Prima: Jurnal Program Studi Pendidikan dan Penelitian Matematika Vol. 6, No. 1, Januari 2017, hal. 103-116 P-ISSN: 2301-9891
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIK MELALUI MODEL LEARNING CYCLE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Muhammad Arie Firmansyah Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Muhammadiyah Tangerang E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa pada penerapan model learning cycle, aktivitas siswa, dan respon siswa selama penerapan model learning cycle. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 hingga Mei 2012 VII-4 SMP Negeri 12 Tangerang. Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Peningkatan kemampuan pemecahan pada siklus I sebesar 35% atau 14 siswa dari 40 siswa meningkat menjadi 70% atau 28 siswa dari 40 siswa pada sklus II. Peningkatan tersebut yaitu pada aspek memahami masalah pada siklus I sebesar 67,5% menjadi 84,4% pada siklus II, aspek merencanakan strategi penyelesaian pada siklus I sebesar 61,72% menjadai 70,4% pada siklus II, aspek melaksanakan strategi penyelesaian pada siklus I sebesar 61,88% menjadi 82% pada siklus II, dan pada aspek memeriksa kembali hasil pada siklus I adalah 75,63% menjadi 57,5% pada siklus II. Skor rata-rata siklus I 64,25 meningkat menjadi 74,87. Aktivitas siswa pada siklus I sebesar 69,64% pada siklus II meningkat menjadi 76,52%. Respon positif pada siklus I sebesar 62,5% meningkat menjadi 73,12% pada siklus II. Kata kunci: Pemecahan Masalah Matematik, Learning Cycle
Pendahuluan Ilmu matematika merupakan subjek penting dalam sistem pendidikan di dunia karena perkembangan budaya dan kehidupan manusia serta pengetahuan dan teknologi diberbagai belahan dunia sejak dulu dipengaruhi oleh kemajuan dalam bidang matematika. Oleh sebab itu, matematika penting diajarkan kepada anak sejak usia dini. Pada pendidikan formal, matematika sudah mulai diajarkan pada anak dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pembelajaran matematika yang terjadi di kelas kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyampaikan ide-ide atau gagasan siswa. Apabila guru kurang memperhatikan kemampuan awal siswa yang dibawa kedalam kelas maka pengalaman belajar dikelas tidak akan berpengaruh terhadap pengetahuan awal yang telah siswa miliki meskipun berpengaruh maka tidak akan dapat mencapai hasil yang diharapkan, sehingga resiko terjadinya miskonsepsi siswa memahami materi dalam pembelajaran yang sedang diberikan menjadi besar.
104
P-ISSN: 2301-9891
Peserta didik yang tak menemukan atau tak memahami makna apa yang mereka pelajari akan cenderung pasif dalam proses pembelajaran. Mereka mengerjakan latihan-latihan yang di berikan oleh guru hanya sekadar untuk menggugurkan kewajiban atau karena takut mendapat sanksi, bila sudah begini kebanyakan siswa akan cenderung diam atau enggan bertanya ketika mendapatkan kesulitan dalam memahami materi yang diberikan guru dan ini berakibat pada hasil yang dicapai pun kurang memenuhi target standar kompetensi lulusan dan kemampuan, (peraturan mentri pendidikan nasional nomor 78 tahun 2008). Hal ini tidak sesuai dengan harapan kita sebagai pendidik, bahwa dalam proses pembelajaran mestilah siswa terlibat secara aktif dan siswa terasa tertantang sehingga pembelajaran matematika menjadi pengalaman bermakna bagi siswa dan berpengaruh positif terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa, yaitu kecakapan untuk memahami masalah, membuat rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana pemecahan masalah dan membuat review atas pelaksanaan rencana pemecahan masalah. Permasalahan yang demikian terjadi pada siswa SMP Negeri 12 Tangerang kelas VII-4 tahun ajaran 2011/2012, berdasarkan observasi terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa saat proses pembelajaran dikelas pada bab Persamaan Linear Satu Variabel (PLSV) yang dimulai jum’at 14 Oktober 2011 berakhir pada senin 24 November 2011. Dari hasil tes kemampuan pemecahan masalah pada tanggal 12 November 2012 dapat di katakan bahwa hanya ada 1 siswa atau 2,5% dari 40 siswa yang mendapatkan skor tes kemampuan pemecahan masalah ≥ 70, sedangkan sisanya masih jauh dari harapan. Berdasarkan pengamatan yang di lakukan oleh peneliti terhadap aktivitas pemecahan masalah di dapat bahwa hampir seluruh aktivitas siswa masih jauh dari sifat seorang problem solver dan disimpulkan pula kecenderungan guru menggunakan ekspositori dalam menyampaikan materi matematika, mengakibatkan siswa cenderung menguasai materi pelajaran dengan cara menghafal. Tinjauan Teoritis Menurut Shadiq (2004), Suatu pertanyaan dapat dianggap sebagai suatu masalah oleh seorang siswa tetapi mungkin saja pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang rutin bagi siswa yang lain. Senada dengan itu Lenchner (dalam Wardani, dkk, 2010) menjelaskan bahwa masalah matematik lebih rumit dari pada latihan matematika biasa dan tidak dapat langsung ditemukan solusinya, sebab tidak dapat dengan langsung menerapkan satu atau lebih algoritma sebagai strategi pemecahannya. Sehingga untuk menyelesaikan suatu masalah menuntut tingkat kreativitas atau keoriginalitas dari penyelesai masalah. Dapat disimpulkan Prima, Vol. 6, No. 1, Januari 2017, 103-116.
Prima
ISSN: 2301-9891
105
bahwa masalah itu bersifat relatif, sebab ukuran suatu soal menjadi masalah atau hanya soal latihan biasa adalah kemampuan setiap individu tersebut dalam menghadapinya Polya (1973) menguraikan 4 langkah rencana dalm proses pemecahan masalah matematik, sebagai berikut: a) Memahami masalah b) Membuat rencana pemecahan masalah c) Melaksanakan rencana pemecahan masalah d) Membuat review atas pelaksanaan rencana pemecahan masalah Woolfolk (dalam Hamzah, 2003) berpendapat bahwa kemampuan pemecahan masalah (problem solving) adalah kemampuan yang di kuasai seorang siswa untuk memecahkan masalah dengan menggunakan proses berpikirnya melalui mengumpulkan fakta, analisi informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif. Secara operasional yang dimaksud dengan kemampuan pemecahan masalah matematik dalam penelitian ini adalah skor yang diperoleh melalui instrumen tes. Dengan indikator-indikator yang meliputi: a) Mampu memahami masalah b) Mampu membuat rencana pemecahan masalah c) Mampu melaksanakan rencana pemecahan masalah d) Mampu membuat review atas pelaksanaan rencana pemecahan masalah Jean piaget (dalam Bahruddin dan Esa, 2010) yang dikenal sebagai bapak konstruktivisme pertama menegaskan banhwa pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa melalui asilmilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran, sedangkan akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Anita woolfolk (dalam Benny, 2009) mengemukakan definisi pendekan konstruktivisme sebagai “pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa dalam membangun pemahaman dengan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang dialami.” Definisi tersebut berarti bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Senada dengan itu semua Galileo (dalam Tracy, 2011) pernah menulis “Anda tidak bisa mengajarkan apa pun kepada manusia; Anda hanya dapat membantu mereka untuk menemukannya di dalam diri mereka sendiri.”
Upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik melalui model learning cycle dalam pembelajaran matematika Firmansyah
106
P-ISSN: 2301-9891
Menurut Vygotsky (dalam Bahruddin dan Esa, 2010), Teori konstruktivisme lebih menekankan pada fungsi mental siswa dalam membangun pengetahuan yang biasanya ada dalam komunikasi dan kerja sama diantara individu-individu (proses sosialisasi) sebelum akhirnya itu berada dalam diri individu (internalisasi). Artinya siswa membutuhkan teman sebagai fasilitator dalam berbagi pengetahuan untuk membangun pengetahuan yang baru yang akhirnya pengetahuan tersebut menjadi pengetahuan personal. Berdasarkan studi-studi yang dilakukan, siswa yang sering menggunakan private speech atau pengetahuan personal lebih efektif dalam memecahkan tugas-tugas dari pada anak-anak yang kurang menggunakn private speech. Pembelajaran konstruktivisme membantu siswa menginternalisasi dan menstransformasi informasi baru. Pada proses transformasi akan menghasilkan pengetahuan baru, yang selanjutnya membentuk struktur kognitif baru yang dapat membantu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. learning cycle merupakan model pembelajaran sains yang berbasis konstruktivistik. Menurut Rahayu, model siklus belajar dikembangkan oleh J. Myron Atkin, Robert Karplus dan Kelompok SCIS (Science Curriculum Improvement Study), Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Sehingga learning cycle merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). model learning cycle merupakan tahap-tahap kegiatan yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat menguasai kompetensi-kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran dengan jalan berperan aktif (Kathleen & Christine, 2009). Langkah-langkah Model Learning Cycle meliputi (Wena, 2009):
a) Engagement (ide, rencana pembelajaran, dan pengalaman) b) Explore (menyelidiki) c) Explain (menjelaskan) d) Elaborate (menerapkan) e) Evaluate (menilai) Kelima fase tersebut merupakan hal-hal yang harus dilakukan oleh guru dan siswa untuk menerapkan model learning cycle pada pembelajaran dikelas. Guru dan siswa memiliki peran masing-masing dalam setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan model learning cycle. Tabel 1. Operasional Kegiatan Guru dan Siswa Model Learning Cycle
No 1
Tahap Siklus Belajar Tahap Pembangkitan
Kegiatan Guru
Kegiatan Siswa
Membangkitkan minat dan Mengembangkan keingintahuan (cusiosity) siswa. minat/rasa ingin
Prima, Vol. 6, No. 1, Januari 2017, 103-116.
tahu
Prima
ISSN: 2301-9891
Minat
2
Tahap Eksplorasi
3
Tahap Penjelasan
4
Tahap Elaborasi
107
terhadap topik bahasan. Mengajukan pertanyaan tentang Memberi respons proses faktual dalam kehidupan terhadap pertanyaan sehari-hari (yang berhubungan guru. dengan topik bahasan). Mengaitkan topik dengan Berusaha mengingat pengalaman siswa. Mendorong pengalaman sehari-hari siswa untuk mengingat dan menghubungkan pengalaman sehari-harinya dan dengan topik menunjukkan keterkaitannya pembelajaran yang akan dengan topik pembelajaran yang dibahas. sedang dibahas. Membentuk kelompok, memberi Membentuk kelompok kesempatan untuk bekerjasama dan berusaha bekerja dalam kelompok kecil secara dalam kelompok. mandiri. Guru berperan sebagai Membuat prediksi baru fasilitator. Mendorong siswa untuk Mencoba alternatif menjelaskan konsep dengan pemecahan dengan kalimat mereka sendiri. teman sekelompok, mencatat pengamatan, serta mengembangkan ide-ide baru. Meminta bukti dan klarifikasi Menunjukkan bukti dan penjelasan memberi siswa, mendengar secara kritis klarifikasi terhadap penjelasan antar siswa. ide-ide baru. Memberi definisi dan penjelasan Mencermati dan beusaha dengan memakai penjelasan memahami penjelasan siswa terdahulu sebagai dasar guru. diskusi. Mendorong siswa untuk Mencoba memberi menjelaskan konsep dengan penjelasan terhadap kalimat mereka sendiri. konsep yang ditemukan. Meminta bukti dan klirifikasi Menggunakan penjelasan siswa. pengamatan dan catatan dalam memberi penjelasan. Mendengar secara kritis Melakukan pembuktian penjelasan antar siswa atau guru. terhadap konsep yang diajukan. Memandu diskusi. Mendiskusikan. Mengingatkan siswa pada Menerapkan konsep dan penjelasan alternatif dan keterampilan dalam mempertimbangkan data/bukti situasi baru dan saat mereka mengekplorasi menggunakan tabel dan situasi baru. definisi formal.
Upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik melalui model learning cycle dalam pembelajaran matematika Firmansyah
108
P-ISSN: 2301-9891
Mendorong dan memfasilitasi siswa mengaplikasi konsep/keterampilan dalam setting yang baru/lain. 5
Tahap Evaluasi
Mengamati pengetahuan atau pemahaman siswa dalam hal penerapan konsep baru.
Mendorong siswa evaluasi diri.
melakukan
Mendorong siswa memahami kekurangan/kelebihannya dalam kegiatan pembelajaran.
Bertanya, mengusulkan pemecahan, membuat keputusan, melakukan percobaan, dan pengamatan. Mengevaluasi belajarnya sendiri dengan mengajukan pertanyaan terbuka dan mencari jawaban yang menggunakan observasi, bukti, dan penjelasan yang diperoleh sebelumnya. Mengambil kesimpulan lanjut atas situasi belajar yang dilakukannya. Melihat dan menganalisis kekurangan/kelebihanny a dalam kegiatan pembelajaran.
Metode Penelitian Metode Penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Sehingga penelitian ini hanya memusatkan pada permasalahan yang spesifik dan kontekstual sehingga tidak terlalu menghiraukan kerepresentatifan sampel karena berbeda dengan penelitian formal. Metode penelitian tindakan kelas ini dilakukan pada pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran learning cycle guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika siswa dengan pokok bahasan bangun datar segi empat. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa siklus, dimana tiap-tiap siklus terdiri dari empat tahapan, diantaranya yaitu: 1. Perencanaan (planning) Peneliti merencanakan tindakan berdasarkan tujuan penelitian. Peneliti menyiapkan rancangan perencanaan pembelajaran dan instrumen penelitian yang terdiri atas instrumen tes, dan instrumen non tes (lembar observasi, jurnal harian siswa, dan dokumentasi). 2. Tindakan (acting) Tahap kedua dari penelitian ini adalah pelaksanaan yang merupakan implementasi atau isi rancangan. Tahap ini melibatkan guru mata pelajaran matematika kelas VII-6 sebagai observer dan peneliti berperan sebagai pelaksana tindakan atau pengajar yang sekaligus Prima, Vol. 6, No. 1, Januari 2017, 103-116.
Prima
ISSN: 2301-9891
109
sebagai pengumpul data, baik melalui pengamatan langsung maupun melealui telaah dokumen. Pelaksanaan dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran learning cycle dalam proses pembelajaran dengan objek penelitian adalah seluruh siswa kelas VII-4 SMPN 12 Tangerang. 3. Pengamatan (Observating) Tahap ketiga yaitu selama tahap pelaksanaan tindakan yaitu menggunakan model pembelajaran learning cycle. Peneliti dibantu dengan observer mengobservasi keaktifan dan respon siswa terhadap skenario pembelajaran yang telah di buat peneliti dengan menggunakan lembar observasi. Semua keterangan yang berhubungan dengan penelitian dicatat dalam dokumentasi. 4. Refleksi (Reflecting) Pada tahap ini, hasil yang didapat dari observasi dikumpulkan dan dianalisis bersama oleh peneliti dan observer, sehingga dapat diketahui apakah kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang direncanakan. Hasil analisis tersebut akan digunakan sebagai acuan untuk merencanakan tindakan selanjutnya, bila tujuan penelitian belum tercapai. Hasil dan Pembahasan Penerapan model learning cycle bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Aktivitas kelompok beserta tanggapan siswa menjadi dua hal yang juga akan diamati, sebagai data tambahan dalam melihat perkembangan kemampuan pemecahan masalah. Aktivitas yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah diamati melalui lembar observasi aktivitas kelompok. Tanggapan siswa yang tertuang dalam jurnal harian siswa dianalisis sebagai data untuk mengetahui perkembangan dan respon yang dialami siswa dalam memecahkan masalah. Berdasarkan hasil analisis instrumen yang digunakan dalam penelitian, berupa tes kemampuan pemecahan masalah, lembar observasi aktivitas kelompok, dan jurnal harian siswa, berikut analisis data hasil penelitian: A. Analisis Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Pemberian tes yang dilaksanakan setiap akhir siklus, dimaksudkan untuk melihat tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dengan diterapkannya
model
pembelajaran learning cycle. Hasil kemampuan pemecahan masalah mengalami peningkatan dan mencapai intervensi tindakan yang diharapkan pada siklus II. Kemampuan pemecahan masalah dihitung berdasarkan skor lima buah soal uraian dan diperiksa mengikuti pedoman penskoran kemampuan pemecahan masalah, yang meliputi kemampuan memahami masalah, Upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik melalui model learning cycle dalam pembelajaran matematika Firmansyah
110
P-ISSN: 2301-9891
merencanakan strategi penyelesaian, melaksanakan strategi penyelesaian, dan memeriksa kembali hasil. Berikut ini secara lebih rinci perbandingan persentase kemampuan pemecahan masalah yang disajikan dalam tabel 2: Tabel 2. Persentase Kemampuan Pemecahan Masalah Siklus I dan Siklus II Indikator
Siklus I (%)
Siklus II (%)
Memahami Masalah
67,50
84,4
Merencanakan Strategi Penyelesaian
61,75
70,4
Melaksanakan Strategi Penyelesaian
61,87
82
Memeriksa Kembali Hasil
75,75
57,5
Rata-rata skor
64
75
Berdasarkan Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa persentase kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada pembelajaran dengan model learning cycle yang dilaksanakan dalam dua siklus, terdapat peningkatan dalam tiga aspek dari empat aspek yang ada. Berikut hasil interpretasi kemampuan pemecahan masalah: a) Kemampuan memahami masalah dikedua siklus menduduki perolehan skor tergolong baik di banding tiga komponen lainnya, terlebih lagi pada siklus ke II mampu meningkat sebesar 16,9% sehingga mengantarkan pada tertinggi dalam komponen kemampuan pemecahan masalah. Dalam prosesnya siswa telah terlihat mampu memahami masalah yang berkaitan dengan materi bangun datar segi empat, siswa mampu berimajinasi dan memodelkan masalah yang diketahui dalam soal. b) Kemampuan merencanakan strategi penyelesaian pada siklus I dan siklus II menempati skor tertinggi ketiga yang pada siklus sebelumnya menempati posisi terendah. Peningkatan kemampuan menyusun rencana dari siklus I ke siklus II sebesar 8,68%, kemampuan ini menempati peningkatan terbesar setelah kemampuan memeriksa kembali hasil. c) Kemampuan melaksanakan strategi penyelesaian pada siklus II menempati urutan kedua. Kemampuan melakukan penghitungan mengalami peningkatan tertinggi dari siklus I ke siklus II yakni sebesar 20,12%. d) Kemampuan memeriksa kembali hasil menempati urutan terendah pada komponen kemampuan pemecahan masalah. Tahapan ini merupakan tahapan yang satu-satunya mengalami penurunan dibanding tahapan lainnya, penurunannya sebesar 18,13%. Secara visual perbandingan skor persentase rata-rata kemampuan pemecahan masalah siklus I dan siklus II pada penerapan model learning cycle disajikan dalam gmbar 1 berikut: Prima, Vol. 6, No. 1, Januari 2017, 103-116.
Prima
111
ISSN: 2301-9891 90 80 70 60
Siklus I Series2
50 40
Series1 Siklus II
30 20 10 0
MM 1
MR 2
MP 3
MK 4
Gambar 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Siklus I dan Siklus II
Peningkatan kemampuan pemecahan masalah siswa dari siklus I ke siklus II yang terlihat dalam diagram 1 menunjukkan bahwa seluruh kemampuan pemecahan masalah mengalami peningkatan. Skor rata-rata tertinggi dikedua siklus yaitu kemampuan memahami masalah dan skor rata-rata terendah dikedua siklus yaitu kemampuan melakukan penghitungan. Perbandingan statistik deskriptif kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus I dan siklus II disajikan dalam tabel 3 berikut: Tabel 3. Statistik Desktiptif Peningkatan Hasil Kemampuan Pemecahan Masalah Statistik
Siklus I
Siklus II
Nilai Terbesar Nilai Terkecil Rata-rata Median Modus Standar Deviasi
94 28 64,25 65,33 67 14,32
94 36 74,87 77,5 80,5 14,29
Rata-rata tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa meningkat sebesar 10,62. Median pada siklus I mencapai 65,33 sedangkan median pada siklus II mencapai 77,5. Modus pada siklus I mencapai 67, sedangkan modus pada siklus II mencapai 80,5. Standar deviasi pada siklus I sebesar 14,32 sedangkan pada siklus II sebesar 14,29. B. Analisis Lembar Observasi Proses pengamatan dilakukan pada setiap pertemuan selama proses pembelajaran berlangsung. Aspek aktivitas yang diamati meliputi: memperhatikan penjelasan guru dan teman, mampu memahami masalah, membuat rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana pemecahan masalah, terlibat dalam diskusi kelompok, membuat review atas pelaksanaan rencana pemecahan masalah, dan membuat tugas proyek yang dibuatnya. Pada siklus I hasil pengamatan yang dilakukan saat proses pembelajaran dengan menggunakan Upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik melalui model learning cycle dalam pembelajaran matematika Firmansyah
112
P-ISSN: 2301-9891
model learning cycle mencapai rata-rata 69,64%. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas kelompok masih kurang karena rata-rata aktivitas kelompok tersebut belum mencapai indikator yang diharapkan yaitu ≥ 75%. Pada siklus II rata-rata aktivitas kelompok mengalami peningkatan menjadi 76,52%. Pada perbandingan aktivitas kelompok pada siklus I dan siklus II. Seluruh aspek yang diamati meningkat pada siklus II namun peningkatannya berbeda dari tiap aspek. Dua aspek pada siklus I mendapat skor rata-rata rendah. Kedua aspek tersebut yaitu kemampuan memahami masalah dan kemampuan membuat review atas pelaksanaan rencana pemecahan masalah. Setelah dilakukan refleksi pada siklus II, kedua aspek ini mengalami peningkatan. Pada aspek menjelaskan tugas proyek yang dibuatnya, hal yang paling mempengaruhi peningkatannya adalah adanya refleksi bahwa siswa yang pasif didahulukan kontribusinya dalam menjelaskan jawaban atau menanggapi soal, sehingga banyak siswa yang awalnya pasif menjadi perhatian teman sekelompoknya maupun menyadari dirinya sendiri agar mendapatkan poin untuk kelompoknya. Pada aspek kemampuan membuat rangkuman, refleksi yang dilakukan pada siklus II yaitu rangkuman model learning cycle dikerjakan secara individu. Secara visual perbandingan rata-rata persentase aktivitas siswa pada pelaksanaan tindakan siklus I dan siklus II pada penerapan model learning cycle disajikan dalam gambar 2 berikut: 90 80 70 60 50
Series2 Siklus I
40
Siklus II Series1
30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
Gambar 2. Perbandingan Aktivitas Siswa Siklus I dan Siklus II
Aktivitas belajar kelompok yang menempati peningkatan keempat adalah aktivitas mampu memahami masalah, aktivitas ini meningkat sebesar 6,25%. Sebagian siswa berani untuk menjawab atau menanggapi jawaban teman. Aktivitas memperhatikan penjelasan guru dan teman menempati urutan peningkatan kelima, aktivitas ini meningkat sebesar 5,63%. Seluruh anggota kelompok melakukan penyelidikan
Prima, Vol. 6, No. 1, Januari 2017, 103-116.
Prima
113
ISSN: 2301-9891
mulai dari pelaksanaan tindakan siklus I hingga pelaksanaan tindakan siklus II, hal ini terlihat berdasarkan hasil lembar observasi menunjukkan bahwa aktivitas melakukan penyelidikan mendapat persentase tertinggi pada siklus I maupun siklus II. Peningkatan terakhir dari aktivitas kelompok yang diamati adalah melaksanakan rencana pemecahan masalah, beberapa kelompok sudah menunjukkan aktivitas dalam berdikusi dengan anggota kelompok, aktivitas berdiskusi sudah terlihat baik dari siklus I, namun masih butuh arahan dari peneliti. Sebagian kelompok lain, siswa yang paling pintar yang memegang peranan besar dalam menyelesaikan LKS, siswa lainnya terlihat enggan untuk ikut membantu dalam menyelesaikan LKS. Perilaku mengandalkan teman masih terlihat di siklus II walaupun sudah sedikit berkurang dari siklus II, beberapa anggota mulai menyadari pentingnya diskusi antar anggota kelompok, peningkatan aktivitas ini sebesar 4,37%. C. Analisi Respon Siswa Pada setiap akhir proses pembelajaran, peneliti memberikan jurnal harian yang digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran dan untuk mengetahui perkembangan kemampuan pemecahan masalah siswa setiap pertemuan. Tanggapan diklasifikasikan kedalam tiga bagian yaitu tanggapan positif, tanggapan negatif, dan tanggapan netral, respon siswa disajikan dalam tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4. Perbandingan Tangggapan Siswa Siklus I dan Siklus II
Positif
Siklus I (%) 62,5
Siklus II (%) 73,12
Meningkat (%) +10,62
Netral
21,87
18,13
-3,47
Negatif
15,63
8,75
-6,88
Tanggapan Siswa
Secara visual perbandingan skor persentase tanggapan siswa pada penerapan model pembelajaran learning cycle selama proses pelaksanaan tindakan siklus I dan siklus II disajikan dalam gambar 3 berikut:
Upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik melalui model learning cycle dalam pembelajaran matematika Firmansyah
114
P-ISSN: 2301-9891 80 70 60 50 Siklus I
40
Siklus II
30 20 10 0 Positif
Netral
Negatif
Gambar 3. Perbandingan Tanggapan Siswa Siklus I dan Siklus II
Tanggapan positif siswa saat diterapkan model learning cycle mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II, tanggapan siswa baik positif, negatif maupun netral yang ditulis pada jurnal harian siswa, sebagian besar dipengaruhi oleh mudah atau sulitnya materi yang dipelajari setiap pertemuan. Jika materi dirasakan mudah dan siswa sudah mengerti maka tanggapan positif yang lebih banyak diungkapkan siswa. Sebaliknya, jika materi dirasakan sulit dan siswa belum terlalu mengerti maka tanggapan negatif dan tanggapan netral yang banyak diungkapkan siswa. Tanggapan positif siswa mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II sebesar 10,62%. Tanggapan negatif mengalami penurunan sebesar 6,88%, dan tanggapan netral mengalami penurunan sebesar 3,74%. Simpulan dan Saran 1. Kemampuan pemecahan masalah dengan penerapan model learning cycle mengalami peningkatan persentase jumlah siswa yang mendapatkan nilai ≥ 70 maupun aspek kemampuan pemecahan masalah dari siklus I ke siklus II. Peningkatan persentase jumlah siswa yang mendapatkan nilai ≥ 70 pada siklus I sebesar 35% atau 14 siswa dari 40 siswa meningkat menjadi 70% atau 28 siswa dari 40 siswa pada sklus II. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah terlihat dari peningkatan dalam tiga aspek, walau dalam satu aspek mengalami penurunan tetapi secara skor keseluruhan kemampuan pemecahan masalah mengalami peningkatan yang bagus, yaitu aspek memahami masalah pada siklus I sebesar 67,5% menjadi 84,4% pada siklus II, aspek merencanakan strategi penyelesaian pada siklus I sebesar 61,72% menjadai 70,4% pada siklus II, aspek melaksanakan strategi penyelesaian pada siklus I sebesar 61,88% menjadi 82% pada siklus II, dan pada aspek memeriksa kembali hasil pada siklus I adalah 75,63% menjadi 57,5% pada siklus II. Keseluruhan skor rata-rata siklus I mencapai 64,25 meningkat menjadi 74,87. Hasil yang Prima, Vol. 6, No. 1, Januari 2017, 103-116.
Prima
ISSN: 2301-9891
115
diperoleh pada siklus II telah mencapai indikator ketercapaian yang diharapkan yaitu 60% dari jumlah siswa keseluruhan mendapatkan nilai ≥ 70. 2. Penerapan model learning cycle dalam proses pembelajaran metematika siswa dapat meningkatkan aktivitas siswa. Rata-rata aktivitas siswa pada siklus I sebesar 69,64% pada siklus II meningkat menjadi 76,52%, mencapai indikator ketercapaian yang diharapkan yaitu mencapai ≥ 75%. Aspek aktivitas kelompok yang diamati meliputi memperhatikan penjelasan guru dan teman, mampu memahami masalah, membuat rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana pemecahan masalah, terlibat dalam diskusi kelompok, membuat review atas pelaksanaan rencana pemecahan masalah, dan menjelaskan tugas proyek yang dibuatnya. Semua aspek tersebut dapat ditingkatkan dengan penerapan model pembelajaran learning cycle. 3. Siswa memiki respon yang positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan model learning cycle, hal ini terlihat dari respon positif pada siklus I sebesar 62,5% meningkat menjadi 73,12% pada siklus II yang sudah melampaui indikator ketercapaian sebesar 65%. Sebaliknya respon netral siswa pada siklus I sebesar 21,87% menurun menjadi 18,13% dan respon negatif siswa pada siklus I 15,63 menurun menjadi 8,75%. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, peneliti dapat memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. SMPN 12 selaku tempat peneliti bertugas dan tempat penelitian diharapkan kedepannya dapat memberikan dukungan dalam bentuk workshop maupun seminar tak hanya bagi guru bidang studi matematika, tetapi juga bagi seluruh guru bidang studi sains. 2. Guru bidang studi studi matematika dapat menerapkan model learning cycle sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan dan mengarahkan aktivitas belajar siswa sekaligus meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. 3. Bagi peneliti selanjutnya dapat mengukur kemampuan pemahaman kosep, koneksi, komunikasi siswa, atau variabel lainnya bahkan bidang studi lainnya sebagai pengembangan dari penerapan model learning cycle.
Daftar Pustaka Bahrudidin & Esa. (2010). Teori Belajar Dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, Cet. 3. Benny A. (2009). Model Desain System Pembelajaran, Jakarta: Dian Rakyat , Cet.1 h. 156. Upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematik melalui model learning cycle dalam pembelajaran matematika Firmansyah
116
P-ISSN: 2301-9891
C, Kathleen & Christine C C. (2009). Reading, Writing, & Inquiry in the Science Classroom Grade 6-12. USA: Corwin Press. Polya, G. (1973). How To Solve It a New Aspect of Mathematical Method. New jersey: Pricenton University Press, 1973. Shadiq, Fajar. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran Dan Komunikasi. Makalah Disajikan Dalam Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar. Yogyakarta: PPPG Matematika. Tracy, Brian. (2011). Eat That Frog! Cara Dahsyat Mencapai Hasil Lebih Banyak Dengan Bekerja Lebih Sedikit. Jakarta: Gemilang, Cet. 1. Wardani, Sri dkk. (2010). Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Di SMP. Yogyakarta : PPPPTK Matematika. Wena, Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovativ Kontemporer Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: Bumi Aksara.
Prima, Vol. 6, No. 1, Januari 2017, 103-116.