JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
URGENSI DIBENTUKNYA BADAN PERADILAN KHUSUS LINGKUNGAN INTERNASIONAL DAN BADAN PEMBERSIH SAMPAH ANTARIKSA (SPACE DEBRIS)
Sofian Ardi
Abstract44
Drastic changes in some elements of the environment caused by human activities, organizations, public and private businesses, as well as countries, has recently become a big concern of mankind and nations, among others, global warming as a serious threat. Additionally, international environmental law is a very broad subject that affects many areas, such as labor, trade, energy, sovereignty, international fisheries law, health, international treaty law, and human rights. While courts that exist today is less able to handle effective international environmental problems that occur. Therefore, a new special international judicial bodies are needed, namely the International Environmental Court (IEC) and it is also expected to have a jurisdiction that is not owned by a national court to address the international environment damage. In addition, the problem of space debris as results from the human activities in aerospace become a
44
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jalan Dipatiukur Nomor 35 Bandung,
[email protected]
48
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
serious concern in international environmental issue too. The absence of a special body to handle space debris is an urgency in international legal framework besides the need to set up an International Environmental Court.
Keywords: International Environmental, International Environmental Court, Space Debris
A. LATAR BELAKANG Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup bersama dengan benda tak-hidup lainnya.45 Adalah suatu kenyataan bahwa setiap bagian lingkungan hidup, menjadi bagian wilayah suatu negara atau berada di bawah l ingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan. Setiap bagian lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan (a wholeness) yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari satu sama lain, membentuk satu kesatuan tempat hidup yang disebut lingkungan hidup. Perubahan drastis beberapa unsur lingkungan hidup yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, organisasi bisnis, serta negara-negara, belakangan ini menjadi perhatian besar umat manusia, serta menimbulkan reaksi keras kelompok tertentu, terutama ekolog. Hakikat hukum lingkungan internasional adalah meningkatkan kualitas ekosistem dari derajat rendah ke derajat yang lebih tinggi. Hukum internasional memerlukan pendekatan yang representatif, yang mampu mengkaji masalah-masalah yang timbul akibat kegiatan internasional yang beraspek lingkungan, baik lingkungan hidup dalam porsi sebagai bagian wilayah suatu negara maupun sebagai bagian satu kesatuan ekosistem bumi yang utuh, yang tersusun dalam
45
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta, 1991, hlm.48
49
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
struktur sistem komponen yang saling terkait dan mempengaruhi.46 Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan dunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.47 Masyarakat internasional menyadari bahwa langkah-langkah segera perlu diambil untuk melindungi planet bumi dengan mengingat keadaan bumi sekarang ini. Pemanasan global sebagai salah satu ancaman paling serius terhadap lingkungan saat ini dan mempengaruhi baik tanaman dan hewan dengan penipisan ozon yang terus berlanjut. Keanekaragaman hayati terus menurun karena banyak spesies tanaman dan hewan terancam punah oleh eksploitasi dan kegiatan industrial manusia. Asam hujan, deforestasi, polusi sumber daya air menimbulkan ancaman yang serius. Bahkan, bumi sudah dianggap sebagai satu tubuh yang saling berhubungan di bawah tekanan, dalam kondisi yang lemah, dan dengan kemampuan terbatas untuk mempertahankan kerusakan yang terjadi.48 Selain itu, luar angkasa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan pula dengan lingkungan hidup yang juga merupakan sumber daya yang sangat berguna; dengan meluncurkan Hobble, satelit dan lain sebagainya kita bisa menggunakan televisi, GPS, mobile phone, ramalan cuaca, observasi, dan lain sebagainya, karena itu kita perlu melestarikannya. 49 Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari masa ke masa, dan dengan hasil di satu
46
Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional¸Reflika, Bandung, hlm. 5. 47 J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta , 1999, hlm.3. 48 Susan M. Hinde, “Note: The International Environmental Court : Its Broad Jurisdiction as a Possible Fatal Flaw”, Hofstra Law Review, Vol 32, 2003, hlm 737 49 Sampah Benda di Luar Angkasa Sulit Di Atasi, diakses dari http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/11716, pada tanggal 07 Juni 2015 pukul 20:30 WIB.
50
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
pihak maupun meningkatkan kesejahteraan manusia akan tetapi di lain pihak juga menjadi alat pemusnah dan di tambah lagi dengan dampakdampaknya terhadap lingkungan hidup, telah menyadarkan manusia bahwa hasil yang dicapai oleh ilmu dan teknologi itu memerlukan perangkat hukum. Perangkat hukum ini diharapkan dapat mengatur agar segala hasil ilmu dan teknologi dapat dimanfaatkan tanpa merugikan manusia dan juga lingkungan di mana dia hidup.50 Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum sebagai keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi lembaga dan proses untuk mewujudkan asas dan kaidah tersebut dalam kenyataan. Kemudian, hakikat dan karakter lingkungan hidup demikian itu membutuhkan sistem hukum yang mampu menyerap sifat khas lingkungan hidup ke dalam pendekatan dan materinya yang berfungsi melindungi dan meningkatkan kualitas fungsi dari setiap komponen ekosistem. Dengan mengkaitkan pengertian hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja, sistem hukum yang dimaksud salah satunya adalah lembaga peradilan di bidang hukum lingkungan yang berfungsi untuk mewujudkan keseluruhan asas dan kaidah lingkungan hidup itu sendiri. Mengingat keadaan-keadaan sebagaimana disebutkan sebelumnya hanyalah merupakan awal dari daftar panjang masalah lingkungan global yang membutuhkan solusi. Untuk melindungi dan melestarikan lingkungan dunia, kerjasama internasional tidak diragukan lagi sangat dibutuhkan. Sejumlah ahli menyatakan bahwa pengadilan internasional untuk lingkungan perlu dibuat karena pengadilan internasional yang ada tidak cukup siap untuk berurusan dengan kerugian lingkungan yang besar seperti sekarang ini dan yang perlu menjadi perhatian pula ialah terkait perlunya
50
H. Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska, Jakarta, 2003, hlm xxi
51
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
suatu badan khusus yang menangani sampah ruang angkasa (space debris) sebagaimana disebutkan diatas.
B. PEMBAHASAN 1. Badan Peradilan yang Internasional Saat Ini
Menangani
Masalah
Lingkungan
Hukum Lingkungan Intenasional, disamping berkembang sebagai cabang hukum yang berdiri sendiri, juga berkembang melalui cabangcabang hukum internasional khusus, seperti space law, law of the sea, sebagai konsekuensi dari keberadaan bagian-bagian tertentu dari lingkungan hidup sebagai bagian ruang lingkungan yang masuk kedalam skup objek pengaturan cabang-cabang hukum tersebut.51 Dalam hukum laut internasional, termasuk mengenai persoalan terhadap kewajiban negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut, UNCLOS 1982 mengatur prosedur penyelesaian sengketa yang bersifat formal dan mengikat, salah satunya yaitu melalui ICJ (International Court of Justice).52 Yurisdiksi Mahkamah dapat dilaksanakan melalui salah satunya berdasarkan statuta, bahwa yurisdiksi pengadilan mencakup semua sengketa yang diserahkan oleh para pihak dan semua persoalan yang ditetapkan dalam Piagam PBB yang dituangkan dalam perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi internasional yang berlaku.53 Yurisdiksi dari ICJ ini dapat dikatakan sangat luas, sehingga segala persoalan lingkungan hidup, karena belum memiliki badan peradilan khusus yang berdiri sendiri, dapat diserahkan untuk diselesaikan oleh ICJ.
51
Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hlm.16 Lihat Pasal 287 UNCLOS 1982 53 Lihat Pasal 36 ayat (1) Statuta ICJ 52
52
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Dalam proses penyelesaian sengketa di Mahkamah Internasional bersifat pasif artinya hanya akan bereaksi dan mengambil tindakan-tindakan bila ada pihak-pihak berperkara mengajukan ke Mahkamah Internasional. Dengan kata lain, Mahkamah Internasional tidak dapat mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk memulai suatu perkara. Dalam mengajukan perkara terdapat 2 tugas Mahkamah yaitu menerima perkara yang bersifat kewenangan memberi nasihat (advisory opinion) dan menerima perkara yang wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan oleh negara-negara (contensious case). Sebenarnya, hanya negara sebagai pihak yang boleh mengajukan perkara kepada Mahkamah Internasiona sehingga perseorangan, badan hukum, serta organisasi internasional tidak dapat menjadi pihak untuk berperkara ke Mahkamah internasional. Namun demikian berdasarkan Advisory Opinion tanggal 11 April 1949 Mahkamah Internasional secara tegas menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan pribadi hukum yang dapat mengajukan klaim internasional atau gugatan terhadap negara. Advisory Opinion ini telah membuka kesempatan kepada PBB untuk menjadi pihak dalam perkara kontradiktor (contentious case). Dalam upaya penyelesaian perkara ke Mahkamah Internasional bukanlah merupakan kewajiban negara namun hanya bersifat fakultatif. Artinya negara dalam memilih cara-cara penyelesaian sengketa dapat melalui berbagai cara lain seperti saluran diplomatik, mediasi, arbitrasi, dan cara-cara lain yang dilakukan secara damai. Dengan demikian penyelesaian perkara yang diajukan ke Mahkamah Internasional bersifat pilihan dan atas dasar sukarela bagi pihak-pihak yang bersengketa. Hal ini sesuai dengan Pasal 33 (1) Piagam PBB. Meskipun Mahkamah Internasional merupakan organ utama PBB dan anggota PBB otomatis dapat berperkara melalui Mahkamah Internasional, namun dalam kenyataannya bukanlah merupakan kewajiban untuk menyelesaikan sengketa pada badan peradilan ini. Perkembangan hukum internasional khususnya mengenai pengajuan kasus-kasus ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) 53
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
dalam lima tahun terakhir ini telah menghadapi babak baru. Paling tidak perhatian terhadap kasus-kasus yang menyangkut persoalan lingkungan hidup khususnya sumberdaya alam telah menjadi agenda penting, walaupun dalam kasus-kasus terdahulu hanya merupakan bagian dari kasus mengenai sengketa perbatasan. Hal ini dapat diketahui bahwa Mahkamah International telah menerima dua kasus penting yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup khususnya mengenai pengelolaan sumberdaya alam yaitu Case concerning Certain Phosphate Lands in Nauru (Nauru v. Australia) dan Gabcikovo-Nagymaros Project (Hungary v. Slovakia). Mengingat kedua kasus ini memiliki karakteristik tersendiri maka dengan pertimbangan Pasal 26 Piagam Mahkamah Internasional telah dibentuk The Chamber of Environmental Dispute pada tanggal 19 Juli 1993. Namun pembentukan kamar sengketa ini hanya berlaku bagi kewenangan untuk memeriksa perkara kontradiktor sehingga tidak berlaku dalam persidangan advisory opinion. Sebenarnya kasus lingkungan hidup dalam arti luas pernah ditangani oleh Mahkamah Internasional Permanen (PICJ) seperti dalam Diversion of the Waters of the River Meuse dan Territorial Jurisdiction of the International Commission of the River Oder Case 1929. Demikian juga dengan Mahkamah yang telah beberapa kali menangani sengketa yang bersinggungan dengan masalah lingkungan hidup. Sebagai contoh dalam Chorfu Channel Case (UK v. Albania) 1949, Nuclear Test Cases, Gulf of Maine Case (USA v. Canada) 1984, Fisheries Jurisdiction Case, dan beberapa kasus mengenai landas kontinen dan perbatasan. Sengketa lingkungan internasional yang diselesaikan oleh lembaga internasional di atas adalah sifatnya damai, tetapi belum ada proses pengadilan internasional tentang kerusakan lingkungan oleh perang seperti kehancuran lingkungan di Nagasaki dan Hiroshima dalam Perang Dunia II (1945), Perang Vietnam (1967-1975) yang menimbulkan kebutaan penduduk dan rusaknya alam karena Amerika Serikat menggunakan gas 54
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Agent Orange. Selain itu pula, Perang Iran-Irak (1980-1988), Perang Teluk I (1990-1991) yang menghancurkan ladang-ladang sumur minyak, serangan militer Israel ke Lebanon (2006) yang mengakibatkan pencemaran Laut Merah (Red Sea), dan agresi militer AS ke Irak sejak tanggal 20 Maret 2003 (Perang Teluk II) yang menimbulkan banyak korban warga sipil dan kehancuran terhadap lingkungan hidup di Irak.54
2. Urgensi Dibentuknya Badan Lingkungan Internasional
Peradilan
Khusus
mengenai
Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru yang berkembang dengan pesat nampaknya Mahkamah Internasional dituntut mampu untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Hal ini dapat terlihat dengan adanya perkembangan demokratisasi khususnya tuntutan negara-negara baru sejak berakhirnya Perang Dunia II. Selain itu partisipasi masyarakat global melalui berbagai kegiatan internasional semakin nyata dengan makin berperannya Non-Governmental Organization (NGO), indigenous people, asosiasi-asosiasi dan berbagai kelompok kepentingan yang menuntut adanya hak-hak yang sama. Hal ini ditambah lagi proses globalisasi yang nyata dimana batas-batas negara semakin menipis dan semakin berkembanganya organisasi-organisasi yang memiliki karakter internasional yang kuat. Karena itu sebagian ahli menuntut adanya lembaga peradilan internasional yang mampu menangani berbagai persoalan global yang tidak terbatas pada kepentingan negara saja. Pada bulan Agustus 2002, United Nations Environment Programme (UNEP) menjadi tuan rumah selama tiga hari dari World Summit on Sustainable Development di Johannesburg bersama hakim-hakim dunia
54
Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Unpad Press, Bandung, 2011, hlm.46
55
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
terkemuka. Disana disimpulkan bahwa keadaan rapuh lingkungan global saat ini memerlukan pengadilan, sebagai ‘primary guardian of the rule of law’ untuk berani dan tanpa rasa takut menegakkan hukum lingkungan nasional dan internasional. Kejahatan lingkungan seperti perdagangan ilegal kayu, perdagangan spesies yang terancam punah, dan penanganan limbah berbahaya telah didiskusikan. Saran yaitu mulai dari pelatihan program untuk hakim domestik dan internasional dalam ilmu lingkungan dan kebijakan untuk pembentukan pengadilan internasional untuk lingkungan yang baru, telah didiskusikan pula sebagai solusi untuk masalah koordinasi dan penegakkan yang sulit terhadap dari lebih dari lima ratus perjanjian oleh badan peradilan yang ada. Untuk mengatasi masalah tersebut, dibuatnya peradilan yang kuat untuk menerapkan hukum lingkungan adalah suatu kebutuhan saat ini.55 Beberapa pendapat ahli menyatakan sebagai berikut, yaitu seperti: “… supporters will need to show that existing international and national judicial for are inadequate for resolution of international environmental disputes”.56 Selain itu terdapat pula pendapat ahli lain, yaitu: “… As evidence mounts that the planet is increasingly experiencing serious environmental consequences caused by a history of human activity, a call has been made to introduce a new international judicial body to the existing international courts and tribunals: an International Environtmental Court (IEC)… Advocates of the new court cite uncertain environmental jurisdiction in existing courts and tribunal to address in the environmental expertise of judges in the existing courts.”57
55
Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm.729 Sean D. Murphy, “Does the World Need a New International Environmental Court”, George Washington Journal International Law and Economy, Vol 32, hlm 333 57 Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm 727 56
56
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Dari kedua pendapat ahli tersebut menyatakan bahwa terbukti saat ini menunjukkan bahwa bumi ini semakin serius ancaman bahaya oleh kegiatan manusia dan pengadilan nasional maupun internasional yang ada sudah tidak memadai lagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan internasional sehingga dibutuhkan badan peradilan internasional tersendiri yang baru, yaitu Mahkamah Lingkungan Internasional (International Environmental Court atau IEC). Selain itu, memang diperlukannya pula pembentukan suatu peradilan internasional khusus untuk memproses sengketa lingkungan karena marak dari adanya pelanggaran atau kejahatan terhadap lingkungan hidup, mengingat mahkamah atau pengadilan internasional yang dapat menangani kasus-kasus lingkungan tersebut dinilai sudah tidak memadai lagi. Dalam beberapa tahun terakhir, keberhasilan terbatas dalam menegakkan aturan hukum lingkungan internasional terhadap negaranegara yang melanggar telah menyebabkan panggilan untuk pembentukan pengadilan lingkungan internasional atau International Environmental Court (IEC) yang mampu mengeluarkan keputusan yang mengikat dan dapat dilaksanakan terhadap negara-negara tersebut. Para ahli pendukung dari pembentukan pengadilan baru ini, yang diperkirakan akan dibentuk oleh perjanjian internasional yang dibuat antara negara-negara, perlu untuk meyakinkan pemerintah negara-negara pada dua poin penting.58 Pertama, ahli pendukung perlu menunjukkan bahwa forum peradilan internasional dan nasional yang ada tidak memadai untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup internasional. Kedua, harus menunjukkan bahwa jika aspek forum peradilan yang ada tidak memadai, sehingga tidak dapat diperbaiki untuk dapat memuaskan sesuai harapan, sementara pada saat
58
Sean D. Murphy, Loc.Cit.
57
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
yang sama penciptaan pengadilan baru dibutuhkan untuk menghindari kekurangan tersebut. Para ahli pendukung pengadilan baru ini percaya beberapa isu saat ini dalam hukum lingkungan internasional akan diselesaikan dengan menciptakan International Environmental Court (IEC). Isu ini termasuk: (1) kekurangan keahlian, kesadaran, dan sumber daya lingkungan; (2) masalah efisiensi; (3) tidak adanya preseden yang jelas dalam hukum lingkungan internasional; (4) masalah dengan aksesibilitas untuk beberapa entitas di pengadilan saat ini; dan (5) kurangnya penegakan hukum dan yurisdiksi.59 Sejumlah ahli menyatakan bahwa dibentuknya pengadilan baru karena terdapatnya ketidakpastian yurisdiksi lingkungan di pengadilan yang ada saat ini untuk mengatasi kerusakan serius lingkungan internasional, dan kekurangan dalam keahlian hakim di pengadilan dalam bidang lingkungan internasional. Hukum lingkungan internasional adalah subjek yang sangat luas yang mempengaruhi banyak bidang, seperti tenaga kerja, perdagangan, energi, kedaulatan, hukum perikanan internasional, kesehatan, hukum perjanjian internasional, dan hak asasi manusia. Sementara pengadilan yang ada tidak menangani secara efektif dengan masalah lingkungan internasional seperti diatas. Masalah pada pengadilan yang ada sekarang ini yaitu60 termasuk kurangnya sumber daya, kesulitan untuk mentransformasikan perjanjian internasional menjadi hukum nasional, dan kurangnya kesadaran. Masalah ini terutama terjadi pada negara-negara berkembang. Selain itu tekanan lingkungan global, menunjukkan bahwa pengenalan IEC sebagai badan hukum internasional dibenarkan dan memang diperlukan. Segala kesulitan yang mengganggu pada pengadilan
59
Susan M. Hinde, Op.Cit., hlm.739 Audra E. Dehan, “An International Environmental Court: Should There Be One?”, Touro Journal International Law, Vol 31, 1992, hlm.52 60
58
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
internasional sekarang ini dapat diselesaikan atau minimum dapat diperbaiki dengan menciptakan badan peradilan internasional yang baru. Diluar perspektif lingkungan dalam hukum internasional, Indonesia saat ini pun belum memiliki lembaga peradilan yang secara khusus menangani perkara-perkara sengketa lingkungan. Dilihat dari permasalahan sengketanya, isu-isu lingkungan merupakan permasalahan yang rumit penanganannya. Hal itu bisa dilihat dari proses pembuktian maupun kepentingan yang ada di balik konflik lingkungan. Apalagi, jika sengketa tersebut melibatkan entitas privat atau perusahaan di dalamnya. Sistem peradilan lingkungan yang akan dibangun harus memperhatikan hal-hal yang spesifik mengenai persoalan tersebut. Selama ini, perkara yang menyangkut soal lingkungan lebih sering masuk dalam ranah proses perdata dan administrasi di pengadilan. Kendati demikian, dalam konteks peradilan, masyarakat dapat mengujinya dalam sebuah wadah peradilan khusus lingkungan, mengingat jumlah kasus mengenai isu-isu lingkungan yang signifikan jumlahnya. Pengadilan lingkungan bisa menjadi bagian dari usaha pemerintah dalam rangka menyediakan akses terhadap keadilan, termasuk di dalamnya keadilan lingkungan bagi masyarakat. Dengan dibentuknya pengadilan lingkungan diharapkan menjadi satu pemacu dalam rangka menciptakan ruang untuk memperbaharui kebijakan lingkungan hidup di Indonesia.
3. Urgensi Dibentuknya Badan Khusus Pembersih Sampah Antariksa (Space Debris) Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara diatas wilayahnya. Wilayah ini sudah sejak lama dibahas, terutama tampak pada sebuah dalil Hukum Romawi yang berbunyi “cujus est solum, ejus est usque ad coelum”. Dalil ini berarti “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan
59
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah.61 Menurut hukum internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra yaitu darat, laut, dan udara. Wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah daratan, dan wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan dilaut. Hal ini tercermin dalam Pasal I Paris Convention for the Regulation of Aerial Navigation tahun 1919 yang mengakui kedaulatan negara penuh di ruang udara di atas wilayah daratan dan laut teritorialnya. Pada awalnya kedaulatan negara tidak ditetapkan batas jaraknya secara vertikal (usque ad coelum) yang kemudian dibatasi dengan adanya pengaturan tentang ruang angkasa.62 Dewasa ini frekuensi peluncuran-peluncuran satelit semakin meningkat dimana negara-negara bersaing keras meluncurkan satelit-satelit ke angkasa. Amerika Serikat dengan NASA-nya telah menciptakan pesawat ulang-alik yang dapat membawa beberapa satelit sekaligus ke angkasa, menempatkan di orbitnya, serta kembali ke bumi. Pesawat ulang-alik ini dapat digunakan kembali untuk program peluncuran satelit berikutnya. Soviet pun tidak kalah aktifnya dalam proyek ruang angkasanya. Proyek Soyuz, Sputnik serta Cosmos-nya bukan hal yang asing lagi. Indonesia dengan bantuan Amerika Serikat, telah meluncurkan satelit komunikasi pertamanya, PALAPA A-1, pada tahun 1970an. Ini menandakan pula bahwa Indonesia sejak tahun itu telah turut serta dalam era pemanfaatan ruang angkasa.63
61
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Keni Media, Bandung, 2011, hlm.137 62
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm 194 63
Huala Adolf., Op.Cit., hlm.143
60
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Bukan hanya di bumi saja manusia membuat sampah dalam jumlah yang besar, di luar angkasa manusia juga mengotorinya dengan sampah dengan melihat tingginya frekuensi kegiatan keruangangkasaan manusia pada saat ini. Berbagai benda yang diluncurkan manusia ke luar angkasa menjadi benda tak berguna. Sampah antariksa adalah benda buatan yang mengitari bumi selain satelit yang berfungsi. Sampah ini bisa berupa bekas roket (rocket bodies), serpihan (debris) dan lain-lain. Jika dirata-ratakan, satu sampah antariksa jatuh setiap hari sejak awal peluncuran satelit tahun 1957. Kebanyakan sampah ini berupa pecahan roket atau satelit yang habis terbakar di atmosfer. Hanya sepertiga dari 20 ribuan sampah yang jatuh berukuran cukup besar sehingga mampu bertahan sampai ke permukaan bumi. Benda-benda tersebut umumnya jatuh di daerah tak berpenduduk sehingga tidak membahayakan.64 Kasus-kasus tabrakan antarsatelit di ruang angkasa atau satelit yang sudah menjadi sampah dan dampak buruknya ke bumi harus menjadi perhatian masyarakat internasional sebagai langkah antisipasi mekanisme penyelesaian sengketa lingkungan internasional karena kegiatan itu mengandung risiko tinggi bagi lingkungan dan manusia di bumi. Masalah sampah antariksa bukan saja mengkhawatirkan bagi keselamatan wahana antariksa, tetapi juga kemungkinannya untuk jatuh ke permukaan bumi. Semakin rendah posisi orbit satelit atau sampah antariksa, semakin cepat akan jatuh ke permukaan bumi. Contoh kasus jatuhnya sampah ruang angkasa ke permukaan bumi yaitu jatuhnya sampah ruang angkasa (space debris) Cosmos 954 milik Uni Soviet pada tahun 1979 yang menyadarkan masyarakat internasional untuk diatur lebih lanjut dalam hukum internasional karena peristiwa itu dapat menimpa siapa saja di dunia yang merugikan negara lain baik berupa
64
Sampah Antariksa, diakses dari http://orbit.bdg.lapan.go.id/index.php/informasi-umum/64-sampahantariksa-64, pada tanggal 08 Juni 2015 pukul 17:38 WIB.
61
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
terjadinya kerusakan lingkungan hidup maupun korban manusia. Cosmos 954 jatuh di wilayah Nortwest Territories Provinces of Alberta dan Saskatchewan Kanada yang menimbulkan kerugian bagi Kanada karena adanya sampah radioaktif berbahaya yang merusak lingkungan dan harta benda masyarakat di sekitar jatuhnya space debris tersebut.65 Pecahan Cosmos 954 itu berbobot sekitar 65 Kg dan mengandung sekitar 3.500 partikel radioaktif. Tingkat radiasi partikel tersebut sangat bervariasi dari ribuan sampai jutaan dari satu rontgen/jam. Beberapa diantaranya memiliki sifat sangat mematikan. Satu pecahan berukuran tidak terlalu besar, 25 mm x 15 mm x 10 mm, memiliki radiasi sampai 500 rontgen/jam dimana cukup untuk membunuh manusia dalam beberapa jam sejak mengalami kontak pertama.Ddata tersebut hanyalah data tentang dampak langsung (acut impacts) dari jatuhnya Cosmos 954, dan Kanada belum memperhitungkan dampak tidak langsungnya (cronic impacts).66 Atas permasalahan tersebut perlu adanya implementasi yang nyata dari prinsip pencegahan terhadap pencemaran dan kontaminasi dari ruang angkasa termasuk oleh benda-benda ruang angkasa agar kelestarian lingkungan tetap terjaga (sebagaimana diatur dalam Pasal IX Space Treaty). Berbeda dengan bumi yang memiliki petugas kebersihan dan bagian daur ulang sampah, sayangnya diluar angkasa tidak ada regu pembersih, sampah dibiarkan mengorbit terus menerus di luar angkasa. Walaupun telah terdapat hukum internasional yang mengatur mengenai pertanggungjawaban atas kerusakan yang diakibatkan oleh space objects yaitu Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972, namun tetap diperlukan adanya upaya pencegahan atas kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh benda-benda ruang angkasa atau
65 66
Idris, Op.Cit., hlm. 130-131. Ida Bagus Wyasa Putra, Op.Cit., hlm. 51.
62
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
wahana antariksa. Akibat semakin bertambahnya populasi sampah antariksa menyebabkan sulit ditemukannya lokasi jatuhnya sampah tersebut sehingga perlu adanya upaya pencegahan dengan suatu mekanisme yang dilakukan oleh manusia untuk membersihkan sampah antariksa tersebut. Negara peluncur wahana antariksa harus melakukan pemantauan wahananya tersebut, karena hanya negara peluncur yang mengetahui masa orbit dari setiap space objects yang diluncurkannya. Negara peluncur harus terusmenerus memantau keberadaan sampah antariksa dan memetakannya. Upaya tersebut selanjutnya dapat dilakukan dengan mengirimkan misi yaitu dengan membentuk Badan Pembersih Sampah Antariksa untuk mengumpulkan sampah antariksa dan menghancurkannya menjadi serpihan kecil sehingga mengurangi kebahayaannya. Terlebih penting yaitu adanya kerja sama di antara negara-negara dalam mengurangi dampak lingkungan akibat jatuhnya sampah antariksa yaitu dengan alih teknologi dan kontribusi biaya dari negara-negara maju kepada negara-negara berkembang demi terjaganya kelestarian lingkungan hidup di Bumi ini.
C. Penutup Beberapa kasus lingkungan hidup khususnya yang dikategorikan sebagai common heritage of mankind diharapkan akan lebih menjadi perhatian Mahkamah Internasional di masa mendatang. Hanya saja usulan reformasi di dalam tubuh Mahkamah Internasional seperti pemberian kesempatan kepada Non-Governmental Organization (NGO) yang mewakili lingkungan hidup untuk memiliki locus standi hingga kini belum dapat diterima. Hal ini dikarenakan masih kuatnya doktrin yang menyatakan bahwa hanya negara sajalah yang dapat berperkara dalam Mahkamah Internasional. Karena itu ada beberapa kasus yang menyangkut persoalan sumberdaya alam diselesaikan oleh badan-badan di luar Mahkamah Internasional seperti GATT/WTO, Mahkamah Eropa (European Court of Justice), World Bank dll. 63
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
Pengadilan nasional dan internasional yang ada tidak memadai lagi untuk menyelesaikan sengketa-sengketa lingkungan internasional karena bukti menunjukkan bahwa bumi ini makin seriusnya ancaman bahaya oleh aktivitas manusia, sehingga diperlukan badan peradilan internasional baru, yaitu Pengadilan Lingkungan Internasional (International Environmental Court/IEC) dan pengadilan khusus itu diharapkan mempunyai yurisdiksi yang tidak dimiliki oleh pengadilan nasional terhadap kerusakan lingkungan internasional. Manfaat lain dari dibentuknya sebuah IEC akan memberikan kepada masyarakat internasional meliputi: aksesibilitas terhadap berbagai aktor; pembentukan badan hukum lingkungan internasional yang konsisten; keputusan yang lebih cepat dalam menangani masalah dan perselisihan; biaya yang lebih rendah dari perkara sengketa lingkungan internasional; dan penegakan perjanjian yang lebih baik dalam bidang lingkungan. Pengadilan ini dapat lebih memungkinkan penggugat untuk membawa gugatannya kepada entitas non-negara yang saat ini dilarang menjadi pihak dalam hukum Internasional. Begitupun dengan dibentuknya badan khusus yang menangani sampah ruang angkasa (space debris) menjadi suatu kebutuhan mengingat dampak dari kegiatan keruangangkasaan manusia yang meningkat menjadi perhatian serius bagi lingkungan maupun kehidupan manusia di bumi. Dengan dibentuknya badan peradilan khusus lingkungan internasional dan badan khusus menangani sampah ruang angkasa (space debris) ini tentunya memperkuat kerangka hukum internasional di bidang lingkungan sehingga upaya-upaya yang gencar digalakkan saat ini untuk menjaga lingkungan hidup oleh banyak negara menjadi lebih kuat dan melengkapi.
64
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 19 Januari – April 2016
DAFTAR PUSTAKA
Buku -
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Bandung:Keni Media, 2011
-
Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional, Bandung: PT Refika Aditama, 2003
-
Idris, Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional, Bandung: Unpad Press, 2011
-
J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta , 1999
-
Mochtar Kusumaatmadja, Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, 2003
-
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan, 1991
-
Priyatna Abdurrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Fikahati Aneska, Jakarta, 2003
Artikel Ilmiah -
Audra E. Dehan, “An International Environmental Court: Should There Be One?”, Touro Journal International Law, Vol 31, 1992
-
Sean D. Murphy, “Does the World Need a New International Environmental Court”, George Washington Journal International Law and Economy, Vol 32, 2000 65
JURNAL OPINIO JURIS
-
Vol. 19 Januari – April 2016
Susan M. Hinde, “Note: The International Environmental Court : Its Broad Jurisdiction as a Possible Fatal Flaw”, Hofstra Law Review, Vol 32, 2003
Website:
66
-
http://orbit.bdg.lapan.go.id/index.php/informasi-umum/64-sampahantariksa-64
-
http://blendedlearning.itb.ac.id/web5/index.php/forum/detail/11716