EDISI 02 - 2015
made in indonesia Lucas Croco Milenia Berkat Abadi Gun Gun Runiadi Occe Tanggulangin Pari Radja Bellasima Mitra Jaya Collection APAI Ovick/Bamboo Motekar Kings Safety Shoes Geeres Moker Jasu Leather Bagunda Wear Benua Kemenangan Selaras Seho Makmur Industri Bikers Leather Kasin Penyamakan Tori
teknologi
Uji Ketahanan Selip Untuk Kualitas Sepatu Lebih Baik
opini
Sutanto Haryono
APA & SIAPA Ni Luh Djelantik
Mendorong Brand Lokal
Untuk Go Internasional Promoting Local Brands To Go International
dari meja redaksi Indonesia memiliki potensi sumber daya yang cukup melimpah yang bisa dimanfaatkan untuk industri bernilai tambah tinggi. Salah satunya adalah industri kulit, produk kulit, dan alas kaki. Kekayaan alam berupa keanekaragaman hayati termasuk berbagai jenis hewan yang bisa diambil kulitnya sebagai bahan baku produk industri, maupun kekayaan budaya dan kemampuan sumber daya manusia untuk menghasilkan karya dan inovasi produk yang bermutu. Dengan pengelolaan yang baik, berbagai potensi tersebut dapat menghasilkan aneka produk kulit dan alas kaki yang nilai tambah dan daya saingnya tinggi, sehingga tidak hanya mampu menguasai pasar lokal, namun juga tembus ke pasar internasional. Melalui pemilihan bahan baku yang berkualitas, dipadukan dengan desain dan teknik produksi yang baik, serta ditunjang dengan pengemasan dan strategi pemasaran yang menarik, kita optimis bahwa produk-produk olahan kulit dan alas kaki buatan Indonesia mampu bersaing di pasar ekspor. Apalagi jika pemerintah turut mendukung melalui penyediaan berbagai fasilitas yang dibutuhkan oleh para produsen tersebut. Majalah Kina Edisi 02-2015 kali ini sengaja mengangkat topik “Mendorong Brand Lokal Untuk Go Internasional”, dengan harapan dapat semakin memperkenalkan produk-produk industri berbahan baku kulit kepada masyarakat luas, dimana sebagian besar dari produk tersebut sudah diekspor atau berorientasi ekspor yang tentunya berdaya saing tinggi. Profil industri yang ditampilkan pada rubrik “Made In Indonesia” sebagian besar merupakan peserta pameran “Gelar Sepatu, Kulit, dan Fesyen (SKF) Tahun 2015” yang diselenggarakan oleh Kementerian Perindustrian beberapa waktu lalu di Jakarta. Pembaca juga dapat menyimak ulasan teknologi mengenai uji ketahanan selip pada produk sepatu keselamatan, opini dari Ketua Umum Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI), serta profil salah satu pengusaha produk alas kaki berkualitas tinggi dengan brand Niluh Djelantik. Selamat membaca.
Indonesia has abundant potential resources that could be exploited for the high value-added industry. One of them is the leather, leather products, and footwear industry. Natural resources such as biodiversity are available, including various types of animals whose their skins can be taken as raw material for industrial products, as well as the cultural diversity and human resource capability to produce the high quality and innovative products. With the proper management, those resources can produce various leather and footwear products with high value-added and competitive, so that they could dominate not only in local market, but also penetrate into global market. Through the selection of high quality raw materials, combined with a good design and production techniques, and also supported by the attractive packaging and marketing strategies, we are optimistic that the processed leather and footwear products made in Indonesia can compete in the export markets. The success would be greater if the government also support through the provision of various facilities required by the manufacturers. This Kina Magazine Edition 02-2015 has deliberately raised the topic of “Promoting Local Brand To Go International”, with the hope to further introduce leather-based products to the public, where most of them have already been exported or export-oriented products that, of course, have high competitiveness level.
Daftar Isi
Contents
Aktualita Mendorong Brand Lokal Untuk Go Internasional 4
made in indonesia Lucas Croco 8 Milenia Berkat Abadi 10 Gun Gun Runiadi 12 Occe Tanggulangin 14 Pari Radja 16 Bellasima 18 Mitra Jaya Collection 20 APAI 22 Ovick/Bamboo 24 Motekar 26 Kings Safety Shoes 28 Geeres 30 Moker 32 Jasu Leather 34 Bagunda Wear 36 Benua Kemenangan Selaras 38 Seho Makmur Industri 40 Bikers Leather 42 Kasin Penyamakan 44 Tori 46
teknologi Uji Ketahanan Selip Untuk Kualitas Sepatu Lebih Baik
opini Sutanto Haryono Ketua Umum Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI) 52
APA & SIAPA Ni Luh Djelantik
The industry profiles displayed in the rubric “Made In Indonesia” are mostly the exhibitors of the event “Gelar Sepatu, Kulit, dan Fesyen (SKF) Tahun 2015” held by the Ministry of Industry some times ago in Jakarta. The readers can also take notice the technology review about the skid endurance test for safety footwear products, the opinion of the Chairman of the Association of Indonesian Tannery (APKI), as well as an entrepreneur profile of high quality footwear products with the brand Niluh Djelantik. Happy reading.
EDISI 02 - 2015
made in indonesia Lucas Croco Milenia Berkat Abadi Gun Gun Runiadi Occe Tanggulangin Pari Radja Bellasima Mitra Jaya Collection APAI Ovick/Bamboo Motekar Kings Safety Shoes Geeres Moker Jasu Leather Bagunda Wear Benua Kemenangan Selaras Seho Makmur Industri Bikers Leather Kasin Penyamakan Tori
teknologi
Uji Ketahanan Selip Untuk Kualitas Sepatu Lebih Baik
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
www.kemenperin.go.id
opini
Sutanto Haryono
APA & SIAPA Ni Luh Djelantik
Mendorong Brand Lokal
Untuk Go Internasional Promoting Local Brands To Go International
48
REDAKSI Pemimpin Umum: Syarif Hidayat | Pemimpin Redaksi: Hartono | Wakil Pemimpin Redaksi : Siti Maryam | Redaktur Pelaksana: Habibi Yusuf Sarjono | Editor: Ni Nyoman Ambareny, Feby Setyo Hariyono | Photografer: J. Awandi | Anggota Redaksi: Intan Maria, Manangi Manalu, Titin Fauziyah Rochmawati, Djuwansyah, Krisna Sulistiyani Alamat Redaksi Pusat Komunikasi Publik, Gedung Kementerian Perindustrian, Lt 6, Jl. Gatot Subroto Kav. 52-53, Jakarta Telp: (021) 5255509, Pes. 4074, 2648. Fax: (021) 5255609. Redaksi menerima artikel, opini, surat pembaca. Setiap tulisan hendaknya diketik dengan spasi rangkap dengan panjang naskah 3.000-6.000 karakter, disertai identitas penulis. Naskah dikirim ke redaksi Majalah KINA, melalui email ke:
[email protected]. Majalah ini dapat diakses melalui: www.kemenperin.go.id
56
AKTUALITA
AKTUALITA meredam kenaikan tarifnya”, ujar Harjanto. Hal ini karena selisih harga dari produk yang dihasilkan dengan kenaikan biaya-biaya tersebut terlalu kecil, mengingat industri di Indonesia hanya memproduksi, sementara yang menikmati nilai tambah paling besar adalah perusahaan di negara asal yang memiliki brand tersebut. “Kita ingin mengembangkan sejumlah brand bernuansa Indonesia. Sehingga nanti added valuenya ada di dalam negeri, termasuk juga konsep desain dari Indonesia”, lanjut Harjanto. Para pengusaha industri berskala kecil dan menengah (IKM) juga bisa difasilitasi supaya tidak hanya jadi pemain lokal. Nantinya bagi IKM yang sudah go internasional, pemerintah harus mengintervensi, bentuknya seperti membuat beberapa national brand yang line productnya sudah ditetapkan. Artinya, konsep desain dan brand sudah digarap dengan para desainer fesyen atau alas kaki, kemudian sistem produksinya juga disetting oleh pemerintah. “Mereka bisa menggunakan brand kami. Kalau eligible silakan digunakan, termasuk harus mengikuti teknis produk yang ditetapkan pemerintah. Tujuannya supaya kualitas brand kita bisa mencapai taraf high end. Bisa saja mengangkat sejumlah merek lokal sepatu seperti Komodo, karena negara lain memiliki Crocodile dan Lacoste. Anoa juga bisa diangkat jadi brand kita. Banyak ikon nasional yang berpotensi dijadikan produk yang membangkitkan nilai tambah di dalam negeri,” papar Harjanto. Saat ini pemerintah tengah memprogramkan pengembangan produk dalam negeri, dengan produk atau brand yang sudah bertaraf internasional. Salah satunya dengan mengikutsertakan mereka pada pameran di luar negeri, termasuk juga memperkenalkannya melalui show case di lima bandara internasional yang ada di Medan, Jakarta, Yogya, Surabaya dan Bali. Saat ini yang sudah siap ada di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, dan selanjutnya akan diarahkan juga di wilayah Indonesia Timur. Ini tahap pertama, setelah
Mendorong Brand Lokal
Untuk Go Internasional
P
emerintah mendorong agar ada brand (merek) lokal untuk produk sepatu dan alas kaki, sehingga produk tersebut bisa menjadi semacam “ambassador” dari Indonesia. Melalui brand tersebut, diharapkan produk kita semakin dikenal secara luas di pasar global. “Jika kita secara konsisten mendorong pengenalan brand tersebut, kapasitas produksinya diharapkan juga terus meningkat,” ujar Menteri Perindustrian Saleh Husin kala membuka pameran produk kulit dan alas kaki Indonesia beberapa waktu lalu di Jakarta. Penggarapan pasar luar negeri perlu dilakukan melalui sejumlah brand yang sudah cukup kuat di dalam negeri. Produk-produk tersebut tidak hanya diminati konsumen lokal, tetapi juga sudah mampu
4
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
menembus pasar ekspor. Bahkan ada sejumlah produk atau brand yang dikhususkan 100 persen untuk ekspor. “Itu sebabnya, walaupun saat ini pasar global belum bergairah, namun upaya memperkuat brand perlu dilakukan untuk memperkenalkan produk nasional, serta mendekatkannya kepada pasar, sehingga masyarakat dapat mengenal lebih jauh produk tersebut,” lanjut Saleh Husin. Selanjutnya dikatakan, mutu produk kulit dalam negeri sudah cukup baik, sehingga telah mampu dipasarkan ke berbagai negara tujuan ekspor. Namun untuk memiliki branding produk kulit yang kuat, mengakar, dan lebih dikenal mancanegara, Kementerian Perindustrian melakukan program yang dilakukan secara terarah, melibatkan para pemangku
kepentingan, serta berlangsung secara kontinu, sehingga mutu dan brand produk kulit dapat semakin ditingkatkan. Untuk lebih memperkenalkan sepatu dan alas kaki produk dalam negeri, pemerintah menggulirkan program atau konsep “local branding go international”. Menurut Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Harjanto, konsep branding lokal ini tidak hanya bertujuan mengangkat nama mereka ke pasar global, tetapi juga untuk menghasilkan added value (nilai tambah) yang lebih besar. “Selama ini jika ada kenaikan komponen biaya atau tarif listrik dan kenaikan upah pekerja, para pengusaha alas kaki tidak pernah dapat menggunakan brand produk mereka sebagai upaya
itu promosi juga akan masuk ke bandara Singapura, yang lalul intasnya sangat sibuk, sehingga produk lokal Indonesia bisa lebih mendunia. Upaya ini diharapkan mampu mendorong kinerja ekspor sehingga berkontribusi terhadap pertumbuhan di tengah situasi perekonomian yang masih belum pulih. “Apalagi dengan semakin dekatnya pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), produk dalam negeri diharapkan berdaya saing tinggi di pasar global sehingga perdagangan bebas bukan menjadi hambatan, tetapi sarana memperluas akses pasar,” sambung Menperin Saleh Husin. Industri alas kaki nasional saat ini berjumlah 394 perusahaan berskala besar dan sedang dengan investasi mencapai Rp 11,3 triliun pada tahun 2014 dan
menyerap tenaga kerja 700 ribu orang. Nilai ekspor industri kulit, barang kulit dan sepatu/alas kaki pada Januari-Agustus 2015 mencapai USD3,0 miliar, atau meningkat 14,24% dibandingkan periode yang sama tahun 2014 lalu. Sementara itu, nilai impornya pada Januari-September 2015 sebesar USD718 juta, dengan surplus perdagangan sebesar USD2,29 miliar. Surplus perdagangan ini cukup konsisten selama 5 tahun terakhir dengan rata-rata mencapai USD2,84 miliar. Namun demikian, pemenuhan pangsa pasar industri alas kaki Indonesia secara global baru mencapai 3 persen, dengan tujuan ekspor utama adalah ke Amerika Serikat, Belgia, Jerman, Inggris, dan Jepang. Karenanya, hal ini perlu didorong agar industri alas kaki sebagai penghasil devisa negara dapat ditingkatkan lagi kinerjanya. Sedangkan industri penyamak kulit saat ini berjumlah 67 perusahaan berskala besar dan sedang dengan kapasitas terpasang 250 juta square feet dengan tingkat utilisasi 48 persen dan tenaga kerja yang diserap 7.230 orang. Sementara dari sisi investasi, industri barang dari kulit dan alas kaki terus menggeliat dan banyak menarik investasi asing, baik membangun pabrik baru maupun perluasan yang sudah ada. Pada triwulan III tahun 2015, nilai realisasi investasi asing (PMA) industri barang dari kulit dan alas kaki mencapai USD61,2 juta atau meningkat 355% dibandingkan periode yang sama tahun 2014 lalu. Sedangkan secara kumulatif pada Januari-September 2015, nilai realisasi investasi di sektor ini mencapai USD128,4 juta atau sekitar Rp1,61 triliun (kurs Rp12.500). “Kedua industri tersebut merupakan potensi besar baik secara nasional maupun internasional, yang diharapkan dapat berperan penting dalam peningkatan kinerja industri nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tegas Menperin.
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
5
AKTUALITA
AKTUALITA
“So far, when there were increases in electricity cost and the raise of wage for workers, the businessmen were unable to use their own brands as the strategy to press the raise of tariffs”, Harjanto said. This is because the difference between profit and the increase of costs is too small, considering most of companies in Indonesia only producing the products while the principals earn the most profit and added values. “We want to develop several brands with the touch of Indonesia. Therefore, the added values will be enjoyed inside the country. Concepts of the design will also be from Indonesia”, he followed. Small and medium scale industry will be facilitated to become global market players. For the small and medium companies which have landed in global market, government should interfere in the form creating some national brands in designated product lines. In other words, the concept of the design and brand has been created by fashion or foot wear designers then the government will regulate the production system. “Industry could use our brand. If the brands are eligible, it can be used as long as they follow the technical procedures stated by government. The goal is to achieve high-end quality. It is possible if we want to develop a brand, let’s say, Komodo because other countries have Crocodile or Lacoste. Anoa is also could be promoted as a national brand. Many national icons are potential to become brands which able to boost the added values for the country,” Harjanto said. The government is promoting domestic products
Promoting Local Brands
To Go International
T
he Government promotes local brands of shoes and foot wear in order making the products a kind of ambassador for the country. With the brands, hopefully our product will be more widely recognized in global market. “If we consistently promote and introduce the brands, expectantly the production capacity will also increase” said Minister of Industry Saleh Husin when opened Leather Goods and Foot Wear Expo some time ago in Jakarta. Penetration of overseas market is done by using several well-established Indonesian brands. The products are not only satisfying local consumers but also successfully penetrating export market. Moreover, several products or brands are even 100 percent produced to be exported. “Despite global market has not shown a good dynamic yet, efforts in strengthening the branding need to be done in order to introduce our national
6
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
products as well as strategically position them to the market. Therefore, the market will be more aware about the products” Husin added. It is also said that the quality of leather goods is considerably good so it has been able to be marketed to various export destination countries. However, to have a strongly rooted branding that is well-known by international market, the Ministry of Industry is conducting a focused and continuous programs which involving stakeholders. Therefore the quality and brand engagement of leather goods could be improved. To introduce local products of shoes and foot wear, the Government uses “local branding goes international” concept. According to Director General Industri Kimia Tekstil dan Aneka (Chemical, Textile and Various Industry/IKTA) Ministry of Industry Harjanto, the purpose of local branding concept is not merely to raise the brand to global market, but also to generate bigger added values.
which are internationally known. One of the strategies is by participating in overseas exhibitions, including show casing the products at airports in Medan, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya and Bali. For now, Soekarno-Hatta airport in Jakarta is the first airport to be ready for the show case. The project will also be conducted in eastern part of Indonesia. For the next step, the show case is going to take place in Changi airport in Singapore, famous for the crowd and busy activities, therefore our products will be globally spread. The effort is hopefully able to boost export performance that in turn contributes more in economic growth within the unstable economy condition. “In addition, with ASEAN Economic Community getting closer and closer, domestic goods are supposed to have high competitiveness in global market. Therefore, free trade is not a tread anymore, but become a key point to widen the access to market” Saleh Husin continued. The domestic foot wear industry consists of 394 big and medium scale companies with Rp11.3 trillion of total investment in 2014 and with 700,000 people of employment. The export number for leather, leather goods and shoes/foot wear industry in January-August 2014 period reached USD3 billion, increase 14.24% comparing to the same period in the year before. Meanwhile, the import number in January-September 2015 period is USD718 million and USD2.29 billion of trade surplus. The surplus is moderately consistent within the last 5 year with
USD2.84 billion in average. However, Indonesian brands are only able to reach 3% market share at the moment. The main export destinations are United States, Belgium, Germany, United Kingdom and Japan. Therefore, the performance of foot wear industry as one of foreign exchange contributors to the country should be promoted. Tannery industry consists of 67 big and medium scale companies with 250 million square feet installed capacity, 48% utilization level and 7,230 employees. Meanwhile from the investment factor, leather goods and foot wear industry continues to grow and draw more foreign investment for either building new plants or expanding existing ones. In third quarter of 2015, the actual of foreign investment in leather goods and foot wear industry reaches USD61.2 million, an increase of 355% compared to the same period in 2014. Cumulatively, in January-September 2015 period, total investment in the industrial sector reaches USD128.4 million or equals to Rp1.51 trillion (with the currency USD1=Rp12,500). “The two industrial sectors are potential, either in domestic or international, that hopefully able to play a big role in the growth of domestic industrial performance in order to achieve people’s prosperity,” the Minister ended.
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
7
Made in Indonesia
Made in Indonesia
The Exotic Products
Produk Eksotis
Kulit Buaya Papua Buaya merupakan salah satu hewan yang keberadaannya banyak ditemui di berbagai belahan dunia, termasuk di wilayah Indonesia. Meskipun tergolong hewan buas, namun buaya juga memberikan daya tarik bagi manusia. Misalnya, kulitnya yang bisa digunakan untuk pembuatan berbagai produk seperti tas, sepatu, ikat pinggang, dan asesoris lainnya.
K
arena banyak digemari masyarakat, pangsa pasar produk-produk berbahan baku kulit buaya masih terbuka lebar. Kondisi inilah yang dimanfaatkan PT Lucas Croco untuk memproduksi berbagai produk dari kulit buaya, seperti tas, dompet, ikat pinggang, dan lainnya. Menurut Manajer Pemasaran Lucas Croco, Sonia Sianturi, kegiatan usaha pembuatan berbagai produk dari kulit buaya sudah dimulai dari tahun 2008 ketika perusahaan mendapatkan izin penangkaran buaya Papua dari Pemerintah. Sebanyak 1.000 ekor buaya Papua ditangkarkan di lokasi penangkaran milik Lucas Croco di Waropen. Selain itu, perusahaan juga
8
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
menitipkan buaya-buaya untuk ditangkarkan oleh penduduk setempat. Melalui kegiatan penangkaran itu, akhirnya di tahun 2009 barulah kegiatan produksi beragam produk dari kulit buaya dimulai. “Kegiatan produksi dilakukan setelah kami mendapatkan izin dari Kementerian Kehutanan untuk melakukan pemotongan buaya,” ujarnya. Hingga kini setiap tahunnya, melalui penangkaran yang dimiliki, perusahaan dapat memotong 200 ekor buaya Papua untuk dijadikan bahan baku produknya. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan kulit buaya, Lucas Croco juga mendapatkan izin melakukan penangkapan buaya di alam, yang jumlahnya mencapai 500 ekor per tahun. Adapun buaya yang digunakan untuk bahan baku produk tas, dompet, ikat pinggang dan asesoris adalah buaya yang sudah berusia 3 tahun, karena pada usia tersebut kulit buaya sudah dalam kondisi yang kuat dan memiliki tingkat eksotisme yang tinggi. Dalam menjalankan kegiatan produksinya, ada tiga lokasi yang digunakan Lucas Croco. Pertama adalah lokasi penangkaran di Waropen dan Seram. Di lokasi itu buaya dipotong dan diambil kulitnya. Kulit yang masih dalam kondisi mentah itu kemudian dikirim ke pabrik penyamakan milik perusahaan yang ada di Yogyakarta untuk menjalani proses penyamakan. Dalam proses ini dicuci dan dikeringkan. Setelah menjalani proses penyamakan, kulit buaya tersebut kemudian dikirim ke pabrik di Jakarta untuk diolah menjadi tas, dompet, ikat pinggang dan produk asesoris lainnya. “Semua proses produksi itu dilakukan dengan standar internasional yang berlaku,” tutur Sonia. Produk-produk dari kulit buaya buatan Lucas Croco itu digemari tidak hanya oleh masyarakat di dalam negeri saja, tetapi juga di luar negeri.
Selain menjual produk dari kulit buaya, Lucas Croco juga menjual kulit buaya kering yang ditujukan untuk kalangan produsen tas, sepatu dan asesoris. Untuk kulit buaya ini, pangsa pasar utamanya adalah pembeli asing. Setiap tahun, sedikitnya 500 lembar kulit buaya kering diekspor ke berbagai negara seperti Turki, Jepang, Singapura dan Italia. “Pembeli asing menyukai kulit buaya muara dari Papua karena kulit buaya jenis ini sisiknya rapi tersusun. Kalau jenis lain berantakan sisiknya,” paparnya. Walaupun memiliki banyak penggemar, Lucas Croco masih merasa khawatir dengan adanya penangkapan buaya secara ilegal yang kemudian dijual kepada produsen tertentu untuk dijadikan berbagai produk. “Keberadaan produk dari kulit buaya yang ditangkap secara ilegal menjadi kendala bagi kami karena harga jual mereka jauh lebih rendah dari produk kami,” jelas Sonia .
Papua’s Crocodile Leather Crocodile is one of the animals easily found in various parts of the world, including in Indonesia territory. Although classified as a wild animal, the crocodile also has its allure for people. For example, its skin can be used to manufacture various products such as bags, shoes, belts, and other accessories.
A
s favored by the public, the market share of the products made of crocodile leather is still widely open. This opportunity has been exploited by PT Lucas Croco by producing a variety of products from crocodile leather, such as handbags, wallets, belts, and others.
According to Marketing Manager of Lucas Croco, Sonia Sianturi, the business producing various products from crocodile leather has started since 2008 as the company obtained legal permission for breeding Papua’s crocodiles from the government. About 1,000 crocodiles have been bred in breeding location owned by Lucas Croco in Waropen. In addition, the company has also entrusted the crocodiles to the local people to breed them. Through the breeding process, in 2009 the production process of manufacturing various products from crocodile leather has started. “The production activities was started following the receipt of legal permission from the Ministry of Forestry to conduct cutting crocodile,” she said. Until now, through its own breeding crocodile facilities, each year the company is able to cut about 200 crocodiles used as raw material of the products. Besides, to meet the needs of crocodile leather, Lucas Croco has also obtained the legal permission to catch crocodiles in nature, amounting up to 500 crocodiles per year. The leather of crocodile used for raw materials of handbags, wallets, belts and accessories are taken from the crocodiles with the age of more than 3 years, because at that age the leather has been in a state of strong and has a high level of exoticism. In terms of production activity, there are three locations used by Lucas Croco. The first is the breeding facility located in Waropen and Seram. At this location, the crocodiles are cut and taken their leather. The raw state leather is then sent to a tannery factory owned by the company in Yogyakarta to undergo the tanning process. In this factory, the leather is washed and dried. After the process of tanning has finished, the leather is then delivered to the factory in Jakarta to be manufactured into handbags, wallets, belts and other accessory products. “All the production process is done with the prevailing international standards,” explained Sonia. The products made of crocodile leather produced by lucas Croco have been favored not only
by the people in the country, but also by the foreigners. In addition to selling the products from crocodile leather, Lucas Croco also has sold the dried crocodile leather to producers of bags, shoes and accessories. For this crocodile leather, the potential markets are mainly the foreigne buyers. Every year, at least 500 sheets of dried crocodile leathers are exported to various countries such as Turkey, Japan, Singapore and Italy. “The foreign buyers favor the muara crocodile leather from Papua since this type of leather is characterized by skin scales that is neatly arranged. Other types have cluttered skin scales, “she explained. Although having a lot of fanatic customers, Lucas Croco feels worried by the catching crocodile illegally which are sold to certain producers to make a wide range of products. “The presence of crocodile leather products made from illegal crocodile leather has become an obstacle for us since their selling price could be much cheaper than that of our products,” explained Sonia.
informasi | information » PT Lucas Croco
Jl. Pluit Mas 200 Blok I/15 Komplek Carina Sayang I, Jakarta Utara, 14450 Telepon : +6221 6694379 Email :
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
9
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Sandal Wanita Produk MBA Tawarkan Kenyamanan
Kulit kambing saat ini masih jarang digunakan untuk pembuatan produk sandal, sepatu, tas, maupun asesoris. Padahal, kualitas dari kulit kambing tidak kalah dari kulit hewan lainnya yang banyak digunakan untuk produk fashion.
H
al itu dibuktikan oleh Emila Susilawaty. Melalui bendera Milenia Berkat Abadi, wanita muda ini mampu memproduksi sandal dan sepatu dari kulit kambing dengan kualitas terbaik. Sebenarnya, bisnis alas kaki bukanlah hal baru baginya, karena ayahnya adalah pemilik PT Foximas Mandiri (FMB), produsen sepatu yang produknya sudah dikenal di dalam dan luar negeri ‘’Sepatu produksi FMB mampu bersaing dalam harga, desain dan kualitas dengan produk-produk branded asal mancanegara seperti Singapura, Jepang, Australia, Eropa, Prancis, dan Italia,’’ tuturnya. Karena Foximas lebih mengutamakan produksi sepatu pria, maka Emila pun memutuskan untuk terjun ke bisnis sandal wanita, yang pangsa pasarnya juga cukup besar melalui PT Milenia Berkat
10
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
Abadi (MBA). Untuk membedakan dari produk yang sudah ada di pasaran, MBA memilih bahan kulit dari kulit kambing dan untuk bagian alasnya menggunakan kayu albasia yang banyak ditemukan di dalam negeri. “Kalau untuk bagian atasnya, kami menggunakan kulit kambing Garut yang sudah terkenal kualitasnya,” ujarnya. Menurutnya, pemilihan kulit kambing dilakukan karena kulit kambing lebih lentur dan pori-porinya lebih kecil sehingga terkesan lebih eksotis bila dipandang mata. Sedangkan kayu albasia dipakai karena selain ringan, kayu jenis ini mudah dibentuk. Dalam memproduksi sandal wanita, MBA menerapkan konsep kenyamanan sehingga bahan yang dipilih adalah bahan yang berkualitas dengan desain yang minimalis dan sederhana. Tinggi hak nya pun tak lebih dari 5 cm agar sandal itu bisa digunakan dengan nyaman.
Women Sandals
of MBA Offers The Comfort
The goat leather has still rarely been used to produce sandals, shoes, bags, and accessories. In fact, the quality of goat leather is not inferior than other animal leathers that are widely used for fashion products.
Karena kualitas dan desain produk yang bagus, sandal wanita MBA yang diproduksi di Bandung sejak tahun 1999 itu dapat dengan cepat diterima pasar. Gerai produknya dapat ditemukan di sejumlah mal ternama di berbagai daerah, mulai dari Bandung, Jakarta, Medan, dan Surabaya. Produksinya kini telah mencapai 3.000 pasang setiap bulannya. Diakui, produk MBA difokuskan untuk menyasar pasar lokal. Walaupun begitu, pasar ekspor juga tidak disia-siakan. Secara rutin, melalui bendera Foximas Mandiri, produk sandal wanita MBA merambah pasar luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Australia, dan Amerika Serikat. Demi efisiensi dalam kegiatan produksi, MBA menerapkan persyaratan khusus dalam pemesanan sandal wanita. Jumlah sandal yang harus dipesan minimal 300 pasang. “Sedangkan untuk modelnya, mereka bisa membawa sendiri model sandal yang akan dibuat,” ujar Emila. Dia yakin sandal wanita dari kulit kambing akan semakin digemari masyarakat konsumen karena kualitasnya yang baik dan nyaman dipakai. Jika dirawat dengan baik, sandal dari kulit kambing akan mampu digunakan beberapa tahun. Dia mencontohkan, agar kulit kambing tidak mudah tergores atau sobek, secara berkala kulit kambing pada sandal wanita perlu digosok dengan minyak. Selain itu, untuk mencegah kulit berjamur, konsumen perlu menggunakan minyak anti jamur. “Tetapi di MBA, kulit kambing yang kami gunakan sudah dilindungi oleh anti jamur,” pungkasnya.
T
his was evidenced by Emila Susilawaty. Through the company Milenia Berkat Abadi (MBA), this young woman has been capable of producing sandals and shoes from goat leather with the best quality. Actually, the footwear business is not new to her, since her father is the owner of PT Foximas Mandiri, a shoes producer whose its products have been already well known locally and abroad. ‘’The Shoes’ products of Foximas Mandiri have been able to compete in price, design and quality with other branded products from abroad such as Singapore, Japan, Australia, Europe, France, and Italy, ‘’she explained. As Foximas has preferred prioritizing to the production of men’s shoes, then Emila decided to fokus in the business of producing women sandals, given the market opportunity is still widely open through PT Millennium Berkat Abadi (MBA).
To differentiate from existing products in the market, MBA chooses the goat leather and for the base of sandals it uses albasia wood which is easily found in the country. “For the top of sandals, we use the high guality leather derived from Garut goat,” she said. According to her, the goat leather is chosen since it is more lithe with smaller pores so that it appears more exotic to be seen. While albasia wood is chosen, in addition to lighter, this type of wood is also easily formed. In producing women sandals, MBA has applied the concept of comfort so that the material chosen should be the best quality accompanied by the minimalist and simple design. The high of heels is made less than 5 cm to keep the comfort when it is wore. Due to good quality as well as good product design, women sandals of MBA produced in Bandung since 1999 have been quickly accepted by the market. Outlets of its products can be found in a number of famous malls in various regions, such as in Bandung, Jakarta, Medan, and Surabaya. Its production capacity has now reached about 3,000 pairs per month. Admittedly, the product of MBA has been targetted to domestic market. Nevertheless, the export market is not overlooked. Regularly, through Foximas Mandiri Company, the women sandals of MBA have penetrated overseas markets such as Singapore, Malaysia, Australia, and the United States. For product efficiency, MBA has implemented special requirements for order request. The number of sandals ordered must be at least for 300 pairs or more. “As for the model design, they can bring their own models that should be made,” said Emila. She felt confident that the women sandals made of goat will be increasingly favored by the consumers due to its high quality as well as comfortable to wear. If maintained properly, MBA sandals made of
goat leather can be used for several years. She argued that to keep the leather is not easily scratched or torn, on a regular basis the leather should be polished with oil. In addition, to prevent the leather form moldy, consumers need to use antifungal oil. “For MBA products, however, the goat leather we use has been protected by anti-fungal,” she ended the explanation.
informasi | information » PT Milenia Berkat Abadi
Ruko Mal Tamab Palem Blok A No. RK-71 Cengkareng Timur Jakarta Barat 11730 Telp. 021-2933 0296 Email.
[email protected] Web. www.mbabranded.com
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
11
Made in Indonesia
Made in Indonesia
The Protective Footwear
Sepatu Pelindung Untuk Kerja Lapangan
M
elihat besarnya kebutuhan APD, kini banyak produsen yang menyediakan berbagai produk APD. Namun, tidak semua produsen mampu memproduksi perlengkapan APD berkualitas bagus. Hanya beberapa produsen saja yang produknya sudah diakui oleh pihak pengguna. Salah satu produsen perlengkapan APD yang telah mendapatkan pengakuan dari pengguna adalah Gun Gun Runiadi. Produk sepatu pelindung (safety shoes) untuk kerja di lapangan yang dihasilkan perusahaan, sudah banyak dipakai oleh perusahaanperusahaan besar di dalam negeri dan luar negeri. “Sepatu kami sudah banyak beredar di Eropa dan juga di dalam negeri,” kata Irvansach, marketing Gun Gun Runiadi. Sementara di dalam negeri, pelanggan dari sepatu pelindung buatan perusahaan yang memiliki pabrik di Bandung dan Bekasi ini, antara lain adalah PT Aneka Tambang, PT Freeport, PT Pelni dan lainlain. Selain melayani pembeli partai besar, Gun Gun Runiadi juga menjual produknya secara ritel melalui sistem online. Hal ini diterapkan guna membantu mereka yang bekerja dalam kelompok kecil atau pribadi. Penjualan secara online juga digemari oleh pembeli ritel di luar negeri. Dalam memproduksi sepatu pelindung, perusahaan menggunakan bahan baku pilihan kualitasnya baik. Misalnya saja untuk bahan baku plat
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan suatu keharusan bagi mereka yang melakukan aktivitas di tempat kerja, terutama di lokasi yang rawan akan terjadinya insiden kecelakaan kerja.
12
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
To work in The Field
The use of personal protective equipment (PPE) is a must for those who conduct activities in the workplace, especially in locations prone to incidents of workplace accidents.
didatangkan dari produsen plat ternama. Sedangkan kulit sapi dipasok dari produsen kulit di Jawa Barat dan Jawa Timur. Setiap bulannya, dengan kekuatan pekerja 30 orang di pabriknya, Gun Gun Runiadi mampu memproduksi sepatu pelindung sebanyak 10.000 pasang. Sepatu tersebut dijual dengan bandrol Rp650.000 per pasang. Harga jual yang dipatok ini sesuai dengan kualitas yang diberikan kepada pengguna. “Kami memberikan jaminan selama setahun. Jika dipakai secara normal, sepatu buatan kami mampu bertahan selama tujuh tahun untuk kulit dan platnya. Sedangkan untuk solnya, bisa digunakan hingga empat tahun,” papar Irvansach. Selain membuat sepatu pelindung, Gun Gun Runiadi juga membuat sepatu pekerja untuk outdoor. Sepatu jenis ini juga banyak diminati pasar. Setiap bulan perusahaan yang beroperasi sejak tahun 1986 ini mampu memproduksi 15.000 sepatu pekerja. Menurutnya, sepatu jenis ini banyak diminati oleh mereka yang senang berpetualang di alam bebas, seperti pendaki gunung atau pencinta alam. Karena bahan baku yang digunakan tidak serumit sepatu pelindung, harga jual yang ditetapkan perusahaan untuk sepatu outdoor jauh lebih murah, yakni hanya Rp350.000 per pasang. “Walaupun lebih murah, namun kami tetap memberikan kualitas terbaik bagi penggunanya,” lanjut Irvansach. Meskipun sudah mendapatkan pengakuan pasar, Gun Gun Runiadi masih membutuhkan bantuan dari pemerintah. Misalnya, bantuan untuk memenuhi persyaratan SNI serta bantuan promosi ke luar negeri. “Bantuan dari pemerintah dan instansi terkait lainnya tetap dibutuhkan agar usaha kami bisa bergerak lebih cepat lagi,” harapnya.
G
iven the tremendous needs for PPE, many producers have provided the various products of PPE. However, not all manufacturers have had the capability to produce the good quality of PPE products. Only a few producers considered to be capable of producing the products with the quality that have been recognized by the users. One of the producers of PPE gaining the recognition from users is Gun Gun Runiadi. The product of protective shoes (safety shoes) to work in the field has been widely used by major companies in the country and abroad. “Our shoes have already circulated in Europe markets as well as in the country,” said Irvansach, the marketing manager of Gun Gun Runiadi. While in the country, the customers of protective footwear produced by Gun Gun having the factories in Bandung and Jakarta, among others are PT Antam, PT Freeport, PT Pelni and others. In addition to serve the large scale buyers, Gun Gun Runiadi has also sold its products in retail through online system. It is carried out in order to help those who work in small groups or private. Online sales system has also attracted foreign retail buyers. In the production process of protective footwear, the company uses high quality of raw materials. For example, for a plate raw materials, it is purchased from the well-known manufacturers of plate. While for cowhide leather is supplied from the suppliers in West Java and East Java. Each month, with the workforce of 30 people, Gun Gun Runiadi has been able to produce 10,000 pairs of protective shoes. The shoes are sold with the price of Rp 650,000 per pair. The sale price is set according to the product quality provided to users. “We provide a guarantee for a year. If used normally, our product of shoes has the lifetime up to seven years for the leather and its plate. As for the soles, it can be used up to four years, “explained Irvansach.
In addition to producing protective shoes, Gun Gun Runiadi has also made shoes for outdoor workers. These types of shoes have also attracted market demand. Every month the company which has operated since 1986 is able to produce 15,000 pair of shoe workers. According to him, this type of shoes is much in demand by those who love adventure in the wild, like a mountain climber or nature lover. Because the raw materials used are not as complicated as protective footwear, the selling price set by the company for outdoor shoes is much cheaper, which is only Rp350,000 per pair. “Although it is cheaper, but we still provide the best quality for customers,” Irvansach further explained.. Although it has already got market recognition, Gun Gun Runiadi still expects the aid of the government. For example, the aid to meet the requirements of SNI and aid for promotion abroad. “The assistance from the government and other relevant agencies are also needed so that our business can move faster,” he hoped.
informasi | information » IRCO Official
Jl. Prof M Yamin No.9 RT.01/05 Duren Jaya – Bekasi Timur HP. 08561920961 / 081286666132 Web. www.ircoofficial.com
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
13
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Ragam produk berbahan baku kulit sapi banyak ditemukan di pasar, mulai dari tas, dompet, sepatu hingga peralatan olahraga. Bisa dikatakan, persaingan di pasar produk berbahan baku kulit sapi cukup ketat.
Teknik Rajut Kulit Memenangkan Pasar
W
alaupun persaingannya cukup ketat, namun hal ini tidak mengendurkan niat Ali Imron untuk masuk ke dalam bisnis produk berbahan baku kulit sapi. Prinsipnya, jika kita mampu menghasilkan produk berkualitas dan unik, maka peluang merebut pangsa pasar masih terbuka lebar. Prinsip itu dia terapkan dengan membuat produk tas, dompet dan sepatu dengan cara dirajut dan memasarkannya dengan merek ‘Occe Tanggulangin’. “Kami membuat produk dengan metode khusus dalam penjahitannya. Untuk menyambung bahan baku, tidak digunakan mesin jahit, tetapi dilakukan dengan cara dirajut dengan keahlian tangan,” kata Ali Imron. Imron sendiri memulai usahanya pada tahun 1999. Awalnya hanya sebagai mediator produk dari kulit. Melihat perkembangan yang pesat dalam penjualan produk jadi dari kulit ketika itu, dia pun tertarik untuk menjadi pelaku di industri produk dari kulit. Sebagai pemain baru, tentunya akan mengalami
14
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
kesulitan untuk langsung bisa diterima pasar. Karena itu, Imron melakukan pengamatan terhadap produk berbahan baku kulit sapi yang sudah beredar di pasar. Dari hasil pengamatannya, diketahui kalau saat itu masih minim produk dari kulit sapi yang dijahit dengan cara dirajut. “Produk yang kami jual, seperti tas dan dompet, hampir tidak ada yang dijahit dengan mesin, karena keahlian merajut benang yang kami tonjolkan,” ujarnya. Untuk merajut bahan, langkah pertama yang dilakukan adalah memilih kulit sapi yang berkualitas untuk dijadikan bahan atau pola. Kemudian bahan kulit yang sudah dipotong menjadi pola, dilubangi tepinya. Setelah itu, lubang-lubang tersebut dimasuki benang untuk disambung dengan menggunakan jarum jahit tangan. Imron mengakui, produk Occe Tanggulangin yang dibuat dengan cara dirajut mampu menarik minat masyarakat. “Harga jualnya juga cukup bagus karena produknya artistik,” paparnya. Hal itu dibuktikan ketika mengikuti pameran di
Argentina, tahun 2011, dalam tiga hari saja produk Occe Tangulangin yang ditampilkan habis diborong pembeli. Karena usahanya yang unik, Imron menerima bantuan dari berbagai pihak, seperti pemerintah provinsi, Kementerian Perindustrian, dan CSR dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam memproduksi dan mempromosikannya ke pasar. “Banyak juga pihak-pihak yang memberikan bantuan berupa usulan desain, tapi tidak semua dipakai karena banyak yang tak sesuai. Desain yang dipakai lebih ke pemikiran sendiri,” ujar Imron. Pasar produk Occe Tanggulangin tak hanya masyarakat di dalam negeri saja. Kegiatan ekspor juga secara rutin dilakukan untuk memenuhi pesanan dari mancanegara. Misalnya, saat ini Occe Tanggulangin mendapatkan pesanan berupa 100 jaket dari pembeli di Korea Selatan. Begitu juga dengan pembeli dari Australia, yang memesan berbagai produk lainnya.
A
lthough the competition is very tight, it does not loosen the intention of Ali Imron to compete in the business of leather products. The key principle, since we are able to produce the unique and high quality products, the opportunity to grab market share will be widely open. This principle has been applied in producing handbags, purses and shoes by using knitted technique and marketing the products under the brand ‘Occe Tanggulangin’. “We produce the products with specific method of knitting. To tie and assemble the raw materials, we knit manually by specific knitting technique instead of using the sewing machine,” said Ali Imron. Imron started running the business in 1999. Initially, he was only as a mediator of the leather products. Having seen the rapid growth in sales of the leather products at that time, he was interested and decided to be a player in the industry of leather products. As a new player, he faced difficulty to immediately be accepted in the market. Therefore, he conducted the observation of the products made of cowhide leather circulating in the market. From the observations, he concluded that there was still very limited product that was stitched by knitting technique. The product we sell, such as handbags and wallets are almost entirely made without sewing machine, since we deliberately accentuate the skill of knitting,” he explained. In terms of knitting process, the first step is choosing the high quality of cowhide leather as the material for pattern of design. Then the material that has been cut into a pattern, is perforated at the edges. The following step, the perforated holes are knitted manually by using hand sewing needles. Imron acknowledged that Occe Tanggulangin
Leather Knitting Techniques Winning the Market The various products made of cowhide leather have been commonly found on the market, ranging from handbags, purses, shoes as well as sports equipment. It can be said that market competition of these products is considerably intense. products manufactured by knitting technique are able to attract the customers. “The selling price is also competitive given the products are artistics,” he explained. It was proven when participating in the exhibition held in Argentina in 2011. Only within three days the products displayed was purchased entirely by the buyer. Due to his unique products, Imron has received supports from various parties, such as the provincial government, the Ministry of Industry, and CSR of the State Owned Enterprises (SOEs) in producing and marketing the products. “Many parties have also provided the assistance in the form of product design, eventhough many were not accepted since they were not in line with his own taste. The design adopted are mostly based
on our consideration, “said Imron. The market of Occe Tanggulangin products is not only in domestic market. The products are also exported regularly to meet the orders from abroad. For example, recently Occe Tanggulangin received an order from Korean buyer for 100 jackets. As so with the buyers from Australia who ordered a variety of products.
informasi | information » Occe Tanggulangin
Jl. Raya Kludan RT. 03 RW.03 Tanggulangin – Sidoarjo – Jatim Telp. 031-71324510 Fax. 031-8850069 Web. www.joocetanggulangin.wordpress.com
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
15
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Produk Inovatif Ikan Pari Ikan pari merupakan jenis ikan yang banyak ditemui di hampir seluruh perairan Indonesia. Selama ini pemanfaatannya masih sangat terbatas untuk diambil dagingnya saja. Sementara bagian lain seperti kulitnya justru terbuang sebagai limbah.
Stingray is a fish species commonly found in almost all of the Indonesian waters. So far the utilization of this kind of fish is still limited for meat only. While other parts like skin is even discareded as waste.
B
ut in the hands of Miftahul Khoir, the waste of stingray skin has been converted into high value products. Through Pari Radja as the name of his business, Khoir has processed the stingray skin into bags, wallets, belts, and other accessories products. Khoir’s creative idea to process the stingray skin emerged accidentally when he was traveling to Cilacap in 2003. “I found a lot of stngray skin dried by fishermen. From there I thought how to utilize the stingray skin in order increase its economic value, “he said. With the knowledge of tannery acquired in college, he creatively tried to produce several products by using stingray skin material. After several trials with patience, finally Khoir was able to find the formula that stingray skin can be used as raw material for bags, wallets and belts. Having felt confidence that the product from stingray skin can be accepted by the market, in 2004 Khoir decided to sell products from stingray skin using Pari Radja brand. To make the product of bags, accessories, belts and wallets, Pari Radja uses four types of stingray skin as r a w material, that are
N
amun di tangan Miftahul Khoir, limbah kulit ikan pari itu diubah menjadi produk bernilai jual tinggi. Melalui Pari Radja sebagai nama usahanya, Khoir mengolah kulit ikan pari
menjadi tas, dompet, ikat pinggang, dan produk asesoris lainnya. Ide kreatif Khoir dalam mengolah kulit ikan pari muncul secara tak sengaja ketika dia sedang berwisata di Cilacap pada tahun 2003. “Saya menemukan banyak kulit ikan pari yang dijemur para nelayan. Dari situ saya berfikir bagaimana memanfaatkan kulit ikan tersebut sehingga nilai ekonomisnya bisa bertambah,” katanya. Dengan bekal ilmu penyamakan kulit yang diperolehnya sewaktu kuliah, dia mencoba berkreasi membuat beberapa produk dengan menggunakan kulit ikan pari. Setelah melalui beberapa kali uji coba dan kesabaran ekstra, akhirnya Khoir mampu menemukan formulasi yang membuat kulit ikan pari dapat dijadikan bahan pembuat tas, dompet, dan ikat pinggang. Setelah yakin kalau produk yang dihasilkannya dapat diterima pasar, pada tahun 2004 Khoir berani menjual produk dari kulit ikan pari dengan menggunakan merek Pari Radja. Untuk membuat produk tas, asesoris, tali pinggang dan dompet, Pari Radja menggunakan empat jenis kulit ikan pari sebagai bahan bakunya, yakni jenis gitar, jenis oval, jenis batu halus, dan jenis pari duri. ”Jenis duri paling mahal karena stoknya langka. Tekstur kulitnya juga lebih unik karena guratan duri di bagian tengahnya,” ujar Khoir. Proses produksi dimulai dengan membuat pola pada kulit ikan pari yang sudah kering. Setelah itu pola dipotong. Langkah selanjutnya, kulit ikan pari digerinda agar kulit menjadi lebih halus dan mudah
16
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
The Innovative Products From Stingray Skin
dijahit. Setelah itu, menjahit pola menjadi produk yang diinginkan. “Untuk model atau pola, kami juga bisa membuatnya sesuai dengan pesanan dari pembeli. Biasanya pesanan itu dikirim lewat email atau pembeli datang langsung menyerahkan contoh model yang diinginkan,” paparnya. Seiring perkembangan waktu, Pari Radja tumbuh menjadi usaha penyamakan dan produsen kreasi kulit ikan pari yang perkembangannya sangat signifikan. Khoir dengan dibantu 12 karyawannya kini bisa menerima kulit ikan pari dalam bentuk mentah atau basah yang kemudian diolah menjadi bahan siap jadi untuk dibuat menjadi berbagai produk. Dengan mengolah sendiri kulit ikan pari dalam bentuk mentah hingga siap pakai, workshop Pari
Menurut Khoir, sekitar 75 persen produknya dijual di pasar dalam negeri dan sisanya diekspor ke mancanegara seperti ke Singapura, Australia, Jepang, dan lain-lain.
Radja yang berlokasi di wilayah Sewon, Bantul,
Walaupun pangsa pasarnya lebih mengarah
Yogyakarta, tidak mengalami kesulitan bahan baku
kalangan menengah ke atas, Khoir tetap yakin
untuk kegiatan produksi.
kegiatan usahanya akan berkembang pesat. Hal
Produk Pari Radja pun kini sudah terkenal luas di
itu dikarenakan produk dari kulit ikan pari yang
masyarakat dan menjangkau banyak daerah di dalam
diusungnya memiliki sejumlah kelebihan, antara lain
negeri serta mampu merambah ke pasar ekspor.
kulitnya yang unik, tidak berbau, dan tahan lama.
the type of guitar, type of oval, type of smooth rock, and the type of tenons. “The type of tenon is the most expensive one since the stock is rare. Its skin texture is also more unique due to the tenon scratches in the middle, “said Khoir. The production process starts by making patterns on the dried stingray skin. Cutting the pattern is the following step. The next step, the stingray skin is grinded to smooth the skin and to ease in sewing process. Afterwards, sewing the patterns into the desired product. “For the models or patterns, we also produce according to the order of buyer. The orders are usually sent via email or buyers come directly submitting samples of the desired model, “he said. Over the years, Pari Radja has grown into a tanning businesses and the producers of stingray skin creation products with very significant development. Khoir with his 12 employees can now receive stingray skin in raw form or wet which is then further processed into finished materials that is ready to be manufactured into a variety of products. By processing stingray skin in raw form up to ready to use by itself, Pari Radja workshop located in the region of Sewon, Bantul, Yogyakarta, does not experience any trouble in the supply of raw materials for the production activities. The product of Pari Radja have now been widely known in the public and have reached out to many areas in the country and also been able to penetrate the export market. According to Khoir, about 75
percent of the products is marketed in domestic market and the rest is exported to foreign countries such as Singapore, Australia, Japan, and others. Although the market is mainly for the middle and upper class, Khoir feels confident that his business will experience the rapid grow. The reason is that the stingray skin products produced by Pari Radja have a number of advantages, including its unique skin, odorless, and durable.
informasi | information » Pari Radja
Dadapan Lor RT.002 Timbulharjo Sewon Bantul Yogyakarta 55186 Telp. 0274-6463437 / 0274-8389775 Email.
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
17
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Produk Kulit Ular Piton yang Mendunia
The Global Product Made of
Python Leather
Inovasi dan kejelian melihat pasar adalah hal yang dibutuhkan bagi kemajuan kegiatan usaha. Hal ini telah dibuktikan oleh Bellasima. Perusahaan yang semula bergerak di bidang industri batik ini memilih untuk terjun ke industri tas, dompet, dan asesoris dari kulit hewan, khususnya kulit ular piton.
P
erusahaan sebenarnya telah berdiri sejak tahun 2008 dan bergerak di industri batik. Namun dalam perjalanannya, perkembangan industri batik tidak berjalan seperti yang diharapkan. Akhirnya di tahun 2012, si pemilik dan pengelola perusahaan mengembangkan usahanya dengan bergerak di industri tas dan dompet serta asesoris dari kulit hewan. Industri ini dipilih karena peluang pasarnya masih cukup besar, baik untuk pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. Dalam memproduksi tas, dompet dan asesoris, Bellasima mengandalkan keunggulannya dalam mengolah kulit ular piton menjadi berbagai produk yang dibuatnya. “Produk dari kulit ular piton banyak diminati masyarakat karena coraknya yang eksotik dan kulitnya yang halus,” kata Rahayu B, pengelola Bellasima. Menurutnya, untuk memproduksi beragam produk dari kulit ular piton, Bellasima mendapatkan pasokan kulit ular piton dari pemasok yang ada di Sumatera dan Kalimantan.
18
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
Kulit ular tersebut dibeli dalam bentuk mentah. Kemudian kulit ular itu disamak dengan menggunakan bahan-bahan tertentu sehingga menghasilkan kulit ular yang kuat dan memiliki permukaan yang halus dan berwarna cerah. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah lem, benang jahit serta pelapis bagian dalam tas. Sebagian besar bahan-bahan tersebut didapatkan dari dalam negeri. Rahayu mengatakan, hanya sebagian kecil saja bahan baku yang harus diimpor, yaitu pelembut atau glossy karena bahan baku ini sulit untuk ditemukan di dalam negeri. Karena kualitas produk yang dihasilkan begitu baik, produk Bellasima mampu menembus pasar internasional dengan relatif mudah. Dari total produk yang dihasilkan, sekitar 70 persen dijual ke pasar internasional. Sedangkan 30 persen lainnya diperuntukkan bagi pasar dalam negeri. “Kualitas produk kami telah teruji, misalnya jahitannya yang kuat karena menggunakan benang khusus,” papar Rahayu seraya menambahkan bahwa hingga saat ini belum ada keluhan dari pelanggan mengenai kualitas produknya.
Innovation and foresight to see the market opportunity is indispensable for the progress of business activity. It has been proven by Bellasima company. The company originally engaged in the batik industry has chosen to spesialize into industry of bags, wallets, and accessories made of animal leather, especially the leather of python.
Secara rutin, Bellasima memasok pelanggannya yang berada di Amerika Serikat, Perancis, Singapura dan beberapa negara lainnya dengan berbagai produk yang dipesannya. Dalam melayani pembeli dari luar negeri, perusahaan bersikap fleksibel. Pembeli boleh saja menggunakan labelnya pada produk Bellasima yang dipesannya. “Kalau di Singapura, pembelinya masih menggunakan label Bellasima. Tapi di beberapa negara lain, ada pembeli yang menggunakan label mereka pada produk yang kita kirim,” ucapnya. Karena sebagian besar produknya diekspor, maka harga jual produk Bellasima ditetapkan dengan mata uang dolar AS. Jika nilai tukar dolar melesat, maka harga jual di dalam negeri juga mengalami kenaikan. Dengan jumlah karyawan 120 orang, Bellasima optimis kegiatan usahanya akan makin berkembang, terlebih lagi pasar dalam negeri belum begitu digarap dengan maksimal. Padahal, dengan jumlah penduduk yang besar, pasar dalam negeri masih menjanjikan.
I
n fact the company has been established since 2008 and engaged in the batik industry. But along the way, the development of batik industry did not run as expected. Finally since 2012, the owner and manager of the company has expanded its business to the industry of bags and wallets as well as the accessories made of animal leather. This industry is chosen since its market opportunity is considered to be widely open, both for domestic market as well as globally. In producing bags, wallets and accessories, Bellasima has relied on its superiority in processing python leather into a variety of leather products. “The product of python leather has attracted so many people due to its exotic feature and its leather smoothness,” said Rahayu B, the Bellasima manager. According to her, to produce a variety of products from python, Bellasima has got the supply of python leather from Sumatra and Kalimantan. The python leather is purchased in the raw form. Then the leather is tanned by using certain materials to produce the robust python leather with smooth surface and brightly colored. Other materials used are glue, thread sewing and upholstery for inside the bag. Most of these materials are obtained within the country. She said that only a small proportion of raw
in the United States, France, Singapore and some other countries with a wide range of product varieties. In serving the overseas buyers, the company has been very flexible. The buyer can use his or her own label on the product of Bellasima that is purchased. “For the buyer from Singapore, they have still used Bellasima label. But in some other countries, there have been many buyers who has used their own label on our product we delivered, “she explained. Since most of the products are exported, the selling price of Bellasima products are specified on US dollar. When US dollar exchange rate rises, then the selling price in the country also increases. By employing about 120 workers, Bellasima is optimistic that its business will be continuously to grow, especially in the domestic market that has not been fully explored. By considering the large number of population, the domestic market is still promising.
materials are still imported, that are the softeners or the glossy because these raw materials are difficult to find in the country. Due to the high quality of the product, the product of Bellasima is able to easily penetrate the global markets. Of the total products, about 70 percent are exported. While the remaining 30 percent are consumed domestically.
“Our product quality has been considered for its superiority. For example, the stitching is very strong because it uses special threads, “explained Rahayu, while adding that until now there has been no complaints from customers regarding the product quality. Regularly, Bellasima has supplied its customers
informasi | information » Bellasima
Wisma Gading Permai Jalan Boulevard Raya Ruko 1 Blok CN Nomor 36, Jakarta Utara 14240 Telp. 021 – 45844975 Fax. 021- 45866472 Email.
[email protected] Web. www.bellasima.com
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
19
Made in Indonesia
Made in Indonesia
The Latest Model and Sewing Quality Assurance The economic potency of Sidoarjo does not sink after suffering from the mud disaster. Sidoarjo, one of the districts in East Java has continued to rise up fostering the local community economic growth in various sectors. One of them is sub-district of Tanggulangin, that is still existed to be the center of leather industry development.
Jaminan Kualitas Jahitan dan Model Terkini
more smooth, light, and soft, “he said. The products under the brand ‘Karl Sangkoni’ made by Sungkono are sold at affordable prices. Men shoes are sold at the price about Rp. 350-500 thousand, mowen handbags about Rp. 1-1,5 million, jackets about Rp. 1,8-2,3 million, wallets about Rp. 150-170 thousand, and belts about Rp. 250 thousand. “The production process is carried out with a special sewing machine and done manually,” he explained. Sungkono said, although his product market is still domestically, Miss Universe 2002 ever bought his products. “Miss Universe 2002 once bought a bag from us. And in the year 2016, we have a plan to participate in the exhibition in Shanghai and America, “added Sungkono. Now, he has partnered the resellers up to Sumatra and Kalimantan. His products can be obtained in several showrooms located in Sidoarjo, Mojokerto, and Bogor. “When routinely participating the exhibition, our turnover per month can reach Rp. 200-300 million,” he concluded.
Potensi Sidoarjo tidak tenggelam begitu saja setelah bencana lumpur melandanya. Salah satu kabupaten di Jawa Timur ini terus bangkit menumbuhkan perekonomian masyarakat setempat dari berbagai sektor. Salah satunya di kecamatan Tanggulangin, yang masih eksis menjadi sentra pengembangan industri kerajinan kulit.
D
i sepanjang Jalan Kludan, Tanggulangin, akan dijumpai deretan kios yang memajang beragam produk kerajinan kulit seperti jaket, tas, dompet, atau sepatu yang berkualitas dan trendy. Soal harga bervariasi, tergantung model serta ukurannya. Lokasinya pun cukup strategis. Berjarak sekitar lima kilometer arah selatan dari pusat kota Kabupaten Sidoarjo atau 30 km arah timur kota Surabaya. Mitrajaya Collection, salah satu kios yang cukup banyak didatangi pengunjung. Gerai ini dibangun oleh sang pemilik, H. Sungkono sejak tahun 1990 dengan konsep yang menarik. Tidak hanya menampilkan berbagai produk unggulannya di dalam etalase, tetapi gerai yang cukup luas ini juga memperbolehkan para pengunjung melihat langsung proses produksi di showroom-nya. “Selain meningkatkan kualitas, kami juga meningkatkan pelayanan yang baik kepada para pengunjung sehingga mereka akan beli dan pesan lagi,” ungkap Sungkono saat ditemui pada acara Gelar Sepatu, Kulit, dan Fesyen 2015 di Jakarta, beberapa waktu lalu. Tidak heran, ketika berpartisipasi pada acara tersebut, stand Mitrajaya Collection termasuk paling besar dan dibanjiri pembeli. Kesuksesan usahanya tidak terlepas dari mutu jahitan produknya yang halus. Pengusaha lulusan pendidikan guru agama di Lamongan ini paham betul mengenai proses penjahitan yang apik dan rapih,
20
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
karena keterampilan itu telah dipelajarinya sejak di bangku SLTA. Begitu memutuskan menjadi pengusaha tas dan sepatu, ia tak sungkan menularkan ilmu menjahit kepada para pekerja dan mitra bisnisnya. “Ketika mengawali usaha di tahun 90-an itu, saya sempat memiliki 300 orang pekerja dari tiga showroom. Tetapi setelah satu showroom kena musibah lumpur, akhirnya saat ini karyawan saya hanya 165 orang,” paparnya. Sungkono pun memastikan, keunggulan produknya bisa dilihat dari kualitas jahitan dan model. “Kami memberikan garansi sampai satu tahun untuk jahitan produk kami,” tegasnya. Sementara itu, mengenai model, ia berani meyakinkan telah mengikuti trend terkini sesuai permintaan pasar dalam negeri maupun mancanegara. “Kami juga melayani kepada pelanggan yang ingin membuat model sesuai keinginannya sendiri. Biasanya selesai pembuatan produk pesanan khusus itu maksimal dua minggu,” tuturnya. Mengusung merek ‘Karl Sangkoni’, Mitrajaya Collection menawarkan produk jadi berbahan kulit sapi dan kambing mulai dari tas wanita/pria, sepatu pria/wanita, ikat pinggang, dompet hingga jaket pria/ wanita. “Untuk bahan baku, kami selektif pilih kulit sapi lokal maupun impor dari Italia yang bagus. Khusus jaket pakai kulit kambing karena lebih halus, ringan,
dan lembut,” paparnya. Produk dengan merek ‘Karl Sangkoni’ buatannya dijual dengan harga terjangkau. Sepatu laki-laki ditawarkan Rp350-500 ribu, tas wanita kisaran Rp11,5 juta, jaket Rp1,8-2,3 juta, dompet Rp15-170 ribu, hingga ikat pinggang Rp250 ribu. “Proses pengerjaan produk kami dengan mesin jahit khusus yang dikerjakan dengan buatan tangan,” ujarnya. Sungkono mengatakan, meski pasar produknya masih berskala nasional, Miss Universe 2002 pernah membeli produknya. “Miss Universe Tahun 2002 pernah beli tas dari kami. Dan tahun 2016 nanti, kami ada rencana ikut pameran ke Shanghai dan Amerika,” tambah Singkono. Ia pun saat ini telah memiliki reseller hingga Sumatera dan Kalimantan. Produknya bisa diperoleh di beberapa showroom yang berlokasi di Sidoarjo, Mojokerto, dan Bogor. “Kalau rutin mengikuti pameran, omzet kami per bulan bisa mencapai Rp200-300 juta,” pungkasnya.
A
long the Kludan street of Tanggulangin, there will be found a row of outlets displaying a variety of its featured products such as jackets, handbags, wallets, or shoes with high quality and trendy. The price varies, depending on size and model. The business location is quite strategic, about five kilometers to the south of Sidoarjo city center or 30 kilometers eastern of the city of Surabaya. Mitrajaya Collection is one of the outlets visited by a lot of customers. This outlet was established by the owner, H. Sungkono in 1990 with an interesting concept. It does not only display a wide range of leading products in the storefront, but this quite wide space outlet has also allowed visitors to see the production process. “In addition to improving the quality, we have also improved the services quality to the visitors so that they will come to buy and make an order again,” said Sungkono when met at the Exhibition of Shoes, Leather and Fashion 2015 in Jakarta, recently. It is not surprising that the stand of Mitrajaya Collection is the bigest one and flooded with buyers. His business success is inseparable from the sewing quality of the products that is neat. Sungkono, a businessman graduated from the education of religion teacher in Lamongan is very competent in
the process of neat and tidy sewing, since that skills has been accumulated since he was in high school. As the business player in handbags and shoes industry, he does not hesitate to share his sewing knowledge to the workers and business partners. “In the early of the business in the 90s, I ever had 300 workers with three showrooms. But after experiencing the mud disaster, my workers has decreased to only 165 people, “he explained. Sungkono ensures that his product excellence can be shown from the quality of sewing and the models. “We give one-year warranty for our products,” he stressed. Meanwhile, regarding the model, he strongly assures that he has followed the latest trends in accordance with domestic and foreign demands. “We also serve the customers with their own models and interests. Usually we need maximum two weeks to accomplish the specific order, “he explained. Bringing the brand ‘Karl Sangkoni’, Mitrajaya Collection offers finished products made of cow and goat leathers such as handbags, shoes, belts, wallets, and jacket both for man and women. “For raw materials, we selectively choose the cow leather locally and also import from Italy. For jacket, we prefer using goat leather because it is
informasi | information » Mitra Jaya Collection
Jl. Raya Kludan, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur 61272 Telp. (031) 8964259 Web. www.mitrajayacollection.com
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
21
Made in Indonesia
Made in Indonesia
APAI
New Hope From The APAI
Jadi Angin Segar Pengrajin Alas Kaki Indonesia
The classic problem often faced by artisans in developing their businesses are capital constraints, human resources, raw materials, and marketing. It would be very hard if these problems have to be overcome individually. One way to cope them is by establishing an associations.
Persoalan klasik yang kerap dihadapi para pengrajin dalam mengembangkan usahanya yaitu terbatasnya permodalan, SDM, bahan baku, dan pemasaran. Memang akan sangat berat jika kendala itu dipikul sendiri. Solusinya adalah para pengrajin perlu bersinergi. Salah satunya dengan membentuk asosiasi, seperti yang dilakukan para pengrajin alas kaki.
P
ada Mei 2015, terbentuklah Asosiasi Pengrajin Alaskaki Indonesia (APAI) di Bandung. Asosiasi ini menjadi angin segar bagi pengembangan industri alas kaki nasional pada masa depan. “Posisi pengrajin yang menjadi ujung tombak produksi memiliki peran strategi luar biasa yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Tidak saja meningkatkan harkat martabat pengrajin alas kaki, juga memberi kontribusi besar bagi pengembangan industri alas kaki nasional yang berdaya saing,” kata Ketua Umum APAI Taufiq Rahman. Taufiq mengatakan, untuk mewujudkan cita– cita tersebut, para pengrajin perlu bersatu dalam sebuah wadah sehingga mampu ikut berperan aktif memberikan kontribusi terhadap kekuatan ekonomi nasional. “Wadah ini ditujukan untuk memacu peningkatan kesejahteraan secara nyata bagi para anggotanya dan dapat menjadi mitra
22
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
pemerintah untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan nasional,” tuturnya. APAI terus membuka perluasan kerjasama dengan berbagai pihak. Kolaborasi yang baik dilakukan dengan pemerintah dan stakeholders terkait, antara lain: Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, Pemerintah Daerah, serta Perguruan Tinggi. “Pembangunan kepercayaan dari semua pihak menjadi elemen kunci yang akan terus dijalani sejak pendirian APAI,” tegas Pria kelahiran Jombang, 8 November 1964. Taufiq mengungkapkan, program yang difokuskan APAI selama lima tahun ke depan adalah promosi atau pemasaran, peningkatan kompetensi SDM melalui pelatihan, pemberian konsultasi kepada para pengrajin untuk membuat merek sendiri, dan kemudahan untuk mendapatkan bantuan permodalan. Selama ini, menurut Ketua APAI Bidang Promosi dan Pameran Rini Nurdiani, banyak pengrajin alas kaki yang tidak menciptakan brand sendiri karena mereka hanya fokus pada pembuatan produknya saja sehingga tidak mendapatkan nilai tambah yang tinggi.”Melalui pembetukan asosiasi, diharapkan para pengrajin mempunyai merek masing-masing sehingga dapat mengetahui prestasi dan kualitas produk mereka,” katanya. Rini menambahkan, saat ini sebanyak 200 pengrajin alas kaki telah bergabung di APAI yang meliputi berbagai daerah seperti Bandung, Tangerang, Jakarta, Bekasi, Medan, Surabaya, dan Banten. “Ikatan kuat antar pengrajin akan membuka kesempatan-kesempatan ekonomi berupa kenaikan n i l a i tambah, pengembangan jejaring, dan kesempatan lainnya,” tuturnya seraya mengatakan setiap pengrajin yang ingin menjadi anggota APAI tidak dipungut biaya. Di samping itu, dengan perkembangan global yang semakin cepat dan mengemukanya pasar bebas sehingga pengrajin membutuhkan jejaring yang kuat untuk dapat unggul dan bersaing. “Harapannya, industri alas kaki nasional akan tangguh dan memimpin pasar baik di dalam maupun luar negeri. Serangan produk impor terhadap pasar
I
n May 2015, the Association of Indonesian Footwear Artisans (APAI) in Bandung was established. The association has become the fresh wind for the development of National footwear industry in the future. “The contribution of artisans as the spearheading of the production has a tremendous strategic role. Not only enhancing the dignity of footwear artisans, they have also contributed substantially to the development of the competitiveness of national footwear industry,” said Chairman of APAI Taufiq Rahman. He said that to realize this goal, the craftsmen need to coalesce in an organization so that they can participate actively in contributing to the strength of national economy. “The organization is intended to significantly promote the welfare of the members and to be goverment’s partner to drive the national economic growth,” he said. APAI has continued to expand the cooperation with various parties. The collaborations have been established with the government and
alas kaki nasional tidak bisa dianggap enteng, namun memerlukan tindakan kolektif, kolaborasi berbagai pihak,” papar Rini. Hal senada juga diungkapkan Taufiq, perlu adanya terobosan dari pemerintah untuk memberikan jaminan pasokan bahan baku agar industri alas kaki nasional terus berkelanjutan. Ia mengakui, sebagian besar pengusaha alas kaki mengeluhkan bahan baku yang sulit terutama untuk kulit sapi. Karena kesulitan bahan baku itu, beberapa industri harus gulung tikar. “Karena kekurangan bahan baku inilah, perusahaan yang masih tergolong kecil dan menengah ini kesulitan dan pada akhirnya menutup usahanya,” katanya. Mengenai persoalan bahan baku di industri alas kaki, Pemerintah akan membuat buffer stock atau persediaan cadangan. Kementerian Perindustrian bersama beberapa lembaga terkait seperti bea cukai da instansi pajak juga akan bekerjasama agar pengurusan dokumen menjadi satu atap. Diharapkan lagkah tersebut mampu mewujudkan industri alas kaki nasional yang berdaya saing dan tangguh.
related stakeholders, such as: the Ministry of Industry, Ministry of Cooperatives and SMEs, local governments, and universities. “Building the trust with all parties is the key element to be addressed by APAI from the beginning,” said Taufiq, the man born in Jombang on 8 November 1964. He explained that the priority programs of APAI for the next five years are the promotion or marketing, increase the competence of human resources through training, provision of consulting services to the craftsmen to create their own brand, and the ease in obtaining capital supports. During this time, according to Rini Nurdiani, the Head of Promotion and Exhibition of APAI, many artisans do not create their own brand because they just focus on the production so they do not enjoy high added value. “Through the establishment of the association, the craftsmen are expected to have their own brand so that they will know their performance and the quality of their products,” she said. She added, today there are about 200 footwear artisans joining APAI that come from various areas such as Bandung, Tangerang, Jakarta, Bekasi, Medan, Surabaya, and Banten. “The strong ties among artisans will open up the economic opportunities in
the form of an increase in value-added, development of networking and other opportunities,” she said while adding that the membership is free of charge. In addition, with the increasingly rapid global developments and the enactment of free market, the artisans need a strong network in order to win the competition. “Hopefully, the national footwear industry will be strong and dominate the market both at home and abroad. The threat of imported products againts domestic footwear market should not be overlooked, but requires collective action and collaboration among various parties,” said Rini. The same opinion was also expressed by Taufiq. The breakthrough from the government is required to provide the guarantee of supply of raw materials to keep the sustainability of national footwear industry. He argued that most of footwear producers have complained about the limited supply of raw materials especially for cowhide leather. Due to the difficulty to get these raw materials, some producers have to close down. This problem has been also faced by so many SMEs producing footwear products so that many of them have been closed down, “she said. Regarding the issue of the limitation of raw materials in footwear industry, the Government will provide the buffer stocks or reserve inventory. The Ministry of Industry together with some related institutions such as customs and tax authorities will also establish cooperation so that the processing of documents can be handled in a single roof. This measure is expected to be able to promote the competitiveness of the national footwear industry.
informasi | information » Kantor APAI
Jl. Sanggar Urip VI No.16 A – 16 B Sanggar Urip Estate Bandung – Jawa Barat
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
23
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Kulit Katak dan Ikan Nila Kuasai Pasar Eropa
Di tangan orang kreatif, limbah bisa dijadikan produk yang bernilai tambah tinggi. Hal ini dilakukan oleh pengrajin Taufiq Rahman yang memanfaatkan limbah kulit katak dan ikan nila untuk dijadikan produk kerajinan seperti tas, dompet, dan sepatu. “Jika limbah-limbah yang tidak terpakai kita manfaatkan dengan baik serta menggunakan kreativitas, maka limbah tersebut akan menjadi barang premium,” kata Taufiq ketika ditemui pada acara Gelar Sepatu, Kulit, dan Fesyen 2015 di Jakarta. Dia menceritakan, tahun lalu, kulit sapi sebagai bahan baku utama pembuatan sepatu sulit dicari di Indonesia. “Selain itu, harga kulit sapi di Indonesia cenderung mahal dengan harga Rp 35 ribu per kilo untuk kulit sapi Jawa, sedangkan kulit sapi impor Rp 25 ribu per kilo,” tuturnya. Akhirnya Taufiq berinovasi membuat produk tas dan dompet yang terbuat dari limbah kulit katak. Bahan baku itu dia dapatkan dari kerabatnya yang beternak katak di Surabaya. “Produk tas dan dompet kulit katak itu saya pamerkan di ajang Indonesia Fashion Week tahun 2015. Ternyata sambutannya sangat luar biasa. Saya mendapat request dari Kazakhstan untuk membuat beberapa produk lainnya seperti sepatu pria,” ujarnya. Seiring dengan pesatnya pesanan, Taufiq berfokus memproduksi alas kaki dari kulit katak itu ke pasar Eropa. Ia mengklaim, sepatunya merupakan produk pertama dari bahan tersebut. Namun ia juga berinovasi dengan menciptakan sepatu pria dari kulit ikan nila, dan respon pembelinya pun cukup banyak. “Saya menggandeng peternak di Surabaya dan Medan. Target pasar produk tersebut adalah pasar Eropa dengan kuota produksi 100-150 pasang per bulan,” ungkapnya. Mengenai kisaran harga memang terbilang mahal. Untuk sepatu pria yang terbuat dari kulit ikan nila dan katak dibanderol dengan harga Rp. 4.490.000. “Makanya kami memilih untuk ekspor, karena peminat di dalam negeri masih kurang dan mungkin terlalu mahal,” kata Taufiq. Pria kelahiran Jombang, 8 November 1964 ini memastikan, soal kualitas tidak perlu dipertanyakan. Sepatu buatannya yang diberi merek “Ovick” ini diberi garansi selama 20 tahun. “Sepatu saya ini dibuat dari bahan-bahan pilihan serta semuanya dijahit, tidak ada yang dilem, jadi sangat kuat,” katanya sambil menambahkan bahwa ia juga mengembangkan sepatu pria dengan bahan baku kulit biawak dan ular phyton yang diperoleh dari penangkaran. Taufiq mengakui terus melakukan promosi ke berbagai ajang pameran-pameran di dalam negeri sehingga dapat memperkenalkan dan mengedukasi kepada masyarakat luas mengenai hasil karyanya. Dengan berbagai upaya, dia optimis, produknya itu bisa diterima di pasar baik lokal maupun luar negeri.
24
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
Dalam proses produksi, Taufiq dibantu sebanyak 25 karyawan. Sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengrajin Alaskaki Indonesia (APAI) yang beranggotakan para perajin, ia selalu memberdayakan para karyawannya dengan memberikan pelatihan mesin dan pengolahan kulit sehingga produk yang dihasilkan terjaga mutu dan desainnya. Taufiq menegaskan, kegiatan pemasaran yang dilakukan APAI juga berupaya untuk mempertemukan para perajin dengan jaringan distributor nasional dan internasional. Perajin diharapkan mampu menjual alas kaki dengan merek sendiri, bukan hanya seperti sekarang ini, mengerjakan sepatu pesanan. Oleh karena itu, ia mengharapkan peran pemerintah khususnya Kementerian Perindustrian untuk terus mendorong pengembangan industri alas kaki nasional agar berdaya saing dan mampu
menguasai pasar global. “Harapan saya yaitu pengrajin diperlakuan setara dengan produsenprodusen modern. Kasih kesempatan mereka untuk lebih berkemabang melalui perlindungan hak cipta, merek, dan promosi,” pungkasnya.
Frog and Tilapia Leather Products Enter the European Market In the hands of creative people, the waste can be processed into the high added value products. This is done by Taufiq Rahman, an artisan which utilizes the waste of frog and tilapia skin to be processed into handicraft products such as handbags, wallets, and shoes.
“If the unused waste is utilized by involving the creativity, it will produce the high quality products,” Taufiq said when met at the Exhibition of Shoes, Leather and Fashion 2015 in Jakarta. He explained that last year, cowhide leather as the main raw materials for producing shoes was very difficult to obtain in Indonesia. “In addition, the price of it tends to be expensive with the price of Rp35 thousand per kilo for Java cowhide leather, while for imported cowhide leather is about Rp25 thousand per kilo,” he said. Finally, Taufiq tried to innovate to make the products of bags and purses by using the waste of frog skin. This raw material was supplied by his relatives raising frogs in Surabaya. “I displayed bags and wallets made of frog skin in the Exhibition of Indonesia Fashion Week in 2015. It turned out that
these products received a remarkable respond. I received an order from Kazakhstan to produce other products such as men’s shoes,” he said. Along with the increased orders, he has focused in producing footwear products from frog skin for the European market. He claimed that his shoes are the first products made of these materials. In addition, he has also innovated by producing men’s shoes from tilapia skin, and again has received a good response from a lot of buyers. “I have partnered with the breeder in Surabaya and Medan. The target market of these products is the European market with a production quota of 100-150 pairs per month,” he said. In terms of price range, it is considerably expensive. For men’s shoes made of the skin of tilapia and frog, the price is about Rp4.49 million. “That is why we chose to export, since the potential buyers in the country is still limited due to the price that is quite expensive,” explained Taufiq. Taufiq assures the high quality of his products. His product of shoes that are branded ‘Ovick’ are given the guarantee for 20 years. “My shoes are made from selected raw materials and all of them are sewn up, nothing are glued, so that they are very strong,” he said while adding that he has also developed men’s shoes from lizard and python leather obtained from breeding. He admitted that he regularly participates in promotion events in various exhibitions in the country to introduce and educate the public about his products. With so many efforts, he feels optimistic
that his product will be accepted both in the local markets and abroad. In the production process, he employs 25 workers. As the Chairman of the Association of Indonesian Footwear Artisans (APAI), he always empowers employees by providing training on machinery and leather processing so that the final products can be maintained both in terms of the quality and design. Taufiq stressed that the marketing activities undertaken by APAI has also attempted to link artisans with national and international distributor networks. The artisans are expected to market their footwear products with their own brand, not like today that just work on orders . Therefore, he expects the role of government, especially the Ministry of Industry to continuously encourage the development of national footwear industry in order to be competitive and able to compete in global market. “I expect that the craftsmen are treated equivalent with the modern producers. Give them the opportunity to grow through the protection of copyright, trademark, and promotion,” he concluded.
informasi | information » OVICK
Jl. Sanggar Kencana VI No.16 A – 16 B Sanggar Hurip Estate, Bandung 40286 Telp. 022-7335644 Fax. 022-7317309 Email.
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
25
Made in Indonesia
Made in Indonesia
TAS KULIT LEBIH DIMINATI Cipta Anugrah, seorang lulusan Akademi Teknologi Kulit (ATK) Yogyakarta, mengembangkan usaha pembuatan produk dari kulit sejak tamat kuliah tahun 2014 lalu.
C
ipta yang juga peserta pameran ‘Sepatu, Kulit & & Fesyen’ tahun 2015 ini memaparkan, saat ini penjualan sedang mengalami kesulitan akibat para pembeli menawar harga jualnya sampai 50% dari harga yang ditawarkan. “Terasa sekali daya beli konsumen mulai turun, sehingga terjadi perubahan prilaku konsumen. Tahun 2015 ini omzet kami turun dibanding tahun sebelumnya. Namun demikian, penjualan untuk produk tas kulit malah meningkat, dan lebih diminati dibandingkan produk kulit lainnya,” papar suami dari Anti Novianti yang mengusung merek Liantyka ini. Cipta yang dalam pameran tersebut mengusung merek dagang Motekar Leather mengemukakan, ia bekerja dengan enam orang karyawan di workshopnya yang berlokasi di daerah Sukaregang, Garut, Jawa Barat. Rata-rata mereka berlatar belakang sama dengan dirinya, yaitu lulusan sekolah di bidang desain. Dengan menyasar konsumen di kelas menengah, harga produk jaket yang ditawarkan berada di kisaran Rp900 ribu sampai Rp2 juta. Sedangkan untuk tas, harganya sekitar Rp300-700 ribu. “Kami memperkirakan, kondisi ekonomi yang kurang bersahabat ini membuat konsumen hanya mampu membeli produk yang harganya sekitar Rp500 ribu per buah,” ungkap Cipta. Harga bahan baku utamanya, yaitu kulit sapi berkisar Rp25-32 ribu per sqf (square feet). Sedangkan harga kulit domba sekitar Rp21.000 sampai Rp 24.500 per sqf. Untuk kulit kambing, harganya Rp1820 ribu per sqf. Kulit kambing kurang diminati karena teksturnya lebih tebal dan keras. Proses pengerjaan jaket memakan waktu 1 hari oleh 1 tukang jahit. Sedangkan pengerjaan tas lebih
26
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
rumit dan lebih banyak tahapannya, sehingga butuh waktu 2 hari untuk menggarap satu buah tas. Cipta mengakui bahwa usahanya banyak mendapat dukungan dari pemerintah. Keikutsertaannya di pameran tersebut juga atas bantuan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat. Bantuan lainnya adalah pelatihan keterampilan produksi dan pelatihan kemasan produk yang diberikan secara gratis. Selain dari pemda, dukungan juga diberikan BUMN PT Sucofindo melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), dalam bentuk kredit modal senilai Rp40 juta dengan bunga rendah sebesar 0,5% per bulan. Kredit tersebut sudah dapat dilunasi dalam waktu dua tahun. Saat ini, Cipta bekerja menggunakan enam unit mesin jahit untuk produksi jaket kulit. Diperkirakan setiap bulan menghasilkan 100 unit jaket kulit. Untuk memproduksi satu unit jaket diperlukan pasokan kulit dari tiga sampai empat ekor domba. Sedangkan untuk produk tas, setiap bulan dihasilkan 50 unit, yang menggunakan dua unit mesin jahit. Bahan baku kulitnya berasal dari kulit hewan sapi dan kambing. Yang membedakan antara kulit domba, sapi, dan kambing, adalah ketebalannya. Selain dari dari daerah Priangan (Bandung), pasokan kulitnya juga dari Tasikmalaya. “Dalam satu tahun produksi, omzet perusahaan kami diperkirakan mencapai Rp500 juta,” ungkap Cipta. Saat ini perusahaannya sedang uji coba menggunakan “Domba Spinil”, yakni jenis kulit domba yang dilakukan tanpa pewarnaan. Dengan demikian, proses pengerjaan kulitnya menjadi lebih singkat karena langsung ke tahap akhir (finishing).
Ke depan, Cipta berencana untuk belajar kombinasi warna kulit, mengingat padu-padan warna pada bahan kulit cukup sulit untuk dilakukan. “Kami juga ingin meningkatkan kualitas produk, pengembangan bahan baku, maupun pengembangan manajemen dan produksi. Itu sebabnya, kami butuh semacam pelatihan desain dan manajemen,” pungkas Cipta.
The Leather Handbags Are More Desirable
C
ipta, one of the participants of “Shoes, Leather & & Fashion 2015” exhibition explained that currently, the sales has experienced difficulties since the buyers offered the sale price only about 50% of the offered price. “It seems that the purchasing power of the buyers has decreased, resulting the changes in consumer behavior. The sales turnover in 2015 has been slowing down compared to the previous year. However, the sales of leather bags for products has actually increased, and more favourable for customers than other leather products, “said Cipta, the husband of Anti Novianti that brings the Liantyka brand. Cipta, that brought the trademark “Motekar Leather” in the exhibition explained that he works with six employees in the workshop locating in Sukaregang, Garut, West Java. Most of his empoyees have the same background, that is in the field of design. By targeting the consumers from the middle class society, the offered price of the leather jacket is in the range of IDR 900 thousand to IDR 2 million. As for handbags, the price ranges from IDR 300 to 700 thousand. “We estimate that within the unfavorable economic condition in this time, the buyers only favor to buy the product with the price about IDR 500 thousand per unit,” said Cipta. The price of the main raw material, such as cowhide leather ranges from IDR 25 to 32 thousand per sqf (square feet). While the sheep leather, the price is about IDR 21 to 24,5 thousand per sqf. For the goat leather, the price is about IDR 18 to 20 thousand per sqf. Goat leather, however, is less desirable because of the texture that is considered to be thicker and harder. In producing a jacket it takes about a day for one tailor. While for a handbag, it takes about 2 days since the production process is more complicated
Cipta Anugrah, a graduate of the Academy of Leather Technology (ATK) Yogyakarta, has developed the business of leather products since completing his study in 2014 ago.
and takes more steps. Cipta admitted that his business has received a lot of supports from the government. The participation in the exhibition is also on the help of the Industry and Commerce Agency of West Java Province. Other assistances are in the form of trainings on production skills and product packaging given with free of charge. In addition to the help from the local government, another support is also given by PT. Sucofindo, a state-owned company through the Partnership Program and Community Development (CSR), in the form of working capital credit loan with very low interest rate of 0.5% per moth at amount of IDR 40 million. The loan had been already repaid within two years. Currently, Cipta utilizes six units of sewing machines for producing leather jackets. It is estimated that he produces 100 units of leather jackets a month. To produce a leather jacket, he needs supply of leather raw material from 3 to 4 sheeps. As for hanbags, he produces about 50 units per month by using two units of sewing machines. The raw materials for hanbags are from cowhide and goat leathers. That distinguishes between the leather of cowhide, sheep, and goat, is shown from their thickness. In addition from Priangan (Bandung), the supply of leather raw material is purchased from Tasikmalaya. “Within a year of production, our company turnover reachs about IDR 500 million,” said Cipta. Currently his company is conducting trials by using “Sheep Spinil”, namely by directly using sheep leather in production without staining process. Thus, the process of production can be shorter due to the directly to finishing step. Moving forward, Cipta has made a plan to learn the color combination, considering that to find the matching color from leathers is quite difficult to do. “We also want to improve the product quality, to develop the raw materials used, as well as to develop the production process and management. That is why, we need some kind of training for design and management, “Cipta concluded.
informasi | information » Motekar Sepatu
Cipta Anugrah Sridaya Center – Jl. Gagaklumayung No. 9 Blok B9, Sukaregang, Garut HP. 0852 9512 9999, 0857 2040 8067
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
27
Made in Indonesia
Made in Indonesia
KING’S SHOES SAFETY WEAR: Sepatu Standar Internasional Produksi Batam Dan Tangerang Banyak orang mengenal merk Honeywell identik dengan konglomerat , perusahaan multinasional yang bergerak di berbagai bidang usaha mulai industri engineering, ruang angkasa, konstruksi, kimia, dan energi serta pertambangan.
I
tu sebabnya produksi sepatu pengaman Honeywell Safety Products di bawah PT King’s Safetywear dengan merek King’s ini digunakan diberbagai industri mulai dari otomotif, pertambangan termasuk minyak dan gas, jasa konstruksi, pertanian, industri baja, komponen, dan juga di industri perkapalan. Penggunaan sepatu pengaman lebih luas lagi, digunakan juga oleh para pengendara sepeda motor, juru masak di restoran besar dan hotel, serta di divisi khusus pada sejumlah rumah sakit. Aan Rusdianto selaku Junior Marketing Support PT King’s Safetywear yang ditemui di ajang Gelar Sepatu, Kulit & Fesyen 2015 menjelaskan bahwa perusahaan King’s ini sebenarnya berpusat di Singapura sejak tahun 1965. Namun secara bertahap dilakukan relokasi perusahaan ke beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Filipina. Sekitar tahun 1995/1996 perusahaan juga direlokasi ke Indonesia dengan lokasi pabrik di Kosambi yang masuk wilayah administrasi Tangerang, Banten. Kemudian tahun 2012 King’s diakuisisi oleh Honeywell. “Kami juga memiliki pabrik di Batam – Kepulauan Riau tepatnya di daerah Tanjung Uncang. Total produksi sepatu yang dihasilkan berkisar antara 100 ribu sd 200 ribu unit per bulan, di mana dari produksi tersebut 80 persen diekspor, sehingga tinggal 20 persen yang masih digunakan mengisi pasar dalam negeri. Sayangnya ekspor dilakukan oleh divisi yang ada di Singapura dan negara ASEAN lainnya, sehingga tidak bisa disebutkan ke mana saja negara tujuan ekspornya. Di Jakarta ada kantor perwakilan perusahaan dan penjualan produk dilakukan oleh distributor,” jelasnya. Dengan produksi yang dilakukan di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, perusahaan dapat memanfaatkan fasilitas pembebasan bea masuk sebagai implementasi dari kerjasama yang terhimpun di bawah payung ASEAN Free Trade Agreement (AFTA). Apalagi sektor usaha ini menyerap tenaga kerja cukup besar. Untuk pabrik di Batam dan Tangerang, diperkirakan dapat menyerap tenaga kerja lebih dari 1.000 orang pekerja untuk pengerjaan bagian atas (upper) sepatu, tidak termasuk tenaga kerja untuk penjahitan. Dalam hal kualitas, produk sepatu pengaman Honeywell tidak perlu diragukan lagi, karena produk ini sudah mendapatkan sertifikasi standar internasional.
28
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
“Tidak hanya memenuhi standar internasional saja, namun jenis sepatu ini juga dilindungi dengan asuransi keselamatan produk, sehingga kualitas bahan baku kulitnya mutlak bisa diandalkan. Itu sebabnya kami harus mengimpor kulit kerbau dan sapi dari India dan negara-negara di sekitarnya. Dalam pandangan kami, kerbau dan sapi dari Indonesia sebenarnya ada, tetapi kualitasnya belum memenuhi standard dan juga volumenya tidak sebanding dengan volume yang dibutuhkan.
Sedangkan di sisi lain, sepatu pengaman ini dibuat dari 100 persen kulit asli, yang dilakukan dengan proses injeksi, mengingat tebalnya kulit kerbau antara 2 sd 2,2 mm. Karena itu apabila kualitas kulitnya tidak seperti yang kami persyaratkan, akan pecah apabila dilakukan proses injeksi. Salah satu SNI yang diwajibkan untuk sepatu pengaman adalah SNI 0111 : 2009. Selain itu ada standard wajib lainnya yang diberlakukan di negaranya seperti Eropa dan Amerika.”
KING’S SAFETY SHOES
The International Standard Shoes From Batam & Tangerang Many people have been familiar with Honeywell brand, which is identical with a conglomerate, a multinational company engaged in various businesses sector such as engineering, aerospace, construction, chemical, energy and mining.
A
ccordingly, the safety shoes produced by Honeywell under PT King’s Safetywear with the brand ‘King’s are commonly used in various industries such as automotive, mining (including oil and gas), construction, agricultural, steel, components, and also shipping industry. The consumers of safety shoes has been increasingly widespread, used by bikers, chefs in restaurants and hotels, as well as in a special division within hospitals. Aan Rusdianto, a Junior Marketing Support of
PT King’s Safetywear interviewed in “Leather Shoes, & Fashion 2015” exhibition explained that King’s company actually owns its base in Singapore since 1965. But gradually the company has expanded its manufacturing facilities to some ASEAN countries such as Malaysia and the Philippines. In 1995/1996 the company also expanded its factory to Indonesia by establishing the factory in Kosambi, under the district area of Tangerang, Banten. In 2012, the company was acquired by Honeywell. “We also have a factory in Batam, precisely in Tanjung Uncang, Riau. The total production of shoes are about 100-200 thousand pairs per month, 80 percent of them are exported and the remaining 20 percent are for local market. Since the export activity is under the control of the division in Singapore and other ASEAN countries, the specific countries for export destination can not be mentioned. In Jakarta, Honeywell also has the representative office, and product sales is carried out by the distributor, “he explained. Through the production process carried out in several countries in Southeast Asia, the company can take advantage of exemption from import duty as the implementation of trade cooperation between Asean Countries under the umbrella of ASEAN Free Trade Agreement (AFTA). Moreover, this business sector has absorbed significant number of labor force. From the factory located in Batam and Tangerang the number of labor force dealing with the upper part of shoes are estimated about 1,000 workers, excluding the labor force for sewing. In terms of quality, the Honeywell products are no doubt, since the products have obtained the
international standard certification. “Not only meeting the international standards, the products have also been protected by product safety insurance, so the quality of the product is absolutely reliable. For this reason we have to import the leather raw material of buffalo and cowhide from India and the surrounding countries. In our opinion, we can obtain the leather material form buffalos and cowhides from local market, but the quality of the leather is not considerably good, likewise the quantity supply is not enough to meet the demand,” he further explained. In other aspect, the safety shoes of Honeywell is 100% percent made of genuine leather. By considering the thickness of buffalo leather that is between 2 to 2.2 mm, injection technique is used in the production process. When the quality raw material leather does not meet the required quality, it tends to be cracked when entering the injection process. One of SNI required for the product of safety shoes is ISO 0111: 2009. In addition, there are other compulsary standards imposed by many countries in Europe and US that should be met.
informasi | information » PT King’s Safetywear
Super Block Mega Kemayoran Office Tower A lt. 5 Jl. Angkasa Kav B-6 Kota Baru, Jakarta 10610 Telp (+62 21) 2937 1288 F (+62 21) 6570 1574 www.honeywellsafety.com/asia
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
29
Made in Indonesia
Made in Indonesia
GEERES
GEERES
Kendati hanya bekerja dengan tiga orang pekerja, produsen alas kaki kulit “Geeres” tetap konsisten menggarap bisnis sepatu (alas kaki). Walaupun ada juga barang kulit lainnya seperti tas kulit ataupun dompet, tetapi sifatnya hanya pelengkap saja.
Although only employing three workers, Geeres, a producer of leather footwear, consistently keeps running the business of footwear products. Although there are other leather products such as handbags and wallets, but they are only assumed as the complementary products.
PRODUKSI ALAS KAKI BERBAHAN DASAR KULIT
D
ibanding mengganti tas, orang lebih sering mengganti sepatu sekaligus dijadikan sebagai koleksi. Pendi T selaku pemilik perusahaan yang berlokasi di daerah Periuk Jaya, Tangerang, Banten ini mengaku sebelum tahun 1998, ia masih memiliki sekitar 20 orang pekerja. Sekarang Pendi harus mengambil pekerja dari daerah Bogor (Jawa Barat), karena para pekerja yang tadinya bekerja di perusahaannya , lebih memilih bekerja di pabrik yang tersebar di daerah Tangerang, Banten. “Pada masa tahun 1990’an pesanan sepatu cukup banyak sehingga produknya bisa masuk ke sejumlah toko di daerah Tangerang dan sekitarnya. Saat ini kami memasok untuk kebutuhan kantor dinas tertentu dan juga pesanan khusus kelengkapan PDL (pakaian dinas lengkap), jelasnya didampingi Asep Suhandi sebagai penghubung untuk menerima pesanan. Setiap hari kami memproduksi antara 20 sd 25 pasang sepatu kulit berbagai variasi untuk pria dan wanita. Setiap bulan kami membuat sekitar 600 pasang sepatu berbagai ukuran pesanan konsumen. Biasanya untuk sekali pesan, jumlahnya antara 100 sampai 200 pasang. Mereka berasal dari berbagai kantor, mulai dari koperasi kecamatan, kantor kabupaten, toko, dan ada juga pegawai instansi pemerintah.” Dalam proses produksi, kami sangat mengandalkan pasokan bahan baku kulit sapi dan sebagian menggunakan bahan kulit suede (bahan baku kulit sapi yang diambil bagian tengahnya dengan tekstur sedikit kasar atau berbulu). Ada juga jenis kulit buk yang mirip dengan suede, tidak terlihat seperti kulit, tetapi memiliki tekstur lebih kasar. Proses finishing penyamakannya yang membedakannya dari jenis kulit yang dihasilkan. Sepatu yang menggunakan bahan buk, biasanya memiliki tekstur lebih lembut dan lebih tebal dibanding bahan suede. Dengan berbagai variasi warna, kulit berbahan buk digunakan pada jenis sepatu kasual serta jenis sepatu boot. “Bahan baku kulit tersebut, kami peroleh dari daerah Cimone dan juga Cengkareng, langsung dari pemasoknya. “Setiap bulan kami membutuhkan pasokan kulit sekitar 2.400 sqf (square feet). Selain bahan baku kulit kami juga membutuhkan bahan sol yang sudah jadi, untuk mengisi bagian alas (bawah) sepatu atau alas kaki. Akan tetapi untuk bahan sol ini biasanya harus dibeli dalam volume besar. Sebagai usaha rumahan (home industry), kami tidak mampu untuk membeli bahan sol dalam volume besar yang dapat dibeli di Pasar Mangga Dua - Jakarta. Itu sebabnya
30
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
kami mengharapkan ada pemasok sol eceran di wilayah Banten, supaya kami tidak perlu membelinya ke Jakarta,” jelas Pendi. Dengan kisaran harga satuan produk antara Rp 250 ribu sd Rp 500 ribu per pasang sepatu produksi Geeres, kami memberikan jaminan (garansi) penggunaan alas kaki (sepatu) produksi kami selama enam bulan. Biasanya bagian yang sering rusak (aus) adalah bagian alas (sol) sementara bagian kulit masih kelihatan bagus.”
Walaupun kerap mengikuti sejumlah pameran seperti Gelar Sepatu Kulit & Fesyen, Inacraft, Trade Expo Indonesia (TEI), pameran Global Shoes di Dusseldorf dan beberapa tempat lainnya, sampai saat ini dia masih sulit memasarkan produk yang dihasilkan di luar pesanan. Dalam hal ini dukungan pemerintah daerah untuk pemasaran produk sangat diperlukan. Selain itu, dukungan juga diharapkan untuk pelatihan proses produksi dan manajemen.
Footwear Products Made of Leather
C
omparing to handbags, the people tend to more often repurchase the shoes which serve as a collection as well. Pendi T, the owner of the company located in Periuk Jaya, Tangerang, Banten argued that before 1998, he still employed about 20 workers. Now he must recruit the workers from Bogor (West Java), given the former workers preferred working in factories scattered in Tangerang, Banten. “In 1990s the order of shoes were quite a lot and sold in a number of shops in Tangerang and its
surrounding area. Currently we supply the shoes to the needs of certain offices and we also receive the special order to make the uniforms”, he explained accompanied by Asep Suhandi who is responsible in receiving the orders. In a day they produce and deliver about 20 to 25 pairs of shoes for various models for men and women, or more than 600 pairs in a month. Usually for an order, the number of products ordered ranges between 100 to 200 pairs. The buyers come from various parties, namely from sub-district cooperative, district offices, shops, and also the government employees.” In the production process, they heavily depend on the supply of cowhide leather raw materials and partly also use “suede” leather (cowhide leather in which the middle part of leather is discharged with a slightly rough texture or hairy). There is also “buk” leather material that is quite similar to suede, it does not look like leather, but having a more coarse texture. Each type of leather raw material needs different process of tanning. The shoes using buk material typically have the softer texture and thicker than the shoes using suede material. With different color combinations, the buk leather material is used to make casual shoes and also for boots. The leather raw materials are purchased from the suppliers in Cimone and Cengkareng. “Every month we need a supply of leather material about 2,400 square feet. In addition to leather material, we also require the supply of ready to use soles as the base (bottom) of shoes part. However the purchase of soles usually should be in large volumes. As a home industry, we are not able to purchase it in large volumes that can be easily found in the Market of Mangga Dua, Jakarta. For
this reason we expect to the existence of supplier of soles operating in Banten region, so that we do not need to buy them to Jakarta,” explained Pendi. “With the unit prices of Geeres products ranging from IDR 250 to IDR 500 thousand per pair, we also provide the warranty for six months of use. Usually the part of shoes oftenly damaged is the soles instead of the leather,” he further explained. Although he has often participated in a number of exhibitions such as Leather Shoes and Fashion, Inacraft, Indonesia Trade Expo (ITE), Global Shoes exhibition in Dusseldorf and other events, he still faces the difficulty to market the products instead of the received order. In this case, support from the local government in marketing the products is needed. In addition, the support is also expected in the form of providing trainings in production and management.
informasi | information » Geeres Jaya
JL. Arya Kemuning, No.17 RT 04/03, Kp.Pengasinan, Periuk Jaya, Kota Tangerang Banten 15131 Telp. 021 - 5582779
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
31
Made in Indonesia
Made in Indonesia
ANAK MUDA MOJOKERTO TUMBUHKAN WIRAUSAHA BARU
Inspired The Growth of New Entrepreneurs
Tak mau kalah dengan anak muda daerah lain, sejumlah anak muda Mojokerto, Jawa Timur, mendirikan Koperasi Usaha Bersama (KUB) Jawa Dwipa. Mereka menganut dan melaksanakan tiga nilai dasar.
Following the success story of the young people of other regions, a number of young men of Mojokerto, East Java, have established the Business Group named Jawa Dwipa Cooperative. They hold and implement three principles.
P
ertama adalah pembentukan brand “Moker” kependekan dari Mojokerto Keren, produk yang dibuat ditujukan pada segmen kelas menengah ke atas. Kedua mengacu pada prinsip kearifan lokal di mana produk yang ditampilkan, memperlihatkan keagungan budaya daerah khususnya dari hasil pengembangan produk kerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA). Ketiga menganut asas eco green, yang intinya mengolah produk-produk ramah lingkungan, seperti karung goni yang dijadikan sepatu. Ditemui di sela-sela pameran Gelar Sepatu Kulit & Fesyen 2015, salah seorang inisiator (pemrakarsa) Moker, Ach. Sirojudin mengemukakan, Koperasi Jawa Dwipa didirikan di pertengahan tahun 2013 oleh tujuh orang. “Mereka adalah komunitas anak muda yang tidak saja kreatif tetapi juga kompeten. Mereka berprinsip bahwa Jawa Dwipa is not just footwear. “Prinsip ini kami anut mengingat waktu itu kami berpendapat bahwa sekitar 9 sampai 10 tahun lagi, tukang sepatu di daerah Mojokerto akan ‘habis’, karena anak-anak mereka lebih suka bekerja di pabrik, ketimbang menggeluti bidang usaha sepatu (alas kaki). Bagaimana Jawa Dwipa melawan prediksi tersebut, akhirnya kami masuk pada Komunitas Pejuang Alas Kaki. Di sini kami bekerjasama juga dengan Pemerintah Kota (Pemkot) setempat, untuk tetap mempertahankan eksistensi industri persepatuan,” Sirojudin menjelaskan. Menyadari tidak bisa jalan sendiri, kami menggandeng BPIPI (Badan Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia) Sidoarjo untuk memberi pelatihan. Sejumlah materi pelatihan seperti pelatihan desain, grading (penentuan besar kecilnya nomor ukuran sepatu) dan materi lainnya mencakup berbagai pengetahuan bahan alas kaki, termasuk cara atau teknik produksi alas kaki dengan keahlian buatan tangan manusia (handmade), “jelasnya. Jumlah pesanan bervariasi biasanya berkisar antara 200-400 pasang per minggu. Kebanyakan produksi dibuat bagi pemenuhan pesanan pelanggan, melalui media online, ataupun order yang didapat setelah mengikuti pameran. Selain itu mereka juga sering menjual sepatu di Pusat Perkulakan Sepatu – Trowulan. Dalam satu hari, untuk satu pengrajin biasanya mampu mengerjakan dua pasang pesanan dengan model dan ukuran tertentu.
32
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
The Young Men Of Mojokerto
Bahan Baku Kulit dan Trend Untuk memperoleh bahan baku, biasanya pembelian dilakukan dalam partai besar, apalagi kebutuhan yang dipenuhi adalah untuk seluruh anggota koperasi. Sementara itu Hardiansyah yang bidang usahanya menggarap sepatu pantofel di komunitas ‘Moker’ dalam kesempatan sama mengemukakan, selama ini memperoleh bahan baku kulit dari sejumlah daerah di Jawa Timur seperti toko kulit di Surabaya dan juga sejumlah industri rumahan di daerah Magetan. Kulit yang digunakan bermacammacam mulai dari kulit sapi dan juga reptil seperti ular, buaya, dan biawak. Salah satu sarana pemasaran yang digunakan oleh komunitas adalah mengikuti berbagai pameran dengan membuat desain booth yang cukup ‘mencolok’. Pameran merupakan sarana untuk memetakan segmen konsumen daerah yang dituju. “Seperti waktu kami berpartisipasi dalam pameran di Malang (Jatim), anak muda di sana menyukai busana yang kasual, sama dengan trend di Surabaya. Sedangkan anak muda di Ambon, untuk produk sepatu, mereka menyukai penggunaan sandal wedges (hak kayu) yang kayunya berasal dari pohon sengon. Kendala yang dihadapi sewaktu ikut serta berpameran di NTT, daya beli di sana cukup rendah, sehingga banyak produk mereka tidak laku dijual. Menyinggung kerjasama dengan JICA, lembaga internasional Jepang tersebut memberikan pendampingan pada anggota Koperasi Jawa
Dwipa yang anggotanya perusahaan skala UMKM. Sedangkan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan pemprov Jawa Timur melatih para Pemuda Sarjana Penggerak Pembangunan di Pedesaan (PSP3). Di situ dicari bibit-bibit baru wirausaha secara terbuka, selanjutnya diberi pelatihan di daerah sentra pertanian seperti Desa Kebontunggul, Gondang, dan Kecamatan Dawar Blandong. papar Sirojudin. “Mereka yang biasanya menjadi pemuda karang taruna, dilatih agar menjadi pengusaha sepatu (alas kaki). Disamping itu Pemprov Jawa Timur juga memberi bantuan berupa mesin jahit, dan juga mesin press, ”Targetnya dari satu daerah diharapkan lahir sekitar tiga pengusaha pemula,” papar Hardiansyah, mengakhiri perbincangan.
T
he first is the establishment of the brand “Moker” which stands for Mojokerto Keren, meaning the products they make are targetted for the segment of middle to upper class of the society. Second, they actualize the local wisdom principle in which the products marketed should show the supremacy of regional culture, in particular for the results of product development in cooperation with Japan International Cooperation Agency (JICA). Third, they adhere to the principle of eco green, by producing the environmentally friendly products, such as the burlap sack processed to be shoes. Interviewed at the “Leather Shoes & Fashion 2015” exhibition few time ago, one of the initiators of Moker, Ach. Sirojudin explained that Jawa Dwipa Cooperative was established in the mid of 2013 by seven people. “They are considered as a community of young people who are competent as well as creative. They hold the principle that Jawa Dwipa is not just footwear. “We hold this principle because at that time we argued that within the next 9 to 10 years, the shoemakers in Mojokerto region would be extinct, since their children prefer to be the labor in factories rather than running the business of shoes (footwear). How Java Dwipa responded that prediction, we finally entered in the Community of Footwear Warriors. In this community we have established the collaboration with the Local City Government to foster the existence and the development of footwear industry,” Sirojudin explained. “By realizing we can not work alone, we ask BPIPI (Indonesian Footwear Industry Development Agency) of Sidoarjo to provide trainings. A number of training activities have been conducted such as design, grading (determining the shoe size) and others covering a wide range of footwear raw material knowledge, including the production process of footwear by using hand-made terchnique,” he explained. The number of orders vary, ranging from 200 up to 400 pairs per week. The majority of the products is
to fulfill the customer orders, through online media or order received directly from their participation in any exhibition. In addition, they also sell the shoes products in Central Grocery Shoes in Trowulan. In a day, for a craftman about two pairs of shoes with specific sizes and models can be completed. Leather Raw Materials and Trends To obtain the leather raw materials, the purchases are usually made in bulk in order to meet the needs of all cooperative members. Hardiansyah, one of the cooperative member producing pantofel shoes explained that to date the leather raw materials are supplied from a number of areas in East Java such as from leather shops in Surabaya and also from a number of home industries in Magetan region. The leather used varies such as cowhide leather and also reptiles leather of snakes, crocodiles and lizards. One of the marketing means used by the Cooperative is participating in various exhibitions by establishing “flashy” booth design. The exhibition is a means to map the targeted consumer segments. “When we participated in the exhibitions in Malang (East Java), the young people there favored the casual dress, as for the trend in Surabaya. While for the young people in Ambon, for shoes products, they prefer using wedges sandal (the soles from wood), in which the soles are made of sengon tree. The constraints faced when participating in
the exhibitions in NTT, the purchasing power of the consumers was quite low so that most of the products displayed were not sold. In terms of the cooperation with JICA, it has provided assistance to members of Jawa Dwipa Cooperatives that are mostly categorized as SMEs. While the Ministry of Youth and Sports (Kemenpora) and the East Java provincial government have supported in the form of trainings to the Young Bachelor for Rural Development Activator (PSP3). The new breed of entrepreneurs are selected openly, and then trainings are provided in the area of agricultural centers such as in Kebontunggul and Gondang Villages, as well as in Dawar Blandong, Sirojudin further explained. “They, the young people formerly as Karang Taruna members, are trained to become the new entrepreneurs in footwear industry. In addition, the Government of East Java Province has also provided the aid such as sewing machines, and press machine, “We set up the target to create at least three entrepreneurs for each region,” said Hardiansyah, ended the interviewed.
informasi | information » Moker Enter Leather Shoes
Ach. Sirojudin Jl. Raya Sirodinawan No. 82 Mojokerto Telp 081 2522 4798
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
33
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Focus on Supply of
Fokus Pengadaan
Leather Raw Materials
Bahan Baku Kulit
Despite focusing on the supply of leather raw materials, Jaka Sugiharta, the owner of Jasu Co. has also been in charge in designing and producing leather shoes products. But he admitted that the production process is carried out in another factory in Mojokerto, East Java, while the leather tanning activity is done in Sidoarjo, East Java.
Kendati fokus pada pengadaan bahan baku kulit, Jaka Sugiharta, pemilik Jasu Trade Co masih sempat mendesain dan menggarap produksi sepatu kulit. Tetapi ia mengaku produksinya dilakukan di pabrik lain di daerah Mojokerto, sedangkan usaha penyamakan kulit dilakukan di Sidoarjo, Jawa Timur.
“S
elama ini saya lebih fokus dalam bisnis tannery (pengulitan). Berbekal pelatihan dari Akademi Teknologi Kulit (ATK) Yogyakarta, saya menyuplai bahan baku kulit ke sejumlah pabrik sepatu. Yang sulit itu adalah pengadaan sole (bagian bawah) sepatu. Sedangkan untuk desain dan produksinya dilakukan di pabrik lain,” paparnya saat ditemui di pameran Gelar Sepatu Kulit dan Fesyen 2015 beberapa waktu yang lalu. Salah satu pelanggan Jasu adalah pabrik sepatu Ecco, di mana setiap pengambilan perusahaan tersebut membutuhkan antara 5-10 ribu sqf (square feet). “Karena sulitnya mendapatkan bahan baku, akhirnya mereka mengambil rata-rata 1.000 sqf setiap bulannya, dan sisanya mereka ambil dari daerah Magetan, Jawa Timur,” lanjut Jaka. Salah satu bahan baku kulit yang diproduksi Jaka berasal dari kulit ular piton. Harga kulit ular piton tersebut sekitar Rp 1-1,5 juta untuk jenis ular mentah (belum disamak). Untuk memproduksi satu pasang sepatu laki-laki dibutuhkan kulit dari dua ekor ular piton, sedangkan untuk sepatu wanita dibutuhkan sekitar 1,5 ekor. “Kalau sudah disamak atau sudah jadi, harganya turun menjadi sekitar Rp 500-600 ribu per ekor, lebih mahal dari harga sebelum disamak yang mencapai Rp 1,5 juta per ekor. Sedangkan kulit biawak, harganya sekitar Rp 1 juta per ekor”, ujar Jaka. Jika dihitung panjang kulitnya, ditaksir ratarata ular piton sekitar 75 cm, kendati ada juga yang panjangnya sekitar 1,5 m. Daerah yang banyak
34
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
terdapat ular piton adalah di pesisir Yogyakarta bagian selatan dan daerah pesisir di Malang, Jawa Timur. Sementara kalau kulit sapi, biasanya diproses sendiri dari kulit yang masih mentah, lalu disamak di pabrik. Ada juga kulit biawak yang didatangkan dari luar Sidoarjo, yakni dari Kediri, Tulungagung, dan Yogyakarta. Bagi pengusaha kulit, jenis kulit yang paling bagus kualitasnya adalah kulit buaya. Urutan berikutnya adalah kulit ular, sapi, dan biawak. Melihat permukaan kulitnya yang cukup besar, biasanya kulit buaya dicampur dengan kulit sapi, sehingga bisa diolah menjadi produk sepatu dan produk lainnya. Jaka mengakui tidak mudah memperoleh pasokan kulit reptil dimaksud, karena kulit yang kualitasnya prima biasanya langsung diambil oleh pabrik-pabrik besar sepatu dan alas kaki berbahan dasar kulit. Apalagi bahan baku industri berupa kulit tersebut kebanyakan ditujukan untuk ekspor. Itu sebabnya, produsen sepatu dan alas kaki di dalam negeri hanya memperoleh kulit yang gradenya lebih rendah. Diperkirakan, sisa bahan baku untuk memenuhi kebutuhan lokal tersebut hanya tinggal 20 persen saja. Untuk menambah modal usaha, selama periode tahun 2003-2004, perusahaan pernah memperoleh kredit dari Bank Perkreditan Daerah (BPD) Jawa Timur senilai Rp50 juta. Namun saat ini belum memperoleh kredit lagi, karena makin ketatnya persyaratan kredit yang harus dipenuhi. Jaka menambahkan, lesunya daya beli masyarakat sangat berpengaruh terhadap permintaan produk berbasis kulit. “Dibandingkan tahun lalu, tahun 2015 ini penjualan mengalami penurunan sampai 30 persen. Naiknya harga bahan baku
sampai 30 persen, ternyata berpengaruh juga terhadap pembelian produk,” lanjutnya. Sistem pemasaran yang ditempuh selama ini juga hanya berdasarkan pesanan. Maka untuk memperluas pasar, perusahaan juga kerap mengikuti pameran yang diadakan pemerintah, baik di Jakarta maupun Surabaya. Ada juga ruang display yang menampilkan produk sepatu (alas kaki) yang dijual, serta contoh kulit sebagai bahan bakunya.
“S
o far I have been more focusing in tannery business. With my training experience from the Academy of Leather Technology (ATK) Yogyakarta, I have supllied leather raw materials to a number of shoes producers. The most difficult problem is the supply of sole of shoes. Whereas for the design and production activity is carried out in other factories, “he said when met at the exhibition of Leather Shoes and Fashion 2015 some time ago. One of Jasu’s customers is Ecco shoes company, where in every delivery order it needs about 5-10
thousand square feet. “Due to the difficulty in obtaining the raw materials, eventually it takes an average of 1,000 square feet per month, and the remaining is fulfilled from the region of Magetan, East Java,” Jaka added. One of the leather raw materials produced by Jaka is derived from the leather of python. The price of python leather is about Rp 1-1.5 million for raw leather (not tanned). To produce one pair of men’s shoes from the python leather, it needs two pythons, whereas for women’s shoes it takes about 1.5 python. “For the tanned leather, the price will increase for about Rp 500-600 thousand per head, more expensive than the price before tanned that reachs Rp. 1.5 million per python. Meanwhile, the leather of biawak, the price is about Rp. 1 million each, “Jaka explained. In terms of the length of leather, the length of python leather is estimated about 75 cm, although there are also many leathers with the length of about 1.5 m. The regions with lots of python can be found in the southern coast of Yogyakarta and coastal areas of Malang, East Java. Meanwhile, for the leather of cow, it is usually processed by itself from the raw leather and then tanned in the factory. There is also biawak leather purchased from outside Sidoarjo, such as from Kediri, Tulungagung, and Yogyakarta. For the leather business players, the type of leather considered to be the best quality is crocodile leather. The next orders are the leather of snake, cow, and biawak respectively. Usually the leather of crocodile and cow are combined to produce shoes and other products. Jaka admitted that it is not easy to obtain the supplies of reptile leathers, because the prime quality of leather will be directly purchased by the big producers of shoes and footwear made of leather. Much less, those leather raw materials are mostly intended for export destination. That is why, the domestic producers of shoes and footwear have only received the leather with lower grade. It is estimated that the remaining raw materials to meet the domestic needs is only about
20 percent. To increase business capital, during the period of 2003-2004, the company ever obtained a credit from Regional Credit Banks (BPD) East Java, as much Rp 50 million. But until now, the company has not received the credit anymore, due to the tighter credit requirements that must be met. Jaka added that the sluggish of purchasing power has had a significant impact for the demand of leather based products. “Compared to the preceding year, in 2015 the sales has decreased up to 30 percent. The price increase of raw materials up to 30 percent, and indeed it has also taken effect on the purchase of the product, “he continued. The marketing system adopted so far has been purely based on order. So, to expand the market, the company has often participated in the exhibition held by the government, both in Jakarta and Surabaya. There is also a display room showing the product of shoes and footwear that are sold, as well as the sample of leather used as raw material.
informasi | information » Jasu Trade Co. Leather
Ktr; Taman Pinang Asri N1/9 Sidoarjo – Jawa Timur Telp (62 31) 805 2185 Email :
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
35
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Manfaatkan
Pasar Ekspor Pasar ekspor di mancanegara yang sangat besar sering menjadi daya tarik bagi para pelaku industri untuk penjualan hasil produksinya. Tentu saja pemanfaatan pasar ekspor ini harus didasari pengetahuan dan pemahaman perilaku pasar yang memadai. Jika tidak, maka seorang pengusaha bisa mengalami kerugian yang besar karena kalkulasi bisnisnya tidak tepat.
B
anyak sekali potensi keuntungan yang dapat diraih dari pasar ekspor. Tidak hanya volume pasarnya yang besar, tetapi juga harga jual yang umumya lebih tinggi dibandingkan harga di dalam negeri. Selain itu, kegiatan ekspor juga dapat meningkatkan perolehan devisa yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat cadangan devisa negara, khususnya dengan kondisi nilai tukar rupiah yang sedang merosot terhadap dollar AS dewasa ini. Peluang meraih keuntungan yang sangat menggiurkan dari kegiatan ekspor itu telah membuat PT Bagunda Wear Banyuwangi, sebuah perusahaan yang bergerak di industri barang jadi kulit untuk lebih banyak melakukan ekspor ketimbang penjualan di pasar domestik. PT Bagunda Wear Banyuwangi memproduksi berbagai produk consumer goods berbasis kulit
36
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
seperti jaket, rompi, dress, tas, dompet, dan lain-lain. Perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1998 ini telah menanamkan investasi sebesar USD750.000 untuk membangun pabrik produk consumer goods berbasis kulit di Banyuwangi, Jawa Timur. Roger Khaw, pemilik perusahaan tersebut mengatakan, dalam kegiatan operasionalnya perusahaan menggunakan kulit domba dan kambing samakan produksi lokal khususnya dari Jawa, dan hanya sebagian kecil saja yang menggunakan kulit impor dari Australia. Menurut Roger, dirinya tertarik untuk memasuki bisnis produk kulit karena sejak kecil memang menyukai produk berbasis bahan kulit. Selain itu, prospek produk jadi kulit di pasar mancanegara juga sangat menjanjikan. Karena itu, sejak pertama kali berdiri pada tahun 1998, Roger sudah mengarahkan
perusahaan untuk membidik pasar ekspor. Kini perusahaan rata-rata mampu melakukan ekspor senilai Rp50 miliar per tahun dengan tujuan utama ke Amerika Serikat sekitar 80%, sedangkan sisanya sebesar 20% dilakukan ke Jepang, Australia, dan negara lainnya. “Setiap minggu kami selalu melakukan pengiriman untuk ekspor ke berbagai negara melalui pelabuhan di Bali dan Surabaya atau melalui jasa pengiriman kurir,” kata Roger. Perusahaan kini hanya menjual produknya di pasar domestik pada saat penyelenggaraan eveneven tertentu, seperti pameran Inacraft, SKF, Trade Expo, Indonesia Fashion Week, dan Pekan Raya Jakarta. Produk jadi kulit buatan Bagunda Wear di pasar domestik dijual dengan harga mulai dari Rp500 ribu hingga Rp4 juta per unit. Menurut Roger, untuk memenuhi selera konsumen di pasar mancanegara, setiap empat bulan sekali perusahaan mengeluarkan 50 model baru dengan desain dan motif yang sesuai dengan tren permintaan dan selera yang sedang populer di pasar. Dengan cara itu, perusahaan dapat terus menjaga eksistensi produknya di pasar mancanegara, karena banyak konsumen yang menyukai produk-produk Bagunda Wear. Dengan semakin meningkatnya penerimaan pasar baik domestik maupun mancanegara terhadap produk jadi kulit Bagunda Wear, Roger mengatakan perusahaan pun terus tumbuh dan berkembang. Dan dengan semakin berkembangnya perusahaan, jumlah karyawan juga terus bertambah dari hanya 15 orang ketika perusahaan baru berdiri, menjadi 150 orang pada saat ini.
Taking advantage of Export Markets The very large of export market has appealed the industry players to export their products. Of course, in order to exploit the opportunity offered by export market needs knowledges and understandings of its behavior properly. If not, an exporter may experience a large loss due to improper business calculation.
T
here are so many potential benefits can be gained from the export activity. In addition to the large market volume, it generally offers the higher selling prices than that in domestic prices. Moreover, export activity can also increase the foreign exchange earnings needed to strengthen the country’s foreign exchange reserves, in particular in the current condition of IDR exchange rate experiencing a significant depreciation against the US dollar. The opportunity to earn high profits from export activities has led PT Bagunda Wear Banyuwangi, a company engaged in leather-based finished products to boost more exports than the sales in domestic market. PT Bagunda Wear Banyuwangi produces a variety of consumer goods from leather raw materials such as jackets, vests, dresses, handbags, wallets, and others. The companies established in 1998 has invested for USD 750.000 to build a factory for producing leather-based consumer goods in Banyuwangi, East Java. Roger Khaw, the owner of the company explained that in production process, the company uses tanned-leather of sheep and goats obtained
mainly from Java, and only a small portion that is imported from Australia. According to Roger, the reason of interested in the business of leather products because since childhood he has favored leather-based products. In addition, the prospect of leather-based products in international market has been very promising. Therefore, since the establishment of the company in 1998, he has targeted the company to exploit the export markets. So far the company has been able to export about IDR 50 billion per year, with the main export destination is to the United States for about 80%, while the remaining 20% is exported to Japan, Australia, and other countries. “Every week we regularly make shipment to various countries through the port of Bali and Surabaya or through courier delivery services,” explained Roger. The company sells its products in domestic market only during certain exhibition events, such as Inacraft, SKF, Trade Expo, Indonesia Fashion Week, and Jakarta Fair. The leather products of Bagunda Wear in domestic market are sold at the prices ranging from IDR 500 thousand to IDR 4.0
million per unit. According to Roger, to meet the tastes of overseas customers, every four months the company releases its 50 new models with designs and motifs according to the newest trends and tastes of the market demand. Thereby, the company can continue to survive and maintain its product existence in global markets since there have been lots of loyal customers. With the increasing market acceptance of the products both in domestic and foreign markets, Roger said with confident that his company has continued to grow and thrive. Following the development of the company, the number of employees has also increased from only 15 people when the new company was established to 150 people today.
informasi | information » PT Baguda Wear Banyuwangi
Jl. Gambor 76, DSN Bangunrejo, RT05 RWII Desa Alasmalang Singojuruh, Banyuwangi 68464 Telp. 0333 – 630 310 Fax . 0333 – 630 093
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
37
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Tonjolkan Keindahan
Produk Kulit Ular
Showing the beauty of
the Snake Leather Products
Berbagai jenis kulit hewan mulai dari sapi, domba, kambing, reptile, hingga ikan sudah terbukti dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri consumer goods seperti jaket, tas, sepatu, sabuk, dompet, dan lain-lain.
B
erbagai produk kulit tersebut memiliki keunikan dan keunggulan masing-masing terkait dengan karakteristik tekstur, sifat fisik, daya tahan, kekuatan, maupun estetikanya. Hingga saat ini, kulit sapi dan kambing/ domba merupakan kulit hewan yang paling banyak dipakai oleh industri olahan kulit. Hal ini karena ketersediaannya yang cukup banyak di pasar, mengingat sapi dan kambing/domba merupakan hewan ternak yang paling banyak dibudidayakan di seluruh dunia dibandingkan hewan ternak lainnya. Namun demikian, dilihat dari sudut pandang konsumen, produk kulit dari sapi, domba dan kambing dianggap sudah umum. Sementara produk kulit dari hewan reptil dan ikan mengundang minat pembeli yang cukup tinggi, karena selain jumlahnya masih terbatas juga masyarakat menganggap produk tersebut sangat unik dan khas. Pertimbangan itulah yang mendorong Yanny Indradjaja dengan perusahaannya PT Benua Kemengan Selaras sejak tujuh tahun yang silam mencoba mengembangkan industri kerajinan dari berbagai jenis kulit ular. Yanny mengatakan, kulit ular memiliki ciri khas yang sangat unik menyangkut tekstur, penampakan, corak, maupun estetika kulitnya yang tidak dimiliki oleh jenis kulit hewan lainnya. Selain itu, masih terbatasnya pasokan kulit ular semakin membuat produk jadi dari kulit ular memiliki nilai jual yang cukup tinggi. Meskipun demikian, Yanny mengaku selama ini tidak mengalami kesulitan memperoleh bahan baku karena perusahaannya sudah memiliki pemasok kulit ular yang secara rutin menyediakan untuk bahan baku industrinya. “Kami secara rutin memperoleh bahan baku kulit ular dari pemasok yang berdomisili di Karawang dan Bekasi,” ungkap Yanny. Bahan baku kulit ular yang umumnya berupa kulit ular sanca (phyton) tersebut digunakan Yanny untuk memproduksi produk tas, sepatu, sandal, dan dompet. Produk-produk tersebut semuanya dipasarkan di dalam negeri, khususnya di Jakarta, dan tidak dipasarkan untuk tujuan ekspor. Hal itu dilakukan karena bahan baku kulit ular yang diperoleh Yanny bukanlah bahan baku yang sudah bersertifikat CITES. Sebab, kulit ular tersebut merupakan hasil buruan para pemburu ular
38
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
yang berada di kedua wilayah tersebut. Untuk kegiatan ekspor produk tas, sepatu, atau produk dari kulit ular lainnya diperlukan sertifikat CITES yang pada intinya menyatakan bahwa produk kulit ular dimaksud tidak berasal dari hasil perburuan jenis reptil langka, melainkan dari hasil penangkaran. Namun demikian, Yanny mengakui sejumlah turis asing yang berkunjung ke standnya di sejumlah pameran maupun di outletnya yang terletak di STC Senayan pernah membeli produk tas kulit ular buatannya. Menurut Yanny, perusahaannya belum bisa memproduksi produk kerajinan kulit ular dalam jumlah banyak mengingat keterbatasan modal, pasokan bahan baku, dan jumlah karyawan. Ratarata perusahaan memproduksi tas kulit ular sebanyak 40-50 unit per bulan, dan sekaligus mengeluarkan desain baru untuk produk-produknya. Yanny mematok harga jual untuk setiap produk kerajinan kulit ularnya pada kisaran harga antara Rp200 ribu sampai Rp3,5 juta per unit.
Various types of animal leathers ranging from cowhide, sheep, goats, reptiles, until fish has proven to be used as the raw materials for consumer goods such as jackets, bags, shoes, belts, wallets, and others.
E
ach type of leather product posseses its own unique and superioruty associated with the characteristics of texture, physical properties, durability, strength, and aesthetics. So far, the leather of cowhide, goats and sheep are the most widely used by the leather processing industry. It is due to the widely available of supply in the market, considering
the cowhide, goats and sheep are the major animals raised by the farmers. However, from consumer point of views, the leather products from cowhide, sheep and goats have been commonly used. While the leather products derived from reptiles and fish have received more attention for buyers, because in addition to limited number of supply, public also consider that the snake leather products are very unique and distinctive. This arguments has encouraged Yanny Indradjaja with his company PT Benua Kemengan Selaras since seven years ago to try developing the craft industry from various types of snake leathers. He argued that the leather of snakes has a very unique characteristic in terms of texture, appearance, style, and its aesthetic that are not possessed by other types of animal leathers. Moreover, the limited supply of snake leather materials have led to the high selling price of finished snake leather products. Nonetheless, so far he admitted that there has been no difficulty in obtaining the raw materials since he has already had permanent suppliers of snake leather raw materials. “We routinely obtain snake leather raw materials from suppliers who domicile in Karawang and Bekasi,” explained Yanny. The leather raw materials generally derived from python snake is used by Yanny to produce bags, shoes, slippers, and purses. These products are totally marketed in the country, especially in Jakarta, and none is exported. This is due to the fact that the leather raw materials used by Yanny is not the raw material certified by CITES. Because, the snake
leather used is obtained form the snake hunters in both regions. In terms of export, the products of handbags, shoes, and other products made of snake leather require CITES certificates which basically claims that the snake leather products should not be obtained from the hunting of the rare reptiles, but from the captive breeding. Nevertheless, Yanny admitted that a number of foreign tourists visiting his outlet or his booth in a number of exhibitions held in STC Senayan ever bought his handbag products made of snake leather. According to Yanny, the company has not been able to produce snake leather products in large quantities given the capital limitation, supply of raw materials, and limited number of employees. In a month the company only produces snake leather bags about 40-50 units, while introducing the new design of his products. Yanny set the selling price for the snake leather products ranging from IDR 200 thousand to IDR 3.5 million per unit.
informasi | information » PT Benua Kemenangan Selaras
Jl. Mangga Dua Raya Komplek Harco, Mangga Dua Blok A / 24 Jakarta Telp. 021 – 6120453 / 55933473 Fax. 021- 6120024 / 55933473
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
39
Made in Indonesia
Made in Indonesia
The Master of Safety Shoes Producer
Ahlinya Produk
Safety Shoes
The Footwear industry is considered as a labor-intensive industry that is very important for the national economy, since it is able to generate significant revenues from exports for the country and provides a large number of jobs for the community.
Industri alas kaki (footwear) merupakan salah satu industri padat karya yang sangat penting bagi perekonomian nasional, karena mampu menghasilkan devisa dari hasil ekspor yang cukup besar bagi negara dan menyediakan lapangan kerja yang cukup luas bagi masyarakat.
M
enurut data Kementerian Perindustrian, ekspor produk alas kaki pada tahun 2014 mencapai USD4,11 miliar atau 2,33% dari total ekspor nasional. Selain itu, industri ini juga mampu menyediakan lapangan kerja bagi 643.000 orang atau 4,21% dari total tenaga kerja yang terserap di industri manufaktur nasional. Namun demikian, pangsa pasar produk alas kaki Indonesia di pasar dunia tahun lalu masih relatif kecil, yaitu sebesar 2,85%. Indonesia menempati posisi enam besar sebagai eksportir alas kaki setelah China, Italia, Vietnam, Jerman, dan Belgia. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa industri alas kaki nasional masih memiliki peluang yang cukup besar untuk semakin memperbesar pangsa ekspornya di pasar global. Peluang itulah yang kini dibidik PT Seho Makmur Industri. Perusahaan yang pabriknya berlokasi di Jl. Raya Rancaekek Km 24,5 Sumedang, Jawa Barat itu sejak awal berdiri pada tahun 2004 sudah menggeluti industri sepatu keselamatan kerja atau safety shoes. Meskipun begitu, perusahaan juga tetap memproduksi sepatu non-safety seperti sepatu boot dengan spesifikasi tertentu. Untuk kegiatan produksi safety shoes, PT Seho Makmur Industri telah memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI), sertifikasi manajemen mutu ISO 9001-2008, serta sejumlah sertifikasi standar produk berskala internasional seperti EN 20345. Dengan berbagai standar mutu produk yang berlaku secara internasional tersebut, perusahaan berhasil memasarkan produknya ke berbagai
40
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
negara termasuk berbagai negara maju yang dikenal sangat ketat dalam pengawasan mutu. Kegiatan ekspor pun sudah dilakukan secara rutin ke Prancis, Inggris, Singapura, dan Australia. Menurut bagian marketing PT Seho Makmur Industri, Wahyudi, setiap bulannya perusahaan secara rutin melakukan ekspor berbagai jenis sepatu atas pesanan dari sejumlah pembeli di luar negeri. Namun Wahyudi mengaku tidak tahu persis volume pengiriman setiap bulannya. Menurut Wahyudi, PT Seho Makmur Industri memiliki pabrik sepatu seluas 2.600 meter persegi dan mempekerjakan 260 orang karyawan. Dengan dukungan karyawan sebanyak itu perusahaan mampu memproduksi sepatu sebanyak 360.000 pasang per tahun. Khusus untuk safety shoes yang tidak dijual di pasaran umum, PT Seho Makmur Industri hanya memproduksinya berdasarkan pesanan yang diperoleh dari kalangan pelanggan. Para pelanggan PT Seho makmur
Industri umumnya juga merupakan perusahaan yang bergerak dalam industri manufaktur, pertambangan, kehutanan, dan lain-lain. Selama ini, PT Seho Makmur Industri memproduksi dan memasarkan produk sepatunya dengan menggunakan dua merek produk, yaitu Brix dan Team. Kedua merek produk sepatu tersebut sebanyak 70%-nya dipasarkan di pasar dalam negeri dan sisanya 30% diekspor ke mancanegara.
A
ccording to the data from the Ministry of Industry, the exports of footwear products in 2014 reached USD 4,11 billion or 2.33% of the total national exports. In addition, the industry has also absorbed jobs for about 643,000 people or 4.21% of the total workforce of the national manufacturing sector. However, market share of the Indonesian footwear industry in the world market last year was still relatively small, amounting to only 2.85%. It ranked as the six major footwear exporters after China, Italy, Vietnam, Germany, and Belgium. It also shows that this industry sector still has a considerable opportunity to further increase its export share in global market. That opportunity is now to be the target of PT Seho Makmur Industri. The companies locating at Jl. Raya Rancaekek, Km 24.5 Sumedang, West Java, since its establishment in 2004 has focused on producing safety shoes products. Notwithstanding, the company has also produced other products such as boots with certain specifications.
For the production of safety shoes, PT Seho Makmur Industri has got many certification standards such as Indonesian National Standard (SNI), certification of quality management ISO 9001-2008, and a number of international standard of product certifications such as EN 20345. By receiving many international recoqnition of product quality standards, the company has successfully marketed its products to various countries including many developed countries consedered to be very strict in quality control. The export activity has also been carried done regularly to France, the UK, Singapore, and Australia. According to Wahyudi, the marketing division of PT Seho Makmur Industri, every month the company has regularly exported various footwear products to a number of overseas buyers. However he did not mention the exact number of products to be exported. According to him, PT Seho Makmur Industri occupies the workshop covering an area of 2,600 square meters and employs 260 workers. With those
number of workers, the company has been able to produce about 360,000 pairs of shoes per year. Spesifically for safety shoes that are not sold in the market, the company only produces the product based on customer orders. The customers are generally those engaged in manufacturing, mining, and forestry industries. So far, the company has manufactured and marketed the products by using two brands, namely Brix and Team. From those two brands, about 70% of the products is marketed in the domestic market and the remaining 30% is exported to many foreign countries.
informasi | information » PT Seho Makmur Industri
JL. Arjuna Selatan, Blok A - 18, Ruko Kebun Jeruk Baru, Jakarta, 11510 Telp. 021 – 5349737 Web. www.sehomakmur.co.id
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
41
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Bikers Leathers Shop:
Berawal Dari
Pernak-Pernik Bikers Industri kerajinan kulit di Kabupaten Garut, Jawa Barat sudah tumbuh dan berkembang sejak lama dan telah menjadi salah satu sentra industri kerajinan kulit yang cukup mapan di tanah air. Bahkan dapat dikatakan cukup lengkap karena di kota tersebut terdapat industri perkulitan mulai dari hulu sampai hilir, yaitu industri penyamakan kulit sampai industri barang jadi kulit yang beraneka ragam.
B
ahkan jika dirunut lebih ke hulu lagi, di Garut sudah sejak lama berkembang usaha peternakan domba sehingga dikenal luas dengan sebutan Domba Garut. Usaha peternakan domba yang dilakukan rakyat ini tentu saja menjadi salah satu alternatif sumber bahan baku untuk industri pengolahan kulit selain kulit sapi dan kambing. Kondisi tersebut menjadi modal dasar yang sangat berharga bagi Dedie Supriyadi yang sejak tahun 1992 mencoba menggeluti industri kerajinan kulit di tanah kelahirannya, Garut, dengan mendirikan Bikers Leather Shop. Dedie mengawali industri kerajinan kulitnya dengan mengkhususkan diri dalam memproduksi pernak-pernik pakaian para pengendara sepeda motor seperti jaket, sarung tangan, sepatu, tas ransel, rompi, dompet, sabuk, topi dan lain-lain. Karena itu pula, Dedie memberi nama usahanya sesuai dengan visi dan misi bisnisnya, yaitu Bikers Leather Shop. Namun dalam perkembangannya, Dedie banyak juga menerima pesanan dan permintaan untuk memproduksi produk kulit lainnya di luar keperluan pernak-pernik pengendara sepeda motor. Karena itu, Dedie pun akhirnya memperluas usaha industri kerajinan kulitnya dengan memproduksi produk-produk kasual dan melayani semua jenis pesanan dari para pelanggan sesuai dengan permintaan pasar yang ada. Kini dengan dibantu 20 orang karyawan, Dedie setiap bulannya mampu memproduksi sekitar 500 unit produk dari berbagai jenis barang jadi kulit, khususnya jaket, tas, rompi, sepatu dan lain-lain. Berbagai produk tersebut dijual dengan harga yang sangat bervariasi. Misalnya untuk produk berupa jaket kulit dijual dengan kisaran harga mulai dari Rp900 ribu sampai Rp2,8 juta per unit, tas ransel kulit dijual dengan harga ratarata Rp900.000 per unit, sedangkan ikat pinggang kulit dijual dengan harga Rp 250 ribu per unit. Selain dipasarkan di dalam negeri, yaitu di Garut sendiri dan sejumlah reseller yang ada di Bogor, Bandung, Makassar dan Balikpapan,
42
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
Started From Bikers’ Accessories Leather-based crafts industry has been born and grown since long time in Garut Regency, West Java. Garut is one of established centers for leather goods industry in the country. The city even performs a complete line of leather manufacturing, from the upstream (tannery industry) to the downstream industry in form of various kinds of leather goods.
berbagai produk industri kerajinan kulit buatan Dedie juga sudah diekspor ke mancanegara seperti ke Malaysia dan Singapura. Bahkan, sebelumnya Dedie juga pernah mengekspor produk industri kerajinan kulitnya ke sejumlah negara Eropa. Dedie menyadari, untuk menjaga kualitas produk barang jadi kulit yang dihasilkannya perlu dilakukan pengontrolan kualitas secara kontinyu mulai dari bahan baku, selama proses pembuatan hingga pada sentuhan akhir (finishing touch). Karena itu, Dedie sengaja mendirikan industri penyamakan kulit sendiri agar kualitas produk sudah bisa dikontrol sejak awal proses produksi. Dalam menggeluti kegiatan produksi industri kerajinan kulitnya, Dedie menggunakan kulit domba, sapi, dan kambing. Kulit domba biasanya digunakan untuk pembuatan jaket kulit kasual (formal), sedangkan untuk jaket kulit biker (pengendara sepeda motor) digunakan kulit sapi atau kulit kambing.
T
he condition gives advantages for Dedie Supriyadi who started leather-based industry in 1992 with the name “Bikers Leather Shop” in his hometown, Garut. Dedie started the industry which specialized on accessories for bikers, such as jackets, gloves, shoes, back packs, vests, belts, hats, et cetera. He named his business “Bikers Leather Shop” according to its vision and mission. However, Dedie also got other kinds of products beside bikers’ accessories. Therefore, Dedie expanded the business by producing casual products and handled all orders according to market’s demand. Now, with 20 employees, the business is able to produce approximately 500 products of leather goods, particularly jackets, bags, vests, shoes, et cetera. Different kinds of products are sold in various prices. For example, leather jacket are sold start from Rp900,000 to Rp2.8 million, leather back packs are sold approximately for Rp900,000, and belts are sold each for Rp250,000. Beside sold in Garut or distributed to Bogor, Bandung, Makassar and Balikpapan by resellers,
several products from the shop have been exported to other countries, such as Malaysia and Singapore. Dedie even had exported his products to European countries. He realizes that to maintain the quality of his leather goods, continuous quality control is needed, from raw materials, production process to finishing touch. Therefore, intentionally Dedie has established a tannery company in order controlling the quality of his products since beginning. In his leather manufacturing activity, Dedie uses leather from sheep, cow and goat. Leather from sheep is best to be used for casual or formal jackets whilst biker jackets are better made from cow or goat leather.
informasi | information » Bikers Leather Shop
Jl. Jend. Ahmad Yani 325 Garut – Jawa Barat Telp. 0262 – 240202 Hp. 0812 2340 378
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
43
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri paling tua di tanah air seiring dengan penggunaan bahan kulit hewan oleh masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.
Spesialis Penyamakan Kulit Sapi
I
ndustri ini pun terus tumbuh dan berkembang kendati menghadapi berbagai hambatan dan tantangan. Tidak sedikit perusahaan penyamakan kulit yang kini mampu eksis baik di pasar domestik maupun ekspor karena kualitas produknya yang baik dan kompetitif. Beberapa perusahaan ada yang mampu bertahan di pasar selama berpuluh-puluh tahun karena mereka betul-betul fokus menggarap industri tersebut dengan spesialisasi pada mengembangkan produk kulit tertentu. Mereka terus mengasah keahlian dan daya saing dalam bidang industri tersebut secara
44
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
mendalam. Tidak mengherankan jika perusahaanperusahaan tersebut dapat terus berkembang dan memperkuat posisinya di pasar karena memiliki pengalaman yang cukup panjang. Salah satunya adalah PT Kasin Leather, sebuah perusahaan penyamakan kulit yang berlokasi di sebuah desa bernama Kasin di tengah kota Malang, Jawa Timur. Perusahaan yang sudah berdiri sejak tahun 1941 itu menspesialisasikan dirinya dalam bidang penyamakan kulit sapi. Perusahaan yang kini dikelola oleh generasi
kedua di bawah pimpinan Paul Zacharia sebagai Presiden Direktur mampu mempekerjakan 100 orang karyawan dengan produksi rata-rata 30 ton per bulan untuk kulit sapi samak nabati dan 100 ribu kaki persegi untuk kulit sapi upper setiap bulannya. “Sejak awal berdirinya perusahaan, kami tidak pernah menggeluti usaha penyamakan kulit domba, karena sejak awal kami sudah fokus di industri penyamakan kulit sapi,” tutur Paul. Sementara itu, harga jual kulit sapi samakan yang diproduksi melalui proses nabati umumnya lebih tinggi dengan kisaran harga sekitar Rp200 ribu per kg, sedangkan kulit upper di pasaran dijual dengan harga berkisar antara Rp40-50 ribu per kaki persegi. Walaupun hingga kini perusahaan tetap konsisten memasarkan produk kulit samakannya di pasar dalam negeri, namun sejumlah produk jadi kulit yang diproduksi perusahaan mitra berbahan baku kulit olahan Kasin Leather berhasil menembus pasar mancanegara. Selama ini, perusahaan memasok secara kontinyu produk samakan kulit ke toko-toko yang menyediakan kulit samakan di berbagai kota di tanah air serta ke pabrik barang dari kulit dan para pengrajin produk kulit di berbagai wilayah di Pulau Jawa dan Bali. Johanda Widodo, Marketing Manager PT Kasin Leather mengatakan, perusahaan selama ini hanya menggunakan kulit sapi mentah lokal khususnya dari Pulau Jawa untuk kegiatan industri penyamakan kulitnya. “Saat ini utilisasi pabrik kami hanya sekitar 30%, karena kelangkaan bahan mentah di dalam negeri. Sementara untuk melakukan impor kulit mentah dari luar negeri sulit dilakukan karena pemerintah hanya memperbolehkan impor dari negara yang sudah bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK),” tutur Johanda. Menurut Johanda, kulit sapi Jawa merupakan kulit sapi dengan kualitas terbaik di dunia. Kulit sapi Jawa lebih bagus tekstur dan karakteristiknya karena memiliki pori-pori yang jauh rapat ketimbang kulit sapi impor dari luar negeri. “Ini yang menjadi keunggulan kami,” pungkasnya.
Specialized in Cow Leather Tannery
Tannery industry is one of eldest industry in the country, along with the use of animal skins in many aspects in life.
T
he industry continues to bloom and grow despite there are several barriers and challenges. However, lots of tanneries are existed in either domestic or overseas market because of the quality and the competitiveness of the products. Some tanneries have established in the market for decades because they focus of on developing specific kinds of leather. They continuously improve and deepen the expertise in tannery and the industrial competitiveness. Necessarily, the tanneries are able to grow and strengthen their position in market as the result of the long standing experiences. One of them is PT. Kasin Lether, a tannery located in Kasin Village in the center of Malang, East Java. The tannery, which has been established since 1941, specializes in cow skin tannery. Kasin Leather, now managed by Paul Zacharia as the second generation of the owner, employs 100 workers with 30 ton of vegetable tannic cow leather and 100 square feet upper cow leather on the average per month. “Since the business was started, the company has never doing sheep skin because we have focused on cow skin tanning industry” Zacharia stated. Meanwhile, the selling price of tannic cow skin
produced with vegetable process usually higher than the price of upper leather, comparing Rp200,000 per kilogram for vegetable tannic leather to Rp40,00050,000 per square feet for upper leather. Besides the company consistently distribute the tannic products in domestic market, some leather goods produced by Kasin Leather’s stakeholders succeed penetrating global market. The company has continuously supplied tanned leather to distributor shops in several cities in Indonesia and also to leather manufacturing factories and leather goods craftsmen in several parts of Java and Bali. Johanda Widodo, the marketing manager of Kasim Leather, confirmed that the company only use raw local cow skin, especially from Java. “For now, our company only reached 30% of its utilization because of the scarcity of local raw materials. Meanwhile, importing raw skin is another difficult option since the government only permits in importing skin from countries which are food and mouth disease (FMD) free,” Johanda explained. According to Johanda, skin from Java cow has the best quality in the world. The skin is better in texture and has smaller pores compared to imported skin. “It is our advantage,” Johanda stated.
informasi | information » PT Kasin Leather Tannery
Jl. Peltu Sutojo, No. 25, Jawa Timur 65148 Telp. 0341- 322259 Web. www.kasinleather.com
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
45
Made in Indonesia
Made in Indonesia
Motif Tradisional, Model ‘Kekinian’
Traditional Motifs, Fashionable Design
Pada ajang Gelar Sepatu, Kulit, dan Fesyen 2015, pengunjung banyak yang memperhatikan salah satu produk sepatu di stand Asosiasi Pengrajin Alaskaki Indonesia (APAI).
T
ernyata mereka melihat sepatu buatan Rini Nurdiani Darwin, yang memadukan bahan kulit dengan kain tenun dan batik khas dari berbagai Nusantara. Sebagai pelaku usaha, Rini mengakui dituntut untuk terus berinovasi menciptakan produk yang berbeda di pasaran namun masih bisa diterima selera masyarakat luas. Akhirnya dia ciptakan desain sepatu yang trendi dan elegan tersebut. Tidak hanya itu, nama merek sepatunya juga cukup menarik, yaitu TORI yang memiliki arti Tetap Optimis Raih Impian. “Merek pada sebuah produk memang sangat penting, karena itu akan menjadi brand image karya kita. Makanya merek sepatu yang saya kasih, penuh dengan sarat makna yang motivatif sehingga diharapkan dapat mencapai kesuksesan,” kata perempuan kelahiran Bandung, 2 Juni 1956 itu. TORI merupakan anggota APAI dan Rini sebagai Ketua APAI Bidang Promosi dan Pameran. Hebatnya, desain sepatu TORI sering menyabet berbagai penghargaan pada ajang pameran nasional maupun internasional. Penghargaan tersebut diantaranya, pada tahun 2010-2011 berturut-turut menjuarai desain sepatu kulit di pameran Inacraft di Jakarta, tahun 2012 meraih penghargaan pada Gelar Sepatu, Kulit, dan Fesyen di Jakarta dengan produk sepatu boot yang dikombinasikan dengan kain lurik khas Jawa Tengah, serta penghargaan produk terbaik dari Majalah Femina. “Saya sering mengikuti sejumlah pameran yang digelar di setiap kota di Indonesia, bahkan di luar negeri. Karena dari pameran, selain mempromosikan produk, juga dapat menjalin mitra dengan pengrajin sepatu lainnya,” ungkap Rini seraya mengatakan hasil produksinya sempat menjuarai lomba di China dengan mendapatkan juara I untuk desain sepatu fraktal. Desain sepatu yang dibuat Rini secara tidak langsung mengangkat budaya lokal. Namun, ia sesuaikan juga dengan model terkini yang sedang berkembang di masyarakat agar terlihat lebih modern. “Indonesia kaya dengan budaya, saya memanfaatkan itu. Salah satunya yang sedang saya kembangkan adalah sepatu dengan bahan dasar unik, yaitu tenun Kalimantan bernama Ulapdayo dan tenun Yogyakarta yang dipadukan dengan bahan kulit,” paparnya. Sarjana ekonomi lulusan Universitas Indonesia ini menuturkan satu tahun belakangan usaha sepatunya mulai menggeliat lagi. Dia pun menggali kreativitas
46
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
dan potensi dengan menekankan pemakaian bahan baku dasar yang unik. Ia menyebutkan, harga sepasang sepatu TORI berkisar Rp200.000Rp950.000. “Jumlah karyawan saat ini sekitar 4-10 orang, disesuaikan dengan banyaknya orderan,” ungkapnya. Usaha yang dijalankan Rini sebetulnya tidak terlalu difokuskan untuk mencari keuntungan. Dia mengakui menjalankan bisnisnya sekedar menyalurkan hobi. Sehingga produksinya pun tidak terlalu banyak. Saat ini, dalam sebulan Rini memproduksi sebanyak 100 pasang sepatu wanita. Mantan karyawan PT Inti Bandung ini menceritakan, pernah membuat desain sepatu untuk pria, karena ada ajakan kerja sama oleh sebuah perusahaan sepatu yang cukup dikenal di Indonesia
In the Festifal of Shoes, Leather and Fashion 2015, the visitors paid much attention to one of the shoes products displayed in the booth of the Association of Indonesian Footwear Artisans (APAI).
sekitar tujuh tahun lalu, dengan order sampai 800 pasang. Bahkan, dia pernah mendapat order sepatu untuk seragam kantor dengan mencapai 1.500 pasang. “Saya pernah berhenti berproduksi, karena ketatnya persaingan harga, dan meningkatnya harga bahan baku kulit, dan kain, atau pendukung lainnya,” ujar mantan dosen di Universitas Pasundan Bandung ini. Oleh karena itu, ia mengharapkan kepada pemerintah untuk terus mempedulikan kebutuhan pengrajin sepatu terutama ketersediaan bahan baku. Lulusan Pascasarjana dari Universitas Udayana Semarang ini juga berharap agar para pelaku IKM bisa bersatu, bersaing secara positif dan mengadakan joint production dalam memenuhi permintaan pasar dalam kuantitas besar, serta melayani pasar ekspor.
E
vidently, they noticed the unique shoes made by Rini Nurdiani Darwin which combines the leather material with woven fabric and typical batik from various regions in the
country. As a business player, Rini acknowledged to be demanded to constantly innovating to create different products on the market and to be accepted by the public taste. Therefore, she creates the design of shoes that are trendy and elegant. She uses the unique and interesting brand, namely TORI which stands for “Tetap Optimis Raih Impian” (keeping optimistic to achieve the dream). “The Brand of a product really plays an important role since it will become the brand image of our products. That is why I choose the brand which is filled with meanings and motivating with
the expectation to achieve success, “explained the women born in Bandung on June 2, 1956 it. TORI itself is a member of APAI and she is in charge as a Head of Promotion and Exhibition. Remarkably, the shoe design of TORI has won numerous awards at national and international level. The awards, among others are: in 2010-2011 TORI successively won the leather shoe design in Inacraft exhibition in Jakarta, in 2012 it won an award at the Festifal of Shoes, Leather and Fashion in Jakarta with boots products by combining leather with striated fabric typical of Central Java, and also awarded the best product from Femina Magazine. “I have often participated in a number of exhibitions held in many cities in Indonesia, even abroad. By participating the exhibition, beside promoting the products, it can open the opportunity to establish partnership with other shoe businesses, “explained Rini while saying her products also won the competition in China for fractal shoe design. Rini shoe designs has indirectly promoted the local culture. However, she has also adjusted the products to the latest models favored by the public taste. “Indonesia is rich with culture, and I try to take advantage of it. One that I have been developing is shoe with unique raw materials derived from woven fabric of Kalimantan called Ulapdayo and woven fabric of Yogyakarta that are combined with leather, “ she further explained. She, a graduate of economics from the University of Indonesia explained that since last year her shoe business has started living again. She has exploited the creativity and potency by emphasizing the use of unique raw materials. She mentioned that the price of a pair of shoes of TORI ranges from Rp.200,000Rp.950,000. “The number of employees involved are about 4-10 people, depending on the number of orders,” she said. The business run by Rini is actually not to be focused on profits. She acknowledged that running her business is just a hobby so the production is quite limited. Currently, in a month she produces only about 100 pairs of women’s shoes. She, the former employee of PT Inti Bandung told that she once made shoe designs for men, since there was a cooperation with a domestic well known shoe company seven years ago, with the orders up to 800 pairs. Even, she ever received orders of uniform shoes for 1,500 pairs. “I ever stopped the production, due to the tight
price competition and the price increase of raw materials, fabric or other supporting materials,” said her, the former of lecturer at the University of Sundanese, Bandung. Therefore, she expects the government to pay attention the needs of shoes industry, especially the availability of raw materials. The owner of post-graduate degree from the University of Udayana Semarang also expects that SMEs are able to band together, to positively compete and establish a joint production to meet the market demand in a large quantity, and also to serve the export markets.
informasi | information » CV. Trampil Sejahtera
Jl. Karawitan 85 B Turangga, Bandung 40264 Telp. 022-731 3553 Hp. 0811 228 600
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
47
TEKNOLOGI
tEKNOLOGI
Uji Ketahanan Selip Untuk Kualitas Sepatu Lebih Baik
Apa yang menjadi pertimbangan kita dalam memilih sepatu yang tepat? Ternyata ada empat faktor yang menjadi ukuran kualitas sepasang sepatu, yaitu kenyamanan, desain, teknologi, serta yang terpenting: keselamatan.
S
alah satu parameter keselamatan sepatu adalah kualitas sol luar (outsole) sepatu yang bersentuhan langsung dengan tanah. Pengujian ketahanan selip merupakan teknologi untuk memastikan keamanan sol luar sepatu. Ketahanan selip sol luar sepatu mutlak diperlukan terutama pada sepatu pengaman (safety shoes) dan sepatu olahraga. Salah satu kecelakaan yang sering terjadi apabila ketahanan selip tidak memenuhi standar adalah tergelincir akibat minyak maupun
48
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
cairan kimia yang berbahaya. Di Indonesia, produk sepatu pengaman harus bertanda Standar Nasional Indonesia (SNI) mengingat pemerintah telah menetapkan bahwa SNI bagi sepatu pengaman bersifat wajib. Karenanya, sol luar untuk alas kaki seharusnya dilengkapi elemen tertentu untuk mencegah bahaya tergelincir dengan memperhatikan sifat atau keadaan permukaannya. Salah satu faktor penentu ketahanan selip sol luar sepatu adalah tingkat kekerasannya. Sol yang memiliki tingkat kekerasan rendah pada umumnya
baik untuk digunakan pada permukaan yang kering, tetapi bisa bermasalah apabila digunakan pada permukaan yang lebih ekstrim, seperti permukaan yang terdapat minyak atau bahan kimia. Pola tapak sol juga mempengaruhi faktor gesekan. Sol yang lembut dan mempunyai gesekan rendah akan sangat baik digunakan apabila memiliki pola tapak yang sesuai. Kekerasan sol sedang biasanya menawarkan kompromi terbaik antara gesekan kering dan gesekan basah. Gesekan pada permukaan yang basah cenderung beresiko lebih tinggi dibandingkan gesekan pada permukaan yang kering. Bahan yang digunakan untuk membuat sol luar juga menentukan ketahanan selip sepatu. Beberapa bahan terbaik untuk membuat sol luar adalah Polyurethane (PU), bahan polimer yang
digunakan untuk sol sepatu kulit bermutu tinggi serta Thermoplastic PU (TPU) yang memiliki koefisien gesekan yang baik pada permukaan basah maupun kering, tahan terhadap abrasi, ringan serta fleksibel. Pengujian ketahanan selip dilakukan dalam dua metode. Pertama, dengan melibatkan pengguna sepatu untuk pengujian. Dalam metode tersebut, pengguna memakai produk sepatu yang akan dianalisis, kemudian digesekkan di permukaan yang mengandung bahan-bahan seperti minyak dan bahan kimia. Apabila pengguna tidak tergelincir, kemungkinan sepatu yang diuji memiliki ketahanan selip yang bagus. Untuk memastikan ketahanan selip sepatu, diperlukan pengujian dengan metode kedua, yaitu pengujian dengan alat untuk mengukur koefisien gesekan statis dan dinamis. Gaya gesek yang ditimbulkan oleh sepatu dan permukaan berarah horisontal (H) sedangkan gaya normal yang berasal dari beban berat badan yang ditopang kaki berarah vertikal (V). Koefisien gesekan (CoF) adalah perbandingan dari kedua gaya tersebut (H/V). Koefisien gesekan yang tinggi menunjukkan ketahanan selip yang tinggi pula. Untuk mengukur koefisien gesekan, diberikan
gaya sepersekian detik dari kontak statis serta beban sebesar 400 N atau 500 N atau sekitar setengah dari berat badan orang dewasa. Kecepatan gerak yang diberikan adalah 300 mm/s, atau setara dengan kecepatan yang menyebabkan orang berpotensi tergelincir. Pengujian dilakukan dengan pengulangan sebanyak 5 kali sampai tidak ada peningkatan yang sistematis maupun penurunan koefisien gesekan lebih dari 10 persen untuk kemudian diambil nilai ratarata hasil pengujian. Permukaan uji adalah bagian penting dari pengujian karena berkontribusi pada nilai koefisien gesekan. Pengujian ketahanan slip yang mengacu pada ISO 20345:2011 untuk sepatu pengaman dilakukan pada 4 kondisi, yaitu kondisi A atau gerakan forward heel slip pada permukaan keramik dan larutan NaLS (detergen), Kondisi B yaitu gerakan forward flat slip pada permukaan keramik dan larutan NaLS (detergen), kondisi C atau gerakan forward heel slip pada permukaan baja stainless dan larutan gliserin, serta kondisi D berupa gerakan forward flat slip pada permukaan baja stainless dan larutan gliserin. Setiap produk memiliki kualitas ketahanan selip yang berbeda. Karenanya, diperlukan batasan keberterimaan hasil pengukuran ketahanan selip.
Standar keberterimaan parameter ketahanan slip menurut ISO 20345 : 2011 adalah sol luar yang mempunyai koefisien gesekan (CoF) ≥ 0.28 untuk kondisi kondisi A, CoF ≥ 0.32 untuk Kondisi B, CoF ≥ 0.13 untuk kondisi C dan CoF ≥ 0.18 untuk kondisi D tersebut di atas. Pengujian ketahanan selip adalah salah satu aktivitas yang dilakukan oleh Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI) Kementerian Perindustrian di Sidoarjo, Jawa Timur. Pengujian ini dilakukan agar produk sepatu sesuai dengan standar yang ditetapkan dan keselamatan pengguna sepatu dapat terjamin. Hal ini tentunya sangat membantu khususnya bagi industri sepatu yang ingin menjaga kualitas produknya sesuai dengan SNI dan ketentuan lain yang berlaku.
informasi | information » Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI)
Komplek Pasar Wisata, Tanggulangin, Kec. Sidoarjo Jawa Timur Telp :(031) 8855149
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
49
TEKNOLOGI
Slip Resistance Test for Better Shoes Quality
What are your considerations in choosing a right pair of shoes? There are 4 factors define quality of shoes: comfort, design, technology and, the most important is, safety.
tEKNOLOGI
static and dynamic frictions. The friction caused by shoes and the surface is horizontal (H) while normal force caused by body weight supported by feet is vertical (V). Coefficient of friction (CoF) is comparison of the two forces (H/V). The higher the coefficient of friction, the higher outsole slip resistance level would be. To measure coefficient of friction, force is given in split second from static contact as well as 400-500 N loads or equal to half of human body weight. The speed given is 300mm/s that represent the speed potential with slip risk. The test should be performed to 5 times or until there is no incline or decline of coefficient of friction that is more than 10%. Then, the mean of tests results is calculated. Surfaces used in slip resistance test are
O
ne of shoes safety parameters is outsole quality, as it is the part of shoes which has direct contacts with the ground. Slip resistance test is a technology to ensure the safety of shoes’ outsole. Outsole slip resistance is exactly needed, especially on safety shoes or sport shoes. One of the most happened work accidents is slip as the result of oil or dangerous chemical liquids amount on ground. The government has regulated mandatory Standar Nasional Indonesia (SNI/National Standard of Indonesia) for safety shoes products. So that, outsole should be completed with specific elements to avoid slip risk by considering the surfaces’ condition. One of the crucial factors that determine outsole slip resistance is the hardness level. Outsoles with low level hardness are considerably suitable for dry surface, but having problems on more extreme surface, such as surface with oil or chemical liquids on it. Sole footprint patterns also affect the friction between shoes and ground. Soft and low friction outsoles are suitable to be used as long as having right footprint patterns. Outsoles with moderate hardness are able to compromise on dry and wet friction, while wet friction is riskier to cause slip than dry friction. Materials that are used for making outsoles also determine slip resistance of shoes. Some of best materials for outsoles are Polyurethane (PU), a polymer material which is used on premium quality leather shoes and Thermoplastic PU (TPU) which has good friction coefficient on both wet and dry surfaces, abrasion resistant, light and flexible. Slip resistance tests could be performed by two methods. First method is performed by involving respondents wearing shoes in the test. The respondents wear the shoes that then scrapped on surface with oil or chemical liquids. If the respondents are not slipped, the shoes are considered having good slip resistance. However, to ensure the level of slip resistance of shoes, the second test method is needed. The method employs equipment to measure the coefficient of
50
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
important in contributing to the values of coefficient of friction. The test for slip resistance according to ISO 20345:2011 for safety shoes is performed in four conditions. First, condition A is forward heel slip movement on ceramic surface with NaLS (detergent) concentrate. Second, condition B is forward flat slip movement on ceramic surface with NaLS (detergent) concentrate. Third, condition C is forward heel slip movement on stainless steel surface with glycerin concentrate. Fourth, condition D is forward flat ship movement on stainless steel surface with glycerin concentrate. Each product has different quality of slip resistance. Therefore, limitation of acceptance for slip resistance measurement results is needed. Acceptance standard of slip resistance parameter according to ISO 20345 : 2011 is CoF ≥ 0.28 for condition A, CoF ≥ 0.32 for condition B, CoF ≥ 0.13 for condition C and CoF ≥ 0.18 for condition D as explained before. Slip resistance test is one of the activity provided by Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI)/Indonesian Shoes Industry Development Agency, Ministry of Industry, which is located in Sidoarjo, East Java. The test is conducted to make sure that the shoes products are comply with the standard, and the safety of the user is wellguaranteed. Wthout a doubt, this activity is very helpful for the clients, especially shoes industries that put the quality and safety of their products as top priority before deliver them to the market.
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
51
OPINI
OPINI
Sutanto Haryono
Ketua Umum Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI)
Segera Buka Keran Impor Bahan Baku Kulit Semangat deregulasi kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah akhir-akhir ini menimbulkan secercah harapan bagi pelaku industri penyamakan kulit di tanah air. Salah satu deregulasi yang diharapkan adalah pelonggaran impor bahan baku kulit yang sangat dibutuhkan industri tersebut.
S
ebab, selama berpuluh-puluh tahun lamanya, industri penyamakan kulit terus mengalami proses pengerdilan akibat akses yang sangat sulit terhadap bahan baku impor. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian sampai saat ini tidak mau memberikan kelonggaran kepada industri tersebut untuk mendapatkan pasokan bahan baku kulit dari luar negeri. Akibat keterbatasan akses terhadap sumber bahan baku impor, industri penyamakan kulit di dalam negeri terpaksa harus beroperasi dengan rata-rata tingkat utilisasi pabrik sekitar 50% dari kapasitas. Ketua Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI), Sutanto Haryono mengatakan, pasokan bahan baku kulit dari dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 40% dari kebutuhan industri penyamakan kulit nasional yang setiap tahunnya mencapai 2 juta lembar kulit sapi dan 20 juta lembar kulit kambing/domba. Dengan demikian, sekitar 60% dari kebutuhan bahan baku kulit itu harus didatangkan dari luar negeri. Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian hanya memperbolehkan masuknya kulit mentah dari beberapa negara tertentu yang sudah dianggap terbebas dari penyakit hewan tertentu yang selama ini penyebarannya sangat diwaspadai Indonesia, yaitu Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Menurut Sutanto, dengan alasan untuk mencegah masuknya penyakit tersebut dari negara lain, Badan Karantina Pertanian hingga saat ini hanya memperbolehkan impor kulit mentah yang berasal dari Australia, Selandia Baru, beberapa negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. “Impor kulit mentah dari Australia dan Selandia Baru memang bisa dilakukan, tapi kulit mentah dari kedua negara yang dinyatakan bebas PMK ini harganya sangat tinggi sedangkan kualitasnya kurang baik, atau lebih tepatnya karakteristik kulit sapinya kurang cocok/relevan untuk penggunaan di industri
52
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
penyamakan,” tutur Sutanto. Kulit mentah yang cocok dan baik untuk industri penyamakan kulit, tambah Sutanto, adalah kulit mentah sapi, kambing, domba yang berasal dari negara-negara yang berada di sekitar garis katulistiwa. Beberapa negara di sekitar ASEAN yang letaknya berada di sekitar garis katulistiwa seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar menghasilkan kulit hewan yang cocok digunakan di industri penyamakan kulit. Namun sayangnya, pemerintah tidak mengizinkan masuknya kulit mentah dari negara-negara tersebut. Di sisi lain, masih berlangsungnya ekspor bahan baku kulit dan kulit setengah jadi selama ini makin mengurangi ketersediaan bahan baku kulit bagi industri penyamakan kulit di tanah air. Walaupun pemerintah sudah mengenakan kebijakan Bea Keluar cukup tinggi yaitu 25% untuk kulit mentah dan 15% untuk wet blue, namun kegiatan ekspor masih tetap berlangsung.
Sutanto menduga kegiatan ekspor itu masih tetap terus berlangsung karena sejumlah eksportir melakukan praktek pelarian nomor Harmonized System (HS) khususnya dalam kegiatan ekspor kulit setengah jadi untuk mengelabui petugas Bea dan Cukai untuk menghindari pengenaan tarif Bea Keluar yang tinggi. Penjualan Merosot Selain kesulitan mendapatkan bahan baku, Sutanto mengatakan, kondisi pasar yang sedang lesu dewasa ini akibat merebaknya krisis ekonomi global juga telah memukul industri penyamakan kulit di dalam negeri, khususnya industri penyamakan kulit berskala kecil dan menengah. Karena, industri tersebut kini mengalami penurunan penjualan hingga mencapai 50% akibat turunnya konsumsi barang dari kulit di dalam negeri menyusul anjloknya daya beli masyarakat. “Kita bisa lihat secara kasat mata, penjualan tas dan sepatu kulit di dalam negeri selama tahun 2015 ini mengalami penurunan drastis hingga 50%. Hal ini sangat memukul industri penyamakan kulit nasional khususnya industri skala kecil dan menengah yang lebih banyak menjual produknya di pasar dalam negeri,” tutur Sutanto. Kondisi tersebut, menurut Sutanto, telah memaksa sejumlah industri penyamakan kulit untuk melakukan berbagai efisiensi dan rasionalisasi, termasuk mengambil opsi pemberhentian karyawan kontrak dan merumahkan sebagian karyawan tetapnya. Lesunya penjualan produk kulit di dalam negeri, tambah Sutanto, tidak terlalu memukul industri penyamakan kulit berskala besar, karena mereka umumnya masih bisa melakukan ekspor produknya ke mancanegara. Walaupun penjualan di pasar ekspor juga mengalami penurunan sekitar 20% tahun ini, mereka masih bisa bertahan dari badai krisis karena memperoleh kenaikan pendapatan akibat
menguatnya nilai tukar dollar AS terhadap rupiah. Dalam hal ini, Sutanto mengharapkan pemerintah dapat lebih banyak berperan membantu industri perkulitan di tanah air dengan membuka akses pasar yang lebih luas ke negara-negara tujuan ekspor non-tradisional (pasar baru) termasuk negaranegara anggota ASEAN yang selama ini masih belum banyak digarap para pengusaha Indonesia. Sutanto mengatakan, APKI yang kini beranggotakan 67 perusahaan penyamakan kulit skala besar dan 200 perusahaan penyamakan kulit berskala kecil dan menengah sangat mengharapkan terobosan-terobosan baru dari pemerintah untuk mengatasi kedua masalah utama industri penyamakan kulit tersebut.
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
53
OPINI
OPINI
Sutanto Haryono
ones. Sales plummeted to 50% because of decline in purchasing power. “It is clearly visible that the sales of leather bags and shoes in domestic market within 2015 has drastically decline to 50%. This condition battered tanneries, especially the small and medium scale ones which sold the products in domestic market,” Sutanto explained. The condition has forced several tanneries to be more efficient and do rationalization, including terminating outsource workers and laying permanent employees. On the contrary, the current market condition has not given a big impact toward big scale tanneries since they are still able to export the products. Although sales in export market also shows 20% decline within 2015, the companies survive the condition because of gaining profit from strengthening of the US dollar against Rupiah. Sutanto hopes government to be involved more in opening market access for domestic leather manufacture industry in non-traditional export destinations, including ASEAN countries which have not explored yet by Indonesian business people. Sutanto stated that APKI has 67 big scale tanneries and 200 small scale tanneries as the members at the moment. The association wishes for new innovations and strategies by the government in overcoming problems in tannery industry.
Chairman of Indonesian Tanners Association (APKI)
Import Permit for Leather Raw Materials Should Be Given Immediately Deregulation in economic policy issued by the government recently raise hope among tannery business players. One of the anticipated deregulations is the ease of import for leather raw materials that is needed by tannery industry.
informasi | information » PT Budi Makmur
Jl. Ki Penjawi / Peleman 9. Rejowinangun – Yogyakarta 55171
F
or decades, tannery industry has faced problems in access to imported raw materials. The Ministry of Agriculture, the government body which handling the affairs, are strictly regulating the import regulation of leather raw materials. Because of the limited access to imported raw materials, domestic tanneries are only able to utilize 50% of the total factory capacity. The chairman of Asosiasi Penyamakan Kulit Indonesia (APKI/Indonesia Tanners Association) Sutanto Haryono said that the supply of domestic leather raw material only covers 40% of tanneries need of 2 million sheets of cows skin and 20 million sheets of lambs or goats skin. As the result, approximately 60% from the demand should be imported. Agricultural Quarantine Agency of Ministry of Agriculture only allows raw skin imported from particular countries that are considered free from foot and mouth disease (FMD). According to Sutanto, with the reason to avoid disease risks from other countries, the Agency only permits import of raw skins from Australia, New Zealand, United
54
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
States and several European countries. Sutanto added that skin materials adjusted most with domestic tanneries are raw skin of cows, goats and lambs raised in the equatorial area. ASEAN countries which lay on equator, such as Malaysia, Thailand, Vietnam, Cambodia, and Myanmar, produce compatible animal skins for tanneries. Nevertheless, government does not allow import of raw skins from the countries. On the other hand, the ongoing raw skins and half-procedeed skins export contributes to the availability supplies for domestic tanneries. Even though government has issued a quite high export duty, 25% for raw skin and 15% for wet blue, the commodities are continuously exported. Sutanto assumed that the export activities are still ongoing because several exporters have used different Harmonized System (HS) codes to avoid high cost from export duty subjected by Customs. Decline in Sales Beside the hardship in getting raw materials, the current market condition is slow, as the respond to global economic crisis that also has beaten tanneries, especially the small and medium scale
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
55
APA & SIAPA
APA & SIAPA
Niluh Djelantik Mengutamakan Karya Anak Bangsa Kecintaan seseorang terhadap sesuatu terkadang harus mengabaikan berbagai hal. Seperti yang dilakukan Ni Luh Putu Ary Pertami. Karena kecintaannya terhadap karya anak bangsa, wanita asal Bali ini rela menolak iming-iming uang dan kepemilikan saham yang cukup besar yang ditawarkan pihak asing asalkan sepatu dan sandal produksi Niluh Djelantik dibuat secara massal di pabrik yang berlokasi di luar negeri.
“S
aya lebih mengutamakan karya anak bangsa, suatu produk yang dibuat
oleh
dengan posisi Account Manager. Pada tahun 2001, Niluh kembali ke Bali dan
tenaga-tenaga
meninggalkan karirnya di Jakarta. Tak perlu waktu
terampil di dalam negeri ketimbang
lama, Niluh mendapatkan tawaran bekerja di
memproduksinya secara massal di luar negeri,” papar
perusahaan fashion milik pengusaha Amerika Serikat,
wanita 41 tahun ini di toko Niluh Djelantik di bilangan
Paul Ropp. Dia dipercaya untuk menduduki jabatan
Kemang Timur, Jakarta Selatan, kepada KINA.
sebagai Direktur Marketing.
Memang, tawaran menggiurkan itu tak terlepas
Kejelian Paul Ropp dalam merekrut Niluh
dari produk sepatu dan sandal wanita yang diproduksi
Djelantik
Niluh Djelantik. Bagi para wanita penggemar sepatu
tangan dinginnya, usaha
dan sandal, nama Niluh Djelantik tentu sudah tidak
Paul Ropp berkembang
asing lagi.
pesat. Di tahun pertama
Produk sepatu dan sandal, terutama hak tinggi
memang
tepat.
Berkat
yakni 2002, penjualan
atau high heels, yang dibuatnya secara handmade itu
perusahaan
telah terbukti kualitasnya. Kenyamanan yang dialami
naik
para pemakainya serta kualitas dari bahan baku dan
Sementara
hingga
tersebut 330%. butiknya
jahitannya, telah membawa nama Niluh Djelantik berkiprah di industri mode dunia. Diakuinya, kecintaannya terhadap alas kaki sudah ada sejak kecil karena Niluh tidak pernah mendapat sepatu yang pas ukurannya dari orangtuanya. “Walaupun mencintai sandal dan sepatu sejak kecil, namun tidak ada rencana saya untuk berbinis di bidang industri sepatu dan sandal wanita,” ujarnya. Karena memang tidak memiliki rencana untuk
berbisnis,
setamat
SMA,
Niluh melanjutkan pendidikannya di
Jakarta
dengan
memilih
jurusan manajemen keuangan di Universitas Gunadarma tahun 1994. Lulus kuliah pun dia langsung menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta
56
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
57
mampu melanglang buana. Di masa kejayaannya itu lah, di tahun 2007
Produk Niluh Djelantik bahkan telah menembus
bekerja sama memproduksi sepatu dan sandal Nilou
Globus Switzerland pada 2011, yang merupakan salah
secara massal melalui pabrik yang akan didirikan di
satu retailer terkemuka di Eropa. Sepatu-sepatu dan
China. Distributor itu juga menawarkan dana yang
sandalnya mulai dipasarkan pada musim panas 2012. namun berkaca dari pengalaman, Niluh tak ingin
dalam negeri, Niluh menolak tawaran tersebut.
terburu-buru untuk merambah pasar internasional
Dia tetap pada prinsipnya untuk mengutamakan
secara massal. Dia kini lebih mengutamakan pasar
produksinya dari tenaga-tenaga lokal. Wanita periang
dalam negeri.
ternyata sudah dipatenkan oleh distributornya itu.
Namun, perjalanan karier ibu satu anak ini tidak bertahan lama. Ketika berada di New York awal
memperhatikan anatomi pemakainya, termasuk
wanita dengan lebih menfokuskan pada sepatu dan
dalam soal menentukan ketinggian hak sepatu dan
sandal hak tinggi atau high heels.
sandalnya. “Sepatu tumit tinggi yang baik adalah
tahun 2003, Niluh jatuh sakit. Dokter memintanya
“Pemilihan high heels dilakukan salah satunya
tak berpergian jauh sekurangnya dalam enam bulan.
karena wanita tidak baik untuk menggunakan
Padahal, profesinya menuntut wanita enerjik itu
sepatu dan sandal yang haknya rendah secara terus-
Dan yang lebih penting lagi, sepatu dan sandal
untuk terbang ke sejumlah negara.
menerus. Mereka perlu juga mengenakan sepatu dan
itu dibuat secara handmade oleh tenaga-tenaga
sandal high heels agar kesehatan tubuhnya terjaga,”
lokal yang memiliki keahlian dalam bidangnya. Lokasi
katanya.
pembuatan sepatu dan sandal itu dilakukan di Bali.
Dihadapkan dua pilihan, tetap di New York atau balik ke Bali, akhirnya Niluh memilih opsi untuk
Karena kualitasnya yang baik, sepatu dan sandal
sedang menikmati masa istirahatnya itu, dia bertemu
pemakainya, Niluh menggunakan bahan baku
yang dijual dengan merek dagang Nilou itu langsung
dengan Cedric Cador, yang biasa memasarkan produk
berkualitas tinggi. “Saya juga mengutamakan bahan
booming di luar negeri. Pesanan pun membanjir hingga
Indonesia ke mancanegara. Dia ditawari kerja sama
baku dari dalam negeri. Kalau memang tidak ada baru
4.000 pasang. Di tahun 2004, Niluh mendapatkan
memproduksi barang untuk diekspor.
diimpor,” paparnya.
kontrak outsource dari jaringan ritel Topshop yang
58
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
didapat, namun masih ada suatu yang terus dikejar
Kehilangan Nilou tak membuat Niluh Djelantik
Niluh, yakni menggabungkan anak-anak bangsa yang
putus asa. Di awal 2008 dia langsung membuat
terampil untuk membuat produk bernilai tinggi dan
produk baru dengan merek dagang dirinya sendiri,
dibuat di Indonesia. Langkah ke arah itu kini sudah
Niluh Djelantik. Hanya dalam tempo singkat, produksi
tercapai dengan kemunculan produk sepatu dan
telah banyak dikenal di dalam dan luar negeri. Bahkan
sandal Niluh Djelantik.
dipakai selama 8 jam, bukan 10 menit,” ujarnya.
Agar produknya memberi kenyamanan bagi
Dalam membuat model, Niluh juga selalu
Meski ketenaran dan pengakuan pasar sudah
sepatu yang tetap nyaman dipakai meski sudah
kembali ke Bali dan mundur dari Paul Ropp. Ketika
Akhirnya jiwa bisnis Niluh pun muncul. Dia
Walaupun sudah menembus pasar internasional,
Namun karena kecintaannya terhadap produk
ini pun rela kehilangan merek dagang Nilou yang
memutuskan untuk memproduksi sepatu dan sandal
kenyamanan dan kualitas sepatu dan sandalnya.
datang tawaran dari salah satu distributornya untuk
cukup besar jika Niluh mau menerima tawarannya.
bertambah hingga 10 lokasi.
sejumlah selebriti dunia juga telah merasakan
berbasis di Inggris. Pendek kata, produk Nilou sudah
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
59
APA & SIAPA
Niluh Djelantik Prioritising Local Made Products One’s fondness toward a particular thing sometimes wins over things that matter for most people. Meet Ni Luh Putu Ary Pertami, or dearly known as Niluh Djelantik. For her love to local made products, the Bali born and raised woman rejected a number of money and share offered by a foreign company which was interested to manufacture her shoes and sandals in bulk in an overseas factory.
“I
prioritise products made by our people, which are crafted by skillfull hands of our domestic talents , than products that massively manufactured for global market,” said the 41 year old Niluh in her Jakarta flagship store, located in Kemang Timur. The interesting offer was related to shoes and sandals produced by Niluh. For shoes and sandals lovers, Niluh Djelantik is belong at the top of Indonesia renowned brands. Its hand made shoes and sandals products, especially the high heeled models, are famous for the quality. The brand ‘Niluh Djelantik’ is able to
60
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
penetrate world mode industry by its comfortness as well as its high quality raw materials and finishing. She admitted that her interest to footwears has grown since her childhood because she never got shoes with the right size from her parents. “Although I have grown fondness to shoes and sandals, I never dreamt about having this kind of business,” she said. Since did not have any plan for creating business, back in 1994, Niluh went to Gunadarma University in Jakarta to achieve bachelor degree after high school, majoring finance management. After graduated, she chose the path as a private company’s account manager, also in the capital city.
In 2001, Niluh left her career in Jakarta for her home island, Bali. In no time, Niluh got a job offer from a fashion company owned by an American businessman, Paul Ropp. She was positioned as marketing director. Recruiting Niluh was a brilliant strategy by Ropp. Niluh coldhanded Ropp’s business so that it grew rapidly. In 2002, the first year of her employment, sales increased by 330%. Meanwhile, the company opened ten more boutiques. However, the career of this mother of one in the company should ended shortly. While was in New York in 2003, Niluh became ill. She was recommended by doctor to not travelling far within those six months. Something that was impossible for this energetic woman, whose job required her to fly overseas often. Faced to two options, stay in New York or return to Bali, finally Niluh chose to go back to Bali and resign from Paul Ropp. While enjoying her leave, she met Cedric Cador who had business in marketing Indonesian products to overseas market. Cador offered her to produce exported goods. Finally, Niluh got her sense of business. She decided to produce women’s shoes and sandals, focusing on high heeled models. “We choose to produce high heeled foot wears because flat shoes are not always good for women’s (feet) health. We also need to wear high heeled shoes or sandals to maintain our posture,” she explained. To provide comfort for the costumers, Niluh uses high quality materials for the shoes. “I also chose
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
61
Made in Indonesia
local materials first unless it is difficult to find here,” she added. In designing models, Niluh always considers costumers’ feet anatomy, including in deciding the height of shoe heels. “Good high heeled shoes can be comfortably worn for 8 hours, not 10 minutes,” said Niluh. More importantly, her products were crafted by the hands of skillful local shoe makers. The shoes and sandals are made in Bali. Because of its quality, shoes and sandals under the brand ‘Nilou’ became a hit in overseas countries. The order reached 4.000 pairs. In 2004, Niluh got an outsource contract from London based global retail, Topshop. In short, Nilou products went globally. In that golden era, one of the distributors offered to Niluh to massively manufacture the shoes and sandals in a factory that were going to be built in China. A big number of money would be on the way, as Niluh accepted the proposal. However, her love to domestic products made Niluh rejected the tempting chance. She strongly held her paradigm in promoting local craftsmen’s products. Unfortunately, Niluh had to lose her ‘Nilou’ because the distributor had gone far by patented the brand. Apparently, losing ‘Nilou’ did not stop Niluh for trying. At the beginning of 2008, she started fresh with a new brand, ‘Niluh Djelantik’. In almost no
62
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
time, her products were recognized in domestic as well as global market. Moreover, some international celebrities have laid their feet on her shoes. ‘Niluh Djelantik’ shoes have been displayed in Globus Switzerland, a remarkable Europe retailer, in 2011. The selling was started in summer 2012. Even thought succeeded in penetrating global market, based on her previous experiences, Niluh
becomes sensible in her global market strategies. For now, she focuses in domestic market. Fame and market recognition has been achieved. However, Niluh still longs for one thing. She keeps on struggling to empower the potential of Indonesian human resources to produce high quality Indonesia made products. She is on the right track with “Niluh Djelantik” shoes and sandals.
informasi | information » Ni Luh Djelantik Flagship Store
Jalan Kemang Timur No.74A, Kelurahan Bangka, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 12730 Hp. 0817-567-888
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
63
Pilihlah ! Mainan Anak
Made in Indonesia
Yang Berlabel
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN www.kemenperin.go.id 64
Karya Indonesia Edisi No. 02-2015
issn: 2303204