0
USING PROBLEM BASED LEARNING MODEL TO INCREASE CRITICAL THINKING SKILL AT HEAT CONCEPT La Sahara1), Agus Setiawan2), dan Ida Hamidah2) Department of Physics Education, FKIP, Haluoleo University, Kendari,Indonesia 2) Department of Science Education, SPs, Indonesia University of Education and Department of Engineering of Education, FPTK, Indonesia University of Education, Bandung, Indonesia
[email protected] agus
[email protected] [email protected] 1)
Abstract The aim of this research is applying problem-based learning to increase critical thinking skill of heat concepts. The research method used were quasi experiment and descriptive methods. Subjects of the study were 10th grade students consist of 37 students from experiment group, and 40 students from control group of one a senior high school in Kendari City, South-East Sulawesi. Data were obtained from critical thinking skill test, interview, and questionnaire about comments of physics teacher and students to the model. The result show that an applying the problem based learning model is more increased critical thinking skill students than conventional learning model. The using problem based learning model has been get positive comments from both the students and teacher. Keywords: problem-based learning model, heat, critical thinking skill. 1. Pendahuluan Pendidikan
merupakan
salah
satu
komponen
penting
dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk mewujudkan hal itu, maka sekolah sebagai komponen utama pendidikan perlu mengelola pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) antara lain: (1) kegiatan berpusat pada siswa; (2) belajar melalui berbuat; dan (3) belajar mandiri dan belajar bekerja sama (Muslich, 2007). Sejalan dengan prinsip KBM tersebut, maka kegiatan pembelajaran diharapkan tidak terfokus pada guru, tetapi bagaimana mengaktifkan siswa dalam belajarnya (student active learning). Fungsi dan tujuan mata pelajaran fisika di tingkat SMA diantaranya adalah: (1) menyadarkan keindahan dan keteraturan alam untuk meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) mengembangkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip
0
1
fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif; dan (3) menguasai pengetahuan, konsep dan prinsip fisika, serta memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap ilmiah (Depdiknas, 2003). Pelajaran fisika sangat erat dengan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) atau Problem Based Learning. Hal ini disebabkan karena pemecahan masalah merupakan pusat pembelajaran fisika (Gerace W.J & Beatty, I.D, 2005) dan model PBM merupakan model pembelajaran yang lebih menekankan pada pemecahan masalah atau masalah sebagai titik tolak. Dalam model ini, siswa dapat menumbuhkan keterampilan menyelesaikan masalah, bertindak sebagai pemecah masalah dan dalam pembelajaran dibangun proses berpikir, kerja kelompok, berkomunikasi, dan saling memberi informasi (Akinoglu dan Ozkardes, 2007). Selain itu model PBM dapat memberikan kesempatan pada siswa bereksplorasi mengumpulkan dan menganalisis data untuk memecahkan masalah, sehingga siswa mampu untuk berpikir kritis, analitis, sistematis dan logis dalam menemukan alternatif pemecahan masalah (Sanjaya, 2006). Dalam
rangka
mewujudkan
tujuan
pembelajaran
fisika,
maka
menumbuhkan keterampilan berpikir siswa khususnya keterampilan berpikir kritis mutlak diperlukan. Siswa yang menguasai konsep tidak hanya mampu menghafal sejumlah konsep yang telah dipelajarinya, tetapi ia mampu menerapkannya
pada
aspek
lainnya
dengan
mengembangkan
konsep
berpikirnya. Abdullah (2007) juga menyatakan pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa dan keterampilan berpikir sains. Hal ini mengisyaratkan perlunya data empiris untuk memperoleh gambaran penggunaan model PBM dalam upaya meningkatkan keterampilan berpikir lainnya seperti keterampilan berpikir kritis. Kalor sebagai konsep yang erat kaitannya dengan peristiwa sehari-hari dalam pembelajaran di kelas pada umumnya disampaikan oleh guru dengan metode ceramah dan kadang-kadang dengan metode tanya jawab. Selain itu, dalam pembelajaran siswa kurang dilatih untuk melakukan analisis kritis dan sistematis terhadap permasalahan yang ada serta bagaimana mengarahkan siswa melalui pengembangan berpikir siswa untuk menemukan alternatif pemecahan masalah yang berhubungan dengan konsep kalor.
1
2
Dalam artikel ini dipaparkan hasil studi eksperimen tentang penggunaan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis pada fisika dan tanggapan guru dan siswa terhadap penggunaan model PBM. Studi eksperimen dilakukan di salah satu SMA di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara dengan mengambil konsep Kalor. Sebagai pembanding hasil digunakan model pembelajaran konvensional. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimen kuasi dan deskriptif. Desain penelitian yang digunakan adalah The Randomize Pretest-Posttest Control Classes Group Design (Arikunto, 2006). Mula-mula dipilih secara acak kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Selanjutnya dilakukan tes awal terhadap kedua kelompok, setelah itu kedua kelompok diberi perlakuan yang berbeda yakni kelompok eksperimen menggunakan model pembelajaran berbasis
masalah
pembelajaran
sedangkan
konvensional
kelompok
dengan
kontrol
metode
menggunakan
pembelajaran
utama
model yang
digunakan adalah ceramah dan tanya jawab, dan diakhiri pemberian tes akhir dengan perangkat tes yang sama. Selain itu dilakukan wawancara terhadap guru serta pemberian angket kepada siswa setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X pada salah satu SMA di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan jumlah sampel 77 siswa yang terdiri 37 siswa sebagai kelompok eksperimen dan 40 siswa sebagai kelompok kontrol. Data dikumpulkan dengan menggunakan digunakan instrumen penelitian berupa tes keterampilan berpikir kritis dan pedoman wawancara serta angket. Tes yang digunakan adalah tes keterampilan berpikir kritis dalam bentuk esai. Kelebihan penggunaan model dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis ditinjau berdasarkan perbandingan nilai gain yang dinormalisasi (N-gain), antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Gain yang dinormalisasi (N-gain) dapat dihitung dengan persamaan: (Hake, 1999)
g=
S post − S pre S maks − S pre
... 1)
Disini dijelaskan bahwa g adalah gain yang dinormalisasi (N-gain) dari kedua model, Smaks adalah skor maksimum (ideal) dari tes awal dan tes akhir, Spost adalah skor tes akhir, sedangkan Spre adalah skor tes awal. Tinggi rendahnya gain yang dinormalisasi (N-gain) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) jika g
2
3
≥ 0,7, maka N-gain yang dihasilkan termasuk kategori tinggi; (2) jika 0,7 > g ≥ 0,3, maka N-gain yang dihasilkan termasuk kategori sedang, dan (3) jika g < 0,3, maka N-gain yang dihasilkan termasuk kategori rendah. Tanggapan guru terhadap penerapan model pembelajaran berbasis masalah diperoleh melalui analisis kualitatif sesuai dengan pedoman wawancara yang dibuat. Sedangkan tanggapan siswa diperoleh melalui angket dengan penilaian menggunakan skala Likert dengan alternatif jawaban: sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Untuk pertanyaan positif maka dikaitkan dengan nilai, SS = 4, S = 3, TS = 2, dan STS= 1, dan sebaliknya untuk pertanyaan negatif maka dikaitkan dengan nilai SS = 1, S = 2, TS = 3 dan STS = 4 (Ruseffendi, 1998). Tanggapan siswa dianalisis secara kualitatif sesuai skala penilaian pada aktivitas guru yang dihitung rata-rata secara keseluruhan.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Keterampilan berpikir kritis yang diterapkan dalam penelitian ini terdiri atas tiga indikator yang meliputi: (1) mempertimbangkan penjelasan sederhana (menemukan persamaan dan perbedaan, mengidentifikasi hal yang relevan); (2) membangun keterampilan dasar (memberikan alasan, melaporkan berdasarkan pengamatan); dan (3) menyimpulkan (menerapkan prinsip, menyimpulkan). Data hasil penelitian tes keterampilan berpikir kritis yang terdiri 10 butir soal dengan skor ideal 30, dapat dinyatakan pada diagram persentase skor ratarata tes awal, tes akhir, dan N-gain keterampilan berpikir kritis pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol pada Gambar 3.1.
3
4
50 43
skor (%)
45 40 35 30 25
31
29
24 21
20 15
9
10 5 0 Tes Awal
Tes Akhir Eksperimen
N-Gain
Kontrol
Gambar 3.1. Perbandingan Skor Rata-rata Tes Awal, Tes Akhir, dan N-gain Keterampilan Berpikir untuk Kedua Kelompok Gambar 3.1 menunjukkan bahwa skor rata-rata tes awal siswa kelompok eksperimen sebesar 6,16 (21 %), dan skor rata-rata tes awal pada kelompok kontrol sebesar 7,2 (24 %), sedangkan skor rata-rata tes akhir pada kelompok eksperimen sebesar 12,97 (43 %), dan skor rata-rata tes akhir kelompok kontrol sebesar 9,30 (31 %). Skor rata-rata N-gain yang dinormalisasi keterampilan berpikir kritis konsep kalor pada kelompok eksperimen sebesar 0,29 dan kelompok kontrol sebesar 0,09. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan berpikir kritis konsep kalor siswa setelah mengikuti pembelajaran mengalami peningkatan dimana siswa pada kelompok eksperimen memiliki keterampilan berpikir kritis yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa pada kelompok kontrol, yang jika ditinjau menurut taraf penguasaan konsep kelompok eksperimen lebih baik satu tingkat dibanding dengan kelompok kontrol yakni taraf ”kurang” untuk kelompok eksperimen sedangkan kelompok kontrol tetap pada taraf ”gagal”. Gambar 3.2 menunjukkan perbandingan tes awal, tes akhir dan N-gain keterampilan berpikir kritis berdasarkan indikatornya pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol .
4
5
60
53
50
42 35
skor (% )
40 29
30 20
33
32
29 22
32
20
15
15
14
10
39
36
12
1
-3
0 -10
Tes Awal
Keterangan:
Tes Akhir
N-Gain
Tes Awal
1
1. Mempertimbangkan penjelasan sederhana 2. Membangun keterampilan dasar 3. Menyimpulkan
Tes Akhir
N-Gain
2 indikator Eksperimen
Tes Awal
Tes Akhir
N-Gain
3
Kontrol
Gambar 3.2 Perbandingan Skor Tes Awal, Tes Akhir dan N-Gain Setiap Indikator Keterampilan Berpikir Kritis antara Kedua Kelompok Sesuai dengan Gambar 3.2 diperoleh bahwa kelompok eksperimen mengalami peningkatan yang lebih besar pada setiap indikator keterampilan berpikir kritis dengan persentase tertinggi terjadi pada indikator membangun keterampilan dasar sebesar 42 % dan peningkatan terendah pada indikator menyimpulkan dengan persentase
12 %. Sesuai Gambar 3.2 menunjukkan
bahwa keterampilan berpikir kritis setiap indikator pada kelompok eksperimen mengalami peningkatan, sedangkan pada kelompok kontrol yang mengalami peningkatan adalah indikator mempertimbangkan penjelasan sederhana dan membangun keterampilan dasar, tetapi pada indikator menyimpulkan tidak mengalami peningkatan (tetap) bahkan N-gain nya -0,03 meskipun rata-rata skor tes awal sama dengan rata-rata skor tes akhir. Dari hasil analisis tes keterampilan berpikir kritis didapatkan bahwa skor yang diperoleh siswa setelah mengikuti pembelajaran model PBM pada konsep kalor sebesar 43,2 tersebut juga belum mencapai nilai Standar Ketuntasan Belajar Minimal (SKBM) yang ditetapkan oleh sekolah sebesar 65. Skor keterampilan berpikir kritis yang masih rendah ini disamping penyebabnya sama dengan penguasaan konsep, juga disebabkan oleh hal-hal berikut: 1) siswa belum biasa menyelesaikan soal-soal yang berhubungan dengan keterampilan berpikir kritis; 2) waktu yang tidak cukup; dan 3) motivasi dan semangat belajar masih kurang. Meskipun demikian, dari analisis hipotesis dengan menggunakan uji–t satu ekor N-Gain keterampilan berpikir kritis diperoleh bahwa peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa yang mendapatkan Model PBM lebih lebih tinggi
5
6
dibandingkan
dengan
siswa
yang
mendapatkan
model
pembelajaran
konvensional pada taraf signifikansi sebesar 0,05. b. Tanggapan Guru dan Siswa terhadap Penggunaan Model PBM 1. Tanggapan Guru Sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap dua orang guru fisika (termasuk yang mengajar di kelas tertentu) diperoleh bahwa secara umum tanggapan guru terhadap penggunaan model pembelajaran berbasis masalah adalah memberikan respon yang positif. Guru menganggap model ini merupakan model yang baru bagi guru dan belum pernah digunakan dalam pembelajaran di kelas; interaksi antara guru dengan siswa dan antar sesama siswa lebih optimal dan siswa menemukan sendiri konsep baru; dapat menumbuhkan kebiasaan berpikir siswa dan dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa. Meskipun model ini dianggap memerlukan waktu yang cukup lama dan persiapan yang matang. Walaupun demikian guru mengharapkan agar model pembelajaran ini dapat diterapkan pada konsep fisika lainnya dengan mengkomunikasikan penyusunan LKS yang lebih baik lagi. 2. Tanggapan Siswa Hasil analisis angket tanggapan siswa terhadap penerapan model PBM pada konsep Kalor dapat dirangkum pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Skor Rata-rata Tanggapan Siswa terhadap Model PBM No 1. 2. 3. 4. 5. 6
7 8
Tanggapan siswa Model Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan model pembelajaran yang baru bagi siswa Model Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan model pembelajaran yang memotivasi siswa dan menarik Model Pembelajaran Berbasis Masalah dapat mengatasi kesulitan siswa dalam memahami fisika Senang tidaknya siswa belajar kelompok dalam Model Pembelajaran Berbasis Masalah Pemanfaatan Lembar Kerja Siswa (LKS) dalam memahami fisika Model Pembelajaran Berbasis Masalah dapat mengatasi kesulitan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh guru Model Pembelajaran Berbasis Masalah dapat meningkatkan keterampilan siswa menggunakan alat-alat praktikum Model Pembelajaran Berbasis Masalah dapat
Skor rata-rata 2,95 3,07 2,93 2,80 3,23 3,07
2,80 3,20
6
7
menumbuhkan keterampilan berpikir siswa Rata-rata
3,01
Sesuai dengan tabel 3.1 dapat dijelaskan bahwa siswa memberikan tanggapan yang positif atas pelaksanaan model PBM yang dapat meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis dan mengharapkan untuk diterapkan pada konsep fisika lainnya. Meskipun demikian secara umum tanggapan siswa terhadap Model PBM sangat baik sebesar 3,01 (75 %) 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data maka dapat disimpulkan bahwa: Terdapat peningkatan keterampilan berpikir kritis baik pada siswa yang mendapatkan model pembelajaran berbasis masalah maupun siswa yang mendapatkan model pembelajaran konvensional. Penggunaan model pembelajaran berbasis masalah pada konsep kalor dapat lebih meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Guru dan siswa memberikan tanggapan yang positif terhadap penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dengan harapan agar dapat diterapkan pada konsep fisika lainnya sesuai dengan karakteristik materi yang dipelajari Daftar Pustaka Abdulah, M. (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah pada Topik Wujud Zat dan Perubahannya Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Proses Sains. Tesis Magister pada SPS UPI Bandung: tidak diterbitkan. Akinoglu, O dan Ozkardes, R.T. (2007). “The Effects of Problem-Based Active Learning in Science Education on Students’Academic Achievement, Attitude and Concept Learning”. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 3(1), 71-81. Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi, Mata Pelajaran Fisika, Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Depdiknas. Gerace, W.J dan Beatty, I.D. (2005). Teaching vs Learning: Changing Pervectives on Problem Solving in Physics Instruction. http://www.umperg.physics.edu/library/pdf.
7
8
Hake, R. R. (1999). Analyzing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia: http://lists.asu.edu/cgi-bin/wa?A2=ind9903&L=aera-d&P=R6855 [22 April 2008] Muslich, M. (2007). KTSP Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara. Ruseffendi. (1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: IKIP Bandung Press. Sanjaya, W. (2007). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
8