1
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk membentuk atau mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawahdah dan rahmah. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan sesuai dengan Undang-undang perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan sangat penting yaitu untuk memperoleh keturunan dalam kehidupan manusia baik perorangan maupun kelompok, dengan jalan perkawinan yang sah. Pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara hormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk yang sempurna yaitu memiliki akal (pikiran) dan perasaan (hati). Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana
damai, tenteram dan penuh rasa kasih sayang antara
suami isteri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat.1 Langgengnya sebuah perkawinan merupakan tujuan yang diinginkan oleh ajaran Islam. Akad nikah diadakan untuk dipelihara keutuhannya dan dijaga selamanya, karena akad tersebut dipandang oleh Islam sebagai ikatan suci yang tidak boleh dibuat main-main. Maka tidak sepatutnya akad nikah 1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum UUI, cet ke-8, 1996, hlm. 1.
2
yang sakral tersebut dirusak atau dilecehkan. Setiap usaha untuk melecehkan hubungan perkawinan dan memutuskannya tanpa adanya alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar putusnya perkawinan atau perceraian dibenci oleh Islam karena merusak ketertiban dan kemaslahatan antara suami isteri. Suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum apabila dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku secara positif.
2
Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tata cara perkawinan yang dibenarkan oleh hukum adalah seperti yang diatur dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975. sehingga perkawinan ini akan mempunyai akibat hukum yaitu akibat yang mempunyai hak mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum.3 Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa suatu perkawinan baru dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah menurut hukum apabila perkawinan itu dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya dan ayat (2) menentukan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.4 Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat yang dibuktikan dengan Akta Nikah dan masing-masing suami isteri mendapat salinannya, apabila terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka atau salah satu tidak bertanggung jawab,
2
Nasruddin Salim, “Isbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam (Tinjauan Yuridis, Filosofis Dan Sosiologis)”, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, No. 62 THN. XIV, Jakarta: Al Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, 2004, hlm. 67. 3 Ibid. 4 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta: Departemen Agama RI, 1999, hlm. 96.
3
maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing. Akta nikah itu adalah sebagai bukti otentik sahnya suatu perkawinan seseorang sangat bermanfaat dan maslahat bagi diri dan keluarganya (isteri dan anaknya) untuk menolak dan menghindari kemungkinan dikemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinannya dan akibat hukum dari perkawinan itu (harta bersama dalam perkawinan dan hak-hak perkawinan) dan juga untuk melindungi dari fitnah dan qadzaf zina (tuduhan zina). Maka jelaslah bahwa pencatatan nikah untuk mendapatkan Akta Nikah tersebut adalah sangat penting. Hal ini berbeda dengan pemahaman tentang ketentuan perkawinan oleh sebagian masyarakat Muslim yang lebih menekankan perspektif fiqh sentris.5 Menurut pemahaman versi ini, perkawinan telah cukup apabila syarat dan rukunnya menurut ketentuan fiqh terpenuhi, tanpa diikuti dengan pencatatan perkawinan. Kondisi semacam ini dipraktekkan sebagian masyarakat dengan melakukan praktek nikah di bawah tangan. Pada awalnya perkawinan di bawah tangan yang dilakukan, adalah didasarkan pada suatu pilihan hukum yang sadar dari pelakunya, bahwa mereka menerima tidak mendaftarkan atau mencatatkan perkawinannya ke KUA, mereka merasa cukup sekedar memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (1) tetapi tidak mau memenuhi ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 5
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. Ke4, 2000, hlm. 109.
4
Alasan-alasannya antara lain : 1. Supaya tidak diketahui masyarakat dan tidak ada tuntutan untuk mengadakan Walimah (resepsi). 2. Bahwa perkawinan ini dirahasiakan dulu dan sumi isteri itu belum kumpul sebagai suami isteri (qabla dhukul) selama masih kuliah atau pendidikan. 3. Untuk menghindari status kawin karena menyangkut kelangsungan pekerjaan. 4. Mempelainya masih belum cukup umur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, kawinnya sekedar untuk segera menyambung tali keluargaan6. Nikah di bawah tangan dengan alasan- alasan di atas yang dilakukan oleh sebagian masyarakat merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bagi pasangan suami isteri yang sudah melaksanakan ketentuan pasal 2 ayat (1) ini kemudian baru melakukan ketentuan pasal 2 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 . Misalnya segera melakukan pencatatan ke KUA ketika mengetahui bahwa isterinya sudah mulai hamil dan keadaan ini menunjukkan tidak relevan jika isbat nikah itu diajukan dengan alasan untuk kepentingan Akta kelahiran anak. Karena memang ada pasal di Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta nikah dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama (pasal 7 ayat [2])”.7
6 7
Departemen Agama RI op.cit., hlm. 69. Departemen Agama RI, loc.cit., hlm. 137.
5
Prinsip pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 Jo. PP No. 9 Tahun 1975 adalah untuk menjaga hak-hak bagi suami isteri jika terjadi penyimpangan dalam perkawinan. Keterlibatan Pegawai Pencatat Nikah dalam suatu perkawinan yang kapasitasnya sebagai pegawai atau pejabat yang diangkat oleh pemerintah dengan tugas untuk mengawasi perkawinan dan mencatatnya. Dengan merujuk UU No. 1 Tahun 1974 yang mulai berlaku efektif tanggal 1 Oktober 1975, maka setiap perkawinan harus dicatat untuk mewujudkan tujuan hukum yaitu terwujudnya ketertiban, kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat dalam bidang perkawinan. Mengenai isbat nikah yang terdapat dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ini memang belum ada batasan tentang perkawinan yang dilaksanakan sebelum atau sesudah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga dapat menimbulkan problem baru lagi, maka pembatasan tersebut mutlak diperlukan supaya tidak terjadi kekeliruan dalam penerapannya. Bahwa yang dimaksud dengan adanya perkawinan yang terdapat dalam rumusan KHI tersebut adalah perkawinan yang terjadi setelah tanggal 1 Oktober 1975, bukan perkawinan di bawah tangan atau poligami liar. Tapi karena ada suatu hal maka perkawinan itu tidak dicatat, sehingga tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah. Misalnya karena kelalaian oleh oknum P3N (petugas pembantu pencatat nikah) yang memanfaatkan ketidaktahuan calon mempelai,
perkawinan
dilangsungkan
sesuai
dengan
ketentuan
UU
Perkawinan tetapi P3N tersebut tidak melaporkan ke PPN (petugas pencatat
6
nikah), sehingga perkawinan tersebut tidak tercatat. Kemudian karena ada kepentingan dengan perkawinan itu (untuk mendapatkan Akta Nikah) suami isteri tersebut atau pihak yang terkait baru mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Dengan melihat UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa masalah isbat nikah tidak diatur dalam UU ini, tetapi mengatur bahwa setiap perkawinan harus dicatat oleh pejabat yang berwenang. Hal ini dimaksudkan agar terjadi ketertiban dalam perkawinan. Tetapi KHI mengatur masalah isbat nikah dalam pasal 7. Tetapi penjelasan lebih lanjut tentang isbat nikah tidak ada, mulai dari pengertian sampai pada prosedur yang dijalankan dalam mengajukan perkara isbat nikah. Dari segi sosiologis dengan adanya pasal 7 KHI tentang isbat nikah akan memberi dampak kepada masyarakat untuk melakukan nikah di bawah tangan secara massif. Dengan demikian tujuan normatif dari pencatatan perkawinan tidak terpenuhi seperti yang dikehenaki pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974, maka hal ini akan menciptakan ketidak teraturan dalam pencatatan perkawinan. Dengan demikian bahwa rancunya ketentuan tentang isbat nikah yang ada dalam KHI perlu mendapat kajian yang lebih dalam. Dengan latar belakang masalah di atas, maka penulis akan mengkajinya dalam sebuah skripsi yang berjudul ”Isbat Nikah Dalam Kompilasi Hukum Islam ( Studi Analisis Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam Tentang Isbat Nikah )”.
7
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok persoalan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah: 1.
Apa yang dimaksud isbat nikah dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam ?
2.
Dalam hal pernikahan yang bagaimana isbat nikah ini dapat dilakukan?
C. TUJUAN PENELITIAN Selanjutnya penelitian skripsi ini selain bertujuan untuk memenuhi tugas akademik guna memperoleh gelar sarjana dalam ilmu syariah IAIN Walisongo Semarang, juga didorong oleh beberapa tujuan yang berkaitan dengan isi pembahasan di dalamnya, antara lain: 1. Untuk memberi gambaran yang jelas dan pemahaman yang mendalam tentang Arti dan maksud isbat nikah dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam 2. Untuk mengetahui pernikahan yang dapat diajukan isbat nikahnya. D. TELAAH PUSTAKA Kajian tentang isbat nikah khususnya yang terdapat dalam Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam, sepanjang yang penulis ketahui berdasarkan studi kepustakaan pada perpustakaan Fakulktas Syari’ah IAIN Semarang, tidak ditemukan tulisan-tulisan yang secara khusus mengkaji tentang Isbat Nikah ini. Namun berdasarkan literatur-literatur yang penulis temukan ada beberapa buku dan artikel yang menyinggung sekilas tentang isbat nikah serta yang berkaitan dengan isbat nikah, diantaranya adalah Analisis Yurisprudensi
8
tentang
Isbat
Nikah
Putusan
PA
Tanjungkarang
No.
10/Pdt.P/1994/PA.Tnk.yang dianalisis oleh Dr.H. Satria Effendi M. Zein (Dosen PascaSarjana IAIN Jakarta) bahwa dengan adanya ketentuan yang membolehkan permohonan isbat nikah seperti yang diatur dalam pasal 7 KHI, menyiratkan sebuah prinsip bahwa secara substansial peraturan yang berlaku di Indonesia tadi mengakui keabsahan sebuah pernikahan yang belum tercatat, dan kemudian dengan alasan-alasan yang dicantumkan dalam rincian pasal 7 ayat (3) KHI, nikah itu dapat dicatatkan dan diisbatkan alias diakui secara administratif.8 Dengan adanya ketentuan pasal 7 KHI berarti telah memberikasn peluang bagi nikah-nikah yang tidak tercatat untuk kemudian mencatatkan diri sebagaimana mestinya. Adanya peluang ini menguntungkan pihak yang melakukan pernikahan di bawah tangan. Drs. Enas Nasrudin dalam sebuah Artikel yang dimuat dalam jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum menyatakan bahwa “Mencermati masalah isbat nikah tidak bisa dilepaskan dari sistem hukum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Jo. PP No. 9 Tahun 1975. suatu perkawinan yang tidak melibatkan Pegawai Pencatat Nikah dengan sendirinya perkawinan tersebut tidak dapat dicatat. Pegawai pencatat nikah tidak bisa mengawasi
dan
mencatat
suatu
perkawinan
yang
tidak
dilakukan
dihadapannya. Jadi, keterlibatan Pegawai Pencatat dalam suatu perkawinan
8
Satria Efendi, “Analisis Fiqh”, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Jakarta: Al Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, No. 50 Thn. XII, Januari-februari, 2001, hlm. 119.
9
merupakan bagian dari sistem perkawinan yang dikehendaki oleh UU No. 1 Tahun 1974 Jo. PP No. 9 Tahun 1975”.9 Lembaga isbat nikah tidak semata-mata ditujukan sebagai upaya untuk ketertiban Administrasi perkawinan, tapi juga untuk tegaknya hukum perkawinan
yang
diatur
dalam
Undang-undang
perkawinan.
Hakim
Pengadilan Agama harus hati-hati dalam menangani masalah isbat nikah yang diajukan agar tidak dimanfaatkan oleh pelaku perkawinan di bawah tangan dan polgami liar.10 Pelaksanan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Pencatatam Nikah (Studi Kasus Di Kecamatan Mijen Kota Semarang) yaitu skripsi yang ditulis oleh Muntaha sarjana Fakultas Syari’ah IAIN Semarang. Di dalam skripsinya Muntaha membahas tentang Efektifitas pelaksanaan pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yaitu tidak mencatatkan perkawinannya karena sebagian masyarakat muslim masih ada yang memahami ketentuan perkawinan yang lebih menekankan perspektif fiqh sentris.11 Analisis terhadap nikah massal bagi masyarakat kumpul kebo (Studi Kasus Di KUA Semarang Utara) yaitu Skripsi yang ditulis oleh Siti Munawaroh Sarjana fakultas syari’ah IAIN Semarang. Dalam skripsi ini menyatakan bahwa Nikah Massal di KUA Semarang Utara disambut baik oleh para pasangan kumpul kebo. Mereka ikut dengan kesadaran mereka tanpa 9
Enas Nasruddin, “Ihwal Isbat Nikah (Tanggapan Atas Damsyi Hanan)”, dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Jakarta: Al Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, No. 33 Thn. VIII Juli-Agustus, 1997, hlm. 87. 10 Ibid., hlm. 88. 11 Muntaha, “Pelaksanaan Pasal 2 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Pencatatan Nikah”, Skripsi Sarjana Syari’ah, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Semarang, hlm. 45.
10
paksaan dari pihak manapun. Hal ini sesuai dengan syarat dan rukun perkawinan yang ditentukan dalam hukum baik menurut hukum Islam atau menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.12 Nikah massal ini didasarkan pada faktor kemaslahatan bagi pasangan kumpul kebo sehingga tidak lagi menjadi penyakit masyarakat dan bisa memperoleh status dalam masyarakat serta membawa dampak yang baik bagi kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Analisis hukum acara terhadap putusan PA Semarang No. 969/Pdt.G/PA.Sm. tentang isbat nikah sekaligus cerai gugat, Skripsi yang ditulis oleh Edi Kusnandi sarjana fakultas syari’ah IAIN Semarang. Dalam skripsi ini menyatakan bahwa penggabungan isbat nikah dan cerai gugat ini, disamping tidak memenuhi syarat penggabungan yang tidak diperbolehkan, juga keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. isbat nikah dilakukan adalah dalam rangka penyelesaian perceraian. Tanpa adanya pengesahan nikah, maka perceraian tidak dapat dilaksanakan. Karena hubungan yang sangat erat ini, maka keduanya dapat digabungkan walaupun berbeda, penggabungan ini justru merupakan kreatifitas majelis hakim dalam mengemukakan pemecahan baru terhadap permasalahan yang dihadapi, yang dikenal sebagai menghaluskan hukum. Berbeda dengan kajian- kajian yang ada, penulis mencoba untuk memfokuskan pada isbat nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (studi analisis
12
Siti Munawaroh, “Analisis Terhadap Nikah Massal Bagi Masyarakat Kumpul Kebo (Studi Kasus Di KUA Semarang Utara), Sarjana Syari’ah, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Semarang, hlm. 68.
11
pasal 7 Kompilasi Hukum Islam Tentang Isbat Nikah). Dan akan melihat serta menjelaskan sisi-sisi yang belum dibahas. E. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu jenis penelitian yang data-datanya diperoleh dari buku, kitab, majalah, surat kabar, jurnal dan catatan lainnya yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang akan dibahas. Untuk mempermudah dalam pembuatan skripsi ini dan mendapatkan kesimpulan yang tepat, maka proses penulisan skripsi ini menggunakan metode sebagai berikut: 1. Metode Pengumpulan Data. Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode dokumenter yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa tulisantulisan, buku-buku, artikel-artikel yang relevan dengan tema penulisan skripsi ini .13 a. Sumber data primer yaitu sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan pertama.14 Sumber data primer penelitian ini adalah KHI. b. Sumber data skunder yaitu sumber yang diperoleh, dibuat dan merupakan perubahan dari sumber pertama. Sifat sumber ini adalah tidak langsung. Adapun sumber data skunder penelitian ini adalah: 1. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan kehakiman.
13
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek Jakarta: Rineka Cipta, 1998, hlm. 236. 14 Tatang M. Amrin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. III, 1995, hlm. 132.
12
2. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 3. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 4. Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 5. Kitab dan buku-buku serta catatan lainnya yang ada keterkaitannya dengan masalah isbat nikah. 2. Metode Analisis Data . Data yang sudah terkumpul kemudian diolah, tetapi sebelum diolah data yang terkumpul diseleksi dan diklasifikasi sesuai dengan permasalahan nya terlebih dahulu baru diadakan pengkajian dan kemudian dianalisis sesuai dengan data kualitatif yang sudah ada. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode pemecahan masalah dengan mengumpulkan data dan melukiskan keadaan obyek atau peristiwa lalu disusun,
dijelaskan,
dianalisis
dan
diinterpretasikan
dan
kemudian
disimpulkan.15 Dalam menganalisis data penulis juga menggunakan metode historis yaitu metode yang mempelajari hukum dengan melihat sejarah yang melatar belakangi terbentuknya hukum itu sendiri.16 F . SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI . Dalam penulisan skripsi ini agar lebih terarah pembahasannya maka penulis menyusunnya kedalam sistematika yang terdiri lima bab, masing15 16
Ibid., hlm. 342.
J.B.Daliyo,et.al., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cet.ke2, 1992, hlm. 4 .
13
masing membahas permasalahan yang diuraikan menjadi beberapa sub bab . antara satu bab dengan bab yang lain saling berhubungan dan terkait . Adapun sistematikanya dapat penulis rumuskan sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan. Dalam bab ini meliputi : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penulisan skripsi, dan sistematika penulisan skripsi . Bab II : Isbat nikah dan pencatatan perkawinan. Dalam bab ini meliputi : pengertian isbat nikah, syarat dan dasar hukum isbat nikah. kemudian pengertian pencatatan perkawinan (legalisasi pernikahan), tujuan, prosedur pencatatan perkawinan dan dasar hukum pencatatan perkawinan. Bab III: Isbat nikah dalam pasal 7 Kompilasi Hukum Islam. Meliputi pengertian KHI, penyusunan KHI, sumber-sumber penyusunan KHI dan tujuan dibentuknya KHI. Isbat nikah dalam KHI yang meliputi arti isbat nikah, ketentuan isbat nikah dalam KHI dan para pihak dalam perkara isbat nikah. Bab IV: Analisis terhadap Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam Tentang Isbat Nikah yang meliputi: Analisis terhadap arti isbat nikah dalam pasal 7 KHI, Analisis pernikahan yang dapat diisbatkan dalam Pasal 7 KHI. Bab V : Penutup . Dalam bab ini meliputi : kesimpulan, saran-saran dan penutup.
14
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum UUI, 1996 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indoneaia, Jakarta: RajaGrafjndo, cet.4, 2004 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penbelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisiu, 1990 Analisis Terhadap Nikah Massal Bagi Masyarakat Kumpul Kebo(Studi Kasus Di KUA Semarang Utara), Siti Munawaroh, Semarang:Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Semarang Jurnal dua bulanan, Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Bulan Februari, 2004 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, 1999 Jurnal Dua Bulanan, Mimbar Hukuim Aktualisasi Hukum Islam, No. 33 Thn VIII 1997 Juli-Agustus Pelaksanaan Pasal 2 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Pencatatan Nikah, Muntaha, Semarang: Perpustakaan Fakultas Syari’ah IAIN Semarang Dr.Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset, Mandar Maju, Gandum, 1990 Prof.Dr.Suharsini Arikunto , Prosedur Penelitian;Suatu Pendekatan Praktek,
15
Jakarta: Rineka Cipta 1998 Sumadi Suryabrata,Metode Penelitian, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1995 Prof.Drs.Sutris Jakarta no Hadi, M.A.,Metodologi Research,Jilid 2, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1984
Hal : Permohonan Kepada Yth. : Bpk . Kajur Ahwal al- Syahsiyah (AS) Fak . Syari’ah IAIN Walisongo Semarang Di tempat Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Ahmad Muzaikhan
Nim
: 2101134
Alamat
: Ds. Mrico Lebak RT. 05/III Kec. Grobogan Kab. Grobogan
Fakultas
: Syari’ah
Jurusan
: Ahwal al- Syahsiyah (AS)
Dengan ini kami bermaksud mengajukan skripsi dengan judul “STUDI ANALISIS TERHADAP PASAL 7
KOMPILASI
HUKUM
ISLAM
TENTANG ISBAT NIKAH” Demikian surat permohonan ini kami buat dan mohon ditindak lanjuti untuk penentuan dosen pembimbing. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih .
16
Hormat Kami
(Ahmad Muzaikhan)