2
UU Porno Yang Melanggar Konstitusi
4
UU Pornografi atau Populisme Moral SBY?
6
Efek Psikologis Pornografi
8
Undang-Undang Porno dan Negara Moral
no.21 desember 2008
konstelasi Analisis Berkala Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Politik Tubuh pakah imajinasi seksual adalah sebuah perbuatan kriminal? Seksualitas adalah wilayah otonomi individu. Ia dicapai melalui pendewasaan sosial. Moralnya tumbuh dalam pertemuan tanggung-jawab antar individu. Jadi, dia adalah hasil pembelajaran pengalaman yang sangat privat. Karena itu, ia menuntut penghormatan negara. Tetapi UU Pornografi justru menyerbu wilayah itu, lalu meringkus tubuh perempuan dan menjebloskannya dalam penjara moral. Pembebanan pidana pada kemerdekaan ekspresi tubuh adalah tindakan kriminalisasi yang paling absurd. Bukankah tubuh adalah konstruksi estetik sehingga dengan sendirinya ia menjadi sumber natural imajinasi seksual? Ekspresi seksual tubuh adalah kenyataan paling logis dan primer dari eksistensi manusia. Seksualitas adalah kondisi kemanusiaan yang paling otentik, karena ia merupakan alasan bagi berlangsungnya reproduksi biologis. Manusia adalah mahluk seksual yang tumbuh dalam pendewasaan etik melalui dialektika antara kebebasan ekspresi dan kemampuan pengendalian diri. Dialektika itu menghasilkan seni,
A
bahasa dan sistem simbolik. Dengan semua perangkat itulah kebudayaan hidup. Itulah kondisi bagi kemajemukan hidup: yaitu diperlukan bahasa dan simbol karena kehidupan memerlukan percakapan, karena manusia itu beragam. Jadi, sangatlah absurd bila sumber hidup keragaman kebudayaan itu, yaitu imajinasi dan simbolisasi, hendak dimusnahkan oleh undang-undang negara. Sesungguhnya, UU itu sama sekali tidak memahami apa yang hendak ia tuju. Secara retoris UU itu tampil sebagai “pahlawan pembela perempuan”. Tapi sesungguhnya, ideologi di belakang UU itu adalah misoginisme religis, yaitu kebencian terhadap tubuh perempuan atas dasar politik moral agama. Inilah patriarkisme religis yang memanfaatkan negara untuk mencapai dominasi politik dan totalitarianisme nilai. Kebencian pada tubuh adalah paranoid kebudayaan yang berasal dari rezim patriarkis pada awal peradaban manusia, yang terus bertahan melalui institusi agama, mitos dan hukum. Tubuh adalah wilayah kedaulatan manusia, milik etis individu. Integritas tubuh berarti bahwa keutuhan pengelolaan dan
pengendaliannya hanya ada pada sang subyek sendiri. Prinsip ini menjadi dasar kedewasaan individu, yaitu kemampuan mengatur diri sendiri. Tetapi UU Pornografi memandangnya secara sewenang-wenang: tubuh adalah wilayah politik negara, sekaligus lokasi operasi moralitas agama. Percampuran antara kepentingan politik dan konservatisme moral inilah yang mendasari jalan pikiran para pembuat undang-undang itu. Konservatisme moral ingin mengembalikan sejarah pada praktek pengendalian tubuh seribu tahun lalu. Kemajemukan pandangan hidup, evolusi moral dan kemajuan teknologi hendak dikontrol oleh politik konservatif agama. Maka hasilnya adalah: tubuh perempuan menjadi obyek kriminal negara. Dari penjara moral, tubuh perempuan di kirim ke penjara kriminal. Dari sudut kepentingan demokrasi, politik kebudayaan yang mengarah pada homogenisasi moral, adalah pintu selamat datang bagi otoritarianisme. Etika politik perempuan mengingatkan kita pada bahaya itu: diskriminasi dan intoleransi adalah inti dari politik otoritarian, sumber dari semua ketidakadilan n RGX
www.p2d.org — konstelasi
1
analisis
UU Porno Yang Mel edari awal, UU Pornografi telah memunculkan kontroversi sejak masih bernama RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Opini dalam masyarakat terbelah, yang jika disederhanakan dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) Kelompok yang mendukung RUU Pornografi; (2) Kelompok yang menentang adanya aturan pornografi dan pornoaksi; dan (3) Kelompok yang mendukung adanya regulasi tentang pornografi tapi menolak aturan seperti yang tercantum dalam RUU maupun UU Pornografi. Opini masyarakat tersebut kemudian berkembang lebih jauh dan diwujudkan dalam bentuk aksi pengerahan massa, baik itu berupa demonstrasi maupun aksi damai, misalnya melalui pentas seni. Kelompok kedua dan ketiga cenderung bergabung dalam menyuarakan aspirasinya untuk menentang RUU Pornografi. Kelompok ini sebagian besar didukung oleh aktivis HAM, aktivis perempuan, aktivis kebebasan beragama, dll. Sedangkan kelompok yang mendukung RUU Pornografi didominasi oleh kelompok Islam, seperti HTI, FPI, FUI dll. Dalam proses pembahasannya di DPR, RUU Pornografi juga diwarnai kontroversi. Saat akan disahkan menjadi undangundang, Fraksi PDIP, Partai Damai Sejahtera, dan dua orang anggota Fraksi Partai Golkar yang berasal dari Bali melakukan walkout. Namun demikian, RUU ini tetap disahkan oleh DPR dan kemudian ditandatangani oleh
S
2
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: http://www.randallbarrera.net/gavel.jpg
presiden. Mayoritas fraksi di DPR mendukung kehadiran UU Pornografi, antara lain: Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, dan Fraksi Partai Bintang Reformasi. Meskipun dilandaskan pada argumentasi bahwa proses pembuatan UU Porno dilakukan melalui prosedur demokrasi, namun tindakan
pemerintah dan DPR tersebut sebenarnya jauh dari nilai demokrasi karena bersifat otoriter, tidak saja dalam proses pembentukannya melainkan juga dalam substansinya. Sejumlah pasal dirumuskan secara serampangan, misalnya yang berkaitan dengan pengertian pornografi yang sangat multi-interpretatif, sehingga penafsirannya dapat melebar ke mana-mana. Akibat sifatnya yang sangat multi-interpretatif itu, setiap orang menjadi begitu gampang tergelincir atau dituduh sebagai
langgar Konstitusi
pelaku kejahatan pornografi. Cara berpakaian, cara bergerak, hasil karya seni, dunia hiburan, dan adat istiadat, sangat rentan terhadap tuduhan sebagai pelaku kejahatan pornografi. Apalagi ketika kejahatan pornografi diperlakukan seperti layaknya kejahatan narkoba, di mana setiap orang yang menggunakan, mengedarkan (menyebarluaskan), memakai, memproduksi, membiayai, sebagai obyek, bahkan menyimpan (termasuk membawa) adalah pelaku kejahatan. Dilihat dari tujuannya, un-
dang-undang tersebut bukanlah untuk melindung perempuan. Sebaliknya, undang-undang ini sangat bertentangan, bahkan mengancam, perlindungan dan penghormatan hak-hak perempuan ketika semangat yang dibangun, meminjam bahasa seorang aktivis feminisme, “Mengekang gerakgerik perempuan dan membungkus rapat-rapat tubuh perempuan”. Dalam argumentasi Bagus Takwin, munculnya UU Pornografi tidak lain merupakan perwujudan rasa takut terhadap munculnya hasrat seksual yang ditumbulkan oleh lekuk-lekuk tubuh perempuan. Setiap orang dianggap sudah tidak dapat mengendalikan lagi hasrat seksualnya, sehingga diperlukan campur tangan negara untuk mengatasinya, yaitu dengan mengkriminalkan lekuk-lekuk tubuh perempuan dan segala macam aktivitas yang dapat membangkitkan hasrat seksual, serta segala macam yang dianggap melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.Akibatnya, telah terjadi over-criminalization dalam UU Pornografi. Rumusan-rumusan dalam UU Pornografi diformat sebagai pasalpasal “sapu jagat”, dan telah begitu jauh mengekspansi hakhak privat. Rumusan-rumusan semacam itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsipprinsip hak asasi manusia. Sementara, Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Jika tidak ada kepastian hukum, maka ia bertentangan pula dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 berarti bertentangan pula dengan ide konstitusionalisme yang terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Ide konstitusionalisme menghendaki adanya supremasi UUD di atas peraturan perundang-undangan lain. Kenyataannya, UU Pornografi tidak menempatkan UUD 1945 sebagai supremasi, bahkan prinsipprinsipnya secara sengaja telah diabaikan. Selain itu, UU Pornografi juga telah mengabaikan unsur kebersamaan dan kemajemukan, baik dalam proses pembentukannya maupun substansinya. Di sini, kelompok (yang dianggap) mayoritas lebih diutamakan dan kelompok minoritas diabaikan. Pada titik itu, tidak ada jaminan kebersamaan dalam sebuah bangsa ketika DPR mengesahkan dan Presiden menandatangi UU Pornografi. Penolakan masyarakat Bali, Papua dan Sulawesi Utara, serta NTT dianggap tidak begitu signifikan ketimbang dukungan dari kelompokkelompok Islam. Jika demikian, maka kualitas demokrasi di Indonesia patut dipertanyakan kembali. Akan dibawa ke mana negeri ini? Mana yang dijadikan konstitusi, UUD 1945 atau kitab suci? n FGX www.p2d.org — konstelasi
3
analisis
UU Pornografi atau P eperti tak peduli dengan berbagai kontroversi yang masih berlangsung di tengah masyarakat, SBY ternyata sudah menandatangani UU Pornografi sejak tanggal 26 November lalu. Persetujuan SBY yang demikian segera, akhirnya memperjelas sikapnya yang selama ini cenderung tertutup dalam diam. Dari sikap SBY itu pula, kita bisa memahami mengapa Partai Demokrat demikian ngotot dan Balkan Kaplale (Ketua Pansus RUU Pornografi) demikian arogan selama masa-masa persidangan Pansus. Rupa-rupanya SBY sendiri memang mendukung undang-undang yang sarat masalah ini. Persoalan kini beralih dari persoalan hukum ke persoalan politik-ideologis kepemimpinan SBY. Salah satu keberatan fundamental dari para penentang UU Pornografi adalah adanya peluang untuk menggunakan dan menafsirkan UU ini sebagai instrumen untuk merontokkan paham negara bangsa Pancasila, terutama prinsip-prinsip bhinneka tunggal ika. Jadi, ketimbang melindungi anak dan perempuan sebagaimana diklaim oleh sementara pihak, undang-undang ini dikhawatirkan lebih berfungsi sebagai tunggangan bagi ideologi politik agama garis keras di Indonesia. Kekhawatiran ini mendapatkan pembenarannya dari fakta bahwa selama masa-masa kontorversi berlangsung, penyokong paling militan terhadap undang-undang ini berasal dari sejumlah kelompok politik Islam garis keras di
S
4
konstelasi — www.p2d.org
Sumber : http://www.invir.com/latihan/sd6unaspkn05/P01D6EBT0521000028A.gif
Indonesia. Yang menjadi persoalan saat ini adalah, tertutupnya peluang untuk mengupayakan sebuah UU Pornografi yang lebih baik. Apabila memang dikehendaki, Indonesia sebenarnya bisa membuat UU yang benar-benar
melindungi perempuan dan aman dari berbagai kemungkinan politisasi ideologis. Tak bisa dipungkiri bahwa ketergesaan SBY untuk menyetujui UU Pornografi ini didasarkan pada dua hal. Pertama, gaya kekuasaannya yang sangat
opulisme Moral SBY?
menekankan pencitraan diri. Kedua, kepentingan jangka pendek menjelang Pemilu 2009. Penekanan pada pencitraan diri membuat SBY terlalu mementingkan apa dan bagaimana media. Termasuk pada tayangantayangan media yang konon
menggelisahkan dirinya. Inilah yang rupanya mendorong SBY untuk memiliki sikap sendiri soal pornografi. Ia — sebagaimana orang kebanyakan — menerima suatu pandangan popular atau kesan awam bahwa media memiliki efek yang instan terhadap perilaku. Nampaknya, pandangan ini menjadi dasar ambivalensinya terhadap media; di satu sisi tergantung, tapi di sisi lain sangat konservatif. Dengan demikian, bisa dikatakan juga bahwa sikapnya terhadap kebudayaan pop tidak dimatangkan dulu dalam suatu perenungan politik kenegarawanan yang matang, sehingga tidak semata-mata bersikap reaktif. Inilah sikap populisme moral SBY. Kini kita juga bisa memahami mengapa ia menyukai film Ayat-ayat Cinta, karena persis dalam film itu fantasi yang moral dan yang populer menyatu secara utuh. Populisme moral ini yang rupanya bakal diandalkan untuk mendongkrak dukungan politik. Dalam matriks kepolitikan kontemporer Indonesia, seorang kapitalis yang nasionalis atau cuma nasionalis akan dibilang kurang lengkap, tapi seorang kapitalis atau nasionalis yang Islamis sekaligus adalah kesempurnaan politis. Identitas agamis sudah terlanjur jadi tiket penting untuk melaju ke jalan tol politik nasional. Di titik inilah SBY mengambil keputusan yang pragmatis ketimbang ideologis. Luasnya dukungan kelompok-kelompok Islam — termasuk yang garis keras — terhadap RUU Pornografi
dipandang bukan sebagai manuver ideologis kelompok-kelompok itu untuk mengkonsolidasikan diri mereka menjelang perebutan kekuasaan 2009. Manuver yang berpotensi menghasilkan perpecahan dalam Republik. Bagi SBY dukungan itu dilihat dengan sudut pandang moralitas populisnya. Dari situ ia menemukan kecocokan antara sikapnya dan keperluan politik jangka dekatnya. Satu hal yang kontradiktif dalam sikap SBY adalah, kalau untuk memenangkan kembali hati orang Aceh, SBY telah begitu bersusah payah, mengapa sekarang ia begitu mudah menyepelekan Bali, NTT, Sulut dan Papua? Apakah karena aspirasi mereka adalah aspirasi non-Islam? Kalau demikian yang menjadi latar belakang sikapnya, maka pertanyaannya: Sejak kapan paham kebangsaan-kerakyatan dalam kemerdekaan kita diganti dengan paham agama? Apakah pertimbangan kita sudah bukan kerakyatan dalam permusyawaratan lagi? Melainkan agama dan kalkulasi mayoritas-minoritas? Di sini, patut kita peringatkan! Satu hal yang kurang disadari oleh SBY dan politisi kampungan semacam Balkan Kaplale adalah bahwa dalam soal yang menyangkut pendirian dan fondasi Republik, pragmatisme (by virtue) tidak pernah boleh mendapatkan tempat. Pendirian bhinneka tunggal ika dan masa depan kebangsaan terbuka (bukan agama, etnis dan ras) di Indonesia terlalu mahal untuk digadaikan di bawah populisme moral n RBX www.p2d.org — konstelasi
5
analisis
Efek Psikologis Porn enarkah pornografi punya efek psikologis negatif, khususnya mempengaruhi peningkatan perilaku seksual menyimpang dan kejahatan seksual? yang mengiyakan Jawaban tampaknya sudah jadi kepercayaan umum. Sejauh ini, kepercayaan itu belum punya bukti yang cukup secara ilmiah. Hasil penelitian di beberapa negara justru menunjukkan bahwa kejahatan seksual menurun ketika pornografi dilegalkan. Penelitian yang dilakukan oleh Berl Kutchinsky (1970, 1999) terhadap beberapa negara seperti Denmark, Swedia, Jerman Barat, dan AS menunjukkan bahwa pada periode 1964-1984 ada korelasi negatif antara ketersediaan materi -materi pornografi dengan tingkat kejahatan pemerkosaan. Artinya, meningkatnya ketersediaan materi pornografi diikuti oleh penurunan tingkat kejahatan pemerkosaan. Penelitian itu juga menunjukkan adanya indikasi penurunan kejahatan seksual nonkekerasan dalam bentuk perilaku seksual menyimpang seiring dengan bertambahnya peredaran materi-materi pornografi di negara-negara itu. Penelitian lain yang dilakukan di Jepang menunjukkan adanya penurunan insiden pemerkosaan secara signifikan (Diamond & Uchiyama, 1999). Sebaliknya, belum ada penelitian yang menunjukkan hubungan langsung antara konsumsi materimateri pornografi dan tindak kejahatan seksual. Riset-riset di bidang psikologi menunjukkan hasil yang tidak
B
6
konstelasi — www.p2d.org
Sumber : http://img3.travelblog.org/Photos/1294/155470/f/1118610-Great-porn-titles-0.jpg
seragam. Beberapa riset mendukung pernyataan bahwa konsumsi terhadap materi pornografi dapat meningkatkan kejahatan seksual, sementara beberapa penelitian lainnya menunjukkan tidak adanya pengaruh, baik peningkatan maupun penurunan kecenderungan melakukan kejahatan seksual. Dalam laporan studi yang berjudul Sexual Deviation as Conditioned Behavior, McGuire (1965) menulis bahwa seiring dengan semakin seringnya seorang laki-laki bermasturbasi sambil membayangkan fantasi seksual yang jelas (yang diperoleh
dari pengalaman nyata atau materi pornografi), pengalaman yang mengandung kenikmatan semakin memaklumkan fantasi menyimpang (perkosaan, memaksa anak melakukan kegiatan seksual, melukai pasangan ketika berhubungan seksual, dsb) dengan disertai penambahan nilai erotik. Studi yang dilakukan Martino, Collins, Elliott, Strachman, Kanousie, dam Berry (2006) menemukan bahwa pornografi dan mendengarkan musik dengan lirik seksual yang merendahkan berhubungan dengan perluasan rentang aktivitas seksual di kalangan remaja.
nografi Jika kita cermati, dapat dipahami bahwa dua studi yang mendukung pendapat tentang adanya pengaruh pornografi terhadap kecenderungan perilaku seksual dan fantasi menyimpang tersebut adalah studi korelasional yang tidak menguji efek langsung dari pornografi. Dari hubungan yang tak langsung itu tidak dapat disimpulkan adanya pengaruh atau hubungan sebab-akibat. Ini merupakan kritik yang banyak diajukan terhadap kajian pengaruh pornografi dengan teknik korelasional. Kritik seperti ini juga diajukan terhadap penelitian lain yang menyimpulkan adanya efek dari konsumsi materi pornografi dalam jangka panjang. Kita bisa temukan juga banyak studi lapangan dan riset korelasional yang menunjukkan tidak adanya hubungan pornografi dengan kejahatan dan perilaku seksual menyimpang (di antaranya Garcia, 1986; Langevin, et. al. 1988; Padgett, et. al., 1989; Baron, 1990; Gentry, 1991; Corne, 1992). Riset-riset laboratorium yang dilakukan sejauh ini tidak mendukung pendapat yang menyatakan adanya pengaruh langsung dari pornografi terhadap perilaku seksual menyimpang dan kejahatan seksual. Sebagai contoh, riset eksperimental Malamuth dan Ceniti dalam Aggressive Behavior (1986, 12: 129- 137) yang mengkaji efek jangka panjang dari paparan berulang pornografi, dengan dan tanpa adegan kekerasan, pada perilaku agresi lakilaki terhadap perempuan, serta kemungkinan melakukan pe-
merkosaan, menunjukkan hasil negatif. Rangsangan-rangsangan berupa paparan pornografi dengan dan tanpa disertai kekerasan tidak mempengaruhi agresi. Meskipun kemungkinan melakukan pemerkosaan dapat dijadikan bahan untuk meramalkan adanya agresi, namun tidak ada hubungan langsung yang dapat ditemukan antara paparan pornografi dan kemungkinan melakukan pemerkosaan. Riset ini membantah anggapan umum bahwa ada pengaruh pornografi terhadap kecenderungan melakukan kejahatan seksual. Penelitian lain yang dilakukan oleh Fischer dan Greneir (1994) mengaji pengaruh paparan pornografi yang disertai kekerasan pada tindak agresi terhadap perempuan, fantasi, dan perubahan sikap terhadap perempuan. Hasilnya, paparan pornografi yang disertai kekerasan, bahkan yang disertai dengan provokasi untuk menampilkan agresi dan sikap negatif terhadap perempuan, secara esensial tidak menghasilkan kecenderungan agresi terhadap perempuan, fantasi, dan perubahan sikap. Hasil ini juga membantah pernyataan tentang adanya pengaruh pornografi terhadap kecenderungan kekerasan terhadap perempuan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa paparan pornografi dengan atau tanpa kekerasan tidak berhubungan langsung dengan fantasi seksual. Lalu mengapa kepercayaan tentang efek psikologis negatif pornografi dianut oleh banyak orang, juga di Indonesia?
Thornton (1986) dalam laporan studinya The Politics of Pornography: A Critique of Liberalism and Radical Feminism memaparkan adanya kecenderungan untuk mengkambinghitamkan pornografi dalam menghadapi masalah budaya yang lebih umum. Pornografi adalah target yang mudah untuk disalahkan karena pandangan konservatif sudah keburu punya penilaian buruk terhadapnya. Ketika ada masalah sosial, moral, atau budaya yang pelik dan sulit diselesaikan, pornografi dengan mudah dapat dituduh sebagai penyebabnya. Kita dapat dengan jelas menemukan kecenderungan seperti ini di Indonesia. Sebagai contoh, ketika seorang anggota DPR RI prihatin terhadap banyaknya kasus pencabulan yang dilakukan anak-anak dan ternyata anak-anak itu mengkonsumsi film-film porno lewat VCD, ia langsung menunjuk materi pornografi sebagai penyebabnya. Ia juga menunjuk “tidak adanya aturan tentang pornografi” sebagai penyebabnya. Padahal, jika kita cermati masalahnya jauh lebih kompleks dan pelik. Kenyataan bahwa anak-anak itu dapat mengakses VCD porno tanpa pendampingan orang tua adalah masalah keluarga. Banyaknya anak telantar yang tak memperoleh pengasuhan memadai dari orang tua adalah masalah sosial. Beredarnya VCD porno bajakan di Indonesia adalah masalah hukum dan buruknya kinerja petugas keamanan. Bersambung ke hlm. 12 www.p2d.org — konstelasi
7
opini
Undang-Undang Porno Gadis Arivia Pengajar di Departemen Filsafat, Universitas Indonesia engesahan Rancangan Undang-Undang Pornografi (RUUP) menjadi UndangUndang Pornografi (UUP) pada hari Kamis, tanggal 30 Oktober 2008, cukup mengejutkan, sebab beberapa daerah seperti Yogyakarta, Sulawesi Utara, Bali dan Papua cukup keras menentang disahkannya RUUP. Mereka khawatir UUP akan menjerat masyarakat karena ekspresi pakaian adat, seni dan tariantarian mereka yang bisa jadi dikategorikan sebagai porno. Adakah suara mereka didengar? Nyatanya suara mereka dianggap “angin lalu”. Hanya dua partai, yakni PDIP dan PDS yang melakukan “walk out” tanda protes atas pengesahan RUUP. Mengapa begitu penting RUUP dipertengkarkan antara kelompok pro-RUUP (yang diwakili kelompok konservatif) dan kelompok kontra-RUUP (yang diwakili kelompok moderat)? Perseteruan diantara kedua kelompok ini jelas menandakan bahwa Indonesia terbelah dalam pengaturan ruang publiknya, antara rakyat yang mengandalkan akal publik sehat dan rakyat yang mengandalkan doktrin agama. Simbol-simbol yang diusung oleh partai-partai yang mendukung RUUP ini pun jelas, termasuk ucapan-ucapan yang “terpeleset” dari anggota DPR seperti; “UUP hadiah lebaran”, “Masyarakat Papua harus belajar dari ma-
P
8
konstelasi — www.p2d.org
syarakat Jawa”, dan terakhir kasus perkawinan anak yang oleh seorang anggota DPR tidak dianggap sebagai pelanggaran UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak, karena sah sesuai agama yang dianut. Semua pernyataan-pernyataan tersebut mencemaskan rakyat Indonesia, benarkah anggota DPR tak mengerti hukum? Hukum yang mengatur pornografi telah begitu banyaknya dan tinggal diimplementasi atau diamandemenkan. Sekarang ditambah lagi dengan UUP, hasil “pengototan” habis-habisan pelopor RUUP dari Partai Demokrat dan PKS. Di manakah kesalahan penalaran anggota DPR? Menurut saya paling tidak ada tiga kesalahan mendasar dari keputusan pengesahan UUP ini. Pertama, keputusan kebijakan negara dilakukan atas argumen moral dan bukan keadilan. Kedua, keputusan kebijakan negara memakai asas utilitarian dan bukan menghormati hak-hak individu. Serta ketiga, keputusan kebijakan negara mengabaikan “prinsip mencelakai” (harm principle) sehingga UUP tidak mampu memberi rasa aman kepada masyarakat. Moralitas versus Keadilan Dua menteri kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, Meutia Hatta (Menteri Pemberdayaan Perempuan) dan Muhammad
Maftuh Basyuni (Menteri Agama), memandang perlunya UUP dengan alasan untuk menjaga moralitas bangsa, yaitu dengan melindungi perempuan dan anak dari bahaya pornografi. Meskipun timbul pertanyaan apakah dengan demikian laki-laki tidak perlu dilindungi dari pornografi, namun tampaknya penjagaan moralitas telah didefinisikan oleh negara hanya untuk perempuan dan anak-anak. Pendapat ini sebenarnya merupakan pendapat yang ditemui ribuan tahun yang lalu di Yunani dalam pikiran Plato. Di dalam dunia Plato, perempuan dan anakanak tidak memiliki otoritas karena tidak memiliki cukup moralitas untuk memutuskan hidupnya sendiri, oleh karena itu diperlukan pengaturan terhadap mereka, di mana yang mengatur tentu saja laki-laki yang menguasai negara. Maka tak heran RUUP ditentang oleh mayoritas organisasi perempuan di Indonesia karena terdapat suatu “tanda” ketidakberdayaan perempuan sekaligus kemunafikan antara pengaturan moralitas dan perlindungan perempuan. Benarkah UUP melindungi ataukah untuk merestriksi tubuh perempuan? Pertanyaanpertanyaan seperti ini timbul karena UUP lebih disemangati oleh pertanyaan moral dan bukan keadilan. Padahal perempuan mengalami ketidakadilan karena
dan Negara Moral konstruksi sosial yang tidak adil. Jadi, titik tolak diskriminasi ada di ranah sosial bukan moral. Inilah yang tidak dimengerti oleh pejabat pemerintah maupun DPR sehingga protes kelompok perempuan tidak dapat ditangkap oleh pengetahuan jender anggota DPR yang minim. Teori membuktikan bahwa bila pengetahuan jender minim, maka pengetahuan hak asasi manusia pun juga minim, sehingga tak mengherankan pula jika UUP memasukkan homoseksual dan lesbian sebagai penyimpangan seksual. Kesalahan fatal telah dilakukan di sini, hakhak minoritas telah diabaikan. Pertanyaan mengenai keadilan bagi kaum minoritas (perempuan, orientasi seks dan suku minoritas) merupakan pertanyaan yang sentral dalam penyusunan sebuah kebijakan. Keadilan yang seadiladilnya hanya bisa dicapai lewat “mengurung” terlebih dahulu pandangan-pandangan agama yang dikemas oleh tujuan-tujuan politik tertentu. Keadilan tidak bisa dicapai lewat nilai-nilai moral, melainkan lewat nilai-nilai politik yang disepakati, seperti toleransi, adil (fairness), dan kerjasama sosial yang didasarkan saling menghormati. Nilai-nilai politis yang disepakati merupakan struktur dasar masyarakat dan esensi konstitusi, sedangkan nilainilai moral dan agama merupakan panduan hidup pribadi yang bersifat sukarela dan bukan keharusan. Penyusunan sebuah kebijakan yang memperhatikan keadilan didasarkan pada nafas hak-hak
individu dan bukan pada doktrin komprehensif pandangan agama tertentu. Di sinilah terjadi pemisahan yang jelas antara penyusunan kebijakan dengan dasar prinsip sekuler dan prinsip sakral. Menghormati Hak-Hak Individu Negara dituntut untuk berkonsentrasi pada prinsipprinsip kebutuhan dasar seperti pendapatan, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, perumahan, dan sebagainya, sehingga setiap individu dapat menerapkan kebebasan dasarnya. Tidak ada alasan bagi negara untuk, misalnya, mencampuri urusan preferensi seksual seseorang atau mengatur kebebasan ekspresi orang dewasa, kecuali bila ekspresi tersebut membahayakan atau melecehkan kelompok tertentu. Namun, batasan negara untuk mengatur pun hanya sebatas mengatur waktu, tempat, dan caracara ekspresi dan bukan isi (substansi) ekspresi itu sendiri. Hal-hal inilah yang dituntut oleh pendukung kontra-UUP, pengaturan yang memperkuat undangundang yang telah ada. Di alam demokrasi, negara dituntut berperan untuk menjaga ruang publik yang sehat dengan menghormati kebebasan warga negaranya dan tidak bermain dalam permainan politik identitas. Artinya, sebuah undang-undang yang dihasilkan tidak ditentukan oleh konsep-konsep yang final yang tidak dapat diperdebatkan. Oleh sebab itu, kebijakan yang
disusun tidak dapat memasukkan atau menyelundupkan keyakinan agama tertentu. Begitu ada penyelundupan konsep yang final, maka, terjadi pelanggaran terhadap hak-hak individu. Sebagai contoh, bukankah dalam banyak peraturan-peraturan daerah yang memakai dasar hukum syariah (konsep final) telah banyak korban yang berjatuhan? Bersambung ke hlm. 16
P2D konstelasi diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Redaksi Abdul Qodir Agil Daniel Hutagalung Donny Ardyanto Elisabet R. Kuswijayanti Fajrimei A. Gofar Hendrik A. Boli Tobi Ikravany Hilman Isfahani Otto Pratama Rachland Nashidik Robby Kurniawan Robertus Robet Santi Nuri Redaktur Ahli Bagus Takwin Richard Oh Rocky Gerung
Alamat Redaksi Jl. Sawo No.11, Jakarta 10310 Tel/Fax: (021) 31925734 http://www.p2d.org E-mail:
[email protected]
www.p2d.org — konstelasi
9
opini
Pornografi, Hasrat Se Bagus Takwin Pengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia ornografi bisa dipahami sebagai kekaguman pada tubuh, pemujaan sampai ke rincian paling dalam, pemujaan sampai ke sela-sela terkecil, eksplorasi kenikmatan sampai ke lekuk-lekuk tersembunyi dari tubuh. Di sisi lain, para penentang pornografi menghindari tubuh bahkan untuk paparan bagian yang paling luar, menutup kulit, rambut dan wajah, menolak gerak-gerik, melarang suara, bahkan takut pada representasi tubuh. Kekaguman dan ketakutan terhadap tubuh, keduanya merupakan perwujudan dari kecenderungan memandang tubuh sebagai “yang kuasa”. Seperti ketika alam ditafsirkan oleh manusiamanusia pertama sebagai yang misterius, yang menakutkan dan mengagumkan, tubuh menjelma menjadi kuasa yang mengendalikan pikiran dan tindakan, seakan dewa-dewa yang baik dan jahat terbit dari sana mengendalikan manusia. Di satu pihak, pemujaan diupacarakan, hiasan ditebar di sekujur tubuh, keindahan dikonstruksi di sana, dan kenikmatan ragawi jadi satu-satunya tujuan. Di pihak lain, rambu-rambu dipasang untuk menghindari tubuh, ketakutan terhadap tubuh jadi fungsi pengaturan, kefanaan menjelma menjadi kecemasan, keindahannya ditolak, dan kenikmatan direndahkan. Kuasa tubuh mengendalikan bahasa, menghambat pikiran,
P
10
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: http://www.telegraf-news.com/newsletter/img/teletabok-9.jpg
menutup kemungkinan. Kekaguman, juga ketakutan terhadap tubuh, melahirkan batasan-batasan bagi yang subyektif untuk melampaui batas-batas ketubuhan. Keranjingan memaku tindakan pada pengulangan-pengulangan menggenangnya kenikmatan tubuh. Kecemasan melulu sibuk menghindari yang menyakitkan, menyerahkan pengaturan diri kepada trauma. Kekuasaan tubuh menutup kemungkinan-kemungkinan pikiran untuk melampaui yang di sini dan kini; menghambat lahirnya subyek yang dapat membaiat kebaruan. Manusia tidak bisa mengabaikan tubuh tetapi melulu berserah pada tubuh, adalah cara
efektif menghancurkan kemanusiaan. Semua yang ada pada manusia memiliki potensi untuk mengembangkan diri, mengembangkan peradaban, dan melahirkan kebudayaan. Terpaku pada satu aspek saja akan menghentikan perkembangan manusia, meruntuhkan peradaban, dan membunuh kebudayaan. Terpaku pada tubuh, kagum atau takut, menghapus kemungkinan-kemungkinan baru yang dapat dihasilkan pikiran. Tetapi, mengabaikan tubuh sama saja mengabaikan kehidupan.Tubuh dan pikiran tak dapat dipisahkan. Keduanya adalah wahana untuk kehidupan manusia, daya yang menegakkan dan mengembangkan kemanusiaan.
eksual, dan Pikiran Pengagungan Hasrat Seksual Kesulitan mendefinisikan pornografi bisa jadi petunjuk bahwa pornografi bukan gejala yang ada untuk dirinya sendiri. Pornografi merupakan reaksi atau sesuatu yang selalu terkait dengan yang lain.Apa yang mendasarinya, apa yang ada di belakangnya, itulah yang perlu kita sorot. Saya menunjuk hasrat seksual sebagai gejala yang mendasari pornografi. Hasrat seksual adalah salah satu fungsi dari kuasa tubuh. Kekaguman terhadap tubuh menggugah hasrat seksual untuk menjalankan fungsi kuasa, mengendalikan tingkah laku agar tubuh selalu mendapatkan kenikmatan. Seperti umumnya hasrat, hasrat seksual tidak punya obyek kongkret yang jelas. Obyek dari hasrat adalah fantasi, sesuatu yang tak nyata. Dari psikoanalisis, terutama orientasi Lacanian, kita pahami bahwa hasrat seksual adalah turunan dari naluri. Sebagai bawaan biologis, naluri terberi pada setiap orang, juga pada binatang. Manusia mentransfer naluri menjadi hasrat sebagai ikhtiar untuk mengatasi ketaklengkapan diri yang dipersepsinya. Hasrat seksual tentu saja punya karakteristik yang sama dengan hasrat pada umumnya. Bedanya, hasrat seksual difokuskan kepada pencarian kemungkinan-kemungkinan melengkapi diri melalui kegiatan seksual. Seks diekplorasi sebagai salah satu aspek yang dikhayalkan dapat memberikan kelengkapan diri. Mereka yang terpaku oleh fantasi “lengkapnya diri dengan seks” menjajaki sampai seluas-luasnya
kemungkinan kegiatan seksual sampai batas yang mungkin, sampai seekstrem-ekstremnya. Hidup diisi dengan seks, sebanyak-banyaknya, seberagam mungkin. Pornografi (juga kecabulan), sejauh yang saya cermati, merupakan salah satu perwujudan dari hasrat seksual, baik secara aktif dengan menciptakan produk pornografik, maupun secara pasif dengan mengkonsumsi produk-produk itu. Tubuh merupakan ranah sekaligus medan operasi hasrat seksual. Eksplorasi seksual sekaligus merupakan eksplorasi tubuh untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dalam melengkapi diri dengan kegiatan seksual. Setiap fantasi seksual yang diterapkan pada tubuh memberikan kenikmatan. Tetapi, kenikmatan itu hanya sementara, sebab yang dicari belum juga ketemu. Bagian diri yang hilang tak lantas kembali dengan terwujudnya fantasi seksual. Hasrat seksual terus bekerja dan bekerja lagi. Pikiran sebagai Dasar Pengaturan Hasrat Seksual Bagaimana agar hasrat tidak mendominasi tetapi juga tidak dipenjara dan menggerogoti psikis di ketidaksadaran? Bagaimana kita memperlakukan pornografi sebagai alat bantu hasrat seksual? Saya berangkat dari penyataan imperatif: “Pikiran harus mengendalikan naluri, dan yang subyektif harus mengendalikan yang obyektif ”. Pernyataan ini dapat diturunkan menjadi,
“Manusia harus diatur oleh pikirannya” dan “Manusia tidak dapat diatur oleh nalurinya”. Pikiran adalah sumber subyektivitas manusia, satu-satunya piranti mental pada manusia yang dapat mengendalikan dirinya sendiri, menjadikannya sebagai subyek. Sedangkan naluri adalah piranti mental obyektif, yang tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri tetapi dapat dipahami prinsip-prinsipnya, serta dapat diramalkan dan dikendalikan oleh daya-daya di luarnya. Dengan kemampuannya mengendalikan diri sendiri dan mengendalikan naluri, pikiran merupakan dasar sekaligus prinsip-prinsip pengaturan. Saya memaknai “yang subyektif ” sebagai sesuatu yang dapat menentukan dirinya sendiri dan hanya dapat dikendalikan oleh dirinya; yang berpotensi menjadi subyek. Sedangkan “yang obyektif ” adalah apa yang tak dapat menentukan dirinya sendiri dan dapat dikendalikan oleh pihakpihak di luar dirinya. Pikiran bersifat subyektif karena ia dapat menentukan dirinya sendiri dan tak dapat dikendalikan oleh pihak-pihak di luar dirinya. Sebaliknya, naluri atau instinct tak dapat mengendalikan dirinya sendiri, terombang-ambing oleh kenikmatan dan kesakitan. Prinsip-prinsip pikiran tidak tertentu; sejauh ini belum ditemukan satu atau serangkaian prinsip yang dapat diterapkan kepada pikiran. Semua diktum tentang pikiran adalah hasil pikiran dan dapat diubah lagi oleh pikiran. Sejauh kajian yang dilakukan oleh manusia, pikiran adalah wilayah mistewww.p2d.org — konstelasi
11
rius yang belum menyibakkan tabirnya secara utuh. Pikiran bekerja melalui pikiran dengan karakter subyektifnya, bukan melalui hal lain di luarnya. Sebaliknya, naluri adalah hal yang dapat dikendalikan dari luar, yang dapat dipahami prinsipnya, yang obyektif. Dorongan yang menggerakkan hasrat seksual adalah naluri. Dorongan itu tak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Ia perlu dikendalikan dan diatur oleh pihak di luar dirinya. Tapi, pihak luar itu bukanlah naluri dan turunan-turunannya, seperti ketakutan, keinginan untuk mendapatkan kenikmatan, atau keinginan untuk menguasai. Naluri dan turunannya tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri, juga turunan naluri yang lain. Dorongan seksual, seperti juga naluri yang lain, adalah perlengkapan mental untuk bertahan hidup. Tapi, perlengkapan semacam itu bukan hanya ada pada manusia, namun dimiliki juga oleh hewan. Manusia punya tambahan perlengkapan mental lain, yaitu pikiran. Jika dengan perlengkapan mental non-pikiran, organisme sekadar obyek, pihak yang tak dapat menentukan dirinya sendiri, maka dengan pikiran manusia berpotensi menjadi subyek, menjadi penentu
dirinya sendiri. Pikiran jadi pembeda manusia dari organisme lain. Dengan dasar itu, kemanusiaan terutama ditentukan oleh pikirannya; asumsinya setiap orang mampu berpikir. Sebagai keutamaan manusia, pikiran semestinya mengatasi naluri; pikiran harus mengendalikan naluri, mengendalikan hasrat seksual. Pengaturan Pornografi dengan Pikiran Pengaturan pornografi semestinya didasari oleh pengendalian hasrat seksual oleh pikiran. Pengaturan pornografi yang bertentangan dengan pikiran atau menempatkan manusia sebagai pihak yang tak mampu berpikir sendiri bertentangan dengan kemanusiaan. Aturan-aturan yang merendahkan pikiran adalah aturan yang tak layak diterapkan. Pengaturan pornografi adalah turunan dari pengendalian hasrat seksual oleh pikiran. Mengingat pikiran tak dapat dikendalikan oleh pihak lain di luar dirinya dan naluri tak dapat dikendalikan oleh naluri atau turunannya, maka pengaturan hasrat seksual dan juga pengaturan pornografi, tak mungkin dilakukan oleh ketakutan atau ketidaknyamanan, dan keinginan. Hanya pikiran yang dapat mengaturnya.
Implikasi dari pengaturan pornografi yang hanya dapat dilakukan oleh pikiran adalah: (1) pengaturan pornografi yang memadai memerlukan kerja pikiran yang memadai; (2) dorongan ketakutan dan keinginan tidak dapat dijadikan dasar dari pengaturan pornografi, meskipun bisa jadi dua hal itu menjadi pemicu dari keinginan mengaturnya; (3) pengaturan pornografi perlu didasari kerangka pikiran yang menempatkan pikiran sebagai pengendali keberadaan produkproduk pornografik dan efek-efek yang mungkin ditimbulkan produk-produk itu; dan (4) pengaturan pornografi bukan untuk menghilangkan hasrat seksual dan terlebih lagi bukan pembatasan potensi pikiran untuk menyejahterakan manusia. Jika kita memahami pengaturan pornografi sebagai salah satu cara (dari sekian banyak cara yang mungkin) untuk mengendalikan hasrat seksual, maka semestinya dijajaki juga kemungkinan-kemungkinan pengaturan dalam bentuk lain. Undangundang atau aturan tertulis lain tidak serta-merta diperlukan dalam mengatur pornografi. Jika pun ada undang-undang, maka itu tidak boleh merendahkan pikiran manusia n
Sambungan dari hlm. 7
jadi wilayah gelap yang memancing spekulasi negatif dan rentan untuk dituduh sebagai biang keladi kejahatan seksual. Proteksi sosial berlebihan di ranah seksual dengan prasangka bahwa seks adalah ihwal yang tabu seolah membenarkan bahwa paparan eksplisit materi-materi seksualitas punya pengaruh negatif terhadap
kehidupan sosial. Prasangka negatif terhadap seks tampaknya menjadi ramalan yang mewujudkan dirinya sendiri (self-fulfilling prophecy). Dengan adanya prasangka negatif sebagai predisposisi, penafsiran dan pemaknaan terhadap fakta-fakta yang berkaitan dengan perilaku seksual cenderung mengarahkan orang kepa-
Pola asuh yang cenderung menganggap tabu dan menyembunyikan ihwal seksualitas bisa jadi merupakan predisposisi bagi kecenderungan untuk menempatkan pornografi sebagai biang masalah di berbagai ranah kehidupan. Ranah seksualitas men12
konstelasi — www.p2d.org
da penilaian negatif terhadap seks. Sebagai contoh, Linz, et. al. (1987) menunjukkan adanya inkongruensi pada penyimpulan yang dilakukan The Attorney General's Commission on Pornography di Amerika yang menyatakan bahwa paparan berbagai bentuk pornografi dan efek antisosial meningkatkan kekerasan terhadap perempuan. Penyimpulan itu tidak sepenuhnya sejalan dengan data riset yang digunakan. Ada kebolongan fakta di sana-sini. Bolong-bolong itu ditutupi dengan prasangka dan anggapan umum bahwa pornografi sebagai bentuk pengungkapan seksualitas secara eksplisit merupakan faktor yang meningkatkan kekerasan seksual. Kombinasi antara kurangnya pemahaman tentang faktor-faktor kejahatan dan penyimpangan perilaku seksual dengan sikap negatif terhadap seksualitas menguatkan pendapat umum yang menuduh pornografi sebagai penyebab langsung dari kejahatan dan penyimpangan itu. Kecenderungan manusia untuk melengkapi kurangnya informasi dengan apa yang dipercayainya secara ideologis bisa jadi berperan dalam tuduhan itu. Orang cenderung menguatkan apa yang dipercayainya terdahulu ketika ia berada dalam situasi yang membingungkan. Motivasi untuk selalu berada dalam stabilitas kognitif cenderung menguatkan apa yang sudah terlebih dahulu dipercayai. Dalam masyarakat yang cenderung menjadikan seksualitas sebagai hal yang tabu dan menilai negatif pornografi seperti di Indonesia, besar kemungkinannya untuk menuduh pornografi sebagai penyebab kejahatan dan penyimpangan perilaku seksual. Padahal, berbagai
Sumber : http://a.abcnews.com/images/Business/abc_porn_070608_ms.jpg
penelitian menunjukkan bahwa kejahatan dan penyimpangan itu memiliki banyak faktor, dan kalaupun ada hubungannya dengan pornografi, hubungan itu tidak bersifat langsung (di antaranya Wilcox, 1987; Russo, 1987; Linz, et. al., 1987; Money, 1988; Thompson, et. al., 1990; Lottes, et al., 1993). Penelitian-penelitian tentang efek psikologis pornografi memberikan implikasi pemahaman bahwa pembatasan atau pelarangan peredaran pornografi bukanlah jalan keluar yang efektif bagi masalah kejahatan dan penyimpangan perilaku seksual. Tanpa intervensi terhadap beragam faktor sosial dan psikologis yang berperan memunculkan kejahatan dan penyimpangan itu, pencegahan dan penanganan masalah itu tak akan berbuah positif. Alih-alih, masalah baru muncul dari pengaturan materimateri seksualitas yang pukul rata. Undang-undang yang melarang peredaran dan konsumsi pornografi bisa jadi malah memberi hasil yang tak diharapkan, yaitu meningkatnya kejahatan dan penyimpangan perilaku seksual. Dari penelitian Diamond dan Uchiyama (1999) di Jepang yang sudah dikemukakan terdahulu, kita mendapat pemahaman bahwa legalisasi peredaran materi
pornografi justru sejalan dengan penurunan insiden kejahatan seksual. Dalam konteks ini, pornografi dapat dipahami sebagai media katarsis atau sarana penyaluran dorongan-dorongan seksual di ruang privat. Penyaluran itu meredakan ketegangan psikis dan melepaskan seseorang dari dorongan untuk mencari-cari obyek penyaluran lain. Di sisi lain, pengekangan terhadap dorongandorongan itu menghambat penyalurannya, sehingga energi yang menggerakkannya bertumpuk dan bisa meledak tak terkendali sewaktu-waktu. Dorongan yang tak terkendali itu, seperti yang ditunjukkan oleh para ahli psikoanalisis, lebih terbukti menjadi penyebab kejahatan dan penyimpangan perilaku seksual. Dengan dasar itu, ketimbang mengatur dan melarang pornografi, lebih baik melakukan promosi pengaturan dan pengendalian diri, khususnya promosi pengendalian dorongan seksual. Dorongan seksual merupakan sesuatu yang terberi pada manusia. Untuk memanfaatkannya, yang perlu dilakukan bukan mengekang atau melarang, melainkan mengendalikan dan menyalurkannya secara memadai. Dan pornografi bisa menjadi salah satu cara pengendalian dan pemanfaatan itu n (BTX)
www.p2d.org — konstelasi
13
analisis
Kriminalisasi Pornografi d ndang-undang Pornografi disahkan sebagai upaya pemerintah untuk melakukan kriminalisasi terhadap tindak pidana pornografi. Namun, pada saat yang sama, UU ini justru gagal merumuskan tindak pidana pornografi itu sendiri. Bagaimanapun juga, pornografi tidak bisa begitu saja ditempatkan sebagai tindak pidana. Pornografi di sini didefinisikan sebagai penggambaran eksplisit terhadap sesuatu yang bersifat seksual yang dianggap bisa menaikkan gairah seksual. Dengan demikian, apabila hendak dilakukan kriminalisasi, maka kegiatan produksi, distribusi serta konsumsi materi pornografi yang bisa diatur dalam regulasi negara, dapat ditempatkan dikategorikan sebagai tindak pidana. Definisi tentang pornografi yang biasanya dipahami publik selama ini sebenarnya sudah memunculkan relativisme di sana sini. Apa saja yang bisa dikategorikan sebagai penggambaran seksual? Sejauh mana penggambaran seksualitas itu bersifat eksplisit? Sejauh mana hal itu bisa menaikkan gairah seksual pengguna? Dan bagaimana mengukur kenaikan gairah seksual tersebut? Pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah dijawab tersebut pada akhirnya bercabang pada dua arah kebijakan terhadap pornografi. Pertama, menggunakan argumen keagamaan sebagai pangkal, sehingga pertanyaan-pertanyaan di atas menjadi tidak relevan. Kedua, dengan menempatkan pornografi sebagai sebuah
U
14
konstelasi — www.p2d.org
Sumber: Sumber: http://www.natebal.com/journal/images/porn-for-the-blind.jpg
produk komoditi dan membatasinya berdasarkan produksi, distribusi dan konsumsinya. Di Indonesia, kegagalan, ketidakmampuan, ataupun ketidakmauan untuk merumuskan tindak pidana pornografi ini bisa dilihat pada dasar pijakan politik kriminal negara. Sebagai bagian dari proses kriminalisasi, irasionalitas politik lebih mengemuka dalam penyusunan UU ini. Alihalih membangun politik yang lebih modern melalui kebijakan
politik yang rasional, kebijakan ini justru didominasi oleh pragmatisme dan pretensi negara untuk mengatur wilayah privat. Pornografi bukan sesuatu yang sepenuhnya tidak menimbulkan efek buruk pada publik. Namun pornografi juga bukan sesuatu yang sepenuhnya berkaitan dengan moral publik, yang kemudian dapat menjustifikasi negara untuk turut campur di dalamnya. Pornografi memiliki banyak aspek privat karena sudah
dan Legalisasi Vigilantisme
menjadi bagian inheren dari kemanusiaan kita. Keberadaan situs-situs maupun artefak yang menampilkan kehidupan seksual di semua kebudayaan masyarakat, membuktikan hal tersebut. Efek buruk dari pornografi ini tidak bisa disusun berdasarkan asumsi kosong maupun kitab suci. Relativitas akan selalu muncul dalam melihat unsur kenaikan gairah seksual pengguna produk pornografi. Ada laki-laki yang sama sekali tidak horny ketika
melihat perempuan yang topless (tanpa penutup dada). Ada juga perempuan yang muncul birahinya ketika melihat laki-laki bertelanjang dada. Ada pula lakilaki yang tidak mampu menahan nafsunya hanya karena melihat perempuan bercelana pendek atau berbaju tanpa lengan. Lalu, apakah kemudian birahi menjadi sebuah penyimpangan dan dikategorikan sebagai tindak kejahatan? Atau, bahkan, apakah pemancing birahi ini yang justru musti dipidanakan? Regulasi terhadap pornografi perlu dilakukan sebagai upaya melindungi, bukan mengkerangkeng kepentingan warga negara. Seperti halnya kebijakan kriminal tentang pencurian tidak dilakukan dengan mewajibkan semua rumah untuk memasang teralis dan alarm. Demikian juga kebijakan kriminal tentang perkosaan, tidak dilakukan dengan melarang perempuan untuk keluar malam. Dalam hal ini, negara lah yang berperan mempertegas obyek dari kriminalisasi tersebut. Sebuah penyimpangan sosial dikategorikan sebagai kejahatan dan dinyatakan sebagai tindak pidana jika menimbulkan korban. Di sini negara berkewajiban melindungi warga agar tidak menjadi korban. Lalu, siapakah korban dari pornografi? Kecuali anak-anak yang belum cukup umur, belum dewasa dan masih terlalu dini untuk mengenal seksualitas vulgar, sebenarnya tidak ada korban dalam pornografi. Penolakan terhadap pornografi umumnya berasal dari dua kelompok, yaitu kalangan feminis dan kaum agama. Meskipun
sama-sama menolak, argumentasinya sangat jauh berbeda. Kelompok pertama menolak pornografi atas dasar perlindungan terhadap hak (rights), sementara kelompok kedua berlandaskan moral keagamaan. Sangat jelas bahwa UU Pornografi berdiri di atas bangunan moral, bukan perlindungan hak perempuan. Atas dasar moralitas itulah pornografi ditetapkan sebagai tindak pidana. Kriminalisasi terhadap moral publik mengarah kepada negara moral, bukan negara hukum. Dan ketika negara mulai mengatur moral publik, di saat itu pula fasisme kembali lahir. Di negeri ini, jamak terjadi seorang maling digebuki sampai sekarat, dan pencopet di kereta dilempar keluar saat kereta tengah melaju kencang. Pelaku perzinahan yang tertangkap basah acapkali diarak keliling kampung (sering kali dalam keadaan telanjang atau setengah telanjang), dan itu dilakukan bahkan tanpa memedulikan keberadaan anak-anak kecil di tengah arak-arakan. Ironisnya, tidak semua tindakan itu dikenai sanksi pidana. Hanya beberapa kasus “tindakan main hakim sendiri” yang mengakibatkan korban tewas yang diusut oleh polisi. Sisanya, dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan dilihat sebagai peran serta masyarakat membantu kerja polisi. Sebuah produk hukum disusun bukan semata-mata untuk mengatur, namun juga untuk mendidik warga negara. Alih-alih mendidik, UU Pornografi malah memfasilitasi ketidakberadaban publik untuk melakukan tin-
www.p2d.org — konstelasi
15
dakan-tindakan vigilantisme semacam itu. “Tradisi” vigilantisme sebagai sebuah realitas empirik yang harus diberangus, nyatanya tetap diberi tempat dengan mengatasnamakan “peran serta masyarakat”. Meskipun dalam naskah terakhir diberi “pengaman” sebagaimana tercantum dalam bagian Penjelasan Atas UU Pornografi, namun permisivitas dan akomodasi terhadap vigilantisme tetap ada. Pasal yang menyatakan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi dengan cara “melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi”, sudah lebih dari cukup untuk menjustifikasi vigi-
Sambungan dari hlm. 9 Misalnya, aturan-aturan daerah tentang cara berpakaian perempuan, atau kemampuan membaca kitab suci sebagai persyaratan kepala daerah, dan sebagainya. Aturan-aturan semacam itu sama sekali bukan merupakan urusan publik, tetapi urusan masingmasing individu. Lalu, mengapa pula pemerintah harus memasuki wilayah urusan individu? Beberapa argumen yang memaksakan negara untuk mencampuri urusan individu adalah prinsip utilitarian, yakni hukum dan kebijakan negara didasarkan pada kepentingan dan kebaikan orang banyak, atau dengan kata lain: mayoritas selalu menang. Pikiran mayoritas yang buta semacam ini sebenarnya membahayakan ruang publik, sebab 16
konstelasi — www.p2d.org
Di Indonesia, kegagalan, ketidakmampuan, ataupun ketidakmauan untuk merumuskan tindak pidana pornografi ini bisa dilihat pada dasar pijakan politik kriminal negara. lantisme yang selama ini memang sudah biasa dilakukan.Tanpa pasal semacam itupun sudah kerap terjadi penutupan paksa serta pengerusakan café dan tempat
agama mayoritas bagaimanapun juga tidak boleh menindas agama minoritas demi dan untuk alasan mayoritas. Dalam prinsip egalitarian (yang berseberangan dengan utilitarian), mayoritas justru harus melindungi hak-hak minoritas agar kesetaraan di dalam masyarakat tercapai dan ruang publik tetap terjaga sehat. Negara Moral Republik Indonesia Sangat jelas bahwa UUP tidak memiliki prinsip melindungi sebagaimana layaknya undangundang yang dibuat dengan menguji “prinsip mencelakai” (harm principle). Apakah sesungguhnya UU ini benar-benar peduli pada masalah pornografi, atau ada hal-hal lain yang disembunyikan? Pasal yang menyatakan bahwa masyarakat dapat turut serta dalam mengawasi
hiburan malam dengan alasan bahwa terjadi kemaksiatan di situ. UU Pornografi telah menyamaratakan “kemaksiatan” dengan tindak pidana. Sementara itu, ada sekelompok masyarakat tertentu yang tidak bisa membedakan pelanggaran moral dengan pelanggaran hukum. Kondisi ini diperburuk dengan adanya legalisasi kekerasan terhadap pelanggaran moral tanpa diikuti penegakan hukum. Pada titik ini kita patut bertanya: Apakah Indonesia masih bisa disebut sebagai negara hukum? Setelah puluhan tahun menjadi negara kekuasaan dan baru sejenak mulai membangun kembali negara hukum, jangan sampai Indonesia terjerembab menjadi negara moral yang tanpa kepastian hukum n DAX
pornografi mengandung pengertian bahwa polisi moral dibenarkan oleh negara. Anggota DPR dan pemerintah tidak menyadari bahwa peran polisi moral di negara ini justru telah memicu banyak konflik. Pembakaran serta perusakan tempattempat ibadah dan tempat hiburan oleh kelompok-kelompok yang merasa “lebih bermoral” telah mewarnai kehidupan Indonesia. Dalam beberapa kasus, polisi bahkan tidak dapat melakukan apa-apa. Kini UUP menyediakan ruang legalitas bagi kelompokkelompok yang gemar melakukan intimidasi. Membayangkan apa yang akan terjadi sungguh mengerikan. Inikah Indonesia yang kita kehendaki? Negara Moral Republik Indonesia dan bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia? n