UNIVERSITAS INDONESIA
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA DENGAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS PADA TUBERKULOSIS PARU LANSIA DI RT 06/ RW 01 KELURAHAN CISALAK PASAR KECAMATAN CIMANGGIS KOTA DEPOK
KARYA ILMIAH AKHIR
ANDI AMALIA WILDANI, S.Kep NPM: 0806316114
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS DEPOK JULI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA DENGAN KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS PADA TUBERKULOSIS PARU LANSIA DI RT 06/ RW 01 KELURAHAN CISALAK PASAR KECAMATAN CIMANGGIS KOTA DEPOK
KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar perawat (Ners)
ANDI AMALIA WILDANI, S.Kep NPM: 0806316114
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS DEPOK JULI 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini. Penulisan Karya Ilmiah Akhir ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk untuk memenuhi satu syarat untuk memperoleh gelar perawat (Ners). Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini, oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih kepada: 1) Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD selaku dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta nasehat selama penulis menjalani studi di FIK UI. 2) Ibu Dessie Wanda., S.Kp., MN selaku pembimbing akademik yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, kritik, dan saran yang membangun selama proses penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 3) Bapak Ns. Sukihananto, SKep., M.Kep selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan arahan dan masukan berharga dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 4) Ibu Henny Permatasari, S.Kp., M.Kep., Sp.Kom selaku dosen koordinator PK KKMP yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan arahan dan masukan berharga dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 5) Ibu Poppy Fitriyani, SKp., M.Kep, Sp.Kom selaku dosen koordinator PK KKMP peminatan keperawatan komunitas telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan arahan dan masukan berharga dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 6) Bapak dr. Hendrik selaku kepala Puskesmas Cimanggis dan seluruh jajarannya yang telah memberikan ijin untuk melakukan praktik di Puskesmas Cimanggis. 7) Ibu Endang selaku pemegang program TB di Puskesmas Cimanggis yang telah membimbing selama praktik di Puskesmas Cimanggis.
iv
8) Bapak Ns. Jajang Rahmat Solihin, S.Kep., M.Kep selaku mahasiswa residensi keperawatan komunitas yang telah memberikan arahan dan masukan berharga dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 9) Bapak RW 01 selaku Ketua RW 01 di Kelurahan Cisalak Pasar, Cimanggis, Depok dan seluruh jajarannya yang telah memberikan ijin untuk melakukan praktik di RW 01 di Kelurahan Cisalak Pasar, Cimanggis, Depok. 10) Kader-kader kesehatan di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Cimanggis, Depok yang senantiasa selalu mendukung kegiatan mahasiswa profesi guna memberikan asuhan keperawatan keluarga di RW 01
Kelurahan Cisalak
Pasar, Cimanggis, Depok. 11) Teristimewa dan tercinta kedua orang tua, Andi Muh. Ilyas Latief dan Hj. Andi Nahriah Ame yang tak henti-hentinya mendoakan, memberikan dukungan moril dan materilnya, mendidik dan membesarkan saya dengan cinta dan kasih sayang, serta Pung Nelis, Ina, Aso, Ria sebagai kakak-kakak saya dan adik-adik saya Ica, Ullah, Anna dan keponakan aku Muhammad Azril Ardiaz yang tersayang atas semua perhatiannya dan semangatnya. You are my energy, my mood booster, my soul, and my everything for me. 12) Seluruh keluarga besar, terutama Umar Haya, SH, M.H yang telah memberikan doa, dukungan, cinta kasih sayang dan dorongan baik berupa moril maupun material. 13) Teristimewa Muhammad Nakib Rabbani yang telah memberikan doa, dukungan, cinta kasih sayang dan terima kasih atas kesabarannya, kesetiaannya dan selalu menyemangati selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 14) Sahabat-sahabat tersayang Yunita, Mirda, Memey, Ananda, Rara, Miscok, Asih, Iput, Mba Oy, Nyonyo, Nike, Risa, Tofa, Kak Isma, Bu Ayu dan teman-teman satu peminatan Keperawatan Komunitas yang telah memberikan semangat dan sharing selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini. 15) Teman-teman seperjuangan profesi Ners Reguler 2008 dan Ekstensi 2011 FIK UI yang telah memberikan semangat dan bantuan kepada saya hingga penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini; dan
v
16) Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Karya Ilmiah Akhir ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok,
Juli 2013
Penulis
vi
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Andi Amalia Wildani, S.Kep : Program Profesi Ners : Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas pada Tuberkulosis Paru Lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru, disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. TB merupakan masalah global dan salah satu dampak dari urbanisasi terhadap kesehatan masyarakat. faktor kependudukan dan faktor lingkungan merupakan penyebab terjadinya tuberkulosis di perkotaan. Manifestasi klinis TB pada lansia salah satunya adalah sesak nafas. Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk memberikan gambaran penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas pada tuberkulosis paru lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Intervensi keperawatan yang diberikan adalah inhalasi sederhana dan batuk efektif. Pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif bermanfaat dan dapat diterapkan untuk mengeluarkan dahak, menurunkan frekuensi napas, dan mengurangi sesak napas pada lansia. Pemecahan masalah yang dilakukan ketika inhalasi sederhana dan batuk efektif tidak efektif yaitu pemberian posisi semi fowler untuk meningkatkan ekspansi paru dan mencukupi kebutuhan oksigen sehingga memberikan kenyamanan dan mengurangi sesak. Kata kunci: asuhan keperawatan keluarga, ketidakefektifan bersihan jalan napas, lansia, tuberkulosis.
viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name Study Program Title
: Andi Amalia Wildani, S.Kep : Nurse Program : Family Nursing Care with the Ineffective Airway Clearance in Elderly Pulmonary Tuberculosis at RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.
Tuberculosis (TB) is an infectious disease that primarily affects the lung parenchyma, caused by mycobacterium tuberculosis. TB is a global problem and one of the impacts of urbanization on public health. Demographic factors and enviromental factors are the cause of TB in urban areas. One of clinical manifestations of elderly TB is shortness of breath.The aim of this final assignment is provide descriptive management of family nursing care with the ineffective airway clearance in elderly pulmonary tuberculosis at RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Nursing interventions provided are simple inhalation and effective cough. The simple inhalation and effective cough is still useful and can be applied to remove sputum, lower respiratory rate, and reduce shortness of breath in elderly. The problem solving when simple inhalation and effective cough does not effectively address the problem ineffective airway clearance in elderly pulmonary is the provision of semi fowler position to improve lung expansion and sufficient of oxygen so as to provide comfort and reduce shortness of breath. Keywords: family nursing care, ineffective airway clearance, elderly, tuberculosis
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................... HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................ LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................ ABSTRAK ................................................................................................... ABSTRACT ................................................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................... DAFTAR TABEL ...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
i ii iii iv vii viii ix x xiii xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................... 1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................ 1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................... 1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................ 1.4.1 Manfaat Keilmuan.. ............................................................... 1.4.2 Manfaat Aplikatif .................................................................. 1.4.2.1 Bagi Puskesmas Cimanggis..................................... 1.4.2.2 Bagi Keluarga........................................................... 1.4.3 Manfaat Metodologi.. .............................................................
1 11 13 13 13 13 13 14 14 14 15
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori dan Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan. 2.1.1 Model Konsep Betty Neuman ............................................... 2.1.2 Peran Perawat dalam Keperawatan Kesehatan Perkotaan .... 2.1.3 Identifikasi Kesenjangan Keadaan Kesehatan, Keamanan yang Dialami oleh Masyarakat Perkotaan.............................. 2.1.4 Dampak Perkotaan terhadap Kesehatan Masyarakat ............. 2.1.5 Masalah Tuberkulosis Paru di Perkotaan ............................... 2.2 Konsep Epidemiologi ..................................................................... 2.2.1 Definisi Epidemiologi ........................................................... 2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Sehat Sakit ............................... 2.2.3 Konsep At Risk dan Vulnerability .......................................... 2.3 Tuberkulosis Paru .......................................................................... 2.3.1 Pengertian Tuberkulosis Paru ................................................ 2.3.2 Penyebab Tuberkulosis Paru ................................................. 2.3.3 Gejala-Gejala Tuberkulosis Paru .......................................... 2.3.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru ................................ 2.3.5 Kategori Tuberkulosis Paru ................................................... 2.3.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis Paru ......... 2.3.7 Cara Penularan Tuberkulosis Paru...........................................
x
16 16 17 18 19 19 21 21 21 22 23 24 24 25 26 27 28 33
Universitas Indonesia
2.3.8 Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru ................................... 2.3.9 Upaya Penanggulangan Tuberkulosis Paru............................. 2.3.10 Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru ...................................... 2.3.11 Pemeriksaan Penunjang ........................................................ 2.3.12 Akibat Tuberkulosis Paru...................................................... 2.3.13 Komplikasi Tuberkulosis Paru .............................................. 2.4 Penemuan Kasus Tuberkulosis ....................................................... 2.5 Konsep Lansia ................................................................................. 2.5.1 Definisi Lansia ..................................................................... 2.5.2 Klasifikasi Lansia .................................................................. 2.5.3 Tugas Perkembangan Lansia ................................................. 2.5.4 Perubahan Sistem Pernapasan Lansia .................................... 2.5.5 Tuberkulosis pada Lansia ....................................................... 2.6 Asuhan Keperawatan Keluarga ....................................................... 2.4.1 Pengkajian Keluarga .............................................................. 2.4.2 Perumusan Diagnosis Keperawatan Keluarga ....................... 2.4.3 Menentukan Prioritas Masalah Keperawatan Keluarga ......... 2.4.4 Perencanaan Keperawatan Keluarga ...................................... 2.4.5 Implementasi .......................................................................... 2.4.6 Evaluasi .................................................................................. 2.5 Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas ........................................... 2.6 Inhalasi Sederhana ........................................................................... 2.7 Batuk Efektif ...................................................................................
34 34 37 38 39 39 40 42 42 42 43 43 43 44 45 52 53 54 55 56 56 57 59
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 3.1 Pengkajian ...................................................................................... 3.2 Diagnosis Keperawatan .................................................................. 3.3 Rencana Asuhan Keperawatan ........................................................ 3.4 Implementasi Keperawatan ............................................................ 3.5 Evaluasi ........................................................................................... 3.5.1 Subyektif .............................................................................. 3.5.2 Obyektif ................................................................................ 3.5.3 Analisis................................................................................... 3.5.4 Planning ................................................................................ 3.6 Tingkat Kemandirian .....................................................................
62 65 66 68 71 71 72 73 73 73
BAB 4 ANALISIS SITUASI 4.1 Profil lahan Praktik ......................................................................... 4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep terkait KKMP ..... 4.3 Analisis Inhalasi Sederhana dan Batuk Efektif dengan Konsep dan Penelitian Terkait ........................................................ 4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ................................. BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 5.2 Saran ................................................................................................ 5.2.1 Bagi Keluarga dengan TB Paru .............................................
xi
75 79 89 94
97 99 99
Universitas Indonesia
5.2.2 Bagi Bidang Keperawatan Komunitas ................................... 5.2.2 Bagi Puskesmas Cimanggis .................................................. 5.2.2 Bagi Penelitian .......................................................................
99 99 100
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. LAMPIRAN
101
.
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL Tabel 2.1
Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru ...................................
26
Tabel 2.2
Obat Anti Tuberkulosis ............................................................
37
Tabel 2.3 Cara Membuat Skor Penentuan Prioritas Masalah Keperawatan Keluarga ....................................................................................
53
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Asuhan Keperawatan Keluarga Kakek A Lampiran 2 Catatan Perkembangan Lampiran 3 Evaluasi Sumatif Lampiran 4 Tingkat Kemandirian
xiv
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Sistem pernapasan manusia terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, bronkiolus dan paru-paru. Organ- organ pernapasan tersebut merupakan salah satu organ vital bagi kehidupan manusia yang bertugas sebagai tempat pertukaran oksigen yang di butuhkan manusia dan mengeluarkan karbon dioksida yang merupakan hasil sisa proses pernapasan yang harus dikeluarkan dari tubuh, sehingga kebutuhan tubuh akan oksigen tetap terpenuhi. Kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan fisiologis yang sangat mendasar dan utama bagi manusia (Scanlon & Sanders, 2007).
Manusia dalam keadaan normal tidak dapat bertahan hidup tanpa oksigen lebih dari 4-5 menit (Barbara Kozier, 2004). Udara sangat penting bagi manusia, tidak menghirup oksigen selama beberapa menit dapat menyebabkan kematian. Itulah peranan penting paru-paru. Organ yang terletak di bawah tulang rusuk ini memang mempunyai tugas yang berat, belum lagi semakin tercemarnya udara yang kita hirup serta berbagai bibit penyakit yang berkeliaran di udara. Hal ini dapat menyebabkan beberapa organ pernapasan manusia dapat mengalami gangguan. Gangguan ini biasanya berupa
kelainan atau penyakit seperti
Emfisema, Asma, Infuenza, Kanker paru-paru dan Tuberkulosis (Barbara Kozier, 2004).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru dan dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Penelitian Yoga (2007) yang juga menyatakan bahwa TB tidak hanya menyerang paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh yang lain seperti kulit (TB kulit), tulang (TB tulang), otak dan saraf (TB otak dan saraf), mata (TB mata), dan lain-lain. TB terutama menyerang organ paru-paru sebanyak 80% (PPTI, 2012). Tuberkulosis disebabkan oleh kuman TB yaitu mycobacterium tuberculosis (Kemenkes, 2011). Keluhan atau gejala yang ditunjukkan oleh penderita TB sangatlah bervariasi.
1
Univesitas Indonesia
2
Gejala yang biasanya muncul adalah demam, batuk darah, Batuk yang biasanya berlangsung lama dan produktif yang berdurasi lebih dari 3 minggu (Price dan Wilson, 2005). Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala ini hilang timbul secara tidak teratur juga, gejala yang biasanya muncul juga adalah sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru (Amin dan Bahar, 2006). Ketika seseorang mengalami gejala- gejala TB, perlu di diantisipasi agar penularan tidak terjadi.
Penularan terjadi saat penderita TB Paru BTA positif batuk atau bersin yang mampu menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei) yang menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Kemenkes, 2011).
Seseorang yang sudah terpajan kuman TB perlu dilakukan pengecekan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui atau menetapkan seseorang menderita TB dengan cara pemeriksaan dahak yang diambil tiga kali selama dua hari dan pemeriksaan tambahan berupa rotgen thoraks. Pengecekan tersebut sangat diperlukan untuk mendapatkan pengobatan selanjutnya. Tuberkulosis ini bukan penyakit keturunan dan dapat disembuhkan bila berobat teratur. Penderita TB aktif jika tidak diobati dapat menularkan sepuluh sampai lima belas orang lainnya dalam satu tahun (PPTI, 2012). TB merupakan salah satu dampak dari urbanisasi dan masalah yang terjadi pada masyarakat perkotaan.
Akibat dari meningkatnya proses urbanisasi menimbulkan dampak- dampak terhadap kesehatan, lingkungan kota, baik dari segi tata kota, masyarakat, maupun keadaan sekitarnya. Dampak urbanisasi terhadap kesehatan dan lingkungan kota salah satunya adalah tuberkulosis (Hidayati, 2009). Penularan TB yang sangat
Universitas Indonesia
3
cepat menjadikan masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting (Azzisman dkk, 2006).
Masalah TB yang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting, dibuktikan dengan masih banyak ditemukannya penderita TB di masyarakat. TB bisa menyerang siapa pun, warga miskin perkotaan adalah kelompok masyarakat paling rentan terserang tuberkulosis. Lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan rendahnya mutu asupan nutrisi membuat kuman tuberkulosis dalam tubuh gampang menjadi aktif. Kepala Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Dyah Erti Mustikawati di sela-sela lokakarya Resisten Multiobat Tuberkulosis (Tb-MDR) di Jakarta mengatakan bahwa kuman tuberkulosis dalam tubuh masyarakat dengan ekonomi lebih baik jarang menjadi aktif karena mereka punya daya tahan tubuh lebih baik (Health Kompas, 2012). Penderita TB di masyarakat dan penularan TB yang cepat juga menjadikan TB sebagai salah satu masalah global (Depkes, 2002). Kemenkes (2011) menyatakan bahwa situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries).
Mycobacterium tuberkulosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Akibat dari TB diseluruh dunia menyebabkan sembilan juta pasien TB baru dan tiga juta kematian pada tahun 1995. Kematian akibat TB didunia diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kasus juga terjadi pada negara-negara berkembang. World Health Organization (WHO) mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency) pada tahun 1993 untuk menyikapi hal tersebut (Kemenkes, 2011). Kasus TB di dunia terdapat 9,4 juta kasus pada tahun 2009. Kasus yang terbanyak terjadi di Asia Tenggara yaitu sekitar 35 %, Afrika sekitar 30% dan Pasifik Barat sekitar 20%, di wilayah Afrika, sekitar 11-13 % penderita TB disebabkan karena HIV. Penyakit yang disebabkan oleh micobacterium tuberkulosis telah membunuh banyak jiwa didunia terutama pada negara berkembang seperti halnya di Indonesia. (WHO, 2010).
Universitas Indonesia
4
Indonesia menempati urutan ke lima dengan terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO, 2010). Penyakit TB di Indonesia juga mengalami peningkatan dan setiap tahun diperkirakan terjadi 583.000 pasien baru TB dan 140.000 orang meningggal karena TB. Kasus TB yang terjadi di Indonesia begitu banyak, dilihat dari penyebaran TB di Indonesia, pada setiap menit muncul satu orang pasien TB Paru baru, setiap dua menit muncul satu orang penderita TB Paru yang menular, dan setiap empat menit satu orang meninggal akibat TB (Amiruddin et. al.,2009).
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia tahun 2004 diketahui bahwa estimasi prevalensi angka kesakitan di Indonesia sebesar delapan kasus per 1000 penduduk berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan laboratorium. Survey ini juga didapatkan bahwa TB menduduki rangking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernafasan (SKRT, 2004). Kasus TB yang terus meningkat membuat pemerintah menerapkan DOTS (Directly observed Treatment Short-course) secara optimal untuk menanggulangi TB.
Strategi DOTS ini telah terbukti sebagai strategi pengendalian yang secara ekonomis paling efektif (Depkes, 2006). Studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan mempriortaskan pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat (Depkes, 2011).
Pelaksanaan strategi DOTS mampu menurunkan kasus TB di Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia menduduki peringkat kelima di dunia setelah India, China, Afrika dan Pakistan. Jumlah insidensi kasus semua tipe TB, 450.000 kasus atau 189 kasus per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua tipe TB, 690.000 kasus atau 289 kasus per 100.000 penduduk dan angka kematian TB, 64.000 kasus atau
Universitas Indonesia
5
27 kasus per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari sedangkan angka insidensi kasus baru TB Paru BTA positif pada Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 102 kasus per 100.000 penduduk (Depkes, 2011).
Permasalahan lain terkait TB di Indonesia saat ini yaitu meningkatnya kasus TBMDR (Multi Drug Resistant). TB MDR adalah mycobacterium yang resisten terhadap Obat Anti TB (OAT) yaitu isoniazid dan rifampisin (Depkes, 2010). WHO melaporkan bahwa telah terjadi 290.000 kasus TB MDR pada tahun 2010, selain itu terdapat 27 negara “high burden countries for TB MDR” yang merepresentasikan 85% beban TB MDR dunia (WHO, 2011). Indonesia berada di urutan ke sembilan dari 27 negara “high burden TB MDR countries”. TB MDR yang terjadi di Indonesia diperkirakan sebanyak 6.100 pasien pada tahun 2010 (WHO, 2011).
MDR TB di indonesia disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor mikrobiologi dan program pengobatan yang tidak adekuat serta ketidakpatuhan pasien TB dalam menjalani pegobatan TB yang merupakan penyebab terbesar dalam TB MDR. Resistensi disebabkan oleh mutasi genetik secara mikrobiologi. Hal ini membuat obat menjadi kurang efektif melawan basil mutan. Mutasi akan terjadi secara spontan terhadap satu jenis obat dan jika mendapatkan terapi OAT yang tidak adekuat (WHO, 2008). Aspek program pengobatan yang tidak adekuat juga dapat
menimbulkan
mutasi
kuman
secara
spontan
seperti
diantaranya
keterlambatan dignosis dan tidak mengikuti panduan pengobatan (WHO, 2008).
Ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan merupakan penyebab terbesar terjadinya resistensi obat. Alasan pasien tidak datang berobat (drop out) pada fase intensif karena rendahnya motivasi dan kurang informasi tentang penyakit yang dideritanya (WHO, 2008). Hasil survei prevalensi TB (2004) di Indonesia menunjukkan bahwa 96% keluarga telah merawat anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan
Universitas Indonesia
6
dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dapat dipahami oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa pemerintah telah menyediakan obat TB gratis (STRANAS,2011).
Indonesia telah berhasil mencapai dan mempertahankan angka kesembuhan sesuai dengan target global yaitu minimal 85% penemuan kasus TB di Indonesia sejak tahun 2000 dan pada tahun 2006 adalah 76% penemuan kasus TB. Risiko penularan setiap tahun atau Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) di Indonesia cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2%. Daerah dengan ARTI sebesar 1% berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi, sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan penderita tuberkulosis, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita tuberkulosis adalah lansia, bayi, daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/ AIDS disamping faktor pelayanan yang belum memadai dan orang yang berada dilingkungan pasien TB (Pramudiarja, 2012). Angka kejadian TB di Indonesia masih tinggi dilihat dari angka risiko penularan setiap tahun masih tinggi.
Hasil riset operasional tuberkulosis estimasi jumlah orang dengan TB di Indonesia pada tahun 2009-2010 dengan pemodelan multilevel Logistic Regression Model (LRM) digunakan untuk pemodelan data survei, baik untuk tingkat provinsi maupun nasional mendapatkan data Riskesdas 2010 untuk memprediksi jumlah orang dengan TB per provinsi di Indonesia tahun 2010, di dapat bahwa sekitar 697.500 (596.062-798.938) orang telah terinfeksi TB. Hasil estimasi per provinsi menunjukkan bahwa estimasi jumlah orang dengan TB tertinggi ada di provinsi Jawa Barat dengan estimasi sekitar 90.905 (62.754-119.055) orang, dan yang terendah ada di provinsi Kepulauan Riau dengan estimasi sekitar 611 (0-1.809) orang (Riono & Farid, 2011). Provinsi Jawa Barat memiliki beberapa kota salah satunya adalah kota Depok.
Universitas Indonesia
7
Penemuan kasus baru (Case Detection Rate) di kota Depok dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 terus meningkat, akan tetapi masih dibawah target Nasional yaitu sebesar 70%. Penemuan kasus TB paru di UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) Puskesmas Kecamatan Cimanggis tahun 2011, 182 kasus, mengalami kenaikan pada tahun 2012, 1517 kasus. Kecenderungan angka kesembuhan atau cure rate di UPT Puskesmas Kecamatan Cimanggis pada tahun 2011 adalah 92, 39% dan tahun 2012 adalah 93, 75%. Dalam hal ini angka kesembuhan mengalami kenaikan berarti penderita sudah mengerti dan taat kepada petugas PMO (Pengawas Menelan Obat) sesuai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) serta kepatuhan penderita dalam menyelesaikan pengobatan. Penderita TB di kelurahan Cisalak pasar, berdasarkan hasil pengkajian di Puskesmas Cimanggis, selama tahun 2012 sampai Mei 2013 terdapat 32 orang berobat TB, jumlah tersebut masih jauh diatas dari target nasional, dimana target untuk kelurahan Cisalak Pasar dalam menemukan kasus TB baru adalah sebanyak 20 kasus. Dari 32 orang pasien yang terdapat di kelurahan Cisalak pasar, 10 orang atau 32.1% diantaranya terdapat di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. (Puskesmas Cimanggis, 2012). Pasien TB yang ditemukan berasal dari berbagai usia dan kalangan.
Pasien TB di dunia adalah sekitar 75% kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis yaitu antara usia 15-50 tahun (WHO, 2009). Hal ini sependapat dengan Depkes (2004) menyatakan bahwa penderita TB paru di Indonesia sebagian besar terjadi pada kelompok usia produktif dan ekonomi rendah. Berbeda dengan penelitan yang dilakukan oleh Rahmatullah (1994 dalam Nugroho 2007) yang menyatakan bahwa tuberkulosis pada lanjut usia (lansia) ternyata masih cukup tinggi.
Lansia merupakan bagian dari proses tumbuh kembang (Azizah, 2010). Manusia tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya menjadi tua (Pujianti, 2003). Lansia merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia, yaitu bagian dari proses kehidupan yang tak dapat
Universitas Indonesia
8
dihindarkan dan akan di alami oleh setiap individu. Tahap lansia ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun/mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya (Soejono, 2000).
Lansia ini secara patofisiologis, tanpa penyakit saja sudah mengalami penurunan fungsi paru ditambah menderita TB paru sehingga menambah dan memperburuk keadaan. Tampilan klinis TB pada lansia tidak khas dan oleh karena itu mungkin tidak diketahui atau salah diagnosis. Batuk kronis, keletihan dan kehilangan berat badan dihubungkan dengan penuaan dan penyakit yang menyertai (Meiliya dan Ester, 2006). Banyak ditemukan lansia dengan penyakit TB paru yang sudah dalam keadaan parah, banyak ditemukan pula bronkitis kronis dan tidak sedikit kematian terjadi akibat radang paru. Penyebaran penyakit TB sangatlah mudah, hal ini sangat rentan pada keluarga yang anggota keluarga lain yang sedang menderita penyakit TB dan harus mendapat penanganan yang tepat. Penderita tuberkulosis khususnya pada lansia ternyata masih cukup tinggi di masyarakat, sehingga di dalam sebuah keluarga kemungkinan terdapat anggota keluarga yang menderita tuberkulosis, dimana keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Effendi, 2004). Keluarga membentuk unit dasar masyarakat dan tentunya unit dasar ini sangat mempengaruhi perkembangan individu yang memungkinkan menentukan keberhasilan atau kegagalan kehidupan individu (Friedman, 2003). Keluarga disini sangat berperan penting dalam keberhasilan pengobatan pada penderita TB.
Penderita TB yang tidak ditangani dengan baik dapat mengalami komplikasi perdarahan dari saluran pernafasan bawah yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke organ lain misalnya otak, tulang, persendian, ginjal, kegagalan nafas bahkan kematian. Pasien lansia yang menderita TB paru juga akan mengalami berbagai masalah keperawatan baik secara biologis, psikologis dan sosial, antara lain bersihan jalan nafas yang tidak efektif, pola nafas yang tidak efektif,
Universitas Indonesia
9
gangguan pertukaran gas, cemas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk bernafas (Nugroho,2007).
Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal, sehingga mukus ini banyak tertimbun dan bersihan jalan nafas akan tidak efektif. Membran mukosa akan terangsang, dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intrathorakal dan intra abdominal yang tinggi, jika hal tersebut terjadi. Udara keluar dengan akselerasi yang cepat beserta membawa sekret mukus yang tertimbun ketika dibatukkan. Mukus tersebut akan keluar sebagai dahak (Prince, 2000). Pengeluaran dahak dapat dilakukan dengan membatuk. Pengeluaran dahak dengan membatuk akan lebih mudah dan efektif bila diberikan penguapan atau inhalasi sederhana.
Inhalasi sederhana adalah menghirup uap hangat dari air mendidih telah ditetesi minyak penghangat, misalnya minyak kayu putih (Akhavani, 2005). Inhalasi aman untuk segala usia, para ahli paru anak sangat menganjurkan inhalasi sebagai pengobatan yang berhubungan dengan paru. Inhalasi sederhana mampu mengurangi gejala dari flu ringan yang baru saja terjadi, batuk berdahak, paruparu basah, batuk berdahak berat dan lama, batuk kronis atau batuk yang berulang-ulang. Inhalasi juga tidak memiliki efek negatifnya serta boleh dilakukan sekali pun orang tersebut mempunyai alergi terhadap sesuatu, karena bekerja langsung pada sumber pernapasan yaitu paru-paru. Penguapan secara tradisional atau inhalasi sederhana ini hanya berfungsi untuk melonggarkan saluran napas, bukan untuk mengeluarkan lendir, karena bahan-bahan dalam minyak kayu putih yang terhirup melalui uap air panas itu tidak mengandung zat penghancur lendir (Karnaen, 2011). Tindakan inhalasi terbukti kurang efektif untuk mengeluarkan dahak sehingga bersihan jalan napas menjadi efektif, sehingga tindakan inhalasi sederhana dikombinasikan dengan batuk efektif. Tindakan ini juga merupakan intervensi unggulan yang diberikan oleh perawat.
Universitas Indonesia
10
Batuk efektif adalah tindakan yang diperlukan untuk membersihkan dahak (Hudak & Gallo, 2000). Batuk efektif yang baik dan benar dapat mempercepat pengeluaran dahak pada pasien dengan gangguan saluran pernafasan. Hasil penelitian Nugroho (2011) pengaruh batuk efektif terhadap pengeluaran dahak pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehingga uji pengaruh menggunakan uji Wilcoxon untuk melihat kemaknaan pengaruh batuk efektif dengan α = 0,05 didapatkan p=0,003 (p<0,05) berarti bahwa berarti ada pengaruh sebelum dan sesudah perlakuan batuk efektif. Tindakan batuk efektif terbukti efektif dan dapat memberikan perubahan pada pengeluaran dahak seseorang, karena dengan batuk efektif bisa mengeluarkan dahak dengan maksimal dan banyak serta dapat membersihkan saluran pernapasan yang sebelumnya terhalang oleh dahak. Hough (2001) menyatakan bahwa lendir akan mudah keluar dari saluran pernapasan dengan penggunaan penguapan atau inhalasi sederhana untuk mengencerkan dahak tergantung dari kekuatan pasien untuk membatuk atau batuk efektif, sehingga seseorang akan merasa lendir atau dahak di saluran napas hilang dan jalan nafas akan kembali normal. Hal ini merupakan tindakan keperawatan yang bisa dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah keperawatan yang disebabkan oleh TB.
Masalah keperawatan yang disebabkan karena TB seperti yang di alami oleh keluarga dengan lansia yang berusia 70 tahun dan memiliki riwayat BTA positif pada Desember 2012, namun tidak menjalani pengobatan OAT, hanya memeriksakan diri ke dokter praktik dan diberi salbutamol dan tyrosol. Keluhan yang dirasakan sejak tiga bulan terakhir hingga saat ini adalah sesak. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan respiratory rate 28 kali/ menit dan bunyi paru pada saat auskultasi ronchi di semua lapang paru dan ronchi sangat terdengar jelas tanpa auskultasi sekalipun. Pemeriksaan BTA negatif pada tanggal 03 Juni 2012, namun tanda dan gejala pasien TB masih terlihat jelas seperti sesak, berkeringat tanpa beraktivitas di malam hari. Batuk sesekali, namun dahak susah keluar, dahak berwarna putih, dalam jumlah sedikit. Hal ini merupakan penemuan kasus baru di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Sesuai pengkajian yang telah dilakukan dan merujuk masalah keluarga TB
Universitas Indonesia
11
lansia dengan
keluhan utama sesak, maka diangkat perioritas diagnosis
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas, karena produksi mukus yang berlebihan ditandai dengan bunyi napas ronchi di semua lapang paru pada saat auskultasi. Berdasarkan data tersebut di atas, mahasiswa tertarik untuk membahas bagaimana penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas pada tuberkulosis paru lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.
1.2
Rumusan Masalah
Masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak ditemukannya penderita TB di masyarakat. Penularan TB yang cepat, menjadikan TB sebagai salah satu masalah global dan Indonesia menempati urutan ke lima dengan terbesar kasus insiden pada tahun 2009.
Indonesia terdiri dari berbagai provinsi, salah satunya adalah Jawa Barat. Estimasi jumlah orang dengan TB tertinggi berada di Jawa Barat dan Depok yang merupakan salah satu kota yang berada di Jawa Barat. Penemuan kasus baru (Case Detection Rate) di kota Depok dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 terus meningkat. Penderita TB di Depok khususnya di kelurahan Cisalak pasar, berdasarkan hasil pengkajian di Puskesmas Cimanggis, selama tahun 2012 sampai Mei 2013 terdapat 32 orang berobat TB, jumlah tersebut masih jauh diatas dari target nasional, dimana target untuk kelurahan Cisalak Pasar dalam menemukan kasus TB baru adalah sebanyak 20 kasus. Dari 32 orang pasien yang terdapat di kelurahan Cisalak pasar, 10 orang atau 32.1% diantaranya terdapat di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru dan dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe, namun TB terutama menyerang organ paru-paru sebanyak 80%. TB disebabkan oleh kuman TB yaitu mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis ini sendiri bukan penyakit keturunan dan dapat disembuhkan bila
Universitas Indonesia
12
berobat teratur. Penderita TB aktif jika tidak diobati dapat menularkan sepuluh sampai lima belas orang lainnya dalam satu tahun. TB ini sendiri menyerang kelompok usia produktif (15-54 tahun) dan ekonomi lemah, namun TB juga dapat menyerang usia lanjut.
Lansia penyakit TB paru yang sudah dalam keadaan parah, banyak ditemukan pula bronkitis kronis dan tidak sedikit kematian terjadi akibat radang paru. Penyebaran penyakit TB sangatlah mudah, hal ini sangat rentan pada keluarga yang anggota keluarga lain yang sedang menderita penyakit TB . Oleh karena itu, penyakit TB harus mendapat penanganan yang tepat. Pasein TB yang tidak ditangani dengan baik mengalami komplikasi perdarahan dari saluran pernafasan bawah yang dapat mengakibatkan penyebaran infeksi ke organ lain misalnya otak, tulang, persendian, ginjal, kegagalan nafas bahkan kematian.
Pasien lansia yang menderita TB paru juga akan mengalami berbagai masalah keperawatan baik secara biologis, psikologis dan sosial, antara lain bersihan jalan nafas yang tidak efektif, pola nafas yang tidak efektif, gangguan pertukaran gas, cemas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk bernafas. Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal, sehingga mukus ini banyak tertimbun dan bersihan jalan nafas akan tidak efektif. Hough (2001) menyatakan bahwa penggunaan penguapan atau inhalasi sederhana untuk mengencerkan dahak tergantung dari kekuatan pasien untuk membatuk atau batuk efektif sehingga mendorong lendir keluar dari saluran pernapasan dan seseorang akan merasa lendir atau dahak di saluran napas hilang dan jalan nafas akan kembali normal. Berdasarkan data tersebut di atas, mahasiswa tertarik untuk membahas bagaimana penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas pada tuberkulosis paru lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.
Universitas Indonesia
13
1.3
Tujuan Penulisan
Penulisan yang dilakukan memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
1.3.1 Tujuan Umum Penulis mampu memberikan gambaran penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas pada tuberkulosis paru lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.
1.3.2 Tujuan Khusus Penulisan ini bertujuan agar penulis mampu memberikan gambaran tentang penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga pada klien dengan masalah tuberkulosis paru yang meliputi: 1.3.2.1 Mampu melakukan pengkajian keluarga lansia dengan TB paru. 1.3.2.2 Mampu menganalisis data yang didapatkan pada saat pengkajian. 1.3.2.3 Mampu menentapkan masalah keperawatan berdasarkan hasil analisis data. 1.3.2.4 Mampu menetapkan prioritas diagnosis keperawatan berdasarkan skoring yang sudah dilakukan. 1.3.2.5 Mampu membuat rencana asuhan keperawatan keluarga sesuai dengan masalah keperawatan yang sudah ditetapkan. 1.3.2.6 Mampu membantu keluarga dalam melaksanakan lima fungsi kesehatan keluara antara lain mengenal masalah, mengambil keputusan, merawat anggota keluarga yang sakit, meodifikasi lingkungan dan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada serta mengimplementasikan tindakan keperawatan berupa inhalasi sederhana dan batuk efektif untuk mengatasi masalah pada TB paru pada lansia. 1.3.2.7 Mampu mengevaluasi hasil akhir dari implementasi yang telah dilakukan pada keluarga dengan TB paru lansia. 1.3.2.8 Mampu menganalisis kesenjangan antara asuhan keperawatan keluarga yang diberikan dengan teori-teori terkait
Universitas Indonesia
14
1.4
Manfaat Penulisan
Penulisan yang dilakukan diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Keilmuan Karya ilmiah ini sebagai bahan pengembangan pengetahuan dalam keilmuan keperawatan komunitas khususnya tentang asuhan keperawatan keluarga dengan masalah tuberkulosis paru khususnya pada lansia.
1.4.2 Manfaat Aplikatif 1.4.2.1 Bagi Puskesmas Cimanggis Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi terkait gambaran pemberian asuhan keperawatan keluarga dengan TB paru pada lansia dan menjadi acuan untuk meningkatkan program pelayanan promosi kesehatan dalam pengendalian TB, terutama pengembangan materi-materi edukasi kesehatan yang dapat dipahami masyarakat. Jika klien TB terpapar informasi tersebut, maka penemuan kasus-kasus baru TB dan kepatuhan berobat dapat ditingkatkan sehingga kejadian TB dapat diminimalkan kejadiannya.
1.4.2.2 Bagi Keluarga dengan Tuberkulosis Paru pada Lansia Penulisan ini diharapkan membuat keluarga mampu melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga mulai dari mengenali masalah tuberkulosis paru pada lansia, mengidentifikasi anggota keluarga yang menderita TB, mengambil keputusan dengan menyebutkan akibat bila TB tidak ditangani, cara perawatan sederhana untuk mengatasi TB terutama batuk efektif dan inhalasi sederhana yang dialami anggota keluarga khususnya pada lansia, memodifikasi lingkungan dan memanfaatkan pelayanan kesehatan sehingga dapat tercapai peningkatan kesehatan dalam keluarga.
Universitas Indonesia
15
1.4.3 Manfaat Metodologi Hasil penulisan dapat menjadi materi rujukan dalam pengembangan edukasi kesehatan yang dapat diterapkan dalam asuhan keperawatan bagi individu, keluarga dan komunitas terkait tuberkulosis paru. Selain itu hasil penelitian dapat menjadi dasar penelitian lanjutan di bidang keperawatan khususnya yang terkait tuberkulosis paru.
Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pembahasan pada bab ini tentang pengertian dan tinjauan pustaka mengenai konsep keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, konsep epidimiologi, konsep tuberkulosis paru, konsep TB baru, konsep lansia, konsep TB paru pada lansia, konsep asuhan keperawatan keluarga serta diagnosis keperawatan pada keluarga dengan tuberkulosis paru, inhalasi sederhana dan batuk efektif.
2.1 Teori dan Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kota dapat diartikan yang lain sebagai suatu daerah yang memiliki gejala pemusatan penduduk yang merupakan suat perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis sosial, ekonomi, kultur, yang terdapat di daerah tersebut dengan adanya pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lainnya (Bintarto, 2000). Masyarakat urban dapat disimpulkan sebagai massa yang didorong oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya untuk menjadi lebih baik.
2.1.1
Model Konsep Betty Neuman
Model konsep Neuman adalah model konsep yang menggambarkan tindakan keperawatan yang berfokus pada variabel-variabel yang mempengaruhi respon klien terhadap stresor. Neuman (1972) mendefenisikan manusia secara utuh yang merupakan gabungan dari konsep holistik dan pendekatan sistem terbuka. Sebagai sistem terbuka, manusia berinteraksi, beradaptasi dengan dan disesuaikan oleh lingkungan yang digambarkan sebagai stresor. Lingkungan ini terdiri dari lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal terdiri dari segala sesuatu yang mempengaruhi intrapersonal yang berasal dari dalam diri klien. Lingkungan eksternal ialah segala pengaruh yang berasal dari luar diri klien (interpersonal).
16
Universitas Indonesia
17
Tiap lingkungan memiliki kemungkinan terganggu oleh stresor yang dapat merusak sistem. Pembentukan lingkungan merupakan usaha klien untuk menciptakan lingkungan yang aman, yang mungkin terbentuk oleh mekanisme yang disadari maupun yang tidak disadari (Potter & Perry, 2005).
Tujuan dari keperawatan adalah membantu individu, keluarga, dan kelompok dalam mencapai dan mempertahankan tingkat kesehatan yang optimal (Neuman & Young, 1972 dalam Potter & Perry, 2005). Intervensi keperawatan diarahkan pada garis pertahanan dengan penggunaan pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer meliputi tindakan keperawatan untuk mengidentifikasi adanya stresor dan mencegah terjadinya reaksi tubuh karena adanya stres. Pencegahan sekunder meliputi tindakan keperawatan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala penyakit atau reaksi tubuh lainnya karena adanya stresor. Sedangkan pencegahan tersier meliputi pengobatan rutin dan teratur serta pencegahan kerusakan lebih lanjut atau komplikasi suatu penyakit. Prinsip dari pencegahan tersier adalah memberikan penguatan pertahanan tubuh terhadap stresor melalui pendidikan kesehatan dan membantu dalam pencegahan terjadinya masalah yang sama. Keperawatan berfokus pada individu sebagai satu kesatuan, bertujuan untuk mencapai dan mempertahankan kestabilan pasien (Potter & Perry, 2005).
2.1.2 Ruang
Peran Perawat dalam Keperawatan Kesehatan Perkotaan lingkup
peningkatan
praktik
kesehatan
keperawatan (promotif),
masyarakat
pencegahan
meliputi:
upaya-upaya
(preventif),
pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) dan mengembalikan serta memfungsikan kembali baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat ke lingkungan sosial dan masyarakatnya (resosialisasi). Kegiatan praktik keperawatan komunitas yang dilakukan perawat mempunyai lahan yang luas dan tetap menyesuaikan dengan tingkat pelayanan kesehatan wilayah kerja perawat, tetapi secara umum kegiatan praktik keperawatan komunitas adalah sebagai berikut pertama yaitu memberikan asuhan keperawatan langsung kepada individu, keluarga, kelompok khusus baik di rumah (home nursing), di sekolah
Universitas Indonesia
18
(school health nursing), di perusahaan, di Posyandu, di Polindes dan di daerah binaan
kesehatan
masyarakat.
Kedua
Penyuluhan/pendidikan
kesehatan
masyarakat dalam rangka merubah perilaku individu, keluarga, kelompok dan masyarakat (Stanhope & Lancaster, 2004).
Ketiga konsultasi dan pemecahan masalah kesehatan yang dihadapi. Keempat bimbingan dan pembinaan sesuai dengan masalah yang mereka hadapi. Kelima melaksanakan rujukan terhadap kasus-kasus yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Keenam penemuan kasus pada tingakat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Ketujuh sebagai penghubung antara masyarakat dengan unit pelayanan kesehatan. Kedelapan melaksanakan asuhan keperawatan komuniti, melalui pengenalan masalah kesehatan masyarakat, perencanaan kesehatan, pelaksanaan dan penilaian kegiatan dengan menggunakan proses keperawatan sebagai suatu usaha pendekatan ilmiah keperawatan. Kesembilan mengadakan koordinasi di berbagai kegiatan asuhan keperawatan komuniti. Kesepuluh Mengadakan kerjasama lintas program dan lintas sektoral dengan instansi terkait dan terakhir memberikan ketauladanan yang dapat dijadikan panutan oleh individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang berkaitan dengan keperawatan dan kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004).
2.1.3 Identifikasi Kesenjangan Keadaan Kesehatan, Keamanan yang dialami oleh Masyarakat di Daerah Perkotaan Mengidentifikasi kesenjangan keadaan kesehatan klien dapat dilihat dari pengaruh lingkungan terhadap kesehatan klien. Hal yang dapat diidentifikasi berkaitan dengan dimensi kesehatan klien (Clark, 2000) seperti:
2.1.3.1 Dimensi biophysical yaitu kondisi lingkungan klien yang memiliki efek yang berbeda pada tingkatan usia populasi serta efek yang terjadi.
2.1.3.2 Dimensi psychological yaitu efek kondisi lingkungan terhadap kualitas estetika pada lingkungan.
Universitas Indonesia
19
2.1.3.3 Dimensi physical yaitu faktor-faktor fisik yang mempengaruhi interaksi kondisi lingkungan dan berefek pada kesehatan.
2.1.3.4 Dimensi sosial yaitu sikap, pekerjaan serta status ekonomi yang dimiliki oleh klien sehingga berpengaruh pada kondisi lingkungan klien.
2.1.3.5 Dimensi behavioral yaitu keadaan klien yang merokok, pola diet serta aktivitas rekreasi klien terhadap kondisi lingkungan yang dapat berimbas terhadap kesehatan.
2.1.3.6 Dimensi sistem kesehatan dapat diidentifikasi dari keadaan lingkungan kesehatan yang dimiliki serta tanda-tanda yang dimiliki oleh klien ketika klien sakit dan penanganan yang dilakukan klien ketika sakit.
2.1.4
Dampak Perkotaan terhadap Kesehatan Masyarakat
Akibat dari meningkatnya proses urbanisasi menimbulkan dampak- dampak terhadap kesehatan, lingkungan kota, baik dari segi tata kota, masyarakat, maupun keadaan sekitarnya. Dampak urbanisasi terhadap kesehatan dan lingkungan kota antara lain masih tingginya penyakit menular seperti malaria, diare, demam berdarah, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dermatitis, Tuberkulosis (TB) diiringi meningkatnya penyakit tidak menular seperti jantung, hipertensi, stroke dan diabetes, dan diikuti munculnya New Emerging Infectious Diseases, seperti Flu Burung dan juga pada masalah air bersih dan sanitasi lingkungan (Hidayati, 2009).
2.3.5 Masalah Tuberkulosis Paru di Perkotaan Masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting (Azzisman dkk, 2006). Hal ini dibuktikan dengan masih banyak ditemukannya penderita TB di masyarakat. Penularan TB yang cepat, menjadikan TB sebagai salah satu masalah global (Depkes, 2002). Sumber penularan penyakit TB adalah penderita TB dengan BTA (+). Apabila penderita TB batuk, berbicara, atau bersin dapat menularkan kepada orang lain. Faktor risiko yang berperan
Universitas Indonesia
20
penting dalam penularan penyakit TB diantaranya faktor kependudukan dan faktor lingkungan. Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status gizi, dan kondisi sosial ekonomi, sedangkan faktor lingkungan diantaranya lingkungan dan ketinggian wilayah untuk lingkungan meliputi kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah (Ahmadi, 2005). Penelitian Chapman et al (1993, dalam Nelson 2005) mengatakan bahwa faktor lingkungan dan sosial, kepadatan penghuni, serta kemiskinan berperan dalam timbulnya kejadian TB.
Penyakit TB paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni dalam rumah karena dapat mempengaruhi kejadian penyakit, kontruksi dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko sumber penularan berbagai penyakit infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan TB Paru (Depkes, 2007). Rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB seperti hasil penelitian Dahlan (2000) mengatakan bahwa pencahayaan, ventilasi yang buruk dan kepadatan penghuni yang tinggi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB di Kota Jambi. Penelitian Edwan (2008) menunjukkan bahwa kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat mempengaruhi dengan kejadian TB paru di Kecamatan Tebet Jakarta Selatan, sedangkan penelitan Ayunah (2008) menunjukan hasil bahwa ventilasi dalam rumah yang kurang baik dapat mempengaruhi kejadian TB di Kecamatan Cilandak Jakarta Selatan.
TB bisa menyerang siapa pun, warga miskin perkotaan adalah kelompok masyarakat paling rentan terserang tuberkulosis. Lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan rendahnya mutu asupan nutrisi membuat kuman tuberkulosis dalam tubuh gampang menjadi aktif. Kepala Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Dyah Erti Mustikawati di sela-sela lokakarya Resisten Multiobat Tuberkulosis (Tb-MDR) di Jakarta mengatakan bahwa kuman tuberkulosis dalam tubuh masyarakat dengan ekonomi lebih baik jarang menjadi aktif karena mereka punya daya tahan tubuh lebih baik (Health Kompas, 2012).
Universitas Indonesia
21
Indonesia sebagai daerah endemik 80 % penduduknya diduga pernah terpapar bakteri penyebab tuberkulosis, mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini bisa nonaktif puluhan tahun dan aktif jika daya tahan tubuh lemah. Kuman tuberkulosis mudah menular pada lingkungan pengap, dalam ruangan dengan ventilasi udara kurang, serta paparan sinar matahari rendah, oleh karena itu, penting menjaga etika batuk dan meludah agar kuman dalam tubuh tak tersebar. Rokok harus dihindari (Health Kompas, 2012).
2.2 Konsep Epidemiologi Kata epidemiologi digunakan pertama kali pada awal abad kesembilan belas (1802) oleh seorang dokter Spanyol bernama Villalba dalam tulisannya bertajuk epidemiología española (Buck et al., 1998 dalam Murti, 2000). Gagasan dan praktik epidemiologi untuk mencegah epidemi penyakit sudah dikemukakan oleh Hippocrates sekitar 2000 tahun yang lampau di Yunani. Hippocrates mengemukakan bahwa faktor lingkungan mempengaruhi terjadinya penyakit (Susser dan Susser, 1996 dalam Murti 2000).
2.2.1
Definisi Epidemiologi
Epidemiologi berasal dari dari kata Yunani yaitu epi= atas, demos= rakyat, populasi manusia, dan logos = ilmu (sains), bicara. Epidemiologi secara etimologis adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan peristiwa yang banyak terjadi pada rakyat, yakni penyakit dan kematian yang diakibatkannya yang disebut epidemi (Timmreck, 2004). Epidemiologi bisa disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari tentang frekwensi yang terdiri dari besar dan jumlah serta penyebaran atau distribusi masalah kesehatan pada sekelompok manusia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
2.2.2
Faktor yang Mempengaruhi Sehat –Sakit
Rekawati (2011) memaparkan beberapa faktor yang mempengaruhi sehat sakit, yaitu:
Universitas Indonesia
22
2.2.2.1 Gordon and Le Rich Pejamu (host)/inang yaitu segala faktor yang terdapat dalam diri manusia yg mempengaruhi timbulnya penyakit, misalnya imunitas, aktivitas, gaya hidup. Bibit penyakit (agent) yaitu substansi atau elemen yang apabila ia ada atau tidak ada dapat menimbulkan atau menggerakkan timbulnya penyakit, misalnya bakteri, jamur, dan virus. Adapun yg tidak ada dapat menimbulkan penyakit seperti asam folat, Fe pada ibu hamil. Lingkungan (environment) yaitu seluruh kondisi yang mempengaruhi.
2.2.2.2 Blum Sehat dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan, yankes, keturunan dan yang paling berpengaruh adalah perilaku karena perilaku dapat merubah lingkungan.
2.2.2.3 Model Roda (The Wheel) Model ini terdiri dari inti genetik, pejamu yaitu umur, jenis kelamin, ras, status perkawinan, kebiasaan hidup, pekerjaan, keturunan dan lingkungan sosial, biologis, dan fisik.
2.2.3
Konsep At Risk dan Vulnerability
Konsep antara at risk dan vulnerability terkadang sulit untuk dipahami secara keseluruhan oleh perawat karena banyaknya faktor yang mempengaruhi keduanya. Selain itu, tidak semua orang memiliki risiko kesehatan yang sama meskipun mereka berada dalam satu lingkungan yang sama. Pada intinya, memahami hubungan antara at risk dan vulnerability akan mempengaruhi keyakinan individu, nilai-nilai kultural, dan sikap sosial (Fitzpatrick, Villaruel, & Porter, 2004 ).
2.2.3.1 Konsep At Risk At risk didefinisikan sebagai suatu kondisi kesehatan seseorang yang merupakan hasil dari interaksi dengan berbagai macam faktor, seperti faktor genetik, gaya hidup, serta kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial dimana individu
Universitas Indonesia
23
tersebut tinggal atau bekerja. Akumulasi dari berbagai macam faktor tersebut dapat menimbulkan efek tertentu, seperti masalah kesehatan (Sebastian, 2004).
Risk factor merupakan faktor paparan yang spesifik yang secara terus menerus bersinggungan terhadap individu dari luar, seperti asap rokok, stress yang berlebihan, dan zat kimia yang ada di lingkungan. Risk factor juga berkaitan dengan karakteristik seseorang seperti umur, jenis kelamin, dan genetik. Hitchcock, Schubert, dan Thomas (2000) menyebutkan bahwa perubahan fokus perawatan kesehatan komunitas pada populasi dan at risk terjadi karena adanya transisi perubahan gaya hidup dan penyakit yang dapat diidentifikasi melalui pendekatan epidemiologi.
Population at risk merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki beberapa kemungkinan yang telah jelas teridentifikasi atau telah ditentukan meskipun sedikit atau kecil terhadap munculnya suatu peristiwa (Hitchcock, Schubert & Thomas, 2000). Identifikasi yang menyeluruh pada populasi risiko membutuhkan suatu instrument yang baik dalam mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang berkontribusi terhadap munculnya penyakit atau masalah (Kharicha, 2007).
2.2.3.2 Konsep Vulnerability Vulnerable population group merupakan sekelompok orang dari satu populasi yang memiliki masalah kesehatan yang lebih kompleks dibandingkan dengan kesehatan populasi secara keseluruhan. Individu yang masuk dalam kelompok vulnerable memiliki risiko yang jauh lebih kompleks sebagai hasil dari akumulasi atau kombinasi dari beberapa faktor risiko yang membuat individu tersebut jauh lebih sensitif dibandingkan individu lainnya. Intinya, vulnerable menentukan seseorang memiliki tingkat sensitivitas terhadap faktor risiko yang lebih tinggi dibandingkan yang lainnya (Hitchcock, Schubert & Thomas, 2000).
2.3 Tuberkulosis Paru Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru dan dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges,
Universitas Indonesia
24
ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Penelitian Yoga (2007) yang juga menyatakan bahwa TB tidak hanya menyerang paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh yang lain seperti kulit (TB kulit), tulang (TB tulang), otak dan saraf (TB otak dan saraf), mata (TB mata), dan lain-lain. Namun, TB terutama menyerang organ paru-paru sebanyak 80% (PPTI, 2012).
2.3.1
Pengertian Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis (TB) paru merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri dan biasanya menyerang bagian paru-paru manusia (Amin dan Bahar, 2006). Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Tuberkulosis (mycobacterium tuberculosa) yang ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas (Widoyono, 2008). Tuberkulosis paru juga dapat dirumuskan sebagai suatu penyakit yang menyerang paru dan ditularkan melalui kuman pada saat batuk dan percikan ludah yang tersebar diudara dan dihirup oleh orang lain.
2.3.2 Penyebab Tuberkulosis Paru Mycobacterium tuberculosis yang disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) merupakan kuman atau bakteri yang menyebabkan penyakit TB. Kuman batang aerobik dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit (Price dan Wilson, 2005). Tuberkulosis paru disebabkan oleh mycobacterium tuberculosa yang ditemukan pertama kali oleh Robert Koch pada tahun 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret 1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai hari tuberkulosis. Kuman mycobacterium tuberculosis berbentuk batang dengan ukuran panjang 14/um dan tebal 0,3-0,6/um (Amin dan Bahar, 2006).
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100ºC selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60ºC selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan gelap bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau aliran udara.
Universitas Indonesia
25
Data pada tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam (Widoyono, 2008).
2.3.3 Gejala-Gejala Tuberkulosis Paru Keluhan atau gejala yang ditunjukkan oleh penderita tuberkulosis paru sangatlah bervariasi. Pembahasan ini akan disebutkan gejala-gejala yang paling banyak dirasakan oleh penderita TB menurut Depkes (2008), yaitu batuk berdahak selama dua sampai tiga minggu atau lebih, dahak bercampur darah, batuk berdarah, batuk ini terjadi karena adanya iritasi bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Gejala lainnya juga berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan, panas badan penderita TB kadang-kadang dapat mencapai 40-41 ºC. Biasanya demam ini berupa demam influenza yang hilang timbul, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dri serangan demam influenza. Keluhan ini sangat dipengaruhi berat atau ringannya infeksi kuman yang masuk (Amin dan Bahar, 2006).
Gejala yang biasanya muncul juga adalah sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. Malaise juga merupakan salah satu gejala yang biasa dialami oleh penderita TB. Gejala badan lemas, nafsu makan menurun, malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dan lain-lain. Gejala ini hilang timbul secara tidak teratur juga (Amin dan Bahar, 2006).
Gejala tuberkulosis menurut strategi yang baru DOTS (directly observed treatment shortcourse) yaitu gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau lebih, seperti juga pendapat Price dan Wilson (2005) yang menyatakan gejala utama dari tuberkulosis adalah batuk yang biasanya berlangsung lama dan produktif yang berdurasi lebih dari 3 minggu. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai
Universitas Indonesia
26
tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis.(Widoyono, 2008).
2.3.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru menurut Depkes (2008), yaitu:
2.3.4.1 Klasifikasi TB paru berdasarkan Pemeriksaan Dahak Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak dibagi menjadi dua yaitu (Depkes, 2003):
Tabel 2.1 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru Klasifikasi Tuberkulosis paru BTA positif.
Keterangan Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS (Sewaktu, Pagi, Sewaktu) hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman. Satu atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah tiga spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada tuberkulosis paru BTA positif. Kriteria diagnostik tuberkulosis paru BTA negatif harus meliputi paling tidak tiga spesimen dahak SPS hasilnya negatif. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. Universitas Indonesia
27
2.3.4.2 Klasifikasi TB Paru Berdasarkan Riwayat Pengobatan Klasifikasi pasien tuberkulosis paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu pertama pasien baru dalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Kedua pasien kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). Ketiga pengobatan setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Keempat pasien gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Kelima pasien pindahan (transfer in) adalah pasien yang dipindahkan dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang memiliki register tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya. Keenam yaitu lainlain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Kemenkes, 2011).
2.3.5
Kategori Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru dikategorikan menjadi empat kategori yaitu (Muttaqin, 2010):
2.3.5.1 Kategori I Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, TB millier, perikarditis, dll, dan penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan paru-parunya luas. Dimulai dengan fase intensif, OAT diberikan setiap hari selama dua bulan. Selama dua bulan sputum menjadi negatif, maka OAT akan dilanjutkan ke fase lanjutan, bila setelah dua bulan sputum masih tetap positif, maka fase intensif akan diperpanjang 2-4 minggu lagi dan yang dikenal dengan fase sisipan, kemudian dilanjutkan dengan fase lanjutan tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau belum. Fase lanjutan diberikan lebih lama yakni 4-6 bulan.
Universitas Indonesia
28
2.3.5.2 Kategori II Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif. Bila setelah fase intensif sputum menjadi negatif, maka dilanjutkan ke fase lanjutan. Bila setelah tiga bulan sputum tetap positif, maka fase intensif diperpanjang 1 bulan lagi. Bila setelah empat bulan sputum masih tetap positif, maka pengobatan dihentikan 2-3 hari,kemudian dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi lalu pengobatan diteruskan dengan fase lanjutan.
2.3.5.3 Kategori III Kategori III adalah kasus dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebut di kategori I.
2.3.5.4 Kategori IV Kategori IV adalah TB kronik. Prioritas pengobatan rendah karena kemungkinan keberhasilan pengobatan kecil sekali. 2.3.6
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tuberkulosis Paru
Hiswani (2009) mengatakan bahwa keterpaparan penyakit tuberkulosis paru dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
2.3.6.1 Umur Hasil penelitian yang dilaksanakan di New York tahun 2000 pada panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Hasil penelitian Herryanto dkk (2004), mengemukakan tentang karakteristik kasus kematian penderita TB paru yang hampir tersebar pada semua kelompok umur, dan paling banyak pada kelompok usia 20-49 tahun (58,3 %) yang merupakan usia produktif dan usia angkatan kerja. Berbeda dengan pendapat Hiswani (2009) penyakit tuberkulosis yang paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif 15-50 tahun, dengan ini terjadinya transisi demografi saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. pada usia
Universitas Indonesia
29
lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit tuberkulosis paru.
2.3.6.2 Jenis Kelamin Penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. menurut WHO (2005, dalam Hiswani 2009) sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar satu juta perempuan yang meninggal akibat TB paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebuh banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB paru. Penelitian Herryanto (2004), terdapat proporsi menurut jenis kelamin, laki laki sebesar 54,5 % dan perempuan sebesar 45,5 % yang menderita TB paru. Hasil penelitian dari WHO (2006) melaporkan prevalensi tuberkulosis paru 2,3% lebih banyak pada laki-laki dibanding wanita terutama pada negara yang sedang berkembang karena laki-laki dewasa lebih sering melakukan aktivitas sosial.
2.3.6.3 Status Gizi Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan Iainlain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
2.3.6.4 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai pengetahuan penyakit TB. Pengetahuan ini maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat. Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap kemampuan penderita untuk menerima informasi tentang penyakit, terutama TB paru. Kurangnya informasi tentang penyakit TB paru menyebabkan kurangnya pengertian kepatuhan penderita
Universitas Indonesia
30
terhadap pengobatan atau berhenti bila gejala penyakit tidak dirasakan lagi (Anugerah, 2007).
2.3.6.5 Pekerjaan Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu, paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan seperti TB. Jenis pekerjaan ini juga mempengaruhi keadaan perekonomian seseorang dan kemudian akam berdampak terhadap pola makan setiap hari, dan pemeliharaan kesehatan. Keluarga dengan pendapatan rendah akan cenderung sulit memperoleh makanan yang begizi dan memelihara kesehatan secara baik, sehingga sangat rentan tertular penyakit TB (Amira, 2005).
2.3.6.6 Faktor Sosial Ekonomi WHO (2007) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin, disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan. Rajagukguk (2008) juga menyatakan bahwa makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular tuberkulosis.
2.3.6.7 Kebiasaan Merokok Merokok dan TB masih menjadi masalah kesehatan yang penting dinegara maju dan negara berkembang. Asap rokok memiliki efek baik pro- inflamasi dan imunosupresif pada sistem imun saluran pernapasan. Merokok meningkatkan risiko infeksi mycobacterium tuberculosis, risiko perkembangan penyakit dan kematian pada penderita TB. Berhenti merokok berperan dalam global tuberculosis control dan mengurangi kematian pada penderita TB (Wijaya, 2012).
Universitas Indonesia
31
Mekanisme pasti yang menghubungkan merokok dengan TB tidak sepenuhnya dipahami, namun ada banyak bukti menurunnya pertahanan saluran napas berpengaruh pada kerentanan terhadap infeksi TB pada perokok. Trakea, bronkus dan bronkiolus yang membentuk saluran udara yang memasok udara ke paru memberikan garis pertahanan pertama dengan mencegah kuman TB untuk mencapai alveoli. Merokok terbukti dapat mengganggu bersihan mukosilier. Makrofag alveolar paru yang merupakan pertahanan utama terjadi penurunan fungsi fagositosis dan membunuh kuman pada individu yang merokok, seperti dilaporkan pada diabetes, merokok telah ditemukan berhubungan dengan penurunan tingkat sitokin proinflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini sangat penting untuk respons awal pertahanan lokal untuk infeksi kuman termasuk TB (Wen et all, 2010). Studi menunjukkan bahwa jumlah dan durasi merokok aktif berpengaruh terhadap risiko infeksi TB sedangkan pada perokok pasif berhubungan dengan peningkatan kejadian TB pada anak dan usia muda (Leung et all, 2010). Ho Lin di Taiwan (2009) tentang perokok, mendapatkan hampir 18.000 orang yang mewakili populasi umum selama lebih dari tiga tahun terakhir. Ditemukan peningkatan dua kali lipat resiko TB aktif pada perokok dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah merokok.
2.3.6.8 Kepadatan Hunian dan Kondisi Rumah Hunian rumah yang padat menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen bila salah satu anggota hunian terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Slamet (2000) menyebutkan bahwa untuk rumah sederhana luasnya minimun 10 m²/orang. Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit. Perpindahan penyakit yang semakin padat khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA positif. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita TB paru paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu didalam ruangan erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah. Kondisi kepadatan hunian perumahan atau tempat tinggal lainnya seperti penginapan, panti-panti tempat penampungan akan besar pengaruhnya terhadap risiko penularan. Daerah perkotaan (urban) yang lebih padat
Universitas Indonesia
32
penduduknya dibandingkan di pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak dengan penderita TB lebih besar, sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya.
Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Ventilasi yang baik juga menjaga dalam kelembaban (humidity) yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat) adalah sekitar 40–70%. Kelembaban yang lebih Dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (penyebab penyakit). Menurut Slamet (2000) untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai.
Cahaya matahari cukup, tidak lebih dan tidak kurang, dimana cahaya matahari ini dapat diperoleh dari ventilasi maupun jendela/genting kaca. Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18-30°C. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat membunuh mycobacterium tuberculosis. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap. Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux (Slamet, 2000). Hal ini sependapat dengan penelitian Yoga (2007), TB juga mudah menular pada mereka yang tinggal di perumahan padat, kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya buruk/pengap, namun jika ada cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya bisa bertahan selama 1-2 jam.
2.3.6.9 Perilaku Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
Universitas Indonesia
33
Mendapatkan pengobatan juga mempengaruhi tingkat kesembuhan penderita TB. Penderita seringkali datang berobat sudah dalam keadaan terlambat dan banyak komplikasi, hal ini membuat penderita tidak sabar dalam melakukan pengobatan dan ingin cepat sembuh, tetapi mereka ini mengalami kecewa dan putus asa karena apa yang diharapkan penderita tidak sesuai dengan kenyataan perjalanan pengobatan (Herryanto, 2004). Kebanyakan keluarga penderita merasa jenuh dan bosan dalam mencari/menjalankan pengobatan TB jika salah seorang anggota keluarganya sakit TB. Hasil penelitian di Kabupaten Tangerang (2009), penderita TB paru sering berpindah-pindah tempat pelayanan kesehatan untuk mencari kesembuhan, hal ini terjadi oleh karena penderita TB kurang yakin pada pelayanan kesehatan. Karena proses pengobatan yang tidak teratur, membuat mereka tidak sembuh. Hal ini diperparah dengan kebiasaan tidak menghabiskan obat, karena merasa badannya sudah sehat (Manalu, 2009). Alasan penderita TB paru pindah berobat hampir sama dengan alasan diantara mereka yang tidak menyelesaikan pengobatannya yaitu karena tidak kunjung sembuh, dan bahkan bertambah parah. Herryanto (2004), dalam hasil penelitiannya menggambarkan 20,8 % pengobatan TB yang dilakukan penderita putus berobat oleh yang tidak meninggal pindah berobat dengan alasan karena tidak ada perubahan dan penderita tidak sembuh.
2.3.7 Cara Penularan Tuberkulosis Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh kuman mycobacteriun tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien Tuberkulosis batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernapas. Penularan TB sebagian besar melalui inhalasi basil yang terkandung dalam droplet khususnya yang didapat dari pasien TB Paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (Amin dan Bahar, 2006). Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis paru BTA positif, bila penderita batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah pembuluh limfe atau langsung ke
Universitas Indonesia
34
organ terdekat. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Depkes, 2008). Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono, 2008).
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan risiko penularan lebih besar dari pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif (Depkes, 2008). Satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular tubekulosis adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat, misalnya keluarga serumah akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa atau tidak serumah (Widoyono, 2008).
2.3.8
Upaya Pencegahan Tuberkulosis Paru
Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas kesehatan (Kemenkes, 2011), yaitu pengawasan penderita, kontak dan lingkungan yaitu oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat, memisahkan alat makan dan minum penderita, berobat sampai tuntas dan senam pernapasan. Masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus diberikan vaksinasi BCG, berikan bayi ASI eksklusif sampai 6 bulan, makan dengan gizi seimbang, istirahat yang cukup dan olahraga, tidak merokok dan menjemur kasur atau tikar serta membersihkan rumah secara teratur. Petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkan.
2.3.9
Upaya Penanggulangan Tuberkulosis Paru
Upaya penanganan dan pemberantasan TB paru telah dilakukan pada awal tahun 1990, WHO telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan prioritas pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan diharapkan menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes, 2007).
Universitas Indonesia
35
Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur. Obat disediakan oleh pemerintah secara gratis di sarana pelayanan kesehatan yang telah menerapkan strategi Dots (Directly Observed Tretment Short course) seperti di Puskesmas, Balai pengobatan Penyakit Paru dan beberapa rumah sakit (Yoga, 2007). Pemberian panduan OAT didasarkan pada klasifikasi TB paru. Prinsip pengobatan TB paru adalah obat TB yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin, Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. sebagian besar penderita TB paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2003).
Perbaikan sosial ekonomi, peningkatan taraf hidup dan lingkungan serta kemajuan teknologi banyak membawa perubahan, di negara-negara maju jauh sebelum ditemukan obat anti TB (tuberkulostatika dan tuberkulosid) berkat perbaikan sosial ekonomi, jumlah penderita menurun 10-15 % per tahun, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyakit TB sebenarnya dapat hilang dengan sendirinya jika ada perbaikan sosial ekonomi tanpa obat (Ahmad, 2008).
Hasil penelitian Pradono (2007) bahwa keluarga yang mempunyai pendapatan yang lebih tinggi akan lebih mampu untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah tangganya, menyediakan air minum yang baik, membeli makanan yang jumlah dan kualitasnya memadai bagi keluarga mereka, serta mampu membiayai pemeliharaan kesehatan yang mereka perlukan. Program pemberantasan TB yang
Universitas Indonesia
36
telah dilaksanakan melalui paket program, namun di puskesmas belum secara efektif dapat menjangkau seluruh masyarakat atau penderita.
Helper, dkk (2009) juga mengemukakan bahwa sampai saat ini masih ada anggota masyarakat yang belum mengetahui ada program pelayanan kesehatan TB paru gratis di Puskesmas. Hasil survei prevalensi tuberculosis (2004) menunjukkan bahwa lebih dari 80 % responden ternyata tidak mengetahui adanya program obat anti TB gratis dan hanya 19 % yang mengetahui adanya pemberian obat anti TB gratis (Depkes. 2004). Rendahnya pengetahuan ini akan menghambat penderita TBC mencari pengobatan gratis atau menjadi penyebab putus berobat.
Permatasari (2005) mengemukakan disamping faktor medis. Faktor sosial ekonomi dan budaya, sikap dan perilaku yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan sebagaimana diuraikan di bawah ini:
2.3.9.1 Faktor sarana yaitu tersedianya obat yang cukup dan kontinu, dedikasi petugas kesehatan yang baik dan pemberian regiment OAT yang adekuat.
2.3.9.2 Faktor penderita yaitu pengetahuan penderita yang cukup mengenai penyakit TB paru, makin rendah pengetahuan penderita tentang bahaya penyakit Tuberkulosis untuk dirinya, keluarga dan masyarakat sekitarnya makin besar pula bahaya si penderita sebagai sumber penularan penyakit, baik dirumah maupun tempat pekerjaannya untuk keluarga dan orang disekitarnya (Rajagukguk, 2008). Cara pengobatan dan bahaya akibat berobat tidak adekuat, cara menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan bergizi. cukup istirahat, hidup teratur dan tidak minum alcohol atau merokok. Cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan, jendela rumah cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari. Sikap tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit infeksi biasa dan dapat disembuhkan bila berobat dengan benar. Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh.
Universitas Indonesia
37
2.3.9.3 Faktor keluarga dan masyarakat lingkungan yaitu dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang dengan cara selalu mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang dalam terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap rajin berobat. Hasil Riskesdas 2007, diketahui bahwa prevalensi TB paru cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan prevalensi tertinggi pada usiam lebih dari 65 tahun . Prevalensi TB paru pada laki-laki 20 % lebih tinggi dibandingkan perempuan, selain itu prevalensi tiga kali lebih tinggi di pedesaan dibandingkan perkotaan serta empat kali lebih tinggi pada pendidikan rendah dibandingkan pendikan tinggi.
2.3.10 Penatalaksaanaan Tuberkulosis Paru Penatalaksanaan TB paru terdiri dari farmakoterapi dan non farmakoterapi (Smeltzer, 2000), yaitu:
2.3.10.1 Farmakoterapi Pengobatan TB di Indonesia sesuai program nasional menggunakan panduan OAT yang diberikan dalam bentuk kombivak, sbb:
Tabel 2.2 Obat Anti Tuberkulosis Obat Primer Isoniazid, dosis : 5 mg/kg/hari (maksimum 300 mg/hari). Setiap hari selama 8 minggu diikuti 16 minggu dan setiap hari 2 – 3 x/ minggu
Obat Sekunder Obat Konsevatif Cadreamicin, dosis 15-30 Mukolitik : menurunkan mg/kg/hari kekentalan atau (maksimum 1 gra/ hari) perlengketan harus diberikan IM.
Ripamficin, dosis : 10 mg/kg/hari (maksimum 600 mg/hari) diberikan sebelum makan. Setiap hari selama 2 minggu diikuti 16 minggu dan setiap hari 2 – 3 x/minggu
Kancemicin, dosis : 1530 mg/kg/hari (maksimum 1 gram/hari) diberikan IM.
Bronchodilator : secret paru, menaikan ukuran percabangan trachea bronchist.
Universitas Indonesia
38
Obat Primer Pirazinamid, dosis: : 1530 mg/kg/hari (maksimum 2 gram/hari). Setiap hari selama 8 minggu diikuti 16 minggu dan setiap hari 2 –3 x/minggu
Obat Sekunder Obat Konsevatif Asam paraaminosalisilat, Kortikosteroid dosis : 150 mg/kg/ menurunkan inflamasi hari (maksimum 15 gram/hari)
Ethambutol, dosis : 15-25 Sikloresin, dosis : 15-20 Antibiotic mg/kg/hari mg/kg/hari mikroba (maksimum 1 gram) (maksimum 1 gram/hari) harus diberikan IM. Setiap hari selama 2 minggu diikuti 2 x/minggu 2 pemberian obat supaya yang diawasi langsung selama 6 minggu.
:
:
untuk
2.3.10.2 Non Farmakoterapi Penatalaksanaan TB paru non farmakoterapi , yaitu diit tinggi kalori tinggi protein (TKTP), hindari merokok dan minuman alkohol, istirahat yang cukup (tirah baring), mengajarkan batuk efektif, olahraga dan pengawasan menelan obat
2.3.11 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk mengetahui seseorang terkena TB paru, berikut menurut Arjatmo, dkk (2003) pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan, yaitu:
2.3.11.1 Kultur sputum yaitu positif untuk mycobacterium tuberculosis pada tahap aktif penyakit. 2.3.11.2 Ziehl-neelseh (pemeriksaan asam cepat pada gelas kaca untuk ucapan cairan darah) , yaitu positif untuk basil asam-cepat. 2.3.11.3 Tes kulit (PPD,mantoux,potogan vollmer), yaitu reaksi positif (area indurasi 10mm/ lebih besar,terjadi 48-72 jam setelah injeksi intradelmal antigen)
Universitas Indonesia
39
menunjukkan infeksi masa lalu dan adanya anti bodi tetapi tidak secara berarti menunjukkan penyakit aktif. Reaksi bermakna pada pasien yang secara klinik sakit berarti bahwa tuberculosis aktif tidak dapat di turunkan/infeksi di sebabkan oleh mycrobacterium yang berada. 2.3.11.4 ELISA/ wastern blot, yaitu dapat menyatakan adanya HIV. 2.3.11.5 Foto thorak : dapat menunjukan infiltrasi lesi awal pada area paru atas, simpanan kalsium lesi sembuh primer, atau efusi cairan. Perubahan menunjukkan lebih luas tuberkulosis dapat termasuk rongga,area fibrosa.
2.3.11.6 Histology/kultur jaringan (termasuk pembersihan gaster, urine dan cairan serebrospinal biospi kulit), yaitu positif untuk mycrobacterium tuberculosis. 2.3.11.7 Biopsi jarum pada jaringan paru, positif utr granuloma tuberculosis ; adanya sel raksasa menunjukkan nekrosis. 2.3.11.8 Elektrolit, dapat tidak normal tergantung padalokasi dan beratnya infeksi ; contoh hiponat reqmia disebabkan oleh tidak normalnya resisten air dapat ditemukan pada tuberkulosis paru kronis luas. 2.3.11.9 GAD : dapat normal tergantung lokasi,berat dan kerusakan sisa pada paru. 2.3.11.10 Pemeriksaan fungsi paru : penurunan kapasitas vital,peningkatan ruang mati,peningkatan rasio udara residu dan kapasitas paru total,dan penurunan saturasi oksigen sekunder terhadap infiltrasi parenkim/fibrosis kehilangan jaringan paru,dan penyakit pleural (tuberkulosis paru kronis luas).
2.3.12 Akibat Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru memiliki banyak akibat jika tidak diobati, jika tidak minum obat secara teratur, dan akibat lanjut atau komplikasi yang sering terjadi terjadi pada penderita TB paru stadium lanjut (Depkes, 2003):
Universitas Indonesia
40
2.3.12.1 Akibat dari TB paru jika tidak diobati yaitu dapat menular pada orang lain, tidak dapat sembuh dan dapat menyebabkan kematian. 2.3.12.2 Akibat bila minum obat TB tidak teratur yaitu kuman makin ganas karena kebal terhadap obat, pasien dapat menularkan TB ke banyak orang terutama keluarga yang tinggal serumah, pengobatan menjadi mahal dan lama, serta mengulang pengobatan dari awal.
2.3.13 Komplikasi Tuberkulosis Paru Komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB paru stadium lanjut, yaitu hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial, brokoiectasis dan fibrosis bronkial pada paru, pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru. penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendrian, ginjal dan sebagainya, insufisiensi kardio pulmoner dan resistensi kuman dimana pengobatan dalam jangka panjang seringkali membuat pasien tidak disiplin, bahkan ada yang putus obat karena merasa bosan. Pengobatan yang tidak tuntas atau tidak disiplin membuat kuman menjadi resisten atau kebal, sehingga harus diganti dengan obat lain yang lebih kuat dengan efek samping yang tentunya lebih berat (Depkes, 2003).
2.4 Penemuan Kasus Tuberkulosis Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratories, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan pemeriksan terhadap gejala dan keluhan
Universitas Indonesia
41
tersebut. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat (Kemenkes, 2011).
Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua layanan
dimaksudkan
untuk
mempercepat
penemuan
dan
mengurangi
keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif pada masyarakat umum, dinilai tidak cost efektif (Kemenkes, 2011).
Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap (Kemenkes, 2011), yaitu: 2.4.1.1 Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV AIDS).
2.4.1.2 Kelompok yang rentan tertular TB seperti di rumah tahanan, lembaga pemasyarakatan (para narapidana), mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA positif.
2.4.1.3 Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau pegobatan pencegahan.
2.4.1.4 Kontak dengan pasien TB resistan obat, penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis.
Universitas Indonesia
42
2.5 Konsep Lansia Laslett (1996, dalam Suardiman 2011) mengutarakan bahwa menjadi tua (aging) yaitu proses perubahan biologis secara terus menerus yang dialami manusia pada semua tingkatan umur dan waktu, sedangkan usia lanjut (old age) merupakan istilah untuk tahap akhir dari proses penuaan tersebut.
2.5.1
Definisi Lansia
Lansia (masa dewasa tua) dimulai setelah pensiun, yaitu biasanya antara usia 65 tahun dan 75 tahun (Potter, 2005). Usia lanjut merupakan tahap akhir dari siklus hidup manusia, yaitu bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan di alami oleh setiap individu. Lansia mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya (Soejono, 2000). Seseorang menua dengan cara yang berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya. Lansia adalah unik, oleh karena itu perawat harus memberikan pendekatan yang berbeda antara satu lansia dengan lansia lainnya (Potter & Perry, 2009).
2.5.2
Klasifikasi Lansia
Beberapa pendapat para ahli tentang klasifikasi lansia adalah sebagai berikut: 2.5.2.1 Menurut Depkes (2003) ada lima klasifikasi pada lansia yaitu: pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Lansia risiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih, atau seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain (Maryam, 2008).
2.5.2.2 Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun (Nugroho, 2000).
Universitas Indonesia
43
2.5.3 Tugas Perkembangan Lansia Lansia harus menyesuaikan diri terhadap perubahan fisik yang terjadi seiring penuaan. Waktu dan durasi perubahan ini bervariasi pada tiap individu, namun seiring penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi tubuh akan terjadi. Perubahan ini tidak dihubungkan dengan penyakit dan merupakan perubahan normal. Penyakit terkadang mengubah waktu timbulnya perubahan atau dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Tugas perkembangan pada lansia dalam adalah beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan, menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2009).
2.5.4
Perubahan Sistem Pernapasan Lansia
Perubahan fisik yang terjadi pada lansia yang meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh. Salah satu diantaranya yaitu sistem pernapasan. Perubahan sistem pernapasan pada lansia yaitu otot pernapasan kaku dan kehilangan kekuatan, penurunan aktivitas silia jumlah udara pernapasan yang masuk keparu mengalami penurunan, alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret berkurang dan mengalami sumbatan atau obstruksi (Stanley, 2006).
2.5.5
Tuberkulosis pada Lansia
Tuberkulosis adalah suatu pertumbuhan epidemik diantara lansia yang merupakan segmen pertumbuhan tercepat pada populasi Amerika Serikat (Couser & Glassroth, 1993 dalam Stanley 2006). Lansia berisiko tinggi karena biasanya mengambil tempat pada bagian apeks paru. Mikroorganisme akan bertambah banyak dan menyebabkan pneumonitis yang memicu respon imun. Neutrofil dan makrofag yang menutupi dan meliputi basil-basil, mencegah penyebaran lebih lanjut. Penutupan tersebut menyebabkan pembentukan tuberkel granuloma. TB
Universitas Indonesia
44
akan tetap dorman atau mengalami reaktivasi atau mungkin tidak pernah dapat diatasi karena gangguan respons imun (Stanley, 2006).
Tampilan klinis TB pada lansia tidak khas dan oleh karena itu mungkin tidak diketahui atau salah diagnosis. Batuk kronis, keletihan dan kehilangan berat badan dihubungkan dengan penuaan dan penyakit yang menyertai. Pola radiografi diinterpretasikan sebagai kanker bronkogenik atau pneumonia, selain memiliki tampilan infiltrat apikal yang khas, lansia memiliki keterlibatan lobus medial dan lobus bawah dengan sedikit lubang (Stanley, 2006).
Gejala klasik infeksi pada orang berusia lanjut, yaitu demam, tak selalu timbul, akan tetapi yang terlihat biasanya kurang nafsu makan, merasa lemas, dan ada juga yang kesadarannya menurun. Infeksi pada orang berusia lanjut gejalanya berbeda dari orang muda. Hal ini disebabkan sistem kekebalan tubuh pada orang berusia lanjut menurun sehingga pertahanan tubuh kurang berjalan seperti waktu muda. Demam merupakan upaya tubuh mematikan kuman, karena sistem kekebalan menurun, maka reaksi demam mungkin tak jelas, bahkan tak timbul.
Gejala TB paru pada orang berusia lanjut juga agak berbeda dari orang muda. Gejala batuk yang merupakan gejala penting pada TB pada orang muda ternyata pada usia lanjut kurang menonjol. Biasanya yang lebih sering dikeluhkan adalah gejala sesak. Perlu juga diingat pada orang berusia lanjut fungsi organ tubuh menurun sehingga dalam pemberian obat keadaan fungsi organ harus dipertimbangkan (Kompas, 2008). Semakin meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan peningkatan usia harapan hidup, jumlah populasi usia lanjut di Indonesia akan meningkat pula. Keluarga di Indonesia perlu memahami cara memelihara kesehatan bayi dan anak, maka sekarang pengetahuan keluarga tentang pemeliharaan kesehatan orang berusia lanjut juga harus ditingkatkan.
2.6 Asuhan Keperawatan Keluarga Aspek keperawatan yang paling penting adalah perhatian pada unit keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga
Universitas Indonesia
45
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Effendi, 2004). Keluarga yang juga adalah individu, kelompok, dan komunitas merupakan klien perawat atau penerima pelayanan asuhan keperawatan. Keluarga membentuk unit dasar masyarakat dan tentunya unit dasar ini sangat mempengaruhi perkembangan individu
yang memungkinkan menentukan keberhasilan atau kegagalan
kehidupan individu (Friedman, 2003).
Unit
keluarga
menempati
posisi
diantara
individu
dan
masyarakat
(Bronfenbrenner, 1979 dalam Friedman, 2003). Tujuan dasar sebuah keluarga terdiri dari dua, yaitu: mempertemukan kebutuhan dari masyarakat dimana keluarga merupakan bagian dari masyarakat dan mempertemukan kebutuhan individu-individu dalam keluarga. Fungsi ini merupakan asas bagi adaptasi manusia yang tidak dapat dipenuhi secara terpisah sehingga harus berkaitan satu sama lain di dalam sebuah keluarga. Hal ini menjadi dasar bagi perawat untuk mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan keluarga dengan baik demi terciptanya keluarga dan masyarakat yang sehat.
Asuhan keperawatan keluarga merupakan proses yang kompleks dengan menggunakan pendekatan sistematik untuk bekerjasama dengan keluarga dan individu sebagai anggota keluarga (Friedman, 2003). Tahapan proses keperawatan keluarga meliputi pengkajian keluarga dan individu dalam keluarga, perumusan diagnosa keperawatan, penyusunan rencana keperawatan, pelaksanaan asuhan keperawatan dan evaluasi.
2.6.1 Pengkajian Keluarga Pengkajian adalah suatu tahapan dimana seorang perawat mengambil data secara terus menerus terhadap anggota keluarga yang dibinanya. Sumber informasi dari tahapan pengkajian daoat menggunakan metode wawancara keluarga, observasi fasilitas rumah, pemeriksaan fisik terhadap anggota keluarga (head to toe), data sekunder, misalnya hasil laboratorium, dsb. Hal-hal yang perlu dikaji dalam keluarga menurut Friedman (2003) adalah:
Universitas Indonesia
46
2.6.1.1 Data umum yang terdiri dari nama keluarga (KK), alamat dan telpon serta komposisi Keluarga, genogram. Data umum selanjutnya yaitu tipe keluarga yang Menjelaskan mengenai jenis tipe keluarga beserta masalah-masalah yang terjadi dengan jenis tipe keluarga tersebut. Tipe atau bentuk keluarga menurut Sudiharto (2007), antara adalah sebagai berikut keluarga inti (nuclear family) yaitu keluarga yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari suam, istri, dan anak-anak, baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi. Keluarga besar (extended family) yaitu keluarga inti ditambah keluarga yang lain (karena hubungan darah), misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu termasuk keluarga modern, seperti orang tua tunggal, keluarga tanpa anak, serta keluarga pasangan sejanis (guy/lesbian families). Keluarga campuran (blended family) yaitu keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung dan anak-anak tiri. Keluarga menurut hukum umum (common law family): Anak-anak yang tinggal bersama. Keluarga orang tua tinggal yaitu keluarga yang terdiri dari pria atau wanita, mungkin karena telah bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah menikah, serta anak-anak mereka yang tinggal bersama. Keluarga Hidup bersama (commune family) yaitu keluarga yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak yang tinggal bersama berbagi hak dan tanggung jawab, serta memiliki kepercayaan bersama. Keluarga serial (serial family) yaitu keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin telah punya anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta memiliki anak-anak dengan pasangannya masing-masing, tetapi semuanya mengganggap sebagai satu keluarga. Keluarga gabungan (composite Family) yaitu keluarga yang terdiri dari suam dengan beberapa istri dan anak-anaknya (poligami) atau istri dengan beberapa suami dan anak-anaknya (poliandri). Hidup bersama dan tinggal bersama (cohabitation family) yaitu keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada ikatan perkawinan yang sah.
Suku bangsa yaitu mengkaji asal suku bangsa keluarga tersebut serta mengidentifikasi budaya suku bangsa tersebut terkait dengan kesehatan. Agama yaitu mengkaji agama yang dianut oleh keluarga serta kepercayaan yang dapat
Universitas Indonesia
47
mempengaruhi kesehatan. Status sosial ekonomi keluarga yang ditentukan oleh pendapatan baik dari kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya. Selain itu status sosial ekonomi keluarga ditentukan pula oleh kebutuhan-kebutuhan yang dikeluarkan oleh keluarga serta barangn-barang yang dimiliki oleh keluarga. Data umum yang terakhir adalah aktivitas rekreasi keluarga yaitu rekreasi keluarga tidak hanya dilihat kapan saja keluarga pergi bersama-sama untuk mengunjungi tempat rekreasi tertentu namun dengan menonton TV dan mendengarkan radio juga merupakan aktivitas rekreasi.
2.6.1.2 Riwayat dan tahap perkembangan keluarga yaitu tahap perkembangan keluarga saat ini yaitu tahap perkembangan keluarga ditentukan dengan anak tertua dari keluarga inti. Tahap dan siklus tumbuh kembang keluarga menurut Duval
(1985, dalam Friedman 2003) ada delapan tahap tumbuh kembang
keluarga yaitu tahap I keluarga pemula, keluarga pemula merujuk pada pasangan menikah/tahap pernikahan. Tugas perkembangan keluarga saat ini adalah membangun perkawinan yang saling memuaskan, menghubungkan jaringan persaudaraan secara harmonis, merencanakan keluarga berencana.
Tahap II dengan keluarga sedang mengasuh anak (anak tertua bayi sampai umur 30 bulan), tugas perkembangan keluarga pada tahap II, yaitu membentuk keluarga muda sebagai sebuah unit, mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan,
memperluas
persahabatan
dengan
keluarga
besar
dengan
menambahkan peran orang tua kakek dan nenek dan mensosialisasikan dengan lingkungan keluarga besar masing-masing pasangan. Tahap III keluarga dengan anak usia pra sekolah (anak tertua berumur 2-6 tahun), tugas perkembangan keluarga pada tahap III, yaitu memenuhi kebutuhan anggota keluarga, mensosialisasikan anak, mengintegrasikan anak yang baru sementara tetap memenuhi kebutuhan anak yang lainnya, mempertahankan hubungan yang sehat dalam keluarga dan luar keluarga, menanamkan nilai dan norma kehidupan, mulai mengenalkan kultur keluarga dan menanamkan keyakinan beragama, memenuhi kebutuhan bermain anak.
Universitas Indonesia
48
Tahap IV keluarga dengan anak usia sekolah (anak tertua usia 6-13 tahun), tugas perkembangan keluarga tahap IV, yaitu mensosialisasikan anak termasuk meningkatkan prestasi sekolah dan mengembangkan hubungan dengan teman sebaya, mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan, memenuhi kebutuhan kesehatan fisik anggota keluarga, membiasakan belajar teratur, memperhatikan anak saat dan menyelesaikan tugas sekolah. Tahap V keluarga dengan anak remaja (anak tertua umur 13-20 tahun), tugas perkembangan keluarga pada tahap V, yaitu menyeimbangkan kebebasan dengan tanggung jawab ketika remaja menjadi dewasa dan mandiri, memfokuskan kembali hubungan perkawinan, berkomunikasi secara terbuka antara orang tua dan anak-anak, memberikan perhatian, memberikan kebebasan dalam batasan tanggung jawab, mempertahankan komunikasi terbuka dua arah.
Tahap VI keluarga yang melepas anak usia dewasa muda (mencakup anak pertama sampai anak terakhir yang meninggalkan rumah), tahap ini adalah tahap keluarga melepas anak dewasa muda dengan tugas perkembangan keluarga antara lain memperluas siklus keluarga dengan memasukkan anggota keluarga, baru yang
didapat
dari
hasil
pernikahan
anak-anaknya,
melanjutkan
untuk
memperbaharui dan menyelesaikan kembali, hubungan perkawinan, membantu orang tua lanjut usia dan sakit-sakitan dari suami dan istri. Tahap VII orang tua usia pertengahan (tanpa jabatan atau pensiunan), tahap keluarga pertengahan dimulai ketika anak terakhir, meninggalkan rumah dan berakhir atau kematian salah satu pasangan, tahap ini juga dimulai ketika orang tua memasuki usia 45-55 tahun dan berakhir pada saat pasangan pensiun, tugasperkembangannya adalah menyediakan
lingkungan
yang
sehat,
mempertahankan
hubungan
yang
memuaskan dan penuh arah dengan lansia dan anak-anak, memperoleh hubungna perkawinan yang kokoh. Tahap VIII keluarga dalam tahap pensiunan dan lansia, dimulai dengan salah satu atau kedua pasangan memasuki masa pensiun terutama berlangsung hingga salah satu pasangan meninggal dan berakhir dengan pasangan lain meninggal, tugasperkembangan keluarga adalah mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan, menyesuaikan terhadap pendapatan yang menurun,
Universitas Indonesia
49
mempertahankan hubungan perkawinan, menyesuaikan diri terhadap kehilangan pasangan dan mempertahankan ikatan keluarga antara generasi
Riwayat
dan
tahap
perkembangan
keluarga
selanjutnya
adalah
tahap
perkembangan keluarga yang belum terpenuhi yaitu menjelaskan mengenai tugas perkembangan yang belum terpenuhi oleh keluarga serta kendala mengapa tugas perkembangan tersebut belum terpenuhi. Riwayat keluarga inti yaitu enjelaskan mengenai riwayat kesehatan pada keluarga inti, yang meliputi riwayat penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing-masing anggota keluarga, perhatian terhadap pencegahan penyakit (status imunisasi), sumber pelayanan kesehatan yang biasa digunakan keluarga serta pengalaman-pengalaman terhadap pelayanan kesehatan. Riwayat keluarga sebelumnya, dijelaskan mengenai riwayat kesehatan pada keluarga dari pihak suami dan istri.
2.6.1.3 Lingkungan yaitu karakteristik rumah diidentifikasi dengan melihat luas rumah, tipe rumah, jumlah ruangan, jumlah jendela, jarak septic tank dengan sumber air, sumber air minum yang digunakan serta denah rumah. Karakteristik tetangga dan komunitas RW yang menjelaskan mengenai karakteristik tetangga dan
komunitas
setempat
yang
meliputi
kebiasaan,
lingkungan
fisik,
aturan/kesepakatan penduduk setempat, budaya setempat yang mempengaruhi kesehatan. Mobilitas geografis keluarga ditentukan dengan kebiasaan keluarga berpindah tempat. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat yang menjelaskan mengenai waktu yang digunakan keluarga untuk berkumpul serta perkumpulan keluarga yang ada dan sejauh mana interaksi keluarga dengan masyarakat. Sistem pendukung keluarga yang termasuk dalam sistem pendukung keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang sehat, fasilitas-fasilitas yang dimiliki keluarga untuk menunjang kesehatan. Fasilitas mencakup fasilitas fisik, fasilitas psikologis atau dukungan dari anggota keluarga dan fasilitas sosial atau dukungan dari masyarakat setempat.
2.6.1.4 Struktur keluarga yaitu pola komunikasi keluarga dengan menjelaskan mengenai cara berkomunikasi antar anggota keluarga. Struktur kekuatan keluarga,
Universitas Indonesia
50
kemampuan anggota keluarga mengendalikan dan mempengaruhi orang lain untuk mengubah perilaku. Struktur peran yang menjelaskan peran dari masingmasing anggota keluarga baik secara formal maupun informal. Nilai atau norma keluarga, menjelaskan mengenai nilai dan norma yang dianut oleh keluarga yang berhubungan dengan kesehatan.
2.6.1.5 Fungsi keluarga yaitu fungsi afektif, fungsi sosialisasi dan fungsi perawatan keluarga. Fungsi afektif yaitu hal yang perlu dikaji adalah gambaran diri anggota keluarga, perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota keluarga lainnya, bagaiman kehangatan tercipta pada anggota keluarga dan bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling menghargai. Fungsi sosialisasi yaitu hal yang perlu dikaji adalah bagaiman interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh mana anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya dan perilaku. Fungsi perawatan kesehatan yaitu menjelaskan sejauh mana keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan serta merawat anggota keluarga yang sakit. Sejauh mana pengetahuan keluarga mengenai sehat sakit. Kesanggupan keluarga dalam melaksanakan perawatan kesehatan dapat dilihat dari kemampuan keluarga dalam melaksanakan 5 tugas kesehatan keluarga, yaitu keluarga mampu mengenal masalah kesehatan, mengambil keputusan untuk melakukan tindakan, melakukan perawatan tarhadap anggota keluarga yang sakit, menciptakan lingkungan yang dapat meningkatkan kesehatan dan kleluarga mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan yang terdapat di lingkungan setempat.
Hal-hal yang perlu dikaji untuk mengetahui sejauh mana keluarga melakukan pemenuhan tugas perawatan keluarga adalah untuk mengetahui kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, yang perlu
dikaji adalah sejauhmana
keluarga memahami fakta-fakta dari masalah kesehatan yang meliputi: pen gertian, tanda dan gejala, faktor penyebab dan yang mempengaruhinya serta persepsi keluarga terhadap masalah, untuk mengetahui kemampuan keluarga mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat, hal yang perlu dikaji adalah sejauhmana kemampuan keluarga mengerti mengenai sifat dan
Universitas Indonesia
51
luasnya masalah, apakah masalah kesehatan dirasakan oleh keluarga, apakah keluarga merasa menyerah terhadap masalah yang dialami, apakah keluarga merasa takut akan akibat dari penyakit, apakah keluarga mempunyai sikap negatif terhadap masalah kesehatan, apakah keluarga dapat menjangkau fasilitas kesehatan yang ada, apakah keluarga kurang percaya terhadap tenaga kesehatan. dan apakah keluarga mendapat informasi yang salah terhadap tindakan dalam mengatasi masalah. Mengetahui sejauhmana kemampuan keluarga merawat anggota keluarga yang sakit, termasuk kemampuan memelihara lingkungan dan menggunakan sumber fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat, yang perlu dikaji adalah apakah keluarga mengetahui sifat dan perkembangnan perawatan yang dibutuhkan untuk menanggulangi masalah kesehatan/penyakit., apakah keluarga mempunyai sumber daya dan fasilitas yang diperlukan untuk perawatan, keterampilan keluarga mengenai macam perawatan yang diperlukan memadai, apakah keluarga mempunyai pandangan negatif terhadap perawatan yang diperlukan, adakah konflik individu dan perilaku mementingkan diri sendiri dalam keluarga, apakah keluarga kurang dapat memelihara keuntungan dalam memelihara lingkungan dimasa mendatang, apakah keluarga mempunyai upaya penuingkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, apakah keluarga sadar akan pentingnya fasilitas kesehatan dan bagaimana pandangan keluarga akan fasilitas tersebut, apakah keluarga merasa takut akan akibat dari tindakan (diagnostik, pengobatan dan rehabilitasi) dan bagaimana falsafah hidup keluarga berkaitan dengan upaya perawatan dan pencegahan.
2.6.1.6 Stress dan koping keluarga yaitu stressor jangka pendek, stressor jangka panjang, kemampuan keluarga berespon terhadap masalah, strategi koping yang digunakan dan strategi adaptasi disfungsional. Stressor jangka pendek yaitu stressor yang dialami keluarga yang memerlukan penyelesaian dalam waktu kurang dari 6 bulan. Stressor jangka panjang yaitu stressor yang dialami keluarga yang memerlukan penyelesaian dalam waktu lebih dari 6 bulan. Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi/stressor, hal yang perlu dikaji adalah sejauhmana keluarga berespon terhadap situasi/stressor. Strategi koping yang digunakan
keluarga bila menghadapi permasalahan. Strategi
adaptasi
Universitas Indonesia
52
disfungsional yaitu strategi yang digunakan keluarga bila menghadapi permasalahan.
2.6.1.7 Harapan Keluarga yaitu perawat menanyakan harapan keluarga terhadap petugas kesehatan yang ada.
2.6.1.8 Pemeriksaan fisik dilakukan terhadap semua anggota keluarga. Metode yang digunakan pada pemeriksaan fisik tidak berbeda dengan pemeriksaan fisik di klinik.
2.6.2
Perumusan Diagnosis Keperawatan Keluarga
Diagnosis
keperawatan
adalah
pernyataan
yang
menggunakan
dan
menggambarkan respons manuasia. Keadaan sehat atau perubahan pola interaksi potensial/actual dari individu atau kelompok dimana perawat dapat menyusun intervensi-intervensi definitive untuk mempertahankan status kesehatan atau untuk mencegah perubahan (Carpenito, 2000). Diagnosis keperawatan keluarga dirumuskan berdasarkan data yang didapat pada pengkajian yang terdiri dari masalah keperawatan yang akan berhubungan dengan etiologi yang berasal dari pengkajian fungsi perawatan keluarga. Diagnosis keperawatan merupakan sebuah label singkat untuk menggambarkan kondisi pasien yang diobservasi di lapangan. Kondisi ini dapat berupa masalah –masalah aktual atau potensial atau diagnosis sejahtera yang mengacu pada NANDA (The North American Nursing Diagnosis Association) 2012-2014.
Menegakkan
diagnosa
dilakukan
dua
hal,
yaitu
analisis
data
yang
mengelompokkan data subjektif dan objektif, kemudian dibandingkan dengan standar normal sehingga didapatkan masalah keperawatan. Perumusan diagnosis keperawatan, komponen rumusan diagnosis keperawatan meliputi: Masalah (problem) adalah suatu pernyataan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang dialami oleh keluarga atau anggota keluarga. Penyebab (etiologi) adalah kumpulan data subjektif dan objektif. Tanda (sign) adalah sekumpulan data
Universitas Indonesia
53
subjektif dan objektif yang diperoleh perawat dari keluarga secara langsung atau tidak langsung atau tidak yang emndukung masalah dan penyebab.
2.6.3 Menentukan Prioritas Masalah Keperawatan Keluarga Tabel 2.3 Cara Membuat Skor Penentuan Prioritas Masalah Keperawatan Keluarga (Friedman, 2003) No Kriteria 1 Sifat masalah Aktual (Tidak/kurang sehat) Ancaman kesehatan Keadaan sejahtera 2
3
4
Skor
Bobot
3 2 1
1
Kemungkinan masalah dapat diubah Mudah Sebagian Tidak dapat
2 1 0
2
Potensi masalah untuk dicegah Tinggi Sedang Rendah
3 2 1
1
Menonjolnya masalah 2 Masalah berat, harus segera ditangani Ada masalah, tetapi tidak perlu segera 1 ditangani 0 Masalah tidak dirasakan
1
Skoring :
Skor
x Bobot
Angka tertinggi
Catatan : Skor dihitung bersama dengan keluarga
Faktor yang dapat mempengaruhi penentuan prioritas 2.6.3.1 Kriteria 1: Sifat masalah ; bobot yang lebih berat diberikan pada tidak/kurang sehat karena yang pertama memerlukan tindakan segera dan biasanya disadari dan dirasakan oleh keluarga.
Universitas Indonesia
54
2.6.3.2 Kriteria 2: Kemungkinan masalah dapat diubah, perawat perlu memperhatikan terjangkaunya faktor-faktor sebagai berikut : Pengetahuan yang ada sekarang, teknologi dan tindakan untuk menangani masalah, Sumber daya keluarga dalam bentuk fisik, keuangan dan tenaga, Sumber daya perawat dalam bentuk pengetahuan, keterampilan dan waktu, Sumber daya masyarakat dalam bentuk fasilitas, organisasi dalam masyarakat dan dukungan masyarakat.
2.6.3.3 Kriteria 3: Potensi masalah dapat dicegah, faktor-faktor yang perlu diperhatikan : Kepelikan dari masalah yang berhubungan dengan penyakit atau masalah, lamanya masalah, yang berhubungan dengan jangka waktu masalah itu ada, tindakan yang sedang dijalankan adalah tindakan-tindakan yang tepat dalam memperbaiki masalah, adanya kelompok ‘high risk” atau kelompok yang sangat peka menambah potensi untuk mencegah masalah.
2.6.3.4 Kriteria 4: Menonjolnya masalah, perawat perlu menilai persepsi atau bagaimana keluarga melihat masalah kesehatan tersebut. Nilai skor tertinggi yang terlebih dahulu dilakukan intervensi keperawatan keluarga.
2.6.4
Perencanaan Keperawatan keluarga
Perencanaan keperawatan keluarga terdiri dari penetapan tujuan, yang mencakup tujuan umum dan tujuan khusus serta dilengkapi dengan kriteria dan standar. Kriteria dan standar merupakan pernyataan spesifik tentang hasil yang diharapkan dari setiap tindakan keperawatan berdasarkan tujuan khusus yang ditetapkan (Friedman, 2003). Penyusunan rencana perawatan dilakukan dalam 2 tahap yaitu pemenuhan skala prioritas dan rencana perawatan (Suprajitmo, 2004).
Langkah pertama yang dilakukan adalah merumuskan tujuan keperawatan. Tujuan dirumuskan untuk mengetahui atau mengatasi serta meminimalkan stressor dan intervensi dirancang berdasarkan tiga tingkat pencegahan. Pencegahan primer untuk memperkuat garis pertahanan fleksibel, pencegahan sekunder untuk memperkuat
garis pertahanan sekunder, dan pencegahan tersier untuk
memperkuat garis pertahanan tersier (Anderson & Fallune, 2000).
Universitas Indonesia
55
Tujuan terdiri dari tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang mengacu pada bagaimana mengatasi problem/masalah (P) di keluarga, sedangkan penetapan tujuan jangka pendek mengacu pada bagaimana mengatasi etiologi yang berorientasi pada lima tugas keluarga.
2.6.5 Implementasi Tindakan yang dilakukan oleh perawat kepada keluarga berdasarkan perencanaan mengenai diagnosis yang telah dibuat sebelumnya. Tindakan keperawatan terhadap keluarga mencakup lima tugas kesehatan keluarga menurut Friedman, 2003), yaitu:
2.6.5.1 Menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah dan kebutuhan kesehatan dengan cara memberikan informasi, mengidentifikasi kebutuhan dan harapan tentang kesehatan dan endorong sikap emosi yang sehat terhadap masalah.
2.6.5.2 Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat dengan
cara
mengidentifikasi
konsekwensi
tidak
melakukan
tindakan,
mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga, mendiskusikan tentang konsekwensi tiap tindakan.
2.6.5.3 Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang sakit dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan, menggunakan alat dan fasilitas yang ada di rumah, mengawasi keluarga melakukan perawatan.
2.6.5.4 Membantu keluarga untuk menemukan cara bagaimana membuat lingkungan menjadi sehat, dengan cara menemukan sumber-sumber yang dapat digunakan keluarga, melakukan perubahan lingkungan dengan seoptimal mungkin.
Universitas Indonesia
56
2.6.5.5 Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada dengan cara memperkenalkan fasilitas kesehatan yang ada di lingkungan keluarga dan membantu keluarga menggunakan fasilitas kesehatan yang ada.
Pelaksanaan dilaksanakan berdasarkan pada rencana yang telah disusun. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tindakan keperawatan terhadap keluarga yaitu sumber daya keluarga, tingkat pendidikan keluarga, adat istiadat yang berlaku, respon dan penerimaan keluarga dan sarana dan prasarana yang ada pada keluarga.
2.6.6
Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan membandingkan antara hasil implementasi dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Kerangka kerja evaluasi sudah terkandung dalam rencana perawatan jika secara jelas telah digambarkan tujuan perilaku yang spesifik maka hal ini dapat berfungsi sebagai kriteria evaluasi bagi tingkat aktivitas yang telah dicapai Evaluasi disusun dengan menggunakan SOAP secara operasional. Tahapan evaluasi dapat dilakukan secara formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilakukan selama proses asuhan keperawatan, sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir. (Friedman,2003).
Evaluasi
disusun
menggunakan
SOAP
dimana:
(Suprajitno,2004)
S : ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subyektif oleh keluarga setelah diberikan implementasi keperawatan. O : keadaan obyektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan yang obyektif. A : merupakan analisis perawat setelah mengetahui respon subyektif dan obyektif. P : perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis
2.7 Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas Diagnosis keperawatan berikut merupakan kondisi yang berupa masalah –masalah aktual atau potensial atau diagnosis sejahtera yang mengacu pada NANDA (The
Universitas Indonesia
57
North American Nursing Diagnosis Association) 2012-2014. Salah satu diagnosis keperawatannya yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas.
2.7.1
Definisinya adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi/ obstruksi dan saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas.
2.7.2
Batasan Karaktersitik terdiri dari subyektif yaitu dispnea dan obyektif yaitu tidak ada batuk, suara napas tambahan (misalnya rale, crackle, ronchi dan mengi), perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan, batuk yang tidak ada atau tidak efektif, sianosis, kesulitan untuk berbicara, penurunan suara napas, ortopnea, sputum berlebihan, gelisah dan mata terbelalak.
2.7.3
Faktor yang berhubungan terdiri dari lingkungan yaitu merokok, menghirup asap rokok, dan perokok pasif. Obstruksi jalan napas yaitu spasme jalan napas, retensi sekret, mukus berlebih, adanya jalan napas buatan, terdapat benda asing dijalan napas, sekret di bronki dan eksudat di alveoli. Fisiologis yaitu disfungsi neuromuskular, hiperplasia dinding bronkial, PPOK (penyakit Paru Obstruktif Kronis), infeksi, asma, jalan napas alergik (trauma)
2.8 Inhalasi Sederhana Inhalasi sederhana adalah menghirup uap hangat dari air mendidih telah ditetesi minyak penghangat, misalnya minyak kayu putih (Akhavani, 2005). Inhalasi merupakan salah satu cara yang diperkenalkan dalam penggunaan metode terapi yang paling sederhana dan cepat. Inhalasi aman untuk segala usia, para ahli paru anak sangat menganjurkan inhalasi sebagai pengobatan yang berhubungan dengan paru. Inhalasi sederhana bermanfaat mulai dari flu ringan yang baru saja terjadi, batuk berdahak, paru-paru basah, batuk berdahak berat dan lama, batuk kronis atau batuk yang berulang-ulang.
Terapi
inhalasi
biasanya
ditujukan
umtuk
mengatasi
bronkospasme,
mengencerkan sputum, menurunkan hipereaktivitas bronkus serta mengatasi Universitas Indonesia
58
infeksi. Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), tuberkulosis, fibrosis kistik, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket, pasien sesak nafas dan batuk. Kontraindikasi mutlak pada inhalasi tidak ada. Indikasi relatif pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan (Rasmin dkk, 2001).
Inhalasi juga tidak memiliki efek negatifnya serta boleh dilakukan sekali pun orang tersebut mempunyai alergi terhadap sesuatu, karena bekerja langsung pada sumber pernapasan yaitu paru-paru (Karnaen, 2011). Cara kerja inhalasi sederhana ini adalah uap masuk dari luar tubuh ke dalam tubuh, dengan mudah akan melewati paru-paru dan dialirkan ke pembuluh darah melalui alveoli (Buckle, 1999 dalam Nuraeni 2012).
Teknik pemberian inhalasi sederhana yang diambil dari beberapa literatur yaitu terlebih dahulu membuat corong dari sebuah kertas yang digulung, adalah cara yang baik untuk menghirup uap dari mangkuk. kemudian menempatkan air mendidih dengan suhu 42oC -44oC dalam mangkuk, dihirup selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari dan minyak kayu putih ditambahkan ke air panas tersebut untuk meningkatkan efektifitas (Wong, 2008)
Penelitian yang dilakukan Singh (2004) bertujuan untuk menilai efek dari menghirup uap air panas dengan bantuan sebuah alat yang dirancang untuk memberikan uap air panas ke rongga hidung. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian inhalasi sederhana dapat menghilangkan gejala terutama pada gejala flu biasa.
Berbeda dengan penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa inhalasi sederhana efektif, akan tetapi penelitian lain terkait pemberian inhalasi sederhana diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Handley, Abbott, Beasley dan Gwaltney ( dalam Nuraeni, 2012) tujuan penelitian ini adalah pemberian inhalasi sederhana atau ihalasi uap melalui hidung yang diususlkan sebagai pengobatan pilek yang disebabkan oleh virus dengan asumsi bahwa adanya peningkatan suhu
Universitas Indonesia
59
intranasal akan menghambat replikasi rhinovirus. desain penelitian menggunakan randomized controlled trial, dan jumlah responden dalam penelitian ini adalah 20 peserta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian inhalasi uap melalui hidung tidak berpengaruh pada pelepasan virus yang dilakukan pada kelompok intervensi. Hal ini juga didukung oleh penyataan Karnaen (2011) bahwa penguapan secara tradisional atau inhalasi sederhana ini hanya berfungsi untuk melonggarkan saluran napas, bukan untuk mengeluarkan lendir, karena bahanbahan dalam minyak kayu putih yang terhirup melalui uap air panas itu tidak mengandung zat penghancur lendir, sehingga tindakan inhalasi terbukti kurang efektif untuk mengeluarkan dahak sehingga bersihan jalan napas menjadi efektif, sehingga tindakan inhalasi sederhana dikombinasikan dengan batuk efektif.
2.9 Batuk Efektif Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal, sehingga mukus ini banyak tertimbun dan bersihan jalan nafas akan tidak efektif. Dampak dari pengeluaran dahak yang tidak lancar akibat ketidakefektifan jalan nafas adalah penderita mengalami kesulitan bernafas dan gangguan pertukaran gas di dalam paru paru yang mengakibatkan timbulnya sianosis, kelelahan, apatis serta merasa lemah. Tahap selanjutnya akan mengalami penyempitan jalan nafas sehingga terjadi perlengketan jalan nafas dan terjadi obstruksi jalan nafas (Nugroho, 2011), bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang, dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intrathorakal dan intra abdominal yang tinggi. Untuk itu perlu bantuan untuk mengeluarkan dahak yang lengket sehingga dapat bersihan jalan nafas kembali efektif. Udara keluar dengan akselerasi yang cepat beserta membawa sekret mukus yang tertimbun setelah dibatukkan,. Mukus tersebut akan keluar sebagai dahak (Prince, 2000).
Batuk efektif adalah tindakan yang diperlukan untuk membersihkan dahak (Hudak & Gallo, 2000). Batuk efektif ini juga merupakan bagian tindakan keperawatan untuk pasien dengan gangguan penapasan akut dan kronis (Kisner &
Universitas Indonesia
60
Colby, 1999 dalam Nugroho 2011). Batuk efektif yang baik dan benar dapat mempercepat pengeluaran dahak pada pasien dengan gangguan saluran pernafasan. Perawat diharapkan dapat melatih pasien dengan batuk efektif sehingga pasien dapat mengerti pentingnya batuk efektif untuk mengeluarkan dahak.
Indikasi batuk efektif adalah pada pasien seperti bronkitis kronik, asma, TB paru, pneumonia dan emfisema. Kontraindikasi batuk efektif adalah tension pneumotoraks, hemoptisis, gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipotensi, hipertensi, infark miokard akut infark dan aritmia, edema paru dan efusi yang luas (Wilson, 2006).
Teknik batuk efektif merupakan tindakan yang dilakukan untuk membersihkan sekresi dari saluran nafas. Tujuan dari batuk efektif adalah untuk meningkatkan ekpansi paru, mobilisasi sekresi dan mencegah efek samping dari retensi sekresi seperti pneumonia, atelektasis, dan demam. dengan batuk efektif penderita tuberkulosis paru tidak harus mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan sekret (Subrata, 2006). Caranya adalah sebelum dibatukkan, klien dianjurkan untuk minum air hangat dengan rasionalisasi untuk mengencerkan dahak, setelah itu dianjurkan untuk inspirasi dalam. hal ini dilakukan selama dua kali, kemudian setelah inspirasi yang ketiga, anjurkan klien untuk membatukkan dengan kuat (Depkes, 2007).
Hasil penelitian Nugroho (2011) pengaruh batuk efektif terhadap pengeluaran dahak pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas sehingga uji pengaruh menggunakan uji Wilcoxon untuk melihat kemaknaan pengaruh batuk efektif dengan α = 0,05 didapatkan p=0,003 (p<0,05) berarti bahwa berarti ada pengaruh sebelum dan sesudah perlakuan batuk efektif. Tindakan batuk efektif terbukti efektif dan dapat memberikan perubahan pada pengeluaran dahak seseorang, karena dengan batuk efektif bisa mengeluarkan dahak dengan maksimal dan banyak serta dapat membersihkan saluran pernapsan yang sebelumnya terhalang oleh dahak, sehingga dapat disimpulkan bahwa pengeluaran
Universitas Indonesia
61
dahak dapat dilakukan dengan membatuk. Pengeluaran dahak dengan membatuk akan lebih mudah dan efektif bila diberikan penguapan. Penggunaan penguapan untuk mengencerkan dahak tergantung dari kekuatan pasien untuk membatuk sehingga mendorong lendir keluar dari saluran pernapasan dan seseorang akan merasa lendir atau dahak di sauran napas hilang dan jalan nafas akan kembali normal.
.
Universitas Indonesia
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA Penjelasan
bab
ini
mengenai
asuhan
keperawatan
keluarga
dengan
ketidakefektifan bersihan jalan napas pada TB paru lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Asuhan keperawatan keluarga ini terdiri dari pengkajian, intervensi keperawatan, implementasi, evaluasi dan tingkat kemandirian.
3.1
Pengkajian
Keluarga kakek A (70 tahun) tinggal di Gg Masjid, RT 06/ RW 01 Cisalak Pasar, yang merupakan pensiunan karyawan swasta dan memiliki pendidikan terakhir SMA. Keluarga kakek A merupakan keluarga dengan tipe keluarga extended family yang terdiri dari kakek A (70 th) sebagai kepala keluarga, nenek I (69 th) sebagai istri dan ibu rumah tangga, bapak F (35th) yang merupakan anak kandung serta ibu A (30 thn) yang merupakan menantu dan istri dari bapak F yang saat ini telah hamil 30 minggu (G1P0A0) yang tinggal serumah. Anak-anak Kakek A yang lainnya ada yang tinggal di samping rumah kakek A dan ada juga yang tinggal di daerah Jakarta. Kakek A memiliki enam orang cucu.
Kakek A merupakan campuran dari suku Sunda dan suku Betawi karena mengikuti kedua orang tuanya. Nenek I berasal dari Banten yaitu suku Sunda. Keduanya sudah berdomisili di Depok sekitar 8 tahun. Komunikasi antara kakek A dan nenek I menggunakan bahasa Indonesia, begitupun berkomunikasi dengan bapak F dan ibu A juga menggunakan bahasa Indonesia. Suku tidak mempengaruhi pola makan keluarga karena keluarga lebih sering masak sendiri.
Keluarga kakek A menganut agama Islam. Keluarga menjalankan ibadah sholat, puasa, dan ibadah lainnya. Keluarga kakek A merupakan keluarga dengan status sosial ekonomi kelas menengah. Rumah yang ditempati keluarga kakek A adalah rumah milik sendiri yang sudah ditempati kurang lebih delapan tahun. Rumah kakek A adalah tipe permanen dua lanai dengan tembok dari batu bata dan atap dari genteng. Perabotan rumah tangga kakek A lengkap, mempunyai satu buah
62
Universitas Indonesia
63
motor dan mushola yang dibangun di samping rumah kakek A, namun tidak memiliki asuransi kesehatan semenjak kantor tempat dulu bekerja bangkrut, akan tetapi saat ini sedang mengurus jamkesmas. Kakek A tidak memiliki penghasilan. Keluarga kakek A jarang pergi berekreasi bersama. Waktu luang biasanya digunakan dengan mengobrol bersama di rumah sambil menonton televisi.
Hasil wawancara didapatkan bahwa kakek A mengatakan sesak sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu, mengatakan sesekali batuk yang paling sering dimalam hari dan mengeluarkan dahak berwarna putih, jumlahnya sedikit, tidak bau dan sulit mengeluarkan dahak. Kakek A mengatakan pernah memeriksakan dahaknya di puskesmas Cimanggis pada Desember 2012 dan hasilnya BTA positif tetapi tidak menjalani pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sebelumnya mengeluh batuk-batuk lebih dari 3 minggu. Riwayat merokok + 15 tahun dan menghabiskan 2 bungkus rokok sehari, saat ini sudah tidak merokok sejak 3 bulan yang lalu. Kakek A mengatakan ibu kakek A meninggal pada usia 50 tahun meninggal karena TB Paru dan saudara pertama dari kakek A meninggal pada usia 65 tahun karena TB Paru juga. Tidak ada riwayat alergi, tidak ada riwayat asma. Saat batuk-batuk lebih dari 3 minggu dan BTA positif klien hanya berobat ke dokter praktik dan mendapatkan obat sanbutamol dan tyrosol yang diminum 3 × 1/ hari. Saat ini kakek A mengkonsumsi sanbutamol dan tyrosol tanpa resep dokter dan ketika habis obat tersebut beli di apotik terdekat, ketika meminum obat tersebut Kakek A merasa mendingan dan sesak berkurang. Kakek A menganggap dirinya menderita asma.
Kakek A mengatakan malas berobat ke puskesmas dikarenakan malas mengantri. Saat ini yang dikeluhkan adalah sesak dan cepat lelah ketika beraktivitas dan merasa nyeri dada. Ketika batuk kakek A membuang dahak di kamar mandi dan saluran pipa yang langsung mengarah ke selokan rumah. Terkadang berkeringat pada saat malam hari pada saat merasa panas dan menggunakan kipas angin. Saat batuk/ bersin kakek A tidak menutup mulut hanya memalingkan muka kesamping atau menundukkan kepala. Saat berinteraksi dengan anggota keluarga termasuk cucunya kakek A tidak menggunakan masker.
Universitas Indonesia
64
Pola konsumsi kakek A diakui oleh nenek I tidak mengalami perubahan nafsu makan bahkan biasa-biasa saja, sehari kakek A makan 3 kali sehari yaitu saat pagi, siang dan malam atau menjelang magrib. BB sebelumnya 55 Kg. Nenek I mengaku untuk lauk pauk dan sayur mayur yang dimasak disesuaikan dengan uang yang dipunya saat itu. alat-alat makan/ minum kakek A belum dipisahkan, sedangkan untuk aktivitas sehari-hari kakek A mengatakan jarang berolahraga dilakukan karena cepat lelah ketika beraktivitas dan hanya berjalan-jalan disekitar rumah. Kakek A mengatakan sering tidur saat siang hari sekitar 1 – 2 jam, waktu tidur malam kakek A yaitu saat jam 8 atau jam 9. Kakek A tidak mengalami kesulitan untuk memulai tidur. Posisi tidur telungkup dengan kepala menyamping menggunakan bantal 1. ketika tidur telentang menjadi lebih sesak. Kakek A mengatakan hanya diam ketika sesak. Kakek A mengatakan terkadang membuka jendela dan pintu dipagi hari. Kakek A lebih menyukai berada di rumah lantai 2. Keluarga juga mengatakan pernah menjemur kasur dan karpet, namun jarangjarang. Kakek A mengetahui TB dan tanda dan gejala penderita TB sehingga merasa khawatir akan tanda-tanda TB pada dirinya. Sebelumnya kakek A sudah mengikuti penyuluhan TB sebanyak 2 kali yang diadakan mahasiswa residen dan mahasiswa profesi.
Hasil pemeriksaan TTV didapatkan TD: 120/ 80 mmHg, RR 28 kali, N: 85×/ menit, S: 36,5 oC. Hasil pemeriksaan fisik paru, saat inspeksi ditemukan adanya retraksi dinding dada dan penggunaan otot bantu pernafasan, dada simetris, napas pendek. Auskultasi didapatkan suara nafas ronchi basah kasar di semua area paru. dan suara napas ronchi sangat terdengar jelas tanpa menggunakan stetoskop. Dari hasil penimbangan berat badan (BB) dan pengukuran tinggi badan (TB) didapatkan BB 52 kg, TB: 160cm. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks pada tanggal 02 Juli 2012 di RS Centra Medika didapatkan hasil: sinus difragma kiri normal, sinus kanan tumpul jantung CTR < 50% ; aorta normal, paru: hili dan corakan bronkhovaskuler normal, tak tampak infiltrat, kavitas atau lesi patologis lain, kesan: tak tampak pneumonia/ kelainan lain parenkim, kedua paru suspek
Universitas Indonesia
65
pleuritis dextra, jantung normal. Berdasarkan hasil observasi kakek A juga belum menerapkan etika batuk yang baik dan benar. Hasil pemeriksaan dahak pada Senin, 03 Juni 2013 di Puskesmas Cimanggis didapatkan hasil BTA Negatif.
Hasil observasi memperlihatkan kondisi rumah keluarga Kakek A gelap, barangbarang kurang tertata rapi, pencahayaan kurang baik karena ada bagian rumah yang gelap dan masih disinari lampu pada siang hari, pengap dan lembab tetapi tidak tampak berdebu. Ventilasi rumah cukup, jendela rumah hanya di bagian ruang tamu, setiap kamar dan ruang tengah dan di belakang Tidak terlihat adanya sampah yang berserakan baik di dalam ataupun sekitar rumah. Halaman rumah Kakek A terlihat kotor dan banyak jentik nyamuk digenangan air depan rumah dan dikolam ikan.
3.2 Diagnosis Keperawatan Diagnosis keperawatan yang muncul adalah Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A. Data-data yang sudah didapatkan pada saat pengkajian kemudian akan dianalisis yang mengelompokkan data subjektif dan objektif, kemudian dibandingkan dengan standar normal sehingga didapatkan diagnosis keperawatan.
Data Subyektif didapatkan yaitu riwayat meninggal akibat TB Paru pada Ibu dari kakek A pada usia 50 tahun dan kakak pertama kakek A pada usia 65 tahun, sesak kakek A sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu, sesekali batuk, biasanya dimalam hari dan mengeluarkan dahak berwarna putih, jumlah sedikit, tidak bau, sulit mengeluarkan dahak. Kakek A mengatakan pernah memeriksakan dahaknya di Puskesmas Cimanggis pada Desember 2012 dan hasilnya BTA positif tetapi tidak menjalani pengobatan sebelumnya mengeluh batuk-batuk lebih dari 3 minggu. Tidak ada riwayat alergi, tidak ada riwayat asma. Riwayat merokok + 15 tahun dan menghabiskan 2 bungkus rokok sehari, saat ini sudah tidak merokok sejak 3 bulan yang lalu. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu berobat ke dokter praktik dan mendapatkan obat sanbutamol dan tyrosol yang diminum 3 × 1/ hari. Ketika tidur telentang menjadi lebih sesak. Posisi tidur miring dengan menggunakan satu bantal, hanya diam ketika sesak. Keluarga juga mengatakan pernah menjemur
Universitas Indonesia
66
kasur dan karpet, namun jarang-jarang dan setiap pagi membuka jendela dan pintu. Kakek A lebih menyukai berada di rumah lantai 2 karena sinar matahari bisa masuk dan lebih suka tiduran di depan pintu karena udara yang masuk banyak. Kakek A mengetahui TB dan tanda dan gejala penderita TB sehingga merasa khawatir akan tanda-tanda TB pada dirinya. Sebelumnya kakek A sudah mengikuti penyuluhan TB sebanyak 2 kali yang diadakan mahasiswa residen dan mahasiswa profesi.
Data obyektif yang didapatkan yaitu berdasarkan hasil pemeriksaan tanda-tanda vital TD: 110/70 mmHg, nadi: 82 x/menit, suhu: Afebris 36,5oC, RR: 28 x/menit, CRT < 2 detik. BB : 55 kg TB : 160 cm IMT : 21,5 (normal). Hasil pemeriksaan fisik paru pada saat inspeksi dada tampak simetris, tidak ada pembengkakan, tidak terdapat lesi, terdapat penggunaan otot bantu napas, terdapat retraksi dinding dada. Hasil auskultasi paru didapatkan bunyi napas ronchi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi tanpa auskultasi, tidak terdapat wheezing. Hasil palpasi didaptkan tactile fremitus dan saat perkusi terdengar sonor. Hasil pemeriksaan rontgen thoraks (02 Juli 2012 di RS Centra Medika) didapatkan hasil: sinus difragma kiri normal, sinus kanan tumpul. Jantung CTR < 50% ; aorta normal, paru: hili dan corakan bronkhovaskuler normal, tak tampak infiltrat, kavitas atau lesi patologis lain, kesan: tak tampak pneumonia/ kelainan lain parenkim, kedua paru suspek pleuritis dextra, jantung normal. Hasil pemeriksaan dahak BTA Negatif (pemeriksaan di PKM Cimanggis, 03 Juni 2013). Hasil observasi kondisi rumah keluarga kakek A gelap, barang-barang kurang tertata rapi, pencahayaan kurang baik karena ada bagian rumah yang gelap dan masih disinari lampu pada siang hari, pengap dan lembab tetapi tidak tampak berdebu. Ventilasi rumah cukup, jendela rumah hanya di bagian ruang tamu, setiap kamar dan ruang tengah dan di belakang Tidak terlihat adanya sampah yang berserakan baik di dalam ataupun sekitar rumah. Halaman rumah kakek A terlihat kotor dan banyak jentik nyamuk digenangan air depan rumah dan dikolam ikan.
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan Diagnosis keperawatan: ketidakefektifan bersihan jalan napas pada kakek A
Universitas Indonesia
67
Definisinya adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi/ obstruksi dan saluran napas untuk mempertahankan bersihan jalan napas.
Tujuan Umum: Setelah dilakukan pertemuan sebanyak 4 kali kunjungan selama 45 menit, bersihan jalan napas pada kakek A kembali efektif dan adekuat.
Tujuan Khusus: Setelah dilakukan pertemuan sebanyak kali 4x45 menit, keluarga mampu: TUK 1: Keluarga kakek A diharapkan mampu mengenal TB paru dengan menyebutkan pengertian TB paru yaitu salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling banyak menyerang di daerah paru-paru; Penyebab TB paru yaitu adalah kuman mycobacterium tuberculosis; penyebaran TB paru yaitu melalui percikan dahak/bersin yang terhirup oleh orang lain; tanda-tanda TB paru yakni batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu, demam/meriang lebih dari sebulan, nafsu makan dan BB menurun, mudah lelah, nyeri dada dan sesak nafas, serta batuk berdahak disertai darah. Keluarga kakek A diharapkan mampu mengidentifikasi anggota keluarga yang menderita TB paru.
TUK 2: Keluarga kakek A diharapkan mampu mengambil keputusan dalam merawat anggota keluarga dengan masalah kesehatan TB paru, dengan menyebutkan akibat TB paru jika tidak diobati yaitu kematian, tidak dapat sembuh, menular pada orang lain; Menyebutkan akibat TB paru jika putus obat antituberculosis yaitu penyakit lebih sukar sembuh, kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak, butuh biaya lebih besar, waktu pengobatan menjadi lebih lama. Keluarga kakek A diharapkan mampu mengambil keputusan untuk mengatasi masalah kesehatan TB paru yang dialami anggota keluarga.
TUK 3: Keluarga kakek A diharapkan mampu mencegah TB paru yaitu menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker, tidak meludah
Universitas Indonesia
68
atau membuang dahak disembarang tempat, makan-makanan yang bergizi, imunisasi BCG pada bayi, buka jendela agar sinar matahasri masuk, jemur kasur paling sedikit seminggu sekali. Mampu merawat
anggota keluarga dengan
masalah kesehatan TB paru, dengan Menjelaskan cara merawat anggota keluarga dengan penyakit TB paru yaitu melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak dan inhalasi sederhana. Mendemontrasikan cara melakukan tekhnik batuk efektif dan etika batuk serta inhalasi sederhana.
TUK 4: Keluarga Kakek A diharapkan mampu memodifikasi lingkungan yang sesuai untuk penderita TB paru, dengan cara membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk, menjemur kasur tiap minggu, membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan, tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota keluarga.
TUK 5: Keluarga kakek A diharapkan mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada dimasyarakat dengan menyebutkan manfaat fasilitas kesehatan yakni mendapatkan perawatan secara langsung, memperoleh informasi tentang cara perawatan dirumah, mendapatkan terapi pengobatan; Menyebutkan jenis fasilitas kesehatan yakni Puskesmas, Rumah sakit, Klinik dokter. Keluarga kakek A mengunjungi pelayanan kesehatan untuk pemeriksaan dan pengobatan penyakit TB paru.
3.4 Implementasi Keperawatan Implementasi yang dilakukan oleh perawat kepada keluarga berdasarkan perencanaan mengenai diagnosis yang telah dibuat sebelumnya. Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada kakek A sesuai dengan asuhan keperawatan keluarga.
Sebelum melakukan kontrak dengan keluarga, mahasiswa mengucapkan salam, menyampaikan tujuan/maksud kedatangan, memvalidasi keadaan keluarga dan membuat kontrak dengan keluarga. TUK 1: Selama 1x45 menit, menggunakan lembar balik dan memberikan leaflet setelah diberikan pendidikan kesehatan
Universitas Indonesia
69
mengenai TB paru, implementasi yang dilakukan adalah mendiskusikan bersama keluarga apa yang sudah diketahui keluarga mengenai pengertian TB paru, mendiskusikan dengan keluarga tentang pengertian TB paru merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling banyak menyerang di daerah paru-paru, mendiskusikan dengan keluarga tentang penyebab TB paru yaitu kuman mycobacterium tuberculosis dan tertular penderita lain melalui percikan dahak/bersin yang terhirup oleh orang lain. Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali penyebab TB paru. Mendiskusikan dengan keluarga tentang tanda dan gejala TB paru yaitu batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu, demam/meriang lebih dari sebulan, nafsu makan dan BB menurun, mudah lelah, nyeri dada, sesak nafas, batuk berdahak disertai darah, mendorong keluarga untuk mengidentifikasi penyebab TB paru pada kakek A. Membantu keluarga membandingkan apa yang telah dijelaskan dengan kondisi kakek A. Memberikan positive reinforcement atas usaha yang dilakukan keluarga.
TUK 2: Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika tidak diobati yaitu tidak dapat sembuh, menular pada orang lain dan kematian. Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika putus obat yaitu penyakit lebih sukar sembuh, kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak, butuh biaya lebih besar dan waktu pengobatan menjadi lebih lama. Mendiskusikan kembali dengan keluarga untuk merawat anggota keluarga yang TB paru. Memberikan positive reinforcement atas jawaban keluarga dan keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan TB paru.
TUK 3: Menjelaskan kepada keluarga tentang cara pencegahan TB paru yaitu menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker, tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat, makan-makanan yang bergizi, imunisasi BCG pada bayi, buka jendela agar sinar matahasri masuk, jemur kasur paling sedikit seminggu sekali. Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas. Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB paru di rumah. Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga
Universitas Indonesia
70
menjelaskan cara perawatan TB paru. Mendiskusikan bersama keluarga
cara
perawatan TB Paru yaitu melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak dengan menggunakan alat tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue, dengan cara posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut. Cara perawatan selanjutnya yaitu berikan inhalasi sederhana (pelega tenggorokan dan pernapasan) dengan menggunakan air panas dalam baskom dan menthol 3-5 tetes (minyak kayu putih). bentuk karton menjadi corong sehingga bagian atas mengerucut dan menutupi bagian mulut dan hidung , bagian bawah karton menutupi waskom, hirup uapnya melalui hidung. Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas. Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB paru di rumah. Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga menjelaskan cara perawatan TB paru. Mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan batuk efektif. Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas. Memotivasi keluarga untuk mendemontrasikan cara inhalasi sederhana dan batuk efektif selama delapan kali pertemuan, masing-masing empat puluh lima menit setiap kali pertemuan. Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga mendemontrasikan cara perawatan TB paru. Mengevaluasi perasaan yang dirasakan setelah dilakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif yang merupakan intervensi unggulan.
TUK 4: Mendiskusikan cara memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru. Menjelaskan kepada keluarga tentang cara memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru dengan menggunakan lembar balik yaitu membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk, menjemur kasur tiap minggu, membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan dan tidak berganti-ganti alat makan
Universitas Indonesia
71
dengan anggota keluarga. Memotivasi keluarga untuk menjelaskan kembali cara memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru. Menanyakan kepada keluarga tentang materi yang belum dimengerti. Menjelaskan kepada keluarga mengenai materi yang belum dimengerti. Memberikan positive reinforcement terhadap kemampuan yang dicapai oleh keluarga
TUK 5: Mengkaji pengetahuan keluarga tentang fasilitas dan manfaat fasilitas pelayanan kesehatan. Mendiskusikan bersama dengan keluarga tentang jenis-jenis fasilitas kesehatan yang dapat digunakan, yaitu Puskesmas, Rumah Sakit, Dokter praktik, Posbindu, Praktik perawat. Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali jenis-jenis fasilitas kesehatan yang dapat digunakan. Mendiskusikan bersama keluarga tentang manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu sebagai sarana untuk pemeriksaan, perawatan/pengobatan TB paru, sebagai sarana untuk mendapatkan informasi yang akurat dan tepat untuk mengatasi masalah TB paru. Memotivasi keluarga untuk membawa anggota keluarga yang sakit ke pelayanan kesehatan. Memberikan positive reinforcement bahwa kakek A ke fasilitas kesehatan apabila masalah TB paru tidak dapat ditangani dengan perawatan di rumah.
3.5 Evaluasi Evaluasi yang merupakan kegiatan membandingkan antara hasil implementasi untuk mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada kakek A dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya.
3.5.1
Subyektif
Kakek A dan nenek I menjawab salam dan menyetujui kunjungan saat ini selama 45 menit untuk membahas masalah TB paru. Kakek A mengatakan masih merasa sesak napas. Kakek A mengatakan bahwa TB paru merupakan penyakit plek paru yang menular, penyebab TB paru adalah kuman TB, tanda dan gejala TB paru adalah batuk lama, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan menurun dan suka berkeringat jika malam hari. Kakek A mengatakan bahwa dirinya mengalami TB paru. Kakek A mengatakan bahwa akibat jika TB paru tidak ditangani adalah
Universitas Indonesia
72
kematian dan penyakit tidak dapat sembuh, akibat penderita TB paru jika putus obat yaitu mengakibatkan pengobatan yang semakin lama, biaya semakin banyak, cara mencegah TB paru dengan menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker, tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat dan buka jendela agar sinar matahari masuk. Nenek I mengatakan akan merawat anggota keluarga dengan TB paru dan mengatakan cara merawat anggota keluarga dengan TB paru adalah batuk efektif dan inhalasi sederhana. Kakek A mengatakan Alat untuk batuk efektif yaitu tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue. Caranya yaitu posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut. Kakek A mengatakan cara inhalasi sederhana dengan menghirup uap air panas yang ditetesi minyak kayu putih. Kakek A mengatakan cara modifikasi lingkungan dengan membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk dan membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan dan mengatakan akan memodifikasi lingkungan sesuai dengan standar askep yang sudah diajarkan. Kakek A mengatakan jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan, seperti puskesmas, RS, dan praktik mantri, manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu untuk pemeriksaan dan mendapatkan obat untuk batuk pilek dan akan berkunjung ke pelayanan kesehatan untuk berobat. Setelah diberikan inhalasi sederhana dan batuk efektif, Kakek A mengatakan sesak sedikit berkurang, napas sedikit lega. dahak menjadi encer dan mudah keluar, mengatakan batuk sesekali.
3.5.2
Obyektif
Kakek A mampu menjawab pengertian TB paru sesuai standar, mampu menjawab 1 dari 2 penyebab TB paru, mampu menjawab 5 dari 7 tanda dan gejala TB paru, mampu menjawab 2 dari 3 akibat jika TB paru yang tidak diobati, mampu
Universitas Indonesia
73
menjawab 2 dari 4 akibat jika penderita TB paru putus obat, mampu menjawab 3 dari 6 cara mencegah TB paru, mampu menjawab menyebutkan 2 dari 2 cara merawat anggota keluarga dengan TB paru. Kakek A dapat mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan batuk efektif,
mampu menjawab 2 dari 4 cara
memodifikasi lingkungan untuk anggota keluarga yang mengalami TB paru, mampu menjawab 3 dari 5 jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan dan mampu menjawab 2 dari 3 manfaat fasilitas pelayanan kesehatan. Setelah dilakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif didapatkan TTV : TD: 110/70 mmHg, Nadi: 80 x/menit, Suhu: 36,5oC, RR: 23 x/menit. Pemeriksaan paru: Inspeksi: simetris, pembengkakan (-), otot bantu napas (-), retraksi dinding dada (-), lesi (-) Auskultasi: ronchi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi tanpa auskultasi, wheezing -/- Palpasi: tactile fremitus Perkusi: sonor.
3.5.3
Analisis
Keluarga telah dapat mengenal masalah kesehatan pada anggota keluarga, telah menyatakan kesediaan untuk merawat, telah dapat melakukan perawatan sederhana bagi penderita TB, telah mengerti bagaimana melakukan modifikasi lingkungan, dan telah bersedia membawa Kakek A ke Pelayanan kesehatan.
3.5.4
Planning
Melanjutkan tindakan inhalasi sederhana selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif. Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan 2 bantal atau pemberian posisi semi fowler untuk mengurangi sesak. Mengevaluasi pengetahuan tentang TB paru dan memfasilitasi untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan dengan mengkoordinasikan ke mahasiswa residen yang sedang praktik di RW 01, ke kader RW 01 dan ke puskesmas Cimanggis.
3.6 Tingkat Kemandirian Hasil pengkajian, intervensi, implementasi dan evaluasi yang dilakukan selama sembilan minggu, keluarga dapat bekerjasama dengan mahasiswa dalam mengatasi masalah kesehatan yang ditemukan. Selama melakukan pembinaan dan
Universitas Indonesia
74
kunjungan rutin
di keluarga, mahasiswa banyak memperoleh informasi dari
keluarga mengenai masalah kesehatan yang dialami keluarga. Selama sembilan minggu mahasiswa melakukan pembinaan dan kunjungan rutin ke keluarga dan menemukan lima masalah kesehatan dan dapat disimpulkan bahwa keluarga termasuk ke dalam keluarga mandiri tingkat III yaitu menerima petugas puskesmas, menerima yankes sesuai rencana, menyatakan masalah kesehatan secara benar, memanfaatkan yankes sesuai anjuran dan melaksanakan perawatan sederhana sesuai anjuran.
Universitas Indonesia
BAB 4 ANALISIS SITUASI
Bab ini akan menjelaskan analisis situasi yang terdiri dari profil lahan praktek, analisis masalah keperawatan dengan konsep terkait Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) dan konsep kasus terkait, analisis inhalasi sederhana dan batuk efektif dengan konsep dan penelitian terkait dan alternatif pemecahan yang dapat dilakukan.
4.1 Profil Lahan Praktik Kelurahan Cisalak Pasar merupakan salah satu bagian dari wilayah Kecamatan Cimanggis. Kelurahan ini memiliki 8 rukun warga (RW), menurut sekertaris kelurahan, RW 08 merupakan kompleks perumahan yang mayoritas dihuni oleh warga dengan status ekonomi menengah keatas sedangkan tujuh RW lainnya merupakan daerah yang mayoritas status ekonomi warganya adalah menengah kebawah. Kelurahan Cisalak Pasar belum memiliki puskesmas kelurahan, sehingga fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang dapat dijangkau oleh warganya adalah puskesmas kecamatan Cimanggis yang berjarak kurang lebih 2 km dari kelurahan Cisalak Pasar dan terdapat satu pasar di kelurahan ini yang terletak di RW 04 dan jaraknya dekat dengan rumah warga.
Gambaran wilayah RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar secara umum adalah sebagai berikut sebelah utara berbatasan dengan Jl. Raya Pondok Cibubur, sebelah timur berbatasan dengan RW 08, sebelah selatan berbatasan dengan RW 02, sebelah barat berbatasan dengan Jl. Radar Auri. Kelurahan Cisalak Pasar memiliki luas wilayah sebesar 1,71 km2. Wilayah RW 01 merupakan wilayah yang terluas dari seluruh RW yang ada di Kelurahan Cisalak Pasar.
Berdasarkan rekapitulasi registrasi penduduk kelurahan Cisalak Pasar, Cimanggis, Depok pada bulan Desember 2012, RW 01 memiliki jumlah penduduk 2587 kepala keluarga yang terdiri dari 1338 jiwa laki-laki dan 1249 jiwa perempuan. Mayoritas memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA),
75
Universitas Indonesia
76
beragama Islam, dan berasal dari suku Betawi serta mayoritas penduduknya ratarata usia produktif (15-50 tahun).
Warga RW 01 mayoritas berstatus ekonomi menengah ke bawah. Warga pendatang yang berstatus sebagai perantau kebanyakan mengadu nasib dengan bekerja di pabrik atau berwiraswasta yang sebagian besar berasal dari pulau Jawa, dan akhirnya menetap di RW 01 karena menikah dengan warga RW 01 atau bertemu di tempat kerja. Sebagian besar warga bermata pencaharian sebagai buruh pabrik, dan wiraswasta yang memiliki pendapatan >
Rp 1.000.000.
Sebagian besar warga yang berjenis kelamin laki-laki berperan sebagai pencari nafkah, sedangkan Ibu-ibu di RW 01 mayoritas ibu rumah tangga serta ada beberapa yang memiliki warung jajanan. Mayoritas warga lebih suka berbelanja di pasar karena wilayahnya dekat dengan Pasar Cisalak. Warga masyarakat RW 01 jarang yang pengangguran, jika tidak memiliki pekerjaan tetap sebagian besar mengisi waktu dengan mengojek di sekitar wilayah RW 01.
Hasil windshiled survey (Selasa, 14 Mei 2012) khususnya di lingkungan RW 01 Cisalak Pasar, pemukiman warga di RW 01 tampak padat, mayoritas merupakan rumah pribadi, dan merupakan bangunan permanen. Terdapat beberapa rumah kontrakan satu pintu yang seluruhnya dihuni oleh warga pendatang. Sebagian besar memiliki halaman depan atau teras walaupun tidak luas. Karena padatnya perumahan, dan wilayah yang tidak terlalu luas, pencahayaan sinar matahari tidak masuk pada sebagian besar rumah. Tempat pembuangan sampah umum tidak terlihat dan mayoritas masyarakat tidak memiliki tempat pembuangan sampah permanen di depan rumah, biasanya hanya menggunakan kardus atau plastik yang selanjutnya diangkut oleh petugas kebersihan yang dikelola oleh RW. Ada juga warga yang membakar sampah dedaunan yang berserakan di halaman atau di pinggir jalan. Masih terdapat sampah berserakan di jalan-jalan maupun selokan di wilayah RW 01 padahal terdapat tong-tong sampah di pinggir jalan.
Sumber air yaitu sumur dimana keadaan air yang digunakan masyarakat pada umumnya jernih, tidak berbau, dan tidak berasa atau bisa dikatakan sehat. Saluran
Universitas Indonesia
77
air di lingkungan RW 01 terdapat di sepanjang pinggir jalanan, sebagian besar terlihat bersih, namun beberapa jalanan terdapat selokan-selokan yang terdapat sampah, terutama saat hujan akan terlihat genangan-genangan kehitaman dan beberapa sampah air di selokan-selokan dan beberapa lubang dijalanan raya.
Kondisi tanah pemukiman warga RW 01 cukup subur, terdapat dibeberapa lahan yang belum didirikan bangunan, ditanami dengan tanaman singkong, sedangkan tumbuhan permanen yang banyak ditemukan di lingkungan warga RW 01 adalah pohon rambutan. Kondisi lingkungan secara umum bebas dari polusi udara dan suara, warga masyarakat mengatakan tidak ada masalah dengan udara dan suara di lingkungan. Sumber kebisingan berasal dari kendaraan yang lewat dan hanya beberapa saja, karena hanya kendaraan minibus saja yang mendapat akses ke jalanan di sekitar RW 01, namun terkadang ada truk yang masuk melewati jalanan RW 01 yang menjadi penghubung dengan perumahan Pondok Cibubur.
Warga RW 01 tidak memiliki kebiasaan membuka jendela tiap pagi. Menurut beberapa warga karena jika jendela dibuka udara akan terasa panas, takut rumahnya kecurian dan dimasuki oleh kucing. Warga menambahkan jika pagi aktivitas yang dilakukan banyak di luar rumah, seperti bekerja. Jika warga tidak bekerja biasanya hanya sebagai ibu rumah tangga. Para ibu rumah tangga juga jika pagi memliki aktivitas untuk pergi ke pasar atau mengantar anak sekolah, sehingga para warga lebih memilih untuk menutup jendelanya dengan rapat. Beberapa rumah juga tampak tidak dibuka jendelanya dikarenakan sudah dimatikan dan jendela permanen yang hanya sebagai hiasan sehingga tidak bisa dibuka kembali. Kondisi rumah di RW 01 hampir semuanya lembab dan lantai rumah terbuat dari ubin.
Daerah RW 01 khususnya RT 01, RT 02, dan RT 06 terdapat beberapa lahan terbuka yang cukup luas. Jumlahnya kurang lebih 10 buah tanah lapang. Pemanfaatannya antara lain untuk kebun, lapangan bulu tangkis, lapangan futsal, tempat sampah, lapangan bermain, dan ada juga yang hanya digunakan untuk
Universitas Indonesia
78
tempat menjemur pakaian. Kepemilikan tanah-tanah tersebut bervariasi, baik pribadi dan umum.
Masalah kesehatan yang paling menonjol di daerah RW 01 adalah TB paru. Hal ini terbukti dari hasil pengkajian Puskesmas Cimanggis didapatkan jumlah penderita TB yang berobat yang berasal dari Kelurahan Cisalak Pasar sebanyak 32 orang. Sepuluh orang diantaranya atau (31,2%) berasal dari RW 01. Hasil Skrining yang dilakukan mahasiswa profesi pada tanggal 14-16 Mei 2013 di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar ditemukan ada 20 orang yang merupakan pederita TB yang sedang berobat, putus obat dan resiko tinggi penderita TB. Kasus kematian akibat TB di RW 01 belum pernah dilakukan pendataan.
Hasil wawancara kepada salah satu kader yang berasal dari RT 06/RW 01 warga RW 01 belum pernah mendapatkan penyuluhan sebelumnya terkait penyakit TB baik oleh pihak puskesmas atau instansi terkait lainya. Tingkat pengetahuan warga terkait pengetahuan TB telah dilakukan pengkajian pada Hari Selasa, 14 Mei 2013 dimana pada hari tersebut diadakan penyuluhan terkait pengenalan penyakit TB yang diadakan oleh mahasiswa residensi komunitas FIK UI. Hasil pre test terkait pengetahuan warga tentang penyakit TB yang dilakukan sebelum penyuluhan kepada 10 orang peserta didapatkan nilai rata-rata sebesar 7,9.
Permasalahan penyakit TB sudah menjadi program prioritas pelayanan kesehatan di Puskesmas Cimanggis yang melayani masyarakat dari Cisalak Pasar. Akan tetapi kepedulian lintas sektor yang lain masih dirasakan kurang. Program TB di Puskesmas Cimanggis yang sudah berjalan yaitu pelayanan langsung ke penderita TB di poli TB dan mengingatkan penderita TB melalui pesan singkat apabila tidak mengambil obat pada waktu yang telah ditentukan. Kunjungan rumah pada penderita TB terutama di Cisalak Pasar belum ada dan juga belum ada program tentang penanganan TB dari Puskesmas Cimanggis seperti penyuluhan dan belum terlihat media yang menyampaikan tentang pesan terkait masalah penyakit TB terutama di RW 01 Cisalak Pasar, namun sudah terbentuk kader-kader kesehatan TB di RW 01 dan telah diberikan pelatihan sebanyak dua kali oleh mahasiswa
Universitas Indonesia
79
residen. Kader-kader kesehatan tersebut sangat aktif untuk melakukan penemuan kasus baru atau memfasilitasi penderita TB untuk mengunjungi pelayanan kesehatan. Tidak banyak pusat pelayanan kesehatan yang terdapat di wilayah RW 01, namun masyarakat RW 01 biasanya akan mengunjungi Pusat Pelayanan kesehatan Puskesmas Cimanggis, Mekar Sari, Praktik Bidan, dan Rumah Sakit Tugu, atau beberapa praktek dokter 24 jam.
4.2 Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep terkait Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan dan Konsep Kasus Terkait Kelurahan Cisalak Pasar, khususnya RW 01 merupakan daerah kawasan perkotaan (urban). Hal ini dibuktikan oleh pendapat Bintarto (2000) bahwa Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Masalah TB paru merupakan masalah kesehatan yang paling menonjol di RW 01 dan merupakan masalah epidemi yang merupakan keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam frekuensi yang meningkat, (Budiarto, 2003). Mengatasi masalah TB paru ini perawat melakukan pendekatan menggunakan model konsep Betty Neuman.
Sesuai dengan konsep Betty Neuman, RW 01 ini merupakan klien dan penggunaan proses keperawatan sebagai pendekatan. Kumpulan individu/ keluarga di RW 01 merupakan “core“ dari asuhan keperawatan komunitas yang diberikan oleh perawat. Konsep antara at risk dan vulnerability terkadang sulit
untuk dipahami secara keseluruhan oleh perawat karena banyaknya faktor yang mempengaruhi keduanya (Fitzpatrick, Villaruel, & Porter, 2004 ).
Konsep at risk disini merupakan kondisi kesehatan warga RW 01 merupakan hasil dari interaksi dengan berbagai macam faktor, seperti faktor genetik, gaya hidup,
Universitas Indonesia
80
serta kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial dimana individu tersebut tinggal atau bekerja. Risk factor merupakan karakteristik warga RW 01 seperti umur, jenis kelamin, dan genetik. Population at factor merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki beberapa kemungkinan yang telah jelas teridentifikasi atau telah ditentukan meskipun sedikit atau kecil terhadap munculnya suatu peristiwa, misalnya penderita TB di RW 01. Vulnerable population group disini merupakan sekelompok orang dari RW 01 yang memiliki masalah kesehatan yang lebih kompleks dibandingkan dengan masalah TB di RW 01.
Masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting sama seperti halnya masalah TB di RW 01. Faktor yang mempengaruhi sehat sakit di RW 01 diadaptasi dari teori gordon and le rich, dimana pejamu (host)/inang yaitu segala faktor yang terdapat dalam diri manusia yg mempengaruhi timbulnya penyakit, misalnya imunitas, aktivitas, gaya hidup. Bibit penyakit (agent) yaitu substansi atau elemen yang apabila ia ada atau tidak ada dapat menimbulkan atau menggerakkan timbulnya penyakit, misalnya bakteri, jamur, dan virus. Lingkungan (environment) yaitu seluruh kondisi yang mempengaruhi (Rekawati, 2011).
Masalah TB paru di RW 01 disebabkan oleh faktor risiko yang berperan penting dalam penularan penyakit TB diantaranya faktor kependudukan dan faktor lingkungan. Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status gizi, dan kondisi sosial ekonomi, sedangkan faktor lingkungan diantaranya lingkungan dan ketinggian wilayah untuk lingkungan meliputi kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah (Ahmadi, 2005). Penelitian Chapman et al (1993, dalam Nelson 2005) mengatakan bahwa faktor lingkungan dan sosial, kepadatan penghuni, serta kemiskinan berperan dalam timbulnya kejadian TB.
Faktor kependudukan di RW 01 yaitu warga memiliki jumlah penduduk 2587 kepala keluarga yang terdiri dari 1338 jiwa laki-laki dan 1249 jiwa perempuan. Terlihat jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak
Universitas Indonesia
81
dibandingkan dengan perempuan. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya TB di RW 01. Sesuai dengan yang dipaparkan oleh WHO (2005, dalam Hiswani 2009) yang menyatakan bahwa penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan. Angka kejadian TB paru pada laki-laki lebih tinggi karena merokok dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB paru. Penelitian Herryanto (2004) juga memaparkan bahwa proporsi kejadian TB paru menurut jenis kelamin, laki laki sebesar 54,5 % dan perempuan sebesar 45,5 % yang menderita TB paru. Hasil penelitian dari WHO (2006) melaporkan prevalensi tuberkulosis paru 2,3% lebih banyak pada laki-laki dibanding wanita terutama pada negara yang sedang berkembang karena laki-laki dewasa lebih sering melakukan aktivitas sosial. Faktor kependudukan selanjutnya adalah usia.
Warga RW 01 mayoritas penduduknya rata-rata usia produktif (15-50 tahun). Hal ini juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB paru di RW 01 yang didukung oleh pendapat Hiswani (2009) penyakit tuberkulosis yang paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif 15-50 tahun, dengan ini terjadinya transisi demografi saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit tuberkulosis paru. Penduduk RW 01 yang mayoritas berada pada usia produktif yang kebanyakan usia tersebut digunakan untuk bekerja.
Warga RW 01 sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh pabrik, dan wiraswasta yang memiliki pendapatan > Rp 1.000.000. Warga masyarakat RW 01 jarang yang pengangguran, jika tidak memiliki pekerjaan tetap sebagian besar mengisi waktu dengan mengojek di sekitar wilayah RW 01. Keluarga dengan pendapatan rendah akan cenderung sulit memperoleh makanan yang begizi dan memelihara kesehatan secara baik, sehingga sangat rentan tertular penyakit TB (Amira, 2005). TB bisa menyerang siapa pun, warga miskin perkotaan adalah kelompok masyarakat paling rentan terserang tuberkulosis. Kepala Subdirektorat Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Dyah Erti Mustikawati di sela-sela
Universitas Indonesia
82
lokakarya Resisten Multiobat Tuberkulosis (Tb-MDR) di Jakarta mengatakan bahwa kuman tuberkulosis dalam tubuh masyarakat dengan ekonomi lebih baik jarang menjadi aktif karena mereka punya daya tahan tubuh lebih baik (Health Kompas, 2012). Jenis pekerjaan ini juga mempengaruhi keadaan perekonomian seseorang dan kemudian akan berdampak terhadap pola makan setiap hari, dan pemeliharaan kesehatan.
Status ekonomi warga RW 01 mayoritas ekonomi menengah ke bawah. Kondisi ekonomi warga RW 01 ini juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB paru. WHO (2007) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan. Rajagukguk (2008) juga menyatakan bahwa makin buruk keadaan sosial ekonomi masyarakat, sehingga nilai gizi dan sanitasi lingkungan jelek, yang mengakibatkan rendahnya daya tahan tubuh mereka sehingga mudah menjadi sakit bila tertular tuberkulosis. Jenis pekerjaan juga menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu, paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan seperti TB. Status ekonomi merupakan faktor kependudukan terakhir yang dapat mempengaruhi angka kejadian TB, selain itu faktor lingkungan juga sangat berpengaruh pada penularan dan angka kejadian TB paru.
Faktor lingkungan kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah juga berpengaruh terjadinya TB di perkotaan. Pemukiman warga di RW 01 tampak padat, mayoritas merupakan rumah pribadi, dan merupakan bangunan permanen. Terdapat beberapa rumah kontrakan satu pintu yang seluruhnya dihuni oleh warga pendatang. Sebagian besar memiliki halaman depan atau teras walaupun tidak luas. Karena padatnya perumahan, dan wilayah yang tidak terlalu luas, pencahayaan sinar matahari tidak masuk pada sebagian besar rumah. Penyakit TB paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni
Universitas Indonesia
83
dalam rumah karena dapat mempengaruhi kejadian penyakit, kontruksi dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko sumber penularan berbagai penyakit infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan TB Paru (Depkes, 2007). Kuman tuberkulosis mudah menular pada lingkungan pengap, dalam ruangan dengan ventilasi udara kurang, serta paparan sinar matahari rendah (Health Kompas, 2012). Rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB seperti hasil penelitian Dahlan (2000) mengatakan bahwa pencahayaan, ventilasi yang buruk dan kepadatan penghuni yang tinggi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB.
Hunian rumah yang padat pada RW 01 menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen bila salah satu anggota hunian terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA positif. Daerah perkotaan (urban) seperti RW 01 Cisalak Pasar yang lebih padat penduduknya dibandingkan di pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak dengan penderita TB akan lebih besar, sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya. Selain hunian yang padat, kebiasaan warga untuk membuka jendela juga mempengaruhi angka kejadian TB.
Kebiasaan warga RW 01 yang tidak membuka jendela tiap pagi karena berbagai alasan jika jendela dibuka udara akan terasa panas, takut rumahnya kecurian dan dimasuki oleh kucing. Beberapa rumah juga tampak tidak dibuka jendelanya dikarenakan sudah dimatikan dan jendela permanen yang hanya sebagai hiasan sehingga tidak bisa dibuka kembali. Kondisi rumah di RW 01 hampir semuanya lembab dan lantai rumah terbuat dari ubin. Kebiasaan warga RW 01 ini sangat mempengaruhi terjadinya TB di RW 01. Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga dan menjaga dalam kelembaban (humidity) yang optimum. Kelembaban merupakan media yang baik untuk
Universitas Indonesia
84
bakteri-bakteri patogen (penyebab penyakit). Menurut Slamet (2000) untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Ventilasi yang kurang tersebut mempengaruhi cahaya matahari yang masuk.
Cahaya matahari juga kurang di RW 01 dikarenakan kebiasan warga RW 01 jarang membuka jendela. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap. Hal ini sependapat dengan penelitian Yoga (2007), TB juga mudah menular pada mereka yang tinggal di perumahan padat, kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya buruk/pengap, namun jika ada cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya bisa bertahan selama 1-2 jam. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian TB ini juga tidak lepas dari pengetahuan warga RW 01 terhadap penyakit TB.
Warga RW 01 belum pernah mendapatkan penyuluhan sebelumnya terkait penyakit TB baik oleh pihak puskesmas atau instansi terkait lainya. Tingkat pengetahuan warga terkait pengetahuan TB telah dilakukan pengkajian pada Hari Selasa, 14 Mei 2013 dimana pada hari tersebut diadakan penyuluhan terkait pengenalan penyakit TB yang diadakan oleh mahasiswa residensi komunitas FIK UI. Hasil pre test terkait pengetahuan warga tentang penyakit TB yang dilakukan sebelum penyuluhan kepada 10 orang peserta didapatkan nilai rata-rata sebesar 7,9. Belum ada program tentang penanganan TB dari Puskesmas Cimanggis seperti penyuluhan dan belum terlihat media yang menyampaikan tentang pesan terkait masalah penyakit TB terutama di RW 01 Cisalak Pasar, namun sudah terbentuk kader-kader kesehatan TB di RW 01 dan telah diberikan pelatihan sebanyak dua kali oleh mahasiswa residen. Kurangnya informasi tentang penyakit TB paru menyebabkan kurangnya pengertian kepatuhan penderita terhadap pengobatan atau berhenti bila gejala penyakit tidak dirasakan lagi (Anugerah, 2007). Hal ini juga merupakan salah satu penyebab tingginya angka kejadian TB di RW 01 dan tidak terlepas dari upaya penanganan dan penanggulangan TB dari Puskesmas Cimanggis.
Universitas Indonesia
85
Upaya penanganan dan pemberantasan TB paru telah dilakukan oleh Puskesmas Cimanggis berdasarkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS. Program TB di Puskesmas Cimanggis yang sudah berjalan yaitu pelayanan langsung ke penderita TB di poli TB dan mengingatkan penderita TB melalui pesan singkat apabila tidak mengambil obat pada waktu yang telah ditentukan. Seperti halnya fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan prioritas pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan diharapkan menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes, 2007).
Penderita TB yang berobat ke Puskesmas Cimanggis khususnya yang berasal dari Cisalak Pasar diberikan obat dengan gratis. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur. Obat disediakan oleh pemerintah secara gratis di sarana pelayanan kesehatan yang telah menerapkan strategi Dots (Directly Observed Tretment Short course) seperti di Puskesmas, Balai pengobatan Penyakit Paru dan beberapa rumah sakit (Yoga, 2007). Pemberian panduan OAT didasarkan pada klasifikasi TB paru. Prinsip pengobatan TB paru adalah obat TB yang diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin, Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. sebagian besar penderita TB paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes, 2003).
Universitas Indonesia
86
Program TB yang sudah dicanangkan oleh Puskesmas Cimanggis dengan memberikan pengobatan gratis ini juga kemungkinan belum terlalu diketahui oleh warga RW 01, sehingga banyak RW 01 yang tidak berobat. Program pemberantasan TB yang telah dilaksanakan melalui paket program, namun di puskesmas belum secara efektif dapat menjangkau seluruh masyarakat atau penderita. Hal ini sependapat dengan Helper, dkk (2009) juga mengemukakan bahwa sampai saat ini masih ada anggota masyarakat yang belum mengetahui ada program pelayanan kesehatan TB paru gratis di Puskesmas. Hasil survei prevalensi tuberculosis (2004) menunjukkan bahwa lebih dari 80 % responden ternyata tidak mengetahui adanya program obat anti TB gratis dan hanya 19 % yang mengetahui adanya pemberian obat anti TB gratis (Depkes. 2004). Rendahnya pengetahuan ini akan menghambat penderita TBC mencari pengobatan gratis atau menjadi penyebab putus berobat. Hal ini juga yang meningkatkan angka kejadian TB khususnya di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Hal ini membuat perawat harus berperan dalam keperawatan kesehatan perkotaan yang berdasarkan dari Stanhope & Lancaster (2004).
Ruang
lingkup
peningkatan
praktik
kesehatan
keperawatan (promotif),
masyarakat
pencegahan
meliputi
upaya-upaya
(preventif),
pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif) dan mengembalikan serta memfungsikan kembali baik individu, keluarga, kelompok dan masyarakat ke lingkungan sosial dan masyarakatnya (resosialisasi). Kegiatan praktik keperawatan komunitas yang dilakukan perawat mempunyai lahan yang luas dan tetap menyesuaikan dengan tingkat pelayanan kesehatan wilayah kerja perawat, tetapi secara umum kegiatan praktik keperawatan komunitas adalah sebagai berikut pertama yaitu memberikan asuhan keperawatan langsung kepada individu, keluarga, kelompok khusus baik di rumah (home nursing), di sekolah (school health nursing), di perusahaan, di Posyandu, di Polindes dan di daerah binaan kesehatan masyarakat. Hal ini telah dilakukan oleh mahasiswa dengan memberikan asuhan keperawatan langsung pada keluarga dan individu yang terkena TB paru.
Universitas Indonesia
87
Kedua penyuluhan/pendidikan kesehatan masyarakat dalam rangka merubah perilaku individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Penyuluhan/ pendidikan kesehatan masyarakat tentang TB paru telah dilakukan di RW 01, serta telah dilakukan gerakan buka jendela dan pintu dalam rangka merubah perilaku individu, keluarga dan masyarakat. Ketiga konsultasi dan pemecahan masalah kesehatan
yang dihadapi. Warga RW 01 sangat
aktif bertanya
dan
mengkonsultasikan keluhan kepada mahasiswa atau ke kader-kader kesehatan RW 01 guna untuk memecahkan masalah yang telah dihadapi. Keempat bimbingan dan pembinaan sesuai dengan masalah yang mereka hadapi. Bimbingan dan pembinaan terkait masalah TB paru telah dilakukan ke kader-kader kesehatan RW 01 sehingga kader-kader ini mampu memecahkan masalah TB paru yang banyak dialami di RW 01.
Kelima
melaksanakan
rujukan
terhadap
kasus-kasus
yang
memerlukan
penanganan lebih lanjut. Rujukan terhadap kasus-kasus seperti putus obat dan penemuan kasus baru penderita TB telah dilakukan dengan berkoordinasi dengan mahasiswa spesialis komunitas dan pihak Puskesmas Cimanggis untuk memfasilitasi pemeriksaan BTA ataupun pengambilan OAT. Permasalahan penyakit TB sudah menjadi program prioritas pelayanan kesehatan di Puskesmas Cimanggis yang melayani masyarakat dari Cisalak Pasar.
Keenam penemuan kasus pada tingkat individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Hal ini sangat berkaitan dengan skrining TB paru yang dilakukan oleh mahasiswa bersama kader-kader kesehatan di RW 01. Hasil Skrining yang dilakukan mahasiswa profesi pada tanggal 14-16 Mei 2013 di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar ditemukan ada 20 orang yang merupakan pederita TB yang sedang berobat, putus obat dan resiko tinggi penderita TB. Kasus kematian akibat TB di RW 01 belum pernah dilakukan pendataan. Penemuan kasus bertujuan untuk mendapakan kasus TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratories, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat
Universitas Indonesia
88
dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan pemeriksan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat (Kemenkes, 2011).
Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua layanan
dimaksudkan
untuk
mempercepat
penemuan
dan
mengurangi
keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif pada masyarakat umum, dinilai tidak cost efektif (Kemenkes, 2011). Penemuan secara aktif dilakukan terhadap kelompok yang rentan tertular TB seperti mereka yang hidup pada daerah kumuh, serta keluarga atau kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA positif, pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut apakah diperlukan pengobatan TB atau pegobatan pencegahan dan kontak dengan pasien TB resistan obat, penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis.
Ketujuh sebagai penghubung antara masyarakat dengan unit pelayanan kesehatan. Memfasilitasi pasien-pasien dengan TB paru di RW 01 untuk melakukan pemeriksaan ataupun pengobatan di Puskesmas Cimanggis. Tidak banyak pusat pelayanan kesehatan yang terdapat di wilayah RW 01, namun masyarakat RW 01 biasanya akan mengunjungi Pusat Pelayanan kesehatan Puskesmas Cimanggis,
Universitas Indonesia
89
Mekar Sari, Praktik Bidan, dan Rumah Sakit Tugu, atau beberapa praktek dokter 24 jam.
Kedelapan melaksanakan asuhan keperawatan komuniti, melalui pengenalan masalah kesehatan masyarakat, perencanaan kesehatan, pelaksanaan dan penilaian kegiatan dengan menggunakan proses keperawatan sebagai suatu usaha pendekatan ilmiah keperawatan. Hal ini sesuai dengan perencanaan yang sudah dilakukan oleh mahasiswa untuk melakukan asuhan keperawatan komunitas dengan masalah keperawatan utama risiko peningkatan angka kejadian TB paru di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.
Kesembilan mengadakan koordinasi di berbagai kegiatan asuhan keperawatan komuniti. Kesepuluh Mengadakan kerjasama lintas program dan lintas sektoral dengan instansi terkait dan terakhir memberikan ketauladanan yang dapat dijadikan panutan oleh individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang berkaitan dengan keperawatan dan kesehatan. kepedulian lintas sektor masih dirasakan kurang di RW 01. Hal yang kesembilan dan kesepuluh tersebut belum dilakukan oleh mahasiswa dan ini menjadi rencana tindak lanjut yang bisa dilaksanakan oleh mahasiswa spesialis komunitas yang sedang praktik di RW 01 ataupun mahasiswa selanjutnya yang akan praktik di wilayah RW 01 Cisalak Pasar dan koordinasi ke Puskesmas Cimanggis.
4.3 Analisis Inhalasi Sederhana dan Batuk Efektif dengan Konsep dan Penelitian Terkait Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal, sehingga mukus ini banyak tertimbun dan bersihan jalan nafas akan tidak efektif. Membran mukosa akan terangsang, dan mukus akan dikeluarkan dengan tekanan intrathorakal dan intra abdominal yang tinggi, jika hal tersebut terjadi. Udara keluar dengan akselerasi yang cepat beserta membawa sekret mukus yang tertimbun ketika dibatukkan. Mukus tersebut akan keluar sebagai dahak. Hal ini juga merupakan masalah
Universitas Indonesia
90
keperawatan yang utama pada kakek A yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas. Dampak dari pengeluaran dahak yang tidak lancar akibat ketidakefektifan jalan nafas adalah penderita mengalami kesulitan bernafas dan gangguan pertukaran gas di dalam paru paru yang mengakibatkan timbulnya sianosis, kelelahan, apatis serta merasa lemah. Tahap selanjutnya akan mengalami penyempitan jalan nafas sehingga terjadi perlengketan jalan nafas dan terjadi obstruksi jalan nafas (Nugroho, 2011), sehingga untuk mengatasi hal ini diberikan intervensi keperawatan unggulan berupa inhalasi sederhana dan batuk efektif. Sesuai dengan Prince (2000) bahwa pengeluaran dahak dapat dilakukan dengan membatuk akan lebih mudah dan efektif bila diberikan penguapan atau inhalasi sederhana.
Inhalasi sederhana adalah menghirup uap hangat dari air mendidih telah ditetesi minyak penghangat, misalnya minyak kayu putih (Akhavani, 2005). Inhalasi merupakan salah satu cara yang diperkenalkan dalam penggunaan metode terapi yang paling sederhana dan cepat. Inhalasi sederhana ini diberikan ke kakek A dengan tujuan mengencerkan sputum yang kental, susah dikeluarkan oleh kakek A dan juga mengurangi sesak. Hal ini sejalan dengan Rasmin, dkk (2001) yang menyatakan bahwa terapi inhalasi biasanya ditujukan umtuk mengatasi bronkospasme, mengencerkan sputum, menurunkan hipereaktivitas bronkus serta mengatasi infeksi. Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), tuberkulosis, fibrosis kistik, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket, pasien sesak nafas dan batuk. Kontraindikasi mutlak pada inhalasi tidak ada. Indikasi relatif pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan (Rasmin dkk, 2001).
Teknik pemberian inhalasi sederhana yang diajarkan ke kakek A diadaptasi dari beberapa literatur yaitu terlebih dahulu membuat corong dari sebuah kertas yang digulung, adalah cara yang baik untuk menghirup uap dari mangkuk. kemudian menempatkan air mendidih dengan suhu 42oC -44oC dalam mangkuk, dihirup selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari dan minyak kayu putih ditambahkan
Universitas Indonesia
91
ke air panas tersebut untuk meningkatkan efektifitas (Wong, 2008). Penelitian yang dilakukan Singh (2004) bertujuan untuk menilai efek dari menghirup uap air panas dengan bantuan sebuah alat yang dirancang untuk memberikan uap air panas ke rongga hidung. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian inhalasi sederhana efektif, akan tetapi penelitian lain terkait pemberian inhalasi sederhana diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Handley, Abbott, Beasley dan Gwaltney ( dalam Nuraeni, 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian inhalasi uap melalui hidung tidak berpengaruh pada pelepasan virus yang dilakukan pada kelompok intervensi. Hal ini juga didukung oleh penyataan Karnaen (2011) bahwa penguapan secara tradisional atau inhalasi sederhana ini hanya berfungsi untuk melonggarkan saluran napas, bukan untuk mengeluarkan lendir, karena bahan-bahan dalam minyak kayu putih yang terhirup melalui uap air panas itu tidak mengandung zat penghancur lendir, sehingga tindakan inhalasi terbukti kurang efektif untuk mengeluarkan dahak sehingga bersihan jalan napas menjadi efektif, sehingga tindakan inhalasi sederhana dikombinasikan dengan batuk efektif untuk mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan napas pada kakek A.
Batuk efektif adalah tindakan yang diperlukan untuk membersihkan dahak (Hudak & Gallo, 2000). Batuk efektif ini juga merupakan bagian tindakan keperawatan untuk pasien dengan gangguan penapasan akut dan kronis (Kisner & Colby, 1999 dalam Nugroho 2011). Indikasi batuk efektif adalah pada pasien seperti bronkitis kronik, asma, TB paru, pneumonia dan emfisema. Batuk efektif ini diajarkan ke kakek A karena tidak terdapat kontraindikasi seperti yang dijelaskan oleh Wilson (2006), dimana kontraindikasi batuk efektif adalah tension pneumotoraks, hemoptisis, gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipotensi, hipertensi, infark miokard akut infark dan aritmia, edema paru dan efusi yang luas.
Batuk efektif yang baik dan benar dapat mempercepat pengeluaran dahak pada pasien dengan gangguan saluran pernafasan. Teknik batuk efektif yang diajarkan ke kakek A merupakan tindakan yang dilakukan untuk membersihkan sekresi dari
Universitas Indonesia
92
saluran nafas. Caranya batuk efektif diadaptasi dari Depkes (2007) adalah sebelum dibatukkan, klien dianjurkan untuk minum air hangat dengan rasionalisasi untuk mengencerkan dahak namun minum air hangat ini diganti menjadi tindakan inhalasi sederhana menggunakan minyak kayu putih dengan rasionalisasi untuk mengencerkan dahak, setelah itu dianjurkan untuk inspirasi dalam. Hal ini dilakukan selama dua kali, kemudian setelah inspirasi yang ketiga, anjurkan klien untuk membatukkan dengan kuat (Depkes, 2007).
Terapi Inhalasi sederhana dan batuk efektif dilakukan selama 4 minggu dan diharapkan bersihan jalan napas kakek A menjadi efektif yang ditandai dengan sesak berkurang atau hilang, mudah mengeluarkan dahak, Respiratory Rate (RR) dalam rentang normal (20 kali/menit), tidak ada penggunaan otot bantu napas, tidak ada retraksi dinding dada, dan bunyi napas ronchi berkurang atau hilang (Wilkinson, 2012). Pemberian terapi inhalasi sederhana dan batuk efektif pada Kakek A selama 4 minggu didapatkan evaluasi terakhir yaitu sesak sedikit berkurang, dahak menjadi encer dan mudah dikeluarkan, dahak berwarna putih, jumlah dahak banyak, batuk sesekali, RR: 23 kali/menit, pemeriksaan paru didapatkan pada saat inspeksi dinding dada simetris, tidak ada pembengkakan, tidak ada penggunaan otot bantu napas, tidak terdapat retraksi dinding dada dan tidak ada lesi. Auskultasi paru didapatkan ronchi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronchi tanpa auskultasi, tidak ada wheezing, Hasil palpasi paru yaitu tactile fremitus dan perkusi paru yaitu sonor.
Hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian, karena bersihan jalan napas belum efektif yang ditandai masih ada sesak sedikit namun berkurang. Sesak yang berkurang ini dikarenakan tindakan inhalasi sederhana bekerja langsung pada sumber pernapasan yaitu paru-paru (Karnaen, 2011). Cara kerja inhalasi sederhana ini adalah uap masuk dari luar tubuh ke dalam tubuh, dengan mudah akan melewati paru-paru dan dialirkan ke pembuluh darah melalui alveoli (Buckle, 1999 dalam Nuraeni 2012). Inhalasi sederhana yang telah dilakukan kemudian dilakukan batuk efektif seperti yang telah diajarkan ke kakek A yang merupakan tindakan yang dilakukan untuk
Universitas Indonesia
93
membersihkan sekresi dari saluran nafas. Jumlah dahak yang dikeluarkan oleh kakek A disini sudah banyak dan mudah dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan efek teraupetik dari inhalasi sederhana yang berguna untuk mengencerkan lendir yang menyumbat saluran pernapasan dan berguna sebagai ekspektoran alami dan penekan batuk (Crinion, 2007). Lendir yang encer kemudian dibatukkan agar dahak yang keluar lebih banyak dan dengan batuk efektif penderita tuberkulosis paru tidak harus mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan sekret (Subrata, 2006). Hal ini juga sependapat dengan hasil penelitian Nugroho (2011) ada pengaruh sebelum dan sesudah batuk efektif terhadap pengeluaran dahak pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Bunyi ronchi basah kasar masih terdengar jelas di semua lapang paru tanpa auskultasi pun juga masih terdengar, hal ini disebabkan akumulasi sekret di dalam paru masih sangat banyak. Hal ini membuktikan inhalasi sederhana tidak terlalu efektif dalam pengeluaran sekret yang berlebihan sehingga hal ini masih mempengaruhi frekuensi napas.
Frekuensi napas/ RR kakek A masih belum dalam rentang normal, namun RR sebelum diberikan intervensi dan setelah diberikan intervensi mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan masih banyak mukus yang belum dikeluarkan dan yang mengakibatkan sesak sehingga RR menjadi lebih cepat. Penurunan RR/ frekuensi napas pada kakek A sesuai dengan penelitian Nuraeni (2012) bahwa pemberian inhalasi sederhana dapat menurunkan frekuensi napas walaupun tidak bermakna. Hal ini dikarenakan pelaksanaan inhalasi sederhana hanya dilakukan satu kali selama sepuluh menit sedangkan penelitian Singh (2004) dilakukan sebanyak empat kali sehari selama 10-15 menit. Hal ini juga sesuai dengan yang dijelaskan dalam panduan inhalasi (Wong, 2008). Penelitian terbaru dengan menggunakan arformoterol inhalation solution pada jenis nebulizer jet standar adalah 6 menit (Cipla, 2010), sehingga inhalasi sederhana ini menjadi tidak bermakna yaitu dapat disebabkan oleh alat, tempat yang digunakan dan prosedur yang kurang tepat.
Universitas Indonesia
94
Keberhasilan inhalasi sederhana dan batuk efektif pada kakek A juga terlihat dengan tidak adanya penggunaan otot bantu napas dan retraksi dinding dada, berbeda dengan sebelum dilakukan intervensi. Hal ini dikarenakan sesak sudah berkurang sehingga tidak ada ada penggunaan otot bantu napas ataupun retraksi dinding dada, sebagai usaha yang dilakukan oleh kakek A untuk bernapas lebih efektif.
Tindakan inhalasi sederhana dan batuk efektif pada lansia ini hanya tidak seefektif seperti pada usia muda. Hal ini dikarenakan berbagai perubahan fisik yang terjadi pada lansia yang meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh. Salah satu diantaranya yaitu sistem pernapasan. Perubahan sistem pernapasan pada lansia yaitu otot pernapasan kaku dan kehilangan kekuatan, penurunan aktivitas silia jumlah udara pernapasan yang masuk keparu mengalami penurunan, alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret berkurang dan mengalami sumbatan atau obstruksi (Stanley, 2006). Pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif ini tetap bermanfaat dan dapat diterapkan untuk mengeluarkan dahak, menurunkan frekuensi napas, dan mengurangi sesak pada lansia, karena inhalasi sederhana langsung bekerja pada paru-paru dan pada saat dibatukkan efektif tidak harus menggunakan banyak tenaga. Selama pemberian terapi inhalasi sederhana menggunakan minyak kayu putih tidak terdapat reaksi alergi ataupun komplikasi yang ditunjukkan oleh kakek A yang bisa disebabkan oleh aerosol yang diberikan dalam jumlah besar, maka dapat menyebabkan penyempitan pada saluran pernapasan (bronkospasme), disamping itu bahaya iritasi dan infeksi pada jalan napas, terutama infeksi nosokomial juga dapat terjadi (Rab, 2000).
4.4 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan Mahasiswa Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan dua bantal dengan rasionalisasi didapatkan posisi semi fowler untuk meningkatkan ekspansi paru dan mencukupi kebutuhan oksigen sehingga memberikan kenyamanan. Hal ini dilakukan karena Kakek A masih merasa sesak napas.
Universitas Indonesia
95
Metode yang paling sederhana dan efektif dalam biaya untuk mengurangi risiko stasis sekresi pulmonar dan mengurangi risiko penurunan pengembangan dinding dada yaitu dengan pengaturan posisi saat istirahat. Posisi yang paling efektif bagi klien dengan penyakit kardiopulmonari adalah posisi semi fowler dengan derajat kemiringan 45°, yaitu dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan paru dan mengurangi tekanan dari abdomen pada diafragma (Potter, 2005).
Keefektifan posisi semi fowler dapat dilihat dari Respiratory Rates yang menunjukkan angka normal yaitu 16-24x per menit pada usia dewasa (Ruth, 2002: 812). Pelaksanaan asuhan keperawatan dalam pemberian posisi semi fowler itu sendiri dengan menggunakan tempat tidur orthopedik dan fasilitas bantal yang cukup untuk menyangga daerah punggung, sehingga dapat memberi kenyamanan saat tidur dan dapat mengurangi kondisi sesak nafas. Wilkison (1998 dalam Supadi, dkk 2008) bahwa posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikkan 45º membuat oksigen didalam paru–paru semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran napas. Penurunan sesak napas tersebut didukung juga dengan sikap pasien yang kooperaktif, patuh saat diberikan posisi semi fowler sehingga pasien dapat bernafas. Hasil perbedaan tersebut menunjukkan ada pengaruh pemberian posisi semi fowler terhadap sesak nafas. Hal tersebut berarti mendukung penelitian yang dilakukan oleh Supadi, dkk., (2008) bahwa pemberian semi fowler mempengaruhi berkurangnya sesak nafas sehingga kebutuhan dan kualitas tidur pasien terpenuhi. Terpenuhinya kualitas tidur pasien membantu proses perbaikan kondisi pasien lebih cepat. Saat sesak napas pasien lebih nyaman dengan posisi duduk atau setengah duduk sehingga posisi semi fowler memberikan kenyamanan dan membantu memperingan kesukaran bernapas. Menurut Angela (dalam Supadi, dkk., 2008) saat terjadi serangan sesak biasanya klien merasa sesak dan tidak dapat tidur dengan posisi berbaring. Melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan penyempitan jalan napas dan memenuhi O2 dalam darah. Dengan posisi tersebut pasien lebih rileks saat makan dan berbicara sehingga kemampuan berbicara pasien tidak terputus – putus dan dapat menyelesaikan kalimat.
Universitas Indonesia
96
Hasil penelitian Setiawati (2008) rata – rata sesak napas pada responden sebelum diberikan posisi semi fowler dan sesudah diberikan posisi semi fowler adalah berbeda secara signifikan. Rata – rata sesak napas sebelum diberikan posisi semi fowler (12,25) lebih tinggi dari pada responden sesudah diberikan posisi semi fowler (4,75). Setelah dianalisis didapat nilai Sig. (0,001) < 0,05. dan Z hitung (3,196) > Z tabel (1,96), sehingga diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan posisi semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak napas pada klien TBC.
Selain pemberian posisi semi fowler, mahasiswa menganjurkan adanya tindak lanjut dan motivasi dari petugas kesehatan yang bertugas di RW 01 termasuk kader-kader kesehatan yang sudah diberi pelatihan terkait TB paru. Pemberian terapi inhalasi sederhana harus rutin dilakukan di rumah selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif. Memotivasi keluarga kakek A untuk memeriksakan diri ke Puskesmas Cimanggis sehingga mendapatkan pengobatan.
Universitas Indonesia
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Dari hasil penulisan yang telah dilakukan selama praktik Profesi Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) yang dilakukan oleh mahasiswa profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan UI di RW 01 yang dilaksanakan sejak Mei hingga Juni 2013, khususnya memberikan asuhan keperawatan keluarga pada TB paru lansia dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
5.1.1 TB paru merupakan masalah umum yang terjadi dimasyarakat perkotaan. Angka TB paru di perkotaan semakin meningkat. Salah satu kota yang memiliki angka kejadian TB paru yang tinggi ialah kota Depok. Penemuan kasus baru (Case Detection Rate) di kota Depok dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 terus meningkat, akan tetapi masih dibawah target Nasional yaitu sebesar 70%. Penemuan kasus TB paru di UPT (Unit Pelaksanaan
Teknis) Puskesmas
Kecamatan Cimanggis tahun 2011, 182 kasus, mengalami kenaikan pada tahun 2012, 1517 kasus. Penderita TB di kelurahan Cisalak pasar, berdasarkan hasil pengkajian di Puskesmas Cimanggis, selama tahun 2012 sampai Mei 2013 terdapat 32 orang berobat TB, jumlah tersebut masih jauh diatas dari target nasional, dimana target untuk kelurahan Cisalak Pasar dalam menemukan kasus TB baru adalah sebanyak 20 kasus. Dari 32 orang pasien yang terdapat di kelurahan Cisalak pasar, 10 orang atau 32.1% diantaranya terdapat di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Pasien TB yang ditemukan berasal dari berbagai usia dan kalangan. Hal ini jelas perlu diperhatikan khususnya oleh tenaga kesehatan salah satunya perawat. Perawat komunitas mempunyai peranan penting dalam mengatasi masalah TB paru di daerah perkotaan.
5.1.2 TB paru pada lansia berbeda dengan TB paru pada usia muda. Tampilan klinis TB pada lansia tidak khas dan oleh karena itu mungkin tidak diketahui atau
97
Universitas Indonesia
98
salah diagnosis. Gejala TB paru pada orang berusia lanjut juga agak berbeda dari orang muda. Gejala batuk yang merupakan gejala penting pada TB pada orang muda ternyata pada usia lanjut kurang menonjol. Biasanya yang lebih sering dikeluhakan adalah gejala sesak.
5.1.3 Peran perawat komunitas pada karya ilmiah akhir ini tergambar pada asuhan keperawatan keluarga pada kakek A dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas. Salah satu hal yang menjadi penyebab kakek A menderita TB paru yaitu kontak serumah dengan BTA positif, riwayat merokok. TB paru pada kakek A termasuk di klasifikasi pasien baru. Masalah yang utama di keluhkan kakek A adalah sesak. Perawat komunitas memiliki tanggung jawab untuk melakukan implementasi keperawatan dengan membantu keluarga memenuhi lima tugas kesehatan keluarga dengan anggota keluarga yang menderita TB paru, serta mengajarkan tindakan inhalasi sederhana dan batuk efektif untuk mengatasi masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas pada kakek A.
5.1.4 Pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif ini tetap bermanfaat dan dapat diterapkan untuk mengeluarkan dahak, menurunkan frekuensi napas, dan mengurangi sesak pada lansia, karena inhalasi sederhana langsung bekerja pada paru-paru, aman untuk segala usia dan tidak terdapat reaksi alergi yang ditunjukkan oleh kakek A serta pada saat dibatukkan efektif tidak harus menggunakan banyak tenaga.
5.1.5
Pemecahan
masalah
yang
dilakukan
untuk
mengatasi
masalah
ketidakefektifan bersihan jalan napas pada kakek A yaitu mahasiswa menganjurkan adanya tindak lanjut dan motivasi dari petugas kesehatan yang bertugas di RW 01 termasuk kader-kader kesehatan yang sudah diberi pelatihan terkait TB paru. Pemberian terapi inhalasi sederhana harus rutin dilakukan di rumah selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif. Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan dua bantal dengan rasionalisasi didapatkan posisi semi fowler untuk meningkatkan ekspansi paru dan mencukupi kebutuhan oksigen sehingga memberikan kenyamanan.
Universitas Indonesia
99
Memotivasi keluarga kakek A untuk memeriksakan diri ke Puskesmas Cimanggis sehingga mendapatkan pengobatan.
5.2 Saran Mengacu kepada kesimpulan hasil penulisan ini, maka penulis menyampaikan beberapa saran bagi pihak yang terkait dengan penulisan karya ilmiah ini antara lain sebagai berikut:
5.2.1
Bagi Keluarga dengan TB paru
Kepada keluarga penderita TB paru tetap memberikan motivasi kepada anggota keluarga untuk melakukan pengobatan dan tetap
melaksanakan lima tugas
kesehatan keluarga. Melakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif sebagai perawatan keluarga pada penderita TB serta meningkatkan perilaku pencegahan potensi penularan TB paru dengan memiliki alat makan, menutup mulut jika batuk, tidak membuang dahak disembarang tempat, dan mengurangi aktivitas yang terdapat banyak kerumunan orang banyak. Pencegahan dapat dilakukan dari diri sendiri dan penderita juga bisa mengikuti penyuluhan berkala untuk meningkatkan pengetahuan.
5.2.2
Bagi Bidang Keperawatan Komunitas
Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumber informasi bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan komunitas dan keluarga yang holistik bagi pasien TB paru. Karya ilmiah ini juga diharapkan dapat menjadi petunjuk dasar untuk menyusun promosi kesehatan dan proteksi kesehatan bagi masyarakat agar angka TB paru di Indonesia semakin menurun.
5.2.3
Bagi Puskesmas Cimanggis
Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Cimanggis dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB paru tidak hanya di puskesmas saja, tetapi bisa dilakukan kunjungan rumah bagi penderita TB paru. Program skrining juga bisa melakukan secara berkala yang berguna untuk
Universitas Indonesia
100
penemuan kasus baru atau kasus putus obat sehingga bisa secepatnya diberikan penanganan lebih lanjut.
5.2.4 Bagi Penelitian Karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan pembelajaran dan pengembangan ide untuk penelitian yang berkaitan dengan asuhan keperawatan keluarga pada pasien dengan kasus TB paru pada lansia. Karya ilmiah ini dapat dilanjutkan kembali untuk mengetahui masalah keperawatan lainnya yang bisa terjadi pada pasien dengan TB paru lansia dan tindakan efektif untuk mengatasi masalah keperawatan yang dialami oleh penderita TB paru pada lansia.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Akhavani, M. A. (2005). Steam inhalation treatment for children. British Journal of General Practice. Allender, J et all.(2010). Community health nursing: promotin and protecting the public’s health. (Ed 7). China: Lippincot. Amin, Z., & Bahar, A. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokter Universitas Indonesia. Anderson & Fallune. (2000). Community practice. California: Lippincott.
health and nursing, concept and
Azzisman, Fauzi Z, A, dkk.(2006). Buku tutor hemomptisis. Juni 03, 2013. http://eng.unri.ac.id. Barbara, Kozier. (2004). Fundamental of nursing. (seventh edition).Vol 2. California: Addison-Wesley. Bintarto. (2000). Pengantar geogarafi kota. Yogyakarta: LIP SPRING. Carpenito, L. J. (2000). Book of nursing diagnosis.(edisi 18). alih bahasa: Monica Ester. Jakarta: EGC. Clark. (2000). Learning domain of bloom’s taxonomy. Juni 15, 2013. http://www.nwlink.com/-donclark/hrd/bloom.htm . Cipla. (2010). A practical guide to nebulization therapy. India: Cipla Ltd. Departemen Kesehatan.(2002). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan. (2004). Badan Litbangkes, Ditjen P2 PL,WHO, project DOTS expansion GF ATM, survei prevalensi tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: Depkes RI. Departemen Kesehatan. (2006). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Cetakan ke 2. Jakarta: Depkes RI. Departemen Kesehatan. (2007). Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. (edisi 2). Jakarta: Depkes RI. Departemen Kesehatan. (2008). Laporan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) Indonesia tahun 2007. Jakarta: Depkes RI.
101
102
Departemen Kesehatan. (2008). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI.
Effendy,N.(2004).Dasar-dasar keperawatan kesehatan masyarakat. Jakarta :EGC. Effendi. (2004). Keperawatan medikal bedah: klien dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: EGC. Friedman, M.M., Bowden, V.R., & Jones, E.G. (2003). Family nursing: Research, theory & practice. New Jersey: Prentice Hall. Helper,M,. dkk. (2009). Faktor sosial budaya yang mempengaruhi ketaatan berobat penderita tb paru. laporan penelitian. Pusat Penelitian Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan, Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI. Herryanto dkk (2004). Riwayat pengobatan penderita TB paru meninggal di Kabupaten Bandung. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 3 No. 1, April. Hidayati, R. (2009). Asuhan keperawatan pada tuberkulosis. Jakarta: Salemba Medika. Hiswani. (2009). Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Http://librarv.usu.ac.id/download/fkmhiswani6.pdf 2009). Hudak & Gallo. (2000). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC. Hough, Alexandra. ( 2001 ). Physiotherapy in respiratory care: an evidencebased approach to respiratory and cardiac management. Washington : Nelson Thornes. Kemenkes. (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI. Kompas (2008). Tuberkulosis pada usia lanjut. www.lipsus.kompas.com/jalanjalan/read/2008/10/19/13371682/Tuberkulosi s.pada.Usia.Lanjut. Juni, 15, 2013. Leung CC, Lam TH, Ho KS, Yew WW,Tam CM, Chan WM, et al. (2010). Passive smoking and tuberculosis. Arch Intern Med. Maryam, dkk. (2008). Mengenal usia lanjut dan perawatannya. jakarta: Salemba Medika.
103
Meiliya, E & Ester, M. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik (gerontological nursing : A health promotion/protection approach). Jakarta : EGC. Murti. (2000). Prinsip dan metode riset epidemiologi. Yogyakarta: Gajam Mada Univerity press. Muttaqin. (2010). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. NANDA (The North American Nursing Diagnosis Association). (2012). Nursing diagnostik: prinsip dan clasification 2012-2014. Phladelphia USA Nugroho. (2007). Hubungan teknik batuk efektif dengan pengeluaran sputum pada pasien tuberkulosis paru akut di wilayah kerja Puskesmas Jungkat Kecamatam Siantan Kabupaten Pontianak. Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Nugroho, W. (2000). Keperawatan Gerontik & Geriatrik, Edisi 3. Jakarta : EGC. Nugroho, A. Y. (2011). Batuk efektif dalam pengeluaran dahak pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas di instalasi rehabilitasi medik Rumah sakit Baptis kediri. Jurnal STIKES RS. Baptis Kediri. Volume 4. No. 2 Desember 2011.
Nuraeni. (2012). Pengaruh steam inhalation terhadap usaha bernapas pada balita dengan pneumonia di puskesmas Kebupaten Subang Provinsi Jawa Barat. Depok: Program Magister Ilmu Keperawatan, FIK UI. Pradono, J. (2007). Kesehatan dalam pembangunan berkelanjutan. Jurnal Ekologi Kesehatan . Vol.6 No.2 Agustus 2007. Pramudiarja.(2012). Tuberkulosis. Maret www.mdetikhealth.com/health/read/2012/03.
12,
2012.
Perkumpulan Pemberantasan TB Indonesia. (2012). Jurnal tuberkulosis Indonesia.vol. 3 No. 2 September 2012. Jakarta: PPTI. Permatasari, A. (2005). Pemberantasan penyakit TB paru dan strategi DOTS. Bagian Paru: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Puskesmas Cimanggis. (2012). Profile kesehatan UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) Puskesmas Kec. Cimanggis Th. 2012. Depok: Puskesmas Cimanggis. Price, S.A., & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Jilid II. Jakarta: EGC. Potter, P. A., & Perry, A. G. (2005). Fundamental of nursing consept: proses and practice. Philadelphia: Mosby. Inc.
104
Potter, P. A., & Perry, A. G. (2009). Fundamentals of nursing: fundamental keperawatan; buku 2 edisi 7. Jakarta; Salemba Medika. Rab, T. (2000). Ilmu penyakit paru. (Ed Hipokrates). Jakarta: Qlintang S. Rasmin, M, dkk. (2001). Prosedur tindakan bidang paru dan pernapasan – diagnostik dan terapi. Jakarta: Bagian Pulmonologi FK UI. Balai Penerbitan FK UI. Rekawati. (2011). Bahan ajar kuliah epidemiologi. Depok: FIK UI. Riono, P & Farid, M. (2012). Estimasi jumlah orang dengan TB di Indonesia, 2009-2010 (2011). Warta tuberkulosis indonesia (volume 21 ) oktober 2012. Scanlon, V & Sanders (2007). essentials of anatomy and phsiologi. ( 5th ed). Philadelphia: F.A Davis Company. Setiawati, L. (2008). Efektivitas penggunaan posisi semi fowler pada klien tbc untuk mengurangi sesak napas (studi kasus di rumah sakit paru batu). Malang. Singh, M. (2004). Heated, humidified air for the common cold. Cochrame Database Syst. Rev (2): CD001728. SKRT (2004). Survei kesehatan rumah tangga. Volume 2. Juni 15, 2013. http://www.litbang.depkes.go.id. Slamet, J.S. (2000). Kesehatan lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan medikal bedah. (edisi 8). Alih bahasa: Agung Waluyu. Jakarta: EGC. Soedjono. (2000). Pengaruh kualitas udara (debu COx, NOx, SOx) terminal terhadap gangguan fungsi paru pada pedagang tetap terminal bus induk Jawa Tengah 2002. Semarang: UNDIP. Stanhope, M and Lancaster, J. (2004). Community and Public Health Nursing. The Mosby Year Book. St Louis. Stanley, M,. Gauntlett & Patricia. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik (edisi 2). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. STRANAS. (2011). Rencana aksi nasional informasi strategis pengendalian tuberkulosis Indonesia 2011-2014. Jakarta: Kemenkes RI. Subrata. (2006). VCO dosis tepat taklukan penyakit. Jakarta: Penebar Swadaya.
105
Sudiharto. (2007). Asuhan keperawatan keluarga keperawatan trankurtural. Jakarta: EGC.
dengan
pendekatan
Suprajitno. (2004). Asuhan keprawatan keluarga aplikasi dalam praktek. Jakarta : EGC. Timmreck, Thomas,. C. (2004). Epidimiologi: suatu pengantar. (Edisi 2). Jakarta: EGC. Widoyono. (2008). Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan, dan pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga. Wijaya. (2012). Merokok dan tuberkulosis. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan. Wen CP, Chan TC, Chan HT, Tsai MK, Cheng TY, Tsai SP. (2010). Their reduction of Tuberculosis risks by smoking cessation. BMC Infect Dis. Wong, D. L., Hockenberry, & M., Wilson, D., Winkelsein, M., L., & Schwatrz, P. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik. (edisi 6). (Monika Ester penterjemah). Jakarta: EGC. World Health Organization. (2008). Indonesian Strategic Plan to Stop TB 20062010. Jakarta: Depkes RI. World Health Organization. (2009). Global action plan for prevention and control of pneumonia (GAPP). Geneva: WHO. World Health Organization. (2010). World health statistic 2009. France. Juni 14, 2013. http://www.who.int/healthinfo/statistic/programme/en/index.html. Yoga, T (2007). Diagnosis TB pada anak lebih sulit. Mediakom info sehat untuk semua: Departemen Kesehatan.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Andi Amalia Wildani, S.Kep
Tempat, Tanggal Lahir
: Bungoro, 05 Januari 1991
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Alamat Asal
: Jl. Poros Tonasa 2 No. 03, Kel Samalewa, Kec. Bungoro, Kab. Pangkep, Sulawesi Selatan
Alamat Tinggal
: Jl. Kedoya RT.01 RW. 03 No. 77, Kostan Griya Nafans kamar 76 , Kel. Pondok Cina, Kec. Beji, Depok, Jawa Barat
Email
:
[email protected]/
[email protected]
Riwayat Pendidikan
:
Tahun 1996-2002
: SDN 2 Lejang
Tahun 2002-2005
: SMPN 1 Bungoro
Tahun 2005-2008
: SMAN 1 Pangkep
Tahun 2008- 2012
: Sarjana Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Tahun 2012-2013
: Program Profesi SNers, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA KAKEK A Penjelasan lampiran ini mengenai asuhan keperawatan keluarga Kakek A dengan Tuberkulosis Paru di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Asuhan keperawatan keluarga ini terdiri dari pengkajian, analisis data, diagnosis keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi dan evaluasi.
Pengkajian Klien dengan nama Kakek A (70 tahun), tinggal di Gg Masjid, RT 06/ RW 01 Cisalak Pasar, merupakan pensiunan karyawan swasta. Komposisi dan genogram keluarga Kakek A dipaparkan lebih jelas pada tabel 3.1 dan gambar 3.1.
Tabel 1 Komposisi Keluarga Kakek A No
Nama
1 2 3 4
Kakek A Nenek I Bapak F Ibu A
Jenis kelamin Laki-Laki Perempuan Laki-Laki Perempuan
Hub dgn KK
Umur
Kepala Keluarga Istri Anak Kandung Menantu
70th 69th 35th 30th
Pendidikan SMA SMP S1 SMA
Gambar 1 Genogram Keluarga Kakek A dan Nenek I Kakek A (70th) menikah dengan Nenek I (69th) pada tahun 1992. Saat ini, keluarga Kakek A mempunyai dua orang anak kandung yaitu Bapak R (38th) dan 1
Universitas Indonesia
2
Bapak F (35th). Anak M merupakan anak pertama dan telah menikah serta memiliki tiga orang anak laki-laki yaitu Ibu A (16th), Anak D (12th) dan Anak M (9th) yang bertempat tinggal di samping rumah Kakek A. Anak kedua Kakek A yaitu Bapak F telah menikah dengan Nenek I yang saat ini telah hamil 30 minggu (G1P0A0).
Kakek A sebelum menikah dengan Nenek I, Kakek A sudah menikah dan memiliki dua orang anak pada pernikahan pertama yaitu Bapak M (55th) dan Bapak N (50th). Anak pertama dari pernikahan pertama telah meninggal karena kecelakaan motor pada saat usia 55 tahun. Anak kedua masih hidup sampai saat ini dan telah menikah, memiliki satu orang anak perempuan yaitu Anak Y (21th). Istri pertama Kakek A telah meninggal tanpa diketahui penyebabnya + tujuh tahun sebelum Kakek A menikah dengan Nenek I.
Nenek I juga sebelumnya telah menikah dan memiliki satu orang anak laki-laki yaitu Bapak A (50th). Bapak A telah menikah dan memiliki tiga orang anak perempuan yaitu Anak S (22th), Anak K (19th) dan Anak R (17th). Suami pertama Nenek I telah meninggal tanpa diketahui penyebabnya + lima tahun sebelum Nenek I menikah dengan Kakek A.
Kedua orang tua dari Kakek A sudah meninggal, Ayah dari Kakek A meninggal pada usia 70 tahun karena sesak, sedangkan Ibu dari Kakek A meninggal pada usia 50 tahun meninggal karena TB Paru. Kakek A memiliki dua saudara dan semuanya sudah berkeluarga, akan tetapi saudara pertama dari Kakek A meninggal pada usia 65 tahun karena TB Paru.
Kedua orang tua dari Bapak Nenek I juga sudah meninggal, Ayah dari Nenek I meninggal pada usia 50 tahun karena sesak, sedangkan Ibu dari Nenek I meninggal pada usia 45 tahun meninggal karena stroke. Nenek I memiliki satu saudara dan sudah berkeluarga. Keluarga Kakek A (70 tahun) merupakan keluarga dengan tipe keluarga extended family yang terdiri dari Kakek A (70 th), Nenek I (69 th) dan Anak. F (35th) serta
3
Ibu A (30 thn). Kakek A merupakan campuran dari suku Sunda dan suku Betawi karena mengikuti kedua orang tuanya. Nenek I berasal dari Banten yaitu suku Sunda. Keduanya sudah berdomisili di Depok sekitar 8 tahun. Komunikasi antara Kakek A dan Nenek I menggunakan bahasa Indonesia, begitupun berkomunikasi dengan Bapak F dan Ibu A juga menggunakan bahasa Indonesia. Nenek I mengatakan tidak menganut mitos atau pantangan tertentu yang dapat mempengaruhi pemeliharaan kesehatan keluarga, namun terkadang menggunakan ramuan tradisional atau herbal untuk mengatasi masalah kesehatan tertentu, misalnya ketika anak diare diberi sawo mentah dan kunyit. Nenek I mengatakan keluarga menyukai makanan yang sunda. Atribut-atribut yang berkaitan dengan suku betawi dan sunda tidak terdapat di lingkungan rumah. Suku tidak mempengaruhi pola makan keluarga karena keluarga lebih sering masak sendiri. .
Keluarga Kakek A menganut agama Islam. Keluarga menjalankan ibadah sholat, puasa, dan ibadah lainnya. Keluarga menjalankan salat lima waktu namun tidak pernah berjamaah, dengan alasan Kakek A setiap shalat di mushola samping rumahnya, sehingga Nenek I, Bapak F ataupun Ibu A lebih sering shalat sendirian di rumah. Ketika ada salah satu anggota keluarga yang mulai malas, maka mereka saling mengingatkan. Kakek A tidak mengikuti pengajian dan jarang berinteraksi dengan masyarakat karena lebih banyak menghabiskan waktu dengan cucucucunya dan malas berjalan jauh karena merasa sesak dan mudah capek ketika beraktivitas lama, sehingga di rumah digunakan untuk istirahat. Nenek I juga tidak mengikuti pengajian karena mengurus kebutuhan Kakek A, dan semenjak pasca jatuh yang mengakibatkan lengan kanannya patah dan sering mengalami nyeri sendi, namun sebelum merasa sakit Nenek I rajin mengikuti pengajian. Nenek I dan Kakek A berpuasa pada saat bulan ramadhan saja.
Keluarga Kakek A merupakan keluarga dengan status sosial ekonomi kelas menengah. Rumah yang ditempati keluarga Kakek A adalah rumah milik sendiri yang sudah ditempati kurang lebih delapan tahun. Rumah Kakek A adalah tipe permanen dua lanai dengan tembok dari batu bata dan atap dari genteng. Perabotan rumah tangga Kakek A lengkap, terdapat Kulkas, TV 21 inch, CD
4
Player, mesin cuci, kipas angin, dll. Nenek I mengatakan tidak punya cicilan barang. Keluarga Kakek A mempunyai satu buah motor dan mushola yang dibangun di samping rumah Kakek A. Keluarga Kakek A tidak memiliki asuransi kesehatan semenjak kantor tempat dulu bekerja bangkrut, namun saat ini sedang mengurus jamkesmas.
Saat ini Kakek A tidak memiliki penghasilan, namun sebelumnya Kakek A bekerja sebagai karyawan swasta akan tetapi kantornya bangkrut. Nenek I merupakan Ibu Rumah Tangga (IRT). Kakek A ataupun Nenek I tidak memiliki tabungan. Kebutuhan Kakek A dan Nenek I saat ini semuanya ditunjang oleh kedua anaknya. Uang yang diberikan oleh anaknya tersebut digunakan untuk membayar listrik, kebutuhan dapur, jajan buat cucu-cucunya. Namun terkadang Kakek A merasa kurang dengan ekonominya sekarang dan sering sedih ketika tidak bisa memberi uang jajan ke cucunya.
Keluarga Kakek A jarang pergi berekreasi bersama. Waktu luang biasanya digunakan dengan mengobrol bersama di rumah sambil menonton televisi. Ketika bosan biasanya Kakek A berkunjung ke rumah anaknya yg berada di samping rumah Kakek A untuk bermain sama cucu-cucunya. Jika sendiri di rumah, Nenek I biasanya duduk-duduk sambil mengobrol dengan tetangga di mushola samping rumahnya. Nenek I. Keluarga Kakek A jarang pulang ke kampung halaman, terutama saat lebaran.
Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga Tahap perkembangan keluarga Kakek A adalah keluarga dengan dewasa. Tugas perkembangan keluarga dengan dewasa pada keluarga Kakek A yang sudah terpenuhi antara lain pertama memperluas siklus keluarga dengan memasukkan anggota keluarga baru yang didapat dari hasil pernikahan anak-anaknya, anak pertama dari Kakek A dan Nenek I sudah memiliki dua orang anak namun tinggalnya di samping rumah, sedangkan Bapak F sudah menikah dan saat ini istrinya sedang hamil pertama dengan usia kehamilan 30 minggu. Kedua mempertahankan keintiman pasangan dimana Kakek A dan Nenek I selalu
5
berusaha menjaga keintiman hubungan keluarga mereka dengan cara saling menyayangi dan saling memperhatikan apabila ada anggota keluarga yang sakit. Walaupun Kakek A dan Nenek I sudah hampir 3 tahun pisah ranjang dikarenakan penyakit Kakek A. Namun Kakek A dan Nenek I selalu mengobrol saat siang hari. Ketiga yaitu mempersiapkan anak untuk hidup mandiri dan menerima kepergian anaknya, anak pertama dari pernikahan Kakek A dan Nenek I sudah bekerja dan menikah serta memiliki dua orang anak yang tinggal di samping rumahnya, sedangkan anak kedua juga sudah bekerja dan telah menikah namun masih tinggal bersama Kakek A dan Nenek I di rumah Kakek A. Ketiga membantu orang tua suami atau istri yang sedang sakit dan memasuki masa tua, Anak-anak dari Kakek A dan Nenek I selalu memberikan dukungan berupa finansial untuk memenuhi semua kebutuhan hidup pada saat ini termasuk biaya pengobatan ketika sakit, mengingat Kakek A dan Nenek I sudah lansia dan tidak memiliki penghasilan. Semua tugas perkembangan sudah terpenuhi.
Nenek I dan Kakek A dijodohkan, namun sebelum menikah, ada masa penjajakannya juga sehingga masih cocok sampai sekarang. Keluarga terlihat harmonis dan bekerja sama dalam membesarkan anaknya. Pernikahan Nenek I dan Kakek A sama-sama merupakan pernikahan kedua karena cerai mati. Pernikahan Nenek I dan Kakek A mendapatkan restu dari keluarga dari Kakek A maupun dari Nenek I serta restu dari anak-anak dari Kakek A pada pernikahan pertama, begitupun anak-anak dari Nenek I dari pernikahan pertamanya.
Riwayat kesehatan dari Kakek A saat ini yang dirasakan adalah sesak sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu, sesekali batuk, biasanya dimalam hari dan mengeluarkan dahak berwarna putih, jumlah sedikit, tidak bau, sulit mengeluarkan dahak. Kakek A mengatakan pernah memeriksakan dahaknya di puskesmas Cimanggis pada Desember 2012 dan hasilnya BTA positif tetapi tidak menjalani pengobatan sebelumnya mengeluh batuk-batuk lebih dari 3 minggu. Tidak ada riwayat alergi, riwayat merokok + 15 tahun dan menghabiskan 2 bungkus rokok sehari, saat ini sudah tidak merokok sejak 3 bulan yang lalu. Pada saat batuk-batuk lebih dari 3 minggu berobat ke dokter praktik dan mendapatkan
6
obat sanbutamol dan tyrosol yang diminum 3 × 1/ hari, akan tetapi tidak mengalami perbaikan kesehatan semenjak mengkonsumsi obat salbutamol dan tyrosol. Kakek A Tidak menjalani pengobatan OAT saat terdiagnosis BTA positif. Kakek A mengatakan malas untuk mengunjung puskesmas karena malas mengantri. Mengatakan mengerti tentang masalah TB mulai dari pengertian sampai akibat bila tidak diobati, terkadang membuka jendela dan pintu dipagi hari dan berjalan-jalan kecil di sekitar rumah. Kebanyakan menghabiskan waktu buat tidur. Berinteraksi dengan anggota keluarga tanpa menggunakan masker, membuang dahak di kamar mandi dan saluran pipa depan rumah, belum menerapkan etika batuk yang baik dan benar, alat makanan sudah dipisahkan, Kakek A menganggap dirinya tidak TB tetapi asma.
Nenek I mengatakan bahwa saat ini yang dikeluhkan adalah nyeri pada sendi lutut kanan, yang skala nyeri 5 dan terkadang menyebar ke ibu jari, nyeri yang dirasakan paling sering malam hari dan saat bangun pagi. Nenek I mengatakan tidak pernah memeriksakan dirinya ke pelayanan kesehatan terkait keluhan yang dirasakan., tidak ada riwayat asam urat. Nenek I mengatakan dirinya tidak memiliki pengetahuan terkait asam urat. Nenek I saat ini juga pasca jatuh dari kamar mandi, lengan kirinya patah dan saat ini sedang di bebat, dan terjadi perubahan cara berjalan sehingga Nenek I yang awalnya tidak membungkuk saat berjalan menjadi bungkuk.
Bapak F mengatakan bahwa saat ini tidak keluhan yang dirasakan, namun Bapak F merupakan perokok aktif + 5 tahun satu bungkus sehari dan berangkat bekerja menggunakan motor dan jarang menggunakan masker.
Ibu A mengatakan bahwa dirinya tidak ada keluhan, saat ini Ibu A telah hamil 30 minggu G1P0A0. setiap bulan rajin periksa kehamilan di puskesmas terdekat. Taksiran partus akhir juli 2013, Ibu A telah melakukan persiapan untuk menyambut anak pertamanya dan sudah menetapkan tempat untuk melahirkan yaitu di puskesmas.
Ibu A sedikit merasa ansietas karena ini merupakan
pengalaman pertamanya dan takut ada yang tidak sesuai dengan harapannya.
7
Ibu dan Kakak pertama dari Kakek A meninggal dengan masalah TB paru, dan Bapak dari Kakek A meninggal karena Sesak. Orang tua dari Bapak B tidak memiliki riwayat diabetes mellitus, hipertensi ataupun sakit jantung. Ibu dari Nenek I meninggal karena stroke, sedangkan Bapak dari Nenek I meninggal karena sesak. Orang tua dari Nenek I tidak memiliki riwayat diabetes mellitus, TB paru. tetapi memiliki riwayat hipertensi.
3.2
Lingkungan
Rumah yang ditempati keluarga Kakek A adalah rumah permanen, lantai dua. Rumah Kakek A terletak di belakang TK dan di samping mushola milik sendiri. Rumah tersebut berukuran 11 meter x 5 meter. Pencahayaan rumah hampir semuanya dari lampu karena pencahayaan rumah hanya masuk dari pintu dan jendela rumah jika pintu dan jendela dibuka. Lantai rumah keluarga bapak N terbuat dari keramik berwarna putih dengan keadaan bersih, genting terbuat dari asbes, dan tembok dari batu bata dan sudah dicat biru muda. Perabot rumah tangga tertata dengan cukup rapi. Desain interior rumah terbagi menjadi sembilan ruangan, yang paling depan adalah teras. Ruang kedua adalah ruang tamu, ruang ketiga ruang nonton. Ruang keempat dan lima merupakan ruang tidur, ruang keenam adalah ruang dapur, ruang ketujuh kamar mandi, dan ruang delapan di lantai atas yaitu ruang tidur serta ruangan terakhir di samping yang juga terdapat teras. Ventilasi udara masuk melalui pintu depan karena jendela bagian depan tidak dapat dibuka, karena dipasang permanen dengan bingkai jendela, dan dijendela kamar samping yang bisa terbuka.
Kondisi ruang tamu dan nonton TV tampak bersih dan terdapat kasur untuk tempat tidur yang digunakan oleh keluarga khususnya anaknya pada siang hari. Selain itu ruang tamu juga terdapat lemari kaca dan kipas angin, terdapat kursi maupun meja untuk tamu. Di ruang tamu terdapat foto dinding anak – anak sewaktu kecil dan foto keluarga. Ruang kamar terdapat tempat tidur, dua buah lemari pakaian dengan pencahayaan yang cukup tetapi ada satu ruang tidur yang kurang pencayahaan dikarenakan ruang kamar tidak memiliki jendela dan
8
ventilasi sehingga sirkulasi udara tidak bagus yang menyebabkan pengap dan panas. Pada siang hari ruang kamar tampak gelap sehingga terkadang membutuhkan lampu untuk penyinaran. Ruang kamar mandi (toilet) yang terdiri dari bak mandi & WC jongkok. Toilet tampak bersih dengan penataan sabun, odol, dan sikat gigi rapi. Pencahayaan di toilet kurang sehingga untuk penerangan membutuhkan lampu dihidupkan. Toilet memiliki dua buah ventilasi berbentuk lonjong, masing-masing berdiameter + 10 cm. Lantai toilet juga sudah terbuat dari keramik berwarna putih, bersih dan sedikit licin. Ruang masak keluarga terlihat sedikit kotor, terdapat satu tempat sampah, keluarga Kakek A menggunakan gas elpiji untuk memasak. Selain itu, terdapat juga lemari kaca berisi peralatan makan.
Ruang teras terbagi dua ada di depan dan di samping. Teras rumah bagian depan digunakan untuk menimpan tanaman, dan tempat menyimpan motor. Teras rumah bagian samping digunakan sebagai tempat berbincang-bincang dengan tetangga dan tempat bermain cucu-cucu yang datang, untuk menjemur pakaian. Jemuran pakaian menggunakan jemuran stainles steel yang bisa dibawa masuk ke dalam rumah ketika hujan, dan terdapat alat olahraga yang tidak terpakai serta rak sepatu yang berdebu.
Rumah keluarga Kakek A memiliki pekarangan yang digunakan untuk menanam bunga dan terdapat dua pohon rambutan, serta terdapat satu kolam ikan. Kondisi halaman rumah kurang bersih banyak dedaunan yang kering dan terdapat air yang tergenang di dua ember dan berjentik, terdapat kolam ikan yang juga berisi beberapa ikan hias tetapi airnya tampak kotor dan berlumut serta banyak jentik nyamuk.
Kakek A mengatakan bahwa jarak septic tank dengan sumber air + 5 meter. Sumber air yang digunakan sehari-hari adalah air tanah dengan menggunakan pompa dari sumur bor. Terdapat selokan di depan maupun sekitar rumah. Tempat pembuangan sampah dari dapur di depan rumah dan nanti diambil oleh petugas sampah yang bertugas setiap dua hari sekali. Sampah dedaunan depan rumah
9
langsung dibakar dipekarangan rumah. Sumber air minum biasanya keluarga mengkonsumsi air minum berasal dari galon yang dibeli di dekat rumah.
Gambar 2 Denah Rumah Keluarga Kakek A Lingkungan RT 06/RW 01 merupakan daerah berpenduduk padat. Kakek A mengatakan suku mayoritas di RT tersebut adalah Suku Sunda. Adapun suku minoritas adalah Suku Betawi dan Jawa yang kebanyakan adalah pendatang. Rumah warga sangat berdekatan satu sama lain dan banyak jalan/gang sempit. Tidak ada industri dekat rumah Kakek A. Hunian sekitar rumah Kakek A kebanyakan rumah milik pribadi.
Rata-rata kondisi ekonomi tetangga keluarga Kakek Aadalah menengah ke bawah dengan karakteristik suami yang bekerja sebagai buruh bangunan, tukang ojek, dan istri sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Adapun tetangga yang kondisi ekonominya menengah keatas hanya beberapa keluarga saja. Mata pencaharian tetangga keluarga Kakek A bervariasi. Tetapi ada juga beberapa keluarga yang mata pencahariannya tidak menetap bahkan ada yang pengangguran.
10
Karakteristik tetangga keluarga Kakek A sebagian besar adalah keluarga dengan balita. Jarak antar rumah di daerah tempat tinggal keluarga Kakek A saling berhimpitan satu sama lain. Jalan menuju rumah keluarga Kakek A sudah terbuat dari semen, pada tempat tertentu ada genangan air. Letak rumah keluarga Kakek A tidak berada di dekat jalan utama sehingga harus memasuki gang setapak yang masih bisa dilalui oleh motor. Setiap rumah di sekitar tempat tinggal keluarga Kakek A tidak memiliki pekarangan/halaman yang luas dan kosong, di depan rumah Kakek A terdapat warung yang biasa dijadikan tempat berkumpul dengan tetangga. Tiap hari ada pedagang sayur yang lewat di depan gang. Fasilitas kesehatan yang ada di RT 06 tidak ada. Transportasi umum yang paling banyak adalah ojek, karena tidak ada angkot yang masuk ke RW 01 khususnya RT 06.
Tetangga Kakek A kadang bermain ke rumah untuk mengobrol begitupun sebaliknya. Terdapat mushola yang biasa digunakan untuk ibadah salat berjamaah dan kegiatan keagamaan lainnya, tempat berkumpul baik untuk mengobrolngobrol biasa dengan tetangga ataupun tempat untuk pengajian dan tempat penyuluhan mahasiswa. Terdapat juga TK di dekat rumah yang digunakan anakanak untuk bermain ketika TK sudah bubar.
Kakek A tinggal di RT 06 RW 01 Cisalak Pasar sudah + 8 tahun dengan Nenek I dan anak-anaknya tinggal di rumah yang dihuni sekarang. Awal setelah menikah dengan Nenek I, Kakek A dan keluarga tinggal di daerah Jakarta Timur. Anak pertamanya dari pernikahan dengan Nenek I juga tinggal di samping rumah Kakek A. Tidak ada rencana dari keluarga Kakek A untuk pindah rumah. Keluarga Kakek A menggunakan motor atau jasa transportasi umum (angkot) jika berpergian jauh dari rumah seperti ke pasar, mall, dan tempat lainnya. Jika salah satu anggota keluarga sakit, keluarga Kakek A akan pergi ke Puskesmas Ciracas, ke dokter praktik atau praktik mantri. Keluarga Kakek A sering berkumpul di rumah Kakek A, sedangkan untuk keluarga dari pihak Nenek I juga lebih sering berkumpul di rumah Kakek A. Nenek I tidak mengikuti arisan ataupun mengikuti pengajian RT. Anggota
11
keluarga Kakek A khususnya Bapak F dan tidak rutin mengikuti kegiatan kemasyarakatan di daerah setempat RT 06 karena bekerja dan ketika pulang kerja sudah larut malam dan merasa capek. Hari libur Bapak F di manfaatkan untuk beristirahat di rumah dan bersantai dengan Kakek A, Nenek I dan istrinya yang sedang hamil pertama. Nenek I mengatakan waktu berinteraksi dengan tetangga seringnya pada pagi dan sore hari di depan teras mushola dan Nenek Imengatakan sudah mengenal hampir semua tetangga di sekitar rumahnya dan cukup dekat. Kakek A sendiri kadang-kadang mengikuti kegiatan kemasyarakatan di daerah setempat seperti pengajian setiap hari Jumat, dan terkadang mengikuti penyuluhan kesehatan yang diadakan mahasiswa.
Keluarga Kakek A tidak memiliki asuransi ataupun jaminan kesehatan semenjak perusahaan tempat bekerja bangkrut, namun sekarang sedang proses mengurus Jamkesmas.
Anak-anaknya memiliki jaminan kesehatan dari tempat mereka
bekerja. Ketika kunjungan, terlihat Kakek A bersosialisasi dengan baik terhadap tetangganya. Kakek A memiliki anak yang rumahnya cukup dekat dari rumahnya sehingga mudah jika ingin membutuhkan bantuan. Keluarga besar dari Kakek A adan Nenek I kebanyakan tinggal di daerah Jakarta dan Banten sehingga kalau membutuhkan kalau membutuhkan bantuan, dengan mudah Keluarga Kakek A menghubungi saudara lewat telepon genggam. Keluarga BapakA
merupakan
keluarga yang mandiri, hal itu disampaikan oleh Nenek I. Segala kebutuhan keluarga Kakek A semaksimal mungkin diusahakan sendiri tanpa meminta bantuan dari keluarga lain. Akan tetapi, jika ada kebutuhan yang benar-benar mendadak, Nenek I biasanya meminta bantuan biaya dari anak-anaknya.
3.3
Struktur Keluarga
Kakek A mengatakan jika ada masalah di keluarga, maka masalah tersebut akan didiskusikan dan diselesaikan secara bersama-sama. Pola komunikasi keluarga Kakek A termasuk komunikasi secara terbuka. Pada saat terjadi konflik atau masalah dalam keluarga baik antara orangtua dengan anak, atau anak dengan anak bahkan suami istri, masalah diselesaikan secara musyawarah antara suami dan istri, anak, dan orangtua. Masalah apapun yang terjadi dirumah selalu
12
dikomunikasikan Nenek I dengan Kakek A. Anggota keluarga rutin bertemu tiap hari walaupun dari pagi atau sore baik itu di rumah anak pertamanya ataupun di rumah Kakek A. Pertemuan keluarga biasanya lebih difokuskan pada malam hari sambil menonton TV. Dari hasil observasi, Bapak F dan istrinya termasuk anak yang penurut dan sopan. Bapak F juga mengikuti apa yang dikatakan Nenek I ataupun Kakek A. Nenek I dan Kakek A juga terlihat bertutur kata lembut kepada anak-anaknya baik itu ke cucunya.
Pembuat keputusan dalam keluarga Kakek A adalah Kakek A. Akan tetapi keputusan yang diambil adalah hasil diskusi antara Kakek A, Nenek I dan anakanaknya misalnya ada anggota keluarga yang sakit maka hal itu akan disampaikan oleh Nenek I kepada Kakek A untuk dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit, Puskesmas, dokter praktik dan praktik mantri.
Kakek A adalah kepala keluarga, suami dari Nenek I dan ayah dari Bapak F dan Anak G, dan seorang kakek dari cucu-cucunya. Kakek A adalah pensiunan karyawan swasta, keseharian Kakek A hanya di rumah dan terkadang bermain dengan cucu-cucunya yang tinggal di samping rumahnya atau mengobrol dengan tetangga, ketika tidak ada kegiatan Kakek A hanya tiduran saja di rumah.
Nenek I memiliki peran sebagai istri dari Kakek A dan ibu bagi Bapak F dan An. G, serta seorang nenek bagi cucu-cucunya. Nenek I terkadang bertugas merapikan rumah, memasak, dan menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga, akan tetapi saat ini tugas rumah tangga di alihkan ke menantunya, istri dari Bapak F yang tinggal serumah.
Bapak F yaitu anak dari Kakek A dan Nenek I, suami dari Ibu A dan merupakan tulang punggung bagi keluarga, calon ayah dari anak yang dikandung oleh Ibu A. Bertugas sebagai pencari nafkah dan bekerja dari Senin-Jumat.
Ibu A yaitu menantu dari Kakek A dan Nenek I, istri dari Bapak F dan merupakan calon ibu dari anak yang dikandungnya saat ini. Terkadang bertugas merapikan
13
rumah, memasak, dan menjalankan tugasnya sebagai ibu rumah tangga dengan mengambil alih tugas rumah tangga di rumah Kakek A, dikarenakan Nenek I sudah lansia.
Nilai-nilai yang dianut oleh keluarga Kakek A diadopsi dari pola asuh orangtua Kakek A dan Nenek I. Keyakinan agama yang dianut adalah Islam dimana keluarga menjalankan ibadah sholat lima waktu dan puasa dibulan Ramadhan. Keluarga mulai menanamkan pendidikan agama semenjak kecil untuk anaknya. Nilai keluarga terkait pola pengasuhan anak masih sering mengikuti petuah dari orang tua. Nenek I mengatakan anak-anaknya diajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua dan patuh terhadap nasehat.
3.4
Fungsi Keluarga
Sesama anggota keluarga saling menyanyangi dan saling memperhatikan kebutuhan masing-masing. Nenek I mengatakan bahwa setiap anggota keluarga dalam rumah dapat saling terbuka dalam menyampaikan pendapat. Kakek A dan Nenek I saling mengenal dan juga mengenali karakter dan kebiasaan kedua anaknya dan menantunya. Kedua anaknya memiliki hubungan yang intim dengan kedua orangtuanya, walaupun anak pertama tidak serumah lagi dan Bapak F yang serumah tetapi sering berada di luar rumah dalam jangka waktu yang lama. Menantu dan cucu-cucunya juga saling menyanyangi dan saling memperhatikan.
Sosialisasi antar anggota keluarga terlaksana dengan baik dan hubungan antar anggota keluarga dengan tetangga juga baik. Sosialisasi Bapak F dan menantu dengan tetangga juga terlaksana dengan baik. Hal itu terbukti bahwa Bapak F dan menantu mengenal teman-teman disekitar rumah mereka. Pagi dan sore hari biasanya Nenek I atau Kakek A duduk-duduk di mushola samping rumah untuk berinteraksi dengan tetangga-tetangga, atau berkunjung ke rumah anaknya yang di samping rumah untuk bermain sama cucu-cucunya. Keluarga Kakek A biasanya makan 3 kali dalam sehari. Makanan yang lebih sering dikonsumsi, seperti telur, tempe, ikan, tahu, dan sayuran hijau. Keluarga biasanya sarapan bersama. Keluarga Kakek A biasanya tidur pukul 20.30 dan
14
bangun pukul 04.30. Nenek I dan Kakek A tidur lebih awal. An.F dan istrinya juga tidur lebih cepat karena tidak dibiasakan begadang dari kecil dan merasa lelah sepulang kerja. Nenek I mengatakan keluarganya bisa minum air putih sampai 2 liter dalam sehari. Nenek I mengatakan tidak ada waktu khusus dalam keluarga untuk berolahraga. Kakek A dan Nenek I jarang berolahraga karena usia yang sudah tua dan gampang lelah ketika beraktivitas lebih. Bapak F dan istrinya juga jarang berolahraga rutin. Nenek I mengatakan keluarganya BAB dengan lancar dan tidak ada keluhan. Nenek I mengatakan, baik Nenek I maupun Kakek A tidak pernah dirawat di Rumah Sakit.
Kakek A tidak suka minum kopi, tetapi lebih suka minum susu putih ataupun air putih dan sudah berhenti merokok sejak 3 bulan yang lalu. Kakek A biasanya menghabiskan waktu di rumah untuk tidur ataupun sekedar bermain bersama cucu-cucunya yang tinggal disamping rumah Kakek A. Kakek A hanya mengeluh sesak yang sudah 3 bulan tidak kunjung sembuh dan pada saat berinteraksi suara napas ronchi sangat terdengar jelas tanpa menggunakan stetoskop. Kakek A hanya meminum obat salbutamol dan tyrosol yang biasa diberikan ketika memeriksakan diri ke dokter praktik atau praktik mantri, namun saat ini Kakek A tetap mengkonsumsi obat tersebut 3 kali/ hari tanpa resep dokter dan ketika habis dibeli ke apotik. Kakek A
tidak mau berobat ke puskesmas dengan alasan malas
mengantri dan dosis obat yang diberikan berbeda dengan obat yang dikonsumsi sekarang. Padahal Kakek A memiliki riwayat BTA positif pada Desember 2012 namun tidak menjalani pengobatan. Kelurga telah mengetahui kondisi dari Kakek A saat ini sehingga keluarga memberi perhatian lebih dengan terus memotivasi Kakek A untuk berobat ke pelayanan kesehatan.
Kakek A mengatakan TB meruapakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman TB. Kakek A juga mengatakan bahwa tanda dan gejala TB adalah batuk lebih dari tiga minggu, sesak napas, keringat malam. Hal ini merupakan masalah yang serius untuk diatasi menurut Kakek A. Saat ditanya akibat TB, Kakek A menyebutkan tidak dapat sembuh, menyebabkan kematian dan pasti selalu
15
mengambil keputusan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dialami oleh anggota keluarga.
Keluarga Kakek A belum melakukan perawatan sederhana dan tindakan pencegahan untuk mengatasi TB paru yang dialami oleh Kakek A. Hal ini dibuktikan bahwa Kakek A masih memiliki sesak napas dan tetap mengkonsumsi obat tanpa resep dokter dan belum mengunjungi pelayanan kesehatan. Tindakan yang dilakukan oleh keluarga khususnya Nenek I adalah memberi masukan kepada suaminya untuk mengunjungi pelayanan kesehatan.
Nenek I sebelumnya sudah menyadari memiliki tekanan darah tinggi sejak kunjungan yang dilakukan oleh mahasiswa sebelumnya. Saat pengukuran tekanan darah, hasilnya adalah 150/100 mmHg. Keluarga Kakek A khususnya Nenek I mengatakan bahwa tekanan darah tinggi adalah jika tekanan darahnya > 150 bagian atasnya dan penyebabnya adalah karena stress/banyak pikiran dan makan yang asin-asin. Nenek I mengatakan bahwa tanda dan gejala tekanan darah tinggi adalah sering sakit kepala dan merasakan tegang dibagian leher. Hal ini merupakan masalah yang serius untuk diatasi. Saat ditanya akibat dari tekanan darah tinggi Nenek I mengatakan tekanan darah tinggi bisa menyebabkan banyak penyakit dan pasti selalu mengambil keputusan untuk mengatasi masalah kesehatan yang dialami oleh anggota keluarga.
Keluarga Kakek A sudah melakukan perawatan sederhana dan tindakan pencegahan untuk mengatasi tekanan darah tinggi yang dialami oleh Nenek I. Hal ini dibuktikan bahwa Nenek I sudah mengurangi makan yang asin-asin dan mengkonsumsi timun untuk menurunkan tekanan darah, serta sering latihan tarik napas dalam agar lebih rileks. Lingkungan psikologis juga sudah tercipta di keluarga Kakek A. Selama ini Nenek I belum pernah mengunjungi pelayanan kesehatan untuk mengatasi keluhannya. Jika Kakek A mengeluh sakit kepala cukup membeli obat di warung.
16
Ibu A sedang mengandung, G1P0A0H30mg. Ibu A mengatakan tidak merasakan sakit apa-apa saat ini. Ibu A mengatakan makan 3x sehari. Misalnya yang dimasak hari itu ada telur, tempe, dan sayur bayam, maka Ibu A makan 1 piring yang berisi nasi 2 centong, 1 telur, 1 sendok makan tempe, dan 2 sendok makan sayur. Ibu A makan makanan seperti biasanya saat belum hamil. Ibu A makan makanan yang dimasak untuk keluarganya, seperti telur, tempe, dan sayuran hijau misalnya bayam atau kangkung. Ibu A tidak mengetahui nutrisi seimbang untuk ibu hamil sehingga tidak ada makanan khusus yang disediakan untuk ibu hamil trimester 3. Ibu A mengatakan makanan yang bagus untuk ibu hamil yang ada nasi, lauk, sayur, dan buah. Namun, Ibu A jarang memakan buah. Ibu A hanya meminum susu saat trimester 1 ketika Ibu A merasa mual sehingga tidak nafsu makan. Ibu A mengatakan tidak punya cukup uang untuk membeli susu. Penghasilan suaminya juga ditabung untuk biaya persalinan di Puskesmas dan keperluan bayi, keluarga Bapak F memiliki jaminan kesehatan dari temppat dia bekerja. Saat kunjungan jam 11, Ibu A mengatakan baru saja memakan makanan ringan yang ada di warung (banyak mengandung MSG). Ibu A mengatakan kadang memakan biskuit kelapa di antara waktu makan, misalnya jam 10 pagi. Ibu A kadang juga tidak memakan makanan selingan di antara jam makan pagi dan siang. Ibu A mengatakan sarapan dengan nasi dan telur. Ibu A tidak memakan sayur karena sudah dua hari hujan sehingga penjual sayur keliling tidak ada di depan gang rumah. Namun, Ibu A mengaku biasanya Ibu A dan anggota keluarga yang lain suka makan sayur. Ibu A mengatakan memilih ikan dan sayur yang tampak lebih segar. Ibu A mengatakan biasanya memotong sayur dahulu baru kemudian dicuci. Badan Ibu A tampak tidak begitu berisi, tetangganya pun banyak yang mengatakan kalau badan dan perut Ibu A termasuk kecil untuk usia kehamilan 30 minggu. Ibu A mengatakan sebelum hamil beratnya 45kg dan sampai kehamilan 30 minggu, beratnya 54kg, jadi naiknya sebesar 9kg. Dengan usia kehamilan 30 minggu, berat badan yang diharapkan 10,2kg, namun
masih dalam rentang
kenaikan berat badan normal, yaitu 8-18 kg selama kehamilan. Ibu A mengatakan tanda kurang gizi pada ibu hamil, yaitu berat naiknya sedikit, penyebabnya karena kurang makan, sehingga bisa menyebabkan kurang darah. Ibu A rutin
17
memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Cimanggis tiap bulan. Ibu A mengatakan waktu periksa, sempat konsultasi tentang anemia pada bidan.
Ibu A mengatakan sedikit cemas menjelang persalinan. Ibu A mengatakan khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan saat persalinan. Ibu A belum pernah melakukan USG sehingga tidak mengetahui jenis kelamin janinnya. Ibu A mengatakan cemas adalah perasaan takut akan terjadinya sesuatu yang tidak menyenangkan. Ketika merasa cemas, Ibu A hanya beristirahat dan berusaha untuk berpikir positif. Ibu A mengatakan tanda dan gejala cemas, yaitu khawatir, perasaan tidak menentu, jantung berdebar lebih cepat, gelisah, dan lebih sulit untuk tidur. Ibu A mengatakan jika cemas tidak diatasi bisa stress. Setelah dilakukan pengukuran tekanan darah, didapatkan hasil 120/80. Ibu A mengatakan tensinya naik, biasanya 100-110/70 mmHg. Nadi 92x/menit, RR 20x/menit.Wajah terlihat tidak tegang, tangan tidak tremor, dan tidak pula berkeringat.
Bapak F tidak memiliki keluhan saat ini, namun merokok + 5 tahun dan sebungkus dalam sehari, aktivitas berolahraga jarang dan berangkat bekerja menggunakan motor dan jarang menggunakan masker. Ibu A sudah sering memperingatkan suaminya untuk mengurangi merokok dan menggunakan masker ketika naik motor, akan tetapi Bapak F belum melaksanakannya. Bapak F mengatakan tidak pernah mengunjungi pelayanan kesehatan, karena Bapak F menganggap dirinya sehat-sehat saja.
3.5
Stres dan Koping Keluarga
Keadaan Kakek A yang memiliki keluhan sesak dan rasa kembung dan penuh di bagian perut, dan Nenek I yang memiliki tekanan darah tinggi dan pasca jatuh di kamar mandi sehingga mengubah gaya berjalan sehingga membungkuk menjadi stressor bagi keluarga Kakek A.
Hal yang selalu menjadi pikiran Nenek I dan menantu adalah sakit yang dialami oleh Kakek A yang tidak kunjung sembuh dan Kakek A mengkonsumsi obat
18
untuk mengurangi sesaknya tanpa resep dokter dan membeli bebas di apotik, sehingga keluarga merasa khawatir dengan keadaan Kakek A.
Keluarga Kakek A khususnya Nenek I sudah seoptimal mungkin untuk merawat Kakek A yang mengalami sesak dan TB Paru. Adapun usaha yang dilakukan adalah dengan memberikan lingkungan yang nyaman dan ventilasi udara yang bagus dengan sering membuka jendela dan pintu. Nenek I telah menyarankan dan meminta Kakek A ke Posbindu atau dokter praktik terdekat untuk mengatasi masalah sesak dan TB Paru yang dialami.
Ketika ada masalah Nenek I ataupun Kakek A mengatakan lebih sering diam dan marahnya akan hilang dengan sendirinya, kemudian baru membicarakan masalah tersebut agar mendapatkan solusi yang terbaik. Nenek I dan Kakek A tidak suka membesar-besarkan masalah.
Keluarga memiliki koping yang baik dalam menyelesaikan masalah yang ada dalam keluarga, termasuk dalam masalah kesehatan anggota keluarga. Keluarga berusaha seoptimal mungkin dengan segala sumber yang ada dalam keluarga digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan keluarga dengan cara memanajemen keuangan yang ada untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk gizi anggota keluarga.
Tidak ada adaptasi disfungsional yang terdapat dikeluarga Kakek A. Semua yang terjadi merupakan hasil dari pengalaman yang bersifat rasional dan keluarga melaporkan bahwa semua masalah yang diatasi dapat diselesaikan.
3.6
Harapan Keluarga
Keluarga berharap dengan adanya praktik mahasiswa ilmu keperawatan komunitas, keluarga dapat mendapatkan berdiskusi tentang masalah kesehatan sehingga keluarga dapat memperoleh informasi tentang kesehatan, terutama caracara untuk mengatasi penyakit yang dialami keluarga sehingga dapat tercapai
19
peningkatan kesehatan dalam keluarga. Keluarga berharap semua anggota keluarga sehat selalu.
20
3.7 Pemeriksaan Fisik Tabel 3.2 Pemeriksaan Fisik Keluarga Kakek A Komponen
Kakek A
Nenek I
Ibu A
Bapak F
Kepala
Bulat, simetris, Lesi (-), rambut tebal lurus pendek, berwarna hitam dan sudah beruban, terdistribusi secara merata pada kulit kepala.
Bulat, simetris, Lesi (-), rambut lurus panjang, berwarna hitam beruban, terdistribusi merata pada kulit kepala.
Bulat, simetris, Lesi (-), rambut lurus panjang, berwarna hitam, terdistribusi merata pada kulit kepala.
Bulat, simetris, Lesi (-), rambut lurus pendek, berwarna hitam, terdistribusi merata pada kulit kepala.
Mata
Alis mata simetris, sejajar, konjungtiva berwarna merah muda (tidak anemis), sklera putih, tidak terdapat edema di sekitar mata, sklera tidak ikterik, pupil isokhor, mata minus (-), positif (+)
Alis mata simetris, sejajar, konjungtiva berwarna merah muda, sklera putih, tidak terdapat edema di sekitar mata, sklera tidak ikterik, pupil isokhor, mata minus (-), positif (+)
Alis mata simetris, sejajar, konjungtiva berwarna merah muda (tidak anemis), sklera putih, tidak terdapat edema di sekitar mata, sklera tidak ikterik, pupil isokhor, mata minus (-)
Alis mata simetris, sejajar, konjungtiva berwarna merah muda (tidak anemis), sklera putih, tidak terdapat edema di sekitar mata, sklera tidak ikterik, pupil isokhor, mata minus (-)
Telinga
Bentuk simetris antara telinga kanan dan kiri, telinga sejajar mata, warna telinga sama dengan kulit wajah, bersih, serumen(-), lesi(-), nyeri(-), edema (-), eritema (-), gangguan pendengaran pada telinga kanan
Bentuk simetris antara telinga kanan dan kiri, telinga sejajar mata, warna telinga sama dengan kulit wajah, bersih, serumen(-), lesi(-), nyeri(-), edema (-), eritema (-), tidak ada keluhan.
Bentuk simetris antara telinga kanan dan kiri, telinga sejajar mata, warna telinga sama dengan kulit wajah, bersih, serumen(-), lesi(-), nyeri(-), edema (-), eritema (-), tidak ada keluhan.
Bentuk simetris antara telinga kanan dan kiri, telinga sejajar mata, warna telinga sama dengan kulit wajah, bersih, serumen(-), lesi(), nyeri(-), edema (-), eritema (-), tidak ada keluhan.
Universitas Indonesia
21
Komponen
Kakek A
Nenek I
Ibu A
Bapak F
Hidung
Bentuk simetris, tidak ada sumbatan di kedua lubang hidung, lesi (-), bersih, tidak ada sekret, tidak ada keluhan.
Bentuk simetris, tidak ada sumbatan di kedua lubang hidung, lesi (-), bersih, tidak ada sekret, tidak ada keluhan.
Bentuk simetris, tidak ada sumbatan di kedua lubang hidung, lesi (-), bersih, tidak ada sekret, tidak ada keluhan.
Bentuk simetris, tidak ada sumbatan di kedua lubang hidung, lesi (-), bersih, tidak ada sekret, tidak ada keluhan.
Mulut dan gigi
Mukosa mulut lembab, tidak ada gangguan menelan, tidak ada lesi pada mulut, ada dua gigi geraham di bagian kanan bawah tanggal, dua gigi berwarna hitam dan belum ditambal, terdapat karies gigi
Mukosa mulut lembab, tidak ada gangguan menelan, tidak ada lesi pada mulut, dua gigi depan atas dan geraham kan dan kiri sudah tanggal, terdapat karies gigi
Mukosa mulut lembab, tidak ada gangguan menelan, tidak ada lesi pada mulut, gigi masih utuh, tidak ada karies gigi
Mukosa mulut lembab, tidak ada gangguan menelan, tidak ada lesi pada mulut, gigi masih utuh, tidak ada karies gigi
Leher
Tidak ada perbesaran KGB ataupun JVP
Tidak ada perbesaran KGB ataupun JVP
Tidak ada perbesaran KGB ataupun JVP
Tidak ada perbesaran KGB ataupun JVP
Dada
Paru I : Simetris, pembengkakan (-), penggunaan otot bantu napas, terdapar retraksi dinding dada, lesi (-) A: Ronkhi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi
Paru I : Simetris, pembengkakan (-), penggunaan otot bantu napas (-)retraksi dinding dada (-) lesi (-) A: vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/P: Tactile fremitus P: Sonor
Paru I : Simetris, pembengkakan (), penggunaan otot bantu napas (-) tretraksi dinding dada (-) lesi (-) A: vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/P: Tactile fremitus P: Sonor
Paru I : Simetris, pembengkakan (-), penggunaan otot bantu napas (-) tretraksi dinding dada (-) lesi (-) A: vesikuler, wheezing /-, ronkhi -/P: Tactile fremitus
Universitas Indonesia
22
Komponen
Kakek A sangat terdengar jelas tanpa auskultasi, wheezing -/P: Tactile fremitus P: Sonor
Nenek I Jantung : S1 & S2 normal, gallop (-), murmur (-)
Ibu A Jantung : S1 & S2 normal, gallop (-), murmur (-) Payudara: terdapat spider nevi, areola experted dan tidak ada pengeluaran kolostrum, benjolan (-)
Jantung : S1 & S2 normal, gallop (-), murmur (-)
Bapak F P: Sonor Jantung : S1 & S2 normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
I: tidak ada lesi, benjolan umbilikus (-), kontur abdomen cembung, simetris A: BU= 6x/menit, bruit (-) P : pekak P : nyeri tekan (-), teraba keras
I: tidak ada lesi, benjolan umbilikus (-), kontur abdomen datar, simetris A: BU= 8x/menit, bruit (-) P : timpani P : nyeri tekan (-), teraba lunak
I: tidak ada lesi, benjolan umbilikus (-), kontur abdomen cembung, simetris, striae (+), linea nigra (+) A: BU= 8x/menit, bruit (-), DJJ (tidak terkaji) P : nyeri tekan (-), TFU: 25 cm leopold 1: kepala, leopold 2: ekstremitas, leopold 3: bokong
I: tidak ada lesi, benjolan umbilikus (-), kontur abdomen datar, simetris A: BU= 8x/menit, bruit () P : timpani P : nyeri tekan (-), teraba lunak
Ekstremitas
Edema (-), rentang gerak sempurna (+), reflek patella (+) kekuatan otot:
Edema (-), rentang gerak sempurna (+), reflek patella (+) kekuatan otot:
Edema (-), rentang gerak sempurna (+), reflek patella (+) kekuatan otot:
Edema (-), rentang gerak sempurna (+), reflek patella (+) kekuatan otot:
5555 5555 5555 5555
5445 5555 5555 5555
5555 5555 5555 5555
5555 5555 5555 5555
Universitas Indonesia
23
Komponen
Kakek A
Nenek I
Ibu A
Bapak F
Kulit
Warna sawo matang, tidak Warna sawo matang, utuh, Warna sawo matang, utuh, ada lesi, kering, tidak ada tidak ada luka, kulit lembab, tidak ada luka, kulit lembab, keluhan. tidak ada keluhan. tidak ada keluhan.
Warna sawo matang, utuh, tidak ada luka, kulit lembab, tidak ada keluhan.
Kuku
Bersih, pendek
Bersih, pendek
Bersih, pendek
Bersih, pendek
BB/TB
BB : 55 kg TB : 160 cm IMT : 21,5 (normal)
BB: 52 kg TB:145cm IMT: 24,7 (normal)
BB: 54 kg TB:146 cm IMT: 25,3 (normal) LILA: 27cm
BB: 65 kg TB:160 cm IMT: 25,3 (normal)
TTV
TD: 110/70 mmHg Nadi: 82 x/menit Suhu: Afebris 36,5oC RR: 28 x/menit CRT < 2 detik
TD: 150/70 mmHg Nadi: 75 x/menit Suhu: Afebris 36 oC RR: 20 x/menit CRT< 2 detik
TD: 120/80mmHg Nadi: 85 x/menit Suhu: Afebris 36,5 oC RR: 20 x/menit CRT < 2 detik
TD: 150/70 mmHg Nadi: 75 x/menit Suhu: Afebris 36 oC RR: 20 x/menit CRT< 2 detik
3.8 Hasil Pemeriksaan Laboratorium/ Rontgen 3.8.1
Hasil Laboratorium:
BTA Positif (Pemeriksaan di PKM Cimanggis, Desember 2012) BTA Negatif ( pemeriksaan di PKM Cimanggis, 03 Juni 2013)
Universitas Indonesia
24
3.8.2
Hasil Rontgen Thoraks : (pemeriksaan di RS Centra Medika, 02 Juli 2012)
Hasil: sinus difragma kiri normal, sinus kanan tumpul jantung CTR < 50% ; aorta normal, paru: hili dan corakan bronkhovaskuler normal, tak tampak infiltrat, kavitas atau lesi patologis lain, kesan: tak tampak pneumonia/ kelainan lain parenkim, kedua paru suspek pleuritis dextra, jantung normal.
3.9 Analisis Data Tabel 2 Analisis Data Data
Masalah keperawatan
- Riwayat meninggal akibat TB Paru pada Ibu dari Kakek A pada usia 50 tahun dan kakak pertama Kakek A pada usia 65 tahun - Sesak Kakek A sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu - Sesekali batuk, biasanya dimalam hari dan mengeluarkan dahak berwarna putih, jumlah sedikit, tidak bau. - Sulit mengeluarkan dahak - Kakek A mengatakan pernah memeriksakan dahaknya di puskesmas Cimanggis pada Desember 2012 dan hasilnya BTA positif tetapi tidak menjalani pengobatan sebelumnya mengeluh batuk-batuk lebih dari 3 minggu. - Tidak ada riwayat alergi - Riwayat merokok + 15 tahun dan menghabiskan 2 bungkus rokok sehari, saat ini sudah tidak merokok sejak 3 bulan yang lalu - Pada saat batuk-batuk lebih dari 3 minggu berobat ke dokter praktik dan mendapatkan obat sanbutamol dan tyrosol yang diminum 3 × 1/ hari.
Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A
Data Subyektif :
Universitas Indonesia
25
Data - Ketika tidur telentang menjadi lebih sesak. - posisi tidur miring dengan menggunakan satu bantal - Kakek A mengatakan hanya diam ketika sesak. - Kakek A mengetahui TB dan tanda dan gejala penderita TB sehingga merasa khawatir akan tanda-tanda TB pada dirinya. - Sebelumnya Kakek A sudah mengikuti penyuluhan TB sebanyak 2 kali yang diadakan mahasiswa residen dan mahasiswa profesi - Keluarga juga mengatakan pernah menjemur kasur dan karpet, namun jarang-jarang dan setiap pagi membuka jendela dan pintu. - Kakek A lebih menyukai berada di rumah lantai 2 karena sinar matahari bisa masuk dan lebih suka tiduran di depan pintu karena udara yang masuk banyak.
Masalah keperawatan
Data Obyektif: - Pemeriksaan Fisik Paru: I : Simetris, pembengkakan (-), penggunaan otot bantu napas, terdapar retraksi dinding dada, lesi (-) A: Ronkhi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi tanpa auskultasi, wheezing -/P: Tactile fremitus P: Sonor - Tanda-Tanda Vital (TTV): TD: 110/70 mmHg Nadi: 82 x/menit Suhu: Afebris 36,5oC RR: 28 x/menit CRT < 2 detik
Universitas Indonesia
26
Data BB/TB: - BB : 55 kg TB : 160 cm IMT : 21,5 (normal)
Masalah keperawatan
- Hasil pemeriksaan rontgen Thoraks (02 Juli 2012 di RS Centra Medika) didapatkan hasil: sinus difragma kiri normal, sinus kanan tumpul. Jantung CTR < 50% ; aorta normal, paru: hili dan corakan bronkhovaskuler normal, tak tampak infiltrat, kavitas atau lesi patologis lain, kesan: tak tampak pneumonia/ kelainan lain parenkim, kedua paru suspek pleuritis dextra, jantung normal. - Hasil Laboratorium: BTA Negatif (pemeriksaan di PKM Cimanggis, 03 Juni 2013) - Halaman rumah terlihat kotor dan banyak jentik nyamuk digenangan air depan rumah dan dikolam ikan - Rumah tampak tidak berdebu - Tidak terlihat adanya sampah yang berserakan baik di dalam ataupun sekitar rumah - Rumah terlihat gelap, pengap dan lembab - Ventilasi rumah cukup, jendela rumah hanya t di bagian ruang tamu, setiap kamar dan ruang tengah dan di belakang
Data Subyektif - Tidak menjalani pengobatan OAT saat terdiagnosis BTA positif - mengkonsumsi salbutamol dan tyrosol tanpa resep dokter - mengatakan malas untuk mengunjung puskesmas karena malas mengantri
Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A
Universitas Indonesia
27
Data - mengatakan mengerti tentang masalah TB mulai dari pengertian sampai akibat bila tidak diobati - tidak mengalami perbaikan kesehatan semenjak mengkonsumsi obat salbutamol dan tyrosol. - terkadang membuka jendela dan pintu dipagi hari dan berjalan-jalan kecil di sekitar rumah. - kebanyakan menghabiskan waktu buat tidur. - Berinteraksi dengan anggota keluarga tanpa menggunakan masker - membuang dahak di kamar mandi dan saluran pipa depan rumah. - Alat makanan belum dipisahkan - Kakek A menganggap dirinya tidak TB tetapi asma
Masalah keperawatan
Data Obyektif - Mampu menyebutkan pengertian TB sampai akibat bila tidak diobati - Halaman rumah terlihat kotor dan banyak jentik nyamuk digenangan air depan rumah dan dikolam ikan - Rumah tampak tidak berdebu - Tidak terlihat adanya sampah yang berserakan baik di dalam ataupun sekitar rumah - Rumah terlihat gelap, pengap dan lembab - Ventilasi rumah cukup, jendela rumah hanya di bagian ruang tamu, setiap kamar dan ruang tengah dan di belakang - belum menerapkan etika batuk yang baik dan benar
Universitas Indonesia
28
3.10
Skoring Masalah Tabel 3 Diagnosis keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A Skor
Angka Tertinggi
Bobot
Perhitungan
Pembenaran
Sifat masalah : aktual
3
3
1
3/3 x 1 = 1
Masalah sudah terjadi karena data subjektif dan objektif telah mendukung. suara ronchi sangat terdengar jelas tanpa auskultasi dan Kakek A mengatakan sesak lebih dari 3 bulan.
Kemungkinan masalah untuk diubah : mudah
2
2
2
2/2 x 2 = 2
Keluarga dapat dengan mudah menangkap penjelasan perawat. Letak rumah keluarga cukup dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan (klinik dan Puskesmas).
Potensi masalah untuk dicegah : rendah
1
3
1
1/3 x 1 = 1/3
Pencegahan dan perawatan belum diterapkan kepada keluarga Kakek A dimana masih sering berinteraksi dengan anggota keluarga tanpa menggunakan masker, dan tidak menggunakan etika batuk serta tidak menjalani pengobatan OAT
Kriteria
Universitas Indonesia
29
Kriteria
Skor
Angka Tertinggi
Bobot
Perhitungan
Pembenaran
Menonjolnya masalah : perlu segera ditangani
2
2
1
2/2 x 1 = 1
Penyakit ini mudah menular dan aktual, maka perlu segera diatasi.
Total skor
13/3
Tabel 4 Diagnosis keperawatan : Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A Skor
Angka Tertinggi
Bobot
Perhitungan
Pembenaran
Sifat masalah : aktual
3
3
1
3/3 x 1 = 1
Masalah sudah terjadi karena data subjektif dan objektif telah mendukung. pengobatan yang digunakan tidak sesuai dan tanpa resep dokter.
Kemungkinan masalah untuk diubah : mudah
2
2
2
Kriteria
2/2 x 2 = 2
Keluarga dapat dengan mudah menangkap penjelasan perawat. Letak rumah keluarga cukup dekat dengan fasilitas pelayanan kesehatan (klinik dan Puskesmas).
Universitas Indonesia
30
Kriteria
Skor
Angka Tertinggi
Bobot
Perhitungan
Pembenaran
Potensi masalah untuk dicegah : rendah
1
3
1
1/3 x 1 = 1/3
Pencegahan dan perawatan belum diterapkan kepada keluarga Kakek A dimana masih sering berinteraksi dengan anggota keluarga tanpa menggunakan masker, dan tidak menggunakan etika batuk serta tidak menjalani pengobatan OAT
Menonjolnya masalah : masalah tidak dirasakan
0
2
0
0/2 x 1 = 0/2
Pengobatan yang dilakukan oleh Kakek A dianggap sudah tepat oleh Kakek A, karena sebelumnya mengkonsumsi obat yang sama sampai sekarang dan sedikit mengurangi sesak yang dirasakan. Jadi Kakek A menganggap masalah tidak dirasakan.
Total skor
10/3
Universitas Indonesia
31
3.11
Prioritas Diagnosis Keperawatan
Setelah dilakukan skoring maka didapatkan prioritas diagnosis keperawatan, yaitu yang pertama ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A dan kedua ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A.
Universitas Indonesia
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN (Berdasarkan diagnosa keperawatan yang sudah diprioritaskan)
Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A Tanggal: Kamis, 30 Mei 2013/ 10.00-11.00 WIB Implementasi Sebelum melakukan kontrak dengan keluarga, mahasiswa: Mengucapkan salam Menyampaikan tujuan/maksud kedatangan Memvalidasi keadaan keluarga Membuat kontrak dengan keluarga Menanyakan kembali yang didiskusikan pada pertemuan sebelumnya, yaitu TUK 1, 2 , dan sebagian TUK 3 TUK 3: Mendemonstrasikan inhalasi sederhana - Siapkan alat dan bahan (air panas, waskon, karton, minyak kayu putih) - Letakkan 1 liter air panas dalam waskom, ditambah 3-5 tetes minyak kayu putih/minyak angin/balsam. - Bentuk karton menjadi corong sehingga bagian atas mengerucut dan menutupi bagian mulut dan hidung , bagian bawah karton menutupi waskon - Hirup uapnya melalui hidung
Mendemontrasikan batuk efektif - alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue - Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan
Kunjungan ke-5/ Minggu ke-3 Evaluasi S:
Kakek A dan An. R menjawab salam Kakek A menyetujui kunjungan saat ini selama 50 menit untuk membahas masalah TB paru Kakek A mengatakan sudah membaca kembali leaflet tentang TB paru dan mengatakan sudah mengerti dari pengertian, penyebab, tanda gejala, akibat, cara pencegahan, cara perawatan TB paru. Kakek A mengatakan cara modifikasi lingkungan dengan membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk dan membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan Kakek A mengatakan akan memodifikasi lingkungan sesuai dengan standar askep yang sudah diajarkan Kakek A mengatakan jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan, seperti puskesmas, RS, dan praktik mantri. Kakek A mengatakan manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu untuk pemeriksaan dan mendapatkan obat untuk batuk pilek Kakek A mengatakan akan berkunjung ke pelayanan kesehatan untuk berobat Kakek A mengatakan sesak sedikit berkurang Kakek A mengatakan dahak menjadi encer dan mudah keluar Kakek A mengatakan batuk sesekali
pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benarbenar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut
Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas Memotivasi keluarga untuk mendemontrasikan cara inhalasi sederhana dan batuk efektif Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga mendemontrasikan cara perawatan TB paru mengevaluasi perasaan yang dirasakan setelah dilakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif
TUK 4: Mendiskusikan cara memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru Menjelaskan kepada keluarga tentang cara memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru dengan menggunakan lembar balik - Membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk - Menjemur kasur tiap minggu - Membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan - Tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota keluarga.
O: Kakek A dapat mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan batuk efektif Kakek A mampu menjawab 2 dari 4 cara memodifikasi lingkungan untuk anggota keluarga yang mengalami TB PARU Kakek A mampu menjawab 3 dari 5 jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan Kakek A mampu menjawab 2 dari 3 manfaat fasilitas pelayanan kesehatan TTV : TD: 110/70 mmHg, Nadi: 80 x/menit, Suhu: 36,5oC, RR: 26 x/menit Pemeriksaan paru: I : Simetris, pembengkakan (-), penggunaan otot bantu napas, terdapar retraksi dinding dada, lesi (-) A: Ronkhi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi tanpa auskultasi, wheezing -/- P: Tactile fremitus P: Sonor A: TUK 3 – 5 tercapai, namun bersihan jalan napas masih belum efektif ditandai dengan masih ada sesak dan suara napas ronkhi masih sangat terdengar jelas tanpa auskultasi P: - melanjutkan tindakan inhalasi sederhana selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif - Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan 2 bantal - Melanjutkan intervensi kedua untuk diagnosis keperawatan yang kedua yaitu ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A dengan TB paru.
Memotivasi keluarga untuk menjelaskan kembali cara memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru. Menanyakan kepada keluarga tentang materi yang belum dimengerti. Menjelaskan kepada keluarga mengenai materi yang belum dimengerti. Memberikan positive reinforcement terhadap kemampuan yang dicapai oleh keluarga TUK 5 Mengkaji pengetahuan keluarga tentang fasilitas dan manfaat fasilitas pelayanan kesehatan Mendiskusikan bersama dengan keluarga tentang jenis-jenis fasilitas kesehatan yang dapat digunakan, yaitu : a. Puskesmas b. Rumah Sakit c. Dokter praktik d. Posbindu e. Praktik perawat Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali jenis-jenis fasilitas kesehatan yang dapat digunakan. Mendiskusikan bersama keluarga tentang manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu sebagai sarana untuk pemeriksaan, perawatan/pengobatan TB paru, sebagai sarana untuk mendapatkan informasi yang akurat dan tepat untuk mengatasi masalah TB paru Memotivasi keluarga untuk membawa anggota keluarga yang sakit ke pelayanan kesehatan Memberikan positive reinforcement bahwa Kakek A ke fasilitas kesehatan apabila masalah TB paru tidak dapat ditangani dengan perawatan di rumah
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN (Berdasarkan diagnosa keperawatan yang sudah diprioritaskan)
Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A Tanggal: Selasa, 28 Mei 2013/ 10.00-11.00 WIB Implementasi Sebelum melakukan kontrak dengan keluarga, mahasiswa: Mengucapkan salam Menyampaikan tujuan/maksud kedatangan Memvalidasi keadaan keluarga Membuat kontrak dengan keluarga
Kunjungan ke-4 / Minggu ke-3
Evaluasi S: Kakek A dan Nenek I menjawab salam Keluarga mengatakan kakek A masih merasa sesak napas Nenek I dan Kakek A menyetujui kunjungan saat ini selama 45 menit untuk membahas masalah TB paru Kakek A mengatakan bahwa TB paru merupakan penyakit plek paru TUK 1: yang menular, Selama 1x45 menit, menggunakan lembar balik dan memberikan Kakek A mengatakan penyebab TB paru adalah kuman TB leaflet setelah diberikan pendidikan kesehatan mengenai TB paru Kakek A mengatakan bahwa tanda dan gejala TB PARU adalah batuk Mendiskusikan bersama keluarga apa yang sudah diketahui lama, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan menurun dan keluarga mengenai pengertian TB paru suka berkeringat jika malam hari. Mendiskusikan dengan keluarga tentang pengertian TB paru Kakek A mengatakan bahwa dirinya mengalami TB paru merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh Kakek A mengatakan bahwa akibat jika TB paru tidak ditangani kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling adalah kematian dan penyakit tidak dapat sembuh. banyak menyerang di daerah paru-paru Kakek A mengatakan bahwa akibat penderita TB paru jika putus obat Mendiskusikan dengan keluarga tentang penyebab TB paru, yaitu mengakibatkan pengobatan yang semakin lama, biaya semakin yaitu: banyak - Penyebab utama: kuman mycobacterium tuberculosis Kakek A mengatakan cara mencegah TB paru dengan menutup hidung - Penyebab lain: Tertular penderita lain melalui percikan dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker, tidak dahak/bersin yang terhirup oleh orang lain meludah atau membuang dahak disembarang tempat dan buka jendela Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali penyebab agar sinar matahasri masuk TB paru Nenek I mengatakan akan merawat anggota keluarga dengan TB paru Mendiskusikan dengan keluarga tentang tanda dan gejala TB Nenek I dan Kakek A mengatakan cara merawat anggota keluarga
par, yaitu : batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu demam/meriang lebih dari sebulan nafsu makan dan BB menurun mudah lelah nyeri dada sesak nafas batuk berdahak disertai darah Mendorong keluarga untuk mengidentifikasi penyebab TB paru pada Kakek A Membantu keluarga membandingkan apa yang telah dijelaskan dengan kondisi Kakek A Memberikan positive reinforcement atas usaha yang dilakukan keluarga.
TUK 2 : Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika O: tidak diobati, yaitu: - tidak dapat sembuh, - menular pada orang lain - kematian Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika putus obat, yaitu: - penyakit lebih sukar sembuh - kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak - butuh biaya lebih besar - waktu pengobatan menjadi lebih lama Mendiskusikan kembali dengan keluarga untuk merawat anggota keluarga yang TB paru Memberikan positive reinforcement atas jawaban keluarga dan keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan TB paru.
dengan TB paru adalah batuk efektif dan inhalasi sederhana Kakek A mengatakan Alat untuk batuk efektif yaitu tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue. Caranya yaitu posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benarbenar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut Kakek A mengatakan cara inhalasi sederhana dengan menghirup uap air panas yang ditetesi minyak kayu putih.
Kakek A mampu menjawab pengertian TB paru sesuai standar Kakek A mampu menjawab 1 dari 2 penyebab TB paru Kakek A mampu menjawab 5 dari 7 tanda dan gejala TB PARU Kakek A mampu menjawab 2 dari 3 akibat jika TB paru yang tidak diobati kakek A mampu menjawab 2 dari 4 akibat jika penderita TB paru putus obat. Kakek A mampu menjawab 3 dari 6 cara mencegah TB paru Kakek A mampu menjawab menyebutkan 2 dari 2 cara merawat anggota keluarga dengan TB paru
TUK 3: Menjelaskan kepada keluarga tentang cara pencegahan TB paru : - menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker - tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat - makan-makanan yang bergizi - imunisasi BCG pada bayi - buka jendela agar sinar matahasri masuk, - jemur kasur paling sedikit seminggu sekali Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB paru di rumah Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga menjelaskan cara perawatan TB paru Mendiskusikan bersama keluarga cara perawatan TB Paru yaitu: - melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benarbenar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal.
A: TUK 1, 2 dan sebagian TUK 3 tercapai
P: Mengevaluasi TUK 1 dan 2 Melanjutkan TUK 3 dengan mendemontrasikan inhalasi sederhana dan batuk efektif Melanjutkan intervensi TUK 4 dan TUK 5
Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut - berikan inhalasi sederhana (pelega tenggorokan dan pernapasan) dengan menggunakan air panas dalam baskom dan menthol 3-5 tetes (minyak kayu putih) Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB paru di rumah Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga menjelaskan cara perawatan TB paru
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN (Berdasarkan diagnosa keperawatan yang sudah diprioritaskan)
Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A Tanggal: Selasa, 04 Juni 2013/ 10.00-11.00 WIB Implementasi Sebelum melakukan kontrak dengan keluarga, mahasiswa: Mengucapkan salam Menyampaikan tujuan/maksud kedatangan Memvalidasi keadaan keluarga Membuat kontrak dengan keluarga
Kunjungan ke-6/ Minggu ke-4
Evaluasi S: Kakek A dan Nenek I menjawab salam Keluarga mengatakan kakek A masih merasa sesak napas Nenek I dan Kakek A menyetujui kunjungan saat ini selama 45 menit untuk membahas masalah TB paru Kakek A mengatakan bahwa TB paru merupakan penyakit plek paru TUK 1: yang menular, Selama 1x45 menit, menggunakan lembar balik dan memberikan Kakek A mengatakan penyebab TB paru adalah kuman TB leaflet setelah diberikan pendidikan kesehatan mengenai TB paru Kakek A mengatakan bahwa tanda dan gejala TB PARU adalah batuk Mendiskusikan bersama keluarga apa yang sudah diketahui lama, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan menurun dan keluarga mengenai pengertian TB paru suka berkeringat jika malam hari. Mendiskusikan dengan keluarga tentang pengertian TB paru Kakek A mengatakan bahwa dirinya mengalami TB paru merupakan salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh Kakek A mengatakan bahwa akibat jika TB paru tidak ditangani kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling adalah kematian dan penyakit tidak dapat sembuh. banyak menyerang di daerah paru-paru Kakek A mengatakan bahwa akibat penderita TB paru jika putus obat Mendiskusikan dengan keluarga tentang penyebab TB paru, yaitu mengakibatkan pengobatan yang semakin lama, biaya semakin yaitu: banyak - Penyebab utama: kuman mycobacterium tuberculosis Kakek A mengatakan cara mencegah TB paru dengan menutup hidung - Penyebab lain: Tertular penderita lain melalui percikan dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker, tidak dahak/bersin yang terhirup oleh orang lain meludah atau membuang dahak disembarang tempat dan buka jendela Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali penyebab agar sinar matahasri masuk TB paru Nenek I mengatakan akan merawat anggota keluarga dengan TB paru Mendiskusikan dengan keluarga tentang tanda dan gejala TB Nenek I dan Kakek A mengatakan cara merawat anggota keluarga
par, yaitu : batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu demam/meriang lebih dari sebulan nafsu makan dan BB menurun mudah lelah nyeri dada sesak nafas batuk berdahak disertai darah Mendorong keluarga untuk mengidentifikasi penyebab TB paru pada Kakek A Membantu keluarga membandingkan apa yang telah dijelaskan dengan kondisi Kakek A Memberikan positive reinforcement atas usaha yang dilakukan keluarga.
TUK 2 : Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika O: tidak diobati, yaitu: - tidak dapat sembuh, - menular pada orang lain - kematian Menjelaskan kepada keluarga tentang akibat dari TB paru jika putus obat, yaitu: - penyakit lebih sukar sembuh - kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak - butuh biaya lebih besar - waktu pengobatan menjadi lebih lama Mendiskusikan kembali dengan keluarga untuk merawat anggota keluarga yang TB paru Memberikan positive reinforcement atas jawaban keluarga dan keputusan untuk merawat anggota keluarga dengan TB paru.
dengan TB paru adalah batuk efektif dan inhalasi sederhana Kakek A mengatakan Alat untuk batuk efektif yaitu tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue. Caranya yaitu posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benarbenar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut Kakek A mengatakan cara inhalasi sederhana dengan menghirup uap air panas yang ditetesi minyak kayu putih.
Kakek A mampu menjawab pengertian TB paru sesuai standar Kakek A mampu menjawab 1 dari 2 penyebab TB paru Kakek A mampu menjawab 5 dari 7 tanda dan gejala TB PARU Kakek A mampu menjawab 2 dari 3 akibat jika TB paru yang tidak diobati kakek A mampu menjawab 2 dari 4 akibat jika penderita TB paru putus obat. Kakek A mampu menjawab 3 dari 6 cara mencegah TB paru Kakek A mampu menjawab menyebutkan 2 dari 2 cara merawat anggota keluarga dengan TB paru
TUK 3: Menjelaskan kepada keluarga tentang cara pencegahan TB paru : - menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker - tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat - makan-makanan yang bergizi - imunisasi BCG pada bayi - buka jendela agar sinar matahasri masuk, - jemur kasur paling sedikit seminggu sekali Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB paru di rumah Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga menjelaskan cara perawatan TB paru Mendiskusikan bersama keluarga cara perawatan TB Paru yaitu: - melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan dahak alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benarbenar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal.
A: TUK 1, 2 dan sebagian TUK 3 tercapai
P: Mengevaluasi TUK 1 dan 2 Melanjutkan TUK 3 dengan mendemontrasikan inhalasi sederhana dan batuk efektif Melanjutkan intervensi TUK 4 dan TUK 5
Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut - berikan inhalasi sederhana (pelega tenggorokan dan pernapasan) dengan menggunakan air panas dalam baskom dan menthol 3-5 tetes (minyak kayu putih) Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas Memotivasi keluarga untuk menyebutkan cara merawat TB paru di rumah Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga menjelaskan cara perawatan TB paru
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN (Berdasarkan diagnosa keperawatan yang sudah diprioritaskan)
Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A Tanggal: Kamis, 13 Juni 2013/ 10.00-11.00 WIB Implementasi Sebelum melakukan kontrak dengan keluarga, mahasiswa: Mengucapkan salam Menyampaikan tujuan/maksud kedatangan Memvalidasi keadaan keluarga Membuat kontrak dengan keluarga Menanyakan kembali yang didiskusikan pada pertemuan sebelumnya, yaitu TUK 1, 2 , dan sebagian TUK 3 TUK 3: Mendemonstrasikan inhalasi sederhana - Siapkan alat dan bahan (air panas, waskon, karton, minyak kayu putih) - Letakkan 1 liter air panas dalam waskom, ditambah 3-5 tetes minyak kayu putih/minyak angin/balsam. - Bentuk karton menjadi corong sehingga bagian atas mengerucut dan menutupi bagian mulut dan hidung , bagian bawah karton menutupi waskon - Hirup uapnya melalui hidung
Mendemontrasikan batuk efektif - alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue - Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan
Kunjungan ke-7/ Minggu ke-4 Evaluasi S:
Kakek A dan An. R menjawab salam Kakek A menyetujui kunjungan saat ini selama 50 menit untuk membahas masalah TB paru Kakek A mengatakan sudah membaca kembali leaflet tentang TB paru dan mengatakan sudah mengerti dari pengertian, penyebab, tanda gejala, akibat, cara pencegahan, cara perawatan TB paru. Kakek A mengatakan cara modifikasi lingkungan dengan membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk dan membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan Kakek A mengatakan akan memodifikasi lingkungan sesuai dengan standar askep yang sudah diajarkan Kakek A mengatakan jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan, seperti puskesmas, RS, dan praktik mantri. Kakek A mengatakan manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu untuk pemeriksaan dan mendapatkan obat untuk batuk pilek Kakek A mengatakan akan berkunjung ke pelayanan kesehatan untuk berobat Kakek A mengatakan sesak sedikit berkurang Kakek A mengatakan dahak menjadi encer dan mudah keluar Kakek A mengatakan batuk sesekali
pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5 detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benarbenar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut
Memberi kesempatan kepada keluarga jika ada yang belum jelas Memotivasi keluarga untuk mendemontrasikan cara inhalasi sederhana dan batuk efektif Memberikan positive reinforcement atas kemampuan keluarga mendemontrasikan cara perawatan TB paru mengevaluasi perasaan yang dirasakan setelah dilakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif
TUK 4: Mendiskusikan cara memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru Menjelaskan kepada keluarga tentang cara memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru dengan menggunakan lembar balik - Membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk - Menjemur kasur tiap minggu - Membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan - Tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota keluarga.
O: Kakek A dapat mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan batuk efektif Kakek A mampu menjawab 2 dari 4 cara memodifikasi lingkungan untuk anggota keluarga yang mengalami TB PARU Kakek A mampu menjawab 3 dari 5 jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan Kakek A mampu menjawab 2 dari 3 manfaat fasilitas pelayanan kesehatan TTV : TD: 110/70 mmHg, Nadi: 83 x/menit, Suhu: 36,5oC, RR: 26 x/menit Pemeriksaan paru: I : Simetris, pembengkakan (-), penggunaan otot bantu napas, terdapat retraksi dinding dada, lesi (-) A: Ronkhi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi tanpa auskultasi, wheezing -/- P: Tactile fremitus P: Sonor A: TUK 3 – 5 tercapai, namun bersihan jalan napas masih belum efektif ditandai dengan masih ada sesak dan suara napas ronkhi masih sangat terdengar jelas tanpa auskultasi P: - melanjutkan tindakan inhalasi sederhana selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif - Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan 2 bantal - Melanjutkan intervensi kedua untuk diagnosis keperawatan yang kedua yaitu ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A dengan TB paru.
Memotivasi keluarga untuk menjelaskan kembali cara memodifikasi lingkungan untuk penderita TB paru. Menanyakan kepada keluarga tentang materi yang belum dimengerti. Menjelaskan kepada keluarga mengenai materi yang belum dimengerti. Memberikan positive reinforcement terhadap kemampuan yang dicapai oleh keluarga TUK 5 Mengkaji pengetahuan keluarga tentang fasilitas dan manfaat fasilitas pelayanan kesehatan Mendiskusikan bersama dengan keluarga tentang jenis-jenis fasilitas kesehatan yang dapat digunakan, yaitu : a. Puskesmas b. Rumah Sakit c. Dokter praktik d. Posbindu e. Praktik perawat Memotivasi keluarga untuk menyebutkan kembali jenis-jenis fasilitas kesehatan yang dapat digunakan. Mendiskusikan bersama keluarga tentang manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu sebagai sarana untuk pemeriksaan, perawatan/pengobatan TB paru, sebagai sarana untuk mendapatkan informasi yang akurat dan tepat untuk mengatasi masalah TB paru Memotivasi keluarga untuk membawa anggota keluarga yang sakit ke pelayanan kesehatan Memberikan positive reinforcement bahwa Kakek A ke fasilitas kesehatan apabila masalah TB PARU tidak dapat ditangani dengan perawatan di rumah
FORMAT EVALUASI SUMATIF ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA 1.
No 1
Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan napas pada Kakek A
Kriteria Evaluasi Keluarga dapat menyebutkan pengertian TB paru adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling banyak menyerang di daerah paru-paru
Hasil Ya Tidak √
2
Keluarga dapat menyebutkan 1 dari 2 penyebab TB paru,yaitu: - Penyebab utama: kuman mycobacterium tuberculosis - Penyebab lain: Tertular penderita lain melalui percikan dahak/bersin yang terhirup oleh orang lain
3
Keluarga dapat menyebutkan 5 dari 7 tanda dan gejala TB paru, yaitu: - Batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu - Demam/meriang lebih dari sebulan - Nafsu makan dan BB menurun - Mudah lelah - Nyeri dada - Sesak nafas - Batuk berdahak disertai darah
√
Keluarga mampu menyebutkan minimal 2 dari 3 akibat TB paru tidak diobati: - tidak dapat sembuh, - menular pada orang lain - kematian
√
4
√
Keterangan
No 5
6
7
8
9
Kriteria Evaluasi
Hasil Ya Tidak
Keluarga mampu menyebutkan minimal 2 dari 4 akibat TB paru putus obat: - penyakit lebih sukar sembuh - kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak - butuh biaya lebih besar - waktu pengobatan menjadi lebih lama
√
Keluarga mampu menyebutkan 3 dari 6 cara pencegahan TB paru, yaitu : - menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker - tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat - makan-makanan yang bergizi - imunisasi BCG pada bayi - buka jendela agar sinar matahasri masuk, - jemur kasur paling sedikit seminggu sekali
√
Keluarga mampu menyebutkan 1dari 2 cara perawatan TB paru, yaitu : - Batuk efektif - Inhalasi sederhana
√
Keluarga dapat mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan - Siapkan alat dan bahan (air panas, waskon, karton, minyak kayu putih) - Letakkan 1 liter air panas dalam waskom, ditambah 3-5 tetes minyak kayu putih/minyak angin/balsam. - Bentuk karton menjadi corong sehingga bagian atas mengerucut dan menutupi bagian mulut dan hidung , bagian bawah karton menutupi waskon - Hirup uapnya melalui hidung
√
Keluarga dapat mendemonstrasikan batuk efektif - alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue - Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5
√
Keterangan
No
10
11
Kriteria Evaluasi detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut Keluarga dapat menyebutkan 2 dari 4 cara memodifikasi lingkungan yang menjadi penyebab TB paru: - Membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk - Menjemur kasur tiap minggu - Membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan - Tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota keluarga Keluarga dapat menyebutkan 3 dari 5 fasilitas kesehatan yang dapat dikunjungi: - Puskesmas - Rumah Sakit - Dokter praktik - Posbindu - Praktik perawat
Hasil Ya Tidak
√
√
12. Keluarga dapat menyebutkan 2 dari 3 manfaat kunjungan ke fasilitas kesehatan : - Mendapatkan pemeriksaan - Mendapatkan perawatan. - Mendapatkan penyuluhan atau pendidikan kesehatan
√
13. Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk menangani TB paru bila gejala tidak hilang
√
keterangan
FORMAT EVALUASI SUMATIF ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA 2.
No 1
Diagnosis Keperawatan: Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri pada Kakek A dengan masalah TB paru
Kriteria Evaluasi Keluarga dapat menyebutkan pengertian TB paru adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman yaitu kuman mycobacterium tuberculosis yang paling banyak menyerang di daerah paru-paru
Hasil Ya Tidak √
2
Keluarga dapat menyebutkan 1 dari 2 penyebab TB paru,yaitu: - Penyebab utama: kuman mycobacterium tuberculosis - Penyebab lain: Tertular penderita lain melalui percikan dahak/bersin yang terhirup oleh orang lain
3
Keluarga dapat menyebutkan 5 dari 7 tanda dan gejala TB paru, yaitu: - Batuk yang tidak kunjung sembuh selama lebih dari 3 minggu - Demam/meriang lebih dari sebulan - Nafsu makan dan BB menurun - Mudah lelah - Nyeri dada - Sesak nafas - Batuk berdahak disertai darah
√
Keluarga mampu menyebutkan minimal 2 dari 3 akibat TB paru tidak diobati: - tidak dapat sembuh, - menular pada orang lain - kematian
√
4
√
Keterangan
No 5
6
7
8
9
Kriteria Evaluasi
Hasil Ya Tidak
Keluarga mampu menyebutkan minimal 2 dari 4 akibat TB paru putus obat: - penyakit lebih sukar sembuh - kuman tumbuh dan berkembang lebih banyak - butuh biaya lebih besar - waktu pengobatan menjadi lebih lama
√
Keluarga mampu menyebutkan 3 dari 6 cara pencegahan TB paru, yaitu : - menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker - tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat - makan-makanan yang bergizi - imunisasi BCG pada bayi - buka jendela agar sinar matahasri masuk, - jemur kasur paling sedikit seminggu sekali
√
Keluarga mampu menyebutkan 1dari 2 cara perawatan TB paru, yaitu : - Batuk efektif - Inhalasi sederhana
√
Keluarga dapat mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan - Siapkan alat dan bahan (air panas, waskon, karton, minyak kayu putih) - Letakkan 1 liter air panas dalam waskom, ditambah 3-5 tetes minyak kayu putih/minyak angin/balsam. - Bentuk karton menjadi corong sehingga bagian atas mengerucut dan menutupi bagian mulut dan hidung , bagian bawah karton menutupi waskon - Hirup uapnya melalui hidung
√
Keluarga dapat mendemonstrasikan batuk efektif - alat : tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue - Cara : Posisi duduk dan rileks, inhalasi maksimal dengan mengambil nafas dalam dan pelan menggunakan pernafasan diafragma, lalu pasien disuruh tahan nafas selama 3-5
√
Keterangan
No
10
11
Kriteria Evaluasi detik kemudian hembuskan secara perlahan – lahan melalui mulut, ulangi kemudia ambil nafas ketiga dan tahan, lalu suruh pasien untuk membatukkan dengan kuat dari dada (bukan dari belakang mulut atau tenggorokan) dan gunakan 2 batuk pendek yang benar-benar kuat, setelah itu istirahat 2 – 3 menit kemudian diulang kembali untuk latihan mulai langkah dari awal. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut Keluarga dapat menyebutkan 2 dari 4 cara memodifikasi lingkungan yang menjadi penyebab TB paru: - Membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk - Menjemur kasur tiap minggu - Membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan - Tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota keluarga. Keluarga dapat menyebutkan 3 dari 5 fasilitas kesehatan yang dapat dikunjungi: - Puskesmas - Rumah Sakit - Dokter praktik - Posbindu - Praktik perawat
Hasil Ya Tidak
√
√
12. Keluarga dapat menyebutkan 2 dari 3 manfaat kunjungan ke fasilitas kesehatan : - Mendapatkan pemeriksaan - Mendapatkan perawatan. - Mendapatkan penyuluhan atau pendidikan kesehatan
√
13. Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan untuk menangani TB paru bila gejala tidak hilang
√
keterangan
TINGKAT KEMANDIRIAN
Nama keluarga
: Kakek A
Alamat
: RT 06 RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Cimanggis, Depok
KESIMPULAN: Dari hasil pengkajian, intervensi, implementasi dan evaluasi yang dilakukan selama sembilan minggu, keluarga dapat bekerjasama dengan mahasiswa dalam mengatasi masalah kesehatan yang ditemukan. Selama melakukan pembinaan dan kunjungan rutin di keluarga, mahasiswa banyak memperoleh informasi dari keluarga mengenai masalah kesehatan yang dialami keluarga. Selama sembilan minggu mahasiswa melakukan pembinaan dan kunjungan rutin ke keluarga dan menemukan lima masalah kesehatan dan dapat disimpulkan bahwa keluarga termasuk ke dalam “Keluarga mandiri tingkat III” dengan alasan:
Kriteria Keluarga menerima petugas perawatan kesehatan masyarakat
Keluarga menerima pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan rencana keperawatan
Keluarga mengungkapkan masalah kesehatan yang dialami secara benar
Ya
√
Tidak
Pembenaran Selama praktek dan melakukan kunjungan rumah, keluarga selalu menerima kehadiran perawat dengan sikap ramah dan terbuka. Keluarga dan mahasiswa hampir selalu menyepakati kontrak yang telah ditentukan. Keluarga mengatakan selalu menerima mahasiswa kapan saja. Apabila keluarga ada acara dan kegiatan pada saat kontrak yang telah disepakati, keluarga memberitahukan kepada mahasiswa terlebih dahulu.
√
Hasil pengkajian yang dilakukan mahasiswa kepada dan bersama keluarga kemudian dianalisis untuk menentukan masalah keperawatan. Masalah atau diagnosis keperawatan yang ada disusun secara prioritas bersama keluarga dan direncanakan intervensi untuk mengatasinya. Dua diagnosis keperawatan yang ditemukan telah diselesaikan semuanya.
√
Saat proses pengkajian, keluarga selalu menjawab pertanyaan mahasiswa dengan benar yang kemudian di klarifikasi dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Keluarga dengan terbuka mau membicarakan masalah kesehatan yang
Kriteria
Ya
Tidak
Pembenaran ada dengan mahasiswa. Keluarga merasa yakin bahwa kehadiran mahasiswa adalah untuk membantu keluarga mengatasi masalah kesehatan yang ada.
Keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan sesuai anjuran Keluarga melaksanakan perawatan sederhana sesuai anjuran
Keluarga sudah memanfaatkan fasilitas kesehatan secara berkala ke dokter praktik. √
Keluarga sudah mampu melakukan perawatan sederhana sesuai anjuran, diantaranya: Melakukan inhalasi sederhana Melakukan batuk efektif
√
Keluarga melakukan tindakan pencegahan
Keluarga sudah mampu melakukan pencegahan terhadap masalah kesehatan yang dialami, diantaranya: Membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk Membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan Tidak berganti-ganti alat makan dengan anggota keluarga.
√
Keluarga melakukan promosi kesehatan secara aktif
√
Keluarga belum mampu melakukan promosi kesehatan secara aktif, dengan: Menjaga kesehatan anggota keluarga Memberikan makanan keluarga dengan gizi seimbang Istirahat yang cukup Melakukan pengobatan TB
1
PENGARUH INHALASI SEDERHANA DAN BATUK EFEKTIF TERHADAP KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAPAS PADA TUBERKULOSIS PARU LANSIA Andi Amalia Wildani1, Sukihananto2 Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok, 16424 Telp. (+6281388180154) E-mail:
[email protected] /
[email protected]
Abstrak Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru, disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. TB merupakan masalah global dan salah satu dampak dari urbanisasi terhadap kesehatan masyarakat. faktor kependudukan dan faktor lingkungan merupakan penyebab terjadinya tuberkulosis di perkotaan. Manifestasi klinis TB pada lansia salah satunya adalah sesak nafas. Karya ilmiah akhir ini bertujuan untuk memberikan gambaran penatalaksanaan asuhan keperawatan keluarga dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas pada tuberkulosis paru lansia di RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Intervensi keperawatan yang diberikan adalah inhalasi sederhana dan batuk efektif. Pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif bermanfaat dan dapat diterapkan untuk mengeluarkan dahak, menurunkan frekuensi napas, dan mengurangi sesak napas pada lansia. Pemecahan masalah yang dilakukan ketika inhalasi sederhana dan batuk efektif tidak efektif yaitu pemberian posisi semi fowler untuk meningkatkan ekspansi paru dan mencukupi kebutuhan oksigen sehingga memberikan kenyamanan dan mengurangi sesak. Kata kunci: asuhan keperawatan keluarga; ketidakefektifan bersihan jalan napas; lansia, tuberkulosis
The Influence of Simple Inhalation and Effective Cough to Ineffective Airway Clearance in Elderly Pulmonary Tuberculosis Abstract Tuberculosis (TB) is an infectious disease that primarily affects the lung parenchyma, caused by mycobacterium tuberculosis. TB is a global problem and one of the impacts of urbanization on public health. Demographic factors and enviromental factors are the cause of TB in urban areas. One of clinical manifestations of elderly TB is shortness of breath.The aim of this final assignment is provide descriptive management of family nursing care with the ineffective airway clearance in elderly pulmonary tuberculosis at RT 06/ RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Nursing interventions provided are simple inhalation and effective cough. The simple inhalation and effective cough is still useful and can be applied to remove sputum, lower respiratory rate, and reduce shortness of breath in elderly. The problem solving when simple inhalation and effective cough does not effectively address the problem ineffective airway clearance in elderly pulmonary is the provision of semi fowler position to improve lung expansion and sufficient of oxygen so as to provide comfort and reduce shortness of breath. Keywords: family nursing care; ineffective airway clearance; elderly; tuberculosis
1
Mahasiswa Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan 2012
2
Dosen Keilmuan Keperawatan Komunitas Universitas Indonesia
2 1. Pendahuluan Masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Hal ini dibuktikan dengan masih banyak ditemukannya penderita TB di masyarakat. TB bisa menyerang siapa pun, warga miskin perkotaan adalah kelompok masyarakat paling rentan terserang tuberkulosis. Lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan rendahnya mutu asupan nutrisi membuat kuman tuberkulosis dalam tubuh gampang menjadi aktif (Health Kompas, 2012). Penularan TB yang cepat, menjadikan TB sebagai salah satu masalah global dan Indonesia menempati urutan ke lima dengan terbesar kasus insiden pada tahun 2009 (Kemenkes, 2011).
Indonesia terdiri dari berbagai provinsi, salah satunya adalah Jawa Barat. Estimasi jumlah orang dengan TB tertinggi berada di Jawa Barat dan Depok yang merupakan salah satu kota yang berada di Jawa Barat. Penemuan kasus baru (Case Detection Rate) di kota Depok dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2012 terus meningkat. Penderita TB di Depok khususnya di kelurahan Cisalak pasar, berdasarkan hasil pengkajian di Puskesmas Cimanggis, selama tahun 2012 sampai Mei 2013 terdapat 32 orang berobat TB, jumlah tersebut masih jauh diatas dari target nasional, dimana target untuk kelurahan Cisalak Pasar dalam menemukan kasus TB baru adalah sebanyak 20 kasus. Dari 32 orang pasien yang terdapat di kelurahan Cisalak pasar, 10 orang atau 32.1% diantaranya terdapat di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok (Puskesmas Cimanggis, 2012).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru dan dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal, tulang dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). TB disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Kemenkes, 2011). Tuberkulosis ini sendiri bukan penyakit keturunan dan dapat disembuhkan bila berobat teratur. Penderita TB aktif jika tidak diobati dapat menularkan sepuluh sampai lima belas orang lainnya dalam satu tahun. TB ini sendiri menyerang kelompok usia produktif (15-54 tahun) dan ekonomi lemah, namun TB juga dapat menyerang usia lanjut (Nugroho, 2007).
Pasien lansia yang menderita TB paru menunjukkan gejala agak berbeda dari orang muda. Gejala batuk yang merupakan gejala penting pada TB pada orang muda ternyata pada usia lanjut kurang menonjol. Biasanya yang lebih sering dikeluhkan adalah gejala sesak. Perlu juga diingat pada orang berusia lanjut fungsi organ tubuh menurun sehingga dalam pemberian obat keadaan fungsi organ harus dipertimbangkan (Kompas, 2008). Lansia dengan TB paru akan mengalami berbagai masalah keperawatan baik secara biologis, psikologis dan sosial, salah satunya yaitu bersihan jalan nafas Universitas Indonesia
3 yang tidak efektif. Keadaan abnormal produksi mukus yang berlebihan (karena gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi yang terjadi pada membran mukosa), menyebabkan proses pembersihan tidak berjalan secara adekuat normal, sehingga mukus ini banyak tertimbun dan bersihan jalan nafas akan tidak efektif. Intervensi keperawatan yang diberikan pada pasien lansia dengan TB paru yaitu inhalasi sederhana dan batuk efektif. Hough (2001) menyatakan bahwa penggunaan penguapan atau inhalasi sederhana untuk mengencerkan dahak tergantung dari kekuatan pasien untuk membatuk atau batuk efektif sehingga mendorong lendir keluar dari saluran pernapasan dan seseorang akan merasa lendir atau dahak di saluran napas hilang dan jalan nafas akan kembali normal. Berdasarkan data tersebut di atas, mahasiswa tertarik untuk membahas bagaimana pengaruh inhalasi sederhana dan batuk efektfif terhadap ketidakefektifan bersihan jalan napas pada tuberkulosis paru lansia di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. 2.
Metode
Karya ilmiah akhir ini ditulis dengan menggunakan metode studi kasus terhadap keluarga dengan tuberkulosis paru pada lansia yang dikelola selama tujuh minggu dengan masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas. 3.
Hasil
Data pengkajian yang kemudian dikelompokkan oleh mahasiswa dijadikan dasar dalam menegakkan diagnosis keperawatan pada kasus kelolaan utama dan diperoleh diagnosis keperawatan utama yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas. Setelah diagnosa keperawatan dirumuskan, mahasiswa kemudian melakukan perencanaan tindakan keperawatan untuk menyelesaikan masalah keperawatan pada pasien kelolaan dengan menetapkan juga tujuan dan kriteria hasil yang akan dicapai dari masing-masing tindakan. Mahasiswa kemudian menerapkan tindakan keperawatan sesuai rencana yang telah dibuat. Implementasi dilakukan sebanyak empat kali kunjungan rumah selama empat puluh lima menit untuk mengatasi diagnosis keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas. Implementasi yang dilakukan berdasarkan lima tugas kesehatan keluarga yaitu TUK 1 mengenal masalah TB, dengan menyebutkan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta cara penularan, TUK 2 mengambil keputusan untuk mengatasi masalah TB dengan menyebutkan akibat TB bila tidak diobati dan tidak minum obat secara teratur, memutuskan untuk mengatasi masalah TB pada penderita TB, TUK 3 melakukan perawatan untuk mengatasi masalah TB dengan menyebutkan cara pencegahan penularan TB Menyebutkan cara perawatan sederhana untuk mengatasi TB, TUK 4 memodifikasi lingkungan untuk mencegah TB, dan TUK 5 pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan. Evaluasi dilakukan untuk membandingkan
Universitas Indonesia
4 antara hasil implementasi untuk mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada kakek A dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya.
Evaluasi Subyektif yaitu Kakek A mengatakan masih merasa sesak napas. Mengatakan bahwa TB paru merupakan penyakit plek paru yang menular, penyebab TB paru adalah kuman TB, tanda dan gejala TB paru adalah batuk lama, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan menurun dan suka berkeringat jika malam hari. Mengatakan bahwa dirinya mengalami TB paru. Kakek A mengatakan bahwa akibat jika TB paru tidak ditangani adalah kematian dan penyakit tidak dapat sembuh, akibat penderita TB paru jika putus obat yaitu mengakibatkan pengobatan yang semakin lama, biaya semakin banyak, cara mencegah TB paru dengan menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin atau menggunakan masker, tidak meludah atau membuang dahak disembarang tempat dan buka jendela agar sinar matahari masuk. Nenek I mengatakan akan merawat anggota keluarga dengan TB paru dan mengatakan cara merawat anggota keluarga dengan TB paru adalah batuk efektif dan inhalasi sederhana. Kakek A mengatakan Alat untuk batuk efektif yaitu tempat dahak berisi 1 karbol: 9 air, tissue. Dahak di buang ke tempat dahak dan tissue buat membersihkan mulut. Kakek A mengatakan cara inhalasi sederhana dengan menghirup uap air panas yang ditetesi minyak kayu putih. Kakek A mengatakan cara modifikasi lingkungan dengan membuka jendela dan pintu agar sinar matahari dapat masuk dan membuang dahak pada tempat yang telah ditentukan dan mengatakan akan memodifikasi lingkungan sesuai dengan standar askep yang sudah diajarkan. Kakek A mengatakan jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan, seperti puskesmas, RS, dan praktik mantri, manfaat fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu untuk pemeriksaan dan mendapatkan obat untuk batuk pilek dan akan berkunjung ke pelayanan kesehatan untuk berobat. Setelah diberikan inhalasi sederhana dan batuk efektif, Kakek A mengatakan sesak sedikit berkurang, napas sedikit lega. dahak menjadi encer dan mudah keluar, mengatakan batuk sesekali.
Evaluasi subyektif yaitu kakek A mampu menjawab pengertian TB paru sesuai standar, mampu menjawab 1 dari 2 penyebab TB paru, mampu menjawab 5 dari 7 tanda dan gejala TB paru, mampu menjawab 2 dari 3 akibat jika TB paru yang tidak diobati, mampu menjawab 2 dari 4 akibat jika penderita TB paru putus obat, mampu menjawab 3 dari 6 cara mencegah TB paru, mampu menjawab menyebutkan 2 dari 2 cara merawat anggota keluarga dengan TB paru. Kakek A dapat mendemonstrasikan inhalasi sederhana dan batuk efektif,
mampu menjawab 2 dari 4 cara
memodifikasi lingkungan untuk anggota keluarga yang mengalami TB paru, mampu menjawab 3 dari 5 jenis fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan dan mampu menjawab 2 dari 3 manfaat fasilitas pelayanan kesehatan. Setelah dilakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif Universitas Indonesia
5 didapatkan TTV : TD: 110/70 mmHg, Nadi: 80 x/menit, Suhu: 36,5oC, RR: 23 x/menit. Pemeriksaan paru: Inspeksi: simetris, pembengkakan (-), otot bantu napas (-),retraksi dinding dada (-), lesi (-) Auskultasi: ronchi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronkhi tanpa auskultasi, wheezing -/- Palpasi: tactile fremitus Perkusi: sonor.
Evaluasi secara keseluruhan didapatkan bahwa keluarga telah dapat mengenal masalah kesehatan pada anggota keluarga, telah menyatakan kesediaan untuk merawat, telah dapat melakukan perawatan sederhana bagi penderita TB, telah mengerti bagaimana melakukan modifikasi lingkungan, dan telah bersedia membawa Kakek A ke Pelayanan kesehatan. Perawat menyarankan untuk melanjutkan tindakan inhalasi sederhana selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif. Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan 2 bantal atau pemberian posisi semi fowler untuk mengurangi sesak. Mengevaluasi pengetahuan tentang TB paru dan memfasilitasi untuk memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan dengan mengkoordinasikan ke mahasiswa residen yang sedang praktik di RW 01, ke kader RW 01 dan ke puskesmas Cimanggis.
Hasil pengkajian, intervensi, implementasi dan evaluasi yang dilakukan selama tujuh minggu, keluarga dapat bekerjasama dengan mahasiswa dalam mengatasi masalah kesehatan yang ditemukan. Selama melakukan pembinaan dan kunjungan rutin di keluarga, mahasiswa banyak memperoleh informasi dari keluarga mengenai masalah kesehatan yang dialami keluarga. Selama sembilan minggu mahasiswa melakukan pembinaan dan kunjungan rutin ke keluarga dan menemukan lima masalah kesehatan dan dapat disimpulkan bahwa keluarga termasuk ke dalam keluarga mandiri tingkat III yaitu menerima petugas puskesmas, menerima yankes sesuai rencana, menyatakan masalah kesehatan secara benar, memanfaatkan yankes sesuai anjuran dan melaksanakan perawatan sederhana sesuai anjuran. 4.
Pembahasan
Analisis Masalah Masalah Keperawatan Terkait Konsep
Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan Kelurahan Cisalak Pasar, khususnya RW 01 merupakan daerah kawasan perkotaan (urban). Hal ini dibuktikan oleh pendapat Bintarto (2000) bahwa Kawasan perkotaan (urban) adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Universitas Indonesia
6 Masalah TB paru merupakan masalah kesehatan yang paling menonjol di RW 01 dan merupakan masalah epidemi yang merupakan keadaan dimana suatu masalah kesehatan (umumnya penyakit) yang ditemukan pada suatu daerah tertentu dalam waktu yang singkat berada dalam frekuensi yang meningkat, (Budiarto, 2003). Mengatasi masalah TB paru ini perawat melakukan pendekatan menggunakan model konsep Betty Neuman.
Sesuai dengan konsep Betty Neuman, RW 01 ini merupakan klien dan penggunaan proses keperawatan sebagai pendekatan. Kumpulan individu/ keluarga di RW 01 merupakan “core“ dari asuhan keperawatan komunitas yang diberikan oleh perawat. Konsep antara at risk dan vulnerability terkadang sulit untuk dipahami secara keseluruhan oleh perawat karena banyaknya faktor yang mempengaruhi keduanya (Fitzpatrick, Villaruel, & Porter, 2004 ).
Konsep at risk disini merupakan kondisi kesehatan warga RW 01 merupakan hasil dari interaksi dengan berbagai macam faktor, seperti faktor genetik, gaya hidup, serta kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial dimana individu tersebut tinggal atau bekerja. Risk factor merupakan karakteristik warga RW 01 seperti umur, jenis kelamin, dan genetik. Population at
factor
merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki beberapa kemungkinan yang telah jelas teridentifikasi atau telah ditentukan meskipun sedikit atau kecil terhadap munculnya suatu peristiwa, misalnya penderita TB di RW 01. Vulnerable population group disini merupakan sekelompok orang dari RW 01 yang memiliki masalah kesehatan yang lebih kompleks dibandingkan dengan masalah TB di RW 01.
Masalah TB sampai saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting sama seperti halnya masalah TB di RW 01. Faktor yang mempengaruhi sehat sakit di RW 01 diadaptasi dari teori gordon and le rich, dimana pejamu (host)/inang yaitu segala faktor yang terdapat dalam diri manusia yg mempengaruhi timbulnya penyakit, misalnya imunitas, aktivitas, gaya hidup. Bibit penyakit (agent) yaitu substansi atau elemen yang apabila ia ada atau tidak ada dapat menimbulkan atau menggerakkan timbulnya penyakit, misalnya bakteri, jamur, dan virus. Lingkungan (environment) yaitu seluruh kondisi yang mempengaruhi (Rekawati, 2011).
Masalah TB paru di RW 01 disebabkan oleh faktor risiko yang berperan penting dalam penularan penyakit TB diantaranya faktor kependudukan dan faktor lingkungan. Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status gizi, dan kondisi sosial ekonomi, sedangkan faktor lingkungan diantaranya lingkungan dan ketinggian wilayah untuk lingkungan meliputi kepadatan Universitas Indonesia
7 penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah (Ahmadi, 2005). Penelitian Chapman et al (1993, dalam Nelson 2005) mengatakan bahwa faktor lingkungan dan sosial, kepadatan penghuni, serta kemiskinan berperan dalam timbulnya kejadian TB di perkotaan.
Faktor kependudukan di RW 01 yaitu jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Hal ini merupakan faktor risiko terjadinya TB di RW 01. Sesuai dengan yang dipaparkan oleh WHO (2005, dalam Hiswani 2009) yang menyatakan bahwa penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Warga RW 01 mayoritas penduduknya rata-rata usia produktif (15-50 tahun). Hal ini juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB paru di RW 01 yang didukung oleh pendapat Hiswani (2009) penyakit tuberkulosis yang paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif 15-50 tahun, dengan ini terjadinya transisi demografi saat ini menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit tuberkulosis paru. Penduduk RW 01 yang mayoritas berada pada usia produktif yang kebanyakan usia tersebut digunakan untuk bekerja.
Warga RW 01 sebagian besar bermata pencaharian sebagai buruh pabrik, dan wiraswasta yang memiliki pendapatan < Rp 1.000.000. Keluarga dengan pendapatan rendah akan cenderung sulit memperoleh makanan yang begizi dan memelihara kesehatan secara baik, sehingga sangat rentan tertular penyakit TB (Amira, 2005). Jenis pekerjaan ini juga mempengaruhi keadaan perekonomian seseorang dan kemudian akan berdampak terhadap pola makan setiap hari, dan pemeliharaan kesehatan.
Status ekonomi warga RW 01 mayoritas ekonomi menengah ke bawah. Kondisi ekonomi warga RW 01 ini juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TB paru. WHO (2008) menyebutkan 90% penderita TB di dunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.
Faktor lingkungan kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah juga berpengaruh terjadinya TB di perkotaan. Pemukiman warga di RW 01 Universitas Indonesia
8 tampak padat, mayoritas merupakan rumah pribadi, dan merupakan bangunan permanen. Terdapat beberapa rumah kontrakan satu pintu yang seluruhnya dihuni oleh warga pendatang. Sebagian besar memiliki halaman depan atau teras walaupun tidak luas. Padatnya perumahan, dan wilayah yang tidak terlalu luas, pencahayaan sinar matahari tidak masuk pada sebagian besar rumah. Penyakit TB paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni dalam rumah karena dapat mempengaruhi kejadian penyakit, kontruksi dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko sumber penularan berbagai penyakit infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan TB Paru (Depkes, 2007). Rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB seperti hasil penelitian Dahlan (2000) mengatakan bahwa pencahayaan, ventilasi yang buruk dan kepadatan penghuni yang tinggi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB.
Hunian rumah yang padat pada RW 01 menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen bila salah satu anggota hunian terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang menderita TB dengan BTA positif. Daerah perkotaan (urban) seperti RW 01 Cisalak Pasar yang lebih padat penduduknya dibandingkan di pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak dengan penderita TB akan lebih besar, sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya. Selain hunian yang padat, kebiasaan warga untuk membuka jendela juga mempengaruhi angka kejadian TB.
Kebiasaan warga RW 01 yang tidak membuka jendela tiap pagi karena berbagai alasan jika jendela dibuka udara akan terasa panas, takut rumahnya kecurian dan dimasuki oleh kucing. Beberapa rumah juga tampak tidak dibuka jendelanya dikarenakan sudah dimatikan dan jendela permanen yang hanya sebagai hiasan sehingga tidak bisa dibuka kembali. Kebiasaan warga RW 01 ini sangat mempengaruhi terjadinya TB di RW 01. Ventilasi cukup menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga dan menjaga dalam kelembaban (humidity) yang optimum (Slamet, 2000). Ventilasi yang kurang tersebut mempengaruhi cahaya matahari yang masuk.
Cahaya matahari juga kurang di RW 01 dikarenakan kebiasan warga RW 01 jarang membuka jendela. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap, sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap. Hal ini sependapat dengan penelitian Yoga (2007), TB juga mudah menular pada mereka yang tinggal di perumahan padat, kurang sinar matahari dan sirkulasi udaranya Universitas Indonesia
9 buruk/pengap, namun jika ada cukup cahaya dan sirkulasi, maka kuman TB hanya bisa bertahan selama 1-2 jam. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kejadian TB ini juga tidak lepas dari pengetahuan warga RW 01 terhadap penyakit TB.
Warga RW 01 belum pernah mendapatkan penyuluhan sebelumnya terkait penyakit TB baik oleh pihak puskesmas atau instansi terkait lainya. Kurangnya informasi tentang penyakit TB paru menyebabkan kurangnya pengertian kepatuhan penderita terhadap pengobatan atau berhenti bila gejala penyakit tidak dirasakan lagi (Anugerah, 2007). Hal ini juga merupakan salah satu penyebab tingginya angka kejadian TB di RW 01 dan tidak terlepas dari upaya penanganan dan penanggulangan TB dari Puskesmas Cimanggis.
Upaya penanganan dan pemberantasan TB paru telah dilakukan oleh Puskesmas Cimanggis berdasarkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS. Program TB di Puskesmas Cimanggis yang sudah berjalan yaitu pelayanan langsung ke penderita TB di poli TB dan mengingatkan penderita TB melalui pesan singkat apabila tidak mengambil obat pada waktu yang telah ditentukan. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan prioritas pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan diharapkan menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes, 2007).
Penderita TB yang berobat ke Puskesmas Cimanggis khususnya yang berasal dari Cisalak Pasar diberikan obat dengan gratis. Seseorang yang sakit TB dapat disembuhkan dengan minum obat secara lengkap dan teratur. Obat disediakan oleh pemerintah secara gratis di sarana pelayanan kesehatan yang telah menerapkan strategi Dots (Directly Observed Tretment Short course) seperti di Puskesmas, Balai pengobatan Penyakit Paru dan beberapa rumah sakit (Depkes, 2003).
Program TB yang sudah dicanangkan oleh Puskesmas Cimanggis dengan memberikan pengobatan gratis ini juga kemungkinan belum terlalu diketahui oleh warga RW 01, sehingga banyak RW 01 yang tidak berobat. Program pemberantasan TB yang telah dilaksanakan melalui paket program, namun di puskesmas belum secara efektif dapat menjangkau seluruh masyarakat atau penderita. Hal ini sependapat dengan Helper, dkk (2009) juga mengemukakan bahwa sampai saat ini masih ada anggota masyarakat yang belum mengetahui ada program pelayanan kesehatan TB paru gratis di Puskesmas. Hasil survei prevalensi tuberculosis (2004) menunjukkan bahwa lebih dari 80 % responden ternyata tidak mengetahui adanya program obat anti TB gratis dan hanya 19 % yang Universitas Indonesia
10 mengetahui adanya pemberian obat anti TB gratis (Depkes. 2004). Rendahnya pengetahuan ini akan menghambat penderita TBC mencari pengobatan gratis atau menjadi penyebab putus berobat. Hal ini juga yang meningkatkan angka kejadian TB khususnya di RW 01 Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok. Analisis Inhalasi Sederhana dan Batuk Efektif untuk Mengatasi Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas intervensi keperawatan unggulan yang diberikan berupa inhalasi sederhana dan batuk efektif. Sesuai dengan Prince (2000) bahwa pengeluaran dahak dapat dilakukan dengan membatuk akan lebih mudah dan efektif bila diberikan penguapan atau inhalasi sederhana.
Inhalasi sederhana adalah menghirup uap hangat dari air mendidih telah ditetesi minyak penghangat, misalnya minyak kayu putih (Akhavani, 2005). Inhalasi merupakan salah satu cara yang diperkenalkan dalam penggunaan metode terapi yang paling sederhana dan cepat. Inhalasi sederhana ini diberikan ke kakek A dengan tujuan mengencerkan sputum yang kental, susah dikeluarkan oleh kakek A dan juga mengurangi sesak. Hal ini sejalan dengan Rasmin, dkk (2001) yang menyatakan bahwa terapi inhalasi biasanya ditujukan umtuk mengatasi bronkospasme, mengencerkan sputum, menurunkan hipereaktivitas bronkus serta mengatasi infeksi. Penggunaan terapi inhalasi ini diindikasikan untuk pengobatan asma, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), tuberkulosis, fibrosis kistik, keadaan atau penyakit lain dengan sputum yang kental dan lengket, pasien sesak nafas dan batuk. Kontraindikasi mutlak pada inhalasi tidak ada. Indikasi relatif pada pasien dengan alergi terhadap bahan atau obat yang digunakan (Rasmin dkk, 2001).
Teknik pemberian inhalasi sederhana yang diajarkan ke kakek A diadaptasi dari beberapa literatur yaitu terlebih dahulu membuat corong dari sebuah kertas yang digulung, adalah cara yang baik untuk menghirup uap dari mangkuk. kemudian menempatkan air mendidih dengan suhu 42oC -44oC dalam mangkuk, dihirup selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari dan minyak kayu putih ditambahkan ke air panas tersebut untuk meningkatkan efektifitas (Wong, 2008). Penelitian yang dilakukan Singh (2004) bertujuan untuk menilai efek dari menghirup uap air panas dengan bantuan sebuah alat yang dirancang untuk memberikan uap air panas ke rongga hidung. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian inhalasi sederhana efektif, akan tetapi penelitian lain terkait pemberian inhalasi sederhana diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Handley, Abbott, Beasley dan Gwaltney ( dalam Nuraeni, 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian inhalasi uap melalui hidung tidak berpengaruh pada pelepasan virus yang dilakukan pada kelompok intervensi. Hal ini juga didukung oleh penyataan Karnaen (2011) bahwa penguapan secara Universitas Indonesia
11 tradisional atau inhalasi sederhana ini hanya berfungsi untuk melonggarkan saluran napas, bukan untuk mengeluarkan lendir, karena bahan-bahan dalam minyak kayu putih yang terhirup melalui uap air panas itu tidak mengandung zat penghancur lendir, sehingga tindakan inhalasi terbukti kurang efektif untuk mengeluarkan dahak sehingga bersihan jalan napas menjadi efektif, sehingga tindakan inhalasi sederhana dikombinasikan dengan batuk efektif untuk mengatasi ketidakefektifan bersihan jalan napas pada kakek A.
Batuk efektif adalah tindakan yang diperlukan untuk membersihkan dahak (Hudak & Gallo, 2000). Batuk efektif ini juga merupakan bagian tindakan keperawatan untuk pasien dengan gangguan penapasan akut dan kronis (Kisner & Colby, 1999 dalam Nugroho 2011). Indikasi batuk efektif adalah pada pasien seperti bronkitis kronik, asma, TB paru, pneumonia dan emfisema. Batuk efektif ini diajarkan ke kakek A karena tidak terdapat kontraindikasi seperti yang dijelaskan oleh Wilson (2006), dimana kontraindikasi batuk efektif adalah tension pneumotoraks, hemoptisis, gangguan sistem kardiovaskuler seperti hipotensi, hipertensi, infark miokard akut infark dan aritmia, edema paru dan efusi yang luas.
Batuk efektif yang baik dan benar dapat mempercepat pengeluaran dahak pada pasien dengan gangguan saluran pernafasan. Teknik batuk efektif yang diajarkan ke kakek A merupakan tindakan yang dilakukan untuk membersihkan sekresi dari saluran nafas. Caranya batuk efektif diadaptasi dari Depkes (2007) adalah sebelum dibatukkan, klien dianjurkan untuk minum air hangat dengan rasionalisasi untuk mengencerkan dahak namun minum air hangat ini diganti menjadi tindakan inhalasi sederhana menggunakan minyak kayu putih dengan rasionalisasi untuk mengencerkan dahak, setelah itu dianjurkan untuk inspirasi dalam. Hal ini dilakukan selama dua kali, kemudian setelah inspirasi yang ketiga, anjurkan klien untuk membatukkan dengan kuat (Depkes, 2007).
Terapi Inhalasi sederhana dan batuk efektif dilakukan selama 4 minggu dan diharapkan bersihan jalan napas kakek A menjadi efektif yang ditandai dengan sesak berkurang atau hilang, mudah mengeluarkan dahak, Respiratory Rate (RR) dalam rentang normal (20 kali/menit), tidak ada penggunaan otot bantu napas, tidak ada retraksi dinding dada, dan bunyi napas ronchi berkurang atau hilang (Wilkinson, 2012). Pemberian terapi inhalasi sederhana dan batuk efektif pada Kakek A selama 4 minggu didapatkan evaluasi terakhir yaitu sesak sedikit berkurang, dahak menjadi encer dan mudah dikeluarkan, dahak berwarna putih, jumlah dahak banyak, batuk sesekali, RR: 23 kali/menit, pemeriksaan paru didapatkan pada saat inspeksi dinding dada simetris, tidak ada pembengkakan, tidak ada penggunaan otot bantu napas, tidak terdapat retraksi dinding dada dan Universitas Indonesia
12 tidak ada lesi. Auskultasi paru didapatkan ronchi basah kasar di semua lapang paru, suara napas ronchi tanpa auskultasi, tidak ada wheezing, Hasil palpasi paru yaitu tactile fremitus dan perkusi paru yaitu sonor.
Hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi sebagian, karena bersihan jalan napas belum efektif yang ditandai masih ada sesak sedikit namun berkurang. Sesak yang berkurang ini dikarenakan tindakan inhalasi sederhana bekerja langsung pada sumber pernapasan yaitu paruparu (Karnaen, 2011). Cara kerja inhalasi sederhana ini adalah uap masuk dari luar tubuh ke dalam tubuh, dengan mudah akan melewati paru-paru dan dialirkan ke pembuluh darah melalui alveoli (Buckle, 1999 dalam Nuraeni 2012). Inhalasi sederhana yang telah dilakukan kemudian dilakukan batuk efektif seperti yang telah diajarkan ke kakek A yang merupakan tindakan yang dilakukan untuk membersihkan sekresi dari saluran nafas. Jumlah dahak yang dikeluarkan oleh kakek A disini sudah banyak dan mudah dikeluarkan. Hal ini sesuai dengan efek teraupetik dari inhalasi sederhana yang berguna untuk mengencerkan lendir yang menyumbat saluran pernapasan dan berguna sebagai ekspektoran alami dan penekan batuk (Crinion, 2007). Lendir yang encer kemudian dibatukkan agar dahak yang keluar lebih banyak dan dengan batuk efektif penderita tuberkulosis paru tidak harus mengeluarkan banyak tenaga untuk mengeluarkan sekret (Subrata, 2006). Hal ini juga sependapat dengan hasil penelitian Nugroho (2011) ada pengaruh sebelum dan sesudah batuk efektif terhadap pengeluaran dahak pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Bunyi ronchi basah kasar masih terdengar jelas di semua lapang paru tanpa auskultasi pun juga masih terdengar, hal ini disebabkan akumulasi sekret di dalam paru masih sangat banyak. Hal ini membuktikan inhalasi sederhana tidak terlalu efektif dalam pengeluaran sekret yang berlebihan sehingga hal ini masih mempengaruhi frekuensi napas.
Frekuensi napas/ RR kakek A masih belum dalam rentang normal, namun RR sebelum diberikan intervensi dan setelah diberikan intervensi mengalami penurunan. Penurunan RR/ frekuensi napas pada kakek A sesuai dengan penelitian Nuraeni (2012) bahwa pemberian inhalasi sederhana dapat menurunkan frekuensi napas walaupun tidak bermakna. Hal ini dikarenakan pelaksanaan inhalasi sederhana hanya dilakukan satu kali selama sepuluh menit sedangkan penelitian Singh (2004) dilakukan sebanyak empat kali sehari selama 10-15 menit. Hal ini juga sesuai dengan yang dijelaskan dalam panduan inhalasi (Wong, 2008). Penelitian terbaru dengan menggunakan arformoterol inhalation solution pada jenis nebulizer jet standar adalah 6 menit (Cipla, 2010), sehingga inhalasi sederhana ini menjadi tidak bermakna yaitu dapat disebabkan oleh alat, tempat yang digunakan dan prosedur yang kurang tepat. Universitas Indonesia
13
Keberhasilan inhalasi sederhana dan batuk efektif pada kakek A juga terlihat dengan tidak adanya penggunaan otot bantu napas dan retraksi dinding dada, berbeda dengan sebelum dilakukan intervensi. Hal ini dikarenakan sesak sudah berkurang sehingga tidak ada ada penggunaan otot bantu napas ataupun retraksi dinding dada, sebagai usaha yang dilakukan oleh kakek A untuk bernapas lebih efektif.
Tindakan inhalasi sederhana dan batuk efektif pada lansia ini hanya tidak seefektif seperti pada usia muda. Hal ini dikarenakan berbagai perubahan fisik yang terjadi pada lansia yang meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh. Salah satu diantaranya yaitu sistem pernapasan. Perubahan sistem pernapasan pada lansia yaitu otot pernapasan kaku dan kehilangan kekuatan, penurunan aktivitas silia jumlah udara pernapasan yang masuk keparu mengalami penurunan, alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret berkurang dan mengalami sumbatan atau obstruksi (Stanley, 2006). Pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif ini tetap bermanfaat dan dapat diterapkan untuk mengeluarkan dahak, menurunkan frekuensi napas, dan mengurangi sesak pada lansia, karena inhalasi sederhana langsung bekerja pada paru-paru dan pada saat dibatukkan efektif tidak harus menggunakan banyak tenaga. Selama pemberian terapi inhalasi sederhana menggunakan minyak kayu putih tidak terdapat reaksi alergi ataupun komplikasi yang ditunjukkan oleh kakek A yang bisa disebabkan oleh aerosol yang diberikan dalam jumlah besar, maka dapat menyebabkan penyempitan pada saluran pernapasan (bronkospasme), disamping itu bahaya iritasi dan infeksi pada jalan napas, terutama infeksi nosokomial juga dapat terjadi (Rab, 2000).
Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas Mahasiswa Menganjurkan posisi yang nyaman pada saat tidur dengan dua bantal dengan rasionalisasi didapatkan posisi semi fowler untuk meningkatkan ekspansi paru dan mencukupi kebutuhan oksigen sehingga memberikan kenyamanan. Hal ini dilakukan karena Kakek A masih merasa sesak napas. Keefektifan posisi semi fowler dapat dilihat dari Respiratory Rates yang menunjukkan angka normal yaitu 16-24x per menit pada usia dewasa (Ruth, 2002: 812). Wilkison (1998 dalam Supadi, dkk 2008) bahwa posisi semi fowler dimana kepala dan tubuh dinaikkan 45º membuat oksigen didalam paru–paru semakin meningkat sehingga memperingan kesukaran napas. Hasil penelitian Setiawati (2008) menyatakan bahwa penggunaan posisi semi fowler dapat efektif untuk mengurangi sesak napas pada klien TB. Universitas Indonesia
14
Selain pemberian posisi semi fowler, mahasiswa menganjurkan adanya tindak lanjut dan motivasi dari petugas kesehatan yang bertugas di RW 01 termasuk kader-kader kesehatan yang sudah diberi pelatihan terkait TB paru. Pemberian terapi inhalasi sederhana harus rutin dilakukan di rumah selama 10-15 menit dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan kemudian batuk efektif. Memotivasi keluarga kakek A untuk memeriksakan diri ke Puskesmas Cimanggis sehingga mendapatkan pengobatan.
5.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis kasus kelolaan utama dengan implementasi tindakan keperawatan inhalasi sederhana dan batuk efektif untuk mengatasi masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas diperoleh kesimpulan bahwa pemberian inhalasi sederhana dan batuk efektif ini tetap bermanfaat dan dapat diterapkan untuk mengeluarkan dahak, menurunkan frekuensi napas, dan mengurangi sesak pada lansia, karena inhalasi sederhana langsung bekerja pada paru-paru, aman untuk segala usia dan tidak terdapat reaksi alergi yang ditunjukkan oleh klien serta pada saat dibatukkan efektif tidak harus menggunakan banyak tenaga.
Mengacu kepada kesimpulan hasil penelitian ini, maka peneliti menyampaikan beberapa saran bagi pihak yang terkait dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut: kepada keluarga penderita TB paru tetap memberikan motivasi kepada anggota keluarga untuk melakukan pengobatan dan tetap melaksanakan lima tugas kesehatan keluarga dan melakukan inhalasi sederhana dan batuk efektif sebagai perawatan keluarga pada penderita TB. Karya ilmiah ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumber informasi bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan komunitas dan keluarga yang holistik bagi pasien TB paru. diharapkan dapat menjadi masukan bagi Puskesmas Cimanggis dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB paru tidak hanya di puskesmas saja, tetapi bisa dilakukan kunjungan rumah bagi penderita TB paru. Karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan pembelajaran dan pengembangan ide untuk penelitian untuk mengetahui masalah keperawatan lainnya yang bisa terjadi pada pasien dengan TB paru lansia dan tindakan efektif untuk mengatasi masalah keperawatan yang dialami oleh penderita TB paru pada lansia.
6. Daftar Pustaka Akhavani, M. A. (2005). Steam inhalation treatment for children. British Journal of General Practice. Bintarto. (2000). Pengantar geogarafi kota. Yogyakarta: LIP SPRING. Departemen Kesehatan.(2003). Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI. Universitas Indonesia
15 Departemen Kesehatan. (2007). Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. (edisi 2). Jakarta: Depkes RI. Helper,M,. dkk. (2009). Faktor sosial budaya yang mempengaruhi ketaatan berobat penderita tb paru. laporan penelitian. Pusat Penelitian Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan, Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI. Hidayati, R. (2009). Asuhan keperawatan pada tuberkulosis. Jakarta: Salemba Medika. Hiswani. (2009). Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Http://librarv.usu.ac.id/download/fkmhiswani6.pdf 2009). Hudak & Gallo. (2000). Keperawatan Kritis. Jakarta : EGC. Hough, Alexandra. ( 2001 ). Physiotherapy in respiratory care: an evidence-based approach to respiratory and cardiac management. Washington : Nelson Thornes. Kemenkes. (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI. Kompas (2008). Tuberkulosis pada usia lanjut. www.lipsus.kompas.com/jalanjalan/read/2008/10/19/13371682/Tuberkulosis.pada.Usia.Lanju t. Juni, 15, 2013. Nugroho, A. Y. (2011). Batuk efektif dalam pengeluaran dahak pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas di instalasi rehabilitasi medik Rumah sakit Baptis kediri. Jurnal STIKES RS. Baptis Kediri. Volume 4. No. 2 Desember 2011.
Nuraeni. (2012). Pengaruh steam inhalation terhadap usaha bernapas pada balita dengan pneumonia di puskesmas Kebupaten Subang Provinsi Jawa Barat. Depok: Program Magister Ilmu Keperawatan, FIK UI. Puskesmas Cimanggis. (2012). Profile kesehatan UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) Puskesmas Kec. Cimanggis Th. 2012. Depok: Puskesmas Cimanggis. Rab, T. (2000). Ilmu penyakit paru. (Ed Hipokrates). Jakarta: Qlintang S. Rekawati. (2011). Bahan ajar kuliah epidemiologi. Depok: FIK UI. Singh, M. (2004). Heated, humidified air for the common cold. Cochrame Database Syst. Rev (2): CD001728. Slamet, J.S. (2000). Kesehatan lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan medikal bedah. (edisi 8). Alih bahasa: Agung Waluyu. Jakarta: EGC. Stanhope, M and Lancaster, J. (2004). Community and Public Health Nursing. The Mosby Year Book. St Louis. Wong, D. L., Hockenberry, & M., Wilson, D., Winkelsein, M., L., & Schwatrz, P. (2008). Buku ajar keperawatan pediatrik. (edisi 6). (Monika Ester penterjemah). Jakarta: EGC. World Health Organization. (2008). Indonesian Strategic Plan to Stop TB 2006-2010. Jakarta: Depkes RI. Yoga, T (2007). Diagnosis TB pada anak lebih sulit. Mediakom info sehat untuk semua: Departemen Kesehatan.
Universitas Indonesia