Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
DAFTAR ISI Hal
BAB I PENDAHULUAN . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .... ............ 1 BAB II PEMBAHASAN . . . . . . . , . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . ….. 4 A. Sistem Perbankan Indonesia .. ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .... ........... 4 B. Bagi Hasil Dalam Perbankan Syari’ah ... ... ... ... ... ... ... ... ... .... ........... 6 1. Pengertian Dasar ........... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .... ........... 6 2. Operasional Prinsip Bagi Hasil dalam Perbankan Syari’ah .............. 8 3. Pembagian Keuntungan dan Pertanggungjawaban Kerugian……….. 14 C. Prinsip Utama Perbankan Syari’ah: Prinsip Non-Riba . . ....................... 15 1. Definisi Riba ...... ... ... ... ... ... ... ... ....... ... ... ... ... ... ... ....... .......... 16 2. Jenis Riba ........ ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .......... 17 3. Larangan Islam Terhadap Riba ...... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .......... 18 D. Riba dan Sistem Perbankan Konvensional . .... ... ... ... ... ... ... .... ......... 20 E. Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional ... ... ... ... ... ... ......... 22 F. Perbedaan Antara Riba (Bunga) dan Bagi Hasil . .. ... ... ... ... ... ... ......... 24 BAB III PENUTUP . .... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... .... ......... 26 DAFTAR PUSTAKA . .. . ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ........ 28
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
BAB I PENDAHULUAN
Lembaga keuangan syari’ah lahir sebagai salah satu solusi alternatif terhadap persoalan pertentangan antara bunga bank dan riba. Dengan demikian, kerinduan umat Islam Indonesia yang ingin melepaskan diri dari persoalan riba telah mendapat jawaban dengan lahirnya bank syariah di Indonesia. Bank Syariah yang lahir di Indonesia pada sekitar tahun 1990-an atau tepatnya setelah ada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Nasional yang di dalamnya menyebutkan salah satu bentuk sebuah bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil. Kekuatan hukum ini kemudian diperkuat dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, sebagai revisi dari UU No.7 Tahun 1992 tersebut. Timbulnya pertanyaan mendasar, mengapa Lembaga Keuangan Syari’ah (Bagi Hasil) timbul dan beroperasi? Ada situasi dan keadaan yang menuntut lahir dan beroperasinya Lembaga Keuangan Syariah (Bagi Hasil). Masalah pokoknya adalah berkenaan dengan perangkat bunga yang telah dikembangkan oleh bank konvensional. Sebab apabila ditelusuri lebih jauh, bahwa persoalan bunga bank di Indonesia sendiri sudah lama menjadi ganjalan bagi umat Islam yang harus segera ditemukan pemecahannya. Reaksi keras pertama kali dalam meng-counter terhadap persoalan bunga bank adalah terdapat dalam tujisan K.H.Mas Mansur di Majalah Tablig Siaran pada
1
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
tahun 1973, bahwa bunga bank menjadi permasalahan yang sangat serius bagi umat Islam. Namun karena pada saat itu belum ada deregulasi moneter dan perbankan, maka reaksi tersebut belum menemukan jawaban. Baru setelah adanya deregulasi moneter dan perbankan pada tahun 1983, sedikit mendapatkan jawaban terhadap permasalahan bunga bank tersebut. Membahas persoalan Lembaga Keuangan Syari’ah (Bagi Hasil), pada dasarnya bersumber pada konsep uang dalam Islam. Sebab bisnis Lembaga Keuangan tidak dapat lepas dari persoalan uang. Di dalam Islam, uang dipandang sebigai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan maksud melenyapkan ketidak adilan, ketidak jujuran, dan pengisapan dalam ekonomi tukar-menukar. Sebagai alat tukar-menukar, peranan uang sangat dibenarkan, namun apabila dikaitkan dengan persoalan ketidak adilan, di dalam ekonomi tukar-menukar uang digolongkan sebagai riba al-Fadl. Oleh karena itu, di dalam Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu papun. Dengan demikian, bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang (apabila ada tambahannya). Kaitan antara lembaga keuangan dengan uang dalam suatu unit bisnis adalah penting, namun di dalam pelaksanaannya harus menghilangkan adanya ketidak adilan, ketidak jujuran dan penghisapan dari satu pihak ke pihak yang lain (lembaga keuangan dengan nasabahnya). Kedudukan lembaga keuangan Islam dalam hubungannya dengan para kliennya adalah sebagai mitra investor dan pedagang, sedang dalam hal bank pada umumnya, hubungannya adalah sebagai kreditur atau
2
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
debitur. Sehubungan dengan jalinan investor dan pedagang tersebut maka dalam menjalankan pekerjaannya, lembaga keuangan Islam menggunakan berbagai teknik dan metode investasi seperti kontrak mudharabah. Di samping itu, lembaga keuangan Islam juga terlibat dalam kontrak Mudharabah. Mekanisme lembaga keuangan Islam yang berdasarkan prinsip mitra usaha, adalah bebas bunga. Oleh karena itu, soal membayarkan bunga kepada para depositor atau pembebanan suatu bunga dari para klien tidak timbul.
3
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
BAB II PEMBAHASAN
A. Sistem Perbankan Indonesia Lembaga keuangan kita secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank. Lembaga keuangan perbankan terdiri dari Bank Sentral dan Bank Umum, baik Devisa maupun nonDevisa. Sebelum tahun 1992 sistem perbankan Indonesia masih menganut sistem tunggal. Baru kemudian pada tahun 1992 Indonesia menganut dua sistem, yaitu sistem bunga dan bagi hasil atau juga biasa dikenal dengan Interest Free Banking System. Prinsip bagi hasil ini dijalankan berdasarkan pada prinsip-prinsip syari’ah. Latar belakang lahirnya perbankan tanpa bunga ini adalah dilandasi adanya pandangan sebagian umat Islam yang menganggap bunga bank termasuk riba, oleh karena itu termasuk yang diharamkan oleh Islam dan harus ditinggalkan. Pandangan seperti ini bukan hanya beredar dan berkembang di kalangan muslim di Indonesia. Upaya untuk mencarikan lembaga keuangan yang dapat menjalankan fungsi-fungsi perbankan konvensional, tetapi tetap mematuhi rambu-rambu syari’ah telah banyak dilakukan oleh ekonom muslim dan ulama dengan merujuk pada kitab-kitab fiqh dan literatur Islam lainnya. Prinsip-prinsip operasional telah diatur oleh Islam dan telah dituliskan dalam literatur-literatur tersebut. Yang diperlukan sekarang adalah pengembangannya agar memfasilitasi keperluan perbankan ini.
4
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
Landasan dimungkinkannya perbankan dijalankan berdasarkan pada prinsip syari’ah di Indonesia adalah UU No.7 tahun 1992 tentang Perbankan Nasional yang mencakup pengakuan sistem bagi hasil, dan dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No.72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Bagi Hasil. Berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank pertama yang beroperasi atas dasar bagi hasil dan prinsip syari’ah didirikan. Perkembangan ekonomi Indonesia maupun tuntutan masyarakat terhadap perbankan tanpa bunga semakin besar. Sehingga pada tahun 1998 disahkan UU No.10 tahun 1998 sebagai penyempurnaan atas UU No.7 tahun 1992, dan kemudian diikuti dengan ketentuan pelaksanaannya melalui Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mel 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum berdasarkan Prinsip Syari’ah. Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR Syari’ah telah memberikan dasar hukum yang lebih pasti dan memungkinkan perbankan syari’ah untuk berkembang. Undang-undang ini memberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank dengan prisnsip syari’ah, termasuk kesempatan untuk membuka kantor cabang khusus syari’ah bagi bank konvensional atau mengkonversinya. Dengan dibolehkannya praktek perbankan dijalankan dalam dua sistem, yaitu sistem dengan bunga dan tanpa bunga, maka diperlukan perangkat perundang-undangan yang dapat memfasilitasi keperluan kedua sistem tersebut secara adil. Penilaian terhadap kinerja keduanya pun berbeda, oleh karena itu standard penilaian yang biasa digunakan dalam perbankan dengan bunga harus disesuaikan bila akan
5
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
digunakan untuk menilai perbankan tanpa bunga. Akad-akad (kontrak) dalam masing-masing sistem juga berbeda, dan tentunya konsekuensi hukum pun akan berbeda.
B. Bagi Hasil dalam Perbankan Syari’ah.
1. Pengertian Dasar. Jika dalam mekanisme ekonomi konvensional menggunakan instrumen bunga, maka dalam mekanisme ekonomi Islam dengan menggunakan instrumen bagi hasil. Salah satu bentuk instrumen kelembagaan yang menerapkan instrumen bagi hasil. Salah satu bentuk instrumen kelembagaan yang menerapkan instrumen bagi hasil adalah bisnis lembaga keuangan syari’ah. Mekanisme lembaga keuangan Islam dengan menggunakan sistem bagi hasil, tampaknya menjadi salah satu alternatif pilihan bagi masyarakat bisnis. Kendatipun demikian prilaku bagi hasil dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menyusun kebijakan moneter. Sebab prilaku bagi hasil akan mempengaruhi kondisi perekonomian suatu negara. Bagi hasil sendiri menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan “Profit Sharing”. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan sebagai laba. Secara definitif profit sharing diartikan: “distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”.l Lebih lanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh
1
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Salemba Empat,
2002), h.69.
6 Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan.2 Bentuk-bentuk
pembagian
laba
yang
tidak
langsung
mencakup
alokasi
saham-saham (penyertaan) perusahaan pada para pegawai, dibayar melalui laba perusahaan dan memberikan para pegawai opsi untuk membeli saham-saham sampai pada jumlah tertentu di masa yang akan datang pada tingkat harga sekarang, sehingga memungkinkan para pegawai memperoleh keuntungan baik dari pembagian deviden maupun setiap pertumbuhan dalam nilai saham yang dihasilkan dari peningkatan dalam kemampuan memperoleh laba. Jika dalam suatu perusahaan, maka perolehan bagian laba sering dianjurkan untuk meningkatkan tanggung jawab pegawai dan dengan demikian meningkatkan produktivitas. Keuntungan yang dibagi hasilkan secara proporsional antara shohibul mal dengan mudharib. Dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shohibul mal dan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shohibul mal telah dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai pembagian keuntungan di muka.
2
Ibid.
7
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
2. Operasional Prinsip Bagi Hasil dalam Perbankan Syari’ah. Sebagaimana diketahui, bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Islam ini menawarkan sistem bagi hasil kepada nasabahnya. Artinya, selain pembagian untung dan rugi sama-sama ditanggung oleh kedua belah pihak, juga dapat difahami bahwa keuntungan yang akan diperoleh nasabah bisa berubah-ubah, tergantung pendapatan atau keuntungan yang diperoleh bank tersebut. Besarnya prosentase bagi hasil sudah ditetapkan oleh pihak bank. Namun, biasanya masih membuka ruang tawar-menawar dalam batas wajar. Perhitungan bagi hasil di bank syari’ah pun ada dua jenis;3 pertama profit/loss sharing. Dalam sistem ini, besar-kecil pendapatan bagi hasil yang diterima nasabah tergantung keuntungan bank. Kedua, revenue sharing, penentuan bagi hasil tergantung pendapatan kotor bank. Bank-bank syari’ah di Indonesia umumnya menerapkan sistem revenue sharing. Pola ini dapat memperkecil kerugian bagi nasabah. Hanya saja, jika bagi hasil didasarkan pada profit sharing, presentase bagi hasil untuk nasabah jauh lebih tinggi.4 Menurut pengamat perbankan dan investasi Elvyn G.Masassya, menabung atau mendepositokan uang di bank syari’ah cukup menarik. Tidak hanya bagi masyarakat muslim, tetapi juga non muslim. Soalnya, dengan sistem bagi hasil terbuka peluang mendapatkan hasil investasi yang lebih besar dibanding bunga deposito di bank konvensional. Maka, jika ingin mendapatkan return yang lebih
3
Peluang Membiakkan Uang di Bank Syari’ah, www.takaful.com/
4
Ibid.
8 Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
besar, “deposito bank syari’ah dapat menjadi alternatif,” ujar Elvyn. Teatu saja, harus didukung kondisi ekonomi yang kondusif, yang memungkinkan perusahaan di sektor riil mampu membukukan keuntungan besar. Berbicara mengenai prinsip bagi hasil dalam perbankan syari’ah, maka dapat dilihat operasionalnya pada produk-produk yang ditawarkan oleh perbankan syari’ah tersebut. Produk-produk yang ditawarkan oleh bank konvensional pada dasarnya hanyalah satu produk yaitu kredit, dan perjanjian yang dibuat adalah pinjam-meminjam. Untuk keperluan apa saja disebut kredit. Hal ini berbeda dengan sistem perbankan syari’ah, produk perbankan syari’ah sangat variatif dan beragam. Secara garis besar prinsip operasional dan produk pembiayaan perbankan syari’ah dapat dikategorikan menjdi tiga,yaitu5: jual beli, investasi bagi hasil, dan jasa. Tiap produk (pembiayaan) ini menghasilkan keuntungan yang berbeda, dari jual beli bank mendapatkan keuntungan (margin), dari investasi bank mendapatkan keuntungan bagi hasil, dan dari jasa bank mendapatkan imbalan (fee). Tiga kelompok produk (pembiayaan) inilah yang akan menghidupi operasional bank syari’ah. Pendapatan bank dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk presentase. Beban keuntungan yang harus ditanggung oleh debitur atas pembiayaannya sudah terukur, karena tidak boleh ada perubahan terhadap margin atau nisbah yang telah disepakati di awal. Tidak ada pelipat gandaan terhadap keterlambatan pembayaran yang telah jatuh tempo. Artinya sekali membuat
5
A.Riawan Arvin; Bimga, Imbalan dan Bagi Hasil, dalam Majalah Hukum Nasional No. l Tahun
2000, Jakarta, h.92.
9 Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
kesepakatan, maka kesepakatan itulah yang harus dipatuhi dan dijunjung tinggi bagi para pihak. Prinsip bagi hasil dalam perbankan syari’ah menjadi prindip utama dan terpenting, karena keuntungan (bagi hasil) itu merupakan balasan (upah) atas usaha dan modal, besar kecilnya pun tergantung pada keduanya. Dalam qawaid fiqhiyah (kaidah fiqh) dikatakan “algharam bil ghanam” (ada untung rugi), dan prinsip ini memenuhi prinsip keadilan ekonomi.6 Dan dalam kaedah bisnis juga dikatakan bahwa setiap yang akan menghasilkan keuntungan yang besar, juga terkandung resiko yang besar (high risk, high return). Bagi pihak yang akan menjalankan prinsip ini mereka harus membuat kesepakatan di awal yang berkaitan dengan usaha yang dijalankan, nisbah (bagian) bagi hasil masing-masing pihak cara pembagiannya. Usaha yang akan dijalankan adalah usaha-usaha yang dibenarkan menurut syari’ah, tidak boleh ditanamkan pada usaha yang diharamkan. Yang akan dibagi hasilkan adalah keuntungan bersih dari usaha tersebut. Tetapi boleh dibuat kesepakatan antara kedua belah pihak, jika bagi hasil diperhitungkan dari total sales. Karena yang dibagi hasilkan adalah keuntungan, maka besar kecilnya nominal keuntungan akan mengalami turun naik, tergantung dari usaha dan kesungguhan dalam mengelola usaha tersebut.
6
Ibid.
10 Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
Prinsip bagi hasil (profit sharing), secara umum dalam perbankan syari'ah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu7 al-musyarakah, al-mudharabah, almuzara’ah dan al-musaqah. Walaupun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertariian oleh beberapa bank Islam. Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.8 Adapun yang menjadi landasan syari’ah akad al-musyarakah ini adalah Al-Qur’an Surat An-Nisaa ayat 12, yang artinya : “... maka mereka berserikat pada sepertiga...” Selanjutnya di dalam Al-Qur’an Surat As-Shaad ayat 24, dikatakan Pula:
“ Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh.”
7
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), h.90. 8
Ibid
11 Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
Sedangkan Hadits Nabi yang berkaitan dengan hal ini adalah :
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW, bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman: Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya.” Hadits ini menunjukkan kecintaan Allah kepada hamba-hambaNya yang melakukan perkongsian selama saling menjunjung tinggi amanat kebersamaan dan menjauhi pengkhianatan. Adapun al-musyarakah dikenal ada dua jenis, yaitu musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut. Sedangkan musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan di mana dua orang atau lebih setuju bahwa setiap dari mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakat untuk berbagi keuntungan den kerugian. Musyarakah akad terbagi lagi pada syirkah inan, syirkah mufawadhad, syirkah a’maal, syirkah wujuh, syirkah al-mudharabah. Adapun akad mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.9
9
Ibid., h.95.
12
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kekurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Landasan syari’ah yang mendasari akad ini adalah Al-Qur’an Surat Al-Muzzammil ayat 20.
“... dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karuniaAllah... “
Sedangkan hadits Nabi menyatakan sebagai berikut:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW., dan Rasulullah pun membolehkannya.” Secara umum mudharabah terbagi menjadi dua jenis; mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
13
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
Sedangkan mudahrabah muqayyadah, atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.
3. Pembagian Keuntungan dan Pertanggungjawaban Kerugian.
Pembagian keuntungan dan pertanggungjawaban kerugian dalam syirkah dan mudharabah dapat dilakukan dengan beberapa hal sebagai berikut10: a. Kerugian merupakan bagian modal yang hilang, karena kerugian akan dibagi ke dalam bagian modal yang diinvestasikan dan akan ditanggung oleh para pemilik modal tersebut, hal ini menunjukkan bahwa tidak seorangpun dari penyedia modal yang dapat menghindar dari tanggung jawabnya terhadap kerugian pada seluruh bagian modalnya tidak akan bertanggung jawab terhadap kerugian apapun. b. Keuntungan akan dibagi di antara para mitra usaha dengan bagian yang telah ditentukan oleh mereka. Pembagian keuntungan tersebut bagi setiap mitra usaha harus ditentukan sesuai bagian tertentu atau prosentase. Tidak ada jumlah yang pasti yang dapat ditentukan bagi pihak manapun.
10
M.Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, (Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1996), h.9.
14 Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
c. Dalam suatu kerugian usaha yang berlangsung terus, akan menjadi baik melalui keuntungan sampai usaha tersebut menjadi seimbang dan akhirnya jumlah nilainya dapat ditentukan. Pada saat penentuan nilai tersebut, modal awal akan disisihkan terlebih dahulu. Setelah itu jumlah yang tersisa akan dianggap keuntungan atau kerugian. d. Pihak-pihak yang berhak atas pembagian keuntungan usaha boleh meminta bagian mereka hanya jika para penanam modal awal telah memperoleh kembali investasi mereka, juga apabila sebagai pemilik modal yang sebenarnya atau transfer yang sah sebagai hadiah mereka.
D. Prinsip Utama Perbankan Syari’ah : Prinsip Non-Riba. Perbankan syari’ah diharapkan menjadi solusi alternatif pembiayaan masyarakat khususnya
kelompok
yang
berpegang
teguh
pada
prinsip-prinsip
syari’ah
yang
mengharamkan bunga bank atau riba. Bagi komunitas Muslim Indonesia kehadiran bank syari’ah diharapkan benar-benar menjalankan praktik perbankan sesuai dengan aturan hukum (syari’ah) Islam, sehingga komunitas Muslim yang mayoritas penduduk Indonesia dapat menjalankan muamalah yang berhubungan dengan aktivitas perbankan secara halal. Tentu saja produk yang ditawarkan mestilah berdasarkan prinsip-prinsip muamalah Islam, karena itulah yang menjadikan sahnya kontrak dalam setiap transaksi pada bank syari’ah. Ketidak pahaman sebagian masyarakat bisa mengakibatkan keraguan dalam berhubungan dengan bank syari’ah, meskipun bank syari’ah tidak hanya melayani
15
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
masyarakat Muslim tetapi juga komunitas non-muslim. Untuk itu diperlukan pula sosialisasi dan pendidikan dari para praktisi perbankan untuk mengenal dan memahami prinsip-prinsip syari’ah dalam perbankan Islam, sebelum mereka menawarkan produk-produk bank syari’ah kepada masyarakat. Ada empat prinsip utama dalam syari’ah yang senantiasa mendasari jaringan kerja perbankan dengan sistem syari’ah, yaitu 11: Prinsip pertama, Perbankan Non-Riba. Prinsip kedua, Perniagaan Halal dan Tidak Haram. Prinsip ketiga, Keridhaan pihak-pihak dalam berkontrak. Prinsip keempat, Pengurusan dana yang amanah, jujur dan bertanggung jawab. Pada prinsip pertama, disinggung mengenai riba. Bagian ini akan menjelaskan aplikasi perbankan tanpa riba, pembahasan berkenaan dengan riba akan mencakup:
1. Definisi Riba. Ulama fiqh mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya.”12 Maksudnya, tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat suatu transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo. Persoalan riba ini dibahas oleh ulama fiqh ketika membicarakan berbagai konsep muamalah, seperti jual beli dan utang piutang. Sedangkan pengertian riba
11
Jafril Khalil, Prinsip Syari'ah dalam Perbankan, tulisan dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume 20,
Agustus-September 2002, h.47. 12
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997,h.1497.
16 Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
menurut pandangan para pakar perundangan Islam adalah suatu kontrak atas harta tertentu yang tidak diketahui persamaan dan ukurannya ketika akad dilaksanakan, atau melambatkan penyerahan barang yang harus dipertukarkan atau melambatkan salah satunya.13 Menurut definisi ini, apanila terjadi pertukaran barang yang digolongkan kepada ribawy mestilah ukurannya sama, baik dari segi berat, barang yang ditimbang ataupun sukatannya bagi orang yang disukat.14 2. Jenis Riba. Berdasarkan definisi riba di atas, maka para ulama Mazhab Syafi’i membagi riba atas tiga jenis, pembagian ini juga mereka kaitkan dengan barang-barang al-ribawy karena pokok persoalan riba yang paling berpotensi adalah dari barang tersebut. a. Riba al fadl15, artinya tambahan (al-ziyadah), yang dimaksud dengan riba jenis ini ialah jual beli harta ribawy dengan sejenisnya dengan adanya tambahan yang dibuat oleh seseorang yang berkontrak. Riba seperti ini dilarang dan diharamkan dalam Islam berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Abi Sa’id al-Khudry. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah menjual emas dengan emas, kecuali sama berat. Janganlah dikurangi atau ditambah antara sebagian dengan sebagian yang lain.”
13
Jafril Khalil, Op. Cit.
14
Ibid
15
Riba al-fadl ini juga diartikan dalam Ensiklopedia Hukum Islam sebagai riba yang berlaku dalam
jual beli yang didefinisikan oleh ulama fiqh dengan “kelebihan pada salah satu harta sejenis yang diperjual belikan dengan ukuran syara”. Yang dimaksud dengan hukum syara’ di sini adalah timbangan atau takaran tertentu.
17
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
b. Riba an-Nasi’ah artinya menangguhkan. Dimaksudkan dengan menangguhkan di sini adalah apabila terjadi kontrak jual beli pada barang ribawy dengan barang ribawy yang sama atau berlainan, yang masa pembayarannya ditangguhkan, baik barang yang diperjual belikan itu sejenis dan berat sama ataupun berlainan. Riba seperti ini juga diharamkan dalam Islam, seperti yang dijelaskan dalam Hadits Rasulullah SAW dari Abi Said. Bahwa Rasulullah bersabda.16
“Janganlah melaksanakan jual belikan antara benda yang tidak ada dengan benda yang ada” c. Riba al-Yad ialah melaksanakan jual beli barang-barang ribawy yang sejenis tanpa ada persyaratan penangguhan pada masa akad. Namun pada kenyataannya penyerahan barang tersebut dilaksanakan dalam keadaan tertangguh. Dalil tentang pengharaman riba ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Umar r.a :
“Janganlah melaksanakan jual beli emas dengan emas kecuali dalam keadaan tunai”. Pembagian riba di atas, menjelaskan kehati-hatian Islam dalam memelihara kebersihan harta. Memelihara perasaan sesama insani dalam urusan bisnis.
3. Larangan Islam Terhadap Riba. Apapun bentuk urusan bisnis riba mestilah dijauhi. Tidak ada tempat bagi riba untuk masuk ke dalam sistem perdagangan Islam. Al-Qur’an secara tegas
16
Di dalam hadits ini dikatakan pula “Matslan di mitslin wa Yadan bi Yadin”, artinya: jumlah benda
mesti sama dan jual beli mesti tunai.
18 Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
mengumumkan perang melawan riba. Sebagaimana maksud Surat Al-Baqarah ayat 278-279 :
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum diambil) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan RasulNya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat dari mengambil riba, maka bagi kamu (memiliki) harta modal dasarmu,; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” Dalam prinsip perbankan syari’ah, masalah riba adalah musuh utamanya, sebab salah satu filosofi wujud bank syari’ah adalah untuk menghindarkan muamalah riba seperti yang dilaksanakan pada bank konvensional. Adapun dampak praktek riba itu antara lain adalah17: a. Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin. b. Uang modal besar yang dikuasai oleh the haves tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif, misalnya pertanian, perkebunan, industri dan sebagainya yang dapat menciptakan lapangan kerja banyak, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi pemilik modal sendiri, tetapi modal besar itu justru disalurkan dalam perkreditan yang berbunga yang belum produktif c. Bisa menyebabkan kebangkrutan usaha dan pada gilirannya bisa mengakibatkan keretakan rumah tangga, jika si peminjam itu tidak mampu mengembalikan pinjaman dan bunganya.
17
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiyhiyah, (Jakarta: PT.Gunung Agung, 1997), h.103.
19
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
Karena melihat bahaya besar atau dampak negatif dari riba itulah maka Nabi Muhammad membuat perjanjian dengan kelompok Yahudi yang tinggal di Jaziratul Arab, bahwa mereka tidak dibenarkan menjalankan praktek riba, dan Islam pun dengan tegas melarang riba.
E. Riba dan Sistem Perbankan Konvensional.
Bank konvensional ialah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga.18 Operasi perbankan konvensional sebagian besar ditentukan oleh kemampuannya dalam menghimpun dana masyarakat melalui pelayanan dan bunga yang menarik. Suatu tingkat bunga simpanan akan dikatakan menarik apabila19: a. Lebih tinggi dari tingkat inflasi, karena pada tingkat bunga yang lebih rendah dana yang disimpan nilainya akan habis dikikis inflasi. b. Lebih tinggi dari tingkat bunga riil di luar negeri karena pada tingkat bunga yang lebih rendah dengan dianutnya system devisa bebas, dana-dana besar akan lebih menguntungkan untuk disimpan (diinvestasikan) di luar negeri.
18
Ibid
19
Muhammad, Op.Cit., h.61.
20
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
c. Lebih bersaing di dalam negeri, karena penyimpan dana akan memilih bank yang paling tinggi menawarkan tingkat bunga simpanannya dan memberikan berbagai jenis bonus atau hadiah. Sistem perbankan konvensional merupakan system yang antagonistic karena di satu sisi nasabah penabung menginginkan penerimaan yang tinggi, sedangkan nasabah pemakai dana menginginkan pembayaran bunga yang rendah. Di sisi lain, bank telah menjanjikan presentase tertentu dari dana yang ditempatkan penabung pada bank, apapun yang terjadi setelah kurun waktu tertentu bank harus mengeluarkan dana untuk mengembalikan tabungan/deposito + bunga. Selanjutnya, bila nasabah pemakai dana gagal dalam memanfaatkan dana atau hasil yang diperoleh pemakai dana lebih kecil dari yang harus dibayarkan kepada penabung, maka penabung tidak mau tahu akan hal itu, sehingga akhimya menjadi beban bank. Dalam sistem perbankan konvensional, suku bunga dari sisi simpanan/deposit maupun pinjaman telah ditetapkan lebih dahulu (predetermined interest rate), dengan mempertimbangkan cost of fund dan perkiraan bahwa kegiatan di sektor riil akan memberikan rate of return tertentu, bukan berdasarkan realisasi rate of return di sektor rii1.20 Selanjutnya, penyaluran kredit kepada nasabah dalam perbankan konvensional juga hanya akan bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar
20
Jurnal Hukum Bisnis, Op. Cit., h.57.
21
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
tingkat bunga yang berlaku. Akibatnya akan selalu ada kesenjangan dan jurang pemisah antara yang mampu dengan yang tidak mampu/lemah. Secara makro, dalam upaya pembangunan ekonomi di mana praktik membungakan uang merupakan bagian dari sistem ekonomi, pemerintah akan selalu dihadapkan pada situasi yang dilematis dan kontradiktif 21 Dilematis, karena pemerintah harus memilih salah satu saja dari dua keadaan yang sebenarnya sama-sama diperlukan, yaitu: pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi saja, atau kestabilan ekonomi saja. Kontradiktif, karena pada upaya pemerintah untuk mengendalikan inflasi dengan kebijaksanaan uang ketat tadi misalnya akan ditanggapi oleh perbankan konvensional dengan menaikkan tingkat bunga yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Kelesuan ekonomi dan dorongan inflasi kembali.
F. Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional. Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai sistem bunga itu dalam segala aspek kehidupannya, termasuk kehidupan agamanya. Misalnya dalam kehidupan perekonomian umat Islam di Indonesia tidak bisa terlepas dari jasa bank. Sebab tanpa jasa bank, perekonomian Indonesia tidak selancar dan semaju sekarang.
21
Muhammad, Op.Cit, h.62-63.
22
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
Namun para ulama dan cendikiawan Muslim hingga kini masih tetap berbeda pendapat tentang hukum bermuamalah dengan bank konvensional dan hukum bunga bank. Perbedaan pendapat di antara mereka dapat disimpulkan sebagai berikut22: 1. Pendapat Abu Zahrah, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A’la al-Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah al-A’rabi, Penasehat Hukum pada Islamic Congress Cairo dan lain-lain yang menyatakan, bahwa bunga bank itu riba masi’ah, yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Dan mereka mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak pakai sistem bunga sama sekali. 2. Pendapat A.Hasan, pendiri dan pemimpin pesantren Bangil (Persis) yang menerangkan bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana dinyatakan dalam Surat Al-Imran ayat 130. 3. Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank negara kepada para nasabahnya demikian pula sebaliknya, adalah termasuk syubhat atau musytabihat. Artinya, belum jelas halal/haramnya. Maka sesuai dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah yang masih syubhat
22
Masjfuk Zuhdi, Op. Cit., h.112.
23
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
itu. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam keadaan hajah, artinya ada keperluan yang mendesak/penting, barulah diperbolehkan bermuamalah dengan sistem bunganya itu sekedarnya saja. Selanjutnya, menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syiria, bahwa system perbankan yang kita terima sekarang ini, sebagai realitas yang tidak dapat kita hindari. Karena itu umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam keadaan darurat, dan bersifat sementara. Sebab umat Islam harus mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem bunga, demi menyelamatkan umat Islam dari bunga bank. Kondisi rill yang ada sekarang di Indonesia sebenarnya telah menjawab permasalahan umat Islam tentang bermuamalah dengan bank konvensional yang selama ini masih terus diperdebatkan. Di mana saat ini Indonesia telah mempunyai bank syari’ah (bank Islam), yang menggunakan prinsip bagi hasil dan menolak adanya riba. Sehingga umat Islam di Indonesia tentunya sudah punya pilihan untuk bermuamalah secara Islami, sehingga dapat menghindari riba dalam bermuamalah yang sudah jelas jelas dilarang dalam Islam.
G. Perbedaan Antara Riba (Bunga) dan Bagi Hasil. Berdasarkan penjelasan pada bab-bab terdahulu, tentang sistem bagi hasil pada perbankan syari’ah dan riba pada perbankan konvensional, maka di bawah ini dapat dilihat perbedaan di antara keduanya.
24
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
Tabel 1. Perbedaan Antara Bunga dan Bagi Hasil.
Bunga
1.
2.
Bagi Hasil
Penentuanbunga dibuat pada
penentuan besamya rasio bagi hail waktu
akad (perjanjian) dengan
dibuat saat akad dengan pedoman
asumsi harus selalu untung.
pada kemungkinan untung dan rugi
Besamya persentase untung
Besarnya rasio bagi basil berdasarkan
berdasarkan modal yang
jumlah untung yang diperoleh
dipinjamkan. 3.
Penyebaran bunga tetap seperti
Bagi hasil bergantung pada keuntungan
yang dijanjikan tanpa
atau kerugian proyek yang dijalankan.
pertimbangan lainnya. 4.
5.
Jumlah pembayaran bunga tidak
Jumlah pembagian laba meningkat
meningkat walaupun jumlah
sesuai dengan peningkatan jumlah
keuntungan berlipat.
pendapatan.
Eksistensi bunga diragukan.
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
25
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
BAB III PENUTUP
Inti mekanisme investasi bagi hasil pada dasarnya adalah terletak pada kerjasama yang baik antara shahibul maal dengan mudharib. Kerjasama atau partnership merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi Islam. Oleh karenanya konsep bagi hasil atau sering disebut PLS (Profit Loss Sahring) ini menjadi pembeda azali antara sistem perbankan syari’ah dan konvensional. Namun, meskipun sudah menjadi agenda intelektual dari bank ekonom konsep ini bagi pihak-pihak tertentu masih banyak bermuara kepada keragu-raguan. Benarkah bisa mengantarkan kepada keuntungan bagi kedua belah pihak bank dan nasabah--? Pembahasan menyangkut Profit Loss Sharing ternyata bukan hanya menjadi konsen bagi Muslim saja. Di Barat, beberapa ekonom seperti Holmstrom, Stiglitz, Weitzman, Stadler dan Castrillo di antara sedikit ekonom yang ikut mengupas konsep PLS23 Melihat kondisi perbankan di Indonesia, yang sudah memakai sistem bagi hasil ini, maka umat Islam sebenarnya sudah tidak perlu khawatir lagi untuk bermuamalah dalam perekonomian. Karena sistem bunga bank yang selama ini digunakan pada perbankan konvensional sudah dapat dihindari. Setidaknya, untuk
23
Ekonomi Syari’ah: Tinjauan Kritis Bagi Hasil dalam Kontrak, tanggal 26 Oktober 2001.
26
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
sekarang ini ada suatu alternatif bentuk muamalah bagi umat Islam Indonesia seharusnya sudah dapat menjawab keragu-raguan. Namun demikian , tumbuh dan berkembangnya bank syari’ah di Indonesia dengan prinsip bagi hasil dan menghilangkan praktik riba, seharusnya tidak semata-mata bersifat emosional tetapi lebih banyak bersifat rasional dan konsepsional untuk membantu upaya pembangunan.
27
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
A.Riawan Amin, Bunga, Imbalan dan Bagi Hasil, dalam Majalah Hukum Nasional No. l Tahun 2000, Jakarta.. Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997. Jafril Khalil, Prinsip Syari’ah dalam Perbankan, tulisan dalam Jurnal Hukum Bisnis Volume20, Agustus-September 2002. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT.Gunung Agung, Jakarta, 1997. Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Salemba Empat, Jakarta,2002. M.Nejatullah Siddiqi, Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1996. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001.
INTERNET:
Ekonomi
Syari’ah:
Tinjauan
Kritis
Bagi
Hasil
dalam
Kontrak,
www.myqur’an.com,tanggal 26 Oktober 2001.
Peluang Membiakkan Uang di Bank Syari’ah, www.takaful.com/
28
Utary Maharani Barus : Sistem Bagi Hasil Pada Bank Syari’ah dalam Rangka Menghilangkan Riba dalam Muamalat, 2005
USU Repository © 2006