URGENSI ‘IWAḌ DALAM KHULU’ DALAM PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I
SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah (AAS) Oleh: SLAMET NIM. 58310100
FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI CIREBON 2012 M/1433 H
IKHTISAR SLAMET : URGENSI ‘IWAḌ DALAM KHULU’ DALAM PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I Dalam ajaran Islam perceraian atau pemutusan hubungan perkawinan dapat terjadi karena beberapa hal yakni: talaq, khulu’, fasakh, li’an, dan ila’. Dari bentukbentuk cara perceraian di atas, selain perceraian lewat talaq yang dilakukan suami, maka istri pun mempunyai hak untuk memutuskan hubungan suatu perkawinan yaitu dengan cara khulu’. Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau ‘iwaḍ kepada dan atas persetujuan suaminya. Dalam fikih Mazhab Syafi’i masalah ‘iwaḍ ini sering kita jumpai. Sementara dalam Hukum Islam di Indonesia masalah ‘iwaḍ tidak dibahas secara mendetail. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka dirumuskan masalah yang terkait dengan judul di atas yakni: 1. Bagaimana definisi khulu’ menurut pandangan fiqh mazhab Syafi’i?; 2. Bagaimana ketentuan dan urgensi ‘iwaḍ dalam khulu’ menurut pandangan mazhab Syafi’i?; 3. Bagaimana relevansi ‘iwaḍ menurut mazhab Syafi’i dalam kontek hukum Islam Indonesia? Adapun penelitian ini mempunyai tujuan: 1. Mengungkap data tentang definisi khulu’ dalam Islam khususnya menurut mazhab Syafi’i, 2. Mendeskripsikan ketentuan dan urgensi ‘iwaḍ dalam khulu’ menurut mazhab Syafi’i, 3. Mendeskripsikan akan relevan atau tidaknya ‘iwaḍ menurut mazhab Syafi’i terhadap hukum Islam di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan pendekatan normative deskriptif sebagai upaya penyusunan bahan penelitian, dan metode library research (kepustakaan) dipakai untuk teknik pengumpulan data yang terkait dengan penelitian. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ulama madzhab Syafi’i mendefinisikan khulu’ sebagai perceraian antara suami istri dengan ganti rugi, baik dengan lafaz talaq maupun dengan lafaz khulu’. Adapun dalilnya adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 229 dan hadits yang diriwayatkan Bukhari no. 5275 tentang khulu’, 2. Menurut mazhab Syafi’i jumlah atau kadar ‘iwaḍ boleh dibayarkan berupa maskawin atau sebagiannya atau dengan harta lain, sama, atau kurang, atau lebih dari maskawin. Jenis dan sifatnya sama seperti sesuatu yang dapat diperjual belikan, jika tidak maka khulu’-nya tertolak atau ‘iwaḍ-nya harus diganti dengan mahar miṡil. Dengan demikian, ketentuan atau kadar ‘iwaḍ berkedudukan sebagai batasan yang membolehkan ada dan tidaknya khulu’, maka keberadaan ‘iwaḍ dalam khulu’ sama pentingnya dengan mahar dalam perkawinan, 3. penetapan kadar ‘íwaḍ baik menurut pendapat mazhab Syafi’i maupun hukum Islam yang berlaku di Indonesia sama-sama tidak membatasi jumlahnya, waktu pembayaran ‘iwaḍ boleh dilakukan kapan pun, sementara dalam masalah penetapan ‘iwaḍ sama-sama menggunakan asas musyawarah atau kesepakatan kedua belah pihak asalkan barang ‘iwaḍ memenuhi syarat.
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT Rabb semesta alam, karena dengan rahmat, hidayah serta inayahnya skripsi ini dapat tersusun dengan baik, amiin. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada beliau Rasulullah Muhammad SAW, serta kapada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya sampai hari kiamat kelak. Dalam penulisan skripsi ini, tentunya penulis mendapatkan bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tiada batas kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. H. Maksum Mukhtar, M.A, selaku Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon. 2. Bapak Dr. H. Ahmad Khaliq, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah. 3. Bapak H. Ilham Bustomi, M. Ag, selaku Ketua Jurusan Al-Ahwal AlSyakhshiyyah. 4. Bapak Dr. H. Samsudin, M. Ag, selaku Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan skripsi ini. 5. Bapak Ahmad Rofi’i, MA, LLM, selaku Pembimbing II yang juga telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pembuatan skripsi ini. 6. Seluruh civitas akademik IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
viii
7. Semua pihak yang telah memberikan motivasi begitu tinggi dalam rangka mendukung penulisan skripsi ini. Semoga kebaikan serta ketulusan yang telah mereka berikan mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT. Penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun pada penulisan skripsi ini. Dan semoga skripsa ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Amin. Dan terakhir penulis ucapkan terima kasih. Cirebon, Mei 2012
SLAMET
ix
DAFTAR ISI IKHTISAR .............................................................................................................i PERSETUJUAN ...................................................................................................ii NOTA DINAS ..................................................................................................... iii PERNYATAAN OTENTITAS SKRIPSI .........................................................iv PENGESAHAN ....................................................................................................v PERSEMBAHAN DAN MOTTO........................................................................vi RIWAYAT HIDUP .............................................................................................vii KATA PENGANTAR ........................................................................................viii PEDOMAN TRANSLITERASI .........................................................................x DAFTAR ISI .......................................................................................................xiii BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................1 B. Perumusan Masalah ..........................................................................................7 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................................... 9 D. Penelitian yang Relevan .................................................................................10 E. Kerangka pemikiran ........................................................................................10 F. Metodologi penelitian .....................................................................................14 G. Sistematika penulisan .....................................................................................16 BAB II : MAZHAB SYAFI’I A. Biografi Imam Syafi’i .....................................................................................18 B. Istinbaṭ Hukum Imam Syafi’i .........................................................................20 xiii
C. Pengertian Mazhab .........................................................................................21 D. Sejarah Mazhab Syafi’i ...................................................................................25 E. Sejarah Perkembangan Mazhab syafi’i di Indonesia .....................................33 BAB III : PANDANGAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG KHULU’ A. Pengertian Khulu’ ...........................................................................................36 B. Dasar Hukum Khulu’ ......................................................................................37 C. Khulu’ dalam Perspektif Mazhab Syafi’i ......................................................39 D. Khulu’ dalam Perspektif Hukum di Indonesia ...............................................43 BAB IV : URGENSI ‘IWAḌ DALAM KHULU’ DALAM PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I A. Pengertian dan Dasar Hukum ‘Iwaḍ................................................................46 B. Ketentuan dan Kedudukan ‘Iwaḍ Menurut Mazhab Syafi’i ...........................50 C. Relevansi ‘Iwaḍ (Menurut Mazhab Syafi’i) dengan Hukum Islam di Indonesia .........................................................................................................................57 D. Analisis ...........................................................................................................64 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................................68 B. Saran ...............................................................................................................70 DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................71
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkataan ‘nikah’ menurut lughat berarti kumpul. Kalau diucapkan Nakāhatil
Asyjāru,
artinya
pepohonan
itu
menyatu
dan
saling
melilit.
Sedangkan menurut syara’ kata nikah berarti akad yang telah masyhur yang mengandung
rukun-rukun
dan
syarat-syarat.
Terkadang
digunakan
juga
dengan arti akad dan wathi’ (bersetubuh), dalam lughat. Begitulah kata AzZajjaj. Sementara itu Al-Azhari berkata asal arti kata nikah dalam kalam Arab adalah wathi’. Kawin disebut nikah, karena kawin itu menjadi sebab wathi’.1 Perkawinan dalam terminologi para fuqaha Syafi’iyah adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan
menggunakan
lafadz
nakaha
atau
zawaja
(al
Mahalliy,
2006).2
Perkawinan juga disebut sebagai ikatan lahir batin antara suami istri untuk membentuk
keluarga
yang
sakinah,
mawadah,
wa
rahmah.
Selain
itu
perkawinan merupakan akad yang sangat kuat atau miṡaqan galiḍa yang tidak
lepas
dari
unsur
mentaati
Allah
1
dan
melaksanakannya
adalah
Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al Husaini, Kifayatu al Ahyar fii Hal Ghaayati al Ikhtiṣar, (Syarifudin Anwar dan Mishbah Musthafa, pent:), (Surabaya: Bina Iman,1993), h. 77. 2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), Ed 1, cet ke-III, h. 37.
1
2
mengandung unsur ‘ubudiyah.3 Dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Bab I (Dasar Perkawinan) pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang
wanita
sebagai
suami
istri
dengan
tujuan
membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha
Esa.4
Perkawinan
bertujuan
untuk
mewujudkan
kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (UU RI no. 1 Tahun 1974 Bab
II pasal
3).5
Namun
demikian, kehidupan
perkawinan
tidak
selamanya berjalan harmonis sesuai tujuan semula, riak-riak kecil sebagai tanda
munculnya
dikendalikan
dan
konflik dikelola
setiap
saat
dengan
perceraian. Putusnya perkawinan
bisa
baik
muncul,
akan
maka
jika
tidak
memicu
mampu terjadinya
atau terjadinya perceraian menurut Ahmad
Rafiq (1995: 269-273), setidaknya ada empat kemungkinan untuk memicu timbulnya keinginan untuk memutus perkawinan, yaitu: 1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri. 2. Terjadinya nusyuz dari pihak suami. 3. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri, yang dalam Alquran disebut syiqaq.
3
Anik Farida, et.al., Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas dan Adat, (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2007), h.18. 4 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Arkola, tt), h. 5. 5 Ibid., h. 180.
3
4. Terjadinya salah satu pihak melakukan zina atau fakhisyah, yang menimbulkan tuduh menuduh antara keduanya.6 Dalam ajaran Islam perceraian atau pemutusan hubungan perkawinan dapat terjadi karena beberapa hal yakni: (1) Talaq, (2) Khulu’, (3) Fasakh, (4) Li’an, dan (5) Ila’.7 Dari bentuk-bentuk cara perceraian di atas, selain perceraian lewat talaq yang dilakukan suami, maka istri pun punya hak untuk memutuskan hubungan suatu perkawinan yaitu dengan cara khulu’. Khulu’ (gugatan cerai) dari istri,8 berarti menanggalkan. Dari kata khulu’ seperti ungkapan “ia menanggalkan baju”. Diartikan menanggalkan apabila ia menanggalkan baju itu. Dan khulu’ menurut syara’ ialah suatu pernyataan cerai dengan membayar ganti yang diambil suami.9 Dasar hukum dibolehkannya khulu’ ialah ijma, Al-Qur’an dan sunnah juga ada yang membawanya. Allah SWT berfirman:
فال جناح عليهما فيما افتدت به “…maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.(Al-Baqarah: 229).10
yang
Dan juga hadits Nabi tentang khulu’ yaitu: 6
Anik Farida, et.al., Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas dan Adat, op. cit., h.126. 7 Ibid., h. 126. 8 Tim Peyusun Al Manar, Fikih Nikah Panduan Syar’i Menuju Rumah Tangga Islami, (Bandung: PT Syaamil Cipta Media, 2006), cet. II, h.109. 9 Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad al Husaini, Kifayatu al Ahyar fii Hal Ghaayati al Ikhtishar (terj.), op. cit., h.166. 10 Ibid., h. 166.
4
ان امراة ثابت بن قيس اتت النيب لل اهلل عليه سلل: عن ابن عباس رضي اهلل عنهما يا ر لول اهلل ثابت ابن قيس ما اعتب عليه يف خلق سأل دين سلكين اكثره الكفر يف: فقالت اترد ين عليه حديقته ؟ قالت نع قال رلول: األلألم فقال رلول اهلل لل اهلل عليه سلل اهلل لل اهلل عليه سلل اقبل احلديقة سطلقها تطليقة Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas r.a. bahwa istri Tsabit bin Qais menemui Nabi Saw.dan berkata : Ya Rasulullah saya tidak menjelekkan Tsabit bin Qais dalam hal akhlak dan agamanya, tetapi saya tidak ingin terjerumus dalam perilaku menentang Islam (apabila saya tetap menjadi istri Tsabit bin Qais.) Rasulullah Saw. bersabda “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebun yang telah diberikan Tsabit bin Qais (sebagai maskawin?” istri Tsabit bin Qais menjawab: “ya” Rasulullah Saw. bersabda kepada Tsabit bin Qais “terimalah kebun itu dan ceraikan istri kamu dengan talaq satu.” (HR Bukhari, no 5275)11 Dengan demikian bila istri merasa khawatir bahwa suaminya tidak menunaikan kewajiban memberikan yang telah ditetapkan syari’ah dalam ikatan perkawinan mereka, maka dia dapat melepaskan diri dari jalinan ikatan
perkawinan
mereka
dengan
memberikan
‘iwaḍ
(mengembalikan
sebagian atau seluruh harta yang telah diterimanya kepada suaminya) dan kalau mereka telah melakukan hal ini, maka terjadilah perceraian yang tidak dapat diubah lagi. Tetapi kalau istri gagal memberikan ‘iwaḍ (pembayaran) ini,
masih
11
ada
cara
lain
untuk
memutuskan
perkawinan
itu
melalui
Zainuddin Ahmad bin Abd Al-Lathif Az-Zabidi, Mukhtashar Shahih Al- Bukhari, (Achmad Zaidun, pent:(, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 928-929.
5
“Mubarat” yang tak ada pembayaran yang harus diberikan, dan perceraian itu sendiri sah, semata-mata hanya dengan persetujuan kedua belah pihak.12 ‘Iwaḍ diambil dari kata
– عوضااا – وعوضااا
عاااyang secara bahasa
mempunyai arti mengganti,13 yaitu mengganti atau mengembalikan sebagian atau seluruh harta kepada suaminya.14 Masalah ‘iwaḍ atau tebusan bagi seorang istri apabila mengajukan cerai gugat (khulu’), hal ini masih perlu dikaji ulang. Berdasarkan hadits riwayat oleh Ibnu Abbas di atas bahwa istri Tsabit bin Qais meminta cerai dan mengajukan hal ini kepada Rasulullah, istri Tsabit mengajukan hal ini bukan karena dia mendapatkan tekanan, kekerasan dan penganiayaan dari suaminya tapi semata-mata karena “kekufuran” dan itu untuk keselamatan dan kebaikan cerai
gugat
suami itu sendiri. Hal ini memberikan pemahaman bahwa (khulu’) dapat
dikenakan
‘iwaḍ
apabila semata-mata
karena
inisiatif si istri saja, tanpa mengalami kekerasan dan penganiayaan baik secara fisik maupun spikis. Tetapi kalau sebaliknya, dimana istri sudah ditinggalkan selama beberapa bulan, bahkan beberapa tahun tidak diberikan nafkah lahir dan batin, nafkah anak, serta istri mendapatkan penganiayaan
12
Abdul Rahman, Shari’ah The Islamic Law, (Basri Iba Asghary dan Wadi Masturi, pent:), (Jakarta: PT Rineka Putra, 1996), cet II, h.114. 13 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia Al-Munawir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet XVII, h.986. 14 Abdul Rahman, Shari’ah The Islamic Law (terj.), op. cit., h. 114.
6
dan berbagai bentuk kekerasan lainnya,15 dengan
tujuan agar seorang istri
meminta khulu’ dengan imbalan sejumlah uang, kemudian ternyata istri mau melakukannya, maka apakah khulu’ yang seperti ini diperbolehkan dalam Islam serta bagaimana kedudukan ‘iwadh dalam khulu’ tersebut, apakah istri harus tetap memberikan ‘iwadh baik jumlahnya sama, kurang atau bahkan lebih dari maskawin. Sementara
ditinjau
dari
letak
keadilannya
maka
istri
sebagai
penggugat di samping membayar biaya perkara di Pengadilan juga ganti rugi yang disebut ‘Iwadh. Tentunya hal ini memicu sebuah pertanyaan juga yaitu seberapa pentingkah ‘iwadh
dalam proses khulu’ itu baik menurut hukum
Islam di Indonesia atau pun menurut fiqih klasik ulama madzhab khususnya madzhab
Syafi’i
mengingat
di
Indonesia
sebagian
besar
masyarakatnya
adalah pemeluk madzhab tersebut. Karena menurut pendapat sebagian orang keberadaan ‘iwadh dalam khulu’ ini menjadi term yang tidak logis terutama apabila penyebab suami
yang
istri
melakukan
mengajukan kekerasan,
gugatan cerai menelantarkan,
(khulu’)
karena
meninggalkan
faktor selama
minimal 6 bulan atau bahkan lebih, tidak memberi nafkah, dan sebagainya.16 Hal senada dikatakan oleh Tri Wahyuni (Cimone Jaya,23/5/04) dalam kasus yang sama
15
bahwa masalah biaya untuk menebus diri (‘iwaḍ) itu dianggap
Anik Farida, et.al., Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian di Berbagai Komunitas dan Adat, op. cit., h. 32. 16 Ibid., h.33.
7
sebagai
sebuah
tindakan
masalah
hukum,
karena
yang
membuat
harus
lambat
menyediakan
seseorang
biaya
mengambil
terlebih
dahulu.17
Anggaplah sebagai contoh, si istri adalah seorang wanita malang yang diperlakukan semena-mena dan diancam oleh suami yang kasar yang benarbenar menginginkan agar si istri mengembalikan seluruh maharnya.18 Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ‘Iwaḍ ataupun kadar harta yang boleh dipakai untuk khulu’. Segolongan bahwa seorang istri
fuqaha berpendapat
boleh melakukan khulu’ dengan memberikan harta yang
lebih banyak dari mahar yang diterimanya
dari suaminya, jika kedurhakaan
datang dari pihaknya, atau memberikan yang sebanding dengan mahar atau lebih sedikit. Dan segolongan fuqaha lain berpendapat bahwa suami tidak boleh mengambil ‘iwaḍ lebih banyak dari maskawin yang diberikan kepada istrinya sesuai dengan lahir hadits Tsabit. Adapun mengenai sifat
‘iwaḍ
(harta pengganti) tersebut para ulama juga berbeda pendapat, mengenai hal ini ada yang mensyaratkan diketahui sifat dan wujud harta tersebut dan ada juga
ulama
yang
berpendapat
membolehkan
harta
yang
tidak
diketahui
wujud dan kadarnya serta harta yang belum ada, serta ada juga yang membolehkan harta atau barang yang tidak jelas.19
17
Ibid., h.49.
18
Abdul Rahman, Shari’ah The Islamic Law (terj.), op. cit., h.114. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, pent:), (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), cet III, h.554-555. 19
8
B. Perumusan Masalah Pada bagian ini penulis menetapkan hal-hal sebagai berikut: a. Identifikasi Masalah 1. Wilayah Penelitian Wilayah penelitian yang dipillih adalah termasuk kedalam wilayah Fiqh Munakahat 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan kualitatif
dengan
yang
relevan
metode
dalam
pengumpulan
penelitian data
ini
melalui
adalah
pendekatan
studi
kepustakaan
(Library Research). 3. Jenis Masalah Jenis masalah dalam penelitian
di sini adalah adanya ketidak jelasan
tentang ‘iwaḍ apakah harus sesuai dengan mahar atau tidak, dan ketidak pastian
akan
kedudukan
‘iwaḍ
apakah
berpengaruh
terhadap
sah
dan
tidaknya Khulu’, sehingga hal ini akan dikaji melalui fiqh mazhab Syafi’i dengan melihat relevansinya terhadap ‘iwaḍ yang berlaku pada hukum Islam di Indonesia sekarang. b. Pembatasan Masalah
9
Agar dalam penelitian ini terfokus pada wilayah penelitian yang dikaji, maka penulis membatasi permasalahan ini hanya pada ketentuan dan kedudukan ‘iwaḍ menurut mazhab Syafi’i serta relevansinya terhadap hukum Islam di Indonesia. c. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana definisi khulu’ menurut pandangan fiqh mazhab Syafi’i? 2. Bagaimana
ketentuan
dan
urgensi
‘iwaḍ
dalam
khulu’
menurut
pandangan mazhab Syafi’i? 3. Bagaimana relevansi iwaḍ
menurut mazhab Syafi’i dalam konteks
hukum Islam Indonesia?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengungkap data tentang
definisi khulu’ dalam Islam khususnya
menurut mazhab Syafi’i. 2. Mendeskripsikan ketentuan dan urgensi ‘iwaḍ dalam khulu’
menurut
mazhab Syafi’i. 3. Mendeskripsikan akan relevan atau tidaknya ‘iwaḍ menurut mazhab Syafi’i terhadap hukum Islam di Indonesia. Adapun kegunaan penelitian ini adalah diantaranya sebagai berikut:
10
1. Untuk menambah khasanah keilmuan dalam penulisan karya ilmiah yang semoga bermanfaat bagi penulis pribadi dan bagi masyarakat pada umumnya. 2. Untuk memenuhi syarat akademik mendapat gelar sarjana Syari’ah (S.Sy). D. Penelitian yang Relevan Yang
dimaksud
penelitian
penelitian
terdahulu,
yang
adalah
relevan
atau
penelitian-penelitian
ada yang
yang
menyebutnya
pernah
dilakukan
sebelumnya dan erat kaitannya dengan permasalahan penelitian yang akan dilakukan. Dan setelah penulis melakukan penelusuran kepustakaan untuk mengetahui hasil-hasil
penelitian
penelitian
yang
terdahulu
akan
ini, yaitu “Urgensi ‘Iwaḍ
yang erat
kaitannya
dengan
permasalahan
dilakukan tidak ada penelitian yang mengangkat
judul
dalam Khulu’ dalam Perspektif Mazhab Syafi’i”.
Hanya saja dalam penelitian terdahulu terdapat sebuah karya ilmiah (skripsi) yang berjudul “Pandangan Imam Syafi’i tentang Keabsahan Khulu’ dalam Perceraian” yang ditulis oleh Iis Yuliartuti (2005 M/1426 H), dalam karya ilmiah tersebut pembahasannya adalah mengenai bagaimana konsep khulu’ dalam hukum perkawinan Islam dan bagaimana pandangan Imam Syafi’i tentang keabsahan khulu’ dalam perceraian. Sehingga ini berbeda dengan
11
penelitian yang dilakukan penulis,
dimana di
sini
pembahasannya
lebih
terfokus pada ketentuan ‘iwaḍ serta keurgensiannya dalam khulu’.
E. Kerangka Pemikiran Kehidupan
suami
istri
hanya
bisa
tegak
kalau
berada
dalam
ketenangan, kasih sayang, pergaulan yang baik, dan masing-masing pihak menjalankan
kewajibannya
dengan
baik.
Tetapi
adakalanya
suami
membenci istri atau istri membenci suaminya. Dalam keadaan ini islam berpesan agar bersabar dan sanggup menahan diri dan menasehati dengan obat
penawar
yang
dapat
menghilangkan
sebab-sebab
timbulnya
rasa
kebencian. Firman Allah SWT :
سعاشرسهن باملعرسف فانكرهتموهن فعسي ان تكرهوا شيئا سجيعل اهلل فيه خريا كثريا “Dan pergauilah mereka (istri-istri) dengan baik,jika kamu benci kepada mereka, boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal justru di situ Allah jadikan banyak sekali kebaikannya”.(an-Nisa :19) Kebencian
itu
terkadang
semakin
membesar,
percecokan
semakin
sangat, penyelesaiannya semakin sulit, kesabaran menjadi hilang, dan hilang lenyap ketenangan, cinta, kasih sayang, dan kemauan menunaikan kewajiban yang menjadi sendi-sendi kehidupan keluarga sudah tidak ada lagi. Maka pada saat seperti ini, Islam membolehkan penyelesaian satu-satunya yang terpaksa harus ditempuh. Jika kebencian itu adanya pada pihak suami,
12
ditangannya terletak talaq yang merupakan salah satu haknya. Dia berhak menggunakannya selama masih sesuai dengan hukum Allah. Jika kebencian adanya dari pihak istri, maka Islam membolehkan menebus dirinya dengan jalan khulu’ yaitu mengembalikan mahar kepada suaminya guna mengakhiri ikatan sebagai suami istri.20 Tentang ini Allah berfirman :
سال حيل لك ان تئخدسا مما اتيتموهن شيئا اال ان خيافا اال يقيماحدسد اهلل فان خفت اال يقيماحدسد اهلل فال جناح عليهما فيماافتدت به “Dan tidak halal bagi kalian (suami-suami), meminta kembali sedikitpun apa yang kalian telah berikan kepada mereka (istri-istri) kecuali bila keduanya (suami istri) khawatir tidak dapat menegakkan hukum Allah. Jika kalian khawatir tidak dapat menegakkan hukum Allah, maka tidak ada salahnya bagi mereka berdua (suami istri) tentang tebusan istri kepadanya.”21 Tentang
suami
menerima
‘iwaḍ
(tebusan)
tersebut
adalah
hukum
yang adil dan tepat. Karena tadinyalah suami yang memberikan mahar, membiayai biaya perkawinan, pelaminan dan memberi nafkah kepadanya. Tetapi
tiba-tiba
istri
membalasnya
dengan
keingkaran
dan
minta
pisah.
Karenanya, itu adalah suatu keadilan, jika istri harus mengembalikan apa yang pernah diterimanya itu.22 Jadi, jika ada seorang wanita membebani suaminya
karena
keburukan
akhlak,
ketaatannya
20
terhadap
agama,
atau
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Moh. Thalib, pent:), (Bandung: Al-Ma’arif, 1998), Jilid VIII, h.
93-94. 21
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama. Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (terj.), op. cit., h. 94.
22
13
karena yang lain, maka baginya diperbolehkan meng-khulu’ dengan cara memberikan ‘iwaḍ berupa tebusan untuk menebus dirinya dari suaminya. Hal tersebut sesuai QS. Al-Baqarah: 229; maka tidak ada dosa baginya untuk mengeluarkan ‘iwaḍ itu kepada suaminya,dan tidak ada dosa pula bagi suaminya atas ‘iwaḍ yang diterimanya.23 Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Pasal yang berkaitan langsung dengan khulu’ adalah pasal 124 dan pasal 161 serta pasal 119 ayat 2b yang menyebutkan khulu’ sebagai bagian dari talaq ba’in sughra. Adapun alasan yang dapat mendasari terjadinya khulu’ sama dengan alasan talaq, yaitu mengikuti pasal 116 dari huruf a sampai huruf h. Adapun berapa besarnya ‘iwaḍ adalah berdasarkan kesepakatan atau permufakatan kedua belah pihak (pasal 148 ayat 4). Namun untuk menyelesaikan kasus khulu’ KHI memberikan prosedur khusus melalui pasal 148.24 Masalah ‘iwaḍ ini juga disebutkan dalam Pembaharuan Hukum Islam (Counter Legal Draft) bagian ke enam tentang ‘iwaḍ pasal 87 yaitu sebagai berikut: 1) Mut’ah atau ‘Iwaḍ wajib diberikan oleh suami istri jika perceraian mengakibatkan kerugian bagi pasangan.
23
Hasan Ayyub, Fiqh Usrotul Muslimah, (M. Abdul Ghofar, pent:), (Jakarta: Pustaka alKausar, 2001), h. 305-306. 24 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000) cet ke-I, h. 175176.
14
2) Jumlah Mut’ah atau’iwaḍ ditentukan oleh musyawarah kedua belah pihak atau keputusan pengadilan Agama atas pertimbangan kerugian pihak penerima mut’ah atau ‘iwaḍ.25 Demikianlah
letak
keadilan
ajaran
Islam
diantaranya
kesamaan
derajat antara manusia, dalam hal perceraian pun ada keseimbangan antara hak seorang laki-laki yang
ditangannya ada talaq, begitu juga bagi seorang
perempuan ada khulu’ untuk dapat mengakhiri sebuah perkawinan apabila dirasa sudah tidak mungkin lagi bersatu. Khulu’ merupakan bukti pula bahwa kesucian wanita harus dihormati dan dilindungi setiap saat. Dalam khulu’ terdapat
ketentuan
‘iwaḍ
(harta
pengganti)
yang
merupakan
konsekuensi
yang harus dilakukan apabila seorang istri mengajukan cerai gugat.
F. Metodologi Penelitian Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode kualitatif dengan
25
studi kepustakaan (library Research), yaitu
Siti Musdah Mulia, et.al., Pembaruan Hukum Islam, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI, 2004), h.65.
15
mengumpulkan data-data yang berkaitan
dengan masalah yang akan
dibahas. b. Sumber Data 1. Sumber data primer adalah data yang mengikat dan digunakan sebagai sumber rujukan utama dalam memperoleh data yang relevan, adalah sebagai berikut: -
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama.
-
Kifayat al-Ahyar fii hal hayah al-ikhtishar, karya imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad al-Husaini.
-
Fath al-Mu’in karya Zainudin al-Malibari
-
Al-Umm karya Imam Syafi’i
-
Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i karya Siradjuddin Abbas
-
Kompilasi Hukum Islam (KHI)
2. Sumber data sekunder adalah sumber data tambahan yang memberi penjelasan
terhadap
data-data
primer,
diantaranya
berikut: -
Tafsir al-Maraghi, karya Ahmad Mustofa al-Maraghi.
-
Fiqh Sunnah karya Sayid Sabiq
-
Bidayat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, dan lainnya.
c. Langkah-langkah Penelitian Analisis data ini dilakukan dengan cara :
adalah
sebagai
16
-
Mencari data yang relevan dan kemudian menginventarisasi data-data yang berhubungan dengan judul skripsi.
-
Mengumpulkan data-data yang diperoleh sehingga akan menemukan jawaban
atas
menganalisis
pertanyaan-pertanyaan
data-data
tersebut
dengan
yang
ada.
Kemudian
tetap
mengacu
kerangka
pemikiran yang sudah ditetapkan.
G. Sistematika Penulisan Bab masalah,
pertama
Pendahuluan,
perumusan
masalah,
membahas
tujuan
tentang
penelitian,
latar
manfaat
belakang penelitian,
penelitian yang relevan, kerangka pemikiran, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Bab kedua Mazhab Syafi’i yang membahas tentang gambaran umum tentang Mazhab Syafi’i diantaranya biografi Imam Syafi’i, Istinbaṭ hukum Imam
Syafi’i,
definisi
mazhab,
sejarah
mazhab
syafi’i,
perkembangan
mazhab Syafi’i di Indonesia. Bab membahas
ketiga tentang
Pandangan gambaran
Mazhab umum
Syafi’i
khulu’
tentang
diantaranya
Khulu’ tentang
yang definisi
khulu’, dasar hukum khulu’, syarat-syarat khulu’, serta praktek khulu’ dalam hukum Islam di Indonesia.
17
Bab keempat adalah Urgensi ‘iwaḍ dalam khulu’ menurut perspektif Mazhab Syafi’i yang membahas tentang definisi ‘iwaḍ, dasar hukum ‘iwaḍ, urgensi dan kedudukan ‘iwaḍ, kadar, jenis, dan sifat ‘iwaḍ (ketentuan ‘iwaḍ) menurut perspektif mazhab Syafi’i, serta relevansinya terhadap hukum Islam di Indonesia. Bab kelima Penutup yang membahas tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
___________Undang-undang Perkawinan di Indonesia Dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Surabaya: Arkola. Tanpa Tahun. Abbas, Siradjuddin. Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i. Cet. XV. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru. 2007.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo. 1992.
Abubakar, Taqiyuddin bin Muhammad al Husaini. Kifayatu Al Ahyar fii Hayatu Ikhtishar. (Syarifuddin Anwar dan Misbah Musthafa, pent:). Surabaya: Bina Iman. 1993.
Al-Asqalany, Al-Hafidh Imam Ibnu Hajar. Bulughul Maram min Adilatil Ahkam (Dani Hidayat, pent:). Tasik Malaya: Pustaka Al Hidayah, 2008. Al-Fannani, Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari. Fathul Mu’in (K.H. Moch. Anwar, et. al., pent.). Bandung: PT Sinar Baru Alqensindo. 1994. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Syihabbuddin, pent:). Cet. I. Jakarta: Gema Insani. 1999.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Koleksi Hadits-Hadits Hukum. Cet.I. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2011. As-Shiddiqie, Habsyi. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Departemen
1971. 71
Agama
RI.
72
At-Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah. Ensiklopedi Islam Al Kamil.Cet. XI. Jakarta: Darus sunah. 2011.
Ayyub, Hasan. Fiqh Usratul Muslimah. (M. Abdul Ghafar, pent:). Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2001. Az-Zabidi, Imam. Muhktasar Shaheh al-Bukhary. (Achmad Zaidun dan Ma’ruf Asrori, pent:). Jakarta: Pustaka Amani. 2002.
Farida, Anik, et. al. Perempuan dalam Sistem Perkawinan dan berbagai
Komunitas
dan
Adat.
Jakarta:
Balai
Perceraian di Penelitian
dan
Pengembangan Agama. 2007.
Hakim, H. Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Cet. I. Jakarta: Pustaka Setia. 2000.
Hasan, M. Ali. Perbandingan Madzhab. Jakarta: PT. Grafindo Persada. 1995. http://lib.uin-malang.ac.id/?mod=th_detail&id=07210015 http://www.pa-negara.go.id
Imam Asy-Syafi’i, Abu Abdullah Muhammad bin Idris. Mukhtashar Kitab Al Umm Fii Al Fiqh (Imron Rosadi, pent:). Cet. V. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.
Mahali, A. Mudjab. Asbabun Nuzul, Studi Pendalaman Al-Qur’an (al-Fatihah- anNisa). Jakarta: Rajawali Pers, 1989.
73
Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosda karya. 2003.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab (Masykur A. B. et. al., pent:). Cet. XXIII. Jakarta: Lentera. 2008. Muhammad ‘Uwaidah, Syaikh Kamil. Fiqih Wanita (M. Abdul Ghoffar E. M. Pent:). Cet. XXIV. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2008.
Muhammad, Abu Bakar. Subulussalam (Alih bahasa: Abdurrasyi Nafis). Surabaya: Al Ikhlas. 1995.
Mulia, Siti Musdah, et. al. Pembaharuan Hukum Islam, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI. 2004. Rahman,Abdul. Syari’ah The Islamic Law. (Basri Iba Asghry dan Wali Masturi, pent:). Jakarta: PT Rineka Putra. 1996.
Rasyid, H. Sulaiman. Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap). Cet. III. Bandung: PT. Sinar Baru Alqesindo. 1995.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. (Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, pent:). Jakarta: Pustaka Amani. 2007.
S. Lev, Daniel. Islamic Courts in Indonesia. (Zani Ahmad Noeh, pent:). Cet. I. Jakarta: PT. Intermasa. 1980.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. (Moh. Thalib,pent:).Bandung:al-Ma’arif.1993.
74
Setyawan, Edy. Perbandingan Madzhab (Ikhtiar Dinamisasi Pemahaman
Fikih
Modern). Cet. I. Cirebon: CV. Hikmah. 2010.
Sopyan,
Yayan. Tarikh Tasyri’, Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Depok: Gramata Publishing. 2010.
Supriyadi, Dedi. Perbandingan Madzhab dengan Pendekatan Baru. Cet . I. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2008.
Syariffudin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan). Jakarta: Kencana. 2009. Tim Peyusun al - Manar. Fiqh Nikah Panduan Syar’i Menuju Rumah Tangga Islam. Bandung: PT Syaamil Cipta Media. 2006. Wahyudi, Muhammad Isna. Fiqh ‘Iddah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.2009.
Warson, Munawir Ahmad. Al -Munawir Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif. 1997.