UNSUR POLITIK DALAM DUNIA PENAFSIRAN Al-QUR’AN “Kasus-Kasus Penafsiran Sahabat dan Aliran Teologi Islam” Oleh : Muhsin Alhaddar Abstrak Tulisan ini memperlihatkan bahwa penafsiran al-Qur’an akan terbentur dengan beberapa kepentingan, sehingga mufasir harusnya berhati-hati dalam menjelaskan sebuah ayat alQur’an. Hal ini bisa dilihat dari berbagai contoh penafsiran Sahabat hingga munculnya beberapa Aliran dalam Islam. Dalam tulisan ini penulis akan memberikan beberapa contoh dari penafsiran Sahabat dan beberapa aliran dalam sekte Islam yang menunjukkan bahwa politik sangat berpengaruh dalam penafsiran. Khusus untuk kasus penafsiran Sahabat, meskipun didalamnya terdapat unsur politik, akan tetapi mereka menafsirkan al-Qur’an berdasarkan kemaslahatan umat, bukan atas dasar kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Adapun penafsiran yang berasal dari sekte-sekte Islam banyak terdapat unsur politik yang hanya ingin memperkuat sekte-sekte (aliran) mereka. Abstract This writing shows the interpretation of Qur’an that will be stricken with the interests, so the interpretor must be carefull in explaining a verse of Qur’an. This case can be seen from various interpretations of prophet collegues so appeared some ideologies in Islam. In this writing, the writer gives some examples of collegues interpretation and some ideologies in Islam which shows that politic influences in interpretation. Specifically, in the collegues interpretation, eventhough in the interpretation contained political side, but they interpretate the Holy Qur’an based on human virtue not for individual or group interest. The interpretation of Islamic sects has political side for strengthened their sect. Kata Kunci: Sekte, Politik, Hukum, Penafsiran.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 218
Pendahuluan Tulisan ini berawal dari pemahaman penulis mengenai tafsir itu sendiri. Menurut penulis tafsir itu dibangun atas dasar pemikiran oleh sipembaca, secara jelas ini terkait dengan konteks lingkungan yang ada disekitarnya, sejauh mana penafsir itu terpengaruh oleh lingkungannya, bahkan bisa saja seorang mufasir itu secara tidak sengaja terpengaruh dalam karyanya. Sebagai contoh Tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid yang ingin menghilangkan khurafat dan mitos dalam negerinya.1 Selain itu adapula tafsir yang dipengaruhi oleh aqidahnya misalnya Tafsir al-Kasyaf karya Zamakhsyari yang terkenal dengan aliran mu’tazilahnya.2 Sebelum masuk dalam tafsir aliran, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian tafsir itu sendiri. Tafsir secara bahasa (اﻹﻳﻀﺎح و اﻟﺘﺒﻴﻴﻦ ) artinya penjelasan. Adapun Tafsir secara istilah al-Dhahabi mengambil pendapat dari Abu Hayan yang mengatakan tafsir merupakan ilmu yang membahas tentang penjelasan lafadz-lafadz alQur’an, dalil-dalinya, hukum-hukumnya, susunannya, dan maknanya yang membawa atas keadaan susunan.3 Menurut al-Zarqani tafsir secara istilah yaitu ilmu yang membahas didalamnya tentang AlQur’an yang menggunakan dalil-dalilnya dengan tujuan mencapai maksud Allah menurut kemampuan yang dimiliki oleh manusia.4 Praktek penafsiran sendiri baru bisa terlihat pada masa Sahabat, karena tradisi tafsir belum sempurna pada masa Nabi Muhammad. Karena al-Qur’an sendiri yang mengatakan bahwa salah 1
M Quraish Shihab, Rasionalitas al-Qur’an “Studi Kritik atas Tafsir alManar” (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 51. 2 Ignaz Goldziher,Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. Alaika Salamullah, Saifuddin Zuhri, Badrus Syamsul (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006), h. 149. 3 Muhammad Husein al-Dzahabῑ, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Beirut : Maktabah Mus’ab bin Umar, 2004), h. 12. 4 Muhammad Abdul Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1995), h. 6.
219 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… satu fungsi Nabi Muhammad ialah menjelaskan kepada umat manusia mengenai al-Qur’an, hal ini sesuai dengan ayat al-Qur’an dalam Q.S al-Nahl ayat 44 “Dan kami turunkan, kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.5 Setelah masa Sahabat dan Tabi’in muncul beberapa kitab tafsir seperti Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya al-Tabari hingga al-Du al-Mansur fi Tafsir al-Qur’an karya as-Suyūthi.6 Kitab tafsir ini kategori dalam tafsir bi al-ma’thur, sebagian ulama meyakini bahwa tafsir metode ini tidak terpengaruh oleh akal, akan tetapi jika tafsir yang menggunakan ra’yu secara tidak langsung berpengaruh terhadap hasil tafsirnya. Tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir yang menggunakan ra’yu atau pemikiran. Menurut al-Dhahabi tafsir bi al-ra’yi adalah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan akal pikiran. Maksud dari akal ialah berijtihad dalam ungkapan menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan pengetahuan mufasir dalam berbicara bahasa Arab dalam perkataannya, setelah pengetahuan tentang lafadz-lafadz Arab yang sesuai artinya, dan mengetahui syair-syair jahiliyah, pengetahuan asbab nuzul, pengetahuan nasikh wa mansukh, dan semua alat-alat yang dibutuhkan para mufasir.7 Pada bagian tafsir bi al-ra’yi ini terjadi subjektifitas para penafsir, bahkan terdapat beberapa kasus yang menguntungkan sebuah kelompok. Misalnya saja dalam kasus penafsiran kaum Khawarij yang membenarkan tindakan Abdurahman bin Maljam yang membunuh Ali bin T{alib. Menurut penafsiran kaum Khawarij Q.S alBaqarah ayat 207 berbicara tentang Abdurahman bin Maljam. 5
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an “Towards a contemporary approach” (New York: Routledge, 2006), h. 9. 6 Muhammad Husein al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1 (Beirut: Maktab Mus’ab bin Umar al-Islamiyyah, 2004), h. 147. 77 Muhammad Husein al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1, h. 184
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 220
(207 : وﻣﻦ اﻟﻨَﺎس ﻣﻦ ﻳﺸﱰﻧﻔﺴﻪ إﺑﺘﻐﺎء ﻣﺮﺿﺎة اﷲ )اﻟﺒﻘﺮة Artinya: Dan di antara manusia ada yang mengorbakan dirinya karena mencari keridhaan Allah. (Q.S al-Baqarah 207) Ayat ini ditafsirkan secara subjektif oleh kaum Khawarij, bahkan mereka mengatakan ayat ini dikhususkan untuk Abdurahman bin Maljan yang telah membunuh Ali bin T{alib. Ini merupakan contoh penafsiran yang bersifat politik. Contoh lain menganai tafsir yang dipengaruhi oleh situasi politik ialah Tafsir karya al-Alusi, pada tahun 1267 tafsir tersebut diajukan kepada Raja yang berkuasa pada saat itu yaitu Raja Abdul Majid Khon. Ketika Raja tadi melihat hasil karya al-Alusi, beliau terkagum-kagum melihat hasil karyanya, dan merestuinya untuk diterbitkan.8 Bahkan seorang Hasan Hanafi berani melakukan perlawanan dengan Barat dengan mengusung slogannya dengan Islam Kiri, pemikirannya terus berkembang dan melahirkan ide-ide yang baru, semuanya itu berasal dari al-Qur’an sehingga Islam masuk dalam dunia politik dan bisa diakui di mata dunia.9 Hal ini yang menjadi latar belakang penulis untuk menulis pengaruh politik dalam dunia tafsir. Dalam pembahasan ini penulis akan menjabarkan beberapa aliran teologi dalam Islam yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan pemahaman dari masing-masing kelompok, sehingga akan terlihat beberapa tafsir yang berunsur politik. Kemaslahatan Umat Dalam Penafsiran Sahabat Dalam pembahasan ini penulis ingin memberikan gambaran mengani penafsiran Sahabat terhadap Al-Qur’an. Terdapat sepuluh Sahabat yang sangat sering memberikan tafsirnya kepada Al-Qur’an, bahkan mereka dijadikan tempat bertanya mengenai Al-Qur’an. Menurut al-Suyuti dalam kitabnya al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an 8
Mani’ Abdul Halim Mahmud, terjemahan.,Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2006), h. 205. 9 Achmad Gholib, Teologi Dalam Perspektif Islam (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005), h. 149-143.
221 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… terdapat sepuluh orang Sahabat yang terkenal dalam menafsirkan alQur’an. Mereka itu adalah Khulafa al-Rasyidin, Ibnu ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Ibn Mas’ud, Zaid bin Tshabit, Abu Musa al-‘Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.10 Sepuluh Sahabat ini menafsirkan al-Qur’an dalam situasi yang berbeda-beda. Dalam hal ini penulis harus memberikan gambaran mengenai situasi politik pada masa Sahabat. Setelah wafat Nabi Muhammad, situasi politik berkembang besar, khususnya pergantian pucuk kepemimpinan. Hal ini juga berpengaruh dengan tafsir pada masa Sahabat. Terdapat beberapa Sahabat yang mengambil keputusan berdasarkan ijtihadnya guna menyelesaiakan masalah umat. Misalnya keputusan Abu Bakar al-Siddiq dalam memerangi kaum yang tidak membayar zakat. Hal ini didasari dari penafsiran Abu Bakar terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang zakat. Pada saat itu Abu Bakar sebagai khalifah harus segera mengambil keputusan mengenai beberapa kabilah yang tidak ingin membayar zakat. Setelah memikirkannya, maka Abu Bakar sebagai khalifah menyerang lima kabilah (kabilah Abs, Zubyan, Banu Kinanah, Gatafan, dan Fazarah) yang enggan membayar zakat. Dalam peneltian penulis ternyata Abu Bakar tidak bertindak atas kehendaknya sendiri, akan tetapi Abu Bakar menggunakan ayat al-Qur’an pada Q.S al-Baqarah ayat 23.11 Penafsiran dan tindakan Abu Bakar ini mengandung unsur politik, akan tetapi tidak menjadikan penafsirannya mementingkan sebuah kelompok, penafsiran Abu Bakar ini demi kemaslahaan umat. Karena jika hal ini dibiarkan, maka kabilah yang membayar pasti akan mengikuti kabilah yang tidak bayar zakat. Pada masa Nabi Muhammad tafsir merupakan hal yang paling dihindari karena terdapat beberapa hadis yang melarang hal tersebut 10
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t{i, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’an (Beirut: Da>r al-Fikr, 2008), h, 564. 11 Muhsin Ali Alhaddar, Rasionalitas Penafsiran Sahabat dan Tabi’in “Kajian Atas Tafsir bi al-Mathur” (Ciputat: Isdar Press, 2012), h. 92.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 222
seperti hadis dari Ibn ‘Abbas yang berisikan yaitu “ Barang siapa yang berbicara (menafsirkan) al-Quran tanpa ilmu, maka silahkan mengambil tempat di Neraka”.12 Penjelasan al-Qur’an ketika Nabi Muhammad masih hidup langsung dijelaskan oleh Nabi, berbeda hal nya ketika Nabi telah wafat. Para Sahabat banyak menggunakan ra’yu-nya ketika menemukan ayat-ayat yang sulit dipahami. Kemudian hal ini diikuti juga oleh para peingkutnya yaitu Tabi’in.13 Pada masa Nabi Muhammad para sahabat selalu bertanya kepada Rasulullah, akan tetapi penjelasan bukanlah mutlak dari Nabi pribadi, semua hal yang disampaikan oleh Nabi merupakan pedoman dari Allah swt, kadang-kadang beliau bertanya langsung kepada Jibril, akan tetapi Jibril tidak langsung memberikan penjelasan, akan tetapi semua penjelasan diberikan Allah, sedangkan Jibril hanya sebagai media.14 Deskripsi ini menggambarkan bahwa Nabi Muhammad tidak secara langsung menafsirkan Al-Qur’an secara pribadi, dan tidak mengikuti kemauannya, akan tetapi penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad berasal dari Allah. Hal ini sesuai dengan Surat alNajm ayat 3-4 : ِﺎﻷُﻓ ُِﻖ ْاﻷَ ْﻋﻠَﻰ ْ َوﻫ َُﻮ ﺑ، ذُو ﻣﱠِﺮةٍ ﻓَﺎ ْﺳﺘـَﻮَى، َﻋﻠﱠ َﻤﻪُ َﺷﺪِﻳ ُﺪ اﻟْ ُﻘﻮَى. ُﻮﺣﻰ َ ْﻲ ﻳ ٌ إِ ْن ﻫ َُﻮ إﱠِﻻ َوﺣ،َوﻣَﺎ ﻳَـْﻨ ِﻄ ُﻖ َﻋ ِﻦ اﳍَْﻮَى (7-3: }اﻟﻨﺠﻢ Artinya :Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut keinginannya, tidak lain adalah wahyu yang diwayhukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat, yang mempunyai keteguhan maka menampakkan diri dengan serupa yang asli, sedang dia berada di ufuk yang tinggi. (Q.S al-Najm ayat 37). 12
Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Turmudhi, Sunan al-Turmudhi, Jilid 5 (Kairo : Dar al-Hadith, 2005), h. 43. 13 Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an Towards a contemporary approach, h. 9. 14 Ahmad Syurbasi, terjemahan,.Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur’an.(Jakarta : Kalam Mulia, 1999), 82-81
223 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… Seluruh sarjana muslim sepakat bahwa yang asfshah atau pantas menafsirkan Al-Qur’an hanyalah Nabi Muhammad, selain karena bantuan dari Allah, Nabi Muhammad juga sangat paham makna-makna dan maksud dari tujuan Allah menurunkan ayat. Pemahaman ini kemudian diajarkan kepada para Sahabat.15 Sebagian ulama berbeda pendapat apakah Al-Qur’an ditafsirkan seluruh ayat atau hanya sebagian, berdasarkan hasil penelitian penulis hanya sedikit penafsiran Nabi Muhammad, hal ini bisa dilihat dari hadis Nabi Muhammad saw yang berbicara tentang tafsir, terdapat 566 hadis yang berbicara tentang al-Qur’an. 16 Jika Nabi Muhammad sangat kurang menafsirkan Al-Qur’an, maka para Sahabat pasti menggunakan nalar atau logikanya untuk menafsirkan Al-Qur’an. Dampak dari penggunaan logika ini, maka akan tercipta subjektifitas penafsir dan pengaruh lingkungan sangat berpengaruh. Meskipun demikian al-Dhahabi telah menjelaskan bahwa ketika Sahabat menafsirkan al-Qur’an, para Sahabat mengunakan adawatu al-Tafsir seperti pengatahuan bahasa Arab, pengetahuan kebiasaan orang Arab, pengetahuan berita-berita dari Yahudi dan Nasrani, dan Kekuatan pemahaman mereka.17 Gambaran ini menunjukkan bahwa para Sahabat tidak menafsirkan al-Qur’an tanpa dasar, justru sebaliknya pengatahuan mereka tentang tafsir sangat besar, sehingga mereka bisa dan mampu menafsirkan al-Qur’an. Salah satu penafsir Sahabat adalah Abu Bakar yang menjelaskan al-Qur’an kepada kaum Murtad (zindiq)
15
Yunus, Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an “Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 85. Lihat juga Ibn Taimiyyah, Muqadimmah fi Usul al-Tafsir (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997), h. 21. 16 Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah alBukhari, Shahih{ al-Bkhari, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Hadith, 2005), h. 192. 17 al-Dhahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid 1, h. 45. Lihat juga. Muhsin. Rasionalitas Penafsiran Sahabat dan Tabi’in “Kajian atas Tafsir bi al-Ma’thuri, h. 72.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 224
Salah satu hasil pemikiran Abu Bakar yang brilliant yang menurut penulis bisa dijadikan contoh ialah penafsiran Abu Bakar terhadap surat ali Imran ayat 104 ketika Rasulullah wafat dan umat Islam tergoncang batinnya.18 Firman Allah tersebut sebagai berikut: ِﺐ َﻋﻠَﻰ َﻋِﻘَﺒـﻴِْﻪ ْ َﺎت أ َْو ﻗُﺘِ َﻞ اﻧْـ َﻘﻠَْﺒﺘُ ْﻢ ﻋَﻠَﻰ أَ ْﻋﻘَﺎﺑِ ُﻜ ْﻢ َوَﻣ ْﻦ ﻳَـْﻨـ َﻘﻠ َ ﱡﺳُﻞ أَﻓَﺈِ ْن ﻣ َُﺖ ِﻣ ْﻦ ﻗَـْﺒﻠِ ِﻪ اﻟﺮ ْ ُﻮل ﻗَ ْﺪ َﺧﻠ ٌ َوﻣَﺎ ﳏَُ ﱠﻤ ٌﺪ إﱠِﻻ َرﺳ (144 : ) أل ﻋﻤﺮان. ﻓَـﻠَ ْﻦ ﻳَﻀﱠُﺮ اﻟﻠﱠﻪَ َﺷْﻴﺌًﺎ َو َﺳﻴَ ْﺠﺰِي اﻟﻠﱠﻪُ اﻟﺸﱠﺎ ِﻛﺮَِﻳﻦ Artinya: Muhammad hanyalah seorang Rasul sebelumnya pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan berbalik belakang ? Barang siapa berbalik belakang sama sekali tidak akan merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur (Ali Imran : 144). Gambaran mengenai peristiwa ini, penulis meyakini inilah salah satu penafsiran yang dilakukan oleh Abu Bakar ketika Nabi Muhammad meninggal. Bahkan Abu Bakar tanpa bertanya kepada siapapun atau bahkan mengkompromikan pelafalan ayat tersebut kepada para sahabat waktu itu. Mendengar hal tersebut Umar jatuh tersungkur ke tanah, bahkan umat Islam pada saat itu seperti kehilangan sosok yang paling sempurna. Bahkan seorang Umar pun tidak mampu menahan sedihnya, tetapi psikologi Abu Bakar begitu tenang, bahkan beliaulah yang mengumumkan kepada Umat Islam.19 Penulis tidak akan membahas terlalu panjang mengenai kematian Nabi Muhammad, akan tetapi penulis melihat terdapat salah unsur yang menjadikan Abu Bakar berani mengatakan seperti itu dihadapan Umat Islam yaitu kekuatan politik. Kekuatan politik yang dimaksud sini ialah kekuasaan atau sebuah tanggung jawab pada diri Abu Bakar. Keberanian Abu Bakar menafsirkan karena Abu Bakar pernah menjadi pimpinan rombongan jemaah haji dan memimpin 300 orang Muslimin. Ketika itu umat 18
Muhammad Husein Haikal, Terjemahan,. Abu Bakar As-Siddiq (Jakarta: Pustaka Liteara Antas Nusa, 2005), 29. 19 Haikal, Sejarah Muhammad, h. 30-32.
225 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… Islam telah menang dan telah menaklukkan semenanjung Arab dan berakhirnya ekspidisi ke Tabuk. Pada saat Abu Bakar memimpin Jemaah Haji, Nabi menyuruh Ali untuk menyusul Abu Bakar. Pada saat itu Abu Bakar bertanya kepada Ali “Amir atau Ma’mur” jawab Ali : “ Ma’Mur” .20 Peristiwa ini menggambarkan bahwa kedudukan Abu Bakar dimata umat Islam sangatlah urgen, dan mendeskrpisikan bahwa Abu Bakar adalah “tangan kanan” dari Rasulullah. Sehingga sangat wajar ketika Nabi Muhammad wafat, maka Abu Bakar-lah yang pantas memberikabn pengarahan, bahkan menegur uamt jika ada yang mengaggap bahwa Muhammad yang diakui sebagai Nabi Umat Islam hanyalah manusia biasa. Selain Abu Bakar, Umar juga sering menafsirkan al-Qur’an yang mengandung unsur politik. Hal ini sesuai dengan ijtihad Umar yang berguna untuk kemaslahatan umat. Misalnya penafsiran Umar terhadap harta Ghanimah. Dalam Q.S al-Anfal ayat 41 “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, Kerabat Rasul , anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnu Sabil, …..”. Ayat ini secara menjelaskan bagian dari ghanimah (harta rampasan), dalam hal ini Umar sebagai khalifah tidak memberikan harta ghanimah kepada para tentara, sehingga sebagian tentara kecewa, dan mengajukak protes yang dipimpin oleh AMr bin As{. 21 Jika dilihat dari ayat ini, menurut Qata>dah ayat ini telah menasakh Q.S al-Hasyr ayat 7 “ Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota adalah untuk Allah, Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
20
Haikal, Sejarah Muhammad, h. 537-536 Atiyatul Ulya, “Hadis Dalam Perspektif Sahabat “Kajian Ketataan Sahabat Terhadap Rasul Dalam Konteks Pemahaman Hadis (Disertasi: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 171. 21
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 226
orag yang dalam perjalanan, supaya harta itu tidak beredar diantara orang-orang kaya saja…..”. 22 Keputusan Umar yang berdampak protes oleh tentaranya, memberikan gambaran bahwa Umar telah melakukan ijtihad. Dan konsep yang dilakukan tadi sesuai dengan konsep maslahah mursalah yang berarti keputusan Umar memberi manfaat sesuai dengan syari’ untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan, dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu.23 Menurut penulis keputusan ini terdapat unsur politik didalamnya, unsur politik bisa dilihat dari kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan umat. Selain kasus di atas, Umar bin Khattab juga pernah berbeda pandangan mengenai talaq. Menurut Umar talaq hanya sekali saja. Hal ini bertentangan dengan Q.S al-Baqarah ayat 229 “ Talaq itu dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka….” Dalam hal ini Umar sebagai khalifah menafsirkan ayat ini sesuai dengan lingkungan setempat, meskipun secara jelas ayat itu mengatakan talaq dua kali. Akan tetapi Umar mengatakan talaq cukup sekali saja. Jika ada yang mentalaq istrinya maka ucapan talaq pertama diambil, dan langsung dalam kategori cerai.24 Hal ini berbeda dengan zaman Nabi Muhammad, ketika Nabi masih hidup ada beberapa Sahabat Nabi sering mengatakan cerai kepada istrinya, dan itu berulang-ulang peristiwanya. Setiap marah sang suami mengucapkan kata cerai. Maka turunlah Q.S al-Baqarah 22
Abi Ja’fat Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami‘ al-Bayan ‘An Ta’wil al-Qur’an. Jilid 5 (Kairo: Dar al-Salam, 2009), h. 3850 23 Firdaus, Ushul Fiqhi Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 81. Lihat juga Ramadhan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi al-Shari’ah al-Islamiyyah (Beirut: Muassash Risalah, 1977), h. 23. 24 Atiyatul Ulya, Hadis Dalam Perspektif Sahabat (Kajian Ketaatan Terhadap Rasul Dalam Konteks Pemahaman Hadis), h. 199.
227 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… 229, ketika itu Nabi menjelaskannya kepada Sahabat tersebut, dan mengatakan bahwa talaq itu harus dua kali saja.25 Keputusan Umar yang berbeda dengan penafsiran Nabi, karena konteks lingkungan Umar pada masa itu para pemudanya sering dengan mudahnya mengatakan cerai, sehingga Umar berinisiatif dengan ayat yang sama berinisiatif menafsirkan ayat ini dengan mengatakan talaq satu kali. Hal ini berdampak positif, karena para pemuda atau suami pada saat itu berubah menjadi berhatiberhati dalam mengucapkan kata talaq.26 Dua contoh tadi telah menggambarkan ada beberapa penafsiran yang mengandung unsure politik. Meskipun demikian unsure politik dalam hal ini bertujuan untuk kebaikan pada masa Sahabat. Berbeda halnya ketika terjadi pada masa pascasahabat. Munculnya hadis-hadis palsu , tafsir yang palsu, semua itu terbentuk atas dasar kepentingan kelompok semata. Hal ini berdasarkan penelitian Hasan Hanafi yang menyimpulkan bahwa teks hanyalah kendaraan bagi kepentingan, bahkan bagi hawa nafsu manusia, teks tidak lain hanya sebuah bentuk. Mufassir kemudian mengisinya dalam pengaruh ruang dan waktu. Selanjutnya secara esensial, konflik tafsir merupakan sosial politik, bukan konflik teoritis. Tafsir dijadikan senjata ideologis yang digunakan oleh kekuatan sosial politik yang berbeda-beda untuk mempertahankan atau mengubah status quo.27 Berbeda halnya dengan tafsir era Sahabat, kepentingan ideologis sangat jarang, bahkan sulit untuk ditemukan. Sahabat merupakan guru al-Qur’an pengganti Nabi Muhammad. Bahkan Sahabat langsung diajarkan oleh Rasulullah seperti perkataan dari Anas bin Malik “Nabi Muhammad dating kepada kita sewaktu kami 25
Husein Haikal, Umar bin Khattab terj: Ali Audah (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2007), h. 747. 26 Haikal, Umar bin Khattab, h. 747 27 Hasan Hanafi, Dari Teks ke Aksi “Merekomenasikan Tafsir Tematik dalam Jurnal Studi Al-Qur’an, vol. 1 Januari 2006. h. 67.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 228
lagi membaca al-Qur’an.28 Anas juga pernah berkata bahwa Nabi Muhammad pernah menjelaskan kepada kami makna al-Kausar yang berarti sungai yang diberikan kepada tuhan kepadaku di Surga.29 Melihat dari beberapa kasus penafsiran maka kepentingan politik sangat jarang ditemukan. Ibn Katsir berpendapat jika kita tidak mendapatkan tafsir dan al-Qur’an dan Nabi, maka sebaiknya kita mengambil penafsiran Sahabat, karena hanya merekalah yang mengetahui secara baik mengenai situasi dan kondisi pada saat itu. Selain itu para Sahabat mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih dan amal yang shaleh, terutama para tokoh besarnya.30 Pada masa ini tafsir tidak dibukukan menjadi sebuah kitab, akan tetapi jika kita ingin melihat tafsir Sahabat, maka bisa dilihat dari karya-karya yang bersumber dari Tafsir bi al-ma’thuri seperti Tafsir al-Qur’an al-Azim karya Ibn Kathit, Tafsir al-Dur al-Mansur karya al-Suyuthi, dan Tafsir Jami‘ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayyi alQur’an karya al-Thabari. Selain tiga karya ini penulis juga menemukan kitab tafsir Ibn ‘Abba yang berjudul Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas karya Abi Thahir bin Ya’qub al-Fairuz Abadi dan Tafsir Ummu al-Mu’minin karya ‘Abdullah Abu Su‘ud Badr. Bukti lain yang menggambarkan penafsiran Sahabat yang tidak ada unsur politiknya, bisa dilihat dari penafsiran Aisyah dalam Q.S al-Nu>r ayat 31 “ َ و اﻟﯿﻀﺮﺑﻦ ﺑﺨﻤﺮھﻦﱠ ﻋﻠﻰ ﺟﯿﻮﺑﮭﻦartinya Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung didadanya” Menurut Aisyah Allah sangat menyangi wanita-wanitayang turut berhijah pada gelombang pertama, maka ketika Allah menurunkan ayat ini,
28
M.M. Azami, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wayhu sampai Kompilasi. Terj: Sohirin Solihin (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 68. 29 Manna Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadith, 1973), h. 350. 30 Imad al-Din Abu al-Fuda’ Isma’il bin Umar bin Kathir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Jilid 1 (Kairo: Dar al-Hadith, 2003), h. 3.
229 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… lalu kami segera merobek pakaian yang dari wol lalu kami mengenakannya sebagai kerudung.31 Inilah beberapa contoh penafsiran pada masa Sahabat, meskipun terdapat contoh dari penafsiran Abu Bakar dan Umar yang sedang menjadi khalifah, tetapi bisa dilihat bahwa Abu Bakar dan Umar melakukan penafsiran demi kemaslahatan umat, bukan atas dasar kepentingan kelompok atau pridadi. Penafsiran-Penafsiran Dalam Mazhab Islam Pasca runtuhnya kekuasaan Ali, banyak hal yang terjadi di dunia Islam di antaranya berdirinya Dinasti Umayyah, setelah itu munculnya kaum Khawārij, Kaum Mu’tazilah, Kaum Jabariyah, Kaum Murji’ah, yang semuanya mempunyai tafsiran yang berbedabeda. Penulis tidak akan membahas satu persatu aliran tersebut akan tetapi penulis akan menampilkan beberapa contoh penafsiran yang sangat subjektifitas bahkan mendukung kelompoknya masingmasing. 1. Contoh penafsiran Mu’tazilah Mu’tazilah adalah salah satu pemahaman atau aliran dalam Islam yang disebut Ahl al-Adl wa al-Tauhid dan juga disebut dengan aliran qadariyyah. Qadiriyah mempunyai dua arti kata qadar dipergunakan untuk menamakan orag yang mengakui qadar dipergunakan untuk kebaikan dan keburukan pada hakikatnya dari Allah. Akan tetapi sebenarnya pendapat ini hanya lahir dari orangorang yang buta harinya, rasulullah saw bersabda:32 (al-Qadariyah adalah majusiinya islam) اﻟﻘﺪرﻳﺔ ﳎﻮس ﻫﺬﻩ اﻷﻣﺔ Mereka (kaum mu’tazilah) berpendapat bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya sendiri. Entah perbuatannya itu baik atau perbuatan buruk. Karena manusia berhak meemperoleh pahala dari 31
Abdullah Abu Su’ud Badr, Tafsir Aisyah Ummul Mukminin terjemahan: Syamsudin (Jakarta Timur: Darul Falah, 1996), h. 167 32 Muhammad ibn Abd al-Kari>m al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, terj: Asyawdi Syukur (Surabaya: bina Ilmu, 2003), h. 39.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 230
apa yang diperbuatnya dan siksa di hari akhirat. Menurut mereka perbuatan baik, buruk, maksiat dan kafir bukan perbuatan Allah, karena jika semua berasal dari Allah, maka artinya Tuhan telah berbuat zalim .33 Mu’tazilah berasal dari pemikiran Washil bin Atha (80-131 H). Ia merupakan murid dari Hasan Bas}ri (21 – 110 H). Ketika bersama Hasan Bas}ri, Washil berbeda pendapat dengan gurunya mengenai pelaku dosa besar, kemudian Washil membuat majlis tersendiri, lalu berkata Hasan Basri: Washil telah memisahkan diri (I’tizal), ini lah asal kata dari kaum Mu’tazilah.34 Ini merupakan gambaran ringkasan mengenai pemikiran Mu’tazilah. Dalam penafsiran al-Qur’an, kaum Mu’tazilah berpedoman pada akal dibanding Naql. Adapun tokoh-tokoh Mu’tazilah yang membuat kitab Tafsir diantaranya yaitu Abu Hasan Ali Ibn Isa alRahmani karyanya Kasy al-Dhunun al-Qadli Abdul Jabbar ibn Ahmad al-Hamadzani (w. 415 H) karyanya Tanzih al-Qur’an An AlMatha’in dan Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari (358 H) karyanya Tafsir al-Kasyaf. Salah satu contoh penafsiran Mu’tazilah yaitu Q.S al-Nisa ayat 125 واﲣﺬاﷲ إﺑﺮاﻫﻴﻢ ﺧﻠﻴﻼpada ayat ini kata khalil diartinya sebagai orang yang butuh (al-muhtaj). Pemahaman seperti ini sama seperti kitab tafsir klasik milik Mu’tazilah.35 Jika kita bandingkan dengan penafsiran al-Thabari maka akan terlihat perbedaanya. Khalil diberi makna sebagai pemeliharaan kepada Allah dengan cinta didalamnya.36 Terlihat jelas letak perbedaan kedua tafsir ini, meskipun keduanya menggunakan metode kebahasaan. Dalam penafsirannya kaum Mu’tazilah terfokus pada lima metode penafsiran yaitu pertama mengingkari hadis-hadis shahih 33
al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 39. Yunus Hasna Abidu, Tafsir al-Qur’an “Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, h. 137. 35 Goldziher, Mazhab Tafsir, 147. 36 al-Thabari, Jami‘ al-Bayan ‘An Ta’wil al-Qur’an, Jilid 7, h. 3017. 34
231 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… yang bertentangan dengan mazhab mereka. Kedua, klaim bahwa setiap hasil penafsiran, maka itulah maksud dari Allah meskipun hasil peafsirannya bervasriasi. Ketiga bertumpu pada bahasa. Keempat berpalaing dari qira’ah mutawatir yang tidak sejalan dengan mazhab mereka. Kelima, bertumpu kepada makna-makna majazi.37 Berikut ini salah satu contoh penafsiran Zamakshari ketika menafsirkan Q.S alFathir ayat 28. (28 :)ﺳﻮرة ﻓﺎﻃﺮ.......ﻛﺬاﻟﻚ إﳕﺎ ﳛﺸﻰ اﷲ ﻣﻦ ﻋﺒﺎدﻩ اﻟﻌﻠﻤﺆا Pada ayat ini Zamakhsyari menyatakan bahwa ulama adalah ulama yang mengetahui sifat Allah, sifat keadilan dan tauhid-Nya (diketahui sifat keadilah dan tauhid merupakan bawaan dari pemahaman Mu’tazilah).38 Sekali lagi terlihat jelas bahwa terdapat unsur pemahaman aliran yang dimiliki oleh Zamakhsyari. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran Zamakhsyari masih terpengaruh dengan situasi politik pada masa itu. 2. Penafsiran Golongan Khawarij Khawarij adalah kelompok yang memberontak dan tidak mengakui keabsahan imam yang baik pdaa zaman Sahabat hingga zaman tabi‘in. Terdapat beberapa orang yang tidak sependapat dengan Imam Ali, mereka inilah yang disebut dengan Khawarij yang berarti keluar dari kelompok. Adapun orang-orang yang keluar dari kelompok Ali pada masa itu adalah al-Asy’asy ibn Qais al-Kindi, Mas’ar ibn Fudaki al-Tamami.39 Adapun tokoh-tokoh khawarij ialah Abdullah ibn Wahab alRasidi, Abdullah ibn Kawa, Urwah ibn Jarih, Nafir Ibn al-Zaraq
37
143-144.
38
Abidu, Tafsir al-Qur’an “Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir”, h.
Abi al-Qasim Mahmud bin ‘Umar al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf ‘An Haqaiq Ghawamid al-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil (Riyadh: Matabah Abikan, 1998), h. 152. 39 Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 106-107
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 232
(pemimpin al-Zariqah), Najdah Ibn Amir (pemimpin al-Najdah), Abdul Karim bin Ajrad (pemimpin Al-Ajaridah).40 Kelompok ini tidak mengakui kepemimpinan dari Usman bin Affan dan Ali bin T{alib. Beriku ini adalah penafsiran dari Kaum Khawarij (204 : َﺎم )اﻟﺒﻘﺮة ِ ُﻚ ﻗـ َْﻮﻟُﻪُ ِﰲ اﳊَْﻴَﺎةِ اﻟ ﱡﺪﻧْـﻴَﺎ َوﻳُ ْﺸ ِﻬ ُﺪ اﻟﻠﱠ َﻪ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ِﰲ ﻗَـﻠْﺒِ ِﻪ َوﻫَُﻮ أَﻟَ ﱡﺪ اﳋِْﺼ َ ْﺠﺒ ِ ﱠﺎس َﻣ ْﻦ ﻳـُﻌ ِ َوِﻣ َﻦ اﻟﻨ Artinya : Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaaran) isi hatinya padahal ia adalah penantang yang paling keras. (Q.S al-Baqarah: 204) Menurut Kaum Khawārij ayat ini didedikasikan buat Ali bin Abi Thalib karena Ali bagi mereka telah kafir. Bahkan mereka membenarkan tindakan Abd al-Rahman ibn Maljam yang membunuh Ali bin Thalib.41 Jika melihat penjelasan dari al-T{aba>ri ayat ini tidak membicarakan tentang Ali bin Abi T{alib. Menurut al-T{aba>ri ayat ini berbicara tentang seseorang yang bernama Akhanas bin Syari>k alTsaqafi yang kagum kepada Nabi Muhammad, padahal dia penanatang yang keras. Kemudian Akhnas masuk Islam.42 Terlihat jelas bahwasanya golongan Kahawarij berpijak kepada kepentingan politik untuk melegaliasasi tindakan mereka yang keluar dari kelompok Ali. Dampak yang terasa dari penafsiran ini ialah pemahaman Oreinetalis yang salah memahami ayat ini, misalnya saja Ignaz Goldziher dalam karnya Mazhab al-Tafsi>r al-Islami, ia memahami bahwa sebagian kelompok tafsir klasik terjadi kontradiktif pemahaman. Contohnya saja Ibn Maljam yang membunuh Ali, 40
Gholib, Teologi Dalam Perspektif Islam, h. 47. Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 107 42 al-Thabari, al-Thabari, Jami‘ al-Bayan ‘An Ta’wil al-Qur’an, Jilid 1, h.
41
1106.
233 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… kelompok Khawarij membenarkan perbuatan tersebut dan pembenaran tersebut diambil dari penafsiran ulama klasik.43 Tidak hanya itu mereka juga memberikan tafsiran terhadap ayat al-Qur’an berkenaan dengan Abdurahman Ibn Maljam yang merupakan seorang pejuang dan berhasil membunuh Ali bin Abi Thalib, adapun ayatnya sebagai berikut :44 (207) َﺎد ِ ُوف ﺑِﺎﻟْ ِﻌﺒ ٌ َﻦ ﻳَ ْﺸﺮِي ﻧـَ ْﻔ َﺴﻪُ اﺑْﺘِﻐَﺎءَ ﻣَْﺮﺿَﺎةِ اﻟﻠﱠ ِﻪ وَاﻟﻠﱠ ُﻪ َرء ْ ﱠﺎس ﻣ ِ َوِﻣ َﻦ اﻟﻨ Artinya : dan diantara mansia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah ……. (Q.S. al-Baqarah 207). Ayat ini kemudian ditafsirkan dengan menggunakan syair yang berasal dari Umran ibn Hisyam, syairnya seperti berikut ini. ﻳﺎ ﺿﺮﺑﺔ ﻣﻦ ﻣﻨﻴﺐ ﻣﺎ أردا ﺎ إﻻﻟﻴﺒﻠﻎ ﻣﻦ ذي اﻟﻌﺮش رﺿﻮاﻧﺎ أوﰱ اﻟﱪﻳﺔ ﻋﻨﺪ اﷲ ﻣﻴﺰاﻧﺎ إﱐ ﻷذﻛﺮﻩ ﻳﻮﻣﺎ ﻓﺄﺣﺴﺒﻪ Artinya : v Wahai si pemenggal si takwa ia tidak menghendaki dengannya v Melainkan untuk mengaharapkan keridhaanya pemilik ArsyNya v Sesungguhnya aku tidak menyebut namanya pada suatu hari v Menurutku dia ada contoh manusia yang paling setia Sungguh disayangkan sebagian dari kelompok Tabi‘in berpaling dari ajaran Islam sesungguhnya dan menafsirkan dengan mengikuti keinginan hawa nafsu mereka. Padahal penafsiran yang mereka lakukan guna untuk menyelematkan kelompok mereka minorotas. Berbicara masalah Q.S al-Baqarah ayat 207 berbeda penafsirannya jika melihat penafsiran al-Thabari. Menurutnya ayat ini ditafsirkan dengan Q.S al-Taubah ayat 111 “ Sesunguhnya Allah 43 44
Goldziher, MazhabTafsir “Dari Aliran Klasik hingga Modern, h. 317. Asy-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, h. 106-107.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 234
membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereja dengan memberikan surga kepada mereka. Mereka itu adalah orangorang yang berperang di jalan Allah sehingga mereka membunuh dan terbunuh.” Menurut al-Thabari ini ayat untuk para mujahid, kemudian al-Thabari menjelaskan dengan hadis yang berasal dari Qatadah ayat ini digunakan kepada kaum Anshar dan kaum Muhajirin.45 Menurut analisa penulis terdapat jarak yang sangat jauh antara asbab nuzul ayat ini dengan peristiwa pembunuhan Ali. Berdasarkan hadis dari Rabi’bahwasanya kelompok Nabi dari ke Madinah, ketika sampai di Madinah mereka disambut dan mereka diberikan harta dan rumah bagi mereka yang baru saja dating, setelah itu turunlah ayat ini.46 Adapula versi lain dari ayat ini yang berasal dari Mustadrak Imam Hakim, menurut riwayat Ikrimah ketika Shuhaib keluar berhijrah, penduduk Makkah mengikutinya dan ingin membunuhnya, setelah itu laki-laki tadi berkata: jangan kalian mendekat, jika kalian mendekat akan kuarahkan anak panah ini. Setelah itu Hamad bin Salamah menceritakan laki-laki tadi kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda dengan Q.S al-Baqarah ayat 207.47 Melihat kisah-kisah ini, maka penulis melihat bahwa penafsiran yang dilakukan oleh kelompok khawarij terdapat unsure politik didalamnya, dan bukan kemaslahatan umat. 3. Penafsiran Golongan Syiah Syi’ah secara bahasa artinya pengikut, pendukug, partai atau kelompok. Secara istilah adalah sebagian kaum muslim yang dalam
45
Al-T{aba>ri, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘An Ta’wil al-Qur’a>n, Jilid 1, h. 1116. Al-T{aba>ri, Ja>mi‘ al-Baya>n ‘An Ta’wil al-Qur’a>n, Jilid 1, h. 1117. 47 Syeikh Muqbil bin Hadi al-Wadi‘i, Shahih Asbab Nuzul Seleksi HadisHadis Shahih Sebab Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, terj. Imanuddin Kamil (Jakarta: Pustaka Al-Sunnah, 2007), h. 88. 46
235 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… bidang spritualnya dan kegamaanya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad saw atau sering sisebut Ahl Bait.48 Dari semua aliran, Syiah merupakan salah satu aliran yang paling banyak memberikan sebuah kontroversi, bahkan hingga saat ini Syiah masih dianggap sangat eksis dalam menjalankan alirannya. Hal ini disebabkan karena tradisi mereka sangat kuat mulai dari tradisi penafsiran dan pengumpulan hadis. Hampir sepuluh persen umat Islam adalah Syiah.49 Dalam penafsiran Syi’ah, konsep dasar penafsiran mereka bersumber dari Ali, Keturunannya dan para Imam. Hal ini berbeda dengan sunni, dalam sunni peranan penafsiran dipegang penuh oleh Nabi Muhammad, kemudian diwarisi oleh pengikutnya yang dijuluki Sahabat, dan pengikutnya lagi (tabi‘in). Sedangkan dalam Syi’ah, Imam menjadi peran mediasi mengenai makna al-Qur’an baik itu zahir ataupun batin.50 Pada dasarnya Syiah hanya satu, kemudian berkembang menjadi berbagai macam kelompok ada yang dinamakan syiah Imamiyah, Syiah Kaisaniyah, Syiah Sab’iyyah, Syiah Zaidiyyah, Syiah Itsna Asyariyyah, Syiah Ghalat, dan masih banyak kelompok syiah yang tidak bisa dijelaskan satu persatu dalam penelitian ini.51 Jika melihat sejarah Islam, maka akan terlihat Syiah sebagai kekuatan politik dalam Islam yang sangat dominan pada masa itu. Syiah pernah berkuasa pada masa Dinasti Abbasiyah, kemudian dinasti
48
Abdul Rozak dan Rosihan Anwan, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h. 89. Lihat juga. Arzina R. Lalani, “Shi’ah” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n. Volume 4. Ed. Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001), h. 591. 49 Meir M Bar-Asher, “Shi>’am and the Qur’a>n” dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n. Volume 4. Ed. Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001), h. 563. 50 Bar-Asher, “Shi>’am and the Qur’a>n” h. 567. 51 Abu Bakar, Visi Politik Syiah Imamiyyah “Ananlisis Interpretatif Atas Ayat-Ayat Wilayah Syi’ah Imamiyah Syiah Itsna Asyariyyah Dalam Tafsir alQummi. Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. h. 63.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 236
Fathimiyyah. Hal ini kemudian menjadikan syiah sebagai kelompok yang dominan dan dibahas dalam berbagai literatur Islam. Dalam penafsiran al-Qur’an kelompok Syiah sangat memberikan perhatian kepada kelompok mereka. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hasil penafsiran mereka seperti dalam Q.S Ali Imran ayat 138 “ " ﻫﺬا ﺑﻴﺎن ﻟﻠﻨّﺎس وﻫﺪى و ﻣﻮﻋﻈﺔ ﻟﻠﻤﺘﻘﲔayat ini kemudian ditafsirkan oleh kelompok syiah kelompok Bayaniyyah mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan dirinya adalah al-Bayan, al-Huda dan al-Mauizdati. Secara kebetulah pendiri mazhab ini bernama Bayan Ibn Sam’an.52 Secara jelas kelompok ini hanya menafsirkan untuk demi kepentingan kelompoknya saja. Jika dibandingkan dengan penafsiran Ibn Kathsir maka hal ini berbeda ayat ini menurut Ibn Kathir ialah penjelasan tentang makna al-Qur’an yang dijadikan sebagai petunjuk, penerang, dan nasehat bagi umat manusia.53 Sedangkan tafsir al-Thabari menjelaskan kata ﻫﺬاdalam ayat ini ialah al-Qur’an. Kemudian menurut riwayat Qatadah dan Rabi’ ﺑﻴﺎن ﻟﻠﻨﺎس و ﻫﺪى و ﻣﻮﻋﻈﺔialah petunjuk manusia secara umum, sedangkan orang-orang bertakwa mendapat petunjuk yang khusus.54 Dua peafsiran ini tidak menjelaskan kelompok syiah yang berasal dari golongan al-Bayaniyyah. Secara jelas tafsir alBayaniyyah mengandung unsur politik. Tidak hanya itu beberapa ayat-ayat hukum juga mereka (kelompok Syiah) berbeda pandangan. Misalnya mengapa kelompok syiah itu menjama shalat, dalam hal ini mereka mengambil landasan Q.S al-Isra’ ayat 78. أﻗﻢ اﻟﺼّﻠﻮة ﻟﺪﻟﻮك اﻟﺸﻤﺲ إﱃ ﻏﺴﻖ اﻟﻠﻴﻞ و ﻗﺮءان اﻟﻔﺠﺮ إ ّن ﻗﺮءان اﻟﻔﺠﺮ ﻛﺎن ﻣﺸﻬﻮدا
52
Abidu, Tafsir al-Qur’an Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, h. 163. Imaduddin Abi al-Fudha Isma’il bin Kathir al-Damasyqi, Tafsisr alQur’an al-Azim (Kairo: Makatab al-Aulaad Syekh Liturath, 2000), 191. 54 Al-Thabari, Jami‘ al-Bayan ‘An Ta’wil al-Qur’an, Jilid 6, h. 3489. 53
237 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran…
Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan dirikanlah shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan Allah. Ayat ini menyatakan dirikan shalat dari siang hari hingga tengah malam dan juga dirikan shalat subuh, maka, waktu keempat shalat dimulai dari siang hingga tengah malam. Kemudian kelompok Syiah menyimpulkan dari ayat ini bahwa terdapat tiga waktu shalat, pertama terelincirnya matahari yaitu waktu shalat zuhur dan ashar, kedua awal tenggelamnya matahari waktu umum yaitu waktu shalat magrib dan isya, dan ketiga sebelum matahari terbit yaitu Subuh. Alasan kelompok syiah mengatakan seperti ini karena mereka menganggap bahwa ﻏﺴﻖyaitu berarti permulaan dari kegelapan malam.55 Inilah beberapa contoh penafsiran dari kelompok syiah yang mungkin saja menurut mereka benar, dan menurut sebagian umat Islam salah, sehingga tidak ada titik temu antara penafsiran yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini penulis hanya memberikan sedikit gambaran mengenai penafsiran kelompok syiah yang menurut sebagian umat Islam terdapat kekeliruan. Faktor-Faktor Munculnya Penafsiran Berkepentingan Politik Pada dasarnya hukum Islam dibangun dengan dua landasan yaitu al-Qur’an dan sunna (hadith). Keduanya dipercaya berasal dari Nabi Muhammad sebagai wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui malaikat Jibril, sedangkan Sunnah berasal dari perkataan Nabi Muhammad.56 Salah satu permasalahan penafsiran di dunia ini adalah adanya pemalsuan tafsir dan hal ini bersumber dari hadis-hadis yang 55
Mohammad Reza Modaresse, Syi’ah Dalam Sunah Mencari Titik Temu yang Terabaikan, terj: Hamideh Elahina (Jakarta: PT Citra, 2003), h. 153. 56 Avraham Hakim , “Context: ‘Umar bin Khattab” dalam The Blackwell Companion to The Qur’an. ed. Andrew Rippin. 2009. h. 207.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 238
dijadikan sebagai legitimasi sebuah argument. Khususnya Tafsir bi al-ma’thur yang kebanyakan orang sering menggunakan hadis. Akan tetapi tafsi bi al-ma’thur bukan menjadi persoalan besar. Persoalan besar ialah munculnya beberapa golongan yang menjadikan tafsir sebagai legitimasi. Hal ini disebabkan karena pecahnya kaum muslim ke dalam aliran-aliran setelah terbunuhnya Ali. r.a di tahun 41 H yakni saatnya munculnya Shi’ah dan Khawarij.57 Sejarah Islam telah mencatat bahwa terpecahnya umat Islam dalam berbagai juga berpengaruh dalam penafsiran mereka. Hasan Abidu telah menyebutkan ada tiga penyebab timbulnya penafsiranpenafsiran yang sesat. Pertama, fanatisme mazhab dan konflik idiologi. Kedua, perbedaan pandangan politik. Ketiga, banyak orangorang yang berpura-pura masuk Islam, dan memperkuat keislamannya dengan tafsir yang dibuat.58 Pemahaman Abidu ini bisa disimpulkan bahwa adanya mazhab yang berperan aktif dalam membangun sebuah kelompok dengan dalil- dalil al-Qur’an. Selain itu penulis juga melihat bahwa tafsir juga menjadi alat untuk penyampaian visi misi sebuah kelompok. Misalnya saja kelompok syiah yang meyakini bahwa penafsiran ini berasal dari Imam. Mohammad Kazem Sakher telah melakukan penelitian terhadap interpretasi al-Qur’an yang bersumber dari Syiah. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa terdapat beberapa nama mufasir dari kalangan Syiah yang berkosentrasi dalam bidang tafsir, pada abad III H terdapat beberapa ulama Syiah seperti Aban ibn Taghlib, Abu Hamzah al- Thumali, Abu al-Jarud and Jabir ibn yazid al-Ju'fi, dan pada abad IV H muncul beberapa kelompok Syiah yang berkosentrasi pada tafsir seperti Furat ibn Ibrahim al-Kufi, Muhammad al-Ayyashi and Ali ibn Ibrahim al-Qummi. Akan tetapi hal ini tidak berlanjut pada abad V H, pencatatan tafsir hilang dan 57 58
Abidu, Tafsir al-Qur’an “Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir”, h. 59. Abidu, Tafsir al-Qur’an “Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir”, h. 60
239 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… sulit dilacak. Pada akhirnya abad XI H dengan pergerakan “akhba>ri” beberapa sarjana seperti al-Hawayzi dan al-Bahrani menumpulkan seluruh hadis yang berisikan tentang penafsiran dan menghasilkan dua koleksi besar. Adapun karyanya bisa dilihat dalam dua kitab hadis versi Syiah yaitu Nur Thaqalain yang menghimpun 13500 hadis dan al-Burhan 12000 hadis.59 Menurut penulis pengambilan dan pegumpulan hadis-hadis ini didasari karena kelompok Syiah tidak lagi mempercayai penafsiran yang dilakukan oleh kelompok Sunni dalam hal ini para Sahabat selain Ali. Ini merupakan salah satu penyebab dari adanya penafsiran dalam bidang politik. Tidak hanya kelompok Syiah, jauh sebelum adanya syiah penggunaan politik dalam penafsiran al-Qur’an sudah digunakan, hal ini dijelaskan oleh Paul L Heck yang menjelaskan bahwa pemberian gelar Sahabat telah menunjukkan sebuah otoritas yang diberikan Nabi kepada kelompok ini, sehingga ini menjadi landasan untuk bisa menafsirkan al-Qur’an.60 Tidak hanya otoritas, pada dasarnya para Sahabat sudah mempunyai pengetahuan yang lebih dari yang lain. Sehingga sangat wajar jika mereka bisa menafsirkan al-Qur’an. Pengaruh yang lain bisa dilihat dilihat dari al-Qur’an itu sendiri, jika dilihat dari isi al-Qur’an maka kita bisa menemukan beberapa aspek didalamnya. Misalanya saja aspek hukum, sejarah, dan akidah. Dari segi hukum ini banyak masuk pengaruh politik didalamnya. Misalnya penetapan hukum zakat pada kuda yang dilakukan dinasti Umayyah yang diterapkan di Syiria dan Irak. Akan tetapi hal tersebut di Madinah kebijakan ini ditolak karena pihak Madinah mempunyai dalil untuk menantang kebijakan pajak tersebut.
59
Mohammad Kazem Sakher, “Methodology of Qur’an Interpretation in Exegetical Hadiths of Shi’ah” dalam Inti J Humanisty. Vol. 16 (2009), h. 143-146. 60 Paul L Heck, “Politcs and The Qur’a>n dalam dalam Encyclopaedia of the Qur’a>n. Volume 4. Ed. Jane Dammen McAuliffe (Leiden: Brill, 2001), h. 126.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 240
Sebaliknya dinasti Umayyah juga mempunyai dalil untuk memperkuat argumennya.61 Berdasarkan uraian yang singkat ini terdapat beberapa hal yang perlu disimpulkan dalam penafsiran yang berhubungan dengan politik. Terdapat tiga kesimpulan yang menjadi faktor terbentuknya penafsiran yang berkepntingan politik. Pertama, timbulnya beberapa aliran setelah wafatnya Nabi Muhammad, merupakan faktor utama, sehingga terbentuknya penafsiran yang bersifat politik. Setelah terbentuknya aliran tersebut, timbul fanatisme dan membuat mereka (aliran-aliran baru) mengambil keputusan bahwa alirang mereka harus diperkuat dengan argument yang berasal dari al-Qur’an dan hadis. Kedua, terlibatnya agama dan pemerintahan merupakan salah satu faktor yang kuat, sehingga timbul penafsiran yang bersifat politik. Salah satu contoh ialah penafsiran yang dilakukan oleh Umar bin Khat}t}ab. Hal ini terdapat dalam Q.S al-Maidah ayat 90 “Wahai orangorang beriman Sesungguhnya minuman keras, berjudi, mengabdi kepada berhala dan mengundi nasib dengan anak panas adalah perbuatan keji dan syaita.Maka jauhilah perbuatan itu agar kamu beruntung.” Ayat ini kemudian ditafsirkan oleh Abu Bakar dengan memberikan hukuman cambuk sebanyak empat puluh kali kepada orang-orang yang meminum khamar.62 Kemudian di zaman Umar hukuman tersebut berubah menjadi 80 cambukan, perbedaan ini didasari oleh lingkungan setempat yang bertambah jumlah pemabuknya, sehingga perlu merubah keputusan dari 40 kali cambuk menjadi 80 kali cambuk.63
61
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terj. Joko Supomo (Jakarta: Insan Madani, 2010), 305. 62 Abi al-Husain bin Muslim bin al-Hajjaj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Jilid 3 (Kairo: Dar al-Hadith, 1997), h. 187. 63 Al-Naisaburi, Shahih} Muslim, Jilid 3, h. 188.
241 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… Ketiga, tradisi yang dibawa oleh Nabi Muhammad, khulafau al-Rasyidin, dan para tabi‘in yang melibatkan al-Qur’an dalam segala tindakan. Misalnya ketika Nabi Muhammad bertindak segala sesuatu disandarkan kepada al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan Q.S al-Najm ayat 3-4. إن ﻫﻮ إﻻ وﺣﻲ ﻳﻮﺣﻰ, وﻣﺎ ﻳﻨﻄﻖ ﻋﻦ اﳍﻮي. Bagi penulis ayat ini menjadikan Nabi Muhammad sebagai orang yang berjalan dibawah bimbingan Allah. Pada tradisi selanjutnya para Sahabat selalu berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, misalnya keputusan Abu Bakar dalam memerangi kaum murtad bersumber dari Al-Qur’an,64 keputusan Arbitrase (tahkim) pada saat itu menggunakan al-Qur’an sebagai kunci perdamaian. Adapun ayat digunakan pada masa itu adalah Q.S al-Maidah ayat 44 “Barang siapa yang tidak berhukum terhadap apa yang diturunkan Allah, maka dia kafir.”65 Selanjutnya hal ini diteruskan lagi oleh para Tabi’in, menurut penulis inilah tradisi yang sering diikuti oleh beberapa aliran yang ingin melegetimasi aliran mereka, sehingga Al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi “tameng” untuk melindungi dan menambah para pengikutnya. Tiga faktor ini yang menyebabkan munculnya beberapa tafsir yang berkepentingan politik. Kesimpulan Setelah menjelaskan beberapa uraian diatas penulis memberikan kesimpulan bahwa penafsiran tidak bisa lepas dari lingkungan setempat. Sedikit atau banyak hal ini sangat mempengaruhi sebuah penafsiran al-Qur’an. Hal ini serupa dengan gagasan dari Khaled Abou el Fadl yang menggunakan hermeneutik untuk mengungkap bagaimana seseorang
64
Alhaddar, Rasionalitas Penafsiran Sahabat dan Tabi’in “Kajian Atas Tafsir bi al-Mathur”, h. 92. 65 Gholib, Teologi Dalam Perspektif Islam, h. 49.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 242
bisa mewakili suara tuhan, tanpa harus menjadi tuhan.66 Jika semua penafsir menyadari bahwa apa yang mereka ucapkan dan tuliskan berpengaruh pada lingkungan niscaya mereka akan lebih berhati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an. Hal ini tidak disadari oleh beberapa kelompok dalam Islam, hanya karena penafsiran yang ingin menguatkan argument mereka atau aliran mereka, maka terjadi pertumpahan darah. Hal ini yang dijelaskan dalam tulisan ini semoga para pembaca memahami dengan maksud dan tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini. Sehingga tidak ada lagi penafsiran yang bersifat atau bermuatan politik, dan semua umat Islam bisa mendapatkan penafsiran yang sesuai dengan perkataan Allah, bukan sesuai dengan hawa nafsu sesaat.
DAFTAR PUSTAKA Al-Banna, Gamal. terjemahan,. Evolusi Tafsir. Jakarta : Qisthi Press, 2004. Al-Buhti, Ramadhan. Dawabit al-Maslahah fi al-Shari’ah alIslamiyyah (Beirut:Muassash Risalah, 1977. Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah. Shahih al-Bkhari, Jilid 3. Kairo: Dar al-Hadith, 2005. Al-Dzahābi, Muhammad Husein. al-Tafsῑr wa al-Mufassirūn. Beirut : Makatabah Mus’āb bin ‘Umar, 2004. Alhaddar, Muhsin Ali.nRasionalitas Penafsiran Sahabat dan Tabi’in “Kajian Atas Tafsir bi al-Mathur”. Ciputat: Isdar Press, 2012. Al-Qattan, Manna Khalil al-Qattan, Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadith, 1973. 66
Khaled M Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Otoritatif ke Fikih Otoratif, terj: R Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 30.
243 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… Al-Suyuthi Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, 2008. Al-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim .al-Milal wa al-Nihal, terj: Asyawdi Syukur. Surabaya: bina Ilmu, 2003. Al-Thabari, Abi Ja’fat Muhammad bin Jarir. Jami‘ al-Bayan ‘An Ta’wil al-Qur’an. Jilid 5. Kairo: Dar al-Salam, 2009. al-Thurmuzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah. Sunan alTurmudhi, Jilid 5. Kairo : Dar al-Hadith, 2005. Al-Wadi’i yeikh Muqbil bin Hadi. Shahih Asbab Nuzul Seleksi Hadis-Hadis Shahih Sebab Turunnya Ayat-Ayat al-Qur’an, terj. Imanuddin Kamil. Jakarta: Pustaka Al-Sunnah, 2007. Al-Zamakshari, Abi al-Qasim Mahmud bin ‘Umar. Tafsir al-Kasyaf ‘An Haqaiq Ghawamid al-Tanzil Wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil. Riyadh: Matabah Abikan, 1998. Al-Zarqani, Muhammad Abdul Azim, Manahil al-‘Irfan, Jilid 2. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1995. Asher, Meir M Bar, “Shi’an and the Qur’an” dalam Encyclopaedia of the Qur’an. Volume 4. Ed. Jane Dammen McAuliffe. Leiden: Brill, 2001. 560-585. Badr, Abdullah Abu Su’ud. Tafsir Aisyah Ummul Mukminin terjemahan: Syamsudin. Jakarta Timur: Darul Falah, 1996. Bakar, Abu . Visi Politik Syiah Imamiyyah “Ananlisis Interpretatif Atas Ayat-Ayat Wilayah Syi’ah Imamiyah Syiah Itsna Asyariyyah Dalam Tafsir al-Qummi. Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Basya, Hilaly. “Mendialogkan Teks Agama dengan Makna Zaman : Menuju transformasi Sosial”. Al-Huda Vol III (2005) : 37-9. Firdaus, Ushul Fiqhi Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif. Jakarta: Zikrul Hakim, 2004
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 244
Ghalib, Ahmad. Teologi Dalam Perspektif Islam. Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005. Goldziher, Ignaz Mazhab Tafsir Dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. Alaika Salamullah, Saifuddin Zuhri, Badrus Syamsul. Yogyakarta: Elsaq Press, 2006. Haekal, Muhammad Husein. terjemahan. Abu Bakar As-Siddiq. Jakarta : Litera Antar Nusa, 2005. Hanafi, Hasan Dari Teks ke Aksi “Merekomenasikan Tafsir Tematik dalam Jurnal Studi Al-Qur’an, vol. 1 Januari 2006. Hitti, Philip K. terjemahan,. History Of the Arabs. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2006. Kathir Imad al-Din Abu al-Fuda’ Isma’il bin Umar bin. Tafsir alQur’an al-‘Azim, Jilid 1. Kairo: Dar al-Hadith, 2003. Lalani, Arzina R., “Shi’ah” dalam Encyclopaedia of the Qur’an. Volume 4. Ed. Jane Dammen McAuliffe Leiden: Brill, 2001. 491-515. Ma’rifat, Hadi. terjemahan,. Sejarah al-Qur’an . Jakarta : al-Huda : 2007. Modaresse, Mohammad Reza. Syi’ah Dalam Sunah Mencari Titik Temu yang Terabaikan, terj: Hamideh Elahina. Jakarta: PT Citra, 2003. Rozak, Abdul, dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia, 2006
245 Muhsin Alhaddar, Unsur Politik Dalam Dunia Penafsiran… Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an “Towards a contemporary approach” (New York: Routledge, 2006. Shihab, Quraish. Rasionallitas al-Qur’an Studi Kritis atas Tafsir alManar. Jakarta : Lentera Hati, 2006. Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahun. Jakarta : Prenada Media, 2004. Syrubasi, Ahmad. terjemahan,. Sejarah Perkembangan Tafsir alQur’an. Jakarta : Kalam Mulia, 1999. Syurbasi, Ahmad. Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir alQur’an. Jakarta : Kalam Mulia, 1999 Taimiyyah, Ibn. Muqadimmah fi Ushul al-Tafsir. Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997. Ulya, Atiyatul. “Hadis Dalam Perspektif Sahabat “Kajian Ketataan Sahabat Terhadap Rasul Dalam Konteks Pemahaman Hadis. Disertasi: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Yunus, Hasan Abidu, Tafsir al-Qur’an “Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafik. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Rausyan Fikr, Vol. 10, No. 2 Juli – Desember 2014 246