Usulan Durasi Latihan Fisik Bagi Pengemudi yang Telah Mengalami Keterjagaan Panjang Berdasarkan Pengukuran Tingkat Kantuk
1,2)
Felicia1, Daniel Siswanto2 Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Industri, Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit 94, Bandung 40141 1) 2) Email:
[email protected],
[email protected]
Abstrak Angka terjadinya kecelakaan lalu lintas terus meningkat sejak tahun 2007 dan Indonesia adalah negara urutan kelima dengan tingkat kecelakaan yang tertinggi. Pada penelitian ini, faktor penyebab kelelahan yang digunakan adalah durasi latihan fisik dan keterjagaan panjang. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor keterjagaan, faktor durasi latihan fisik dan interaksinya terhadap tingkat kantuk yang dapat menyebabkan kecelakaan dan penentuan durasi latihan fisik terbaik yang dapat membuat pengemudi terjaga lebih lama setelah mengalami keterjagaan panjang. Penelitian dilakukan dengan memberikan enam perlakuan terhadap enam orang partisipan pria dewasa muda. Latihan fisik yang dilakukan adalah latihan fisik menggunakan treadmill dengan durasi istirahat 15 menit setelah latihan fisik. Pengukuran tingkat kantuk dilakukan dengan memasangkan electroencephalograph (EEG) kepada partisipan selama mengemudi 40 menit. Hasil EEG diolah dengan menggunakan MATLAB 2009a untuk mengetahui nilai power alfa, beta dan teta. Nilai power akan digunakan untuk menghitung rasio tingkat kantuk yang akan dilanjutkan dengan uji analisis variansi (ANAVA). Kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil uji ANAVA menunjukan faktor keterjagaan tidak mempengaruhi rasio tingkat kantuk, faktor durasi latihan fisik mempengaruhi rasio tingkat kantuk dan interaksi dari kedua faktor tidak mempengaruhi rasio tingkat kantuk. Hasil uji Tukey menunjukan durasi latihan fisik 20 menit berbeda signifikan dengan durasi latihan fisik 40 menit. Durasi latihan fisik 20 menit dapat membuat pengemudi terjaga lebih lama dibandingkan dengan 40 menit. Oleh sebab itu, jika pengemudi latihan fisik setelah mengalami keterjagaan panjang, maka sebaiknya pengemudi latihan fisik selama 20 menit dengan latihan fisik yang sebanding dengan treadmill kecepatan 5,5 km/jam. Kata kunci: keterjagaan, latihan fisik, kelelahan, rasio tingkat kantuk, durasi latihan fisik
Pendahuluan Jumlah angka kecelakaan mengalami peningkatan dari tahun 2007 hingga 2013 yang mencapai 1,25 juta orang per tahun (WHO, 2015). Kecelakaan lalu lintas sangat membutuhkan penanganan yang cepat, karena dapat dipastikan pada tahun 2020 angka kecelakaan dapat meningkat menjadi 1,9 juta per tahun jika tidak ditangani (WHO,2015). Tingkat kecelakaan di Indonesia termasuk dalam tingkat kecelakaan yang tinggi, karena Indonesia mencapai urutan ke-5 berdasarkan jumlah angka kecelakaannya (WHO, 2015). Oleh sebab itu, maka dicari tahu mengenai penyebab kecelakaan. Faktor-faktor yang menyebabkan kecelakaan adalah faktor manusia (93%), faktor kendaraan (4%), faktor lingkungan fisik (3%) (Soehodho, 2009). Faktor manusia menyebabkan kecelakaan dengan persentase terbesar. Faktor manusia berhubungan dengan kelelahan mengemudi,
karena 100.000 kasus kecelakaan dan 1.550 orang meninggal akibat kelelahan mengemudi (National Highway Transportation Safety Administration, 2007 dalam Damarany, 2012). Kelalahan dapat diukur dengan berbagai cara dan salah satunya adalah mengukur tingkat kantuk (Williamson et al., 2011). Kantuk dapat menyebabkan pengemudi mengalami penurunan performansi hingga dibawah sadar yang dapat menyebabkan kecelakaan (Radun, 2009 dalam Damarany, 2012). Kantuk dapat disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah aktivitas fisik (Lietz, 2011 dalam Damarany, 2012) dan keterjagaan panjang (UMM, 2009). Keterjagaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kantuk, sehingga keterjagaan dijadikan sebagai variabel bebas dalam penelitian ini. Seseorang sebaiknya tidak terjaga lebih dari 8 jam, karena dapat mempengaruhi performansi seseorang dalam beraktivitas (Lerman et al., 2012). Waktu kerja
normal di Indonesia memiliki rentang antara 8 hingga 12 jam. Oleh sebab itu, terdapat dua level dari keterjagaan, yaitu 8-<10 jam dan 1012 jam. Aktvitas fisik juga menjadi faktor yang mempengaruhi kantuk. Salah satu jenis aktivitas fisik adalah latihan fisik. Durasi latihan fisik diduga menjadi pengaruh pengemudi mengantuk, sehingga durasi latihan fisik menjadi variabel bebas. Seseorang sebaiknya melakukan latihan fisik selama 20-60 menit dalam 3 hingga 5 kali per minggu (Sudarsono, 2008). Latihan fisik selama 20 menit adalah latihan fisik intensitas rendah-sedang (Brick, 2001). Latihan fisik selama 30 menit adalah latihan fisik sedang-berat (Brick, 2001). Latihan fisik selama 40 menit dapat meningkatkan kesegaran kardiorespirasi (Adiwinanto, 2008). Oleh sebab itu, terdapat tiga level durasi latihan fisik, yaitu 20 menit, 30 menit dan 40 menit. Terdapat berbagai alat yang dapat digunakan untuk mengukur kelelahan. Salah satunya adalah electroencephalograph (EEG). EEG merupakan alat terbaik dalam mendeteksi tingkat kelelahan pengemudi yang mengemudikan simulator (Eye-Activity Measures of Fatigue and Napping as a Fatigue Countermeasure, 1999 dalam Berka et al., 2005). Oleh sebab itu, rasio tingkat kantuk akan diukur berdasarkan pengukuran menggunakan EEG. Tinjauan Pustaka Kelelahan Kelelahan adalah kondisi psikofisiologi yang tidak optimal akibat pengeluaran tenaga (Philips, 2015). Menurut Government of Alberta (2010) dalam Kenanti (2012), jam kerja yang terlalu panjang, lamanya aktivitas fisik dan mental, kurangnya istirahat, dan stres yang berlebihan dapat membuat seseorang merasa lelah. Rasa lelah tersebut yang disebut sebagai kelelahan. Kelelahan yang timbul dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Williamson et al. (2011), terdapat tiga faktor penyebab utama yang mengakibatkan kelelahan, yaitu ritme sirkadian (time of day), durasi terjaga (time/s awake), faktor terkait pekerjaan (task related factor). Tingkat Kantuk Menurut Wiliamson, et al. (2011) salah satu indikator untuk mengukur kelelahan adalah
tingkat kantuk. Mengantuk biasanya disbebakan oleh berbagai faktor, seperti bekerja sepanjang waktu, pergantian shift, penggunaan obat, kondisi kesehatan, kurang tidur, dan gangguan tidur (UMM, 2009). Menurut Damarany (2012), secara garis besar, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat kantuk terutama pada saat mengemudi, yaitu kuantitas tidur, kualitas tidur, status gizi, ritme sirkadian, faktor kesehatan, usia, masa kerja, shift kerja, pola kerja, durasi mengemudi. Beberapa gejala kantuk pengemudi, yaitu pemberian reaksi dan keputusan yang lebih lambat, perpindahan yang lebih lambat, toleransi yang menurun untuk pengguna jalan, tidak sesuai peraturan dalam mengemudi, pengaturan kecepatan yang buruk, dan hilangnya kepekaan situasi (Hartley & Mabbot, 1998 dalam Damarany, 2012). Durasi Latihan Fisik Terdapat berbagai manfaat latihan fisik (Adiwinanto, 2008), yaitu menjaga berat badan, membangun tulang, perlindungan kardiovaskuler, dan meningkatkan kesehatan mental. Menurut Gizi Olahraga (2014) kebutuhan energi saat latihan fisik dapat terpenuhi oleh sumber energi dalam tubuh melalui pembakaran karbohidrat, pembakaran lemak, dan pemecahan protein. Latihan fisik yang dapat dilakukan adalah berjalan, jogging, berlari, berenang, bersepeda, lompat tali, senam aerobik dan sebagainya. Menurut Sulistyaningsing (2012), latihan fisik menggunakan treadmill dapat meningkatkan VO2max di dalam tubuh. Terdapat berbagai manfaat latihan fisik menggunakan treadmill, yaitu meningkatkan kekuatan otot, memperbaiki metabolisme tubuh, meningkatkan penyerapan oksigen dalam darah dan meningkatkan otot jantung dan paru-paru Metode Penelitian Partisipan Penelitian dilakukan kepada pengemudi pria dengan rentang usia 18-25 tahun. Jenis kelamin yang ditentukan adalah jenis kelamin laki-laki, karena menurut National Highway Traffic Safety Administration (2008), kecelakaan lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Usia yang ditentukan pada partisipan adalah 18-25 tahun karena
usia tersebut memiliki proporsi kecelakaan lalu lintas terbesar (National Highway Traffic Safety Administration, 2008). Partisipan memiliki SIM A, memiliki pengalaman mengemudi lebih dari 3 tahun dan memiliki kebiasaan latihan fisik 3 hingga 5 kali per minggu. Partisipan tidur cukup (7 hingga 9 jam sebelum pengambilan data). Jumlah partisipan yang ditentukan adalah 6 orang berdasarkan perhitungan kecukupan data. Setiap partisipan akan mengalami dua kondisi keterjagaan, yaitu 8-<10 jam dan 10-12 jam dan mengalami tiga durasi latihan fisik, yaitu 20 ,menit, 30 menit dan 40 menit. Latihan fisik yang dilakukan adalah latihan fisik menggunakan treadmill dan dilanjutkan dengan beristirahat selama 15 menit.
counterbalancing Latin Square. Oleh sebab itu, setiap partisipan akan memiliki urutan perlakuan yang berbeda-beda. Terdapat enam perlakuan, yaitu: 1. Kombinasi durasi latihan fisik 20 menit, dan durasi terjaga 8-<10 jam. 2. Kombinasi durasi latihan fisik 30 menit, dan durasi terjaga 8-<10 jam. 3. Kombinasi durasi latihan fisik 40 menit, dan durasi terjaga 8-<10 jam. 4. Kombinasi durasi latihan fisik 20 menit, dan durasi terjaga 10-12 jam. 5. Kombinasi durasi latihan fisik 30 menit, dan durasi terjaga 10-12 jam. 6. Kombinasi durasi latihan fisik 40 menit, dan durasi terjaga10-12 jam. Tabel 2. Urutan Perlakuan Partisipan
Tabel 1. Rekapitulasi Kebutuhan Data Kebutuhan Faktor Level Data 8-<10 jam Minimal 4 data Keterjagaan 10-12 jam Minimal 2 data 20 menit Minimal 3 data Durasi Latihan 30 menit Minimal 4 data Fisik 40 menit Minimal 6 data Keterjagaan x Durasi Latihan Minimal 3 data Fisik
Prosedur Penelitian dilakukan setiap pukul 16.30 hingga 18.30 setelah partisipan mengalami keterjagaan. Kemudian partisipan akan melakukan latihan fisik menggunakan treadmill sesuai dengan durasi latihan fisik yang telah ditentukan. Partisipan beristirahat selama 15 menit setelah melakukan latihan fisik. Kemudian partisipan akan mengisi lembar Karoninska Sleepiness Scale (KSS), mengemudi selama 40 menit dengan menggunakan electroencephalograph (EEG) pada bagian kepalanya. Selama partisipan mengemudi, maka data gelombang otak akan direkam untuk dilakukan pengolahan data. Jadwal Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan desain eksperiman withinsubject, yaitu desain eksperimen yang menggunakan satu kelompok partisipan dan setiap partisipan akan mengalami perilaku variabel bebas yang sama (Seniati et al., 2011). Desain ini memerlukan penanganan urutan perlakuan variabel bebas dengan menggunakan kontrol counterbalancing. Jenis counterbalancing yang digunakan adalah
Partisipan
Perlakuan 1
2
3
4
5
6
P1
1
2
6
3
5
4
P2 P3
2 3
3 4
1 2
4 5
6 1
5 6
P4 P5
4 5
5 6
3 4
6 1
2 3
1 2
P6
6
1
5
2
4
3
Pengolahan Data Selama partisipan mengemudi, maka data partisipan akan diambil dengan menggunakan EEG. EEG merupakan pengukuran rasa kantuk secara objektif dengan kemunculan atau ketidakmunculan gelombang otak dalam frekuensi band khusus yang diamati secara visual (Akerstedt & Gillberg, 1990). Berdasarkan penelitian Eye-Activity Measures of Fatigue and Napping as a fatigue Countermeasure (1999) pada Berka et al. (2005), EEG merupakan alat yang terbaik dalam mendeteksi tingkat kelelahan pengemudi profesional yang mengalami kurang tidur dengan menggunakan simulator mengemudi. Hasil dari EEG adalah grafik gelombang otak yang terus bergerak selaras dengan penambahan waktu. Hasil rekaman gelombang otak menggunakan EEG tersimpan dalam bentuk (.edf), sehingga di-convert terlebih dahulu ke dalam (.csv) Konversi data dilakukan untuk memudahkan dalam mengolah data menggunakan MATLAB R2009a. Pada MATLAB 2009a, data hasil rekaman akan disaring berdasarkan penyaringan yang diinginkan. Pada pengolahan data ini, bagian otak yang akan diambil datanya adalah bagian
otak frontal, karena otak bagian frontal dapat mengatur respon seseorang jika terdapat stimulus (Zhuang, Zhao & Tang, 2009). Pada saat mengemudi, terdapat beberapa stimulus yang akan muncul, seperti pengaturan kecepatan, apakah ingin melaju dengan kencang, berhenti atau memelankan kecepatan. Penentuan respon dari stimulus yang muncul dapat mempengaruhi seorang pengemudi akan menabrak atau tidak. Pada pengolahan data juga terdapat pembatasan gelombang otak. Gelombang otak yang digunakan adalah gelombang otak yang memiliki range antara 4 Hz hingga 30 Hz. Melewati batas tersebut, maka tidak akan digunakan. Gelombang teta memiliki range 4 Hz hingga 8 Hz. Gelombang alfa memiliki range 8 hingga 13 Hz dan gelombang beta memiliki range 13 hingga 30 Hz. Hasil rekaman EEG akan dibagi dalam beberapa titik pengamatan. Pembagian 10 titik dari nilai power 40 menit, berarti dalam satu titik adalah rata-rata nilai power dari data 4 menit. Rata-rata power setiap 4 menit, karena tidak terdapat kebutuhan untuk melihat pola naik turun tingkat kantuk dari setiap menitnya. Setelah membagi nilai power menjadi 10 blok, maka dilanjutkan dengan menghitung rasio tingkat kantuk (Jap et al., 2009). Rasio tingkat kantuk =
theta (θ)+alpha (α) beta (β)
Pers. 1
Rasio tingkat kantuk dihitung untuk seluruh kombinasi setiap level dari faktor keterjagaan dan faktor durasi olahraga. Perhitungan seluruh rasio tingkat kantuk berdasarkan hasil gelombang otak 40 menit mengemudi. Hasil perhitungan rasio tingkat kantuk digunakan untuk pengujian ANAVA dan uji Tukey. Tabel 3. Rangkuman Rasio Tingkat Kantuk Durasi Latihan Fisik (menit) Keterjagaan
8-10 jam
10-12 jam
20 1,159 1,164 1,197 1,326 1,151 1,232 1,141 1,288 1,194 1,436 1,237 1,096
30 1,202 1,221 1,212 1,307 1,173 1,398 1,323 1,301 1,465 1,516 1,283 1,147
40 1,358 1,248 1,165 1,336 1,151 1,243 1,509 1,996 1,275 1,602 1,271 1,390
Hasil Pengujian Hasil KSS KSS merupakan alat ukur untuk melihat tingkat kantuk secara subjektif. Pengisian KSS dari nilai 1 (sangat waspada) hingga 9 (sangat mengantuk) (Akerstedt & Gillberg, 1990). KSS memiliki korelasi dengan EEG, yaitu meningkatnya power alfa dan beta memiliki korelasi yang cukup signifikan dengan tingkat kantuk subjektif (KSS) ketika mata terbuka (Akerstedt & Gillberg, 1990). Nilai KSS dipengaruhi oleh faktor keterjagaan dan durasi latihan fisik yang telah dilakukannya. Nilai KSS yang melebihi angka 5 dianggap mengantuk, karena nilai 5 pada KSS menunjukan bahwa partisipan masih memiliki ciri-ciri terjaga dan rasa kantuk tidak dapat dipastikan muncul, sedangkan pada nilai 6 menunjukan bahwa partisipan sudah memiliki beberapa tanda-tanda mengantuk. Oleh sebab itu, nilai 6 dijadikan sebagai batas bawah seorang partisipan diambil datanya ketika mengemudi, karena partisipan dipastikan sudah mengantuk. Jika pengukuran tingkat kantuk secara subjektif dibandingkan dengan pengukuran tingkat kantuk secara objektif, maka hasil yang diperoleh adalah selaras. Berdasarkan pengukuran tingkat kantuk secara objektif, partisipan yang mengalami keterjagaan 8 sampai kurang dari 10 jam memiliki rasio tingkat kantuk yang lebih rendah dibandingkan dengan partisipan yang mengalami keterjagaan 10 sampai 12 jam. Pada faktor durasi latihan fisik, partisipan yang mengalami durasi latihan fisik 20 menit juga memiliki rasio tingkat kantuk yang lebih rendah dibandingkan dengan durasi latihan fisik 30 menit dan 40 menit. Rasio tingkat kantuk semakin meningkat selaras dengan lamanya durasi latihan fisik yang dialami oleh partisipan. Hasil Uji ANAVA Uji ANAVA yang digunakan adalah uji ANAVA within-subject. Dua faktor yang digunakan adalah faktor keterjagaan (8-<10 jam dan 10-12 jam) dan faktor durasi latihan fisik (20 menit, 30 menit dan 40 menit). Respon yang diambil dari dua faktor tersebut adalah rasio tingkat kantuk. Nilai signifikansi yang digunakan pada uji ANAVA adalah α=5%. Terdapat tiga kesimpulan dari hasil uji ANAVA berdasarkan perhitungan F, maka F
hitung dapat dibandingkan dengan F tabel (Montgomery, 2001). 1. Pengaruh Faktor Keterjagaan F hitung = 5,3202 lebih kecil dari F0,05,1,5 = 6,61 yang berarti hipotesis nol tidak ditolak, yaitu keterjagaan tidak mempengaruhi rasio tingkat kantuk pengemudi. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor. Pertama, partisipan mengemudi dan diambil datanya setelah mengalami keterjagaan panjang dan latihan fisik. Pada saat latihan fisik, tubuh akan mengalami pembakaran dan pengeluaran energi, sehingga dapat mempengaruhi kelelahan dari partisipan. Kedua, tidur yang cukup membuat partisipan tidak terlalu lelah meskipun mengalami keterjagaan. Oleh sebab itu, keterjagaan tidak berpengaruh terhadap rasio tingkat kantuk pengemudi yang sudah mengalami tidur yang cukup. Ketiga, aktivitas yang dilakukan partisipan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi tingkat kantuk partisipan. Aktivitas yang membutuhkan konsentrasi tinggi dan aktivitas fisik dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental yang lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas yang tidak membutuhkan konsentrasi yang tinggi. 2. Pengaruh Faktor Durasi Latihan Fisik F hitung = 4,3475 lebih besar dari F0,05,2,10 = 4,1 yang berarti hipotesis nol ditolak, yaitu durasi latihan fisik mempengaruhi rasio tingkat kantuk pengemudi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh lamanya aktivitas latihan fisik yang dilakukan. Ketika seseorang mengeluarkan energi selama latihan fisik, maka tubuh akan menggunakan cadangan karbohidrat dan glikogen yang tersisa setelah mengalami kekurangan energi. Hal tersebut yang membuat tubuh semakin cepat lelah dan kelelahan tersebut yang menyebabkan seseorang mengalami tingkat kantuk yang lebih tinggi. 3. Pengaruh Interaksi Keterjagaan dan Durasi Latihan Fisik. F hitung = 3,352 lebih kecil dari F0,05,2,10 = 4,1 yang berarti hipotesis nol tidak ditolak, yaitu interaksi keterjagaan dengan durasi latihan fisik tidak mempengaruhi rasio tingkat kantuk pengemudi.
Tidak pengaruhnya interaksi dari kedua faktor disebabkan karena salah satu faktor tidak mempengaruhi tingkat kantuk, yaitu faktor keterjagaan. Penyebab lainnya dapat disebabkan oleh beberapa faktor dan faktor tersebut tidak dapat dikendalikan, seperti faktor keahlian mengemudi partisipan, motivasi partisipan, aktivitas yang dijalankan partisipan sebelum mengemudi dan kualitas tidur pada malam sebelumnya. Berdasarkan Gambar 1, dapat diduga ketika durasi latihan fisik 5 menit, tetap tidak terdapat perpotongan antara durasi latihan fisik dan keterjagaan, karena grafik yang terus menurun selaras dengan durasi latihan fisik. Jika durasi latihan fisik lebih besar dari 40 menit, dapat dipastikan tidak terdapat perpotongan antara faktor keterjagaan dengan durasi latihan fisik, karena pada titik durasi latihan fisik 40 menit, rasio tingkat kantuk dari keterjagaan 8-<10 jam dengan 10-12 jam semakin berjauhan.
1.600 1.400 1.200 1.000 0.800 0.600 0.400 0.200 0.000 20 8-<10 jam
30
40 10-12 jam
Gambar 1. Interaksi Keterjagaan dan Durasi Latihan Fisik
Hasil Uji Tukey Jika pada uji ANAVA menolak H0, maka memerlukan adanya pengujian perbedaan (Montgomery, 2001). Uji tukey berguna untuk mengetahui apakah kedua perlakuan berbeda secara signifikan dengan membandingkan rata-rata dari setiap perlakuan. Uji Tukey dilakukan untuk mengetahui level dari durasi latihan fisik berbeda secara signifikan dan mengetahui durasi latihan fisik terbaik dengan
rasio tingkat kantuk yang terendah dari pengemudi yang telah mengalami keterjagaan panjang. Terdapat tiga nilai berdasarkan uji Tukey. 1. Durasi 20 menit dan 30 menit Selisihnya adalah 0,07726 lebih kecil dari standar 0,149, berarti H0 tidak ditolak, durasi 20 menit dengan 30 menit tidak berbeda signifikan. 2. Durasi 20 menit dan 40 menit Selisihnya adalah 0,1601 lebih besar dari standar 0,149, berarti H0 ditolak, durasi 20 menit dengan 40 menit berbeda signifikan. 3. Durasi 30 menit dan 40 menit Selisihnya adalah 0,083 lebih kecil dari standar 0,149, berarti H0 tidak ditolak, durasi 30 menit dengan 40 menit tidak berbeda signifikan. Hal ini diduga karena rentang 20 menit latihan fisik dengan 40 menit berbeda jauh, yaitu dua kali lipat. Berbeda dengan 30 menit yang merupakan 1,5 kali lipat dari 20 menit. Rentang 40 menit tersebut menyebabkan seseorang latihan fisik jauh lebih lelah dibandingkan dengan 20 menit, akibat pengeluaran energi yang jauh berbeda dan pembakaran kalori yang jauh lebih banyak mencapai dua kali lipat pembakaran.
Rasio Tingkat Kantuk
Rekomendasi Praktis Setelah mengetahui perbedaan signifikan dari setiap level durasi latihan fisik, maka dilanjutkan dengan menghitung rata-rata rasio tingkat kantuk dari setiap level. 1.400 1.300
berbeda signifikan dengan 20 menit. Perbedaan signifikan membuat peluang terjadinya kecelakaan mobil akan lebih besar dibandingkan dengan 20 menit. Tidak dianjurkan jika latihan fisik mencapai 30 menit, karena memiliki rasio tingkat kantuk lebih tinggi dibandingkan 20 menit. Usulan dapat diberikan kepada pengemudi yang akan mengemudi selama 40 menit (waktu perjalanan dari tempat latihan fisik ke rumah), latihan fisik menggunakan treadmill dengan kecepatan 5,5 km/jam, waktu istirahat 15 menit dan kondisi jalan yang dilewati oleh pengemudi adalah kondisi jalan perkotaan. Usulan tidak dapat diberikan untuk kondisi diluar lingkup penelitian yang dilakukan. Kesimpulan Kesimpulan didapatkan dari hasil pengumpulan dan pengolahan data yang telah. Terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diberikan, yaitu: 1. Faktor keterjagaan saja dan interaksinya dengan faktor durasi latihan fisik tidak mempengaruhi tingkat kantuk. Faktor durasi latihan fisik saja mempengaruhi rasio tingkat kantuk pengemudi yang mengalami keterjagaan panjang. 2. Ketika pengemudi sudah mengalami keterjagaan panjang dan ingin latihan fisik terlebih dahulu sebelum mengemudi, durasi latihan fisik yang memiliki rasio tingkat kantuk terendah adalah 20 menit dengan latihan fisik yang sepadan dengan latihan fisik menggunakan treadmill dan kecepatan 5,5 km/jam. Saran
1.200 1.100 20
30
40
Durasi latihan fisik (menit) Gambar 2. Perbandingan Rasio Tingkat Kantuk Berdasarkan Durasi Latihan Fisik
Usulan yang diberikan adalah untuk pengemudi yang akan mengemudikan kendaraannya selama 40 menit dan ingin latihan fisik setelah keterjagaan panjang, maka dianjurkan untuk latihan fisik selama 20 hingga kurang dari 30 menit sebelum mengemudi. Pengemudi tidak dianjurkan untuk latihan fisik hingga 40 menit, karena rasio tingkat kantuk
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diberikan beberapa saran untuk penelitian selanjutnya. Beberapa saran yang dapat diberikan adalah: 1. Memberikan variasi terhadap durasi latihan fisik, tidak terbatas terhadap 20 menit, 30 menit dan 40 menit. 2. Dapat memberikan variasi terhadap jenis kelamin partisipan, tidak terbatas pada partisipan pria. 3. Dapat melihat pengaruh durasi latihan fisik terhadap partisipan yang mengalami kekurangan tidur selama beberapa hari atau satu hari sebelumnya. Daftar Pustaka
Adiwinanto, W. (2008). Pengaruh Intervensi Olahraga di Sekolah Terhadap Indeks Masa Tubuh dan Tingkat Kesegaran Kardiorespirasi Pada Remaja Obesitas. Tesis Semarang: Universitas Diponegoro. Akerstedt,T., & Gillberg, M. (1990). Subjective And Objective Sleepiness In the Active Individual. Intern J Neuroscience, 52, 2937. Berka C., Levendowski, D. J., Westbrook, P., Davis, G., Lumicao. M. N., Olmstead, R. E., Popovic, M., Zivkovic, V. T., & Ramsey, C. K. (2005). EEG quantification of alertness: Methods for early identification of individuals most susceptible to sleep deprivation. SPIE Defense and Security Simposium, 5797, 78-89. Brick, L. (2001). Bugar dengan Senam Aerobik. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Damarany, P. (2012). Analisis Hubungan Faktor Internal dan Eksternal dengan Tingkat Kantuk (Sleepiness) dan Kelelahan (Fatigue) pada Pengemudi Dump Truck PT. X Distrik KCMB Tahun 2012. Tesis FKM UI. Gizi Olahraga. (2014). Karbohidrat dan Olahraga. Universitas Indonusa Esa Unggul. Jap, B. T., Lal, S., Fischer, P., & Bekiaris, E. (2009). Using EEG spectral components to assess algorithms for detecting fatigue. Expert Systems with Applications, 36, 2352-2359. Kenanti, E. P. (2012). Analisis Tingkat Risiko Kelelahan pada Pengemudi Truk PT X Plant Lenteng Agung Tahun 2012. Skripsi FKM UI. Lerman, S. E., Eskin, E., Flower, D. J., George, E. C., Gerson, B., Hartenbaum, N., ...Hursh, S. R. (2012). Fatigue Risk Management in the Workplace. Journal of Occupational and Environmental Medicine, 54 (2), 231-258. doi: 10.1097/JOM.0b012e318247a3b0. Montgomery, D. C. (2001). Design and Analysis of Experiments Fifth Edition. New York City: John Wiley & Sons. National Highway Traffic Safety Administration. (2008). Comparison of Crash Fatalities by Sex and Age Group. New Jersey: NHTSA’s National Center for Statistics and Analysis. Philips, R.O. (2015). A review of definitions of fatigue – And a step towards a whole definition. Transportation Research Part F, 29, 48-56. doi:10.1016/j.trf.2015.01.003.
Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2011). Psikologi Eksperimen. Jakarta: Indeks. Soehodho, S. (2009). Road Accidents In Indonesia. IATSS Research, 33(2), 122124. Sudarsono, N. C. (2008). Kebugaran. Kuliah Pengantar pada Kelas Foundation – mata kuliah Fitness and Art – tingkat persiapan STEKPI 8 Maret 2008. Sulistyaningsih, I. (2012). Pengaruh Latihan Treadmill Terhadap Peningkatan Volume Oksigen Maksimal (Vo2max) Pada Anggota Row Of Power In Motion (Rpm) Body Fitness Center. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. UMM. (2009). Drowsiness-Overview. Diunduh dari http://umm.edu/404?requested=%2farticle% 2f0003208.htm. Diakses 24 Agustus 2016. WHO. (2015). Global Status Report On Road Safety 2015. Geneva, Switzerland: World Health Organization. Williamson, A., Lombardi, D., Folkard, S., Stutts, J., Courtney, T., & Connor, J. (2011). The link between fatigue and safety. Accident Analysis and Prevention, 43, 498– 515. doi:10.1016/j.aap.2009.11.011. Zhuang, T., Zhao, H., & Tang, Z. (2009). A Study of Brainwave Entrainment Based on EEG Brain Dynamics. Computer and Information Science, 2 (2).