VARIASI SPASIAL EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) PADA EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU KELONG, BINTAN
I WAYAN EKA DHARMAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Variasi Spasial Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada Ekosistem Mangrove di Pulau Kelong, Bintan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016
I Wayan Eka Dharmawan NRP. C551120121
RINGKASAN I WAYAN EKA DHARMAWAN. Variasi Spasial Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada Ekosistem Mangrove di Pulau Kelong, Bintan. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan HAWIS H. MADDUPPA. Ekosistem mangrove dikenal dengan baik dalam mitigasi dampak perubahan iklim di wilayah pesisir dengan mampu menyerap CO2 dan menyimpannya dalam bentuk biomassa. Walaupun demikian, proses biokimia yang terjadi dalam sedimen menghasilkan gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer. Mangrove Pulau Kelong bagian tenggara memiliki simpanan karbon yang sangat tinggi, dibandingkan dengan seluruh kawasan mangrove di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten Bintan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kondisi ekosistem mangrove di Pulau Kelong bagian tenggara mencakup kondisi kajian vegetasi, dekomposisi maupun lingkungan pada tiap zona yang berbeda, yaitu zona dekat darat (L), zona tengah (M) dan zona dekat laut (S); Menghitung besaran laju emisi GRK secara spasial serta menganalisis hubungan kondisi komunitas mangrove, parameter lingkungan dan laju dekomposisi terhadap fluks GRK yang dihasilkan. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan pelindungan kawasan untuk mitigasi perubahan iklim global. Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Kelong memiliki zonasi yang sangat jelas antara zona darat (L) dengan zona tengah (M) dan laut (S). Zonasi terbentuk berdasarkan sebaran jenis mangrove serta parameter lingkungan. Jenis Rhizophora apiculata, mendominasi penuh pada zona (S) dan mulai menurun pada zona (M). Pada zona L, Xylocarpus granatum lebih mendominasi dibandingkan dengan R. apiculata. Parameter suhu, pH, TOC, TP dan TN pada sedimen, menunjukkan kedekatan zona M dengan S dan berbeda nyata dengan L. Persentase tutupan kanopi mangrove pada seluruh zona adalah >75%, sehingga kondisi kesehatan komunitas mangrove masih sangat baik. Laju dekomposisi serasah juga tergolong tinggi (k = 0,025 ± 0,023), yaitu: 0,78 ±0,70 gr/m2/hari (S); 0,83 0,89 gr/m2/hari (M); dan 1,40 0,82 gr/m2/hari (L). Laju emisi GRK ke atmosfer menunjukkan nilai yang cukup rendah jika dibandingkan dengan penelitian lainnya. Tren laju emisi gas metana (CH4) meningkat dari zona L ke zona S dan berlawanan dengan laju CO2. Sementara itu, gas NO2 tidak memiliki pola emisi yang jelas secara spasial. Emisi gas CH4 dan N2O tidak berkorelasi nyata dengan kondisi lingkungan, namun laju emisi gas CO2 sangat dipengaruhi oleh pH dan TOC tanah serta TDS dan salinitas perairan. Cadangan karbon yang tinggi, emisi GRK yang rendah, kondisi komunitas masih alami menunjukkan bahwa kawasan mangrove bagian tenggara Pulau Kelong memiliki potensi mitigasi perubahan iklim yang sangat tinggi. Kata kunci: gas rumah kaca, laju dekomposisi, mangrove, perubahan iklim global, zonasi.
SUMMARY I WAYAN EKA DHARMAWAN. Spatial Variation of Greenhouse Gases (GHGs) Emission on Mangrove Ecosystem in Kelong Island, Bintan, as one of perspective for mangrove ecosystem conservation. Supervised by NEVIATY P. ZAMANI and HAWIS H. MADDUPPA. Mangrove ecosystem is well-known in climate change impact mitigation in coastal area in order to sequester CO2 and reform it to be biomasses. On the other hand, biochemical processess inner sediment produce greenhouse gases (GHGs) through atmosphere. Previous study found that mangrove area in south-easth Kelong Island has the highest carbon stock among other sites in Local Waters Conservation Area (KKPD) Bintan. Objectives of this research are: to analyze mangrove ecosystem condition in south-eastern Kelong island including community structure, decomposition rate and environmental parameters in three different zones; to quantify GHGs emission fluxes among those zones; and to analyze correlation between mangrove ecosystem to GHGs emission. Hopefully, resulted data might be used to upgrade the conserving status for global climate change mitigation. Mangrove ecosystem in Kelong Island was clearly devided to be three zones, landward (L), middle zone (M) and seaward (S). It was performed based on species composition and environmental parameters. Domination of Rhizophora apiculata was total in seaward and decreased in middle zone. On landward area, Xylocarpus granatum had more domination than R. apiculata. Temperature, pH, TOC and TN of sediment elaborated M and S closeness and differed significantly to L. Canopy coverage analysis showed that all value was more than 75%, representing well standing condition of mangrove community. Decomposition rate leaf manure was also high (k = 0.025 ± 0.023), i.e. 0.78 ±0.70 gr/m2/day (S); 0.83 0.89 gr/m2/day (M); dan 1.40 0.82 gr/m2/day (L). GHGs emission rate showed the lower value comparing with other studies. Spatial pattern of methane (CH4) was increasing from landward to seaward where was contradictive with CO2 rate. Meanwhile, NO2 had irregular trend spatially. Emission rate of CH4 and N2O had no significant correlation with environmental parameters. On the other hand, soil’s pH-TOC and water’s TDS-salinity drove a significant effect for CO2 emission.High carbon stock, lower GHGs emission and pristine mangrove vegetation represented that mangrove in south-east Kelong Island has high benefit for climate change effect mitigation. Keywords: decomposition rate, global climate change, greenhouse gases, mangrove, zonation.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
VARIASI SPASIAL EMISI GAS RUMAH KACA (GRK)PADA EKOSISTEM MANGROVE DI PULAU KELONG, BINTAN
I WAYAN EKA DHARMAWAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2015 ini adalah ekologi laut, dengan judul Variasi Spasial Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada Ekosistem Mangrove di Pulau Kelong, Bintan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc dan Bapak Dr. Hawis H. Madduppa, S.Pi., M.Si. selaku pembimbing, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada rekan-rekan peneliti di UPT. Loka Konservasi Biota Laut, Biak – Papua dan Pusat Penelitian Oseanografi, Jakarta, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta Third Institute of Oceanography, Xiamen – China yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran dan penggunaan fasilitas laboratorium untuk menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2016 I Wayan Eka Dharmawan
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
DAFTAR LAMPIRAN
x
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Hipotesis Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 3 3 3 3
2 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan Data Analisis Data
3 3 4 6
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Pembahasan
7 7 12
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
15 15 16
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
20
RIWAYAT HIDUP
41
DAFTAR TABEL 1 Kerapatan pohon dan pancang; jumlah jenis; indeks nilai penting (INP) pohon dan persentase tutupan kanopi dari komunitas mangrove pada tiga zona penelitian di Pulau Kelong. 2 Perbandingan karakteristik antar tiga zona penelitian mangrove di Pulau Kelong. 3 Laju dekomposisi serasah (LD), koefisien dekomposisi (k), dan waktu paruh (t50) dari dekomposisi serasah daun di tiga zonasi mangrove Pulau Kelong. 4 Analisis korelasi Pearson antara emisi GRK dengan kondisi komunitas mangrove, faktor lingkungan (sedimen dan air) serta laju dekomposisi. 5 Perbandingan aliran emisi GRK (µmol m-2 h-1) dari beberapa penelitian
8 8 10 10 13
DAFTAR GAMBAR Diagram alir permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian. Sebaran empat lokasi transek pada wilayah mangrove terpilih di Pulau Kelong. Setiap lokasi transek dibagi menjadi tiga zona, yaitu: L (zona daratan); M (zona tengah) dan S (zona dekat laut). 3 Analisis MDS (multidimensional scaling) terhadap plot berdasarkan kondisi lingkungan in situ (air dan substrat) dan kelimpahan jenis pohon. 4 Berat kering (g) daun yang terdekomposisi dari hari ke-0 sampai hari ke-42. 5 Laju emisi CO2 (a); CH4 (b) dan N2O (c) dalam μmol m−2 h−1 yang diukur pada tiga zona yang berbeda di kawasan mangrove Pulau Kelong bagian tenggara. 1 2
3
4 9 9 11
DAFTAR LAMPIRAN 1 Publikasi ilmiah skala nasional yang sudah diterbitkan. 2 Tulisan ilmiah skala internasional yang sedang dalam proses revisi.
20 30
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam satu dekade terakhir, dunia sedang dikhawatirkan dengan isu pemanasan global yang menyebabkan perubahan dan ketidakteraturan faktor iklim. Hal ini yang dipicu oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan N2O (dinitrogen oksida) dalam atmosfer (IPCC 2001; IPCC 2015). Konsentrasi gas CO2 telah meningkat dari 278 ppm (1750) menjadi 391 ppm (2001) (IPCC 2015). Peningkatan konsentrasi GRK yang paling tinggi terjadi dalam dekade terakhir dan terus meningkat sampai saat ini. Di sisi lain, walaupun gas CH4 dan N2O cukup stabil dan konsentrasinya lebih rendah, namun gas – gas tersebut memiliki efek 298 dan 34 kali lebih tinggi dibandingkan dengan CO2 (Myhre et al. 2013). Komunitas mangrove memiliki kemampuan dalam menyerap CO2, digunakan dalam proses fotosintesis dan disimpan dalam bentuk biomassa tubuh (Bouillon et al. 2008; Murdiyarso et al. 2015). Indonesia memiliki luasan dan keanekaragaman jenis mengrove paling tinggi di dunia (Sukardjo and Alongi 2012). Mangrove Indonesia juga memiliki cadangan karbon yang sangat signifikan dan berpotensi untuk digunakan dalam mitigasi pemanasan global (Murdiyarso et al. 2015). Geomorfologi dan topografi pantai secara spasial memungkinkan adanya gradien salinitas yang berbeda dari laut ke darat mempengaruhi proses biogeokimia sedimen serta zonasi dalam komunitas mangrove. Hal ini memungkinkan adanya variasi komposisi jenis, variasi faktor biotik dan abiotik yang teratur dari darat ke laut. Selain mampu menyerap CO2, potensi emisi GRK dari ekosistem mangrove juga tidak bisa dikesampingkan. Setiap ekosistem mangrove merupakan salah satu penghasil GRK sebagai keluaran dari proses respirasi dan dekomposisi (Bouillon et al. 2008; Chen et al. 2010). Beberapa penelitian juga telah menunjukkan bahwa mangrove merupakan sumber dari emisi GRK (Allen et al. 2007; Chen et al. 2010; Chen et al. 2014a; Wang et al. 2016). Tingkat emisi GRK akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan masukan nutrien melalui aliran sungai ke dalam ekosistem mangrove (Chen et al. 2010; Chen et al. 2014b). Penurunan luasan mangrove akibat aktivitas manusia sebagai penyimpan karbon juga berdampak pada peningkatan emisi CO2 ke dalam atmosfer (IPCC 2015). Informasi tentang emisi GRK dari ekosistem mangrove di Indonesia sangat jarang. Hanya penelitian Chen et al. (2014b) yang mengungkapkan laju emisi GRK yang rendah dari sedimen mangrove di Sulawesi Utara. Penelitian sebelumnya di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Bintan Timur, Kabupaten Bintan, menemukan bahwa Pulau Kelong Bagian tenggara memiliki kemampuan menyimpan karbon paling tinggi dibandingkan stasiun lainnya dalam KKPD Kabupaten Bintan ataupun di seluruh bagian Pulau Kelong (Dharmawan 2014; Dharmawan et al. 2014). Estimasi cadangan karbon di Pulau Kelong bagian tenggara sebesar 1895,23 ± 909,14 ton C/ha pada tegakan dan 752,86 ± 330,03 ton C/ha pada perakaran. Dalam sedimen, cadangan karbon bervariasi sebesar 34% – 64% dari total carbon tersimpan. Hal ini didukung juga dengan kondisi komunitas mangrove yang masih alami dan jarang ditemukan
2 gangguan antropogenik. Diameter mangrovenya memiliki rata-rata paling tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Khusus wilayah Kelong bagian tenggara, mangrove mendistribusikan 42,08 – 101,03 gr/hari serasah ke laut dan memproduksi serasah 0,55 – 0,80 gr/hari. Estimasi serapan CO2 yang diperoleh dalam kawasan rata-rata sebesar ~28.027,40 gr CO2/ha/hari. Untuk melengkapi penelitian sebelumnya, kajian spasial tentang kondisi emisi GRK dari kawasan sangat diperlukan yang kemungkinan berkaitan dengan laju dekomposisi, parameter biogeokimia dan struktur komunitas dari zona darat ke laut.
Perumusan Masalah Berdasarkan penelitian sebelumnya, ekosistem mangrove di Pulau Kelong memiliki kondisi yang masih alami, cadangan karbon yang tinggi, serta memiliki nilai serapan CO2, ekspor serasah, dan produksi serasah dalam jumlah tertentu. Secara spasial dan observasi awal, komunitas mangrove dalam lokasi penelitian memiliki perbedaan komposisi jenis dari darat ke laut namun masih perlu dianalisis lebih dalam secara kuantitatif. Variasi spasial ini meliputi: variasi komunitas mangrove, kondisi parameter sedimen dan air. Laju dekomposisi mangrove dapat dijadikan indikator aktivitas mikroorganisme dalam kawasan. Variasi spasial parameter-parameter di atas dianalisis untuk memastikan keberadaan zonasi dalam kawasan. Emisi gas rumah kaca (GRK) memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas mikroorganisme dan biogeokimia dalam sedimen. Mangrove Pulau Kelong Ekosistem Alami Serapan CO2, Produksi Serasah, Ekspor Serasah Cadangan Karbon
Zonasi?
Variasi Spasial
Komunitas Mangrove
Kondisi Sedimen dan Air
Laju Dekomposisi
Emisi GRK Gambar 1 Diagram alir permasalahan yang ingin dipecahkan dalam penelitian
3 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya variasi spasial dari konsidi komunitas mangrove dan variabel lingkungan dalam tiap zona memberikan pengaruh terhadap variasi fluks GRK dari darat ke laut Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Menganalisis kondisi ekosistem mangrove di Pulau Kelong bagian tenggara mencakup kondisi kajian vegetasi, dekomposisi maupun lingkungan pada tiap zona yang berbeda, yaitu zona dekat darat (L), zona tengah (M) dan zona dekat laut (S). 2. Menghitung besaran laju emisi GRK ini dilakukan pada tiga zona tersebut. 3. Menganalisis hubungan kondisi komunitas mangrove, parameter lingkungan dan laju dekomposisi terhadap emisi GRK yang dihasilkan.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang laju emisi GRK secara spasial dari ekosistem mangrove yang masih alami yang memiliki cadangan karbon yang tinggi. Hasil yang diperoleh serta publikasi nasional dan internasional yang dihasilkan juga diharapkan bisa memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah Kabupaten Bintan tentang potensi mangrove dalam kawasan yang memiliki fungsi global dalam mitigasi perubahan iklim yang nyata.
Ruang Lingkup Penelitian Batasan penelitian ini mencakup pada laju emisi GRK yang dipengaruhi oleh kondisi komunitas mangrove dan lingkungan di Pulau Kelong, bagian tenggara.
METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel dilakukan pada Maret 2015 dalam kawasan hutan mangrove Pulau Kelong bagian tenggara dalam tiga zona, yaitu yaitu zona dekat darat (L), zona tengah (M) dan zona dekat laut (S) yang dicakup dalam empat garis transek (Gambar 2). Analisis sampel gas dan sedimen dilaksanakan di Laboratorium Biologi dan Ekologi Laut, Third Institute of Oceanography, Xiamen, China yang telah bekerjasama dengan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Analisis total karbon organik (TOC) pada sedimen dilakukan di Laboratorium Biogeokimia, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI – Jakarta.
4
Gambar 2 Sebaran empat lokasi transek (T1 – T4) pada wilayah mangrove di Pulau Kelong bagian tenggara. Setiap lokasi transek dibagi menjadi tiga zona, yaitu: L (zona daratan); M (zona tengah) dan S (zona dekat laut). Pengumpulan Data Analisis Kondisi Ekosistem Mangrove Komunitas Mangrove dan Dekomposisi Serasah Metode transek garis dengan plot 10 m x 10 m dibuat tegak lurus garis pantai. Sebanyak 12 plot (10 m x 10 m) dibuat untuk mengukur kondisi kesehatan vegetasi pada kelas pohon (diameter minimal 4 cm). Di dalam setiap plot tersebut dibuat subplot berukuran 5 m x 5 m untuk mendeterminasikan kelas pancang/sapling (diameter lebih kecil dari 4 cm). Klasifikasi ini mengikuti Ashton and Macintosh (2002). Diukur dan dicatat keliling batang pada posisi dada 130 cm dan diidentifikasi jenisnya berdasarkan Giesen et al. (2006). Kerapatan serta indeks nilai penting jenis pada pohon dan sapling dihitung. Persentase tutupan kanopi mangrove didekati dengan metode hemispherical photography (Dharmawan and Pramudji 2014). Litter standing stock (stok serasah daun di permukaan tanah) pada setiap plot dihitung dalam plot kecil berukuran 1m x 1m. Serasah daun di oven pada suhu 80oC selama 1 minggu kemudian ditimbang (Robertson and Daniel 1989). Parameter Lingkungan Parameter lingkungan in-situ seperti suhu, pH, salinitas dan TDS pada air dan sedimen diukur dengan menggunakan pH meter EZODO PH5011 dan SCT meter
5 YSI EC200. Sampel tanah dikoleksi dari setiap plot pada kedalaman 5 cm dan disaring dalam mesh size 2 mm. pH tanah diukur pada perbandingan 1:5 antara tanah dan aquadesh menggunakan Hanna pH meter. Analisis Total Organik Karbon (TOC), Total Kjeldahl Nitrogen (TN) dan Total Fosfat (TP) dilakukan mengikuti Chen et al. (2014b). Analisis TOC dilakukan dengan metode loss on ignition (LOI) pada suhu 550 oC. Selanjutnya, TN dan TP dianalisis dengan metode flow injection analyzer (FIA). Penghitungan Laju Dekomposisi Laju dekomposisi dihitung berdasarkan metode termodifikasi dari Ashton et al. (1999) dan Dewiyanti (2010). Daun kuning yang masih segar pada pohon mangrove dikoleksi dari jenis mangrove yang mendominasi di setiap zona. Daun dibersihkan, didiamkan 24 jam, ditimbang sebanyak 10 gr (W1) dan dimasukkan ke dalam kantong jaring yang berukuran 10 cm x 10 cm dan lubang-lubang jaring (mesh) berukuran 1 mm2. Kantong daun diletakkan di atas permukaan sedimen mangrove dan diikatkan pada akar yang sejajar tanah untuk mencegah kantong terbawa arus pasang surut. Setiap zona dibuat empat kali ulangan, dan enam kali perlakuan waktu (hari ke-: 2, 4, 7, 14, 28, 42). Kantong dikoleksi pada hari yang sudah ditentukan dan dibawa ke laboratorium. Daun dibersihkan dan dimasukkan ke dalam oven suhu 60oC sampai berat konstan. Setiap sampel ditimbang dan dicatat berat keringnya (W2). Faktor konversi (f) berat basah ke berat kering dihitung sebagai persentase kandungan biomassa dalam daun kuning. Koleksi daun kuning ditimbang berat basah (BB) kemudian dioven pada suhu 60oC sampai tidak ada perubahan berat. Daun kering ditimbang untuk mendapatkan berat kering (BK). Nilai f = ((BB – BK)/BB *100%). Pengukuran Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Pengambilan sampel gas dilakukan dengan metode chamber tertutup pada waktu surut dengan durasi pengambilan 0, 10, 20 dan 30 menit (Chen et al. 2010; Chen et al. 2014b). Chamber gas terbuat dari aclyric berbentuk kubus terbuka pada satu sisi berukuran 20 cm x 20 cm x 25 cm. Dibuat dua katup berdiameter ± 0,5 cm pada bagian samping dan atas. Pengambilan sampel gas diawali dengan chamber gas diletakkan telungkup dengan kedua katup masih terbuka dan kemudian dibenamkan ± 2 cm. Selanjutnya, kedua katup ditutup untuk dimulai pengambilan sampel gas waktu ke-0. Gas dikoleksi dengan menggunakan syringe 10 ml secara hati-hati melalui katup atas, sedangkan katup samping dimasukan jarum syringe terbuka yang digunakan sebagai penyeimbang tekanan gas. Sampel gas dimasukkan ke dalam kantong gas aluminium foil dan dibawa ke laboratorium. Jarum syringe pada katup samping ditarik ketika pengambilan sampel selesai dilakukan setiap waktu durasi. Setiap zona dilakukan empat kali ulangan. Konsentrasi GRK dianalisis dengan gas kromatografi (GC) Agilent 7890A yang telah dilengkapi dengan dua detektor, yaitu flame ionization detector (FID) untuk gas CH4 dan CO2, serta 63Ni electron capture detector (μECD) untuk N2O. Dibuat kurva standar sebagai acuan dalam analisis dengan menggunakan gas standar yang sudah terkonsentrasi oleh gas metana dalam konsentrasi tertentu.
6 Setiap sampel diambil 1 ml kemudian diinjeksikan ke dalam GC. Konsentrasi gas metana dihitung dengan membandingkan luas peak/puncak sampel dengan kurva standar. Analisis Data Laju dekomposisi serasah (LD) dalam selang waktu tertentu (Δt), persentase terdekomposisi (%D), koefisien laju dekomposisi (k) serta waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi setengah sampel (t50) dihitung dengan menggunakan persamaan 1 – 4. Sedangkan analisis aliran emisi GRK (Fm) dilakukan mengikuti persamaan 5. LD = [(W1 x f) – W2]/Δt %D = (W1 – W2)/W1x 100% K = ln(Xt/Xo)/Δt t50 = ln 2/K dimana: LD W1 W2 f Δt %D k t50 Xt Xo
= Laju dekomposisi (g.m-2.hari-1) = berat basah daun kuning (gr) = berat kering daun setelah terdekomposisi dalam waktu tertentu (gr) = faktor konversi berat basah – berat kering (%) = selang waktu pengamatan (hari) = persentase terdekomposisi = koefisien dekomposisi = waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi setengah sampel (hari) = persentase serasah daun setelah terdekomposisi dalam kurun waktu tertentu (t) = persentase serasah daun sebelum terdekomposisi. Fm = (V.ΔM/A.ρ).10-6
dimana : Fm V ΔM A Ρ
…(1) …(2) …(3) …(4)
…(5)
: aliran GRK (µmol m-2.h-1) : volume chamber (m3) : perubahan konsentrasi gas di dalam chamber (h-1). : luas permukaan tanah (m2) : konstanta volume setiap mol gas (m3.mol-1)
Data univariat seperti vegetasi (kerapatan pohon dan pancang); persentase tutupan kanopi; litter standing stock, parameter lingkungan; laju dekomposisi; koefisien dekomposisi (k); t50 serta flux gas rumah kaca (GRK), dianalisis dengan analisis deskriptif utnuk mendapatkan nilai rata-rata dan standar deviasi. Untuk menentukan variansi dari data tersebut, dilakukan uji ANOVA yang dilanjutkan dengan uji beda nyata Tukey menggunakan perangkat lunak SPSS 17. Analisis jarak Eucladian distance digunakan pada setiap parameter lingkungan dan komposisi jenis pohon. Analisis multidimensional scaling (MDS) terhadap indeks
7 similaritas seluruh parameter digunakan untuk menentukan ordinasi setiap plot pengukuran dan menegaskan klasifikasi zonasi dengan menggunakan perangkat lunak PRIMER 6. Hubungan tiap parameter dengan laju emisi GRK dianalisis dalam korelasi Pearson.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Ekosistem Mangrove Pulau Kelong Bagian Tenggara Komunitas mangrove dalam kawasan memiliki ketebalan maksimal 200 meter yang merupakan hutan primer. Kerapatan pohon pada lokasi penelitian tertinggi ditemukan di zona darat (L) sebesar 2.175 ± 222 pohon/ha yang berbeda nyata (P<0,05) dengan dua zona lainnya dimana zona dekat laut (S) memiliki kerapatan pohon yang paling rendah. Namun, pada kelas sapling (komunitas tegakan dengan diameter batang< 4 cm), zona S memiliki tegakan yang paling rapat dan berbeda nyata dibandingkan dengan dua stasiun lainya (Tabel 1). Dari segi keanekaragaman jenis, zona dekat laut hanya terdiri dari dua jenis dan paling rendah dibandingkan zona darat dan zona tengah. Kondisi kesehatan komunitas mangrove di dalam kawasan termasuk dalam kategori baik dengan rentang persentase tutupan tajuk, yaitu: 87,96 ± 6,88% (L) sampai 91,31 ± 1,14% (M) yang tidak berbeda nyata antar zona. Hasil analisis parameter sedimen menunjukkan bahwa zona laut memiliki kecenderungan kesamaan dengan zona tengah dan berbeda dengan zona dekat darat (Tabel 2). Nilai pH sedimen secara spasial meningkat dari darat ke laut dengan kisaran 6,95±0,06 sampai 7,40±0,08. Tren tersebut juga diperoleh pada hasil analisis suhu (~28,12 - ~28,83 oC). Kecenderungan nilai TOC dan total N ditemukan berlawanan dengan suhu dan pH sedimen secara spasial. Sementara itu, kandungan P tidak memiliki pola yang teratur dari darat ke laut, yaitu: 0,21±0,05; 0,30±0,003 dan 0,27±0,03 mg/L. Hasil pengukuran pH air juga ditemukan memiliki pola kecenderungan yang sama dengan pH sedimen secara spasial dengan kisaran ~6,93 – 7,65 dari darat ke laut. Faktor salinitas pada zona darat tidak berbeda signifikan dengan zona tengah (P>0.05), namun nilai salinitas pada zona laut berbeda dengan dua zona tersebut. Kecenderungan tersebut juga ditemukan pada parameter TDS. Hasil analisis MDS terhadap parameter struktur komunitas dan hasil pengukuran parameter lingkungan diperoleh bahwa zona dekat laut memiliki kemiripan dengan zona tengah, dimana kedua zona tersebut memiliki korelasi yang lebih jauh dengan zona daratan (Gambar 3).
8 Tabel 1 Kerapatan pohon dan pancang; jumlah jenis; indeks nilai penting (INP) pohon dan persentase tutupan kanopi dari komunitas mangrove pada tiga zona penelitian di Pulau Kelong. NO 1
2
3 4
5 6
PARAMETER -1
Kerapatan Pohon (tree ha ) Rhizophora apiculata Brugueira gymnorrhiza Xylocarpus granatum X. mollucensis Kerapatan Pancang (id.ha-1) R. apiculata B. gymnorrhiza X. granatum Aegiceras corniculatum Jumlah Jenis Indeks Nilai Penting (INP) Pohon*) Tertinggi Terendah % tutupan kanopi Stok serasah (gr DW/m2)
L 2175 ± 222a 425 ± 544 n/a 1750 ± 332 n/a 975 ± 287a 325 ± 330 n/a 525 ± 171 125 ± 96 3
ZONASI M 1800 ± 141b 1425 ± 126 100 ± 82 200 ± 82 75 ± 50 925 ± 150a 850 ± 191 200 ± 115 75 ± 96 n/a 4
XG: 232,42% RA: 177,32% RA: 67,58% XM : 30,60% 87,96 ± 6,88a 91,31 ± 1,14a 78,23 ± 14,16 81,61 ± 11,25
S 1550 ± 191b 1475 ± 171 n/a n/a 75 ± 50 1875 ± 50b 1875 ± 50 n/a n/a n/a 2
RA: 237,53% XM: 62,47% 90,48 ± 0,54a 82,09 ± 19,37
*) XG = X. granatum; RA = R. apiculata; XM = X. mollucensis. n/a = tidak ditemukan ab menunjukkan hasil uji Tukey dimana huruf yang sama pada baris yang sama tidak memiliki perbedaan nilai secara nyata.
Tabel 2 Perbandingan karakteristik sedimen dan air antar tiga zona penelitian mangrove di Pulau Kelong. NO
Parameter
1 2
Deskripsi Sedimen Dominansi jenis
Dekat Darat (L) Berlumpur Tinggi X. granatum
3 4 5 6 7 8 9 10 11
pH tanah Suhu tanah (oC) TOC tanah (mg/L) TP tanah (mg/L) TN tanah (mg/L) pH air Suhu air (oC) Salinitas air (ppt) TDS air (g/L)
6,95 ± 0,06a 28,13 ± 0,10a 125,41 ± 1,10a 0,21 ± 0,05a 3,23 ± 0,31a 6,93 0,10a 28,35 ± 0,06a 24,60 ± 0,68a 12,04 ± 0,33a
ab
Zona Tengah (M) Berlumpur R. apiculata dengan campuran jenis lainnya 7,08 ± 0,10a 28,75 ± 0,19b 79,76 ± 1,18b 0,30 ± 0,003b 2,56 ± 0,16b 7,10 0,08a 28,80 ± 0,14b 23,03 ± 2,48a 11,52 ± 1,08a
Dekat Laut (S) Pasir berlumpur Tinggi R. apiculata 7,40 ± 0,08b 28,83 ± 0,10b 71,48 ± 17,28b 0,27 ± 0,03b 2,32 ± 0,41b 7,65 ± 0,13b 29,38 ± 0,26c 32,15 ± 0,13b 15,26 ± 0,04b
menunjukkan hasil uji Tukey dimana huruf yang sama pada baris yang sama tidak memiliki perbedaan nilai secara nyata.
9
2D Stress: 0.01
Gambar 3 Analisis MDS (multidimensional scaling) terhadap plot berdasarkan kondisi lingkungan in situ (air dan substrat) dan kelimpahan jenis pohon.
Berat Kering Daun (g)
3
2
1
Zona L M S
0 0
2
4
7 Hari ke -
14
28
42
Gambar 4 Berat kering (g) daun yang terdekomposisi dari hari ke-0 sampai hari ke-42.
10 Dalam 42 hari pengamatan, L merupakan zona dengan proses dekomposisi yang paling tinggi (56,34 20,58%) dibandingkan dengan M dan S yang berturutturut sebesar 51,59 15,46% dan 51,09 8,70% . Berat kering daun terdekomposisi selama waktu pengamatan ditunjukkan pada Gambar 4. Laju dekomposisi pada ekosistem mangrove pada zona darat paling tinggi dengan rata-rata 1,40 0,82 gr/m2/hari yang berbeda nyata dengan dua zona lainnya. Pada zona M dan S, laju dekomposisi rata-rata 0,83 0,89 gr/m2/hari dan 0,78 ± 0,70 gr/m2/hari secara berurutan (Tabel 3). Tabel 3 Laju dekomposisi serasah (LD), koefisien dekomposisi (k), dan waktu paruh (t50) dari dekomposisi serasah daun di tiga zonasi mangrove Pulau Kelong. Zona L M S Total
LD (g/m2/d) 1,40 ± 0,82a 0,83 ± 0,89b 0,78 ± 0,70b 2,57 ± 2,20
k (d-1) 0,022± 0,012 0,027± 0,029 0,026± 0,024 0,025± 0,023
t50 (hari) 45 43 44 44
ab
menunjukkan hasil uji Tukey dimana huruf yang sama pada kolom yang sama tidak memiliki perbedaan nilai secara nyata.
Laju Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Secara umum, ekosistem mangrove di Pulau Kelong bagian tenggara memiliki produksi GRK yang rendah. Secara spasial, flux gas CH4 dan N2O tidak memiliki perbedaan yang signifikan antar zona. Walaupun demikian, gas CH4 bervariasi dari darat ke laut 0,52 0,92 - 2,54 4,17 μmol m−2 h−1, dan emisi gas N2O tidak memiliki pola yang jelas dan bernilai negatif. Sementara itu, emisi gas CO2 pada zona dekat laut berbeda signifikan dengan emisi yang terjadi pada zona darat (P < 0,05). Pola emisi CO2 berlawanan dengan pola emisi CH4 dimana meningkat dari laut ke darat 484,01 1.384,61 – 4.351,82 2.040,88 μmol m−2 h−1 (Gambar 5). Hubungan Kondisi Ekosistem dengan Emisi GRK Hubungan antara kondisi komunitas mangrove dan lingkungan ditunjukkan pada Tabel 4. Hanya beberapa faktor lingkungan yang memberikan pengaruh signifikan terhadap emisi GRK dalam kawasan. Keseluruhan parameter air (salinitas dan TDS) memberikan pengaruh nyata dengan nilai negatif pada aliran gas CO2. Laju emisi CO2 memiliki korelasi yang positif dengan kandungan karbon tanah (TOC). Fluks gas CH4 dan N2O tidak memiliki hubungan yang nyata dengan parameter lingkungan.
11
103 CO2 (µmol m-2h-1)
8
(a)
6 4 2 0 -2 L
M
S
CH4 (µmol m-2h-1)
8
(b)
6 4 2 0 -2 L
M
S (c)
N2O (µmol m-2h-1)
0,5 0,0 -0.5 -1.0 -1.5
L
M
S
Gambar 5 Laju emisi CO2 (a); CH4 (b) dan N2O (c) dalam μmol m−2 h−1 yang diukur pada tiga zona yang berbeda di kawasan mangrove Pulau Kelong bagian tenggara.
12 Tabel 4 Analisis korelasi Pearson antara emisi GRK dengan kondisi komunitas mangrove, faktor lingkungan (sedimen dan air) serta laju dekomposisi. Parameter Air Sedimen
Komunitas Mangrove
Sal. TDS pH Temp TOC TN TP TA
CO2 -0,686* -0643* -0,864** -0,483 0,735* 0,566 -0,633 0,464
CH4 0,262 0,266 0,509 0,373 0,244 0,497 0,372 -0,094
N2O -0,489 -0,454 -0,412 -0,162 0,476 0,488 -0,024 0,498
* : korelasi nyata pada α = 0,05 ** : korelasi nyata pada α = 0,01
Pembahasan Komunitas mangrove di kawasan tenggara Pulau Kelong didominasi oleh Rhizophora apiculata karena jenis ini ditemukan di semua zona penelitian. Kondisi substrat yang berlumpur dan anoksik memungkinkan jenis ini tumbuh dengan baik dalam kawasan. Duke (2006) menyebutkan bahwa Rhizophora memiliki akar khusus dan kuat, berupa akar tunjang yang mengelilingi batang utama sebagai penopang pertumbuhannya di wilayah berlumpur dan anoksik. Hogarth (2007) menambahkan bahwa akar Rhizophora memiliki lentisel yang merupakan struktur penyerap oksigen terlarut dari air atau tanah serta dari udara secara difusi sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang miskin oksigen. Jenis substrat sangat mempengaruhi dominansi suatu spesies pada kawasan mangrove oseanik. Pada zona S dan M dengan sedimen campuran pasir dan lumpur, jenis Rhizophora mendominasi wilayah tersebut. Sedangkan pada wilayah L yang didominasi oleh substrat lumpuran yang berstruktur lebih padat, (c) didominasi oleh Xylocarpus granatum. Zona M, yang memiliki tipe substrat campuran antara zona L dan S, memiliki variasi keanekaragaman jenis yang lebih beragam. Salinitas merupakan faktor kunci yang menimbulkan variasi jenis dalam setiap zona. Salinitas air pada zona laut jauh lebih tinggi (32,05 ± 0,06 ppt) dan berbeda signifikan dibandingkan dengan zona L dan M (24,58 ± 0,67 dan 24,13 ± 2,56 ppt). Tren tersebut juga ditemukan pada hasil pengukuran nilai TDS air. Zonasi pada mangrove disebabkan oleh perbedaan gradien konsentrasi faktor lingkungan secara tegak lurus garis pantai yang akan mempengaruhi komposisi jenis tumbuhan yang menyusunnya. Faktor lingkungan tersebut antara lain: elevasi morfologi pantai, gradien komposisi fraksi sedimen, salinitas, gradient hara serta genangan (Fujimoto and Miyagi 1993; Lopez-Portillo and Ezcurra 1989; Vilarrúbia 2000). Tidak ada pola pasti dari zonasi mangrove, namun secara umum jenis yang tahan terhadap salinitas tinggi seperti Avicennia dan Sonneratia akan menempati zona pantai. Pada penelitian ini, Rhizophora apiculata ditemukan dominan pada zona S yang memiliki salinitas tinggi (32,05 ppt). Jenis ini memiliki kemampuan adaptasi pada rentang salinitas yang sangat lebar sehingga ditemukan di seluruh zona penelitian. Ada tiga mekanisme yang dimiliki oleh Rhizophora untuk beradaptasi dengan kadar garam yang tinggi, yaitu: akar ultra filtrasi, jaringan penyimpan air dan mengalirkan garam ke daun tua (Chapman 1976). Selain
13 mekanisme adaptasi tersebut, kondisi substrat yang berlumpur juga merupakan tempat hidup yang sangat baik untuk jenis R. apiculata. Laju dekomposisi serasah yang diperoleh dari kombinasi biomassa yang hilang dan litter standing stock dalam setiap zona menunjukkan nilai rata-rata dengan rentang 0,78 ± 0,70(S) – 1,40 ± 0,82 (L) gram/m2/hari. Pada zona S dan M yang didominasi oleh R. apiculata memiliki laju dekomposisi yang lebih rendah dibandingkan dengan kawasan LWD yang didominasi oleh jenis X. granatum. Nilai laju dekomposisi berdasarkan hasil perhitungan t50 rata-rata diperoleh pada 44 hari. Penelitian Ashton et al. (1999) menunjukkan pada kawasan mangrove yang masih alami, nilai t50 berkisar 43 hari sedangkan pada kawasan terbuka nilai t50 lebih besar, yaitu 76 hari. Dewiyanti (2010) juga memperoleh nilai t50 di zona dekat laut (63 hari) lebih rendah dibandingkan zona darat (67 hari). Dalam Tabel 4, laju dekomposisi ditunjukkan memiliki hubungan yang signifikan dengan suhu substrat dan salinitas air. Graca et al. (2005) menjelaskan bahwa peluruhan dari serasah daun didefinisikan sebagai kehilangan berat akibat beberapa proses fisio-kimia yang disebabkan oleh kondisi lingkungan. Berdasarkan nilai k yang diperoleh dengan rata-rata 0,025 ± 0,023 per hari, seluruh kawasan memiliki laju dekomposisi yang tergolong tinggi. Penelitian Ananda et al. (2008) menggolongkan laju dekomposisi menjadi tiga kategori berdasarkan nilai k, yaitu tinggi (k>0,01); sedang (k = 0,005 – 0,01); rendah (k<0,005). Penelitian Dewiyanti (2010) pada kawasan hutan mangrove Pulau Weh, Sabang telah diperoleh koefisien dekomposisi yang lebih rendah, yaitu 0,010 ± 0,000577 per hari. Hasil penelitian Ashton et al. (1999) menghitung nilai k sebesar 0,00163 per hari pada kawasan hutan mangrove alami yang didominasi oleh jenis R. apiculata di hutan mangrove Peninsular, Malaysia. Tabel 5 Perbandingan aliran emisi GRK (µmol m-2 h-1) dari beberapa penelitian Lokasi
CH4
CO2
N2O
Referensi
Pulau Kelong, Indonesia Ennore; Adyar dan Pichavaram, India Brisbane, Australia Futian, Mai Po dan Sha Kong Tsuen, China Mai Po, Hongkong
0,52 – 2,54
484,01 – 4351,82
-0,56 - (-0,06)
166,88 – 686,25
ND
ND
1
272,45
ND
40,43
2
10,10 – 5168,62
560 – 20.560
0,14 – 23,83
3
ND
31.23
11,60
4
Sundarbans, India Sulawesi Utara, Indonesia Bhitarkanika, India
ND
2.34
ND
5
−6,05–13,14
−1.340–3.880
−0,35–0,61
6
5
ND
1
Penelitian ini
0,20 2
7 3
Keterangan referensi: Purvaja and Ramesh (2000); Allen et al. (2007); Chen et al. (2010); 4Chen et al. (2012); 5Chanda et al. (2013); 6Chen et al. (2014b); 7Chauhan et al. (2015).
14 Emisi gas CO2 dalam kawasan lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya (Alongi et al. 2001; Chen et al. 2012; 2014b). Rata-rata flux CO2 dalam penelitian ini (2.778,61 µmol m−2 h−1) lebih rendah dibandingkan rata-rata flux CO2 di 75 lokasi di dunia, yaitu 2.870 µmol m−2 h−1 (Alongi 2009). Selain itu, emisi dalam kawasan juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan emisi di Australia (Lovelock 2008). Namun, variasi spasialnya menurun dari darat ke laut yang berlawanan dengan penelitian Chen et al. (2010). Rata-rata aliran gas CH4 yang diperoleh (0,52 – 2,54 µmol m-2 h-1) lebih rendah dibandingkan dengan sebagian besar penelitian lainnya yang mengunakan metode closed-chamber (Tabel 5). Namun, nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CH4 di Sai Keng, Hongkong; North Sulawesi, Indonesia and Sundarbans, India. Emisi CH4 yang tinggi di China Selatan dipicu oleh percobaan dengan menggunakan air limbah (Chen et al. 2010). Zona laut memiliki kemiripan emisi gas dengan emisi yang terjadi di persawahan (Lumbanraja et al. 1998). Flux gas metana pada zona S lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya, sebuah pola yang mirip dengan penelitian Lu et al. (1998). Emisi gas metana yang lebih tinggi akan ditemukan pada kawasan estuari atau lagoon yang memiliki sedimen lumpur. Allen et al. (2007) menjelaskan bahwa sedimen berlumpur pada mangrove dalam aliran sungai memproduksi gas metana yang tinggi mencapai 1.087,50 µmol m-2 h-1. Gas N2O merupakan produk sampingan yang dihasilkan dalam siklus nitrogen dalam sedimen yang melibatkan aktivitas mikroorganisme kompleks. Denitrifikasi, sebagai salah satu bagian dari siklus tersebut, dianggap sebagai tahapan yang penting dalam produksi N2O (Fernandes and Bharathi 2010). Dalam penelitian ini, nilai negatif pada emisi gas N2O menunjukkan bahwa ekosistem mangrove dalam kawasan memiliki kemampuan dalam menyerap N2O. Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran di lokasi lain, rata-rata aliran emisi gas N2O (-0,26 µmol m-2 h-1) merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan negara lain, seperti; India : 0,20 µmol m-2 h-1 (Chauhan et al. 2015), Hongkong : 11,60 µmol m-2 h-1 (Chen et al. 2012), and Australia : 40,43 µmol m-2 h-1 (Allen et al. 2007). Laju emisi gas N2O di kawasan hutan mangrove lainnya Indonesia, juga ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian ini (Chen et al. 2014b). Fluks GRK yang rendah mengindikasikan tingginya potensi mangrove di Pulau Kelong dalam mitigasi perubahan iklim ((Dharmawan et al. 2016b) Reddy and Crohn (2014) menemukan bahwa salinitas memberikan pengaruh pada emisi CO2. Peningkatan salinitas menurunkan emisi gas CO2 sebesar 28-38%. Hal ini disebabkan oleh sensitivitas dari respirasi tanah terhadap peningkatan salinitas. Pola yang sama juga dapat dilihat pada pengaruh TDS pada air. Nilai TDS yang lebih tinggi, mengindikasikan aerasi antara partikel tanah lebih rendah. Hal ini menyebabkan tanah konsentrasi oksigen dalam tanah sebagai sumber respirasi mikroorganisme menjadi rendah. Penurunan emisi gas CO2 dari darat ke laut diikuti oleh pola TOC yang sama. Kandungan karbon organik yang lebih tinggi dalam zona L dibandingkan dengan zona lainnya, menyediakan sumber karbon yang lebih tinggi untuk aktivitas mikroorganisme tanah dan meneralisasi oleh biota bentic yang bertanggung jawab dalam produksi CO2 ke atmosfer (Bouillon et al. 2008; Morell et al. 2011). Sumber karbon organik dalam sedimen berasal dari dalam ekosistem mangrove dan dari luar sistem, seperti, karbon antropogenik yang terbawa aliran sungai atau pasang
15 surut. Dekomposisi dan respirasi yang terjadi dalam tanah bertanggung jawab dalam pemecahan karbon organik menjadi CO2. pH tanah mempengaruhi kandungan karbon dalam sedimen. Nursin et al. (2014) menunjukkan bahwa kandungan organik dalam sedimen akan menurun seiring dengan peningkatan pH dimana menurun dari 2,55% pada pH 6,1 menjadi 0,75% pada pH 7,2. Berdasarkan analisis statistik, tidak ditemukan hubungan yang nyata antara parameter lingkungan dengan aliran emisi CH4 dan NO2. Namun, berdasarkan Poffenbarger et al. (2011), salinitas dan CH4 memiliki hubungan yang bernilai negatif dan signifikan pada ekosistem pesisir. Namun, analisis korelasi dalam penelitian ini memperlihatkan kondisi yang berlawanan. Couwenberg (2009) menjelaskan bahwa gas metana dengan mudah dihasilkan pada kondisi tanah anaerobik dan tinggi kandungan organik. Whalen (2005) juga menggambarkan bahwa suhu lingkungan juga mempengaruhi mekanisme produksi CH4 dalam sedimen. Lu et al. (1999) menambahkan parameter kelembaban substrat juga merupakan salah satu faktor penting dalam mengatur emisi gas CH4 ke atmosfer. Analisis hubungan laju emisi gas N2O dengan faktor lingkungan memperlihatkan pH tanah yang memiliki hubungan yang paling kuat. Hal ini disebabkan oleh pH tanah mampu mengatur mekanisme denitrifikasi dan mempengaruhi produksi gas N2O. Penelitian Fernandes and Bharathi (2010) menunjukkan hubungan negatif antara denitrifikasi dengan pH tanah. Nilai emisi gas N2O yang tidak berbeda nyata antar zona menunjukkan bahwa tingkatan proses denitrifikasi yang sama dalam lokasi penelitian. Selain pH, salinitas juga memberikan pengaruh terhadap N2O dan proses denitrifikasi (Marton et al. 2012). Rendahnya nilai TOC dan TN pada zona dekat laut kemungkinan menyebabkan laju denitrifikasi yang rendah dan diikuti dengan rendahnya laju emisi N2O.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Komunitas mangrove di Pulau Kelong bagian tenggara memiliki zonasi yang cukup jelas dengan komposisi jenis, parameter lingkungan dan laju dekomposisi yang berbeda antar ketiga zona. Zona laut cenderung memiliki kemiripan dengan zona tengah lebih tinggi dibandingkan dengan zona darat. 2. Variasi spasial fluks CO2 meningkat dari darat ke laut dan berlawanan dengan emisi gas CH4. Sementara itu, flux N2O bernilai negatif dan memiliki pola kecenderungan yang tidak teratur dari darat ke laut. 3. Laju emisi GRK dalam kawasan, hanya sebagian kecil yang memiliki hubungan yang erat dengan parameter lingkungan. Laju Emisi CO2 memiliki hubungan yang negatif dan kuat dengan seluruh parameter air, pH tanah dan TOC. Sementara itu, emisi gas CH4 dan N2O tidak memiliki hubungan yang nyata dengan parameter lingkungan.
16
Saran Kondisi ekosistem dan emisi GRK yang bervariasi secara spasial mengindikasikan perlunya dilakukan penelitian lebih mendalam tentang proses biogeokimia dan mikrobiologi dalam setiap zona. Estimasi tentang potensi kawasan dalam menyerap dan menghasilkan GRK dalam satuan luas juga menarik untuk dikaji lebih mendalam. Hasil penelitian ini dan beberapa penelitian sebelumnya dalam kawasan, menunjukkan bahwa kawasan memiliki potensi tinggi dalam mitigasi perubahan iklim, sehingga disarankan untuk mempertahankan kondisi ekosistem dengan memberikan perlakuan khusus terhapan kawasan. Kebijakan bisa diterapkan misalnya dengan menetapkan kawasan sebagai kawasan konservasi mangrove untuk mempertahankan fungsinya dalam mitigasi perubahan iklim.
DAFTAR PUSTAKA Allen DE, Dalal RC, Rennenberg H, Meyer RL, Reeves S, Schmidt S. 2007. Spatial and temporal variation of nitrous oxide and methane flux between subtropical mangrove sediments and the atmosphere. Soil Biol Biochem. 39:622-631. Alongi D. 2009. The Energetics of Mangrove Forests. Springer Netherlands, Amsterdam. doi:10.1007/978-1-4020-4271-3 Alongi DM, Wattayakorn G, Pfitzner J, Tirendi F, Zagorskis I, Brunskill GJ, Davidson A, Clough BF. 2001. Organic carbon accumulation and metabolic pathways in sediments of mangrove forests in southern Thailand. Mar Geol. 179:85-103. Ananda K, Sridhar KR, Raviraja NS, Baerlocher F. 2008. Breakdown of fresh and dried Rhizophora mucronata leaves in a mangrove of Southwest India. Wetlands Ecol Manage. 112:73-81. Ashton E, Hogarth, PJ , Ormond R. 1999. Breakdown of mangrove leaf litter in a managed mangrove forest in Peninsular Malaysia. Hydrobiologia. 413:7788. Ashton EC, Macintosh DJ. 2002. Preliminary assessment of the plant diversity and community ecology of the Sematan mangrove forest, Sarawak, Malaysia. Forest Ecol Manag. 166:111-129. Bouillon S, Borges AV, Castañeda-Moya E, Diele K, Dittmar T, Duke NC, Kristensen E, Lee SY, Marchand C, Middelburg JJ et al. 2008. Mangrove production and carbon sinks: a revision of global budget estimates. Global Biochem Cy. 22:n/a-n/a. Chanda A, Akhand A, Manna S, Dutta S, Das I, Hazra S, Rao KH, Dadhwal VK. 2013. Measuring daytime CO2 fluxes from the inter-tidal mangrove soils of Indian Sundarbans. Environ Earth Sci. 72:417-427. Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. J. Cramer, Vaduz
17 Chauhan R, Datta A, Ramanathan AL, Adhya TK. 2015. Factors influencing spatiotemporal variation of methane and nitrous oxide emission from a tropical mangrove of eastern coast of India. Atmos Environ. 107:95-106. Chen GC, Tam NF, Ye Y. 2012. Spatial and seasonal variations of atmospheric N2O and CO2 fluxes from a subtropical mangrove swamp and their relationships with soil characteristics. Soil Biol Biochem. 48:175-181. Chen GC, Tam NFY, Ye Y. 2010. Summer fluxes of atmospheric greenhouse gases N2O, CH4 and CO2 from mangrove soil in South China. Sci Total Environ. 408:2761-2767. Chen GC, Tam NFY, Ye Y. 2014a. Does zinc in livestock wastewater reduce nitrous oxide (N2O) emissions from mangrove soils? Water Res. 65:402413. Chen GC, Ulumuddin YI, Pramudji S, Chen SY, Chen B, Ye Y, Ou DY, Ma ZY, Huang H, Wang JK. 2014b. Rich soil carbon and nitrogen but low atmospheric greenhouse gas fluxes from North Sulawesi mangrove swamps in Indonesia. Sci Total Environ. 487:91-96. Couwenberg J. 2009. Methane emissions from peat soils (organic soils, histosols): facts, MRV-ability, emission factors. Wetlands International, Bonn Dewiyanti I. 2010. Litter decomposition of Rhizophora stylosa in Sabang-Weh Island, Aceh, Indonesia; evidence from mass loss and nutrients. Biodiversitas. 11:139-144. Dharmawan I, Zamani N, Madduppa H. 2016a. Laju dekomposisi serasah daun di ekosistem bakau Pulau Kelong, Kabupaten Bintan. Oseanol Limnol Indones. 1:1-10. Dharmawan I, Zamani N, Madduppa H. 2016b. Spatial variation of greenhouse gases fluxes from mangrove soil in Kelong Island, Indonesia: A steppingstone on recent mangrove conservation perspectives. Journal of Coastal Conservation. in Prep Dharmawan IWE. 2014. Carbon cycle in Kelong Island. Research Center for Oceanography, Jakarta Dharmawan IWE, Pramudji S. 2014. Panduan Monitoring Status Kesehatan Komunitas Mangrove. Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta Dharmawan IWE, Ulumudin YI, Afdal. 2014. Estimation of mangrove carbon stock in Easten Coast of Bintan Regency, Riau Islands. Oseanol Limnol Indones. 40:15. Duke NC. 2006. Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, R. × annamalai, R. × lamarckii (Indo–West Pacific stilt mangrove). http://www.agroforestry.net/images/pdfs/Rhizophora-IWP.pdf. Accessed 12/01 2015 Fernandes SO, Bharathi PAL. 2010. Denitrification: an important pathway for nitrous oxide production in tropical mangrove sediments (Goa, India). J Environ Qual. 39:1507-1516. Fujimoto K, Miyagi T. 1993. Development process of tidal-flat type mangrove habitats and their zonation in the Pacific Ocean: a geomorphological study. Vegetatio. 106:137-146. Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International, Bangkok
18 Graca MAS, Baerlocher F, Gessner MO. 2005. A Practical Guide; Methods to Study Litter Decomposition. Springer Netherlands, Hogarth PJ. 2007. The biology of mangroves and seagrasses. Oxford University Press, [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001: Synthesis Report, Summary for Policymakers: An Assessment of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change, Wembley [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2015. Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva Lopez-Portillo J, Ezcurra E. 1989. Zonation in Mangrove and Salt Marsh Vegetation at Laguna de Mecoacan, Mexico. Biotropica. 21:107-114. Lovelock CE. 2008. Soil Respiration and Belowground Carbon Allocation in Mangrove Forests. Ecosystems. 11:342-354. Lu C-y, Wong Y-s, Tam NFY, Ye Y, Cui S-H, Lin P. 1998. Preliminary studies on methane fluxes in Hainan mangrove communities. Chin J Oceanol Limnol. 16:64-71. Lu CY, Wong YS, Tam NFY, Ye Y, Lin P. 1999. Methane flux and production from sediments of a mangrove wetland on Hainan Island, China. Mangr Salt Marsh. 3:41-49. Lumbanraja J, Nugroho SG, Niswati A, Ardjasa WS, Subadiyasa N, Arya N, Haraguchi H, Kimura M. 1998. Methane emission from Indonesian rice fields with special references to the effects of yearly and seasonal variations, rice variety, soil type and water management. Hydrol Process. 12:20572072. Marton JM, Herbert ER, Craft CB. 2012. Effects of Salinity on Denitrification and Greenhouse Gas Production from Laboratory-incubated Tidal Forest Soils. Wetlands. 32:347-357. Morell FJ, Cantero-Martínez C, Lampurlanés J, Plaza-Bonilla D, Álvaro-Fuentes J. 2011. Soil Carbon Dioxide Flux and Organic Carbon Content: Effects of Tillage and Nitrogen Fertilization. Soil Sci Soc Am J. 75 Murdiyarso D, Purbopuspito J, Kauffman JB, Warren MW, Sasmito SD, Donato DC, Manuri S, Krisnawati H, Taberima S, Kurnianto S. 2015. The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation. Nat Climate Change. 5:1089-1092. Myhre G, Shindell D, Bréon F, Collins W, Fuglestvedt J, Huang J, Koch D, Lamarque J, Lee D, Mendoza B (2013) Anthropogenic and natural radiative forcing. In: Stocker T et al. (eds) Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of Intergovermental Panel of Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, UK and New York, pp 659-740 Nursin A, Wardah W, Yusran. 2014. Sifat kimia tanah pada berbagai zonasi hutan mangrove di Desa Tumpapa Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong Warta Rimba. 2:17-23. Poffenbarger HJ, Needelman BA, Megonigal JP. 2011. Salinity Influence on Methane Emissions from Tidal Marshes. Wetlands. 31:831-842.
19 Purvaja R, Ramesh R. 2000. Human impacts on methane emission from mangrove ecosystems in India. Reg Environ Change. 1:86-97. Reddy N, Crohn DM. 2014. Effects of soil salinity and carbon availability from organic amendments on nitrous oxide emissions. Geoderma. 235–236:363371. Robertson AI, Daniel PA. 1989. The influence of crabs on litter processing in high intertidal mangrove forests in tropical Australia. Oecologia. 78:191-198. Sukardjo S, Alongi D. 2012. Mangroves of the South China Sea: Ecology and Human Impacts on Indonesia s Forests. Nova Science Publishers Inc, New York Vilarrúbia TV. 2000. Zonation pattern of an isolated mangrove community at Playa Medina, Venezuela. Wetlands Ecol Manage. 8:9-17. Wang H, Liao G, D’Souza M, Yu X, Yang J, Yang X, Zheng T. 2016. Temporal and spatial variations of greenhouse gas fluxes from a tidal mangrove wetland in Southeast China. Environ Sci Pollut R. 23:1873-1885. Whalen S. 2005. Biogeochemistry of methane exchange between natural wetlands and the atmosphere. Environ Eng Sci. 22:73-94.
20 Lampiran 1. Publikasi ilmiah skala nasional yang sudah diterbitkan
Laju Dekomposisi Serasah Daun di Ekosistem Bakau Pulau Kelong, Kabupaten Bintan Decomposition Rate of Leaf Litter in The Mangrove Ecosystem of Kelong Island, Bintan Regency I Wayan E. Dharmawan1,2, Neviaty P. Zamani1 & Hawis H. Madduppa1 1
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor 2 UPT. Loka Konservasi Biota Laut, Biak Email:
[email protected]
Submitted 28 May 2015. Reviewed 11 December 2015. Accepted 4 April 2016.
Abstrak Hutan bakau di bagian tenggara Pulau Kelong memiliki cadangan karbon yang banyak dalam tegakan dan sedimen yang mengindikasikan produktivitas primer kawasan yang tinggi. Dekomposisi serasah daun, sebagai bagian dari produktivitas kawasan, menghasilkan unsur hara esensial sederhana yang dimanfaatkan untuk menopang pertumbuhan bakau. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laju dekomposisi serasah daun di setiap zona penelitian, yaitu zona darat (Landward, L), tengah (Middle zone, M), dan dekat laut (Seaward, S) yang dibedakan berdasarkan kelimpahan jenis tumbuhan dan parameter in situ. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret–Mei 2015 di kawasan bakau Pulau Kelong, Kabupaten Bintan. Proses dekomposisi diamati pada enam interval waktu, yaitu 2, 4, 7, 14, 28, dan 42 h ari dengan menggunakan kantong jaring yang berisi 10 g daun basah yang diletakkan di permukaan substrat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa L merupakan zona dengan persentase dekomposisi tertinggi (56,34 ± 20,58%) dibandingkan dengan M dan S yang berturut-turut sebesar 51,59 ± 15,46% dan 51,09 ± 8,70%. Laju dekomposisi serasah paling tinggi di zona L yaitu 1,40 ± 0,82 g·m-2·hari-1 yang berbeda nyata dari zona M dan S, berturut-turut sebesar 0,83 ± 0,89 g·m-2·hari-1 dan 0,78 ± 0,70 g·m-2·hari-1. Analisis koefisien laju dekomposisi (k) menunjukkan bahwa laju dekomposisi di dalam kawasan tergolong tinggi (k > 0,01). Laju dekomposisi memiliki korelasi dengan kelimpahan spesies bakau, nilai salinitas air, dan suhu tanah. Kata kunci: bakau, produktivitas primer, komposisi jenis, laju dekomposisi, serasah daun.
Abstract The mangrove forests in the southeastern part of Kelong Island have abundant carbon reserves that indicate high primary productivity areas. Decomposition of leaf litter, as a part of regional productivity, produces simple essential nutrients utilized to sustain the growth of mangroves. The purpose of this study was to determine the decomposition rate of leaf litter in each zone of the study, the Landward (L), Middle zone (M), and Seaward (S) which is distinguished by the abundance of plant species and in situ environmental parameters. The experiment was conducted in March–May 2015 i n the mangrove areas of
Dharmawan et al.
Island Kelong, Bintan regency. The decomposition process was observed at six time intervals, i.e. 2, 4, 7, 14, 28, and 42 d ays using net bag containing 10 g of wet leaves placed on the substrate surface. The results showed that L was a zone with highest percentage of decomposition (56.34 ± 20.58%) compared to the M and S, respectively for 51.59 ± 15.46% and 51.09 ± 8.70%. The highest rate of litter decomposition in zone L was 1.40 ± 0.82 g·m-2·day-1 that was significantly different from the zones M and S, respectively of 0.83 ± 0.89 g·m-2·day-1 and 0.78 ± 0.70 g·m-2·day-1. Analysis of the coefficient of decomposition rate (k) indicated that the rate of decomposition in this region was high (k > 0.01). The decomposition rate has a significant correlation with the abundance of mangrove species, the salinity value of the water, and soil temperature. Keywords: mangrove, primary productivity, species composition, decomposition rate, leaf litter.
Pendahuluan Bakau sebagai salah satu ekosistem pesisir merupakan komunitas tumbuhan tinggi yang mampu beradaptasi dengan baik di kawasan pasang-surut (Kathiresan & Bingham, 2001). Struktur tumbuhannya yang tinggi dan kokoh menjadikan hutan bakau berfungsi sebagai komponen penting dalam rantai makanan yang sangat kompleks dan potensial bagi kehidupan berbagai biota laut maupun terestrial, baik mikroorganisme maupun makroorganisme (Saenger et al., 2012; Abrantes et al., 2014). Tumbuhan bakau juga berperan sebagai sumber energi melalui guguran serasah atau bagian tumbuhan yang telah mati (Abrantes & Sheaves, 2009). Biota herbivora akan memecahnya menjadi bagian yang lebih kecil yang kemudian diuraikan oleh mikroorganisme melalui mekanisme dekomposisi (Camilleri, 1992; Robertson, 1998; Longonje & Raffaelli, 2015). Dalam ekosistem bakau, dekomposisi merupakan proses katabolisme yang sangat penting bagi produktivitas primer kawasan. Pemecahan mekanik dan kimiawi yang dilakukan oleh organisme pengurai menghasilkan unsur hara esensial sederhana yang dapat dimanfaatkan untuk menopang pertumbuhan bakau dan biota lainnya. Kajian tentang dekomposisi sudah banyak dilakukan, baik di wilayah tropis maupun subtropis, antara lain oleh Ashton et al. (1999), Ananda et al. (2008), Li & Ye (2014), Tran (2014), dan Keuskamp et al. (2015). L etak geografis sangat penting dalam memengaruhi laju dekomposisi (Ainley & Bishop, 2015). Peningkatan aktivitas dekomposisi yang terjadi secara aerobik dapat meningkatkan emisi gas karbon dioksida ke dalam atmosfer (Cai, 2011). Hal ini disebabkan oleh kandungan organik yang tinggi dan faktor lingkungan in situ yang optimal bagi pertumbuhan organisme pengurai. Serasah daun sebagai komponen utama dalam produtivitas primer bakau merupakan sumber karbon penting dalam proses de-
komposisi. Kualitas dan kuantitas serasah dalam ekosistem memberikan pengaruh kuat bagi aktivitas katabolisme organisme pengurai (Mooshammer et al., 2012). Kualitas serasah sangat dipengaruhi oleh jenis bakau yang memiliki kandungan nutrisi dan air yang berbedabeda. Semakin tebal daun, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menguraikannya (Gartner & Cardon, 2004). Luas dan keragaman bakau di Indonesia menimbulkan variasi yang cukup tinggi pada kuantitas serasah bakau yang dihasilkan, yaitu berkisar 7,1–23,7 ton·ha-1·tahun-1 (Sukardjo & Yamada, 1992; Sukardjo et al., 2013). Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk dilakukan di Indonesia. Pulau Kelong terletak dalam gugusan kepulauan di bagian tenggara Kabupaten Bintan. Pulau ini dikelilingi oleh hutan bakau yang cukup lebat. Aktivitas penambangan bauksit juga banyak ditemui di kawasan ini yang dalam dekade terakhir semakin meningkat. Hasil interpretasi citra Landsat tahun 2004–2014 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas lahan tambang secara horizontal. Secara vertikal, wilayah yang dulu merupakan bukit, sekarang hampir rata dengan tanah. Dharmawan et al. (2014) menjelaskan bahwa hutan bakau di Pulau Kelong memiliki cadangan karbon paling tinggi dengan kondisi vegetasi yang paling baik di antara sepuluh wilayah kajian di kawasan pesisir timur Kabupaten Bintan. Hutan bakau Pulau Kelong bagian tenggara memiliki cadangan karbon tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Kelong (Dharmawan et al., 2014). Stok karbon yang sangat tinggi dalam tanah, maupun biomassa vegetasinya mengindikasikan keberadaan sumber karbon yang berlimpah untuk mendukung proses dekomposisi yang terjadi di dalamnya. Oleh karena itu, diperlukan kajian yang lebih lengkap untuk mendukung asumsi tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui laju dekomposisi
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(1): 1-10
serasah daun di ekosistem bakau di Pulau Kelong bagian tenggara.
Metodologi Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Maret–Mei 2015 di kawasan hutan bakau Pulau Kelong bagian tenggara. Kawasan ini dipilih karena memiliki cadangan karbon tertinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Kelong, maupun di kawasan pesisir timur Kabupaten Bintan (Dharmawan et al., 2014). Secara administratif, lokasi penelitian terletak di Kecamatan Bintan Timur yang berjarak 26 km dari pusat Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan. Hutan bakau ini memiliki ketebalan maksimal 200 m yang merupakan hutan primer. Kawasan ini memiliki enam muara sungai kecil dengan lebar ± 1 m. Kawasan dibagi dalam tiga zona, yaitu zona dekat laut (Seaward, S), zona tengah (Middle zone, M), dan zona dekat daratan (Landward, L) yang dikaji dengan empat transek tegak lurus garis pantai (Gambar 1). Karakteristik setiap zona diperlihatkan dalam Tabel 1. Substrat berbatu ditemukan di bagian pantai dengan ketebalan ekosistem bakau sekitar 304 m. Pasang surut air laut tipe campuran condong ke harian tunggal dengan rentang pasang tertinggi dan surut terendah sebesar 89 cm, serta kecepatan
surut maksimal 0,494 cm/menit dan pasang 0,466 cm/menit. Analisis Kondisi Vegetasi Bakau Penelitian ini menggunakan metode transek garis dengan plot berukuran 10 m x 10 m yang ditarik tegak lurus garis pantai. Total plot sebanyak 12 bua h (3 zona x 4 t ransek) dibuat untuk mengukur kondisi komunitas bakau kategori pohon atau setinggi ± 130 cm dengan diameter ≥ 4 cm dan kategori pancang (sapling) dengan diameter < 4 cm. Di dalam plot 10 x 10 m2 dibuat lagi subplot berukuran 5 m x 5 m (Ashton & Macintosh, 2002). Identifikasi s pesies bakau dilakukan berdasarkan Noor et al. (1999) dan Giesen et al. (2006). Kerapatan serta indeks nilai penting jenis pada pohon dan pancang dihitung berdasarkan English et al. (1997). Persentase tutupan kanopi bakau didekati dengan metode hemispherical photography (Dharmawan & Pramudji, 2014). Parameter lingkungan in situ seperti suhu, pH, salinitas, konduktivitas, dan TDS dalam air dan sedimen diukur dengan menggunakan pHmeter EZODO PH5011 dan SCTmeter YSI EC200. Stok serasah daun (litter standing stock) di permukaan tanah setiap plot dihitung menggunakan plot kecil berukuran 1 m x 1 m. Serasah daun dikeringkan pada suhu 80°C selama 1 minggu, kemudian ditimbang (Robertson & Daniel, 1989).
Gambar 1. Lokasi penelitian yang menunjukkan empat lokasi transek (T1–T4) serta zona daratan (L), zona tengah (M), dan zona laut (S). Figure 1. Study sites showing the four transect locations (T1–T4) and the landward ( L), middle (M), and seaward (S) zones.
Dharmawan et al.
Tabel 1. Perbandingan nilai rata-rata parameter lingkungan dalam substrat dan air di setiap zona transek (L, M, dan S) bakau di Pulau Kelong. Table 1. Comparison of the average values of environmental parameters in each zone of mangrove transects (L, M, and S) of Kelong island.
Substrate Species composition Substrate pH Substrate temperature (°C) Substrate salinity (ppt) Water pH Water temperature (°C) Water salinity (ppt) Water conductivity (mS) Water TDS (g/L)
L Mud Mostly Xylocarpus granatum 6.95 ± 0.06a 28.13 ± 0.10a 10.58 ± 0.17a 6.93 ± 0.10a 28.35 ± 0.06a 24.60 ± 0.68a 40.03 ± 0.17a 12.04 ± 0.33a
Zone M Mud
S Sandy mud
Rhizophora apiculata and others
Mostly R. apiculata
7.08 ± 0.10a 28.75 ± 0.19b 8.65 ± 5.11a 7.10 ± 0.08a 28.80 ± 0.14b 23.03 ± 2.48a 40.03 ± 3.78a 11.52 ± 1.08a
7.40 ± 0.08b 28.83 ± 0.10b 10.88 ± 0.55a 7.65 ± 0.13b 29.38 ± 0.26c 32.15 ± 0.13b 53.30 ± 0.18b 15.26 ± 0.04b
Letters a and b represent the result of one way ANOVA followed by Tukey test p < 0.05. Different letters indicate statistically significant differences among sampling sites.
Penghitungan Laju Dekomposisi Laju dekomposisi dihitung berdasarkan metode yang dimodifikasi dari Ashton et al. (1999) dan Dewiyanti (2010). Daun kuning yang masih segar dalam kelompok pohon dari spesies yang dominan dikoleksi dari setiap zona, yaitu R. apiculata dari zona S dan M, serta X. granatum dari zona L. Daun dibersihkan, didiamkan selama 24 jam, ditimbang sebanyak 10 g (W1), lalu dimasukkan ke dalam kantong jaring berukuran 10 x 10 c m2 dengan ukuran mata jaring (mesh size) 1 mm2. Kantong daun diletakkan di atas permukaan substrat bakau dan diikatkan pada akar sejajar dengan substrat untuk mencegah kantong terbawa arus pasang surut. Untuk setiap zona dibuat empat kali ulangan dan enam kali perlakuan waktu pengamatan (hari ke-2, 4, 7, 14, 28, 42). Kantong dikoleksi pada hari yang sudah ditentukan dan dibawa ke laboratorium. Daun dibersihkan dan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 60°C selama 3–5 hari atau sampai beratnya konstan. Setiap sampel ditimbang dan dicatat berat keringnya (W2). Faktor konversi (f) berat basah ke berat kering dihitung sebagai persentase kandungan biomassa dalam daun kuning. Berat basah (BB) koleksi daun kuning ditimbang, kemudian dioven pada suhu 60°C selama 3–5 hari atau sampai tidak ada perubahan berat. Daun kering ditimbang untuk mendapatkan berat kering (BK). f=
BB−BK BB
x 100
(1)
Keterangan: f = faktor konversi berat basah ke berat kering (%). Laju dekomposisi serasah (LD) dalam selang waktu tertentu (Δt), persentase terdekomposisi (D), koefisien laju dekomposisi (k), dan waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi setengah sampel (t50) dihitung dengan menggunakan persamaan (2)–(5) berdasarkan Ashton et al. (1999), yaitu: LD = D= 𝑘=
(W1 x f)− W2 ∆t
W1 − W2 W1
ln(Xt ⁄X0 )
t 50 =
∆t
ln 2 k
x 100
(2) (3) (4) (5)
Keterangan: LD = Laju dekomposisi (g/m2/hari) W1 = berat basah daun kuning (g) W2 = berat kering daun setelah terdekomposisi dalam waktu tertentu (g) f = faktor konversi berat basah ke berat kering (%) Δt = selang waktu pengamatan (hari) D = persentase terdekomposisi (%) k = koefisien laju dekomposisi t50 = waktu yang dibutuhkan untuk mendekomposisi setengah sampel (hari)
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(1): 1-10
= persentase serasah daun setelah terdekomposisi dalam kurun waktu tertentu (t) = persentase serasah daun sebelum terdekomposisi.
untuk menentukan korelasi antarparameter dengan menggunakan analisis korelasi Spearman.
Analisis Data Data univariat seperti vegetasi (kerapatan bakau kategori pohon dan pancang), persentase tutupan kanopi, stok serasah bakau, parameter lingkungan (pH, suhu, salinitas, konduktivitas, TDS dalam sedimen dan air), laju dekomposisi, koefisien laju dekomposisi (k), dan t50 dianalisis dengan ANOVA menggunakan perangkat lunak tidak berbayar R-studio. Analisis jarak (indeks similaritas) Eucladian distance digunakan untuk setiap parameter lingkungan dan komposisi jenis pohon. Analisis multidimensional scaling (MDS) terhadap indeks similaritas seluruh parameter digunakan untuk menentukan ordinasi setiap plot pengukuran dan menegaskan klasifikasi zonasi dengan menggunakan perangkat lunak PRIMER 5. Selain itu, indeks similaritas juga digunakan
Kondisi Komunitas Bakau Kerapatan pohon di lokasi penelitian tertinggi ditemukan di zona darat (Landward, L) sebesar 2.175 ± 222 pohon/ha yang berbeda nyata (P < 0,05) dari dua zona yang lain. Zona dekat laut (Seaward, S) memiliki kerapatan bakau kategori pohon yang paling rendah. Namun, pada kategori pancang, zona S memiliki tegakan yang paling rapat dan berbeda nyata dibandingkan dua stasiun lain (Tabel 2). Dari segi keanekaragaman jenis, zona S hanya memiliki dua spesies bakau dan paling rendah dibandingkan zona darat dan zona tengah. Berdasarkan persentase tutupan tajuk, komunitas bakau di dalam kawasan termasuk dalam kategori baik, dengan nilai persentase tutupan 87,96 ± 6,88% (L) sampai 91,31 ± 1,14% (M) yang tidak berbeda nyata antarzona.
Xt X0
Hasil
Tabel 2. Kerapatan bakau kategori pohon dan pancang, jumlah jenis, indeks nilai penting (INP) pohon, dan persentase tutupan kanopi bakau serta kepadatan serasah di tiga zona (L, M, dan S) Pulau Kelong. Table 2. Density of mangrove for tree and sapling categories, number of species, importance value (IV) index, percentage of canopy cover of mangrove, and litter stand in three zones (L, M, dan S) of Kelong Island. Parameter Tree density (ind/ha) Rhizophora apiculata Brugueira gymnorrhiza Xylocarpus granatum X. mollucensis Sapling density (ind/ha) R. apiculata B. gymnorrhiza X. granatum X. mollucensis Aegiceras corniculatum Total species Tree IV index*) Highest Lowest % canopy cover Litter stand (g DW/m2)
L 2175 ± 222a 425 ± 544 n.a. 1750 ± 332 n.a. 975 ± 287a 325 ± 330 n.a. 525 ± 171 n.a. 125 ± 96 3
Zone M 1800 ± 141b 1425 ± 126 100 ± 82 200 ± 82 75 ± 50 925 ± 150a 850 ± 191 200 ± 115 75 ± 96 n.a. n.a. 4
S 1550 ± 191b 1475 ± 171 n.a. n.a. 75 ± 50 1875 ± 50b 1875 ± 50 n.a. n.a. n.a. n.a. 2
XG: 232.42% RA: 67.58% 87.96 ± 6.88a 78.23 ± 14.16
RA: 177.32% XM : 30.60% 91.31 ± 1.14a 81.61 ± 11.25
RA: 237.53% XM: 62.47% 90.48 ± 0.54a 82.09 ± 19.37
XG = X. granatum, RA = R. apiculata, XM = X. mollucensis n.a. = data not available.
Letters a and b represent the result of one way ANOVA followed by Tukey test p < 0.05. Different letters indicate statistically significant differences among sampling sites.
Dharmawan et al.
Laju Dekomposisi Selama 42 hari pengamatan, zona L menunjukkan proses dekomposisi tercepat, yaitu sebesar 56,34 ± 20,58% dibandingkan dengan zona M dan S, yaitu berturut-turut sebesar 51,59 ± 15,46% dan 51,09 ± 8,70%. Berat kering daun terdekomposisi selama waktu pengamatan ditunjukkan dalam Gambar 2. Laju dekomposisi rata-rata di zona L juga paling tinggi, yaitu 1,40 ± 0,82 g·m-2·hari-1 yang berbeda nyata dari dua zona lain, yaitu zona M (0,83 ± 0,89 g·m-2·hari-1) dan zona S (0,78 ± 0,70 g·m-2·hari-1) (Tabel 3).
Pembahasan Komunitas bakau di bagian tenggara Pulau Kelong didominasi oleh spesies Rhizophora apiculata yang ditemukan di semua zona penelitian. Kondisi substrat yang berlumpur dan anoksik memungkinkan spesies ini tumbuh dengan baik. Duke (2006) menyebutkan bahwa Rhizophora memiliki akar tunjang yang kuat, mengelilingi batang utama sebagai penopang pertumbuhannya di wilayah berlumpur dan anoksik. Hogarth (2007) menambahkan bahwa akar Rhizophora memiliki lentisel yang merupakan struktur penyerap oksigen terlarut dari air, tanah, atau udara secara difusi sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang miskin oksigen. Jenis substrat sangat memengaruhi dominansi suatu spesies di kawasan bakau
oseanik. Di zona S dan M dengan sedimen campuran pasir dan lumpur, spesies-spesies Rhizophora mendominasi wilayah tersebut, sedangkan zona L dengan substrat lumpuran yang berstruktur lebih padat didominasi oleh Xylocarpus granatum. Zona M yang memiliki tipe substrat campuran antara zona L dan S memiliki variasi keanekaragaman jenis yang lebih beragam. Salinitas merupakan faktor kunci yang menimbulkan variasi jenis dalam setiap zona. Salinitas air di zona S jauh lebih tinggi (32,05 ± 0,06 ppt) dan berbeda signifikan dibandingkan dengan zona L dan M (24,58 ± 0,67 ppt dan 24,13 ± 2,56 ppt). Tren yang sama juga ditemukan untuk nilai konduktivitas dan TDS air. Perbedaan gradien konsentrasi parameter lingkungan (elevasi morfologi pantai, gradien komposisi fraksi sedimen, salinitas, gradien hara, dan genangan) yang tegak lurus garis pantai akan memengaruhi zonasi dan komposisi jenis tumbuhan yang menyusunnya (Lopez-Portillo & Ezcurra, 1989; Fujimoto & Miyagi, 1993; Vilarrubia, 2000). Perbedaan gradien konsentrasi parameter lingkungan (elevasi morfologi pantai, gradien komposisi fraksi sedimen, salinitas, gradien hara, dan genangan) yang tegak lurus garis pantai akan memengaruhi zonasi dan komposisi jenis tumbuhan yang menyusunnya (Lopez-Portillo & Ezcurra, 1989; Fujimoto & Miyagi, 1993; Vilarrubia, 2000).
Gambar 2. Berat kering (g) daun yang terdekomposisi dari hari ke-0 sampai hari ke-42. Figure 2. Dry weight (g) of decomposed leaves from day 0 to day 42.
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(1): 1-10
Tabel 3. Laju dekomposisi serasah (LD), persamaan dekomposisi dan koefisien determinasi (R2), koefisien laju dekomposisi (k), dan waktu paruh (t50) dekomposisi serasah daun di tiga zona bakau Pulau Kelong. Table 3. Litter decomposition rate (LD), decomposition equations and determination coefficient (R2), coefficient of decomposition (k), and half time (t50) of leaf litter decomposition in three zones of Kelong island mangrove. Site
LD (g/m2/d)
Equation
R2
k (d-1)
L M S Overall
1.40 ± 0.82a 0.83 ± 0.89b 0.78 ± 0.70b 2.57 ± 2.20
y = 0.7350 e-0.022x y = 0.7271 e-0.027x y = 0.7176 e-0.026x y = 0.7266 e-0.025x
0.929 0.979 0.984 0.980
0.022± 0.012 0.027± 0.029 0.026± 0.024 0.025± 0.023
t50 (days) 45 43 44 44
Letters a and b represent the result of one way ANOVA followed by Tukey test p < 0.05. Different letters indicate statistically significant differences among sampling sites.
rata yang berkisar dari 0,78 ± 0,70 g·m-2·hari-1 (zona S) hingga 1,40 ± 0,82 g·m-2·hari-1 (zona L). Zona S dan M yang didominasi oleh R. apiculata memiliki laju dekomposisi yang lebih rendah dibandingkan dengan zona L yang didominasi oleh X. granatum. Hal ini dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu kondisi habitat dan karakteristik jenis daun. Substrat di zona L cenderung berlumpur dengan kandungan organik yang tinggi serta durasi terendam gelombang pasang lebih pendek. Dengan demikian, jumlah populasi, komposisi, dan aktivitas mikroorganisme pengurai di zona L menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan zona S dan M. Komposisi bakteri berbanding lurus dengan kandungan organik dalam sedimen (Holguin et al., 2001; Bouillon et al., 2003). Hardjowigeno (2003) menjelaskan bahwa tanah yang semakin lama tergenang, akan menurunkan laju dekomposisi. Lebih lanjut, ditinjau dari segi karakteristik daun, Xylocarpus memiliki daun dengan kandungan air yang lebih rendah dibandingkan dengan Rhizophora. Namun, persentase kandungan karbon per gram berat kering daun pada Xylocarpus dan Rhizophora hampir mirip, yaitu 40,7% dan 41,2% secara berurutan (Rao et al., 1994).
Tidak ada pola pasti mengenai zonasi bakau. Namun secara umum, spesies-spesies yang tahan terhadap salinitas tinggi seperti dari genus Avicennia dan Sonneratia akan menempati zona pantai. Pada penelitian ini, Rhizophora apiculata ditemukan dominan di zona S yang memiliki salinitas tinggi (32,05 ppt). Spesies ini memiliki kemampuan adaptasi pada rentang salinitas yang sangat lebar, sehingga ditemukan di seluruh zona penelitian. Ada tiga mekanisme yang dimiliki oleh Rhizophora untuk beradaptasi dengan kadar garam yang tinggi, yaitu akar ultrafiltrasi, jaringan penyimpan air, dan aliran garam ke daun tua (Chapman, 1976). Selain mekanisme adaptasi tersebut, kondisi substrat yang berlumpur juga merupakan tempat hidup yang sangat baik untuk R. apiculata. Analisis korelasi Spearman terhadap kelimpahan jenis untuk kelas pohon dan parameter in situ air di setiap zona menunjukkan hubungan yang signifikan (P < 0,01) (Tabel 4). Berdasarkan analisis MDS hasil pengukuran parameter in situ dan komposisi jenisnya, terlihat jelas ada pembagian zonasi (L, M, dan S) di seluruh transek di kawasan ini (Gambar 3). Laju dekomposisi serasah yang diperoleh dari kombinasi biomassa yang hilang dan stok serasah dalam setiap zona menunjukkan nilai rata-
Tabel 4. Koefisien korelasi antara parameter lingkungan (air dan substrat) dengan kelimpahan jenis (TA) dan laju dekomposisi (DR). Table 4. Coeficient of correlation between environmental parameters (water and substrate) with tree abundance (TA) and decomposition rate (DR).
TA DR
Temp. 0.531 0.151
pH 0.507 0.048
Water Sal. 0.314 -0.264
12345 : significance level at α = 0.05 12345 : significance level at α = 0.01
Cond. 0.372 -0.031
TDS 0.299 -0.097
Substrate Temp pH Sal. 0.778 0.383 -0.178 0.320 0.103 -0.079
TA
DR
0.505
0.505 -
Dharmawan et al.
Gambar 3. Analisis MDS (multidimensional scaling) terhadap plot berdasarkan kondisi lingkungan in situ (air dan substrat) dan kelimpahan jenis pohon. Figure 3. Multidimensional scaling analysis against plots based on in situ environmental conditions (water and substrate) and tree species abundance. Nilai laju dekomposisi berdasarkan hasil penghitungan t50 rata-rata diperoleh setelah 44 hari. Penelitian Ashton et al. (1999) menunjukkan di kawasan bakau yang masih alami, nilai t50 sekitar 43 hari, sedangkan di kawasan terbuka nilai t50 lebih besar, yaitu 76 hari. Dewiyanti (2010) memperoleh nilai t50 di zona dekat laut (63 hari) lebih cepat dibandingkan zona darat (67 hari). Tabel 4 menunjukkan bahwa laju dekomposisi memiliki hubungan yang signifikan dengan suhu substrat dan salinitas air. Graca et al. (2005) menjelaskan bahwa peluruhan serasah daun didefinisikan sebagai kehilangan berat akibat beberapa proses fisio-kimia yang disebabkan oleh kondisi lingkungan. Kuers & Simmons (2006) menambahkan bahwa proses dekomposisi akan meningkat seiring dengan meningkatnya suhu lingkungan. Berdasarkan nilai rata-rata koefisien laju dekomposisi k (0,025 ± 0,023 per hari), seluruh kawasan penelitian memiliki laju dekomposisi yang tergolong tinggi. Ananda et al. (2008) menggolongkan laju dekomposisi menjadi tiga kategori berdasarkan nilai k, yaitu tinggi (k > 0,01), sedang (k = 0,005–0,01), rendah (k < 0,005). Penelitian Dewiyanti (2010) di kawasan hutan bakau Pulau Weh menunjukkan koefisien laju dekomposisi yang lebih rendah, yaitu 0,010 ± 0,000577 per hari, sedangkan Ashton et al. (1999) menghitung nilai k sebesar 0,00163 per hari di kawasan hutan bakau alami yang didominasi oleh
R. apiculata di hutan bakau Semenanjung Malaysia. Analisis korelasi antara komposisi jenis dan laju dekomposisi menemukan korelasi positif dan signifikan antara kedua parameter tersebut (Tabel 4). Komposisi jenis tegakan yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan menghasilkan zonasi yang berbeda di lokasi penelitian (Gambar 3). Kondisi lingkungan yang berbeda ini berperan sebagai faktor fisio-kimia yang memengaruhi intensitas dekomposisi yang berlangsung (Graca et al., 2005). Variabilitas kondisi komunitas tumbuhan dan lingkungan ini juga memengaruhi distribusi organisme pengurai yang hidup di kawasan hutan bakau (Hyde & Lee, 1995; Ikenaga et al., 2010; Li et al., 2011).
Kesimpulan Laju dekomposisi serasah di kawasan hutan bakau Pulau Kelong tergolong tinggi dengan nilai k > 0,01. Kawasan yang dekat dengan daratan memiliki laju dekomposisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona tengah maupun zona dekat laut. Proses dekomposisi yang terjadi berhubungan erat dengan komposisi jenis antarzona, kondisi suhu substrat, dan salinitas perairan. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa bakau di Pulau Kelong memiliki laju siklus karbon yang cukup tinggi yang berdampak pada mekanisme penyimpanan karbon yang cepat,
Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 2016 1(1): 1-10
sehingga menyebabkan cadangan karbon yang tinggi dalam sedimen. Diperlukan penelitian lanjutan yang mencakup seluruh aspek produktivitas bakau yang sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi potensi bakau dalam upaya mitigasi perubahan iklim regional maupun global.
Persantunan Terima kasih disampaikan kepada Bapak Moh. Saleh dan Zamrizal, tenaga lokal dari Sei Enam, Kabupaten Bintan, yang telah membantu pelaksanaan penelitian di lapangan yang telah dilakukan secara mandiri untuk mendukung penelitian karbon sebelumnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Pramudji dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta yang telah memberikan fasilitas alat dan laboratorium dalam pengerjaan seluruh sampel penelitian.
Daftar Pustaka Abrantes KG & M Sheaves. 2009. Food web structure in a near-pristine mangrove area of the Australian Wet Tropics. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 82: 597–607. Abrantes KG, R Johnston, RM Connolly & M Sheaves. 2014. Importance of Mangrove Carbon for Aquatic Food Websin Wet-Dry Tropical Estuaries. Estuaries and Coasts. doi:10.1007/s12237-014-9817-2. Ainley LB & MJ Bishop. 2015. Relationships between estuarine modification and leaf litter decomposition vary with latitude. Estuarine, Coastal and Shelf Science, doi:10.1016/j.ecss.2015.07.027. Ananda K, KR Sridhar, NS Raviraja & F Baerlocher. 2008. Breakdown of fresh and dried Rhizophora mucronata leaves in a mangrove of Southwest India. Wetlands Ecol Manage, 112: 73–81. Ashton EC & DJ Macintosh. 2002. Preliminary assessment of the plant diversity and community ecology of the Sematan mangrove forest, Sarawak, Malaysia. Forest Ecology and Management, 166: 111–129. Ashton EC, PJ Hogarth & R Ormond. 1999. Breakdown of mangrove leaf litter in a managed mangrove forest in Peninsular Malaysia. Hydrobiologia, 413: 77–88. Bouillon S, F Dahdouh-Guebas, AVVS Rao, N Koedam & F Deha. 2003. Sources of organic carbon in mangrove sediments: variability and
possible ecological implications. Hydrobiologia, 495: 33–39. Cai WJ. 2011. Estuarine and Coastal Ocean Carbon Paradox: CO2 Sinks or Sites of Terrestrial Carbon Incineration? Annu. Rev. Mar. Sci., 3: 123–45. Camilleri JC. 1992. Leaf-litter processing by invertebrates in a mangrove forest in Queensland. Marine Biology, 114: 139–145. Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. J. Cramer. Auckland, New Zealand. 447 pp. Dewiyanti I. 2010. Litter decomposition of Rhizophora stylosa in Sabang-Weh Island, Aceh, Indonesia; evidence from mass loss and nutrients. Biodiversitas, 11(3): 139–144. Dharmawan IWE & Pramudji. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan Ekosistem Mangrove. COREMAP-CTI, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. Jakarta. 35 pp. Dharmawan IWE, YI Ulumudin & Afdal. 2014. Estimasi stok karbon ekosistem mangrove di Pesisir Timur Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Oseanologi dan Limnologi Indonesia, 40(3): 267–281. English S, C Wilkinson & V Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville, Australia. 378 pp. Duke NC. 2006. Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, R. annamalai, R. lamarckii (Indo-West Pacific stilt mangrove). http://www.agroforestry. net/tti/RhizophoraIWP.pdf. Diakses tanggal 1 Mei 2015. Fujimoto K & T Miyagi. 1993. Development process of tidal-flat type mangrove habitats and their zonation in the Pacific Ocean. Vegetation, 106: 137–146. Gartner TB & ZG Cardon. 2004. Decomposition dynamics in mixed-species leaf litter. Oikos, 104: 230–246. Giesen W, S Wulffraat, M Zieren & L Scholten. 2006. Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International. Bangkok. 769 pp. Graca MAS, F Baerlocher & MO Gessner. 2005. A Practical Guide; Methods to Study Litter Decomposition. Springer. Netherlands. 329 pp. Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. 274 pp. Hogarth P. 2007. The Biology of Mangroves and Seagrasses. Oxford University Press Inc. New York. 273 pp. Holguin G, P Vazquez & Y Bashan. 2001. The role of sediment microorganisms in the productivity, conservation, and rehabilitation
Dharmawan et al.
of mangrove ecosystems: an overview. Biol Fertil Soils, 33: 265–278. Hyde KD & SY Lee. 1995. Ecology of mangrove fungi and their role in nutrient cycling: what gaps occur in our knowledge?. Hydrobiologia, 295: 107–118. Ikenaga M, R Guevara, AL Dean, C Pisani & JN Boyer. 2010. Changes in Community Structure of Sediment Bacteria Along the Florida Coastal Everglades Marsh Mangrove Seagrass Salinity Gradient. Microb. Ecol., 59: 284–295. Kathiresan L & BL Bingham. 2001. Biology of mangroves and mangrove ecosystems. Advances in Marine Biology, 40: 81–251. Keuskamp JA, MM Hefting, BJJ Dingemans, JTA Verhoeven & IC Feller. 2015. Effects of nutrient enrichment on mangrove leaf litter decomposition. Science of the Total Environment, 508: 402–410. Kuers K & J Simmons. 2006. Leaf Litter Decomposition. CAWS Litter Decomposition Study. http://faculty.ycp.edu/~kkleiner/ecology/LabD ata_S2011/Slopes/LitterDecomp Study_ word_Sewanee.pdf. Diakses tanggal 1 Mei 2015. Li M, YG Hong, HL Cao & JD Gu. 2011. Mangrove trees affect the community structure and distribution of anammox bacteria at an anthropogenic-polluted mangrove in the Pearl River Delta reflected by 16S rRNA and hydrazine oxidoreductase (HZO) encoding gene analyses. Ecotoxicology, 20: 1780–1790. Longonje SN & D Raffaelli. 2015. Feeding ecology of mangrove crabs in cameroon. Applied Ecology and Environmental Research, 12(4): 959–973. Mooshammer M, W Wanek, J Schnecker, B Wild, S Leitner, F Hofhansl, A Blochl, I Hammerle, AH Frank, L Fuchslueger, KM Keiblinger, S Zechmeister-Boltenstern & A Richter. 2012. Stoichiometric controls of nitrogen and phosphorus cycling in decomposing beech leaf litter. Ecology, 93: 770–782. Noor YR, M Khazali & INN Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/Wi-IP. Bogor. 220 pp. Li T & Y Ye. 2014. Dynamics of decomposition and nutrient release of leaf litter in Kandelia obovata mangrove forests with different ages in Jiulong jiang Estuary, China. Ecological Engineering, 73: 454–460. Lopez-Portillo J & E Ezcurra. 1989. Zonation in mangrove and saltmarsh vegetation at Laguna de Mecoacan, Mexico. Biotropica, 21(2): 107– 114.
Rao RG, AF Woitchik, L Goeyens, A van Riet, J Kazungu & F Dehairs. 1994. Carbon, nitrogen contents and stable isotope abundance in mangrove leaves from an east African coastal lagoon (Kenya). Aquatic Botany, 47(2): 175– 183. Robertson AI. 1998. Decomposition of mangrove leaf litter in tropical Australia. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 116: 235–247. Robertson AI & PA Daniel. 1989. The influence of crabs on litter processing in high intertidal mangrove forests in tropical Australia. Oecologia, 78:191–198. Saenger P, D Gartside & S Funge-Smith. 2012. A Review of Mangrove and Seagrass Ecosystems and Their Linkage to Fisheries and Fisheries Management. FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok, Thailand. 74 pp. Sukardjo S, DM Alongi & C Kusmana. 2013. Rapid litter production and accumulation in Bornean mangrove forests. Ecosphere, 4(7): 1– 7. Sukardjo S & I Yamada. 1992. Biomass and productivity of a Rhizophora mucronata Lamarck plantation in Tritih, Central Java, Indonesia. Forest Ecology and Management, 49: 195–209. Tran P. 2014. Allometry, biomass and litter decomposition of the New Zealand mangrove Avicennia marina var. australasica. Thesis. Auckland University of Technology. Aukland. 73 pp. Vilarrubia TV. 2000. Zonation pattern of an isolated mangrove community at Playa Medina, Venezuela. Wetlands Ecology and Management, 8: 9–17.
30 Lampiran 2. Tulisan ilmiah skala internasional yang sedang dalam proses revisi. Journal of Coastal Conservation: Planning and Management Spatial variation of greenhouse gases fluxes from mangrove soil In Kelong Island, Indonesia: a stepping-stone on recent mangrove conservation perspectives --Manuscript Draft--
Manuscript Number: Full Title:
JCCO-D-16-00016
Article Type: Keywords:
Original Research
Corresponding Author:
I Wayan Eka Dharmawan Research Centre for Oceanography Jakarta, INDONESIA
Corresponding Author's Institution:
Research Centre for Oceanography
First Author:
I Wayan Eka Dharmawan
Order of Authors:
I Wayan Eka Dharmawan Neviaty Putri Zamani, PhD Hawis Madduppa, PhD Indonesian Endowment Mr I Wayan Eka Fund Dharmawan
Funding Information: Suggested Reviewers:
Spatial variation of greenhouse gases fluxes from mangrove soil In Kelong Island, Indonesia: a stepping-stone on recent mangrove conservation perspectives Greenhouse gases flux, carbon dioxide, methane, nitrous oxide, mangrove conservation, climate change mitigation
Guangcheng Chen Rita Chauhan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Spatial variation of greenhouse gases fluxes from mangrove soil In Kelong Island, Indonesia: a stepping-stone on recent mangrove conservation perspectives I Wayan Eka Dharmawan1,2,*, Neviaty P. Zamani1 dan Hawis H. Madduppa1, 1
Department of Marine Science and Technology, Faculty of Fisheries and Marine Sciences, Bogor Agricultural University, Jl.Agatis No.1, Marine Centre Building, Bogor 16680, Indonesia 2 Technical Implementing Unit, Marine Life Conservation Biak, Research Centre for Oceanography, Indonesia Institute of Science. Jl. Bosnik Raya, East Biak District, Biak-Numfor, Papua, Indonesia
Acknowledgement This study is funded by Indonesian Endowment Fund (LPDP: Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Indonesia). We are grateful to all of my colleagues in Bogor Agricultural University (IPB) and Research Centre for Oceanography, Jakarta (RCO) for their technical assistances. Highly thank to Mohamad Saleh and Zambrizal for physical assistance during sampling.
*
Corresponding author: Ph./Fax. +62-81999095950, e-mail:
[email protected]
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Abstract Since climate change and GHGs emission have become hot topics for coastal studies worldwide, mangrove conservation is not only based on species diversity and abundance but also is considered by its functions. However, GHGs are less concerned to be studied in Indonesia which has the most extensive mangrove area in the world. This study was aimed to analyse soil-to-atmosphere GHGs fluxes at the highest carbon storage of mangrove area in Kelong Island, Bintan Regency. Study area was divided to be three zones i.e. landward (LWD), middle zone (MZD) and seaward (SWD) according to their species domination and abundance. This study was conducted on March 2015. Gases samples were taken by closed-chamber method and analysed by gas chromatography using FID for CO2 and CH4 while using a 63Ni electron capture detector (μECD) for N2O. Overall, mangrove in Kelong Island has released low GHGs flux. Fluxes of CO2, CH4 and N2O from landward to seaward were ranging from 0.48 – 4.35 mmol m-2 h-1; 0.52 – 2.54 µmol m-2 h-1 and -0.56 – (-0.06) µmol m-2 h-1, respectively. Spatial declining of CO2 flux from land to sea zone was followed by soil total organic carbon trend. CH 4 flux was increasing from LWD to SWD although there were no significant differences among zones. Mostly, environmental factors has no significant influences on GHGs fluxes. Pristine area, low GHGs emission, high organic contents and carbon storage indicated that this area is deserved to be conserved for maintaining GHGs emission and climate change mitigation. Keywords: Greenhouse gases flux, carbon dioxide, methane, nitrous oxide, mangrove conservation, climate change mitigation. 1. Introduction Mangrove, as one of coastal ecosystem, is well-adapted plant community on intertidal zone. These highly productive ecosystems with vigorous aboveground structures contribute to habitat complexity for marine and terrestrial fauna, but also provide organic matter and nutrients critical to marine benthic fauna, primarily through litter fall which is a major component of the detrital food chain (Abrantes et al. 2014; Kathiresan and Bingham 2001; Saenger et al. 2012). Mangrove wetlands are also ecologically important on global scale as they have been suggested to be responsible for 10% of global terrestrial carbon export to the ocean and ~10% of the global oceanic burial of carbon (Dittmar et al. 2006; Duarte et al. 2005). Recently, the importance of mangrove wetlands in the carbon stock and bury have further highlighted (Alongi et al. 2015; Donato et al. 2011). Therefore, conservation of mangrove wetlands is not only important for protecting the costal biodiversity but also for managing greenhouse gases (GHGs) balance in the atmosphere to mitigate global climate change. Atmospheric greenhouse gases, such as carbon dioxide (CO2), methane gas (CH4) and nitrous oxide (N2O) have received great concern in recent decades due to their contributions to global warming (IPCC 2001; 2015). The atmospheric CO2 concentration has increased from 278 ppm in 1750 to 391 ppm in 2011 (IPCC 2015), increasing at the fastest observed decadal rate of change in the past ten years, and unfortunately the atmospheric greenhouse gas concentrations continue to rise. On the other hand, the contributions of the trace CH4 and N2O gases are also relevant, because they are more stable and have considerably higher radioactive forcing than CO 2, with direct global warming potential (GWP) 298 and 34 times, respectively, as that of CO 2 (Myhre et al. 2013). On base of these, conservation of mangrove wetlands as existing biological pools for carbon sequestration would be global relevant to mitigate global warming. However, mangrove ecosystem also releases CO2 and CH4 from soil as by-products of soil respiration and decomposition (Bouillon et al. 2008). On the other hand, mangrove wetlands are regularly flooded, and their soils altering between oxic and anoxic conditions, favor microbial processes like nitrification and denitrification that produce N2O (Chen et al. 2010). Numerous studies have recognized mangrove soil as sources of atmospheric greenhouse (Allen et al. 2007; Chen et al. 2010; 2014b; Wang et al. 2016), while the gases emission could be greatly enhanced by exogenous nutrient inputs from mangrove soil (Chen et al. 2010) and the loss of mangrove wetland due to human activities as the loss of carbon storage is equivalent to relevant carbon dioxide emission to atmosphere (IPCC 2015). Therefore, the potential of greenhouse gas emission from mangrove ecosystems to atmosphere cannot be neglected. Indonesia possesses magnificent mangrove forests that are not only among the most extensive but also among the most diverse on earth (Sukardjo and Alongi 2012). Present investigations also reported the Indonesian mangrove forests as globally significant carbon storage and could potentially mitigate global warming (Murdiyarso et al. 2015). The rich carbon and nutrients in mangrove soil are likely to provide available substrates
54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85
for microbial processes in soil involved in the GHGs productions. The knowledge on the GHGs emissions from Indonesian mangrove is necessary for the global inventory but is now still rare. A recent study in North Sulawesi, Indonesia demonstrated that the mangrove ecosystem has low GHGs fluxes (Chen et al. 2014b). In the present study, we further examine the soil to atmosphere GHGs fluxes in a mangrove forest in Kelong Island, Indonesia, and the environmental factors were also investigated to check their relationship with gases fluxes. We hypothesized that spatial variability of environmental factors might influence GHGs emission due to mangrove soil elevation existence. How mangrove deal with GHGs can be further used for compiling future coastal conservation perspectives, planning and polices in this area. 2. Materials and Methods 2.1. Description of study area and sampling sites The current study was conducted on March 2015 in south eastern Kelong Island. The island (E: 104,656, N: 0.817) is located in Bintan Regency, Riau Islands Province. The mangrove is a primary forest, with a width of 200 m from the land edge to sea edge, as assessed by Landsat 8 interpretation.
Figure 1. Selected site on Kelong Island for greenhouse gases flux measurement. 2.2. Greenhouse gas emission sampling Samplings were done at three stations in the mangrove forest, i.e. seaward (SW), middle zone (MZ) and landward (LW) which is four replications on each station. Closed-chamber method was used to collect gas samples on low tide period in four times interval i.e. 0, 10, 20 and 30 minutes (Chen et al. 2010; Chen et al. 2014b). GHGs concentrations were analyzed on Gas Chromatography (GC) Agilent 7890A mounted by two different detectors such as: flame ionization detector (FID) for CO2-CH4; and a 63Ni electron capture detector (μECD) for N 2O. As many as 1 ml gas sample was injected into GC. Standard curves were made using standard GHGs on different injected concentrations. GHGs fluxes were calculated by comparing peak areas of samples against Agilent Greenhouse Gas Checkout Sample (1 ppm N2O, 5 ppm CH4 and 600 ppm CO2 in N2). 2.3. Mangrove and soil characteristics investigation After gas sampling, mangrove community and soil characteristics were investigated at the three stations. Quadratic transect method was applied for mangrove investigation at each station (Ashton and Macintosh 2002). Total 12 10 m x 10 m plots, four replicated plots for each station, were setup to assess the mangrove plants of tree
86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125
126 127
class (diameter ≥ 4 cm) level. A subplot of 5 m x 5 m in size was further setup with each plot to study the sapling component. Girth on breast height (GBH) of all tree and sapling level was measured and the plant species was identified based on Giesen et al. (2006). Plant density and their important value index were calculated. Soil temperatures were measured in situ using a Salinity Conductivity Temperature (SCT) meter YSI EC200 immediately after gas samples collection. Surface soil samples beneath the chamber were then collected to a depth of 5 cm. Parameters of the pore water, i.e. salinity, conductivity and total dissolved solid (TDS) were also measured using the SCT meter. Soil samples were air-dried for lateral analysis. Soil pH was measured on 1:5 ratio between soil and distilled water using Hanna pH meter. Total organic carbon (OC) was analyzed using the loss on ignition (LOI) method at 550 °C. Total Kjeldahl nitrogen (TKN) and total phosphorus (TP) analysis were conducted by the Flow Injection Analyzer (FIA) after Kjeldahl digestion. 2.5. Statistical analyses The parametric one-way analysis of variance (ANOVA) was used to test any difference in vegetation (tree and sapling densities), canopy coverage; litter standing stock; in-situ environmental parameters (pH, temperature, salinity, conductivity and TDS on soil and pore water); soil TOC, TP and TKN; and GHGs (CO2, CH4 and N2O) fluxes among zones. Multidimensional scaling (MDS) analysis on similarity index of tree abundance was applied to emphasize zoning differentiation using software PRIMER 5 (Clarke and Warwick 2001). Moreover, correlation between GHGs fluxes and environmental parameters was conducted using parametric Pearson correlation analysis. 3. Results 3.1. Mangrove Characteristics Soil pore water characteristics were observed different among the three stations. Overall, the landward station had similar characteristics, such as salinity, conductivity and TDS, to those at the middle zone, but significantly higher values were measured at the seaward station (Table 1). Similarly, soil pH was comparable between the LW and MZ site, and increased toward the sea. Soil temperature range slightly from 28.13 to 28.83 o C, and was found to increase gradually from the LW station to the SW. For soil OC and TKN, the landward station had significantly higher concentrations than the other two stations, and their values were 125.41 mg g-1 and 3.23 mg g-1, respectively. There is no significant difference in these two parameters between the MZ and SW stations. Soil phosphate was fluctuated which reached the highest in middle zone without any significant difference among each other’s. Rhizophora apiculata was common species and found at all stations; this species dominated at the SW and MZ stations. The LW station, which has higher elevation, was dominated by Xylocarpus granatum. The highest tree density, 2.175 ± 222 tree ha-1, was found at the landward station, and the density at seaward station was the lowest (p<0.05, Table 2). The sapling density was different significantly among the three stations (P<0.05), and the highest density was observed at the SW. According to species diversity, SWD site had the lowest species number compared to the MZ and LW stations. Mangrove zoning were clearly indicated based on the tree abundance (Figure 2). Table 1. Characteristics of soils and pore water in the three mangrove stations in Kelong Island. Station Parameters Landward Middle zone Seaward Soil pH 6.95 ± 0.06a 7.08 ± 0.10a 7.40 ± 0.08b Soil Temperature (oC) 28.13 ± 0.10a 28.75 ± 0.19b 28.83 ± 0.10b Soil OC (g/kg) 125.41 ± 1.10a 79.76 ± 1.18b 71.48 ± 17.28b a a Soil TP (mg/g) 0.21 ± 0.05 0.30 ± 0.003 0.27 ± 0.03a a a Soil TKN (mg/g) 3.23 ± 0.31 2.56 ± 0.16 2.32 ± 0.41a Water Salinity (ppt) 24.60 ± 0.68a 23.03 ± 2.48a 32.15 ± 0.13b a a Water Conductivity (mS) 40.03 ± 0.17 40.03 ± 3.78 53.30 ± 0.18b a a Water Total Dissolved Solid (g/L) 12.04 ± 0.33 11.52 ± 1.08 15.26 ± 0.04b ab result of one way ANOVA which different letter represents significant differences among sites on each characteristic.
128 129
Table 2. Tree and sapling density; sum of species; important value (IV) index of tree and canopy coverage percentage of mangrove plant community on three study zones in Kelong Island. ZONATION NO PARAMETERS LANDWARD MIDDLEZONE SEAWARD 1 Tree Density (tree ha-1) 2175 ± 222a 1800 ± 141b 1550 ± 191b Rhizophoraapiculata 425 ± 544 1425 ± 126 1475 ± 171 Brugueiragymnorrhiza Xylocarpusgranatum X. mollucensis 2
Sapling Density (id.ha-1) R. apiculata B. gymnorrhiza X. granatum X. mollucensis Aegicerascorniculatum
n/a
100 ± 82
n/a
1750 ± 332
200 ± 82
n/a
n/a
75 ± 50
75 ± 50
975 ± 287a 325 ± 330
925 ± 150a 850 ± 191
1875 ± 50b
n/a
200 ± 115
1875 ± 50 n/a
525 ± 171
75 ± 96
n/a
n/a
n/a
n/a
125 ± 96
n/a
n/a
3
Sum of Species
3
4
2
4
Tree IV index Highest
XG: 232.42%
RA: 177.32%
RA: 237.53%
Lowest
RA: 67.58%
XM : 30.60%
XM: 62.47%
130
XG = X. granatum; RA = R. apiculata; XM = X. mollucensis. Different letters indicated significant differences
131 132 133
among treatments at p _ 0.05 according to ANOVA. n/a: not available.
134 135 136 137 138 139 140 141
Figure 2. Multidimensional scaling analysis of plots based on tree species abundance.
142 143 144 145 146 147 148 149 150
3.2. Greenhouse gas (GHGs) fluxes Generally, Kelong mangrove had low GHGs fluxes from its soil (Figure 3), Spatially, CH4 and N2O gas fluxes had not significant difference among the three stations and their fluxes ranged from 0.520.92 to 2.544.17 μmol m−2 h−1, and from -0.560.61 to -0.060.13 μmol m−2 h−1, respectively. However, CO2 flux was found to significantly different among the stations (P<0.05), and the value decreased from LW station (4.352.04 mmol m−2 h−1) to seaward (0.480.1.38 mmol m−2 h−1). Correlation among GHGs fluxes, vegetation and environmental data was showed on Table 3. Pore water salinity, TDS and conductivity, as well as soil pH were found to significantly and negatively correlate to CO2 flux.
151
152 153 154 155 156
157 158 159 160 161 162 163 164 165
Figure 3. Soil-to-atmosphere GHGs fluxes on each zone of mangrove forest in Kelong Island. Table 3. Pearson correlation among environmental parameters (water and substrate) with tree abundance (TA) and greenhouse gases fluxes. CO2 CH4 N2O Soil pH -0.864** 0.509 -0.412 Soil Temperature -0.483 0.373 -0.162 Soil OC 0.735* 0.244 0.476 Soil TP -0.633 0.372 -0.024 Soil TKN 0.566 0.497 0.488 Water salinity -0.686* 0.262 -0.489 Water total dissolved solid -0.643* 0.266 -0.454 Water conductivity -0.692* 0.288 -0.479 Tree abundance 0.464 -0.094 0.498 * indicates p < 0.05; ** indicates p < 0.01.
166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183
Discussion Our study indicated that pristine and oceanic mangrove ecosystem in Kelong Island had low GHGs soilto-atmosphere fluxes. However, this tendency was not followed by soil N and C which was high in area. The present study result was similar to oceanic mangrove area in North Sulawesi (Chen et al. 2014b). As long as mangrove is a potential ecosystem for rich carbon and nitrogen as sources for decomposition and respiration, it might supposedly emit higher GHGs through the atmosphere (Lovelock et al. 2014; Zhang et al. 2015). It was complicated since we found spatial GHGs fluxes were subjected minor influences from environmental factors. Low rate of soil decomposition could impact for low GHG emission in high organic content soil (Chen et al. 2014b). Carbon dioxide flux in Kelong island was higher than other studies (Alongi et al. 2001; Chen et al. 2012; 2014b). Mean value of CO2 flux in present study (2778.61 µmol m−2 h−1) was less than average of CO2 fluxes in 75 sites of world mangrove i.e. 2870 µmol m−2 h−1 (Alongi 2009). In addition, it was also significantly lower than CO2 flux in Australia (Lovelock 2008). Its trend which declined from landward to seaward following Chen et al. (2010). Table 4. Comparison of summer soil-to-atmosphere greenhouse gases flux (µmol m-2 h-1) from several studies on mangrove sites. HABITAT NO SITE CH4 CO2 N 2O REFFERENCES TYPE Kelong Island, Oceanic 0.52 – 2.54 484.01 - 4351.82 -0.56 - (-0.06) This study 1 Indonesia Ennore; Adyar and Purvaja and Ramesh Estuarine 166.88 – 686.25 ND ND 2 Pichavaram, India (2000) Brisbane river, Riverine 272.45 ND 40.43 Allen et al. (2007) 3 Australia Futian, Mai Po and Sha Kong Tsuen, Estuarine 10.10 – 5168.62 560 - 20560 0.14 - 23.83 Chen et al. (2010) 4 China Mai Po, Hongkong Estuarine ND 31.23 11.60 Chen et al. (2012) 5 6 7 8
184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201
Sundarbans, India North Sulawesi, Indonesia
Estuarine
ND
2.34
ND
Chanda et al. (2013)
Oceanic
−6.05–13.14
−1340–3880
−0.35–0.61
Chen et al. (2014b)
Bhitarkanika, India
Estuarine
5
ND
0.20
Chauhan et al. (2015)
In present study, fluxes of methane gas were mostly lower than other mangrove studies by closedchamber method (Table 4). On the other hand, it was higher than Sai Keng, Hongkong; North Sulawesi, Indonesia and Sundarbans, India. The most intensive emission flux was found in South China which is simulated wasted water experiment (Chen et al. 2010). SWD zone methane flux was similar with paddy rice field (Lumbanraja et al. 1998). Methane flux on SWD zone was higher than other zones which had a same pattern with Lu et al. (1998). The higher methane flux emission zone tend to be located on estuary or lagoon and dominated by high mud intensity in soil. Allen et al. (2007) noted that on muddy soil on riverine mangrove, there was produced high methane emission up to 1,087.50 µmol m-2 h-1. Nitrous oxide is a by-product during nitrogen cycle inner soil involving microbial activities. As a part of the cycle, denitrification has considered as an important pathways in N 2O production (Fernandes and Bharathi 2010). On the other hand, nitrification also has delivered impact for N2O leasing (Chen et al. 2014a). In this study, negative value of N2O has considered as low N2O production. Comparing to the other calculations, N2O emission in this area (-0.26 µmol m-2 h-1) was the lowest among other country i.e. India : 0.20 µmol m-2 h-1 (Chauhan et al. 2015), Hongkong : 11.60 µmol m-2 h-1 (Chen et al. 2012), and Australia : 40.43 µmol m-2 h-1 (Allen et al. 2007). N2O production on the other Indonesian mangrove sites also found little higher than this study (Chen et al. 2014b).
202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253
In this study, only few significant correlations have been found between gases fluxes and environmental parameters. All of water characteristics has given negative significant impact through CO 2 fluxes. Reddy and Crohn (2014) found that salinity factors would give impact on CO2 emission. Increased salinity resulted gradual reducing of CO2 fluxes by 28-38%. It caused by sensitivity of soil respiration on higher salinity. It was also followed by TDS and conductivity value. The higher concentration of TDS and conductivity, the lower aeration among soil particles was. It made soil become less oxygen content. On the other hand, CO2 fluxes has positive correlation with soil TOC. Spatial declining of CO2 emission from land to sea zone was followed by soil TOC trend. Since organic carbon in LWD was greater than other zones, it has provided more carbon source for microbial activity and benthic mineralization which has responsible for CO2 production (Bouillon et al. 2008; Morell et al. 2011). Organic carbon source in mangrove soil was delivered by mangrove ecosystem production and exported from anthropogenic sources. Soil decomposition and respiration are responsible for organic breakdown to produce CO 2. Soil pH also influenced carbon content inner soil. Nursin et al. (2014) found that organic content in mangrove soil would be decreased following the reducing of pH from 2.55% on pH 6.1 to be 0.75% on pH 7.2. There were no significant correlation observed between CH4-NO2 fluxes to water-soil parameters. According to Poffenbarger et al. (2011), salinity and CH4 emission would have significant negative correlation on wetland ecosystem. However, this correlation was found in weak and positive. It might be caused by undetected combination of some parameters yet since methane production are influenced by many environmental factors. Couwenberg (2009) described that methane would be easily produced on anoxic and rich organic soil. Whalen (2005) explained that organic content, temperature and oxygen concentration would control methane gas production. Moreover, Lu et al. (1999) added that substrate moisture also would be one of important factor during methane gas releasing through atmosphere. Lack of soil and water parameters in this study In N2O flux, soil pH has the highest correlation among other parameters. Soil pH influences N 2O production since it effects on denitrification process. Fernandes and Bharathi (2010) showed the negative correlation between denitrification and soil pH. Non-significant difference of N2O fluxes that was found spatially indicated similar denitrification level among sites. Although there was no significant correlation, total nitrogen has a similar trend with N2O flux from LWD to SWD. Salinity has also given impact to N 2O flux and denitrification (Marton et al. 2012). On the other hand, lower organic and nitrogen content in seaward might cause low denitrification rate followed by low N2O fluxes Low GHGs emission, rich soil carbon and nitrogen on this study could be considerations for local government to conserve this area and control anthropogenic uses. In addition, Dharmawan et al. (2014)also found that this area had the highest carbon storage among other sites in east coast of Bintan Regency. High carbon storage is also typical in Indonesian mangrove (Murdiyarso et al. 2015). By protecting this area will maintain GHGs balance in the atmosphere and contribute on climate change mitigation. In global prospective, mangrove conservation is not only protecting number of species but also managing its functions (Sandilyan and Kathiresan 2012). High pressure by human activities in this island makes conservation urgently needed to manage those potentials. This area also can be a role model for climate change mitigation in oceanic mangrove. Since Chen et al. (2014b) expected that GHGs emission have low fluctuation among season. So that, low emission, rich carbonnitrogen and high carbon storage will be found in whole year.
Conclusion Kelong island’s mangrove released low fluxes of soil-to-atmosphere GHGs. Spatially, CO2, CH4 and N2O fluxes from landward to seaward were ranging from 4351.82 - 484.01 µmol m-2 h-1; 0.52 – 2.54 µmol m-2 h1 and -0.06 – (-0.56) µmol m-2 h-1, respectively. Mangrove soil contained rich carbon and nitrogen. Due to its potentials, this area deserve to conserve not only to protect its diversity but also to maintain GHGs balance in the atmosphere contributing on climate change mitigation.
254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312
Acknowledgement This study is funded by Indonesian Endowment Fund (LPDP: Lembaga Pengelola Dana Pendidikan, Indonesia). We are grateful to all of my colleagues in Bogor Agricultural University (IPB) and Research Centre for Oceanography, Jakarta (RCO) for their technical assistances. Highly thank to Mohamad Saleh and Zambrizal for physical assistance during sampling. References Abrantes KG, Johnston R, Connolly RM, Sheaves M (2014) Importance of Mangrove Carbon for Aquatic Food Webs in Wet–Dry Tropical Estuaries Estuaries and Coasts 38:383-399 doi:10.1007/s12237-014-9817-2 Allen DE, Dalal RC, Rennenberg H, Meyer RL, Reeves S, Schmidt S (2007) Spatial and temporal variation of nitrous oxide and methane flux between subtropical mangrove sediments and the atmosphere Soil Biology and Biochemistry 39:622-631 doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.soilbio.2006.09.013 Alongi D (2009) The Energetics of Mangrove Forests. Springer Netherlands, Amsterdam. doi:10.1007/978-14020-4271-3 Alongi DM et al. (2015) Indonesia’s blue carbon: a globally significant and vulnerable sink for seagrass and mangrove carbon Wetlands Ecology and Management:11 doi:10.1007/s11273-015-9446-y Alongi DM et al. (2001) Organic carbon accumulation and metabolic pathways in sediments of mangrove forests in southern Thailand Marine Geology 179:85-103 doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0025-3227(01)001955 Ashton EC, Macintosh DJ (2002) Preliminary assessment of the plant diversity and community ecology of the Sematan mangrove forest, Sarawak, Malaysia Forest Ecology and Management 166:111-129 doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0378-1127(01)00673-9 Bouillon S et al. (2008) Mangrove production and carbon sinks: A revision of global budget estimates Global Biogeochemical Cycles 22:n/a-n/a doi:10.1029/2007GB003052 Chanda A et al. (2013) Measuring daytime CO2 fluxes from the inter-tidal mangrove soils of Indian Sundarbans Environmental Earth Sciences 72:417-427 doi:10.1007/s12665-013-2962-2 Chauhan R, Datta A, Ramanathan AL, Adhya TK (2015) Factors influencing spatio-temporal variation of methane and nitrous oxide emission from a tropical mangrove of eastern coast of India Atmospheric Environment 107:95-106 doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.atmosenv.2015.02.006 Chen GC, Tam NF, Ye Y (2012) Spatial and seasonal variations of atmospheric N 2 O and CO 2 fluxes from a subtropical mangrove swamp and their relationships with soil characteristics Soil Biology and Biochemistry 48:175-181 Chen GC, Tam NFY, Ye Y (2010) Summer fluxes of atmospheric greenhouse gases N2O, CH4 and CO2 from mangrove soil in South China Science of The Total Environment 408:2761-2767 doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.scitotenv.2010.03.007 Chen GC, Tam NFY, Ye Y (2014a) Does zinc in livestock wastewater reduce nitrous oxide (N2O) emissions from mangrove soils? Water Research 65:402-413 doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.watres.2014.08.003 Chen GC et al. (2014b) Rich soil carbon and nitrogen but low atmospheric greenhouse gas fluxes from North Sulawesi mangrove swamps in Indonesia Science of The Total Environment 487:91-96 doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.scitotenv.2014.03.140 Clarke K, Warwick R (2001) An approach to statistical analysis and interpretation Change in Marine Communities 2 Couwenberg J (2009) Methane emissions from peat soils (organic soils, histosols): facts, MRV-ability, emission factors Methane emissions from peat soils (organic soils, histosols): facts, MRV-ability, emission factors Dharmawan IWE, Ulumudin YI, Afdal (2014) Estimation of mangrove carbon stock in Easten Coast of Bintan Regency, Riau Islands Oseanologi dan Limnologi Indonesia 40:15 Dittmar T, Hertkorn N, Kattner G, Lara RJ (2006) Mangroves, a major source of dissolved organic carbon to the oceans Global biogeochemical cycles 20 Donato DC, Kauffman JB, Murdiyarso D, Kurnianto S, Stidham M, Kanninen M (2011) Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics Nature Geosci 4:293-297 doi:http://www.nature.com/ngeo/journal/v4/n5/abs/ngeo1123.html#supplementary-information Duarte CM, Middelburg JJ, Caraco N (2005) Major role of marine vegetation on the oceanic carbon cycle Biogeosciences 2:1-8 Fernandes SO, Bharathi PAL (2010) Denitrification: an important pathway for nitrous oxide production in tropical mangrove sediments (Goa, India) J Environ Qual 39:1507-1516 Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L (2006) Mangrove Guidebook for Southeast Asia. FAO and Wetlands International, Bangkok IPCC (2001) Climate Change 2001: Synthesis Report, Summary for Policymakers: An Assessment of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Wembley
313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360
IPCC (2015) Climate Change 2014: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva Kathiresan K, Bingham BL (2001) Biology of mangroves and mangrove Ecosystems. In: Advances in Marine Biology, vol Volume 40. Academic Press, pp 81-251. doi:http://dx.doi.org/10.1016/S00652881(01)40003-4 Lovelock CE (2008) Soil Respiration and Belowground Carbon Allocation in Mangrove Forests Ecosystems 11:342-354 doi:10.1007/s10021-008-9125-4 Lovelock CE, Feller IC, Reef R, Ruess RW (2014) Variable effects of nutrient enrichment on soil respiration in mangrove forests Plant and Soil 379:135-148 doi:10.1007/s11104-014-2036-6 Lu C-y, Wong Y-s, Tam NFY, Ye Y, Cui S-H, Lin P (1998) Preliminary studies on methane fluxes in Hainan mangrove communities Chinese Journal of Oceanology and Limnology 16:64-71 doi:10.1007/bf02848219 Lu CY, Wong YS, Tam NFY, Ye Y, Lin P (1999) Methane flux and production from sediments of a mangrove wetland on Hainan Island, China Mangroves and Salt Marshes 3:41-49 doi:10.1023/a:1009989026801 Lumbanraja J et al. (1998) Methane emission from Indonesian rice fields with special references to the effects of yearly and seasonal variations, rice variety, soil type and water management Hydrological Processes 12:2057-2072 doi:10.1002/(SICI)1099-1085(19981030)12:13/14<2057::AID-HYP719>3.0.CO;2-L Marton JM, Herbert ER, Craft CB (2012) Effects of Salinity on Denitrification and Greenhouse Gas Production from Laboratory-incubated Tidal Forest Soils Wetlands 32:347-357 doi:10.1007/s13157-012-0270-3 Morell FJ, Cantero-Martínez C, Lampurlanés J, Plaza-Bonilla D, Álvaro-Fuentes J (2011) Soil Carbon Dioxide Flux and Organic Carbon Content: Effects of Tillage and Nitrogen Fertilization Soil Science Society of America Journal 75 doi:10.2136/sssaj2011.0030 Murdiyarso D et al. (2015) The potential of Indonesian mangrove forests for global climate change mitigation Nature Climate Change 5:1089-1092 Myhre G et al. (2013) Anthropogenic and natural radiative forcing Climate change 423 Nursin A, Wardah W, Yusran (2014) Sifat kimia tanah pada berbagai zonasi hutan mangrove di Desa Tumpapa Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong Warta Rimba 2:7 Poffenbarger HJ, Needelman BA, Megonigal JP (2011) Salinity Influence on Methane Emissions from Tidal Marshes Wetlands 31:831-842 doi:10.1007/s13157-011-0197-0 Purvaja R, Ramesh R (2000) Human impacts on methane emission from mangrove ecosystems in India Regional Environmental Change 1:86-97 doi:10.1007/pl00011537 Reddy N, Crohn DM (2014) Effects of soil salinity and carbon availability from organic amendments on nitrous oxide emissions Geoderma 235–236:363-371 doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.geoderma.2014.07.022 Saenger P, Gartside D, Funge-Smith S (2012) A review of mangrove and seagrass ecosystems and their linkage to fisheries and fisheries management. FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok Sandilyan S, Kathiresan K (2012) Mangrove conservation: a global perspective Biodivers Conserv 21:3523 - 3542 doi:10.1007/s10531-012-0388-x Sukardjo S, Alongi D (2012) Mangroves of the South China Sea: Ecology and Human Impacts on Indonesia s Forests. Nova Science Publishers Inc, New York Wang H, Liao G, D’Souza M, Yu X, Yang J, Yang X, Zheng T (2016) Temporal and spatial variations of greenhouse gas fluxes from a tidal mangrove wetland in Southeast China Environmental Science and Pollution Research 23:1873-1885 Whalen S (2005) Biogeochemistry of methane exchange between natural wetlands and the atmosphere Environmental Engineering Science 22:73-94 Zhang Y et al. (2015) Water organic pollution and eutrophication influence soil microbial processes, increasing soil respiration of estuarine wetlands: site study in Jiuduansha wetland PloS one 10
41
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Gianyar, 7 April 1986 yang merupakan anak tunggal dari Bapak I Wayan Dana dan Ibu Ni Made Nadi. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Udayana, Jimbaran-Bali. Dalam pekerjaan, penulis merupakan Peneliti Pertama (III/b) di UPT. Loka Konservasi Biota Laut, Biak-Papua, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, pada bidang Ekologi Laut, khusus pada wilayah pesisir sejak Desember 2009. Oleh karena itu, selain fokus dalam menyelesaikan studi, penulis juga disibukkan dengan rutinitas menulis buku, makalah jurnal serta pelatihan-pelatihan tentang bidang yang ditekuni dalam karir sebagai peneliti. Bagian dari thesis ini, sudah diterbitkan di jurnal ilmiah OLDI (Oseanologi dan Limnologi di Indonesia) tahun 2016 dengan judul: Laju Dekomposisi Serasah Daun di Ekosistem Bakau Pulau Kelong, Kabupaten Bintan. Selain itu, makalah yang berkaitan dengan thesis ini sudah dimasukkan ke jurnal internasional Journal of Coastal Conservation (Springer), dengan judul: Spatial variation of greenhouse gases fluxes from mangrove soil in Kelong Island, Indonesia: a stepping-stone on recent mangrove conservation perspectives, yang saat ini masih dalam proses revisi.