VARIABILITAS PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SEKITAR KEPULAUAN KEI BERDASARKAN DATA CITRA MULTI SENSOR
AGUINALDO HENDRIK SUIKENO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Variabilitas Parameter Oseanografi Di Perairan Sekitar Kepulauan Kei Berdasarkan Data Citra Multi Sensor” adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2012
Aguinaldo Hendrik Suikeno NRP C552080031.
ABSTRACT AGUINALDO HENDRIK SUIKENO. Variability of Oceanographical Parameters in Around Kei Islands Waters Based On Multi Sensor Data Image. Supervised by Jonson Lumban Gaol and Djisman Manurung This research aims to assess the variability of sea surface temperature (SST), chlorophyll-a concentration, and sea surface height (SSH), both spatially and temporally, in the waters around the Kei Islands. Based on monthly average wind direction, a year can be divided into four seasons, namely: Northwest season, First Transitional season, Southeast season and Second Transitional Season. The period of each season, respectively, are: December to March; April; May to October and November. The average value of monthly SST in each season are as follows: 30.460C; 30.190C; 29.320C and 30.540C, while the chlorophyll-a concentrations are as follows: 0.51; 0.59; 0.72 and 0.62 mg/m3. Period East season is the enrichment period where the average value of chlorophyll-a concentrations increased in the western part of the study area in August to 1.18 mg/m3. Enrichment of these waters due to wind pushing east into the Arafura Sea water mass Kei Islands and surrounding waters. Keywords: Variability, oceanographical paremeters, Kei islands waters and multisensor data image.
RINGKASAN
AGUINALDO HENDRIK SUIKENO. Variabilitas Parameter Oseanografi di Perairan Sekitar Kepulauan Kei Berdasarkan Data Citra Multi Sensor. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL dan DJISMAN MANURUNG. Perairan Kepulauan Kei dibatasi pada koordinat 1320 - 133,50 BT ; 4,50 - 6,50 LS, berhubungan langsung dengan Laut Seram, Laut Banda, Laut Arafura, Laut Flores serta perairan barat Papua. Perairan ini dipengaruhi sistem angin muson terutama muson tenggara yang secara periodik terjadi serta berdampak terhadap variabilitas parameter oseanografi. Data spasial maupun temporal tentang kondisi perairan merupakan hal penting untuk pengelolaan sumberdaya maupun pengembangan industri dalam bidang kelautan dan perikanan. Penyediaan data spasial dan temporal untuk wilayah kajian yang luas, akan sulit dilakukan secara konvensional sehingga pemanfaatan metode penginderaan jauh merupakan alternatif dalam mengatasi persoalan dimaksud. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menentukan pola musim yang berlangsung berdasarkan arah dan kecepatan angin termasuk perbedaan kondisi suhu permukaan laut (SPL), klorofil-a dan anomali tinggi paras laut (ATPL) antar musim serta faktor-faktor yang mempengaruhinya juga hubungan perairan Kepulauan Kei dengan perairan sekitar. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penenlitian ini adalah sebagai informasi dasar dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan serta industri lainnya di kawasan Kepulauan Kei. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari pola angin, SPL, klorofil-a, arus permukaan laut, ATPL dan curah hujan yang diperoleh dari citra satelit dan data lapangan (in-situ), yang dianalisa secara spasial dan temporal. Pergerakan rata-rata bulanan arah angin mengindikasikan adanya empat tipe musim yang mempengaruhi perairan sekitar Kepulauan Kei yaitu musim barat (Desember-Maret), musim peralihan I (April), musim timur (Mei-Oktober) dan musim peralihan II (November). Umumnya perubahan arah angin berkisar antara 860 hingga 3270, dengan intensitas kecepatan pada selang 0,1 m/det hingga ≥ 10,0 m/det. Perubahan arah angin periode musim barat (MB) berkisar antara 860 hingga 1030, dengan intensitas kecepatan pada selang 0,1 - 2,5 m/det hingga 7,6 - 10,0 m/det serta kecepatan dominan pada selang 5,1 - 7,5 m/det. Perubahan arah angin periode musim peralihan I (MP I), mencapai 3270, dengan intensitas kecepatan pada selang 0,1 - 2,5 m/det hingga 5,1 - 7,5 m/det serta kecepatan dominan pada selang 2,6 - 5,0 m/det. Perubahan arah angin periode musim timur (MT) adalah pada kisaran 3110 hingga 3140 dengan intensitas kecepatan pada selang 2,6 - 5,0 m/det hingga ≥ 10,0 m/det, sedangkan intensitas kecepatan angin dominan pada selang 5,1 - 7,5 m/det. Arah angin dominan dari tenggara diselingi
arah timur dengan intensitas yang lemah. Perubahan arah angin periode musim peralihan II (MP II) adalah 3110, dengan intensitas kecepatan pada selang 0,1 - 2,5 m/det hingga 7,6 - 10,0 m/det dimana intensitas kecepatan dominan pada selang 0,1 - 2,5 m/det (60,2%). Secara umum sebaran SPL di perairan sekitar Kepulauan Kei berkisar antara 27,010 C hingga 31,500 C. Nilai SPL tertinggi ditemukan pada periode MB, berkisar antara 27,910 C hingga 31,50 C dengan nilai rata-rata 30,460 C yang secara gradual akan mengalami penurunan nilai pada periode MP-I, sedangkan nilai minimum pada periode MT yang berkisar antara 27,040 C hingga 30,750 C dengan rata-rata 29,320 C. Selisih sebaran nilai rata-rata SPL antara periode MB dengan MT adalah 2,180 C, dimana secara temporal variasi SPL di perairan sekitar Kepulauan Kei dipengaruhi oleh faktor musim. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a di periaran sekitar Kepulauan Kei berkisar antara 0,09 mg/m3 hingga 2,00 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a pada periode MB berkisar antara 0,09 mg/m3 hingga 0,57 mg/m3 dengan rata-rata 0,51 mg/m3 sedangkan untuk periode MT berkisar antara 0,09 mg/m3 hingga 2,00 mg/m3 dengan rata-rata 0,72 mg/m3. Rata-rata perbedaan konsentrasi klorofil-a antara periode MB dan periode MT dalah sebesar 0,21 mg/m3. Periode MT merupakan periode penyuburan dimana peningkatan konsentrasi klorofil-a pada bagian barat wilayah kajian mencapai 1,18 mg/m3 di bulan Agustus. Konsentrasi klorofil-a pada kwadran kajian VI cenderung lebih tinggi setiap musim disusul kwadran kajian III. Hal ini diduga karena adanya masukan zat hara lewat limpasan sirkulasi massa air dari perairan sekitar dengan kandungan unsur hara yang tinggi sehingga dapat menyegarkan dan berpotensi meningkatkan kesuburan perairan setempat sehingga konsentrasi klorofil-a pada kedua kwadran sempat mengalami peningkatan secara ekstrim khususnya di bulan Mei 2007 dan September 2010. Pola konsentrasi klorofil-a perairan sekitar Kepulauan Kei cenderung mengikuti pola di Laut Arafura. Secara umum ATPL pada periode MT, berkisar antara -0,10 cm (Kw-I, bulan Oktober 2006) hingga 0,13 cm (Kw-IV, bulan Juni 2009), dengan sebaran nilai rata-rata yaitu -0,01 cm, tercatat lebih rendah dibandingkan sebaran nilai ATPL periode MB dengan kisaran antara -0,41 cm (Kw-VI, bulan Desember 2006) hingga 0,30 cm (Kw-VI, bulan Februari 2008), dengan nilai rata-rata 0,19 cm. Selisih sebaran nilai ATPL antara periode MT dan MB adalah 0,18 cm. Selanjutnya ATPL periode MP I berkisar antara -0,02 cm (Kw-III, bulan April 2005) hingga 0,23 cm (Kw-III, bulan April 2009), dengan nilai rata-rata 0,13 cm. Sedangkan ATPL periode MP II berkisar antara -0,06 cm (Kw-II, bulan November 2006) hingga 0,19 cm (Kw-III, bulan November 2007), dengan nilai rata-rata 0,03 cm. ATPL negatif (dibawah level surface) periode MB meliputi Laut Banda dan perairan Kepulauan Kei sedangkan ATPL positif (diatas level surface) terjadi di Laut Arafura. Pada periode MP I, ATPL negatif (dibawah level surface)
meliputi perairan Kepulauan Kei dan hal sebaliknya terjadi di Laut Banda dan Arafura. ATPL negatif (dibawah level surface) periode MT hanya meliputi Laut Arafura, hal sebaliknya terjadi di perairan Kei serta Laut Banda. Selanjutnya ATPL negatif (dibawah level surface) periode MP II menyebar hingga perairan Kepulauan Kei dan hal sebaliknya terjadi di Laut Banda. Pada periode MT, ATPL negatif (dibawah level surface) di Laut Arafura relatif lebih rendah diikuti dengan perairan Kei kemudian Laut Banda. Hal ini mendukung terjadinya pergerakan massa air dari Laut Arafura menuju Laut Banda. Sebaliknya pada periode MB, ATPL sekitar Laut Arafura jauh lebih tinggi dibandingkan perairan Kei dan Laut Banda. Pergerakan massa air di Laut Banda dan Arafura saat muson barat laut didominasi dari arah timur laut ke selatan dan barat daya sehingga terjadi penumpukan massa air di sekitar Laut Arafura. Sedangkan angin muson tenggara akan mendorong massa air ke arah barat melalui perairan Kepulauan Kei menuju Laut Banda sehingga terjadi penurunan paras laut di Laut Arafura. Analisis data lapangan (in-situ) menunjukan bahwa tingkat kecerahan perairan antar stasiun pengatan berkisar antara 20 hingga 32 meter dimana tingkat kecerahan St-1, St-2 dan St-3 lebih tinggi dari stasiun lainya karena posisi dan jarak yang memungkinkan tidak adanya kontribusi dari daratan (run-of). Konsentrasi DO tertinggi pada lapisan permukaan dan akan mengalami penurunan sebanding pertambahan kedalaman perairan. Interaksi secara langsung antara permukaan air dan udara (sea-air circulation), merupakan pemicu tingginya konsentrasi DO pada lapisan permukaan. Konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,03 hingga 2,65 mg/l, umumnya konsentrasi klorofil-a tertinggi terdapat pada kedalaman kompensasi kecuali pada St-4 dan St-5. Hasil penelitian sebelumnya pada sekitar lokasi yang sama menunjukkan kisaran konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,26 hingga 1,69 mg/m3 dimana secara vertikal konsentrasi klorofil-a tertinggi berada pada lapisan 40 hingga 70 meter. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara hasil analsis data lapangan (in-situ) dengan hasil analisis data penginderaan jauh. Kata kunci : Variabilitas, parameter oseanografi, perairan Kepulauan Kei, data citra multi sensor.
@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
VARIABILITAS PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SEKITAR KEPULAUAN KEI BERDASARKAN DATA CITRA MULTI SENSOR
AGUINALDO HENDRIK SUIKENO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Nyoman Metta N. Natih, M.Sc
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Variabilitas Parameter Oseanografi Di Perairan Sekitar Kepulauan Kei Berdasarkan Data Citra Multi Sensor.
Nama
: Aguinaldo Hendrik Suikeno
NRP
: C552080031
Mayor
: Teknologi Kelautan (TEK)
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si. Ketua
Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Mayor
Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc.
Tanggal Ujian : 03 Juli 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.
Tanggal lulus :
PRAKATA
Segala puji dan syukur patut penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan penyertaan-Nya maka tahapan penelitian hingga penyusunan tesis dengan judul “Variabilitas Parameter Oseanografi di Perairan Sekitar Kepulauan Kei Berdasarkan Data Citra Multi Sensor” dapat terselesaikan dengan baik, dimana hal dimaksud merupakan syarat mutlak dalam memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Teknologi Kelautan (TEK), Sekolah Pascasarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor (IPB). Keberhasilan dalam jenjang pendidikan Strata-2 (S2) yang mencakup penyusunan tesis ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak yang patut dihargai sehingga, lewat kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada : 1. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta seluruh jajaran atas pelayanan akademik dalam menunjang penyelesaian studi. 2. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual atas kesempatan dan tugas belajar yang diberikan. 3. Prof. Dr. rer.nat. Ir. A. S. Khouw, M.Phil, Dr. rer. nat. Ir. E. A. Renjaan, M.Sc dan Ir. P. Beruatwarin, M.Si, yang merekomendasikan penulis melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing atas perhatian dan motivasi serta bimbingan dalam penyelesaian penulisan tesis ini. 5. Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc, sebagai Ketua Program Studi Teknologi Kelautan sekaligus sebagai anggota Komisi Pembimbing atas perhatian dan motivasi serta bimbingan dalam penyelesaian penulisan tesis ini. 6. Dr. Ir. Nyoman Metta N Nattih, M.Sc selaku Penguji Luar komisi atas kesediaan dan luangan waktu dalam menguji serta motivasi maupun masukan yang diberikan sehubungan dengan perbaikan penulisan tesis ini. 7. Dengan penuh rasa hormat dan cinta yang dalam, penulis haturkan penghargaan serta terima kasih nan tulus kepada kedua Orang Tua : Bapak C Suikeno (Alm) dan Ibunda A. Suikeno/Kay (Alm), serta saudara-saudaraku Usi Kory sekeluarga, Bu Hanny sekeluarga, Bu Epa sekeluarga, Bu Bonny
sekeluarga, adik Danny dan adik Obeth sekeluarga atas segala bentuk pengorbanan baik moral maupun material terutama dukungan doa sehingga perjuangan studi dapat terselesaikan. 8. Isteri dan anak-anakku tersayang ; Mama Ade, Thannia, Aldhy, Tata dan Valiant atas kasih sayang, kesabaran dan motivasi terutama dukungan doa. 9. Bapak Joppy Suikeno sekeluarga atas segala bentuk dukungan yang diberikan. 10. Pendeta Bapak W. Loppies, S.Th sekeluarga dan Bapak Fr. Loppies atas perhatian dan dukungan doa serta pelayanan khusus yang tanpa pamrih. 11. Bapak H. A. Koedoeboen, SH sekeluarga, Bapak Ir. H. B. Koedoeboen, MM, sekeluarga, Ir. J. Labetubun, MP sekeluarga, Bung Paul Adrian dan Sdri Kica, Dr. Ir. O. T. S Ongkers, M.Si, Ir. D. Noija, M.Si serta Ir. B. deRosari, MP atas motivasi dan partisipasi yang diberikan. 12. Bapak Yopino Oentoro, SE, selaku direktur “UD MAJU NUSANTARA” atas dukungan moriil maupun materiil. 13. Sahabat-sahabatku ; Awier, Aninda, Jais, Bang Samsyul Hidayat, Bang Heron, Bang Antho (Labkom ITK), Santos (Lab Oseanografi ITK), Bung Benny Pattikawa, Bung Beny Jeujanan, Bung Tony Kilmanun, Bung Ali Rahantan dan Bung Ulis Notanubun atas dukungan dan motivasinya. 14. Berbagai pihak yang turut berkontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak sempat disebutkan namanya. Bahwa ilmu dan teknologi selalu mengalami perkembangan seirama dengan perubahan waktu, serta menyadari akan berbagai kekurangan dan keterbatasan yang ada dalam hasil karya ini maka penulis akan sangat berterima kasih atas berbagai masukan berharga berupa saran dan kritikan yang sifatnya membangun demi penyempuranaannya. Harapan penulis semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 05 Agustus 1973 di Regoha Kabupaten Maluku Barat Daya, anak ke-lima dari tujuh bersaudara dari orang tua bernama Bapak Constantinus Suikeno (Alm) dan Ny. Algonda Suikeno/Kay (Alm). Awal menggeluti dunia pendidikan pada tahun 1979 di SD Kristen Tual dan dinyatakan lulus pada tahun 1985, kemudian melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama pada SMP Negeri 2 Tual serta lulus pada tahun 1988. Memasuki jenjang sekolah lanjutan atas pada SMA Negeri 1 Tual dan lulus pada tahun 1991 serta setahun kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi tepatnya pada Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon. Pada tahun 2000, oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Maluku Tenggara dipercayakan sebagai Konsultan Manajemen Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) sampai dengan tahun 2006, disamping terlibat dalam berbagai kegiatan riset termasuk tenaga pengajar paruh waktu hingga diangkat sebagai tenaga pengajar tetap (PNS) pada Politeknik Perikanan Negeri Tual tahun 2005. Mendapat kesempatan dan tugas belajar ke jenjang Strata dua (S2) dengan bantuan biaya studi BPPS Dirjen Dikti di tahun 2008, dan diterima pada Mayor Teknologi Kelautan (TEK) Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Sekolah Pascasarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor.
Penelitian tesis dengan judul “Variabilitas Parameter
Oseanografi Di Perairan Sekitar Kepulauan Kei Berdasarkan Data Citra Multi Sensor” dilakukan pada bulan Mei tahun 2010.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ...........................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL ...................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xvii 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Tujuan dan Manfaat ................................................................... 1.3. Perumusan Masalah ................................................................... 1.4. Kerangka pemikiran ...................................................................
1 1 3 3 4
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2.1. Kondisi Umum Perairan Sekitar Kepulauan Kei ....................... 2.2. Parameter Oseanografi dan Meteorologi ................................... 2.2.1 Sistem Angin Muson dan Pola arus ................................. 2.2.2 Suhu Permukaan Laut (SPL) ........................................... 2.2.3 Fitoplankton dan Klorofil-a ............................................. 2.2.4 Kecerahan, Salinitas dan Oksigen Terlarut (DO) ............ 2.2.5 Tinggi Paras Laut (TPL) .................................................. 2.3. Teknik Penginderaan Jauh (Indraja) .......................................... 2.3.1 Penginderaan Jauh Cahaya Tampak (Ocean Color) ....... 2.3.2 Penginderaan Jauh Gelombang Mikro Altimetri ............. 2.3.3 Satelit Aqua MODIS ......................................................
5 5 6 6 9 11 12 14 15 17 21 25
3. METODE PENELITIAN .................................................................. 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 3.2. Peralatan dan Bahan ................................................................... 3.3. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 3.3.1 Data Penginderaan Jauh ................................................... 3.3.2 Data Lapangan (in-situ) ................................................... 3.4. Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 3.4.1 Sebaran Spasial dan Temporal Parameter Oseanografi dari satelit ......................................................................... 3.4.2. Distribusi Nilai Parameter Oseanografi in-situ ..............
28 28 30 30 31 31 32
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 4.1. Variabilitas Parameter Oseanografi Dari Satelit ........................ 4.1.1 Variabilitas Secara Temporal ........................................... 4.1.2 Variabilitas Secara Spasial .............................................. 4.2. Distribusi Parameter Oseanografi In-situ ..................................
37 37 37 61 77
32 34
xiv
5. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 5.1. Kesimpulan ............................................................................... 5.2. Saran .........................................................................................
85 85 88
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
89
LAMPIRAN ..........................................................................................
95
DAFTAR TABEL Halaman 1. Nama musim dan periodenya ........................................................... 2. Karakteristik satelit TOPEX/Poseidon ............................................. 3. Karakteristik satelit Envisat .............................................................. 4. Karakteristik Satelit Aqua MODIS .................................................... 5. Saluran dan kisaran panjang gelombang satelit Aqua MODIS ......... 6. Batasan koordinat kwadran kajian .................................................... 7. Alat dan bahan penelitian .................................................................. 8. Jenis dan sumber data yang digunakan ............................................. 9. Data parameter oseanografi lapangan ............................................... 10. Sebaran bulanan nilai SPL Kw - I ..................................................... 11. Sebaran bulanan nilai SPL Kw - II ................................................... 12. Sebaran bulanan nilai SPL Kw - III .................................................. 13. Sebaran bulanan nilai SPL Kw - IV .................................................. 14. Sebaran bulanan nilai SPL Kw - V ................................................... 15. Sebaran bulanan nilai SPL Kw - VI .................................................. 16. Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - I ................................... 17. Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - II .................................. 18. Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - III ................................ 19. Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - IV ................................ 20. Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - V .................................. 21. Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - VI ................................ 22. Rataan bulanan ATPL Kw-I ............................................................. 23. Rataan bulanan ATPL Kw-II ............................................................ 24. Rataan bulanan ATPL Kw-III ........................................................... 25. Rataan bulanan ATPL Kw-IV .......................................................... 26. Rataan bulanan ATPL Kw-V ............................................................ 27. Rataan bulanan ATPL Kw-VI .......................................................... 28. Rataan bulanan curah hujan dan hari hujan ...................................... 29. Distribusi data oseanografi in-situ ....................................................
5 24 25 25 27 29 30 31 31 42 43 44 44 45 46 49 50 50 51 52 52 55 56 56 57 58 58 61 78
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pola muson timur dan tenggara ......................................................... 2. Pola muson Australia utara ............................................................... 3. Jalur ARLIDO ................................................................................... 4. Sebaran vertikal suhu perairan Indonesia ......................................... 5. Interaksi REM dengan atmosfer ....................................................... 6. Spektrum REM yang digunakan dalam indraja ................................ 7. Koefisien absorbsi spektral air jernih ............................................... 8. Absorbsi dan hamburan kembali dari air laut murni ........................ 9. Tipe keragaman spektral ................................................................... 10 Geometri pengukuran tinggi muka laut dengan satelit Altimetry ..... 11. Peta sebaran stasiun pengamatan lapangan (in-situ) .......................... 12. Peta lokasi dan batasan wilayah kajian ............................................. 13. Diagram alir penelitian ..................................................................... 14. Arah dan kecepatan angin per musim ............................................... 15. Pola pergerakan angin dan arus periode MB dan MT ...................... 16. Pola sebaran bulanan nilai SPL ......................................................... 17. Pola konsentrasi klorofil-a tiap kwadran kajian ................................ 18. Sebaran konsentrasi klorofil-a Laut Banda berdasarkan kedalaman perairan ............................................................................................. 19. Pola sebaran dan fluktuasi bulanan ATPL ........................................ 20. Intensitas dan pola curah hujan ......................................................... 21. Peta sebaran dan arah angin bulanan periode 2009 .......................... 22. Peta sebaran bulanan SPL dan arus periode 2009 ........................... 23. Peta sebaran klorofil-a dan arus periode 2009 ................................... 24. Rataan bulanan klorofil-a Laut Arafura, perairan Kepulauan Kei dan Laut Banda ........................................................................................ 25. Peta contur bulanan ATPL dan arus periode 2009 ........................... 26. Pola ATPL bulanan Laut Banda, perairan Kepulauan Kei dan Laut Arafura ............................................................................................. 27. Konsentrasi oksigen terlarut (DO) berdasarkan in-situ .................... 28. Sebaran suhu perairan in-situ ............................................................ 29. Kecepatan arus in-situ ....................................................................... 30. Sebaran salinitas in-situ .................................................................... 31. Konsentrasi klorofil-a in-situ ............................................................
7 8 9 10 16 17 18 19 19 23 28 29 36 39 40 41 47 48 54 59 62 65 70 73 75 77 80 80 81 82 83
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Distribusi frekwensi dan selang kecepatan angin .............................
94
2. Sebaran nilai dan kecepatan angin per kwadran kajian .................... 100 3. Pola variabilitas SPL berdasarkan musim dan arah kajian ............... 103 4. Pola variabilitas klorofil-a berdasarkan musim dan arah kajian ....... 104 5. Pola variabilitas ATPL berdasarkan musim dan arah kajian ............ 105 6. Peta arah angin bulanan .................................................................... 106 7. Peta sebaran spasial bulanan SPL dan arus ....................................... 111 8. Peta sebaran spasial bulanan klorofil-a dan arus ............................... 117 9. Peta sebaran spasial bulanan ATPL dan arus .................................... 123
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Laut merupakan hamparan masa air yang tersusun dari berbagai unsur fisik maupun kimia serta selalu berinteraksi dengan komponen alam lainnya terutama atmosfer, yang menyebabkan terjadinya siklus hidrologi. Interaksi yang terjadi mengakibatkan kondisi laut menjadi dinamis sehingga akan mempengaruhi kondisi perairan. Secara geografis perairan sekitar Kepulauan Kei merupakan perairan yang khas dan unik karena berhubungan langsung dengan beberapa perairan yang masing-masing memiliki karaketeristik tersendiri.
Hubungan antar perairan
tersebut memungkinkan adanya saling interaksi sehingga akan mempengaruhi kondisi perairan setempat.
Selain persoalan interaksi antar perairan, kondisi
perairan sekitar Kepulauan Kei juga dipengaruhi faktor musim yang diperkirakan dapat menyebabkan fluktuasi parameter oseanografi yang dapat menimbulkan dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberadaan sumberdaya yang ada. Perairan sekitar yang berhubungan langsung dengan perairan Kepulauan Kei antara lain seperti Laut Banda, Laut Seram, Laut Arafura, Laut Flores serta perairan barat Papua yang sangat dominan dipengaruhi sistem angin muson. Laut Banda merupakan salah satu wilayah perairan yang sangat produktif, dikenal sebagai salah satu daerah upwelling di Indonesia yang dapat memberikan kontribusi bagi tingginya tingkat kesuburan perairan di daerah tersebut (Nontji, 1993 ; Wirtky, 1961). Proses kejadian fenomena upwelling sebagai indikator kesuburan perairan di Laut Banda disebabkan oleh adanya variabilitas musim yang didominasi oleh angin muson Indonesia (Armondo). Selain itu, Laut Arafura termasuk perairan potensial karena berbatasan dengan pantai barat Papua yang banyak mendapat kontribusi dari muara-muara sungai. Arah selatan berhubungan dengan batas ZEE sedangkan ke arah barat berhubungan dengan Laut Banda dan Samudera Hindia.
Menurut Monintja
(2006), bahwa Laut Arafura memiliki karakter yang unik, hal ini disebabkan karena kontur dasar lautnya.
Laut Arafura berada pada paparan benua
2
(continental self) yang luas sehingga penambahan kedalaman kearah laut terjadi secara gradual. Baik Laut Banda maupun Laut Arafura dipengaruhi oleh muson barat laut dan muson tenggara yang terjadi secara periodik tiap tahun dimana, setiap perubahan musim akan memberikan dampak tersendiri terhadap perairan sekitar. Menurut Nurjaya (2006), bahwa pada musim timur (southeast monsoon) massa air akan terdorong ke barat dan mengalir ke Laut Flores serta Laut Jawa. Fenomena transport mendatar ini berkaitan erat dengan fenomena upwelling yang terjadi di Laut Banda dan Arafura yang mengakibatkan terangkatnya lapisan thermocline (discontinuity layer) menjadi sekitar 60 meter. Proses taikan air (upwelling) yang terjadi di suatu perairan akan mempengaruhi kondisi kehidupan fitoplankton, hidrologi dan pengayaan nutrisi dari perairan tersebut (Sediadi, 2004).
Pengayaan nutrisi perairan akan
mempengaruhi peningkatan konsentrasi klorofil atau fitoplankton
dimana
menurut Raharjo et al., (1982), fitoplankton akan berperan dalam siklus atau peredaran mata rantai makanan yang terjadi pada suatu perairan. Variabilitas dan karakteristik serta interaksi antar parameter oseanografi perairan sekitar Kepulauan Kei berdasarkan posisi geografis maupun pengaruh faktor musim merupakan fenomena menarik yang penting untuk dipelajari namun sejauh ini belum banyak studi yang dilakukan di wilayah tersebut. Ketersediaan data parameter oseanografi secara berkesinambungan juga sangat penting dalam mempelajari interaksi antar parameter maupun berbagai fenomena di laut untuk pengelolaan secara berkesinambungan. Menurut Fitriah (2007), bahwa informasi mengenai parameter-parameter oseanografi sangat dibutuhkan untuk pengelolaan sumberdaya ikan secara optimum dan lestari. Cakupan wilayah laut yang luas merupakan kendala utama dalam hal pengumpulan data sehingga ketersediaan data oseanografi tentang perairan Indonesia pada umumnya dan lebih khusus perairan sekitar Kepulauan Kei sangat minim. Menurut Moore et al., (2003), bahwa secara umum ketersedian data oseanografi perairan Indonesia khususnya Laut Banda relafif sedikit. Perkembangan teknologi penginderaan jauh (inderaja) satelit untuk pemantauan lingkungan laut menjadi salah satu metode alternatif yang dapat
3
dimanfaatkan untuk penyediaan data parameter oseanografi. Melalui teknologi inderaja, kebutuhan akan data lingkungan laut yang berhubungan dengan perubahan ruang dan waktu, menjadi lebih mudah diperoleh sehingga dapat dikatakan bahwa metode penginderaan jauh merupakan alternatif dalam menjawab ketersediaan data secara berkesinambungan baik secara spasial maupun temporal (Gaol, 2003). Informasi lingkungan perairan dari data satelit telah banyak digunakan seperti SPL, konsentrasi klorofil-a, total material terlarut (total suspended matter) dan anomali tinggi permukaan laut (Hendiarti, 2008). 1.2 Tujuan dan Manfaat Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Menentukan pola musim yang berlangsung di perairan sekitar Kepulauan Kei berdasarkan arah dan kecepatan angin. 2. Mengkaji variabilitas dan perbedaan kondisi suhu permukaan laut (SPL), klorofil-a dan anomali tinggi paras laut (TPL) antar musim serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dan juga hubungan antara perairan Kepulauan Kei dengan perairan sekitarnya. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dasar untuk pengembangan sektor kelautan dan perikanan serta industri lainnya di kawasan Kepulauan Kei. 1.3 Perumusan Masalah Adanya perubahan musim dan pengaruhnya terhadap faktor oseanografi sudah dipahami secara umum namun, kajian yang lebih dalam mengenai tenggang waktu dan pola perubahan musim termasuk hubungannya dengan parameter oseanografi belum banyak dilakukan sehingga pengembangan sektor industri kelautan dan perikanan di kawasan Kepulauan Kei masih belum optimal. Variabilitas parameter oseanografi sangat berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya laut dan ketersediaan data terkait dengan hal tersebut sangat penting dalam hal pengelolaan dan pemanfaatannya. Oleh sebab itu informasi yang akurat dan lengkap mengenai pola perubahan musim dan hubungannya dengan variabilitas tiap parameter oseanografi perlu dipahami terkait dengan rencana
4
pengelolaan dan pengembangan sektor kelautan dan perikanan di sekitar perairan Kepulauan Kei. Penyediaan data parameter-parameter oseanografi secara spasial dan temporal dengan metoda konvensional sulit dilakukan khususnya untuk cakupan wilayah perairan yang luas. Kesulitan ini disebabkan beberapa faktor seperti tingginya biaya dan keterbatasan instrumen penelitian yang memadai. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka data penginderaan jauh multi sensor yang relatif mudah diperoleh dewasa ini dapat dipakai untuk mengkaji kondisi perairan sekitar Kepulauan Kei.
Kajian terhadap kondisi
variabilitas parameter oseanografi secara spasial dan temporal selain membantu dalam peningkatan pemahaman yang menjadi dasar pengelolaan sumberdaya perikanan, juga sebagai bentuk penyediaan informasi awal serta menuntun penelitian lanjutan yang lebih terarah dan efisien. 1.4 Kerangka Pemikiran Terdapat dua aliran massa udara yang silih berganti terjadi dan mempengaruhi perairan sekitar Kepulauan Kei dengan tenggang waktu kejadian yang berbeda, yaitu tipe angin muson barat laut dan muson tenggara. Tenggang waktu kejadian kedua tipe angin muson tersebut merupakan petunjuk dalam penentuan pola musim di perairan setempat. Intensitas angin muson berdampak langsung terhadap distribusi massa air yang melintasi perairan sekitar Kepulauan Kei yang menyebabkan terjadinya variabilitas SPL, konsentrasi klorofil-a dan ATPL sehingga sebaran setiap parameter berupa pola musiman. Berbagai penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa secara umum perairan bagian timur Indonesia yang mencakup Laut Banda dan Laut Arafura serta perairan Kepulauan Kei secara khusus, merupakan perairan potensial dengan tingkat kesuburan yang relatif tinggi.
Arah dan sebaran angin yang
mempengaruhi perairan setempat dapat dijadikan petunjuk dalam mempelajari proses serta tenggang waktu kelangsungan penyuburan perairan setempat. Kajian tentang hal tersebut sangat penting karena tingkat kesuburan perairan secara langsung mempengaruhi biomassa termasuk keberadaan sumberdaya ikan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Perairan Sekitar Kepulauan Kei Secara geografis perairan Kepulauan Kei dibatasi pada koordinat 1310 – 13305’ Bujur Timur dan 50 - 60 00’ Lintang Selatan dengan batasan sebagai berikut ; sebelah utara berbatasan dengan bagian selatan daerah kepala burung Papua, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura, sebelah barat berbatasan dengan Laut Banda dan bagian utara Kepulauan Tanimbar dan sebelah timur berbatasan dengan Kepulauan Aru (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, 2004). Kondisi perairan Kepulauan Kei termasuk dinamis karena berada diantara beberapa Laut serta perairan produktif di bagian timur Indonesia yang saling berhubungan dan berinteraksi. Perairan Kepulauan Kei berhubungan langsung dengan Laut Seram, Laut Banda, Laut Flores, Laut Arafura dan perairan Kepulauan Aru serta perairan barat Pulau Papua. Perairan sekitar Kepulauan Kei dipengaruhi oleh sistem angin muson (muson barat laut dan muson tenggara) yang mengakibatkan daerah setempat mengalami empat kali pergantian musim yaitu Musim Barat (MB), Musim Peralihan I (MP I), Musim Timur (MT) dan Musim Peralihan II (MP II). Menurut Prawirowardoyo (1996), bahwa untuk daerah yang membentang dari ujung Selatan Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara sampai ke Irian, mengalami 4 (empat) tipe musim karena termasuk lintasan muson dimana keempat musim serta periodenya dapat dilihat pada Tabel 1 : Tabel 1 Nama musim dan periodenya Nama Musim 1. 2. 3. 4.
Musim Monsun Barat Musim Transisi I Musim Monsun Timur Musim Transisi II
Sumber : Prawirowardoyo 1996
Periode Desember – Januari – Februari Maret – April – Mei Juni – Juli – Agustus September – Oktober – November
6
Suhu perairan sekitar Kepulauan Kei berkisar antara 27,80 C sampai 300 C sedangkan konsentrasi salinitas berkisar antara 26‰ hingga 35‰ dengan nilai rata-rata 31‰. Tipe pasang surut yang mendominasi perairan setempat adalah pasang campuran mirip harian ganda (predominantly semi-diurnal tide) sedangkan tinggi gelombang signifikan maksimum terestimasi dapat terjadi cukup besar yaitu mencapai 3 hingga 6 meter jika durasi angin bertiup cukup lama terutama pada musim Barat (Desember - Maret), sedangkan untuk iklim dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia juga dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur dan Benua Australia di Bagian Selatan, sehingga sewaktu-waktu terjadi perubahan (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, 2004). 2.2 Parameter Oseanografi dan Meteorologi Interaksi antara lautan dan atmosfer menghasilkan berbagai gejala dan fenomena di bumi, termasuk dinamika di lingkungan laut maupun atmosfer. Interaksi tersebut meliputi pertukaran momentum, energi dan massa sebagai penyebab terjadinya perubahan. Kondisi bumi kita dikelilingi oleh dua hamparan yang sangat luas yaitu hamparan udara dan hamparan lautan serta berada dalam keadaan tetap bergerak, yang dibangkitkan oleh energi dari matahari dan gaya gravitasi bumi. Gerakangerakan tersebut saling berhubungan dimana angin memberikan energinya ke permukaan laut sehingga menghasilkan arus laut dan membawa energi panas dari suatu lokasi ke lokasi lainnya, mengubah pola temperatur permukaan bumi dan juga sifat-sifat fisis di atasnya (Numberi, 2009).
Interaksi antara parameter
oseanografi dan faktor meteorologi di laut akan terjadi setiap saat serta menyebabkan terjadinya gejala-gejala maupun fenomena-fenomena yang akan membawa perubahan baik dalam skala kecil maupun besar serta setiap perubahan tersebut berpengaruh terhadap struktur kehidupan di laut. 2.2.1 Sistem Angin Muson dan Pola Arus a. Angin muson Pola angin di Indonesia secara umum di pengaruhi oleh pola angin monsun atau muson.
Pola angin muson terjadi karena posisi matahari yang berubah
7 selama periode satu tahun. Pola muson dan kejelasan lintasannya dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
A
B
Gambar 1 Pola muson timur dan tenggara A) Monsun Asia Timur dan Tenggara pada musim dingin BBU B) Monsun Asia Timur dan Tenggara pada musim panas BBU. (Prawirowardoyo, 1996). Pola
angin
atau
sistem
sirkulasi
tersebut
didefenisikan
oleh
Prawirowardoyo (1996), sebagai angin atau sistem sirkulasi udara yang berbalik arah secara musiman, yang disebabkan oleh perbedaan sifat termal antara benua dan lautan. Berbagai daerah muson yang dikenal antara lain Muson Afrika Barat, Muson Afrika Timur, Muson Asia Selatan, Muson Asia Timur dan Tenggara serta Muson Australia Utara. Diantara kelima muson tersebut diatas, muson Asia Timur dan Tenggara adalah muson yang berkembang paling baik. Terdapat dua muson global yang secara utama mempengaruhi kondisi muson di wilayah Benua Maritim Indonesia. Dua muson global tersebut adalah Muson Asia musim panas (Asian summer monsoon) dan muson Australia musim dingin (Australian winter monsoon). Pada saat terjadi musim panas di Benua Asia, terbentuklah pusat tekanan rendah di benua tersebut. Pada saat yang bersamaan, di Benua Australia terjadi musim dingin sehingga atmosfer di atas benua tersebut memiliki tekanan yang tinggi. Akibat dari dua perbedaan tekanan
8
ini, terbentuklah angin yang bergerak dari Australia menuju Asia melalui kawasan Benua Maritim Indonesia (Yulihastin, 2005).
A
B
Gambar 2 Pola muson Australia Utara A) Monsun Australia Utara pada Musim Dingin BBU B) Monsun Australia Utara pada Musim Panas BBU. (Prawirowardoyo, 1996). b. Arus Arus permukaan adalah gerakan massa air permukaan yang ditimbulkan oleh kekuatan angin yang bertiup melintasi permukaan air. Terjadinya arus di lautan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti perbedaan densitas air laut, gradien tekanan mendatar dan gesekan lapisan air. Sedangkan faktor eksternal seperti gaya tarik matahari dan bulan yang dipengaruhi oleh tahanan dasar laut dan gaya coriolis, perbedaan tekanan udara, gaya gravitasi, gaya tektonik dan angin (Gross, 1990). Perairan Indonesia yang dipengaruhi oleh sistem pola angin muson, memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim, disamping itu pula dipengaruhi oleh massa air Lautan Pasifik yang melintasi perairan Indonesia menuju Lautan Hindia melalui sistem arus lintas Indonesia (Arlindo). Fenomena arus lintas laut Indonesia (Arlindo) menurut Gordon (1996), dapat dilihat pada Gambar 3. Lintasan Arlindo yang melewati perairan Indonesia ada dua jalur utama yaitu : (1). Jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Basin Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir
9 di Lautan Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor, (2). Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku, Laut Seram terus ke Laut Banda dan sebagian lagi berbelok ke Laut Maluku. Dari Laut Banda massa air akan mengalir mengikuti 2 (dua) rute. Rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, antara Pulau Alor dan Pulau Timor, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui basin Timor dan Selat Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia. Karena kurangnya pengukuran data oseanografi secara langsung pada lintasanlintasan ini, pengetahuan tentang kekuatan arus dan juga transpor massa air serta variasinya terhadap musim masih minim. Meskipun begitu dari hasil prediksi yang didapat dengan berbagai macam metoda tak langsung untuk berbagai musim didapat perkiraan nilai transpor massa air sebesar 1 sampai 22 Sv ke arah Samudera Hindia (1 Sv = 1 sverdrup = 106 m3/det) ( Ilahude, 1971).
Gambar 3 Jalur Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) (Gordon,1996) 2.2.2 Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu merupakan suatu respons benda terhadap sesuatu yang mengenainya atau secara fisika, suhu merupakan besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung di dalam benda tersebut. Menurut Weyl (1967), suhu adalah besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda.
10
Suhu bervariasi secara horizontal sesuai dengan garis lintang, dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman.
Suhu merupakan salah satu faktor yang
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Proses kehidupan yang vital, yang secara kolektif disebut metabolisme, hanya berfungsi didalam kisaran suhu yang relatif sempit, biasanya antara 0 sampai dengan 400 C. Sebaran suhu vertikal di perairan Indonesia umumnya mempunyai pola seperti pada Gambar 4 yang dapat dibedakan atas tiga lapisan yaitu lapisan homogen hangat (bagian atas), lapisan termoklin (bagian tengah) dan lapisan dingin (bagian bawah) (Nontji, 2007).
Menurut Nybakken (1988), bahwa
sebaran suhu di laut tropis secara vertikal dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen hangat di lapisan permukaan (pertama), lapisan termoklin di lapisan tengah (kedua) dan lapisan homogen dingin di lapisan dalam (ketiga).
Gambar 4 Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia A: Lapisan hangat; B: Lapisan termoklin; C: Lapisan dingin (Nontji, 2007). Kedalaman lapisan termoklin dalam suatu perairan didefenisikan sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu lebih dari 0,10 C per meter (Wyrtki, 1961).
Kedalaman lapisan termoklin dalam suatu perairan adalah
sebagai suatu kedalaman atau posisi dimana gradien suhu lebih dari 0,10 C (Roos, 1970). Lapisan termoklin yang terdapat dibawah lapisan homogen ditandai oleh penurunan suhu yang cepat terhadap kedalaman. Penurunan suhu ini mengakibatkan densitas air meningkat, sehingga lapisan termoklin ini adalah
11 daerah yang mempunyai densitas yang sangat kuat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketebalan lapisan termoklin ini seperti pertukaran bahang, percampuran massa air oleh gelombang, pergerakan massa air secara mendatar dan gelombang dalam (Hela and Leavastu, 1970). Suhu lautan selalu berubah-ubah terhadap ruang dan waktu. Penyebaran suhu umumnya disebabkan oleh gerakan massa air seperti arus dan turbulensi (Hutagalung, 1988 dalam Radisho, 1997). Perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap distribusi organisme perairan (Hela and Leavastu, 1970). 2.2.3
Fitoplankton dan Klorofil-a Fitoplankton
adalah
tumbuhan
mikroskopis
yang
pergerakannya
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya, dalam trofik level disebut sebagai produsen utama perairan (Odum, 1971).
Fitoplankton terdiri dari
tumbuhan laut yang bebas melayang dan hanyut dalam laut serta mampu berfotosintesis (Nybakken, 1988). Fitoplankton di perairan merupakan salah satu komponen biologi laut yang penting terutama untuk memetakan potensi sumberdaya hayati laut.
Hal ini
didukung oleh kondisi bahwa cahaya di perairan Indonesia cukup banyak sepanjang tahun, sehingga apabila terjadi sedikit kenaikan atau penurunan kandungan klorofil perairan maka ini adalah diakibatkan oleh proses oseanografi termasuk adanya perubahan kontribusi jumlah kandungan zat makanan dari daratan (Hendarti, 2008). Menurut Delvin (1975) dalam Nontji (2007), bahwa di dalam tumbuhan klorofil terdapat empat macam yaitu a, b, c dan d. Klorofil-a merupakan salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi tumbuhan yang ada di perairan. Klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton sehingga hasil pengukuran kandungan klorofil-a sering digunakan untuk menduga biomassa fitoplankton suatu perairan. Konsentrasi klorofil-a erat kaitannya dengan tingkat produktifitas primer yang ditunjukan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis kecil (Syahdan, 2005). Sedangkan menurut Brown et al., (1989), bahwa sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung
12
pada konsentrasi nutrien. Nutrien memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasinya akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Sebaran dan konsentrasi klorofil-a mempengaruhi tingkat produktifitas primer di laut dimana, menurut Gabric and Parslow (1989), bahwa laju produktifitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor fisika utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya matahari kolom air dan laju tenggelam sel (fitoplankton). 2.2.4
Kecerahan, Salinitas dan Oksigen Terlarut (DO)
a. Kecerahan Kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan perairan merupakan faktor penting di laut karena erat kaitannya dengan kelangsungan proses fotosintesa. Kemampuan air laut untuk merambatkan cahaya sangat penting. Tanpa sinar matahari, fotosintesis tidak mungkin terjadi, dan kehidupan di laut tidak akan dapat bertahan. Sinar matahari secara cepat diabsorbsi oleh air laut hingga kedalaman sekitar 100 m pada lautan yang jernih. Pada air yang keruh, air terabsorbsi hingga kedalaman 10 sampai 30 m dan di air yang sangat keruh hanya terabsorbsi hingga kedalaman kurang dari 3 m (Meadows, 1978 in Bishop, 1983). Tingkat kecerahan suatu perairan umumnya sangat dipengaruhi oleh berbagai hal seperti pola angin dan arus (sirkulasi air laut), sedimentasi dan polusi. Sedimentasi yang terjadi di laut umumnya karena adanya sumbangan massa daratan yang berlebihan sehingga menurunkan tingkat kecerahan perairan. Faktor penyebab penurunan tingkat kecerahan atau kekeruhan dapat berupa komponen organik dan anorganik yang dikenal dengan istilah muatan padatan terlarut atau MPT. MPT adalah partikel-partikel yang melayang di dalam air dan terdiri dari komponen organik dan anorganik.
Komponen hidup termasuk
fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi dan sebagainya.
Komponen mati
termasuk detritus organik dan partikel-partikel inorganik. Menurut Ross (1970), bahwa muatan padatan terlarut dapat terdiri dari lapukan batuan, lumpur halus,
13 pasir, kerikil dan bahan organik lainnya. Jenis-jenis partikel yang ada dalam suatu perairan sangat menentukan penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan. Hal ini terjadi karena adanya penyerapan dan penghambatan cahaya tersebut oleh partikel-partikel tersuspensi, khususnya dari hasil dekomposisi zat organik, misalnya detritus. b. Salinitas Salinitas atau kadar garam ialah banyaknya garam-garaman (dalam gram) yang terdapat dalam 1 Kg (1000 gr) air laut, yang dinyatakan dengan ‰ atau perseribu.
Salinitas umumnya stabil, walaupun di beberapa tempat terjadi
fluktuasi. Forch et al., (1902) in Sverdrup et al., (1942), mendefenisikan salinitas sebagai jumlah gram seluruh zat yang larut dalam 1 kg air laut, dengan anggapan bahwa seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, semua brom dan ion diganti dengan khlor yang setara dan semua zat organik mengalami oksidasi sempurna. Sebaran salinitas di laut biasanya berbeda secara vertikal maupun horizontal dimana penyebabnya adalah interaksi berbagai hal. Secara vertikal nilai salinitas air laut umumnya dipengaruhi oleh tiupan angin yang berpotensi menggerakan air secara vertikal sedangkan secara horizontal berhubungan dengan arus yang membawa massa air. Perubahan terbesar salinitas di lautan terjadi pada kedalaman 100 – 1000 meter. Lapisan dimana terjadinya perubahan yang sangat cepat dari salinitas disebut haloklin. Salinitas pada kedalaman 100 meter pertama, dapat dikatakan konstan. Walaupun terdapat sedikit perbedaan-perbedaan, tetapi tidak mempengaruhi ekologi secara nyata. Salinitas air laut di daerah tropis secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah beriklim sedang karena pada daerah tropis terjadi evaporasi yang lebih tinggi (Nybakken, 1988). Nilai salinitas rata-rata tahunan yang terendah di perairan Indonesia sering dijumpai pada perairan Indonesia bagian barat dan semakin ke timur nilai rata-rata tahunannya semakin meningkat (Halim, 2005). c. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut adalah jumlah oksigen dalam mili gram yang terdapat dalam satu liter air (ppt) yang umumnya berasal dari difusi udara melalui
14
permukaan air, aliran air masuk, air hujan, dan hasil dari proses fotosintesis plankton atau tumbuhan air. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan, disamping dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal sari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000). Konsentrasi oksigen terlarut sangat berkorelasi dengan kondisi suhu maupun salinitas perairan.
Menurut Effendi (2003), bahwa hubungan antara
kadar oksigen terlarut jenuh dengan suhu yaitu semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas, sehingga kadar oksigen terlarut di laut cenderung lebih rendah dari pada kadar oksigen di perairan tawar. 2.2.5 Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL) Perubahan kedudukan muka laut dapat bersifat periodik
maupun tak
periodik. Kedudukan muka laut periodik terjadi secara alamiah, kedudukan muka laut tak periodik dapat dikatakan sebagai perubahan sekular muka laut. Perubahan sekular merupakan perubahan level jangka panjang (Nurmaulia et al., 2005).
Bentuk dari permukaan lautan ditentukan oleh variasi gravitasi dasar
lautan sehingga menghasilkan undulasi geoid, dan oleh arus yang menghasilkan topografi lautan (Stewart, 1985). Pengamatan perubahan kedudukan muka laut untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya kejadian anomali tinggi paras laut positif (di atas level surface) maupun anomali tinggi paras laut negatif (di bawah level surface) dimana kemungkinan adanya anomali positif maupun negatif merupakan petunjuk dalam mempelajari hubungan antara parameter serta gejala fenomena lainnya. ATPL berhubungan dengan pola angin yang terjadi di suatu tempat sehingga ATPL cenderung terjadi secara musiman dimana pola ATPL periode musim barat berbeda dengan pola ATPL musim yang mana perbedaan tersebut menyebabkan kondisi parameter osenografi menjadi dinamis.
15 Tinggi paras laut di perairan Indonesia berkorelasi secara signifikan dengan kedalaman lapisan termoklin. Pada saat TPL rendah, lapisan termoklin mengalami pendangkalan (Bray et al., 1996, Susanto et al., 2001 dalam Gaol, 2003). Kenaikan paras laut di pengaruhi oleh banyak faktor diantaranya ekspansi termal lautan menyebabkan kenaikan volume laut, pemanasan global, jumlah curah hujan dan pencairan es di kutub. Beberapa dekade terakhir, perubahan sea level diestimasi dari pengukuran stasiun passut. Namun terdapat kekurangan dalam hal tersebut diantaranya adalah jangkauan data terbatas di daerah sekitar pantai sehingga datanya hanya akurat untuk memprediksi perubahan kedudukan muka laut di perairan dangkal atau sekitar pantai.
Selain itu kedudukan tide gauge tidak terikat terhadap suatu
referensi global sehingga perlu disertai dengan pengamatan GPS (Nurmaulia et al., 2005). 2.3 Teknik Penginderaan Jauh (Indraja) Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lilesand and Kiefer, 1987). Dalam sistem penginderaan jauh dikenal empat komponen utama yaitu sumber energi, interaksi energi dan atmosfer, sensor sebagai alat deteksi dan obyek yang menjadi sasaran pengamatan.
Interaksi
komponen inderaja akan menghasilkan sejumlah informasi tentang kondisi obyek yang terdeteksi sebagaimana yang ditunjukan pada Gambar 5. Bidang Penginderaan jauh (Indraja) kelautan sendiri saat ini telah berkembang sesuai dengan perkembangan aplikasinya dalam berbagai bidang yang ditandai dengan pengembangan instrumen sensor dalam mendeteksi objek yang menjadi target pengamatan dan pengkajian. Aplikasi atau penerapan indraja untuk kelautan (Indraja Kelautan) dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu : 1. Aplikasi untuk oseanografi fisika 2. Aplikasi untuk sumberdaya alam laut; dan 3. Aplikasi untuk pengamatan dan perlindungan wilayah pesisir.
16
Beberapa jenis sensor satelit telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai parameter kelautan yang penting dalam proses-proses kelautan baik proses fisik, kimia maupun proses biologi (Susilo, 2000). Sensor
Matahari
Atmosfer
pantulan
scattering si rb so b a
awan
Objek/perairan
Gambar 5 Interaksi Radiasi Elektromagnetik (REM) dengan atmosfer Radiasi gelombang elektromagnetik (REM) adalah sumber utama energi dalam sistem inderaja. REM adalah suatu bentuk dari energi yang hanya dapat diamati melalui interaksinya dengan obyek, dimana wujud dari energi ini dikenal sebagai sinar X, sinar tampak, infra merah dan gelombang mikro. Spektrum radiasi gelombang elektromagnetik REM yang digunakan dalam inderaja menurut Jars (1993), adalah seperti pada Gambar 6, sedangkan beberapa bagian penting dari REM yang digunakan dalam inderaja adalah : 0.3 – 0.4 µm : ultraviolet 0.4 – 0.7 µm : sinar tampak 0.7 – 3.0 µm : inframerah dekat 3.0 – 8.0 µm : middle infrared 8.0 - 1000 µm : inframerah termal 1mm – 100cm : gelobang mikro. Kondisi oseanografi yang dapat diamati menggunakan citra satelit antara lain SPL, kandungan klorofil-a, arus serta paras laut. Citra SPL diperoleh dari sensor thermal, kandungan klorofil-a dari sensor optik, sedangkan arus dan paras laut dari sensor radar (Simbolon et al., 2009).
17
Gambar 6 Spektrum Radiasi Elektromagnetik (REM) yang digunakan dalam inderaja (Jars, 1993).
2.3.1
Penginderaan Jauh Cahaya Tampak (Ocean Color) Istilah “ocean color” atau inderaja warna air laut diartikan sebagai inderaja
yang memanfaatkan radiasi GEM yang dipantulkan dari bawah permukaan laut (Hovis et al., 1980).
Penginderaan jauh cahaya tampak (ocean color)
menggunakan sensor pada panjang gelombang cahaya tampak (400 hingga 700 nm).
Sensor ini dapat digunakan untuk mendeteksi material terlarut dan
kandungan klorofil dari fitoplankton yang ada di permukaan perairan hingga kedalaman tertentu (Gaol, 2003).
Dilihat dari segi fisiologis tumbuhan
(fitoplankton), spektrum cahaya terpenting untuk tumbuhan laut terdapat pada kisaran panjang gelombang 400-720 nm atau yang dikenal sebagai PAR (Photosytetically Available Radiation).
Spektrum ini hampir sama dengan
spektrum sinar tampak yakni 360 -780 nm (Parson et al., 1984 dalam Prasasti et al., 2005). Dalam interpretasi perlu diketahui bagaimana parameter-parameter di laut mempengaruhi sifat optik perairan. Spectral signature air murni digunakan hingga sebagai acuan untuk tipe spektral air yang menggabung obyek pengabsorbsi dan penghambur. Koefisien absorbsi spektral air untuk berbagai kondisi dapat dilihat pada Gambar 7. Sifat optik dari air murni dan air laut secara umum mudah dimengerti, dimana attenuasi cahaya meningkat tajam di luar kisaran cahaya tampak. Di atas panjang gelombang 700 nm, penetrasi cahaya dibatasi oleh meningkatnya
18
hamburan. Sifat optik secara drastis akan berubah jika ada zat tersuspensi dan atau terlarut bertambah ke dalam perairan (Van der Piepen, 1991).
Gambar 7 Koefisien absorbsi spektral air jernih, suspensi sedimen dan klorofil dalam berbagai panjang gelombang cahaya tampak (nm). Van der Piepen (1991). Distribusi spektral dari radiasi gelombang elektromagnetik (REM) yang berasal dari tubuh air laut memberikan informasi tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan kualitas air laut tersebut, termasuk material yang terlarut dalam air. Material tersebut dapat berasal dari zat organik maupun anorganik (Gaol, 2003). Tipe variasi spektral dari absorbsi dan scattering air laut murni menurut Robinson (1985), dapat dilihat pada Gambar 8 dimana ada indikasi kuat bahwa absorbsi akan menurun dan hamburan menaik dengan menurunnya panjang gelombang, sesuai dengan sifat warna biru air laut.
Air yang mengandung
fitoplankton mempunyai karakteristik spektral yang lebih rumit karena sel hidup dari organisme tumbuhan kecil dan alga mengandung klorofil yang digunakan untuk fotosintesis. Klorofil mempunyai karakteristik absorbsi sedangkan fitoplankton mempunyai struktur yang secara optik sebagai materi penghambur cahaya selain karakter absorbsi spektrum yang lain karena keberadaannya dikelilingi materi organik yang mengandung phaeophytin a.
19
Gambar 8. Absorbsi (a) dan hamburan kembali (b) dari air laut murni (Robinson 1985). Sedangkan variasi absorbsi dan hamburan menurut Robinson (1985), dapat dilihat pada Gambar 9. Terjadi absorbsi yang kuat pada puncak 440 nm dan lebih rendah sekitar 675 nm. Backscatter hampir seragam menurun terjadi pada panjang gelombang yang diperkirakan terjadi puncak absorbsi.
Gambar 9 Tipe keragaman spektral dari (a) absorbsi klorofil, dan (b) koefisien hamburbalik spesifik. Nilai-nilai dari (a) pada 440 nm beragam antara 0.01 dan 0.1 m-1(mg m-3)-1, tergantung pada umur dan spesies fitoplankton. Satuan-satuan dari (b) ordo tipe 10-3 m-1 (mg m-3)-1 dari (Robinson 1985). Sifat absorbsi tertinggi klorofil ditemukan pada kanal biru dan merah sebaliknya pantulan tertinggi pada saluran hijau yang mana hal tersebut
20
disebabkan karena meningkatnya koefisien hambur bb(λ) sedangkan Gaol (2003), menyatakan bahwa pada saluran hijau koefisien absorbs a(λ), secara tajam berubah karena pigmen klorofil-a tidak menyerap pada kanal hijau. Pada kanal biru daya absorbsi klorofil-a sangat tinggi, karena daya absorbsi lebih besar dari daya hambur akibat pantulan menjadi rendah pada kanal biru. Berdasarkan pemahaman karakteristik interaksi obyek terhadap radiasi elektromagnetik, disamping ketidak seragaman kondisi setiap perairan maka diperlukan algoritma yang sesuai dalam pengkajian lautan berdasarkan warna air laut yang memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik. Menurut Campbell (1999), bahwa algoritma ocean color adalah sebuah formula atau prosedur matematik untuk menentukan keberadaan perairan dari radiansi yang diukur dengan sensor ocean color. Algortima dapat dikembangkan secara analitik (yang lebih mengarah pada pengembangan algoritma secara teoritis) dan pengembangan secara empiris yaitu berdasarkan hubungan radiansi pada masing-masing kanal atau rasio kanal dengan konsentrasi klorofil di suatu perairan dengan statistik regresi. Sathyendranath and Morel (1983) dalam Wouthuyzen et al., (2005), membagi perairan berdasarkan sifat optiknya atas dua tipe, yakni tipe 1 (case-1 waters) dan tipe 2 (case-2 waters). Pada perairan tipe 1, fitoplankton dan bio produknya memegang peranan dominan dalam menentukan sifat optik perairan. Perairan tipe 1 akan berubah menjadi perairan tipe 2, jika sedikitnya salah satu komponen berikut ini masuk ke dalam perairan tipe 1, yaitu sedimen yang tersuspensi ulang dari dasar perairan, terutama perairan dangkal; zat organik terlarut berasal dari daratan yang masuk melalui sungai (run off); dan material tersuspensi berasal dari limbah rumah tangga (anthropogenic). Dari sifat optik tersebut, maka pada umumnya perairan tipe 1 diklasifikasikan sebagai perairan lepas pantai (oseanik), sedangkan tipe 2 adalah perairan pantai/dangkal (wilayah pesisir). Dasar estimasi konsentrasi klorofil-a dengan data citra satelit adalah berdasarkan rasio antara kanal yang tingkat absorbsi maksimum dengan kanal yang tingkat absorbsi minimum terhadap klorofil-a maka prinsip pengembangan algoritma ocean color adalah rasio antara kanal biru dan hijau.
21 Bebarapa algoritma yang dikembangkan untuk ocean color berdasarkan rasio kanal menurut Gaol (2003), adalah sebagai berikut : (1) Algoritma untuk sensor Coastal Zone Color Scanner (CZCS), Klorofil (Chl) = 1.130 (Lw(443)/Lw(550)-1.705 untuk Chl < 1.5 mg/m3 ....
(1)
Chl (mg/m3) = 3.327 (Lw(520)/Lw(550)-2.44 untuk Chl > 1.5 mg/m3 ….. (2) Dimana Lw(550) = radiansi kanal hijau; Lw(443) = radiansi kanal biru. (2) Algoritma untuk sensor Ocean Color and Thermal Sensor (OCTS), Chl (mg/m3) = 0.2818 (Lw(520) + Lw(565)/ Lw(490))3.47
………….
(3)
Dimana Lw(520)= kanal hijau; Lw(490) = kanal biru. (3) Algoritma untuk sensor SeaWiFS. Berdasarkan hasil evaluasi, dengan menggunakan formulasi rasio kanal maksimum (maximum band ratio/MBR) maka didapatkan bahwa algoritma yang paling baik hasilnya adalah algoritma Ocean Chlorophyll 4 (OC4) yang menghasilkan koefisien determinasi (r2) 0.932 (O’Reilly et al., 1998); (Hooker and McClain 2000) dalam (Gaol 2003). Chl-a (mg/m3) = 10^(a0 + a1*R + a2*R^2 + a3*R^3) + a4. (OC4) ..……….
(4)
Dikatakan pula bahwa, formulasi MBR merupakan suatu pendekatan baru dalam pengembangan algoritma ocean color secara empiris dan mempunyai keunggulan dalam mengatasi kemungkinan tingkatan kisaran konsentrasi klorofil (rendah, sedang dan tinggi). Dengan demikian model MBR juga berguna untuk penentuan konsentrasi klorofil dalam hubungannya dengan status trophic yaitu : oligotrophic, konsentrasi klorofil (< 0.3 µg/L), mesotrophic (0.3-1.5 µg/L) dan eutrophic (>1.5 µg/L). 2.3.2 Penginderaan Jauh Gelombang Mikro Altimetri Informasi dinamika laut sangat diperlukan dalam menunjang studi ilmiah maupun aplikasi praktis yang berhubungan dengan kelautan.
Dengan
diluncurkannya satelit altimetri maka dapat diungkap berbagai fenomena laut seperti topografi dan dinamika laut secara global. Altimetri adalah sebuah teknik untuk mengukur tinggi.
Satelit radar
altimetri mengukur waktu yang diperlukan radar pulsa untuk bepergian dari antena satelit ke permukaan dan kembali ke penerima satelit.
Terlepas dari
ketinggian permukaan, pengukuran ini menghasilkan kekayaan informasi lain
22
yang dapat digunakan untuk berbagai aplikasi. Altimeter adalah suatu instrumen untuk menentukan tinggi di atas suatu acuan, biasanya dengan mengukur perubahan dari tekanan udara, atau dengan mengukur jarak vertikal secara langsung dengan suatu sistem radar atau laser. Satelit altimetri yang diluncurkan memiliki karakteristik yang berbeda-beda dimana untuk mendapatkan ketelitian dalam hal spasial yang baik maka akan mengesampingkan resolusi temporal dan sebaliknya. Konsep dasar dari satelit altimetri adalah mengukur jarak dari satelit terhadap permukaan air laut dengan memanfaatkan interval waktu perambatan gelombang radar yang dipancarkan satelit, kemudian dipantulkan oleh permukaan air dan diterima kembali oleh satelit. Dengan diketahui tinggi satelit terhadap elipsoid referensi maka dapat dihitung tinggi permukaan air laut terhadap elipsoid referensi.
Dikarenakan muka air laut yang selalu dinamis, pengukuran tidak
sebatas pada satu titik namun didapat dari hasil rerata nilai dari area footprint sinyal (Chelton et al., 2001). Salah satu tujuan pengukuran altimetri dengan satelit adalah untuk memperoleh informasi oseanografis berupa topografi permukaan laut relatif terhadap geoid (Robinson, 1985). Geometri dasar pengukuran satelit altimetri seperti disajikan pada Gambar 10 dengan formula sebagai berikut (Sebeer, 2003) h = N + H + ρ,
…………………………………………… (5)
dalam hal ini : h = adalah tinggi satelit di atas elipsoid referensi, N = undulasi geoid, H = jarak dari geoid ke permukaan laut sesaat dan ρ = jarak altimeter ukuran. Ketelitian pengukuran dengan sensor altimeter dipengaruhi berbagai faktor seperti ketelitian pengukur waktu, refraksi ionosfer, troposfer, kesalahan orbit. Misalnya karena kecepatan rasio signal adalah 3 x 1010 cmS-1 maka untuk mendapatkan ketelitian pengukuran 1 cm maka diperlukan tingkat akurasi alat pengukur waktu 30 picoseconds (Stewart, 1985). Prinsip penentuan perubahan kedudukan muka laut dengan teknik altimetri yaitu pengukuran jarak vertikal dari satelit ke permukaan laut. Karena tinggi
23 satelit di permukaan ellipsoid referensi di ketahui maka tinggi muka laut (sea surface height atau SSH) saat pengukuran dapat ditentukan sebagai selisih antara tinggi satelit dengan jarak vertikal. Nilai SSH yang diperoleh masih mengandung efek variasi periode pendek, seperti pasut dan sebagainya. Selanjutnya variasi muka laut periode pendek harus dihilangkan sehingga fenomena kenaikan muka laut dapat terlihat melalui analisis deret waktu dimana analisis deret waktu perlu dilakukan sehingga secara jelas dapat memantau variasi temporal periode panjang dan fenomena sekularnya.
Gambar 10
Geometri pengukuran tinggi muka laut dengan satelit altimetri (Seeber, 2003).
Satelit TOPEX/Poseidon diluncurkan pada Agustus 1992, merupakan hasil kerjasama badan antariksa Amerika NASA (National Aeronatics and Space Administration) dengan badan antariksa Perancis CNES (Centre National d’Etudes Spatiales).
Karakteristik dari satelit TOPEX/Poseidon sebagaimana
disajikan dalam Tabel 2, sedangkan misinya menurut Benada (1997), adalah untuk mengukur tinggi muka laut untuk tujuan studi dinamika laut yang mencakup hitungan rerata maupun variasi arus permukaan dan pasang surut lautan secara global dan memproses, memverifikasi, serta mendistribusikan data TOPEX/Poseidon beserta data geofisika lainnya kepada pengguna disamping meletakkan dasar bagi keberlanjutan program pengamatan sirkulasi laut dan variasinya dalam jangka waktu yang panjang.
24
Tabel 2 Karakteristik satelit TOPEX/Poseidon Karakteristik Utama Setengah sumbu panjang Eksentrisitas Inklinasi bidang orbit Argumen of perigee Asensiorekta ascending Anomali rerata Data Tambahan Tinggi referensi (ekuatorial) Periode satu lintasan orbit Resolusi temporal (cycle) Jumlah revolusi dalam satu cycle Jarak antar lintasan pada ekuator Sudut lintasan terhadap ekuator Kecepatan orbit Kecepatan permukaan (ground track speed)
7714.4278 km 0.000095 66.04o 90o 116.56o 253.13o 1336 km 6745.72 detik 9.9156 hari 127 315 km 39.5o 7.2 km/detik 5.8 km/detik
Satelit QuikSCAT merupakan produksi Ball Aerospace dan Technologies Corp, yang dibeli oleh NASA dan dikelola oleh pusat program penerbangan angkasa luar Goddard greenbelt dengan misi untuk banyak kepentingan seperti peramalan cuaca. Data QuikSCAT diproses oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan disistribusikan informasinya kepada pengguna yang kemudian disesuaikan dengan data hasil pengukuran untuk menghasilkan suatu informasi yang tepat. Data tersebut sangat penting dalam hal peramalan cuaca jangka pendek serta prediksi pola cuaca global hingga pada sistem iklim dunia (Benada, 1997).
Selanjutnya dikatakan pula bahwa QuikSCAT juga bekerja
untuk memonitor fenomena penyimpangan kondisi iklim (El Nino dan La Nina). European Space Agency meluncurkan satelit Envisat pada Maret 2002 dengan tujuan utama yaitu menyediakan data pengamatan dari atmosfer, lautan global, dan es dengan karakteristik orbit sun synchronous serta karakteristik satelit Envisat disajikan pada Tabel 3.
25 Tabel 3 Karakteristik satelit Envisat Karakteristik Utama Setengah sumbu panjang Inklinasi bidang orbit Tinggi referensi rerata (ekuatorial) Periode satu lintasan orbit Resolusi temporal (cycle) Kecepatan orbit
7159.5 km 98.55o 799.8 km 6035.4 detik 35 hari 7.45 km/detik
2.3.3 Satelit Aqua MODIS MODIS adalah salah satu instrument utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra Satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor tersebut. MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) mengamati seluruh permukaan bumi setiap 1 sampai dengan 2 hari dengan whisk-broom scanning imaging radiometer. Spesifikasi dari satelit Aqua MODIS dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Karakteristik Satelit Aqua MODIS Orbit
Scan Rate Swath Dimensions Telescope Size Weight Power Data Rate Quantization Spatial Resolution Design Life
705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or 1:30 p.m. ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular 20.3 rpm, cross track 2330 km (cross track) by 10 km (along track at nadir) 17.78 cm diam. off-axis, afocal (collimated), with intermediate field stop 1.0 x 1.6 x 1.0 m 228.7 kg 162.5 W (single orbit average) 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital average) 12 bits 250 m (bands 1-2) 500 m (bands 3-7) 1000 m (bands 8-36) 6 years
Sumber : http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php.
26
MODIS dengan lebar view/tampilan (lebih 2300 km) dengan resolusi spasial berkisar dari 250-1000 m serta mengorbit bumi secara polar (arah utaraselatan) pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Menurut Maccherone (2005), MODIS pertama kali diluncurkan bersama satelit Terra pada tanggal 18 Desember 1999, dengan spesifikasi lebih ke daratan dan akan disempurnakan dengan satelit Aqua pada tanggal 4 Mei 2002 yang diluncurkan dengan membawa instrument MODIS dengan spesifikasi daerah laut. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di permukaan bumi setiap hari, untuk kawasan di atas lintang 14 sampai dengan 30, dan setiap 2 hari, untuk kawasan di bawah lintang 30, termasuk Indonesia. Dengan karakteristik di atas MODIS memiliki beberapa kelebihan dibanding NOAA-AVHRR. Diantara
kelebihannya
adalah
lebih
banyaknya
spektral
panjang
gelombang (resolusi radiometrik) dan lebih telitinya cakupan lahan (resolusi spasial) serta lebih kerapnya frekuensi pengamatan (resolusi temporal). Kisaran panjang gelombang setiap kanal menurut Maccherone (2005), dapat dilihat pada Tabel 5. Data citra yang merupakan produk MODIS untuk perairan mencakup tiga hal yakni warna perairan (quasi true color), suhu permukaan laut (SPL) dan kesuburan perairan melalui pendeteksian kandungan klorofil-a. Seluruh produk tersebut sangat berguna untuk membantu penelitian mengenai sirkulasi lautan, biologi laut dan kimia laut termasuk siklus karbon di perairan (Rudiastuti, 2008). Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 bands (36 interval panjang gelombang), mulai dari 0,405 sampai 14,385 (1 µm = 1/1.000.000 meter). Data terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 Mega bytes setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bits. Artinya obyek dapat dideteksi dan dibedakan sampai 212 (4.096) derajat keabuan (grey levels) (Janssen and Hurneeman, 2001).
27 Tabel 5 Saluran dan kisaran panjang gelombang satelit Aqua MODIS Kegunaan Utama Darat/Awan/Aerosols Boundaries
Darat/Awan/Aerosols Properties
Ocean color/ Phytoplankton/Biogeokimia
Atmospheric Water Vapor
Surface/Cloud Temperature Atmospheric Temperature Cirrus Clouds Water Vapor Cloud Properties Ozone Surface/Sea Temperature Cloud Top Altitude Sumber : Maccherone (2005).
Kanal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Panjang Gelombang (nm) 620 – 670 841 – 876 459 – 479 545 – 565 1230 – 1250 1628 – 1652 2105 – 2155 405 – 420 438 – 448 483 – 493 526 – 536 546 – 556 662 – 672 673 – 683 743 – 753 862 – 877 890 – 920 931 – 941 915 – 965 3.660 - 3.840 3.929 - 3.989 3.929 - 3.989 4.020 - 4.080 4.433 - 4.498 4.482 - 4.549 1.360 - 1.390 6.535 - 6.895 7.175 - 7.475 8.400 - 8.700 9.580 - 9.880 10.780 - 11.280 11.770 - 12.270 13.185 - 13.485 13.485 - 13.785 13.785 - 14.085 14.085 - 14.385
3 METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei hingga November 2010, pengambilan data mencakup dua kegiatan yaitu eksplorasi data penginderaan jauh dan data lapangan (in-situ). Pengumpulan data dan pengamatan lapangan (in-situ) dilakukan pada akhir bulan Mei tahun 2010 di sekeliling perairan Kepulauan Kei yang meliputi enam stasiun pengamatan dengan batasan koordinat 1320 - 1330 BT ; 50 - 60 LS (Gambar 11).
Gambar 11 Peta sebaran stasiun pengamatan lapangan (in-situ) Pengolahan dan analisis data lapangan dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2010 di Laboratorium Hidrobiology kampus Politeknik Perikanan Negeri Tual dan Laboratorium Produktifitas Lingkungan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) kampus IPB Dramaga Bogor. Pengolahan dan analisis data penginderaan jauh dilakukan dari bulan Agustus hingga November 2010, bertempat di Laboratorium Indraja dan SIG Departemen Ilmu Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (ITK - FPIK) kampus IPB Dramaga Bogor.
29 Pola pergerakan angin muson berhubungan dengan perubahan musim yang mempengaruhi variabilitas parameter oseanografi dan untuk mengkaji gejala dan fenomena tersebut maka, wilayah kajian dibagi menjadi delapan kwadran dimana enam kwadran di perairan sekitar Kepulauan Kei sedangkan dua kwadran pembanding masing-masing merupakan keterwakilan Laut Banda dan Laut Arafura. Batasan koordinat dari masing-masing kwadran kajian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Batasan koordinat kwadran kajian Kwadran kajian
Batasan Koordinat
I II III IV V VI Laut Banda Laut Arafura
40- 60 LS ; 1300 - 1320 BT 40- 60 LS ; 1320 - 1340 BT 40 - 60 LS ; 1340 - 1360 BT 60 - 80 LS ; 1300 - 1320 BT 60- 80 LS ; 1320 - 1340 BT 60- 80 LS ; 1340 - 1360 BT 40 - 60 LS ; 1280- 1300 BT 60 - 80 LS ; 1360- 1380 BT
Kejelasan dan batasan serta kondisi lokasi penelitian disajikan pada Gambar 12. 129°
131°
133°
135°
137°
PAPUA BARAT
P. Seram
PAPUA 4°
4°
Kuadran 1
Kuadran 2 Kep. Kei
Kuadran 3 Kep. Aru
6°
6°
LAUT BANDA Kuadran 4
Kuadran 5
Kuadran 6
Kep. Tanimbar 8°
8°
LAUT ARAFURU
129°
131°
PETA LOKASI PENELITIAN N W
E S
100
0
100
200 km
133°
135°
137°
KETERANGAN :
Area Penelitian Lokasi Pembanding Laut Banda & Laut Arafura Batimetri : 0 - 500 m 1000 - 3000 m 3000 - 5000 m 500 - 1000 m
Gambar 12 Peta Lokasi dan Batasan Wilayah Kajian
SAMUDERA PASIFIK P. Halmahera P. Sulawesi PAPUA
LAUT BANDA
LAUT ARAFURU
30
3.2 Peralatan dan Bahan Peralatan maupun bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain seperti diuraikan pada berikut Tabel 7 : Tabel 7 Alat dan bahan penelitian Nama alat / bahan Alat : GPS WAAS Navigator model GP-32 merk Hand Refracktometer ATAGO, Made in Japan Resurfing thermometer DO meter, Hanna Instrumets, Made in Portugal Digital current meter merk Valeport Hand Lux meter/light meter AZ Instrumets 8581 Sechi disk merk NIKKO, product by Japan Botol sampel Cool box 15 liter, merk marina cooler Alat tulis menulis Camera digital Kapal/out board Spektrofotometer Shimadsu UV 1610
Fungsi Penentuan posisi Pengukuran salinitas Pengukuran suhu perairan Pengukuran DO Pengukuran arus Pengukuran iluminasi Pengukuran kecerahan Koleksi sampel kolorofil-a Penyimpanan sampel Catatan data lapangan Dokumentasi Sarana transportasi Analisis klorofil-a
Bahan : Alumenium foil, milliopore 0,45 µm, Aseton 90 %, Peta Kepulauan Kei dan Aru, skala 1 : 500.000, diperbaharui oleh Jawatan Hydro Oseanografi 1983 Seperangkat computer PC Sistem operasi LINUX versi Fedora Core Software SeaDAS versi 5.2 Software Surfer versi 9.0 Software ODV versi 3.4.2 - 2008. Reiner Schhitzer Software WRPLOT View-Freeware version 7.0.0 Software ArchView GIS 3.3 Software Microsoft excel 2007
Analisis klorofil-a Peta acuan Pengolahan data Pengolahan data MODIS Pengolahan citra Over-lay citra Pengolahan citra Analisis kecepatan dan sebaran angin (wind rosse) Lay out peta penelitian Pengolahan data ASCII
3.3 Jenis dan Sumber Data Data penelitian yang digunakan berupa data beberapa parameter oseanografi dan meteorologi yang diperoleh lewat analisis data citra satelit multi sensor enam tahunan yang diakses dari berbagai situs resmi yang tersedia maupun pengamatan secara langsung di lapangan (in-situ).
31 3.3.1
Data Penginderaan Jauh Data penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari
data rata-rata bulanan beberapa parameter (arah dan kecepatan angin, suhu permukaan laut, klorofil-a, arus dan tinggi paras laut). Jenis dan sumber data penginderaan jauh yang digunakan disajikan pada Tabel 8 : Tabel 8 Jenis dan sumber data yang digunakan Parameter SPL dan koorofil-a Pola arus permukaan Arah dan kecepatan angin TPL
Data Sumber Aqua MODIS level 3, resolusi http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/ 4 km format HDF rata-rata bulanan tahun 2005 – 2010 TOPEX Poseidon, OSCAR http://www.oscar. noaa.gov QuikSCAT monthly mean wind fields time_resolution one month, spatial_resolution 0.5 deg, (2005 - 2009) Envisat, Sea Surface Height Deviation, Aviso 0.25 degrees, Global Science Quality (2005 - 2009)
http://www.ifremer.fr/cersat/en/ data/download/gridded/mwfqsc at.htm http://oceanwatch.pfeg.noaa.go v/thredds/dodsC/satellite/ TA/sshd/
3.3.2 Data lapangan (in-situ) Pengamatan lapangan (in-situ) dilakukan terhadap beberapa parameter oseanografi seperti yang disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Data parameter oseanografi in-situ Parameter yang diukur
Sumber
Iluminasi cahaya Kecepatan angin Kecerahan perairan Salinitas (‰) Suhu perairan Kecepatan arus Oksigen terlarut (DO) Klorofil-a Angin dan curah hujan Kepulauan Kei tahun 2005 – 2009
Lapang Lapang Lapang Lapang Lapang Lapang Lapang Lapang BMG Stasiun Bandara Dumatubun Langgur– Maluku Tenggara
32
3.4 Pengolahan dan Analisis Data 3.4.1 Sebaran Spasial dan Temporal Parameter Oseanografi dari Satelit 1. Pola angin Penentuan musim yang terjadi di perairan sekitar Kepulauan Kei berdasarkan hasil unduhan data rata-rata angin bulanan periode 2005 hingga 2009 yaitu data QuickSCAT (producer agency IFREMER dan producer institution CERSAT). Data unduhan terdiri dari data ASCII (American Standard Code for Information Inter Change) dan vektor dengan format awal adalah text (*txt) serta resolusi spasial 1,50 x 1,50. Arah dan kecepatan angin ditentukan berdasarkan komponen zonal (U) dan meridional (V) yang diproses dengan menggunakan perangkat lunak ODV (Ocean Data View) versi 3.4.2 - 2008, dimana untuk mendapatkan peta arah dan kecepatan angin secara spasial maka data diekstrak dalam format netcdf (*.nc). Data yang masih dalam skala global di-cropping dan di-filtering sesuai batasan koordinat area kajian selanjutnya diperjelas dan dipertegas batas darat serta laut selanjutnya anotasi hingga memunculkan arrow sebagai simbol arah angin. Selain itu, kejelasan arah dan distribusi frekwensi kecepatan angin dalam bentuk wind rosse berdasarkan data ASCII dilakukan dengan perangkat lunak WRPLOT View-Freeware version 7.0.0. Gambaran variabilitas bulanan secara temporal dari setiap kwadran kajian, berdasarkan data ASCII. Data dieksport dan dikonversi dari bentuk format text (*txt) serta di-filtering sesuai batasan koordinat masing-masing kwadran kajian selanjutnya ditabulasikan dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. 2. Pola arus Data arus berupa data TOPEX Poseidon, OSCAR rata-rata bulanan periode 2005 hingga 2010. Data unduhan terdiri dari data ASCII dalam bentuk (*.txt), yang selanjutnya dikonversi dan di-filtering berdasarkan domain area kajian menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Arah dan kecepatan arus ditentukan berdasarkan komponen zonal (U) dan meridional (V) dimana visualisasi arah arus menggunakan perangkat lunak Surfer versi 9.0. Pola arus berhubungan dengan sebaran parameter oseanografi lainnya seperti suhu permukaan laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a sehingga peta arus di-overlay
33 dengan peta contur dari masing-masing parameter tersebut berdasarkan perangkat lunak Surfer versi 9.0. 3. Suhu Permukaan Laut (SPL) Pengolahan data SPL dari citra Aqua MODIS level 3 rata-rata bulanan menggunakan algoritma Miami Pathfinder (Pathfinder, 2001). Pengolahan data sebaran SPL berdasarkan data unduhan citra Aqua MODIS level 3 resolusi 4 x 4 km, berupa composite data bulanan perairan sekitar Kepulauan Kei tahun 2005 hingga 2010, dengan menggunakan perangkat lunak SeaDAS 5.2. Umumnya luaran hasil olahan perangkat lunak SeaDAS 5.2 terdiri dari citra, histogram dan data ASCII. Untuk mendapatkan peta contur sebaran SPL secara spasial yang bebas awan dan informatif maka data ASCII diolah dengan perangkat lunak Surfer versi 9.0, yang sebelumnya data di-filtering berdasarkan domain dari masing-masing kwadran kajian. Variabilitas sebaran SPL per kwadran kajian secara temporal berdasarkan perata-rataan data ASCII selama enam tahun sesuai persamaan yang diusulkan Mattjik dan Sumertajaya (2006). Hasil perata-rataan bulanan sebaran SPL di plot dalam bentuk grafik dan tabel untuk melihat nilai dan pola sebaran menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. 4. Data Konsentrasi dan Sebaran Klorofil-a Pengolahan data konsentrasi dan sebaran klorofil-a berdasarkan data unduhan citra Aqua MODIS level 3 resolusi 4 x 4 km, berupa composite data bulanan perairan sekitar Kepulauan Kei tahun 2005 hingga 2010, dengan menggunakan perangkat lunak SeaDAS 5.2. Algoritma OC3M adalah algoritma yang digunakan dalam pengolahan citra satelit MODIS untuk mendapatkan nilai konsentrasi klorofil-a perairan dalam skala global (McClain and Feldman, 2004). Data ASCII di-filtering berdasarkan domain masing-masing kwadran kajian kemudian diolah menggunakan perangkat lunak Surfer versi 9.0 dengan out-put peta countur klorofil-a yang di over-lay dengan peta arus untuk mendapat gambaran tentang sebaran klorofil-a secara spasial. Selanjutnya gambaran tentang sebaran dan nilai konsentrasi klorofil-a secara temporal berdasarkan perata-rataan data ASCII selama enam tahun sesuai persamaan yang diusulkan Mattjik dan
34
Sumertajaya (2006). Hasil perata-rataan bulanan nilai dan konsentrasi klorofil-a di plot dalam bentuk grafik dan tabel menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. 5. Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL) Untuk mempelajari perubahan tinggi muka laut maka digunakan data Envisat, Sea Surface Height Deviation AVISIO 0,250 rata-rata bulanan periode 2005 hingga 2009, yang diperoleh dari Live Access Server (LAS). Pengamatan terhadap perubahan muka laut untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya kejadian anomali positif (di atas level surface) maupun anomali negatif (di bawah level surface). Data ASCII tentang ATPL di-filtering berdasarkan domain dari masingmasing kwadran kajian dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007, pengolahan selanjutnya dengan perangkat lunak Surfer versi 9.0 untuk mendapatkan informasi tentang sebaran ATPL secara spasial.
Sebaran ATPL secara temporal
berdasarkan hasil filtering data ASCII yang diplot dalam bentuk tabel dan grafik menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Sebaran spasial dan temporal ATPL akan memberikan informasi kemungkinan adanya anomali positif (di atas level surface) maupun anomali negatif (dibawah level surface) sekaligus juga sebagai petunjuk dalam mempelajari pola dan sebaran arus serta ketebalan lapisan termoklin. 6. Curah hujan Data curah hujan diperoleh dari Kantor Badan Meteorologi (BMG) setempat dalam bentuk tabulasi data berupa jumlah curah hujan (mm) harian yang dirata-ratakan menjadi data bulanan periode 2005 hingga 2009. Data di-plot dalam bentuk grafik dan tabel dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 untuk analisis pola curahan bulanan dan jumlah hari hujan. 3.4.2
Distribusi Nilai Parameter Oseanografi In-situ Pengamatan lapangan dilakukan diperairan sekitar Kepulauan Kei Kecil
yaitu dari sepanjang sisi bagian barat hingga Selat Nerong, tepat pada kwadran
35 kajian ke-II (dua). Urutan stasiun pengamatan lapangan berdasarkan pendekatan batimetri dimana stasiun pengamatan ke-I (satu) merupakan keterwakilan perairan oseanik dengan kedalaman > 1200 meter sedangkan ke-lima stasiun pengamatan lainnya merupakan keterwakilan perairan dangkal dengan kedalaman < 800 meter. Pengukuran dan pengamatan lapangan (in-situ) meliputi kecerahan perairan, suhu, klorofil-a, salinitas, arus dan oksigen terlarut (DO). Pengukuran terhadap masing-masing parameter dilakukan berdasarkan stratifikasi kolom perairan yaitu pada lapisan permukaan, pertengahan dan kedalaman kompensasi. Gambaran distribusi, nilai dan konsentrasi masing-masing parameter yang diukur secara langsung di lapangan, diolah dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. Data hasil olahan tersebut selain menjadi dasar dalam mempelajari kondisi perairan setempat sekaligus sebagai pembanding hasil analisis data penginderaan jauh. Tahapan kegiatan penelitian dari awal hingga akhir secara jelas dapat dilihat pada Gambar 13.
36
WILAYAH KAJIAN
DATA PENELITIAN
Data lapangan
Data Satelit
Aqua MODIS level 3 (20052010) JPEG
Altimetri TOPEX Poseidon (20052009)
Data ASCII
Data ASCII
Envisat 0.250 (2005-2009)
QuickSCAT (2005-2009)
Vektor
Data ASCII
Data ASCII Variabilitas musiman
Pengolahan & analisis data
Peta countur SPL dan klor-a
Peta arus
Parameter oseanografi dan meteorologi
Peta angin
Variabilitas secara spasial dan temporal
ANALISIS
KESIMPULAN
Gambar 13 Diagram Alir Penelitian
Peta countur ATPL
37
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Variabilitas Parameter Oseanografi dari Satelit 4.1.1
Variabilitas Secara Temporal
a. Angin Gerakan angin sangat penting dalam hal percampuran massa air maupun terhadap dinamika musiman di Indonesia (Kinkade et al., 1997).
Perairan
Kepulauan Kei dan sekitarnya dipengaruhi oleh sistem angin muson yaitu muson barat laut dan muson tenggara. Menurut Wirtky (1961), bahwa angin muson bergerak dengan arah-arah tertentu sehingga perairan Indonesia dibagi menjadi empat musim. Pola sirkulasi munson di Indonesia akan sangat berpengaruh pada pola sirkulasi massa airnya sehingga pada musim barat, pola arus permukaan perairan Indonesia memperlihatkan arus bergerak dari Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa.
Di Laut Jawa, arus kemudian bergerak ke Laut Flores hingga
mencapai Laut Banda sedangkan pada muson tenggara, arah arus sepenuhnya berbalik arah menuju ke barat yang akhirnya akan menuju ke laut Cina Selatan. Umumnya arah angin bulanan dominan dari arah tenggara, diselingi arah dari barat dan barat laut pada waktu tertentu (Gambar 14). Berdasarkan arah dan pergerakan angin maka pola musim yang terjadi dan mempengaruhi perairan sekitar Kepulauan Kei dapat diklasifikasikan atas empat periode musim. Masing-masing periode musim serta cakupan tenggang waktu kejadiannya adalah periode musim barat (MB) meliputi bulan Desember - Maret, periode musim peralihan I (MP I) pada bulan April, periode musim timur (MT) meliputi bulan Mey - Oktober, dan periode musim peralihan II (MP II) meliputi bulan November. Umumnya perubahan arah angin berkisar 860 (bulan Januari) hingga 3270 (bulan April), dengan intensitas kecepatan yang cukup variatif antar musim yaitu dari selang 0,1 - 2,5 m/det (24,3 %) di bulan Maret hingga ≥ 10,0 m/det (2,8 %) di bulan Juni. Kecepatan angin maksimum terjadi pada periode MT dengan arah dominan dari tenggara ke barat laut.
Distribusi frekwensi selang arah dan
kecepatan angin dapat dilihat pada daftar lampiran (Lampiran 1).
38
Perubahan arah angin periode MB berkisar antara 860 (bulan Januari) hingga 1030 (bulan Desember), dengan intensitas kecepatan berkisar pada selang 0,1 - 2,5 m/det (24,3%) di bulan Maret hingga 7,6 - 10,00 m/det (21,2%) di bulan Februari. Kecepatan angin dominan periode MB berkisar pada selang 2,6 - 5,0 m/det (74,2%) di awal dan akhir musim serta 5,1 - 7,5 m/det (82,8%) di pertengahan musim. Pada awal periode MB, angin dominan dari arah barat dengan intensitas sedang diselingi dari arah barat laut, barat daya, tenggara dan timur dengan intensitas yang sangat lemah. Peningkatan intensitas kecepatan dan kemantapan arah angin secara tegas pada pertengahan musim, dengan arah dominan dari barat diselingi barat laut dan barat daya dengan intensitas yang relatif lemah. Konsistensi arah angin tetap bertahan hingga akhir musim dengan intensitas kecepatan yang semakin melemah. Intensitas kecepatan angin akan mengalami peningkatan dengan arah yang cenderung tidak beraturan pada periode MP I.
Perubahan arah angin
mencapai 3270 dengan intensitas kecepatan berkisar pada selang 0,1 - 2,5 m/det (22,9%) hingga 7,5 - 10,00 m/det (0,4%), sedangkan kecepatan angin dominan pada selang 2,6 - 5,0 m/det (52,1%). Memasuki periode MT, perubahan arah angin berkisar antara 3070 (bulan Oktober) sampai dengan 3140 (bulan Juli) dengan intensitas kecepatan angin berkisar pada selang 0,1 - 2,5 m/det (3,0%) di bulan September hingga ≥ 10,00 m/det (2,8%) di bulan Juni. Kecepatan angin dominan pada selang 5,1 - 7,5 m/det (49 - 72,7%). Kemantapan arah angin pada awal periode MT dominan arah tenggara diselingi arah timur dengan intensitas sedang namun presentase minimum. Peningkatan intensitas kecepatan angin dengan presentase maksimal serta kemantapan arah yang dominan dari tenggara terjadi pada pertengahan periode MT. Intensitas kecepatan angin akan mengalami penurunan menjelang akhir musim dengan ketegasan arah yang konstan. Memasuki periode MP II, sebaran arah angin cenderung tidak beraturan dengan perubahan arah mencapai 3110.
Arah angin dari tenggara dengan
intensitas maksimal dari timur dengan selingan dari arah barat, barat daya dan selatan dengan intensitas minimum. Kecepatan angin berkisar pada selang 0,1 -
39
2,5 m/det (60,2%) hingga 7,6 - 10,00 m/det (1,3%), dengan intensitas kecepatan dominan pada selang 0,1 - 2,5 m/det (60,2%).
Januari
Februari
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Maret
Gambar 14 Arah dan kecepatan angin per musim periode Januari 2005 hingga Desember 2009. Umumnya intensitas kecepatan angin periode MT cenderung lebih tinggi dibandingkan musim lainnya. Perubahan sebaran arah angin dengan intensitas
40
kecepatan relatif maksimal berdampak terhadap berbagai hal seperti perubahan dinamika dalam kolom perairan.
Perubahan kondisi tersebut sekaligus
berpengaruh positif dalam hal peningkatan kesuburan perairan lewat adanya percampuran massa air. Menurut Clark et al., (1999) in Tubalawony (2007), bahwa intensitas angin muson mengakibatkan peningkatan percampuran massa air secara vertikal dan hal sebaliknya akan terjadi jika intensitas angin menjadi lemah. Arah dan kecepatan angin serta tenggang waktu kejadian menunjukan bahwa periodesasi muson tenggara relatif lama, mancakup enam bulan (bulan Mey hingga bulan Oktober), sedangkan muson barat laut mencakup empat bulan (bulan Desember hingga bulan Maret).
Periodesasi MP I maupun MP II,
berlangsung sangat singkat yaitu hanya beberapa hari dengan arah dan intensitas kecepatan angin yang tidak menentu. Hal ini akan mempengaruhi distribusi parameter oseanografi seperti klorofil-a maupun SPL dimana penyebarannya cenderung tidak seragam jika dibandingkan dengan musim lainnya. Variabilitas perairan Indonesia dipengaruhi oleh sistem angin muson dimana pada bulan Juni hingga September, angin bergerak dari tenggara menuju barat laut dengan kekuatan penuh sehingga menyebabkan terjadinya upwelling di perairan selatan Jawa dan Arafura (Wyrtki, 1961). Pola angin yang sama juga mempengaruhi perairan Kepulauan Kei dan sekitarnya dengan kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Juni.
Pola angin akan mempengaruhi arus
permukaan di sekitar perairan kepulauan Kei sehinga pada periode MT dimana umumnya massa air bergerak dari perairan Arafura menuju Laut Banda dan sebaliknya seperti pada Gambar 15 (Wyrtky, 1961).
Gambar 15 Pola pergerakan angin dan arus periode musim timur dan barat (Wyrtky, 1961).
41
Pola pergerakan angin ini pula yang menyebabkan terbentuknya pola parameter lainnya seperti SPL, konsentrasi klorofil-a dan ATPL di perairan Kepulauan Kei dan sekitarnya. Massa air dengan SPL rendah dan konsentrasi klorofil-a yang tinggi di Laut Arafura bergerak melewati perairan Kepulauan Kei. b. Suhu Permukaan Laut (SPL) Secara umum SPL termasuk pola musiman dengan kisaran sebaran nilai rata-rata antara 27,010 C (Kw - IV, bulan Agustus 2005) hingga 31,500 C (Kw III, bulan Desember 2007). Pola sebaran nilai rataan bulanan SPL ke-enam kwadran kajian dapat disajikan pada Gambar 16, sedangkan pola variabilitas SPL per musim serta berdasarkan arah kajian dapat dilihat pada daftar lampiran (Lampiran 3). Nilai SPL maksimal pada periode MB yaitu berkisar antara 27,900 C hingga 31,50 C dengan nilai rata-rata 30,460 C yang secara gradual akan mengalami penurunan sejak akhir periode MB. Sebaran nilai SPL terendah pada periode MT dengan kisaran antara 27,030 C hingga 30,750 C dengan rata-rata 29,320 C. Selisih nilai rata-rata SPL antara periode MB dan periode MT adalah 2,180 C. Menurut Qu et al., (2005), secara umum perbedaan SPL antara periode MB dan MT di perairan Indonesia sekitar 30 C. 32
b.
SPL (0C)
31 30 29 28
26
Jan… Apr Jul Okt Jan… Apr Jul Okt Jan… Apr Jul Okt Jan… Apr Jul Okt Jan… Apr Jul Okt Jan… Apr Jul Okt
27
Kw 1
Kw 2
Kw 3
Kw 4
Kw 5
Kw 6
Gambar 16 Pola sebaran rataan bulanan nilai SPL Sebaran nilai SPL pada Kw-I secara temporal berkisar antara 27,040 C (Juli 2005) hingga 31,300 C (April 2010). Pola sebaran nilai rata-rata bulanan SPL Kw-I menunjukan dua puncak nilai maksimum yang mencakup periode MP
42
II dan MB.
Sebaran nilai SPL, akan mengalami penurunan secara gradual
selama periode MP I hingga mencapai nilai minimum pada periode MT. Sebaran SPL berhubungan dengan intensitas muson yang menyebabkan adanya percampuran dan distribusi massa air sehingga cenderung terbentuk pola musiman. Menurut Nontji (2007), bahwa suhu dipermukaan biasanya mengikuti pola musiman, contohnya yaitu pada musim pancaroba dimana angin bertiup lemah dan permukaan laut sangat tenang sehingga proses pemanasan yang kuat terjadi di permukaan. Dengan demikian saat musim pancaroba suhu pada lapisan permukaan mencapai maksimum.
Kondisi SPL pada Kw-I lebih banyak
dipengaruhi massa air dari Laut Banda maupun Laut Seram dibanding kwadran kajian lainnya pada saat berlangsungnya MB. Rataan bulanan nilai SPL data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-I periode Januari 2005 hingga Desember 2010 disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Sebaran bulanan nilai SPL Kw - I Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 29,53 29,70 30,61 29,44 28,37 27,27 27,04 27,35 27,63 28,89 29,97 30,37
Sebaran nilai SPL (0C) 2006 2007 2008 2009 30,11 30,52 30,39 29,91 30 31 29,38 29,81 30,16 30,19 30,23 30,28 30,61 29,94 29,35 30,32 29,46 29,24 28,71 30,04 27,51 28,39 27,87 28,57 27,34 27,69 27,52 27,67 (-) (-) 2746 27,05 27,18 (-) 28,53 27,91 27,47 28,92 29,14 28,76 29,61 31,17 30,73 29,22 30,50 30,70 30,35 31,04
2010 28,20 30,69 30,62 31,30 29,87 28,51 28,51 28,32 29,55 30,32 31 30,88
Ket : (-) = Tidak ada data
Kw-II meliputi perairan Kepulauan Kei, dengan sebaran nilai rata-rata bulanan SPL secara temporal berkisar antara 27,040 C (September 2006) hingga 31,360 C (Desember 2009). Pola sebaran bulanan SPL menunjukan keseragaman antar tahun walaupun terdapat perbedaan sebaran nilai serta ketepatan waktu kejadian peningkatan dan penurunan nilai SPL. Sebaran nilai SPL mengalami peningkatan pada periode MP II, MB hingga MP I dan penurunan sebaran nilai SPL pada periode MT yang mencapai nilai minimum di bulan Agustus.
43
Kondisi Kw-II dominan dipengaruhi perairan sekitarnya dimana over-lay data SPL dan arus permukaan menunjukan adanya pertemuan aliran massa air dari arah barat laut, timur dan timur laut di sekitar lokasi dimaksud sejak pertengahan periode MB hingga periode MP I. Pertemuan massa air tersebut mengindikasikan penyegaran dan peningkatan kesuburan perairan setempat karena adanya sumbangan berbagai unsur hara disamping kemungkinan pembentukan front. Rataan bulanan nilai SPL data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-II periode Januari 2005 hingga Desember 2010 disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Sebaran bulanan nilai SPL Kw - II Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 29,91 30,28 30,69 29,92 28,10 27,46 27,61 27,45 27,85 28,77 30,24 30,11
Sebaran nilai SPL (0C) 2006 2007 2008 30,12 30,75 30,29 30,29 30,33 29,73 30,27 29,74 29,97 30,34 29,56 28,97 29,30 29,31 28,87 28,01 28,38 27,74 27,29 27,40 27,59 27,46 27,32 27,04 27,46 28,41 27,54 29,05 29,48 29,10 30,95 30,56 30,07 30,45 30,69
2009 30,01 30,16 29,85 30,54 29,70 28,74 27,50 27,34 27,71 29,73 29,59 31,36
2010 28,03 30,28 30,01 31,17 29,91 28,54 28,54 28,18 29,53 30,75 31,08 31,18
Ket : (-) = Tidak ada data
SPL pada Kw-III secara temporal memiliki pola seragam dengan sebaran nilai yang variatif.
Umumnya ketepatan waktu kejadian peningkatan dan
penurunan nilai SPL tidak seragam antar tahun. Sebaran nilai berkisar antara 27,300 C (Juni 2005) hingga 31,410 C (Desember 2007). Umumnya sebaran nilai SPL terendah pada periode MT yang secara gradual mulai mengalami peningkatan di akhir periode (bulan Oktober) hingga mencapai puncak maksimal pada periode MB. Distribusi dan limpasan massa air dari perairan sekitar dengan karakteristik suhu rendah berperan dalam menurunkan nilai SPL pada Kw-III, disamping pengaruh intensitas dan tenggang waktu sistem angin muson tenggara dalam hal percampuran massa air.
44
Rataan bulanan nilai SPL data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-III periode Januari 2005 hingga Desember 2010 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Sebaran bulanan nilai SPL Kw - III Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 30,62 30,45 30,80 29,60 27,87 27,30 27,69 27,40 27,69 29,08 29,95 29,51
Sebaran nilai SPL (0C) 2006 2007 2008 2009 30,10 29,94 29,77 30,39 30,57 30,38 29,72 30,67 30,60 30,87 29,86 30,37 30,76 29,68 30,45 30,22 29,94 29,59 28,22 30,22 27,40 28,70 27,87 28,50 27,23 27,77 27,59 27,54 28,42 27,43 27,21 27,60 27,78 27,46 28,55 27,97 27,82 28,52 29,09 28,76 28,78 30,72 30,76 29,21 30,09 31,5 30,26 31,41
2010 28,18 30,89 31,15 30,58 29,51 28,75 28,75 27,85 29,50 30,19 30,86 31,02
Variabilitas nilai SPL secara temporal pada Kw-IV berkisar antara 27,010 C (Agustus 2005) hingga 31,300 C (Desember 2005).
Sebaran nilai SPL
tertinggi pada periode MP II, MB dan MP I. Penurunan nilai SPL secara gradual terjadi diawal periode MT hingga mencapai nilai terendah pada pertengahan musim dan kembali meningkat di akhir periode MT (Oktober). Rataan bulanan nilai SPL data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-IV periode Januari 2005 hingga Desember 2010 disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran bulanan nilai SPL Kw - IV Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 28,95 30,19 29,58 29,08 28,25 27,37 27,03 27,01 27,20 28,25 30,65 31,30
Ket : (-) = Tidak ada data
Sebaran nilai SPL (0C) 2006 2007 2008 2009 30,28 29,23 29,62 29,38 29,62 30,36 28,40 29,82 29,33 30,35 29,85 30,47 29,99 30,04 29,07 30,41 29,06 29,94 28,90 28,85 27,51 27,82 27,31 28,06 27,25 27,06 27,32 27,50 27,67 27,57 27,08 27,08 27,67 27,65 27,45 27,07 28,60 28,24 28,45 29,42 30,20 29,68 29,22 29,98 30,97 30,32 30,67
2010 28,41 29,85 30,47 30,92 30,14 28,39 28,39 27,59 28,30 29,49 30,82 30,67
45
Pengaruh dari Laut Banda dan Laut Flores mendominasi kondisi perairan sekitar barat area kajian (Kw-I dan IV) dan tidak menjangkau kwadran kajian lainnya di sisi timur karena intensitas dan tenggang waktu muson barat laut yang relatif singkat serta penyebaran aliran massa air permukaan yang cenderung mengarah ke arah barat daya dan selatan. Secara temporal rataan sebaran nilai bulanan SPL Kw-V berkisar antara 27,110 C (Agustus 2008) hingga 31,050 C (November 2007, Desember 2009 dan Desember 2010). Sebaran nilai SPL tertinggi pada periode MP II dan MB hingga periode MP I, dimana penurunan SPL umumnya terjadi di awal periode MT dan kembali mengalami peningkatan di akhir periode MT (Oktober). Kondisi perairan setempat lebih dominan dipengaruhi Laut Arafura, Laut Flores maupun Laut Banda Rataan bulanan nilai SPL data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-V periode Januari 2005 hingga Desember 2010 dapat disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran bulanan nilai SPL Kw - V Bulan Sebaran nilai SPL (0C) 2005 2006 2007 2008 2009 Januari 29,07 29,55 29,60 29,71 29,93 Februari 30,18 30,01 29,85 29,79 30,29 Maret 29,97 29,58 30,23 29,74 29,98 April 29,33 30,20 29,58 28,32 30,36 Mei 28,20 29,25 29,19 28,32 29,29 Juni 27,31 27,24 28,08 27,40 27,99 Juli 27,27 27,33 Agustus 27,28 27,11 27,23 September 27,34 27,82 27,68 Oktober 28,50 27,14 28,74 28,34 28,01 November 30,27 29,13 31,05 30,20 29,06 Desember 30,30 30,13 30,71 30,37 31,05
2010 27,90 29,87 30,56 30,57 29,49 28,53 28,52 27,76 29,27 29,77 30,85 31,05
Ket : (-) = Tidak ada data
Sebaran nilai SPL secara temporal pada Kw-VI berkisar antara 27,100 C (Agustus 2008) hingga 31,100 C (November 2010). Umumnya sebaran nilai SPL tertinggi pada periode MP II, MB dan MP I.
Nilai SPL secara gradual
mengalami penurunan di awal periode MT hingga mencapai nilai terendah di pertengahan musim. Sebaran nilai SPL kambali akan mengalami peningkatan nilai menjelang akhir musim (bulan Oktober). Kondisi dominan dipengaruhi
46
Laut Arafura maupun Laut Flores dengan karakteristik yang potensial. Distribusi dan aliran massa air dengan karakteristik bersuhu rendah akan terdorong masuk dan mendominasi sekitar kwadran kajian lewat kemantapan sistem muson tenggara. Rataan bulanan nilai SPL data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-VI periode Januari 2005 hingga Desember 2010 dapat disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran bulanan nilai SPL Kw - VI Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 29,07 31,04 30,67 29,17 28,83 27,93 27,35 27,64 28,11 29,11 30,09 30
Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) 0C 2006 2007 2008 2009 30,16 30,13 30,33 29,61 30,33 31,03 28,88 29,62 29,93 29,74 30,31 29,52 30,30 29,45 29,01 30,34 29,25 29,48 27,63 29,19 27,55 28,18 27,34 28,36 27,16 27,70 27,14 27,60 27,19 27,26 27,10 28,08 27,70 27,26 27,48 28,21 27,43 29,15 28,71 28,31 29 30,13 30,05 29,78 30 30,41 30,85 30,06
2010 27,92 30,41 30,86 30,84 29,63 27,48 27,48 27,58 29,45 29,75 31,10 30,06
c. Klorofil-a Secara umum sebaran nilai rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,09 mg/m3 (Kw - I, bulan Mey 2009) hingga 2,00 mg/m3 (KwVI, bulan Mey 2007). Fluktuasi temporal konsentrasi klorofil-a secara umum menunjukkan pola musim (Gambar 17), sedangkan pola variabilitas konsentrasi klorofil-a antar musim serta berdasarkan arah kajian dapat dilihat pada daftar lampiran (Lampiran 4). Konsentrasi klorofil-a periode MT cenderung lebih tinggi dibandingkan periode MB. Konsentrasi klorofil-a periode MB berkisar antara 0,10 hingga 1,13 mg/m3 dengan sebaran nilai rata-rata mencapai 0,50 mg/m3 sedangkan konsentrasi klorofil-a pada periode MP I berkisar antara 0,10 hingga 1,21 mg/m3, dengan sebaran nilai rata-rata mencapai 0,59 mg/m3. Pada MT, konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,09 mg/m3 hingga 2,00 mg/m3 dengan rata-rata 0,72 mg/m3. Dengan demikian maka rata-rata perbedaan konsentrasi klorofil-a antara periode MB dan MT adalah sebesar 0,21 mg/m3, sedangkan periode MP II
47
berkisar antara 0,10 hingga 1,00 mg/m3, dengan sebaran nilai rata-rata mencapai 0,41 mg/m3. Tingginya konsentrasi klorofil-a periode MT mengindikasikan bahwa MT merupakan periode penyuburan dimana peningkatan konsentrasi klorofil-a pada bagian barat wilayah kajian mencapai 1,18 mg/m3 di bulan Agustus. Secara temporal konsentrasi klorofil-a pada Kw-VI di bulan Mei 2007 dan September 2010 serta Kw-III di bulan Juli 2009 mengalami peningkatan secara ekstrim dimana hal tersebut diduga sebagai akibat limpasan dan sirkulasi massa air dari perairan sekitar seperti Laut Arafura, perairan Kepulauan Aru dan perairan barat Papua pada saat muson tenggara dengan membawa berbagai nutrien dan unsur hara yang berpotensi menyegarkan dan menyuburkan perairan setempat. Menurut Gaol (2006), konsentrasi klorofil-a di Laut Arafura pada saat angin
Kw 1
Kw 3
Kw 4
Jul
Oktbr
Jan…
Kw 5
April
Jul
Oktbr
Jan…
April
Jul
Oktbr
Jan…
April
Oktbr
Jul
Jan…
Kw 2
April
Jul
Oktbr
April
Jan…
Jul
Oktbr
Jan…
2.00 1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
April
Mg/m3
monsun tenggara berhembus lebih tinggi dibandingkan muson barat laut.
Kw 6
Gambar 17 Pola sebaran konsentrasi klorofil-a tiap kwadran kajian Analisis sebaran nilai dan konsentrasi klorofil-a berdasarkan arah kajian baik arah utara maupun selatan menunjukan bahwa konsentrasi klorofil-a cenderung lebih tinggi pada Kw-II dan III dibandingkan Kw-I. Peningkatan konsentrasi klorofil-a umumnya lebih duluan terjadi di Kw-II dan III daripada Kw-I namun justeru Kw-I lebih duluan mengalami penurunan konsentrasi klorofil-a. Kondisi yang sama juga terjadi di bagian selatan area kajian dimana konsentrasi klorofil-a Kw-V dan VI cenderung lebih tinggi dibanding Kw-IV, dan ke-dua kwadran tersebut lebih duluan mengalami peningkatan konsentrasi
48
klorofil-a. Sisi timur area kajian sangat produktif dibandingkan sisi barat karena umumnya sebaran konsentrasi klorofil-a tertinggi pada sekitar area tersebut yaitu pada kwadran VI, III, V dan II. Hal tersebut tidak terlepas dari intensitas dan periodesasi sistem muson tenggara yang berperan dalam hal distribusi dan percampuran massa air sehingga aliran permukaan dari perairan sekitar akan berperan dalam penyegaran maupun peningkatan kesuburan pada kwadrankwadran kajian dimaksud. Hal tersebut berarti bahwa peningkatan kesuburan perairan sekitar Kepulauan Kei periode MT bukan karena adanya fenomena upwelling namun karena limpasan massa air dari perairan sekitar terutama dari Laut Arafura dan perairan Kepulauan Aru serta perairan barat Papua. Hasil penelitian Moore et al., (2003), di perairan Laut Banda hingga perairan Kepulauan Kei bahwa, konsentrasi klorofil-a tertinggi pada kedalaman 40 hingga 70 m dimana semakin ke arah timur maka konsentrasi klorofil-a akan semakin tinggi (Gambar 18).
Gambar 18 Sebaran konsentrasi klorofil-a sekitar Laut Banda berdasarkan kedalaman perairan (Moore et al., 2003). Laju produktifitas primer di laut juga di pengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari pengamatan sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi di jumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson
49
barat laut. Pada saat itu perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala besar sehingga nilai konsentrasi nutrien di perairan lebih kecil (Amri, 2002). Rata-rata sebaran nilai bulanan konsentrasi klorofil-a pada Kw-I secara temporal berkisar antara 0,10 mg/m3 pada (periode MB, Desember 2010) hingga 1,18 mg/m3 (periode MT, Agustus 2006). Umumnya peningkatan konsentrasi klorofil-a pada Kw-I selama periode MT sedangkan kondisi sebaliknya mencakup periode MB, MP I dan MP II. Konsentrasi klorofil-a pada tahun 2006 khususnya periode MT cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun lainnya. Rata-rata sebaran nilai bulanan konsentrasi klorofil-a data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-I periode Januari 2005 hingga Desember 2010 disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - I Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,23 0,18 0,23 0,14 0,56 0,50 0,54 1,05 0,88 0,86 0,16 0,17
Konsentrasi klorofil-a (mg/m3) 2006 2007 2008 2009 0,15 0,16 0,15 0,11 0,15 0,17 0,15 0,14 0,12 0,26 0,26 0,11 0,16 0,12 0,16 0,11 0,11 0,28 0,81 0,09 0,56 0,73 0,73 0,39 1,11 0,55 0,51 0,60 1,18 0,83 0,59 0,79 1,10 1,05 0,60 0,65 0,76 0,31 0,64 0,70 0,45 0,22 0,20 0,42 0,24 0,19 0,11 0,14
2010 0,23 0,14 0,12 0,15 0,16 0,33 0,41 0,26 0,65 0,15 0,12 0,10
Konsentrasi klorofil-a pada Kw-II umumnya mengalami peningkatan pada periode MT. Secara umum konsentrasi klorofil-a pada Kw-II berkisar antara 0,22 mg/m3 (periode MB, Februari 2008) hingga 1,17 mg/m3 (periode MT, September 2006).
Konsentrasi klorofil-a pada Kw-II cenderung tinggi
karena posisi kwadran pada bagian tengah arah utara daerah kajian yang banyak mendapat masukan dari perairan-perairan pesisir yang berpotensi menyegarkan dan meningkatkan konsentrasi klorofil-a. Kontribusi terbesar yang berpengaruh terhadap kondisi pada Kw-II adalah berasal dari perairan selatan kepala burung Papua serta perairan sekitar Kepulauan Aru, terutama saat berlangsungnya
50
periode muson tenggara. Rata-rata sebaran nilai bulanan konsentrasi klorofil-a data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-II periode Januari 2005 hingga Desember 2010 dapat disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - II Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,62 0,93 0,64 0,64 0,92 1,16 1,13 1,1 1,03 0,96 0,93 0,70
Konsentrasi klorofil-a (mg/m3) 2006 2007 2008 2009 0,64 0,39 0,27 0,81 0,40 0,88 0,22 0,31 0,34 0,42 0,57 0,28 0,40 0,73 0,48 0,35 0,31 0,81 0,93 0,39 1,13 0,93 1,07 0,86 0,82 0,93 1,05 0,59 1,02 0,85 0,87 0,65 1,17 0,95 0,60 1,06 1,13 0,69 1,05 0,68 1,00 0,55 0,86 0,63 0,86 0,59 0,40 0,65
2010 0,52 0,43 0,27 0,37 0,89 1,14 1,03 0,77 1,06 0,87 0,53 0,42
Kw-III realtif subur sepanjang tahun karena adanya pasokan nutrien lewat limpasan massa air dari perairan sekitar.
Rata-rata sebaran nilai bulanan
konsentrasi klorofil-a data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-III periode Januari 2005 hingga Desember 2010 dapat disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - III Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,73 0,78 0,37 0,66 1,11 1,13 0,79 1,17 1,01 0,95 0,66 0,26
Konsentrasi klorofil-a (mg/m3) 2006 2007 2008 2009 0,39 0,86 0,36 0,58 0,35 1,13 0,48 0,27 0,48 0,49 0,34 0,80 0,50 0,64 0,91 1,04 0,62 0,52 0,89 0,26 0,54 0,74 0,63 0,73 1,32 0,77 0,61 1,61 1,04 0,97 1,35 0,48 1,02 1,14 1,16 0,63 0,66 0,87 0,58 0,74 0,52 0,46 0,29 0,40 0,44 0,72 0,11 0,29
2010 0,46 0,78 0,28 0,70 0,34 0,58 0,38 0,34 0,63 0,98 0,90 0,23
51
Rata-rata sebaran nilai konsentrasi klorofil-a secara temporal pada Kw-III berkisar antara 0,11 mg/m3 (periode MB, Desember 2008) hingga 1,61 mg/m3 (periode MT, Juli 2009). Peningkatan konsentrasi klorofil-a pada Kw-IV umumnya di periode MT, walaupun pada tahun 2009 dan 2010 terjadi penyimpangan dan pergeseran dalam hal puncak tertinggi konsentrasi klorofil-a. Sebaran konsentrasi klorofil-a secara temporal pada Kw-IV berkisar antara 0,1 mg/m3 (Desember 2005, April dan November 2010) hingga 1,40 mg/m3 (Agustus 2006).
Sebaran konsentrasi
klorofil-a antar musim pada Kw-IV secara temporal relatif lebih rendah dibandingkan kwadran kajian lainnya.
Rata-rata sebaran nilai bulanan
konsentrasi klorofil-a data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-IV periode Januari 2005 hingga Desember 2010 disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - IV Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,14 0,14 0,11 0,12 0,27 0,57 0,55 0,63 0,66 0,49 0,13 0,10
Konsentrasi klorofil-a (mg/m3) 2006 2007 2008 2009 0,12 0,13 0,15 0,12 0,14 0,14 0,23 0,17 0,13 0,19 0,16 0,80 0,15 0,13 0,11 1,04 0,12 0,15 0,27 0,15 0,32 0,45 0,30 0,25 0,56 0,70 0,43 0,34 1,40 0,64 0,62 0,32 0,71 0,74 0,34 0,42 0,47 0,19 0,17 0,23 0,23 0,15 0,12 0,20 0,17 0,11 0,11 0,13
2010 0,15 0,15 0,13 0,10 0,12 0,19 0,21 0,23 0,42 0,82 0,10 0,98
Sebaran konsentrasi klorofil-a pada Kw-V secara temporal berkisar antara 0,12 mg/m3 (periode MP I, Februari 2009) hingga 1,16 mg/m3 (periode MT, Agustus 2006).
Posisi kwadran kajian di arah selatan selalu mendapat
penyegaran lewat aliran massa air yang masuk dalam meningkatkan kesuburan perairan setempat baik dari Laut Arafura maupun Laut Flores. Rata-rata sebaran nilai bulanan konsentrasi klorofil-a data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-V periode Januari 2005 hingga Desember 2010 disajikan pada Tabel 20.
52
Tabel 20 Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - V Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,22 0,19 0,30 0,74 1,01 1,01 0,75 0,88 0,98 0,42 0,83 0,13
Konsentrasi klorofil-a (mg/m3) 2006 2007 2008 2009 0,22 0,18 0,21 0,18 0,24 0,18 0,16 0,12 0,31 0,57 0,15 0,23 0,31 0,25 0,21 0,18 0,45 0,46 1,14 0,20 0,81 0,46 0,41 0,41 0,78 0,83 1,09 0,36 1,16 1,12 0,55 0,51 0,78 1,01 0,53 0,75 0,80 0,58 0,24 0,46 0,45 0,25 0,20 0,31 0,27 0,17 0,28 0,16
2010 0,21 0,17 0,16 0,32 0,22 0,32 0,38 0,33 0,75 0,15 0,14 0,18
Konsentrasi klorofil-a pada Kw-VI secara temporal berkisar antara 0,21 mg/m3 (periode MP I, Februari 2008) hingga 2,00 mg/m3 (periode MT, Mey 2007). Rata-rata sebaran nilai bulanan konsentrasi klorofil-a data citra Aqua MODIS level 3 pada Kw-VI periode Januari 2005 hingga Desember 2010 dapat disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Rataan bulanan konsentrasi klorofil-a Kw - VI Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,88 0,73 1,01 1,08 1,30 1,18 0,75 1,10 0,65 0,42 0,83 0,79
Konsentrasi klorofil-a (mg/m3) 2006 2007 2008 2009 0,45 1,12 0,90 1,06 0,70 1,06 0,21 0,32 1,05 0,94 0,35 0,54 1,02 0,36 1,21 0,94 0,87 2,00 0,61 0,32 0,86 1,13 0,43 1,16 1,04 1,13 0,67 0,58 1,01 1,34 1,03 0,53 0,47 1,01 0,42 1,05 1,08 1,02 0,96 0,57 0,79 0,89 0,79 0,89 0,94 0,86 0,74 1,02
2010 0,64 0,93 0,92 0,98 1,18 0,51 0,54 0,57 1,97 0,88 0,55 0,98
Umumnya konsentrasi klorofil-a periode MB relatif rendah namun pada tahun tertentu terjadi peningkatan baik pada periode MP II maupun periode MB. Konsentrasi klorofil-a pada Kw-VI cenderung lebih tinggi dibandingkan kwadran kajian lainnya karena adanya interaksi dengan perairan sekitar serta tenggang
53
waktu kejadian muson tenggara yang relatif lama.
Peningkatan konsentrasi
klorofil-a secara ekstrim juga terjadi pada bulan Mei tahun 2007 dan September 2010 yang diduga sebagai dampak dari limpasan massa air yang mengandung berbagai unsur hara sehingga memicu terjadinya hal tersebut. Umumnya sisi timur area kajian relatif lebih subur dibandingkan sisi barat. Distribusi massa air yang berasal dari lokasi-lokasi tertentu yang mengalami percampuran akan terdorong dan terbawa aliran arus permukaan selama berlangsungnya muson tenggara sehingga dapat menjangkau keseluruhan daerah kajian, terutama pada sisi timur. Penelitian Wetsteyn et al., (1990), mendapatkan bahwa konsentrasi klorofil tinggi di Laut Arafura namun bukan karena limpasan sungai tetapi pengayaan dari lapisan tercampur secara vertikal yang rendah salinitas dengan air yang kaya nutrisi dari lapisan yang lebih dalam. Di bagian timur Laut Banda dan di Cekungan Aru, terjadi pengayaan nutrisi secara merata dari lapisan tercampur sedangkan di stasiun penelitian bagian barat laut Kepulauan Aru dan barat daya Kepulauan Kei profil nutrisi bergeser naik ke zona fotik. d. Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL) Anomali tinggi paras laut (ATPL) menunjukan pola musiman dengan sebaran nilai yang cukup variatif terkesan teratur waktu kejadian ATPL positif maupun negatif untuk tiap tahunnya.
ATPL positif (di atas level surface)
umumnya terjadi pada periode MB dan akan terjadi penurunan paras laut secara gradual pada periode MP I (bulan April) hingga akan mencapai nilai terendah (di bawah level surface) pada periode MT, selanjutnya kedudukan muka laut mengalami perubahan menjelang periode MP II hingga periode MB. Tahun 2006 terjadi penyimpangan dimana ATPL negatif (di bawah level surface) bertahan cukup lama hingga memasuki awal periode MB. Sebaran nilai rataan bulanan ATPL berkisar antara -0,10 cm (Kw-I dan Kw-III, masing-masing di bulan Oktober 2006) hingga 0,30 cm (Kw-VI, bulan Februari 2008). Sebaran dan variabilitas nilai ATPL secara temporal periode Januari 2005 hingga Desember 2009 dapat dilihat pada Gambar 19.
54
0.3
0.2 0.15 0.1 0.05 0 -0.05
Jan… Mrt Mei Jul Sept Nov Jan… Apr Jul Nov Jan… Aprl Jun Agst Okt Des Feb Apr Jun Agst Okt Des Feb Apr Jun Agst Okt Des
ATPL ( cm )
0.25
-0.1 -0.15 Kw1
Kw2
Kw3
Kw4
Kw5
Kw6
Gambar 19 Pola sebaran dan fluktuasi bulanan ATPL Sebaran rataan bulanan ATPL periode MT berkisar antara -0,10 cm (KwI dan III, masing-masing pada bulan Oktober 2006 ) hingga 0,16 cm (Kw-III, Mey 2009), dengan sebaran nilai rata-rata 0,00 cm tercatat lebih rendah dibandingkan sebaran nilai ATPL periode MB dengan kisaran antara -0,04 cm (Kw-VI, bulan Desember 2006) hingga 0,30 cm (Kw-VI, Februari 2008), dengan nilai rata-rata 0,18 cm. Nilai tersebut sekaligus merupakan selisih ATPL antara periode MT dan periode MB. Selanjutnya sebaran rataan ATPL periode MP I berkisar antara -0,02 cm (Kw-III, bulan April 2005) hingga 0,23 cm (Kw-I dan III, masing-masing di bulan April 2009), dengan nilai rata-rata 0,11 cm. Sedangkan sebaran rataan ATPL untuk periode MP II berkisar antara -0,06 cm (Kw-II, bulan November 2006) hingga 0,19 cm (Kw-III, bulan November 2007), dengan nilai rata-rata 0,03 cm. Analisis ATPL berdasarkan arah kajian (utara dan selatan) menunjukan pola musiman serta relatif seragam.
ATPL positif maupun negatif terjadi
berdasarkan perubahan musim. Pada arah utara kajian, ATPL Kw-III cenderung lebih rendah dibandingkan kedua kwadran kajian lainnya pada periode MT sedangkan pada arah selatan justeru ATPL positif maupun negatif tertinggi pada Kw-VI. Hal tersebut berhubungan dengan intensitas kejadian muson tenggara maupun barat laut. Rendahnya paras laut ini dipengaruhi oleh pola angin pada saat berlangsungnya muson tenggara dimana massa air akan terdorong sejajar garis pantai dan dibelokan oleh gaya koriolis kearah lepas pantai sehingga terjadi
55
kekosongan massa air di permukaan (Gaol, 2006). Pola fluktuasi ATPL antar musim dan berdasarkan arah kajian (utara dan selatan) dapat dilihat pada daftar lampiran (Lampiran 5). Secara temporal sebaran rataan bulanan ATPL pada Kw-I berkisar antara -0,08 cm (Agustus 2005) hingga 0,24 cm (Februari 2009). Tenggang waktu penurunan paras laut seiring dengan tenggang waktu kejadian muson tenggara yaitu sejak bulan Mei hingga bulan Oktober, begitu pula sebaliknya. Variabilitas nilai ATPL secara temporal pada Kw-I secara jelas dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Rataan bulanan ATPL Kw - I Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,08 0,08 0,08 0,05 -0,01 -0,04 -0,06 -0,08 -0,07 -0,01 0,09 0,09
2006 0,16 * 0,19 0,21 * 0,02 -0,05 * * -0,10 -0,01 -0,02
ATPL 2007 0,09 * 0,16 0,16 0,06 0,01 -0,03 -0,07 -0,03 0,03 0,13 0,14
2008 0,22 0,22 0,26 0,23 0,12 0,06 0,01 -0,01 0,04 0,07 0,10 0,22
2009 0,23 0,24 0,23 0,20 0,10 0,07 0,01 -0,04 -0,01 0,01 0,01 0,06
Keterangan : ( * ) = Tidak ada data.
Analisis ATPL pada Kw-II secara temporal menunjukan bahwa kedudukan paras laut pada tahun 2005 cenderung lebih rendah dibandingkan tahun lainnya. Sebaran rataan bulanan ATPL berkisar antara -0,07 cm (Agustus 2005 dan Oktober 2006) hingga 0,28 cm (Januari 2008). Umumnya MB identik dengan ATPL positif, secara gradual akan terjadi penurunan paras laut pada periode MP I hingga mencapai nilai terendah pada periode MT (Agustus) dan kembali naik pada akhir periode MT (bulan September) hingga puncaknya pada periode MB. Distribusi nilai ATPL secara temporal pada Kw-II (dua) dapat dilihat pada Tabel 23.
56
Tabel 23 Rataan bulanan ATPL Kw - II. Bulan 2005 2006 Januari 0,07 0,18 Februari 0,08 * Maret 0,10 0,19 April 0,04 0,20 Mei 0,00 * Juni -0,04 0,00 Juli -0,06 -0,06 Agustus -0,07 * September -0,03 * Oktober -0,02 -0,07 November 0,06 -0,06 Desember 0,10 -0,03
ATPL 2007 0,11 * 0,16 0,12 0,07 0,00 0,01 -0,04 -0,02 0,05 0,12 0,20
2008 0,28 0,25 0,25 0,20 0,12 0,07 0,02 0,01 0,06 0,08 0,10 0,23
2009 0,26 0,26 0,22 0,17 0,11 0,11 0,03 -0,04 0,01 0,00 0,00 0,07
Keterangan : ( * ) = Tidak ada data
Posisi Kw-III pada sisi timur area kajian sangat memungkinkan adanya interaksi dengan perairan sekitar sehingga mengakibatkan fluktuasi parameter oseanografi. Sebaran rataan bulanan ATPL berkisar antara -0,10 cm (Oktober 2006) hingga 0,27 cm (Februari 2008 dan Maret 2009).
Distribusi rataan
bulanan ATPL secara temporal pada Kw-III disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 Rataan bulanan ATPL Kw - III Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,15 0,06 0,10 -0,02 0,00 -0,02 -0,02 -0,09 -0,08 -0,02 0,05 0,15
2006 0,17 * 0,16 0,19 * 0,03 -0,08 * * -0,10 -0,03 -0,03
ATPL 2007 0,13 * 0,07 0,12 0,08 0,04 0,00 -0,09 -0,03 0,05 0,19 0,17
2008 0,24 0,27 0,23 0,23 0,09 0,09 -0,02 0,03 0,08 0,09 0,17 0,19
2009 0,23 0,26 0,27 0,19 0,16 0,07 0,01 -0,08 0,04 0,00 0,02 0,06
Keterangan : ( * ) = Tidak ada data
Perubahan kedudukan muka laut antar tahun cenderung bervariasi dimana ATPL negatif (dibawah level surface) tahun 2005 berlangsung dari periode MP I hingga akhir periode MT sedangan ATPL negatif (dibawah level surface) pada
57
tahun 2006 meliputi periode MT hingga awal periode MB. Berbeda dengan dua tahun sebelumnya, kedudukan muka laut untuk 2007, 2008 dan 2009 umumnya mengalami kenaikan dimana kejadian ATPL negatif (dibawah level surface) berlangsung hanya sesaat. Walaupun demikian, umumnya penurunan paras laut selalu terjadi pada periode MT dan hal sebaliknya terjadi pada periode MB. Sebaran rataan bulanan ATPL secara temporal pada Kw-IV berkisar antara -0,07 cm (Oktober 2006) hingga 0,22 cm (April 2008).
Umumnya
kejadian penurunan paras laut pada Kw-IV berlangsung sejak MP I dan secara gradual akan mencapai ATPL negatif (dibawah level surface) terendah pada periode MT dan kembali mengalami peningkatan pada akhir periode MT. Sebaran nilai ATPL secara temporal pada Kw-IV disajikan pada Tabel 25. Tabel 25 Rataan bulanan ATPL Kw - IV Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,03 0,08 0,08 0,02 0,02 -0,02 -0,01 -0,02 -0,03 -0,01 0,05 0,07
2006 0,12 * 0,15 0,13 * 0,06 0,01 * * -0,07 -0,01 -0,01
ATPL 2007 0,06 * 0,10 0,11 0,09 0,03 0,02 -0,03 -0,01 0,04 0,11 0,12
2008 0,20 0,21 0,20 0,22 0,14 0,10 0,06 0,04 0,07 0,08 0,09 0,17
2009 0,20 0,19 0,17 0,15 0,12 0,13 0,05 0,01 0,02 0,03 0,04 0,08
Keterangan : ( * ) = Tidak ada data
Sebaran nilai ATPL secara temporal pada Kw-V berkisar antara -0,09 cm (Oktober 2005) hingga 0,24 cm (Januari 2008 dan Januari 2009), yang secara umum disajikan pada Tabel 26. Penurunan kedudukan muka laut secara gradual sejak periode MP I hingga akhir periode MT, hanya pada tahun 2006 yang kejadian ATPL negatif (dibawah level surface) berlangsung hingga awal periode MB. Kedudukan muka laut pada tahun 2008 dan 2009 cenderung lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Interaksi dengan perairan sekitar terutama Laut Arafura berlangsung setiap saat sehingga dapat mempengaruhi karakeristik perairan pada Kw-V.
58
Tabel 26 Rataan bulanan ATPL Kw - V Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,05 0,10 0,08 0,02 -0,02 -0,04 -0,06 -0,05 -0,05 -0,02 0,05 0,08
2006 0,16 * 0,18 0,19 * 0,02 -0,03 * * -0,09 -0,05 -0,02
ATPL 2007 0,07 * 0,13 0,12 0,04 0,04 -0,02 -0,03 -0,02 0,05 0,10 0,17
2008 0,24 0,23 0,23 0,20 0,11 0,07 0,04 0,00 0,05 0,06 0,09 0,21
2009 0,24 0,22 0,19 0,15 0,10 0,10 0,03 -0,03 -0,01 0,00 0,00 0,11
Keterangan : ( * ) = Tidak ada data
Analisis sebaran dan distribusi rataan bulanan ATPL secara temporal pada Kw-VI berkisar antara -0,10 cm (Agustus 2005 dan Juli 2007) hingga 0,30 cm (Februari 2008), yang secara jelas disajikan pada Tabel 27. Periode MP I merupakan awal penurunan paras laut yang mana akan berlangsung secara gradual hingga mencapai nilai terendah pada akhir periode MT, hanya pada tahun 2006 yang tenggang waktu kejadian ATPL negatif (dibawah level surface) berlangsung cukup lama yaitu sejak periode MP I hingga awal MB (Desember). Tabel 27 Rataan bulanan ATPL Kw - VI Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
2005 0,15 0,12 0,11 0,02 -0,01 -0,03 -0,03 -0,10 -0,09 -0,01 0,05 0,14
2006 0,19 * 0,21 0,18 * 0,02 -0,07 * * -0,08 -0,01 -0,04
Keterangan : ( * ) = Tidak ada data
ATPL 2007 0,10 * 0,14 0,12 0,05 0,03 -0,10 -0,07 -0,05 0,07 0,14 0,17
2008 0,25 0,30 0,27 0,22 0,09 0,06 -0,01 -0,03 0,07 0,07 0,15 0,23
2009 0,29 0,26 0,26 0,19 0,13 0,06 -0,01 -0,06 -0,02 0,00 -0,01 0,15
59
Analisis sebaran rataan bulanan nilai ATPL lima tahunan menunjukan bahwa, umumnya kedudukan muka laut pada tahun 2005 cenderung lebih rendah dibandingkan tahun-tahun selanjutnya, sebaliknya kedudukan muka laut maksimal umumnya pada tahun 2008 dan 2009. Hal tersebut mengindikasikan adanya peningkatan paras laut setiap tahunnya yang diduga sebagai dampak dari pemanasan global. Fenomena ATPL positif (atas level surface) maupun ATPL negatif (bawah level surface) berhubungan erat dengan periodesasi angin muson, baik muson tenggara maupun muson barat laut. Muson tenggara mendorong massa air kearah barat melalui perairan Kepulauan Kei hingga Laut Banda sehingga terjadi surplus massa air dan penurunan paras laut di Laut Arafura. Sebaliknya muson barat laut didominasi aliran dari arah timur laut menuju selatan hingga barat daya termasuk perairan Kepulauan Kei hingga Laut Banda menyebabkan penumpukan massa air di sekitar Laut Arafura. e. Curah hujan Curah hujan menunjukan pola musiman dengan intensitas tertinggi pada periode MB dan sebaliknya MT diidentikan dengan musim kemarau walaupun tidak selamanya seragam untuk setiap tahunnya. Pola curahan rata-rata (mm) dan jumlah hari hujan (HH) dapat dilihat pada gambar 20.
Intensitas curahan
40 35 30 25 20 15 10
Gambar 20 Intensitas dan pola curah hujan
Jul
Okt
Jan…
Apr
Okt
Jul
Jan…
Rata2
Apr
Jul
HH
Okt
Jan…
Apr
Jul
Okt
Jan…
Apr
Jul
Okt
Jan…
0
Apr
5
60
Adanya penyimpangan curah hujan pada tahun 2006 dimana intensitas terkesan berlebihan hingga awal periode MT, demikian halnya pada tahun 2008 dimana rata-rata curah hujan tertinggi pada bulan September yang dalam hal ini merupakan cakupan periodesasi MT yang identik dengan musim kemarau. Pola curahan berhubungan dengan sistem angin muson dimana umumnya muson barat laut berpengaruh terhadap tingginya intensitas curah hujan. Menurut Anzhar dan Yarianto (2000), bahwa pada periode Oktober hingga April, ketika matahari berada di belahan bumi selatan, daerah tekanan rendah terjadi di atas Benua Australia dan tekanan tinggi di atas Benua Asia. Akibat perbedaan tekanan ini, maka terjadi aliran massa udara basah dari Asia ke Australia yang mempengaruhi udara di Indonesia, sehingga periode ini, sebagian besar wilayah Indonesia terjadi musim hujan. Sebaliknya, pada periode AprilOktober, dimana matahari berada di belahan bumi utara, massa udara dari Australia yang kering mempengaruhi sebagian besar wilayah Indonesia, yang menyebabkan terjadinya musim kemarau. Sistem angin muson menyebabkan terjadinya musim hujan dan panas yang pada gilirannya berdampak terhadap variasi tahunan salinitas perairan dimana perubahan musim selanjutnya menyebabkan perubahan sirkulasi massa air yang bersalinitas tinggi dengan massa air bersalinitas rendah. Interaksi antara sistem angin muson dengan faktor-faktor yang lain seperti run-off dari sungai, hujan evaporasi dan sirkulasi massa air dapat mengakibatkan distribusi salinitas menjadi sangat bervariasi (Wirtki, 1961). Analisis jumlah hari hujan dan rata-rata curah hujan menunjukan angka yang tidak terlalu bervariasi antar tahun. Rata-rata curah hujan tahunan dapat dilihat pada Tabel 28. Rata-rata curah hujan berkisar antara 0 mm di bulan Oktober tahun 2006 hingga 35,31 mm di bulan April tahun 2007, sedangkan untuk jumlah hari hujan berkisar antara 0 hari yang juga pada bulan dan tahun yang sama hingga 27 hari di bulan Januari tahun 2006. Tingginya intensitas curah hujan terkesan temporer sifatnya sebagai akibat penyimpangan iklim dan cuaca belakangan ini. Secara umum curah hujan melimpah dengan rata-rata 30 mm dan hari hujan rata-rata 18 hingga 24 hari pada periode musim barat dan peralihan I. Pengurangan jumlah
61
curah hujan terjadi pada pertengahan periode MT (Juni - Agustus) hingga bulan Oktober (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, 2004). Tabel 28 Rataan bulanan curah hujan (mm) dan jumlah hari hujan (HH) Tahun 2005
Pola curahan Rata-rata curah hujan (mm) Jumlah hari hujan (HH)
2006
Rata-rata curah hujan (mm) Jumlah hari hujan (HH)
2007
Rata-rata curah hujan (mm) Jumlah hari hujan (HH)
2008
Rata-rata curah hujan (mm) Jumlah hari hujan (HH)
2009
Rata-rata curah hujan (mm) Jumlah hari hujan (HH)
Maximal 30,79 26 26,94 27 35,31 23 27,82 26 27,15 22 -
Nilai Minimal 0,88 5 0 0 1,46 9 5,06 5,06 23,33 4
Bulan April Agustus Januari Agustus Maret Oktober Januari Oktober April September Maret September September Juli Desember Juli April September April September
Adanya fluktuasi jumlah curah hujan bulanan diakibatkan karena perbedaan pola angin yang terjadi di Indonesia.
Pada musim barat, angin
membawa banyak uap air yang berasal dari samudera pasifik sehingga menyebabkan curah hujan menjadi tinggi sedangkan pada Musim Timur angin membawa sedikit uap air, karena angin berasal dari Australia sehingga menyebabkan curah hujan rendah (Wrtky, 1961). 4.1.2
Variabilitas Secara Spasial
a. Sebaran angin Umumnya terdapat dua aliran udara yang secara periodik silih berganti mempengaruhi kondisi perairan sekitar Kepulauan Kei yaitu muson barat laut dan muson tenggara. Berdasarkan arah dan kecepatan angin itulah maka dapat
62
diklasifikasikan tipe musim yang terjadi dan mempengaruhi perairan sekitar Kepulauan Kei. Sebaran spasial bulanan arah angin berdasarkan data citra QuikSCAT periode Januari tahun 2005 hingga Desember tahun 2009 perairan sekitar Kepulauan Kei dapat dilihat pada daftar lampiran (Lampiran 6), sedangkan visualisasi antar musim dapat dilihat pada peta arah angin tahun 2009 seperti pada gambar 21.
1-2009
2-2009
3-2009
4-2009
Keterangan vektor (m/det) : :1 :2 :4 :6 :8 : 10
Gambar 20 Sebaran arah angin bulanan periode 2009.
5-2009
6-2009
Keterangan vektor (m/det) : :1 :2 :4 :6 :8 : 10
Gambar 21 Peta sebaran dan arah angin bulanan periode 2009.
63
8-2009
7-2009
9-2009
10-2009
12-2009
11-2009
Keterangan vektor (m/det) : :1 :2 :4 :6 :8 : 10
Gambar 21 Lanjutan peta sebaran dan arah angin bulanan periode 2009. Sistem muson barat laut identik dengan periode MB, dengan arah dari barat dan intensitas kecepatan relatif sedang serta dominan dari Laut Banda akan mengalami perubahan arah ke selatan ketika mencapai perairan sekitar
64
Kepulauan Kei. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga mencapai intensitas maksimal di bulan Januari hingga Februari. Angin akan mengalami perubahan arah pada periode MP I dengan arah dominan dari tenggara, dengan intensitas lemah khususnya di bagian utara Kepulauan Kei dan Aru hingga ke pesisir selatan daerah kepala burung Papua sedangkan kemantapan timuran agak jelas di Laut Arafura. Kondisi tersebut menandai perubahan musim dari MB ke MP I. Kemantapan dan ketegasan muson tenggara terlihat secara jelas sejak awal periode di bulan Mey dan kondisi tersebut tetap bertahan hingga akhir periode MT di bulan Oktober. Arah angin pada periode MP II dominan masih dari tenggara namun intensitasnya semakin berkurang.
Arah angin pada sisi timur daerah kajian
sejajar pesisir barat pulau Papua dari arah tenggara ke utara dan berbelok arah ke timur di utara Kepulauan Aru, sedangkan arah angin dibagian selatan daerah kajian dominan dari tenggara ke selatan juga akan mengalami perubahan arah yaitu ke Kepulauan Tanimbar dan Laut Flores. b.
Suhu Permukaan Laut (SPL) Umumnya distribusi spasial SPL pada keenam kwadran kajian relatif
seragam pada periode MB maupun MT, kecuali pada periode musim peralihan (MP I dan II) dimana, pola pergerakan angin cenderung tidak menentu serta berubah-ubah arah pergerakannya. Pergerakan massa air di Laut Banda dan Arafura saat muson barat laut (MB) didominasi dari arah timur laut ke selatan dan barat daya sehingga terjadi penumpukan massa air di sekitar Laut Arafura.
Sebaliknya angin muson
tenggara (MT) mendorong massa air ke arah barat melalui perairan Kepulauan Kei hingga Laut Banda sehingga terjadi penurunan paras laut di Laut Arafura. Menurut Longhurst (1993), pada periode muson tenggara arah angin secara kuat mendorong massa air menjauhi pantai sehingga lapisan termoklin terangkat menyebabkan SPL menurun. Sebaran nilai rataan bulanan SPL secara spasial berkisar antara 27,010 C hingga 31,500 C.
Umumnya puncak SPL tertinggi pada periode MB dan
sebaliknya pada periode MT, walaupun sering terjadi pergeseran dalam hal
65
ketepatan waktu antara puncak nilai SPL terendah dan tertinggi. Hal tersebut diduga sebagai akibat dari pergeseran atau penyimpangan cuaca yang terjadi akhir-akhir ini. Sebaran spasial SPL dan arus permukaan periode Januari 2005 hingga Desember 2010 dapat dilihat pada daftar lampiran (Lampiran 7), sedangkan contoh visualisasi (tahun 2009) dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22 Peta sebaran bulanan SPL dan arus periode 2009.
66
Gambar 22 Lanjutan peta sebaran bulanan SPL dan arus periode 2009. Aliran arus permukaan saat MB dari beberapa tempat namun cenderung didominasi dari arah barat dimana pada awal periode MB berbeda dengan pertengahan hingga akhir musim. Arus di perairan Laut Banda bagian utara bergerak ke timur sedangkan arus di bagian selatan terlihat lebih cepat dengan arah yang sama dan di lokasi yang sama pada periode MT, kekuatan arus lebih lemah dengan arah berbalik total ke barat. Walaupun arus permukaan masih
67
didominasi dari arah timur laut namun perairan sekitar kwadran kajian pada sisi barat mulai dipengaruhi oleh adanya aliran massa air dari Laut Banda dan Laut Flores di bulan Desember yang akan mendorong serta menggantikan massa air yang ada dengan karakter suhu yang cenderung tinggi. Muson barat laut dengan aliran kearah tenggara akan bertemu dengan aliran massa air dari arah timur laut tepat di perairan sekitar Kepulauan Kei (kwadran kajian II dan V) yang selanjutnya mengarah ke selatan. Pada fenomena MB, badan air Laut Banda terbagi menjadi 3 (tiga) bagian besar, di wilayah selatan kecepatan arus calm sampai 1 m/det. dan mengarah ke selatan, di bagian tengah massa air yang dipengaruhi Samudera Pasifik melalui selatan Papua yang memasuki Laut Banda bergerak dengan kecepatan 1 - 2 m/det mengarah ke barat dan berubah ke utara di pantai timur Sulawesi. Kondisi kecepatan dan arah arus sebagaimana digambarkan berpotensi terhadap kejadian fenomena upwelling, kondisi ini memberikan keuntungan bagi nelayan penangkap cakalang dan tuna. Umbalan (upwelling) banyak terdapat di sekitar Papua Barat sampai Laut Banda, adalah merupakan tanda-tanda perairan yang subur (Muripto dan Suparlin, 2009). Di lepas pantai Laut Arafura arus bergerak ke barat daya hingga ke arah barat setelah bertemu dengan massa air dari Laut Arafura bagian utara sehingga di beberapa lokasi terlihat terbentuk arus pusaran (eddys).
Gelombang permukaan laut sangat dominan ditentukan oleh angin
(lama bertiup, kekuatan atau kecepatan) disamping panjang
fetch. Arah
perambatan gelombang bergantung kepada arah angin bertiup. Sebaran nilai SPL secara spasial pada periode MB berkisar antara 27,900 C (Kw-V, bulan Januari 2010) hingga 31,500 (Kw-III, bulan Desember 2007). Sebaran SPL secara spasial homogen pada setiap kwadran kajian dan hanya pada Kw-V dan IV yang relatif rendah karena pengaruh aliran massa air dari utara dan timur laut.
Sebaran nilai SPL mengalami penurunan secara gradual pada
pertengahan hingga akhir periode MB akibat intensitas muson barat laut yang mencapai puncaknya pada pertengahan musim sehingga aliran massa air dari Laut Banda akan menyusup masuk mendominasi perairan sekitar Kepulauan Kei, khususnya di sekitar kwadran kajian sisi barat area kajian.
68
Pada musim barat massa air umumnya mengalir ke arah timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika musim timur berkembang dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan lndonesia bagian barat. Perbedaan suplai massa air tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kondisi perairan yang akhirnya mempengaruhi tinggi rendahnya produktivitas perairan (Wyrtki 1961). Sebaran nilai SPL secara spasial pada periode MP I khususnya diawal periode cenderung tinggi akibat limpasan dan pengaruh musim sebelumnya yaitu periode MB.
Menurut Nontji (2007), bahwa suhu dipermukaan biasanya
mengikuti pola musiman, contohnya yaitu pada musim pancaroba dimana angin bertiup lemah dan permukaan laut sangat tenang sehingga proses pemanasan yang kuat terjadi di permukaan, dengan demikian pada musim pancaroba suhu pada lapisan permukaan mencapai maksimum. Sedangkan Lukas and Lindstrom (1991), menyatakan bahwa perubahan suhu permukaan laut sangat tergantung pada termodinamika dilapisan permukaan tercampur. Selama periode MP I variasi SPL pada ke-enam kwadran kajian berkisar antara 28,320 C (Kw-V, bulan April 2008) hingga 31,170 C (Kw-II, bulan April 2010). Sebaran nilai SPL akan menurun pada akhir musim berjalan dimana penurunan nilai SPL mulai terjadi pada kwadran-kwadran kajian tertentu di bagian selatan wilayah kajian. Penurunan SPL pada periode MT dimulai sejak bulan Mey dengan sebaran nilai berkisar antara 27,030 C (Kw-V, bulan Agustus 2008) hingga 30,750 C (Kw-II, bulan Oktober 2010). Peranan muson tenggara mempengaruhi aliran permukaan sehingga massa air dengan karakter suhu rendah tersebut menyebar masuk ke perairan sekitar Kepulauan Kei dimana ketika SPL mencapai nilai minimum pada puncak periode MT maka sebaran SPL pada seluruh kwadran akan homogen. Selisih sebaran SPL antara periode MT dan periode MB perairan sekitar Kepulauan Kei sebesar 1,150 C, tercatat relatif dibandingkan dengan wilayah perairan lainnya.
kecil
Walaupun demikian namun
faktor musim sangat berperan terhadap pola distribusi SPL serta parameter lainnya di perairan setempat.
69
Kondisi suhu dan salinitas permukaan Laut Arafura seperti halnya di daerah lain di perairan Indonesia di pengaruhi oleh musim. Variasi suhu tahunan didaerah tropis umumnya kecil dan tidak melebihi 20 C, kecuali di beberapa lokasi seperti Laut Banda, Laut Timor, Laut Arafura dan Selatan Jawa dapat mencapai 3 - 40 C (Nurjaya, 2006), sedangkan menurut Sukresno dan Suniada (2007), bahwa rata-rata suhu permukaan tahun 2004 hingga 2006 di Laut Banda (30S - 80S dan 1240 E - 1320 E) selalu menurun pada bulan Mei dan mencapai titik terendahnya pada bulan Desember.
April yang dikenal sebagai musim
peralihan tidak menunjukan pola suhu permukaan yang jelas. Hal tersebut dapat dipahami karena laut di sekitar kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh angin musim (monsoon). Akibat perubahan angin musim, maka kondisi perairan juga akan mengalami perubahan. Faktor paling dominan penyebab variasi SPL di perairan Laut Arafura adalah perubahan sistem pergerakan angin musim. Distribusi SPL di sekitar pantai lebih dingin dibandingkan wilayah lepas pantai kecuali pada bulan Maret (Gaol, 2006). Sebaran nilai SPL secara spasial pada periode MP II berkisar antara 28,780 C (Kw-III, bulan November 2006) hingga 31,170 C Kw-I, bulan November 2010).
Pada periode MP II, sebagian kwadran pada arah timur
wilayah kajian masih didominasi massa air dengan karakter suhu rendah dan akan terjadi perubahan ketika intensitas muson barat laut semakin meningkat di awal periode MB. Aliran massa air dari arah barat dan barat laut terus mendesak mendominasi seluruh kwadran kajian sehingga sebaran SPL akan menjadi homogen di awal periode MB. Kisaran suhu tahunan di Laut Banda dan Arafura tidak terlalu besar, dimana terdapat selisih maksimum 70C, antara 240C dan 310C. Di sisi lain, ada variasi musiman yang jelas dimana suhu terendah ditemukan antara bulan Juni dan September dan tertinggi dari November hingga April sehingga dapat dibedakan antara musim hangat dan dingin. Amplitudo variasi meningkatkan ke arah selatan dan timur.
Perbandingan antara suhu mingguan menunjukkan
variabilitas yang cukup besar dimana keragaman tersebut berhubungan dengan
70
dua faktor yaitu lamanya periode musim panas dan dingin serta tingkat suhu maksimum dan minimum (Boely et., al 1990). c. Klorofil-a
Sebaran klorofil-a secara spasial berhubungan dengan angin muson sehingga menyebabkan adanya pola musiman.
Sebaran klorofil-a dan arus
permukaan periode Januari 2005 hingga Desember 2010 secara spasial dapat dilihat pada daftar lampiran (Lampiran 8), sedangkan contoh visualisasi dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23 Peta sebaran rataan bulanan klorofil-a dan arus periode 2009.
71
Gambar 23 Lanjutan peta sebaran rataan bulanan klorofil-a dan arus periode 2009. Konsentrasi klorofil-a periode MT cenderung homogen baik pada setiap kwadran maupun area kajian secara keseluruhan dibandingkan periode MB, MP I dan MP II. Konsentrasi klorofil-a secara spasial berkisar antara 0,09 mg/m3 hingga 2,00 mg/m3, untuk periode MB dengan kisaran 0,10 mg/m3 (Kw-IV, bulan Desember 2005) hingga 1,13 mg/m3 (Kw-III, bulan Februari 2007) dimana konsentrasi terendah umumnya di sisi barat area kajian. Konsentrasi klorofil-a periode MP I belum menunjukan peningkatan signifikan karena arah angin dan
72
distribusi massa air yang tidak menentu serta didominasi aliran timur laut dimana konsentrasi klorofil berkisar antara 0,1 mg/m3 (Kw-IV, bulan April 20010) hingga 1,21 mg/m3 (Kw-VI, bulan April 2008). Konsentrasi klorofil-a periode MT baru mengalami peningkatan sekaligus penyebaran dari arah timur ke barat dan barat laut di bulan Juni hingga bulan September dengan kisaran antara 0,09 mg/m3 (Kw-I, bulan Mey 2009) hingga 2,00 mg/m3 (Kw-VI, bulan Mey 2007).
Pengaruh muson tenggara tetap
berlangsung walaupun semakin lemah intensitasnya.
Konsentrasi klorofil-a
berkisar antara 0,10 mg/m3 (Kw-IV, bulan November 2010) hingga 1,0 mg/m3 (Kw-II, bulan November 2005). Konsentrasi klorofil-a di perairan Laut Arafura pada saat angin muson tenggara berhembus, lebih tinggi dibandingkan muson barat laut (Gaol, 2006). Perubahan arah angin akan terjadi di awal MB, hembusan didominasi baratan namun aliran arus permukaan masih didominasi timur laut dan utara sebagai sisa pengaruh muson tenggara. Perubahan kondisi tersebut baru pada bulan Januari hingga akhir dari periodesasi MB di bulan Maret. Klorofil-a cenderung terkonsentrasi pada sisi timur area kajian, khususnya pada Kw-VI dan III dimana hal tersebut diduga karena adanya masukan zat hara lewat limpasan sirkulasi massa air dari perairan sekitar sehingga selalu terjadi penyegaran yang dan peningkatan konsentrasi klorofil-a pada kedua kwadran tersebut. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a secara spasial pada area kajian menunjukan adanya perbedaan signifikan antara konsentrasi klorofil-a di Laut Arafura, perairan sekitar Kepulauan Kei dan Laut Banda. Di Laut Arafura selalu terjadi penyegaran dan pengayaan perairan lewat masuknya aliran massa air dari arah selatan dan tenggara oleh dorongan muson tenggara. Aliran massa air tersebut akan terus berkembang dan menyebar hingga ke perairan sekitar Kepulauan Kei dan konsentrasinya akan menurun sesuai periodesasi muson tenggara. Dengan demikian maka konsentrasi klorofil-a di Laut Banda relatif rendah dibanding dengan perairan sekitar Kepulauan Kei maupun Laut Arafura walaupun menunjukan pola yang seragam.
73
Konsentrasi klorofil-a di sekitar kepulauan Kei lebih dipengaruhi kondisi klorofil-a di Laut Arafura dibandingkan dengan Laut Banda, hal ini terlihat dari pola konsentrasi klorofil-a di perairan sekitar Kepulauan Kei yang mengikuti pola di Laut Arafura.
Peningkatan konsentrasi klorofil-a di Laut Arafura
mengikuti pola angin muson sebagaimana yang dihipotesakan Moore et al., (2003) pada Gambar 24 yang menggambarkan konsentrasi klorofil-a di Laut Arafura pada berbagai kedalaman mengalami peningkatan yang signifikan dari barat ke timur. Pengaruh kondisi konsentrasi klorofil-a Laut Arafura juga hingga ke Laut Banda.
Gambar 24 (a) Rata-rata bulanan konsentrasi klorofil-a (mg/m3) di Laut Arafura, sekitar Kepulauan Kei dan Laut Banda (2005-2010), (b) Hipotesis distribusi konsentrasi klorofil dari di laut Banda (Moore et al., 2005).
d. Anomali Tinggi Paras Laut (ATPL) Sebaran rataan bulanan ATPL secara spasial berhubungan dengan distribusi massa air akibat intensitas dari angin muson. Tingginya intensitas kecepatan muson tidak sekaligus dapat berpengaruh terhadap perubahan kedudukan muka laut setempat disaat itu juga namun perubahan terjadi berdasarkan skala waktu.
74
Arah arus permukaan pada awal periode MB didominasi arah timur laut ke selatan dan barat daya sehingga terjadi devisit pada sekitar utara area kajian yang berpotensi terhadap terjadinya ATPL negatif (dibawah level surface) walaupun dalam skala dan intensitas minimal. Aliran arus dari arah timur laut dan utara serta barat laut akan bertemu di sekitar Kw-II (sekitar Kepulauan Kei) serta Kw-V dan mengarah ke selatan serta barat daya di bulan Februari bersamaan dengan ketegasan aliran baratan. Intensitas aliran baratan akan mengakibatkan terjadinya transport massa air kearah timur yang umumnya mengalami pembelokan arah di sekitar Kw-II dan V ke arah selatan dan barat daya. Kejadian tersebut menyebabkan terjadinya ATPL negatif (dibawah level surface) di sisi barat bagian selatan area kajian tepatnya di Kw-IV dan semakin menyebar kearah selatan di bulan Maret, sebalinya pada sisi timur area kajian terjadi ATPL positif (di atas level surface). Aliran arus permukaan di awal MP I masih dengan pola sebelumnya namun ATPL negatif (di bawah level surface) semakin menyebar ke arah timur timur dan utara area kajian. Kecepatan angin saat itu di utara Kepulauan Kei dan Aru mengalami penurunan intensitas dengan kecepatan minimal. ATPL negatif (di bawah level surface) pada periode MP I dengan penyebaran yang cukup luas namun tidak bertahan lama karena kedudukan muka laut akan kembali normal pada awal MT. Sistem angin muson tenggara semakin intensif dan mengakibatkan terjadinya distribusi dan penumpukan massa air di sisi barat area kajian sehingga ATPL positif (di atas level surface) meliputi sisi barat area kajian sedangkan ATPL negatif (di bawah level surface) dengan skala minimal terjadi di sisi timur area kajian hingga bulan Agustus dan semakin luas penyebarannya di bulan September. Sebaran rataan bulanan ATPL periode 2005 hingga 2009 secara spasial dapat dilihat pada daftar lampiran (Lampiran 9), sedangkan contoh visualisasi ATPL tahun 2009 dapat dilihat pada gambar (Gambar 25). Umumnya intensitas ATPL negatif (di bawah level surface) semakin jelas pada periode MP II walaupun pengaruh muson telah berkurang. Hal tersebut disebabkan karena proses distribusi massa air berlangsung berdasarkan skala waktu sehingga intensitas kecepatan angin tidak secara langsung dapat merubah
75
posisi dan kedudukan permukaan laut setempat pada waktu yang bersamaan, namun devisit massa air akan baru terjadi beberapa waktu kemudian. Analisis perbandingan perubahan kedudukan muka laut antara perairan sekitar Kepulauan Kei dan Laut Banda serta Laut Arafura menunjukan pola yang cenderung sama namun terdapat perbedaan dalam hal tinggi paras laut. Kedudukan muka laut di Laut Arafura pada periode MT relatif lebih rendah dari perairan Kepulauan Kei dan Laut Banda.
Hal ini mendukung terjadinya
pergerakan massa air dari Laut Arafura menuju Laut Banda. Sebaliknya pada periode MB, ketika terjadi perubahan kedudukan muka laut maka ATPL Laut Arafura jauh lebih tinggi dibandingkan perairan Kepulauan Kei dan Laut Banda.
Gambar 25 Peta contur bulanan ATPL dan arus periode 2009.
76
Gambar 25 Lanjutan peta contur bulanan ATPL dan arus periode 2009. Walaupun ada kecenderungan kesamaan pola perubahan kedudukan muka laut antara ke-tiga lokasi namun perubahan kedudukan muka laut sekitar Kepulauan Kei dan Laut Banda dipengaruhi oleh Laut Arafura. Pola perubahan kedudukan muka laut serta perbandingan ATPL perairan sekitar Kepulauan Kei dengan Laut Banda serta Laut Arafura dapat di lihat pada Gambar 26.
77
Gambar 26 Pola ATPL bulanan Laut Banda, Kepulauan Kei dan Laut Arafura 4.2 Distribusi Parameter Oseanografi in-situ Nilai dari masing-masing parameter hasil pengukuran lapangan dapat dilihat pada Tabel 29 dimana, hasil analisis menunjukan adanya perbedaan tingkat kecerahan serta kedalaman kompensasi dari masing-masing stasiun yang disebabkan oleh faktor turbiditas maupun laju penetrasi matahari kedalam kolom perairan. Kecerahan perairan bervariasi antara 20 hingga 32 meter sedangkan kedalaman kompensasi berkisar antara 54,16 hingga 86,98 meter dimana, semakin tinggi tingkat kecerahannya maka semakin tinggi pula kedalaman kompensasi perairan setempat. Stasiun pengamatan ke-I merupakan stasiun pengamatan dengan tingkat kecerahan serta kedalaman kompensasi tertinggi diantara kelima stasiun pengamatan lainnya, sebaliknya tingkat kecerahan serta kedalaman kompensasi terendah pada stasiun IV. Hal tersebut disebabkan karena stasiun I merupakan perairan oseanik yang tidak dipengaruhi oleh muatan padatan tersuspensi dari daratan yang dapat mengakibatkan kekeruhan perairan sebaliknya stasiun pengamatan IV serta stasiun lainnya merupakan perairan dangkal yang cenderung mendapat sumbangan material dari daratan (run-of) yang berdampak terhadap tingkat kecerahan.
78
Tabel 29 Distribusi data oseanografi in-situ St Kecerahan I
32
Kedalaman Stratifikasi Kompensasi 86,98
Permukaan
Parameter hidrology DO
t0
12,9 26 31 1,45 0,24
Pertengahan 11,3 26 32 2,19 0,03 II
III
25
26
67,8
71,61
Kompensasi 9,6
25 32 1,79 2,65
Permukaan
8,1
28 28 1,37 0,65
Pertengahan 8,1
27 28 0,97 1,09
Kompensasi 8,0
25 28 0,94 1,53
Permukaan
10,5 28 30 0,46 0,21
Pertengahan 10,4 26 30 0,72 0,92 Kompensasi 10,2 25 31 0,77 0,82 IV
21
56,81
Permukaan
13,8 28 30 1,92 1,66
Pertengahan 13,5 27 30 1,48 0,24 Kompensasi 11,2 24 30 1,29 0,78 V
24
64,81
Permukaan
14.7 30 30 1,55 0,24
Pertengahan 10,9 27 32 1,55 0,92 Kompensasi 10 VI
20
54,16
Permukaan
26 32 1,68 2,14
11,5 25 30 1,13 0,44
Pertengahan 11,4 25 28 0,84 0,67 Kompensasi 10
Koordinat
‰ Arus Chl-a
25 28 0,79 0,41
5° 10' 45'' LS & 132° 10' 10.8'' BT 5°2 5' 15.6'' LS & 132° 55' 35.8'' BT 5° 50' 42.8'' LS & 132° 27' 12.6'' BT 5° 55' 15.9'' LS & 132° 49' 16'' BT 5° 33' 39'' LS & 132° 31' 38.9'' BT 5° 55' 15.9'' LS & 132° 49' 16.1'' BT
Kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu.
Kecerahan
merupakan faktor penting bagi proses fotosintesa dan produksi primer dalam suatu perairan. Tingkat kecerahan berhubungan dengan presentasi penyinaran matahari serta pertambahan kedalaman perairan sebagaimana yang dijelaskan oleh Sukandarrumidi (2009), bahwa penyinaran cahaya matahari akan berkurang dengan cepat sesuai dengan makin tingginya kedalaman lautan. Adanya bahanbahan yang melayang-layang (suspended matter) dan tingginya nilai kekeruhan di perairan dekat pantai, atau di muara sungai, penetrasi cahaya akan berkurang di tempat ini. Pola sebaran nilai oksigen terlarut (DO) per kedalaman antar stasiun pengamatan cenderung seragam. Umumnya sebaran nilai DO akan menurun
79
sebanding dengan pertambahan kedalaman perairan dimana hal tersebut secara jelas dapat dilihat pada Gambar 27. Proses penurunan oksigen dalam air disebabkan oleh proses kimia, fisika dan biologi yaitu proses respirasi baik oleh hewan maupun tanaman, proses penguraian (dekomposisi) bahan organik dan proses penguapan. Kelarutan oksigen ke dalam air terutama dipengaruhi oleh faktor suhu, oleh sebab itu, kelarutan gas oksigen pada suhu rendah relatif lebih tinggi jika dibandingkan pada suhu tinggi. Distribusi oksigen secara vertikal dipengaruhi oleh gerakan air, proses kehidupan di laut dan proses kimia (Sutika, 1989). Kisaran nilai DO antara 7,91 hingga 14,7 mg/l masing-masing pada lapisan kompensasi stasiun II dan lapisan permukaan stasiun IV. Sebaran nilai DO terendah serta relatif seragam adalah pada stasiun II (7,91 hingga 8,1 mg/l), disamping stasiun III (tiga). Sebaliknya variasi sebaran nilai DO yang cenderung menyolok adalah pada stasiun I (9.51 - 12.85 mg/l), VI (10 - 14.7 mg/l) dan VI (11.24 - 13.83 mg/l). Variasi sebaran nilai DO antar stasiun pengamatan maupun per stratifikasi lapisan perairan menunjukan ketidakseragaman percampuran massa air. Kadar oksigen terlarut bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada pencampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air. Interaksi antara atmosfer dengan permukaan laut (sea air circulation) juga sebagai pemicu tingginya konsentrasi DO pada lapisan permukaan. Oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas.
Pada lapisan
permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman maka akan terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik (Odum, 1971).
80
DO (mg/l)
15 14 13 12 11 10 9 8 7 I
II
III
IV
Surface
V
Mid
VI CD
Gambar 27 Konsentrasi oksigen terlarut (DO) in-situ Suhu in-situ berkisar antara 240 C (Stasiun VI lapisan kompensasi) hingga 300 C (Stasiun V, lapisan permukaan).
Sebaran suhu antar stasiun
pengamatan relatif seragam, umumnya suhu mengalami penurunan sebanding pertambahan kedalaman. Sebaran suhu stasiun I dan stasiun IV relatif rendah serta homogen, yang disebabkan faktor penetrasi matahari dalam hal transfer energi serta proses percampuran masa air yang tidak merata. Pola sebaran suhu perairan berdasarkan data in-situ dapat dilihat pada Gambar 28. Diperairan lepas pantai yang dalam, angin berperan dalam percampuran lapisan atas hingga membentuk lapisan homogen sampai kira-kira setebal 50 - 70 meter atau lebih tergantung dari intensitas pengadukan. Suhu akan homogen pada lapisan dengan salinitas homogen (Nontji, 2007). Sebaran suhu (0C)
30 29 28 27 26 25 24 I
II
III
Surface
Gambar 28 Sebaran suhu perairan in-situ
IV Mid
V CD
VI
81
Kecepatan arus berdasarkan ketiga lapisan perairan untuk keselurahan stasiun pengamatan berkisar antara 0,46 cm/det (St III, lapisan permukaan) hingga 2,19 cm/det (St I, lapisan permukaan).
Nilai kecepatan arus in-situ
disajikan pada Gambar 29, yang menunjukan pola yang berbeda antar stasiun pengamatan. Perbedaan tingkat kecepatan arus cenderung pada lapisan permukaan dan kedalaman kompensasi dibandingkan dengan lapisan pertengahan yang relatif stabil.
Kecepatan arus pada stasiun I (satu) relatif tinggi tinggi karena
merupakan perairan terbuka disamping pengaruh faktor yang saat itu sedang berlangsung Periode MP I yang mengakibatkan tidak menentunya arah angin. Berbeda dengan stasiun pengamatan lainnya yang adalah perairan pesisir serta terlindung oleh bentangan pulau sehingga kecepatan arus tidak signifikan. Ciri dan karakter arus pada setiap stasiun umumnya disebabkan oleh adanya gerakan dorongan angin dimana Gross (1990), menyatakan bahwa angin adalah faktor yang membangkitkan arus dan arus yang ditimbulkan oleh angin mempunyai kecepatan yang berbeda menurut kedalaman. Kecepatan arus yang dibangkitkan oleh angin memiliki perubahan yang kecil seiring pertambahan kedalaman hingga tidak berpengaruh sama sekali sedangkan menurut Supangat dan Susanna (2003), semakin cepat kecepatan angin, semakin besar gaya gesekan yang bekerja pada permukaan laut, sehingga semakin besar arus permukaan. Dalam proses gesekan antara angin dengan permukaan laut dapat menghasilkan gerakan air yaitu pergerakan air laminar dan pergerakan air turbulen.
Kecptn arus (sm/det)
2.5 2 1.5 1 0.5 0 I
II Surface
Gambar 29 Kecepatan arus in-situ
III
IV Mid
V CD
VI
82
Pola sebaran nilai salinitas antar stasiun pengamatan cenderung berbeda, namun umunya nilai salitas pada kedalaman kompensasi relatif tinggi dibandingkan kapisan diatasnya.
Sebaran nilai salinitas hasil pengukuran
lapangan seperti disajikan pada Gambar 30, dengan kisaran nilai antara 28 hingga 33‰. Salinitas tertinggi pada stasiun I (satu), berkisar antara 31 hingga 33‰ dan terendah pada beberapa stasiun lainnya. Rendahnya sebaran nilai salinitas pada stasiun pengamatan II (dua) dan IV (empat) diduga selain karena ada masukan aliran air tawar dari beberapa lokasi di pesisir barat Pulau Kei besar, juga limpasan massa air dari Laut Aru yang bersalinitas rendah karena waktu pengamatan lapangan bertepatan dengan awal periode MT (bulan Mey). Konsentrasi salinitas tidak terlepas dari pengaruh proses evaporasi dimana garam-garam akan mengendap atau terkonsentrasi. Salinitas akan tinggi pada daerah dengan intensitas penguapan yang tinggi sebaliknya akan rendah pada daerah yang rendah tingkat penguapannya akibat tingginya curah hujan lokal maupun masuknya aliran air tawar ke laut. Sebaran salinitas
perairan baik secara vertikal maupun horisontal
berhubungan dengan arus yang membawa massa air, sedangkan sebaran vertikal umumnya disebabkan oleh tiupan angin yang mengakibatkan terjadinya gerakan massa air secara vertikal (Wyrtki, 1961).
Sebaran salinitas (‰)
33 32 31 30 29 28 27 I
II Surface
III
IV Mid
V
VI
CD
Gambar 30 Sebaran salinitas in-situ. Nilai konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0,03 hingga 2,65 mg/l serta variatif
berdasarkan lapisan kedalaman perairan maupun antara stasiun
83
pengamatan walaupun pola sebaran cenderung seragam. Umumnya konsentrasi klorofil-a tertinggi pada kedalaman kompensasi (Stasiun I, II dan V) dimana, khusus pada kedalaman kompensasi stasiun I (satu) yang merupakan perairan terbuka menunjukan perbedaan nilai konsentrasi yang sangat signifikan terhadap lapisan di atasnya. Sebaran nilai konsentrasi klorofil-a berdasarkan data in-situ seperti yang disajikan pada Gambar 31.
Konsentrasi klor-a (mg/l)
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 I
II
III
Surface
IV Mid
V
VI
CD
Gambar 31 Konsentrasi klorofil-a in-situ. Konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir relatif tinggi dibandingkan daerah laut lepas, karena adanya pasokan nutrient melalui run-off sungai dari
daratan (Nybakken, 1988).
Sedangkan menurut Nontji (2007),
bahwa pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi.
Keadaan ini disebabkan oleh
tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air laut dalam ke permukaan yang memiliki kandungan nutrien dan salinitas yang lebih tinggi serta suhu lebih rendah. Hasil penelitian sebelumnya oleh Sediadi et al. (1991) di sekitar perairan kepulauan Kei, Aru dan Tanimbar, bahwa konsentrasi salinitas berkisar antara 32,24 hingga 34,33 ‰; suhu berkisar antara 22,200 C hingga 28,970 C; konsentrasi DO berkisar antara 2,47 hingga 4,39 ml/l serta kandungan klorofil-a bervariasi baik antar stasiun maupun kedalaman yang berkisar antara 0,26 hingga 1,69 ml/l dengan rata-rata tertinggi pada 060 LS dan 1340 BT yaitu 1,47 mg/m3. Penelitian lainnya oleh Moore et al. ( 2003), mendapatkan bahwa konsentrasi
84
klorofil-a tertinggi secara vertikal baik di Laut Banda maupun perairan Kepulauan Kei berada pada lapisan 40 hingga 70 meter. Hasil analisis dan kajian terhadap parameter oseanografi berdasarkan data citra satelit maupun data pengukuran lapangan (in-situ), termasuk hasil penelitian sebelumnya pada sekitar area kajian pada dasarnya tidak menunjukan perbedaan yang signifikan.
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pergerakan rata-rata bulanan arah angin maka, terdapat empat tipe musim yaitu MB (Desember - Maret), MP I (April), MT (Mei - Oktober) dan MP II (November). Umumnya perubahan arah angin berkisar 860 hingga 3270 dengan intensitas kecepatan yang variatif antar musim yaitu dari selang 0,1 - 2,5 m/det (24,3 %) hingga ≥ 10,0 m/det (2,8 %). Perubahan arah angin periode MB berkisar 860 hingga 1030, dengan intensitas kecepatan pada selang 0,1 - 2,5 m/det (24,3%) hingga 7,6 - 10,00 m/det (21,2%) serta kecepatan dominan pada selang 2,6 - 5,0 m/det (74,2%) di awal dan akhir musim serta 5,1 - 7,5 m/det (82,8%) di pertengahan musim. Arah angin dominan dari arah barat diselingi barat laut, barat daya, tenggara dan timur dengan intensitas yang sangat lemah. Pada periode MT, perubahan arah angin mencapai 3270 dengan intensitas kecepatan pada selang 0,1 - 2,5 m/det (22,9%) hingga 7,5 - 10,00 m/det (0,4%), sedangkan kecepatan angin dominan pada selang 2,6 - 5,0 m/det (52,1%). Arah angin masih dari tenggara dengan selingan yang tidak beraturan. Perubahan arah angin periode MT berkisar antara 3070 hingga 3140 dengan intensitas kecepatan angin pada selang 0,1 - 2,5 m/det (3,0%) hingga ≥ 10,00 m/det (2,8%). Kecepatan angin dominan pada selang 5,1 - 7,5 m/det (49 72,7%) dimana arah angin dominan dari tenggara diselingi arah timur dengan intensitas sedang namun presentase minimum. Sebaran angin periode MP II masih dari tenggara dengan selingan yang cenderung tidak beraturan dimana perubahan arah angin mencapai 3110 sedangkan intensitas kecepatan angin pada selang 0,1 - 2,5 m/det (60,2%) hingga 7,6 - 10,00 m/det (1,3%), dengan intensitas kecepatan dominan pada selang 0,1 - 2,5 m/det (60,2%). Nilai SPL tertinggi pada periode MB dengan rata-rata 30,460 C. Sebaliknya terendah pada MT dengan rata-rata 29,320 C. Rata-rata perbedaan SPL antara MB dengan MT yaitu 1,150 C. Kisaran konsentrasi klorofil-a adalah 0,09 mg/m3 - 2,00 mg/m3, konsentrasi tertinggi pada MT dengan rata-rata 0,722 mg/m3 sedangkan sebaliknya di MB dengan rata-rata 0,50 mg/m3. Rata-rata perbedaan konsentrasi klorofil-a antara MB dan MT sebesar 0,21 mg/m3. Periode
86
MT juga identik dengan penurunan TPL dimana rata-rata ATPL saat MT adalah 0.01 cm sedangkan saat MB adalah 0.18 cm. Periode MT merupakan periode penyuburan dimana peningkatan konsentrasi klorofil-a pada bagian barat wilayah kajian mencapai 1.18 mg/m3 di bulan Agustus. Penyuburan perairan ini terjadi akibat dari angin tenggara mendorong massa air Laut Arafura memasuki perairan Kepulauan Kei dan sekitarnya. Secara spasial kondisi perairan Kei dan sekitarnya lebih dipengaruhi perairan Arafura dibandingkan dengan Laut Banda sehingga bagian sisi timur area kajian relatif subur sepanjang tahun.
5.2 Saran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan khususnya pengukuran in-situ yang lebih komprehensif serta didukung dengan data citra yang lebih representatif baik secara spasial maupun temporal sehingga dapat diketahui dengan pasti proses dan faktor-faktor yang mempengaruhi variasi kondisi oseanografi di perairan Kepulauan Kei dan sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA Amri K. 2002. Hubungan Kondisi Oseanografi (Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Arus) Dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil di Perairan Selat Sunda. Thesis (Tidak dipublikasikan). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Anzhar dan Yarianto. 2000. Pola Angin Laut dan Angin Darat di Daerah Ujung Lemahabang, Semenanjung Muria. Jurnal Pengembangan Energi Nuklir., 2(4): 19 -206. Benada JR. 1997. PODAAC MGDR-B (TOPEX/Poseidon) User’s Handbook. Colorado: NASA Jet Propulsion Laboratory Bishop LP. 1983. Marine Pollution and It’s Control. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Boely JP., Gastellu-Etchegorry., Potier and Nurhakim S. 1990. Seasonal and Interannual Variations of The Sea Surface Temperature (SST) In The Banda and Arafura Sea Area. Netherlands Journal of Sea Res., 25 (4): 425-429. Brown JA., Colling D., Park J., Phillips D., Rothery J., Wrigt. 1989. Ocean Chemistry and Deep Sea Sediments. Miami: Open University. Campbell JW. 1999. Ocean Color Algorithms: Case 1 Waters. Lecture Note. Bangkok: Asian Institut of Technology. Chelton DB., Ries J., Haines BJ., Fu LL., and Callahan PS. 2001. in Satellite Altimetry and Earth Science. (Ed. Fu and Cazenave) San Diago: Academic Press. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku. 2004. Rencana Tata Ruang Laut Kabupaten Maluku Tenggara 2004. Ambon: DKP Provinsi Maluku. Effendy H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisisus. Fitriah N. 2007. Aplikasi Data Indraja Multispketral Dalam Estimasi Kondisi Perairan Dan Hubungannya Dengan Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Di Pelabuhan Ratu. Proceeding Geo-Marine Res. Forum. Gabric AJ dan Parslow J. 1989. Effect of Physical Factor on the Vertical Distribution of Phytoplankton Eutrophyc Coastal Water. Aust. J. Mar. Freshwater Res., 189.40. 559-569. Gaol JL. 2003. Kajian Karakter Oseanografi Samudera Hindia Bagian Timur Dengan Menggunakan Multi Sensor Citra Satelit Dan Hubungannya Dengan Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obessus). Disertasi
88
(Tidak dipublikasikan). Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Gaol JL. 2006. Kondisi Lingkungan Laut Arafura dari Hasil Kajian Multi Sensor Satelit. In Monintja, D. R, Sularso, A, Sondita, M. F. A dan Purbayanto, A (ed). Presfektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan tangkap Laut Arafura. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, IPB Bogor. Gordon AL. 1996. Interocean Exchange of Thermocline Waters. J. Phys. Oceanogr. 9. 50,37-50,46. Gross M. 1990. Oceanography. 6th edition. New Jersey : Prentice-Hall.Inc. Halim A. 2005. Distribusi Parameter Oseanografi Dan Kaitannya Dengan Hasil Tangkapan Ikan Cakalang dan Madidihang. Thesis (tidak dipublikasi) Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hela I. Laevastu T. 1970. Fisheries Oceanography New Ocean Enviromental Services. London: Fishing News Books Ltd. Hendiarti N. 2008. Hubungan Antara Keberadaan Ikan Pelagis Dengan Fenomena Osenaografi Dan Perubahan Iklim Musiman Berdasarkan analsis Data Penginderaan Jauh. Jurnal Globe vol. 10 No. 1, Juni 2008. http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php (Juli 2010) Hovis WA, Clark DK, Anderson F, Austin RW, Wilson WH, Baker ET, Ball D, Gordon HR, Mueller JL, El-Sayed SZ, Sturm B, Wringley RC and Yentsch CS. 1980. Nimbus-7 Coastal Zone Color Scanner : System Description And Initial Imagery. Science, 210 : 60-63. Janssen LFL and Huurneman CG. 2001. Principles of Remote Sensing. ITC. Educational Texbooks Series. ITC, Enshede, Netherlands. [JARS] Japan Association on Remote Sensing. 1993. Remote Sensing Note. Nohon Printing Co. L. td. Tokyo. Kinkade C, Marra J, Langdon C, Knudson C and Illahude AG. 1997. Monsoonal Differences in Phytoplankton Biomass and Production In The Indonesian Seas: Tracing Vertical Mixing Using Temperature. J. Deep-Sea Res., 144 (4): 581 - 592. Lilesand TM. dan Kiefer RW. 1987. Remote Sensing and Image Interpretation. Second Edition. Longhurst A. 1993. Seasonal Cooling and Blooming In Tropical Ocean. J. DeepSea Res., I 40:2145 - 2165. Lukas R. and Lindstrom E. 1991. The Mixed Layer of The Western Equatorial Pacific Ocean. J. Geophys. Res., 96: 3343 – 3357. Maccherone. B. 2005. About MODIS. http://modis. Nasa.gov/ [4 Mei 2010].
89
Mattjik AA dan Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Mc Clain C and G. Fieldman. 2004. MODIS/Aqua Evaluation. NASA Ocean color Reasearch Team meeting. April 14-16, 2004, Washington, DC. Retrived October 3. 2005. 03 : 40 PM. From The World Wide Web : http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/DOCS/Science. Team OCRT_April 2004/mcclain_Aqua_ocrt04.pdf. Monintja DR. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap: Perlu Diwujudkan Di Laut Arafura. In Monintja DR, Sularso A, Sondita MF dan Purbayanto A (ed). Presfektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan tangkap Laut Arafura. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB Bogor. Moore II TS, Marra J and Alkatiri A. 2003. Response of The Banda Sea To The Southeast Monsoon. Marine Ecology Progress Series, 261: 41- 49. Muripto I dan A. Suparlin. 2009. Dinamika Massa Air Musim Timur Di Daerah Tangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Laut Banda Bagian Barat. Makalah Ilmiah. Pertemuan Ilmiah Tahunan ISOI Bogor 2009 Nontji A. 1993. Laut Nusantara, Penerbit Djambatan. Jakarta. Nontji A. 2007. Laut Nusantara, Edisi Revisi. Penerbit Djambatan. Jakarta. Numberi F. 2009. Perubahan Iklim; Implikasinya Terhadap Kehidupan Di Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penerbit Fortuna Prima Makmur. Jakarta. 152 hal. Nurmaulia SL, Prijatna K, Darmawan D dan Sarsito DA. 2005. Studi Awal Perubahan Kedudukan Muka Laut (Sea Level Change) Di Perairan Indonesia Berdasarkan Data Satelit Altimetri Topex (1992-2002). Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 11 No.2, Des 2005. Nurjaya IW. 2006. Kondisi Fisik Oseanografi Laut Arafura In Monintja DR, Sularso A, Sondita MF dan Purbayanto A (ed). Presfektif Pengelolaan Sumberdaya Perikanan tangkap Laut Arafura. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan IPB Bogor. Nyabakken JW. 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologi. Ediman M et al., penerjemah. Gramedia: Jakarta. Terjemahan dari: Marine Biology: An Ecological Approach. Odum E. P. 1971. Fundamentals of Ecology, 3rd edition. Philadelphia: 546 hal. Pathfinder K and Podesta G. 2001. Overview of The NOAA-AVHRR Pathfinder Sea Surface Teperature Algorithm and Mutchup Databased. J. Geo. Res. 106:91,79 - 91,97.
90
Prasasti I, Trisakti B dan Mardiayana U, 2005. Sensivitas Beberapa Algoritma dan Kanal-Kanal Data Modis Untuk Deteksi Sebaran Klorofil. Prawirowardoyo S. 1996. Meteorologi. Bandung: Penerbit ITB. Qu T, Du Y, Strachan J, Meyers G and Slingi J. 2005. Sea Surface Temperature and Its Variability in The Indonesian Region. J. Oceanography. 18:50-61. Radisho. 1997. Kondisi Umum Parameter Fisik, Kimia dan Biologi (Benthos) di Perairan Teluk Lampung Pada Bulan Februari 1996. Skripsi (Tidak dipublikasikan) Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Rahardjo S dan Sanusi SH. 1982. Oseanografi Perikanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Jakarta: Penerbit CV. Petrajaya. Robinson IS. 1985. Satellite Oceanography an Introduction For Oceanographer and Remote Sensing Scientist. John Wiley and Son. Roos DA. 1970. Introduction to Oceanography. New York: Meredith Corp. Rudiastuti AW, 2008. Studi Sebaran Klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut (SPL) Serta Hubungannya Dengan Distribusi Kapal Penangkap Ikan Melalui Teknologi Vessel Monitoring System (VMS). Skripsi (Tidak dipublikasikan) Bogor: Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan Teluk Banten. P3O - LIPI hal 42 - 46 Sediadi A. 2004. Effek Upwelling Terhadap Kelimpahan dan Distribusi Fitoplankton Di Perairan Laut banda Dan Sekitarnya. Jurnal Makara Sains, Vol. 8. 2: 43 -51. Sediadi A, Hertanto dan Yusuf SA. 1991. Studi Pendahuluan Tentang Pola Sebaran Plankton dan Klorofil-a di Perairan Sekitar Gugus Kepulauan Kei, Aru dan Tanimbar, Maluku Tenggara. (Suatu Studi Perbandingan) Ambon: Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahan Indonesia. Ambon. Seeber G. 2003. Satellite Geodesy 2nd Edition, Walter de Gruyter. Simbolon D, Irnawati, Sitanggang R, Ernaningsih PL, Tadjuddah D, Manoppo M, Karnan ENV, Mohamad. 2009. Pembentukan Daerah Penangkapan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
91
Sukandarrumidi. 2009. Mari Kembali Ke laut. Mengenal Potensi Bahari Yang Tak Habis Terkuras. (Dengan Studi Kasus). Semarang: Penerbit Yayasan Pustaka Nusatama. Sukresno B dan IK. Suniada. 2007. Observasi Pengaruh Enso Terhadap Produktifitas Primer dan Potensi Perikanan Dengan Menggunakan Data Satelit di Laut Banda. Karya Tulis. Bali: Balai Riset dan Oservasi Kelautan. BRKP - Departemen Kelautan dan Perikanan. Supangat A dan Susanna. 2003. Pengantar Oseanografi. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-Hayati, BRPKP - DKP. Susilo BS. 2000. Penginderaan Jauh Kelautan Terapan. Karya Tulis. Bogor: Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Sutika N. 1989. Ilmu Air. Bandung: Universitas Padjadjaran. Bandung. Stewart RH. 1985. Method of Satellite Oceanography. Texas: Univ. of California Press. California. Svedrup HU., Johnson MW and Fleming RH. 1942. The Oceans: Their Physics, Chemistry and General Biology. Englewood: Prentice Hall Inc. Syahdan M. 2005. Hubungan Suhu Permukaan Laut dan klorofil-a Terhadap Hasil Tangkapan Cakalang (Katsuwonus pelamis, Linneaus) Di Perairan Bagian Timur Sulawesi Tenggara. Thesis (Tidak dipublikasikan) Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tubalawony S. 2007. Kajian Klorofil-a dan Nutrien Serta Interelasinya Dengan Dinamika Massa Air di Perairan Barat Sumatera dan Selatan JawaSumbawa. Disertasi. (Tidak dipublikasikan) Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Van der Piepen. 1991. Remote Sensing Of Substances in Water. J. Geophys. Res. 24. 27-48. Wetsteyn FJ, Ilahude AG, Baars MA. 1990. Nutrient distribution in the upper 300 m of the eastern Banda Sea and northern Arafura Sea during and after the upwelling season, August 1984 and February 1985 Neth. J. Sea Res. 25(4): 449-464. Weyl PK. 1967. Oceanography: An Introduction To The Marine Environment., inc. New York: John Wiley and Sons. Wouthuyzen S, Salam T, Happy IS, Agus S, Sugarin, Vincentius PS, Joji I. 2005. Pengukuran Salinitas Permukaan Teluk Jakarta Melalui Penginderaan Warna Laut Menggunakan Data Multi Temporal Citra Satelit Landsat-7
92
RTM+. Makalah Ilmiah. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVII, Bandung 2008. Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The South East Asian Waters. La Jolla: Scipps Institute of Oceanography,The University of California. Yulihastin E. 2005. Mekanisme Interaksi Monsun Asia dan Enso. Majalah Sains Dan Teknologi Dirgantara. 2. 99-105.
Februari
Januari
SE S SW W NW
3 4 5 6 7 8
E
2
0.08681
0
0
0
0
0.02778
0.05903
0
0
7.5 - 10.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
>= 10.0
0
1
0
0
0
0
0.26181
0.73819
0
0
Total
0
Sub-Total
Missing/Incomplete Total
Calms
0 0 0 0 0 0 0 0
N NE E SE S SW W NW
1 2 3 4 5 6 7 8
0.0 - 2.5
Directions / Wind Classes (m/s)
No
0.59514
0 0.09934 0.47903 0.05224 0 0 0 0
5.0 - 7.5
Februari
0.14861
0 0.01398 0.13098 0.01251 0 0 0 0
2.5 - 5.0
0.2
0 0.09492 0.07285 0.04415 0 0 0 0
7.5 - 10.0
0
0 0 0 0 0 0 0 0
>= 0.0
0.05625 1
0
0.94375
0 0.19653 0.64444 0.10278 0 0 0 0
Total
1
Januari
0.82778
0
0
0
0
0.20972
0.61806
0
0
5.0 - 7.5
0
0.08542
0
0
0
0
0.02431
0.06111
0
0
2.5 - 5.0
Total
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0 - 2.5
Missing/Incomplete
Calms
Sub-Total
N NE
1
Directions / Wind Classes (m/s)
No
Lampiran 1 : Distribusi frekwensi dan selang kecepatan angin.
94
April
Maret
NE
2
Total
April
0.00417
0
0
0
0
0
0
0
0
0
>= 10.0
1
0.59527
0.11752
0.00139
0.0007
0.00834
0.18915
0.03268
0.05494
Total
1
0
0.24548
0.0007
0.00348
0
0
0
0
0
0
7.5 - 10.0
Missing/Incomplete
0.52086
0.18707
0.05633
0
0
0
0.00209
0
0
5.0 - 7.5
0
0.22949
Sub-Total
0.29555
0.05355
0
0
0.00139
0.16759
0
0.00278
2.5 - 5.0
Calms
0.11196
NW
0.00417
0.00139
8
SW
6
0.0007
0.00695
W
S
0.01947
0.03268
0.05216
0.0 - 2.5
7
SE
5
E
3 4
NE
2
Directions / Wind Classes (m/s) N
1
Maret
1
0.01389
0.01319
0.00556
0.00069
0.12222
0.77569
0.03333
0.03542
Total
Total
0
0
0
0
0
0
0
0
>= 10.0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7.5 - 10.0
Missing/Incomplete
0.01458
0
0
0
0
0.00278
0.01181
0
0
5.0 - 7.5
0
0.74236
0
0
0
0
0.10903
0.63333
0
0
2.5 - 5.0
Calms
No 1
0.01319 0.24306
W
7
0.00556 0.01389
SW
6
0.00069
NW
S
5
0.01042
0.13056
0.03333
0.03542
0.0 - 2.5
Sub-Total
SE
4
8
E
3
1
Directions / Wind Classes (m/s) N
No
95
Juni
Mey
NE
2
0.02776
0.02776
0
0
0
0
0
0
0
>= 10.0
1
0.95697
0.04303
0
0
0
0
0
0
Total
Total
1
0
0.37821
0.37821
0
0
0
0
0
0
0
7.5 - 10.0
0
0.53782
0.50729
0.03053
0
0
0
0
0
0
5.0 - 7.5
Calms
Juni
0.05621
0.04372
0.01249
0
0
0
0
0
0
2.5 - 5.0
Missing/Incomplete
0
Sub-Total
0
0
0
SW
6
0
NW
S
5
0
8
SE
4
0 0
W
E
0
0.0 - 2.5
7
NE
3
Directions / Wind Classes (m/s) N
Mey
1
1
0.90556
0.08681
0
0
0
0
0
0.00764
Total
Total
0
0
0
0
0
0
0
0
0
>= 10.0
0
0.35625
0.34861
0.00764
0
0
0
0
0
0
7.5 - 10.0
Missing/Incomplete
0.52431
0.46528
0.05903
0
0
0
0
0
0
5.0 - 7.5
0
0.11736
0.09097
0.02014
0
0
0
0
0
0.00625
2.5 - 5.0
Calms
2
1
No
0 0
0.00208
W
7
Sub-Total
SW
6
0
0.00069
S
5
0
0
0
0.00139
0.0 - 2.5
NW
SE
4
8
E
3
1
Directions / Wind Classes (m/s) N
No
96
Agustus
Juli
NE
2
>= 10.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
>= 10.0
0
1
0.98471
0.01529
0
0
0
0
0
0
Total
0
1
1
0
0.92634
0.07366
0
0
0
0
0
0
Total
0.4663
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0.49409
0.45587
0.01042
0
0
0
0
0
0
Missing/Incomplete
Agustus
0.03961
0.45587
0.03822
0
0
0
0
0
0
Total
0
0
Sub-Total
0.01459
0.02502
0
0
0
0
0
0
2.5 - 5.0
Calms
0
NW
8
0
W
SW
0
0
0
0
0
7
6
SE
4
S
E
3
5
NE
Directions / Wind Classes (m/s) N
1
7.5 - 10.0
0.62752
0.62752
0
0
0
0
0
0
0
7.5 - 10.0
Total
5.0 - 7.5
0.34538
0.33912
0.00625
0
0
0
0
0
0
5.0 - 7.5
0
Juli
0.0271
0.01807
0.00903
0
0
0
0
0
0
2.5 - 5.0
Missing/Incomplete
0.0 - 2.5
0
Sub-Total Calms
0
0
0
0
0
0
0
0
0.0 - 2.5
NW
2
1
No
8
W
7
S
5 SW
SE
4
6
E
3
1
Directions / Wind Classes (m/s) N
No
97
Oktober
September
NE
2
0
1
0.91528
0.08472
0
0
0
0
0
0
Total
1
Total
1
0.79306
0.19722
0
0
0
0
0
0.00972
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Missing/Incomplete
0.02917
0.02778
0.00139
0
0
0
0
0
0
Total
0
0.41667
0.34375
0.07292
0
0
0
0
0
0
5.0 - 7.5
Oktober
0.47083
0.35833
0.1125
0
0
0
0
0
0
2.5 - 5.0
Calms
0.08333
Sub-Total
0.01042
0
0.06319
SW
6
0
0
NW
S
5
8
SE
4
0
W
E
3
0
0.00972
7
NE
Directions / Wind Classes (m/s) N
1
>= 10.0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
>= 10.0
0
7.5 - 10.0
0.03611
0.03611
0
0
0
0
0
0
0
7.5 - 10.0
Total
0.0 - 2.5
0.72708
0.67917
0.04792
0
0
0
0
0
0
5.0 - 7.5
September
0.20694
0.17986
0.02708
0
0
0
0
0
0
2.5 - 5.0
Missing/Incomplete
Calms
2
1
No
0.00972
0.02986
7
0
Sub-Total
W
6
0
0.02014
SW
5
0
0
0
0
0.0 - 2.5
NW
S
4
8
E SE
3
1
Directions / Wind Classes (m/s) N
No
98
Desember
November
NE
2
Directions / Wind Classes (m/s) N NE E
2 3
0.125
Total
Desember
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
>= 10.0
1
0.03403
0.03194
0.00625
0.02014
0.29306
0.57014
0.03264
0.01181
Total
1
0
0.05208
0
0
0
0
0
0.05208
0
0
7.5 - 10.0
Missing/Incomplete
0.55625
0
0.00417
0
0
0.15764
0.39306
0
0
5.0 - 7.5
0
0.39167
0.03403
0.02778
0.00625
0.02014
0.13542
0.00139
0
2.5 - 5.0
Calms
Sub-Total
NW
8
SW
6
W
S
5
7
SE
4
0.03125
0.01181
0.0 - 2.5
November
1
0.99861
0.36579
0.35396
0.00765
0.00278
0.00765
0.02712
0.07719
0.15647
Total
Total
0
0
0
0
0
0
0
0
0
>= 10.0
0
0.01252
0
0.01253
0
0
0
0
0
0
7.5 - 10.0
0.00139
0.16412
0.03064
0.1337
0
0
0
0
0
0
5.0 - 7.5
Calms
0.22045
0.13997
0.08008
0
0
0
0
0
0.0007
2.5 - 5.0
Missing/Incomplete
No 1
0.12813
0.60153
W
7
0.00766
Sub-Total
SW
6
0.00279
0.19568
S
5
0.00766
0.02716
0.0773
0.15599
0.0 - 2.5
NW
SE
4
8
E
3
1
Directions / Wind Classes (m/s) N
No
99
100
Lampiran 2
:
Sebaran nilai arah dan kecepatan angin perkwadran kajian.
Arah dan kecepatan angin bulanan Kw - I . Bulan Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
Arah Angin (derajad) Kecepatan angin (m/sec) Bulan 2005 2006 2007 2008 2009 2005 2006 2007 2008 2009 99.1 106.9 101.7 100.4 110.8 Jan 6.5 6 5.6 6 5 * 93.2 101.6 104.5 102.9 Feb * 5.7 5.2 6 5 103 104.4 104.1 90.4 90 Mart 3.9 5 3.9 2 3.8 20.29 92.3 301 299.9 323 Apr 1.7 3.8 1.8 4.5 1.9 308.7 307.3 303.8 302.7 309.7 Mei 7.3 4.2 5.4 6.8 5 314.4 313.6 310 307.8 315.5 Jun 6.4 8.4 5.7 7.3 6 315.6 321.1 317.2 319.6 318.2 Jul 7 7 8 8 7.5 311.2 317.4 319.8 310.8 319.6 Agst 7 7.5 7.1 8.5 6.7 318.6 322 318.9 314 313.9 Sept 5.5 6.6 6 5.9 5 309 317.7 306.7 295 312.7 Okt 3 5.4 3.9 4.8 5 32.2 313.3 177 145.7 295.6 Nov 0.8 3.3 1.1 0.4 4.8 104.6 309.7 106.6 108.9 108.9 Des 2.3 0.5 3 3.6 3.6
Keterangan : (*) = Tidak ada data
Arah dan kecepatan angin bulanan Kw - II Bulan Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
Arah Angin (derajad) 2005 2006 2007 2008 2009 109 117 119 120 118 * 105 112 125 125 114 119 115 88 101 29.7 113 309 300 209 311.5 328 310 306 317 317.7 319 319 309 319 317 325 321 320 316 316 321 321 314 323 324.2 322 158 311 320 319 319 320 297 313 45 335 339 212 301 55 202 128 113 113
Keterangan : (*) = Tidak ada data
Bulan Jan Feb Mrt Apr Mei Jun Jul Agt Spt Okt Nov Des
Kecepatan angin (m/sec) 2005 2006 2007 2008 2009 6.4 5.9 5.2 5.9 4.9 * 5.2 6 5.7 5.5 3.8 4.9 4.1 1.9 3.8 1.8 4 1.1 3.5 0.8 6.86 3.4 5.3 6.75 3.9 6.08 7.7 5.3 6.9 5.9 6.78 7.0 7.8 7.7 7.6 6.6 7.3 6.6 7.8 6 4.7 5.9 4.8 5.6 5 1.9 5.4 3.9 4.4 5 1 2.9 1.3 0.4 5.7 2.4 0.8 2.7 4 4
101
Arah dan kecepatan angin bulanan Kw - III Bulan Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
Arah Angin (derajad) 2005 2006 2007 2008 2009 105 113 103 111 111 * 101 108 118 120 107 109 108 89 96.7 203 98.8 316 295 67 300 333 299 297 303 307 308 313 302 297 310 316 315 313 303 304 313 317 300 313 313 314 152 303 311 306 315 297 299 302 56.9 313 323 247 318 58 189 119 111 111
Bulan Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
Kecepatan angin (m/sec) 2005 2006 2007 2008 2009 6.6 5.4 5.4 6.7 5 * 5.5 6.1 6.5 5 3.6 4.9 4.3 2.9 4 1.6 4.3 1.7 3.9 1 6.8 2.8 5 7 4 5.7 7.1 4.7 6.7 5 6.7 6.5 7.8 6.9 7 6.3 7.3 6.2 7 6 4.4 5.7 4.3 5.4 5 1.7 5.7 3.7 4.4 5 1.4 2.4 0.8 0.3 5 3 0.8 2.7 3.2 3
Keterangan : (*) = Tidak ada data
Arah dan kecepatan angin bulanan Kw -IV Bulan Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
Arah Angin (derajad) 2005 2006 2007 2008 2009 103 115 110 108 111 * 99 106 112 111 113 116 105 97 88.6 315 95.5 296 297 318 306 311 302 301 303 305 318 308 306 312 308 317 311 315 155 300 308 312 309 106 302 310 305 308 299 302 301 302 295 302 321 303 324 33.7 183 1.6 137 117 111 111
Keterangan : (*) = Tidak ada data
Bulan Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
Kecepatan angin (m/sec) 2005 2006 2007 2008 2009 7.3 7.1 6.6 7 6.5 * 5.3 5.8 7.7 6.5 4 6.5 4.4 1.9 2.4 2.81 3.7 4.3 5.4 3.2 7.9 6.3 6.4 8 6.5 6.47 9 7.5 8.2 6.3 7.64 7.4 8.4 7.9 6.3 7.19 8.04 7.1 8.4 6.7 5.2 6.2 3.5 6.2 5 3.26 5.8 4 5.9 5 1.71 3.1 1.6 0.4 5.6 0.9 0.2 3.4 4 4
102
Arah dan kecepatan angin bulanan Kw - V Bulan Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
2005 107 * 107 317 308 312 310 307 306 302 162 1.9
Arah Angin (derajad) 2006 2007 2008 2009 115 114 113 117 100 107 115 112 118 104 88 94 104 298 297 311 320 304 302 306 320 315 307 313 319 314 316 155 311 314 313 309 312 5.3 308 305 307 304 298 304 309 312 146 290 139 125 114 113
Bulan Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
Kecepatan angin (m/sec) 2005 2006 2007 2008 2009 6.8 7.5 6.3 7 6 5.8 6.2 8.1 7 * 4.3 6.3 4.4 2.6 3 3.1 4.2 4.5 5.5 3.5 8.1 6.3 6.8 8 6.5 6.8 7.7 7.5 8.3 7 8.4 7.9 8.9 8.4 7 7.9 8.6 7.4 8.8 8 6.1 7.3 4.4 6.9 6 3.7 6.8 4.6 6.3 6 1.5 3.8 1.6 0.4 6 0.6 0.4 3 4 4
Keterangan : (*) = Tidak ada data
Arah dan kecepatan angin bulanan Kw - VI Bulan Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des
2005 108 * 108 323 307 315 312 308 309 308 335 2
Arah Angin (derajad) Bulan 2006 2007 2008 2009 114 116 111 115 Jan 103 109 112 111 Feb 112 102 88 87 Mart 98 302 300 309 Apr 322 304 302 303 Mei 312 314 306 311 Jun 316 315 315 152 Jul 312 319 311 312 Agst 313 -5.2 307 310 Sept 309 304 299 304 Okt 314 294 157 293 Nov 150 123 109 109 Des
Keterangan : (*) = Tidak ada data
Kecepatan angin (m/sec) 2005 2006 2007 2008 2009 6.8 6.3 5.5 7 6 5.1` 6.7 7.6 7 * 3.5 5.8 4.8 2 3.2 3.3 4.3 4.3 5.4 2 7.6 5.7 6.6 7.9 5.8 6.9 9.1 7.1 8.3 6.7 7.8 7.4 8.6 8 6.7 7.7 8.2 7.4 8 7.3 6.2 7.2 4.4 6.7 6 3.5 7 4.6 5.9 6 1.4 3.8 2 0.7 6 0.2 1.2 2.4 3.7 3.7
103
Lampiran 3 : Pola variabilitas SPL antar musim dan arah kajian
Kw I Kw III
Nilai SPL (0C)
SPL periode MP I 31.5 31 30.5 30 29.5 29 28.5 28
Des… Feb Des… Feb Des… Feb Des… Feb Des… Feb Des… Feb
Nilai SPL (0C)
SPL periode MB 32.00 31.50 31.00 30.50 30.00 29.50 29.00 28.50 28.00 27.50
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Kw II Kw IV
Kw I Kw III
Kw II Kw IV
Nilai SPL (0C) Mei… Agsts Mei… Agsts Mei… Agsts Mei… Agsts Mei… Agsts Mei… Agsts
31 30.5 30 29.5 29 28.5
Kw I Kw III
Kw II Kw IV
Kw II
Kw II Kw IV
Selatan area kajian
Utara area kajian
Kw I
SPL periode MP II
2005 2006 2007 2008 2009 2010
Nilai SPL (0C)
Nilai SPL (0C)
Kw I Kw III
32 31 30 29 28 27 26 25
31.5
Jan… Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Okt Mrt Agsts Jan… Jun Nov
Nilai SPL (0C)
SPL periode MT 31.50 30.50 29.50 28.50 27.50 26.50
Kw III
32.5 31.5 30.5 29.5 28.5 27.5 26.5
Jan… Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Okt Mrt Agsts Jan… Jun Nov
Kw IV
Kw V
104
Lampiran 4 : Pola variabilitas klorofil-a berdasarkan musim dan arah kajian
Periode MB
Mg/m3
1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00
Des… Feb Des… Feb Des… Feb Des… Feb Des… Feb Des… Feb
Mg/m3
Kw I Kw IV
Kw II Kw V
Periode MP I
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 Kw I Kw IV
Kw III Kw VI
Kw II Kw V
Kw III Kw VI
Periode MP II
Mei… Agsts Mei… Agsts Mei… Agsts Mei… Agsts Mei… Agsts Mei… Agsts Kw I Kw III
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Kw I Kw II Kw III Kw IV Kw V Kw VI
Kw II Kw IV
Selatan area kajian 2.5 Mg/m3
2 1.5 1 0.5 Jan… Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Okt Mart Agsts Jan… Jun Nov
Mg/m3
Utara area kajian 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Kw I
Kw II
Kw III
0
Jan… Jun Nov Apr Sept Feb Jul Des Mei Okt Mart Agsts Jan… Jun Nov
Mg/m3
2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
Mg/m3
Periode MT
Kw IV
Kw V
105
Lampiran 5 : Pola variabilitas ATPL berdasarkan musim dan arah kajian.
2005 2008
2007
Periode MP II
ATPL (cm)
0.150
Mei… Jul Sept Jun… Okt Jun Agst Okt Jun Agst Okt Jun Agst Okt
0.100 0.050 0.000 -0.050
Kw 1 Kw 2 Kw 3 Kw 4 Kw 5 Kw 6
-0.100 Kw 1 Kw 4
Kw 2 Kw 5
Kw 3 Kw 6
2005 2008
ATPL (cm) Jan… Mei Sept Jan… Jul Jan… Jun Okt Feb Jun Okt Feb Jun Okt Kw2
2007
Selatan area kajian
Utara area kajian
Kw1
2006 2009
Kw3
0.35 0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15
Jan… Mei Sept Jan… Jul Jan… Jun Okt Feb Jun Okt Feb Jun Okt
ATPL (cm)
2006 2009
0.200
-0.15
0.30 0.25 0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 -0.05 -0.10 -0.15
Kw 1 Kw 2 Kw 3 Kw 4 Kw 5 Kw 6
Periode Musim Timur
0.05
-0.10
0.050
Kw 3 Kw 6
0.10
-0.05
0.100
-0.050
0.15
0.00
0.150
0.000 Feb
Des…
Des…
Kw 2 Kw 5
Feb
Jan
Des…
Mrt
Feb
ATPL (cm)
0.200
Des…
ATPL (cm)
0.20
Periode MP I 0.250
Kw 1 Kw 4
ATPL (cm)
Periode Musim Barat 0.300 0.250 0.200 0.150 0.100 0.050 0.000 -0.050
Kw4
Kw5
Kw6
09‐2005
05‐2005
01‐2005
10‐2005
06‐2005
02‐2005
11‐2005
07‐2005
03‐2005
12‐2005
08‐2005
04‐2005
A. Tahun 2005 :
Lampiran 6 : Peta arah angin bulanan.
106
B. Tahun 2006 :
09‐2006
05‐2006
01‐2006
10‐2006
06‐2006
02‐2006
11‐2006
07‐2006
03‐2006
12‐2006
08‐2006
04‐2006
107
09‐2007
05‐2007
01‐2007
C. Tahun 2007 (Lanjutan Lampiran 6) :
06‐2007
02‐2007
10‐2007
03‐2007
11‐2007
07‐2007
12‐2007
08‐2007
04‐2007
108
09‐2008
05‐2008
01‐2008
Tahun 2008 (Lanjutan Lampiran 6) :
02‐2008
10‐2008
06‐2008
11‐2008
07‐2008
03‐2008
12‐2008
08‐2008
04‐2008
109
09‐2009
05‐2009
01‐2009
D. Tahun 2009 (Lanjutan Lampiran 6) :
10‐2009
06‐2009
02‐2009
11‐2009
07‐2009
03‐2009
12‐2009
08‐2009
04‐2009
110
A. Tahun 2005 :
Lampiran 7 : Peta sebaran spasial bulanan SPL dan arus permukaan.
111
B. Tahun 2006 (Lanjutan Lampiran 7) :
112
C. Tahun 2007 (Lanjutan Lampiran 7) :
113
D. Tahun 2008 (Lanjutan Lampiran 7) :
114
E. Tahun 2009 (Lanjutan Lampiran 7) :
115
F. Tahun 2010 (Lanjutan Lampiran 7) :
116
A. Tahun 2005 :
Lampiran 8 : Peta sebaran spasial bulanan Klorofil-a dan arus permukaan.
117
Tahun 2006 (Lanjutan Lampiran 8) :
118
B. Tahun 2007 (Lanjutan Lampiran 8) :
119
C. Tahun 2008 (Lanjutan Lampiran 8) :
120
D. Tahun 2009 (Lanjutan Lampiran 8):
121
Tahun 2010 (Lanjutan Lampiran 8) :
122
A. Tahun 2005 :
Lampiran 9 : Peta sebaran spasial bulanan ATPL
123
01-2006
07-2006
B. C. D. E. F.
Tahun 2006 (Lanjutan lampiran 9) :
B
03-2006
09-2006
12-2006
10-2006
04-2006
11-2006
06-2006
124
C
01-2007
Tahun 2007 (Lanjutan lampiran 9) :
03-2007
125
D
Tahun 2008 (Lanjutan lampiran 9) :
126
E
Tahun 2009 (Lanjutan lampiran 9) :
127