V.
5.1
PI-MBAHASAN
Kjir«ktcrntik liciiJiiig Bcnanj'-bcnang yanj' digunakan dalam pcnclitian ini scbagai benang uji tcrdiri
dari 3 jcnis yaitu; benang katun, benang polyamidc dan benang polyester, benang ini dipilih untuk dijadikan bahan pcnclitian discbabkan karena bcnang-bcnang iniiah yang sering dipakai atau digunakan olch nclayan-nclayan scbagai bahan untuk membuat alat penangkapan ikan yang menggunakan jaring seperti, gill net, purse seine, gombang, jala, payang dan lain scbagainya. Cole dan llogcr (1985) mcnyatakan bahwa benang kalun adalah bahan yang tcrpopulcr dari jenis-jenis scrta alam dan tclah banyak pula digunakan untuk membuat alat penangkapan ikan seperti gilinet, purse seine, trap net dan lain-lainnya. Sclanjutnya Klust (1987) mcngcmukakan bahwa katun {cotiori) adalah dari tanaman biji-bijiaa, serabulnya sangat halus dengan panjang 20-50 mm dan diameter atau garis tcngahnya 0,01-0,05 mm. Karena sifat kchalusan katun, tcbal pintalannya dapat mcncapai diameter 0,2 mm dan dapat dijadikan bahan untuk membuat alat tangkap gill net dari yang bcrukuran sangat kcci! sanipai bcrukuran sangat bcsar. Banyak tipe alat tangkap yang dapat dibuat dari katun seperti, pukat (seines), trav.i kecil, trap nets, trammel nets. Dimasa yang lalu katun merupakan bahan yang paling penting untuk membuat jaring liarlanto
dan
Watanabc (1979)
menyampaikan
bahwa
jwlyamidc
merupakan istilah yang digunakan untuk scnyawa molckul tinggi dengan rantai
21
katijon pciulck yang dirangkai bcrtururt-Uinit dcngan gugns amida (NMCO-). Polyamidc ditiininkan dari bcxamcthylcndiamin dan asam adipal yang olch t)\i Pont dipcrkcnalkan dengan nama nilon pada tahun 19.^9. Polyamidc sintciis yang bcrantai panjang mcngandung amida yang berulang secara teratur umumnya disebut nilon seperti; nilon 6, nilon I I , nilon 66, nilon 610 dan scbagainya. Walaupun demikian yang paling utama dipakai serat buatan adalah nilon 6 dan nilon 66 yang biasa disebut dcngan nilon. Ditambahkan pula oleh Kctrina (dalam Sari, 1995) bahwa nilon mempunyai sifat-sifat antara lain tahan terhadap pelarut-pelarut organik seperti; benzena, asetoa, kloroform, ester dan eter, tetapi larut dalam fenol, kresol dan asam kuat. Kemudian nilon memiliki daya mulur dan elastisitas yang tinggi. Setenisnya Hartanto dan Watanabe (1979) menjelaskan bahwa pada tahun 1944 telah dihasilkan serat polyester pertama dan pada tahun 1954 sudah diproduksi secara komersial. Tjokrodimuljo (1992) menerangkan bahwa polyester diperoleh dengan cara kondensasi antara dialkohol dan diasit. Pada penelitian ini dari ketiga jenis benang yang diteliti mempunyai diameter yang sama yaitu 0.92 mm dan konstruksinyapun sama pula yaitu sama-sama terdin dari multifilamen. Persamaan yang lain adalah benang-benang uji ini sama-sama mempunyai arah pilin ke kanan (S) dengan jumlah pilinan yang sama yaitu 3 pilinaa/cm dan masing-masing tcrdiri dari 3 strand.
22
5.2
Hasil Uji Urnang IJcnang-bcnang yang diuji (benang katun, benang polyamidc dan benang
polyester) dalam pcnclitian ini diuji dalam keadaan basab (scsudah direndam) seperti yang telah disampaikan olch von Brandt dan Carrothrrs (1964) dan Murdiyanto (1975) bahwa pengujian benang dalam keadaan kering tidak tcrlalu dibutuhkan hal ini discbabkan karena kegiatan penangkapan ikan dilakukan di dalam perairan. Perendaman
atau pengawetan benang dimaksudkan agar supaya alat
penangkapan ikan dapat tahan lama sehingga dapat meningkatkan kekuatan alat, dapat menghemat biaya dan tenaga serta dapat memperlancar operasi penangkapan ikan (Klust, 1987 dan Lubis, 1984 scrta Amin, 1988). Oleh sebab itu salah satu cara agar alat penangkapan ikan dapat tahan lama dan mempunyai tambahan keunggulan sehingga dapat menghemat biaya dan tenaga ataupun waktu untuk memperbaiki alat penangkapan yang ada maupun dalam membuat alot penangkapan ikan yang baru, maka dilakukan perendaman dalam bahan penyamak atau bahan p>engawet. Penyamakan dan pengawetan bahan dan alat penangkapan ikan adalah untuk melindungi dan melapisi bahan dengan suatu zat agar terhindar dari kontaminasi dengan bakteri pembusuk, mikroorganisme, jasad-jasad renik, bahan-bahan kimia dan zat-zat lainnya. Bahan perendam atau bahan penyamak yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 6 jenis yaitu; air tawar, air laut, ekstrak kulit bakau, ekstrak kulit nyirih, ekstrak kulit ubar dan ekstrak kulit akasia. Dari ke-6 bahan perendam tersebut, bahan perendam dari ekstrak kulit kayu ini merupakan bahan perendam atau bahan
23
pengawet ataupun bahan penyamak nabati. Perendaman atau pengawetan dengan ckMrak kulit kayu tcritcbut dimnknudknn ndalah untuk niclnpisi benang dcngan tanin yang ada di dalam ekstrak kulit kayu tersebut, hingga kontaminasi antara benang dengan bakteri pembusuk atau mikroorganisme maupun dengan jasad-jasad renik yang ada dalam air ataupun zat-zat kimia yang ada dalam air yang merusak benang dapat dihindarkan dan di samping itu juga untuk dapat mempertinggi kekuatan putus dan panjang putus benang. Sclanjutnya dari 4 jenis ekstrak kulit kayu ini, ekstrak kulit bakau dan ekstrak kulit nyirih merupakan tumbuhan pantai, sehingga apabila nelayan membutuhkannya sebagai bahan penyamak alat penangkapan ikan dengan mudah dapat mengambilnya. Sedangkan ubar dan akasia merupakan tumbuhan di darat (pedalaman), sehingga ekstrak kulit kayu ini dapat pula dimanfaalkan oleh nelayan untuk menyamak atau mengawetkan alat-alat penangkapan ikan yang ada di perairan pedalaman (sungai, danau dan rawa). 5.2. J
Kekttatan Putus Benatig Murdiyanto (1975) mendefinisikan bahwa kekuatan putus {breaking force)
twine atau yam adalah besarnya beban yang diperlukan untuk memutuskan {break) twine atau yam yang bersangkutan, dan setenisnya Klust (1987) mengemukakan bahwa kekuatan putus adalah kekuatan maksimal yang diperlukan untuk membuat putusnya bahan dalam suatu uji yang menggunakan ketegangaa. Kekuatan putus dari masing-masing benang uji (benang katun, benang polyamidc dan benang polyester) berdasarkan uji statistik (Lampiran 9) menunjukkan
24
perbedaan kekuatan putus yang sangat nyala dimana jika diurutkan dari yang paling kuat adalah Iwnang polyester, benang polyamidc dan l>cnang katun I'engaruh perendaman
atau
penyamakan
ataupun
pengawetan
terhadap
kekuatan putus benang tclah dilakukan (KMielitian-pcnclitian yang hasilnya antara lain; I) Nurdin dan Ahmad (1982) menyampaikan bahwa untuk mcmperpanjang kctahanan jaring, terutama yang terbuat dari serat alami nelayan masih menggunakan pengawet alami seperti air rebusan kulit kayu atau akar tumbuhan, 2) Eryanhuri (1985) menginformasikan bahwa semakin lama benang direndam di dalam ekstrak larutan tanin semakin bcrtambah kekuatan putusnya, 3) Iskandar (1989) mcnyatakan bahwa benang katun yang direndam dalam ekstrak kulit akasia dapat meningkatkan pertambahan panjang dan kekuatan putus benang tersebut, 4) Hamidy (1989a) menyajikan bahwa perendaman benang dalam ekstrak kayu ubar dapat meningkatkan kekuatan putus benang katun dan benang rami, 5) Siagian (1991) mengemukakan bahwa
perendaman
benang
nilon
multifilamen
dalam
minyak tanah
dapat
meningkatkan nilai pertambahan panjang dan kekuatan benang, 6) Sari (1995) bcrpendapat bahwa pemberian resin akan meningkatkan nilai breaking strength dan elongation benang nilon multifilamen, 7) Indrianto (1996) menjelaskan bahwa konsemrasi resin berpenganih sangat nyata terhadap nilai breaking strength benang polyamidc, dan 8) Harikcdua (dalam Indrianto, 1996) mcnyatakan bahwa larutan tingi berpengaruh terhadap nilai breaking strength dan elongation benang agel. Setenisnya data yang terdapat pada Lampiran 2 menjelaskan bahwa benang katun yang direndam dalam air laut pada perendaman hari ke-30 tidak dapat diukur
25
kckuaian putusnya dan yang direndam dalam air tawar pada hari kc-4() juga tidak dapat diukur kekuatan putusnya. karena pada saat pcngukuran kekuatan pulus pada hari-hari tersebut benang katun yang diuji sudah putus Namun demikian setelah benang katun direndam dalam bahan pcrendan atau bahan penyamak ataupun bahan pengawet lainnya maka benang katun tersebut dapat tahan sampai perendaman hari terakhir (perendaman <)0 hari). Hal ini menunjukkan kcpada kita bahwa memang penyamakan atau pengawetan dengan menggunakan ekstrak kulit tumbuhan dapat meningkatkan kekuatan atau kctahanan benang sehingga dapat mcmperpanjang umur, masa pakai atau masa awclnya Icbih lama yang berarti pemanfaatannya akan bcrtambah lama pula. Pada Lampiran 2 tersebut dapat juga diketahui bahwa benang katun yang direndam dalam air laut (30 hari) lebih cepat putusnya jika dibandingkan dengan yang direndam dalam air tawar (40 hari) Berarti bahwa bahan alat penangkapan ikan yang diopcrasikan di perairan laut akan cepat rusaknya dari pada bahan alat penangkapan ikan yang sama yang diopcrasikan di perairan tawar. Keadaan ini sesuai pula dengan hasil pcnclitian yang tclah dilakukan olch Hamidy (1982) bahwa benang yang direndam dalam air laut Icbih ccpat putusnya dari benang yang direndam dalam air tawar 5.2.2 Panjang Putus Benang Klust (1987) mendefinisikan bahwa kemuluran adalah scbagai pertambahan panjang dari
suatu
suatu contoh uji menggunakan kctegangan. Dan
26
selanjiiinya IMurdiynnto (1975) menyampaikan pula bahwa elongation at break adalah pcrlambahan panjang yang snnipni nicnycbnbkan putusnya suatu textile fibre. Panjang pulus benang uji (benang katun, benang polyamide dan benang polyester) dcngan uji Newman-Kcuis menunjukkan bahwa benang polyamidc mempunyai panjang putus yang berbeda nyata dcngan kedua jenis benang tainnya, sedangkan panjang putus benang katun dan benang polyester tidak berbeda nyata. Tetapi jika diurutkan panjang putus kc-3 jcnis benang ini dari yang tcrtinggi panjang putusnya adalah benang polyamidc, benang polyester dan benang katun. Keadaan ini sesuai dengan serti yang dikcmukakan oleh Ketrinia ( dalam Sari, 1995) bahwa benang nilon memiliki daya mulur dan elastisitas yang tinggi. Benang katun yang direndam dalam air laut pada hari ke-30 tidak dapat diukur panjang putusnya dan yang direndam dalam air tawar pada hari ke-40 juga tidak dapat diukur panjaang putusnya karena pada hari-hari tersebut benang uji sudah putus (Lampiran 2), tetapi setelah direndam dalam bahan perendam lainnya temyata pada pcnclitian ini menunjukkan bahwa panjang putus bcrtambah besar sehingga dapat diukur panjang putusnya sampai perendaman hari terakhir {90 hari). Hal ini menunjukkan kcpada kita bahwa dengan direndamnya benang katun di dalam bahan pengawet atau bahan penyamak ekstrak kulit tumbuh-tumbuhan akan dapat menyebabkan pertambahan panjang benang tersebut. Keadaan seperti ini sejalan dengan pendapat-pendapat yang telah dikcmukakan oleh; 1) Arzano (1959) bahwa nilai kemuluran benang pada saat basah Icbih tinggi jika dibandingkan dengan dalam keadan kering, 2) Mansur (1989) mcnyatakan bahwa gctah nyirih sangat baik
27
untuk mengawetkan benang katun dan benang rami, 1) Iskandar (1989) menjelaskan bahwa benang knlun yang direndam dalam ekstrak kulit akasia dapnl meningkatkan nilai peitanibahan panjang benang dan 4) Hamidy (1989 b) mcngatakan bahwa ekstrak kulit ubar dapat meningkatkan kemuluran benang katun dan bcnng rami. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa benang polyamide dan benang polyester (serat buatan) lebih mulur dari benang katun (serat alami). Sifat-sifat tersdnit antara lain karena serat buatan terdiri dari kontinius filamen sedangkan serat alami terdiri dari staple fibre Hal ini sesuai pula dengan hasil-hasil pcnclitian yang telah dilakukan olch; 1) Hamidy (1982) yang mcngcmukakan bahwa tambah panjang hingga putus benang nilon monofilamcn dan nilon multifilamen lebih besar dari benang kapas yang direndam dalam air tawar maupun air laut, 2) Siagian (1991) mengemukakan bahwa perendaman benang nilon monofilamcn dalam minyak tanah dapat meningkatkan pertambahan panjang dan kekuatan putus benang tersebut, 3) Sari (1995) menyampaikan pula bahwa pemberian resin akan meningkatkan nilai breaking strength dan elongation benang nilon monofilamcn dan 4) Hartanto dan Watanabe (1979) menjelaskan bahwa perpanjangan standar benang nilon staple lebih bcsar dari benang kapas dan benang nilon memiliki daya mulur dan elastisitas yang tinggi 5.2.3
Bahofi PereiHiatn Benang Alat penangkapan ikan yang diopcrasikan lambat laun akan mengalami
kemunduran
daya
tahan,
kekuatan.
kelembutan,
kemuluran
yang
dapat
mengakibatkan berkurangnya hasil tangkapan dari alat tangkap tersebut. Kemuluran
28
tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh mekanisme (gcsckan), karena reaksi kimia (garam-garnm), secara biologis (jasad renik, bakteri pembusuk) Olch scbab itu kita harus bcrusaha untuk mcnjaga atau mcnghambat |x;ngrusakan nlat penangkapan ikan tersebut supaya tetap awet dan tahan lama dalam p>cnggunaannya scrta etektifitasnya tetap tinggi, untuk itu jjcrlu diperhatikan scgala sesuatu yang dapat mempcngaruhi kestabilan bahan pembentuknya seperti kekuatan putus dan panjang putusnya, dengan kata lain bahwa alat penangkapan ikan tersebut haais tetap awet (tidak perlu membuat atau mcmbeli alai penangkapan ikan yang baru sehingga dapat menghemat biaya dan tenaga). Tujuan pengawetan atau penyamakan alat-alat penangkapan ikan secara umum adalah untuk mcmpcrtahankan agar alat penangkapan ikan tahan lama, menghemat biaya, tenaga, waktu dan dapat memperlancar operasi penangkapan ikan. Sedangkan tujuan khusus pengawetan atau penyamakan alat-alat penangkapan ikan adalah untuk mcnjaga atau mencegah dari scgala sesuatu yang dapat menyebabkan atau mengakibatkan kerusakan alat penangkapan ikan. Untuk mcmperpanjang kctahanan alat penangkapan ikan terutama yang bahannya terbuat dari serat alami nelayan menggunakan bahan pengawet alami dari rebusan kulit kayu atau akar tumbuh-tumbuhan yang mcngandung tanin seperti yang telah disampaikan olch; Takayama dan Shimozaki (1959), Reutcr (1959), Nurdin dan Ahmad (1982), Lnbis (1984) dan Klust dalara iskandar (1989) Bahan perendam atau bahan penyamak ataupun bahan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 6 jcnis yaitu; 1) air tawar, 2) air laut, 3)
29
ekstrak kulit bakau, 4) ekstrak kulit nyirih, 5) ekstrak kulit ubar dan 6) ekstrak kulit akasia
Dari kc-(> jenis bahan perendam tersebut, hasil uji statistik yang tclah
dilakukan mengenai pengaaih bahan perendam terhadap kekuatan putus benang uji (Lampiran 11) menunjukkan bahwa bahan perendam ekstrak kulit nyirih membcrikan pengaruh nyata terhadap kekuatan putus benang uji, sedangkan bahan perendam lainnya tidak membcrikan perbedaan yang nyata. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa nyirih {Xytocarpus molucemis M.Rocm) termasuk ke dalam golongan mangrove. Hal ini sesuai dcngan kcsimpulan IMansnr (1987) bahwa getah nyirih sangat baik untuk mengawetkan benang terutama benang katun (serat alami). Oleh sebab itu jika kita ingin menyamak alat penangkapan ikan yang bahannya terbuat dari benang uji yang dicobakan yang memerlukan kekuatan putus yang tinggi setelah direndam, maka bahan perendam ekstrak kulit nyirihlan yang terbaik digunakan. Setenisnya dalam uji statistik yang dilakukan terhadap empat bahan perendam terhadap panjang putus benang uji (Lampiran 12) menunjukkan bahwa bahan perendam ekstrak kulit tumbuhan yang digunakan membcrikan pengaruh yang nyata terhadap panjang putus benang uji (maksudnya dengan perendaman dalam ekstrak kulit tumbuhan ini semakin kuat dan panjang putusnya semakin besar), tetapi yang paling besar penganihnya terhadap panjang putus benang uji adalah ekstrak kulit kayu bakau, dan secara berurutan dari yang terbesar pengaruhnya adalah ekstrak kulit bakau, ekstrak kulit nyirih, ekstrak kulit ubar dan terakhir ekstrak kulit akasia Mangrove termasuk bakau {Rhizophora) oleh Stccnis (1975) didefinisikan sebagai vegetasi hutan yang tumbuh diantara garis pasang dan surut yang dinamakan
30
juga hulan pasang, dan oleh Anwar, cl al (1984) dinyatakannya bahwa kulit kayu bakau mengandung tanin 20
M) % dan tcrkenal scbagai sijmbcr lanin pada industri
kulit. Setcrusnya Judomidjojo (1981) inenambahkan bahwa pohon mangrove (Rhizitf}h
Ixima Perendaman Benang Lamanya waktu merendam benang uji pada penelitian ini adalah 90 hari (90 x
24 jam = 2160 jam). Hal ini didasarkan kcpada penelitian yang telah dilakukan oleh Takayama dan Shimozaki (1959) dimana hasil percobaannya telah mengun^capkan bahwa pengawetan dengan menggunakan coal-ter (cairan ter dingin) secara berulang-
31
iilang dapat mcmperpanjang umur jaring dari tiga tahun mcnjadi cmpal tahun dan bahkan dapat mcncnpni tujiih Inhun Jikn nlat penangkapan ikan dio(>crnKikan sclama tiga jam dalam schari, dan dalam sebulan diopcrasikan selama 20 hari serta dalam satu tahun diopcrasikan sclama dclapan hulan, maka berarti bahwa dalam satu tahun alat penangkapan ikan diopcrasikan selama 3 x 20 x 8 jam ^ 480 jam. Berarti bahwa perendaman benang selama 2160 jam sama dcngan pengoperasian alat penangkapan ikan selama 2160 ; 480 - 4,5 tahun. Jika ditinjau dari lamanya waktu (hari) merendam benang uji dalam 6 bahan perendam yang dicobakan tidak membcrikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan putus ke-3 jenis benang uji tersebut (Lampiran 13), dengan kata lain bahwa kesemua bahan perendam yang digunakan dalam penelitian ini tidak membcrikan pert)edaan yang nyata terhadap kekuatan putus dari masing-masing benang uji. Walaupun demikian seperti yang terlihat pada Lampiran 13 bahwa lama perendaman (hari) yang membcrikan kekuatan putus dari yang tcrtinggi adalah lama perendaman 40 hari,60 hari, 80 hari dan 90 hari. Dari hasil uji statistik (Lampiran 14) menunjukkan bahwa lamanya waktu (hari) merendam benang uji dalam 6 bahan perendam membcrikan pengaruh yang nyata terhadap panjang putus benang, dimana perendaman benang selama 30 hari telah membcrikan nilai kekuatan putus benang yang terbaik. Perendaman benang selama 30 hari (30 x 24 jam ^ 720 jam) berarti sama dengan pengoperasian alat penangkapan ikan selama 720 : 480 =• 1,5 tahun, dengan kata lain bahwa alat penangkapan ikan dapat digunakan selama 1,5 tahun.
32
Angka-angka dalam pcrliitungan tersebut diperoleh dcnnan perhitungan mateinatika. namun buknnlnh demikian lialnyn ynng ditcmui di lapangan, knrcna setelah alat penangkapan ikan dipakai sclama 1.5 tahun masih dapnt digunakan lagi, namun rcsiko robck atau
rusaknya jaring waktu
digunakan dalam operasi
penangkapan ikan bcrkctmmgkinan besar akan tcijadi. Ditambahkan pula bnhwa nelayan tidak mengopcrasikan alat penangkapan
ikan secara terus menerus,
melainkan setelah alat penangkapan ikan selesai diopcrasikan (dipakai) maka alat penangkapan ikan tersebut dibcrsihkan dan dikeringkan (diangin-anginkan) dan harihari berikutnya digunakan lagi dalam pengoperasian penangkapan ikan. Dengan demikian alat penangkapan ikan tersebut akan bcrtambah panjang masa pakainya (melebihi 1,5 tahun), karena bahan yang terendam secara terus-menerus akan lebih cepat rusaknya jika dibandingkan dengan bahan yang setelah direndam kemudian dikeringkan lagi. Dcngan demikian jika kita ingin merancang suatu alat penangkapan ikan yang baru (bagian-bagiannya) ataupun memperbaiki bagian-bagian tertentu dari suatu alat penangkapan yang sudah ada yang bahannya berasal dari benang uji, maka kita sudah dapat memperhitungkan bahwa setelah jangka waktu 1,5 tahun alat penangkapan ikan (bagian-bagiannya) yang baru ataupun bagian tertentu yang sudah dipertiaiki, tidak efektif lagi atau tidak efisien lagi untuk digunakan Pada penelitian ini temyata bahwa bahan perendam dapat meningkatkan daya tahan ataiu kekuatan putus (ekstrak kulit nyirih) dan panjang putus (ekstrak kulit bakau) benang yang diuji, kenyataan ini sesuai pula dengan yang telah dikcmukakan
33
icrdahulu bahwa uniuk mcmperpanjang kctahanan atau mcmpcrtahankan kcawclan, ataupun supnyn tnhnn Inmn mnkn alat penangkapan iknn sobniknya dinamnk ntau diawctkan dalam bahan penyamak atau bahan pengawet
seperti yang telah
dikcmukakan oleh, i akayama dan Shimmjiki (1959), Renter (1959), Klust (1973), Nurdin dan Ahmad (1982), Sadhori (1983), Lubis (1984) dan Amin (1988). Dcngan demikian untuk menjaga supaya alat penangkapan ikan lebih tahan lama dan masa pemakaiannya bcrtambah lama pula, maka sesuai dcngan hasil-hasil penelitian ini alangkah baiknya alat penangkapan ikan terutama alat penangkapan ikan yang bahannya terbuat dari benang uji ini sering dilakukan penyamakan atau pengawetan dengan menggunakan ekstrak kulit nyirih dan atau ekstrak kulit bakau.