VARIABILITAS KLOROFIL-A DAN INTERELASINYA TERHADAP ENSO (EL NINO SOUTHERN OSCILLATION) DI PERAIRAN UTARA PAPUA.
MOCHAMAD TRI HARTANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Variabilitas Klorofil-a dan Interelasinya Terhadap ENSO (El Nino Southern Oscillation) di Perairan Utara Papua” adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2011
Mochamad Tri Hartanto NPM: C551060041
Halaman ini sengaja dikosongkan
ABSTRACT
MOCHAMAD TRI HARTANTO, Chlorophyll-A Variability and Its Interrelation with ENSO (El Nino Southern Oscillation) In Northern Waters Of Papua. Under direction of RICHARDUS KASWADJI and MULIA PURBA. This research aimed to study the variability of surface chlorophyll-a and its interrelation to ENSO (El Nino Southern Oscillation) in the North Papua waters. Monthly averaged data of Nino 3.4 Index from CPC NOAA, sea surface temperature (SST) from ERSL NOAA, and surface chlorophyll-a from Globcolor Project were analyzed using FFT (Fast Fourier Transform) and wavelet methods during September 1997 - April 2009. Referring to temperature anomaly at Nino region 3.4 during the period this study, three El Nino events were taken place in 1997/1998, 2002/2003, and 2004/2005. The 1997/1998 El Nino was the strongest with temperature anomaly reaching +2,69 oC, while from twice La Nina events (1998/1999/2000, 2007/2008), the 2007/2008 La Nina showed the weakest temperature anomaly at -1,89 oC. During 1997/1998 El Nino, SST in the North Papua waters was decreasing to range 29,48 - 29,72 oC, compared to its normal range of 30,05 - 30,33 oC. On the contrary, surface chlorophyll-a was increased to 0,088 – 0,391 mg/m3 during 1997/1998 El Nino, while low range of chlorophyll-a was observed during 2007/2008 La Nina (0,062 – 0,140 mg/m3). During El Nino, hotspot of chlorophyll-a was shifted from west to east and following the movement of warm pool. Power spectrum density of chlorophyll-a revealed dominant inter-annual signal compare to annual and semi-annual. Cross-correlation analysis between Nino 3.4 with chlorophyl-a variability showed strong coherence at inter-annual signal which presumed as El Nino, in where the rise of chlorophyll-a was observed 1 - 3 month after El Nino event. Keywords: chlorophyll-a, sea surface temperature, El Nino, inter-annual signal, North Papua
Halaman ini sengaja dikosongkan
RINGKASAN MOCHAMAD TRI HARTANTO, Variabilitas Klorofil-a dan Interelasinya Terhadap ENSO (El Nino Southern Oscillation) Di Perairan Utara Papua. Dibimbing oleh RICHARDUS KASWADJI and MULIA PURBA. Hasil validasi data SPL hasil reanalisis dari ERSl NOAA terhadap data Buoy TRITON di dua lokasi menunjukkan RMSE sebesar 0,14 oC dan 0,16 oC sehingga data SPL reanalisis ERSL NOAA memiliki validitas yang baik untuk selanjutnya dapat digunakan dalam analisis pola sebaran permukaan dan deret waktu. SPL bulanan terendah terjadi selama selama puncak musim barat (Februari) berkisar antara 28,00 - 30,16 oC dengan rata-rata 29,21 oC dan deviasi sebesar 0,54 oC. SPL bulanan tertinggi terjadi pada bulan Mei yang merupakan akhir musim peralihan I memasuki awal musim timur, dimana SPL berkisar antara 29,36 - 30,44 oC dengan rata-rata 29,87 oC dan simpangan bakunya sebesar 0,23 oC. Pada musim timur Angin Pasat berhembus lebih kuat yang menyebabkan AKS juga makin kuat membawa massa air ke arah barat. Selama proses pergerakan tersebut massa air mengalami pemanasan yang intensif di wilayah sekitar equator. Hal ini menyebabkan peningkatan SPL di sekitar perairan utara Papua yang merupakan tempat penumpukan massa air hangat selama musim timur. Pada musim barat (Desember - Februari) Angin Baratan yang dikenal Westerly Wind Bursts (WWBs) bertiup kencang ke arah timur yang menguatkan Arus Sakal Katulistiwa dan menggeser air hangat di perairan utara Papua ke timur. Arus Sakal Katulistiwa ini juga membawa air dingin dari Pasifik Utara yang menyebabkan pendinginan SPL di perairan utara Papua. Sebaran massa air hangat membentuk pola juluran bergerak ke barat mulai Maret – Juni, selanjutnya bergeser ke timur pada Juli – September dan kembali bergerak ke barat lagi pada Oktober – Nopember hingga pada Desember – Februari kembali bergerak ke timur. Pergerakan air hangat yang bolak-balik ini sangat berhubungan erat dengan pola musiman yang terjadi di wilayah tersebut. Kandungan klorofil permukaan oseanik bulanan minimum berkisar antara 0,043 - 0,067 mg/m3 dengan rata-rata berkisar antara 0,106 - 0,127 mg/m3 dan maksimum berkisar antara 0,233 - 0,518 mg/m3. Musim barat (Desember – Februari) memiliki kisaran kandungan klorofil-a yang lebih tinggi dibanding musim timur (Juni – Agustus). Standar deviasi berkisar antara 0,019 - 0,042 mg/m3, hal ini menunjukkan bahwa variasi kandungan klorofil-a terendah terjadi pada bulan Mei dan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Wilayah sekitar pantai memiliki kandungan klorofil-a mencapai 1 mg/m3 hal ini sangat terkait dengan proses run off dari daratan sebagai sumber nutrien alamiah dan antropogenik. Kandungan klorofil-a oseanik memperlihatkan pola musiman yang jelas. Pada musim barat pola sebaran kandungan klorofil-a yang tinggi bergerak ke timur dan sebaliknya pada musim timur bergerak ke barat. Pergerakan konsentrasi klorofil-a oseanik sangat berkaitan erat dan mengikuti pola pergerakan SPL. Pergerakan massa air hangat akan diikuti dengan pergerakan kandungan klorofil-a oseanik yang tinggi. Berdasarkan hasil analisis anomali SPL pada wilayah Nino 3.4 maka sepanjang periode 1997 – 2009 telah terjadi El Nino sebanyak 3 kali dan Lanina sebanyak 2 kali. El Nino 1 merupakan El Nino terkuat yang terjadi pada Mei 1997 – Mei 1998 (13 bulan) dengan anomali suhu mencapai 2,69 oC. El Nino 2 terjadi pada Juni 2002 - Maret 2003 (10 bulan) dengan anomali suhu mencapai 1,62 oC. dan El Nino 3 terjadi pada Agustus 2004 - Januari 2005 (6 bulan) dengan anomali suhu mencapai 0,75 oC. La Nina 1 terjadi pada Juni 1998 - Juni
2000 (25 bulan) dengan anomali suhu mencapai -1,92 oC dan La Nina 2 pada Agustus 2007 - Mei 2008 (10 bulan) dengan anomali suhu mencapai -1,89 oC. Pola anomali suhu permukaan laut pada wilayah Nino 3.4 sepanjang periode September 1997 – April 2009 terjadi kondisi El Nino dan La Nina secara silih berganti dan cenderung tidak beraturan. Intensitas kejadian El Nino/La Nina makin tinggi seiring dengan bertambahnya waktu. Kejadian El Nino/La Nina terkadang langsung diikuti dengan kejadian El Nino/La Nina selanjutnya, seperti La Nina pada periode Juni 1998 - Juni 2000 dan El Nino periode Juni 2002 Maret 2003 sampai El Nino pada Agustus 2004 - Januari 2005. Kejadian El Nino umumnya memiliki kisaran SPL yang lebih rendah dibandingkan La Nina dan normal. Pada El Nino 1 dapat dilihat bahwa SPL berkisar antara 29,48 - 29,72 oC dengan rata-rata 29,62 oC dan deviasi sebesar 0,07 oC. Sedangkan pada kondisi Normal 2 SPL lebih tinggi berkisar antara 30,05 - 30,33 oC dengan rata-rata 30,20 oC dan deviasinya sebesar 0,09 oC. Kondisi La Nina umumnya memiliki SPL yang tidak jauh berbeda dengan kondisi normal. Hal ini terjadi karena saat El Nino massa air hangat bergerak ke timur menjauhi perairan utara Papua. Semakin kuat dan lama kejadian El Nino maka air hangat tersebut juga akan makin jauh bergerak ke timur. Hal ini berarti bahwa SPL di perairan utara Papua juga akan semakin rendah dari kondisi normalnya. Kandungan klorofil-a saat kondisi El Nino lebih tinggi dibanding kondisi La Nina dan Normal. El Nino 1 memiliki kandungan klorofil-a tertinggi berkisar antara 0,088 - 0,391 mg/m3 dengan rata-rata 0,121 mg/m3 dan deviasi sebesar 0,029 mg/m3. Kandungan klorofil-a terendah dapat dilihat pada La Nina 1 yang merupakan kejadian La Nina kuat dimana nilainya berkisar antara 0,062 - 0,092 mg/m3 dengan rata-rata 0,072 mg/m3 dan deviasi sebesar 0,005 mg/m3. Hasil analisis metode FFT dan wavelet menunjukkan bahwa spektrum densitas energi signifikan pada selang kepercayaan 95% untuk Indeks Nino 3.4, SPL maupun klorofil-a memiliki fluktuasi antar-tahunan yang lebih dominan. Hal ini terkait fenomena ENSO yang memiliki variabilitas antar-tahunan. Korelasi silang SPL dan Indeks Nino 3.4 didominasi oleh variabilitas antar tahunan dengan beda fase berkisar 3,5 – 7 bulan. Korelasi silang antara SPL dan klorofila juga menunjukkan variabilitas antar-tahunan lebih dominan dengan beda fase sekitar 3,4 – 5,5 bulan. Demikian juga halnya dengan hasil korelasi silang antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a yang menunjukkan kuatnya variabilitas antartahunan dengan beda fase sekitar 0,5 – 3,0 bulan. Hasil korelasi silang antar stasiun SPL menunjukkan bahwa ada pengaruh SPL dari lintang yang lebih rendah ke lintang yang lebih tinggi di perairan utara Papua khususnya yang bersifat setengah-tahunan. Hasil korelasi silang antar stasiun klorofil-a menunjukkan bahwa variabilitas yang teridentifikasi bersifat setengah-tahunan, tahunan dan antar-tahunan dengan dominasi oleh variabilitas antar-tahunan. Beda fase variabilitas antar tahunan berkisar 0,7 – 1, 6 bulan, 1,1 – 1,8 bulan untuk variabilitas tahunan dan 0,4 – 0,6 bulan untuk variabilitas setengahtahunan. Sisi barat perairan utara Papua memiliki pola variabilitas klorofil-a yang kuat secara melintang dibanding sisi tengah dan timurnya. KDE klorofil-a antara Stasiun 1&2 lebih tinggi dibanding antara stasiun 1&3 pada setiap Transek mengindikasikan adanya pengaruh kandungan konsentasi klorofil-a yang kuat dari lintang yang rendah ke lintang yang lebih tinggi terkait posisi daratan Papua.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Halaman ini sengaja dikosongkan
VARIABILITAS KLOROFIL-A DAN INTERELASINYA TERHADAP ENSO (EL NINO SOUTHERN OSCILLATION) DI PERAIRAN UTARA PAPUA.
MOCHAMAD TRI HARTANTO
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji luar Komisi :
Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc Oseanografi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB
Judul Tesis
:
Nama
:
Variabilitas Klorofil-a dan Interelasinya Terhadap ENSO (El Niño Southern Oscillation) Di Perairan Utara Papua. Mochamad Tri Hartanto
Nomor Pokok
:
C551070041
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. Anggota
Diketahui Ketua Mayor Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 30 September 2011
Tanggal Lulus :
Halaman ini sengaja dikosongkan
PRAKATA
Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkah rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis ini dapat saya selesaikan. Penelitian ini memiliki judul “Variabilitas Klorofil-a dan Interelasinya Terhadap ENSO (El Nino Southern Oscillation) Di Perairan Utara Papua”. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Richardus Kaswadji, M.Sc sebagai ketua komisi pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran dalam penulisan tesis. 2. Dr. Ir. Tri Prartono selaku penguji luar komisi atas segala masukan untuk menjadikan tesis ini lebih baik. 3. Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc sebagai ketua Mayor Ilmu Kelautan yang telah memberikan masukan dan dukungan moril. 4. Bapak Ir. Andri Purwandani atas bantuan perolehan dan analisis data. 5. Program Mitra Bahari – Coremap II Tahun 2009 atas bantuan biaya
penulisan tesis ini. 6. Rekan-rekan IKL 2007 dan Laboratorium Pemrosesan Data Bagian
Oseanografi atas perhatian dan kerjasamanya selama ini. 7. Semua keluarga yang telah memberi dukungan serta semangat. 8. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu per
satu. Penulis sangat berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu kelautan.
Bogor, September 2011
Mochamad Tri Hartanto
Halaman ini sengaja dikosongkan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 4 Mei 1981 dan merupakan anak ketiga dari pasangan H. Suryadi Sudjud dan Hj. Haryati Harun. Penulis memiliki seorang istri bernama Leviena Dewi dan dua orang anak yaitu Nadhifa Nismara Ayu dan Marino Ramadhan Satria. Pada tahun 2000 – 2005 penulis menempuh program Sarjana (S1) di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya pada tahun 2007 – 2011 menempuh pendidikan Magister di Mayor Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana (SPs) Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari BPPS Dirjen DIKTI Departemen Pendididkan Nasional. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai Staf Pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh pendidikan S2 penulis pernah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Ilmu dan Teknologi Kelautan (WATERMASS) selama periode 2007-2008. Penulis juga merupakan anggota Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) periode 2009 – saat ini. Penulis juga aktif mengikuti seminar dan pelatihan seperti Workshop dan Training Asimilasi Pemrosesan Data Kelautan dan Atmosfer untuk Aplikasi Perikanan Kerjasama antara PPKPL – ITB dan National Oceanographic and Atmospheric Administration (NOAA) tahun 2006, INSTANT (International Nusantara Stratification and Transport) Workshop and Training tahun 2007, Pelayaran Kebangsaan di Perairan Selat Sunda bagi Ilmuwan Muda. Kerjasama Dirjen Perguruan Tinggi (DIKTI) Depdikanas dengan P2O LIPI tahun 2008. Publikasi yang telah dihasilkan antara lain “Pola Distribusi Beberapa Senyawa Kimia Di Perairan Selat Sunda”. Bunga Rampai Edisi Khusus tahun 2008 Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI. Jakarta, “Wind Speed Implication on Coral Recruitment in Karimunjawa Islands”. Proceeding of Coral Reef Management Symposium on Coral Triangle Area. Jakarta. pp. 254 – 262, dan “Pemodelan Pola Sebaran Tumpahan Minyak pada Berbagai Jenis Minyak yang Berbeda di Pelabuhan Tanjung Priok”. Jurnal ILMU KELAUTAN. Februari 2010. Vol. 1. Edisi Khusus: Hal 1 – 10.
Halaman ini sengaja dikosongkan
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xx
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xxii
1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1.2. Kerangka Pikir ................................................................................ 1.3. Rumusan Masalah ......................................................................... 1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................ 1.5. Manfaat Penelitian ..........................................................................
1 1 2 3 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2.1. Suhu Permukaan Laut .................................................................... 2.2. Klorofil-a.......................................................................................... 2.3. Hubungan Antara Faktor Oseanografi dan Produktivitas Primer Perairan ......................................................................................... 2.4. ENSO (El Nino Southern Oscillation) .............................................. 2.5. Kondisi Meteorologi dan Oseanografi Perairan Utara Papua ..........
5 5 6 7 9 11
3. BAHAN DAN METODE .......................................................................... 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................... 3.2. Sumber Data .................................................................................. 3.2.1. Data Nino 3.4 ........................................................................ 3.2.2. Data Klorofil-a ....................................................................... 3.2.3. Data Suhu Permukaan Laut .................................................. 3.2.4. Data Bouy TRITON ............................................................... 3.3. Analisis Data ..................................................................................... 3.3.1. Validasi Data ......................................................................... 3.3.2. Analisis FFT .......................................................................... 3.3.2.1. Spektrum Densitas Energi ......................................... 3.3.2.2. Korelasi Silang .......................................................... 3.3.3. Analisis Wavelet .................................................................... 3.3.3.1. Continous Wavelet Transform (CWT) ........................ 3.3.3.2. Cross Wavelet Transform (XWT)............................... 3.3.3.3. Wavelet Transform Coherence (WTC) ......................
15 15 15 15 15 16 17 19 19 20 20 22 23 24 25 25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 4.1. Validasi Data SPL ........................................................................... 4.2. SPL Bulanan di Perairan Utara Papua ............................................ 4.3. Kandungan Klorofil-a Bulanan di Perairan Utara Papua .................. 4.4. Kondisi ENSO Berdasarkan Indeks Nino 3.4................................... 4.5. Sebaran Permukaan SPL pada Kondisi Normal dan ENSO ........... 4.6. Sebaran Permukaan Klorofil-a pada Kondisi Normal dan ENSO ..... 4.7. Sebaran SPL Berdasarkan Waktu...................................................
27 27 29 31 35 36 38 41
xviii
4.8. Sebaran Klorofil-a Berdasarkan Waktu ........................................... 4.9. Spektrum Densitas Energi............................................................... 4.9.1. Indeks Nino 3.4 ..................................................................... 4.9.2. Suhu Permukaan Laut ........................................................... 4.9.3. Klorofil-a ................................................................................ 4.10.Korelasi Silang ................................................................................ 4.10.1. Suhu Permukaan Laut dan Indeks Nino 3.4 ........................ 4.10.2. Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-a ................................... 4.10.3. Indeks Nino 3.4 dan Klorofil-a.............................................. 4.10.4. Antar Stasiun Suhu Permukaan Laut................................... 4.10.5. Antar Stasiun Klorofil-a ........................................................
42 44 44 46 49 53 53 56 59 62 64
5. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 5.2. Saran ...............................................................................................
67 67 68
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
69
LAMPIRAN ..................................................................................................
73
xix
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Transek dan posisi stasiun data buoy TRITON, SPL dan klorofil-a ..... . 18
2.
Validasi suhu hasil reanalisis ERSL NOAA dengan suhu Buoy TRITON ............................................................................................... . 27
3.
Statistik kondisi SPL normal bulanan di perairan utara Papua ............ . 29
4.
Konsentrasi klorofil-a normal bulanan di perairan utara Papua ............ . 32
5.
Kejadian El Nino dan La Nina berdasarkan anomali suhu Nino 3.4...... . 35
6.
Kisaran SPL di perairan utara Papua pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan anomali SPL wilayah Nino 3.4 ...................... . 36
7.
Kisaran kandungan klorofil-a di perairan utara Papua pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan Anomali SPL wilayah Nino 3.4 ............................................................................................... . 39
8.
Hasil spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT .. . 44
9.
Hasil spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode wavelet ................................................................................................ . 46
10. Hasil spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode FFT ...... . 47 11. Hasil spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode wavelet. . 48 12. Hasil spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode FFT . 50 13. Hasil spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode wavelet ................................................................................................ . 51 14. Korelasi silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT . . 53 15. Korelasi Silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode wavelet ................................................................................................ . 55 16. Korelasi silang antara SPL dan klorofil-a dengan metode FFT ............. . 56 17. Korelasi silang antara SPL dan klorofil-a dengan metode wavelet ....... . 58 18. Korelasi silang antara Nino 3.4 dan klorofil-a dengan metode FFT ...... . 60 19. Korelasi silang antara Nino 3.4 dan klorofil-a dengan metode wavelet . . 61 20. Korelasi silang antara stasiun SPL dengan metode FFT ...................... . 63 21. Korelasi silang antara stasiun SPL dengan metode wavelet ................ . 64 22. Korelasi silang antara stasiun klorofil-a dengan metode FFT ............... . 65 23. Korelasi silang antara stasiun klorofil-a dengan metode wavelet.......... . 66
xx
Halaman ini sengaja dikosongkan
xxi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Area Nino 3.4 di Samudra Pasifik tropis yang merupakan indikator kondisi El Nino ......................................................................................
11
Pola arus di ekuator barat Pasifik hasil rata-rata pengukuran ADCP dengan menggunakan Kapal Riset Kaiyo pada kedalaman 175 - 225 m periode...................................................................................................
13
3.
Sebaran stasiun klorofil-a di perairan utara Papua ................................
16
4.
Sebaran stasiun suhu permukaan laut di perairan utara Papua ............
17
5.
Lokasi stasiun Buoy TRITON di Perairan Utara Papua dari JAMSTEC .
18
6.
Tahapan dan proses pengolahan serta analisis data .............................
26
7.
Validasi data SPL ERSL NOAA terdekat dengan data suhu Buoy TRITON Stasiun 2 .................................................................................
28
Validasi data SPL ERSL NOAA terdekat dengan data suhu Buoy TRITON Stasiun 3..................................................................................
28
Sebaran SPL rata-rata bulanan di perairan utara Papua (A=Januari; B=Februari; C=Maret; D=April; E=Mei; F=Juni). ....................................
30
10. Lanjutan (G=Juli; H=Agustus; I=September; J=Oktober; K=Nopember; L=Desember) ........................................................................................
31
11. Sebaran permukaan klorofil-a rata-rata bulanan di perairan utara Papua (A=Januari; B=Februari; C=Maret; D=April; E=Mei; F=Juni) ......
33
12. Lanjutan (G=Juli; H=Agustus; I=September; J=Oktober; K=Nopember; L=Desember) ........................................................................................
34
13. Kondisi El Nino dan La Nina berdasarkan anomali suhu Nino 3.4 selama periode September 1997 – April 2009 ......................................
36
14. Sebaran SPL pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan anomali SPL wilayah Nino 3.4 (A=El Nino Desember 1997; B=Normal Mei 1998; C=La Nina Januari 2000; D=Normal Juni 2001; E=El Nino Nopember 2002; F=Normal April 2003). ................................................
37
15. Lanjutan (G=El Nino September 2004; H=Normal April 2007; I=La Nina Februari 2008) ......................................................................................
38
16. Sebaran permukaan klorofil-a pada kondisi El Nino dan La Nina serta kondisi Normal berdasarkan anomali SPL Wilayah Nino 3.4. (A=El Nino Desember 1997; B=Normal Mei 1998; C=La Nina Januari 2000; D=Normal Juni 2001; E=El Nino Nopember 2002; F=Normal April 2003; G=El Nino September 2004; H=Normal April 2007; I=La Nina Februari 2008) .......................................................................................
40
2.
8. 9.
xxii
17. SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 1 Stasiun 1 (130,5 BT ; 1, 5 LU), Stasiun 2 (130,5 BT ; 3,5 LU) dan Stasiun 3 (130,5 BT ; 5,5 LU) .........................................................
41
18. SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 2 Stasiun 1 (137,5 BT ; 1, 5 LU), Stasiun 2 (137,5 BT ; 3,5 LU) dan Stasiun 3 (137,5 BT ; 5,5 LU) .........................................................
42
19. SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 3 Stasiun 1 (144,5 BT ; 1, 5 LU), Stasiun 2 (144,5 BT ; 3,5 LU) dan Stasiun 3 (144,5 BT ; 5,5 LU). ........................................................
42
20. Sebaran klorofil-a bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 1 Stasiun 1 (130.625 BT ; 1.375 LU), Stasiun 2 (130,625 BT ; 3,375 LU) dan Stasiun 3 (130,625 BT ; 5,375 LU) ..........
43
21. Sebaran klorofil-a bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 2 Stasiun 1 (144.625 BT ; 1.375 LU), Stasiun 2 (144,625 BT; 3,375 LU) dan Stasiun 3 (144,625 BT ; 5,375 LU) ...........
43
22. Sebaran klorofil-a bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 3 Stasiun 1 (137.625 BT ; 1.375 LU), Stasiun 2 (137,625 BT; 3,375 LU) dan Stasiun 3 (137,625 BT ; 5,375 LU) ..........
44
23. Spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT ............
45
24. Spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode wavelet.......
46
25. Spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode FFT (A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III Stasiun 3)...............................................................................................
49
26. Spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode wavelet (A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III Stasiun 3)...............................................................................................
49
27. Spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode FFT (A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III Stasiun 3)...............................................................................................
52
28. Spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode wavelet (A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III Stasiun 3)...............................................................................................
52
xxiii
29. Korelasi silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III) ..........................................................................
54
30. Korelasi silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III) ..........................................................................
57
31. Korelasi silang antara Nino 3.4 dan Klorofil-a (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III). .........................
61
32. Korelasi silang antara stasiun SPL (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III). ..................................
63
33. Korelasi silang antara stasiun klorofil-a (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III). ..................................
65
xxiv
Halaman ini sengaja dikosongkan
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. 2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Baris program MATLAB untuk menghitung SK 95% pada spektrum Indeks Nino 3.4 .....................................................................................
75
Program wavelet untuk perhitungan Continous Wavelet Transform (CWT) Indeks Nino 3.4 dengan menggunakan MATLAB .......................
76
Program wavelet untuk perhitungan Cross Wavelet Transform (XWT) dan Wavelet Transform Coherence (WTC) antara SPL dengan Klorofila pada Stasiun 1 Transek 1 dengan menggunakan MATLAB ...............
77
Cross Wavelet Transform (XWT) antara SPL dan Indeks Nino 3.4 (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3) .............................................................................
78
Wavelet Coherence (WTC) antara SPL dan Indeks Nino 3.4 (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3) ..............................................................................................
79
Cross Wavelet Transform (XWT) antara SPL dan klorofil-a (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3) ..............................................................................................
80
Wavelet Coherence (WTC) antara SPL dan klorofil-a (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun 3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3) ...........................................................................................................
81
Cross Wavelet Transform (XWT) antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3) .............................................................................
82
Wavelet Coherence (WTC) antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3) ..............................................................................................
83
xxvi
10. Cross Wavelet Transform (XWT) antara stasiun SPL (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III) ......................................................................................
84
11. Wavelet Coherence (WTC) antar stasiun SPL (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III) ..........................................................................................
85
12. Cross Wavelet Transform (XWT) antar stasiun klorofil-a (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III) ......................................................................................
86
13. Wavelet Coherence (WTC) antar stasiun klorofil-a (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III) ..........................................................................................
87
1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan utara Papua merupakan perairan yang berdekatan dan lebih terbuka dengan Samudra Pasifik. Letak perairan di wilayah equator bagian barat Samudra Pasifik dimana Angin Pasat yang bertiup sepanjang tahun menyebabkan penumpukan massa air hangat (warm pool). Massa air hangat ini mengalami pergerakan ke arah timur dikarenakan melemahnya Angin Pasat Tenggara yang dikenal sebagai peristiwa El Nino. Kondisi La Nina terjadi sebaliknya dimana massa air hangat begerak ke barat dikarenakan menguatnya Angin Pasat Tenggara yang menyebabkan mengalirnya massa air dingin dari pantai barat Amerika hasil proses upwelling yang kuat. Fenomena ini memiliki peranan penting terhadap kesuburan perairan. Hatta (2001) menyatakan bahwa perairan utara Papua dikenal sebagai salah satu daerah penangkapan ikan, terutama ikan-ikan pelagis dimana salah satu penyebab berlimpahnya ikan adalah karena berlimpahnya makanan (zooplankton). Lehodey et al. (1997) menyatakan bahwa hampir 70% produksi tuna tahunan dunia (3,2 juta ton) berasal dari Samudera Pasifik. Hasil tangkapan didominasi oleh jenis skipjack tuna/cakalang (Katsuwonus pelamis). Cakalang memiliki habitat di lapisan permukaan di sepanjang wilayah equator dan subtropis Pasifik. Hasil tangkapan yang tertinggi berada di ekuator sebelah barat Pasifik dimana terdapat kolam air hangat yang dicirikan oleh rendahnya produktivitas primer. Kolam hangat merupakan habitat populasi tuna yang sangat produktif. Migrasi cakalang secara spasial sangat jelas terkait dengan perpindahan zonal kolam air hangat selama peristiwa ENSO. Hubungan ini dapat digunakan untuk memprediksi wilayah kelimpahan cakalang tertinggi pada daerah penangkapan sekitar 6.000 km di sepanjang khatulistiwa. Salah satu parameter yang sering dijadikan sebagai indikator kesuburan perairan adalah kandungan klorofil-a di perairan. Klorofil-a merupakan elemen penting dalam reaksi fosintesis. Kandungan klorofil-a di perairan sangat dipengaruhi oleh faktor kimia perairan seperti kandungan unsur hara (nitrat, fospat, silikat, besi) dan faktor fisik seperti intensitas cahaya, suhu, gerak air (arus, upwelling, turbulensi). Faktor fisik seperti musim dan dinamika lautan serta interaksinya terhadap atmosfer mengakibatkan variabilitas kandungan klorofil-a di suatu perairan. Susanto dan Marra (2005) menyatakan bahwa
2
fenomena El Nino menyebabkan menguatnya upwelling di berbagai perairan Indonesia (pantai selatan Jawa dan Sumatera, Laut Banda, serta pantai utara Papua) yang mengakibatkan meningkatnya konsentrasi klorofil-a di lapisan permukaan. Sifat klorofil-a yang dapat menyerap dan memantulkan spektrum cahaya tertentu menjadikannya lebih mudah dideteksi oleh satelit sehingga banyak peneliti lebih menyukai metode tersebut (Nontji, 2006). Studi variabilitas kandungan klorofil-a dewasa ini sudah banyak dilakukan melalui data satelit ocean color (SeaWIFs, Aqua Modis). Data observasi satelit ini lebih bersifat near real time dengan cakupan spasial yang lebih luas dan resolusi spasial yang makin baik. Seiring dengan perkembangan teknologi satelit ocean color dari tahun 1997 - saat ini data observasi satelit ini juga makin panjang sehingga dapat digunakan untuk mempelajari variabilitas klorofil-a di perairan. Beberapa penelitian sebelumnya mengenai variabilitas klorofil-a di perairan telah dilakukan oleh Liu et al. (2002) mengenai pengaruh muson terhadap distribusi klorofil-a di Laut Cina Selatan. Susanto dan Marra (2005) telah meneliti pengaruh El Nino tahun 1997/1998 terhadap variabilitas klorofil-a di sepanjang pantai selatan Jawa dan Sumatera. Tubalawony (2007) mengkaji klorofil-a dan nutrien serta interelasinya dengan dinamika massa air dl perairan barat Sumatera dan selatan Jawa – Sumbawa. Hasegawa (2009) meneliti mengenai upwelling sepanjang pantai utara Papua dan pendinginan suhu permukaan laut diatas kolam Pasifik hangat pada El Nino 2002/2003. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya umumnya hanya menganalisis pada periode data klorofil-a yang lebih pendek (<4 tahun) sehingga sulit dibandingkan terhadap siklus/fenomena El Nino dan La Nina selanjutnya. Penelitian ini dilakukan menggunakan data suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a bulanan pada periode September 1997 – April 2009, dimana sepanjang tahun tersebut telah terjadi beberapa kondisi El Nino dan La Nina dengan kekuatan yang berbeda-beda. Penelitian ini lebih difokuskan pada perubahan suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a oseanik akibat fenomena ENSO berdasarkan indikator anomali suhu permukaan laut pada wilayah Nino 3.4. Penggunaan metode FFT (Fast Forier Transform) dan Wavelet dilakukan untuk mengetahui periode ulang atau frekuensi kejadian yang signifikan dari variabilitas yang diduga sebagai kejadian ENSO dan durasi waktu kejadiannya.
3
1.2. Kerangka Pikir Variabilitas klorofil-a di perairan utara Papua dipengaruhi oleh dinamika massa air dan interaksinya terhadap atmosfer. Perairan utara Papua merupakan bagian dari barat Samudera Pasifik di sekitar ekuator. Pergerakan massa air hangat ke bagian timur akibat melemahnya Angin Pasat Tenggara saat terjadi El Nino menyebabkan massa air di utara Papua menjadi lebih dingin. Hal ini disebabkan karena naiknya massa air dari lapisan dalam akibat menguatnya intensitas upwelling sepanjang pantai utara Papua. Salah satu variabel yang dapat dijadikan indikator terjadinya El Nino adalah anomali suhu pada wilayah Nino 3.4. Variabilitas suhu permukaan laut dan indeks Nino 3.4 dapat dijadikan indikator dalam mempelajari variabilitas klorofil-a di perairan utara Papua. Metode analisis deret waktu (time series analysis) yang digunakan dalam studi variabilitas adalah adalah FFT (Fast Fourier Transform) dan Wavelet. 1.3. Rumusan Masalah Informasi mengenai suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a di perairan saat ini lebih mudah didapatkan melalui data hasil observasi satelit. Namun demikian diperlukan analisis data yang lebih panjang dan cakupan areal yang lebih luas agar variabilitas suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a di perairan dapat diketahui dengan baik. Pengambilan data melalui observasi langsung di lapang terkedala masalah sifat data yang tidak sinoptik dan biaya yang besar. Data observasi lapang tetap diperlukan karena memiliki akurasi yang lebih baik dan untuk validasi data satelit yang terkadang terkendala pada resolusi spasial yang masih rendah serta gangguan kondisi atmosfer yang mempengaruhi kualitas data. Pengaruh fenomena ENSO terhadap aktifitas manusia di daratan sejak lama menjadi perhatian masyarakat dan pemerintah dan sudah banyak dilakukan antisipasi guna meminimalisir dampak yang ditimbulkannya. Pengaruh ENSO terhadap aspek lautan juga sebaiknya dapat menjadi perhatian salah satunya dalam menentukan waktu dan daerah penangkapan ikan (fishing ground). Indonesia memiliki luas lautan sekitar dua pertiga dari daratannya dengan sumberdaya hayati seperti ikan yang tinggi, maka kedepannya dalam pengelolaan perikanan tangkap perlu mempertimbangkan pengaruh interaksi lautan dan atmosfer seperti ENSO.
4
1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari variabilitas kandungan klorofil-a di perairan utara Papua secara spasial dan temporal serta kaitannya terhadap fenomena ENSO berdasarkan variabilitas suhu permukaan laut dan anomali suhu permukaan laut di wilayah Nino 3.4. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai variabilitas klorofil-a baik secara spasial dan temporal di perairan utara Papua. Selanjutnya juga dapat menggambarkan pengaruh ENSO terhadap kandungan klorofil-a sebagai indikator kesuburan perairan di utara Papua. Sehingga pada akhirnya informasi tersebut dapat dimanfaatkan dalam penentuan waktu dan daerah penangkapan ikan.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Suhu Permukaan Laut Distribusi suhu permukaan laut (SPL) di dunia cenderung zonal dan tidak tergantung posisi bujur. Air hangat berada dekat khatulistiwa dan terdingin air dekat kutub, sehingga deviasi suhu secara zonal lebih kecil dibanding secara meridional. Hal ini terjadi karena wilayah equator banyak mendapat bahang dari sinar matahari. Lautan Pasifik pada wilayah equator hingga lintang 40o di BBU memiliki massa air yang lebih hangat di bagian barat dibanding bagian timur. Anomali suhu permukaan laut rata-rata kurang dari 1,5o C kecuali di Pasifik khatulistiwa dimana anomali mencapai 3o C. Daerah tropis memiliki kisaran suhu kurang dari 2 oC (Stewart, 2002). Wyrtki (1961) menyatakan bahwa suhu lapisan permukaan di daerah tropis adalah hangat dan variabilitas suhu bulanannya secara normal kecil tetapi variabilitas hariannya besar. Variasi suhu tahunan pada lapisan pemukaan untuk daerah laut tropis di Indonesia sangat kecil, yaitu kurang dari 2 °C, kecuali di Laut Banda, Arafura dan Laut Timor yang dapat mencapai 3 - 4 °C. Suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman, contohnya pada musim pancaroba dimana angin bertiup lemah dan permukaan laut sangat tenang. Hal ini menyebabkan proses pemanasan yang kuat terjadi dipermukaan hingga suhu pada lapisan permukaan mencapai maksimum. Suhu permukaan laut di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 28 - 31 °C. Di daerah terjadinya proses upwelling, misalnya di Laut Banda, suhu permukaan air dapat turun mencapai 25 °C, hal disebabkan karena air yang dingin dari lapisan bawah terangkat ke lapisan atas (Nontji, 2005). Perairan semi tertutup biasanya memiliki suhu permukaan lebih tinggi dibandingkan daerah lain, karena pengaruh daratan. Perairan Indonesia merupakan perairan yang semi tertutup, oleh karena itu variasi suhu musiman dan tahunan dipengaruhi oleh daratan yang mengelilinginya, dan memiliki variasi suhu harian yang lebih besar jika dibandingkan dengan perairan tropis yang terbuka (Sverdrup et al.1946). Menurut Hela dan Laevastu (1970), perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh terhadap distribusi organisme perairan. Hal ini erat sekali hubungannya dengan proses- proses biokimia dalam tubuh organisme. Hampir semua populasi ikan yang hidup di laut mempunyai suhu optimum untuk
6
kehidupannya. Dengan mengetahui suhu optimum dari suatu spesies ikan, maka kita akan dapat menduga keberadaan suatu kelompok ikan, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan perikanan. 2.2. Klorofil-a Energi matahari digunakan untuk mendorong proses fotosintesis dimana konversi energi radiasi menjadi energi kimia tergantung pada pigmen khusus fotosintetik yang terkandung dalam kloroplas alga. Pigmen yang dominan adalah klorofil a, namun klorofil b, c, dan d ditambah pigmen lainnya (karoten, xanthophylls, dan phycobilins) juga hadir dalam banyak spesies dan beberapa pigmen ini juga dapat terlibat dalam proses konversi energi tersebut (Lalli dan Parsons, 2006). Lalli dan Parsons (2006) juga menyatakan bahwa klorofil-a sangat mempengaruhi jumlah dan laju fotosintesis karena pigmen ini mendominasi konversi energi radiasi menjadi energi kimia. Absorbsi maksimum klorofil-a terhadap radiasi matahari terjadi pada spektrum merah (650-700 nm) dan biruviolet (450 nm). Absorpsi dari komponen cahaya ini menyebabkan tumbuhan berwarna hijau. Ini berarti berdasarkan citra warna laut (ocean color) dapat dipahami suatu bentuk distribusi biomassa fitoplankton di laut. Namun demikian, metode ini masih memiliki kelemahan karena penginderaan jarak jauh sinar tampak (visible light) hanya dapat mencapai permukaan, sedangkan plankton tidak selalu berada di permukaan perairan. Kadar klorofil dalam suatu volume air laut tertentu merupakan suatu ukuran biomassa tumbuhan yang terdapat dalam air laut tersebut. Biomassa per satuan volume air per satuan waktu merupakan ukuran produktivitas primer perairan. Dua faktor utama fisika kimia yang mempengaruhi produktivitas perairan adalah cahaya dan nutrien. Namun demikian dikarenakan fitoplankton hidup di air dan terbawa oleh pergerakan air, maka faktor hidrografi seperti arus, upwelling, turbulensi, dan difusi juga merupakan faktor penting lainnya (Nybakken, 1992). Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopis yang pergerakannya dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya, dalam trofik level disebut sebagai produsen utama perairan (Odum,1971). Berdasarkan Nybakken (1992), tumbuhan ini bebas melayang dan hanyut dalam air laut serta mampu melakukan fotosintesis. Kemampuan fitoplankton dalam mengubah zat organik menjadi zat anorganik tidak lepas dari keberadaan cahaya matahari dan pigmen fotosintesis.
7
Perairan Indonesia yang memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi hampir selalu berkaitan dengan adanya pengadukan dasar perairan, dampak aliran sungai (pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera bagian selatan, Kalimantan Selatan dan Irian Jaya) serta berlangsungnya proses penaikan massa air lapisan dalam ke permukaan (Laut Banda, Laut Arafura, Selat Bali dan Selatan Jawa) (Arinardi et al. 1997). Susanto dan Marra (2005) menyatakan bahwa variabilitas klorofil-a di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh muson dan fenomena interannual terkait dengan ENSO dan IOD, khususnya di daerah upwelling di sepanjang pantai Jawa dan Sumatra, dan Laut Banda. Selama puncak El Nino 1997/1998, anomali angin timur menyebabkan upwelling yang kuat. Upwelling tersebut membawa massa air yang lebih dingin dan mengangkat termoklin ke lapisan kedalaman yang lebih dangkal di sepanjang pantai Jawa dan Sumatra. Hal ini menyebabkan konsentrasi klorofil-a yang tinggi disepanjang barat laut pantai Sumatera dan Jawa. Selanjutnya Susanto et al. (2001) menjelaskan pada La Nina Nopember 1998 konsentasi klorofil-a tidak signifikan pada wilayah tersebut. Tubalawony (2007) menyatakan terdapat hubungan yang kuat antara penurunan SPL dan peningkatan konsentrasi klorofil-a selama musim timur di barat Sumatera dan selatan Jawa disebabkan karena terjadi upwelling, terutama di perairan selatan Jawa Timur - Bali. 2.3. Hubungan antara Faktor Oseanografi dan Produktivitas Primer Perairan Tingginya produktivitas di perairan oseanis tropis umumnya merupakan dampak dari berbagai proses dinamika di dalam perairan kolom perairan. Gabric dan Parslow (1989) mengatakan bahwa laju produktivitas primer di lingkungan laut ditentukan oleh berbagai faktor fisika. Faktor-faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutropik adalah percampuran vertikal, penetrasi cahaya dan laju tenggelam sel (fitoplankton). Percampuran vertikal massa air dapat menyuburkan kolom perairan dengan cara mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan permukaan. Meningkatnya nutrien dan dibantu dengan penetrasi cahaya matahari yang cukup mengakibatkan terjadinya peningkatan laju produktivitas primer. Difusi turbulensi melalui lapisan termoklin juga dapat mengakibatkan masuknya nutrien ke zona eufotik sehingga meningkatkan laju penyerapan nitrat oleh fitoplankton dan laju produktivitas primer baru. Difusi turbulensi merupakan
8
tingkat dasar dari produktivitas primer yang dapat meningkatkan produktivitas primer hingga 10 kali lebih besar di zona eufotik (Tett dan Edwards, 1984). Upwelling atau penaikkan massa air adalah proses naiknya massa air dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan yang lebih atas atau permukaan. Massa air yang berasal dari lapisan dalam akan menggantikan kekosongan tempat aliran lapisan permukaan air yang menjauhi pantai (Weyl, 1967). Menurut Pariwono et al. (1988), tingginya kadar zat hara akan merangsang perkembangan fitoplankton yang erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, maka proses upwelling selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer suatu perairan. Massa air subur akan menjadi feeding ground bagi ikan yang kemudian menjadi sasaran kegiatan perikanan (penangkapan ikan). Pada lokasi terjadinya upwelling, suhu permukaan laut umumnya lebih rendah dari daerah sekitarnya (Nontji, 2005). Wyrtki (1961) membagi upwelling menjadi 3 tipe, yaitu : 1. Tipe Stasioner (Stasionery Type), Tipe ini terjadi sepanjang tahun namun intensitas berfluktuasi. Contoh : Pantai Peru. 2. Tipe Periodik (Periodic Type), upwelling terjadi selama satu musim. Pada musim upwelling massa air di permukaan bergerak menjauhi daerah tersebut dan digantikan oleh massa air yang densitasnya lebih tinggi (suhu lebih rendah, salinitas tinggi). Contoh : Pantai Selatan Jawa. 3. Tipe Silih Berganti (Alternating Type), Pada tipe ini, upwelling dan downwelling terjadi secara bergantian. Contoh : Laut Banda dan Laut Arafura. Upwelling di perairan lepas pantai maupun perairan katulistiwa juga berperan dalam mendukung ketersediaan nutrien pada lapisan permukaan tercampur yang dihasilkan melalui proses pengangkatan massa air dalam. Cullen et al. (1992) mengatakan bahwa konsentrasi klorofil-a dan laju produktivitas primer meningkat di sekitar katulistiwa, dimana terjadi aliran nutrien secara vertikal akibat adanya upwelling di daerah divergensi katulistiwa. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen. Joint dan Pomroy (1988) mengatakan bahwa konsentrasi klorofil-a homogen hingga kedalaman 30 m. Sebaran klorofil maksimum di Samudera Pasifik dijumpai pada kedalaman antara 40 – 60 m dengan nilai rata-rata antara 0,30 - 0,35 mg/m3 (Barber and Chaves, 1991). Hasegawa (2009) menyatakan bahwa SPL < 29 oC saat terjadinya coastal upwelling di perairan utara Papua. Selama bulan Desember 2001 sebelum permulaan kejadian El Nino tahun 2002/2003 terjadi upwelling di
9
sepanjang pantai utara Papua yang ditandai dengan naiknya massa air dingin dari lapisan dalam ke permukaan. Massa air dingin ini kemudian menyebar ke timur laut bersamaan dengan kuatnya hembusan angin barat laut di sepanjang pantai utara Papua. 2.4. ENSO (El Nino Southern Oscillation) ENSO merupakan singkatan dari El-Nino Southern Oscillation pada umumnya para ahli membagi ENSO menjadi ENSO hangat (El Nino) dan ENSO dingin (La Nina). Penggunaan istilah hangat dan dingin berdasarkan pada anomali suhu permukaan laut (SPL) di daerah Nino di ekuator Samudera Pasifik bagian tengah dan timur. Fenomena ENSO merupakan hasil variabilitas antartahunan yang merupakan interaksi atmosfer dan lautan di Pasifik (Wells, 1986). Philander (1990) menyatakan bahwa El Nino merupakan suatu fase dari ENSO dimana Angin Pasat Tenggara dan Angin Pasat Timur Laut melemah dan seringkali berbalik arah. Kejadian El Nino diawali dengan turunnya tekanan udara di Pasifik Selatan bagian timur dan bergesernya sirkulasi Walker ke arah timur. Tekanan udara di atas Indonesia dan Samudra Hindia bagian timur menguat. Massa air permukaan yang hangat yang biasanya terdapat di Samudra Pasifik bagian barat menyebar ke arah timur, terkadang sampai 140 °BT. Bergeraknya massa air permukaan yang hangat ke timur akan mengurangi gradien SPL zonal di sepanjang ekuator Pasifik. Akibatnya, Angin Pasat juga semakin lemah diikuti dengan melemahnya Arus Ekuatorial yang bergerak ke arah barat sehingga menguatkan Arus Balik Ekuatorial kearah timur yang memunculkan arus hangat El Nino dan El Nino semakin berkembang. Menurut Quinn et al. (1978), fenomena El Nino memiliki siklus yang tidak teratur dengan periode antara 2 - 7 tahun. Selama terjadi ENSO, ketika anomali angin di Samudera Pasifik ke barat, anomali angin di Samudera Hindia adalah ke timur. Pola angin konsisten dengan anomali divergen lapisan permukaan laut di Indonesia. Pertukaran Angin Tenggara di atas Samudera Hindia pada lintang 15° LS hingga 20° LS melemah selama ENSO, konsisten dengan tekanan barometrik yang lebih tinggi di atas Australia dengan khatulistiwa (Meyers, 1996). McPhaden (2004) menyatakan bahwa pemicu terjadinya ENSO yang hingga saat ini diyakini adalah gangguan angin baratan di barat equatorial Lautan Pasifik yang terjadi pada fase awal pembentukan El Nino. Penyebab
10
gangguan angin baratan sebelum terjadinya El Nino masih belum diketahui. Eisenman et al. (2005) menyatakan bahwa gangguan angin baratan bukan sebagai pemicu awal terjadinya El Nino, tetapi merupakan hasil interaksi lautanatmosfer yang dipicu oleh dinamika El Nino itu sendiri. Hasegawa et al. (2009) menyatakan bahwa hasil analisis bahang berdasarkan data buoy TRITON pada wilayah WSWP (Pacific Warm Pool : 5°S– 5°N, 140°E–150°E) mengungkapkan bahwa adveksi panas oleh arus yang bergerak ke timur merupakan faktor utama yang mendinginkan lapisan tercampur di daerah WSWP. SPL yang lebih rendah di WSWP menghasilkan gradien positif SPL dengan wilayah sebelah timur. Hal ini berkontribusi menyebabkan peningkatan angin baratan di daerah ini yang menyebabkan terjadinya El Nino tahun 2002/2003. Fenomena ENSO menimbulkan dampak iklim yang lebih luas tidak hanya di Lautan Pasifik (McPhaden et al. 1998). ENSO merupakan kejadian yang sangat komplek melibatkan variabilitas atmosfer-lautan di Lautan Pasifik bagian barat serta interaksi dengan daratan (keberadaan ribuan pulau di Indonesia) yang juga berasosiasi dengan fenomena Madden Julian Oscilation (MJO) (Pohl dan Matthews, 2007). ENSO juga berasosiasi dengan Tropical Biennial Oscilation (TBO) (Wu dan Kirtman, 2004), muson (Li et al. 2007), DM (Shinoda et al. 2004; Ashok et al. 2007) dan kemungkinan berinteraksi dengan Pacific Decadal Oscilation (PDO) (Roy et al. 2003; Yon dan Yeh 2010). Berbagai indeks yang digunakan untuk memantau ENSO adalah Multivariate ENSO Index (MEI), Southern Oscilation Index (SOI), dan Nino 3.4 Index. Anomali SPL Nino 3.4 merupakan indikator kondisi El Nino di tengah Samudra Pasifik tropis. Indeks ini dihitung berdasarkan nilai rata-rata suhu pada wilayah Nino 3.4 pada area batas 170° W - 120° W, 5° S - 5° N (Gambar 1) dikurangi suhu rata-rata pada area tersebut selama 30 tahun. Trenberth (1997) menggunakan anomali suhu pada wilayah Nino 3.4 untuk menentukan kondisi El Nino dan La Nina, dimana anomali suhu ± 0,4oC dan bertahan selama 6 bulan. Anomali positif dinyatakan sebagai kondisi El Nino dan anomali negatif sebagai kondisi La Nina. Sedangkan National Oceanic dan Atmospheric Administration (NOAA) pada tahun 2003 (NOAA, 2003) memberikan definisi El Nino dan La Nina berdasarkan indeks Nino 3.4 adalah jika anomali suhu positif/negatif lebih dari 0,5 oC berturut-turut bertahan selama 3 bulan maka kondisi tersebut dikatakan sebagai kejadian El Nino /La Nina.
11
Sumber : Climate Prediction Center (CPC) NOAA Gambar 1
Area Nino 3.4 di Samudra Pasifik tropis yang merupakan indikator kondisi El Nino.
2.5. Kondisi Meteorologi dan Oseanografi Perairan Utara Papua Perairan Samudera Pasifik menutupi hampir setengah bagian bumi dan merupakan bagian terbesar dari struktur samudera (King, 1963). Perairan ini dipengaruhi oleh sistem muson yang menyebabkan pergantian arah angin yang bertiup di seluruh wilayah perairan tersebut. Perbedaan ini berhubungan dengan kondisi angin yang bertiup di atas Samudera Pasifik Utara. Saat Musim Barat, terjadi pergeseran tekanan tinggi di Benua Asia yang mengakibatkan terbentuknya udara yang hangat dan kering di atas Samudera Pasifik Utara, sedangkan pada Musim Timur terjadi sebaliknya (Tchernia, 1980). Perairan utara Papua merupakan bagian dari Samudera Pasifik dimana terdapat kolam air hangat (warm pool water) sehingga memilki curah hujan yang tinggi (>3000 mm/tahun). Kolam air hangat disebabkan oleh menumpuknya massa air hangat ekuator yang terbawa oleh Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) karena hembusan Angin Pasat (trade wind) di Pasifik. menyatakan bahwa di atas daerah katulistiwa Samudera Pasifik, Angin Pasat Tenggara berhembus secara normal sepanjang tahun. Angin Pasat ini mengakibatkan massa air yang dingin dari bagian timur Samudera Pasifik bergerak menuju perairan timur Indonesia. Selama bergerak, massa air tersebut mengalami penghangatan sehingga ketika mencapai perairan timur Indonesia menjadi hangat dan mengumpul yang dikenal dengan warm pool. Selain itu Angin Pasat Tenggara juga mengakibatkan permukaan laut sepanjang pantai Mindanao-HalmaheraPapua di Samudera Pasifik bagian barat lebih tinggi daripada permukaan laut
12
sepanjang pantai Sumatera-Jawa-Sumbawa di Samudera Hindia bagian timur (Wyrtki,1961). Wyrtki (1961) juga menyatakan bahwa pola sirkulasi di perairan utara Papua memiliki variabilitas musiman yang kuat. Sirkulasi permukaan yang paling kuat di bagian barat Samudera Pasifik adalah Arus Khatulistiwa Utara yang mengalir terus sepanjang tahun menuju Filipina. Kecepatan arus tertinggi terjadi pada Desember hingga Februari dan terendah pada April hingga Juni. Pada bulan Juni hingga Agustus Arus Katulistiwa Selatan (AKS) mengalir kencang ke barat sepanjang pantai utara Papua hingga ke Halmahera membawa massa air hangat dan asin. Selanjutnya membelok ke utara dan bergabung dengan massa air yang keluar dari Laut Sulawesi dan Laut Maluku yang menyebabkan pembelokan lebih jauh ke kanan bergabung dengan Arus Katulistiwa Utara (AKU) dan Arus Sakal Katulistiwa (Equatorial Counter Current). Pertemuan kedua arus ini membentuk aliran yang lebih besar kearah timur. Pada musim ini Arus Sakal Katulistiwa mencapai kekuatan maksimal yang membawa massa air dari belahan bumi selatan yang lebih dingin dan tawar. Kekuatan AKS dan Arus Sakal Katulistiwa melemah tanpa perubahan pola arus pada bulan Oktober. Kashino et al. (1999) menyatakan Arus Mindanao yang merupakan bagian dari Arus Katulistiwa Utara (North Equatorial Current) mengalir dari arah utara sepanjang Pantai Mindanao masuk ke Laut Sulawesi. Arus ini kemudian berbalik arah ke timur kembali ke Pasifik namun ada pula yang mengalir menjadi ARLINDO. Di bawah Arus Mindanao mengalir Arus Bawah Mindanao (Mindanao Undercurrent). Di sepanjang pantai Papua mengalir Arus Pantai Papua (New Guinea Coastal Current) dan Arus Bawah Pantai Papua (New Guinea Coastal Undercurrent) yang merupakan bagian dari Arus Katulistiwa Selatan (South Equatorial Current). Arus Bawah Pantai Papua mengalir ke barat laut lalu berbalik arah ke timur Pulau Halmahera, bergabung dengan Arus Mindanao dan mengalir ke timur sebagai Arus Sakal Ekuator Utara (North Equatorial Countercurrent). Pusaran Mindanao dan Pusaran Halmahera terdapat di tempat pembalikan arah dari Arus Mindanao dan Arus Bawah Pantai Papua. Kashino et al. (2007) menemukan adanya Pusaran Papua (New Guinea Eddy) di utara Papua hasil pembalikan arah dari Arus Bawah Pantai Papua di sekitar 135 -138°BT yang kemudian mengalir ke timur sebagai Arus Bawah Katulistiwa (Equatorial Undercurrent).
13
Saat musim timur Arus Bawah Pantai Papua bergerak kuat ke arah barat laut (Kashino et al. 2007). Fine et al. (1994) menyatakan bahwa Arus Bawah Pantai Papua yang menggerakkan Antarctic Intermediate Water (AAIW) ke arah barat laut akan berhubungan dengan Arus Bawah Mindanao yang mengalir ke utara. Kashino et al. (2007) memperlihatkan sistem arus pada ekuatorial Pasifik barat pada Oktober sampai Nopember 1999 yang disajikan pada Gambar 2. Garis berwarna merah dan biru menunjukkan arus menggerakkan massa air masing-masing dibentuk di utara dan selatan Pasifik. AKS mengalir ke arah barat pada lapisan permukaan yang ditunjukkan dengan panah hijau. Halmahera Eddy (HE) dan New Guinea Eddy (NGE) ditunjukkan dengan lingkaran berwarna ungu.
Gambar 2 Pola arus di ekuator barat Pasifik hasil rata-rata pengukuran ADCP dengan menggunakan Kapal Riset Kaiyo pada kedalaman 175 - 225 m selama periode Oktober – Nopember 1999 (Kashino et al. 2007). Kuroda (1999) menjelaskan bahwa Arus Pantai Papua merupakan arus permukaan yang disebabkan oleh pengaruh musim. Penumpukan massa air di permukaan disebabkan oleh transpor Ekman di pantai Papua dan kombinasi dengan upwelling oleh tranpor Ekman yang lemah di ekuator. Arus Pantai Papua dan Arus Bawah Pantai Papua salah satu pola aliran yang mengontrol neraca bahang dan salinitas dari kolam air hangat di ekuator bagian barat Samudra Pasifik. Fine et al. (1994) mendeskripsikan empat tipe massa air di perairan Pasifik Barat, yaitu North Pacific Tropical Water (NPTW) yang memiliki salinitas tinggi dengan σθ = 24,0, South Pacific Tropical Water (SPTW) yang memiliki salinitas tinggi dengan σθ = 25,0, North Pacific Intermediate Water (NPIW) yang memiliki salinitas minimum dengan σθ = 26,5, and the Antarctic Intermediate Water (AAIW)
yang memiliki salinitas minimum dengan σθ = 27,2. Selanjutnya
14
Bingham dan Lukas (1995) dalam Kashino et al. (2007) menambahkan North Pacific Tropical Intermediate Water (NPTIW) yang memiliki salinitas dan oksigen minimum dengan σθ = 26,8 dan South Pacific Tropical Intermediate Water (SPTIW) yang memiliki salinitas dan oksigen minimum dengan σθ = 27,1. Hasegawa (2009) menyatakan secara musiman perairan utara Papua sangat subur yang dipicu ketika muncul Madden Julian Oscilation (MJO) yang memiliki periode 40-50 harian. Saat MJO muncul, angin baratan akan membangkitkan gelombang Kelvin ke arah timur dan berubah menjadi gelombang Coastally Trapped Kelvin Wave (CTKW) ketika gelombang ini membentur massa daratan kepulauan Bismark. Gelombang Kelvin yang terperangkap di pantai ini merambat menyusuri pantai sepanjang kepulauan Bismark hingga pantai utara Papua. Pertemuan arus ini memicu munculnya fenomena divergensi yang mengakibatkan naiknya massa air dari lapisan dalam (upwelling).
15
3 BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan utara Papua pada domain area 130o BT – 145 o BT dan 6o LU – 4o LS (Gambar 3). Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pemrosesan Data Bagian Oseanografi Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB dimulai sejak September 2009 hingga Agustus 2011. Tahapan waktu penelitian terbagi menjadi tiga, yaitu tahap pertama merupakan studi literatur, tahap kedua merupakan pengumpulan data, dan tahap ketiga merupakan pengolahan serta interpretasi data. 3.2. Sumber Data Penelitian ini menggunakan tiga data utama yaitu data klorofil-a, suhu permukaan laut dan indeks Nino 3.4 serta data pendukung dari Buoy TRITON. Adapun penjelasan perolehan dan metadata masing-masing data yang digunakan pada bagian di bawah ini. 3.2.1. Data Nino 3.4 Data Nino 3.4 diperoleh dari Climate Prediction Center (CPC) yang didirikan pada tahun 1980 oleh National Weather Service yang merupakan bagian dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). CPC terkenal sebagai pusat prediksi iklim di Amerika Serikat berdasarkan kondisi El Nino dan La Nina di Pasifik tropis. Data ini memiliki resolusi temporal bulanan dari Januari 1950 – saat ini. Penelitian ini hanya menggunakan periode data dari September 1997 – April 2009 yang disamakan dengan rentang periode data klorofil-a. Data dapat diakses di http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/sstoi.indices dan memiliki format ASCII. Wilayah Nino 3.4 di tengah ekuator Samudra Pasifik dapat dilihat pada Gambar 1. 3.2.2. Data Klorofil-a Data klorofil-a bersumber dari The GlobColour Project yang didanai ESA Data User Element yang mengembangkan layanan data satelit ocean color untuk mendukung penelitian siklus karbon global dan operasional oseanografi. Datanya merupakan hasil penggabungan beberapa satelit yang dikalibrasi dan telah
16
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh komunitas pengguna ocean color. Data berformat netcdf dengan resolusi temporal bulanan selama periode September 1997 – April 2009. Data ini memiliki resolusi spasial 25 km x 25 km dan dapat diakses di http://www.globcolour.info/data_access_full_prod_set.html. Titik-titik merah yang membentuk grid adalah stasiun data yang digunakan untuk membuat sebaran permukaan (Gambar 3). Untuk analisis statistik untuk melihat pengaruh El Nino dan La Nina hanya pada domain 135o BT – 141o BT dan 1o LU – 4o LU (kotak merah). Sembilan stasiun (lingkaran biru) yang terdiri dari tiga transek (poligon biru) dicuplik untuk dibuat sebaran berdasarkan waktu dan selanjutnya digunakan dalam analisis FFT dan wavelet. Koordinat setiap stasiun disajikan pada Tabel 1. Pada setiap transek dibuat sebaran melintang (section) klorofil-a berdasarkan waktu (aksis-x) dan lintang (aksis-y).
Gambar 3 Sebaran stasiun klorofil-a di perairan utara Papua. 3.2.3. Data Suhu Permukaan Laut Data suhu permukaan laut bersumber dari Earth System Research Laboratory (ERSL) yang merupakan bagian dari National Oceanic dan Atmospheric Administration (NOAA). ESRL dibentuk untuk mendapatkan pemahaman yang luas dan komprehensif dari sistem fisik, kimia dan biologi di bumi yang dinamis. Selanjutnya melakukan integrasi untuk memprediksi prosesproses pada skala lokal hingga global dari periode menit hingga ribuan tahun. Data SPL yang tersedia memiliki cakupan global dengan resolusi spasial 1°X1°,
17
interval bulanan tersedia dari Desember 1981 – saat ini. Untuk penelitian ini digunakan data bulanan pada lokasi perairan utara Papua dengan periode waktu yang dicuplik sama dengan data klorofil-a. Data berformat netcdf dapat diakses di http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.noaa.oisst.v2.html. Titik-titik biru yang membentuk grid adalah stasiun data yang digunakan untuk membuat sebaran permukaan (Gambar 4). Sembilan stasiun (lingkaran biru) yang terdiri dari tiga transek dicuplik untuk dibuat sebaran berdasarkan waktu dan selanjutnya digunakan dalam analisis FFT dan wavelet. Koordinat setiap stasiun disajikan pada Tabel 1, ada perbedaan posisi sebaran stasiun dengan klorofil-a karena perbedaan resolusi spasialnya. Setiap transek juga dibuat sebaran melintang SPL berdasarkan waktu (aksis-x) dan lintang (aksis-y).
Gambar 4 Sebaran stasiun suhu permukaan laut di perairan utara Papua. 3.2.4. Data Bouy TRITON Data pendukung dari Buoy TRITON diperoleh dari Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC) yang dapat diakses di http://www.jamstec.go.jp/jamstec/TRITON/real_time/php/delivery.php. Data buoy TRITON yang digunakan adalah suhu pada kedalaman permukaan (1,5 m) memiliki interval pengukuran setiap 2 jam. Terdapat 3 stasiun Buoy TRITON di sekitar perairan utara Papua (Gambar 5), tetapi hanya dipilih dua stasiun terdekat yaitu Stasiun 2 dan Stasiun 3 (lingkaran biru). Stasiun 1 tidak digunakan
18
karena banyak rekaman data yang kosong pada durasi waktu yang panjang. Stasiun 2 memiliki rentang data dari 25 Oktober 1999 - 17 Juni 2009 dan Stasiun 3 memiliki rentang data dari 29 September 2001 - 17 Juni 2009.
Gambar 5 Lokasi stasiun Buoy TRITON di Perairan Utara Papua dari JAMSTEC. Tabel 1 Transek dan posisi stasiun data buoy TRITON, SPL dan klorofil-a Transek
Stasiun
o
Bujur ( BT)
o
Lintang ( LU)
-
Buoy 2
138,000
2,000
-
Buoy 3
137,000
5,000
SPL 1
130,500
1,500
Klorofil-a 1
130,625
1,375
SPL 2
130,500
3,500
Klorofil-a 2
130,625
3,375
I
II
III
SPL 3
130,500
5,500
Klorofil-a 3
130,625
5,375
SPL 1
137,500
1,500
Klorofil-a 1
137,625
1,375
SPL 2
137,500
3,500
Klorofil-a 2
137,625
3,375
SPL 3
137,500
5,500
Klorofil-a 3
137,625
5,375
SPL 1
144,500
1,500
Klorofil-a 1
144,625
1,375
SPL 2
144,500
3,500
Klorofil-a 2
144,625
3,375
SPL 3
144,500
5,500
Klorofil-a 3
144,625
5,375
19
3.3. Analisis Data Data anomali suhu pada daerah Nino 3.4 dibuat sebaran berdasarkan waktu dan ditentukan periode El Nino maupun La Nina berdasarkan definisi Trenberth (1997) dengan menggunakan MS. Excel 2007. Data klorofil-a global tiap bulan selama periode September 1997 – April 2009 dipotong pada domain area di utara Papua dan dikompilasi dengan menggunakan perangkat lunak ODV (Ocean Data View) versi 4.3.6 tahun 2010. Selanjutnya dibuat kondisi sebaran permukaan normal bulanan dan sebaran melintang berdasarkan waktu. Data dalam format netcdf di ODV diekspor menjadi berformat teks untuk dilakukan analisis statistik untuk mencari nilai minimum, maksimum, rerata dan deviasinya dengan menggunakan MS. Excel 2007. Analisis statistik pada wilayah ini dianggap mewakili kondisi oseanik yang kurang dipengaruhi oleh daratan. Hal serupa juga dilakukan untuk data SPL. Data suhu dari Buoy TRITON pada kedalaman permukaan (1,5 m) dirata-ratakan menjadi bulanan utuk validasi data SPL hasil reanalisis pada periode Oktober 2001 – Maret 2009. Analisis deret waktu pada variabel indeks Nino 3.4, klorofil-a dan SPL dengan metode FFT menggunakan program STATISTICA 6 dan analisis wavelet dilakukan dengan menggunakan MATLAB versi 2008a. Setiap variabel masingmasing stasiunnya dibuat spektrum densitas energi pada FFT dan Continous Wavelet Transform (CWT) pada wavelet. Korelasi silang pada FFT dan Cross Wavelet Transform (XWT) serta Wavelet Transform Coherence (WTC) pada wavelet dilakukan terhadap antar variabel dan stasiun data. 3.3.1. Validasi Data Validasi data dilakukan untuk melihat tingkat relevansi/kesesuaian antara data hasil model terhadap data pengukuran di lapang. Data lapang umumnya tersedia pada periode dan spasial yang terbatas, sehingga sulit untuk melakukan analisis secara spasial yang lebih luas dan periode yang lebih panjang. Saat ini banyak digunakan data hasil model/reanalisis dengan resolusi spasial dan temporal serta tingkat akurasi yang lebih baik. Salah satu metode validasi pasangan data deret waktu dan spasial hasil model/reanalis dan terhadap observasi lapang adalah dengan menentukan nilai Root Mean Square Error (RMSE) (Chu et al. 1999; Mattern et al. 2010; Shi et al. 2011). RMSE adalah suatu total ukuran kesalahan (error) yang merupakan fungsi dari akar kuadrat dari jumlah varian dan error kuadrat (Persamaan 1). Hal ini berarti RMSE akan
20
selalu menghasilkan error bernilai positif dimana makin kecil perbedaan antara data model/reanalisis terhadap data lapang maka nilai RMSE juga akan semakin kecil. Data yang akan divalidasi adalah data SPL hasil reanalisis dari ERSL NOAA terhadap data suhu permukaan dari Buoy TRITON. Selain dihitung nilai RMSEnya pada stasiun yang berdekatan juga diplotkan pola variabilitas suhu berdasarkan waktu, sehingga dapat dilihat juga kesesuaian pola variabilitasnya. Berdasarkan Tabel 1 maka stasiun SPL yang divalidasi terhadap Buoy TRITON adalah SPL pada Transek II Stasiun 1 (TIIS1) dengan Buoy 2 dan SPL pada Transek II Stasiun 3 (TIIS3) dengan Buoy 3. Persamaan RMSE yang digunakan untuk perhitungan validasi adalah sebagai berikut: RMSE = ……………………............…...........................……….....………………(1) dimana: y = SPL Observasi (Buoy TRITON) x = SPL reanalisis ERSL NOAA n = Jumlah pasangan data
3.3.2. Analisis FFT Analisis deret waktu merupakan suatu metode statistik yang banyak digunakan untuk mengkaji berbagai fenomena di alam seperti interaksi antara atmosfer dan lautan. Tentunya proses interaksi ini sangat kompleks dan dinamis serta banyak variabel yang memiliki periodisitas yang panjang. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk analisis deret waktu adalah Fast Fourier Transform (FFT) yang menggambarkan frekuensi dan periode dari suatu fluktuasi. Analisis FFT terdiri atas spektrum densitas energi (auto spectrum) dan korelasi silang antara variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap suatu variabilitas atau fenomena yang ingin diketahui. 3.3.2.1. Spektrum Densitas Energi Spektrum densitas energi digunakan untuk mengetahui frekuensi/periode fluktuasi dan nilai densitas energi. Frekuensi /periode fluktuasi dari nilai densitas energi dicari dengan menggunakan perangkat lunak STATISTICA 6.0. Data
21
deret waktu terlebih dahulu diubah dari domain waktu menjadi domain frekuensi dan untuk lebih menggambarkan pola variabilitas yang jelas pada data yang cukup panjang maka domain frekuensi dibuat dalam basis log10. Dengan metode FFT, komponen fourier X(fk) dari data deret waktu xt yang dicatat pada selang waktu h diberikan oleh (Bendat dan Piersol, 1971) : N −1 2πkt X (fk ) = h ∑ xt exp − i N t =o
…………..…………………....................…..….……. (2)
Dari nilai FFT tersebut dapat diperoleh nilai fungsi spektrumnya (S x ) sbb : Sx =
2 2h X (fk ) N
……………………………….....................……...............…..….. (3)
dimana : X(fk) : fungsi FFT pada frekuensi ke-k(fk) N
: jumlah pengamatan
t
: 0, 1, 2, ….N-1
h
: 0, 1, 2, ….N-1
i
: (bilangan imajiner) Karakteristik distribusi densitas suatu spektrum dapat ditentukan dengan
selang kepercayaan spektrum tersebut. Densitas spektrum merupakan kombinasi linear dari jumlah perkiraan distribusi chi-kuadrat. Distribusi chikuadrat dengan derajat kebebasan diperoleh dengan cara pencocokan nilai rerata dan variannya. Untuk menentukan tingkat signifikan suatu spektrum densitas energi pada selang kepercayaan tertentu maka terlebih dahulu dihitung batas atas dan batas bawah selang kepercayaan dari spektrum tersebut. Persamaan matematis yang menggambarkan selang kepercayaan terhadap suatu spektrum berdasarkan Emery dan Thomson (1997) adalah sbb : ......……......................................................…….. (4) dimana : S2(f) : Varian dari spektrum σ2(f) : Varian sesungguhnya α
: taraf nyata (0,05)
χ
: Fungsi chi-square
v
: Derajat bebas (degree of freedom); untuk Hamming Windows adalah 2,5164(N/M)
N
: Panjang data observasi
22
M
: Setengah panjang window
L
: Panjang window (N-1)
Jika terdapat puncak spektrum yang lebih tinggi dari selang kepercayaan, maka puncak tersebut bukan terjadi secara kebetulan atau merupakan puncak spektrum yang signifikan. Program penentuan selang kepercayaan pada suatu spektrum densitas energi dalam bahasa program MATLAB disajikan pada Lampiran 1. Hamming Windows adalah pembobotan pada transformasi rata-rata berjalan (moving average) yang digunakan untuk memperhalus nilai periodogram. Pembobotan (w j ) yang digunakan dalam Hamming Windows untuk masing-masing frekuensi dihitung sbb: w j = 0,54 +0,46 * kosinus (π*j/m) untuk j=0 sampai m ............................…….. (5) dimana : w -j = w j (untuk j ≠ 0) m = (N-1) / 2 Fungsi pembobotan ini akan menetapkan bobot terbesar pada pengamatan yang akan menghaluskan nilai pada bagian tengah window, dan bobot akan semakin kecil pada nilai-nilai yang jauh dari bagian tengah window (Statsoft, 2011). 3.3.2.2. Korelasi Silang Korelasi silang digunakan untuk melihat hubungan antara variabilitas kedua parameter. Dalam melakukan analisis korelasi silang, diperlukan variabel yang mempengaruhi (x) dan variabel yang dipengaruhi (y). Penghitungan nilai spektrum silang hanya dapat dilakukan pada beberapa pasang kelompok data yang memiliki selang waktu perekaman yang sama. Analisis korelasi silang terdiri dari kospektrum densitas energi, koherensi kuadrat dan beda fase. Kospektrum densitas energi menggambarkan periode variabilitas kedua parameter yang bersamaan. Hubungan yang erat antara variabilitas kedua parameter tersebut digambarkan oleh nilai koherensi yang tinggi. Sebaliknya, nilai koherensi yang rendah mengindikasikan hubungan yang tidak erat. Beda fase menunjukkan perbedaan waktu antara kedua periode variabilitas. Beda fase positif berarti variabel x mempengaruhi variabel y, dimana variabilitas variabel x mendahului variabel y selama periode satuan waktu interval data.
23
Sebaliknya jika nilainya negatif berarti tidak ada pengaruh variabel x terhadap variabel y. Kospektrum densitas energi (Sxy(f k )) harus dihitung terlebih dahulu dari dua pasang data deret waktu xt dan yt yang dicatat setiap selang waktu h (Bendat dan Piersol, 1971) : S xy (fk ) =
.................................................................................... (6)
2h X (f k ) * Y (f k ) N
dimana : fk
: k/Nh, k = 0, 1, 2, …………….., N-1
X*(f k )
: complex conjugate dari X(f k )
X (f k )
: komponen Fourier dari xt
Y (f k )
: komponen Fourier dari yt
Fungsi koherensi pangkat dua (γ2xy(fk)) ditentukan dengan rumus:
Sxy (fk )
γ (fk ) = 2 xy
2
.................................................................................... (7)
Sx (fk )Sy (fk )
dimana: Sx(f k )
: densitas spektrum energi dari X(f k )
Sy(f k )
: densitas spektrum energi dari Y(f k )
Nilai beda fase ditentukan dengan menggunakan rumus : Qxy (fk ) Cxy (fk )
θ xy (fk ) = tan−1
..........................................…………….....…..............… (8)
dimana : Qxy(f k ) : bagian imaginer dari Sxy(f k ) Cxy(f k ) : bagian nyata dari Sxy(f k ) Satuan beda fase pada program Statistica for Windows 6.0 adalah tan-1. Untuk mengubah satuan beda fase dari tan-1 menjadi satuan waktu (bulan), nilai beda fase tersebut harus diubah terlebih dahulu kedalam bentuk derajat (°). Nilai derajat yang diperoleh kemudian dibagi dengan 360° lalu dikalikan periode (bulan) dari variabilitas tersebut. 3.3.3. Analisis Wavelet Transformasi wavelet merupakan pengembangan dari transformasi fourier. Analisis wavelet menurut Torrence dan Compo (1998) merupakan upaya mendekomposisi deret waktu ke dalam ruang waktu-frekuensi secara simultan.
24
Metode ini mengkalkulasikan energi spektrum dari deret waktu. Analisis wavelet yang digunakan adalah Morlet mother. Kelebihan dari analisis wavelet yaitu dapat mendeteksi fluktuasi-fluktuasi periodik yang bersifat transient. Serta dapat menggambarkan proses dinamik nonlinear komplek yang diperlihatkan oleh interaksi gangguan dalam skala ruang dan waktu. Analisis wavelet yang dilakukan berupa Continous Wavelet Transform (CWT), Cross Wavelet Transform (XWT) dan Wavelet Transform Coherence (WTC). Sub program analisis wavelet dalam bahasa MATLAB dapat diunduh di alamat http://www.pol.ac.uk/home/research/waveletcoherence/download/wtc-r16.zip, Selanjutnya baris-baris program analisis wavelet untuk CWT dan XWT serta WTC yang sudah dimodifikasi sesuai data penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. 3.3.3.1. Continous Wavelet Transform (CWT) Menurut Grinsted, et al. (2004) wavelet adalah sebuah fungsi dengan rerata nol (0) dan mempunyai alokasi dalam frekuensi dan waktu. Wavelet dapat dikarakterisasi oleh bagaimana alokasinya dalam waktu
dan frekuensi
atau panjang gelombang). Wavelet Morlet dirumuskan debagai berikut: ………………………....................................…........ (9) dimana : : frekuensi yang tidak memiliki dimensi : waktu yang tidak memiliki dimensi CWT menggunakan wavelet sebagai band pass filter terhadap deret waktu. Wavelet dipanjangkan dalam waktu dengan memvariasikan skalanya (s), sehingga
dan menormalisasinya sehingga mempunyai unit energi. CWT
sebuah deret waktu (x n ,n = 1,…….,N) dengan selang waktu yang sama δt, didefinisikan sebagai bilangan kompleks dari x n dengan skala dan wavelet yang telah dinormalisasi, yang dirumuskan sebagai berikut (Torrence dan Compo, 1998): …………….......……….................………….. (10) dimana : : Spektrum energi wavelet : skala : wavelet morlet
25
Menurut Torrence dan Compo (1998) terdapat error pada bagian awal dan akhir CWT karena wavelet tidak sepenuhnya dialokasikan dalam waktu. Oleh karena itu diperkenalkanlah Con of Influence (COI) karena error ini tidak dapat diabaikan. COI didefinisikan sebagai area dimana kekuatan wavelet disebabkan oleh diskontinuitas pada batas terluar yang mempunyai nilai lebih kecil e-2 nilai batas terluar (Grinsted et al. 2004). 3.3.3.2. Cross Wavelet Transform (XWT) Cross Wavelet Transform (XWT) digunakan untuk menganalisa kovarian dari dua deret waktu X n dan Y n , yang didefinisikan sebagai berikut (Torrence dan Compo, 1998) : ………………........……........……..……............. (11) dimana * menandakan complex conjugation. Spektrum daya wavelet silang lebih lanjut didefinisikan sebagai
. Argumen kompleks arg
) dapat
diinterpretasikan sebagai fase relatif lokal antara X n dan Y n dalam ruang frekuensi waktu (Grinsted et al. 2004). Hubungan fase relatif ditunjukkan dengan arah panah dimana panah ke arah kanan berarti sefase (inphase), panah ke arah kiri berarti anti fase (anti-phase), panah 90º ke arah bawah berarti X mendahului Y dan panah 90º ke arah atas berarti Y mendahului X. 3.3.3.3. Wavelet Transform Coherence (WTC) Spektrum energi wavelet silang menunjukan area dengan kekuatan tinggi yang sama. Salah satu fungsi pengukuran yang lain adalah bagaimana mengukur koherensi CWT dalam domain frekuensi waktu (Grinsted et al. 2004). Menurut Torrence dan Webster (1998) koherensi wavelet dari dua deret waktu dirumuskan sebagai berikut : ……………............…………..…............….. (12) dimana : koherensi wavelet : Spektrum energi silang wavelet : Spektrum energi wavelet dari : Spektrum energi wavelet dari : Operator filter data
26
Definisi koherensi wavelet ini mempunyai kesamaan dengan nilai koefisien korelasi pada umumnya. Sehingga koherensi wavelet dapat dianggap sebagai lokalisasi koefisen korelasi dalam domain frekuensi waktu. Secara keseluruhan dan sistematik metode perolehan dan pengolahan serta analisis data dalam penelitian ini disajikan diagram alir pada Gambar 6.
Validasi
Suhu (Buoy TRITON) Data Indeks Nino 3.4 Bulanan (CPC-NCEP-NOAA)
SPL Reanalisis Bulanan (ERSL NOAA) Data Reanalisis Klorofil-a Bulanan (Globcolour) Sebaran permukaan normal bulanan (ODV 4.3.6)
Plot Series melintang tiap transek (ODV 4.3.6)
Plot series & penentuan kondisi El Nino/La Nina (MS. Excel 2007)
Sebaran permukaan pada periode El Nino dan Normal serta La Nina (ODV 4.3.6)
Analisis Statistik (MS. Excel 2007)
FFT (Fast Fourier Transform) dengan STATISTICA 6 : 1. Auto Spektrum 2. Korelasi Silang a. Kospektrum Densitas Energi b. Koherensi c. Beda Fase
WAVELET dengan MATLAB R2008a : 1. Continous Wavelet Transform (CWT) 2. Cross Wavelet Transform (XWT) 3. Wavelet Transform Coherence (WTC)
Variabilitas Klorofil-a dan Interelasinya terhadap ENSO di Perairan Utara Papua
Gambar 6 Tahapan dan proses pengolahan serta analisis data.
27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Validasi Data SPL Validasi suhu rata-rata bulanan hasil reanalisis ERSL NOAA dengan suhu hasil observasi Buoy TRITON pada dua lokasi yang berdekatan selama periode Oktober 2001 – April 2009 disajikan pada Tabel 2. Jarak antar lokasi Buoy TRITON sekitar 350 km sedangkan jarak antar stasiun data reanalisis sekitar 442 km. Jarak antar stasiun Buoy dan data reanalisis yang berdekatan sebesar 78 km. Kisaran suhu pada data Buoy 2 sebesar 28,81 - 30,17 oC dengan rerata 29,55 oC dan deviasi 0,33 oC. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kisaran suhu pada stasiun reanalisis terdekat dimana suhu berkisar antara 28,63 - 30,21 oC dengan rerata 29,57 oC dan deviasi sebesar 0,34 oC. Dari kedua data tersebut diperoleh nilai RMSE sebesar 0,14 oC. Kisaran suhu pada data Buoy 3 sebesar 27,92 - 30,20 oC dengan rerata 29,34 oC dan deviasi 0,48 oC. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kisaran suhu pada stasiun reanalisis terdekat dimana suhu berkisar antara 27,88 - 30,23 oC dengan rerata 29,32 oC dan deviasi sebesar 0,47 oC. Dari kedua data tersebut diperoleh nilai RMSE sebesar 0,16 oC. RMSE dari kedua pasangan data tersebut juga memiliki tingkat kesalahan yang kecil.
Tabel 2 Validasi suhu hasil reanalisis ERSL NOAA dengan suhu Buoy TRITON o
SPL ( C) Statistik
Buoy TRITON 2
ERSL TIIS1
Buoy TRITON 3
ERSL TII S3
Minimum
28,81
28,63
27,92
27,88
Rata-rata
29,55
29,57
29,34
29,32
Maksimum
30,17
30,21
30,20
30,23
Standar Deviasi
0,33
0,34
0,48
0,47
RMSE
0,14
0,16
Gambar 7 dan Gambar 8 menunjukkan pola fluktuasi dari kedua pasangan data yang cenderung sefase dan berhimpit dengan perbedaan amplitudo rata-rata yang kecil. Terdapat perbedaan amplitudo dimana suhu hasil reanalisis secara umum memiliki amplitudo yang sedikit lebih besar dibanding
28
suhu Buoy TRITON. Pada Gambar 7 dapat dilihat perbedaan ampiltudo tertinggi < 0,30 oC yaitu terjadi pada periode Januari 2003 untuk amplitudo negatif dan Oktober 2003 untuk amplitudo positif. Sedangkan pada Gambar 8 perbedaan amplitudo positif tertinggi sebesar 0,39 oC terjadi pada periode April 2008 dan amplitudo negatif tertingggi sebesar 0,44 oC yang terjadi pada periode Februari 2005. Berdasarkan hasil analisis statistik dan pola fluktuasi yang terbentuk maka dapat dikatakan bahwa data suhu permukaan laut hasil reanalisis ERSL NOAA memiliki validitas yang baik untuk selanjutnya dapat digunakan dalam analisis pola sebaran permukaan dan deret waktu.
Gambar 7 Validasi data SPL ERSL NOAA terdekat dengan data suhu Buoy TRITON Stasiun 2.
Gambar 8 Validasi data SPL ERSL NOAA terdekat dengan data suhu Buoy TRITON Stasiun 3.
29
4.2. SPL Bulanan di Perairan Utara Papua Kondisi SPL bulanan di perairan utara Papua secara statistik disajikan pada Tabel 3, sedangkan pola sebaran permukaan bulanannya dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. SPL terendah terjadi selama selama puncak musim barat (Februari) dimana SPL berkisar antara 28,00 - 30,16 oC dengan rata-rata 29,21 oC dan deviasi sebesar 0,54 oC. SPL tertinggi terjadi pada bulan Mei yang merupakan akhir musim peralihan I memasuki awal musim timur, dimana SPL berkisar antara 29,36 - 30,44 oC dengan rata-rata 29,87 oC dan simpangan bakunya sebesar 0,23 oC. Simpangan baku tertinggi pada bulan Februari sebesar 0,54 oC dan terendah selama bulan Juli menunjukkan bahwa SPL bulanan memiliki variasi tertinggi pada bulan Februari dan terendah pada bulan Juli. Pada musim timur Angin Pasat berhembus lebih kuat yang menyebabkan AKS juga makin kuat membawa massa air ke arah barat. Selama proses pergerakan tersebut massa air mengalami pemanasan yang intensif di wilayah sekitar equator. Hal ini menyebabkan peningkatan SPL di sekitar perairan utara Papua yang merupakan tempat penumpukan massa air hangat selama musim timur. Pada musim barat (Desember - Februari) Angin Baratan yang dikenal Westerly Wind Bursts (WWBs) bertiup kencang ke arah timur yang menguatkan Arus Sakal Katulistiwa dan menggeser air hangat di perairan utara Papua ke timur. Arus Sakal Katulistiwa ini juga membawa air dingin dari Pasifik Utara yang menyebabkan pendinginan SPL di perairan utara Papua. Tabel 3 Statistik kondisi SPL normal bulanan di perairan utara Papua o
Bulan
SPL ( C) Minimum
Rata-rata
Maksimum
Std. Deviasi
Januari
28,14
29,35
30,23
0,47
Februari
28,00
29,21
30,16
0,54
Maret
28,41
29,44
30,30
0,45
April
28,98
29,75
30,35
0,31
Mei
29,36
29,87
30,44
0,23
Juni
29,05
29,78
30,33
0,30
Juli
29,20
29,57
30,30
0,22
Agustus
28,58
29,37
30,31
0,33
September
28,87
29,62
30,46
0,32
Oktober
28,92
29,80
30,61
0,36
Nopember
29,38
29,79
30,65
0,26
Desember
29,02
29,68
30,40
0,33
30
Gambar 9 dan Gambar 10 menunjukkan pola sebaran SPL bulanan pada Januari – Desember (A-L) menunjukkan pergerakan SPL yang cukup jelas dalam gradasi kontur SPL yang membentuk pola juluran. Sebaran massa air hangat bergerak ke barat mulai Maret – Juni, selanjutnya bergeser ke timur pada Juli – September dan kembali bergerak ke barat lagi pada Oktober – Nopember hingga pada Desember – Februari kembali bergerak ke timur. Pergerakan massa air hangat yang bolak-balik ini sangat berhubungan erat dengan pola musiman yang terjadi di wilayah tersebut. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Wyrtki (1961) bahwa pola sirkulasi di perairan utara Papua memiliki variabilitas musiman yang kuat.
Gambar 9 Sebaran SPL rata-rata bulanan di perairan utara Papua (A=Januari; B=Februari; C=Maret; D=April; E=Mei; F=Juni).
31
Pendinginan SPL di sepanjang pantai utara Papua terlihat jelas pada sisi pantai sebelah timur selama Juli-September. Hal ini merupakan salah satu indikator terjadinya upwelling, dimana massa air dingin dari lapisan yang lebih dalam tersebut membawa kandungan nutrien yang lebih tinggi. Hasegawa (2009) menunjukkan coastal upwelling di sepanjang pantai utara Papua yang terjadi pada Desember 2001.
Gambar 10 Lanjutan (G=Juli; H=Agustus; I=September; J=Oktober; K=Nopember; L=Desember).
4.3. Kandungan Klorofil-a Bulanan di Perairan Utara Papua Kandungan klorofil-a permukaan bulanan di perairan utara Papua secara statistik disajikan pada Tabel 4, sedangkan pola sebaran permukaan bulanannya dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12. Kandungan klorofil permukaan
32
oseanik bulanan minimum berkisar antara 0,043 - 0,067 mg/m3 dengan rata-rata berkisar antara 0,106 - 0,127 mg/m3 dan maksimum berkisar antara 0,233 0,518 mg/m3. Musim barat (Desember – Februari) memiliki kisaran kandungan klorofil-a yang lebih tinggi dibanding musim timur (Juni – Agustus). Hal ini berhubungan erat dengan pola musiman dan sebaran SPL. Pergerakan air hangat ke timur menyebabkan transpor massa air di BBU kearah pantai. Akibatnya terjadi kekosongan massa air pada perairan lepas pantai yang akan diisi oleh massa air dari lapisan bawah yang memiliki suhu lebih rendah dan kandungan nutrien yang tinggi (upwelling). Standar deviasi berkisar antara 0,019 - 0,042 mg/m3, hal ini menunjukkan bahwa variasi kandungan klorofil-a terendah terjadi pada bulan Mei dan tertinggi terjadi pada bulan Juni.
Tabel 4 Konsentrasi klorofil-a normal bulanan di perairan utara Papua 3
Bulan
Kandungan Klorofil-a (mg/m ) Minimum
Rata-rata
Maksimum
Std. Deviasi
Januari
0,053
0,117
0,480
0,039
Februari
0,058
0,127
0,358
0,040
Maret
0,055
0,116
0,378
0,031
April
0,065
0,113
0,314
0,026
Mei
0,063
0,106
0,267
0,019
Juni
0,067
0,117
0,468
0,042
Juli
0,059
0,113
0,253
0,028
Agustus
0,052
0,110
0,233
0,029
September
0,043
0,113
0,303
0,036
Oktober
0,050
0,109
0,305
0,034
Nopember
0,046
0,112
0,518
0,033
Desember
0,044
0,109
0,391
0,035
Hatta (2001) menyatakan bahwa kandungan klorofil-a permukaan pada musim timur berkisar antara sangat rendah hingga mencapai 0,410 mg/m3. Selanjutnya Hatta (2001) juga membagi kandungan klorofil-a menjadi tiga kelompok, yaitu rendah (<0,07 mg/m3), sedang (0,07 – 0,14 mg/m3) dan tinggi (>0,14 mg/m3). Berdasarkan pengelompokan tersebut maka dapat dikatakan
33
bahwa kandungan konsentrasi rata-rata klorofil-a oseanik di perairan utara Papua termasuk dalam kategori sedang. Gambar 11 dan Gambar 12 menunjukkan pola sebaran klorofil-a bulanan pada Januari – Desember (A-L). Wilayah sekitar pantai memiliki kandungan klorofil-a mencapai 1 mg/m3 hal ini sangat terkait dengan proses run off dari daratan sebagai sumber nutrien alamiah dan antropogenik. Kandungan klorofil-a oseanik memperlihatkan pola musiman yang jelas. Pada musim barat pola sebaran kandungan klorofil-a yang tinggi bergerak ke timur dan sebaliknya pada musim timur bergerak ke barat.
Gambar 11 Sebaran permukaan klorofil-a rata-rata bulanan di perairan utara Papua (A=Januari; B=Februari; C=Maret; D=April; E=Mei; F=Juni).
34
Berdasarkan Gambar 11 dan Gambar 12 dapat dilihat juga bahwa sepanjang pantai utara Papua memiliki kandungan klorofil-a yang tinggi sepanjang waktu terkait dengan proses coastal upwelling yang terjadi secara stasioner. Pergerakan konsentrasi klorofil-a oseanik sangat berkaitan erat dan mengikuti pola pergerakan SPL. Pergerakan massa air hangat akan diikuti dengan pergerakan kandungan klorofil-a oseanik yang tinggi. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi produktivitas primer perairan dan selanjutnya dapat dikaitkan dengan pola migrasi dan habitat ikan.
Gambar 12 Lanjutan (G=Juli; H=Agustus; I=September; J=Oktober; K=Nopember; L=Desember).
35
4.4. Kondisi ENSO Berdasarkan Indeks Nino 3.4 Berdasarkan hasil analisis anomali SPL pada wilayah Nino 3.4, dimana jika anomali suhu positif diatas 0,4oC bertahan selama 6 bulan mengindikasikan terjadinya El Nino dan jika suhu negatif dibawah 0,4oC bertahan selama 6 bulan mengindikasikan terjadinya La Nina (Trenberth, 1997). Hal ini berarti sepanjang periode 1997 – 2009 telah terjadi El Nino sebanyak 3 kali dan Lanina sebanyak 2 kali (Tabel 5). El Nino 1 merupakan El Nino terkuat yang terjadi pada Mei 1997 – Mei 1998 (13 bulan) dengan anomali suhu mencapai 2,69 oC. El Nino 2 terjadi pada Juni 2002 - Maret 2003 (10 bulan) dengan anomali suhu mencapai 1,62 oC. dan El Nino 3 terjadi pada Agustus 2004 - Januari 2005 (6 bulan) dengan anomali suhu mencapai 0,75 oC. La Nina 1 terjadi pada Juni 1998 - Juni 2000 (25 bulan) dengan anomali suhu mencapai -1,92 oC dan La Nina 2 pada Agustus 2007 - Mei 2008 (10 bulan) dengan anomali suhu mencapai -1,89 oC. Gambar 13 memperlihatkan pola kejadian kondisi anomali suhu permukaan laut pada wilayah Nino 3.4 dimana sepanjang periode September 1997 – April 2009 terjadi kondisi El Nino (merah) dan La Nina (biru) secara silih berganti dan cenderung tidak beraturan. Intensitas kejadian El Nino/La Nina makin tinggi seiring dengan bertambahnya waktu. Kejadian El Nino/La Nina terkadang langsung diikuti dengan kejadian El Nino/La Nina selanjutnya, seperti La Nina pada periode Juni 1998 - Juni 2000 dan El Nino periode Juni 2002 - Maret 2003 sampai El Nino pada Agustus 2004 - Januari 2005. Hal ini selaras seperti pernyataan Eisenman et al. (2005) bahwa awal kejadian El Nino/La Nina dapat dipicu oleh dinamika El Nino/La Nina itu sendiri. Tabel 5 Kejadian El Nino dan La Nina berdasarkan anomali suhu Nino 3.4 No
Kejadian
Periode
Durasi
Puncak
Anomali Suhu
1
El Nino 1
Mei 97 - Mei 98
13 Bulan
Des 97
2,69 C
2
Normal 1
Mei 2008
1 Bulan
Mei 98
0,62 C
3
La Nina 1
Jun 98 - Jun 00
25 Bulan
Jan 00
-1,92 C
4
Normal 2
Jul 00 - Mei 02
22 Bulan
Jun 01
0,03 C
5
El Nino 2
Jun 02 - Mar 03
10 Bulan
Nop 02
1,62 C
6
Normal 3
Apr 03 - Jul 04
16 Bulan
Apr 03
0,03 C
7
El Nino 3
Ags 04 - Jan 05
6 Bulan
Sep 04
0,75 C
8
Normal 4
Feb 05 - Jul 07
30 Bulan
Apr 07
0,00 C
9
La Nina 2
Ags 07 - Mei 08
10 Bulan
Feb 08
-1,89 C
o o
o
o o o o o
o
36
Gambar 13 Kondisi El Nino dan La Nina berdasarkan anomali suhu Nino 3.4 selama periode September 1997 – April 2009.
4.5. Sebaran Permukaan SPL pada Kondisi Normal dan ENSO Berdasarkan analisis anomali SPL pada wilayah Nino 3.4 yang dapat mengindikasikan kejadian El Nino dan La Nina, maka dicuplik pola sebaran SPL pada bulan dimana terjadi puncak kejadian El Nino dan La Nina serta kondisi normal. Hal ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan pola persebaran SPL sepanjang perairan utara Papua pada ketiga kondisi tersebut. Hasil analisis statistik SPL pada kondisi El Nino, La Nina dan normal disajikan pada Tabel 6. Pola sebaran SPL pada bulan puncak kondisi El Nino, La Nina dan Normal dapat dilihat pada Gambar 14 – Gambar 15. Tabel 6 Kisaran SPL di perairan utara Papua pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan anomali SPL wilayah Nino 3.4 No
Bulan
o
Fenomena
SPL ( C) Minimum
Rata-rata
Maksimum
Std. Deviasi
1
Des 97
El Nino 1
29,48
29,62
29,72
0,07
2
Mei 98
Normal 1
29,58
29,69
29,79
0,06
3
Jan 00
La Nina 1
29,43
29,68
29,87
0,11
4
Jun 01
Normal 2
30,05
30,20
30,33
0,09
5
Nop 02
El Nino 2
29,46
29,67
29,84
0,13
6
Apr 03
Normal 3
29,75
30,09
30,23
0,13
7
Sep 04
El Nino 3
29,27
29,48
29,61
0,11
8
Apr 07
Normal 4
29,54
29,70
29,89
0,10
9
Feb 08
La Nina 2
29,30
29,43
29,52
0,06
37
Kisaran SPL yang diperoleh pada ketiga kondisi tersebut tidak bervariasi. Kejadian El Nino umumnya memiliki kisaran suhu yang lebih rendah dibandingkan La Nina dan normal. Pada El Nino 1 dapat dilihat bahwa SPL berkisar antara 29,48 - 29,72 oC dengan rata-rata 29,62 oC dan deviasi sebesar 0,07 oC. Sedangkan pada kondisi Normal 2 SPL lebih tinggi berkisar antara 30,05 - 30,33 oC dengan rata-rata 30,20 oC dan deviasinya sebesar 0,09 oC. Kondisi La Nina umumnya memiliki SPL yang tidak jauh berbeda dengan kondisi normal. Hal ini terjadi karena saat El Nino massa air hangat bergerak ke timur menjauhi perairan utara Papua. Semakin kuat dan lama kejadian El Nino maka air hangat tersebut juga akan makin jauh bergerak ke timur. Hal ini berarti bahwa SPL di perairan utara Papua juga akan semakin rendah dari kondisi normalnya.
Gambar 14 Sebaran SPL pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan anomali SPL wilayah Nino 3.4 (A=El Nino Desember 1997; B=Normal Mei 1998; C=La Nina Januari 2000; D=Normal Juni 2001; E=El Nino Nopember 2002; F=Normal April 2003).
38
Gambar 15 Lanjutan (G=El Nino September 2004; H=Normal April 2007; I=La Nina Februari 2008). 4.6. Sebaran Permukaan Klorofil-a pada Kondisi Normal dan ENSO Hasil anailisis statistik dari sebaran kandungan klorofil-a di perairan utara Papua pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal disajikan pada Tabel 7. Pola sebaran permukaan klorofil-a disajikan pada Gambar 16. Kandungan klorofil-a saat kondisi El Nino lebih tinggi dibanding kondisi La Nina dan Normal. El Nino 1 memiliki kandungan klorofil-a tertinggi berkisar antara 0,088 - 0,391 mg/m3 dengan rata-rata 0,121 mg/m3 dan deviasi sebesar 0,029 mg/m3. Kandungan klorofil-a terendah dapat dilihat pada La Nina 1 yang merupakan kejadian La Nina kuat dimana nilainya berkisar antara 0,062 - 0,092 mg/m3 dengan rata-rata 0,072 mg/m3 dan deviasi sebesar 0,005 mg/m3. Jika dibandingkan kedua kondisi tersebut terlihat bahwa saat terjadinya El Nino kandungan klorofil-a akan meningkat dibanding kondisi normalnya dan saat kejadian La Nina akan turun dari kondisi normalnya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa massa air hangat yang bergerak ke timur (divergensi) menyebabkan kekosongan massa air di perairan utara Papua sehingga terjadi upwelling. Hal ini berkebalikan dengan saat kondisi Normal dan La Nina dimana massa air hangat menumpuk di perairan utara Papua (konvergensi).
39
Tabel 7 Kisaran kandungan klorofil-a di perairan utara Papua pada kondisi El Nino, La Nina dan Normal berdasarkan Anomali SPL wilayah Nino 3.4 3
Kandungan Klorofil-a (mg/m )
No
Fenomena
Bulan
1
El Nino 1
2
Minimum
Rata-rata
Maksimum
Std. Deviasi
Des 97
0,088
0,121
0,391
0,029
Normal 1
Mei 98
0,081
0,110
0,267
0,025
3
La Nina 1
Jan-00
0,062
0,072
0,092
0,005
4
Normal 2
Jun 01
0,074
0,091
0,277
0,014
5
El Nino 2
Nop 02
0,090
0,133
0,181
0,021
6
Normal 3
Apr 03
0,072
0,093
0,131
0,010
7
El Nino 3
Sep 04
0,102
0,126
0,164
0,009
8
Normal 4
Apr 07
0,092
0,107
0,129
0,007
9
La Nina 2
Feb 08
0,062
0,100
0,140
0,014
Pola sebaran permukaan yang terbentuk seperti yang disajikan pada Gambar 16 menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a oseanik yang tinggi berada pada sisi barat perairan utara Papua. Saat terjadinya El Nino (Gambar 16 A, 16 E dan 16 G) konsentrasi klorofil-a oseanik yang tinggi ini bergerak ke timur. Sedangkan pada kondisi La Nina (Gambar 16 C dan 16 I) konsentasi klorofil-a oseanik yang tinggi makin bergeser ke barat. Hal ini berkaitan dengan pola pergerakan massa air hangat di sepanjang ekuator Pasifik. Saat kejadian El Nino kuat tahun 1998 terlihat jelas bahwa sebaran konsentasi klorofil-a oseanik yang tinggi juga makin jauh bergerak dari barat ke timur. Pola sebaran konsentrasi klorofil-a di sepanjang pantai utara Papua menunjukkan konsentrasi klorofil-a yang tinggi selalu bergerak dari timur ke barat menyusuri pantai utara Papua. Hal ini disebabkan selain oleh pengaruh daratan juga adanya pergerakan Arus Pantai Papua dan Arus Bawah Pantai Papua yang selalu mengalir dari tenggara menuju barat laut sepanjang waktu.
40
Gambar 16 Sebaran permukaan klorofil-a pada kondisi El Nino dan La Nina serta kondisi Normal berdasarkan anomali SPL Wilayah Nino 3.4. (A=El Nino Desember 1997; B=Normal Mei 1998; C=La Nina Januari 2000; D=Normal Juni 2001; E=El Nino Nopember 2002; F=Normal April 2003; G=El Nino September 2004; H=Normal April 2007; I=La Nina Februari 2008).
41
4.7. Sebaran SPL Berdasarkan Waktu Pola sebaran SPL berdasarkan waktu pada tiga transek dan sembilan stasiun di perairan utara Papua disajikan pada Gambar 17 – Gambar 19. Gambar 17 merupakan variabilitas SPL pada Transek 1 yang mewakili sisi barat, Gambar 18 mewakili sisi tengah dan Gambar 19 mewakili sisi timur perairan utara Papua. Pola variabilitas SPL yang terbentuk pada tiga stasiun berdasarkan perbedaan lintang cenderung sefase hanya amplitudonya saja yang berbeda. Stasiun 3 memiliki kisaran amplitudo yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 2 dan stasiun 1. Dengan kata lain SPL lebih berfluktuasi makin kearah laut lepas. Pola variabilitas serupa juga ditemui pada Transek 2 (Gambar 18) yang mewakili bagian tengah perairan utara Papua dan Transek 3 (Gambar 19) yang mewakili sisi timurnya. Hal ini memberikan gambaran bahwa pola pergerakan massa air hangat lebih berpengaruh pada SPL pada lintang yang lebih tinggi di perairan utara Papua. SPL berfluktuasi tinggi saat terjadi El Nino 1 (Mei 1997 - Mei 1998), dimana SPL turun hingga mencapai 27,90 oC pada Transek 1 dan Transek 2 serta mencapai 28,19 oC pada Transek 3. Kondisi serupa juga terjadi pada kondisi El Nino 2 (Jun 02 - Mar 03) dan El Nino 3 (Agustus 2004 - Januari 2005) dimana SPL turun hingga mencapai 28,01 oC dan 27,60 oC. Transek 1 dan transek 2 memiliki variabilitas SPL yang lebih tinggi dibanding Transek 3. Kondisi demikian menunjukkan bahwa sisi barat hingga tengah perairan utara Papua memiliki variabilitas suhu yang lebih tinggi saat terjadinya El Nino dibanding sisi timurnya.
Gambar 17 SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 1 Stasiun 1 (130,5 BT ; 1, 5 LU), Stasiun 2 (130,5 BT ; 3,5 LU) dan Stasiun 3 (130,5 BT ; 5,5 LU).
42
Gambar 18 SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 2 Stasiun 1 (137,5 BT ; 1, 5 LU), Stasiun 2 (137,5 BT ; 3,5 LU) dan Stasiun 3 (137,5 BT ; 5,5 LU).
Gambar 19 SPL bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 3 Stasiun 1 (144,5 BT ; 1, 5 LU), Stasiun 2 (144,5 BT ; 3,5 LU) dan Stasiun 3 (144,5 BT ; 5,5 LU). 4.8. Sebaran Klorofil-a Berdasarkan Waktu Pola sebaran klorofil-a berdasarkan waktu pada tiga transek dan sembilan stasiun di perairan utara Papua disajikan pada Gambar 20 – Gambar 22. Pola variabilitas pada Stasiun 1 lebih tinggi pada semua transek, atau dengan kata lain kandungan klorofil-a permukaan memiliki fluktuasi yang tinggi mendekati pantai. Jika dibandingkan antar transek maka terlihat juga bahwa Transek 1 memiliki variabilitas yang lebih tinggi dibandingkan Transek 2 dan Transek 3. Hal ini berarti variabilitas kandungan klorofil-a di perairan utara
43
Papua lebih tinggi pada sisi barat dibandingkan sisi timurnya. Variabilitas tinggi juga berkaitan dengan kejadian El Nino. Saat terjadi El Nino 1 kandungan klorofil-a mencapai 0,475 mg/m3 pada Transek 1 dan 0,270 mg/m3 pada Transek 2 serta 0,205 mg/m3 pada Transek 3. Saat terjadi El Nino 2 kandungan klorofil-a mencapai 0,351 mg/m3 pada Transek 1, dan 0,256 mg/m3 pada Transek 2 serta 0,269 mg/m3 pada Transek 3. Saat terjadi El Nino 3 kandungan klorofil-a mencapai 0,320 mg/m3 pada Transek 1, dan 0,225 mg/m3 pada Transek 2 serta 0,210 mg/m3 pada Transek 3.
Gambar 20 Sebaran klorofil-a bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 1 Stasiun 1 (130.625 BT ; 1.375 LU), Stasiun 2 (130,625 BT ; 3,375 LU) dan Stasiun 3 (130,625 BT ; 5,375 LU).
Gambar 21 Sebaran klorofil-a bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 2 Stasiun 1 (144.625 BT ; 1.375 LU), Stasiun 2 (144,625 BT ; 3,375 LU) dan Stasiun 3 (144,625 BT ; 5,375 LU).
44
Gambar 22 Sebaran klorofil-a bulanan selama periode September 1997 – April 2009 pada Transek 3 Stasiun 1 (137.625 BT ; 1.375 LU), Stasiun 2 (137,625 BT ; 3,375 LU) dan Stasiun 3 (137,625 BT ; 5,375 LU).
4.9. Spektrum Densitas Energi 4.9.1. Indeks Nino 3.4 Hasil analisis FFT untuk spektrum densitas energi (SDE) Indeks Nino 3.4 dibuat dengan domain log frekuensi dalam satuan siklus per bulan (spb) serta periode dalam satuan bulan disajikan pada Tabel 8. Pola spektrum densitas energinya disajikan pada Gambar 23. Energi signifikan dengan menggunakan selang kepercayaan 95% diperoleh pada empat puncak yaitu tiga puncak (a,b,c) pada periode antar-tahunan (inter-annual) dan satu puncak (d) pada periode tahunan (annual). Variabilitas antar-tahunan lebih dominan berada pada log frekuensi -1,8 spb (70 bulan), -1,5 spb (35 bulan) dan -1,4 spb (28 bulan) sedangkan variabilitas tahunannya berada pada -1,2 spb (16 bulan). Tabel 8 Hasil spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT Puncak
SDE signifikan o 2 ( C /spb)
Log Frekuensi (spb)
Periode (bulan)
a
16,165
-1,8
70
b
15,256
-1,5
35
SK 95% o 2 ( C /spb)
Fenomena Antar-Tahunan Antar-Tahunan
2,826 c
14,067
-1,4
28
Antar-Tahunan
d
6,871
-1,2
16
Tahunan
45
18 a
16
b c
SDE ((oC)2/spb)
14 12 10 8
d
6 4 2 0 -2.5
-2
-1.5 -1 Log Frekuensi (spb)
-0.5
0
Gambar 23 Spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT
Hasil analisis spektrum densitas energi (CWT) dengan menggunakan metode wavelet disajikan pada Tabel 9. Pola spektrum densitas energi dengan menggunakan selang kepercayaan 95% dapat dilihat pada Gambar 24. Spektrum densitas energi yang signifikan terjadi memiliki variabilitas antartahunan dan tahunan. Variabilitas antar-tahunan memiliki periode 18 – 28 bulan yang terjadi sekitar Agustus 2004 - April 2007 dan 14 -20 bulan yang terjadi pada Maret 1999 - Agustus 2000. Variabilitas tahunan memiliki periode 10 – 12 bulan yang terjadi pada April 2003 - Januari 2004. Kejadian El Nino kuat Mei 1997 Mei 1998 juga terlihat memiliki spektrum energi yang tinggi, hanya saja karena berada di luar selang kepercayaan 95% (COI) maka diabaikan (Torrence dan Compo, 1998) Berdasarkan hasil spektrum densitas energi yang terbentuk dari metode FFT dan wavelet dapat dilihat bahwa Indeks Nino 3.4 memiliki variabilitas antartahunan dan tahunan. Variabilitas antar-tahunan lebih dominan dibanding variabilitas tahunannya. Variabilitas antar-tahunan terkait variabilitas SPL di equator pasifik yang dipengaruhi kuat oleh kejadian El Nino. Hal ini seperti pernyataan Quinn et al. (1978) bahwa El Nino memiliki siklus yang tidak teratur dengan periode antara 2 - 7 tahun.
46
Tabel 9 Hasil spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode wavelet o
2
Spektrum
Periode (bulan)
Waktu Kejadian
Energi ( C /spb)
Fenomena
1
18 - 28
Agustus 2004 - April 2007
4-8
Antar-Tahunan
2
14 - 20
Maret 1999 - Agustus 2000
2-4
Antar-Tahunan
3
10 - 12
April 2003 - Januari 2004
1-2
Tahunan
Gambar 24 Spektrum densitas energi Indeks Nino 3.4 dengan metode wavelet. 4.9.2. Suhu Permukaan Laut Spektrum densitas energi yang signifikan pada selang kepercayaan 95% dari suhu permukaan laut pada sembilan stasiun dengan menggunakan metode FFT disajikan pada Tabel 10 dan dengan metode wavelet disajikan pada Tabel 11. Pola spektrum densitas energi dengan metode FFT disajikan pada Gambar 25 dan dengan metode wavelet disajikan pada Gambar 26. Hasil analisis FFT dan wavelet menunjukkan bahwa variabilitas yang didapat memiliki periode antar tahunan, tahunan dan setengah tahunan. Variabilitas setengah-tahunan terlihat paling dominan pada semua stasiun data. Transek I memiliki pola variabilitas densitas energi dibanding Transek II dan Transek III. Hal ini berarti sisi barat perairan utara Papua memiliki respon yang lebih kuat terhadap variabilitas setengah-tahunan yang diduga merupakan pengaruh muson. Berdasarkan analisis FFT variabilitas yang diduga dipengaruhi oleh El Nino memiliki periode 18 – 28 bulan. Sedangkan pada analisis wavelet tidak terlihat
47
variabilitas antar tahunan dikarenakan variabilitas tersebut berada diluar selang kepercayaan 95%.
Tabel 10 Hasil spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode FFT Transek & Stasiun
TI.S1
Puncak
SDE signifikan o 2 ( C /spb)
Log Frekuensi (spb)
Periode (bulan)
a
1,025
-1,4
28
b
1,495
-1,2
16
c
4,422
-0,8
6
Setengah-Tahunan
a
1,853
-1,4
28
Antar-Tahunan
b
1,724
-1,2
18
TI.S2
TI.S3
0,661
Tahunan
Antar-Tahunan
1,786
-1,1
12
Tahunan
d
6,192
-0,8
6
Setengah-Tahunan
a
1,381
-1,4
28
Antar-Tahunan
b
1,699
-1,2
18
Antar-Tahunan
c
2,272
-1,1
12
d
1,100
-0,9
8
Setengah-Tahunan
e
6,596
-0,8
6
Setengah-Tahunan
a
0,959
-1,4
28
Antar-Tahunan
b
1,834
-1,2
16
1,012
Tahunan
Tahunan 0,433
c
0,495
-1,0
9
Tahunan
d
1,426
-0,8
6
Setengah-Tahunan
a
1,168
-1,4
28
Antar-Tahunan
b
1,551
-1,2
16
c
2,580
-0,8
6
Setengah-Tahunan
a
0,903
-1,4
28
Antar-Tahunan
b
1,478
-1,2
16
0,595
Tahunan
Tahunan 0,752
c
2,001
-1,1
12
Tahunan
d
4,156
-0,8
6
Setengah-Tahunan
a
1,183
-1,2
16
TIII.S1
TIII.S3
Antar-Tahunan
c
TII.S3
TIII.S2
Fenomena
0,947
TII.S1
TII.S2
SK 95% o 2 ( C /spb)
Tahunan 0,357
b
0,797
-0,8
6
Setengah-Tahunan
a
1,173
-1,2
18
Antar-Tahunan
b
0,420
-1,0
10
c
1,132
-0,8
6
Setengah-Tahunan
a
1,468
-1,3
20
Antar-Tahunan
b
1,534
-1,1
12
c
1,763
-0,8
6
0,365
0,484
Tahunan
Tahunan Setengah-Tahunan
48
Tabel 11. Hasil spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode wavelet Periode (bulan)
Waktu Kejadian
Energi o 2 ( C /spb)
Fenomena
5-7
Feb 06 - Jan 08
7-8
Setengah-Tahunan
5-7
Mar 98 - Nop 05
7-8
Setengah-Tahunan
TI.S2
5-7
Mar 98 - Nop 07
7-8
Setengah-Tahunan
TI.S3
5-7
Apr 99 - Agu 07
7-8
Setengah-Tahunan
5-7
Agu 06 - Des 07
6-7
Setengah-Tahunan
5-7
Des 02 - Agu 05
6-7
Setengah-Tahunan
14-15
Jan 02 - Des 03
7-8
Tahunan
14-16
Jul 99 - Sep 00
7-8
Tahunan
5-6
Feb 06 - Okt 07
6-7
Setengah-Tahunan
4-7
Agu 01 - Sep 05
6-7
Setengah-Tahunan
4-7
Mar 01 - Nop 07
6-7
Setengah-Tahunan
14-16
Apr 99 - Apr 00
7-8
Tahunan
5-7
Okt 01 - Apr 02
4-6
Setengah-Tahunan
5-7
Jun 03 - Mei 06
4-6
Setengah-Tahunan
5-7
Mar 02 - Nop 07
4-6
Setengah-Tahunan
14-16
Apr 99 - Sep 99
7-8
Tahunan
5-7
Sep 01 - Mar 05
4-5
Setengah-Tahunan
2-7
Nop 05 - Nop 07
1-4
Setengah-Tahunan
10-14
Jan 99 - Nop 99
7-8
Tahunan
4-7
Agu 01 - Sep 07
6-7
Setengah-Tahunan
10-14
Feb 07 - Jan 08
7-8
Tahunan
Transek & Stasiun
TI.S1
TII.S1
TII.S2
TII.S3
TIII.S1
TIII.S2
TIII.S3
SDE ((oC)2/spb)
49
6
A
a b
2
SDE ((oC)2/spb)
6
6
-2
-0.5
-1
-1.5
0
D
0 -2.5
6
-2
a
0 -2.5
-2
b c
d -0.5
-1
-1.5
0
G
2
a
-2
-2
-0.5 -1 -1.5 Log Frekuensi (spb)
0
-0.5
0
H
0 -2.5
d -0.5
0
-0.5
0
-0.5 -1 -1.5 Log Frekuensi (spb)
0
-1
-1.5
F
d
2
-1
-1.5
-2
c
4
a b
a
0 -2.5
6
-2
-1.5
b
c -1
I
4
a
2
b
0 -2.5
6
4
4
0 -2.5
0
c
0 -2.5
6
-0.5
E
2
a b
2
-1
-1.5
4
2
e
C
4
a b c
2
4
6
d
B
4
4
0 -2.5
SDE ((oC)2/spb)
6
c
-2
b
c
-0.5 -1 -1.5 Log Frekuensi (spb)
a b
2
0
0 -2.5
-2
c
Gambar 25 Spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode FFT (A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III Stasiun 3).
Gambar 26 Spektrum densitas energi SPL bulanan dengan metode wavelet (A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III Stasiun 3). 4.9.3. Klorofil-a Spektrum densitas energi signifikan pada selang kepercayaan 95% dari klorofil-a pada sembilan stasiun dengan metode FFT disajikan pada Tabel 12 dan dengan metode wavelet disajikan pada Tabel 13. Pola spektrum densitas energi dengan metode FFT disajikan pada Gambar 27 dan dengan metode
50
wavelet disajikan pada Gambar 28. Hasil analisis FFT menunjukkan bahwa variabilitas yang didapat memiliki periode antar tahunan, tahunan dan setengah tahunan. Variabilitas antar-tahunan terlihat paling dominan pada semua stasiun data. Sedangkan pada hasil analisis wavelet menunjukkan bahwa variabilitas yang didapat memiliki periode tahunan, setengah tahunan dan musiman. Variabilitas musiman terlihat paling dominan pada semua stasiun data. Tabel 12 Hasil spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode FFT Transek & Stasiun
TI.S1
Puncak
SDE signifikan 3 2 ((mg/m ) /spb)
Log Frekuensi (spb)
Periode (bulan)
a
0,042
-1,9
71
b
0,026
-1,1
14
TII.S1
TII.S2
Tahunan 0,014
-1,0
10
d
0,019
-0,8
6
Setengah-Tahunan
a
0,034
-1,9
71
Antar-Tahunan
b
0,019
-1,2
16
Tahunan
Tahunan 0,011
c
0,013
-0,9
8
Setengah-Tahunan
d
0,017
-0,8
6
Setengah-Tahunan
a
0,008
-1,7
48
Antar-Tahunan
b
0,014
-1,1
13
c
0,005
-0,7
5
a
0,012
-1,4
28
a
0,012
-1,9
71
b
0,007
-1,4
28
c
0,007
-1,2
16
a
0,006
-1,4
28
0,005
Tahunan Setengah-Tahunan
0,004
Antar-Tahunan Antar-Tahunan
0,003
Antar-Tahunan Tahunan Antar-Tahunan
0,003 b
0,016
-1,1
12
Tahunan
a
0,014
-1,2
18
Antar-Tahunan
b
0,006
-1,0
9
TIII.S1
TIII.S3
Antar-Tahunan
0,016
TII.S3
TIII.S2
Fenomena
c
TI.S2
TI.S3
SK 95% 3 2 ((mg/m ) /spb)
Tahunan 0,004
c
0,006
-0,8
6
Setengah-Tahunan
d
0,005
-0,7
5
Setengah-Tahunan
a
0,005
-1,9
71
Antar-Tahunan
b
0,007
-1,2
16
c
0,003
-0,9
8
Setengah-Tahunan
a
0,002
-1,4
28
Antar-Tahunan
b
0,011
-1,1
12
c
0,002
-0,8
6
0,003
0,002
Tahunan
Tahunan Setengah-Tahunan
51
Tabel 13 Hasil spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode wavelet. Transek & Stasiun
TI.S1
Waktu Kejadian
Energi 3 2 ((mg/m ) /spb)
Fenomena
2-6
Sep 08 - Nop 08
4-8
Setengah-Tahunan
3-4
Agu 07 - Nop 07
5-7
Musiman
1-3
Jan 98 - Feb 98
5-7
Musiman
2-4
Jan 03 - Okt 03
3-4
Musiman
6-7
Jan 02 - Nop 02
7-8
Setengah-Tahunan
1-3
Agu 00 - Nop 00
1.5-2
Musiman
1-6
Jan 98 - Mar 98
5-7
Setengah-Tahunan
8-14
Nop 01 - Des 04
7-8
Tahunan
4-6
Jan 05 - Jul 05
5-7
Setengah-Tahunan
3-5
Feb 08 - Okt 08
5-7
Musiman
3-4
Agu 04 - Nop 04
1.5-2
Musiman
2-4
Jul 02 - Des 02
3-5
Musiman
1-2
Jan 00 - Mar 00
1.5-2
Musiman
6-10
Sep 02 - Des 03
3-5
Setengah-Tahunan
3-6
Mar 98 - Jul 98
1.5-3
Setengah-Tahunan
7-14
Jan 02 - Agu 07
7-8
Tahunan
2-6
Jan 05 - Agu 05
3-5
Setengah-Tahunan
2-24
Sep 06 - Nop 08
4-8
Antar-Tahunan
4-6
Jul 06 - Des 06
3-4
Setengah-Tahunan
1-6
Jan 00 - Sep 00
1-3
Setengah-Tahunan
14-16
Jan 07 - Nop 07
7-8
Tahunan
1-3
Jul 04 - Sep 04
3-4
Musiman
1-10
Nop 02 - Agu 04
7-8
Setengah-Tahunan
10-16
Apr 05 - Feb 08
8-16
Tahunan
10-14
Jan 01 - Des 03
8-10
Tahunan
2-7
Des 01 - Feb 04
7-8
Setengah-Tahunan
Periode
(bulan)
TI.S2
TI.S3
TII.S1
TII.S2
TII.S3
TIII.S1
TIII.S2
TIII.S3
SDE ((mg/m3)2/spb)
SDE ((mg/m3)2/spb)
SDE ((mg/m3)2/spb)
52
0.04
a
A
0.04
b c
0.02
0 -2.5
0.04
-2
-1
e -0.5
0
-2
-2
-1.5
-1
-0.5
0
a
-2
-2
-0.5
0
0 -2.5
0 -2.5
-2
c
-1.5
-0.5
0
-0.5
0
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
0
b
0.02
a -1
-0.5
0
0 -2.5
0.04
-2
-1.5
b
b c -1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
a 0
-1
I
0.02
-2
-1
F
b c -1.5
a 0
b
a
0.02
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
C
0.02
H
b cd 0 -2.5
-1
d
0.04
a
0 -2.5
0.04
-1.5
c
E
0.02
G
0.02
b
0 -2.5
0.04
a
0 -2.5
0.04
a
0.02
D
0.02
0.04
-1.5
d
B
0 -2.5
-2
c
Gambar 27 Spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode FFT (A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III Stasiun 3).
Gambar 28 Spektrum densitas energi klorofil-a bulanan dengan metode wavelet (A=Transek 1 Stasiun I; B=Transek I Stasiun 2; C=Transek I Stasiun 3; D=Transek II Stasiun 1; E=Transek II Stasiun 2; F=Transek II Stasiun 3; G=Transek III Stasiun 1; H=Transek III Stasiun 2; I=Transek III Stasiun 3).
53
4.10.
Korelasi Silang
4.10.1. SPL dan Indeks Nino 3.4 Hasil korelasi silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT menunjukkan bahwa KDE didominasi oleh variabilitas antar tahunan dengan beda fase berkisar 3,5 – 7 bulan (Tabel 14). Hal ini berarti variabilitas antar tahunan Indeks Nino 3.4 terjadi setelah 3,5 – 7 bulan setelah SPL di utara Papua mengalami flutuasi antar tahunan. Pola korelasi silang dengan metode FTT berupa kospektrum densitas energi (KDE), koherensi dan beda fase pada sembilan stasiun (tiga transek) disajikan pada Gambar 29. Berdasarkan pola tersebut dapat dilihat bahwa SPL pada stasiun 3 (paling utara) tiap transek menunjukkan korelasi silang yang kuat terhadap Indeks Nino 3.4.
Tabel 14 Korelasi silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT Log Frekuensi (spb)
Periode (bulan)
KDE o 2 ( C /spb)
Koherensi
Beda Fase (Bulan)
-1,4
28
-3,356
0,77
5,6
-1,2
16
-2,621
0,82
3
TI.S2
-1,2
16
-2,894
0,78
3,1
TI.S3
-1,2
16
-2,829
0,76
3,1
-1,4
28
-2,931
0,66
5,5
-1,2
16
-2,843
0,82
3
-1,5
35
-2,896
0,75
7
-1,4
28
-3,593
0,78
5,6
-1,2
18
-2,911
0,93
3,5
-1,3
20
-1,904
0,72
4
-1,2
16
-2,955
0,86
3,1
-1,1
12
1,465
0,58
0,9
TIII.S1
-1,2
16
-2,438
0,78
3,1
TIII.S2
-1,2
18
-2,492
0,84
3,5
TIII.S3
-1,3
20
-2,164
0,65
4
Transek & Stasiun
TI.S1
TII.S1
TII.S2
TII.S3
54
KDE (oC2/spb)
2
2 0
0
-2
-2
-2
-4
-4 -2
-1.5
-1
-0.5
0
1
-2
-1.5
-1
-0.5
0
1
-2
-1.5
-1
-0.5
0
G
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
H
-2
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
0
-2.5 Stasiun 1
0 -2.5
20
-0.5
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
0
I
0
-20
-2.5
-1
F
0
-20
-1.5
0.5
0 -2.5
20
-2
1
0.5
0 -2.5
-2.5
E
0.5
20
-4
-2.5
D Koherensi
C
0
-2.5
Beda Fase (bulan)
2
B
A
-20 -2
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb) Stasiun 2
0
-2.5
-2
Stasiun3
Gambar 29 Korelasi silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode FFT (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III). Hasil korelasi silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode wavelet disajikan pada Tabel 15. Pola korelasi silang dengan metode wavelet dalam bentuk XWT disajikan pada Lampiran 4 dan dalam bentuk WTC pada Lampiiran 5. SPL cenderung sefase pada variabilitas setengah-tahunan dan antifase pada variabilitas tahunan maupun antar tahunan terhadap Indeks Nino 3.4. Variabilitas yang dianggap memiliki koherensi yang kuat jika SPL (X) mendahului Indeks Nino 3.4 (Y). Variabilitas antar-tahunan dan tahunan memiliki KDE yang lebih kuat dibanding variabilitas setengah-tahunan. Hal ini berarti korelasi silang antara metode FFT dan wavelet menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Fenomena yang terlihat jelas dapat dilihat pada Transek II Stasiun 1 dan Transek III Stasiun 1 (Lampiran 4; Gambar D dan G) bahwa SPL memiliki korelasi yang kuat pada fenomena tahunan hingga antar-tahunan dengan Indeks Nino 3.4 yang terjadi pada rentang waktu September 2007 – Desember 2003. Hal ini terkait peristiwa El Nino dan La Nina yang terjadi sepanjang periode tersebut (Gambar 13).
55
Tabel 15 Korelasi Silang antara SPL dan Indeks Nino 3.4 dengan metode wavelet Transek & Stasiun
TI.S1
o
2
Periode (bulan)
KDE ( C /spb)
Waktu Kejadian
Fase
Fluktuasi
5-6
1-2
Mei 98 - Jul 00
sefase
X→Y
14-18
4-8
Mar 99 - Feb 00
antifase
Y→X
5-7
1-2
Mar 06 - Jul 07
sefase
Y→X
5-6
1-2
Mei 98 - Jul 00
sefase
X→Y
14-18
4-8
Mar 99 - Des 99
antifase
Y→X
5-7
1-2
Mar 06 - Jul 07
sefase
Y→X
11-13
2-3
Agu 02 - Des 03
antifase
X→Y
5-6
1-2
Mei 98 - Jul 00
sefase
X→Y
14-18
4-6
Mar 99 - Des 99
antifase
Y→X
12-14
2-3
Agu 02 - Des 03
antifase
Y→X
5-6
1-2
Mei 98 - Feb 99
sefase
X→Y
10-18
3-6
Mar 99 - Nop 03
antifase
Y→X
5-7
1-2
Mar 06 - Jul 07
sefase
Y→X
5-6
1-2
Mei 98 - Feb 99
sefase
X→Y
14-18
3-6
Mar 99 - Feb 00
antifase
Y→X
10-12
2
Feb 03 - Jun 03
antifase
Y→X
14-18
3-6
Mar 99 - Nop 99
antifase
Y→X
10-12
2
Jan 03 - Agu 03
antifase
Y→X
5-7
1-2
Jan 06 - Mar 07
sefase
X→Y
10-18
3-6
Feb 99 - Mar 01
antifase
Y→X
10-12
2
Mei 03 - Feb 04
antifase
Y→X
18-24
4-8
Feb 06 - Mar 07
antifase
X→Y
10-18
3-6
Feb 99 - Jun 01
antifase
Y→X
10-12
2
Mei 03 - Feb 04
antifase
X→Y
5-6
1
Mar 06 - Jul 07
sefase
Y→X
10-18
3-6
Jan 99 - Feb 01
antifase
X→Y
5-6
1-2
Mar 06 - Jul 07
sefase
Y→X
20-24
3-4
Agu 06 - Jan 07
antifase
X→Y
TI.S2
TI.S3
TII.S1
TII.S2
TII.S3
TIII.S1
TIII.S2
TIII.S3
Ket : X → Y berarti SPL (X) mendahului Indeks Nino 3.4 (Y)
56
4.10.2. SPL dan Klorofil-a Hasil korelasi silang antara SPL dan klorofil-a dengan menggunakan metode FFT disajikan pada Tabel 16. Pola KDE dan koherensi serta beda fase yang terbentuk disajikan pada Gambar 30. SPL dan klorofil-a memiliki fluktuasi bersama secara setengah-tahunan, tahunan dan antar-tahunan. Variabilitas antar-tahunan lebih dominan hampir pada semua stasiun dengan beda fase sekitar 3,4 – 5,5 bulan. Hal ini berarti setelah SPL mengalami fluktuasi maka 3,4 – 5,5 bulan kemudian klorofil-a juga mengalami fluktuasi. Variabilitas setengahtahunan SPL dan klorofil-a memiliki beda fase 1,1 – 1,2 bulan dan variabilitas tahunannya memiliki beda fase 1,8 – 3,1 bulan. Tabel 16 Korelasi silang antara SPL dan klorofil-a dengan metode FFT Transek & Stasiun
Log Frekuensi (spb)
Periode (bulan)
KDE o 3 (( C.mg/m )/spb)
Koherensi
Beda Fase (Bulan)
-1,0
9
-0,057
0,50
1,8
-0,7
5
-0,056
0,76
1,1
-1,2
16
-0,163
0,88
3,1
-0,8
6
-0,318
0,97
1,2
-1,4
28
-0,038
0,25
5,4
-1,4
28
-0,093
0,83
5,5
-1,3
20
-0,054
0,66
3,9
-1,2
18
-0,050
0,50
3,4
-1,3
20
-0,061
0,80
4,0
-1,1
14
-0,060
0,75
2,8
-0,8
6
-0,083
0,81
1,2
-1,2
18
-0,111
0,74
3,5
-1,1
14
-0,046
0,76
2,6
-1,0
9
-0,035
0,59
1,9
-1,3
20
-0,058
0,78
4,0
-1,2
16
-0,075
0,79
3,1
-0,8
6
-0,040
0,74
1,1
TI.S1
TI.S2 TI.S3
TII.S1
TII.S2 TII.S3
TIII.S1
TIII.S2 TIII.S3
Pola korelasi silang antara SPL dan klorofil-a yang terbentuk menunjukkan pola yang mirip pada semua stasiun hanya saja Transek I (sisi barat) memiliki KDE dan koherensi yang lebih besar dibanding Transek II dan Transek III. Hal
57
ini terkait dengan keberadaan kandungan klorofil-a yang tinggi di sisi barat perairan utara Papua. Kandungan klorofil-a yang tinggi ini akan bergerak mengikuti pergerakan air hangat sehingga korelasi silang antara SPL dan klorofil-
KDE (oC.mg/m3/spb)
a terlihat lebih kuat pada lokasi ini. 0.1 0
0.1
A
0 -0.1
-0.1
-0.2
-0.2
-0.2
-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
-2.5
-1.5
-1
-0.5
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
G
-2
-1.5
-1
-0.5
0
H
0 -2.5
20
0
0
-20
-20
-20
-2
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
0
-1
-0.5
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
0
F
0
-2.5
-1.5
0.5
0 -2.5
20
-2
1
0.5
0 -2.5
C
-2.5
E
0.5
20
-2
1
D Koherensi
0
-0.1
1
Beda Fase (bulan)
0.1
B
-2.5 Stasiun 1
-2
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb) Stasiun 2
0
I
-2.5
-2
Stasiun 3
Gambar 30 Korelasi silang antara SPL dan Klorofil-a (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III). Hasil korelasi silang antara SPL dan klorofil-a dengan metode wavelet disajikan pada Tabel 17. Variabilitas tahunan terlihat lebih dominan dikarenakan memiliki KDE yang tinggi dibanding setengah tahunan. Variabilitas antara SPL dan klorofil-a cenderung yang terjadi bersifat antifase. Hal ini berarti bahwa saat SPL turun maka kandungan klorofil-a akan naik dan juga sebaliknya. Pola korelasi silang dengan metode wavelet dalam bentuk XWT disajikan pada Lampiran 6 dan dalam bentuk WTC pada Lampiran 7. Variabilitas tahunan hingga antar tahunan terlihat lebih jelas pada Stasiun 3 di tiap Transek (Lampiran 6; Gambar C, F dan I) yang terjadi hampir kontinu sepanjang rentang data pengamatan. Kejadian El Nino tahun 1997/1998 selalu terlihat jelas pada semua stasiun hanya saja karena periode kejadiannya berada pada bagian tepi selang kepercayaan 95% maka diabaikan.
58
Tabel 17 Korelasi silang antara SPL dan klorofil-a dengan metode wavelet Transek & Stasiun
TI.S1
TI.S2
Periode (bulan)
KDE o 3 (( C.mg/m )/spb)
Waktu Kejadian
Fase
Fluktuasi
5-7
2-4
Jan 01 - Mei 03
antifase
X→Y
5-6
2-3
Okt 06 - Sep 08
antifase
X→Y
6-7
2-4
Agu 04 - Mar 05
antifase
X→Y
5-7
2-4
Jan 01 - Jun 03
antifase
X→Y
6-8
2-4
Mei 04 - Sep 05
antifase
Y→X
5-6
2-3
Mei 06 - Apr 08
antifase
Y→X
5-7
2-3
Sep 99 - Jun 00
sefase
Y→X
12-14
4-8
Okt 01 - Des 03
sefase
X→Y
6-8
2-3
Jul 02 - Agu 03
antifase
Y→X
5-7
2-4
Okt 04 - Des 06
antifase
X→Y
5-6
2-3
Jun 02 - Jul 03
antifase
X→Y
5-6
2-3
Okt 06 - Mei 07
antifase
X→Y
2-7
2-4
Des 01 - Sep 03
antifase
X→Y
5-7
2-3
Apr 01 - Jun 02
antifase
X→Y
10-14
8
Feb 02 -Des 07
antifase
X→Y
2-7
2-4
Agu 04 - Agu 07
antifase
Y→X
14-16
8
Feb 99 - Jul 00
antifase
Y→X
4-7
2-4
Feb 06 - Mei 07
antifase
X→Y
16-24
8
Sep 06 - Agu 07
antifase
X→Y
5-7
2-4
Sep 02- Des 03
antifase
Y→X
8-10
2-4
Feb 03 - Apr 04
antifase
X→Y
15-16
4
Agu 07 - Nop 07
antifase
X→Y
10-14
4-8
Jan 99 - Apr 03
antifase
X→Y
4-7
2-4
Mei 02 - Jan 05
antifase
Y→X
10-14
8
Nop 05 - Feb 08
antifase
X→Y
TI.S3
TII.S1
TII.S2
TII.S3
TIII.S1
TIII.S2
TIII.S3
Ket : X → Y berarti SPL (X) mendahului klorofil-a (Y)
59
4.10.3. Indeks Nino 3.4 dan Klorofil-a Hasil korelasi silang antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a dengan menggunakan metode FFT disajikan pada Tabel 18. Pola KDE dan koherensi serta beda fase yang terbentuk disajikan pada Gambar 31. Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a memiliki variabilitas bersama secara tahunan dan antar-tahunan. Variabilitas antar-tahunan terlihat lebih dominan pada semua stasiun dengan beda fase sekitar 0,5 – 3,0 bulan. Hal ini berarti setelah anomali suhu pada wilayah Nino 3.4 mengalami fluktuasi maka 0,5 – 3,0 bulan kemudian klorofil-a juga mengalami fluktuasi. Transek I memiliki KDE yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Transek II maupun III, artinya wilayah barat perairan utara Papua memiliki respon yang lebih kuat terhadap kejadian ENSO dibanding wilayah tengah dan timurnya. Hasil korelasi silang antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a dengan metode wavelet disajikan pada Tabel 19. Variabilitas antar-tahunan terlihat lebih dominan dikarenakan memiliki KDE yang tinggi dibanding variabilitas tahunan. Variabilitas antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a cenderung yang terjadi bersifat sefase. Hal ini berarti bahwa saat Indeks Nino 3.4 naik maka kandungan klorofila akan naik dan juga sebaliknya. Pola korelasi silang dengan metode wavelet dalam bentuk XWT disajikan pada Lampiran 8 dan dalam bentuk WTC pada Lampiran 9. Variabilitas antar tahunan terlihat lebih jelas pada Transek II Stasiun 1 dan Transek III Stasiun 1 (Lampiran 8; Gambar D dan G). Variabilitas yang bersifat tahunan terlihat lebih jelas pada Transek II Stasiun 3 dan Transek III Stasiun 3 (Lampiran 8; Gambar F dan I). Analisis korelasi silang antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a dengan menggunakan metode FFT dan wavelet menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Variabilitas yang terjadi bersifat antar-tahunan dan tahunan yang didominasi oleh variabilitas antar-tahunan. Fenomena ENSO seperti yang telah diketahui memiliki variabilitas yang bersifat antar-tahunan sehingga jika dikaitkan dengan hasil korelasi silang tersebut maka dapat diduga bahwa variabilitas klorofil-a di perairan utara Papua sangat dipengaruhi oleh ENSO. Dengan kata lain ENSO mempengaruhi kesuburan perairan utara Papua dimana saat terjadi El Nino perairan ini menjadi lebih subur.
60
Tabel 18 Korelasi silang antara Nino 3.4 dan klorofil-a dengan metode FFT Transek & Stasiun
TI.S1
T1.S2
Log Frekuensi (spb)
Periode (bulan)
KDE o 3 (( C.mg/m )/spb)
Koherensi
Beda Fase (Bulan)
-1,8
70
0,700
0,74
2,0
-1,7
47
0,550
0,72
0,7
-1,5
35
0,402
0,81
1,2
-1,4
28
0,380
0,87
1,7
-1,1
14
0,236
0,72
1,4
-1,8
70
0,656
0,79
1,5
-1,7
47
0,446
0,79
1,7
-1,5
35
0,334
0,82
0,3
-1,4
28
0,255
0,68
0,5
-1,2
16
0,345
0,92
0,1
-1,3
20
0,094
0,62
2,0
-1,2
18
0,102
0,60
1,7
-1,7
47
0,386
0,92
0,1
-1,8
70
0,413
0,89
1,1
-1,7
47
0,312
0,86
0,8
-1,5
35
0,288
0,91
1,0
-1,4
28
0,267
0,84
1,3
-1,2
18
0,161
0,83
1,2
-1,1
14
0,136
0,65
0,4
-1,8
70
0,143
0,58
2,3
-1,4
28
0,165
0,64
2,9
-1,2
16
0,121
0,54
0,7
-1,8
70
0,103
0,23
1,7
-1,3
20
0,143
0,34
0,4
-1,8
70
0,251
0,78
1,6
-1,7
47
0,131
0,50
1,5
-1,3
20
0,114
0,68
0,5
-1,2
16
0,183
0,71
0,2
-1,8
70
0,156
0,79
1,6
-1,7
47
0,111
0,83
1,4
-1,5
35
0,096
0,73
2,1
-1,4
28
0,080
0,59
3,0
-1,1
12
-0,132
0,61
2,3
TI.S3
TII.S1
TII.S2
TII.S3
TIII.S1
TIII.S2
TIII.S3
KDE (oC.mg/m3/spb)
61
0.6
A
0.6
C
0.4
0.4
0.2
0.2
0.2
0
0
0
-0.2 -2.5
-0.2 -2.5
-0.2 -2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0 -2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
G
0 -2.5
10
10
0
0
0
-2
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
0
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
0
I
H
10
-10 -2.5
-0.5
20
20
20
-1
0.5
0.5
0 -2.5
-1.5
F
E
0.5
-2
1
1
D Koherensi
0.6
0.4
1
Beda Fase (bulan)
B
-10 -2.5
-2
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
Stasiun 1
Stasiun 2
0
-10 -2.5
-2
Stasiun3
Gambar 31 Korelasi silang antara Nino 3.4 dan Klorofil-a (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III).
Tabel 19 Korelasi silang antara Nino 3.4 dan klorofil-a dengan metode wavelet Transek & Stasiun
Periode (bulan)
KDE o 3 (( C.mg/m )/spb)
Waktu Kejadian
Fase
Fluktuasi
TI.S1
15-16
4
Jan 99 - Des 99
sefase
Y→X
TI.S2
12-14
2-4
Jan 99 - Jan 00
sefase
X→Y
TI.S3
8-15
4
Mar 01 - Agu 04
antifase
X→Y
TII.S1
18-28
4-8
Mar 03 - Sep 06
sefase
X→Y
15-18
4
Agu 99 - Des 99
sefase
X→Y
8-12
1-2
Des 03 - Jan 04
sefase
Y→X
16-18
2-4
Jan 07 - Jul 07
sefase
X→Y
14-16
3
Jan 99 - Des 99
sefase
Y→X
10-14
2-3
Nop 01 - Agu 06
antifase
Y→X
24-28
4
Okt 05 - Sep 06
sefase
X→Y
14-16
3-4
Jan 99 - Agu 00
sefase
X→Y
16-28
8
Jan 05 - Agu 07
sefase
X→Y
7-14
2-3
Nop 02 - Feb 04
sefase
Y→X
9-14
2-4
Jan 00 - Agu 04
antifase
Y→X
9-14
2-4
Okt 05 - Mar 08
antifase
X→Y
TII.S2
TII.S3
TIII.S1 TIII.S2 TIII.S3 Ket : X → Y berarti Nino 3.4 (X) mendahului klorofil-a (Y)
62
4.10.4. Antar Stasiun SPL Hasil korelasi silang antar stasiun SPL secara melintang dengan metode FFT disajikan pada Tabel 20 dan pola KDE, koherensi serta beda fase disajikan pada Gambar 32. Variabilitas setengah tahunan terlihat lebih dominan dibanding variabilitas tahunannya. Transek I memiliki KDE yang lebih tinggi dibanding Transek II dan Transek III (Gambar 32 A). Hal ini berarti pada sisi barat perairan utara Papua memiliki pola variabilitas suhu yang kuat secara melintang dibanding sisi tengah dan timurnya. Beda fase yang dihasilkan berkisar antara 0,01 (8 jam) – 1,2 bulan. Korelasi silang pada Stasiun 1&3 pada Transek I menunjukkan beda fase 3 hari (0,1 bulan) untuk variabilitas setengah-tahunan dan satu bulan untuk variabilitas tahunannya. Hal serupa terlihat pada hasil korelasi silang Stasiun 1&3 pada Transek II. Sedangkan pada Stasiun 1&3 pada Transek III hanya terdapat variabilitas sekitar sembilan bulanan dengan beda fase sebesar 0,03 bulan (1 hari). Hasil korelasi silang antar stasiun SPL secara melintang dengan metode wavelet disajikan pada Tabel 21. Variabilitas yang terlihat bersifat antar-tahunan , tahunan dan setengah-tahunan dengan didominasi oleh variabilitas setengahtahunan. Fluktuasi antar stasiun SPL yang terjadi bersifat sefase. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh SPL dari lintang yang lebih rendah ke lintang yang lebih tinggi di perairan utara Papua khususnya yang bersifat setengah-tahunan. Pola korelasi silang dengan metode wavelet dalam bentuk XWT disajikan pada Lampiran 10 dan dalam bentuk WTC pada Lampiran 11. Variabilitas setengah tahunan juga terlihat pada semua pasangan stasiun (Lampiran 10; Gambar A-F) hampir sepanjang tahun.
63
Tabel 20 Korelasi silang antara stasiun SPL dengan metode FFT Log Frekuensi (spb)
Periode (bulan)
KDE o 2 ( C /spb)
Koherensi
Beda Fase (Bulan)
-1,1
12
0,827
0,90
0,6
-0,8
6
5,226
1,00
0,01
-1,1
12
0,784
0,83
1,0
-0,8
6
5,343
1,00
0,1
-1,1
12
0,376
0,82
0,4
-1,1
12
0,499
0,70
1,2
-0,8
6
2,390
0,97
0,1
S1 & S2 (TIII)
-1,2
16
1,037
0,92
0,03
S1 & S3 (TIII)
-1,0
9
0,363
0,89
0,03
Transek & Stasiun
S1 & S2 (TI)
S1 & S3 (TI)
S1 & S2 (TII)
KDE (oC2/spb)
S1 & S3 (TII)
4
A
4
2
-2
-1.5
-1
-0.5
0
1 Koherensi
-2
-1.5
-1
-0.5
0
1
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0 -2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0 -2.5
0
-5
-5
-5
0
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
0
I
0
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
-0.5
5
H
-2
-1
0.5
0
-10 -2.5
-1.5
F
5
G
-2
1
0.5
0 -2.5
0 -2.5
E
0.5
C
2
0 -2.5
D
Beda Fase (bulan)
4
2
0 -2.5
5
B
-10 -2.5
-2
-1.5 -1 -0.5 0 Log Frekuensi (spb) Stasiun 1&2 Stasiun 2&3
-10 -2.5
-2
Gambar 32 Korelasi silang antara stasiun SPL (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III).
64
Tabel 21 Korelasi silang antara stasiun SPL dengan metode wavelet Transek & Stasiun
Periode (bulan)
KDE o 2 ( C /spb)
Waktu Kejadian
Fase
Fluktuasi
S1&S2 (TI)
6-8
2-8
Mar 98 - Jan 08
sefase
X→Y
S1&S3 (TI)
6-10
2-8
Mar 98 - Des 07
sefase
Y→X
4-8
2-4
Jun 01 - Des 07
sefase
X→Y
14-20
6
Mar 99 - Mar 00
sefase
X→Y
12-14
3-4
Okt 02 - Mar 03
sefase
X→Y
4-8
2-6
Mar 01 - Des 07
sefase
X→Y
14-16
5
Jan 99 - Sep 99
sefase
X→Y
12-14
4-5
Okt 02 - Mar 03
sefase
Y→X
4-8
1-4
Jun 01 - Jan 08
sefase
X→Y
14-16
8
Feb 99 - Mei 00
sefase
X→Y
4-8
1-4
Mei 01 - Des 07
sefase
X→Y
14-16
8
Feb 99 - Nop 00
sefase
X→Y
S1&S2 (TII)
S1&S3 (TII)
S1&S2 (TIII)
S1&S3 (TIII) Ket : X → Y berarti SPL Stasiun 1 (X) mendahului SPL Stasiun 2 (Y)
4.10.5. Antar Stasiun Klorofil-a Hasil korelasi silang antar stasiun klorofil-a secara melintang dengan metode FFT disajikan pada Tabel 22 dan pola KDE, koherensi serta beda fase disajikan pada Gambar 33. Variabilitas yang teridentifikasi bersifat setengahtahunan, tahunan dan antar-tahunan dengan dominasi oleh variabilitas antartahunan. Beda fase variabilitas antar tahunan berkisar 0,7 – 1, 6 bulan, 1,1 – 1,8 bulan untuk variabilitas tahunan dan 0,4 – 0,6 bulan untuk variabilitas setengahtahunan. Transek I memiliki KDE yang lebih tinggi dibanding Transek II dan Transek III (Gambar 33 A). Hal ini berarti pada sisi barat perairan utara Papua memiliki pola variabilitas klorofil-a yang kuat secara melintang dibanding sisi tengah dan timurnya. KDE klorofil-a antara Stasiun 1&2 lebih tinggi dibanding antara stasiun 1&3 pada setiap Transek. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh kandungan konsentasi klorofil-a yang kuat dari lintang yang rendah ke lintang yang lebih tinggi terkait posisi daratan Papua.
65
Tabel 22 Korelasi silang antara stasiun klorofil-a dengan metode FFT Transek & Stasiun
Log Frekuensi (spb)
Periode (bulan)
KDE 3 2 ((mg/m ) /spb)
Koherensi
Beda Fase (Bulan)
-1,8
70
0,029
0,61
1,3
-1,7
47
0,019
0,78
1,6
-0,9
8
0,008
0,90
0,4
-0,8
6
0,006
0,72
0,6
-1,8
70
0,011
0,83
0,9
-1,4
28
0,007
0,63
1,2
-1,4
28
0,004
0,49
0,7
-1,2
16
0,008
0,84
1,1
-0,7
5
0,001
0,77
0,4
-1,2
16
0,003
0,62
1,8
-0,7
5
0,001
0,64
0,4
S1 & S2 (TI)
S1 & S3 (TI) S1 & S2 (TII) S1 & S3 (TII) S1 & S2 (TIII)
KDE ((mg/m3)2/spb)
S1 & S3 (TIII)
0.03
0.03 0.02
A
0.02 0.01
0.01
0
0
0
-0.01 -2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
-0.01 -2.5
-1.5
-1
-0.5
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
5
-5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
0 -2.5
0
-2
-1.5
-1
-0.5
0
-1 -0.5 -1.5 Log Frekuensi (spb)
0
-5
-10
-10
-10
-15 -2.5
-15 -2.5
0
0
I
-15 -2.5
-1.5 -1 -0.5 Log Frekuensi (spb)
-0.5
5
H
-5
-2
-1
0.5
0 -2.5
0
-1.5
F
5
G
-2
1
0.5
0 -2.5
C
-0.01 -2.5
E
0.5
0
-2
1
D Koherensi
0.02
0.01
1
Beda Fase (bulan)
0.03
B
-2
-0.5 -1.5 -1 Log Frekuensi (spb)
Stasiun 1&2
0
-2
Stasiun 1&3
Gambar 33 Korelasi silang antara stasiun klorofil-a (A=KDE Transek I; B= KDE Transek II; C= KDE Transek III; D=Koherensi Transek I; E= Koherensi Transek II; F= Koherensi Transek III; G=Beda Fase Transek I; H= Beda Fase Transek II; I= Beda Fase Transek III).
66
Hasil korelasi silang antar stasiun SPL secara melintang dengan metode wavelet disajikan pada Tabel 23. Variabilitas yang terlihat bersifat musiman, setengah-tahunan, tahunan dan antar-tahunan dengan didominasi oleh variabilitas yang bersifat setengah-tahunan. Variabilitas antar tahunan memiliki KDE yang paling tinggi diantara variabilitas lainnya walaupun hanya teridentifikasi pada Transek III saja (bagian timur). Fluktuasi antar stasiun klorofil-a yang terjadi sebagian besar bersifat sefase. Hal ini berarti bahwa ada pengaruh klorofil-a dari daratan terhadap kandungan klorofil-a oseanik. Tabel 23 Korelasi silang antara stasiun klorofil-a dengan metode wavelet Transek & Stasiun
KDE
Periode (bulan)
(mg/m ) /spb
3 2
Waktu Kejadian
Fase
Fluktuasi
3-4
2
Jan 02 - Jan 03
sefase
Y→X
6-7
2-3
Jan 03 - Jul 03
sefase
Y→X
2-4
2
Jan 08 - Jan 09
sefase
Y→X
4-6
3-4
Mei 08 - Sep 08
sefase
Y→X
3-4
1-2
Jul 98 - Sep 98
sefase
X→Y
6-7
2
Jan 02 - Mar 03
antifase
X→Y
10-12
4
Agu 05 - Feb 06
antifase
Y→X
8-9
4
Jul 03 - Jan 04
sefase
X→Y
4-20
2-8
Okt 06 - Sep 08
sefase
X →Y
2-7
2-4
Okt 02 - Sep 03
sefase
X→Y
2-6
1-2
Jan 08 - Sep 09
antifase
Y→X
12-14
4
Jan 99 - Agu 99
sefase
Y→X
8-17
8
Agu 06 - Feb 08
sefase
X →Y
S1&S2 (TI)
S1&S3 (TI)
S1&S2 (TII)
S1&S3 (TII)
S1&S2 (TIII)
S1&S3 (TIII)
Ket : X → Y berarti klorofil-a Stasiun 1 (X) mendahului klorofil-a Stasiun 2 (Y)
67
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Anomali suhu pada wilayah Nino 3.4 cukup baik menggambarkan kondisi El Nino dan La Nina. Sepanjang rentang pengamatan telah terjadi tiga kali El Nino (1997/1998, 2002/2003, 2004/2005) dan dua kali La Nina (1998/1999/2000, 2007/2008). El Nino tahun 1997/1998 merupakan El Nino terkuat dengan anomali suhu mencapai +2,69 oC dan La Nina tahun 1998/1999/2000 merupakan La Nina terkuat dengan anomali suhu mencapai -1,89 oC. Sebaran SPL saat terjadi El Nino umumnya memiliki kisaran suhu yang lebih rendah dibandingkan La Nina dan normal. Semakin kuat dan lama kejadian El Nino maka SPL di perairan utara Papua juga akan semakin rendah dari kondisi normalnya. Kandungan klorofil-a saat kondisi El Nino lebih tinggi dibanding kondisi La Nina dan Normal. Kandungan klorofil-a oseanik tertinggi terjadi pada El Nino tahun 1997/1998 yang berkisar antara 0,088 - 0,391 mg/m3 dan terendah La Nina tahun 1998/1999/2000 yang berkisar antara 0,062 - 0,072 mg/m3. Pola sebaran permukaan kandungan klorofil-a oseanik yang tinggi berada pada sisi barat perairan utara Papua. Saat terjadinya El Nino konsentrasi klorofil-a oseanik yang tinggi ini bergerak ke timur dan pada kondisi La Nina konsentasi klorofil-a oseanik yang tinggi makin bergeser ke barat mengikuti pola pergerakan air hangat (warm pool). Pola sebaran konsentrasi klorofil-a di sepanjang pantai utara Papua menunjukkan konsentrasi klorofil-a yang tinggi selalu bergerak dari timur ke barat menyusuri pantai utara Papua terkait pengaruh daratan dan pergerakan Arus Pantai Papua dan Arus Bawah Pantai Papua yang selalu mengalir dari tenggara menuju barat laut sepanjang waktu. Hasil analisis metode FFT dan wavelet menunjukkan bahwa spektrum densitas energi signifikan pada selang kepercayaan 95% untuk Indeks Nino 3.4, SPL maupun klorofil-a memiliki fluktuasi antar-tahunan yang lebih dominan. Hal ini terkait fenomena ENSO yang memiliki variabilitas antar-tahunan. Korelasi silang SPL dan Indeks Nino 3.4 didominasi oleh variabilitas antar tahunan dengan beda fase berkisar 3,5 – 7 bulan. Korelasi silang antara SPL dan klorofila juga menunjukkan variabilitas antar-tahunan lebih dominan dengan beda fase sekitar 3,4 – 5,5 bulan. Demikian juga halnya dengan hasil korelasi silang antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a yang menunjukkan kuatnya variabilitas antartahunan dengan beda fase sekitar 0,5 – 3,0 bulan
68
5.2. Saran Perairan utara Papua yang merupakan bagian dari Samudra Pasifik memiliki dinamika interaksi lautan-atmosfer yang sangat kompleks. Kejadian ENSO bukan merupakan fenomena tunggal tetapi juga berinteraksi dengan kejadian lainnya Pasific Decadal Oscilation (PDO), Madden Julian Oscilation (MJO), Tropical Biennial Oscilation (TBO), muson, dan Dipole Mode. Kejadian ENSO juga saat ini memiliki fluktuasi yang makin pendek dibanding periode sebelumnya dan diduga memicu kejadian ENSO berikutnya akibat ketidaksimetrisan neraca bahang lautan-atmosfer. Penjelasan diatas menunjukkan bahwa penelitian selanjutnya perlu memasukkan pengaruh interaksi lainnya terhadap variabilitas klorofil-a di perairan utara Papua. Dinamika gerak air yang terjadi di perairan utara Papua juga sangatlah kompleks. Penelitian selanjutnya perlu memberikan gambaran kondisi arus, turbulensi, sirkulasi massa air sehingga lebih mampu menjelaskan variabilitas klorofil-a dan mekanisme upwelling yang terjadi. Penulis juga menyarankan agar melakukan validasi data klorofil hasil reanalisis terhadap hasil pengukuran langsung di lapang secara kontinu agar dapat diperoleh tingkat validitas data klorofil-a yang akan digunakan.
69
DAFTAR PUSTAKA
Arinardi OH, Sutomo AB, Yusuf SA, Trimaningsih, Asnaryanti E, Riyono SH. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Ashok K, Behera S, Rao AS, Weng HY, Yamagata T. 2007. El Nino Modoki and its Teleconnection. J Geophys Res. 112(C)11007:11034. Barber RT, Chavez FP. 1991. Regulation of primary productivity in the Equatorial Pacific. Limnol Oceanogr. 36 (8):1803-815. Bendat JS, Piersol AG. 1971. Random Data : Analysis and Measurement Procedures. Willey – Intersciences a Division of Jhon Willey & Sons, Inc. New York. Chu PC, Lu S, Chen Y. 1999. A Coastal Air-Ocean Coupled System (CAOCS) Evaluated Using an Airborne Expendable Bathythermograph (AXBT) Data Set. J Oceanogr. 55:543-558. Cullen JJ, Lewis MR, Davis CO, Barber RT. 1992. Photosynthetic Characteristics and Estimated Growth Rates Indicate Grazing is the Proximate Control of Primary Production in the Equatorial Pacific. J Geophys Res. 97(C1): 639-654. [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2003. NOAA gets U.S. consensus for El Nino/La Nina Index. http://www.noaanews.noaa.gov/stories/s2095.htm [Maret 2011]. Eisenman I, Yu L, Tziperman E. 2005. Westerly Wind Burst: ENSO’s Tail Rather than the Dog?. J Climate. 10:5224-5238. Emery WJ, Thomson RE. 1998. Data Analysis Methods in Physical Oceanography. Pergamon. New York. Gabric AJ, Parslow J. 1989. Effect of Physical Factors on the Vertical Distribution of Phytoplankton in Eutrophic Coastal Waters. Aust J Mar Freshw Res. 189(40) 559-569. Grinsted A, Moore JC, Jevrejeva S. 2004. Aplication of The Cross Wavelet Transform and Wavelet Coherence to Geophysical Time Series. Nonlinear Processes in Geophys. 11:561-566. Hasegawa T, Ando K, Mizuno K, Lukas R. 2009. Coastal Upwelling along the North Coast of Papua New Guinea and SST Cooling over the Pacific Warm Pool: A Case Study for the 2002/03 El Niño Event. J Oceanogr. 65 (6): 817833.
70
Hatta M. 2001. Sebaran Klorofil-a dan Ikan Pelagis : Hubungannya dengan Kondisi Oseanografi di Perairan Utara Irian Jaya. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology [JAMSTEC]. 2009. New Moored Buoy Network TRITON. http://www.jamstec.go.jp/jamstec/TRITON [14 Oktober 2009]. Joint IR, Pomroy AJ, 1988. Allometric Estimation of the Productivity of Phytoplankton Assemblages. Mar Ecol Prog Ser. 47:161-168. Laevastu T, Hela I. 1970. Fisheries Oceanography: New Ocean Environtmental Series. Coward and Gerrish Ltd, Larkhall, Bath. England. Kashino Y, Ueki I, Kuroda Y, dan Purwandani A. 2007. Ocean Variability North of New Guinea Derived from TRITON Buoy Data. J Oceanogr. 63: 545-559. King AH. 1963. An Introduction to Oceanography. Hill Booksb Company Inc. San Fransisco. 337 hal. Kuroda Y. 2000. Variability of Currents off the Northern Coast of New Guinea. J Oceanogr. 56: 103-116. Lehodey P, Bertignac M, Hampton J, Lewis A, Picaut J. (1997). El Nino Southern Oscillation and Tuna in the Western Pacific. Nature. London. 389:715-718. Lalli CM, Parsons TR. 2006. Biological Oceanography An Introduction Second Edition. Open University. Li Y, Lu R, Dong B. 2007. The ENSO-Asia Monsoon Interaction in a Coupled Ocean-Atmosphere GCM. J Climate. 20:5164-5177. Liu KK, Chaoc SY, Shawd PT, Gonge GC, Chen CC, Tanga TY. 2002. MonsoonForced Chlorophyll Distribution And Primary Production In The South China Sea: Observations And A Numerical Study. Deep-Sea Res I. 49:13871412. Mattern JP, Fennel K, Dowd M. 2010. Introduction and Assessment of Measures for Quantitative Model-Data Comparison Using Satellite Images. Remote Sens. 2:794-818. McPhaden MJ, Busalacchi AJ, Cheney R, Donguy JR, Gage KS. 1998. The Tropical Global Ocean Atmosfer Observing System: A Decade of Progress. J Geophys Res. 103:14169:14240. McPhaden MJ. 2004. Evolution of the 2002/03 El Nino. Bull Am Meterol Soc. 85:677-695. Meyers, G. 1996. Variation of Indonesia Throughflow and The El Nino Southern Oscillation. J Geophys Res.101: 255-263. Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. 368 hlm.
71
Nontji A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa Oleh H. Muhammad Eidman. Gramedia. Jakarta. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology, 3rd edition. Philadelphia. 546 hal. Pariwono JI, Eidman M, Rahardjo S, Purba M, Widodo R, Djuariah U, Hutapea JH. 1988. Studi upwelling di perairan selatan Pulau Jawa. Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Pohl B, Matthews AJ. 2007. Observed Changes in the Lifetime and Amplitude of the Madden Julian Oscilation Associated with Interannual ENSO Sea Surface Temperature Anomalies. J Climate. 20:2659-2674. Philander SG. 1990. El Nino, La Nina, and the Southern Oscillations. Academic Press. hlm 293. Quinn WH, Zopf DO, Short KS, Kuo Yang RTW. 1978. Historical Trends and Statistics of the Southern Oscillation, El Nino, and Indonesian Droughts. Fish Bull. 76:663–678. Roy SS, Goodrich GB, Balling RC. 2003. Influence of the El Nino/Southern Oscilation, Pacific Decadal Oscilation, and Local Sea Surface Temperture Anomalies on Peak Season Monsoon Precipitation in India. J Climate Res. 25:171-178. Shinoda T, Hendon HH, Alexander MA. 2004. Surface and Sub Surface Dipole Variability in the Indian Ocean and its Relation with ENSO. J Deep Sea Res I. 51:619-636. Shi Y, Zhang J, Reid JS, Holben B, Hyer EJ, Curtis C. 2011. An Analysis of the Collection 5 MODIS Over-Ocean Aerosol Optical Depth Product for its Implication in Aerosol Assimilation. Atmos Chem Phys. 11:557–565. Stewart, R. H. 2003. Introduction to Physical Oceanography, pdf version. Dept. of Oceanography. Texas A & M University. Susanto RD, Gordon AL, Zheng QN. 2001. Upwelling Along the Coasts of Java and Sumatra and its Relation to ENSO. Geophys Res Lett. 28(8):15991602. Susanto RD, Marra J. 2005. The Effect on 1997/98 El Nino on Chlorophyll-a Concentration Along the Southern Coasts of Java and Sumatra. Oceanogr. 18(4):124-127. Statsoft. 2011. Elementary Concepts in Statistics. Electronic Statistics Textbook. http://www.statsoft.com/textbook/. diakses tanggal 29 Juli 2011. Svedrup HV, Jhonson MW, Fleming RH. 1946. The Oceans, Their Physic, Chemistry and General Biology. Prentice-Hall. Inc. Englewood. New York.
72
Tchernia P. 1980. Descriptive Regional Oceanography. Pergamon Press, Ltd. New York. Tett P, Edwards A. 1984. Mixing and Plankton: an Interdisciplinary the in Oceanography. Oceanogr Mar Biol Ann Rev. 22:99-123. Torrence C, Compo GP. 1998. A Practical Guide to Wavelet Analysis. Bull Am Meteorol Soc. 79(1):51-78. Torrence C, Webster PJ. 1999. Interdecadal Changes in the ENSO-Monsoon System. J Climate. 12:2679-2690. Trenbeth KE. 1997. The Definition of El Nino. Bull Amer Met Soc. 78:2771-2777. Tubalawony S. 2007. Kajian Klorofil-a dan Nutrien Serta Interelasinya Dengan Dinamika Massa Air di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa – Sumbawa [Disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Weyl PK. 1967. Oceanography: An Introduction to Marine Environment. John Wiley & Son Inc. New York Wells LE. 1987. An Alluvial Record of El Nino Events From Northern Coastal Peru J Geophys Res. 92(C13):463-470. Wu R, Kirtman BP. 2004. The Tropospheric Biennial Oscilation of the MonsoonENSO System in an Interactive Ensemble Coupled GCM. J Climate. 17:1623-1640. Wyrtki K. 1961. Physical Oceanography of The South East Asian Waters. Naga Report. Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California. Yoon J, Yeh SW. 2010. Influence of the Pacific Decadal Oscilation on the Relationship between El Nino and Northeast Summer Asian Monsoon. J Climate. 23:4525-4537.
73
LAMPIRAN
74
Halaman ini sengaja dikosongkan
75
Lampiran 1 Baris program MATLAB untuk menghitung SK 95% pada spektrum Indeks Nino 3.4. % Program Menghitung Selang Kepercayaan (SK) 95% Pada Spektrum % Dibuat Oleh : M. Tri Hartanto % Referensi
: 1. Data Analysis Methods in Physical Oceanography (Emery & Thomson 1998) Hal :454 2. http://www.statsoft.com/textbook/statistics-glossary/h/
% Proses Pemanggilan Data : load Nino34bulanan.txt % Memanggil data observasi nino34 = Nino34bulanan(:,3);%data pada kolom ke-3 dari matriks data input load PSD_Nino34.txt % Memanggil hasil perhitungan spektrum di STATISTICA PSD=PSD_Nino34(:,3);%data pada kolom ke-3 dari matriks data input
% Menghitung varian dari data observasi : varsamp = var(nino34);
% Menghitung komponen Hamming Window N = length(nino34);%N merupakan panjang data observasi L = N-1;%L merupakan panjang window M = L/2;%M merupakan setengah dari panjang window v = 2.5164*(N/M);%Derajat bebas/DOF (Degree of Freedom) Hamming Window
% Menghitung SK 95% pada Spektrum : varmin
= (v-1)*varsamp/chi2inv(0.95, v);% batas bawah SK 95%
varmax
= (v-1)*varsamp/chi2inv(0.05, v);% batas atas SK 95%
varlength = varmax-varmin;% Panjang SK 95% pada spektrum energi
76
Lampiran 2 Program wavelet untuk perhitungan Continous Wavelet Transform (CWT) Indeks Nino 3.4 dengan menggunakan MATLAB.
% Program perhitungan Continous Wavelet Transform (CWT) Indeks Nino 3.4 % Dimodifikasi oleh M. Tri Hartanto dari Christopher Torrence and Gilbert P. Compo University of Colorado, Program in Atmospheric and Oceanic Sciences.
%Memanggil data seriesname={'Indeks Nino 3.4 (oC)'}; d1=load('NinoUtaraPapua.txt');
%Membuat plot data figure(1) wt(d1); title(seriesname{1}); set(gca,'Xtick',[4 16 28 40 52 64 76 88 100 112 124 136], 'FontSize',10,'FontName','Arial', 'XTickLabel',{'1998','1999','2000','2001','2002','2003','2004','2005','2006','2007','2008','2009'}) ylabel('Periode (bulan)','FontSize',12,'FontName','Arial') xlabel('Tanggal','FontSize',12,'FontName','Arial') grid on
77
Lampiran 3 Program wavelet untuk perhitungan Cross Wavelet Transform (XWT) dan Wavelet Transform Coherence (WTC) antara SPL dengan Klorofil-a pada Stasiun 1 Transek 1 dengan menggunakan MATLAB.
%Memanggil data seriesname={'Suhu Permukaan Laut(oC)' 'Klorofil-a(mg/m3)'}; load SPL_bulanan_9Stasiun.txt s1=SPL_bulanan_9Stasiun(:,2); load Chl_bulanan_9Stasiun.txt c1=Chl_bulanan_9Stasiun(:,2);
% Membuat Plot Cross wavelet transform (XWT) figure(1) xwt(s1,c1) set(gca,'Xtick',[4 16 28 40 52 64 76 88 100 112 124 136],'FontSize',20,'FontName','Arial', 'XTickLabel',{'1998','1999','2000','2001','2002','2003','2004','2005','2006','2007','2008','200 9'}) ylabel('Periode (bulan)','FontSize',22,'FontName','Arial','FontWeight','bold') xlabel('Tahun','FontSize',22,'FontName','Arial','FontWeight','bold') title('A','FontSize',25,'FontName','Arial','FontWeight','bold') grid on
% Membuat Plot Wavelet coherence (WTC) figure(2) wtc(s1,c1) set(gca,'Xtick',[4 16 28 40 52 64 76 88 100 112 124 136],'FontSize',20,'FontName','Arial', 'XTickLabel',{'1998','1999','2000','2001','2002','2003','2004','2005','2006','2007','2008','200 9'}) ylabel('Periode (bulan)','FontSize',22,'FontName','Arial','FontWeight','bold') xlabel('Tahun','FontSize',22,'FontName','Arial','FontWeight','bold') title('A','FontSize',25,'FontName','Arial','FontWeight','bold') grid on
78
Lampiran 4 Cross Wavelet Transform (XWT) antara SPL dan Indeks Nino 3.4 (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3).
79
Lampiran 5. Wavelet Coherence (WTC) antara SPL dan Indeks Nino 3.4 (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3).
80
Lampiran 6. Cross Wavelet Transform (XWT) antara SPL dan klorofil-a (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3).
81
Lampiran 7. Wavelet Coherence (WTC) antara SPL dan klorofil-a (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun 3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3).
82
Lampiran 8 Cross Wavelet Transform (XWT) antara Indeks Nino 3.4 dan klorofila (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3).
83
Lampiran 9. Wavelet Coherence (WTC) antara Indeks Nino 3.4 dan klorofil-a (A= Transek I Stasiun 1; B= Transek I Stasiun 2; C= Transek I Stasiun3; D= Transek II Stasiun 1; E= Transek II Stasiun 2; F= Transek II Stasiun 3; G= Transek III Stasiun 1; H= Transek III Stasiun 2; I= Transek III Stasiun 3).
84
Lampiran 10 Cross Wavelet Transform (XWT) antara stasiun SPL (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III).
85
Lampiran 11 Wavelet Coherence (WTC) antar stasiun SPL (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III).
86
Lampiran 12 Cross Wavelet Transform (XWT) antar stasiun klorofil-a (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III).
87
Lampiran 13 Wavelet Coherence (WTC) antar stasiun klorofil-a (A= Stasiun 1 & 2 Transek I; B= Stasiun 1 & 3 Transek I; C= Stasiun 1 & 2 Transek II; D= Stasiun 1 & 3 Transek II; E= Stasiun 1 & 2 Transek III; F= Stasiun 1 & 3 Transek III).