UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS YURIDIS TERHADAP IKLAN MENYESATKAN PADA PRODUK MULTIVITAMIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KEPMENKES NO:386/MEN.KES/SK/IV/1994 (STUDI KASUS: IKLAN MULTIVITAMIN X)
SKRIPSI
Nama NPM
: Nenny Febriyanti : 0806342831
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM ILMU HUKUM DEPOK JULI 2012
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS YURIDIS TERHADAP IKLAN MENYESATKAN PADA PRODUK MULTIVITAMIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KEPMENKES NO:386/MEN.KES/SK/IV/1994 (STUDI KASUS: IKLAN MULTIVITAMIN X)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Nama : Nenny Febriyanti NPM : 0806342831
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM ILMU HUKUM DEPOK JULI 2012
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Nenny Febriyanti
NPM
: 0806342831
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 9 Juli 2012
ii
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Nenny Febriyanti
NPM
: 0806342831
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 9 Juli 2012
i
i
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada beberapa pihak antara lain: 1.
Ibu Henny Marlyna, S.H., M.H. MLI sebagai dosen pembimbing, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan saya selama penyusunan skripsi ini dengan penuh kesabaran;
2. Bapak Bono Budi Priambodo, S.H., M. Sc, Ibu Rosewitha Irawati, S.H., MLI, Ibu Fully Handayani Ridwan, S.H, M.Kn. yang telah bersedia meluangkan waktu sebagai penguji pada skripsi ini, yang bersedia memberikan saran dan kritik terhadap perbaikan dan pengembangan skripsi ini; 3. Para dosen di FH UI yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis; 4. Ibu Sukismi dan Bapak Tukiman selaku orang tua penulis yang telah memberikan dukungan yang luar biasa baik moril maupun materiil. Terutama pada ibu yang selalu memberikan semangat kapanpun saya membutuhkannya; 5.
Mas Yadi, Mas Yanto, Mba Ery, Mba Tari, selaku kakak penulis yang telah memotivasi penulis dan memberikan semangat kepada penulis. Juga terima kasih pada kakak-kakak ipar serta keponakan-keponakan;
6. Teman-teman penulis di FH antara lain: Tia, Kucing, Norma, Anas, Sari, Shinta, Jepp, Naf, Devis, David, Andin, Sigit, Agam, Selvi,
dan lain-lain yang telah
mendukung dan memberikan semangat yang luar biasa 7. Teman-teman dari Komunitas Mahasiswa Purworejo: Ritno, Milla, Dita, Tem, Tum, Dewi, Siska, Gandes, Fitra, dan lain-lain. 8. Untuk karyawan-karyawan FH UI antara lain Pak Selam dan juga karyawan Birpen lainnya atas segala bantuan yang telah diberikan sehingga memperlancar segala sesuatu tentang skripsi saya ini; 9. Mba Anggi di Biro Hukum dan Humas Badan POM yang dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dan membantu saya dalam mendapatkan data yang saya butuhkan;
i
i
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
10. Pada teman-teman Pondok Aria: Maftuh, Dyah, Utik, Fifi, Kak Shanti, Asti, Ajeng, Galuh, Shari, Hanna, Kak Inun atas dukungannya
yang selalu
mengingatkan dan memberikan semangat agar saya segera menyelesaikan skripsi ini. 11. Dan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Hanya Tuhan Yang Maha Esa yang dapat membalas jasa pihak-pihak yang membantu saya baik dengan dukungan moril dan materiil dalam penyusunan skripsi ini. Saya menyadari selalu akan ada kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, saya tetap mengharapkan saran dan kritik terhadap skripsi ini agar menjadi lebih baik.
Depok, 9 Juli 2012
Penulis
i
i
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Nenny Febriyanti
NPM
: 0806342831
Program Studi : Ilmu Hukum Departemen
: Hukum
Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Royalti Noneksklusif
(Non-exclusive Royalty-Free
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Analisis Yuridis terhadap Iklan Menyesatkan pada Produk Multivitamin Dikaitkan dengan
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen
dan
Kepmenkes
No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 (Studi Kasus: Iklan Multivitamin X) beserta
perangkat
yang ada (jika diperlukan).
Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formalkan,
mengelola
dalam
bentuk
pangkalan
(da t aba se ),
data
merawat,
dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 9 Juli 2012 Yang menyatakan (
i
) i
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
ABSTRAK Nama
: Nenny Febriyanti
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul
: Analisis Yuridis terhadap Iklan Menyesatkan pada Produk Multivitamin
Dikaitkan
dengan
Undang-Undang
Perlindungan
Konsumen dan Kepmenkes No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 (Studi Kasus: Iklan Multivitamin X) Skripsi ini membahas mengenai iklan menyesatkan pada iklan multivitamin. Multivitamin merupakan sesuatu yang dibutuhkan untuk mengimbangi kegiatan manusia yang semakin sibuk sehingga dibutuhkan multivitamin untuk menjaga daya tahan tubuh maupun untuk berbagai manfaat lainnya. Pelaku usaha akan berlombalomba untuk mengiklankan produk multivitaminnya. Iklan ini sangat berperan dalam pengambilan keputusan apakah akan membeli suatu produk atau tidak. Oleh karena itu, sudah seharusnya iklan memberikan informasi yang sebenar-benarnya agar tidak menipu konsumen. Skripsi ini
membahas mengenai pertanggungjawaban terhadap
iklan yang menyesatkan tersebut.
Kata kunci: Perlindungan konsumen, Iklan menyesatkan
i
i
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
ABSTRACT Name Program Title
: Nenny Febriyanti : Law : Juridical Analysis on Misleading Advertisements of Multivitamin Products in Accordance to Consumer Protection Law and Ministry of Health Regulation No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 (A Case Study of Multivitamin X Product)
This thesis investigates the misleading multivitamin advertisement. Multivitamin is necessary to balance the daily activities of human who are more busy nowadays, thus vitamin is needed to keep the immune system and as well as the other benefits. Businessmen will compete to advertise their multivitamin products. These advertisements have a significant role in whether to buy or not to buy a product. Therefore, an advertisement should provide correct information in order not to deceive the consumers. This thesis discusses the responsibility of those misleading advertisements. Key word: consumer protection, misleading advertisement
i
i
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………….. i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………………………… ii LEMBAR PENGESAHAN ………………………………………………. iii KATA PENGANTAR ………………………………………………… iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……………….. vi ABSTRAK ………………………………………………………………… vii DAFTAR ISI ……………………………………………………………… ix 1. PENDAHULUAN …………………………………………………… 1 1.1 Latar Belakang …………………………………………………… 1 7 1.2 Pokok Permasalahan ………………………………………………… 1.3 Tujuan Penulisan ………………………………………………. 8 1.4 Definisi Operasional ………………………………………………… 8 1.5 Metode Penelitian ………………………………………………….. 10 1.6 Sistematika Penulisan ………………………………………………. 11 …………………………………….. 13 2. PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1 Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsume …………….. 13 13 2.1.1 Hukum Konsumen ..………………………………………. 2.1.2 Hukum Perlindungan Konsumen .……………………………… 13 2.2 Para Pihak dalam Hukum Perlindungan Konsumen …………………. 14 2.2.1 Konsumen ……………………………………………………. 14 2.2.2 Pelaku Usaha ………………………………………………….. 17 2.2.3 Pemerintah ..………………………………………………….. 18 2.2.4 Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) …………………………………………………….……. 19 2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha …………………… 21 2.3.1 Hak Konsumen ………………………………………………… 21 2.3.2 Kewajiban Konsumen ……………….…………………………. 28 2.3.3 Hak Pelaku Usaha ………………………………………….. 29 2.3.4 Kewajiban Pelaku Usaha ……………………………………. 30 2.4 Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ………………………. 31 2.5 Tanggung Jawab Pelaku Usaha ……………………………………… 42 2.6 Penyelesaian Sengketa …………………………………………… 46 2.7 Sanksi terhadap Iklan Menyesatkan Ditinjau dari Undang-undang Perlindungan Konsumen …………………………………………….. 47 3. IKLAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG IKLAN ………………………………………..……………. 48 3.1 Iklan, Iklan Menyesatkan, dan Iklan yang Bertanggung Jawab……….. 48 3.1.1 Pengertian Iklan ……………………………………………. 48
i
i
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
3.1.2 Iklan sebagai Bentuk Praktekk Niaga Negatif serta Iklan yang Bertanggung jawab ………………………………………………… 50 3.1.3 Iklan yang Bertanggung Jawab ………………………………… 53 3.2 Peraturan Perundang-undangan di Bidang Periklanan …………… 54 3.2.1 Undang-undang Perlindungan Konsumen ………………….. 54 3.2.2 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan ………………………………………………. 56 3.2.3 Etika Pariwara Indonesia …………………………………….. 56 3.2.4 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:386/Men.Kes/SK/IV/1994 ……………………………….…… 58 3.3 Pelaku Usaha Periklanan ………………………………………….. 59 3.4 Iklan Multivitamin/ Suplemen Makanan ……….………………….. 60 3.5 Sistem Pertanggungjawaban dalam Periklanan ………………………. 65 3.6 Sanksi terhadap Pelanggaran Ketentuan Periklanan …………….. ...… 68 4. ANALISIS YURIDIS TERHADAP IKLAN MENYESATKAN PADA PRODUK MULTIVITAMIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KEPMENKES NO: 386/MEN.KES/SK/IV/1994 (STUDI KASUS: 70 IKLAN MULTIVITAMIN X) ………………………………….…… 70 4.1 Iklan X ………………………………………………………….. 4.2 Prosedur Iklan untuk Mendapat Izin Edar ……………………………. 71 4.3 Pelanggaran yang Dilakukan Iklan X Dikaitkan dengan Undangundang Perlindungan Konsumen dan Kepmenkes No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 …………………………. 72 4.3.1 Undang-undang Perlindungan Konsumen …….….…………… 72 4.3.2 Kepmenkes No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 …………………….. 73 4.4 Pertanggung jawaban terhadap Iklan X ..…………………………. 74 4.5 Sanksi terhadap Iklan yang Menyesatkan …………………………. 76 5. PENUTUP ……………………………………………………………. 78 5.1 Simpulan …………………………………………………………….. 78 78 5.2 Saran ………………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 81 i
i
i
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya kesibukan orang-orang semakin pula mereka mengabaikan kondisi kesehatan mereka. Hal ini menyebabkan kondisi tubuh menjadi rentan terhadap berbagai penyakit. Daripada memberikan pengobatan pada saat sakit alangkah lebih baiknya apabila telah dilakukan langkah-langkah preventif
berupa
tindakan pencegahan seperti mencukupi asupan gizi, istirahat yang cukup ataupun juga dengan meminum multivitamin untuk memperoleh stamina yang bagus. Meminum multivitamin memang telah dijadikan rutinitas oleh sebagian orang untuk dapat menjaga daya tahan tubuh. Seperti diketahui multivitamin adalah suatu sediaan yang ditujukan untuk menambah kebutuhan manusia akan vitamin, mineral, dan unsur nutrisi lainnya.1 Sedangkan pengertian vitamin adalah sekelompok senyawa organik amina yang sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh tubuh, karena vitamin berfungsi untuk membantu pengaturan atau proses kegiatan tubuh (vitamin mempunyai peran sangat penting dalam metabolisme tubuh), karena vitamin tidak dapat dihasilkan oleh tubuh. 2 Nama Vitamin sendiri berasal dari gabungan kata bahasa Latin yaitu vita yang artinya “hidup” dan amina (amine) yang mengacu pada suatu gugus organik yang memiliki atom nitrogen (N), karena pada awalnya vitamin dianggap demikian. Kelak diketahui bahwa banyak vitamin yang sama sekali tidak memiliki atom N. Dipandang dari sisi enzimologi (ilmu tentang enzim), vitamin adalah kofaktor dalam reaksi kimia
1
“Pentingnya Multivitamin bagi Kesehatan Anak”, multivitamin-bagi-kesehatan-anak/, diunduh 28 Februari 2012.
http://sephinapt.com/pentingnya-
2
“Pengertian Vitamin – Jenis-jenis Vitamin – sumber sumber Vitamin”, http://ridwanaz.com/kesehatan/pengertian-vitamin-jenis-jenis-vitamin-sumber-sumber-vitamin/, diunduh 28 Februari 2012.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
2
yang dikatalisasi oleh enzim. Pada dasarnya, senyawa vitamin ini digunakan tubuh untuk dapat bertumbuh dan berkembang secara normal.
3
Sekarang ini untuk dapat memperoleh multivitamin dapat ditemukan dimana saja seperti apotik, minimarket, bahkan di pedagang kaki lima. Menjamurnya berbagai jenis multivitamin ini memberikan berbagai pilihan
kepada konsumen
sesuai dengan kebutuhan dan keinginan dari konsumen sendiri. Pelaku usaha selaku produsen berusaha membantu konsumen untuk dapat memilih multivitamin yang sesuai dengannya dengan cara melakukan publikasi atas produknya yang ditujukan pada masyarakat luas. Pemasaran oleh pelaku usaha tidak hanya melalui media cetak tetapi juga melalui media elektronik. Tidak ada hari tanpa kita melihat iklan televisi maupun media cetak menayangkan produk multivitamin ini. Beberapa memang merupakan khasiat yang sudah diakui dunia medis, seperti minyak ikan Cod yang membantu pertumbuhan dan vitamin C yang membantu menjaga imunitas tubuh. Namun tak jarang pula beberapa suplemen diiklankan dengan sangat berlebihan dengan fakta medis yang sangat lemah, seperti suplemen kalsium yang dapat menyembuhkan kanker, cairan imun yang diteteskan di balik lidah yang dapat mengobati Hepatitis B, maupun sirup ekstrak tumbuhan yang dapat mengobati penyakit ini dan itu. Biasanya golongan kedua ini tidak menggunakan televisi ataupun media cetak sebagai media promosi mereka, mereka lebih memilih promosi mulut ke mulut demi mengurangi kemungkinan tuntutan yang mungkin terjadi. Semakin majunya perekonomian dan teknologi, berkembang pula strategi yang harus dijalankan perusahaan, khususnya dibidang pemasaran. Untuk itu perusahaan
perlu
memahami
atau
mempelajari
perilaku
konsumen
dalam
hubungannya dengan pembelian yang dilakukan oleh konsumen tersebut. Dalam menentukan jenis produk atau jasa, konsumen selalu mempertimbangkan tentang produk atau jasa apa yang dibutuhkan, hal ini dikenal dengan perilaku konsumen.4 3
Ibid.
4
“Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Beli konsumen Pada Iklan Flexy (Studi Pada Masyarakat Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten).”http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=peran+iklan+pada+suatu+produk&source=web& cd=2&ved=0CC4QFjAB&url=http%3A%2F%2Fstaffsite.gunadarma.ac.id%2Fwardoyo%2Findex.php
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
3
Untuk dapat memperkenalkan produknya kepada masyarakat secara luas maka pelaku usaha berusaha mempublikasikannya dengan melalui iklan baik dalam media cetak maupun media elektronik. Pelaku usaha berusaha membangun image sebagus mungkin terhadap produk yang ditawarkan termasuk dengan memberikan persepsi yang terkadang hiperbola. Pada penyampaian pesan kepada calon konsumennya sering kali diberikan buaian-buaian bahwa produk tersebut dapat memberikan manfaat seperti yang diinginkan oleh calon konsumen. Terlepas dari benar atau tidaknya produk tersebut dapat memberikan manfaat seperti hal yang dijanjikan dalam produknya, suatu iklan juga terikat pada suatu etika ataupun peraturan terkait lainnya. Dalam iklan juga tidak boleh ada informasi yang menyesatkan karena bisa saja calon konsumen ingin membeli produk tersebut karena menginginkan manfaat yang didapat dari produk tersebut padahal ternyata manfaat yang ditawarkan pada iklan merupakan janji-janji manis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Iklan merupakan upaya sepihak dari pelaku usaha untuk menggambarkan produk barang dan atau jasa secara visual atau audio dengan titik fokus penonjolan pada kelebihan produk. Iklan diperlukan sebagai upaya untuk memikat pembaca, pendengar atau pemerhati iklan secara aktif maupun masif. Muaranya tentu saja agar konsumen mau menjatuhkan pilihannya pada apa yang diiklankan. Terkait dengan itulah Republika (kamis, 13 Juni 2002, h. 15) mensinyalir masih beredarnya sejumlah iklan obat yang menyesatkan. Disebutkan bahwa iklan produk kosmetik, jamu, obat tradisional
dan obat-obatan
termasuk
minuman
kesehatan
(food
suplement)
terindikasi banyak yang berlebih-lebihan dan mengada-ada. Akibatnya, informasi yang disampaikan tidak akurat lagi dan bahkan cenderung menyesatkan.5 Hasil evaluasi iklan Badan POM pada pre-market dan post-audit tahun 2001 menunjukkan hal tersebut. Dari hasil pre-market terhadap 733 iklan obat diketahui %3Fstateid%3Ddownload%26id%3D11948%26part%3Dfiles&ei=o0dQT87YBIPQrQfqk5CvDQ&us g=AFQjCNHW9xI06U_2jpkaV4efORlBFmR3FA&cad=rja 5
Farida Wajdi, Repotnya Jadi Konsumen Percikan Pemikiran Seputar Persoalan Konsumen, (Jakarta: Piremedia, 2003), hal. 33.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
4
ada 37 iklan ditolak, 16 iklan yang harus diperbaiki dan 680 iklan yang disetujui. Untuk 318 iklan suplemen makanan, ada 31 iklan yang ditolak, 46 iklan yang harus diperbaiki, dan 241 iklan yang disetujui. Sementara untuk iklan obat tradisional, dari 384 iklan dievaluasi, diperoleh hasil 40 iklan yang ditolak, 26 iklan yang harus diperbaiki, dan 318 iklan yang disetujui.6 Sementara dari hasil evaluasi post-audit diketahui, dari 548 iklan obat yang dievaluasi, ada 201 iklan tidak memenuhi syarat. Kemudian dari 490 iklan obat tradisional yang dievaluasi, 272 tidak memenuhi syarat, dan dari 105 iklan suplemen makanan, ada 53 iklan tidak memenuhi syarat. Selanjutnya dari 587 iklan makanan dan minuman yang dievaluasi, ada 28 iklan yang tidak memenuhi syarat, dan dari 5.855 iklan kosmetika yang dievaluasi ada 276 yang tidak memenuhi syarat. Sebuah hasil yang sangat mengejutkan karena hampir 50% dari iklan obat dan suplemen makanan yang tidak layak edar.7 Minuman kesehatan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan multivitamin atau vitamin
obat-obatan.
Perbedaannya
terletak
pada
cara
mengkonsumsinya.
Penggunaan minuman kesehatan berupa anjuran dan tergantung selera konsumen, sebaliknya obat harus sesuai dengan petunjuk atau aturan pakai obat. Manfaat minuman kesehatan cepat terasa karena mengandung zat pemanis seperti dextrose yang sangat mudah diserap tubuh, berbeda dengan gula biasa yang memerlukan proses. Sumber tenaga lainnya diperoleh dari pemanis seperti fruktosa, sukrosa, dan madu. Kemudian taurin, caffein dan berbagai vitamin dan mineral yang pada intinya berfungsi memperlancar fungsi metabolism tubuh serta zat-zat gizi tambahan dari bahan-bahan lain (Warta Konsumen, Desember 2000, h. 19). Minuman kesehatan tersebut termasuk dalam kategori food supplement. Istilah suplemen makanan ini berbeda-beda di berbagai negara, seperti dietary supplement (Amerika), healthy food (Cina), functional food (Jepang), dan health supplement (Korea). Istilah di Indonesia, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) No HK 00.063.02360 adalah 6
Ibid., hal. 33-34.
7
Ibid., hal. 34.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
5
suplemen makanan. Suplemen makanan adalah produk yang digunakan untuk melengkapi makanan yang mengandung satu atau lebih bahan vitamin, mineral, asam amino, bahan yang digunakan untuk meningkatkan angka kecukupan gizi, bentuknya selain padat dapat berupa produk cair seperti tetes, sirup, dan larutan.8 Perkembangan media masa cetak dan elektronik yang telah berkembang dengan cepat pada saat ini, telah dijadikan sarana yang sangat tepat bagi para pelaku usaha dalam rangka memperkenalkan produk dan jasa yang dihasilkannya kepada masyarakat luas. Pemasaran yang dilakukan oleh pelaku usaha tentu saja dilakukan sedemikian menariknya untuk dapat memikat perhatian konsumen pada produk atau jasa yang ditawarkan. Sebagian besar iklan yang tersebut cenderung bersifat agresif dan mendramatisir produk atau jasa yang ditawarkan. Meskipun demikian, tetap saja para pelaku usaha barang dan para pelaku usaha periklanan tidak boleh membuat iklan-iklan yang bersifat menyesatkan, membiaskan, dan membahayakan para penggunanya. Permasalahan dalam praktik terjadi ketika iklan-iklan yang ditampilkan di media massa telah secara jelas-jelas melakukan tindakan penyesatan-penyesatan terhadap masyarakat yang dapat membahayakan dan merugikan masyarakat yang menggunakannya. Hal ini sangat jelas terasa, apabila kita melihat beberapa iklan yang telah beredar di masyarakat. Seperti, iklan obat anti nyamuk semprot dan bakar yang memiliki kesegaran aroma wangi-wangian yang seolah-olah dapat dengan bebas dan aman untuk dihirup, hingga iklan obat anti nyamuk lotion yang menghaluskan kulit yang seolah-olah dapat digunakan sebagai pelembab dan perawat kulit. 9 Tentu saja, iklan-iklan yang menarik dan meyakinkan, dapat memberikan suatu kesan, bahwa produk-produk yang telah diiklankan secara meluas ke masyarakat memiliki tingkat keamanan yang telah terjamin. Padahal, apabila meninjau pada beberapa kasus di waktu lalu, yang menduga beberapa obat anti
8
SK Dirjend POM Nomor: HK. 00.063.023060.
9
Rizky Harta Cipta, Iklan yang Menarik Hati Namun Menyesatkan dan Membahayakan Masyarakat, 7 Februari 2009. http://hukumpositif.com/node/132.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
6
nyamuk memiliki zat berbahaya yang dapat merusak sistem syaraf dan juga kanker paru-paru, karena obat anti nyamuk tersebut memiliki zat yang bernama propoxur, transfluthrin, atau dichlorvos (DDVP), yang merupakan zat turunan chlorine yang sejak lama telah dinyatakan berbahaya dan dilarang penggunaannya secara bebas. Selain itu, tentu saja setiap obat anti nyamuk telah diciptakan dengan zat racun pembunuh serangga, sehingga kesegaran wangi obat anti nyamuk masih tetap saja sangat berbahaya untuk dihirup oleh manusia. Contoh lain yaitu iklan lotion penolak nyamuk yang mengklaim dapat memberikan kehalusan kulit, karena mengandung vitamin E dan aloe vera. Padahal apabila meninjau kandungan yang dimiliki oleh lotion penolak nyamuk, maka dalam lotion penolak nyamuk terkandung racun yang dinamakan Diethyltoluamide (DEET) yang merupakan zat yang memiliki sifat korosif. Hal ini dapat dibuktikan dengan meletakan lotion anti nyamuk dalam wadah plastik, PVC, atau besi, karena dalam waktu beberapa minggu, wadah yang terbuat dari bahan-bahan tersebut akan mengalami pengikisan (korosif), yang dapat dilihat secara mudah oleh panca indra yang kita miliki.10 Dewasa ini di pasaran banyak ditemukan multivitamin maupun suplemen yang mengklaim dirinya dapat memberikan sederet manfaat bagi kesehatan. Mulai dari manfaat menjaga kesehatan, meraih kebugaran sepanjang hari, menjaga kecantikan memperbaiki struktur tulang hingga iklan yang menunda penuaan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan klaim dari berbagai vitamin atau suplemen tentang manfaat dan formula lengkap yang terkandung di dalamnya asalkan multivitamin ataupun suplemen tersebut memang memiliki multi manfaat yang sudah teruji secara klinis. Namun yang menjadi masalah, ketika iklan yang menawarkan produk multivitamin atau suplemen menyantumkan beberapa klaim yang tidak sesuai dengan kenyataannya serta testimoni kesehatan yang tidak berdasarkaan pada penelitian yang sudah mendapat persetujuan. Sebenarnya secara umum iklan obat dan multivitamin harus mengacu pada Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, tetapi khusus untuk hal-hal yang bersifat teknis medis, maka penerapannya harus 10
Rizky Harta Cipta, Iklan yang Menarik Hati Namun Menyesatkan dan Membahayakan Masyarakat, 7 Februari 2009. http://hukumpositif.com/node/132
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
7
berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 386/Men.Kes/SK/IV/1994
tentang
Pedoman
Periklanan:
Obat
Bebas,
Obat
Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan-Minuman. Salah satu iklan multivitamin adalah iklan multivitamin X. Pada iklan tersebut disebutkan bahwa rahasia kecantikan dari seorang artis benama Arzeti karena mengkonsumsi X. Apabila dikaitkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 386/Men.Kes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan: Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan-Minuman, pada salah satu poinnya menyebutkan “iklan vitamin tidak boleh memberi kesan bahwa pemeliharaan kesehatan (umur panjang, awet muda, kecantikan) dapat tercapai hanya dengan penggunaan vitamin”. Pada skripsi ini penulis akan membahas mengenai ada atau tidaknya informasi yang menyesatkan yang termasuk dalam poin yang dilarang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 386/Men.Kes/SK/IV/1994 terdapat pada iklan X.
1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang masalah, maka pokok permasalahan yang akan penulis bahas dalam karya tulis ini adalah: 1.
Bagaimana pengaturan mengenai iklan yang menyesatkan jika ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 386/Men.Kes/SK/IV/1994?
2. Apakah iklan X termasuk iklan yang menyesatkan? 3. Siapakah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas iklan tersebut? 4. Sanksi apa yang dapat diberikan kepada pihak yang bertanggung jawab terhadap adanya iklan yang menyesatkan tersebut?
1.3 Tujuan Penulisan
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
8
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas tentang adanya perlindungan hukum terhadap masyarakat selaku konsumen supaya hak-haknya tidak diabaikan begitu saja. Dengan demikian masyarakat selaku konsumen tidak hanya dibebani kewajiban tetapi juga dapat menuntut hak-haknya. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memberikan gambaran mengenai pengaturan iklan yang menyesatkan ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 386/Men.Kes/SK/IV/1994; 2. Mengetahui batasan mengenai iklan menyesatkan; 3. Mengetahui pihak yang bertanggung jawab dalam iklan tersebut; 4. Mengetahui sanksi-sanksi yang dapat diberikan pada pelaku usaha yang bertanggung jawab terhadap iklan menyesatkan.
1.4 Definisi Operasional Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan istilah-istilah sebagai berikut: 1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk member perlindungan kepada konsumen.11 2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.12 3.
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
11
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 , Pasal 1 butir 1. 12
Ibid., Pasal 1 butir 2.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
9
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.13 4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.14 5. Iklan adalah berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yg ditawarkan; pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yg dijual, dipasang di dulu media massa (seperti surat kabar dan majalah) atau di tempat umum.15 6. Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barangbarang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan
keputusan
yang
mendahului dan menentukan tindakan-tindakan tersebut.16 7. Menyesatkan artinya membawa ke jalan yg salah; menyebabkan sesat (salah jalan): menyebabkan keliru (salah).17 8. Iklan menyesatkan adalah iklan yang menyebabkan calon konsumen ataupun konsumen mempunyai informasi yang keliru mengenai suatu produk atau jasa. 9. Multivitamin adalah berbagai vitamin; bermacam-macam vitamin.18
13
Ibid., Pasal 1 butir 3.
14
Ibid., Pasal 1 butir 4.
15
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php 16
Anwar Prabu Mangkunegara. Perilaku konsumen. (Bandung: Refika Aditama,2005), hal. 3.
17
Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=sesat&varbidang=all&vardialek=all&varragam=all& varkelas=all&submit=kamus. 2008. 18
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
10
10. Vitamin adalah zat yg sangat penting bagi tubuh manusia dan hewan untuk pertumbuhan dan perkembangan.19 11. Suplemen
makanan adalah produk yang digunakan untuk melengkapi
makanan yang mengandung satu atau lebih bahan vitamin, mineral, asam amino, bahan yang digunakan untuk meningkatkan angka kecukupan gizi, bentuknya selain padat dapat berupa produk cair seperti tetes, sirup, dan larutan.20
1.5 Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya berarti keegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Karena menggunakan metode penelitian hukum normatif, maka data yang digunakan adalah data sekunder yang didapat melalui penelitian bahan pustaka. Jenis-jenis data sekunder yang dikenal dalam penelitian hukum normatif meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer antara lain: norma dasar, peraturan dasar, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undangundang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah, bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat, peraturan dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan informasiatau hal-hal yang berkaitan dengan isi sumber primer serta implementasinya. Contoh: rancangan undang-undang, laporan penelitian, artikel ilmiah, buku, makalah berbagai pertemuan ilmiah, laporan penelitian, skripisi, thesis, dan disertasi. Bahan hukum tersier adaalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap sumber primer atau sumber sekunder. Contoh: abstrak, almanak, bibliografi, buku pegangan, buku petunjuk, buku tahunan, ensiklopedia,
19
Ibid.
20
SK Dirjend POM Nomor: HK. 00.063.023060.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
11
indeks artikel, kamus, penerbitan pemerintah, sumber biografi, sumber geografi, dan timbangan buku.21 Dalam melaksanakan penelitian terdapat tiga alat pengumpulan data, yaitu: 1. studi dokumen; 2. pengamatan; 3. wawancara. Pada penulisan skripsi ini penulis menggunakan alat pengumpulan data dari studi dokumen dan wawancara pada narasumber. Pada dasarnya pengolahan data dapat dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif pada dasarnya berarti penyorotan terhadap masalah serta usaha pemecahannya yang dilakukan dengan upaya yang banyak didasarkan pada pengukuran.22 Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.23 Pada penulisan skripsi ini yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. 1.6 Sistematika Penulisan Untuk membahas permasalahan yang diangkat penulis di dalam skripsi ini, isi skripsi dibagi kedalam lima bab. Bab satu, yaitu pendahuluan berisikan usulan terhadap penulisan skripsi ini. Bab ini membahas latar belakang masalah, pokok-pokok permasalahan, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Secara keseluruhan bab pendahuluan merupakan pengantar terhadap keseluruhan isi skripsi. Bab dua, yaitu perlindungan konsumen. Bab ini membahas hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen; para pelaku dalam hukum perlindungan konsumen; hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha; perbuatan yang dilarang 21
Sri Mamudji, dkk., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal 30-31. 22
Ibid., hal. 65.
23
Ibid., hal. 67.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
12
bagi pelaku usaha; tanggung jawab pelaku usaha; penyelesaian sengketa; dan sanksi terhadap iklan menyesatkan ditinjau dari undang-undang perlindungan konsumen. Bab tiga, yaitu iklan. Cakupan dari bab ini adalah mengenai iklan, iklan menyesatkan, dan iklan yang bertanggung jawab; peraturan perundang-undangan di bidang iklan; pelaku usaha periklanan; iklan multivitamin atau suplemen makanan; sistem pertanggungjawaban dalam periklanan; dan sanksi terhadap pelanggaran periklanan. Bab empat, yaitu analisi yuridis iklan menyesatkan pada produk multivitamin dikaitkan
dengan
undang-undnagg
perlindungan
kosumen
dan
Kepmenkes
No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 (studi kasus: iklan multivitamin X). Pada bab ini akan dipaparkan apakah iklan X termasuk dalam iklan menyesatkan sesuai dengan kriteriakriteria yang dipaparkan pada bab-bab sebelumnya. Bab lima, yaitu kesimpulan dan saran. Bab ini merupakan intisari dari keseluruhan bahasan skripsi ini.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
13
BAB 2 PERLINDUNGAN KONSUMEN 2.1 Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 2.1.1 Hukum Konsumen Batasan dari Hukum Konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidahkaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup. 24 Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu terdapat di dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, antara lain: hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara), dan hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang berkitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen. Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial, ekonomi, daya saing maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah.25
2.1.2 Hukum Perlindungan Konsumen Pada Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur
pengertian
mengenai
perlindungan
konsumen
ini
yang
berbunyi,
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.26
24
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 64.
25
Ibid., hal. 66.
26
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 1 butir 1.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
14
Hukum
perlindungan
konsumen
ini
dibutuhkan
apabila
pihak
yang
mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang. Merupakan kenyataan bahwa kedudukan konsumen yang berjumlah besar itu sangat lemah apabila dibandingkan dengan para penyedia kebutuhan konsumen, baik penyedia swasta maupun pemerintah (publik).27 Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidahkaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dengan masalahnya dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen.28 Dengan demikian, hubungan antara hukum perlindungan konsumen dengan hukum konsumen yaitu bahwa hukum konsumen berfokus pada mengatur hubungan dan masalah antara konsumen dan pelaku usaha sedangkan hukum perlindungan konsumen berfokus pada mengatur dan juga melindungi. Pada Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak serta merta hanya melindungi konsumen saja melainkan juga memperhatikan pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat pada pasal-pasal dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut yang tidak hanya mengatur hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha saja tetapi juga kewajiban konsumen dan hak pelaku usaha yang diatur secara berpasangan.
2.2 Para Pihak dalam Hukum Perlindungan Konsumen 2.2.1
Konsumen Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-
Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer itu adalah “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang”.29 Konsumen (sebagai alih bahasa dari consumer), secara harfiah berarti “seseorang yang membeli barang atau menggunakan jasa”; atau seseorang atau
27
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 66-67.
28
Ibid., hal. 66.
29 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hal 3.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
15
sesuatu perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa tertentu”; juga “sesuatu atau seseorang yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.30 Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.31 Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa arti konsumen adalah pemakai terakhir dari benda dan jasa (Uiteindelijke gebruiker van goerderen en diensten) yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha (ondernamer). Pengusaha disini mempunyai arti luas, yaitu mencakup produsen dan pedagang perantara (tusseenhandelaar). Konsumen dan pengusaha ini mempunyai hubungan timbal balik. Kewajiban konsumen, merupakan hak pengusaha (ondernemer) dan hak pengusaha merupakan kewajiban konsumen.32 Untuk pengertian konsumen sendiri dibagi menjadi 3 macam yaitu konsumen dalam arti umum, konsumen antara, serta konsumen akhir. Konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna, pemanfaat barang/jasa untuk tujuan tertentu. Konsumen antara adalah pemakai, pengguna, pemanfaat barang/jasa lain atau untuk memperdagangkannya. Sedangkan konsumen akhir adalah pemakai, pengguna, pemanfaat barang/jasa untuk diri sendiri, keluarga, rumah tangga, orang/makhluk lain dan tidak untuk diperdagangkan.33 Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai pengertian konsumen yang disebutkan:
30
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka sinar Harapan, 1995), hal. 69. 31
Yusuf Shofie, Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998), hal. 48. 32
Mariam Darus, Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, (Jakarta: Binacipta, 1986), hal. 57. 33
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
16
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”34 Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud konsumen meliputi konsumen yang membeli suatu barang untuk membuat barang lain kemudian dijual kembali, ada pula konsumen yang membeli suatu barang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Istilah yang digunakan dalam kepustakaan Ilmu Ekonomi untuk kedua jenis konsumen tersebut antara lain intermediate consumer, intermediate buyer, derived buyer atau consumer of the industrial market untuk konsumen yang menggunakan barang/jasa untuk keperluan komersial dan ultimate consumer, ultimate buyer, end user, final consumer atau consumer of the consumer market untuk konsumen pengguna barang/ jasa untuk keperluan sendiri.35 Sementara itu, berbagai studi yang dilakukan berkaitan dengan perlindungan konsumen telah berhasil membuat batasan tentang konsumen (akhir) tersebut, antara lain: 1. Pemakai akhir dari barang yaitu mereka yang menggunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain dan tidak untuk diperjualbelikan. 2. Pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat yaitu bagi mereka yang menggunakannya untuk keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali. 3. Setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.36
34
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Ps. 1 butir 2. 35
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka sinar Harapan, 1995), hal. 71. 36
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka sinar Harapan, 1995), hal. 71.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
17
Mengenai pengertian-pengertian dan batasan-batasan tentang konsumen ini penting untuk diketahui supaya dapat menempatkan kedudukan berbagai jenis konsumen itu dalam suatu hubungan dan masalah konsumen. 2.2.2 Pelaku Usaha Sedangkan pengertian pelaku usaha yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.37 Untuk pengertian pelaku usaha menurut Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dibagi menjadi 3 golongan antara lain: 1. Investor adalah penyedia dana untuk digunakan oleh pelaku usaha atau konsumen; 2. Produsen adalah pembuat barang/jasa dari barang/jasa lain; 3. Distributor adalah pelaku usaha pengedar/penjual barang/jasa.38 Sedangkan pelaku usaha periklanan menurut Etika Pariwara Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri atas: 1. Pengiklan adalah pemrakarsa, penyandang dana, dan pengguna jasa periklanan. 2. Perusahaan periklanan adalah suatu organisasi usaha yang memiliki keahlian untuk merancang, mengkoordinasi, mengelola, dan atau memajukan merek, pesan, dan atau media komunikasi pemasaran untuk dan atas nama pengiklan dengan memperoleh imbalan atas layanannya tersebut.
37
Ibid., Ps. 1 butir 3.
38
Bahan kuliah Perlindungan Konsumen yang disampaikan oleh Bapak Az. Nasution, SH.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
18
3. Media adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan periklanan kepada konsumen atau khalayak sasaran.39 Keberadaan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) telah memberikan sejumput harapan bagi penegakan hak konsumen. Undang-undang ini memberikan jaminan bagi perlindungan hak-hak konsumen dalam hubungannya dengan pelaku usaha. Baik itu menyangkut informasi yang benar dan jaminan atas mutu barang atau jasa yang diproduksi ataupun diperdagangkan oleh pelaku usaha, termasuk yang berkenaan dengan penggantian kerugian yang diderita konsumen.40 Berbicara tentang perlindungan konsumen sama halnya dengan membicarakan tanggung jawab produsen/tanggung jawab produk, karena pada dasarnya tanggung jawab produsen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Tanggung jawab produk adalah terjemahan dari istilah asing, yaitu: product(s) liability; product(en) aansprakelijkheid; sekalipun ada yang lebih tepat diterjemahkan sebagai “tanggung jawab produsen”, yakni istilah Jerman yang sering digunakan dalam kepustakaan, yakni produzenten-haftung.41
2.2.3
Pemerintah Dalan hukum perlindungan konsumen ini Pemerintah bertanggung jawab atas
pembinaan penyelenggaraan perlidungan konsumen yang dilaksanakan oleh Menteri Perdagangan, dan/atau Menteri Teknis terkait. Mengenai pembinaan dan pengawasan juga telah diatur dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-undang Perlindungan Konsumen.
39
Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia). Cetakan ke tiga, September 2007. 40
Farida Wajdi, Repotnya Jadi Konsumen Percikan Pemikiran Seputar Persoalan Konsumen, (Jakarta: Piremedia, 2003), hal.viii. 41
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 23.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
19
Pada Pasal 29 ini membahas perlindungan
konsumen.
penyelenggaraan
Pemerintah
perlindungan
mengenai
pembinaan
bertanggung
konsumen
yang
jawab
menjamin
penyelenggaraan atas
pembinaan
diperolehnya
hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
Pembinaan
yang
dilakukan
oleh
pemerintah
atas
penyelenggaraan
perlindungan konsumen dilaksanakan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pembinaan
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen
meliputi
upaya
untuk:
terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen; berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; Menteri melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen. Pada perlindungan
Pasal
30
konsumen.
membahas Pengawasan
mengenai terhadap
pengawasan
penyelenggaraan
penyelenggaraan
perlindungan
konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya dapat dilakukan oleh Pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan oleh pemerintah dilakukan oleh menteri dan/atau menteri teknis terkait sedangkan pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konssumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar. Apabila hasil pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk hasil dari pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada menteri dan menteri teknis. Seperti yang diamanatkan dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-undang Perlindungan mengenai perihal pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen akan diatur dalam peraturan pemerintah yang akan diatur secara tersendiri. Hal ini diwujudkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
20
2.2.4
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Yang dimaksud LPKSM adalah lembaga non Pemerintah yang terdaftar dan
diakui oleh Pemerintah
yang mempunyai
kegiatan menangani
perlindungan
konsumen.42 Pengaturan mengenai LPKSM ini terdapat pada Pasal 44 Undangundang Perlindungan Konsumen. (1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat. (2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. (3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi: a.
Menyebar informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.43 Seperti yang diamanatkan
dalam Pasal 44 ayat (4) Undang-undang
Perlindungan Konsumen, pengaturan mengenai LPKSM ini terdapat pada Peraturan 42
Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, PP No. 59 Tahun 2001, LN No. 104 Tahun 2001, TLN 4127, Pasal 1 angka 3. 43
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 44.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
21
Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Hal-hal yang diatur dalam PP No. 59 Tahun 2001 ini antara lain mengenai ketentuan umum, pendaftaran LPKSM, tugas LPKSM, pembatalan pendaftaran LPKSM, dan ketentuan penutup. Kehadiran LPKSM dalam suatu negara sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. LPKSM dan Badan Perindungan Konsumen Nasional (BPKN)44
mempunyai arti penting dalam memfasilitasi konsumen
memperoleh keadilan. Keduanya secara simultan melakukan upaya perlindungan konsumen dari arus yang berbeda, yaitu LPKSM sebagai arus bawah yang kuat dan tersosialisasi secara luas di masyarakat dan sekaligus secara representatif dapat menampung dan memperjuangkan aspirasi konsumen. Arus bawah tersebut, sebelum diundangkan Undang-undang Perlindungan Konsumen diperankan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Sebaliknya, BPKN sebagai arus atas memiliki kekuasaan yang secara khusus diberikan undang-undang untuk mengurusi perlindungan konsumen.45 2.3 Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha Interaksi antara dua pihak selalu menimbulkan hubungan timbal balik di antara keduanya. Seperti halnya sebuah perjanjian dimana ada prestasi dari satu pihak akan diikuti dengan kontraprestasi pada pihak lainnya. Biasanya hal ini disebut hak dan kewajiban. 2.3.1 Hak Konsumen Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak konsumen ini yang terdapat pada Pasal 4. Hak konsumen adalah: 44
Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. BPKN berkedudukan di ibukota Negara RI dan bertanggung jawab kepada Presiden. BPKN ini berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Pengaturan mengenai BPKN ini terdapat dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 43 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 45
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajagRafindo Persada, 2004), hal. 217.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
22
1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; Barang dan jasa harus diproduksi sedemikian rupa, sehingga apabila digunakan pada kondisi normal, tidak menimbulkan kerugian keseehatan dan keamanan pada konsumen. Peran pemerintah dalam melindungi konsumen terhadap kesehatan dan keamanan dapat melalui kontrol pra pasar dengan cara pengawasan perizinan dan pembentukan standar teknis maupun kontrol pasca pasar dengan cara menarik produksi yang tidak aman bagi konsumen.46 2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak untuk memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen
untuk
memilih
produk-produk
tertentu
sesuai
dengan
kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Berdasarkan hak untuk memilih ini komsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk. Demikian pula keputusan untuk memilih baik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya. Hak memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli oleh suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (baik barang maupun jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak berfungsi. 3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Konsumen berhak mendapatkan informasi yang jelas benar, jelas, dan jujur dalam berbagai hal antara lain: deskripsi barang, harga serta kualitas barang. Selain itu, diperlukan pula adanya jaminan pada informasi yang disampaikan tersebut. Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah 46
Yayasan Layanan Konsumen Indonesia, “Undang-undang Perlindungan Konsumen”, (makalah disampaikan pada seminar tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen, Jakarta, 30 Desember 1999).
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
23
satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk.47 4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Antara pelaku usaha dan konsumen terjadi hubungan bilateral. Untuk dapat mencapai kebaikan bersama maka pendapat dan keluhan baik berupa pesan maupun kritik yang disampaikan konsumen harus dapat diterima dengan baik oleh pelaku usaha. Penyampaian keluhan atau pendapat ini dapat pula disampaikan oleh konsumen melalui organisasi konsumen, misalnya Yayasan Layanan Konsumen Indonesia (YLKI). 5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha seharusnya memang sejajar. Namun, biasanya konsumen berada pada keadaan yang lebih lemah. Hal ini akan semakin terasa pada saat adanya perselisihan yang mana konsumen harus berhadapan dengan pelaku usaha. Oleh karena itu, ketika terjadi perselisihanpun beban pembuktiannya berupa beban pembuktian terbalik yaitu pelaku usahanyalah yang harus membuktikan kalau pelaku usaha tersebut tidak bersalah. 6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Konsumen berhak mendapat pembinaan dan pendidikan agar tidak mudah tertipu dengan berbagai produk atau jasa yang hanya akan menyesatkan konsumen saja tanpa memberikan manfaat yang berarti.
47
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 41.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
24
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya. 8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Dalam setiap perjanjian harus berdasarkan itikad baik. Oleh karena itu, konsumen yang telah melakukan kewajibannya dan mempunyai itikad baik berhak
untuk
mendapatkan
haknya
berupa
produk
atau
jasa
yang
diinginkannya sesuai dengan kesepakatan awal. Apabila tidak sesuai dengan kesepakatan awal berarti pelaku usaha telah melakukan wanprestasi sehingga konsumenpun
berhak
mendapatkan
kompensasi,
ganti
rugi
dan/atau
pengggantian dari pelaku usaha. 9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Undang-undang Perlindungan Konsumen ini saja tidak mencukupi untuk dapat menampung berbagai hak konsumen. Oleh karena Undang-undang Perlindungan Konsumen belum cukup dalam menampung berbagai hak-hak konsumen secara keseluruhan maka menjadikan hak-hak konsumen ini bersifat terbuka pada hak-hak konsumen yang terdapat di berbagai undangundang lainnya. Hal ini mengingat definisi konsumen yang terlalu luas. Selain itu, juga terdapat berbagai peraturan yang mengatur berbagai bidang secara khusus sehingga hak konsumennyapun telah diatur secara khusus dalam peratuuran perundang-undangan tersebut. Sebagai contoh misalnya pada Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang pada Pasal 32 mengatur hak-hak pasien. Setiap pasien mempunyai hak: a. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit b. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
25
c. memperoleh
layanan
yang
manusiawi,
adil,
jujur,
dan
tanpa
diskriminasi; d.
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
e. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; f. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; g. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; h. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit; i.
mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data data medisnya;
j.
mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan
tindakan
medis,
alternatif
tindakan,
risiko
dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; n. memperoleh
keamanan
dan keselamatan
dirinya selama dalam
perawatan di Rumah Sakit; o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; p. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
26
q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan r.
mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.48
Hal ini membuktikan bahwa hak-hak dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen saja memang belum cukup menjangkau setiap hak konsumen secara keseluruhan. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan pada peraturan perundangundangan lain yang mengatur bidang tertentu secara khusus yang di dalammya terdapat hak konsumen secara khusus tersebut. Mantan Presiden Amerika Serikat, J.F. Kennedy mengemukakan empat hak konsumen adalah sebagai berikut: 1. the right to safety; 2. the right to choose; 3. the right to informed; 4. the right to be heard.49 Keempat hak konsumen ini disempurnakan kemudian oleh L.B. Johnson yang mengemukakan perlunya pengembangan konsep product warranty dan product liability.50 Keempat hak yang dikemukakan oleh J.F. Kennedy tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh 48
Indonesia, Undang-undang tentang Rumah Sakit, UU No. 44 Tahun 2009. Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5072, Pasal 32. 49
Yusuf Shofie, ed., Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998), hal 49 50
Yusuf Shofie,ed., Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998), hal 49.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
27
Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers UnionIOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu: 1. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; 2. hak untuk memperoleh ganti rugi; 3. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; 4. hak untuk memeperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.51 Menurut Meriam Darus Badrulzaman (1986), Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut: 1. hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op bescherming van zijn gezendheid en veiligheid); 2. hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming van zijn economische belangen); 3. hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding); 4. hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming); 5. hak untuk didengar (recht om te worden gehord).
52
YLKI merumuskan hak-hak konsumen sebagai berikut: 1. hak atas keamanan dan keselamatan; 2. hak mendapatkan informasi yang jelas; 3. hak memilih; 4. hak untuk didengar pendapatnya dan keluhannya; 5. hak atas lingkungan hidup.53
51
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 39. 52
Ibid., hal 39-40.
53
Yusuf Shofie, Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum, (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998), hal. 50.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
28
Jadi dapat disimpulkan bahwa hak-hak konsumen ini sangatlah luas cakupannya yang tidak hanya yang tercantum pada Undang-undang Perlindungan Konsumen saja tetapi juga pada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur hak-hak konsumen pada bidang-bidang tertentu.
2.3.2
Kewajiban Konsumen Antara hak dan kewajiban merupakan hal yang berpasangan. Oleh karena itu,
selain mempunyai
hak, konsumen juga mempunyai
kewajiban
yang harus
dilakukannya. Kewajiban konsumen ini juga diatur pula dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yang terdapat pada Pasal 5. Kewajiban konsumen adalah: a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar dengan nilai tukar yang disepakati; d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.54 Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan, merupakan hal penting. Adapun pentingnya kewajiban ini karena sering pelaku usaha telah menyampaikan peringatan secara jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Dengan pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha tidak bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut. Selain kewajiban-kewajiban tersebut menurut penulis pribadi berpendapat bahwa konsumen dituntut untuk menjadi konsumen cerdas. Gerakan konsumen cerdas ini antara lain berupa meneliti sebelum membeli, memperhatikan label dan 54
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 5.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
29
masa kadaluarsa, memastikan produk bertanda jaminan SNI, membeli sesuai kebutuhan bukan keinginan.
2.3.3 Hak Pelaku Usaha Tidak hanya konsumen yang dapat mempunyai hak dan kewajiban, pelaku usahapun mempunyai hak dan kewajiban yang mengikutinya. Biasanya yang menjadi hak pada konsumen akan menjadi kewajiban pada pelaku usaha dan yang menjadi kewajiban akan menjadi hak bagi pelaku usaha, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik. Hak pelaku usaha adalah: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaiakan hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apbila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.55 Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila: (1) produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan; (2) cacat timbul di kemudian hari; (3) cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen; dan (5) cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.56
55
Ibid., Pasal 6.
56
Yusuf Shofie,ed. Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum. (Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 1998), hal. 54.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
30
Di Amerika Serikat, faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen meliputi: (1) kelalaian si konsumen penderita; (2) penyalahgunaan produk yang tidak terduga pada saat produk dibuat (“unforeseeable misuse”); (3) lewatnya jangka waktu penuntutan (daluarsa), yaitu 6 tahun setelah pembelian, atau 10 tahun sejak barang diproduksi; (4) produk pesanan pemerintah pusat (“federal”); dan (5) kerugian yang timbul (sebagian) akibat kelalaian yang dilakukan oleh produsen lain dalam kerjasama produksi (di beberapa negara bagian yang mengakui “joint and several liability”).57
2.3.4 Kewajiban Pelaku Usaha Dalam
menjalankan
kegiatannya
pelaku
usaha
juga diberi
beberapa
kewajiban. Undang-undang Perlindungan Konsumen juga mengatur hal tersebut, yang terdapat pada Pasal 7. Kewajiban pelaku usaha adalah: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f.
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian
dan
pemanfaatan
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan;
57
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
31
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.58 2.4
Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Dalam
Undang-undang
Perlindungan
Konsumen
menetapkan
tujuan
perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktifitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka undang-undang menentukan berbagai larangan yang tercantum dalam beberapa pasal yaitu Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17.59 1. Pasal 8 Undang-undang Perlindungan Konsumen (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangaan; b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto. Dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
58
Ibid., Pasal 7.
59
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 63.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
32
e.
Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f.
Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak
mencantumkan
tanggal
kadaluarsa
atau
jangka
waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. Tidak mengikuti
ketentuan
berproduksi
secara
halal,
sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label; i.
Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersiih atau nettoo, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j.
Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.60
60 Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Pasal 8.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
33
Pokok pada Pasal 8 ini ada dua yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang dimaksud. Laranganlarangan yang dimaksudkan ini, hakikatnya menurut Nurmadjito yaitu untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melaui label, etiket, iklan dan lain sebagainya.61
2. Pasal 9 Undang-undang Perlindungan Konsumen (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: a.
Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, sejarah atau guna tertentu;
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja, atau asesori tertentu; d.
Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia; f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. Barang terseebut berasal dari daerah tertentu; i.
Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.
Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. 61
Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 18.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
34
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan. (3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan suatu barang dan/atau jasa tersebut.62 Pasal 9 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini pada intinya mengatur mengenai larangan yang tertuju pada perilaku pelaku usaha yang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi standar mutu tertentu, memiliki potongan harga, dalam keadaan baik dan/atau baru, telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, tidak mengandung cacat tersembunyi, merupakan kelengkapan dari barang tertentu, atau seolah-olah berasal dari daerah tertentu. Demikian pula perilaku menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa yang secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain, menggunakan kata-kata yang berlebihan, menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Larangan terhadap pelaku usaha tersebut dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, membawa akibat bahwa pelanggaran atas larangan tersebut dikualifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum. Menurut Nurmadjito, pengaturan ini bertujuan untuk mengupayakan terciptanya tertib perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat. Ketertiban tersebut sebagai bentuk perlindungan konsumen, karena larangan itu untuk memastikan bahwa produk yang diperjualbelikan dalam masyarakat dilakukan dengan cara tidak melanggar hukum. Seperti praktek menyesatkan
pada
cara
menawarkan,
mempromosikan,
mengiklankan,
62
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 9.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
35
memperdagangakan atau mengedarkan produk barang dan/atau jasa yang palsu atau hasil dari suatu kegiatan pembajakan.63 3. Pasal 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.” 64 Pasal 10 ini mengatur hal yang hampir sama dengan yang terdapat pada Pasal 9 yaitu mengenai larangan yang tertuju pada perilaku pelaku usaha yang tujuannya mengupayakan adanya perdagangan yang tertib dan iklim usaha yang sehat guna memastikan produk yang diperjualbelikan dalam masyarakat dilakukan dengan cara tidak melanggar hukum.
4. Pasal 11 Undang-undang Perlindungan Konsumen “Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan: a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
63
Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 18. 64
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 10.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
36
b. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang-barang lain; d. Tidak menyediakan jasa dalam jumlah tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.”65 Pasal 11 masih menyangkut persoalan representasi66 yang tidak benar dilakukan oleh pelaku usaha. Pada pasal ini selain menyangkut larangan perilaku pelaku usaha juga merupakan larangan yang ditujukan pada cara-cara penjualan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Nurmadjito mengatakan, berbagai macam cara penjualan dilakukan untuk mencapai
target
penjualan
atau
pengutamaan
meraih
pangsa
pasar
serta
keuntungannya, dilakukan pelaku usaha dengan mengupayakan barang dan/atau jasa (produk) yang ditampilkan menarik dengan harga yang terjangkau. Cara tersebut antara lain dilakukan melalui obral, undian, pemberian hadiah, atau sejenisnya dengan maksud untuk memperoleh perhatian atas produk atau usaha yang dilakukan. Namun adakalanya terjadi ekses67 seperti penjualan obral dilakukan pada saat
65
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 11. 66
Representasi ini maksudnya adalah kegiatan penyampaian informasi. Penyampaian informasi dapat berupa representasi, peringatan, maupun instruksi. 67
Ekses adalah hal (peristiwa) yang melampaui batas.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
37
barangnya berada dalam posisi over stock atau mode produk tersebut sudah tidak mutakhir, yang lebih banyak dikenal dengan istilah “cuci gudang” (garage sale).68 Ekses yang dimaksud terjadi karena sesungguhnya cara penjualan obral adalah cara yang digemari oleh konsumen karena ada harapan memperoleh produk berkualitas dengan harga yang lebih murah, yang kenyataannya produk-produk tersebut adalah produk sisa akibat kelebihan persediaan atau produk yang sudah tidak mutakhir. Nurmadjito juga menyatakan bahwa termasuk kategori ini adalah penjualan yang memanipulasi pemberian hadiah secara cuma-cuma dengan maksud menarik minat konsumen berkunjung ke tempat usahanya. Namun, janji tidak ditepati dengan berbagai alasan sekaligus menganjurkan konsumen untuk membeli produk lain yang tersedia.69 Adanya pelanggaran atas ketentuan Pasal 11 ini tidak saja dapat dituntut melakukan perbuatan melanggar hukum tetapi juga dapat dikualifikasikan sebagai wanprestasi, sepanjang ada alat bukti yang mengkualifikasi sebagai wanprestasi, misalnya: iklan, promosi, dan/atau bentuk lain. 5. Pasal 12 undang-undang Perlindungan Konsumen “Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif yang khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.”70
68
Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 93-94. 69
Ibid., hal. 94.
70
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 12.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
38
Pasal 12 ini menyangkut larangan yang tertuju pada perilaku pelaku usaha. Hal ini terlihat dari ketentuan yang mengatur kegiatan menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus padahal pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melakukannya. Pelaku usaha dilarang melakukan hal tersebut, untuk menghindarkan kekacauan tertib perdagangan dan iklim usaha yang tidak sehat, disamping melindungi konsumen dari kegiatan menyesatkan. Atas perilaku yang tidak benar seperti itu, dengan sendirinya dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum, disamping dapat juga dituntut melakukan wanprestasi. Tuntutan wanprestasi hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memiliki hubungan kontraktual, dalam pengertian tidak harus ada perjanjian jual beli, tetapi dengan bukti promosi atau iklan yang berisikan tarif khusus tersebut, pihak konsumen sudah dapat menuntut ganti rugi karena wanprestasi. Tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu yang dinyatakan dalam iklan tersebut merupakan alat bukti adanya janji yang mengikat dari pelaku usaha yang bersangkutan.
71
6. Pasal 13 Undang-undang Perlindungan Konsumen (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau
jasa lain secara
cuma-cuma
dengan
maksud
tidak
memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikan. (2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.72
71
Ahmadi Maru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 95-96. 72
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 13.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
39
Pasal ini mengatur larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana penawaran, promosi, atau pengiklanan, disamping larangan yang tertuju pada perilaku pelaku usaha yang mengelabui dan menyesatkan konsumen. Pemberian hadiah sesungguhnya tidak lebih daripada pemberian manfaatmanfaat tambahan, yang dapat saja mengelabui konsumen dan menjadi distorsi persaingan usaha. Hadiah tersebut, hanya untuk membuat persaingan pada barang (hadiah) tersebut, dan bukan pada barang yang menjadi obyek transaksi utama. Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUPK yang berkaitan dengan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan yang terkait langsung dengan kesehatan/jiwa konsumen, maka dapat diketahui bahwa larangan tersebut dimaksudkan agar konsumen tidak tertarik pada hadiah, tanpa memperhatikan kesesuaian barang yang ditawarkan dengan kondisi kesehatan konsumen yang dipulihkan.73 Bagi
kepentingan
perlindungan
konsumen,
pemberian
hadiah
telah
memperhitungkan harga barang dan/jasa yang ditawarkan, yang apabila produk tersebut dijual tanpa hadiah akan mendapatkan harga yang lebih murah. Secara tidak sadar konsumen “dipaksa” untuk membeli produk yang ditawarkan melalui cara pemberian hadiah. Disebut sebagai paksaan secara tidak langsung dimaksud karena konsumen dapat saja hanya tertarik pada hadiahnya daripada produk inti yang ditawarkan oleh pelaku usaha, terutama bila hadiah tersebut dianggap oleh konsumen sebagai barang (produk) yang memang sangat dibutuhkan olehnya. Jadi, cara-cara penjualan ini dapat saja terkandung unsur yang sengaja mengelabui atau menyesatkan konsumen, yang konsumen sendiri tidak menyadarinya.
7. Pasal 14 Undang-undang Perlindungan Konsumen
73
Ahmadi Maru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 97.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
40
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk: a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.”74 Pasal 14 ini mengatur mengenai larangan yang ditujukan pada perilaku pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan dengan janji memberikan hadiah melalui cara undian, yang bertujuan untuk menertibkan perdagangan dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat, dan agar perilaku pelaku usaha tersebut tidak dikualifikasi sebagai perbuatan melanggar hukum.
8. Pasal 15 Undang-undang Perlindungan Konsumen “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan fisik maupun psikis terhadap konsumen.”75 Pasal 15 ini juga mengatur larangan yang tertuju pada perilaku dan cara-cara penjualan yang tidak dibenarkan untuk dilakukan pelaku usaha, yang membedakan hanya menyangkut cara yang dilakukan oleh pelaku usaha yang bersangkutan. Khusus dalam ketentuan Pasal 15 ini adalah cara paksaan yang menempatkan posisi konsumen menjadi lemah. Nurmadjito mencontohkan cara paksaan dimaksud yaitu kegiatan penjualan barang dari rumah ke rumah (door to door sale). Pada kegiatan
74
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 14. 75
Ibid., Pasal 15.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
41
tersebut dilakukan dengan sedikit pemaksaan pada situasi konsumen tidak siap membeli suatu produk.76 Penjualan dengan sistem door to door terkadang disenangi oleh konsumen. Hal ini karena dinilai praktis yaitu bahwa konsumen tidak perlu keluar rumah untuk dapat membeli suatu produk. Untuk cara pemaksaan yang dimaksud dalam door to door sale, bahwa konsumennya telah menyatakan tidak berniat atas produk yang ditawarkan, namun salesnya tetap merayu dan meminta waktu dan kesiapan konsumen yang didatangi guna menjelaskan manfaat produk yang ditawarkan dan bentuk rayuan lainnya seperti membandingkan harga barang yang dimaksud dengan barang yang sama seandainya konsumen membelinya di toko-toko. Atas berbagai rayuan dan bahkan telah mempengaruhi psikologis konsumen, secara tidak sadar dengan situasi konsumen yang sesungguhnya tidak siap untuk membeli akhirnya tertarik dan membeli produk tersebut. Hal ini memperlihatkan adanya unsur paksaan yang tanpa disadari oleh konsumen. Terlebih jika apa yang dinyatakan oleh sales tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar maka ini menunjukkan adanya perbuatan yang mengelabui atau menyesatkan konsumen. 9. Pasal 16 Undang-undang Perlindungan Konsumen “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk: a. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.”77 Larangan dalam pasal ini intinya tertuju pada perilaku pelaku usaha yang tidak menepati pesanan dan/atau tidak menepati kesepakatan waktu penyelesaian
76
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 99. 77
Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 16.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
42
sesuai dengan yang dijanjikan, termasuk tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. 10. Pasal 17 Undang-undang Perlindungan Konsumen (1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: a.
Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa, serta ketetapan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan atau jasa; pernyataan yang salah; d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; e.
Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f.
Melanggar
etika dan/atau
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
mengenai periklanan. (2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1). Pasal 17 ini merupakan pasal yang secara khusus ditujukan pada perilaku pelaku
usaha
periklanan,
yang
mengelabui
konsumen
melalui
iklan
yang
diproduksinya. Pembahasan mengenai iklan akan dibahas lebih lanjut pada Bab 3 mengenai Iklan.
2.5
Tanggung Jawab Pelaku Usaha Selama ini dikenal pertanggungjawaban seseorang atas segala perbuatan,
akibat-akibat dari perbuatannya, tidak berbuat, kelalaian atau kurang hati-hatinya pada orang atau pihak lain. Tanggung jawab itu tergantung pada apakah pada peristiwa (yang menimbulkan kerugian pada orang lain tersebut) terdapat kesalahan orang tersebut sehingga ia harus membayar ganti rugi (tanggung jawab berdasarkan
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
43
kesalahan). Dalam kaitan ini, terkenal pula asas “presumption of innocence” (setiap orang dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya di hadapan pengadilan yang berwenang atasnya).78 Pasal 1365 KUHPer menentukan bahwa: “Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, menjadikan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Pada prinsipnya diperlukannya pertanggungjawaban dari pelaku usaha karena konsumen berada pada posisi yang secara ekonomis kurang diuntungkan. Konsumen juga hanya dapat mendapat informasi mengenai suatu produk ataupun jasa dari pelaku usaha tanpa mengetahui kebenaran dari informasi tersebut. Oleh karena itu, setiap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikannya, serta untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen tersebut. Pertanggungjawaban hukum berarti memfokuskan pada ada atau tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu pihak sebagai akibat (dalam hal hubungan konsumen dengan pelaku usaha) dari penggunaan, peemanfaatan, serta pemakaian oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha tertentu. Jika dikaitkan dengan asas umum dalam hukum perdata, dapat dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Jika berbicara soal konsep dan teori dalam ilmu hukum, perbuatan yang merugikan tersebut dapat lahir karena: 1. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat (yang pada umumnya dikenal dengan istilah wanprestasi); atau 2. Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau yang dikenal dengan perbuatan melawan hukum).79 78
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 171. Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), hal. 62. 79
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
44
Kedua hal diatas mempunyai konsekuensi hukum yang cukup signifikan perbedaannya. Pada tindakan yang pertama, sudah terdapat hubungan hukum antara para pihak, di mana salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan pihak lain, dengan cara tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang harus ia lakukan berdasarkan kesepakatan yang telah mereka capai. Tindakan yang merugikan ini memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk meminta pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat, beserta penggantian atas segala biaya, bunga, dan kerugian yang telah dideritanya.80 Khusus untuk perbuatan melawan hukum diatur dalam Bab III, Buku III, Kitab Undnag-undang Hukum Perdata di bawah title “ Perikatan-perikatan yang Lahir demi Undang-undang:, dari Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380. Menurut ketentuan Pasal 1352 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perbuatan melawan hukum melahirkan perikatan antara pihak yang melakukan perbuatan melawan hukum dan pihak terhadap siapa perbuatan yang melawan hukum tersebut dilakukan. Jadi, perikatan lahir pada saat perbuatan yang melawan hukum tersebut dilakukan.81 Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen diatur khusus dalam satu bab, yaitu Bab VI, mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28. Dari sepuluh pasal tersebut, dapat kita pilah sebagai berikut: 1. Tujuh pasal, yaitu Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha; 2. Dua pasal, yaitu Pasal 22 dan Pasal 28 yang mengatur pembuktian; 3. Satu pasal, yaitu Pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen. Dari tujuh pasal yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha, secara prinsip dapat dibedakan lagi ke dalam: 80
Ibid., hal. 62-63.
81
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
45
1. Pasal-pasal yang secara tegas mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha atas kerugian yang diderita konsumen, yaitu dalam Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21. Pasal
19 mengatur
pertanggungjawaban
pelaku
usaha
pabrikan
dan/atau
distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan, dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk: pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi. Pasal 20 diberlakukan bagi pelaku usaha periklanan untuk bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi, dan segala akibat yang timbul oleh iklan tersebut. Pasal 21 ayat (1) membebankan pertanggungjawaban kepada importir barang sebagaimana layaknya pembuat barang yang diimpor, apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri. Pasal 22 ayat (2) mewajibkan importir jasa untuk bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing jika penyediaan jasa tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing. 2. Pasal 24 yang mengatur peralihan tanggung jawab dari satu pelaku usaha kepada pelaku usaha lainnya, mengatakan bahwa: “ Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila: a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut; b.
Pelaku usaha lain, di dalam transakasi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.” Jika
pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali
kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
46
3. Dua pasal lainnya, yaitu Pasal 25 dan Pasal 26 berhubungan dengan layanan purna jual oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Dalam hal ini pelaku usaha diwajibkan untuk bertanggung jawab sepenuhnya atas jaminan dan/atau garansi yang diberikan, serta penyediaan suku cadang atau perbaikan. 4. Pasal 27 merupakan pasal “penolong” bagi pelaku usaha, yang melepaskannya dari tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi pada konsumen. Pasal 27 tersebut secara jelas menyatakan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, jika: a.
Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan
untuk diedarkan; b. Cacat barang timbul pada kemudian hari; c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.82 2.6
Penyelesaian Sengketa Apabila konsumen merasa dirugikan atas tindakan pelaku usaha maka
konsumen
dapat
menggugat
pelaku
usaha
melalui
lembaga
yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. Sedangkan penyelesaian sengketa 82
Ibid., hal. 65-67.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
47
konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan yang berlaku.
2.7
Sanksi terhadap Iklan Menyesatkan Ditinjau dari Undang-undang
Perlindungan Konsumen Pengaturan mengenai sanksi dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ini terdapat pada Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. Sanksi yang diberikan terbagi menjadi sanksi administratif atau sanksi pidana. Sanksi administrative hanya berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). Sedangkan sanksi pidana berupa penjatuhan pidana penjara atau dapat pula dengan pidana denda.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
48
BAB 3 IKLAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG IKLAN 3.1 Iklan, Iklan Menyesatkan, dan Iklan yang Bertanggung jawab 3.1.1
Pengertian Iklan Iklan sebagai salah satu bentuk informasi, merupakan alat bagi produsen
untuk memperkenalkan produknya kepada masyarakat agar dapat mempengaruhi kecenderungan masyarakat untuk menggunakan atau mengonsumsi produk tersebut. Demikian pula sebaliknya, masyarakat akan memperoleh gambaran tentang produk yang dipasarkan melalui iklan. Namun, masalahnya adalah iklan tersebut tidak selamanya tidak memberikan informasi yang benar atau lengkap tentang suatu produk, sehingga dapat saja konsumen menjatuhkan pilihannya terhadap suatu produk tertentu berdasarkan informasi yang tidak benar ataupun tidak lengkap tersebut. Yang sering dipentingkan melalui praktek periklanan adalah output-nya berupa selling effect. Artinya melalui iklan diharapkan adanya peningkatan penjualan produk barang dan/atau jasa. Meskipun idealnya iklan itu dirancang untuk menyajikan informasi jujur dan bertanggung jawab, kreativitas yang disajikan dirancang sedemikian rupa untuk “menembak” sisi psikologis konsumen, bukan rasionya.
Dalam
keadaan
demikian,
iklan
tidak
lagi
sebagai
sarana
menjual/mempromosikan nilai/value produk barang/jasa, melainkan lebih ditekankan pada kegunaan sekundernya berupa harapan, prestise, dan kekhawatiran konsumen dalam kehidupan sehari-hari.83 Kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam kaitannya dengan misrepresentasi84 banyak disebabkan karena tergiur oleh iklan-iklan atau brosur83
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 149. 84
Misrepresentasi merupakan pernyataan tidak benar yang dilakukan oleh suatu pihak untuk membujuk pihak lain masuk dalam suatu perjanjian.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
49
brosur produk tertentu, sedangkan iklan atau brosur tersebut tidak selamanya memuat informasi yang benar. Hal ini karena pada umumnya hanya menonjolkan kelebihan produk yang dipromosikan, sebaliknya kelemahan produk tersebut ditutup-tutupi. Sebelum membahas lebih jauh tentang iklan, berikut merupakan beberapa pengertian iklan: 1.
Iklan adalah berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan; pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yg dijual, dipasang di dalam media massa (seperti surat kabar dan majalah) atau di tempat umum.
85
2. Iklan adalah pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.86 Nugroho J. Setiadi dalam bukunya Perilaku Konsumen Konsep dan Implikasi untuk Strategi dan Penelitian Pemasaran menyebutkan, definisi standar dari periklanan biasanya mengandung enam elemen, yaitu: 1. Periklanan adalah bentuk komunikasi yang dibayar; 2. Alam iklan terjadi proses identifikasi sponsor; 3. Upaya membujuk dan mempengaruhi konsumen; 4. Periklanan
memerlukan
elemen
media
massa
merupakan
sarana
untuk
menyampaikan pesan kepada audiens sasaran; 5. Bersifat non-personal; 6. Audiens, kelompok konsumen yang akan dijadikan sasaran pesan.87
85
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
86
Dewan Periklanan Indonesia, Etika Pariwara Indonesia, September 2007.
87
Nugroho J. Setiadi, Perilaku Konsumen Konsep dan Implikasi untuk Stategi dan Penelitian Pemasaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 253.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
50
Terdapat tiga tujuan utama dari periklanan, yaitu menginformasikan, membujuk dan mengingatkan.
88
Iklan ini yang akan dijadikan media pemasaran bagi
pelaku usaha untuk dapat memperkenalkan maupun mempublikasikan produk atau jasa yang diproduksikannya.
3.1.2 Iklan
sebagai
Bentuk Praktek
Niaga Negatif
serta
Iklan yang
Bertanggungjawab 3.1.2.1 Iklan Menyesatkan (mock-up ad) Iklan jenis ini ingin mengesankan “keampuhan” suatu barang dengan cara mendemonstrasikannya. Dalam iklan tersebut, suatu keadaan atau keampuhan produk digambarkan dengan cara berlebihan dan menjurus kearah menyesatkan. Iklan jenis ini umumnya menggunakan media televisi, karena tayangan di layar kaca tampak lebih mengesankan.89 Ada beberapa hal yang melatarbelakangi perilaku pelaku usaha yang tidak jujur dan menyesatkan konsumen, yaitu: 1. Ketiadaan undang-undang periklanan 2. Budaya hukum konsumen periklanan yang tidak mendukung. 3. Persaingan yang tidak sehat (unfair competition) dalam beriklan. 4. Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggar. 5. Kurangnya koordinasi antar instansi yang terkait serta tidak berjalannya fungsi pengawasan.90 Menurut Sri Handayani, iklan menyesatkan meliputi: 1. Iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga, serta tarif, ketepatan waktu dan jaminan, garansi dari jasa; 88
Ibid.
89
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Sinar Harapan, 1995), hal. 86.
90
Margaretha E.P Napitulu, Tuntutan Ganti rugi terhadap Perusahaan Pemasang Iklan Berkaitan dengan Perbuatan Melawan Hukum yang Merugikan Konsumen. 2008. “Mengutip Skripsi” USU, hal. 74.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
51
2. Iklan yang memuat informasi secara keliru, salah, dan tidak tepat tentang barang atau jasa; 3. Iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian barang; 4. Iklan yang mengeksploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian atau informasi seseorang; 5. Iklan yang melanggar etika periklanan; 6. Iklan yang melanggar peraturan periklanan; 7. Iklan yang melanggar etika dan peraturan (teknis) periklanan.91 Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen sendiri juga telah mengatur mengenai iklan yang dilarang untuk diproduksi. Hal ini terdapat dalam Pasal 17 yang berbunyi: (1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa. b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa. c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang/jasa. d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa. e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan. f.
Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).92
91
Ibid., hal. 82-83.
92 Indonesia, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Pasal 17.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
52
3.1.2.2 Iklan Pancingan Selain iklan menyesatkan ada pula iklan pancingan. Iklan pancingan adalah iklan yang sebenarnya tidak berniat untuk menjual produk yang ditawarkan tetapi lebih ditujukan pada menarik kunjungan konsumen ke tempat usaha tersebut. Setelah konsumen datang, mereka diberitahu bahwa barang atau jasa itu telah habis atau mutunya kurang baik dan konsumen dialihkan perhatiannya pada produk lainnya. Biasanya alat untuk memancing yang digunakan adalah korting/diskon harga atau hadiah yang menarik. Barang biasanya yang mempunyai brand name terkenal, dan harga atau kondisi yang “istimewa” itu hanya umpan saja. Suatu iklan dinilai sebagai iklan pancingan kalau persediaan barang yang diiklankan tidak memenuhi jumlah tertentu atau jumlah yang penjualan barang yang diiklankan tidak jauh di bawah jumlah penjualan barang sama (mengkin merek atau kualitas berbeda), tetapi tidak diiklankan.93 Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan Konsumen adapula jenis-jenis iklan yang merugikan konsumen. Iklan yang merugikan konsumen dapat berupa: 1. Bait Advertising Bait advertising adalah suatu iklan yang menarik, tetapi penawaran yang disampaikan tidak jujur untuk menjual produk karena pengiklan tidak bermaksud menjual barang yang diiklankan. Tujuannya agar konsumen mengganti membeli barang yang diiklankan dengan barang jualan lainnya yang biasanya lebih mahal atau lebih menguntungkan pengiklan. 2. Blind Advertising Blind advertising adalah suatu iklan yang cenderung membujuk konsumen untuk berhubungan dengan pengiklan namun tidak menyatakan tujuan utama iklan tersebut untuk menjual barang atau jasa, dan tidak menyatakan identitas pengiklan. 3. False Advertising
93
Az Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Sinar HArapan, 1995), hal. 85.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
53
False advertising adalah jika representasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk membujuk pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan.94 Dalam
pembuatan
iklan
hendaknya
membuat
iklan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan baik dari segi kejelasan maupun kebenaran atas informasi yang disampaikan pada iklan tersebut. Jadi tidak hanya sekedar supaya produk atau jasa yang ditawarkan diminati oleh masyarakat tetapi juga dapat memberikan manfaat sesuai dengan yang dikabarkan dalam iklan tersebut.
3.1.2.3 Iklan yang Bertanggungjawab Menurut Ketua Umum Indonesia Pharmaceutial Watch (IPHW), Drs. Amir Hamzah Pane Apt. MM mensyaratkan minimal tiga kunci pokok yang harus ditaati dalam menata produsen pengiklan (Republika, 13 Juni 2002, h. 15), yaitu: Pertama, obyektif, artinya harus memberikan informasi yang sesuai dengan kenyataan dan tidak boleh menyimpang dari sifat kemanfaatan dan keamanannya. Kedua, lengkap, yaitu tidak boleh hanya mencantumkan khasiatnya saja, tetapi informasi mengenai hal-hal yang harus diperhatikan. Misalnya, adanya kontradiksi, efek samping, pantangan dan lain-lain. Ketiga, tidak menyesatkan, artinya informasi yang diberikan harus jujur, akurat, bertanggung jawab, tidak boleh memanfaatkan masyarakat, serta tidak boleh menimbulkan persepsi yang mengakibatkan penggunaan yang berlebihan, atau tidak berdasarkan kebutuhan. Selain itu, produsen perlu memperhatikan asasasas umum periklanan, tata karma dan tata cara beriklan, serta tanggung jawab iklan itu sendiri.95
94
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 105. 95 Farida Wajdi, Repotnya Jadi Konsumen Percikan Pemikiran Seputar Persoalan Konsumen, (Jakarta: Piremedia, 2003), hal.37-38.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
54
Iklan
yang bertanggungjawab
inilah
yang
seharusnya
beredar
untuk
dikonsumsi masyarakat luas. Dengan adanya iklan yang bertanggung jawab, konsumen tidak akan merasa tertipu dengan berbagai hal yang ditawarkan pelaku usaha pada calon konsumen yang ditampilkan dalam iklan. Hal ini karena apa yang disajikan dalam iklan memang merupakan suatu kebenaran yang dapat dirasakan sendiri oleh konsumen.
3.2
Peraturan Perundang-undangan di Bidang Periklanan
3.2.1
Undang-undang Perlindungan Konsumen Menurut Ari Purwadi, mengelabui konsumen melalui iklan dapat terjadi
dalam bentuk: pernyataan yang salah, pernyataan yang menyesatkan, dan iklan yang berlebihan.96 Purwadi menjelaskan bahwa “pernyataan yang salah” terjadi apabila dalam iklan tersebut mengungkapkan hal-hal yang tidak benar. Misalnya, menyatakan adanya suatu zat tertentu pada produk yang ternyata tidak ada. Sementara “pernyataan (iklan) menyesatkan” apabila iklan itu menggunakan opini subyektif untuk mengungkap kualitas produk secara berlebihan, tanpa didukung oleh suatu fakta tertentu. Adapun yang dimaksud sebagai “iklan yang berlebihan” apabila iklan itu menggunakan tiruan dalam visualisasi iklan.97 Jika pendapat Purwadi tersebut dihubungkan dengan materi ketentuan Pasal 17 ayat (1), maka dapat dikatakan huruf a dan b merupakan bentuk iklan atau pernyataan yang menyesatkan, sedangkan huruf c merupakan bentuk iklan atau pernyataan yang salah, huruf e bentuk iklan yang berlebihan, dan huruf f dapat meliputi ketiga-tiganya tergantung bagaimana pelanggaran etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar
96
Ari Purwadi, Perlindungan Hukum Konsumen dari Sudut Periklanan, dalam Majalah Hukum TRISAKTI, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, No. 21/Tahun XXI/Januari/1996, hal. 8. 97
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
55
tersebut. Hal yang “membingungkan” dalam hal ini adalah huruf d, karena sulit dikualifikasi masuk ke dalam salah satu bentuk yang dimaksudkan Purwadi.98 Pengaturan ayat (1) pasal ini terdapat masalah jika pelaku usaha periklanan tidak mengetahui adanya hal yang menyesatkan atau pernyataan yang salah seperti tersebut dalam huruf a, b, dan c sesuai pemesan iklan. Dalam hal ini, pelaku usaha periklanan yang tidak mengetahui itikad buruk pemesan iklan tidak sepatutnya mendapat sanksi berdasarkan ketentuan pasal ini. Pihak yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kerugian konsumen akibat iklan yang isinya menyesatkan atau mengandung pernyataan yang salah itu adalah pelaku usaha pemesan iklan.99 Akan lain halnya, jika iklan yang diproduksi itu menyangkut subtansi yang disebutkan dalam huruf d, e, dan f dari ayat (1) Pasal 17 UUPK tersebut. Substansi tersebut dalam huruf d, walaupun itu sepenuhnya atas kemauan pemesan iklan akan tetapi pelaku usaha periklanan secara mudah dapat memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa yang diiklankan. Sementara substansi yang disebutkan dalam huruf e dan f, walaupun itu atas inisiatif pelaku usaha pemesan iklan tetapi kegiatan yang berupa eksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan. Demikian pula produksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan, selain dapat diketahui oleh pelaku usaha periklanan, juga sangat terkait profesionalitas pelaku usaha periklanan. Dalam hal ini pelaku usaha periklanan dianggap turut serta melakukan perbuatan menyesatkan atau mengelabui konsumen. Substansi yang diatur dalam huruf d, e, dan f, sudah pada tempatnya pelaku usaha periklanan dimintai pertanggungjawaban di samping pelaku usaha pemesan iklan.100
98
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 102.
99
Ibid., hal. 102-103.
100
Ibid., hal. 102.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
56
3.2.2
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Pada PP Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dn Iklan Pangan menyatakan
bahwa setiap iklan pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai pangan secara benar dan tidak menyesatkan, baik dalam bentuk gambar atau pernyataan dan atau bentuk apapun lainnya. Pada PP No. 69 Tahun 1999 ini juga menyebutkan bahwa Pernyataan dalam bentuk apapun tentang pangan bagi kesehatan yang dicantumkan pada iklan dalam media massa, harus disertai dengan keterangan yang mendukung pernyataan itu pada iklan yang bersangkutan secara jelas sehingga mudah dipahami masyarakat.
3.2.3
Etika Pariwara Indonesia Pada Pasal 17 ayat (1) huruf f disebutkan bahwa pelaku usaha periklanan
dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Etika periklanan ini terwujud dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Etika berbeda dengan hukum positif. Etika mempunyai cakupan yang lebih luas daripada hukum. Hukum merupakan etika yang oleh pemerintah ditulis secara resmi dan mempunyai sanksi yang tegas. EPI merupakan perwujudan dari self regulation (swakramawi) di bidang periklanan. Prinsip swakramawi (self-regulation) adalah prinsip yang dipakai secara universal dalam industri periklanan. Secara sederhana, swakramawi dalam industri periklanan mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri.101 Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia, disebutkan 4 (empat) alasan utama penerapan asas swakramawi tersebut: 101
FX Ridwan Handoyo, Dasar-dasar Etika Periklanan-Bagian 2, http://www.p3ipusat.com/dunia-pariwara/wicara/224-dasar-dasar-etika-periklanan-bagian-2. 6 April 2011.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
57
1. Swakrama menyiratkan kepercayaan yang amat besar dari industri periklanan kepada para pelakunya. Kepercayaan ini selanjutnya diyakini akan memberi mereka dorongan naluriah yang luar biasa untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial-budaya mereka. 2. Sebagai bagian dari masyarakat, penerapan swakrama pada komunitas periklanan akan sangat membantu dalam menegakkan sendi-sendi peradaban dalam kehidupan bermasyarakat. 3. Swakrama dapat meniadakan, setidaknya meminimalkan campur tangan dari mereka yang kurang memahami periklanan, termasuk pamong (government) atau para penegak hukum, yang justru dapat menghambat perkembangan industri periklanan. 4.
Dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia juga merupakan wujud dari kebebasan berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain.102 Walaupun EPI merupakan bentuk dari etika tetapi juga telah dijadikan hukum
positif karena adanya ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f jo Pasal 62 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 17 ayat (1) huruf f disebutkan bahwa pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan meengenai periklanan. Pasal 62 ayat (2) menyebutkan mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan yang terdapat pada Pasal 17 ayat (1) huruf f yaitu berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Selain dikaitkan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen, EPI sendiri mengatur mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan dalam EPI. Sanksinya antara lain: 1. Peringatan, hingga dua kali; 2. Penghentian penyiaran atau mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada lembagalembaga terkait dan atau menginformasikan kepada semua pihak yang berkepentingan. 102
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
58
3.2.4
Keputusan Menteri Kesehatan No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 Keputusan Menteri Kesehatan No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 ini menjadi
pedoman dalam periklanan untuk masalah obat bebas, obat tradisional, alat kesehatan, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan-minuman. Kepmenkes No:386/Men.Kes/SK/IV/1994
ini mengatur tentang vitamin
antara lain menyatakan bahwa 1. Iklan vitamin harus dalam konteks sebagai suplemen makanan pada keadaan tubuh tertentu, misalnya keadaan sesudah sakit/operasi, masa kehamilan dan menyusui serta lanjut usia. 2.
Iklan vitamin tidak boleh terkesan memberikan anjuran bahwa vitamin dapat menggantikan makanan (subtitusi), atau vitamin mutlak dibutuhkan sehari-hari pada keadaan di mana gizi makanan sudah cukup.
3. Iklan vitamin tidak boleh memberi kesan bahwa pemeliharaan kesehatan (umur panjang, awet muda, kecantikan) dapat tercapai hanya dengan penggunaan vitamin. 4. Iklan vitamin tidak boleh memberi informasi secara langsung atau tidak langsung bahwa penggunaan vitamin dapat menimbulkan energi, kebugaran, peningkatan nafsu makan dan pertumbuhan mengatasi stres, ataupun peningkatan kemampuan seks. 5.
Iklan makanan boleh mencantumkan adanya vitamin dan mineral apabila pada sejumlah makanan yang biasa dikonsumsi satu hari terdapat vitamin atau mineral tidak kurang dari 1/6 dari jumlah yang dianjurkan (AKG).
6.
Iklan makanan boleh mencantumkan mengandung lebih dari satu vitamin atau mineral apabila setiap vitamin atau mineral tersebut terdapat dalam proporsi yang sesuai (AKG).
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
59
3.3
Pelaku Usaha Periklanan Ada banyak sekali pihak yang terlibat dalam kampanye iklan, karena pada
dasarnya periklanan merupakan sebuah proses kerja sama. Tetapi ada tiga aktor kunci: 1.
Pengiklan, yang memasang iklan, mengawasinya, menggunakannya, dan membayar biaya.
2. Perusahaan periklanan, atau agen media, yang memberikan jasa konsultasi spesialis dan perencanaan serta melaksanakan program yang telah disetujui oleh pengiklan. 3.
Media, yang menyediakan ruang atau waktu, dan yang memungkinkan terjadinya proses komunikasi.103
Proses tersebut terbentuk seperti segitiga. Di balik ketiga pelaku utama tersebut terdapat banyak sekali pemasok jasa spesialis. Tanpa mereka implementasi pengiklanan tersebut tidak akan dapat berjalan. Jasa spesialis itu antara lain: 1. Media cetak, rancangan seni, setting; 2. Program televisi, pengambilan film, perekaman, ilustrasi musik, animasi; 3. Program radio, perekaman; 4. Desain pameran, pendirian stan, transportasi dan pelayanan; 5. Perencanaan pengiriman langsung, produksi, pelaksanaan, pengiriman iklan pos langsung; 6. Percetakan, produksi barang bacaan; 7. Riset efektivitas periklanan.104
103
A. D. Farbey, How to Produce Succesful Advertising (Kiat Sukses Membuat Iklan), (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 10-11. 104
Ibid., hal. 11.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
60
3.4
Iklan Multivitamin/ Suplemen Makanan Persyaratan untuk iklan yang memuat klaim gizi dan klaim kesehatan yaitu
harus sesuai dengan klaim yang disetujui pada label pada saat penilaian keamanan pangan untuk mendapatkan surat persetujuan pendaftaran. Pada Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Berarti pengertian pangan di sini termasuk di dalamnya multivitamin. Iklan pangan yang baik dan benar memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai: 1. Sifat, mutu, ingredien, manfaat dan atau keamanan pangan; 2. Kata-kata, gambar-gambar, dan janji-janji; 3. Keterangan-keterangan yang harus mendapatkan pembuktian secara ilmiah.105 Mengenai klaim yang diperbolehkan pada iklan yaitu klaim gizi dan klaim kesehatan. Klaim gizi adalah pernyataan yang menggambarkan atau menyatakan secara langsung atau tidak langsung bahwa suatu pangan mempunyai kandungan energi atau salah satu komponen berikut: protein, lemak, karbohidrat, dan vitamin atau mineral, maupun kombinasinya. Yang termasuk dalam klaim gizi antara lain klaim kandungan zat gizi dan klaim perbandingan zat gizi. Klaim yang menyatakan jumlah kandungan zat gizi dalam pangan misalnya “bebas kolesterol”, “sumber protein”, “rendah kalori”, dsb. Klaim yang membandingkan tingkat zat gizi dan atau tingkat nilai energi dari dua atau lebih pangan, misalnya “diperkaya”, “tinggi”, “merupakan sumber yang baik”, dsb. Yang bukan termasuk klaim gizi antara lain daftar bahan atau zat yang terdapat pada produk pangan; zat-zat gizi yang wajib
105
Badan POM RI, Pedoman Periklanan Pangan, (Jakarta: Diputi Bidang Pengawasan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2008), hal. 10.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
61
dicantumkan pada label; pernyataan secara kualitatif atau kuantitatif zat gizi atau bahan pada label jika zat gizi tersebut wajib dicantumkan pada label.106 Sedangkan klaim kesehatan adalah klaim yang menyatakan hubungan pangan atau zat yang terkandung dalam pangan dengan kesehatan. Termasuk dalam klaim kesehatan antara lain klaim fungsi zat gizi, klaim fungsi lain, dan klaim membantu mengurangi risiko penyakit. Klaim kesehatan yaitu klaim yang menyatakan hubungan pangan atau zat yang terkandung dalam pangan dengan kesehatan. Klaim fungsi zat gizi pada tubuh dan perkembangannya.107 Klaim fungsi lain yaitu klaim yang berkaitan dengan efek menguntungkan khusus dari pangan atau komponen pangan dalam konteks diet total terhadap fungsi normal atau aktivitas biologis tubuh termasuk meningkatkan fungsi, memodifikasi atau memelihara kesehatan. Klaim yang membantu mengurangi risiko penyakit yaitu klaim yang berhubungan dengan konsumsi suatu pangan atauu zat-zat yang dikandung
pangan
tersebut
dalam
kaitannya
dengan
total untuk membantu
mengurangi risiko berkembangnya suatu penyakit atau kondisi yang berkaitan dengan kesehatan. Persyaratan untuk iklan yang memuat klaim gizi dan klaim kesehatan ini harus sesuai dengan yang disetujui pada label saat penilaian keamanan surat persetujuan pendaftaran.108 Hal-hal yang dilarang dalam iklan pangan, antara lain: 1. Mengiklankan pangan olahan yang belum terdaftar pada Badan POM RI atau Dinas Kesehatan setempat; 2. Mengiklankan pangan secara tidak benar dan atau menyesatkan; 3. Mengiklankan pangan dengan pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan data yang telah disetujui pada waktu pendaftaran dan atau penilaian keamanan pangan;
106
Ibid.
107
Ibid.
108
Ibid., hal. 21-23.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
62
4. Mengiklankan dengan menggunakan kata-kata: higienis, sanitasi, CPPB, dan halhal lain yang sudah merupakan keharusan dalam proses produksi pangan; 5. Untuk kepentingan pengawasan, penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen atau media yang menyebarkan iklan pangan dilarang merahasiakan identitas, nama dan alamat pemasang iklan; 6. Mengeksploitasi anak-anak, termasuk menampilkan boneka anak-anak pada iklan pangan baik sebagai model maupun sebagai obyek lain; 7. Mengiklankan pangan yang memberikan informasi tidak benar dan menyesatkan mengenai: a. Sifat, bahan, mutu, komposisi, manfaat, dan atau keamanan pangan; b. Keterangan-keterangan yang harus mendapatkan pembuktian secara ilmiah; c. Kata-kata, gambar, dan janji-janji/ jaminan; d. Keterangan-keterangan
lain yang dapat menimbulkan gambaran yang
menyesatkan pemahaman mengenai pangan yang bersangkutan; 8.
Mengiklankan pangan yang mengarah ke pendapat bahwa pangan seolah-olah sebagai obat;
9.
Memuat ilustrasi peragaan maupun kata-kata yang berlebihan, sehingga dapat menyesatkan konsumen;
10. Mengiklankan pangan dengan tidak benar, bahwa pangan seolah-olah dikonsumsi secara umum oleh masyarakat tertentu; 11. Melecehkan, mendiskriditkan atau merendahkan baik secara langsung maupun tidak langsung pangan lain; 12. Menggunakan kata-kata, kalimat, suara, gambar, tayangan, tampilan yang vulgar; 13. Menggunakan kalimat, kata-kata, ilustrasi yang menyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung pangan lain; 14. Memuat ilustrasi peragaan maupuun kata-kata yang berlebihan, sehingga dapat menyesatkan konsumen; 15. Kalimat, kata-kata, nama, lambang, logo, gambar, referensi, nasihat, peringatan atau pernyataan untuk periklanan yang menyesatkan, mengacaukan atau
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
63
menimbulkan penafsiran yang salah mengenai asal, sifat, isi, bentuk, komposisi, ukuran atau warna pangan; 16. Membuat pernyataan dan atau menampilkan gambar laboratorium, nama, logo, atau identitas lembaga, termasuk lembaga yang melakukan analisis dan mengeluarkan sertifikat terhadap pangan; 17. Produk pangan yang dibuat tanpa atau hanya sebagian menggunakan bahan ilmiah, dilarang diiklankan bahwa produk pangan tersebut seluruhnya dibuat dari bahan alamiah; 18. Iklan pangan tidak boleh menggunakan dan atau menampilkan secara tidak layak pahlawan, monumen dan lambang-lambang kenegaraan maupun tokoh-tokoh dan monumen yang telah merupakan milik umum; 19. Menggunakan kata-kata atau tampilan yang fantastis dan bombastis dan atau berlebihan; 20. Menggunakan
kata-kata,
gambar,
tulisan
dan
tampilan
yang tidak
ada
hubungannya dengan produk pangan tersebut, tapi seolah-olah ada hubngan; 21. Menggunakan kata-kata, gambar, tulisan dan norma tampilan yang bertentangan dengan norma-norma agama, kesusilaan, dan ketertiban umum; 22. Menggunakan
kata-kata:
penemuan
baru,
ajaib/keajaiban
alam,
keramat,
keajaiban dunia, agar lebih aktif, agar lebih berprestasi, modern, canggih, dsb.; 23. Menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah, statistik dan grafik untuk menyesatkan khalayak, atau menciptakan kesan yang berlebihan dan tak bermakna; 24. Menyebutkan teknologi pengolahan kecuali teknologi termasuk dalam kelompok jenis pangan; 25. Mengaitkan atau menghubungakan dengan suatu event/peristiwa/kegiatan, di mana karena mengkonsumsi pangan tersebut seseorang meraih prestasi, atau berhasil keluar sebagai pemenang kegiatan tersebut; 26. Menyalahgunakan nama dagang untuk kepentingan iklan;
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
64
27. Mengambil
kesempatan/keuntungan
kepentingan periklanan pangan;
terhadap
kesalahan
orang lain
untuk
109
Sedangkan yang dilarang dalam iklan yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain: 1. Mengiklankan pangan dengan klaim gizi atau klaim kesehatan yang tidak sesuai dengan yang telah disetujui pada label produk pangan; 2. Mengiklankan pernyataan seseorang (testimoni) yang menyatakan bahwa pangan berkhasiat dapat menyembuhkan penyakit atau berindikasi sebagai obat; 3. Mengiklankan pernyataan kelompok atau lembaga tertentu yang menyatakan bahwa pangan berkhasiat dapat menyembuhkan penyakit atau berindikasi sebagai obat; 4. Mencantumkan bahwa sesuatu pangan dapat menyehatkan dan dapat memulihkan kesehatan; 5. Memuat pernyataan dan atau menampilkan gambar bahwa pangan bermanfaat bagi gambar bahwa pangan bermanfaat bagi kesehatan, kecuali pernyataan dan atau gambar tersebut dapat dibenarkan berdasarkan ingredien pangan tertentu dalam jumlah yang biasa dikonsumsi per hari; 6. Memuat keteranggan atau pernyataan bahwa pangan tersebut adalah sumber energi yang unggul dan segera memberikan kekuatan; 7. Menampilkan tenaga kesehatan sebagai model dengan menggunakan tampilan sebagai tenaga kesehatan atau menyebutkan profesi model tersebut sebagai tenaga kesehatan; 8. Menggunakan kata-kata, gambar atau tampilan dalam bentuk apapun, bahwa pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat; 9. Memuat pernyataan atau keterangan maupun gambar dalam bentuk apapun, bahwa pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat;
109
Ibid., hal. 53-67.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
65
10. Menggunakan pernyataan bahwa produk pangan tersebut dapat meningkatkan kecerdasan atau meningkatkan IQ.110
3.5 Sistem Pertanggungjawaban dalam Periklanan Apabila dilihat dari segi pemenuhan kebutuhan barang dan jasa konsumen, idealnya iklan dipandang sebagai sarana mewujudkan hak-hak konsumen, khususnya hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk memilih. Periklanan (advertising) merupakan bagian dari kegiatan pemasaran (marketing). Dari kegiatan pemasaran suatu produk, konsumen memperoleh informasi mengenai manfaat barang atau jasa bagi konsumen serta keunggulannya dibandingkan produk-produk sejenis lainnya. Dari sisi perusahaan pengiklan, terdapat kepentingan peningkatan kuantitas pembeli barang atau jasa konsumen tanpa mempersoalkan pembelian tersebut bersifat konsumtif atau tidak. Dalam pengiklanan tersebut biasanya, iklan dibuat sedemikian menariknya hingga terkadang mengabaikan etika atau norma periklanan. Kenyataan pelanggaran praktek periklanan yang bertentangan dengan kode etika,
mendorong
campur
tangannya
instrumen
hukum,
berupa
kejelasan
kaidah/norma hukum di bidang periklanan dengan cara: 1. Mengemukakan hal-hal yang tidak benar (false statement), misalnya: “Bila membeli rumah X, penghasilan anda meningkat”; “Y menyembuhkan batuk seketika”; dan sebagainya. 2. Mengemukakan hal-hal yang menyesatkan atau tidak proporsional (mislead statement), misalnya: “Lokasi rumah dicapai 15 menit melalui tol”; “Lokasi rumah bebas banjir dan penggusuran”; dan sebagainya. 3.
Menggunakan opini subyektif yang berlebihan tanpa didukung fakta (puffery), misalnya: “Perumahan kami adalah yang terbaik di antara perumahan yang ada”.111 110
Ibid., hal. 68-71.
111
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 154.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
66
Dalam proses terjadinya suatu iklan, baik melalui media elektronik ataupun media cetak, pada umumnya inisiatif datang dari pengusaha/perusahaan pengiklan (produsen, distributor, supplier, retailer). Kemudian perusahaan periklanan dan/atau media
periklanan
dengan
persetujuan
perusahaan
pengiklan
secara
kreatif
menerjemahkan inisiatif tersebut dalam bahasa periklanan untuk ditayangkan/dimuat dalam media elektronik ataupun media cetak sebagai informasi produk bagi masyarakat luas. Masalah tanggung jawab muncul dalam hal: 1. Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya; Jika Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya
maka
yang
bertanggung
jawab
adalah
pengusaha/perusahaan
pengiklan. Hal ini karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan kepada konsumen melalui iklan. Dengan instrumen hukum perdata, konsumen dapat meminta
pertanggungjawaban/menggugat
perusahaan
pengiklan
dengan
kualifikasi wanprestasi, apabila diketahuinya ketidaksesuaian janji dalam iklan dengan kenyataannya dibuktikan adanya hubungan kontraktual. Kualifikasi perbuatan melawan hukum dapat saja digunakan meskipun terdapat hubungan kontraktual,
sepanjang
unsur-unsur
perbuatan
melawan
hukumnya
yang
menonjol. 2. Menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etika periklanan. Apabila menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etika periklanan maka yang bertanggung jawab adalah perusahaan pengiklan serta perusahaan periklanan dan/atau media periklanan. Perusahaan periklanan dan media periklanan tidak dapat begitu saja menolak bertanggung jawab dengan dalih mereka hanya membuat dan menayangkan iklan dan mengatakan bahwa materinya adalah tanggung jawab
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
67
perusahaan pengiklan. Analog dalam ajaran penyertaan dalam hukum pidana, dalam suatu peristiwa pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak saja, ada pelaku lain.112 Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Dilihat dari sudut pelaku usaha periklanan terdapat tiga jenis pelaku usaha yaitu: 1. Pengiklan yaitu perusahaan yang memesan iklan untuk mempromosikan, memasarkan, dan atau menawarkan produk yang mereka edarkan. 2. Perusahaan iklan adalah perusahaan atau biro yang bidang usahanya adalah mendesain atau membuat iklan untuk para pemesannya. 3. Media adalah media elektronik atau non-elektronik atau bentuk media lain, yang menyiarkan atau menayangkan iklan-iklan tersebut.113 Ketiga jenis pelaku usaha tersebut dalam undang-undang ini termasuk pelaku usaha. Ketiga pelaku usaha di atas, dapat dipertanggungjawabkan secara tanggung renteng. Menurut Az Nasution, tergantung bagaimana hakim pengadilan negeri mengambil putusannya. Salah satu tolok ukur yang dipikirkan dan timbul dalam pembahasan
rancangan
undang-undang
periklanan
adalah
dengan
melihat
penandatangan pada konsep iklan yang akan disiarkan itu. Sekiranya tanda tangan pengiklan (tanda acc) terdapat pada konsep iklan itu, maka dialah yang mempertanggungjawabkannya.114 Kemudian, terdapat tindakan administratif yang dapat dijatuhkan pada pelaku usaha periklanan
yang menyiarkan iklan yang menyesatkan,
menipu atau
mengakibatkan cedera pada konsumen, untuk memasang iklan perbaikannya 112
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 156-157. 113
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2002), hal. 246. 114
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
68
(corrective advertisement) di surat kabar atau televisi. Iklan koreksi seperti ini telah tumbuh dan menjadi hukum di negara-negara lain. Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak memuat tindakan administratif tersebut, padahal kegunaannya sangat baik sebagai upaya pencegah “gegabahnya” para pelaku usaha periklanan.115 Dalam buku Pedoman Periklanan Pangan yang diterbitkan oleh Badan POM disebutkan bahwa yang bertanggung jawab terhadap pernyataan dalam iklan adalah orang perseorangan dan atau badan usaha atau produsen yang mengiklankan pangan. Sedangkan yang ikut bertanggung jawab terhadap isi iklan adalah rumah produksi, penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan, serta orang perseorangan atau pelaku usaha yang terkait dalam menyebarkan iklan, turut bertanggung jawab terhadap isi iklan yang tidak benar, kecuali yang bersangkutan telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk kebenaran isi iklan pangan yang bersangkutan. Dalam Etika Pariwara Indonesia sendiri, ketentuan mengenai periklanan telah diatur cukup lengkap. EPI ini merupakan perwujudan dari self regulation116 di bidang periklanan. Akan tetapi apabila dikaitkan dengan Pasal 17 ayat (1) huruf f Undangundang Perlindungan Konsumen maka EPI ini telah menjadi norma hukum. Pada Undang-undang Perlindungan Konsumen juga telah diatur mengenai iklan ini, seperti yang sudah disampaikan pada Bab 2. Ketentuan mengenai periklanan terdapat pada Pasal 17 Undang-undang Perlindungan Konsumen. 3.6 Sanksi terhadap Pelanggaran Ketentuan Periklanan Seperti
yang
diketahui
ketentuan
periklanan
dalam
Undang-undnag
Perlindungan Konsumen terdapat pada Pasal 17. Sanksi-sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran Pasal 17 ini berupa: pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2 milyar (Pasal 62 ayat (1) UUPK) bagi 115
Ibid.
116
Self regulation (regulasi sendiri) adalah suatu perangkat prinsip-prinsip tetang tingkah laku atau perilaku bisnis atau profesi yang ditetapkan sendiri oleh kalangan bisnis atau profesi itu, dan berlaku bagi kalangannya sendiri dan dalam hubungan-hubungan dengan pihak lain.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
69
pelanggaran Pasal 17 ayat (1) butir a, b, c, dan e; diberi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500 juta (Pasal 62 ayat (2) UUPK) bagi pelangaran Pasal 17 ayat (1) butir d dan f. Menurut Pasal 17 ayat (2) UUPK, pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUPK. Maksud dari melanjutkan peredaran iklan berarti iklan yang telah melanggar Pasal 17 ayat (1) UUPK pernah beredar di masyarakat luas tanpa disyaratkan jenis media penyampainya.117 Sanksi terhadap pelanggaran Pasal 17 ayat (2) ini yaitu berupa pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2 milyar, yang tercantum dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK. Sedangkan sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran ketentuan yang terdapat dalam Etika Pariwara Indonesia yaitu berupa peringatan hingga dua kali kemudian apabila masih belu jera maka dilakukan penghentian penyiaran atau mengeluarkan rekomendasi sanksi kepada lembaga-lembaga terkait dan atau menginformasikan kepada semua pihak yang berkepentingan, dengan memberikan rentang waktu pada setiap tahapnya. Penyampaian sanksi dilakukan secara tertulis dengan menncantumkan jenis pelanggaran dan rujukan yang digunakan. Distribusi penyampaian sanksi pada setiap bobot atau tahapan pelanggaran adalah sebagai berikut: 1. Peringatan pelanggaran diberikan kepada pihak pelanggar dan asosiasi atau lembaga terkait; 2. Perintah penghentian penyiaran diberikan kepada semua pihak yang terlibat asosiasi atau lembaga terkait, serta media yang bersangkutan.
117
Yusuf Shofie, 21 Potensi Pelanggaran dan Cara Menegakkan Hak Konsumen, (Jakarta: Lembaga Konsumen Jakarta-PIRAC, 2003), hal 62.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
70
BAB 4 ANALISIS YURIDIS TERHADAP IKLAN MENYESATKAN PADA PRODUK MULTIVITAMIN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN KEPMENKES NO: 386/MEN.KES/SK/IV/1994 (STUDI KASUS:IKLAN MULTIVITAMIN X)
4.1
Iklan X X merupakan multivitamin yang berbentuk kapsul yang mana penggunaannya
dengan cara diminum sepertihalnya obat. Dalam buku yang dikeluarkan BPOM menyebutkan, meliputi suplemen
vitamin dan mineral dalam bentuk tablet, kapsul,
bubuk/serbuk atau cairan, dimana secara hukum produk tersebut dikategorikan sebagai produk pangan.118 Suplemen makanan (food supplement, dietary supplement) adalah produk dalam unit takaran (tablet, kapsul, bubuk/serbuk atau cairan, dan sebagainya) yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi, mengandung satu atau lebih bahan termasuk vitamin dan mineral.119 Multivitamin ini masuk dapam kategori pangan (KP) 13 yaitu Produk Pangan untuk Keperluan Gizi Khusus. Untuk dapat mengenalisis lebih jauh maka sebelumnya akan disajikan transkrip iklan X yang akan dijadikan obyek analisis dalam skripsi ini. Iklan X sebenarnya terdiri dari berbagai versi, mulai dari versi Nikita Willy, Ririn Dwi Ariyanti, Arzeti Bilbina ataupun merupakan gabungan dari ketiganya. Namun yang akan dibahas disini adalah iklan X versi Arzeti Bilbina. Berikut ini adalah transkip percakapan dalam iklan tersebut: Narator
: Apakah rahasia kecantikan seorang Arzeti?
Arzeti
: Titip rahasiaku dulu ya.. (sambil memberikan X
pada orang lain) 118
Direktorat Standardisasi Produk Pangan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dn Makanan Republik Indonesia, Kategori Pangan, 2006,242. 119
Ibid.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
71
Narator 4.2
: X rahasia kecantikan selebriti
Prosedur Iklan untuk Mendapat Izin Edar Sebelum suatu produk diizinkan untuk melakukan promosi atas suatu produk
maka terlebih dahulu produk tersebut haruslah memperoleh izin edar. Untuk mendapatkan izin edar maka harus mengajukan pendaftaran
yang diajukan oleh
pendaftar kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Izin edar adalah bentuk persetujuan pendaftaran suplemen makanan yang diberikan oleh Kepala Badan POM untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia. Pendaftaran suplemen makanan ini dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu prapenilaian dan penilaian. Tahap prapenilaian merupakan tahap pemeriksaan kelengkapan, keabsahan dokumen dan dilakukan penentuan kategori.Tahap penilaian sebagai merupakan proses evaluasi terhadap dokumen dan data pendukung. Pengajuan pendaftaran dilakukan dengan menyerahkan berkas pendaftaran yang terdiri dari formulir atau disket pendaftaran yang telah diisi, dilengkapi dengan dokumen administrasi dan dokumen pendukung. Dokumen pendukung suplemen makanan sebagaimana dimaksud terdiri dari: 1. dokumen mutu dan teknologi; 2. dokumen yang mendukung klaim kegunaan sesuai jenis dan tingkat pembuktian. Berkas pendaftaran harus dilengkapi dengan : 1. rancangan kemasan yang meliputi etiket, dus, pembungkus, strip, blister, catch cover, dan kemasan lain sesuai ketentuan tentang pembungkus dan penandaan yang berlaku, yang merupakan rancangan kemasan suplemen makanan yang akan diedarkan dan harus dilengkapi dengan rancangan warna; 2. brosur yang mencantumkan informasi mengenai suplemen makanan. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenai sanksi administratif berupa : 1. peringatan tertulis;
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
72
2. penarikan suplemen makanan dari peredaran termasuk penarikan iklan; 3. penghentian sementara kegiatan produksi, impor, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan suplemen makanan; 4. pembekuan dan atau pencabutan izin edar suplemen makanan. Selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud tersebut diatas juga dapat dikenai sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.3
Pelanggaran yang Dilakukan Iklan X Dikaitkan dengan Undang-undang
Perlindungan Konsumen dan Kepmenkes No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 4.3.1 Undang-undang Perlindungan Konsumen Pengaturan mengenai iklan pada Undang-undang Perlindungan Konsumen diatur dalam Pasal 17. Pada Undang-undang Perlindungan Konsumen ini masih secara umum dan tidak ada pengaturan secara khusus mengenai iklan multivitamin. Pada Pasal 17 ayat (1) memuat
“Pelaku
usaha periklanan
dilarang
memproduksi iklan yang: a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas bahan, kegunaan, dan harga barang dan/atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa”. Berdasarkan analisis dari penulis maka pada poin tersebut disebutkan bahwa pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang mengelabui kegunaan akan suatu barang. Dalam hal ini iklan X memberikan tanda bahwa seolah-olah kecantikan para artis hanya didapat dengan meminum X. Padahal dengan meminum X saja tidak bisa memberikan jaminan bahwa kemudian seseorang akan menjadi cantik seperti artis-artis tersebut. Dalam hal ini menurut pendapat penulis, iklan X tersebut telah menyesatkan calon konsumen yang mungkin saja membeli produk tersebut karena tergiur akan memiliki kecantikan seperti para artis.
4.3.2 Kepmenkes No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 Berdasarkan analisis penulis jika iklan X ini dikaitkan dengan Kepmenkes No:386/Men.Kes/SK/IV/1994
tentang
Pedoman
Periklanan:Obat
Bebas,
Obat
Tradisional, Alat Kesehatan, kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
73
Makanan-Minuman, sebenarnya telah ada aturan khusus yang mengatur mengenai multivitamin yang terdapat pada Kepmenkes ini. Pada Petunjuk Teknis pada bagian Umum poin 7 menyebutkan bahwa informasi mengenai produk dalam iklan harus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Pasal 41 ayat (2) Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, sebagai berikut: a. Obyektif: harus memberikan informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh menyimpang dari sifat kemanfaatan dan keamanan obat yang disetujui. b. Lengkap: harus mencantumkan tidak hanya informasi tentang khasiat obat, tetapijuga memberikan informasi tentang hal-hal yang harus diperhatikan, misalnya adanya kontra indikasi dan efek samping. c.
Tidak menyesatkan: informasi obat harus jujur, akurat, bertanggung jawab serta tidak boleh memanfaatkan
kekhawatiran
masyarakat akan suatu masalah
kesehatan. Di samping itu, pennyajian informasi harus berselera baik dan pantas serta
tidak
boleh
menimbulkan
presepsi
khusus
di
masyarakat
yang
mengakibatkan penggunaan obat berlebihan atau tidak berdasarkan kebutuhan. Dari uraian tersebut berarti definisi dari menyesatkan dapat dianalogikan sebagai suatu informasi yang tidak jujur, tidak akurat, tidak bertanggung jawab serta memanfaatkan kekhawatiran masyarakat akan suatu masalah kesehatan. Informasi harus jujur artinya bahwa segala informasi yang diberikan haruslah sesuai dengan kenyataan yang ada, tidak ada yang ditutup-tutupi. Informasi yang akurat yaitu bahwa informasi yang terdapat pada iklan sudah tepat benar berdasarkan data yang telah diteliti sebelumnya. Informasi yang bertanggung jawab artinya informasi tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas kebenarannya berdasarkan data yang telah teruji secara klinis. Pada Kepmenkes No:386/Men.Kes/SK/IV/1994 ini pada bagian Petunjuk Khusus pada bab Khusus nomor pertama tentang Vitamin ini pada poin ketiganya menyebutkan bahwa “Iklan vitamin tidak boleh memberi kesan bahwa pemeliharaan kesehatan (umur panjang, awet muda, kecantikan) dapat tercapai hanya dengan
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
74
penggunaan vitamin”. Berdasarkan iklan X tadi maka dapat diambil kesimpulan bahwa dengan pemakaian X saja maka akan didapat kecantikan seperti para artis. Hal ini merupakan pelanggaran pada poin tersebut yang seolah-olah kecantikan didapat dengan meminum X saja.
4.4
Pertanggungjawaban terhadap Iklan X Masalah tanggung jawab muncul dalam hal:
1. Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya; Jika Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya
maka
yang
bertanggung
jawab
adalah
pengusaha/perusahaan
pengiklan. Hal ini karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan kepada konsumen melalui iklan. Dengan instrumen hukum perdata, konsumen dapat meminta
pertanggungjawaban/menggugat
perusahaan
pengiklan
dengan
kualifikasi wanprestasi, apabila diketahuinya ketidaksesuaian janji dalam iklan dengan kenyataannya dibuktikan adanya hubungan kontraktual. Kualifikasi perbuatan melawan hukum dapat saja digunakan meskipun terdapat hubungan kontraktual,
sepanjang
unsur-unsur
perbuatan
melawan
hukumnya
yang
menonjol. 2. Menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etika periklanan. Apabila menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etika periklanan maka yang bertanggung jawab adalah perusahaan pengiklan serta perusahaan periklanan dan/atau media periklanan. Perusahaan periklanan dan media periklanan tidak dapat begitu saja menolak bertanggung jawab dengan dalih mereka hanya membuat dan menayangkan iklan dan mengatakan bahwa materinya adalah tanggung jawab perusahaan pengiklan. Analog dalam ajaran penyertaan dalam hukum pidana,
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
75
dalam suatu peristiwa pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak saja, ada pelaku lain.120 Seperti yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya bahwa pelaku usaha terdiri atas berbagai kelompok. Pelaku usaha periklanan menurut Etika Pariwara Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri atas: 1. Pengiklan adalah pemrakarsa, penyandang dana, dan pengguna jasa periklanan. 2. Perusahaan periklanan adalah suatu organisasi usaha yang memiliki keahlian untuk merancang, mengkoordinasi, mengelola, dan atau memajukan merek, pesan, dan atau media komunikasi pemasaran untuk dan atas nama pengiklan dengan memperoleh imbalan atas layanannya tersebut. 3. Media adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan periklanan kepada konsumen atau khalayak sasaran.121 Dari uraian di atas diketahui bahwa ada beberapa pelaku usaha periklanan. Berdasarkan sistem pertanggungjawaban yang diuraikan oleh Az Nasution pelaku usaha periklanan bertanggung jawab secara tenggung renteng. Penulis sendiri setuju bahwa yang bertanggung jawab terhadap adanya iklan menyesatkan adalah ketiga pelaku usaha tersebut secara tanggung renteng. Bagaimapun mereka sebagai pelaku usaha berkewajiban memastikan bahwa apa yang ditayangkan dalam iklan tersebut merupakan sesuatu yang benar. Seperti diketahui bahwa untuk mendapatkan izin edar pendaftar harus mendaftarkan ke Kepala Badan POM. Pendaftar ini bertanggung jawab terhadap: kelengkapan dokumen yang diserahkan; kebenaran semua informasi yang tercantum dalam dokumen pendaftaran; kebenaran dan keabsahan dokumen yang dilampirkan
120 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 156-157. 121
Etika Pariwara Indonesia (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia). Cetakan ke tiga, September 2007.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
76
untuk kelengkapan pendaftaran; perubahan data dan informasi dari produk yang sedang dalam proses pendaftaran atau sudah memiliki izin edar. Iklan yang telah tayang pada publik yang telah mendapat persetujuan dari Badan POM ini tentu isinya akan sesuai dengan ketentuan peraturan-peraturan di bidang periklanan. Dalam hal ini iklan X yang ditayangkan di media televisi tersebut berarti seharusnya telah mendapatkan izin edar dari BPOM. Akan tetapi melihat konten dari iklan tersebut menurut penulis pribadi iklan tersebut tidak sesuai dengan konsep yang dimintakan kepada BPOM dengan maksud untuk mendapatkan izin edar. Hal ini karena pada iklan tersebut tidak sessuai dengan ketentuan peraturanperaturan tentang periklanan. Karena yang mendaftarkan untuk dapat memperoleh izin edar adalah perusahaan yang memproduksi produk tersebut dalam hal ini pengiklan maka yang bertanggung jawab atas kesesuaian antara konsep yang diajukan pendaftaran kepada BPOM kemudian mendapat persetujuan dari Kepala BPOM dengan iklan yang tayang ke publik adalah pengiklan sendiri. Menurut penulis dia bertanggung jawab terhadap peredaran iklan yang ada di publik. Hal ini karena dialah yang mendaftarkan konsep iklan yang akan tayang ke publik. Sehingga ia pula yang bertanggung jawab terhadap kesesuaian antara konsep yang disetujui Kepala BPOM dengan iklan yang kemudian diedarkan kepada publik. Pelaku usaha selanjutnya perusahaan periklanan yang merupakan suatu organisasi usaha yang memiliki keahlian untuk merancang, mengkoordinasi, mengelola, dan atau memajukan merek, pesan, dan atau media komunikasi pemasaran untuk dan atas nama pengiklan dengan memperoleh imbalan atas layanannya tersebut. Perusahaan periklanan ini juga bertanggung jawab terhadap iklan yang diproduksinya, karena bagaimanapun perusahaan periklanan ini ikut merancang konsep iklan yang diproduksinya tersebut. Media juga turut bertanggung jawab atas adanya iklan tersebut. Media ini mempunyai peran penting yang mana menjadi wadah dalam penyampaian suatu iklan kepada masyarakat umum.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
77
Peran dari pengiklan, perusahaan periklanan, maupun media yang secara sendiri-sendiri melakukan fungsinya ini yang menjadikan mereka mempunyai tanggung jawab renteng terhadap adanya iklan tersebut. 4.5
Sanksi terhadap Iklan yang Menyesatkan Sanksi terdiri dari berbagai macam yaitu:
1. Sanksi perdata Sanksi perdata ini diberikan kepada pelaku usaha karena adanya kerugian yang diderita oleh konsumen sehingga pelaku usaha diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut 2. Sanksi pidana Ketentuan mengenai sanksi pidana dan sanksi administratif diatur pula dalam undang-undang perlindungan konsumen. Ketentuan mengenai sanksi pidana pada pelanggaran ketentuan periklanan yang melibatkan konsumen hanya diatur dalam undang-undang, salah satunya undang-undang perlindungan konsumen. Sanksi pidana ini dapat berupa pidana penjara maupun pidana denda. 3. Sanksi administratif Ketentuan mengenai sanksi administratif ini selain diatur dalam undang-undang perlindungan konsumen juga diatur dalam peraturan-peraturan lainnya seperti dalam EPI maupun peraturan Kepala Badan POM. Sanksi yang diberikan berdasarkan berbagai ketentuan: 1. Etika Pariwara Indonesia (EPI) EPI yang awalnya merupakan self regulation di bidang periklanan telah menjadi norma hukum dengan adanya Pasal 17 ayat (1) huruf f Undang-undnag Perlindungan Konsumen. Sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggaran Pasal 17 ayat (1) huruf f ini yaitu bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
78
2. Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran yang terdapat pada PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan yaitu berupa tindakan administratif. Tindakan administratif ini meliputi: a. peringatan secara tertulis; b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran; c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d. penghentian produksi untuk sementara waktu; e. pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah), dan atau; f. pencabutan izin produksi atau izin usaha. 3. Peraturan Kepala Badan POM Sanksi yang diberikan Badan POM kepada iklan yang menyesatkan yaitu dapat dikenai sanksi administratif berupa : 1. peringatan tertulis; 2. penarikan suplemen makanan dari peredaran termasuk penarikan iklan; 3. penghentian sementara kegiatan produksi, impor, distribusi, penyimpanan, pengangkutan dan penyerahan suplemen makanan; 4. pembekuan dan atau pencabutan izin edar suplemen makanan. Selain dikenai sanksi administratif dapat dikenai pula dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
79
BAB 5 PENUTUP 5.1
Simpulan Dari berbagai uraian penjelasan yang telah disampaikan pada bab-bab
sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pengaturan mengenai iklan multivitamin dapat ditinjau dari berbagai peraturan antara lain Undang-undang Perlindungan Konsumen; Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan; Etika Pariwara Indonesia; maupun pada Keputusan Menteri Kesehatan No:386/Men.Kes/SK/IV/1994, dalam ketentuan tersebut telah dijelaskan mengenai bagaimana iklan seharusnya beredar di publik dan juga ketentuan bahwa suatu iklan tidak boleh menyesatkan; 2. Ditinjau
dari Undang-undang
Perlindungan
Konsumen
dan
Kepmenkes
No:386/Men.Kes/SK/IV/1994, maka iklan X tersebut masuk dalam kriteria sebagai iklan menyesatkan. 3. Berdasarkan sistem pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan maka yang bertanggung jawab terhadap iklan multivitamin X ini berupa tanggung jawab tanggung renteng antara pengiklan, perusahaan periklanan dan media periklanan. 4. Sanksi yang dapat diberikan pada pelaku yang bertanggung jawab terhadap iklan menyesatkan dapat berupa sanksi perdata, pidana, maupun sanksi administratif.
5.2
Saran Setelah menjabarkan skripsi ini, penulis mempunyai beberapa saran antara
lain: 1. Sebagai konsumen harus lebih jeli dan pandangan terbuka sehingga tidak dengan mudah mempercayai berbagai informasi yang ada pada iklan. Hal ini dibutuhkan untuk mewaspadai adanya informasi yang tidak benar yang terdapat pada suatu iklan. 2.
Dari pihak pelaku usaha sendiri seharusnya memberikan informasi yang benar terhadap segala sesuatu yang disampaikan karena informasi ini yang akan
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
80
dijadikan perimbangan konsumen dalam membeli atau menggunakan suatu barang dan/atau jasa. 3. Pemerintah sebagai pihak yang bertugas melakukan pengawasan dan pembinaan sudah
semestinya
melakukan
tugasnya
dengan
sebaik
mungkin
untuk
menghindari adanya pelanggaran terhadap hak dan kewajiban dari konsumen maupun pelaku usaha.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
81
DAFTAR PUSTAKA Badan POM RI. 2008.
Pedoman Periklanan Pangan. Jakarta: Diputi Bidang
Pengawasan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Badrulzaman, Mariam Darus. 1986. Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta: Binacipta. Farbey, A. D. 1997. How to Produce Succesful Advertising (Kiat Sukses Membuat Iklan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mamudji, Sri dkk. 2005. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Perilaku konsumen. Bandung: Refika Aditama. Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2007. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Nasution, Az. 1995. Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka sinar Harapan. Nasution, Az. 2002. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media. Purwadi, Ari. 1996. Perlindungan Hukum Konsumen dari Sudut Periklanan, dalam Majalah Hukum TRISAKTI, Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, No. 21/Tahun XXI/Januari/1996. Setiadi, J. Nugroho. 2008. Perilaku Konsumen Konsep dan Implikasi untuk Stategi dan Penelitian Pemasaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Shofie, Yusuf. 1998. Percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas Hukum. Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Shofie, Yusuf. 2003. 21 Potensi Pelanggaran dan Cara Menegakkan Hak Konsumen. Jakarta: Lembaga Konsumen Jakarta-PIRAC.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
82
Shofie, Yusuf. 2003. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti. Wajdi, Farida. 2003. Repotnya Jadi Konsumen Percikan Pemikiran Seputar Persoalan Konsumen, Jakarta: Piremedia. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2000. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
1
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 386/Men.Kes/SK/IV/1994 TENTANG PEDOMAN PERIKLANAN: OBAT BEBAS, OBAT TRADISIONAL, ALAT KESEHATAN, KOSMETIKA, PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DAN MAKANAN-MINUMAN MENTERI KESEHATAN MENIMBANG: a. b.
c. d.
e.
Bahwa periklanan disamping merupakan sarana untuk meningkatkan penjualan, juga merupakan sarana untuk memberikan informasi yang bermanfaat kepada masyarakat; Bahwa pada saat ini masih ada periklanan obat bebas, obat tradisional, alat kesehatan, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan minuman, mengandung informasi yang belum memenuhi kriteria obyektif, lengkap, dan atau tidak menyesatkan; Bahwa periklanan yang tidak obyektif, tidak lengkap, berlebihan dan menyesatkan, dapat mengakibatkan penggunaan yang salah, tidak tepat, tidak rasional dan merugikan masyarakat; Bahwa untuk melindungi masyarakat terhadap informasi periklanan obat bebas, obat tradisional, alat kesehatan, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan minuman sebagaimana dimaksud huruf c, perlu adanya pedoman periklanan; Bahwa untuk itu perlu ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang pedoman periklanan obat bebas, obat tradisional, alat kesehatan, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan-minuman.
MENGINGAT : a. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 No. 100; Tambahan Lembaran Negara No. 395); b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 917/MENKES/PER/ X/1993 tentang Wajib Daftar Obat Jadi; Mengingat pula : 1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 76/Men.Kes/Per/XII/75 tantang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Susu Kental Masnis;
1
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
2
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 220/Men.Kes/Per/IX/76 tentang Produksi dan Peredaran Kosmetika dan Alat Kesehatan; 3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 329/Men.Kes/Per/XII/76 tentang Produksi dan Peredaran Makanan; 4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 86/Men.Kes/Per/IV/77 tantang Minuman Keras; 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 96/Men.Kes/Per/V/1977 tentang Wadah, Pembungkus, Penandaan serta Periklanan Kosmetika dan Alat Kesehatan; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 79/Men.Kes/Per/II/78 tentang Label dan Periklanan Makanan; 7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 240/Men.Kes/Per/V/85 tantang Pengganti Ari Susu Ibu; 8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 246/Men.Kes/Per/V/90 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional 9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 376/Men.Kes/Per/XIII/ 90 tentang Bahan, Zat Warna, Zat Pengawet dan Tabir Surya pada Kosmetika. 10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 760/Men.Kes/Per/IX/92 tantang Fitofarmaka; 11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 193/Kab/B.VII/71 tentang Pembungkusan dan Penandaan Obat; 12. Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 02240/B/SK/VII/91 tentang Pedoman Persyaratan Mutu serta Label dan Periklanan Makanan. Mengingat pula : 1. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2967; 2. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Penerangan Nomor 252/Men.Kes/SKB/VI/1980 dan Nomor 122/Kep/Men.Pen/1980 tentang Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat, Obat Tradisional, MakananMinuman, Kosmetika dan Alat Kesehatan. MEMUTUSKAN: MENETAPKAN : Pertama Keputusan Menteri Kesehatan tentang pedoman periklanan : obat bebas, obat tradisional, alat kesehatan, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan-minuman. Kedua Mengesahkan dan memberlakukan:
2
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
3
a. Pedoman Periklanan Obat Bebas sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 Keputusan ini. b. Pedoman Periklanan Obat Tradisional, sebagaimana tercantum dalam Lampiran 2 Keputusan ini. c. Pedoman Periklanan Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, sebagaimana tercantum dalam Lampiran 3 Keputusan ini. d. Pedoman Periklanan Makanan-Minuman sebagaimana tercantum dalam Lampiran 4 Keputusan ini. Ketiga
Semua iklan obat bebas, obat tradisional, alat kesehatan, kosmetika, perbekalan kesehatan rumah tangga dan makanan-minuman, wajib mengacu pada Pedoman Periklanan sebagaimana dimaksud dalam amar kedua.
Keempat Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam keputusan ini dikenakan sanksi administratif dan atau sanksi hukum lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelima
Pedoman Periklanan sebagaimana dimaksud dalam amar kedua dapat ditinjau dan ditetapkan kembali apabila dipandang perlu.
Keenam Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Keputusan ini akan diatur kemudian oleh Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Ketujuh
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dan akan ditinjau dan disesuaikan kembali apabila terdapat kekeliruan.
Ditetapkan di J A K A R T A Pada tanggal 21 April 1994 METERI KESEHATAN Prof.DR.Suyudi LAMPIRAN-1 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 386/MEN.KES/SK/IV/1994 TENTANG : PEDOMAN PERIKLANAN: OBAT BEBAS, OBAT TRADISIONAL, ALAT KESEHATAN, KOSMETIKA, PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DAN MAKANAN-MINUMAN. PEDOMAN PERIKLANAN OBAT BEBAS
3
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
4
DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI 1994 LATAR BELAKANG 1. Obat mempunyai kedudukan yang khusus dalam masyarakat karena merupakan produk yang diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun demikian, penggunaan yang salah, tidak tepat dan tidak rasional dapat membahayakan masyarakat. 2. Untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan penggunaan obat yang salah, tidak tepat dan tidak rasional akibat pengaruh promosi melalui iklan, Pemerintah melaksanakkan pengendalian dan pengawasan terhadap penyebaran informasi obat, termasuk periklanan obat. Dalam periklanan obat, masalah yang dihadapi relatif kompleks karena aspek yang dipertimbangkan tidak hanya menyangkut kriteria etis periklanan, tetapi juga menyangkut manfaat-resikonya terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat luas. Oleh karena itu isi, struktur maupun format pesan iklan obat perlu dirancang dengan tepat agat tidak menimbulkan presepsi dan interprestasi yang salah oleh masyarakat luas. DASAR HUKUM 1. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. 2. Undang-undng Nomor 21 tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 1967. 3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 242/Men.Kes/SK/V/1990 tentang Wajib Daftar Obat Jadi. 4. Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Penerangan RI Nomor 252/Men.Kes/SKB/VII/1980 dan Nomor 122/Kep/Men.Pen/1980 tentang Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat, Obat Tradisional, MakananMinuman, Kosmetika dan Alat Kesehatan. 5. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 193/Kab/B.VII/71 tentang Pembungkusan dan Penandaan Obat. 6. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 133/Men.Kes/SK/II/1993 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengendalian Obat, Obat Tradisional, Makanan-Minuman, Kosmetika, Alat Kesehatan dan Insektisida. PETUNJUK TEKNIS Secara umum iklan obat harus mengacu pada "Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia", tetapi khusus untuk hal-hal yang bersifat teknis medis, maka penerapannya harus didasarkan pada pedoman ini.
4
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
5
A. UMUM 1. Obat yang dapat diiklankan kepada masyarakat adalah obat yang sesuai peraturan perundang-undangnan yang berlakku tergolong dalam obat bebas atau obat bebas terbatas, kecuali dinyatakan lain. 2. Obat dimaksud dalam butir (1) dapat diiklankan apabila telah mendapat nomor persetujuan pendaftatan dari Departemen Kesehatan RI. 3. Iklan obat dapat dimuat di media periklanan setelah rancangan iklan tersebut disetujui oleh Departemen Kesehatan RI. 4. Nama obat yang dapat diiklankan adalah nama yang disetujui dalam pendaftaran. 5. Iklan obat hendaknya dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk pemilihan penggunaan obat bebas secara rasional. 6. Iklan obat tidak boleh mendorong penggunaan berlebihan dan penggunaan terus menerus. 7. Informasi mengenai produk obat dalam iklan harus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam pasal 41 ayat (2) Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan sebagai berikut: a. Obyektif: harus memberikan informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh menyimpang dari sifat kemanfaatan dan keamanan obat yang telah disetujui. b. Lengkap: harus mencantumkan tidak hanya informasi tentang khasiat obat, tetapi juga memberikan informasi tentang hal-hal yang harus diperhatikan, misalnya adanya kontra indikasi dan efek samping. c. Tidak menyesatkan: informasi obat harus jujur, akurat, bertanggung jawab serta tidak boleh memanfaatkan kekuatiran masyarakat akan suatu masalah kesehatan. Disamping itu, cara penyajian informasi harus berselera baik dan pantas serta tidak boleh menimbulkan persepsi khusus di masyarakat yang mengakibatkan penggunaan obat berlebihan atau tidak berdasarkan pada kebutuhan. 8. Iklan obat tidak boleh ditujukan untuk khalayak anak-anak atau menampilkan anak-anak tanpa adanya supervisi orang dewasa atau memakai narasi suara anak-anak yang menganjurkan penggunaan obat. 9. Iklan obat tidak boleh menggambarkan bahwa keputusan penggunaan obat diambil oleh anak-anak. 10. Iklan obat tidak boleh diperankan oleh tenaga profesi kesehatan atau aktor yang berperan sebagai profesi kesehatan dan atau menggunakan "setting" yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium. Iklan obat tidak boleh memberikan pernyataan superlatif, komparatif tentang indikasi, kegunaan/manfaat obat. 11. Iklan obat tidak boleh : a. Memberikan anjuran dengan mengacu pada pernyataan profesi kesehatan mengenai khasiat, keamanan dan mutu obat (misalnya, "Dokter saya merekomendasi …..").
5
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
6
b. Memberikan anjuran mengenai khasiat, keamanan dan mutu obat yang dilakukan dengan berlebihan. 12. Iklan obat harus memuat anjuran untuk mencari informasi yang tepat kepada profesi kesehatan mengenai kondisi kesehatan tertentu. 13. Iklan obat tidak boleh menunjukkan efek/kerja obat segera sesudah penggunaan obat. 14. Iklan obat tidak menawarkan hadiah ataupun memberikan pernyataan garansi tentang indikasi, kegunaan/manfaat obat. 15. Iklan Obat harus mencantumkan spot peringatan perhatian sebagai berikut: BACA ATURAN PAKAI - JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER Kecuali untuk iklan vitamin spot peringatan perhatian sebagai berikut: - BACA ATURAN PAKAI 16. Ketentuan minimal yang harus dipenuhi oleh spot peringatan perhatian dalam butir (15) adalah sebagai berikut: a. Untuk Media Televisi : Spot iklan harus dicantumkan dengan tulisan yang jelas terbaca pada satu screen/gambar terakhir dengan ukuran minimal 30% dari screen dan ditayangkan minimal 3 detik. b. Untuk Media Radio: Spot iklan harus dibacakan pada akhir iklan dengan jelas dan dengan nada suara tegas. c. Untuk Media Cetak: Spot dicantumkan dengan ketentuan sebagai berikut: OBAT BACA ATURAN PAKAI JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER BACA ATURAN PAKAI JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER
Jenis Huruf (font) : Helvetika, Medium Ukuran Huruf : 18 pts Jarak Baris (leading) : 18 (100%) Profesional Jarak Kata (letter spacing) : Normal (100%) Jarak Huruf (work spacing) : Normal (0%) VITAMIN BACA ATURAN PAKAI BACA ATURAN PAKAI
6
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
7
Jenis Huruf (font) : Helvetika, Medium Ukuran Huruf : 18 pts Jarak Baris (leading) : 18 (100%) Profesional Jarak Kata (letter spacing) : Normal (100%) Jarak Huruf (work spacing): Normal (0%) Ukuran kotak spot tersebut harus dibuat proporsiaonal (antara spot dan halaman iklan) sehingga spot tersebut terlihat mencolok. 17. Iklan obat harus mencantumkan informasi mengenai: a. Komposisi zat aktif obat dengan nama INN (khusus media cetak); untuk media lain, apabila ingin menyebutkan komposisi zat aktif, harus dengan nama INN. b. Indikasi utama obat dan informasi mengenai keamanan obat. c. Nama dagang obat. d. Nama industri farmasi. e. Nomor pendaftaran (khusus untuk media cetak) B. KHUSUS 1. VITAMIN - Iklan vitamin harus dalam konteks sebagai suplemen makanan pada keadaan tubuh tertentu, misalnya keadaan sesudah sakit/operasi, masa kehamilan dan menyusui serta lanjut usia. - Iklan vitamin tidak boleh terkesan memberikan anjuran bahwa vitamin dapat menggantikan makanan (substitusi), atau vitamin mutlak dibutuhkan sehari hari pada keadaan dimana gizi makanan sudah cukup. - Iklan vitamin tidak boleh memberi kesan bahwa pemeliharaan kesehatan (umur panjang, awet muda, kecantikan) dapat tercapai hanya dengan penggunaan vitamin. - Iklan vitamin tidak boleh memberi informasi secara langsung atau tidak langsung bahwa penggunaan vitamin dapat menimbulkan energi, kebugaran, peningkatan nafsu makan, pertumbuhan dan kecerdasan, mengatasi stres, ataupun peningkatan kemampuan seks. a. VITAMIN C 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk: a. mengatasi kekurangan vitamin C seperti pada sariawan dan perdarahan gusi. b. untuk keadaan dimana kebutuhan akan vitamin C meningkat seperti pada keadaan sesudah operasi, sakit, hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan dan lansia. 2. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum.
7
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
8
b. MULTIVITAMIN DAN MINERAL 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk pencegahan dan mengatasi kekurangan vitamin dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan serta lansia. 2. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 2. OBAT PEREDA SAKIT DAN PENURUN PANAS a. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk meringankan rasa sakit misalnya: sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot; dan atau menurunkan panas. b. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 3. OBAT FLU a. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk meredakan gejala flu seperti demam, sakit kepada, hidung tersumbat dan pilek. b. Mencantumkan informasi bahwa penggunaan obat flu yang mengandung antihistamin dapat menyebabkan ngantuk. c. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 4. OBAT ASMA a. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk meringankan gejala sesak napas karena asma. b. Mencantumkan informasi bahwa gejala sesak napas telah pasti karena asma, dan penggunaan obat tidak boleh lebih dari dosis yang dianjurkan. c. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 5. OBAT BATUK a. ANTITUSIF 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk meredakan batuk yang tidak berdahak. 2. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. b. EKSPEKTORAN 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk meredakan batuk yang berdahak. 2. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. c. ANTITUSIF+EKSPEKTORAN + ANTIHISTAMIN 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk meredakan batuk berdahak yang disertai pilek. 2. Mencantumkan informasi bahwa penggunaan obat yang mengandung antihistamin dapat menyebabkan ngantuk. 3. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum.
8
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
9
6. ANTASIDA a. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk mengatasi gejala sakit maag seperti: perih, kembung, mual. b. Mencantumkan informasi bahwa makan teratur dapat mengurangi gejala sakit maag. c. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 7. OBAT CACING a. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk pengobatan infeksi kecacingan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui oleh Departemen Kesehatan. b. Mencantumkan informasi agar menjaga kebersihan badan, makanan dan lingkungan. c. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 8. OBAT JERAWAT a. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk membantu menghilangkan jerawat. b. Mencantumkan informasi bahwa menjaga kebersihan muka secara teratur membantu menghindarkan timbulnya jerawat. c. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 9. OBAT GOSOK 1. OBAT GOSOK DENGAN TUJUAN UNTUK DIHIRUP UAPNYA a. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk penggunaan lokal pada kulit dan untuk dihirup uapnya serta untuk meredakan gejala pilek pada orang dewasa dan anak-anak. b. Mencantumkan informasi agar menghentikan penggunaan obat bila terjadi alergi kulit. c. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 2. OBAT GOSOK DENGAN TUJUAN UNTUK ANALGESIA LOKAL 1. Iklan hanya bolek diindikasikan sebagai obat gosok untuk meringankan gejala-gejala flu, otot kaku dan nyeri, gatal-gatal serta gigitan serangga. 2. Mencantumkan informasi agar menghentikan penggunaan obat bila terjadi alergi kulit. 3. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 10. OBAT KULIT (TOPPIKAL) 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk mengatasi infeksi karena jamur sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui Departemen Kesehatan. 2. Mencantumkan informasi agar menjaga kebersihan tubuh untuk menghindari penyakit kulit. 3. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum.
9
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
10
11. OBAT ANTIHISTAMIN (TOPIKAL) 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk mengurangi gejala alergi kulit seperti: kaligata, gigitan serangga dan meringankan kulit terbakar karena sinar matahari serta biang keringat. 2. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 12. OBAT TETES MATA 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk meredakan iritasi mata yang ringan. 2. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 13. OBAT TETES HIDUNG 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk meringankan hidung tersumbat karena pilek. 2. Mencantumkan spot peringatan perhatian seprrti pada ketentuan umum. 14. OBAT KUMUR 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk melegakan sakit tenggorokan dan membantu menjaga higiene mulut. 2. Mencantumkan informasi untuk menjaga kesehatan mulut, perlumenggosok gigi dengan teratur. 3. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 15. OBAT LUKA 1. Iklan hanya boleh diindikasikan pengobatan pertama dan mencegah timbulnya infeksi pada luka-luka ringan seperti: lecet, terkelupas, tergores, luka khitan, perawatan tali pusat bayi. 2. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 16. OBAT LAKSANS/PENCAHAR 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk mengatasi sembelit (susah buang air besar) 2. Mencantumkan informasi obat pencahar hanya digunakan bila benar benar diperlukan, dan hanya untuk penggunaan jangka pendek. 3. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum.
-
17. OBAT PERJALANAN 1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk mencegah mabok perjalanan. 2. Mencantumkan informasi bahwa tidak dianjurkan dipergunakan oleh orang yang sedang menjalankan motor dan mesin karena dapat menyebabkan ngantuk 3. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 18. OBAT WASIR
10
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
11
1. Iklan hanya boleh diindikasikan untuk pengobatan simtomatik yang berhubungan dengan hemoroid atau membantu meringankan rasa sakit yang berhubungan dengan kondisi anorektal. 2. Mencantumkan spot peringatan perhatian seperti pada ketentuan umum. 19. Iklan obat dari golongan terapetik lain yang belum disebutkan di atas, materinya harus memenuhi ketentuan sesuai dengan klim yang disetujui pada waktu pendaftaran obat tersebut. LAMPIRAN-2 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 386/MEN.KES/SK/IV/1994 TENTANG : PEDOMAN PERIKLANAN: OBAT BEBAS, OBAT TRADISIONAL, ALAT KESEHATAN, KOSMETIKA, PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DAN MAKANAN-MINUMAN. PEDOMAN PERIKLANAN OBAT TRADISIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI 1994 LATAR BELAKANG 1. Obat tradisional mempunyai kedudukan yang khusus dalam masyarakat, karena merupakan warisan budaya bangsa di bidang kesehatan. Obat tradisional diperlukan masyarakat, terutama untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, memelihara keelokan tubuh serta kebugaran. Disamping itu ada beberapa yang dapat digunakan utuuk mengobati penyakit. 2. Dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya keinginan masyarakat untuk menggunakan obat tradisional, maka obat tradisional tidak lagi menjadi ramuan yang dibuat untuk keperluan keluarga, tetapi sudah menjadi barang dagangan. Obat tradisional seperti obat, merupakan barang yang mempunyai sifat khusus, karena itu penanganannya termasuk periklanannya perlu pengamanan khusus. 3. Untuk melindungi masyarakat terhadap obat tradisional yang tidak tepat dan atau merugikan kesehatan, maka penandaan dan informasi termasuk iklan obat tradisional, harus memenuhi persyaratan obyektifitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan. 4. Oleh karena itu Departemen Kesehatan melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap penyebaran informasi obat tradisional termasuperiklanan obat tradisional.
11
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
12
DASAR HUKUM 1. Undang-undang nomor 10 tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 1 tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-undang. 2. Undang-undang nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 4 tahun 1967 Undang-Undang Nomor 21 tahun 1982. 3. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Kesehatan. 4. Keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Penerangan RI nomor 252/Men.Kes/SKB/VII/1980 dan nomor 122/Kep/Men.Pen/1980 tentang pengendalian dan pengawasan Iklan Obat, Makanan Minuman, Kosmetika dan Alat Kesehatan. 5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 246/Men.Kes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional. 6. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 760/Men.Kes/Per/IX/1992 tentang Fitofarmaka.
PETUNJUK TEKNIS Iklan obat tradisional secara umum harus mengacu pada "Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia" dan khusus untuk hal-hal yang bersifat teknis, maka penerapannya harus didasarkan pada pedoman ini: A. UMUM 1. Obat tradisional dapat diiklankan apabila telah mendapat nomor persetujuan pendaftaran dari Departemen Kesehatan RI. 2. Iklan Obat tradisional dapat dimuat pada media periklanan setelah rancangan iklan tersebut mendapat persetujuan dari Departemen Kesehatan RI. 3. Iklan Obat tradisional tidak boleh mendorong penggunaan obat tradisional tersebut secara berlebihan. 4. Iklan Obat tradisional tidak boleh diperankan oleh tenaga kesehatan atau seseorang yang berperan sebagai profesi kesehatan dan atau menggunakan setting yang beratribut profesi kesehatan atau laboratorium. 5. Informasi mengenai produk obat tradisional dalam iklan harus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam pasal 41 ayat (2) Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan sebagai berikut; a. Obyektif : harus memberikan informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh menyimpang dari sifat kemanfaatan dan keamanan obat tradisonal yang telah disetujui. b. Lengkap: harus mencantumkan tidak hanya informasi tentang khasiat dan kegunaan obat tradisional, tetapi juga memberikan informasi
12
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
13
tentang hal-hal yang harus diperhatikan, misalnya adanya kontra indikasi, efek samping, pantangan dan lainnya. c. Tidak menyesatkan : informasi obat tradisional harus jujur, akurat, bertanggung jawab serta tidak boleh memanfaatkan kekuatiran masyarakat akan suatu masalah kesehatan.Disamping itu, cara penyajian informasi harus baik dan pantas serta tidak boleh menimbulkan persepsi khusus di masyarakat yang mengakibatkan penggunaan obat tradisional yang berlebihan dan tidak benar. 6. Iklan obat tradisional tidak boleh menggunakan kata-kata: super, ultra, istimewa, top, tokcer, cespleng, manjur dan kata-kata lain yang semakna yang menyatakan khasiat dan kegunaan berlebihan atau memberi janji bahwa obat tradisional tersebut pasti menyembuhkan. 7. Iklan obat tradisonal tidak boleh memuat pernyataan kesembuhan dari seseorang, anjuran atau rekomendasi dari profesi kesehatan, peneliti, sesepuh, pakar, panutan dan lain sebagainya. 8. Iklan obat tradisional tidak boleh menawarkan hadiah atau memberikan pernyataan garansi tentang khasiat dan kegunaan obat tradisonal. 9. Iklan obat tradisional tidak boleh menampilkan adegan, gambar, tanda, tulisan dan atau suara dan lainnya yang dianggap kurang sopan. 10. Iklan obat tradisional todak boleh mencantumkan gambar simplisia yang tidak terdapat dalam komposisi obat tradisional yang disetujui. 11. Iklan yang berwujud artikel yang menguraikan tentang hasil penelitian harus benar-benar berkaitan secara langsung dengan bahan baku (simplisia) atau produknya, dan informasi tersebut harus mengacu pada hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. 12. Pada setiap awal iklan obat tradisional dicantumkan identitas kata "JAMU" dalam lingkaran. 13. Pada setiap akhir iklan obat tradisional harus mencantumkan spot peringatan sebagai berikut: BACA CARA PEMAKAIAN 14. Ketentuan minimal yang harus dipenuhi untuk peringatan pada butir (13) sebagai berikut: a. Untuk media televisi, spot iklan harus dicantumkan dengan tulisan yang jelas terbaca pada satu gambar teakhir dengan ukuran minimal 30% dari layar kaca dan ditayangkan minimal 3 detik. b. Untuk media radio, spot iklan harus dibacakan dengan jelas dengan nada suara tegas, pada akhir iklan. c. Untuk media cetak, spot iklan dicantumkan dengan ketentuan sebagai berikut: - Tulisan harus jelas terbaca dan terlihat menyolok. - Huruf yang digunakan harus merupakan huruf kapital, hitam dan tebal (bold letter) - Ukuran huruf minimal harus sama dengan huruf body copy
13
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
14
- Diberi kotak tepi hitam 15. Iklan obat tradisional khusus untuk media cetak harus mencantumkan nomor pendaftaran. 16. Dilarang mengiklankan obat tradisional yang dinyatakan berkhasiat untuk mengobati atau mencegah penyakit kanker, tuberkolosis, poliomelitis, penyakit kelamin, impotensi, tiphus, kolera, tekanan darah tinggi, diabetes, lever dan penyakit lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. B. KHUSUS 1. GOLONGAN SEHAT PRIA a. Obat tradisional yang termasuk golongan sehat pria seperti Sehat Perkasa, Pria Perkasa, Pria Jantan, dan lain sebagainya, hanya boleh mencantumkan kegunaan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui pada pendaftaran. b. Iklan obat tradisional ini dilarang memberikan informasi bahwa jamu ini mempunyai kegunaan sebagai aprodisiak atau meningkatkan kejantanan, kecuali bila pada etiket disetujui pencatuman klim tersebut. c. Iklan Jamu ini dilarang memberikan informasi bahwa penggunaan jamu ini akan memberikan penampilan prima, memberikan energi yang berlebih. d. Kata-kata merukunkan suami-istri dan semakna dilarang dicantumkan dalan iklan obat tradisional ini. 2. GOLONGAN SEHAT WANITA a. Obat tradisional yang termasuk golongan sehat wanita hanya boleh mencantumkan kegunaan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui pada pendaftaran. b. Iklan obat tradisional golongan sehat wanita, dilarang memberikan informasi atau menjanjikan dapat mengubah penampilan wanita menjadi lebih ayu, umur panjang dan kata-kata lain yang semakna. c. Iklan jamu ini dilarang memberikan informasi bahwa penggunaan jamu ini akan meberikan penampilan prima, memberikan energi yang berlebih. 3. GOLONGAN GALIAN SINGSET a. Iklan obat tradisional yang termasuk golongan galian singset, hanya boleh mencantumkan kegunaan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui pada pendaftaran. b. Iklan obat tradisional golongan galian singset dilarang memberikan informasi atau menjanjikan dapat mengubah bentuk badan menjadi langsing dan montok dengan sekejap. c. Iklan obat tradisional ini harus memberikan informasi tentang hal-hal yang tidak diinginkan yang kemungkinan timbul akibat minum jamu tersebut seperti: mencret, lemas dan lain-lain.
14
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
15
4. GOLONGAN JAMU KEPUTIHAN a. Iklan obat tradisional yang termasuk golongan keputihan, hanya boleh mencantumkan kegunaan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui pada pendaftaran. b. Iklan obat tradisional golongan keputihan, tidak boleh mencantumkan informasi atau menjanjikan dapat mengobati segala macam keputihan, kecuali bila pada etiket disetujui pencantuman klim tersebut. c. Kata-kata merukunkan suami istri dan yang semakna, dilarang dicantumkan dalam iklan obat tradisional ini. 5. GOLONGAN HAID TERATUR a. Iklan obat tradisional yang termasuk golongan haid teratur, hanya boleh mencantumkan kegunaan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui pada pendaftaran. b. Iklan obat tradisional golongan haid teratur dilarang memberikan informasi baik secara langsung atau tidak langsung yang akan memberi akibat merugikan pada peminumnya. Dari pengalaman ada yang menggunakan obat tradisional ini untuk menggugurkan anak yang tidak diinginkan, yang berakibat lahir bayi cacat badan. 6. GOLONGAN HABIS BERSALIN a. Iklan obat tradisional yang termasuk golongan habis bersalin, hanya boleh mencantumkan kegunaan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui pada pendaftaran. b. Iklan obat tradisional golongan ini, sangat dianjurkan untuk memberikan informasi yang dapat merangsang peminumnya agar memperbaiki gizi, sehingga kondisi ibu dan anak akan meningkat. 7. GOLONGAN PELANCAR ASI a. Iklan obat tradisional yang termasuk golongan pelancar ASI, hanya boleh mencantumkan kegunaan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui pada pendaftaran. b. Iklan obat tradisional golongan ini, dilarang memberikan memberikan informasi atau menjanjikan dapat mengencangkan dan atau memperbesar payudara atau kata-kata lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat mengubah payudara menjadi montok. 8. GOLONGAN JERAWAT Iklan obat tradisional golongan jerawat, hanya boleh memberikan informasi untuk meringankan atau mengobati jerawat, atau indikasi lain yang disetujui pada pendaftaran. 9. GOLONGAN PEGAL LINU a. Iklan obat tradisional yang termasuk golongan pegel linu, hanya boleh
15
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
16
mencantumkan kegunaan sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui pada pendaftaran. b. Iklan obat tradisional golongan ini, dilarang memberikan informasi atau menjanjikan kesembuhan untuk penyakit rematik dan sejenisnya. Jamu ini hanya terbatas untuk mengurangi rasa capai dan mengobati gejala masuk angin. 10. GOLONGAN PAREM Iklan obat tradisional golongan parem, hanya boleh diinformasikan untuk mengurangi rasa capai, pegal dan indikasi lain yang disetujui pada pendaftaran. 11. GOLONGAN DEMAM Iklan obat tradisional golongan demam, hanya boleh memberikan informasi untuk meringankan sakit seperti : greges-greges, meriang, sakit kepala, menurunkan panas dan indikasi lain yang berhubungan dengan demam. 12. GOLONGAN PENCAHAR a. Iklan obat tradisional golongan pencahar, hanya boleh memberikan informasi untuk pengobatan susah buang air besar. b. Iklan obat tradisional golongan pencahar dilarang memberikan informasi penggunaan untuk menguruskan badan atau untuk melangsingkan tubuh. c. Iklan obat tradisional golongan pencahar sangat dianjurkan untuk memberikan informasi : - Penggunaan pencahar, hanya bila benar-benar diperlukan. - Membiasakan makan buah-buahan, sayuran, dan makanan berserat lainnya. 13. GOLONGAN SARIAWAN, SAKIT TENGGOROKAN ATAU OBAT KUMUR a. Iklan obat tradisional golongan sariawan, sakit tenggorokan atau obat kumur, hanya boleh memberikan informasi untuk pengobatan sariawan, sakit tenggorokan dan atau higiene mulut, sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui pada pendaftaran. b. Iklan obat tradisional yang penggunaannya tidak boleh ditelan, supaya memberikan informasi penggunaannya secara jelas. c. Iklan obat tradisional golongan ini sangat dianjurkan untuk memberikan informasi tentang pentingnya menjaga kebersihan mulut. 14. GOLONGAN SAKIT KULIT, LUKA DAN GATAL Iklan obat tradisional golongan sakit kulit, luka dan gatal, hanya boleh memberikan informasi untuk pengobatan penyakit kulit sesuai dengan tujuan penggunaan yang disetujui pada pendaftaran.
16
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
17
15. GOLONGAN WASIR Iklan obat tradisional golongan wasir hanya boleh memberikan informasi untuk mengobati gejala dan atau meringankan sakit yang berhubungan dengan wasir. 16. GOLONGAN ULU HATI a. Iklan obat tradisional yang termasuk golongan ulu hati, hanya boleh memberikan informasi untuk meringankan gejala sakit ulu hati seperti mual, kembung, nyeri dan lainnya. b. Iklan obat tradisional golongan ini, sangat dianjurkan untuk memberikan informasi yang dapat merangsang peminumnya agar membiasakan makan teratur dan hidup teratur. PENUTUP 1. Iklan obat tradisional lainnya yang belum diatur dalam Pedoman Periklanan Obat Tradisional ini, materinya harus memenuhi ketentuan sesuai dengan klim yang telah disetujui pada pendaftaran obat tradisional tersebut. 2. Iklan Fitofarmaka (Obat tradisional yang telah didukung uji fitofarmaka), akan diatur kemudian.
LAMPIRAN-3 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 386/MEN.KES/SK/IV/1994 TENTANG : PEDOMAN PERIKLANAN: OBAT BEBAS, OBAT TRADISIONAL, ALAT KESEHATAN, KOSMETIKA, PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DAN MAKANAN-MINUMAN. PEDOMAN PERIKLANAN ALAT KESEHATAN, KOSMETIKA, PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI 1994 LATAR BELAKANG 1. Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga sudah merupakan suatu kebutuhan masyarakat yang umumnya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari.
17
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
18
2. Penggunaan Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang salah, berlebihan, tidak tepat atau tidak rasional dapat merugikan kesehatan pemakainya. 3. Untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan peredaran Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang tidak memenuhi syarat akibat label dan periklanan yang tidak benar atau menyesatkan, pemerintah melaksanakan pengendalian dan pengawasan Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga antara lain melalui pengendalian dan pengawasan terhadap penyebaran informasi atau promosi melalui periklanan. DASAR HUKUM 1. Undang-undang nomor 10 tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 1 tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-undang. 2. Undang-undang nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 4 tahun 1967 Undang-Undang nomor 21 tahun 1982. 3. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Kesehatan. 4. Keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Penerangan RI nomor 252/Men.Kes/SKB/VIII/1980 dan nomor 122/Kep/Men.Pen/1980 tentang Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat, Makanan Minuman, Kosmetika dan Alat Kesehatan. 5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 220/Men.Kes/Per/IX/1976 tentang Produksi dan Peredaran Kosmetika dan Alat Kesehatan. 6. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 96/Men.Kes/Per/V/1977 tentang Wadah, Pembungkus, Penandaan serta Periklanan Kosmetika dan Alat Kesehatan 7. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 376/Men.Kes/Per/XIII/1990 tentang Bahan, Zat Warna, Zat Pengawet dan Tabir Surya pada Kosmetika. 8. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 140/Men.Kes/Per/III/1991 tentang Wajib Daftar Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. 9. Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 133/Men.Kes/SK/II/1993 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Pengendalian Obat, Obat Tradisional, Makanan-Minuman, Kosmetika, Alat Kesehatan dan Insektisida. KETENTUAN UMUM Sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang dimaksud dengan : 1. Alat kesehatan adalah bahan, instrumen, aparatus, mesin, implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis,
18
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
19
menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. 2. Kosmetika adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidemis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin luar). Gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit. 3. Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga adalah alat, bahan, atau campuran untuk pemeliharaan dan perawatan kesehatan untuk manusia, hewan peliharaan rumah tangga dan tempat-tempat umum. PETUNJUK TEKNIS A. UMUM 1. Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dapat diiklankan apabila sudah mendapat nomor pendaftaran dari Departemen Kesehatan RI. 2. Informasi iklan harus sesuai dengan data pendaftaran dan keterangan lain yang disetujui pada pendaftaran. 3. Iklan Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga harus : a. Obyektif, yaitu menyatakan hal yang benar sesuai dengan kenyataan. b. Tidak menyesatkan, tidak berlebihan perihal asal, sifat, kualitas, kuantitas, komposisi, kegunaan, keamanan dan batasan sebagai Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. c. Lengkap, yaitu tidak hanya mencantumkan informasi tentang kegunaan tetapi juga memberikan informasi tentang peringatan dan hal-hal lain yang harus diperhatikan oleh pemakai. Misalnya : Cara penanggulangan bila terjadi kecelakaan. 4. Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga tidak boleh diiklankan dengan menggunakan rekomendasi dari suatu laboratorium, instansi pemerintah, organisasi profesi kesehatan atau kecantikan dan atau tenaga kesehatan. 5. Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga tidak boleh diiklankan dengan penggunakan peragaan tenaga kesehatan atau yang mirip dengan itu. 6. Kosmetika tidak boleh diiklankan seolah-olah sebagai obat. 7. Iklan Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga harus mendidik dan sesuai dengan norma kesusilaan yang ada. B. KHUSUS
19
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
20
1. ALAT KESEHATAN 1. Produk/barang yang tidak disetujui pendaftarannya sebagai alat kesehatan tidak boleh diiklankan seolah-oleh produk/barang dimaksud adalah alat kesehatan. 2. Pembalut Wanita/Sanitary Napkin) Iklan pembalut wanita (sanitary napkin) supaya disesuaikan dengan estetika dan tata krama ketimuran. 3. Kondom a. Iklan kondom tidak boleh mendorong penggunaan untuk tujuan asusila b. Iklan kondom supaya disesuaikan dengan estetika dan tata krama ketimuran c. Iklan kondom harus disertai spot "IKUTI PETUNJUK PEMAKAIAN". 4. Ketentuan yang harus dipenuhi spot: a. Untuk media televisi: Spot iklan harus dicantumkan dengan tulisan yang jelas terbaca pada satu screen/gambar terakhir. b. Untuk media radio: Spot iklan harus dibacakan pada akhir iklan dengan jelas dan dengan nada suara tegas. c . Untuk media cetak: Spot iklan harus dengan tulisan yang jelas terbaca. 2. KOSMETIKA 1. Kosmetika tidak boleh diiklankan dengan menggunakan kata-kata "mengobati", "menyembuhkan" atau kata lain yang semakna seolah-olah untuk mengobati suatu penyakit. 2. Kosmetika tidak boleh diiklankan seolah-oleh dapat mempengaruhi fungsi fisiologis dan atau metabolisme tubuh. Contoh: - Melancarkan peredaran darah - Melansingkan tubuh. 3. Kosmetika yang mengandung bahan yang tidak jelas kegunaannya tidak boleh diiklankan yang menyatakan kegunaan dari bahan tersebut. Contoh: Minyak rambut urang-aring dapat menyuburkan rambut. 4. Kosmetika yang tidak mengandung bahan aktif tidak dapat diiklankan dengan menyatakan kegunaan dari bahan aktif yang dimaksud. Contoh: - Sampo yang tidak mengandung bahan anti ketombe diiklankan dapat menghilangkan ketombe. - Sabun mandi yang tidak mengandung bahan antiseptik diiklankan dapat membunuh kuman. 5. Kosmetika yang dibuat dengan bahan alami tertentu hanya dapat diiklankan mengandung bahan alami dimaksud. 6. Kosmetika yang mengandung bahan kimia tidak boleh diiklankan sebagai kosmetika tradisional 7. Kosmetika yang mengandung vitamin yang berfungsi bukan sebagai vitamin tidak boleh diiklankan dengan menyatakan fungsi vitamin tersebut dalam sediaan kosmetika dimaksud. 8. Kosmetika yang mengandung bahan tabir surya tidak boleh diiklankan dengan menyebutkan nilai SPF (Sun Protector Factor) bila tujuan
20
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
21
penggunaan kosmetika tersebut bukan untuk berjemur. 9. Iklan kosmetika tidak boleh diperagakan dan atau ditujukan untuk bayi, kecuali kosmetika golongan sediaan bayi. 10. Untuk kosmetika jenis tertentu yaitu : - pewarna rambut - pelurus/pengeriting rambut - depilatori - pemutih kulit - anti jerawat - sampo anti ketombe - deodorant dan anti perspiran - sediaan lainnya yang mengandung bahan kimia yang mempunyai persyaratan keamanan sesuai dengan peraturan yang berlaku, harus disertai spot : "IKUT PETUNJUK PEMAKAIAN DAN PERINGATAN DISERTAKAN". YANG 11. Ketentuan yang harus dipenuhi spot: a. Untuk media televisi : Spot iklan harus dicantumkan dengan tulisan yang jelas terbaca pada satu screen/gambar terakhir. b. Untuk media radio: Spot iklan harus dibacakan pada akhir iklan dengan jelas dan dengan nada suara tegas. c. Untuk media cetak: Spot iklan harus dengan tulisan yang jelas terbaca. 3. PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA 1. Pemutih Cucian Pemutih cucian tidak boleh diiklankan seolah-olah hasil penggunaannya menjadi bebas kuman sama sekali 2. Pembersih Lantai Pembersih lantai tidak boleh diiklankan seolah-olah menghasilkan lantai bebas kuman dan aman. 3. Antiseptika dan Desinfektan a. Antiseptika dan desinfektan tidak boleh diiklankan seolah-olah setelah penggunaan dimaksud hasilnya dijamin telah bebas kuman. b. Antiseptika dan desinfektan tidak boleh menganjurkan penggunaan yang berlebihan. c. Antiseptika dan desinfektan tidak boleh diiklankan sebagai lysol dan atau kreolin bila tidak memenuhi persyaratan yang berlaku. 4. Pestisida Rumah Tangga (termasuk Insektisida) a. Iklan pestisida Rumah Tangga tidak boleh bertentangan dengan ketentuan periklanan Pestisida dari Departemen Pertanian Republik Indonesia b. Pestisida Rumah Tangga tidak boleh diiklankan dengan menyebutkan kata-kata "aman", tidak berbahaya" atau kata-kata lain yang semakna yang dapat ditafsirkan salah terhadap keamanannya. c. Pestisida Rumah Tangga tidak boleh diiklanlan dengan menyebutkan kata "ampuh" atau kata lain yang semakna yang dapat ditafsirkan
21
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
22
berlebihan terhadap kegunaannya. d. Pestisida Rumah Tangga tidak boleh diiklankan dengan menyebutkan dan atau menggambarkan penggunaannya selain yang disetujui Departemen Pertanian RI. Contoh : Pembasmi Serangga e. Pestisida Rumah Tangga tidak boleh diiklankan seperti produk Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga lain sehingga dapat ditafsirkan salah terhadap keamanannya. Contoh : - Pestisida Rumah Tangga bentuk aerosol diiklankan sebagai Air Freshener. - Anti nyamuk (insect repellent) diiklankan dapat menghaluskan kulit. 5. Iklan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga tertentu seperti sediaan antiseptika/desinfektan, pestisida rumah tangga, pemutih cucian dan pembersih tertentu harus disertai spot: " IKUTI PETUNJUK PEMAKAIAN, PERINGATAN, DAN CARA PENANGGULANGAN BILA TERJADI KECELAKAAN". 6. Ketentuan yang harus dipenuhi spot: a. Untuk media televisi : Spot iklan harus dicantumkan dengan tulisan yang jelas terbaca pada satu screen/gambar terakhir. b. Untuk media radio : Spot iklan harus dibacakan pada akhir iklan dengan jelas dan dengan nada suara tegas. c. Untuk media cetak : Spot iklan harus dengan tulisan yang jelas terbaca.
LAMPIRAN-4 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR : 386/MEN.KES/SK/IV/1994 TENTANG : PEDOMAN PERIKLANAN: OBAT BEBAS, OBAT TRADISIONAL, ALAT KESEHATAN, KOSMETIKA, PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA DAN MAKANAN-MINUMAN. PEDOMAN PERIKLANAN MAKANAN-MINUMAN DIREKTORAT JENDERAL PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DEPARTEMEN KESEHATAN RI 1994 LATAR BELAKANG
22
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
23
1. Makanan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia, oleh karena itu makanan yang beredar di masyarakat harus aman dan memenuhi stnadar mutu dan persyaratan kesehatan. 2. Makanan yang diberi label harus memuat informasi yang benar dan tidak menyesatkan. 3. Untuk melindungi masyarakat konsumen terhadap kemungkinan peredaran makanan yang tidak memenuhi syarat akibat label dan periklanan yang tidak benar atau menyesatkan, pemerintah melaksanakan pengendalian dan pengawasan makanan antara lain melalui pengendalian dan pengawasan terhadap penyebaran informasi atau promosi melalui periklanan makanan. DASAR HUKUM 1. Undang-undang nomor 11 tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang nomor 4 tahun 1967 Undang-Undang nomor 21 tahun 1982. 2. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 329/Men.Kes/Per/XII/79 tentang Produksi dan Peredaran Makanan. 3. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 76/Men.Kes/Per/XII/75 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Susu Kental Manis. 4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 86/Men.Kes/Per/IV/77 tentang Minuman Keras. 5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 79/Men.Kes/Per/II/77 tentang Label dan Periklanan Makanan. 6. Keputusan bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Penerangan RI nomor 252/Men.Kes/SKB/VIII/1980 dan nomor 122/Kep/Men.Pen/1980 tentang Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat, Makanan Minuman, Kosmetika dan Alat Kesehatan. 7. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 240/Men.Kes/Per/V/85 tentang Pengganti Air Susu Ibu. 8. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan nomor 02240/B/SK/VII/91 tentang Pedoman Persyaratan Mutu Serta Label dan Periklanan Makanan. PETUNJUK TEKNIS A. UMUM 1. Makanan yang dapat diiklankan kepada masyarakat adalah makanan yang memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Makanan yang terkena wajib daftar hanya boleh diiklankan setelah mendapat nomor persetujuan pendaftaran dari Departemen Kesehatan RI. 3. Iklan makanan harus menyatakan informasi yang benar dan tidak menyesatkan.
23
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
24
4. Iklan makanan yang dibuat dengan bahan alami tertentu hannya boleh diiklankan sebagai berasal dari bahan alami tersebut, apabila makanan itu mengandung bahan alami yang bersangkutan tidak kurang dari kadar makanan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Contoh : Sari Apel; Apel Juice - Adalah produk cair yang keruh atau jernih yang diperoleh dari buah apel. - Padatan, jumlah tidak kurang dari 10% 5. Iklan makanan yang menyerupai atau dimaksudkan sebagai pengganti jenis makanan tertentu harus menyebutkan nama bahan yang digunakan.Contoh susu kedelai. 6. Iklan makanan boleh mencantumkan pernyataan "DIPERKAYA" atau "KAYA" sumber vitamin dan mineral bila pada sejumlah makanan yang biasa dikonsumsi satu hari terdapat paling sedikit ½ dari jumlah yang dianjurkan (RDA/AKG). 7. Pernyataan makanan berkalori dapat diiklankan bila makanan tersebut dapat memberikan mimimun 300 Kcal per hari. 8. Iklan makanan tidak boleh dimuat dengan ilustrasi peragaan maupun kata-kata yang berlebihan, sehingga dapat menyesatkan konsumen. 9. Kalimat, kata-kata, nama, lambang, logo, gambar, referensi, nasehat, peringatan atau pernyataan untuk periklanan tidak boleh menyesatkan, mengacaukan, atau menimbulkan penafsiran yang salah mengenai, asal dan sifat, isi dan komponen, serta mutu dan kegunaan. Misalnya: Segar : Perkataan segar hanya boleh digunakan untuk makanan yang diproses, berasal dari satu ingredien dan menggambarkan makanan yang belum mengalami penurunan mutu secara keseluruhan. Alami : Perkataan tersebut hanya boleh digunakan untuk bahan mentah, produk yang tidak dicampur dan tidak diproses. Murni : Hanya boleh digunakan bila produk tidak ditambah apa-apa. Dibuat dari : Hanya boleh digunakan bila produk yang bersangkutan seluruhnya terdiri dari satu bahan. 10. Iklan makanan tidak boleh menjurus ke pendapat bahwa makanan yang bersangkutan berkhasiat sebagai obat. 11. Makanan yang dibuat sebagian atau tanpa bahan pokok alami tidak boleh diiklankan seolah-olah makanan yang bersangkutan seluruhnya dibuat dari bahan alami. 12. Makanan yang dibuat dari bahan yang telah mengalami pengolahan, tidak boleh diiklankan dengan cara yang dapat memberi kesan seolah-olah makanan itu dibuat dari bahan segar. 13. Iklan makanan tidak boleh dengan sengaja menyatakan seolah-olah makanan yang berlabel gizi mempunyai kelebihan dari makanan yang tidak berlabel gizi. 14. Iklan makanan tidak boleh memuat pernyataan nilai khusus pada makanan apabila nilai tersebut tidak seluruhnya berasal dari makanan tersebut, tetapi
24
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
25
sebagian diberikan oleh makanan lain yang dapat dikonsumsi bersama-sama (seperti nilai kalori pada makanan serealia untuk sarapan yang biasanya dimakan dengan susu dan gula). 15. Iklan makanan tidak boleh menyatakan bahwa makanan seolah-olah merupakan sumber protein, kecuali 20% kandungan kalorinya berasal dari protein dan atau kecuali jumlah yang wajar dikonsumsi per hari mengandung tidak kurang 10 gram protein. B. KHUSUS 1. HASIL OLAH SUSU a. Iklan susu kental manis, susu skim dan "Filled Milk", tidak boleh diiklankan untuk bayi (sampai dengan 12 bulan). b. Iklan susu kental manis, susu skim dan "Filled Milk" harus mencantumkan spot peringatan yang berbunyi "PERHATIAN! TIDAK COCOK UNTUK BAYI". Dan jika menggunakan media radio spot tersebut harus dibacakan dengan jelas. c. Iklan susu krim penuh harus mencantumkan spot peringatan "PERHATIKAN! TIDAK COCOK UNTUK BAYI BERUMUR DIBAWAH 6 BULAN". 2. PENGGANTI AIR SUSU IBU (PASI) ATAU SUSU BAYI ATAU INFANT FORMULA Pengganti Air Susu Ibu (PASI) atau susu bayi atau infant formula dilarang dipromosikan dan diiklankan dalam bentuk apapun, kecuali dalam journal kesehatan. 3. MINUMAN KERAS (MINUMAN BERALKOHOL) a. Iklan tidak boleh mempengaruhi atau merangsang orang untuk mulai minum minuman keras. b. Iklan minuman keras tidak boleh menggambarkan penggunaan minuman keras dalam kegiatan-kegiatan yang memerlukan konsentrasi (perlu informasi bahwa penggunaannya dapat membahayakan keselamatan). c. Iklan minuman keras tidak boleh ditujukan terhadap anak dibawah usia 16 tahun dan atau wanita hamil, atau menampilkan mereka dalam iklan. d. Minuman keras golongan C (dengar kadar alkohol 20% sampai dengan 55%) dilarang diiklankan. 4. VITAMIN a. Iklan vitamin harus dalam konteks sebagai suplemen makanan pada keadaan tubuh tertentu, misalnya keadaan sesudah sakit/operasi, masa kehamilan dan menyusui serta lanjut usia. b. Iklan vitamin tidak boleh terkesan memberikan anjuran bahwa vitamin dapat menggantikan makanan (subtitusi), atau vitamin mutlak dibutuhkan sehari-hari pada keadaan di mana gizi makanan sudah cukup. c. Iklan vitamin tidak boleh memberi kesan bahwa pemeliharaan kesehatan (umur panjang, awet muda, kecantikan) dapat tercapai hanya dengan penggunaan vitamin.
25
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012
26
d. Iklan vitamin tidak boleh memberi informasi secara langsung atau tidak langsung bahwa penggunaan vitamin dapat menimbulkan energi, kebugaran, peningkatan nafsu makan dan pertumbuhan mengatasi stres, ataupun peningkatan kemampuan seks. e. Iklan makanan boleh mencantumkan adanya vitamin dan mineral apabila pada sejumlah makanan yang biasa dikonsumsi satu hari terdapat vitamin atau mineral tidak kurang dari 1/6 dari jumlah yang dianjurkan (AKG). f. Iklan makanan boleh mencantumkan mengandung lebih dari satu vitamin atau mineral apabila setiap vitamin atau mineral tersebut terdapat dalam proporsi yang sesuai (AKG). 5. MAKANAN PELENGKAP (FOOD SUPPLEMENT) DAN MINERAL Iklan hanya boleh untuk pencegahan dan mengatasi kekurangan makanan pelengkap dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil dan menyusui, serta lanjut usia. 6. MAKANAN DIET a. Makanan Diet Rendah Natrium dapat diiklankan apabila kadar natrium tidak lebih dari setengah kandungan natrium yang terdapat pada produk normal yang sejenis, dan tidak lebih dari 120 mg/100g produk akhir. b. Makanan Diet Sangat Rendah Natrium dapat diiklankan apabila kadar natrium tidak lebih dari 40 mg/100 g produk akhir. c. Makanan Kurang Kalori dapat diiklankan apabila mengandung tidak lebih dari setengah jumlah kalori produk normal jenis yang sama. d. Makanan Rendah Kalori dapat diiklankan apabila mengandung tidak lebih dari 15 kalori pada setiap porsi rata-rata dan tidak lebih dari 30 kalori pada jumlah yang wajar dimakan setiap hari. e. Makanan Diet Kurang Laktosa dapat diiklankan apabila diperoleh dengan cara mengurangi jumlah laktosa dengan membatasi penggunaan bahan-bahan yang mengandung laktosa. f. Makanan Diet Rendah Laktosa dapat diiklankan apabila mengandung laktosa tidak lebih dari 1/20 bagian dari produk normal. g. Makanan Diet Bebas Gluten dapat diiklankan apabila diperoleh dari serealia yang dihilangkan glutennya. h. Iklan makanan dilarang mencantumkan bahwa suatu makanan dapat menyehatkan dan dapat memulihkan kesehatan. i. Iklan makanan boleh mencantumkan pernyataan ‘DAPAT MEMBANTU MELANGSINGKAN", jika nilai kalorinya 25% lebih rendah dibandingkan dengan makanan sejenisnya. j. Iklan makanan tidak boleh dinyatakan khusus unruk penderita diabetes kecuali: 1. tidak mengandung karbohidrat 2. berat karbohidrat pada komposisinya sangat kurang dibandingkan dengan makanan sejenisnya untuk penderita diabetes. k. Iklan makanan khusus untuk penderita diabetes tidak boleh dinyatakan tidak mengandung gula bila makanan tersebut mengandung karbohidrat. 7. Kata HALAL tidak boleh diiklankan.
26
Analisis yuridis..., Nenny Febriyanti, FH UI, 2012