut dapat menyebabkan kejadian repeat breeding atau kawin berulang.Pengobatan yang dilakukan terhadap kasus hipofungsi ovarium pada penelitian ini antara lain: infusi intra uterin povidon iodine 1 % dan ditambah penyuntikan PGF 2 alfa apabila ditemukan corpus luteum persisten (CLP). Menurut Kimura et al., (2002) menyatakan bahwa pengobatan endometritis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik secara parenteral atau intrauterine.Respon dari penanganan ini
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
penyakit yang menyebabkan kekurusan. Pada kondisi ini pertumbuhan dan perkembangan folikel dominan atresia atau domain ovulasi tidak terjadi sehingga hewan akan mengalami anestrus. Diagnosa hipofungsi ovarium dapat dilakukan dengan pengamatan klinis terhadap gejalaa estrus dan pemeriksaan per rektal terhadap s i s t e m r e p ro d u k s i ( A r t h u r e t a l . , 2 0 0 1 ) . P a d a pemeriksaan per rektal ovarium yang mengalami hipofungsi akan teraba kecil, diameter 1,5 cm, pipih, permukaan licin, halus, tidak ada tonus uterus, dan mukosa vagina pucat. Perubahan pada ovarium ini terjadi karena tidak ada pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium. Oleh karena itu ukuran ovarium saja tidak cukup untuk mendiagnosa hipofungsi ovarium pada sapi Bali. Pada penelitian ini diketahui 7 ekor sapi Bali mengalami hipofungsi ovarium. Pengobatan yang dilakukan terhadap kasus hipofungsi ovarium pada penelitian ini antara lain: perbaiki kualitas dan kuantitaspakan dan penyuntikan vitamin ADE. MenurutArthur et al., (2001)dapat juga dilakukan penyuntikkan 400-700 IU PMSG dan 2500 - 3000 IU HCG im, dan penyuntikan hormon FSH pada kasus hipofungsi ovarium. Respon dari penanganan ini berupa timbulnya estrus pada 3 ekor sapi Bali, sedangankan yang lainnya belum menunjukkan gejala estrus dan masih dalam pemantuan. Perbaikan kualitas dan kuantitas pakan merupakan hal utama dan penting sebelum terapi hormonal pada penanganan kasus hipofungsi ovarium bagi sapi Bali yang memiliki BCS < 2,5 (skala BCS 1 – 5).
8
Kajian Status Gangguan Reproduksi Sapi Bali Di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah
berupa timbulnya estrus pada 4 ekor sapi Bali, sedangankan yang lainnya belum menunjukkan gejala estrus dan masih dalam pemantuan.
Burke, C, R. 2003. Regulation of ovarian follicular development with estradiol in cattle.PhD. Disertation.The Ohio State University.
Respon kesembuhan dari setiap penanganan gangguan reproduksi tersebut adalah timbulnya gejala estrus yang dapat diamati secara visual serta adanya perubahan organ reproduksi pada saat pemeriksaan per rektal.Respon kesembuhan dari setiap penanganan gangguan reproduksi sangat bervariasi diantara individu d a n t e r g a n t u n g d e ra j a t k e p a ra h a n d a r i k a s u s gangguan.Oleh karena itu penanganan gangguan reproduksi merupakan penanganan individu per individu berdasarkan jenis dan derajat keparahan dari gangguan reproduksi.
Dalimunthe. N. W., Kusumawati, A., Budiyanto, A., Setiwan, E.M. (2013) Kajian Status Gangguan Reproduksi Sapi Potong Di Desa Wijimulyo, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo. Proceeding Seminar Nasional Peran Rumah Sakit Hewan Dalam Penanggulangan Penyakit Zoonosis. Yogyakarta, 23 November 2013.
Terjadinya penurunan efisiensi reproduksi sapi Bali pada peternakan rakyat di Kecamatan Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu.Hal ini dapat dilihat dari penampilan reproduksi meliputi pregnancy rate yang rendah dan caving interval yang panjang.Penampilan reproduksi yang demikian merupakan salah satu manifestasi dari gangguan reproduksi.Tingkat dan efisiensi produksi ternak dibatasi oleh tingkat dan efesiensi reproduksinya.
Daftar Pustaka Ahuja, C., Montiel, F. (2005) Body condition and suckling as factors influencing the duration of postpartum anestrus in cattle: a review. J.Anim.Sci: 85 (2005) 1 – 26. Arthur's H, David, E.N., Parkinson., T.J England, C.W. (2001) Endogenous and exogenous control of ovarian cyclicity.In Veterinary Reproduction and Obstetrics.8th ed. Saunders. Azawi, O.I. (2008) Postpartum Uterine Infection In Cattle. J. Animal Reproduction Science 105 (2008) 187 – 208. Budiyanto, A., Tophianong, T.C., Dalimunthe, N. W., Perbandingan Calving Interval (CI) Sapi Bali Pada Peternakan Dikandangkan dan Semi Dikandangkan Di Daerah Kupang Nusa Tenggara Timur. Proceeding Seminar Nasional Peran Rumah Sakit Hewan Dalam Penanggulangan Penyakit Zoonosis. Yogyakarta, 23 November 2013.
Hardjosubroto, W. 1994.Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Kimura, K., Jesse, P., Goff, O., Kehreli, M.E., Reinhardt, T., 2002.Decreased neutrophil function as a cause of retained placenta in dairy cattle.J. Dairy Sci. 85, 544–550. LeBlanc J. S. (2008) Postpartum Uterine Disease and Dairy Herd Reproductive Performance : A Review. The Veterinary Journal 176 (2008) 102 – 114. Paul, M.W., Luca J., Huayu,Qi., Zev,W., Costel, D., Eveline,S.L. (2005) Review Recent Aspects of Mamalian Fertilization Research. J.Molecular and Cellular Endocrinology 234 (2005) 95-103. Roelofs, J.B., Graaat,E.A.M., Mullaart,E., Soede, N.M., H a r k e m a , W. V. , K e m p , B . ( 2 0 0 6 ) E ff e c t s o f Insemination-Ovulation Interval on Fertilization Rates and Embryo Characteristics in Dairy Cattle. J.Theriogenology 66 (2006) 2173.2181. Senger, P, L. 2003. Reproductive Cyclicity – Terminology and Basic Concepts.In Pathways to Pregnancy and Par turition.Second Revised Edition.Current Conceptions, Inc. Washington State University. Talevi, R and Gualtieri, R. (2004) In Vivo versus In Vitro Ferlilization. Europan J. Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 1158 (2004) s68-s71. Talib, C. 2002. Sapi Bali di daerah sumber bibit dan peluang pengembangannya.Wartazoa Vol. 12 No 3 Th.2002. Toelihere Mozes, R. 2003.Increasing the success rate and adoption of Artifficial Insemination for genetic improvment of bali cattle. ACIAR.Proceeding No I10. Wodzicka-Tomaszewska, M., T.D. Chaniago, and I.K. Sutama. 1988. Reproduction in Relation to Animal Production in Indonesia. Bogor:
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Kesimpulan
Hafez, E.S.E. (2000a) Artificial Insemination by Bellin.,M.E., Hafez.B., Verner.,D.D.,Love.,CC et.,al in Reproduction in Farm Animals. 7th ed. Philadelphia.
9
Analisis Molekuler Filogenetik Dan Struktur Antigenic Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Lampung Tahun 2008-2013 Eko Agus Srihanto 1
1 Laboratorium Bioteknologi Balai Veteriner (BVet) Lampung
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan melakukan karakterisasi molekuler antigenic site terhadap isolat virus avian influenza (AI) Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III Lampung dari tahun 2008-2013. Amplifikasi RNA dilakukan dengan teknik reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) menggunakan 4 pasang primer referens dari Australian Animal Health Laboratory (AAHL) Geelong Australia (HA10, HA20, dan HA30) dan dilanjutkan dengan proses pengurutan. Analisis hasil pengurutan dengan menggunakan perangkat lunak MEGA versi 5.05 yang meliputi multiple alignment, deductive amino acids prediction, dan phylogenic tree analysis diperoleh hasil perbedaan genetik antar isolat Lampung dari tahun 2003-2013 ditemukan berkisar 1,1-9,1% dengan tingkat homologi mencapai 90,9-98,9%. Variasi genetik ditemukan adanya substitusi pada posisi 53 (R53K), 126 (D126E), 136 (P136), 138 (H138Q, dan H138L), 140 (R140K, R140S, dan R140N), 141 (S141P), dan 189 (K189R). Berdasarkan analisis filogenic tree isolat Lampung tahun 2008-2011 termasuk ke dalam clade 2.1.3. Analisis filogenik isolat AI tahun 2012-2013 yang menginfeksi unggas air mempunyai homologi sekitar 98,5-99,1% dibandingkan dengan isolat AI yang menginfeksi unggas air asal Jawa dan termasuk ke dalam clade 2.3.2.1 Kata kunci: virus AI, analisis gen HA, antigenic site, substitusi
Phylogenetic Molecular and Antigenic Structure Analysis of Avian Influenza Virus of Subtype H5N1 Lampung Isolate Collected in 2008-2013 Abstract This study aims to characterize the HA gene of AI virus from DIC Region III Lampung from 2008-2013. RNA amplification technique was performed by reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) using 4 pairs of primer references from the Australian Animal Health Laboratory (AAHL) Geelong, Australia (HA10, HA20, and HA30) and followed by a sequencing process. Analysis of the results of sequencing by using the MEGA software version 5.05 that covered multiple alignment, deductive amino acids prediction and phylogenic tree analysis showed some genetic differences between Lampung isolates collected from 2003-2013 was ranged from 1.1 to 9.1% with homology to reach 90.9 to 98.9%. Genetic variation was identified in the antigenic site with the substitution at position 53 (R53K), 126 (D126E), 136 (P136), 138 (H138Q and H138L), 140 (R140K, R140S and R140N), 141 (S141P) and 189 (K189R). Based on the analysis of phylogenic tree in 2008-2011 isolates belonging to the clade 2.1.3. Analysis of phylogenic tree of 2012-2013 AI isolates that infect waterfowl had approximately 98.5 to 99.1% homology compared with AI isolates that infect waterfowl of Javanese origin and belonged to the clade 2.3.2.1. Key words: AI virus, HA gene analysis, antigenic site, substitution
Avian influenza (AI) merupakan penyakit unggas menular yang disebabkan oleh virus AI tipe A dari famili Orthomyxoviridae. Berdasarkan patogenisitas virus AI dibedakan menjadi highly pathogenic avian influenza (HPAI) dan low pathogenic avian influenza (LPAI) (Alexander, 1982). Virus AI tipe A dapat menginfeksi unggas, manusia, babi, kuda, dan mamalia tingkat rendah seperti anjing laut dan paus (Webster et al., 1981; et al., 1987; Guo et al., 1992; Zhou et al., 2000; Cardona et al., 2009). Sejak pertama dilaporkan di Hongkong tahun
1997, wabah dilaporkan menyebar di negara kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Indonesia (Peiris et al., 2007; Lupiani dan Reddy, 2009). Sejak Indonesia dinyatakan sebagai daerah endemik penyakit AI, berbagai program pengendalian dan pemberantasan dilakukan. Salah satu program pengendalian adalah vaksinasi. Vaksin yang digunakan diharapkan mampu memberikan kekebalan kepada unggas terhadap infeksi virus AI. Netralisasi antibodi terhadap suatu gen hemaglutinin (HA) tergantung pada subtipe HA tersebut. Virus AI seperti virus golongan
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Pendahuluan
10
Analisis Molekuler Filogenetik Dan Struktur Antigenic Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Lampung Tahun 2008-2013
Antigenic drift merupakan perubahan struktur antigenic yang bersifat minor. Perubahan ini bersifat progresif sebagai akibat aktivitas netralisasi antibodi terjadi di permukaan gen HA atau neuramidase (NA). Perbedaan spesifisitas antibodi akan memengaruhi reaksi pada antigenic site. Antigenic shift berhubungan dengan perubahan struktur antigenic. Perubahan ini bersifat dominan yang terjadi pada gen permukaan dan gen internal. Antigenic shift ditimbulkan karena mutasi dan reassor tment gen antar virus. Proses ini dapat menyebabkan munculnya galur virus baru yang berbeda antigenisitasnya dengan virus ancestral (Suarez, 2008). Perubahan antigenic pada virus AI kebanyakan ditemukan pada 2 gen glikoprotein permukaan yaitu gen HA dan NA (Duvvuri et al., 2009). Pada glikoprotein HA dikenal 5 epitop daerah antigenic sebagai target neutralisasi antibodi. Penentuan 5 epitop tersebut (A sampai E) daerah antigenic tersebut didasarkan pada s t r u k t u s H A v i r u s A I s u b t i p e H 5N 1 ( A / g o o s e / Guangdong/1996) yang dipetakan oleh Duvvuri et al. (2009). Pemetaan gen HA pada virus AI subtipe H5N1 yang dilakukan oleh Duvvuri et al. (2009) menyebutkan posisi Antigenic site terletak pada T36, K48, R53, Q115, N124, D126, S128, P136, H138, R140, S141, K152, N182, A185, K189, dan K412 (nomenklatur untuk H5). Perubahan epitop terjadi terus menerus dan pada jangka waktu 2-5 tahun biasanya hanya didominasi oleh satu epitop (Plotkin et al., 2002). Penelitian ini bertujuan mengamplifikasi gen HA virus AI pada daerah antigenic yang diisolasi dari beberapa jenis unggas di wilayah kerja Balai Veteriner (BVet) Lampung sebagai bahan informasi yang berkaitan dengan isolat asal Lampung dan dapat dijadikan acuan t e r h a d a p s t ra t e g i p r o g ra m p e n g e n d a l i a n d a n pemberantasan penyakit AI yang berhubungan dengan program vaksinasi khususnya di wilayah Lampung.
Materi dan Metode Isolat Virus Isolat virus AI yang digunakan berasal dari beberapa daerah di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung. Isolat tersebut berasal dari berbagai macam spesies (ayam layer, ayam broiler, ayam buras, itik, entok, dan burung puyuh). Isolat diisolasi ke dalam telur ayam bertunas (TAB) spesifik antibodi negatif (SAN) AI umur 10 hari. Isolat penelitian yang digunakan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Daftar isolat penelitian No. Laboratorium
Jenis unggas
Asal isolat
Tahun
08.48/Ay/BPPV/03.08 08.55/Ay/BPPV/03.08
Ayam buras Ayam buras
Muara Enim Waylaga
2008 2008
09.50/Ay/BPPV/02.09 09.151/Ay/BPPV/06.09
Ayam buras Ayam buras
Bangka Bandar Lampung
2009 2009
09.219/Ay/BPPV/06.09
Ayam buras
Waylaga
2009
10.24/Ay/BPPV/01.10 Ayam breeder Lampung Selatan 10.67/Puyuh/BPPV/02.10 Puyuh Metro
2010 2010
10.291/Ay/BPPV/10.10 11.234/Ay/BPPV/11.11
Ayam buras Ayam buras
Kepahyang Ogan Komering Ilir
2010 2011
11.337/Ay/BPPV/05.11 12.1182/Itik/BPPV/12.12
Ayam broiler Itik
Rejang Lebong Lampung Tengah
2011 2012
13.36/Entok /BPPV/01.13 Entok
Pesawaran
2013
13.73/Entok/BPPV/01.13 Entok
Muara Enim
2013
Materi untuk pengujian molekuler menggunakan bahan: Purelink viral RNA/DNA minikit (Invitrogen), SuperScript III One Step RT-PCR Platinum Taq HiFi (Invitrogen®), primer forward dan reverse. Proses amplifikasi dilakukan dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) menggunakan primer forward dan reverse untuk mengamplifikasi gen HA didesain oleh Australian Animal Health Laboratory (AAHL) Geelong Australia. Purifikasi produk PCR digunakan QIAquick Purification kit (QIAGEN®), isopropanol (Merck) dan nuclease free water (NFW). Proses pengurutan menggunakan reagen BigDye X Terminator Purification kit (ABI).
Amplifikasi Proses amplifikasi gen HA dilakukan dengan RT-PCR 0 menggunakan program RT (suhu 48 C selama 30 menit); pre denaturasi (suhu 94 C selama 4 menit); denaturasi 0 0 (suhu 94 C selama 30 detik) ; annealing (suhu 50 C selama 40 detik); elongasi (suhu 680C selama 40 detik);
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Ribonucleic acid (RNA) lainnya tidak mempunyai proofreading mechanism sehingga akan terjadi banyak kesalahan pada waktu transkripsi. Hal ini akan meyebabkan terjadinya mutasi yang tinggi. Tingginya mutasi akan mengakibatkan adanya perubahan asam amino yang berpengaruh pada perubahan virus dan sinyal regulatori pada saat replikasi virus. Terjadinya mutasi pada daerah antigenic akan menyebabkan perbedaan dalam netralisasi antibodi (Suarez, 2008). Mutasi virus akan menyebabkan perubahan antigenic drift atau antigenic shift.
11
Analisis Molekuler Filogenetik Dan Struktur Antigenic Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Lampung Tahun 2008-2013
post elongasi (suhu 68 C selama 5 menit) sebanyak 40 siklus. Program pengurutan gen HA menggunakan program sebagai berikut: predenaturasi (suhu 960C 0 selama 1 menit); denaturasi (suhu 96 C selama 10 detik); annealing (suhu 500C selama 5 detik);elongasi (suhu 600C selama 4 menit) sebanyak 25 siklus. Program tersebut disesuaikan dengan manual standar laboratorium untuk teknik pengurutan gen HA dari AAHL Geelong, Australia. 0
sama dengan posisi primer yang terletak fragmen HA1 pada 142- 850 untuk HA20 dan 657-1351 untuk HA30 yang didesain oleh Australian Animal Health Laboratory Geelong. Gambar 2. Amplifikasi DNA dengan menggunakan primer HA20 dan HA30 (M= Marker, 1= Muara Enim, 2= Waylaga (2008), 3= Bangka, 4= Bandar Lampung, 5= Way laga (2009), 6= Lampung Selatan, 7= Metro, 8= Kepahyang, 9= Muara Enim (2013), 10= Ogan Komering Ilir, 11= Trimurjo)
Analisis data hasil pengurutan menggunakan perangkat lunak molecular evolution genetics analysis (MEGA) versi 5.05 meliputi multiple alignment dengan clustal W, deductive amino acids prediction dan phylogenic tree analysis. Data disusun dengan menggunakan perangkat lunak BioEdit Sequence Alignment Editor. Konstruksi pohon filogenik dianalisis dengan metode Neighbor-Joining. Persentase replikasi pohon filogenik yang membentuk clade di setiap percabangan diuji menggunakan tes bootstrap dari 1000 replikasi (WHO, 2008; Tamura et al., 2011).
Hasil dan Pembahasan Gen HA yang mengandung antigenic site diamplifikasi oleh primer HA10, HA20, dan HA30 yang didesain oleh AAHL Geelong, Australia. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer HA10 dihasilkan amplikon sepanjang 310 bp seperti yang disajikan pada Gambar 1. Hasil tersebut sama dengan posisi primer yang terletak fragmen HA1 pada 1-310. Gambar 1. Amplifikasi DNA dengan menggunakan primer HA10
(M= Marker, 1= Muara Enim, 2= Way Laga (2008), 3= Bangka, 4= Bandar Lampung, 5= Waylaga (2009), 6= Lampung Selatan, 7= Metro, 8= Kepahyang, 9= Muara Enim (2013), 10= Ogan Komering Ilir, 11= Trimurjo)
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer HA20 dan HA30 dihasilkan produk amplifikasi sepanjang 709 bp dan 705 bp seperti pada Gambar 2. Hasil tersebut
Hasil penjajaran berganda urutan nukleotida gen HA isolat Lampung yang yang sudah terdaftar di genebank dari tahun 2004-2006 dengan tahun 2008-2013 didapatkan jarak genetik antara 1,15 - 9,06 % dengan homologi antar isolat hasil penelitian antara 90,9498,85% . Tiga isolat tahun 2012-2013 mempunyai nilai homologi antara 97,8-98,3%. Nilai homologi antara isolat tahun 2008-2011 dengan isolat tahun 2012-2013 antara 90,9-92,2%. Menurut Lee dan Saif (2009), perubahan nukleotida dan asam amino akan menyebabkan terjadinya mutasi pada virus AI. Dalam setiap tahun diketahui perubahan rata-rata nukleotida pada virus AI
12
Analisis Molekuler Filogenetik Dan Struktur Antigenic Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Lampung Tahun 2008-2013
Hasil penjajaran ganda asam amino penting pada domain antigenic site disajikan pada Tabel 2. Menurut Duvvuri et al. (2009), beberapa domain penting yang bertanggung jawab pada antigenic site bersifat lestari yang terletak pada posisi T36, K48, R53, Q115, N124, D126, S128, P136, H138, R140, S141, K152, N182, A185, K189, dan K412 (nomenklatur untuk H5). Substitusi beberapa asam amino ditemukan pada antigenic site. Perubahan asam amino R36K ditemukan pada isolatisolat asal Waylaga, Kepahyang, Ogan Komering Ilir, Rejang Lebong, Trimurjo, Pesawaran, dan Muara Enim. Pada posisi asam amino ke-53 semua isolat hasil penelitian dan isolat Lampung tahun 2004-2007 mengalami substitusi dari asam aspartat (D) ke asam glutamat (E). Isolat asal Sumatera diklasifikasikan ke dalam clade 2.1.3 (Smith et al., 2004; Takano et al., 2009). Isolat Lampung dimasukkan ke dalam isolat yang berasal dari Sumatera. Substitusi di posisi P136S ditemukan pada isolat-isolat AI yang menginfeksi itik dan entok di daerah Trimurjo, Pesawaran, dan Muara Enim di tahun 2012-2013 yang merupakan isolat dari clade 2.3.2. Substitusi H138Q dan H138L ditemukan pada isolatisolat Lampung dari tahun 2004-2013. Asam amino ke140 ditemukan adanya variasi substitusi berupa lisin (K), serin (S), dan asparagin (N). Substitusi S141P ditemukan di isolat Muara Enim (2008), Waylaga (2008 dan 2009), Rejanglebong, Bangka, Bandar Lampung, Metro, Lampung Selatan dan Ogan Komering Ilir. Pada posisi asam amino ke-189 semua isolat hasil penelitian dan isolat pembanding ditemukan substitusi dari lisin (K) ke arginin (R). Variasi antigenic akibat adanya mutasi disebabkan karena adanya kumpulan perubahan pada RNA virus (Lee dan Saif, 2009). Substitusi asam amino pada antigenic site merupakan salah satu pendorong terjadinya mutasi pada gen HA (Duvvuri et al. 2009). Menurut Plotkin et al. (2002), substitusi asam amino pada antigenic site menyebabkan terjadinya seleksi
positif. Seleksi positif antigenic site disebabkan karena tekanan seleksi untuk menghindar dari respon imun hospes termasuk penghindaran pengenalan antibodi. Adaptasi virus ke sel hospes merupakan salah satu penyebab peningkatan antigenic drift (Steinhauer, 1999). Tabel 2. Posisi antigenic site (H5 nomenklatur) oleh Duvvuri et al. (2009) Clade 0
Clade 2.1.1
Clade 2.1.3
Clade 2.3.2
T36 K48
T K
T K
T K
R53 Q115
R Q
K,R Q
K Q
N124
N
N
N
D126 S128
E S
E S
E S
P136 H138
P Q
P Q,L
S Q
R140 S141
K S
K,R,S,N S,P
N S
K152
K
K
K
N182 A185
N A
N A
N A
K189 K412
R K
R K
R K
Glikosilasi asam amino diketahui juga memberikan pengaruh pada perubahan antigenic. Posisi glikosilasi asam amino terkait asparagin (N) sangat berpotensi sebagai tempat penempelan oligosakarida. Konsensus glikosilasi menganut pola sekuen N-X-S atau N-X-T dengan N (asparagin), X sebagai asam amino lain dan S/T (serin/treonin) (Spiro, 2002). Penempelan oligosakarida pada asam amino tertentu sangat penting untuk proses pelipatan gen HA untuk berikatan dengan reseptor sel. Terdapat 7-9 glikosilasi ditemukan pada gen HA (Schulze, 1997). Menurut Duvvuri et al. (2009), posisi glikosilasi terletak pada asam amino 11-13, 23-25, 154156, 165-167, 286-288, 484-486 dan 543-545 (nomenklatur H5). Beberapa isolat penelitian mengalami glikosilasi pada posisi 154-156 yaitu isolat dari Waylaga, Muara Enim, Bandar Lampung, Lampung Selatan, Bangka, Kepahyang, Palembang, Ogan Komering Ilir, dan Metro. Isolat Metro mengalami substitusi asam amino pada posisi 484 (N484K). Glikosilasi pada posisi 154156 berdekatan dengan antigenic site dan reseptor binding site (Duvvuri et al., 2009). Glikosilasi pada posisi
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
sebanyak 7,8 dan 4,9 asam amino per 1000 nukleotida pada gen HA (Suarez dan Senne, 2000; Spackman et al., 2003). Menurut Lee dan Saif (2009), tingginya angka perubahan/mutasi akan menyebabkan peningkatan genetic drift. Perubahan ini disebabkan karena banyaknya perubahan nukleotida pada unit HA1. Perubahan yang terjadi disebabkan karena adanya tekanan evolusi sebagai respons virus terhadap aktivitas imunitas hospes (Kovacova et al., 2002).
13
Analisis Molekuler Filogenetik Dan Struktur Antigenic Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Lampung Tahun 2008-2013
ini akan memengaruhi afinitas ikatan pada reseptor dan mekanisme virus AI dalam menghindari respons imun hospes. Hal ini berkaitan dengan adanya penambahan rantai oligosakarida pada posisi 154.
Clade 1
Menurut WHO (2008), virus AI dikelompokkan ke dalam sepuluh clade besar (0-9). Pada clade 2 dibagi menjadi lima subclade (2.1-2.5). Clade 2.1 (2.1.1-2.1.3) berasal dari isolat virus AI unggas dan manusia Indonesia. Clade 2.3 (2.3.1-2.3.4) berasal dari isolat unggas dan manusia yang diisolasi di negara China, Hong Kong, Vietnam, Thailand, Laos dan Malaysia. Clade 2.2 terdiri dari isolat dari berbagai negara yang menyebar akibat penyebaran virus karena perdagangan unggas dan migrasi burung liar. Analisis pohon filogenik pada Gambar 3 menunjukkan bahwa dari semua virus yang dianalisis secara umum membentuk tiga clade besar yaitu clade Indonesia dan Asia Tenggara (clade 2), clade Asia (clade 1) dan clade 0 (A/goose/ Guangdong/96). Sepuluh isolat VAI Lampung berada pada clade 2.1.3 bersama dengan A/Chicken/ Sembawa /BPPV-III/2005 (Acc. No. EU124103), A/Chicken /Indonesia/ Rejang Lebong 1631-22/2006 (Acc. No. EU124204), A/Chicken /Palembang/BPPVIII/2005 (Acc. No. EU124102), A/Chicken /Indonesia /Bangka Seletan1631-20/2006 (Acc. No. EU124202), A/Chicken /Indonesia/Bangka Seletan1631-21/2006 (Acc. No. EU124203), A/Chicken/Indonesia/Belitung Timor 163118/2006 (Acc. No. EU124201) dan A/ Chicken /Way Kanan/BBPVIII/2006 (Acc. No. EU 124086). Tiga virus AI subtipe H5N1 isolat yang menginfeksi unggas air (Trimurjo, Pesawaran, dan Muara Enim) merupakan strain virus yang berbeda dengan virus AI subtipe H5N1 di Indonesia yang telah ditemukan/diisolasi sebelumnya. Tiga isolat VAI tersebut membentuk clade baru yang dekat dengan clade virus unggas asal Vietnam yaitu clade 2.3.2 (Pfeiffer et al., 2009; Wibawa et al., 2012).
Clade 2.1
2.3.2 2.3.2.1 2.3
Gambar 3. Phylogenic tree isolat Lampung 2008-2013. (cetak tebal merupakan isolat penelitian)
Velab
O
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
14
Analisis Molekuler Filogenetik Dan Struktur Antigenic Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Lampung Tahun 2008-2013
Kesimpulan Dari data penelitian dapat diambil kesimpulan terdapat perbedaan genetik antar isolat Lampung dari tahun 2003-2013 ditemukan berkisar antara 1,15-9,06 % dengan tingkat homologi mencapai 90,94-98,85%. Variasi genetik ditemukan di antigenic site dengan adanya substitusi pada posisi 53 (R53K), 126 (D126E), 136 (P136), 138 (H138Q dan H138L), 140 (R140K, R140S dan R140N), 141 (S141P), dan 189 (K189R). Berdasarkan analisis filogenik isolat-isolat Lampung tahun 2008-2011 termasuk ke dalam clade 2.1.3 dan masuk ke dalam grup C berdasarkan sebaran geografiknya dan isolat AI tahun 2012-2013 yang menginfeksi unggas air mempunyai homologi sekitar 98,5-99,1% bila dibandingkan dengan isolat AI yang menginfeksi unggas air asal Jawa dan termasuk ke dalam clade 2.3.2.1.
Ucapan Terima Kasih Ucapan terima kasih ditujukan kepada Program BEP USDA yang telah mendanai penelitian ini dan seluruh staf Laboratorium Bioteknologi Balai Veteriner Lampung dan Laboratorium Bioteknologi PUSVETMA Surabaya atas bantuan dan fasilitas yang telah diberikan selama penelitian.
Daftar Pustaka Air, G.M., Webster, R.G., Colman, P.M., and Laver, W.G. 1987. Distribution of sequence differences in influenza N9 neuraminidase of tern and whale viruses and crystallization of the whale neuraminidase complexed with antibodies. Virology. 160:346-354. Alexander, D.J. 1982. Summary of avian influenza activity in europe, Asia, Africa, and Australia 2002-2006. Avian Diseases. 51:161-166. Cardona, C.J., Z. Xing, C.E. Sandrock, and C.E. Davis. 2009. Avian influenza in birds and mammals. Comparative Immunol. Microbiol. Infect. Diseases. 32:255-273.lliam T. London § d Duvvuri, V.R.S.K.,B. Duvvuri, W.R. Cuff, G.E. Wu, and J. Wu. 2009. Role of positive selection pressure on the evolution of H5N1 hemagglutinin. Genomics Proteomics Bioinformatics. 7:1-10. Guo, Y., M. Wang, Y. Kawaoka, O. Gorman, T. Ito, T. Saito, and R.G. Webster. 1992. Characterization of a new avian-like influenza A virus from horses in China. Virol. 188:245-255. Kovacova, A., G. Ruttkay-Nedecky, I.A. Haverlik, and S. Janecek. 2002. Sequence similarities and evolutionary relationships of influenza virus A hemaglutinins. Virus Genes. 24(1):57-63. Lee, C.W. and Y.M. Saif. 2009. Avian influenza virus. Comparative Immunol. Microbiol and Infect. Diseases. 32:2-5. Lupiani, B. and S.M. Reddy. 2009. Review the history of avian influenza. Comparative Immunol. Microbiol. Infect. Diseases. 32:311-323. Peiris, J.S., M.D. de Jong, and Y. Guam. 2007. Avian influenza virus (H5N1) : A threat to human health. Clin. Microbiol. Rev. 20:243-267.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Berdasarkan lokasi penyebarannya virus AI di Indonesia dimasukkan ke dalam 3 grup yaitu grup A, B, dan C. Grup A mewakili virus yang ada di Jawa, Timor Barat, dan Sulawesi. Grup B mewakili virus Jawa, Bali, Flores, dan Timor Barat. Grup C mewakili virus dari Jawa, Sumatera, dan Bangka (Takano et al., 2009). Virus AI asal Lampung digolongkan pada grup C. Virus tersebut masih mempunyai hubungan dan kedekatan dengan virus AI grup Jawa. Penyebaran virus AI ke Sumatera dan pulau lainnya diakibatkan karena pola transportasi unggas pembawa virus yang tanpa kontrol (Takano et al., 2009). Virus AI subtipe H5N1 isolat Lampung merupakan turunan virus khas Indonesia dapat dipastikan muncul (escape) akibat mutasi dan penyebaran virus lewat transportasi kecuali pada virus AI yang menginfeksi unggas air. Virus Lampung tahun 2012-2013 yang menginfeksi unggas air tampaknya bukan merupakan turunan virus yang ada di Indonesia yang berasal dari clade 2.1 tetapi merupakan virus yang baru diintroduksi ke Indonesia. Introduksi virus AI yang menginfeksi unggas air diakibatkan karena adanya transportasi unggas dari Jawa. Sedangkan introduksi virus AI yang menginfeksi unggas air di Jawa sampai saat ini belum diketahui mekanismenya (Wibawa et al., 2012).
15
Analisis Molekuler Filogenetik Dan Struktur Antigenic Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 Isolat Lampung Tahun 2008-2013
Pfeiffer, J., M. Pantin-Jackwood, T.L. To, T. Nguyen, and D.L. Suarez. 2009. Phylogenetic and biological characterization of highly pathogenic H5N1 avian influenza viruses (Vietnam 2005) in chickens and ducks. Virus Research. 142:108-120. Plotkin, J.B., J. Dushoff, and S.A. Levin. 2002. Hemagglutinin sequence clusters and the antigenic evolution of influenza A virus. PNAS. 99(9):6263-6268. Schulze, I.T. 1997. Effects of glycosylation on the properties and functions of influenza virus hemagglutinin. J. Infect. Diseases. 176 (Suppl 1):24-28.
influenza viruses isolated in Indonesia from 20032007. Virol. 390:13-21. Tamura, K., D. Peterson, N. Peterson, G. Stecher, M. Nei, a n d S . K u m a r. 2 0 1 1 . M E G A 5 : M o l e c u l a r evolutionary genetics analysis using maximum likelihood, evolutionary distance, and maximum parsimony methods. Mol. Biol. Evol. 28(10):27312739. Webster, R.G., V.S. Hinshaw, W.J. Bean, K.L. Van Wyke, J.R. Geraci, S.T. Aubin, and G. Petursson. 1981. Characterization of an influenza A virus from Seals. Virol. 113:712-724. WHO. 2008. Toward a unified nomenclature system for highly pathogenic avian influenza virus (H5N1). Emerg. Infect. Dis. 14(7) : e1.
Smith , G.J.D., T.S.P. Naipospos, T.D. Nguyen, M.D. de Jong, D. Vijaykrishna, T.B. Usman, S.S. Hassan, T.V. Nguyen , T.V. Dao, N.A. Bui, Y.H.C. Leung, C.L. Cheung, J.M. Rayner, J.X. Zhang, L.J. Zhang, L.L.M. Poon, K.S. Li, V.C. Nguyen, T.T. Hien, J. Farrar, R.G. Webster, H. Chen, J.S.M. Peiris, and Y. Guan. 2006. Evolution and adaptation of H5N1 influenza virus in avian and human hosts in Indonesia and Vietnam. Virol. 350:258-268.
Wibawa, H., W.J. Prijono, N.L.P.I. Dharmayanti, S.H. Irianingsih, Y. Miswati, A. Rohmah, E. Andesyha, Romlah, R.S.D. Daulay, dan K. Safitria. 2012. Investigasi wabah penyakit pada itik di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur: Identifikasi sebuah clade baru virus avian influenza subtipe baru di Indonesia. Buletin Lab. Vet. 12(4):2-8.
Spackman, E., D.A. Senne, S. Davison, and D.L. Suarez. 2003. Sequence analysis of recent [7H] avian influenza viruses associated with three different outbreaks in commercial poultry in the United States. J. Virol. 77:13399-133402.
Zhou, N.N., D.A. Senne, J.S. Landgraf, S.L. Swenson, G. Erickson, K. Rossow, L. Liu, K.J. Yoon, S. Krauss, and R.G. Webster. 2000. Emergence of H3N2 reassortant infuenza A viruses in North American pigs. Vet. Microbiol. 74:47-58.
Spiro, R.G. 2002. Protein glycosilation : nature, distribution, enzymatic information and disease implications of glycopeptide bonds. Glycobiol. 4:43-56. Steinhauer, D.A. 1999. Role of hemagglutinin cleavage for the pathogenicity of influenza virus. Virol. 258:120. Suarez, D.L. 2008. Avian Influenza. Blackwell Publishing Blackwell Publishing Professional, Iowa, USA. Suarez, D.L. and D.A. Senne. 2000. Sequence analysis of related low-pathogenic and highly pathogenic H5N2 avian influenza isolates from United States live bird markets and poultry farms from 1983 to 1989. Avian Dis. 44:356-364. Takano, R., C.A. Nidom, M. Kiso, Y. Muramoto, S. Yamada, Y.S. Tagawa, C. Macken, and Y. Kawaoka. 2009. Phylogenetic characterization of H5N1 avian
Velab
O
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
16
Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Rabies Di Pulau Enggano Eva Yulianti 1, Tri Guntoro 2, Fitriyanti 2 1 Laboratorium Bakteriologi, 2 Laboratorium Epidemiologi - Balai Veteriner Lampung email:
[email protected]
Abstrak Pulau Enggano merupakan satu-satunya kecamatan di kabupaten Bengkulu Utara yang sudah bebas rabies. Balai Veteriner Lampung bersama Balai Karantina, Dinas Provinsi dan kabupaten bekerja sama dalam upaya mempertahankan status bebas rabies di pulau Enggano. Dalam upaya mempertahankan status bebas ini, selain data primer berupa hasil pemeriksaan laboratorium oleh Balai Veteriner Lampung, juga diperlukan data sekunder pendukung berupa data studi persepsi pemahaman atau pengetahuan masyarakat di pulau Enggano tentang rabies yang dapat diperoleh melalui metode penyuluhan. Tujuan dari penulisan ini adalah mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit rabies dengan mengukur tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah penyuluhan. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang diisi langsung oleh 111 responden. Dari data yang diperoleh terdapat peningkatan pengetahuan sebesar 19,91 % dengan skoring kualitas rata-rata nilai pengetahuan sesudah penyuluhan adalah baik. Hasil analisis bivariat menunjukan terdapat korelasi penyuluhan terhadap pengetahuan masyarakat tentang penyakit Rabies (p =0,00) dan terdapat perbedaan nyata antara nilai sebelum dan sesudah penyuluhan (p=0,020). Mengingat pentingnya peranan masyarakat dalam mempertahanakan status bebas rabies maka penting kiranya dilakukan penyuluhan pada masyarakat luas lainnya dan kerjasama berbagai pihak. Kata kunci : Penyuluhan, Rabies, Enggano.
Abstract Enggano island is the only districts in North Bengkulu which has free of rabies. DIC Lampung coorperate with agricultural quarantine, department of provincial and district to liberate Enggano island from rabies in 2015. In this liberation effort, besides the primary data of results of laboratory tests by the Disease Investigation Center, also needed the secondary supporting data form the knowledge of Enggano island society about rabies disease that can be obtained through by counseling. The purpose of this paper was to determine the influence of counseling on the level of public knowledge about rabies by measuring the level of knowledge before and after counseling. Data were collected using a questionnaire that is filled directly by 111 respondents. From the data obtained are increased knowledge of 19.91% with a scoring average quality score is a good knowledge after counseling. Results of bivariate analysis showed a correlation extension of public knowledge about the disease Rabies (p = 0.00) and there is a real difference between the values before and after counseling (p = 0.020). Given the importance of the role of society in the eradication of rabies, it is important to do more outreach to the public and cooperation of various parties to make Enggano island still free of rabies. Keywords: Counseling, Rabies, Enggano.
Rabies merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang termasuk dalam famili Rhabdovirus. Meskipun angka kesakitannya relatif rendah, namun tingkat kefatalan dari penyakit ini 100% (Widoyono, 2005). Situasi rabies di Indonesia mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2010, secara nasional telah terjadi 74.858 kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR), 195 diantaranya berakhir dengan kematian (Depkes RI, 2010). Menurut Daryanto dalam Anonim (2014) Penyakit rabies pertama kali menular di Provinsi Bengkulu pada 1972, dan sejak itu setiap tahun selalu ada warga yang
terjangkit akibat gigitan hewan pembawa rabies (HPR). Selama 2006, sebanyak 23 warga Bengkulu terjangkit rabies, sedangkan HPR yang menggigit 162 ekor. Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu merupakan satu-satunya daerah di Provinsi Bengkulu yang aman dari penyakit rabies dan hingga saat ini belum ada warga yang terjangkit penyakit berbahaya itu. Sejalan dengan itu, Guntoro (2014) juga menyebutkan bahwa pulau Enggano adalah daerah yang secara historis bebas rabies. Balai Veteriner Lampung bersama Balai Karantina, Dinas Provinsi dan kabupaten bekerja sama dalam upaya pembebasan rabies di pulau Enggano selama empat tahun terakhir.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Pendahuluan
17
Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Rabies Di Pulau Enggano
Tujuan Tujuan dari penulisan ini adalah mengetahui pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit Rabies di pulau Enggano dengan mengukur tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah penyuluhan.
Materi Dan Metode 1. Desain Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 10 sampai dengan 15 November 2014di Pulau Enggano. Desain penelitian yang digunakan adalah pre-experimental pretest-posttest one group dengan melakukan evaluasi terhadap perubahan tingkat pengetahuan responden sebelum dan setelah mengikuti penyuluhan.
Keterangan:
O¹
O¹ = Nilai pretest
X X = Penyuluhan
O² O² = Nilai posttest
Responden mengisi sendiri kuisioner yang terdiri dari dua puluh pertanyaan tentang Rabies. Pengisian kuisioner dilakukan dua kali yaitu sebelum dan sesudah penyuluhan.
2. Populasi dan Sampel Populasi target adalah seluruh masyarakat di pulau Enggano. Sampel yang diambil adalah 111 responden yang terdiri dari 12 siswa dari SDN 04 Enggano, 6 siswa dari SDN 01 Enggano, 21 siswa dari SDN 02 Enggano, 15
siswa dari SDN 03 Enggano, 26 siswa dari SDN 05 Enggano, 4 siswa SMAN 01 Enggano, dan 27 penduduk di pulau Enggano. Pengambilan sampel siswa Sekolah Dasar dilakukan pada seluruh siswa di kelas V dan VI (total sampling), sementara pada siswa SMA dilakukan pada siswa kelas XI dan XII secara random sistematis dan tokoh masyarakat di pulau Enggano.
3. Alat dan Bahan Metode penyuluhan yang digunakan adalah ceramah dan diskusi dengan menggunakan alat peraga atau media power point dan film mengenai penyakit rabies serta peralatan komputer untuk mengolah data yang ada. Bahan yang digunakan pada studi ini adalah lembar kuesioner yang dikelompokan sebagai berikut: Tabel 1. Pengelompokan soal kuisioner No . Kode Materi pertanyaan
Nomor pertanyaan
1
A
Etiologi Rabies
1,2,3,4
2 3
B C
Ciri Anjing Rabies Sikap Saat Bertemu dengan Anjing
5,6,7,10,13 8,18,19
4 5
D E
Tata Laksana Gigitan Anjing Penyebaran atau Penularan Rabies
9,15,16 11,12,14,17,20
4. Analisis Data Data diperoleh melalui skoring nilai kuisioner pada jumlah jawaban benar dan jawaban salah. Data tingkat pengetahuan sebelum dan setelah penyuluhan dianalisa dengan menggunakan analisis univariat (deskriptif) dan analisis bivariat dengan uji perbandingan rata-rata dua variabel dalam satu group menggunakan paired t-test (uji-t berpasangan).
Hasil Dan Pembahasan Pengumpulan data dilaksanakan dengan mengadakan pretest sebelumnya lalu dilanjutkan dengan penyuluhan tentang penyakit Rabies dan diakhiri dengan posttest. Pretest dan posttest dilakukan dengan menggunakan soal yang sama dan kemudian perbandingan nilai atau skoring dari kedua tes tersebut akan menjadi acuan penilaian pengaruh penyuluhan ini terhadap tingkat pengetahuan masyarakat mengenai topik terkait. Data mengenai pengetahuan responden menggambarkan sejauh mana pengetahuan responden mengenai penyakit rabies ini. Data tersebut disajikan
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Dari data hasil pemeriksaan laboratorium oleh Balai Veteriner Lampung selama tahun 2008-2013 tidak ditemukan hasil positif dari pemeriksaan serologis maupun PCR. Dan di tahun 2015 telah ditetapkan sebagai pulau yang Bebas Rabies. Selain data primer yang dikumpulkan dan juga diperlukan data sekunder pendukung berupa data studi persepsi pemahaman masyarakat di pulau Enggano terhadap Rabies melalui metode penyuluhan. Kegiatan penyuluhan merupakan kegiatan yang cukup menentukan keberhasilan program pemberantasan rabies dan mempertahankan status Bebas Rabies di suatu daerah.
18
Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Rabies Di Pulau Enggano
dalam tabel 1. Jumlah jawaban benar sebelum penyuluhan dinyatakan dengan BR1 dan jawaban salah dengan Sr1. Jumlah jawaban benar sesudah penyuluhan dilnyatakan dengan BR2 dan jawaban salah dengan Sr2. Tabel.2 Skoring pengetahuan responden sebelum penyuluhan dan sesuah penyuluhan SDN4
SDN2
SDN5
%
BR1
170
93
SDN1 Penduduk SMAN1 SDN3
289
417
99
219
334
71,42
SR1 BR2
70 223
30 116
128 405
123 544
34 77
82 277
224 409
28,58 91,33
SR2
17
4
95
36
3
22
66
8,67
Data tersebut kemudian disajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut: Grafik 1. Pengetahuan responden sebelum penyuluhan dan setelah penyuluhan
Menurut Arikunto(2006) dalam Winatapura (2013) kualitas pengetahuan pada masing-masing pengetahuan dapat dilakukan dengan skoring, dimana dikatakan baik jika skor 75%-100%, dikatakan cukup jika skor 55%-74%, dan dikatakan kurang jika skor ≤55%. Dari hasil yang diperoleh, rata-rata pengetahuan sebelum penyuluhan adalah 71,42% yang berarti kualitas pengetahuan adalah cukup. Sesudah dilakukan penyuluhan meningkat menjadi 91,33% yang berarti kualitas pengetahuan adalah baik. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang anatara lain seperti yang ditulis oleh Notoatmojo (2003) dalam Sopiandi (2006) bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi pengetahuan yaitu usia, pendidikan, pekerjaan, informasi, lingkungan, dan pengalaman. Peningkatan pengetahuan merupakan salah satu indikasi efektifnya penyuluhan yang dilakukan (Kartasaputra 1991). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa penyuluhan rabies yang dilakukuan terbukti efektif bagi responden karena telah terjadi peningkatan pengetahuan responden. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji statistik bivariat menggunakan uji t berpasangan (paired t-test). Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, didapatkan hasil sebagai berikut: Tabel 4. Korelasi data sebelum dan sesudah penyuluhan
Pengukuran pengetahuan dapat diketahui dengan cara orang yang bersangkutan mengungkapkan hal-hal yang diketahuinya dalam bentuk jawaban lisan maupun tulisan (Notoatmojo,2003) dalam Sopiandi (2006).
Pair 1
BR1 & BR2
Correlation
Sig.
7
990
.000
Tabel diatas untuk melihat korelasi antara data sebelum dan sesudah penyuluhan dimana dengan nilai p (0.00) ≤0.05 maka terdapat korelasi antara nilai sebelum sesudah penyuluhan. Berdasarkan hasil ini dapat diartikan bahwa ada pengaruh penyuluhan terhadap pretest dan posttest. Hal tersebut sesuai yang dituliskan Kartasaputra tahun 1991 dalam Astuti (2009) bahwa efektivitas penyuluhan dapat mencapai efisiensi dalam mewujudkan perubahan-perubahan pada perilaku dan tingkat pengetahuan bagi peserta penyuluhan agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Efektivitas penyuluhan yang telah dilakukan didukung oleh beberapa faktor pendukung, antara lain metode penyuluhan, media penyuluhan, materi penyuluhan serta tempat dan waktu penyuluhan (Setiana 2005).
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Berdasarkan hasil dari skoring kuisioner di tabel 2 dapat dilihat bahwa prosentase jawaban benar sebelum dilakukan penyuluhan adalah sebesar 71,42% dan sesudah dilakukan penyuluhan menjadi 91,33%. Artinya terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 19,91%. Begitu pula terjadi perubahan tingkat pengetahuan setelah dilakukan penyuluhan menjadi lebih kecil prosentase jawaban salah yaitu dari 28,58 % menjadi 8,67%. Perubahan jumlah ini menunjukkan terjadinya peningkatan pengetahuan responden yang dapat diartikan bahwa penyuluhan yang dilakukan telah menambah pengetahuan mengenai penyakit Rabies pada responden.
N
19
Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Rabies Di Pulau Enggano
Tabel 5. Hasil Uji paired t-test
Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Deviation
Std. Error Mean
Lower
Upper
t
df
Sig. (2-tailed)
- 6.14286E1
51.61026
19.50685
- 109.16010
- 13.69704
- 3.149
6
.020
Dari uji t-test berpasangan, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan nyata antara nilai sebelum penyuluhan dan sesudah penyuluhan (p=0.020). Peningkatan terjadi sebesar 19,91%. Seperti keterangan sebelumnya bahwa skor kualitas pengetahuan masyarakat tentang penyakit Rabies di pulau Enggano tersebut meningkat dari cukup menjadi baik setelah penyuluhan. Penyuluhan merupakan cara penyampaian informasi yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan. Penyuluhan-penyuluhan tentang penyakit Rabies di pulau Enggano sebelumnya baik yang dilakukan oleh tenaga-tenaga penyuluh berkompeten dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi maupun kabupaten di Bengkulu serta Bvet lampung sudah terekam baik dan menjadi pengetahuan untuk masyarakat di pulau Enggano tersebut.
Kesimpulan Dan Saran 1. Kesimpulan a. Terjadi peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit Rabies setelah penyuluhan sebesar 19,91%. b. Terdapat pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit Rabies (p=0,00) c. Nilai sebelum dan sesudah penyuluhan berbeda nyata (p=0,020) d. Kualitas pengetahuan masyarakat di pulau Enggano tentang penyakit rabies sudah penyuluhan meningkat dari cukup menjadi baik.
2. Saran a. Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil pengumpulan data ini diharapkan dapat menjadi masukan pada bidang ilmu pengetahuan tentang pentingnya meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit Rabies.
b. Bagi Masyarakat Enggano Diharapkan kepada seluruh masyarakat yang telah menerima pengetahuan tentang Rabies dapat mengaplikasikan pengetahuan tersebut secara benar dan tepat dan memberikan informasi kepada masyarakat sekitarnya. c. Bagi Bvet Diharapkan untuk terus aktif melakukan monitoring dan surveilans penyakit rabies untuk pembebasan wilayah-wilayah lainnya d. Bagi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten Diharapkan untuk terus melakukan kegiatan pencegahan, pemberantasan, dan penyuluhanpenyuluhan di wilayah masing-masing untuk mendukung Indonesia bebas rabies e. Bagi penelitian Selanjutnya Diharapkan bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam tentang pengetahuan rabies ini baik dengan jumlah sampel yang lebih luas maupun dengan penegembangan metode-metode lainya yang lebih menekankan pada tingkat aplikasi dalam memahami dari penyuluhan yang telah diterima.
Keterbatasan atau Limitasi Keterbatasan yang dapat diidentifikasi antara lain: a. Pengalaman penulis sangat kurang sehingga memiliki keterbatasan dalam menganalisa hasil pengumpulan data b. Waktu, tenaga, dan biaya yang mengakibatkan pengumpulan data sangat sederhana dan memungkinkan terjadi kesalahan
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Pair 1 BR1 - BR2
Mean
20
Pengaruh Penyuluhan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Rabies Di Pulau Enggano
Daftar Pustaka Anonimus. 2014. Pulau Enggano Bengkulu Bebas Rabies. http://www.antaranews.com/print/47223/pulau-engganobengkulu-aman-rabies . Diakses pada 27 Juni 2015 Anggarsari, Lesty. 2010. Makalah Penyuluhan rabies.http://www.academia.edu/8751050/Makalah_Penyuluhan _Rabies. Diakses pada 27 Juni 2015 Astuti, Andy tri J.E. 2009. Pengaruh Penyuluhan terhadap Tingkat Pengetahuan tentang penyakit Rabies pada siswa sekolah dasar di provinsi Sumatra Barat. Skripsi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. Depkes, 2010. Kejadian Luar Biasa Rabies (Online). http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1401bali-nias-dan-maluku-tenggara-barat-terjadi-klb-rabies.html. Diakses pada 27 Juni 2015 G u n to ro , Tr i . 2 0 1 4 . P u l a u E n g g a n o S i a p B e b a s R a b i e s . http://bvetlampung.com/pulau-enggano-siap-bebas-rabies/. Diakses pada 27 Juni 2015 Setiana Lucie. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia. Sopiandi, Yopi. 2006. Bab II. http://www.academia.edu/4498522/BAB.II. Diakses pada 5 September 2015 Tanzil, Kunadi. 2014. Penyakit Rabies dan Tata Pelaksanaannya. EJournal WIDYA Kesehatan dan Lingkungan. ISSN 2338-7793 Widiono. 2005. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga Winatapura, Asri Mulia. 2013. Pengetahuan. http://www.chy.asri.blogspot.co.id/2013/05/pengetahuan.html. Diakses pada 5 September 2015
Velab
O
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
21
Teknik Elisa Untuk Mendeteksi Secara Serologis Penyakit Sistiserkus Di Provinsi Lampung Sulinawati 1 dan Rismayani Saridewi 2
1 Laboratorium Parasitologi, 2 Laboratorium Kesmavet - Balai Veteriner Lampung email:
[email protected]
Abstrak Pemeriksaan sistiserkus secara ELISA dari ternak babi dilakukan untuk mengetahui kejadian Sistiserkosis di Provinsi Lampung. Sampel berasal dari Kota Bandar Lampung sebanyak 14, Kabupaten Way Kanan sebanyak 31 sampel, Kabupaten Lampung Timur (Raman Utara) sebanyak 5 sampel; Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 2 sampel, dan Kabupaten Lampung Timur (Sekampung Udik) 16 sampel. Metode pengujian ini dilakukan secara serologis yaitu menggunakan kit ELISA komersial. Hasil yang diperoleh adalah ditemukan 1 sampel positif dari 68 sampel yang diuji Sistiserkosis. Sampel positif berasal dari Kabupaten Way Kanan. Kata kunci : babi, ELISA, sistiserkosis
Abstract Cycticercosis ELISA test for pig was conducted to determine teh incidence of cycticercosis in Lampung province. Bandar Lampung collect 14 samples, Way Kanan collect 31 samples, East Lampung (North Raman) collect 5 samples, South Lampung collect 2 samples, and East Lampung (Sekampung Udik) collect 16 samples. This examination within commercial ELISA. The results show that 1 positive and 67 negative samples. The positive one is from Way Kanan. Keywords : cyscticercoisis, ELISA, pig
Sistiserkosis atau penyakit yang disebabkan oleh Sistiserkus merupakan infeksi yang sering ditemukan pada babi dan manusia terutama di negara berkembang. Penyebaran sistiserkus pada manusia dipengaruhi oleh kontak antara babi dan feses manusia dan tidak adanya pemeriksaan kesehatan daging saat penyembelihan, serta mengkonsumsi daging mentah atau setengah matang (Gomes et al . 2007). Penyebaran penyakit ini luas sebab Taenia spp. sebagai induknya dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan ribu telur setiap hari yang tersebar oleh air hujan ke lingkungan bahkan pada lokasi yang jauh dari tempat pelepasan telur. Diagnosis sistiserkosis sangat sulit dilakukan pada hewan hidup. Pada hewan kecil, diagnosis dilakukan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat adanya kista yang sudah mengalami kalsifikasi, sedangkan, pada hewan besar biasanya dilakukan secara post mortem dengan melakukan pemeriksaan daging. Meskipun diagnosis sistiserkosis bisa dilakukan dengan cara palpasi pada lidah hewan dan telah dilaporkan sangat spesifik, tetapi sensitivitasnya sedang, terutama pada hewan yang infeksinya ringan (Gonzalez et al. 1990).
Balai Veteriner Lampung mempunyai tupoksi salah satunya adalah melakukan survei terhada penyakit zoonosis. Ada beberapa pengujian berbasis zoonosis yang telah dilakukan oleh Balai Veteriner Lampung, akan tetapi untuk kasus Sistiserkosis belum pernah ada data yang diperoleh terutama di Provinsi Lampung. Oleh sebab itu, Laboratorium Kesehatan Masyarakat V e t e r i n e r b e k e r j a s a m a d e n g a n L a b o ra t o r i u m Parasitologi melakukan pengujian sistiserkosis dengan metode serologis (ELISA).
Tujuan Melakukan uji serologis dari beberapa sampel di beberapa ternak Babi di Provinsi Lampung
Materi dan Metode Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung mikro, spuit 5 ml, sentrifus, pipet mikro, tip mikro, inkubator, dan ELISA reader (spektrofotometer). Bahan yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari Kit ELISA apDia Cysticercosis Antigen® dan serum babi sebanyak 68 sampel.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Pendahuluan
22
Teknik Elisa Untuk Mendeteksi Secara Serologis Penyakit Sistiserkus Di Provinsi Lampung
Pre-treatment sampel/control Ditambahkan 150 ul TCA dan 150 ul sampel/kontrol dalam tabung ependorf dan dicampur dengan vortex. Lalu diinkubasi 5-20 menit pada suhu ruang dan disentrifus selama 5-9 menit pada 12000 g serta dipindahkan supernatan (150 ul) ke dalam tabung baru berisi 150 ul buffer netralisasi.
Pengujian Sampel Dimasukan 100 ul pre-treated sampel/kontrol dalam tiap sumuran (duplo). Untuk tiap pengujian dimasukan juga sumuran berisi 1 control (+) dan 1 control negative. Diinkubasi 15 menit pada 37oC sambil digoyang 700-800 rpm, dan microplate dicuci dengan 300 µl larutan pencuci (5x), lalu dikeringkan dengan tissue/kertas saring. Selanjutnya ditambahkan 100 µl konjugat ke dalam setiap sumuran. Lalu dinkubasikan 15 menit pada 37oC sambil digoyang 700-800 rpm. Mikroplate dicuci dengan 300 ul larutan pencuci (5x), lalu keringkan dengan tissue/kertas saring dan ditambahkan 100 ul larutan kromogen ke dalam setiap sumuran. Diinkubasi 15 menit pada suhu kamar dalam keadaan gelap. Setelah diinkubasi, reaksi dihentikan dengan penambahan 50 ul stop solution. Kemudian ukur absorbansi (Optical Density/OD) dengan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm, dengan referensi 600-650 nm dalam waktu 15 menit setelah reaksi dihentikan.
Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif.
Hasil Dan Pembahasan Hasil Hasil Serologis Pengujian Sistiserkosis Positif
Negatif
30 16
14 0 Bandar Lampung
1 Way Kanan
0
5
Raman Utara, Lampung Timur
0
2
Lampung Selatan
0 Sekampung Udik, Lampung Timur
Serum babi yang diuji sebanyak 68 sampel diperoleh satu sampel seropositif dan 67 sampel negatif. Sampel positif berasal dari Kabupaten Way Kanan. Hasil uji tampak pada Gambar 1.
Pembahasan Sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari salah satu spesies cacing Taenia. Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taenia dewasa. Taeniasis dan sistiserkosis dapat terjadi akibat pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan, pengolahan makanan yang kurang matang, sanitasi lingkungan yang kurang baik, defekasi yang tidak dilakukan pada tempatnya, dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan lingkungan. Taeniasis tersebar di seluruh dunia dan sering dijumpai pada orang-orang yang selalu mengonsumsi daging sapi atau daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Kondisi kebersihan lingkungan yang kurang baik akibat belum adanya kesadaran masyarakat untuk melakukan defekasi pada tempatnya, dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan sapi dan babi, sehingga terjadi taeniasis dan sistiserkosis. Daerah yang endemik untuk kedua penyakit ini adalah Sumatera Utara, Papua dan Bali (Ito et al. 2002; 2003; 2004; Margono et al. 2001; Simanjuntak et al. 1997). Sistiserkosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium (cacing pita pada babi) dan Taenia saginata (cacing pita pada sapi). Nama lain dari larva adalah metacestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae dan Cysticercus bovis. Sampai saat ini sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara berkembang. Infeksi sistiserkosis pada babi di Papua dilaporkan 70.4% positif T. solium secara serologis (seropositif), dan dinyatakan bahwa babi tersebut telah terinfeksi oleh metasestoda dari T. solium (Subahar et al. 2001), demikian juga 10.9% anjing lokal dinyatakan seropositif terhadap sistiserkus dari T. solium (Suroso et al. 2006). Infeksi sistiserkosis pada babi tertinggi terjadi di provinsi Bali dan Papua. Provinsi Papua dilaporkan 70.4% (50 positif dari 71 sampel uji) babi positif T. solium secara serologis (seropositif), dan dinyatakan bahwa babi tersebut telah terinfeksi oleh metasestoda dari T. solium (Subahar et al. 2001), demikian juga 10.9% (7
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Cara Kerja
23
Teknik Elisa Untuk Mendeteksi Secara Serologis Penyakit Sistiserkus Di Provinsi Lampung
Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi pada lidah babi atau sapi dengan melakukan palpasi akan teraba benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau intramuskular (Gambar 2). Palpasi adalah merupakan satu-satunya cara deteksi ante mortem pada hewan yang diduga terinfeksi sistiserkosis di daerah endemis pada negara yang berkembang (Gonzalez et al. 2001). Diagnosis secara serologis digunakan juga untuk mendeteksi sistiserkosis pada ternak dan ELISA merupakan uji yang paling banyak digunakan (Cho et al. 1992; Yong et al. 1993). Dharmawan (1995) melaporkan bahwa dari 420 sampel serum babi yang diperiksa dengan ELISA, 47 ekor babi (11.2%) menunjukkan seropositif terhadap sistiserkosis dan dari 210 sampel serum sapi, 11 ekor sapi (5.23%) menunjukkan seropositif terhadap sistiserkosis. Uji ELISA sangat spesifik untuk mendeteksi antibodi sistiserkosis pada manusia dan babi (ItoO et al. 1999). Kit ELISA apDia Cysticercosis Antigen® melakukan Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Sandwich menggunakan antibodi monoklonal untuk mendeteksi secara kualitatif keberadaan metacestoda (sistiserkus) hidup/viable dari Taenia spp dalam sampel serum manusia dan babi. Hanya mendeteksi sistiserkus yang hidup, sedangkan sistiserkus yang telah mengalami kalsifikasi tidak terdeteksi. Prinsip Dasar Uji Ag ELISA adalah antibodi monoklonal (B158C11A10) yang dicoatingkan pada microplate akan menangkap antigen ES yang bersirkulasi dalam sampel serum dan kontrol. Antibodi Antigen kompleks tersebut akan dideteksi dengan antibodi monoclonal (B60H8A4) yang dikonjugasi dengan enzim peroksidase. Setelah konjugat yang terikat dibersihkan, microplate diinkubasikan dengan larutan kromogen (tetramethylbenzidin dan H2O2).
Gejala klinis yang ditimbulkan sistiserkosis pada manusia adalah infeksi jaringan dalam bentuk larva Taenia (sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium (cacing pita babi) (Wandra et al. 2003). Cacing pita babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan cacing pita sapi tidak dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia (Grove 1990). Kemampuan Taenia asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis belum diketahui secara pasti (Simanjuntak dan Mangara 2010). Terdapat dugaan bahwa Taenia asiatica merupakan penyebab sistiserkosis di Asia (Simanjuntak dan Mangara 2010). Pencegahan penyakit dilakukan dengan menghilangkan sumber infeksi melalui pemberian obat pada penderita taeniasis dan menghilangkan kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentah. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan atau petugas kesehatan hewan di Rumah Potong Hewan (RPH) perlu dilakukan, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat. Selain itu, ternak sapi atau babi dipelihara pada tempat yang tidak tercemar atau dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Diagnosis secara serologik dengan ELISA dapat diterapkan untuk hewan maupun manusia. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita Taeniasis dan menghilangkan kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentah. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan atau mantri hewan di Rumah Potong Hewan (RPH) perlu dilakukan, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat.
Saran Perlu dilakukan serosuveilans lanjutan terhadap Sistiserkosis dan tidak hanya di Provinsi Lampung, tetapi diupayakan juga di wilayah regional BVet Lampung lainnya yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka Belitung.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
positif dari 64 sampel uji) anjing lokal dinyatakan seropositif terhadap sistiserkus dari T. solium (Surosos et al. 2006). Pada umumnya, T. solium jarang ditemukan di daerah yang berpenduduk muslim karena tidak memakan daging babi. Akan tetapi, di beberapa daerah seperti Papua dan Timor merupakan problem kesehatan masyarakat, karena penduduknya masih mengkonsumsi daging babi yang tercemar sistiserkus.
24
Teknik Elisa Untuk Mendeteksi Secara Serologis Penyakit Sistiserkus Di Provinsi Lampung
Gomes, A. B. K. A. Soares, E. C. Bueno, N. M. Espindola, A. A. Maia, R. H. Peralta, A. J. Vaz. 2007. Comparative Evaluation of Different Immunoassays for the Detection of Taenia solium Cysticercosis in Swine with Low Parasite Burden. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Jaineiro 102 (6): 725-731. SUBAHAR, R., A. HAMID and W. PURBA. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: A pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans. of the Royal Society of Trop. Med. And Hygiene 95: 388–390. SUROSO, T., S.S. MARGONO, T. WANDRA dan A. ITO. 2006. Challenges for control of taeniasis/cysticercosis in Indonesia. Parasitol. Int. 55 Suppl. S161 – 165. GONZALEZ, A.E., C. GAVIDIA, N. FALCON, T. BERNAL, M. VERASTEQUI, H.H. GARCIA, R.H. GILMAN and V.C.W. TSANG. 2001. Protection of pigs with cysticercosis from further infections after treatment with oxfendazole. Am. J. Trop. Med. Hygiene 65: 15 – 18. GONZALEZ, A.E., V. CAMA, R.H. GILMAN, V.C.W. TSANG, J.B. PILCHER, A. CHAVERA, M. CASTRO, T. MONTENEGRO, M. VIRASTEQUI, E. MIRANDA and H. BAZALAR. 1990. Prevalence and comparison of serologic assays, necropsy and tongue examination for the diagnosis of porcine cysticercosis in Peru. Am. J. Trop. Med. Hygiene 43: 194 – 199. SATO, M.O., H. YAMASAKI, Y. SAKO, M. NAKAO, K. NAKAYA, A. PLANCARTE, A.A. KASSUKU, P. DORNY, S. GEERTS, W. BENITEZ-ORTIZ, Y. HASHIG-UCHI and A. ITO. 2003. Evaluation of tongue inspection and serology for diagnosis of Taenia solium cysticercosis in swine: usefulness of ELISA using purified glycoproteins and recombinant antigen. Vet. Parasitol. 111: 309–322. CHO, S.Y., Y. KONG, S.I. KIM and S.Y. KANG. 1992. Measurement of 150 kDa protein of Taenia solium metacestoda by enzyme-linked immunoelectrotransfer blot technique. Korean J. Parasitol. 30(4): 299 – 307. YONG, T.S., I.S. YEO, J.H. SEO, J.K. CHANG, J.S. LEE, T.S. KIM and G.H. JEONG. 1993. Serodiagnosis of cysticercosis by ELISA- inhibition test using monoclonal antibodies. Korean J. Parasitol. 31(2): 149 – 156. DHARMAWAN, N.S. 1995. Deteksi sistiserkosis Taenia saginata pada babi dan sapi di Bali dengan ELISA. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua, Bogor. 7 – 8 Nopember 1995. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 945–950.
ITO, A., A. PLANCARTE, M. NAKAO, K. NAKAYA, T. IKEJIMA, Z.X. PIAO, T. KANAZAWA and S.S. MARGONO. 1999. ELISA and immunoblot using purified glycoproteins for serodiagnosis of cysticercosis in pigs naturally infected with T. solium. J. Helmithol. 73:363–365. ITO, A., M.I. PUTRA, R. SUBAHAR, M.O. SATO, M. OKAMOTO, Y. SAKO, M. NAKAO, H. YAMASAKI, K. NAKAYA, P.S. CRAIG and S.S. MARGONO. 2002b. Dogs as alternative intermediate hosts of Taenia solium in Papua (Irian Jaya), Indonesia confirmed by highly specific ELISA and immunoblot using native and recombinant antigens and mitocondrial DNA analysis. J. Helminthol. 76:311–314. Grove DI. 1990. A History of Human Helminthology. United Kingdom: CAB International. Ito A, Putra MI, Subahar R, Sato MO, Okamoto M, Sako Y, Nakao M, Yamasaki H, Nakaya K, Craig PS, Margono SS. 2002. Dogs as alternative intermediate hosts of Taenia solium in Papua (Irian Jaya), Indonesia confirmed by highly specific ELISA and immunoblot using native and recombinant antigens and mitocondrial DNA analysis. J Helminthol. 76:311-314. Ito A, Nakao M, Wandra T. 2003. Human taeniasis and cysticercosis in Asia. Lancet. 362:1918-1920. Ito A, Wandra T, Yamasaki H, Nakao M, Sako Y, Nakaya K, Margono SS, Surosso T, Gauci C, Dightowlers MW. 2004. Cysticercosis/taeniasis in Asia and the Pasific. Vector Borne Zoonotic Dis. 4:95-107. Margono SS, Subahar R, Hamid A, Wandra T, Sudewi SSR, Sutisna P, Ito A. 2001. Cysticercosis in Indonesia: Epidemiological aspects. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 32:79-84. Simanjuntak GM, Margono SS, Okamoto M, Ito A. 1997. Taeniasis/cysticercosis in Indonesia as an emerging disease. Parasitol. 13:321-323. Simanjuntak G, Mangara. 2010. Studi taeniasis/cysticercosis di kabupaten Jayawijaya propinsi Irian Jaya (Pdf). Badan Litbang Kesehatan. Subahar R, Hamid A, Purba W. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: A pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans of the Royal Society of Trop Med and Hygiene. 95:388-390. Suroso T, Margono SS, Wandra T, Ito A. 2006. Challenges for control of taeniasis/cysticercosis in Indonesia. Parasitol Int Suppl. 161-165. Wandra T, Ito A, Yamasaki H, Suroso T, Margono SS. 2003. Taenia solium cysticercosis, Irian Jaya, Indonesia. J Emerg Infect Dis. 9(7):884-885.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Daftar Pustaka
25
Isolasi Jamur Yang Mengkontaminasi Sampel Pakan Di Wilayah Balai Veteriner Lampung Tahun 2014 Arie Khoiriyah 1 dan Eva Yulianti 1 1 Laboratorium Bakteriologi - Balai Veteriner Lampung Email:
[email protected]
Abstrak Iklim tropis dan kelembaban di Indonesia sangat mendukung tumbuhnya jamur, sehingga pakan yang disimpan tidak sempurna dapat terkontaminasi jamur Survailans yang dilakukan oleh Balai Veteriner Lampung tahun 2014 telah memeriksa sebanyak 18 sampel dari berbagai jenis pakan ternak yang berasal dari berbagai daerah. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengisolasi jenis jamur yang mengkontaminasi pakan ternak di Balai Veteriner Lampung pada tahun 2014. Isolasi dan identifikasi jamur dilakukan dengan metode kultur dan pewarnaan untuk melihat morfologinya. Hasil pengujian menunjukkan jamur jenis Aspergillus sering ditemukan pada pakan ternak. Kata kunci : pakan ternak, kontaminasi, jamur
Abstract The tropical climate and humidity in Indonesia strongly supports the growth of mold, so that the feed is stored can become contaminated imperfect fungi. Survailance was done by DIC Lampung during 2014, has examined of 18 samples of animal feed derived from many district and area. The purpose of this test was to determine the type of fungus that contaminated animal feed in DIC Lampung in 2014. The test results showed the fungus Aspergillus species often found in animal feed. Keywords: animal feed, contamination, mold
Kualitas sumberdaya manusia suatu bangsa dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah nilai gizi terutama kecukupan protein hewani . Dalam hal ini ternak memiliki andil penting untuk pemenuhan kecukupan protein hewani tersebut (Agustar, 2004). Untuk memenuhi kecukupan protein hewani tersebut, Presiden RI pada tanggat 11 Juni 2005 telah mencanangkan program kecukupan daging 2010, dimana pada tahun tersebut diharapkan Indonesia telah mampu meningkatkan populasi ternak untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat tanpa mengimpor daging . Untuk menunjang terlaksananya program kecukupan daging tersebut, kesehatan pakan memegang peranan yang sangat penting, karena daging yang diharapkan untuk memenuhi kecukupan protein adalah daging yang sehat yang berasal dari ternak yang sehat, hal ini akan diperoleh apabila ternak mengkonsumsi pakan yang sehat . Pakan yang sehat selain mengandung nilai gizi yang lengkap, juga tidak menghasilkan toksin yang
disebut dengan mikotoksin. Salah satu jenis toksin yang tergolong mikotoksin adalah aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (Pitt et al ., 1996). Di negara tropis seperti Indonesia, kontaminasi mikotoksin sangat sulit untuk dihindari karena kondisi iklim dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin. Indonesia beresiko tinggi terhadap ancaman mikotoksin karena metabolit sekunder jamur ini diproduksi pada kondisi lingkungan yang lembab (kelembaban di atas 70%) dan suhu antara 4-40°C (optimal 25-32°C). Selain itu, bahan pakan dengan kadar air di atas 15% dan banyaknya porsi broken seed (biji pecah) sangat potensial untuk ditumbuhi jamur (Reddy dan Waliyar, 2008). Aflatoksin bersifat toksik pada manusia dan hewan, pada ternak ruminansia cemaran aflatoksin ditandai dengan turunnya kecepatan pertumbuhan turunnya produktivitas (susu) turunnya kekebalan tubuh . Turunnya kecepatan pertumbuhan berkaitan dengan aflatoksikosis kronis pada ternak . Juga kerusakan hati
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Pendahuluan
26
Isolasi Jamur Yang Mengkontaminasi Sampel Pakan Di Balai Veteriner Tahun 2014
berwarna pucat dan empedu membesar. Bahaya yang lebih besar adalah terhadap manusia yang mengkonsumsi daging, ataupun susu ternak yang pakannya tercemar aflatoksin yaitu menyebabkan toksigenik (keracunan), mutagenik (mutasi gen), teratogenik (menghambat pertumbuhan janin) dan karsinogenik (kanker pada jaringan) terutama kanker hati, yang ditandai dengan terjadinya pembesaran yang mencolok, pucat dan berlemak (Makfoeld, 1993 ; Bahri et al., 2003). Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui jenis jamur yang mengkontaminasi pakan di wilayah kerja Balai Veteriner Lampung Tahun 2014.
Pembuatan larutan NaCl Fisiologis 0,85%
Materi dan Metode
Serbuk NaCl ditimbang sebanyak 0,85 gram dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer lalu ditambahkan aquadest sebanyak 100 ml. Larutan dihomogenkan dengan bantuan pengadukan. pH larutan dicek sesuai petunjuk media (pH = netral) pada suhu 25 0 C. Pengecekan suhu larutan dilakukan saat pengecekan pH NaCl. Penambahan NaOH 0,01N atau HCl 0,01N dilakukan jika pH larutan kurang basa atau pH larutan kurang asam. Larutan kemudian dibagi ke dalam tabung reaksi dengan volume 9 ml dan ditutup rapat dan disterilisasi ± 1210C (1 atm) selama ± 15 menit. Larutan 0 dikeluarkan dari autoklaf saat suhu rendah (20 C) dan tekanan telah turun (dilihat indikator autoklaf).
Materi
Cara Kerja Kultur Jamur
Materi yang digunakan berupa pakan ternak yang berasal dari sampel aktif dan pasif selama tahun 2014. Uji kultur jamur menggunakan media agar Saboraud Dextrose Agar (SDA) yang mengandung antibiotik Penisillin dan Streptomisin.
Sebanyak 1 gram pakan ditimbang dan disiapkan tabung reaksi yang telah berisi larutan NaCl Fisologis 0,85% sebanyak 3 tabung. Sampel pakan yang telah ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi larutan NaCl Fisiologis 0,85% sebanyak 9 ml. Suspensi dicampur dengan bantuan vortex dan dilakukan pengenceran sebanyak 2 kali dengan cara sampel dari tabung reaksi pertama dipindahkan sebanyak 1 ml pada tabung reaksi kedua, dst.
Cara Pembuatan Media SDA (Saboraud Dextrose Agar) Serbuk media SDA (Saboraud Dextrose Agar) ditimbang sebanyak 1,560 gram dan dimasukkan ke erlenmeyer lalu ditambahkan aquades sebanyak 24 ml. Larutan dihomogenkan dengan bantuan pemanasan dan pengadukan. Pelarutan tidak boleh sampai mendidih (pelarutan harus sempurna sehingga tidak ada kristal yang tersisa). pH larutan dicek sesuai petunjuk media 0 (pH = 5,6 ± 0,2) pada suhu 25 C. Pengecekan suhu larutan dilakukan saat pengecekan pH media. Penambahan NaOH 0,01N atau HCl 0,01N dilakukan jika pH larutan kurang basa atau pH larutan kurang asam. Larutan disterilisasi ± 121 0 C (1 atm) selama ± 15 menit. Penambahan antibiotik penisillin dan streptomisin dilakukan pada saat suhu larutan ± 500C sebanyak 20 100 mg (sebelumnya antibiotik Penisillin dan streptomisin 20 -100 mg telah dilarutkan dengan 10 ml aquades, dan tiap 100 ml SDA masing – masing 0,1 ml suspensi Penisillin dan streptomisin). Larutan dituang ke petri disk steril yang telah disediakan. Media pada petri disk dibiarkan membeku dengan sempurna. Media 0 dimasukkan ke inkubator (± 37 C) selama ± 24 jam untuk uji kualitas media, dengan posisi petri disk terbalik.
Suspensi sampel diambil sebanyak 1 ml larutan pakan yang telah tercampur dengan NaCl Fisiologis pada tabung ke-3 dan diteteskan ke dalam media SDA. Ose bengkok digunakan untuk meratakan suspensi di cawan petri. Cawan petri ditutup dengan mengisolasi sekeliling tutup cawan petri. Cawan petri yang telah ditanam sampel dimasukkan ke dalam inkubator (± 370C) selama ± 1 - 7 hari. Pertumbuhan jamur diamati setiap hari.
Pewarnaan Lactophenol Cotton Blue Pewarnaan Lactophenol cotton blue dilakukan untuk melihat struktur jamur secara mikroskopis. Sebanyak dua atau lebih koloni yang tampak berbeda diambil dan diletakkan di atas objek glass. Bagian koloni yang diambil adalah bagian tepi koloni yang sudah berwarna hitam. Selanjutnya objek glass ditetesi larutan Lactophenol Cotton Blue sebanyak satu tetes. Objek gelas ditutup dengan copper glass dan diberi vaselin disekelilingnya. Prosedur diatas diulangi untuk koloni yang lainnya. Preparat diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100x atau 400x.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Metode
27
Isolasi Jamur Yang Mengkontaminasi Sampel Pakan Di Balai Veteriner Tahun 2014
Hasil dan Pembahasan Hasil pembiakan pada media perbenihan Sabouraud's Dextrose Agar (SDA) menunjukkan sampel yang berhasil diisolasi adalah Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus dan Aspergillus niger. Dari 18 sampel pakan yang diperiksa menunjukkan positif adanya pertumbuhan A. fumigatus sebanyak 4 sampel, A flavus 4 sampel dan A. niger sebanyak 4 sampel baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dan positif Candida sp sebanyak 1 sampel dapat dilihat pada Tabel 1.
mikroskopis dengan melihat morfologi phialidnya, yaitu yang mempunyai tipe dimorfik phialid atau monomorfik atau keduanya. Gambar 1. Biakan Aspergillus flavus di media SDA
Tabel 1. Hasil pengujian kultur jamur pada sampel pakan di Balai Veteriner Lampung tahun 2014 Jenis sampel
Provinsi Lampung Bandarlampung Pakan Dedak Lampung Tengah Kulit singkong Pakan Lampung Timur Pakan Provinsi Sumatera Selatan Pakan jagung (layer) Pakan Jagung kasar (sapi) Gaplek Banyuasin Konsentrat pakan jadi (Sapi) CGF (Corn Gluten Feed) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Bangka selatan Pakan Provinsi Jawa Barat Bekasi Tepung Tulang
Jumlah sampel Hasil uji
5 1 1 1 1 1 1 1 1
negatif Aspergillus flavus Aspergillus fumigatus Candida sp Aspergillus flavus
Gambar 2. Gambaran mikroskopik Aspegillus flavus
Aspergillus fumigatus, A. flavus, A. niger Aspergillus fumigatus, A. flavus, A. niger Aspergillus niger Aspergillus niger, A. flavus
1
Aspergillus fumigatus
3
Negatif
1
negatif
Keberadaan kapang Aspergillus pada pakan memungkinkan karena komposisi pakan biasanya mengandung gaplek, dedak dan biji-bijian seperti jagung, yang mana bahan-bahan tersebut merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kapang Aspergillus. Seperti yang dilaporkan Handajani dan Purwoko (2008) A. flavus biasanya mengkontaminasi jagung dan kacang tanah. Selain dilihat dari sifat warna biakannya, identifikasi spesies dilihat dari morfologi mikroskopisnya dengan menggunakan zat warna Lactophenol Cotton Blue. Secara mikroskopis Aspergillus mempunyai ciri-ciri hifanya bersepta, konidiofor panjang dan lurus, terdapat vesikel, phialid dan konidia (Larone, 1987). Identifikasi spesies pada masing-masing biakan berdasarkan pemeriksaan
Gambar 3. Biakan Aspergillus fumigatus di media SDA
Gambar 4. Gambaran mikroskopik Aspegillus fumigatus
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Kabupaten/Kota
28
Isolasi Jamur Yang Mengkontaminasi Sampel Pakan Di Balai Veteriner Tahun 2014
Iklim tropis di Indonesia sangat mendukung tumbuhnya jamur. Kontaminasi jamur yang paling banyak ditemukan pada pakan ternak di daerah tropis adalah adalah Aspergillus (Dhand, Joshi dan Jand, 1998). Kelembaban dan temperatur lingkungan adalah kunci utama perkembangan jamur dan produksi mycotoxin. Ada dua tipe jamur kontaminan, yaitu jamur patogenik p a d a t a n a m a n p a k a n d a n j a m u r s a p ro fi t y a n g membusukkan bahan pakan saat disimpan. Jamur patogenik pada tanaman pakan antara lain Claviceps, Neotyphodium, Fusarium dan Alternaria. Jamur saprofit antara lain Aspergillus dan Penicillium (D'Mello dan Macdonald, 1998). Pembiakan dilakukan pada suhu 37 C, karena suhu inkubasi tersebut merupakan suhu yang sesuai dengan suhu tubuh sehingga kapang Aspergillus yang tumbuh merupakan kapang yang bersifat patogen. Seperti yang dilaporkan oleh Hastiono (1986) pada suhu inkubasi yang 0 sesuai dengan suhu tubuh (37 C), cendawan yang patogenik, baik kapang maupun khamir, akan tumbuh 0 lebih subur dibandingkan pada suhu ruangan (25 C) dan pada suhu ruangan hanya cendawan yang bersifat saprofit yang tumbuhnya subur. 0
Cendawan A.flavus sering menginfeksi bahan pakan setelah bahan diserang hama seperti hama gudang ataupun penggerek. Oleh karena itu bahan yang digunakan sebelum diolah menjadi pakan sebaiknya bebas dari serangan hama ataupun penyakit. Gudang penyimpanan diusahakan bersih dari sisa-sisa bahan pakan ataupun pakan dan tidak lembab.
Kesimpulan Jamur yang sering mengkontaminasi pakan ternak yaitu jamur jenis Aspergillus. Perlunya kontrol dalam penyimpanan pakan ternak agar tidak mudah terkontaminasi jamur yang dapat mempengaruhi kualitas pakan dan dapat menyebabkan keracunan pada ternak.
Gambar 6. Gambaran mikroskopik Aspegillus niger
Daftar Pustaka Agustar . A. 2004. Peningkatan produktivitas penduduk
melalui usaha peternakan pada wilayah pedesaan. Seminar Nasional Pengentasan Kemiskinan di Wilayah Pedesaan. Bappenas. Jakarta. Bahri . S dan R . Maryam . 2003. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia, Wartazoa . 13 (4) : 129-142 . Dhand, N.K., D.V. Joshi, dan S.K. Jand. 1998. Fungal contaminants of dairy feedand their toxigenicity. Indian Journal of Animal Sciences 68: 1095-1096. D'Mello, J.P.F. dan A.M.C. Macdonald. 1998. Fungal toxins as disease elicitors. In J. Rose, ed. Environmental toxicology: current developments. Amsterdam, the Netherlands, Gordon and Breach Science Publishers : 253-289. Handajani N.S. dan T. Purwoko. 2008. Aktivitas Ekstrak Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga) terhadap Pertumbuhan Jamur Aspergillus spp. Penghasil Aflatoksin dan Fusarium moniliforme. Hastiono, S. 1986. Hubungan Antara Tingginya Populasi Aspergillus spp. Patogenik Pada Pakan dan Bahanbahan Lainnya Dengan Tingkat Kejadian Aspergllosis pada Unggas.Penyakit Hewan Vol. XVIII No. 31. Hal 49 – 53. Larone D.H. 1987. Medical Important Fungi. 2nd Ed. Washington D.C. Makfoeld. D. Mikotoksin Pangan . 1993. Pusat antar universitas pangan dan gizi . UGM. Penerbit Kanisius . Yogyakarta . 211. Pitt. JI and AD . Hocking . 1996. Current knowledge of fungi and mycotoxinspraca associated with food commodities in Southeast Asia . Paper presented at the 17 th ASEAN Technical Seminar on Grain Postharvest Technology. Lumut, Malaysia 25-27 July 1995 . ACIAR. Canberra : 5-10.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Gambar 5. Biakan Aspergillus niger di media SDA
29
Deteksi Dini Trikinosis Secara Serologis Di Provinsi Lampung Rismayani Saridewi 1 dan Sulinawati 2
1 Laboratorium Kesmavet, 2 Laboratorium Parasitologi - Balai Veteriner Lampung email:
[email protected]
Abstrak Tujuan dari penulisan ini sebagai deteksi awal/dini terhadap penyakit parasit yang disebabkan oleh Trichinella spp. pada babi dengan menggunakan tes serologis di Provinsi Lampung. Pengambilan sampel dilakukan di Kota Bandar Lampung; Kabupaten Way Kanan; Kabupaten Lampung Timur; Kabupaten Lampung Selatan; dan Kabupaten Tulang Bawang Barat, Propinsi Lampung. Metode pengujian ini dilakukan secara serologis yaitu menggunakan kit ELISA komersial. Hasil yang diperoleh adalah ditemukan 1 sampel positif dari 144 sampel yang diuji Trichinella spp. Sampel positif berasal dari Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur. Kata kunci : trikinosis, babi, ELISA
Abstract The purpose of this study as a early detection to determine of Trichinosis incidence in Lampung Province with Serologis Test. Surveilence has done at some districts of Lampung Province, they are Way Kanan, East Lampung, South Lampung, West Tulang Bawang. The method was using commercial ELISA kit serologically. The results are found one positive from 144 samples tested of Trichinella spp. Positive sample came from Sekampung udik area, East Lampung district. Keywords : trichinosis, pig, ELISA
Trikinosis (Trichinosis/Trichinellosis) adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh parasit. Taksonomi dari cacing Trichinella adalah Phylum Nemathelminthes; Class Nematoda; Ordo Enoplida; Family Trichinellidae; Genus Trichinella; Species T. spiralis, T. nativa, T. britovi, T. pseudospiralis, T. murrelli, T. nelsoni, dan T. papuae. Penyakit ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui konsumsi daging babi mentah atau kurang matang yang mengandung kista larva Trichinella. Hewan yang dapat terinfeksi Trikinosis antara lain babi, kuda, babi hutan, anjing, anjing laut, serigala, dan beruang. Trikinosis pada babi pertama kali dilaporkan di Tapanuli Utara pada masa penjajahan Belanda (1930). Sangat sedikit catatan/studi tentang infeksi Trikinosis pada hewan dan manusia di Indonesia. Trikinosis disebabkan oleh kista larva Trichinella spp. dalam otot kerangka, serta cacing dewasa yang hidup dalam usus induk semang. Trichinellosis merupakan penyakit zoonosis yang infeksinya luas di dunia, disebabkan oleh
nematoda parasit dengan genus Trichinella. Hewan dapat diuji dengan melihat keberadaan antibodi Trichinela di dalam serum atau jus daging baik pada pemeriksaan ante dan post mortem (OIE 2004; Jakob at all. 1994). Pemeriksaan Trikinosis secara serologis baik sebagai awal surveilens untuk mencari data epidemi baik pada hewan domestik ataupun satwa liar (Gamble et all. 2004; Gamble et all. 1996). Plasma juga dapat diuji secara serologis. Hasil dari penelitian yang pernah dilakukan bahwa cairan jaringan seperti jus daging dari babi yang dipotong atau hewan liar lain seperti rubah, dapat diuji Trikinosis secara serologis (Gamble dan Patrascu 1996; Kapel et all. 1998; Moller et all. 2005). Ada beberapa cara untuk menguji Trikinosis salah satunya secara serologis. Teknik diagnosis Trikinosis secara serologis telah banyak dikembangkan. Meskipun teknik diagnosis Trikinosis sangat beragam, namun dewasa ini teknik yang banyak dipakai secara praktis di laboratorium adalah Enzyme Link Immunosorbant Assay (ELISA). Pengujian ELISA Trikinosis yang dilakukan dengan menggunakan kit ELISA komersial Idvet ID
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Pendahuluan
30
Deteksi Dini Trikinosis Secara Serologis Di Provinsi Lampung
Tujuan Melakukan deteksi awal/dini terhadap penyakit parasit yang disebabkan oleh Trichinella spp. pada babi dengan menggunakan teknik ELISA di beberapa daerah Provinsi Lampung.
Materi dan Metode Bahan dan Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung mikro, spuit 5 ml, sentrifus, pipet mikro, tip mikro, inkubator, dan ELISA reader (spektrofotometer). Bahan yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari kit ELISA komersial Idvet ID Screen Trichinella Indirect Multispecies dan serum babi sebanyak 144 sampel.
Cara Kerja Pengenceran 1:20 yaitu 190 µl buffer 2 ditambahkan dengan 10 µl kontrol negatif ke lubang A microplate secara duplo. Buffer 2 sebanyak 190 µl dan 10 µl kontrol positif ke lubang B secara duplo. Buffer 2 sebanyak 190 µl dan 10 µl sampel serum masing-masing ke lubang kosong yang tersisa secara duplo. Sampel yang telah d i i s i k e s e t i a p l u b a n g y a n g a d a d i m i c ro p l a t e diinkubasikan selama 45 menit pada suhu 21 ºC. Semua larutan di dalam lubang dibuang dan dicuci sebanyak tiga kali dengan mengisi masing-masing sebanyak 300 µl wash solution dan dikeringkan. Konjugat dipersiapkan dengan melakukan pengenceran antara Konjugat dan Buffer 3 (10:1). Selanjutnya ditambahkan 100 µl konjugat ke setiap lubang dan diinkubasikan selama 30 menit pada suhu 21 ºC. Selanjutnya dicuci kembali dengan 300 µl wash solution sebanyak tiga kali ke masing-masing lubang dan dikeringkan. Lalu ditambahkan 100 µl substrat solution ke setiap lubang dan diinkubasikan selama 15 menit pada suhu 21 ºC. Terakhir, ditambahkan 100 µl stop soultion ke semua lubang dan dibaca dengan ELISA reader panjang gelombang 450 nm.
Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis secara deskriptif.
Hasil Dan Pembahasan Hasil Serum babi yang diuji sebanyak 144 sampel diperoleh satu sampel positif dan 143 sampel negatif. Sampel positif berasal dari Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur. Hasil uji tampak pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil uji serum babi terhadap trikinosis (ELISA) di provinsi Lampung Asal
1 2 3 4 5 6
Kec. Panjang, Kota Bandar Lampung Kec. Baradatu, Kabupaten Way Kanan Kec amatan Raman Utara, Kabupaten Lampung Timur Kecamatan Sekampung Udik, Kabupaten Lampung Timur Kec. Ketapang, Kab. Lampung Selatan Kec. Tulang Bawang Barat Jumlah
Jumlah (serum)
Sero positif
Sero negatif
17
0
17
31
0
31
5
0
5
20
1
19
18
0
18
53
0 1
53 143
Pembahasan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) adalah alat uji yang umum digunakan untuk mendeteksi infeksi Trichinella sebab uji ini juga dapat dilakukan pada infeksi rendah yaitu 1 larva per 100 g dalam organ (OIE 2004). Prinsip dasar Kit ID Screen® Trichinella Indirect Multi-species merupakan kit ELISA berbasis antigen ekskretori-sekretori (ES) untuk mendeteksi antibodi anti-Trichinella dalam serum kuda, babi dan babi hutan. Spesies Trichinella yang dapat dideteksi T. spiralis, T. pseudo-spiralis, T. nativa dan T. britovi. Jenis sampel lain: plasma dan jus daging. Antigen ekstrak E/S Trichinella yang dilapiskan (coating) dalam lubang/sumuran direaksikan dengan sampel uji dan kontrol. Jika terdapat antibodi antiTrichinella, akan terbentuk kompleks antigen-antibody. Konjugat horseradish peroxidase (HRP) multispesies yang ditambahkan ke sumuran akan mengikat antibody membentuk suatu kompleks antigen antibodi-konjugat-HRP. Cairan substrat tetra methyl benzidine (TMB) ditambahkan setelah pencucian untuk menghilangkan kelebihan konjugat. Warna yang dihasilkan tergantung jumlah antibodi spesifik dalam sampel yang diuji. Positif mengandung antibodi jika muncul warna biru yang menjadi kuning setelah penambahan stop solution. Negatif mengandung antibodi jika tidak ada warna
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
Screen Trichinella Indirect Multi-species. Sampel yang diuji berupa serum babi yang berasal dari beberapa daerah di provinsi Lampung.
31
Deteksi Dini Trikinosis Secara Serologis Di Provinsi Lampung
Sampel serum babi yang diuji sebanyak 144 sampel berasal dari kota dan beberapa kabupaten provinsi Lampung. Hasil yang diperoleh adalah satu sampel positif mengandung Trichinella dengan nilai OD = 1.19 atau > 0.350. Hal ini hampir sama nilainya dengan kontrol positif yang dipakai yaitu 1.24. Hasil ini menunjukkan bahwa kejadian Trikinosis masih tergolong jarang/rendah terjadi di peternakan babi Provinsi Lampung.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Trikinosis pada babi di dapat dideteksi secara dini dengan menggunakan metode ELISA (serologis) dan ditemukan seropositive yang rendah di beberapa daerah di Provinsi Lampung.
Saran Perlu dilakukan Risk Based Surveilans yang sebelumnya diperlukan penentuan lokasi atau target yang paling beresiko di lokasi lainnya.
Daftar Pustaka Gamble HR, Pozio E, Bruschi F, Nöckler K, Kapel CMO, Gajadhar AA. 2004. International Commission on Trichinellosis: recommendations on the use of serological tests for the detection of Trichinella infection in animals and man. J Parasite. 11:3-13. Gamble HR, Patrascu IV. 1996. Whole blood, serum and tissue fluids in an EIA for swine trichinellosis. J Food Prot. 59:1213-1217. Gamble HR, Gajadhar AA, Solomon MB. 1996. Methods for the detection of trichinellosis in horses. J Food Prot. 59:420425. Jakob HP, Eckert J, Jemmi T, Gottstein B. 1994. Investigations on trichinellosis in slaughter animals and game in Switzerland with a digestion method and a serological approach (E/S-ELISA). Schweiz. Arch. Tierheilk. 136:298-308. Kapel CMO, Webster P, Lind P, Pozio E, Henriksen SA, Murrell KD, Nansen P. 1998. Trichinella spiralis, T. britovi, and T. nativa: infectivity, larval distribution in muscle, and antibody response after experimental infection of pigs. J Parasitol. Res. 84:264-271. Moller LN, Petersen E, Gamble R, Kapel CMO. 2005. Comparison of two antigens for demonstration of Trichinella spp. antibodies in blood and muscle fluids of foxes, pigs and wild boars. J Vet Parasitol. 132:81-84. Office International des Epizooties [OIE]. 2004. Trichinellosis, chapter 2.2.9. In Manual of standards for diagnostic tests and vaccines, 5th ed. Office International des Epizooties, Paris, France.
Volume xx - Edisi xx - Desember 2015
Velab
O
yang muncul. Validasi terhadap uji ini jika rataan OD kontrol positif (ODPC) > 0.350. Perbandingan antara rataan OD kontrol positif dan kontrol negatif yaitu (ODPC/ODNC) > 3.0.
32
FIND US ONLINE http://bvetlampung.ditjennak.per tanian.go.id SMS Center
081379230195
@bvetlampung
Balai Veteriner Lampung
Balai Veteriner
KEMENTERIAN PERTANIAN
BALAI VETERINER LAMPUNG Jl. Untung Suropati No.2 Labuhan Ratu Kedaton - Bandar Lampung 35142 Velab Volume xx - Edisi xx - Desember 33 (0721) 7018512015 / 772894 (0721) 772894 O
bvetlampung @pertanian.go.id