GADJAH MADA JOURNAL OF PROFESSIONAL PSYCHOLOGY VOLUME 1, NO. 2, AGUSTUS 2015: 108 – 119 ISSN: 2407-7801
Validasi Modul “SHARING” untuk Fasilitator Program Antiperundungan Wenny Hikmah Syahputri, Amitya Kumara Program Magister Profesi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Abstract. The purpose of this study to examine the module "SHARING" to improve knowledge of antibullying and presentation skills antibullying. The design used in this study was the one group pretest-posttest design. Quantitative analysis was conducted through statstical test using Paired t-test. The result showed that there is significant improvement between pretest and posttest on knowledge antibullying (t=-6.254, p<0.01 ), as well as presentation skills of antibullying (t=-17.872, p<0.01 ) in the study participants. The conclusion is that the module "SHARING" can improve their knowledge of antibullying and presentation skills of antibullying. Keywords: antibullying, peer facilitators, senior high school students Abstrak. Tujuan dari penelitian ini untuk menguji modul "SHARING" dalam meningkatkan pengetahuan antiperundungan dan keterampilan presentasi antiperundungan kepada teman sebaya. Desain penelitian yang digunakan adalah one group pretest-posttest design. Analisis kuantitatif dilakukan melalui uji statistik menggunakan paired t-test. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan yang signifikan antara pretest dan posttest pada pengetahuan antiperundungan (t=- 6,254, p<0,01), serta keterampilan presentasi antiperundungan (t=17,872, p<0,01) pada partisipan penelitian. Kesimpulannya adalah modul "SHARING" dapat meningkatkan pengetahuan antiperundungan dan keterampilan presentasi antiperundungan partisipan penelitian. Keywords: antiperundungan, fasilitator teman sebaya, siswa SMA Perundungan1 menjadi permasalahan serius bagi siswa SMA di sekolah. Prevalensi perundungan pada siswa SMA di kota Yogyakarta ditunjukkan pada beberapa data penelitian. Hasil penelitian studi kasus Argiati (2010) pada siswa SMA di Yogyakarta menunjukkan bahwa 78 dari 113 siswa (69,3%) pernah mengalami perundungan di sekolah dari teman, guru dan orang tua. Selain itu ditemukan 71,68% 1
Korespondensi mengenai artikel ini dapat dialakukan melalui:
[email protected] 2 Atau melalui:
[email protected] 108
pelaku perundungan adalah teman di sekolah. Hasil serupa juga disebutkan dalam penelitian Gustina (2011), dari 250 siswa SMA di Yogyakarta yang menjadi partisipan penelitian, 46,4% dari partisipan adalah korban perundungan. Aryuni, Johan, PoEh, dan Syahputri (2013) melakukan survei kepada 739 siswa SMA Negeri di Kota Yogyakarta. Hasil survei menyebutkan, 100 siswa pernah mengalami perundungan di sekolah dalam kurun waktu satu tahun terakhir dan 396
E-JURNAL GAMA JPP
VALIDASI MODUL “SHARING”, PROGRAM ANTIPERUNDUNGAN
siswa mengaku pernah melihat kejadian perundungan di sekolahnya. Survei yang dilakukan oleh komunitas Sadar-bully (2013) menyebutkan bahwa dari 110 orang siswa SMA di Yogyakarta yang dilibatkan dalam survei, 87 orang partisipan tidak mengetahui definisi perundungan secara pasti. Mayoritas partisipan menginterpretasikan perundungan sebagai tindakan kekerasan fisik yang biasa dilakukan oleh siswa laki-laki. Ketika siswa tidak mengetahui informasi tentang perundungan maka mereka tidak dapat mencegah terjadinya perundungan. Olweus (1991) mendefinisikan bahwa seorang siswa dikatakan melakukan perundungan ketika menunjukkan aksi negatif secara berulang kali kepada salah seorang siswa atau lebih. Aksi negatif adalah secara sengaja melukai atau menjadikan orang lain tidak nyaman dengan secara tersirat mengarah kepada perilaku agresif. Aksi negatif dapat pula melalui kata-kata (verbal), seperti mengancam, mengejek, menggoda, menyebutkan panggilan nama. Aksi negatif lainnya ketika seseorang memukul, mendorong, menendang, mencubit, atau menahan dengan sentuhan fisik. Aksi negatif mungkin juga tanpa menggunakan kata atau kontak fisik, seperti melalui ekspresi wajah atau bahasa tubuh, menyebar isu, serta mengucilkan seseorang dari kelompok. Olweus dan Limber (dalam Losey, 2009) mengindentifikasi bermacam mekanisme kelompok dalam perundungan yang dipertimbangkan menjadi faktor risiko teman sebaya. Faktor risiko tersebut adalah seperti, penularan pengaruh buruk sosial, lemahnya pencegahan dalam memerangi perundungan, kurangnya rasa tanggung jawab individual dan secara berangasurangsur merubah pandangan terhadap korban perundungan. Perilaku perundungan ini akan menular ketika teman sebaya yang menyaksikan aksi perundungan tersebut E-JURNAL GAMA JPP
ikut menikmati aksi perundungan terhadap korban. Pelaku perundungan akan mendapatkan penguatan atas perilakunya tersebut ketika teman sebaya ikut tertawa atau membiarkan perilakunya tersebut. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka remaja memiliki risiko untuk melakukan perundungan ataupun menjadi korban. Kelompok teman sebaya diakui dapat memengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Papalia & Olds, 2001). Selain itu, karakteristik pada remaja yang memiliki keadaan emosi yang cenderung masih labil. Kondisi ini menjadikan remaja berisiko untuk menjadi pelaku perundungan, karena adanya pengaruh teman sebaya dan mudah terprovokasi untuk melakukan perundungan. Sementara itu, fase remaja, merupakan masa pencarian jati diri dan pembentukan identitas diri. Menurut Erikson (dalam Papalia & Olds, 2001) pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup. Hal ini menjadikan remaja sangat sensitif terhadap pendapat orang lain seperti pujian ataupun kritikan. Kondisi tersebut menjadikan remaja kurang mampu untuk menghadapi stimulus negatif dari lingkungannya seperti tindakan perundungan. Stimulus negatif dari teman seperti perlakuan perundungan adalah suatu yang mengancam eksistensi. Karena bagi remaja, pentingnya kebutuhan pada konformitas teman sebaya. Oleh karena itu, remaja memiliki risiko untuk menjadi korban perundungan. Perundungan memiliki efek negatif baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Bagi pelaku efek jangka pendek yang ditimbulkan adalah; munculnya simptom-simptom ADD, depresi dan OCD (Kumpulainen dalam Smokowski & Kopasz 2005) munculnya sikap positif terhadap kekerasan fisik (Olweus, 1993). Lebih lanjut 109
SYAHPUTRI & KUMARA
Olweus (1993) menjelaskan bahwa siswa yang menjadi pelaku perundungan pada masa remaja diprediksikan akan melakukan tindak kriminal di usia dewasanya. Efek jangka panjang lainnya, pelaku perundungan menjadi underachiever dan kemudian akan menampilkan performa kerja yang rendah dalam lingkungan kerja (Smokowski & Kopasz 2005) studi yang dilakukan oleh Robert (dalam Smokowski & Kopasz 2005) menunjukkan bahwa pada usia 30 tahun, pelaku perundungan akan melakukan tindakan kriminal dan pelanggaran lalu lintas dibandingkan rekan seusianya yang tidak melakukan perundungan. Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Ttofi, Farrington, dan Losel (2012) menunjukan hasil bahwa, school bullying memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresif dan kejahatan di masa depan. Hasil penelitian Gustina (2011) menyebutkan bahwa siswa SMA yang memiliki pengalaman perundungan mengalami depresi yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang tidak mengalami perundungan. Sementara itu, penelitian Alika (2012) menunjukkan bahwa remaja yang terlibat dalam perundungan (pelaku dan korban) memiliki angka drop out yang tinggi dibandingkan siswa yang tidak terlibat dalam perundungan. Hal ini diakibatkan karena rendahnya konsentrasi mereka dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah sehingga berdampak terhadap prestasi akademik yang buruk. Korban perundungan, pada masa depannya akan sulit untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Smokowski & Kopasz 2005). Selain itu, meraka juga memiliki harga diri yang rendah dibandingkan dengan teman-teman seusianya yang tidak menjadi korban (Olweus, 1993). Korban juga merasakan pengaruh pada hubungan personal ketika dewasa (Gilmartin dalam Smokowski & Kopasz 2005). 110
Olweus (2010) berpendapat bahwa pencegahan perlu dilakukan sebelum terjadi sehingga dapat menolong korban dan menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif. Beberapa peneliti melakukan intervensi perundungan selama enam tahun dengan tujuan preventif secara menyeluruh melalui perubahan iklim sekolah, pemberian pengetahuan mengenai perundungan, pemberian konsekuensi terhadap perilaku perundungan serta psikoedukasi bagi saksi perilaku perundungan (Hong & Dorothy, 2012). Smith dan Thompson (2011) membagi strategi penanganan perundungan ke dalam tiga bagian. Adapun dasar keefektifan strategi ini dibagi berdasarkan survei nasional yang dilakukan pada sekolah di Inggris antara tahun 2008-2010, yaitu sebagai berikut: Pertama, strategi proaktif digunakan melalui pendekatan sekolah untuk mengurangi terjadinya perilaku perundungan (misal melalui dukungan sistem sekolah yang juga melibatkan orang tua dan masyarakat sekitar, pendekatan materi kurikulum, dll). Kedua, dukungan teman sebaya dapat dilakukan untuk mencegah dan merespons perundungan. Ketiga, strategi reaktif dapat digunakan ketika berhadapan langsung dengan insiden perundungan. Intervensi pencegahan perundungan pada remaja dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan teman sebaya. Hal ini dikarenakan penerimaan dari teman sebaya, popularitas, dan pertemanan menjadi hal yang sangat penting bagi kebanyakan remaja (Espelage, dalam Hong 2012). Selain itu, kelompok teman sebaya adalah sumber referensi dan informasi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup (Papalia & Olds, 2001). Pertimbangan keterlibatan teman sebaya dalam intervensi antiperundungan juga didasari atas dominasi metode belajar E-JURNAL GAMA JPP
VALIDASI MODUL “SHARING”, PROGRAM ANTIPERUNDUNGAN
modeling pada remaja menurut sudut pandang teori sosial kognitif (Rice & Dolgin, 2008). Bandura (dalam Rice & Dolgin, 2008) mengemukakan bahwa modeling adalah konsep utama dari teori sosial kognitif, yaitu perubahan perilaku, kognitif dan afeksi yang terbentuk melalui proses mengobservasi orang lain. Lebih lanjutnya dijelaskan bahwa remaja saling menduplikasi perilaku satu sama lainnya. Berdasarkan bukti empiris tentang besarnya pengaruh teman sebaya pada remaja dan karakteristik belajar modeling pada remaja, maka sangatlah sesuai jika dalam program intervensi perundungan melibatkan remaja secara aktif sebagai media pemberi informasi (Gambar 1). Behavior
Person
Environment
Gambar 1. Triadic Reciprocal Causation (Bandura, 1986)
Bandura (1986) menjelaskan perilaku manusia dalam kerangka triadic reciprocality atau interaksi resiprokal diantara perilaku, lingkungan dan faktor personal. Berdasarkan Gambar 1 dijelaskan bahwa faktor lingkungan dipengaruhi oleh person dan perilaku. Faktor person yang dibahas dalam triadic reciprocal causation merupakan aspek kognitif yang dimiliki individu. Dalam rangka mengurangi perilaku perundungan, dapat dijelaskan lingkungan yang dimaksud adalah sekolah. Untuk membentuk sekolah yang aman dan nyaman tanpa perundungan maka yang berpengaruh adalah person (kognitif) yang ada pada lingkungan. Dalam kasus perundungan di sekolah yang dimaksud person salah satunya adalah teman sebaya. Remaja memiliki karakteristik yang dominan untuk E-JURNAL GAMA JPP
meniru perilaku dari teman sebaya. Sikap dan perilaku teman sebaya yang tidak menyetujui tindakan perundungan akan mengubah perilaku siswa lainnya di lingkungan sekolah. Berkurangnya perilaku perundungan membentuk lingkungan sekolah yang aman dan nyaman. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa teman sebaya sebagai agen perubahan dalam menciptakan sekolah yang aman tanpa perundungan. Beberapa penelitian menunjukkan efektivitas program intervensi dengan menggunakan teman sebaya sebagai mediator dalam mengurangi perundungan. Elinoff mengujicobakan sebuah program dengan pendekatan teman sebaya yang diberi nama Friends Againts Bullying (FAB). Hasilnya menunjukkan program ini mampu mengurangi perundungan di sekolah. Dalam penelitian ini, para mentor teman sebaya mendapatkan pelatihan tentang informasi perundungan dan bagaimana cara menyampaikannya informasi perundungan kepada teman sebaya. Pelatihan yang diberikan kepada para mentor ini mendukung keberhasilan intervensi yaitu menurunnya prevalensi perundungan dan korban perundungan di sekolah. Secara umum program dengan pendekatan teman sebaya ini dapat diterima oleh siswa dan siswa merasa senang dilibatkan dalam pelaksanaanya. Dalam penelitian Salmivalli (dalam Dake, Price, & Telljohann, 2003) menyebutkan bahwa perlunya pelatihan kepada pendidik teman sebaya agar dapat mengambil tindakan dalam memerangi perundungan. Penelitian lainnya mengujicobakan intervensi dengan menggunakan media pendidik sebaya dalam mengurangi perundungan dan cyberbullying juga dilakukan pada remaja di Italia (Palladino dkk., 2012). Dalam penelitian ini pendidik sebaya diberikan pelatihan yang berfokus pada 111
SYAHPUTRI & KUMARA
komunikasi, empati, coping strategi, serta keterampilan sosial dalam interaksi nyata dan virtual (Palladino dkk., 2012). Berdasarkan hal ini, maka seorang teman sebaya yang menjadi fasilitator program antiperundungan diharapkan memiliki dua hal yaitu, informasi antiperundungan yang akan ditransfer dan juga keterampilan komunikasi dalam menyampaikan informasi tersebut. Namun, hasil survei menunjukkan bahwa pengetahuan siswa SMA masih minim tentang informasi antiperundungan serta belum adanya pelatihan khusus yang mampu membekali para siswa sebagai fasilitator dalam menyampaikan informasi antiperundungan. Modul yang disusun dalam penelitian ini untuk meningkatkan pengetahuan anti perundungan dan memberikan keterampilan presentasi materi anti perundungan. Sebagaimana yang disebutkan Supratiknya (2011), bahwa metode presentasi biasa digunakan untuk tujuan menyampaikan informasi, lazimnya berupa pengetahuan kepada peserta. Metode presentasi cocok untuk kelompok yang berjumlah besar, dan dipandang mampu menangkap informasi yang diberikan. Dalam presentasi juga dapat menggunakan alat bantu visual untuk mendukung presentasi. Metode ini dinilai efisiensi baik secara waktu maupun biaya pelaksanaannya. Metode presentasi dianggap mudah dipelajari oleh siswa, karena berkaitan dengan proses belajar yang sudah pernah dilakukan di kelas. Konsep yang disusun dalam modul menggunakan pendekatan observational learning (pembelajaran melalui pengamatan). Penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa melalui metode observational learning berhasil menghasilkan respons yang diharapkan sesuai modeling yang dihadirkan. Pada penelitian Talita, Tanja, Gert, dan Huub (2011) menyebutkan, bahwa observational learning meningkatkan hasil krea112
tivitas khususnya pada domain seni visual. Hasil penelitian ini menguatkan bahwa metode observational learning dapat digunakan untuk mempelajari hal baru baik itu dalam bentuk pengetahuan maupun keterampilan. Fasilitator sebagai “model” yang diobservasi oleh partisipan tentang cara menyampaikan informasi dengan menggunakan metode presentasi. Melalui “model” yang dihadirkan, partisipan dapat melewati proses observational learning. Dalam teori belajar sosial kognitif (Bandura, 1986) disebutkan terdapat empat proses observational learning dalam proses modeling, yaitu attention, retention, production, dan motivation. Proses pertama adalah attention. Pada proses ini, memberikan perhatian diarahkan pada materi perilaku yang akan dikembangkan (suatu model). Hal ini dapat dilakukan dengan cara menyajikan materi secara jelas dan menarik, memberikan penekanan pada bagian-bagian penting, atau dengan mendemonstrasikan suatu kegiatan. Model yang dihadirkan memiliki daya tarik bagi pengamat. Proses yang kedua retention, adalah mengorganisir secara kognitif dengan rehearsing, coding, dan transforming informasi yang dimodel untuk disimpan di dalam materi. Proses yang ketiga adalah production. Pada tahapan ini, menterjemahkan konsep simbolik yang telah dikoding kedalam overt behavior. Proses yang ketiga yaitu motivation. Pada fase ini pengamat akan termotivasi untuk mencontoh model, sebab mereka merasa bahwa dengan berbuat seperti model, mereka akan memperoleh penguatan. Memberikan penguatan untuk suatu tingkah laku tertentu akan memotivasi pengamat untuk berunjuk perbuatan. Metode motivasi yang dirancang pada modul adalah incentive motivation, yaitu pengamat akan termotivasi melakukan sesuatu ketika suatu hal yang E-JURNAL GAMA JPP
VALIDASI MODUL “SHARING”, PROGRAM ANTIPERUNDUNGAN
diperlihatkan tersebut memberikan manfaat bagi pengamat. Modul dalam penelitian ini diberi nama “SHARING” yang merupakan akronim dari Sahabat Perangi Bullying. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan validasi terhadap modul “SHARING” dalam meningkatkan pengetahuan antiperundungan dan keterampilan presentasi antiperundungan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi lembaga pendidikan yang akan menggunakan pendekatan teman sebaya untuk pencegahan antiperundungan di sekolah. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah modul pelatihan SHARING dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan antiperundungan dan keterampilan presentasi antiperundungan pada partisipan penelitian.
Metode Penelitian ini menggunakan desain eksperiman the one group pretest-postest design (Shadish, Cook, & Campbell, 2002). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah pengetahuan antiperundungan dan keterampilan presentasi antiperundungan. Pengetahuan antiperundungan diukur melalui tes yang disusun berdasarkan materi Bully Buster Program dari Newman dan Horne (2004) yang meliputi: (1) meningkatkan kesadaran terhadap perundungan, (2) mengenali pelaku perundungan, (3) mengenali korban,(4) cara-cara melakukan intervensi pelaku perundungan, dan (5) pendampingan terhadap korban perundungan. Masing-masing materi terdiri atas empat soal sehingga total soal dalam tes adalah 20 soal tes pengetahuan antiperundungan. Keterampilan presentasi antiperundungan diukur melalui observasi rating scale dengan menggunakan intereter. Panduan observasi disusun berdasarkan aspek E-JURNAL GAMA JPP
komunikasi verbal dan komunikasi non verbal dari Books dkk. (1980). Keterampilan komunikasi verbal terdiri dari; (1) Menggunakan pengantar atau pembuka dengan menarik (contoh; mengawali dengan bercerita, memulai pembicaraan dengan bertanya, menyebutkan gambaran umum pesan yang akan disampaikan), (2) Artikulasi yang jelas dan dapat dipahami, (3) suara mudah di dengar oleh audiens, (4) memberi penegasan [contoh kasus, dan pengulangan pada poin penting], (5) intonasi tinggirendah suara (tidak monoton), dan (6) Menggunakan humor dalam menyampaikan materi. Kemampuan komunikasi non verbal terdiri dari; (1) kontak mata {memperhatikan semua audiens}, (2) gerak tubuh yang tepat untuk menarik perhatikan [menunjuk ke arah slide, gerak tangan], (3) Ekspresi wajah yang tepat, dan (4) menunjukkan antusias saat menyampaikan materi. Penilaian observasi menggunakan rating scale yang terdiri dari 10 aitem dengan pilihan keterangan dari 1 sampai 5 (1=sangat kurang sampai 5=sangat baik). Aitem terdiri dari 6 aitem keterampilan komunikasi verbal dan 4 aitem keterampilan komunikasi non verbal. Perilaku yang diamati adalah keterampilan presentasi yang dilakukan oleh partisipan, yaitu keterampilan dalam komunikasi verbal dan non verbal. Reliabilitas yang digunakan dalam observasi keterampilan presentasi ini adalah reliabilitas inter-rater. Reliabilitas inter-rater menggunakan dua atau lebih peneliti yang akan mengamati hal yang sama kemudian hasil pengamatan tersebut dikorelasikan. Korelasi tersebut akan menghasilkan koefisien reliabilitas inter-rater yang menunjukkan seberapa dekat penilaian yang dimiliki oleh dua orang peneliti (Hayes, 2000). Hasil analisis dengan menggunakan SPSS.17 menunjukkan reliabilitas sebesar 0,702. 113
SYAHPUTRI & KUMARA
Variabel bebas pada penelitian ini adalah modul pelatihan Sahabat Perangi Bullying (SHARING). Pelatihan SHARING dirancang atas dua komponen yaitu materi antiperundungan dan materi komunikasi verbal-non verbal. Materi antiperundungan yang digunakan dalam pelatihan ini disusun berdasarkan modifikasi dan adaptasi dari Bully Buster Program (BBP) (Newman & Horne, 2004). Sementara itu, materi komunikasi verbal dan non verbal disusun berdasarkan Book dkk. (1980).
yaitu materi tentang perundungan dan materi komunikasi verbal dan non verbal. Materi perundungan yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan modifikasi dan adaptasi dari Bully Buster Program (BBP) (Newman & Horne, 2004). Sedangkan materi komunikasi verbal dan non verbal berdasarkan Book dkk. (1980). Sebelum digunakan, modul terlebih dahulu divalidasi dengan pendekatan validitas isi, yaitu validitas diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional dan penilaian (professional judgement) dari individu yang dianggap ahli di bidangnya (Supratiknya, 1998). Professional judgement atas modul SHARING telah diperoleh dari psikolog yang terbukti mempunyai keahlian dalam hal penyusunan blue print pelatihan dalam bidang psikologi pendidikan.
Penelitian ini dilakukan di SMAN Y Yogyakarta. Partisipan penelitian adalah siswa SMAN Y Yogyakarta berjumlah 15 siswa. Adapun cara mendapatkan partisipan melalui rekrutmen yang dilakukan oleh peneliti. Selanjutnya peneliti melakukan seleksi berdasarkan curiculum vitae peserta dengan memperhatikan; kemampuan komunikasi berdasarkan pengalaman yang dimiliki peserta. Kemudian meminta kesediaan peserta untuk terlibat selama penelitian berlangsung. Partisipan yang dilibatkan dalam penelitian ini telah bersedia menandatangani dan menjalankan isi kesepakatan terkait perlakuan yang diberikan selama penelitian berlangsung.
Hasil Uji normalitas Berdasarkan hasil uji normalitas dengan SPSS 17. Untuk pengetahuan antiperundungan KS-Z 0,607 dengan nilai p>0,05 Sementara itu KS-Z keterampilan presentasi 0,649 dengan nilai p>0.05 Artinya sebaran data bersifat normal pada kelompok partisipan penelitian. Berdasarkan kesimpulan ini, maka uji hipotesis dengan menggunakan analisis paired t-test dapat dilanjutkan.
Modul “SHARING” Penelitian ini menggunakan perlakuan berdasarkan modul yang disusun dengan metode pembelajaran obervational learning atau belajar melalui pengamatan, dari teori Kognitif Sosial Bandura (1986). Modul “SHARING”disusun atas dua komponen
Tabel 1 Ringkasan Uji Hipotesis Pretest
Posttest
t
Mean
SD
Mean
SD
Pengetahuan antibullying
78,66
9,34778
89,00
6,86607
-6,254*
Keterampilan presentasi
25,47
2,74816
37,73
1,53375
-17,872*
(* < 0,01) 114
E-JURNAL GAMA JPP
VALIDASI MODUL “SHARING”, PROGRAM ANTIPERUNDUNGAN
Uji hipotesis Data yang terkumpul dianalisis secara kuantitatif. Uji statistik yang digunakan adalah paired t-test dengan SPSS 17. Hasil uji hipotesis dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan perbedaan pretest dan posttest pengetahuan antiperundungan t=-6,254; dengan nilai p<0,01. Kesimpulannya adalah bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada pengetahuan antiperundungan partisipan antara sebelum dan sesudah pelatihan. Sementara itu, perbedaan pretest dan posttest keterampilan presentasi menunjukkan nilai t=17,872 dengan p<0,01. Hal ini menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan pada keterampilan presentasi partisipan antara sebelum dan sesudah pelatihan. Hasil uji paired t-test ini menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima, pelatihan “SHARING” dapat meningkatkan pengetahuan antiperundungan dan keterampilan presentasi materi antiperundungan pada partisipan pene-litian.
Diskusi Hipotesis dalam penelitian ini diterima yaitu modul pelatihan “SHARING” dapat meningkatkan pengetahuan antiperundungan dan keterampilan presentasi antiperundungan partisipan penelitian. Proses pembelajaran dalam modul SHARING memberikan kesempatan kepada partisipan mengalami hal-hal yang memengaruhi proses memberi perhatian (attention). Dalam hal ini fasilitator sebagai model yang diamati oleh partisipan dinilai mampu menarik perhatian partisipan. Fasilitator adalah seorang psikolog bidang pendidikan yang memiliki pengalaman dalam memberikan psikoedukasi materi antiperundungan. Fasilitator juga memiliki pengalaman dalam memfasilitasi pelatihan pada kelompok remaja, sehingga bahasa E-JURNAL GAMA JPP
yang digunakan dalam menyampaikan materi mudah dipahami partisipan penelitian. Masing-masing rater sepakat memberikan nilai 5 (baik sekali) pada fasilitator terhadap aspek artikulasi dalam menyampaikan materi. Sementara itu, pada aspek interaksi dengan peserta n rater memberikan nilai 4 (baik), dan cara fasilitator memotivasi peserta rater memberikan nilai 4 (baik). Hasil evaluasi terhadap performa fasilitator menunjukkan bahwa, keseluruhan partisipan mengungkapkan fasilitator menyampaikan materi dengan menarik. Hal ini menunjukkan bahwa model yang dihadirkan melalui performa fasilitator tergolong baik dalam menyampaikan materi dan dinilai mampu menarik perhatian partisipan. Penggunaan media video dan games dalam modul pelatihan juga menjadi sumber stimulus attention bagi partisipan sebagai pengamat. Rater memberikan nilai 5 (baik sekali) terhadap hasil observasi pada antusias partisipan memperhatikan materi/ kegiatan yang diinstruksikan. Antusiasme partisipan ini ditunjukkan dengan keaktifan partisipan dalam memperhatikan materi, keaktifan dalam bertanya dalam sesi, dan juga keaktifan dalam menjalankan instruksi dari fasilitator. Pada saat retention, partisipan merepresentasikan secara simbolik dan pengkodean verbal. Penjelasan materi yang disampaikan oleh fasilitator direpresentasikan secara simbolik verbal oleh peserta melalui lembar kerja diary I dan diary II diakhir sesi dengan menanyakan informasi apa saja yang didapatkan peserta selama mengikuti sesi. Selain itu, sebelum mengakhiri sesi, fasilitator kembali meminta peserta untuk mereview informasi yang baru saja diberikan sehingga peserta mampu mengulang kembali informasi yang diberikan fasilitator. Keseluruhan partisipan dapat menuliskan materi sesuai yang telah disampaikan oleh fasilitator. 115
SYAHPUTRI & KUMARA
Proses ini menunjukkan bahwa metode lembar diary yang terdapat dalam modul SHARING dapat memfasilitasi partisipan untuk merepresentasikan secara simbolik materi yang telah disampaikan. Produksi (production) berkaitan dengan perilaku yang dihasilkan dari pengamatan terhadap model. Proses produksi ini dalam modul difasilitasi pada sesi sharing 1, sharing 2, dan sharing 3. Pada saat simulasi keseluruhan peserta terlibat aktif. Peserta mampu menunjukkan simulasi presentasi sesuai konsep presentasi yang dihadirkan fasilitator pada saat modeling. Rater memberikan nilai 5 (baik sekali) dalam pelaksanaan tugas pada saat simulasi. Hal ini menunjukkan bahwa peserta mampu memunculkan overt behavior sesuai konsep simbolik yang dihadirkan. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan media laptop dan tayangan film. pada saat simulasi. Selama pelaksanaan simulasi ini partisipan berkesempatan untuk mengamati teman sebaya yang melakukan simulasi, metode ini disebut learning model. Learning model adalah modeling dengan cara mengekspos pengamat sebagai model yang mencoba belajar keterampilan dan tidak mempunyai performa yang bagus untuk di contoh. Pada tahap ini, partisipan mengalami proses berfikir untuk membandingkan modeling yang dilakukan oleh fasilitator dan juga teman sebayanya. Proses simulasi presentasi diakhiri dengan pemberian feedback dari fasilitator tentang penampilan partisipan sendiri, dan juga teman sebayanya (learning model). Partisipan difasilitasi lembar penilaian terhadap teman yang melakukan simulasi presentasi, sehingga masing-masing partisipan dapat dituntut untuk mampu mengamati teman sebaya yang melakukan simulasi tersebut. Hasil penelitian Hebert dan Landin (dalam Hutomo, 2011) membuktikan bahwa dengan mendengarkan feedback instruktur 116
kepada model maupun pengamat, akan meningkatkan performa, mengingat partisipan learning model menghasilkan performa yang mirip yang dapat meningkat karena penerimaan feedback dari hasil pelaksanaan keterampilannya sendiri. Melalui learning model pengamat mempunyai usaha kognitif yang lebih ketika mereka melihat learning model yang sedang menerima feedback daripada ketika mereka melihat correct model. Mereka harus berkonsentrasi dalam proses informasi error sebagaimana mereka melihat seseorang yang sedang belajar dan menerima feedback. Proses ini memengaruhi partisipan ketika memberikan respons presentasi pada saat posttest. Hal ini terlihat dari perbedaan respons yang ditunjukkan pada saat pretest dan posttest. Pada pretest partisipan menyampaikan informasi antiperundungan tidak terarah dan memulai presentasi tanpa menggunakan pengantar atau pembuka. Selain itu, partisipan juga menyampaikan informasi antiperundungan yang tidak tepat hal ini berkaitan dengan pemahaman partisipan yang masih salah tentang perundungan. Masih ada partisipan yang menyebutkan bahwa perundungan memberikan efek positif. Setelah mengikuti pelatihan pada saat posttest, partisipan memilih penggunaan teknik penyampaian informasi yang digunakan fasilitator dari proses belajar seperti membuka presentasi dengan mengajukan pertanyaan kepada audiens, sehingga menarik perhatian audiens untuk mendengarkan informasi yang disampaikan partisipan. Motivasi pembelajaran juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan presentasi materi antiperundungan partisipan. Metode motivasi yang difasilitasi dalam Modul SHARING adalah melalui motivasi langsung. Bentuk motivasi yang dihadirkan dalam modul adalah motivasi langsung. E-JURNAL GAMA JPP
VALIDASI MODUL “SHARING”, PROGRAM ANTIPERUNDUNGAN
Fasilitator menyebutkan dampak negatif bagi ketika tidak mencegah terjadinya perundungan. Sebelumnya partisipan merasa bahwa perundungan adalah tindakan biasa dan tidak akan berdampak apapun terhadap korban. Setelah menerima penjelasan perundungan yang tepat partisipan tergugah untuk menolong korban perundungan melalui pencegahan agar tidak banyak teman yang melakukan perundungan dan keinginan untuk menyampaikan informasi perundungan kepada teman lainnya yang belum mengetahui informasi tersebut. Fasilitator memberikan penguatan bahwa partisipan adalah agen perubahan dalam lingkungannya yang dapat mencegah terjadinya perundungan. Hal ini menjelaskan bahwa partisipan adalah individu yang mampu memberikan manfaat bagi orang lain, dan hal tersebut juga bermanfaat bagi partisipan. Bentuk motivasi ini disebut juga dengan incentive motivation. Menurut Bandura (1986) bahwa individu akan melakukan sesuatu ketika hal tersebut memberikan manfaat berarti baginya. Penelitian ini tidak melakukan cek manipulasi yang mengukur secara kuantitatif attention, retention, production, dan motivation partisipan dalam proses materi yang disajikan. Dari hasil penelitian ini tidak diketahui secara kuantitatif bagaimana empat proses observational learning tersebut memengaruhi partisipan sehingga terjadi peningkatan pada pengetahuan antiperundungan dan juga keterampilan presentasi.
Kesimpulan Berdasarkan pada paparan hasil penelitian dan diskusi dapat disimpulkan bahwa modul “SHARING” dapat meningkatkan pengetahuan antiperundungan dan juga keterampilan presentasi antiperundungan pada fasilitator teman sebaya. Peningkatan pengetahuan antiperundungan dan keteE-JURNAL GAMA JPP
rampilan presentasi bagi fasilitator teman sebaya diharapkan mampu melaksanakan program preventif perundungan di sekolah khususnya pada siswa SMA. Saran Peneliti menyarankan untuk kajian lanjutan dapat mengujicobakan kembali modul ini dengan menambahkan cek manipulasi secara kuantitatif terhadap empat proses observational learning sehingga data tersebut dapat dijadikan evaluasi dan pertimbangan perbaikan terhadap materi yang disusun dalam modul SHARING. Modul ini dapat dikembangkan dengan menyempurnakan materi pelatihan hingga monitoring implementasi setelah pelatihan, sehingga proses observational learning dapat dipenuhi. Selain itu, Untuk ujicoba selanjutnya dapat mengembangkan modul SHARING dengan lebih banyak menggunakan media film atau video yang sesuai dengan tema perundungan dalam proses belajar, serta merekam aktivitas simulasi peserta kemudian dievaluasi bersama dalam proses diskusi sebagai proses learning modeling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan media visual mampu menarik perhatian partisipan terhadap modeling yang diikusertakan. Diharapkan pelatihan dengan modul SHARING akan dapat memberikan dampak yang lebih optimal.
Daftar Pustaka Alika, H. I. I. (2012). Bullying as a correlate of dropout from school among adolescents. Education, Spring 3, 132, Proquest Research Library Argiati, H. B. (2010). Studi kasus perilaku bullying pada siswa SMA di Yogyakarta. Jurnal Penelitian BAPPEDA Kota Yogyakarta, 54-62.
117
SYAHPUTRI & KUMARA
Aryuni, M., Johan, M., PoEh, R. A., & Syahputri, W. H. (2013). Survei bullying pada siswa SMA di kota Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Bandura, A.(1986). Social foundation of thought & action a social cognitive theory. New Jersey: Prentice Hall Book, C. L., Albrecht, T. L., Atkin, C., Bettinghaus, E. P., & Donohue, W. A. (1980). Human Communication: Principles, Contexts, and Skills. New York: St. Martin’s Press. Elinoff, M. J. (2005).Friends againts bullying: Evaluation of a peer-mentoring program to reduce bullying in shools. doctoral dissertation, University of Connecticut.UMI Number: 3205568 Gustina, E. (2011). Korban bullying dan depresi pada siswa SMA di Kota Yogyakarta. (Tesis tidak dipublikasikan). Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Hayes, N. (2000). Doing psychological research. Philadelphia: Open University Press Hong, J. S., & Espelage, D. L. (2012). A review of research on bullyingand peer victimization in school: An ecological system analysis. Aggression and Violent Behaviour. 311-322. http://dx.doi.org/ 10.1016/j.avb.2012.03.003 Hutomo, S. (2011). Observational learning: metode psikologis yang dilupakan dalam psikologi olahraga. Jurnal Ilmiah SPIRIT Losey, R. A. (2009). An evaluation of the Olweus bulllying prevention programs effectiveness in a high school setting. Unpublished doctoral dissertation, University of Cincinnati. Newman, C. D., & Horne, A. M. (2004). Bully buster: A psychoeducational intervention for reducin bullying beha118
vior in middle school students.Journal of Counseling and Development, 82, 259-266. Olweus, D. (1993). Bullying at School: What We Know and What We Can Do. Oxford: Blackwell Olweus, D. (2010). Bully victim problems in school:Facts and interventions. Europan Journal of Psychology of Education, 12, 495-510. Palladino, B. E., Nocentini, A., & Menesini, E. (2012). Online and offline peer ied models againts bullying and cyberbullying. Psicothema, 24(4), 634-639. Papalia, D.E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2001). Human Development. 8th ed. Boston: McGraw-Hill Rice, P. F., & Dolgin, K. G. (2008). The Adolescent: Development, Relationship and Culture. New Jersey: Pearson Education. Sadarbully. (2013). Survei pengetahuan bullying siswa SMA di Kota Yogyakarta. Tidak dipublikasikan. Shadish, W. R., Cook, T. D., & Campbell, D. T. (2002). Experimental and quasiexperimental designed for generalized causal inference. New York: Houghton Mifflin Company Smokowski P. R., & Kopasz, K. H. (2005). Bullying in school: An overview of types, effects, family characteristics, and intervention strategies. Children and Schools, 27, 101–110. Supratiknya, A. (2011). Merancang Program dan Modul Psikoedukasi. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Talita, G., Tanja, J., Gert, R., & Huub, V. B. (2011). The effect of observational learning on studentd performance, processes, and motivation in two creative domains. British Journal of Educational Psychology, http://dx.doi.org/10.1111/ j.2044-8279.2011-02052x
E-JURNAL GAMA JPP
VALIDASI MODUL “SHARING”, PROGRAM ANTIPERUNDUNGAN
Thompson, F., & Smith, P. K. (2011). AntiBullying Strategies in School - What is Done and What Works. Unit for Schoo and Family Studies. University of London.
E-JURNAL GAMA JPP
Ttofi, M. M., Farrington, D, P., & Losel, F. (2012). School bullying as a predictor of violence later in life: A systematic review and meta-analysis of prospective longitudinal studies. Aggression and Violent Behavior, Elsevier, 17.
119