BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Radiasi sinar matahari yang mengenai permukaan bumi merupakan energi dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Radiasi sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi dan ada hubungannya dengan reaksi tubuh manusia yaitu sinar Ultra Violet/UV
(λ 200-400nm), sinar
tampak (λ 400-760nm) dan sinar
inframerah (λ lebih dari 760nm). Dari beberapa spektrum sinar yang sampai ke permukaan bumi, sinar UV merupakan sebagian kecil dari spektrum sinar matahari dan sinar ini kurang dari 1 % dari keseluruhan spektrum sinar matahari. Namun sinar ini paling berbahaya bagi kulit karena reaksi yang ditimbulkannya. Paparan radiasi ultra violet yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada kulit seperti hiperpigmentasi, kulit terbakar, penuaan dini, kulit hitam dan bersisik, bahkan kanker kulit (Purwanti, 2005). Terbakar surya merupakan reaksi akut dengan gejala yang bervariasi mulai dari eritema, sunburn, hiperpigmentasi, penuaan dini bahkan kanker kulit. Perubahan akut yang lain adalah terjadinya pigmentasi kulit setelah terkena paparan sinar matahari sampai 2 jam karena peran sinar UV. Perubahan kronik dapat terjadi karena paparan sinar matahari dalam waktu lama dengan akibat perubahan degeneratif pada jaringan pengikat dalam stratum kornium. Keadaan ini akan menyebabkan kulit menebal dan kehilangan kekenyalan sehingga kulit menjadi keriput. Untuk mencegah efek merugikan tersebut, dapat dilakukan
beberapa cara, salah satunya adalah pemakaian tabir surya dari bahan alam yang relatif lebih aman bila dibandingkan dengan tabir surya kimiawi (Tahir, 2002). Tabir surya (sunscreen) adalah suatu zat atau material yang dapat melindungi kulit terhadap radiasi sinar UV. Sediaan kosmetik tabir surya terdapat dalam bermacam bentuk misalnya lotio untuk dioleskan pada kulit, salep atau spray yang diaplikasikan pada kulit. Efektivitas sediaan tabir surya didasarkan pada penentuan harga SPF (Sun Protected Factor) yang menggambarkan kemampuan produk tabir surya dalam melindungi kulit dari eritema (Stanfield, 2003). Produk tabir surya yang beredar di pasaran saat ini kebanyakan mengandung bahan aktif dari senyawa sintetik. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L) merupakan tanaman yang tumbuh dan tersebar di Indonesia, terutama di daerah pesisir pantai. Di daerah Cilacap banyak tanaman
nyamplung baik yang tumbuh liar maupun yang
dibudidayakan karena merupakan daerah yang sesuai untuk tempat tumbuh nyamplung. Kandungan minyak nyamplung dalam biji nyamplung sangat dipengaruhi oleh umur biji nyamplung saat dipanen, daerah tempat tumbuh dan cara perawatan/budidaya tanaman. Minyak nyamplung di Indonesia selama ini hanya dikenal sebagai sumber bahan bakar minyak, sementara di luar negeri banyak digunakan sebagai bahan kosmetik. Minyak nyamplung yang digunakan sebagai kosmetik harus dievaluasi kualitasnya yang meliputi organoleptis, rendemen, pH, bobot jenis, bilangan Iodium dan kandungan asam lemak. Untuk meningkatkan nilai ekonomi minyak nyamplung maka diperlukan penelitian ilmiah tentang spesifikasi minyak
nyamplung, aktifitas farmasi dan pembuatan sediaan kosmetik. Aroma minyak nyamplung yang ringan dan menyenangkan cocok untuk dibuat lotio, gel, salep dan produk kosmetik lain. Minyak nyamplung bila melapisi kulit akan terasa halus dan lembut serta tidak meninggalkan residu dikulit sehingga berpotensi menjadi produk kosmetik tabir surya alami. Bahan alam selain mengandung zat aktif utama juga mengandung zat-zat yang mampu meningkatkan aktivitas zat akitf utama dan mengandung zat-zat yang mampu mengurangi efek samping dari zat aktif utama. Said (2007), melaporkan bahwa minyak nyamplung pada konsentrasi rendah (1/10.000 ml/ml) menunjukkan serapan UV yang signifikan, bersifat antioksidan dan mampu melindungi dari pengaruh oksidatif dan kerusakan DNA. Ekowati (2013) melaporkan bahwa secara in vitro minyak nyamplung
yang
berasal dari daerah Kebumen pada konsentrasi 0,4mg/ml mampu menghasilkan SPF 6 dan pada konsentrasi 0,8mg/ml mampu menghasilkan SPF 14. Usaha untuk mendapatkan berbagai inovasi baru yang berkaitan dalam pembuatan sediaan kosmetik selalu dilakukan, agar kosmetik yang dibuat sesuai dengan target yang dikehendaki secara farmasetis maupun farmakologis. Lotio umumnya berupa suatu suspensi, namun selain itu juga bisa berupa suatu emulsi atau larutan dengan atau tanpa obat untuk pemakaian topikal. Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut yang terdispersi dalam fase cair (Depkes RI,1995). Emulsi adalah sistem 2 fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan yang lain, dalam bentuk tetesan-tetesan kecil.
Ada 2 tipe yaitu : o/w : minyak dalam air w/o: air dalam minyak (Depkes RI,1995). HPMC digunakan sebagai emulgator karena dapat menghasilkan lotio yang netral, jernih, tidak berwarna dan tidak berasa, stabil pada pH 3-11 dan punya resistensi yang baik terhadap serangan mikroba,
lebih mudah dicuci
dengan air dan memberikan kekuatan film yang baik bila mengering pada kulit. HPMC dan propilenglikol dewasa ini banyak digunakan sebagai basis sediaan semipadat. Hasyim (2011) melaporkan pembuatan sediaan gel sari belimbing wuluh menggunakan basis HPMC dan propilenglikol dengan perbandingan 8:10. Gliserin sering ditambahkan pada sediaan semisolid untuk mengikat air, memudahkan
aplikasi
pada
kulit
dan
melunakkan/melembutkan
kulit.
Perbandingan komposisi antara HPMC, propilenglikol dan gliserin perlu dioptimasi untuk dapat menghasilkan lotio yang mempunyai sifat fisik dan stabilitas yang baik. Komposisi formula ini penting untuk dioptimasi mengingat karakteristik
stabilitas sediaan lotio akan mengakibatkan viskositas menjadi
semakin turun, akibatnya lotio menjadi encer sehingga stabilitas sediaan menurun selama penyimpanan dan tidak nyaman saat digunakan. Keefektifan suatu sediaan semisolid saat diaplikasikan di kulit sangat dipengaruhi oleh komposisi formula dari sediaan tersebut. Dengan pertimbangan akan pentingnya memperoleh sediaan lotio dengan sifat fisik dan stabilitas yang baik maka penelitian tentang optimasi formula lotio tabir surya dengan basis HPMC, propilenglikol dan gliserin dilakukan untuk mendapatkan formula optimum sehingga dapat dihasilkan sediaan lotio dengan stabilitas yang baik.
Salah satu metode optimasi untuk mendapatkan formula lotio tabir surya adalah dengan metode Simplex Lattice Design. Dengan metode ini akan dapat dilihat efek konsentrasi tiap-tiap komponen terhadap respon dan dapat terlihat pula bagaimana hasil interaksi dari komponen-komponen tersebut terhadap respon yang diamati. 1.
Rumusan masalah Dari latar belakang di atas perlu dilakukan penelitian tentang kualitas minyak nyamplung dan pembuatan sediaan kosmetika tabir surya bentuk lotio dari minyak nyamplung, sehingga dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik minyak nyamplung yang berasal dari Cilacap ? 2. Berapa harga SPF minyak nyamplung yang berasal dari Cilacap bila diuji secara in vitro ? 3. Berapa perbandingan komposisi formula lotio tabir surya minyak nyamplung yang optimum ? Dalam hal ini basis yang digunakan terdiri dari HPMC, propilenglikol dan gliserin. Komposisi optimum formula dapat diperkirakan secara matematis
menggunakan Simplex Lattice
Design. 4. Berapa harga SPF lotio tabir surya minyak nyamplung formula optimum? 2.
Keaslian penelitian Belum ada laporan penelitian tentang pembuatan kosmetika bentuk lotio dari minyak nyamplung yang menggunakan emulgator HPMC diperuntukkan sebagai tabir surya dan diuji harga SPFnya secara in vitro. Ekowati (2013) melaporkan bahwa minyak nyamplung dibuat krim dengan