VARIASI KADAR ABU DALAM TERAS LUAR KAYU JATI Oleh: Ganis Lukmandaru*
Abstract This work aims to find out the variation of ash content in order to establish sampling method by using increment borer. By using two normal trees and one black- streaked teak (Tectona grandis) tree, ash content values were determined in the outer heartwood part in many angles. To obtain the nearest actual mean values, it is suggested that at least two samplings are required in a 90 degree/angle interval of a tree disk. Key word: Tectona grandis, ash content, increment borer, intra-tree Pendahuluan Spesies jati merupakan komoditas utama di Indonesia terutama di pulau Jawa. Semakin intensifnya penanaman pohon jati, baik di lahan Perhutani maupun di hutan rakyat, maka variasi karena tempat tumbuh maupun genetis tentunya tidak bisa dihindari. Konsekuensinya, diperlukan informasi mengenai variasi sifat kayunya sehingga didapatkan kualitas kayu terbaik sesuai produk akhirnya. Apabila populasi pohon sangat besar dengan berbagai variasinya, salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengetahui kualitas kayu secara cepat dan dalam jumlah banyak adalah dengan bor riap karena tanpa menebang pohon. Sampel seukuran diameter bor pada metode tersebut bisa diambil mencapai kedalaman yang diinginkan yang tentunya tidak sampai mematikan pohon. Tentunya akan dipilih titik-titik tertentu dalam pengambilan yang dianggap akan mewakili variasi dalam satu pohon. Kualitas kayu jati tentunya juga tidak terlepas dari komponen anorganik atau mineralnya, yang salah satunya adalah komponen silika karena pengaruh negatif pada pemesinan kayunya (Haygreen dan Bowyer 1982). Selain komponen silikanya, komponen utama anorganik lainnya berpengaruh pada sulitnya kayu jati untuk direkat (Kanazawa et al. 1978). Pada spesies lainnya, zat-zat tersebut berpengaruh pada penghitaman kayu (Takahashi 1996, Minato dan Morita 2005). Komponen anorganik ini biasanya diukur dengan mengetahui kadar abunya. Karena masih minimnya data variasi dalam 1 pohon, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi kadar abu dalam lingkaran teras terluar jati sehingga diharapkan pengambilan sampel dengan bor riap akan lebih akurat. Bahan dan Metoda Penelitian Tiga pohon jati yang relatif lurus dan sehat dengan umur 30-40 tahun ditebang dari Randublatung, Jawa Tengah. Piringan (disk) setebal 5 cm digergaji pada diameter setinggi * Dr. Ganis Lukmandaru, Dosen Fakultas Kehutanan UGM
93
dada sehingga diperoleh kisaran diameter pohon 35-38 cm. Penampakan bidang melintang pohonnya menunjukan bahwa 2 pohon merupakan pohon normal (pohon 1 dan 2) sedangkan satu lainnya berwarna doreng (pohon 3). Serbuk di bagian teras terluar pada berbagai sudut diambil dari setiap disk tersebut, seperti dalam Gambar 1, yaitu tiga titik pada sudut 0, 90,180 dan 270 dan 1 titik pada sudut 45, 135, 225, dan 315 sehingga total terdapat 16 titik dalam satu disk. Model pengambilan sampel ini sebelumnya juga dipakai dalam penentuan kadar senyawa tropolon di kayu Western Redcedar oleh DeBell et al. (1997). Serbuk kemudian dihaluskan sampai mencapai ukuran 40-60 mesh, kemudian ditimbang setara 2 g kering tanur. Pengabuan dilakukan sesuai standar ASTM (2002) yaitu pada suhu sekitar 580-600 ÂșC. Kadar abu dihitung berdasarkan persentase berat serbuk awal.
Gambar 1. Skema pengambilan sampel kadar abu pada piringan kayu jati. Hasil dan Pembahasan Sampling dengan bor riap pada awalnya diperuntukkan untuk mengukur berat jenis. Penelitian kali ini tidak menggunakan bor riap secara langsung tetapi pengambilan sampel secara konvensional dengan menebang. Pengambilan di kayu teras terluar merupakan asumsi bahwa bor riap akan lebih mudah mengakses bagian tersebut dari keseluruhan kayu teras. Penelitian ini bersifat menjajaki apabila nantinya bor riap akan digunakan mengukur sifat kimia yang salah satunya adalah kadar abu. Data dari Martawijaya et al. (2005) untuk kadar abu jati adalah 1,4% . Hasil pengukuran kadar abu bisa dilihat pada diagram pencar (Gambar 2a-c) dengan kisaran 0,72-1,81% . Jati doreng memberikan nilai rerata kadar abu yang relatif lebih besar daripada 2 pohon normal lainnya. Secara keseluruhan didapatkan koefisen variasi antara 16-22% . Bisa disimpulkan bahwa kadar abu kayu jati cukup lebar variasinya dalam 1 disk dimana nilai maksimal bisa 2 kali dari nilai minimalnya. Bahkan dalam satu posisi terdekat saja, misal pada tiga titik di sudut 0, nilainya bervariasi 0,2 sampai 0,4 % pada 3 disk tersebut. Cukup beralasan bila pengambilan sampel harus dilakukan pada lebih dari satu tempat untuk menghindari bias. Kisaran nilai minimal, maksimal dan rerata serta posisi dimana nilai-nilai tersebut diambil disarikan di Tabel 1. Disk 1 dan 2 yang merupakan kayu normal, paling tidak diambil pada 2 titik yaitu digeser sebesar 45 atau 90 derajat dari titik pertama untuk mendapatkan nilai yang mendekati rata-rata. Disk 3, yang merupakan pohon doreng, digeser sampai 90 derajat dari titik pertama untuk tujuan yang sama. 94
Ganis Lukmandaru
K adar abu (% be rat ke rin g)
1.3 1.2 1.1 1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0
45
90 135 180 225 270 Sudut disk (Pohon 1,norm al)
315
360
K a d a r a b u ( % b e ra t k e rin g )
(2a)
1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0
45
90 135 180 225 270 Sudut disk (Pohon 2,normal)
315
360
(2b)
Hutan Kerakyatan Mengatasi Perubahan Iklim
95
Kadar abu (% berat kering)
2.2 1.8 1.4 1.0 0.6 0
45
90 135 180 225 270 Sudut disk (Pohon 3,doreng)
315
360
(2c) Gambar 2a-c. Pengukuran kadar abu pada tiga pohon dalam berbagai sudut pada sebuah disk kayu jati. Tabel 1. Data kadar abu kayu jati dari 3 pohon (16 kali pengukuran tiap disk) Kadar abu Nilai kadar abu minimal (%) Nilai kadar abu maksimal (%) Rerata nilai kadar abu (%) Standar deviasi (%) Koefisien variasi (%) Sudut pada nilai minimal Sudut pada nilai maksimal
Disk 1 0,74 1,22 0,94 0,15 16,0 90; 270 0, 45
Disk 2 0,72 1,38 0,96 0,22 22,8 45; 225; 270 90,180
Disk 3 0,80 1,81 1,34 0,27 20,2 90; 315 180
Kesimpulan Kadar abu kayu jati di teras terluar dalam kisaran 0,72-1,81% dengan koefisien variasi antara 16-22% . Dalam pengambilan sampel untuk kadar abu, minimal harus diambil 2 titik dengan jarak sekitar 90 derajat untuk memperoleh nilai yang mendekati rata-rata.
Daftar Pustaka ASTM International. 2002. D1102 Test methods for ash in wood. Annual Book of ASTM Standards 2002, Section 4: Construction. West Conshohocken, PA. Hal. 175. DeBell J, Morrell JJ, Gartner BL. 1997. Tropolone contents of increment cores as an indicator of decay resistance in Western Redcedar. Wood and Fiber, 29: 364 - 369. 96
Ganis Lukmandaru
Haygreen JG, Bowyer JL. 1982. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu: Suatu Pengantar. (Terjemahan Sutjipto A. Hadikusumo). Gadjah Mada University Press, Jogja. Hal. 65. Kanazawa H, Nakagami T, Nobashi K, Yokota T. 1978. Studies on the gluing of the wood Articles. XI. The effects of teak wood extractives on the curing reaction and the hydrolysis rate of the urea resin. Mokuzai gakkaishi, 24: 55-59. Martawijaya A, Kartasujana I, Kadir K, Prawira SA. 2005. Atlas Kayu Jilid I (Edisi 3). Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor. Hal. 43. Minato K, Morita T. 2005. Blackening of Diospyros genus xylem in connection with boron content. Journal Wood Science, 5: 659 - 662. Takahashi K. 1996. Relationships between the blacking phenomenon and norlignans of sugi (Cryptomeria japonica D. Don.) heartwood I. A case of partially black heartwood. Mokuzai gakkaishi, 42 : 998-1005.
Hutan Kerakyatan Mengatasi Perubahan Iklim
97