Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
VALUE CHAIN ANALYSIS (VCA) AGRIBISNIS AYAM POTONG LOKAL DI DESA WONOSARI, KECAMATAN BAWANG, KABUPATEN BATANG Dian Maharso Yuwono, Muryanto, dan Sherly Sisca Piay Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah email :
[email protected]
ABSTRAK Tingginya permintaan pasar terhadap ayam kampung (ayam buras) menyebabkan harga ayam kampung harganya relatif mahal. Disisi lain produksi dan pertumbuhan bobot ayam kampung dikenal lambat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah telah menghasilkan paket rekomendasi teknologi ayam potong lokal (APL) atau ayam hibrida, merupakan persilangan antara pejantan ayam kampung dengan betina ayam ras petelur, yang rasa dan tekstur dagingnya menyerupai ayam kampung. Suatu analisis rantai nilai (value chain analysis) telah dilakukan terhadap agribisnis APL yang dikembangkan FMA Desa Wonosari, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang yang difasilitasi program program Farmer Empowerment Through Agricultural Technology and Information (FEATI). Kajian dilakukan pada tahun 2010-201 dengan menelaah peningkatan nilai tambah pada setiap komponen teknologi yang diterapkan pada agribisnis APL. Hasil kajian menunjukkan adanya peningkatan nilai tambah pada setiap penerapan komponen teknologi APL, baik pada penerapan meliputi teknologi inseminasi buatan (IB), penetasan, maupun budidaya pembesaran. Pembelajaran agribisnis APL mendorong tumbuhnya sumber pendapatan baru bagi petani setempat, diindikasikan dari munculnya usaha-usaha pemeliharaan induk untuk menghasilkan telur tetas, penetasan, dan pembesaran ayam potong lokal hingga siap panen. Kata kunci : VCA, agribisnis, ayam potong lokal PENDAHULUAN Pengembangan ternak ayam lokal (ayam kampung/ayam buras) sebagai produk pangan komplemen dalam penyediaan daging unggas dewasa ini memiliki prospek yang cukup baik. Keunggulan ayam kampung adalah rasa dagingnya yang khas, mempunyai pangsa pasar tersendiri, sehingga bukan merupakan saingan bagi produk ayam ras. Besarnya pangsa pasar ayam kampung tercermin dari semakin banyaknya restauran/outlet/gerai yang menggunakan daging ayam kampung sebagai andalan (Priyanti et al., 2005). Pemenuhan kebutuhan konsumen terhadap ayam kampung terkendala oleh rendahnya pasokan, yang disebabkan reproduksi dan pertumbuhan bobot badannya yang lambat (Muryanto dan Subiharta, 1993; Muryanto, 2009). Untuk itu strategi pengembangan usaha peternakan ayam kampung diarahkan pada usaha perbaikan bibit dalam upaya meningkatkan produktivitas dan pemanfaatan potensi genetik plasma nutfah lokal (Bahri, 2006). Salah satu upaya yang dilakukan adalah memproduksi ayam dalam dalam jumlah besar dan waktu yg singkat, yang dagingnya mirip dengan daging ayam kampung. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah telah Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
menghasilkan paket rekomendasi teknologi ayam potong lokal (APL) atau ayam hibrida, yakni dengan menyilangkan pejantan ayam kampung yang mempunyai keunggulan yakni sudah beradaptasi dan dagingnya disukai dengan betina ayam ras petelur yang mempunyai keunggulan dalam memproduksi telur. Beberapa kelebihan dari APL ini adalah : Pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan ayam kampung. Pertumbuhan bobot badan APL lebih cepat dibandingkan ayam kampung. Kelebihan APL adalah bobot badan umur pada umur 70 hari, dimana APL siap panen, bobotnya mencapai sekitar 0,9-1,2 kg/ekor, sedangkan ayam kampung hanya mencapai separuhnya, tubuh dan karkasnya mirip ayam kampung, tekstur dagingnya sama dengan ayam kampung, dan harganya lebih tinggi dibanding ayam broiler (Muryanto, 2009). Pengembangan agribisnis APL di tingkat peternak diharapkan memberikan peluang yang besar bagi pemberdayaan petani. Program pembangunan pertanian yang berorientasi memberdayakan petani melalui fasilitasi untuk melakukan pembelajaran agribisnis adalah Farmer Empowerment Through Agricultural Technology and Information (FEATI). Fokus utama dari program FEATI adalah fasilitasi kepada penyuluhan yang dikelola oleh pelaku utama/petani sendiri (Farmer Managed Extension Activities/FMA), dimana petani difasilitasi melakukan pembelajaran partisipatif, menerapkan teknologi adaptif inovatif, serta berorientasi pada pasar sehingga berkembang pengembangan agribisnis berkelompok berbasis keunggulan wilayah (Badan Pengembangan SDM Pertanian, 2007). Pembelajaran agribisnis APL merupakan topik pembelajaran yang dilaksanakan FMA Desa Wonosari, Kacamatan Bawang, Kabupaten Bawang yang difasilitasi FEATI dengan pendamping teknologi dari BPTP Jawa Tengah. Agribisnis APL menyangkut penerapan beberapa teknologi tepat guna, yang merupakan rantai nilai yang berpeluang besar menghasilkan nilai tambah. Rantai nilai adalah serangkaian kegiatan yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produk (atau jasa) dimulai dari tahap perencanaan, tahap produksi, hingga pengiriman ke konsumen akhir (Kaplinsky, 1999; Kaplinsky dan Morris 2001). Adapun value chain analyisis (VCA) merupakan alat untuk memahami rantai nilai yang membentuk suatu produk (Shank dan Govindarajan, 1992). Sehubungan hal tersebut telah dilakukan penelitian untuk menelaah VCA pada pengembangan agribisnis ayam potong lokal di Desa Wonosari, Kacamatan Bawang, Kabupaten Batang. METODE Penelitian ini mengambil studi kasus di FMA Desa Wonosari, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang pada Oktober-Nopember 2011. Ruang lingkup penelitian menyangkut segala sesuatu yang berkaitan dengan perolehan informasi mengenai dinamika pengembangangan agribisnis APL di lokasi penelitian serta informasi tentang aspek penting rantai nilai yang diaplikasikan pada agribisnis APL. Rantai nilai dalam hal ini mengacu pada Porter (1985) yakni menyangkut serangkaian aktivitas-aktivitas yang dapat menciptakan nilai atau keuntungan bagi pelaku agribisnis APL, yakni meliputi usaha penghasil telur tetas, usaha penetasan, dan usaha pembesaran APL sampai dengan siap potong. Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan berbagai fihak yang terkait, seperti peternak, pengurus kelompok, petugas penyuluh pertanian lapangan tingkat kecamatan. Data yang diperoleh dianalisis dalam rangkaian keseluruhan rantai nilai agribisnis APL sebagai suatu sistem nilai (value system), dan alat VCA yang bersifat kuantitatif menyangkut perhitungan penerimaan, biaya, keuntungan, margin biaya, dan margin keuntungan/nilai tambah. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Peserta Pembelajaran Karakteristik peserta pembelajaran FMA Desa Wonosari, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Peserta pembelajaran didominasi oleh laki-laki (96,00%), adapun peserta pembelajaran yang perempuan hanya 1 orang (4,00%). Imbangan peserta pembelajaran laki-laki dan perempuan tersebut di atas tidak sepenuhnya mencerminkan curahan waktu kerja perempuan pada agribisnis APL. Kegiatan pembelajaran terutama dalam bentuk pelatihan secara klasikal yang menyita waktu cukup panjang menyebabkan petani perempuan yang terdaftar secara administrasi sebagai peserta lebih rendah dibanding petani laki-laki. Meskipun demikian, curahan waktu kerja perempuan pada agribisnis APL diduga lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat dimaklumi karena APL merupakan ternak yang umumnya dibudidayakan untuk pemanfaatan pekarangan, disisi lain adanya peran ganda perempuan yakni perempuan mempunyai tuntutan peran simultan dari pekerjaan dan keluarga (Hastuti, 2004) menyebabkan perempuan lebih banyak “bersentuhan” dengan budidaya APL. Tabel 1. Karakteristik Peserta Pembelajaran Agribisnis APL No.
Keterangan
Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan 2. Umur : < = 20 tahun 21 - 30 tahun 31 – 40 > 40 tahun 3. Pendidikan terakhir : SD SMP SLTA Diploma – Perguruan tinggi Sumber : data primer, 2011
Jumlah Orang
Persen (%)
24 1
96,00 4,00
3 13 8 1
12,00 52,00 32,00 4,00
6 8 5 6
24,00 32,00 20,00 24,00
1.
Apabila dilihat dari kelompok umurnya, sebagian besar peserta pembelajaran berada pada usia produktif, dimana peserta pembelajaran yang berusia di atas 40 tahun hanya sebesar 4%. Tingkat pendidikan akhir dari peserta pembelajaran dapat dikatagorikan cukup tinggi, bahkan terdapat 6 orang (24%) yang berpendidikan diploma-perguruan tinggi. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani di Indonesia masih didominasi lulusan SD, yakni sebesar 46,19% (Pusdatin-BPS, 2004). Rogers (1983) menyatakan, bahwa pendidikan Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
memegang peran yang penting bagi petani untuk memutuskan untuk mengadopsi suatu inovasi. Lembaga pendidikan mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap, karena meletakkan dasar pengertian dalam diri individu (Azwar, 1995). Kualitas sumberdaya manusia (SDM) antara lain dicerminkan dari tingkat pendidikan formalnya. Hal ini terbukti beberapa anggota secara aktif mencari informasi teknologi guna meningkatkan yang berkaitan dengan budidaya penggemukan ayam melalui media internet. Dinamika Pembelajaran Agribisnis APL di Lokasi Penelitian Ketertarikan anggota FMA Desa Wonosari terhadap budidaya APL berawal dari informasi yang mereka peroleh melalui website BPTP Jawa Tengah, sehingga pada tahun 2009 FMA menyelenggarakan pelatihan perbibitan APL dengan narasumber pengkaji BPTP Jawa Tengah. Tahun 2009 beberapa peternak telah melakukan pembesaran APL, untuk memenuhi kebutuhan DOC APL masih mengandalkan pasokan dari peternak di Kabupaten Temanggung yang juga merupakan binaan BPTP Jawa Tengah. Pembelian DOC dari lokasi lain tersebut tidak efisien karena adanya ongkos angkut, selain itu pasokannya tidak lancar. Berdasarkan respon positif peternak terhadap teknologi APL sekaligus memecahkan permasalahan dalam pengadaan DOC, maka tahun 2010 BPTP Jawa Tengah memfasilitasi demplot perbibitan dan penggemukan/pembesaran APL, agar FMA mampu menghasilkan DOC APL secara mandiri dan tersedianya percontohan budidaya pembesaran APL. Komponen teknologi yang diintroduksikan meliputi : 1. teknologi inseminasi buatan (IB) untuk menghasilkan telur tetas; 2. teknologi penetasan untuk menghasilkan DOC (day old chick), dan; 3. teknologi yang terkait dengan pembesaran untuk menghasilkan APL siap potong. Pelaksanaan demplot telah mendorong tumbuhnya sumber pendapatan baru bagi petani setempat, karena muncul usaha-usaha pemeliharaan induk untuk menghasilkan telur tetas, penetasan, dan pembesaran ayam potong lokal hingga siap panen. Sebagai gambaran, pada awalnya FMA difasilitasi 15 ekor induk dan 3 pejantan jumlah dengan jumlah pembelajaran sebanyak 20 orang, tahun 2011 berkembang menjadi 700 ekor induk dengan jumlah peserta pembelajaran bertambah menjadi 35 peternak. Pada aspek penetasan, awalnya hanya terdapat 2 mesin kapasitas 80 butir/mesin, tahun 2011 berkembang menjadi 11 mesin yang diusahakan oleh 8 orang anggota. Perkembangan usaha ini diantaranya didukung oleh ketersediaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dimana tahun 2009 gapoktan setempat memperoleh penguatan modal dari Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) sebesar 100 juta rupiah. Pemasaran DOC APL tidak saja di desa bersangkutan, namun meluas ke beberapa kecamatan di Kabupaten Batang, seperti Kecamatan Tersono, Reban, Plantungan, Gringsing, Tulis, dan serta Kabupaten Kendal. Teknologi yang terkait dengan perbibitan APL telah diadopsi dengan baik, berdampak pada tingginya permintaan pelatihan perbibitan APL dari desa lain. Value Chain Analysis Agribisnis APL Demplot perbibitan dan penggemukan APL dalam waktu 1 tahun telah berkembang menjadi agibisnis APL dalam wadah Kelompok Usaha Bersama (KUB). Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
Agribisnis merupakan suatu sistem menyeluruh dalam usaha pertanian, terdiri dari subsistem yang saling menyatu dan terkait. Downey dan Erickson (1992) menyatakan terdapat 4 subsistem dalam suatu sistem agribisnis, yakni perbekalan pertanian (praproduksi), usahatani (produksi), pemrosesan, dan pemasaran. Agribisnis APL menyangkut penerapan beberapa komponen teknologi yang saling terkait. Apabila dikaitkan dengan nilai yang dihasilkan dalam agribisnis APL tersebut, rantai nilai merupakan serangkaian aktivitas-aktivitas yang dapat menciptakan nilai atau keuntungan bagi suatu organisasi (Porter, 1985). Rantai nilai terbentuk ketika semua pelaku agribisnis APL dalam rantai tersebut bekerja sedemikian rupa sehingga memaksimalkan terbentuknya nilai sepanjang rantai tersebut. Pada usaha agribisnis, segala sesuatu penerapan cara maupun teknologi yang tepat akan secara positif berdampak pada kualitas produk akhir, dan dengan demikian akan meningkatkan nilai tambah (ACIAR, 2012). Porter (1985) menyebutkan bahwa rangkaian keseluruhan rantai nilai sebagai sistem nilai (value system). Value system agribisnis APL sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Terdapat peningkatan nilai tambah pada setiap komponen teknologi, meliputi teknologi IB untuk menghasilkan telur tetas, teknologi penetasan untuk menghasilkan DOC, dan teknologi pembesaran/penggemukan untuk menghasilkan APL siap potong.
Tekn IB Produksi telur tetas Value Chain
Tekn penetasan Produksi DOC Value Chain
Tekn pakan
Pemasaran
Produksi APL Value Chain
Konsumen Value Chain
Gambar 1. Value system agribisnis APL Tujuan dari VCA adalah untuk mengidentifikasi tahap-tahap value chain dimana perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau untuk menurunkan biaya (ACIAR, 2012). Penurunan biaya atau peningkatan nilai tambah (value added) dapat membuat perusahaan lebih kompetitif. Sedangkan Donelan dan Kaplan (2000) mengemukakan bahwa VCA merupakan tool yang digunakan untuk menjelaskan organisasi sebagai sebuah jaringan dari komponen-komponen utama dan saling keterkaitannya. Value chain analysis (VCA) pada agribisnis APL sebagaimana terlihat pada Gambar 2.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
APL siap potong Rp. 6000/ekor DOC APL Rp. 5000/ekor
HARGA
Telur tetas Rp. 1500/butir Telur konsumsi Rp. 800/butir
Teknologi inseminasi buatan
Teknologi penetasan
:
Teknologi pakan, kesehatan, kandang
:
:
INTENSITAS DARI AKTIVITAS
Gambar 2. Value chain analysis (VCA) agribisnis APL Peningkatan nilai tambah pada agribisnis APL adalah sebagai berikut : Penerapan teknologi IB untuk menghasilkan telur tetas : telur yang dihasilkan ayam ras apabila dijual sebagai telur konsumsi harganya Rp. 800/butir, namun apabila ayam ras tersebut di IB dengan sperma ayam kampung akan dihasilkan telur yang telah dibuahi (telur tetas) senilai Rp. 1.500/butir. Biaya yang ditimbulkan dari penerapan IB meliputi cairan NaCl physiologis sebagai pengencer sperma, biaya pakan pejantan, penyusutan kandang pejantan, dan penyusutan pejantan. Total biaya yang dibebankan senilai Rp. 200/butir, sehingga nilai tambah yang dihasilkan dari penerapan teknologi IB sebesar Rp. 500/butir (Rp. 1.500 – Rp. 800–Rp. 200). Penerapan teknologi penetasan untuk menghasilkan DOC APL : telur tetas seharga Rp. 1.500/butir apabila ditetaskan akan menghasilkan DOC APL seharga Rp. 5.000/ekor. Biaya yang ditimbulkan dari proses penetasan ini meliputi : harga telur tetas, biaya listrik sebagai energi dari mesin tetas, resiko telur yang tidak dibuahi sebesar 15% dari jumlah telur tetas, dan resiko telur yang tidak menetas sebesar 20%. Total biaya yang dibebankan sebesar Rp. 3.000/ekor, dengan demikian nilai tambah yang dihasilkan dari penerapan teknologi penetasan ini sebesar Rp. 2.000/ekor (Rp. 5.000 – Rp. 3.000). Penerapan teknologi pembesaran APL : DOC APL seharga Rp. 5.000/ekor apabila dibesarkan/digemukkan akan dihasilkan APL siap potong (70 hari) seharga Rp. 26.000/ekor. Adapun biaya yang ditimbulkan dari pembesaran APL meliputi biaya DOC, biaya pakan, vaksin, obat-batan/vitamin, resiko kematian (mortalitas) sebesar 2%, penyusutan kandang, total biaya yang dibebankan sebesar Rp. 21.000/ekor. Nilai tambah yang dihasilkan dari pembesaran APL sebesar Rp, 5.000/ekor (Rp. 26.000–Rp. 21.000). Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Juni, 2012
KESIMPULAN
P
embelajaran agribisnis APL mendorong tumbuhnya sumber pendapatan baru bagi petani setempat, diindikasikan dari munculnya usaha-usaha pemeliharaan induk untuk menghasilkan telur tetas, penetasan, dan pembesaran ayam potong lokal hingga siap panen. Pengembangan pembelajaran agribisnis APL telah meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan SDM pertanian, diadopsinya komponen teknologi yang terkait dengan agribisnis APL, dan berkembangnya rantai suplai APL sesuai kebutuhan pasar. Penerapan teknologi yang terkait dengan agribisnis APL, yang terdiri dari teknologi IB untuk menghasilkan telur tetas, teknologi penetasan untuk menghasilkan DOC, dan teknologi pembesaran/penggemukan merupakan rantai nilai yang masing-masing dapat meningkatkan nilai tambah, dan secara keseluruhan dipandang sebagai sistem nilai (value system) agribisnis APL. Peningkatan nilai tambah pada penerapan teknologi yang terkait dengan agribisnis APL masing-masing adalah sebagai berikut : inseminasi buatan (IB) sebesar Rp. 500/butir, penetasan sebesar Rp. 2.000/butir, dan budidaya pembesaran Rp. 5.000/ekor. DAFTAR PUSTAKA ACIAR. 2012. Membuat Rantai Nilai Lebih Berpihak Pada Kaum Miskin : Buku Pegangan Bagi Praktisi Analisis Rantai Nilai. ACIAR Monograph No. 148. Australian Centre for International Agricultural Research: Canberra. Azwar, S. 2002. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. 2007. Pedoman Pengelolaan Program P3TIP/FEATI. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia PertanianDepartemen Pertanian. Bahri, S. 2006. Kebijakan kelembagaan perunggasan di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional “Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usaha Ternak Unggas Berdayasaing”. 2006. Puslitbangnak–Fapet UNDIP. Semarang. Downey, W.D. dan S.P. Erickson. 1992. Manajemen Agribisnis. Penerbit Erlangga. Jakarta. Donelan, JG., and Kaplan, EA. 2000. Value Chain Analysis: A Stretegic Approach to Cost Management. New York: Thomson Learning Publising. Kaplinsky, R. (1999). Globalisation and Unequalization: What Can Be Learned from Value Chain Analysis. Journal of Development Studies. Kaplinsky, R. and M. Morris (2001). A Handbook for Value Chain Research. Brighton, United Kingdom, Institute of Development Studies, University of Sussex.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Juni, 2012
Seminar Nasional : Kedaulatan Pangan dan Energi Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
Muryanto dan Subiharta. 1993. Penelitian sifat mengeram pada ayam buras (1) pengaruh perlakuan fisik terhadap lama mengeram dan aspeknya). Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Klepu 1 : 1– 6. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu. Ungaran. Muryanto; Pramono., D; Prasetyo, T.; Prawirodigdo, S.; Herwinarni, E.M.; Kushartanti, E.; Sugiyono; Musawati, I. 2009. Paket Teknologi Rekomendasi ayam potong lokal (ayam hibrida). Rekomendasi Paket Teknologi Pertanian Provinsi Jawa Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah. Porter, M. E. (1985). Competitive Advantage. New York, The Free Press. Priyanti, A., A.R. Setioko, Y. Yusdja dan R.A. Saptati. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis ternak unggas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Rogers, 1983. Diffusion of Innovations. 3rd Ed. Macmillan Publishing Co., Inc. New York. Shank, Jhon K., Govindarajan, V. 1992. Strategic Cost Management and the Value Chain. Thomson Learning Publishing.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012