VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN HABITATNYA DI DESA MANDOMAI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
M. RASYID RIDHA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2016 M Rasyid Ridha NIM B252140101
RINGKASAN M RASYID RIDHA. Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan ELOK BUDI RETNANI. Kejadian Filariasis limfatik saat ini masih tinggi diberbagai daerah di Indonesia. Desa Mandomai diketahui merupakan daerah endemik filariasis di Kabupaten Kapuas. Jumlah kasus filariasis di Kabupaten Kapuas tahun 2009 terdapat 5 kasus, 2010 terdapat 2 kasus, 2011 terjadi pengkatan (21 kasus) dan 2012 serta 2013 masing-masing 16 kasus. Sejak tahun 2008 Kabupaten Kapuas telah melakukan pengobatan massal dan berakhir tahun 2012, namun jumlah kasus hingga 5 tahun terakhir tetap tinggi. Penelitian ini bertujuan mengetahui keragaman jenis nyamuk, kepadatan nyamuk, aktivitas menggigit dan perilaku istirahat (resting), infeksi mikrofilaria pada nyamuk, infeksi mikrofilaria pada penduduk dan mengetahui tipe habitat jentik nyamuk. Penelitian dilakukan selama 4 (empat) bulan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas. Kegiatan yang dilakukan adalah penangkapan nyamuk dengan teknik human landing collection dan resting di dalam dan di luar rumah, pembedahan nyamuk, pengambilan sediaan darah jari dan kapiler, dan identifikasi habitat nyamuk. Hasil penelitian menunjukkan ragam jenis nyamuk di Desa Mandomai terdiri atas 13 jenis yaitu Culex bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti dan Armigeres subalbatus. Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik, eksofilik dan endofilik. Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik dan eksofilik. Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies dan dominasi spesies yang tinggi yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus, sedangkan kepadatan nyamuk yang tinggi yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus. Kepadatan nyamuk lebih tinggi terjadi di dalam rumah dibandingkan dengan di luar rumah. Kepadatan nyamuk berbanding lurus dengan indeks curah hujan, suhu dan kelembaban, namun berdasarkan perhitungan statistik tidak ditemukan adanya hubungan. Cx. bitaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul 18.00 – 19.00 dan di dalam rumah pada pukul 23.00 – 24.00. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul 21.00 – 22.00 dan 19.00 – 20.00, sedangkan di dalam rumah pada pukul 21.00 – 22.00. Cx. quinquefasciatus mempunyai aktivitas menggigit pada pukul 23.00 – 24.00 di luar rumah, sedangan di dalam rumah pada pukul 20.00 – 21.00. Cx. bitaeniorhynchus mempunyai perilaku istirahat pada pukul 22.00 – 23.00 baik di dalam dan diluar rumah. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai perilaku istirahat di luar rumah pada pukul 03.00 – 04.00 dan di dalam rumah pada pukul 24.00 – 01.00. Cx. quinquefasciatus mempunyai perilaku istirahat di luar rumah pada pukul 23.00 – 24.00 dan di dalam rumah pada pukul 20.00 – 21.00.
Larva infektif (L3) tidak ditemukan pada nyamuk yang dibedah. Perkiraan umur populasi Cx. bitaeniorhynchus adalah 38.9 hari, Cx. tritaeniorhynchus 23.9 hari dan Cx quinquefasciatus 14.3 hari, sehingga dapat berpotensi menjadi vektor filariasis. Hasil Pemeriksaan darah jari ditemukan 2 (0.02%) orang positif dari 110 orang yang diperiksa. Umur penderita positif berada pada rentang 46-65. Periodisitas mikrofilaria bersifat non periodik di dalam darah tepi, namun tidak selalu dijumpai pada setiap periode pemeriksaan selama 24 jam (sepanjang hari), khususnya pada jam 12.00, 22.00 dan 24.00. Tipe perindukan yang diamati berjumlah 24 buah dengan proporsi positif jentik yaitu kolam ikan 25%, kolam sekolah 100%, selokan 11%, kubangan 28%, sawah 100% dan penampung karet 50%. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan di Desa Mandomai terdapat 3 jenis nyamuk yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus yang berpotensi sebagai vektor filariasis dan ditemukan habitat yang mendukung keberadaan nyamuk. Kata kunci: Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, filariasis
SUMMARY M. RASYID RIDHA. Potential Vectors of Filariasis and Habitat in Mandomai Villige Kapuas Districk Kalimantan Tengah Province. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and ELOK BUDI RETNANI Lymphatic filariasis cases in some area in Indonesia currently are still high. Mandomai Village in Kapuas District is a filariasis endemic area with the highest cases. There were 5 cases of filariasis in 2009, 2 cases in 2010, 21 cases in 2011 and both of 2012 and 2013 respectively 16 cases. Since 2008 Kapuas has conducted mass drug assesment and ended in 2012, but the number of cases last up to 5 years are still high. The aims of this study were to determine the various species of mosquitoes, density, biting activity and resting, infection of microfilariae in mosquito, microfilariae infection in community and habitat characteristics of filariasis vectors. This study was conducted over four months in Mandomai village, Kapuas. The mosquitoes were collected by human landing collection (HLC) indoors and outdoors, and by indoors and outdoors resting collections, dissecting mosquitoes, blood collected by finger prick and capillaries, and and identification of the breeding type. The result showed that there were 13 species i.e. Culex bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti and Armigeres subalbatus. Cx. bitaeniorhynchus was exophagic, endophilic and exophilic species. Cx. quinquefasciatus and Cx. tritaeniorhynchus were belong to exophagic and exophilic species. There were 3 species which high in densitiy i.e Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus and Cx. quinquefasciatus. Indoor density were higher than outdoor. Mosquito density were directly proportional to the index of rainfall, temperature and humidity, there were no relationship on statistical. Cx. bitaeniorhynchus have biting activity indoor were highest at 6 pm to 7 pm and outdoor were highest at 11 pm to 12 pm; 9 pm to 10 pm and 7 pm to 8 pm in indoor and 9 pm to 10 pm in outdoor, respectively on Cx. tritaeniorhynchus; 11 pm to 12 pm in outdoor and 8 pm to 9 pm in indoor, respectively on Cx. quinquefasciarus. Cx. bitaeniorhynchus have behaviour resting indoor and outdoor were highest at 11 pm to 12 pm both indoor and outdoor; 3 am to 4 am in outdoor and 12 pm to 1 am in indoor, respectively on Cx. tritaeniorhynchus; 11 pm to 12 pm in outdoor and 8 pm to 9 pm in indoor, respectively on Cx. quinquefasciatus. Infective larvae (L3) not found in mosquitoes were dissecting.The estimate of age population (longevity) were 38.9 days for Cx. bitaeniorhynchus, 23.9 days for Cx. tritaeniorhynchus and 14.3 days for Cx. quinquefasciatus. Those three species were potentially became filariasis vectors. The results of fingers blood tests were found 2 (0.02%) positive votes from 110 people examined. Positive patients age were in the range 46 – 65. The microfilaria periodicity is non periodic microfilariae in the peripheral blood, but not always found in each inspection period for 24 hours (during the day), specifically at 12:00 hours, 22:00 and 24.00. Type of breeding places were observed of 24
pieces with positive presentation of mosquitoe larva i.e 25 % for ponds, 100% for schhol pounds, 11% for puddles, 28% for ditches, 100% for paddy fields and 50% for latex sap falling container. Based on these data can conclude In Mandomai Village there were found three species potentially vectors i.e. Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus and Cx. quinquefasciatus and also their breeding places. Keywords: Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, filariasis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
VEKTOR POTENSIAL FILARIASIS DAN HABITATNYA DI DESA MANDOMAI KABUPATEN KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
M. RASYID RIDHA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : drh Fadjar Satrija MSc PhD
Scanned by CamScanner
Judul Tesis
:
Nama NRP
: :
Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah M. Rasyid Ridha B252140101 Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof drh Upik Kesumawati Hadi MS Ph D Ketua
Dr drh Elok Budi Retnani MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
Dekan SekolahPascasarjana
Prof Drh Upik Kesumawati Hadi MS Ph D
Dr Ir Dahrul Syah MScAgr
Tanggal Ujian: 29 Agustus 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dengan judul “Vektor Potensial Filariasis Dan Habitatnya Di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah” dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS, Ph. D dan Ibu Dr. drh. Elok Budi Retnani, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada dr Hijaz Nuhung M. Sc sebagai Kepala Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, Bapak dr. Paisal M. Biomed beserta Tim Peneliti dari Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu, serta Ibu Ninik SKM MM dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada teman – teman seperjuangan PEK 2014 yang banyak memberikan masukan, bantuan, dan semangat serta motivasi ( Bang Umar, Bang Irpan, Bos Simba, Bang Zoel, Pak Anto, Firman, Bang Wiro, Pak Alan, Evi, Lisa, Novi, Milda dan Mba Nindya) Kita adalah teman seperjuangan, semangat kuliah dan praktek bersama takkan pernah terlupakan, sukses temanteman. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Kedua orang tua (H. Zainuddin S. PdI dan Dra. Hj. Siti Aisyah M. Pd) dan Mertua (Nurjali S. Pd, MM dan Ida Rosanti), Istri tercinta Nur Afrida Rosvita SKM, terimakasih atas do’a dan pengertiannya, Kedua putra tersayang “Pangeran Kecil” (Muhammad Naufal Rakha dan Muhammad Fathan Abidzar Al Ghifary), terimakasih atas segala do’a dan motivasi serta dukungannya. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, November 2016
M Rasyid Ridha
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
vi vi vi
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2
2. TINJAUAN PUSTAKA Filariasis Endemisitas Filariasis Peran Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis Pengendalian Filariasis
3 3 4 7 8
3. METODE PENELITIAN Tempat Penelitian Waktu Penelitian Rancangan Penelitian Cara Kerja Analisis Data
8 8 9 9 9 12
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman jenis nyamuk Kepadatan nyamuk Aktivitas menggigit dan resting Infeksi mikrofilaria pada nyamuk Infeksi filaria pada penduduk Tipe habitat perindukan larva
14 20 24 31 32 34
5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
38 39 41 44
DAFTAR TABEL
Halaman
1
2
3
4
5
6
7 8 9
Jumlah dan persentase nyamuk yang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Komposisi keanekaragaman nyamuk yang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies, dominansi spesies dengan umpan orang dan light trap berdasarkan jenis nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Kepadatan nyamuk yang menggigit per orang per jam (man hour density/MHD) setiap bulan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Kepadatan nyamuk per orang per jam (man hour density/MHD) dan Kepadatan nyamuk perorang perhari (man bitting rate/MBR) berdasarkan lokasi penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Paritas, proporsi parus dan perkiraan umur nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Prevalensi filariasis berdasarkan katagori umur (tahun) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas Periodisitas mikrofilaria Brugia malayi pada penderita di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas Tipe Perindukan jentik nyamuk di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas
18
19
20
21
22
32 32 34 36
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4
5
Endemisitas Filariasis di Indonesia 2014 1) Peta Pulau Kalimantan, 2) Peta Kabupaten Kapuas Penangkapan nyamuk dengan penangkapan human landing collection (HLC)/bare leg collection (BLC)/Umpan orang Jenis nyamuk dari genus Culex. a. Culex quinquefasciatus; b. Culex gellidus; c. Culex tritaeniorhynchus; d. Culex hutchinsoni; e. Culex bitaeniorhynchus. Jenis nyamuk dari genus Mansonia. a. Mn. annulata; b. Mn. uniformis; c. Mn. dives.
Halaman 5 9 10
16 17
6 7 8 9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Jenis nyamuk dari genus Anopheles. a. Anopheles balabacensis; b. Anopheles barbirostris Jenis nyamuk dari genus Aedes. a. Aedes albopictus; b. Aedes aegypti Armigeres subalbatus Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan indeks curah hujan (ICH) (September – Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan suhu rata-rata (September – Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan kelembaban ratarata (September – Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah Perilaku aktivitas menggigit Mansonia spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Perilaku aktivitas menggigit Culex spp. dengan umpan orang luar(UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September - Desember 2015) Perilaku aktivitas menggigit Aedes spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Perilaku aktivitas menggigit Anopheles spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Perilaku aktivitas menggigit Armigeres subalbatus dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Perilaku resting Mansonia spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Perilaku resting Culex spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Perilaku resting Aedes spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
18 18 19
25
25
26
27
28
29
29
29
30
31
31
20
21
22 23
24
Perilaku resting Anopheles spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Fluktuasi Armigeres subalbatus di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Pengambilan darah Jari (1 dan 2), Spesies Brugia malayi pada pemeriksaan Mikroskopis (3 dan 4) Peta distribusi perindukan jentik di Desa mandomai Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas Tipe perindukan nyamuk di di Desa mandomai Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kabupaten Kapuas (September – Desember 2015). A dan B. Selokan; C. Limbah Buangan Rumah Tangga; D. Sawah; E. Kolam Sekolah; F. Kolam Ikan; G. Perkebunan Karet; H. Kolam Ikan
31
32 35
37
39
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
4
5 6 7
8 9 10 11 12 13
Naskah Penjelasan Penelitian Persetujuan Setelah Penjelasan/Inform Consent Jumlah Rata-Rata Nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan HLC di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Jumlah Rata-rata Nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan Resting DesaMandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015). Kegiatan Penelitian Hasil Pemeriksaan Darah Jari Pengukuran kedalaman, pH, Salinitas dan Suhu setap bulan (September – Desember 2015) pada beberapa tipe perindukan yang ditemukan di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas Perhitungan Uji Korelasi Indeks curah hujan, Suhu dan kelembaban dengan Kepadatan Nyamuk Perhitungan Periodisitas Titik Koordinat Pengambilan Data GPS Rekomendasi Ijin Penelitian dari Pemkab. Kapuas Persetujuan Etik (Ethical Approval) dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Badan Litbangkes Jumlah Penderita Filariasis Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2010 – 2014
Halaman 45 46
47
48 49 50
53 54 56 57 58 59 60
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Filariasis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan nyamuk sebagai vektor. Filariasis dapat menimbulkan dampak berupa penurunan produktivitas kerja, beban keluarga dan menimbulkan kerugian ekonomi bagi negara karena dapat menyebabkan kecacatan menetap. Kecacatan yang disebabkan oleh filariasis merupakan kecacatan terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO 2011). Data WHO (2011) menunjukkan terdapat 83 negara dengan jumlah 1.3 miliar penduduk yang berisiko tertular filariasis dan lebih dari 60 % negara-negara tersebut berada di Asia Tenggara. Diperkirakan lebih dari 120 juta orang diantaranya sudah terinfeksi, sebanyak 43 juta orang menunjukkan gejala klinis berupa pembengkakan di kaki atau lengan (lymphoedema) atau anggota tubuh lainnya. Penyakit ini tersebar luas terutama di pedesaan dan dapat menyerang semua golongan umur, laki-laki dan perempuan. Kerugian ekonomi akibat ketidakmampuan yang disebabkan oleh filariasis adalah 67 % dari total pengeluaran rumah tangga perbulan (Evans et al. 1993), selain itu Ramaiah et al. (2000) melaporkan perkiraan kerugian ekonomi di India akibat filariasis mencapai US$ 842 juta pada penderita kronis dan akut. Cacing penyebab filariasis ada 3 spesies yaitu: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori. Vektor utama filariasis tipe W. bancrofti adalah dari Culex spp. (di daerah urban dan semi urban), Anopheles spp. (di daerah rural) dan Aedes spp. (di Kepulauan Pasifik), sedangkan filariasis tipe Brugia malayi ditularkan dari berbagai spesies Mansonia spp., namun pada beberapa daerah juga di temukan pada Anopheles spp. (WHO 2015). Nyamuk Culex quinquefasciatus dan Armigeres subalbatus dengan PCR (polymerase chain reaction), dapat dideteksi keberadaan B. malayi (Yahya et al. 2014). Sementara itu, An. barbirostris merupakan vektor penting B. malayi yang terdapat di Nusa Tenggara Timur dan Kepulauan Maluku Selatan (Soeyoko 2002). Ughasi et al. (2012) menyatakan bahwa Ma. africana dan Ma. uniformis merupakan vektor W. bancrofti di Ghana. Kley and Rajan (2002) mencatat vektor Brugia spp. terdiri atas An. nigerrimus, An. peditaenitus, An. vagus, An. subpictus, Cx. quinquefasciatus, Cx. annulirostris, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. orchracea, Ma. annulata, Ma. annulifera, Ma. bonneae, Ma. dives, Ma. indiana, Ma. uniformis dan Ar. subalbatus. Kasus filariasis terdapat di seluruh kabupaten/kota di Kalimantan Tengah, hingga tahun 2011 terdapat 44 kasus filariasis di antaranya Kabupaten Sukamara 13 kasus, Kotawaringin Timur 3 kasus, Seruyan 2 kasus, Kapuas 16 kasus, Pulang Pisau 5 kasus dan Barito Selatan 5 kasus (Dinkes Provinsi Kalteng 2012). Kasus filariasis di Kabupaten Kapuas tahun 2009 terdapat 5 kasus, 2010 terdapat 2 kasus, 2011 terjadi pengkatan (21 kasus) dan 2012 serta 2013 masing-masing 16 kasus. Sejak tahun 2008 Kabupaten Kapuas telah melakukan pengobatan massal dan berakhir tahun 2012, namun jumlah kasus hingga 5 tahun terakhir masih tinggi. Transmission assesment survei (TAS) sebagai survey evaluasi untuk mengetahui adanya penularan baru dilakukan pada 1542 anak sekolah dasar (SD) pada tahun 2013. Hasil survey TAS ditemukan 17 anak positif filariasis (Dinkes Kabupaten Kapuas 2014)
2
Kasus tertinggi di Kabupaten Kapuas terdapat pada Kecamatan Kapuas Barat khususnya di Desa Mandomai yang merupakan daerah endemis filariasis, hal tersebut kemungkinan karena terdapat nyamuk yang berpotensi sebagai vektor dan topografi yang mendukung terjadinya penyebaran serta terdapatnya reservoir. Kasus filariasis di Desa Mandomai mengindikasikan masih terjadi transmisi, selain itu belum pernah dilakukan penelitian tentang vektor filariasis sehingga data mengenai vektor dan habitanya di Kabupaten Kapuas belum diketahui. Data keanekaragaman jenis dan karakteristik habitat perkembangbiakan vektor sangat diperlukan dalam upaya perencanaan pengendalian filariasis. Berdasarkan latar belakang tersebut diperlukan observasi data dasar mengenai ragam jenis nyamuk dan kaitannya sebagai vektor filariasis, mendeteksi kasus baru filariasis disekitar penderita serta periodisitasnya pada daerah endemis filariasis di Desa Mandomai Kabupaten Kapuas. Tujuan Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi keragaman nyamuk, cara penangkapan, kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominasi spesies, menganalisis hubungan kepadatan nyamuk dengan indeks curah hujan, suhu dan kelembaban, mengetahui waktu aktivitas menggigit dan perilaku istirahat (resting). Pada manusia dilakukan kegiatan untuk mengetahui prevalensi filariasis dan melakukan analisis periodisitas filariasis. Tempat perindukan nyamuk di indentifikasi dengan mengetahui tipe habitat jentik nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dasar tentang pengendalian filariasis yang efektif dan efesien di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Filariasis Filariasis limfatik merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh cacing filaria melalui berbagai jenis nyamuk sebagai vektor. Tiga spesies cacing penyebab filariasis yaitu W. bancrofti, B. malayi dan B. timori. Brugia malayi mempunyai penyebaran paling luas di Indonesia. B. timori hanya terdapat di Indonesia Timur yaitu di Pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan W. bancrofti terdapat di Pulau Jawa, Bali, NTB dan Papua Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi enam tipe yaitu Wuchereria bancrofti tipe perkotaan (urban) memiliki periodisitas nokturna dan ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus yang berkembang baik di air limbah rumah tangga. Wuchereria bancrofti tipe pedesaan (rural) memiliki periodisitas nokturnal dan ditularkan oleh berbagai spesies nyamuk Anopheles. Brugia malayi subperiodik nokturnal, nyamuk penularnya adalah Mansonia spp. yang banyak ditemukan di daerah rawa. B.malayi periodik nokturna, nyamuk penularnya adalah An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan. Brugia malayi nonperiodik, nyamuk penularnya adalah Ma. bonneae dan Ma. uniformis yang ditemukan di hutan rimba. Brugia timori tipe periodik nokturna, nyamuk penularnya An. barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara (Soeyoko 2004). Daur hidup cacing filaria ada 2 yaitu di dalam tubuh penderita (manusia) dan di dalam tubuh nyamuk. Penderita filariasis mengandung cacing dewasa jantan dan betina dalam tubuhnya. Tempat yang disukai adalah kelenjar getah bening dalam rongga sekitar pinggul dan pangkal paha. Telur-telur dieram dalam uterus cacing dewasa betina hingga mencapai stadium embrio aktif yang kemudian dilepaskannya ke dalam saluran getah bening menuju saluran darah dan tumbuh menjadi embrio yang berbentuk lurus, bergerak aktif, melepaskan selaput membran pembungkus atau mikrofilaria (panjang 250 – 300 µm serta diameter sama dengan diameter butir darah merah). Mikrofilaria dapat berada dalam peredaran darah perifer menurut waktu sesuai dengan jenis mikrofilaria itu. Di Indonesia periodisitas ini terdapat di malam hari antara pukul 21.00 malam hari sampai dengan 2.00 dini hari (Ziebeg 2013). Mikrofilaria yang berada di dalam darah perifer akan terhisap oleh nyamuk pada waktu nyamuk menggigit. Di dalam tubuh vektor larva-larva ini tidak memperbanyak diri. Pertumbuhan larva sejak dihisap oleh nyamuk hingga menjadi infektif memerlukan waktu 10 – 14 hari, tergantung dari spesiesnya. Migrasi ke mulut (probosis) nyamuk terjadi apabila telah menjadi larva infektif. Larva infektif (L3) keluar dari kelenjar ludah nyamuk pada saat nyamuk betina menggigit manusia dan jatuh di kulit serta masuk ke tubuh melewati luka yang telah dibuat oleh probosis nyamuk (Kazura 2002). Seseorang dapat tertular filariasis limfatik apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva instar 3 atau L3. Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar dari probosis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan
4
bergerak menuju sistim limfe. Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis limfatik dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis limfatik, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali (Kazura 2002). Gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh cacing dewasa atau perkembangannya sangat bervariasi dan mempunyai spektrum yang luas serta tergantung masing-masing individu dan spesiesnya.. Penduduk yang berasal dari daerah nonendemik filariasis apabila terkena infeksi pada umumnya akan menunjukkan gejala-gejala lebih berat dan munculnya lebih cepat dari penduduk setempat. Gejala klinis filariasis malayi muncul lebih cepat dari pada filariasis bancrofti (WHO 1987). Gejala klinis pada infeksi dengan B. malayi dan B. timori lebih nyata. Pada stadium akut limfadenitis sering terjadi di daerah inguinal pada kelenjar limfe superfisial, dapat terjadi berulang-ulang terutama setelah bekerja berat. Gejala klinis filariasis bancrofti pada stadium akut dapat terjadi peradangan terutama pada saluran limfe genital seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis yang sifatnya periodik dan setiap kali serangan hanya berlangsung beberapa hari. limfedema dan elefantiasis pada penderita filaria bancrofti lebih jarang dijumpai jika dibandingkan dengan filaria malayi dan filaria timori. Kelainan fisik dapat terjadi pada tungkai, lengan, skrotum, vulva dan payudara. Berbeda dengan filaria malayi dan timori, pada filaria bancrofti dapat terjadi pembengkakan seluruh tungkai atau lengan dengan ukuran sampai tiga kali dari keadaan normal (Partono 1987). Endemisitas Filariasis Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah. Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan tahun 2014, tiga provinsi dengan jumlah kasus terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)(2.359 orang), Nusa Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan Sulawesi Utara (30 orang). Kejadian filariasis di NAD sangat menonjol bila dibandingkan dengan provinsi lain dan merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi di seluruh Indonesia (Kemenkes 2014). Hal ini memerlukan perhatian untuk ditindak lanjuti dan dicari kemungkinan penyebabnya.
5
Gambar 1. Endemisitas Filariasis di Indonesia 2014 Data Kementerian Kesehatan (2014) berdasarkan kabupaten, pada tahun 2013 terdapat tiga kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara (1 353 kasus), Manokwari (667 kasus) dan Mappi (652 kasus). Berdasarkan data kabupaten tahun 2013, 87% kabupaten/kota mempunyai kasus klinis filariasis pada range 1-100 kasus, 5.9 % kab / kota tidak memiliki kasus klinis filariasis, 5.2% pada range 101-200 kasus, 1.2 % pada range 201 – 700 kasus dan 0.2 % pada range > 700 kasus. Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0 % - 40 %. Dengan endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil survei tersebut, hingga tahun 2014, kabupaten/kota yang endemis filariasis adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada di Indonesia (67%), 3 kabupaten/kota yang tidak endemis filariasis (0.6 %), dan 176 kabupaten/kota yang belum melakukan survei endemisitas filariasais. Pada tahun 2014 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan survei tahun 2013, jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi 356 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di Indonesia atau sebesar 71.9 % sedangkan 139 kabupaten/kota (28.1 %) tidak endemis filariasis, seperti tampak pada Gambar 1. Peran Nyamuk Sebagai Vektor Filariasis Larva filaria berkembang di dalam tubuh nyamuk secara siklo developmental atau bertahap dari larva instar 1 (L1), L2 dan menjadi larva infektif (L3). Perkembangan mikrofilaria di dalam tubuh nyamuk tidak konstan. Mikrofilaria dapat meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah mikrofilaria yang dihisap. Hal ini dikenal dengan istilah fenomena fasilitasi. Mikrofilaria juga dapat berkurang yang dikenal dengan fenomena limitasi. Fasilitasi dan limitasi mempengaruhi epidemiologi dan pengendalian filariasis linfatik (Pichon 2002). Fenomena limitasi (negative density dependence) terjadi pada beberapa jenis vektor nyamuk culicinae (Pichon 2002; Subramanian et al. 1998 dalam Pichon 2002), sedangkan fenomena fasilitasi (positive density dependence) ditemukan pada beberapa jenis vektor Anophelinae (Pichon 2002; Southgate dan Bryan 1992 dalam
6
Pichon 2002). Prod’hon et al. (1980) dalam Pichon (2002) melaporkan Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus yang merupakan vektor filariasis di Tahiti hanya mampu menampung masing-masing 10 dan 68 larva W. bancrofti di dalam tubuhnya, sedangkan Southgate dan Bryan (1992) dalam Pichon (2002) melaporkan An. gambiae dan An. arabiensis yang merupakan vektor filariasis di Gambia mampu menampung W. bancrofti masing-masing sebanyak 128 dan 42 mikrofilaria. Migrasi mikrofilaria ke dalam saluran pencernaan nyamuk dapat terhalang oleh adanya gigi-gigi tajam dan keras (sclerotinized teeth) yang terdapat pada cibarial armature dan pharyngeal armature pada nyamuk dan simuliidae (Bain et al. 1974 dalam McGreevy et al. 1978). Dengan demikian mikrofilaria yang melewati kedua armature tersebut mati karena terluka. McGreevy et al. (1978) berhasil mengukur proporsi mikrofilaria yang terbunuh oleh kedua armature tersebut pada nyamuk vektor secara alami dan laboratorium. Mikrofilria Brugia yang terhisap Anopheles spp. dan Aedes spp. dipengaruhi oleh keberadaan cibarial armature. Kerusakan maksimal pada mikrofilaria Brugia terjadi pada Anopheles spp. yang mempunyai kedua armature tersebut. Disini, 92 – 96 % mikrofilaria terluka dan 61 83 % mati (amotile) setelah terhisap. Sebaliknya kerusakan minimal terjadi pada mikrofilaria Brugia di Aedes spp., yang hanya memiliki pharyngeal armature, tanpa cibarial armature. Disini, 9 – 12 % mikrofilaria terluka dan 6 – 12 % mati (amotile) (McGreevy et al. 1978). Aktivitas terbang merupakan aspek perilaku vektor yang dirubah oleh parasit. Parasit bersaing secara langsung dengan inang vektor secara metabolik dan mengurangi kemampuan aktivitas terbang vektor. Misalnya pada lalat tsetse yang terinfeksi parasit, aktifitas terbangnya berkurang sebesar 15% (Bursell 1981 dalam Rowland and Lindsay 1986). Rowland and Lindsay (1986) mencatat aktivitas terbang sirkadian Aedes aegypti L. yang terinfeksi Brugia pahangi selama 16 hari berurutan menggunakan acoustic actoghraph. Aktivitas terbang terbang dari nyamuk kontrol yang tidak terinfeksi meningkat sampai maksimum 3 hari setelah menghisap darah, kemudian menurun sedikit dan tetap stabil selama durasi eksperimen. Aktivitas terbang pada nyamuk yang terinfeksi parasit sementara berkurang selama 2 hari setelah mengisap mikrofilaria pada kucing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh migrasi parasit dari usus tengah ke otot terbang. Karena larva parasit berkembang pada otot terbang selama 3 – 6 hari maka aktivitas harian dari semua nyamuk kembali pada level kontrol. Aktivitas pada hari ke 7 – 8 nyamuk yang terinfeksi mikrofilaria dengan jumlah tiga belas atau lebih turun drastis menjadi sekitar 10% dibandingkan dengan kontrol. Perubahan ini bertepatan dengan munculnya larva stadium infektif dari otot terbang. Keberadaan larva yang sedikit, tidak mengganggu aktivitas terbang. Karena berkurangnya kemampuan terbang, nyamuk yang terinfeksi berat kemungkinan sedikit berperan dalam transmisi filariasis. Eleminasi Filariasis Kerugian akibat filariasis menyebabkan cacat permanen. Cacat fisik permanen umumnya lebih banyak ditemukan pada laki-laki karena lebih sering keluar rumah yang berkaitan dengan pekerjaannya, hal tersebut mengakibatkan laki-laki kemungkinan kontak dengan nyamuk lebih besar, sehingga berpengaruh terhadap sosial ekonomi keluarga. Penderita filariasis juga mempunyai beban
7
psikososial, hidupnya terisolasi dari pergaulan masyarakat karena merasa malu menderita cacat fisik, angka perceraian akan meningkat bagi yang sudah berkeluarga dan kesulitan mendapatkan pasangan bagi yang belum berkeluarga (WHO 1994). Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat filariasis tersebut, maka penyakit tersebut perlu dilakukan pemberantasan. Eleminasi filariasis perlu dilakukan secara global. WHO sebagai organisasi kesehatan dunia dengan program global programme to eliminate lymphatic filariasis (GPELF) bertujuan untuk menghilangkan penyakit sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2020 dengan 2 pilar utama. Pengobatan massal diberikan kepada semua orang disemua daerah endemik dengan dosis tunggal dosis (dua macam obat) sekali setahun selama minimal 5 tahun. Target untuk eliminasi filariasis limfatik didasarkan pada upaya pengendalian yang telah dilakukan dibeberapa negara endemis dan dilaporkan dalam kurun waktu 2000 – 2009 dan rencana strategis 2010 – 2020 (WHO 2011) . Program eliminasi filariasis di Indonesia merupakan salah satu program prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009. Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Tujuan khusus program adalah : a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1 % di setiap kabupaten/kota; b) mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis. Program akselerasi eliminasi filariasis diupayakan sampai dengan tahun 2020, dilakukan dengan bertahap lima tahunan yang dimulai tahun 2010. Pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis selama 5 tahun dimaksudkan untuk mengurangi dan membunuh mikrofilaria yang berada di dalam darah agar tidak terjadi transmisi. Anak usia < 2 tahun, ibu hamil, ibu menyusui, sakit berat, kasus kronis filariasis, balita marasmus, kwasiorkor, gizi buruk sebaiknya pengobatannya ditunda untuk menghidari efek samping berlebih yang ditimbulkan (Kemenkes 2014). Strategi pengendalian filariasis limfatik secara umum yang telah dilakukan WHO (1997) dan telah diaplikasikan di berbagai negara adalah sebagai berikut: 1) Menurunkan angka penularan dengan cara mengobati inangnya agar terjadi penurunan jumlah mikrofilaria di dalam darah dan mencegah kontak antara inang dengan vektor dan menurunkan jumlah populasi vektor. Upaya menurunkan jumlah populasi vektor dianjurkan untuk memanfaatkan toksin yang dapat menutup permukaan air sehingga dapat membunuh stadium larva nyamuk, dan penyemprotan insektisida, insecticide impregnated bed nets yang keduanya dapat membunuh stadium dewasanya. 2) Melakukan perawatan penderita yang menunjukkan gejala akut atau kronik dan mencegah terjadinya infeksi samping. Obat yang dianjurkan adalah topikal antibiotika dan anti jamur. 3) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan program pengendalian filariasis. Pengobatan massal pada penderita dianjurkan dengan berbagai macam cara yaitu: dosis tunggal diethyl carbamazine citrate (DEC) 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 hari, ivermectin 400 g/kg berat badan sekali dalam satu tahun, kombinasi ivermectin 400 g/kg berat badan + DEC 6 mg/kg berat badan sekali dalam satu tahun, DEC 400 mg sekali dalam setahun atau menggunakan garam DEC (DEC fortified-salt): 0.15 % - 0.3 % jangka lama (WHO 2013).
8
3 METODE PENELITIAN Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Gambar 2).
1
2 Gambar 2 1) Peta Pulau Kalimantan (sumber : http://mapsof.net/uploads/staticmaps/kalimantan.png); 2) Peta Kabupaten Kapuas; (sumber : http://shindoka.org/Peta+Kab+Kapuas.JPEG) Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan September – Desember 2015 di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah
9
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Kegiatan yang dilakukan adalah 1). Penangkapan Nyamuk, 2) Identifikasi Nyamuk, 3) Pembedahan Nyamuk untuk Identifikasi vektor, 4) Pengamatan kepadatan Nyamuk, 5) Pengambilan sediaan darah jari pada penduduk, 6) Pengamatan Periodisitas dan, 7) Survei Karakteristik habitat 8) Pengambilan titik koordinat dengan GPS. Cara Kerja Penangkapan nyamuk dengan human landing collection (HLC) dan resting Koleksi nyamuk menggunakan umpan orang atau human landing collection (HLC) untuk mengetahui kepadatan (densitas) nyamuk yang kontak dengan manusia dan resting untuk mengetahui perilaku nyamuk istirahat (Gambar 3) (WHO 2015). Penangkapan nyamuk dilakukan pada 3 rumah dengan jumlah kolektor masing-masing rumah berjumlah 2 orang yaitu 1 orang di dalam dan 1 orang di luar rumah. Penangkapan nyamuk dilakukan selama semalam dimulai pukul 18.00 - 06.00. Setiap jam terdiri atas 45 menit penangkapan dengan umpan orang dan 10 menit dilakukan dengan penangkapan resting dengan menggunakan aspirator. Penangkapan dengan penangkapan HLC dan resting dilakukan di dalam rumah (umpan orang dalam / UOD) (dinding dalam / DD) dan di luar rumah (umpan orang luar / UOL) (dnding luar / DL). Nyamuk yang tertangkap melalui HLC dan resting di identifikasi di bawah mikroskop stereo menggunakan kunci identifikasi morfologi bergambar nyamuk Anopheles (O’Connor dan Soepanto 2013a), nyamuk Aedes (O’Connor dan Soepanto 2013b), nyamuk Culex (O’Connor dan Soepanto 2000a) dan nyamuk Mansonia (O’Connor dan Soepanto 2000b).
A
B
Gambar 3 Penangkapan nyamuk dengan penangkapan human landing collection (HLC)/bare leg collection (BLC). A. Kader Penangkap nyamuk; B. Bagian kaki yang digunakan sebagai umpan
10
Penangkapan Nyamuk Menggunakan Light Trap. Penangkapan dilakukan dengan menggunakan “light trap” model CDC pada kandang hewan. light trap diletakkan sebanyak 1 buah di kandang sapi dengan ketinggian 1½ m dari permukaan tanah dan diletakkan pada tempat gelap (jauh dari sumber cahaya lainnya). Pemasangan light trap dilakukan pada pukul 18.00 – 06.00. Setelah light trap dipadamkan pada pagi hari, nyamuk yang terperangkap diambil dengan sebuah alat penghisap (aspirator) dan dipindahkan ke paper cup. Nyamuk yang masih hidup dibius/dibunuh dengan menggunakan kloroform selanjutnya di identifikasi hingga tingkat spesies dengan menggunakan kunci identifikasi bergambar nyamuk Anopheles (O’Connor dan Soepanto 2013a), nyamuk Aedes (O’Connor dan Soepanto 2013b), nyamuk Culex (O’Connor dan Soepanto 2000a) dan nyamuk Mansonia (O’Connor dan Soepanto 2000b).. Pembedahan Nyamuk Pembedahan nyamuk dilakukan dengan menggunakan jarum seksi di bawah mikroskop. Sebelumnya kaki dan sayapnya dilepaskan terlebih dahulu agar tidak mengganggu saat pembedahan, kemudian ditambahkan larutan garam fisiologis (GF) dan diteteskan di atas kaca objek/slide. Setelah itu, nyamuk diletakkan di atas kaca objek yang telah diteteskan larutan GF. Abdomen segmen ketujuh ditarik dengan jarum seksi sampai ovariumnya kelihatan dan terendam larutan GF. Setelah itu, ovarium dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 x. Nyamuk parus (pernah bertelur) diteruskan dengan pembedahan seluruh bagian tubuh, sedangkan jika nulliparus (tidak pernah bertelur) tidak diteruskan. Nyamuk parus kemudian dihancurkan dengan jarum bedah, sehingga bagian tubuhnya terpisah menjadi kecilkecil dan semua bagian tubuh tersebut terendam larutan GF. Nyamuk diamati dengan menggunakan mikroskop, apabila ditemukan cacing maka akan tampak bergerak. Pergerakan cacing tergantung stadiumnya, instar larva 1 - 2 pendek, gemuk, gerakannya lambat. Larva 3 (infektif), panjang dan gerakannya cepat. Apabila terdapat mikrofiaria diambil dengan menggunakan jarum bedah di bawah mikroskop. Hasil identifikasi dicatat berapa mikrofilaria yang ditemukan per individu nyamuk untuk menghitung infection rate dan infective rate (WHO 2011). Pemeriksaan Mikrofilarimia dengan Survei Darah Jari. Pengambilan survei darah jari (SDJ) dilakukan pada penduduk yang berada disekitar penderita (hasil pemeriksaan transmission assesment survei/TAS) secara sukarela. SDJ dilakukan pada bulan Desember 2015. Pengambilan SDJ pada penduduk dilakukan pada malam hari mulai pada pukul 20.00. Pemeriksaan darah dilakukan dengan cara tusuk jari. Pelaksanaan survei darah jari dilaksanakan dengan menusuk ujung jari kedua, ketiga atau keempat yang sebelumnya dibersihkan dengan kapas alkohol 70 % hingga kering. Jari yang telah diberikan alcohol kemudian ditusuk dengan lancet sampai darah menetes keluar, pada tetesan darah pertama yang keluar dihapus dengan kapas kering, kemudian darah berikutnya dihisap dengan tabung kapiler tanpa heparin sebanyak 60 µl. Darah kemudian diteteskan ke atas kaca benda, dilebarkan sehingga membentuk sediaan darah tebal dan berbentuk oval dengan diameter 2 cm, setelah dikeringkan selama 1 malam dengan cara penyimpanan yang aman dari serangga, keesokan harinya di-
11
hemolisis dengan air selama beberapa menit sampai warna merah hilang, kemudian dibilas dengan air dan dikeringkan. Sediaan darah kemudian difiksasi dengan methanol selama 1-2 menit dan dikeringkan, kemudian diwarnai dengan giemsa yang telah dilarutkan di dalam cairan buffer pH 7.2 (1 tablet buffer dilarutkan dalam 100 cc aquadest) dengan perbandingan 1 : 14 selama 15 menit. Sedian sarah kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Sediaan darah diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran rendah (10 x 10) untuk menentukan jumlah mikrofilaria. Pembesaran tinggi (10 x 40) untuk menentukan jenis/spesiesnya (WHO 2013). Survei Periodisitas Mikrofilaremia Kasus mikrofilaremia yang diperiksa ulang periodisitas mikrofilarianya dipilih berdasarkan kesukarelaan. Penderita yang bersedia melakukan suvei periodisitas yaitu 1 orang dari 2 penderita. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 12 kali yaitu pukul 08.00, 10.00, 12.00, 14.00, 16.00, 18.00, 20.00, 22.00, 24.00, 02.00, 04.00 dan 06.00. Pada tiap pemeriksaan periodisitas, diambil darah dari ujung jari sebanyak 20 µl menggunakan lancet dan mikropipet. Pewarnaan sediaan darah sama seperti prosedur pada survei darah jari. Hasil pewrnaan kemudian periksa dan dihitung jumlah mikrofilaria dari setiap jam pemeriksaan. Pengamatan Karakteristik Habitat Larva Pengamatan karakteristik habitat dilakukan pada bulan berupa: tumbuhan air, predator alami, jentik yang ditemukan, serangga lain, jarak terhadap permukiman, ekosistem sekitar, kondisi air, dasar perairan, kedalaman, pH, salinitas dan suhu. Pengamatan habitat jentik dilakukan di semua jenis perairan baik alamiah maupun buatan yang diduga sebagai tempat perkembangbiakan. Pencidukan dilakukan merata mewakili luas perairan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan cidukan atau pipet. Jentik yang didapat dari setiap jenis perairan di masukkan kedalam gelas plastik dan diberi label berdasarkan tanggal penelitian. Jentik yang ditemukan kemudian diidentifikasi dengan melihat ciri morfologi jentik sampai pada tahap genus. Pemetaan dengan Software Arc GIS Pemetaan dilakukan pada tempat yang di identifikasi terdapat jentik. Pemetaan ini dilakukan dengan cara merekam koordinat lokasi sampel yang disimpan dalam bentuk WPT (waypoint) dengan GPS Garmin, kemudian melakukan database management system antara data keruangan dengan data atribut menggunakan software MS Excell dan disimpan dalam format yang sama dengan format software GIS, kemudian dibuat peta tematik dalam bentuk distribusi dengan Arc GIS 10.1. Hasil pengolahan dalam bentuk peta distribusi tempat perindukan. Analisis Data Data hasil penelitian yang didapatkan akan dilakukan pengolahan dan tabulasi dalam bentuk grafik dan tabel, kemudian akan dilakukan analisis secara analitik dan diskriptif. Pengaruh indeks curah hujan (ICH), suhu dan kelembaban
12
dengan kepadatan nyamuk dianalisis secara statistik menggunakan uji korelasi pearson dengan tingkat keprcayaan 95 % (α = 5 %) menggunakan SPSS 16.00. Indeks Curah Hujan (ICH) Indeks curah hujan : Jumlah curah hujan x hari hujan 𝑥 100 % jumlah hari pada bulan yang bersangkutan Kelimpahan Nisbi, Frekuensi Spesies dan Dominansi Spesies Kepadatan nyamuk spesies tertentu dengan beberapa penangkapan penangkapan yang dinyatakan dalam kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap dan angka dominansi nyamuk (Sigit 1968). Kelimpahan nisbi : Jumlah individu spesies tertentu yang ditangkap Jumlah total individu nyamuk yang tertangkap
x 100%
Frek. Spesies : Jumlah bulan tertangkapnya nyamuk spesies tertentu Jumlah bulan penangkapan Dominansi spesies : Kelimpahan nisbi x Frekuensi spesies. Kepadatan Nyamuk Pada Orang Kepadatan populasi nyamuk dapat diketahui dari hasil penangkapan di daerah penelitian, maka data yang diperoleh dihitung menurut rumus yaitu (WHO 2013): Man hour density (MHD) : Jumlah nyamuk yang ditangkap dengan umpan orang Lama penangkapan/ jam x Jlh penangkap xJlh wkt penangkapan Man bitting rate (MBR) : Jumlah nyamuk yang ditangkap dengan umpan orang Lama penangkapan/ jam x Jumlah malam x Jumlah umpan orang
13
Proporsi parus (parity rate), peluang hidup dan umur relatif Proporsi parus adalah persentase nyamuk yang pernah bertelur berdasarkan hasil pembedahan kelenjar ovari dalam suatu periode penangkapan. Parity rate : Jumlah nyamuk pernah bertelur (parus) Jumlah nyamuk yang diperiksa ovariumnya Peluang hidup nyamuk setiap hari yang dinyatakan dalam % yang diperoleh dari suatu perhitungan matematis dengan mengetahui proporsi parus dan siklus gonotropik (Davidson 1954). Rumus Peluang hidup
(P) =
b
d
P : peluang hidup nyamuk setiap hari b
: siklus gonotropik (hari)
d : Parus rate (porporsi nyamuk parus = %) Hasil pengukuran : Peluang hidup nyamuk setiap hari ( % ) Umur relatif nyamuk di populasi adalah perkiraan umur nyamuk di populasi yang dinyatakan dalam hari, yang diperoleh melalui suatu perhitungan matematis dengan melakukan perhitungan setelah diketahuinya peluang hidup nyamuk setiap hari (Davidson 1954; Drapper and Davidon 1952). Keterangan : 1 Umur relatif di populasi :
log e : bilangan matematis tertentu - log e p
p
: Peluang hidup nyamuk
Periodisitas Mikrofilaremia Hasil pemeriksaan periodisitas mikrofilaria pada penderita dianalisis dengan formula Aikat dan Das (1976) dalam Fontes et al. (2000).
14
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keanekaragaman Jenis Nyamuk 4.1.1 Ragam Jenis Secara Morfologi Jenis nyamuk yang ditemukan di Desa Mandomai terdiri atas Culex quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mansonia uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, Anopheles barbirostris, An. balabacensis, Aedes albopictus, Ae. aegypti dan Armigeres subalbatus. Cx. quinquefasciatus mempunyai ciri khas pada probosis tidak ada gelang putih, tergit pada abdomen dengan gelang basal yang sempit dan integumen pada pleuron berwarna pucat merata (Gambar 4a). Cx. gellidus mempunyai ciri khas pada probosis terdapat gelang pucat. Skutum tertutup sisik-sisik keperakan yang lebat dan setidaknya di bagian anterior serta berakhir dipangkal sayap. Gelang basal abdomen mencapai tepi tergit dengan bentuk V kearah posterior (Gambar 4b).
b
a
d
c
e
Gambar 4 Jenis nyamuk dari genus Culex spp. di Desa Mandomai 2015. a. Culex quinquefasciatus; b. Culex gellidus; c. Culex tritaeniorhynchus; d. Culex hutchinsoni; e. Culex bitaeniorhynchus. ciri khas setiap jenis nyamuk
15
Cx. tritaeniorhynchus mempunyai ciri khas pada probosis terdapat gelang pucat, bagian ventral probosis ke pangkal dengan bercak pucat dan pada sayap tanpa noda sisik sisik yang jelas (Gambar 4c). Cx. hutchinsoni mempunyai ciri khas pada probosis tidak ada gelang putih, integumen pada pleuron berwarna coklat kehitam-hitaman (Gambar 4d). Cx. bitaeniorhynchus mempunyai ciri khas pada probosis terdapat gelang pucat dan pada sayap dengan sisik-sisik pucat yang menyebar di antara sisik-sisik gelap, terutama pada kosta dan sub kosta. Abdomen dengan gelang pucat apikal yang bagian atasnya mirip segitiga dan gelang basal atau pada bagian abdomen tertutup oleh sisik-sisik pucat (Gambar 4e). Mn. annulata mempunyai ciri khas pada femur kaki depan terdapat 5 bercak pucat, pada bagian mesonotum terdapat sisik putih tidak beraturan dan pada ruas tarsal bergelang pucat lebar (Gambar 5a). Mn. uniformis mempunyai ciri khas ciri khas pada femur kaki depan terdapat 3 bercak pucat, bagian mesonotum toraks terdapat sepasang garis longitudinal pucat (Gambar 5b). Mn. dives mempunyai ciri khas ciri khas pada femur kaki depan terdapat 5 bercak pucat, bagian mesonotum terdapat kumpulan sisik-sisik putih berbentuk bulat sebanyak 6 buah. Bagian atas pangkal sayap di mesonotum ada kumpulan sisik putih (Gambar 5c). An. balabacensis mempunyai ciri khas pada probosis seluruhnya gelap, pada pangkal sayap vena terdapat 4 atau lebih noda pucat, kaki-kaki dengan bintik pucat dan persambungan tibia dan tarsus kaki belakang dengan gelang pucat lebar (Gambar 6a).
a
b
c
Gambar 5 Jenis nyamuk dari genus Mansonia spp. di Desa Mandomai 2015. a. Mn. annulata; b. Mn. uniformis; c. Mn. dives. ciri khas setiap jenis nyamuk
16
a
b
Gambar 6 Jenis nyamuk dari genus Anopheles spp. di Desa Mandomai 2015. a. Anopheles balabacensis; b. Anopheles barbirostris. ciri khas setiap jenis nyamuk
An. barbirostris mempunyai ciri khas pada palpus seluruhnya gelap, pada ruas abdomen VII terdapat sisik/sikat gelap, pada kosta dan urat I dari sayap terdapat tiga atau kurang noda-noda pucat (Gambar 6b).
a
b
c
d
Gambar 7 Jenis nyamuk dari genus Aedes spp. di Desa Mandomai 2015. a dan c Aedes albopictus; b dan d. Aedes aegypti. ciri khas setiap jenis nyamuk
17
Gambar 8 Armigeres subalbatus di Desa Mandomai 2015.
ciri khas nyamuk
Ae. albopictus mempunyai ciri khas pada kepala, toraks dan abdomen berwarna belang-belang hitam putih, skutelum 3 lobus dan satu garis putih pada mesonotum berbentuk lurus (Gambar 7a). Ae. aegypti mempunyai ciri khas berwarna belang-belang hitam putih baik pada kepala toraks dan abdomen serta terdapar garis/corak pada mesonotum yang berbentuk seperti siku lire/curve berhadapan (Gambar 7b). Ar. subalbatus mempunyai ciri khas pada probosis yang melengkung ke bawah dan pada abdomen bagian bawah memiliki noda putih yang merata (Gambar 8). Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. fuscocephalus, Cx. gellidus, Cx bitaeniorhnchus merupakan vektor JE di Indonesia. Cx. quinquefasciatus merupakan vektor W. bancrofti di DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Papua (Irian Jaya). Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. annulirostris merupakan vektor W. bancrofti di Irian jaya (Hadi dan Soviana 2010). Cx. quinquefasciatus, Ma.annulata, Mn. bonneae, Mn. uniformis dan Mn. dives juga dilaporkan vektor B.malayi di Bengkulu (Suzuki et al. 1981). An. barbirostris, An. vagus dan An. subpictus merupakan vektor B. timori tipe periodik nokturna di Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara, Timor Timur (Fischer 2002). Menurut Shriram et al. (2015), Cx. quinquefasciatus merupakan vektor W. bancrofti tipe sub periodik diurnal di Nicobarase, Pulau Nicobar India. Mn. uniformis diketahui merupakan vektor dari B. malayi tipe hutan di Batanghari, Jambi (Yahya et al. 2012). Muslim et al. (2013) melaporkan Ar. subalbatus merupakan vektor B. pahangi di daerah sub urban di Penisular Malaysia dan BonneWepster (1956) melaporkan bahwa Cx. bitaeniorhynchus merupakan vektor W. bancrofti di Papua Nugini. Mn. uniformis dan Mn. africana dilaporkan di Ghana adalah vektor W. bancrofti (Ughasi et al. 2012). 4.1.2 Ragam Jenis Berdasarkan Cara Penangkapan Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus dan Ae. aegypti merupakan nyamuk yang ditemukan pada semua metode penangkapan (Tabel 1). Persentase nyamuk yang menggigit di luar rumah untuk Cx. bitaeniorhynchus (47.55%), Cx. tritaeniorhynchus (24.03%) dan Cx.
18
Tabel 1 Jumlah dan persentase nyamuk yang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015). Umpan orang (HLC) UOL UOD
Jenis Nyamuk
Resting RD
Light trap
RL
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
Jml
%
64
2.38
24
1.26
21
1.98
17
1.25
0
0.00
Mn. dives
5
0.19
0
0.00
1
0.09
3
0.22
35
14.06
Mn. annulata
65
2.41
59
3.09
35
3.31
44
3.24
0
0.00
Cx. quinquefasciatus
588
21.84
463
24.22
206
19.45
394
28.99
44
17.67
Cx. bitaeniorhynchus
1280
47.55
878
45.92
589
55.62
565
41.57
104
41.77
Cx. tritaeniorhynchus
647
24.03
376
19.67
183
17.28
313
23.03
52
20.88
Cx. gellidus
2
0.07
0
0.00
0
0.00
2
0.15
0
0.00
Cx. hutchinsoni
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
0.07
0
0.00
An. balabacensis
1
0.04
0
0.00
0
0.00
1
0.07
0
0.00
An. barbirostris
5
0.19
5
0.26
0
0.00
1
0.07
0
0.00
Ae. aegypti
26
0.97
104
5.44
20
1.89
14
1.03
14
5.62
Ae. albopictus
8
0.30
3
0.16
3
0.28
4
0.29
0
0.00
Mn. uniformis
Ar. subalbatus Total
1
0.04
0
0.00
1
0.09
0
0.00
0
0.00
2692
100.00
1912
100.00
1059
100.00
1359
100.00
249
100.0
Ket : UOL : umpan orang luar; UOD : umpan orang dalam; RD : Istirahat di dalam rumah; RL : Istirahat di luar rumah.
quinquefasciatus (21,84 %), sedangkan di dalam rumah yaitu Cx. bitaeniorhynchus 45.92 %, Cx. quinquefasciatus 24.22 % dan Cx. tritaeniorhynchus 19.67 %. Jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus selain didapatkan pada umpan orang juga diperoleh dengan penangkapan menggunakan light trap di kandang sapi (41.77%). Perilaku resting Cx. bitaeniorhynchus di dalam rumah sebesar 55.62% dan di luar rumah sebesar 41.57 %. Berdasarkan komposisi keanekaragaman nyamuk diketahui Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus merupakan spesies yang paling banyak tertangkap masing-masing sebanyak 3416 dan 1695 nyamuk. Jenis Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus paling banyak ditemukan di luar rumah dengan persentase berturut-turut 37.47 % dan 34.69 % (Tabel 2). Cx. bitaeniorhynchus menunjukkan aktivitas menggigit lebih menyukai di luar (eksofagik) dan di dalam rumah (endofagik) serta beristirahat di dalam rumah (endofilik). Jenis Nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus lebih bersifat endofilik dan eksofilik. Yahya et al. (2015) melaporkan di Batanghari, Jambi bahwa Cx. quinquefasciatus lebih bersifat eksofilik dan zoofilik, sedangkan Ramadhani dan Yuniarto (2009) melaporkan Cx. quinquefasciatus dan Cx. bitaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik karena lebih banyak ditemukan menggigit di luar rumah. Jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan vektor filariasis W. bancrofti di Pekalongan.
19
Tabel 2 Komposisi keanekaragaman nyamuk yang tertangkap dengan berbagai metode penangkapan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015). Umpan orang (HLC) Jenis Nyamuk Mn. uniformis
Jumlah 126
UOL
UOD
Resting RD
RL
Light Trap
64
24
21
17
0
(50.79 %)
(19.05 %)
(16.67 %)
(13.49 %)
(0.00 %)
Mn. dives
44
5
0
1
3
35
Mn. annulata
325
(11.36%) 65
(0.00%) 69
(2.27%) 35
(6.82%) 45
(79.55%) 0
Cx. quinquefasciatus
1695
(20.00%) 588
(21.23%) 463
(10.77%) 206
(13.85%) 394
(0.00%) 44
(34.69 %)
(27.32 %)
(12.15 %)
(23.24 %)
(2.60 %)
Cx. bitaeniorhynchus
3416
1280
878
589
565
104
(37.47 %)
(25.70 %)
(17.24 %)
(16.54 %)
(3.04 %)
Cx. tritaeniorhynchus Cx. gellidus
1571 4
Cx. hutchinsoni
1
An. balabacensis
2
An. barbirostris Ae. aegypti
11 178
Ae. albopictus
18
Ar. subalbatus
2
Total
647
376
183
313
52
(41.18 %)
(23.93 %)
(11.65 %)
(19.92 %)
(3.31 %)
2
0
0
2
0
(50.00 %)
(0.00 %)
(0.00 %)
(50.00 %)
(0.00 %)
0
0
0
1
0
(0.00 %)
(0.00 %)
(0.00 %)
(100.00 %)
(0.00 %)
1
0
0
1
0
(50.00 %)
(0.00 %)
(0.00 %)
(50.00 %)
(0.00 %)
5
5
0
1
0
45.45 %
45.45 %
0.00 %
9.09 %
0.00 %
26
104
20
14
14
(14.61 %)
(58.43 %)
(11.24 %)
(7.87 %)
(7.87 %)
8
3
3
4
0
(44.44 %)
(16.67 %)
(16.67 %)
(22.22 %)
(0.00 %)
1
0
1
0
0
(50.00 %)
(0.00 %)
(50.00 %)
(0.00 %)
(0.00 %)
7393
2692
1918
1089
1380
314
(100.00%)
(36.41%)
(25.94%)
(14.73%)
(18.67%)
(4.25%)
UOL : umpan orang luar, UOD : umpan orang dalam, RD : Istirahat di dalam rumah, RL : Istirahat di luar rumah.
Kesukaan dan kebiasaan menghisap darah setiap jenis nyamuk pada suatu daerah berbeda dan bersifat kompleks. Wilson dan Sevarkodiyone (2013) di Tamil Nadu, India melaporkan bahwa Cx. quinquefasciatus bersifat zoofilik karena lebih menyukai satwa mamalia (kerbau, sapi dan kambing) dan burung, namun Farajollahi et al. (2011) melaporkan di Thailand bahwa Cx. quinquefasciatus lebih bersifat zooantropofilik karena selain mamalia (kerbau, sapi dan kambing) dan burung juga menyukai manusia.
20
4.1.3 Kelimpahan Nisbi, Frekuensi dan Dominansi Spesies Tabel 3 Kelimpahan nisbi, frekuensi spesies, dominansi spesies dengan umpan orang dan light trap berdasarkan jenis nyamuk di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) No
Jenis nyamuk
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Mn. uniformis Mn. dives Mn. annulata Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus Cx. gellidus Cx. hutchinsoni An. balabacensis An. barbirostris Ae. aegypti Ae. albopictus Ar. subalbatus
Jlh
Umpan Orang KN FS DS (%) 1.79 0.83 1.5 0.13 0.33 0.04 2.89 0.75 2.17 23.51 1 23.51 47.17 0.33 15.72 21.63 0.92 19.83 0.06 0.08 0.47 0.01 0.08 0.24 0.03 0.17 0 0.16 0.5 0.08 2.34 0.75 1.75 0.26 0.33 0.09 0.03 0.25 0.01
126 44 203 1695 3416 1571 4 1 2 11 178 18 2 KN : Kelimpahan Nisbi, FS : Frekuensi Spesies, DS : Dominansi Spesies
Light trap KN (%) 0 14.06 0 17.67 41.77 20.88 0 0 0 0 5.62 0 0
FS
DS
0 0.75 0 1 0.25 1 0 0 0 0 0.75 0 0
0 0.11 0 0.18 0.10 0.21 0 0 0 0 0.03 0 0
Kelimpahan nisbi, frekuensi dan dominansi spesies tertinggi dengan penangkapan umpan orang terdapat pada jenis nyamuk Cx. tritaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus dan Cx. bitaeniorhynchus, sedangkan dengan light trap terdapat pada jenis nyamuk Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus (Tabel 3). Hal tersebut diduga disebabkan di sekitar pemukiman banyak terdapat pembuangan air limbah rumah tangga dan selokan yang merupakan habitat potensial bagi ketiga spesies nyamuk tersebut. Ramadhani dan Yuniarto (2009) di daerah Pekalongan Jawa Tengah menyatakan bahwa pengelolaan limbah rumah tangga yang tidak baik dapat menyebabkan air menjadi tergenang dan dapat menjadi habitat Cx. quinquefasciatus. Dominansi spesies tinggi pada penangkapan dengan menggunakan light trap yaitu dari jenis nyamuk Cx. tritaeniorhynchus (0.21) dan Cx. quinquefasciatus (0.18) dengan frekuensi spesies masing-masing 1.00 seperti yang tersaji pada Tabel 3. Sitorus et al. (2015) di Desa Karang Anyar, Kabupaten Banyuasin melaporkan jenis nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan light trap sebanyak 38 nyamuk dengan jenis nyamuk tertangkap yaitu Cx. quinquefasciatus, An. vagus dan An. sinensis/crawfordi. 4.2 Kepadatan Nyamuk 4.2.1 Kepadatan Perbulan Kepadatan nyamuk menggigit tertinggi per orang per jam (man hour density/MHD) pada bulan September yaitu jenis nyamuk Mn. uniformis (UOL 0,59 nyamuk/orang/jam dan UOD 0.24 nyamuk/orang/jam). Bulan Oktober dan November kepadatan menggigit tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx.
21
Tabel 4
Kepadatan nyamuk yang menggigit per orang per jam (man hour density/MHD) setiap bulan di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
September Oktober November Desember UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL Mn. uniformis 0.24 0.59 0.00 0.07 0.00 0.07 0.20 0.48 Mn. dives 0.00 0.09 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.19 Mn. annulata 0.00 0.00 0.02 0.02 0.17 0.24 0.91 0.94 Cx. quinquefasciatus 0.17 0.56 0.72 0.37 1.76 2.30 5.93 7.67 Cx. bitaeniorhynchus 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 16.26 23.65 Cx. tritaeniorhynchus 0.04 0.17 0.00 0.04 0.96 2.30 5.96 9.50 Cx. gellidus 0.00 0.04 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 Cx. hutchinsoni*) An. balabacensis 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 An. barbirostris 0.04 0.06 0.00 0.00 0.00 0.02 0.06 0.02 Ae. aegypti 0.00 0.02 0.00 0.00 1.37 0.30 0.56 0.17 Ae. albopictus 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.06 0.04 0.09 Armigeres. Sp 0.00 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 *) Ket : hanya ditemukan pada penangkapan resting/istirahat. UOD : umpan orang dalam, UOL : umpan orang luar Jenis Nyamuk
quinquefasciatus dan bulan Desember kepadatan menggigit tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus (Tabel 4). Kepadatan nyamuk di antaranya dipengaruhi oleh iklim seperti yang dilaporkan oleh Dixit et al. (2009) di Chattisgarh, India yang menyatakan bahwa Cx. quinquefasciatus meningkat pada bulan Februari ketika musim hujan. Hal ini didukung oleh Pipitgool et al (1998) yang melaporkan kepadatan nyamuk (MHD) Cx. quinquefasciatus di Kota Khon Kaen, Thailand berkisar antara 1,6 nyamuk/orang/jam di bulan Desember menjadi 9.2 nyamuk/ orang / jam di bulan Maret ketika musin hujan. Nilai MHD tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus sebesar 39.96 nyamuk/jam/orang. Kepadatan tinggi lainnya terdapat pada jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus dengan nilai MHD masing-masing 19.46 nyamuk/jam/orang dan 18.94 nyamuk/jam/orang (Tabel 5). Nilai MBR tertinggi terdapat pada jenis nyamuk Cx. bitaeniorhynchus (29.97 nyamuk/hari/orang). Kepadatan tinggi lainnya terdapat pada jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus dengan nilai MBR masing-masing 14.6 nyamuk/jam/orang dan 14.21 nyamuk/jam/orang (Tabel 5). Nilai MHD dan MBR umumnya lebih tinggi di luar rumah dibandingkan dengan di dalam rumah, hal ini kemungkinan jenis nyamuk yang ditemukan lebih bersifat eksofilik. Kepadatan Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus dan Mn. annulata yang tinggi di Desa Mandomai karena dekat dengan tempat habitat larva yang berada di sekitar rumah penduduk.
22
Tabel 5
Kepadatan nyamuk per orang per jam (man hour density/MHD) dan Kepadatan nyamuk perorang perhari (man bitting rate/MBR) berdasarkan lokasi penangkapan di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
NO
Jenis nyamuk
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Mn. uniformis Mn. dives Mn. annulata Cx. quinquefasciatus Cx. bitaeniorhynchus Cx. tritaeniorhynchus Cx. gellidus Cx. hutchinsoni An. balabacensis An. barbirostris Ae. aegypti Ae. albopictus Ar. subalbatus
MHD Luar Dalam
Total MHD
1.19 0.09 1.20 10.89 23.70 11.98 0.04 0.00 0.02 0.09 0.48 0.15 0.02
1.63 0.09 2.29 19.46 39.96 18.94 0.04 0 0.02 0.18 2.41 0.21 0.02
0.44 0.00 1.09 8.57 16.26 6.96 0.00 0.00 0.00 0.09 1.93 0.06 0.00
MBR
Luar 0.89 0.07 0.90 8.17 17.78 8.99 0.03 0.00 0.01 0.07 0.36 0.11 0.01
Dalam 0.33 0.00 0.82 6.43 12.19 5.22 0.00 0.00 0.00 0.07 1.44 0.04 0.00
Total MBR 1.22 0.07 1.72 14.6 29.97 14.21 0.03 0 0.01 0.14 1.8 0.15 0.01
Ket : MHD = kepadatan nyamuk menggigit/orang/jam; MBR : kepadatan nyamuk menggigit/orang/hari
Setiawan et al. (2012) di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah juga melaporkan nilai MBR dan MHD pada jenis nyamuk Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus tertinggi di luar rumah, hal ini karena tenpat perindukan dekat dekat pemukiman. Hal ini diperkuat oleh Sukowati dan Shinta (2009) yang menyatakan bahwa kepadatan nyamuk yang tinggi sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jarak tempat habitat larva dengan rumah penduduk, demikian pula halnya dengan kondisi di Desa Mandomai yang banyak ditemukan tempat habitat larva yang dekat dengan rumah penduduk. 4.2.2 Hubungan Kepadatan Nyamuk (MBR) dengan Indeks Curah Hujan (ICH), Suhu dan Kelembaban Indeks curah hujan (ICH) terendah di Kecamatan Kapuas Barat berada pada bulan September (28.27 mm/bulan), sedangkan ICH tertinggi pada bulan Desember (239 mm/bulan). Bulan Desember jumlah nyamuk yang tertangkap mengalami kenaikan yang signifikan jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Cx. bitaeniorhynchus tidak ditemukan pada bulan September – Oktober, namun meningkat tajam pada bulan Desember. Hal ini diduga karena ICH yang tinggi pada bulan Desember (Gambar 9). Suhu udara di Desa Mandomai diketahui berkisar antara 27.4 - 29 0C dengan suhu terendah pada bulan Desember dan tertinggi pada bulan September (Gambar 10). Data kelembaban diketahui berkisar antara 77 – 91 % dengan kelembaban terendah pada bulan September dan tertinggi pada bulan Desember (Gambar 11). Bulan Desember kelembaban udara tinggi dengan suhu udara yang rendah, hal ini disebabkan karena telah memasuki musim penghujan. kondisi ini menyebabkan kepadatan nyamuk meningkat di bulan tersebut karena suhu dan kelembaban mendukung perkembangan nyamuk.
23
300.00
16
250.00
14 12
200.00
10
150.00
8 6
100.00
4
Indeks Curah Hujan (Bulan/mm)
Kepadatan nyamuk (individu per orang per malam)
18
50.00
2 0
0.00 September
oktober
november
desember
Bulan Cx. tritaeniorhynchus
Cx. quinquefasciatus
Indeks curah hujan
Hubungan Jumlah nyamuk tertangkap dan indeks curah hujan (ICH) (September – Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
18
28.8
16
28.6
14
28.4
12
28.2
10 8
28
6
27.8
4
Suhu (Derajat Celsius)
Kepadatan nyamuk (individu per orang per malam)
Gambar 9
Cx. bitaenioryhnchus
27.6
2 0
27.4 September
oktober
november
desember
Bulan Cx. bitaenioryhnchus
Cx. tritaeniorhynchus
Cx. quinquefasciatus
suhu rata-rata ( Celcius)
Gambar 10 Hubungan jumlah nyamuk tertangkap dan suhu rata-rata (September – Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
90 88 86 84 82 80
Kelembaban (%)
Kepadatan nyamuk (individu per orang per mala)
24
78 76 September
oktober
november
desember
Bulan
Gambar 11
Cx. bitaenioryhnchus
Cx. tritaeniorhynchus
Cx. quinquefasciatus
Kelebaban Udara (%)
Hubungan jumlah nyamuk tertangkap dan kelembaban rata-rata (September – Desember 2015) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
Hasil perhitungan statistik tidak ditemukan adanya hubungan antara indeks curah hujan, suhu dan kelembaban dengan kepadatan nyamuk (nilai P > 0.05) (Lampiran 8), hal ini kemungkinan karena data curah hujan yang didapatkan pada bulan penangkapan tidak terlalu jauh perbedaanya, namun menurut Bai et al. (2013) bahwa suhu, curah hujan, angin, dan cuaca ekstrim berpengaruh terhadap penularan penyakit bersumber nyamuk di China dalam 100 Tahun terakhir. Russel et al. (1963) menyatakan bahwa suhu udara 25°C – 27°C dan kelembaban antara 80 – 90 % sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan nyamuk, selain itu Paaijmans and Thomas (2013) melaporkan bahwa perubahan iklim 3 – 4 0C dari suhu sebelumnya memberikan dampak terhadap daya optimal nyamuk. Menurut Santoso et al. (2014), suhu optimum perkembangbiakan nyamuk penular filariasis (Mn. uniformis dan Mn. dives) di Muaro Jambi berkisar antara 28 -32 0C. Pemetaan risiko kejadian filariasis yang dilakukan di Tamil Nadu, India berdasarkan geo environmental risk map (GERM) menyatakan bahwa curah hujan, suhu, kelembaban relatif, ketinggian dan tipe tanah berpengaruh terhadap risiko kejadian filariasis (Sabesan et al. 2006). 4.3 Aktivitas Menggigit dan Istirahat (Resting) 4.3.1 Aktivitas Menggigit Mn. uniformis mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah meningkat pada pukul 19.00 – 20.00 dan 21.00 – 22.00, kemudian meningkat kembali pada pukul 05.00 – 06.00. Jenis nyamuk Mn. annulata peningkatan aktivitas terjadi menjelang senja yaitu pukul 18.00 – 20.00, sebaliknya puncak aktivitas Mn. dives terjadi menjelang pagi yaitu pukul 04.00 – 05.00. Aktivitas menggigit Mn. uniformis di dalam rumah meningkat pada pukul 22.00 – 23.00, Mn. annulata pukul 19.00 – 20.00, sedangkan pada Mn. dives tidak ditemukan puncak aktivitas menggigit di dalam rumah (Gambar 12).
25
Mansonia uniformis UOD
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
MHD
MHD
UOL
Mansonia annulata UOL
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
jam penangkapan
UOD
jam penangkapan
Mansonia dives
MHD
UOL
UOD
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
jam penangkapan
Gambar 12 Aktivitas menggigit Mansonia spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) Aktivitas menggigit nyamuk di dalam dan diluar rumah juga dilaporkan oleh Ambarita dan Sitorus (2004) di Desa Sebubus, Sumatera Selatan, bahwa aktivitas Mn. dives tertinggi di luar rumah pada pukul 19.00 – 18.00 dan di dalam rumah pukul 20.00 – 21.00 dan pada Mn. uniformis di luar rumah tertinggi pada pukul 20.00 – 21.00 dan 21.00 – 22.00 sedangkan di dalam rumah tertinggi pukul 20.00 – 21.00. Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus aktivitas menggigitnya ditemukan pada setiap jam penangkapan dan meningkat menjelang senja di luar dan di dalam rumah. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah meningkat pada pukul 19.00 – 20.00 sedangkan di dalam rumah peningkatan aktivitas meningkat pada pukul 23.00 – 24.00. Aktivitas menggigit Cx. gellidus menigkat pada pukul 21.00 – 22.00 dan 23.00 – 24.00, sedangkan di dalam rumah tidak ditemukan aktivitas menggigit. Jenis nyamuk Cx. hutchinsoni tidak ditemukan aktivitas menggigit baik di dalam maupun di luar rumah (Gambar 13). Aktivitas menggigit Culex spp. di dalam dan diluar rumah juga dilaporkan oleh Syahrial et al. (2005) di daerah endemis filariasis di Desa Empat, Kalimantan Selatan bahwa waktu puncak aktivitas mengigit Cx. vishnui, Cx. sitiens, Cx. quinquefasciatus, Cx. fuslephalus, Mn. uniformis, Mn. dives, dan An. nigerrimus pada pukul 19.00 – 20.00 dan 04.00 – 05.00.
26
Culex tritaeniorhynchus
Culex bitaeniorhynchus UOD
20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
Culex gellidus UOL
Culex quinquefasciatus UOD
MHD
MHD
UOD
Jam penangkapan
Jam Penangkapan
0.30
UOL
MHD
UOL
MHD
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
0.20 0.10 0.00
20.00 15.00 10.00 5.00 0.00
jam Penangkapan
UOL
UOD
Jam penangkapan
Culex hutchinsoni MHD
1.00
UOL
UOD
0.50 0.00
jam penangkapan
Gambar 13 Aktivitas menggigit Culex spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
Ae. aegypti mempunyai aktivitas menggigit yang meningkat pada pukul 18.00 – 19.00 di dalam rumah, sedangkan di luar rumah pada pukul 19.00 – 20.00. Jenis nyamuk Ae. albopictus, aktivitas menggigit meningkat beberapa kali yaitu pada pukul 18.00 – 19.00, 24.00 – 01.00 dan 05.00 – 06.00 di dalam rumah, sedangkan di luar rumah pada pukul 19.00 – 20.00 dan 21.00 – 24.00 (Gambar 14). Aktivitas Aedes biasanya aktif pada siang hari, namun di Desa Mandomai juga ditemukan aktif pada malam hari. Aktivitas menggigit Aedes aegypti malam hari juga dilaporkan oleh Hadi et al. (2012) di berbagai daerah di Indonesia yaitu Cikarawang, Babakan, dan Cibanteng Kabupaten Bogor, Cangkurawuk Darmaga Bogor, Pulau Pramuka, Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Gunung Bugis, Gunung Karang, Gunung Utara Balikpapan dan Kayangan, Lombok Utara.
27
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
UOL
Aedes albopictus 0.40
UOD
MHD
MHD
Aedes aegypti
UOL
UOD
0.30 0.20 0.10 0.00
Jam Penangkapan
Jam penangkapan
Gambar 14 Aktivitas menggigit Aedes spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015) An. balabacensis mempunyai aktivitas menggigit menjelang senja (19.00 – 20.00) di luar rumah, sedangkan pada An. barbirostris, aktivitas menggigit merata sepanjang malam baik di dalam dan di luar rumah (Gambar 15). An. barbirostris dilaporkan sebagai vektor filariasis (B. timori) di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur dengan aktivitas menggigit 21.00 dan 03.00 (Atmosoedjono et al. 1977). Anopheles barbirostris
0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
UOL
UOD
MHD
MHD
Anopheles balabacensis 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
Jam Penangkapan
UOL
UOD
Jam penangkapan
Gambar 15 Aktivitas menggigit Anopheles spp. dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
MHD
Armigeres subalbatus 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
UOL
UOD
Jam Penangkapan
Gambar 16 Aktivitas menggigit Armigeres subalbatus dengan umpan orang luar (UOL) dan umpan orang dalam (UOD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
28
Jenis nyamuk Ar. subalbatus mempunyai aktivitas menggigit hanya menjelang pagi dan di luar rumah yaitu pukul 04.00 – 05.00 (Gambar 16). Prastowo & Anggraini (2012) melaporkan bahwa aktivitas menggigit Ar. subalbatus di Kebumen, Jawa Tengah pada pukul 24.00 dan 02.00. Ar. subalbatus dilaporkan sebagai vektor filariasis (B. pahangi) pada kucing dan anjing di suburban Kuala Lumpur, Peninsular Malaysia (Muslim et al. 2013). 4.3.2 Perilaku Istirahat (resting) Mn. dives mempunyai perilaku istirahat pada pukul 23.00 – 24.00 di dalam rumah, sedangkan di luar rumah ditemukan pukul 18.00 – 19.00, 24.00 – 01.00 dan 02.00 – 03.00. Perilaku istirahat Mn. uniformis tertinggi di dalam rumah pada pukul 22.00 – 23.00, sedangkan di luar rumah pukul 20.00 – 21.00. Pada Mn. annulata, perilaku istirahat tertinggi pada pukul 19.00 – 20.00 baik di dalam dan di luar rumah (Gambar 17). Genus culex sp. merupakan jenis nyamuk yang lebih suka isirahat di dalam dan di luar rumah, kecuali Cx. gellidus dan Cx. hutchinsoni tidak ditemukan istirahat di dalam rumah. Perilaku istirahat Cx. gellidus tertinggi pada pukul 20.00 – 23.00, sedangkan pada Cx. hutchinsoni pada senja hari yaitu pukul 18.00 – 19.00 (Gambar 18).
0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00
RD
Mansonia annulata
RL
MHD
MHD
Mansonia uniformis
RD
1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
RL
Jam penangkapan
Jam penangkapan
MHD
Mansonia dives 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
RD
RL
Jam penangkapan
Gambar 17 Perilaku resting Mansonia spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
29
Culex hutchinsoni
Culex gellidus RD
0.10
RL
0.05
MHD
MHD
0.10
0.00
RD
0.05 0.00
Jam penangkapan
Jam penangkapan
Culex tritaeniorhynchus
RD
MHD
MHD
Culex bitaeniorhynchus 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
RL
RD
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
Jam Penangkapan
RL
Jam penangkapan
MHD
Culex quinquefasciatus 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00
RD
RL
Jam penangkapan
Gambar 18 Perilaku resting Culex spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
Ae. aegypti mempunyai perilaku istirahat sepanjang malam, namun yang tertinggi pada waktu senja di dalam rumah yaitu pukul 19.00 – 20.00, sedangkan perilaku istirahat Ae. albopictus terjadi mejelang senja yaitu pukul 18.00 – 19.00, kemudian tengah malam (23.00 – 24.00) dan menjelang pagi (05.00 – 06.00) (Gambar 19).
30
0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
RD
Aedes albopictus
RL
RD RL
0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
MHD
MHD
Aedes aegypti
Jam penangkapan
Jam penangkapan
Gambar 19 Perilaku resting Aedes spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
Anopheles sp. Mempunyai perilaku istirahat hanya di luar rumah. Jenis nyamuk An. balabacesis hanya ditemukan istirahat pada pukul 21.00 – 22.00 sedangkan An. barbirostris perilaku istirahat tertinggi terdapat pada pukul 20.00 – 21.00 (Gambar 20). Anopheles balabacensis RD
RL
0.15
MHD
MHD
0.20
Anopheles barbirostris
0.10 0.05 0.00
RD
0.20 0.15 0.10 0.05 0.00
RL
Jam penangkapan
Jam penangkapan
Gambar 20 Perilaku resting Anopheles spp. di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
Ar. subalbatus memiliki perilaku istirahat hanya di dalam rumah yaitu pukul 21.00 – 22.00 (Gambar 21).
MHD
Armigeres subalbatus 0.10 0.08 0.06 0.04 0.02 0.00
RD
RL
Jam penangkapan
Gambar 21 Perilaku resting Armigeres subalbatus di luar (RL) dan di dalam (RD) di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
31
Perilaku nyamuk istirahat di dinding rumah merupakan informasi penting dan dibutuhkan bagi pengelola program filariasis dalam pengendalian vektor. Menurut Bruce (1980), informasi tentang perilaku istirahat di dinding ini sangat diperlukan dalam pengendalian vektor dengan penyemprotan rumah (indoor residual spraying = IRS). Upaya pengendalian vektor dengan penyemprotan rumah akan sangat efektif apabila perilaku vektor diketahui istirahat di dalam rumah. 4.4 Infeksi Mikrofilaria Pada Nyamuk Hasil pembedahan dari 7022 nyamuk tidak ditemukan mikrofilaria di dalam tubuh nyamuk. Hal ini diduga karena jumlah mikrofilaria di dalam darah hanya sedikit sehingga bisa dibunuh oleh pertahanan tubuh nyamuk. Berdasarkan paritas, nyamuk Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus Cx. quinquefasciatus, Mn. annulata, Cx. hutchinsoni dan Ar. subalbatus memiliki paritas yang tinggi (Tabel 6). Widyastuti et al. (2013) menyatakan bahwa nyamuk yang sudah pernah bertelur kemungkinan memiliki rentang umur yang panjang sehingga akan mempengaruhi penyelesaian masa inkubasi ekstrinsik parasit yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan klimatologis, seperti suhu dan kelembaban relatif. Perkiraan umur populasi nyamuk di Desa Mandomai yang sangat bervariasi dari 0 – 38.9 hari. Umur populasi nyamuk Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus berturut-turut 38.9, 23.9 dan 14.3 hari dengan peluang hidup per hari 0.97 %, 0.95 % dan 0.93 % (Tabel 9). Perkiraan umur populasi nyamuk menunjukkan bahwa jenis nyamuk yang memenuhi syarat sebagai vektor potensial filariasis adalah Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus. hal ini dikarenakan perkiraan nyamuk tersebut memungkinkan mikrofilaria berkembang di dalam tubuh nyamuk sesuai dengan masa inkubasi. Masa inkubasi ekstrinsik filariasis W. bancrofti menurut WHO (2013) adalah 6 – 12 hari, sedangkan filariasis B. malayi 10 – 12 hari dan filariasis B. timori 7 – 10 hari (Sasa 1976). Satu syarat nyamuk menjadi vektor filariasis yaitu harus mempunyai umur yang relatif nyamuk harus lebih panjang dari masa inkubasi ekstrinsik (Sasa 1976). Paritas, umur nyamuk dan siklus gonotrofik dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Mala et al. (2014) melaporkan bahwa umur An. gambie di Kenya lebih panjang (1.1 hari) pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini didukung dengan penelitian Uttah et al. (2013) di daerah endemis filariasis dan malaria di Calabar, Nigeria yang menyatakan bahwa pada musim hujan ratarata nyamuk bisa bertahan sampai 3 kali parus. Persyaratan nyamuk menjadi vektor antara lain adalah umur nyamuk yang lebih panjang dari masa inkubasi ekstrinsik, kepadatan nyamuk yang tinggi, ada kontak dengan manusia, tahan terhadap parasit dan ada sumber penularan (WHO 2015). Faktor penghambat nyamuk sebagai vektor filariasisis di antaranya ada cibarial armatures yaitu duri-duri halus pada faring yang mampu membunuh 3096% mikrofilaria yang terhisap, misalnya pada An. farauti dan An. gambiae (McGreevy et al. 1978), namun ketika jumlah mikrofilaria yang terhisap tinggi dapat menyebabkan cibarial armatures tertutup oleh mikrofilaria sehingga mikrofilaria lainnya dapat lewat ke usus tengah (midgut) (Amuzu et al. 2010). Nyamuk yang tidak mempunyai cibarial armatures dalam penelitian ini adalah Ae. aegypti dan Mn. uniformis, sehingga lebih berpeluang menjadi vektor filariasis.
32
Tabel 6
Paritas, proporsi parus dan perkiraan umur nyamuk di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
Jenis nyamuk
Jumlah nyamuk
Paritas P
Mn. uniformis 126 82 Mn. dives 9 2 Mn. annulata 203 129 Cx. quinquefasciatus 1651 1427 Cx. bitaeniorhynchus 3312 3153 Cx. tritaeniorhynchus 1519 1403 Cx. gellidus 4 3 Cx. hutchinsoni 1 1 An. balabacensis 2 1 An. barbirostris 11 8 Ae. aegypti 164 137 Ae. albopictus 18 12 Ar. subalbatus. 2 2 Keterangan = P : parus, N : nulliparus
N
44 7 14 224 159 116 1 0 1 3 27 6 0
Proporsi parus ( % )
Perkiraan umur nyamuk per spesies Umur populasi Peluang hidup nyamuk (hari) per hari ( % )
65.08 22.22 73.10 86.43 95.20 92.36 75.00 100 50.00 72.73 83.54 66.67 100
4.4 1.3 5.3 14.3 38.9 23.9 4.9 0 2.8 5.3 4.9 5.9 4.9
0.80 0.46 0.76 0.93 0.97 0.95 0.86 0.00 0.70 0.83 0.89 0.86 0.82
4.5 Infeksi Filaria pada Penduduk 4.5.1 Prevalensi Filariasis Hasil Pemeriksaan darah jari ditemukan masih ada 2 orang positif filariasis dari 110 orang yang diperiksa. Umur penderita positif berada pada rentang 46 – 55 dan 56 – 65 (Tabel 7). Spesies mikrofilaria yang ditemukan yaitu B. malayi (Gambar 22). Panjang cacing dewasa pada umumnya pada jantan 24 mm lebih pendek dari betina 53 mm, dengan ukuran panjang rata-rata 200 -280 mm (Zeibig 2013). Filariasis Brugia merupakan penyakit zoonosis yang dapat menginfeksi hewan selain manusia yaitu kera (Macaca fascicularis), lutung (Presbythis cristatus) dan kucing (Felis catus), sedangkan anjing (Canis fascicularis) adalah reservoir untuk D. immitis (Zeibig 2013). Santoso et al. (2014) juga menemukan B. malayi pada Kucing (Felis catus) di daerah Muaro Jambi Provinsi Jambi. Tabel 7 Prevalensi filariasis berdasarkan katagori umur (tahun) di Desa Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas Tahun 2015. Golongan Umur (Tahun) 0–5 6 – 15 16 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 46 – 55 56 – 65 Total (Orang)
Jenis kelamin (N: 110) Laki-laki Perempuan 1 2 10 12 4 9 8 9 11 12 10 5 3 8 2 4 49 61
Jumlah penderita 0 0 0 0 0 0 1 1 2
33
.
Gambar 22 Pengambilan darah Jari (SDJ) (1 dan 2); Spesies Brugia malayi pada pemeriksaan Mikroskopis (3 dan 4) 4.5.2 Periodisitas Mikrofilaria pada Penderita Pemeriksaan survei darah jari, hanya 1 penderita positif mikrofilaremia yang bersedia dilakukan pemeriksaan periodisitas mikrofilaria. Hasil pemeriksaan selama 24 jam menunjukkan keberadaan mikrofilaria di dalam darah tepi pada setiap periode pemeriksaan. Pemeriksaan pukul 12.00, 22.00 dan 24.00 tidak ditemukan mikrofilaria per 20 mm3 darah tepi. Jumlah mikrofilaria terbanyak ditemukan pada pukul 16.00 yaitu sebanyak 11 mikrofilaria (Tabel 8). Total mikrofilaria yang ditemukan selama 24 jam sebanyak 31 mikrofilaria dengan rata 2.58. Menurut postulate WHO (2013) jumlah mikrofilaria per 20 mm3 minimal mengandung 15 mikrofilaria supaya dapat ditularkan ke orang lain. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Setiawan et al. (2012) di Kotawaringin Kalimantan Tengah yang menemukan rerata mikrofilaria 4.45 sehingga tidak ditemukan larva filaria di dalam tubuh nyamuk. Perhitungan dengan formula Aikat dan Das (1977) diperoleh nilai F sebesar 1.32. Nilai F < F 5 % teoritis (4.26) (lampiran 9), sehingga dikatakan tidak harmoni (non periodik), hal ini mengindikasikan bahwa pemeriksaan mikrofiremia bisa dilakukan pada siang hari. Nilai F yang rendah menunjukkan hubungan kepadatan mikrofilaria dengan waktu pemeriksaan sebagai gelombang yang non harmonik dan belum menunjukkan sifat sirkadian yang berkaitan dengan siklus siang dan malam seperti pada mikrofilaria yang lebih umum. Ciri non periodik lain yang tidak kalah penting yaitu mikrofilaria malayi dapat dijumpai dalam darah tepi pada malam dan siang hari dengan kepadatan yang relatif sama. Hasil penelitian ini menunjukkan kepadatan mikrofilaria puncak tidak menetap pada siang dan malam hari, namun perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam, mengingat penderita yang dihitung periodisitasnya hanya 1 orang.
34
Tabel 8
Periodisitas mikrofilaria Brugia malayi pada penderita di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas
No
Waktu pengambilan darah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
08.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00 02.00 04.00 06.00 Total Rerata
Jumlah mikrofilaria per 20 µm3 darah tepi 5 3 0 2 11 2 1 0 0 2 3 2 31 2.58
4.6 Tipe Habitat Tempat Perindukan Larva di Desa Mandomai Tipe habitat jentik nyamuk yang ditemukan di Desa Mandomai beragam seperti kolam, kubangan air, selokan, penampung karet dan sawah (Tabel 9). Proporsi tipe perindukan yang positif jentik nyamuk dari 24 buah yang dilakukan pengamatan yaitu kolam ikan 25%, kolam sekolah 100%, selokan 11%, kubangan 28%, sawah 100% dan penampung karet 50% (lampiran 10). Secara geografis Desa Mandomai berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut dan suhu ratarata 25 – 30 0C dengan daerah yang dikelilingi air (dekat sungai), rawa-rawa, lahan gambut, perkebunan dan persawahan. Tipe habitat akan menentukan tipe spesies nyamuk yang ditemukan dan dalam satu habitat bisa ditemukan 1 atau lebih jenis jentik nyamuk. Umumnya disetiap tempat habitat yang terdapat jentik nyamuk sangat dipengaruhi oleh keberadaan predator serta faktor fisik, kimia dan biologi juga berpengaruh terhadap jumlah larva pada setiap tempat habitat (Sukowati dan Shinta 2009). Predator yang ditemukan pada tempat habitat larva di antaranya larva Odonata (capung). Odonata pada tahap dewasa dapat memangsa nyamuk dan pada fase pradewasa mampu memakan jentik. Seekor larva Odonata mampu memakan 7-14 jentik nyamuk selama hidupnya, sehingga Odonata jika dalam populasi yang banyak mampu berperan sebagai predator alami nyamuk yang signifikan dalam 80 hari (dengan dibantu populasi Toxorhnychites sebanyak 102,5) jika populasi perbandingan antara Odonata dan nyamuk masing-masing 102 / km2 dan 107 / km2 (Faithpraise et al. 2014). Cx. bitaeniorhynchus dapat ditemukan pada habitat penampungan sementara baik permanen maupun tidak permanen dan terkena sinar matahari langsung serta terdapat vegetasi (WRBU 2016). Tempat perindukan Cx. quinquefasciatus dan Cx. tritaeniorhynchus banyak dijumpai pada air berpolusi, sumur dangkal, kontainer permanen dan semi permanen yang berhubungan
35
langsung dengan tanah, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang banyak ditemukan jentik Culex spp. pada bekas buangan limbah rumah tangga. Perindukan lain yang ditemukan pada kolam dengan tumbuhan air adalah Mansonia sp, spesies tersebut dapat ditemukan pada habitat dengan adanya tumbuhan air seperti teratai, kangkung, dan tumbuhan air lainnya yang digunakan untuk menancapkan sifon pada bagian batang air untuk bernafas (Heriyanto et al. 2011). Peta distribusi perindukan jentik nyamuk di Desa mandomai disajikan pada Gambar 23. Pengambilan data spasial dengan GPS didapatkan tempat perindukan 4 genus nyamuk yaitu Mansonia, Culex, Anopheles dan Aedes, namun tidak didapatkan habitat perindukan untuk Armigeres, hal tersebut kemungkinan karena jumlah nyamuk Armigeres yang sedikit. Tempat perindukan yang ditemukan di Desa Mandomai tentunya akan menunjang terjadinya transmisi kejadian filariasis yang terus menerus.
Gambar 23 Peta distribusi perindukan jentik di Desa mandomai Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kec. Kapuas Barat Kabuaten Kapuas
36
Tabel 9 Tipe Perindukan yang ditemukan larva nyamuk Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas (September – Desember 2015) No
Tipe perindukan
1
Kolam Ikan1
2
Kolam Sekolah
3
Selokan
4
Kubangan Air/Pembuangan Rumah Tangga Sawah
5
6
Penampung Karet (dipohon)
Tumbuhan Air
Predator Alami
Teratai (Nymphaea), Kangkung (Ipomoea aquatica Forsk.) Teratai (Nymphaea), Kangkung (Ipomoea aquatica Forsk.) Lumut hijau (Enleroinorplia sp)
Larva Odonata (capung), Ikan Nila, Ikan Sepat, (Belostomatidae, Geriidae)
jentik yang ditemukan Anopheles sp, Culex sp, Mansonia sp
Variabel yang ditemukan Serangga lain Jarak Ke Pemukiman
Ekosistem sekitar
Kondisi air
Dasar Periran
Kedalaman
pH
Salinitas
Suhu
Odonata (Gomphidae, Lebellulidae)
5- 10 m
Perkebunan
Tergenang
Tanah
2-3 m
5,66
0.02‰
30-32 0C
Larva Odonata (capung), (Belostomatidae, Geriidae)
Anopheles sp, Culex sp, Mansonia sp
Odonata (Gomphidae, Lebellulidae)
5- 10 m
Perkebunan
Tergenang
Tanah
3-4 m
5,66,1
0.02‰
30-32 0C
Ikan Kepala timah, Hemiptera (Belostomatidae, Geriidae) Larva Odonata (capung)
Culex sp
Psychodidae, Chironomidae
5 – 10 m
Pemukiman
Tergenang, jika hujan mengalir
Tanah bercampur semen
5 – 15 cm
5,76.3
0.02‰
31-32 0C
Culex sp
Odonata (Lebellulidae)
10 – 15 m
Tergenang
Tanah
30 – 50 cm
5,86,2
0.02‰
Padi (Oryza sativa L)
Ikan Kepala timah, ikan lele,
Anopheles sp
Odonata (Lebellulidae)
25 -50 m
Pemukiman, persawahan, Perkebunan Perkebunan
Tanah
10 – 30 cm
5,86
0.0‰
-
-
Aedes ap
-
2–5m
Pemukiman
Tergenang, mengalir lambat Tergenang
3031,5 0C 30-32 0C
Karet, kayu
5 – 7 cm
5,96,2
0.0‰
30-32 0C
37
Gambar 24 Tipe perindukan nyamuk di di Desa mandomai Kecamatan Kapuas Barat Desa Mandomai Kabupaten Kapuas (September – Desember 2015). A dan B. Selokan; C. Limbah Buangan Rumah Tangga; D. Sawah; E. Kolam Sekolah; F. Kolam Ikan; G. Perkebunan Karet; H. Kolam Ikan
38
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ragam jenis nyamuk di Desa Mandomai sebanyak 13 jenis yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. gellidus, Cx. hutchinsoni, Mn. uniformis, Mn. dives, Mn. annulata, An. barbirostris, An. balabacensis, Ae. albopictus, Ae. aegypti dan Ar. subalbatus. Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik, eksofilik dan endofilik. Cx. quinquefasciatus, Cx. tritaeniorhynchus lebih bersifat eksofagik dan eksofilik. Kepadatan nyamuk tinggi ( MHD dan MBR ) yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus. Kepadatan lebih tinggi di dalam rumah dibandingkan di luar rumah. Kepadatan nyamuk berbanding lurus dengan indeks curah hujan, suhu dan kelembaban, namun berdasarkan perhitungan statistik tidak ditemukan adanya hubungan. Cx. bitaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul 18.00 – 19.00 dan di dalam rumah pada pukul 23.00 – 24.00. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai aktivitas menggigit di luar rumah pada pukul 21.00 – 22.00 dan 19.00 – 20.00, sedangkan di dalam rumah pada pukul 21.00 – 22.00. Cx. quinquefasciatus mempunyai aktivitas menggigit pada pukul 23.00 – 24.00 di luar rumah, sedangan di dalam rumah pada pukul 20.00 – 21.00. Cx. bitaeniorhynchus mempunyai perilaku istirahat pada pukul 22.00 – 23.00 baik di dalam dan diluar rumah. Cx. tritaeniorhynchus mempunyai perilaku istirahat di luar rumah pada pukul 03.00 – 04.00 dan di dalam rumah pada pukul 24.00 – 01.00. Cx. quinquefasciatus mempunyai perilaku istirahat di luar rumah pada pukul 23.00 – 24.00 dan di dalam rumah pada pukul 20.00 – 21.00. Larva infektif (L3) tidak ditemukan pada nyamuk yang dibedah. Perkiraan umur populasi Cx. bitaeniorhynchus adalah 38.9 hari, Cx. tritaeniorhynchus 23.9 hari dan Cx quinquefasciatus 14.3 hari, sehingga dapat berpotensi menjadi vektor filariasis. Berdasarkan pemeriksaan darah jari ditemukan 2 (0.02%) orang positif filariasis dari 110 orang yang diperiksa. Umur penderita positif berada pada rentang 46 – 65. Pemeriksaan periodisitas selama 24 jam, mikrofilaria tidak ditemukan pada jam 12.00, 22.00 dan 24.00. Periodisitas mikrofilaria bersifat non periodik di dalam darah tepi. Tipe perindukan yang diamati berjumlah 24 buah dengan proporsi positif jentik yaitu kolam ikan 25%, kolam sekolah 100%, selokan 11%, kubangan 28%, sawah 100% dan penampung karet 50%. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa di Desa Mandomai terdapat 3 jenis nyamuk yaitu Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus dan Cx. quinquefasciatus yang berpotensi sebagai vektor filariasis dan ditemukan habitat yang mendukung keberadaan nyamuk. Saran Perlu dukungan dan kerja sama tokoh masyarakat serta lintas sektor dalam upaya pencegahan dan pengendalian vektor filariasis terutama untuk membersihkan lingkungan agar tidak menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk vektor filariasis. Pemeriksaan dan pengobatan juga diperlukan terhadap hewan yang bertindak sebagai zoonosis (kucing, kera) terutama hewan yang menjadi peliharaan penderita
39
filariasis agar tidak menjadi sumber penularan. Penelitian lanjutan diperlukan untuk mengetahui penderita baru pada penduduk yang belum dilakukan pengambilan darah jari, sehingga jika ditemukan penderita dapat dilanjutkan dengan mengetahui peridositas. DAFTAR PUSTAKA Aikat, TK and Das M. 1977. A Modified Statistical Method For Analysis of Periodicity of Microfilaria. Indian J Med Res. 65: 58–64. Ambarita LP dan Sitorus H. 2006. Studi Komunitas Nyamuk di Desa Sebubus (Daerah Endemis Filariasis) Sumatera Selatan Tahun 2004. J. Ekol Kes 5(1) : 368 – 375. Amuzu H, Wilson MD and Boakye DA. 2010. Studies of Anopheles gambiae s.l (Diptera: Culicidae) Exhibiting Different Vectorial Capacities in Lymphatic Filariasis Transmission in The Gomoa District, Ghana. Parasites & Vectors. 3(85) : 2 – 6. Atmosoedjono S, Partono F, Dennis DT. 1977. Anopheles barbirostris (Diptera: Culicidae) As a Vector of the Timor Filaria on Flores Island: Preliminary Observations. J Med Entomol. 13(4 – 5) : 611 – 613. Bai L, Morton CL and Qiyong L. 2013. Climate Change and Mosquito – Borne Diseases in China: a review. Globalization and Health. 9(10) : 1 – 22. Bonne-Wepster J. 1956. Culex bitaeniorhynchus as Vector Of Wuchereria bancrofti in New-Guinea. Documenta de Medicina Geographica et Tropica. 8 (4 ): 375 – 379. Bruce CLJ.1980. Essential Malariology. London (ENG): William Heinemann Medical Books Ltd. Christensen BM, Forton KF. 1986. Hemocytemediated Melanization of Microfilariae in Aedes aegypti. J Parasitol. 72(2): 220 – 225. Davidson G. 1954. Estimation of the Survival Rate of Anopheline Mosquitoes. Nature. 174: 792 – 793. [DEPKES RI] Departemen Kesehatan RI. 2005. Epidemiologi Filariasis. Ditjend PP&PL Jakarta (ID). Dinas Kesehatan Kabupaten Kapuas. 2014. Laporan Kasus Filariasis tahun 2009 – 2013. Kapuas (ID). Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah, 2011. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2012. Palangkaraya (ID). Dixit VI, Baghel P, Gupta AK, Bisen PS, Prasad GB. 2009. Impact of Season on Filarial Vector Density and Infection in Raipur City of Chhattisgarh, India. J Vector Borne Dis. 46(3) : 212 – 218. Drapper C and Davidson G. 1952. A New Method of Estimating the Survival Rate of Anopheline Mosquitoes in Nature. Trop Dis Bull. 46:569. Evans DB, Gelband H, Vlassoff C. 1993. Social and Economic Factors and the Control of Lymphatic Filariasis: A review. Acta Tropica. 53: 1 – 26. Faithpraise FO, Idung J, Usibe B, Chatwin CR, Young R, Birch P. 2014. Natural Control of the Mosquito Population via Odonata and Toxorhynchites. Int’l J Innov Res in Sci Eng Tech. 3(5):12898 – 12911. Farajollahi A, Fonseca DM, Kramer LD, Marm AK.2011. “Bird biting” Mosquitoes and Human Disease: A review of the Role of Culex pipiens Complex
40
Mosquitoes in Epidemiology. Infect Genetics and Evol. 7 (11):1577 – 1585. Fischer P, Wibowo H, Pischke S, Ruckert P, Liebau E, Ismid IS, Supali T. 2002. PCR-Based Detection and Identification of the Filarial Parasite Brugia timori from Alor Island, Indonesia. Annals Trop Med Parasitol. 96(8): 809 – 821. Fontes GE. Rocha MM, Brito AC, Fireman FAT. 2000. The Microfilarial Periodicity of Wuchereria bancrofti in north–eastern Brazil. Annals Trop Med Parasitol. 94 (4) : 373 – 379. Hadi UK dan Soviana S. 2010. Ektoparasit : Pengenalan, Identifikasi dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press. Hadi UK, Soviana S, Gunandini DJ. 2012. Aktivitas Nokturnal Vektor Demam Berdarah Dengue di Beberapa Daerah di Indonesia. JEI. 9 (1): 1 – 6. Herianto B, Boewono DT, Widiarti, Boesri H, Widyastuti U, Blondine CP, Sowasono H, Ristiyanto, Pujiyanti A, Alfiah S, Prastowo D, Anggraini YM, Irawan AS, Mujiyono. 2011. Atlas Penyakit Vektor Penyakit di Indonesia (Seri 1). Kementerian Kesehatan RI, Badan Litbangkes BBPVRP Salatiga, Salatiga Indonesia (ID). Kazura JW. 2002. Lymphatic Filarial Infections: An Introduction To The Filariae. Dalam Klei Thomas R, Rajan T V. The Filaria.. New York (USA). Kluwer academic publishers. 5 :1-9. Kley RT, Rajan TV. 2002. World Class Parasite : Volume 5 The Filaria. Kluwer Academic Publishers New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. p. 920. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan RI. 2014. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. Direktorat P2B2 Ditjen P2PL Jakarta (ID). Mala AO, Irungu LW, Mitaki EK, Shililu JI, Charles MM, Joseph KN, Githure JI. 2014. Gonotrophic Cycle Duration, Fecundity and Parityof Anopheles gambiae Complex Mosquitoes Duringan Extended Period of Dry Weather in a Semi Aridarea in Baringo County, Kenya. Int’l J of Mosq Res.1 (2): 28 – 34. Mcgreevy IB, Bryan JH, Oothuman I, Kolstrup N. 1978. The Lethal Effects of the Cibarial and Pharyngeal Armatures of Mosquitoes on Microfilariae. Trans Royal Soc Trop Med Hyg.72(4) 1978 :361 – 368. Muslim A, Fong MK, Mahmud R, Lau YL and Sivanandam S. 2013. Armigeres subalbatus Incriminated as a Vector of Zoonotic Brugia pahangi Filariasis in Suburban Kuala Lumpur, Peninsular Malaysia. Parasites & Vectors. 6(219) :2 – 5. O’connor JD dan Soepanto A. 2013a. Kunci Bergambar untuk Anopheles Betina dari Indonesia.Dirjen P2PL KEMENKES RI. Jakarta(ID). O’connor JD dan Soepanto. 2013b. Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes. Ditjen P2 Dan PL Subdit Penyakit Bersumber Binatang Kementerian Kesehatan RI. Jakarta (ID). O’connor JD dan Soepanto. 2000a. Kunci Bergambar Nyamuk Mansonia.Ditjen P2M dan PLP Departemen Kesehatan RI.Jakarta (ID). O’connor JD dan Soepanto. 2000b. Kunci Identifikasi Culex. Ditjen PPM & PLP. Jakarta (ID).
41
Paaijmans KP and Thomas MB. 2013. Relevant Temperatures in Mosquito and Malaria Biology. Ecol parasite vector interact. 3 : 103 – 121. Partono F. 1987. The Spectrum of Diseases Lymphatic Filariasis. Ciba Fondation Symposium 127. John Wiley & Son (SIN): 15 – 31. Pipitgool VI, Waree P, Sithithaworn P, Limviroj W. 1998. Studies on Biting Density and Biting Cycle of Culex quinquefasciatus say in Khon Kaen City, Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 29(2):333 – 336. Pichon G. 2002. Limitation and Facilitation in the Vectors and Other Aspects of the Dynamics of Filarial Transmission: the Need for Vector Control Against Anopheles Transmitted Filariasis. Annals Trop Med Parasitol. 96 (Suppl. 2): S143–S152. Prastowo D, Anggraini YM. 2012. Dinamika Populasi Nyamuk Yang Diduga Sebagai Vektor Di Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. J Vektora. 4(2): 83 – 87. Ramadhani T dan Yunianto B. 2009. Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex quinquefasciatus di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah. Aspirator.1 (1): 11 – 15. Ramaiah KD, Das PK, Michael E, Guyatt H. 2000. The Economic Burden of Lymphatic Filariasis in India. Parasitol Today 16(6) :251 – 253. Rowland MW and Lindsay SW. 1986. The Circadian Flight Activity of Aedes aegypti Parasitised with the Filarial Nematode Brugia pahangi. Physiol Entomol. 11 : 325 – 334. Russel PF, West LS, Manwell RD, Macdonal G. 1963. Practical Malariology. 2nd Edition. London (ENG): Oxrford University Press. Sabesan S, Raju HKK, Srividy AN, Das PK. 2006. Delimitation of Lymphatic Filariasis Transmission Risk Areas: a Geo-Environmental Approach. Filaria J. 5(12) : 1 – 6. Santoso, Yahya, Milana S. 2014. Penentuan Jenis Nyamuk Mansonia Sebagai Tersangka Vektor Filariasis Brugia malayi dan Hewan Zoonosis Di Kabupaten Muaro Jambi. Media Penelitian Kesehatan. 24 (4):181 – 190. Santoso, Oktarina R, Ambarita LP, Sudomo M. 2008. Epidemiologi Filariasis di Desa Sungai Rengit Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Tahun 2006. Bull Penelitian Kesehatan. 36(2):59 – 70. Sasa M. 1976. Human Filariasis. A Global Survey of Epidemiology and Control. Tokyo: University of Tokyo Press (JPN). Setiawan B, Soeyoko, Satoto TB. 2012. Epidemiologi Filariasis Limfatik di Kecamatan Kota Besi, Kabupaten Kotawaringin Timur Provinsi Kalteng. Bul. Spirakel.4: 4 – 16. Shriram AN , Krishnamoorthy K, Vijayachari P. 2015. Diurnally Subperiodic Filariasis Among the Nicobarese of Nicobar District - Epidemiology, Vector Dynamics & Prospects of Elimination. Indian J Med Res. 141 : 598 – 607. Sigit SH. 2000. Parasitology and Parasitic Diseases in Indonesia (A Country Report) in : Isao Tada I, Akoi T, Aoki Y, Arizono N, Himeno K, Hirayana K et al. editors. Proceeding The 1st Congress of Federation of Asian Parasitologist (FAP) : 2000 November 3 – 5 Chiba. University Japan : 2000 pp 71 – 8.
42
Sigit SH. 1968. Studies on The Organization of Oribatid Mite Communities in Three Ecologycally Different Grasslands[Disertation]. Oklahoma State University USA. Sitorus H, Santoso, Budiyanto A, Ambarita L, Hapsari N, Taviv Y. 2015. Keanekaragaman Spesies Nyamuk di Wilayah Endemis Filariasis di Kabupaten Banyuasin dan Endemis Malaria di Oku Selatan. BALABA (11) 2 : 97 – 104. Soeyoko. 2002. Penyakit kaki gajah (filariasis limfatik):permasalahan dan alternatif penanggulangannya : Orasi Guru Besar Fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (ID). Sukowati S, Shinta. 2009. Habitat Perkembangbiakan dan Aktivitas Menggigit Nyamuk Anopheles sundaicus dan Anopheles subpictus di Purworejo, Jawa Tengah. J Ekol Kes. 8 (1) : 915 – 925. Southgate BA. 1984. Recent Advances in the Epidemiology and Control of Filarial Infections Including Entomological Aspects of Transmission. Trans R Soc Trop Med Hyg. 78 Suppl:19 – 28. Suzuki T, Sudomo M, Bang YH, Lim BL. 1981. Studies on Malayan Filariasis in Bengkulu (Sumatera), Indonesia With Special Reference to Vector Confirmation. The Southeast Asian J Trop Med Public Health. 12(1):47 – 54. Syahrial Z, Santi M, Ririh Y, Hasan A. 2005. Populasi Nyamuk Dewasa di Daerah Endemis Filariasis Studi di Desa Empat Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Banjar Tahun 2004. J Kes Lingk. 2 (1) : 85 – 96. Ughasi J, Bekard HE, Coulibaly M, Delphina D, Gyapong J, Appawu M, Wilson MD, Boakye DA. 2012. Mansonia africana and Mansonia uniformis are Vectors in the Transmission of Wuchereria bancrofti Lymphatic Filariasis in Ghana. Parasites & Vectors. 5(89): 2 – 5. Uttah EC. Iboh CI. Raymond A, Osim SE, Etta H. 2013. Physiological Age Composition of Female Anopheline Mosquitoes in an Area Endemic for Malaria and Filariasis. Int’l J Scie and Res Pub. 3(7):1 – 5. [WHO] World Health Organization. 2011. Lymphatic Filariasis:Monitoring and Epidemiological Asessment of Mass Drug Administration. TAS. A manual for National Elimination Programmes. Geneva (SWISS). [WHO] World Health Organization. 1987. Control of Lymphatic Filariasis : A Manual for Health Personal, Geneva, Swiss (SWISS). [WHO] World Health Organization. 1994. Lymphatic Filariasis Infection and Disease: Controlstategis. Report of a consultative meeting held at the University Sains Malaysia, Penang, Malaysia (MAS). [WHO] World Health Organization. 1997. Lymphatic Filariasis. Prospect for the Elimination of Some TDR diseases. p:17 – 22. [WHO] World Health Organization. 2013. Lymphatic Filariasis : A Handbook For National Elimination Programmes. WHO Press, World Health Organization, Geneva (SWISS). Terdapat pada : http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/87989/1/9789241505642_eng.pd f [WHO] World Health Organization. 2015. Lymfatic Filariasis (Epidemiologi) : The Vector. Geneva (SWISS). terdapat pada : http://www.who.int/lymphatic_filariasis/epidemiology/en/
43
Widyastuti U, Boewono DT, Widiarti, Supargiyono, Satoto TBT. 2013. Kompetensi Vektorial Anopheles maculatus, Theobald di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulonprogo. Media Penelitian Kesehatan. 23 (2): 47 – 57. Wilson JJ and Sevarkodiyone SP.2013. Behavioral Expression (Breeding and Feeding) of Mosquitoes in an Agro Ecosystem. (Athikulam, Virudhunagar District Tamil Nadu, India). European J Biol Sci. 5 (3): 99 – 103. Yahya, Santoso, Salim M, Arisanti M. 2014. Deteksi Brugia malayi pada Armigeres subalbatus dan Culex quinquefasciatus yang di Infeksikan Darah Penderita Filariasis Dengan Metode PCR. Aspirator, 6(2) :pp. 35 – 42. Yahya, Santoso, Ambarita L. 2015. Aktivitas Menggigit Mansonia uniformis (Diptera: Culicidae) di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Jurnal Buski. 5 (3) : 140 – 148. Zeibig EA. 2013. Clinical Parasitology: A Practical Approach. Saunders Elsevier Inc. Saint Louis University St. Louis, Missouri (USA).
LAMPIRAN
45
Lampiran 1 : Naskah Penjelasan Penelitian NASKAH PENJELASAN PENELITIAN Sebagai salah satu syarat akhir untuk lulus megister sains pada INSTITUT PERTANIAN BOGOR, SEKOLAH PASCASARJANA, PRORAM STUDI PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN adalah dengan membuat tesis penelitian. Judul penelitian tesis ini adalah “Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya Di Desa Madomai, Kabupaten Kapuas di Provinsi Kalimantan Tengah”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui vektor penular filariasis dan karakteristik habitat filariasis di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Dalam penelitian ini ada kegiatan penangkapan nyamuk, pengambilan jentik, pengambilan darah dan survey periodisitas. Kami sangat mengharapkan partisipasi saudara(i) dalam penelitin ini, partisipasi bersifat sukarela tanpa paksaan dan bila tidak berkenan dapat menolak atau sewaktu – waktu dapat mengundurkan diri tanpa sanksi apapun. Hak saudara(i) sebagai kader penangkap nyamuk dalam penelitian ini akan diberikan kompensasi sebagai pengganti waktu yang hilang sebesar Rp. 75.000,/orang/6 Jam dan pada survey periodisitas sebesar 250.000,Semua informasi yang saya dapatkan dari Bapak/Ibu akan dijaga kerahasiaannya dan akan disimpan untuk keperluan penelitian.. Informasi tersebut hanya digunakan untuk pengembangan kebijakan program kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Semua data tidak akan dihubungkan dengan identitas saudara. Apabila saudara memerlukan penjelasan lebih lanjut mengenai riset ini dapat menghubungi : M. Rasyid Ridha (No. Hp. 08125012745)
46
Lampiran 2 : Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) Inform Consent
Saya telah mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai hal yang berkaitan dengan penelitian tesis yang dilaksanakan oleh M. Rasyid Ridha dengan judul “Vektor Potensial Filariasis dan Habitatnya Di Desa Mandomai, Kabupaten Kapuas di Provinsi Kalimantan Tengah “, Saya memutuskan setuju untuk ikut berpartisipasi dalam riset ini secara sukarela tanpa paksaan. Bila saya inginkan, maka saya dapat mengundurkan diri sewaktu-waktu tanpa sanksi apapun.
Nama
Nama Saksi
Tgl/bln/tahun
Tanda tangan/cap jempol diri sendiri
Tgl/bln/tahun
Tanda tangan/cap jempol wali syah
Tanda tangan
Keterangan: 1. 2.
Subjek penelitian yang boleh menandatangani informed consent adalah mereka yang telah berumur 15 tahun. Bagi Subjek penelitian yang berumur kurang dari 15 tahun, informed consent ditandatangani oleh wali yang sah.
47
Cx. tritaeneurhyncus
Cx. gellidusus
Cx. hutchinsoni
An. balabacensis
An. babrbirostris
Mn. dives
Mn. annulata
Ae. aegypti
Ae. albopictus
Ar. subalbatus
8.5
0.0
0.0
0.0
0.2
0.0
5.5
0.67
0.33
0.0
7.7
4.8
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.5
4.00
0.0
0.0
21.0
14.8
0.0
0.0
0.3
0.0
0.0
3.2
1.17
0.0
0.0
15.3
7.0
0.0
0.0
0.0
0.2
0.0
4.8
2.67
0.17
0.0
12.3
19.5
5.8
0.0
0.0
0.0
0.2
0.0
0.3
0.17
0.0
0.0
0.0
12.7
14.3
4.3
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.8
1.67
0.0
0.0
UOL
2.7
7.7
16.7
13.7
0.2
0.0
0.0
0.0
0.0
0.8
0.67
0.0
0.0
UOD
0.7
5.5
9.8
11.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
1.3
2.50
0.0
0.0
UOL
0.3
7.7
18.7
9.5
0.0
0.0
0.0
0.2
0.0
0.3
0.33
0.0
0.0
UOD
1.0
8.8
10.8
6.0
0.0
0.0
0.0
0.2
0.0
1.2
1.33
0.17
0.0
UOL
0.3
16.3
23.2
10.8
0.2
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.17
0.33
0.0
UOD
0.2
10.5
19.0
5.8
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.2
2.33
0.17
0.0
UOL
0.5
5.7
14.3
8.7
0.0
0.0
0.0
0.0
0.3
0.2
0.0
0.0
0.0
UOD
0.3
4.0
10.7
4.2
0.0
0.0
0.0
0.3
0.0
0.0
0.67
0.0
0.0
UOL
1.0
9.0
14.0
14
0.0
0.0
0.0
0.2
0.3
0.0
0.0
0.17
0.0
UOD
0.0
7.5
13.2
3.3
0.0
0.0
0.0
0.2
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
UOL
0.2
6.3
18.3
3.2
0.0
0.0
0.0
0.2
0.0
0.3
0.67
0.0
0.0
UOD
0.3
7.3
10.5
5.8
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.67
0.0
0.0
UOL
0.8
6.8
7.2
12.3
0.0
0.0
0.0
0.0
0.3
0.2
0.0
0.17
0.0
UOD
0.0
3.2
14.8
1.3
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.5
0.50
0.0
0.0
UOL
0.2
4.0
20.5
3.8
0.0
0.0
0.0
0.0
0.7
0.0
0.17
0.0
0.2
UOD
0.0
6.3
9.8
7.5
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.3
0.33
0.0
0.0
UOL
1.5
3.7
5.3
0.8
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.3
0.3
0.0
UOD
0.7
3.3
15.5
0.5
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.2
0.7
0.0
0.0
Lokasi
Cx. quinquefasciatus
31.8
Jam
Mn. uniformis
Cx. bitaeniorhynchus
Lampiran 3 : Jumlah Rata-Rata Nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan HLC di Desa Mandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015)
18.00 19.00
UOL
0.7
13.8
UOD
0.8
6.0
UOL
2.5
4.7
UOD
0.0
2.0
UOL
0.3
UOD
19.00 - 20.0 20.0 21.00 21.00 22.00 22.00 23.00 23.00 24.00 24.00 01.00 01.00 02.00 02.00 03.00 03.00 04.00 04.00 05.00 05.00 06.00
Ket : UOD (Umpan Orang Dalam ), UOL (Umpan Orang Luar).
48
Mn. dives
Mn. annulata
0.9
1.8
0.8
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.8
0.1
0.0
0.0
RL
0.3
2.4
3.2
0.8
0.0
0.1
0.0
0.0
0.2
0.0
0.0
0.1
0.0
RD
0.1
0.8
4.2
0.7
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.8
0.7
0.0
0.0
RL
0.2
1.3
3.0
2.5
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
1.4
0.2
0.0
0.0
20.0 21.00
RD
0.0
3.1
3.5
1.4
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.6
0.3
0.0
0.0
RL
0.6
3.8
4.3
2.0
0.0
0.0
0.2
0.2
0.0
0.3
0.2
0.0
0.0
21.00 22.00 22.00 23.00 23.00 24.00 24.00 01.00 01.00 02.00 02.00 03.00 03.00 04.00 04.00 05.00 05.00 06.00
RD
0.3
1.2
4.1
0.9
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.3
0.3
0.0
0.1
RL
0.1
4.8
4.2
3.4
0.1
0.0
0.0
0.0
0.0
0.8
0.0
0.0
0.0
RD
0.7
1.9
2.0
1.1
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.2
0.1
0.0
0.0
RL
0.1
3.1
4.9
2.1
0.1
0.0
0.0
0.1
0.0
0.7
0.2
0.0
0.0
RD
0.3
2.7
9.2
1.9
0.0
0.0
0.0
0.0
0.2
0.0
0.3
0.1
0.0
RL
0.0
7.8
8.7
3.3
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.2
0.2
0.0
RD
0.0
0.8
5.7
2.2
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.1
0.0
0.0
RL
0.1
1.4
4.2
1.7
0.0
0.0
0.0
0.1
0.2
0.0
0.2
0.0
0.0
RD
0.3
1.3
1.4
1.8
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
RL
0.1
1.6
1.1
2.8
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
RD
0.1
0.8
2.0
1.8
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
RL
0.2
1.5
3.7
0.2
0.0
0.0
0.0
0.0
0.2
0.2
0.0
0.0
0.0
RD
0.0
1.1
2.8
0.4
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.3
0.0
0.0
0.0
RL
0.0
2.1
2.2
4.3
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.1
0.0
0.0
RD
0.2
1.8
7.1
1.6
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
RL
0.2
2.2
3.5
2.5
0.0
0.0
0.0
0.1
0.0
0.2
0.2
0.0
0.0
RD
0.1
0.9
5.3
0.7
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.2
0.0
RL
0.0
0.9
4.3
0.6
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.1
0.1
0.1
0.0
Ket : RD (Dinding dalam), RL (Dinding Luar)
Ar. subalbatus
An. babrbirostris
0.1
Ae. albopictus
An. balabacensis
RD
Lokasi
Ae. aegypti
Cx. hutchinsoni
18.00 19.00 19.00 - 20.0
Jam
Mn. uniformis
Cx. gellidusus
Cx. tritaeneurhyncus
Cx. bitaeniorhynchus
Cx. quinquefasciatus
Lampiran 4 : Jumlah Rata-rata Nyamuk yang tertangkap dengan penangkapan Resting DesaMandomai, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah (September – Desember 2015).
49
Lampiran 5 : Foto Kegiatan Penelitian
Identifikasi dan pembedahan nyamuk
Pengambilan darah jari pada pendukduk
Kader penangkap nyamuk
Identifikasi dan pembedahan nyamuk
Persiapan alat dan bahan penangkapan nyamuk
Persiapan alat dan bahan penangkapan nyamuk
Pengukuran parameter perindukan nyamuk
air
pada Pengukuran parameter perindukan nyamuk
air
pada
50
Lampiran 6 : Hasil Pemeriksaan Darah Jari c 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nama 11/19/2015 Rivaldo Sasliadi Helda Unes M. Andi Riza Rinto Indah Sari Haiti Kristiani Melin Riati Suri Mawardi Iyan Riska Semboyan Lani Firmansyur Toha Rizki Yendri Natalia Cindy Kartini Rike Milo Defiana M. Ramadani Suliati Ahmadi Mengki Lioni Enyang Ningrum Lita Hesti Jesica Nana Adi Candra 11/20/2015 Putra
Umur
JK
RT
Hasil
Tgl Pemeriksaan
8 36 33 45 14 16 34 11 63 6 36 53 38 39 57 6 57 50 36 43 11 27 24 7 34 71 45 23 6 54 50 20 78 55 56 19 7 32 43
L L P L L L L P P P L P P L L P L P L L P L P P P P P P L P L L P L P P P P L
14 14 14 14 14 20 14 14 14 17 17 17 17 20 17 14 14 14 14 14 14 14 14 11 11 11 11 11 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 20
+ -
11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015 11/20/2015
6
L
9
-
11/21/2015
51
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
Vera yani Ismail Jaelani Milna Meikasi Mely Viviana Syifa Azzahra Ardi Lamsiah Mega Tati Nurkoniati Nati Melti Rio Mera Arbain Nurul Dagun Digu Defi Sri Handayani Yanita Sudi Lindriani Doni Ramadhan Hendra Miwa Leli Anska Kristopel Lusi Patricia Rica Roky Ramlah Ero Rizki Neni Superdi Rianto Miftahul Jannah Yuli 11/21/2015 Rifa Pita
35 9 29 52 18 5 11 65 56 41 58 63 24 13 15 40 36 49 58 7 36 38 45 16 11 35 31 53 21 52 12 45 18 37 74 16 38 43 34 13 37
P L P L P P L P P P P P P L L L P L L P P P L P L L P P P L P P L P L L P L L P P
9 19 19 19 19 20 20 9 9 20 20 20 20 20 20 20 20 10 19 19 19 14 14 14 14 15 15 15 15 15 15 15 15 15 17 17 17 17 17 20 20
+ -
11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015 11/21/2015
3 30
P P
20 20
-
11/24/2015 11/24/2015
52
84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110
Jupin Mimi Milowati Delia Riane Noli Karlina Delia Fitriani Deni Sumanto Rosita Rangkep Hayati Wiwi Melki Esra Impun Inprasetyaningsih Budi Setyo Mimi Radikin Cicoh Eki S. Arsah Rohanah Agus Salim
34 50 43 69 54 74 14 12 40 27 34 49 22 56 34 35 68 41 48 53 56 33 51 11 11 18 3
L P P P P P P P P L L P L P P L L L P L L L P L L L L
20 11 17 17 16 16 16 17 16 16 17 16 16 14 14 14 14 14 19 19 -
-
11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015 11/24/2015
53
LAMPIRAN 7 : Pengukuran kedalaman, pH, Salinitas dan Suhu setap bulan (September – Desember 2015) pada beberapa tipe perindukan yang ditemukan di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas
Kolam Ikan Kolam Sekolah Selokan Kubangan Air/Pembuan gan Rumah Tangga Sawah Penampung Karet (dipohon)
0,5 cm 0,3c m
Kedalaman O N 2m 2.6 m 3,2 3,3 m m 0,5 5 cm cm 32 40 cm cm
10 cm 5 cm
14 cm 5 cm
S 2m 3m
20 cm 7 cm
D 3 m 4 m 15 cm 50 cm
S 5,6
O 5,6
N 5,7
D 6
S 0.02
Salinitas (‰) O N 0.02 0.02
D 0.02
S 30
5,6
5,6
5,7
6,1
0.02
0.02
0.02
0.02
30
30
31
32
5,7
5,8
5,7
6,3
0.02
0.02
0.02
0.02
31
31
32
32
5,8
5,9
6
6,2
0.02
0.02
0.02
0.02
30
30
31
31
30 cm 7 cm
5,8
5,8
6
6
0.0
0.0
0.0
0.0
30
30
31
32
5,9
5,9
6
6,2
0.0
0.0
0.0
0.0
30
30
31
32
pH
Ket : S : September, O : Oktober, N : November, D : Desember
Suhu (0C) O N 30 31
D 32
54
Lampiran 8 : Perhitungan Uji korelasi Indeks curah hujan, Suhu dan kelembaban dengan Kepadatan Nyamuk Pengaruh Indeks Curah Hujan Terhadap Kepadatan Nyamuk Correlations Kepadatan_nyam kelembaban Spearman's rho
Kelembaban
Kepadatan_nyamuk
Correlation Coefficient
uk
1.000
.800
Sig. (2-tailed)
.
.200
N
4
4
Correlation Coefficient
.800
1.000
Sig. (2-tailed)
.200
.
4
4
N
Pengaruh Suhu Terhadap Kepadatan Nyamuk Correlations Kepadatan_nyamu Suhu Spearman's rho
Suhu
Kepadatan_nyamuk
Correlation Coefficient
k
1.000
-.800
Sig. (2-tailed)
.
.200
N
4
4
-.800
1.000
.200
.
4
4
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
55
Pengaruh Kelembaban Terhadap Kepadatan Nyamuk Correlations
Spearman's rho
Indeks curah hujan
Kepadatan_nyamuk
Correlation Coefficient
Indeks curah
Kepadatan_nyamu
hujan
k 1.000
.800
Sig. (2-tailed)
.
.200
N
4
4
Correlation Coefficient
.800
1.000
Sig. (2-tailed)
.200
.
4
4
N
56
Lampiran 9 : Perhitungan Periodisitas Periodisitas mikrofilaria di daerah penelitian dianalisis dengan melihat hubungan antara kepadatan mikrofilaria (y) dengan waktu pengambilan darah (h), yang dihitung dengan menggunakan formulasi sebagai berikut : b= 2∑y cos 15 h/ n
m = y/n
c = 2∑ y sin 15 h/ n
y = m+b cos 15 h + c sin 15 h Indeks periodisitas dihitung dengan menggunakan rumus : a = √ b2 + c2
d=a/m
Puncak kepadatan mikrofilaria (k) pada masing-masing kasus/tahap pemeriksaan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Tan 15ko = c/ b Untuk tes kemaknaan (apabila harga a2 tidak sama dengan nol) dilakukan dengan cara menghitung harga F : n/2a2 F
= 1/ n-3 [∑y2 – (Y) 2/n-n/2 a2 ]
Keterangan : y n m h k d F
: kepadatan total mikrofilaria : pemeriksaan darah selama 12 kali penegambilan darah : rata-rata jumlah mikrofilaria per pengambilan darah (20 mm3) : waktu pengambilan darah : puncak kepadatan mikrofilaria : indeks periodisitas : sifat gelombang
Sifat gelombang yang diperoleh dikatakan harmonik, ritmik atau sirkadian apabila harga F lebih besar dari harga F 5 % teoritis (F = 4.26) dengan derajat kebebasan 2 dan (n – 3) dan indeks periodisitas (d) sekitar 90 %, sebaliknya sifat gelombang dikatakan non harmonik apabila harga F yang diperoleh lebih kecil dan gelombang menunjukkan sifat subperiodik apabila indeks periodisitas (d) jauh lebih rendah yaitu sekitar 30 %.
57
Waktu pengambilan darah
Cos 15h
Sin 15h
08.00 10.00
-0.5 -0.866
0.866 0.5
12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 22.00 24.00
-1 -0.866 -0.5 0 0.5 0.866 1
0 -0.5 -0.866 -1 -0.866 -0.5 0
02.00 04.00
0.866 0.5
0.5 0.866
06.00
0
1
Total
Jml mf (Y)
Y2
Y cos 15h
Y sin 15h
5 3 0 2 11 2 1 0
25 9
-2.5 -2.598
4.33 1.5
0 4 121 4 1 0 0
0 -1.732 -5.5 0 0.5 0 0
0 -1 -9.526 -2 -0.866 0 0
4 9
1.732 1.5
1 2.598
4
0
2
181
-8.598
-1.964
0 2 3 2 31
Analisis statistik hasil pemeriksaan periodisitas mikrofilaria pada penderita di di Desa Mandomai, Kec. Kapuas Barat Kabupaten Kapuas No. Perhitungan Penderita Statistik filariasis 1 y 31 2 y2 181 3 y cos 15h -8.598 4 y sin 15h -1.964 5 m 2.58 6 b -0.019384353 7 c -0.327333333 8 a 1.469910239 9 k 17.08'31" 10 f 1.326555649
58
Lampiran 10 : Titik Koordinat Pengambilan Data GPS dan Jenis Perindukan yang ditemukan GPS
NO S
E
Kolam ikan 1 Kolam ikan 2 Kolam ikan 3 Kolam ikan 4 Kolam sekolah Selokan Selokan Selokan Selokan Selokan Selokan Selokan Selokan Selokan Kubangan Kubangan Kubangan Kubangan Kubangan Kubangan Kubangan Sawah Penampung karet 24 02°65°29.2' 114°60.15.9' Penampung karet Ket : (+) : Positif jentik, (-) : Negatif jentik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
02°64°92.5' 02°64°96.6' 02°65°24.2' 02°64°93.5' 02°64°92.6' 02°65°26.2' 02°64°91.5' 02°64°99.6' 02°65°28.2' 02°64°72.5' 02°64°88.6' 02°65°87.2' 02°64°98.5' 02°64°81.6' 02°65°82.2' 02°64°45.5' 02°64°55.6' 02°65°71.2' 02°64°76.5' 02°64°95.6' 02°65°54.2' 02°64°12.5' 02°64°26.6'
114°60.35.0' 114°60.32.6' 114°60.12.9' 114°60.30.0' 114°60.13.6' 114°60.16.9' 114°60.19.0' 114°60.38.6' 114°60.43.9' 114°60.44.0' 114°60.32.6' 114°60.11.9' 114°60.10.0' 114°60.45.6' 114°60.49.9' 114°60.44.0' 114°60.16.6' 114°60.19.9' 114°60.20.0' 114°60.39.6' 114°60.40.9' 114°60.31.0' 114°60.22.6'
Tipe Perindukan
Keberadaan jentik + + + + + + + -
Positif jentik (%) 25
100 11
28
100 50
59
Lampiran 11 : Rekomendasi Ijin Penelitian dari Pemkab. Kapuas
60
Lampiran 12 : Persetujuan etik (ethical approval) dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan, Badan Litbangkes
61
Lampiran 13
62
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahrkan di Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan pada tanggal 7 April 1984 dari pasangan Bapak H. Zainuddin, S. PdI dan Ibu Dra. Hj. Siti Aisyah, M. Pd. Penulis merupakan putra pertama dari 3 bersaudara yaitu Khairatun Nisa SKM, MKM dan Muhammad Rafeli Pakhlipi. Penulis mempunyai Istri bernama Nur Afrida Rosvita, SKM dan 2 orang putra yaitu Muhammad Naufal Rakha dan Muhammad Fathan Abidzar Al Ghifary. Penulis meneyelesaikan pendidikan tingkat Sekolah Dasar di SD Muhammadiyah Barabai Tahun 1996, Sekolah Menengah di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Barabai lulus tahun 1999 dan meneyelsaikan pendidikan tingkat atas pada Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 1 Barabai lulus tahun 2002. Pendidikan tinggi pertama penulis di mulai di Politeknik Kesehatan Negeri (POLTEKKES) Banjarmasin Jurusan Kesehatan Lingkungan lulus tahun 2005, kemudian melanjutkan ke Program sarjana pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat (PSKM FK UNLAM) lulus tahun 2010. Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan tingkat magister pada Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan IPB. Penulis pernah bekerja di Poltekkes Banjarmasin Jurusan Kesehatan Lingkungan pada tahun 2005 – 2006 sebagai Asisten Laboratorium, kemudian sejak tahun 2006 sampai sekarang penulis bekerja di Balai Litbang P2B2 Tanah Bumbu Badan Litbangkes Kemenkes RI.