V. PENDEPAKAN NEGARA: YANG TERCERABUT DAN TERAKUMULASI Pada bab ini peneliti akan menjelaskan proses kemunculan pengusaha pertambakan udang yang pada masyarakat setempat disebut ponggawa, sebagai kekuatan ekonomi lokal. Selanjutnya akan dijelaskan fenomena kemunculan para pengusaha lokal dengan menggunakan tinjauan struktural, mengingat “intervensi” kebijakan
negaralah
yang
telah
mendorong
mereka
memanfaatkan
peluang
ketersediaan sumberdaya alam yang melimpah. Bagaimana kebijakan dalam sistem pengelolaan hutan di Dunia Ketiga bekerja, seperti disinyalir Hall, et all (2011) setiap harinya tidak hanya menyebabkan tercerabutnya hak masyarakat (dispossession) atas klaim terhadap kawasan hutan yang telah mereka tradisikan, namun juga mendorong terjadinya akumulasi alat produksi dan kapital pada sejumlah pihak yang diuntungkan dengan beroperasinya kebijakan tersebut. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, para ponggawa tersebut merupakan migran dari etnik Bugis yang datang secara bergelombang ke pantai timur Kalimantan dengan alasan yang beragam. Keberhasilan mereka beradaptasi dan memanfaatkan potensi sumberdaya yang ada, menjadikan mereka tidak hanya bisa survive, namun juga berhasil menjadi kekuatan sosio-ekonomi baru di daerah tersebut. Karenanya asal-usul dan mekanisme kemunculan golongan pengusaha pertambakan udang, berikut implikasi keberadaan mereka menjadi penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif, peneliti akan melakukan rekonstruksi latar belakang historis keberadaan industri perikanan lokal di kawasan Delta Mahakam yang tidak mungkin dipisahkan dari sejarah perikanan Indonesia. Untuk lebih mudahnya peneliti membagi gambaran tersebut kedalam tiga fase penting kemunculan pengusaha lokal di kawasan Delta Mahakam, yaitu; 1) Fase Industri Perikanan Tangkap; 2) Fase Industri Perikanan Budidaya; dan 3) Fase Konsolidasi Ekonomi Lokal.
5.1
Fase Industri Perikanan Tangkap
5.1.1
Ekspansi Industri Perikanan Jepang Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, Misaja Mitra (PMA) yang
didirikan pada 1974 di Anggana dan mulai berproduksi satu tahun setelahnya, merupakan perusahaan eksportir udang beku yang mempelopori dilakukannya modernisasi armada perikanan tangkap yang digunakan oleh para nelayan lokal. Perusahaan hasil joint venture antara anak perusahaan Mitsui Bussan, yaitu Toho Bussan Kaisha dari Jepang dengan perusahaan Pelindo Raya (milik pensiunan
132
Angkatan Laut) ini, sebelumnya hanya beroperasi di Kota Baru, Pulau Laut - Kalsel. Setelah berhasil membangun pabrik perikanan (cold storage) terbesar di Asia Tenggara pada 1971 di Kotabaru, mereka selanjutnya melakukan ekspansi ke Sungai Meriam Kutai Kartanegara, hingga ke Tarakan dan Pasir, bahkan pada 1987 berhasil membangun pabrik pengolahan hasil perikanan modern berskala internasional di Pati – Jateng. Mitsui Bussan didirikan pada 1876 oleh keluarga Mitsui dan saat ini merupakan salah satu perusahaan dagang terbesar di Jepang. Keberadaan
perusahaan-perusahaan
perikanan
Jepang
di
Indonesia
merupakan salah satu momentum terpenting dalam perbaikan hubungan IndonesiaJepang pasca penjajahan, sebagai bagian dari komitmen pemerintah Jepang yang telah menandatangani “Perjanjian Damai dan Ekspansi Industri Perikanan” pada 20 Januari 1958 – Traktat Perdamaian San Francisco. Dimana Pemerintah Jepang bersedia menghapuskan hak atas aset-aset mereka di kawasan Asia Tenggara. Meskipun bantuan dan investasi Jepang ke Indonesia mulai berlangsung sejak Orde Lama, namun jumlahnya mulai meningkat pesat ketika Jepang mendapatkan tempat terbaik sejak awal kepemimpinan Orde Baru di tahun 1966. Bahkan, untuk menarik minat investasi Jepang, tidak hanya dilakukan melalui jalur formal, tetapi juga lobi-lobi informal, hasilnya aliran dana ODA (Official Development Assistance) dan investasi Jepang mengalir ke tanah air dan terus menguat, bahkan kemudian menjadi cukup dominan dalam perekonomian Orde Baru. Selanjutnya sektor pertambangan, khususnya
migas,
kehutanan
dan
perikanan
menjadi
sektor
unggulan
yang
dikembangkan dalam kerangka kerjasama pemanfaatan sumberdaya alam. Khusus untuk sektor perikanan, di awal rejim Orde Baru total investasi asing dalam sektor ini mencapai angka US$ 11,5 juta dari total komitmen investasi sekitar US$ 324 juta di bulan Oktober 1968 (Suadi,2008). Pada tahun 1968 investasi Jepang dipusatkan pada industri penangkapan udang dan ikan, khususnya di wilayah Sumatra dan Kalimantan. Beberapa perusahaan perikanan Jepang yang diberi izin untuk mengadakan survei penangkapan udang dengan jaring trawl, selain PT. Misaya Mitra adalah PT. Tofico dengan modal sepenuhnya dari Toyomenka Kaisha dan PT. Serio Kawai San. Perusahaan-perusahan tersebut, tentu saja mampu mengeksploitasi sumberdaya perikanan dengan hasil lebih baik, khususnya untuk komoditi udang yang menjadi komoditi ekspor utama, karena kemampuan teknologi yang dimilikinya. Sebagai hasilnya, ekspor hasil perikanan Indonesia meningkat fantastis, dari US$ 229 ribu pada tahun 1962, menjadi US$ 17,5 juta pada tahun 1971 (84 persen diantara ekspor ke Jepang), dan US$ 211,1 juta tahun 1980 dengan pangsa ekspor Jepang mencapai 77,6 persen dari total nilai.
133
Sampai dengan 1995, jumlah perusahaan yang menanamkan modalnya di bidang perikanan tercatat sebanyak 289 buah, dengan rincian 28 perusahaan PMA, 121 perusahaan PMDN dan 134 perusahaan swasta nasional, serta 6 BUMN perikanan. Nilai investasinya mencapai US $ 93,5 Juta untuk PMA, Rp. 328.603,2 Juta untuk PMDN dan Rp. 865.240,0 Juta untuk Swasta Nasional, serta Rp. 19.650,0 Juta untuk BUMN perikanan (Soewito, Dkk., 2011). Dimana sebagian besar PMA berasal dari Jepang. Dari sisi ekonomi, periode antara 1970-an sampai menjelang pertengahan 1990-an dapat dikatakan sebagai periode emas hubungan ekonomi Indonesia-Jepang dalam bidang perikanan. Ekspor perikanan Indonesia terutama udang mencapai puncaknya dalam periode ini, salah satu diantara perusahaan yang berhasil menikmati manisnya
keuntungan
usaha
disektor
ini
adalah
Misaja
Mitra,
yang
mulai
mengeksploitasi pantai timur Kalimantan sejak awal 1970-an. Setidaknya menjelang tahun 1990, di Propinsi Kalimantan Timur telah berdiri sepuluh buah perusahaan eksportir perikanan (lhat Tabel 6.). Tabel 6. Jumlah Cold Storage di Kalimantan Timur sampai dengan Tahun 1990 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Perusahaan Eksportir PT. Misaja Mitra PT. Misaja Mitra PT. Misaja Mitra PT. Samarinda Cendana PT. Samarinda Cendana PT. Malindo Kencana Utama PT. Nelayan Abadi Kalimantan PT. Sumber Kalimantan Abadi FA. Dardjat & Sons PT. Palaran Cold Storage
Lokasi Sungai Meriam, Kutai Tj Juata, Tarakan Muara Pasir Sungai Meriam, Kutai Tarakan Tarakan Tarakan Tarakan Samarinda Palaran
Kapasitas/ Hari 50 ton 200 ton 10 ton 150 ton 60 ton 150 ton 200 ton 200 ton 25 ton 150 ton
Komoditi Ekspor Udang Udang Udang Udang/ Ikan Udang Udang Udang Udang Udang Belum berproduksi
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Perikanan Propinsi Kalimantan Timur, 1991 Keberhasilan Misaja Mitra dalam melakukan kegiatan eksploitasi perikanan tangkap, hingga ekspor produk udang beku dan olahan, menurut Untung Martono, mantan pimpinan Misaja Mitra di Sungai Meriam, tidak terlepas dari keberhasilan perusahaan dalam mengembangkan strategi usaha “saling topang”, dengan pola hubungan produksi yang diadopsi dari pranata lokal milik komunitas setempat. Pengembangan strategi usaha “saling topang” dilakukan dengan menerapkan manajemen subsidi silang, artinya kelebihan produksi cold storage di satu tempat akan mensubsidi cold storage yang produksinya rendah di tempat lainnya. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi hasil tangkapan yang tidak bisa diprediksi. Dengan mekanisme seperti inilah, perusahaan Misaja Mitra mampu bertahan hampir 40 tahun beroperasi di wilayah Indonesia, meskipun beberapa cold storage-nya ada pula yang collaps, seperti cold storage Pasir dan Sungai Meriam yang dijual pada 2008. Strategi usaha lainnya yang tidak kalah cemerlangnya adalah kemampuan perusahaan dalam “merangkul”
134
komunitas setempat, dengan mengadopsi pranata lokal mereka, sebagai pola dasar dalam hubungan produksi, khususnya dengan etnik Bugis sebagai mayoritas pelaku perikanan tangkap di pantai timur Kalimantan. Mekanisme hubungan produksi perikanan tangkap yang karakteristiknya hampir menyerupai pola dasar hubungan kontemporer dalam masyarakat Bugis yang cenderung hierarkis dengan pola patron-client (pemimpin-pengikut) seperti inilah, yang kemudian mampu mendapatkan tempat secara kultural dalam komunitas nelayan setempat. Sebagai unsur kunci, pola hubungan patron-clients, bahkan dapat menumbuhkan kesetiaan yang lebih tinggi dari mereka yang terikat dalam hubungan ini. Pada masa jayanya, jarang ditemui nelayan “binaan” Misaja Mitra yang berpindah menjadi klien perusahaan lain, meskipun hal tersebut dimungkinkan. Karena terdapat kesepakatan tak tertulis “jika seorang nelayan tidak lagi memiliki sangkutan dengan pihak perusahaan, ia boleh menjual hasil tangkapannya pada perusahaan lain yang mampu memberikan harga lebih menguntungkan”. Di
dalam
prakteknya,
pola
hubungan
produksi
pemimpin-pengikut
dikembangkan dengan cara; “pihak perusahaan akan bertindak sebagai pemimpin yang memberikan berbagai kemudahan dan bantuan, mulai dari perbaikan kerusakan hingga peremajaan/ modernisasi armada, alat tangkap (trawl), biaya operasional ke laut, bahkan pinjaman finansial kepada para nelayan “binaan”, sebagai pengikut yang wajib menyetorkan semua hasil tangkapan mereka pada pihak perusahaan”. Tidak cukup sampai disitu, perusahaan juga memanjakan para nelayan dengan memberikan bonus es balok sebagai media pembekuan hasil tangkapan, dengan ketentuan setiap 100 Kg X 5 udang yang masuk ke cold storage akan memperoleh ½ Ton es balok, sementara untuk fishing ground yang jauh tempatnya berlaku ketentuan setiap 100 Kg X 3 udang yang masuk mendapatkan ½ Ton es balok secara cuma-cuma. Berbagai kebijakan tersebut, dapat terus dipertahankan dengan memanfaatkan sebagian kecil dari selisih keuntungan harga penjualan udang beku di tingkat nelayan dengan harga jual udang beku di tingkat buyers di Jepang yang selisihnya bisa mencapai 100%. Tabel 7. Periode Kepemimpinan PT. Misaja Mitra di Sungai Meriam, Kutai Kartanegara No 1 2 3
Nama Direktur Ir. Maswir Mahyudin, M.Sc Suprapto, SH Aminullah Said, MBA
Masa Jabatan 1975 – 1978 1978 – 1983 1983 – 2000
4
Untung Martono & Reuji Minei
2000 – 2004
5
Ismaryoko & Y. Aragoni
2004 – 2007
Keterangan Direktur pertama perusahaan Mantan Hakim Militer Direktur paling lama memimpin perusahaan Untung Martono merupakan Factory Manager Sungai Meriam yang dipercaya memimpin perusahaan, didampingi Reuji Minei (Vice Presiden Director) Ismaryoko merupakan Factory Manager di Pati yang dipromosikan memimpin perusahaan di Sungai Meriam, didampingi Y. Aragoni (Vice Presiden Director)
Sumber: Wawancara Mendalam dengan Untung Martono
135
Kejayaan Misaja Mitra pada masanya, tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan beberapa orang jendral pensiunan Angkatan Laut yang memiliki ideologi Marhaenisme di dalam pucuk manajemen perusahaan. Pada masa awal pendiriannya, struktur komisaris perusahaan ini banyak diisi para mantan petinggi Angkatan Laut, diantaranya Laksamana Yatijan, Tetet Sajimin dan Farid Ali (mantan kapten kapal Tampomas). Mereka memberikan pengaruh signifikan dalam pengembangan pola hubungan produksi yang berkonsep “bapak angkat – anak asuh” dalam kegiatan operasional perusahaan, sehingga aktivitas usahanya terkesan populis dan lebih “membumi”. Selain melakukan ekspor udang beku, Misaya Mitra Sungai Meriam juga memproduksi udang olahan berupa surimie, nobashi ebi dan pangko ebi (berupa tepung roti yang jika digoreng menjadi tempura). Hampir semua produk ekspor udang beku dan udang olahan Misaja Mitra masuk ke pasar Jepang, khususnya pada salah satu buyer tradisonal mereka, Maninaka. Bagi Misaja Mitra, hubungan kerjasama yang telah terjalin lama merupakan aset yang harus dijaga dan mendapatkan skala prioritas utama, sehingga hampir semua permintaan pasokan produksi dari buyers tradisional selalu mereka penuhi dengan tepat waktu, sehingga terkesan fanatik pada pasar tradisonal mereka. Sebuah sumber terpercaya menyebutkan, bahwa hal tersebut dilakukan tidak hanya karena menjaga hubungan baik dengan buyers tradisonal mereka, namun juga karena proses pembayaran buyers Jepang yang lebih tepat waktu (dibayar begitu barang dikapalkan). Berbeda dengan buyers Eropa (khususnya Belgia/ Belanda) yang cenderung memberikan tempo pembayaran yang lebih lama. Strategi lainnya yang digunakan oleh Misaja Mitra dalam meningkatkan nilai tambah produknya, adalah dengan melakukan kebijakan memasok bahan baku dari Indonesia ke anak perusahaan Mitsui Bussan di penjuru dunia. Salah satunya, memasok pabrik pengolahan perikanan milik Mitsui Bussan di Cina untuk diolah menjadi produk modifikasi yang disesuaikan dengan “cita rasa tertentu”, sehingga mendapatkan tempat dipasar dunia (khususnya Jepang). Keberhasilan modus operandi Misaja Mitra dalam meningkatkan nilai tambah produknya, berbanding lurus dengan keberhasilan mereka dalam “menaklukkan hati” nelayan lokal, yang menjadi pemasok utama bahan baku. Kondisi seperti inilah yang selalu dipertahankan oleh manajemen perusahaan, sehingga bisa survive hingga saat ini. Tidak berlebihan jika kemudian keberhasilan Misaja Mitra juga mengilhami beberapa perusahaan eksportir produk perikanan (cold storage) lain, yang mulai beroperasi belakangan. Beberapa perusahaan, seperti Samarinda Cendana Cold Storage yang mulai beroperasi pada 1978 di Sungai Meriam pun mencoba mengadopsi strategi Misaja Mitra. Perusahaan cold storage yang dibangun melalui joint venture
136
pemodal nasional dan lokal ini didirikan oleh seorang keturunan Cina Hongkong, Taipak, serta dua orang keturunan Cina Samarinda, Kwang Ling dan Khaerudin. Tidak seperti Misaja Mitra yang produknya lebih bertumpu pada ekspor udang beku dan olehan, produk ekspor Samarinda Cendana lebih bervariasi, karena tidak hanya melakukan ekspor udang beku (laut), namun juga udang galah (sungai), ikan betutu, ikan bawal dan sejumlah ikan segar lainnya ke Hongkong, Malaysia dan Jepang. Mereka juga melakukan ekspansi dengan membangun cold storage di Jakarta, Banjarmasin, Semarang dan Tarakan, serta pos pembelian di Balikpapan, Bontang dan Berau, bahkan hingga ke Muara Muntai di hulu Sungai Mahakam. Pada masa jayanya Samarinda Cendana selain memiliki “binaan” armada tangkap milik nelayan lokal, juga memiliki 12 kapal trawl yang mampu memberikan jaminan pasokan bahan baku. 5.1.2
Booming Produksi Perikanan Tangkap Booming produksi perikanan tangkap yang terjadi sejak akhir 1970-an s/d awal
1990-an, telah membuat perusahaan-perusahaan eksportir perikanan di pantai timur Kalimantan mengalami pertumbuhan yang sangat fantastis, sehingga mempu mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Hal ini terlihat dari program ekspansi perusahaan-perusahaan tersebut dalam membangun cold storage dan pabrik pengolahan hasil perikanan di berbagai tempat di Indonesia, yang dilakukan pada periode tersebut. Hal ini tercermin dari nilai produksi perikanan laut (tangkap) Kaltim yang cenderung mengalami peningkatan, meskipun terjadi pelarangan penggunaan alat tangkap trawl secara total menjelang tahun 1983 (Lihat Gambar 8.).
Gambar 8. Nilai Produksi Perikanan Laut Propinsi Kalimantan Timur Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1979 – 2009
137
Senada dengan data statistik produksi dan nilai perikanan laut Propinsi Kalimantan Timur yang cenderung fluktuatif sejak memasuki tahun 2000, data produksi perikanan Kabupaten Kutai Kartanegara pun menunjukkan kecenderungan yang sama. Kondisi ini diikuti dengan terjadinya fluktuasi pada jumlah RTP laut Kebupaten Kutai Kartanegara, yang jumlah totalnya mencapai 28 persen dari total RTP laut Propinsi Kalimantan Timur. Seperti ditunjukkan pada Gambar 9., dimana penurunan produksi perikanan laut (tangkap) pada 2002 – 2004, ternyata berkorelasi dengan jumlah RTP laut yang juga mengalami penurunan. Hal ini terjadi, sebagai bentuk strategi survival nelayan tradisional dalam menghadapi “titik jenuh produksi perikanan tangkap”, dengan cara vakum semetara dan mengalihkan aktifitas usaha dibidang lain. Baru pada 2005, kembali terjadi peningkatan jumlah RTP laut di Kabupaten Kutai Kartanegara, ketika tekanan hidup “memaksa” mereka, untuk kembali menggunankan alat tangkap trawl secara massal yang dianggap lebih efisien dan efektif.
Jumlah RTP (KK)
Produksi (Ton)
30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 9. Perbandingan Jumlah RTP Laut dgn Produksi Perikanan Laut Kabupaten Kutai Kartanegara Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008 Hal ini berbeda dengan kondisi produksi udang nasional, yang mencapai puncaknya pada 1979, satu tahun sebelum diberlakukannya larangan penangkapan dengan trawl. Setelah 1979 produksi udang nasional berfluktuasi, dimana pada 1980 turun sebesar 10,27 persen menjadi 148.109 MT, lalu terjadi peningkatan hingga 151.609 MT pada 1981 dan menurun lagi sebesar 6,07 persen, kemudian meningkat lagi sebesar 5,21 persen di tahun 1983. Selanjutnya turun lagi pada 1984 sebesar 3,26 persen dan meningkat lagi pada 1985 sebesar 8,51 persen, baru ada kecenderungan
138
meningkat dengan stabil pada 1986. Fluktuasi produksi ini menurut Lusi Fauzia, dkk (1993), berhubungan erat dengan fluktuasi produksi udang laut/ tangkap, sehingga peningkatan produksi pada 1986,1987 dan selanjutnya, lebih disebabkan skala usaha intensifikasi pertambakan udang di Indonesia yang semakin meluas. Sampai dengan tahun 1990, sebenarnya telah ada sebuah perusahaan lokal yang ikut meramaikan pasar ekspor udang beku di kawasan Delta Mahakam, yaitu FA. Dardjat & Sons yang berkedudukan di Samarinda. Meskipun demikian perusahaan cold storage milik seorang “tuan tanah” pribumi ini, ternyata belum mampu bersaing dengan perusahaan cold storage milik pemodal besar yang lebih banyak menumpuk keuntungan usaha di sektor perikanan laut (tangkap). Perusahaan perikanan lokal ini, akhirnya kolaps pada pertengahan 1990-an, seiring tumbuh pesatnya industri perikanan berskala global di kawasan Delta Mahakam. Menurut informasi terpercaya, kolapsnya FA. Daedjat & Sons, tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan lobi yang dilakukan Misaya Mitra dan Samarinda Cendana yang meminta Dirjen Perikanan untuk tidak mengeluarkan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) bagi FA. Daedjat & Sons karena dianggap belum layak menjadi eksportir. Setidaknya sebelum munculnya konflik kepentingan antara “pemain lama” dengan “pemain baru”, di kawasan Delta Mahakam saat itu, telah berdiri tiga perusahaan industri perikanan ekspor, yaitu; PT. Misaja Mitra dan PT. Samarinda Cendana Cold Storage, serta cold storage yang lebih kecil FA. Dardjat & Sons. Keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut di kawasan ini, tidak terlepas dari besarnya potensi perikanan tangkap yang dimiliki daerah estuari seperti Delta Mahakam. Seperti dinyatakan
Ayodhyoa (1981), daerah penangkapan yang cocok
untuk operasi penangkapan udang ideal dengan trawl adalah perairan yang mempunyai dasar laut datar atau rata, tidak terdapat karang atau tonggak-tonggak, bersubstrat lumpur atau lumpur bercampur pasir, kecepatan arus pasang pada midwater tidak besar dan perairan mempunyai daya produktivitas yang besar, sehingga menjadi tempat berkumpulnya ikan atau udang.
139
Tabel 8. Nama-Nama Perusahaan Eksportir di Kalimantan Timur Yang Telah Kolaps No 1
Nama Perusahaan PT. Misaja Mitra
Lokasi Samarinda
2
PT. Samarinda Cendana
Samarinda
3
PT. Misaja Mitra
4
PT. Samarinda Cendana
Tarakan
5
PT. Nelayan Abadi Kalimantan
Tarakan
6
PT. Minanusa Ekatama
Tarakan
7
FA. Dardjat & Sons
8
PT. Berautir Cold Storage
9
PT. Sumber Laut Kalimantan
Nunukan
10
PT. Citra Bahtera Indonesia
Tarakan
11
PT. Mina Kencana Eka
Tarakan
12
Cv. New Pacific
13
Cv. Camar Bahagia
Tarakan
14
PT. Palaran Cold Storage
Palaran
15
PT. Manggar Bina Persada
Balikpapan
16
PT. Nusantara Aquatik Prima
Paser
Samarinda Berau
Tenggarong
Tarakan
Status Kepemilikan PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Jepang PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Hongkong dan keturunan Tionghoa Indonesia PMA dengan saham utama dimiliki pengusaha Jepang PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Hongkong dan keturunan Tionghoa Indonesia PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha Banjar lokal PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa, baru dalam tahap permohon izin membangun cold storage tapi tidak beroperasi PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa PMDN dengan saham utama dimiliki pengusaha keturunan Tionghoa
Masa Operasi 1974 – 2007 1978 – 2008 1980 – 2003 1980 – 2003 1983 – 2005 1987 – 2003 1987 – 1990-an 1990-an
1990-an
1990-an
1990-an
1990-an
1990-an 1990 – 1990-an 2003 – 2006 2004 – 2006
Sumber: Wawancara Mendalam dengan Daulat A. Manalu (Staf Senior Diskanlut Kaltim), 2011 Sementara di sisi lain terdapat kecendrungan peningkatan permintaan produk perikanan (khususnya udang) di pasar internasional. Pada tahun 1990-an, pasar ekspor utama udang Indonesia adalah negara Jepang, diikuti Amerika Serikat dan Hongkong. Ekspor ke Jepang tahun 1990 - 1994 meningkat 2,51 persen, ke USA meningkat 8,46 persen dan ke Hongkong meningkat 17,11 persen (Direktorat Jenderal Perikanan, 1995). Perkembangan volume impor udang oleh Jepang, sejak 1972 sampai 1990 menunjukkan peningkatan, dengan laju pertumbuhan rata-rata 9,19 persen pertahun. Volume impor udang Indonesia pada 1972 tercatat 13.824 MT dan pada 1990 telah mencapai 53,371 MT. Sementara volume impor udang Jepang total keseluruhan mencapai 58.120 MT pada 1972 dan meningkat menjadi 304.201 MT pada 1990, sehingga menjadikan Indonesia sebagai pemasok utama udang beku dan segar ke Jepang. Optimisme pemerintah juga ditunjukkan dengan stock assesment pada 1973-
140
1974 yang memperkirakan potensi sumberdaya perikanan Indonesia mencapai 4.500.000 ton/ tahun, selanjutnya juga dilakukan revisi estimasi potensi lestari sumberdaya udang pada 1983 yang diperkirakan mencapai 69.000 ton/ tahun, menjadi 100.700 ton/ tahun pada 1991 (lhat Tabel 9.). Tabel 9. Daerah Sebaran dan Potensi Sumberdaya Udang Tahun 1991 Daerah Perairan Barat Sumatera Selatan Jawa Selat Malaka Timur Sumatera Utara Jawa Bali/ Nusa Tenggara Selatan/ Kalimantan Barat Timur Kalimantan Sulawesi Selatan Utara Sulawesi Maluku dan Irian Jaya (Papua) Jumlah
Sumberdaya (Ton/ Tahun)
Potensi (Ton/ Tahun)
4.200 11.000 45.800 9.400 24.000 1.000 28.000 25.200 16.200 600 36.000 201.400
2.100 5.500 22.900 4.700 12.000 500 14.000 12.600 8.100 300 18.000 100.700
Sumber: Soewito, Dkk., 2011 Kondisi inilah yang kemudian merangsang perusahaan-perusahaan cold storage, berikut industri pengolahannya mensponsori dilakukannya modernisasi armada perikanan tangkap milik sejumlah nelayan lokal, selain mengoperasikan sejumlah armada penangkapan trawl modern bertonase besar milik mereka sendiri. Setidaknya di akhir tahun 1970-an, kegiatan eksploitasi perikanan tangkap (khususnya udang) dengan menggunakan armada trawl modern semakin intensif dilakukan di pantai timur Kalimantan. Sampai dengan tahun 1990, jumlah armada perikanan laut di Propinsi Kalimantan Timur telah mencapai 9.609 unit (Dinas Perikanan Propinsi Kalimantan Timur, 1991). Sebagian besar armada perikanan tangkap tersebut tidak dilengkapi dengan Izin Usaha Perikanan (IUP) sesuai Perda No. 3 tahun 1974 dan PP No. 15 tahun 1990. Pada periode ini juga ditandai dengan lahirnya ponggawa pengikut, sebagai konsekuensi logis atas semakin meningkatnya kegiatan usaha perikanan tangkap berikut jumlah produksinya, sehingga membuka peluang bagi kehadiran pedagang perantara baru pada area-area yang tidak mampu ditangani langsung oleh perusahaan eksportir, maupun para ponggawa perintis. Meskipun
demikian,
modernisasi
armada
perikanan
tangkap
dengan
menggunakan trawl tersebut, pada awalnya ternyata menghadapi resistensi dari masyarakat di sekitar Delta Mahakam (khususnya masyarakat Muara Pantuan dan Sepatin), karena dianggap sangat eksploitatif sehingga cenderung merusak ekosistem kawasan dan keseimbangan sumberdaya perikanan. Artinya jauh sebelum pemerintah melakukan pelarangan penggunaan trawl dengan menerbitkan Keppres No. 39 Thn 1980, masyarakat lokal sebenarnya telah memiliki “kesadaran ekologis” untuk tidak
141
menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan sustainable. Namun, penolakan tersebut tidak bertahan lama, sebagai konsekuensi terjadinya kesepahaman antara
pihak
perusahaan
dengan
elit
masyarakat
setempat
yang
menuntut
pengoperasian trawl jauh dari pinggiran pantai/ muara-muara sungai di sekitar kawasan Delta Mahakam dan pelarangan pengoperasian trawl di malam hari. Sejak saat itulah, nelayan setempat yang tadinya anti trawl mulai bergeser ikut memanfaatkan alat tangkap trawl yang lebih efektif dan efisien dalam menangkap udang/ ikan, beberapa petinggi kampung setempat, bahkan ada yang kemudian berprofesi ganda sebagai nelayan trawl. 5.1.3
Penetrasi Lembaga Kapitalis dalam Kebijakan Perikanan Meskipun pelarangan trawl tidak secara langsung menyebabkan penurunan
jumlah produksi perikanan tangkap di pantai timur Kalimantan (seperti terlihat pada tabel diatas), namun produksi udang hasil tangkapan nelayan tradisional dilaporkan cenderung menurun. Pelarangan trawl juga menyebabkan pengalihan kegiatan ekonomi nelayan lokal secara sepihak. Padahal pertimbangan penghapusan jaring trawl menurut Keppres No. 39 Thn 1980, adalah untuk mendorong peningkatan produksi yang dihasilkan oleh nelayan tradisional. Kebijakan kontra-produktif tersebut, dalam pelaksanaannya
dilakukan
dengan
penertiban
secara
keras,
bahkan
diikuti
penangkapan terhadap nelayan-nelayan trawl lokal oleh aparat Kodim. Menurut seorang saksi, mereka yang tertangkap tidak hanya diberikan sanksi badan, namun juga diikuti dengan penyitaan, bahkan pembakaran terhadap peralatan tangkap yang digunakan. Kondisi
ini
menurut
Pembangunan”
yang
Soetarto
(2006),
diintrodusir
tidak
pemerintahan
terlepas Orde
dari Baru,
semangat yang
“Trilogi
cenderung
mengedepankan kepentingan unsur „stabilitas politik‟ dengan kuat, namun dengan aksen yang bias kendali negara (state nationalism). Menariknya, penghapusan jaring trawl yang sudah diperkirakan akan berakibat pada penurunan produksi udang nasional tersebut, “disisipi harapan” dari pihak pemerintah untuk mengamankan kebijakan “Program Udang Nasional”, seperti tertuang dalam Pasal 7, Keppres No. 39 Thn 1980. Menurut mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, Rohmin Dahuri (2009), “Program Udang Nasional” yang mulai dicanangkan pada 1982, merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi udang nasional yang sempat anjlok akibat pelarangan penggunaan pukat harimau (trawlers) pada 1980. Kebijakan “turunan“ inilah, yang kemudian secara tidak langsung ikut menggiring para nelayan tangkap untuk beralih profesi sebagai pembudidaya udang. Setidaknya pada 1990, sebanyak 551 orang nelayan trawl di Propinsi Kalimantan Timur telah mendapatkan realisasi kucuran dana kredit sebesar Rp. 924.938.175,- untuk pengalihan
142
kegiatan ekonomi non-trawl dari pemerintah pusat. Dana bantuan itu, belum termasuk realisasi kredit Intam yang mencapai Rp. 150.000.000,- dan realisasi kredit RCP sebesar Rp. 156.379.400,- pada tahun anggaran 1990/ 1991 (Dinas Perikanan Propinsi Kaltim, 1991). Kebijakan tersebut, diiringi dengan pembinaan dan penyuluhan kegiatan pertambakan yang dilakukan secara intensif oleh berbagai instansi terkait, setidaknya hingga tahun 1988 telah dibina sebanyak 250 orang tenaga terlatih dalam bidang pertambakan. Berbagai kebijakan tersebut merupakan manifestasi dari obsesi pemerintahan Orde Baru, yang berupaya meningkatkan ekspor non-minyak, melalui kegiatan ekstraksi sumberdaya alam yang berkelanjutan dari sektor perikanan. Rintisan awalnya dimulai pada 1971 melalui proyek pembangunan perikanan yang didukung bantuan dari FAO selama dua tahun. Setelah itu disusul dengan proyek Brackishwater Shrimp and Milkfish Culture Research and Training di Jepara selama sembilan tahun (1972-1981), yang berhasil melakukan pelatihan regional dan nasional melalui pembangunan Balai Pengembangan Budidaya Air Payau. Selanjutnya juga diterapkan teknologi polikultur (udang dan bandeng) dalam pengembangan budidaya udang di Jawa Timur. Keberadaan proyek itu mendapatkan dukungan fasilitas kredit dari Bank Dunia dan IBRD sejak 1975, dilanjutkan pada 1979 dengan pemberian fasilitas kredit proyek pedesaan Bank Dunia. Setelah itu, berdasarkan Keppres No. 39 Tahun 1980, kredit yang tersedia untuk kegiatan budidaya tambak diterapkan melalui program INTAM. Dengan dukungan dari berbagai fasilitas kredit, beberapa petambak mulai dilatih melakukan kegiatan budidaya monokultur udang. Setidaknya pada 1988, sekitar 4.668 hektar tambak telah digunakan untuk budidaya udang secara monokultur maupun polikultur dengan ikan bandeng melalui program INTAM Swadana, yang berarti 74% dari 6.323 ha yang diproyeksikan (Dinas Perikanan Jatim dalam Shrimp Culture Development Project UNDP-FAO, 1990). Dalam rangka mendukung pengembangan tambak udang, pasca pemberlakuan Keppres No. 39 Tahun 1980, pemerintah kemudian mulai mengembangkan infrastruktur yang diperlukan, baik melalui anggaran nasional ataupun bantuan asing. Bantuan asing tersebut berasal dari Bank Pembangunan Asia (ADB) melalui Brackishwater Aquaculture Development Project (BADP) dan Bank Dunia melalui Fisheries Support Services Project (FSSP). Tahap I dari BADP dimulai pada 1983/1984 dan berakhir tahun 1989/1990. Kegiatan utama proyek ini adalah; 1) pembangunan/ rehabilitasi saluran pasokan air pertambakan untuk 12.140 hektar tambak di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur; 2) pengembangan lima unit pembenihan udang masingmasing dengan kapasitas 40 juta nener per tahun di Jawa Barat (satu unit), Jawa Timur (dua unit), Aceh (satu unit) dan Sulawesi Selatan (satu unit); 3) perluasan; dan 4) kredit.
143
Sedangkan Bank Dunia melalui FSSP mulai bekerja pada 1987/1988 dan berakhir pada 1994/1995. Proyek ini mencakup 1) intensifikasi tambak udang seluas 18.000 Ha (Aceh 5.000 Ha, Sulawesi Selatan 11.000 Ha dan Sulawesi Tenggara 2.000 Ha). Sementara tahap II bantuan ADB melalui BADP berkaitan dengan ekstensifikasi tambak di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Barat. Kegiatan proyek ini akan melibatkan sektor swasta sebagai inti dan petani tambak sebagai plasma menggunakan konsep Tambak Inti Rakyat (Untung Wahyono dalam Shrimp Culture Development Project UNDP-FAO, 1990). Kontribusi utang luar negeri dari sektor ini diperkirakan mencapai Rp. 39,5 miliar per tahun, sejak 1983 hingga 2013 mendatang (Aliansi Manado, 2009). Meskipun dalam kenyataannya, program kompensasi pengalihan kegiatan ekonomi non-trawl yang telah dialokasikan, banyak mengalami hambatan teknis dilapangan, akibat keterbatasan dana kredit pengalihan usaha dan “ketidaktersediaan” lahan konversi untuk kegiatan perikanan budidaya yang akan dilakukan (lihat penuturan Haji Samir dalam kasus ponggawa perintis) . Jika mencermati latar belakang sejarah penerbitan Keppres No. 39 Tahun 1980, hingga poses pelaksanaannya di lapangan, sulit untuk tidak mengatakan “penerbitan Keppres No. 39 Tahun 1980 sarat dengan berbagai kepentingan”. Tentunya kolaborasi kepentingan penguasa saat itu, serta pemodal disektor perikanan nasional dan asing, melalui penetrasi kapital lembaga keuangan internasional. Kelak, kebijakan ini tidak hanya berdampak pada konversi hutan negara (mangrove) secara massive untuk kegiatan pertambakan, namun juga mendorong kemunculan pengusaha-pengusaha pribumi
yang
berhasil
memanfaatkan
momentum
tersebut,
sehingga
mampu
mengembangkan pertumbuhan kapitalisme lokal yang berbasis perikanan budidaya. 5.1.4
Mensiasati Over Fishing Penggunaan alat negara dalam proses penghapusan trawl dilapangan, tidak
dapat dipungkiri berhasil mengalihkan kegiatan ekonomi sebagian besar masyarakat setempat menjadi nelayan non trawl. Bahkan, cukup efektif dalam menggiring para nelayan tangkap untuk beralih profesi sebagai pembudidaya udang, yang diharapkan mampu mengamankan “Program Udang Nasional”. Namun demikian, tidak sedikit nelayan trawl yang tetap melaut meskipun harus “kucing-kucingan” dan menghadapi resiko penangkapan oleh aparat, sebagian kecil diantara mereka mengalihkan kegiatan ekonominya dalam pelayaran tradisonal/ perdagangan antar pulau, karena minimnya dana kompensasi yang tersalur dan stigma kegiatan perikanan budidaya yang kurang prospektif. Salah seorang yang berani mengambil resiko dan sukses menjadi milyarder di sektor pelayaran tradisonal/ perdagangan antar pulau tersebut, adalah Haji Saraping
144
yang sebelumnya merupakan nelayan trawl yang beroperasi di sekitar Delta Mahakam – Tarakan. Meskipun terlihat menjanjikan, namun kegiatan penangkapan udang di sekitar perairan Delta Mahakam dan sekitarnya, sejak akhir 1990-an diduga telah mengalami degradasi stok udang, hal ini “diamini” oleh hampir semua nelayan yang mengeluhkan minimnya hasil tangkapan mereka. Menurut Juliani (2004), potensi lestari perairan Delta Mahakam dan sekitarnya (pada kedalaman < 20 meter) mencapai 9.300 ton/ tahun, dengan upaya penangkapan optimum lestari 38.875 trip/ tahun. Kawasan pada kedalaman tersebut, menurut Yuliani telah mengalami kelebihan tangkap (over fishing), karena kondisi aktual menggambarkan upaya penangkapan optimal telah dicapai, begitu juga kecendrungan produksi yang menurun, bahkan telah melampaui tingkat keseimbangan akses terbuka (open acces). Temuan tersebut senada dengan analisa Dahuri (2009), yang menyatakan total produksi perikanan tangkap dari laut Indonesia pada 1999, telah mencapai 3,7 juta ton atau 58% dari MSY (Maximum Sustainable Yield). Kondisi inilah yang kemudian menjadi alasan “survival” nelayan setempat, sehingga kembali beramai-ramai memanfaatkan alat tangkap trawl yang telah dilarang, karena dianggap lebih efektif dan efisien dalam menangkap udang. Meskipun diyakini nelayan tradisional setempat, stok perikanan di sekitar perairan Delta Mahakam saat ini telah terdegradasi, sehingga berimbas pada hasil tangkapan mereka yang semakin minim, namun data statistik (seperti terlihat pada Tabel diatas), menunjukkan bahwa produksi perikanan tangkap cenderung meningkat meskipun peningkatannya fluktuatif. Hal ini mengindikasikan, peningkatan produksi perikanan tangkap lebih banyak ditopang dari hasil tangkapan nelayan-nelayan/ armada perusahaan-perusahaan eksportir yang memiliki kapal dengan tonase besar dan modern, sehingga mampu beroperasi efektif meskipun jauh dari pantai. Degradasi stok udang yang terjadi di perairan Delta Mahakam dan sekitarnya, tentu tidak hanya diakibatkan maraknya kegiatan illegal fishing karena penggunaan alat tangkap trawl oleh nelayan setempat, bersaing dengan kapal-kapal berukuran > 30 GT dan moderen dari luar Kalimantan Timur yang juga melakukan eksploitasi udang di kawasan yang sama. Namun, lebih disebabkan ketiadaan regulasi yang dapat diaplikasikan dalam mengatur jalur penangkapan, berikut pembagian zonasi sesuai ukuran kapal, penentuan dimensi kapal dan alat tangkap, daerah konservasi udang dan aturan pendukung lainnya. Akibatnya persaingan dengan “hukum rimba” dalam kegiatan penangkapan udang tidak terhindarkan, hanya nelayan yang memiliki teknologi dan efisiensi usaha tingkat tinggi yang akan tetap survive dan memperoleh keuntungan optimal. Padahal, untuk menghasilkan satu kilogram udang membutuhkan biaya rata-
145
rata sebesar Rp. 12.068, sehingga menurut Juliani (2004) usaha penangkapan udang di kawasan Delta Mahakam tergolong tidak efisien. Sementara kiriman air tawar pada musim hujan, dari daerah hulu Sungai Mahakam yang kondisi hutannya juga terdegradasi ke arah muara sungai, menyebabkan “terhambatnya” migrasi udang ke perairan dangkal, karena “terdorong” menjauhi muara sungai/ pantai ke perairan yang lebih dalam. Selain itu selektifitas alat tangkap, penggunaan bahan peledak dan beracun dalam perikanan tangkap juga menyebabkan kerusakan ekosistem yang menimbulkan dampak lanjutan berkurangnya stok udang dan ikan. Sedangkan konversi hutan mangrove menjadi area pertambakan yang massive turut menghancurkan habitat alami yang menjadi spawning ground dan nurshery ground bagi perkembangbiakan udang. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada interaksi positif antara keberadaan hutan mangrove dengan produksi perikanan tangkap, khususnya udang dan pelagis kecil, sebesar 27,21%, artinya 27,21% produksi udang dan pelagis kecil dikontribusikan oleh adanya ekosistem mangrove (Indra, 2007). Hasil penelitian lainnya yang dirangkum Indra (2007) dari Paw and Chua (1989) juga menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara luas area mangrove dengan penangkapan udang penaeidae di Philipina. Begitupun temuan Martusobroto (1978) dan Naamin (1984), juga menyatakan adanya hubungan positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. Hal yang sama ditemukan Ng (1985) dalam Supriharyono (2000) di Malaysia, di daerah semenanjung sebelah barat dengan tutupan mengrove sekitar 96% menghasilkan 433.988 ton produksi „ikan‟ (termasuk udang dan kerang-kerangan), dibandingkan 133.226 ton produksi „ikan‟ di semenanjung sebelah timur yang hampir tidak ada mangrovenya. Akibatnya bisa diduga, nelayan-nelayan tradisional yang hanya mampu mengoperasikan kapal < 5 GT, sulit bersaing dengan kapal-kapal > 30 GT yang mampu melakukan operasi penangkapan maksimal pada kedalaman > 20 meter (sekitar > 6 mil dari pantai), yang berbiaya besar. Padahal pada kedalaman tersebut, densitas udang belum optimal dieksploitasi, potensi udang yang tereksploitasi baru mencapai 6,5 ton/ bulan dari potensi keseluruhan yang mencapai 77,3 ton/ bulan (Juliani, 2005). Ukuran udang pada kedalaman 20 – 50 meter, umumnya juga lebih besar dan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan udang di tempat dangkal, sehingga lebih menguntungkan dan mampu mendukung kelangsungan usaha di sektor penangkapan udang.
146
5.2
Fase Industri Perikanan Budidaya
5.2.1
Reproduksi Kebijakan Penguasaan Sumberdaya Agraria Sampai
dengan
tahun
1980-an,
sebenarnya
aktifitas
ekonomi
utama
masyarakat setempat sebagian besar masih ditopang oleh kegiatan perikanan tangkap (nelayan), sementara aktifitas pertambakan baru diintrodusir oleh sebagian kecil masyarakat di kawasan Delta Mahakam dari para migran Bugis yang datang belakangan.
Seperti
terungkap
dalam
penelitian
Lenggono
(2004),
“kegiatan
pertambakan di Kawasan Delta Mahakam sebenarnya baru dimulai sekitar tahun 1978, ketika beberapa orang pendatang dari Sulawesi menyampaikan informasi tentang tata cara pembuatan tambak secara tradisional. Diantara warga setempat yang berminat mencoba mempraktekkan informasi tersebut adalah Haji Beddu di Tani Makmur dan Haji Lamat di Muara Pantuan”. Lebih lanjut, Haji Lamat menuturkan bahwa ia memulai kegiatan usaha pertambakan dengan “membuka” 2½ Ha lahan mangrove yang ada di samping rumahnya, untuk membangun empang sedalam ½ M dengan peralatan seadanya. Karena keterbatasan tenaga ia hanya mampu memperdalam empang itu beberapa meter dari tanggul, sehingga menyisakan tanah timbul di tengah empang. Selanjutnya empang tersebut diisi dengan air dari laut yang kebetulan berhadapan dengan empang yang dibangunnya, tanpa proses penaburan benih, ia melakukan perawatan seperlunya. Sekitar 3 bulan setelahnya, ia mencoba mengeringkan empang yang belum jadi tersebut, dari panen pertamanya, Haji Lamat mengaku berhasil memanen udang windu seberat ½ ton dengan harga sekitar Rp. 3.500/Kg. Sejak saat itu kegiatan pertambakan tradisional, mulai menarik minat banyak pemilik kebun kelapa dan nelayan di sekitar kawasan Delta Mahakam untuk mencoba peruntungan dengan membuka tambaktambak baru. Kegiatan pertambakan dengan konversi hutan mengrove, semakin marak dilakukan pasca pemberlakukan Kepres No. 39 Thn 1980 dan Inpres No. 11 Thn 1982. Pekembangan kegiatan pertambakan di aras lokal tersebut, tidak terlepas dari “dukungan” Pemerintah Daerah setempat, melalui berbagai kebijakan yang ditujukan untuk “mengamankan” kepentingan Pemerintah Pusat, khususnya dalam Program Udang Nasional. Dimulai dengan penerbitan SK Gubernur Kaltim No. 66 Thn 1987, tentang Rencana dan Ketentuan-Ketentuan Pokok Usaha Intensifikasi Tambak Udang dan Bandeng Tahun 1988/1989; SK Gubernur Kaltim No. 83/590-IX/Um-38/1987, tentang; Pencadangan Areal Tanah Seluas ± 600 Ha di Pulau Letung Daerah Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai untuk Pengembangan Budidaya Udang dengan Pola Tambak Inti Rakyat (TIR); SK Walikotamadya/ Ketua Satuan Pelaksana Bimas Kotamadya Samarinda No. 84 Thn 1987, tentang Intensifikasi Tambak dalam
147
Kotamadya Samarinda; dst. Secara keseluruhan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah saat itu, telah ikut memicu terjadinya konversi hutan mangrove di kawasan Delta Mahakam menjadi area pertambakan secara massal dan massive pada masa selanjutnya. Sementara, peningkatan permintaan pasar internasional akan produk perikanan (khususnya udang windu), secara tidak langsung juga telah “memaksa” para pemilik modal, khususnya perusahaan-perusahaan eksportir, semakin banyak mengucurkan modal usahanya untuk mendorong pembukaan tambak-tambak baru di sekitar kawasan Delta Mahakam. Seiring dengan semakin menurunnya hasil tangkapan udang nelayan setempat, pasca pelarangan alat tangkap trawl. Besarnya luasan hutan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertambakan, namun tidak memiliki nilai intrinsik, menjadikan “transaksi penguasaan” atas kawasan Delta Mahakam semakin leluasa dilakukan. Seketika kawasan common property, dirubah peruntukannya menjadi areaarea pertambakan pribadi. Di dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang diperkirakan mencapai 90 persen dari luasan kawasan Delta Mahakam yang mencapai 108.251,31 Hektar inilah, kegiatan pertambakan “ilegal” berlangsung. Klaim
“Ilegal”
mengacu
pada
perpektif
Departeman
Kehutanan
yang
mengkategorikan KBK sebagai kawasan “terlarang” bagi aktivitas apapun diluar kegiatan budidaya kehutanan, pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dari instansi yang berwenang bahkan dapat dikategorikan sebagai “perambah hutan”. Istilah-istilah “mengelola hutan” seperti ini, tampaknya selalu disesuaikan dengan kebutuhan kekuasaan dan ironisnya tidak pernah memperhitungkan kebutuhan masyarakat lokal. Secara legal formal keberadaan pemukiman di dalam KBK sekalipun, akan dikategorikan illegal oleh pemerintah, meskipun secara historis kawasan pemukiman tersebut telah berdiri jauh sebelum kebijakan tersebut ditetapkan. Sebagai konsekuensi logis atas penerbitan keputusan Menteri Pertanian bernomor 24/ Kpts /Um /1983, yang secara sepihak menetapkan sebagian besar kawasan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan
produksi.
Reproduksi
pengetahuan
yang
berimplikasi
pada
reproduksi
penguasaan atas sumberdaya alam menurut Bryant (1998), tercipta karena adanya konflik politik ekologi antara dua lapisan sosial masyarakat. Pertama, elit politik dan ekonomi yang memiliki kekuasaan untuk menjustifikasi kebijakan yang “dianggap jauh lebih baik” dan kedua, adalah kelompok subordinat (masyarakat lokal dan kelompok marjinal) yang berusaha melawan kelompok elit melalui
“budaya resisten”. Proses
produksi pengetahuan tersebut seringkali memperkuat ketidakadilan ekonomi dan sosial terhadap masyarakat tersubordinat. Sebagai akibatnya, rumah-rumah penduduk yang didirikan diatas tanah berstatus KBK tidak mungkin disertifikatkan, seperti yang terjadi pada sebagian besar
148
kawasan pemukiman di Desa Muara Pantuan, Sepatin dan Tani Baru. Demikian halnya dengan keberadaan tambak-tambak yang dibangun dengan memanfaatkan KBK di sekitar kawasan Delta Mahakam pun “dicap” ilegal oleh otoritas kehutanan. Namun anehnya, pemerintah (otoritas kehutanan) sebagai penguasa kawasan, ternyata tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengatasi kegiatan “ilegal” yang terus berlangsung di atas tanah-tanah negara tersebut. Begitu pula dengan keberadaan pemukiman di dalam KBK, tidak pernah sekalipun ditertibkan secara tegas oleh otoritas yang berwenang. Absennya
negara
sebagai
pihak
yang
berkompeten
dalam
menyelesaikan
permasalahan yang muncul atas penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi, telah menjadi preseden buruk bagi terciptanya kesadaran kolektif dalam tubuh masyarakat yang patuh hukum. Akibatnya bisa diduga, tidak hanya kawasan pemukiman yang bertambah meluas, namun juga pembangunan tambak-tambak baru pun semakin tak terkendali, seiring dengan lemahnya penerapan low enforcement. Pada gilirannya permasalahan agraria di kawasan Delta Mahakam menjadi semakin kompleks dan sulit diurai. Pola relasi antara tanah dan kehidupan petambak tersebut sepertinya sesuai dengan gambaran Redfield (1985) “sebagai suatu dunia yang dipenuhi sikap hidup tipikal”. Artinya tanah (lokasi hutan mengrove untuk area pertambakan) merupakan sumber penghidupan utama bagi para petambak, walaupun bukan berarti kepemilikan tanah kemudian menjadi sesuatu yang secara khusus menjadi tuntutan. Mereka merasa bisa hidup tanpa memiliki tanah, karena bagi petambak di Delta Mahakam yang lebih penting adalah penguasaan tanah dimana mereka bisa tetap berproduksi (dengan menjalankan aktivitas pertambakan), sehingga mampu melanjutkan kehidupannya. Realitas tersebut sekaligus menjawab logika berpikir para petambak di kawasan Delta Mahakam yang sebagian besar tidak terlalu ambil pusing dengan status legal formal atas keberadaan tanah-tanah yang mereka kuasai. Perlu dicatat disini, sebenarnya melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) yang dimulai sejak 1981/ 1982, sejumlah tanah perkebunan kelapa milik penduduk di sekitar Delta Mahakam ada yang berhasil disertifikatkan. Menariknya kegiatan pensertifikatan secara massal, mudah, murah dan cepat tersebut terus berlangsung pasca penetapan Delta Mahakam sebagai kawasan hutan produksi. Menurut catatan Pemerintah Kotamadya Samarinda yang pada saat itu wilayah administratifnya meliputi sebagian kawasan Delta Mahakam, setidaknya pada tahun anggaran 1981/ 1982 s/d 1985/ 1986 sebanyak 15.353 sertifikat berhasil diselesaikan melalui program Prona. Sejumlah warga Sungai Perangat, Desa Sepatin dilaporkan juga berhasil mensertifikatkan lahan perkebunan kelapa mereka melalui program Prona di tahun yang sama. Menurut Haji Alimuddin, sertifikat tersebut diterbitkan dalam luasan
149
maksimal dua hektar, sehingga bagi mereka yang memiliki kebun kelapa lebih dari dua hektar, terpaksa harus “memecah tanahnya” dalam beberapa sertifikat. Meskipun kawasan Delta Mahakam hingga saat ini masih berstatatus hutan produksi, menariknya sejumlah ponggawa dan petambak setempat juga mengaku berhasil mensertifikatkan tambak-tambak mereka pada kurun 1990-an. Salah seorang kepala desa di kawasan Delta Mahakam, bahkan mengaku mendapatkan uang yang cukup besar setelah mengagunkan sertifat tambaknya pada sebuah bank negara. Fakta bahwa kegiatan pertambakan sudah sedemikian meluas dan melibatkan ribuan penduduk, telah pula mempengaruhi cara pandang aparatur pemerintah daerah. Menurut Simarmata (2008), umumnya aparat pemerintahan setempat menyadari bahwa secara hukum, tambak-tambak di kawasan hutan adalah illegal, namun secara faktual jumlah mereka yang sedemikian banyak dan sangat menggantungkan hidupnya pada usaha pertambakan, menjadikan pengusiran mereka dari kawasan Delta Mahakam muskil dilakukan. Tidak berlebihan jika sikap pragmatis yang kerap mendasari penyelesaian berbagai permasalahan secara instan pun menjadi pilihan yang dianggap paling realistis. Pemerintah daerah dengan fungsi mediatornya, cenderung bersikap ambigu ketika dihadapkan pada penyelesaian sengketa agraria antara masyarakat setempat (petambak/ ponggawa) dengan pihak perusahaan migas. Prinsipnya berbagai kepentingan
masyarakat
yang
bersinggungan
langsung
dengan
kepentingan
perusahaan migas akan diakomodasi, sebagai upaya meredam munculnya gejolak yang lebih besar dalam masyarakat. Entah melalui kesepakatan ganti-rugi atau pemberian kompensasi dalam bentuk materil atas dampak negatif aktivitas perusahaan migas. Lazimnya kegiatan industri migas, selalu dimulai dari kegiatan sektor hulu berupa tahapan kegiatan eksplorasi dengan melakukan penyelidikan dan pencarian, yang dilanjutkan dengan kegiatan eksploitasi dan pengembangan lapangan-lapangan migas (diantaranya berupa kegiatan survey dan pengeboran), hingga kegiatan sektor menengah sampai hilir, yang umumnya berupa pengolahan dan pendistribusian minyak ke kilang-kilang minyak dan gas dengan menggunakan pipa. Namun demikian, kegiatan usaha hulu industri migas tetap harus tunduk pada Pasal 33, UU No. 22/ 2001 yang menyatakan bahwa “hak atas Wilayah Kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi dan tidak pada tempat-tempat tertentu”. Di atas tanah permukaan inilah benturan kepentingan antara kegiatan usaha hulu migas dengan kegiatan usaha perikanan budidaya/ tangkap sering terjadi. Hal ini dikarenakan zona potensial penghasil migas meskipun berbeda “ruang” namun berada pada “area permukaan” yang sama dengan kegiatan perikanan, dimana kandungan migas berada di “ruang” bawah (dalam perut bumi), sedangkan potensi sumberdaya perikanan tangkap/ budidaya berada di ruang atas dari permukaan tanah. Demikian panjang dan kompleksnya praktek kegiatan
150
pengelolaan migas (lihat Tabel 10.), telah menempatkan sektor strategis ini beresiko berbenturan
dengan
kepentingan
berbagai
stakeholder
(khususnya
kegiatan
pertambakan). Tabel 10. Praktek Kegiatan Pengelolaan Migas Tahapan Kegiatan Desk Studi Survey Eksplorasi
Delineasi
Pengembangan
Produksi
Hubungan masyarakat
Keselamatan dan keamanan instalasi sarana dan prasarana produksi Tenaga kerja
Target Operasi Mengetahui potensi, prospek serta kandungan dan keberadaan sumberdaya migas di suatu kawasan 1. Pembebasan lahan dan land clearing; 2. Seismic; 3. Pemboran eksplorasi; 4. Penentuan cadangan, luasan struktur kawasan, lokasi sumur bor, logistik, sarana dan prasarana; 5. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan (UKL-UPL); 6. Decommissioning termasuk rehabilitasi dan reklamasi 1. Pemboran sumur delineasi; 2. Pembuatan burn pit; 3. Pengerukan lahan, pengangkutan pasir + tanah dari ke lokasi pemboran, serta pengerukan dan pemampatan tanah dasar pondasi pemboran; 4. Seismic detail; 5. Penghitungan cadangan terukur, terindikasi dan tereka; 6. Pembebasan lahan; 7. Land clearing; 8. Pengangkutan dan pengoperasian alat berat; 9. Pengangkutan bahan; 10. Uji coba produksi; 11. Pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan; 12. Penyuluhan pada masyarakat 1. Pemboran sumur; 2. Pembangunan fasilitas produksi; 3. Penyambungan jaringan pipa; 4. Pembangunan sarana pengelolaan air; 5. Pembangunan sarana dan sarana penunjang produksi; 6. Pemboran air tawar; 7. Transportasi dan mobilisasi; 8. Pembangunan sarana mengatasi keadaan darurat 1. Pembangunan sarana fisik; 2. Pembangunan jaringan pipa; 3. Mengalirkan minyak mentah dan gas dari sumur produksi; 4. Pengolahan air dan limbah (B3); 5. Pengelolaan lingkungan dan pemantauan lingkungan (AMDAL); 6. Studi geologi, reservoir dan production engineering, serta disiplin ilmu terkait kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas Sebagai upaya terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan antara kegiatan industri migas dan masyarakat, sehingga berbagai aktivitas dapat berjalan secara berdampingan (melalui program community development) Melakukan upaya pengamanan yang ketat dan terintegrasi pada tempattempat strategis, bagi terjaminnya keselamatan kegiatan operasi migas Terbukanya peluang kerja dengan keahlian tertentu
Sumber: Disarikan dari berbagai sumber
151
Pada tahap eksploitasi, kegiatan pertambangan migas yang terkonsentrasi pada usaha-usaha produksi migas, pengolahan lapangan, distribusi melalui pipa di lapangan, membutuhkan alokasi ruang permukaan yang besar. Di dalam ketentuannya, lokasilokasi yang akan digunakan untuk kegiatan tersebut haruslah mengantongi hak pakai sesuai dengan persyaratan keamanan instalasi migas dan harus bebas dari kepentingan atau pemakaian/ pengunaan pihak lain pada jarak-jarak tertentu dari masing-masing jenis instalasi. Hal tersebut juga diatur dalam UU No. 22/ 2001 Pasal 36 ayat (1), “Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap telah diberikan Wilayah Kerja, maka terhadap bidang-bidang tanah yang dipergunakan langsung untuk kegiatan usaha minyak dan gas bumi dan area pengamanannya, diberikan hak pakai sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan wajib memelihara serta menjaga bidang tanah tersebut”. Dimana pihak perusahaan migas diwajibkan mendapatkan pelepasan hak pakai atas kawasan hutan produksi yang akan mereka manfaatkan dari pemilik otoritas yaitu Departemen Kehutanan. Jika mendasarkan pada ketentuan normatif, perusahaan migas yang telah mengantongi izin hak pakai dari otoritas yang berwenang, sebenarnya tidak diwajibkan mengganti dalam bentuk apapun dan pada siapapun, atas aktivitas yang dilakukan dalam wilayah konsesi mereka, karena kawasan tersebut secara hukum formal berada di atas tanah negara. Namun menurut Simarmata (2008), perusahaan migas dan BP Migas lebih memilih menggunakan logika common sense, karena petambak dan nelayan dianggap telah mengeluarkan sejumlah uang untuk membuka tambak atau membuat dan memasang alat tangkap. Pihak perusahaan migas dan BP Migas bisa menerima tuntutan ganti rugi selama penggugat mampu menunjukkan surat legalitas kepemilikan lahan, seperti SPPT (Surat Pernyataan Penggarapan Tanah/ Surat Pernyataan Penguasaan Tanah) yang ditandatangani ketua RT, kepala desa dan camat, tanpa keharusan menunjukan izin yang dikeluarkan oleh instansi kehutanan sebagai pemilik otoritas. Hal ini kemungkinan merupakan “jalan tengah” yang dianggap paling mudah dan murah dalam membebaskan lahan-lahan yang telah dikelola dan dimanfaatkan masyarakat, dibandingkan harus menggunakan “kekuatan negara” yang belum tentu mampu menghalau “pendudukan” atas tanah-tanah negara tersebut. Sekaligus menjadi penjelas bahwa penerapan mekanisme ganti rugi/ kompensasi, telah ikut membenarkan tindakan “pendudukan” yang selama ini berlangsung. Perusahaan migas cenderung berlaku permisif, karena tidak berkepentingan mengendalikan pembukaan kawasan hutan sepanjang tidak mengganggu jalur pipa dan kompleks platform produksi migas. Karenanya sistem pengamanan tingkat tinggi yang diberlakukan mereka pun, tidak ditujukan untuk ikut mendukung pengamanan kawasan hutan produksi dimana area konsesi mereka berada, namun hanya diperuntukkan bagi
152
pengamanan area-area produksi migas berikut instalasi penunjangnya. Tidak peduli dengan apapun yang terjadi diluar wilayah operasi mereka. Apabila suatu saat tidak mampu mengamankan sendiri wilayah konsesinya, barulah mereka meminta bantuan pada aparat keamanan negara atau jika memerlukan lahan-lahan baru untuk kegiatan produksi, cukup dengan meminta bantuan BP Migas berunding dengan masyarakat pemilik lahan/ tambak melalui pemkab/ pemprop sebagai mediator. Pragmatisme yang ditunjukkan perusahaan migas juga terlihat dari mekanisme kompensasi/ ganti-rugi materil yang lebih mereka sukai dalam berhubungan dengan masyarakat setempat, prinsipnya “lebih baik membagi sedikit untuk mendapatkan bagian yang lebih besar, dibandingkan menegakkan aturan yang membutuhkan bagian yang tidak kecil”. Sementara pemerintah daerah yang sejak awal tidak mampu memberikan kepastian hukum atas tanah-tanah negara tersebut, cenderung bersepakat dengan model kebijakan ganti-rugi/ kompensasi yang diterapkan perusahaan migas dan BP Migas, sekalipun tanah-tanah negara yang akan diganti-rugi tersebut, secara formil tidak memiliki keabsahan. 5.2.2
Pola Pendudukan Tanah-Tanah Negara Tanah-tanah negara di kawasan Delta Mahakam dikuasai dengan berbagai
cara, seperti pewarisan dari orang tua, proses jual-beli, serta usaha merintis dengan mendapat izin garap dari otoritas setempat, namun tidak sedikit yang melakukannya tanpa izin garap. Umumnya masyarakat setempat mengaku bahwa tanah-tanah yang mereka kuasai pada awalnya diperoleh dari proses pembagian oleh RT/ Kepala Desa. Mekanisme pembagiannya didasarkan pada jumlah KK dalam kelompok-kelompok komunitas petambak, dimana setiap KK akan mendapatkan lokasi seluas dua hektar. Tidak hanya usaha merintis hutan mangrove menjadi area pertambakan yang bisa dilakukan tanpa sepengetahuan otoritas setempat, transaksi jual-beli pun banyak yang dilakukan tanpa sepengetahuan kepala desa dan camat. Transaksi jual-beli yang berusaha menghindari keterlibatan kepala desa ataupun camat tidak hanya didorong motif untuk terbebas dari kewajiban membayar biaya pengurusan yang besarnya mencapai Rp. 350.000/ dua Ha, seperti temuan Hidayati et all (2005) dan Simarmata (2008), namun juga akumulasi faktor psikologis-geografis akibat rendahnya pendidikan mereka yang melakukan transaksi, selain keterisoliran kawasan pertambakan di Delta Mahakam dari pusat pemerintahan. Akibatnya mereka yang bertransaksi cenderung menganggap urusan administrasi pertanahan sebagai sesuatu yang sulit dilakukan, sehingga terkesan menganggap remeh. Di dalam prakteknya pemilik/ penggarap cenderung baru akan mengurus Surat Pernyataan Penggarapan Tanah (SPPT) setelah terjadi konflik atau bila akan
153
berlangsung jual beli dan pemberian ganti rugi oleh perusahaan migas. Maksimal luasan tanah untuk satu bidang yang bisa mendapatkan Surat Pernyataan Penggarapan Tanah ini adalah dua hektar. Hanya saja tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai batasan maksimal lembar SPPT yang bisa dimiliki oleh seseorang, begitu pun dengan jangka waktu keberlakukan surat tersebut (Simarmata, 2008). Hal ini telah menciptakan peluang terjadinya penyalahgunaan atas penguasaan tanah-tanah negara, akibat ketidakpastian regulasi pertanahan di aras lokal. Pembatasan kepemilikan, kemudian ditafsirkan sedemikian rupa, oleh mereka yang bertransaksi, sebagai jalan tengah yang bisa “menguntungkan” kedua belah pihak, sehingga yang dimaksud dua hektar bukan lagi untuk setiap keluarga melainkan untuk setiap kepala atau setiap orang dalam satu keluarga (Maifiansyah 2005; Simarmata, 2008). Sehingga muncul istilah “banyak anak banyak lokasi”, karena berapapun jumlah kepala dalam keluarga akan bisa dihargai dua hektar. Ketidakpastian regulasi pertanahan memungkinkan seorang penggarap memiliki belasan bahkan puluhan hektar lahan hutan, hanya dengan meng-SPPT-kan tanahtanah yang dikuasainya per-dua hektar, menggunakan nama-nama berbeda dalam keluarga, bahkan dengan menggandakan nama mereka sendiri. Kemungkinan tersebut menemukan momentumnya, ketika regulasi pertanahan yang sampai pada aparatur pemerintahan di aras lokal mengalami transformasi subjektif, sehingga ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan pengetahuan dan persepsi mereka yang terbungkus kepentingan pragmatis. Pemahaman seperti itu terus direproduksi secara berulang, sepanjang dianggap “aman dan menguntungkan” mereka yang bertransaksi, sebagai bentuk pensiasatan atas ketidakpastian penyelenggaraan hukum atas tanahtanah negara yang sangat potensial ini. Meskipun menurut peraturan perundangan, pemanfaatan kawasan hutan tanpa izin dari instansi yang berwenang dapat dikategorikan sebagai perambah hutan. Hasil penelitian Lenggono (2004), bahkan mengungkap terjadinya koalisi kepentingan antara aparatur pemerintahan di aras lokal dengan para ponggawa yang memiliki pengaruh sosial-ekonomi kuat dalam penguasaan tanah-tanah negara di Desa Muara Pantuan. Peristiwa pelepasan tanah-tanah negara secara massal oleh kepala desa dalam kurun waktu 1991 – 1999 ini, telah menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan tanah-tanah negara pada pihak-pihak tertentu yang memiliki modal dan pengaruh kuat (khususnya pada para ponggawa). Kebijakan lokal tersebut, muncul seiring dengan semakin besarnya kebutuhan lokasi-lokasi baru bagi perluasan tambak, sehingga memaksa otoritas lokal mensiasatinya dengan membuat “regulasi instan” atas penguasaan area hutan mangrove yang saat itu masih belum memiliki nilai intrinsik. Salah satunya dengan memberikan “konsesi” penguasaan sejumlah pulau dalam
154
kawasan Delta Mahakam pada pihak-pihak tertentu dengan sejumlah kompensasi. Para pemilik
“konsesi”,
selanjutnya
memiliki
hak
prerogatif
dalam
mengatur
dan
mengendalikan pulau/ kawasan tertentu, bahkan memiliki otoritas dalam pelepasan hak penguasaan lokasi untuk area pertambakan pada orang lain (lihat Tabel 11.). Tabel 11. Pihak Yang Berkuasa Terhadap Lokasi Pertambakan di Desa Muara Pantuan No Pihak Penentu Latar Belakang Pekerjaan Lokasi Kuasa 1. H. Halim Ponggawa Daerah Timbang Pasir, P. Kala, P. Nobi dan Kayu Majarang 2. H. Maming Ponggawa Daerah Palong dan Tambolo 3. H. Uton Kepala Desa Daerah Lagenting, Timbang Lumut, Muara Kembang dan Muara Pantuan Sumber: Lenggono, 2004 (Wawancara Mendalam dengan Mantan Kades Muara Pantuan) Pembagian kuasa secara sepihak oleh oknum kepala desa, tidak hanya menyebabkan terjadinya akumulasi penguasaan area hutan mangrove untuk lokasi pertambakan pada pihak-pihak tertentu, namun secara tidak langsung telah ikut mengokohkan posisi para ponggawa sebagai “tuan tanah”. Kemampuan penetrasi kapital mereka, bahkan mampu mengakuisisi lokasi-lokasi baru diluar “konsesinya”, sehingga beberapa diantaranya menguasai hamparan tambak hingga ribuan hektar. Haji Maming dan Haji Halim adalah beberapa ponggawa senior yang paling diuntungkan dengan kebijakan tersebut, Haji Maming dikenal sebagai ponggawa yang menguasasi hamparan tambak paling luas di Muara Pantuan hingga saat ini. Begitu pun Haji Halim yang juga orang tua angkat Haji Mangkana (eksportir terbesar di kawasan Delta Mahakam), tidak hanya memilik hamparan tambak luas di Muara Pantuan namun juga di Sepatin. Berbeda dengan (alm.) Haji Uton yang mendapatkan “konsesi” karena jabatannya sebagai kepala desa, saat ini ia hanya bisa meninggalkan beberapa petakan tambak yang diwariskan pada anak-anaknya. Pendistribusian penguasaan hutan mangrove juga telah menjadikan para ponggawa sebagai “agen regulasi” pertanahan di aras lokal, selain para kepala desa. Para ponggawa dan sejumlah tokoh kunci dalam masyarakat inilah yang selanjutnya berperan mendistribusikan tanah-tanah yang berada dibawah konsesinya pada para petambak yang menjadi kliennya dengan sejumlah ketentuan yang mengikat. Tanahtanah negara yang dikuasai secara tidak prosedural inilah yang kelak menjadi aset produksi kunci yang dimanfaatkan dan didistribusikan para ponggawa sebagai alat untuk meraih kekuasaaan, kekayaan dan status sosial. Namun demikian, penguasaan hutan yang tidak prosedural ini kelak juga menjadi cikal-bakal terjadinya banyak kasus tumpang tindih penguasaan lokasi pertambakan. Seperti, kasus perebutan hak
155
penguasaan atas lokasi pertambakan yang melibatkan dua ponggawa besar di Muara Pantuan antara Haji Maming dengan Haji Onggeng pada pertengahan tahun 2003. Penyerahan “konsesi” penguasaan lokasi hutan bisa pula dilberikan pada kelompok-kelompok komunitas melalui tokoh masyarakat setempat, seperti terungkap dalam wawancara dengan Haji Baharuddin, seorang petambak Bugis dari Handil Terusan. Ia menuturkan bahwa izin merintis lokasi untuk membuka tambak pada 1999 (hanyalah berupa tulisan tangan di secarik kertas), didapatnya dari Kepala Desa Tani Baru. Ia mengaku, mendapatkan izin garap hingga 1000 Hektar di Sungai Banjar (Tanjung Pimping) tanpa biaya satu sen pun, setelah mengajukan permohonan izin merintis lokasi hutan untuk kegiatan pertambakan pada sang kades yang secara pribadi ia kenal. Tanah-tanah itu, kemudian dibagikannya secara cuma-cuma pada sekitar 300 orang warga lokal dan pendatang Bugis, seluas 2 – 20 Hektar/ KK, dengan harapan kawasan disekitar tambaknya menjadi semakin ramai. Ia tidak merasa menyesal telah membagi-bagikan “konsesinya” pada sejumlah orang, meskipun saat ini ia hanya bisa menguasai 20 Hektar tambak yang telah di SPPT-kannya dengan biaya Rp 250.000/ 2 Hektar pada 2002. Sementara di Kelurahan Muara Kembang penyerahan “konsesi” penguasaan lokasi hutan, dilakukan otoritas lokal bersama LKMD yang mendistribusikan hutan nipah ex. konsesi PT. Nira Kertabuana pada masyarakat. Berdasarkan pengakuan Haji Yusuf yang juga merupakan pelaku sejarah dituturkan, bahwa pada 1990/ 1991 terjadi kesepakatan antara Perusahaan Gula Indonesia dan Pemda Propinsi Kalimantan Timur untuk mendirikan pabrik gula PT. Nira Kertabuana. Perusahaan ini diharapkan dapat mengeksloitasi hutan nipah di kawasan Delta Mahakam menjadi gula nira dengan memanfaatkan tenaga transmigran (penyadap) yang akan didatangkan dari Jawa dan lokal. Setidaknya saat itu ororitas berwenang telah mengalokasikan lahan hutan nipah di pulau-pulau dalam kawasan Delta Mahakam seluas 25 Ribu Hektar, sebagai area operasi perusahaan. Namun sayangnya, karena berbagai alasan program pemerintah tersebut akhirnya harus terhenti ditengah jalan dan menyisakan masalah “lahan tidur”. Atas inisiatif sejumlah tokoh masyarakat dan pemerintahan desa, tanah seluas 25 Ribu Hektar yang seharusnya kembali menjadi hutan negara tersebut, akhirnya dibagibagikan pada warga Muara Kembang dan sekitarnya. Pemerintah Desa dan LKMD, memberikan ijin garap pada setiap keluarga seluas 5 Hektar, bahkan tidak sedikit yang mendapatkan ijin garap lebih dari 5 Hektar. Menariknya, menurut Haji Yusuf kesempatan untuk menadapatkan ijin garap lahan ex. konsesi PT. Nira Kertabuana tersebut, malah lebih banyak dimanfaatkan “orang luar” Muara Kembang.
156
5.2.3
Konflik Penguasaan Sumberdaya Agraria Berbeda dalam menangani konflik agraria yang melibatkan perusahaan migas,
dimana pemerintah daerah cenderung berlaku proaktif, namun dalam penanganan konflik horizontal terkait masalah agraria, antara petambak dengan petambak ataupun ponggawa dengan ponggawa, pemerintah daerah terkesan kurang peduli, jika tidak ingin disebut “membiarkan”. Di dalam sebuah konflik horizontal pada pertengahan 2003 yang melibatkan ponggawa kuat, Haji Onggeng dengan Haji Maming misalnya, pemerintah daerah tidak pernah terlibat secara aktif atas penyelesaian konflik tumpang tindih dalam penguasaan “lokasi” pertambakan ini. Lokasi adalah sebutan masyarakat setempat terhadap area hutan/ tanah kosong yang dapat dirintis untuk dikembangkan menjadi petakan tambak-tambak baru, namun berada dalam penguasaan seseorang. Konflik tersebut, bermula dari protes Haji Maming yang merasa hak penguasaannya atas sebidang “lokasi” yang luasnya mencapai ratusan hektar di Lagenting (Muara Pantuan), dikuasai secara sepihak oleh Haji Onggeng yang tanpa sepengetahuannya merintis dan menggarap “lokasi” tersebut. Dengan alasan “lokasi” tersebut tidak ada yang mengelola sehingga tidak terurus, Haji Onggeng akhirnya membangun tambak-tambak baru, diatas “lokasi” yang menurutnya tak bertuan tersebut, hingga berhasi mendapatkan SPPT. Konflik agraria tanpa kehadiran penengah dari pihak pemerintah ini, akhirnya semakin meruncing ketika kedua belah pihak tidak menemukan kata sepakat. Akibatnya kedua belah pihak menggunakan semua sumberdaya yang dimilikinya, dengan segala cara untuk memenangi konflik. Meskipun menurut sejumlah sumber, mereka masih terikat hubungan kekarabatan, karena Haji Onggeng pernah “diasuh” oleh Haji Maming, namun ikatan historis tersebut tidak mampu merubah keadaan. Dengan menggunakan kekuatan massa klien yang berada dibawa pengaruhnya, Haji Maming akhirnya berhasil menguasai area pertambakan yang disengketakan, sementara Haji Onggeng dengan kekuatan modal dan lobby, berhasil mendatangkan pasukan arteleri Angkatan Darat ke lokasi sengketa untuk mengamankan aset-aset yang ada dan menjaga kemungkinan konflik yang lebih luas. Hingga terjadi kesepahaman diantara kedua belah pihak untuk tidak melanjutkan konflik fisik, namun disepakati dilanjutkan ke pengadilan. Penyelesaian pertikaian (resolusi konflik) yang cenderung dilakukan dengan pendekatan formal tersebut, terjadi karena norma-norma sosial yang menyediakan sebuah bentuk kontrol sosial informal yang mengelakkan seseorang dari sanksi hukum terorganisir dan lebih formal sudah tidak mampu lagi menjembatani penyelesaian konflik yang „memuaskan‟ semua pihak. Kondisi ini selanjutnya memaksa warga komunitas setempat untuk bersikap rasional dalam meyelesaikan pertikaian yang terjadi diantara mereka melalui jalur kelembagaan formal, yang didasarkan pada norma-norma yang
157
universal dan bersifat terbuka. Sehingga menempatkan jalur kekeluargaan sebagai pilihan terakhir dalam penyelesaian pertikaian. Ironisnya, lembaga kepolisian relatif tidak banyak menjadi pilihan, mengingat keberadaan mereka yang “tidak jelas” dalam komunitas serta persepsi warga petambak yang sudah terlanjur memvonis “berurusan dengan pihak berwajib harus menyiapkan biaya besar dan rumit”. Kecenderungan untuk menyelesaikan pertikaian dengan pendekatan formal tanpa didukung dengan keberadaan aparat penegak hukum atau kepolisian ini, telah menyeret warga komunitas untuk melakukan tindakan anarkis bila resolusi konflik yang dilakukan tidak bisa memuaskan pihak-pihak yang bertikai. Setelah melalui proses hukum yang cukup panjang, akhirnya pihak pengadilan tinggi menetapkan Haji Onggeng sebagai pemenangnya. Yang menarik dari proses hukum tersebut, kemenangan Haji Onggeng di dalam pengadilan lebih dikarenakan ia memiliki SPPT, sebagai bukti legalitas atas penguasaan/ penggarapan tanah-tanah tersebut. Pihak pengadilan secara tidak langsung, telah me-syahkan tanah-tanah yang telah memiliki SPPT sebagai bukti legalitas atas penguasaan/ penggarapan tanah-tanah secara perorangan, meskipun tanah-tanah tersebut berstatus sebagai tanah negara yang dikuasai/ digarap tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini tentu bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan penertiban penguasaan tanah-tanah negara yang tidak prosedural di kawasan Delta Mahakam. Di dalam catatan peneliti, konflik vertikal relatif jarang atau boleh dikatakan belum pernah terjadi secara terbuka, hal ini merupakan keunikan proses produksi dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, sehingga menghasilkan pola hubungan sosial khas berbalut ikatan patron-klien. Meskipun kegiatan pertambakan di kawasan ini memiliki sumberdaya yang bersifat tetap (walau lokasi pertambakannya berada diatas tanah-tanah negara) dan relatif dibawah kontrol para petambak, layaknya kegiatan pertanian pada umumnya, namun pola hubungan produksi yang terbangun hampir menyerupai pola produksi pada kegiatan perikanan tangkap. Dimana penghasilan yang diperoleh sangat fluktuatif dan penuh ketidakpastian, akibat komoditi yang diproduksi yaitu udang sangat dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, bahkan banyak ditentukan oleh “kemurahan” alam. Akibatnya, mereka yang terlibat dalam kegiatan pertambakan tradisional, secara vertikal cenderung saling menggantungkan diri antara satu dan lainnya untuk mensiasati ketidakpastian, selama hal itu dianggap menguntungkan kedua-belah pihak. Seorang petambak akan menggantungkan dirinya pada ponggawa yang menjadi patronnya untuk mendapatkan berbagai bantuan “lunak” bagi kegiatan pertambakan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian, bahkan batuan lain diluar kegiatan pertambakan, seperti biaya berobat, perkawinan ataupun hajatan keluarga,
158
serta untuk kebutuhan rumah-tangga, dst. Begitupun sebaliknya seorang ponggawa sangat menggantungkan harapannya pada kesetiaan dan loyalitas petambak yang menjadi kliennya untuk bisa mendapatkan kepastian pasokan udang. Hal serupa pun dirasakan oleh para penjaga empang yang menjadi klien dari para petambak ataupun ponggawa, sehingga dalam kegiatan pertambakan tradisional selalu diwarnai oleh hubungan yang bersifat personal, dengan komunikasi yang cenderung interpersonal dan tatap muka. Layaknya hubungan produksi pada kegiatan perikanan tangkap, dimana hubungan diantara nelayan pemilik dan buruh nelayan tidak didominasi oleh pola hubungan yang semata-mata bersifat bisnis dan impersonal, seperti pada hubungan buruh dan majikan di dunia industri (Kinseng, 2007). Selain faktor kultural, yang masih dipertahankan oleh sebagian wiraswasta Bugis dalam proses produksi pertambakan tradisional, yang cenderung menggunakan jalur hubungan kekerabatan (faktor kekeluargaan ataupun etnisitas) sebagai sumber utama dalam perekrutan tenaga kerja. Pilihan untuk mempekerjakan saudara sendiri sesuai dengan peribahasa Bugis, “apabila kamu mempekerjakan seorang saudara dari keluargamu, maka kamu hanya buta satu mata, tetapi dengan mempekerjakan orang yang bukan saudara kamu, maka butalah kedua matamu” (Lineton, 1975). Lebih jauh Acciaioli (1989), menyebut “tali kekeluargaan merupakan jalur primer, meskipun bukan satu-satunya dari struktur pengumpulan tenaga kerja dengan cara kerjasama dan melalui ketergantungan, juga untuk menumbuhkan kesetiaan yang lebih tinggi dari mereka yang terikat dalam hubungan ini”. Hal inilah yang melanggengkan pola hubungan pemimpin-pengikut (patron-clients), sehingga dapat tumbuh subur dalam kegiatan
pertambakan
di
kawasan
Delta
Mahakam.
Meskipun
fenomena
mempekerjakan tenaga kerja dari luar daerah dan berbeda etnik sebagai penjaga empang, saat ini telah dianggap sebagai sesuatu yang wajar, akibat semakin sulitnya mendapatkan tenaga kerja yang jujur dan setia dari jalur primer. Dapat dipahami jika kemudian konflik manifes yang muncul dan selalu berulang adalah konflik horizontal, sementara konflik vertikal hanya terjadi secara laten seperti ditunjukkan Gambar 10.
159
Eksportir
Eksportir Lokal/ Ponggawa Besar
Industri Migas
Pengusaha besar
Ponggawa Menengah dan Ponggawa Kecil
Ponggawa Menengah dan Ponggawa Kecil
Pengumpul/ Penyambang Mandiri
Petambak berlahan kecil tanpa pengikut Petambak berlahan luas dan memiliki pengikut
Petambak berlahan Petambak berlahan luas kecil tanpa dan memilikipengikut pengikut
Pengusaha Menengah-Kecil
Penjaga Empang dan Kuli Tambak
Penjaga Empang, Kuli Tambak dan Buruh Industri Perikanan
Penjaga Empang Kuli Tambak dan Buruh Pabrik
Petambak berlahan kecil tanpa pengikut
Petambak berlahan kecil tanpa pengikut Petambak Mandiri
eoisie dan Penyambang Pekerja Profesional yang dipekerjakan ponggawa Klik 1
Penyambang dan Pekerja Profesional Industri Perikanan yang dipekerjakan eksportir
dan Pekerja Profesi
Klik 2
Gambar 10. Skema Konflik dan Hubungan Produksi dalam Usaha Pertambakan Sumber: Diolah dari Data Primer, 2011 Keterangan: = Menunjukkan Konflik Manifes = Menunjukkan Konflik Laten Posisi kelas petambak mandiri/ pekerja profesional diletakkan dibawah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah kelas otonom yang hanya terikat secara instrumental oleh kelas diatasnya dan tidak berarti posisi mereka lebih rendah dibandingkan penjaga empang/ kuli tambak dan buruh pabrik (seperti ditunjukkan garis hubungan produksi dan konflik) Skema tersebut selain menunjukkan pola konflik dalam kegiatan pertambakan tradisional di kawasan Delta Mahakam, sekaligus juga menggambarkan moda-produksi kapitalis yang telah menempatkan struktur kelas pengusaha (ponggawa) menjadi
160
penguasa atas moda-produksi yang lain. Kondisi ini menghasilkan dua kelompok kelas sosial yang berkuasa (atas) dan yang dikuasai (bawah), dimana kelas atasnya diisi oleh kelompok kapitalis dan kelas bawahnya diisi oleh kelompok proletar/ buruh. Namun demikian, peneliti melihat adanya polarisasi kelas yang terbentuk akibat distribusi kepemilikan alat produksi ataupun keahlian yang tidak merata, sehingga membentuk kelas petty bourgeoise (untuk menyebut pemilik alat produksi ataupun bidang keahlian tertentu yang hanya mampu mencukupi dirinya sendiri tapi tidak bisa membayar buruh). Meskipun penyambang dan pekerja profesional dengan keahliannya lebih mandiri dan obyektif dibandingkan petambak berlahan kecil tanpa pengikut yang cenderung terikat secara emosional di dalam sebuah klik ponggawa, namun keberadaan mereka tetaplah sama, menjadi perangkat ideologis bagi perkembangan moda-produksi kapitalisme pertambakan. Selain terbentuk kelas atas dari moda-produksi yang dominan (kapitalis besar), juga terdapat kelas atas dari moda-produksi yang tidak dominan (kapitalis kecil). Menurut Wright, tidak semua posisi ekonomi dalam masyarakat kapitalistik modern merupakan pola produksi kapitalisme murni. Beberapa diantaranya merupakan pola produksi komoditi sederhana, di dalamnya keuntungan berasal dari
usaha
produksi yang dilakukan individu sendiri. Keuntungan-keuntungan tersebut terlalu kecil sehingga tidak bisa terakumulasi. Di dalam pola produksi komoditi sederhana ini terdapat sebuah kelas selain kelas borjuasi dan proletar, yaitu kelas borjuasi kecil. Kelas borjuasi kecil beranggotakan para pengusaha kecil dan pengrajin yang tidak mempunyai karyawan, tidak mengeksploitasi tenaga kerja dan tidak mendominasi apapun dalam hierarki kewenangan. Sementara menurut Poulantzas, beberapa cara produksi terdapat bersama-sama dalam formasi kapitalis, kerena artikulasi tingkattingkat perkembangan historis setiap tingkat mempunyai urutan-urutan waktunya sendiri, maka dominasi suatu cara produksi kapitalis tertentu dan formasi kapitalis terhadap cara produksi kapitalis yang lain tidak diwujudkan dalam suatu perkembangan sederhana. Dalam suatu formasi sosial, kita mungkin menekankan suatu tingkat yang di dominasi oleh kapitalisme monopoli dan campur tangan negara sebelum di dominasi oleh kapitalisme peseorangan dan negara liberal. Artinya kelas dominan dalam masyarakat kapitalis bisa berubah sesuai dengan tata produksi dominan. Asumsi yang sering mendasari pembahasan tentang transformasi kelas baru di negara berkembang adalah runtuhnya tata produksi feodal agraris sebagai akibat tata produksi dominan. Tentunya hal tersebut akan menyebabkan kelas aristokrat feodal kehilangan legitimasinya yang tergantikan oleh kelas borjuasi sebagai kelas dominan dalam tata produksi kapitalis. Atau terbentuk formasi kelas baru dimana kaum tuan tanah merupakan wakil feodalisme di pedesaan, sedangkan kaum borjuasi industri merupakan hasil hubungan produksi kapitalis di perkotaan. Namun menurut
161
Roxborough, bukti-bukti empiris meragukan pendapat adanya dua kelas yang berbeda, sering kelompok-kelompok keluarga industrialis dan produsen bahan pertanian benarbenar saling tumpang tindih, sehingga anggotanya memiliki kepentingan baik dibidang industri maupun pertanian. Ini memperlihatkan adanya transformasi kelas, dari kelas aristokrasi feodal ke kelas borjuasi industri. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan yang sama untuk tetap mendominasi dalam struktur sosio-ekonomi yang baru, sehingga terjadi
proses
“aristokratisasi
borjuasi”,
dimana
kaum
aristokrat feodal
akan
mendapatkan legitimasi baru. Dengan pola hubungan patron-klien seperti seperti terlihat dalam gambar diatas, dapatlah dipahami jika konflik yang mewujud tidak selalu bersifat antagonistik. Di dalam kegiatan pertambakan di kawasan Delta Mahakam, sejauh ini belum pernah terjadi konflik manifes antara kelas pemilik (ponggawa/ petambak) dan buruh/ penjaga empang. Konflik vertikal yang terjadi sering bersifat laten dan personal yang tidak mengarah pada pertentangan kolektif antara kelas pemilik dengan buruh pabrik. Kondisi ini mengingatkan hasil penelitian Mather di Tangerang yang menyebut nilai-nilai patriarkal yang berasal dari Islam sebagai variabel kunci dalam menjelaskan tidak adanya militansi buruh. Dimana pola-pola dominasi patiarkal dalam keluarga direproduksi atau setidaknya diperkuat di pabrik-pabrik, status perempuan yang dianggap rendah dalam Islam sebagai sumber utama dari nilai-nilai tersebut, padahal seperti diketahui mereka mendominasi pekerjaan sebagai buruh pabrik. Kaum perempuan berpindah secara tidak kritis dari satu lingkungan subordinasi ke lingkungan subordinasi lainnya; pertama dalam keluarga, kemudian ke pabrik dimana figur otoritas laki-laki mengawasi pekerjaan mereka (Mather, 1983 dalam Hadiz, 2005). Begitupun konflik yang terjadi antara ponggawa besar dengan ponggawa menengah/ kecil ataupun antara ponggawa dengan para petambak dan penyambang/ pekerja profesional yang mereka pekerjakan cenderung tidak manifes. Konflik manifes cenderung potensial terjadi pada mereka yang berbeda klik dan memiliki sumberdaya yang sepadan, seperti yang terjadi antara ponggawa Haji Maming dan Haji Onggeng yang telah kami kemukakan diatas. Dimana konflik horizontal tersebut, dapat berlangsung dengan melibatkan seluruh komponen di dalam klik ponggawa bersangkutan. Menariknya, meskipun diakui oleh sejumlah kalangan hubungan dalam usaha pertambakan telah terjadi kesenjangan sosial-ekonomi dan eksploitasi secara “terselubung”,
namun
hampir
tidak
pernah
terjadi
perlawanan
oleh
para
petambak/penjaga empang atas “ketidakadilan” yang terus berlangsung. Menurut Thompson (1975) dan Crummey (1986), mungkin saja petani kaya atau petani kelas menengah mengambil alih ideologi perlawanan dan menjuruskan ketegangan antar
162
kelas yang disebabkan oleh kesenjangan distribusi sumberdaya lokal ke arah perlawanan terhadap negara sebagai “musuh” bersama yang lebih besar. Seperti pernyataan White (1983) yang menyebut solidaritas dan moral ekonomi dapat ditumpangkan pada masyarakat desa yang dinamis dan terdiferensiasi. Tidak aneh jika kemudian konflik manifes yang sering terjadi di kawasan Delta Mahakam adalah konflik antara masyarakat lokal (petambak) dengan perusahaan migas dan antar kelompok ponggawa yang tidak memiliki kedekatan kultural dan emosional. Peneliti pun melihat adanya kecenderungan konflik manifes yang antagonistik, jika terjadi konflik vertikal yang melibatkan beberapa kelompok ponggawa dengan perusahaan eksportir yang secara primordial tidak memiliki kedekatan kultural dan emosional. Seperti diungkapkan Haji Sukri, seorang ponggawa dari Muara Jawa, yang secara kolektif (bersama para ponggawa lain) pernah melakukan tindakan keras terhadap sebuah perusahaan eksportir yang melanggar “aturan main”. Perusahaan PMDN milik seorang keturunan Cina ini, akhirnya “gulung tikar” karena di blokade oleh para ponggawa, dengan cara tidak memberikan suplai udang, setelah diketahui melakukan “transaksi ilegal” membeli udang secara langsung dari para petambak melalui penyambang-penyambang yang mereka sebar di lapangan. Para penyambang tersebut, bahkan mendapatkan intimidasi secara fisik. Gejala konflik serupa pun, dapat terjadi dalam hubungan produksi antara pengumpul/ penyambang mandiri (peran ini tidak hanya dimainkan para “pedagang bebas” Bugis tapi juga pedagang keturunan Cina) yang kedapatan melakukan transaksi pembelian udang ilegal dengan penjaga empang milik para ponggawa ataupun petambak berlahan luas. Menariknya konflik manifes yang antagonistik, akan cenderung mewujud pada hampir semua kelas ketika terjadi konflik dengan perusahaan migas. 5.2.4
Booms Udang dan Krisis Ekologi Udang menempati urutan pertama pada perolehan nilai ekspor perikanan
Indonesia tahun 1995, dengan nilai ekspor mencapai US$ 1.137.540 atau dengan volume ekspor sebesar 110.070 ton. Dari total volume dan nilai eskpor tersebut dalam bentuk udang beku volumenya sebanyak 92,28 persen dengan nilai 95,89 persen dari total nilai ekspor udang (Gappindo, 1996). Pasca krisis tahun 1998 – 2001, kontribusi ekspor udang dalam perolehan devisa Indonesia tergolong cukup besar, khususnya dari kelompok sektor non-migas, bahkan terbesar bila dibandingkan dengan kelompok komoditas ekspor sektor pertanian, seperti; kopi, teh, rempah-rempah, tembakau dan biji coklat. Dalam kurun waktu tersebut, ekspor udang memberikan kontribusi sebesar 22,03-48,9 persen dari total ekspor kelompok pertanian (Tajerin dan Muhammad, 2004).
163
Seperti ditunjukkan Gambar 11. volume dan nilai ekspor udang beku dan segar dari Kalimantan Timur pun, terlihat meningkat dari tahun ke tahun. Puncak kenaikan volume dan nilai ekspor udang beku dan segar dari Kalimantan Timur terjadi booms udang akibat terjadinya krisis moneter pada 1998/ 1999, ketika volume produksinya mencapai 10.080 Ton dengan nilai mencapai US $ 69.369.73. Meskipun mengalami penurunan pada 1999, namun sejak 2001 volume maupun nilainya cenderung mengalami peningkatan, puncaknya terjadi pada 2007, ketika volume produksinya mencapai 16.685 Ton, dengan nilai mencapai US $ 141.715.251. Peningkatan volume produksi udang Kalimantan Timur tersebut, banyak disumbang oleh produksi udang tambak, yang luasannya telah mencapai 138.179 Ha. Akibatnya bisa diduga jika luasan hutan mangrove Kalimantan Timur pun mengalami penyusutan. Setidaknya pada 2006, lebih dari 833.379 Ha luas kawasan mangrove yang ada di provinsi Kalimantan Timur, hanya 511.722 Ha yang masih berupa hutan (BP DAS Mahakam Berau 2006).
Volume Ekpor Udang (Ton)
Nilai (US.0000 $)
19 8 19 0 8 19 1 8 19 3 8 19 4 8 19 5 8 19 6 8 19 7 8 19 8 8 19 9 9 19 0 9 19 1 9 19 2 1993 9 19 4 9 19 5 9 19 6 9 19 7 9 19 8 9 20 9 0 20 0 0 20 1 0 20 2 0 20 3 0 20 4 0 20 5 2006 0 20 7 08
20,000 18,000 16,000 14,000 12,000 10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 0
Tahun
Gambar 11. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dan Segar Kalimantan Timur Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Dinas Perikanan Kalimantan Timur 1980 – 2009 Menurut catatan Dutrieux (2001), kegiatan konversi lahan mangrove untuk budidaya perikanan terus meluas, meskipun pada 1992 luas lahan yang terbuka hanya sekitar 3.700 ha. Namun luasnya meningkat menjadi 15.000 ha pada 1996 dan pada 1999 luasan tersebut telah mencapai 67.000 ha. Bahkan pada 2001 luas areal mangrove yang telah dikonversi telah mencapai sekitar 85.000 ha dari luas Delta Mahakam yang mencapai sekitar 150.000 ha. Rendahnya pemahaman komunitas petambak dalam mengelola tambak yang lestari dan ramah lingkungan, telah menyebabkan orientasi ekonomi lebih mengemuka dalam kegiatan pengelolaan tambak. Menurut Lenggono (2004), tingkat produksi tambak yang relatif rendah,
164
cenderung memicu prilaku petambak menjadi lebih agresif dalam mengeksploitasi hutan mangrove untuk dikonversi menjadi area tambak baru, dengan harapan dapat lebih meningkatkan hasil produksi. Meskipun pada kenyataanya volume dan nilai ekspor udang beku Kabupaten Kutai Kartanegara, yang sebagian besar berasal dari kegiatan pertambakan udang di kawasan Delta Mahakam telah mengalami penurunan sejak 2007 (lihat Gambar 12.). Akibatnya, gejala tersebut menjurus pada perilaku yang destruktif terhadap lingkungan dan represif dalam kehidupan sosial. Tambak-tambak baru cenderung dibangun dengan hamparan yang sangat luas, dengan asumsi akan mempermudah
pengelolaan
dan
meningkatkan
hasil
produksi.
Mendorong
digunakannya peralatan berat (seperti excavator) dalam pembukaan tambak-tambak baru tersebut, hingga terjadi pond encroachment.
Volume Ekpor Udang (Ton)
Nilai (Rp. 00000000)
5,000 4,500 4,000 3,500 3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 12. Volume dan Nilai Ekspor Udang Beku dari Kawasan Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008 Selanjutnya, konversi hutan mangrove untuk kegiatan pertambakan mulai tidak terkendali, bahkan banyak area perkebunan kelapa dan pertanian produktif yang kemudian dikonversi manjadi tambak. Namun demikian, kecendrungan peningkatan luasan area pertambakan secara fantastik di kawasan Delta Mahakam, ternyata tidak sebanding dengan peningkatan volume produksinya yang cenderung mengalami stagnasi (seperti ditunjukkan Tabel 13). Pembukaan
hutan
mangrove
secara
besar-besaran
untuk
kegiatan
pertambakan mencapai puncaknya ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-1998, dipicu
165
oleh tingginya nilai tukar US Dolar terhadap Rupiah sehingga terjadi “boom udang”. Kondisi ini selanjutnya memicu terjadinya “ledakan penduduk” di kawasan Delta Mahakam oleh para migran pendatang yang ingin mencoba peruntungan di sektor perikanan budidaya, dengan membuka hutan mangrove yang tersisa. Para migran tersebut tidak hanya berasal dari etnik Bugis dan Makassar dari Sulawesi, tapi juga etnik lain dari Sulawesi, serta berbagai etnik di pesisir pantai timur Kalimantan dan Pantura Jatim. Jika migran Bugis banyak dipekerjakan oleh para petambak ataupun ponggawa untuk menjaga empang-empang yang tidak lagi bisa mereka kelola sendiri karena luasnya tambak yang mereka miliki. Maka pendatang dari pesisir utara Jawa Timur sebagian besar menyediakan tenaga sebagai buruh tambak untuk membangun tambak-tambak baru ataupun memperbaiki konstruksi tambak secara tradisional. Para migran dari Jawa ini pada awalnya didatangkan oleh para ponggawa, karena upahnya lebih murah dan berpengalaman dibidang rekonstruksi tambak.
Jumlah RTP (KK)
Luas Area Tambak (Ha)
Produksi (Ton)
55,000 50,000 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 0 2001
2002
2003
2004
2005
2007
2008
Tahun
Gambar 13. Perbandingan RTP dan Luas Tambak dengan Produksi Perikanan Budidaya Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah dari Laporan Tahunan Statistik DPK Kutai Kartanegara 2001 – 2008 Menariknya, meskipun banyak tambak di Delta Mahakam berstatus ilegal karena dibangun diatas area Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK), namun ironisnya pemerintah (Dephut) sebagai pemilik otoritas tidak mampu berbuat apa-apa. Ketidakpastian hukum, tidak hanya menyebabkan petambak/ ponggawa tidak memiliki legalitas penguasaan atas lahan-lahan tambak yang mereka garap. Tarikan garis di atas kertas peta oleh negara tersebut, bahkan telah mengakibatkan hilangnya akses
166
masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam yang telah mereka tradisikan, bahkan jauh sebelum negara ada. Dalam kesimpulan studinya, Peluso (2006) mengingatkan, bahwa berbagai kebijakan penguasaan dan pengendalian negara semakin menjauhkan penduduk desa di sekitar hutan dari negara dan menjuruskan mereka pada alternatifalternatif “ilegal” menurut definisi negara dalam pemanfaatan tanah hutan. Masa depan dibayangi dengan naiknya biaya ekonomis, sosial dan politis di pihak perhutani (Dephut), sulitnya upaya-upaya lain untuk “membangun” perekonomian desa hutan dan berlanjutnya perusakan serta kemerosotan hutan. Hal serupa dapat diduga akan muncul pula di kawasan-kawasan lain di dunia, ketika kuasa dan kendali negara atas hutan atau tanah hutan gagal membenahi kemerosotan hutan dan memperparah kemiskinan rakyat yang menggantungkan hidup pada hutan. Kerusakan lingkungan hidup akibat aktifitas manusia ataupun kegiatan berbagai industri disekitar kawasan Delta Mahakam menjadi semakin riskan, jika pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang beragam tersebut dilakukan secara eksploitatif tanpa memperhitungkan ambang batas daya dukung (carrying capacity). Seperti disinyalir Peluso (1990) dalam “Networking in the Commons: A Tragedy for Rattans?”, bahwa eksploitasi sumberdaya hasil hutan alam non kayu (rotan) telah berdampak terhadap “ledakan penduduk” yang terlibat dalam jaringan perdagangan rotan di desa-desa sepanjang hulu sungai Mahakam, sehingga berpotensi menimbulkan “tragedy of the common”. Berdasarkan perhitungan PKSPL-IPB, dampak konversi hutan mangrove (land clearing) seluas 85.000 Ha untuk pembangunan tambak di Delta Mahakam, dengan asumsi luas vegetasi nipah yang telah ditebang diperkirakan mencapai 47.000 Ha dan vegetasi non nipah (api-api, bakau dan tancang/ tumu) seluas 38.000 Ha, maka kerugian langsung yang ditimbulkan adalah sebesar Rp. 922.920.000.000,-. Angka tersebut belum termasuk manfaat langsung lainnya dari keberadaan tegakan mengrove, seperti nilai satwa liar (burung dan mamalia) dan nilainilai tak langsung dari keberadaan ekosistem hutan mangrove, seperti jasa-jasa lingkungan dari ekosistem mengrove di Delta Mahakam. 5.2.5
Pengelolaan “Pertambakan Ilegal” Menurut PKSPL-IPB (2002) pembukaan lahan pada hutan mangrove untuk
pertambakan tradisional di kawasan Delta Mahakam biasanya dimulai dengan penebangan pohon, terutama di sepanjang tempat yang akan dibangun tanggul tambak, selanjutnya dilakukan proses pemusnahan dengan mematikan pohon yang berada dalam tiap petak. Saat ini pembukaan lahan tersebut telah menggunakan teknologi alat berat seperti excavator, penggunaan alat ini menyebabkan laju konversi lahan hutan mangrove menjadi areal tambak meningkat dengan cepat. Umumnya para
167
petambak menyadari bahwa tanah yang mewadahi air tambak di dalam kawasan rawarawa umumnya bersifat asam, karenanya mereka sering menaburkan bubuk kapur ke dalam
petak-petak
tambak
tersebut.
Prosedur
pengisian
tambak
biasanya
mempertimbangkan salinitas, keasaman, suhu dan kandungan mikroorganisme air tambak yang ada dalam air laut yang akan dimasukkan ke dalam tambak. Kawasan Delta Mahakam umumnya memiliki salinitas rendah, terutama di 2/3 kawasan sebelah hulu karena kuatnya pengaruh air tawar DAS Mahakam. Hanya 1/3 kawasan di sebelah hilir (muara-muara sungai) yang memiliki salinitas memenuhi syarat (15-25 ppt). Lahan yang cocok untuk tambak adalah lahan pasang surut yang memiliki salinitas moderat (15-25 ppt) yaitu zona atau daerah yang terdapat kira-kira setengah bagian dari delta mulai dari arah muara ke hulu delta. Oleh karena batas salinitas minimum setengah dari hulu delta ini, maka hanya sebesar 15 ppt yang merupakan batas maksimum pengembangan lahan usaha tambak. Untuk daerah bagian hulu delta dengan salinitas di bawah 15 ppt tidak layak dikembangkan sebagai lahan budidaya tambak karena merupakan zona vegetasi fresh water mangrove dan hutan rawa air tawar yang umumnya dipadati dengan zona vegetasi nipah. Namun demikian, seiring dengan semakin langkanya “lokasi” yang bisa dikonversi menjadi area tambak-tambak baru, telah memaksa sejumlah ponggawa dan petambak mengkonversi kawasan bagian hulu delta yang secara profesional tidak layak untuk kegiatan pertambakan udang. Selain itu, parameter utama yang perlu diperhatikan dalam pengembangan tambak adalah kualitas tanah dan air. Parameter kualitas tanah yang utama adalah pH dan asam pirit, pH tanah yang terlalu rendah (<7) ataupun terlalu tinggi (>8), akan menghasilkan kondisi tidak nyaman bagi udang, karena terlalu asam sehingga bisa berdampak pada kematian udang secara massal. Petambak umumnya menyadari bahwa tanah yang mewadahi air tambak di kawasan Delta Mahakam umumnya bersifat asam, karenanya mereka akan menaburkan bubuk kapur ke dalam petak-petak tambak setelah melalui proses pengeringan tanah dasar tambak/ sebelum dialiri air. Hal ini dimaksudkan tidak sekedar untuk menetralisir pH tanah, tapi juga untuk merangsang pertumbuhan pakan alami bagi udang. Selanjutnya masa pemeliharaan mulai dilakukan pasca petak tambak terisi air, penaburan benih hingga udang siap panen. Adapun tahapan kegiatan pertambakan tradisional yang diterapkan, meliputi. 1. Tahap Prakonstruksi, meliputi; a. Pemilihan lokasi pembuatan tambak, pada prinsipnya pembudidaya tidak tidak menerapkan syarat yang ketat dalam pemilihan lokasi untuk calon lokasi pembuatan tambaknya. Mereka hanya berprinsip bahwa selama lahan yang akan dibangun tambak tersebut masih dapat menerima pasokan air melalui
168
Sungai Mahakam atau percabangannya (anak sungai), mereka menyetakan bahwa lokasi tersebut layak untuk dijadikan tambak, b. Perijinan, ijin untuk memiliki hak garap tambak dilakukan melalui aparat pemerintah setempat yaitu persetujuan RT, Kepala Desa dan Camat. Hak garap juga diberikan oleh aparat setempat kepada warga komunitas Delta Mahakam dengan pemberian hak garap maksimal 2 ha/kepala. Namun juga ditemui lokasi tambak yang tidak memiliki hak garap, sehingga berpotensi menimbulkan konflik pemanfaatan ruang dikemudian hari, c. Pemilikan lahan, untuk memiliki lahan dilakukan dengan cara pembelian lahan terhadap masyarakat/milik perorangan maupun dengan aparat setempat yang dilakukan dengan perjanjian jual beli antara pemilik lahan maupun aparat pemerintah desa dengan calon pemilik tambak, d. Mobilisasi peralatan, material dan tenaga kerja, untuk membangun tambaktambak tersebut diperlukan beberapa alat dan bahan serta tenaga kerja yang di datangkan ke lokasi yang akan dibangun. Beberapa pemilik yang memiliki modal besar serta hamparan lahan yang luas, mampu mendatangkan alat berat berupa excavator maupun dozer untuk mempercepat kegiatan fisik tambak. Sedangkan para pemilik yang memiliki modal kecil/ tradisional hanya mampu mengerahkan tenaga kerja manusia untuk kegiatan fisik tambak yang direkrut dari masyarakat lokal maupun dari luar. 2. Tahap Konstruksi, meliputi; a. Pembukaan lahan (land clearing), merupakan kegiatan pembersihan areal pembangunan dari pohon, tanaman dan material lainnya yang diperkirakan dapat
menggangu
kelancaran
pembangunan
tambak
dan
bangunan
pendukung lainnya. b. Pembangunan fisik tambak, dilakukan penggalian (cut) dan penimbunan (fill) tanah dari lahan yang dibersihkan. Pemilik tambak bermodal besar akan menggunakan excavator untuk mempercepat penggalian dan penimbunan tanah dalam membangun pematang tambak, sedangkan penggunaan dozer akan mempercepat perataan tambak. Pada petambak tradisional kegiatan cut and fill dengan tanpa perataan tanah tambak memerlukan waktu yang relatif lebih lama. Masyarakat lokal umumnya belum mengetahui cara membuat tambak yang baik, kolam-kolam yang dibangun umumnya berukuran besar minimal 3 ha/petak. Ukuran lebar parit bervariasi antara 5 – 10 m, sedangkan ke dalamannya berkisar antara 1,0 – 1,5 m, tanah hasil galian tersebut ditimbun di pinggiran dan berfungsi sebagai tanggul. Tanggul umumnya berukuran kecil, lebar atas berkisar antara 0,5 – 1 m dan lebar bawah antara
169
2 – 4 m dengan ketinggian antara 1,0 – 1,5 m diukur dari permukaan tanah aslinya. c. Penerimaan tenaga kerja, tenaga kerja yang akan dikerahkan antara lain pada saat pencetakan tambak, pembangunan saluran air dan pembuatan pintu air serta mengangkut bahan-bahan yang diperlukan pada saat pembangunan tambak. Kebutuhan tenaga kerja dalam pembangunan tambak adalah 20 orang pekerja/ lahan yang dikerjakan, sedangkan pada tahap operasional, kebutuhan tenaga kerja adalah 1 orang/ petak lahan. 3. Tahap Operasi, meliputi; a. Kegiatan
budidaya,
pemeliharaan
dan
pembesaran,
umumnya
yang
dibudidayakan adalah udang meski sebagian ada yang membudidayakan bandeng. Pembudidaya udang tradisional juga mengharapkan masuknya benih udang alam yang umumnya di sebut udang bintik, yang dibiarkan masuk bersama kegiatan pemasukan air. Berikut ini dijelaskan kegiatan budidaya udang yang dilakukan di Delta Mahakam;
Pengeringan tanah dasar, walaupun merupakan prasyarat penting dalam persiapan lahan untuk budidaya udang, namun pembudidaya udang di Delta Mahakam tidak melakukan prosedur ini. Dengan harapan semakin mempersingkat siklus pemeliharaan setelah panen, kolam yang telah dipanen tanpa memperhitungkan baik buruknya hasil panen, langsung diisi kembali dengan air,
Pemupukan, sebagian besar pembudidaya udang di Delta Mahakam menggunakan pupuk organik, berupa kotoran ayam atau kotoran ternak lainnya. Selain harganya murah, para pembudidaya udang merasakan bahwa pemakaian pupuk kandang ini dapat mempercepat
dan
menyuburkan pertumbuhan pakan alami udang.
Pergantian air, pergantian air tambak dilakukan dengan mengandalkan pasang surut air laut, pengisisan air ini dilakukan pada sore hari saat air sedang pasang, dengan cara membuka pintu air yang tanpa dipasang penyaring. Pada saat air dimasukkan ke tambak, maka biasanya ikut terbawa masuk udang bintik, ikan dan kepiting yang akan menjadi hasil sampingan saat panen, walaupun berpotensi membawa bibit penyakit,
b. Pemeliharaan dan pembesaran, berikut ini akan dijelaskan kegiatan pemeliharaan dan pembesaran udang yang dilakukan di Delta Mahakam;
Penebaran benur, dilakukan sangat sederhana dengan padat penebaran sangat rendah yaitu sekitar 10.000 – 16.000 PL/ha, benur yang ditebar
170
berkisar pada stadia PL12 – PL15, selanjutnya penebaran benur biasanya dilakukan pada pagi atau malam hari,
Pemberian pakan, selama pemeliharaan udang mendapat pakan alami, tidak diberi pakan tambahan, berupa organisme air yang kecil berbentuk plankton (fito dan zooplankton) pembuatannya dilakukan melalui pemupukan organik,
Pengolahan air, untuk menjaga air dalam kondisi segar, maka dilakukan penggantian air di dalam tambak yang disesuaikan dengan masa pemeliharaan.Dalam pembuangan dan pemasukan air dikakukan pada pintua air yang sama, pergantian air tersebut dilakukan sesekali saja bilamana air sedang pasang,
Pemanenan, dilakukan 2 kali dalam setahun, dimana panen sebagian dilakukan pada saat udang berumur 4 bulan dan panen total dilakukan 2 bulan setelahnya, pada umur-umur tersebut udang biasanya berukuran 30 – 40 ekor/kg. Panen hanya dilakukan jika ukuran udang telah mencapai diatas size 50, berdasarkan permintaan pasar lokal dan pasar luar negeri,
c. Produktivitas, pemeliharaan udang umumnya dilakukan hingga udang mencapai ukuran 25 – 30 ekor/kg, ukuran tersebut dapat dicapai pada umur 100 – 110 hari pemeliharaan dari saat tebar PL12 – PL15, ini dimungkinkan karena padat tebar yang sangat rendah yaitu 10.000 – 16.000 PL/ha atau hanya 1 – 1,6 PL/m². Produksi yang dicapai berkisar antara 50 – 75 kg/ha atau dengan kelangsungan hidup sekitar 20%. Rata-rata biaya yang harus dikeluarkan untuk pembuatan satu petak tambak seluas 5 Ha menurut PKSPL IPB (2002) adalah, sebesar Rp. 48,8 – 69,8 Juta, sehingga rata-rata biaya pembuatan tambak per-hektar berkisar antara Rp. 9,76 – 13,98 Juta. Apabila nilai jual udang mencapai Rp. 100.000,-/ Kg berarti dapat menghasilkan sekitar Rp. 75.000.000/ panen. Karena tidak melibatkan dana tambahan lainnya seperti biaya pakan dan solar seperti halnya budidaya udang intensif, keuntungannya menjadi cukup besar dan hal inilah yang merangsang banyak migran Bugis untuk membuka hamparan tambak secara besar-besaran. Meskipun tidak sedikit dari para petambak yang mengalami kegagalan, akibat udang yang dipeliharanya mati secara mendadak, hingga gagal panen.
171
Tabel 12. Perbandingan Tambak Tradisional dengan Tambak Semi Intensif dan Intensif Uraian A. Kondisi Fisik Luas petak Bentuk petak Pematang Dasar tambak Sistem irigasi Pintu air Kedalaman air Luas caren terhadap pelataran Kedalaman caren Pompa air Kincir air Peralatan analisis air dan tanah B. Pengolahan 1. Metoda pemeliharaan a. Persiapan Pengeringan Pengolahan Pengapuran Pemberantasan hama Saponin Derris Pemupukan Urea TSP Organik b. Penebaran benur ukuran kepadatan c. Pemeliharaan Pengelolaan air Tinggi air Penggantian air < 2 bulan – 3 bulan – 4 bulan Pemantauan mutu air Warna dan kecerahan Oksigen, pH dan salinitas Aerasi d. Pakan Jenis Frekwensi pemberian Jumlah Berat 0,3 – 3 gr Berat 3 – 10 gr Berat 10 – 20 gr > 20 gr 2. Pemanenan Umur panen Survival rate Ukuran Produktivitas
Sumber: PKSPL – IPB, 2002
Tradisional
Kreteria Tambak Semi Intensif
Intensif
1 – 4 ha seadanya tanah ada caren pasang surut 1 buah/ha 70 cm > 60 % 30 – 40 cm tidak perlu tidak perlu tidak perlu
0,5 – 1 ha segi panjang tanah dilapisi plastik ada/tanpa caren pasang surut + pompa 1 – 2 buah/ha 100 cm 10 – 60 % 30 – 40 cm perlu 2 – 4 buah/ha perlu
0,1 – 1 ha bujur sangkar tanah/beton tanpa caren pompa 2 buah/ha > 120 cm haris ada 4 – 10 buah/ha harus
Sampai retak-retak 500 – 2.000 kg/ha
Sampai retak-retak Pembalikan 1.000 – 2.000 kg/ha
Sampai retak-retak Pembalikan 1.000 – 2.000 kg/ha
10 – 15 ppm 6 – 10 kg/ha
10 – 15 ppm 6 – 10 kg/ha
10 – 15 ppm 6 – 10 kg/ha
75 kg/ha 50 kg/ha
75 kg/ha 25 kg/ha
1.000 kg/ha PL 12 – 18 20.000 – ekor/ha
PL 12 – 18 60.000 – 150.000 ekor/ha
PL 12 – 18 150.000–500.000 ekor/ha
120 cm
120 – 170 cm
5 – 10 %/hari 10 – 15 %/hari > 20 %/hari
5 – 10 %/hari 10 – 15 %/hari > 20 %/hari
perlu perlu 12 – 15 jam/hari
harus harus 12 – 15 jam/hari
alami + buatan 3 – 5 kali/hari
alami + buatan 3 – 6 kali/hari
10 – 20 % berat/hari 5 – 10 % berat/hari 3 – 5 % berat/hari 2 – 3 % berat /hari
10 – 20 % berat/hari 6 – 10 % berat/hari 3 – 6 % berat/hari 2,5 – 3 % berat /hari
120 hari 50 – 70 % 40 – 50 ekor/kg 700 – 2.500 kg/ha
120 hari 50 – 70 % 40 – 50 ekor/kg > 2.500 kg/ha
60.000
100 cm di atas caren 5 – 10 %/hari 10 – 15 %/hari tidak tidak tidak alami + buatan 1 – 3 kali/hari 3 – 5 % berat/hari 2 – 3 % berat/hari 120 – 150 hari 50 – 70 % 30 – 40 ekor/kg 250 – 600 kg/ha
172
Ketika alat berat (excavator) belum digunakan dalam kegiatan pertambakan, pembukaan lahan dilakukan dengan menebang pohon bakau ataupun nipah menggunakan peralatan sederhana, seperti kapak, parang, cangkul dan kong. Kong adalah alat gali tanah tradisional yang terbuat dari plat besi selebar + 30 Cm, setinggi lengan orang dewasa, dengan ujung tajam di sisi bawah dan pada sisi atas tersedia lubang yang bisa dimasukkan kayu (biasanya jenis ulin) sebagai pegangan. Pembukaan lahan pada hutan mangrove dimulai dengan menebang pokok pohon, terutama di sepanjang tempat yang akan digunakan untuk tanggul tambak. Selanjutnya dilakukan proses pemusnahan dengan mematikan pohon yang berada dalam tiap petak tambak dengan peneresan pangkal batang pohon hingga pohon tersebut mati. Selanjutnya konversi mulai dilakukan dengan penebangan batang pohon, pembakaran dan pembersihan/ tebas ulang, serta pembakaran lagi hingga pencabutan akar-akar pohon yang masih tersisa. Sekat-sekat yang berfungsi sebagai pematang/ tanggul kemudian dibangun sesuai dengan kebutuhan, sehingga berbentuk petak-petak persegi yang tidak beraturan. Umumnya pematang/
tanggul dibiarkan tidak ditumbuhi tanaman, hanya
pada kanal sungai yang memisahkan pematang/ tanggul tambak dengan sungai, dibiarkan pepohonan tumbuh dengan kerapatan rendah, sehingga tanah pinggiran pematang/ tanggul tersebut mudah longsor. Baru pada pertengahan 1990-an, pembukaan lahan mulai melibatkan penggunaan teknologi alat berat, seperti excavator. Penggunaan alat yang sangat efektif ini menyebabkan laju konversi lahan menjadi meningkat dengan cepat. Haji Samir misalnya, mengakui
bahwa kemampuannya
sebagai
ponggawa
dalam
mengembangkan usaha, tidak terlepas dari keberhasilannya memanfaatkan tiga unit excavator yang dibelinya secara patungan dengan tiga orang anaknya pasca boom harga udang pada 1997/ 1998. Sejak itu mereka berhasil mengembangkan hamparan tambak dalam jumlah yang sangat luas, tidak hanya untuk memberikan kepastian pasokan produksi (udang) yang melimpah bagi eksistensi usaha mereka sebagai ponggawa, namun juga untuk memperbesar klien dalam jaringan mereka.
173
Sungai Kecil
Kanal
Sungai Mahakam
Pelataran Pelataran TAMBAK 3
Tanggul
Caren Caren
Mangrove-Nypa
Caren
Pelataran
Pelataran
TAMBAK 1
TAMBAK 2
Sungai Mahakam
Mangrove-Nypa Sungai Kecil Selat Makassar
Keterangan:
= Aliran Air Payau = Mangrove-Nypa Pelataran = Tanah belum tergali ditengah tambak (berupa akar-batang mangrove-nypa) Caren = Galian saluran air tambak yg juga berfungsi untuk media budidaya Tanggul = Tanah gundukan yg ditinggikan untuk pembatas tambak, sekaligus pematang Kanal = Saluran air buatan yg menghubungkan Sungai Mahakam/ kecil dgn tambak Gambar 14. Lay-Out Pertambakan Tradisional Satu Pintu Air di Delta Mahakam Sumber: Data Primer Diolah, 2011
Menariknya hampir semua tambak yang dibangun hanya menggunakan satu pintu sirkulasi air (lihat Gambar 14.). Hal ini sepertinya dilakukan atas dasar pertimbangan
mengehemat
biaya
pembangunan
tambak
dan
mempermudah
pengelolaannya. Ketika penelitian dilakukan, biaya pembuatan satu unit pintu air untuk
174
satu petak tambak diperkirakan mencapai Rp. 20.000.000,-. Pintu air tambak biasanya terbuat dari kayu ulin karena lebih kuat, tahan air dan cuaca ekstrem. Namun seiring dengan semakin langka dan ketatnya perdagangan kayu ulin yang saat ini harus didatangkan dari luar kawasan Delta Mahakam, menyebabkan harga per-unit pintu air tambak menjadi sangat mahal dan sulit diperoleh. Realitas inilah yang kemudian disiasati para petambak dengan hanya membangun satu pintu air pada setiap petak tambak seberapapun luasnya. Bahkan, banyak tambak yang baru dibangun pun digabung menjadi satu dengan tambak lama yang hanya memiliki satu pintu. Kondisi inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa petakan tambak di kawasan Delta Mahakam berukuran sangat luas. Di Muara Pantuan misalnya, penulis menjumpai sepetak tambak yang luasnya mencapai 100 Ha, sehingga seperti sebuah danau. Selain untuk menghemat biaya, penggunaan satu pintu tambak sepertinya juga dimaksudkan agar setiap petak tambak yang ada menjadi mudah dikelola, karena sirkulasi air sebagai komponen terpenting dalam pengelolaan tambak cukup dilakukan di satu tempat (pintu air).
5.3
Fase Konsolidasi Ekonomi Lokal Fase integrasi ekonomi lokal ditandai terakumulasinya alat produksi hingga
terkonsentrasinya raw material pada kelompok-kelompok ponggawa. Ketidaktersediaan raw material inilah yang kemudian menyebabkan colapse-nya industri perikanan ekspor, tidak terkecuali PMA Jepang, yang kemudian di take over oleh salah seorang ponggawa besar di Delta Mahakam. Tahun 2007 merupakan masa-masa kebangkrutan perusahaan eksportir perikanan pioner di kawasan Delta Mahakam, Misaya Mitra (PMA) dan Cendana Cold Storage (PMDN), yang secara pasti tereliminasi oleh kehadiran perusahaan eksportir lokal (Syam Surya Mandiri). Setidaknya hingga akhir tahun 2009, seperti ditunjukkan Gambar 15., Tujuh (44%) dari enam belas perusahaan industri pengolahan udang ekspor yang masih aktif beroperasi di Kalimantan Timur dimiliki orang Bugis, yang tidak hanya mampu bersaing dengan pengusaha keturunan Cina (mencapai 31%) dan “pemain” asing lainnya (mencapai 25%), namun juga memiliki keunggulan komparatif, karena didukung jaringan patronase pertambakan yang kokoh dan penguasaan sumberdaya yang memberikan jaminan pasokan material raw secara berkelanjutan. Fase ini pun ditandai dengan terintegrasinya ekonomi lokal yang disokong oleh kegiatan perikanan budidaya ke dalam tatanan perekonomian kapitalisme global. Gejala kebangkitan ekonomi lokal, setidaknya merupakan hasil dari beroperasinya keunggulan komparatif dan kompetitif produk yang diproduksi pengusaha lokal di pasar global. Hal ini ditandia dengan pertama, adanya kecendrungan peningkatan permintaan produk
175
udang windu di pasaran regional-global yang tidak mampu diproduksi oleh produsen lain yang telah beralih hanya memproduksi udang vanamei secara massal. Kondisi ini juga tidak terlapas dari gaya konsumsi masyarakat negara maju yang cenderung lebih menyukai produk udang organik yang sebagian besar produksinya disumbang oleh usaha pertambakan tradisional seperti di kawasan Delta Mahakam. Selain itu tidak banyak produsen di negara lain yang bisa memproduksi udang windu yang hanya hidup di daerah tropis. Kedua, para pengusaha lokal memiliki keunggulan kompetitif atas kebutuhan pasar yang sedikit demi sedikit dikumpulkan dari mitral lokal, akses khusus pada kelembagaan lokal (patronase) dan keluwesan berproduksi yang merupakan hasil negosiasi dalam jaringan yang tidak membutuhkan biaya tinggi. Ketiga, kuatnya posisi tawar pengusaha lokal atas produk spesifik, seperti udang windu telah menempatkan mereka “tidak tunduk” secara absolud terhadap tekanan kapitalis pusat.
Nilai (000 US $)
30531
Volume(Ton) 35000 30000
16466
345 1014
52 147
10 890
274 1006
1653
11417 610 754
731
397 2943
1119
1,820
3246
479 2204
1926
5000
38.7 171
1898
10000
1363
7644
15000
11726
11366
15147
20000
16821
25000
M Ka an l im B di ul ri an un ta ga PT n n Ab ,M Le ad us st i ti k ar iM a PT M a ,S in nd an um i ri us be a rK Au PT al ro im ra ,T an un t an a s PT Ab N ,M el ad ay al i an in do M an Ke di nc ri an a PT U P t am ,S T, ab M a is in a d PT ja o M R ,S ay i tr ab a a in G do em PT R i l an ay ,B g a on G I an em za i la Pr ng at II am PT ,N a A el ba ay di an Ba ro PT ka ,K h ot a M ar in e U D ,P U er D ik ,H an ar i ap an M aj u PT ,
S
um be r
ah ro m
PT ,
A PT ,
PT ,
S
ya m
N
S
ur ya
el ay an
M an di ri
0
Gambar 15. Volume dan Nilai Produksi Perusahaan Eksportir Kalimantan Timur 2009 Sumber: Data Primer Diolah (2011) Disini perlu dinyatakan, meskipun kawasan Delta Mahakam sebagai suatu komunitas lokal, namun keberadaannya bukanlah suatu entitas sosial yang murni terisolir, melainkan terintegrasi ke dalam sistem sosial yang lebih luas yaitu sistem nasional dan global. Jika merujuk pada gagasan Wallerstein tentang struktur “pusat – semi-pinggiran – pinggiran, maka sistem ekonomi kapitalisme di Indonesia adalah negara pinggiran, sedangkan negara-negara industri maju seperti Eropa Barat, Amerika Utara, Australia dan Jepang adalah negara yang memiliki status pusat dan diantara
176
keduanya tampil negara-negara industri baru, seperti Korea Selatan, Taiwan dan Singapura sebagai semi-pinggiran. Teori ini beranggapan bahwa dalam konteks sistem kapitalis dunia, negara miskin dapat disamakan dengan orang miskin yang tidak memiliki alat-alat produksi, sehingga betapapun mereka bekerja keras, struktur ekonomi dunia tidak memungkinkan mereka berkembang beriring dengan negara maju (Budiman, 2006). Di dalamnya perkembangan ekonomi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ekonomi negara-negara semi-pinggiran dan pusat yang telah lebih dulu maju, sebagai konsekuensi terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam sistem kapitalisme global. Dimana penguasaannya, menurut Budiman (1996) tidak harus dalam bentuk pengendalian secara ketat, tetapi cukup dengan sistem upeti sebagai tanda takluk dan ataupun sejauh mana negara pusat (“kerajaan dunia”) tersebut bisa menguasai secara politis negara dimaksud. Meskipun demikian, secara riil berbeda dengan kelangsungan industri tekstil di Indonesia yang diasumsikan Sitorus (1999) terkait dengan kelangsungan industri tekstil di negara-negara semi-pinggiran dan pusat, industri perikanan di Indonesia praktis tidak terkait secara langsung dan total dengan kelangsungan industri perikanan di negara semi-pinggiran dan pusat. Hal tersebut diatas tidak terlepas dari adanya kepastian pasokan material raw berupa produk udang windu yang tidak membutuhkan pengolahan dengan teknologi tingkat tinggi, karena sebagian besar hanya diolah sebagai udang beku. Selain tidak banyak produsen di negara lain (semi-pinggiran ataupun pusat) yang bisa memproduksi udang windu yang hanya hidup di daerah tropis. Realitas tersebut, sekaligus ingin menegaskan bahwa pola konsumsi terhadap produk tertentu, seperti udang segar organik yang dianggap memiliki nilai protein tinggi dan menyehatkan tubuh, merupakan faktor penting di dalam mengubah nilai dan tatanan simbolis dari pembentukan gaya hidup yang pada gilirannya akan ikut menentukan tingkat permintaan produk tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sub-sektor industri perikanan di Indonesia bukanlah merupakan sub-ordinat dari sub-sektor industri perikanan negara-negara semi-pinggiran
ataupun
pusat.
Tidak
seperti
sub-sektor
industri
tekstil
yang
menunjukkan gejala ketergantungan, khususnya dalam hal bahan baku terutama serat kapas (juga sintetis) dan benang seperti disinyalir Sitorus (1999). Meskipun harus diakui bahwa industri perikanan lokal yang saat ini mampu melakukan take over atas perusahaan perikanan internasional pada 2007 dan manjadi salah satu perusaahan eksportir perikanan terbesar di pantai timur Kalimantan ini, pada awalnya dibangun melalui sebuah kerjasama dengan perusahaan perikanan dari negara semi-pinggiran (Taiwan).
177
Namun demikian, kenyataan bahwa struktur ekonomi dunia merupakan struktur dominasi, yang menjadikan Indonesia sebagai sub-ordinat dari negara-negara semipinggiran dan pusat, telah menyebabkan industri perikanan di Indonesia pun harus mengakomodir kaidah-kaidah yang diterapkan secara sepihak oleh negara-negara maju. Kondisi tersebut ditandai dengan terjadinya berbagai kesepahaman dan kerjasama internasional yang melibatkan para pengusaha lokal (produsen) dalam pembinaan mutu produksi, yang dalam sektor perikanan telah berlangsung sejak 1975 (lihat Tabel 13.). Tabel 13. Konsolidasi Kerjasama Internasional dalam Pembinaan Mutu Produk Lembaga/ Negara Donor FAO/ WHO
Tahun
Konsolidasi Produk
Sejak 1975 s/d sekarang
ASEANKanada
Tahap I 19821987
Proyek bantuan pelatihan di Indonesia maupun di luar negeri, serta untuk mengikuti sidang Codex/ Standarisasi komoditas pangan, khususnya perikanan Pelatihan di Kanada dalam pengawasan mutu dan pengujian laboratorium. Hasil kegiatan tahap I diformulasikan dalam penyusunan proyek kerjasama ASEAN-Canada Fishery Post Harvest Teknology Project Phase II (AFPHTP-Phase II), meliputi pelatihan, pengembangan sistem manajemen mutu dan penyediaan bantuan konsultasi teknis untuk negara ASEAN. Indonesia terpilih sebagai Regional Center for Fish Inspection and Quality Control, karena sistem pembinaan mutu yang dikembangkan sesuai dengan sistem internasional yang berdasarkan konsep Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP). Pemerintah yang tergabung dalam Negara Benelux memberlakukan ketentuan bahwa perusahaan yang boleh melakukan ekspor udang adalah negara yang termasuk Approved Packer yang diusulkan Direktorat Jendral Perikanan. Ketentuan itu diantaranya; Udang tidak boleh diawetkan dan jika tidak berbentuk makanan olahan, harus mengandung minimal udang 10% Mutu udang harus sesuai dengan pesyaratan yang berlaku di Benelux Unit pengolahan dan cara penanganan udang harus memenuhi ketentuan Recommended International Code of Practice of Shrimp or Prawns Setiap ekspor udang disertai Certificate of Healt versi Benelux Pengusulan Approved Packer di jadwalkan dua kali setahun Pelanggaran peraturan akan mendapatkan peringatan dan sanksi Tahun 1988, jumlah eksportir Indonesia yang disetujui sebagai Approved Packer sebanyak 38 buah, sedangkan Healt Certificate produk udang ke Benelux hanya dapat dikeluarkan LPPMHP yang formatnya telah ditentukan Benelux. Setelah Desember 1993 Tim Uni Eropa dan ATTANI Brussel melakukan inspeksi terhadap kelayakan ke berbagai instansi (competent authority), unit pengolahan dan laboratorium penguji di seluruh Indonesia. Pada 19 Mei 1994, Uni Eropa mengeluarkan Commission Decision No 94/ 324/ EEC berisi penetapan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kesamaan sistem pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan dengan Uni Eropa. Pemantapan Laboratorium Pembinaan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), sebagai penunjang penerapan HACCP dengan pelatihan laboratory improvement di USA
Benelux/ Uni Eropa
Tahap II dimulai pada 1992 Sejak 1987
Sejak 1993
USA
Sejak 1991
Sumber: Disarikan dari Soewito Dkk (2011)
178
Seperti diketahui kegiatan pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan badan internasional dan Negara yang menjadi mitra dagang Indonesia. Sejak tahun 1975 hingga saat ini, kerjasama telah dilakukan antara lain dengan FAO/ WHO, ASEAN, Australia, Kanada, Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Program kerjasama dengan FAO/ WHO diwujudkan dalam Proyek Bantuan untuk mengikuti sidang Codex/ Standarisasi Komoditas Pangan termasuk perikanan. Sedangkan program kerjasama dengan negara-negara ASEAN dan Australia, antara lain diwujudkan dalam bentuk Proyek Penanganan ikan di TPI dengan Penanganan ikan di TPI dengan fish tray oleh nelayan di TPI dan bantuan sarana angkutan untuk fish tray oleh nelayan di TPI dan bantuan sarana angkutan untuk uji coba penanganan pengangkutan ikan hidup. Hingga akhirnya setelah melalui tahapan yang panjang pada 19 Mei 1994, Uni Eropa mengeluarkan Commision Decision No. 94/ 324/ EEC berisi penetapan Indonesia sebagai Negara yang mempunyai kesamaan sistem pembinaan dan pengawasan mutu hasil perikanan dengan Uni Eropa (Soewito Dkk, 2011). Ketentuan tersebut tentu saja sangat penting artinya bagi keberlanjutan, bahkan penciptaan peluang ekspor bagi produk udang lokal, mengingat selama ini Uni Eropa merupakan salah satu pangsa pasar yang sangat potensial bagi produk udang lokal. Selain karena kebijakan Uni Eropa yang sering dijadikan rujukan bagi negaranegara lain yang melakukan impor produk perikanan dari negara-negara eksportir perikanan. Secara sistematis, berbagai mekanisme global yang telah berlangsung pada tataran lokal tersebut, tidak sekedar menyebabkan tereliminasinya pengusaha lokal (ponggawa) yang
tidak siap menghadapi
era
globalisasi perdagangan
yang
mensyaratkan ketentuan-ketentuan kualifikasi produk dengan sangat ketat, sehingga tidak mampu bersaing di pasar bebas. Namun juga menyebabkan terjadinya konsolidasi kekuatan ekonomi lokal pada sejumlah kecil pengusaha lokal (ponggawa besar), yang digerakkan
industri
perikanan
budidaya
dengan
pasokan
material
raw
yang
berkelanjutan. Dan yang terpenting, mekanisme seperti ini pun sangat fungsional dalam memberikan “tekanan” pada sejumlah pihak (khususnya elit ekonomi lokal) untuk dapat lebih ramah lingkungan dalam berproduksi. Mengingat, sampai sejauh ini para pelaku usaha pertambakan (khususnya ponggawa) masih “tersandera” oleh berbagai isu global terkait dengan udang yang diproduksi pada area hutan produksi dan klaim udang organik
yang
dikelola
tanpa mengindahkan kaidah-kaidah ekologis, sehingga
mengorbankan eksistensi lingkungan.