1
ARTIKEL HASIL PENELITIAN
STUDI SIMBOLISME DAN IDENTIFIKASI SENI PATUNG LORO BLONYO BERBASIS “HAKI “ SEBAGAI UPAYA MELESTARIKAN KONSEP KESEIMBANGAN LINGKUNGAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT JAWA
Oleh: Drs. H. Edy Try Sulistyo, M.Pd. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.H.
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Nopember 2009
2 THE SYMBOLISM RESEARCH AND IDENTIFICATION OF LORO BLONYO STATUE ART THAT HAS “HAKI” BASIS AS AN EFFORT TO CONTINUE JAVANESE CULTURE AND SOCIAL ENVIRONMENT BALANCE CONCEPT.
by: Drs. H. Edy Try Sulistyo, M.Pd. Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.H.
ABSTRACT Edy Try Sulistyo; Jamal Wiwoho. 2009. The symbolism research and identification of Loro Blonyo statue art that has “HAKI” basis as an effort to continue Javanese culture and social environment balance concept. Loro Blonyo – The purpose of this research is to know the visual aspect wholly that consist of size, model and style. The process of visualization class includes the tools and materials that are used. The research aimed also to describe the symbolism meaning (non visual aspect). This research model is qualitative descriptive with gathering the interview data, FGD, observation and seek references. The concrete step is done with record technique and shooting so that the whole data can be gotten. The discussion and research result show that loro blonyo statue is made from jati oven wood, nangka, mahoni, pule and sengon. The particular tools needed to make the statue are saw, axe, pethel, some kinds of knives, carver inlay, and any others. For example: grindstone, drill, etc. the size of loro blonyo can be classified into three groups. The first is big, that is loro blonyo statue length 150-170 centimeters. The second is in average that is loro blonyo statue length 50-100 centimeters. The third is small that is loro blonyo statue length 10-20 centimeters. The making process of loro blonyo is begun from: Bakali, cutting the woods, making sketch, perautan (to smooth by cutting), and finishing with giving ornament detail and polishing. The most important step in finishing is coloring with aklirik paint or doing batik process. This batik process is almost same with batik process in making cloth. The difference is melamine final touching in order that shiny. Many loro blonyo statue styles and shapes belong to Keraton (royal palace), nobles, public or contemporary models show the same with each other, although there are also some differences. For example: the proportion used of colors, and finishing the whole shape belongs to royal palace is smoother than the others. But the noble’s statue is smoother than the public’s statue. While, the newest product is looked profane. It is reflected on using the light color and attribute that is made from woods. The expression shows that the statue that is decorated noble’s home looked mystic, moreover the royal place’s statue. It is very difference from two contemporary statue figures ands statue that is decorated people’s home. The expression form of royal place or noble’s statue looked
3 more mystic-religious than kawula (common people), moreover loro blonyo statue product at this time. Javanese people conscious that the human origin and end place is God. Worldly, the human origin is the result of reproduction between lingga and yoni that is presented with the parents, father and mother as a couple of loro blonyo statue. Morally, the origin of wiji (germ or seed) called wiji kodrat is from God, father and mother descend wiji wiradhat and only wadhag that intermediary. So that Javanese people consider that life is few times as the person who travel only mampir ngombe. So they do mystic to make their life balance perfectly, and life prosperously. They also want to be close with God. According to young generation must know symbolism and philosophy meaning of loro blonyo statue as Javanese culture cosmology illustration so the culture contexts is not lose. And we are not influenced with foreign culture easily.
A. PENDAHULUAN Patung loro blonyo
merupakan patung yang bersifat simbolis-filosofis.
Keberadaannya sangat terkait dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Jawa. Dalam perilaku social budaya, masyarakat Jawa selalu mengacu pada adat istiadat yang bersumber pada tata nilai budaya keraton. Keraton diyakini sebagai pusat kosmos yang berpengaruh dalam tata kehidupan yang penuh dengan keserasian, keharmonisan dan keselarasan. Konsep tersebut termanifestasi dalam gagasan, perilaku maupun berbagai bentuk yang kita temui di sekitar lingkungan kita. Posisi patung loro blonyo
yang
dipasang berdampingan di ruang yang sacral, suci yaitu di depan krobongan dalam struktur rumah tradisi Jawa, merupakan lambang keharmonisan hidup, sebagai perwujudan akan gagasan-perilaku dan bentuk kehidupan masyarakat Jawa. Dalam sistem kepercayaan Jawa, patung loro blonyo
diyakini sebagai penjilmaan dari suatu
pasangan yang harmoni antara dewa dan dewi. Menurut kosmologi Jawa, patung tersebut diyakini sebagai penjilmaan Dewa yang biasa mendatangkan kesuburan dan kemakmuran, sehingga mampu mewujudkan tata kehidupaan lingkungan social budaya yang harmonis, serasi dan seimbang. Tidak dapat dipungkiri bahwa patung loro blonyo
, yang dimitoskan sebagai
penjilmaan Dewi Sri dan Dewa Sadono dari kayangan (dunia atas), telah menjadi bagian dari sistem kehidupan masyarakat Jawa. Untuk mengungkap nilai-nilai yang tersurat dan tersirat pada patung tersebut, hanya bisa dilakukan dengan penelitian. Penelitian loro
4 blonyo
memang telah dilakukan oleh beberapa ahli, antar lain para sarjana seni rupa
seperti: Bambang Tukiyo (1996), Rushartono (1989), Setyawan (2000), Guntur (2000), Nurkhasanah (2002). Tetapi tema pokok pembahasannya menekankan unsur rupa (material) semata. Kelemahan yang lain terletak pada wilayah kajiannya selain masih lokal, kajian yang dilakukan belum dikaitkan dengan konteks budaya yang lebih luas, yaitu dalam kosmologi budaya Jawa. Pembahasan loro blonyo
juga dilakukan para ahli sastra, seperti Rassers (1959),
Cohen (1902), Suyami (2000), Wuryanto (1989), Eren (1989), Ismaun (1993), LSM Angin Segar (2001), Sindunata (2000), Supriatun (2002). Akan tetapi sudut pandang kajiannya terbatas pada satu perspektif kajian tema ceritanya saja. Aspek masyarakat dan budaya tidak menjadi bagian pokok analisis yang tuntas, sehingga kosmologi pemikiran dalam konteks budaya Jawa belum terurai rinci. Kajian sastra juga belum mengkaitkan unsur kesatuan bentuk seni patung sebagai perwujudan dewi Sri –Sadono yang bernilai simbolik. Indikasi ini memperkuat dugaan bahwa kajian patung loro blonyo
yang
selama ini pernah dilakukan masih belum mampu menjelaskan keberadaannya secara tuntas dan menyeluruh. Berkaca dari latar belakang diatas, beberapa masalah yang perlu dikaji yakni mengenai, ukuran secara fisik patung loro blonyo, media dan alat yang digunakan dalam membuat serta tahapan prosesnya pembuatannya dan yang terakhir bentuk-bentuk dan gaya serta makna dan simbolismenya.
SENI PATUNG LORO BLONYO Penelitian-penelitian patung yang langsung terkait dengan loro blonyo selama ini telah dilakukan dengan berbagai pendekatan. Apabila diidentifikasi, pendekatan yang digunakan sebagai kerangka pembahasan pada intinya dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok, yaitu pendekatan deskriptif, struktural dan interpretatif simbolik. Beberapa pembahasan yang bertemakan patung loro blonyo , dengan pendekatan deskriptif antara lain telah dilakukan oleh: Guntur (2000), Rushartono (1996), Umiyatsih (2000), Nurkhasanah (2002), dan Supriyono (1998), dan pendekatan structural oleh LSM Angin Segar (2001), serta pendekatan yang bersifat interpretatif simbolik telah dijabarkan: Setyawan (2000), Supriatun (2002), dan Guntur (2004).
5 Para
penulis
yang
menggunakan
pendekatan
deskriptif
tersebut,
arah
pembahasannya menekankan selain pada aspek estetika dan struktur bentuk, juga pada nilai bentuk dan gaya patung loro blonyo.Hanya kajian visual yang dilakukan Guntur tertuju pada perbandingan unsur-unsur persamaan dan perbedaan antara loro blonyo dengan menong. Namun kajian Rushartono lebih menfokus pada struktur visual soal gaya (style) loro blonyo
antara gaya Surakarta dan Yogyakarta. Tidak beda halnya hasil
penelitian Nurkhasanah, yang orientasi kajiannya masih pada patung sebagai struktur bentuk, tetapi penekannya selain bentuk atau hasil, ia juga mengetengahkan pada proses atau tahap pembuatannya. Namun Umiyatsih maupun Supriyono lebih tertarik pembahasannya pada nilai estetis. Umiyatsih memusatkan pada kajian estetika struktur bentuk dari waktu ke waktu, sedangkan Supriyono cenderung pada analisis nilai estetikanya. Pada simpulannya para penulis tersebut memaknai patung loro blonyo
sebagai
bentuk kebudayaan yang bersifat material (kasat mata), sehingga aspek non materialnya tidak dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan konteks sosial budaya. Pada dasarnya ukuran loro blonyo sangat variatif dari ukuran panjang/tinggi kurang dari 10 cm hingga lebih dari 100 m untuk patung duduk, sedangkan untuk patung berdiri bisa sampai kurang lebih 170 cm, atau bahkan terkadang bisa lebih panjang lagi karena adanya pesanan.
Berdasarkan ukuran umumnya maka patung loro blonyo
dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok ukuran sebagai berikut. a. Besar : untuk posisi duduk ukuran patung loro blonyo
1m, dan untuk patung
loro blonyo posisi berdiri berukuran 150-170 cm. b. Sedang: berukuran tinggi 50-70 cm c. Kecil
: berukuran tinggi 10-20 cm yang umumnya loro blonyo
dalam posisi
duduk. Loro blonyo dengan ukuran kecil ini yang paling banyak diproduksi. Patung loro blonyo
dalam posisi duduk terdiri dari: sepertiga bagian adalah
kepala dan dua-pertiga bagian adalah merupakan bagian badan. Misalnya patung loro blonyo berukuran tinggi 100cm, maka 30 cm untuk bagian atas leher hingga kepala, dan 70 cm adalah bagian badan hingga kaki.
6 PROSES PEMBUATAN PATUNG RORO BLONYO Loro blonyo
dibuat dari bahan kayu mentah berupa kayu glondongan dengan
diameter 20-40 cm. Pada dasarnya glondongan kayu berdiameter lebih besar akan lebih baik dari segi kualitas, karena semakin besar diameter berarti semakin tua kayu sehingga kualitas kayu lebih baik. Namun disamping sulit diperoleh glondongan layu berukuran lebih besar, kisaran ukuran tersebut lebih memudahkan pada penggarapan awal seperti saat pemotongan, pemindahan, dan persiapan pengovenan dalam ruang oven kayu. Loro blonyo kuno dibuat dari kayu bekualitas sangat baik seperti jati dan nangka. Ketika itu, permintaan loro blonyo masih terbatas pada lingkungan kerajaan dan pejabat kerajaan saja dan bahan kayu tersebut masih mudah didapat. Meskipun sedikit keras, kelebihan kayu jati dan nangka adalah sangat awet dan mudah pengarapannya, perwarnaan dengan teknik batik akan menghasilkan kualitas yang lebih baik, karena hasil permukaan kayu yang halus dan tidak berpori sehingga tidak menyerap bahan pewarna. Sekarang untuk loro blonyo dengan pewarnaan teknik batik lebih banyak menggunakan kayu pule yang lebih baik dibandingkan kayu sengon dan mahoni, sedangkan loro blonyo dengan teknik pengecatan lebih banyak dipilih kayu sengon dan mahoni. Dalam perkembangannnya loro blonyo telah menjadi komoditas komersial pasar nasional dan bahkan luar negeri sehingga permintaannya semakin meningkat. Berdasarkan pertimbangan bahwa kayu jati dan nangka sekarang sangat mahal sehingga tidak ekonomis dan semakin terbatas sehingga sulit didapat, maka sekarang kedua jenis kayu kurang digunakan sebagai bahan untuk membuat patung loro blonyo. Berbagai alat dari alat pepotong hingga tatah pemahat digunakan dalam pembuatan patung loro blonyo. Berikut ini alat utama yang digunakan untuk pembuatan patung loro blonyo. (1). Gergaji; (2) Pethel, Pethel diperlukan untuk menipiskan bahan kayu yang terlalu tebal, membuang bagian yang tidak perlu, dan memulai membentuk kayu menjadi bentuk pola patung awal secara kasar sebelum dibentuk secara detil dengan alat pahat yang lebih kecil dan susuai; (3). Kampak, Kampak berguna untuk membelah kayu secara memanjang serat kayu menjadi ketebalan kayu sesuai dengan kebutuhan. (4) Pukul kayu digunakan untuk memukul tatah pahat. (5). Pisau pahat untuk meraut kayu sesui dengan bentuk patung yang diinginkan, terutama bentukan relief yang sederhana yang tidak rumit. (6) Tatah pahat diperlukan untuk membentuk pahatan relief yang
7 spesifik dan relatif sulit, (7) Mesin elektrik pembuat profil, digunakan untuk membuat bentukan atau profil tertentu pada patung, sehingga perkejaan menjadi praktis dan cepat; (8). Mesin bubut kayu, untuk pembuatan bentuk-bentuk kerajian lain dari kayu yang biasanya dikerjakan juga oleh perajin patung loro blonyo. Seperti diuraikan di depan, bahan baku yang digunakan adalah kayu, terdapat beberap jenis kayu yang masing-masing mempeunyai kelemahan dan kekeurangan. Pada umumnya pengerajin menggunakan kayu jenis Jati. Kayu Jati mempunyai nilai komersil yang tinggi sehingga setelah mengalami transformasi dalam bentuk patung Loro blonyo pun nilai ini tidak pernah tergeser. Nilai jual patung dengan bahan kayu jenis ini paling tinggi. Kayu Jati merupakan kayu yang paling bagus untuk bahan patung. Kayu ini mudah dibentuk meskipun sifatnya keras dan seratnya padat, kelebihannya antara lain adalah awet dan tidak mudah pecah. Secara sosiologis Loro blonyo dengan bahan kayu jati menjadi simbol kedudukan status pemiliknya, karena dari segi harga di antara yang lain jenis kayu jati paling mahal. Mengingat harganya yang mahal patung bahan kayu jati hanya dibuat apabila ada pesanan. Harganya patung loro blonyo
ukuran tinggi 70 cm
bisa mencapai enam sampai dengan delapan juta rupiah. Pada umumnya para pengerajin patung menggunakan bahan baku selain dari kayu jati, sedangkan ukuran patung yang diproduksi cenderung bentuknya kecil-kecil saja, sebagian lainnya ukuran sedang. Loro blonyo tidak hanya dibuat dari Kayu Jati, namun dapat menggunakan kayu yang tergolong keras seperti: sengon, pule, puso, wiu, dsb. Dibandingkan dengan kayu Jati, sengon memiliki kelebihan selain sifatnya yang lunak dan mudah dibentuk, tetapi juga awet, dan sangat baik untuk finishing dengan menggunakan teknik cat. Namun ditemukan pula sisi kekurangannya, di antaranya kayu mudah retak terutama apabila kena sinar panas matahari secara langsung. Selain itu terkstur luarnya juga lebih kasar, karena seratnya juga tidak terlalu padat. Dari segi ekonomi sengon mempunyai harga jual yang relative murah disbanding dengan jenis yang lain. Jenis kayu ketiga yakni kayu Pule, kayu jenis ini lebih halus dibandingkan kayu sengon. Kayu ini mudah dibentuk, dan hasilnya sangat baik apabila tahap finishingnya menggunakan teknik batik. Hanya sisi kelemahannya mudah lapuk yang disebabkan oleh rayap. Jenis kayu ini tidak ditemukan di sekitar Yogyakarta, tetapi didatangkan dari daerah lain yaitu dari Purworeja dan Wanasaba. Kayu Pule pada umunya bukankayu
8 yang memang disengaja untuk di budidayakan dengan tujuan ekonomis, karena kayu ini tergolong sebagai jenis kayu hutan. Namun karena jumlah kayu ini masih dapat ditemukan dengan biaya yang relatif terjangkau sehingga jenis kayu ini paling diminati pengerajin patung Loro blonyo di daerah Jogjakarta. Jenis kayu yang juga digunakan sebagai bahan Patung Loro blonyo yakni Puso, kayu ini lebih mudah dibentuk dibandingkan kayu sengaon dan pule. Karena sifat kayu ini keras dan berserat padat sehingga tidak mudah pecah. Kayu Puso juga bukan jenis kayu yang di kembangkan dan biasanya merupakan jenis kayu hutan. Kayu yang digunakan untuk membuat Patung Loro blonyo yang paling baik mempunyai kandungan air 40%. Kadang kayu yang didapatkan tidak selalu mempunyai kadar air yang sesuai, sehingga diperlukan berbagai macam cara. Para pengerajin Patung di daerah ini hanya menggunakan taksiran untuk menentukan kadar air pada kayu yang akan dikerjakan. Pembuatan patung dalam keadaan kayu masih basah lebih mudah dilakukan, namun resiko retak atau bahkan kayu pecah sangat besar. Maka biasa pengerjaan dilakukan jika kayu sudah dalam keadaan kering. Usaha mengatasi kendala tersebut bisa ditempuh dengan dua cara, pertama melalui cahaya matahari, kedua dengan menggunakan tungku bakar kayu. Pemanasan dilakukan dalam tungku dengan kekuatan panas sekitar 50 derajad selama 24 jam atau sehari semalam. Bahan bakar menggunakan kayu limbah, upaya ini mampu menetralkan kandungan air dari kayu bisa keluar sehingga tidak pecah. a. Bakali/ Babaki Istilah Bakali/ Babaki dalam bahasa Jawa digunakan untuk menyebut perancangan awal atau permulaan. Untuk memotong kayu yang masih utuh (glondong) ini digunakan gergaji mesin yang biasa disebut senso. Setelah dipotong untuk memudahkan pengangkutan. Untuk proses berikutnya pemotongan kayu menggunakan gergaji circle. Gerjaji circle adalah gerjadi eletrik yang menggunakan tenaga diesel maupun tenaga listrik, sebagian gergaji ini di pasangkan dengan mesin mobil yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga kayu yang akan dipotong cukup didorong diatas gergaji tersebut. b. Pemotongan
9 Proses yang kedua yakni memotong kayu sesuai perkiraan ukuran patung yang akan dibentuk. Kayu gelondongan dibiarkan kering secara alami terlebih dahulu (dijemur + dianginkan) sebelum diolah, karena jika di oven resiko akan pecah dan mudah retak. Akan tetapi jika pemesanan diminta cepat, maka kayu di oven saja. Pengeringan kayu dengan di oven, kayu gelondongan yang sudah dikuliti di masukkan ke oven pengering kayu dan tanpa mengunakan bahan-bahan kimia lain c. Pengovenan Pengovenan dilakukan sebelum pemahatan, karena kayu megalami penyusutan 2-5 cm. Pengovenan dilakukan dengan mesin oven atau menggunakan oven manual yang menggunakan limbah kayu sebagai pemanasnya. d. Pembuatan sketsa/ pola Pembuatan sketsa ini yakni dengan menggambar siluet atau lekuk patung pada kayu yang telah disiapakan, penggambaran ini menggunakan pensil, pensil yang digunakan biasanya ukuran BO, pensil ukuran ini mempunyai bentuk pensil dan isi pensil yang pipih, atau oval, selain itu pensil ini juga bersifat keras dantidak mudah patah. Karena mata pensil yang pipih ukuran ketebalan garisnya pun dapat disesuaikan dan mempunyai karakter yang jelas atau tebal. Dalam proses inilah mulai direncanakan apakah patung yang akan dibentuk itu sesuai pakem dan angger-angger (pola pokok/ asli) atau bahkan dilakukan modifikasi sesuai selera pembaut patung. e. Perautan Kayu yang sudah dibuat polanya dengan pensil tersebut, maka akan segera dipahat dengan menggunakan wadung atau petik. Bentukan yang dibuat dengan alat ini masih bersifat pola/ garis besar. Karena untuk menjadikannya lebih detil dengan lekuk-lekuk yang hampir mendekati sempurna diperlukan alat yakni pisau pangut. Para pengerajin menyebut proses ini dengan dengan pangut, tak ayal karena dalam proses ini menggunakan pisau pangut. Pisau pangut yang digunakan terdapat beberapa macam bentuk dan ukuran. Dengan menggunakan pahat ukir jenis cekung, datar, dan segi tiga ukuran lebar antara 0,3 – 5 cm, dapat untuk membuat lubang antara badan lengan tangan, dan menghaluskan bagian kapala. Ada dua pisau untuk membantu proses pembuatannya, pertama pisau ukir, gunanya untuk menghaluskan, membuat bagian hidung, mata, bibir, membuat kesan rambut dan perhiasan yang
10 dikenakan. Kedua pisau cecek untuk menggores bagian yang ringan, dalam ukuran kecil-kecil. Pada bagian kayu yang cacat biasanya didhempul agar tidak kelihatan cacatnya. Bahan dhempul merupakan campuran antara grajen halus yang diayak dengan lim perekat kayu. Beberapa lama gergajen setelah kering lalu diamplas. Langkah pengamplasan ini merupakan penyempurnaan penghalusan, yang mula-mula permukaannya masih kasar. f. Pewarnaan Setelah patung sudah terbentuk sesuai model yang dikehendaki proses yang selanjutnya yakni proses pewarnaan. Dalam proses ini bisa dikatakan tidak bisa dikatakan mudah, karena harus melalui beberapa tahapan. Langkah kemudian adalah finishing. Tahapan akhir ini pada intinya memberikan warna yang mengesankan bahwa patung telah selesai dibuat. Pewarnaan yang dilakukan ada dua teknik, teknik pertama adalah memberi warna dengan cat, dan teknik kedua memberi warna permukaan patung dengan cara dibatik. a.
Pewarnaan Batik Patung yang sudah jadi, diamplas terlebih dahulu. Setelah itu di beri
gambar sketsa dengan menggunakan pensil. Setelah sketsa, lalu kemudian diberi lilin malam sesuai gambar. Tujuan pemberian lilin malam adalah menutup bagian yang tidak ingin di warna dengan warna yang akan dicelupkan ke patung. Setelah itu diwarna dengan pewarna naptol. Pewarnaan dimulai dari warna muda terlebih dahulu. Kebanyakan untuk pemberian warna agar terkesan etnik coklat kemerahan, menggunkan garam naptol mr.B dan dicampur dengan Tro dan Kustik. Untuk melakukan finishing batik digunakan alat canting, wajan kecil, dan kompor. Canting ini merupakan klawang yang memberikan batas warna dan cecek untuk isen-isen. Tahapan teknik batik mula-mula membuat sketsa, tahap pembatikan, pewarnaan dilanjutkan melorod. Sketsa sering dilakukan pada bagian pakaian, kebaya dan bagian perhiasan yang memang lebih rumit. Tujuan membuat sketsa untuk memudahkan pembatikan sehingga hasilnya halus dan bagus.
11 Pembatikan merupakan tahap memberi batas antara warna satu dengan lainnya, dan menutupi bagian yang sengaja tidak diberi warna bahan lilin yang dipanaskan dengan alat canting. Pewarnaan digunakan bahan naptol dan bahan indigosol. Warna bahan naptol banyak digunakan, selain karena warna lebih cerah juga mudah pengerjaannya yakni dengan cara dicelup. Bahan indigasol jarang digunakan karena kualitas warna tidak cerah, sehingga apabila kena sinar warna cepat pudar. Teknik mewarna dari yang paling gelap atau kuat dilakukan dengan cara di colet, warna yang lebih muda cukup dilakukan dengan cara dicelup. Setelah dicelup naptol patung diangin-anginkan supaya kering, lalu dibatik. Jika menghendaki warna lain lagi dibatik dan dicelup dengan warna lagi, begitu terus sampai semua warna yang dikehendaki selesai. Tahap terakhir teknik membatik ialah melorod. Setelah proses warna dan diangin-anginkan lalu diplorod caranya direbus dengan air dicampur dengan abusoda agar mempermudah pelepasan lilin. Pelorodan biasa menggunakan drum untuk mendidihkan, kemudian dimasukan ke bak berisi air untuk membersihkan sisa-sisa lilin yang masih melekat. Setelah pelorodan agar kering dilakukan pengeringan dengan cara diangin-anginkan di tempat teduh. Melalui serentetan proses di atas dapat dihasilkan bentuk patung loro blonyo
dengan berbagai
ukuran baik yang dilakukan dengan teknik finishing batik. Setelah proses pewarnaan selesai, lalu untuk proses terakrir diberi lapisan melamin agar warna tidak mudah luntur. Dan memberi kesan mengkilat. Pada umumnya teknik cat lebih banyak dilakukan, selain karena cat lebih murah dan awet, alat-alat seperti dan bahan bisa digunakan berulang kali. Teknik cat dilakukan dengan menuangkan warna menggunakan kuas ke dalam permukaan kayu yang akan dijadikan patung loro blonyo . Berbagai alat finishing cat digunakan kuas besar dan kecil, adonan cat, trek pen, silet, kain lap, dan ember. Kuas besar untuk membuat dhasaran, bahannya menggunakan cat tembok, sedangkan kuas kecil digunakan untuk mengecat bagian detil seperti bagian kain jarik, pakaian dan perhiasan. Bahan cat yang biasa digunakan merupakan campuran cat tembok warna putih dikombinasi dengan cat sandi. Perbandingan campuran cat tembok lebih dominan dari bahan cat sandi agar
12 keadaan cat yang disapukan nanti melekat kuat dan tidak luntur. Jenis cat sandi jenisnya beragam ada warna merah, biru, kuning, violet, dan hitam. Apabila ingin membuat warna selain kelima warna yang sudah tersedia, maka dilakukan campuran sesuai dengan kebutuhan. Cara mengawetkan topeng dan patung adalah di simpan dari tempat yang jauh dari tikus dan kayu diberi obat agar tidak mudah dimakan rayap dan ngengat.- Pemeliharaan topeng yang masih belum jadi dengan di amplas dan diberi obat pengawet,. Pengerjaan produk yang baik adalah siang hari karena proses penegringan lebih cepat dan menggunakan sinar matahari. Pewarnaan terlebih dahulu diolesi warna dasar putih, setelah kering diamplas. kemudian dicat lagi hingga sampai tiga kali, sehingga benar-benar halus. Tujuan pengecatan ini untuk menghilangkan bekas goresan kuas agar pengecatan tampak lebih rapi dan halus. Bagian yang dicat dengan warna dasar meliputi bagian kemben dan kebaya untuk patung wanita, dan untuk patung pria pada bagian celana cinde, kebaya dan kampuh. Pengecatan detil juga dilakukan pada kemben dan kebaya untuk patung wanita, cinde dan sabuk, sedangkan untuk penganten pria pada bagian kebaya dan kampuh. Pewarnaan detil dilakukan dengan teknik sungging dan ornamentik. Selanjutnya pengecatan atau pewarnaan dilakukan pada kuluk dan paes yang cenderung menggunakan warna hitam. Pewarnaan detil juga dilakukan pada kulit badan, tangan, muka, bibir dan kuku karena sama-sama menggunakan warna merah. Pengecatan kemudian pada bagian gelang, kelat bahu dan kalung, biasanya digunakan warna brom atau keemasan, selanjutnya mewarnai pada bagian mata dan alis. Untuk membuat alis, isen-isen kebaya, maupun pada bagian-bagian kecil hiasan pakaian digunakan alat trekpen, namun apabila terjadi kesalahan cat dihapus dengan silet yaitu dengan cara dikeruk. Langkah terakhir dalam finishing adalah penyemprotan warna dilakukan dengan bahan melamin, dimaksudukan agar cat tidak luntur apabila kena air, dan tampak lebih halus dan mengkilat. Untuk menghasilkan kesan antik biasa dilakukan campuran antara obat yang disebut peka (PK) dengan air, tingkat perbandingan 90% air dan PK 10 %.
13
BENTUK-BENTUK DAN GAYA PATUNG LORO BLONYO 1. Milik Keraton Secara keseluruhan warna sepasang patung pada kulit adalah kuning keemasan ada sedikit unsur warna agak coklat tua, mencerminkan luluran warna khas manten Jawa. Susunan bentuk patung dimodifikasi dengan teknik finishing yang tuntas dan rapi dengan pewarnaan yang matang. Proporsi antara bagian kepala, anggota badan dan badan serta bagian bawah tampak sebanding. Pengolahan bentuk pada setiap unsur pada susunan bagian atas, tengah dan bawah menunjukkan kecermatan anatomis. Dari segi ekspresi kedua patung menyiratkan sinar kepribadian sepasang penganten adalah khas priyayi Jawa tampak pandangannya yang bijaksana dengan sikap hormat. Dengan demikian figur sepasang patung loro blonyo
milik Keraton merupakan mencerminkan tampilan realis,
menyerupai struktur dan bentuk manusia layaknya. Unsur-unsur yang ditampilkan baik bentuk, ekspresi wajah, jenis asesoris, warna, kesan bahan dan sikap anggota badan, secara keseluruhan menggambarkan pesan simbolis yang merepresentasikan keagungan dan kewibawaan. 2. Milik Para Bangsawan Struktur bentuk patung loro blonyo milik bangsawan terkesan sebagai hasil masa dahulu (lama), perwujudan bentuk ada arah akan menuju realis akan tetapi ada beberapa hal yang belum mengena, seperti misalnya proporsi belum sebanding dan ornamen lebih pada corak dekoratif dari pada realis. Meskipun demikian ada kemiripan warna patung loro blonyo
milik Keraton Kasunanan yang cukup matang. Secara keseluruhan patung
loro blonyo masih menunjukkan kesan tradisi, dengan warna khas serta ekspresi magis. Dengan demikian strukur bentuk patung yang terdiri unsur warna, bentuk asesoris, serta corak hias khususnya pada kebaya dan selendang merupakan tampilan visual yang bersifat simbolis. 3. Milik Kawula / Orang Biasa Dari aspek visual baik patung pria dan wanitanya mengesankan perwujudan yang impresif, ada keinginan mengejar bentuk manusia yang realis, tetapi tidak bisa mencapai dengan baik. Hal ini dikarenakan proporsi badan dan anggota yang tidak seimbang. Demikian pula dalam warna seperti kuning, merah penerapannya dengan teknik blok
14 sehingga tidak ada kontur. Sementara dari segi ornamen tidak detil, tampak apa adanya. Secara keseluruhan kedua patung lebih merupakan perwujudan bentuk semata meskipun belum mendekati sasaran, terkesan polos dan profan, tidak sekuat pada patung milik bangsawan dan milik Keraton yang tampak magis-mistik-simbolis. 4. Loro blonyo Model Jaman Sekarang Secara keseluruhan patung loro blonyo
yang dihasilkan zaman sekarang ini ada
kecenderungan perwujudannya bersifat lentur, tidak terikat norma lagi. Dalam pemilihan warna, modifikasi bentuk dan mungkin juga dalam menafsirkan maknanya, rupanya tidak lagi dilandasi jiwa kolektif kemasyarakatan namun lebih ditentukan oleh otoritas pemiliknya yang bersifat individual. Implikasi dari kenyataan ini sebagai misal telah berimpas pada pemolesan warna kulit putih polos, demikian pula proporsi kaki, jari, tangan yang dibuat tidak sebanding dan seimbang. Bisa jadi karena orientasinya produsen lebih pada fungsi ekonomi sehingga terkesan dibuat dalam target pasar ketimbang mengejar kualitas struktur bentuknya, sehingga figurnya tidak berbobot bahkan tidak berkarakter. Dengan kata lain pasangan kedua patung belum secara dominan mencerminkan jiwa Jawa. Pemolesan warna yang membidang dengan intensitas kualitas warna yang belum matang (mentah) dengan teknik blok, semakin menunjukkan bahwa tampilan bentuk patung lebih bersifat dekoratif. Hal ini ditopang dengan ornamen yang tidak detil. Bahan pewarna yang digunakan adalah cat dari pigmen dan cat kayu. Secara keseluruhan perwujudan cenderung mengejar bentuk dari pada simbolis filosofis, sehingga terkesan penampilan keseluruhan sepasang patung adalah profan. Berbagai bentuk patung loro blonyo
baik milik Keraton, para bangsawan, rakyat
maupun model kontemporer menunjukkan kemiripan satu sama lain meskipun pula terdapat beberapa perbedaanya. Perbedaan ini misalnya dalam hal proporsi, penggunaan warna, serta penyelesaian bentuk keseluruhan milik Keraton lebih halus dari lainnya, namun milik bangsawan lebih halus dari milik rakyat, sedangkan produk terbaru terkesan profan, tecermin pada penggunakan warna ringan serta atribut yang dikenakan dibuat langsung bahan kayu. Ekspresi yang tercermin menunjukkan patung yang dipasang pada rumah bangsawan lebih tampak mistis, apalagi milik Keraton lebih tampak mistik, sangat berbeda dengan dua figur patung kontemporer, dan patung yang dipasang pada rumah
15 orang biasa. Bentuk ekspresi patung milik Keraton maupun para bangawan tampak lebih religius-mistik dibandingkan milik orang biasa (kawula), apalagi dengan patung loro blonyo
produk masa sekarang. Struktur tingkat kesakralan ini rupanya merupakan
reprentasi dari tingkat status sosial pemiliknya, Kiranya menjadi semakin jelas bahwa bentuk dan struktur loro blonyo berupa dua arca atau patung tiruan pengantin (Atmojo, 1994: 198), pria dan wanita dalam sikap duduk bersimpuh, mengenakan pakaian Jawa tradisional (Darsiti, 1989: 208), busana gaya basahan, yaitu busana ala pengantin Keraton, dimana pengantin pria mengenakan kain panjang yang disebut dodot dan bermahkota, tanpa mengenakan baju. Pengantin wanita mengenakan pakaian sama hanya tanpa mahkota, namun pada bagian tubuh atasnya dibalut kemben (penutup dada), keduanya dilengkapi dengan perhiasan (Setyawan, 2001: 45).
MAKNA FILOSOFIS PATUNG LORO BLONYO DALAM KONTEKS BUDAYA JAWA Loro blonyo dan Budya Jawa Sebagai bentuk kebudayaan, seni patung memiliki fungsi dan makna tersendiri bagi masyarakat dimana patung tersebut berada (Boas, 1955). Bukti-bukti arkelologis peninggalan masa Hindu di Jawa Tengah ditemukan patung dewa-dewi, pasangan Ciwa dengan Laksmi. Mitos ini menggambarkan bahwa di tengah-tengah masyarakat budaya Jawa ada keyakinan, bahwa manusia itu keturunan dewa (Hadiwijono, 1983: 22). Peninggalan berupa artefak, seperti relief, arca, dan patung, pada dasarnya merupakan perwujudan pandangan masyarakat pada zamannya, yang ditampilkan sebagai simbol, atau lambang sebagai sarana untuk ritual yang bermakna religius (Yudoseputro, 1993: 76-77). Dibandingkan dengan arca-arca sebelumnya, patung loro blonyo yang merupakan salah satu jenis seni patung tradisional-klasik di Jawa, tampilannya masih menunjukan ciri-ciri pasangan laki-laki, dan perempuan yang berkaitan pula dengan konsepsikonsepsi penyatuan dari pasangan yang berbeda. Memang patung ini tidak ditemukan di suatu candi sebagaimana patung atau arca masa prasejarah, ataupun masa Hindu-Budha, namun patung loro blonyo
ditemukan pada rumah-rumah milik Pangeran atau priyayi
16 Jawa yang disebut joglo (Darsiti, 1989: 29). Satu hal yang sangat berbeda dengan patung loro blonyo produk baru, terletak pada cara penempatan patung tersebut, bentuk patung, dan juga fungsinya. Tidak seperti patung loro blonyo
model sekarang, kalau dilihat penempatannya
tidak lagi terikat oleh kaidah normatif, bentuknya sudah “distorsi”, dan gaya patung cenderung mengekpresikan kesan jenaka, serta fungsinya yang bersifat profan (Guntur, 2000). Patung loro blonyo
tradisional penempatannya hanya dalam konteks di depan
krobongan (Negoro, 2001: 12), serta bentuknya merupakan manifestasi simbolik, dan tampilannya menganut kaidah normatif, karena memang dikaitkan dengan fungsi ritual. Satu sisi yang menarik adalah bahwa patung loro blonyo
diletakkan pada ruang
tertentu. Bagi orang Jawa tempat tersebut dinilai sebagai ruang sakral di antara tempat yang lain dalam suatu rumah tradisional Jawa. Hal lain yang juga mendorong keiingintahuan lebih jauh, ialah bahwa ruang yang disakralkan tersebut, bagi rumah rakyat kebanyakan yang disebut petanen atau pasren, merupakan tempat menaruh untaian padi, yang dibentuk sepasang menyerupai mantenan dan orang Jawa menyebutnya mbok Sri (Suhardi, 2004: 66). Di depan ruang petanen yang juga disebut krobongan itu, setiap ritual perkawinan tradisi Jawa dilangsungkan biasanya digunakan sebagai tempat sepasang temantin melangsungkan prosesi kacar-kucur atau menerima kekayaan (Batawidjaja, 2000: 116). Pada posisi inilah patung loro blonyo
keberadaannya menjadi semakin jelas, ia
tidak berdiri sendiri, bukan sebagai simbol yang terpisah, bahkan keterkaitan antara unsur satu dengan yang lain tampak saling bertalian. Persoalan itulah yang menarik untuk diselidiki lebih jauh, kaitan makna patung loro blonyo dalam konteks kosmologi Jawa. Ketertarikan akan tema itu, juga karena terdorong oleh suatu kenyataan terhadap kekhasannya dalam menempatkan patung loro blonyo secara berpasangan, sebab dalam pandangan orang Jawa, hal tersebut bertalian erat dengan konteks kosmogoni (Suhardi, 2004: 68). Keyakinan terhadap konsep kosmogoni masih menjadi kepercayaan sebagian masyarakat Jawa yang meyakini secara mitos, asal-usul suatu kehidupan yang bertalian dengan konsepsi perkawinan dari fenomena pasangan-pasangan, seperti pula tercermin pada patung loro blonyo tersebut.
17 Ketertarikan untuk mendalami simbolisme patung loro blonyo , juga didasarkan pada keprihatinan atas penelitian-penelitian terdahulu yang tertuju, hanya pada permasalahan unsur-unsur seni rupanya. Unsur-unsur yang dikaji berkutat pada soal perkembangan bentuk-bentuk patung loro blonyo (Rushartono, 1996; Umiyatsih, 2000), dan masalah teknik yang menyangkut proses pembuatannya (Nurkhasanah, 2002), maupun hubungan antara kedua tema kajian yang dikaitkan dengan fungsi patung loro blonyo
dalam konteks pasar (Guntur, 2000). Hal terakhir inilah yang sekarang banyak
dipersoalkan. Pada umumnya kajian masih belum mengkaitkan dengan konteks latar belakang sosial budaya Jawa. Masalah-masalah yang lebih ideasional simbolik, dan juga persoalan nilai instrinsik suatu patung yang melebihi dari sekedar wujud semata tidak banyak dibahas. Maka kajian secara mendalam patung loro blonyo
dalam konteks tradisional
menjadi penting untuk dilakukan, terutama untuk menggali nilai-nilai simbolis-filosofis yang mencerminkan pandangan-pandangan hidup orang Jawa. Dengan demikian permasalahan pokok yang akan dibahas adalah bagaimana pandangan hidup orang Jawa dalam menafsirkan patung loro blonyo
yang ditempatkan pada senthong tengah dalam
struktur rumah tradisional Jawa. Berbagai bentuk dan gaya patung loro blonyo
baik milik Keraton, para
bangsawan, rakyat maupun model kontemporer menunjukkan kemiripan satu sama lain meskipun pula terdapat beberapa perbedaanya. Perbedaan ini misalnya dalam hal proporsi, penggunaan warna, serta penyelesaian bentuk keseluruhan milik Keraton lebih halus dari lainnya, namun milik bangsawan lebih halus dari milik rakyat, sedangkan produk terbaru terkesan profan, tecermin pada penggunakan warna ringan serta atribut yang dikenakan dibuat langsung bahan kayu. Ekspresi yang tercermin menunjukkan patung yang dipasang pada rumah bangsawan lebih tampak mistis, apalagi milik Keraton lebih tampak mistik, sangat berbeda dengan dua figur patung kontemporer, dan patung yang dipasang pada rumah orang biasa. Bentuk ekspresi patung milik Keraton maupun para bangawan tampak lebih religius-mistik dibandingkan milik orang biasa (kawula), apalagi dengan patung loro blonyo
produk masa sekarang. Struktur tingkat kesakralan
ini rupanya merupakan reprentasi dari tingkat status sosial pemiliknya,
meskipun
demikian bila dicermati terdapat kesamaan struktur. Struktur itu tercermin pada patung
18 loro blonyo
yang merupakan sepasang figur pria dan wanita mengenakan busana ala
pengantin Jawa. Struktur yang lain tercermin pada masing-masing asesoris yang dikenakan mulai dari bagian kepala (atas), bagian tubuh (tengah) dan bagian kaki (bawah). Ketiga bagian yang dilengkapi asesoris merupakan serangkaian saling relasi satu sama lain, sehingga menunjukkan kesatuan tampilan layaknya penganten sesuai jenis kelamin khas budaya Jawa. Dari beberapa deskripsi dan tafsiran pada bagian di atas menunjukkan bahwa sepasang patung loro blonyo
yang ditempatkan pada senthong tengah dalam rumah
joglo merupakan simbol ajaran sangkan paraning dumadi, suatu ajaran mistik kejawen. Orang Jawa menyadari bahwa asal muasal dan tempat berakhirnya manusia adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara lahiriah sangkaning manusa (asal manusia) secara lahiriah merupakan hasil reproduksi antara lingga dan yoni yang direpresentasikan kedua orang tua yaitu ayah dan ibu, sebagaimana dilambangkan pada sepasang patung loro blonyo.Secara batiniah asal wiji atau benih yang disebut wiji kodrat adalah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, pasangan ayah dan ibu yang menurunkan wiji wiradrat hanyalah wadhag yang memperantarai. Oleh karena itu orang Jawa beranggapan bahwa hidup ini hanyalah sebentar ibarat orang bepergian hanya sebatas mampir ngombe, sehingga untuk bisa menyelaraskan hidupnya secara sempurna agar makmur dan selamat (hidup sempurna), dirinya senantiasa melakukan laku mistik, sebagai upaya mendekatkan diri dengan Tuhan (mati sempurna).
19 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, I. 1986. “Arti Simbolisme Gunungan Kakung pada Upacara Garebeg” dalam Skripsi. Yogyakarta: UGM.
---------------1991. “Kraton, Upacara dan Politik Simbol: Kosmologi dan Sinkritisme di Jawa”. Dalam Humaniora. Buletin Fak. Sastra UGM. No. 2 th. Ahimsa Putra. 1997. “Claude Levi Strauss: Butir-butir Pemikiran Antropologi” dalam Levi Strauss Empu Antropologi Struktural (Octavio Paz, ed.) Terjemahan: Landung Smatupang. Yogyakarta: LKIS -------------------------------.2002.”Tekstual dan Kontekstual Seni dalam Kajian Antropologi Budaya”. Makalah Diseminarkan pada Seminar Internasional Metodologi Penelitian Seni Pertunjukkan Indonesia. Surakarta STSI 3-4 Juli 2002. Ahmadi, Agus, dkk. 1996.” Tinjauan Korelasional Aspek Denotasi pada Karya Rupa Perlambang Mitologis dalam Budaya Adat Jawa Daerah Surakarta”. Laporan Penelitian Kelompok. Surkarta: STSI Anderson, L. Richard. 1979. Art in Primitive Societies. Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc. Akkeren, Philip van. 1994. Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian tentang Gereja Jawa Timir. Diterjemahkan B.A. Abednego. Jakarta: Gunung Mulia. Anonim.”Mula Bukane Pasren” 1989. Djoko Lodang, 30 September. --------------------“Upacara Mapag Sri, Biyen Nganggo Ambung-ambungan” Mekarsari 17 Oktober 1990. ……………….2002. ”Perajin Loro blonyo dan Topeng Desa Bobung Gunung Kidul Pernah Buat Topeng Milik Keraton”. Dalam Nova. No. 725/XIV 20 Januari Arnheim, Rudolf1960. Expression” dalam Malvin Rader. A Modern Book of Esthetics: An Athology. New York et al: Holt, Rinehart and Winston, Third Edition, 260-262 Benyamin, Walter. 1968. “The Work of in The Age of Mechanical Reprodukstion”. Dalam Illuminations. New York: Schocken Books. Boas, F. 19955. Primitive Art. New York: Dover Publications, Inc. Brandon, James R. 1967. Theater in South East Asia. Cambridge, Massachustts: Harvard University Press Bratawidjaja, T. W. 1985. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan Caillois, R. 1959. Man and The Sacred. Translated by Meyer Barash. Urbana and Chicago: University of Illionis Press
20
Cambell, Tom. 1994. Seven Theories of Human Society (Terjemahan F Budi Hardiman) Yogyakarta: Kanisius Cassirer, E. 1987. Manusia dan Kebudayaan (Sebuah Essay tentang Manusia). Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia Couto, Nasbahry. 1976.” Simbolisme dalam Seni Primitif di Indonesia (Suatu Tinjauan tentang Perlambangan dalam Seni Daerah Kalimantan, Irian Jaya dan Nias. Dalam Skripsi SI. Bandung: Nusa Indah Cremes, Agus. 1997. Antara Alam dan Mitos Memperkenalkan Antropologi Struktural Claude Levi Strauss. Flores: Nusa Indah Dakung, S.. 1981/1982. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta: Depdikbud Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Dillistone, F.W.2002 Daya Kekuatan Simbol terjemahan Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius Dundes, Alan. The Study of Foklore. Berkeley London: Granada Publishing Limited. Eliade, Mircea. 1986. Symbolism, the Sacred, and The Arts. New York: The Crossroad Publishing Company Eliade, M. 1986. Symbolism, The Sacred, and The Arts. New York: The Crossroad Publishing Company. Erchack, M. Gerald., T.Th. The Anthropology of Self and Behavior. New Bruswick, New JerseyJ Rutgers University Press Fanani, Zainudidn. 2000. Restrukturisasi Budaya Jawa. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press. Feldman, E.B. 1967. Art as Image and Idea. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Geertz, C. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Goetz, J.P dan Le Comte, MD. 1984. Ethnography and Qualitative Design in Educational Research. New York: Academic Press, Inc. Guntur. 2000. “Loro blonyo Surakarta : STSI.
dan Menongan: Kompaarsi Ekpresi” Hasil Penelitian.
Hardjowirogo, M. 1980. Adat Istiadat Jawa. Bandung: Patma.
21
Hartowuryanto. 1989. “Dewi Sri lan Raden Sadono”. Mekarsari tgl 22 Februari. Herusatoto, B. 1991. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Holt, C. 1991. Art in Indonesia Continuities and Change. Terjemahan RM. Soedarsono. Yogyakarta: ISI Hunter, DE. Dan Philip, W. 1976. Encyclopedia of Anthropologiy. Harper and Row Publisher, Inc. Irmayanti. 1998. “Simbolisme dalam Pawiwahan”. Disertasi S3. Jakarta: PPS UI Isma’un, Banis. 1993. “Paedahe lan Tarakiting Pasren”. Djaka Lodang no. 1067 tgl 27 Februari h 47 Janson, H.W. 1977. History of Art. London: Thmaes and Hudson. Koentjaraningrat. 1993. Ritus Peralihan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Lincoln, YS. And Guba, EG. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, CA: Sage Publications Lombard, D. 1996. Nusa Jawa, Silang Budaya: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama LSM Angin Segar. “Loro blonyo Dewi Sri dan Dewa Sadono”. Katalog Pameran tgl. 5 Februari s/d 15 Maret 2001 di Klaten. Mardimin, J. 1994. Jangan Tangisi Ttradisi Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius Miles H.B. dan Huberman, A.M. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sources Book of New Methods. Beverly Hills, CA: Sage Publications. Minsarwati, Wisnu. 2002. Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana Morphy, H. 1994. “The Anthropology of Art” dalam Encyclopedia of Anthropology Humanity, Culture and Social Live (Tim Ingold, ed. London and New York: Rodledge, h. 670-672. Mulder, N. 1992. Individual and Society in Java. A Cultural Analysis. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
22 Murray, P. and Linda. 1976. The Penguin Dictionary of Art and Artist. New Zealand: Penguin Books. Nurkhasanah. 2002. “Kerajinan Loro blonyo di Wonosari” dalam Skripsi SI. Surakarta: UNS Partahadiningrat. 1989. “Makna Warna Ing Alam Kejawen”. Djaka Lodang no. 878 tgl. 15 Juli Pemberton, J. 1994. On The Subject of “Java”. Ithaca and London: Cornel University Press Prus, Robert. 11996. Symbolic Interaction and Ethnograpic Research. New York: State University of New York Press Rahmadi, dkk. 1980. Pasren. Yogyakarta: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum DIY. Rassers, W.H. 1959. Panji, The Culture Hero: A Structural Studi of Religion in Java. Martinus Nijhoof. Ritcher, Anne. 1994. Arts and Crafts of Indonesia. London: Thames and Hudson Ranggawarsito. 1994. Serat Pustakaraja Purwa Jilid 3 (Kamajaya-terjemahan) Surakarta : Yayasan Mangdaeg dan Yogyakarta: Centhini Rushartono, Ario. 1996. “Studi Komparative Patung Loro blonyo Yogyakarta dan Surakarta” Skripsi S1. Yogyakarta: ISI
Klasik Gaya
Saleh. 1981. Seni Patung Batak dan Nias. Jakarta: Depdikbud Dirjen Kebudayaan Sastronaryatmo, Moelyono. 1986. Serat Babad Ila-ila I. Jakarta: Depdikbud Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Sastronaryatmo, Moelyono. 1986. Serat Babad Ila-ila II. Jakarta: Depdikbud Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Schechner, Richard. 1988. Peformance Theory. New York and London: Rouledge Setyawan, Agus Nur. 2000. “Meniti Jejak Makna Kesuburan dalam Simbolisasi Loro blonyo ”. Jurnal Ilmiah Gradasi Vol 1 no. 1 Mei hal. 45-54 Seymour-Smith, C. 1986. Macmillan Dictionary of Anthropology. London and Basingstoke: The Macmillan Press Ltd. Sindhunoto. 2000. Cikar Bobrok. Yogyakarta: Kanisius.
23 Soekmono.1981.Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Kanisius Stange, Paul. 1998. Politik Perhatian Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKIS Suhardi. 1986. “ Konsep Sangkan Paran dan Upacara Selamatan” dalam Budaya Jawa. Beberapa Aspek Kebduayaan Jawa. (Soedarsono dkk., ed). Yogyakarta: Dep. P & K Dirjen Kebuduyaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara. ………... 1993. “Mystical Practices and Religious Belief in Contemporary Central Java” Thesis for The Degree of Ph. D.,. Canterbury: University of Kent. Suharto, B. 1999. Tayub Pertunjukkan dan Ritus Kesuburan. Bandung: Indonesia Sumarjo, Jacob. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB Sumarsih, S. 1990. “ Upacara Tolak Bala di Keraton Yogyakarta dan Sekitarnya dalam Buletin Jarahnitra. Yogyakarta: Dep P&K, Dirjen Kebud Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal Sunyoto. 1995.Pasren dalam Kehidupan Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Depdikbud Proyek Pembinaan Permuseuman. Supriatun. 2002. “Loro blonyo : Dewi Sri dan Raden Sadono”. Artista Majalah Informasi Seni dan Pendidikan Seni. No. 2 Vol 4 Agustus-Oktober, hal 36-37 Suseno, F. M. 1984. Etika Jawa Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. Sutarto, Ayu. 2003. “Mistisisme dalam Masyarakat”. Makalah Disampaikan dalam Indiginasi Seni Pertunjukkan dan Ilmu Pengetahuan Seminar Internasional. STSI: Surakarta. Sutarjo, Imam. 1995. “Sikap Generasi Muda terhadap Kesenian Tradisional Wayang Purwo di Kotamadya Surakarta.” Sumbangsih Jurnal Penelitian UNS. Vol II no. 2 hal 1-9 Suyami. 2001. Serat Carios Dewi Sri dalam Perbandingan. Yogyakarta: Kepel Press Tremmel, W.C. 1958. Religion What Is It?. New York, Chicago: Holt, Rinehart and Winston. Turner, V.1977. The Ritual Process. Ithaca and London: Cornell University Press
24