Corak Penafsiran al Qur’an
CORAK PENAFSIRAN AL-QUR’AN (Periode Klasik – Modern) KH. A. Baijuri Khotib
Abstrak Otonomisasi teks al-Qur’an telah membatasi hubungan komunikasi pemaknaan antara pembuat teks dan penafsirnya. Keterbatasan ruang komunikasi langsung menyebabkan teks al-Qur’an ditafsirkan dalam konstruk dan cara pandangan yang berbeda-beda oleh para penafsirnya sehingga terkesan ada corak yang berbeda dalam setiap penfasiran teks al-Qur’an. Hal ini menjadikan penafsiran al-Qur’an pada masa klasik, pertengahan dan modern memiliki corak tersendiri. Penafsiran klasik terkesan mengedepankan kehati-hatian berdasarkan ma’tsu>r (periwayatan) dan menjadikan Nabi pada saat itu sebagai sumber utama pemaknaan al-Qur’an. Berbeda dengan era modern seakan lebih menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir ilmi), budaya, sosial, linguistik dan sastra. Namun secara umum corak penafsiran al-Qur’an dengan istilah tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan), tafsir bi al-Ra’yi (rasio akal), tafsir tahlily (analisisi), tafsir muqa>ran (perbandingan), tafsir ijma>ly (makna global), dan tafsir maud}u>’i (tematik). Namun, dalam perkembangannya corak penafsiran al-Qur’an juga berkaitan dengan genre keilmuan seperti tafsir corak sufistik, corak lughowi (linguistik), corak ijtima>’iy (sosial), fiqh, filsafat, ilmiah (santifik), dan kalam (teologi). Keynote: Tafsir, Corak, Klasik, Modern Ditulis oleh Wakil Ketua MUI Kota Tangerang
Pendahuluan Manusia adalah aktor terpenting dalam men-definisikan suatu fenomena, simbol dan realitas sosial, karena dianggap sebagai makhluk kreatif. Sehingga manusia dijadikan cerminan dari fakta sosial dan sistem kebudayaan yang merupakan bagian dari interaksi simbol-simbol sebagai wujud reprentasi komunikasi dengan sesamanya, yang mungkin dapat menimbulkan penafsiran atas
simbol-simbol tersebut dalam berinteraksi sosial. Sebab itu, bagian ini akan membahas komunikasi penafsiran teks, berkaitan dengan proses interaksi pemaknaan antara pengarang, teks dan pembaca sebagai sebuah komunikasi. Komunikasi tersebut memunculkan teori-teori pemaknaan teks dalam sastra atau teks secara umum. Menelaah konsep komunikasi pemaknaan antara pengarang- tekspembaca seolah membentuk opini
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
114
Jurnal hikamuna
adanya perdebatan pemaknaan diantara pemerhati makna. Perdebatan tersebut mengisyaratkan bahwa makna teks dalam karya bersifat relatif, atau makna tidak lagi absolut. Maka dari itu, penulis memberikan pertanyaan dari konteks komunikasi tersebut agar bisa mengarahkan arah teori pada penelitian ini. Yaitu; (a) apakah makna suatu teks itu berdasarkan atas makna pengarang (author)? Atau (b) itu berdasarkan pembaca, karena ada jarak antara pembaca dan pengarang?, (c) atau pula pada realitas sejarah yang mempengaruhinya? Dari pertanyaan tersebut, tergambarkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat mengenai pemaknaan diantara pemerhati teks, yaitu antara pendukung pengarang, teks, dan pembaca. Sebut saja pandangan Roland Barthes dalam pengkajian strukturalisme bahasa, lebih tepatnya cara ia menafsir teks. Baginya, Roland Barthes1 mengilustrasikan pemaknaan suatu teks berdasarkan hermeneutika, 1
Ia bagian dari pasca strukturalisme, dan Roland Barthes lahir pada 12 November 1915 di Kota Cherbourg, Normandy. Barthes berasal dari golongan keluarga menengah Protestan yang ditinggal mati ayahnya saat ia berusia satu tahun. Ayahnya seorang perwira angkatan laut yang terbunuh dalam tugas di North Sea. Sejak itu, ibunya -Enriette Barthes-, bibinya, dan neneknya mengajak pindah ke kota Bayonne, sebuah kota kecil di dekat Pantai Atlantik, sebelah barat daya Perancis.
115
begitu juga dengan sastra. Bahwa pemaknaan karya atau teks berdasarkan tiga komponen yang memiliki kaitan, yaitu penafsir (pembaca) - teks (objek) dan makna (intrepretasi). Penafsir bebas mengolah data yang terdapat pada teks berdasarkan relasi sistem tanda yang ada dan konvesinya, dan kemudian di akhiri dengan penemuan makna yang relevan berdasarkan telaahnya. Penafsiran tersebut dipengaruhi oleh logika, mitos, kepercayaan dan pengalaman yang beralih pada kreativitas sejarah, bukan pada sejarah penulisanya. Oleh karena itu, telaah struktur yang dilakukan Barthes telah memutuskan hubungan makna, antara teks dan pengarang (the death of the author).2 Artinya ada jarak yang jauh antara pengarang dan pembaca dalam memberikan makna, sehingga ia menitik beratkan pemahaman suatu teks hanya pada pembaca, termasuk di dalamnya penafasir dalam memberikan makna. Kemudian, ia menekankan bahwa pembaca atau penafsir pastinya dipengaruhi oleh mitos, logika, kepercayaan dan situasi historis sehingga teks dapat ditafsirkan atau diberikan makna sesuai dengan kondisi pembaca atau panafsirnya. Kaitanya dengan al-Qur’an sebaga teks suci yang corpus, tidak 2
Roland Barthes, Image, Music, Text and Translated by Stephen Heath (New York: Hill and Wang, 1977), 142.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
didapat diganggugugat tulisanya, namun dinamis maknanya, bisa jadi penafsir dari zaman klasik dan modern ketika menelaah teks suci dipengaruhi oleh situasi historis yang tentunya dapat berimbas corak, model, makna atau pemahaman pada teks itu sendiri. Apalagi, penafsiran Al-qur’an sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad SAW (571-632H), dan berlaku sampai sekarang di era modern. Lebih lebih, sebagian ahli tafsir membagi periodisasi penafsiran Al-qur’an ke dalam tiga fase: periode mutaqaddimi>n (abad 14 H), Periode muta’akhiri>n (abad 4 12H), dan periode modern (abad 12sekarang). Maka dari itu penulis berasumsi bahwa setiap masa, atau penafsir dalam penafsirnya terhadap al-Qur’an memiliki karakter tesendiri yang dipengahuri oleh sejarah, budaya, tradisi keilmuan, ideologi dan lain sebagainya. Maka dari itu berdasarkan penjelasan di atas penulis merumuskan makalah ini ke dalam beberapa pertanyaan, yaitu; pertama, bagaiman sejarah panafsiran al-Qur’an?; kedua, bagaimana corak penafsiran dari masa ke masa? Dan ketiga, corak penafsiran dikaitkan genre keilmuan di era modern. Sejarah Penafsiran al-Qur’an 1. Penafsiran al-Qur’an pada Masa Klasik
Penafsiran al-Qur’an dibagi ke dalam beberapa fase, di antaranya; (1). Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat. (2). Tafsir pada masa tabi’in dan (3). Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan). a. Tafsir pada masa Nabi dan Sahabat Kegiatan penafsiran klasik telah dimulai sejak Nabi Muhammad masih hidup. Nabi menjadi sosok sentral dalam penafsiran dan pemaknaan alQur’an. Sebab itu, sahabat tidak memiliki kesulitan ketika menghadapi persoalan dalam memaknai al-Qur’an karena dapat menanyakan langsung kepada Nabi.3 Manqu>lat (penukilan) riwayat menjadi ciri penafsiran di kalangan sahabat pada masa itu. Hal ini sesuai dengan Q.S an-Nah}l: 44 yang mempertegas tugas Nabi sebagai pemberi penjelasan ayat-ayat Tuhan di dalam al-Qur’an, sebagaimana berikut:
َّ َو َأ ْن َ ْزل َنا إ َل ْي َك الذ ْك َر ل ُت َبي َن ل اس َما لن ِ ِ ِ ِ ِ ِ َُّ َ َ َ ْ ُ َّ َ َ َ ْ ْ َ ُ َل ن ِز ِإلي ِهم ولعلهم يتفكرون
3
Di antara penafsiran Nabi adalah ketika salah seorang sahabat bertanya tentang sala>t wustha. Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud sala>t wustha> adalah salat ashar. Selain itu nabi juga menjelaskan bahwa alMaghdu dalam surat al-Fatihah berarti kaum Yahudi. Sedangkan al-Dhali>n adalah kaum Nasrani. Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo: Dâr alKutub al-Hadi>tsah, 2005), h. 43.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
116
Jurnal hikamuna
“Dan
Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (Qs. An-Nahl:44). Keberadaan Nabi sebagai sumber penafsiran pada masa itu menyebabkan sedikitnya penafsiran bi al-ra’yi (logika) atas al-Qu’ran, bahkan sebagian sahabat menolak penggunaan akal dalam penafsiran sebagai Abu> Bakar dan Umar ibn Khatta>b. Abu> Bakar pernah berkata:
َ َ َ ُ ُ أي أ ْرض ت ِقل ِني َو أي َس َماء ت ِظل ِني َ ََ َ ُ ُْ َ للا َمال أ ْعل ُم ِ اب ِ ِإذا قلت ِفي ِكت
“Bumi manakah yang menampung aku dan langit manakah yang menaungi aku, apabila aku mengatakan mengenai kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui” Ia mengatakan demikian tatkala orang bertanya tentang makna Abba>n. Pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa Abu> Bakar tidak membenarkan sesuatu mengenai kitab Allah jika ia menggunakan ijtihad, bil ra’yi>. Tetapi ada pula beberapa sahabat yang menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad bil ra’yi> selain dengan riwayat, yaitu Ibn Mas’u>d dan Ibn Abba>s.4 Secara garis besar para sahabat berpegang pada tiga hal 4
Hasbi
al-Siddiqi,
Sejarah
dan
Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1900), h. 209.
117
dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu al-Qur’an, Nabi Muhammad sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an, dan ijtihad. Pada era ini ilmu tafsir tidak dibukukan sama sekali, karena pembukuan dimulai pada abad ke-2 H. Tafsir pada era ini merupakan salah satu cabang dari hadits, kondisinya belum tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan secara acak untuk ayat-ayat yang berbeda.5 b. Tafsir pada masa tabi’in Setelah generasi sahabat berlalu, muncul mufassir sesudahnya, para tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in sudah mengalami perbedaan mendasar dari sebelumnya. Jika pada masa sahabat periwayatan didasarkan pada orang tertentu saja (Nabi dan sabahat sendiri), maka penafsiran yang berkembang pada masa tabi’in mulai banyak bersandar pada beritaberita israiliyya>t dan nasra>niyya>t. Selain itu penafsiran tabi’in juga terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan ataupun mazhab. Itu disebabkan para tabi’in yang dahulu belajar dari sahabat menyebar ke berbagai daerah. Ada tiga aliran besar pada masa tabi’in. Pertama, aliran Makkah, Sa’i>d ibn Jubai>r (w. 5
al-Qaththan, Maba>his fi> Ulu>m al-Qur’a>n, (Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadi>ts, 1973), h. 337.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Manna
al-Khallil
Corak Penafsiran al Qur’an
712/713 M), Ikrimah (w. 723 M), dan Muja>hid ibn Jabr (w. 722). Mereka berguru pada Ibn Abba>s. Kedua, aliran Madinah, Muhammad ibn Ka’a>b (w. 735 M), Zai>d ibn Asla>m al-Qurazhi> (w. 735 M) dan Abu> Aliyah (w. 708 M). Mereka berguru pada Ubay ibn Ka’a>b. Ketiga, aliran Irak, Alqamah ibn Qai>s (w. 720 M), Amir al-Sya’bi> (w. 723 M), Hasan al-Bashri> (w. 738 M) dan Qata>dah ibn Daimah al-Sadûsi (w. 735 M). Mereka berguru pada Abdullah ibn Mas’ûd.6 Menurut Ibn Taimiyah, bahwa sepandai-pandainya ulama tabi’in dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat Ibn Abba>s dan Ibn Mas’ûd dan ulama Madinah seperti Zai>d ibn Asla>m dan Imam Mali>k ibn Anas. Lebih lanjut, Ibn Taimiyah memandang bahwa Muja>hid adalah mufassir yang besar. Sehingga alSyafi’i dan Imam Bukhari 7 berpegang padanya. Namun ada pula pandangan yang menolak penafsiran Muja>hid. Hal ini dikarenakan bahwa Muja>hid banyak bertanya pada ahli kitab.8 Selain dianggap banyak mengutip riwayat ahli kitab, Mujahid juga dikenal sebagai mufassir yang memberi 6
Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 41. 7 Ibn Taimiyyah, Muqaddimah fi Ushu>l al-Tafsi>r, (Kuwait: Dâr al-Qur’a>n alKari>m, 1971), h. 37 8 Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 218. Abdul
porsi luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan al-Qur’an.9 Para ulama berbeda pendapat mengenai penafsiran yang berasal dari tabi’in jika tafsir tersebut tidak diriwayatkan sedikitpun dari nabi ataupun sahabat. Mereka meragukan apakah pendapat tabi’in tersebut dapat dipegangi atau tidak. Mereka yang menolak penafsiran tabi’in berargumen bahwa para tabi’in tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi pada saat ayat al-Qur’an diturunkan. Sedangkan kalangan yang mendukung penafsiran tabi’in dapat dijadikan pegangan menyatakan, bahwa para tabi’in meriwayatkan dari sahabat.10 c. Tafsir pada masa kodifikasi (pembukuan) Pasca generasi tabi’in, tafsir mulai dikodifikasi (dibukuan). Masa pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal Bani Abbasiyah (sekitar abad 2 H). Pada permulaan Bani Abbasiyah, para ulama mulai penulisan tafsir dengan mengumpulkan hadist-hadist tafsir yang diriwayatkan dari para tabi’in dan sahabat. Mereka menyusun tafsir dengan menyebut ayat lalu mengutip hadis yang berkaitan 9
Muhammad Husain al-Dzahabi>, alTafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Kairo: Dâr alHadi>tsah, 2005), juz 1, h. 97. 10
Manna
al-Khallil
al-Qaththan,
Maba>his fi> Ulu>m al-Qur’a>n, h. 339.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
118
Jurnal hikamuna
dengan ayat tersebut dari sahabat dan tabi’in. Sehingga tafsir masih menjadi bagian dari kitab hadis. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis guna mendapat tafsir adalah: Sufya>n ibn Uyainah (198 H), Waki>’ ibn Jarrah (196 H), Syu’bah ibn Hajja>j (160 H), Abdul Rozaq bin Hamam (211 H). Setelah ulama tersebut di atas, penulisan tafsir mulai dipisahkan dari kitab-kitab hadis. Sehinggga tafsir menjadi ilmu tersendiri. Tafsir ditulis secara sistematis sesuai dengan tartib mushaf. Diantara ulama tafsir pada masa ini adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jari>r al-Thaba>ri (w. 310 H), Ibn Abi> Hati>m (w. 327 H), Abu Syaikh ibn Hibba>n (w. 369 H), alHaki>m (w. 405 H) dan Abu> Bakar ibn Mardawaih (w. 410 H).11 Sementara al-Dzahabi> membagi beberapa tahapan tafsir pada masa kodifikasi berdasarkan ciri dan karakteristik. Pertama, penulisan tafsir bersamaan dengan penulisan hadis. Pada saat hadis dibukukan, tafsir menjadi bagian bab tersendiri di dalamnya. Kedua, yakni penulisan tafsir yang dipisah dari kitab hadis. Namun penulisan tafsir tetap berdasarkan periyawatkan yang disandarkan pada Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in (sumber penafsiran bil ma’tsur). Ketiga, tahap ini 11
Manna
al-Khallil
al-Qaththan,
Maba>his fi> Ulu>m al-Qur’a>n, h. 340-341.
119
penulisan tafsir tetap mencantumkan riwayat-riwayat. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan, riwayat-riwayat tersebut tidak dilengkapi sanadnya. Pada tahap ini, al-Dzahabi> mensinyalir adanya pemalsuan tafsir dan permualan awal masuknya kisahkisah isra>iliyya>t dalam tafsir. Keempat, sumber tafsir pada masa ini tidak lagi terbatas pada periwayatan ulama klasik, tetapi juga berdasarkan ijtihad, bil ra’yi.12 2. Tafsir pada Abad Pertengahan Perkembangan tafsir abad pertengahan dimulai sejak abad ke-9 M hingga abad ke-19 M. Pada abad ini, perkembangan ilmu pengetahuan berada pada masa keemasan (the golden age).13 Perkembangan penafsiran tidak lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan pada saat tafsir tersebut ditulis. Tafsir kemudian sarat dengan disiplin-disiplin ilmu yang mengetarinya dan kecenderungan toelogis, terlebih bagi sang mufassir. Al-Qur’an pun seringkali dijadikan untuk melegitimasi kepentingankepentingan mazhab/aliran tertentu. 12
al-Dzahabi> al-Ittija>h al-Munharifah fi> tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m. Dawa>fi’uha wa Daf’uha>, h. 7-8. 13 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), h. 25.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
Di antara kitab-kitab tafsir “akbar” yang muncul pada era keemasan Islam/abad pertengahan antara lain: Jami>’ al-Baya>n an Ta’wi>l al-Qur’a>n karya Ibn Jari>r alThabari> (w. 923 M/310 H); al-
Kasysya>f an Haqa>’iq al-Qur’a>n karya Abu> al-Qasi>m Mahmu>d ibn Umar al-Zamakhsyari (w. 1144 M/528 H); Mafa>tih al-Ghaib karya Fakhruddi>n ar-Ra>zi (w. 1209 M/605 H) dan Tafsi>r Jala>lai>n karya Jala>luddi>n Mahalli> (w. 1459 M) dan Jala>luddi>n al-Suyûti (w. 1505 M). Pada perkembangan selanjutnya muncul tafsir karya Ibn Arabi (638 H) yang juga kerap mendapat kritikan. Hal ini disebabkan Ibn Arabi menafsirkan al-Qur’an untuk mendukung pahamnya, wahdatul wujud.14 Kelahiran Ima>duddi>n Ismail ibn Umar ibn Katsi>r pada 700 H/1300 M, juga memberi sumbangan bagi munculnya tafsir abad ini. Kitab Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m yang terdiri sepuluh jilid menjadi karya termasyhur selain kitab-kitab 15 lainnya yang ia tulis. Pada abad ini muncul pula tafsir Jami>’ al-Ahka>m al-Qur’a>n karya Abdullah al-Qurtubi> (671 H). Banyak kalangan ulama menganggap bahwa ia merupakan ulama Maliki, dan tafsirnya bercorak fiqh, namun al-Qurtubi> 14
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 47. 15 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 105.
tidak membatasi pada ulasan mengenai ayat-ayat hukum saja. Lebih dari itu, ia menafsirkan alQur’an secara keseluruhan. Ulasannya biasa diawali dengan menjelaskan asba>b nuzûl, macam qira’at, i’rab dan menjelaskan lafaz yang gharib.16 Selain nama mufassir di atas, muncul pula Ali> ibn Muhammad alBaghdadi> (678-741 H) dengan karya tafsirnya Tafsi>r Luba>b al-Ta’wi>l fi> Ma’a>ni Tanzi>l, atau yang sering disebut dengan Tafsir al-Kha>zin. Sumber-sumber penafsiran dalam tafsir tersebut adalah bil ma’tsûr. Al-Kha>zin menaruh perhatian cukup besar banyak terhadap kisah-kisah isra>iliyya>t. Sehingga ada beberapa penafsirannya yang dianggap menyimpang oleh Husein alDzahabi>.17 Pada tahun 754 H muncul tafsir Bahrul Muhi>t karya Ibn Abu> Hayya>n al-Andalusi>. Dalam kitab tafsirnya yang terdiri delapan jilid, ia banyak mencurahkan perhatiannya dalam masalah i’rab dan nahwu. Karena perhatian yang cukup besar dalam masalah Nahwu, banyak kalangan menyebut bahwa kitab ini lebih cocok disebut kitab Nahwu, bukan tafsir. Ia banyak mengutip pendapat Zamakhsyari dalam hal ilmu Nahwu. Namun Abu> 16
Manna
al-Khallil
al-Qaththan,
Maba>his fi> Ulu>m al-Qur’a>n, h. 380. 17 al-Dzahabi>, al-Tafsi>r Mufassiru>n, vol. 1, h. 265-267.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
wa
al-
120
Jurnal hikamuna
Hayyan seringkali tidak sependapat dengan Zamakhsyari, terlebih mengenai paham ke-Mu’tazilahannya.18 Selain nama-nama di atas, masih banyak lagi mufassir kitab tafsir yang muncul pada abad pertengahan ini. Masing-masing memiliki karakter yang menjadi khas penulis tafsir tersebut. Sebagaimana yang penulis utarakan di atas, bahwa pada abad pertengahan terjadi akulturasi budaya karena penyebaran Islam ke penjuru dunia, maka hal ini turut menimbulkan perbedaan penafsiran yang didasari perbedaan mazhab dan tempat. 3. Tafsir pada era Modern Akulturasi budaya pada abad pertengahan cukup dirasa memberi pengaruh pada penafsiran al-Qur’an abad itu. Demikian pula pada masa modern, kehadiran kolonialisme dan pengaruh pemikiran barat pada abad 18-19 M sangat mempengaruhi para mufassir era ini. Perkembangan ilmu pengetahuan diduga kuat menjadi faktor utama penafsir dalam memberi respon. Ciri berpikir rasional yang menjadi identitas era modern kemudian menjadi pijakan awal para penafsir. Mereka umumnya meyakini bahwa umat Islam belum memahami spirit al-
18
Manna
al-Khallil
al-Qaththân,
Maba>his fi> Ulu>m al-Qur’a>n, h. 504.
121
Qur’an, karenanya mereka gagal menangkap spirit rasional al-Qur’an. Atas dasar pemikiran yang bersifat rasionalistik, kebanyakan dari pemikir Muslim modern menafsirkan al-Qur’an dengan penalaran rasional, dengan jargon penafsiran al-Qur’an dengan alQur’an, atau kembali pada alQur’an. Kemudian mereka menentang legenda, ide-ide primitif, fantasi, magis dan tahayyul.19 Menurut Baljon dalam bukunya yang berjudul Modern Muslim Koran Interpretation, mengatakan bahwa yang apa yang disebut tafsir modern adalah usaha yang dilakukan para mufassir dalam menafsirkan ayat guna menyesuaikan dengan tuntunan zaman. Karenanya segala pemikiran yang terkandung dalam al-Qur’an segera dirasakan membutuhkan penafsiran ulang. Lebih lanjut Baljon menambahkan bahwa tuntutan ini dirasakan perlu akibat persentuhan dengan peradaban asing kian lebih intensif.20 Salah satu mufassir era ini adalah Muhammad Abduh (18491905), ia adalah tokoh Islam yang terkenal. Abduh mulai menulis tafsir al-Qur’an atas saran muridnya, 19
Tim penyusun, Ensiklopedia Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 43. 20 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 2.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
Rasyid Ridha.21 Meskipun pada awalnya ia merasa keberatan, akhirnya ia menyetujui juga. Uraian Abduh atas al-Qur’an mendapatkan perhatian dari salah seorang orientalis, J. Jomier. Menurutnya analisis yang dilakukan Abduh cukup mendalam serta hal yang berbeda dari ulasan Abduh adalah keinginannya yang nyata untuk memberikan ajaran moral dari sebuah ayat.22 Selain Abduh, kaum modernis Arab lainnya juga banyak yang menyuguhkan tafsir yang sama moderatnya, atau sama konservatifnya. Sampai kemudian muncul metode dan cara baru dalam penafsiran al-Qur’an. Adalah Thantha>wi Jauhari (w. 1940) yang tidak terlalu banyak memberi komentar, tetapi ulasan-ulasanya dalam tafsir al-Qur’an dapat dijadikan pegangan ilmu Biologi atau ilmu pengetahuan lainnya bagi masyarakat. Sehingga kitab tafsirnya, Al-Jawa>hir fi al-Tafsir digadang-gadang sebagai tafsir bercorak ilmi (santifik).23
21
Tafsi>r al-Mana>r karya Muhammad
Abdul awalnya merupakan tema-tema ceramah yang ia adakan di Universitas al-Azhar. Kemudian diterbitkan dalam bentuk jurnal setiap bulan, dengan pimpinan redaksinya Rasyid Ridha. Maka penyempurnaan tafsir tersebut dilakukan oleh Ridha. 22 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, h. 8. 23 Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir: Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern,
Ahmad Mustafa ibn Muhammad ibn Abdul Mun’i>n alMara>ghi juga mencatatkan namanya sebagai deretan dari mufassir modern dengan karya tafsirnya, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m yang sering dikenal dengan sebutan Tafsi>r al-Mara>ghi. Ia lahir 1883 dan wafat pada 1952. Ia menulis tafsirnya selama sepuluh tahun, sejak tahun 1940-1950.24 Dalam muqaddimah tafsirnya, ia mengemukakan alasan menulis tafsir tersebut. Ia merasa ikut bertanggung jawab memberi solusi terhadap problem keummatan yang terjadi di masyarakat dengan berpegang teguh pada al-Qur’an.25 Di samping itu, muncul juga Sayyid Quthb dengan tafsirnya Fi zhilali al-Qur’an dan Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi’ dengan
Tafsir al-Bayani li al-Qur’ani alKarim. Di Indonesia juga muncul beberapa mufassir dan kitab tafsirnya. Antara lain: Tafsi>r alQur’a>n al-Kari>m karya Mahmud Yunus(1899)dan Kasim Bakri, Tafsi>r al-Furqa>n karya Ahmad Hasan (w. 1887-1958), Tafsi>r alQur’a>n karya Zainuddin Hamidi dan Fakhruddin HS, Tafsi>r al-Nûr alMaji>d karya Hasbi al-Siddiqi (19041975), Tafsi>r al-Azha>r karya Buya Pent. Novriantoni Kahar, (Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 176. 24 Saiful Amin Ghafur, Profil Mufassir al-Qur’an, h. 151-153. 25 Ahmad Mustafa al-Mara>ghi, Tafsi>r al-Mara>ghi, vol. 1, h. 3.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
122
Jurnal hikamuna
Hamka (1908-1981)26, dan Tafsir alMishbah karya M. Quraish Shihab. Titik perbedaan tafsir modern dengan sebelumnya adalah bahwa penafsiran abad ke-19 menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir ilmi) dan sastra.27 Perkembangan selanjutnya, muncul kajian baru dalam ilmu tafsir, Hermeneutik dan Semantik. Maka tidak menutup kemungkinan pada era mendatang akan ada lagi berbagai metode penafsiran untuk mengungkap makna-makna al-Qur’an. Corak Penafsiran Klasik Dan Modern-Kontemporer 1. Tafsir Ibnu Katsir (Model Tafsir Klasik) a. Biografi singkat Ibnu Katsir Nama lengkap beliau adalah Abul Fida’, Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi alBushrawi ad-Dimasyqi, lebih dikenal dengan nama Ibnu Katsir. Beliau lahir pada tahun 701 H di sebuah desa yang menjadi bagian dari kota Bashr. Ibn Katsir tumbuh besar di kota Damaskus. Pada usia 4 tahun, ayah beliau meninggal sehingga kemudian Ibnu Katsir diasuh oleh pamannya. Pada tahun 706 H, beliau pindah dan menetap di kota Damaskus. Di sana, beliau 26
Hasbi al-Siddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an-Tafsir, h. 237. 27
Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001), vol. 2, h. 126-132.
123
banyak menimba ilmu dari para ulama di kota tersebut, salah satunya adalah Syaikh Burhanuddin Ibrahim al-Fazari. Beliau juga menimba ilmu dari Isa bin Muth’im, Ibn Asyakir, Ibn Syairazi, Ishaq bin Yahya bin al-Amidi, Ibn Zarrad, alHafizh adz-Dzahabi serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Selain itu, beliau juga belajar kepada Syaikh Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mizzi, salah seorang ahli hadits di Syam. Syaikh al-Mizzi ini kemudian menikahkan Ibn Katsir dengan putrinya. Selain Damaskus, beliau juga belajar di Mesir dan mendapat ijazah dari para ulama di sana. b. Karya-karya Ibnu Katsir Berkat kegigihan belajarnya, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadits, sejarawan serta ahli fiqih besar abad ke-8 H. Kitab beliau dalam bidang tafsir yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjadi kitab tafsir terbesar dan tershahih hingga saat ini, di samping kitab tafsir Muhammad bin Jarir athThabari. Para ulama mengatakan bahwa tafsir Ibnu Katsir adalah sebaik-baik tafsir yang ada di zaman ini, karena ia memiliki berbagai keistimewaan. Keistimewaan yang terpenting adalah menafsirkan alQur’an dengan al-Qur’an (ayat dengan ayat yang lain), menafsirkan al-Qur’an dengan as-Sunnah (Hadits), kemudian dengan perkataan para salafush shalih
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
(pendahulu kita yang sholih, yakni para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in), kemudian dengan kaidahkaidah bahasa Arab. Selain Tafsir al-Qur’an al‘Azhim, beliau juga menulis kitabkitab lain yang sangat berkualitas dan menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya, di antaranya adalah alBidayah Wa an-Nihayah yang berisi kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, Jami’ Al Masanid yang berisi kumpulan hadits, Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits tentang ilmu hadits, Risalah Fi al-Jihad tentang jihad dan masih banyak lagi. c. Metodologi Penafsiran Ibnu Katsir Menurut Rasyid Ridla, tafsir Ibnu Katsir ini tafsir yang paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufassir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukum serta menjauhi i’rab dan balaghah dan ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami Al-qur’an. Diantara ciri khasnya ialah perhatian cukup besar terhadap apa yang mereka namakan dengan tafsir Qur’an dengan Qur’an, memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya,kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan hadits marfu’ yang ada relevansinya dengan ayat, atau
singkatnya tafsir Ibnu Katsir ini merupakan tafsir bil ma’tsur. 2. Tafsir Mishbah (Model Tafsir Modern-Kontemporer) Al-Mishbah merupakan tafsir Al-Qur'an lengkap 30 Juz pertama dalam 30 tahun terakhir, yang ditulis oleh ahli tafsir terkemuka Prof Dr M Quraish Shihab. Al Mishbah adalah tafsir dengan perkembangan mutakhir dalam pendekatan terhadap Al-qur’an dibanding dengan tafsir klasik lainnya. Makna Mishbah berarti lampu pemberi terang. Al-Mishbah hadir dengan sentuhan kalimat dari penafsirnya yang tidak diragukan lagi kredibilitas ke-Ilmuan Tafsirnya. Dalam Al-Mishbah, Quraish menampilkan gaya melalui penjelasan diawali pengertian kata per kata bahasa Arab yang kaya makna. kemudian mengidentifikasi makna kata-kata Al Quran dalam pengertian lebih luas sehingga kontekstual sesuai masalah ummat saat ini. Pembaca lalu diajak menelusuri horison pemahaman ayat Al-Quran dengan mencari ayat di surat lain yang menjelaskan obyek yang sama atau malah menampilkan ayat yang kontradiktif dengan pembahasan obyek. a. Biografi singkat Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang,
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
124
Jurnal hikamuna
Sulawesi Selatan.[1] Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. KH. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang tokoh pendidik yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Beliau tercatat sebagai mantan rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959 – 1965 dan IAIN 1972 – 1977. Sebagai seorang yang berpikiran maju, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Muridmurid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. 125
Banyak guru-guru yang di¬datangkarn ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika. Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujungpandang. Setelah itu ia melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di kota Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk mendalami studi keislamannya, Quraish Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua sanawiyah. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i alQur'an al-Karim (kemukjizatan alQur'an al-Karim dari Segi Hukum)”. Pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir alQur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li alBiqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm ad-
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
Durar [Rangkaian Mutiara] karya alBiqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa). Pada tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti berkedudukan di Kairo. b. Metodologi tafsir Quraish Shihab Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maud}u>’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-
Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayatayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapatpendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat alQur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat. Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hatihati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga seseorang tidak mudah
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
126
Jurnal hikamuna
mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama al-Qur'an. 3. Tafsir Fil Zhilalil Sayyid Quthb (Model Tafsir Modern-Kontemporer) a. Biografi Singkat As-Syahid Sayyid Quthb dilahirkan pada tahun 1906 di Kampung Musyah, Kota Asyut, Mesir. Ia di besarkan di dlam sebuah keluarga yang menitikberatkan ajaran Islam dan mencintai AlQur’an. Ia telah bergelar hafizh (orang yang hapal Al-Qur’an) sebelum berumur sepuluh tahun. Menyadari bakat anaknya, orang tuanya memindahkan keluarganya ke Halwan, daerah pinggiran Kairo. Ia memperoleh kesempatan masuk Tajhiziyah Darul-Ulul. Tahun 1929, ia kulliah di Darul-’Ulum (nama sebuah Universitas Kairo, sastra Arab, dan juga tempat Hasan alBanna belajar sebelumnya). Ia memperoleh gelar sarjana muda pendidikan pada tahun 1933. b. Karya-karya Sayyid Qutb Di awal karier penulisannya, ia menulis dua buku mengenai keindahan dalam Al-Qur’an: atTaswir al-Fanni fil-Qur’an (cerita Keindahan dalam Al-Qur’an) dan Musyaahidat al-Qiyamah fil-Qur’an (hari kebangkitan dalam Al-Qur’an). 127
Pada tahun 1948, ia menerbitkan karya monumentalnya: al-’Ada>lah al-Ijtimaa’iyah fil-Isla>m (keadilan Sosial dalam Islam), kemudian disusul Fi Zhila>lil-Qur’an (Di bawah Naungan Al-Qur’an) yang di selesaikannya di dalam penjara. Karya-karya lainnya: asSala>m al-’Alami wal-Isla>m (Perdamaian Internasional dan Islam) yang di terbitkan tahun 1951,
an-Naqd al-Adabi> Us{u>luhu wa Mana>hijuhu (Kritik Sastra, Prinsip Dasar,
dan
Metode-Metode),
Ma’rakah al-Isla>m warRa’simaliyah (Perbenturan Islam dan Kaptalisme) yang di ternitkan tahun 1951, Fit-Tari>kh, Fikrah wa Mana>hij (Teori dan Metode dalam Sejarah), al-Mustaqbal li Ha>dzadDi>n (Masa Depan Berada di Tangan Agama Ini), Nahw Mujtama’ (Perwujudan Masyarakat Islam),
Ma’rakatuna
ma’al_yahu>d
(Perbenturan Kita Dengan Yahudi),
al-Isla>m wa Musykilah al-Had}a>rah (Islam dan Problem-Problem Kebudayaan) terbit tahun 1960, Hadza ad-Di>n (Inilah Agama) terbit tahun 1955, dan Khas{a’> is at-
Tas}awwur al-Isla>mi wa Muqawwamatahu (Ciri dan Nilai Visi Islam) yang terbit tahun 1960. c. Metode Penafsiran Sayyid Qutb Diantara para ulama kontemporer yang sangat concern terhadap penafsiran Al-Qur`an
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
adalah Sayyid Qutb (1906-1966), salah seorang ulama terkemuka dikalangan Ikhwan al-Muslimin. Terbukti dia menulis kitab tafsir Fi> Zhila>l Al-Qur`an yang menjadi master-piece diantara karya-karya lain yang dihasilkannya. Kitab tafsir ini sangat diminati oleh kaum intelektual karena dinilai kaya dengan pemikiran sosialkemasyarakan yang mengkaji masalah-masalah sosial yang sangat dibutuhkan oleh generasi Muslim sekarang. Oleh karena keunggulan inilah, penulis mencoba mengkaji serta melihat lebih dalam tentang sosok Sayyid Qutb, salah satu penafsir kontemporer yang telah mewarnai corak penafsiran AlQur`an. Menurut Issa Boullata, seperti yang dikutip oleh Antony H. Johns, pendekatan yang dipakai oleh Sayyid Qutb dalam menghampiri alQur’an adalah pendekatan tashwi>r (penggambaran) yaitu suatu gaya penghampiran yang berusaha menampilkan pesan al-Qur’an sebagai gambaran pesan yang hadir, yang hidup dan konkrit sehingga dapat menimbulkan pemahaman “aktual” bagi pembacanya dan memberi dorongan yang kuat untuk berbuat. Ajaran-ajaran yang terkandung dalam cerita tidak akan pernah kering dari relevansi makna untuk dapat diambil sebagai tuntunan hidup manusia. Dengan demikian, segala pesan yang
terdapat dalam Al-Qur`an akan selalu relevan uuntuk dibawa dalam zaman sekarang. Mengaca dari metode tashwir yang dilakukan oleh Sayyid Qutb, bisa dikatakan bahwa tafsir Fi> Zhila>l Al-Qur’an dapat digolongkan kedalam tafsir al-Adab al-Ijtima>’i> (sastra, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background beliau yang merupakan seorang sastrawan hingga beliau bisa merasakan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa alQur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi. Contoh penafsiran dengan metode klasik dan modern-kontemporer 1. Tafsir tentang penciptaan perempuan (Qs. An-nisa’:1) a. Dalam Kitab Ibnu Katsir
“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
128
Jurnal hikamuna
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu” Penulis dalam hal ini tidak membahas ayat diatas secara keseluruhan, namun membatasi pada pembahasan penafsiran Firmannya: yang terkait dengan tafsir penciptaan perempuan. Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita pada agar terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-qur’an tentang asal kejadian perempuan. Ayat Al-qur’an yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam surat An-nisa:1. Dalam tafsir Ibnu Katsir, melalui ayat 1 Qs.An-Nisa’ Allah memerintahkan makhluknya agar taqwa kepada-Nya, yaitu menyembah Allah dan melalui ayat ini pula Allah mengingatkan kepada makhluknya akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan mereka dari seorang diri yaitu Adam as. Siti Hawa diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk sebelah kiri bagian belakang Adam ketika Adam sedang tidur. Saat Adam terbangun, ia merasa kaget setelah melihatnya, 129
lalu ia langsung jatuh cinta kepadanya. Begitu pula sebaliknya, Siti Hawa jatuh cinta kepada Adam. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abu Hilal, dari Qatadah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Wanita diciptakan dari laki-laki,
maka keinginan wanita dijadikan terhadap laki-laki; dan laki-laki itu dijadikan dari tanah, maka keinginannya dijadikan terhadap tanah, maka pingitlah wanita-wanita kalian." Dalam hadits nabi disebutkan: “Sesungguhnya wanita itu
diciptakan dari tulang rusuk dan sesungguhnya rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Maka jika kamu bertindak untuk meluruskannya ,maka niscaya kamu akan membuatnya patah. Tetapi jika kamu bersenang-senang dengannya, berarti kamu bersenang-senang dengannya, sedangkan padanya terdapat kebengkokan” Dapat penulis simpulkan bahwa Ibnu Katsir memberikan penafsiran terhadap awal kejadian perempuan adalah berdasar riwayat (tafsir bil ma’tsur) yang mengatakan bahwa wanita dicipta dari tulang rusuk lelaki, dan penafsiran ini dilakukan dengan mengambil makna secara harfiyah dan tekstual.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
b. Dalam Tafsir Al-Misbah Firmannya: من نفس واحدة, terkait dengan awal penciptaan perempuan Mayoritas ulama memahaminya dalam arti Adam as, dan ada juga yang memahaminya dalam arti jenis manusia lelaki dan wanita. Surat An-nisa ini, walaupun menjelaskan kesatuan dan kesamaan orang-perorang dari segi hakikat kemanusiaan, tetapi konteksnya untuk menjelaskan banyak dan berkembang biaknya mereka dari seorang ayah dan ibu, yaitu Adam dan Hawa. Memahami sebagai Adam, menjadikan kata Zawjaha yang secara ”Nafsin Wahidah ” harfiyah bermakna pasangannyaadalah istri adam as, yaitu hawa, agaknya karena ayat itumenyatakan bahwa pasangan itu diciptakan dari nafsin wahidah berarti adam, maka mufassir terdahulu memahami bahwa perempuan (istri adam)adalah diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini kemudian melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan dengan menyatakan perempuan adalah bagian dari lelaki. Banyak penafsir menyatakan bahwa pasangan adam itu diciptakan dari tulang rusuk adam sebelah kiri yang bengkok dan karena itu –tulis Qurthubi dalam tafsirnyaperempuan bersifat ’iwaja’/’awja’ atau bengkok. Pandangan ini mereka perkuat
dengan hadits menyatakan :”
Rasul
yang
saling wasiat mewasiatlah untuk berbuat baik pada wanita. Karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, dan kalau engkau membiarkannya ia tetap bengkok dan bila engkau berupaya meluruskannya ia akan patah” (HR. At-Tirmidzi melalui Abu Hurairah). Hadits ini dipahami oleh ulama-ulama terdahulu dalam arti harfiyah. Namun, tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya dalam arti metafore, bahkan ada yang menolak kesahihannya. Yang memahami secara metafore menyatakan bahwa hadits itu mengingatkan para pria agar menghadapi perempuan dengan cara bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda dengan pria, sehingga bila tidak disadari akan mengantar pria bersikap tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok. Ide kelahiran hawa dari tulang rusuk adam menurut Muhammad Rasyid ridha timbul dari apa yang termaktub dalam perjanjian lama(kejadian II:21-22) yang menyatakan bahwa ketika adam tertidur lelap maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
130
Jurnal hikamuna
dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan. Kemudian Rasyid Ridha menambahkan ”Seandainya tidk
tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam perjanjian lama niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim”. Dalam hal ini(penciptaan perempuan) penulis berkesimpulan jika Quraysh sebagai pengarang kita tafsir misbah lebih cenderung dan sepakat dengan para penafsir kontemporer. Quraish menambahkan bahwa pasangan adam itu diciptakan dari tulang rusuk adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita wanita selain hawa demikian juga, atau dianggap lebih rendah dibanding dengan laki-laki. Lelaki lahir dari pasangan pria dan wanita ,begitu juga wanita. Karena itu tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan. Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh sekian banyak teks keagamaan yang menekankan persamaan unsur kejadian Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Qs. Al-Isra’: 70. dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Tuhan telah memberikan penghormatan dan kemuliaan kepada semua anakanak adam mencakup laki-laki dan 131
perempuan. Pemahaman ini dipertegas oleh Qs’Al-Imran: 195” Sebagian kamu adalah sebagian yang lain”. Ini mengindikasikan bahwa sebagian kamu adalah berasal dari pertemuan ovum perempuan dan sperma laki-laki . kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaan diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaanya. Nampaknya, Quraysh lebih memperluas penafsiran tentang penciptaan perempuan yang tidak lagi memaknai secara harfiyah sajasebagaimana tafsir ibnu katsir dengan model klasiknya-tetapi quraysh juga menganggap bahwa asal kejadian wanita yang disebutsebut berasal dari tulang rusuk merupakan makna metafore yang menegaskan tidak adanya perbedaan penciptaan maupun derajat kemanusiaan antara wanita dan pria, melainkan wanita memang memiliki sifat yang agak berbeda yang harus dimengerti oleh lelaki.28 Corak dan Metode Penafsiran 1. Tafsir bi al-Ma’tsur Cara penafsiran yang ditempuh oleh para sahabat dan generasi berikutnya itu dalam kerangka metodologis, disebut jenis tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan). Metode periwayatan ini oleh al28
Lihat penjelasan ini dalam Ali Muhamad, Tafsir Qur’an Tulang Rusuk Klasik Modern,(MEDIA Tafsir: Jakarta 2014), hal 3547.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
Zarqa>ni didefinisikan sebagai semua bentuk keterangan dalam al-Qur'an, al-sunnah atau ucapan sahabat yang menjelaskan maksud Allah SWT pada nash Al-Qur'an.29 Metode bil ma'tsu>r, memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahankelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah : a. Menekankan pentingnya bahasan dalam memahami alQur'an, b. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesan, c. Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subyektivitas yang 30 berlebihan , d. Dapat dijadikan khazanah informasi kesejarahan dan periwayatan yang bermanfaat bagi generasi berikutnya. Disisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini, seperti yang dicatat oleh beberapa ahli tafsir, antara lain adalah : a. Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang berteletele, sehingga pesan pokok
29
Muhammad Abd. Al-Adzim alZarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an, (Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957), h. 3. 30 Quraish Shihab, Membumikan AlQur'an, (Bandung: Mizan, 1999), h. 157.
Al-Qur'an menjadi kabur di celah uraian itu, b. Seringkali konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat di katakan terabaikan sama sekali, sehingga ayatayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.31 c. Terjadinya pemalsuan dalam tafsir karena fanatisme mazhab, politik dan usahausaha musuh Islam. d. Masuknya unsur Isra'iliyat ke dalam tafsir, yaitu unsurunsur Yahudi dan Nasrani ke dalam penafsiran Al-Qur'an, Berkembangnya penafsiran bi al ma 'tsu>r zaman itu cukup dapat dipahami karena para mufassir mengandalkan penguasaan bahasa, serta menguraikan ketelitiannya secara baik, juga mereka ingin membuktikan kemu'jizatan AlQur'an dan segi bahasanya. Namun, menerapkan metode ini serta membuktikan kemu'jizatan itu untuk masa kini, agaknya sangat sulit karena kita telah kehilangan kemampuan dan rasa bahasa Arab itu. Metode periwayatan yang mereka terapkan juga cukup 31
Quraish Shihab, Membumikan AlQur'an, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 49.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
132
Jurnal hikamuna
beralasan dan mempunyai keistimewaan dan kelemahannya. Metode ini istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahan yang luas, serta obyektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada diantara mereka yang menyampaikan riwayatriwayat tanpa melakukan penyeleleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar yang kokoh. Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat Al-Qur'an. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan belum demikian pesat. Disamping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khairun qurun, masih sangat terkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikutnya masih cukup mantap. 2. Tafsir bi al-Ra’yi Tafsir bi al-ra'yi adalah jenis metode penafsiran Al-Qur'an 133
dimana seorang mufassir menggunakan akal (rasio) sebagai pendekatan utamanya. Sejalan dengan definisi diatas, Ash-Shabuni menyatakan bahwa tafsir bi al-ra'yi adalah tafsir ijtihad yang dibina atas dasar-dasar yang tepat serta dapati diikuti, bukan atas dasar ra‘yu semata atau atas dorongan hawa nafsu atau penafsiran pemikiran seseorang dengan sesuka hatinya. Sementara menurut Manna alQattan, tafsir bi al-ra'yi adalah suatu metode tafsir dengan menjadikan akal dan pemahamannya sendiri sebagai sandaran dalam menjelaskan sesuatu.32 Sedangkan az-Zarqani secara tegas menyatakan bahwa tafsir bi al-ra’yi merupakan tafsir ijtihad yang disepakati atau memiliki sanad kepada yang semestinya dan jauh dari kesesatan dan kebodohan. 3. Tafsir Tahlily Metode tafsir tahliliy, atau yang oleh Baqir Shadr dinamai metode tajzi'iy adalah suatu metode yang berupaya menjelaskan kandungan ayat-ayat AI-Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur'an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf (Shadr, 1980:10). Cara kerja metode ini terdiri atas empat langkah, yaitu
32
Manna
al-Khallil
al-Qaththan,
Maba>his fi> Ulu>m al-Qur’a>n, h. 351-352.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
a. Mufassir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushaf, b. Diuraikan dengan mengemukakan arti kosakata dan diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat, c. Mengemukakan munasabah (koralasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain, d. Mufassir membahas asbab alnuzul dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, sahabat dan tabi'in.33 Kelemahan metode tahliliy menurut Quraish Shihab bahwa para penafsir tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalil pembenaran terhadap pendapat-pendapatnya dengan ayatayat Al-Qur'an. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberikan jawaban jawaban yang tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subyektivitas mufassirnya. Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy yang perlu dicarikan penyebabnya adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai mengikat generasi
berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu pada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian-uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat.34 Contoh dari penafsiran ini adalah karyakarya mufassir klasik seperti tafsir
"Jami' al Bayan fa Tafsir AlQur'an", karya Ibn Jarir al-Thabari, tafsir Mafatih al Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi dan lain-lain. Tafsir al Thabari, dilihat dari coraknya termasuk tafsir bi al-ma 'tsur, yang menggunakan metode tahliliy, demikian pula dengan tafsir al-Razi. 4. Tafsir Muqa>ran Dalam bahasa yang sistematis, Said Agil Munawar dan Quraish Shihab mendefinisikan tafsir muqaran sebagai metode penafsiran yang membandingkan ayat Al-Qur'an yang satu dengan ayat Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya, tetapi berbeda masalahnya atau membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi Muhammad saw, yang tampaknya bertentangan dengan ayat-ayat tersebut, atau membandingkan pendapat ulama
33
Abd. Hay Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maud{u'i, (Kairo: Al-Hadharah alArabiyah, 1977), h, 18.
34
Quraish Shihab, Membumikan Al-
Qur'an, hlm. 87.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
134
Jurnal hikamuna
tafsir yang lain tentang penafsiran ayat yang sama35 Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dalam metode tafsir muqaran : a. Arah kecenderungan mufassir dan faktor yang melatar belakanginya, b. Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan ayat- Al-Qur'an yang lain yang sama redaksinya namun berbeda masalahnya, c. Penafsiran ayat Al-Qur'an dengan hadits-hadits nabi yang isinya bertentangan, d. Pendapat ulama tafsir dengan pendapat ulama tafsir lainnya. Karya-karya tulis yang termasuk dalam klasifikasi penafsiran muqaran adalah karya tulis kontemporer, misalnya AlQur'an, Bible dan Sains Modern karya Maurice Bucaile dan
Muhammad fi al-Taurat wa al Injil wa Al-Qur'an, karya Ibrahim Khalili (Rumi, 1413:57). 5. Tafsir Ijmaly Tafsir ijmaliy adalah suatu metode penafsiran Al-Qur'an yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan cara mengemukakan makna global. Dalam sistematika uraiannya, mufassir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunannya yang ada dalam mushaf, kemudian
mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut. Dengan demikian cara kerjan metode ini tidak jauh berbeda dengan metode tahliliy, karena keduanya tetap terikat dengan urutan ayat-ayat sebagaimana yang tersusun dalam mushaf, dan tidak mengaitkan pembahasannya dengan ayat lain dalam topik yang sama kecuali secara umum saja.36 Contoh dari tafsir yang mempergunakan metode ini adalah tafsir Jalalain. 6. Tafsir Maudhu’i (Tematik) Ali Khalil sebagaimana dikutip oleh Abd al-Hay al-Farmawi memberikan batasan pengertian tafsir tematik, yaitu : Mengumpulan
ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai satu tujuan dan bersekutu dengan tema tertentu. Kemudian sedapat mungkin ayatayat tersebut disusun menurut kronologi turunnya disertai dengan pemahaman asbab al-Nuzulnya. Lalu oleh mufassir dikomentari, dikaji secara khusus dalam kerangka tematik, ditinjau segala aspeknya, ditimbang dengan ilmu yang benar, yang pada gilirannya mufassir dapat menjelaskan sesuai dengan hakikat topiknya, sehingga dapat ditemukan tujuannya dengan mudah dan menguasainya dengan sempurna.37 Jadi lewat metode ini, penafsiran 36
35
Said Aqil al-Munawwar, I’jaz AlQur'an dan Metodologi Tafsir, (Semarang : Dina Utama, 1994), hlm. 36.
135
Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudlu'i,h, 67. 37
Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudlu'i, h, . 41-42.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
dilakukan dengan jalan memilih topik tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya menurut Al-Qur'an, kemudian dikumpulkanlah semua ayat AlQur'an yang berhubungan dengan topik ini, kemudian dicarilah kaitan antara berbagai ayat ini agar satu sama lain bersifat menjelaskan, baru akhirnya ditarik kesimpulan akhir berdasarkan pemahaman mengenai ayat-ayat yang saling terkait itu. Jika pengertian tafsir tematik itu kita cermati, maka kita dapat menemukan ciri-ciri dari bentuk tafsir tematik, antara lain : a. Obyek pembahasan atau penafsirannya bukan ayat demi ayat seperti tersusun dalam urutan mushaf Utsmani sebagaimana yang berlaku dalam tafsir tahlilliy, melainkan suatu tema tertentu yang ingin diketahui makna atau pengertiannya secara integral menurut pandangan Al-Qur'an, b. Cara yang ditempuh adalah mengumpulkan seluruh ayatayat yang dipandang saling berkait dan bersekutu dalam satu tema tertentu, c. Dalam proses penafsirannya senantiasa memperhatikan aspek kronologi turunnya ayat dan asbab al-Nuzulnya, d. Sebelum ayat-ayat tersebut ditafsirkan secara tematik, masing-masing ayat dan
lafaz-lafaz yang terkandung didalamnya dipahami dan ditinjau dan berbagai aspeknya, seperti bahasa, konteks kesejarahan, "munasabat", dan sebagainya, e. Penafsiran Al-Qur'an secara tematik ini juga memerlukan berbagai ilmu, baik yang tergolong dalam "ulum al tafsir" maupun ilmu-ilmu lain yang relevan, seperti sejarah, sosiologi, antropologi dan sebagainya, f. Arah pembahasan tafsir tematik senantiasa terfokus kepada satu topik yang ditetapkan, g. Tujuan utama yang ingin dicapai oleh tafsir tematik sebagaimana dikemukakan oleh al-Farmawy dalam bukunya al-Bidayah fi alTafsir al-Maudlu'i adalah memahami makna dan hidayah dari Al-Qur'an dan bukan sekedar mengetahui i'jaz Al-Qur'an, seperti keindahan bahasa atau ketinggian nilai sastranya atau kehebatan-kehebatan AlQur'an lainnya.38 Salah satu pakar tafsir yang mempopulerkan metode ini di Indonesia adalah M. Quraish Shihab dengan berbagai karyanya.
38
Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudlu'i, h, 51-55.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
136
Jurnal hikamuna
Corak Tafsir Berdasarkan Genre Keilmuan Al-Qur’an dapat ditafsirkan dalam beberapa corak yang berkaitan dengan klasifikasi keilmuan di antaranya: 1. Tafsir sufi Tafsir berorak sufi ialah tafsir dengan kecenderungan men-ta’wilkan al-Qur’an selain dari apa yang tersirat, dengan berdasar pada isyarat-isyarat yang nampak pada ahli ibadah.39 Tafsir corak seperti ini disebut juga dengan tafsir isyari, 40 yaitu mentakwilkan al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual dan tasawuf dan mampu memadukan antara makna-makna itu dengan makna lahiriyah yang juga dikehendaki oleh ayat yang 41 bersangkutan. Dalam diskursus ilmu tasawuf memang dikenal tingkatan syari’ah, tarikah, haqiqah. Syari’ah yang dimaksud adalah aturan-aturan lahir yang ditentukan misalnya 39
Abdul Kholid, Kuliah Madzahib al-
Tafsir, (IAIN Sunan Ampel Surabaya: Fakultas Ushuluddin, 2003), 56. 40
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu
Tafsir, (Bandung: Tafakkur, 2011), h, 88 41 Yunus Hasan Abidu, Tafsir alQur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007),
seperti hukum halal, haram, sunah, makruh dan sebagainya. Termasuk pula amaliah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Sedangkan tarikah jalan lurus yang ditempuh oleh seorang salik untuk mendapatkan keridha’an-Nya dalam rangka mengerjakan syari’at, seperti sikap ikhlas, muqarabah, muhasabah tajarrud, ‘isyq, hub dan sebagainya. Sedangkan haqiqah yaitu kebenaran sejati dan mutlak yang merupakan puncak perjalanan spiritual seseorang. Ketiga dataran tersebut harus dilihat dengan paradigma structural sekaligus fungsional, dimana satu dengan lainnya tidak boleh dipisah-pisahkan. Kemudian, isi dan subtansi tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi dua macam: tafsir bi al‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al‘isyari al-mardud. Dikatakan sebagai tafsir bi al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’ bila memiliki lima syarat yaitu: 1. Tidak menafikan makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi ayat al-Qur’an. 2. Mufassirnya tidak mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa mempertimbangkan makna tersurat. 3. Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang dan penakwilnya lemah.
h, 9-12.
137
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
4. Tidak bertentangan dengan dalil syari’at dan argumentasi aqli. 5. Serta adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya. Ada beberapa contoh kitab tafsir yang menggunakan penafsiran bi al-‘isyari, antara lain; Garaib alQur’an wa Raghaib al-Furqan karya an-Naisaburi (w. 728 H/1328 M); ‘Ara’is al-Bayan fi Haqaiq alQur’an susunan Muhammad asySyairazi; dan Tafsir wa Isyarat alQur’an karya Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi (w. 560-638 H/1165-1240 M). Selain itu, tafsir ini memilik keistimewaan karena ditentukan dari hal yang tidak tampak, yaitu perasaan, emosi, iman, sesuatu yang sangat tidak tersentuh oleh inderawi, dan sesuatu yang tidak bisa dilacak oleh alat-alat fisik. Yang sangat halus dan lembut dan justru memiliki efek yang sangat dahsyat. Adalah sangat mustahil alQur’an tidak menghargai pengetahuan-pengetahuan batin yang diperoleh oleh seseorang yang selama hidupnya beribadah dengan ikhlas kepada Allah SWT. Pengetahuan yang bersifat batin, ilhami, intuitif, contemplatif memiliki tingkatan-tingkatan antara yang satu dengan yang lainnya. Tafsri isyari memberikan makna yang dalam atau hakikat dari setiap symbol. Dalam ayat terakhir
surat al-Fatihah, misalnya kita ingatkan bahwa kata maghdubi ‘alaihim yang biasanya untuk menunjukkan kelompok Yahudi dan Nasrani ternyata juga bisa memaparkan wajah orang-orang muslim. Ibnu ‘Arabi dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata maghdubi ‘alaihim adalah mereka yang terhijab materi, hijab inderawi (hijab jasmani) dan hijab dzawq hissi sehingga tidak bisa merasakan karunia kalbu, karunia akal. Dan itu mirip dengan orang-orang Yahudi sebab justifikasi mereka tentang hal-hal yang eksoteris. Dengan demikian, jika orang-orang muslim juga terbelenggu oleh materi, jasmani dan sensual (hissi) sehingga sulit mendapatkan karunia-karunia spiritual, mereka juga adalah bukti konkrit dari frase ayat maghdubi ‘alaihim. Dengan bantuan tafsir-tafsir esoteric, bisa diakses makna-makna yang lebih mendalam, komprehensif yang sering hilang dalam tulisantulisan teologis dan jurispudensi atau sectarian, apalagi politis fundamentalis. Tafsir isyari juga adalah bentuk apresiasi atas amal atau akhlaq sebab makna-makna itu ditemukan oleh orang-orang suci dan ingin membersihkan dirinya. Dengan kata lain, lewat tafsir isyari kita menemukan epistemologi tidak terbatas dari pengalaman keragamanan yang sangat tidak
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
138
Jurnal hikamuna
terbatas. Dan untuk menyerap yang tidak terbatas tentu memerlukan tafsiran-tafsiran yang tidak membatasi potensi manusia dalam dimensi tertentu.42 2. Tafsir bercorak lughawi (adabi) Tafsir bercorak lughawi ialah kecenderungan tafsir dengan memfokuskan penafsiran pada bidang bahasa. Penafsirannya meliputi segi i’rab, harakat, bacaan, pembentukan kata, susunan kalimat dan kesusastraannya. Tafsir semacam ini selain menjelaskan maksud-maksud ayat-ayat al-Qur’an juga menjelaskan segi-segi 43 kemu’jizatannya. Tafsir lughawi dalam perkembangannya, juga memiliki beberapa macam bentuk dan jenis. Ada yang khusus membahas aspek nahwu, munasabah dan balaghah saja dan ada pula yang membahas linguistik dengan mengkalaborasikan bersama corakcorak yang lain. Sebab itu, dalam penerapannya tafsir al-Qur’an melalui pendeketan bahasa tentu tidak akan lepas dari nilai positif atau negatif. Di antara nilai positifnya adalah: 42
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), Hal. 57-58. 43 Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998), 61.
139
a. Mengukuhkan signifikansi linguistik sebagai pengantar dalam memahami al-Qur’an karena al-Qur’an merupakan bahasa yang penuh dengan makna. b. Menyajikan kecermatan redaksi teks dan mengetahui makna berbagai ekspresi teks sehingga tidak terjebak dalam kekakuan berekspresi pendapat. c. Memberikan gambaran tentang bahasa arab, baik dari aspek penyusunannya, indikasi huruf, berbagai kata benda dan kata kerja dan semua hal yang terkait dengan linguistik. d. Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat al-Qur’an sehingga membatasinya dari terjerumus ke dalam subjektivitas yang berlebihan. e. Mengetahui makna-makna sulit dengan pengatahuan uslub (gaya) bahasa arab. f. Melestarikan keselamatan, kehidupan dan kontinuitas bahasa arab dalam sejarah, melestarikan bahasa al-Qur’an dengan bahasa arab yang jelas, bukan dengan bahasa pasaran. g. Mengungkap berbagai konsep seperti etika, seni dan imajinasi al-Qur’an sehingga akan melahirkan dimensi psikologis dan signifikansi interaksi dalam jiwa.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
Namun demikian, sebagai salah satu metode penafsiran yang bersifat ijtihadi, tafsir lughawi juga memiliki beberapa nilai negatif, antara lain: a. Terjebak dalam tafsir harfiyah yang bertele-tele sehingga terkadang melupakan makna dan tujuan utama al-Qur’an. b. Mengabaikan realitas sosial dan asbab al-Nuzul serta nasikh mansukh sehingga akan mengantarkan kepada kehampaan ruang dan waktu yang akibatnya pengabaian ayat Makkiyah dan Madaniyah c. Menjadikan bahasa sebagai objek dan tujuan dengan melupakan manusia sebagai objeknya. d. Peniruan lafzhiah (kata), otoritas historis yang berseberangan dan keragaman pendapat pakar bahasa arab akan menguras pikiran sehingga melupakan tujuan utama tafsir yaitu pemahaman al-Quran.44 Untuk lebih jelasnya tentang jenis dan macam-macam tafsir lughawi, akan dijelaskan sebagai berikut:
44
Ahmad
Perkembangan
Tafsir
Syurbasyi,
al-Qur’an
Sejarah al-Karim
(Jakarta: Kalam Mulia,1999), 78-80 Cet. I, Lihat juga Dr. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat (Nawasea: Yogyakarta: 2007), 90-95 Cet. I.
a.
b.
c.
Tafsir nahwu atau i’rab alQur’an yaitu tafsir yang hanya pokus membahas i’rab (kedudukan) setiap lafal alQur’an, seperti kitab al-Tibyan fi I’rab al-Qur’an karya Abdullah bin Husain al‘Akbary (w. 616 H) Tafsir Sharaf atau morpologi (semiotik, dan semantik yaitu tafsir lughawi yang pokus membahas aspek makna kata, isytiqaq dan korelasi antarkata seperti Tafsir al-Qur’an Karim karya Quraish Shihab, Konsep Kufr dalam al-Qur’an karya Harifuddin Cawidu. Tafsir Munasabah yaitu tafsir lughawi yang lebih menekankan pada aspek korelasi antar ayat atau surah, seperti Nazhm al-Durar fi
Tanasub al-Ayat wa al-Suwar
d.
karya Burhanuddin al-Buqa’y (w. 885), Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razy (w. 606), Tafsir al-Mishbah karya Quraish Shihab, dll. Tafsir al-amtsal (alegori) yaitu tafsir yang cenderung mengekspos perumpamaanperumpamaan dan majaz dalam al-Qur’an seperti kitab
al-Amtsal min al-Kitab wa alSunnah karya Abdullah Muhammad bin Ali al-Hakim al-Turmudzi (w. 585 H), Amtsal al-Qur’an karya alMawardi (w. 450 H), Majaz al-
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
140
Jurnal hikamuna
Qur’an karya Izzuddin Abd Salam (w. 660 H) Tafsir lughowi ditinjau dalam perspektif balaghah yang meliputi tiga aspek yaitu: a. Tafsir Ma’ani al-Qur’an yaitu tafsir yang khusus mengkaji makna-makna kosa kata alQur’an atau terkdang disebut ensiklopedi praktis seperti kitab Ma’ani al-Qur’an karya Abd Rahim Fu’dah. b. Tafsir Bayan al-Qur’an yaitu tafsir yang mengedapankan penjelasan lafal dari akar kata kemudian dikaitkan antara satu makna dengan makna yang lain seperti kitab Tafsir al-Bayani al-Qur’an karya Aisyah Abd Rahman bint alSyathi’. c. Tafsir badi’ al-Qur’an yaitu tafsir yang cenderung mengkaji al-Qur’an dari aspek keindahan susunan dan gaya bahasanya, seperti Badi’ alQur’an karya Ibn Abi al-Ishba’ al-Mishry (w. 654 H).45 3. Tafsir bercorak ijtima’i (sosial masyarakat) Tafsir ini memiliki kecenderungan kepada persoalan sosial kemasyarakatan. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan 45
Lihat http://portalgaruda.org/article. TAFSIR%20LUGHAWI diakses pada tanggal 10 Oktober 2015
141
hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan kebudayaan masyarakat yang sedang berlangsung. Corak tafsir ini berusaha memahami teks al-Qur'an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur'an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan nash-nash alQur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan. Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dan tujuan-tujuan Alquran yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian menggabungkannya dengan pengertian-pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.di samping itu pula juga dengan menekankan
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
tujuan pokok diturunkannya Alquran, lalu mangaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dalam corak tafsir ini yang penting adalah bagaimana misi Alquran sampai pada pembaca. Dalam penafsirannya, teksteks Alquran dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan system peradaban, sehingga dapat fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk Alquran, sehingga dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan dengan perkembangan zaman dan manusia. Metode al-Adabi al-Ijtima’i dalam segi keindahan (balaghah) bahasa dan kemu’jizatan Alquran, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Alquran, berupaya mengungkapkan betapa Alquran itu mengandung hukumhukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Alquran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran Alquran dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan
kepada umat bahwa Alquran itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap Alquran dengan argument yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap. Semua hal di atas dikemukakan dan diuraikan dengan gaya bahasa yang sangat indah, menarik memikat, dan membuat pembaca terpesona serta merasuk kedalam kalbunya, sehingga tergugahlah hatinya untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah untuk mengetahui segala makna dan rahasia Alquran al-Karim tersebut. Metode tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i Dalam Analisis Tentang Unsurunsur Terbentuknya Masyarakat. Unsur yang membentuk masyarakat ada tiga yakni: Manusia, alam dan hubungan/interaksi social. Unsur ketiga yang harus kita kaji untuk menemukan di manakah letak posisi manusia dalam interaksi social, sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh Alquran. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan (interdependensi) satu sama lain dalam kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan sosiologisnya itu, seluruh
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
142
Jurnal hikamuna
manusia akan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu membentuk kesatuan sosial, yang pada akhirnya melahirkan sebuah Negara. Dilihat dari segi sifatnya, hubungan sosial tersebut terbagi dua, yaitu: 1. Hubungan fungsional 2. Hubungan persaudaraan yang diikat kesamaan agama. Hubungan fungsional adalah hubungan sosial yang lebih bertendensikan kejasaan.Hubungan sosial dalam masyarakat, ini adalah hubungan antara manusia dengan sesamanya, berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan, gesekan kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan sosial lainnya.Permasalahan yang dihadapi di sini bukan lagi pertentangan antara manusia dengan alam tetapi berupa pertentangan sosial dan benturan kepentingan atau kemaslahatan antar sesama, problematika sosial dalam masyarakat memang sangat kompleks beragam dan dalam bentuk yang bermacammacam.Akan tetapi pada hakikatnya satu subtansial yang berulang-ulang dan sangat umum, yakni pertentangan antara golongan lemah dan golongan kuat.semuanya bersumber pada antara kesenjangan mereka yang ada di posisi golongan kuat dan yang di posisi golongan 143
lemah. Bahkan sering kali permasalahan itu timbul dari satu golongan yaitu golongan elit atas. Pada hari akhir nanti Allah tidak menanyai manusia mengenai pendapat para mufassir, dan tentang bagaimana mereka memahami Alquran. Tetapi ia akan menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing dan mengatur manusia. Kesimpulannya adalah menjelaskan Alquran kepada masyarakat luas dengan maknanya yang praktis, bukan hanya untuk ulama’ professional. Masyarakat awam maupun ulama’, menyadari relevansi terbatas yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Agar para ulama itu yaqin, bahwa mereka seharusnya membiarkan Alquran berbicara atas nama dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan yang subtil. Nuansa social kemasyarakatan yang dimaksud di sini adalah tafsir yang menitikberatkan penjelasan ayat Alquran dari: 1. Segi ketelitian redaksinya 2. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan Alquran,
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
eksentuasi yang menonjol pada tujuan utama yang diuraikan Alquran, dan 3. Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat. Nuansa tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara penafsiran yang seolaholah menjadikan Alquran terlepas dari akar sejarah kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya, tujuan Alquran sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar. Selanjutnya yang masih menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini akan disebutkan berikut ini bersama karya-karya tafsirnya. 1.Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H). 2.Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut .46 4.
Tafsir bercorak fiqih Tafsir bercorak fiqih ialah kecenderungan tafsir dengan metode fiqih sebagai basisnya, atau dengan kata lain, tafsir yang berada di bawah pengaruh ilmu fiqih, karena fiqih sudah menjadi minat dasar mufasirnya sebelum dia melakukan 46
Al Farmawi, Al-Farmawy, alBidayah fi al-Tafsir al-Maudlu'i, h, 27-30.
usaha penafsiran. Tafsir semacam ini seakan-akan melihat al-Qur’an sebagai kitab suci yang berisi ketentuan perundang-undangan, atau menganggap al-Qur’an sebagai kitab hukum.47 Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil ma’tsūr, corak tafsir fiqhī juga muncul pada saat yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa ada pembedaan di antara keduanya. Ini terjadi lantaran kebanyakan masalah yang muncul dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam, sampai pada generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek hukum. Di sini, keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur’an bisa muncul dengan cara melakukan penafsiran terhadapnya. Pada awal Islam, ketika menemukan sebuah masalah, maka yang selalu dilakukan oleh para sahabat adalah mengembalikan permasalahannya kepada Nabi SAW.Dengan begitu, Nabi SAW kemudian memberikan jawaban.Jawaban-jawaban Nabi SAW ini digambarkan sebagai bentuk penafsiran bi al-ma’tsūr, yang dengan muatan penjelasan tentang hukum Islam dapat pula disebut dengan tafsir fiqhī.Oleh karena itu, boleh dikatakan pula 47
Rizal
Taufik Adnan Amal dan Syamsu
Panggabean, Tafsir
Kontekstual
al-
Qur’an, (Bandung: Mizan, 1990), h, 24.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
144
Jurnal hikamuna
bahwa tafsir fiqhi muncul dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya ijtihad, yang hasilnya tentu saja sudah sangat banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi secara tulus sejak awal turunnya al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran hukum Islam menurut madzhab tertentu. Pada masa pembentukan madzhab, beragam peristiwa yang menimpa kaum muslimin mengantarkan pada pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam madzhab melakukan analisis terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran al-Qur’ān dan al-Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para imam memberikan keputusan hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di dalam hatinya, dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang didasarkan pada dalil-dalil dan argumentasi (Dzahabi, al-Tafsir Wal Mufassirun, iii, 99). Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhi adalah karya-karya yang menampilkan pandangan fiqih yang cukup sektarian, ketika kita menemukan tafsir fiqhi sebagai bagian dari perkembangan kitabkitab fiqh yang disusun oleh para pendiri madzhab.Meskipun begitu, ada pula sebagian yang memberikan 145
analisis dengan membandingkan perbedaan pandangan madzhab yang mereka anut. Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran karya al-Jassās (w. 370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al‘Arabi (w. 543 H); dan Al-Jāmi‘ li ahkām al-Qurankarya al-Qurtubī (w. 671 H).48 5.
Tafsir bercorak filsafat Tafsir bercorak filsafat ialah kecenderungan tafsir dengan menggunakan teori-teori filsafat, atau tafsir dengan dominasi filsafat sebagai pisau bedahnya. Tafsir semacam ini pada akhirnya tidak lebih dari deskripsi tentang teoriteori filsafat. Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat alQur’an dengan menggunakan teoriteori filsafat. Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat.Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalanpersoalan filsafat atau ditafsirkan
48
Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudlu'i, h, 18-20.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
dengan menggunakan teori-teori filsafat.49 Dalam melakukan tafsir filsafat, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 1. Metode ta’wil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai dengan pandanganpandangan filosofis. 2. Metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan pandangan50 pandangan filosofis.
Tafsir falsafi berusaha menafsirkan
ayatayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan al-Shafa.Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak agama dari dalam. Al-Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama, kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan 49
Muh}ammad Husein al-Dzahabi, alTafsi>r wa al-Mufassiru>n, (Nasyr: Tuzi’, 2005), h, 419.
50
Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, (Bandung: Rosda Karya, 2000), h,70.
keislaman.Pemahaman ayat-ayat alQur’an melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya peradaban umat Islam.Di dalam menafsirkan Al Qur’an terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang masing-masing mufasir. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi, ilmi, adabi, fiqhi, falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman. Penafsiran terhadap al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam.Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir al-Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang.Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak penafsirannya. Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat Tuhan.Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
146
Jurnal hikamuna
negatif, demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci.Namun begitu, tetap ada sisi positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi maknamakna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa. Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur’an tidak lepas dari struktur historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan diberlebih-lebihan. Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Fushush al- Hikam karya Al Farabi, Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H), alIsyarat, karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H). 147
6.
Tafsir bercorak ilmiah Tafsir bercorak ilmiah adalah kecenderungan menafsirkan alQur’an dengan memfokuskan penafsiran pada kajian bidang ilmiah, yakni untuk menjelaskan ayat-ayat yang berkaitan dengan alam. Atau tafsir yang memberikan hukum terhadap istilah alamiah dalam ibarat al-Qur’an.51 Dalam Jansen, tafsir ilmi disebut juga sebagai sejarah alam secara sederhana dapat didefinisikan sebagai usaha memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan menjadikan penemuan-penemuan sains modern sebagai alat bantunya. Ayat alQur’an di sini lebih diorientasikan kepada teks yang secara khusus membicarakan tentang fenomena kealaman atau yang biasa dikenal sebagai al-ayat al-kauniyat. Jadi yang dimaksud dengan tafsir ‘ilmi adalah suatu ijtihad atau usaha keras seorang mufassir dalam mengungkapkan hubungan ayat-ayat kauniyah dalam al-Qur’an dengan penemuan-penemuan sains modern, yang bertujuan untuk memperlihatkan kemukjizatan alQur’an.52 Sebab itu Tafsir ‘ilmi juga diartikan sebagai penafsiran al51
Abd. Kholid, Kuliah Madzahib al-
Tafsir, h, 69. 52
Muhammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Moder. (Yogyakarta: Menara Kudus, 2004), h,127
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
Qur’an yang pembahasannya menggunakan pendekatan istilahistilah (term-term) ilmiah dalam mengungkapkan al-Qur’an, dan seberapa dapat berusaha melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berbeda dan melibatkan pemikiran-pemikiran filsafat.53
التفسري الذى حيكم االصطالحات العلمية فى عبارات وجيتهد فى استخراج خمتلف,القران العلوم واالراء الفلسفية منها Artinya: metode penafsiran
yang mengukuhkan keterangan atau istilah-istilah ilmiah yang terkandung di dalam perumpamaanperumpamaan yang terdapat dalam al-Qur’an yang kemudian melahirkan berbagai macam pengetahuan dan teori-teori 54 filsafat. Secara tegas bahwa fafsir 'ilmy adalah penafsiran ayat-ayat kawniyyah yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan modern.55 Sebab itu, penafsir tidak hanya dituntut mampu menguasai ilmu bahasa sebagai alat memahami teks akan 53
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h,135 54 Muhammad Husain al-Dhahabiy. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, J. II (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1961) hlm. 474 55 Sayyid Agil Husin al-Munawwar.
Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002) hlm.72
tetapi lebih daripada itu ia juga harus menguasai ilmu pengetahuan alam atau sains sehingga antara teks dan kenyataan empiris memiliki hubungan kebenaran.56 Sebab itu, metode penafsiran tafsir ilmi (1) lebih menekankan pada penemuan-penemuan sains dan menjadikannya sebaga tolok ukur memahami ayat-ayat al-Qur’an; (3)perumpamaan atau penyerupaan; dan (3) tidak menghiraukan kriteriakriteria teologis dan kondisi yang ada pada saat ayat turun; serta (4) mempersiapkan kemunculan aliran pemikiran eklektis dan penafsiran material terhadap ayat-ayat alQur’an. Namun hanya saja, dua kriteria terakhir ini mendominasi mayoritas metode penafsiran saintis ini, bukan seluruhnya.57 7. Tafsir bercorak kalam (teologi) Tafsir bercorak kalam ialah tafsir dengan kecenderungan pemikiran kalam, atau tafsir yang memiliki warna pemikiran kalam. Tafsir semacam ini merupakan salah satu bentuk penafsiran al-Qur’an yang tidak hanya ditulis oleh simpatisan kelompok teologis tertentu, tetapi lebih jauh lagi merupakan tafsir yang dimanfaatkan 56
Mursi Ibrahim al-Bayuni. Dirasat fi Tafsir al-Mudhu’iy (Kairo: Dar al-Taufiqiyyah Li al-Thaba’ah, 1970) hlm.20 57 Rohimin. Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h, 92-95.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
148
Jurnal hikamuna
untuk membela sudut pandang teologi tertentu. Paling tidak tafsir model ini akan lebih banyak membicarakan tema-tema teologis dibanding mengedepankan pesanpesan pokok al-Qur’an.58 Kesimpulan Perbedaan cara pandangan dalam menafsirkan al-Qur’an telah menyebabkan lahirnya ciri atau corak penafsiran dalam al-Qur’an. Latarbelakang dan situasi historis amat dominan mempengaruhi bagaimana penafsir menafsirkan teks-teks dalam al-Qur’an. Artinya penafsir diberikan keluasan mengelaborasi makna al-Qur’an sesuai dengan kualitas dan kapabilitas serta keilmuan sehingga al-Qur’an memiliki kesan dinamis dan universal sebagai ajaran rahmat untuk alam semesta. Dengan kata lain, penafsiran teks al-Qur’an tidak lagi menjadi kaku dan ortodok, akan tetapi memberikan pilihan bagi pembacanya untuk dipahami tanpa harus keluar dari inti ajaran alQur’an itu sendiri. Buktinya, priodeisasi penafsiran al-Qur’an pada masa klasik hanya bersumber pada nabi, sahabat, dan tabi’in berdasarkan riwayat dan dealektika mereka langsung kepada Nabi Muhammad. Berbeda pada era modern, pasca 58
Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir; Dari Periode Klasih hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Kreasi Warna,
meninggalnya nabi, sahabat, dan tabi’in pemikir muslim banyak berimpropisasi pemikiranya dalam mengembangkan pengkajian dalam bidang penafsiran yang menonjolkan corak reformis-rasional, sains (tafsir ilmi), budaya, sosial, linguistik dan sastra. Tidak lagi berkutat dengan Tafsir Ma’tsu>r (periwayatan) tapi merambah jauh pembacaan terhadap ayat-ayat kauniyah. Corak penafsiran al-Qur’an secara umum berkaitan dengan istilah tafsir bil al-ma'tsur (periwayatan), tafsir bi al-Ra’yi (rasio akal), tafsir tahlily (analisisi), tafsir muqa>ran (perbandingan), tafsir ijma>ly (makna global), dan tafsir maud}u>’i (tematik). Namun, dalam perkembangannya corak penafsiran al-Qur’an juga berkaitan dengan genre keilmuan seperti tafsir corak sufistik, corak lughowi (linguistik), corak ijtima>’iy (sosial), fiqh, filsafat, ilmiah (santifik), dan kalam (teologi).
Referensi Abdul Mustaqim.
Tafsir
Yogyakarta: LKiS, 2011. Abd. Hay Al-Farmawy. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maud{u'i. Kairo: Al-Hadharah al-Arabiyah, 1977. Abdul Kholid. Kuliah Madzahib alTafsir. IAIN Sunan Ampel
2005), 70.
149
Epistemologi Kontemporer.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Corak Penafsiran al Qur’an
Surabaya: Ushuluddin, 2003. Ahmad Syurbasyi.
Stephen Heath. New York:
Fakultas
Dari Zaman Klasik Hingga Zaman Modern, Pent.
Hill and Wang, 1977. J.M.S. Baljon. Tafsir Qur’an Muslim Modern, pent A. Ni’amullah Mu’iz. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991. Juhaya S. Praja. Tafsir Hikmah. Bandung: Rosda Karya, 2000. Muhammad Husain al-Dzahabi. alTafsi>r wa al-Mufassiru>n. Kairo: Dâr al-Kutub alHadi>tsah, 2005. . Manna al-Khallil al-Qaththan. Maba>his fi> Ulu>m al-Qur’a>n. Riyadh: Mansyurat al-‘Ashr alHadi>ts, 1973. Muhammad Nor Ichwan. Tafsir
Novriantoni Kahar. Jakarta: Qisthi Press, 2004. Hasbi al-Siddiqi. Sejarah dan
‘Ilmiy Memahami Al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Moder. Yogyakarta: Menara
Pengantar Ilmu al-Qur’anTafsir, Jakarta: PT Bulan
Kudus, 2004. Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Muhammad Abd. Al-Adzim alZarqani. Manahil al-'Irfan fi `Ulum Al-Qur'an. Mathba'ah Isa al-Bab al-Halaby, 1957. Mursi Ibrahim al-Bayuni. Dirasat fi Tafsir al-Mudhu’iy. Kairo: Dar al-Taufiqiyyah Li al-Thaba’ah, 1970. Mani’ Abdul Halim Mahmud.
Sejarah Perkembangan Tafsir alQur’an al-Karim. Jakarta:
Kalam Mulia,1999. Cet. I. Abdul Mustaqim. Aliran-Aliran
Tafsir; Dari Periode Klasih hingga Kontemporer. Yogyakarta: Kreasi Warna, 2005. Ahmad Izzan. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakkur, 2011. Gamal al-Banna. Evolusi Tafsir:
Bintang, 1900. Hasan Hanafi, Manahij at-Tafsir wa Mashalih al-Ummah, diterjemahkan oleh: Yudian Wahyudi dengan judul, Metode Tafsir dan Kemaslahatan Umat. Nawasea: Yogyakarta: 2007 Ibn Taimiyyah. Muqaddimah fi Ushu>l al-Tafsi>r. Kuwait: Dâr al-Qur’a>n al-Kari>m, 1971. Jane Dammen Mc Auliffe (editor), Encylcopaedia of the Qur’an, (Brill: Leiden, 2001), vol. Roland Barthes Image, Music,
Text
and
Translated
by
.
Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Nashiruddin Baidan. Metodologi Penafsiran al-Qur’an.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
150
Jurnal hikamuna
Yogyakarta: Pelajar Offset, 1998. Quraish Shihab. Membumikan AlQur'an. Bandung: Mizan, 1999. Rohimin. Metodologi Ilmu Tafsir
dan Aplikasi Model Penafsiran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Said Aqil al-Munawwar. I’jaz AlQur'an dan Metodologi Tafsir. Semarang :Dina Utama, 1994. Sayyid Agil Husin al-Munawwar.
Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki Jakarta: Ciputat Press, 2002. Saiful Amin Ghafur. Profil Mufassir al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008. Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean. Tafsir Kontekstual al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1990. Tim penyusun. Ensiklopedia
Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban.Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Yunus Hasan Abidu Tafsir al-
Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007. Lihat http://portalgaruda.org/article. TAFSIR%20LUGHAWI diakses pada tanggal 10 Oktober 2015
151
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016