Up Grading, Menuju Intelektual-Aplikatif Guru yang Sejati Dr.Azam Syukur Rahmatullah, S.H.I.,M.S.I.,M.A Dosen Pascasarjana Univ. Muhammadiyah Yogyakarta
Menjadi seorang guru bukanlah perkara ringan, bukan hanya memasukkan atau dimasukkan dirinya ke Sekolah Tinggi dan Universitas dengan jurusan Pendidikan semata, dan kemudian mendapat gelar “guru”. Namun, menjadi seorang guru membutuhkan kualitas, kreativitas dan kompetensi diri baik pikir, dzikir, dan aksi yang mumpuni. Atau setidaknya mendekati mumpuni. Kompetensi pikir mengarah pada titik “pembudayaan olah pikir” yang terus berkembang dan memunculkan inovasi-inovasi baru untuk mendidik dan mengajar para peserta didiknya, sehingga mereka merasakan suasana akademis yang harmonis, tidak membosankan dan menyenangkan. Kompetensi dzikir, adalah “pembudayaan afeksi-hati,” yang mengarah pada pengolahan rasa, atau dengan meminjam istilah Aa Gym “manajemen qalbu”. Seorang guru tidak selayaknya untuk tidak memikirkan perkembangan afeksinya. Guru lebih bijak bila kental perasaan positif, perasaan kasih sayang, perasaan lekatnya, perasaan menyamankan peserta didik yang kesemua itu diawali dengan kecerdasan dzikir kepada illahi. Dan kompetensi aksi adalah “pembudayaan skill” yang itu berarti seorang guru lebih mulia apabila melatih diri dengan berbagai ragam ketrampilan, yang menjadikan diri dan peserta didiknya pintar.
1
Bersumber dari pernyataan di atas, ada beberapa sebutan untuk seorang guru yang tidak membekali dirinya dengan bebagai kompetensi, bahkan cenderung tidak “memperdulikan bahwa dirinya adalah seorang guru” yang seyogyanya harus menjadi manusia pembelajar.1 Beberapa sebutan tersebut dinyatakan oleh Aris Setyawan, motivator muda Indonesia saat mengisi sesi motivator "Guru Kreatif Pendidikan Berkualitas" di Wisma Syahida, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangsel, yakni :2 a. Guru nyasar, merupakan guru yang hanya melihat jabatan guru sebagai profesi alternatif di tengah kesulitan mencari kerja semata. Bagi mereka yang terpenting adalah kerja, dan mendapatkan pengakuan dari sekelilingnya. Terkadang guru-guru sejenis ini, adalah guru-guru yang pertama, terpaksa menjadi guru bukan niat yang tulus dari dalam hati, kedua, bukan berasal dari keluaran Fakultas Pendidikan, atau berasal dari Fakultas Pendidikan tetapi sejak awal masuk bukan berasal dari kesadaran dan kemauan sendiri. Ketiga, karena tergiur dengan perhatian pemerintah yang lebih kepada guru pada era sekarang ini. b. Guru bayar, merupakan guru yang stressing-nya hanya pada materi semata. Ketika mendapatkan gaji sedikit maka guru tersebut
akan
menggerutu. Atau ketika mendapatkan gaji banyak, masih saja terasa kurang banyak. Atau guru sejenis ini adalah guru yang di awal-awal 1
Manusia pembelajar adalah manusia yang terus belajar untuk membawa diri pada kecerdasan interpersonal dan intrapersonal, kecerdasan humanistik atau social. Andrias Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2002) hlm. 21. 2 Tiga Kategori Guru: Guru Nyasar, Guru Bayar dan Guru Sadar, http://www.republika.co .id/berita /pendidikan /training-guru-lpi-dd-2011/11/12/08/lvvf7m-tiga-kategori-guruguru-nyasar-guru-bayar-dan-guru-sadar
2
sbulan semangat mengajar tinggi karena uang gaji masih banyak, tetapi manakala akhir-akhir bulan guru semacam ini sudah tidak bersemangat bahkan cenderung acuh tidak acuh terhadap kegiatan pengajarannya. Atau pula guru yang senang mencampuradukkan antara kepentingan pribadi ke dalam kepentingan sekolah. c. Guru sadar, merupakan guru yang memiliki keluasan jiwa, kesadaran diri yang tinggi, dan ketulusan untuk “berbuat”. Guru sejenis ini tidak akan pernah mempersoalkan “Berapa besar gaji saya?”,“Berapa sekolah akan membayar saya?” atau “Apa yang bisa sekolah berikan untuk saya,sebagai timbal baliknya?”Guru sejenis ini akan mempersembahkan seluruh jiwa dan raganya untuk mecerdaskan peserta didik dan membawa mereka pada “keberhasilan hidup”, tanpa memikirkan “timbal balik”. Guru sejenis ini pula akan terus mengisi diri mereka dengan kegiatan-kegiatan yang membangun, yang memperkaya wawasan, pikir, pengalaman, sehingga akan mempersembahkan hal terbaik untuk para peserta didiknya. Guru tipe ketiga inilah yang seharusnya diteladani oleh para calon guru, yakni guru-guru yang bukan hanya sebatas pintar ber-teori/berkonsepsi tetapi juga pintar ber-aplikasi. Guru sadar merupakan guru “ideal” yang hendaknya menjadi perburuan-positif oleh para calon guru. Bukan memperebutkan posisi “guru nyasar dan guru bayar”. Karenya keduanya jelas mencerminkan “ketidakadilan diri menjadi seorang guru”, dan tidak akan membawa diri menuju “kesejatian diri sebagai seorang guru.”
3
Ada yang harus dirubah dari seorang calon guru, atau pula oleh seorang yang bergelar guru. Kebiasaan-kebiasaan yang memposisikan diri pada “zona kelemahan dan zona kenikmatan semu, yang kesemua itu terkadang menjadikan calon guru atau yang bergelar guru “terbuai kenikmatan palsu” sehingga tidak mampu berkembang dengan baik, atau terkesan lamban berubah. Beberapa dari sekian banyak yang harus dirubah adalah : a. Perubahan diri untuk membaca. Seorang guru atau calon guru tidak boleh tidak harus memperkaya diri dengan referensi bacaan-bacaan yang berkualitas.Utamanya bacaan-bacaan yang menitikberatkan pada kepengajaran, kependidikan sehingga akan mampu memperbaiki pola berpikir dan penerapan pikir dalam mengajar dan mendidik. b. Perubahan diri untuk lanjut studi. Seorang guru hendaknya terus dan terus memperdalam keilmuan diri. Tidak mandeg pada Strata 1 (satu) saja, tetapi haruslah mempedalam hingga strata 2 (dua) bahkan strata 3 (tiga). Sebab semakin tinggi ilmu dikaji, maka semakin mengerti bahwa keilmuan yang dimiliki semakin kecil dan rendah. Dan dengan keilmuan yang lebih tinggi seorang guru atau calon guru akan lebih bijaksana dalam menerapkan keilmuannya kepada para peserta didiknya. c. Perubahan diri untuk mencari tantangan baru. Seorang guru atau calon guru tidak bijaksana bilamana tidak membawa dirinya untuk hal-hal baru. Misalkan saja, rajin mengikuti training guru, work shop, seminar-seminar pembaharuan dalam ranah pendidikan, pelatihan-
4
pelatihan dalam dunia pendidikan. Hal ini menjadi urgen karena akan membuka cakrawala baru, dan akan menambah kreativitas, kompetensi diri sebagai seorang guru. d. Perubahan diri untuk menulis. Tidak banyak guru penulis atau guru yang suka menulis. Padahal sejatinya dengan menulis seorang guru atau calon guru akan melatih diri untuk bersabar, ber-empati, berekspresi, yang kesemuanya bisa membantu menjadikan diri sebagai guru inspiratif.3 Dengan demikian ada 3 (tiga) dasar menuju perubahan diri sebagai guru atau calon guru yang bermakna (meaningful), sadar, dan sejati.
Kemauan
kemampuan yang terus diasah
yang tulus Niat Konstruktif
1. Niat konstruktif, artinya niat yang membangun diri. Bahwa diri sendiri harus berubah.“Cara pandang saya harus dirubah”, Saya tidak boleh 3
Guru Inspiratif adalah guru yang tidak hanya mengejar kurikulum, tetapi lebih dari itu, mengajak para peserta didiknya berpikir kreatif (maximum thinking). Dan mengajak para peserta didinya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box). Ngainun Naim, Menjadi Guru Inspiratif ; Memberdayakan dan Mengubah Jalan Hidup Siswa, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009) hlm.76.
5
menjadi guru tidak bermutu”, “Saya harus menjadi guru yang produktif, inovatif dan konstruktif.” “Dan saya harus memantapkan niat sejak sekarang.” Hal-hal seperti ini hendaknya dibangun dari awal, sehingga akan terbawa setelah benar-benar menjadi guru. 2. Kemauan yang tulus. Perubahan hendaknya didasarkan pada kemauan yang tulus, bukan kemauan yang dipaksakan. Karena hasilnya berbeda. Kemauan yang tulus akan membawa pada garis lurus yang tetap lurus, artinya tidak akan menyimpang dari tujuan. 3. Kemampuan yang terus diasah. Perubahan selain membutuhkan niat dan kemauan, juga membutuhkan kemampuan, sebab tanpa kemampuan akan melemahkan diri. Karena ketiganya harus berkesinambungan.
6