Distribusi Spasial Demam....................(Sunaryo et al)
pusat pelayanan dan waktu tempuh memiliki dampak signifikan dengan masalah kesehatan dan pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan. Pengendalian DBD yang dapat diupayakan rumah sakit bersifat kuratif dan preventif sehingga dapat menekan angka kematian karena DBD serta mencegah penularan DBD secara nosokomial yang mungkin terjadi di lingkungan rumah sakit. KESIMPULAN Distribusi spasial kasus DBD di Kabupaten Banyumas terzonasi di wilayah dataran rendah yang merupakan pemukiman penduduk dengan lingkungan sawah tadah hujan. Kasus DBD meningkat pada saat musim hujan tinggi yaitu bulan Januari –Mei. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas utamanya Bidang P2PL beserta jajarannya yang telah memberikan data surveilans DBD, Kepala Balai Litbang P2B2 Banjarnegara yang senantiasa memberi kesempatan dan dukungan bagi kami untuk menulis.
(DBD), analisis indeks jarak dan alternative pengendalian vektor di Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur. Media Litbang Kesehatan. 2012; 22 (3): 131-7. 8.
9.
8
Profil kesehatan Indonesia 2010. Kementerian Kesehatan RI; 2011.
2.
Dinkes Provinsi Jawa Tengah. Situasi penyakit bersumber binatang di Jawa Tengah. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, 11-12 Mei 2012.
3.
Data kasus DBD di Kabupaten Banyumas. Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas; 2012
4.
Mustofa AJ. Global environmental change dan masalah kesehatan lingkungan. Inovasi online.2005; 3 (XVII). [cited 31 Desember 2013]. Available from: http://io.ppijepang.org.
5.
Danudoro P. Pengolahan citra digital: teori dan aplikasinya dalam bidang penginderaan jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada;1996.
6.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Banyumas. Sosial dan kependudukan. [cited 2 Januari 2013]. Available from: banyumaskab.bps.go.id.
7.
Boewono DT, Ristiyanto, UmiWidyastuti. Distribusi spasial kasus demam berdarah dengue
Sarfras MS, Nitin KT, Taravudh T, Thawisak T, Pornsuk K, Marc S. Analyzing the spatio-temporal relationship between dengue vector larval density and land-use using factor analysis and spatial ring mapping. BMC Public Health. 2012; 12: 853. [cited 2 J a n u a r i 2 0 1 4 ] . Av a i l a b l e f r o m : http://www.biomedcentral.com/1471-2458/12/853.
10.
Sumantri A. Model pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit demam berdarah dengue di Provinsi DKI Jakarta. Disertasi. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor; 2008
11.
Sukamto. Studi Karakteristik Wilayah dengan Kejadian DBD di Kecamatan Cilacap Selatan Kabupaten Cilacap. Tesis. Semarang: Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang; 2007.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Liu C, Qiyong Liu, Hua Liang Lin, Benqiang Xin, Jun Nie. Spatial analysis of dengue fever in Guang Dong Province, China 2001-2006. Asia-Pacific Journal of Public Health. 2013; XX (X): 1–9. [cited 2 J a n u a r i 2 0 1 4 ] . Av a i l a b l e f r o m : http://aph.sagepub.com.
12.
13.
Ethiene Arruda Pedrosa dalam Topan Nirwana. Pengaruh curah hujan, temperatur dan kelembaban udara terhadap kejadian penyakit DBD, ISPA dan diare: suatu kajian literatur. FK UNPAD Bandung. [cited 15 Januari 2014]. Available from: http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013 /02/pustaka_unpad_pengaruh_curah_hujan_tempe ratur_dan_kelembaban.pdf Thabrany dalam Hotnida Sitorus, Lasbudi. Gambaran aksesibilitas sarana pelayanan kesehatan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Analisis Data Riskesdas 2007). Loka Litbang P2B2 Baturaja. [Cited 16 Januari 2014]. Available from: http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/spir akel/article/download/.
BALABA Vol. 10 No. 01, Juni 2014 : 39-46
VAKSIN DENGUE, TANTANGAN, PERKEMBANGAN DAN STRATEGI DENGUE VACCINE, CHALLENGES, DEVELOPMENT AND STRATEGIES Dewi Marbawati, Tri Wijayanti* *Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Jl. Selamanik No.16 A Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia E_mail:
[email protected] Received date: 3/2/2014, Revised date: 3/4/2014, Accepted date: 7/4/2014
ABSTRAK Penyakit demam Dengue endemik di lebih dari 100 negara di dunia. Obat anti virus Dengue efektif belum ditemukan dan pengendalian vektor dinilai kurang efektif, sehingga diperlukan upaya pencegahan dengan vaksinasi. Vaksin Dengue yang ideal adalah murah, mencakup 4 serotipe, efektif dalam memberikan kekebalan, cukup diberikan sekali seumur hidup, aman, memberi kekebalan jangka panjang, stabil dalam penyimpanan dan stabil secara genetis (tidak bermutasi). Beberapa kandidat vaksin yang telah dan sedang dikembangkan oleh para peneliti di seluruh dunia adalah tetravalent live attenuated vaccine, vaksin Chimera (ChimeriVax), vaksin subunit dan vaksin DNA. Vaksin Dengue dipandang sebagai pendekatan yang efektif dan berkesinambungan dalam mengendalikan penyakit Dengue. Tahun 2003 telah terbentuk Pediatric Dengue Vaccine Initiative (PDVI), yaitu sebuah konsorsium internasional yang bergerak dalam advokasi untuk meyakinkan masyarakat internasional akan penting dan mendesaknya vaksin Dengue. Konsorsium vaksin Dengue Indonesia saat ini berupaya mengembangkan vaksin Dengue dengan menggunakan strain virus lokal. Kata kunci: Dengue, virus, vaksin ABSTRACT Dengue fever is endemic in more than 100 countries in the world. The effective dengue antiviral drug has not been found yet, and vector control is considered less effective. Prevention program by vaccination is needed. An ideal dengue vaccine should be inexpensive, covering four serotypes (tetravalent), effective in providing immunity, given once a lifetime, safe, stable in storage and genetically. Several vaccine candidates have been and are being developed included attenuated tetravalent vaccine, ChimeriVax, sub- unit vaccines and DNA vaccines. Dengue vaccine is seen as an effective and sustainable approach to controll Dengue infection. In 2003, Pediatric Dengue Vaccine Initiative (PDVI) has been formed as an international consortium involved in advocacy to convince the international community about the essence and urgency of Dengue vaccine. Indonesian Dengue vaccine consortium is currently working to develop a Dengue vaccine using locally virus strain. Key words: Dengue, virus, vaccine
PENDAHULUAN Penyakit demam Dengue endemik di 100 negara yang tersebar di Asia Tenggara, Asia Selatan, bagian Timur Mediterania, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Afrika, Kepulauan Karibia dan 1,2 wilayah Pasifik. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5 milyar penduduk dunia berisiko terinfeksi Dengue. Sekitar 500.000 dari 50 juta kasus Dengue membutuhkan perawatan rumah sakit dengan angka kematian mencapai 2,5%.1 Virus Dengue adalah jenis virus dari grup Flavivirus yang mempunyai 4 serotipe; Dengue-1,
Dengue-2, Dengue-3, dan Dengue-4. Infeksi virus Dengue dapat berupa Dengue Fever (DF atau Demam Dengue), Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Penyakit ini terutama menyerang anak-anak dengan gejala demam tinggi mendadak, dapat disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan syok dan 3,4,5 kematian. Wabah Dengue umumnya di daerah tropis, namun perubahan demografik dan kecenderungan gaya hidup (ledakan populasi, urbanisasi dan transportasi cepat penduduk dari satu tempat ke
39
Vaksin Dengue.........................(Dewi Marbawati et, al)
tempat lain), memungkinkan penyakit ini dapat pula terjadi pada daerah non endemis.6 Virus Dengue ditularkan antar manusia dengan perantaraan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang diperkirakan memiliki hubungan dengan nyamuk Aedes silvatik di belantara Afrika.7 Aedes aegypti dan Aedes albopictus terdapat hampir di seluruh Indonesia sehingga memungkinkan seluruh Indonesia terjangkit infeksi Dengue. Terapi spesifik dengan antivirus efektif untuk infeksi Dengue belum ditemukan. Pengembangan obat antivirus merupakan kebutuhan mendesak untuk mencegah kematian akibat DBD. Penggunaan senyawa yang dapat menghambat proses perkembangan dari virus intraseluler, belum 8 disetujui digunakan pada manusia. Interferon, ribavirin, 6-azauridine dan glycyrrhizin menghambat perkembangbiakan Flavivirus termasuk virus Dengue secara in vitro, tetapi belum 9 dibuktikan secara in vivo. Pengendalian vektor yang dilakukan dinilai kurang efektif, karena sifat vektor yang kosmopolit dan mudah beradaptasi, resistensi terhadap insektisida dan sifat transovarial, Oleh sebab itu diperlukan pencegahan lain dengan vaksinasi. Penelitian mengenai vaksin Dengue telah dilakukan lebih dari 60 tahun, namun sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang efektif untuk dapat mengatasi permasalahan Dengue.2,10 Tujuan penulisan artikel untuk menggambarkan tantangan yang dihadapi dalam perkembangan vaksin dan strategi yang dilakukan untuk dapat mempercepat penyediaan vaksin Dengue. METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif. Tulisan ini merupakan hasil dari tinjauan literatur, mengumpulkan dari berbagai referensi (jurnal, buku teks) tentang Dengue. Data yang terkumpul kemudian dikompilasi dan dideskripsikan menjadi suatu informasi yang menggambarkan virus Dengue, perkembangan, kandidat vaksin dan tantangannya. PEMBAHASAN 1. Tantangan Pengembangan Vaksin Dengue Upaya pengembangan vaksin Dengue dihadapkan pada tantangan mampu menciptakan vaksin untuk semua serotipe virus Dengue, yaitu
40
Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dan Dengue-4. Vaksin monovalen yaitu vaksin untuk satu serotipe virus Dengue yang tidak melindungi tubuh terhadap infeksi virus Dengue serotipe lainnya, sehingga 11 pemberian vaksin tidak efektif. Infeksi dengan satu serotipe virus menyebabkan kekebalan terhadap serotipe tersebut, namun tidak ada perlindungan silang terhadap serotipe lain. Selain itu di daerah endemis, penduduk dapat terinfeksi 2, 3 atau 4 serotipe. Oleh karena itu dibutuhkan vaksin yang memicu antibodi terhadap keempat jenis serotipe di dalam tubuh. Infeksi virus yang pertama tidak memicu antibodi untuk memperkuat tubuh dari infeksi Dengue berikutnya dengan serotipe berbeda. Infeksi pertama juga mempermudah tubuh mendapat infeksi berikutnya dengan gejala yang lebih berat dan fatal. Jika pada infeksi pertama menyebabkan panas (Dengue Fever/DF), maka pada infeksi berikutnya dapat menyebabkan panas yang disertai perdarahan (Dengue Haemorrhagic Fever/DHF) atau syok (Dengue Shock Syndrome/DSS). Fenomena ini dikenal sebagai Antibody Dependent Enhancement (ADE).12,13,14 Oleh sebab itu pengembangan vaksin Dengue yang ideal harus mencakup 4 serotipe (tetravalent). Vaksin Dengue juga harus murah karena Dengue umumnya di negara miskin dan berkembang, efektif menimbulkan kekebalan dengan dosis tunggal. Vaksin Dengue harus aman tanpa efek samping, kekebalan bersifat jangka panjang dan stabil pada penyimpanan dalam kurun waktu tertentu maupun stabil secara genetik (tidak menimbulkan adanya risiko mutasi genetik).1 Pengembangan vaksin Dengue tidak terlepas dari kajian mengenai struktur genom dari Dengue itu sendiri untuk dapat menemukan target kandidat vaksin yang tepat. Partikel virus Dengue yang makro terdiri dari satu genom asam ribonukleat yang di kelilingi satu “ecosehedral” kapsul nukleat dibungkus dengan lemak setebal 10 nm yang berasal dari selaput dinding sel hospes yang terdiri dari protein pembungkus dan selaput dindingnya. Virus Dengue tersusun atas 10.700 basa di dalam genomnya, terdiri dari single-stranded positif sense RNA (ssRNA). Genom virus Dengue memiliki sebuah Open Reading Frame (ORF) yang mengkode 2 macam protein yaitu struktural dan non struktural (NS) yaitu NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, NS5 yang ditandai oleh sebuah 5' dan
BALABA Vol. 10 No. 01, Juni 2014 : 1-8
Gambar 9. Sebaran kasus DBD dengan Area Curah Hujan di Kabupaten Banyumas Tahun 2012
Gambar 10. Sebaran Kasus DBD dan Akses Rumah Sakit di Kabupaten Banyumas
sekitarnya. Curah hujan yang tinggi dan sangat tinggi banyak turun di daerah dataran tinggi (pegunungan) dengan jumlah penduduk yang jarang. Daerah dengan curah hujan tinggi di Kabupaten Banyumas mempunyai tata guna lahan berupa hutan. Selain itu, kelembaban di daerah tinggi bersifat kering atau kelembaban rendah yang kurang optimal untuk kehidupan nyamuk Aedes sp. Menurut Sumantri setiap peningkatan 1,42% kelembaban akan memberikan perubahan peningkatan kejadian 372 kasus. Curah hujan dan kelembaban berpengaruh terhadap kejadian DBD berkaitan dengan kehidupan vektor penularnya namun terdapat nilai optimum, dan jika nilai tersebut terlampaui tidak akan mempengaruhi kejadian DBD. Hasil penelitian
Ethiene menunjukkan kelembaban berpengaruh terhadap kegiatan reproduksi dan kelangsungan 0 hidup nyamuk Aedes aegypti. Pada suhu 35 C dan kelembaban relatif sebesar 60% akan menurunkan tingkat oviposisi nyamuk (rata-rata 54,53±4,81 0 telur), sedangkan pada suhu 25 C dan kelembaban relatif 80% potensial untuk menurunkan tingkat oviposisi nyamuk (rata-rata 99,08±3,56 telur). Penderita DBD paling banyak dilayani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dan pada radius 4 km merupakan akses terbanyak yang dilayani rumah sakit tersebut. Hal ini karena letak rumah sakit tersebut paling dekat dengan eks kota administratif Purwokerto dimana daerah tersebut ditemukan kasus 13 DBD paling banyak. Menurut Thabrany jarak ke
7
Distribusi Spasial Demam....................(Sunaryo et al)
Gambar 7. Sebaran Kasus DBD dengan Pola Penggunaan Lahan di Kabupaten Banyumas Tahun 2012 Legend 1 Dot = 1 b
TH2012
Contour
BALABA Vol. 10 No. 01, Juni 2014 : 39-46
3' non translated region (NTR) pada kedua ujungnya.15 Protein non struktural merupakan bagian terbesar (75%, Gambar 1.A) yang terdiri dari NS-1 sampai NS-5 (Gambar 1.B dan 1.C). Kemampuan merangsang pembentukan antibodi (imunogenitas) tertinggi diantara protein struktural adalah protein Envelope (E) kemudian precursore Membrane protein (prM) dan Capsid (C). Pada protein non struktural yang paling berperan adalah NS1 (Gambar 1.B dan 1.C). Penelitian oleh Imperial College London (UK) dan Mahidol University, Khon Kaen Hospital dan Songkhla Hospital di Thailand menemukan sekelompok antibodi precursor membrane protein (prM) sebagai respon tubuh di dalam darah seseorang yang terinfeksi virus Dengue. Seseorang yang pernah terinfeksi salah satu serotipe virus Dengue dan mendapatkan infeksi kedua kalinya oleh virus Dengue serotipe yang berbeda, maka antibodi prM yang dihasilkan pada infeksi sebelumnya akan aktif kembali, sehingga menimbulkan gejala yang lebih berat daripada infeksi pertamanya. Hasil penelitian tersebut
merupakan tantangan bagi peneliti untuk menciptakan vaksin yang mampu mencegah terjadinya reaksi yang lebih berat jika antibodi prM memfasilitasi virus Dengue lain pada infeksi sekunder. Para ilmuwan diharapkan menciptakan vaksin Dengue yang efektif. Protein lain yang banyak dikembangkan sebagai kandidat vaksin adalah protein E karena memiliki peranan penting pada proses penempelan virus dan fusi pada sel inang. Protein E juga menjadi target utama penetralan antibodi.17 Protein E merupakan protein struktural yang memiliki kemampuan bertahan yang tinggi. Protein E pada Flavivirus memiliki 12 residu sistein yang membentuk 6 jembatan disulfida intramolekular. Mutasi protein E memberikan dampak besar pada perubahan virulensi virus Dengue dan jenis 16,18 Flavivirus lainnya.. Protein E mengenali semua galur virus dan memiliki berat molekul yang mendukung sebagai kandidat vaksin, namun memerlukan pembawa sebagai imunomodulator yang menstimulasi sel B (limfosit B) dan sel Th (T helper) untuk menginduksi produksi antibodi
HEIGHT 12,50 - 125,00 125,01 - 262,50 262,51 - 387,50 387,51 - 537,50 537,51 - 800,00
Gambar 8. Sebaran Kasus DBD dengan Pola Ketinggian di Kabupaten Banyumas Tahun 2012
meningkat pada musim kemarau. Hal ini terjadi karena pada tahun 2012 musim kemarau yang terjadi di wilayah Banyumas merupakan kemarau basah sehingga meskipun musim kemarau masih terdapat hujan. Penelitian Sumantri di Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa setiap penambahan curah hujan 9,73 mm akan memberikan perubahan pada 10 peningkatan kejadian 67 kasus. Namun hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Sumantri menyebutkan sebaran kasus DBD di Kabupaten Banyumas lebih banyak pada area/lokasi dengan curah hujan sedang yaitu curah hujan antara 1000-
6
1500 mm/tahun, sedangkan pada curah hujan tinggi diatas 3000 mm/tahun kasus ditemukan sedikit. Di negara-negara Asia Tenggara yang curah hujan tahunannya lebih dari 2000 mm, menjadikan populasi Aedes aegypti lebih stabil di perkotaan, semi perkotaan dan pedesaan.11 Wilayah dengan curah hujan sedang sampai rendah di Kabupaten Banyumas berada di wilayah dataran rendah. Curah hujan sedang sampai rendah ini dapat memicu terciptanya habitat perkembangbiakan nyamuk terutama pada barangbarang tidak terpakai di lingkungan rumah dan
16
Gambar 1. Protein yang dikode oleh genom virus Dengue. Besar protein struktural dan non struktural penyusun genom Dengue (A), Skema pemotongan polyprotein virus Dengue untuk melepas protein tunggal (B), Skema tiga dimensi protein penyusun genom Dengue (C)
41
Vaksin Dengue.........................(Dewi Marbawati et, al)
melalui ekspresi sitokin, sehingga titer antibodi semakin tinggi. Protein E mempunyai sifat hidrofobik tinggi, mengandung banyak histidin dan sifatnya stabil. Oleh karena itu dikembangkan protein E hasil rekombinan dengan Baculovirus yang kemudian digunakan sebagai bahan vaksin klon subunit. Epitop protein E mengandung banyak asam amino yang merangsang terbentuknya antibodi neutralisasi melalui proses acidic compartments yang disekresikan melalui kompleks Golgi. Protein E yang disekresi melalui sel jaringan secara in vivo mempunyai reaktivitas tinggi dan tingkat imunogenitas optimal sebagai vaksin klon 19 subunit. Model ekspresi dengan Baculovirus didapatkan protein yang stabil dan seperti partikel virus, sehingga ideal dikembangkan sebagai vaksin Dengue yang multivalen.20 2. Perkembangan Vaksin Dengue Sejak dirintis pada akhir dekade 1970-an sampai 1990-an, belum banyak kemajuan penting yang diraih dalam pengembangan vaksin. Sedikitnya dukungan dan antusiasme perusahaan raksasa dan pusat – pusat riset kesehatan unggul dunia yang amat minim menyebabkan riset vaksin tidak berjalan optimal. Sejak awal tahun 1990-an hingga sekarang mulai banyak dilakukan penelitian mengenai vaksin dari mulai Live Attenuated Vaccine, ChimeriVax, vaksin subunit dan vaksin DNA. Berikut beberapa kandidat vaksin Dengue yang dikembangkan. a. Tetravalent Live Attenuated Vaccine Tetravalent live attenuated vaccine berasal dari virus hidup yang dilemahkan, ekonomis karena pengembangannya terjangkau. Dua kandidat vaksin tetravalen dikembangkan di Universitas Mahidol, Thailand dan Walter Reed Army Institute, Amerika Serikat.15 Virus dilemahkan secara konvensional, yaitu menumbuhkan secara berulang galur sel tertentu sehingga daya infeksinya lumpuh, namun sifat imunogeniknya tetap terjaga. Kedua vaksin tetravalent live attenuated yang dikembangkan menghasilkan serokonversi tinggi untuk semua serotipe pada 21 uji coba klinis. Beberapa serotipe virus yang digabungkan, mungkin mengakibatkan ketidakseimbangan respon imun sehingga
42
BALABA Vol. 10 No. 01, Juni 2014 : 1-8
menyebabkan keparahan pada pasien Dengue.17 Formulasi dosis dan jadwal vaksinasi penting untuk menyesuaikan imunogenitas dari empat 22,23 komponen vaksin tersebut. b. Chimera Vaksin Chimera (ChimeriVax) seperti tetravalent live attenuated vaccine merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan (attenuated). Vaksin ini dikembangkan dengan teknik rekayasa genetika yaitu menyisipkan gen selubung dan membran virus Dengue ke virus yellow fever (YF 17D).24 Pemilihan YF 17D sebagai kerangka karena vaksin ini teruji keamanannya, dan kedua virus ini berkerabat dekat (Flavivirus). Uji klinis ChimeriVax menunjukkan vaksin menginduksi antibodi proteksi terhadap keempat tipe virus dan aman tanpa efek samping yang serius. Pada tahun 2006, monovalen ChimeriVax Dengue-2 sukses diuji pada manusia. Uji klinis dilakukan dengan membandingkan tingkat toleransi, keamanan, dan imunogenik kandidat ChimeriVax Dengue2 dengan vaksin YF komersial (YF-VAX) pada 42 sukarelawan dewasa. Hasilnya ChimeriVax Dengue-2 terbukti aman dan imunogenik seperti halnya vaksin YF. Uji coba ChimeriVax yang dilakukan terhadap primata non manusia (monyet rhesus) menimbulkan kekebalan protektif terhadap semua serotipe virus Dengue, namun terjadi penurunan respon antibodi terhadap Dengue 3 dan 4 sehingga dibutuhkan reformulasi atau optimasi dosis untuk meminimalkan kendala ini.
Gambar 5. Pola Sebaran Kasus DBD di Kabupaten Banyumas Berdasarkan Waktu (Bulan Januari – Desember)
Gambar 6. Sebaran Kasus DBD dengan Kepadatan Penduduk di Kabupaten Banyumas Tahun 2012
c. Vaksin subunit Vaksin subunit dibuat dari bagian tertentu mikroorganisme, antara lain penggunaan protein E rekombinan untuk mendapatkan hasil proteksi yang optimal. Analisis virulensi menggunakan kultur sel vero, menemukan 8 strain dari keempat serotipe, dan 4 strain diantaranya terpilih sebagai bahan rekombinan. Setelah dipurifikasi dan dianalisis reaktifitas, protein E rekombinan menunjukkan sifat imunogenitas yang tinggi. Uji coba vaksin pada hewan coba juga menunjukkan protein E rekombinan mempunyai sifat antigenitas dan imunogenitas tinggi. Kelemahan
dengan kecenderungan mengikuti kepadatan penduduk tinggi.7 Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus DBD lebih banyak ditemukan di perkotaan dan daerah penyangganya sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan di Cina bahwa di wilayah Guangzhou (salah satu kota besar di Cina), Conghua (kota penyangganya) dan Zengcheng kasus DBD lebih banyak ditemukan.8 Berdasarkan ketinggian tempat, kasus DBD banyak ditemukan pada dataran rendah dengan ketinggian 15-250 meter di atas permukaan laut. Hampir sebagian besar wilayah di Kabupaten Banyumas pernah ditemukan kasus DBD hanya
sekitar seperempat saja yang merupakan area dengan ketinggian diatas 250 meter di atas permukaan laut yang tidak ditemukan kasus DBD, hal ini karena dominasi daerah tersebut merupakan hutan. Daerah rendah yang ditemukan DBD tersebut mempunyai tata guna lahan sebagai daerah permukiman dengan lingkungan sawah tadah hujan. Penelitian di Phitsanulok, Thailand juga menyimpulkan bahwa perumahan di daerah persawahan mempunyai peran 9 besar pada pertumbuhan vektor DBD. Secara umum pola kasus meningkat pada saat musim penghujan dan menurun pada musim kemarau, hanya pada tahun 2012 kasus cenderung
5
Distribusi Spasial Demam....................(Sunaryo et al)
Gambar 3. Sebaran Kasus DBD Berdasarkan Wilayah Puskesmas di Kabupaten Banyumas Tahun 2012
Gambar 4. Pola Incidence Rate Kasus DBD Tahun 2003-2012
jumlah penduduk berkisar antara 2001 jiwa – 6885 jiwa. Pada wilayah dengan sebaran penduduk sedang antara 1000 – 2000 jiwa terdapat kasus dengan tingkat sebaran sedang. Sebaran Kasus DBD Berdasarkan Faktor Risiko Spasial di Kabupaten Banyumas Sebaran kasus DBD di Kabupaten Banyumas cenderung terkonsentrasi di wilayah dengan pemukiman padat penduduk. Secara spasial ditunjukkan bahwa pemukiman tersebut dekat dengan sawah tadah hujan. Kasus DBD tersebar di area dataran rendah. Lokasi dataran rendah yang potensial terdapat kasus DBD antara ketinggian 12,5 – 125 meter di atas permukaan laut. Lokasi dengan ketinggian tersebut diantaranya: Kecamatan Purwokerto Timur, Purwokerto Barat, Purwokerto Selatan dan Purwokerto Utara. Sebaran kasus DBD di Kabupaten Banyumas lebih banyak pada area/lokasi dengan curah hujan sedang yaitu curah hujan antara 1000-1500 mm/tahun sedangan pada curah hujan tinggi diatas
4
3000 mm/tahun kasus ditemukan sedikit. Aksesibilitas pelayanan kesehatan seperti keberadaan rumah sakit di Kabupaten Banyumas berpengaruh terhadap pelayanan penderita DBD. Terdapat tiga rumah sakit di Kabupaten Banyumas seperti RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, RSUD Banyumas dan RSUD Ajibarang. Penderita DBD paling banyak dilayani di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dan pada radius 4 km merupakan akses terbanyak yang dilayani oleh RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo (Gambar 10). PEMBAHASAN Incidence rate DBD di Kabupaten Banyumas dalam sepuluh tahun terakhir berpola seperti gigi gergaji, terjadi kenaikan 1-2 tahun sekali. Sebaran kasus terkonsentrasi di daerah perkotaan dengan penduduk yang padat yaitu eks Kota Administratif Purwokerto dan daerah sekitarnya. Pola sebaran kasus mengelompok/terkonsentrasi, sebagai indikator bahwa ada konsentrasi habitat vektor, sehingga berpotensi lebih besar terjadi penularan setempat. Pada umumnya clustering kejadian DBD
BALABA Vol. 10 No. 01, Juni 2014 : 39-46
pengembangan vaksin jenis ini adalah lebih mahal dari live attenuated. Pengembangan vaksin lain adalah vaksin DNA yang didesain dengan menyisipkan beberapa gen virus ke vektor plasmid, lalu dikemas dengan DNA lain yang bersifat imunogenik kuat. Struktur dan elemen genetik vaksin DNA terdiri dari dua unit utama. Unit pertama adalah unit propagasi plasmid yang berfungsi sebagai pengendali replikasi dan perbanyakan plasmid DNA secara in vitro dalam sel bakteri, sesuai dengan jumlah dan volume yang diinginkan pada saat diproduksi. Unit kedua adalah fragmen DNA yang mengandung gen vaksin yang dikloning ke dalam plasmid DNA. Vaksin DNA adalah vaksin yang aman jika digunakan pada manusia. Hal yang menjadi perhatian adalah kemungkinan DNA asing terintegrasi ke dalam kromosom hospes sehingga menyebabkan stimulasi gen yang tidak terkontrol.25 I n s t i t u t Va k s i n I n t e r n a s i o n a l menyebutkan beberapa kandidat vaksin untuk mengatasi Dengue dikembangkan beberapa perusahaan yang dapat dilihat pada Tabel 1. Pengembangan vaksin Dengue di Indonesia dilakukan diantaranya oleh peneliti dari Universitas Airlangga (UNAIR), dengan memanfaatkan protein E virus Dengue secara rekombinan untuk pengembangan vaksin klon
subunit dengan menggunakan Baculovirus yang dimodifikasi, sehingga dapat memacu antibodi protektif untuk semua galur. Hasil penelitian tersebut diantaranya mendapatkan protein rekombinan murni yang mempunyai reaktivitas tinggi terhadap antibodi poliklonal. Protein E yang diperoleh mempunyai daya imunogenik yang cukup tinggi dan mampu menetralisasi infeksi virus Dengue pada percobaan mencit, tikus, kelinci dan monyet. Protein E pada hewan percobaan dapat menginduksi antibodi humoral dengan berbagai kelas imunoglobulin IgM, IgG maupun antibodi selular sub kelas (IgG, IgG1a, IgG2a, IgG2b) yang protektif.20 3. Strategi Pengembangan Vaksin Dengue Pengembangan vaksin Dengue telah dirintis sejak lama dan sampai saat ini belum tersedia. Dalam rangka percepatan penyediaan vaksin, pada tahun 2003 dibentuk Pediatric Dengue Vaccine Initiative (PDVI), yaitu sebuah konsorsium internasional yang bergerak meyakinkan masyarakat internasional tentang penting dan mendesaknya vaksin Dengue, serta berkoordinasi terkait pengembangan vaksin Dengue. Pediatric Dengue Vaccine Initiative (PDVI) mendapat bantuan dana dari Rockefeller Foundation, the Bill and Melinda Gates Foundation dan badan kesehatan dunia 26 (WHO). Misi utama PDVI yang beranggotakan
Tabel 1. Kandidat Vaksin yang Dikembangkan oleh Beberapa Perusahaan.25 Pengembang
Perusahaan sponsor
Pendekatan
WRAIR
GSK
Kultur sel
Acambis
Sanofi pasteur
17D Yellow fever – Dengue chimera
NIH/NIAID/LID
Biological E, Butantan,
Chimera Dengue -4 atau Dengue -4
Panacea, Vabiotech
dengan pengurangan nukleotida
Inviragen
Attenuasi Dengue -2 – Chimera Dengue
Hawaii Biotech
Envelope +/ - NS1 rekombinasi protein
a. Live Attenuated
CDC b. Subunit Hawaii Biotech
Keterangan: WRAIR = Walter Reed Army Institute of Research GSK = Glaxo Smith-Kline NIH/NIAID/LID = US National Institutes of Health/National Institute for Allergy and Infection Diseases/Laboratory of Infectious Diseases CDC = US Centers for Disease Control and Prevention
43
Vaksin Dengue.........................(Dewi Marbawati et, al)
lembaga riset dan negara-negara endemik Dengue termasuk Indonesia, adalah mempercepat pengembangan dan mengenalkan vaksin yang aman, efektif dan terjangkau, terutama bagi anak-anak di negara miskin dan berkembang. Misi PDVI diwujudkan dengan memberi dukungan penuh riset dan uji klinik fase 3 kandidat vaksin yang dikembangkan seperti ChimeriVax. Efektivitas vaksin di daerah endemik Dengue merupakan tantangan besar. Studi prospektif dalam skala luas dan waktu yang cukup lama dibutuhkan untuk menjawab tantangan tersebut. Pemerintah Indonesia telah membentuk konsorsium peneliti dan pengembangan vaksin Dengue dari berbagai institusi dalam sinergi riset bekerja sama dengan beberapa lembaga riset di luar negeri seperti Australia dan Prancis. Koordinator konsorsium adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, dengan anggota meliputi Eijkman Institute for molecular biology, UGM, UI, Unair, IPB, BPPT, LIPI dan 27 Biofarma. Penangangan DBD yang bersifat zoonosis ini memerlukan pendekatan One Health Center dengan melibatkan para alhi multidisiplin dan multisektor.28 Vaksin Dengue yang saat ini sedang dikembangkan Sanofi Pasteur (Perancis) menggunakan seed vaksin Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3 dari Thailand dan Dengue-4 dari Indonesia diragukan dapat protektif terhadap virus yang beredar di Indonesia, karena hasil penelitian Sasmono et al29 menemukan adanya perbedaan genotipe virus Dengue di Indonesia dengan strain virus untuk vaksin tersebut. Konsorsium vaksin Dengue Indonesia pada saat ini berupaya untuk mengembangkan vaksin Dengue dengan menggunakan strain virus lokal. Harapannya dengan strain virus lokal tersebut, vaksin DBD benar-benar dapat memberikan perlindungan dari keempat serotipe virus Dengue di Indonesia. KESIMPULAN Pengembangan vaksin Dengue bukan upaya mudah dan murah, terbukti dengan belum tersedianya vaksin meski telah dirintis sejak lama. Muncul kekhawatiran jika mata rantai virus bertambah luas dan tidak diputus, virus akan
44
bermutasi sehingga semakin ganas. Strategi yang dilakukan untuk mempercepat penyediaan vaksin Dengue diantaranya konsorsium internasional Dengue membentuk Pediatric Dengue Vaccine Initiative (PDVI) tahun 2003 dengan misi percepatan pengembangan dan introduksi vaksin yang aman, efektif dan terjangkau. Konsorsium vaksin Dengue Indonesia melakukan penelitian tentang karakterisasi genetik virus Dengue dari berbagai daerah di Indonesia, pemilihan prototipe virus untuk pembuatan vaksin, pembuatan vaksin dengan metode live attenuation, rekombinan virus. Vaksin Dengue dipandang sebagai pendekatan yang efektif dan berkesinambungan dalam mengendalikan penyakit Dengue karena program pengendalian nyamuk yang selama ini menjadi prioritas utama untuk mencegah wabah tidak berjalan efektif.
BALABA Vol. 10 No. 01, Juni 2014 : 1-8
Gambar 1. Sebaran Kasus DBD di Kabupaten Banyumas Tahun 2003 - 2012
DAFTAR PUSTAKA 1.
WHO. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. New edition. Genewa; 2009.
2.
Mustafa MMS, Agrawal MK. Dengue vaccine: the current Status. MJAFI. 2008; 64 (2).
3.
Swaminathan S, Khanna N. Dengue: recent advances in biology and current status of translation research. Curr Mol Med. 2009; 9: 152-73.
4.
Guha-Sapir D, Schimmer B. Dengue fever: new paradigms for changing epidemiology. Emerg Themes Epidemiol. 2005; 2 (1).
5.
Healstead SB. Dengue. The Lancet. 2007; 370: 1644-52.
6.
Gubler DJ. Epidemic dengue/dengue hemorrhagic fever as a public health, social and economic problem in the 21st century. Trends in Microbiology. 2002; 10 (2).
7.
Lestari K. Epidemiologi dan pencegahan demam berdarah dengue di Indonesia. Farmaka. 2007; 5 (3).
8.
Dutra NR, de Paula MB, de Oliveira MD, de Oliveira LL, de Paula SO. The laboratorial diagnosis of Dengue: applications and implications. J. Global Infect Dis. 2009; 1: 38-44.
9.
Crance JM, Natale S, Alain Jouan, Daniel Garin. Interferon, ribavirin, 6-azauridine and glycyrrhizin: antiviral compounds active againts pathogenic
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas Tahun 2012 Gambar 2. Stratifikasi Endemisitas DBD di Kabupaten Banyumas Tahun 2012
Sebaran kasus DBD berdasarkan wilayah Puskesmas dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa sebaran kasus DBD terkonsentrasi di eks Kotatif Purwokerto (Kecamatan Purwokerto Timur, Purwokerto Utara, Purwokerto Barat dan Purwokerto Selatan). Pola sebaran berdasarkan waktu/bulan selama tiga tahun berturut-turut tahun 2010 – 2012, terjadi pola yang hampir sama yaitu kasus DBD meningkat pada bulan
Januari sampai dengan Mei kemudian terjadi penurunan. Pola ini sesuai dengan pola curah hujan yang meningkat pada bulan Januari sampai Mei. Pola yang berbeda terjadi pada tahun 2012 yaitu kasus justru meningkat pada saat sudah mulai musim kemarau dapat dilihat pada Gambar 5. Kasus DBD di Kabupaten Banyumas lebih banyak tersebar di wilayah dengan jumlah penduduk padat seperti wilayah eks Kotatif Purwokerto dengan
3
Distribusi Spasial Demam....................(Sunaryo et al)
2012 meningkat lagi. Angka kematian case fatality rate (CFR) di Provinsi Jawa tahun 2010 (1,29%), tahun 2011 (0,95%) dan tahun 2012 (1,52%).2 Nilai incidence rate (IR) DBD di Kabupaten Banyumas tahun 2010 sampai dengan 2012 per 100.000 penduduk menunjukan angka yang cukup tinggi 3 masing-masing sebesar 44,77; 12,74 dan 11,53. Perubahan lingkungan global atau Global Environmental Change (GEC) terutama Global Warming ikut berperan terhadap kejadian DBD. Setiap peralihan musim, terutama dari musim kemarau ke musim penghujan, berbagai masalah kesehatan muncul, termasuk yang paling sering terjadi adalah peningkatan kejadian demam berdarah. Hal tersebut menunjukkan rentannya kondisi kesehatan lingkungan di Indonesia saat ini, baik dilihat dari sisi antisipasi terhadap wabah DBD, kesigapan penanggulangannya sampai pada 4 penanganan penderita yang kurang mampu. Perkembangan teknologi informasi dasawarsa terakhir ini khususnya metode penginderaan jauh (remote sensing) dan aplikasi sistem informasi geografis (SIG) akan memberikan sumbangan berarti dalam melakukan monitoring lingkungan secara multi-temporal dan multi-spasial resolution. Pemetaan kasus DBD di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah secara spasial bertujuan untuk menganalisis faktor risiko spasial yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis dan informasi sebaran DBD secara keruangan yang meliputi tempat dan waktu. Hasil kajian ini diharapkan dapat membantu program dalam kegiatan surveilans DBD dan sebagai tindakan kewaspadaan dini pengendalian kasus DBD. METODE Kajian mengenai sebaran spasial ini dilakukan di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah, berdasarkan data kasus DBD 10 tahun terakhir (2003 – 2012). Stratifikasi desa berdasarkan kasus DBD dibagi menjadi: desa endemis adalah desa yang dalam tiga tahun berturut-turut selalu ditemukan kasus DBD, desa sporadis adalah desa yang dalam tiga tahun berturut-turut tidak setiap tahun ditemukan kasus DBD, desa bebas adalah desa yang tidak ditemukan kasus DBD. Analisis data kasus berdasarkan curah hujan dilakukan untuk kondisi tahun 2010-2012, sedangkan analisis berdasarkan
2
tata guna lahan dan kepadatan penduduk hanya dilakukan pada kasus tahun 2012. Peta Rupa Bumi Indonesia diperoleh dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) dengan skala 1: 25.000. Proses pengolahan data (manajemen data) meliputi editing, koding, entri dan analisis data selanjutnya diolah secara tumpang susun menggunakan program Arc Gis 10.5 HASIL Kabupaten Banyumas merupakan salah satu wilayah Provinsi jawa Tengah terletak antara 108° 39'17'' – 109°27'15” Bujur Timur dan -7°15'05” – 7° 37'10” Lintang Selatan. Kabupaten Banyumas terdiri dari 27 Kecamatan dengan luas wilayah 132.758 Ha, 32.307 Ha (24,27%) diantaranya merupakan lahan persawahan. Wilayah Kabupaten Banyumas hampir 45% merupakan daerah dataran yang tersebar di wilayah bagian tengah dan selatan serta membujur 6 dari barat ke timur. Situasi Kasus DBD di Kabupaten Banyumas Sebaran kasus DBD di Kabupaten Banyumas secara umum dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hanya pada tahun 2010-2012 terjadi penurunan jumlah kasus dari tahun sebelumnya. Sebaran kasus berdasarkan wilayah kecamatan, di Kabupaten Banyumas terlihat bahwa kasus DBD lebih banyak ditemukan di wilayah eks Kota Administratif Purwokerto yaitu Kecamatan Purwokerto Timur, Purwokerto Utara, Purwokerto Barat dan Purwokerto Selatan serta kecamatan di sekitarnya seperti Karanglewas, Kembaran dan Patikraja. Wilayah tersebut merupakan area perkotaan dengan jumlah penduduk 430.064 jiwa.6 Kecamatan dengan kasus DBD sebesar 75%, sisanya 25% wilayah kecamatan tidak ditemukan kasus. Kecamatan yang tidak ditemukan kasus umumnya pada area ketinggian lebih dari 250 meter di atas permukaan laut. Distribusi kasus DBD pada tahun 2003-2012 juga terkonsentrasi di eks Kotatif Purwokerto ditunjukkan pada Gambar 1. Berdasarkan stratifikasi endemisitas wilayah, hampir terjadi peningkatan baik peningkatan jumlah kasus DBD maupun peningkatan jumah desa endemis atau terjadi perluasan wilayah sebaran dari tahun ke tahun. Sampai tahun 2012 terdapat 37 desa endemis tinggi, 158 desa endemis sedang dan 140 desa endemis rendah.
BALABA Vol. 10 No. 01, Juni 2014 : 39-46
flaviviruses. Antiviral Res. Elsevier. 2003; 58: 73-9. 10. Hombach J. Vaccines againts dengue: a review of current candidate vaciines at advanced development stages. Pan Am J Public Healrth. 2007; 21 (4). 11. Raviprakash K, Defang G, Burgess T, Porter K. Advances in dengue vaccine development. Hum Vaccin. 2009; 5:520-8. 12. Letson GW, Pratap S, Eduardo F, Nihal A, Juan JA, Harold S, et al. Dengue vaccine trial guidelines and role of large-scale, post proof-of-concept demonstration projects in bringing a dengue vaccine to use in dengue endemic areas. Human vaccine. 2010; 6 (10): 802-809. 13. Healstead SB, Heinz FX, Barrett AD, Roehig JT. Dengue virus: molecular basis of cell entry and pathogenesis. Vienna Austria [conference report]. 2005; 23: 849-56. 14. Simmons CP, Chau TN, Thuy TT, Tuan NM, Hoang DM, Thien NT, et al. Maternal antibody and viral factors in the pathogenesis of dengue virus in infants. J Infect Dis. 2007; 196: 416-24.
immunogenicity of a tetravalent live-attenuated dengue vaccine in flavivirus naïve children. Am J Trop Med Hyg. 2008; 78: 426-433. 22. Kitchener S, Nissen M, Nasveld3 P, Forrat R, Yoksan S, Lang J, et al. Immunogenicity and safety of two live-attenuated tetravalent dengue vaccine formulation in healthy Australian adults. Vaccine 2006; 24:1238-41. 23. Guy B, Barban V, Mantel N, Aguirre M, Gulia S, Pontvianne J, et al. Evaluation of interferences between dengue vaccine serotypes in a monkey model. Am J Trop Med Hyg. 2009; 80: 302-11. 24. Chambers TJ, Nestorowicz A, Mason PW, Rice CM. Yellow fever/Japanese enchepalitis chimerix viruses: construction and Biological properties. J Virol. 1999; 73: 3095-101. 25. Radji M. Vaksin DNA: Vaksin generasi keempat. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2009; 6 (1): 28-37. 26. Jacqueline LD. The challenge of dengue vaccine development and introduction. Trop Med and International Health. 2004; 9: 1-3. 27.
Mukhijab. Mayoritas korban serangan DBD anakanak. Pikiran Rakyat Online. Jumat (29/11/2013). [diakses tanggal 3 April 2014]. Available from: http://www.pikiran-rakyat.com/node/260536.
28.
Konsep one health diterapkan dalam pengendalian penyakit DBD. [diakses tanggal 3 April 2014]. Available from: http://ugm.ac.id/id/berita/8460k o n s e p . o n e . h e a l t h . diterapkan.dalam.pengendalian.penyakit.dbd.
29.
Sasmono T, Yohan B, Setianingsih TY, Aryati, Wardhani P, Rantam FA. Identifikasi genotipe dan karakterisasi genome virus dengue di Indonesia untuk penentuan prototipe virus bahan pembuatan vaksin dengue berbasis strain Indonesia. [diakses tanggal 3 April 2014]. Available from: http://insentif.ristek.go.id/PROSIDING2012/fileKO-Word_35.pdf.
15. Konishi E. Issues related to recent dengue vaccine development. Tropi Medi and Health. 2011; 39 (4): 63-71. 16. Perera R, Khun RJ. Structural proteomics of dengue virus. Current opinion in Microbiology. 2008; 11: 369-377. 17. S t e p h e n s o n J R . U n d e r s t a n d i n g d e n g u e pathogenesis: implications for vaccine design. Bull World Health Organization. 2005; 83: 308-14. 18. Mazzon M. Pathogenesis of Dengue: subversion of innate immunity. Thesis for the degree of Doctor of Philosophy in University Cillege London, Departement of Infection Division of Infection and Immunity Royal Free and University College Medical School, UCL; 2010. 19. Raviprakash K, Porter KR, Kochel TJ, Ewing D, Simmons M, Phillips I, et al. Dengue virus type 1 DNA vaccine induces protective immune responses in rhesus macaques. Virol. 2000; 81: 1659-67. 20. Soegijanto S, Rantam FA, Soetjipto dll. Uji coba vaksin dengue rekombinan pada hewan coba mencit , tikus, kelinci dan monyet. Sari pediatri. 2003; 5 (2): 64-71. 21. Simasathien S, Thomas SJ, Watanaveeradej V, Nisalak A, Barbrousse C, Innis BL, et al. Safety and
45
Vaksin Dengue.........................(Dewi Marbawati et, al)
Serba Serbi Parasit
BALABA Vol. 10 No. 01, Juni 2014 : 1-8
DISTRIBUSI SPASIAL DEMAM BERDARAH DENGUE DI KABUPATEN BANYUMAS, PROVINSI JAWA TENGAH SPATIAL DISTRIBUTION OF DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER CASES IN BANYUMAS DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE Sunaryo, Bina Ikawati, Dewi Puspita Ningsih* *Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Jl. Selamanik No. 16A Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia E_mail:
[email protected] Received date: 3/2/2014, Revised date: 4/4/2014, Accepted date: 8/8/2014
ABSTRAK Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia yang perlu mendapat perhatian serius karena di beberapa daerah masih sering terjadi kejadian luar biasa. Kabupaten Banyumas merupakan salah satu daerah dengan kasus DBD selalu tinggi setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan distribusi spasial DBD di Kabupaten Banyumas berdasarkan lokasi, ketinggian, tata guna lahan dan kepadatan penduduk serta pola kasus berdasarkan curah hujan. Kajian ini dilakukan dengan penelusuran data sekunder kasus DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Data peta topografi skala 1: 25000 diperoleh dari Bakosurtanal dan Bappeda Kabupaten Banyumas. Proses pengolahan data dan analisis spasial DBD secara tumpang susun menggunakan aplikasi Arc Gis.10. Hasil penelitian menunjukkan jumlah kasus DBD tahun 2012 sebanyak 200 kasus, tersebar hampir di setiap kecamatan (75%). Kluster kasus DBD terdapat di wilayah Purwokerto Timur, Purwokerto Selatan dan Purwokerto Utara yang merupakan daerah dataran rendah (12 -250) mdpl, lingkungan permukiman dekat persawahan, area perkotaan dengan permukiman padat penduduk. Secara spasial kasus DBD terzonasi di wilayah dataran rendah dengan pemukiman padat penduduk dekat persawahan. Kasus DBD meningkat pada saat musim hujan tinggi antara Januari –Mei. Kata kunci : distribusi spasial, DBD, Banyumas ABSTRACT Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is the most important public health problem in Indonesia, that needs serious attention. DHF cases in Banyumas regency always high in every year, and decrease in 2011.This research aimed to describe spatial distribution of DHF in Banyumas district based on location, altitude, landuse and population density and pattern of cases based on rainfall. DHF cases data obtained from Banyumas District Health Office. Topography map scale 1:25.000 obtained from Bakosurtanal and Bappeda of Banyumas regency. Processing data and DHF spatial analize by overlay using Arc Gis.10 software. This research showed DHF cases in 2012 were 200, spread in almost all subdistrict (75%). DHF cases clustered in East Purwokerto, South Purwokerto and North Purwokerto, that were lowlands area (12-250 above sea level) , urban area, settlement closed to ricefild and height density population. DHF cases were distributed in lowland area with densely populated closed to rice field. DHF cases increasing on highly rainfall on January until May. Keyword : spatial distribution, DHF, Banyumas Regency
PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di Indonesia. Angka insidensi nasional DBD tahun 2010 mencapai 65,7/100.000 penduduk, dengan daerah terjangkit mencapai lebih dari 80,48% kabupaten/kota. Provinsi Jawa Tengah berada pada urutan ke-12 untuk Incidence Rate kasus DBD di Indonesia.1 Perkembangan angka kesakitan/incidence rate (IR) per 100.000 penduduk di Provinsi Jawa
46
Tengah tahun 2010 sebesar 56,8; tahun 2011 sebesar 2 15,3; dan tahun 2012 sebesar 19,29. Beberapa tahun yang lalu DBD hanya menyerang daerah perkotaan, saat ini hampir semua wilayah baik kota maupun desa ditemukan penyakit DBD. Tahun 2007 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, 33 kota/kabupaten merupakan daerah endemis DBD, dan pada tahun 2008-2009 sudah menyebar ke seluruh kota/kabupaten dengan jumlah kasus yang cukup tinggi. Pada tahun 2010-2011 pada semua wilayah mengalami penurunan kasus DBD, tetapi pada tahun
1