THE WORLD BANK OFFICE JAKARTA Jakarta Stock Exchange Building Tower II/12th Fl. Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53 Jakarta 12910 Tel: (6221) 5299-3000 Fax: (6221) 5299-3111 Website: www.worldbank.or.id
THE WORLD BANK 1818 H Street N.W. Washington, D.C. 20433, U.S.A. Tel: (202) 458-1876 Fax: (202) 522-1557/1560 Email:
[email protected] Website: www.worldbank.org Dicetak pada bulan Maret 2007. Foto-foto dihalaman sampul: Copyright © Kristin Thompson, kecuali foto sebelah kanan atas dan kanan bawah, copyright © Bank Dunia Laporan yang berjudul Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru merupakan hasil kerja staf Bank Dunia. Temuan, interpretasi, dan kesimpulan dalam laporan ini tidak mencerminkan pandangan Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia atau pemerintah yang mereka wakili. Bank Dunia tidak menjamin kecermatan data yang terdapat pada penelitian ini. Batasan, warna, angka, dan informasi lain yang tertera pada setiap peta dalam penelitian ini tidak mencerminkan penilaian Bank Dunia tentang status hukum sebuah wilayah atau merupakan bentuk pengakuan dan penerimaan atas batasan tersebut. Untuk pertanyaan lebih lanjut mengenai laporan ini, silakan hubungi Wolfgang Fengler (
[email protected]).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia:
Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Prakata Saat ini merupakan peluang besar bagi Indonesia. Pada dasawarsa terakhir, negara ini telah mengalami transformasi besar-besaran dibidang tata laksana keuangan publik. Kebijakan penting yang diambil baru-baru ini untuk melakukan alokasi ulang terhadap berbagai sumber daya, mengurangi beban utang, dan meningkatkan pendapatan negara mengimplikasikan bahwa kini Indonesia memiliki sumber daya yang cukup besar untuk dimanfaatkan. Pergeseran menuju desentralisasi yang dimulai sejak 2001 juga memberikan implikasi bahwa tambahan sumber daya yang diperoleh tersebut tidak akan digunakan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh pemerintah daerah dan provinsi. Kajian Pengeluaran Publik (Publik Expenditure Review atau PER) 2007 menelaah dan menjelaskan sejumlah kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengelola dan mengalokasikan sumber daya. Tinjauan ini juga memberikan rekomendasi bagi peningkatan kondisi pada enam bidang yang sangat penting: ruang gerak fiskal (fiscal space), pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan keuangan publik, dan desentralisasi. Walaupun Indonesia telah berhasil mencapai kemajuan yang sangat berarti untuk melakukan reformasi keuangan publik dan mampu meningkatkan transparansi, Kajian Pengeluaran Publik ini masih menggarisbawahi bahwa agenda reformasi belum rampung, masih banyak yang harus dikerjakan. Kesetaraan dan efisiensi pengeluaran tetap merupakan isu penting, misalnya, menemukan alokasi optimal terhadap berbagai sumber daya yang mencerminkan prioritas pembangunan, dan pencapaian pola pengeluaran tahunan yang tidak lagi berorientasi pada berakhirnya akhir tahun anggaran. Kajian Pengeluaran Publik merupakan hasil dari kerja sama yang sangat erat antara Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia. Kajian ini merupakan produk dari Inisiatif Analisis Pengeluaran Publik (Initiative for Publik Expenditure Analysis atau IPEA) yang merupakan sebuah konsorsium sejumlah kementerian utama dalam pemerintah termasuk Departemen Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kantor Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, sejumlah universitas di Indonesia, Bank Dunia, dan para pemangku kepentingan utama lainnya di Indonesia. Pemerintah Belanda juga turut andil dengan menyediakan dukungan keuangan yang sangat berarti. Kami berharap agar kajian ini dapat memberikan kontribusi yang positif dan bermanfaat sehingga pemerintah Indonesia dengan seluruh mitra kerjanya, termasuk Bank Dunia, dapat menemukan cara-cara efektif untuk merancang dan melaksanakan berbagai kebijakan dan program mereka. Untuk melaksanakan hal itu, kami berharap mampu melaksanakan upaya maksimal terhadap peluang yang sangat unik yang dimiliki Indonesia saat ini melalui alokasi dan pemanfaatan yang lebih baik atas sumber-sumber keuangan yang dimiliki Indonesia, yang pada akhirnya ditujukan bagi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan yang sangat besar yang hendak diraih oleh negara ini.
Andrew D. Steer Country Director, Indonesia The World Bank
Achmad Rochjadi Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan
Lukita Dinarsyah Tuwo Deputi Mentri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Pendanaan Pembangunan Bappenas
Ucapan terima kasih Laporan ini disusun oleh tim inti di bawah pimpinan Wolfgang Fengler, bersama dengan Yoichiro Ishihara, dan Javier Arze Del Granado. Anggota tim inti adalah Bambang Suharnoko, Elif Yavuz, Andrew Ragatz, Bastian Zaini, Blane Lewis, Chairani Triasdewi, Claudia Rokx, Guenther Schulze, Ioana Kruse, Imad Saleh, Jens Kromann Kristensen, Jessica Ludwig, Katarina Gassner, Maulina Cahyaningrum, Michael Warlters, Peter Milne, Rajiv Sondhi, Sebastian Eckardt, Soekarno Wirokartono, Soren Davidsen, Steen Sonne Andersen, Stefan Nachuk, Sukmawah Yuningsih, Vincent Da Cruz, dan Yudha Permana. Dari pihak pemerintah, tim inti telah memperoleh banyak masukan yang sangat bermanfaat dan kerja sama yang begitu erat dari: Mulia Nasution, Achmad Rochjadi, Herry Purnomo, Askolani, Boediarso, Bambang Jasminto, Bambang Koesoemanto, Heru Subiantoro, Parluhutan Hutahaean, Paruli Lubis (Departemen Keuangan), Dedi M. M. Riyadi, Lukita Dinarsyah Tuwo, Luky Eko Wuryanto, Nina Sardjunani, Taufik Hanafi, Wismana A. Suryabrata, Leonard Tampubolon (Bappenas), Komara Djaja, Bobby Rafinus, (Kantor Menteri Koordinator Perekonomian), serta staf dari jajaran berbagai departemen. Sejumlah pihak dari Bank Dunia telah memberikan kontribusi mereka yang sangat berarti untuk menyelesaikan laporan ini. Untuk itu, tim inti hendak menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Abbas Ghozali, Ahmad Zaki Fahmi, Ahya Ihsan, Alicia J. Hetzner, Cut Dian Rahmi Dwi Augustina, Eleonora Suk Mei Tan, Indermit Gill, Joel Hellman, Juliana Wilson, Lloyd Kenward, Lars Jessen, Mae Chu Chang, Melanie Juwono. Meltem Aran, Menno Pradhan, Neil McCulloch, Pandu Harimurti, Peter Heywood, Sally Burningham, Sylvia Njotomihardjo, dan Vicente Paqueo, serta Armando Morales dari IMF. Terima kasih juga kami sampaikan kepada para peninjau: Mohammad Ikhsan (Kantor Menteri Koordinator Perekonomian), Jesko Hentschel (Bank Dunia), dan Amine Mati (IMF). Bimbingan secara keseluruhan diberikan pula oleh Andrew Steer (Direktur Bank Dunia untuk Indonesia), Homi Kharas (Pimpinan Sektor dan Chief Economist Bank Dunia untuk Wilayah Asia Timur), dan William Wallace (Lead Economist Bank Dunia untuk Indonesia).
Daftar Isi Ikhtisar
i
Peluang yang Unik
i
Mengapa Laporan ini Diperlukan?
ii
Tren dalam Pengeluaran Sektoral dan Investasi
iii
Pendidikan
v
Kesehatan
vi
Infrastruktur
vii
Pengelolaan Keuangan Publik
viii
Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Regional
ix
Agenda untuk Implementasi
x
Bab 1 Ruang Gerak dan Manajemen Fiskal
1
Tren Pengeluaran Publik
3
Investasi PUblik dan Ruang Gerak Fiskal
7
Utang
10
Subsidi
13
Reformasi Pelayanan Sipil dan Belanja Pegawai
17
Kerangka Fiskal Jangka Menengah
19
Rekomendasi Kebijakan
21
Bab 2 Kecenderungan Lintas Sektor
23
Pelayanan Ekonomi
25
Pelayanan Sosial
27
Pelayanan Masyarakat Umum
27
DIstribusi Pengeluaran Sektoral Antar-Pemerintah
28
Bab 3 Sektor Pendidikan
29
Pendidikan in Indonesia: Kemajuan dan Tantangan
31
Pengeluaran Publik
33
Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan dan Pemerataan
42
Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan: Efisiensi dan Hasil
45
Rekomendasi Kebijakan
51
Bab 4 Sektor Kesehatan
55
Kemajuan dan Tantangn pada Sektor Kesehatan
57
Pengeluaran untuk Sektor Kesehatan di Indonesia
60
Pemerataan: Kesenjangan dalam Pengeluaran Publik, Manfaat dan Penggunaan Layanan Kesehatan
69
Kualitas Layanan Kesehatan dan Tenaga Kerja Kesehatan
75
Rekomendasi Kebijakan
77
Bab 5 Infrastruktur
79
Kinerja Sektor Infrastruktur
81
Pengeluaran Publik untuk Infrastruktur: Komposisi dan Tren
85
Keseimbangan Spasial dan Pemerataan Akses
93
Inisiatif Terkini dari Pemerintah
98
Rekomendasi Kebijakan
99
Bab 6 Manajemen Keuangan Publik
103
Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan
105
Penyiapan dan Persetujuan Anggaran
107
Pelaksanaan Anggaran
110
Pengadaan
112
Audit
114
Rekomendasi Kebijakan
118
Bab 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Regional
121
Desentralisasi dan Kesenjangan
123
Pengeluaran
126
Penerimaan
129
Manajemen Keuangan Publik di Daerah
137
Dampak Desentralisasi FIskal Terhadap Kesenjangan
141
Rekomendasi Kebijakan
147
Daftar Rujukan
148
Lampiran
153
Daftar Diagram Diagram 1.1 Pendapatan dan belanja pemerintah pusat, 1994-2007 Diagram 1.2 Komposisi belanja pemerintah pusat Diagram 1.3 Komposisi belanja pemerintah daerah (Provinsi + Kabupaten/Kota) Diagram 1.4 Komposisi ekonomi belanja publik berdasarkan tingkat pemerintahan, 2004 Diagram 1.5 Pulihnya pengeluaran ke tingkat sebelum krisis Diagram 1.6 Investasi publik pulih kembali ke tingkat sebelum krisis, namun tidak demikin halnya untuk investasi swasta Diagram 1.7 Ruang gerak fiskal terus meningkat Diagram 1.8 Ruang gerak fiskal yangtidak dimanfaatkan: Pemerintah pusat Diagram 1.9 Ruang gerak fiskal yangtidak dimanfaatkan: Pemerintah daerah Diagram 1.10 Penurunan beban utang (1) Diagram 1.11 Penurunan defisit anggaran Diagram 1.12 Pembiayaan non-utang tinggi pada tahun 2000-03 Diagram 1.13 Penurunan defisit anggaran (2)
Diagram 1.14 Subsidi dan harga BBM Diagram 1.15 Subsidi bahan bakar minyak dan listrik dominan Diagram 1.16 Harga bahan bakar minyak dalam negeri vs internasional Diagram 1.17 Penghematan yang diperoleh dari penyesuaian subsidi BBM Diagram 1.18 Harga dan produksi minyak Diagram 1.19 Subsidi listrik yang regresif Diagram 2.1 DIstribusi pengeluaran publik secara nasional pada sektor-sektor kunci, 2001-07 Diagram 2.2 Komposisi ekonomi atas belanja aparatur pemerintah Diagram 2.3 Distribusi sektoral atas pengeluaran publik, 2005 Diagram 3.1 Angka partisipasi sekolah siswa SD dan SMP berdasarkan tingkat pendapatan Diagram 3.2 pebandingan secara internasional terhadap pengeluaran untuk pendidikan Diagram 3.3 Pengeluaran untuk pendidikan berdasarkan program dan tingkat pemerintah Diagram 3.4 Alokasi anggaran pusat dan daerah untuk sektor pendidikan Diagram 3.5 Time tren angka partisipasi sekolah Diagram 3.6 Pendidikan SD: angka partisipasi sekolah antar kabupaten/kota pada satu provinsi Diagram 3.7 RMG untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pada negara-negara terpilih Diagram 3.8 Persentase sekolah dasar yang kelebihan dan kekurangan tenaga guru berdasarkan formula penggajian yang baru Diagram 3.9 Perkiraan biaya untuk gaji guru dan tunjangan baru Diagram 3.10 Tren nilai ujian membaca dan matematika menurut tes standar internasional PISA Diagram 4.1 Perbandingan regional antara angka kematian bayi dan kematian balita Diagram 4.2 Angka kematian bayi dan kematian balita berdasarkan provinsi, 2002-03 Diagram 4.3 Tren dalam pengeluaran di sektor kesehatandi tahun, 1997-2007 Diagram 4.4 Perbandingan antar negara untuk pengeluaran kesehatan, 2004 (anggaran 2006) dan IMR Diagram 4.5 Tren pengeluaran sektor kesehatan berdasarkan tingkat pemerintahan Diagram 4.6 Pengeluaran untuk sektor kesehatan dan penerimaan kabupaten/kota, 2004 Diagram 4.7 Komposisi total pengeluaran sektor kesehatan Diagram 4.8 Tren pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan Diagram 4.9 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan Diagram 4.10 Persentase partisipasi dalam asuransi kesehatan Diagram 4.11 Partisipasi asuransi menurut kuintil, 2005 Diagram 4.12 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan publik dan swasta Diagram 4.13 Jumlah rumah sakit berdasarkan jenis/pemilik Diagram 4.14 Layanan spesialisasi vs umum di rumah sakit pemerintah dan swasta Diagram 4.15 Puskesmas dengan sistem praktik ganda Diagram 4.16 Pengeluaran publik per kapita untuk kesehatan berdasarkan provinsi, jumlah maksimum, minimum, dan rata-rata Diagram 4.17 Pemanfaatan layanan kesehatan swasta/publik Diagram 4.18 Jenis layanan kesehatan Diagram 4.19 Pemanfaatan layanan rawat jalan, 2005 Diagram 4.20 Rasio bidan dan wilayah layanan dalam km2 Diagram 4.21 Distribusi dokter dan bidan
Diagram 4.22 Jumlah penduduk untuk setiap Puskesmas Diagram 4.23 Jumlah Dokter untuk setiap Puskesmas Diagram 4.24 Puskesmas - Sumber layanan pengobatan Diagram 5.1 Investasi infrastruktur, 1994-2004 Diagram 5.2 Proporsi jalan raya yang diaspal, 2003 Diagram 5.3 Komposisi pengeluaran infrastruktur, 2004 Diagram 5.4 Dampak pelaksanaan sistem desentralisasi terhadap investasi pemerintah untuk infrastruktur Diagram 5.5 Distribusi pengeluaran unit pengeluaran Diagram 5.6 Pengeluaran PLN Diagram 5.7 Investasi dalam jalan raya per tingkat pemerintah dan sektor swasta Diagram 5.8 Jumlah pinjaman kepada PDAM yang disetujui oleh Departemen Keuangan, 1993-2005 Diagram 5.9 Variasi persentase keluarga yang memiliki sambungan listrik Diagram 5.10 Variasi persentase desa yang memiliki jalan aspal sebagai akses jalan utama Diagram 5.11 Distribusi rumah tangga berdasarkan penggunaan air dan kuantif konsumsi Diagram 5.12 Variasi proposi rumah tangga pada sampel desa yang memiliki akses terhadap air pipa Diagram 6.1 Kesenjangan antara anggaran dan realisasinya Diagram 6.2Pencairan pengeluaran non-rutin Diagram 6.3 Siapa yang bertanggung jawab? Tanggung jawab dalam siklus manajemen pengeluaran publik Diagram 6.4 Profil skema pencairan proyek Diagram 7.1 Disparitas daerah yang mencolok Diagram 7.2 Penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi Diagram 7.3 Komposisi DAU secara keseluruhan Diagram 7.4 Distribusi bagi hasil sumber daya per kapita, dan bagi hasil pajak per kapita Diagram 7.5 Hasil kerangka penilaian kinerja PFM Diagram 7.6 Penerimaan fiskal pemerintah daerah menggunakan alokasi DAU yang berbeda
Daftar Tabel Tabel 1.1 Total pengeluaran publik di tingkat nasional (pusat + Provinsi + Kabupaten/kota) Tabel 1.2 Komposisi ekonomi dari anggaran belanja negara Tabel 1.3 Komposisi belanja pemerintah pusat Tabel 1.4 Kuantifikasi perluasan ruang gerak fiskal Tabel 1.5 Elastisitas penerimaan daerah terhadap perubahan harga minyak Tabel 1.6 Perbandingan internasional utang pemerintah Tabel 1.7 Utang pemerintah pusat dan daerah tahun 2005 Tabel 1.8 Harga minyak dalam negeri vs harga minyak internasional Tabel 1.9 Distribusi pelayanan sipil antar pemerintah menurut senoritas dan total belanja pegawai Tabel 1.10 Kerangka fiskal jangka menengah Tabel 2.1 Distribusi sektoral dari pengeluaran publik secara nasional. Tabel 2.2 Tren pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah Tabel 3.1 Angka partisipasi kasar dan sekolah pada berbagai jenjang pendidikan Tabel 3.2 Pengeluaran publik secara nasional (pusat + Provinsi + Kabupaten/kota) Tabel 3.3 Pengeluaran publik sektor pendidikan di negara tetangga Indonesia
Tabel 3.4 Pengeluaran nominal sektor pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan Tabel 3.5 Pembagian pengeluaran pembangunan dan rutin padatingkat pemerintahan Tabel 3.6 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan daerah Tabel 3.7 Hasil pengembalian sosial berdasarkan tingkat pendidikan Tabel 3.8 Pengeluaran pendidikan sebagai persentase pengeluaran pemerintah pusat dan daerah Tabel 3.9 Pengeluaran pendidikan kabupaten/kota untuk pendidikan berdasarkan kuintil kemiskinan Tabel 3.10 Perkiraan biaya untuk program “Pendidikan untuk Semua” (PUS) Tabel 3.11 Perbandingan gaji guru di beberapa negara terpilih dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD) Tabel 4.1 Perbandingan regional mengenai hasil pelayanan sektor kesehatan Tabel 4.2 Tren dalam pengeluaran di sektor kesehatan Tabel 4.3 Tingkat dan proporsi pengeluaran sektor kesehatan per tingkat pemerintahan Tabel 4.4 Pengeluaran sektor kesehatan-pengeluaran pembangunan vs pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan Tabel 4.5 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan Table 4.6 Alokasi fungsional dari anggaran pemerintah pusat untuk kesehatan Tabel 4.7 Perbandingan internasional tentang angkatan kerja tenaga kesehatan Tabel 5.1 Peringkat regional dari akses terhadap layanan infrastruktur Tabel 5.2 Kapasitas sistem kelistrikan PLN vs permintaan puncak (peak time) Tabel 5.3 Indikator terpilih untuk listrik Tabel 5.4 Peningkatan kemacetan jalan raya Tabel 5.5 Mutu jalan raya Tabel 5.6 Akses terhadap air pipa Tabel 5.7 Sekilas tentang pengeluaran infrastruktur Tabel 5.8 Tren investasi Tabel 5.9 Tren investasi sektor swasta Tabel 5.10 Pengeluaran publik untuk investasi dan biaya operasional dan pemeliharaan Tabel 5.11 Biaya operasional dan pemeliharann BUMN Tabel 5.12 Biaya operasional dan pemeliharaan jalan raya Tabel 5.13 Akses terhadap infrastruktur: persentase desa dengan akses infrastruktur terpilih Tabel 5.14 Sumber pendanaan untuk jalan raya di wilayah pedesaan di kabupaten/kota Tabel 6.1 Kerangka hukum yang sedang berjalan Tabel 6. 2 Peta Audit Tabel 7.1 Tingkat disparitas yang signifikan terhadap kondisi sosial dan ekonomi Indonesia Tabel 7.2 Pengeluaran pemerintah daerah berdasarkan sektor Tabel 7.3 Pendapatan pemerintah daerah Tabel 7.4 PBB per sektor Tabel 7.5 Sumber pendapatan asli pemerintah kabupaten/kota dan provinsi Tabel 7.6 Sumber pendapatan asli pemerintah pusat dan daerah Tabel 7.7 Pendapatan asli pemerintah daerah, pengeluaran, dan surplus Tabel 7.8 Pinjaman dan utang yang telah lewat jatuh tempo berdasarkan peminjam Tabel 7.9 Kesenjangan fiskal sebelum dan setelah pelaksanaan desentralisasi Tabel 7.10 HUbungan antara kemiskinan, pendapatan daerah, dan pendapatan fiskal Tabel 7.11 pengelompokan Kabupaten/kota
Daftar Kotak Kotak 1.1 Apa yang dimaksud dengan ruang gerak fiskal? Kotak 1.2 Reformasi pelayanan sipil mulai terjadi Kotak 3.1 Landasan hukum Indonesia untuk “ketentuan20 persen” Kotak 4.1 Target pemerintah terhadap peningkatan hasil pelayanan sektor kesehatan Kotak 4.2 Kembalinya kasus polio di Indonesia pada tahun 2005 Kotak 4.3 Program kesehatan PKPS-BBM 2005 Kotak 6.1 Estimasi yang terlalu rendah terhadap harga minyak Kotak 6.2 Keterlibatan DPR dalam proses penganggaran Kotak 6.3 Sistem Indikator Baseline (BIS) Internasional untuk pengadaan Kotak 7.1 Undang-undang utama tentang desentralisasi, 1999-2006 Kotak 7.2 Penngkatan pengeluaran “lain-lain” di Papua Kotak 7.3 Tumpang tindih pengeluaran pemerintah pusat dan daerah: Studi kasus di Jawa Timur Kotak 7.4 Formula DAU Kotak 7.5 Inovasi dalam alokasi DAU Kotak 7.6 Distribusi dan pengelolaan dana otonomi khusus
Daftar istilah ABT
Anggaran Belanja Tambahan
ADB
(Asian Development Bank) Bank Pembangunan Asia
Amdal
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
APBN
Anggaran Pendapatan Belanja Negara
APBN-P
Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Negara
Askes
Asuransi Kesehatan Indonesia
Bappeda
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
Bappenas
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Bawasda
Badan Pengawas Daerah
BI
Bank Indonesia
BKM
Bantuan Khusus Murid
BKN
Badan Kepegawaian Negara
BOS
Bantuan Operasional Sekolah
BPK
Badan Pemeriksa Keuangan
BPKP
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
BPM
Badan Pemberdayaan Masyarakat
BPN
Badan Pertanahan Nasional
BPS
Biro Pusat Statistik
BUMN
Badan Usaha Millik Negara
CY
Calendar Year (Tahun Kalender)
DAK
Dana Alokasi Khusus
DAU
Dana Alokasi Umum
DepKes
Departemen Kesehatan
Depdiknas
Departemen Pendidikan Nasional
DepKeu
Departemen Keuangan
Departemen PU
Departemen Pekerjaan Umum
DGDM
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara
DIP
Daftar Isian Proyek
DIPA
Daftar Isian Proyek Anggaran
Dispenda
Dinas Pendapatan Daerah
Disnakertrans
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
DPPHLN
Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri
DPR
Dewan Perwakilan Rakyat
FC
Fiscal Capacity (Kapasitas Fiskal)
FG
Fiscal Gap (Kesenjangan Fiskal)
FY
Fiscal Year (Tahun Fiskal)
GDS
Governance and Decentralization Survey
IPM
Indikator Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI)
IDHS
Indonesia Demographic and Kesehatan Survey (Survei Kesehatan dan Demografi Indonesia)
IHK
Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/ CPI)
IMF
Internasional Monetary Fund (Dana Moneter Internasional)
IMR
Infant Mortality Rate (Tingkat Kematian Bayi)
Inpres
Presidential Instruction (Instruksi Presiden)
IPD
Indikator Pendidikan Dunia (World Education Indocator/WEI)
IPP
Independent Power Producer (Produsen Listrik Independen)
Jamsostek
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
JPKM
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Kanwil
Kantor Wilayah
KAR
Kantor Keuangan Daerah
Kasipa
Kantor Verifikasi dan Pelaksanaan Anggaran
Keppres
Keputusan Presiden
KPK
Komite Pemberantasan Korupsi
KKPPI
Komite Kebijakan Percepatan Pengadaan Infrastruktur
KPPN
Kantor Perbendaharaan Negara
KPPOD
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
LAN
Lembaga Administrasi Negara
LPEM FEUI
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat – Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
LPPN
Laporan Penilaian Pengadaan Negara (Country Procurement Assessment Report/ CPAR)
Makuda
Manual akuntansi dan Keuangan Daerah
MDG
(Millenium Pembangunan Goal) Tujuan Pembangunan Milenium
Menpan
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara
MMR
(Maternal Mortality Rate) Tingkat Kematian Ibu
MPR
Majelis Permusyawaratan Rakyat
MTEF
Medium-term Pengeluaran Framework (Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah)
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
PIN
Pekan Imunisasi Nasional
LKPN
Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional
OHDA
Orang Hidup Dengan HIV/AIDS
OECD
(Organization for Economic Co-operation and Development) Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan
PK
Per kapita (Per kepala)
PDAM
Perusahaan Daerah Air Minum
PDB
Pendapatan Domestik Bruto
PDRB
Produk Domestik Regional Bruto
Perda
Peraturan Daerah
Perpu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Pertamina
Perusahaan Pertambangan Minyak Nasional
PGRI
Persatuan Guru Republik Indonesia
PISA
(Program for Internasional Student Association) Program untuk Persatuan Pelajar Internasional
PKPS-BBM
Program Kompensasi Pengganti Subsidi BBM
PLN
Perusahaan Listrik Negara
PNBP
Pendapatan Negara Bukan Pajak
Podes
Potensi Desa
Posko
Pos Koordinasi
PP
Peraturan Pemerintah
PTT
Pegawai Tidak Tetap
PUS
Pendidikan untuk Semua (Education for all/EFA)
Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat
Pustu
Puskesmas Pembantu
RAPBN
Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara
RBD
Regional Pembangunan Daerah
RDI
Rekening Dana Investasi
Renja KL
Rencana Kerja Tahunan Kementerian/Lembaga
Renstra KL
Rencana Strategis Kementerian/Lembaga
Repanas
Rencana Pembangunan Nasional
RMG
Rasio Murid-Guru (Student-Teacher Ratio/STR)
RKA-KL
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga
RKP
Rencana Kerja Pemerintah
RPJM
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Sakernas
Survei Tenaga Kerja Nasional
SDA
Sumber Daya Alam
SDO
Subsidi Daerah Otonom
SIKD
Sistem Informasi Keuangan Daerah
SLA
(Subsidiary Loan Agreements ) Perjanjian Pinjaman Pemberian Subsidi
STX
(Shared Tax Revenue) (Penerimaan Bagi Hasil Pajak)
Susenas
Survei Sosial Ekonomi Nasional
TIMMS
(Third Internasional Mathematics and Science Study) Lomba Matematika dan IPA Internasional
TSA
Treasury Single Account (Rekening Dana Tunggal)
Unicef
(United Nations Children Funds)
UNDP
United Nations Development Program
Unesco
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisations
WDI
World Pembangunan Indicators (Indikator Pembangunan Dunia)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Ikhtisar Peluang yang Unik Indonesia telah melampaui periode pasca krisis: kini Indonesia telah memiliki sumber daya keuangan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pembangunan. Kebijakan makroekonomi yang hati-hati, terutama kebijakan untuk menekan defisit anggaran, merupakan hal yang sangat penting dalam pemulihan ekonomi. Kinilah saatnya untuk mengambil langkah-langkah peningkatan sesuai dengan apa yang telah dicapai beberapa tahun belakangan ini serta menggunakan sumber-sumber keuangan negara secara efektif dan efisien untuk memperbaiki mutu pendidikan, perluasan layanan kesehatan, menutup kesenjangan infrastruktur yang sangat penting, semuanya untuk menanggulangi kemiskinan dan membangun ekonomi yang kompetitif. Selama lebih dari 10 tahun terakhir telah terjadi transformasi yang luar biasa pada pengelolaan dan pengalokasian bebagai sumber daya publik. Terdapat tiga momen penting yang perlu diperhatikan: • 1997-98 – Masa krisis ekonomi. Ekonomi lesu, pengeluaran publik turun. Hutang dan subsidi meningkat, sementara itu pengeluaran pembangunan menurun tajam. • 2001 – Desentralisasi. Sepertiga pengeluaran pemerintah pusat dialihkan ke daerah. • 2006 – Dana sebesar US$15 milyar untuk dialokasikan kembali. Pengurangan subdisi bahan bakar minyak (BBM) memberikan peluang untuk dialokasikan kembali. Jumlah hutang menurun sampai di bawah 40 persen dari PDB, pengeluaran agregat meningkat sampai dengan by 20 persen, dan transfer dana ke pemerintah daerah meningkat menjadi sebesar 32 persen. Diagram 1 Tahun-tahun yang menentukan dalam alokasi pengeluaran publik untuk Indonesia 160 Harga konstan di tahun 2000; Rp triliun
Krisis 140
Desentralisasi
Ekstra AS$15 miliar untuk dibelanjakan
120 100 80 60 40 20 -
1994 1995 1996 1997 1998 1999 Pembayaran Bunga Hutang Transfer ke Daerah
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007** Subsidi Belanja Pembangunan Pemerintah Pusat
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia.
Indonesia dapat berharap untuk memiliki sumber daya fiskal tambahan yang dapat dialokasikan kembali, dalam jumlah yang signifikan, atau yang disebut “ruang fiskal” (fiscal space) yang besarnya hampir sama dengan tambahan pendapatan yang diperoleh dari sektor migas selama booming minyak di pertengahan tahun 1970-an. Sejak pengurangan subsidi BBM tahun 2005, Indonesia berhasil menyisihkan dana yang dapat dialokasikan kembali sebesar US$10 milyar untuk membiayai berbagai program pembangunan. Kemudian ada tambahan anggaran sebesar US$5 juta yang diperoleh dari peningkatan pendapatan di berbagai sektor dan penurunan kewajiban pembayaran hutang. Jumlah yang sama akan juga tersedia untuk 2007 dan akan berlanjut
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
sampai ke tahun-tahun berikutnya. Posisi fiskal Indonesia dapat terus mengalami peningkatan dengan menghapus subsidi yang masih membebani anggaran. Jumlah subsidi saat ini masih berjumlah US$10 milyar (15 persen dari total pengeluaran 2006). Ruang gerak fiskal akan tetap signifikan walaupun terjadi penurunan harga minyak dunia secara tajam. Kombinasi antara peningkatan pendapatan dan pengurangan subsidi memberikan jaminan terjadinya tambahan sumber daya fiskal di masa-masa yang akan datang. Harga minyak dunia dan ruang fiskal Indonesia tidak lagi berkaitan akibat terjadinya penurunan produksi minyak secara drastis sampai hampir mencapai 40 persen sejak 1996. Saat ini konsumsi minyak Indonesia hampir sama dengan jumlah minyak yang diproduksi, sehingga perubahan harga minyak dunia relatif tidak terlalu penting terhadap anggaran belanja Indonesia. Sebagian besar tambahan sumber daya ini akan digunakan oleh pemerintah daerah dan provinsi. Dalam hal pengeluaran, Indonesia telah menjadi salah satu negara yang paling ter-desentralisir di dunia. Sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang ada saat ini memberikan jaminan akan kelangsungan hal tersebut. Peningkatan transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada tahun 2006 sama besarnya dengan peningkatan di awal penerapan desentralisasi tahun 2001. Saat ini pemerintah daerah dan provinsi di Indonesia memiliki anggaran sebesar 36 persen dari total anggaran publik (Kotak 1). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat desentralisasi fiskal lebih tinggi daripada rata-rata negara OECD, juga lebih tinggi daripada negara-negara Asia Timur lainnya kecuali Cina. Kotak 1 Keuangan publik di Indonesia – fakta kunci •
Pemerintah provinsi dan daerah kini mengelola sebanyak 36 persen dari total pengeluaran publik dan mereka juga melaksanakan lebih dari 50 persen investasi publik. Total hutang pemerintah menurun sampai dengan di bawah 40 persen dari PDB pada akhir 2006. Pengeluaran untuk subsidi dan administrasi pemerintahan berjumlah sepertiga dari total pengeluaran. Besarnya subsidi masih berkisar sebesar 15 persen dari total anggaran dan pada tingkat yang sama dengan 2004. Investasi publik telah pulih dan kembali pada tingkat sebelum krisis yaitu sebesar 7 persen; saat ini setengah dari investasi publik dikelola oleh pemerintah daerah. Pengeluaran untuk sektor pendidikan kini mencapai 17.2 persen dari total pengeluaran, yang merupakan alokasi terbesar jika dibandingkan dengan sektor lainnya dan sebanding dengan banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah lainnya. Pengeluaran sektor pendidikan mencapai 3.9 persen dari PDB tahun 2006, naik 2 persen dibandingkan dengan pengeluaran untuk 2001. Total pengeluaran publik untuk sektor kesehatan masih di bawah 1 persen dari PDB, walaupun sudah terjadi kenaikan yang sangat mencolok sejak 2002. Investasi publik untuk infrastruktur belum pulih dari posisinya yang tetap rendah pasca krisis dan hanya berjumlah 3.4 persen PDB.
Mengapa Laporan ini Diperlukan? Analisis pengeluaran publik dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat. Memang, sebaiknya analisis dan pemantauan terhadap pengeluaran publik merupakan sebuah proses yang terjadi secara alami dan dilakukan secara rutin. Banyak pemerintah di seluruh dunia, seringkali dengan dukungan Bank Dunia, melaksanakan Kajian Pengeluaran Publik (Publik Expenditure Reviews atau PERs) yang dilakukan setiap dua tahun sekali. Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia telah melaksanakan PER nasional yang terakhir pada 2003 dan setelah itu dilaksanakan juga sejumlah analisis yang lebih dalam lagi tentang pengeluaran sektoral dan pengeluaran publik pada tingkat daerah. Laporan ini mencoba mengemukakan berbagai fakta tentang pengeluaran publik di Indonesia, menampilkan berbagai kecenderungan selama kurun waktu tertentu, dan melakukan analisis terhadap komposisi pengeluaran lintas sektoral serta pengeluaran di setiap tingkat pemerintahan. Laporan ini menyampaikan
ii
Misalnya: Desentralisasi Indonesia (2003); Analisis Pengeluaran Publik untuk Papua – Keuangan Daerah dan Pemberian Layanan di Wilayah Paling Terpencil di Indonesia (2005), Pengeluaran untuk Rekonstruksi dan Pembangunan – Analisis Pengeluaran Publik untuk Aceh (2006), Investasi untuk Pendidikan di Indonesia (2007).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
RANGKUMAN EKSEKUTIF
informasi yang komprehensif tentang sektor-sektor kunci, termasuk pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam berbagai sektor infrastruktur kunci. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, ada sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam laporan ini: Siapa yang memperoleh manfaat dari berbagai sumber daya publik yang jumlahnya cukup besar ini? Di mana letak kesenjangannya? Daerah-daerah mana yang memiliki sumber daya yang cukup besar? Daerah mana yang kelihatannya masih tertinggal? Selain menyorot pertanyaan itu, laporan ini juga mencoba untuk memberikan respon terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada di benak kebanyakan masyarakat Indonesia serta sahabat-sahabat Indonesia, seperti: • • • • •
Apakah Indonesia mampu membiayai pengeluaran lebih besar lagi? Apakah tingkat pengeluaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan saat ini sudah memadai? Bagaimana cara untuk melakukan revitalisasi terhadap investasi infrastruktur, dan sektor-sektor mana saja yang mendapatkan prioritas? Mengapa proses pencairan dana melalui sistem anggaran pemerintah begitu sulit? Bagaimana tingkat kesenjangan daerah di Indonesia dan bagaimana sistim perimbangan keuangan pusat dan daerah dapat diatur untuk mengurangi kesenjangan yang ada?
Pemberantasan korupsi merupakan salah satu prioritas penting dari pemerintah dan tindak korupsi yang melibatkan penggunaan dana publik masih merupakan satu masalah besar. Korupsi merusak pengambilan keputusan mengenai pengeluaran dan pada saat yang sama korupsi juga menghambat pelaksanaan anggaran. Sementara laporan ini memberikan argumentasi bahwa Indonesia perlu meningkatkan investasi publiknya, tingkat korupsi akan menentukan apakah investasi tersebut mampu memberikan hasil yang langgeng bagi rakyat Indonesia. Dengan pengalihan sumber-sumber daya yang begitu besar ke pemerintah daerah, upaya pemberantasan korupsi di tingkat daerah sama pentingnya dengan upaya yang dilakukan di tingkat pusat. Laporan ini menitikberatkan dimensi teknis dari tindak korupsi: proses anggaran, proses pengadaan barang dan jasa, dan sistem audit (pemeriksaan). Sistem fidusiari ini pada dasarnya menentukan tingkat korupsi dalam pengeluaran dan mutu pengeluaran itu sendiri. Berdasarkan analisis lingkungan fidusiari di tingkat pusat dan daerah, laporan ini juga menyoroti bidang-bidang yang rentan terhadap praktik korupsi , terutama dalam sistem pengelolaan keuangan publik. Laporan ini membahas tujuh bidang pengeluaran yang sangat kritis. Dua bab pertama (Bab 1 tentang ruang fiskal dan Bab 2 tentang alokasi anggaran lintas sektoral) membahas tentang berapa jumlah dana yang tersedia bagi pemerintah dan bagaimana dana itu dialokasikan antar sektor dan di setiap tingkat pemerintahan. Tiga bab berikutnya, yang membahas isu pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, menyampaikan analisis tentang bagaimana berbagai sumber daya yang ada kini dialokasikan dalam sektor-sektor yang sangat penting ini dan seberapa efektif pemanfaatannya. Dua bab terakhir (Bab 6 tentang pengelolaan keuangan publik dan Bab 7 tentang desentralisasi) menyoroti isu-isu kelembagaan dan isu-isu yang saling terkait dalam pengelolaan pengeluaran publik.
Tren dalam Pengeluaran Sektoral dan Investasi Publik Sementara tingkat kemiskinan semakin menurun secara signifikan setelah 1999—meskipun sempat meningkat di tahun 2005—indikator pelayanan publik masih menunjukkan gambaran yang tidak sama. Beberapa indikator telah mengalami peningkatan, seperti angka partisipasi sekolah siswa sekolah dasar. Akan tetapi, masih banyak indikator lain yang hanya menunjukkan peningkatan yang sangat kecil dan beberapa bahkan tidak menunjukkan peningkatan sama sekali sejak 1999. Indonesia masih berada pada posisi yang sangat rendah dalam hal angka kematian ibu, gizi, dan angka partisipasi sekolah siswa sekolah menengah, terutama bagi kelompok masyarakat paling miskin. Selain itu, Indonesia juga menghadapi tantangan baru seperti peningkatan penyakit kardiovaskuler dan sejumlah epidemi seperti HIV/AIDS dan flu burung. Pemerintah kini memiliki peluang unik untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan publik di Indonesia. Selama masa booming minyak pada pertengahan 1970s, pemerintah memusatkan perhatian pada pemenuhan kebutuhan pokok, terutama pendidikan dasar dan kesehatan. Upaya ini memberikan kontribusi luar biasa terhadap peningkatan kedua sektor ini walaupun sejumlah daerah terpencil, terutama yang terletak di kawasan Indonesia timur, masih jauh tertinggal. Saat ini, tantangan utama yang dihadapi Indonesia adalah melanjutkan gerak reformasi
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
iii
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
ke langkah berikutnya dengan fokus pada kualitas pelayanan publik dan penyediaan sarana infrastruktur yang ditargetkan. Untuk mempertahankan kondisi ekonomi Indonesia yang siap bersaing dalam jangka panjang, sistem pendidikan menengah dan pendidikan tinggi serta perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan infrastruktur yang lebih baik menduduki posisi yang sama pentingnya. Akan tetapi, alokasi pengeluaran yang ada sekarang masih kurang optimal untuk menghadapi tantangan pembangunan Indonesia. Indonesia telah berhasil mencapai kemajuan yang sangat pesat selama dua tahun terakhir dalam melakukan realokasi pengeluaran (dari kebijakan subsidi yang tidak efisien) untuk mendanai programprogram yang berpihak pada masyarakat miskin. Tetapi pengeluaran Indonesia untuk infrastruktur dan sektor-sektor sosial penting lainnya masih sangat rendah dan kurang. Indonesia berhasil mencapai prestasi sangat mengesankan dalam melakukan alokasi terhadap dana tambahan untuk sektor pendidikan. Pada 2005, anggaran pendidikan sudah mencapai hampir Rp 80 triliun, namun pengeluaran untuk administrasi pemerintahan inti (di luar gaji guru, dokter, dan perawat) sangat tinggi yaitu Rp 67 triliun—yang merupakan pengeluaran sektoral terbesar kedua (Diagram 2). Berdasarkan perkiraan untuk tahun 2006, walaupun secara ranking masih sama, pemerintah diproyeksikan masih membelanjakan sekitar 15 persen dari anggaran untuk subsidi dan administrasi pemerintahan (jika dijumlah hasilnya lebih dari 30 persen). Anggaran untuk pendidikan diperkirakan sekitar Rp 120 triliun, sementara belanja untuk administrasi pemerintahan inti adalah Rp 107 triliun dan subsidi sebesar Rp 108 triliun. Tingkat yang lebih normal bagi belanja administrasi pemerintah di negara yang sebanding adalah sekitar 5 sampai 10 persen. Diagram 2 Pengeluaran sektoral: didominasi oleh sektor pendidikan dan aparatur pemerintah 90
Kabupaten/kota Provinsi Pusat
80 70
Rp triliun
60
47
50
40
40
9 4
30 20
28
10
9 15 23
32
4 9
11
0 Pendidikan
Aparat Pemerintah & Pengawasan
Infrastruktuur
9
Pertahanan & Keamanan
Kesehatan
5 2
5
Pertanian
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia, 2004.
Setelah terjadi krisis ekonomi, pemerintah Indonesia belum berhasil melakukan investasi yang memadai untuk meningkatkan ekonomi dan tingkat investasi publik menjadi salah satu yang terendah dibandingkan dengan negara-negara berpenghasilan menengah lainnya. Total investasi, baik untuk sektor publik maupun swasta, mengalami penurunan dari 27 persen dari PDB pada 1996 menjadi kurang dari 20 persen pada 2000. Tetapi pengeluaran publik untuk pembangunan—sebagai salah satu alat ukur (proxy) investasi publik—bahkan mengalami penurunan yang lebih tajam, dari 6,5 persen dari PDB pada 1996 menjadi kurang dari 4 persen pada 2000. Investasi publik kini sedang mengalami pemulihan dari tingkat penurunan pasca krisis dan hal ini menunjukkan peluang untuk menanggulangi berbagai kelemahan yang terdapat dalam penyediaan pelayanan publik. Setelah 2002, investasi publik mulai pulih. Pada 2003, investasi publik mencapai titik yang sama dengan sebelum krisis. Pada 2004 dan 2005, tingkat ini menurun kembali ketika subdisi BBM menggelembung. Setelah dilakukan realokasi subsidi BBM pada 2005, investasi publik kembali mencapai tingkat yang sama seperti tingkat sebelum krisis sebesar 6,5 persen PDB. Akan tetapi, tingkat investasi publik di Indonesia masih merupakan yang terendah di antara negara-negara berpenghasilan menengah. Dengan realokasi sumber daya yang sedemikian berani, kini Indonesia berada pada titik di mana tingkat investasi dapat dan harus meningkat menjadi lebih tinggi daripada tingkat sebelum krisis sebagai kompensasi terhadap tingkat investasi yang rendah dari 1999 sampai 2002 (Diagram 3 dan 4). (Seperti yang tampak pada Diagram 3, investasi sektor swasta masih tertinggal dan masih lebih rendah dari tingkat sebelum krisis). iv
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Komposisi investasi publik telah berubah secara substansial sejak pelaksanaan desentralisasi. Ketika Indonesia mulai menerapkan desentralisasi, sumber daya pemerintah daerah mengalami peningkatan. Pemerintah daerah kini mengelola setengah dari total investasi publik (Diagram 4). Pada saat yang sama, komposisi pengeluaran sektoral juga mengalami perubahan. Pengalokasian secara rata-rata untuk sektor pendidikan dan administrasi telah mengalami peningkatan cukup signifikan, sementara pengeluaran infrastruktur mengalami penurunan terutama sejak 2003. Diagram 3 Investasi publik pulih secara perlahan
Diagram 4 Pasang surut investasi publik (%)
(%)
8
30
7 25
5 20.7 Swasta
22.1 12.7
17.6
16.8
4 3
10 5
Kabupaten/Kota
6
20 15
Provinsi
2 6.4
Publik
3.8
6.5
4.4
6.5
0 1996
2000
2003
2005
Sumber: BPS, Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Angka-angka di atas merupakan persentase PDB.
2006(*)
1
Pemerintah Pusat
0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 (E) (P) (P)
Sumber: BPS, Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia.
Komposisi investasi publik telah berubah secara substansial sejak pelaksanaan desentralisasi. Ketika Indonesia mulai menerapkan desentralisasi, sumber daya pemerintah daerah mengalami peningkatan. Pemerintah daerah kini mengelola setengah dari total investasi publik (Diagram 4). Pada saat yang sama, komposisi pengeluaran sektoral juga mengalami perubahan. Pengalokasian secara rata-rata untuk sektor pendidikan dan administrasi telah mengalami peningkatan cukup signifikan, sementara pengeluaran infrastruktur mengalami penurunan terutama sejak 2003.
Pendidikan ndonesia telah berhasil mencapai angka partisipasi sekolah yang sangat tinggi untuk jenjang pendidikan dasar. Dengan demikian, mengirim anak ke sekolah dasar tidak lagi menjadi tantangan pembangunan yang berarti. Walaupun demikian, berbagai upaya lebih lanjut masih akan diperlukan untuk menjangkau 8 persen anak usia sekolah yang belum terdaftar sebagai siswa sekolah dasar. Pemerintah saat ini tengah menanggulangi kesenjangan investasi pada jenjang pendidikan dasar, tetapi penekanan lebih besar harus diberikan pada peningkatan mutu di seluruh sistem pendidikan dan meningkatkan angka partisipasi sekolah di jenjang pendidikan menengah pertama. Saat ini Indonesia mengalokasikan sebanyak 17,2 persen dari total pengeluaran publik untuk pendidikan (2006). Tingkat ini hampir sama dengan negara berkembang lainnya, dan bahkan sama pula dengan negara-negara OECD. Akan tetapi, beberapa negara tetangga Indonesia terdekat (Malaysia, Thailand, dan Filipina) mengalokasikan dana lebih banyak untuk sektor pendidikan mereka—sampai dengan 28 persen dari anggaran nasional mereka. Di samping itu, masih diperlukan lagi anggaran untuk investasi tambahan mengingat gedung-gedung sekolah dan aset pendidikan lainnya telah mengalami kerusakan yang sangat parah selama beberapa tahun belakangan ini. Masih terdapat inkonsistensi struktural dalam komposisi pengeluaran di tingkat pusat dan daerah. Pemerintah daerah menghabiskan sebagian besar anggaran pemerintah (70 persen), namun anggaran ini hampir seluruhnya diperuntukkan bagi gaji guru, yang masih ditentukan oleh pemerintah tingkat pusat. Sebaliknya, pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan sebagian besar diperuntukkan bagi investasi pendidikan, sementara pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pengelolaan, pembangunan, dan rehabilitasi sekolah. Dominasi pemerintah pusat pada investasi pendidikan bisa bertentangan dengan tujuan dari desentralisasi fungsifungsi pendidikan kepada pemerintah daerah.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Jika mandat undang-undang yang menentukan anggaran sejumlah 20 persen untuk sektor pendidikan tidak termasuk gaji guru, hal ini akan menjadi tidak realistis dan menimbulkan masalah besar. Tidak akan mungkin dapat mencapai persyaratan untuk mengeluarkan sebanyak 20 persen dari total anggaran untuk pendidikan jika tidak memasukkan gaji guru sebagai salah satu komponennya. Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengeluaran untuk sektor pendidikan sampai dengan sekitar 17 sampai dengan 45 persen untuk bisa mencapai angka 20 persen sesuai dengan definisi ini. Pemerintah pusat juga perlu untuk melipatgandakan tingkat pengeluaran mereka yang sekarang dan mengalokasikan peningkatan pengeluaran non-gaji. Akan tetapi, peningkatan sumber-sumber daya di tingkat pusat sampai dengan tingkat 20 persen tidak sesuai dengan logika yang melandasi desentralisasi; Jelaslah bahwa sebagian besar tambahan pengeluaran untuk pemerintah pusat diperuntukkan bagi pelaksanaan fungsi-fungsi yang didesentralisir. Definisi yang berlaku saat ini mengklasifikasikan pendapatan guru diluar gaji bukan sebagai pengeluaran operasional juga menambah fragmentasi gaji guru. Distribusi guru sangat tidak merata di seluruh Indonesia. Jumlah guru untuk Indonesia sudah memadai untuk memperoleh rasio murid-guru 20:1 tetapi banyak guru hanya bekerja paruh waktu dan terkonsentrasi di daerahdaerah yang lebih makmur. Akibatnya, sekitar 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru, sementara 34 persen kekurangan tenaga guru. Kebanyakan sekolah di perkotaan dan sejumlah sekolah di pedesaan memiliki jumlah guru yang terlalu banyak, sementara sebanyak 66 persen sekolah di daerah terpencil mengalami kekurangan tenaga guru yang sangat serius. Kebijakan baru pemerintah untuk memberikan insentif finansial yang lebih banyak bagi guru yang bekerja di daerah terpencil merupakan langkah awal untuk menuju arah yang benar, tetapi hal ini hanya akan mampu meningkatkan mutu layanan pendidikan jika diberlakukan sistem pemantauan berbasis masyarakat yang kuat. Struktur gaji yang ada sekarang tidak memberikan insentif kepada guru untuk bertugas di sekolah-sekolah jenjang menengah dan sekolah-sekolah yang terletak di daerah terpencil. Program sertifikasi guru yang baru berusaha menanggulangi beberapa dari masalah ini dengan cara meningkatkan kualifikasi para guru dan menyediakan insentif keuangan untuk tujuan penempatan ulang para guru secara lebih merata. Tetapi gaji guru baru bisa dipertahankan jika secara terus-menerus dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi tingkat ketidakhadiran guru yang begitu tinggi. Dan hal ini dapat digunakan sebagai titik awal untuk melakukan modernisasi di sektor ini. Implikasi keuangan dari peningkatan pembayaran tunjangan sesuai dengan UU No. 14/2005 tentang guru hanya dapat dikurangi jika jumlah guru penerima gaji (baik yang berstatus guru tetap maupun paruh waktu) juga dikurangi.
Kesehatan Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih tertinggal dalam hal berbagai indikator utama terhadap pencapaian di sektor kesehatan seperti tingkat kematian bayi, kematian balita, dan kematian ibu. Ada tiga alasan utama yang dapat menjelaskan hal ini: mutu layanan kesehatan dasar yang buruk, tingkat pemanfaatan layanan kesehatan sekunder yang rendah oleh rakyat miskin, dan tingkat layanan pencegahan yang rendah.
vi
•
Layanan kesehatan dasar yang buruk. Pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) mengalami kekurangan infrastruktur yang memadai, seperti air bersih dan akses jaringan listrik yang teratur, serta kurangnya persediaan obat-obatan dasar. Efisiensi pengeluaran dapat ditingkatkan dengan melakukan realokasi terhadap anggaran layanan Puskesmas bagi masyarakat miskin dan berfokus pada intervensi untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan dasar.
•
Tingkat pemanfaatan layanan kesehatan sekunder oleh masyarakat miskin yang masih rendah. Tingkat penggunaan layanan kesehatan sekunder (rumah sakit) oleh masyarakat miskin masih sangat rendah. Dengan demikian, ada potensi yang cukup signifikan untuk melakukan investasi di sisi permintaan yang dapat meningkatkan masyarakat miskin terhadap layanan gawat darurat atau rawat inap. Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan rumah sakit dapat dilaksanakan melalui sistem kupon (kartu sehat) yang memungkinkan pemiliknya memperoleh layanan gratis. Pemasukan yang diterima rumah sakit sesuai dengan jumlah pemegang kartu yang dilayani.
•
Tingkat layanan pencegahan yang rendah. Indikator kesehatan Indonesia yang masih mengecewakan dapat pula ditingkatkan dengan memperkuat layanan pencegahan, intensifikasi program kesehatan, dan kampanye nasional untuk kesehatan untuk menanggulangi penyakit menular, terutama di daerah-daerah terpencil dan di wilayah-wilayah yang masih terbelakang.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Walaupun pengeluaran untuk sektor kesehatan telah mengalami peningkatan cukup signifikan sejak 2000, pengeluaran agregat masih berada di bawah 1 persen dari PDB. Meskipun tingkat pengeluaran agregat untuk kesehatan masih rendah, Indonesia masih dapat mencapai perbaikan yang signifikan dengan tingkat pengeluaran yang ada sekarang dengan catatan bahwa berbagai sumber daya yang ada didistribusikan secara lebih merata bagi setiap kelompok masyarakat sesuai dengan tingkat penghasilan mereka. Sumber daya ini juga harus dibagikan secara lebih merata ke seluruh kabupaten. Kebijakan pemerintah di sektor ini belum tercermin dengan baik dalam alokasi anggaran mereka, di mana sebagian besar sumber daya digunakan untuk memberikan layanan yang dimanfaatkan oleh penduduk yang tergolong kaya (layanan kesehatan sekunder). Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan alokasi yang lebih baik terhadap sumber daya yang ada sebelum meningkatkan anggaran kesehatan secara substansial. Misalnya, semua subsidi untuk fasilitas layanan kesehatan sekunder harus dialokasikan kembali ke layanan kesehatan primer. Mungkin juga ada manfaat khusus dengan memberikan subsidi bagi layanan ambulan, terutama untuk daerah-daerah terpencil. Program PKPS-BBM yang ada saat ini berharap dapat meningkatkan akses layanan kesehatan rawat inap primer dan sekunder bagi masyarakat miskin. Ada disparitas regional yang signifikan dalam pengeluaran per kapita untuk kesehatan publik, yang menyebabkan terjadinya kesenjangan dalam penyediaan layanan di tingkat daerah. Pengeluaran untuk layanan kesehatan publik di tingkat daerah (digabungkan dengan alokasi untuk pemerintah daerah dan alokasi anggaran dekonsentrasi pemerintah pusat) cenderung lebih banyak menguntungkan kabupaten/kota yang lebih kaya. Kesenjangan ini pada dasarnya didorong oleh dampak regresif dari pengeluaran yang didesentralisir. Sementara Indonesia memiliki jumlah bidan yang memadai, jumlah dokter, apoteker, dan perawat masih terlalu sedikit. Indonesia memiliki bidan yang cukup yang disebar dengan sangat baik ke seluruh negeri. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka melayani pasien dalam jumlah kecil dan memiliki peluang sangat kecil untuk meningkatkan keterampilan mereka. Bagi praktisi kesehatan yang lain, tantangan itu malah sebaliknya. Misalnya, di Puskesmas masih terjadi kekurangan tenaga dokter yang sangat serius, terutama di daerah-daerah terpencil. Tingkat ketidakhadiran petugas kesehatan juga sangat tinggi, sampai 40 persen karena sebagian dokter juga membuka praktik swasta.
Infrastruktur Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan sekitar, Indonesia berada pada urutan paling bawah dalam pelayananan terhadap akses air bersih, listrik, dan sanitasi. Hanya 40 persen dari penduduk Indonesia memiliki akses terhadap air keran (PDAM) dan sepertiga penduduk Indonesia (lebih dari 70 juta) tidak memiliki akses jaringan listrik. Keadaan ini tidak mengalami peningkatan cukup berarti selama beberapa tahun terakhir ini. Investasi Indonesia untuk infrastruktur masih terlalu kecil. Investasi infrastruktur publik mengalami penurunan secara dramatis setelah krisis, sampai sekitar 1 persen dari PDB pada 2000. Saat ini, total investasi infrastruktur publik— dari keseluruhan sektor publik, BUMN dan swasta—berjumlah 3.4 persen dari PDB, yang masih sangat jauh dibawah tingkat investasi sebelum krisis antara 5 - 6 persen dari PDB. Terdapat tiga alasan penyebab kinerja tersebut: • Intensitas modal. Sektor infrastruktur cenderung memiliki alokasi modal yang lebih besar dari pada sektor sosial (terutama pendidikan). Setelah krisis ekonomi, Indonesia, seperti halnya kebanyakan negara pasca krisis, memotong anggaran modal mereka, yang berpengaruh buruk terhadap investasi infrastruktur, secara tidak proporsional. •
Kehati-hatian sektor swasta. Kevakuman yang disebabkan oleh penurunan investasi infrastruktur publik yang begitu tajam tidak pernah diisi kembali oleh investasi infrastruktur swasta. Ini masih merupakan permasalahan sampai saat ini: yang diperlukan bukan saja peningkatan investasi infrastruktur publik, tetapi juga kemajuan dalam mendorong investasi swasta melalui perbaikan dan peningkatan Iklim investasi, sejalan dengan kerangka kerja yang lebih jelas untuk melakukan proyek-proyek kerja sama yang melibatkan sektor publik dan swasta.
•
Desentralisasi. Pemerintah daerah mengalokasikan sebagian besar pengeluaran mereka untuk kebutuhan sektor sosial dan administrasi kepemerintahan. Disisi lain, pemerintah pusat secara terus-menerus melakukan pengeluaran dalam jumlah besar untuk fungsi-fungsi daerah terutama sektor kesehatan dan pendidikan, yang mengakibakan alokasi anggaran yang lebih sedikit untuk proyek-proyek infrastruktur berskala besar. Di
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
vii
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
samping itu, perusahaan publik yang telah dialihkan ke pemerintah daerah, terutama PDAM yang menangani pasokan air bersih telah terlilit hutang. •
Proses anggaran. Sebagian besar modal anggaran cenderung digunakan pada periode pertengahan kedua tahun anggaran, sehingga tidak ada banyak waktu untuk menyelesaikan proyek investasi berskala besar. Proses anggaran saat ini masih memuat terlalu banyak ketidakpastian dan interupsi untuk meluncurkan proyek-proyek infrastruktur besar yang memerlukan waktu penyelesaian beberapa tahun.
Peningkatan investasi infrastruktur akan memerlukan paling sedikit 2 persen dari PDB, atau AS$6 milyar per tahun. Jumlah ini akan mampu mengembalikan tingkat investasi pada masa sebelum krisis, tetapi tetap saja tidak akan mampu menggantikan ‘dekade yang hilang’ dalam investasi infrastruktur semenjak krisis. Perkembangan pemerintah dan strategi penurunan kemiskinan telah membuat infrastruktur sebagai salah satu prioritas pemerintah, tetapi perubahan kebijakan yang dilakukan baru-baru ini belum diterjemahkan ke dalam bentuk nyata dan sektor publik akan mendapatkan tekanan berat untuk memenuhi kesenjangan pembiayaan yang ada. Alokasi yang lebih tinggi di masa depan untuk meningkatkan investasi perlu datang dari sektor swasta.
Pengelolaan Keuangan Publik Indonesia berhasil membuat kemajuan dalam melakukan reformasi terhadap keuangan publik dan meningkatkan transparansi, tetapi agenda reformasi masih banyak. Hampir di setiap bidang utama dari pengelolaan keuangan publik (Public Financial Management atau PFM)—formulasi anggaran, pelaksanaan anggaran, pengadaan dan pemeriksaan—Indonesia telah memiliki landasan hukum yang kuat. Tantangan di masa depan meliputi: Pertama, pelaksanaan hukum dan peraturan yang tepat di segala bidang mencakup anggaran berbasis kinerja, menyusun Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah, memulai proses pengadaan secara elektronik, dan penguatan terhadap lembaga audit eksternal. Kedua, sistem anggaran yang ada sekarang kurang fleksibel, sehingga memperlambat implementasinya. Mengedepankan agenda reformasi PFM merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin bahwa sumber-sumber fiskal yang baru dialokasikan dan digunakan secara efisien. Masalah implementasi yang paling besar terletak pada pencairan anggaran untuk investasi publik. Pencairan anggaran sering berjalan lambat, akibatnya sebagian besar anggaran yang telah dicanangkan baru bisa dikeluarkan menjelang akhir tahun anggaran. Juga, terdapat pengeluaran yang lebih kecil terhadap pengeluaran modal dibandingkan anggaran awal—hal ini diluar kenyataan dimana anggaran secara keseluruhan direvisi dan dinaikkan dalam jumlah yang cukup besar pada pertengahan tahun. Di samping berbagai isu implementasi, masih ada lagi isu korupsi terhadap pengeluaran publik. Tambahan sumber daya keuangan yang cukup besar kini mengalir ke pemerintah daerah, sehingga penanganan masalah korupsi di tingkat daerah kini sangat mendesak dilakukan. Sistem anggaran Indonesia tidak fleksibel. Dokumen anggaran Indonesia terlalu rinci, butuh waktu yang sangat lama untuk menyiapkannya, dan juga menimbulkan banyak komplikasi dalam implementasinya. Pembahasan dan diskusi parlemen terlalu memfokuskan pada hal-hal yang sangat rinci, tidak melihat pada hubungan antara kebijakan dan alokasi anggaran secara lebih luas, dan memakan waktu yang lama. Pada 2006, walaupun pemerintah pusat telah menyetujui otorisasi dokumen anggaran pada awal tahun, pengeluaran tetap berjalan lamban akibat terdapatnya hambatan pada saat implementasi. Karena informasi rinci yang begitu banyak, anggaran untuk setiap proyek sering harus menjalani proses revisi yang panjang. Kerangka hukum dan peraturan untuk pengadaan publik telah mengalami peningkatan, tetapi kapasitas untuk melaksanakan pengadaan yang tepat waktu dan transparan belum memuaskan. Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan yang berada di bawah Bappenas tengah menyusun prosedur standar pengadaan yang akan berlaku di seluruh Indonesia, termasuk dokumen tender yang standar. Akan tetapi, kemampuan untuk melaksanakan hal ini di setiap tingkat pemerintahan masih sangat terbatas. Inisiatif percobaan untuk melakukan pengadaan lewat jaringan elektronik (e-procurement) sedang dikerjakan, tetapi peningkatan strategi dalam mendorong penggunaan eprocurement untuk meningkatkan transparansi pasar pada seluruh sistem pengadaan pemerintah belum dilaksanakan. Pengenalan terhadap pelatihan tingkat dasar dan program sertifikasi bagi para pelaku pengadaan merupakan inisiatif
viii
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
RANGKUMAN EKSEKUTIF
yang penting, tetapi kebanyakan pejabat publik tidak memiliki jalur karir atau insentif yang memadai untuk mampu memikul tanggung jawab pengadaan ini. Seluruh insentif ini merupakan hal yang sangat penting apabila rakyat Indonesia ingin memperoleh manfaat dari realokasi sumber daya dari pusat. Gagal melakukan hal ini, tidak saja akan membuat praktik-praktik kolusi berkelanjutan, tetapi juga akan menimbulkan dampak relatif yang tidak baik. Undang-undang pemeriksaan negara telah memperkuat peran lembaga pemeriksa eksternal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan kini ada peluang untuk melakukan fleksibilitas anggaran yang lebih besar yang mana pada saat bersamaan pemerintah bisa menjamin penerapan standar fidusiari yang tinggi. Kini BPK memiliki mandat yang jelas sebagai lembaga pemeriksa eksternal terhadap seluruh lembaga pemerintah. Sementara Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bersama-sama dengan Inspektur Jenderal di setiap departemen, melakukan koordinasi untuk melakukan pemeriksaan internal terhadap pemerintah pusat, dan Kantor Bawasda melakukan pemeriksaan internal di tingkat daerah. Akan tetapi walaupun pelaksanaan UndangUndang tentang Pemeriksaan terhadap Pemerintah kini dipandang sangat perlu, staf dan sumber daya yang ada di BPK dan BPKP tidak sesuai dengan redefinisi peran mereka masing-masing saat ini. BPK, dengan mandat yang lebih luas, memiliki jumlah tenaga pemeriksa (auditor) bersertifikat kurang dari setengah jumlah auditor BPKP, padahal peran lembaga ini kini semakin terbatas. Selanjutnya, tanpa dorongan yang kuat terhadap temuan-temuan BPK, yang sampai saat ini belum banyak yang bisa dilakukan, maka peningkatan kapasitas dan kinerja BPK sepertinya tidak akan mampu diterjemahkan ke dalam peningkatan standar fidusiari yang lebih baik.
Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Regional Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat keragaman paling tinggi di dunia, dengan standar hidup yang berkisar mulai dari standar negara maju sampai dengan tingkat kehidupan masyarakat paling miskin. Tingkat kepadatan penduduk juga sangat bervariasi: Pulau Jawa merupakan salah satu pulau berpenduduk paling padat di dunia, sementara Papua merupakan pulau yang berpenduduk paling jarang. Tingkat kemiskinan berkisar dari di bawah 3 persen di beberapa kota (Denpasar, Bali; Bekasi, Jawa Barat) sampai dengan di atas 50 persen di Irian Jaya Barat dan Papua (Manokwari dan Puncak Jaya). Ketika Indonesia mulai menerapkan desentralisasi pada 2001, pemerintah mengalokasikan sumber daya dalam jumlah besar pada daerah-daerah yang lebih miskin sebagai upaya untuk menyeimbangkan disparitas di negeri ini. Walaupun perimbangan keuangan antar-pemerintah dapat lebih seimbang lagi, daerah yang paling miskin dan terpencil di Indonesia telah menerima pengalihan sumber daya cukup besar sejak 2001. Dana Alokasi Umum ( DAU) merupakan perangkat penting dalam sistem transfer ini, yang mampu mendanai sekitar 70 persen dari seluruh pengeluaran daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dan lebih dari 80 persen pengeluaran kabupaten/kota. Pada 2006, jumlah anggaran yang telah ditransfer ke pemerintah daerah mengalami peningkatan secara nominal sebanyak 47 persen terutama yang menguntungkan bagi daerah-daerah paling miskin di Indonesia, yang mengalami kenaikan pendapatan yang melonjak. Alokasi DAU bahkan mengalami peningkatan sebesar 64 persen, dengan implikasi yang signifikan atas struktur perimbangan serta dampak pemerataan. Daerah provinsi terpencil dengan angka kemiskinan yang tinggi termasuk Provinsi Aceh, Papua, dan Maluku telah menerima peningkatan alokasi anggaran sampai lebih dari 100 persen, dibandingkan dengan 2005. Dana transfer ini akan terus mendominasi sumber keuangan daerah, terutama pemerintah kabupaten/kota, karena dasar dari pendapatan asli daerah mereka kecil sementara transfer dari pusat sudah mencapai lebih dari 80 persen pendapatan daerah, dan bahkan akan semakin bertambah. DAU sendiri sepertinya akan semakin dominan karena pendapatan dari minyak dan gas diperkirakan akan mengalami penurunan disebabkan menurunnya produksi minyak dan gas, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Saat ini, tantangan utama dalam pembangunan Indonesia bukanlah mentransfer sumber daya dalam jumlah yang signifikan ke daerah-daerah yang miskin, tetapi bagaimana menjamin bahwa sumber daya yang sudah ada digunakan secara efektif. Banyak pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membelanjakan tambahan sumberdayanya. Cadangan anggaran mereka yang tidak dibelanjakan meningkat semakin besar dan telah mencapai rekor 3,1 persen dari PDB pada November 2006. Sebagian besar pemerintah daerah memiliki sumber keuangan yang memadai untuk memberikan perubahan pada kehidupan masyarakatnya. Bahkan daerah miskin dengan sumber
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
ix
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
fiskal yang relatif rendah (terutama Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur) telah mengalami kenaikan DAU secara rata-rata 75 persen pada 2006. Diluar surplus yang cukup besar, sumber yang ada sering disalurkan pada tempat yang salah. Misalnya, sementara terdapat anggaran pemerintah daerah yang belum digunakan, banyak PDAM bangkrut dan tidak mampu memberikan layanan air bersih kepada masyarakat.
Agenda untuk Implementasi Ini merupakan momen dengan peluang besar. Dengan kondisi makroekonomi yang stabil dan sumber-sumber fiskal yang memadai, pemerintah Indonesia dapat menurunkan tingkat kemiskinan dan meningkatkan mutu dan akses terhadap layanan dasar. Pengalokasian dan pengelolaan sumber daya setidaknya kini sama pentingnya dengan upaya untuk memobilisasinya. Membelanjakan uang dengan baik merupakan keterampilan khusus—keterampilan yang telah hilang sebagian sejak terjadinya krisis, ketika pemerintah lebih banyak berfokus pada upaya untuk menstabilkan makroekonomi dan mengetatkan pengeluaran. Agenda reformasi yang tersisa masih banyak. Masih banyak perubahan yang diperlukan akan melibatkan proses yang sulit dan panjang. Pemerintah telah mulai menerapkan agenda yang sangat ambisius. Dimana yang paling penting adalah untuk tetap berada pada jalur yang benar dan menunjukkan kemajuan yang konsisten dalam reformasi yang sulit dan panjang ini. Ada enam bidang pengeluaran yang sangat penting: ruang fiskal, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, pengelolaan keuangan publik, dan desentralisasi. Langkah kunci untuk mencapai pengelolaan, alokasi, dan dampak yang lebih baik terhadap pengeluaran publik untuk meningkatkan pemberian layanan dan menurunkan angka kemiskinan dapat dilihat pada uraian berikut. 1. Perbesar ruang fiskal dan pertahankan stabilitas makroekonomi dengan cara mengurangi dan merealokasi subsidi serta menurunkan hutang keseluruhan. Subsidi BBM dan listrik masih menduduki porsi cukup signifikan dalam anggaran dan sebagian besar hanya menguntungkan masyarakat kaya (Kotak 2). Negara-negara berpenghasilan menengah seperti Indonesia masih rentan terhadap guncangan dan tingkat hutang diatas 30 persen merupakan posisi yang tidak aman. • Walaupun terjadi pengurangan sangat drastis terhadap subsidi BBM pada 2005, total subsidi masih sangat tinggi, hampir AS$10 milyar. Pengurangan terhadap subsidi ini akan memberikan tambahan sumber pendapatan. Semakin rendah harga minyak internasional, akan semakin mudah bagi Indonesia untuk melakukan liberalisasi terhadap harga bahan bakar. Akan tetapi, jika penyesuaian harga menjadi cukup signifikan, maka sekali lagi perlu didesain program kompensasi untuk menjamin bahwa pengurangan subsidi tidak berdampak negatif terhadap masyarakat miskin. • Tingkatkan terus manajemen hutang dibawah unit hutang yang baru dibentuk, kedepankan implementasi Rekening Tunggal (Treasury Single Account) dan secara proaktif mengelola kewajiban hutang. Tingkat hutang melonjak saat terjadi krisis bukan karena jumlah pinjaman yang berlebihan, tetapi karena kewajiban-kewajiban kontingen (contingent liabilities) di sektor perbankan. 2. Maksimalkan manfaat peningkatan pengeluaran untuk sektor pendidikan dengan meningkatkan investasi di jenjang pendidikan menengah pertama, redefinisikan sasaran belanja pendidikan sebesar 20 persen dan alokasi kembali tenaga pengajaran pada sekolah-sekolah yang mengalami kekurangan guru. Tingkat transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama masih rendah, pengeluaran 20 persen sesuai undang-undang, dengan definisi yang berlaku sekarang, menempatkan permintaan yang tidak realistis terhadap anggaran pendidikan dan penempatan guru di sekolah yang tidak seimbang. • Kedepankan tingkat transisi dan tingkat retensi yang lebih tinggi pada sekolah menengah pertama dengan menargetkan alokasi transfer bagi siswa dari keluarga miskin untuk menjamin bahwa siswa tersebut mampu bersekolah, dan juga untuk pembangunan gedung sekolah baru yang ditargetkan bagi daerah-daerah yang belum mendapatkan layanan sebagaimana mestinya. • Lakukan penyesuaian terhadap ketentuan sasaran pengeluaran sebesar 20 persen untuk juga
Lihat Lampiran A pada laporan utama untuk mengetahui rekomendasi lengkap dalam laporan ini.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
•
RANGKUMAN EKSEKUTIF
meliputi gaji guru dan kombinasi pengeluaran pemerintah daerah dan pusat. Tanpa penyesuaian seperti ini, pengeluaran untuk sektor pendidikan akan meningkat sedemikian rupa sehingga bisa mengurangi pengeluaran untuk layanan dasar lainnya seperti kesehatan dan air bersih. Lakukan penempatan ulang para guru untuk memenuhi kebutuhan sekolah-sekolah yang masih kekurangan tenaga pendidik. Walaupun tidak terjadi kekurangan guru secara agregat, daerahdaerah terpencil dan sekolah tertentu masih kekurangan guru. Dengan insentif keuangan yang lebih menarik bagi para guru untuk mau ditempatkan di sekolah-sekolah yang terletak di daerah terpencil, dan dengan melakukan penempatan guru sesuai dengan jumlah siswa (dan bukan pada jumlah kelas) akan mendorong distribusi guru yang lebih seimbang dan efisien di seluruh Indonesia.
3. Atasi ketidakmerataan dalam layanan kesehatan dengan menargetkan secara lebih baik ke daerahdaerah yang layanannya belum baik. Tingkatkan mutu layanan kesehatan dengan melakukan regulasi terhadap penyedia layanan kesehatan swasta dan dengan memperluas wilayah layanan para bidan dan meningkatkan pelatihan yang mereka perlukan. Prioritas awal bukan untuk meningkatkan pengeluaran kesehatan, tetapi menggunakan anggaran yang sudah ada secara lebih efisien dan efektif. • Untuk menanggulangi kesenjangan dalam penyediaan layanan kesehatan, Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat digunakan untuk meningkatkan layanan kesehatan di wilayah-wilayah yang kurang mendapatkan pelayanan, dan intervensi berdasarkan permintaan seperti penerapan sistem kupon dapat pula digunakan untuk meningkatkan permintaan layanan dari masyarakat miskin. Tantangan yang paling mendesak terletak pada penyaluran pengeluaran saat ini agar dapat menguntungkan rakyat miskin—dalam layanan kesehatan primer di daerah pedesaan dan/atau daerah-daerah yang kurang mendapatkan layanan. • Menyatukan semua potensi sektor swasta, regulasi yang lebih baik terhadap penyedia layanan kesehatan swasta juga perlu dilakukan. Hampir sebanyak 40 persen rakyat miskin merasa puas dengan layanan kesehatan yang mereka peroleh lewat penyedia layanan swasta, tetapi tidak ada informasi yang komprehensif mengenai jenis dan mutu layanan yang mereka berikan. Upaya yang sistematis untuk melakukan regulasi, lisensi, dan akreditasi bagi penyedia layanan swasta bidang kesehatan akan mendorong terjadinya peningkatan mutu layanan kesehatan bagi rakyat miskin. • Saat ini para bidan bekerja pada wilayah yang relatif kecil dan oleh karena itu mereka hanya mampu memberikan layanan persalinan yang lebih sedikit per tahun. Akan lebih efisien apabila wilayah layanan para bidan diperbesar dan mutu program pelatihan bagi bidan ditingkatkan, dengan fokus yang lebih besar pada aspek praktis keterampilan pemberian layanan. 4. Lakukan investasi di bidang infrastruktur dengan meningkatkan pasokan listrik dan mengurangi subsidi yang menguntungkan pengguna layanan yang tergolong mampu, memberikan insentif fiskal untuk mendorong pemerintah daerah agar melakukan pemeliharaan jalan yang lebih baik dan menciptakan kerangka kerja bagi PDAM agar bisa berfungsi lebih baik. Saat ini, subsidi listrik berjumlah 28 persen dari seluruh biaya subsidi dan sebagian besar dari subsidi ini hanya menguntungkan masyarakat mampu. Pemeliharaan jalan daerah masih sering buruk dan sebagian besar rakyat Indonesia tidak memperoleh manfaat dari layanan air bersih yang bermutu tinggi. • Kurangi subsidi listrik untuk voltase di atas 450VA. Tingkat voltase yang lebih tinggi digunakan secara tidak proporsional oleh orang kaya, sehingga penghematan subsidi akan bermanfaat bagi rakyat miskin. • Pemerintah daerah memiliki insentif yang sedikit untuk melakukan pemeliharaan yang benar terhadap jalan, walaupun pada jangka panjang biaya pemeliharaan akan lebih murah dari pada melakukan rekonstruksi. Pemerintah pusat dapat menawarkan insentif langsung kepada pemerintah daerah berdasarkan mutu pemeliharaan jalan dari tahun ke tahun yang sudah dilakukan. • Hambatan saat ini untuk melakukan pinjaman jangka panjang oleh PDAM dapat dihilangkan dan insentif disediakan untuk pemerintah daerah yang mampu meningkatkan layanan PDAM. Di bawah sistem yang ada sekarang, kebanyakan PDAM tidak melakukan pinjaman lewat pasar kredit. Proses restrukturisasi hutang harus dilakukan untuk memberikan insentif terhadap PDAM yang layak atas kredit agar meningkatkan tarif dan menurunkan biaya, sehingga meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pinjaman secara komersial. Selain itu, pemerintah pusat dapat menghimpun
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
xi
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
dana yang digunakan untuk memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah yang mampu memperoleh kemajuan paling besar dalam meningkatkan posisi keuangan dan kinerja operasional PDAM mereka. 5. Buat arus pengeluaran publik yang lebih mudah diprediksi dan transparan dengan menciptakan sistem anggaran berbasis kinerja, yang menghubungkan anggaran dengan proses perencanaan serta penguatan sistem pengadaan dan fungsi-fungsi pemeriksaan. Sementara ada kaitan formal antara tujuan kebijakan, anggaran, pencairan dan pemeriksaan, pada kenyataannya proses tersebut sering kali tidak berjalan secara efektif. • Anggaran berbasis kinerja mengukur pencapaian berdasarkan output yang diperoleh dan bukan pada input keuangan. Saat ini, kontrol input merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mengukur mutu pengeluaran publik, namun pergeseran menuju kontrol ex post yang lebih besar, termasuk pemeriksaan atas pengeluaran, serta penilaian terhadap output yang dihasilkan, akan memberikan hasil yang lebih efektif dalam upaya pengeluaran. • Mengkaitkan anggaran secara lebih efektif dengan proses perencanaan merupakan prioritas. Sementara rencana pembangunan nasional lima tahun (Repanas) menguraikan tujuan jangka menengah, siklus anggaran ditentukan setiap tahun. Implementasi Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah (Medium-Term Expenditure Framework atau MTEF) akan memungkinkan untuk melakukan penentuan anggaran untuk beberapa tahun dan membawa sisa anggaran ke tahun berikutnya, serta memungkinkan para pembuat kebijakan untuk menganggarkan sumber-sumber daya jangka menengah dengan tingkat kepastian yang lebih tinggi. • Perkuat sistem pengadaan dan pemeriksaan dengan fokus pada aspek efisiensi. Sementara undangundang tentang pengadaan semakin diperketat, hal ini telah memperlambat proses pengadaan barang dan jasa. Peningkatan pelatihan bagi tenaga profesional pengadaan sangat diperlukan untuk menghadapi hambatan-hambatan ini. Di samping itu, keuntungan efisiensi akan diperoleh dengan menggabungkan ketiga lembaga pemeriksaan internal menjadi satu lembaga, serta memperkerjakan tenaga yang terlatih untuk BPK. Sejalan dengan hal itu, keuntungan efisiensi yang signifikan akan pula diperoleh dengan tingkat korupsi yang lebih rendah yang akan diperoleh dari pengetatan terhadap sistem ini. 6. Bantu pemerintah daerah untuk menggunakan sumber-sumber daya mereka secara lebih baik dengan menghapus pencakupan penuh gaji pegawai negeri sipil dari DAU, mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan administrasi dan pengembangan kapasitas. Pemerintah daerah kini memiliki wewenang yang signifikan atas perencanaan dan anggaran, tetapi mereka belum memiliki insentif yang jelas agar menggunakan dana tersebut untuk memaksimalkan pembangunan ekonomi dan pemberian layanan kepada masyarakat daerah. • Undang-undang yang berlaku sekarang tentang transfer memberikan insentif bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah pegawai sipil dan menciptakan dis-insentif bagi mereka untuk mengalokasikan pengeluaran secara lebih strategis demi pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Penghapusan penggunaan DAU secara otomatis untuk membayar seluruh gaji PNS akan memberikan insentif kepada pemerintah daerah untuk mengalokasikan anggaran secara lebih efisien. • Penghematan secara signifikan akan juga dapat dicapai dengan mengurangi pengeluaran pada layanan administrasi inti, yang merupakan komponen pengeluaran terbesar dari pemerintah daerah. Pengeluaran yang tidak proporsional hanya untuk layanan administrasi telah mengurangi investasi modal dan pengeluaran bagi penyedia layanan garis depan, keduanya akan memberikan hasil yang lebih besar untuk setiap rupiah yang dikeluarkan. • Dengan sumber daya yang lebih besar kini mengalir ke pemerintah daerah, administrasi pemerintah daerah yang lebih efektif akan sangat diperlukan. Oleh karena itu, akan menjadi semakin penting untuk melakukan investasi dalam peningkatan kapasitas yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengembangan proyek dan keterampilan melakukan implementasi. Hal ini terutama penting diperhatikan jika pemerintah daerah hendak melakukan pengelolaan secara efektif terhadap dana tambahan yang diperlukan untuk menanggulangi investasi infrastruktur publik yang masih rendah.
xii
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
RANGKUMAN EKSEKUTIF
Sejumlah kecil perubahan berdampak tinggi dapat memberikan hasil yang cepat. Agenda reformasi di atas memang merupakan tantangan dan diperinci menjadi sebuah matriks rangkuman yang memuat 62 butir rekomendasi spesifik di dalam laporan utama. Akan tetapi, secara spesifik ada tujuh perubahan yang akan memberikan hasil yang berdampak tinggi dalam kurun waktu 12-18 bulan. Perubahan ini semuanya penting dan memiliki dampak signifikan, dan perubahan itu bisa menyangkut pemberian layanan, posisi fiskal Indonesia atau proses anggaran (Kotak 2). Kotak 2 Tujuh tindakan yang memberikan hasil cepat dan dampak besar Dampak terhadap pemberian layanan dan manajemen SDM (Sumber Daya Manusia) 1. Hapus pencakupan penuh atas pembayaran gaji PNS. DAU saat ini mecakup 100 persen pembayaran gaji PNS, yang menyulitkan pemerintah yang reformis untuk melakukan reformasi terhadap PNS dan melakukan realokasi dana ke berbagai sektor. 2. Sesuaikan definisi tentang ketentuan pengeluaran sebesar ”20 persen” di sektor pendidikan sehingga meliputi gaji guru dan gabungkan pengeluaran pemerintah pusat dan daerah. Hal ini akan memungkinkan untuk berfokus pada tingkat pengeluaran agregat dan kinerja dari sektor. Definisi agregat semacam itu selanjutnya akan dapat mengurangi distorsi dalam struktur gaji guru dan dalam kerangka desentralisasi. 3. Alokasikan guru ke sekolah-sekolah berdasarkan jumlah siswa, dan bukan pada jumlah kelas, dengan memberikan bobot khusus pada sekolah-sekolah kecil. Ini akan menghasilkan alokasi guru yang lebih rasional di dalam dan antarsekolah di tingkat kabupaten/kota serta akan menghasilkan distribusi guru yang lebih seimbang bagi siswa. Dampak fiskal 4. Kurangi pemberian subsidi BBM (AS$5 milyar) yang tidak efesien dan lebih berpihak pada orang kaya. Meskipun harga BBM pada 2005 telah meningkat, subsidi BBM masih tetap merupakan pengeluaran paling besar dalam anggaran pemerintah. 5. Lakukan realokasi subsidi listrik (AS$3 milyar) yang tidak efisien dan lebih berpihak pada orang kaya. Subsidi dapat direalokasikan dari konsumsi (semua diluar 450VA) terhadap sambungan untuk mendukung perluasan jaringan listrik. Dampak terhadap proses anggaran 6. Susun Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah dan berikan ruang untuk melakukan otorisasi terhadap anggaran multi tahun. Ini akan sangat bermanfaat terutama untuk proyek-proyek infrastruktur berskala besar untuk meningkatkan prediktibilitas dan efisiensi dari prioritas fiskal jangka menengah. 7. Lakukan penguatan lebih lanjut baik terhadap kapasitas maupun kehadiran BPK di daerah. Definisikan kembali peran BPKP dan lakukan konsolidasi terhadap fungsi-fungsi berbagai lembaga pemeriksaan internal.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
xiii
RANGKUMAN EKSEKUTIF
xiv
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1
Ruang Gerak dan Manajemen Fiskal Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Temuan Pokok
•
• •
Investasi publik sebagai proporsi dari PDB telah kembali ke tingkat sebelum krisis dan pemerintah daerah muncul sebagai pendorong utama investasi. Peningkatan dalam investasi publik didukung dari perluasan ‘ruang gerak fiskal’, terutama di tingkat daerah. Akan tetapi, sebagian besar dari perluasan ruang gerak fiskal ini belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Di tingkat pusat ruang fiskal yang tidak dimanfaatkan diperkirakan berkisar antara 1-1,5 persen dari PDB untuk periode 2001-05, walaupun data semacam itu bagi pemerintah daerah tidak tersedia. Situasi utang pemerintah pusat telah membaik secara signifikan, seperti yang tercermin dalam indikator stok dan arus utang. Utang pemerintah daerah jumlahnya relatif kecil. Stabilitas makroekonomi dan konsolidasi fiskal merupakan faktor utama dibalik perbaikan ini. Perbaikan pengelolaan utang yang dilakukan oleh pemerintah pusat juga merupakan kontribusi yang penting. Walaupun penyesuaian harga BBM (bahan bakar minyak) dalam negeri yang dilakukan tahun 2005 telah menghemat anggaran negara sebesar AS$10 milyar, Indonesia masih mengeluarkan sebanyak AS$9 milyar untuk berbagai subsidi, terutama untuk subsidi minyak dan listrik. Sejumlah faktor telah menghambat pemerintah untuk mengambil manfaat penuh dari harga BBM yang lebih tinggi. Volume produksi telah mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir (sekitar 40 persen). Kapasitas pengeluaran ternyata lebih kecil dari yang diharapkan. Di samping itu, transaksi keuangan dengan Pertamina telah mengakibatkan berbagai masalah pada keuangan negara. Akhirnya, subsidi listrik — yang merupakan transfer regresif —telah mengakibatkan peningkatan beban keuangan pada anggaran..
Rekomendasi Utama
•
•
•
Pengurangan dan realokasi subsidi yang tidak efisien dan yang berpihak pada orang kaya akan mampu memberikan tambahan ruang gerak fiskal dalam jumlah sampai dengan AS$9 milyar. Dengan tingkat harga minyak internasional yang tinggi, subsidi BBM dan listrik akan tetap menjadi beban yang tidak perlu pada anggaran pemerintah. Sumber daya ini akan dapat digunakan dengan lebih baik untuk meningkatkan pengeluaran pada sektor-sektor prioritas terutama pada sektor infrastruktur. Peningkatan yang besar dari investasi publik diperlukan untuk menggantikan investasi publik yang sangat rendah selama kurun waktu lima tahun terakhir dan untuk merangsang investasi sektor swasta. Salah satu kunci untuk mencapai peningkatan investasi adalah dengan meningkatkan pengelolaan keuangan publik (lihat Bab 6). Secara khusus, operasionalisasi kerangka pengeluaran jangka menengah (MTEF) harus mampu memperkuat formulasi anggaran dan pada akhirnya memperkuat implementasi anggaran itu sendiri. Peningkatan pengelolaan utang merupakan hal yang sangat penting untuk terus menurunkan risiko yang terkait dengan utang pemerintah karena beban utang bukan merupakan isu pengelolaan utang, melainkan merupakan isu yang terkait dengan kebijakan fiskal. Untuk dapat mempertahankan kemajuan pengelolaan hutang pemerintah seperti yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir ini, fokus yang lebih kuat terhadap pengembangan kapasitas dan pelatihan bagi pegawai di Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang merupakan hal yang sangat penting. Di samping itu, kerangka yang kokoh perlu disusun dan dilaksanakan untuk mendukung pengembangan strategi pengelolaan utang. Sejalan dengan hal itu, mempercepat pelaksanaan RPT (Rekening Perbendaharaan Tunggal) dan mengikutsertakan rekening pengalihan (seperti Rekening Dana Investasi/RDI, atau Rekening Pembangunan Daerah/RPD), akan membantu mengurangi risiko yang terkait dengan kewajiban-kewajiban kontinjen.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Tren Pengeluaran Publik Total pengeluaran publik meningkat sebesar 9 persen dalam angka riil antara 2001 dan 2005 dan masih relatif stabil dilihat dari persentase PDB selama periode tersebut dengan rata-rata 20 persen. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini sebagian besar didanai oleh peningkatan proporsional dari pendapatan pajak di luar migas (minyak dan gas). Pengeluaran tersebut ditandai oleh: • • • • •
Peningkatan tajam secara riil dalam transfer kepada daerah, yang sekarang berjumlah sebesar sepertiga dari pengeluaran pemerintah pusat. Saat ini transfer dana ke daerah merupakan pengeluaran paling besar pada pemerintah pusat. Fluktuasi yang begitu besar antara belanja rutin dan belanja pembangunan antara tahun 1994 dan 2003 serta terjadi sedikit penurunan dalam pengeluaran rutin setelah pelaksanaan sistem desentralisasi. Peningkatan yang signifikan dalam subsidi antara 2003-05, setelah terjadi peningkatan yang tinggi atas harga minyak internasional dan walaupun terdapat penurunan subsidi minyak yang signifikan. Penurunan yang terus-menerus dalam pembayaran utang, yang disebabkan oleh stabilitas atas sisa utang baik untuk utang dalam negeri maupun luar negeri serta terjadi penurunan tingkat suku bunga. Persentase belanja untuk pegawai dan barang yang relatif stabil, dengan tingkat rata-rata masingmasing sebesar 25 persen dan 7 persen.
Pengeluaran publik di tingkat nasional secara riil menunjukkan peningkatan yang mantap sejak 1999 namun masih tetap stabil terhadap keadaan ekonomi secara keseluruhan. Selama periode 1999-2006, pengeluaran publik berjumlah sebesar rata-rata 20 persen dari PDB. Secara nominal, pengeluaran publik meningkat dari Rp 198 triliun pada tahun 1999 menjadi Rp 536 trilliun pada tahun 2005 dan diperkirakan meningkat lebih jauh menjadi Rp 698 triliun dan Rp 794 triliun masing-masing untuk tahun 2006 dan tahun 2007, (APBN-P/APBN) (Tabel 1.1). Secara riil (harga konstan tahun 2000), pengeluaran di tingkat nasional meningkat sebesar 93 persen dari Rp 206 triliun (1999) menjadi Rp 397 triliun (2006). Tabel 1.1 Total pengeluaran publik di tingkat nasional (Pusat + Provinsi + Kabupaten/kota) (Rp triliun) Nominal Harga konstan th. 2000 (disesuaikan oleh IHK) - Tingkat pertumbuhan tahunan (%) Harga konstan th. 2000 (disesuaikan oleh Deflator PDB) Persentase PDB (%)
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006*
2007**
198 206 7 239 16.3
234 234 14 234 16.8
353 316 35 309 20.9
336 270 -15 278 18.1
405 305 13 314 19.8
445 315 3 325 19.6
536 343 9 343 19.6
698 397 16 416 21.1
794 425 7 453 22.5
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD. Catatan: *2006 hasil awal, **2007 anggaran (APBN).
Pengeluaran nasional dalam laporan ini didefinisikan sebagai pengeluaran agregat dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, tidak termasuk transfer antar pemerintah.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 1.1 Pendapatan dan belanja pemerintah pusat, 1994-2007 450
Harga konstan ditahun 2000; Rp triliun
400 350
Belanja Pemerintah Pusat & Transfer ke Daerah Pendapatan Pemerintah Pusat Penerimaan Non-migas Pemerintah Pusat Penerimaan Migas Pemerintah Pusat
300 250 200 150 100 50 0
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007*
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD. Catatan:* berdasarkan anggaran pemerintah pusat dan perkiraan alokasi pemerintah daerah. Pengeluaran di tingkat nasional yang dinyatakan dalam laporan ini termasuk pengeluaran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Penerimaan non-migas semakin mendorong peningkatan pengeluaran. Pada tahun 2006, belanja pemerintah pusat diperkirakan meningkat sebesar 17 persen , yang hampir sama dengan peningkatan pendapatan sebesar 14 persen. Pada tahun 2007, baik pendapatan maupun belanja diperkirakan meningkat sebesar 7 persen. Peningkatan pendapatan sebagian besar berasal dari pendapatan non-migas (Diagram 1.1). Sebaliknya, penerimaan dari migas diperkirakan menurun sebesar 14 persen di tahun 2007, mengikuti penurunan produksi migas yang terus-menerus dan revisi penurunan asumsi harga minyak dari AS$64/barel ( revisi anggaran 2006) menjadi AS$63/barel (anggaran 2007). Sementara total belanja di tingkat nasional mengalami peningkatan sebesar 25 persen sejak tahun 2001, pembayaran bunga menurun tajam. Akibatnya, pembayaran bunga sebagai proporsi dari total belanja turun dari 25 persen pada tahun 2001 menjadi 11 persen di tahun 2006 (Tabel 1.2). Penurunan yang tajam ini semata-mata diakibatkan oleh (i) tingkat suku bunga yang lebih rendah; (ii) jumlah utang yang stabil (sehingga memiliki persentase yang lebih rendah); dan (iii) apresiasi dalam nilai tukar mata uang. Sebaliknya, terjadi peningkatan pada persentase belanja barang, pengeluaran rutin yang lain, dan pembangunan. Tabel 1.2 Komposisi ekonomi dari anggaran belanja negara, tahun 2001-07 A. Harga konstan 2000 (Rp triliun) Belanja Pegawai Belanja Barang Pembayaran Bunga dan cicilan Subsidi Bantuan Sosial Belanja Rutin yang lain Pembangunan Modal Total Nasional
2001 72.3 16.1 78.2 69.5 0.0 15.4 65.0 0.0 316.4
2002 68.4 19.1 65.0 35.0 0.0 15.7 66.6 0.0 269.7
2003 78.1 19.4 49.1 33.0 0.0 25.0 100.1 0.0 304.9
2004 81.5 18.4 44.2 64.9 0.0 21.1 85.2 0.0 315.3
2005 83.3 28.5 37.1 77.6 17.3 33.4 44.5 21.7 343.4
2006* 101.0 37.9 44.8 61.1 24.6 37.5 56.0 33.9 396.7
2007** 116.9 50.4 45.5 55.1 27.1 28.9 59.8 41.1 424.7
Penerimaan non-migas merepresentasikan 68 persen dan 75 persen dari total penerimaan pada tahun 2006 dan 2007. Peningkatan penerimaan non-migas yang tertimbang berjumlah 6 persen (dari 14 persen poin peningkatan total penerimaan pada 2006); dan 12 persen (dari 7 persen poin peningkatan total penerimaan di tahun 2007; dengan nilai negatif 5 persen dalam penerimaan dari sektor). Sejak tahun 2005 sistem anggaran dibuat terpadu dan klasifikasinya dirubah. Sehingga kategori Belanja Pembangunan tidak lagi ada. Pengelompokan anggaran yang baru meliputi: belanja pegawai, belanja barang, belanja bantuan Sosial dan belanja modal. Demi menjaga konsistensi, laporan ini tetap memperhitungkan belanja pembangunan untuk tahun 2005-07.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
B. Persentase dari total (%) Belanja Pegawai Belanja Barang Pembayaran Bunga dan Cicilan Subsidi Bantuan Sosial Belanja Rutin yang lain Pembangunan Modal Total Nasional
2001 23 5 25 22 0 5 21 0 100
2002 25 7 24 13 0 6 25 0 100
2003 26 6 16 11 0 8 33 0 100
2004 26 6 14 21 0 7 27 0 100
2005 24 8 11 23 5 10 13 6 100
2006* 25 10 11 15 6 9 14 9 100
2007** 28 12 11 13 6 7 14 10 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD. Catatan: Belanja Pembangunan untuk tahun 2005-2007 hanya memasukkan anggaran pemerintah daerah, sementara belanja modal pada tahun yang sama hanya memasukkan anggaran pemerintah pusat. * berdasarkan anggaran pemerintah pusat dan perkiraan alokasi pemerintah daerah. Pengeluaran di tingkat nasional didefinisikan sebagai pengeluaran oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Total pengeluaran dalam proyek pembangunan sedikit meningkat setelah pelaksanaan desentralisasi. Transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah meningkat tajam setelah tahun 2001. Pertama, selama “gebrakan besar desentralisasi” di tahun 2001, transfer meningkat dari 19 persen menjadi 24 persen (dan selanjutnya menjadi 31 persen pada tahun 2002). Kedua, peningkatan persentase transfer terjadi lagi di tahun 2006 dari 30 persen menjadi 33 persen (Tabel 1.3). Peningkatan yang kedua dari belanja riil ini sama signifikannya dengan peningkatan tahun 2001 di mana pengeluaran agregat jauh lebih tinggi (lihat Bab 7 berikut ini). Tabel 1.3 Komposisi belanja pemerintah pusat (%)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006*
2007**
Rutin
56
64
57
50
55
56
51
50
Pembangunan
25
12
12
18
14
15
15
16
19 100
24 100
31 100
32 100
31 100
30 100
34 100
34 100
Transfer ke Daerah Total
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD. Catatan: *2006 Hasil awal, **2007 anggaran (APBN).
Selama terjadinya peningkatan transfer yang tajam, anggaran pembangunan pemerintah pusat menurun dalam jumlah yang hampir sama besarnya, tetapi pengeluaran rutin tetap stabil. Kurang dari 14 persen anggaran pemerintah pusat dibelanjakan untuk pembangunan, sementara pengeluaran rutin masih tetap stabil dengan sedikit di atas 50 persen (kecuali tahun 2001). Seperti yang diperkirakan, pada pemerintah daerah terjadi peningkatan pengeluaran rutin dan pembangunan dalam jumlah yang hampir sama. Akan tetapi, peningkatan itu lebih terlihat pada pengeluaran rutin daripada untuk pembangunan. Saat ini pemerintah daerah diperkirakan menggunakan sekitar 60 persen dari anggaran mereka untuk pengeluaran rutin dan 40 persen untuk proyek-proyek pembangunan (Diagram 1.2, Diagram 1.3).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 1.2 Komposisi belanja pemerintah pusat
Diagram 1.3 Komposisi belanja pemerintah daerah (provinsi + kabupaten/kota) 120
Harga konstan ditahun 2000; Rp triliun
450 400
100
350 300
80
250
60
200 150
40 100 50
20
0 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
Pengeluaran Rutin Transfer ke Daerah
2001
2002
2003
2004
2005
2006* 2007**
0
Belanja Pembangunan
2000
2001
2002
2003
2004
Belanja Pembangunan Pengeluaran Rutin
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD. Catatan: *2006 Hasil awal, **2007 anggaran (APBN).
Transfer anggaran yang paling besar ke pemerintah daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), besarnya mencapai rata-rata 19 persen dari total pengeluaran pada 2001-05, dan bukan sebesar 25 persen sebagaimana tercantum dalam undang-undang. Secara konsisten DAU teranggarkan lebih rendah karena asumsi konservatif yang dipakai atas harga minyak internasional dalam anggaran (lihat Bab 6). Pada 2006, DAU meningkat sebesar Rp 26 triliun (45 persen pada harga konstan tahun 2000), atau hampir sama besarnya dengan saat terjadi “gebrakan besar desentralisasi.” Peningkatan ini didukung oleh perkiraan peningkatan pendapatan sebesar 12 persen, di mana 7 persen dari jumlah ini diperoleh dari penerimaan non-migas dan 5 persen dari penaerimaan migas (sebagian karena terjadi peningkatan dalam asumsi anggaran untuk harga minyak sebesar AS$52/barel pada 2005 menjadi AS$64/barel pada 2006). Selanjutnya, dampak dari peningkatan jumlah transfer pada anggaran secara keseluruhan akan diimbangi dengan penurunan yang tajam dari subsidi yang diproyeksikan pada tahun itu. Diagram 1.4 Komposisi ekonomi dari belanja publik berdasarkan tingkat pemerintahan, 2004 14 0
Harga yang berlaku; Rp triliun
Kabupaten/Kota 12 0 10 0
P r ovinsi 40
Pusat 57
80 20 60
9 92
40 61 20
62
49
14 2 14
0 Belanja Pembangunan
Belanja Pegawai
Subsidi*
Pembayaran Bunga Hutang*
Belanja Rutin B Lainnya
8 2 16 elanja Barang
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu mengenai anggaran yang berjalan. Catatan: Dalam nominal Rp triliun.
Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, prosentase pengeluaran pemerintah daerah untuk belanja pegawai dan barang, untuk masing-masing berjumlah sekitar 58 persen dan 38 persen terhadap total pengeluaran (Diagram 1.4). sementara itu, pembayaran subsidi dan pembayaran bunga pinjaman, menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
Pembayaran bunga oleh pemerintah daerah tidak diikutsertakan karena laporan data SIKD mengagregasikan kategori ini dengan pembayaran amortisasi. Subsidi pemerintah daerah diagregasikan di bawah pengeluaran rutin yang lain karena pengeluaran ini tidak dapat diagregasikan dengan dana pensiun yang lain dan pengeluaran bantuan yang lain. Pada tingkat 0,3 persen, pembayaran utang dapat diabaikan (lihat Tabel 1.6).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Pemerintah pusat melaksanakan sekitar setengah dari proyek pembangunan secara langsung, sementara setengahnya lagi disalurkan melalui dekonsentrasi. Pemerintah pusat menggunakan sekitar 51 persen dari total pengeluaran pembangunan di tingkat nasional, diantaranya lebih dari setengah (sekitar 53 persen) digunakan untuk mendanai proyek-proyek pemerintah daerah. Pemerintah daerah menggunakan sisanya sebesar 49 persen untuk mendanai pengeluaran pembangunan, diantara sebagian dari jumlah ini dialokasikan oleh pemerintah pusat melalui DAK. Hal ini berarti sekitar tiga perempat dari investasi publik Indonesia dilaksanakan di tingkat daerah.
Investasi Publik dan Ruang Gerak Fiskal Pengeluaran pembangunan, yang merupakan proksi kasar dari investasi publik, telah pulih. Total pengeluaran pembangunan sebagai persentase dari PDB telah mencapai 6,5 persen pada tahun 2003 sebelum menurun menjadi 5,3 persen pada tahun 2004, hampir kembali ke tingkat pada periode 1995-96 (Diagram 1.5). Kini kontribusi pemerintah daerah mencapai setengah dari total investasi publik dan telah menjadi pendorong utama peningkatan pengeluaran pembangunan selama beberapa tahun belakangan ini. Antara tahun 2000 dan 2003, total pengeluaran pembangunan meningkat sebesar 2,7 persen poin dari PDB (lihat Bab 7). Sementara pengeluaran pembangunan pemerintah pusat meningkat sebesar 1,0 persen poin, pengeluaran pemerintah daerah meningkat sebesar 1,7 persen poin (provinsi 0,6 persen poin dan kabupaten/kota 1,1 persen poin). Jika pengeluaran pembangunan pemerintah daerah mengalami peningkatan pada kecepatan yang sama dengan pemerintah pusat, total pengeluaran pembangunan akan melebihi jumlah 7 persen dari PDB pada 2007. Tingkat investasi secara keseluruhan belum pulih ke tingkat sebelum krisis. Pada tahun 2005, total investasi publik dan swasta hanya mencapai 22 persen dari PDB. Sementara investasi publik kini telah pulih sampai pada titik sebelum krisis, investasi swasta belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Pemulihan investasi publik mencapai titik 6,5 persen akan meningkatkan total investasi menjadi 23 persen dari PDB pada tahun 2006 (Diagram 1.6). Akan tetapi, investasi publik telah melemah selama bertahun-tahun dan perlu berusaha mengejar ketertinggalan tersebut. Selain itu, investasi sektor swasta masih tetap berkisar pada tingkat 5 persen di bawah tingkat sebelum krisis, sebagian karena kurangnya pengeluaran publik sebgai pelengkap pengeluaran swasta. Diagram 1.5 Pulihnya pengeluaran pembangunan ke Diagram 1.6 Investasi publik kembali ke tingkat tingkat sebelum krisis sebelum krisis, namun tidak demikian halnya untuk investasi swasta (%)
(%)
8 7
Provinsi
Kabupaten/Kota
30 25
6 5
20
4
15
20.7 Swasta
3
12.7
17.6
16.8
10
2 1
22.1
Pemerintah Pusat
0 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 (E) (P) (P)
Sumber: DepKeu, perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Diagram dalam persen dari PDB.
5
6.4
Publik
3.8
6.5
4.4
6.5
0 1996
2000
2003
2005
2006(*)
Sumber: DepKeu, perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Diagram dalam persen dari PDB.
Perkiraan ini didasarkan pada bagian pengeluaran pembangunan dalam bentuk dana “dekonsentrasi” untuk 2004, bagi seluruh kabupaten/ kota kecuali Jakarta.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kotak 1.1 Apa yang dimaksud dengan ruang gerak fiskal? Istilah ‘ruang gerak fiskal’ sering digunakan dalam perdebatan kebijakan. Akan tetapi, definisi dan pengggunaannya secara nyata masih kontroversial. Laporan Bank Dunia tentang “Fiscal Policy Growth and Development” (World Bank, 2006b) menyatakan bahwa “ruang gerak fiskal” ada ketika pemerintah dapat meningkatkan pengeluaran tanpa menyebabkan pengaruh buruk terhadap solvabilitas fiskal. Sebagai konsep yang melihat ke depan, ruang gerak fiskal dapat bermanfaat. Akan tetapi, hal ini bukan berarti harus selalu melihat besarnya ruang gerak fiskal di waktu lampau. Selanjutnya, penting agar dilakukan pemisahan antara pengeluaran diskrisioner dengan pengeluaran non-diskrisioner, karena peningkatan dalam pengeluaran non-diskresioner (seperti pengeluaran untuk pegawai) tidak berarti harus sama dengan peningkatan pengeluaran untuk pembangunan. Kajian Pengeluaran Publik ini mendefinisikan ruang gerak fiskal sebagai pengeluaran diskresioner yang dapat dilakukan oleh Indonesia tanpa mengganggu solvabilitasnya. Ruang gerak fiskal didefiniskan sebagai total pengeluaran dikurangi pengeluaran untuk pegawai, pembayaran bunga, subsidi, dan transfer ke daerah. Definisi ini menyiratkan bahwa pemerintah harus memperhitungkan “solvensi” ketika merumuskan anggaran negara. Sebagai hasilnya, kesenjangan antara proyeksi pengeluaran diskrisioner dan pengeluaran sebenarnya dapat didefinisikan sebagai ‘ruang gerak fiskal yang tidak digunakan’.
Diagram 1.7 Ruang gerak fiskal terus meningkat % 12
10
APBN Kabupaten/Kota Provinsi Pusat
8
6
Ruang gerak fiskal Indonesia telah mengalami peningkatan secara substansial. Pemulihan dalam investasi publik telah terjadi sejalan dengan terjadinya peningkatan ruang gerak fiskal. Ruang gerak fiskal (termasuk pemerintah pusat dan daerah) meningkat dari 6,3 persen dari PDB pada 2001 menjadi 8,3 persen pada 2005. Ruang fiskal diperkirakan akan mencapai angka di atas 10 persen pada 2006 dan 2007 (Diagram 1.7).
Peningkatan penerimaan dan penurunan subsidi BBM mendorong terjadinya peningkatan ruang gerak 2 fiskal. Ruang gerak fiskal pemerintah pusat meningkat dari 2.9 persen yang sangat rendah di tahun 2002 menjadi 0 4,5 dan 6,2 persen masing-masing di tahun 2005 dan FY97 FY98 FY99 FY00 FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07 2006. Peningkatan pendapatan merupakan penyumbang Sumber: Perkiraan staf BPS, Depkeu, Bank Dunia. terbesar dalam perubahan terhadap ruang gerak fiskal Catatan: Diagram menunjukkan persentase dari PDB. (Tabel 1.4). Antara tahun 2005 dan 2006, peningkatan penerimaan berkontribusi sebesar 2,6 persen dari PDB diikuti oleh peningkatan defisit anggaran sebesar 0,5 persen. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa kenaikan harga minyak berpengaruh baik terhadap penerimaan (dari pajak dan non-pajak) maupun pengeluaran (subsidi BBM dan dana bagi hasil). 4
Tabel 1.4 Kuantifikasi perluasan ruang gerak fiskal
Akan tetapi, perluasan ruang gerak fiskal ini belum dimanfaatkan secara penuh baik oleh (%) 1996-2002 2002-05 2005-06 pemerintah pusat maupun daerah. Walaupun Peneriman 0.2 0.7 2.6 investasi publik telah meningkat secara cukup - Migas 0.1 0.3 1.4 signifikan pada tahun-tahun belakangan ini, masih - Non-Migas 0.0 0.4 1.2 ada ruang gerak yang cukup besar untuk melakukan Surplus/defisit anggaran 0.4 -0.1 0.5 berbagai perbaikan di seluruh tingkat pemerintahan. Pengeluaran non-diskresioner 1.3 0.0 -1.4 Kesenjangan antara anggaran pemerintah pusat - Subsidi 0.3 0.7 1.4 (APBN-P) dan realisasi anggaran tersebut merupakan Ruang gerak fiskal -0.8 0.5 1.8 indikator proksi terhadap ruang gerak fiskal yang Sumber: Perkiraan staf DepKeu dan staf Bank Dunia. Catatan: (Perubahan antarperiode, persentase dari PDB, rata-rata tahunan); + tidak dimanfaatkan dengan baik. Kesenjangan ini menunjukkan kontribusi positif terhadap ruang fiskal dan sebaliknya. Misalnya, melebar dari 1,0 persen pada tahun 2001 menjadi defisit anggaran yang lebih tinggi berkontribusi positif terhadap ruang fiskal. 2,0 persen di tahun 2005 (Diagram 1.8). Dalam hal pemerintah daerah, peningkatan tajam pada sisa anggaran merupakan bukti bahwa daerah juga belum memanfaatkan ruang gerak fiskal mereka secara optimal (Diagram 1.9). Pada bulan November 2006, total sisa anggaran mencapai Rp 95 triliun, atau 3,1 dari PDB (lihat Bab 7).
Data pemerintah daerah merupakan perkiraan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Diagram 1.8 Ruang gerak fiskal yang tidak Diagram 1.9 Ruang gerak fiskal yang tidak di dimanfaatkan: pemerintah pusat manfaatkan: pemerintah daerah % Proyeksi Terkini (APBN-P)
100
6
80
5
60
APBN
40
4
Kabupaten/Kota
20
Realisasi
Provinsi
3
FY01
FY02
FY03
FY04
FY05
FY06
v No
Ju l Se p
N Ja ov n06 M ar M ei
Ju l Se p
Ju l Se p No Ja v n05 M ar M ei
Ju l Se p
ar ei
N Ja ov n04 M ar M ei
2
M
Ja
n03
0 M
7
FY07
Sumber: Staf Depkeu dan Bank Dunia. Catatan: Perbandingan antara revisi anggaran dan realisasinya oleh pemerintah pusat, persen PDB.
Sumber: Bank Indonesia, Catatan: Sisa anggaran pemerintah daerah dalam Rp triliun.
Harga minyak yang tinggi masih berdampak negatif terhadap anggaran karena subsidi masih tetap tinggi sedangkan produksi minyak dan gas mengalami penurunan. Peningkatan harga minyak sebesar US$1/barel pada tahun 2007 akan berdampak negatif terhadap keseimbangan anggaran sebesar Rp 0,6 triliun (0,02 persen dari PDB). Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di tahun 2006 dimana peningkatan harga sebesar US$1/barel memberikan dampak positif sampai dengan Rp 0,2 triliun. Pada tahun 2007, peningkatan harga sebesar US$1/barel pada harga minyak akan menimbulkan peningkatan pada pendapatan dan pengeluaran sebagai berikut: 1. Penerimaan, meningkat sebesar Rp 3,8 triliun (penerimaan dari pajak migas sebesar Rp 0,7 triliun; pendapatan pajak non-migas dan lainnya sebesar Rp 3,1 triliun). 2. Pengeluaran, meningkat sebesar Rp 4,4 triliun (subsidi BBM sebesar Rp 2,6 triliun, subsidi listrik sebesar Rp 0,4 triliun, dana bagi hasil sebesar by Rp 0,6 triliun dan alokasi DAU sebesar Rp 0,8 triliun). Dampak dari fluktuasi harga minyak internasional diperkirakan tidak akan menyebabkan gangguan berarti untuk anggaran pemerintah daerah (sebelum persetujuan anggaran tiap tahun). Bahkan jika harga minyak menurun, dampak negatif terhadap anggaran pemerintah daerah tidak akan terlalu besar. Ada tiga alasan untuk hal ini. (lihat Tabel 1.5). Pertama, penerimaan dari pajak dan non-pajak minyak hanya mewakili 20 persen dari penerimaan domestik. Sehingga, persentase peningkatan atas harga minyak tidak akan menghasilkan peningkatan yang sama terhadap persentase total pendapatan domestik bersih setelah dikurangi dana bagi hasil (yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan besarnya transfer). Kedua, hanya 10 persen dari pemerintah daerah yang menerima bagi hasil dari migas. Ketiga, pemerintah daerah yang menerima penerimaan migas telah mengakumulasikan keuntungan dari sumber keuangannya selama beberapa tahun terakhir dan masih memiliki penerimaan yang belum dimanfaatkan yang tersimpan dalam rekening bank mereka. (lihat Diagram 1.9 dan Bab 7). Tabel 1.5 Elastisitas penerimaan daerah terhadap perubahan harga minyak Jenis Transfer 1. Dana Alokasi Umum (DAU) 2. Dana Bagi Hasil 3. Otonomi Khusus & Dana Penyeimbang Total Transfer untuk Pemerintah Daerah (1+2+3+lain-lain)
Skenario Skenario Dasar Skenario Tinggi Rendah (AS$ (AS$ 50/barel) (aS$ 60/barel) 40/barel) 175,937 59,423 7,331 270,845
182,704 64,186 7,613 282,657
189,470 68,950 7,895 294,468
Elastisitas harga minyak terhadap pendapatan daerah 0.19 0.37 0.19 0.21
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia. Catatan: Perkiraan untuk tahun 2008 dalam Rp miliar. Perkiraan tersebut mensimulasikan dampak perubahan harga minyak pada transfer anggaran 2008, karena anggaran 2007 sudah disetujui pada bulan Oktober 2006, sehingga perubahan harga minyak sudah kembali netral untuk alokasi tahun 2007.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Utang Utang pemerintah pusat Diagram 1.10 Penurunan beban hutang (1) 100
%
90 80
Domestik
70 60 50
Eksternal
40 30 20 10 0 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006 Sep
Sumber: Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Rasio persentase hutang pemerintah terhadap PDB.
Rasio utang pemerintah terhadap PDB telah turun menjadi setengahnya sejak enam tahun terakhir. Rasio stok utang pemerintah pusat terhadap PDB telah mengalami penurunan dari sekitar 100 persen pada 1999 menjadi 47 persen pada 2005, dan terus mengalami perbaikan menjadi 41 persen pada bulan September 2006 (Diagram 1.10). Penurunan ini jauh lebih cepat dari yang diproyeksikan Bank 10 Dunia dan pengamat lain pada 2000. Jumlah yang stabil atas stok utang, apresiasi nilai rupiah, dan peningkatan PDB telah berkontribusi dalam menurunkan beban utang.11 Rasio utang pemerintah Indonesia terhadap PDB pada akhir tahun 2005 (47 persen) setara dengan negara tetangga seperti Thailand (46 persen), Malaysia (46 persen), dan jauh lebih rendah daripada Filipina (72 persen) (lihat Tabel 1.6).
Tabel 1.6 Perbandingan internasional utang pemerintah % dari PDB
2000
2001
2002
2003
2004
2005
China
16.4
17.7
18.9
19.2
18.5
17.9
Indonesia
80.0
76.4
70.8
61.1
54.6
46.8
Korea Selatan
31.8
35.3
33.4
32.6
33.5
36.4
Malaysia
36.6
43.6
45.6
47.8
48.1
46.2
Filipina
64.6
65.7
71.0
77.7
78.5
71.8
Thailand
57.0
56.5
53.8
48.7
48.0
46.4
Sumber: Data dan perkiraan staf Bank Dunia, (a) Pemerintah pusat, (b) Termasuk dana jaminan sosial.
Konsolidasi fiskal dan pendapatan non-reguler, terutama dari divestasi bank, berkontribusi terhadap penurunan tingkat utang. Defisit anggaran pemerintah pusat mengalami perbaikan dari 4,9 persen terhadap PDB pada tahun 1998 menjadi 1,0 persen pada 2006 (hasil awal). Realisasi defisit anggaran sebagian besar jauh lebih rendah dari yang dianggarkan (Diagram 1.11). Juga, rasio dari pembiayaan non-utang (seperti, penarikan cadangan, penerimaan privatisasi, dan penjualan aset dari badan divestasi aset negara BPPN/PPA) melebihi 50 persen dari total pembiayaan pada 2000-03 (Diagram 1.12). Setelah krisis, pemerintah mengeluarkan obligasi dalam negeri dan menaruhnya dalam neraca bank-bank komersial untuk menyelamatkan sistem perbankan. Aset dari bank-bank yang dilikuidasi/ditutup diambil alih oleh pemerintah. Pada 1999-2006, penjualan aset BPPN/PPA berkontribusi sebesar 26 persen dari kebutuhan pembiayaan bruto.
10 Misalnya, Bank Dunia memproyeksikan rasio utang akan bisa menurun mencapai sekitar 45 persen pada tahun 2010 (lihat “Indonesia: Managing Government Debt and Its Risks”, May 2000). 11 Misalnya, rasio utang pemerintah terhadap PDB mengalami perbaikan dari 80,0 persen pada 2000 menjadi 46,8 persen pada 2005. Selama masa itu, utang pemerintah yang masih tersisa mengalami sedikit penurunan dari AS$132 milyar menjadi AS$131,6 miliar. PDB nominal meningkat menjadi 70.5 persen dari AS$165 miliar menjadi AS$281,3 miliar. Peningkatan pada PDB nominal berkontribusi terhadap perbaikan utang.
10
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Diagram 1.11 Penurunan defisit anggaran
Diagram 1.12 Pembiayaan non-utang tinggi pada tahun 2000-03
% 0
120
-1
100
% Pembiayaan hutang
-2
80
-3
60
-4 -5
40
Realisasi
Pembiayaan non-hutang
Dianggarkan
-6
20
-7
0
-8 FY98
FY99
FY00 (9m)
FY01
FY02
FY03
FY04
FY05
FY06
FY07
SSumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: angka dalam diagram ada;ah persentase terhadap PDB.
FY96 -20
FY97
FY98
FY99
FY00 (9m)
FY01
FY02
FY03
FY04
FY05
FY06
Sumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: angka pada diagram adalah persentase terhadap pembiayaan bruto.
Diagram 1.13 Penurunan beban hutang 45
%
40 35 30 APBN
25 Pembayaran Bunga Hutang
20 15 10 5
Pembayaran Kembali Pokok
0 FY96 FY97 FY98 FY99 FY00 FY01 FY02 FY03 FY04 FY05 FY06 FY07
Sebagai persentase dari total pengeluaran pembayaran utang pemerintah kini lebih rendah daripada tingkat sebelum krisis. Pembayaran bunga menurun dari Rp 78 triliun pada 2001 menjadi Rp 37 triliun pada 2005 (nilai rupiah konstan pada 2000). Selama periode 2004-06, pembayaran utang secara rata-rata adalah sebesar 25 persen dari total pengeluaran dibandingkan dengan 38 persen sebelum krisis 12 (1994-96). Akan tetapi, pembayaran utang sepertinya akan meningkat perlahan pada tahun-tahun yang akan datang ketika pemerintah harus membayar kembali utang yang ditangguhkan (Diagram 1.13).
Sumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia . Catatan: Pembayaran hutang dalam total pengeluaran.
Tiga faktor yang telah berkontribusi terhadap penurunan tajam dari tingkat utang Indonesia sejak terjadinya krisis ekonomi: • • •
Pasca-krisis, penjadwalan kembali pembayaran pokok dan bunga pinjaman di bawah kesepakatan Paris Club. Apresiasi nilai tukar rupiah dari Rp 10.014 /AS$1 (1998) menjadi Rp 9.141/AS$1 (2006). Peningkatan penerimaan pajak non-migas dari 9,0 persen terhadap PDB pada tahun 2001 menjadi 11,5 persen pada tahun 2006. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 12,8 persen dalam anggaran (APBN) 2007.
Utang pemerintah masih tetap sensitif terhadap gangguan makroekonomi, walaupun terjadi peningkatan yang luar biasa atas indikator utang pemerintah. Peningkatan sebesar 1 persen poin dari tingkat suku bunga domestik menyebabkan tambahan sebesar Rp 2 triliun (atau 0,07 persen dari PDB) atas pembayaran bunga utang domestik. Sejalan dengan hal itu, peningkatan sebesar 1 persen dalam suku bunga global AS dolar menyebabkan tambahan sebesar AS$0,2 milyar (atau 0,07 persen dari PDB) atas pembayaran bunga utang luar negeri. Depresiasi sebesar 10 persen pada mata uang di 2005 telah meningkatkan rasio utang terhadap PDB sebesar 4-5 persen, hal-hal lainnya tetap sama.
12 Pada 1994-95, pembayaran di muka atas utang pemerintah telah meningkatkan kemampuan fiskal yang berkesinambungan untuk pembayaran utang tetapi tingkat utang saat ini berada di bawah tahun 1996 ketika tidak ada pembayaran utang di muka. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
11
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 1.7 Utang pemerintah pusat dan daerah tahun 2005 Level of governments
Hutang
Pemerintah pusat 1,277.5 Pemerintah daerah 4.2 - Kabupaten/kota 0.7 - Provinsi 0.3 - PDAM 3.1 Total 1,281.7 Sumber: Depkeu dan perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Pemerintah daerah per 2004; figur dalam Rp triliun.
% total 99.7 0.3 0.1 0.0 0.2 100.0
% PDB 46.8 0.2 0.0 0.0 0.1 47.0
Utang pemerintah daerah tidak signifikan (Tabel 1.7). Utang pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) dan PDAM hanya 0,2 persen dari PDB pada 2004, yang hanya merupakan 0,3 persen dari konsolidasi utang pemerintah (lihat Bab 7). Utang pemerintah daerah semata-mata terdiri dari pinjaman kepada pemerintah pusat (melalui RPD/RDI) dan kepada donor melalui pemerintah pusat (Perjanjian Penerusan Pinjaman ).
Pengelolaan utang Dua inisiatif utama dalam pengelolaan utang telah diluncurkan pemerintah. Walaupun ada perbaikan dalam indikator utang akhir-akhir ini, resiko terhadap anggaran pemerintah masih cukup besar, dan peningkatan pengelolaan utang masih perlu dilakukan untuk menghindari kesulitan pembayaran utang di masa datang. Departemen Keuangan telah mencapai kemajuan yang cukup besar dalam hal ini. Dua contoh spesifik adalah pengembangan dan penerbitan strategi pengelolaan utang yang komprehensif pada September 2005 dan pembentukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara. Strategi pengelolaan utang akan didasarkan pada analisis biaya/risiko. Strategi pengelolaan utang ini disusun dalam kerangka yang masih bersifat terlalu umum, tetapi merupakan langkah awal yang penting yang dapat menjadi landasan kuat untuk menyusun strategi berdasarkan analisis biaya/risiko. Pengambilan pinjaman adalah untuk memaksimalkan konsesi, pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam mata uang rupiah, pada margin, mengeluarkan obligasi global dalam denominasi AS$. Terkait dengan komposisi utang, unsur-unsur utama adalah preferensi untuk meningkatkan rasio utang dengan denominasi rupiah, mengurangi rasio utang dalam mata uang Yen dalam portfolio utang luar negeri serta meningkatkan rasio utang dengan bunga tetap. Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara (DJPHN) akan membantu menurunkan risiko operasional. Pembentukan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Negara memfasilitasi lebih lanjut pengembangan strategi pengelolaan utang dan menyiratkan pengurangan risiko operasional yang cukup besar. Selanjutnya, organisasi pengelolaan utang yang terpadu akan memfasilitasi implementasi strategi pengelolaan utang melalui pinjaman langsung, pembelian kembali, dan penggunaan derivatif keuangan, dengan tujuan untuk menggunakan seluruh instrumen pengelolaan utang yang ada. Awalnya, DJPHN akan bertanggung jawab untuk memastikan pembiayaan yang tepat waktu dan efektif serta mengelola risiko keuangan atas utang langsung pemerintah. DJPHN menggunakan sumber-sumber daya organisasi (misalnya, staf) dari DPSUN (Direktorat Pengelolaan Surat Utang Negara) ) dan DPPHLN (Direktorat Pengelolaan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri). Di masa yang lalu, pinjaman dan surat utang negara dikelola secara terpisah di bawah dua direktorat ini, dengan koordinasi kegiatan yang sangat sedikit. DJPHN akan diorganisasikan sejalan dengan garis fungsional depan, tengah, dan belakang. Fungsi depan akan bertanggung jawab untuk merancang dan melakukan implementasi terhadap program pinjaman sesuai dengan strategi pengelolaan utang. Fungsi tengah akan bertanggung jawab terhadap pengembangan strategi dan pengelolaan risiko. Akhirnya, fungsi belakang bertugas untuk menjaga mutu dan memuktakhirkan database yang akan memungkinkan untuk melakukan registrasi utang tepat waktu, pencairan, dan fungsi-fungsi akuntansi. Perbaikan yang sedang berjalan atas pengelolaan utang. Untuk menjamin bahwa kemajuan selama kurun waktu belakangan ini dalam pengelolaan utang negara dapat dipertahankan, fokus yang kuat dalam upaya untuk meningkatkan kapasitas dan pelatihan untuk pegawai baru pada DJPHN akan sangat penting. Untuk meningkatkan pengelolaan utang lebih lanjut, kegiatan di bawah ini dapat dilaksanakan atau direncanakan:
•
12
Peningkatan strategi pengelolaan utang yang ada: Strategi yang ada didasarkan pada pedoman yang agak terlalu luas dan prinsip umum sementara kerangka kerja yang kokoh belum tersedia. Masih diperlukan kerja keras untuk mengembangkan lebih jauh manajemen risiko keuangan dengan cara mengembangkan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
perangkat yang dapat membantu mengidentifikasi preferensi konsekuensi biaya/risiko, misalnya analisis skenario dan model risiko stokastik. Menjamin akses yang lebih baik terhadap data utang yang komprehensif: Saat ini terdapat aktifitas yang sedang berjalan dalam hal menghubungkan database utang yang ada untuk memfasilitasi kompilasi total data utang, sementara situs web untuk DJPHN yang baru juga sedang dikerjakan. Hal ini akan membuat akses yang jauh lebih mudah terhadap informasi utang pemerintah. Menyediakan laporan berkala mengenai stok utang dan risikonya: Laporan berkala diperlukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Laporan itu harus meliputi utang luar negeri dan dalam negeri dan diperluas untuk melingkupi penerusan pinjaman dan kewajiban kontinjensi pada tahapan berikutnya. Kerangka hukum: Untuk mendukung strategi pengelolaan utang yang komprehensif, pinjaman pemerintah harus dinaungi oleh satu undang-undang. Pada kenyataannya, hal ini menyiratkan atas penggabungan UU tentang Surat Utang Negara dan UU tentang Pinjaman Pemerintah (saat ini sedang direvisi).
• • •
Subsidi
6,000
30
5,000
25
4,000
20
3,000
15
2,000
10
1,000
5
0
0 2001
2002
2003
Bensin di Pasar Internasional Bensin
2004
Total Subsidi Subsidi BBM
2005
2006
Subsidi Non-BBM
Persentase Belanja Pemerintah Pusat (%)
Harga Jual (Rp/liter) Sebelum kena Pajak
Diagram 1.14 Subsidi dan harga BBM
Subsidi merupakan bagian yang besar dalam pengeluaran pemerintah pusat. Subsidi mencapai puncaknya sebesar Rp 121 triliun pada tahun 2005 dan jumlah ini merupakan 18,2 persen dari total pengeluaran pada 2001-06. Setelah terjadi penurunan pada 2002-03, besarnya subsidi kembali meningkat tajam pada 2004-05 terutama diakibatkan oleh subsidi BBM yang semakin tinggi akibat meningkatnya harga minyak internasional dan menurun lagi setelah dilakukan pengurangan subsidi BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 (Diagram 1.14). Bagian atas subsidi non BBM juga meningkat karena terjadi peningkatan subsidi terhadap Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Sumber: Departemen Keuangan dan perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Figur merupakan persentase dari PDB.
Pada 2005, pemerintah membelanjakan 24 persen dari total pengeluaran dan 2,5 kali dari total belanja modal untuk subsidi. Subsidi BBM berjumlah Rp 96 triliun (termasuk subsidi implisit kepada PLN sebesar Rp 21 triliun) dan subsidi non BBM berjumlah Rp 25 triliun (termasuk Rp 13 triliun untuk subsidi PLN). Subsidi BBM dan listrik berjumlah lebih dari 90 persen dari total subsidi (Diagram 1.15).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
13
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 1.15 Subsidi bahan bakar minyak dan listrik dominan Transfer ke Daerah, 151 30%
Lain-lain, 30.8 6%
Subsidi BBM, 75 15%
Dana Sosial, 24.2 5%
Subsidi, 120.7 24%
Pembayaran Bunga Hutang, 58 11% Belanja Modal, 37 7% Belanja Barang, 33 6%
Belanja Pegawai, 56 11%
Subsidi Non-BBM,12 2% Subsidi BBM di Sektor Listrik, 21 4% Subsidi Non-BBM di Sektor Listrik,13 3%
Sumber: Departemen Keuangan, perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Angka non-persen menunjukkan pengeluaran dalam Rp triliun.
Subsidi BBM Diagram 1.16 Harga bahan bakar minyak dalam negeri vs. Subsidi BBM merupakan beban utama dalam internasional pengeluaran pemerintah pusat. Sejak awal 2003, pemerintah tetap mempertahankan harga % BBM dalam negeri, walaupun terjadi peningkatan 100 Bensin tajam harga minyak internasional (harga minyak 90 mentah Indonesia) dari AS$30/barel pada 2003 80 menjadi di atas AS$50/barel pada 2005. Pada 70 bulan September 2005, harga BBM dalam negeri 60 sebagai proporsi dari harga minyak internasional 50 (sebelum dikurangi pajak) jatuh hingga sekitar 40 40 persen untuk bensin dan solar, dan 14 persen 30 untuk minyak tanah (Diagram 1.16). Dengan 20 demikian, subsidi BBM sebagai beban dari PDB 10 Minyak Tanah meningkat tajam dari 1,5 persen pada 2003 0 menjadi 3,0 persen pada 2004 dan 3,5 persen 2001 Jul 2002 Jul 2003 Jul 2004 Jul 2005 Jul 2006 Jul pada 2005. Jan Jan Jan Jan Jan Jan Sumber: Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Angka merupakan persentase harga domestik dari harga internasional.
Pemerintah menerapkan penyesuaian harga BBM yang cukup besar pada tahun 2005. Kekhawatiran atas peningkatan beban keuangan karena subsidi dan keinginan untuk menggunakan sumber-sumber daya publik secara efisien mendorong pemerintah pusat untuk menerapkan tiga penyesuaian subsidi BBM pada 2005: peningkatan sebesar 29 persen pada bulan Maret, pengenaan harga pasar untuk industri, dan kenaikan harga sebesar 114 persen pada bulan Oktober (Tabel 1.8). Berdasarkan Keppres (Keputusan Presiden) No. 55/2005, subsidi BBM yang masih tersisa akan dihapuskan walaupun waktu untuk itu belum ditentukan.
14
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Tabel 1.8 Harga minyak dalam negeri vs. harga minyak internasional Kenaikan harga BBM sebelum Oktober (Sep 05)
Kenaiikan harga BBM setelah Oktober (Oct 05)
Terbaru (Sep 06)
2,400
4,500
4,500
A. Harga BBM dalam negeri (Rp) Bensin Minyak tanah (rumah tangga)
700
2,000
2,000
2,100
4,300
4,300
Bensin
6,570
5,876
4,509
Minyak tanah (rumah tangga)
6,493
6,218
5,808
Solar
6,470
6,225
5,545
Bensin (%)
37
77
87
Minyak tanah (rumah tangga) (%)
11
32
31
Solar (%)
32
69
67
Solar B. Harga BBM internasional 1/ (Rp)
C. Persentase harga BBM dalam negeri dari harga internasional (A/B)
D. Variabel Ekonomi Harga minyak mentah (IHK, AS$/barel) Nilai tukar mata uang (Rp/AS$)
62
58
63
10,310
10,090
9,235
Sumber : Depkeu, Bank Dunia. Catatan: 1/ MOP plus 15 persen penyesuaian oleh nilai tukar dan pajak.
Diagram 1.17 Penghematan yang diperoleh dari Diagram 1.18 Harga dan produksi minyak penyesuaian subsidi BBM Ribu barel perhari 1,700
AS$ miliar 18 Dana tabungan dari kenaikan harga Okt 05
16 14
Produksi Minyak (LHS)
1,600 Dana tabungan dari penerapan harga pasar untuk sektor industri
AS$/bbl 70 60
1,500
12
50
1,400
10
Dana tabungan dari kenaikan harga Mar 05
1,300
40
6
1,200
30
4
1,100
2
1,000
8
Subsidi aktual (terencana)
0 FY01
FY02
FY03
Sumber: Depkeu, Bank Dunia.
FY04
FY05
FY06 (APBN-P)
FY07 (APBN)
20
800
10
Harga Minyak (RHS)
900 FY94
FY95
FY96
FY97
FY98
FY99
FY00
FY01
FY02
FY03
FY04
FY05
FY06
FY07 (APBN)
-
Sumber: Depkeu, Bank Dunia. Catatan: Harga minyak mentah per barel dan juta barel per hari.
Dampak pengurangan subsidi BBM terhadap anggaran sangat luar biasa. Pada tahun 2005 penyesuaian harga BBM telah menurunkan defisit anggaran sebesar AS$4,5 milyar pada tahun tersebut. Kenaikan pada Oktober 2005 saja 13 telah memberikan dampak positif terhadap anggaran 2006 sebesar AS$10 milyar (Diagram 1.17). Keseimbangan antara penerimaan migas dengan subsidi masih tetap surplus, tetapi kinerja penerimaan belakangan ini mengecewakan. Keseimbangan migas didefenisikan sebagai penerimaan (baik penerimaan pajak maupun non-pajak) dikurangi dengan pengeluaran, misalnya subsidi BBM. Dampak harga minyak internasional yang lebih tinggi terhadap harga anggaran tidak dapat diukur hanya melalui dampaknya terhadap subsidi BBM; penerimaan (pajak dan non-pajak) juga mengalami peningkatan ketika terjadi peningkatan harga minyak internasional. Selisih antara 13 Perkiraan tersebut didasarkan pada asumsi harga minyak pada anggaran. Makin tinggi kenaikan harga minyak aktual, makin besar penghematan yang diperoleh. Jumlah penghematan yang signifikan diarahkan untuk melakukan program kompensasi bagi masyarakat miskin. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini dapat ditemukan pada laporan Bank Dunia, 2006h.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
15
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
penerimaan dan subsidi untuk minyak dan gas telah mengalami surplus selama lebih dari 10 tahun, sementara dari non-migas telah mengalami defisit. Pada 2001-06, neraca migas menunjukkan angka surplus rata-rata setara dengan 2,5 persen dari PDB, sementara neraca negatif dari pendapatan non-migas berjumlah 3,8 persen dari PDB. Tetapi, walaupun dengan harga minyak mentah yang tinggi sejak 2004, pendapatan sektor migas tetap mengecewakan. Antara 2001 dan 2006, sementara harga minyak mentah melonjak mencapai 160 persen, pendapatan dari sektor migas meningkat hanya sebesar 93,3 persen. Apresiasi nilai tukar mata uang (5 persen) dan penurunan produksi minyak dalam negeri (sebesar 28 persen) telah menetralisir sebagian besar keuntungan yang diperoleh dari harga minyak yang lebih tinggi. Produksi minyak menurun sebesar 40 persen selama 10 tahun terakhir (Diagram 1.18). Transfer penerimaan oleh Pertamina sangat mengkhawatirkan. Antara 2001 dan 2005, pendapatan dari sektor migas sebenarnya meningkat sampai sekitar 120 persen (peningkatan harga minyak mentah dikurangi penurunan produksi dan apresiasi nilai tukar mata uang). Namun demikian, pendapatan sebenarnya dari sektor migas meningkat sebesar 93 persen. Harga gas tidak terkait sempurna dengan harga minyak dan produksi gas telah mengalami penurunan lebih tajam dibandingkan dengan produksi minyak. Akan tetapi, peningkatan pendapatan sebenarnya sebesar 93 persen masih terlalu kecil dibandingkan dengan perkiraan peningkatan sebesar 120 persen. Salah satu penjelasan atas kesenjangan adalah masalah yang terjadi pada arus kas di tubuh Pertamina. Masalah arus kas ini telah menghambat Pertamina untuk mengirim dana mereka ke dalam anggaran, termasuk tunggakan utang, dividen, dan transfer dari penjualan minyak dan gas. Pembayaran subsidi BBM sering tertunda. Berdasarkan peraturan yang berlaku, pemerintah pusat harus mentransfer subsidi BBM kepada Pertamina setiap bulan. Hal ini dimaksudkan untuk menetralisir masalah arus kas di tubuh Pertamina. Berdasarkan kerangka kerja sebelumnya, setiap triwulan Pertamina menerima hanya 70 persen dari subsidi yang dianggarkan. Akan tetapi, sejak bulan Agustus 2006, hanya sebesar Rp 4,7 triliun (9 persen dari jumlah yang dianggarkan) dalam subsidi BBM yang ditransfer ke Pertamina. Alasan berikut ini dapat memberikan penjelasan tentang pencairan subsidi yang lamban tersebut:
• • •
Tunggakan utang Pertamina kepada pemerintah: Pertamina berhutang sebesar Rp 17 triliun kepada Pemerintah Indonesia per akhir 2005, termasuk belum disetornya dividen dan penerimaan non-pajak dari sektor migas (IMF, 2006). Hal ini menjelaskan keengganan pemerintah untuk membayar subsidi BBM tepat waktu. Sistem pembayaran yang rumit antara pemerintah, Pertamina, dan PLN: Pemerintah harus membayar subsidi listrik kepada PLN, sementara PLN memiliki kewajiban kepada Pertamina. Hubungan di antara ketiga pihak yang berkepentingan menyebabkan penyelesaian pembayaran subsidi menjadi rumit (lihat Lampiran Bagian C.15). Surat keputusan yang tertunda: Surat keputusan dari Departermen Energi dan Sumber Daya Mineral 14 tentang ‘patokan harga atas jenis BBM tertentu untuk anggaran 2006’ baru dikeluarkan pada 18 Juli 2006. Penundaan penerbitan keputusan ini telah menyebabkan Departemen Keuangan tidak bisa melakukan perhitungan besarnya subsidi dan melakukan pembayaran untuk itu.
Subsidi Listrik Biaya produksi yang lebih tinggi telah mendorong kenaikan subsidi listrik. Subsidi untuk sektor listrik berjumlah 28 persen dari total subsidi. Hal ini terdiri dari subsidi langsung kepada PLN (11 persen) untuk subsidi tidak langsung, plus subsidi tidak langsung melalui penyediaan bahan derifative minyak dengan harga subsidi (17 persen). Kombinasi antara tarif listrik yang tetap dan biaya produksi yang lebih tinggi sebagai akibat dari harga minyak yang lebih tinggi yang menyebabkan beban PLN naik sebesar Rp 15 triliun.15 Dalam hal ini, pemerintah pusat sebenarnya mengeluarkan sebesar Rp 30 triliun untuk subsidi listrik pada 2006.
14 Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.2308 K/22/MEM/2006, tertinggal 18 Juli 2006. 15 Pada APBN 2006 pemerintah pusat awalnya berencana untuk meingkatkan tarif listrik sebesar 20-30 persen . Akan tetapi, gagasan itu akhirnya dibatalkan akibat penolakan publik yang semakin gencar, yang mengakibatkan pemerintah harus mengeluarkan dana tambahan sebesar Rp 15 triliun untuk subsidi.
16
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Diagram 1.19 Subsidi listrik yang regresif
Subsidi listrik bersifat regresif, walaupun lebih kecil dari subsidi BBM sebelum terjadi Rp triliun 1.4 kenaikan harga BBM. Pada tahun 2005, subsidi 6600VA 2200VA listrik untuk rumahtangga sebesar Rp 11 triliun 1.2 1300VA didistribusikan sebagai berikut: kelompok 900VA 450VA 1.0 masyarakat 10 persen termiskin dari seluruh penduduk Indonesia menerima sebesar Rp 900 0.8 milyar, sementara kelompok masyarakat 10 0.6 persen terkaya menerima Rp 1,3 triliun, 44 persen 0.4 lebih besar atas total subsidi rakyat miskin. Manfaat bagi kelompok masyarakat yang lain 0.2 berkisar antara Rp 980 milyar dan Rp 1,3 triliun (Diagram 1.19). Indonesia memiliki lima jenis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Termiskin Terkaya subsidi listrik, masing-masing didistribusikan dengan cara yang berbeda, dimana yang Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. diutamakan untuk 450VA, kapasitas voltase yang memungkinkan bagi intensitas penggunaan listrik yang rendah (seperti untuk penggunaan lampu pijar). Kelompok rumah tangga termiskin termasuk dalam kelompok dengan kapasitas 450VA dan subsidi ini, yang berjumlah lebih dari setengah subsidi listrik untuk keseluruhan, bersifat progresif. Dengan kategori 450VA, kelompok penduduk 10 persen termiskin menerima Rp 850 milyar, hampir tiga kali lipat banyaknya dari subsidi untuk kelompok penduduk 10 persen terkaya (Rp 300 milyar). Oleh karena itu, sifat regresif dari subsidi listrik berasal dari jenis subsidi yang lain (900VA sampai dengan 6,600VA).
Reformasi Pelayanan Sipil dan Belanja Pegawai Insentif yang terdistorsi pada birokrasi pemerintah telah menghambat pelaksanaan kebijakan, maupun penyediaan layanan publik. Tantangan ini telah diketahui selama bertahun-tahun, tetap saja kemajuan yang telah dicapai sampai saat ini masih sangat lamban. Akan tetapi, ada tanda-tanda yang sangat positif bahwa pemerintah sudah siap untuk melakukan program reformasi yang komprehensif di bidang ini (Kotak 1.1). Tantangan-tantangan utama dapat dikelompokkan sebagai berikut:
•
•
•
Struktur Organisasi, Banyak lembaga dengan wewenang yang saling tumpang tindih memiliki tanggung jawab untuk mengelola dan mengawasi berbagai aspek dari pelayanan sipil. Lembaga-lembaga ini termasuk Badan Kepegawaian Nasional (BKN). Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan). Departemen Dalam Negeri, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Departemen Keuangan, Departemen sektoral, dan pemerintah daerah. Yang membuat situasi semakin rumit, tidak satu pun lembaga tersebut yang bertindak proaktif dalam mengelola struktur dan bentuk pelayanan sipil, dan tidak satu lembaga pun yang memiliki wewenang yang diakui untuk melakukan reformasi pelayanan sipil yang komprehensif. Penerimaan pegawai dan promosi. Terdapat permintaan yang berlebih untuk menjadi pegawai negeri. Hal ini menyebabkan sistem penerimaan pegawai baru yang bermasalah yang sering melibatkan pungutan tidak formal baik saat penerimaan maupun promosi. Kriteria kinerja untuk memperoleh promosi sangat lemah dan hanya ada sedikit sanksi atas kinerja yang buruk dan keterlibatan dalam korupsi. Sejalan dengan hal itu, hanya terdapat beberapa insentif dalam sistem yang memberikan penghargaan atas kinerja yang bagus, karena sebagian besar kenaikan pangkat didasarkan pada senioritas. Kompensasi, Walaupun gaji pokok pegawai negeri sipil masih relatif rendah dibandingkan dengan sektor swasta dan standar internasional, paket kompensasi secara keseluruhan ditandai oleh berbagai jenis tunjangan dan honorarium, banyak dari jumlah ini tidak transparan, diskresionari, dan rentan terhadap penyalahgunaan. Jika paket kompensasi itu telah diperhitungkan, penelitian menunjukkan bahwa banyak segmen pelayanan sipil di Indonesia tidak dibayar lebih rendah dibandingkan pegawai sektor swasta (Nunberg dkk., 2000; dan Steedman dan Kenward, 2006). Oleh karena itu, kunci untuk mendorong kinerja berkualitas tidak terbatas pada besarnya upah yang dibayarkan. Hal itu perlu mempertimbangkan semua bentuk kompensasi (upah dan non-upah) serta memperhatikan hubungan yang lemah terkait dengan kinerja individu atau kelompok.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
17
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kotak 1.2 Reformasi pelayanan sipil mulai terjadi Baru-baru ini, Pemerintah mengambil inisiatif yang menuju pada salah satu kesempatan paling menjanjikan sejak bertahun-tahun untuk mereformasi pelayanan sipil. Langkah kunci pertama merupakan upaya untuk merancang kebijakan renumerasi yang baru bagi pejabat tinggi negara (seperti Menteri, anggota Parlemen, hakim, dan Ketua Komisi dan badan). Menteri Keuangan telah membentuk kelompok kerja antarlembaga untuk meneliti keseluruhan paket kompensasi yang bertujuan untuk menciptakan kerangka pembayaran dan tunjangan yang lebih transparan, sistematis, dan koheren, serta dikaitkan dengan Tinjauan secara komprehensif terhadap klasifikasi dan kategori pekerjaan. Hal ini mengarah pada pembentukan komisi independen penyusunan renumerasi untuk memberikan rekomendasi baik mengenai tingkat maupun struktur paket kompensasi untuk penjabat politik tertinggi. Pekerjaan komisi didasarkan pada teknik modern atas analisis fungsional, penyusunan deskripsi tugas, dan tingkat pembayaran gaji. Pendekatan semacam itu akan diikuti oleh kajian komprehensif yang serupa terhadap berbagai isu pembayaran untuk pelayanan sipil yang lebih besar. Setiap departemen mempertimbangkan inisiatif yang penting yang dapat dijadikan sebagai model untuk reformasi pelayanan sipil yang lebih komprehensif. UU Guru No. 14/2005 memberikan peningkatan secara dramatis atas total gaji guru berdasarkan sistem merit dan kualifikasi melalui pemberian “tunjangan profesi” bagi mereka yang lulus melalui proses sertifikasi. Sementara itu, Departemen Keuangan sedang mempertimbangkan suatu reformasi yang komprehensif atas pelayanan sipilnya yang akan dipadukan dengan restrukturisasi baru-baru ini dalam departemendepartemen inti Kementerian yaitu perbendaharaan, perpajakan, dan bea cukai. Akhirnya, kerangka hukum bagi pelayanan sipil sedang dikaji dan direvisi, termasuk diantaranya UU tentang Pelayanan Sipil dasar tahun 1999, UU mengenai Organisasi Pemerintahan dan UU tentang Pensiun. Yang juga ditinjau dalam kajian ini adalah sejumlah peraturan pemerintah meliputi desentralisasi pelayanan sipil, penilaian kinerja, pemisahan, dan disiplin pelayanan sipil. Ada juga beberapa inisiatif yang kuat untuk reformasi pelayanan sipil di sejumlah pemerintah daerah, termasuk diantaranya bidang-bidang seperti kinerja anggaran, pelayanan satu atap untuk berbagai layanan publik, penilaian peningkatan produktivitas, dan pengangkatan yang transparan untuk posisi-posisi kunci. Inisiatif yang menjanjikan telah diluncurkan di Yogyakarta, Jembrana (Bali). dan Solok (Sumatera Barat).
Seluruh aparatur negara, dengan 3,6 juta pegawai negeri sipil, tidak terlalu berlebihan untuk negara sebesar Indonesia. Namun tetap terdapat banyak masalah. Ketidakhadiran merupakan hal yang biasa dan pekerjaan sambilan sering dijumpai. Memang, pekerjaan sembilan sering dilakukan secara formal (misalnya, menjadi dosen) atau mendapat penghargaan karena loyalitas (sebagai Komisaris BUMN). Sebanyak 830.000 pegawai yang tercantum dalam daftar pembayaran pemerintah merupakan tenaga 16 kontrak, dan hampir setengah dari mereka adalah guru. Para pegawai kontrak ini sedang dalam proses untuk menjadi pegawai negeri sipil dengan status permanen dengan jumlah 200.000 per tahun sampai 2009. Tampaknya masuk akal untuk meningkatkan status tenaga kesehatan dan pendidikan dari pegawai kontrak menjadi PNS, karena sebagian besar dari mereka bekerja pada jabatan fungsional dengan uraian tugas yang relatif lebih jelas. Bagi guru , pengangkatan harus dikaitkan dengan kebutuhan fungsional seperti yang tercantum pada UU Guru No. 14/2005 dan berdasarkan penugasan yang rasional (lihat Bab 3). Transfer untuk pegawai administrasi temporer mungkin akan lebih rumit: penambahan pegawai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan lembaga jika uraian tugas sudah jelas. Indonesia membelanjakan 25 persen dari keseluruhan pengeluaran untuk pegawai. Belanja pegawai meliputi dua rezim kepegawaian (tenaga tetap dan kontrak). Begitu juga tunjangan dan honorarium. Di samping itu, ada juga beberapa tunjangan di luar anggaran (seperti, imbalan untuk Komisaris pada BUMN). Belanja pegawai meningkat sebesar 15 persen secara riil dari 2001 sampai dengan 2005 tetapi jumlah ini tetap stabil dibandingkan dengan kategori pengeluaran yang lain. Sampai dengan Desember 2004, kabupaten/kota memiliki 69 persen dari jumlah total PNS, tetapi hanya 50 persen dari total pengeluaran nasional untuk pegawai (Tabel 1.9). Gaji rata-rata setiap bulan untuk PNS di tingkat kabupaten/kota kurang dari 40 persen dari rata-rata gaji PNS di tingkat pusat. Sepintas memang membingungkan, dimana sebagian besar PNS berada pada Golongan III dan IV—yang merupakan pangkat tertinggi untuk jabatan 16 Sebagian besar tenaga kesehatan dan pendidikan ini ditugaskan pada zaman penerapan kebijakan pertumbuhan-nol antara tahun 1993 dan 1997. Lihat Barber dkk., 2005.
18
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
fungsional—banyak dijumpai di tingkat kabupaten/kota. Penjelasannya terletak pada kenyataan bahwa pemerintah pusat memiliki pejabat yang menduduki posisi Eselon I (eselon yang paling tinggi dari empat eselon yang ada), yang menerima gaji lebih tinggi (karena tunjangan dan honorarium). Pemerintah pusat memiliki 653 staf Eselon I dibandingkan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing hanya memiliki 35 dan 58 staf 17 Eselon I. Secara umum, rata-rata gaji bulanan PNS lebih tinggi dari gaji rata-rata pegawai yang hanya berpendidikan sekolah menengah atau perguruan tinggi. Gaji bulanan rata-rata PNS adalah as Rp 1,03 juta menurut Survei Tenaga 18 Kerja Nasional (Sakernas) 2004. Selain itu, ada tiga sumber pendapatan yang membedakan gaji bersih: honorarium, tunjangan struktural/fungsional, dan tunjangan lain-lain. Ruang gerak fiskal yang ada di tingkat pusat lebih besar, sehingga di tingkat ini dapat menyisihkan dana untuk honorarium yang lebih besar per orang. Anggaran juga disisihkan untuk membayar tunjangan bagi pejabat dengan posisi struktural juga fungsional. Karena jumlah jabatan relatif lebih banyak di tingkat pusat daripada di tingkat kabupaten/kota, tingkat gaji rata-rata juga lebih tinggi di tingkat pusat. Tabel 1.9 Distribusi pelayanan sipil antar pemerintah menurut senioritas dan total belanja pegawai Tingkat Pemerintahan
Pangkat (Golongan) I
%
II
%
Pusat
21,836
2.6
276,337
33.5
Provinsi Kabupaten/ kota Total
6,434
2.1
85,124
54,175
2.2
562,143
82,445
2.3
923,604
III
Total %
IV 76,011
%
% 9.2
Belanja Pegawai
450,460
54.6
28.1
184,338
60.8
27,387
9.0
303,283
8
22.9
1,466,102
59.6
376,990
15.3
2,459,410
69
25.7
2,100,900
58.6
480,388
13.4
3,587,337
100
81.5
824,644
23
34.9
Rata-rata % Gaji Bulanan (Rp) 43
3,525,540
6.2
7
1,708,711
40.4
50
1,369,874 1,894,057
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan statistik pegawai negeri sipil dan data dalam pelaksanaan anggaran dari Depkeu. Catatan: Figur sampai dengan Desember 2004, Figur belanja pegawai dalam Rp triliun.
Kerangka Fiskal Jangka Menengah (MTEF) Beban utang pemerintah sepertinya akan terus mengalami penurunan. Rasio hutang pemerintah pusat terhadap PDB diproyeksikan akan turun dari perkiraan angka 37 persen pada 2006 menjadi di bawah 30 persen pada 2009.19 Hutang pemerintah diperkirakan akan sedikit mengalami peningkatan (sekitar 8 persen menjadi AS$145 milyar) pada 2010, sementara pertambahan jumlah nominal PDB harus melewati peningkatan dengan margin yang cukup besar. Perlu diperhatikan bahwa peningkatan yang baik dalam rasio hutang pemerintah terhadap PDP memakai asumsi stabilitas makroekonomi, termasuk stabilitas nilai tukar dan tingkat inflasi yang rendah. Laju perbaikan dalam tingkat utang Indonesia akan berkurang. Hal ini terjadi karena Indonesia telah mencapai tingkat yang rendah di bawah 40 persen dan akan jauh lebih sulit untuk menurunkan tingkat utang secara tajam dari tingkat yang begitu rendah. Ada tiga faktor tambahan yang berkontribusi terhadap proyeksi yang konservatif ini. Pertama, tingkat inflasi diharapkan akan semakin menurun, yang akan menyebabkan nilai nominal PDB yang lebih rendah. Kedua, nilai tukar riil tetap stabil, dibandingkan dengan apresiasi nilai tukar riil selama beberapa tahun yang telah lalu. Ketiga, pembayaran akibat penjadwalan kembali berdasarkan kesepakatan Paris Club setelah bencana tsunami pada Desember 2004 akan jatuh tempo pada tahun-tahun mendatang. 17 Ada dua jenis jabatan dalam pelayanan sipil di Indonesia: struktural dan fungsional. Jabatan struktural merupakan jabatan manajemen, sama dengan PNS administrasi pada sistem pelayanan sipil yang lain. Jabatan ini terdiri dari empat eselon, di mana eselon IV adalah yang paling rendah. Jabatan fungsional merupakan jabatan non-manajemen yang diperlukan untuk kebutuhan operasional pada lembaga tertentu. Jabatan ini harus diisi oleh staf dengan keahlian tertentu. Jabatan fungsional ini dibagi menjadi empat tingkat: pertama, muda, madya, dan utama, di mana pertama merupakan golongan terendah. Semua pegawai negeri sipil, baik yang menduduki jabatan struktural maupun fungsional, dapat dibagi menjadi empat golongan kepangkatan, di mana yang paling rendah adalah Golongan I dan yang tertinggi adalah Golongan IV tertinggi. Pangkat tersebut merupakan fungsi dari jenjang pendidikan dan masa kerja. Pangkat tersebut selanjutnya akan menentukan golongan gaji dan potensi jabatan baik dalam jabatan struktural maupun jabatan fungsional. 18 Berdasarkan analisis dalam survei yang sama, pendapatan bulanan PNS dan pendapatan mereka per jam adalah masing-masing 24 persen dan 47 persen lebih tinggi dari pekerja bayaran lainnya, dengan kontrol pada jenjang pendidikan mereka (lihat Bab 3). 19 Tahapan perbaikan diproyeksikan akan melambat untuk tahun 2007 karena dua hal: (i) menurunnya tingkat inflasi yang diproyeksikan untuk tahun 2007 akan berpengaruh terhadap PDB nominal, dan (ii) proyeksi tersebut mengasumsikan tingkat nilai tukar riil yang konstan, padahal kenyataannya, nilai tukar riil telahmengalami peningkatan selama beberapa tahun terakhir.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
19
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Penerimaan domestik dari pajak non-migas diperkirakan akan meningkatkan sampai 2010. Peningkatan yang berlanjut dari pendapatan pajak ini akan menjadi faktor kunci terhadap keberlanjutan fiskal jangka menengah. Proyeksi dasar (Tabel 1.10) mengasumsikan bahwa pendapatan domestik dari pajak non-migas sebagai bagian dalam PDB akan meningkat dari 10,9 persen pada 2005 menjadi 12,8 persen pada 2010 (0,4 persen poin setiap tahun). Angka ini sangat mendekati kemajuan yang dipantau antara 2000 dan 2005, ketika rasio meningkat mencapai by 0,5 persen poin per tahun. Dua faktor diperkirakan berkontribusi terhadap kinerja ini, yaitu: (i) administrasi pajak yang terus mengalami perbaikan; dan (ii) tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi secara keseluruhan. Investasi pemerintah diperkirakan naik sampai 7,7 persen di tahun 2010. Dengan proyeksi pendapatan yang tinggi dan pembiayaan yang aman, pemerintah pusat dapat meningkatkan pengeluaran pembangunan (jumlah pengeluaran modal dan bantuan sosial) dari 3,1 persen terhadap PDB pada tahun 2006 menjadi 3,9 persen di tahun 2010 tanpa membahayakan keberlangsungan fiskal. Dengan skenario dasar ini, surplus primer akan berkisar antara 1,7 dan 2,0 persen dari PDB dan defisit anggaran akan menjadi lebih rendah dari 1,0 persen dari PDB. Dengan dasar yang sudah terkonsolidasi, total investasi pemerintah diproyeksikan akan meningkat dari 4,8 persen pada tahun 2005 menjadi 7,7 persen di tahun 2010. Tabel 1.10 Kerangka Fiskal Jangka Menengah (MTEF) 2004
2005
Act.
Act.
2006
2007
2008
2009
2010
Pre Act. <------Proyeksi Bank Dunia ----->
1. Pemerintah pusat (1) Penerimaan Hanya dengan Non-Migas Hanya dengan Minyak dan gas Hanya dengan Hibah (2) Pengeluaran Hanya dengan Belanja Modal Hanya dengan Bantuan Sosial
17.6
18.1
19.4
18.5
18.6
18.4
18.3
12.8
13.0
13.2
13.8
14.0
14.3
14.5
4.8
5.1
6.1
4.6
4.6
4.1
3.8
0.0
0.0
0.1
0.1
0.0
0.0
0.0
18.7
18.6
20.3
19.6
19.1
18.6
18.6
-
1.2
1.8
1.8
2.2
2.1
2.2
-
1.0
1.3
1.2
1.7
1.6
1.7
3.0
3.5
1.9
1.7
1.8
1.5
1.2
(3) Saldo primer
1.7
1.6
1.4
1.2
1.8
1.8
1.7
(4) Neraca anggaran
-1.0
-0.5
-1.0
-1.1
-0.5
-0.3
-0.3
(5) Pembiayaan
0.9
0.4
1.0
1.2
0.3
0.2
0.0
Kebutuhan pembiayan kasar (AS$ miliar)
10.7
7.9
12.0
13.5
12.0
10.7
9.5
Rasio utang pemerintah terhadap PDB (%)
54.6
46.8
37.0
33.3
31.6
29.6
27.6
(1) Penerimaan
19.7
20.7
21.9
20.9
21.0
20.8
20.7
(2) pengeluaran
19.7
20.6
21.9
21.6
21.1
20.6
20.5
- 4.8
6.7
6.5
7.2
7.4
7.7
0.0
0.1
0.1
-0.7
-0.1
0.2
Hanya dengan Subsidi BBM
2. Pemerintah (pusat+Provinsi+kabupaten/kota)
Hanya dengan investasi (3) Neraca anggaran Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Angka di tabel semuanya dalam (%).
20
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
0.1
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Rekomendasi Kebijakan Utang Mempertahankan stabilitas makroekonomi: Peningkatan indikator utang pemerintah telah memungkinkan terjadinya perbaikan makroekonomi yang mantap selama beberapa tahun terakhir ini. Akan tetapi, memburuknya keadaan makroekonomi kemungkinan besar akan membalik tren positif utang pemerintah yang sekarang. Mengelola kewajiban kontinjensi: Kewajiban kontinjensi masih merupakan risiko serius terhadap keberlanjutan hutang. Kondisi kesehatan keuangan BUMN akan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kondisi anggaran melalui: (i) partisipasi modal pemerintah, (ii) pengurangan kontribusi terhadap pendapatan pemerintah non-pajak dalam bentuk transfer keuntungan dari BUMN, dan (iii) ketidakmampuan untuk mengalihkan aset negara menjadi penerimaan (mis., pendapatan non-pajak dari sektor migas dari Pertamina). Apabila terjadi kelemahan pada salah satu dari bidang ini akan diperlukan pembiayaan hutang tambahan atau mereka harus melakukan antisipasi terhadap pendapatan dari sumber-sumber lain. Kewajiban kontinjensi harus secepat mungkin dimasukkan ke dalam kerangka kerja pengelolaan hutang. Pelaksanaan Rekening Perbendaharaan Tunggal: Pemerintah pusat belum melakukan integrasi terhadap RPD/RDI dan rekening transitori minyak ke dalam rekening anggaran. Selain itu, ada begitu banyak rekening independent, di luar anggaran. Walaupun rekening di luar anggaran memiliki riwayat dan fungsi yang spesifik, keberadaan mereka mempersulit pengelolaan kas dan menimbulkan ketidakefisienan dalam pengelolaan utang. Tantangan terhadap pengelolaan utang pemerintah Untuk memastikan bahwa kemajuan dalam pengelolaan utang pemerintah yang sudah dicapai dalam beberapa tahun terakhir dapat dipertahankan, fokus yang mantap terhadap pengembangan kapasitas dan pelatihan staf yang baru pada DJPHN akan menjadi sangat penting.
• • • •
Meningkatkan strategi pengelolaan utang yang ada: Strategi yang ada saat ini berdasarkan pada pedoman secara garis besar dan prinsip yang sangat umum, dan kerangka kerja yang kokoh belum tersedia. Kerja yang lebih keras diperlukan untuk terus mengembangkan manajemen resiko keuangan dengan membuat berbagai perangkat yang dapat membantu mengidentifikasi preferensi atas konsekuensi biaya/ risiko, misalnya dengan analisis skenario dan model risiko stokastik. Menjamin adanya akses yang lebih baik terhadap data utang yang komprehensif: Saat ini terdapat kegiatan yang sedang berjalan untuk menghubungkan database utang yang ada untuk memfasilitasi kompilasi total data utang, sementara situs web untuk DJPHN yang baru sedang dalam pengerjaan, sehingga akses di masa depan terhadap informasi mengenai utang pemerintah akan menjadi jauh lebih mudah. Membuat laporan berkala tentang stok utang dan risiko yang dihadapi: Penyusunan laporan secara berkala diperlukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Laporan itu harus mencakup hutang dalam negeri dan luar negeri dan dapat diperluas lagi dengan mencakup penerusan pinjaman dan kewajiban kontinjensi pada tahap selanjutnya. Kerangka hukum: untuk mendukung adanya strategi pengelolaan hutang yang komprehensif, pinjaman oleh pemerintah harus diatur dalam satu undang-undang, dalam praktiknya hal ini akan mengisyaratkan perlu dilakukan penyatuan antara UU tentang Surat Utang Negara dengan UU mengenai Pinjaman Pemerintah (yang saat ini sedang direvisi).
Subsidi Penyesuaian harga BBM: Harga BBM dalam negeri masih di bawah harga internasional, (dengan harga bensin dan solar 30-35 persen lebih rendah dan minyak tanah 70 persen lebih rendah). Implementasi penyesuaian lebih jauh perlu mempertimbangkan hal-hal sbb: (i) dampaknya terhadap masyarakat miskin; dan (ii) dampaknya terhadap keadaan makroekonomi (fiskal, pertumbuhan, inflasi, dan neraca pembayaran).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
21
BAB 1 Ruang dan Manajemen Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Pengelolaan yang komprehensif terhadap subsidi: Subsidi BBM dan listrik berjumlah sekitar 60 persen dari total subsidi. Alasan untuk pemberian subsidi ini perlu dipertimbangkan lagi dengan menerapkan kerangka kerja pengelolaan subsidi yang komprehensif. Kerangka kerja tersebut harus melakukan penilaian terhadap:
• • • •
Biaya/manfaat Mekanisme pengawasan untuk pencairan Penerima subsidi Konsisten dengan tujuan pembangunan nasional
Penyelesaian transfer subsidi antara Pemerintah dan BUMN: Kerangka peraturan yang lemah (seperti penundaan penerbitan surat keputusan menteri tentang patokan harga) harus ditingkatkan dan keterlambatan pelaksanaan dalam transfer aktual harus dikurangi . Saat ini, yang ada hanyalah mekanisme secara ad hoc untuk menangani hal ini. Para pihak yang terkait (termasuk Departemen Keuangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Kantor Menteri Negara BUMN, Pertamina, dan PLN) perlu menyepakati sebuah mekanisme transfer subsidi yang lebih koheren.
22
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
BAB 2
Kecenderungan Lintas Sektoral Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Temuan Pokok
•
•
Sejak krisis ekonomi dan pelaksanaan desentralisasi, komposisi pengeluaran sektoral telah mengalami perubahan signifikan. Pengeluaran untuk infrastruktur masih belum kembali pada tingkat sebelum krisis dan masih berkisar 3 persen dari PDB sejak tahun 2001. Angka ini hanya sedikit lebih tinggi daripada pengeluaran untuk infrastruktur yang rendah saat pascakrisis tahun 2000. Sebaliknya, pengeluaran untuk sektor sosial meningkat secara substansial. Terutama, pengeluaran untuk sektor pendidikan meningkat hampir dua kali lipat dari 2,5 persen (2000) menjadi sekitar 4 persen (2007). Tingkat pengeluaran saat ini untuk administrasi sangat tinggi (15 persen, terutama disebabkan oleh pengeluaran yang tinggi di daerah) dan menunjukkan adanya pemborosan yang signifikan atas sumber daya publik. Terdapat cukup ruang untuk perbaikan dan pemerintah harus berusaha mengurangi pengeluaran ini menjadi hanya 5 sampai 10 persen.
Rekomendasi Utama
• •
Ruang gerak fiskal yang lebih besar di masa mendatang harus dialokasikan untuk infrastruktur, baik di tingkat nasional maupun daerah. Tambahan investasi diperlukan untuk mengatasi hambatan yang ada sekarang sebagai akibat dari kurangnya investasi serta melaksanakan proyek-proyek penting yang baru untuk memenuhi permintaan yang meningkat dan mendorong pertumbuhan di masa datang. Untuk mengurangi pengeluaran pada administrasi dan birokrasi, direkomendasikan agar pengeluaran diarahkan kembali dari administrasi menjadi tambahan pembiayaan untuk pemberian pelayanan dasar dengan cara: Meminimalisasi pengeluaran yang tidak memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Misalnya, mengurangi pengeluaran administrasi pemerintah dan mengalokasikan pengeluaran lebih besar untuk pelayanan publik seperti layanan kesehatan dan pendidikan. Menyesuaikan pengeluaran rutin kearah belanja modal yang memberikan pelayanan publik.
• •
24
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral
Indonesia memiliki distribusi pengeluaran yang sangat tidak merata. Kategori multi-sektor (sektor perdagangan, pengembangan usaha, keuangan dan koperasi) merupakan kategori pengeluaran yang dominan karena meliputi juga subsidi dan pembayaran bunga. Kategori pengeluaran ini umumnya mengambil sekitar 40 persen atau lebih dari agregat pengeluaran pemerintah. Jika pengeluaran untuk “aparatur pemerintah dan pengawasan” diikutsertakan, maka lebih dari setengah dari keseluruhan pengeluaran pemerintah dipakai tanpa alokasi untuk sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan atau infrastruktur. Akan tetapi, kategori pengeluaran perdagangan-usaha-keuangan telah menurun rasionya dari total pengeluaran, terutama sejak pengurangan subsidi BBM pada 2005. Hal Ini telah membuka ruang tambahan untuk meningkatkan pengeluaran pada sektor sosial dan pertahanan. Memang, dengan perkecualian untuk sektor pertambangan dan infrastruktur, seluruh sektor utama, seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan pertanian 20 setidaknya naik menjadi dua kali lipat sejak 2001 (lihat Tabel 2,1). Tabel 2,1 Distribusi sektoral dari pengeluaran publik secara nasional Rp triliun Pertanian Pendidikan Kesehatan Pertambangan
2001
2002
2003
2004
2005
2006*
2007**
5.6 36.3 8.3 0.6
6.1 38.6 8.8 0.6
8.0 48.7 12.0 0.7
7.8 44.7 11.8 0.7
7.6 51.1 14.0 0.7
10.3 68.3 17.7 0.7
11.3 72.0 19.0 0.9
Perdagangan, Pengembangan Dunia Usaha Nasional, Keuangan & koperasi (termasuk utang dan subsidi)
172.2
118.3
113.2
135.6
150.6
157.9
157.9
Aparatur pemerintah & Pengawasan Ketenagakerjaan Pertahanan & keamanan Lingkungan dan Perencanaan Spasial Infrastruktur Lain-lain Total Nasional
28.4 0.5 14.8 1.8 29.1 18.8 316.4
28.1 0.8 17.2 2.1 28.3 20.9 269.7
39.6 1.1 20.3 2.5 38.9 19.7 304.9
39.4 1.0 20.9 2.2 31.8 19.6 315.3
42.6 0.9 20.8 2.1 35.0 18.3 343.4
60.7 1.4 25.6 4.1 44.2 20.9 396.7
57.6 1.3 29.4 4.5 45.3 20.7 420.0
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Departemen Keuangan dan SIKD. Catatan: *2006 Revisi Anggaran (APBN-P); **2007 Rancangan anggaran yang disampaikan ke DPR (RAPBN) dan perkiraan alokasi daerah. Harga pada konstan 2000. Angka dalam Rp triliun.
Pelayanan Ekonomi Struktur pengeluaran Indonesia telah mengalami perubahan secara dramatis sejak tahun 2001. Dengan menurunnya pembayaran utang, pengeluaran sektoral telah mengalami peningkatan. Akan tetapi, pengeluaran sektoral dapat lebih ditingkatkan lagi jika pembayaran subsidi tidak meningkat begitu tajam pada 2004 dan 2005, yang mengakibatkan pengalihan sumber daya terhadap pengeluaran tambahan pada sektor-sektor kunci. Tren dan 21 beberapa hal berikut ini penting diperhatikan:
• • •
Sektor pendidikan kini merupakan pengeluaran nomor satu di Indonesia. Sektor Ini diikuti oleh pengeluaran aparatur pemerintah dan subsidi. Pembayaran bunga telah mengalami penurunan secara terus-menerus. Pengeluaran ini pernah menjadi pengeluaran utama pada tahun2001 dengan hampir 25 persen, di 2006 pembayaran bunga diperkirakan hanya sebesar 11 persen. Pengeluaran subsidi selama ini selalu signifikan tetapi pengeluaran ini mengalami fluktuasi yang cukup besar. Pada tahun 2004 dan 2005, saat terjadi kenaikan harga minyak yang tajam, subsidi menjadi pengeluaran pemerintah terbesar sehingga mengalihkan pengeluaran atas sektor lain, terutama pengeluaran pembangunan.
20 Angka-angka yang disampaikan dalam Bab ini mencerminkan pengeluaran yang sebenarnya (yang dilaksanakan) pada seluruh tingkat pemerintahan (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota). Angka untuk tahun 2006 dan 2007 (data untuk daerah pada 2005) didasarkan apda data anggaran (APBN dan APBD) dan perkiraan anggaran daerah didasarkan apda pengeluaran sebelumnya dan alokasi jumlah anggaran yang dialihkan oleh pemerintah pusat. Lihat Lampiran Lampiran D-3 untuk keterangan lebih rinci mengenai tren pengeluaran setiap sektor. 21 Penentu utama dan pola pembayaran bunga dan subsidi dibahas lebih rinci lagi dalam distribusi ekonomi anggaran.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
25
BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral
• • •
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Pengeluaran atas pelayanan inti pemerintah meningkat secara terus menerus mencapai jumlah sekitar 15 persen dari total pengeluaran pemerintah pada 2006. Sejak tahun 2003, pengeluaran untuk pelayanan inti pemerintah melebihi pengeluaran untuk infrastruktur dan, sejak tahun 2006, pengeluaran ini diproyeksikan menjadi pengeluaran terbesar kedua dari seluruh sektor (setelah sektor pendidikan). Infrastruktur memiliki proporsi yang lebih kecil dibandingkan sektor lain, terutama sejak 2003. Walaupun terjadi penurunan yang cukup besar pada pengeluaran non-sektoral (untuk hutang dan subsidi) pengeluaran infrastruktur telah mengalami penurunan sejak 2003. Proporsi pengeluaran untuk sektor pertahanan, kesehatan, dan pertanian telah meningkat secara perlahan. Pengeluaran untuk pertahanan saat ini berjumlah 7 persen dari anggaran, naik dari sebelumnya yang berada di bawah 5 persen pada tahun 2001. Pengeluaran untuk sektor kesehatan dan pertanian masih berada di bawah angka 5 persen.
Diagram 2.1 Distribusi pengeluaran publik secara nasional pada sektor-sektor kunci, 2001-07 30
%
% dari Total Pengeluaran
25
20
15
10
5
0 2001
2002
2003
Pertanian Keamanan & Pertahanan Nasional Subsidi
2004
2005
Pendidikan Infrastruktur Pembayaran Bunga Hutang
2006*
2007**
Kesehatan Aparatur Pemerintah dan Biaya Pengawasan
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Departemen Keuangan dan SIKD. Catatan: * Realisasi anggaran pusat dan perkiraan alokasi daerah, ** Anggaran pusat (APBN) dan perkiraan alokasi daerah.
Pengeluaran publik secara nasional untuk sektor infrastruktur dibandingkan sektor lain masih cukup konstan sejak tahun 2001 sampai 2005, dengan nilai rata-rata sebesar 10,5 persen dari total pengeluaran 22 nasional, setara dengan sekitar 2 persen dari PDB. Pengeluaran publik untuk infrastruktur dalam angka riil meningkat sebesar 20 persen dalam periode 2001 sampai 2005 dan diproyeksikan meningkat lebih lanjut sebesar 28 persen dalam periode 2005 sampai 2007. Walaupun peningkatan tersebut cukup besar, jumlah ini relatif masih kecil dibandingkan dengan kesenjangan akumulasi pembiayaan yang demikian besar pada sektor infrastruktur setelah investasi yang relatif rendah selama bertahun-tahun untuk sektor ini. Laporan ini memandang infrastruktur sebagai salah satu dari tiga sektor strategis untuk dianalisis secara lebih rinci dalam bab-bab berikut. Pengeluaran publik secara nasional dalam angka riil untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan mengalami peningkatan sejak tahun 2001 sampai dengan 2005, rata-rata 2,4 persen dari total pengeluaran pada periode yang sama. Sangat menarik untuk diamati bahwa mulai tahun 2004 pengeluaran pemerintah daerah telah mengambil alih pengeluaran pemerintah pusat. Pada tahun 2004, pengeluaran pemerintah pusat berjumlah 45 persen dari total pengeluaran, dibandingkan dengan 55 persen pengeluaran dari pemerintah daerah (pengeluaran pemerintah provinsi hanya berjumlah 17 persen dan kabupaten/kota 38 persen). Akan tetapi, pemerintah pusat masih berperan besar dalam pengeluaran pembangunan di sektor tersebut. 22 Dalam bagian ini infrastruktur tidak meliputi pengeluaran untuk BUMN, yang dibahas dalam sub-seksi infrastruktur pada laporan ini.
26
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral
Pelayanan Sosial Pengeluaran publik untuk sektor pendidikan meningkat cukup besar dalam kurun waktu 2001 sampai 2005. Anggaran untuk tahun 2006 dan perkiraan untuk tahun 2007 menunjukkan peningkatan alokasi yang cukup besar pada sektor ini—setiap tahun hampir mencapai pertumbuhan 30 persen—yang menunjukkan komitmen pemerintah yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan layanan pendidikan. Peningkatan anggaran sektor pendidikan antara tahun 2006 dan 2007 sebagian besar akan disalurkan untuk membiayai sertifikasi guru , proses peningkatan mutu, dan untuk hibah dalam bentuk BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Perkiraan pencairan untuk 2006 adalah sekitar Rp 11,12 triliun. Analisis yang lebih rinci mengenai pengeluaran untuk sektor pendidikan dapat dilihat pada bab berikut. Walaupun tampak tren peningkatan yang kuat dalam proyeksi pengeluaran kesehatan, pendanaan untuk sektor ini terlihat masih kurang dibandingkan dengan pengeluaran untuk sektor lain di Indonesia. Pengeluaran untuk sektor kesehatan publik meningkat secara riil dari Rp, 8,3 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp. 14,1 triliun pada tahun 2005 (peningkatan sebesar 69 persen ). Pengeluaran untuk sektor kesehatan dibandingkan dengan sektor lain juga telah mengalami peningkatan, dengan proporsi terhadap total pengeluaran nasional meningkat dari 2,6 menjadi 4,1 persen pada periode yang sama. Selanjutnya, anggaran untuk sektor kesehatan mencerminkan peningkatan lebih lanjut sebesar 60 persen sejak tahun 2005 sampai 2007. Walaupun terdapat peningkatan tren yang besar atas pengeluaran kesehatan, peningkatan ini dimulai dari dasar yang sangat rendah. Pengeluaran untuk sektor kesehatan di Indonesia masih di bawah 1 persen dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan sekitar. Bab yang membahas sektor kesehatan akan memberikan analisis yang lebih cermat mengenai tingkat, efisiensi, dan kemerataan pengeluaran dalam sektor kesehatan.
Pelayanan Masyarakat Umum Pengeluaran publik untuk aparatur negara dan pengawasan meningkat sebesar 50 persen pada periode 2001-05 (Tabel 2.2). Pada tahun 2001, pengeluaran untuk sektor ini berjumlah 9 persen dari total anggaran nasional, meningkat menjadi dan 12,4 persen dari total pengeluaran nasional pada tahun 2005. Pemerintah daerah sendiri mempunyai porsi sebesar lebih dari 75 persen dalam peningkatan pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah.23 Pertumbuhan yang mengesankan untuk pengeluaran administrasi di tingkat daerah ini setidaknya dapat dijelaskan melalui pembentukan lebih dari seratus pemerintahan kabupaten/kota baru pada periode ini, sebuah peningkatan sebesar 30 persen dari 336 kabupaten/kota pada tahun 2001 menjadi 437 kabupaten/kota pada tahun 2005. Tabel 2.2 Tren pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah 2001
Pusat Provinsi Kabupaten/kota Total Total sebagai % dari Pengeluaran Nasional, (%) Rupiah Per kapita Jumlah Kabupaten/kota
2002
Pertumbuhan Tahunan (%)
2003
Pertumbuhan Tahunan (%)
2004
Pertumbuhan Tahunan (%)
2005
Pertum- Tingkat Pertumbuhan buhan rata-rata Tahunan 2001-05 (%) (%)
Tingkat Pertumbuhan Yang Tertimbang 2001-05 (%)
3.6 7.0 17.8 28.4
3.4 6.8 17.9 28.1
-5 -2 0 -1
5.6 10.1 23.9 39.6
63 49 34 41
5.5 8.7 25.2 39.4
-2 -14 5 -1
7.2 9.5 25.9 42.6
32 9 3 8
99 37 45 50
13 9 28 50
9.0
10.4
---
13.0
---
12.6
---
12.4
---
---
---
137 336
133 348
-3 4
184 370
38 6
180 410
-2 11
193 437
7 7
41 30
-----
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan SIKD. Catatan: Dalam harga konstan 2000, dalam Rp triliun.
Pengeluaran untuk belanja pegawai mencapai 60 persen dari pengeluaran untuk sektor aparatur pemerintah. Kabupaten/kota bertanggung jawab atas lebih dari dua pertiga dari keseluruhan belanja pegawai, atau 41 persen dari total pengeluaran aparatur pemerintah, sementara proporsi untuk pemerintah provinsi dan pemerintah pusat jauh 23 Yaitu, jika komponen tertimbang atas tingkat pertumbuhan (mis., 9 dan 28 persen, masing-masing untuk provinsi dan kabupaten/kota) dapat dinyatakan sebagai persentase dari total (50 persen).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
27
BAB 2 Kecenderungan Lintas Sektoral
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
24
lebih rendah. Struktur desentralisasi pada pemerintah berarti bahwa kabupaten/kota menyerap sampai 69 persen 25 dari total belanja pelayanan sipil. Diagram 2.2 Komposisi ekonomi atas belanja aparatur pemerintah Lain-lain 4% Investasi 5%
Pusat 3%
Perjalanan 5%
Provinsi 16%
Pemeliharaan 5% Kepegawaian 60%
Kabupaten/Kota 41%
Barang 21% Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depkeu dan SIKD.
Pengeluaran untuk sektor pertahanan dan keamanan meningkat dari Rp 14,8 triliun pada tahun 2001 menjadi Rp 20,8 triliun di tahun 2005, dengan proporsi rata-rata sebesar 6 persen dari total pengeluaran nasional. Tren ini sebagian mencerminkan komitmen pemerintah untuk mendanai sektor keamanan melalui anggaran walaupun hal ini masih merupakan proses yang panjang dan bertahap. Saat ini sektor keamanan memperoleh sebagian besar dananya dari luar anggaran, menciptakan pendapatan dengan mengendalikan sejumlah kepentingan dalam berbagai kegiatan bisnis.
Distribusi Pengeluaran Sektoral Antar-Pemerintah Sejalan dengan desentralisasi pengeluaran sejak 2001, pemerintah daerah saat ini memiliki proporsi yang cukup besar atas pengeluaran 90 pada hampir seluruh sektor publik, terutama Kabupaten/Kota 80 Provinsi untuk layanan sosial (pendidikan dan kesehatan) Pusat 70 dan pengeluaran untuk sektor aparatur 60 pemerintah. Proporsi pengeluaran kabupaten/kota 47 paling besar terdapat pada sektor aparatur 50 40 pemerintah dan sektor pendidikan (masing-masing 40 9 61 dan 59 persen dari total secara keseluruhan), 4 30 9 sementara pengeluaran kabupaten/kota sama 20 15 9 32 5 dengan pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor 28 23 4 10 2 11 kesehatan dan pertanian (masing-masing 9 dan 5 9 5 0 Pertahanan & Kesehatan Pertanian persen). Walaupun terjadi peningkatan peran Aparatur Infrastruktur Pendidikan Keamanan Pemerintah & Pengawasan pemerintah kabupaten/kota pada sektor ini, wewenang untuk mengambil keputusan masih Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data Depkeu dan SIKD. Catatan: Harga berlaku dalam Rp triliun. sangat terbatas dengan adanya kenyataan bahwa kebanyakan pengeluaran pemerintah kabupaten/ kota bersifat non-diskresionari (mis., pengeluaran rutin untuk pembayaran gaji).26 Berbeda dengan pengeluaran yang sangat terdesentralisir dalam sektor sosial, pengeluaran dalam infrastruktur dan pertahanan nasional masih didominasi oleh pengeluaran pemerintah pusat. Tiga bab berikut ini diperuntukkan untuk mengkaji pengeluaran secara rinci dan analisis efisiensi mengenai tiga sektor kunci: pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Rp triliun
Diagram 2,3 Distribusi sektoral atas pengeluaran publik berdasarkan tingkat pemerintah , 2005
24 Perhatikan bahwa Diagram 2.2 hanya mencerminkan belanja gaji yang tidak diperhitungkan pada sektor lain, misalnya tidak termasuk gaji untuk sektor pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur. 25 Lihat bagian tentang pelayanan sipil dalam Bab 1 untuk keterangan lebih rinci tentang distribusi antar-pemerintahan atas pelayanan sipil. 26 Lihat bab tentang pendidikan dan Bab kesehatan untuk pembahasan lebih rinci mengenai pengeluaran sektor sosial di kawasan ini.
28
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
bab 3
Sektor Pendidikan Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Temuan Pokok
•
•
• •
Anggaran untuk sektor pendidikan sebesar 17,2 persen telah menempatkan Indonesia sejajar dengan negara berkembang lainnya, juga dengan negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (Organization for Economic Co-operation and Development OECD). Akan tetapi, tingkat pengeluaran di Indonesia tersebut relatif masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga lainnya di kawasan Asia Timur. Penafsiran saat ini tentang ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan “20 persen ” untuk anggaran pendidikan, khususnya dengan mengeluarkan gaji guru sebagai komponen 20 persen dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, merupakan sesuatu yang tidak realistis dan pada saat yang sama akan menimbulkan masalah. Jika ingin mencapai angka 20 persen untuk anggaran pendidikan, dengan definisi saat ini, pemerintah pusat perlu menaikkan tingkat pengeluaran yang ada sekarang menjadi lebih dari dua kali lipat dan menggunakan kenaikan anggaran itu untuk pengeluaran bukan gaji, sementara itu pengeluaran daerah secara keseluruhan untuk sektor pendidikan (termasuk gaji) perlu ditingkatkan setidaknya menjadi 45 persen dari total pengeluaran. Ada perbedaan yang cukup besar di bidang akses pendidikan dan mutu pendidikan di berbagai wilayah Indonesia. Penentuan target sumber-sumber daya tambahan yang efektif diperlukan untuk menyediakan dana yang memadai di kabupaten/kota dan provinsi yang masih tertinggal agar dapat setara dengan daerah lain. Indonesia kini memiliki kelebihan jumlah guru di tingkat sekolah dasar dan di wilayah perkotaan, sementara untuk daerah-daerah terpencil masih terjadi kekurangan jumlah guru yang cukup besar.
Rekomendasi Utama
• • •
•
30
Dengan tingginya angka partisipasi pada tingkat Sekolah Dasar, diperlukan pengeluaran dana yang lebih banyak untuk peningkatan angka partisipasi sekolah pada jenjang SMP, dan pada saat yang sama meningkatkan mutu pengajaran, dan memperbaiki infrastruktur pendidikan yang ada. Definisi yang lebih tepat mengenai ketentuan anggaran sebesar 20 persen adalah dengan memasukkan gaji guru dan menggabungkan pengeluaran dari seluruh tingkat pemerintahan. Dengan definisi tersebut, Indonesia mengeluarkan sekitar 17,2 persen untuk sektor pendidikan pada tahun 2006. Untuk memastikan bahwa ketentuan dalam Undang-undang No. 14/2005 tentang Guru dapat mencapai hasil belajar yang lebih tinggi, diperlukan mekanisme pengendalian kinerja dan akuntabilitas yang harus diterapkan secara bersamaan. Penentuan akuntabilitas kelembagaan yang tinggi baik dalam sektor maupun dalam masyarakat madani merupakan prasyarat untuk melakukan kontrol yang efektif terhadap kinerja. Program dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat menjadi alat yang tepat dan baik untuk meningkatkan pemerataan pendidikan jika mekanisme alokasi bantuan ini direvisi dengan mempertimbangkan calon siswa (dan tidak hanya memperhitungkan siswa yang telah terdaftar) serta penentuan indikator terhadap kinerja yang baik, dan pelaksanaan anggaran yang transparan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Pendidikan di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan
27
Pada tahun akademis 2004/2005, sekolah negeri dan swasta di semua jenjang pendidikan menerima sebanyak 50,6 juta siswa di lebih dari 270.000 sekolah. Berdasarkan UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan formal di Indonesia dimulai dengan dua tahun belajar di taman kanak-kanak (TK) dilanjutkan dengan pendidikan sekolah dasar (SD) yang lamanya enam tahun. Lulusan dari sekolah dasar dapat meneruskan pendidikan mereka ke pendidikan menengah, yang dibagi menjadi sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Baik pendidikan SMP maupun SMA masing-masing memerlukan waktu selama tiga tahun. Lulusan pendidikan sekolah menengah atas dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi (akademi atau perguruan tinggi). Lama studi untuk pendidikan tinggi tergantung pada jenis program. Dalam tahun akademis 2004/2005, distribusi siswa di berbagai jenjang pendidikan adalah: 5 persen untuk taman kanak-kanak, 59 persen untuk sekolah dasar, 17 persen untuk sekolah menengah pertama, 13 persen untuk sekolah menengah atas, dan 6 persen untuk pendidikan tinggi. Indonesia menargetkan 100 persen angka partisipasi kasar (gross enrollment rates) di tingkat sekolah dasar dan 96 persen di sekolah menengah pertama pada tahun 2009. UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap anak yang berumur 7 sampai 15 tahun harus mengenyam pendidikan dasar. UU ini memberikan implikasi bahwa pemerintah harus menyediakan layanan pendidikan gratis bagi seluruh siswa usia pendidikan dasar. Pencapaian target angka partisipasi ini dalam pendidikan Indonesia, ditambah dengan investasi untuk meningkatkan mutu pendidikan, merupakan faktor penting untuk mempertahankan pertumbuhan Indonesia agar mampu bersaing di kawasan regional di tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu, pengeluaran pendidikan yang efisien dan efektif merupakan unsur penting dalam strategi penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Sejak tahun 1970-an, angka partisipasi sekolah telah meningkat cukup besar sebagai akibat dari upaya pemerintah untuk terus membangun gedung sekolah di seluruh Indonesia. Hasilnya sangat mengesankan: angka partisipasi murni sekolah dasar meningkat dari 72 persen pada 1975 menjadi hampir seluruhnya pada 1995 dan tetap berada pada tingkat yang tinggi selama masa krisis ekonomi pada akhir 1990-an. Pada tahun 2005, angka partisipasi murni sekolah dasar mencapai 93.2 persen (dan angka partisipasi kasar bahkan di atas 100 persen).28 Angka partisipasi murni pada tingkat sekolah menengah pertama bahkan menunjukkan peningkatan yang mengejutkan, yaitu naik dari 17 persen pada 1970-an menjadi sekitar 65.2 persen pada 2005 (dengan angka partisipasi kasar sebesar 81.7 persen). Angka partisipasi sekolah pada tingkat sekolah menengah atas juga mengalami peningkatan walaupun pada tingkat yang lebih rendah (Tabel 3.1). Tabel 3.1 Angka partisipasi kasar dan sekolah pada berbagai jenjang pendidikan, 1995–2005 Angka partisipasi sekolah Tingkat SD Tingkat SMP Tingkat SMA Angka partisipasi kasar Tingkat SD Tingkat SMP Tingkat SMA
1970
1980
1995
1998
2000
2002
2004
2005
72 (a) 17 (a) 17 (a)
88 ---
91.5 51.0 32.6
92.3 58.4 36.9
92.4 61.7 39.5
92.7 60.9 36.8
93.0 65.2 42.9
93.2 65.2 41.7
80 16 16
107 29 --
107.0 65.7 42.4
109.3 70.3 46.4
110.1 76.0 51.5
106.1 79.5 50.4
107.0 82.2 54.4
107.1 81.7 52.9
Sumber: Tinjauan World Bank terhadap Sektor Pendidikan 2005; Susenas dari berbagai tahun. Catatan: (a) Data berkaitan dengan data pada 1975.
27 Bab ini menampilkan rangkuman atas laporan yang terpisah tentang pengeluaran pendidikan. Jika ingin mengenai lebih lengkap tentang studi tersebut, lihat laporan Bank Dunia, 2007a. 28 Angka partisipasi kasar (gross enrollment rates) merupakan total partisipasi siswa pada jenjang pendidikan tersebut, tanpa memperhitungkan umur, sebagai persentase dari populasi usia sekolah untuk jenjang tersebut. Rasio yang ideal adalah 100 persen, tetapi rasio itu lebih besar daripada 100 persen dapat terjadi ketika terdapat jumlah siswa yang banyak dalam satu jenjang yang tidak terkait dengan tingkat pendidikan untuk kelompok usia sekolah tersebut. Rasio angka partisipasi kasar yang tinggi (lebih besar dari 100 persen) dapat menjadi indikator sistem pendidikan yang tidak efisien. Rasio angka partisipasi sekolah memberikan informasi tentang jumlah siswa pada kelompok usia sekolah yang ditentukan dan yang sudah terdaftar di sekolah tertentu lalu dibagi dengan jumlah siswa pada kelompok usia sekolah tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
31
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Akan tetapi, layanan pendidikan masih belum sesuai dengan tingkat yang diharapkan. Tantangan berat masih harus dihadapi untuk mencapai tujuan “Pendidikan untuk Semua.” Tantangan ini meliputi pengurangan kesenjangan 29 dalam angka partisipasi sekolah (kesenjangan pendapatan dan geografis) dan peningkatan mutu pendidikan. Subbagian di bawah ini memberikan analisis mendalam mengenai tantangan tersebut.
Mengurangi kesenjangan angka partisipasi sekolah Peningkatan angka partisipasi sekolah yang sangat besar di masa lalu dapat menutup kesenjangan angka partisipasi pada tingkat pendidikan dasar untuk kelompok masyarakat dengan berbagai tingkat penghasilan, walaupun kesenjangan yang cukup besar masih terjadi pada jenjang pendidikan SMP dan SMA (Diagram 31). Pada tahun 2005 angka partisipasi kasar pada tingkat sekolah dasar siswa 107.1 persen dan angka partisipasi murni sebesar 93.2 persen. Masalah akses pendidikan menjadi lebih signifikan untuk tingkat pendidikan SMP. Pada jenjang ini masih terdapat perbedaan jumlah partisipasi yang sangat besar di antara kelompok masyarakat dengan jumlah pendapatan yang berbeda (Diagram 31). Seorang anak yang berasal dari keluarga miskinmempunyai kemungkinan 20 persen lebih rendah untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dibandingkan anak yang tidak berasal dari keluarga miskin (World Bank, 2006). Secara resmi, pendidikan dasar (kelas 1 sampai 9) adalah wajib bagi anak yang berumur antara 7 sampai 15 tahun, namun permasalahan yang utama adalah kurangnya akses untuk menjangkau 30 layanan pendidikan sekolah menengah pertama. Diagram 3.1 Angka partisipasi sekolah siswa SD dan SMP berdasarkan tingkat pendapatan Angka Partisipasi Murni Jenjang Pendidikan Menengah Pertama
Angka Partisipasi Murni untuk Jenjang Pendidikan Dasar
0.9 0.8
0.95
Angka Partisipasi Sekolah
Angka Partisipasi Sekolah
1
0.9 0.85 0.8 0.75 0.7
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 (miskin)
2
3
4
5
0
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 1 (Miskin) 2 3 4 5
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia dengan data dasar dari Susenas 2005.
Walaupun terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah yang mengesankan di tingkat nasional, perbedaan angka partisipasi sekolah antardaerah masih cukup besar. Untuk negara dengan keanekaragaman seperti Indonesia, perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain memang dapat diprediksi dengan mudah. Walaupun lebih dari 90 persen anak-anak Indonesia telah memiliki akses terhadap pendidikan sekolah dasar, namun beberapa daerah masih tertinggal jauh di belakang dan memerlukan perhatian dan bantuan lebih. Pada tahun 2004, angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar berkisar antara 80 persen di Provinsi Papua sampai 95 persen di Kalimantan Tengah. Pada tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, angka partisipasi murni bervariasi antara sekitar 41 persen di Papua sampai 77 persen di Yogyakarta, dan untuk pendidikan sekolah menengah atas angka partisipasi murni berkisar sekitar 20 persen di Sulawesi sampai 62 persen di Yogyakarta.
29 Program “Pendidikan untuk Semua” bertujuan untuk mencapai: (i) seluruh siswa dapat ditampung sampai tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, (ii) menjamin bahwa anak-anak dari keluarga miskin memiliki akses yang sama dan penuh terhadap sekolah yang menyediakan lingkungan belajar yang menarik dan pengajaran yang efektif, dan (iii) menyediakan pendidikan dengan mutu yang dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi Indonesia. 30 Pendidikan tinggi tidak dimasukkan dalam lingkup laporan ini. Angka partisipasi kasar (APK) di tingkat pendidikan tinggi sangat rendah, hanya 16 persen. Kelompok yang paling miskin hanya memiliki angka partisipasi sebesar 1 persen, sementara kelompok masyarakat kaya mendekati angka 50 persen.
32
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Meningkatkan mutu pendidikan Mutu pendidikan di Indonesia masih sangat rendah sementara kondisi infrastruktur pendidikan pun telah rusak berat. Beberapa indikator penentu dalam mutu pendidikan yang perlu diperhatikan meliputi kualifikasi para guru, struktur gaji guru , mutu ruang kelas, tingkat kehadiran guru , dan jumlah siswa dalam satu kelas. Ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan prestasi guru di Indonesia. Untuk tingkat pendidikan dasar dan sekolah menengah pertama, masing-masing hanya 55 persen dan 73 persen dari guru yang memenuhi kualifikasi minimal yang dipersyaratkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2005a). Pemerintah sedang berusaha menangani masalah tersebut dengan memberlakukan UU tentang Sertifikasi guru sejak Desember 2005 melalui penyediaan dana tunjangan kepada para guru agar mendapatkan sertifikat. Tunjangan tambahan ini akan dapat meningkatkan pendapatan guru dalam jumlah yang cukup besar. Peningkatan ini dapat berdampak terhadap hasil pembelajaran yang lebih tinggi jika kontrol terhadap mekanisme dan kinerja kelembagaan (yaitu, tingkat kehadiran guru dan mutu pengajaran) benar-benar dapat dilaksanakan. Selanjutnya, akuntabilitas yang kuat merupakan prasyarat untuk melakukan kontrol efektif terhadap kinerja para guru. Mekanisme untuk melakukan kontrol terhadap akuntabilitas di negara-negara lain adalah dengan menggabungkan akuntabilitas top-down (dari sekolah sampai ke tingkat kabupaten/kota/provinsi) dengan pendekatan akuntabilitas bottom-up (dari sekolah sampai ke konstituen dan 31 Komite orang tua siswa). Mutu ruang kelas yang semakin rusak merupakan masalah serius dalam sistem pendidikan Indonesia, terutama di tingkat sekolah dasar, dimana hanya 44 persen dari ruang kelas yang ada yang memenuhi standar minimum yang ditentukan oleh Depdiknas (Depdiknas, 2005b). Sehingga, walaupun perbandingan muridguru yang masih rendah, fakta dengan masih banyaknya guru paruh waktu dan tidak hadirnya guru mengakibatkan rasio murid-kelas yang tinggi. Sistem pendidikan Indonesia tidak cukup menghasilkan jumlah lulusan yang menguasai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bekerja di sektor ekonomi yang memiliki potensi pertumbuhan yang tinggi. Berbagai koran Indonesia sering melaporkan adanya kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah dengan kebutuhan masyarakat sipil untuk dapat berpartisipasi dalam sistem elektorat, serta kebutuhan sektor industri terhadap karyawan dan wirausahawan dengan daya nalar dan keahlian memecahkan masalah. Hasil ujian nasional 2002 menunjukkan bahwa dari nilai tertinggi 10 untuk setiap mata pelajaran, lebih dari 2.2 juta siswa dari hampir 20.000 sekolah yang mengikuti ujian tersebut hanya mampu mencapai nilai rata-rata sebesar 5.79 untuk matematika, 5.11 untuk Bahasa Indonesia dan 5.29 untuk Bahasa Inggris. Data untuk tahun akademis 2005/2006 menunjukkan terjadinya peningkatan nilai ujian yang cukup besar, dengan nilai rata-rata sebesar 7.13 untuk matematika, 7.46 untuk 32 Bahasa Indonesia dan 6.62 untuk Bahasa Inggris. Namun, tingkat reliabilitas hasil ujian tersebut memang masih dapat dipertanyakan, dan validitas atas perbandingan nilai tes dari satu tahun ke tahun sebelumnya baru dapat dikatakan valid jika semua tes yang digunakan tidak mengalami perubahan secara substantial.
Pengeluaran Publik Sejak pertengahan tahun 1990-an, Indonesia telah mengalami kenaikan pengeluaran pemerintah untuk 33 sektor pendidikan. Dua perkecualian telah terjadi, yaitu penurunan yang sifatnya sementara pada masa krisis ekonomi dan sedikit penurunan pada tahun 2004. Penurunan pengeluaran pada tahun 2004 disebabkan oleh pelaksanaan anggaran yang rendah dan tergesernya anggaran di semua sektor sosial akibat kenaikan subsidi BBM. Pengeluaran untuk sektor pendidikan di tingkat nasional mencapai puncaknya pada 2003, ketika pengeluaran pendidikan mencapai sekitar 16 persen dari seluruh pengeluaran di tingkat nasional (Tabel 3.2). Pada tahun 2004, total pengeluaran nasional meningkat sekitar 4 persen. Akan tetapi, proporsi pengeluaran untuk sektor pendidikan menurun menjadi sekitar 14 persen. Pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi dari PDB juga menurun pada tahun 2004 jika dibandingkan dengan pengeluaran pada tahun 2003, dari sekitar 3.2 persen menjadi sekitar 2.8 persen, sebagaimana proporsi pengeluaran secara keseluruhan di tingkat nasional terhadap PDB yang telah turun dari 19.8 persen menjadi 19.6 persen 31 Contoh peran serta masyarakat yang banyak dipuji dari akuntabilitas dengan pendekatan bottom-up adalah EDUCO yang dilakukan di El Salvador. 32 Depdiknas, data dari Pusat Penilaian. 33 Dalam bab ini pengeluaran pendidikan oleh pemerintah pusat mengikuti klasifikasi anggaran sektoral, juga dari Sektor 11: Pendidikan, Budaya Nasional, Ketuhanan Yang Maha Esa, Sektor Kepemudaan dan Olahraga, Sub-sektor 11.1 Pendidikan dan Sub-sektor 11.2 dan Pendidikan Formal dan non-formal dimasukkan ke dalam analisis ini, secara bersama-sama berjumlah 98 persen dari total pengeluaran untuk sektor ini..
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
33
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 3.2 Pengeluaran publik secara nasional (pusat + provinsi + kab/kota) untuk sektor pendidikan (Rp triliun)
2001
2002
2003
2004
2005
2006*
2007**
40.5
48.2
64.8
63.1
79.7
120.2
137.8
40.5
43.1
54.3
49.8
56.9
76.2
82.2
40.3
6.4
26.2
-8.4
14.4
33.8
7.8
11.4 2.4 353.6 353.6 21.0
14.3 2.6 337.6 301.8 18.1
16.0 3.2 405.4 339.9 19.8
14.2 2.8 445.3 351.6 19.6
14.9 2.9 535.8 382.9 19.6
17.2 3.6 698.2 442.4 21.1
17.5 3.9 785.4 468.3 22.2
Nominal pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan Pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan ( harga untuk 2001) Pertumbuhan riil pengeluaran nasional untuk sektor pendidikan Pengeluaran pendidikan (%Total pengeluaran nasional) Pengeluaran nasional untuk pendidikan (% PDB) Total nominal pengeluaran di tingkat nasional Total riil pengeluaran di tingkat nasional Ukuran pemerintah (Total pengeluaran, % dari PDB)
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD. Catatan: * = Realisasi awal dari APBN dan perkiraan untuk pengeluaran daerah, ** = APBN dan perkiraan untuk pemerintah daerah. Lihat Lampiran F.9 untuk keterangan lebih rinci.
Pengeluaran untuk sektor pendidikan meningkat sebesar 14.4 persen pada tahun 2005 dan bahkan anggaran untuk tahun 2006 menunjukkan peningkatan yang lebih tinggi yaitu hampir mencapai 34 persen. Walaupun masih ada perbedaan antara alokasi secara keseluruhan berdasarkan anggaran dan realisasi sebenarnya, perbedaan ini cenderung sangat kecil. Perkiraan untuk pengeluaran sektor pendidikan pada tahun 2007 meningkat sebesar 8 persen. Penurunan pengeluaran sektor pendidikan yang terjadi pada 2004 lebih dikarenakan oleh penurunan pengeluaran pembangunanutamanya di tingkat pusat, walaupun dengan penurunan ini juga terjadi di tingkat daerah. Penurunan dalam agregat pengeluaran pembangunan, pengeluaran rutin di tingkat daerah dan di tingkat pusat yang stabil/ 34 berkelanjutan pada tahun 2001–04. Sebagai akibat dari terjadinya peningkatan pengeluaran akhir-akhir ini, pengeluaran untuk sektor pendidikan di Indonesia hampir sama dengan yang dimiliki oleh negara-negara berkembang lainnya. Indonesia memiliki proporsi tingkat pengeluaran sektor pendidikan terhadap PDB yang rendah, tetapi saat ini pengeluaran pendidikan Indonesia hampir sama dengan negara lain yang memilki kemiripan pendapatan per kapita maupun hambatan geografis dan logistik (Diagram 3.2). Diagram 3.2 Perbandingan secara internasional terhadap pengeluaran untuk pendidikan, 2004 30 Pengeluaran untuk Sektor Pendidikan sebagai % dari Belanja Pemerintah
25
Pengeluaran untuk Sektor Pendidikan sebagai % dari PDB
20 15 10
Malaysia
Thailand
Hong Kong, China
Kenya
Azerbaijan
Chili
K osta Rika
Belize
Bolivia
Kamerun
Fillipina
Indonesia 2006
Republik Korea
Bangladesh
Argentina
Indonesia 2004
Lebanon
Russian Federation
K olombia
Lao PDR
Paraguay
India
Uruguay
0
Afrika Selatan
5
Sumber: Data Depdiknas dan Perhitungan staf Bank Dunia, Catatan: Pengeluaran untuk sektor pendidikan ditentukan sebagai rasio pengeluaran nasional (pusat dan daerah) untuk sektor pendidikan terhadap pengeluaran nasional secara keseluruhan. Data untuk Indonesia merupakan perkiraan yang terkait dengan Tahun Fiskal 2004 (berdasarkan perhitungan Bank Dunia menggunakan data SIKD). di mana untuk negara lain perkiraan tersebut adalah untuk Tahun Fiskal 2003 (berdasarkan perhitungan Bank Dunia menggunakan data SIKD, GFS dan Edstats).
34 Tabel 3.4 menunjukkan pengeluaran pembangunan dan pengeluaran rutin yang lebih rinci berdasarkan tingkat pemerintahan.
34
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Akan tetapi, pengeluaran Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara tetangga Asia Timur Jauh, terutama Malaysia dan Thailand (Tabel 3.3). Malaysia menganggarkan jumlah yang lebih besar sebagai proporsi dari total angggaran dan dari PDB dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini. Sebaliknya, Indonesia menduduki peringkat paling bawah untuk pengalokasian anggaran pendidikan sebagai proporsi dari PDB. Akan tetapi, anggaran yang rendah ini terjadi hampir di setiap sektor karena sektor pemerintah memang rendah dan alokasi untuk pengeluaran rutin terutama subsidi yang sangat besar. Tabel 3.3 Pengeluaran publik sektor pendidikan di negara tetangga Indonesia Tertinggi % Pengeluaran untuk sektor publik pendidikan dari total pengeluaran % Pengeluaran untuk sektor publik pendidikan dari PDB % Total pengeluaran publik dari PDB (Ukuran sektor pemerintahan) Per kapita PDB (harga US$ pada konstan 2000) Jumlah penduduk (juta) Persentase jumlah penduduk berumur 0-14
Terendah
Malaysia 27 Malaysia 8.1 Malaysia 29.7 Malaysia 4,290 Indonesia 217.6 Thailand 4.1
= > > > > >
Thailand 27 Thailand 4.6 Indonesia 19.6 Thailand 2,356 Philippines 81.6 Indonesia 3.5
Philippines 16 Philippines 3.1 Philippines 19.6 Philippines 1,085 Thailand 63.7 Malaysia 3.0
> > = > > >
> > > > > >
Indonesia 14.2 Indonesia 2.8 Thailand 16.8 Indonesia 906 Malaysia 24.4 Philippines 2.8
Sumber: Indikator pembangunan Bank Dunia.
Komposisi ekonomi berdasarkan tingkat pemerintahan Pada tahun 2004, sebagian besar pengeluaran untuk sektor pendidikan—sekitar 70 persen—digunakan di tingkat daerah. Pemerintah kabupaten/kota adalah yang paling banyak menyedot anggaran, sebesar 64 persen dari total pengeluaran, sementara pemerintah tingkat provinsi hanya 6 persen. Total pengeluaran untuk sektor pendidikan ini tetap stabil sejak 2001 (Tabel 3.4). Tabel 3.4 Pengeluaran nominal sektor pendidikan berdasarkan tingkat pemerintahan, 2001–04 (Rp Triliun)
2001
Pusat 14.1 Pembangunan 8.5 Rutin 5.6 Provinsi 1.9 Pembangunan 1.4 Rutin 0.6 Kabupaten/kota 26.2 Pembangunan 3.0 Rutin 23.2 Total Pengeluaran 42.3 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu.
%
2002
%
2003
%
2004
%
33 60 40 4.6 70 30 62 11 89 100.0
14.7 9.2 5.6 4.0 2.6 1.4 32.6 4.6 28.0 51.3
29 62 38 7.8 66 34 63 14 86 100.0
22.5 15.6 6.9 3.9 3.1 0.8 38.3 5.3 33.0 64.8
35 69 31 6.1 80 20 59 14 86 100.0
19.4 12.3 7.1 3.8 3.0 0.8 39.8 4.6 35.2 63.1
31 63 37 6 79 21 63 12 88 100.0
Walaupun kabupaten/kota membelanjakan sebagian besar dari total anggaran untuk pendidikan, pengeluaran ini sebagian besar merupakan pengeluaran rutin non-diskresioner. Selanjutnya, meskipun dalam pelaksanaan sistem desentralisasi secara formal, tanggung jawab sektor pendidikan beralih dari pusat ke tingkat kabupaten/kota, sebagian besar anggaran pembangunan masih dijalankan oleh pemerintah pusat. Sejak 2001, besarnya pengeluaran pembangunan pemerintah pusat secara konsisten lebih dari 55 persen dari total pengeluaran pembangunan (dan bahkan lebih dari 60 persen), sementara pemerintah kabupaten/kota hanya mengelola sekitar seperempat (Tabel 3.5). Jadi, pemerintah daerah hanya mempunyai sedikit kebebasan dalam mengelola dana dan mengambil keputusan kunci untuk sektor pendidikan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
35
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 3.5 Pembagian pengeluaran pembangunan dan rutin pada tingkat pemerintahan,2001–04 Komposisi Pengeluaran Total Pengeluaran pembangunan (Rp triliun) Total % pembangunan pusat Total % pembangunan provinsi Total % pembangunan Kabupaten/kota Total pengeluaran rutin (Rp triliun) Total % pengeluaran rutin untuk pusat Total % pengeluaran rutin untuk provinsi Total % pengeluaran rutin untuk Kabupaten/kota
2001 12.9 66 11 23 27.9 14 4 82
2002 16.5 56 16 28 33.9 13 4 82
2003 24.4 65 13 22 39.2 14 3 83
2004 20.1 61 15 24 42.3 15 2 83
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Depdiknas.
Sebagian besar pengeluaran rutin di daerah dialokasikan untuk gaji pegawai dan diikuti oleh pengadaan barang. Selanjutnya, walaupun pemerintah daerah memiliki tingkat pengeluaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan, namun ruang gerak untuk pengeluaran pembangunan mereka sangat sempit. Pada tahun 2004, pengeluaran pembangunan berjumlah sekitar 32 persen dari konsolidasi pengeluaran nasional untuk pendidikan, sementara pada tahun 2003 jumlah ini sedikit lebih besar yaitu sekitar 38 persen. Penurunan pengeluaran untuk sektor pendidikan pada tahun 2004 terutama disebabkan oleh penurunan pengeluaran pembangunan di tingkat pusat (Tabel 3.5). Pengeluaran rutin untuk pengadaan barang dan jasa di tingkat daerah masih rendah dibandingkan dengan pengeluaran untuk gaji (Tabel 3.6). Tabel 3.6 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan daerah 2002–04 (%) Komposisi pengeluaran rutin Pengeluaran untuk kepegawaian Pengeluaran untuk pengadaan barang Pengeluaran untuk O&P Pengeluaran untuk perjalanan dinas Pengeluaran lain-lain Pengeluaran lain Total pengeluaran rutin
Kabupaten/kota 2002 94 4 0 0 2 0 100
2003 95 3 0 0 1 0 100
Provinsi 2004 96 3 0 0 0 0 100
2002 69 22 6 1 2 0 100
2003 62 25 9 2 3 0 100
2004 71 21 5 3 0 0 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu. Catatan: Pengeluaran pembangunan meliputi pengeluaran untuk sub-sektor pendidikan non-formal dan kejuruan untuk 2001–02. Untuk 2003–04 klasifikasi ulang pengeluaran modal dan operasional & pemeliharaan (O&P). Angka persentase mengalamim pembulatan sehingga ada kemungkinan jumlahnya tidak genap seratus.
Pengeluaran dan efisiensi berdasarkan sub-sektor pendidikan Pada tahun 2004, jumlah pengeluaran nasional untuk pendidikan dasar sebesar 56 persen dari total pengeluaran pendidikan, untuk pendidikan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas masingmasing sebesar 15 persen, dan untuk pendidikan tinggi sebesar 12 persen. Dengan melakukan analisis terhadap klasifikasi fungsional atas pengeluaran pendidikan, pada tahun 2004 pemerintah pusat menggunakan sebesar Rp 19.4 triliun untuk sektor pendidikan. Sebagian besar dari pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan, Rp 15.8 triliun atau sekitar 81 persen disalurkan melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Sisanya sebesar Rp 3.7 triliun disalurkan melalui Departemen Agama. Pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan dasar berjumlah Rp 7.4 triliun, sebagian besar terdiri dari balanja pembangunan (sekitar 91 persen ). Sementara pengeluaran untuk sub-sektor pendidikan tinggi yang jumlahnya Rp 7.0 triliun terutama terdiri atas pengeluaran rutin (sekitarkira74 persen ). Pendidikan menengah, terutama pendidikan sekolah menengah pertama, merupakan prioritas untuk Indonesia. Dalam kaitannya dengan peningkatan anggaran untuk sektor pendidikan, pemerintah diharapkan mengalokasikan jumlah anggaran yang lebih besar untuk pendidikan sekolah menengah pertama. Depdiknas mengakui adanya kebutuhan untuk meningkatkan anggaran pada tingkat pendidikan menengah dan dalam
36
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
rencana strategisnya (Renstra) dinyatakan bahwa untuk rencana pembangunan jangka menengah diupayakan untuk meningkatkan anggaran menjadi Rp 8.9 triliun pada tahun 2009. Ini akan digunakan untuk mendanai program-program strategis termasuk pengembangan tema perluasan jangkauan dan pemerataan pendidikan, serta peningkatan mutu dan kesesuaian (Renstra dan Depdiknas, 2005a). Dalam sistem desentralisasi, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menyediakan layanan pendidikan menengah yang memadai. Sementara pengeluaran untuk pendidikan sekolah menengah pertama untuk setiap kabupaten/kota secara signifikan lebih rendah dari pengeluaran untuk pendidikan dasar, alokasi pengeluaran pemerintah pusat yang lebih tinggi untuk pendidikan sekolah menengah pertama setidaknya akan memberikan kompensasi terhadap perbedaan ini.35 Jumlah terbesar dari pengeluaran rutin pemerintah pusat dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Pengeluaran gaji untuk pendidikan dasar dan menengah merupakan komponen pengeluaran rutin terbesar dari pemerintah kabupaten/kota, yang didanai melalui DAU dan ini merupakan pos pengeluaran di tingkat daerah. Penentuan alokasi optimal terhadap berbagai sumber dalam sektor pendidikan merupakan hal yang Tingkat Pendidikan Tingkat Pengembalian (%) sangat penting untuk dilakukan jika Sekolah dasar 4 pemerintah hendak meningkatkan Sekolah menengah pertama 25 anggaran untuk sektor pendidikan, Sekolah menengah atas 28 seperti yang dinyatakan di dalam UUD. Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia Angka partisipasi sekolah yang masih rendah pada tingkat sekolah menengah pertama merupakan indikator yang jelas bahwa upaya yang lebih kuat sangat diperlukan untuk meningkatkan akses pada jenjang pendidikan ini. Selain itu, tingkat pengembalian sosial (social rates of return) pada pendidikan menengah lebih tinggi daripada tingkat pengembalian untuk pendidikan dasar. Analisis biaya dan manfaat (cost-benefit analysis) memberikan pandangan yang sangat bermanfaat dengan membuat perbandingan program pendidikan berdasarkan tingkat pengembalian sosial. Perkiraan tingkat pengembalian investasi pendidikan didefinisikan sebagai tingkat diskon yang menyeimbangkan arus manfaat yang diperoleh dari tingkat pendidikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan layanan pendidikan pada jenjang yang berbeda dan pada kurun waktu yang berbeda pula. Pendidikan sekolah menengah atas menerima tingkat pengembalian tertinggi sebesar 28 persen, sedikit di atas pendidikan sekolah menengah pertama yang besarnya 25 persen. Sebaliknya, tingkat pengembalian untuk pendidikan dasar sangat rendah, diperkirakan sekitar 4 persen (Tabel 3.7).36 Tabel 3.7 Hasil pengembalian sosial berdasarkan tingkat pendidikan, 2004
35 Sementara pengeluaran per siswa sebenarnya lebih tinggi untuk pendidikan sekolah menengah pertama. Hal ini tidak menunjukkan tingkat pengeluaran yang memadai untuk tingkat tersebut. Hal ini mencerminkan adanya fakta bahwa biaya untuk menyediakan pendidikan menengah lebih tinggi dan bahwa jumlah partisipasi siswa untuk sekolah menengah pertama masih rendah. 36 Manfaat program pendidikan dihitung berdasarkan perbedaan upah (tambahan penghasilan rata-rata dibandingkan dengan mereka yang memiliki kualifikasi jenjang pendidikan yang sama pada jenjang pendidikan sebelumnya). Dari survei tenaga kerja nasional (Sakernas) 2006 dan survei biaya pendidikan dari perkiraan satuan biaya yang disampaikan oleh Depdiknas (2005a). Lihat Lampiran F.2 untuk pembahasan lebih rinci mengenai metodologi yang digunakan untuk menghitung tingkat balikan sosial terhadap pendidikan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
37
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Pemerintah Pusat APBN
Departemen Pendidikan Nasional Depdiknas
Rutin 0 . 01
6 .5
P rovinsi
Kabupaten/ Kota
3. 2
24 . 9
Pembangunan 1.1
Pembangunan 2.7
Pembangunan 4.1
Rutin 0.6
Rutin 0.5
Rutin 20 . 8
0.4
8.4
0.3
T otal Nasional
30 .9 Pembangunan 8.9 Rutin 21 . 9
15 .6
Pendidikan Menengah Lanjutan
Pendidikan Tinggi
Pembangunan
7 .0
0. 6
Sub-total
1.8 Pembangunan 1.0
2 .0
Total
Pemerintah Daerah APBD
Departemen Agama Depag
1 .04
Pendidikan Informal
Pendidikan Pre-school & Menengah Awal Pendidikan Dasar
Unit Pengguna Anggaran
Tingkat Pemerintahan
Diagram 3.3 Pengeluaran untuk pendidikan berdasarkan program dan tingkat pemerintah, 2004
6.5
Pembangunan 0. 1
Rutin 0 . 01
Rutin 0.2
0.8 Permbangunan 1.8
Pembangunan 0.4
Rutin 0 . 02
Rutin 0.4
Pembangunan 0.2 Rutin 0.2
0.
Pembangunan 0.4
Pembangunan 7.2
Rutin 8.0
Rutin 8.4
.5
Pembangunan 0.1 Rutin 0.1
Rutin 7.0
Rutin 6.4
7. 8
Pembangunan 0.4
Pembangunan 2.1
Rutin 0.5
Rutin 5.2
Rutin 5.7
0. 6
0.02
Pembangunan 0 . 57
Pembangunan 0 . 57
Pembangunan 0 . 02
Rutin 0 . 05
17 . 1
Pembangunan 2.5
Pembangunan 0.1
0.9 Pembangunan 1.8
9. 5
Rutin 0 . 07
3. 7 Pembangunan 2.0
Rutin 5.4
Rutin 1.7
Pembangunan 11 . 7
39.8
3. 8
Pembangunan 11 . 7
Rutin 5.4
20 . 8
Pembangunan 3.0 Rutin 0.8
Pembangunan 8.0
Pembangunan 4.. 6
Pembangunan 21 . 3
Rutin 35.2
Rutin 43 . 1
Rutin 36 . 0
43 .6
64 .4
Pembangunan 21 . 3
Rutin 43 . 1
64 .4
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD, Catatan: Sub-komponen tidak perlu ditambahkan pada total karena sudah dilakukan pembulatan. Klasifikasi fungsional meliputi sub-sektor pendidikan (11.1) dan pendidikan non-formal (11.2). Sementara dua sub-sektor yang lain (11.3 dan 11.4) diagregatkan di bawah fungsi Departemen Pariwisata dan Kebudayaan (08). Fungsi pendidikan juga meliputi sub-sektor pendidikan agama (15.2).
38
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Alokasi anggaran ke tingkat sekolah Berbagai sumber dana berkontribusi terhadap anggaran sekolah dengan pendanaan utama yang berasal dari pemerintah kabupaten/kota sebelum 2005. Menurut survei GDS 1+ tentang data anggaran untuk 2002– 03, 92 persen dari anggaran sekolah dasar didanai oleh pemerintah kabupaten/kota. Angka tersebut mengalami penurunan besar pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan atas, masing-masing menjadi 82 persen dan 77 persen. Hal ini disebabkan meningkatnya kontribusi orang tua dari 4 persen pada pendidikan dasar menjadi 13 persen pada pendidikan sekolah menengah pertama, dan 17 persen pada pendidikan sekolah menengah atas. Mekanisme pendanaan yang baru dengan mengalokasi biaya operasional langsung ke sekolah. Sejak tahun 2001 sampai Juni 2005, pemerintah telah mengalokasikan sebagian dari penghematan subsidi BBM sebagai dana bantuan khusus murid (BKM) bagi keluarga miskin. Untuk periode Juli–Desember 2005, pemerintah menegaskan untuk melakukan perubahan penerima langsung dana tersebut,dari keluarga ke sekolah berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program BOS ini didasarkan pada jumlah siswa yang terdaftar dalam satu sekolah. Sejak Juli 2005, pemerintah telah menyerahkan dana BOS ke seluruh sekolah SD dan SMP, dan secara terbatas masih melanjutkan 37 program BKM. Mekanisme alokasi bantuan yang baru ini telah banyak mengubah anggaran pendidikan dasar dan pendidikan menengah pertama. Perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat kini medanai bagian yang cukup besar untuk biaya operasional sekolah. Program BOS mencakup sekitar 41 juta siswa dengan rincian 62 persen berada pada jenjang sekolah dasar dan 38 persen pada pendidikan sekolah menengah pertama. Program BOS telah menyalurkan sebanyak Rp 5.3 triliun antara Juni–Desember 2005 dan selanjutnya Rp 11.12 triliun di tahun 2006, atau sekitar 25 persen dari keseluruhan anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan. Besarnya anggaran untuk setiap sekolah ditentukan oleh jumlah siswa, untuk sekolah dasar menerima Rp 235.000 (sekitar AS$25) per siswa per semester, dan siswa sekolah menengah pertama menerima Rp 324.500 (kira-kira AS$35). Dana BOS tersebut digunakan untuk menanggulangi biaya operasional sekolah dan sekolah pun diharapkan dapat menurunkan atau bahkan menghapuskan uang SPP (sumbangan pembinaan pendidikan). Dana BOS disalurkan secara langsung ke sekolah. Sekolah harus memiliki nomor rekening bank yang akan digunakan untuk menyimpan dana tersebut untuk mencegah terjadinya kebocoran, serta untuk meningkatkan transparansi. Evaluasi yang dilakukan baru-baru ini terhadap program BOS menunjukkan bahwa program ini berdampak 38 positif dan berhasil di sejumlah daerah. Namun demikian, masih banyak permasalahan yang harus dipecahkan. Dari sudut pandang pendanaan, metode alokasi yang digunakan dalam program ini memiliki dampak positif maupun negatif, yaitu: Pengiriman dana secara langsung memungkinkan terjadinya sedikit kebocoran, karena hampir seluruh sekolah menerima dana secara penuh (walaupun kadang-kadang terjadi penundaan). Uang SPP yang lebih rendah memungkinkan untuk meningkatkan daya tarik minat siswa dari keluarga miskin untuk bersekolah. (Hal ini merupakan dampak tidak langsung dari program BOS, karena program ini tidak secara khusus ditarget untuk keluarga miskin, sekolah, atau kabupaten/kota tertentu). Mekanisme penyaluran bantuan secara langsung dapat menyebabkan distorsi karena menimbulkan insentif bagi pihak sekolah untuk mengggelembungkan jumlah siswa yang terdaftar di sekolahnya. Karena pemberian dana tidak melalui pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, maka pengeluaran pembangunan ini tersentralisir kembali, yang bertentangan dengan pelaksanaan sistem desentralisasi yang berlaku saat ini. Program ini tidak mempersyaratkan kinerja yang baik atau transparansi anggaran dari pihak sekolah, sehingga menyulitkan penilaian terhadap dampak aktual serta kecukupan dana.
• • • • •
Pemerintah sedang berdebat mengenai kemungkinan peningkatan dana bantuan ini, karena Depdiknas meminta peningkatan bantuan per siswa SD (sekolah dasar) menjadi Rp 300.000, dan untuk pendidikan SMP (sekolah menengah pertama) menjadi Rp 420.000. Dengan kenyataan bahwa angka yang disebutkan selama ini 37 Sekolah yang memilih untuk ikut dalam program harus menandatangani Surat Perjanjian tentang Penyediaan Bantuan. Jika sekolah sepakat untuk mengambil bantuan dana operastional dari pemerintah, mereka harus mentaati ketentuan mengenai uang SPP, pendaftaran, buku ajar, dan bahan penunjang lainnya, perpustakaan, biaya pelatihan untuk guru, uang ujian, dan kegiatan sekolah. Lihat juga (World Bank, 2006g) tentang dampak program BOS terhadap rakyat miskin. 38 Dilakukan oleh SMERU bekerja sama dengan Bank Dunia.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
39
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
didasarkan pada perhitungan unit biaya nominal harga tetap pada tahun 2003, maka peningkatan bantuan per siswa memang diperlukan.39 Sehingga yang menjadi persoalan adalah bahwa penentuan bantuan siswa itu ditentukan secara nasional dan tidak memperhitungkan fluktuasi harga di tingkat daerah. Walaupun ini hanya merupakan masalah untuk beberapa daerah saja, hal ini dapat mengurangi daya beli dana yang transfer secara signifikan. Misalnya, di Aceh, inflasi berfluktuasi pada kisaran 20 persen, dana bantuan BOS untuk provinsi akan mempengaruhi 20 persen lebih rendah (dalam hal ini untuk pengadaan barang-barang dan jasa-jasa operasional) jika dibandingkan dengan daerah lain.
Meningkatkan penyediaan sumber dana (resource envelope): mandat 20 persen anggaran untuk sektor pendidikan Besarnya dana untuk pengeluaran pada sektor pendidikan tahun anggaran 2006 telah menjadi topik perdebatan yang sengit, setelah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta Mahkamah Konstitusi untuk meninjau kembali tingkat pengeluaran dan menilai kesesuaian anggaran tersebut dengan undangundang atau tidak. Ketentuan asli di dalam UUD 1945 berisi pernyataan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan. Pada tahun 2002, dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah harus mengalokasikan anggaran setidaknya 20 persen dari anggaran pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya, sejak 2003, gaji guru tidak lagi dimasukkan di dalam ketentuan 20 persen tersebut, sehingga mendorong pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran diskresioner pada sektor pendidikan. Kotak 3.1 Landasan belakang hukum Indonesia - “ketentuan 20 persen” 1945: Undang-undang Dasar Indonesia Pasal 31 menyatakan bahwa: (1) “Setiap warganegara berhak untuk mendapatkan pendidikan” dan; (2) “Pemerintah harus menyelenggarakan dan menjalankan sistem pendidikan nasional yang diatur di dalam undang-undang,” 2002: Hampir 60 tahun kemudian yaitu pada tahun 2002, pasal di dalam UU Dasar ini diamandemen yang secara khusus menyatakan: “Negara memberikan prioritas anggaran untuk pendidikan setidaknya 20 persen dari anggaran nasional dan anggaran pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan nasional.” Amandemen tahun 2002 tersebut disahkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). 2003: Selanjutnya, UU Pendidikan Nasional No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bab 4, pasal, 49) sekali lagi menyatakan ketentuan anggaran pada amandemen 2002 tersebut. Undang-undang tahun 2003 mempersempit rentang pos-pos pengeluaran yang dapat diperhitungkan dalam ketentuan sasaran anggaran 20 persen tersebut yaitu tidak termasuk gaji guru. Seperti yang dinyatakan di dalamnya: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).”
Tiga dimensi pokok yang diperlukan untuk memperjelas perdebatan ini, adalah: • • •
Meninjau secara cermat ketentuan anggaran 20 persen tersebut dan sasaran yang hendak dicapai (sebagai kebalikan dari rumusan pengeluaran berdasarkan kebutuhan pendidikan). Mengklarifikasi berbagai penafsiran yang telah dilakukan atas UU Pendidikan dan melakukan penelaahan apakah pengeluaran di tingkat nasional dan daerah sesuai dengan ketentuan baku. Menentukan cara melakukan alokasi tambahan terhadap program yang berbeda dan masukan lainnya, jika dana tambahan dalam pendidikan memang diperlukan.
Pada tahun 2006, pemerintah pusat mengalokasikan sekitar Rp 44.1 triliun, atau sekitar 9.4 persen dari total 40 anggaran pemerintah pusat untuk sektor pendidikan (Diagram 3.4). Dengan tidak memasukkan pengeluaran untuk gaji guru, seperti yang dinyatakan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003, total pengeluaran pemerintah pusat untuk pendidikan berjumlah hanya sekitar 7.4 persen dari APBN 2006 (lihat Tabel 3.7). Melalui metode perhitungan tersebut, maka tingkat pengeluaran itu tidak cukup untuk menjangkau ketentuan 20 persen dalam anggaran pemerintah pusat (APBN). Dengan demikian, tambahan sejumlah Rp 59.2 triliun, atau 12.6 persen 39 Biaya per unit ini hanya mampu menutup pengeluaran operasional. Komponen gaji yang merupakan unit biaya tradisional (sekitar 80 persen) tidak dimasukkan di dalamnya. 40 Sektor pendidikan termasuk pendidikan TK, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan non-formal dan informal, pendidikan untuk PNS, pendidikan tinggi, pendidikan agama, penelitian dan pengembangan untuk sektor pendidikan, layanan penunjang pendidikan, dan pengeluaran lain untuk pendidikan.
40
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
dari anggaran perlu dialokasikan lagi untuk sektor pendidikan agar ketentuan anggaran sebesar 20 persen dapat tercapai. Diagram 3.4 Alokasi anggaran pusat dan daerah untuk sektor pendidikan
% dari Total Pengeluaran Pemerintah Pusat
10 9 8
% Belanja Pegawai
Layanan Pedukung & Lain-lain
7
Pendidikan bagi Pegawai Negeri
6 5 4 3
Pendidikan: preschool, dasar, menengah, tinggi & pendidikan agama
2
Pendidikan Non Formal & Informal
35
%
30 25 20 15 10 5 2001
1 Anggaran Pemerintah Pusat tahun 2006
2002 2003 2004 Keseluruhan Belanja Pegawai Rutin Pemerintah Daerah Keseluruhan Belanja Rutin Pemerintah Daerah Keseluruhan Belanja Non-Pegawai Rutin Pemerintah Daerah
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Perkiraan untuk pemerintah pusat termasuk seluruh komponen dari klasifikasi fungsional, yaitu sub-fungsi 10.01-10.90, pengeluaran untuk kepegawaian yang merupakan bagian dari diagram balok di atas merupakan agregat dari pengeluaran untuk kepegawaian dari masingmasing sub-fungsi pendidikan.
Pelaksanaan ketentuan anggaran 20 persen pada pengertian atau definisi yang ada sekarang tidak realistis dan juga bermasalah. Walaupun ketentuan anggaran pendidikan sebesar “20 persen” tersebut masih terbuka untuk berbagai penafsiran, namun berbagai perhitungan besarnya rasio telah dikaji. Kebanyakan dari hasil pengkajian itu menunjukkan bahwa alokasi 20 persen di pemerintah pusat atau tingkat daerah tanpa memasukkan pengeluaran untuk gaji tampaknya sulit tercapai (lihat Lampiran F.9 untuk simulasi rasio pengeluaran untuk sektor pendidikan berdasarkan pengertian atau definisi yang berbeda).
• • •
Di tingkat pusat, anggaran tahun 2006 mengalokasikan sekitar 9.4 persen untuk sektor pendidikan (Rp 44.1 triliun). Di luar pengeluaran untuk kepegawaian, jumlah ini mengalami penurunan menjadi sekitar 7.4 persen (Tabel 3.8). Di tingkat daerah, pada tahun 2004, pengeluaran untuk sektor pendidikan berjumlah 29.9 persen dari total pengeluaran daerah (Rp 44 triliun dari total pengeluaran daerah— yaitu, APBD Tk I + APBD Tk II— total sebesar Rp 151 triliun). Namun demikian, sebanyak 79 persen dari jumlah ini diserap untuk gaji. Tanpa memasukkan pengeluaran untuk gaji, maka pengeluaran pendidikan di daerah hanya berjumlah 6.1 persen dari total pengeluaran di tingkat daerah (Tabel 3.8). Jika program pendidikan dari seluruh tingkat pemerintahan, jajaran departemen, dan lembaga pemerintah yang lain, sebagaimana pula pengeluaran untuk gaji dihitung sebagai pengeluaran untuk sektor pendidikan, maka jumlah anggaran untuk pendidikan nasional (APBN + APBD Tk I + APBD Tk II) akan mencapai 17.2 persen (Tabel 3.8).
Di luar pengeluaran untuk gaji, pengeluaran pemerintah pusat dan daerah untuk sektor pendidikan jauh lebih rendah daripada sasaran yang ditentukan oleh UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa sejak pelaksanaan sistem desentralisasi dalam layanan pendidikan, yang mulai diberlakukan sejak 2001, maka gaji guru merupakan pengeluaran terbesar di tingkat daerah untuk sektor pendidikan. Jika pemerintah daerah ingin mengalokasikan tambahan anggaran sebesar Rp 21 triliun untuk mencapai target anggaran sebesar 20 persen tersebut, di luar gaji guru, keseluruhan pengeluaran untuk sektor pendidikan di daerah akan berjumlah sebesar 45 persen dari total APBD. Untuk meningkatkan jumlah pengeluaran sektor pendidikan dalam APBD di luar gaji, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi perlu melakukan pengurangan anggaran yang signifikan pada sektor lain. Sudah barang tentu hal ini tidak dapat dilaksanakan jika dilihat dari kacamata politik, dan bahkan sangat tidak diinginkan dengan berbagai alasan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
41
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 3.8 Pengeluaran pendidikan sebagai persentase pengeluaran pemerintah pusat dan daerah 41 Pengeluaran pendidikan (definisi resmi) 7.4 6.1
(%) Pemerintah pusat Pemerintah daerah Total pengeluaran nasional
Pengeluaran pendidikan (termasuk gaji) 9.4 29.9
6.9
17.2
Total pengeluaran pemerintah pusat 65 35 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Untuk definisi dan perhitungan yang berbeda dari ketentuan anggaran 20 persen.
Penganggaran sebesar 20 persen akan memberikan tekanan kepada pemerintah pusat untuk melaksanakan pengeluaran pendidikan di tingkat kabupaten/kota, yang tidak sesuai dengan pelaksanaan sistem desentralisasi. Sasaran yang ditentukan di kedua tingkat pemerintahan tidak didasarkan pada perhitungan kebutuhan pendanaan yang muncul dari distribusi fungsi pendidikan antar-tingkat pemerintah atau distribusi vertikal terhadap sumber-sumber daya fiskal yang ada. Pada saat Depdiknas diharapkan menyerahkan sebagian besar dari tugas dan fungsi pendidikan kepada pemerintah daerah, alokasi anggaran sebesar 20 persen dari APBN memang bermaksd baik tetapi tidak akan menguntungkan APBN. Alokasi anggaran sebesar itu mendorong Depdiknas untuk menyusun rencana pengeluaran untuk daerah. Dinamika ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari investasi modal pada sektor pendidikan akan terpusat dan berada di luar kontrol pemerintah kabupaten/kota.
Pengeluaran Sektor Publik untuk Pendidikan dan Pemerataan Pemerataan angka partisipasi di seluruh jenjang dan daerah Pengeluaran untuk sektor pendidikan di Indonesia sebagian besar diarahkan untuk pendidikan dasar, yang cenderung berpihak pada masyarakat miskin. Lebih dari setengah pengeluaran untuk sektor pendidikan gabungan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dialokasikan untuk tingkat sekolah dasar. Alokasi dana cenderung ditujukan kepada masyarakat miskin, mengingat sebagian besar anak-anak dari keluarga miskin bersekolah di tingkat sekolah dasar. Sebaliknya, di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, dari seperlima rakyat paling miskin hanya tercatat sekitar 6 persen, sementara di tingkat pendidikan sekolah menengah atas, proporsi mereka hanya 3 persen. Diagram 3.5 Time trend angka partisipasi sekolah 1 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 1998 Dasar
1999
2000
2001
Menengah awal
2002
2004
2005
Menengah lanjutan
Sumber: Kalkulasi staf Bank Dunia, berdasarkan data dari Susenas 1998–2005.
Kemajuan yang telah dicapai dalam meningkatkan angka partisipasi sekolah telah mampu mengurangi kesenjangan angka partisipasi di tingkat pendidikan sekolah dasar diantara berbagai kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan yang berbeda. Akan tetapi, kesenjangan yang besar masih tampak di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dan pendidikan sekolah menengah atas. Pada tahun 2005, angka partisipasi kasar pada tingkat sekolah dasar mencapai 107.1 persen dan angka partisipasi murni 91 persen. Masalah yang berkaitan dengan akses menjadi lebih besar di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, dengan angka partisipasi kasar 81.7 persen, sementara angka partisipasi murni hanya 65.2 persen. Secara resmi, pendidikan dasar (kelas 1–9) adalah wajib untuk anak-anak yang berumur antara 7–15 tahun. Akan tetapi, ketentuan hukum ini tidak diterapkan secara ketat. Sementara itu, akses untuk pendidikan sekolah dasar mungkin masih menjadi suatu masalah di wilayah-wilayah terpencil. Untuk sebagian besar rakyat miskin di Indonesia masalah utama dalam akses pendidikan adalah untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah awal. 41 Pada saat penyusunan laporan ini, pengeluaran pemerintah daerah untuk 2004 baru tersedia akhir-kahir ini. Total pengeluaran daerah untuk 2006 diperkirakan berdasarkan pengeluaran DAU pada anggaran daerah dan pengeluaran pendidikan pada 2004.
42
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Diagram 3.6 Pendidikan SD: angka partisipasi sekolah antar kabupaten/kota pada satu provinsi 1 0.95 0.9 0.85 0.8 0.75 0.7 0.65 0.6 0.55 0.5
KalimantanTengah
NanggroeAcehDarussalam
Bengkulu
Riau
Banten
Sumatera Utara
Jawa Timur
KepulauanRiau
Jambi
KalimantanTimur
KalimantanSelatan
Jawa Tengah
Bali
Jawa Barat
Sumatera Barat
MalukuUtara
Lampung
Nusa Tenggara Barat
KalimantanBarat
Papua Barat
DK I Jakarta
DK I Jakarta
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Tengah
Maluku
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
KepulauanBangka Belitung
Papua
Gorontalo
Sumber: Susenas 2004.
Akan tetapi, angka partisipasi sekolah di Indonesia masih sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain, dan bahkan kesenjangan ini lebih besar daripada masalah kesenjangan angka partisipasi sekolah berdasarkan perbedaan tingkat pendapatan. Kecenderungan angka partisipasi sekolah untuk rakyat miskin sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, bahkan dalam kuintil pendapatan yang sama. Rakyat miskin di Papua memiliki angka partisipasi murni yang rendah bahkan pada tingkat sekolah dasar (80 persen). Bahkan, perbedaan daerah memang mendominasi kesenjangan tersebut, seperti terlihat dari kuintil untuk penduduk kaya di Papua pun masih memiliki angka partisipasi sekolah yang lebih rendah (92 persen) daripada kuintil rakyat miskin di Sumatera (World Bank, 2006). Di jenjang pendidikan sekolah menengah pertama, tingkat akses pendidikan sangat bervariasi di setiap provinsi. Indonesia memiliki angka partisipasi sekolah yang hampir sama untuk jenjang sekolah dasar di setiap provinsi. Akan tetapi, perbedaan utama dalam angka partisipasi sekolah tampak pada anak-anak usia 13-15 tahun. Sementara Jakarta dan Yogyakarta berhasil mencapai angka partisipasi sekolah di atas 90 persen, sebagian besar provinsi yang tercantum pada analisis ini memiliki angka partisipasi sekolah yang masih di bawah 80 persen. Provinsi Sulawesi Selatan bahkan hanya mencapai tingkat di bawah 70 persen.
Pemerataan pengeluaran di seluruh kabupaten/kota Perbedaan dalam angka partisipasi sekolah di antara kabupaten/kota setidaknya terkait dengan tingkat 42 pengeluaran pemerintah kabupaten/kota untuk pendidikan. Analisis regresi menunjukkan bahwa angka partisipasi murni berhubungan positif dengan pengeluaran pendidikan per siswa dan juga terhadap persentase pengeluaran pendidikan secara keseluruhan di tingkat kabupaten/kota. Walaupun potensi dampak pengeluaran tambahan terhadap angka partisipasi masih kecil, peningkatan pengeluaran per siswa merupakan sebagian dari solusi untuk meningkatkan angka partisipasi untuk jenjang menengah pertama. Terutama untuk meningkatkan atau realokasi pengeluaran untuk gaji menjadi pengeluaran non-gaji (pengeluaran untuk pengadaan barang dan material) 43 berkorelasi positif terhadap angka partisipasi sekolah . Pola pengeluaran untuk sektor pendidikan di tingkat kabupaten/kota menunjukkan bahwa kabupaten/ kota yang kaya tidak hanya memiliki tingkat pengeluaran per-kapita yang lebih tinggi untuk pendidikan, tetapi juga memiliki tingkat pengeluaran per-siswa yang lebih tinggi. Kondisi yang kedua ini sebagian dapat dijelaskan dengan adanya fakta bahwa kabupaten/kota yang lebih kaya memiliki jumlah siswa lebih banyak untuk 42 Angka partisipasi sekolah sebagian ditentukan oleh tingkat pengeluaran per kabupaten/kota untuk sektor pendidikan, sebab pemerintah kabupaten/kota menggunakan sebagian besar dari anggaran mereka untuk biaya kepegawaian, yang tidak berkorelasi positif terhadap angka partisipasi sekolah. Analisis selanjutnya, termasuk pengeluaran DAK dan pengeluaran lain dari pemerintah pusat untuk pendidikan di tingkat kabupaten/kota, sedang dilakukan karena pengeluaran ini merupakan jumlah terbesar pengeluaran untuk infrastruktur pendidikan —yang dianggap borelasi sangat kuat dengan angka partisipasi. 43 Lihat Lampiran E.3 untuk hasil analisis regresi yang lebih rinci. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
43
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
tingkat pendidikan yang lebih tinggi sehingga biaya per unit mereka juga cenderung menjadi lebih tinggi. Tabel 3.9 memberikan gambaran mengenai pengeluaran berdasarkan kuintil kemiskinan di tingkat kabupaten/kota. Kabupaten/kota yang kaya (terutama kuintil 4 dan 5) cenderung mengeluarkan anggaran dana lebih besar untuk sektor pendidikan per siswa, namun di kabupaten/kota paling miskin pun tidak terlalu besar perbedaannya. Kabupaten/kota yang lebih miskin cenderung menggunakan upaya fiskal yang lebih besar karena mereka mengalokasi anggaran yang lebih tinggi untuk sektor pendidikan (34 persen di kabupaten/kota termiskin vs. 31 persen di kabupaten/kota terkaya). Sebanyak 40 persen kabupaten/kota termiskin menggunakan rata-rata sebesar 35.4 persen dari anggaran mereka untuk pendidikan, sementara kabupaten/kota yang terkaya menggunakan 31.5 persen (Tabel 3.9). Tabel 3.9 Pengeluaran kabupaten/kota untuk pendidikan berdasarkan kuintil kemiskinan Kuintil Kabupaten/ kota
Total Pengeluaran per kapita Kabupaten/kota
Pengeluaran untuk sektor pendidikan per siswa sekolah negeri
Pengeluaran pendidikan secara keseluruhan (%)
Total pengeluaran pendidikan Non-gaji (%)
2001 2004 2001 2004 2001 2004 2001 2004 Termiskin 558,116 725,459 165,486 215,523 35.7 34.4 5.5 5.3 2 364,804 724,234 148,595 228,492 40.1 36.3 4.4 4.7 3 393,305 690,836 144,850 209,021 43.0 35.0 4.3 4.6 4 493,893 899,841 184,214 245,510 40.0 32.0 4.9 5.6 Terkaya 619,163 950,714 182,893 272,704 32.9 31.1 5.2 3.9 Total 484,758 798,819 165,168 234,718 38.2 33.7 4.8 4.8 Sumber: Data Bank Dunia untuk pengeluaran tingkat kabupaten/kota, 2001-04. Catatan: Berdasarkan data dari 350 kabupaten/kota; kabupaten/kota yang baru cenderung tidak memiliki data. Kuintil berdasarkan kuintil BPS tahun 2004 untuk tingkat kemiskinan.
Oleh karena itu, kabupaten/kota yang lebih miskin tidak selalu harus tertinggal karena tidak memadainya proporsi anggaran pendidikan terhadap total anggaran mereka tidak memadai. Akan tetapi, perbedaan ini diakibatkan oleh alokasi anggaran yang memang lebih rendah untuk sektor. Sehingga peningkatan untuk keseluruhan anggaran mungkin dapat dipertimbangkan. Peningkatan ini dapat dikombinasikan dengan upaya berkelanjutan untuk menggunakan anggaran yang memadai pada sektor pendidikan.
Peningkatan akses: implikasi biaya adalah pendidikan yang bermutu untuk semua Untuk memastikan pemerataan angka partisipasi sekolah yang lebih luas melalui program “Pendidikan untuk Semua” (PUS) diperlukan peningkatan total pengeluaran, serta peningkatan pengeluaran per siswa. Tujuan PUS adalah untuk meningkatkan angka partisipasi murni baik untuk tingkat pendidikan dasar maupun sekolah menengah pertama dengan menjangkau masyarakat miskin dan tertinggal serta untuk meningkatkan 44 mutu pendidikan yang ada. Implikasi biaya dari tujuan ini dihitung oleh McMahon pada tahun 2003. A Konsep kunci perhitungannya adalah kecukupan, atau “apakah cukup tersedia buku pelajaran, materi ajar, kemampuan dan kualifikasi guru, perpustakaan sekolah, dan sebagainya untuk menghasilkan tingkat pendidikan yang memadai bagi 45 setiap anak” (McMahon, 2003).
44 Perhitungan biaya berdasarkan target PUS dengan tujuan mencapai 100 persen angka partisipasi sekolah pada 2008 untuk pendidikan dasar dan 95 persen untuk pendidikan sekolah menengah pertama, berdasarkan hasil Tinjauan Sektor Pendidikan oleh Bank Dunia pada 2005. Walaupun target ini—terutama untuk pendidikan sekolah menengah pertama—lebih tinggi, Ini menunjukkan bahwa perkiraan biaya jauh lebih tinggi daripada apa yang mereka perhitungkan. 45 Lihat Lampiran E.9 untuk perhitungan yang lebih lengkap.
44
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Tabel 3.10 Perkiraan biaya untuk program “Pendidikan untuk Semua” (PUS) Pendidikan Dasar 2004–05 Biaya per-siswa (Rp ’000) Kenaikan biaya PUS 179 Biaya sekarang 966 Total 1,145 Total Biaya ( = Biaya per-siswa X jl. siswa yang terdaftar) (Rp triliun) Kenaikan biaya PUS 5.1 Biaya sekarang 27.3 Total 32.3
Pendidikan Menengah 2008–09
2004–05
2008–09
209 966 1,175
509 1,449 1,958
834 1,449 2,283
5.7 26.4 32.1
5.3 15.5 20.8
10.2 18.0 28.4
Sumber: McMahon 2003.
Kenaikan biaya yang terkait dengan program PUS per siswa untuk 2004–05 adalah sebesar 18 persen dari biaya per-siswa untuk sekolah dasar tahun 2004 dan 35 persen untuk sekolah menengah pertama. Biaya ini jauh lebih tinggi daripada jumlah sebenarnya yang dikeluarkan di tingkat daerah untuk setiap siswa. Biaya pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama seharusnya berjumlah Rp 53 triliun pada 2004 (Tabel 3.4). Akan tetapi, pengeluaran di daerah hanya Rp 43.6 triliun. Untuk 2008–09, total perkiraan pengeluaran yang diperlukan akan mencapai hampir Rp 60 triliun untuk sistem pendidikan Indonesia agar tercapai target angka partisipasi sekolah. Dengan perhatian pemerintah untuk meningkatkan pengeluaran di sektor pendidikan, hal ini mungkin akan dapat menutup kesenjangan pendanaan dan mencapai tingkat pengeluaran yang diperlukan untuk setiap siswa. Namun demikian, peningkatan pengeluaran saja tidak akan dapat menjamin pencapaian tujuan PUS. Pembiayaan PUS merupakan langkah yang penting untuk memahami apa yang dibutuhkan untuk memenuhi citacita nasional, tetapi penyediaan sumber dana saja belum cukup. Untuk memperbaiki tingkat partisipasi siswa sekolah secara memadai, perubahan manajemen sekolah dan sistem pendidikan secara keseluruhan perlu dilakukan.
Pengeluaran Publik untuk Sektor Pendidikan: Efisiensi dan Hasil Efisiensi dalam manajemen sumber daya manusia: distribusi guru Walaupun anggaran pendidikan mengalami peningkatan, rasio murid dan guru (RMG) di Indonesia sangat rendah, yang menunjukkan tidak efisiensinya pengeluaran untuk sektor pendidikan. Sementara tingkat RMG yang rendah memberikan peluang yang lebih besar untuk meningkatkan interaksi antara guru dan siswa, konsensus umum menunjukkan bahwa RMG 30:1 adalah yang paling tinggi, sementara perbandingan rasio yang lebih kecil dari ini akan memberikan pengembalian marginal yang sangat rendah. Karena gaji guru merupakan komponen biaya yang cukup signifikan, RMG yang rendah cenderung akan menyebabkan beban keuangan yang berat. Perbandingan jumlah guru-murid di Indonesia merupakan salah satu dari yang terendah di kawasan Asia/Pasifik, seperti yang tampak pada Diagram 3.7. Perbandingan rata-rata RMG untuk negara-negara kawasan Asia/Pasifik sekitar 31:1 untuk pendidikan 46 dasar dan 25:1 untuk pendidikan sekolah menengah pertama. Indonesia masih jauh lebih rendah, sekitar 20 untuk pendidikan dasar dan sekitar 14 untuk pendidikan sekolah menengah pertama (Diagram 3.7). Rasio untuk Indonesia akan jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Amerika dan dengan beberapa negara Eropa. Angka ini juga jauh di bawah angka yang ditentukan secara nasional, yaitu 40:1 untuk pendidikan dasar dan 28:1 untuk pendidikan sekolah menengah pertama (World Bank, 2006h).
46 Sumber: Database EdStats. Rasio untuk SD sudah ditentukan jelas, tetapi untuk rasio tingkat SMP ditentukan oleh penulis karena ketidaktersediaan data.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
45
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 3.7 RMG untuk sekolah dasar dan sekolah menengah pada negera-negara terpilih, 2003 Sekolah dasar
Sekolah Menengah
Kamboja
56.24
India
31.26
Vietnam
Mongolia
30.77
Thailand
Lao PDR
China
21.05
Inggris
20.68
China
20.29
Korea, Rep.
10
14.92 14.23
Jepang
14.81 0
18.24 17.72
Indonesia
17.1
Amerika Serikat
19.05 18.61
Amerika Serikat
18.92
Inggris
23.59 21.52
Malaysia
19.56
Malaysia
25.59 24.86
Mongolia
Thailand
J epang
25.66
Kamboja
30.64 24.65
Indonesia
32.32
Lao PDR
34.93
Korea, Rep.
Vietnam
37.09
India
41.33
Filliphina
Filliphina
20
30
40
50
60
13.22 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Sumber: Edstats 2003.
Isu yang berkaitan dengan ketersediaan guru berhubungan dengan pendistibusian guru yang tidak efisien. Berdasarkan standar yang ditentukan saat ini yaitu dengan formula penempatan guru untuk sekolah dasar (minimal 9 guru dengan tingkat RMG 40:1), ternyata sekitar 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru, sementara 34 persen 47 mengalami kekurangan guru (Diagram 3.8). Ketidaksetaraan distribusi tersebut sangat jelas terutama ketika melihat ketersediaan guru di wilayah perkotaan, pedesaan, dan sekolah terpencil. Sekolah di wilayah perkotaan dan pedesaan mengalami kelebihan guru yang cukup besar (dengan 68 persen dan 52 persen sekolah mengalami kelebihan guru untuk masing-masing kedua wilayah tersebut), sementara sekolah di wilayah terpencil mengalami defisit guru yang serius, yaitu 66 persen sekolah mengalami kekurangan guru. Kebijakan pemerintah yang baru dengan melipatgandakan gaji pokok untuk guru yang bekerja di wilayah terpencil diharapkan mampu mendorong lebih banyak guru untuk mau bekerja di sekolah di wilayah tersebut. Diagram 3.8 Persentase sekolah dasar yang kelebihan dan kekurangan tenaga guru berdasarkan formula penggajian yang baru (%) 80 60 40 20
68
55
17
0
-20
52
-21
-3 4
-3 7 -6 6
-40 -60 -80 To t a l
Urban
Persentasi Sekolah-sekolah yang Mengalami Kelebihan Tenaga Guru
Perdesaan
Terpencil
Persentasi Sekolah-sekolah yang Mengalami Kekurangan Tenaga Guru
Sumber: Survei pengangkatan dan penugasan guru, 2005. Catatan: Berdasarkan formula penugasan yang berlaku.
47 Total kelebihan dan kekurangan guru dihitung berdasarkan hasil survei Pengangkatan dan Penugasan Guru tahun 2005 untuk sekolah di wilayah perkotaan dan wilayah terpencil. Total dihitung berdasarkan data Susenas 2004 terhadap persentase anak-anak yang berumur 7-15 tahun yang tinggal di kota dan desa, dan dengan asumsi 10 persen sekolah berada di wilayah terpencil. Guru paruh waktu diperhitungkan sebagai guru tetap.
46
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Metode yang digunakan sekarang untuk menentukan persyaratan penyediaan guru menyebabkan terjadinya kelebihan guru. Berdasarkan sistem yang kini berlaku, pihak sekolah menyampaikan kebutuhan guru kepada kantor pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota lalu meminta penambahan guru kepada kantor Departemen Pendidikan Nasional di tingkat pusat. Pemerintah pusat lalu mengalokasikan guru untuk kabupaten/kota tersebut sekaligus menyediakan tambahan pembayaran gaji guru melalui DAU. Berdasarkan sistem ini, pihak sekolah dan kabupaten/kota—yang sebenarnya tidak membayar gaji—memiliki alasan yang kuat untuk menyampaikan bahwa mereka kekurangan guru dan meminta tambahan sumber dana (yang pada dasarnya gratis), dan hampir tidak ada insentif untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya guru. Hal ini terlihat pada kenyataan di lapangan, dimana sekolah hampir mengeluh bahwa mereka kekurangan guru, walaupun sebenarnya mereka sudah kelebihan guru. Survei yang dilakukan pada tahun 2005 (Survei Tenaga Kerja dan Pembangunan 2005, Depdiknas dan Bank Dunia) menunjukkan bahwa dari 276 sekolah dasar, 65 persen menyatakan mereka kekurangan guru sementara hanya 8 persen yang menyatakan kelebihan guru. Akan tetapi, berdasarkan formula perhitungan, tercatat 55 persen sekolah mengalami kelebihan guru dan 34 persen mengalami kekurangan guru. Dari seluruh sekolah yang menyatakan kekurangan guru, 41 persen sebenarnya sudah mengalami kelebihan guru. Ketika memperhitungkan kelebihan guru, perlu dipertimbangkan besarnya jumlah guru bantu honorer yang begitu banyak di Indonesia. Sekitar 6 persen dari guru sekolah dasar di Indonesia dan 25 persen dari guru sekolah 48 menengah negeri bekerja sebagai guru bantu. Ini merupakan tambahan atas keluhan kekurangan guru di beberapa daerah tertentu. Penggunaan guru bantu hanya sedikit mengurangi beban biaya kepegawaian untuk sementara, sebab gaji guru bantu tidak lebih rendah secara signifikan daripada gaji guru tetap. Gaji guru bantu untuk sekolah dasar (termasuk kabupaten/kota dan tunjangan sekolah) anehnya hanya sedikit perbedaannya dengan guru tetap jika berdasarkan jumlah jam kerja. Hal ini pun berlaku juga untuk guru sekolah menengah pertama. Kenyataan bahwa gaji guru bantu tidak lebih kecil secara signifikan daripada guru tetap artinya guru bantu lebih mahal jika dihitung berdasarkan honor per jam. Di tingkat sekolah menengah pertama, guru-guru untuk bidang keahlian tertentu dibayar per jam. Untuk meningkatkan efektivitas biaya, bagaimanapun juga, guru-guru ini harus didorong untuk meningkatkan sertifikasi mereka agar mereka tetap dapat dipekerjakan secara penuh. Di tingkat sekolah dasar, hanya terdapat sedikit guru bantu (6 persen secara nasional), walaupun guru sekolah dasar sering mempunyai tanggung jawab lain selain mengajar di ruang kelas dan mempunyai jam kerja yang cenderung lebih pendek dari pada rata-rata 49 guru yang mengajar di dalam kelas. Pertimbangan dasar dari perspektif pendanaan adalah bahwa kelebihan guru menimbulkan beban biaya yang signifikan. Dengan menggunakan realisasi nilai RMG50 apabila mengikuti standar internasional dan nilai ratarata kawasan regional, Indonesia menunjukkan tingkat kelebihan guru sekitar 21 persen (Lampiran E.6). Bahkan ketika menggunakan perkiraan yang konservatif dan dengan memperhatikan tingginya jumlah guru bantu, biaya untuk pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama saja telah mencapai lebih dari Rp 5 triliun, atau sekitar 8 persen dari total anggaran pendidikan. Biaya tinggi ini akan semakin memburuk ketika gaji guru naik cukup besar sebagai konsekuensi adanya tunjangan baru yang dinyatakan dalam UU No.14/2005 tentang guru.
Gaji guru, tunjangan dan mutu pendidikan Dengan pemberlakuan UU No. 14/2005 tentang guru pada Desember 2005, pemerintah ,memberlakukan persyaratan baru mengenai sertifikat pendidik yang meningkatkan kompensasi sekaligus memperbaiki kualitas guru. Merancang struktur gaji dan tunjangan guru untuk mendapatkan kandidat guru terbaik dalam profesi keguruan merupakan tugas yang sangat rumit. Kenyataan ini benar terutama untuk Indonesia, dimana gaji para guru dianggap masih relatif rendah. Gaji yang rendah sepertinya merupakan salah satu alasan penting atas kinerja guru yang buruk, semangat yang rendah, dan cenderung memiliki kualifikasi yang rendah. Tingkat gaji guru di Indonesia, yang disesuaikan untuk daya beli, secara signifikan lebih rendah daripada gaji guru di negara lain (Unesco-UIS/OECD, 2005). 48 Jika sekolah swasta diperhitungkan, persentase guru sekolah menengah pertama adalah 39 persen. 49 Misalnya, di tingkat sekolah dasar, 20 persen dari guru mengajar olahraga dan agama dan 11 persen adalah kepala sekolah, yang masih sering bertanggung jawab mengajar pada taraf sekolah kecil, tetapi mempunyai peran manajemen yang lebih besar pada taraf sekolah yang lebih besar (lihat Lampiran E.7). 50 Yang diusulkan saat ini adalah minimal ada empat guru untuk setiap sekolah dasar dengan target RMG 32:1, dan minimal tujuh guru untuk setiap pendidikan sekolah menengah pertama dengan target RMG 28:1, sehingga hasil RMG sebenarnya masing-masing adalah 26:1 dan 22:1.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
47
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Gaji guru di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara setara lainnya. Sebuah survei terhadap sampel negaranegara yang tergabung dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD) menunjukkan bahwa tingkat gaji guru di Indonesian paling rendah dari negara-negara yang tergabung dalam IPD untuk seluruh jenjang dan tingkat pendidikan. Tetapi, perbandingan antarnegara dapat juga bermasalah, karena beberapa negara mungkin memberikan tunjangan tambahan yang tidak diperhitungkan dalam perbandingan. Namun demikian, hasilnya tetap menunjukkan bahwa guru di Indonesia menerima gaji yang relatif rendah. Bahkan kalau saja pendapatan guru dilipatgandakan melalui struktur tunjangan, gaji guru Indonesia masih tetap lebih rendah dari sampel negara-negara IPD kecuali Mesir. Tabel 3.11 Perbandingan gaji guru di beberapa negara terpilih dalam Indikator Pendidikan Dunia (IPD)
Tahun
Cili
Pendidikan menengah awal
Pendidikan dasar Gaji Awal
Gaji paling tinggi
Gaji Awal
Gaji paling tinggi
Pendidikan menengah lanjutan Gaji paling tinggi
Gaji Awal
2003
11,709
18,437
11,709
18,473
11,709
19,302
Mesir
2002/03
1,046
--
1,046
---
---
--
Indonesia
2002/03
1,002
3,022
1,002
3,022
1,042
3,022
2002
9,230
17,470
13,480
29,151
13,480
29,151
Malaysia Paraguay
2002
7,950
7,950
12,400
12,400
12,400
12,400
2002/03
9,890
11,756
9,890
11,756
9,890
11,765
Sri Lanka
2002
3,100
3,945
3,100
4,509
3,945
5,073
Thailand
2003/04
6,048
28,345
6,048
28,345
6,048
28,345
Uruguay
2002
4,850
7,017
4,850
7,017
5,278
7,444
Rata-rata OECD
2003
24,287
40,539
26,241
43,477
27,455
45,948
Filipina
Sumber: Unesco-UIS/OECD 2005 Tren Pendidikan dalam Perspektif: Analisa Indikator Pendidikan Dunia (IPD). Note: Angka dalam tabel dalam AS$ PPP.
Akan tetapi, secara nasional ketika membandingkan tingkat gaji untuk guru terhadap upah untuk pekerja lain dengan tingkat pendidikan yang sama, ternyata besarnya perubahan gaji bervariasi berdasarkan tingkat pendidikan. Besarnya gaji guru kontradiktif menurun secara aktual dengan meningkatnya tingkat pendidikan. Analisis tentang Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2004 menunjukkan gaji pokok per bulan guru sekolah dasar dengan kualifikasi lebih rendah dari lulusan diploma (kira-kira 40 persen dari seluruh guru), yaitu 16 persen lebih tinggi daripada upah pekerja lain. Perbedaan turun menjadi sebesar 6 persen dibandingkan upah pekerja lainnya untuk guru yang memiliki ijazah D-I dan D-II (kira-kira 32 persen dari seluruh guru), bahkan perbedaan ini menjadi negatif untuk guru sekolah dasar yang memiliki ijazah dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, terutama guru yang memiliki ijazah Diploma III (kira-kira 8 persen) atau ijazah sarjana S1 (kira-kira 19 persen) masing-masing dengan tingkat pendapatan 21 persen dan 35 persen lebih kecil daripada pekerja di sektor lain. Hasil survei ini menunjukkan bahwa guru dengan tingkat pendidikan yang rendah relative menerima pembayaran lebih tinggi, sementara guru dengan tingkat pendidikan lebih tinggi relatif dibayar terlalu rendah. Akan tetapi, gaji guru per jam masih cukup baik jika dibandingkan dengan pekerja lain, sebab jam kerja guru cenderung lebih pendek sehingga jam pembayaran per jam menjadi lebih tinggi. Menurut data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2004, guru bekerja sekitar 34 jam per minggu, sementara pekerja lain dengan tingkat pendidikan yang sama bekerja antara 43–46 jam per minggu (lihat Lampiran E..8). UU No.14/2005 tentang Guru akan secara signifikan menambah tingkat pengeluaran rutin untuk upah guru (gaji dan tunjangan ) selama 10 tahun ke depan ini. Undang-undang Desember 2005, menyatakan bahwa semua guru wajib memiliki sertifikat pendidik paling lambat 10 (sepuluh) tahun sejak berlakunya UU dan guru yang bersertifikat mendapatkan tunjangan profesi setara dengan satu kali gaji pokok guru ditambah dengan tunjangan 51 fungsional sebesar 50 persen dari gaji pokok. UU ini menyatakan adanya tunjangan khusus, yang akan diberikan kepada guru yang bertugas di wilayah konflik, terkena bencana alam, wilayah terpencil, dan wilayah-wilayah yang mengalami permasalahan khusus lainnya. 51 Spesisfikasi tunjangan fungsional sebesar 50 persen dari gaji pokok untuk gutu yang sudah mendapatkan sertifikasi guru merupakan bagian dari draft undang-undang yang diharapkan untuk disahkan sebelum akhir 2006.
48
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Diagram 3.9 Perkiraan biaya untuk gaji guru dan tunjangan baru 120 100
R p triliun
80
Pengeluaran Sektor Pendidikan Nasional tahun 2005
60 40
16 20
15
14
20
12
11
13
20
20
20
10
20
09
20
07
08
20
20
20
20
06
20
Total pengeluaran untuk gaji guru akan menjadi dua kali lipat dalam waktu delapan tahun dan akan melebihi total pengeluaran untuk sektor pendidikan pada 2005. Pengeluaran untuk tunjangan profesional akan meningkat secara perlahan setiap tahun karena semakin banyak guru yang akan memperoleh sertifikat pendidik (Diagram 3.9). Pada 2016, perkiraan pengeluaran sebesar Rp 102.7 triliun akan dialokasikan untuk gaji dan tunjangan (130 persen dari seluruh pengeluaran nasional 2005 untuk 52 sektor pendidikan). Depdiknas mungkin akan menggunakan tunjangan profesi untuk menentukan alokasi yang lebih besar dari keseluruhan anggaran untuk sektor pendidikan. Tindakan ini didasarkan atas ketentuan anggaran sebesar “20 persen” di dalam UU Pendidikan, terutama semenjak semua tunjangan-tunjangan ini tidak dimasukkan sebagai “pengeluaran untuk gaji.”
Pengeluaran untuk Bidang Pendidikan tahun 2005 Tunjangan Profesional
Tunjangan Fungsional
Tunjangan Daerah Khusus
Pengeluaran untuk Gaji Guru
Hasil pendidikan: kinerja siswa dan nilai ujian
Indonesia menduduki peringkat yang rendah dalam tes standar internasional—yang sesuai dugaan karena Indonesia merupakan satu-satu negara dengan tingkat pendapatan rendah-menengah yang ikut berpartisipasi dalam tes ini. Pada tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat 34 dari 45 negara dalam Olimpiade Studi Ilmu Matematika Internasional Ketiga (TIMMS). Khususnya, siswa kelas 8 dari Indonesia memiliki hasil yang buruk untuk bidang kognitif seperti pemecahan masalah (Mullis dkk., 2006). Pada program ujian internasional penilaian siswa (PISA) tahun 2003, Indonesia menduduki peringkat terakhir dari 40 negara baik dalam pelajaran matematika maupun bahasa. Selanjutnya, pada skala kemahiran dari 0 - 6 untuk matematika, lebih dari 50 persen siswa tidak mampu mencapai tingkat 1. Untuk membaca, hanya 31 persen yang mampu menyelesaikan sebagian besar dari tugas-tugas pokok membaca. Para siswa dari Indonesia memiliki kemampuan yang lebih rendah daripada negara lain bahkan setelah memperhitungkan status sosioekonomi keluarga. Temuan ini menunjukkan bahwa sistem persekolahan mengalami defisiensi, dan bukan karena siswa berasal dari latar belakang keluarga miskin (EFA Global Monitoring Laporan 2005). Akan tetapi, pada saat yang sama, perlu dicatat bahwa pada dasarnya ujian PISA diperuntukkan bagi negara maju dan negara berpenghasilan menengah, dan Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memiliki penghasilan dengan kategori rendah-menengah pada kelompok tersebut. Sumber: Perhitungan Bank Dunia menggunakan data guru dari Depdiknas 2004–05
Diagram 3.10 Tren nilai ujian membaca dan matematika menurut Tes Standar Internasional PISA Hong Kong- Chin a
Jepang
Korea
Brazil 600 550 500 450 400 350 300 250
Indonesia
Mexico
Thailand
Polandia
Yunani
Spanyol
Port ugal Federasi Rusia
Membaca thn 2000 Membaca thn 2003
Sumber: OECD, 2003.
Matematika thn 2000 Matematika thn 2003
Kecenderungan skor Indonesia pada ujian internasional menunjukkan sedikit peningkatan. Indonesia berpartisipasi pada PISA selama dua ronde berturutturut pada 2000 dan 2003. Sementara siswa Indonesia masih tetap ketinggalan dibandingkan dengan negara lain, namun mereka telah menunjukkan peningkatan kinerja dalam keterampilan membaca dan matematika selama kurun waktu tersebut (Diagram 3.10). Mutu pendidikan yang begitu rendah mengundang pertanyaan tentang kesesuaian sistem pendidikan di tingkat sekolah menengah dalam kaitannya dengan tingkat pengembalian sosial, kesiapan bekerja serta prospek pendapatan. Rendahnya mutu pendidikan merupakan masalah besar terutama bagi siswa yang migrasi dari daerah pedesaan yang miskin ke wilayah perkotaan.
52 Perkiraan ini tidak termasuk tunjangan kabupaten/kota dan sekolah yang kadang-kadang juga diberikan untuk guru.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
49
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Walaupun, terdapat (trade off) dalam hal alokasi sumber dana untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah, tapi investasi dalam mutu pengajaran untuk menaikkan tingkat pengembalian sosial dalam sektor pendidikan. Kinerja yang rendah dari sistem pendidikan Indonesia berdasarkan peringkat internasional memberikan kesan bahwa sistem pendidikan yang ada sekarang tidak mampu memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan belum memberikan tingkat pengembalian sosial yang maksimal atas investasi yang dilakukan pada sektor ini.
50
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Rekomendasi Kebijakan Menentukan tingkat pengeluaran pendidikan yang “memadai” Dengan membandingkan pengeluaran untuk sektor pendidikan secara internasional, pengeluaran Indonesia relatif lebih kecil daripada pengeluaran pendidikan negara tetangga di Asia Timur, akan tetapi mendekati pengeluaran negara-negara berkembang lainnya. Dengan meningkatnya ruang gerak fiskal, pengeluaran untuk sektor pendidikan di Indonesia akan mengalami peningkatan sekurang-kurangnya 17 persen dari keseluruhan anggaran. Indikator yang dianalisis di dalam laporan ini adalah pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi produk domestik bruto (PDB) dan pengeluaran untuk sektor pendidikan sebagai proporsi dari total pengeluaran dan pengeluaran yang disesuaikan dengan daya beli di berbagai tingkat pendidikan. Menurut indikator ini, kecenderungan pengeluaran Indonesia hanya sedikit lebih rendah daripada negara berkembang, bahkan di antara negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Tingkat pengeluaran Indonesia untuk sektor pendidikan bagaimanapun juga meningkat. Kecenderungan pengeluaran dan proyeksi anggaran menunjukkan peningkatan, artinya pemerintah sudah memenuhi komitmen untuk memperbaiki layanan masyarakat. Berdasarkan perkiraan yang sudah memperhitungkan beberapa faktor penentu dalam alokasi pengeluaran sektor 53 pendidikan, tingkat pengeluaran pendidikan Indonesia (pada 2000) diharapkan menjadi setidaknya 17 persen dari keseluruhan anggaran. Dengan ruang gerak fiskal yang semakin membaik, tingkat pengeluaran saat ini diharapkan setidaknya mencapai angka 17 persen. Penafsiran yang berkembang sekarang mengenai ketentuan anggaran sebesar “20 persen” di luar gaji guru menurut UU Pendidikan adalah hal yang tidak realistis baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan mengikuti ketentuan 20 persen tersebut sesuai ketentuan UU pendidikan akan memberikan arti bahwa:
• •
•
Di daerah: Peningkatan pengeluaran pendidikan sebesar Rp 21 triliun. Dengan melakukan hal tersebut akan meningkatkan pengeluaran sektor pendidikan menjadi sekitar 45 persen dari total anggaran daerah (APBD). Hal ini secara politik akan menimbulkan masalah dan secara ekonomi hal itu tidak mungkin dapat dilaksanakan karena akan mengurangi pengeluaran untuk sektor lain (kesehatan, infrastruktur) di tingkat kabupaten/kota. Di tingkat pusat: Dengan anggaran pendidikan sekitar Rp 46 triliun (2006), atau 9,4 persen dari anggaran pemerintah pusat (APBN), penentuan alokasi tambahan anggaran sebesar Rp 59 triliun akan diperlukan untuk memenuhi ketentuan dalam UU tersebut. Perhitungan ini hanya satu dari begitu banyak hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja sektor pendidikan dengan menafsirkan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang. Akan tetapi, kebanyakan dari perhitungan ini disampaikan pada suatu kesimpulan, yang mana bahwa di tingkat pusat, pengeluaran untuk sektor pendidikan perlu dilipatduakan. Peningkatan sumber dana yang begitu besar di tingkat pusat bertentangan dengan pelaksanaan sistem desentralisasi karena yang terjadi adalah peningkatan peran pusat di daerah dalam hal pengambilan keputusan kebijakan, sementara itu mengurangi ruang gerak fiskal dan wewenang pengambilan keputusan pemerintah daerah. Dengan adanya implikasi-implikasi seperti yang disebutkan diatas dan fakta bahwa hanya klausul diluar gaji ditambahkan dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sedangkan hal ini tidak ditentukan di dalam UUD, pemerintah semestinya bertindak bijaksana untuk kembali mempertimbangkan atas definisinya. Penafsiran atas ketentuan 20 persen termasuk pengeluaran untuk gaji kelihatannya akan lebih realistis.
Memperbaiki struktur pengeluaran Karena angka partisipasi sekolah di tingkat sekolah dasar telah mendekati angka 100 persen, fokus di tingkat ini harus diarahkan pada investasi untuk infrastruktur pendidikan dan mutu masukan lainnya seperti ruang kelas, mutu pendidikan guru yang masih jauh dari kategori memuaskan. Indonesia hampir mencapai angka partisipasi sekolah penuh untuk pendidikan dasar. Jadi, di tingkat sekolah dasar, kebutuhan terhadap akses pendidikan perlu ditingkatkan di beberapa wilayah terpencil. Namun demikian, angka partisipasi sekolah sebesar 100 persen mungkin tidak akan berkontribusi terhadap pengurangan pertumbuhan angka kemiskinan dan pertumbuhan apabila mutu pendidikan dasar rendah. Banyak sekolah dasar tidak memiliki infrastruktur yang memadai dan guruguru yang tidak memenuhi persyaratan minimal untuk menjadi guru. Struktur pengeluaran dari berbagai program perlu diubah untuk menjaring berbagai masukan (inputs) yang berkualitas. 53 Termasuk seluruh penduduk, kepadatan penduduk, PDB per kapita, tingkat desentralisasi fiskal dan keseimbangan anggaran. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
51
BAB 3 Sektor Pendidikan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Penentuan alokasi tambahan terhadap sumber daya pada jenjang pendidikan sekolah menengah pertama dan lanjutan akan memberikan nilai pengembalian sosial yang tinggi. Sementara mutu pendidikan dasar masih merupakan permasalahan yang memerlukan tingkat investasi yang serius, pemerintah harus mempertimbangkan pendidikan menengah sebagai prioritas lanjutan. Menurut analisis komposisi pengeluaran untuk sektor pendidikan dan estimasi tingkat pengembalian sosial terhadap pendidikan, tambahan sumber dana paling baik jika dialokasikan pada tingkat pendidikan menengah pertama dan lanjutan, karena memiliki dampak pengembalian sosial yang tertinggi. Di samping itu, analisis komposisi fungsional terhadap anggaran menunjukkan bahwa pemerintah pusat saat ini sedang mengalokasikan sebagian besar sumber dana untuk program pendidikan dasar dan tinggi. Pemerintah mungkin perlu mempertimbangkan kembali distribusi pengeluaran tersebut. Selanjutnya, berdasarkan angka partisipasi sekolah di seluruh jenjang pendidikan menunjukkan bahwa pemerintah harus meningkatkan akses dan menurunkan angka putus sekolah untuk jenjang pendidikan menengah pertama dan atas. Walaupun kedua masalah pendidikan tersebut merupakan masalah umum di Indonesia, tetapi masyarakat miskinlah yang paling mungkin mengalami.
Membuat pengeluaran untuk sektor pendidikan lebih merata Perbedaan daerah dalam akses dan kualitas antar daerah harus dikurangi dengan menentukan sasaran lokal. Analisis mengenai angka partisipasi sekolah memberikan indikasi perbedaan akses dan mutu yang begitu luas terhadap pendidikan di Indonesia. Pemerintah seharusnya mengalokasikan dana pendidikan yang memadai bagi kabupaten/kota dan provinsi yang tertinggal agar mereka dapat “mengejar ketertinggalannya”. Pemerintah daerah yang lebih miskin cenderung menggunakan anggaran yang cukup besar untuk sektor pendidikan. Akan tetapi, tingkat pengeluaran absolut mereka masih rendah. Transfer dana dari pemerintah pusat akan dapat menjamin pemerataan yang lebih besar terhadap akses layanan pendidikan. Transfer Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat lebih ditingkatkan atau disesuaikan dengan kemiskinan yang misalnya melalui akses terhadap pendidikan. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan perkembangan yang penting dalam pendanaan sektor pendidikan dan juga merupakan instrumen yang penting untuk meningkatkan keterjangkauan walaupun sebenarnya masih banyak hal yang perlu ditingkatkan. Jika pemerintah terus mengalokasikan dana bantuan BOS (yang saat ini berjumlah sekitar 12 persen dari total konsolidasi anggaran pendidikan ) untuk sekolah, maka kita perlu mempertimbangkan hal-hal berikut :
• • • •
Walaupun pengiriman dana secara langsung kepada sekolah dapat mengurangi tingkat kebocoran anggaran, masih diperlukan pemantauan dan penelusuran arus keuangan untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan dan alokasi yang tidak pada tempatnya dari dana ini. Mekanisme alokasi yang tidak melalui pemerintah provinsi dan kabupaten/kota akan mengakibatkan terjadinya re-sentralisasi pengeluaran dengan. Karena besarnya dana bantuan BOS ditentukan berdasarkan jumlah siswa, sekolah memiliki intensif untuk menggelembungkan jumlah siswa jika tidak ada mekanisme kontrol yang memadai. Program tersebut tidak memberikan petunjuk untuk mengukur kinerja atau transparansi anggaran kepada sekolah. Dengan demikian, sulit untuk mengukur dampak yang sebenarnya dari program tersebut terhadap besarnya uang sekolah dan mutu pengajaran.
Upaya untuk menjamin pemerataan akses kepada pendidikan merupakan isu utama di tingkat sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Upaya untuk menangani hal ini seharusnya ditingkatkan. Pemerintah seharusnya berfokus pada peningkatan penerimaan siswa yang berasal dari keluarga miskin terutama di tingkat pendidikan sekolah menengah pertama, yang memiliki angka putus sekolah yang tinggi dan angka partisipasi sekolah yang rendah. Program dengan target yang lebih jelas seharusnya bertujuan untuk menanggulangi isu-isu tersebut dari dua sisi:
• •
52
Sisi permintaan, dengan mengurangi tingkat pengeluaran dari pihak keluarga atau meminjamkan pendapatan yang hilang melalui mekanisme tertentu seperti transfer tunai. Sisi penawaran, dengan menanggulangi potensi kurangnya investasi infrastruktur pendidikan, yang berfokus pada sekolah menengah, melalui pembangunan gedung baru dan peningkatan input untuk perbaikan mutu.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 3 Sektor Pendidikan
Meningkatkan efisiensi pengeluaran untuk sektor pendidikan Untuk menanggulangi distribusi guru yang tidak merata, perlu dilakukan re-evaluasi terhadap kebijakan penerimaan pegawai, terutama yang berkaitan dengan formula penempatan saat ini, serta kebijakan yang terkait dengan perpindahan staf atau guru dan penempatan guru di wilayah-wilayah terpencil. Potensi pilihan yang ada untuk penentuan tenaga sekolah di masa yang akan datang adalah menentukan jumlah guru setiap sekolah berdasarkan jumlah siswa dan bukan pada jumlah kelas. Dengan mempertimbangkan sekolah-sekolah yang lebih kecil, kebijakan ini seharusnya diikuti oleh fleksibilitas yang lebih luas mengenai mata pelajaran yang harus diajarkan guru. Selanjutnya, layanan pengajaran merupakan bagian dari layanan masyarakat secara nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu untuk menyediakan tidak hanya perpindahan guru antarsekolah dalam satu kabupaten/ kota tetapi juga antara satu kabupaten/kota atau provinsi dengan yang lain. Pada akhirnya nanti, perlu juga untuk melakukan peninjauan sistem pengadaan guru yang ada sekarang untuk memastikan fleksibilitas dukungan kebijakan yang dapat meningkatkan akses, pemerataan, dan mutu. Akhirnya, Indonesia telah memiliki kebijakan atas layanan kebutuhan guru di wilayah-wilayah terpencil. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi sekarang adalah menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan tersebut. UU guru yang baru sebagian menimbulkan masalah karena UU menjamin penyediaan tambahan tunjangan pendanaan untuk guru yang bekerja di wilayah-wilayah terpencil. Kelebihan guru secara keseluruhan berdampak besar dan berkelanjutan terhadap efektivitas biaya dalam sistem pendidikan Indonesia. Pengurangan jumlah guru akan menambah penyediaan dana yang dapat digunakan untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan sekarang ini. Akan tetapi, kelebihan guru seperti itu merupakan masalah lokal dan dapat diatasi sebagian dengan menyediakan tunjangan lokal dengan mencantumkannya di dalam UU guru yang baru. Di samping itu, kelebihan guru dalam beberapa hal merupakan konsekuensi dari adanya kenyataan bahwa banyak guru bantu yang bekerja di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama memiliki tingkat kehadiran yang tinggi. Namun demikian, total kelebihan guru menunjukkan adanya beban biaya sekitar 10 persen dari total anggaran. Beban ini akan bertambah buruk sebagai akibat dari ketentuan UU yang melipatduakan gaji pokok guru. Pilihannya adalah mengurangi jumlah guru dengan tujuan memperbaiki mutu pendidikan. Tergantung pada skala pengurangan tersebut, sejumlah dana dapat digunakan untuk mendukung peningkatan gaji dan tunjangan. Sementara pelaksanaan kebijakan pemindahan guru akan lebih meratakan distribusi guru, upaya untuk mengurangi dampak akibat kelebihan guru mungkin akan menjadi tantangan terbesar sistem pendidikan Indonesia saat ini. Dengan adanya fakta bahwa para guru berada pada jajaran layanan masyarakat, ada sedikit opsi selain memperlambat atau “membayar” akibat dampak pengurangan tersebut. Pilihan yang kedua ini memiliki implikasi jangka pendek terhadap anggaran. Strategi tambahan penting lainnya yang mungkin dilakukan adalah mengurangi jumlah penerimaan mahasiswa keguruan di lembaga pendidikan. Untuk menjamin bahwa guru terdorong untuk memperoleh kualifikasi yang benar dan memadai, maka gaji guru perlu disesuaikan dengan kualifikasi mereka. Gaji guru biasanya masih dianggap lebih rendah dibandingkan dengan pekerja lain dan PNS lainnya dengan tingkat pendidikan yang sama. Analisis berdasarkan pendapatan per jam, ternyata pendapatan guru memang lebih kecil dibandingkan dengan PNS yang bertugas pada bidang nonkeguruan. Selanjutnya, masih terdapat disparitas wilayah yang begitu luas dalam hal tingkat upah untuk guru yang akan mempersulit pelaksanaan re-distribusi tenaga kependidikan. UU keguruan yang baru memperkenalkan kebijakan untuk menanggulangi isu-isu semacam ini dengan menghubungkan peningkatan gaji pokok untuk guru sesuai dengan kualifikasi dan kinerja yang baik. Di samping itu, penyediaan tunjangan untuk guru yang bertugas di wilayah terpencil akan memberikan kompensasi terhadap perbedaan upah lokal dan peningkatan distribusi guru. Peningkatan gaji guru setelah proses sertifikasi tampaknya dapat dimengerti. Akan tetapi, jika peningkatan ini menyebabkan pengurangan anggaran inti lainnya untuk sektor pendidikan, hal ini dapat berdampak negatif terhadap keluaran pendidikan. UU keguruan yang baru secara substansial mempengaruhi anggaran pendidikan. Dengan adanya berbagai jenis tunjangan baru untuk kurun waktu lima tahun ke depan, hal ini akan berpengaruh terhadap anggaran pendidikan nasional yang ada sekarang. Besarnya dampak keuangan terhadap peningkatan pembayaran tunjangan dapat dikurangi jika mampu secara bersamaan menurunkan tingkat kelebihan guru di Indonesia dan mengurangi jumlah guru bantu.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
53
BAB 3 Sektor Pendidikan
54
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4
Sektor Kesehatan Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Temuan Pokok
• •
•
•
Secara umum, pengeluaran sektor kesehatan di Indonesia masih rendah namun analisis pengeluaran publik menunjukkan bahwa masalah utama dalam sektor kesehatan adalah alokasi sumber daya yang tidak merata dan tidak efisien. Saat ini, pengeluaran sektor publik melalui subsidi regresif layanan kesehatan sekunder pada dasarnya lebih banyak menguntungkan masyarakat kaya daripada masyarakat miskin. Hal ini dikarenakan penduduk miskin memiliki akses yang sangat rendah terhadap layanan rumah sakit umum, sehingga mereka tidak mampu memanfaatkan anggaran yang telah disalurkan untuk layanan kesehatan yang bersifat sekunder. Peranan sektor swasta dalam sistem layanan kesehatan Indonesia telah tumbuh secara dramatis selama satu dasawarsa belakangan ini. Saat ini, sebagian besar petugas layanan kesehatan sudah terlibat dalam pemberian layanan kesehatan baik untuk publik maupun swasta. Meskipun sudah terdapat kemajuan dalam perluasan sistem layanan kesehatan publik, akses terhadap layanan dan kualitas layanan masih rendah, dan masyarakat miskin masih sangat bergantung pada penyediaan layanan kesehatan dari sektor swasta. Jumlah relatif dokter dan perawat sebagai proporsi dari jumlah penduduk di Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Rata-rata jumlah dokter dan perawat di tingkat nasional mencakup angka disparitas yang cukup besar terkaitan dengan penyediaan tenaga kesehatan di daerah, meskipun belum tentu didasarkan pada kebutuhan masing-masing daerah.
Rekomendasi Utama
•
•
• • •
56
Pemerintah sebaiknya sudah mulai memikirkan untuk mengalokasikan sumber daya yang lebih besar kepada sektor kesehatan, karena total pengeluaran nasional jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pengeluaran di negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Saat ini Indonesia masih menggunakan kurang dari sepertiga anggaran sektor kesehatan yang telah digunakan Filipina, negara yang berada di urutan kedua terendah dalam pengeluaran kesehatan untuk kawasan Asia Tenggara. Namun demikian, fokus pertama sebaiknya diarahkan pada efisiensi alokasi anggaran dan kualitas layanan kesehatan sebelum melakukan peningkatan keseluruhan pengeluaran untuk sektor kesehatan. Kesenjangan harus dikurangi dengan meningkatkan akses terhadap layanan dan memperbaiki kualitas layanan kesehatan untuk masyarakat miskin. Hal ini dapat ditempuh dengan meningkatkan alokasi DAK dengan sasaran kabupaten/kota yang miskin dan kurang mendapatkan layanan, dan investasi pada sisi permintaan, misalnya dengan memperkenalkan program kupon kesehatan, yang dapat meningkatkan akses penduduk miskin terhadap layanan kesehatan yang berkualitas. Prioritas sebaiknya diarahkan untuk melakukan identifikasi terhadap berbagai komnbinasi investasi yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas sektor kesehatan dalam mengatasi beban ganda penyakit (penyakit menular dan yang tidak menular), serta munculnya berbagai berbagai penyakit baru (seperti HIV/AIDS dan flu burung). Sektor publik harus memainkan peran yang lebih besar dalam mengarahkan sistem kesehatan secara keseluruhan melalui penerapan peraturan, perizinan, dan akreditasi bagi penyedia kesehatan sektor swasta. Hal ini akan membantu dalam menjamin kualitas layanan kesehatan swasta. Pemerintah perlu melakukan identifikasi untuk menentukan kombinasi yang benar dalam pelaksanaan koordinasi dan penerapan ketentuan yang menjamin pemerataan distribusi layanan kesehatan beserta sumbr daya manusianya terutama dokter, sehingga efisiensi investasi untuk tenaga kesehatan dapat ditingkatkan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kemajuan dan Tantangan pada Sektor Kesehatan Meningkatkan kesehatan publik merupakan tantangan bagi pemerintah pusat dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Tingkat kesehatan yang lebih baik bukan saja merupakan dimensi kunci keberhasilan penurunan angka kemiskinan, namun juga merupakan faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Berjangkitnya suatu penyakit dan tingkat kesehatan yang buruk sebagian besar terjadi pada penduduk miskin, hal ini disebabkan oleh faktor kemiskinan yang mengakibatkan mereka tidak mampu mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai, walaupun sebenarnya penyembuhan terhadap masalah kesehatan mereka sudah tersedia. Sebagai contoh, penyebab utama dari kematian bayi adalah penyakit gangguan pernafasan, tifus, dan diare. Penyakit-penyakit seperti ini dapat disembuhkan dengan mudah, oleh karena itu akses terhadap layanan kesehatan ini sebaiknya tersedia luas. Peningkatan kinerja layanan kesehatan merupakan faktor terpenting untuk mendorong perbaikan kualitas kesehatan publik khususnya bagi penduduk miskin. Pemerintah telah berupaya untuk mengatasi masalah kesalingterkaitan (nexus) antara kesehatan dan kemiskinan dengan memfokuskan agenda mereka pada sejumlah isu utama. Hal ini meliputi (i) peningkatan akses terhadap layanan kesehatan bagi kelompok penduduk yang kurang beruntung, (ii) pencegahan dan pemberantasan penyakit menular, (iii) penanggulangan masalah gizi buruk dengan fokus pada anak balita dan wanita hamil, dan (iv) perbaikan pengadaan stok obat-obatan generik (RPJM RKP, 2006). Perkembangan dalam rangka pencapaian tujuan ini dipantau melalui 12 target spesifik yang harus tercapai pada tahun 2007 (Kotak 4.1). Kotak 4.1 Target pemerintah terhadap peningkatan hasil pelayanan sektor kesehatan, 2007 • • • • • • • • • • • •
Layanan kesehatan gratis di Puskesmas dan layanan Kelas 3 di rumah sakit 100 persen untuk keluarga miskin. Imunisasi Anak Universal (UCI) menjangkau 92 persen lebih tinggi di desa. Angka persentase deteksi kasus TBC di atas 70 persen. 100 persen penderita demam berdarah (DBD) menerima perawatan. 100 persen pasien malaria menerima perawatan. Angka persentase fatalitas kasus diare selama KLB (peristiwa luar biasa) menurun sampai 1,3 persen. 100 persen orang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) menerima perawatan ARV. 85 persen wanita hamil mengkonsumsi tablet Fe. 60 persen bayi menerima ASI eksklusif. Peningkatan persentase anak balita yang mengkonsumsi Vitamin A mencapai 80 persen. Peningkatan persentase distribusi produk makanan yang memenuhi persyaratan keselamatan mencapai 70 persen. Perluasan lingkup pemeriksaan fasilitas produksi dalam konteks produksi obat-obatan (CPOB) mencapai 45 persen
Sumber: Pemerintah Indonesia, RKP 2006,
Selama bertahun-tahun, tekad pemerintah untuk sektor kesehatan telah memberikan kemajuan yang cukup besar dalam mengurangi angka kematian bayi dan anak. Misalnya, angka kematian bayi (IMR) turun dari 46 per 1.000 bayi pada tahun 1997 (IDHS 1997) menjadi 35 per 1.000 bayi pada tahun 2003 (IDHS 2002-03) dan Indonesia sudah hampir mencapai target “Tujuan Pembangunan Milenium” (MDG)54 untuk IMR (33 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran sampai tahun 2015). Penempatan bidan di berbagai daerah mendorong terjadinya perbaikan gizi anak pada akhir tahun 1990an, tetapi akhir-akhir ini angka persentase gizi buruk kembali meningkat. Pada tahun 1990-an, sebanyak 50.000 bidan ditugaskan di seluruh Indonesia untuk meningkatkan akses terhadap layanan kebidanan. Para bidan ini memiliki dampak positif yang cukup besar terhadap status gizi anak-anak. Anak-anak yang lahir di desa dengan bantuan bidan 55 rata-rata mengalami masalah gizi buruk lebih ringan daripada anak-anak desa yang lahir tanpa bantuan bidan. Walaupun prestasi ini sudah dicapai, namun masalah gizi buruk muncul kembali antara tahun 2002 dan 2003 karena 56 alasan yang belum diketahui. 54 Target MDG untuk menurunkan angka kematian anak diukur dengan tiga indikator, yaitu: (i) angka kematian balita; (ii) persentase anak-anak di bawah satu tahun yang memperoleh imunisasi campak, dan, (iii) angka kematian bayi. Pada angka persentase kematian bayi, angka ini perlu diturunkan sebesar dua per tiga antara tahun 1990 dan 2015 (Bappenas-Unicef, Indonesia Laporan tentang MDG, 2004). 55 Frankenberg, 2004. 56 Abreu, 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
57
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Dengan tren yang ada saat ini dan lemahnya peran pemerintah di bidang kesehatan ibu hamil (maternal health), Indonesia sepertinya tidak akan berhasil mencapai standar MDG untuk penurunan angka kematian ibu di masa persalinan atau sesudahnya (maternal mortality).57 Angka kematian ibu hamil ini belum mengalami perubahan sejak dulu. Risiko kematian selama masa persalinan atau pasca persalinan masih cukup tinggi untuk 58 Indonesia dengan rasio angka kematian (mortality rate) sebesar 307 per 100.000 kelahiran. Ini menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki empat anak akan memiliki nilai probabilitas persentase angka kematian sebesar 1,23 persen sebagai akibat dari kehamilan mereka. Indonesia bahkan merupakan negara yang cukup memprihatinkan jika ingin membandingkan angka kematian ibu hamil karena angka kematian ibu hamil di Indonesia enam kali lebih tinggi daripada di Cina (50) dan 10 dan 15 kali lebih tinggi masing-masing dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia (36 dan 20). (Tabel 4.1). Jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia memiliki kondisi yang buruk berdasarkan atas angka pengukuran tingkat kesehatan yang paling mendasar sekali pun. Misalnya, dalam hal angka kematian dan usia harapan hidup, peringkat Indonesia berada di bawah rata-rata negara Asia Timur dan masih berada di peringkat yang lebih rendah dibandingkan dengan negara tetangga (terutama Malaysia) dengan angka perbedaan yang cukup besar. Indonesia juga terus-menerus menduduki peringkat paling bawah untuk pemberian vaksinasi campak di kawasan Asia Tenggara, yang menunjukkan adanya kelemahan dalam tindakan pencegahan. Situasi ini semakin memburuk terutama akibat krisis ekonomi dengan angka persentase vaksinasi yang menurun dari 80 persen menjadi 70 persen pada tahun 2001. Angka persentase ini sekarang sudah stabil pada angka sekitar 73 persen, sebuah angka yang sangat rendah dibandingkan dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Perbedaan dalam hasil pelayanan ini akan stabil meski telah diperhitungkan dengan angka PDB per kapita. Vietnam, walaupun memiliki PDB yang lebih rendah, memiliki nilai yang lebih baik pada hasil pelayanan lain, sementara Filipina, dengan PDB sedikit lebih tinggi memiliki peringkat yang lebih baik untuk segala bentuk pelayanan (Tabel 4.1). Tabel 4.1 Perbandingan regional mengenai hasil pelayanan sektor kesehatan, 2004 PDB per kapita (AS$)
Usia harapan hidup (tahun)
Angka kematian kasar
Angka Angka Angka KemaKematian Kematian Angka DPT Campak tian Ibu Bayi Balita Hamil 34.7* 45.7* 70 72 307* 95* 124.4* 85 80 437* 10.2 12.4 99 95 20** 23.6* 66.7* 96 97 95 18.2 21.2 98 96 36 28.7* 39.9* 79 80 172** 61.6 85.2 64 56 540 26 31 91 84 50 29.2 36.8 86.6 82.5 Na
Persalinan dgn. Bantuan petugas kesehatan terlatih
Indonesia 906 67.4 7.3 72 Kamboja 350 56.6 11 31.8* Malaysia 4,290 73.5 4.7 97 Vietnam 502 70.3 6.1 90 Thailand 2,356 70.5 7.2 Na Filipina 1,085 70.8 5 60 India 538 63.5 8.3 Na China 1,323 71.4 6.4 96 Asia Timur 1,254 70.3 6.6 86.1 Sumber: WDI, UNDP dan DHS. Catatan: IMR: Angka Kematian Bayi; U5MR: Angka Kematian Balita; MMR: Angka Kematian Ibu Hamil. Untuk Perkiraan dengan * sumber untuk perkiraan dengan ** sumber data data adalah DHS adalah UNDP. Data mengenai Nagka Kematian Ibu yang terbaru yang tersedia adalah data untuk 2003 (World Bank 2006g). Data mengenai jumlah persalina yang dibatu tenaga kesehatan terlatih tersedia untuk tahun 2003-2004. 57 Tujuan Pembangunan Milenium untuk Kesehatan Ibu menunjukkan bahwa negara seharusnya mampu mengurangi rasio angka kematian ibu hamil sampai tiga perempat. Lihat: http://www.un.org/millenniumgoals/. Walaupun MMR tampaknya menurun, perkiraan tidak cukup dapat dipercaya untuk mengatakan hal ini secara pasti. Perkiraan data MMR pada periode tahun 1990-94 adalah 390/100.000, untuk periode tahun 1994-98 adalah 334/100.000, dan untuk periode tahun1998-2002 adalah 307/100.000. Tetapi akibat kesalahan sampel yang tinggi sekitar 95 persen, interval keyakinan ketiga perkiraan itu menjadi tumpang tindih. Masih terdapat tingkap tumpang tindih sebesar 67 persen interval. Hal ini mungkin akan menunjukkan penurunan dramatis, peningkatan atau tidak ada perubahan sama sekali. Akan tetapi, penurunan ini sepertinya tidak menunjukkan peningkatan mengingat peningkatan proksi MMR – peningkatan jumlah bidan terlatih, penurunan anemia pada ibu, dan peningkatan lembaga persalinan. Penurunan yang tajam sepertinya tidak akan terjadi mengingat mengingat tingginya angka persalinan yang dilakukan di rumah. 58 Perkiraan ini berasal dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2002 (IDHS) dan berdasarkan laporan kematian selama periode tahun 1998 - 2002.
58
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
Angka kematian balita di Indonesia telah menurun, tetapi angka itu masih tinggi dibandingkan dengan sebagian negara di Asia, di rasio angka 46 per 1.000. Selanjutnya, angka kematian balita pada penduduk miskin hampir empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian balita pada penduduk kaya. Diagram 4.1 Perbandingan regional antara angka kematian bayi dan kematian balita, 2004 140
124,4
120 95
100
85,2
80
66,7
60 40 20 0
12 14,1 Sri Lanka
18,2 21,2
Thailand
26 31
China
28,7
39,9
Filiphina
34,7
23,6
Indonesia
Angka kematian, bayi (per 1,000 kelahiran hidup)
61,6
45,7
Vietnam
India
Kamboja
Angka Kematian, Balita (per 1,000)
Source: WDI, DHS and UNDP.
Kotak 4.2 Kembalinya kasus polio di Indonesia pada 2005 Pada bulan Maret 2005, seorang bayi berumur 20 bulan dari Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tiba-tiba lumpuh sebagai akibat dari infeksi virus polio. Sejak Maret 2005, sejumlah 303 anak-anak telah lumpuh akibat penyebaran virus polio di Indonesia. Berdasarkan data statistik, daerah cakupan imunisasi untuk bayi masih tetap tinggi, tetapi hal ini telah menutup kantong-kantong yang memiliki daerah cakupan yang rendah. Akan tetapi, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa angka persentase imunisasi jauh lebih rendah daripada yang dilaporkan dalam data statistik Dinas Kesehatan. Penurunan secara umum dari daerah cakupan imunisasi (termasuk polio) sebagai akibat dari pelaksanaan sistem desentralisasi merupakan penyebab utama dari kembalinya kasus polio di Indonesia. Tanggapan: Dua kampanye vaksinasi dan tiga putaran Hari Imunisasi Nasional (NID) telah dimulai pada bulan Mei 2005. Putaran terakhir dilaksanakan pada November 2005. Karena juga terdeteksi virus ganas yang baru pada waktu itu, program imunisasi khusus dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 2006 di 57 kabupaten/kota, dengan target sebanyak 4,5 juta anak balita, program imunisasi keempat dan lima dilaksanakan pada bulan Februari dan April 2006. Tantangan bagi Pemerintah: 1. Meningkatkan dan mempertahankan daerah cakupan imunisasi secara umum dan melakukan observasi mengenai indikator utama penyebab polio. 2. Meningkatkan kecermatan data statistik untuk mencerminkan daerah cakupan yang sebenarnya sehingga daerahdaerah yang memerlukan upaya lebih keras dapat diidentifikasi. Source: Unicef, 2005.
Data nasional menutupi keragaman rasio angka hasil pelayanan kesehatan yang tersebar di setiap daerah. Misalnya, penduduk miskin di Provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat memiliki angka kematian pasca persalinan (post-neonatal) yang besarnya lima kali lebih tinggi daripada provinsi-provinsi yang paling berhasil di Indonesia. Ketidakseimbangan rasio angka kematian balita serupa juga terjadi di beberapa wilayah. Sebagian besar provinsi menunjukkan angka yang lebih rendah, atau hanya sedikit lebih tinggi dari 40 kematian untuk setiap 1.000 kelahiran, hanya sembilan provinsi yang memiliki tingkat di atas 60. Bahkan tingginya angka kematian balita untuk Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo mencapai sekitar 90 sampai 100 (Diagram 4.2).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
59
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 4.2 Angka kematian bayi dan kematian balita berdasarkan provinsi, 2002-03 120
Kematian Bayi
Kematian Balita
100 80 60 40 20
Yo Ba Su gy a li law ka es rt a iU D K tara I Ja k Ja w ar Ba a T ta ng en k a ga Ka Be h l im lit an tan ung Su T m at eng er a S ah e Ja lata wa n Ba ra t Ka lim Ja an m bi ta n T Ja imu wa r Ti m Ka ur lim Ba an n t a t en n Se Su lat m an at e Su ra m Ut at er ara aB ar at Ka il m Ri au an t an B La arat m pu n Su Ben g l aw gk u es lu i Nu Sul Ten sa aw gah Te e s i n U Su gga tara law ra T es i i T mur en gg Nu ar G a sa Te oro ng nt a ga l ra o Ba ra t
0
Sumber: 2002-03, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia.
Selama lebih dari satu dasawarsa, kasus-kasus penyakit yang memberatkan masyarakat telah bergeser, yang menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami masa transisi epidemiologis. Sebagian besar penyakit menular adalah penyakit-penyakit seperti tuberkulosis, infeksi akut saluran pernafasan, malaria, dan diare. Namun demikian, penyakit tidak menular, terutama penyakit jantung kardiovaskuler, secara perlahan menggantikan posisi penyakit menular ‘tradisional’ sebagai penyebab kematian terbesar saat ini. Antara tahun 1992 dan 2001, total kematian yang diakibatkan oleh penyakit jantung kardiovaskuler telah meningkat sebesar 10 persen dari 16 menjadi 26,4 persen. Infeksi akut saluran pernafasan dan TBC merupakan penyebab kematian terbesar berikutnya (masing-masing 15 dan 11 persen) (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional dan Survei Kesehatan Nasional, 1992, 1995, 2001). Indonesia sedang menghadapi kasus-kasus penyakit berat yang telah meningkat dua kali lipat, sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan usia tua, sehingga akan berpengaruh terhadap kuantitas dan jenis layanan kesehatan yang diperlukan di masa depan. Di samping itu, Indonesia juga sedang menghadapi munculnya epidemi ‘baru’ dengan munculnya kasuskasus penyakit seperti flu burung dan HIV/AIDS. Epidemi HIV/AIDS kini sedang berada di persimpangan jalan seiring dengan meningkatnya pemerataan berjangkitnya epidemi ini di antara kelompok berisiko tinggi (mis., pekerja seks dan pengguna narkoba suntik) dan populasi di Papua, sementara upaya untuk mencegah penularan penyakit ini masih sangat terbatas. Sehubungan dengan kasus flu burung, data yang ada menunjukkan peningkatan jumlah kasus dan korban. Oleh karena itu, upaya penanganan dan pencegahan sebaiknya ditingkatkan secara terpadu dan terkoordinir. Secara keseluruhan, epidemi baru ini merupakan tantangan baru pada sektor kesehatan terkait dengan kegiatan observasi penyakit, kontrol, dan imunisasi.
Pengeluaran untuk Sektor Kesehatan di Indonesia 62
Pengeluaran publik pada sektor kesehatan telah meningkat cukuo besar sejak tahun 2001, dari Rp 9,3 triliun menjadi Rp 16,7 triliun pada tahun 2004, yang merupakan peningkatan nyata sebesar 44 persen (Tabel 4.2). Selanjutnya, alokasi anggaran untuk tahun 2006 menunjukkan kenaikan sebesar 25 persen dibandingkan pengeluaran pada tahun 2005, ketika pengeluaran saat itu sekitar Rp 22 triliun. Dibandingkan dengan jumlah total pengeluaran secara nasional, maka pengeluaran untuk sektor kesehatan juga meningkat dari 2,6 persen pada tahun 2001 menjadi 3,8 persen pada tahun 2004. Akan tetapi, jika dilihat dari angka persentase dari PDB maka pengeluaran di sektor kesehatan masih rendah karena hanya meningkat dari 0,55 persen menjadi 0,73 persen pada periode yang sama.
62 Sebelum krisis, pengeluaran untuk sektor kesehatan tidak mengalami peningkatan yang serupa dan dari tahun 1994 sampai tahun 2001 sektor ini hanya tumbuh rata-rata 5 persen per tahun. Tren pengeluaran yang kita lihat sejak 2001 masih merupakan fenomena baru.
60
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
Tabel 4.2 Tren dalam pengeluaran di sektor kesehatan di, 2001-07 (Rp triliun)
2001 2002
Pengeluaran nominal tingkat nasional sektor kesehatan Pengeluaran riil tingkat nasional sektor kesehatan (2001=100) Tingkat pertumbuhan tahunan pengeluaran riil nasional sektor kesehatan (%) % pengeluaran sektor kesehatan dari Total Pengeluaran Nasional % PDB pengeluaran nasional sektor kesehatan Nominal pengeluaran keseluruhan secara nasional Keseluruhan pengeluaran riil tingkat nasional (2001=100) Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan Data SIKD. Catatan: * Angka-angka anggaran untuk 2006 dan ** perkiraan untuk 2007.
9.3 9.3 28.1 2.6 0.55 353.6 353.6
10.6 9.8 2.7 3.1 0.57 337.6 301.8
2003 16.0 13.4 41.4 4.0 0.78 405.4 339.9
2004 16.7 13.2 -1.8 3.8 0.73 445.3 351.6
2005 22.0 15.6 19.4 4.1 0.81 535.8 382.9
2006* 31.5 19.8 26.7 4.5 0.95 698.2 442.4
2007** 38.6 22.8 15.4 4.9 1.09 785.4 468.3
Diagram 4.3 Tren pengeluaran sektor kesehatan, 1997-2007 1.2 1.0
20
0.8 15 0.6 10
% dari PDB
Rp triliun; harga konstan di tahun 2001
25
0.4
5
0.2 -
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Pengeluaran Kesehatan Nasional Riil (100=2001)
2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pengeluaran Kesehatan Nasional sebagai % dari PDB
0.0
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan data dari DepKeu,
Perbandingan wilayah negara untuk tingkat pengeluaran di sektor kesehatan menunjukkan bahwa tingkat pengeluaran Indonesia masih jauh di bawah tingkat pengeluaran negara-negara tetangga di Asia Timur, dengan tingkat kurang dari 1 persen dari PDB dan hanya 4,5 persen dari jumlah total pengeluaran untuk sektor kesehatan. Negara lain, bahkan negara dengan pendapatan per kapita yang lebih rendah seperti Filipina mengeluarkan sekitar 3 persen dari PDB mereka untuk kesehatan publik. Terkait dengan pengeluaran untuk sektor ini sebagai bagian dari total pengeluaran, sekali lagi Indonesia tertinggal di belakang Filipina, di mana hampir sebanyak 6 persen dari total sumber daya pemerintah dikeluarkan untuk sektor kesehatan. Angka-angka ini akan lebih mengejutkan lagi ketika memperhitungkan angka kematian bayi. Indonesia memiliki angka kematian bayi yang lebih tinggi untuk per 1.000 kelahiran, namun pengeluaran sangat kecil dibandingkan dengan negara yang memiliki angka kematian lebih rendah.63 Tingkat pengeluaran untuk kesehatan dan indikator kesehatan menunjukkan bahwa Indonesia belum memberikan prioritas pengeluaran untuk sektor ini, atau belum memperoleh hasil yang dibutuhkan untuk mencapai target MDG. 63 Banyak buku maupun jurnal belakangan ini, meskipun masih sangat terbatas, yang menunjukkan bukti-bukti adanya korelasi positif antara pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan dan hasil pelayanan kesehatan seperti IMR dan MMR (lihat Gottret, Gai dan Bokhari, 2006). Akan tetapi, sampai dengan saat ini hubungan itu tidak terbukti dan hilangnya hubungan itu dapat dijelaskan oleh adanya tiga faktor: (i) peningkatan pengeluaran publik untuk sektor kesehatan mungkin akan menyebabkan penurunan tingkat pengeluaran swasta untuk sektor ini (sebuah keluarga mungkin akan mengalihkan dana mereka untuk pengeluaran lain daripada untuk kesehatan jika pemerintah telah menyediakan layanan kesehatan dasar yang bagus); (ii) peningkatan pengeluaran pemerintah dapat ditujukan pada upaya margin intensif daripada margin ekstensif; dan (iii) bahkan jika dana tambahan digunakan untuk layanan kesehatan (penyediaan layanan, staf, dan barang keperluan yang lebih banyak), jika layanan pelengkap (seperti jalan raya) tidak disediakan maka dampak yang timbul mungkin akan sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali). (lihat Musgrove 1996 untuk tinjauan sejumlah bukti; Wagstaff, 2002, untuk dampak dari layanan pelengkap; Jalal dan Ravallion, 2003, untuk penggunaan peningkatan pengeluaran dalam sektor kesehatan; dan Anand dan Ravallion, 1993; Bidani dan Ravallion, 1997, Filmer dan Pritchett, 1999; dan Wagstaff, 2004.)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
61
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 4.4 Perbandingan antar negara untuk pengeluaran kesehatan, 2004 (anggaran 2006) dan IMR 16 13 .6
35
28 .7
12
30
10
25 18 .2
8 5 .9
6
0
4 .5
3 .8
4 2
6 .9
0 .7 3 I ndon es i a 2004
20 15
3 .8
3 .3
3 .2
10 .2
10
Angka Kematian Bayi
% dari Pengeluaran Nasional
14
40 34 .6
5
0 .9 5 I ndones i a 2006 (anggaran)
Filliphina
Thailan d
M al a y s i a
0
Pengeluaran Kesehatan Nasional sebagai persen dari PDB Pengeluaran Kesehatan Secara Umum sebagai % dari Total Pengeluaran Pemerintah
Sumber: Indikator Pembangunan Dunia 2006 dan Perhitungan staf Bank Dunia.
Komposisi ekonomi dan tingkat pemerintahan Peningkatan pengeluaran publik secara keseluruhan untuk sektor kesehatan yang terjadi akhir-akhir ini didorong secara ekslusif oleh pengeluaran pembangunan. Pengeluaran di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota tumbuh masing-masing sebesar 42, 36, dan 46 persen. Pengeluaran pembangunan meningkat tajam setelah tahun 2001, sementara pengeluaran rutin secara absolut tetap sama; penurunan dalam jumlah kecil di tingkat pemerintah pusat dan provinsi diimbangi dengan kenaikan di tingkat kabupaten/kota dan pengeluaran rutin bahkan menurun dari total pengeluaran untuk setiap tingkat pemerintahan (Tabel 4.3). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kenaikan pengeluaran untuk sektor kesehatan semata-mata disebabkan oleh kenaikan dalam pengeluaran pembangunan. Tabel 4.3 Tingkat dan proporsi pengeluaran sektor kesehatan per tingkat pemerintahan (Rp triliun)
2001
%
2002
%
2003
Pemerintah Pusat 2.8 34 2.3 27 Pembangunan 2.1 74 2.0 84 Rutin 0.7 26 0.4 16 Provinsi 1.6 19 1.9 22 Pembangunan 0.5 33 0.7 39 Rutin 1.1 67 1.2 61 Kabupaten/kota 3.9 47 4.3 50 Pembangunan 1.1 28 1.1 25 Rutin 2.8 72 3.2 75 Total Pengeluaran di tingkat nasional 8.3 100 8.5 100 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu. Catatan: * Pengeluaran provinsi dan Kabupaten/kota berdasarkan transfer sebelumnya. Harga konstan tahun 2004.
4.3 4.0 0.3 2.1 1.1 1.0 5.6 2.2 3.4 12.0
% 36 92 8 18 52 48 47 39 61 100
2004 4.0 3.5 0.4 2.1 1.2 0.9 5.7 2.2 3.5 11.8
% 33 89 11 18 58 42 49 39 61 100
2005* 5.7 - -2.3 - -6.1 - -14.1
% 41 --- 16 --- 43 --- 100
2006* 7.3 - -2.8 - -7.6 - -17.7
% 41 --- 16 --- 43 --- 100
dana pendapatan, juga diprediksi berdasarkan pengeluaran tahun
Pada tahun 2004, sebagian besar sekitar 70 persen pengeluaran untuk sektor kesehatan dilakukan di daerah dan kebanyakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Di tingkat kabupaten/kota pengeluaran berjumlah 73 persen dari total pengeluaran, sementara pengeluaran untuk tingkat provinsi hanya berjumlah 27 persen. Pengeluaran di setiap tingkat pemerintahan yang berbeda pada dasarnya tidak mengalami perubahan sejak pelaksanaan sistem desentralisasi. Pemerintah kabupaten/kota menggunakan sekitar setengah dari seluruh pengeluaran untuk sektor publik, sementara sepertiga digunakan oleh pemerintah pusat dan sisanya oleh pemerintah provinsi (lihat Tabel 4.3dan Diagram 4.5).
62
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
Diagram 4.5 Tren pengeluaran sektor kesehatan berdasarkan tingkat pemerintahan
Rp miliar
Meskipun pemerintah kabupaten/kota mengelola sekitar setengah dari total anggaran, pengeluaran ini merupakan 25.000 pengeluaran rutin yang tidak dapat digunakan sesukanya (non-discretionary). 20.000 Selanjutnya, walaupun pelaksanaan sistem desentralisasi secara formal memindahkan Pengeluaran Kesehatan tanggung jawab kesehatan dari pemerintah 15.000 Pemerintah Pusat pusat ke daerah, namun sebagian besar anggaran pembangunan masih secara Pengeluaran Kesehatan 10.000 Pemerintah Provinsi langsung digunakan oleh pemerintah pusat. Sementara itu, sejak tahun 2001, pemerintah 5.000 kabupaten/kota hanya memperoleh sekitar Pengeluaran Kesehatan sepertiganya (Tabel 4.3). Hal ini tampaknya Pemerintah Daerah cukup mengejutkan karena pemerintah 0 daerah hanya memiliki hak yang sangat kecil 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006* 2007* untuk mengelola dana kesehatan warganya. Tabel 4.4 Pengeluaran sektor kesehatan – pengeluaran pembangunan vs. pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan
2001 (%)
2002 (%)
2003 (%)
2004 (%)
3.7
3.8
7.2
7.0
Pemerintah pusat
56
52
55
50
Provinsi
14
20
15
18
Total Pengeluaran pembangunan (Rp triliun)
Kabupaten/kota Total Pengeluaran rutin (Rp triliun)
30
29
30
32
4.6
4.7
4.8
4.8
Pusat
16
8
7
9
Provinsi
23
24
21
18
Kabupaten/kota
61
68
72
73
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.
Pengeluaran Kesehatan ( log, pc )
Diagram 4.6 Pengeluaran untuk sektor kesehatan dan penerimaan kabupaten/kota, tahun 2004 Pengeluaran pemerintah kabupaten/kota di sektor kesehatan tampaknya akan ditentukan oleh total penerimaan, dan bukan oleh kebutuhan di sektor 16 kesehatan. Pelaksanaan sistem desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pengalokasian pengeluaran untuk sektor kesehatan, karena pemerintah kabupaten/ 15 kota memiliki peluang untuk menyesuaikan layanan dan pengeluaran agar lebih sesuai dengan keinginan 14 dan kebutuhan penduduk setempat. Akan tetapi, analisis pola pengeluaran kesehatan antar pemerintah 13 kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan hubungan yang positif antara tingkat penerimaan dan 12 pengeluaran; makin tinggi pendapatan pemerintah 12 13 14 15 16 kabupaten/kota, makin tinggi pula tingkat Pendapatan Daerah(l og, pc) pengeluarannya. Hampir tidak ada perbedaan pada tingkat pengeluaran kabupaten/kota di sektor kesehatan, walaupun terdapat perbedaan yang cukup besar di tingkat provinsi untuk hasil pelayanan kesehatan. Secara teoritis, kabupaten/kota memiliki wewenang untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian pengeluaran di sektor kesehatan. Akan tetapi, kenyataannya lembaga kesehatan dan pemerintah daerah sering menunggu petunjuk dari pemerintah pusat tentang bagaimana mereka semestinya menggunakan berbagai sumber daya yang mereka miliki tersebut.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
63
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Pengeluaran memang dapat meningkatkan hasil pelayanan kesehatan akan tetapi sama pentingnya adalah untuk memperbaiki kualitas pengambilan kebijakan kesehatan dan lembaga kesehatan. Dalam suatu penelitian yang melibatkan 57 negara, Wagstaff dkk., menyimpulkan bahwa kualitas kebijakan dan lembaga kesehatan yang diukur berdasarkan Indeks Kebijakan Negara dan Penilaian Kelembagaan (Country Policy and Institutional Assessment/ CPIA) sangat berpengaruh terhadap dampak peningkatan pengeluaran terhadap hasil pelayanan kesehatan. Untuk negara yang memiliki skor rendah antara 1 atau 2, peningkatan hasil pelayanan kesehatan tidaklah besar. Untuk negara seperti Indonesia dengan skor 3,6, peningkatan anggaran kesehatan sebesar 10 persen dari PDB dapat mengurangi MMR sampai 7 persen, sementara perubahan angka kematian balita, TBC, dan imunisasi tidak akan besar. Dukungan lebih mendalam untuk melakukan perbaikan pada: (1) alokasi pengeluaran; (2) target geografis, proyek, populasi, dan penargetan secara “bottleneck”, dan; (3) akuntabilitas penyedia layanan kesehatan, akan membantu meningkatkan efisiensi pengeluaran, yang merupakan langkah awal bagi pengeluaran kesehatan untuk dapat berdampak positif terhadap hasil pelayanan kesehatan.
Alokasi Ekonomi untuk pengeluaran sektor kesehatan Sebagian besar pengeluaran rutin di tingkat daerah, terutama pengeluaran untuk gaji pegawai, makin lama akan makin menggeser (crowded out) pengeluaran untuk pengadaan barang, pengeluaran operasional, dan pemeliharaan (Tabel 1.5). Pemerintah kabupaten/kota dan provinsi menggunakan pengeluaran rutin dalam jumlah yang cukup besar untuk gaji pegawai yaitu masing-masing sekitar 82 dan 66 persen, dan sebagian besar dari sisa anggaran dialokasikan untuk pengeluaran pengadaan barang. Akan tetapi, pengeluaran untuk pengadaan barang telah menurun baik secara riil maupun secara nominal. Pengeluaran pemerintah kabupaten/kota untuk pengadaan barang menurun sampai 12 persen, sementara di tingkat provinsi pengeluaran untuk pengadaan barang menurun hampir sepertiganya. Dengan melakukan analisis pengeluaran rutin berdasarkan klasifikasi ekonomi menunjukkan bahwa baik pemerintah kabupaten/kota maupun pemerintah provinsi tidak mengalokasikan jumlah dana yang cukup untuk pengeluaran operasional dan pemeliharaan. Hal ini menggambarkan rendahnya tingkat pemeliharaan dan adanya permasalahan di bidang pengawasan yang memadai, terutama di tingkat masyarakat, tempat dilaksanakannya kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat pencegahan. Walaupun tingkat pengeluaran pemerintah daerah cukup besar untuk sektor kesehatan, sebenarnya ruang gerak fiskalnya sangat sempit dan sebagian besar pengeluaran rutin mereka, yaitu sebesar 82 persen digunakan untuk pengeluaran gaji. Tabel 4.5 Distribusi pengeluaran rutin berdasarkan tingkat pemerintahan Kabupaten/kota Gaji Barang Kegiatan Operasional dan Pemeliharaan Perjalanan dinas Lain-lain Total Pengeluaran Rutin
Provinsi
2002
%
2003
%
2004
%
2002
%
2003
%
2004
%
3,182 779
70 17
3,850 640
79 13
4,081 683
82 14
847 515
52 31
887 334
61 23
818 353
66 28
119
3
116
2
115
2
62
4
64
4
59
5
28
1
47
1
49
1
8
1
12
1
14
1
421
9
215
4
56
1
207
13
147
10
5
0
4,528
100
4,869
100
4,984
100
1,639
100
1,444
100
1,248
100
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu. Catatan: Angka dalam tabel selain persen, dalam Rp miliar. Harga konstan tahun 2004.
Alokasi fungsional terhadap pengeluaran Berkaitan dengan alokasi fungsional pengeluaran sektor kesehatan, program yang memerlukan bagian terbesar dari anggaran adalah program ‘kesehatan publik’ dan program ‘kesehatan perorangan atau pribadi’. Kedua program ini merupakan program kesehatan utama pemerintah pusat meskipun tidak banyak yang dapat diketahui mengenai program tersebut. Biasanya, program ‘kesehatan publik’ berfokus pada penyediaan pusat kesehatan masyarakat dan klinik yang terkait lainnya, pembangunan gedung Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Puskesmas keliling, dan bidan desa, sementara ‘program kesehatan perorangan’ berfokus pada penyediaan layanan di rumah sakit. Kedua program ini secara bersama-sama mencapai sekitar 50 persen dari program kesehatan pemerintah
64
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
pusat. Program penting lainnya terkait dengan manajemen dan administrasi. Program yang sifatnya upaya pencegahan hanya berjumlah sekitar 12 persen dan program kebersihan dan sanitasi hanya sekitar 3,2 persen dari seluruh anggaran. Program gizi dan pasokan obat-obatan hanya mencapai 4 persen dari anggaran kesehatan pemerintah pusat. Sebagian besar dari berbagai program tersebut di atas diklasifikasikan sebagai intervensi kesehatan yang bersifat preventif. Anggaran untuk peran pemerintah ini dibedakan dalam tiga kategori utama, yakni: penyembuhan, pencegahan, dan operasional. Sebagian besar peran tersebut merupakan upaya pencegahan, walaupun di dalamnya masih mengandung upaya penyembuhan, mengingat bahwa 20 persen anggaran peran pemerintah yang bersifat upaya penyembuhan sepertinya masih dianggap rendah. Kedua peran pemerintah yang tergolong paling besar ini yang ditujukan pada puskesmas dan rumah sakit tampaknya juga memiliki upaya penyembuhan: seperti yang diuraikan dalam Strategi Pembangunan Pemerintah Jangka Menengah (RPJM 2004-09). Strategi ini memiliki komponen sub-kunci yang terkait dengan pembangunan fasilitas untuk puskesmas, pemeliharaan fasilitas, serta pengadaan 64 instrumen dan kebutuhan sehari-hari kesehatan termasuk obat-obat generik. Tabel 4.6 Alokasi fungsional dari anggaran pemerintah pusat untuk kesehatan, 2006 Program (Rp miliar)
Promosi Kesehatan & Pemberdayaan penduduk Kebersihan & Sanitasi Kesehatan publik Kesehatan perorangan Pencegahan & Pengendalian Penyakit Gizi Sumber Daya Kesehatan Obat-obatan & Suplai Obat Manajemen & Kebijakan Kesehatan Penelitian & Pengembangan Meningkatkan dan Memantau Akuntabilitas Manajemen Sumber Daya Manusia Administrasi Pelatihan Total %
Curative
Pencegahan
Operasional
Total
%
---2,649 ----------2,649 20
132 433 2,465 1,697 1,620 582 --------6,928 51
------906 628 1,126 1,74 43 27 1,026 15 3,946 29
132 433 2,465 4,346 1,620 582 906 628 1,126 174 43 27 1,026 15 13,524 100
1 3 18 32 12 4 7 5 8 1 0 0 8 0 100
Sumber: Bappenas, 2006.
Ketidakjelasan dalam penganggaran kesehatan pemerintah pusat menunjukkan perlunya merevisi ulang penganggaran program kesehatan. Agar pemerintah mampu mengalokasikan pengeluaran yang bertujuan kepada pelayanan dan hasil, maka sistem informasi kesehatan sebaiknya direvisi untuk menjamin pelaksanaan pemantauan dan evaluasi yang memadai. Namun demikian, anggaran juga memerlukan informasi yang lebih lengkap untuk melakukan analisis tentang perlunya program kesehatan tersebut di atas. Saat ini program-program tersebut di atas dijelaskan hanya secara umum saja, dengan memberikan sedikit peluang untuk melakukan re-alokasi pengeluaran atau untuk melakukan perubahan terhadap kategori peran pemerintah agar menjadi lebih efisien lagi.
64 Lihat Lampiran Bagian F1 mengenai uraian program kesehatan Pemerintah Pusat untuk ‘Kesehatan Masyarakat’ dan ‘Layanan Kesehatan Pribadi’.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
65
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Pengeluaran rumah tangga untuk layanan kesehatan dan asuransi Diagram 4.7 Komposisi total pengeluaran sektor kesehatan
Pengeluaran rumah tangga merupakan komponen terbesar dari total pengeluaran kesehatan. Pada tahun 2004, rumah tangga Indonesia mengeluarkan sekitar Rp 20 triliun untuk kesehatan, yang memberikan kontribusi sebesar 55 persen dari total pengeluaran kesehatan (Diagram 4.7). Jumlah ini masih sebanding dengan angka persentase rata-rata di negara-negara berpendapatan menengah-rendah (50 persen) (World Bank, 2005). Antara tahun 2003 dan 2005, biaya kesehatan rumah tangga meningkat menjadi 12 persen, sedikit lebih besar dari peningkatan pengeluaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (8 persen) selama periode yang sama.
15% 8% 55% 22%
Pusat
Provinsi
Daerah
Rumah Tangga
Sumber: Data dari DepKeu dan Susenas 2004,
Di Indonesia, saat ini 3,5 persen dari total pengeluaran rumah tangga digunakan untuk kesehatan, meskipun demikian telah terjadi kecenderungan yang menurun (Diagram 4.8). Selama empat tahun belakangan ini, pengeluaran rumah tangga mengalami penurunan secara signifikan sekitar 6 persen dari total pengeluaran rumah tangga yang saat ini berjumlah 3,5 persen. Penurunan ini terjadi akibat adanya penurunan absolut dalam pengeluaran kesehatan per kapita seiring dengan peningkatan total pengeluaran rumah tangga per kapita, dan bukan disebabkan oleh peningkatan pengeluaran pemerintah. Diagram 4.8 Tren pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan 300,000 5.9%
250,000 200,000
6.0%
206,267
186,930 191,212 4.4%
173,147
150,000
5.0%
3.7%
3.3%
3.5%
100,000 50,000
7.0%
257,967
4.0% 3.0% 2.0%
10,164
8,186
6,299
7,724
9,045
0
1.0% 0.0%
2001
2002
2003
2004
2005
Pengeluaran untuk Kesehatan Swasta Total Pengeluaran Swasta Pengeluaran Kesehatan sebagai bagian dari Keseluruhan Pengeluaran
Penurunan pengeluaran sektor kesehatan sebagian disebabkan karena menurunnya penggunaan layanan tenaga kesehatan profesional. Antara tahun 1997 dan 2005, penggunaan layanan tenaga kesehatan professional menurun dari sekitar 53 persen menjadi sekitar 34 persen, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang melakukan pengobatan sendiri. Walaupun pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan meningkat, nilai persentase penggunaan layanan kesehatan masih di bawah nilai persentase sebelum krisis (Diagram 4.9).
Sumber: WHO: Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu – Susenas 2005.
Diagram 4.9 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan 100
% 20,6
17,3
26,7
32,1
52,7
50,6
15,9
14,7
49,9
50,9
34,2
34,4
80 60 40 20 0
1993
1997
Fasilitas kunjungan, apapun
2001
self treatment only
2005 Tanpa Perawatan
Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005.
66
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Meskipun sekitar 75 persen pendanaan dari sektor swasta/perusahaan dikeluarkan oleh para karyawannya (yang merupakan sektor rumah tangga), sektor swasta/perusahaan ini merupakan sumber pengeluaran terbesar kedua. Pengeluaran dari sektor swasta/perusahaan hampir berjumlah 20 persen bersumber dari pengeluaran kesehatan sektor rumah tangga melalui pembayaran kembali biaya kesehatan karyawan maupun pembayaran langsung untuk penyediaan layanan kesehatan bagi karyawan mereka. Pembayaran di muka oleh sektor rumah tangga mencapai 5 persen (Dana Kesehatan untuk Masyarakat Miskin, 2002). Pengeluaran tunai langsung ini dapat meningkatkan kerentanan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
ekonomi sektor rumah tangga dan individu yang akhirnya dapat menyebabkan mereka terdorong ke bawah garis kemiskinan, terutama ketika mereka mendapat musibah yang memerlukan pengeluaran kesehatan yang besar. Pembayaran tunai langsung ini meningkat dua kali lipat antara tahun 1999 dan 2001 untuk antar kelompok berdasarkan pendapatan dengan perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan yang cukup lebar pun terjadi di tingkat provinsi. Persentase sektor rumah tangga yang menghadapi lonjakan pengeluaran kesehatan telah meningkat dua kali lipat; dari 1,5 pada tahun 1999 menjadi 3,6 persen pada tahun 2001 (Data Susenas). Individu atau karyawan (sektor rumah tangga) yang serumah dengan anak-anak dan manula memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap lonjakan pengeluaran apalagi jika mereka tidak memiliki kartu sehat (penduduk miskin) atau tidak ada program asuransi swasta yang menawarkan mereka perlindungan kesehatan semacam itu (Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu). Partisipasi masyarakat untuk mengkituti asuransi kesehatan masih rendah di Indonesia. Antara tahun 2003 dan 2005, partisipasi masyarakat dalam program asuransi kesehatan sedikit menurun dari 21,3 persen menjadi 19,8 persen dari total jumlah penduduk, sehingga sekitar 80 persen penduduk tidak memiliki asuransi (Diagram 4.10). Di kedua tahun tersebut, program Kartu Sehat mendapat porsi terbesar dalam pemberian jaminan bagi seluruh peserta asuransi kesehatan. Asuransi Kesehatan (ASKES) sedikit menurun pada tahun 2005, seperti hal-nya juga terjadi penurunan pada asuransi pribadi. Untuk akses kepemilikan asuransi kesehatan hanya terdapat sedikit ketidakmerataan (Diagram 4.11). Penyebabnya adalah kepemilikan Kartu Sehat yang berpihak pada penduduk miskin sehingga mampu menurunkan ketidakmerataan pada akses kepemilikan asuransi yang lain, seperti asuransi swasta, Jamsostek, dan Askes. Diagram 4.10 Persentase partisipasi dalam asuransi Diagram 4.11 Partisipasi asuransi menurut kuintil, kesehatan 2005 25
%
25
20 15
10
6.0
5.7
2.7
2.7
8.5
15 0.7 3.0
0.5 5
20
3.9
3.5
0.8
8.6
8.5
2003 ASKES
2004 Jamsostek
Asuransi pribadi, dll
2005 JPKM
Kartu Sehat
8.3
11.5
0.6
10
2.5 5.1
0
%
5
2.8
0.7 1.8 1.3 4.3
0.7 3.3
7.1
7.7
0.6
0.7
3.7
3.4
2.3
2.9
3.2
2.9
5.4
5.1
5.2
5.3
4
Terkaya
0 2
Termiskin ASKES
Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005.
8.1
Jamsostek
3 Pribadi, dll
JPKM
Kartu Sehat
Sumber: Susenas 2005.
Dengan adanya berbagai mekanisme asuransi kesehatan maka risiko atas adanya lonjakan pengeluaran kesehatan (catastrophic expenditure) dapat dikurangi, tetapi hal ini bukan berarti akan memberikan perlindungan yang memadai. Rumah tangga yang memiliki satu atau dua jenis asuransi kesehatan sosial (Askes dan Jamsostek) dan bagi mereka yang mendapat perlindungan asuransi dari perusahaan tempat mereka bekerja serta bagi mereka yang memperoleh manfaat tertentu (dari asuransi pribadi) akan menghadapi risiko yang lebih kecil. Meskipun demikian, baik program Kartu Sehat maupun dana kesehatan, demikian juga dengan Jaminan Perlindungan Kesehatan Masyarakat (JPKM) masih belum mampu mengurangi risiko atas adanya lonjakan pengeluaran kesehatan akibat datangnya musibah. Hal ini sebagian dapat dijelaskan karena adanya keterbatasan manfaat yang ditawarkan oleh program perlindungan kesehatan semacam ini dan oleh adanya kenyataan bahwa rata-rata orang yang memiliki asuransi JPKM hanyalah sebesar 21 persen dan sekitar 27 persen dari mereka yang dilindungi oleh program Kartu Sehat tersebut merupakan penduduk miskin (Susenas 2005).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
67
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Penyediaan layanan kesehatan oleh sektor swasta Meskipun berhasil dicapai kemajuan dalam perluasan sistem layanan kesehatan publik, namun akses dan kualitas layanan kesehatan masih tetap rendah dan penduduk miskin pada khususnya masih sangat bergantung pada penyediaan layanan kesehatan dari sektor swasta. Penggunaan fasilitas layanan kesehatan publik masih rendah; ketika orang berusaha mendapatkan layanan kesehatan, kurang dari setengah dari penduduk Indonesia menerima perawatan pada fasilitas kesehatan masyarakat. Alasan-alasan untuk tidak menggunakan fasilitas kesehatan publik karena masih rendahnya akses ke tempat layanan kesehatan, kualitas layanan yang buruk, dan jam kerja yang pendek. Tingkat pengeluaran pemerintah yang rendah untuk pemberian layanan kesehatan merupakan akar semua permasalahan ini. Pada tahun 1990-an dan terutama setelah krisis ekonomi, pemanfaatan layanan kesehatan sektor swasta, walaupun layanan kesehatan publik tersedia luas. Sementara kecenderungan kini telah menunjukkan sebaliknya, terjadi peningkatan dalam pemanfaatan layanan publik, tingkat ini masih rendah dibandingkan dengan tingkat sebelum krisis (World Bank 2006, makalah yang akan diterbitkan mendatang tentang layanan kesehatan oleh swasta, Susenas data). Bahkan penduduk termiskin sekalipun lebih suka menggunakan jasa dari sektor swasta dibandingkan dengan layanan puskesmas yang disubsidi pemerintah. Pada saat ini, hanya sekitar 45 persen penduduk yang ingin mendapatkan layanan kesehatan publik, yang paling sering digunakan adalah layanan kesehatan dasar, dan hanya kadangkala memanfaatkan rumah sakit pemerintah (World Bank, 2006h). Diagram 4.12 Time trend pemanfaatan layanan kesehatan publik dan swasta %
1400
8,3
80 98,9
60
3,5
4,7
99,1
93,6
11,9
14,7
62,1
73,7
64,5
2003
2004
2005
40
11,7
20
1200
Jumlah Rumah Sakit
Pemanfaatan Tahunan (per 100)
100
Diagram 4.13 Jumlah rumah sakit berdasarkan jenis/ pemilik
600 400
0
Dasar Publik Rumah Sakit Umum Swasta
Diagram 4.14 Layanan spesialisi vs. umum di Rumah sakit pemerintah dan swasta, 2003 700 600
83
500
185
400 300
534
200
432
100 0 Rumah Sakit Pemerintah
Rumah Sakit Swasta
Pelayanan Umum yang Tersedia Pelayanan Khusus yang Tersedia
Sumber: MoH, 2004.
1998 1999 2000 Departemen Kesehatan Tentara/Polisi Swasta
Tradisional
Sumber: Susenas 2003, 2004, 2005. Catatan: Tingkat penggunaan layanan per tahun per 100 dan total pengeluaran yang dilaporkan.
Jumlah Rumah Sakit
800
200
0
68
1000
2001 2002 2003 2004 Provinsi/Kabupaten/Kota BUMN/Departemen lainnya
Sumber: DepKes, 2004
Lebih dari setengah dari jumlah rumah sakit di Indonesia adalah milik swasta dan kepemilikan ini tidak berubah secara signifikan selama ini. Sekitar 51 persen dari seluruh rumah sakit di Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai rumah sakit umum, bahkan semenjak pelaksanaan sistem desentralisasi, sebagian dari rumah sakit itu menjadi milik pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dan ada juga yang menjadi milik TNI dan Polri, BUMN, dan Departemen (Diagram 4.13). Dari sekian rumah sakit ‘pemerintah’ tersebut, sebagian besar menyediakan layanan kesehatan umum dan hanya sekitar 30 persen dari seluruh layanan kesehatan spesialis dapat dilakukan di rumah sakit umum seperti ini. Untuk pelayanan kesehatan yang khusus, masyarakat perlu menggunakan jasa penyedia layanan kesehatan sektor swasta (Diagram 4.14).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
Saat ini, sebagian besar petugas layanan kesehatan di Indonesia terlibat dalam pemberian layanan di sektor publik dan swasta. Pada tahun 1980-an, ketika gaji yang diberikan pemerintah kepada tenaga kesehatan masih relatif rendah ternyata mempersulit mereka untuk menjalankan profesinya dengan baik. Sementara itu, pemerintah bukannya membatasi pengangkatan pegawai baru dan menaikkan gaji, melainkan membiarkan tenaga kesehatan (dokter) untuk membuka tempat praktik di luar jam kerja biasa. Posisi ganda dalam lembaga penyedia layanan kesehatan publik menciptakan insentif yang rendah dan menyebabkan rendahnya kualitas layanan dalam sistem kesehatan publik (semata-mata akibat dari berkurangnya jam kerja para dokter di rumah sakit pemerintah). Hal ini juga menyebabkan berkembangnya penyediaan layanan kesehatan oleh sektor swasta dengan peningkatan jam kerja dan pelayanan oleh tenaga dokter dan paramedis yang terlatih (Diagram 4.15). Dapat kita katakan bahwa kesenjangan layanan di mana layanan publik yang diberikan pemerintah tidak memadai baik kuantitas maupun kualitas untuk tingkat tertentu telah diisi oleh sektor swasta. Dalam situasi ini, pihak penyedia dari sektor swasta benar-benar merupakan bagian dari sistem pemberian layanan kesehatan di Indonesia dan pelatihan, kontrak, dan layanan pemantauan mereka perlu dijadikan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan pemerintah di sektor kesehatan (World Bank, 2006f ). Diagram 4.15 Puskesmas dengan sistem praktik ganda
Kepala Puskesmas yang Membuka Praktik Swasta diluar Puskesmas Data tidak Tersedia 6%
Ya 75%
8 7
Ya
6 5
Tidak
4
Tidak 19%
3 2 1 0 Mean # Jam/hari Mean # Jam/hari bekerja di Puskesmas bekerja di Luar Puskesmas
Sumber: GDS 1+ survei Puskesmas.
Pemerataan: Kesenjangan dalam Pengeluaran Publik, Manfaat dan Penggunaan Layanan Kesehatan Kesenjangan dalam pengeluaran untuk sektor publik Perbedaan dalam pengeluaran per kapita untuk sektor publik di daerah sangat tinggi, yang mencerminkan disparitas dan ketidaksetaraan di tingkat daerah. Rata-rata tingkat pengeluaran publik per kapita untuk sektor kesehatan hampir sama di setiap provinsi, kecuali untuk Provinsi Papua, Gorontalo, Kalimantan Timur. Akan tetapi, disparitas antar kabupaten/kota dalam satu provinsi bahkan lebih biasa lagi, karena terjadi banyak variasi dalam nilai rata-rata.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
69
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 4.16 Pengeluaran publik per kapita untuk kesehatan berdasarkan provinsi, jumlah maksimum, minimum, dan rata-rata 350
Maksimum
Minimum
Mean
300
Rp ribu
250 200 150 100 50 0
Kalimantan Timur
Gorontalo
Kalimantan Tengah
Papua
Sumatra Barat
Bali
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Timur
Maluku
R i au
Kalimantan Selatan
Jambi
Sumatra Utara
Nanggroe Aceh Darussalam
Bangka Belitung
Sulawesi Selatan
Yogyakarta
Bengkulu
Kalimantan Barat
Jawa Tengah
Sumatra Selatan
Jawa Timur
Sulawesi Utara
Nusa Tenggara Barat
Jawa Barat
Sulawesi Tenggara
Lampung
Maluku Utara
Banten
Sumber: Susenas, 2004.
Di tingkat kabupaten/kota ditemui kesenjangan yang sangat besar dalam pengeluaran publik, yang terutama 65 didorong oleh pengeluaran pemerintah pusat yang ditargetkan secara regresif dan tidak terkonsentrasi. Pengeluaran pemerintah pusat untuk sektor ini dalam bentuk pengeluaran yang tidak terpusat tidaklah efektif dalam rangka pencapaian target untuk kabupaten/kota yang lebih miskin. Hal ini penting untuk diperhatikan terutama karena besarnya pengalihan dana publik hampir mencapai setengah dari pengeluaran pemerintah pusat untuk pembangunan dan oleh karena itu pengeluaran tersebut merupakan sumber daya sangat penting untuk intervensi kebijakan. Selain itu, pada tahun 2004, pengeluaran yang tidak terpusat untuk sektor kesehatan mencapai sekitar 29 persen dari total pengeluaran nasional. Pengeluaran untuk sektor publik melalui anggaran daerah (APDB) tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga lebih tinggi bagi pemerintah daerah yang lebih kaya daripada yang lebih miskin. Hal ini sebagian dapat dijelaskan oleh fakta bahwa pengeluaran ini tidak saja ditentukan oleh alokasi DAU, tetapi juga oleh pendapatan asli daerah, yang jumlahnya cenderung lebih tinggi pada kabupaten/kota yang memiliki tingkat pengeluaran per kapita lebih tinggi. Saat ini kontribusi DAK di tingkat kabupaten/kota tidak digunakan sebagai sarana peningkatan pemberian layanan kesehatan yang berpihak pada masyarakat miskin di kabupaten/kota yang masih tertinggal, seperti yang ditunjukkan oleh respon yang lemah terhadap tingkat pengeluaran per kapita dari DAK atau akses terhadap fasilitas kesehatan (USAID Democratic Reform Support Program, Agustus 2006).
Manfaat pengeluaran untuk sektor publik dan penggunaan layanan Saat ini, pengeluaran untuk sektor publik secara umum lebih banyak memberikan manfaat bagi kelompok penduduk kaya daripada penduduk miskin melalui subdisi regresif untuk layanan kesehatan sekunder. Manfaat pengeluaran publik untuk layanan kesehatan dasar tidak berpihak pada penduduk miskin tetapi secara netral didistribusikan di antara kuintil pengeluaran. Akan tetapi, pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder sudah tentu tidak berpihak pada penduduk miskin, dan sebagian besar manfaatnya dinikmati oleh kuintil yang lebih kaya. Sementara layanan kesehatan publik yang paling banyak digunakan oleh penduduk miskin adalah fasilitas layanan kesehatan dasar, ternyata Indonesia menggunakan sekitar 40 persen dari sumber daya untuk layanan kesehatan publik mereka untuk pemberian subsidi regresif yang ditargetkan bagi rumah sakit pemerintah (World Bank, 2006g). 65 Lihat Lampiran Gambar F2 pada hubungan antara (1a) Pengeluaran daerah untuk sektor kesehatan, (1b) DAK dan (1c) Pengeluaran yang tidak terpusat untuk sektor kesehatan dan (2) Rata-rata per kapita (mean per kapita) pengeluaran keluarga .
70
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
Penduduk miskin memiliki akses yang sangat rendah terhadap rumah sakit pemerintah, sehingga mereka tidak memanfaatkan sebagian besar pengeluaran pemerintah yang disalurkan ke dalam layanan kesehatan sekunder. Dari dana yang digunakan untuk layanan rumah sakit, manfaat yang dinikmati oleh kuintil penduduk paling miskin dari seluruh jumlah penduduk berjumlah sekitar 10 persen, sementara manfaat yang diperoleh oleh kuintil paling kaya sekitar 38 persen. Pengeluaran untuk layanan kesehatan sekunder memiliki tingkat regresif yang tinggi dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas dalam layanan kesehatan ketika Indonesia masih berjuang keras untuk memenuhi sasaran pembangunan jangka menengah dalam sektor kesehatan. Diagram 4.17 Pemanfaatan layanan kesehatan swasta/publik Pengeluaran Per Capita untuk Sektor Kesehatan (Harga tahun 2003; Rp )
400.000
Belanja Sektor Swasta Belanja Publik untuk Perawatan di Rumah Sakit Belanja Publik untuk Perawatan Dasar
350.000 300.000
Diagram 4.18 Jenis layanan kesehatan 45 40
71.7%
35 30 25
250.000
20
200.000 150.000
55.5%
53.5% 31.0%
39.7%
15 10
46.2%
5 0
100.000
Puskesmas
50.000 0
Rumah Sakit
Layanan Rumah Kesehatan Sakit Dasar
1987
1 (Miskin)
2
3
4
5
TOTAL
Kuintil Termiskin
Sumber: World Bank, 2006g.
Layanan Rumah Kesehatan Sakit Dasar
1998 Kuintil 2
Kuintil 3
2005 Kuintil 4
Kuintil Terkaya
Sumber: World Bank, 2006f.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan penggunaan layanan kesehatan oleh penduduk miskin dan pengeluaran mereka untuk sektor kesehatan memiliki dampak yang kecil sejak tahun 1998. Program kesehatan pengganti subsidi BBM (PKPS-BBM) bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap baik layanan kesehatan dasar maupun sekunder bagi penduduk miskin dengan sistem target. Program ini, jika ditargetkan dan dilaksanakan secara efektif, dapat merupakan kunci utama dalam perluasan layanan kesehatan untuk penduduk miskin (lihat Kotak 4.3 di bawah ini tentang PKPS-BBM). Namun demikian, bagi penduduk miskin agar dapat menggunakan fasilitas layanan kesehatan swasta melalui program ini, perlu disediakan insentif bagi penyedia layanan ini untuk memungkinkan berpartisipasi.
Tingkat Penggunaan Pelayanan Rawat Jalan Tahunan
Diagram 4.19 Pemanfaatan layanan rawat jalan, 2005 2,5
2
Perawatan Kesehatan Tradisional Swasta Petugas Kesehatan Swasta
1,5
Dokter Swasta 1
Rumah Sakit Swasta Rumah Sakit Umum
0,5
Puskesmas Publik 0 Termiskin
2
3
4
Tidak Miskin
Sumber: Susenas, 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
71
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Ketika penduduk miskin berusaha mendapatkan layanan perawatan kesehatan, sekitar 57 persen dari mereka lebih memilih penyedia layanan swasta. Dari penyedia layanan swasta tersebut, penduduk miskin paling banyak memanfaatkan tenaga paramedis swasta (perawat, bidan, dsb.) dan dokter. Dengan peningkatan pendapatan terjadi pergeseran dari tenaga paramedis ke dokter. Rata-rata rasio ganjil dari partisipasi ini tampak paling tinggi pada penduduk miskin pada pusat layanan kesehatan swasta, dokter swasta, dan tenaga paramedis swasta (perawat, bidan, dsb.). Ini berarti bahwa investasi pada bidang ini, jika tingkat partisipasi tetap pada tingkat kuintil yang sama, 66 akan lebih menguntungkan penduduk miskin daripada kuintil mereka yang lebih kaya. Sebaliknya, investasi untuk rumah sakit pemerintah dan swasta merupakan bentuk investasi yang paling berpihak pada penduduk kaya di Indonesia mengingat tingkat penggunaan untuk layanan kesehatan ini (World Bank 2006f ). Investasi ini akan tetap sama kecuali jika investasi ini ditargetkan untuk membuat layanan ini lebih mudah diakses oleh penduduk miskin. Tingkat penggunaan yang tinggi dari penyedia layanan swasta oleh penduduk miskin juga menuntut peningkatan dalam penanganan (regulasi, akreditasi, maupun perizinan) untuk sektor kesehatan publik yang bertujuan untuk mengontrol kualitas dan meningkatkan pemerataan. Kotak 4.3 Program kesehatan PKPS-BBM 2005 Pada tahun 2005, pemerintah memperkenalkan program yang sangat besar untuk mengatasi dampak negatif dari pengurangan subsidi BBM terhadap penduduk miskin. Hal ini termasuk penyediaan anggaran sebesar Rp 3,875 triliun untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan untuk penduduk miskin. Program ini menyediakan akses cuma-cuma untuk layanan di puskesmas lokal, rawat jalan di rumah sakit, dan rawat inap kelas 3 ward di rumah sakit pada rumah sakit pemerintah dan swasta yang ditentukan sebelumnya. Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan permintaan terhadap layanan kesehatan dengan menyediakan asuransi kesehatan bagi 60 juta penduduk miskin, dan pada saat yang sama memberikan jaminan adanya layanan kesehatan yang memadai dengan memberikan dukungan kepada Puskesmas, puskesmas keliling, dan layanan posyandu. Sebuah penilaianyang baru-baru ini dilaksanakan menunjukkan beberapa temuan penting sbb: 1. Intervensi dari sisi permintaan terbukti merupakan cara sangat efektif dan efisien untuk meningkatkan penggunaan layanan kesehatan bagi penduduk miskin, dibandingkan dengan intervensi klasik berupa intervensi dari sisi penyediaan. 2. Karena biaya resmi hanya merupakan sebagian dari total yang harus dikeluarkan oleh mereka yang ingin mendapatkan layanan, dengan menghapus biaya resmi ini masih belum dapat menjangkau penduduk miskin yang mungkin tidak mampu untuk menanggung biaya transportasi dan pemeliharaan selanjutnya. 3. Intervensi dari sisi penawaran (terutama penyediaan obat-obatan, fasilitas fisik, dan peralatan medis) berdampak terhadap kualitas layanan yang disediakan oleh Puskesmas. 4. Peningkatan dalam layanan rawat-inap (Sal Kelas 3) menyebabkan peningkatan pendapatan bagi rumah sakit. 5. Penentuan targeting bagi penduduk miskin terbukti lebih sulit dari yang diperkirakan, terutama karena mereka yang tergolong tidak miskin sulit untuk dicegah ikut menikmati manfaat program ini. Bidang-bidang yang perlu ditingkatkan disoroti dalam laporan tersebut termasuk penentuan sasaran, informasi publik sekitar program ini, alokasi dana, sistem penanganan keluhan, pemantauan, dan evaluasi. Sumber: Rapid Assessment untuk PKPS-BBM 2005 Kesehatan Program, 2006.
Kualitas Layanan Kesehatan dan Tenaga Kerja Kesehatan Rasio jumlah dokter dan perawat dengan jumlah penduduk di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini. Sementara distribusi tenaga kesehatan di Kamboja per 1.000 orang juga masih rendah, negara seperti Filipina, yang memiliki pendapatan per kapita yang mirip dengan Indonesia, kinerjanya jauh lebih baik dalam indikator ini. Sebagian provinsi hanya memiliki sekitar 13 dokter untuk per 100.000 penduduk, yang menunjukkan bahwa secara rata-rata seorang dokter pemerintah akan memberikan layanan kesehatan kepada sekitar 7.600 orang yang ingin mendapat layanan kesehatan publik.
66 Rata-rata rasio ganjil untuk partisipasi, yang dinyatakan oleh rasio tingkat partisipasi rata-rata kuintil-spesifik, merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk memahami penggunaan layanan kesehatan saat ini dan dengan menyoroti kuintil tersebut maka layanan yang diberikan sepertinya akan memberikan manfaat optimal.
72
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
Tabel 4.7 Perbandingan internasional tentang angkatan kerja tenaga kesehatan Dokter Negara
Jumlah
Kepadatan per 1000 penduduk
Perawat Tahun
Jumlah
kepadatan per 1000 penduduk
Bidan Tahun
Jumlah
Kepadatan per 1000 penduduk
Indonesia 29,499 130 2003 135,705 620 2003 44,254 Kamboja 2,047 160 2000 8,085 610 2000 3,040 Thailand 22,435 370 2000 171,605 282 2000 872 Viet Nam 42,327 530 2001 44,539 560 2001 14,662 Filipina 44,287 580 2000 127,595 1,690 2000 33,963 India 645,825 600 2005 865,135 800 2004 506,924 Malaysia 16,146 700 2000 31,129 1,350 2000 7,711 Sumber: WHR, 2006, Lampiran Tabel 4 ‘Distribusi Global terhadap Tenaga Kerja Kesehatan pada Negara-negara Anggota WHO’
200 230 10 190 450 470 340
Tahun 2003 2000 2000 2001 2000 2004 2000
Data rata-rata nasional sangat mengaburkan keragaman dalam kesenjangan antar daerah secara signifikan dalam hal tingkat ketersediaan tenaga kesehatan yang sering tidak didasarkan pada kebutuhan. Penyedia layanan kesehatan untuk tiap tingkat populasi sangat beragam di tiap daerah, hanya enam dokter pemerintah per 100.000 penduduk di Provinsi Lampung dan Jawa Timur, dibandingkan dengan rasio yang tinggi sekitar 30 dan 40 per 100.000 penduduk masing-masing untuk Sulawesi Utara dan Bali. Di banyak provinsi rasio ini meningkat ketika jumlah dokter swasta dimasukkan di dalamnya, namun demikian cakupan wilayah yang harus dilayani masih amat luas, misalnya di Kalimantan Barat, rata-rata seorang dokter harus melayani area seluas lebih kurang 300 km² dan wilayah layanan ini menjadi dua kali lipat bagi penduduk yang hanya mampu memperoleh layanan dari dokter pemerintah. Secara rata-rata terdapat sekitar 36 pekerja kesehatan untuk setiap 100.000 penduduk di Indonesia. Diagram 4.20 Rasio bidan dan wilayah layanan dalam km2 12
250 Rasio bidan
10
Wilayah pelayanan
8
200 150
6 100
4
Nusa Tenggara Barat DI Yogyakarta Jawa Barat Banten
Lampung
Jawa Tengah Jawa Timur Riau
Sulawesi Selatan Bali Kalimantan Barat Bangka
Kalimantan Timur
Sumatera Selatan Gorontalo
Kalimantan Selatan Jambi
0
Nusa Tenggara Timur Sulawesi Tengah Sumatera Barat Kalimantan Tengah Sulawesi Utara Sumatera Utara
0
Bengkulu Maluku Maluku Utara Sulawesi Tenggara
50
Nangroe Aceh Darussalam Papua
2
Sumber: Podes, 2005.
Rasio jumlah perawat dan bidan per 100.000 penduduk jauh lebih tinggi daripada rasio jumlah dokter, tetapi sekali lagi masih terdapat isu-isu yang berkaitan dengan distribusi di tingkat daerah. Wilayah layanan kebidanan bagi bidan pemerintah secara umum lebih kecil daripada wilayah kerja dokter (tergantung jumlah tenaga kesehatan swasta di tiap provinsi). Aceh memiliki angka yang tinggi, sekitar 111 bidan untuk setiap 100.000 penduduk, sementara Banten hanya memiliki 20 bidan untuk setiap 100.000 penduduk. Rasio untuk perawat per 100.000 jumlah penduduk masih tinggi, yang menunjukkan bahwa dengan jumlah dokter yang masih rendah, sebagian besar penduduk (terutama penduduk miskin) akan dilayani oleh perawat dan tenaga kesehatan pembantu lainnya dan bukan oleh dokter. Ketika kita melakukan analisis terhadap jumlah tenaga kesehatan yang lebih terlatih dan tenaga spesialisi, seperti dokter gigi pemerintah (angka rata-rata nasional 2,9), apoteker (angka rata-rata nasional 0,6), dan ahli gizi (angka rata-rata nasional 3,2), tingkat kepadatan pada wilayah provinsi terpencil hampir nol.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
73
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 4.21 Distribusi dokter dan bidan
Perbedaan dalam satu wilayah provinsi terutama dapat dilihat dari penyediaan layanan kesehatan yang lebih menguntungkan yaitu daerah perkotaan dibandingkan dengan dan daerah pedesaan dan daerah terpencil, walaupun lebih banyak bidan kini dapat dijumpai di wilayah pedesaan. Insentif sebaiknya ditingkatkan, terutama untuk tenaga kesehatan terlatih untuk mendorong mereka bertugas di wilayah pedesaan dan wilayah terpencil.
5 4 3 4.1
2
3.6
3.1
1
Jumlah dokter untuk setiap puskesmas pada dasarnya belum memadai, terutama mengingat bidan urban bidan rural dokter dokter rural rata-rata setiap puskesmas melayani sekitar 23.000 urban orang (Diagram 4.22). Penduduk miskin, yang sebagian besar bergantung pada Puskesmas seperti ini, harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk menjangkau fasilitas ini (rata-rata setiap Puskesmas melayani mereka yang menempati wilayah sekitar 242km²). Di Provinsi NAD, misalnya, jarak rata-rata ke satu Puskesmas adalah sekitar 10 km, tetapi di beberapa kabupaten/kota jarak ini mendekati 26 km. Ketersediaan seorang dokter di setiap Puskesmas juga tidak dapat dijamin; secara keseluruhan, 18 dari 33 provinsi Indonesia, secara rata-rata memiliki kurang dari satu dokter untuk setiap Puskesmas. Dengan demikian, masyarakat menjadi tergantung pada fasilitas layanan kesehatan yang tidak lengkap dan pada pos layanan kesehatan terpadu (Posyandu) atau mungkin pada perawat, bidan swasta dan bahkan tenaga kesehatan tradisional. 0.6
0
Diagram 4.22 Jumlah penduduk untuk setiap Puskesmas 60000
Populasi per Puskesmas
50000 40000 30000 20000
Papua
Irian Jaya Barat
Maluku
Bengkulu
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Timur
Sulawesi Tengah
Kalimantan Tengah
Kepulauan B Belitung
Nangroe Aceh Darussalam
Maluku Utara
Sulwasi Utara
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan
Jambi
Nusa Tenggara Timur
Gorontalo
Kalimantan Barat
Sumbar
Sulawesi Selatan
Sumsel
Kepulauan Riau
Sumut
Indonesia
Bali
Riau
Nusa Tenggara Barat
Lampung
Jawa Timur
Jawa Tengah
Banten
Jawa Barat
0
DIYogyakarta
10000
Sumber: Profil Kesehatan 2004, Departemen Kesehatan.
Kementerian Kesehatan sedang berupaya untuk memperbaiki distribusi tenaga kesehatan dengan sistem kontrak kerja sementara bagi para dokter (PTT) untuk melayani wilayah-wilayah terpencil dengan memberikan tambahan insentif keuangan dan memperpendek masa tugas mereka di wilayah-wilayah tersebut. Ada berbagai kategori upah dokter seperti ini berdasarkan Lokasi penempatan mereka. Gaji di wilayah yang biasa adalah sekitar Rp 1 juta per bulan selama tiga tahun. Mereka yang bertugas di wilayah yang diklasifikasikan sebagai sangat terpencil, akan menerima gaji sekitar Rp 5 juta per bulan dan diminta untuk bertugas di sana selama enam bulan. Gaji yang lebih tinggi bagi dokter yang bekerja di wilayah terpencil merupakan bagian dari peraturan baru yang mulai berlaku sejak bulan Juni 2006 dan hal ini memberikan indikasi komitmen pemerintah untuk meningkatkan distribusi tenaga kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Namun demikian, peraturan ini hanya melingkupi dokter kontrak dan pemerintah mungkin akan mempertimbangkan untuk mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk menyediakan
74
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
insentif serupa bagi tenaga kesehatan kontrak di tingkat lokal. Hal ini akan memerlukan suatu tinjauan terhadap Undang-undang kepegawaian dan peraturan yang mungkin menghambat pelaksanaan perubahan kebijakan. Diagram 4.23 Jumlah dokter untuk setiap Puskesmas 1,8 1,6
Dokter per Puskesmas
1,4 1,2 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 Papua
Maluku
Irian Jaya Barat
Nusa Tenggara Timur
Nangroe Aceh Darussalam
Kalimantan Barat
Sulwasi Utara
Sumatera Barat
Sulawesi Tenggara
Jawa Barat
Kepulauan B Belitung
Sulawesi Barat
Sumatera Selatan
Sulawesi Tengah
Riau
Sulawesi Selatan
Kalimantan Selatan
Indonesia
Nusa Tenggara Barat
Jambi
Maluku Utara
Jawa Timur
Banten
Bengkulu
Gorontalo
Kalimantan Tengah
Kalimantan Timur
Lampung
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Bali
Sumatera Utara
Kepulauan Riau
0,0
Sumber: Profil Kesehatan 2004, Departemen Kesehatan.
Gaji bulanan dan harian dokter, bidan, dan perawat pemerintah tampaknya lebih baik dibandingkan dengan gaji tenaga kerja lain dengan tingkat pendidikan yang setara,67 tetapi Sebagian besar Puskesmas tidak mendapat insentif bagi mereka memang tetap diperlukan Persediaan Obat selain dari yang disediakan Dinas Kesehatan untuk menyediakan layanan kesehatan yang Ya, dari berkualitas bagi penduduk miskin. Mengingat anggaran sendiri bahwa dokter pemerintah dapat menambah 33% penghasilan gaji mereka cukup besar dengan Tidak 58% membuka praktik swasta, sangat sulit untuk menentukan apakah tingkat gaji yang diberikan pemerintah saat ini sudah memadai. Tinjauan terhadap Ya, dari sumber lainnya angkatan kerja sektor kesehatan tahun 1994 9% memperkirakan praktik swasta oleh para dokter memberikan tambahan penghasilan sekitar 79 persen Sumber: GDS1+ Survey. dari total penghasilan dokter spesialis di wilayah perkotaan dan jumlah ini bervariasi antara 25 dan 70 persen untuk dokter umum yang bertugas di luar Pulau Jawa dan Bali. Mengingat bahwa penduduk miskin juga menggunakan layanan kesehatan dari sektor swasta, walaupun jumlahnya lebih kecil dari penduduk tidak miskin, para dokter (swasta dan pemerintah) memerlukan insentif agar mereka dapat menyediakan layanan yang berkualitas bagi penduduk miskin. Diagram 4.24 Puskesmas – sumber layanan pengobatan
Secara keseluruhan, kualitas layanan kesehatan di Indonesia masih rendah, dengan tingkat ketersediaan pengobatan yang juga rendah, infrastruktur yang tidak memadai, dan sering diikuti dengan penyediaan tenaga layanan kesehatan yang tidak cukup. Pemberian layanan kesehatan selanjutnya menurun akibat tingkat ketidakhadiran yang tinggi dari tenaga kesehatan. Sebuah penelitian yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan 68 bahwa tenaga kerja kesehatan Indonesia memiliki tingkat absensi sebanyak 40 persen dari waktu mereka. kualitas fasilitas kesehatan yang rendah, ketidaktersediaan air bersih, dan rendahnya standar hidup tampaknya bukan insentif 67 Berdasarkan analisis ekonometrik bersamaan dengan Sakernas2004 (Survei Tenaga Kerja Nasional) , dari BPS Indonesia. Lihat Lampiran Tabel F3 untuk hasil regresi. 68 Penyedia layanan dianggap tidak ada jika mereka tidak dapat ditemukan memiliki fasilitas karena sebab apa pun pada saat dilakukan kunjungan mendadak. Sumber: Chaudhury, dkk. (2006).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
75
BAB 4 Sektor Kesehatan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
yang baik bagi tenaga kesehatan untuk bertahan di tempat tugas mereka. Indikator Puskesmas dari survei GDS 1+ selanjutnya menunjukkan bahwa rata-rata Puskesmas hanya memiliki antara 75 dan 80 persen dari kebutuhan obat69 obatan dan pengobatan dasar yang harus dimiliki oleh sebuah pusat layanan kesehatan, dan, masih ada masalah kekurangan vaksin penting (sekitar 7 sampai 9 persen). Sebagian besar Puskesmas hanya menerima obat-obatan dari Dinas Kesehatan setempat. Jika pemerintah daerah tidak menyediakan obat-obatan yang memadai untuk mereka, anggaran yang mereka miliki tidak akan cukup untuk menanggulangi kekurangan tersebut.
69 Dihitung dengan memperhitungkan nilai rata-rata obat-obatan yang tidak ada di setiap Puskesmas dan membaginya dengan jumlah obatobatan pokok yang harus dimiliki oleh Puskesmas (12 jenis obat pokok). Dataset: Puskesmas GDS33. Keduabelas obat-obatan pokok itu dan tingkat ketersediaan : amoxiixilin 500mg (73 persen), sirup amoxiixilin (75 persen), antalgin 500mg (89 persen)., CTM (84 persen), paracetamol 500mg (90 persen),sirup Paracetamol (77 persen), OBH (77 persen), oralit (84 persen), Cotrimoxaxol 480 (78 persen), tablet Antacid (87 persen ), obat anti TBC (71 persen ), dan OAT untuk anak-anak (67 persen ).
76
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 4 Sektor Kesehatan
Rekomendasi Kebijakan Untuk jangka panjang, pemerintah sebaiknya sudah mulai memikirkan untuk mengalokasikan sumber daya yang lebih besar kepada sektor kesehatan, karena saat ini Indonesia menyediakan kurang dari sepertiga dana kesehatan yang disediakan di negara lain di kawasan Asia Tenggara yang memiliki tingkat paling rendah dalam pengeluaran untuk sektor kesehatan. Namun demikian, fokus utama sebaiknya diarahkan pada efisiensi alokasi anggaran dan kualitas layanan kesehatan sebelum melakukan peningkatan keseluruhan pengeluaran untuk sektor kesehatan. Secara umum, pengeluaran untuk sektor kesehatan di Indonesia masih rendah, tetapi seperti yang diuraikan dalam PER ini, masalah utamanya adalah alokasi sumber daya yang tidak efisien dan tidak merata. Mengingat tantangan yang dihadapi oleh sektor kesehatan saat ini, dan dengan mempertimbangkan peningkatan ruang gerak fiskal bagi pemerintah, serta tingkat pengeluaran yang rendah dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini, rekomendasi yang logis adalah meningkatkan tingkat pengeluaran untuk sektor publik menjadi sekitar 3 persen dari PDB. Dengan tingkat pengeluaran sebesar ini, pemerintah akan mampu mencapai tingkat yang sama dengan yang dicapai oleh negara dengan tingkat pencapaian terendah kedua di kawasan ini, yaitu Filipina. Akan tetapi, tinjauan ini juga menunjukkan dengan jelas adanya alokasi anggaran yang tidak efisien dan tidak merata di tingkat kabupaten/kota. Kebijakan pemerintah dalam sektor ini belum tercermin dalam alokasi anggaran, dengan sumber daya yang lebih banyak dialokasikan semata-mata oleh penduduk dengan kuintil pendapatan penduduk yang lebih kaya. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk pertama-tama berfokus pada pemerataan dan alokasi dana yang efisiensi sebelum mempertimbangkan peningkatan keseluruhan pengeluaran untuk sektor. Kesenjangan sebaiknya dapat dikurangi dengan meningkatkan akses terhadap layanan dan memperbaiki kualitas layanan kesehatan untuk penduduk miskin. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan target DAK yang lebih baik bagi penduduk miskin dan bagi kabupaten/kota yang mengalami kekurangan layanan dengan melakukan investasi berdasarkan permintaan yang dapat meningkatkan akses penduduk miskin terhadap layanan kesehatan yang berkualitas.
•
•
Target alokasi DAK sebaiknya ditingkatkan untuk menjamin bahwa dana ini dapat digunakan untuk meningkatkan akses layanan kesehatan terutama di kabupaten/kota yang lebih miskin yang rendah pelayanannya. Saat ini, pengeluaran untuk sektor publik pada umumnya lebih menguntungkan kelompok yang berpendapatan lebih tinggi daripada penduduk miskin melalui subdisi regresif untuk layanan kesehatan sekunder. Dana alokasi khusus (DAK) untuk sektor kesehatan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah memiliki target yang buruk, karena pengalihan dana tidak terkait dengan tingkat pengeluaran per kapita ratarata di tingkat kabupaten/kota. DAK sebaiknya lebih baik digunakan sebagai alat pemerintah pusat untuk menargetkan kabupaten/kota kota yang memiliki kekurangan dalam rangka akses terhadap pemberian layanan kesehatan, terutama karena dana ini digunakan untuk infrastruktur kesehatan. Kegiatan investasi di sisi permintaan yang dapat meningkatkan akses penduduk miskin untuk layanan kesehatan yang berkualitas. Pendanaan yang berpihak pada masyarakat miskin bagi layanan rumah sakit yang kini sedang dilaksanakan sistem kupon (Kartu Sehat) sebaiknya diperluas. Sistem ini menyediakan layanan kesehatan gratis bagi penduduk miskin dan ditujukan untuk meningkatkan kualitas akses layanan bagi penduduk miskin. Untuk meningkatkan dampak penurunan angka kemiskinan terhadap pendanaan kesehatan, seluruh subsidi yang lain untuk fasilitas layanan kesehatan sekunder sebaiknya disalurkan ke dalam layanan dasar. Mungkin ada manfaat khusus dalam pemberian subsidi layanan ambulans, terutama di wilayah-wilayah terpencil. Pemberikan kesempatan kepada penduduk miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan melalui kartu sehat hal ini akan memberikan keuntungan kepada mereka ketika penyedia layanan kesehatan swasta dapat ditambahkan sebagai tambahan opsi kebijakan pemerintah. Investasi dalam peningkatan kualitas penyedia layanan sektor swasta yang memberikan layanan kesehatan kepada penduduk miskin akan memperbaiki situasi yang ada sekarang.
Prioritas sebaiknya diarahkan pada identifikasi berbagai investasi yang sesuai untuk meningkatkan efektivitas sektor kesehatan dalam mengatasi beban yang besarnya dua kali lipat dari penyakit yang diderita (penyakit menular dan yang tidak menular), serta munculnya berbagai penyakit baru (HIV/AIDS dan flu burung) .
•
Keberadaan penyakit menular serta kinerja yang rendah dari beberapa indikator utama dari MDG menegaskan betapa pentingnya kelanjutan investasi dalam bidang pencegahan. Pada indikator MDG seperti tingkat kematian bayi dan balita, serta angka kematian ibu, kinerja Indonesia masih jauh tertinggal.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
77
BAB 4 Sektor Kesehatan
•
•
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Angka ini dapat ditingkatkan dengan memperkuat langkah-langkah pencegahan dan intensifikasi program untuk menangani penyakit menular, terutama di wilayah terpencil dan wilayah yang kurang berkembang di Indonesia. Untuk menangani kembalinya kasus polio, tambahan putaran kampanye pemberantasan polio dan pendanaan yang memadai sangat diperlukan dengan segera. Karena intervensi untuk penyakit tidak menular menjadi semakin penting, maka sektor kesehatan publik perlu dilengkapi dengan untuk menghadapi tantangan ini. Walaupun Indonesia memiliki layanan kesehatan sektor swasta yang kuat, yang menyediakan sebagian besar dari layanan spesialis, penanganan terhadap peningkatan penyakit tidak menular, terutama pada segmen penduduk yang lebih miskin, akan memerlukan jasa rumah sakit umum untuk menyediakan yang serupa untuk menampung permintaan layanan kesehatan yang semakin tinggi (serta peningkatan permintaan layanan khusus). Untuk menghadapi munculnya penyakit-penyakit seperti HIV/AIDS dan flu burung, informasi kesehatan dan sistem observasi perlu lebih ditingkatkan lagi. Pengembangan basis data, penguatan sistem observasi yang masih lemah, dan program pencegahan penularan merupakan bidang-bidang prioritas. Perbaikan data mengenai pengeluaran dan realisasi untuk sektor ini dan pembayaran untuk tingkat kabupaten/kota dan tingkat penyedia kesehatan juga diperlukan untuk menjamin bahwa kebijakan didasari oleh prinsip efisiensi dan pemerataan penggunaan layanan. Terutama sejak pelaksanaan sistem desentralisasi, telah terjadi kurangnya transparansi penyaluran dan pengeluaran anggaran. Di tingkat kabupaten/kota, informasi sangat terbatas yang berhubungan dengan perencanaan dan pengeluaran anggaran pembangunan. Informasi yang lebih luas tentang alokasi fungsional pengeluaran akan lebih memungkinkan lagi untuk melakukan unit-biaya yang dapat memberikan pandangan untuk menentukan tingkat pengeluaran yang mendasar bagi sektor kesehatan.
Sektor publik sebaiknya mampu memainkan peran yang lebih besar dalam sistem kesehatan secara keseluruhan melalui penerapan peraturan, perizinan, dan akreditasi bagi penyedia layanan kesehatan sektor swasta untuk menjamin kualitas layanan kesehatan swasta. Sektor swasta dalam sistem kesehatan di Indonesia telah tumbuh secara dramatis selama satu dekade yang lalu. Terlepas dari pentingnya keberadaan mereka, tidak banyak yang bisa diketahui mengenai siapa mereka, di mana mereka, dan layanan apa yang mereka sediakan. Hampir 40 persen dari penduduk miskin yang berusaha mendapatkan layanan kesehatan pergi ke penyedia layanan swasta. Selanjutnya, penentuan tingkat pengeluaran yang ‘tepat’ untuk sektor publik memerlukan pemahaman yang lebih dalam tentang tingkat dan lingkup penyediaan layanan kesehatan sektor swasta. Perlu identifikasi kombinasi yang tepat dari langkah-langkah yang terkoordinir dan saling menunjang untuk menjamin pemerataan layanan kesehatan yang diberikan oleh penyedia layanan, terutama para dokter dan untuk meningkatkan efektivitas investasi. Mengingat kondisi yang masih tetap tidak efisien dan kesenjangan dalam distribusi tenaga kerja sektor kesehatan dan dengan pertimbangan bahwa sebagian besar dari pengeluaran rutin di tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota dialokasikan untuk pembayaran gaji penyedia layanan kesehatan, maka sangat perlu untuk mencermati bagaimana dana ini digunakan secara lebih efisien dan merata. Sejumlah kebijakan dan struktur insentif telah diujicobakan di Indonesia tetapi tidak terbukti mampu bertahan. Untuk membantu melakukan identifikasi kombinasi yang tepat dari langkah-langkah yang terkoordinir dan saling menunjang tersebut, ada dua pertanyaan yang perlu dijawab: (i) berapa jumlah tenaga kesehatan, baik penyedia layanan kesehatan sektor publik maupun swasta, dan apakah hal ini cukup untuk mencapai hasil pelayanan prioritas saat ini yang terkait dengan kuantitas dan kualitas; dan (ii) apa yang membuat para dokter dan penyedia layanan kesehatan lainnya mampu bertahan, baik dokter pemerintah maupun swasta, di wilayah -wilayah terpencil untuk kurun waktu yang cukup lama untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan di wilayah-wilayah seperti itu?
78
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
BAB 5
Infrastruktur Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Temuan Pokok
•
•
•
Investasi Indonesia untuk infrastruktur sangat tidak memadai. Investasi infrastruktur menurun dari 5-6 persen dari PDB sebelum tahun 1997 menjadi kurang dari 1-2 persen dari PDB pada 2000, dan saat ini berada dalam kondisi stabil pada tingkat 3,4 persen dari PDB. Untuk menanggulangi kemunduran investasi masa lalu, sementara pada saat yang sama juga melakukan proyek-proyek besar yang baru untuk memenuhi permintaan yang semakin besar, dan untuk terus mendorong pertumbuhan, akan memerlukan tambahan investasi yang cukup besar (diperkirakan tambahan sekitar 2 persen dari PDB, atau US$6 milyar per tahun), hanya untuk mencapai tingkat pertumbuhan sebelum krisis. Sektor air bersih dan listrik mengalami krisis.Tingkat investasi yang rendah selama satu dekade telah menyebabkan kurangnya kapasitas dan daya listrik serta memburuknya layanan air pipa. Tingkat tarif listrik yang berada di bawah biaya menghambat perluasan jaringan, serta pemeliharaan jaringan yang memadai dan operasi yang lebih efisien terhadap aset yang ada. Tarif listrik yang seragam bersifat regresif dan tidak memberikan insentif untuk menyediakan sambungan kepada konsumen di wilayah Indonesia bagian Timur yang memerlukan biaya lebih tinggi. Layanan air pipa di wilayah perkotaan sangat memerlukan pengaturan tarif baru dan akses terhadap pendanaan, serta menegakkan regulasi yang mencegah pemerintah kabupaten/kota menarik keuntungan saat penyedia air pipa (PDAM) mengalami kerugian. Investasi sektor swasta telah mengalami penurunan tajam sejak 1997, terutama di sektor air bersih, energi, dan transportasi . Sebelum krisis ekonomi, komitmen investasi sektor swasta pada tahun tertentu menunjukkan angka rata-rata sebesar 30 - 40 persen dari pengeluaran pembangunan untuk sektor infrastruktur. Pada 2003 dan 2004, pengeluaran tersebut lebih kecil dari seperempat pengeluaran pemerintah, disamping rendahnya tingkat investasi publik. Sejak tahun 2000, sebagian besar komitmen investasi sektor swasta diserap oleh telekomunikasi (90 persen ). Sangat sulit menarik investor swasta pada sektor yang biasanya didominasi oleh pemerintah atau BUMN. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian hukum, kurangnya strategi pemerintah untuk menjamin investasi dan kewajiban bersyarat, dan isu-isu fundamental dibalik rendahnya harga layanan sosial serta sejumlah alasan politik.
Rekomendasi Utama
•
•
•
80
Pemerintah pusat perlu lebih berprakarsa dalam penanganan krisis PDAM. Prioritas yang mendesak adalah menghilangkan hambatan yang ada sekarang terhadap pinjaman jangka panjang PDAM. Langkah pertama dalam proses ini adalah melakukan restrukturisasi pinjaman PDAM. Proses restrukturisasi hutang harus diutamakan untuk PDAM yang paling layak diberi kredit, memberikan insentif kepada PDAM yang lain untuk meningkatkan kelayakan kredit mereka dan memberikan peluang kepada mereka untuk meningkatkan tarif dan memotong biaya dengan menangani kerugian komersial dan kerugian fisik. Strategi nasional untuk meningkatkan akses terhadap kebutuhan sanitasi dan pelistirikan wilayah pedesaan harus dikembangkan. Peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu diklarifikasi dan dikoordinasikan untuk pelaksanaan strategi tersebut. Mekanisme pendanaan public yang memadai, seperti akses pendanaan untuk wilayah pedesaan, seharusnya dipertimbangkan karena dampaknya yang begitu besar dari kurangnya layanan infrastruktur dasar terhadap kesehatan publik secara luas dan keluaran pendidikan. Subsidi listrik dan struktur tarif harus ditinjau lagi. Subsidi listrik mendorong terjadinya konsumsi listrik yang berlebihan dan sangat membantu konsumen tidak miskin ketika akses yang terbatas menguntungkan kelompok menengah keatas. Dalam jangka panjang, tarif harus direvisi dengan kecenderungan meningkat dan struktur tarif harus ditinjau kembali agar mencerminkan biaya sebenarnya untuk menyediakan layanan tersebut. Tingkat tarif yang mencakup 900VA keatas dapat menjadi langkah awal dalam revisi tarif, karena secara ekslusif hanya menguntungkan kelompok menengah keatas. Akan tetapi, rencana jangka panjang yang koheren perlu disusun untuk menyesuaikan harga dengan biaya ekonomi dan memberikan bantuan dengan sasaran rumah tangga pendapatan rendah dan wilayah-wilayah yang miskin. Subsidi harus dialihkan dari konsumsi sambungan, untuk dapat menerapkan pendekatan sektor pelistrikan yang berbeda pada setiap daerah.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
•
BAB 5 Infrastruktur
Insentif fiskal harus diberikan kepada pemerintah daerah untuk menjamin pemeliharaan jalan yang memadai. Pemerintah daerah, terutama di wilayah-wilayah pedesaan, hanya menggunakan sebagian kecil dari anggaran mereka untuk pemeliharaan jalan. Misalnya, pendanaan bersama antara pemerintah pusat dan daerah untuk investasi jalan dapat dilakukan dengan syarat menjamin pemeliharaan jalan secara memadai dalam wilayah masing-masing daerah.
Kinerja Sektor Infrastruktur Investasi infrastruktur per tahun di Indonesia (terdiri dari investasi pemerintah, BUMN maupun sektor swasta) mencapai angka 5 - 6 persen dari PDB sebelum krisis ekonomi tahun 1997. Sejak itu, investasi infrastruktur turun secara dramatis di bawah 2 persen dari PDB pada 2000, dan pada 2004 angka itu masih hanya 3 persen dari PDB (Diagram 5.1). Sementara kelambatan investasi infrastruktur memang diperkirakan akan terjadi segera setelah krisis, ternyata investasi tidak dapat mengikuti kebangkitan ekonomi, apalagi menangani kebutuhan rakyat yang tidak pernah memiliki akses terhadap layanan infrastruktur dasar, seperti air pipa, listrik, jalan. Indonesia kini memiliki beberapa indikator infrastruktur paling buruk di tingkat regional. Diagram 5.1 Investasi infrastruktur , 1994-2004 (% dari PDB) 1/ 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 1994
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Swasta a/ Pemerintah b/ Publik dan Swasta . Total 99-04
2002 2003 BUMN c/
2004
Sumber: DepKeu diproses; laporan tahunan BUMN; Database PPI Bank Dunia. Catatan: Rujukan 1/PDB adalah untuk Tahun Fiskal (FY) atau Tahun Kalender (CY) tergantung pada periode database; a/pengeluaran pembangunan terkait Infrastruktur, seluruh tingkat pemerintahan; b/ Investasi sektor swasta diukur sebagai komitmen investasi pada saat kesepakatan penutupan keuangan; c/ Investasi atau pengeluaran modal (Capex). Seri BUMN yang tidak lengkap; Angka untuk 1999-2001 memiliki perkiraan lebih rendah dari kontribusi BUMN.
Banyak indikator infrastruktur telah mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir dan posisi Indonesia tertinggal dari negara tetangga. Beban listrik yang besar terjadi di Pulau Java dan Bali, sementara di pulau-pulau besar lainnya mengalami kekurangan listrik yang sangat parah. Jalan raya perkotaan jalan raya sudah terlalu padat dan jalan bebas hambatan yang baru yang diharapkan akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi masih dalam tahap persiapan. Proporsi penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa sebenarnya sudah mengalami penurunan akibat penutupan sejumlah fasilitas dan karena pertumbuhan penduduk. Indonesia pernah mengungguli Thailand, Taiwan, China, dan Sri Lanka dalam Global Competitiveness Report’s 1996 tentang indeks ‘mutu infrastruktur secara keseluruhan.’ Pada 2002, negara-negara ini telah mampu melampaui Indonesia (Tabel 5.1).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
81
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 5.1 Peringkat regional dari akses terhadap layanan infrastruktur Infrastruktur Rasio pelistirikan (%) Akses terhadap fasilitas sanitasi (%) Akses terhadap air bersih (%) Jaringan jalan raya (km per 1.000 orang)
Indonesia 53 55 14 1.7
Peringkat Regional 11 of 12 7 of 11 7 of 11 8 of 12
Sumber: Bank Dunia, 2004b.
Listrik
70
Permintaan akan listrik telah mengalami pertumbuhan sekitar 6 persen per tahun sejak 2000, tetapi tidak ada pertumbuhan yang sejalan dari kapasitas sistem yang ada.71 Puncak permintaan listrik telah mendekati kapasitas yang ada secara progresif dan penambahan persediaan kini sudah tidak memadai (Tabel 5.2). Beban berat dam pemadaman banyak terjadi, terutama di pulau-pulau luar sistem Jawa-Bali. Pertumbuhan permintaan per tahun diperkirakan 7-9 persen pada dekade yang akan datang. Tabel 5.2 Kapasitas sistem kelistrikan PLN vs. permintaan puncak (pada jam sibuk) Kapasitas Terpasang (MW) PLN (MW) IPP (MW) Kapasitas yang Tersedia (MW) Agregat Puncak Permintaan (MW)72 Margin Cadangan berdasarkan total kapasitas (%) Margin Cadangan berdasarkan kapasitas yang tersedia (%)
2000
2001
2002
2003
2004
23,949 20,762 3,187 21,853 15,320 56.3 42.6
24,246 21,059 3,187 22,077 16,313 48.6 35.3
24,359 21,112 3,247 20,841 17,160 42.0 21.5
24,475 21,206 3,269 22,048 17,949 36.4 22.8
24,920 21,470 3,450 21,494 18,896 31.9 13.7
Sumber: Laporan keuangan tahunan PLN.
Pengurangan subsidi BBM telah menyebabkan perubahan cukup besar terhadap kombinasi BBM biaya rendah oleh PLN. Sekitar 27 persen dari produksi listrik PLN menggunakan bahan bakar minyak. Harga minyak dalam negeri meningkat menjadi rata-rata sebesar 29 persen pada Maret 2005 dan 114 persen pada Oktober 2005 (lihat Bab 1). Biaya penggunaan BBM ini cukup tinggi dimana kini sedang dipertimbangkan untuk membiarkan mesin pembangkit tenaga diesel (solar) untuk tidak beroperasi dan menggantinya dengan pembangkit dengan bahan bakar batu bara, karena biaya tambahan modal akan menjadi lebih besar dengan menghemat pemakaian BBM. Sekitar 3,400 MW dari pembangkit yang dirancang untuk menggunakan bahan bakar gas, tetapi dioperasikan dengan bahan bakar solar akibat kesulitan mengamankan pasokan gas. Tingginya biaya pemakaian solar merupakan pendorong utama untuk menangani kesulitan suplai bahan bakar gas. Pengurangan subsidi BBM juga mendorong produsen ‘captive power’ untuk membeli listrik dari PLN, yang akan menyebabkan pertumbuhan permintaan listrik PLN. Para produsen ‘Captive power’ adalah para industri besar dan konsumen usaha yang memiliki generator swasta dengan kapasitas sekitar 14.600 MW, dan menyediakan hampir 30 persen dari listrik yang digunakan. Lebih dari 60 persen dari kapasitas ini menggunakan solar, yang telah menjadi semakin mahal jika dioperasikan setelah pengurangan subsidi BBM.
70 Pengeluaran untuk sub-sektor listrik menunjukkan hampir 90 persen dari total pengeluaran dalam sektor energi. 71 Harus diingat bahwa pada 2006, tambahan kapasitas sebanyak 2.500 MW dilakukan oleh PLN. Akan tetapi, jumlah ini masih belum cukup untuk memenuhi permintaan yang terus tumbuh dan belum cukup pula untuk mengatasi kapasitas kekurangan listrik dalam jangka panjang. 72 Karena data yang rinci mengenai beban puncak tidak tersedia, maka digunakan agregat permintaan puncak. Walaupun hal ini tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya dari berbagai sistem yang ada yang tidak saling berhubungan, cara ini telah mampu memberikan indikasi yang rasional mengenai situasi permintaan dan suplai listrik di Indonesia.
82
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
Tabel 5.3 Indikator terpilih untuk listrik Rumah tangga dengan sambungan listrik (%) Kamboja China Indonesia Laos Mongolia Filipina Thailand Vietnam Sumber: Bank Dunia, 2005.
1998 13 97 -30 67 72 82 63
Kerugian transmisi dan distribusi (%)
2003 17 99 55 41 90 79 84 81
1998 20.6 8.1 12.2 22.6 -14.1 8.7 15.6
Rata-rata tarif listrik residensial (nominal US$/kWh)
2003 12.7 7.7 11.7 21.2 22.0 12.4 7.3 13.4
2003 0.09-0.15 0.05-0.08 0.02-0.07 0.04 0.05 0.11 0.06 0.05
Tingkat akses rumah tangga terhadap listrik masih rendah dan perluasan jaringan terhambat oleh kebijakan harga yang berlaku saat ini (Tabel 5.3). Tarif rata-rata untuk penggunaan rumah tangga lebih rendah daripada biaya produksi, sehingga PLN tidak memiliki insentif bisnis untuk meningkatkan sambungan keluarga—setiap sambungan baru meningkatkan jumlah kerugian PLN dan kapasitas yang ada sudah penuh. Karena biaya menjadi lebih tinggi untuk wilayah pedesaan dan wilayah-wilayah terpencil, pengenaan tarif yang seragam dan rendah telah berdampak khusus terhadap tingkat akses listrik di daerah-daerah tersebut.
Jalan
73
Efisiensi kota-kota di Indonesia menurun akibat kemacetan lalu lintas. Saat ini, 43 persen dari jaringan jalan raya di Pulau Java, dan sebagian besar di Jakarta, mengalami kemacetan yang menyebabkan waktu perjalanan menjadi lebih lama dan memerlukan biaya lebih tinggi. Kemacetan diperkirakan meningkat menjadi 55 persen pada 2010. Total jaringan jalan raya tumbuh sebesar 12 persen antara tahun 2000 dan 2004. Proporsi jalan aspal mengalami peningkatan sebesar 28 persen sejak 1998. Pada periode yang sama, jumlah kendaraan bermotor untuk per 1.000 orang telah meningkat menjadi 80 persen (Tabel 5.4). Tabel 5.4 Peningkatan kemacetan jalan raya Indikator
1998
1999
2000
2001
2002
2003
Jalan Aspal (% dari total)
47.3
57.1
57.1
58.9
57.6
58.3
Sepeda Motor (per 1.000 orang)
87.8
89.5
92
100.1
108.5
118.7
2005
% perubahan 1998-2005
--
60.5
28
133.2
158.2
80
2004
Sumber: CGI Juni 2006, Indonesia: Tinjauan terhadap Sektor Transportasi (Januari 2006): Tinjauan terhadap Temuan Sektor Jalan Raya.
Jalan bebas hambatan, termasuk jalan lingkar untuk wilayah pusat perkotaan, akan membantu mengurangi kemacetan dan, dengan memperlancar hubungan antarkota akan mempercepat pertumbuhan. Akan tetapi, sebagian besar jalan bebas hambatan ini baru berada pada tahap perencanaan. Persiapannya sedang berlangsung bagi investasi sektor swasta untuk jalan lingkar luar kota Jakarta, tetapi masalah keuangan untuk investasi ini akan memerlukan pemecahan atas berbagai permasalahan, termasuk proses pembebasan tanah dan kondisi dan tingkat dukungan pemerintah. Rencana untuk membangun jalan raya lintas Pulau Jawa yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya perlu juga memperhatikan isu-isu yang sama. Rencana ini selanjutnya akan menjadi sangat sulit karena perusahaan swasta menerima kontrak sebelum 1998, tetapi saat ini perusahaan tersebut tidak mampu menyediakan dana. Solusi peningkatan transportasi umum diperlukan untuk mengurangi kemacetan di pusat-pusat perkotaan. Di Jakarta, sebuah jalur dibuat khusus untuk busway telah beroperasi pada Januari 2004 dan, sampai Maret 2006, jumlah penumpang tiap hari mencapai 120.000 orang. Masalah kemacetan masih merupakan pemandangan seharihari di tengah kota, sementara pembangunan sistem transportasi cepat massal monorail juga dalam pelaksanaan di Jakarta.
73 Pengeluaran untuk sub-sektor jalan raya sebesar 80 persen dari total anggaran yang digunakan dalam sektor transportasi .
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
83
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Fillipina
Indonesia
China
0
14
8
57
48 16
15
4
Asia Selatan
22
20
69
Kawasan Timur Tengah & Afrika Utara
40
K amboja
60
Amerika Latin & Karibia
82 58
Sub Sahara Afrika
91
80
Eropa Timur & Asia Tengah
97
Laos
100
Mongolia
120
Thailand
Persentasi dari keseluruhan Ruas Jalan
Diagram 5.2 Proporsi jalan raya yang diaspal, 2003
Sumber: World Bank, 2005.
Mutu jalan nasional Indonesia relatif tinggi, tetapi terlalu banyak jalan daerah pemeliharaannya sangat buruk. Dibandingkan dengan negara lain di kawasan ini, sebagian besar jalan raya di Indonesia (sekitar 60 persen) sudah diaspal (Diagram 5.2). Sementara proporsi jalan nasional yang dalam keadaan baik mengalami penurunan sejak 2000, masih lebih dari 80 persen. Sebaliknya, mutu rata-rata jalan daerah tidak mengalami perubahan sejak 2002, dan juga tidak memadai dengan perkiraan hanya setengah masih dalam keadaan cukup baik (Tabel 5.5). Beberapa daerah paling miskin di kawasan Indonesian timur, di mana jumlah penduduk dan permintaan terhadap kendaraan masih rendah, masih tidak memiliki akses terhadap jalan. Tabel 5.5 Mutu jalan raya , 2000-06 Panjang (km)
Jalan Tol Jalan raya Nasional Jalan raya Provinsi Jalan raya Kabupaten/kota Total Km Jalan raya
649 34,628 37,164 240,946 339,005
Kondisi (% Sangat baik-baik) 2000 2006 87 81 49*
81 63 49
Mutu Permukaan (% diaspal) 100 90 89 52 60.5
Sumber: Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum, Maret 2005, Statistik Departemen Pekerjaan Umum, CGI Juni 2006, Indonesia: Tinjauan Sektor Transportasi (Januari 2006): Tinjauan Temuan Sektor Jalan Raya. Catatan: * Data untuk kabupaten/kota tahun 2002 karena nilai untuk tahun 2000 tidak konsisten.
Air dan Sanitasi Akses terhadap air pipa sangat terbatas dan penyedia air pipa (PDAM) sedang mengalami krisis. Air pipa yang disediakan oleh PDAM merupakan sumber yang paling dapat diandalkan, paling aman dan, dalam jangka panjang merupakan solusi paling murah untuk penyediaan air di wilayah pusat perkotaan, tetapi hanya 31 persen dari penduduk di wilayah perkotaan dan 17 persen dari seluruh jumlah penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa. Angka ini sangat rendah berdasarkan standar regional (Tabel 5.6). Kualitas air dan keteraturan persediaannya menurun, dan ketersediaan fasilitas penampungan air sangat terbatas. Kerugian air, baik secara fisik maupun administrasi, berkisar sekitar 50 persen dan terkadang sampai dengan 60 persen dari produksi PDAM. Kecuali ada perubahan kebijakan, dan mengingat kinerja operasional yang buruk serta tidak adanya akses terhadap pendanaan, sebanyak 316 PDAM Indonesia secara perlahan akan merugi dan menghentikan layanannya, sehingga akan semakin mengurangi tingkat akses terhadap air pipa.
84
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
Tabel 5.6 Akses terhadap air pipa, 2003 Country Malaysia Philippines Thailand Vietnam Indonesia Cambodia
Wilayah perkotaan (%) 95 60 80 51 31 31
Nasional Wilayah pedesaan (%) 64 22 12 1 5 1
Modal Total (%)
Ibukota saja (%)
84 44 34 14 17 6
100 58 83 84 51 84
Sumber: UN (2004). ADB (2004).
Tekanan politik untuk melakukan perubahan masih sangat lemah karena masyarakat telah mampu mengembangkan strategi penyelesaian. Strategi ini tercermin dalam data resmi bahwa laporan akses terhadap “air yang semakin baik” sebesar 69 persen dari penduduk wilayah pedesaan dan 89 persen dari penduduk wilayah perkotaan. Tetapi strategi penyelesaian masalah air ini melibatkan sektor swasta, dan sering tidak terdaftar, pembuatan sumur yang tidak bisa diandalkan akibat pencemaran air tanah. Di sejumlah daerah, penggalian sumur oleh pihak swasta telah mencapai tingkat yang menyebabkan terjadinya perembesan air laut dan penurunan permukaan tanah. Indonesia mengalami kekurangan fasilitas sanitasi dan sistem pengolahan air limbah. Data resmi menunjukkan bahwa 71 persen dari penduduk wilayah perkotaan dan 38 persen dari penduduk wilayah pedesaan memiliki akses terhadap “sanitasi yang semakin baik”, tetapi data ini termasuk sambungan tangki septik bawah tanah yang cukup banyak yang pada kenyataannya tidak pernah dikuras dan mengalami kebocoran yang akhirnya mencemari lingkungan dan air tanah. Hanya 1,3 persen dari seluruh penduduk tersambung dengan sistem pembuangan limbah —sebuah sistem kecil beroperasi di Jakarta. Kegagalan untuk mengolah air limbah menyebabkan munculnya pencemaran sumber-sumber air, yang selanjutnya meningkatkan biaya untuk memproduksi air bersih dan berkontribusi terhadap prevalensi yang cukup tinggi dari sejumlah penyakit seperti tipus dan penyakit menular lainnya di Indonesia.
Pengeluaran Publik untuk Infrastruktur: Komposisi dan Tren Agregat (pemerintah dan swasta ) pengeluaran infrastruktur Indonesia berjumlah sekitar 8,4 persen dari PDB. Investasi infrastruktur per tahun berjumlah sekitar 3,4 persen dari PDB, ditambah pengeluaran operasional dan pemeliharaan menunjukkan angka sebesar 5,0 persen dari PDB (Tabel 5.7). Pengeluaran publik untuk infrastruktur berjumlah 10,1 persen dari pengeluaran nasional pada tahun 2004, persentase yang lebih rendah dari dua tahun sebelumnya (10,4 persen). Pengeluaran untuk infrastruktur mengalami penurunan terutama karena terjadi penurunan terus-menerus pada investasi sektor swasta. Penurunan investasi infrastruktur sejak akhir tahun 1990-an merupakan isu utama yang harus diperhatikan dalam kebijakan infrastruktur. Tingkat investasi infrastruktur masih rendah menurut standar, terutama jika dibandingkan dengan negara seperti China dan Vietnam, yang melakukan investasi sekitar 10 persen dari PDB untuk infrastruktur, atau negara masih berkembang lainnya seperti Laos dan Mongolia, masingmasing yang melakukan investasi sebesar 4 sampai 7 persen dari PDB.74
74 World Bank, 2005. Connecting East Asia: A new framework for infrastruktuce, lampiran data. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
85
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 5.7 Sekilas tentang pengeluaran infrastruktur Rp triliun (harga konstan 2004)
1. Pengeluaran publik untuk infrastruktur (2 + 3)
2002
2003
2004
174.74
179.48
177.26
Investasi Operasional &Pemeliharaan 2. Anggaran pada seluruh tingkat pemerintahan a/
2002
2003
2004
Avg. 02-04
8.2
8.3
7.7
8.4
69.59
64.51
62.18
3.3
3.0
2.7
3.4
105.15
114.97
115.08
4.9
5.3
5.0
5.0
39.88 17.40
1.7
2.2
1.8
2.1
0.8
1.0
0.8
1.2
9.70
0.4
0.6
0.4
0.8
36.23
Pemerintah pusat
16.61
47.33 22.74
Investasi b/
7.88
13.83
Operasional &Pemeliharaan
8.73
8.91
7.70
0.4
0.4
0.3
0.4
19.61
24.59
22.48
0.9
1.1
1.0
0.9
12.43
16.64
14.97
0.6
0.8
0.7
0.7
7.19
7.95
7.51
0.3
0.4
0.3
0.2
110.44
123.65
128.24
5.2
5.7
5.6
5.5
Pemerintah daerah Investasi Operasional &Pemeliharaan 3. BUMN
% dari PDB
Investasi c/
21.21
25.54
28.37
1.0
1.2
1.2
1.2
Operasional &Pemeliharaan
89.23
98.11
99.87
4.2
4.5
4.4
4.4
28.45
8.93
9.58
1.3
0.4
0.4
0.7
28.07
8.50
9.14
1.3
0.4
0.4
0.7
174.73
179.48
177.26
8.3
8.3
7.8
8.3
69.58
64.51
62.18
3.3
3.0
2.7
3.3
105.15
114.96
115.08
5.0
5.3
5.1
5.0
4. Sektor swasta Investasi komitmen d/ Total pengeluaran infrastruktur (2 + 3 + 4) Total investasi Total Operasional &Pemeliharaan
Sumber: Data DepKeu yang sudah diolah; laporan tahunan perusahaan dan neraca; database PPI Bank Dunia. Catatan: a/ Pengolahan data anggaran pemerintah, seluruh tingkat pemerintahan, b/ Sedikit variasi sehubungan data investasi publik sebelumnya dijelaskan berdasarkan akses terhadap data yang dis-agregat untuk periode 2002-04, yang memungkinkan penentuan kategorisasi lebih rinci dari total pengeluaran untuk investasi dan Operasional &Pemeliharaan, c/ Investasi atau Angka Capex. Jika tidak ada informasi lain yang bisa ditemukan, perbedaan dari tahun ke tahun dalam persediaan modal dianggap sebagai perkiraan Capex, d/ Investasi sektor swasta yang diukur sebagai komitmen investasi pada saat dilakukan persetujuan dan penutupan finansial.
Diagram 5.3 Komposisi pengeluaran infrastruktur Sektor Swasta 5% Pemerintah Daerah (Provinsi & Kabupaten/Kota) 10%
Investasi 16% Badan Usaha milik Negara 70%
Operasional & Pemeliharaan 5%
Pemerintah Pusat 14%
Sumber: Data dari DepKeu yang sudah diolah; laporan tahunan BUMN; database PPI Bank Dunia.
Pengeluaran BUMN berjumlah lebih dari 70 persen dari total pengeluaran infrastruktur. Akan tetapi, pengeluaran BUMN sebagian besar didorong oleh kegiatan operasional dan pemeliharaan, dan lebih rendah untuk investasi (Diagram 5.3). Pengeluaran anggaran publik pemerintah pusat berjumlah sedikit lebih besar daripada pengeluaran pemerintah daerah. Peranan pengeluaran sektor swasta masih sangat terbatas, dengan jumlah hanya 5 persen dari total pengeluaran. Baik investasi sektor publik maupun sektor swasta untuk infrastruktur telah mengalami penurunan relatif terhadap besaran ekonomi (Tabel 5.8). Komitmen investasi sektor swasta di atas 2 persen dari PDB pada pertengahan 1990-an, tetapi turun di bawah 0,5 persen pada 2003 dan 2004. Investasi pemerintah (pusat dan 86
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
daerah) berjumlah hampir 3 persen dari PDB pada pertengahan tahun 1990-an, sementara sejak krisis angka-angka tersebut telah menurun antara 1,1 sampai 1,8 persen. Dari 2002 sampai 2005, investasi yang dilakukan oleh BUMN telah meningkat secara perlahan dari 1,0 persen dari PDB menjadi 1,3 persen, tetapi jumlah ini tidak memadai untuk mengatasi penurunan investasi yang dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta. Walaupun investasi pemerintah terus mengalami peningkatan secara absolut sejak 2002, peningkatan ini tidak setara dengan pertumbuhan ekonomi. Selama 2002-04, satu-satunya periode tersedianya data lengkap, total investasi meningkat secara absolut tetapi menurun jika dilihat dari proporsi terhadap PDB dari sekitar 3,5 persen menjadi 2,9 persen. Tabel 5.8 Tren investasi Rp triliun harga konstan(2001) Swasta a/
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Pemerintah b/
8.56 26.91 28.12 25.52 6.79 14.78 1.46 9.38 22.16 6.71 7.21 --
32.59 32.84 29.75 31.41 27.94 20.13 16.49 21.52 18.98 28.67 23.09 --
% dari PDB
BUMN c/
Total
NA NA NA NA NA 12.61 11.45 10.09 16.75 20.17 22.40 24.84
Swasta a/
Pemerintah b/
BUMN c/
0.8 2.4 2.3 1.8 0.5 1.2 0.1 0.6 1.3 0.4 0.4
2.9 2.7 2.2 1.9 1.8 1.4 1.1 1.3 1.1 1.7 1.3
-----1.0 0.7 0.6 1.0 1.2 1.2 1.3
-----47.52 29.40 41.00 57.88 55.55 52.71
Total -----3.6 1.9 2.4 3.5 3.2 2.9
Sumber: Data DepKeu yang telah diolah; laporan tahunan BUMN; Database PPI Bank Dunia. Catatan: 1/ Termasuk listrik , gas, telekomunikasi, jalan raya, pelabuhan, bandara, jalur kereta, air pipa, dan sanitasi, pengelolaan sumber air, dan irigasi; a/ Investasi sektor swasta diukur sebagai komitmen investasi pada saat kesepakatan penutupan finansial; b/ Pengeluaran pembangunan terkait infrastruktur, seluruh tingkat pemerintahan; c/ Investasi atau pengeluaran modal (Capex). d/ Data BUMN yang tidak lengkap; data tersedia untuk investasi , infrastruktur BUMN 1999-2001, tetapi tidak semuanya.
Sebelum krisis, investasi sektor swasta tersebar di seluruh sektor infrastruktur; dan sejak krisis investasi terkonsentrasi di sektor telekomunikasi (Tabel 5.9). Pada pertengahan sampai dengan akhir tahun 1990-an, investasi sektor swasta mencapai tingkat 2,3 persen dari PDB. Pada tahun 2003 dan 2004 investasi hanya mencapai 0,4 persen dari PDB. Tabel 5.9 Tren investasi sektor swasta* Energi 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Total % of total
Air dan sanitasi
Transportasi
Telekomunikasi
466 5,531 7,851 7,600 1,530 976 0 0 1,933 0 1,084
0 448 0 364 2,931 0 0 377 0 0 0
236 607 0 2,067 0 8,028 0 0 6,045 0 31
2,417 4,143 4,142 1,522 410 3,780 1,312 9,006 16,814 7,998 8,021
26,971 25.0
4,119 3.8
17,015 15.8
59,566 55.3
Total 3,119 10,729 11,993 11,553 4,871 12,784 1,312 9,383 24,792 7,998 9,137 107,671 100.0
Sumber: Database PPI Bank Dunia, Angka-angka tidak termasuk proyek yang dibatalkan. Catatan: Angka saat ini dalam miliar Rupiah, nilai tukar yang digunakan adalah untuk Tahun Kalender (CY) yang bersangkutan, bersumber dari Pemerintah Indonesia , * Investasi sektor swasta yang diukur sebagai komitmen investasi pada saat dilakukan persetujuan dan penutupan finansial.
Sejak 2001, pemerintah daerah telah mengambil bagian yang semakin besar dalam pengeluaran pembangunan di sektor infrastruktur, sebagai bagian dari desentralisasi tanggung jawab pemerintah secara Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
87
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
umum. Proporsi pengeluaran pemerintah daerah untuk infrastruktur meningkat dari 35 persen pada 2000 menjadi 55 persen pada 2004, dimana pengeluaran pemerintah provinsi berjumlah 20 persen dan pengeluaran pemerintah kabupaten/kota 35 persen (Diagram 5.4).
% pengeluaran Infrastruktur dari total pengeluaran pembangunan
Diagram 5.4 Dampak pelaksanaan sistem desentralisasi terhadap investasi pemerintah untuk infrastruktur 70 % 60 50 40 30 20 10 0
2000
Pemerintah Pusat
2001
2002
Provinsi
2003
Kabupaten/Kota
2004 Provinsi & Kabupaten/Kota
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD.
Dalam total anggaran pembangunan, proporsi desentralisasi investasi bervariasi cukup besar menurut subsektor (Diagram 5.4). Komponen terbesar dari total anggaran pembangunan adalah transportasi, di mana jumlah ini didominasi oleh investasi jalan. Antara 2000 dan 2004, besarnya anggaran pembangunan untuk transportasi meningkat dari 62 persen menjadi 75 persen, dan pengeluaran daerah untuk sektor transportasi ini meningkat dari 56 persen pada 2001 menjadi 64 persen pada 2004. Secara nominal, pengeluaran pembangunan pemerintah daerah untuk transportasi meningkat dari Rp 4,498 miliar menjadi Rp 14,460 miliar selama empat tahun yang sama. Pemerintah pusat memiliki jumlah terbesar dari anggaran pembangunan untuk sumber daya air dan irigasi. Anggaran pembangunan berperan kecil dalam sektor energi dan telekomunikasi, di mana BUMN dan perusahaan swasta merupakan pemain yang lebih penting, tetapi peran yang ada untuk pemerintah dalam kedua sektor ini didominasi oleh pemerintah pusat. Diagram 5.5 Distribusi pengeluaran investasi berdasarkan unit pengeluaran
Rp triliun; Harga yang berlaku
25
20
Swasta BUMN Kabupaten/Kota Provinsi Pusat
15
10
5
0
Pengelolaan Sumber Air
Irigasi
Tr ansportasi
Energi
Te lekomunikasi
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD Catatan: Pengeluaran BUMD (PDAM) untuk sumber air hanya dapat diperkirakan secara umum. Ahli-ahli industri memperkirakan bahwa angka 0 adalah perkiraan yang valid untuk investasi di sektor ini.
Pengeluaran pembangunan pemerintah daerah untuk sektor infrastruktur tidak sepadan dengan tingkat pertumbuhan pendapatan riil mereka. Hal ini sebagian dapat mencerminkan prioritas daerah, dengan sektor pendidikan dan kesehatan yang menempati proporsi peningkatan cukup tinggi untuk pengeluaran pembangunan di
88
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
daerah, tetapi mungkin juga kemampuan pemerintah daerah terkendala untuk meningkatkan investasi infrastruktur. Tingkat pengeluaran yang rendah untuk sektor infrastruktur dapat juga mencerminkan penundaan perencanaan, dalam hal ini keseimbangan antara pengeluaran infrastruktur dan pengeluaran untuk kategori lain terus mengalami kemunduran. Akan tetapi, dapat juga terjadi bahwa karena kapasitas atau alasan lain, pemerintah daerah tidak mampu untuk meningkatkan investasi infrastruktur yang diinginkan. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa simpanan anggaran pemerintah daerah di bank telah mengalami akumulasi cukup cepat tidak kurang dari Rp 10 triliun pada Januari 2001 sampai lebih dari Rp 70 triliun (2,6 persen dari PDB) pada April 2006, yang menunjukkan ketidakmampuan atau keengganan pemerintah daerah untuk menggunakan alokasi anggaran mereka secara penuh. Telaah yang lebih rinci diperlukan untuk menentukan mengapa investasi pemerintah daerah di sektor infrastruktur tidak mengikuti percepatan pertambahan penerimaan pemerintah daerah, terutama mengingat mutu dan indikator yang rendah dari investasi yang ada di Indonesia. Tabel 5.10 Pengeluaran publik untuk investasi dan biaya operasional dan pemeliharaan a/Rata-rata 2002-04 Investasi (Rp milyar) Air & Sanitasi 1/ Transportasi (Di luar jalan raya) Jalan raya 2/ Gas alam 3/ Listrik 4/ Telekom 5/ TOTAL
1,131 10,716 15,159 2,641 9,551 13,156 54,817
Operasional & Pemeliharaan (Rp milyar) 9,278 6,539 3,328 1,046 61,025 21,772 102,989
Rasio O&M terhadap Investasi 8.21 0.61 0.22 0.40 6.39 1.66 1.88
Sumber: Angka asli dari laporan tahunan BUMN dan rekening perusahaan. Catatan: a/ Termasuk seluruh tingkat pemerintahan dan BUMN; 1/ dikeluarkan dari pengolahan sumber air untuk dalam anggaran pengeluaran; PDAM untuk pengeluaran di luar; 2/ Jalan tol untuk pengeluaran di luar (BUMN); 3/ PGN; 4/ PLN; angka-angka untuk Operasi & Pemeliharaan termasuk pembayaran subsidi secara eksplisit yang diterima PLN untuk mensubsidi tarif. Subsidi ini merupakan jumlah quasi-jumlah biaya Operasi & Pemeliharaan yang dikeluarkan melalui anggaran pemerintah untuk sektor listrik ; 5/ Indosat dan Telkom.
Rasio pengeluaran operasional terhadap investasi di Indonesia menunjukkan bahwa pemeliharaan jalan tidak memadai serta kurangnya investasi untuk sektor air bersih dan listrik (Tabel 5.10). Sektor listrik juga memiliki tingkat rasio yang tinggi untuk biaya operasional investasi, yang menunjukkan investasi yang tidak memadai, tetapi hal ini sebagian besar disebabkan oleh adanya subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dalam rangka menutup rendahnya pendapatan PLN yang diperlihatkan sebagai biaya operasional. Keseimbangan yang sesuai antara biaya investasi dan operasional sangat bervariasi pada lintas sektoral sesuai dengan intensitas modal dan tingkat pertumbuhan permintaan. Kajian sektor yang lebih rinci dengan standar teknis disarankan untuk menentukan tingkat pengeluaran yang memadai dengan mengingat aset infrastruktur Indonesia dan targets pembangunan. Biaya operasional dan pemeliharaan untuk telekomunikasi dan listrik yang dikeluarkan oleh BUMN sebagai proporsi dari PDB telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Pertumbuhan dalam sektor telekomunikasi merupakan cerminan dari perkembangan pentingnya sektor ini dalam pembangunan ekonomi. Pertumbuhan biaya operasional dan pemeliharaan PLN mungkin juga sebagian mencerminkan tingkat pertumbuhan permintaan sektor ekonomi, tetapi penjelasan kunci terletak pada kenaikan harga BBM pada beberapa tahun terakhir ini, dan subsidi biaya operasional yang diperlukan akibat penurunan pendapatan yang disebabkan oleh pengenaan tarif di bawah biaya produksi. Biaya operasional dan pemeliharaan untuk BUMN yang menyediakan layanan jalan tol, pelabuhan, bandara, dan gas seluruh memiliki proporsi PDB yang stabil dalam beberapa tahun terakhir ini.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
89
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 5.11 Biaya Operasional dan pemeliharaan BUMN % PDB
1999
Jalan tol (BUMN) Bandara (Angkasa Pura) Pelabuhan laut (Pelindo I-IV) Gas alam (PGN) Listrik (PLN) PT Telkom PT Indosat
2000
2001
2002
2003
2004
2005
0.05
0.05 0.09 0.03 1.94 0.53 0.20
0.04 0.08 0.10 0.03 2.81 0.63 0.26
0.05 0.08 0.10 0.04 2.88 0.74 0.29
0.05 0.08 0.10 0.05 2.63 0.85 0.32
0.05 0.07
1.96
0.03 1.96
0.12
0.11
0.05 2.79 0.90 0.29
Sumber: Angka asli dari laporan tahunan BUMN dan rekening perusahaan.
Listrik PLN melakukan investasi sebesar Rp 8,620 milyar pada tahun 2005, sementara biaya operasional dan pemeliharaannya berjumlah Rp 76,024 milyar (Diagram 5.6). Anggaran pemerintah juga telah memberikan berkontribusi terhadap investasi melalui program kelistrikan, dengan rata-rata jumlah Rp 1,903 milyar per tahun selama 2002-04. Total pengeluaran untuk sektor listrik menjadi sekitar 3,2 persen dari PDB. Biaya eksplisit dan implisit dari subsidi pemerintah untuk biaya operasional PLN berkisar sekitar Rp 38 triliun (1,4 persen dari PDB) pada tahun 2005. Pemerintah menyediakan subsidi eksplisit kepada PLN untuk menutupi perbedaan antara tarif yang ditentukan dan biaya sebenarnya untuk memberikan layanan yang berbeda, termasuk pelanggan rumah tangga, industri, dan perdagangan. Pembayaran subsidi eksplisit berjumlah Rp 16.890 miliar (0,6 persen dari PDB) pada 2005, dan subsidi ini bisa mencapai Rp 24,000 miliar pada 2006. Karena subsidi BBM belum seluruhnya dihapuskan, PLN juga memperoleh manfaat dari subsidi implisit terhadap BBM. Subsidi implisit ini diperkirakan berjumlah Rp 20,6 milyar pada tahun 2005. Akhirnya, pemerintah menyediakan subsidi sambungan untuk meningkatkan pelistrikan di wilayah pedesaan. Biaya subsidi ini berjumlah sekitar Rp 500 milyar pada tahun 2005 (Lihat Bab 1 untuk informasi lebih rinci tentang subsidi listrik). Diagram 5.6 Pengeluaran PLN 80,000
3.00 2.50
60,000
2.00
40,000
1.50 1.00
20,000
0.50 0.00
0 1999
2000
Operasional
2001
2002
2003
Investasi
2004
2005
Pemeliharaan
1999
2000
Operasional
2001
2002 Investasi
2003
2004
2005
Pemeliharaan
Sumber: Laporan keuangan tahunan PLN.
Dalam upaya penciptaan sumber tenaga listrik, beberapa distorsi dan kendala untuk memperluas akses merupakan akibat dari kebijakan harga dan subsidi. Subsidi BBM menyebabkan PLN menggunakan BBM untuk memproduksi listrik, termasuk pembangkit yang dirancang untuk menggunakan bahan bakar gas. Karena kenaikan BBM pada tahun-tahun terakhir ini dan penghapusan subsidi BBM, biaya sebenarnya yang dikeluarkan PLN untuk memberikan layanan telah meningkat dengan cepat. Namun demikian, tarif PLN masih tetap sama dan kini PLN menderita kerugian ekonomi yang cukup besar—kerugian yang ditanggung oleh pemerintah. Untuk masa mendatang, memang dibutuhkan harga eceran listrik untuk mencerminkan biaya untuk mengontrol konsumsi listrik dan untuk meningkatkan tambahan investasi. Tingkat dan struktur harga yang ada sekarang merupakan akibat dari pemberian alokasi subdisi sumber daya yang tidak efisien dan sasaran subsidi yang tidak baik. Sementara itu, tarif seragam yang berlaku saat ini tidak memberikan insentif untuk memperluas sambungan di kawasan Indonesia Timur yang memerlukan biaya tinggi.
90
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
Langkah besar untuk menangani kesenjangan investasi dan mengurangi biaya produksi kini sedang ditangani melalui rencana untuk mendorong peningkatan kapasitas pengadaan listrik PLN sampai dengan 10.000MW menggunakan mesin pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batu bara dalam beberapa tahun ke depan. Pada 2006, PLN menaikkan tambahan kapasitas sebesar 2.500 MW pada jaringannya. Di samping itu, rencana perluasan PLN sedang ditinjau untuk menjamin tambahan kapasitas benar-benar dilaksanakan dengan penentuan tahapan secara berhati-hati serta penentuan posisi pembangkit tenaga listrik, bersama dengan transmisi yang bersangkutan dan fasilitas distribusi, harus sesuai dengan kebutuhan pusat-pusat pertumbuhan permintaan. Di samping adanya pembangkit tenaga listrik seperti ini, pemerintah akan berusaha untuk mengurangi beban hutang PLN dengan mengundang investor swasta untuk membangun pembangkit independen agar mereka menjual listrik mereka kepada PLN.
Jalan Pada 2004, pengeluaran untuk jalan berjumlah sekitar 1 persen dari PDB, dengan investasi jalan mendekati tingkat sebelum krisis. Investasi yang berjumlah Rp 18,2 triliun (0,8 persen dari PDB), biaya operasional jalan raya sebesar Rp 1,4 triliun (0,06 persen dari PDB) dan biaya pemeliharaan sebesar Rp 2,5 triliun (0,11 persen dari PDB) (Diagram 5.6, Tabel 5.4). Biaya pemeliharaan jalan raya mencerminkan kondisi relatif dari jalan raya nasional, provinsi dan kabupaten/ kota. Pemerintah pusat menggunakan sebesar Rp 32 juta per kilometer untuk biaya pemeliharaan rutin dan reguler, pemerintah provinsi menggunakan sekitar Rp 18 juta per kilometer, dan pemerintah kabupaten/kota menggunakan 75 sebanyak Rp 2,5 juta per kilometer. Pemeliharaan jalan raya dengan tingkat yang lebih tinggi akan lebih mahal untuk dilaksanakan dan mungkin akan memerlukan pemeliharaan yang lebih sering akibat penggunaan yang lebih luas. Kondisi yang lebih buruk dari jalan raya di daerah menunjukkan bahwa pengeluaran untuk pemeliharaan jalan raya di daerah seharusnya ditingkatkan. Mengingat buruknya kondisi jalan raya daerah yang ada sekarang, sepertinya tambahan biaya pemeliharaan akan menghasilkan manfaat pengembalian sosial yang tinggi. Diagram 5.7 Investasi dalam jalan raya per tingkat pemerintah dan sektor swasta
Harga Konstan tahun 2000; Rp triliun
16
Pusat
Provinsi
Kabupaten/kota
Nasional
14 12 10 8 6 4 2 0
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Sumber: Angka-angka mengenai anggaran; laporan tahunan BUMN; database PPI Bank Dunia.
Pembangunan jalan bebas hambatan antarkota dan jalan lingkar yang baru untuk kota-kota besar akan membutuhkan peningkatan investasi untuk jalan raya. Konstruksi jalan bebas hambatan trans-Jawa yang menghubungkan Jakarta dengan Surabaya dengan panjang sekitar 870km jalan bebas hambatan yang baru diperkirakan akan menelan biaya sebesar Rp 49 triliun, dimana untuk pembebasan tanah akan memerlukan biaya sebesar Rp 5 triliun. Sebuah sistem jalan bebas hambatan akan diperlukan untuk pulau Sumatera. Pemerintah sedang mengajak sektor swasta untuk bersama-sama memikul beban pendanaan, dan pihak swasta juga selanjutnya akan dapat mengembalikan biaya yang dikeluarkan melalui pengenaan tol. Mengingat besarnya risiko finansial terlibat dalam proyek jalan raya, maka diperlukan persiapan proyek yang sangat hati-hati untuk memaksimalkan dukungan pemerintah terhadap proyek-proyek tersebut. 75 Dihitung menggunakan angka-angka biaya pemeliharaan untuk 2004 dari Tabel 5.12 dan panjang jaringan jalan raya pada 2006 dari Tabel 5.5.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
91
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 5.12 Biaya operasional dan pemeliharaan jalan raya, 2004 Rp milyar
% dari PDB
Operasional
Pemeliharaan
Pemeliharaan
Pemeliharaan
450 --
1,105 609 590 204 2,508
0.020 --
0.049 0.027 0.026 0.009 0.110
Pemerintah pusat Provinsi Kabupaten/kota BUMN Total
910 1,360
0.040 0.060
Sumber: Angka-angka mengenai anggaran; laporan tahunan BUMN.
Konstruksi jalan raya yang dioperasikan sektor swasta untuk jalan lingkar wilayah perkotaan dan jalan bebas hambatan antarkota dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap tingkat pertumbuhan di tahun-tahun yang akan datang, tetapi kesulitan untuk menarik investasi sektor swasta sepertinya akan memperlambat proyek-proyek ini. Pemerintah telah mengembangkan kerangka kerja yang baru untuk investasi sektor swasta dalam infrastruktur untuk menjamin alokasi yang tepat terhadap risiko bagi pemerintah untuk memberikan dukungan terhadap untuk proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan oleh sektor swasta. Pengaturan kelembagaan telah juga dikembangkan untuk mendukung persiapan proyek yang dilakukan secara hati-hati. Namun demikian, pengalaman dan kapasitas yang tidak memadai di pihak pemerintah untuk menyiapkan transaksi sementara pada saat yang bersamaan melakukan perubahan kebijakan dapat semakin menunda proses ini.
Air dan Sanitasi Data pengeluaran untuk sektor air bersih dan sanitasi sangat jarang dan tidak dapat diandalkan. Namun demikian, pada dasarnya tidak ada investasi PDAM, dan biaya operasional dan pemeliharaan tidak konsisten dengan mutu layanan. Dengan tarif yang lebih rendah dari biaya sebenarnya, PDAM tidak mampu mendanai investasi yang baru melalui pendapatan mereka sendiri. Dan kebanyakan PDAM tidak cukup memenuhi syarat untuk melakukan pinjaman untuk investasi baru. Pengeluaran pemerintah pusat melalui Departemen Pekerjaan Umum secara historis merupakan sumber utama investasi baru tetapi, sejak pelaksanaan sistem desentralisasi pada 2001, pemerintah daerah diharapkan untuk memikul tanggung jawab untuk investasi penyediaan air bersih. Pinjaman jangka panjang yang disediakan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan ADB juga merupakan sumber investasi yang penting. Akan tetapi, tidak satu pun dari pinjaman semacam itu disetujui oleh Departemen Keuangan sejak 2000 (Diagram 5.8), yang pada dasarnya telah mengakibatkan tidak adanya investasi PDAM selama kurun waktu enam tahun kebelakang. Diagram 5.8 Jumlah pinjaman kepada PDAM yang disetujui oleh Departemen Keuangan, 1993-2005
36
46
38
59 32
18 ‘93
‘94
‘95
‘96
‘97
‘98
11
4
‘99
‘00
(nil) ‘01
(nil) ‘02
(nil) ‘03
(nil) ‘04
(nil) ‘05
Sumber: DepKeu.
Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam penyediaan layanan tingkat dasar untuk air bersih melalui proyek-proyek pengembangan berbasis masyarakat, terutama di wilayah-wilayah pedesaan, namun solusi ini tidak akan murah atau bahkan tidak efektif untuk wilayah perkotaan. Ada juga sejumlah PDAM daerah terpencil di mana para walikota yang inovatif telah melakukan manajemen yang pro-aktif, dan kemajuan telah dibuat untuk mengurangi kerugian dan meningkatkan layanan. Situasi menyedihkan dari sebagian besar PDAM ini merupakan akibat dari kombinasi berbagai kebijakan yang tidak sesuai. Banyak negara menentukan tarif air di bawah biaya sebenarnya, tetapi rata-rata tarif air untuk keluarga berpendapatan rendah di Indonesia kurang dari setengah tariff air dari penduduk berpendapatan paling rendah di Vietnam (negara yang jauh lebih miskin dari Indonesia), dan jauh berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya. 92
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
Hampir setengah dari seluruh PDAM dilaporkan menentukan tarif di bawah biaya operasional dan pemeliharaan. Situasi ini bertambah buruk di Indonesia akibat pengaturan tata kelola perusahaan yang lemah. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM untuk mengumumkan adanya “dividen” bahkan saat mereka sedang menderita kerugian, yang memungkinkan terjadinya pengalihan aliran uang PDAM untuk kepentingan-kepentingan politik lainnya. Kinerja operasional yang buruk di Indonesia semakin diperparah akibat terjadinya fragmentasi yang berlebihan. Banyak PDAM yang bekerja di bawah titik optimal, yang mengakibatkan timbulnya biaya operasional yang berlebihan. Dengan demikian, kemungkinan untuk melakukan mergers (penggabungan) sangat perlu untuk dipertimbangkan. Jalan buntu yang dihadapi PDAM untuk mendapatkan bantuan pinjaman dari donor memerlukan perhatian yang mendesak. Di antara berbagai kriteria yang diperlukan untuk melakukan pinjaman baru bagi PDAM adalah bahwa baik PDAM maupun pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM tidak memiliki tunggakan utang dari pinjaman sebelumnya. Sekitar 60 persen dari penduduk di wilayah perkotaan tinggal dalam wilayah di mana pemerintah daerah atau PDAM memiliki utang yang masih tertunggak dan masyarakat ini, pada saat ini, secara efektif terhalang untuk menikmati peningkatan layanan PDAM. Jumlah utang PDAM yang masih tertunggak sangat bervariasi, tetapi sebagian dari hutang ini bisa direstrukturisasi dan dibayar dengan bantuan pinjaman baru. Dengan rencana saat ini untuk melakukan restrukturisasi hutang terbatas kemungkinan akan diperlukan beberapa tahun sebelum investasi baru dapat dimulai. Untuk itu diperlukan adanya rasa kebutuhan yang mendesak untuk melakukan hal ini.
Keseimbangan Spasial dan Pemerataan Akses Terdapat kesenjangan yang sangat besar antar provinsi dalam akses infrastruktur. Daerah diluar Jawa dan Bali tertinggal (Tabel 5.13). Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku memiliki peringkat paling rendah dalam hal akses terhadap infrastruktur dalam sektor listrik, air pipa, dan jalan raya. Peningkatan akses terhadap air pipa seharusnya menjadi prioritas, karena akses penduduk desa terhadap air pipa benar-benar sangat rendah. Di Papua hanya tiga persen dari seluruh desa yang memiliki akses terhadap air, sementara data yang sama di Nusa Tenggara, Maluku, dan Sumatera masih berada di bawah 10 persen.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
93
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 5.13 Akses terhadap infrastruktur: persentase desa dengan akses infrastruktur terpilih Pulau/Provinsi
Suplai Listrik
Suplai Air
Jalan raya
Desa dengan Listrik PLN
Village dengan Air pipa
Desa dengan jalan aspal
%
Peringkat*
%
Peringkat*
%
Peringkat*
SUMATRA 66 3 9 4 51 Sumatera Utara 83 3 12 11 49 Nanggroe Aceh Darussalam 73 10 6 25 44 Sumatera Barat 70 15 29 3 78 Riau 60 17 1 33 39 Jambi 56 23 18 6 61 Sumatera Selatan 56 22 8 22 55 Bengkulu 57 20 10 17 68 Lampung 51 28 4 29 45 Kepulauan Bangka Belitung 78 6 2 32 89 Kepulauan Riau 76 7 16 7 49 JAWA/BALI 73 1 12 3 71 DKI Jakarta 99 1 47 2 100 West Java 76 8 9 19 73 Banten 79 5 6 23 57 Jawa Tengah 65 16 11 15 74 D I Yogyakarta 83 2 10 18 79 Jawa Timur 71 12 12 12 67 Bali 75 9 50 1 98 NUSA TENGGARA 32 7 9 5 49 Nusa Tenggara Barat 34 31 12 10 77 Nusa Tenggara Timur 30 33 8 21 40 KALIMANTAN 67 2 12 2 36 Kalimantan Barat 60 18 6 27 33 Kalimantan Tengah 57 19 6 28 18 Kalimantan Selatan 71 13 20 5 57 Kalimantan Timur 80 4 15 8 28 SULAWESI 63 4 14 1 54 Sulawesi Utara 72 11 23 4 71 Sulawesi Tengah 52 27 11 14 57 Sulawesi Selatan 70 14 15 9 55 Sulawesi Tenggara 49 29 10 16 43 Sulawesi Barat 53 25 6 26 29 Gorontalo 46 30 8 20 67 MALUKU 55 5 9 6 40 Maluku 56 21 6 24 39 Maluku Utara 53 24 12 13 42 PAPUA 38 6 3 7 19 Papua 34 32 3 30 18 Irian Jaya Barat 52 26 3 31 21 Sumber: Podes 2005. Catatan:* Peringkat yang dilaporkan untuk pulau dan provinsi berkaitan dengan posisi relative mereka baik dalam gugus kepulauan maupun provinsi.
3 20 22 5 27 13 17 10 21 3 19 1 1 8 15 7 4 12 2 4 6 25 6 28 33 14 30 2 9 16 18 23 29 11 5 26 24 7 32 31
Listrik Subsidi konsumsi listrik yang diberikan dengan menetapkan tarif di bawah biaya menimbulkan dampak regresif, memberikan manfaat paling besar kepada konsumen paling kaya dan memberikan manfaat paling sedikit kepada konsumen paling miskin. Konsumen rumah tangga menyerap sebagian besar subsidi listrik (66 persen dari total subsidi pada 2006), diikuti oleh konsumen industri (29 persen), dan perusahaan (5 persen). Walaupun tarif paling rendah untuk sambungan voltase rendah, yang biasanya digunakan oleh konsumen miskin, konsumen
94
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
miskin juga membeli listrik dalam jumlah kecil. Dampak gabungannya adalah konsumen miskin menerima jumlah yang relative kecil dari total subsidi yang diberikan oleh pemerintah dibandingkan dengan konsumen kaya, yang memiliki tingkat konsumsi listrik jauh lebih besar. Pemerintah dapat merancang ulang tarif yang ada sekarang agar dapat memberikan subsidi yang lebih luas kepada konsumen miskin, dan pada saat yang sama memotong total subsidi biaya konsumsi listrik. Dampak regresif dari pemberian subsidi konsumsi listrik semakin meningkat jika mempertimbangkan bahwa setengah penduduk wilayah pedesaan bahkan tidak memiliki akses terhadap listrik, sehingga mereka sama sekali tidak mendapatkan manfaat dari seluruh subsidi yang diberikan. Disparitas yang lebar atas akes terhadap listrik antar dan dalam provinsi (Diagram 5.9) didorong oleh perbedaan biaya di wilayah yang berbeda, tarif yang seragam secara nasional yang tidak memberikan insentif kepada PLN untuk membuat sambungan kepada konsumen di wilayah-wilayah biaya tinggi, dan biaya sambungan yang tinggi yang menghambat keinginan konsumen untuk mendapatkan layanan. Dalam sebuah survey rumah tangga yang tidak memiliki sambungan listrik, 87 persen menyebutkan mahalnya biasa sambungan merupakan alasan utama, dan hanya 4 persen yang menyebutkan biaya bulanan yang mahal. Realokasi sumber daya pemerintah antara konsumsi dan subsidi pemasangan sambungan secara substansial dapat meningkatkan sasaran pengurangan kemiskinan. Diagram 5.9 Variasi persentase keluarga yang memiliki sambungan listrik 100
67.7 Mean Nasiona l
90 80 70 60 50 40 30 20
Papua
Maluku
Kalimantan
NT
Java/Bali
Prov. Su mat r a Utar a
Prov. Nanggr oe A ceh D.
Prov. K epulauan R iau
Prov. K epulauan Ba ngk a B.
Pr ov. R iau
Sumatra
Prov. Su mat r a Ba r at
Prov. Jam bi
Prov. B engku lu
Prov. Lam pung
Prov. Su mat er a Selatan
Prov. Ba li
Prov. D I Y ogyak ar ta
Prov. Ba nten
Prov. Ja wa Ba r at
Prov. Ja wa T imur
Prov. Ja wa T engah
Prov. Nusa T enggar a Ba r at
Prov. K ali mantan Selatan
Prov. Nusa T enggar a T imur
Prov. K ali mantan Ba r at
Prov. K ali mantan T imur
Prov. Su lawesi Utar a
Pr ov. K ali mantan T engah
Prov. Su lawesi Ba r at
Sulawesi
Prov. Su lawesi Selatan
Prov. Su lawesi T engah
Prov. G or ontalo
Prov. M aluk u
Prov. M aluku Utar a
Prov. P apua
Prov. P apua Ba r at
0
Prov. Su lawesi T enggar a
10
Aceh
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan Podes 2005. Catatan: Sampel data untuk wilayah pedesaan kabupaten/kota dari setiap provinsi. Grafik di atas merupakan pemetaan terhadap proporsi keluarga di wilayah pedesaan di tingkat kabupaten/kota yang memiliki sambungan listrik. Setiap garis vertical berwarna merah menunjukkan rentangan data statistic di seluruh kabupaten/kota dalam pada satu provinsi yang sama. Titik-titik yang berwarna kuning pada setiap balok menunjukkan nilai rata-rata provinsi untuk data statistic ini.
Jalan Masih terdapat ketidaksetaraan yang begitu besar antar-kabupaten/kota terhadap tingkat dan kualitas akses jalan raya. Indikasi ketidaksetaraan ini dapat dilihat dalam variasinya antar- dan dalam provinsi dalam proporsi desa yang memiliki akses jalan utama (Diagram 5.10). Penyediaan terhadap akses jalan raya sepanjang musim menunjukkan dampak besar terhadap kemiskinan. Investasi di tingkat kabupaten/kota diperlukan untuk memenuhi kebutuhan desa yang tidak memiliki akses terhadap jalan seperti ini.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
95
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 5.10 Variasi persentase desa yang memiliki jalan aspal sebagai akses jalan utama 100 90 80 70 53% Mean Nasional
60 50 40 30 20 10
Prov. Bali
Prov. D I Yogyakarta
Prov. Kepulauan Bangka Belitung
Prov. Jawa Tengah
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Bengkulu
Prov. Jawa Barat
Prov. Gorontalo
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Jawa Timur
Prov. Sumatra Barat
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Jambi
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Banten
Prov. Sumatra Utara
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Lampung
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Maluku Utara
Prov. Riau
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Maluku
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Papua Barat
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Papua
Prov. Kalimantan Tengah
0
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia, berdasarkan Podes 2005. Catatan: Sample wilayah pedesaan pada kabupaten/kota untuk setiap provinsi.
Kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap 51 persen dari pengeluaran untuk jalan raya, tetapi akses mereka ke penerimaan hanya memiliki hubungan yang kecil dengan tingkat kebutuhan pengeluaran mereka. Sumber penerimaan paling besar sebagian besar pemerintah kabupaten/kota berasal dari dana alokasi umum (DAU), yang didistribusikan berdasarkan pembayaran gaji pegawai negeri, yang menyebabkan daerah yang lebih miskin tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk pembiayaan jalan raya. Dana dekonsentrasi ditargetkan untuk memberikan jaminan alokasi lebih besar kepada kabupaten/kota yang memiliki akses jalan raya yang masih buruk, tetapi transfer bersyarat kepada pemerintah kabupaten/kota (DAK) belum ditargetkan dengan baik Tabel 5.14). Tabel 5.14 Sumber pendanaan untuk jalan raya di wilayah pedesaan di kabupaten/kota Peringkat wilayah pedesaan kabupaten/kota berdasarkan proporsi desa dengan akses jalan raya
Pengeluaran Kabupaten/kota (di luar DAK)
%
DAK Jalan raya
%
Dekonsentrasi (Transportasi )
1 (Akses paling rendah thd. Jalan) 1.74 21 0.11 17 2 2.22 27 0.16 25 3 1.80 22 0.18 28 4 1.70 21 0.14 22 5 (Akses paling tinggi thd. Jalan) 0.67 8 0.05 8 Semuanya 8.1 100 0.7 100 Sebagai % total pengeluaran untuk Pengeluaran 77.6 6.3 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari realisasi APBD, data SIKD, DepKeu, dan Podes 2005. Catatan: Angka-angka dalam Rp triliun.
0.56 0.49 0.24 0.33 0.07 1.7
% 33 29 14 20 4 100 16.1
Total 2.41 2.87 2.22 2.17 0.79 10.5 100
Air Akses terhadap air pipa sangat terbatas di seluruh provinsi di Indonesia, tetapi kelompok masyarakat miskin memiliki tingkat yang paling rendah atas akses terhadap air (Diagram 5.11). Lebih dari 80 persen dari rumah tangga dalam kuantil rakyat paling miskin dari total jumlah penduduk sangat bergantung pada air sumur dan dari sumber air alami seperti air hujan, mata air, dan sungai, sementara tingkat keluarga yang menggunakan sumbersumber air ini menurun sampai di bawah 35 persen untuk kuintil kelompok paling kaya.
96
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
Diagram 5.11 Distribusi rumah tangga berdasarkan penggunaan air dan kuantil konsumsi 100
%
90
Lain-lain
80
Mata air & Sungai
70 60
Sumur Tadah Hujan
50
Pompa
40 30
Air Kemasan
20
Air Pipa
10 0 1 (Termiskin)
2
3
4
5 (Terkaya)
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2005.
Kurangnya akses terhadap air pipa relatif sama di setiap provinsi—dan juga merupakan karakteristik kemiskinan (Diagram 5.12). Hanya Bali yang telah mencapai banyak kemajuan dalam penyediaan air pipa, dan bahkan kurang dari setengah jumlah seluruh keluarga telah memiliki akses terhadap air pipa. Secara umum, semua provinsi setidaknya memiliki satu kabupaten/kota yang memiliki kurang dari 10 persen penduduk yang memiliki akses terhadap air pipa. PDAM pada dasarnya tidak memiliki sumber daya untuk meningkatkan sambungan pipa kepada rumah tangga miskin akibat rendahnya pendapatan dari penjualan air. Alasan untuk mempertahankan harga air yang begitu rendah sangatlah lemah mengingat sebagian besar rakyat miskin bahkan tidak memiliki akses terhadap layanan air pipa, dan sebagai akibat tarif yang rendah dimana penyedia layanan (PDAM) yang tidak mapan dari segi finansial tidak mampu memperluas layanan untuk rakyat miskin. Diagram 5.12 Variasi proporsi rumah tangga pada sampel desa yang memiliki akses terhadap air pipa 70
18% Rata-rata Nasional
60 50 40 30 20 10
Prov. Bali
Prov. Papua Barat
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Maluku
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Sumatra Barat
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Sumatra Utara
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Jawa Tengah
Prov. Bengkulu
Prov. Maluku Utara
Prov. Jawa Timur
Prov. Gorontalo
Prov. Jambi
Prov. Jawa Barat
Prov. Banten
Prov. D I Yogyakarta
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Papua
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Riau
Prov. Lampung
Prov. Kepulauan Bangka Belitung
0
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Susenas 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
97
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Inisiatif Terkini dari Pemerintah Pemerintahan baru, yang terpilih pada November 2004, segera menyadari bahwa kurangnya infrastruktur merupakan salah satu hambatan utama bagi pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan. Perhatian telah banyak dicurahkan untuk menarik investasi sektor swasta dan mendorong investasi swasta setelah terjadi penurunan tajam sejak krisis. Pada bulan Januari 2005, sebuah pertemuan tingkat tinggi Infrastructure Summit diselenggaran, dengan mengundang potensi investasi sektor swasta sebesar US$22,5 milyar dalam 91 proyek . Pemerintah menyampaikan komitmen untuk memfokuskan sumber dayanya untuk menangani proyek-proyek investasi infrastruktur yang tidak memberikan keuntungan secara ekonomi, sambil menciptakan “kemitraan yang baru” dengan sektor swasta untuk mengembangkan proyek-proyek yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Reaksi terhadap komitmen itu sangat mengecewakan: kepercayaan investor masih sangat dipengaruhi oleh negosiasi ulang terhadap proyek-proyek infrastruktur sebelum krisis; kebijakan yang masih berlaku menghambat persiapan proyek dengan pendanaan perbankan; dan proyek-proyek yang ditawarkan tidak disiapkan dengan baik. Akibatnya, tidak satu pun dari ke 91 proyek itu mampu mencapai kesepakatan finansial sampai dengan akhir 2006. Menyadari kendala-kendala tersebut, pemerintah telah berupaya keras untuk mencabut berbagai kebijakan yang menghambat investasi dan mengembangkan kapasitas kelembagaan untuk menyiapkan investasi sektor swasta dan menciptakan iklim investasi yang baik. Pada bulan Februari 2006, pemerintah mengeluarkan “Paket Kebijakan Infrastruktur,” dengan melaporkan 50 keluaran (output) kebijakan (undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan, peninjauan) dicapai selama 2005, dan sebanyak 156 kebijakan yang harus dicapai selama 2006. Tujuan besar dari program ini adalah untuk mendorong persaingan sehat, memberantas praktik-praktik yang diskriminatif yang menghambat partisipasi sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur, serta melakukan definisi ulang terhadap peran pemerintah, termasuk pemisahan pembuatan kebijakan dan tanggung jawab operasional. Kerangka kerja kelambagaan yang baru menunjukkan peningkatan kepemerintahan, tetapi memerlukan waktu untuk mendapatkan hasil. Sebelum krisis, investasi infrastruktur sektor swasta memberikan keuntungan investasi yang tidak proporsional kepada politisi tertentu dan menyebabkan anggaran publik menanggung risiko yang cukup besar dan tidak imbang. Pendekatan yang baru adalah pendekatan yang terbuka dan pelaksanaan tender yang transparan dan kompetitif, dengan persiapan proyek yang lebih berhati-hati, alokasi risiko yang sesuai dan secara keseluruhan membatasi risiko yang harus ditanggung oleh pemerintah. Akan tetapi, setidaknya akan diperlukan sekitar 18 bulan sampai dua tahun sebelum transaksi yang disiapkan dengan baik dapat ditawarkan ke pasaran dan kesepakatan financial tertutup, dan bahkan mungkin lebih lama sebelum proyek-proyek pipa jaringan sektor swasta mulai memberikan kontribusi yang signifikan terhadap investasi infrastruktur sebagai proporsi PDB. Di samping investasi infrastruktur oleh sektor swasta, juga diperlukan untuk mendorong investasi Sektor publik. Sementara prioritas pemerintah pusat telah mendorong peningkatan anggaran nasional yang sedang dialokasikan untuk sektor pendidikan dan kesehatan, lebih banyak lagi yang dapat dilakukan untuk mendukung pengeluaran pemerintah daerah untuk sektor infrastruktur, termasuk pendanaan bersama, target insentif, dan pelatihan untuk mengatasi kurangnya kapasitas
98
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi Umum Mobilisasi investasi swasta akan berjalan lambat yang menunjukkan akan perlunya perhatian yang lebih besar terhadap peningkatan investasi sektor publik untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak terhadap infrastruktur di Indonesia. Mengingat besarnya kebutuhan investasi infrastruktur pada tahun-tahun mendatang, maka diharapkan bahwa beban pendanaan seharusnya dipikul bersama dengan sektor swasta. Namun, menarik investasi sektor swasta dalam jumlah besar akan memerlukan persiapan proyek yang lebih baik daripada apa yang telah ditunjukkan oleh pemerintah selama ini. Meyakini bahwa sektor swasta mampu menyiapkan proyek-proyek tersebut, termasuk melaksanakan analisis permintaan, studi kelayakan, studi tentang dampak lingkungan dan sosial bagi pemerintah, merupakan kekeliruan . Mengingat tingkat kesulitan dalam merancang transaksi infrastruktur sektor swasta, sangat masuk akal bagi pemerintah untuk memfokuskan upaya pada persiapan beberapa “model” transaksi di sektor infrastruktur yang berbeda. Sehubungan dengan terbatasnya pengalaman di dalam pemerintah sendiri untuk menyiapkan dan merancang transaksi ini, pemerintah perlu mencari nasihat dari penasihat yang berpengalaman dalam hal pelaksanaan transaksi dan juga perlu menyusun jadwal yang realistis untuk menyiapkan seluruh dokumen penting yang diperlukan. Pengalaman yang diperoleh dari model transaksi ini dapat ditingkatkan untuk mendorong sektor kontribusi sektor swasta dalam investasi infrastruktur. Bahkan di mana mobilisasi investasi sektor swasta dapat dilakukan, dukungan publik yang cukup besar akan diperlukan. Kebanyakan investasi swasta untuk infrastruktur akan memerlukan sejumlah elemen dukungan pemerintah, dalam hal pembebasan tanah, subsidi operasional atau modal, atau jaminan bersyarat. Ketika ada jaminan dari pemerintah, maka akan diperlukan untuk memberikan jaminan penggunaan berbagai sumber daya secara efektif, dan alokasi risiko yang sesuai antara pemerintah dan pengembang swasta. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan pengembang swasta saja untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pemerintah, atau bukanlah peran sektor untuk menentukan target atas dampak sosial yang diharapkan atas perluasan layanan. Proses yang kompetitif dapat dirancang untuk menggali sejumlah informasi dari para pengembang, tetapi hal ini memerlukan rancangan transaksi yang canggih. Mekanisme pendanaan publik yang dirancang secara berhati-hati bagi pemberian layanan yang tidak memiliki daya tarik komersial akan sangat diperlukan. Di samping peningkatan volume investasi infrastruktur, peningkatan efektivitas pengeluaran merupakan isu kunci. Pemerintah memegang peran sangat penting dalam pengembangan dan pengelolaan infrastruktur di Indonesia dan manajemen publik yang lebih baik untuk infrastruktur telah diidentifikasikan sebagai bidang yang memiliki potensi yang begitu besar peningkatan efisiensi secara keseluruhan. Sebuah komite yang beranggotakan sejumlah menteri, Komisi Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) dibentuk pada 2005 dan menjadi pelopor dalam meningkatkan kerangka kerja kebijakan bagi peningkatan investasi dalam sektor ini. Upaya yang lebih besar seharusnya dibuat untuk mengatasi korupsi dalam pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur publik. Kemajuan akan dicapai dalam upaya ekonomi secara luas untuk memperkuat penyelidikan dan penuntutan, melalui lembaga-lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kesepakatan baru tentang kepemerintahan yang telah diterapkan untuk investasi infrastruktur oleh sektor swasta akan membantu menghindarkan beberapa transaksi yang bermasalah yang dilakukan sebelum 1998. Yang masih tersisa adalah kebutuhan untuk mengatasi beberapa risiko spesifik terhadap korupsi yang terlibat dalam investasi publik untuk infrastruktur. Banyak potensi perbaikan dapat dilakukan, termasuk peningkatan fokus risiko terhadap pemeriksaan fisik, transparansi yang lebih besar terhadap proses pengadaan barang dan jasa, pemberian sanksi yang lebih tegas terhadap perusahaan dan oknum yang terbukti bersalah melakukan tindak kejahatan korupsi, serta melakukan revisi terhadap insentif untuk pegawai.76
76 Untuk recent relevant research dan evidence on corruption dalam the Indonesia infrastruktur sektor, Lihat untuk example Ben Olken: Corruption dan the biaya of re-distribusi: Micro-evidence dari Indonesia, Journal of Public Ekonomis 90 (4-5). pp. 853-870, May 2006.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
99
BAB 5 Infrastruktur
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Listrik Investasi dalam jumlah besar akan diperlukan untuk memenuhi peningkatan permintaan terhadap listrik pada tahun-tahun yang akan datang, dan sepertinya bebannya akan dipikul oleh sektor publik. Perlu diperhatikan bahwa investasi sektor publik ini mengikuti prinsip-prinsip dasar tentang biaya minimal untuk melakukan ekspansi. Keputusan mengenai subsidi BBM mengalami distorsi akibat perbedaan harga BBM untuk kebutuhan ekspor dan kebutuhan dalam negeri. Distorsi ini seharusnya diatasi untuk menentukan harga BBM berdasarkan biaya ekonomi yang sebenarnya. Subsidi listrik yang ada sekarang sangat tidak efisien, yang mendorong konsumsi listrik yang berlebihan dan lebih banyak menguntungkan konsumen kaya daripada rakyat miskin. Ke depan, tarif harus direvisi untuk dinaikkan dan strukturnya harus direvisi untuk mencerminkan biaya sebenarnya untuk menyediakan layanan ini; bantuan pemerintah yang sekarang untuk melakukan kompensasi atas kesenjangan yang terjadi antara kenaikan harga BBM dan tariff listrik PLN yang tidak berubah perlu segera dintinjau. Rencana yang disusun dengan baik untuk melakukan transisi yang lancar diperlukan, karena implikasi politik atas kenaikan harga yang dramatis akan sangat besar dan kenaikan tarif listrik yang begitu cepat sesuai dengan biaya sebenarnya dapat juga mengganggu stabilitas seluruh sendi perekonomian. Subsidi seharusnya lebih diarahkan untuk menurunkan konsumsi yang berlebihan menuju peningkatan jumlah sambungan. Akibat perbedaan biaya yang diderita PLN antara satu daerah dengan daerah lain, pertimbangan juga perlu dilakukan untuk melaksanakan pendekatan kelistrikan yang berbeda berdasarkan kondisi daerah.
Jalan Re-evaluasi yang mendasar terhadap pendekatan yang dilakukan sekarang oleh pemerintah terhadap rancangan transaksi jalan tol sangat diperlukan. Perselisihan mengenai bentuk dan tingkat dukungan yang diberikan pemerintah merupakan isu penting yang menghambat pembangunan jalan bebas hambatan yang dilakukan oleh sektor swasta. Pendekatan langsung terhadap isu ini adalah menentukan seluruh parameter proyek— termasuk ketentuan prosedur untuk melakukan pembebasan tanah, kenaikan biaya tol, dan pemberian jaminan terhadap risiko proyek khusus—dengan pengecualian tingkat dukungan pemerintah. Selanjutnya, pemerintah harus memberikan hak konsesi secara kompetitif kepada perusahaan yang memerlukan dukungan yang paling rendah dari pemerintah. Insentif fiskal seharusnya diberikan kepada pemerintah daerah untuk menjamin pemeliharaan yang memadai. Misalnya, pemerintah pusat bisa melakukan pendanaan bersama terhadap investasi jalan raya daerah dengan syarat melakukan pemeliharaan jalan yang memadai untuk jalan di daerah tersebut.
Air dan sanitasi Pemerintah pusat perlu menjadi pelopor dalam menangani krisis yang dihadapi oleh PDAM, mengalokasikan sumber daya fiscal yang diperlukan, dan menyediakan insentif fiscal kepada pemerintah daerah untuk mengatasi permasalahan ini. Prioritas yang mendesak adalah menghilangkan hambatan yang menyebabkan PDAM tidak bisa melakukan pinjaman jangka panjang. Langkah pertama dalam process ini adalah melakukan restrukturisasi terhadap tunggakan pinjaman PDAM. Proses restrukturisasi hutang seharusnya memberikan prioritas kepada PDAM yang paling layak menerima kredit dan memberikan insentif kepada PDAM yang lain untuk meningkatkan kemampuan mereka mendapatkan kredit (yaitu dengan menaikkan tarif dan memotong biaya dengan mengatasi kerugian fisik dan kerugian komersial). Tujuan itu seharusnya menghapuskan hambatan untuk mendapatkan pinjaman bagi PDAM dengan predikat kinerja terbaik dalam satu tahun. Langkah berikutnya adalah pemberian persetujuan terhadap pinjaman jangka panjang untuk PDAM. Ke depan, pertimbangan seharusnya diberikan untuk menghapuskan kaitan antara persetujuan pinjaman PDAM dengan isu yang berkaitan dengan penunggakan hutang dari pemerintah daerah selaku pemilik PDAM. Akan tetapi, hasil ini harus dikaitkan dalam rangka peningkatan kinerja perusahaan dengan memisahkan isu keuangan PDAM dengan pemerintah daerah sebagai pemilik PDAM. Saran yang dapat diberikan adalah membentuk sebuah komite yang bertugas untuk membantu Departemen Keuangan untuk melakukan penyelidikan terhadap portfolio PDAM dan negosiasi untuk melakukan restrukturisasi dengan pemerintah daerah yang tertarik untuk itu.
100
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 5 Infrastruktur
Saat ini pemerintah daerah memikul tanggung jawab yang besar tentang kinerja layanan air bersih dan sanitasi dan kapasitas mereka perlu dibangun untuk mencerminkan hal ini. Pemerintah daerah adalah pemilik PDAM dan bertanggung jawab terhadap rakyat di daerah untuk mendapatkan layanan PDAM yang bermutu. Sejak pelaksanaan desentralisasi, pemerintah daerah memiliki akses terhadap tambahan sumber keuangan untuk infrastruktur, yang seharusnya mampu menyediakan peluang untuk melakukan intervensi mengenai kebijakan tarif yang tidak optimal yang sudah diberlakukan sejak dulu, biaya pemeliharaan dan investasi yang tidak memadai, dan layanan yang semakin buruk. Akan tetapi, berbagai isu yang behubungan dengan perencanaan yang tidak efektif, penyusunan program, dan peningkatan dan pelaksanaan kapasitas perlu ditangani, dan pemerintah pusat dapat memainkan peran penting untuk melakukan koordinasi strategi nasional serta menyediakan insentif bagi pejabat lokal. Pemerintah pusat perlu memberikan sinyal yang lebih kuat mengenai pentingnya layanan penyediaan air dan sanitasi, dan seharusnya mengembangkan sistem insentif fiskal yang memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah untuk kemajuan mereformasi PDAM. Sejumlah persediaan dana tingkat pusat yang dihitung berdasarkan kebutuhan PDAM seharusnya disediakan untuk pemerintah daerah dengan syarat mereka harus mampu mencapai kemajuan untuk melakukan perubahan progress. Fokus awal dari rencana insentif ini harus bertujuan untuk meningkatkan posisi keuangan dan kinerja PDAM. Jika kinerja PDAM sudah mengalami peningkatan, fokus pemberian insentif dapat digeser untuk memperluas sambungan untuk rumah tangga. Fokus yang jelas dari skema semacam itu adalah DAK—sistem bersyarat yang telah ada untuk memberikan bantuan tunai kepada pemerintah daerah. Keterkaitan dan hubungan antara pembayaran DAK dan dana dekonsentrasi, yang saat ini merupakan sumber dana yang penting bagi PDAM, perlu untuk diklarifikasi untuk menghindari terjadinya konflik insentif yang disediakan karena pembayaran dari sumber daya yang berbeda yang berasal dari pemerintah pusat. Pada tahun 2005, pemerintah pusat telah memulai alokasi anggaran sebesar Rp 203 miliar untuk penyediaan air bersih, dan jumlah anggaran sebesar Rp 608 miliar untuk tahun 2006. Sumber daya ini hanya diberikan kepada kabupaten/kota yang memenuhi beberapa syarat untuk mendapatkan hak tersebut dan mengalokasikan anggaran tersebut melalui anggaran reguler dari daerah. Proyek DAK ini harus selesai dalam waktu satu tahun, dimana alokasi sektoral tidak dijamin untuk kegiatan lebih dari satu tahun. Untuk mendukung skema ini, pemerintah pusat seharusnya mendorong pengumpulan data PDAM yang benar-benar andal. Pemeriksaan rekening PDAM dan indikator fisik harus disediakan untuk publik di internet untuk menyediakan informasi bagi analisis kebijakan dan meningkatkan tekanan publik untuk memperbaiki kinerja PDAM. Ketepatan waktu untuk menyediakan data ini oleh pemerintah daerah seharusnya merupakan kriteria minimal untuk berpartisipasi dalam skema insentif nasional yang difokuskan pada penyediaan akses terhadap pinjaman jangka panjang dan skema bantuan tunai bersyarat.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
101
BAB 5 Infrastruktur
102
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
6.
BAB 6
Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Temuan Pokok 1. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran Indonesia telah melaksanakan inisiatif penting untuk meningkatkan transparansi dan kejelasan dalam proses anggaran. Tetapi sistem anggaran baru masih terus bergantung pada dokumen anggaran yang terlalu rinci dan berfokus pada sisi input yang memerlukan banyak waktu untuk mempersiapkan dan membahasnya. Sekarang DPR memiliki wewenang yang begitu besar dalam penentuan anggaran, tetapi interaksi antara pihak eksekutif dan legislatif terlalu berfokus pada hal-hal yang detail sehingga cenderung mengorbankan diskusi mengenai kebijakan.. Hal ini menyita waktu secara tidak proporsional. Pelaksanaan anggaran, terutama untuk proyek-proyek pembangunan, umumnya berjalan lamban dan sering baru bisa direalisasi menjelang akhir tahun anggaran. Lambatnya pencairan anggaran ini menunjukkan adanya gejala hambatan struktural dalam siklus anggaran, termasuk ketentuan dokumentasi yang terlalu rinci, prosedur revisi anggaran yang sangat panjang dan rumit, revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan tahun, dan proses pengadaan barang dan jasa yang lamban.
• • •
2. Pengadaan barang dan jasa Walaupun kerangka kerja regulasi untuk pengadaan publik telah mengalami perbaikan, kapasitas untuk memenuhi persyaratan proses pengadaan tidak memadai, sehingga memperlambat pelaksanaan proyek.
•
3. Audit
• •
Jumlah pegawai dan sebaran geografis staf lembaga audit eksternal Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) tidak sejalan dengan mandat mereka masing-masing. Pejabat BPK bertanggung jawab terhadap pemeriksaan eksternal dari seluruh aparatur pemerintah, tetapi hanya memiliki setengah dari auditor bersertifikat yang dimiliki BPKP, yang saat ini perannya lebih kecil dan terbatas. Sebagai akibat dari redefinisi peran BPK dan BPKP, semakin sering terjadi tumpang tindih dan ketidakjelasan mengenai fungsi tiga lembaga pemeriksaan internal, yang terdiri dari BPKP, Inspektur Jenderal (Irjen) pada setiap Departemen, dan badan pengawas daerah (Bawasda).
Rekomendasi Utama Penyusunan dan pelaksanaan anggaran Hanya setelah pengawasan purnawaktu (ex-post)menjadi semakin kuat, maka secara perlahan gantikan pengawasan berdasarkan line-item di anggaran, kurangi tingkat ke-detail-an dokumen anggaran, dan di saat yang sama sederhanakan proses pengeluaran dokumen anggaran. Pembahasan dan persetujuan DPR terhadap anggaran seharusnya disesuaikan untuk lebih berfokus pada kebijakan dan prioritas. Susun kerangka pengeluaran jangka menengah, berikan peluang untuk pengajuan anggaran multi tahun untuk kategori belanja modal, dan sederhanakan ketentuan mengenai luncuran anggaran pada tahun berikutnya. Langkah pertama bisa berupa otorisasi pengajuan anggaran untuk beberapa tahun, terutama untuk proyek-proyek infrastruktur yang besar.
• • •
Pengadaan barang dan jasa Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan seharusnya diberikan kemandirian yang lebih luas. Indonesia membutuhkan strategi yang lebih komprehensif untuk melaksanakan sistem e-procurement. Kerangka Peraturan yang ada saat ini seharusnya diperkuat melalui pembentukan UU pengadaan barang dan jasa dan peningkatan kapasitas para pelaksana pengadaan.
•
Audit
• • •
104
Pengaturan kelembagaan untuk melakukan pemeriksaan internal dapat disederhanakan. Berbagai lembaga pemeriksa internal dapat dokonsolidasikan ke dalam satu lembaga pemeriksaan internal dengan tugas dan tanggung jawab yang jelas untuk bekerja sama dengan BPK, Staff dan infrastruktur di tingkat propinsi harus diseimbangkan lagi antara pemeriksaan internal dan eksternal untuk mencerminkan wewenang BPK yang baru. Peran DPR harus diperjelas dalam rangka meminta pertanggungjawaban lembaga eksekutif berdasarkan temuan-temuan BPK.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan
77
Dengan meningkatnya sumber-sumber keuangan negara, sistem pengelolaan keuangan publik yang baik menjadi jauh lebih penting dalam rangka menjamin mutu pengeluaran anggaran serta mengurangi risiko tindak korupsi. Dengan semakin besarnya jumlah sumber daya keuangan publik yang akan dibelanjakan pemerintah, tuntutan perencanaan, penganggaran, dan tata cara pelaksanaan anggaran juga akan semakin besar. Modernisasi sistem, proses, dan institusi dalam siklus anggaran diperlukan agar peningkatan pengeluaran tersebut mencapai sasaran prioritas program pembangunan pemerintah, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pengelolaan keuangan publik yang bermutu dan yang berorientasi pada hasil diperlukan untuk mempertahankan dukungan publik terhadap peningkatan pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam membangun kerangka kerja perundangan mengenai pengelolaan keuangan publik dan meningkatkan transparansi. Penetapan UU tentang Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU tentang Audit Keuangan Negara dan UU tentang Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan langkah-langkah penting yang membawa Indonesia menuju praktik-praktik keuangan berstandar internasional. Departemen Keuangan telah melaksanakan re-organisasi besar-besaran untuk memperbaiki dan meningkatkan fungsi-fungsi mereka. Semua UU tersebut sekarang sudah diterapkan, dan yang paling jelas adalah dalam membuat anggaran pemerintah pusat yang sesuai dengan standar klasifikasi keuangan internasional (GFS), pembentukanRekening Perbendaharaan Tunggal (Treasury Single Account/TSA), serta penyatuan pos anggaran pembangunan dan rutin yang sebelumnya terpisah. Walaupun akhir-akhir ini reformasi pengelolaan keuangan publik sudah menunjukkan kemajuan, kelemahan dalam kerangka kerja pengelolaan keuangan publik masih terjadi terutama dalam hal perencanaan dan anggaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pelaporan, dan akuntabilitas eksternal. Walaupun, kerangka umum hukum kini sudah tersedia, masih menghadapi berbagai tantangan yang berat dalam memantapkan reformasi tersebut melalui pelaksanaan yang benar dan dengan mengatur kembali proses yang mendasarinya. Tabel 6.1 Kerangka hukum yang sedang berjalan Bidang Reform
Status Pelaksanaan
• Perencanaan Anggaran dan Keuangan Negara
• Peraturan pemerintah mengenai rencana kerja tahunan, rencana kerja departemen, rencana tahunan anggaran telah dikeluarkan, dengan memperkenalkan (i) anggaran berbasis kinerja dan output, (ii) klasifikasi GFS-, (iii) unifikasi anggaran dengan re-klasifikasi terhadap kategori anggaran. • Peraturan pelaksanaan mengenai akuntansi berbasis akrual belum terlaksana.
• Sistem Perbendaharaan
• Audit
• Kantor Akuntansi Regional (KAR) dan kantor verifikasi kabupaten/kota (Kasipa) kini sudah disatukan ke dalam Kanwil dan KPPN. • Kantor pembayaran daerah (KPPN) akan memegang fungsi verifikasi internal. • Rekening dengan Saldo Nihil (zero balance account) sedang diujicobakan pada 50 kantor perbendaharaan daerah (KPPN), tetapi sebagian besar pengeluaran masih dilaksanakan melalui berbagai rekening pemerintah. • Regulasi mengenai manajemen kas belum tersedia. • Kehadiran dan kondisi staf BPK di daerah telah mengalami perkembangan yang bagus. Kini BPK telah memiliki kantor di 16 provinsi dengan pegawai berjumlah 3.500 orang. • UU mengenai Audit Keuangan Negara memerlukan tujuh peraturan pelaksanaan, dan tidak satu pun dari peraturan ini yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. • UU No. 15/2006 tentang BPK yang dikeluarkan pada November 2006, tetapi peraturan pelaksanaannya masih tertunda.
Sumber: Bappenas.
77 Bab ini berfokus pada Pengelolaan Keuangan Publik pemerintah pusat. Untuk PKP di daerah, lihat Bab 7.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
105
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 6.1 Kesenjangan antara anggaran dan realisasinya 30.0
%
25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 -5.0
FY 01
FY 02
FY 03
FY 04
FY 05
-10.0 -15.0 Total Pengeluaran Belanja Barang Belanja Pembangunan
Pengeluaran Pemerintah Pusat Belanja Modal Transfer ke daerah
Belanja Pegawai Subsidi
Sumber: DepKeu, Bank Dunia. Catatan: Angka-angka dalam persen dari total pengeluaran sebelum revisi pertengahan tahun.,
Sejauh ini, beberapa indikator utama tentang kinerja anggaran % pemerintah belum mengalami 100 perbaikan, terutama mengenai 90 indikator realisasi anggaran. Realisasi 80 pengeluaran pemerintah pusat selalu 70 menyimpang dari rencana awal. Subsidi dan transfer anggaran kepada 60 pemerintah daerah cenderung 50 diperkirakan terlalu rendah, yang 40 mengakibatkan terjadinya kelebihan 30 pengeluaran secara keseluruhan. Pada 20 saat yang sama, beberapa bagian dari 10 anggaran tersebut—terutama realisasi pengeluaran modal/pengeluaran 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec pembangunan—sering lebih rendah Bulanan 06 Bulanan 05 Bulanan 01-04 daripada penentuan anggaran awal Kumulatif 06 Kumulatif 05 Kumulatif 01-04 (Diagram 6.1). Di samping itu, sekitar Sumber: DepKeu, Staff Bank Dunia. 50 persen dari total pengeluaran modal Catatan:Angka-angka dalam bentuk persen dari total anggaran tahunan. TA 01 -04 mengacu baru bisa terealisir pada kuartal terakhir pada pengeluaran pembangunan, TA 2005 dan 2006 mengacu pada pengeluaran modal dan tahun yang bersangkutan. Selama pengeluaran barang dan jasa kurun waktu lima tahun yang telah lewat, pengeluaran dimulai secara perlahan dan semakin gencar menjelang akhir tahun anggaran (Diagram 6.2). Pola pengeluaran seperti ini menimbulkan keperihatinan sebab hal ini menghambat pelaksanaan proyek. Akibat lain dari hal ini adalah pelaksanaan proyek dimulai agak terlambat, dan untuk proyek-proyek yang memerlukan penyelesaian selama beberapa tahun, pelaksanaan proyek selalu terhenti di awal tahun. Diagram 6.2 Pencairan Pengeluaran Non-Rutin
Pencairan yang lamban dan cenderung menumpuk dibelakang, merupakan gejala dari tantangan yang lebih berat yang harus dihadapi pada setiap tahapan siklus manajemen keuangan publik. Ada tiga alasan pokok yang dapat menjelaskan kesulitan dalam pelaksanaan anggaran yang efisien: (i) lemahnya penyiapan anggaran; (ii) pelaksanaan anggaran yang kaku; dan (iii) hambatan implementasi. Pertama, lemahnya penyiapan anggaran, terutama taksiran yang jauh lebih rendah dari harga minyak, telah menyebabkan revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan tahun (dikeluarkan pada bulan Agustus). Sejak tahun 2001, revisi pertengahan tahun mencapai rata-rata sebanyak 13 persen dari total anggaran. Revisi yang
106
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
begitu besar telah mengurangi kredibilitas anggaran yang telah disetujui dan mempersulit pelaksanaannya, karena hanya ada sisa waktu selama empat bulan untuk melaksanakan hasil revisi yang begitu besar dan seringkali berupa peningkatan anggaran yang cukup besar (lihat Kotak 6.1). Hal ini membaik secara substansial di tahun 2006 dalam arti revisi pertengahan tahun hanya sedikit saja karena asumí harga minyak telah disesuaikan pada waktu penyiapan anggaran. Kotak 6.1 Estimasi yangterlalu rendah terhadap harga minyak Dari tahun 2003 sampai 2005, Indonesia mencantumkan anggaran penerimaan agregat dan pengeluaran subsidi BBM secara lebih rendah karena menentukan asumsi harga minyak yang lebih rendah. Harga minyak merupakan parameter yang sangat penting dalam penentuan anggaran sebab 28 persen dari pendapatan langsung berasal dari minyak dan gas (Pertamina) atau secara tidak langsung melalui pajak atas produk-produk migas. Pada tahun-tahun belakangan ini rata-rata harga minyak 50 persen lebih tinggi daripada yang diproyeksikan pada awal penentuan anggaran (lihat Tabel di bawah ini). Asumsi harga minyak memiliki dampak langsung terhadap tingkat alokasi anggaran kepada pemerintah daerah sebab dana DAU ditentukan sebesar 26 persen dari penerimaan pemerintah. Dengan adanya revisi kenaikan anggaran pada tahun 2005, DAU sebenarnya hanya berjumlah 19 persen dari total anggaran. Pada 2006, anggaran menggunakan asumsi harga minyak yang lebih tinggi— 79 dan lebih realistis, yang menyebabkan kenaikan transfer dana DAU sebesar 65 persen.
Anggaran vs. realisasinya Harga Minyak Anggaran (AS$/barel)
Realisasi (AS$/barel)
Total Pengeluaran Selisih (%)
Anggaran (Rp triliun)
Realisasi (Rp triliun)
Selisih (%)
2001
24
24.6
2.5
341,562.6
295,113.5
15.74
2002
22
23.5
6.8
315,529.2
344,008.9
-8.28
2003
22
28.8
30.9
376,505.2
370,591.6
1.60
2004
22
37.2
69.1
423,974.9
374,351.2
13.26
24
51.8
115.8
508,938.0
397,769.5
27.95
2005 Sumber: DepKeu
Kedua, pemerintah masih menerapkan proses pelaksanaan anggaran yang cenderung kaku. Kontrol yang rinci terhadap input bertujuan untuk menjamin komposisi anggaran agar sesuai dengan prioritas politik dan anggaran tersebut tidak akan diubah selama pelaksanaannya. Dokumen pengeluaran (DIPA), walaupun sekarang ini telah dikeluarkan pada permulaan tahun anggaran didasarkan pada anggaran per pos (line item) sehingga kurang fleksibel untuk melakukan penyesuaian dalam komposisi input yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Re-alokasi anggaran antar DIPA dari program-program yang tertunda kepada program yang berjalan lebih baik yang dapat mendorong pelaksanaan anggaran yang memuaskan secara keseluruhan memerlukan proses revisi yang panjang yang melibatkan anggota DPR. Dengan memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam proses pelaksanaan anggaran untuk mempercepat realisasi pengeluaran anggaran akan memerlukan dicantumkannya tujuan dan target kinerja yang kredibel dan menerapkan langkah-langkah pengamanan, termasuk kemampuan untuk melakukan pemantauan dan pelaporan yang cukup dengan tujuan untuk mengurangi risiko ketidakkonsistenan dengan tujuan awal program dan pemanfaatan dana yang tidak sebagaimana mestinya. Ketiga, pencairan anggaran yang berjalan lamban sangat terkait dengan isu-isu lanjutan yang berhubungan dengan kapasitas kelembagaan. khususnya, kapasitas untuk menyelesaikan proses pengadaan tepat waktu dengan prosedur sesuai dengan ketentuan pengadaan yang semakin ketat
Penyiapan dan Persetujuan Anggaran Mengingat masalah yang ada dalam melakukan estimasi penerimaan dan dalam menentukan target anggaran yang realistis, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan keseluruhan mutu penyiapan anggaran. Peningkatan mutu anggaran dapat dilaksanakan dengan memperbaiki mutu perkiraan makro-ekonomi dan penyusunan model, dan meningkatkan kemampuan estimasi penerimaan. Di samping itu, mutu penyusunan 78 Lihat Bab 7 untuk analisis lebih rinci mengenai pengalihan dana ke daerah pada 2006.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
107
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
anggaran pengeluaran perlu diperhatikan secara terpisah. Inisiatif ini berkaitan baik dengan upaya untuk melakukan peningkatan kapasitas kelembagaan dan perubahan dalam proses penyiapan anggaran. Tanggung jawab untuk membuat perencanaan dan menyusun anggaran dibagi antara Bappenas, Departemen Keuangan dan departemen teknis. Pembagian tugas antara Bappenas, Departemen Keuangan (Ditjen Anggaran dan Ditjen Perbendaharaan) dan jajaran departemen yang lain dirancang untuk mencapai (i) Penyiapan anggaran berbasis kebijakan, dan (ii) penerapan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) (Diagram 6.3). Setiap departemen dan lembaga menyiapkan rencana kerja masing-masing (Renja-KL) dengan merujuk rencana kerja pemerintah secara keseluruhan (RKP) dan pagu anggaran indikatif. Setelah melalui pembahasan dengan DPR, departemen teknis selanjutnya menyiapkan rencana kerja dan rencana anggaran mereka (RKA-KL) berdasarkan revisi pagu dari Ditjen Anggaran, Dokumen pengeluaran (DIPA) disiapkan oleh departemen dan selanjutnya diserahkan kepada Ditjen Perbendaharaan untuk memperoleh persetujuan. Pada saat yang sama, Ditjen Anggaran akan memeriksa kesesuaian antara DIPA dan RKA-KL. Hal ini lalu diikuti oleh pelaksanaan anggaran, yang melibatkan departemen dan Ditjen Perbendaharaan. Diagram 6.3 Siapa yang bertanggung jawab? Tanggung jawab dalam siklus manajemen pengeluaran publik Bappenas
Ensure Consistency with Government Work Plan
Annual Work Plans with indicative Budget Ceilings (RenjaKL Ministerial Regulation)
Annual workplan and Budget (RKA-KL)
DepKeu, Ditjen DepKeu, Ditjen Anggaran Perbendaharaan
Kabinet/ Presiden
DPR
Deliberation of Government Workplan and Fiscal Policy Framework
Fiscal Policy Statement
General Policy and Budget Priorities
Temporary Budget Ceilings
Deliberation of Workplan and Budget
Ensure Consistency with Budget Priorities
Budget Preparation May-November
<
Planning Januar y-April
Annual Government Work Plan (RKP Government Regulation)
Jajaran Kementerian
Annual Workplans and Budgets (Annex to Budget Law)
Draft Budget Law) (RAPBN)
Draft Presidential Decree on Budget Enactment
Deliberation and Approval of Budget Law
Budget Law (UU APBN)
Budget Execution December
<
Presidential Decree on Budget Enactment
Draf t Spending Warrants (DIPA)
Review and Adjusment of Spending Warrants Issuance Spending Warrants (DIPA)
Sumber: Bappenas, staf Bank Dunia, PP No. 21 tentang RKA-KL.
Integrasi perencanaan dan penganggaran lebih lanjut dapat merupakan bagian dari langkah menuju penganggaran berbasis kinerja. Anggaran diharapkan didasarkan pada kebijakan yang ada dan disusun dengan prinsip dari bawah ke atas. Sejauh ini, proses ini baru diatas kertas dengan dampak yang terbatas terhadap keputusan mengenai alokasi anggaran.
108
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Indonesia bergerak dengan lambat menuju penentuan anggaran berbasis kinerja. Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) yang ada sekarang memuat 32 bidang prioritas, sekitar 250 program, dan 1.300 kegiatan untuk menangani prioritas-prioritas ini. Baik UU No. 17/2003 maupun UU No. 25/2004 telah secara formal memperkuat hubungan antara perencanaan dan penentuan anggaran. Program yang diuraikan di dalam RPJM, rencana kerja tahunan pemerintah (RKP), dan rencana kerja departemen (Renja-KL) secara formal dijadikan pedoman oleh jajaran departemen dalam menyusun rencana anggaran. Akan tetapi, pada kenyataannya proses pengambilan keputusan pada jajaran departemen, Ditjen Anggaran, Bappenas, dan DPR masih lebih didorong oleh fokus terhadap komposisi input anggaran daripada kesesuaian program pengeluaran dengan prioritas dan tujuan politik. Alokasi dan pelaksanaan anggaran masih didasarkan pada input (line item) yang terperinci yang membatasi fleksibilitas pengeluaran dalam satu program dan melemahkan manfaat dari penyusunan anggaran berbasis kinerja. Sejalan dengan hal itu, hanya ada sedikit kemajuan yang telah diperoleh dalam rangka mengembangkan anggaran yang berorientasi pada kinerja, apalagi pengembangan budaya kerja yang berorientasi pada kinerja. Proses pelaksanaan akan memakan waktu yang cukup lama dan belum ada strategi yang jelas untuk merealisasikannya. Apalagi, pada tahun anggaran sebelum-sebelumnya, bagian anggaran yang berjumlah besar seperti subsidi tidak dimasukkan dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pada proses penyusunan anggaran untuk tahun anggaran 2008 pemerintah telah bergerak ke arah cakupan proses anggaran yang lebih komprehensif. Siklus penyusunan anggaran sekarang yang secara ketat bersifat tahunan tidak mampu memenuhi kebutuhan investasi publik jangka menengah. Untuk mengatasi tantangan ini, pada tahun 2008 Indonesia merencanakan melaksanakan Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah (MTEF). Regulasi dalam UU tentang Keuangan Negara menyediakan pagu indikatif anggaran yang dikeluarkan untuk waktu dua tahun mendatang. Akan tetapi, pada anggaran 2006 dan 2007 pagu anggaran sementara telah dikeluarkan hanya untuk satu tahun anggaran kedepan. DPR memiliki wewenang yang sangat kuat dalam proses pembahasan besaran yang dirancang dalam persetujuan anggaran tahunan. Anggaran yang sekarang berbasis input, rinci dan memiliki peran yang penting dalam focus yang kuat terhadap pengawasan dimuka (ex-ante). Sejalan dengan hal itu, pembahasan di tubuh DPR cenderung berfokus pada pos-pos anggaran (line item) dan diskusi mengenai hal-hal yang sangat rinci dan bukan pada alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan pencapaian hasil. Kenyataannya, setiap pos dalam anggaran harus disetujui atau ditolak oleh DPR. Di samping itu, DPR juga memiliki wewenang untuk mengubah perkiraan pendapatan dan asumsi makroekonomi yang dijadikan dasar penyusunan anggaran.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
109
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kotak 6.2 Keterlibatan DPR dalam proses penganggaran DPR berperan aktif pada keseluruhan siklus anggaran. UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Pasal 25 dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 menyatakan bahwa penyiapan anggaran seharusnya berdasarkan rencana kerja pemerintah (RKP). RKP bersama-sama dengan pernyataan kebijakan fiskal dan kerangka kerja makroekonomi diserahkan kepada DPR pada bulan Mei tahun sebelumnya untuk dilakukan pembahasan (UU No. 17/2003 Pasal 13). Kesepakatan pembahasan yang berhasil dicapai akan menjadi rujukan bagi Departemen dan lembaga pemerintah untuk menyiapkan usulan anggaran (RKA-KL). Kementerian dana lembaga lalu mengirimkan RKA-KL kepada Komisi di DPR yang menjadi rekan kerja pada pertengahan bulan Juni untuk pembahasan awal. Hasil pembahasan awal ini lalu dikirimkan kepada DepKeu pada pertengahan bulan Juli sebagai Rujukan untuk menyusun anggaran tahun berikutnya (UU No. 17/2003 Pasal 14). Pemerintah lalu menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya untuk dibahas (UU No. 17/2003 Pasal 15). Pembahasan dilakukan sebagai berikut: Sidang Pleno: DPR menyampaikan pandangan umum terhadap usulan pemerintah dan pemerintah menyampaikan Tanggapan atas pandangan umum tersebut. Dengar pendapat dengan Komisi Anggaran: Pembahasan berfokus pada asumsi makroekonomi, pendapatan pemerintah, prioritas pengeluaran, dan pendanaan atas defisit anggaran. Pembahasan dengan Komisi-Komisi Sektoral: Pembahasan berfokus pada RKA-KL.
• • •
Keputusan mengenai UU Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) harus diambil paling sedikit dua bulan sebelum dimulainya periode anggaran, yaitu bulan Oktober tahun sebelumnya (UU No. 17 Pasal 15). DPR lalu memberikan persetujuan rincian anggaran berdasarkan unit organisasi, jenis pengeluaran, fungsi pengeluaran, program dan kegiatan (UU No. 17 Pasal 15). Sebagai tindak lanjut dari penetapan anggaran, Presiden lalu mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang rincian anggaran pada bulan November. Berdasarkan keputusan ini, kementerian dan lembaga lalu melakukan revisi terhadap RKA-KL dan menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) pada bulan Desember.
Sistem anggaran Indonesia menghadapi kesulitan jika diperlukan adanya fleksibilitas. Akhir-akhir ini Indonesia menghadapi berbagai bencana alam berskala besar. Peristiwa itu menimbulkan tuntutan yang tinggi terhadap sistem pengelolaan keuangan publik: bencana alam menuntut pemerintah untuk memberikan tanggapan cepat, dan biasanya memerlukan realokasi dan mobilisasi sumber daya dalam skala besar untuk tahun yang bersangkutan. Secara umum, Indonesia memiliki sistem penganggaran yang tidak fleksibe berkaitan dengan realokasi anggaran untuk tahun yang sedang berjalan. Lembaga pemerintah menerima anggaran terpisah untuk pembayaran gaji dan pengeluaran operasional lainnya. Hanya dengan persetujuan DPR dana tersebut dapat disalurkan untuk maksud yang berbeda atau antar pengeluaran operasional, investasi, dan program. Seperti yang terjadi di sebagian besar negara lain, Indonesia hanya memiliki dana cadangan yang sangat kecil di tingkat pusat untuk memenuhi pengeluaran umum yang tidak terduga (Untuk kajian tentang kinerja pengeluaran publik Indonesia setelah bencana tsunami pada bulan Desember 2004 dibandingkan dengan negara lain, lihat makalah yang akan datang Fengler et.al, 2007 ).
Pelaksanaan Anggaran Pada tahun 2005, pola pencairan anggaran yang menumpuk pada akhir tahun lebih terlihat daripada biasanya dan kemajuan yang diperoleh pada tahun 2006 mengenai hal ini masih mengecewakan. Pada akhir tahun 2005, pemerintah hanya menggunakan 68 persen dari belanja modal dan 72 persen dari belanja barang dibandingkan dengan jumlah anggaran yang telah disetujui. Lima puluh empat persen dari total belanja modal baru bisa dikeluarkan pada bulan Desember. Walaupun sedikit mengalami perbaikan daripada 2005, catatan realisasi anggaran pada tahun anggaran 2006 masih memperihatinkan. Sementara agregat realisasi belanja pemerintah untuk bulan September 2006 telah mencapai 62 persen dari anggaran yang terutama disebabkan oleh realisasi anggaran rutin yang tepat waktu seperti gaji pegawai, komponen pengeluaran pemerintah pusat yang bersifat variabel masih sangat dipengaruhi oleh penundaan pengeluaran. Sampai September 2006 hanya 41 persen dari target belanja modal dan 40 persen dari anggaran untuk pengadaan barang dan jasa yang bisa direalisasikan. Kakunya kerangka kerja pelaksanaan anggaran yang ada sekarang merupakan salah satu faktor penyebab menumpuknya anggaran pada akhir tahun. Sebagai akibat dari upaya pemerintah untuk melakukan akselerasi pengeluaran dalam kuartal pertama pada tahun anggaran yang sedang berjalan, dokumen pengeluaran anggaran (DIPA) untuk 2006 dikeluarkan pada awal tahun anggaran. DIPA harus mencantumkan Pimpinan Proyek, Bendahara, dan Staf Bagian Pengadaan yang bertanggung jawab terhadap proyek tersebut. Walaupun sebagian besar DIPA
110
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
79
dikeluarkan pada bulan Januari 2006, sebagian besar staf proyek belum ditunjuk oleh instansi pelaksana proyek. Seleksi staf terjadi pada kuartal pertama dari tahun anggaran, yang mungkin menyebabkan penundaan pelaksanaan proyek. Dilaporkan, sejumlah DIPA dikeluarkan walaupun tidak lengkap, tetapi pencairan dananya diblokir. Masalah ini diperbesar oleh fakta bahwa alokasi dan DIPA hanya dilakukan untuk satu tahun. Kerangka peraturan mengenai penganggaran memungkinkan adanya luncuran anggaran pada tahun berikutnya, tetapi hal itu hanya berkaitan dengan alokasi anggaran dalam satu tahun. Dengan demikian, anggaran untuk pelaksanaan proyek yang memerlukan waktu beberapa tahun mengalami banyak kendala. Anggaran dalam satu tahun telah menumpuk di akhir tahun, pelaksanaan proyek tertunda pada setiap tahun anggaran dan, dalam beberapa kasus, pendanaan untuk proyek terhenti sama sekali untuk beberapa tahun walaupun kemudian muncul lagi untuk dilanjutkan(Diagram 80 6.4). Diagram 6.4 Profil skema pencairan proyek Pencairan Dana
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
Tahun 5
Waktu
Sumber: Staf Bank Dunia.
Pendekatan tunda lalu jalan (stop-and-go) tentang penentuan anggaran ini telah menyebabkan timbulnya inefisiensi yang sangat besar dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Fasilitas penganggaran untuk beberapa tahun perlu dirancang dengan memperhitungkan berbagai isu kepemerintahan dalam konteks kelembagaan di Indonesia. Pendekatan yang dapat dilakukan dengan hati-hati adalah dengan menganggarkan biaya proyek multi tahun di satu tahun anggaran dengan uang dialokasikan pada rekening khusus dengan hak pencairan yang hanya dimiliki oleh organisasi pelaksana proyek. Alokasi anggaran seharusnya disesuaikan dengan kapasitas penyerapan. Pada tahun-tahun terakhir ini, anggaran untuk hampir seluruh lembaga pelaksana anggaran telah meningkat cukup besar. Akan tetapi, daya serap lembaga tersebut kini mendapat tekanan. Hubungan yang lemah antara perencanaan dan penentuan anggaran sebagian merupakan penyebab dari hal tersebut. Baik rencana kerja pemerintah (RKP) maupun rencana anggaran kementerian dan lembaga (RKA-KL) tidak memperhitungkan perencanaan proyek dan pengadaan. Akibatnya, jumlah anggaran untuk belanja modal dari program tersebut cenderung menjadi lebih tinggi daripada kapasitas penyerapan dari lembaga yang akan menggunakan anggaran tersebut. Penganggaran yang melebihi kapasitas penyerapan akan menimbulkan tekanan kuat untuk menggunakan anggaran melebihi kapasitas, terutama dalam sistem anggaran tahunan yang ketat dengan mengorbankan mutu pengeluaran tersebut. Perencanaan dan penganggaran harus bersifat pragmatis dan mempertimbangkan secara matang kapasitas penyerapan lembaga yang akan menggunakan anggaran tersebut. Pengembangan kapasitas penyerapan lembaga dan keterampilan staf sangat diperlukan. Mengingat bahwa hampir 30 persen dari anggaran dialokasikan untuk proyek (belanja modal dan barang), seharusnya lebih banyak yang harus dikerjakan untuk mengembangkan kapasitas penyerapan kementerian dan lembaga. Keterampilan perencanaan dan pengadaan perlu didorong dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) dapat ditugaskan untuk memberikan layanan tersebut. LAN dapat merekrut para pelatih tambahan yang berasal dari jajaran kementerian. Jika dipandang perlu, departemen pengguna anggaran seharusnya juga diizinkan untuk merekrut dan melatih staf demi kepentingan pelaksanaan proyek-proyek tersebut.
79 Format DIPA baru diperkenalkan pada 2005. Pada tahun sebelumnya, pemerintah mengeluarkan DIP hanya untuk pengeluaran pembangunan. Secara historis, dokumen anggaran baru bisa dikeluarkan pada kuartal pertama atau kedua pada tahun anggaran, dalam beberapa hal, bahkan bisa pada kuartal berikutnya. Format DIP yang digunakan sebelumnya juga mencantumkan tim pelaksanaan proyek. 80 Dapat dikatakan bahwa masalah ini merupakan masalah besar karena kegiatan ekonomi, seperti pembangunan jalan atau gedung sekolah, akan dapat didistribusikan lebih merata lagi pada setiap tahun anggaran. Sehingga, pembayaran untuk setiap kontrak sering dilaksanakan setelah pekerjaan selesai yang didasarkan pada tingkat penyelesaian pekerjaan. Sehingga,pelaksanaan proyek bermasalah dan kegiatan ekonomi menjadi tidak seimbang.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
111
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Sistem manajemen kas yang terpecah-pecah merusak transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan anggaran. Pelaksanaan rekening perbendaharaan tunggal (TSA) dari sudut pandang UU No. 1/2004 tentang perbendaharaan negara masih terus berjalan. Pengaturan saldo nihil dengan bank-bank komersil telah berhasil diujicobakan pada 50 kantor perbendaharaan daerah terpilih (KPPN) dan pelaksanaan lebih lanjut sedang diuji pada 178 kantor KPPN akan mampu melakukan konsolidasi terhadap lebih dari 1.000 jenis rekening perbendaharaan pada satu TSA. Sementara itu, sebagian besar anggaran masih dilaksanakan melalui rekening bank pada bank komersial yang dipegang oleh unit pengeluaran dan pejabat pemerintah. Menurut laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK tahun 2005, ini termasuk Rp 8,5 triliun yang disimpan dalam sekitar 1.300 rekening giro dan deposito yang tidak tercatat dalam sistem perbendaharaan negara. Dana yang tersimpan di luar buku (off books) ini tidak saja menyebabkan distorsi terhadap neraca konsolidasi kas pemerintah, tetapi juga sangat rentan terhadap penggelapan dan tindakan korupsi. Pelaksanaan peraturan pemerintah mengenai pengelolaan kas akan memperluas kewenangan Menteri Keuangan untuk menutup rekening bank tidak terotorisasi semacam itu dan akan menyediakan perangkat hukum untuk melaksanakan sensus terhadap seluruh rekening pemerintah pada tahun 2007.
Pengadaan Kerangka hukum dan perundang-undangan tentang pengadaan barang dan jasa untuk kepentingan publik telah mengalami kemajuan cukup pesat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 80/2003. Keppres ini mendorong penerapan prinsip-prinsip dasar dalam proses pengadaan barang dan jasa yang transparan, terbuka, adil, kompetitif, ekonomis, dan efisien. Dengan kata lain, hal ini memenuhi sebagian besar kelaziman yang berlaku secara internasional, dan mengatasi berbagai kekurangan yang sangat serius yang terjadi pada sistem yang diberlakukan sebelumnya. Akan tetapi, pengadaan publik masih membingungkan akibat instrumen hukum yang berlapis-lapis di setiap tingkat pemerintahan. Pelaksanaan sistem desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah untuk melakukan pengaturan tersendiri untuk melakukan pengadaan publik. Departemen dan BUMN dapat juga mengeluarkan peraturan mengenai pengadaan publik. Dampak dari instrumen yang berbeda-beda terhadap pengadaan publik belum terdokumentasikan. Akan tetapi, mungkin terjadi hal-hal yang tidak konsisten dalam aplikasinya akibat terjadi kesalahpahaman dan/atau perbedaan penafsiran terhadap berbagai peraturan.
112
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kotak 6.3 Sistem Indikator Baseline (BIS) Internasional untuk pengadaan Sistem Indikator Baseline Internasional (BIS) untuk pengadaan merupakan metodologi, yang dikembangkan bersama antara OECD dan Bank Dunia, untuk melakukan analisis kuantitatif dan kualitatif atas sistem pengadaan publik. Penilaian itu berdasarkan 12 indikator dasar, yang dibagi menjadi empat kelompok yang disebut pilar: (i) peraturan dan perundangundangan, (ii) kelembagaan dan kapasitas pengelolaan, (iii) operasional pengadaan dan praktik pasar, dan (iv) integritas sistem pengadaan publik. Dengan menggunakan BIS, penilaian terhadap sistem pengadaan publik di Indonesia telah dilaksanakan pada tahun 2001. Hasil analisis ini tampak seperti diagram di bawah ini. Penilaian ini akan disempurnakan lagi pada Laporan Penilaian Pengadaan (CPAR) tahun anggaran 2007 dengan menggunakan versi 4 dari indikator ini, sebagai tambahan dari indicator kepatuhan/kinerja yang mengukur kinerja sesungguhnya dari sistem ini.
Tingkat pencapaian menggunakan pilar BIS Kerangka kerja Legislatif 100 75 50 25
Integritas dan Transparansi
0
Kerangka kerja Institusional
Operasional Proc dan Kinerja Pasar Indonesia
Tingkat Kepuasan
Skor menunjukkan persentasi terhadap elemen baseline yang menunjukan “standar praktek yang baik” yang diinginkan yang mampu dipenuhi oleh negara tertentu. Tingkat baseline untuk kinerja yang memuaskan berada pada angka 50 persen pada setiap indikator. Walaupun umunya memiliki nilai dibawah tingkat baseline, Indonesia memiliki skor lebih baik dalam hal indikator peraturan dan perundang-undangan serta integritas tetapi kurang baik untuk kinerja pasar dan kerangka kelembagaan. Sumber: Metodologi OECD 2006 untuk melakukan penilaian terhadap sistem pengadaan nasional.
Regulasi pengadaan publik melalui keputusan Presiden tidak berada pada tingkat hukum yang cukup tinggi. Masalah utamanya adalah bahwa dalam lingkungan desentralisasi, regulasi pengadaan publik melalui keputusan presiden tidak menetapkan prinsip-prinsip dasar dan kebijakan yang mengatur pengadaan publik pada tingkat perundang-perundangan yang cukup tinggi. Inilah yang menyebabkan mengapa ada kebutuhan terhadap UU pengadaan yang memperhatikan baik kelaziman yang berlaku secara internasional maupun kepentingan spesifik Indonesia. Bappenas, melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional (LKPN) sedang dalam proses penyiapan rancangan UU tentang pengadaan. Pengesahan UU yang baru tentang pengadaan ini akan memperkuat kerangka perundang-undangan dan mampu menyiapkan instrumen hukum dengan jangkauan yang cukup panjang. Secara historis, tidak ada satu lembaga atau pejabat pemerintah pusat yang berwenang untuk meletakkan kebijakan yang sama dan konsisten mengenai hal ini, serta memastikan adanya sanksi dan mekanisme penegakan yang harus jelas. Keppres No. 80/2003 membutuhkan pembentukan Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional (LKPN). Tugas persiapan LKPN telah rampung dan pengaturan interim sudah dilaksanakan untuk pembentukan LKPN di dalam Bappenas yang bertujuan untuk memperkuat lembaga baru ini dan secara perlahan akan menjadi badan yang mandiri. Ada kebutuhan untuk membentuk LKPN sebagai lembaga independen dan berdayaguna dengan kelengkapan sumber daya yang memadai. Sementara LKPN yang ada dalam Bappenas memegang tanggung jawab utama dalam hal kebijakan pengadaan, situasi kelembagaan yang ada sekarang tidak menyediakan fungsi untuk memberikan nasihat kepada lembaga yang melakukan pengadaan, mengumpulkan data kinerja pengadaan, membina komunitas pengadaan di antara pejabat publik, atau menentukan sistem layanan terhadap keluhan dan, yang paling penting, pengembangan secara berkelanjutan tentang sistem pengadaan publik.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
113
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Pelaksanaan pelatihan tingkat dasar dan ujian untuk mendapatkan sertifikat bagi praktisi pengadaan merupakan insiatif yang penting. Keahlian pengadaan hanya terbatas pada sekelompok kecil individu dalam jajaran departemen tertentu. Tidak ada kader praktisi pengadaan, dan tidak ada jalur karir atau sistem insentif yang jelas baik untuk manajemen proyek maupun manajemen pengadaan, Pimpro dan panitia tender kembali menduduki posisi mereka sebelumnya setelah proyek selesai dilaksanakan. Hal ini telah menimbulkan fragmentasi dalam menghimpun pengalaman pengadaan di kalangan PNS. Keppres No. 80/2003 telah menentukan bahwa bulan Januari 2005 sebagai tenggat waktu untuk melakukan sertifikasi anggota panitia tender dalam hal pengadaan untuk keperluan pokok. Tanggal ini telah diubah dua kali dan kini menjadi Januari 2008. Sertifikasi praktisi pengadaan tingkat menengah dan tinggi akan diperkenalkan di masa yang akan datang tetapi tanggal spesifik masih belum ada. Persentase PNS yang telah lulus ujian sertifikasi tingkat dasar pada akhir tahun 2006 jumlahnya kurang dari 12 persen dari 168.000 orang PNS yang telah mengikuti ujian. Usulan sertifikasi bagi praktisi pengadaan merupakan langkah awal untuk menuju ke arah yang benar tetapi ada begitu banyak permintaan yang masih harus dipenuhi. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan tambahan imbalan setelah mereka berhasil memperoleh sertifikat atas tanggung jawab yang lebih besar serta mendorong para praktisi untuk meniti karir lewat kemampuan mereka. Regulasi sebelumnya memiliki dampak membatasi persaingan dan membagi pasar dalam negeri, dengan memberi jaminan bahwa UKM dapat diberikan kontrak kerja pada yurisdiksi pemerintah daerah tempat mereka berdomilisi. Keberhasilan membuka pasar berdasarkan Keppres No. 80/2003 masih harus diteliti mengingat adanya lingkungan desentralisasi yang masih baru dan kemungkinan praktik-praktik yang dilakukan di tingkat provinsi dan instrumen hukum yang berdampak terhadap partisipasi di tingkat daerah. Akan tetapi, ketidakhadiran UU pengadaan dengan jangkauan yang luas pada dasarnya mengurangi efektifitas penghentian praktik-praktik semacam itu. Penyusunan dokumen standard lelang merupakan langkah maju yang cukup besar untuk menjamin konsistensi instrumen ini di setiap lembaga dan pemerintah tingkat daerah. Penyusunan dokumen semacam ini sedang dalam proses dan diharapkan dapat diujicobakan pada tahun 2007. Isu pokok yang dihadapi dalam pengadaan publik dalam rangka pelaksanaan reformasi pengadaan di Indonesia adalah transparansi dan korupsi. Salah satu inisiatif penting untuk memperluas transparansi dan akses terhadap peluang mengikuti tender adalah melalui e-procurement. Draft UU yang sedang disiapkan menyediakan kerangka hukum secara keseluruhan mengenai otorisasi dan pemanfaatan tanda tangan elektronik. Langkah penting berikutnya untuk pembentukan LKPN adalah mengembangkan sebuah rencana induk untuk melaksanakan sistem pengadaan elektronik yang akan menentukan protokol umum yang harus dilaksanakan di seluruh Indonesia, mengembangkan sistem pengadaan elektronik yang kokoh, dan melaksanakan draft keputusan presiden. Dirasakan ada kebutuhan untuk memperkuat pengawasan internal terutama kapasitas penegakan aturan dalam lembaga pemerintahan, termasuk pelaksanaan sanksi yang ketat dan tegas jika terjadi penyalahgunaan dan kinerja yang tidak baik. Sementara Keppres No. 80/2003 memungkinkan untuk mengikuti prosedur penyampaian keluhan, hal itu diarahkan melalui lembaga pemakai (pembeli) dan tidak bersifat independen. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) memegang peran penting terkait dengan penanganan keluhan terhadap isu korupsi yang menjadi tugas KPK dan persaingan yang tidak adil yang menjadi wewenang KPPU. Pengaturan ini menimbulkan isu mengenai reliabilitas dan efisiensi sistem penyampaian keluhan. Dalam hal mekanisme sanksi, ada ketentuan mengenai anti-korupsi di dalam Keppres No. 80/2003. Akan tetapi, sepanjang kapasitas itu terus-menerus pada posisi yang lemah, gaji yang rendah dan tidak ada jalur karir yang memuaskan bagi praktisi pengadaan publik, tidak ada mekanisme penanganan keluhan yang baik, dan tidak ada sanksi tegas untuk tindak korupsi, maka perbuatan korupsi akan tetap tumbuh subur.
Audit Penguatan fungsi audit internal dan eksternal menjadi semakin penting sewaktu Indonesia melakukan modernisasi pada sektor publiknya. Dengan pelaksanaan sistem desentralisasi pengeluaran publik yang komprehensif dan kebutuhan untuk meningkatkan fleksibilitas anggaran lembaga pemerintah, ditambah dengan kebutuhan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengeluaran publik sesuai dengan kelaziman umum yang dapat diterima, maka reformasi di bidang pemeriksaan/audit menjadi sesuatu yang sangat penting.
114
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Tabel 6.2 Peta Audit Lembaga
Akuntabel Kepada
Cakupan
Kapasitas
Kehadiran di Daerah
Jenis audit
Audit Eksternal BPK
Badan Pemeriksa
Seluruh pemerintah
3,500 staff
16 provinsi
Umumnya audit tentang kepatuhan, kadang-kadang audit kinerja
Presiden melalui Menteri Pemberdayaan Paratur Negara
Kementerian termasuk anggaran dekonsentrasi
6,800 staff
25 Provinsi
Umumnya untuk audit kinerja
Menteri
Kementeri termasuk anggaran dekonsentrasi
2,300 staff
Tidak Ada
Umumnya audit kinerja
Gubernur/Bupati
Pemerintah daerah
16,000 staff
Semua staf bekerja di 440 kabupaten/ kota
Baik audit kepatuhan maupun kinerja
Audit Internal BPKP
Inspektur Jenderal
Auditor pemerintah daerah (Bawasda)
Sumber: Penilaian staf Bank Dunia berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dan wawancara dengan pejabat pemerintah, Profil BPK 2006.
Penentuan kelembagaan yang rumit dan kerangka peraturan yang bersifat terfragmentasi tidak mendorong terjadinya transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi di antara lembaga pemeriksa. Selanjutnya, tampaknya tidak ada mekanisme informal yang berlaku untuk mengatasi hambatan struktural bagi tercapainya audit yang efisien dan efektif . Oleh karena itu, auditor terlatih dan bersertifikat yang jumlhanya sangat terbatas di Indonesia tidak dimanfaatkan secara efektif dan efisien sebagaimana mestinya. Di samping itu, hanya laporan dari BPK yang diteliti oleh pejabat-pejabat yang dipilih dan tersedia untuk umum. Laporan yang disampaikan oleh BPK kepada umum dan kepada DPR sangat bersifat umum dan tidak memiliki karakteristik dari suatu laporan audit. Penyimpangan yang ditemukan dalam audit disampaikan dengan secara sangat umum menggunakan klasifikasi secara garis besar, seperti (i) tidak sesuai, yang meliputi penyimpangan yang tidak sesuai dengan ketentuan, (ii) praktik-praktik yang tidak ekonomis dan tidak efisien, dan (iii). ketidakefektifan, yang meliputi pengeluaran yang tidak sesuai dengan tujuan semula. Kebanyakan dari penyimpangan yang dilaporkan kepada DPR termasuk dalam kategori tidak sesuai. Tidak ada uraian lebih rinci yang dicantumkan dalam laporan itu, walaupun laporan itu mestinya meliputi penyimpangan yang berskala luas mulai dari yang sangat serius sampai dengan pelanggaran kecil. BPK adalah lembaga independen tetapi dapat memperoleh manfaat dari peran DPR yang kuat untuk meminta akuntabilitasnya jika hal ini dilakukan dengan hati-hati. Sesuai dengan UUD 1945, UU tentang Pemeriksaan Keuangan Negara tidak mengatur tentang akuntabilitas eksternal bagi BPK. BPK hanya bertanggung jawab terhadap anggota badan pemeriksanya, yang diangkat oleh DPR melalui keputusan presiden. Badan ini memutuskan sendiri apakah anggota mereka harus mengundurkan diri atau tidak. Ada sejumlah manfaat dari pemberian peran yang lebih kuat kepada DPR untuk meminta akuntabilitas BPK: (i) keterlibatan DPR akan menciptakan tekanan yang lebih kuat untuk membuat tindakan audit menjadi relevan dan responsif, (ii) keterlibatan DPR dapat memperkuat kesadaran publik terhadap BPK dan laporan yang dibuatnya, (iii) penguatan peran DPR akan menjadi tekanan untuk memacu efisiensi dan efektivitas BPK. Perhatian seharusnya diberikan untuk mendefinisikan peran DPR secara jelas sehubungan dengan keberadaan lembaga pemeriksaan dan laporan mereka sehingga seluruh stakeholders mengetahui dan sepakat terhadap peran mereka. Mekanisme yang baik perlu diberlakukan—baik melalui komisi yang baru atau terpisah (Komisi Rekening Publik dan Audit), komisi yang sudah ada, sub-komisi dari komisi yang sudah ada, atau
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
115
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
organisasi khusus atau baru, Di samping itu, anggota DPR dan sekretariat mereka perlu membangun kapasitas yang diperlukan untuk menangani laporan pemeriksaan dan informasi secara konstruktif. Kini BPK memiliki mandat yang lebih luas tetapi masih memiliki keterbatasan terhadap perannya yang semakin luas tersebut. UU No. 5/1973 telah menentukan BPK sebagai lembaga pemeriksa “tertinggi” di Indonesia. UU tentang pemeriksaan negara baru ditetapkan pada tahun 2004 dan memberikan mandat kepada BPK untuk melakukan pemeriksaan kepada seluruh lembaga pemerintah di setiap tingkat. BPK juga melakukan pemeriksaan terhadap BUMN, kecuali BUMN yang memperoleh modal melalui pasar modal Indonesia, dan dalam hal itu ketentuan yang ada mengharuskan perusahaan-perusahaan yang sudah terdaftar diaudit oleh perusahaan auditor yang terdaftar. Lembaga militer sekarang ini tidak harus diperiksa. Menurut UU tentang Audit Negara, BPK melaksanakan audit keuangan, audit kinerja, dan audit forensik. BPK menyampaikan laporan tahunan dan laporan semester kepada DPR atas pemeriksaan yang dilakukan dan menyampaikan laporan pemeriksaan pemerintah daerah. Laporan ini memberikan penilaian terhadap laporan keuangan instansi yang diaudit dan serta memberikan komentar terhadap penyimpangan-penyimpangan yang ditemui di dalam pelaksanaan anggaran yang mungkin ditemukan. Di samping itu, BPK juga berwenang untuk menentukan standar pemeriksaan untuk lembaga pemerintah, walaupun mereka masih belum mengeluarkan standar tersebut untuk penggunaan internal Tingkat staf BPK tidak sesuai dengan mandat barunya. Lembaga pemeriksaan eksternal yang hanya memiliki sekitar 3.500 pegawai diharapkan mampu menjamin mutu pemeriksaan internal dari hampir 25.000 staf. Sebelum penetapan UU tentang audit negara, pemeriksaan keuangan merupakan tugas BPK dan BPKP sebagai lembaga pemeriksa internal dari pemerintah. Kini BPKP memiliki mandat yang jelas yaitu untuk melakukan pemeriksaan internal bersama-sama dengan lembaga pemeriksa lain (seperti, Inspektur Jenderal pada setiap Departemen). Perubahan dalam tanggung jawab ini tidak seluruhnya tercermin dalam realokasi staf dan sumber daya antara kedua lembaga pemeriksa ini. Akibatnya adalah bahwa BPKP memiliki sumber daya yang sangat bagus dibandingkan dengan BPK. Misalnya, BPKP kini memiliki kantor di 26 provinsi di seluruh Indonesia, sementara BPK hanya memiliki kantor di 16 provinsi pada akhir tahun 2006. Mandat BPK relatif jelas tetapi strateginya tidak sesuai dengan kemampuan dan jumlah staf yang ada saat ini. UU No. 15/2004 tentang audit negara telah memberikan kejelasan atas peran yang berbeda dari lembaga pemeriksa dengan cara menyatakan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal yang independen pada seluruh tingkat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Pada tahun 2001 BPK menyiapkan rencana pengembangan institusional dan telah melaksanakan langkah praktis untuk menyiapkan diri sehubungan dengan perluasan mandat yang dimilikinya. Strategi internal BPK untuk periode 2006-10 telah disiapkan dan rencana pelaksanaan taktisnya sedang dalam penyelesaian tahap akhir. Mengingat tantangan yang dihadapi BPK dalam memberikan layanan pemeriksaan eksternal dasar dalam bidang pengelolaan keuangan, dan mengingat kapasitas yang dimilikinya saat ini, maka fokus pekerjaannya sekarang lebih baik diarahkan pada pemberian layanan audit keuangan tradisional yang bermutu tinggi, tepat waktu, daripada menyampaikan agenda pemeriksaan yang rumit dan canggih. Sementara UU tentang audit negara memberikan mandat yang semakin kuat kepada BPK, namun masih belum jelas dalam hal tata pemerintahan internalnya dan struktur manajemen. UU yang terpisah mengenai aspek-aspek semacam ini kini sedang disusun dan dipandang penting untuk mengukuhkan dasar lembaga ini sehingga akan diakui sebagai lembaga yang kredibel dan independen. Mandat dan pembagian tugas antara ketiga lembaga pemeriksaan yang ada sekarang tidak jelas. Audit Internal berada dalam ruang lingkup kerja BPKP, Inspektorat Jenderal (Itjen) yang bertugas pada setiap Departemen, dan fungsi pemeriksaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan oleh Bawasda. BPKP didirikan berdasarkan keputusan presiden pada tahun 1983. Selanjutnya, mandat BPKP telah berubah melalui berbagai keputusan presiden. Pada saat ini, mandat BPKP menjadi tidak jelas, dapat membantu Itjen, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota atas undangan pemerintah daerah, dan mereka dapat menyediakan pelatihan bagi lembaga-lembaga ini. Walaupun mandatnya telahberkurang secara signifikan, BPKP masih memiliki kantor-kantor dengan staf lengkap yang terdesentralisasi di 26 provinsi dan stafnya yang penuh berjumlah 6.800 orang tidak digunakan secara optimal. Jumlah staf BPKP yang masih begitu besar belum mencerminkan pengurangan terhadap mandat yang dimiliki saat ini, terutama jika dibandingkan dengan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal. Selain itu, laporan dari BPKP tidak disampaikan kepada umum atau DPR.
116
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Itjen memiliki peran yang berbeda pada setiap Departemen. Mandat Itjen yang sebenarnya, staf, dan kegiatannya ditentukan oleh kemeterian yang bersangkutan. Oleh karena itu, Itjen bertindak sebagai lembaga tersendiri sesuai dengan jumlah menteri dan kegiatan pemeriksaan biasanya terfokus pada masalah-masalah rutin teknis dan kinerja, termasuk ketaatan kepada standar teknis yang berlaku. Oleh karena itu, latar belakang profesi staf Itjen, biasanya meliputi kualifikasi teknis dan bukannya akunting atau pemeriksaan keuangan. Audit mereka dilakukan secara acak atau sesuai dengan rencana pemeriksaan tahunan yang sudah disetujui, tetapi tidak berdasarkan pada metodologi berbasis risiko. Bawasda melakukan pemeriksaan umum terhadap pengeluaran anggaran daerah, tetapi mereka tidak memiliki kapasitas yang memadai. Audit terhadap transaksi keuangan masing-masing dari ke 33 pemerintah provinsi dan lebih dari 440 pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan berdasarkan ketentuan kelembagaan yang sangat rumit. Bawasda terdapat di setiap kabupaten/kota, tetapi staf Bawasda biasanya tidak memiliki keterampilan untuk melaksanakan tanggung jawab pemeriksaan. Di samping itu, setiap sumber pendanaan yang berbeda pada pemerintah daerah diperiksa oleh lembaga pemeriksa yang berbeda pula. Dengan demikian, Bawasda mendapat dukungan dari BPKP, Itjen, BPK dan Bawasda pada kabupaten/kota lain dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan terhadap pemerintah daerah masing-masing. BPK merupakan lembaga pemeriksa eksternal dari seluruh pemerintah daerah. Itjen pada Departemen Dalam Negeri mengkoordinasikan seluruh kegiatan dari lembaga pemeriksaan internal dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan mereka untuk setiap kabupaten/kota. Bawasda menyampaikan laporan tahunan mereka kepada masing-masing daerah dan mengirimkan salinan laporan mereka kepada Itjen Departemen Dalam Negeri, Bawasda Provinsi, dan pihak yang diperiksa. Laporan mereka tidak disampaikan kepada publik atau DPR. Akan tetapi, BPK menyampaikan rangkuman dan konsolidasi hasil laporan kepada DPR dan rangkuman itu mencakup seluruh Bawasda. Pengawasan terhadap pengeluaran dan sistem pembayaran sedang ditingkatkan, tetapi pelaksanaannya masih belum memuaskan. Untuk meningkatkan tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap anggaran pada jajaran departemen, tugas pemberian perintah pembayaran telah dialihkan kepada departemen. Hal ini telah menimbulkan pemisahan yang lebih baik antara fungsi verifikasi transaksi dan pelaksanaan pembayaran. Sementara pemisahan tugas-tugas ini sudah dirancang dengan baik, pelaksanaan di lapangan tidak seluruhnya memuaskan karena tidak adanya standar yang jelas mengenai bukti-bukti akuntansi, prosedur verifikasi, dan unit pemeriksa pra bayar di instansi pembelanja. Salah satu kelemahan endemis yang perlu diperhatikan bahwa dalam praktik akuntansi berkaitan dengan mutu bukti-bukti akuntansi yang dapat diterima oleh Ditjen Perbendaharaan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
117
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Rekomendasi Kebijakan Reformasi yang sedang berjalan dalam penyiapan, pelaksanaan, dan pemeriksaan anggaran dapat mengambil manfaat dari adanya evaluasi yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan terhadap sistem anggaran di Indonesia. Biasanya, kajian terhadap pengeluaran lebih berfokus pada pengeluaran sektoral dan semakin sering menganalisis aspek-aspek kelembagaan dari pelaksanaan anggaran. Laporan pada bab ini merupakan upaya pertama yang cukup komprehensif dalam melakukan analisis dimensi kuantitatif kinerja anggaran di Indonesia. Beberapa kegiatan tindak lanjut masih sedang disiapkan atau dapat digali lebih jauh untuk terus memperkuat dasar analisis dari keputusan anggaran dan membudayakan evaluasi anggaran. Kegiatan tindak lanjut ini termasuk: (i) survei penelusuran pengeluaran publik untuk mengidentifikasi kebocoran; (ii) World Bank Country Procurement Assessment Report (CPAR) untuk menilai kemajuan modernisasi pengadaan; dan (iii) analisis tentang peran DPR mengenai pengawasan pra-laksana purna-laksana (ex ante dan ex post) terhadap anggaran.
Penyiapan dan pelaksanaan anggaran Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBB) dan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengan (MTEF). Mengingat sifat dari perubahan itu sendiri, maka diperlukan visi jangka panjang. Perlu disusun suatu peta perjalanan yang realistik, operasional, dan komprehensif untuk melakukan reformasi penganggaran dengan mempertimbangkan kondisi tata pemerintahan Indonesian yang unik, lingkungan pengawasan yang lemah, dan masalah korupsi yang sudah dikenal luas. Pada saat yang sama, perubahan yang mampu dicapai, dapat terlihat jelas bentuknya, dan didefinisikan dengan jelas harus dilaksanakan dalam jangka waktu pendek untuk menjawab tekanan politik untuk melakukan perubahan secara cepat dan menjaga momentum reformasi. Perubahan jangka pendek semacam itu dapat meliputi peninjauan dan penyederhanan terhadap dokumen anggaran, pembuatan laporan tentang hasil yang dicapai tiap tahun bagi program-program yang dilaksanakan di setiap departemen, serta otorisasi penganggaran multi tahun bagi proyek-proyek investasi berskala besar yang memerlukan waktu penyelesaian selama beberapa tahun. Untuk jangka menengah, pengawasan terhadap output seharusnya secara perlahan menggantikan pengawasan terhadap input dan pos-pos anggaran (line item). Reformasi proses anggaran, berikut isi dan struktur dokumen anggaran, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam memperkenalkan penganggaran berbasis kinerja. Anggaran berbasis kinerja (PBB) sering dipahami sebagai alat untuk menunjukkan bahwa pengawasan terhadap input digantikan oleh pengawasan terhadap output dan bahwa tanggung jawab keuangan dan manajemen dari unit pelaksana anggaran mengalami peningkatan. Manajer diberikan kebebasan untuk mengelola, tetapi pada saat yang sama mereka harus akuntabel atas hasil yang mereka capai terhadap penggunaan dana milik publik. Mengingat bahwa isu tentang tata pemerintahan sangat rentan di Indonesia dan mengingat adanya pengawasan ex post yang lemah saat ini, upaya untuk melakukan perubahan dalam bidang ini seharusnya diawali dengan kehati-hatian dan pengawasan ex post yang perlu diperkuat sebelum pengawasan terhadap input diperlunak. Pembahasan dan persetujuan anggaran oleh DPR seharusnya disesuaikan untuk berfokus pada kebijakan dan prioritas pengeluaran. DPR memiliki wewenang yang kuat dalam pembahasan ex ante dan persetujuan terhadap penentuan anggaran tahunan. Anggaran berbasis input, rinci, dan memiliki peranan penting atas fokus yang kuat terhadap pengawasan ex ante. Sehingga, pembahasan DPR cenderung berfokus pada diskusi mengenai pos-pos pengeluaran secara rinci dan bukan alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan hasil yang hendak dicapai. Cara-cara untuk melakukan peningkatan kapasitas, serta upaya untuk melakukan reformasi kelembagaan, seharusnya menjadi fokus untuk memperjelas peran DPR dalam penyiapan anggaran dengan tujuan untuk memfokuskan pada pembahasan mengenai hasil dan prioritas penggunaan anggaran. Proses untuk mobilisasi anggaran tahun berjalan dan realokasi sumber daya keuangan pada masa bencana harus disederhanakan. Harus ada upaya untuk mengembangkan proses anggaran jalur cepat untuk digunakan pada waktu terjadi kebutuhan yang luar biasa untuk pengeluaran publik sementara tetap memelihara kerangka pengamanan untuk memastikan dana publik digunakan secara efektif dan efisien.
118
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Pengadaan Pembentukan lembaga baru pengadaan merupakan kontribusi sistemik yang penting untuk memberantas korupsi, yang pada gilirannya akan membuat harga input menjadi lebih rendah dan meningkatkan tata kelola pengadaan. Di samping itu, diperlukan pelaksanaan strategi e-procurement secara komprehensif agar mampu berkontribusi untuk meningkat transparansi dan kompetisi pasar.
Audit Banyaknya peraturan terpisah yang mengatur pemeriksaan eksternal dan internal tidak memberikan ruang koordinasi dan kejelasan. Konsolidasi terhadap peraturan di bawah satu undang-undang dan menyederhanakan pemberian wewenang untuk mengeluarkan keputusan dan peraturan sekunder akan memberikan transparansi yang lebih luas dan mendorong tercapainya peraturan-peraturan yang konsisten. Ada potensi sinergi dan manfaat lain untuk melakukan konsolidasi mengenai ketiga lembaga pemeriksa internal menjadi satu lembaga. Konsolidasi lembaga pemeriksa internal memiliki kelebihan di bawah ini:
• • • •
Koordinasi yang lebih baik terhadap pemeriksaan internal tanpa terjadi duplikasi. Akan tersedia sumber daya yang lebih banyak untuk mengembangkan produk-produk audit baru dan akan ada potensi untuk menghemat biaya untuk mendukung layanan pendukung seperti manajemen SDM, dan manajemen keuangan. Koordinasi dan kerja sama yang lebih baik antara lembaga pemeriksa internal dan eksternal karena hanya ada dua pihak yang perlu berkoordinasi. Memperkuat kemandirian pemeriksaan internal. Hal ini sangat penting di daerah.
Pelaksanaan akuntansi berbasis akrual memiliki implikasi yang sangat luas terhadap keterampilan para pejabat anggaran, auditor , dan pemakai anggaran dan rekening nasional, termasuk anggota DPR. Menurut UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, anggaran untuk 2006 harus sudah disampaikan berdasarkan sistem akrual dan laporan keuangan pada tahun itu harus pula disampaikan dan diaudit dengan basis akrual. Pelaksanaan yang dilakukan secara bertahap untuk melaksanakan reformasi tersebut harus direncanakan dengan memperhatikan tingkat keterampilan saat ini dan harus pula meliputi kegiatan pelatihan antar lain bagi auditor internal dan eksternal.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
119
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
120
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7
Desentralisasi Fiskal & Kesenjangan Daerah Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Temuan Pokok
•
• • •
Tantangan utama bagi pembangunan Indonesia bukan lagi untuk memberikan dana kepada daerah-daerah yang lebih miskin tetapi bagaimana memastikan agar daerah-daerah tersebut menggunakan dana yang disalurkan dengan sebaik-baiknya. Sumber dana yang terpenting untuk daerah—Dana Alokasi Umum (Dana DAU)—mengalami peningkatan nominal hingga 64 persen pada 2006. Sebagian besar daerah sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan berbagai perbaikan taraf hidup warganya. Bahkan daerah-daerah yang dulunya dianggap miskin, kini memiliki DAU per kapita ratarata sebesar AS$425 setiap tahun, jumlah alokasi DAU ini telah mengalami peningkatan sebesar 75 persen pada tahun 2006. Lebih dari setengah kenaikan alokasi DAU yang seharusnya digunakan untuk peningkatan penyediaan layanan kepada masyarakat digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU ini tidak mendorong pemerintah daerah mengarahkan dana itu untuk peningkatan pelayanan masyarakat. Banyak pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membelanjakan anggaran tambahan mereka. Mereka lalu menyimpan dana itu dalam rekening bank setempat, jumlah simpanan itu semakin banyak dan telah mencapai angka 3,1 persen dari PDB pada bulan November 2006. Pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yang menyerap sebanyak 32 persen dari seluruh pengeluaran pemerintah daerah. Pengeluaran administrasi yang sangat besar ini mengakibatkan berkurangnya pengeluaran untuk sektorsektor penting lainnya, terutama sektor kesehatan, pertanian, dan infrastruktur.
Rekomendasi Utama
•
•
•
122
Lakukan pemantauan terhadap kinerja pemerintah daerah, berikan insentif bagi kinerja yang bagus dan sediakan bantuan teknis untuk mereka yang tertinggal. Tantangan utama bagi pelaksanaan desentralisasi di Indonesia adalah menjamin efektivitas alokasi sumber daya yang ada untuk meningkatkan penyediaan layanan masyarakat dan mendorong pelaksanaan kebijakan yang lebih berpihak pada masyarakat miskin. Sistem kinerja yang kredibel dapat membantu membangun sistem alokasi sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan dan bisa meningkatkan kinerja. Hapuskan pencakupan penuh pembayaran gaji PNS dengan menggunakan anggaran yang seharusnya digunakan untuk peningkatan layanan masyarakat. Hal ini tidak saja akan memperkuat dampak pemberian DAU kepada masyarakat, lebih penting lagi, tindakan ini akan menyediakan insentif untuk meningkatkan layanan masyarakat di daerah. Cara seperti itu akan semakin memberdayakan pemerintah daerah dalam menemukan kombinasi optimal dari sumber daya yang tersedia (jumlah tenaga kerja, modal, input setengah jadi, dan outsourcing) untuk penyediaan layanan masyarakat. Mengurangi pengeluaran daerah yang berlebihan untuk membiayai administrasi pemerintah. Pemerintah daerah seharusnya memprioritaskan pengeluaran mereka pada bidang-bidang yang akan berdampak langsung terhadap penyediaan layanan masyarakat.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Desentralisasi dan Kesenjangan Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman dan persebaran yang sangat luas. Terdiri lebih dari 17.000 pulau (dimana 6.000 di antaranya tidak berpenghuni), terentang di tiga zona waktu, dan memiliki segalanya mulai dari hutan tropis, dataran rendah yang subur, sampai dengan pegunungan dataran tinggi. Perjalanan dari ujung paling barat Indonesia (Sabang yang terletak di Aceh) sampai ke ujung paling timur (Merauke di Papua) akan memakan waktu selama lebih dari 10 jam dengan pesawat terbang, dan kareana keterbatasan infrastruktur disebagian wilayah, sangat tidak mungkin perjalanan tersebut ditempuh dalam waktu satu hari. Indonesia memiliki lebih dari 300 suku yang menggunakan lebih kurang 250 bahasa yang berbeda di seluruh negara kepulauan ini. Pulau Jawa yang merupakan salah satu pulau berpenduduk terpadat di dunia dan Irian yang merupakan salah satu pulau berpenduduk terjarang di dunia, keduanya berada di Indonesia. Jika seluruh wilayah Indonesia memiliki penduduk yang padat seperti Pulau Jawa, jumlah penduduk Indonesia akan berjumlah dua milyar orang dan akan menjadi negara terbesar di dunia. Sebaliknya, jika seluruh pulau Indonesia berpenduduk jarang seperti Papua, maka seluruh penduduk Indonesia hanya akan berjumlah 11 juta (hampir sama dengan Belgia). Keanekaragamaan dan perbedaan geografis ini tercermin dalam perbedaan kondisi sosial ekonomi yang cukup signifikan. Sementara beberapa bagian wilayah Indonesia memiliki pendapatan seperti negara sangat maju, di bagian lain masih menunjukkan adanya kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah (Tabel 7.1). Fasilitas pendidikan di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia sama dengan fasilitas di negara-negara berkembang lainnya, sementara tingkat pendidikan dan kesehatan, terutama di kawasan Indonesia Timur, setara dengan kondisi di sebagian besar negara Afrika: PDB per kapita daerah sangat bervariasi. Misalnya, PDB per kapita Riau dan Kalimantan Timur, yang merupakan daerah penghasil minyak dan gas, adalah hampir 20 kali lebih tinggi daripada PDB Maluku atau Nusa Tenggara Timur (NTT). Tingkat PDB per kapita kabupaten/kota dalam satu provinsi juga menunjukkan disparitas yang luas seperti yang ditunjukkan oleh panjangnya kotak horizontal pada Diagram 7.1. Angka kemiskinan di tingkat kabupaten/kota sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya (Diagram 7.1). Sejumlah kota memiliki tingkat kemiskinan dibawah 3 persen, tapi Kabupaten Manokwari di Irian Jaya Barat dan Kabupaten Puncak Jaya di Papua memiliki tingkat kemiskinan diatas 50 persen. Indikator Pembangunan Manusia (IPM) rata-rata untuk Indonesia pada 2002 adalah 0,66. Di tingkat kabupaten/kota, rentang angka IPM bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,47 di Kabupaten Jayawijaya sampai dengan to 0,76 untuk Jakarta Timur.
• • •
Perbedaan yang sangat ekstrim ini telah berpengaruh pada penerapan desentralisasi pada tahun 2001, terutama terkait dengan kerangka fiskal. “Dana perimbangan” merupakan unsur utama dari rancang bangun desentralisasi. Hal ini terdiri dari beberapa dana transfer yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan antara kebutuhan pengeluaran dan kapasitas fiskal pemerintah daerah. Tujuannya adalah agar pemerintah kabupaten/kota mampu menyediakan layanan masyarakat yang sudah didesentralisasikan, dalam hal kualitas maupun kuantitas, dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Daerahdaerah penghasil minyak dan gas juga menerima manfaat yang sangat besar, karena sekarang mereka menerima 15,5 persen dari penerimaan migas tersebut. Pelaksanaan sistem desentralisasi telah memberikan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam bentuk wewenang daripada fungsi pemerintah. Sesuai dengan UU No. 22/1999 tentang pelaksanaan sistem desentralisasi, sektor-sektor yang wajib ada di tingkat daerah mencakup dinas kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, lingkungan, perhubungan, transportasi, pertanian, industri, dan perdagangan, investasi modal, pertanahan, koperasi, tenaga kerja, dan infrastruktur. Pemerintah provinsi melakukan koordinasi terhadap kinerja pemerintah kabupaten/kota dan menjalankan sejumlah fungsi yang berpengaruh terhadap lebih dari satu pemerintah kabupaten/kota. Dalam waktu satu tahun, sebagian besar tanggung jawab layanan masyarakat sudah didesentralisasikan. Proporsi anggaran daerah yang tercakup di belanja pemerintah naik menjadi hampir dua kali lipat, sementara dua pertiga dari pegawai negeri yang ada ditugaskan di daerah dan lebih dari 16.000 fasilitas layanan masyarakat dialihkan ke pemerintah daerah.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
123
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 7.1 Disparitas daerah yang menyolok Maluku Maluku Utara
Nusa Tenggara Timur
Gorontalo Jawa Tengah
Nusa Tenggara Barat
Jawa Timur Sulawesi Selatan Bengkulu Sulawesi Tenggara
Lampung DI Yogyakarta Kalimantan Barat Papua Banten Sulawesi Tengah Jambi Sulawesi Utara Jawa Barat NAD Sumatera Selatan Bali Irian Jaya Barat Kalimantan Selatan Sumatera Barat Sumatera Utara Bangka Belitung Kalimantan Tengah
Riau Kepulauan Kalimantan Timur Riau
0
10
Sumber: Data Dasar DAU 2006, DepKeu-BPS
20
30
40
50
PC PDRB 2004, dalam miliar Rp
Riau Kepulauan Bali
Kalimantan Selatan
Banten Bangka Belitung Sulawesi Utara Sumatera Barat
Kalimantan Tengah
Jawa Barat Jambi Maluku Utara Kalimantan Barat Riau Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Jawa Timur DI Yogyakarta Sumatera Utara Sumatera Selatan Jawa Tengah Lampung Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Bengkulu
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur
NAD Gorontalo Irian Jaya Barat Maluku Papua
0
20
40
60
Perhitungan Penduduk Miskin perkepala 2004 (%) Sumber: BPS Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Plot dalam diagram ini merupakan distribusi PDB per kapita daerah dan penghitungan angka kemiskinan di tingkat kabupaten/kota yang dikelompokkan berdasarkan provinsi. Panjangnya Kotak menunjukkan distribusi dari 25 persentil sekitar median. Panjangnya whisker adalah 1,5 kali jarak antara median dan kuartil pertama atau ketiga. Titik-titik di luar whiskers merupakan outliers. Pada diagram pertama, daerah dengan PDB per kapita lebih besar dari Rp 50 juta tidak dimasukkan untuk tujuan penentuan presentasional.
124
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Tabel 7.1 Tingkat disparitas yang signifikan terhadap kondisi sosial dan ekonomi Indonesia Indikator PDB per kapita (AS$) Tingkat Kemiskinan (%) Tingkat kemampuan baca-tulis orang dewasa (%) Angka Partisipasi Kasar jenjang pendidikan menengah (%) Usia harapan hidup (tahun)
Kabupaten/ kota terlemah
Kabupaten/ kota ratarata
Standar deviasi
Mexico (menengahtinggi)
Zambia (rendah)
3
208 51
1,055 18
2,104 10
6,500 20
491 73
99
21
91
9
90
68
125
9
82
15
109
26
73.7
57.5
66.3*
3.1*
75
38
Kabupaten/ kota terkuat 82
33,759
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan BPS 2004, Laporan Pembangunan Kemanusiaan (Bappenas dan UNDP, 2004). Little Data Book (World Bank, 2006). Catatan: * Berdasarkan data tingkat provinsi.
Setelah enam tahun dilaksanakannya desentralisasi, fungsi dan kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten/ kota belum juga jelas akibat lemahnya UU desentralisasi itu sendiri. Kejelasan mengenai kewenangan memang sangat diperlukan untuk memberikan jaminan akuntabilitas di tingkat daerah. UU No. 32/2004 disahkan dengan tujuan untuk menentukan kembali secara signifikan hubungan administrasi antar-pemerintahan. Sistem ini memperkenalkan adanya pemilihan umum secara langsung di tingkat daerah dan memberikan kejelasan yang lebih besar dalam hal kewenangan wajib daripada UU No. 22/1999. Akan tetapi, peraturan pelaksanaan dari pemerintah pusat, yang hendak mengatur fungsi-fungsi ini, belum disahkan oleh DPR. Selain itu, pemerintah pusat juga perlu menjamin bahwa undang-undang sektoral yang ditetapkan kementerian teknis tidak memuat penafsiran yang bertentangan mengenai tanggung jawab pemberian layanan di tiap tingkat pemerintahan. Di samping itu, UU No. 32/2004 juga memberikan penegasan mengenai peran baru yang cukup signifikan dari pemerintah provinsi sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah. Hal ini muncul sejalan dengan pandangan baru dan fungsi operasional pemerintah provinsi vis-à-vis kabupaten/kota, serta kontrol pemerintah pusat yang lebih kuat melalui Menteri Dalam Negeri dan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Kotak 7.1 Undang-undang utama tentang desentralisasi, 1999-2006 Mei 1999: Kerangka UU untuk pelaksanaan sistem desentralisasi dikeluarkan. UU No. 22/1999 tentang Otonomi daerah dan UU No. 25/1999 mengatur perimbangan fiskal dan daerah. Pelaksanaannya baru bulan Januari 2001. Desember 2000: UU No. 34/2000 tentang perpajakan pemerintah daerah telah disahkan oleh DPR. Agustus 2001: UU Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua. Kedua Undang-undang tersebut memberikan jaminan kepada kedua provinsi ini tambahan pendapatan dari sektor migas untuk memperkuat kapasitas fiskal mereka dan memacu pembangunan. Papua juga diberikan dana Otonomi Khusus (2 persen dari dana DAU nasional). Berlaku 2004: Amendemen terhadap UU No. 22 dan 25/1999 tentang pelaksanaan sistem desentralisasi; UU No. 32/2004 tentang Otonomi Daerah, UU No. 33/2004 tentang Keuangan Daerah . Mei 2006: UU No. 11/2006 tentang status pemerintahan Aceh dengan re-definisi tentang Otonomi Khusus dan memperkenalkan dana tambahan untuk Otonomi khusus (2 persen jumlah dana DAU pusat) yang akan dialokasikan untuk Aceh mulai 2008. Sumber: Staf Bank Dunia.
Sejak pelaksanaan sistem desentralisasi, tingkat pendapatan telah mengalami peningkatan di seluruh 82 Indonesia, tetapi daerah yang relatif kaya berkembang lebih cepat daripada daerah yang relatif miskin. Tingkat penurunan kemiskinan nasional dari 24 persen (1999) menjadi 18 persen (2005). Walaupun seluruh kabupaten/ kota di Indonesia mengalami penurunan angka kemiskinan, kabupaten/kota yang relatif kaya menerima manfaat yang lebih besar dari program pemulihan ekonomi. Kabupaten/kota yang relatif lebih kaya dapat menurunkan angka kemiskinan sampai dengan setengah dari tingkat sebelumnya, namun kabupaten/kota yang relatif lebih miskin tingkat 81 Kota Bontang di Kalimantan Timur memiliki tingkat PDB per kapita paling tinggi di Indonesia. Kota ini berpenduduk 117.000 orang dan kegiatan ekonomi utama adalah sektor minyak dan gas, terutama gas alam cair (LNG). Yang berkontribusi sebesar 87 persen dari PDB pada 2004. Kabupaten/ kota dengan PDB per kapita tertinggi kedua adalah Kabupaten Mimika di Papua dengan PDB per kapita sebesar AS$13.052. Kabupaten/kota ini berpenduduk 126.000 jiwa dan kegiatan ekonomi utamanya adalah pertambangan. 82 Kabupaten/kota yang dikategorikan relatif kaya adalah 20 persen kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan terendah; kabupaten/kota yang dikategorikan relatif miskin adalah 20 persen kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan tertinggi. Lihat lampiran G.1 dan G.2 untuk indokator kemiskinan dan ekonomi lebih lengkap.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
125
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
kemiskinan hanya turun sekitar seperempatnya. Dengan demikian, kesenjangan pendapatan antara kabupaten/kota yang relatif kaya dengan yang relatif lebih miskin menjadi semakin besar. Secara rata-rata, kabupaten/kota yang relatif kaya tumbuh di atas angka rata-rata nasional, sementara tingkat pertumbuhan di kabupaten/kota yang relatif miskin berada di bawah angka rata-rata nasional. Kemiskinan paling banyak terdapat pada wilayah-wilayah yang bergantung pada sektor pertanian (lihat Annex G.2). Kemiskinan berkaitan positif dengan proporsi PDB yang berasal dari sektor pertanian dan berkorelasi negatif dengan proporsi pendapatan dari sektor manufaktur. Sektor jasa yang lebih besar juga terkait dengan perhitungan angka kemiskinan yang lebih rendah. Karena sektor manufaktur dan jasa tumbuh melampaui sektor pertanian, kesenjangan antara daerah kaya dan miskin semakin lebar. Mengenai mutu penyediaan layanan, tidak tampak tren yang jelas. Pertama, bukti-bukti di tingkat kabupaten/ kota menunjukkan desentralisasi layanan pemerintah di sektor kesehatan, pendidikan, dan administrasi telah mengalami peningkatan (Kaiser, Pattinasarany dan Schulze, 2006), sementara mutu layanan kepolisian yang tidak mengalami desentralisasi malah semakin buruk. Akan tetapi, studi sektoral telah menggarisbawahi penurunan pada sejumlah layanan pokok, terutama air bersih dan listrik (lihat Bab 5). Penelitian terhadap iklim investasi lokal juga 83 menunjukkan banyak kelemahan pada pemerintah daerah. Upaya pemerintah pusat untuk mengembangkan pelaksanaan standar pelayanan minimum mungkin akan membantu untuk memperjelas tanggung jawab di setiap tingkat pemerintahan. Pemerintah pusat telah mengeluarkan PP No. 64/2005 untuk mendorong pelaksanaan standar minimum layanan di seluruh pemerintah daerah. Pada akhir 2006, standar minimum pemberian layanan mengalami berbagai tahapan kemajuan di seluruh sektor di mana sektor itu sedang mengalami perkembangan. Layanan di sektor pendidikan dan kesehatan sudah berada pada tingkat yang paling siap menurut Departemen Dalam Negeri. Jika hal ini berjalan terus dan dilaksanakan secara penuh, hal ini mungkin akan membantu memperjelas tanggung jawab pemberian layanan, mengingat bahwa 84 secara prinsip tanggung jawab pemberian layanan harus jelas sebelum penentuan standar itu dilakukan .
Pengeluaran Pengeluaran daerah Pemerintah daerah memiliki wewenang yang “hampir” penuh atas penggunaan sumber-sumber fiskal mereka. Pemerintah daerah dan DPRD melakukan kontrol terhadap pengeluaran dari seluruh sumber penerimaan. Hal ini meliputi penerimaan daerah dari pajak dan retribusi, pendapatan dari sumber-sumber daya alam, dan dana hibah (kecuali Dana Alokasi Khusus). Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota saat ini mengelola sekitar 36 persen dari total pengeluaran publik, dibandingkan dengan kondisi pada pertengahan 1990-an yang hanya berjumlah sekitar 24 persen. Pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk penyelenggaraan administrasi pemerintahan lalu diikuti oleh sektor pendidikan. Pengeluaran untuk administrasi pemerintahan terutama paling banyak terjadi di tingkat provinsi (38 persen dari total pengeluaran) dan tingkat kabupaten/kota (30 persen ). Ini sangat bertolak belakang dengan apa yang dijumpai dalam ekonomi yang lebih modern, yang biasanya mengalokasikan 5 persen atau lebih kecil dari anggaran mereka untuk pengeluaran-pengeluaran serupa. Pos-pos terbesar dalam administrasi pemerintahan meliputi pengeluaran untuk pembayaran gaji dan tunjangan untuk pegawai bagi kepala daerah beserta staf, anggota DPRD, dan rehabilitasi dan pembangunan gedung-gedung pemerintah (lihat Bab 3 untuk analisis lengkap mengenai pengeluaran untuk administrasi pemerintahan).
83 Lihat Lampiran G.3 mengenai bukti-bukti yang berhubungan dengan desentralisasi pemberian layanan. 84 Lihat Bank Dunia 2006, Making the new Indonesia Work for the Poor, hal. 236-238 untuk analisis lebih rinci dan kejelasan fungsi antara tingkat pemerintahan dan pengalihan fungsi yang direkomendasikan.
126
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Tabel 7.2 Pengeluaran pemerintah daerah berdasarkan sektor, 2004 Provinsi (%) 6 12 9 1 1
(Rp bn) 4,201 39,805 8,108 74 681
12,327
38
426
Pertahanan Nasional dan Sektor Keamanan Lingkungan dan Rencana Tata Ruang
Pertanian Pendidikan Kesehatan Pertambangan Perdagangan, NBD, FCS Aparatur pemerintah dan Sektor Pengawasan Sektor Tenaga Kerja
Infrastruktur Lain-lain Total
(Rp bn) 1,823 3,815 3,000 195 479
Kabupaten/kota (%)
Pemerintah pusat / Desentralisasi
Total (Provinsi + Kabupaten/kota)
4 33 7 0 1
(Rp bn) 6,024 43,620 11,108 269 1,160
35,529
30
1
452
0
0
619 8,321 1,399 32,404
(%) 4 29 7 0 1
(Rp bn) 2,679 7,345 2,395 230 185
47,856
32
0
878
0
0
2
1,233
26 4 100
17,147 11,728 118,959
Total
(%)
(%)
8 23 7 1 1
(Rp bn) 8,703 50,965 13,503 499 1,345
613
2
48,469
26
1
177
1
1,055
1
0
0
400
1
400
0
1
1,852
1
148
0
2,000
1
14 10 100
25,468 13,127 151,363
17 9 100
14,099 4,168 32,437
43 13 100
39,566 17,294 183,801
22 9 100
5 28 7 0 1
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD dan Ditjen Perbendaharaan (DepKeu). Catatan: NBD = Pembangunan Dunia Usaha Nasional, FCS = Sektor Keuangan dan Koperasi, Kategori untuk Lain-lain termasuk dana pensiun, subsidi ke pemerintah daerah, dan kategori lainnya. Untuk menghindari terjadinya Pembukuan ganda subsidi kepada pemerintah daerah tidak dimasukkan, * = Angka-angka awal dari Dirjen Keuangan, DepKeu.
Alokasi sektoral dari anggaran daerah masih kurang optimal. Karena besarnya pengeluaran administrasi, sektor-sektor lain tidak menerima cukup alokasi anggaran (Tabel 7.2), hal ini terutama untuk sektor kesehatan dan 85 pertanian. Bank Dunia (2004b) memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sekitar 5 persen dari PDB setiap tahun dalam sektor infrastruktur publik, yang sebagian besar di tingkat lokal, untuk mempertahankan sasaran pertumbuhan ekonomi jangka menengah sebesar 6 persen. Di samping itu, pengeluaran dalam jumlah sangat besar untuk administrasi sangat rentan terhadap tindak korupsi dan berbagai bentuk penyalahgunaan jika tidak diikuti prosedur akuntansi dan laporan yang jelas dan memadai (Kotak 7.2). Kotak 7.2 Peningkatan pengeluaran “lain-lain” di Papua Papua merupakan salah satu daerah yang banyak mendapat manfaat dari pelaksanaan desentralisasi. Provinsi yang terletak di ujung paling timur Indonesia ini tidak hanya menerima alokasi anggaran per kapita paling besar, tetapi mulai tahun 2002, Papua juga menerima dana otonomi khusus. Tambahan dana ini tidak hanya menambah pengeluaran pembangunannya tetapi juga pengeluaran rutinnya, terutama gaji. Sementara Papua menerima peningkatan anggaran dalam jumlah besar, pengeluaran mereka dengan kategori yang berjudul “lain-lain” meningkat dengan sangat tajam, dua kali lipat jika dibandingkan antara tahun 1999 dan 2001. Pos-pos yang diklasifikasikan sebagai pengeluaran “lain-lain” termasuk pengeluaran yang tidak tersangka, pensiun, dan bantuan, dan pengeluaran lain yang tidak termasuk dalam klasifikasi sebelumnya. Dana taktis untuk dinas atau kantor merupakan contoh pengeluaran yang dilaporkan sebagai “lain-lain”. Dana Taktis tidak melanggar hukum tetapi sulit untuk melacak pengeluarannya dan sangat rentan terhadap penyalahgunaan. Sumber: World Bank 2005, Papua Public Expenditure Analysis; Regional Finance and Service Delivery in Indonesia’s most Remote Region.
85 Bab 2 dan Bab 4 membahas lebih rinci tentang pengeluaran untuk sektor pertanian dan sektor kesehatan.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
127
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Pengeluaran dekonsentrasi Pengeluaran pemerintah pusat di daerah (dekonsentrasi) terus mengalami peningkatan. Pada 2004, jajaran kementerian pusat menggunakan 50 persen lebih dari anggaran pembangunan mereka didaerah, terutama dalam sektor sosial. Pengeluaran ini telah mengalami peningkatan sejak 2003. Pengeluaran pemerintah pusat untuk bidang ini menambah total pengeluaran daerah menjadi sekitar 21 persen (Lewis & Chakeri, 2004). Pengeluaran dekonsentrasi untuk pembangunan sektor pendidikan dan sosial merupakan yang tertinggi. Pada 2004, kedua sektor ini masing-masing mencapai 17 persen dan 63 persen dari pengeluaran daerah. Pengeluaran dekonsentrasi untuk pembangunan sektor transportasi dan industri menunjukkan angka yang signifikan sebab pengeluaran daerah tahun 2004 untuk kedua sektor ini hampir mencapai kenaikan dua kali lipat. Kecuali untuk administrasi kepemerintahan, lebih dari setengah pengeluaran pemerintah pusat digunakan untuk bidang ini. Pengeluaran pemerintah pusat untuk aparatur negara dapat dipastikan akan terkonsentrasi di Jakarta. Pengeluaran dekonsentrasi pembangunan cenderung menguntungkan daerah yang memiliki kondisi fiskal yang relatif lebih baik. Selama tiga tahun pertama pelaksanaan sistem desentralisasi, provinsi terkaya di Indonesia, Kalimantan Timur, menerima anggaran pengeluaran untuk pemerintah pusat yang lebih besar dibandingkan dengan provinsi lain, dan menduduki peringkat kedua setelah Maluku dalam bentuk per kapita. Kabupaten/kota yang berada di Kalimantan Timur, Riau, Aceh, dan Papua—yang kaya secara fiskal—menerima lebih dari dua kali rata-rata pengeluaran pemerintah pusat dibandingkan dengan yang diterima oleh daerah lain antara 2003 dan 2004. Pada 2004, pengeluaran dekonsentrasi per kapita berkorelasi positif dengan total pendapatan fiskal sehingga tidak berkontribusi pada pemerataan fiskal. Kotak 7.3 Tumpang tindih pengeluaran pemerintah pusat dan daerah: Studi kasus di Jawa Timur Sebagian besar dana dekonsentrasi yang disalurkan ke daerah dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan pelayanan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sebuah kajian mengenai belanja pembangunan pemerintah pusat yang baru-baru in dilaksanakan di Jawa Timur memperkirakan bahwa 90-95 persen dari belanja pemerintah pusat untuk bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum (pemukiman) di provinsi digunakan untuk membiayai kegiatan ditingkat daerah seperti yang dijelaskan di undang-undang desentralisasi. Lebih jauh lagi, penelitian ini juga mencatat adanya pengeluaran ‘dekonsentrasi’ baru yang semakin dibutuhkan, yaitu anggaran belanja tambahan (ABT). ABT tersebut terdiri dari transfer dana departemen untuk APBD dan pengganti pelaksanaan proyek langsung dari pemerintah pusat. Transfer-transfer ini seringkali terjadi sesaat sebelum revisi tengah periode anggaran . Transfer-transfer serupa dari jajaran instansi pusat untuk anggaran subnasional bertentangan dengan hukum desentralisasi yang berlaku dan mungkin sebaiknya di konversi kedalam DAK. Sumber: Oosterman dan Samiadji, 2005.
Kebijakan pejabat pemerintah, seperti yang tercantum dalam UU No. 33/2004, adalah untuk menyalurkan pengeluaran pemerintah pusat disektor-sektor yang didesentralisasikan melalui DAK. Akan tetapi, berbagai kementerian pusat sejauh ini telah menunda pelaksanaan kebijakan ini. Mereka telah berhasil melakukannya akibat adanya ambiguitas kerangka hukum yang berhubungan dengan fungsi layanan di setiap tingkat pemerintahan (Smoke, 2003). peraturan yang bertujuan untuk mengatasi masalah fungsi dan kewewenangan, berdasarkan UU No.32/2004, belum dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri. Peraturan ini menguraikan wewenang pengeluaran pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam 30 sektor. Akan tetapi, pada sebagian besar sektor pembagian wewenang semacam itu masih kabur sementara rancangan peraturannya masih harus ditinjau agar memuat ketentuan bahwa berbagai keputusan menteri dari pemerintah pusat akan menetapkan rincian lebih lanjut lagi tentang wewenang setiap tingkat pemerintahan dalam penyediaan layanan umum yang bersangkutan. Wewenang pengeluaran perlu diperjelas dan harus diserahkan secara transparan pada setiap tingkat pemerintahan. Rencana kerja pemerintah (RKP) dan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) memuat kemungkinan solusi walaupun lebih birokatis menyangkut masalah tidak jelasnya dan saling bertentangannya pembagian wewenang tersebut. Selama perencanaan dan siklus penentuan anggaran, departemen yang ada menyampaikan program kerja secara rinci dan rencana pengeluaran kepada Bappenas dan Departemen Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. Teorinya, Bappenas dan Departemen Keuangan dapat menentukan pengeluaran
128
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
pemerintah pusat untuk mendanai fungsi-fungsi daerah dan melakukan evaluasi terhadap program kerja departemen beserta rencana pengeluaran dengan tujuan untuk menentukan dan menghapuskan pengeluaran di sektor-sektor yang sudah didesentralisasikan. Pendekatan ini diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu dekat, tetap sepertinya hal itu masih memungkinkan diskusi lebih lanjut. Salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh Bappenas dan Departemen Keuangan adalah mencapai kesepakatan mengenai definisi operasional tentang pengeluaran pemerintah pusat sehubungan dengan fungsi dan kewajiban pemerintah daerah.
Penerimaan Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah daerah di Indonesia menjadi relatif kuat diibanding negara-negara berkembang lainnya . Sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah pusat menyalurkan dana ke daerah dalam bentuk dana hibah yang penggunaannya telah ditentukan. Dana yang paling besar adalah subsidi daerah otonom (SDO). Pengeluaran pembangunan didanai melalui sistem Inpres (Instruksi Presiden), yang merupakan dana Instruksi presiden untuk mendanai berbagai tujuan pembangunan secara spesifik, mulai dari perencanaan sampai dengan pembangunan gedung sekolah dan pasar. Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi pada 2001, pemerintah pusat mengalihkan dana untuk mengurangi kesenjangan fiskal baik secara vertikal maupun horizontal seperti yang ditentukan dalam undang-undang desentralisasi. Oleh karena itu, pengalihan dana semacam ini disebut “dana perimbangan.”
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
129
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 7.2 Penerimaan daerah sebelum dan sesudah desentralisasi Provinsi 250.00
Rp miliar
200.00
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Pajak
Pendapatan SDA
Subsidi Daerah Otonom/SDO
(Pembangunan) INPRES
DAU
DAK
Pendapatan Lainnya
150.00 100.00 50.00
20 07 20 07 **
**
20 06 20 06 *
*
20 0 20 05 *
5*
20 04 20 04
20 03
20 02
20 01
20 00
19 99
8 19 9
19 97
19 96
19 95
19 94
-
Kabupaten/Kota 700.00 600.00
Rp miliar
500.00
Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Pajak
Pendapatan SDA
Subsidi Daerah Otonom/SDO
(Pembangunan) INPRES
DAU
DAK
Pendapatan Lainnya
400.00 300.00 200.00 100.00
20 03
20 02
20 01
20 00
19 99
19 98
19 97
19 96
19 95
19 94
-
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS dan SIKD DepKeu. Catatan: Data dalam real terms (tingkat harga pada 1994 = 100). * = Rencana anggaran, ** = Perkiraan anggaran.
Pemerintah daerah pada dasarnya didanai oleh perimbangan fiskal pusat dan daerah. Dana perimbangan ini terdiri dari tiga elemen: penerimaan bagi hasil (pajak dan non-pajak), Dana hibah yang penggunaannya tidak ditetapkan (Dana Alokasi Umum /DAU), dan Dana hibah yang penggunaanya ditetapkan (Dana Alokasi Khusus /DAK). Penerimaan dari pajak berasal dari pajak bumi dan bangunan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan disalurkan kembali kepada daerah. Penerimaan non-pajak pada dasarnya pendapatan yang berasal dari sumber daya alam yang didistribusikan kembali kepada daerah berdasarkan sistem derivasi.86 DAU merupakan dana alokasi umum yang bertujuan sebagai perimbangann dan DAK dialokasikan untuk mendanai sektor-sektor tertentu yang menjadi prioritas nasional (Diagram 7.2). Di samping itu, pemerintah daerah juga memiliki penerimaan asli daerah dari pajak dan retribusi.
86 Pelaksanaan distribusi diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No. 55/2005
130
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Perimbangan fiskal antara pusat dan daerah Komponen terbesar dari dana perimbangan adalah DAU, yang merupakan sekitar 50 persen dari pendapatan daerah. DAU merupakan 62 persen dari pendapatan kabupaten/kota dan hanya 18 persen dari pendapatan provinsi. Sumber pendapatan paling besar bagi provinsi adalah pendapatan asli daerah, yang sebagian besar berasal dari penerimaan pajak. Tabel 7.3 Pendapatan pemerintah daerah, 2004 Provinsi
Pendapatan asli daerah
Kabupaten/Kota
Jumlah (Rp miliar)
Proporsi (%)
Jumlah (Rp miliar)
Proporsi (%)
22,696
49.3
10,131
8.3
Penerimaan bagi hasil pajak
8,759
19.0
13,706
11.2
Penerimaan bagi hasil sumber daya alam
2,833
6.2
8,773
7.2
DAU
8,217
17.9
75,794
62.1
DAK
13
0.0
3,661
3.0
3,482
7.6
10,055
8.2
Pendapatan lain-lain Total Penerimaan
46,001
122,121
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD, DepKeu.
Alokasi dana DAU menggunakan mekanisme berbasis formula. Keseluruhan dana DAU ditingkat pusat dihitung sebagai proporsi (saat ini 26 persen) dari pendapatan bersih nasional setelah dikurangi dana bagi hasil. Formula DAU memiliki dua komponen, komponen alokasi dasar (BA) dan komponen kesenjangan fiskal (FG). Sampai dengan 2005, komponen alokasi dasar tediri dari lump sum dan komponen proporsional untuk gaji. Mulai 2006, DAU mencakup anggaran untuk pembayaran gaji setiap pemerintah daerah secara penuh sebelum menggunakan formula. Kesenjangan fiskal dihitung sebagai selisih antara kapasitas fiskal (FC) dan kebutuhan pengeluaran (EN), yang sebagian akan ditutup melalui DAU. Komponen kesenjangan fiskal dialokasikan kepada kabupaten/kota secara pro rata berdasarkan kesenjangan tersebut. Dana ini merupakan pendorong utama untuk menuju pemerataan dan perimbangan fiskal daerah. Walaupun proporsi kesenjangan fiskal telah mengalami peningkatan, pentingnya formula kesenjangan fiskal dalam mekanisme distribusi hanya bersifat parsial karena hanya 50 persen total DAU yang 87 didistribusikan menggunakan formula kesenjangan fiskal (Diagram 7.3). Diagram 7.3 Komposisi DAU secara keseluruhan Hold Harmless
Rp triliun 140
Fiscal Gap
120
Wage Bill
100
Lump Sum
80 60 40 20 0
2005
2006
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD-DepKeu dan BPS. Catatan: Data untuk DAU kabupaten/kota secara keseluruhan hanya dalam harga konstan ( tingkat harga = 100)
87 Untuk an analisa tentang alokasi DAU beberapa tahun ini Lihat Lampiran G.5.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
131
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kotak 7.4 Formula DAU DAU 2006 dialokasikan berdasarkan formula berikut: DAUi = BAi + FGi
(1)
Dimana “i “ menunjukkan kabupaten/kota masing-masing. FGi = ENi – FCi
(2)
ENi = [0,3*Indeks jumlah penduduk +0,1* 1/HDIi + 0,15*Indeks Wilayah + 0,3*Indeks Biaya + (3) 0,15* Indeks PDB per kapita Daerah] * Rata-rata Pengeluaran Pemerintah Daerah FCi = PADi + STXi + SDAi
(4)
Di mana STX = Pendapatan dari Pajak, SDA = Pendapatan dari Sumber Daya Alam, HDI = Indikator Pembangunan Manusia, PAD = Pendapatan Asli Daerah.89 Sumber: UU No. 33/2004.
Kebijakan ‘hold harmless’ membatasi kemampuan DAU untuk meningkatkan perimbanagn fiskal. Kebijakan ini menetapkan bahwa daerah tidak akan menerima alokasi lebih rendah dari alokasi tahun sebelumnya. Hal ini dinyatakan pada tahun pertama pelaksanaan desentralisasi ketika saat itu komponen FC berjumlah hanya 18,5 persen dari DAU dan tidak termasuk pendapatan dari sumber daya alam sebagai bagian dari komponen kapasitas fiskal. Saat ini, mekanisme ini sangat menguntungkan kabupaten/kota yang kaya akan sumber daya alam, tetapi berdasarkan UU maka kebijakan “hold harmless” tidak berlaku pada tahun anggaran 2008. Kotak 7.5 Inovasi dalam alokasi DAU Mulai 2006, alokasi DAU memuat perubahan cukup signifikan pada mekanismenya secara keseluruhan dan pada formula kesenjangan fiskal sbb : 1. Total DAU keseluruhan adalah 26 persen dari penerimaan bersih nasional. 2. Alokasi dasar penyaluran DAU adalah meliputi total gaji di setiap pemerintah daerah. 3. Komponen kapasitas fiskal—pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pendapatan pajak, bagi hasil pendapatan sumber daya alam—yang kini diberi tambahan secara penuh. 4. Indikator kesenjangan kemiskinan (poverty gap) dalam formula kebutuhan pengeluaran diganti dengan kebalikan dari Indikator Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, 5. Kebijakan ‘hold harmless’ akan dihapuskan mulai tahun anggaran 2008. Sumber: UU No. 33/2004.
Pembayaran penuh gaji pemerintah daerah melalui DAU tidak memberikan insentif untuk merampingkan struktur kepegawaian daerah. Variabel penting yang menentukan alokasi dasar DAU adalah gaji pegawai daerah. Jika satu kabupaten/kota mengurangi gaji pegawainya (tanpa adanya pengurangan oleh kabupaten/kota yang lain) maka hal tersebut akan mengurangi alokasi dasar DAU daerah tersebut (untuk tahun berikutnya). Seperti yang sudah dijelaskan, alokasi dasar merupakan sekitar setengah dari total DAU, dengan demikian, komponen gaji ini mengurangi insentif daerah untuk melakukan perampingan jumlah pegawainya karena akan mengurangi jumlah DAU yang 89 diterima daerah yang bersangkutan.
88 Indeks area memberitahukan ukuran relatif kabupaten/kota atau provinsi, indeks biaya mengacu kepada biaya relatif konstruksi, indeks PDB daerah per kapita menrupakan PDB per kapita relatif dengan rata-rata seluruh kabupaten/kota atau provinsi. Indeks-indeks yang tertimbang kemudian dikalikan dengan rata-rata pengeluaran provinsi (kabupaten/kota) untuk mendapatkan alokasi DAU bagi provinsi (kabupaten/kota). 89 Akan tetapi, perlu diingat bahwa jika satu kabupaten/kota memutuskan menurunkan gaji mereka, mereka akan menerima dana diskresionari yang lebih besar melalui komponen peningkatan kesenjangan fiskal (FG), tetapi perolehan dana itu masih jauh lebih kecil daripada pengurangan jumlah gaji. Sementara hal ini tidak akan memberikan penalti kepada kabupaten/kota yang melakukan pemotongan gaji, hal ini mungkin bisa atau tidak bisa menjadi insentif yang cukup bagi kabupaten/kota. Sementara itu, seluruh kabupaten/kota yang tidak melakukan pengurangan terhadap anggaran gaji mereka akan menerima dana yang lebih besar. Sebaliknya, jika seluruh kabupaten/kota melakukan pemotongan terhadap pembayaran gaji, maka perolehan merekabukan hanya akan lebih signifikan, semua kabupaten/kota yang memiliki kesenjangan fiskal positif (sekitar 95 persen dari seluruh kabupaten/kota pada 2006) tetapi akan memiliki jumlah dana diskresionari yang lebih besar. Insentif fiskal ini hanya berlaku jika kabupaten/kota memiliki kapasitas untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya untuk untuk melakukan identifikasi terhadap jumlah efektif dari PNS yang dibutuhkan untuk menyediakan layanan dasar kepada masyarakat.
132
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Revisi UU desentralisasi yang baru memiliki dampak yang beragam. Dampak yang dapat langsung dirasakan adalah penghapusan ‘hold harmless’ dan diberlakukannya pembayaran gaji secara penuh lewat DAU akan memberikan hasil yang beragam sehubungan dengan cara-cara untuk mencapai keseimbangan. Dalam hal pendapatan per kapita alokasi demikian akan meningkatkan pemerataan, namun dari sudut rasio penerimaan pemerintah daerah terhadap kebutuhan pengeluarannya, maka alokasi demikian akan berdampak pada distribusi fiskal yang kurang merata (Arze, 2005). Komponen perimbangan fiskal yang terbesar kedua adalah yang berasal dari penerimaan bagi hasil pajak dan penerimaan bagi hasil SDA. Pada 2004, alokasi anggaran dari pendapatan ini berjumlah 20 persen dari anggaran daerah. Sementara pendapatan pajak hanya dua pertiga pendapatan ini, pendapatan dari sumber daya alam terkonsentrasi pada daerah-daerah penghasil minyak, yang telah membuat mereka menjadi daerah yang paling diuntungkan oleh pelaksanaan sistem desentralisasi. Pada 2006, hanya 62 dari 440 kabupaten/kota dan hanya lima dari 33 provinsi yang menghasilkan minyak, dan menerima sumber pendapatan dari sektor ini. Sebagian besar dari 90 kabupaten/kota ini terletak di Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Diagram 7.4 Distribusi bagi hasil sumber daya alam per kapita, dan bagi hasil pajak per kapita, 2006 Pendapatan Pajak per capita
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Jawa Tengah Jawa Timur D I Yo gyak arta Nusa Tengga ra Timu r Jawa Barat Sulawesi Utara Bali Lamp ung Sulawesi Tengah Goro ntalo Kalim antan Ba rat Ben gkulu Sum ater a Utara Ban ten Sum ater a Barat Sulawesi Tengga ra Sulawesi Se latan Nusa Tengga ra Barat Maluku Kalim antan Se latan Kep ulaua n Bangk a Be litu ng Jambi Kalim antan Tengah Maluku Utara Sum atera Selatan Pap ua Nangg roe A ceh Darussa lam Kep ulaua n Riau Irian Jaya Barat Ria u Kalim antan Tim ur
Rp ribu
Pendapatan SDA per capita
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data alokasi DepKeu.
Pada tahun 2009, daerah-daerah tersebut bahkan akan menerima dana bagi hasil yang lebih besar dari pendapatan sektor migas. Suatu ketentuan didalam UU No. 33/2004 menyatakan bahwa daerah akan menerima dana tambahan 0,5 persen dari pendapatan dari sektor migas. Peningkatan ini akan digunakan sebagai penambahan anggaran untuk pendidikan dasar. Akan tetapi, masih belum jelas bagaimana hal ini akan dilaksanakan.
90 Seperti yang dinyatakan dalam Koefisi Variasi (CoV) dan Kpoefisi Gini. CoV dan dan Keofisi Gini untuk pendapatana per kapita yang berasal dari sumber daya alam adalah 2,7 dan 0,84. CoV dan Gini untuk pendapatan dari pajak adalah 2,48 dan 0,73.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
133
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Sentralisasi seluruh pajak bumi dan bangunan meniadakan potensi pemerintah daerah untuk menggunakannya sebagai instrumen Sektor Rp bn % kebijakan penenerimaan. Sementara pajak bumi dan bangunan Perkotaan 3,121.7 19.3 dilakukan dan dikumpulkan secara lokal disebagian besar negara di dunia, Pedesaan 555.5 3.4 di Indonesia hal ini masih dilakukan oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat menentukan dasar, tingkat (besarnya pajak di seluruh sektor ini), Perkebunan 359.3 2.2 melakukan pemungutan pajak, dan menyimpan sebanyak 9 persen dari Kehutanan 151.6 0.9 total pajak sebagai biaya administrasi. Pada 2005, total PBB yang diterima Pertambangan 12,018.0 74.2 adalah Rp 16 triliun, jumlah yang sama dengan 120 persen dari total PAD. Total 16,206.0 100.0 Dalam total ini, PBB belum termasuk sektor industri (sebagian besar sektor Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data migas) yang jumlahnya paling besar (hampir tiga perempat 2005) dan DepKeu telah meningkat secara substansial akibat kenaikan harga minyak. Pendapatan pajak penting lainnya adalah pajak bangunan di wilayah perkotaan yang berjumlah 20 persen dari the total PBB pada 2005 (Tabel 7.4). Desentralisasi PBB akan memberikan instrumen pendapatan bagi daerah yang dapat mereka sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing dan untuk 91 bersaing dengan pemerintah daerah lainnya. Tabel 7,4 PBB per sektor, 2005
PBB memiliki potensi untuk ditingkatkan secara substansial. Desentralisasi PBB wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara internasional dalam pengalihan pemungutan pajak kepada pemerintah daerah. PBB untuk kedua sektor ini saat ini sama dengan seperempat dari PAD kabupaten/kota. Potensi untuk memperoleh peningkatan lebih lanjut masih sangat tinggi. Tingkat pajak statuter adalah antara 0,1 dan 0,2 persen, tergantung pada sektor dan perkiraan nilai bangunan dan, jumlah ini termasuk angka paling kecil di dunia. Di samping itu, (sentralisasi administrasi) pemungutan pajak ini sangat lemah. Bukti-bukti terbaru menunjukkan bahwa hanya sekitar 40 persen dari total PBB yang bisa direalisasikan, berdasarkan dasar penentuan tarif pajak saat ini (Lewis, 2003a). Penentuan nilai bangunan atau tanah merupakan aspek administrasi yang paling rumit, tetapi cakupan dan pengumpulannya juga tidak dilaksanakan secara efisien. DAK telah tumbuh dengan cepat tetapi masih tetap rendah dibandingkan dengan dana transfer yang lain. Pada tahun 2001 dan 2002, DAK berjumlah kurang dari Rp 1 triliun. Pada tahun 2005, DAK mencapai Rp 3,9 triliun (naik dari Rp 3,6 triliun di tahun 2004). Diharapkan bahwa DAK bakan akan menjadi lebih penting pada tahuntahun yang akan datang, terutama jika Departemen Keuangan berhasil dalam menyalurkan kembali pengeluaran dekonsentrasi pemerintah pusat pada fungsi-fungsi desentralisasi melalui DAK sesuai dengan yang ditentukan pada UU No. 33/2004. Tidak ada pola yang konsisten dalam penggunaan DAK. Cakupan sektoral dari DAK pada tahun-tahun awal masih terbatas pada pendidikan, kesehatan, infrastruktur daerah (jalan raya dan irigasi), pembangunan gedung pemerintah (untuk pemerintah daerah yang baru terbentuk). Pada 2006, DAK diperuntukkan bagi peningkatan infrastruktur layanan dasar dan cakupan meluas sampai pada infrastrukturs daerah yang baru (layanan air keliling), perikanan, pertanian, dan lingkungan. Beberapa tujuan DAK yang pernah disebutkan dalam beberapa kesempatan yang berbeda-beda antara lain untuk perbaikan sektor-sektor kunci sampai dengan kemiskinan, koreksi ‘spillover’, atau pencapaian standar pelayanan minimum. Pada saat terjadi kevakuman kebijakan terdapat risiko dana itu akan terfragmentasi pada banyak sektor dan berbagai tujuan. Provinsi yang lebih miskin dan secara politik kurang stabil, terutama Aceh dan Papua, merupakan provinsi yang paling diuntungkan dengan adanya perimbangan fiskal. Kedua provinsi ini juga menerima status “otonomi khusus” berdasarkan UU No. 18/2001 untuk Aceh dan UU No. 21/2001 untuk Papua. Dengan otonomi khusus ini keduanya menerima anggaran tambahan. Mulai 2002, Aceh dan Papua menerima penerimaan yang lebih tinggi dari sektor migas. Di samping itu, Papua menerima dana cukup besar dari Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) yang jumlahnya mencapai 2 persen dari total DAU pusat. Setelah penetapan pemerintah Aceh yang baru berdasarkan UU No. 11/2006, Aceh juga akan menerima Dana Otonomi Khusus mulai 2008 selama 15 tahun. Alokasi dana ini selanjutnya akan dikurangi sampai menjadi 1 persen mulai 2023 sampai 2028 (Kotak 7.6).
91 Untuk analisis rinci tentang tren dan potensinya, Lihat Lampiran G.5.
134
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kotak 7.6 Distribusi dan pengelolaan Dana Otonomi Khusus Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) meningkatkan anggaran Papua sampai dengan 20 persen dari dana yang sudah ada yang merupakan tambahan dana yang cukup besar. Di Aceh, Dana Otsus akan berjumlah sekitar 30 persen dari anggaran daerah 2008. Di Papua, Dana Otsus sebagian akan dialokasikan untuk program-program strategis, dan sisanya akan didistribusikan kepada kabupaten/kota berdasarkan formula yangsama dengan formula penentuan DAU. Pemerintah Provinsi Aceh masih perlu harus menentukan formula alokasi untuk Dana Otsus yang akan diberikan tahun 2008. Akan tetapi, transparansi dan akuntabilitas tetap merupakan tantangan dalam mengelola Dana Otsus di kedua provinsi ini. Keterlambatan penyaluran Dana Otsus dan Alokasi Khusus dari sektor migas sering terjadi, yang menghambat proses perencanaan, manajemen, dan pengaturan arus dana tunai (cash flow) di tingkat daerah. Pemerintah daerah tidak memiliki akses terhadap informasi rinci mengenai produksi dan biaya sektor migas. Prosedur laporan yang bertele-tele juga menyebabkan terjadinya penundaan tersebut. Kajian mengenai Dana Otsus menunjukkan bahwa mekanisme distribusi dan pengelolaan dana ini dapat ditingkatkan dengan cara: • Identikasi tujuan utama dari Dana Otsus. Jika memang ditujukan untuk melakukan pemerataan, formula alokasinya seharusnya ditingkatkan. Jika dana itu ditujukan untuk memacu laju pembangunan sektor tertentu, maka alokasi anggaran yang telah ditetapkan selalu harus dilaksanakan. • Menyederhanakan prosedur penyusunan laporan di tingkat pusat dan kabupaten/kota, meningkatkan akuntabilitas, akses terhadap arus informasi , dan manajemen serta sistem evaluasi. • Klarifikasi definisi yang ambigu (dwi makna) dalam regulasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi alokasi dana. Sumber: Papua Public Expenditure Analysis: Regional Finance and Service Delivery in Indonesia’s most remote regions (World Bank, 2005); Aceh Public Expenditure Analysis, Spending for reconstruction and Poverty Reduction (World Bank/DSF, 2006).
Pendapatan Asli Daerah Walaupun akhir-akhir ini terjadi peningkatan, total pendapatan asli daerah (PAD) masih rendah, hanya 8,5 persen dari total pendapatan. PAD masih disentralisir. Pada 2001, PAD meningkat menjadi 5 persen dari total penerimaan dalam negeri, naik dari 3,5 persen pada 2000. Antara 2001 dan 2005, pendapatan daerah naik tetapi lamban dan mencapai 8,5 persen dari total penerimaan publik. Tujuh puluh persen dari PAD dikumpulkan oleh pemerintah provinsi (Tabel 7.5). Tabel 7.5 Sumber pendapatan asli pemerintah pusat dan daerah 2001 Kabupaten/Kota Provinsi
Rp miliar 5,267
2002 % 1.7
Rp miliar 6,650
2003 % 2.3
Rp miliar 7,302
2004* % 2.4
Rp miliar 8,020
2005** % 2.3
Rp miliar
%
9,764
2.5
10,005
3.2
12,720
4.4
14,925
4.8
17,920
5.2
23,028
6.0
Total Daerah
15,272
4.9
19,370
6.8
22,227
7.2
25,940
7.6
32,793
8.5
Pemerintah pusat
299,183
95.1
266,831
93.2
285,901
92.8
316,083
92.4
352,288
91.5
314,455
100.0
286,201
100.0
308,128
100.0
342,023
100.0
385,081
100.0
Total Publik
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu dan Bank Indonesia. Catatan: * Angka-angka untuk daerah merupakan perkiraan awal berdasarkan pelaksanaan anggaran; angka-angka untuk pemerintah pusat merupakan akhir pelaksanaan anggaran, ** Angka-angka untuk daerah diproyeksikan berdasarkan anggaran daerah dan pusat; angka-angka untuk pemerintah pusat merupakan data awal dari pelaksanaan anggaran. Tingkat harga konstan tahun 2001.
PAD termasuk pendapatan pajak daerah retribusi dan biaya pemakaian jasa. Pajak listrik, dan hotel dan restoran mencapai 75 persen dari total PAD tingkat kabupaten/kota dari pajak. Biaya layanan kesehatan yang disediakan oleh Puskesmas, izin mendirikan bangunan (IMB) mencapai sekitar 50 persen dari total pendapatan dari biaya atau ongkos. Sumber PAD yang lain termasuk pendapatan dari perusahaan daerah (seperti PDAM) dan pendapatan bunga atas anggaran yang belum dipakai. Masing-masing dari ketiga jenis sumber pendapatan utama di atas untuk daerah— pajak, biaya, dan lain-lain—berkontribusi sekitar sepertiga dari seluruh PAD, sebagai perbandingan dari PAD provinsi yang merupakan sumber pendapatan lebih besar dari kabupaten/kota. Pendapatan dari pajak di tingkat provinsi yang jumlahnya cukup signifikan berasal dari pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama, dan pendaftaran Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
135
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
kendaraan bermotor. Perolehan pendapatan dari PKB mencapai hampir 80 persen dari total provinsi dari pendapatan pajak. Retribusi yang paling besar berasal dari sektor kesehatan, izin bangunan, dan biaya pemanfaatan aset publik. Ketiga jenis biaya ini berjumlah sebesar sepertiga dari total pendapatan dan retribusi. Pendapatan bunga atas saldo anggaran yang tersimpan di bank merupakan pendapatan lainyang patut dicermati. Pendapatan dari pajak mencapai jumlah yang cukup signifikan (90 persen) dari total PAD tingkat provinsi (Tabel 7.6). Administrasi pajak daerah cenderung sangat tidak efisien. Biaya administasi pajak daerah menghabiskan 92 lebih dari 50 persen penerimaan pajak. Akan tetapi, ada perbedaan yang cukup signifikan dalam hal efisiensi di berbagai pemerintah daerah (lihat Lampiran G.8). Pada awal tahun 1990-an, Departemen Dalam Negeri menerapkan komputerisasi administrasi perpajakan pada sebagian besar pemerintah daerah. Akan tetapi, sistem ini tidak lagi berjalan. Dengan demikian, apakah komputerisasi ini akan membantu atau tidak untuk mengurangi masalah efisiensi yang sangat besar masih belum bisa dipastikan. Tabel 7.6 Sumber pendapatan asli pemerintah Kabupaten/kota dan provinsi, 2004 Pendapatan Kabupaten/Kota
Rp milyar
%
Pajak Daerah
4,034
3
Listrik
2,037
50
Hotel dan restoran
1,009
25
988
24
Lain-lain
Pendapatan Provinsi Pajak Daerah
Jumlah Rp milyar
%
20,084
43
Bea balik nama kendaraan
9,058
45
Pendaftaran kendaraan bermotor
6,608
33
Lain-lain
4,419
22
Retribusi
3,423
3
Retribusi
1,165
3
Kesehatan
1,266
37
Kesehatan
523
45
370
11
IMB
157
14
1,787
52
Lain-lain
485
42
IMB Lain-lain Sumber PAD yang lain
2,702
2
Transfer dana
112,080
92
Total
122,239
100
Sumber PAD yang lain
1,447
3
Transfer dana
23,903
51
Total
46,599
100
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD dan DepKeu .
Sebagian besar bentuk pajak baru yang diperkenalkan oleh pemerintah daerah terbukti berdampak negatif untuk pertumbuhan ekonomi (Barnes dkk., 2005). Dengan pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah kabupaten/kota diberikan wewenang untuk menciptakan sumber pendapatan mereka dari pajak, dan pemerintah provinsi memiliki wewenang untuk menciptakan pajak konsumen yang baru. Sejak 2001, pemerintah daerah telah memperkenalkan begitu banyak jenis pajak baru sebagai instrumen untuk meningkatkan pendapatan mereka.93 Survei mengenai Daya Tarik Daerah yang dilakukan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, atau KPPOD) pada 2004 menerima pendapat yang disampaikan oleh kalangan bisnis, mereka berpendapat bahwa pajak daerah merupakan hambatan sangat besar dalam pengembangan usaha. Walaupun beban pajak lokal masih ringan, terutama biaya yang berhubungan dengan perizinan tingkat lokal, hal ini bisa berdampak negatif terhadap iklim usaha, setidaknya untuk sektor-sektor tertentu (Lewis dan Suharnoko, 2006). Ada juga masalah yang berhubungan dengan korupsi pada administrasi perpajakan lokal, yang ternyata tidak bisa diatasi melalui pelaksanaan sistem desentralisasi (Kuncoro, 2004; von Luebke, 2005). Draft revisi UU No. 34/00 tentang Pajak Daerah membatasi pemerintah daerah untuk mengenakan pajak dan pungutan pada daftar yang sebelumnya sudah ditentukan. Pemerintah berharap bahwa kebijakan baru ini akan mengurangi prolifikasi pajak daerah. Kemampuan pemerintah untuk memonitor ketaatan pemerintah daerah akan menjadi kunci utama dalam keberhasilan atau kegagalan reformasi di sektor ini. 92 Lihat Lewis dan Suharnoko, 2006. Dengan perbandingan, cost-to-yield estimasi dari AS memiliki range mulai dari kurang dari 1 persen untuk sebagian besar pajak daerah menjadi sekitar 1.5 persen untuk PBB (Mikesell, 1982). Cost-to-yield rasio dari AS merupakan biaya administratif namun dibagi oleh pendapatan bersih. Dengan menggunakan definisi ini, keseluruhan cost-to-yield rasio untuk pemerintah daerah di Indonesia menjadi sebesar 110.5 persen . 93 Temuan terkini menunjukkan bahwa pemerintah daerah bisa jadi menerbitkan sebanyak 6.000 pajak baru dan dimuat dalam undang-undang Peraturan Daerah—Perda yang dikeluarkan selama tahun 2000 sampai pertengahan 2005, banyak yang memperkenalkan pajak dan tagihan baru, sisanya mengganti bea dan/atau berdasarkan pada pajak yang sudah ada, hal tersebut dimungkinkan oleh UU No. 34/2000 (LPEM-FEUI, 2005a).
136
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Manajemen Keuangan Publik di Daerah Kinerja sistem anggaran Kerangka peraturan untuk melakukan reformasi pada pengelolaan keuangan publik di daerah umumnya sudah ada. Sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah daerah mengikuti pedoman administrasi keuangan daerah yang disebut Makuda, yang tidak pernah direvisi atau disempurnakan selama hampir 20 tahun. Setelah pelaksanaan sistem desentralisasi, pemerintah pusat mengeluarkan peraturan yang sangat komprehensif mengenai manajemen keuangan publik, sebagai baian dari pengelolaan keuangan publik di tingkat daerah.94 Komponen utama yang perlu diperhatikan untuk reformasi meliputi unifikasi anggaran, kinerja anggaran, kerangka kerja pengeluaran jangka menengah, dan restrukturisasi sejumlah lembaga keuangan pada unit-unit pemerintah daerah. Salah satu prestasi besar adalah bahwa sebagian besar anggaran yang sudah disalurkan ke daerah akan segera dimasukkan kedalam anggaran daerah (misalnya, transformasi dana dekonsentrasi ke dalam DAK). Akan tetapi, tidak ada mekanisme untuk mengatasi masalah yang terkait dengan kesulitan fiskal dan insolvensi di tingkat daerah. Kerangka peraturan yang baru tidak memberi peluang untuk melakukan intervensi terhadap anggaran jika terjadi kesalahan atau kebangkrutan pada pemerintah daerah. Pemerintah menunjukkan minat mereka untuk mengembangkan mekanisme semacam itu, tetapi belum ada hasil berarti yang sudah dicapai. Sebagian besar daerah perlu meningkatkan kapasitas teknis mereka dan meningkatkan SDM untuk menjalankan reformasi di daerah mereka, sementara pemerintah pusat perlu menyediakan bimbingan yang memadai untuk mendukung pelaksanaan hal itu. Pembagian tugas dan tanggung jawab yang tidak jelas antara Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri telah menyebabkan timbulnya ketentuan yang tidak konsisten dan saling bertentangan terkait dengan masalah manajemen keuangan dearah, yang menimbulkan kebingungan di antara sebagian besar pemerintah daerah. Konsep yang baru diperkenalkan, seperti anggaran berbasis kinerja, pelaksanaannya sangat buruk dan pengelolaan anggaran daerah masih jauh dari efisien. Sementara pemerintah daerah diwajibkan oleh UU untuk melaporkan beberapa informasi keuangan dan fiskal tertentu kepada pemerintah pusat, banyak di antara mereka tidak melakukan hal itu (datanya hilang atau sengaja tidak diberikan). Pemerintah daerah tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan kepada publik tentang hal-hal yang berkaitan dengan informasi fiskal dan keuangan. Selain itu, sebagian besar dari mereka tidak melakukan hal tersebut sehingga informasi semacam itu tidak bisa diakses oleh publik. Kurangnya keterbukaan, sistem pembukuan yang buruk, dan misalokasi dana, menyebabkan proses pengelolaan anggaran sangat rentan terhadap korupsi. Secara keseluruhan, sistem pengelolaan keuangan publik di daerah masih lemah dan berisiko tinggi terhadap tindak korupsi. Temuan dari penilaian yang mendalam (dan penentuan peringkat dari skala 100 persen) atas kinerja keuangan sebanyak 15 pemerintah daerah yang terpilih menunjukkan bahwa kapasitas kelembagaan dan SDM untuk mengelola anggaran daerah masih sangat rendah dan bahwa proses manajemen kauangan masih lemah, tidak transparan dan tidak akuntabel. Nilai rata-rata kinerja pemerintah daerah, yang diukur berdasarkan ketentuan peraturan nasional mengenai pengelolaan keuangan daerah baru mampu mencapai angka 44 persen.95 Sebagai kontras dengan hal ini adalah kinerja dari beberapa pemerintah daerah yang sangat reformis. Misalnya, Kabupaten Sleman di Provinsi Yogyakarta telah mampu mencapai skor kinerja 100 persen di bidang pengelolaan keuangan dan laporan akunting mereka. Akan tetapi, kinerja seperti itu masih sangat jarang. Pemberian insentif daerah mungkin merupakan langkah penting untuk mendorong agar gerakan antikorupsi merekadapat terus mencapai kemajuan.
94 Payung hukum utama untuk pengelolaan keuangan daerah adalah UU Otonomi daerah (No. 32/2004). Keseimbangan Fiskal (No. 33/2004). Sistem Perencanaan Nasional (No. 25/2004). Keuangan Negara UU (No. 17/2003) dan Perbendaharaan Negara UU (No. 1/2004). Pelaksanaan peraturan utama adalah No. 58/2005 tentang pengelolaan keuangan daerah dan pelaksanaan panduan KepMen No. 13/2006, pengganti KepMen No. 29/2002. 95 Indonesia: Local Government Financial Management – A Measurement Framework (World Bank Office Jakarta, Ministry of Home Affairs, 2005). Kerangka ini menilai kinerja pemerintah daerah dalam sembilan wilayah pengelolaan keuangan daerah, diukur dengan menggunakan indokator akumulasi nilai yang ada di masing-masing sembilan wilayah tersebut. Keseluruhan nilai yang bisa diraih untuk tiap wilayah adalah 100 persen. Hasilnya, dirumuskan dari pelaksanaan kerangka pengukuran pengelolaan keuangan, mencerminkan rata-rata kinerja 15 pemerintah daerah (tiga di Sulawesi, dua di Jawa dan delapan di Aceh dan dua di Sumatera Utara) pada sembilann wilayah pengelolaan keuangan, diprakarsai pada tahun2005 dan 2006, sebagian berkolaborasi dengan USAID-LGSP.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
137
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 7.5 Hasil kerangka penilaian kinerja PFM Kab. Nias Selatan Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya Kab. Nias Kab. Aceh Barat Kab. Bireuen Kab. Pidie Kota Palu Kab. Sidenreng Rappang Kab. Parigi Moutong Kota Blitar Kab. Aceh Timur Kab. Aceh Besar Kota Banda Aceh Kab. Sleman
Kerangka Kerja Pengelolaan kas Akuntansi dan Pelaporan Hutang dan Investasi Audit Eksternal dan Pemantauan Perencanaan dan Penganggaran Pengadaan Audit Internal Pengelolaan Aset
0%
25%
50%
75%
100%
Kinerja pemerintah daerah dibidang penanganan utang, investasi, dan audit eksternal masih buruk.Hal ini mencerminkan tidak adanya kerangka peraturan nasional yang baik dan kurangnya sumber daya di tingkat nasional: Audit eksternal (kinerja rata-rata 35 persen ). UU No. 15/2004 tentang pemeriksaan keuangan negara memberikan mandat untuk melakukan pemeriksaan eksternal oleh BPK. Namun sampai saat ini, menurut pejabat BPK, hanya sekitar 60 persen dari pemerintah daerah di seluruh Indonesia yang diperiksa secara teratur oleh BPK. Salah satu alasan mengapa hal ini terjadi adalah bahwa pemerintah pusat tidak menyediakan pendanaan yang memadai kepada BPK untuk melakukan hal itu. Pemeriksaan eksternal yang lemah juga berarti bahwa catatan tentang pembukuan juga masih lemah dan tindak lanjut atas temuan selama pemeriksaan lebih banyak berupa pengecualian daripada ketentuan aturan itu sendiri. Walaupun pemeriksaan eksternal dari pemerintah daerah diserahkan kepada DPRD, laporan itu tidak dapat diakses untuk publik. Praktik seperti itu akan meningkatkan timbulnya bahaya tindak korupsi. Informasi keuangan atas kinerja dan alokasi anggaran, dan dorongan untuk mengikuti standar akuntansi yang benar akan meningkatkan mekanisme akuntabilitas di dalam pemerintah daerah dan seluruh jajaran pemerintahan. Utang dan investasi (kinerja rata-rata 29 persen). Sebagian pemerintah daerah yang diteliti belum mengembangkan kebijakan yang baik untuk iklim investasi di masa datang atau mengembangkan strategi peminjaman. Investasi biasanya dilakukan berdasarkan kondisi ad hoc dan tidak terkait dengan rencana atau proyeksi jangka menengah.
Surplus anggaran dan tunggakan utang Surplus Pemerintah daerah akhir-akhir telah memperoleh manfaat dari adanya dana cadangan yang sangat besar. Pada pertengahan 2006, dana cadangan ini mencapai Rp 95 triliun atau 3,1 persen dari PDB. Ini sangat jauh berbeda dengan kondisi sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, di mana pada saat itu tidak pernah ada surplus. Antara 2001 dan 2005, provinsi dan kabupaten/kota mampu memiliki akumulasi anggaran sebanyak lebih dari Rp 35 triliun dalam cadangan mereka—kira-kira 18 persen dari pengeluaran daerah (2005) di tingkat pusat, dan 1,4 persen dari PDB (2005) (Tabel 7.7). Dana cadangan mulai melonjak tinggi pada pertengahan tahun pertama 2006.
138
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Tabel 7.7 Pendapatan asli pemerintah daerah, pengeluaran, dan surplus 2001 (Rp miliar)
2002 (%)
(Rp miliar)
2003 (%)
(Rp miliar)
2004* (%)
(Rp miliar)
2005** (%)
(Rp miliar)
(%)
Kabupaten/kota Pendapatan 78,699 -83,466 -96,637 -96,420 -105,690 -Pengeluaran 71,624 91.0 80,344 96.3 96,673 100.0 93,924 97.4 97,574 92.3 Defisit/Surplus 7,075 9.0 3,122 3.7 -36 0.0 2,497 2.6 8,116 7.7 Provinsi Pendapatan 25,484 -29,471 -33,295 -36,320 -45,480 -Pengeluaran 23,109 90.7 28,828 97.8 33,335 100.1 34,214 94.2 41,255 90.7 Defisit/Surplus 2,375 9.3 643 2.2 -40 -0.1 2,106 5.8 4,224 9.3 Total Daerah Pendapatan 104,183 112,937 129,931 132,741 151,170 Pengeluaran 94,733 90.9 109,171 96.7 130,008 100.1 128,138 96.5 138,829 91.8 Defisit/Surplus 9,450 9.1 3,766 3.3 -76 -0.1 4,602 3.5 12,341 8.2 Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Angka-angka untuk pemerintah provinsi dan kabupaten/kota masih perkiraan awal berdasarkan pelaksanaan anggaran, ** Angka-angka untuk pendapatan dan pengeluaran provinsi dan kabupaten/kota merupakan proyeksi berdasarkan anggaran daerah dan pusat nasional (SIKD DepKeu); Angka mengenai surplus merupakan perkiraan berdasarkan data dari Bank Indonesia, pada tingkat harga konstan 2001.
Jumlah akumulasi dana cadangan sangat bervariasi di antara setiap pemerintahan provinsi dan kabupaten/ kota. Akumulasi dana cadangan cenderung menjadi lebih tinggi di daerah-daerah kaya dengan sumber daya alam, seperti Kalimantan Timur, Riau, Aceh, dan Papua. Pemerintah daerah di Pulau Jawa dan kawasan Indonesia Timur memiliki dana cadangan yang lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan yang mereka peroleh sejak pelaksanaan sistem desentralisasi. Pemerintah daerah memang berhak dan perlu untuk memiliki dana cadangan, karena hal ini dapat membantu mereka untuk mengatasi beberapa masalah arus dana tunai (cash flow) ketika terjadi kondisi darurat yang memerlukan pencairan dana dalam waktu cepat. Aturan umum yang biasa digunakan adalah bahwa dana cadangan pemerintah daerah seharusnya berjumlah antara 5 dan 10 persen pengeluaran umum (Wolkoff, 1987). Akan tetapi, batas ambang tersebut kini sudah terlampaui oleh banyak pemerintah daerah di Indonesia. Ada empat faktor yang berkontribusi terhadap investasi dan pengeluaran yang rendah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Pertama, anggaran pemerintah daerah cenderung baru bisa disetujui pencairanya setelah melalui penundaan berkali-kali, kadang-kadang sampai menjelang berakhirnya tahun fiskal. Ini masih diperburuk lagi oleh pengenalan otorisasi proses anggaran yang baru (UU No. 32/2004), di mana Departemen Dalam Negeri berhak untuk memberikan persetujuan terhadap anggaran pemerintah provinsi, dan pejabat provinsi memberikan persetujuan terhadap anggaran pemerintah kabupaten/kota. Kedua, pemerintah pusat melakukan penyaluran pembagian dana terutama yang berasal dari sumber daya alam yang cenderung baru diberikan menjelang akhir tahun fiskal. Ketiga, pengeluaran pemerintah pusat didaerah mengurangi pengeluaran daerah (crowding out) dan memaksa pemerintah daerah untuk meninjau rencana pengeluaran mereka—proses yang rumit dan sangat lamban. Keempat, pemerintah daerah mungkin tidak memiliki kapasitas untuk menggunakan sumber daya yang diberikan, terutama ketika sumber daya seperti itu tiba-tiba meningkat secara signifikan. Ini memang benar terutama ketika peningkatan dana DAU meningkat sebanyak 64 persen dari 2005 sampai 2006, yang telah menyebabkan terjadinya peningkatan tiba-tiba dalam jumlah yang cukup signifikan dari dana cadangan mereka (lihat Bab 1). Adanya jumlah dana cadangan yang besar menunjukkan proses penentuan dan persetujuan anggaran yang tidak efisien yang mungkin tidak mudah untuk dihilangkan. Pertama, proses persetujuan anggaran harus disederhanakan, yang akan memerlukan perubahan terhadap UU No. 32/2004. Kedua, pemerintah daerah perlu mengembangkan kapasitas untuk memperbaiki anggaran dan menggunakan sumber daya lebih efektif. Ketiga, UU No. 33/2004 menetapkan bahwa penyaluran penerimaan bagi hasil harus dilakukan secara triwulan, yang memerlukan perkiraan produksi yang tepat waktu dari setiap sektor di Departemen.96
96 Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman jangka untuk mendukung pengeluaran pendapatan yang akan datang. Akan tetapi, hanya beberapa pemerintah daerah yang mulai melakukan pinjaman untuk tujuan ini. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
139
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Peminjaman Dari perspektif makroekonomi, jumlah utang pemerintah daerah tidak signifikan. Utang pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (termasuk hutang perusahaan daerah air minum atau PDAM ) mencapai jumlah sebesar 0,18 persen dari PDB atau 0,33 persen dari total hutang sektor publik pada 2005. Tujuh puluh lima persen dari hutang daerah ini berada pada PDAM, dan 17 persen dan 8 persen dari PDAM masing-masing dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Banyaknya hutang pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat (dari rekening RDA/RDI) dan lembaga donor donors melalui pemerintah pusat (lewat Perjanjian Subsidi Pinjaman, atau SLA). Jumlah pinjaman yang telah diteruskan kepada pemerintah daerah dan PDAM mereka sangat bervariasi secara signifikan selama ini. Utang PDAM mulai mengalami peningkatan pada tahun1986 dengan kenaikan dan penurunan yang sangat drastis, lalu memuncak pada pertengahan tahun 1990-an, dan setelah itu mengalami penurunan. Sejak pelaksanaan sistem desentralisasi pinjaman hampir mendekati titik nol. Pembayaran kembali atas pinjaman sangat buruk. Pada akhir tahun 2004, total pembayaran yang sudah jatuh tempo adalah Rp 7.104 milyar, hampir setengah dari jumlah ini telah dilunasi. Tabel 7.8 Pinjaman dan hutang yang telah lewat jatuh Kerangka aturan yang baru bagi daerah untuk membuat pinjaman menetapkan ketentuan tempo berdasarkan peminjam dan aturan baru mengenai pinjaman. Tetapi Nilai Bagian Tunggakan Jumlah masih ada sejumlah masalah yang harus dipecahkan. Peminjam pinjaman (Rp miliar) (%) (%) Pertama, mekanisme yang baru untuk menyerahkan tinjauan usulan proyek dan pemberian persetujuan Provinsi 81 931 16.2 9.9 terhadap pinjaman (disebut sistem “buku biru”) Kabupaten 204 379 6.6 29.2 yang terlalu berbelit-belit dan panjang. Kedua, Kota 116 702 12.2 41.8 kesepakatan baru menyatakan bahwa pinjaman PDAM 437 3,735 65.0 61.9 jangka panjang kepada daerah hanya dapat Total 838 5,747 100.0 48.0 digunakan untuk mendanai infrastruktur publik Sumber: Lewis (2007). yang secara langsung akan meningkatkan pendapatan bagi pemerintah daerah. Akibatnya, banyak proyek infrastruktur daerah akan memerlukan pendanaan sendiri, yang mungkin mempengaruhi tingkat efisiensi dan pemerataan. Ketiga, pemerintah dan para donor akan diizinkan untuk meminjamkan dana kepada pemerintah daerah yang tidak memiliki tunggakan pembayaran atas utang mereka di waktu lampau dari pemerintah pusat. Di samping itu, pihak yang memberi pinjaman hanya boleh memberi pinjaman kepada PDAM sepanjang baik PDAM maupun pemerintah daerah yang bersangkutan tidak memiliki tunggakan utang sebelum diberikan pinjaman SLA atau RDA. Secara efektif ini berarti bahwa 107 dari 384 pemerintah daerah, 16 dari of 32 provinsi, dan 189 dari 320 PDAM yang memiliki tunggakan pembayaran utang tidak 97 boleh membuat pinjaman baru (Tabel 7.8). Dana cadangan setiap pemerintah daerah sudah cukup untuk menutupi tunggakan utang yang di masa yang lalu. Sekitar 85 persen dari pemerintah daerah yang memiliki tunggakan utang dapat melunasi hutang mereka dengan mengambil dana cadangan mereka. Namun demikian, mereka masih enggan untuk melakukan hal ini. Peningkatan jumlah para peminjam selanjutnya memerlukan bahwa pemerintah daerah dan PDAM yang masih memiliki tunggakan pembayaran segera melunasi utang itu, dengan menggunakan dana cadangan atau melalui restrukturisasi utang. Kerangka aturan yang baru mengenai on-lending sepertinya tidak akan banyak memperbaiki keadaan. Alternatif pasar terhadap pemerintah atau pinjaman dari donor mungkin merupakan pilihan yang lebih baik. Kemampuan pemerintah daerah untuk mengeluarkan obligasi masih perlu ditingkatkan. Akan tetapi, ada hambatan cukup besar bagi pemerintah daerah yang hendak meminjam dari pasar swasta , terutama sedikitnya pemerintah daerah yang memiliki kepercayaan kredit yang cukup tinggi.
97 Berdasarkan data Depkeu 2004.
140
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kesenjangan
Kesenjangan fiskal secara signifikan di seluruh daerah telah terjadi sebelum dan setelah pelaksanaan sistem desentralisasi. Pada 1999, kabupaten/kota paling kaya memiliki pendapatan fiskal per kapita sebesar 30 kali daripada daerah paling miskin. Angka ini masih tetap sama pada 2004, empat tahun setelah pelaksanaan sistem desentralisasi. Akan tetapi, disparitas fiskal lebih rendah di tingkat provinsi daripada kabupaten/kota. Sebelum pelaksanaan sistem desentralisasi, provinsi paling kaya memiliki tingkat pendapatan 13 kali lebih besar daripada provinsi paling miskin. Data ini semakin memburuk pada 2004, ketika tingkat koefisiennya mencapai 15. Koefisien Gini dan koefisien variasi juga menunjukkan adanya peningkatan kesenjangan fiskal bahkan setelah pelaksanaan sistem desentralisasi (Tabel 7.9). Tabel 7.9 Kesenjangan fiskal sebelum dan setelah pelaksanaan sistem desentralisasi
1999
2002
2004
Provinsi:
CoV
Gini
CoV
Gini
CoV
Gini
PC OSR
1.55
0.48
1.42
0.45
1.24
0.42
PC (OSR+SDA)
1.24
0.51
1.41
0.53
1.13
0.45
PC (OSR+SDA+PAJAK)
1.35
0.52
1.53
0.55
1.39
0.52
PC (OSR+SDA+PAJAK+DAU+DAK)
0.83
0.38
1.07
0.44
0.97
0.39
PC Total Pendapatan
0.83
0.38
1.05
0.43
1.05
0.44
PC (Total Pendapatan-SDA)
0.82
0.35
1.09
0.41
1.04
0.42
PC (Total Pendapatan-PAJAK)
0.75
0.36
0.97
0.42
0.85
0.38
PC OSR
3.20
0.55
1.40
0.49
1.36
0.47
PC (OSR+SDA)
2.60
0.55
2.53
0.73
2.50
0.66
PC (OSR+SDA+PAJAK)
1.56
0.47
2.08
0.65
1.78
0.57
PC (OSR+SDA+PAJAK+DAU+DAK)
0.79
0.31
0.95
0.39
0.83
0.37
PC Total Pendapatan
0.78
0.31
0.95
0.39
0.83
0.36
PC (Total Pendapatan-SDA)
0.78
0.30
0.66
0.32
0.65
0.32
PC (Total Pendapatan-PAJAK)
0.77
0.31
0.96
0.40
0.84
0.35
Setelah transfer …
Kabupaten/Kota:
Setelah transfer …
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan SIKD-DepKeu dan BPS, Catatan: OSR=Own-source pendapatan, SDA=Natural Resource Shared Pendapatan, PAJAK=Shared Pajak Pendapatan
Kesenjangan dalam perimbangan sistem fiskal sangat dipengaruhi oleh alokasi pendapatan dari sumber daya alam. Walaupun pendapatan dari sumber daya alam hanya berkontribusi sebesar 7 persen dari total pendapatan daerah, alokasi pendapatan dari sumber ini sangat tidak seimbang.98 Kurang dari 10 persen pemerintah daerah di Indonesia memiliki sumber pendapatan yang signifikan dari sektor migas, dan mereka menguasai 90 persen sektor ini. Seperti halnya di negara lain, PAD juga didistribusikan secara sangat tidak merata. Kabupaten/kota yang lebih kaya, terutama kota-kota besar, memiliki proporsi pendapatan yang jauh lebih besar. DAU berusaha menyeimbangkan distribusi PAD dan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam, tetapi efek ini tentu bisa ditingkatkan lebih baik lagi. Akan tetapi, dua faktor yang bisa mengurangi peran ini: kebijakan ‘hold harmless’ dan keterbatasan manfaat formula kesenjangan fiskal. DAU meningkat secara signifikan 98 Koefisien Gini meningkat secara substansial ketika memasukkan pendapatan dari sektor SDA ke dalam simulasi kesenjangan. Dampaknya terutama sangat kuat untuk kabupaten/kota. Perubahan dalam Gini koefisien justru semakin mengecil seiring dengan bertambahnya pendapatan. Misalnya SDA yang berjumlah sekitar 7 persen dari total pendapatan kabupaten/kota ditambahkan ke pendapatan asli daerah (8 persen dari anggaran total kabupaten/kota). Maka efeknya jauh lebih besar daripada jika ditambahkan ke sumber pendapatan yang lain (lihat Tabel 4).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
141
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
pada 2006 dan menjadi lebih signifikan dalam rangka melakukan pengimbangan fiskal. Asumsi yang realistis tentang peningkatan harga minyak internasional dalam anggaran pemerintah pusat telah menyebabkan peningkatan angka 99 nominal sebesar 64 persen total dana DAU yang tersedia di tingkat pusat, tetapi 57 persen dari peningkatan ini telah diserap oleh pembayaran gaji secara penuh pemerintah kabupaten/kota, yang menyisakan hanya 43 persen untuk didistribusikan menggunakan formula kesenjangan fiskal (lihat Diagram 7.3). Distribusi peningkatan anggaran pada 2006 sangat beragam di setiap daerah. Lebih dari setengah provinsi dan kabupaten/kota telah menerima lebih dari 60 persen dan 40 kabupaten/kota mengalami peningkatan anggaran sebesar lebih dari 160 persen. Sebagian besar kabupaten/kota di kawasan Indonesia Timur (kecuali NTB, NTT, dan beberapa daerah di Sulawesi) dan Kalimantan memperoleh manfaat sangat besar dari peningkatan DAU ini. Di Papua lebih dari setengah pemerintah daerah menerima peningkatan sebesar 100 persen atau bahkan lebih. Terdapat perbedaan yang sangat jauh di Sumatera dan Aceh, dimana kabupaten yang merupakan produsen minyak tidak mengalami kenaikan DAU sedangkan beberapa pemerintah daerah menikmati peningkatan DAU sampai lebih dari 160 persen. Kabupaten/kota di Java, Bali, NTB dan, NTT sebagian besar mengalami peningkatan di bawah rata-rata, tetapi masih cukup signifikan yaitu sekitar 50 persen (lihat peta di bawah ini). Distribusi Daerah terhadap Peningkatan DAU
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data BPS dan DepKeu.
Kabupaten/kota yang tidak kaya dengan sumber daya alam menerima DAU lebih besar jika DAU itu didistribusikan murni berdasarkan formula kesenjangan fiskal. Kami melakukan simulasi alokasi DAU pada 2006 dengan hanya menggunakan formula kesenjangan fiskal, tanpa memperhatikan komponen pembayaran gaji pegawai, cadangan pengaman, dan memungkinkan untuk melakukan alokasi nol di kabupaten/kota yang memiliki tingkat kesenjangan fiskal negatif. Diagram 7.6 memberikan rangkuman mengenai pendapatan fiskal per kapita pemerintah daerah berdasarkan provinsi. Diagram yang di atas menggunakan alokasi dana DAU riil pada 2006 dan diagram di bawah menggunakan formula kesenjangan fiskal murni untuk alokasi DAU 2006 pada simulasi tersebut. Akibatnya, beberapa kabupaten/kota yang kaya minyak seperti Aceh Utara, Bengkalis di Riau dan Kutai di Kalimantan Timur menerima alokasi nol. Total pendapatan fiskal mereka mengalami penurunan.100 Kami dapat melihat terjadi pergeseran ke kiri untuk Riau dan Kalimantan Timur. Namun demikian, kami masih belum bisa melihat gerakan fiskal secara signifikan di wilayah-wilayah terbelakang seperti NTT dan NTB.
99 Lihat Bab 6 mengenai dampak asumsi harga minyak terhadap anggaran. 100 Ada 12 kabupaten/kota yang menerima alokasi nol dalam simulasi itu. Empat kabupaten/kota di Riau, empat di KalimantanTimur, masingmasing berada di, Sumatera Selatan, dan Bali.
142
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Diagram 7.6 Penerimaan fiskal pemerintah daerah menggunakan alokasi DAU yang berbeda
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Pendapatan Asli Daerah per Capita
Pendapatan SDA per Capita
Pendapatan Pajak per Capita
DAU 2006 per Capita
Banten Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Lampung D I Yogyakarta Sumatra Utara Nusa Tenggara Barat Sumatera Selatan Bali Sulawesi Selatan Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Sumatra Barat Jambi Sulawesi Utara Gorontalo Bengkulu Kepulauan Riau Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Kepulauan Bangka Belitung Riau Nanggroe Aceh Darussalam Maluku Maluku Utara Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Papua Irian Jaya Barat
Rp ribu
Alokasi Riil DAU 2006
Perbedaan antara Formula Fiscal-gap Murni DAU 2006 dengan Alokasi Riil DAU 2006 (per capita) 2.5
2
1.5
1
R ia u
Ka lim antan Tim ur
B a li
D I Y ogya k a rta
J a wa B a ra t
J a wa T enga h
J a wa T imur
La m pung
N us a T engga ra B a ra t
B a nten
S u ma tera S ela ta n
S u ma ter a U ta ra
K e pulau a n R ia u
S u la wes i S e la ta n
J a mbi
S u la wes i U ta ra
S u ma ter a B a ra t
K a lim an tan S ela ta n
N us a T engga ra T imu r
N ang g roe Aceh D a ru ss a la m
B e ngkulu
S u la wes i T engg a ra
G oro nta lo
S u la wes i T enga h
Ma luku
K a lim an tan B a ra t
Ma luku U ta ra
K e pulau a n B ang k a B e litung
-0 . 5
P a pua
0
K a lim an tan T enga h
0.5
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dasar DAU 2006 dari DepKeu.
Jika dana DAU seluruhnya dialokasikan berdasarkan formula kesenjangan fiskal, kabupaten/yang miskin akan menerima sumber daya yang lebih besar. Alokasi DAU berkorelasi positif dengan perhitungan angka kemiskinan kabupaten/kota, karena formula DAU mengandung variabel seperti PDRB dan (kebalikan dari) IPM yang 101 sangat berkorelasi dengan kemiskinan (Diagram 7.7). Koefisien korelasi formula kesenjangan fiskal yang murni untuk alokasi DAU 2006 dengan angka kemiskinan adalah 0,29 dan angka ini signifikan pada tingkat 5 persen. Jika kita berasumsi bahwa kemiskinan mencerminkan tingkat kemajuan pembangunan, maka formula yang murni itu akan 102 memberikan dampak lebih menyetarakan melalui distribusi pendapatan fiskal yang lebih seimbang. 101 Penggantian indikator kemiskinan dengan (inverse of ) HDI dan PDRB per kapita tidak banyak mempengaruhi penyetaraan. 102 Hofman, dkk., (2006) memperkirakan hilangnya potensi efisiensi dari misalokasi dana DAU yang sekarang ditunjukkan secara horizontal pada alternatif murni sebesar AS$3.9 milyar, dengan asumsi bahwa formula kesenjangan fiskaln yang ada sekarang cukup untuk mengatasi kebutuhan pengeluaran.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
143
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Diagram 7.7 Menggunakan formula kesenjangan fiskal, DAU dapat lebih bermanfaat bagi rakyat miskin
0
20 40 Penghitungan angka Kemiskinan per kepala 2004 95% CI Fitted values
60
D A U per capita 2006 (Alokasi)
0
1
2
3
4
5
6
0
1
2
3
4
5
6
D A U per capita 2005 (Alokasi)
0
20 40 Penghitungan angka Kemiskinan per kepala 2004 95% CI Fitted values
60
0
1
2
3
4
5
6
D AU per capita 2006 (Simulasi Fiscal Gap murni)
0
20 40 Penghitungan angka Kemiskinan per kepala 2004 95% CI Fitted values
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dasar DAU 2006 dari DepKeu.
144
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
60
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Tabel 7.10 Hubungan antara kemiskinan, pendapatan daerah, dan pendapatan fiskal Perhitungan Angka Kemiskinan PDB
Total Pendapatan PK
-0.16**
Total Pendapatan PC PAD PC
PDB PK
0.10
0.25*
-0.21**
0.15**
0.37**
Kabupaten/kota yang lebih kaya memiliki sumber daya fiskal per kapita termasuk PAD yang lebih besar juga. Perhitungan angka kemiskinan mereka juga lebih rendah, walaupun korelasinya sangat tidak kuat (Tabel 7.10). Kabupaten/kota yang memiliki angka kemiskinan lebih tinggi memiliki sumber PAD yang lebih kecil, tetapi cenderung memiliki sumber daya yang lebih banyak. Ini menunjukkan bahwa alokasi DAU memiliki dampak penyeimbang.
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan 2004 data SIKDDepKeu dan data dasar DAU dari DepKeu dan BPS. Catatan: * dan ** menunjukkan korelasi statistik signifikan pada tingkat 0,05 dan 0,01.
Akan tetapi, hubungan antara kemiskinan, pendapatan daerah, dan tingkat pendapatan fiskal jauh lebih lemah dari yang diperkirakan. Karakteristik pemerintah daerah sangat heterogen. DKI Jakarta, satusatunya daerah yang tidak kaya dengan sumber daya alam, memiliki angka kemiskinan yang relatif rendah dengan tingkat pendapatan fiskal yang tidak terlalu besar. Kalimantan Timur yang relatif memiliki pendapatan fiskal yang tinggi, tetapi tingkat kemiskinan mereka hanya sedikit lebih baik daripada tingkat rata-rata nasional. Papua yang merupakan provinsi paling miskin (berdasarkan perhitungan tingkat kemiskinan), merupakan daerah dengan tingkat pendapatan fiskal paling kaya. Semua pengecualian (outliers) ini memiliki PDRB per kapita yang relatif tinggi dengan karakteristik pendapatan fiskal dan kemiskinan yang berbeda. Hampir setengah kabupaten/kota di Indonesia berada pada titik ekstrim. Kabupaten/kota dapat dipisahkan menjadi 8 kelompok menurut tingkat kemiskinan, pendapatan fiskal, dan PDB per kapita mereka (Tabel 7.11):
•
• •
Seperempat dari jumlah kabupaten/kota dapat dikelompokkan sebagai kategori miskin karena mereka memiliki tingkat kemiskinan yang relatif tinggi dan PDRB yang rendah. Akan tetapi, mereka memiliki sumber daya yang terbatas untuk melawan kemiskinan itu. Rata-rata, pemerintah pusat menyalurkan dana sebesar 87 persen pendapatan fiskal mereka, sebagian besar disalurkan dalam bentuk DAU. Pembagian pendapatan dari sektor pajak dan sumber daya alam merupakan yang paling rendah di seluruh kelompok; sumber PAD juga rendah. Daerah yang masuk ke dalam kategori ini adalah seluruh kabupaten, tidak termasuk pemerintah kota. Kabupaten/kota yang kaya memiliki angka kemiskinan yang relatif rendah; tingkat PDRB dan pendapatan fiskal yang tinggi, yang jumlahnya lebih dari seperlima dari seluruh kabupaten/kota. Secara rata-rata, besarnya penyaluran dana dari pemerintah pusat adalah 81 persen dari total pendapatan mereka dengan pembagian pendapatan bagi hasil mencapai 22 persen dari jumlah ini. Daerah-daerah yang berada dalam kelompok ini didominasi oleh kotamadya atau kota. Separuh lainnya dari kabupaten/kota merupakan kombinasi dari indikator ini. Rata-rata ketiga terbesar adalah kelompok daerah dengan tingkat kemiskinan yang rendah, PDRB yang tinggi, tetapi pendapatan fiskalnya rendah. Secara rata-rata daerah ini menerima PAD yang relatif lebih tinggi, dan memiliki pendapatan pajak bagi hasil lebih tinggi daripada daerah dalam kelompok lain. Kelompok yang memiliki alokasi DAU tertinggi kedua adalah daerah yang memiliki angka kemiskinan yang tinggi, PDRB yang rendah, dan pendapatan fiskal yang tinggi. Kelompok ini didominasi oleh kabupaten/kota di kawasan Indonesia Timur.
Strategi pembangunan yang efektif perlu mempertimbangkan keragaman wilayah. Daerah yang memiliki tingkat PDRB yang rendah memperoleh manfaat relatif lebih tinggi dari alokasi dana DAU terlepas dari kemiskinan dan pendapatan fiskal mereka. Di sisi lain, daerah yang mempunyai PDRB yang tinggi dan pendapatan fiskal yang juga tinggi menerima pendapatan bagi hasil yang relatif lebih tinggidari pemerintah pusat dan DAU pemerintah pusat yang relatif lebih rendah (Tabel 7.11). Analisis pengelompokan kabupaten/kota seperti ini menunjukkan keragaman situasi yang akan diketahui sendiri oleh kabupaten/kota terutama mengenai hal-hal seperti angka kemiskinan, kondisi ekonomi, dan kapasitas fiskal mereka. Keragaman ini sudah seharusnya diperhitungkan dalam penyusunan strategi pembangunan daerah.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
145
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel 7.11 Pengelompokan kabupaten/kota Jumlah Pen. Pend. dari Jlh. PAD DAU DAK Lain-lain Kabupaten/ Pajak SDA Kota (%) (%) (%) (%) kota (%) (%) Rendah (23) 20 3 7 8 1 72 3 10 Rendah Tinggi (37) 16 11 8 9 3 69 5 6 Rendah Rendah (44) 23 21 13 14 2 60 2 9 Tinggi Tinggi (71) 31 40 8 12 10 59 4 6 Rendah (83) 83 0 6 7 1 75 4 7 Rendah Tinggi (32) 31 1 4 7 2 74 6 6 Tinggi Rendah (25) 15 0 6 10 4 69 2 9 Tinggi Tinggi (35) 31 4 4 15 14 55 4 8 Nasional (330) 250 80 7 10 5 66 4 7 Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data realisasi SIKD 2004 dari DepKeu dan data BPS 2004, Total observasi adalah 330 sama dengan jumlah kabupaten/kota yang melengkapi data mereka. Catatan: Angka di dalam kurung merupakan jumlah kabupaten/kota pada setiap kelompok. Kemiskinan
146
PDRB
Penerimaan Fiskal
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
BAB 7 Desentralisasi Fiskal dan Kesenjangan Daerah
Rekomendasi Kebijakan Mekanisme alokasi DAU seharusnya diubah dengan menghilangkan cakupan pembayaran gaji pemerintah daerah secara penuh. Penyaluran dana yang penggunaannya telah ditetapkan akan menurunkan insentif untuk mengurangi kelebihan pegawai dan mencari kombinasi masukan secara optimal (tenaga kerja, modal, bahan baku, dan outsourcing) untuk pemberian layanan masyarakat yang bermutu. Menghilangkan cakupan pembayaran gaji secara penuh ini akan berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi pada pengeluaran pemerintah daerah. Untuk mendorong fungsi perimbangan dari perimbangan fiskal pusat-daerah, sebagian besar dari dana DAU harus dialokasikan berdasarkan formula kesenjangan fiskal. Penghapusan cakupan pembayaran gaji dari alokasi dana DAU akan berkontribusi pada tujuan ini. Pemerintah seharusnya mengurangi fluktuasi jumlah dana DAU untuk menghindari dampak fluktuasi ini terhadap anggaran daerah. Fluktuasi besar jangka pendek akan membutuhkan penyesuaian besar-besaran dalam penentuan anggaran atau strategi pengeluaran jangka panjang yang lebih lancar. Akan tetapi, hal-hal ini tidak mudah untuk dirumuskan dan dilaksanakan di tingkat daerah mengingat keterbatasan kapasitas manajerial. Ada sejumlah cara yang dapat digunakan untuk memperlancar alokasi dana DAU, di antaranya pemanfaatan asumsi harga minyak jangka panjang, penciptaan stabilisasi dana cadangan nasional atau di daerah, dan peningkatan secara riil alokasi DAU setiap tahun. Oleh karena tingkat pendapatan pemerintah daerah saat ini sudah relatif besar, seharusnya berfokus pada pergeseran ke arah pemanfaatan sumber daya yang efisien dan bukan pada mobilisasi sumber daya tambahan. Satu elemen kunci untuk menjamin efisiensi pengeluaran adalah alat ukur kinerja pemerintah daerah untuk melakukan perbandingan di seluruh kabupaten/kota. Insentif yang menarik harus disediakan untuk pemanfaatan anggaran yang cermat dan efektif. Insentif ini dapat dimasukkan ke dalam sistem penyaluran anggaran antar-pemerintahan. Pemerintah daerah perlu melakukan pergeseran dari alokasi anggaran administrasi yang terlalu besar menuju penerapan kebijakan pemberian layanan masyarakat dan berpihak pada masyarakat miskin. Jumlah pengeluaran saat ini untuk kebutuhan administrasi pemerintahan terlalu tinggi dan ini menunjukkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Ada ruang yang begitu besar untuk melakukan perbaikan dalam pemanfaatan sumber-sumber daya publik. Penggunaan anggaran sebesar 5 sampai 10 persen untuk kepentingan administrasi seharusnya merupakan target pemerintah daerah. Kapasitas untuk membuat perencanaan dan menentukan anggaran di daerah perlu ditingkatkan. Proses persetujuan anggaran perlu dirampingkan dan pengeluaran di luar anggaran perlu direvisi. Hanya dengan demikian perencanaan anggaran dapat mencerminkan rencana pengeluaran yang efisien dan dapat mencegah terjadinya surplus anggaran yang terlalu besar. Pemungutan dan pengumpulan pendapatan pajak di daerah perlu ditingkatkan. Hal ini memerlukan desentralisasi PBB untuk wilayah perkotaan dan pedesaan dan memberi ruang kepada daerah untuk bersaing dengan daerah lain (ini merupakan kelaziman yang sudah berlaku secara internasional). Hal ini juga termasuk peningkatan pengumpulan pajak itu sendiri, yang rata-rata menghabiskan setengah dari pajak yang terkumpul—angka yang terlalu tinggi dilihat dari standar mana pun. Akhirnya, penggunaan retribusi dan pajak daerah lainnya seharusnya diatur dengan jelas untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap iklim investasi. Kerangka aturan bagi pengelolaan keuangan pemerintah daerah, terutama yang berkaitan dengan kapasitas melakukan pinjaman dan pengelolaan terhadap surplus anggaran yang jumlahnya semakin besar harus diperkuat. Kapasitas dan daya tarik daerah untuk mendapatkan kredit akan dapat didorong dengan menyelesaikan dan melaksanakan kerangka aturan agar PDAM dan Pemda dapat mengatasi permasalahannya. Departemen Keuangan dapat mengembangkan pedoman mengenai akumulasi dan pemanfaatan dana cadangan yang rasional. Jika jumlah dana cadangan yang semakin tinggi sebagai ciri dari kinerja anggaran pemerintah daerah terus berlangsung, maka setidaknya dana cadangan itu harus digunakan untuk meningkatkan investasi dalam infrastruktur publik dan membayar hutang yang masih tertunggak.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
147
RUJUKAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Daftar Rujukan Arze del Granado, F. Javier. 2005. “Fiscal Equalization Impact of Changes to the DAU Allocation Mechanism.” Policy note. World Bank, Jakarta Office. Barnes, Nicole, Lisbon Sirait and Anwar Syadat. 2005. Study on Regional Taxes and Charges.Research Triangle Institute. Jakarta, Indonesia. BPK. 2006. BPK Profile 2006. Jakarta, Indonesia BPS, Bappenas, and UNDP. 2004. Indonesia Laporan Pembangunan Manusia 2004. Jakarta, BPS. Fengler, Wolfgang, Ihsan, Ahya, Kaiser, Kai. Forthcoming, “Managing Reconstruction Finance; International Experiences with Public Financial Management and Accountability.” Ferrazzi, Gabriele. 2005. “Obligatory Functions and Minimum Service Standards for Indonesian Regional Government: Searching for a Model.” Public Administration and Development. 25 (2): 227–238. Federman, M. and D. Levine, “Industrialization and Infant Mortality.” Center for International and Development Economics Research, University of California, Berkeley, Working Paper No. C05-140. Filmer, Deon and L. Pritchett. 1999. “The Effect of Household Wealth on Educational Attainment: Evidence from 35 Countries.” Population and Development Review 25(1): 85-120. Filmer, Deon. 2004. “Teacher Pay in Indonesia” Unpublished paper, World Bank, September. Filmer, Deon and David Landauer. 2000. “Does Indonesia have a ‘Low Pay’ Civil Service?” Unpublished paper, World Bank. Frankenberg, E., Thomas D. and W. Suriastini. 2004, “Can Expanding Access to Basic Health Care Improve Children’s Health Status? Lessons from Indonesia’s ‘Midwife in the Village’ Program.” California Center for Population Research. Ghozali, Abbas. 2005. “Analisis Biaya Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.” Ministry of National Education, Jakarta. Ghozali, Abbas. 2005. “Educational Cost and Finance in Indonesia”. Jakarta. Gottret, Gai and Bokhari 2006. Improving Health Outcomes In Health Financing Revisited: A Practitioner’s Guide. Washington, D.C.: World Bank Government of Indonesia. 2006. RPK 2006 – Annual Plan 2006. Jakarta. Government of Indonesia. 2004. RPJM – Medium-Term Strategic Plan 2004-2009. Jakarta. Harimurti, Aguilar-Rivera, Xu. 2002. “Catastrophic Health Payments and Service Utilization in Indonesia 1999-2001.” Jakarta: WHO. Hofman, Bert, Kai Kaiser, Kadjatmiko and Bambang Suharnoko Sjahrir. 2006. “Evaluating Fiscal Equalization in Indonesia.” The World Bank Policy Research Working Paper. Washington DC: World Bank. International Monetary Fund. 2006 Indonesia: “Report on Observance of Standards and Codes-Fiscal Transparency Module.” IMF, Washington DC. KPPOD. 2005. “Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2004.” Asia Foundation and USAID, Jakarta, Indonesia. KPPOD. 2006. “Daya Saing Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2005.” Asia Foundation and USAID, Jakarta, Indonesia.
148
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
RUJUKAN
Kaiser, Kai and Suharnoko, Bambang. 2005. “Design and Political Trade Offs in Financing Indonesia’s Regions: The Case of Indonesia’s General Allocation Grant (DAU).” November 15, 2005. KPPOD. 2004. “Daya Tarik Investasi Kabupaten/Kota di Indonesia, 2004.” Asia Foundation and USAID. Jakarta, Indonesia. Kehew, Robert, Tomoko Matsukawa and John Petersen. 2005. “Local Financing for Sub-Sovereign Infrastructure in Developing Countries: Case Studies of Innovative Domestic Credit Enhancement Entities and Techniques.” Washington DC: World Bank. Kuncoro, Ari. 2004. “Bribery in Indonesia: Some Evidence from Micro-Level Data.” Bulletin of Indonesian Economic Studies 40(3): pp. 329-354. Lewis, Blane. 2003a. “Property Taxation in Indonesia: Measuring and Explaining Administrative (Under)-Performance.” Public Administration and Development 23(3): pp. 227-239. Lewis, Blane. 2003b. “Local Government Borrowing and Repayment in Indonesia: Does Fiscal Capacity Matter?” World Development, vol. 31, no. 6. Lewis, Blane. 2005a. “Indonesian Local Government Spending, Taxing and Saving: An Explanation of Pre- and PostDecentralization Fiscal Outcomes.” Asian Economic Journal 19(3): pp. 291-317. Lewis, Blane. 2005b. “Indonesian Sub-National Debt Market Update: Overview, Structure and Regulatory Environment.” Jakarta: World Bank. Technical note, October. Lewis, Blane and Jasmin Chakeri. 2004. “Central Development Spending in the Regions Post-Decentralization.” Bulletin of Indonesian Economic Studies, vol. 40, no. 3. LPEM-FEUI. 2005a. The Impediments to Doing Business in Indonesia. Jakarta, Indonesia. LPEM-FEUI. 2005b. Monitoring the Investment Climate in Indonesia. Jakarta, Indonesia. Luebke, Christian von. 2005. “Political Economy of Local Business Regulations: Findings on Local Taxation and Licensing Practices from Four District Cases in Central Java and West Sumatra.” Canberra, Australian National University. McMahon, Walter W. and Boediono. 1992. “Universal Basic Education: an Overall Strategy of Investment Priorities for Economic Growth.” Economics of Education Review, Vol 11, No.2, pp 137-151. McMahon, Walter. 2001.” Improving Education Finance in Indonesia.” Policy Research Center, Institute for Research and Development, Ministry of National Education, Unicef and Unesco. McMahon, Walter. 2003. “Financing and Achieving Education for All Goals.” Ministry of National Education, Bappenas, World Bank. Working paper. Mikesell, John. 1982. “Fiscal Administration: Analysis and Applications for the Public Sector.” Dorsey Press, Homewood, Illinois. Ministry of Finance. 2005. “Warta Anggaran: Media Informasi dan Komunikasi Pemerintah Pusat dan Daerah” 2nd Edition. Jakarta: Ministry of Finance. Wolkoff, Michael. 1987. “An Evaluation of Municipal Rainy Day Funds.”’ Public Budgeting & Finance, Summer: 52-63. Ministry of Health. 2004. “Indonesia Health Profile 2003.” Jakarta. Ministry of Health. 2005. “Indonesia Health Profile 2004.” Jakarta. Ministry of Health. 2005. ‘”Implementation Manual Health Services Program at Puskesmas and Inpatients Treatment at
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
149
RUJUKAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Third Class of Hospitals with Government Guarantee.” Jakarta. Ministry of National Education. 2005a. “Indonesia Educational Statistics in Brief.” 2004/2005. Jakarta. Ministry of National Education. 2005b. “2005, BOS Program Guidelines.” Jakarta. Mullis, Ina V.S., Michael O. Martin, Pierre Foy, IEA’s. 2005. “TIMSS 2003 International Report on Achievement in the Mathematics Cognitive Domains. International Association for the Evaluation of Educational Achievement, Boston College. Nunberg, Barbara et al. 2000. “Priorities for Civil Service Reform in Indonesia”, World Bank, EASPR. OECD. 2000. “Financing Education – Investments and Returns.” OECD. 2004. “Learning for Tomorrow’s World: First Results from PISA 2003.” Program for International Student Assessment. OECD. 2006.“Methodology for Assessment of National Procurement Systems.”http://www.oecd.org/dataoecd/1/36/37390076. pdf. Olkan, B. 2006. “Corruption and the Costs of Re-distribution: Micro-evidence from Indonesia.” Journal of Public Economics 90 (4-5), pp. 853-870. May 2005. Oosterman, Andre. 2004. “Improving Local Tax and Service Charge Administration in Indonesia.” Jakarta: World Bank. Oosterman, Andre and Bambang Samiadji. 2005. “An Assessment of Central Government Spending in the Regions” Jakarta: World Bank. Paqueo, Vincente and Robert Sparrow. 2005. “Free Basic Education in Indonesia: Policy Scenarios and Implications for School Enrollment.” Working Paper. Parker, E. and A. Roestam. 2002. “The Bidan di Desa Program: A Literature and Policy Review.” JHPIEGO Corporation, CEDPA, JHU/CCP and PATH. Pradhan, Menno, Fadia Saadah and Robert Sparrow. 2003. “Did the Health-card Program Ensure Access to Medical Care for the Poor during Indonesia’s Economic Crisis?” Jakarta: World Bank. Research Triangle Institute. 1999. “Regional Development Account Institutional Strengthening Project Final Report: Vol. 1. Findings and Conclusions.” Manila: Asian Development Bank. Smoke, Paul. 2001. Fiscal Decentralization in Developing Countries: A Review of Current Concepts and Practice. United Nations Research Institute for Social Development, Geneva. Smoke, Paul. 2003. “Expenditure Assignment under Indonesia’s Emerging Decentralization: A Review of Progress and Issues for the Future,.” in J. Martinez and J. Alm (eds), Reforming Intergovernmental Fiscal Relations and the Rebuilding of Indonesia Cheltenham, UK and Northampton, MA: Edward Elgar. Steedman, David and Kenward, Lloyd. 2006. Civil Service Reforms at the Regional Level - Opportunities and Constraints. World Bank Jakarta Office. Tyer, Charlie B. 1993. “Local Government Reserve Funds: Policy Alternatives and Political Strategies.” Public Budgeting & Finance, Summer: 75-84. Unesco-UIS/OECD. 2005. Education Trends in Perspective—Analysis of the World Education Indicators. Unicef. 2004. Indonesia Report on MDGs, 2015 (Bappenas-Unicef, Indonesia Report on MDGs), Jakarta.
150
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
RUJUKAN
UNDP. 2005. Human Development Report 2005. New York: UNDP. UNDP. 2004. Indonesia Human Development Report: The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. Jakarta. USAID Democratic Reform Support Program, Stock-taking on Indonesia’s Recent Decentralization Reforms, August 2006. Wallace, William, Wolfgang Fengler and Bastian Zaini. 2006. “Increasing Sub-National Government Resource: Magnitude and Implications.” World Bank, Jakarta Office. Technical note. Woodward, David. 2005. “Status of RDA Loan Portfolio—December 31, 2004.”Jakarta: World Bank. World Bank. 1994. “Indonesia’s Health Work Force: Issues and Options” Report No: 12834-IND Population and Human Resources Division, Washington DC. World Bank. 2003a “Achievement Indonesia Maternal and Neonatal Health Program.” Maternal and Neonatal Health Technical Review. Jakarta: World Bank. World Bank. 2003b. “Decentralizing Indonesia: A Regional Public Expenditure Review Overview Report.” Jakarta: World Bank. World Bank. 2003c. Health Financing in Indonesia. Jakarta: World Bank. World Bank. 2003d. “Indonesia Education Sector Review.” Human Development Network. Jakarta: World Bank. World Bank. 2004a. “Decentralization, Service Delivery and Governance in Indonesia: Findings from the Governance and Decentralization (GDS) 1+/2004.” Jakarta: World Bank. Indonesia, mimeo. World Bank. 2004b. Averting and Infrastructure Crisis in Indonesia: A Framework for Policy and Action. Washington DC: World Bank. World Bank. 2005a. “Connecting East Asia: A New framework for Infrastructure.” Asia Development Bank, Manila. World Bank. 2005b. “Education in Indonesia: Managing the Transition to Decentralization”. Human Development Sector Reports East Asia and the Pacific Region. Washington DC: World Bank. World Bank. 2005c. Papua Public Expenditure Analysis: Regional Finance and Service Delivery in Indonesia’s Most Remote Region. Jakarta: World Bank. World Bank. 2005d. “Briefing Book for President Wolfowitz.” Internal document, Jakarta: World Bank. World Bank. 2006a. Aceh Public Expenditure Analysis, Spending for Reconstruction and Poverty Reduction. Jakarta: World Bank and Decentralization Support Facility (DSF). World Bank. 2006b. “Fiscal Policy for Growth and Development: An Interim Note.” Background note for the Development Committee Meeting in April 2006. Jakarta: World Bank. World Bank. 2006c. “Indonesia: And Assessment of Public Spending in Infrastructure Sectors.” Jakarta: World Bank. Mimeo. World Bank. 2006d. “Infrastructure and the Climate for Rural Investment in Indonesia: A Question of Resource Allocation.” Prepared for the Infrastructure Rural Investment Climate Assessment. Jakarta: World Bank. World Bank. 2006e. “Investing for Growth and Recovery.” CGI Brief Paper. Jakarta: World Bank. World Bank. 2006f. Making Services Work for the Poor. Jakarta: World Bank.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
151
RUJUKAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
World Bank. 2006g. Making the New Indonesia Work for the Poor. Jakarta: World Bank. World Bank 2006h. Potential for Significant Equity, Efficiency and Quality Improvement: Teacher Employment and Deployment in Indonesia. World Bank, Jakarta Office. World Bank. 2006i. The Little Data Book 2006. Washington DC: World Bank. World Bank 2007a. Investing in Indonesia’s Education: Allocation, Equity and Efficiency of Public Expenditures. January 2007. World Bank, Jakarta Office. Zaini, Bastian. 2004. ”Dana Alokasi Khusus.” Techical note. World Bank, Jakarta Office. Zhuravskaya, E.V. 2000. “Incentives to Provide Local Public Goods: Fiscal Federalism, Russian Style.” Journal of Public Economics, Vol. 76
152
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Lampiran
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Daftar Lampiran
154
Lampiran A. Rekomendasi Kebijakan dan Sumber Data
156
Seksi A.1. Rangkuman Rekomendasi Kebijakan
156
Seksi A.2. Sumber Data, Metodologi dan Definisi
161
Lampiran B Apa yang disebut dengan “Inisiatif untuk Analisis terhadap Pengeluaran Publik”?
163
Lampiran C Ruang Gerak Fiskal dan Stabilitas Ekonomi
165
Tabel C.1.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik Nasional
165
Tabel C. 2.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik Nasional
165
Tabel C.3. Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik NAsional
165
Tabel C.4. Komposisi Pengeluaran Ekonomi Berdasarkan Tingkat Pemerintahan
166
Tabel C.5.Komposisi Ekonomi of Pengeluaran Pemerintah Pusat di Indonesia
166
Tabel C.6. Anggaran Pemerintah Pusat
167
Tabel C.7. Realisasi Anggaran Pemerintah Pusat
169
Tabel C.8. Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
171
Tabel C.9. Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
172
Tabel C.10.Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota sebagai Presentase dari GDP
173
Tabel C.11. Jumlah Pemerintah Daerah yang Dilaporkan dalam Anggaran Mereka
174
Tabel C.12. Anggaran Pemerintah Provinsi
175
Tabel C.13. Anggaran Pemerintah kabupaten/kota
177
Tabel C.14. Pemetaan Sektoral PER untuk Pengeluaran Pembangunan dan Rutin
179
Seksi C.15. Mengelola Rekening ‘off budget’ dan Pengaturan Anggaran
180
Diagram C.15.1. Transaksi Keuangan antara Pemerintah, Pertamina, dan PLN
180
Lampiran D. Lintas Sektoral
181
Tabel D.1. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor
181
Tabel D.2. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor
181
Tabel D.3. Distribusi Pengeluaran Nasional (Tingkat Pertumbuhan Tahunan) Berdasarkan Sektor
182
Tabel D.4. Distribusi Persentase Perubahan Tahunan Berdasarkan Sektor
182
Tabel D.5. Pembagian Antar-Pemerintah dalam Belanja Nasional-Sektoral
183
Lampiran E Sektor Pendidikan
184
Seksi E.1. Estimasi Pengeluaran Sektor Pendidikan
184
Seksi E.2. Perhitungan Tingkat Pengembalian Sosial terhadap Investasi dalam Pendidikan
185
Tabel E.2.1 Rata-rata Pendapatan Tahunan pada Berbagai Tingkat Umur
185
Tabel E.2.2 Biaya-Biaya Investasi: Biaya Langsung dan Tidak Langsung untuk Pendidikan
185
Tabel E.2.3 Biaya per Unit Pendidikan Berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Tingkat Pemerintahan
186
Seksi E.3. Faktor-Faktor Penentu Angka Partisipasi Murni di Indonesia
187
Tabel E.3.1 Faktor-faktor Penenetu Angka Partisipasi
188
Seksi E.4. Estimasi Implikasi Keuangan dari UU Guru yang Baru
189
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Diagram E.4.1. Pendapatan Guru Sekolah Menengah vs. Jam Kerja
190
Seksi E.5. Catatan Metodologis tentang Penghitungan Biaya Satuan Pendidikan
190
Seksi E.6. Estimasi Implikasi Keuangan akibat Kelebihan Guru
191
Tabel E.6.1 Biaya Komparatif Berdasarkan Situasi Masa Sekarang dan Opsi yang Diajukan
192
Seksi E.7. Karakteristik Tenaga Pengajar
192
Tabel E.7.1 Jumlah dan Persentase Guru Honor dan Tetap pada Jenjang Pendidikan Menengah
192
Tabel F.7.2 Jumlah dan Persentase Guru SD Menurut Wilayah Tanggung Jawab
192
Seksi E.8. Pendapatan Guru: Analisis Ekonometri
193
Tabel E.8.1. Rata-rata Penghasilan per Bulan dan Jumlah Jam Kerja antara Guru dan Non-Guru Berdasarkan Tingkat Pendidikan
193
Tabel E.8.2. Perbedaan Penghasilan: Sampel Tenaga Kerja dengan Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah atau Lebih Tinggi
194
Tabel E.8.3. Faktor-faktor Penentu Penghasilan per Jam
195
Tabel E.8.4. Perbedaan dalam Pendapatan Bulanan: Setelah Mengontrol Karakteristik Individu
196
Seksi E.9. Penafsiran “Ketentuan 20 persen”
197
Tabel E.9.1 Alternatif Penafsiran tentang Perhitungan Pengeluaran untuk Rasio Pendidikan
197
Lampiran F Kesehatan
198
Seksi F.1. Program Pemerintah Pusat—Anggaran 2006
198
Diagram F.2. Pemerataan Alokasi Pengeluaran Publik untuk Kesehatan—Agregat, Dekonsentrasi Anggaran, Daerah dan DAK
199
Tabel F.3. Perbedaan Penghasilan per Bulan dan per Jam—Setelah Mengontrol Karakteristik Individu
200
Lampiran G Desentralisasi
201
Tabel G.1. PDB per kapita Regional dan Angka Kemiskinan setelah Desentralisasi
201
Tabel G.2. Korelasi antara Kemiskinan dan Struktur Ekonomi, 2000-04
201
Seksi G.3. Desentralisasi dan Penyediaan layanan
202
Tabel G.3.1 Apakah Desentralisasi Meningkatkan Penyediaan Layanan? Hasil dari Survei yang Baru Dilaksanakan Menunjukkan
202
Tabel G.4. Formula DAU, 2001-06
203
Tabel G.5. Skema Bagi Hasil
204
Diagram G.6. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Berdasarkan Sektor, 1991-2005
205
Seksi G.7. Biaya Pengumpulan Pajak Daerah
206
Diagram G.7.1 Biaya Administrasi Pengumpulan Pajak Pemerintah Kabupaten/kota terhadap Pendapatan Pajak (Rasio Biaya-Hasil), 2003
206
Diagram G.8. Dana Cadangan per kapita Pemerintah Daerah berdasarkan Provinsi
207
Tabel G.9. Pengelompokkan Kabupaten/kota berdasarkan Tingkat Kemiskinan, PDRB, dan Pendapatan Fiskal
208
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
155
156 Tantangan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru • Subsidi listrik yang tidak efisien, mendorong konsumsi berlebihan , dan hanya menguntungkan konsumen kaya • Harga BBM dalam negeri masih di bawah harga internasional, dan tidak efisien, serta lebih berpihak pada orang kaya . Subsidi itu masih merupakan pos pengeluaran paling besar di dalam anggaran . • Subsidi tidak dinilai secara komprehensif akibat kurangnya kerangka peraturan, dan hal ini mengakibatkan penundaan penyaluran transfer.
Realokasi subsidi listrik yang tidak efisien dan yang berpihak pada orang kaya (AS$3 miliar ).
Mengurangi subsidi yang tidak efisien dan yang berpihak pada orang kaya (AS$5 miliar ).
Menciptakan kerangka manajemen subsidi dan pembayaran transfer yang komprehensif dan lebih cepat
• Perbandingan pengeluaran publik lintas sektoral memperlihatkan bahwa anggaran untuk infrastruktur masih sangat kurang. Sektor ini tampak belum pulih setelah terjadi penurunan pengeluaran sesudah krisis. • Tingkat pengeluaran untuk kebutuhan administrasi sangat tinggi (30persen di daerah) dan menunjukkan adanya pemborosan cukup signifikan terhadap sumber daya untuk publik.
Bagian lebih besar dari ruang fiskal masa depan harus dialokasikan untuk infrastruktur di pusat dan daerah.
Pengalihan pengeluaran dari kebutuhan administrasi menjadi pendanaan tambahan pemberian layanan dasar.
BAB 2. KECENDERUNGAN LINTAS SEKTORAL
6) Realokasi subsidi dari untuk konsumsi (di atas 450VA) menjadi untuk sambungan, untuk memperluas jaringan listrik..
• Kewajiban Kontinjen tidak termasuk di dalam kerangka manajemen. • Rekening yang berbeda-beda yang tidak terintegrasi dan transaksi di luar anggaran yang tidak dibukukan.
Memastikan Kemampuan Membayar Hutang Yang Berkelanjutan (Debt Sustainability).
11) Kurangi pengeluaran yang tidak memberi manfaat langsung kepada publik. Misalnya, pengurangan anggaran untuk kepentingan administrasi pemerintahan dan tentukan anggaran yang lebih tinggi untuk layanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. 12) Sesuaikan pengeluaran rutin dengan investasi modal dalam pemberian layanan publik..
10) Bagian yang lebih besar dari ruang fiskal di masa datang harus dialokasikan untuk infrastruktur, baik di tingkat pusat maupun daerah.
8) Manajemen subsidi yang komprehensif management perlu dipastikan. 9) Stakeholders harus sepakat mengenai mekanisme penyaluran subsidi (Pemerintah dan BUMN).
7) Mengurangi subsidi BBM (US$5 milyar ) yang tidak efisien dan berpihak pada orang kaya. Walaupun terjadi kenaikan harga BBM pada 2005, subsidi BBM masih merupakan salah satu pos pengeluaran paling besar dalam anggaran pemerintah.
4) Kewajiban Kontinjen harus tercantum di kerangka kerja manajemen hutang . 5) Pembuatan Treasury Single Account (TSA).
• Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen hutang. • Pinjaman pemerintah diatur dengan peraturan yang berbeda-beda.
1) Penyusunan instrumen baru (analisis skenario, dan model risiko). 2) Menyiapkan laporan berkala tentang hutang yang tertunggak . 3) Satukan UU tentang surat hutang negara dengan UU tentang pinjaman pemerintah.
Solusi spesifik
Memperbaiki manajemen hutang.
BAB 1. RUANG GERAK DAN MANAJEMEN FISKAL
Bidang Reformasi
Seksi A.1. Rangkuman Rekomendasi Kebijakan
Lampiran A. Rekomendasi Kebijakan dan Sumber Data
JM
JM
JPDK
JPDK/JM
JPDK/JM
JPDK/JM
JPDK/JM
Kerangka waktu
Perbaikan efisiensi untuk pengeluaran publik .
Pendanaan yang lebih besar untuk infrastruktur.
Memperbaiki penentuan waktu penyaluran dana dan perbaikan transparansi.
Peningkatan efisiensi dan pemerataan. Peningkatan ruang fiskal untuk pengeluaran sosial .
Peningkatan suplai listrik dengan biaya lebih murah. Meningkatkan efisiensi dan pemerataan. Peningkatan ruang fiskal untuk pengeluaran sosial.
Instabilitas makroekonomi akibat ketidakmampuan bayar hutang akan berdampak pada anggaran dan ruang fiskal.
Membantu melakukan kuantifikasi risiko pasar dan mendukung analisis biaya/ risiko dan meningkatkan transparansi.
Dampak-derajat Kepentingan
LAMPIRAN Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
• Tingkat partisipasi siswa, khususnya bagi kuintil pendapatan yang lebih rendah, masih rendah terutama di tingkat SMP, dan banyak siswa tidak melanjutkan ke SMP setelah lulus SD. • Pendaftaran di tingkat SD hampir mencapai 100 persen, namun mutu dan infrastruktur jauh dari memuaskan.
• UU yang ada sekarang mempersyaratkan agar pengeluaran untuk pendidikan di tingkat pusat dan daerah harus mencapai 20 persen dari seluruh pengeluaran di luar gaji guru. Hal ini sangat tidak mungkin bisa dicapai dan bertentangan dengan prinsip desentralisasi dan reformasi kepegawaian • Juga, diluar gaji memberikan disinsentif bagi manajemen kepegawaian yang baik. • Anak-anak dari keluarga miskin dan mereka yang tinggal di daerah terpencil memiliki akses yang lebih kecil dan mutu pengajaran yang lebih rendah di Sekolah Menengah dibandingkan dengan anak-anak lain.
• Ada ketimpangan distribusi guru, sehingga terjadi kekurangan guru di daerah terpencil dan kelebihan guru di wilayah perkotaan dan beberapa wilayah pedesaan. • Guru yang memiliki kualifikasi yang tinggi masih menerima gaji terlalu rendah. • UU Guru yang berakibat anggaran pendidikan perlu ditingkatkan secara drastis—hanya dengan tambahan insentif, saja sehingga mendekati jumlah anggaran pendidikan nasional saat ini.
Tingkatkan pengeluaran untuk memperbesar akses terhadap pendidikan sekolah menengah pertama, sementara fokus pada pendidikan dasar harus pada meningkatkan infrastruktur dan mutu pengajaran.
Pertahankan target pengeluaran 20 persen untuk sektor pendidikan tetapi lakukan penyesuaian terhadap definisi untuk meliputi gaji guru dan gabungkan pengeluaran pemerintah pusat dan daerah.
Mengurangi kesenjangan akses dan mutu pendidikan.
Tingkatkan pemerataan distribusi guru dan mutu guru dengan menyediakan insentif keuangan jika bertugas di tempat-tempat yang kekurangan guru, insentif dan peningkatan keterampilan guru.
BAB 3. SEKTOR PENDIDIKAN
Tantangan
Bidang Reformasi
Distribusi: 18) Ubah formula penerimaan dari berdasarkan jumlah siswa, menjadi berdasarkan jumlah sekolah. 19) Pemerintah Indonesia harus mampu menyalurkan tenaga guru antar kabupaten/kota dan meningkatkan penugasan di wilayah terpencil dengan memberikan insentif keuangan yang lebih baik. 20) Mengurangi kelebihan guru yang terjadi di perkotaan dan gunakan dana untuk input untuk perbaikan mutu (guru yang memenuhi persyaratan). Gunakan opsi pay-out option untuk mendorong pension dini. Juga, kurangi jumlah mahasiswa yang diterima di lembaga LPTK. Mutu: 21) Laksanakan UU Guru dan secara bersamaan turunkan angka kelebihan guru untuk menurunkan dampak keuangan akibat UU Guru yang baru pada anggaran pendidikan.
JPDK/JM
JPDK/JM
JPDK
15) Definisi yang lebih tepat mengenai ketentuan anggaran 20 persen adalah: (i) termasuk gaji guru ; dan (ii) gabungkan pengeluaran di seluruh tingkat pemerintahan (pusat dan regional daerah).
16) Alokasikan dana tambahan bagi Propinsi dan kabupaten/ kota yang tertinggal. Gunakan DAK untuk meningkatkan jumlah sekolah sehingga kita bisa mengatasi kendala dari sisi suplai. 17) Mengurangi pengeluaran dari kantong orang tua secara langsung melalui bantuan tunai dana dan menurunkan SPP lewat pemberian BOS.
ST /MT
Kerangka waktu
13) Tingkatkan pengeluaran untuk pendidikan sekolah menengah pertama —terutama untuk memastikan pembangunan gedung sekolah yang baru dan pembuatan program yang menghilangkan angka drop out dan meningkatkan lulusan SD melanjutkan ke jenjang ini. 14) Kombinasi pengeluaran untuk sekolah dasar harus diarahkan kepada mutu pengajaran dan infrastruktur
Solusi spesifik
Pemerataan distribusi guru yang lebih baik dengan demikian peningkatan mutu pendidikan. Jumlah guru yang lebih kecil– lebih banyaj dana untuk input kualitas. Lebih banyak guru yang memenuhi syarat, mutu dan tingkat pendidikan akan semakin tinggi. Mengurangi dampak pada anggaran pendidikan.
Pembangunan yang lebih merata (peningkatan peluang bagi rakyat miskin) dan akhirnya meningkatkan taraf hidup dan pertumbuhan pada daerah tertinggal.
Keseimbangan antar-pemerintah yang lebih baik.
Alokasi yang lebih rasional untuk Pengeluaran Sektor Pendidikan .
Pengeluaran yang lebih tepat sasaran, pada program yang memiliki tingkat pengembalian yang lebih besar dalam hal mutu dan efektivitas. Peningkatan tingkat partisipasi dan peningkatan penduduk yang mengenyam pendidikan, yang bisa berdampak terjadinya tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan penurunan angka kemiskinan jika keterampilan sesuai dengan kebutuhan para pemberi kerja
Dampak-derajat Kepentingan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
157
158
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru • Akses yang sangat rendah pada daerah miskin dan terpencil. • Rakyat miskin memiliki tingkat pemakaian layanan kesehatan sekunder yang rendah.
• Kinerja yang rendah di sektor kesehatan tampak dalam indikator IMR dan MMR yang rendah. • Peningkatan masalah dalam penyakit yang tidak menular. • Munculnya kasus HIV/AIDS dan flu burung. • Kontrol yang terbatas terhadap penyedia layanan kesehatan oleh sektor swasta. • Mengurangi kesenjangan dan inefisiensi yang bisa menurunkan mutu dan tingkat layanan.
Tingkatkan akses terhadap layanan kesehatan bagi rakyat miskin dengan meningkatkan suplai dan mendorong permintaan.
Lakukan Identifikasi terhadap komposisi investasi yang benar untuk meningkatkan efektivitas sektor kesehatan dalam mengatasi beban ganda akibat munculnya penyakit baru.
Sektor publik harus lebih aktif untuk menentukan aturan, perizinan, dan akreditasi bagi penyedia sektor swasta.
Identifikasi kombinasi yang benar mengenai ketentuan untuk menjamin pemerataan distribusi dan investasi yang lebih efisien untuk tenaga kesehatan.
• Investasi besar diperlukan untuk memenuhi permintaan listrik yang semakin meningkat. • Keputusan mengenai komposisi bahan bakar masih mengalami distorsi akibat pemberian subsidi BBM yang masih berjalan dan kesenjangan antara harga BBM untuk ekspor dan domestik. • Sebagian besar jalan raya tidak dipelihara dengan memadai dan akses terhadap jalan raya masih sangat rendah. • Penyaluran dana dari pusat untuk jalan raya tidak ditargetkan secara efisien ke Lokasi yang memiliki akses yang rendah.
Perluas suplai listrik untuk memenuhi peningkatan permintaan.
Penyediaan insentif fiskal kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan pemeliharaan jalan raya.
BAB 5. INFRASTRUKTUR
• Investasi kesehatan saat ini dan keluaran dari sektor ini masih lebih rendah dari pada tingkat yang telah dicapai oleh negara-negara Asia Timur lainnya.
Tantangan
Tingkatkan investasi publik untuk kesehatan.
BAB 4. SEKTOR KESEHATAN
Bidang Reformasi
Penentuan aturan, perizinan, dan akreditasi sektor swasta, untuk menjamin mutu dan kontrol yang memadai.
Intensifikasi program untuk menangani penyakit menular. Penguatan sistem surveilans dan program untuk mencegah munculnya penyakit baru
Sisi permintaan: lakukan investasi dalam kegiatan yang dapat meningkatkan penggunaan dan mutu layanan kesehatan bagi rakyat miskin. Sistem kupon yang memungkinkan rakyat miskin mendapatkan akses terhadap layanan bermutu secara gratis. Sisi suplai: gunakan DAK untuk menjamin bahwa dana tersebut meningkatkan akses kepada rakyat miskin.
Secara perlahan meningkatkan pengeluaran sampai sekitar 2 persen dari PDB. Gunakan sumber daya yang ada lebih secara efisien dan merata.
32) Pemerintah pusat harus melakukan pendanaan bersama dengan Pemkab/pemkot untuk pemeliharaan jalan daerah sesuai dengan wilayah yurisdiksi Pemkab/pemkot yang bersangkutan. 33) Penilaian yang cermat harus dilakukan untuk mencapai tingkat efisiensi targeting dari DAK untuk melakukan perubahan mengenai mekanisme alokasi DAK.
31) Gunakan pendekatan “ekspansi biaya paling murah”. Subsidi harus dialokasikan dari konsumsi (yang hanya menguntungkan konsumen dengan kapasitas di atas 450VA) menuju subsidi sambungan, untuk memperluas jaringan listrik.
Identifikasi tenaga kesehatan yang ada sekarang dan apakah sudah memadai untuk mencapai target prioritas saat ini.. .30) dentifikasi cara-cara untuk memotivasi penyedia layanan kesehatan di daerah terpencil.
29)
28)
26) 27)
25)
24)
23)
22)
Solusi spesifik
JPDK
JPDK/JM
JPDK/JM
JPDK/JM
MT JM
JM
JPJ
Kerangka waktu
Increased road access. Improved road quality and reduced transport costs.
Increased access to electricity and a more efficient targeting of Subsidi benefits towards the poor.
Peningkatan mutu tenaga dan layanan kesehatan. Peningkatan akses di pedesaan dan daerah yang kekurangan layanan.
IPeningkatan mutu layanan kesehatan sektor swasta.
PPencegahan terhadap penyakit menular dan yang tidak menular. Peningkatan kapasitas untuk mencegah timbulnya penyakit baru.
Peningkatan akses, penggunaan layanan, dan kualitas layanan bagi rakyat miskin.
Sumber daya yang lebih banyak untuk sektor kesehatan . Peningkatan keluaran kesehatan.
Dampak-derajat Kepentingan
LAMPIRAN Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
37) Dana publik harus disediakan kepada Pemkab/pemkot berdasarkan kinerja, idealnya melalui DAK, dihitung sehubungan dengan kebutuhan investasi PDAM . 38) Biarkan agar laporan pembukuan yang telah diaudit dan indikator fisik PDAM bisa tersedia untuk umum
• Meningkatkan kinerja Pemkab/pemkot untuk melakukan reformasi PDAM dan akhirnya meningkatkan sambungan rumah tangga.
Pengembangan insentif fiskal bagi pemerintah daerah yang mampu meningkatkan kinerja PDAM.
41) Berikan kemungkinan untuk memperoleh fasilitas anggaran multi tahun dan menyederhanakan fasilitas untuk melanjutkan anggaran sebelumnya yang tersisa (luncuran). 42) Laksanakan Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah.
• Proses Pengelolaan Keuangan Publik (PKP) dilakukan secara ketat setiap tahun dan menghambat visi jangka panjang dan keberlanjutan kebijakan pengeluaran publik. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RKP) berisi tujuan nasional dan sektoral, kebijakan, dan proyek spesifik, tetapi tidak cukup terkait dengan alokasi sumber daya. • Pelaksanaan anggaran, terutama untuk proyek pembangunan sangat lambat dan cenderung menumpuk di akhir tahun anggaran. Dana pemerintah dicairkan melalui sejumlah besar rekening yang berbeda sehingga rentan terhadap manajemen kas yang tidak transparan dan tidak efisien. • Pengawasan oleh DPR dalam siklus anggaran belum berfungsi efektif. DPR kini lebih berfokus pada hal-hal rinci dan bukan pada outcome dan prioritas politik.
Mengaitkan proses anggaran dengan tujuan kebijakan jangka menengah (Kaitan antara RKP–RKKL–RKAKL).
Melakukan reformasi perbendaharaan melalui rekayasa ulang proses bisnis dalam pelaksanaan anggaran.
Menyesuaikan peran DPR dalam proses anggaran.
45) Mengembangkan kapasitas kelembagaan di DPR dan pada semua tahapan formulasi anggaran dan audit. 46) Menggeser peran DPR dari fokus pada pos-pos anggaran secara rinci kepada alokasi secara umum dan prioritas politik.
43) Melakukan reformasi terhadap fungsi perbendaharaan dan pelaksanaan anggaran melalui pelaksanaan TSA. 44) Tingkat uraian rinci dalam dokumen pengeluaran (DIPA) harus dikurangi dan proses pengeluarannya harus disederhanakan sebagai bagian dari reformasi untuk menuju PBB.
39) Penguatan kontrol ex-post, audit kinerja, dan kapabilitas pelaporan. 40) Mengurangi penganggaran line item dan melakukan integrasi proses perencanaan dan penganggaran
• Proses anggaran bertumpu pada kontrol input yang sangat ketat yang membatasi fleksibilitas yang diperlukan untuk mencapai hasil yang lebih baik.
Secara perlahan bergerak dari anggaran berbasis input menuju anggaran berbasis kinerja (PBB).
BAB 6. PENGELOLAAN KEUANGAN PUBLIK
34) estrukturisasi pinjaman yang tertunggak dan sediakan insentif untuk meningkatkan kemampuan bayar hutang PDAM (menaikkan tarif dan memotong biaya). 35) Kemampuan meningkatkan kapasitas pinjaman dengan memisahkan keuangan PDAM dengan kinerja keuangan pemkab. 36) Mendorong regulasi untuk mencegah kabupaten untuk melakukan klaim dividen padahal layanan PDAM sedang menderita kerugian.
• PDAM mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pinjaman jangka panjang sementara kabupaten/kota tetap meminta bagian dividen walaupun PDAM sedang mengalami kerugian.
Pencabutan semua hambatan terhadap pinjaman jangka panjang bagi PDAM.
Solusi spesifik
Tantangan
Bidang Reformasi
JPDK/JM
JM
JM
JM
JPDK/JM
JPJ
JPDK
Kerangka waktu
Perbaikan tata kelola, saling uji, akuntabilitas, dan menjamin bahwa anggaran akan responsif kepada kebutuhan rakyat.
Peningkatan efisiensi operasional, transparansi dan pembayaran yang lebih cepat.
Kemampuan untuk menerjemahkan tujuan politik jangka panjang ke dalam alokasi anggaran dan investasi publik yang berkelanjutan.
Reformasi ini sangat penting untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengeluaran publik untuk mencapai keluaran yang lebih baik.
Improved performance. Increased connections. Better information through audits and indicators will improve targeting.
Increased access to piped water through more transparent and easier long term borrowing. Enhanced corporate independence of PDAMs.
Dampak-derajat Kepentingan
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
159
160 • Tidak ada insentif untuk mengurangi kelebihan jumlah PNS sepanjang DAU menutup semua kebutuhan gaji pegawai. DAU tidak mampu melakukan mengatasi kesenjangan fiskal di antara Pemkab/pemkot secara efektif. Strategi pengeluaran jangka panjang kini sulit untuk dirumuskan dan dilaksanakan karena jumlah yang disalurkan sulit diperkirakan. • Ada ketidakpastian mengenai tanggung jawab terhadap penganggaran dan pelaksanaannya.
• Anggaran tidak mencerminkan perencanaan dan pengeluaran yang efisien. Surplus yang besar terjadi di tingkat pemerintah daerah.
• Saat ini, tidak ada Pajak Properti daerah, yang tidak merangsang terjadinya persaingan di daerah. Juga, jumlah pengumpulan pajak sangat kecil. Masih ada beberapa pajak daerah tertentu yang menimbulkan iklim investasi yang buruk.
Membuat transfer DAU setiap tahunnya lebih bisa diperkirakan , menggunakan DAU secara penuh, dan menciptakan insentif untuk Pemkab/pemkot untuk melakukan reformasi kepegawaian.
Fungsi berbagai tingkat pemerintahan perlu diperjelas.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Menciptakan insentif dan membangun kapasitas untuk meningkatkan perencanaan dan penganggaran di tingkat kabupaten/kota.
Meningkatkan efisiensi , pemerataan, dan efektivitas pengumpulan pajak pemerintah kabupaten/kota.
62)
61)
60)
59)
58)
57)
56)
55)
54)
53)
Lakukan desentralisasi terhadap pajak bumi dan bangunan, sehingga daerah bisa menentukan tingkat pajak mereka sendiri dan bersaing dengan daerah lain. Meningkatkan perolehan pajak—sehingga secara rata-rata mencapai setengah dari jumlah penerimaan daerah. Pengenaan retribusi dan pajak perlu diatur untuk membatasi dampak negatifnya terhadap iklim investasi.
Buat sistem penilaian berbasis kinerja dengan sejumlah indikator terpilih yang dapat dipantau dengan mudah. Kaitkan kinerja kabupaten/kota terhadap alokasi sumber daya. Sederhanakan langkah untuk melakukan persetujuan anggaran pemerintah daerah. Lakukan integrasi pengeluaran di luar anggaran (off budget) ke dalam anggaran kabupaten/kota
56) Pisahkan fungsi-fungsi dari berbagai tingkat pemerintahan; pusat, Propinsi, kabupaten, penyedia layanan , dan masyarakat.
Hapuskan cakupan penuh atas pembayaran gaji dengan DAU. Alokasikan DAU berdasarkan alokasi tahun sebelumnya untuk menghindari fluktuasi anggaran. Dorong agar terjadi pemerataan dengan mendasarkan penyaluran dana pada formula kesenjangan fiskal.
50) BPK harus terus meningkatkan kapasitas mereka dan meningkatkan kehadiran mereka untuk memenuhi mandat yang diberikan, sementara lembaga pemeriksa internal harus digabung. 51) BPK harus lebih bertanggung jawab kepada DPR. 52) Lembaga pemeriksaan internal yang utamadapat dikonsolidasikan ke dalam sebuah lembaga pemeriksa internal dengan kewajiban yang jelas untuk bekerja dengan BPK.
• Kapasitas, staf, dan sumber daya BPK dan BPKP tidak sesuai dengan peran mereka. • Lembaga pemeriksa internal yang bersifat terfragmentasi dan tidak adanya standar pemeriksaan yang konsisten di setiap tingkat pemerintahan.
Menguatkan fungsi pemeriksaan internal dan eksternal.
BAB 7. DESENTRALISASI FISKAL DAN KESENJANGAN DAERAH
47) Melakukan pelatihan tingkat dasar dan ujian untuk sertifikasi bagi para praktisi pengadaan. 48) Menguatkan kemandirian Kantor Pengadaan Nasional. 49) Mengembangkan dan melaksanakan strategi yang berlaku di seluruh Indonesia untuk melaksanakan prosedur eprocurement.
Solusi spesifik
• Kapasitas yang terbatas untuk menyelesaikan pengadaan secara tepat waktu sesuai dengan aturan yang diperketat telah menghambat jalannya proyek dan pembayaran anggaran.
Tantangan
Terus mendorong reformasi sistem pengadaan.
Bidang Reformasi
JPDK/JM
JM
JPJ
JPDK/JM
JM
JM
Kerangka waktu
IPeningkatan pendapatan daerah dan iklim investasi.
Perbaikan anggaran—mengurangi surplus, ketepatan waktu
Pelaksanaan proses perencanaan yang rasional di seluruh tingkat pemerintahan. Mengurangi faktor ketidakpastian dan meningkatkan proses pelaksanaan anggaran.
Peningkatan efisiensi pengeluaran pemerintah daerah. Peningkatan pemerataan. Peningkatan efisiensi pengeluaran
Pemeriksaan yang efektif sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan anggaran publik dan mengurangi risiko penyalahgunaan dan meningkatnya fleksibilitas yang terjadi karena reformasi PBB.
Harga input yang lebih rendah dan mengurangi tindak korupsi.
Dampak-derajat Kepentingan
LAMPIRAN Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Section A.2. Sumber Data, Metodologi, dan Definisi Dataset statistik dan anggaran utama yang digunakan untuk memproses laporan ini diambil dari sumber-sumber berikut ini:
• • • • • •
Pengeluaran Pemerintah Propinsi dan Kab/Kota: data untuk tahun 2000-04 diproses dari Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD) Departemen Keuangan. Staf Bank Dunia menghitung perkiraan untuk pengeluaran 2005-2007 berdasarkan pangsa historis setiap sektor, dan transfer agregat dari pemerintah pusat. Rincian lebih lanjut mengenai karakteristik dataset ini dan jumlah kab/kota yang tercakup tersedia dalam Tabel Lampiran C.11 Survey Sosial Ekonomi Rumah Tangga Nasional (SUSENAS) BPS adalah sumber dari informasi mengenai ekonomi dan demografis rumah tangga 2000-05 Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) dari 2004 sampai dengan Februari 2006 adalah sumber dari statistik tenaga kerja. Data Statistik Potensi Desa (PODES) 2004-2005 menjadi sumber dari informasi mengenai karakteristik infrastruktur desa. Survey ini dilaksanakan dalam konteks sensus periodic (pertanian, ekonomi dan pedesaaan) Survey Governance and Decentralization (GDS) 1+ memberikan data mengenai indikator tata pemerintahan dan desentralisasi dari rumah tangga dan non rumah tangga pada tingkat kab/kota dan desa, maupun informasi yang diperoleh dari titik penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan (Puskesmas dan Sekolah). World Development Indicators (WDI) Bank Dunia digunakan untuk serangkaian indikator ekonomi dan anggaran internasional untuk periode 1994-2005.
Beberapa dataset primer lainnya diambil dari publikasi statistik, studi oleh lembaga penelitian dan akademis, dan laporan dari organisasi internasional. Komposisi Ekonomi dari Pengeluaran: Dalam hal jenis, atau karakteristik ekonomi dari transaksi-transaksi pengeluaran sumberdaya, pengeluaran publik diklasifikasikan sebagai: Pengeluaran Rutin termasuk: (i) Belanja Pegawai; (ii) Belanja Bunga (DN & LN); (iii) Subsidi, (iv) Belanja Bahan Barang dan Jasa; (v) Belanja Rutin Lainnya Pengeluaran Pembangunan didefinisikan sebagai “belanja Negara yang ditujukan untuk membiayai proyek pembangunan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional baik yang bersifat materiil maupun non materiil (UU 2/2000 mengenai APBN). Jumlah yang dilaporkan sebagai belanja pembangunan juga mencakup beberapa belanja gaji dan bahan yang secara teknis seharusnya masuk kedalam pengeluaran rutin. Pos Pengeluaran Pembangunan dihapuskan pada tahun 2004 dengan diperkenalkannya anggaran terpadu (unified budget) dan diperkenalkannya pos belanja modal. Pengeluaran Modal efektif sejak tahun 2005, mengikuti UU 17/2003 mengenai Keuangan Negara. Kategori ini didefinisikan sebagai pengeluaran untuk membayar penyediaan barang tahan lama dengan masa hidup lebih dari satu tahun yang baru maupun yang sudah ada, untuk digunakan bagi maksud-maksud produktif seperti, jembatan, jalan, sekolah, klinik, dll. Pemetaan anggaran 2004 dari sistem anggaran terdahulu ke anggaran terpadu memperlihatkan bahwa belanja modal mencakup 56 % dari belanja yang dulunya dilaporkan sebagai pengeluaran pembangunan, sementara sisanya diklasifikasikan dalam berbagai pos anggaran rutin dan bantuan sosial. Transfer ke Daerah terdiri dari Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian.
• •
•
•
Catatan Teknis untuk Analisis Lintas Sektor. Angka yang disajikan dalam bab 2 diagregasikan berdasarkan data anggaran pusat dan daerah sebagaimana diuraikan diatas. Tabel Lampiran C. 14 menyajikan pemetaan sektoral dari berbagai sub-sektor yang diagregasikan kedalam suatu sektor dan sub komponen dari pengeluaran rutin dan pembangunan. Perlu dicatat bahwa terdapat sedikit perbedaan antara angka yang terdapat dalam Lampiran D dan yang terdapat dalam bab Kesehatan dan Pendidikan. Hal ini disebabkan angka agregat pada bab-bab tersebut dimutakhirkan pada bulan Januari 2007 berdasarkan rincian APBN sektoral terbaru. Tabel yang terdapat dalam lampiran lintas sektoral belum dimutakhirkan untuk memelihara konsistensi dengan sektor-sektor lain yang dilaporkan dalam tren lintas sektoral.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
161
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Catatan Teknis untuk Bab Pendidikan dan Kesehatan. Laporan latar belakang untuk sektor pendidikan dari laporan ini menyajikan estimasi pengeluaran pendidikan untuk tahun 2007 berdasarkan agregat belanja pemerintah pusat dari Rancangan APBN. Pengeluaran Pendidikan yang dilaporkan dalam kajian ini berasal dari APBN 2007 yang tersedia pada Desember 2006. Untuk melaksanakan UU 17/2003 mengenai Keuangan Negara, format pelaporan pengeluaran pemerintah diubah mulai tahun anggaran 2004. Salah satu bentuk reformasi dari UU ini adalah mengubah klasifikasi belanja dari berdasarkan sektor menjadi berdasarkan fungsi. Tabel ikhtisar belanja dari Bab Pendidikan dan Kesehatan (Tabel 3.2. dan 4.3.) didasarkan pada klasifikasi sektoral. Klasifikasi fungsional tidak digunakan dalam tabel ini untuk memelihara konsistensi dengan tahun sebelum 2004, dimana beberapa pos anggaran seperti pelatihan PNS tidak tersedia. Namun, rincian sepenuhnya dari pengeluaran pendidikan berdasarkan klasifikasi fungsional disajikan dalam Diagram 3.3. Pada lampiran, data pada tabel lintas sektoral berbeda sedikit dari agregat sektoral karena tidak mungkin untuk memperbaharui tren lintas sektoral berdasarkan data realisasi sementara yang paling baru dari Depkeu (per 8 Januari 2007). Rincian pengeluaran berdasarkan sektor belum tersedia pada saat penulisan laporan ini. Konsekuensinya lampiran sektoral didasarkan pada data yang tersedia sebelumnya. Catatan Teknis untuk Bab Infrastruktur. Definisi infrastruktur yang digunakan dalam laporan ini meliputi sektor dan kegiatan berikut ini: Energi (listrik dan gas alam); perhubungan (jalan: tol, nasional, propinsi, Kabupaten; pelabuhan;Bandara; dan Kereta Api); layanan air bersih dan sanitasi (anggaran untuk pengelolaan sumber daya air dimasukan untuk aktifitas yang dapat diasumsikan relevan dengan air bersih dan sanitasi); irigasi; dan telekomunikasi (tetap dan bergerak)
• • •
Aktor Ekonomi yang dicakup: seluruh tingkat pemerintahan, dan juga BUMN. Tingkat Pemerintahan: Pusat, Propinsi,Kabupaten/Kota. BUMN pada tingkat pemerintah pusat: PT. PLN (Listrik), PGN (Gas Alam); transportasi: Jasa Marga (Jalan Tol), Angkasa Pura (Bandara), KAI (Kereta Api); Telekomunikasi: PT. Telkom, Indosat. BUMD dengan cakupan terbatas karena data yang tidak cukup tersedia: Air Bersih dan Sanitasi: PDAM (air bersih dan sanitasi perkotaan). Kategori Pengeluaran yang Tercakup adalah: Belanja Operasional (Opex), belanja pemeliharaan (opex dan belanja pemeliharaan jika dikombinasikan menjadi O&P), rehabilitasi (relevan untuk jalan) cakupan terbatas (hanya satu tahun) karena ketaktersediaan data, dan belanja modal (capex). Untuk sektor swasta, hanya komitmen investasi yang dicakup, karena kategori pengeluaran lain tidak tersedia dan dilaporkan. Keseluruhan pelaporan data beragam tergantung dari jangka waktu, karena sebagian tren pengeluaran dilacak selama masa 1994-2004. Tetapi pola pengeluaran rinci (kategori belanja dan pengeluaran BUMN) hanya dapat diperoleh untuk periode 2002-2004.
Perbedaan dengan kajian terdahulu: mengenai angka investasi publik, didekati dengan angka belanja pembangunan dari pos anggaran infrastruktur yang relevan. Angka invetasi yang “lebih bersih” mungkin didapatkan untuk tahun 2002-2004 dengan mengeluarkan belanja O&P yang seringkali tercakup dalam belanja pembangunan. Pada saat yang sama, angka investasi yang berkaitan dengan sektor infrastruktur tapi tidak mesti dilaporkan dalam pos anggaran infrastruktur juga ikut dilacak. (contoh invetasi air bersih dan sanitasi yang dilaporkan dalam sektor pemukiman) dan dimasukkan jika dianggap tepat. Perbedaan antara angka investasi publik “bersih” dan estimasi kotor adalah sekitar 0,2 s.d 0,4 persen dari PDB per tahun.
162
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Lampiran B Apa yang disebut dengan “Inisiatif untuk Analisis terhadap Pengeluaran Publik”? 1. Latar belakang IPEA Pada Juni 2004, pemerintah Indonesia, lembaga penelitian setempat, dan komunitas internasional (termasuk Bank Dunia dan Kedutaan Belanda) meluncurkan apa yang dikenal dengan Initiative for Publik Analisis pengeluaran (IPEA,) atau Analisis terhadap Pengeluaran Publik yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan analisis dan pengembangan kapasitas. Dengan stabilitas makroekonomi yang telah kembali diperoleh Indonesia, desentralisasi yang berjalan dengan lebih lancer dari yang diperkirakan, dan peningkatan fleksibilitas anggaran yang akan terjadi pada tahun-tahun mendatang, peluang ini merupakan saat untuk menggali berbagai opsi terbaik agar penggunaan sumber daya publik Indonesia bisa berjalan dengan baik. Kebutuhan untuk melakukan analisis terhadap pengeluaran publik akan semakin meningkat mengingat (i) peningkatan peran kebijakan fiskal untuk mendukung pertumbuhan, dan (ii) desentralisasi telah menjadi kenyataan sehingga analisis pengeluaran publik akan semakin lebih menantang. IPEA bertujuan untuk melakukan formalisasi terhadap praktik yang sudah ada dan menyediakan paying, serta menyebarkan informasi tentang kegiatan yang ada., dalam bidang pengeluaran , dan manajemen keuangan publik. IPEA memandang (i) penciptaan produk yang dikaitkan dengan tujuan dan keperluan dan bersifat fleksibel untuk memberikan tanggapan terhadap kebutuhan klien; (ii) proses pelaksanaan yang diterima dari para pembuat kebijakan, dan (iii) peningkatan kapasitas yang efektif sementara tetap menjaga fokus yang jelas terhadap hasil dan dampak. 2. Tujuan IPEA Dua tujuan utama IPEA adalah: (i) Dari analisis sampai kebijakan yang baik. IPEA berusaha memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap pengeluaran pemerintah yang baik lintas pemerintahan dan sektoral, dan memasukkan analisis ini ke dalam dialog kebijakan untuk mendukung gerakan menuju penyediaan layanan publik yang akuntabel. (ii) Pengembangan kapasitas bagi klien kami. IPEA bertujuan untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan di Indonesia untuk melaksanakan analisis pengeluaran secara berkala. Audience merupakan hal yang paling penting demikian juga dengan para pembuat kebijakan di tingkat pemerintah dan DPR, serta pusat-pusat penelitian maupun para stakeholders kunci. Selanjutnya, IPEA bertujuan untuk memberikan dukungan pengembangan kapasitas berikut untuk klien kami: (i) Pelatihan yang bertarget dan bantuan teknis bagi staf administrasi dan lembaga penelitian. (ii) Pembuatan pasangan kembar dari lembaga penelitian lokal dengan lembaga yang sudah memiliki reputasi di bidang analisis pengeluaran publik. (iii) Penugasan staf dari Departemen dan/atau ahli dari Bank Dunia selama beberapa bulan untuk mengerjakan analisis PER. 3. Struktur Manajemen IPEA Keluaran penting dalam bidang administrasi adalah terbetuknya panitia pengaruh yang sangat kuat, yang, berhasil melakukan pertemuan mereka pada 6 April 2005 dan telah melakukan pertemuan reguler bulanan sejak itu. Panitia pengaruh terdiri dari kelompok inti yang merupakan Perwakilan dari Kantor Meko Ekuin, Departemen Keuangan, Bappenas, LPEM (Universitas Indonesia) dan Bank Dunia. Sebanyak 10 pertemuan panitia pengaruh termasuk partisipasi luas dari para pejabat pemerintah telah dilaksanakan dari April 2005 sampai Oktober 2006. 4. Keluaran dan Prestasi IPEA Sejak pembentukannya, IPEA telah berhasil mencapai kemajuan signifikan melalui pemberian keluaran diagnostic sera pengembangan kapasitas. Prestasinya yang paling penting berikutnya setelah publikasi Tinjauan Pengeluaran Publik untuk Pemerintah Pusat, dapat dirangkum sbb: Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
163
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
A. Penyusunan nasihat kebijakan jangka panjang dan diagnostik IPEA telah memberikan beberapa dari keluaran mereka bersama-sama dengan lembaga mitra Indonesia, yang merupakan aspek tambahan terhadap dimensi pengembangan kapasitas dari program ini. Nasihat kebijakan dan diagnostik jangka panjang dari IPEA telah menimbulkan debat umum berkelanjutan dan mendukung pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah. IPEA menyediakan produk analisis dan nasihat kebijakan dalam 5 bidang utama:
• • • • •
Investasi publik, ruang fiskal, dan alokasi pengeluaran Tinjauan terhadap pengeluaran sektoral Desentralisasi dan hubungan fiskal antar-pemerintah Tinjauan pengeluaran daerah Manajemen keuangan publik
B. Pengembangan kapasitas klien kami IPEA telah melakukan sejumlah kegiatan dengan target staf teknis (biasanya Eselon 3) dengan tujuan sbb: (i) meningkatkan keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh lembaga mitra kami dalam pekerjaan mereka; dan (ii) mengurangi hambatan antara unit dan departemen yang berbeda. Keluarannya meliputi:
•
Kursus Penyusunan Program Keuangan: Kursus ini dikembangkan untuk meningkatkan keterampilan teknis untuk melakukan perencanaan yang lebih efektif dan merumuskan rencana kerja pemerintah, dan menyusun rencana anggaran nasional untuk 2007, dan menciptakan target keluaran mengenai analisis manajemen keuangan yang kelak akan digunakan untuk mendukung proses persiapan anggaran. Penyampaian kursus dan kegiatan tindak lanjut: 3-11 Desember 2005. Kursus Penyusunan Program Keuangan bagi pejabat pemerintah. 14 Desember 2005, kursus tentang penilaian laporan back-to-office disampaikan kepada panitia pengaruh IPEA. 2 Februari 2006. Kerja lanjutan dengan peserta mengenai kursus yang bertujuan untuk melakukan koordinasi kegiatan di masa datang untuk memperkuat kerangka kerja makroekonomi bagi pemerintah pusat untuk anggaran 2007. 16 April 2006. Diskusi teknis bagi penyiapan kerangka kerja makroekonomi 2007. Juni–Juli 2006. Penugasan staf Bappenas di Bank Dunia.
• • • • • •
Kursus dalam Analisis Pengeluaran Publik & Penentuan Anggaran Berbasis Kinerja (PBB): yang bertujuan untuk memperkenalkan para peserta dengan penyusunan anggaran berbasis kinerja dan manajemen anggaran untuk mendukung pelaksanaan rencana PBB seperti yang dimandatkan oleh UU No. 17/2003. Penyampaian dan kegiatan tindak lanjut: 4-9 Mei 2006. Penyampaian Kursus tentang Analisis Pengeluaran Publik & Penentuan Anggaran Berbasis Kinerja (PBB), ‘Mengelola Sumber Daya untuk Mencapai Hasil’. 31 Mei 2006. Kembali ke kantor untuk menyusun laporan, dan laporan fasilitator lalu dibahas bersama panitia pengaruh. 12 Mei 2006. Diskusi dengan peserta kursus. 20 Juli 2006. Konferensi video dan diskusi ‘Pelajaran dari Pengalaman Internasional dalam Penentuan Anggaran Berbasis Kinerja: Kasus di Afrika Selatan’ bersama Mr. Mathew Andrews.
• • • • •
Tinjauan Pengeluaran Pemerintah Daerah dan manajemen anggaran daerah. IPEA mendukung persiapan dan pelaksanaan anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. IPEA telah berfokus pada darah-daerah berikut ini: Papua. Melakukan Analisis Pengeluaran Publik untuk Papua (2005). Sejak itu dilakukan pengembangan kapasitas bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, bersama dengan universitas di daerah. Aceh. Melakukan Analisis Pengeluaran Publik untuk Aceh (2006). Bantuan teknis kepada BRR, pemerintah kabupaten/kota dan provinsi Gorontalo. Mendukung penyusunan anggaran 2007; produksi analisis pengeluaran dan laporan MDG dijadwalkan untuk 2007.
• • •
164
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Lampiran C Ruang Gerak Fiskal dan Stabilitas Ekonomi Tabel C.1.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik untuk Pusat (Dalam Rp triliun ) Belanja Pegawai Belanja Barang Pembayaran Bunga Subsidi Bantuan Sosial Belanja Rutin yang lain Pembangunan Modal Total Nasional
2001 80.6 17.9 87.1 77.4 0.0 17.2 72.5 0.0 352.8
2002 85.3 23.8 81.1 43.6 0.0 19.5 83.1 0.0 336.4
2003 103.9 25.8 65.4 43.9 0.0 33.3 133.1 0.0 405.4
2004 115.1 25.9 62.5 91.6 0.0 29.8 120.4 0.0 445.3
2005 130.0 44.4 57.9 121.1 27.0 52.2 69.4 33.9 535.8
2006* 177.7 66.6 78.9 107.5 43.3 66.1 98.6 59.6 698.2
2007** 218.6 94.3 85.1 103.0 50.7 54.0 111.7 76.8 794.2
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD . Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan dengan meliputi pengeluaran menurut pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. ** berdasarkan rencana anggaran pusat.
Tabel C. 2.Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik untuk Pusat (Persentase of total pengeluaran pusat) Belanja Pegawai Pembayaran Bunga Subsidi Belanja Barang Belanja Rutin yang lain Bantuan Sosial Pembangunan Modal Total Nasional
2001 (%) 23 25 22 5 5 21 100
2002 (%) 25 24 13 7 6 25 100
2003 (%) 26 16 11 6 8 33 100
2004 (%) 26 14 21 6 7 27 100
2005 (%) 24 11 23 8 10 5 13 6 100
2006* (%) 25 11 15 10 9 6 14 9 100
2007** (%) 28 11 13 12 7 6 14 10 100
2001-05 (%) 25 18 18 7 7 1 24 1 100
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD. Catatan:* berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan dengan meliputi pengeluaran menurut pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. ** berdasarkan draft of anggaran pusat.
Tabel C.3. Komposisi Ekonomi Pengeluaran Publik untuk Pusat (%) of GDP Belanja Pegawai Belanja Barang Pembayaran Bunga Subsidi Bantuan Sosial Belanja Rutin yang lain Pembangunan Modal Total
2001 (%) 4.8 1.1 5.2 4.6 1.0 4.3 20.9
2002 (%) 4.6 1.3 4.4 2.3 1.0 4.5 18.1
2003 (%) 5.1 1.3 3.2 2.1 1.6 6.5 19.8
2004 (%) 5.1 1.1 2.7 4.0 1.3 5.3 19.6
2005 (%) 4.8 1.6 2.1 4.4 1.0 1.9 2.5 1.2 19.6
2006* (%) 5.4 2.0 2.4 3.2 1.3 2.0 3.0 1.8 21.1
2007** (%) 6.2 2.7 2.4 2.9 1.4 1.5 3.2 2.2 22.5
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD. Catatan:* berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan dengan meliputi pengeluaran menurut pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. ** berdasarkan draft of anggaran pusat.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
165
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel C.4. Komposisi Pengeluaran Ekonomi Berdasarkan Tingkat Pemerintahan (Rp triliun)
2001
Total Central 260,508 Belanja Pegawai 38,713 Belanja Barang 9,931 Pembayaran Bunga 87,142 Subsidi 77,443 Belanja Rutin yang lain 5,694 Bantuan Sosial Pembangunan 41,585 Modal Total Provinsi 20,651 Belanja Pegawai 5,805 Belanja Barang 2,611 Belanja Rutin yang lain 3,792 Pembangunan 8,443 Total Kabupaten/kota 71,625 Belanja Pegawai 36,091 Belanja Barang 5,402 Belanja Rutin yang lain 7,678 Pembangunan 22,454 Total Nasional 352,784 Sumber: Perkiraan Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD. Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. ** berdasarkan RAPBD.
2002
2003
2004
2005
2006*
2007**
217,325 39,480 12,777 81,122 43,628 3,099
256,191 47,662 14,992 65,351 43,899 15,042
293,930 49,270 15,977 62,485 91,617 13,602
37,220
69,247
60,979
29,222 5,826 3,419 5,285 14,693 89,888 39,986 7,600 11,151 31,150 336,435
33,897 6,659 2,753 3,748 20,738 115,279 49,585 8,059 14,485 43,151 405,368
32,404 8,782 2,414 1,677 19,531 118,959 57,095 7,547 14,472 39,844 445,293
356,970 56,136 30,555 57,881 121,076 30,412 27,003 0 33,908 38,218 8,906 3,683 4,771 20,858 140,566 64,913 10,161 16,973 48,518 535,754
443,509 72,238 46,944 78,910 107,463 35,095 43,254 0 59,605 53,240 12,407 5,131 6,646 29,056 201,487 93,047 14,565 24,329 69,546 698,237
504,776 98,473 71,926 85,087 102,954 18,838 50,657 0 76,842 59,065 13,764 5,693 7,373 32,236 230,356 106,378 16,652 27,815 79,511 794,198
Tabel C.5.Komposisi Ekonomi of Pengeluaran Pemerintah Pusat in Indonesia (% of GDP) I. Pemerintah pusat Expenditure Current Pengeluaran 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Pembayaran Bunga (dalam & luar negeri) 4. Subsidi 5. Lain-lain 6. Penyaluran Dana ke Daerah Pengeluaran Pembangunan II. Penyaluran Dana ke Daerah 1. Dana Perimbangan a. Pembagian Pendapatan b. Dana Alokasi Umum (DAU) c. Dana Alokasi Khusus (DAK) 2. Dana Otonomi & Dana Penyesuaian Total Pengeluaran Pemerintah Pusat Sumber: Perkiraan Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu dan SIKD.
166
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
2000 (%)
2001 (%)
2002 (%)
2003 (%)
2004 (%)
15.9 12.9 2.1 0.7 3.6 4.5 0.8 1.2 3.1
15.5 13.0 2.3 0.6 5.2 4.6 0.3 0.0 2.5 4.8 4.8 1.2 3.6 0.0 20.3
11.7 9.7 2.1 0.7 4.4 2.3 0.2 0.0 2.0 5.3 5.1 1.3 3.7 0.0 0.2 16.9
12.5 9.1 2.3 0.7 3.2 2.2 0.7 0.0 3.4 5.9 5.4 1.5 3.8 0.1 0.5 18.4
12.9 10.3 2.2 0.7 2.8 4.0 0.6 0.0 2.7 5.7 5.4 1.6 3.6 0.2 0.3 18.7
15.9
I. Pendapatan Dalam Negeri 1.Pendapatan pajak a. Pajak Dalam Negeri i. Pajak Penghasilan - Non-Minyak & gas - Minyak & gas ii. Pajak Penjualan (VAT) iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan v. Cukai vi. Pajak lain-lain b. Pajak Perdagangan Internasional i. Pajak Impor ii. Pajak Ekspor 2. Penerimaan Non-Pajak a. Pendapatan dari Sumber Daya Alam - Migas i. Minyak ii. Gas - Non-migas iii. Pertambangan Umum iv. Kehutanan v. Perikanan b. Laba BUMN c. Pendapatan non-pajak lain-lain (PNBP) II. Hibah B. PENGELUARAN I. Pengeluaran pemerintah pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Modal Pengeluaran 4. Pembayaran Bunga a. Dalam negeri b. Luar Negeri 5. Subsidi a. BBM b. Non-BBM
A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
(Rp miliar)
Tabel C.6. Anggaran Pemerintah Pusat
81,122 62,261 18,861 43,628 31,162 12,466
87,142 58,197 28,945 77,443 68,381 9,063
17,394 1,384 9,567 9,026 541 115,059 85,672 81,041 58,950 22,091 4,631 2,320 2,243 68 8,837 20,550 478 341,563 260,508 38,713 9,931
298,528 298,528 210,088 199,512 101,873 84,404 17,469 65,153 6,228 1,600 23,189 1,469 10,575 10,344 231 88,440 64,755 60,011 47,686 12,325 4,744 1,457 3,130 157 9,760 13,925 0 315,634 217,430 39,480 12,777
FY02
299,661 299,183 184,124 174,557 94,576 71,474 23,102 55,957 5,246
FY01
65,351 46,356 18,995 43,899 30,038 13,861
341,396 340,928 242,048 230,934 115,016 96,053 18,963 77,081 8,762 2,144 26,277 1,654 11,114 10,885 230 98,880 67,510 61,502 42,969 18,533 6,008 1,982 3,715 312 12,617 18,754 468 376,505 256,191 47,662 14,992
FY03
62,485 39,554 22,931 91,529 69,025 22,592
403,367 403,105 280,559 267,817 119,515 96,568 22,947 102,573 11,767 2,918 29,172 1,872 12,742 12,444 298 122,546 91,543 85,259 63,060 22,199 6,284 2,549 3,412 324 9,818 21,185 262 426,715 296,992 52,743 15,518
FY04 (LKPP) 494,552 493,247 347,031 331,792 175,541 140,398 35,143 101,296 16,217 3,432 33,256 2,050 15,239 14,921 318 146,216 110,469 103,756 72,817 30,939 6,713 3,192 3,249 272 12,962 22,786 1,305 508,939 356,971 56,136 30,555 33,908 57,881 43,496 14,155 121,076 95,661 25,047
FY05 (LKPP) 637,799 635,927 409,021 395,785 208,834 165,644 43,190 123,028 20,684 3,179 37,772 2,287 13,236 12,142 1,094 226,906 164,804 158,087 125,146 32,941 6,717 4,111 2,409 198 22,973 39,129 1,873 669,881 443,510 72,238 46,944 59,605 78,910 54,778 24,132 107,463 64,212 43,251
FY06 (Preliminary)
723,058 720,389 509,462 494,592 261,698 220,457 41,242 161,044 21,267 5,390 42,035 3,158 14,870 14,418 453 210,927 146,257 139,893 105,361 34,531 6,364 3,523 2,354 487 19,100 45,570 2,669 763,571 504,776 101,202 72,186 73,130 85,087 58,422 26,665 102,924 61,838 41,086
FY 07 (APBN)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
167
168 FY01
6. HIbah 7. Bantuan Sosial 8. Lain-lain 5,694 9. Transfer ke Daerah 10. Pembangunan Pengeluaran 41,585 a. Pembiayaan Rupiah 21,371 Transfer Modal ke Daerah Anggaran pemerintah pusat 21,371 b. Pembiayaan Proyek dengan Pinjaman Asing 20,214 II. TTransfer ke Daerah 81,054 1. Dana perimbangan 81,054 a. Bagi Hasil Pendapatan 20,008 b. Dana Alokasi Umum 60,346 c. Dana Alokasi Khusus 701 2. Dana otonomi khusus & penyesuaian C. SALDO PRIMER 45,241 D. SURPLUS / DEFISIT -41,902 E. PEMBIAYAAN BERSIH 41,902 I. Pembiayaan Dalam Negeri , netto 31,445 1. Perbankan Dalam Negeri 0 2. Non-perbankan 31,445 a. Privatisasi 3,465 b. Restrukturisasi Perbankan & penjualan aset 27,980 c. Penjualan obligasi 0 i. Surat Utang Pemerintah (termasuk Obligasi Int’l) 0 ii. Amortisasi hutang dalam negeri 0 iii. Beli kembali d. Fasilitas Mortgage /partisipasi modal II. Pembiayaan Luar Negeri, netto 10,457 1. Pinjaman Luar Negeri 26,342 a. Pinjaman Program 6,416 b. Pinjaman Proyek 19,926 2. Amortisasi -15,885 F. PEMBIAYAAN KOTOR 57,786 Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD dan data dari DepKeu.
(Rp miliar)
15,042 69,247 50,345 50,345 18,902 120,314 111,070 31,370 76,978 2,723 9,244 30,241 -35,109 32,662 32,115 8,258 23,857 7,301 19,661 -3,105 11,319 -6,166 -8,258 548 20,360 1,792 18,568 -19,812 69,345
37,325 25,608 25,608 11,717 98,204 94,657 24,884 69,159 613 3,548 64,015 -17,107 25,247 25,164 0 25,164 7,665 19,439 -1,939 1,991 -3,931
83 18,887 7,170 11,717 -18,804 39,841
FY03
3,099
FY02
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru -28,490 18,001 5,059 12,942 -46,491 95,296
47,987 12,992 129,723 122,868 36,700 82,131 4,036 6,855 39,136 -23,349 20,363 48,853 22,713 26,141 3,519 15,751 6,870 32,327 -24,457 -1,000
60,979 47,987
13,738
FY04 (LKPP)
151,968 144,726 51,197 88,765 4,764 7,243 43,494 -14,386 10,082 19,145 -2,550 21,695 0 6,564 22,575 47,373 -19,692 -5,673 -7,444 -9,062 28,050 12,265 15,785 -37,112 76,864
0 0
0 27,003 30,412
FY05 (LKPP)
-2,000 -19,330 33,392 13,580 19,813 -52,722 84,803
226,371 222,322 65,107 145,649 11,566 4,049 46,828 -32,081 32,914 52,244 15,294 36,950 400 2,684 35,867
43,254 35,095
FY06 (Preliminary) 0 51,409 18,838 0 0 0 0 0 0 258,795 250,343 68,461 164,787 17,094 8,452 44,574 -40,513 40,513 55,068 12,962 42,106 2,000 1,500 40,606 69,104 -28,498 0 -2,000 -14,555 40,275 16,275 24,000 -54,830 123,841
FY 07 (APBN)
LAMPIRAN Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
I. Pendapatan Dalam Negeri 1.Pendapatan pajak a. Pajak Dalam Negeri i. Pajak Penghasilan - Non-Minyak & gas - Minyak & gas ii. Pajak Penjualan (VAT) iii. Pajak Bumi dan Bangunan iv. Bea Balik Nama Tanah dan Bangunan v. Cukai vi. Pajak lain-lain b. Pajak Perdagangan Internasional i. Pajak Impor ii. Pajak Ekspor 2. Penerimaan Non-Pajak a. Pendapatan dari Sumber Daya Alam - Migas i. Minyak ii. Gas - Non-migas iii. Pertambangan Umum iv. Kehutanan v. Perikanan b. Laba BUMN c. Pendapatan non-pajak lain-lain (PNBP) II. Hibah B. Pengeluaran I. Pengeluaran pemerintah pusat 1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang 3. Modal Pengeluaran 4. Pembayaran Bunga a. Dalam negeri b. Luar Negeri 5. Subsidi a. BBM b. Non-BBM 6. HIbah
A. PENDAPATAN NEGARA & HIBAH
(% GDP)
Tabel C.7. Realisasi Anggaran Pemerintah Pusat
4.4 3.3 1.0 2.3 1.7 0.7
5.2 3.5 1.7 4.6 4.1 0.5
1.0 0.1 0.6 0.5 0.0 6.8 5.1 4.8 3.5 1.3 0.3 0.1 0.1 0.0 0.5 1.2 0.0 20.3 15.5 2.3 0.6
16.0 16.0 11.3 10.7 5.5 4.5 0.9 3.5 0.3 0.1 1.2 0.1 0.6 0.6 0.0 4.7 3.5 3.2 2.6 0.7 0.3 0.1 0.2 0.0 0.5 0.7 0.0 16.9 11.7 2.1 0.7
FY02 (%)
17.8 17.8 10.9 10.4 5.6 4.2 1.4 3.3 0.3
FY01 (%)
3.2 2.3 0.9 2.1 1.5 0.7
16.7 16.7 11.8 11.3 5.6 4.7 0.9 3.8 0.4 0.1 1.3 0.1 0.5 0.5 0.0 4.8 3.3 3.0 2.1 0.9 0.3 0.1 0.2 0.0 0.6 0.9 0.0 18.4 12.5 2.3 0.7
FY03 (%)
2.7 1.7 1.0 4.0 3.0 1.0
17.7 17.7 12.3 11.8 5.3 4.2 1.0 4.5 0.5 0.1 1.3 0.1 0.6 0.5 0.0 5.4 4.0 3.8 2.8 1.0 0.3 0.1 0.2 0.0 0.4 0.9 0.0 18.8 13.1 2.3 0.7
FY04 (LKPP) (%) 18.1 18.1 12.7 12.2 6.4 5.1 1.3 3.7 0.6 0.1 1.2 0.1 0.6 0.5 0.0 5.4 4.0 3.8 2.7 1.1 0.2 0.1 0.1 0.0 0.5 0.8 0.0 18.6 13.1 2.1 1.1 1.2 2.1 1.6 0.5 4.4 3.5 0.9 0.0
20.7 20.7 13.3 12.9 6.8 5.4 1.4 4.0 0.7 0.1 1.2 0.1 0.4 0.4 0.0 7.4 5.4 5.1 4.1 1.1 0.2 0.1 0.1 0.0 0.7 1.3 0.1 21.8 14.4 2.3 1.5 1.9 2.6 1.8 0.8 3.5 2.1 1.4
FY05 (LKPP) FY06 (Preliminary) (%) (%)
20.5 20.4 14.4 14.0 7.4 6.2 1.2 4.6 0.6 0.2 1.2 0.1 0.4 0.4 0.0 6.0 4.1 4.0 3.0 1.0 0.2 0.1 0.1 0.0 0.5 1.3 0.1 21.6 14.3 2.9 2.0 2.1 2.4 1.7 0.8 2.9 1.8 1.2 0.0
FY 07 (APBN) (%)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
169
170 FY01 (%)
7. Bantuan Sosial 8. Lain-lain 0.3 9. Transfer ke Daerah 10. Pembangunan Pengeluaran 2.5 a. Pembiayaan Rupiah 1.3 Transfer Modal ke Daerah Anggaran pemerintah pusat 1.3 b. Pembiayaan Proyek dng Pinjaman Asing 1.2 II. TTransfer ke Daerah 4.8 1. Dana perimbangan 4.8 a. Bagi Hasil Pendapatan 1.2 b. Dana Alokasi Umum 3.6 c. Dana Alokasi Khusus 0.0 2. Dana otonomi khusus & penyesuaian C. SALDO PRIMER 2.7 D. SURPLUS / DEFISIT -2.5 E. PEMBIAYAAN BERSIH 2.5 I. Pembiayaan Dalam Negeri , netto 1.9 1. Perbankan Dalam Negeri 0.0 2. Non-perbankan 1.9 a. Privatisasi 0.2 b. Restrukturisasi Perbankan & penjualan 1.7 aset c. Penjualan obligasi 0.0 i. Surat Utang Pemerintah (termasuk Obligasi 0.0 Int’l) ii. Amortisasi hutang dalam negeri 0.0 iii. Beli kembali d. Fasilitas Mortgage /partisipasi modal II. Pembiayaan Luar Negeri, netto 0.6 1. Pinjaman Luar Negeri 1.6 a. Pinjaman Program 0.4 b. Pinjaman Proyek 1.2 2. Amortisasi -0.9 F. PEMBIAYAAN KOTOR 3.4 Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data SIKD dan data dari DepKeu.
(% GDP) 0.7 3.4 2.5 2.5 0.9 5.9 5.4 1.5 3.8 0.1 0.5 1.5 -1.7 1.6 1.6 0.4 1.2 0.4 1.0 -0.2 0.6 -0.3 -0.4 0.0 1.0 0.1 0.9 -1.0 3.4
2.0 1.4 1.4 0.6 5.3 5.1 1.3 3.7 0.0 0.2 3.4 -0.9 1.4 1.4 0.0 1.4 0.4 1.0 -0.1 0.1 -0.2
0.0 1.0 0.4 0.6 -1.0 2.1
FY03 (%)
0.2
FY02 (%)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru -1.3 0.8 0.2 0.6 -2.0 4.2
-1.1 0.0
1.4
0.3
0.7
2.1 0.6 5.7 5.4 1.6 3.6 0.2 0.3 1.7 -1.0 0.9 2.1 1.0 1.1 0.2
2.7 2.1
0.6
FY04 (LKPP) (%)
-0.7 -0.2 -0.3 -0.3 1.0 0.4 0.6 -1.4 2.8
1.7
0.8
0.2
5.6 5.3 1.9 3.3 0.2 0.3 1.6 -0.5 0.4 0.7 -0.1 0.8 0.0
0.0 0.0
1.0 1.1
-0.1 -0.6 1.1 0.4 0.6 -1.7 2.8
1.2
0.1
7.4 7.2 2.1 4.7 0.4 0.1 1.5 -1.0 1.1 1.7 0.5 1.2 0.0
1.4 1.1
FY05 (LKPP) FY06 (Preliminary) (%) (%)
-0.8 0.0 -0.1 -0.4 1.1 0.5 0.7 -1.6 3.5
2.0
1.1
0.0
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.3 7.1 1.9 4.7 0.5 0.2 1.3 -1.1 1.1 1.6 0.4 1.2 0.1
1.5 0.5
FY 07 (APBN) (%)
LAMPIRAN Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
17 18 19 20 21 22 23
III. Kabupaten/Kota Pendapatan Transfers dari pusat Pendapatan Asli Pengeluaran - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran embangunan Saldo
IV. AGREGAT ANGGARAN Pendapatan Pemerintah pusat Provinsi Kabupaten/kota Pengeluaran Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Pemerintah pusat
10,600 6,760 3,840 -342
8,986 5,938 3,048 19
13 14 15 16
1,280 60,893 30,647 4 30,245
1 68,697 10 64,412 19 3,005
76,290 70,852 3,849 1,589 66,446 35,928 30,518
11,307 9,718 1,589 11,432 6,179 5,252 -124 22,031
0
0
12
9,669 8,388 1,280 9,701 5,027 4,674 -32 18,686
10,258 6,409 3,849 10,600
9,005 6,000 3,005 8,986
5,511
8 9 10 11
1,911
65,341 20,926 44,415 22,989 21,426
70,852
1995
II. Provinsi Pendapatan Transfers dari pusat Pendapatan Asli Pengeluaran Transfer ke pemerintah bawahan Pengeluaran sendiri - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran embangunan Saldo
7
2 62,501 3 20,295 4 42,206 5 19,683 6 22,523
Saldo
1 64,412
Pengeluaran Transfer ke Daerah Pengeluaran Sendiri - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran Pembangunan
1994
Penerimaan
I. PEMERINTAH PUSAT
(Rp milyar)
93,818 87,630 4,311 1,876 83,201 45,494 37,707
13,136 11,260 1,876 13,295 7,289 6,007 -159 25,680
12,384 7,581 4,803 -1,030
0
11,354 7,043 4,311 12,384
5,410
82,220 24,698 57,522 30,625 26,897
87,630
1996
119,020 112,275 4,648 2,097 109,409 69,854 39,555
15,471 13,374 2,097 15,649 8,732 6,917 -178 28,544
12,895 8,044 4,851 -802
0
12,093 7,445 4,648 12,895
2,974
109,301 28,436 80,866 53,079 27,787
112,275
1997
152,389 146,872 3,094 2,423 160,681 109,347 51,333
20,828 18,404 2,423 20,233 13,690 6,543 595 28,236
8,003 4,779 3,224 583
0
8,586 5,492 3,094 8,003
-25,798
172,670 40,225 132,445 90,878 41,567
146,872
1998
Tabel C.8. Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
211,862 204,422 4,369 3,071 198,322 139,804 58,518
27,153 24,082 3,071 27,203 18,695 8,508 -50 38,766
11,562 6,739 4,823 130
0
11,693 7,324 4,369 11,562
2,479
201,943 42,387 159,556 114,369 45,187
204,422
1999
211,285 205,335 2,967 2,984 175,572 134,962 40,610
27,102 24,118 2,984 29,581 18,777 10,804 -2,479 37,320
7,739 3,748 3,991 1,091
0
8,830 5,863 2,967 7,739
16,944
188,391 50,139 138,253 112,438 25,815
205,335
2000
20,651 12,208 8,443 2,375 78,699 70,609 8,089 71,625 49,170 22,454 7,074 94,734 318,788 299,661 11,038 8,089 352,784 280,302 72,482
29,222 14,530 14,693 720 93,381 81,217 12,164 89,888 58,738 31,150 3,493 122,139 327,057 298,528 16,365 12,164 336,435 253,373 83,062
3,029
32,972 16,607 16,365 32,252
25,485 14,447 11,038 23,109 2,458
-17,001
315,529 98,204 217,325 180,106 37,220
298,528
2002
-41,902
341,563 81,054 260,508 218,923 41,585
299,661
2001
33,897 13,160 20,738 -48 115,236 97,153 18,083 115,279 72,128 43,151 -44 155,031 380,339 341,396 20,861 18,083 405,368 272,232 133,136
5,854
39,703 18,843 20,861 39,751
-35,109
376,505 120,314 256,191 186,944 69,247
341,396
2003
32,404 12,873 19,531 2,666 122,121 101,935 20,186 118,959 79,115 39,844 3,162 162,293 446,953 400,589 26,178 20,186 445,293 324,939 120,354
10,930
46,001 19,823 26,178 43,335
-23,386
423,975 130,045 293,930 232,951 60,979
400,589
2004
38,218 15,183 23,035 144,302 119,119 25,183 140,566 93,485 47,081 3,737 191,675 551,719 495,446 31,089 25,183 535,754 404,727 131,027
0
54,254 23,165 31,089 51,109
-13,492
508,938 151,968 356,970 296,059 60,911
495,446
2005 (E)
53,240 21,151 32,089 206,843 177,440 29,404 201,487 134,002 67,486 5,356 272,685 708,275 637,799 41,072 29,404 698,237 495,802 202,434
-
(32,081) 75,578 34,506 41,072 71,198
669,880 226,371 443,509 340,650 102,860
637,799
2006 (P)
59,065 23,465 35,600 236,479 202,855 33,625 230,356 153,201 77,155 6,123 309,345 801,083 723,058 44,400 33,625 794,198 553,944 240,254
-
83,848 39,448 44,400 78,989
(40,513)
763,571 258,795 504,776 377,277 127,499
723,058
2007 (P)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
171
172 5 6 13 14 15 20 21 22
42,206 19,683 22,523 8,986 5,938 3,048 9,701 5,027 4,674 7,805 22,206 -5,981
1994 44,415 22,989 21,426 10,600 6,760 3,840 11,432 6,179 5,252 9,844 26,438 -6,751
1995 57,522 30,625 26,897 12,384 7,581 4,803 13,295 7,289 6,007 10,616 30,109 -8,073
1996 80,866 53,079 27,787 12,895 8,044 4,851 15,649 8,732 6,917 9,611 31,410 -8,247
1997 132,445 90,878 41,567 8,003 4,779 3,224 20,233 13,690 6,543 -8,292 14,427 -4,909
1998
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 100 36 -10 -14
1996 (%) 100 93 5 2
Saldo, % dari belanji nasioanl 100 100 - Pemerintah pusat 36 40 - Provinsi -10 -10 -14 -15 - Kabupaten Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu.
1995 (%) 100 93 5 2 100 55 45 69 37 32 15 9 6 16 9 7
100 50 50 69 32 37 15 10 5 16 8 8
1994 (%) 100 94 4 2 100 54 46 67 35 32 16 10 6 17 9 8
Pengeluaran - Rutin Pengeluaran - Pembangunan Pengeluaran Pemerintah pusat - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran Pembangunan Provinsi - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran Pembangunan Kabupaten - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran Pembangunan
Pendapatan - Pemerintah pusat - Provinsi - Kabupaten
Pembagian
100 29 -8 -12
100 64 36 74 49 25 12 7 4 14 8 6
1997 (%) 100 94 4 2
100 9 -3 -11
100 68 32 82 57 26 5 3 2 13 9 4
1998 (%) 100 96 2 2
Tabel C.9. Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.
- Pengeluaran Rutin - Pengeluaran embangunan Provinsi - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran embangunan Kabupaten - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran embangunan Saldo Pemerintah pusat Provinsi Kabupaten
(Rp milyar)
100 23 -4 -12
100 70 30 80 58 23 6 3 2 14 9 4
1999 (%) 100 96 2 1
159,556 114,369 45,187 11,562 6,739 4,823 27,203 18,695 8,508 13,540 44,866 -7,194
1999
100 38 -3 -15
100 77 23 79 64 15 4 2 2 17 11 6
2000 (%) 100 97 1 1
138,253 112,438 25,815 7,739 3,748 3,991 29,581 18,777 10,804 35,713 67,082 -4,772
2000
100 11 -3 -18
100 79 21 74 62 12 6 3 2 20 14 6
2001 (%) 100 94 3 3
260,508 218,923 41,585 20,651 12,208 8,443 71,625 49,170 22,454 -33,996 39,153 -9,613
2001
100 24 -4 -23
100 75 25 65 54 11 9 4 4 27 17 9
2002 (%) 100 91 5 4
217,325 180,106 37,220 29,222 14,530 14,693 89,888 58,738 31,150 -9,378 81,203 -12,858
2002
100 21 -3 -24
100 67 33 63 46 17 8 3 5 28 18 11
2003 (%) 100 90 5 5
256,191 186,944 69,247 33,897 13,160 20,738 115,279 72,128 43,151 -25,028 85,205 -13,037
2003
100 24 -1 -22
100 73 27 66 52 14 7 3 4 27 18 9
2004 (%) 100 90 6 5
293,930 232,951 60,979 32,404 12,873 19,531 118,959 79,115 39,844 3,162 106,659 -6,226
2004
100 26 -1 -22
100 76 24 67 55 11 7 3 4 26 17 9
2005 (E) (%) 100 90 6 5
356,970 296,059 60,911 38,218 15,183 23,035 140,566 93,485 47,081 3,737 138,476 -7,129
2005 (E)
100 28 -2 -25
100 71 29 64 49 15 8 3 5 29 19 10
2006 (P) (%) 100 90 6 4
443,509 340,650 102,860 53,240 21,151 32,089 201,487 134,002 67,486 5,356 194,290 (12,167)
2006 (P)
100 27 -2 -25
100 70 30 64 48 16 7 3 4 29 19 10
2007 (P) (%) 100 90 6 4
504,776 377,277 127,499 59,065 23,465 35,600 230,356 153,201 77,155 6,123 218,282 (14,665)
2007 (P)
LAMPIRAN Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
581
PDB Nominal (Rp triliun) 407 485 Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu.
14 8 6 10 5 5 2 1 1 2 1 1
16 15 1 0
1996 (%)
2 5 -1 -2
14 7 6 9 5 4 2 1 1 2 1 1
16 15 1 0
1995 (%)
2 5 -1 -2
2 5 -1 -2
15 8 7 10 5 6 2 1 1 2 1 1
Pengeluaran - Rutin Pengeluaran - Pembangunan Pengeluaran Pemerintah pusat - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran Pembangunan Provinsi - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran Pembangunan Kabupaten - Pengeluaran Rutin - Pengeluaran Pembangunan
Saldo - Pemerintah pusat - Provinsi - Kabupaten
17 16 1 0
1994 (%)
Pendapatan - Pemerintah pusat - Provinsi - Kabupaten
Pembagian dalam PDB
735
1 4 -1 -2
15 10 5 11 7 4 2 1 1 2 1 1
16 15 1 0
1997 (%)
1096
-1 1 0 -2
15 10 5 12 8 4 1 0 0 2 1 1
14 13 0 0
1998 (%)
1219
1 4 -1 -2
16 11 5 13 9 4 1 1 0 2 2 1
17 17 0 0
1999 (%)
1066
3 6 0 -2
16 13 4 13 11 2 1 0 0 3 2 1
20 19 0 0
2000 (%)
1390
-2 3 -1 -5
25 20 5 19 16 3 1 1 1 5 4 2
23 22 1 1
2001 (%)
1684
-1 5 -1 -5
20 15 5 13 11 2 2 1 1 5 3 2
19 18 1 1
2002 (%)
Tabel C.10.Anggaran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota sebagai Persentasi dari GDP
1863
-1 5 -1 -5
22 15 7 14 10 4 2 1 1 6 4 2
20 18 1 1
2003 (%)
2046
0 5 0 -5
22 16 6 14 11 3 2 1 1 6 4 2
22 20 1 1
2004 (%)
2273
0 6 0 -5
24 18 6 16 13 3 2 1 1 6 4 2
24 22 1 1
2005 (E) (%)
2730
0 7 0 -6
26 18 7 16 12 4 2 1 1 7 5 2
26 23 2 1
2006 (P) (%)
3316
0 7 0 -6
24 17 7 15 11 4 2 1 1 7 5 2
24 22 1 1
2007 (P) (%)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
173
174 285
26
26 292
1995/96
285
26
26 292
1996/97
290
26
26 292
1997/98
291
26
26 292
1998/99
298
26
26 292
1999 - 2000
313
25
30 332
2000
327
-
29 29 28 330
30 30 30
30
30 348
2002
29 29 28
29
30 336
2001
332
14 14 13
14 14 14
28
30 370
2003
346
27 27 27
1 1 1
28
32 410
2004
Format Lama Pendapatan 330 327 137 32 Rutin 328 326 137 32 Pengeluaran 327 320 134 32 Format Baru Pendapatan 198 314 Pengeluaran 197 314 190 302 Pendanaan Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD. Catatan::* Tidak termasuk Timor Timur (1994-97) **Total tidak termasuk 13 kabupaten/kota di Timor Timur (1994-97) dan DKI Jakarta, berdasarkan database World Bank Jakarta tentang desentralisasi, jumlah resmi kabupaten/kota sebelum desentralisasi (1994-99) sesuai dengan UU adalah 292. Tetapi, kabupaten/kota yang muncul dalam data anggaran (dari BPS) berbeda dari tahun ke tahun. Pada 2000, jumlah kabupaten/kota tidak jelas karena ada sejumlah kabupaten/kota baru yang berdiri selama periode ini. Jumlah kabupaten/ setelah desentralisasi berasal dari jumlah kabupaten/kota yang menerima DAU tiap tahun.
Jumlah kabupaten/kota yang menyerahkan APBD mereka 284
26
Jumlah Propinsi yang menyerahkan APBD mereka
Format Lama Pendapatan Rutin Pengeluaran Format Baru Pendapatan Pengeluaran Pendanaan
26 292
Jumlah Propinsi* Jumlah kabupaten/kota**
1994/95
Tabel C.11. Jumlah Pemerintah Daerah yang Melaporkan Anggaran Mereka
LAMPIRAN Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Pengeluaran Rutin (Klasifikasi Ekonomi) - Belanja Pegawai - Pengeluaran Barang - Pengeluaran Operasional & Pemeliharaan - Pengeluaran Perjalanan Dinas - Pengeluaran Lain-Lain - Pengeluaran Tidak Termasuk Bagian Lain - Pensiun, Bantuan dan subsidi - Pensiun, dan Bantuan - Subsidi Kepada Daerah Bawahan Total
Total Pengeluaran Rutin
- Pengeluaran Rutin Lain
Pengeluaran Rutin - Bagian Administrasi Pemerintahan Umum - Bagian Pekerjaan Umum - Bagian Perhubungan - Bagian Kesehatan Umum - Bagian Pendidikan dan Kebudayaan - Bagian Perumahan, Tenaga Kerja , dan Sosial - Bagian Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, dan Koperasi - Bagian Industri, Perdagangan, dan Pertambangan - Pensiun dan Bantuan - Subsidi pada Daerah Bawahan
Pendapatan - Pendapatan Asli Daerah - Dana Perimbangan - Bagi Hasil Pajak - Bagi Hasil Penerimaan Sumber Daya Alam - Subsidi Daerah Otonom /SDO - Dana Inpres - DAU - DAK - Pendapatan Lain-lain Total Pendapatan
(Rp triliun)
Tabel C.12. Anggaran Pemerintah Provinsi
-
-
4,216 702 465 90 561 259 467 0 0 6,760
-
-
3,985 633 349 73 413 191 292 0 0 5,938
-
3,808 6,409 572 412 4,128 1,298 0 0 41 10,258
1995/96
-
2,977 6,000 475 275 4,003 1,246 0 0 28 9,005
1994/95
4,537 839 499 103 668 363 573 0 0 7,581
-
-
-
4,280 7,043 731 454 4,436 1,421 0 0 31 11,354
1996/97
4,711 915 501 113 747 411 646 0 0 8,044
-
-
-
4,606 7,445 773 501 4,555 1,616 0 0 42 12,093
1997/98
1,931 897 332 113 540 414 552 0 0 4,779
-
-
-
3,074 5,492 1,071 811 1,791 1,819 0 0 20 8,586
1998/99
2,395 1,284 495 144 642 1,087 693 0 0 6,739
-
-
-
4,364 7,324 1,277 896 2,218 2,933 0 0 5 11,693
1999 - 2000
1,532 791 155 129 517 623 0 0 0 3,748
-
-
-
2,965 5,863 530 747 1,578 3,008 0 0 2 8,830
2000
5,805 2,611 1,110 197 1,216 1,188 82 0 2,458 14,667
155 82 2,458 1,188 14,667
677
6,759 984 218 1,177 580 388
10,005 14,447 4,348 3,366 0 0 6,575 158 1,033 25,485
2001
5,826 3,419 1,352 287 1,871 1,748 0 27 3,029 17,559
271 27 3,029 1,748 17,559
802
6,974 1,071 291 1,448 1,353 544
14,232 16,607 5,119 3,972 0 0 7,354 162 2,133 32,972
2002
6,659 2,753 781 413 1,002 1,322 0 229 5,854 19,014
336 229 5,854 1,322 19,014
914
6,506 643 289 1,359 785 776
17,798 18,843 6,546 3,608 0 0 8,345 344 3,062 39,703
2003
8,782 2,414 615 539 49 475 0 0 10,930 23,804
266 0 10,930 475 23,804
968
7,342 787 270 1,248 797 721
22,696 19,823 8,759 2,833 0 0 8,217 13 3,482 46,001
2004
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
175
176
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 1,096 129 692 71 277 435
Pengeluaran Pembangunan (8 Sektor) - Administrasi Umum Kepemerintahan - Bagian Pekerjaan Umum - Bagian Perhubungan - Bagian Kesehatan Umum - Bagian Pendidikan dan Kebudayaan - Bagian Perumahan, Perburuhan, dan Sosial
Surplus Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.
- Bagian Industri, Perdagangan, dan Pertambangan Total
- Bagian Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, dan Koperasi
367 62 425 1,037 4 57 3,840
277 50 380 821 5 44 3,048
19
208 3,048
140
-342
179 3,840
140
1,530 197 840 97 367 491
-1,030
217 4,803
172
1,965 236 914 116 536 648
536 75 559 1,150 5 58 4,803
178
22
17
169
217 141
211
1,411 124 26
1,833 154 24
1996/97
1,003 109 21 14
1995/96
108
1994/95
Pengeluaran Pembangunan (12 Sektor) - Sektor Aparatur Negara - Sektor Pertanian dan Kehutanan - Sektor Pertambangan dan Energi - Sektor Industri, Perdagangan, Pembangunan Usaha Daerah, dan Keuangan - Sektor Tenaga Kerja - Sektor Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Anak-anak, dan Pemuda - Sektor Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama - Sektor Lingkungan dan Tata Ruang - Sektor Pembangunan Wilayah, Perumahan, dan Pemukiman - Sektor Sumber Daya Air, Irigasi, dan Perhubungan - Sektor Kependudukan dan Keluarga Berencana - Pariwisata dan Telekomunikasi Total Pengeluaran Pembangunan
(Rp triliun)
-802
260 4,851
175
1,986 241 1,005 104 446 635
446 102 557 1,245 6 53 4,851
152
24
263
1,830 151 21
1997/98
583
129 3,224
172
1,263 278 767 66 215 334
215 81 265 1,045 5 28 3,224
111
19
130
1,154 161 10
1998/99
130
387 4,823
280
1,270 387 1,037 298 561 604
561 133 506 1,424 4 42 4,823
367
25
386
1,095 258 22
1999 - 2000
1,091
0 0
0
0 0 0 0 0 0
499 134 291 1,156 5 32 3,991
519
19
290
733 293 19
2000
2,375
713 8,443
662
1,955 408 1,776 568 1,363 998
1,363 286 718 2,184 19 83 8,443
767
62
787
1,587 551 36
2001
720
1,151 14,693
823
4,160 640 2,830 924 2,646 1,520
2,646 411 1,135 3,469 52 163 14,693
1,166
91
1,190
3,585 686 98
2002
-48
731 20,738
944
7,939 2,387 2,454 1,462 3,137 1,683
3,137 698 1,306 4,841 60 175 20,738
1,717
113
670
6,980 799 241
2003
2,666
436 19,531
949
5,957 5,104 789 1,752 3,018 1,525
3,018 566 1,117 5,893 83 171 19,531
1,987
173
453
5,039 855 176
2004
LAMPIRAN Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Pengeluaran Rutin (Klasifikasi Ekonomi) - Belanja Pegawai - Pengeluaran Barang - Pengeluaran Operasional & Pemeliharaan - Pengeluaran Perjalanan Dinas - Pengeluaran Lain-Lain - Pengeluaran Tidak Termasuk Bagian Lain - Pensiun, Bantuan dan subsidi - Pensiun, dan Bantuan - Subsidi Kepada Daerah Bawahan Total
Total Pengeluaran Rutin
- Pengeluaran Rutin Lain
Pengeluaran Rutin - Bagian Administrasi Pemerintahan Umum - Bagian Pekerjaan Umum - Bagian Perhubungan - Bagian Kesehatan Umum - Bagian Pendidikan dan Kebudayaan - Bagian Perumahan, Tenaga Kerja , dan Sosial - Bagian Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, dan Koperasi - Bagian Industri, Perdagangan, dan Pertambangan - Pensiun dan Bantuan - Subsidi pada Daerah Bawahan
Pendapatan - Pendapatan Asli Daerah - Dana Perimbangan - Bagi Hasil Pajak - Bagi Hasil Penerimaan Sumber Daya Alam - Subsidi Daerah Otonom /SDO - Dana Inpres - DAU - DAK - Pendapatan Lain-lain Total Pendapatan
(Rp triliun)
6,179
5,027
4,019 751 190 121 685 300 114 0 0 6,179
-
-
3,337 558 158 95 530 255 93 0 0 5,027
-
1,513 9,718 1,541 267 4,197 3,713 0 0 76 11,307
1995/96
-
1,219 8,388 1,349 176 3,372 3,490 0 0 61 9,669
1994/95
Tabel C.13. Pemerintah kabupaten/kota Anggaran
4,677 928 226 135 796 377 149 0 0 7,289
7,289
-
-
1,757 11,260 1,940 305 4,888 4,127 0 0 119 13,136
1996/97
5,748 1,056 249 144 895 427 213 0 0 8,732
8,732
-
-
1,962 13,374 2,123 330 5,987 4,935 0 0 134 15,471
1997/98
10,161 1,328 287 158 984 519 252 0 0 13,690
13,690
-
-
2,362 18,404 2,459 389 10,519 5,037 0 0 62 20,828
1998/99
14,091 1,727 358 203 1,181 775 361 0 0 18,695
18,695
-
-
2,791 24,082 2,874 534 14,118 6,555 0 0 280 27,153
1999 2000
13,762 1,823 341 879 850 657 465 0 0 18,777
18,777
-
-
2,640 24,118 2,731 535 13,648 7,138 0 0 344 27,102
2000
36,091 5,402 1,081 553 3,160 1,970 0 87 827 49,170
258 87 827 1,970 49,170
1,095
16,434 1,424 302 3,150 23,225 398
5,267 70,609 5,849 8,575 0 0 55,301 885 2,822 78,699
2001
39,986 7,600 1,596 912 4,959 2,662 0 71 952 58,738
391 71 952 2,662 58,738
1,759
17,615 2,015 449 4,238 27,977 607
7,439 81,217 7,551 9,566 0 0 63,377 723 4,725 93,381
2002
49,585 8,059 1,805 1,387 3,576 2,607 0 166 4,943 72,128
555 166 4,943 2,607 72,128
2,114
21,176 1,586 555 4,584 33,017 825
8,707 97,153 10,228 11,060 0 0 72,416 3,449 9,376 115,236
2003
57,095 7,547 1,780 1,585 950 1,682 0 0 8,476 79,115
533 0 8,476 1,682 79,115
2,263
23,170 1,357 583 4,976 35,204 871
10,131 101,935 13,706 8,773 0 0 75,794 3,661 10,055 122,121
2004
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
177
178
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru 932 46 1,697 206 727 735
Pengeluaran Pembangunan (8 Sector) - Administrasi Umum Kepemerintahan - Bagian Pekerjaan Umum - Bagian Perhubungan - Bagian Kesehatan Umum - Bagian Pendidikan dan Kebudayaan - Bagian Perumahan, Perburuhan, dan Sosial
Surplus Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu.
0
191 932
770 205 787 2,030 15 45 5,252
727 187 683 1,743 13 91 4,674
- Bagian Industri, Perdagangan, dan Pertambangan Total
262
237
141
8
8
- Bagian Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, dan Koperasi
212
205
0
225 1,021
134
1,021 66 1,964 229 770 843
771 122 25
1995/96
653 106 20
1994/95
Pengeluaran Pembangunan (12 Sektor) - Sektor Aparatur Negara - Sektor Pertanian dan Kehutanan - Sektor Pertambangan dan Energi - Sektor Industri, Perdagangan, Pembangunan Usaha Daerah, dan Keuangan - Sektor Tenaga Kerja - Sektor Kesehatan, Kesejahteraan Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Anak-anak, dan Pemuda - Sektor Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama - Sektor Lingkungan dan Tata Ruang - Sektor Pembangunan Wilayah, Perumahan, dan Pemukiman - Sektor Sumber Daya Air, Irigasi, dan Perhubungan - Sektor Kependudukan dan Keluarga Berencana - Pariwisata dan Telekomunikasi Total Pengeluaran Pembangunan
(Rp triliun)
0
258 1,268
179
1,268 76 2,179 271 839 936
839 223 869 2,255 16 56 6,007
314
8
243
989 170 24
1996/97
0
261 1,378
216
1,378 89 2,265 323 1,014 1,370
1,014 257 1,260 2,354 31 62 6,917
393
9
242
1,059 205 30
1997/98
0
285 1,117
265
1,117 76 1,848 278 1,042 1,632
1,042 228 1,461 1,924 36 58 6,543
377
36
273
831 250 28
1998/99
0
479 1,850
423
1,850 136 2,218 272 1,166 1,964
1,166 464 1,740 2,354 44 152 8,508
424
28
471
1,234 398 33
1999 2000
0
0 0
0
0 0 0 0 0 0
1,060 408 2,306 2,694 30 141 10,804
451
19
1,995
1,250 406 45
2000
7,074
1,494 4,871
1,259
4,871 755 6,056 1,237 3,017 3,765
3,017 672 3,424 6,810 61 344 22,454
1,454
64
1,421
3,855 1,145 188
2001
3,493
2,194 6,801
1,765
6,801 1,115 7,979 1,487 4,600 5,209
4,600 1,266 4,546 9,094 122 388 31,150
1,869
159
2,158
5,148 1,489 312
2002
-44
2,008 12,519
2,022
12,519 7,488 5,827 2,889 5,328 5,071
5,328 1,253 4,386 13,315 186 401 43,151
3,291
218
1,710
10,724 1,815 524
2003
3,162
690 14,148
2,078
14,148 10,669 1,601 3,132 4,601 2,924
4,601 1,131 2,435 12,270 258 258 39,844
3,453
150
676
12,461 1,938 212
2004
LAMPIRAN Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Tabel C.14. Pemetaan Sektoral PER untuk Pengeluaran Pembangunan dan Rutin Kategori Sektor Dalam Laporan Ini
Sektor dalam APBN/sub-sektor dan kode nomor untuk belanja pembangunan dan rutin
Pertanian
Sektor Pertanian dan Kehutanan (kode sektor 2).
Pendidikan
Sektor Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama, pemuda & olahraga (diluar 11.3 dan 11.4) (kode sektor 11), Pendidikan Agama (kode sektor 15.2) Sub sektor kesehatan (kode sektor 13.2)
Kesehatan
Sektor dalam Database Anggaran Pembangunan Daerah (Berdasarkan Klasifikasi 12 Sektor, kecuali dinyatakan lain) Sektor Pertanian dan Kehutanan (kode sektor 02). Sektor Pendidikan, Kebudayaan, dan Agama (kode sektor 07).
Pertambangan
Sub-sektor sektor 7.1)
(kode
Bagian Kesehatan Umum (Berdasarkan Klasifikasi 8 Sektor) (kode sektor 205). Sub-sektor Pertambangan dan Energi (kode sektor 03), Angka untuk 2004 diperkirakan menggunakan data pada 2003.
Sektor Perdagangan, Pembangunan Usaha, Keuangan, dan Koperasi
Sektor Perdagangan, Pembangunan Usaha, Keuangan, dan Koperasi (kode sektor 5)
Sektor Industri, Perdagangan, Pembangunan Usaha Daerah, dan Keuangan (kode sektor 04).
Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan
Sektor Aparatur Negara Pengawasan (kode sektor 18)
Sektor Aparatur Negara (kode sektor 01).
Sektor Tenaga Kerja
Sektor Tenaga Kerja (kode sektor 4)
Sektor Pertahanan & Keamanan Lingkungan dan Tata Ruang
Sektor Pertahanan & Keamanan (kode sektor 20) Lingkungan dan Tata Ruang (kode sektor 10)
Infrastruktur
Sektor Irirgasi(kode: 3) sub-sektor infrastruktur jalan(kode: 6.1), subsektor transportasi darat (kode: 6.2), sub-sektor transportasi laut (kode: 6.3), sub-sektor transportasi udara (kode: 6.4), sub-sektor energi (7.2), sub-sektor energi (8.2), sektor perumahan & pemukiman (kode: 14), seb-sektor pembangunan daerah (kode: 9.1) Industrial (1), sub-sektor kesejahteraan sosial (kode: 13.1), sub-sektor peranan perempuan, anak dan Pemuda (kode: 13.3), Sektor kependudukan dan keluarga berencana (kode: 12), sub-sektor pelayanan agama (kode: 15.1), sektor Iptek (kode: 16), Sektor hukum (kode: 17), politik, luar negeri, informasi & komunikasi (kode: 19), sub-sektor pariwisata (kode: 8.1), subsektor meteorologi, geofisika, dan SAR (kode: 6.5), sub-sektor transmigrasi (kode: 9.2)
Lain-lain
pertambangan
dan
Sektor Tenaga Kerja (kode sektor 05). Tidak ada. Sektor Lingkungan dan Perencanaan Tata Ruang (kode sektor 08). Sektor Pengembangan Wilayah, Perumahan, dan Pemukiman (kode sektor 09); Sektor Air Bersih, Irigasi, dan Transportasi (kode sektor 10); Sub-sektor Telekomunikasi (kode sektor 082); Sektor Pertambangan dan Energi (data untuk 2004 diperkirakan menggunakan data tahun 2003). Residu Sektor Kesehatan (kode sektor 06 dikurangi kode 205); Sub-sektor Pariwisata (kode sektor 11).
Sektor dalam Database Anggaran Rutin Daerah (Berdasarkan Klasifikasi 8 Sektor kecuali dinyatakan lain) Bagian Pertanian, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan, Perikanan , dan Koperasi (Kode Bagian 208). Bagian Pendidikan dan Kebudayaan (Kode Bagian 206). Bagian Kesehatan Umum (Kode Bagian 205). Sub-Bagian Pertambangan (Kode Bagian 20903), angka untuk 2004 diperkirakan menggunakan data untuk pertambangan dalam Sektor industri, perdagangan dan pertambangan pada2002 (Kode Bagian 209) ndustri (Kode Bagian 20901); Perdagangan (Kode Bagian 20902). Angka untuk 2004 diperkirakan menggunakan data pada sub-sektor ini untuk 2002. Bagian Administrasi Pemerintahan Umum Pemerintah (Kode Bagian 202) (dikurangi komponen Lingkungan sesuai pembagiannya pada 2002).. Sub-sektor Tenaga Kerja (Kode Bagian 20703). Tidak ada. Bagian Lingkungan (Kode Bagian 20211), Angka untuk 2004 diperkirakan menggunakan data anggaran sub-Bagian pada 2002. Bagian Pekerjaan Umum (Kode Bagian 203), Bagian Perhubungan (Kode Bagian 204), Pemukiman Penduduk (Kode Bagian 20704).
Urusan Sosial (Bagian code 20701), Subsidi kepada Daerah (Kode Bagian 309), Pengeluaran rutin yang lain (Kode Bagian 399), Pensiun dan Bantuan (Kode Bagian 308).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
179
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Seksi C.15. Mengelola Rekening ‘off budget’ dan Pengaturan Anggaran Penyaluran dana antara, Pertamina, dan PLN tidak berjalan dengan efisien dalam pelaksanaan anggaran. Berdasarkan peraturan pemerintah, pemerintah pusat harus menyalurkan dana subsidi BBM kepada Pertamina setiap bulan. Sistem yang berlaku sekarang diharapkan mampu meningkatkan situasi arus keuangan Pertamina, karena Pertamina menerima 70 persen subsidi anggaran setiap kwartal berdasarkan sistem yang lama. Akan tetapi, sejak akhir Agustus 2006, hanya Rp 4.7 triliun (9 persen dari subsidi anggaran BBM) dari subsidi BBM yang disalurkan ke Pertamina. Berikut adalah alasan atas terjadinya kelambatan penyaluran dana: - Pertamina masih berhutang kepada pemerintah: Hutang Pertamina mencapai jumlah yang snagat besar sampai akhir 2005 termasuk dividen yang belum dibayarkan, pendapatan pajak non-migas. Oleh karena itu, pemerintah enggan untuk membayar subsidi BBM tepat waktu; - Sistem penyelesaian hutan yang rumit antara pemerintah, Pertamina, dan PLN (Diagram G.1): Pemerintah harus membayar subsidi listrik kepada PLN, sementara PLN berhutang kepada Pertamina. Hubungan antara ke 3 stakeholders ini menyebabkan pembayaran subsidi menjadi rumit. - Penundaan penerbitan Keputusan: Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tentang patokan harga minyak untuk anggaran 2006 dikeluarkan pada 18 Juli. Karena Keputusan ini diperlukan oleh DepKeu untuk menghitung besarnya subsidi BBM, penundaan penerbitan SK itu menyebabkan penundaan pembayaran.
Diagram C.15.1. Transaksi Keuangan antara Pemerintah, Pertamina, dan PLN
Pemerintah Pendapatan dividends
Subsidi Listrik
Subsidi BBM
dividends
Pasokan Listrik
Pertamina
180
Pembayaran Listrik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
PLN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Lampiran D. Lintas Sektoral Tabel D.1. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor (Current price, Rp milyar) Pertanian Pendidikan Kesehatan Pertambangan
Perdagangan, NBD, FCS (termasuk pembayaran bunga utang & subsidi) Aparatur Negara & Pengawasan Sektor Tenaga Kerja Pertahanan & Keamanan Lingkungan dan Rencana Tata Ruang Infrastruktur Lain-lain
2001
2002
2003
2004
2005
2006*
2007**
6,276 40,451 9,252 618
7,613 48,167 11,004 708
10,701 64,788 16,014 878
10,992 63,064 16,704 985
11,883 79,672 21,850 1,066
18,170 120,243 31,222 1,208
21,215 134,629 35,615 1,690
192,773
148,813
150,580
191,435
234,922
277,910
295,266
31,678 35,064 52,703 55,591 66,510 106,777 107,675 606 957 1,499 1,481 1,379 2,383 2,523 16,521 21,419 26,975 29,466 32,399 45,084 54,910 2,043 2,567 3,331 3,073 3,352 7,279 8,385 32,412 35,258 51,678 44,888 54,617 77,835 84,769 20,932 26,055 26,221 27,617 28,597 36,776 38,739 352.8 336.4 405.4 445.3 535.8 719.3 778.2 Total Nasional Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD . Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah . Pengeluaran pusat are defined herein as termasuk pengeluaran by pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .
Tabel D.2. Distribusi Pengeluaran Nasional Berdasarkan Sektor (% of Nasional expenditure) Pertanian Pendidikan Kesehatan Pertambangan Perdagangan, NBD, FCS (termasuk pembayaran bunga utang & subsidi) Aparatur Negara & Pengawasan
2001 (%)
2002 (%)
2003 (%)
2004 (%)
2005 (%)
2006* (%)
2007** (%)
1.8 11.4 2.6 0.2
2.3 14.3 3.3 0.2
2.6 16.0 4.0 0.2
2.5 14.2 3.8 0.2
2.2 14.9 4.1 0.2
2.6 17.2 4.5 0.2
2.7 17.1 4.5 0.2
54.5
44.1
37.1
43.0
43.8
39.8
37.6
9.0
10.4
13.0
12.5
12.4
15.3
13.7
Sektor Tenaga Kerja Pertahanan & Keamanan Lingkungan dan Rencana Tata Ruang Infrastruktur Lain-lain Total Nasional
0.2 0.3 0.4 0.3 0.3 0.3 0.3 4.7 6.3 6.7 6.6 6.0 6.5 7.0 0.6 0.8 0.8 0.7 0.6 1.0 1.1 9.2 10.4 12.7 10.1 10.2 11.1 10.8 5.9 7.7 6.5 6.2 5.3 5.3 4.9 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD . Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah . Pengeluaran pusat ditentukan di sini dengan meliputi pengeluaran pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
181
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel D.3. Distribusi Pengeluaran Nasional (tingkat pertumbuhan tahunan) Berdasarkan Sektor
Pertanian Pendidikan Kesehatan Pertambangan Perdagangan, NBD, FCS (termasuk pembayaran bunga utang & subsidi ) Aparatur Negara & Pengawasan Sektor Tenaga Kerja Pertahanan & Keamanan Lingkungan dan Rencana Tata Ruang Infrastruktur Lain-lain Total Nasional
2002 (%)
2003 (%)
2004 (%)
2005 (%)
2006* (%)
2007** (%)
2002-05 (%)
2005-07 (%)
8 6 6 2
32 26 37 16
-3 -8 -2 6
-2 14 18 -2
36 34 27 0
10 5 7 32
35 41 69 23
49 41 36 32
-31
-5
20
11
5
0
-13
5
-1
41
-1
8
42
-5
50
35
41 47 -7 -16 53 0 63 53 16 18 3 0 23 15 40 41 12 22 -13 -1 92 8 17 109 -3 38 -18 10 26 3 20 29 11 -6 -1 -6 14 -1 -2 13 -15 13 3 9 15.52 6 8 22 Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD . Catatan: * berdasarkan anggaran pusat dan estimasi alokasi daerah. Pengeluaran pusat ditentukan di sini dengan meliputi pengeluaran pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .
Tabel D.4. Distribusi Persentase Perubahan Tahunan Berdasarkan Sektor 2001-02 (%)
Pertanian Pendidikan Kesehatan Pertambangan Perdagangan, NBD, FCS (termasuk pembayaran bunga utang & subsidi ) Aparatur Negara & Pengawasan Sektor Tenaga Kerja Pertahanan & Keamanan Lingkungan dan Rencana Tata Ruang Infrastruktur Lain-lain Total Nasional
182
2002-03 (%)
2003-04 (%)
2004-05 (%)
2005-06* (%)
2006-07** (%)
0.1 0.7 0.2 0.0
0.7 3.7 1.2 0.0
-0.1 -1.3 -0.1 0.0
-0.1 2.0 0.7 0.0
0.8 5.0 1.1 0.0
0.3 0.9 0.3 0.1
-16.9
-2.2
7.3
4.8
2.1
0.0
-0.1 4.3 -0.1 1.0 5.3 0.1 0.1 0.0 -0.1 0.1 0.7 1.2 0.2 0.0 1.4 0.1 0.2 -0.1 0.0 0.6 -0.3 3.9 -2.3 1.0 2.7 0.7 -0.4 -0.1 -0.4 0.7 -14.6 12.6 3.4 9.0 19.8 Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD . Catatan: Perubahan tahunan ditimbang berdasarkan anggaran sektoral keseluruhan pada tahun sebelumnya. * Berdasarkan penentuan anggaran pusat dan estimasi alokasi anggaran daerah . Pengeluaran pusat ditentukan di sini dengan meliputi pengeluaran pemerintah tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota .
-0.8 0.0 0.9 0.1 0.3 0.0 2.1
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Tabel D.5. Pengeluaran Antar-Pemerintah dalam Pembiayaan Sektoral di Pusat Sektor
2001
2002
2003
2004
2005
2006*
2007**
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
Pusat
3.0
3.1
5.1
5.0
5.0
8.3
10.1
Provinsi
1.2
1.4
1.7
1.8
2.0
2.8
3.1
Kabupaten/kota
2.1
3.1
3.9
4.2
4.9
7.0
8.0
Pendidikan
40.5
48.2
64.8
63.1
79.7
120.2
134.6
Pusat
14.1
14.7
22.5
19.4
28.3
46.8
50.9
1.3
2.7
3.9
3.8
4.4
6.2
6.9
Provinsi Kabupaten/kota
25.1
30.7
38.3
39.8
46.9
67.2
76.9
Kesehatan
9.3
11.0
16.0
16.7
21.9
31.2
35.6
Pusat
3.1
2.9
5.7
5.6
8.9
12.8
14.8
Provinsi
1.7
2.4
2.8
3.0
3.6
5.0
5.5
Kabupaten/kota
4.4
5.7
7.5
8.1
9.3
13.4
15.3
Pertambangan
0.6
0.7
0.9
1.0
1.1
1.2
1.7
Pusat
0.4
0.4
0.5
0.7
0.7
0.7
1.1
Provinsi
0.1
0.1
0.3
0.2
0.3
0.4
0.4
Kabupaten/kota
0.1
0.1
0.1
0.1
0.1
0.2
0.2
Sektor, Pengembangan Pusat Bisnis, Keuangan, dan Koperasi
192.8
148.8
150.6
191.4
234.9
277.9
295.3
Pusat
192.0
147.6
148.2
190.3
232.8
274.9
291.9
Provinsi
0.8
1.2
0.7
0.5
0.7
0.9
1.1
Kabupaten/kota
0.0
0.0
1.7
0.7
1.4
2.1
2.4
31.7
35.1
52.7
55.6
66.5
106.8
107.7
4.0
4.3
7.5
7.7
11.2
28.2
18.5
Sektor Aparatur Negara dan Pengawasan Pusat Provinsi
7.8
8.5
13.4
12.3
14.9
20.7
23.0
19.9
22.3
31.8
35.5
40.4
57.9
66.2
Sektor Tenaga Kerja
0.6
1.0
1.5
1.5
1.4
2.4
2.5
Pusat
0.2
0.3
0.8
0.6
0.5
1.1
1.1
Provinsi
0.2
0.3
0.3
0.4
0.4
0.6
0.6
Kabupaten/kota
Kabupaten/kota Sektor Pertahanan dan Keamanan Pusat
0.2
0.3
0.4
0.5
0.5
0.7
0.8
15.8
19.4
27.0
29.5
32.4
45.1
54.9
15.8
Provinsi
.
Kabupaten/kota
.
19.4 .
27.0 .
.
29.5 .
.
32.4 .
.
45.1 .
.
54.9 .
.
.
Lingkungan dan Rencana Tata Ruang
2.0
2.6
3.3
3.1
3.4
7.3
8.4
Pusat
1.0
0.8
1.2
1.2
1.0
4.0
4.6
Provinsi
0.3
0.5
0.7
0.6
0.8
1.1
1.2
Kabupaten/kota
0.7
1.3
1.3
1.2
1.5
2.2
2.5
Infrastruktur
32.4
35.3
51.7
44.9
54.6
77.8
84.8
Pusat
17.4
14.5
23.8
19.4
23.0
32.9
33.8
Provinsi Kabupaten/kota
3.7
5.5
7.4
8.3
9.0
12.6
14.0
11.3
15.2
20.5
17.1
22.6
32.4
37.0
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Data DepKeu dan SIKD .
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
183
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Lampiran E Pendidikan Seksi E.1. Estimasi Pengeluaran Sektor Pendidikan Perkiraan pengeluaran yang dilaporkan didasarkan pada panel data yang berasal dari 46 negara berkembang mulai 1972–2000. Data anggaran berasal dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Statistik Keuangan Negara. Karakteristik negara yang tidak terobservasi tidak dikontrol karena, tujuan latihan ini adalah untuk menghitung nilai pengeluaran pendidikan dengan mempertimbangkan sejumlah karakteristik ekonomi dan geografis. Kontrol untuk terhadap hal-hal spesifik dari suatu negara akan memberikan suatu pengharapan dengan mempertimbangkan riwayat (dan dimensi yang tidak teramati lainnya) tingkat pengeluaran suatu negara untuk sektor pendidikan. Spesifikasi dampak pasti yang mengontrol karakteristik yang takteramati dari suatu negara menimbulkan tingkat prediksi yang lebih rendah (perkiraan pengeluaran pendidikan sekitar 12 persen dari anggaran yang terkonsolidasi). Spesifikasi yang digunakan adalah:
Comp i, t = G (α 0 + α 1 Deci ,t + α 2 X i, t + α 3 devi + α 4 Re gioni + u i ,t )
Compi,t = G (α 0 + α 1 Deci ,t + α 2 X i ,t + α 3 devi + α 4 Re gioni ) Di mana: G(.): menunjukkan fungsi transformasi yang diterapkan pada modul mengingat karakteristik dari empat variabel tak bebas (G(x) = log(x/1-x)). Comp: adalah rasio Pengeluaran Sektor Pendidikan terhadap total pengeluaran publik. X: adalah sejumlah variabel pengontrol, yang meliputi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, GDP per kapita, tata cara desentralisasi fiskal (anggaran pengeluaran daerah ), dan keseimbangan anggaran. Dev: Slope dummy yang merupakan (DEC * Industrialized Dummy) yang diperkenalkan pada model untuk memperhitungkan dampak yang berbeda dari desentralisasi tergantung pada tingkat pembangunan ekonomi. Region: Regional dummies (LAC, MENA, NA, EASA, Sub-Saharan, relative to ECA) Catatan: Metodologi ini juga merujuk Arze, Martinez-Vazquez, dan McNab 2005.
184
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Seksi E.2. Perhitungan Tingkat Pengembalian Sosial terhadap Investasi dalam Pendidikan Tabel E.2.1 Rata-rata Pendapatan Tahunan pada Kelompok Umur yang Berbeda (Rp ‘000) Age Groups <14 (1)
15-20 (2)
21-30 (3)
31-40 (4)
41-50 (5)
51-60 (6)
61-70 (7)
Jumlah Sekolah
2,665
4,328
4,655
4,983
4,892
4,406
3,545
SD
4,211
4,790
5,978
6,750
7,182
7,955
5,985
SMP
4,346
5,474
7,292
8,387
10,216
10,562
8,068
---
7,408
8,374
12,088
16,193
18,983
12,114
Tingkat Pendidikan
SMA Umum Sumber: Survei Nasional Tenaga kerja (Sakernas) 2006.
Data mengenai upah untuk tiap jenjang pendidikan dan kelompok umur dihitung berdasarkan Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) yang dikeluarkan pada Februari 2006. Data ini meliputi 178.228 individu yang menerima gaji dan upah uang. Perbedaan upah bersih untuk setiap kelompok ditentukan sebagai perbedaan upah karena tingkat pendidikan, dan upah rata-rata pada jenjang pendidikan yang lebih rendah. Misalnya, diferensial bersih untuk lulusan SD, sama dengan perbedaan antara upah rata-rata seseorang yang berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan (atau Rp 4.211 – Rp 2.665 = Rp 1.546). Perhitungan upah bersih dari diferensial upah bersih untuk dengan masa kerja selama 50 tahun (mulai umur 15 tahun sampai 65 tahun). Angka ini menunjukkan adanya manfaat sosial dalam analisis manfaat atas pengeluaran untuk pendidikan.103 Kehilangan upah dan gaji sama dengan 75 persen dari pendapatan individu dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah. Angka 75 persen itu digunakan untuk melakukan penyesuaian persentase waktu yang digunakan anak-anak untuk bersekolah setiap (secara teknis siswa dapat bekerja penuh waktu dari sisa waktu 25 persen untuk tahun tersebut). Tabel E.2.2 Biaya Investasi : Boaya Langsung dan Tidak Langsung untuk Pendidikan
SD SMP umum SMA umum
Kehilangan Pendapatan (1)
Biaya Langsung (2)
Total Biaya Tahunan (3)
Total Biaya selama Waktu Penuh (4)
3,246 ‑ 3,593 4,106
2,880 4,301 5.143
6,126 7,894 9,250
36,754 22,682 27,749
Sumber:estimasi staf Bank Dunia.
Biaya langsung untuk menyediakan layanan pendidikan di setiap jenjang merupakan biaya agregat dari unit biaya yang disebabkan di setiap jenjang sekolah dan biaya yang dikeluarkan di setiap tingkat pemerintahan untuk mengurus seluruh keperluan administrasi pendidikan. Satuan biaya yang digunakan dalam perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel A2.3. Angka-angka ini diambil dari survei untuk 2.016 sekolah mulai dari Sekolah Dasar, Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Atas , Madrasah Aliyah (Islamic Sekolah Menengah Atas), dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) di 56 kabupaten/kota dan 15 provinsi di Indonesia.104 Unit biaya di setiap jenjang meliputi gaji guru; pembelian peralatan ruang kelas; membangun gedung sekolah serta biaya dikeluarkan untuk mendanai kegiatan yang tidak secara langsung terkait dengan proses belajar, tetapi mendukung kegiatan operasional sekolah, seperti: gaji kepala sekolah dan staf administrasi; pembelian peralatan sekolah dan keperluan kecil untuk kepala sekolah dan staf administrasi; dan pengembangan dan pemeliharaan gedung untuk kepala sekolah dan staf administrasi.
103 Diakui ini memang definisi yang sempat mengenai manfaat. Metodologi yang lain meliputi definisi manfaat dengan mencakup manfaat nonpasar dari pendidikan; seperti manfaat bagi kelembagaan negara; kesehatan swasta dan publik, dan terhadap tingkat fertilitas dan /atau balikan terhadap penerimaan tidak langsung di sektor ekonomi; misalnya, karena perusahaan tertarik selalu mencari tenaga kerja terampil dan lingkungan yang baik yang berdampak pada pertumbuhan (untuk diskusi lebih lanjut mengenai jenis perkiraan ini, silakan lihat McMahon dan Appiah, 2001). 104 Survei ini dilaksanakan untuk Departemen Pendidikan Nasional, didanai oleh UNESCO, di bawah pimpinan Abbas Ghozali. Lihat Ghozali 2005.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
185
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Biaya per tahun untuk setiap siswa untuk menyediakan layanan pendidikan sama dengan jumlah biaya yang dikeluarkan (Kolom 1 pada Tabel A2.2) dan biaya langsung (Kolom 2 pada Tabel A2.2). Untuk menemukan seluruh biaya investasi untuk setiap jenjang pendidikan untuk mendidik setiap individu, total biaya kali jumlah tahun yang diperlukan untuk setiap jenjang; yaitu, SD (6 tahun), SMP (3 tahun ), dan SMA (3 tahun ). Tabel E.2.3 Unit Biaya Pendidikan Berdasarkan Jenjang Pendidikan dan Unit Pengeluaran (Rp ‘000) Primary
Junior High
Senior High
1,864
2,771
3,612
57
0
0
Kabupaten/kota
170
153
125
Provinsi
159
141
117
Sekolah Kecamatan
Pemerintah pusat Total
54
376
261
2,304
3,441
4,115
Sumber: Ghozali 2005 Bab 5 Hasil dan Pembahasan, p. 83. Tingkat Inflasi 2005=10.5 persen 2006= 12.8persen .
Keterbatasan dan Penelitian di Masa Depan Perlu diperhatikan bahwa beberapa studi tentang dampak pendidikan terhadap tingkat balikan sosial menunjukkan angka signifikan yang berbeda. Sebuah studi yang baru-baru ini dilaksanakan UNESCO (2007), misalnya, melaporkan bahwa nilai balikan untuk pendidikan dasar sebesar 27 persen di wilayah pedesaan, dan 5 persen di wilayah perkotaan. Beberapa studi mengenai tingkat balikan ini meliputi balikan sektor swasta dari tingkat pendidikan dalam bentuk “kenaikan pendapatan”. Estimasi ini sesuai dengan perhitungan regresi menggunakan logaritma alami untuk pendapatan sebagai variabel tidak bebasnya, dan tahun sekolah dan potensi masa kerja di pasaran sebagai variabel bebas. Para penulis untuk bidang ini sering memberinya label koefisi “balikan terhadap pendidikan,” di mana hal ini merupakan “dampak upah marjinal”, dan bukan sebagai balikan terhadap investasi dalam pendidikan. Nosi mengenai istilah “balikan” perlu mempertimbangkan biaya pendidikan, baik untuk sektor swasta maupun publik, dan menghubungkan biaya ini terhadap dampak upah. (Psacharopoulos 1994, p. 1326). Data yang dilaporkan dalam estimasi itu tidak mencakup manfaat non-pasar (dampak terhadap kesehatan, usia harapan hidup, pertumbuhan penduduk, dsb.) atau dampak balikan externalities (manfaat ekonomi dari keluaran pendidikan sebelumnya, seperti dampak pendidikan terhadap ekonomi melalui demokratisasi, stabilitas politik, dsb.). Jelas bahwa kedua hal ini merupakan bagian dari manfaat sosial dari pendidikan. Seperti yang disampaikan oleh McMahon (2006) “nilai tambah manfaat non-pasar diperkirakan oleh Wolfe dan Zuvekas (1997) yang hampir sama dengan nilai balikan pasar berdasarkan biaya untuk menghasilkan keluaran yang sama dengan cara yang lain.” Ini berarti bahwa estimasi tingkat balikan dalam laporan ini mungkin jauh lebih rendah daripada yang total nilai balikan pembangunan ekonomi sebenarnya dari investasi di sektor pendidikan. Poin tambahan yang perlu diperhatikan adalah bahwa, Survei Tenaga Kerja Nasional melaporkan pendapatan dari pasar tenaga kerja yang terorganisir. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kebutuhan untuk menggunakan keluaran riil (jumlah padi yang dihasilkan) untuk mengukur pendapatan riil petani, sebagai perbandingan dengan upah pekerja di wilayah perkotaan. Jamison, misalnya, menyimpulkan bahwa pertanian meliputi peningkatan produktivitas rata-rata sebesar 7.4 persen sebagai akibat dari petani yang mampu menyelesaikan jenjang sekolah dasar yang juga dengan sendirinya meningkatkan nilai balikan dari pendidikan. Dengan memperhatikan beberapa pertimbangan yang dibahas di atas, kita dapat meningkatkan nilai balikan pendidikan seperti yang dilaporkan dalam bentuk persentase sesuai dengan banyak dampak yang terkait di dalamnya, metodologi yang digunakan, dan asumsi yang dibuat. Estimasi yang disampaikan di sini merupakan hasil dari sebuah metodologi yang meliputi biaya pendidikan oleh sektor swasta dan publik. Biaya pendidikan, dengan mengikuti “penjelasan” metodologi dalam Psacharopoulos (1994), dan dengan menerapkan teori yang dikembangkan oleh McMahon dan Boediono (1992). Tim yang menyusun laporan ini tidak memperluas lagi lingkup metodologi dasarnya, tetapi telah mendanai latihan itu sebagai bagian dari agenda untuk penelitian di masa yang akan datang.
186
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Seksi E.3. Faktor-faktor Penentu dari Angka Partisipasi Murni di Indonesia Spesifikasi di bawah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor permintaan dan suplai yang menentukan keluaran pendidikan.
Ri = α + β1 E1 + β 2 E 2 + β 3 S + + β 4 GRDP + β 5 Po + β 6 R + β 7 A + β 8 Sc + β 9 D + β10 K + β11 L + u i Di mana: i= Kabupaten/kota i = 1…N, N=409 R= Tingkat penerimaan bersih untuk siswa E1 = Log biaya pendidikan untuk populasi pada umur sekolah (total pengeluaran pendidikan per jumlah anak usia sekolah antara 7 sampai dan 18 tahun ).105 E2 = Log rata-rata pengeluaran kabupaten/kota untuk pendidikan (per populasi dalam kelompok usia sekolah) dari 2001 to 2003 S= Pengeluaran untuk tenaga pendidik sebagai bagian dari total pengeluaran pendidikan (rasio pengeluaran personalia terhadap total pengeluaran untuk pendidikan) GRDP= Log untuk PDRB per kapita Po = Angka kemiskinan R = Daerah terpencil (Rata-rata geometris tentang jarak dari desa ke wilayah kabupaten/kota terdekat) A = Akses terhadap jalan raya (% desa yang memiliki akses jalan aspal) Sc = Jumlah SD dan SMP per km2 D = Variabel bencana alam (0-1) yang menunjukkan apakah kabupaten/kota pernah terkena bencana alam di waktu yang lampau. K = Dummy untuk wilayah perkotaan/pedesaan dari kabupaten/kota (=1 untuk perkotaan) L= Persen dari populasi sekolah berdasarkan kelompok umur Sumber Pendaftaran bersih dan persen populasi dalam kelompok usia sekolah yang bekerja dihitung berdasarkan the Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005. Pengeluaran untuk pendidikan dan pembayaran gaji dari total biaya pendidikan diambil dari SIKD (dataset anggaran daerah), dan data distribusi pengeluaran pemerintah pusat untuk DAK dan dekonsentrasi anggaran seperti yang dilaporkan oleh DepKeu. PDB untuk setiap kabupaten/kota diambil dari data yang dikeluarkan Biro Pusat Statistik (BPS). Variabel yang lain dihitung berdasarkan Podes 2005. Model Ekonometrik Models 1, 2 dan 3 memberikan estimasi mengenai spesifikasi linier berdasarkan kuadrat terkecil; di mana model 4 memberikan estimasi mengenai logit model. Model yang belakangan ini digunakan karena adanya sifat fraksional pada variabel takbebas. Model 3 dan 4 mengontrol tingkat dampak yang tidak terkontrol di provinsi dengan memasukkan dummy provinsi (dampak tetap). Koefisien tingkat provinsi tidak dilaporkan dengan alasan penyederhanaan uraian. Hasil regresi menandaskan peran pengeluaran publik sebagai determinan tingkat pendapatan siswa. Koefisien pengeluaran publik untuk pendidikan menunjukkan angka positif dan signifikan secara statistik pada semua estimasi model dan spesifikasi. Mengingat bentuk log-linier fungsional yang digunakan dalam estimasi tersebut, peningkatan pengeluaran pendidikan sebesar 1 persen akan meningkatkan pendaftaran bersih sampai 0.02 persen, dengan titik Elastisitas 0,02 * (1/Pendaftaran bersih untuk kabupaten/kota). Elastisitas pengeluaran sektor pendidikan yang diperoleh dari Logit model (Kolom 4) barada pada rentangan yang sama dengan model linier (sekitar 0,03). Ada juga kemunduran dalam seluruh model itu dengan pengeluaran pendidikan (per calon student) mendahului dampak pendaftaran selama 1 tahun dan pengeluaran kabupaten/kota rata-rata untuk waktu selama 2 - 4 tahun (2001-03). Namun demikian, rata-rata pengeluaran kabupaten/kota (per populasi sekolah) untuk 2001-03 tidak menunjukkan angka signifikan secara statistik pada setiap model estimasi yang digunakan. Hasil tersebut tidak memberikan bukti mengenai keberadaan perbedaan kabupaten/kota yang berada di daerah terpencil dan yang bukan di daerah terpencil, tetapi hasil itu memang memberikan bukti perbedaan mengenai perkotaan dan pedesaan di wilayah kabupaten/kota. Model 1 dan 2 hanya berbeda dalam hal variabel dummy untuk mengontrol Perbedaan antara wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan di tingkat kabupaten/kota. Variabel ini signifikan secara statistik dalam model 1 dan diperkirakan memberikan tanda positif. Namun demikian, ketika variabel tenaga kerja dan jumlah sekolah dimasukkan, tanda wilayah perkotaan dummy kembali menunjukkan angka negatif dan tidak signifikan secara statistik . Hal ini sepertinya disebabkan oleh alasan mendasar dari perbedaan antara wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan pada tingkat kabupaten/kota 105 Populasi dalam satu kelompok usia sekolah dihitungan berdasarkan alternatif untuk pengeluaran per kapita (dibandingkan dengan jumlah siswa sbenarnya) untuk menghindari endogenitas (mis.,peningkatan pendaftaran bersih, yang mencerminkan jumlah siswa sebenarnya lebih banyak, juga akan meningkatkan denominator variabel pengeluaran “per siswa”).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
187
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
yang semata-mata didorong oleh adanya jumlah sekolah yang besar dan adanya tenaga kerja siswa yang lebih rendah untuk wilayah perkotaan. Ketika jumlah sekolah dan tenaga kerja dikontrol secara independen, di samping adanya dummy wilayah perkotaan, dummy wilayah perkotaan menunjukkan angka negatif, mungkin karena adanya beberapa jenis dampak yang tidak murni. Selanjutnya, model 2 menggantikan variabel dummy wilayah perkotaan untuk variabel tenaga kerja dan jumlah sekolah per km2 dan menunjukkan angka r2 yang lebih tinggi. Variabel untuk wilayah terpencil tidak signifikan secara statistik dalam setiap in any of the spesifikasi .
Tabel E.3.1 Faktor-faktor Penentu Angka Partisipasi Murni Variabel tidak bebas : Tingkat partisipasi murni untuk siswa OLS (1)
OLS (2)
Fixed effects (3)
Log pengeluaran untuk pendidikan (per penduduk usia sekolah )
0.02** (2.67)
0.02** (2.61)
0.02** (3.11)
Log rata-rata pengeluaran kabupaten/kota untuk pendidikan (per penduduk usia sekolah ) dari 2001 ke 2003
6.9 e-3 (0.8)
0.01 (1.32)
3.2 e-3 (0.43)
1.1 e-2** (2.86)
7.3 e-3* (1.76)
2.4 e-3 (.64)
Belanja pegawai sektor pendidikan dari total pengeluaran untuk pendidikan
-0.015 (-.92)
-0.01 (-0.8)
-3.2 e-4 (-0.20)
Angka kemiskinan
-0.08 (-2.03)
-0.06* (-1.46)
-0.11* (-2.32)
Daerah terpencil
-9.91 e-5 (-.71)
-2.3 e-5 (-.16)
Akses terhadap jalan raya
1.5 e-4** (2.75)
1.3 e-4** (2.56)
4.01 e-5 (0.8)
-3.02 e-4** (-3.65)
-3.0 e-4** (-3.68)
-1.1 e-4 (-1.55)
Tenaga kerja
-0.30** (-5.59)
-0.31** (-6.24)
Jumlah SD dan SMP per km2
4.5 e-3 (1.72)
1.9 e-3 (.76)
0.04 (.27)
0.15 (1.0)
0.30 (1.97)
-0.73 (-0.92)
.29
.36
.56
---
303
299
299
299
Variabel
Log PDRB
Bencana alam Dummy untuk Kabupaten/Kota perkotaan/ pedesaan
Konstanta R2 yang disesuaikan
-2.0 e-5 (-.14)
Logit-fixed effects (4) 0.14** [.028] (4.03) 0.018 [0.003] (0.43) 0.02 [.003] (1.01) -2.2 e-2 [-7.3 e-4] (-.03) -0.62* [-.11] (-2.39) 1.8 e-4 [-3.34 e-5] (-0.26) 2.0 e-4 [3.72 e-5] (.74) 5.9 e-4 [1.1 e-4] (-1.62)
0.02* (2.21) -1.6** [-.30] (-4.79) 1.7 e-2 [3.1 e-2] (1.22)
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: t-statistik di dalam kurung kurawal; **,*,+ masing-masing menunjukkan tingkat signifikansi 1 persen, 5 persen, dan 10 persen. Kolom 4 menunjukkan elastisitas nilai mean variabel di dalam kurung biasa.
Produk regional bruto, akses terhadap jalan raya , dan variabel bencana alam tampak signifikan pada model pertama dan kedua tetapi menjadi tidak signifikan ketika dilakukan kontrol terhadap karakteristik provinsi yang tidak terobservasi. Hal ini mungkin mencerminkan fakta bahwa semua kabupaten/kota memiliki karakteristik yang sama provinsi yang ditentukan yang dapat ditangkap oleh dummy provinsi.
188
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Faktor sisi permintaan seperti kemiskinan dan persentase populasi usia sekolah yang bekerja, berdampak terhadap penerimaan siswa bersih. Koefisi untuk angka kemiskinan dan siswa yang bekerja tenaga kerja memiliki angka negatif dan signifikan secara statistik pada semua model dan spesifikasi, yang mencerminkan pentingnya faktor sisi permintaan sebagai determinan keluaran pendidikan. Dengan jenjang pendidikan yang lebih tinggi memang lebih mahal bukan saja karena faktor the sekolah tetapi juga karena faktor rumah tangga, dan oleh karena itu, karakteristik sosial ekonomi dari suatu populasi merupakan faktor penentu penting dalam tingkat pendaftaran. Rumah tangga yang berada pada kabupaten/kota yang lebih miskin mungkin tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka, walaupun mereka sudah mendapatkan akses terhadap sekolah. Oleh karena itu perlu dilakukan kebijakan yang bertujuan tidak saja menurunkan besarnya uang sekolah tetapi juga menurunkan angka kemiskinan. Keluarga yang memiliki pendapatan lebih rendah memerlukan mekanisme pendukung yang memungkinkan mereka mampu mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah, seperti pemberian kompensasi atas pendapatan yang hilang karena anak dikirim ke sekolah (kerugian kontribusi keuangan). Seksi E.4. Estimasi Implikasi Keuangan dari UU Keguruan yang Baru UU Keguruan tahun 2005 yang baru menyatakan bahwa guru akan menerima tunjangan fungsional, khusus, dan profesi. Seksi E.8. Pendapatan Guru: Analisis Ekonometri Seksi ini berusaha untuk menunjukkan dampak dari berbagai jenis insentif ini terhadap anggaran pendidikan. Perhitungan pada Diagram itu didasarkan pada asumsi berikut: •
Tunjangan untuk penugasan di daerah khusus akan sama dengan gaji pokok guru (UU Keguruan No. 14/2005). Diperkirakan bahwa the gaji rata-rata seorang guru adalah Rp 18 juta per tahun dan bahwa, untuk dua tahun pertama, 5 persen dari seluruh guru akan menerima tunjangan ini. Sepuluh persen dari jumlah guru akan menerima insentif pada 2009, dan persentase ini akan berlaku sampai 2016. (Beberapa pejabat Depdiknas menyatakan bahwa jumlah itu seharusnya berjumlah 15 persen). Alasan kenaikan itu adalah bahwa pemerintah akan menugaskan guru untuk bekerja pada sekolah-sekolah dengan bidang khusus.
•
Tunjangan profesi akan diberikan kepada guru yang lulus ujian sertifikasi dan akan jumlahnya akan sama dengan gaji pokok guru (UU Keguruan No.14/2005). Penghitungan tunjangan profesi sangat rumit dan memerlukan banyak asumsi (termasuk jumlah guru yang akan lulus ujian sertifikasi, rata-rata gaji pokok guru yang menerima sertifkasi, dan tingkat peningkakan jumlah tenaga kerja guru). Estimasi guru yang menerima insentif tersebut untuk tiga tahun pertama didasarkan pada target Dekdiknas: 5 persen guru akan menerima tunjangan pada 2007, 12 persen pada 2008, dan 20 persen pada 2009. Insentif itu diperkirakan akan meningkat sebesar 10 persen pada 2016, sehingga sebanyak 90 persen guru akan menerima insentif tersebut. Target ini sangat optimistik. Perkiraan yang lebih konservatif adalah 70 persen, yang akan mengurangi pengeluaran secara keseluruhan untuk tunjangan profesi.
•
Tunjangan fungsional ditentukan dalam rancangan UU yang dibuat pada Oktober 2006 sebesar 50 persen dari gaji pokok guru yang sudah memiliki sertifikasi. Ketentuan ini sudah diubah lagi pada draft UU versi November 2006 untuk tidak mencantumkan besaran, tetapi tetap diberikan kepada guru yang sudah menyelesaikan proses sertifikasi. Tetapi, masih ada perdebatan mengenai apakah tunjangan itu harus diberikan kepada semua guru atau kemungkinan digunakan sebagai insentif tambahan bagi guru. Jika insentif tersebut diberikan kepada semua guru, ini akan memiliki dampak signifikan terhadap anggaran pendidikan. Jika diberikan kepada guru yang sudah memiliki sertifikasi saja, mereka yang sudah memenuhi persyaratan kinerja, maka hal ini akan berdampak buruk (karena tidak satu pun guru yang sudah melakukan sertifikasi), dan dampak ini bisa lebih serius dalam jangka panjang.
•
Jumlah guru diperkirakan tetap konstan. Walaupun tenaga pendidik di Indonesia mengalami peningkatan dengan cepat di masa yang lalu, kini telah terjadi kelebihan guru. Insentif yang baru akan mendorong Dekdiknas untuk bertindak lebih efisien dalam penyediaan dan pendistribusian guru. Pada 2006 peraturan Keguruan (RPP Guru) menunjukkan bahwa Depdiknas sangat serius berupaya untuk mengendalikan suplai tenaga guru. Saat ini juga terdapat cukup banyak guru yang berumur antara 50 – 60 tahun. Jika guru-guru ini guru, hal ini akan membantu mengurangi jumlah guru. Jika tren peningkatan jumlah guru terus berlanjut, ini akan menambah beban anggaran yang akan digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan bagi guru.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
189
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
•
Perkiraan perhitungan dilakukan dalam tingkat sebenarnya (daripada angka nominal). Gaji dan insentif diperkirakan akan meningkat sejalan dengan peningkatan laju inflasi.
Diagram E.4.1. Pendapatan Guru Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah vs. Jumlah Jam Kerja 106 Guru Sekolah Dasar
Guru Sekolah Lanjutan Pertama
5,000
8,000
4,500
7,000
4,000
6,000
3,500
5,000
3,000 2,500
4,000
2,000
3,000
1,500
2,000
1,000
1,000
500
-
0 0
10
20
30
40
50
60
70
Jumlah Jam Kerja per Minggu
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Jumlah Jam Kerja per Minggu
Sumber: Employment dan Deployment Survey 2005. Catatan: Skala pendapatan guru SD dan SMP berbeda pada Grafik di atas. Guru rata-rata menerima gaji lebih besar.
Seksi E.5. Catatan Metodologis tentang Penghitungan Unit Biaya Pendidikan Perkiraan McMahon, yang dikembangkan berdasarkan penentuan biaya per siswa, mengikuti asumsi berikut ini: •
Survei yang baru-baru ini dilakukan memberikan data tentang pengeluaran sekolah yang sebenarnya. Data ini memberikan informasi mengenai biaya pokok penyelenggaraan sekolah.
•
Prinsip “Best practice” di sekolah diartikan sebagai cara-cara untuk meningkatkan nilai ujian siswa. Sekolah semacam ini memiliki beberapa buku pelajaran untuk setiap siswa, dan gaji tambahan untuk guru pada sekolah tersebut juga lebih tinggi. Misalnya, dalam hal pengeluaran, rata-rata sekolah diperkirakan mengeluarkan sekitar Rp 15.000 per siswa untuk bahan pelajaran sementara sekolah yang menerapkan prinsip “best practice” ini menghabiskan rata-rata sebesar Rp 21.745 per siswa.
•
Perkiraan biaya pendidikan untuk tingkat SMP adalah 1,5 kali biaya penyelenggaraan sekolah tingkat SD.
•
Untuk meningkatkan jumlah pendaftaran siswa dari keluarga miskin dan mereka yang kurang beruntung diperlukan tambahan sumber daya, yang bertujuan terutama untuk membebaskan mereka dari SPP. Saat ini, SPP atau uang sekolah dibebankan pada uang pendaftaran, ujian, pengadaan buku ajar, buku catatan, tas sekolah; dan transportasi. Di tingkat SD, pembebasan SPP berarti hilangnya pendapatan sekolah rata-rata sebesar of Rp 13.000 per siswa pada 2004 (tingkat harga tahun 2003), meningkat menjadi Rp 38.000 per siswa pada 2008. Di tingkat SMP, jumlah itu menjadi sekitar Rp 57.000 per siswa.
•
Di samping itu, beasiswa sebesar Rp. 290.000 per siswa per tahun bagi 18.2 persen siswa SD, yang berarti melipatduakan hibah yang diberikan saat ini oleh pemerintah, Ini menutupi akan Biaya peluang (opportunity cost) yang ditanggung pemerintah dan suplemen bagi guru. Sementara itu hibah yang dialokasikan pada sekolah adalah Rp 93,000 per siswa per tahun . Program BOS telah menutupi sebagian dari biaya ini pada tahun 2005.
106 Kepala sekolah juga masuk did alam Grafik itu karena mereka dianggap bagian dari tenaga kerja guru, tetapi perlu dingat bahwa mereka hanya mengajar 6 jam per minggu, terutama di sekolah-sekolah yang lebih besar. Guru olaha aga dan guru agama cenderung bekerja 12 jam per minggu.
190
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Seksi E.6. Estimasi Implikasi Keuangan akibat Kelebihan Guru Isu mengenai kelebihan guru di Indonesia menunjukkan adanya sistem pendidikan yang tidak efisien dan untuk mengatasi isu kelebihan guru dengan baik merupakan potensi untuk melakukan penghematan anggaran yang cukup signifikan . Tabel di bawah ini memperlihatkan estimasi potensi penghematan tersebut. Perhitungannya didasarkan pada metode dan asumsi berikut:
• • • • •
Hanya guru sekolah negeri yang diperhitungkan, karena ini merupakan bidang pendanaan pemerintah yang harus mereka kontrol. Data siswa yang digunakan dalam perhitungan ini juga hanya untuk siswa sekolah negeri. Karena 22 persen guru SMP negeri adalah guru tetap dan 25 persen guru honor, perlu dibuat penyesuaian sehingga dua guru honor sama dengan satu guru tetap negeri. (Jumlah guru honor di sekolah swasta jauh lebih tinggi, 55 persen dan 63 persen masing-masing untuk sekolah SD dan SMP). Diasumsikan bahwa gaji guru adalah Rp 17 juta per tahun untuk guru SD dan Rp 18 juta untuk guru SMP. Usulan kebijakan adalah melakukan survei per sekolah untuk mendapatkan perkiraan realistis mengenai jumlah guru yang diperlukan dan menentukan tingkat kelebihan guru per sekolah juga ditentukan. Angka yang diperoleh lalu diterapkan secara nasional, dengan mempertimbangkan banyakanya siswa di tiap sekolah. Formula RMG (rasio murid-guru) efektif digunakan dalam penghitungan itu. Ada perbedaan antara RMG yang diusulkan dan RMG efektif. Misalnya, tingkat RMG untuk SD ditentukan 30:1, tetapi ketika formula ini diterapkan di setiap sekolah, setiap sekolah mendapatkan paling sedikit 4 guru, dan target RMG untuk 30:1, RMG yang efektif sebenarnya adalah 26:1. Hal ini disebabkan karena (1) sebuah sekolah, misalnya, memiliki 40 orang siswa, tetap akan mendapatkan 4 guru dan akan memiliki tingkat RMG 10:1, dan (2) tambahan alokasi guru dibulatkan ke atas, sehingga sekolah dengan160 siswa misalnya mendapatkan guru sebanyak 6 orang, untuk RMG 27:1.
Formula untuk guru SMP dan SMA jauh lebih rumit karena saat di tingkat ini setiap guru hanya mengajar satu bidang studi tertentu. Untuk tujuan melakukan analisis kita, tingkat RMG digunakan agar sesuai dengan apa yang terjadi d negara lain daripada apa yang kini sedang berlaku di Indonesia dengan tingkat RMG yang rendah yaitu 17:1 untuk SMP dan 14:1 untuk SMA. Kolom A menunjukkan apa yang sebenarnya disebut suplai. Kolom B menunjukkan tingkat RMG jika penetapan formula baru diikuti. Dengan skenario ini B, 22,8 persen yang berarti bahwa hanya jumlah yang diperlukan lebih kecil (atau 19,4 persen guru honor). Dengan jumlah ini kita akan bisa melakukan penghematan sebesar sekitar Rp 6,7 triliun. Dengan mempertimbangkan guru honor dalam perhitungan kita (dengan asumsi 2 guru honor = 1 tetap), jumlah akan berkurang menjadi Rp 5,6 triliun, jumlah yang mencerminkan sekitar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Hal ini menunjukkan potensi penghematan yang signifikan dan bahkan akan menjadi lebih signifikan lagi mengingat dampak keuangan dari pemberlakuan UU Keguruan yang baru, di mana guru yang sudah lulus sertifikasi akan menerima tunjangan yang besarnya sama dengan gaji pokok mereka. (Lihat Seksi tentang Gaji Guru, Insentif , dan Mutu Pendidikan pada Bab 3).
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
191
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel E.6.1 Biaya Komparatif berdasarkan Situasi Masa Sekarang dan Opsi yang Diajukan A: RMG – Aktual
B: RMG – Yang diusulkan
20:1 1,177,929 20,024,793
30:1 (effective 26:1) 937,332 15,934,644 240,597
RMG untuk SMP Guru yang diperlukan Biaya gaji (Rp ’000) Penghematan Posisi (B Ke A) Dengan Memperhitungkan guru paruh waktu (B Ke A)
17:1 364,098 6,553,764
24:1 (effective 22:1) 274,354 4,938,372 89,744 49,693
RMG untuk SMA Guru yang diperlukan Biaya gaji (Rp ’000) Penghematan Posisi (B Ke A) Dengan memperhitungkan guru paruh waktu (B Ke A)
14:1 144,604 2,602,872
24:1 (effective 22:1) 90,088 1,621,584 54,516 36,441
1,686,631 29,181,429
1,301,774 22,494,600 330,340 6,686,829
RMG untuk SD Guru yang diperlukan Total biaya gaji (Rp ’000) Penghematan Posisi (B Ke A)
Total Total guru Total biaya gaji (Rp ’000) Total Penghematan Posisi (B to A) Penghematan gaji (Rp juta ) (B to A) Total Penghematan Posisi dengan memperhitungkan guru paruh waktu (B Ke A) Penghematan gaji dengan memperhitungkan guru paruh waktu(Rp juta ) (B to A)
326,731
5,640,556
Sumber: Studi tentang pengangkatan dan penugasan guru 2005, berdasarkan data Depdiknas 2003/2004 tentang guru dan salary.
Seksi E.7. Karakteristik Tenaga Pengajar Tabel E.7.1 Jumlah dan Persentase Guru Honor dan Tetap pada Jenjang Pendidikan Menengah Kepala Sekolah
%
Guru Tetap
%
Guru Honor
%
Total
Sekolah Menengah Pertama Negeri/Umum Swasta
22,240 12,037 10,203
4 3 6
343,575 274,668 68,907
63 75 39
176,776 78,925 97,851
33 22 55
542,591 365,630 176,961
Sekolah Menengah Lanjutan Negeri/Umum Swasta
14,366 4,673 9,693
3 2 4
220,133 140,582 79,551
51 73 33
200,967 47,269 153,698
46 25 63
435,466 192,524 242,942
Sumber: Depdiknas 2005.
Tabel E.7.2 Jumlah dan persentase Guru SD Menurut Wilayah Tanggung Jawab Wilayah Tanggung Jawab Guru Tingkat Pendidikan Dasar Jumlah Guru Persentase dari keseluruhan
Kepala Sekolah
Guru Kelas
Guru Agama
Guru Olah Raga
Total
146,045
934,479
167,449
87,113
1,335,086
11
70
13
7
100
Sumber: Depdiknas 2005.
192
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Seksi E.8. Pendapatan Guru: Analisis Ekonometri Tabel E.8.1. Rata-rata Penghasilan Per Bulan dan Jumlah Jam Kerja antara Guru dan Non-Guru Berdasarkan Tingkat Pendidikan Rata-rata penghasilan per bulan (Rp ’000) Tingkat Pendidikan guru DI bawah SD SD SMP SMA Diploma I dan II Akademi/Dipl III Universitas/ Dipl IV Total Observasi
445.5 (294.4) 528.4 (381) 643.4 (401) 920.0 (671) 1,147.7 (1,250) 1,441.7 (1,131) 1,772.1 (1,856) 816.5 (796.7)
621.6 (519) 1,070.1 (1,206) 1,298.1 (1,867) 1,1432.7 (645.2) 1,033.2 (953.8)
1,062.7 (778) 1,220.4 (410) 1,143.4 (434) 1,160.1 (502) 1,139.3 (605)
Total pekerja yang dibayar 445.5 (294) 528.4 (381) 643.4 (401.1) 917.4 (675.3) 1,168 (933.9) 1,392.2 (1,227) 1,536 (1,540.9) 841.9 (801)
35,252
1,804
1,615
38,671
Bukan Guru
Guru bukan SD
Guru SD
Rata-rata jam kerja per minggu
46 (16) 48 (14) 48 (12) 46 (10) 43 (12) 44 (9) 43 (9) 47 (12)
30 (12) 32 (9) 35 (10) 34 (10) 33 (11)
34 (8.5) 34 (7) 36 (7) 34 (8) 34 (8)
Total pekerja yang dibayar 46 (16) 48 (14) 48 (12) 45 (11) 36 (10) 42 (10) 39 (11) 46 (13)
35,252
1,804
1,615
38,671
Bukan Guru
Guru bukan SD
Guru SD
Sumber: Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan data dari Sakernas 2004. Catatan: Standar deviasi dalam kurung kurawal. Bagian yang kosong menunjukkan bahwa tidak ada guru yang berpendidikan kurang dari sekolah menengah atas.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
193
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel E.8.2. Perbedaan Penghasilan: Sampel Tenaga Kerja dengan Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah atau Lebih Tinggi (%) Log variabel tidak bebas upah bulanan
Guru
2000 (Filmer 2002)
2004 (World Bank 2006)
Sampel: Semua tenaga kerja yang dibayar (sektor publik & swasta)
Sampel: Semua tenaga Sampel: guru dan kerja yang dibayar PNS yang lain (sektor publik & swasta)
-0.18 (9.25)**
Guru SD Guru bukan SD
-0.21 (-20.79)**
-26.09 (-0.30)
-0.025 (1.14)
-0.06 (9.09)**
-17.96 (-4.29)
-0.34 (13.19)**
-0.33 (-16.16)**
-32.22 (-8.52)
24.33 (5.89)**
PNS (diluar guru) .06 (15.49)**
0.061 (15.47)**
0.07 (33.24)**
0.07 (32.73)**
18.33 (23.43)
17.25 (22.09)
-0.00 (7.98)**
-0.00 (8.11)**
-0.00 (-21.04)**
-0.001 (-20.71)**
-0.16 (-18.14)
-0.15 (-17.40)
0.14 (12.32)**
0.15 (13.03)**
0.18 (21.84)**
0.18 (22.37)**
12.36 (5.41)
12.73 (5.62)
0.12 (7.10)**
0.14 (7.88)**
0.14 (17.55)**
0.15 (18.51)**
4.71 (2.12)
6.74 (3.02)
Pend. Diploma I & II
0.32 (15.26)**
0.27 (12.86)**
0.49 (22.51)**
0.42 (19.74)**
29.27 (8.8)
27.48 (8.39)
Pend. Academy Diploma III
0.33 (15.92)**
0.36 (16.96)**
0.59 (30.81)**
0.61 (31.64)**
30.91 (7.04)
36.67 (8.16)
Pend. University Diploma IV
0.37 (18.71)**
0.42 (20.58)**
0.65 (46.93)**
0.70 (49.43)**
32.52 (11.06)
41.27 (13.09)
Konstanta
11.67 (164.24)
11.67 (165.46)
11.76 (344.00)**
11.78 (346.11)**
9.67 (63.37)
9.83 (64.47)
Observasi R kuadrat
18,612 0.30
18,612 0.31
30,130 .27
30,130 .28
3,655 .37
3,655 .39
Usia Usia kuadrat Laki-laki Daerah Perkotaan
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Nilai t-statistik dalam kurung kurawal. ** menunjukkan tingkat signifikansi 1 persen. Penghasilan ditentukan asbagai gaji dalam bentuk tunai dan bentuk lain.
194
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Tabel E.8.3. Faktor-faktor Penentu Penghasilan per Jam Variabel Dependen: log penghasilan per jam Sampel: Semua tenaga kerja yang dibayar (sektor publik dan swasta) Guru
23.42 (16.66)**
Guru SD Bukan Guru SD
Sampel: guru dan PNS yang lain (sektor publik ) -18.70 (-4.64)**
46.94 (23.13)**
-12.58 (-2.91)**
4.98 (3.01)**
-23.47 (-5.86)** 46.72 (9.34)**
PNS (di luar guru ) Umur
7.43 (44.43)**
7.33 (43.95)**
7.59 (45.31)**
14.26 (18.6)**
13.53 (17.58)**
Umur kwadrat
-0.08 (-36.05)**
-0.08 (-35.7)**
-0.08 (-36.58)**
-0.12 (-13.91)**
-0.11 (-13.07)**
Laki-laki
34.18 (41.84)**
34.40 (42.2)**
31.82 (39.57)**
6.52 (2.94)**
6.76 (3.06)**
Wilayah perkotaan
20.46 (27.27)**
20.91 (27.89)**
18.99 (25.56)**
3.02 (1.38)
4.39 (1.98)
Pend. Diploma I & II
80.73 (30.01)**
71.92 (27.23)**
104.22 (39.08)**
29.27 (8.82)**
28.02 (8.51)**
Pend. Akademi Diploma III
93.56 (39.04)**
95.36 (40.06)**
101.04 (42.02)**
23.90 (5.6)**
27.65 (6.35)**
Pend. Universitas Diploma IV
101.09 (59.18)**
107.40 (61.19)**
113.19 (68.03)**
31.30 (10.7)**
37.26 (11.95)**
Konstanta
6.30 (221.31)**
0.03 (222.45)**
6.30 (220.57)**
5.52 (36.26)**
5.63 (36.84)**
Observasi
38,431
38,431
38,431
3,616
3,616
R kuadrat
.31
.32
.32
.30
.31
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia. Catatan: Nilai t-statistik dalam kurung kurawal. ** menunjukkan tingkat signifikansi 1 persen. Penghasilan ditentukan sebagai gaji dalam bentuk tunai dan bentuk lain. Penghasilan per jam dihitung berdasarkan rata-rata penghasilan bulanan, dibagi dengan jumlah jam kerja selama 4 minggu terakhir.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
195
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel E.8.4. Perbedaan dalam Pendapatan Bulanan: Setelah Mengontrol Karakteristik Individu (Relatif terhadap terhadap Jawa Barat) (%) Provinsi
Guru
Tenaga Kerja Lain
Selisih
3.3
-8.3**
-11.6
Sumatera Utara
10.2+
-7.0**
-17.2
Sumatera Barat
8.7
-6.7**
-15.4
Riau
5.2
20.9**
15.7
Jambi
4.2
-8.6**
-12.8
Nangroe Aceh Darussalam
Sumatera Selatan
17.3*
-3.7**
-21.1
Bengkulu
-1.6
-23.3**
-21.7
Lampung
-2.8
-17.6**
-14.8
Bangka Belitung
-13.8
-0.2**
13.6
DKI Jakarta
11.9+
21.6**
9.6
-14.7**
-22.8**
-8.1
-4.0
-29.1**
-25.0
Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
-23.0**
-16.5
6.5
Banten
-10.9+
16.0**
26.8
Bali
2.3
-6.3**
-8.6
Nusa Tenggara Barat
-14.1*
-29.8
-15.7
Nusa Tenggara Timur
13.3+
-20.3**
-33.6
Kalimantan Timur
25.0
17.3**
-17.2
Kalimantan Tengah
-9.4
1.5**
-7.7
Kalimantan Selatan
16.1+
23.5**
10.9
Kalimantan Timur
30.0**
4.5**
7.4
Sulawesi Utara
8.0
-9.6**
-25.6
Sulawesi Tengah
-5.7
-5.7**
-17.6
Sulawesi Selatan
-0.8
-13.4
0.0
Sulawesi Tenggara
7.8
-22.4**
-12.7
34.6**
-0.3
-30.2
21.3
22.7**
-35.0
88.1**
53.2
1.4
Gorontalo Maluku Utara Papua
Sumber: Analisis Sakernas 2004. Catatan: Diferensial kondisional berasal dari koefisi variabel dummy for provinsi dalam regresi multivariat untuk pendapatan (yaitu, 100*(exp(b)1), di mana b adalah koefisi dummy untuk provinsi-spesifik. Sampel tenaga kerja dengan jenjang pendidikan sekolah menengah atau lebih tinggi. +, *, ** menunjukkan tingkat signifikansi 10 persen , 5 persen, dan 1 persen.
196
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Seksi E.9. Penafsiran “Ketentuan 20 persen” Tabel E.9.1 Alternatif Penafsiran tentang Perhitungan Pengeluaran untuk Rasio Pendidikan Numerator
Denominator
Ratio
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk gaji
(1)
Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer ke Daerah)
(1)
9.4
Pemerintah pusat spending on Pendidikan programs tidak termasuk gaji
(2)
Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer dana ke daerah)
(1)
7.4
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan tidak termasuk gaji
(2)
Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer dana ke daerah dan gaji dari semua sektor lain)
(2)
10.1
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan dari departemen dan lembaga lain* termasuk gaji
(3)
Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer dana ke daerah)
(1)
11.8
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan excluding salaries
(4)
Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer dana ke daerah)
(1)
9.6
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan dari departemen dan lembaga lain diluar gaji
(4)
Total belanja pemerintah pusat (diluar transfer dana ke daerah dan gaji untuk sektor lain)
(2)
11.75
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan dari departemen dan perkiraan transfer dana ke daerah yang dialokasikan untuk Pendidikan
(5)
Total belanja pemerintah pusat (termasuk transfer dana ke daerah)
(3)
19.3 *
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan dari departemen dan perkiraan jumlah transfer ke daerah yang dialokasikan untuk pendidikan diluar gaji
(6)
Total belanja pemerintah pusat (termasuk transfer dana ke daerah)
(3)
7.6
Pengeluaran pemerintah pusat untuk program pendidikan termasuk yang terkait dengan pendidikan dari departemen dan perkiraan jumlah transfer ke daerah yang dialokasikan untuk pendidikan diluar gaji
(6)
Total belanja pemerintah pusat (termasuk transfer dana ke daerah, diluar gaji untuk seluruh sektor lain)
(4)
8.65
Total belanja Pendidikan dari Pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota (termasuk gaji)
(7)
Total belanja nasional: Pusat (APBN minus transfer) + Provinsi (APBD I) + Kabupaten/kota (APBD II)
(5)
16.5
Sumber: Dihitung oleh staf Bank Dunia berdasarkan data DepKeu dan SIKD . Catatan: Angka di dalam kurung kurawal menunjukkan perbedaan angka dalam penyebut dan pembilang.. Perubahan definisi terkait dengan definisi sebelumnya Dicetak dengan huruf miring. *Misalnya, pengeluaran lain yang terkait pendidikan oleh Departemen merupakan kapasitas upaya pembangunan bagi masyarakat untuk bergabung dengan TNI dan Polri, atau SPDN yang kelak akan menjadi Camat. * Perkiraan yang disampaikan di sini tentang Mahkamah Konstitusi pada 7 Februari 7 2006, oleh DepKeu dan Depdiknas. Ini meliputi pendidikan dan pelatihan pendukung bagi 16 Departemen di samping Depdiknas, serta perkiraan Pengeluaran Sektor Pendidikan oleh pemerintah daerah dari (DAU) dan (DAK)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
197
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Lampiran F Kesehatan Seksi F.1. Program Pemerintah Pusat —Anggaran 2006 Pemerintah menjelaskan isi pokok tentang program pembangunan programs dalam Strategi Pembangunan Jangka Menengah, RPJM, 2004-09. Dua program paling besar adalah ‘Kesehatan Masyarakat ’ dan ‘Kesehatan Pribadi’ dapat diuraikan sbb: Program Penyediaan Kesehatan Masyarakat: Program ini bertujuan untuk meningkatkan kuantitas, pemerataan, dan mutu layanan kesehatan melalui pusat kesehatan masyarakat dan jaringannya, ditambah dengan kegiatan Pendukung lainnya seperti puskesmas keliling dan bidan desa. Kegiatan utama yang dapat dilakukan melalui program ini meliputi hal-hal berikut: 1. Menyediakan layanan kesehatan kepada penduduk miskin melalui pusat kesehatan masyarakat dan jaringan mereka. 2. Membangun, meningkatkan, dan merehabilitas fasilitas pusat kesehatan masyarakat dan jaringannya. 3. Menyediakan instrumen dan kelengkapan medis, termasuk obat generic yang dibutuhkan. 4. Meningkatkan layanan kesehatan primer, dengan memberikan setidaknya upaya promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, peningkatan gizi, perbaikan lingkungan, layanan kesehatan primer, dan pemberantasan penyakit menular; dan 5. Menyediakan dana operasional dan pemeliharaan. Program Penyediaan Layanan Kesehatan Pribadi Program ini bertujuan untuk meningkatkan akses, daya beli, mutu layanan kesehatan pribadi. Kegiatan utama yang dapat dilakukan dalam program ini meliputi: 1. Menyediakan layanan kesehatan kepada penduduk miskin pada rumah sakit kelas tiga. 2. Membangun fasilitas dan infrastruktur rumah sakit pada wilayah marjinal yang ditentukan; 3. Memperbaiki fasilitas dan infrastruktur rumah sakit; 4. Menyediakan obat-obatan dan keperluan untuk rumah sakit; 5. Meningkatkan sistem rujukan layanan kesehatan ; 6. Promosi layanan dokter keluarga; 7. Menyediakan dana operasional dan pemeliharaan; dan 8. Meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam upaya meningkatkan kesehatan pribadi. Sumber: Pemerintah RI, RPJM, 2004-09.
198
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Pengeluaran Kesehatan Per Capita di Kabupaten/Kota P ( A BD1+2, De kon dan DAK)
Diagram F.2. Pemerataan Alokasi Pengeluaran Publik untuk Kesehatan —Agregat, Dekonsentrasi Anggaran, Daerah dan DAK 600000
y = 0,3957x + 1710,3 R2 = 0,1349
500000 400000 300000 200000 100000
0 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 450000 500000 550000 600000
Pengeluaran Kesehatan Per Capita di Kabupaten/Kota (hanya untuk Dana Dekonsentrasi)
Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota 400000
y = 0,2142x - 27318
350000
2
R = 0,1231
300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 100000
150000
200000
250000
300000
350000 400000
450000
500000 Pengeluaran Kesehatan Per Capita di Kabupaten/Kota (APBD1+2)
500000
550000
600000
Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota
y = 0,1629x + 27513
450000
2
R = 0,0501
400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 0
100000
200000
300000
400000
Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota
500000
600000
Pengeluaran Kesehatan Per Capita di Kabupaten/Kota (hanya DAK)
80000
y = 0,0216x + 3050 2 R = 0,0232
70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 0
50000
100000
150000
200000
250000
300000
350000
400000
450000
500000
Mean Konsumsi Per Capita di Kabupaten/kota
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari DepKeu, 2006.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
199
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel F.3. Perbedaan Penghasilan per Bulan dan per Jam—Setelah Mengontrol Karakteristik Individu Variabel Dependen Log dari Pendapatan per Bulan
Variabel Dependen Log Pendapatan per Jam 108
Persentase Perbedaan 64 (6.2) 23 (3.9) 38 (4.2) 19 4.5) 7 (42.2) 0 (-35.4) 40 (49.5)) -21 (-36.3) 65 (28.0) 79 (35.1) 82 (55.2) 12 (55.2)
Persentase Perbedaan 50 (5.0) 25 (4.1) 36 (4.0) 29 (6.2) 8 (45.2) 0 (-36.4) 33 (40.5) -16 (-25.5) 103 (38.7) 97 (40.2) 114 (68.5) 6 (227)
Observasi
38,671
38,431
R Kuadrat
0.27
0.31
Dokter Perawat Bidan Petugas kesehatan lainnya Usia Usia Kuadrat Laki-laki Wilayah Pedesaan Pend Diploma I & II Pend. Akademi Diploma III Pend. University Diploma IV Konstanta
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS, 2006. Catatan: Diferensial kondisional berasal dari koefisi variabel dummy untuk provinsi dalam regresi multivariat untuk pendapatan (yaitu, 100*(exp(b)-1), di mana b adalah koefisi dummy untuk provinsi-spesifik. Nilai t-statistik dalam kurung kurawal. ** menunjukkan tingkat signifikansi 1 persen. Penghasilan ditentukan sebagai gaji dalam bentuk tunai dan bentuk lain.
107 Pendapatan per jam dihitung berdasarkan penghasilan per bulan, dibagi jumlah jam kerja yang dilaporkan selama seminggu, lalu dikalikan empat.
200
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Lampiran G Desentralisasi Tabel G.1. GDP per kapita Regional dan Angka Kemiskinan setelah Desentralisasi Kuintil 1 – Paling Tidak Miskin
PDRB Pertumbuhan Kemiskinan PDRB Pertumbuhan Kemiskinan PDRB Pertumbuhan Kemiskinan PDRB Pertumbuhan Kemiskinan PDRB Pertumbuhan Kemiskinan PDRB Pertumbuhan Kemiskinan CoV Gini CoV Gini
2 3 4 5 – Paling Miskin Nasional PDRB Kemiskinan
2000 9.0
2001 9.1 4.4 9.5 7.4 3.4 14.8 4.3 3.0 22.4 3.7 4.3 26.2 3.8 (0.4) 35.6 5.5 3.3 21.6 2.70 0.53 0.54 0.29
12.6 7.3 17.2 4.2 26.7 3.6 27.8 3.9 37.7 5.5 24.4 2.70 0.54 0.62 0.33
2002 9.2 4.1 6.6 7.5 3.5 12.5 4.4 4.5 18.3 3.9 5.3 24.6 4.1 7.8 33.6 5.7 4.6 18.8 2.50 0.52 0.58 0.30
2003 9.4 5.0 6.7 7.6 3.8 12.0 4.4 3.4 17.3 4.1 5.8 23.3 4.1 4.0 31.7 5.8 4.4 17.9 2.20 0.49 0.52 0.29
2004 9.8 5.5 6.1 7.8 4.4 11.3 4.6 4.8 16.3 4.2 4.6 22.7 4.2 2.0 31.3 6.0 4.5 17.2 2.10 0.48 0.55 0.31
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS. Data dihitung untuk tingkat kabupaten/kota di luar DKI Jakarta. Catatan: Pertumbuhan PDRB: PDRB Riil per kapita (Rp juta ); pertumbuhan PDRB riil (%); Angka kemiskinan: Angka Kemiskinan (%).
Tabel G.2. Korelasi antara Kemiskinan dan Struktur Ekonomi, 2000-04 POVHC Total Anggaran (%) Pertanian Minyak dan gas Manufaktur Jasa Non Migas KOTA
2000
2001
2002
2003
2004
Kaya
Miskin
Kaya
MIskin
Kaya
Miskin
Kaya
Miskin
Kaya
Miskin
Kaya
Miskin
0.2678**
0.2051**
22
46
15
46
15
47
15
47
15
45
0.0233
- 0.1087
3
3
4
2
5
3
5
3
3
4
- 0.0353
-0.1576**
19
7
20
6
20
6
20
6
19
6
-0.1923**
- 0.1195
55
41
59
42
58
41
58
41
60
41
-0.0233
0.1087
97
97
96
98
95
97
95
97
97
96
-0.2842**
- 0.0203
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari BPS. Catatan: Data dihitung untuk tingkat kabupaten/kota di luar DKI Jakarta. Kaya (Miskin) mengacu pada kuintil tertinggi (terendah) dalam hal angka kemiskinan per populasi. * dan ** menunjukkan signifikansi secara statistik pada tingkat 0,05 dan 0,01 level.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
201
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Seksi G.3. Desentralisasi dan Penyediaan Layanan Indonesia sedang mengalami peningkatan pemberian layanan kepada masyarakat. Di sektor pendidikan, pemerintah pusat mendorong untuk membangun sekolah di setiap daerah, dan telah menghasilkan peningkatan pendaftaran siswa cukup signifikan sejak 1970s. Saat ini, tingkat pendaftaran di tingkat SD secara universal mencapai angka 72 persen sama dengan tingkat pada tahun 1975. Pada 2004, tingkat pendaftaran bersih untuk SD adalah 94 persen dan tingkat pendaftaran kotor di atas 100 persen. Tingkat Junior pendaftaran bersih di SMP juga mengalami kenaikan secara signifikan dari 18 persen pada 1970-an menjadi 65 persen pada 2004. Di sektor kesehatan, ada berbagai indikator yang menuinjukkan peningkatan selama beberapa tahun terakhir ini. Pengeluaran publik dari 2001 sampai 2004 telah mengalami kenaikan lebih dari setengah dalam termin yang sesungguhnya. Akan tetapi, distribusi dan cakupannya perlu ditingkatkan lagi. Disparitas antara wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan masih cukup jelas. Akan tetapi, apakah mutu sudah pula sejalan dengan peningkatan layanan masih perlu dipertanyakan. Bukti-bukti mengenai mutu pemberian layanan publik di daerah juga masih bersifat ambigu. Persepsi masyarakat menunjukkan bahwa sepertinya mutu layanan publik di daerah telah mengalami peningkatan secara marjinal sejak pelaksanaan desentralisasi. Survei yang dilakukan belakangan ini (World Bank, 2004a) menunjukkan bahwa sekitar 60 persen rumah tangga yang diwawancarai memandang bahwa layanan pemerintah kabupaten/ kota untuk sektor kesehatan, pendidikan, dan administrasi telah meningkat walau hanya sedikit sejak 2001.108 Pada saat yang sama, banyak perusahaan swasta mengeluh tentang mutu layanan publik di daerah (von Luebke, 2005). Di antara layanan publik paling penting di daerah menurut kalangan usaha adalah air bersih, dan jalan raya (daerah) (KPPOD, 2004; LPEM-UI, 2005b). LPEM-UI (2005b). Menurut mereka layanan air bersih mengalami kemunduran selama dua tahun terakhir. Sementara isu yang terkait dengan jalan raya tidak secara resmi dimasukkan ke dalam survei LPEM, penelitian menemukan bahwa mayoritas kalangan usaha yang diwawancarai menyatakan bahwa mutu jalan sangat bermasalah. Tabel G.3.1 Apakah desentralisasi meningkatkan penyediaan layanan? Hasil dari survei yang baru dilaksanakan menunjukkan: Penelitian
Rangkuman metodologi
Temuan (terkait pemberian layanan )
GDS (2004) Kaiser, Pattinasarany dan Schulze (2006)
Fokus pada kesehatan, pendidikan, administration, dan kepolisian. Sampel kecil 32 kabupaten/kota di 8 provinsi.
Kesehatan, pendidikan dan layanan administrasi dipandang telah mengalami peningkatan.
Analisis pengeluaran publik Papua dan Kapasitas Harmonisasi (2005)
Pendekatan partisipatif terhadap PER
Pemberian layanan tetap berada di bawah standar yang ditentukan pusat untuk daerah terpencil Papua. Akan tetapi, telah terjadi perbaikan dengan peningkatan anggaran pembangunan lewat Dana Otsus.
RICA (2006)
Penelitian kualitatif di 5 kabupaten yang berfokus pada faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Iklim investasi di wilayah pedesaan.
Usaha kecil menengah di kabupaten masih mengeluh tentang hambatan permintaan, akses terhadap kredit, kondisi infrastruktur jalan dan listrik i yang buruk.
MSWP (2006)
Penilaian lintas sektoral terhadap pemberian layanan di Indonesia menggunakan sumber data sekunder.
Pemberian layanan mengalami kemunduran setelah desentralisasi pada 2001; Isunya adalah pengeluaran publik yang tidak efisien, mutu yang rendah, dan kesenjangan terhadap dam keluaran.
Analisis pengeluaran publik Aceh dan Nias (2006)
Pendekatan partisipatif terhadap PER dengan kontribusi dari survei GDS dan Kerangka Pengukuran Manajemen Keuangan Publik.
Peningkatan sumber fiskal akan memberi dampak positif Aceh. pengeluaran pemerintah untuk sektor-sektor kunci masih rendah dan perlu diperbaiki.
108 Hasil-hasil ini harus diperlakukan dengan hati-hati jika ingin digunakan untuk generalisasi mengenai Indoneis secara keseluruhan.Sampel rumah tangga yang diwawancarai sangat sedikit dan hanya mencakup8 provinsi.
202
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
IPOP IPOVGAP
: PAD/OSR diperkirakan analisis regresi dari PDRB sebenarnya terhadap pendapatan regional yang diukur dengan GRDP
Sumber: Data DepKeu.
55
5
40
2004
(0.4*IPOPi +0.1*IPOV GAPi+0.1*IAREAi+0.4 *ICOSTRELi)*Ave_Exp
0.5*OSRi* + STXi + SDAi
: Indeks Wilayah : Indeks Biaya : Indeks Pembangunan Manusia : Indeks PDRB Per kapita
: Indeks Kemiskinan
: Indeks Populasi
Expenditure Needs Formulab
: Bagian dari Total DAU (Propinsi & Kabupaten/kota)
(0.4*IPOPi +0.1*IPOV GAPi+0.1*IAREAi+0.4 *ICOSTRELi)*Ave_Exp
(0.4*IPOPi +0.1*IPO VGAPi+0.1*IAREAi +0.4*ICOSTRELi)*A ve_Exp
(0.25*IPOPi +0.25*IPOV GAPi+0.25*IAREAi+0.25* ICOSTRELi) *Ave_Exp
PBB : Pajak bumi dan bangunan IAREA BPHTB : Pendapatan dari bea balik nama atas tanah dan bangunan ICOSTREL STX : Pendapatan pajak HDI SDA : Pendapatan dari Sumber Daya Alam IGRDPPC Subscript “t” menunjukkan total dan subscript “i“ menunjukkan masing-masing kabupaten/kota.
b
a
Note:
OSRi* + STXi + 0.75*SDAi
50
40 OSRi* + STXi + 0.75*SDAi
5
45
2003
10
50
2002
Fiscal Capacity Formula
18.50
1.50
80
2001
Ave (OSRt + PBBt + BPHTBt) * Ave (IGRDP_ SD + IGRDP_nonSDA + IWorking_Age)
Basic Allocation (%)a - SDO/Inpres - Proportional Wage Bill - 100% Wage Bill - Lump Sum Formula-Based Allocationa - Fiscal Gap Formula
Tabel G.4. Formula DAU, 2001-06
(0.4*IPOPi +0.1*IPO VGAPi+0.1*IAREAi +0.4*ICOSTRELi)*A ve_Exp
0.5*OSRi* + STXi + SDAi
55
5
40
2005
(0.3*IPOPi +0.1*1/ HDIi+0.15*IAREAi+ 0.3*ICOSTRELiCost +0.15*IGRDPPCi)*A ve_Exp
OSRi + STX + SDA
50
50
2006
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007 LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
203
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel G.5. Skema Penerimaan Bagi Hasil Pembagian (%)
Provinsi penghasil (%)
Kabupaten/Kota Penghasil (%)
Lain-lain (%)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) - Pusat
10
6.50 3.50
- Daerah
90
16.20
64.80
9
BPHTB - Pusat
20
- Daerah
80
16
64
8
8.4
Catatan Tambahan
Didistribusikan merata ke seluruh kabupaten/kota Didistribusikan berdasarkan insentif Biaya Pengumpulan
20
Didistribusikan merata ke seluruh kabupaten/kota
3.60
Didistribusikan secara merata ke seluruh kabupaten/kota di Provinsi
Pajak Penghasilan - Pusat
80
- daerah
20
Sumber Daya Alam
Kehutanan Iuran pemakaian (IIUPH) Provisi sumber daya hutan Dana Reboisasi Pertambangan Umum Sewa tanah dari kabupaten/ kota Royalty dari kabupaten/kota Sewa tanah dari Propinsi Royalty dari Propinsi Perikanan Pendapatan usaha perikanan Pendapatan dari produk perikanan Minyak Dari kabupaten/kota Dari Propinsi Gas Dari kabupaten/kota Dari Propinsi Geothermal Bagian untuk Pemerintah Iuran Tetap dan Iuran Produksi
Kabupaten/ kota lainnya di Provinsi (%)
Kabupaten/ kota lainnya (%)
Daerah (%)
Provinsi (%)
20 20 60
80 80 40
16 16
64 32 40
20
80
16
64
20 20 20
80 80 80
16 80 26
32
20
80
80
20
80
80
85 85
15.5 15.5
3.1 5.17
6.2
6.2 10.33
69.5 69.5
30.5 30.5
6.1 10,17
12.2
12.2 20,33
20 20
80 80
16 16
32 32
32 32
Sumber : UU No. 33/2004 dan PP No. 55/2005.
204
Kabupaten/ kota penghasil (%)
Pusat (%)
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
32
32 54
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Diagram G.6. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Berdasarkan Sektor, 1991-2005 14,000 Rp miliar (harga yang berlaku) 12,000 Urban
Rural
Estate
Kehutanan
Pertambangan
10,000 8,000 6,000 4,000 2,000 91
92
93
94
95
96
97
98
99
00
01
02
03
04
05
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Dirjen Pajak – DepKeu.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
205
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Seksi G.7. Biaya Pengumpulan Pajak Daerah Rasio biaya-hasil memiliki rentangan antara hanya 15 persen (rendah) sampai dengan 264 persen(tinggi)! Biaya administrasi pajak yang sebenarnya melebihi pendapatan pajak itu sendiri sekitar 10 persen dari seluruh pemerintah kabupaten/kota. Studi empiris menunjukkan bahwa biaya administrasi yang tidak efisien meningkat karena setoran dari pusat mengalami kenaikan (Lewis, 2006a). Diagram G.7.1 Biaya Administrasi Pengumpulan Pajak Pemerintah Kabupaten/kota terhadap Pendapatan Pajak (Rasio Biaya-Hasil), 2003 Frekuensi 70 60 50 40 30 20 10 0 30
64
97
131 164 Cost-to-Yield Ratio (x 100)
198
231
264
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan Ditjen Pajak–data DepKeu.
Kegiatan administrasi untuk mengumpulkan pajak bagi pemerintah kabupaten/kota memerlukan tenaga kerja yang intensif. Jumlah staf Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) sangat beragam antara satu pemerintah kabupaten/kota dengan yang lain. Sementara pemerintah kabupaten/kota yang kecil mungkin memperkerjakan sekitar 50 civil PNS, untuk kola besar seperti Medan dan Surabaya, mungkin memperkerjakan ratusan pegawai tetap. Hanya beberapa Dispenda yang menggunakan teknologi informatika dalam administrasi pajak. Sistem administrasi perhitungan ditentukan oleh Departemen Dalam Negeri pada sejumlah pemerintah kabupaten/kota yang besar pada awal tahun 1990-an, tetapi hal ini sudah tidak digunakan lagi, 2004).
206
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Diagram G.8. Dana Cadangan Per kapita Pemerintah Daerah berdasarkan Provinsi , Oktober 2006 Banten Jawa Barat Jawa Tengah Nusa Tenggara Barat Sulawesi Utara Lampung Jawa Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara D.I. Yogyakarta Gorontalo Sumatera Utara Bali Maluku Jambi Sulawesi Tengah Kalimantan Barat Sumatera Selatan Nusa Tenggara Timur Sumatera Barat Bengkulu Kalimantan Selatan DKI Jakarta Kalimantan Tengah Bangka Belitung Riau Nangroe Aceh Darussalam Papua Kalimantan Timur -
500
1,000
1,500
2,000
2,500
3,000
3,500
4,000
Ribu Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data Bank Indonesia.
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
207
LAMPIRAN
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Tabel G.9. Pengelompokkan Kabupaten/kota berdasarkan Tingkat Kemiskinan, PDRB, & Pendapatan Fiskal Tingkat Kemiskinan yang Rendah Pendapatan Fiskal per kapita yang rendah Low GRDP Per kapita Kab. Banjar Kab. Buleleng Kab. Bulukumba Kab. Ciamis Kab. Garut Kab. Jepara Kab. Karangasem Kab. Lebak Kab. Pandeglang Kab. Pesisir Selatan Kab. Sambas Kab. Sanggau Kab. Semarang Kab. Serang Kab. Solok Kab. Sukabumi Kab. Sukoharjo Kab. Sumedang Kab. Temanggung Kab. Wajo Kota Bogor Kota Depok Kota Mataram
208
High GRDP Per kapita Kab. Agam Kab. Asahan Kab. Bandung Kab. Barito Kuala Kab. Bekasi Kab. Bogor Kab. Deli Serdang Kab. Gianyar Kab. Karawang Kab. Kudus Kab. Labuhan Batu Kab. Limapuluh Kota Kab. Luwu Utara Kab. Minahasa Kab. Padang Pariaman Kab. Pasaman Kab. Pontianak Kab. Purwakarta Kab. Sawahlunto Sijunjung Kab. Sidoarjo Kab. Subang Kab. Tanah Datar Kab. Tangerang Kota Bandar Lampung Kota Bandung Kota Banjarmasin Kota Batam Kota Bekasi Kota Cimahi Kota Denpasar Kota Jambi Kota Makassar Kota Malang Kota Manado Kota Medan Kota Padang Kota Palembang Kota Pekalongan Kota Pontianak Kota Semarang Kota Surabaya Kota Surakarta Kota Tangerang Kota Tasikmalaya
Pendapatan Fiskal per kapita yang tinggi Low GRDP Per kapita Kab. Badung Kab. Bangli Kab. Bantaeng Kab. Barru Kab. Bengkayang Kab. Bungo Kab. Hulu Sungai Selatan Kab. Hulu Sungai Tengah Kab. Maluku Utara Kab. Muaro Jambi Kab. Sangihe Talaud Kab. Sidenreng Rappang Kab. Sinjai Kab. Soppeng Kab. Takalar Kab. Tebo Kota Banjar Baru Kota Batu Kota Bima Kota Blitar Kota Gorontalo Kota Metro Kota Pagar Alam Kota Pare-pare Kota Salatiga Kota Tegal Kota Ternate
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
High GRDP Per kapita Kab. Bangka Kota Bitung Kab. Barito Selatan Kota Bontang Kab. Barito Timur Kota Bukittinggi Kab. Barito Utara Kota Cilegon Kab. Belitung Kota Cirebon Kab. Bengkalis Kota Dumai Kab. Gunung Mas Kota Kediri Kab. Hulu Sungai Utara Kota Kendari Kab. Jembrana Kota Kupang Kab. Kampar Kota Langsa Kab. Kapuas Kota Lhokseumawe Kab. Karimun Kota Madiun Kab. Katingan Kota Magelang Kab. Kepulauan Riau Kota Mojokerto Kab. Klungkung Kota Padang Panjang Kab. Kota Baru Kota Palangkaraya Kab. Kotawaringin Barat Kota Palopo Kab. Kotawaringin Timur Kota Palu Kab. Kutai Barat Kota Pangkal Pinang Kab. Lamandau Kota Pariaman Kab. Murung Raya Kota Pasuruan Kab. Natuna Kota Payakumbuh Kab. Pulang Pisau Kota Pekanbaru Kab. Rokan Hilir Kota Prabumulih Kab. Seruyan Kota Samarinda Kab. Sukamara Kota Sawahlunto Kab. Tabalong Kota Sibolga Kab. Tabanan Kota Singkawang Kab. Tanah Laut Kota Solok Kab. Tanjung Jabung Timur Kota Sukabumi Kab. Tapin Kota Tanjung Balai Kota Ambon Kota Tanjung Pinang Kota Balikpapan Kota Tarakan Kota Banda Aceh Kota Tebing Tinggi Kota Bengkulu Kota Yogyakarta Kota Binjai
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
LAMPIRAN
Tingkat Kemiskinan yang Tinggi Pendapatan Fiskal Per kapita yang Rendah
Pendapatan Fiskal Per kapita yang Tinggi
PDRB per kapita rendah Kab. Bangkalan Kab. Lumajang Kab. Banjarnegara Kab. Luwu Kab. Bantul Kab. Madiun Kab. Banyumas Kab. Magelang Kab. Banyuwangi Kab. Magetan Kab. Batang Kab. Majalengka Kab. Belu Kab. Malang Kab. Bengkulu Utara Kab. Manggarai Kab. Bima Kab. Mojokerto Kab. Blitar Kab. Nganjuk Kab. Blora Kab. Ngawi Kab. Bojonegoro Kab. Ogan Komering Ilir Kab. Bondowoso Kab. Pacitan Kab. Bone Kab. Pamekasan Kab. Boyolali Kab. Pasuruan Kab. Brebes Kab. Pati Kab. Buton Kab. Pekalongan Kab. Cianjur Kab. Pemalang Kab. Cirebon Kab. Polewali Mamasa Kab. Demak Kab. Ponorogo
PDRB per kapita Kab. Banyuasin Kab. Cilacap Kab. Donggala Kab. Gresik Kab. Indramayu Kab. Kendal Kab. Muara Enim Kab. Parigi Moutong Kab. Rejang Lebong Kab. Simalungun Kab. Sleman Kab. Sumbawa Kab. Tapanuli Utara Kab. Tulang Bawang Kab. Tulungagung
PDRB per kapita rendah Kab. Aceh Tenggara Kab. Alor Kab. Banggai Kab. Banggai Kepulauan Kab. Bengkulu Selatan Kab. Boalemo Kab. Dompu Kab. Ende Kab. Enrekang Kab. Gorontalo Kab. Halmahera Tengah Kab. Kapuas Hulu Kab. Kulon Progo Kab. Kupang Kab. Majene Kab. Maluku Tengah Kab. Maluku Tenggara Kab. Maluku Tenggara Barat Kab. Mamuju Kab. Maros
Kab. G. Kidul
Kab. Probolinggo
Kab. Nabire
Kab. Gowa Kab. Grobogan Kab. Jember Kab. Jeneponto Kab. Jombang Kab. Karanganyar Kab. Kebumen
Kab. Purbalingga Kab. Purworejo Kab. Rembang Kab. Sampang Kab. Sikka Kab. Sintang Kab. Situbondo
Kab. Ngada Kab. Paniai Kab. Poso Kab. Pulau Buru Kab. Puncak Jaya Kab. Rote Ndao Kab. Selayar
Kab. Kediri
Kab. Sragen
Kab. Sumba Timur
Kab. Kendari Kab. Sumba Barat Kab. Ketapang Kab. Tana Toraja Kab. Klaten Kab. Tanggamus Kab. Lahat Kab. Tapanuli Selatan Kab. Lamongan Kab. Tapanuli Tengah Kab. Lampung Barat Kab. Tasikmalaya Kab. Lampung Selatan Kab. Tegal Kab. Lampung Tengah Kab. Timor Tengah Selatan Kab. Lampung Utara Kab. Trenggalek Kab. Landak Kab. Tuban Kab. Lombok Barat Kab. Wonogiri Kab. Lombok Tengah Kab. Wonosobo Kab. Lombok Timur Sumber: Perkiraan stf Bank Dunia berdasarkan DepKeu dan data BPS.
Kab. Timor Tengah Utara Kab. Yapen Waropen Kota Lubuk Linggau
PDRB per kapita tinggi Kab. Aceh Barat Daya Kab. Aceh Besar Kab. Aceh Selatan Kab. Aceh Tamiang Kab. Aceh Utara Kab. Batanghari Kab. Bireuen Kab. Dairi Kab. Fak Fak Kab. Indragiri Hilir Kab. Indragiri Hulu Kab. Kolaka Kab. Kuantan Singingi Kab. Malinau Kab. Manokwari Kab. Merauke Kab. Morowali Kab. Musi Banyuasin Kab. Musi Rawas Kab. Nagan Raya Kab. Pangkajene Kepulauan Kab. Pasir Kab. Pelalawan Kab. Penajam Paser Utara Kab. Rokan Hulu Kab. Sarolangun Kab. Sorong Kab. Tanah Karo Kab. Tanjung Jabung Barat Kab. Toba Samosir Kab. Toli Toli Kota Bau-bau Kota Jayapura Kota Probolinggo Kota Sorong
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
209