UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN INTERVENSI SENAM KAKI DI RUANG RAWAT PENYAKIT DALAM GEDUNG TERATAI RSUP FATMAWATI JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
TIKA WIDOWATI 0906564302
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS DEPOK JULI 2014
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISA PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN INTERVENSI SENAM KAKI DI RUANG RAWAT PENYAKIT DALAM GEDUNG TERATAI RSUP FATMAWATI JAKARTA
KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Keperawatan
TIKA WIDOWATI 0906564302
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS DEPOK JULI 2014
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya ilmiah akhir ners ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama NPM
: Tika Widowati : 0906564302
Tanda Tangan: ....................... Tanggal : 12 Juli 2014
ii
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
HALAMAN PENGESAHAN
Karya ilmiah akhir Ners (KIAN) ini diajukan oleh: Nama : Tika Widowati NPM : 0906564302 Program Studi : Profesi Ners Judul KIAN : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Intervensi Senam Kaki di Ruang Rawat Penyakit Dalam Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners Keperawatan pada Program Studi Profesi Ners, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Penguji 1
: Ns. Arcellia Farosyah Putri, S.Kep., M.Sc
(
)
Penguji 2
: Ns. Khairul Nasri, S.Kep.
(
)
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 12 Juli 2014
iii
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayahNya saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIAN) ini dengan baik. Penulisan KIAN ini akhirnya dapat selesai penyusunan dengan judul “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Intervensi Senam Kaki di Ruang Rawat Penyakit Dalam Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta”. KIAN ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar Ners Keperawatan pada Jurusan Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dari dosen pembimbing dan berbagai pihak maka penyelesaian skripsi ini tidak akan mudah. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dra. Junaiti Sahar, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia; 2. Ibu Ns. Fajar Tri Waluyanti, M.Kep., Sp. Kep.An., selaku koordinator profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia; 3. Ibu Ns. Arcellia Farosyah Putri, S.Kep., M.Sc, selaku pembimbing KIAN yang telah membimbing, meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan ilmu untuk mengarahkan saya hingga selesai KIAN ini; 4. Bapak Ns. Khairul Nasri, S.Kep., selaku pembimbing klinik yang telah memfasilitasi, meluangkan waktu, tenaga, membagi pengalaman, dan memberikan arahan selama melakukan praktik klinik di lantai 5 utara Gedung Teratai RSUP Fatmawati; 5. Ibu Ns. Dwi Nurviyandari Kusuma Wati, S.Kep., M.N., selaku pembimbing akademik yang sejak awal perkuliahan hingga akhir penyusunan KIAN telah banyak memberi motivasi dan saran; 6. Kakak-kakak perawat lantai 5 utara Gedung Teratai RSUP Fatmawati yang telah membimbing selama praktik lapangan; 7. Bapak Ibu Dosen serta seluruh Staf Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memfasilitasi selama praktik profesi berlangsung; iv
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
8. Pihak Diklat dan Manajemen RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan izin untuk melakukan praktik klinik Keperawatan Medikal Bedah; 9. Pasien beserta keluarga yang dengan sabar berbagi pengalaman dan mempercayakan perawatan kepada saya; 10. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan, materi, doa, dan motivasi agar praktik profesi Ners dan penyusunan KIAN ini lebih mudah dan lancar; 11. Teman-teman satu bimbingan KIAN, Kak Anita, Kak Rita, dan Fany yang menjadi tempat bertukar pikiran dan keluh kesah; 12. Angkatan 2009 FIK UI yang MANDIRI, yang selalu menjadi inspirasi dan penyemangat dalam melakukan segala aktivitas dari awal praktik profesi hingga saat ini; 13. Keluarga Besar FIK48 yang selalu memberikan semangat dan tempat berbagi keluh kesah dalam menyelesaikan praktik profesi dan KIAN ini.
Saya berharap Allah SWT akan membalas bantuan dari seluruh pihak. Semoga penelitian ini dapat memberikan berkah dan manfaat bagi masyarakat, keperawatan, dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Depok, 12 Juli 2014
Penulis
v
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH AKHIR NERS UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Tika Widowati
NPM
: 0906564302
Program Studi : Profesi Ners Fakultas
: Fakultas Ilmu Keperawatan
Jenis karya
: Karya ilmiah akhir Ners (KIAN)
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Intervensi Senam Kaki di Ruang Rawat Penyakit Dalam Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan karya ilmiah akhir Ners saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 12 Juli 2014 Yang menyatakan,
(Tika Widowati) vi
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
ABSTRAK
Nama : Tika Widowati Program Studi : Profesi Ners Judul KIAN : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Intervensi Senam Kaki di Ruang Rawat Penyakit Dalam Gedung Teratai RSUP Fatmawati Jakarta Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit tidak menular yang banyak ditemui di kawasan perkotaan. Faktor risiko penyakit tersebut di wilayah perkotaan antara lain obesitas, penurunan aktivitas, dan tingkat stres. Glukosa darah yang tidak terkontrol dalam waktu yang berkepanjangan akan menimbulkan komplikasi jangka panjang, salah satunya, yaitu masalah kaki. Salah satu bentuk intervensi aktivitas fisik yang dapat diberikan kepada penderita diabetes melitus tipe 2 antara lain senam kaki. Senam kaki bermanfaat untuk melancarkan peredaran darah dan mencegah terjadinya komplikasi kaki yang masih jarang diterapkan di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis intervensi senam kaki untuk menurunkan glukosa darah dan meningkatkan sensitivitas kaki pasien diabetes melitus tipe 2 di Lantai 5 Utara, Gedung Teratai, RSUP Fatmawati. Hasil analisis intervensi menunjukan aktivitas fisik khususnya senam kaki efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah hingga 36 mg/dl. Intervensi keperawatan berupa senam kaki perlu dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus sebelum pemberian terapi medikasi. Kata kunci: aktivitas, diabetes melitus tipe 2, glukosa darah, perkotaan, senam kaki.
viii
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
ABSTRACT Name : Tika Widowati Study Program : Ners Title : Analysis of Urban Public Health Clinical Nursing Practice of Type 2 Diabetes Mellitus with Interventions Foot Exercise at Internal Medicine Ward Teratai Bulding RSUP Fatmawati Jakarta. Type 2 diabetes mellitus is a noncommunicable diseases that is mostly found in urban areas. The risk factors of diabetes in urban areas are obesity, decreased activity, and stress levels. Uncontrolled blood glucose in a prolonged time will cause long-term complications, one of them is foot problems. One of physical exercise intervention that can given to diabetes mellitus is foot exercise. Foot exercise can help blood circulation and prevent foot complication that is rarely applied at the hospital. This study aimed to analyze the foot exercise intervention to improve blood glucose and increase patient’s foot sensitivity with type 2 diabetes mellitus at 5th North Floor, Teratai Building, Fatmawati Hospital. The analysis of foot exercise intervention for diabetes patient shows that it can lower the blood glucose levels down to 36 mg/dl. Nursing intervention such as foot exercise is necessary to be given before medication therapy administration in diabetes mellitus. Keyword: activities, blood glucose, diabetes mellitus type 2, foot exercise, urban.
viii
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................i LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................ii LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................iii KATA PENGANTAR .................................................................................................iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...................................vi ABSTRAK .................................................................................................................vii ABSTRACT ...............................................................................................................viii DAFTAR ISI ..............................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR .................................................................................................xi DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................................xii 1. PENDAHULUAN .................................................................................................1 1.1. Latar Belakang ...............................................................................................1 1.2. Tujuan Penelitian ............................................................................................4 1.3. Manfaat Penelitian .........................................................................................4 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................6 2.1. Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) .............................6 2.2. Diabetes Melitus Tipe 2 ..................................................................................8 2.2.1. Definisi .................................................................................................9 2.2.2. Etiologi .................................................................................................9 2.2.3. Tanda dan Gejala ..................................................................................10 2.2.4. Komplikasi ...........................................................................................11 2.2.5. Pemeriksaan Diagnostik .......................................................................17 2.2.6. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Diabetes Melitus ...............20 2.2.7. Penatalaksanaan ...................................................................................23 2.3. Terapi Senam Kaki .........................................................................................25 2.3.1. Definisi Senam Kaki ............................................................................26 2.3.2. Prosedur Senam Kaki ...........................................................................27 3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ......................................................31 3.1. Pengkajian ......................................................................................................31 3.1.1. Identitas Pasien .....................................................................................31 3.1.2. Anamnesa .............................................................................................31 3.1.3. Pemeriksaan Diagnostik .......................................................................37 3.1.4. Daftar Terapi Medikasi .........................................................................38 3.2. Analisis Data ..................................................................................................38 3.2.1. Web of Caution (WOC) ........................................................................40 3.3. Rencana Asuhan Keperawatan dan Intervensi ...............................................41 3.4. Evaluasi Keperawatan ....................................................................................41 4. PEMBAHASAN ...................................................................................................43 4.1. Profil Lahan Praktik .......................................................................................43 4.2. Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP ....................44 ix
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
4.3. Analisis Kasus ................................................................................................45 4.3.1. Etiologi .................................................................................................45 4.3.2. Komplikasi ...........................................................................................46 4.3.3. Hasil Pemeriksaan Keperawatan ..........................................................48 4.3.4. Hasil Pemeriksaan Diagnostik .............................................................48 4.3.5. Penatalaksanaan ..................................................................................50 4.4. Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan ................................................50 5. PENUTUP .............................................................................................................53 5.1. Kesimpulan .....................................................................................................53 5.2. Saran ...............................................................................................................53 5.2.1. Penelitian Selanjutnya ..........................................................................53 5.2.2. Perawat .................................................................................................54 5.2.3. Bidang Pendidikan Keperawatan .........................................................54 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................55 LAMPIRAN
x
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Gerakan ke-1 Senam Kaki ....................................................................27 Gambar 2.2. Gerakan ke-2 Senam Kaki ....................................................................28 Gambar 2.3. Gerakan ke-3 Senam Kaki ....................................................................28 Gambar 2.4. Gerakan ke-4 Senam Kaki ....................................................................28 Gambar 2.5. Gerakan ke-5 Senam Kaki ....................................................................29 Gambar 2.6. Gerakan ke-6 Senam Kaki ....................................................................29 Gambar 2.7. Gerakan ke-7 Senam Kaki ....................................................................29 Gambar 2.8. Gerakan ke-10 Senam Kaki ..................................................................30 Gambar 3.1. Web of Causation (WOC)......................................................................40
xi
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Lampiran 2 Kurva Glukosa Darah Harian (KGDH) Lampiran 3 Daftar Terapi Medikasi Lampiran 4 Analisis Data Lampiran 5 Rencana Asuhan Keperawatan Lampiran 6 Catatan Keperawatan Lampiran 7 Contoh Media Leaflet Lampiran 8 Jurnal Referensi Lampiran 9 Daftar Riwayat Hidup
xii
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah kesehatan yang mengancam penduduk dunia biasanya dibagi menjadi dua, yaitu penyakit menular (PM) dan penyakit tidak menular (PTM). Namun, penyebab kematian terbanyak dunia di abad 21 ini bergeser menjadi PTM dibandingkan abad 20. Menurut laporan NCDs (Noncommunicable Diseases) dari World Health Organization atau WHO (2011), dari total 57 juta kematian di dunia, lebih dari setengahnya (63%) disebabkan oleh penyakit tidak menular. Penyakit tidak menular tesebut antara lain penyakit kardiovaskuler, diabetes, kanker, dan penyakit respirasi kronik. Diabetes menyebabkan 1,3 juta kematian di dunia tahun 2008 (WHO, 2011). Diabetes melitus (DM) juga banyak ditemukan di Indonesia khususnya kawasan perkotaan.
Diabetes melitus tipe 2 sudah menjadi masalah kesehatan yang umum ditemukan di masyarakat perkotaan Indonesia. Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan proporsi penduduk perkotaan usia ≥15 tahun, yaitu 6,8% menderita DM, 34,9% gula darah puasanya terganggu, dan 29,9% toleransi glukosa terganggu (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
(Litbang Kemenkes RI), 2013). Hal ini menunjukkan bahwa
walaupun hanya 6,8% masyarakat perkotaan yang terdiagnosa menderita DM namun lebih dari sepertiga masyarakat perkotaan mengalami keadaan pra-diabetes yang berisiko berkembang menjadi DM tipe 2. Indonesia diprediksi akan memiliki 21,3 juta penderita DM dan menjadi negara dengan populasi DM terbesar keempat setelah India, Cina, dan Amerika Serikat pada tahun 2030 (Wild, Roglic, Green, Sicree, & King, 2004). Diabetes tipe 2 memiliki karakteristik yang berbeda dengan diabetes tipe 1.
Perbedaan diabetes melitus tipe 1 dengan tipe 2 antara lain pada tipe 1, tubuh tidak memproduksi insulin sedangkan pada tipe 2, tubuh tidak dapat menggunakan insulin dengan tepat (American Diabetes Association (ADA), 1
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Universitas Indonesia
2
2014). DM tipe 1 umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan DM tipe 2 didapat saat dewasa (Kemenkes RI, 2013). Diabetes melitus tipe 2 merupakan gangguan metabolik akibat defisiensi produksi insulin, penurunan aksi insulin, dan peningkatan resisten insulin yang umumnya diderita oleh dewasa atau biasanya usia >30 tahun (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Sedangkan diabetes tipe 1 lebih banyak didiagnosa pada anak sehingga jumlah penderitanya lebih sedikit dibandingkan diabetes tipe 2. CDC (Centers for Disease Control and Prevention) (2008 dalam Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010) menyebutkan bahwa 90-95% penderita diabetes termasuk ke dalam jenis diabetes tipe 2. Sedangkan di ruang rawat penyakit dalam lantai 5 utara gedung teratai RSUP Fatmawati diketahui bahwa 26 pasien memiliki diagnosa medis pulang diabetes mellitus dari total 166 pasien yang pulang selama bulan Mei 2014. Penderita diabetes tipe 2 ini sangat rentan terhadap komplikasi masalah kesehatan yang sangat mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Komplikasi diabetes melitus tipe 2 dapat berupa komplikasi akut maupun komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut diabetes melitus yang mengancam jiwa antara lain hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, serta sindrome hiperglikemik dan hiperosmolar nonketonik. Sedangkan komplikasi jangka panjang berupa makrovaskular diabetik, mikrovaskular diabetik, neuropati diabetik, dan masalah kaki. Dari hasil penelitian literatur data dari Kemenkes dan Askes (Asuransi Kesehatan) diketahui bahwa komplikasi diabetes terbanyak di Indonesia adalah neuropati (78-13%), albuminuria (77,7-33%), mikrovaskular (53-27,6%), penurunan laju filtrasi glomerulus (43,7-7,5%), retinopati (42,6-17,2%), nefropati (26-7,3%), makrovaskular (20-16%), dan masalah kaki (24-7,3%) (Soewondo, Ferrario, & Tahapary, 2013). Data sequential sampling dari seluruh pasien diabetes di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2007 menunjukkan bahwa sebanyak 15% penderita DM akan menderita ulkus kaki seumur hidup dan 1224% akan mendapatkan amputasi (Soewondo, Ferrario, & Tahapary, 2013). Menurut Smeltzer, Bare, Hinkle, dan Cheever (2010) tujuan utama terapi diabetes adalah untuk menormalkan aktivitas insulin dan level glukosa darah untuk menurunkan perkembangan komplikasi vaskular dan neuropati salah satunya Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
3
karena 50% kasus amputasi ekstremitas bawah dapat dicegah dengan perawatan kaki dan latihan yang dilakukan secara teratur.
Penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari lima pilar menurut Smeltzer, Bare, Hinkle, dan Cheever (2010), yaitu terapi nutrisi, latihan, pemantauan kadar gula dan keton, terapi farmakologi, dan pendidikan kesehatan untuk mencapai tujuan terapetik. Tujuan terapetik diabetes melitus antara lain mencapai level gula darah tanpa hipoglikemi serta menjaga kualitas hidup tinggi. Namun, dari kelima penatalaksanaan diabetes melitus tersebut, penatalaksanaan latihan fisik masih belum banyak diterapkan di pelayananan kesehatan primer seperti rumah sakit di kawasan perkotaan dari hasil observasi peneliti selama melakukan praktik. Padahal aktifitas fisik yang tidak cukup menjadi faktor risiko tertinggi keempat dalam penyebab kematian dunia (WHO, 2010). Latihan fisik sangat penting bagi penatalaksanaan diabetes karena berefek dalam menurunkan gula darah dan menurunkan faktor risiko masalah kardiovaskuler (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Salah satu latihan fisik yang dapat dilakukan oleh penderita DM untuk mencegah komplikasi antara lain senam kaki.
Senam kaki merupakan latihan yang dilakukkan oleh penderita diabetes untuk mencegah
terjadinya
luka
dan
membantu
melancarkan
perdarahan
(Sumosardjuno, 2006 dalam Priyanto, 2012). Senam kaki dilakukan dengan menggerakkan lutut hingga jari-jari kaki. Latihan senam kaki ini dapat meningkatkan sensitivitas kaki dan menurunkan kadar gula darah pada kelompok intervensi pada penelitian Priyanto (2012). Lama intervensi senam kaki ini dilakukan minimal 3 kali seminggu dengan pengontrolan sensitivitas kaki dan kadar gula darah. Penelitian tersebut menggunakan rancangan pre dan post test goup design dengan group kontrol yang diamati terhadap penurunan kadar gula darah dan peningkatan sensitivas ujung telapak kaki sesudah melakukan senam kaki pada 125 lansia di Magelang tahun 2012.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti berniat melakukan analisis untuk mengetahui masalah keperawatan pada kasus hiperglikemia dan gangguan sensori Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
4
pada kaki pasien diabetes melitus dengan intervensi senam kaki terkait dengan konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan khususnya di ruang rawat penyakit dalam RS Fatmawati.
1.2. Tujuan Penulisan 1.2.1. Tujuan Umum Tujuan umum penulisan ini adalah untuk menggambarkan analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan pada pasien diabetes melitus di ruang penyakit dalam gedung Teratai RSUP Fatmawati.
1.2.2. Tujuan Khusus a. Melakukan analisis masalah keperawatan terkait kasus hiperglikemia dan gangguan sensori pada kaki pasien dengan diabetes melitus dengan konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan. b. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien diabetes melitus dengan hiperglikemia dan gangguan sensori pada kaki. c. Melakukan analisis intervensi senam kaki dalam menurunkan glukosa darah dan mengatasi gangguan sensori pada kaki pasien dengan diabetes melitus.
1.3. Manfaat Penulisan 1.3.1. Bagi Masyarakat Hasil ini dapat memberitahukan tentang cara untuk menurunkan glukosa darah dan mencegah komplikasi akibat gangguan sensori pada kaki penderita diabetes melitus yang dapat diaplikasikan dengan mudah serta efektif.
1.3.2. Bagi Pelayanan Keperawatan Hasil ini dapat digunakan sebagai masukan intervensi keperawatan untuk menurunkan kadar gula darah serta mencegah komplikasi akibat gangguan sensori pada kaki penderita diabetes melitus.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
5
1.3.3. Bagi Pendidikan Keperawatan Hasil ini diharapkan dapat menambah materi pembelajaran jenis intervensi keperawatan untuk menurunkan kadar gula darah serta mencegah komplikasi akibat gangguan sensori pada kaki penderita diabetes melitus.
1.3.4. Bagi Penelitian Keperawatan Hasil ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian tentang intervensi keperawatan pada penderita diabetes melitus khususnya latihan aktifitas fisik.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) Masalah kesehatan masyarakat di perkotaan berbeda dengan masalah kesehatan di pedesaan. Kesehatan di area pedesaan berkaitan dengan lingkungan, pekerjaan, kecelakaan, dan jarak menuju pelayanan kesahatan (Allender, Rector, & Warner, 2010). Masalah lingkungan di pedesaan berhubungan dengan kegiatan pertanian dan risiko masalah kesehatan yang berkaitan dengan gaya hidup pedesaan. Sedangkan kesehatan perkotaan merupakan karakteristik lingkungan yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat yang tinggal di kota besar (Allender, Rector, & Warner, 2010). Perawat memiliki peran terdepan dalam mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan tersebut. Masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat perkotaan dapat dipengaruhi oleh karakteristik demografi, lingkungan, ekonomi, dan karakteristik sosial masyarakat perkotaan.
Perkotaan secara demografi dan lingkungan memiliki beberapa ciri. Salah satu diantaranya perkotaan dikenal memiliki akses fasilitas umum yang mudah, jumlah penduduk yang lebih padat, dan sebagian besar penduduk termasuk ke dalam tahap usia dewasa produktif dengan tingkat pendidikan formal lebih banyak dibandingkan pedesaan (Stanhope & Lancaster, 2014). Litbang Kemenkes RI (2013) membagi keterjangkauan fasilitas kesehatan berdasarkan waktu tempuh (≤15 menit, 16-30 menit, 31-60 menit, dan >60 menit) dan biaya transportasi menuju fasilitas kesehatan (≤ Rp 10.000; >Rp 10.000-50.000; dan >Rp 50.000). Masyarakat perkotaan mudah untuk mengakses fasilitas umum seperti pelayannan telekomunikasi, transportasi umum, perbelanjaan, dan pelayanan kesehatan. Perkotaan dikenal juga sebagai tempat tinggal tanpa persawahan (Stanhope & Lancaster, 2014). Maka masyarakat perkotaan akan sulit menemukan tempat aktifitas di luar ruangan untuk memancing, memanjat gunung, atau berburu binatang. Sehingga hubungan sosial dan tingkat ekonomi masyarakat perkotaan memiliki kekhususan.
6
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Universitas Indonesia
7
Perkotaan memiliki karakteristik khusus jika dilihat berdasarkan aspek sosial dan ekonomi. Menurut Allender, Rector, dan Warner (2010) kehidupan masyarakat perkotaan lebih tidak saling berhubungan antara orang lain termasuk keluarga dan kurang saling percaya sehingga faktor pengaman kurang terbentuk di perkotaan. Hal ini menyebabkan banyak timbul kekerasan dan isolasi sosial di masyarakat perkotaan. Komunitas perkotaan terkenal dengan dukungan sosial yang bersifat negatif seperti obat-obatan terlarang dan geng (Stanhope & Lancaster, 2014). Kondisi sosial diperkotaan berkaitan dengan konsentrasi kemiskinan yang tinggi sehingga terlihat jelas kesenjangan sosial di perkotaan.
Faktor yang berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat perkotaan terdiri dari tiga hal dasar, yaitu lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan akses pelayanan kesehatan dan sosial (Galea & Vlahov, 2005 dalam Allender, Rector, & Warner, 2010). Masyarakat perkotaan menghadapi masalah penyakit, gangguan kesehatan, kekerasan, kejahatan, kelaparan, kemiskinan, penyalahgunaan obat, dan tunawisma dalam tingkat yang membahayakan (Lundy & Janes, 2009). Masalah perkotaan sebagian besar berhubungan dengan kecepatan pertumbuhan penduduk sehingga terjadi kekurangan ketersediaan air bersih, air tercemar, kekerasan dan kejahatan, kemiskinan, penyakit, kepadatan, diskriminasi ras, dan perumahan yang tidak adekuat (Lundy & Janes, 2009). Faktor-faktor tersebut meningkatkan risiko timbulnya masalah kesehatan yang salah satunya adalah diabetes melitus tipe 2.
Diabetes melitus menjadi salah satu penyakit tidak menular yang umum dijumpai di wilayah perkotaan karena berbagai faktor risiko yang mempengaruhinya. Urbanisasi merupakan salah satu ukuran peningkatan risiko diabetes karena berhubungan dengan perubahan diet, obesitas, penurunan aktivitas fisik, dan faktor lain seperti stres pada negara berkembang (Wild, Rogilc, Green, Sicree, & King, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi faktor risiko terjadinya diabetes melitus akibat perubahan gaya hidup masyarakat seperti perubahan pola makan, penurunan aktifitas, dan koping stres maladaptif. Hasil penelitian diabetes melitus tipe 2 di pasien rumah sakit area Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
8
perkotaan Ghana menunjukkan bahwa sebagian besar penderita DM tipe 2 berada pada usia pertengahan, status ekonomi bawah, dan memiliki karakteristik proporsi adiposa central tinggi, riwayat keluarga dengan DM, hipertensi, albuminuria, dan hiperlipidemia (Danquah, et al., 2012). Menurut penelitian Rhee, et al. (2005), HbA1c lebih tinggi pada pasien yang memiliki riwayat sulit mendapatkan perawatan kesehatan dibandingkan pasien yang biasa menggunakan fasilitas rawat jalan di populasi sosioekonomi rendah Afrika Amerika perkotaan. Perawat memiliki peran penting sebagai pekerja kesehatan yang profesional dalam mengatasi kondisi diabetes melitus di perkotaan tersebut.
Perawat memiliki peran penting dalam mengatasi masalah diabetes melitus di kawasan perkotaan. Perawat perkotaan yang profesional harus fokus kepada pencegahan primer, sekunder, dan tersier tingkat lokal dan komunitas, serta tingkat kota, nasional, hingga international dalam menghubungkan perubahan demi kebaikan bersama (Allender, Rector, & Warner, 2010). Oleh karena itu, perawat harus memahami terjadinya penyakit diabetes melitus tipe 2 karena perawat berperan dalam mencegah dan mengatasi masalah kesehatan di perkotaan.
2.2.Diabetes Melitus Tipe 2 Diabetes melitus tipe 2 diderita oleh 90% penderita diabetes di seluruh dunia (WHO, 2013). Menurut data Riskesdas 2013 dari Litbang Kemenkes (2013), prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosa dokter terbanyak usia 55-64 (5,5%), perempuan (2,3%), pendidikan tidak tamat SD (2,8%) dan tamat perguruan tinggi (2,8%), tidak bekerja (2,4%), wiraswasta (2,4%), tinggal di perkotaan (2,5%), dan status ekonomi atas (3,0%). Sedangkan dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah, proporsi diabetes melitus di perkotaan 6,8%. Secara keseluruhan, lebih dari sepertiga penduduk (36,6%) mengalami keadaan glukosa darah puasa terganggun (100-125mg/dl) dan 34,8% bertempat tinggal di perkotaan. Proporsi penduduk dengan toleransi glukosa terganggu (glukosa darah pasca pembebanan 140-199mg/dl) sebanyak 29,9% dengan proporsi perkotaan 29,9% dan proporsi perempuan lebih tinggi (32,7%) dibandingkan laki-laki Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
9
(25,0%). Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit tidak menular yang memiliki berbagai macam komplikasi yang menurunkan kualitas hidup penderitanya. Berikut penjelasan tentang etiologi, tanda dan gejala, komplikasi, penatalaksanaan, dan asuhan keperawatan pada pasien dengan diabtes melitus tipe 2.
2.2.1. Definisi Diabetes tipe 2 disebut juga dengan diabetes tidak tergantung insulin (noninsulin dependent diabetes mellitus/NIDDM) karena ketidakefektifan kerja insulin sebagian besar disebabkan oleh kelebihan berat badan dan kurangnya aktifitas fisik (WHO, 2013). Diabetes melitus tipe 2 merupakan masalah kesehatan pada tubuh yang menyebabkan peningkatan glukosa darah akibat tubuh tidak dapat menggunakan insulin dengan tepat atau disebut juga dengan resistensi insulin (ADA, 2014). Sedangkan menurut Depkes (Departemen Kesehatan) RI (2008), diabetes melitus tipe 2 didefinisikan sebagai defisiensi insulin relatif akibat penurunan sekresi insulin atau retensi insulin. Maka dapat disimpulkan bahwa diabetes melitus tipe 2 merupakan kondisi peningkatan glukosa darah akibat ketidakefektifan kerja insulin. Banyak faktor yang mengakibatkan ketidakefektifan kerja insulin tersebut.
2.2.2. Etiologi Diabetes melitus tipe 2 atau NIDDM merupakan gangguan kesehatan yang dipengaruhi oleh genetik serta lingkungan (Black & Hawks, 2009). Menurut Smeltzer, Bare, Hinkle,
dan Cheever (2010), diabetes melitus tipe 2
disebabkan oleh faktor keturunan, obesitas, dan lingkungan. Faktor genetika keturunan dibuktikan dengan munculnya diabetes melitus tipe 2 pada kembar identik (Black & Hawks, 2009).
Hal ini menunjukkan bahwa diabetes
melitus tipe 2 dapat menjadi penyakit keturunan di dalam keluarga. Faktor risiko kedua adalah obesitas karena 85% penderita diabetes melitus mengalami obesitas (Black & Hawks, 2009). Faktor risiko diabetes melitus di kawasan perkotaan Ghana terkuat antara lain keturunan dan obesitas.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
10
Hasil penelitian Danquah, et al. (2012) pada pasien di rumah sakit perkotaan Ghana dengan responden terbanyak usia dewasa dan status ekonomi bawah menunjukkan bahwa faktor risiko terkuat diabetes melitus merupakan riwayat keluarga DM serta adiposa abdominal. Alel TCF7L2 rs7903146 (T) merupakan faktor genetik yang paling tepat mempengaruhi penurunan DM tipe 2 pada ras Kaukasian di Ghana (Danquah, Othmer, Frank, Bedu-Addo, Schulze, & Mockenhaupt, 2013). Adiposa abdominal dihitung menggunakan perbandingan lingkar pinggang dan pinggul dengan nilai abnormal >0,90 untuk laki-laki dan 0,85 untuk perempuan. Sedangkan faktor risiko independen yang mempengaruhi DM tipe 2 antara lain pengangguran, tempat tinggal yang padat, perpanjangan waktu kerja, buta huruf, tempat tinggal di pinggir kota, peningkatan trigleserin (≥ 1,695 mmol/L), dan masukan karbohidrat harian rendah sesuai dengan komposisi masukan makronutrisi individu (Danquah, et al., 2012). Faktor risiko pengangguran, tempat tinggal yang padat, dan perpanjangan waktu kerja mungkin menggambarkan kondisi kehidupan yang penuh tekanan. Stres dapat menimbulkan asupan yang meningkat dan latihan yang kurang serta meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengganggu regulasi jaringan adiposa dan pankreas yang mengakibatkan resisten insulin. Sedangakan buta huruf dan tempat tinggal di pinggir kota mungkin menunjukkan ketidakadekuatan akses informasi kesehatan. Hiperlipidemia mungkin muncul akibat kombinasi status sosioekonomi rendah dan asupan makanan seperti yang rendah serat dan protein serta kaya karbohidrat sederhana, lemak, dan garam (Danquah, et al., 2012).
2.2.3. Tanda dan Gejala Diabetes melitus tipe 2 memiliki tahap perkembangan yang lambat sehingga kemungkinan dapat tidak terdeteksi ketika puncak intoleransi glukosa (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Hal ini menyebabkan penderita diabetes melitus tipe 2 hanya menyadari beberapa tanda dan gejala atau tidak ada manifestasi klinis dalam beberapa tahun (Black & Hawks, 2009). Pasien dengan diabetes melitus tipe 2 biasanya akan mengalami kelemahan, mudah Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
11
marah, peningkatan frekuensi urin (poliuria) dan peningkatan masukan cairan (polidipsia) akibat kehilangan cairan berlebih yang berhubungan dengan diuresis osmotik, penyembuhan luka yang buruk, infeksi vaginal, atau penglihatan buram jika tingkat glukosa darah sangat tinggi (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Pada tahap selanjutnya, pasien dengan diabetes melitus juga akan mengalami penurunan berat badan dan mudah lapar atau banyak makan (polifagi) (Black & Hawks, 2009). Polifagi merupakan hasil dari fase katabolisme akibat defisiensi insulin dan penghancuran protein dan lemak. Selain itu diabetes melitus menimbulkan kelelahan, kesemutan atau baal di tangan atau kaki, kulit kering, lesi di kulit, dan infeksi berulang. Namun jika ketoasidosis diabetikum (KAD) muncul maka penderita akan mengalami mual, muntah, atau nyeri perut (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
2.2.4. Komplikasi Komplikasi akut diabetes melitus antara lain hipoglikemi, KAD, dan sindrom hiperglikemi hiperosmolar nonketotik yang membutuhkan penanganan kegawatdaruratan.
a. Komplikasi Akut Hipoglikemi (turun hingga kurang dari 50-60 mg/dL) terjadi biasanya akibat terlalu banyak pemakaian agen insulin atau obat oral, makan sedikit, atau aktivitas fisik berlebihan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Klien biasanya merasakan gejala berkeringat, tremor, takikardi, palpitasi, gugup, dan lapar akibat stimulasi saraf simpatik yang mengeluarkan epinefrin dan norepinefrin pada hipoglikemi ringan. Hipoglikemi sedang mengakibatkan gangguan fungsi saraf serebral karena fungsi adrenergik yang menimbulkan ketidakmampuan
berkonsentrasi,
sakit
kepala,
berkunang-kunang,
kebingungan, hilang ingatan, bibir dan lidah mati rasa, sulit berbicara, gangguan koordinasi, perubahan emosional, perilaku irasional, pandangan ganda, dan mengantuk. Sedangkan hipoglikemi berat menyababkan perilaku
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
12
disorientasi, kejang, sulit tidur, hingga kehilangan kesadaran. Komplikasi akut selanjutanya, yaitu KAD atau ketoasidosis diabetik.
KAD disebabkan oleh jumlah insulin yang tidak adekuat sehingga menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang ditandai oleh hiperglikemi, dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dan asidosis (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Penatalaksanaan KAD lebih bertujuan untuk mengatasi dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan asidosis. Rehidrasi sangat penting untuk menjaga perfusi jaringan pada pasien dehidrasi serta mengganti cairan yang hilang akibat pengeluaran glukosa berlebihan di ginjal. Maka pemantauan volume cairan dengan tanda-tanda vital, pengkajian paru, dan pemantauan pemasukan dan pengeluaran cairan sangat dibutuhkan. Selanjutnya pemulihan elektrolit khususnya kalium menjadi fokus utama penatalaksanaan KAD karena hipokalemia dapat menyebabkan disritmia. Sedangkan asidosis diatasi dengan pemberian insulin karena dapat menghentikan pemecahan lemak sehingga akumulasi badan keton (asam) dapat dihentikan. Hiperglikemi yang tidak disertai oleh ketosis juga menjadi bentuk komplikasi akut DM tipe 2.
Sindrom hiperglikemi hiperosmolar nonketotik (SHHN) berbeda dengan KAD karena pada sindrom ini masih ditemukan insulin dalam kadar yang rendah namun masih dapat mencegah terjadinya pemecahan lemak (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Oleh karena itu, ketosis dan asidosis tidak muncul pada SHHN dan karakteristik sindrom ini memiliki onset lebih lama, yaitu beberapa hari. Pasien dengan SHHN memiliki manifestasi klinis hipotensi, tanda dehidrasi, takikardi, dan tanda neurologis seperti gangguan sensori, kejang, hingga hemifaresis. Penatalaksanaan sindrom ini secara keseluruhan sama dengan KAD, yaitu penggantian cairan, koreksi ketidakseimbangan elektrolit, dan pemberian insulin (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Sedangkan komplikasi kronis diabetes dibagi menjadi komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
13
b. Komplikasi Kronis Konsekuensi diabetes melitus tipe 2 yang tidak terdeteksi adalah komplikasi diabetes
jangka
panjang,
yaitu
makrovaskuler
dan
mikrovaskuler.
Komplikasi yang berhubungan dengan diabetes melitus antara lain penyakit jantung dan stroke, hipertensi, kebutaan, penyakit ginjal dan pembuluh darah, dan amputasi (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). Walaupun komplikasi kronis tidak memerlukan penanganan kegawatdaruratan namun komplikasi kronis akan dimiliki penderita DM seumur hidup serta mengganggu fungsi hampir seluruh sistem organ sehingga dapat menjadi penyabab utama kecacatan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Berikut akan dijelaskan komplikasi kronis DM berdasarkan ukuran pembuluh darah yang terganggu.
Komplikasi Makrovaskular
Komplikasi DM makrovaskuler, yaitu hasil perubahan pada pembuluh darah besar akumulasi arterosklerosis yang menyababkan penurunan suplai oksigen di organ yang tersumbat (penyakit arteri koroner, penyakit cerebrovaskular, dan penyakit vaskuler perifer). Infark miokard muncul pada 50-60% kematian penderita diabetes melitus (Smeltzer, Bare, Hinkle,
&
Cheever,
2010).
Manifestasi
komplikasi
penyakit
cerebrovaskuler hampir sama dengan komplikasi akut SHHN atau hipoglikemi, maka perlu dilakukan pemeriksaan kadar gula darah segera sebelum penatalaksanaan stroke dapat diberikan. Sedangkan manifestasi klinis gangguan pembuluh darah perifer pada DM antara lain hilangnya nadi perifer, klaudifikasi sementara (nyeri di bokong, paha, atau betis selama
berjalan).
menyebabkan
Oklusi
peningkatan
berat
pada
insiden
arteri gangren
ekstremitas yang
bawah
selanjutnya
mengakibatkan amputasi (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Pembuluh darah kapiler juga dapat mengalami penebalan sehingga menyebabkan perubahan membran yang disebut mikriangiopati.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
14
Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskuler DM antara lain diabetik retinopati, nefropati, neuropati, dan masalah kaki. Diabetik retinopati disebabkan oleh perubahan pembuluh darah kecil di retina sebagai area penangkap gambar dan mengirimkan informasi gambar ke otak (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Perubahan mikrovaskular tersebut antara lain mikroanurisma, hemoragik intraretinal, eksudat, dan penutupan kapiler. Menurut Hedayati, et al. (2012), diabetik retinopati merupakan prediktor penyakit arteri koroner yang kuat dan tingkat retinopati berhubungan dengan luas dan keparahan iskemik pada pasien DM tipe 2. Responden pada penelitian ini pernah dilakukan pemeriksaan ophthalmologist dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan single photon emission computed tomographic (SPECT) myocardial perfusion imaging (MPI) untuk mengevaluasi iskemik pembuluh darah. Maka pasien dengan atau tanpa tanda penyakit koroner, adanya diabetik retinopati meningkatkan risiko perfusi yang abnormal dan disarankan pasien dievaluasi menggunakan MPI (Hedayati, et al. 2012). Penatalaksanaan retinopati berfokus pada pencegahan primer dan sekunder antara lain dengan pengontrolan hipertensi, kadar glukosa, dan menghentikan kebiasaan merokok. Sedangkan
penatalaksanaan
lebih
lanjut,
yaitu
argon
laser
photocoagulation (retinopati), panretinal photocoagulation (risiko hemoragik),
atau
vitrectomy
(hemoragik
vitreous).
Intervensi
keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien retinopati antara lain pendidikan kesehatan tentang pencegahan dengan pemeriksaan mata rutin, kontrol gula darah, manajemen perawatan mata, dan penggunaan alat bantu bagi pasien dengan penurunan penglihatan. Mikroangiopati selanjutnya terjadi di organ ginjal.
Pasien DM tipe 2 biasanya kan berkembang menjadi gangguan ginjal dalam waktu 10 tahun setelah terdiagnosis DM (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Tanda dan gejala gagal ginjal pada pasien DM dan non DM sama, yaitu proses katabolisme akibat penurunan insulin, Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
15
hipoglikemi, dan gangguan multipel sistem (penurunan penglihatan, luka di kaki, gagal jantung, diare nokturnal). Hasil pemeriksaan diagnostik akan ditemukan mikroalbuminuria, nilai abnormal pada kreatinin dan BUN, dan hipertensi. Menurut Ayodele, Alebiosu, dan Salako (2014), terapi obat kurang efektif dan menyebabkan efek samping yang merugikan dibandingkan intervensi gaya hidup pada pencegahan nefropati. Modifikasi gaya hidup tersebut antara lain aktivitas fisik teratur dan menjaga berat badan. Latihan disarankan karena dapat menurunkan lemak total dan abdominal, memperbaiki tingkat lemak darah dan sensitivitas insulin, menurunkan tekanan darah, dan memperbaiki fungsi enditel vasodilator dan diastolik ventrikel kanan (Ayodele, Alebiosu, & Salako, 2014). Penatalaksanaan gagal ginjal pada DM terdiri dari kontrol hipertensi,
mencegah
infeksi
saluran
kemih,
menghindari
obat
nefrotoksik, merubah terapi medikasi sesuai fungsi ginjal, diet rendah garam, dan rendah protein (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Ayodele, Alebiosu, dan Salako (2014) menyebutkan bahwa target untuk kasus gagal ginjal kronis baru adalah mengontrol gula darah, lemak darah, tekanan darah, dan penggunaan ACE Inhibitor dan ARBs pada pasien dengan proteinurik. Hemodialisa (HD) bermanfaat dalam membantu mengurangi perpindahan cairan serta mempermudah dalam pemeriksaan dan memonitor ulang kondisi pasien.
Diabetik neuropati didefinisikan sebagai kelompok penyakit yang mempengaruhi semua jenis saraf termasuk saraf perifer, autonomik, dan spinal (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Saraf perifer yang paling sering tergangguan, yaitu ekstremitas bawah yang menyebabkan parestesia (sensasi tertusuk atau geli), sensasi terbakar, mati rasa, penurunan sensasi berat sehingga gaya berjalan berubah, dan terkadang tidak menunjukkan tanda gejala. Hasil pemeriksaan fisik biasanya akan menunjukkan penurunan refleks tendon dan sensasi getaran. Neuropati saraf perifer merupakan salah satu faktor signifikan terhadap risiko jatuh karena gangguan persepsi getaran, mengganggu kekuatan pergelangan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
16
kaki dan keseimbangan (Patel, Hyer, Tweed, Kerry, Allan, Rodin, & Barron, 2008). Penatalaksanaan neuropati antara lain dengan pemberian insulin dan kontrol glukosa darah untuk menghambat proses neuropati (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Neuropati saraf autonomik menyerang hampir seluruh sistem antara lain jantung, gastrointestinal, atau ginjal. Manifestasi yang ditimbulkan tergantung organ yang terkena, misalnya kardiovaskuler berupa takikardi, hipotensi ortostatik, iskemik miokard; gastrointestinal berupa penundaan pengosongan gaster (mual, muntah, kembung, diare); dan ginjal berupa retensi urin, penurunan sensasi kandung kemih, hingga infeksi kandung kemih. Penatalaksanaan neuropati autonomik fokus kepada mengurangi gejala dan modifikasi manajemen faktor risiko (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
Risiko masalah kaki lebih tinggi dialami oleh penderita diabetes disebabkan
oleh
sirkulasi
darah
kaki
dari
tungkai
terganggu,
berkurangnya sensitifitas kaki, dan daya tahan tubuh terhadap infeksi berkurang (Misnadiarly, 2006). Masalah kaki pada penderita DM merupakan kombinasi dari kotribusi dari komplikasi DM yang lain seperti neuropati, penyakit vaskular perifer, dan immunocompremise (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Sensori neuropati menyebabkan kehilangan sensasi nyeri dan tekanan dan autonomi neuropati meningkatkan kekeringan dan retak pada kulit serta menurunkan
keringat. Motor neuropati menyebabkan atropi otot
sehingga bentuk kaki berubah. Sirkulasi pembuluh darah perifer yang buruk pada ekstremitas bawah menyebabkan penyembuhan luka melambat
dan
menimbulkan
gangren.
Sedangkan
hiperglikemi
mengganggu kemampuan leukosit dalam menghancurkan bakteri sehingga pertahanan terhadap infeksi berkurang. Luka pada kaki biasanya disebabkan oleh rangsangan termal, kimia, atau traumatik dari benda asing.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
17
Penatalaksanaan medis dan keperawatan diperlukan untuk mencegah keparahan masalah kaki pada DM. Terapi ulkus kaki membutuhkan bed rest, antibiotik, debridemen, dan pengontrolan kadar glukosa. Amputasi dibutuhkan apabila infeksi sudah menyebar khususnya hingga tualng (osteomielitis) (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Penderita DM perlu diberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kaki yang dapat dilakukan secara mandiri atau dengan bantuan anggota keluarga yang lain. Kontrol glukosa darah penting untuk mencegah penurunan pertahanan infeksi dan neuropati diabteik (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
2.2.5. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik diabetes melitus menurut Doenges, Moorhouse, & Murr (2010) terdiri dari pemeriksaan darah, elektrolit, dan pemeriksaan diagnostik lain. Pemeriksaan darah terdiri dari glukosa serum, asam lemak (jenis alami dan senyawa lipid sintetik), osmolaritas serum (mengevaluasi keseimbangan cairan tubuh), glukagon (hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah), hemoglobin A1c (HbA1c), dan insulin serum. Dasar untuk menetapkan diagnosa diabetes melitus terdiri dari 3 pemeriksaan glukosa darah, yaitu gula darah puasa (GDP) (≥126 mg/dl), gula darah sewaktu (GDS) (≥200 mg/dl), dan gula darah 2 jam setelah pemberian glukosa anhydrous 75g dengan air atau test toleransi glukosa oral (TTGO) (≥200 mg/dl) (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Setelah diberikan terapi, maka diperlukan pemantauan terapi yang tercapai dan perlu melakukan penyesuaian dosis dengan pemeriksaan kadar glukosa darah menurut Perkeni (Perkumpulan Endokrin Indonesiatempat tinggal, 2011). Asam lemak dibakar tubuh untuk menghasilkan energi apabila glukosa sel tidak cukup sehingga menghasilkan ketone yang dapat meningkatkan asam di darah atau menyebabkan ketoasidosis. Osmolaritas meningkat menunjukkan dehidrasi sedangkan menurun menunjukkan kelebihan cairan atau KAD. Peningkatan glukagon berhubungan dengan kondisi hipoglikemi, kurang glukosa akibat trauma atau infeksi, atau kurang insulin. HbA1c menentukan berapa banyak glukosa telah Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
18
menempel pada bagian Hb dalam jangka waktu 3 sampai 4 bulan dengan 2 minggu
sebelumnya
paling
banyak
terukur.
Peningkatan
HbA1c
menunjukkan rata-rata kadar gula darah ≥200 mg/dl dan menunjukkan perlunya perubahan terapi. Pada DM tipe 2, insulin serum dapat menunjukkan nilai normal atau peningkatan yang dapat mengindikasikan ketidaksesuaian penggunaan terapi insulin. Selain pemeriksaan darah, elektrolit darah juga memerlukan pemantauan.
Pemeriksaan elektrolit darah terdiri dari sodium, potasium/kalium, fosfor, gas darah arteri, perhitungan darah lengkap, dan serum amilase (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). Sodium berperan dalam menjaga keseimbangan cairan dan neuromuskuler konduksi atau transmisi impuls dengan nilai normal, meningkat, atau menurun pada DM. Kalium merupakan kation utama cairan intraseluler dibutuhkan untuk mengatur tekanan osmotik intraseluler dan keseimbangan air; juga mengatur eksitabilitas neuromuskular; dan membantu dalam pemeliharaan keseimbangan asam-basa, sintesis protein, dan metabolisme karbohidrat. Kalium dapat meningkat bila menunjukkan perpindahan dari intrasel kemudian nilainya akan turun. Fosfor dibutuhkan untuk produksi energi, pemanfaatan karbohidrat dan lemak, dan sintesis protein dan aktivasi berbagai enzim dan hormon dengan nilai menurun pada DM. Penurunan pH dan bicarbonat menunjukkan asidosis metabolik. Penurunan Ht menunjukkan dehidrasi dan penurunan sel darah putih atau leukositosis terjadi akibat respon stres atau infeksi yang menimbulkan hemokonsentrasi. Serum amilase adalah enzim pencernaan yang diproduksi oleh pankreas, yang memecah karbohidrat dan pati dengan nilai meningkat sebagai indikasi akut pankreatitis sebagai penyebab KAD.
Pemeriksaan spesimen urin, sputum, dan drainase luka juga dilakukan pada DM selain pemeriksaan darah dan elektrolit (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). Pemeriksaan diagnostik urin digunakan untuk mengukur kadar gula apabila glukosa darah tidak memungkinkan karena glukosa urin dan glukosa darah tidak terlalu berhubungan. Selain itu, ketones juga menunjukkan nilai Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
19
positif pada KAD. Berat jenis urin dan osmolaritas yang meningkat juga menunjukkan tanda dehidrasi. Penderita DM biasanya juga dilakukan pemeriksaan kultur pada spesimen urin, sputum, dan drainase luka untuk menentukan sumber infeksi dan mengidentifikasi agen antimikroba yang tepat. Selain pemeriksaan laboratorium, dikenal juga pemeriksaan diagnostik kaki pada penderita diabetes.
Pemeriksaan diagnostik kaki penderita diabetes melitus dilakukan sebagai indikator penyakit arteri dengan cara memeriksa kuantitas derajat stenosis yang dikenal dengan Ankle-Brachial Index (ABI) atau Ankle-Arm Index (AAI). ABI merupakan rasio tekanan darah sistolik di pergelangan kaki dan tekanan darah sistolik di lengan karena peningkatan penyempitan arteri diikuti dengan penurunan tekanan sistolik distal pada daerah yang terkena (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Alat yang diperlukan antara lain spignomanomater dengan ukuran manset sesuai (biasanya 10 cm) dan dopler ultrasound. Prosedur pemeriksaannya, yaitu pasien diminta berbaring dengan posisi supine, manset spignomanometer dipasang di pergelangan kaki dengan mengidentifikasi arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis, tekanan sistolik diperoleh di kedua pergelangan kaki, dan doppler ultrasonografi digunakan untuk mengukur tekanan brakialis pada kedua lengan (kedua lengan dievaluasi karena pasien mungkin memiliki stenosis asimtomatik pada arteri subclavian, menyebabkan tekanan brakialis pada sisi yang terkena menjadi 20 mmHg atau lebih rendah dari tekanan sistemik). Tekanan abnormal rendah tidak boleh digunakan untuk penilaian (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Untuk menghitung ABI, tekanan tertinggi sistolik pergelangan kaki untuk setiap kaki dibagi dengan dua tekanan sistolik brachial. Nilai tekanan sistolik pergelangan kaki dan brakialis sama pada orang sehat (ABI 1,0). Pasien yang mengalami penurunan nilai ABI menjadi 0,95-0,50 menunjukkan ketidakcukupan perfusi dalam tingkat rendah hingga sedang (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Banyak faktor yang berkontribusi pada pemeriksaan ABI antara lain usia pasien, etnisitas, status kesehatan, serta
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
20
faktor-faktor lainnya (Xu, et al., 2010). Status kesehatan tersebut salah satunya penyakit diabetes melitus.
Komplikasi
diabetes
melitus
terjadi
pada
pembuluh
darah
yang
mengakibatkan perfusi tidak adekuat sehingga mempengaruhi nilai ABI. ABI dengan nilai <0,9 memiliki spesifikasi yang tinggi untuk mendiagnosa komplikasi mikrovaskular pada diabetes melitus tipe 2 namun memiliki sensitivitas yang rendah (Papanas, Symeonidis, Mavridis, Georgiadis, Papas, Lazarides, & Maltezos, 2007; Xu, et al., 2010). Penelitian Papanas, Symeonidis, Mavridis, Georgiadis, Papas, Lazarides, dan Maltezos (2007) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara penurunan nilai ABI < 0,9 dengan mikroalbuminuria, retinopati, serta retinopati pada diabetes melitus tipe 2. Sedangkan sensitifitas ABI rendah dipengaruhi oleh kalsinosis dinding arteri pada diabetes menyebabkan tekanan ekstrimitas bawah yang terlalu tinggi sehingga terjadi peningkatan ABI palsu atau meskipun terjadi stenosis, sirkulasi kolateral dapat mempertahankan aliran darah ke ekstremitas bawah luar obstruksi (Xu, et al., 2010). Namun, ABI sudah menjadi penanda penyakit makrovaskuler arterosklerotis pada diabetes melitus
yang
sudah
diterima
dan
penanda
pengganti
komplikasi
mikrovaskuler diabetes mellitus tipe 2 (Papanas, Symeonidis, Mavridis, Georgiadis, Papas, Lazarides, & Maltezos, 2007).
2.2.6. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Diabetes Melitus 2.2.6.1.
Pengkajian keperawatan untuk pasien dengan diabetes melitus
antara lain (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010): a. Aktivitas/istirahat. Pasien biasanya akan merasa lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun, dan gangguan tidur/istirahat. Sedangkan tanda yang dapat diamati anatara lain takikardi dan takipnea
pada keadaan istirahat atau dengan aktivitas, penurunan
kesadaran (letargi/disorientasi, koma), dan penurunan kekuatan otot.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
21
b. Sirkulasi Pasien biasanya memiliki riwayat hipertensi atau infark miokard akut, merasakan klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, dan penyembuhan yang lama. Hasil pemeriksaan sirkulasi akan menunjukkan takikardi, perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang menurun/tidak ada, disritmia, krekles, distensi vena jugularis, kulit panas, kering dan kemerahan, atau bola mata cekung. c. Integritas Ego Penderita diabetes biasanya mengalami stres, tergantung pada orang lain, atau memiliki masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi. Hasil observasi integritas ego didapatkan tanda pasien mengalami ansietas atau peka rangsang. d. Eliminasi Pasien akan mengalami perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri/terbakar saat kencing, kesulitan menahan berkemih (infeksi neurologis kandung kemih), infeksi saluran kencing baru/berulang, nyeri tekan abdomen, perut kembung, dan diare. Dari manifestasi klinis, data yang ditemukan antara lain urine encer, pucat, kuning, poliuria yang berkembang menjadi oliguria dan anuria jika hipovolemi berat muncul, urine berkabut (infeksi), bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun, atau hiperaktif (diare). e. Makanan/Cairan Pasien akan kehilangan napsu makan, haus, mual/muntah, tidak mengikuti diet; peningkatan masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari periode beberapa hari/minggu, mudah haus, dan penggunaan medikasi yang memperparah dehidrasi seperti diuretik. Pasien biasanya memiliki kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen, muntah, halitosis, berkeringat, atau bau napas aseton.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
22
f. Neurosensori Pasien akan mengeluh ingin pingsan, pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia, dan gangguan penglihatan. Jika terjadi peningkatan gula darah yang terlalu lama pasien akan mengalami kebingungan, disorientasi, mengantuk, letargi, stupor/koma (tahap lanjut), Reflek tendon dalam menurun, atau kejang (tahap lanjut dari KAD). g. Nyeri/Keamanan Pasien akan merasakan abdomen tegang/nyeri (sedang/berat) dan wajah tampak meringis dengan palpitasi dan tampak sangat berhatihati. h. Pernapasan Pasien akan Merasa kekurangan oksigen (tahap lanjutan KAD), batuk dengan atau tanpa sputum purulen (infeksi), takipnue, pernapasan kusmaul (asidosis metabolik), ronki, wheezing, atau mengeluarkan sputum berwarna kuning atau hijau. i. Keamanan Kulit akan terasa kering, gatal, ada bekas luka, kulit tidak utuh, dan terdapat lesi. Pasien juga akan merasakan parestesia (diabetik neuropati), demam, diaforesis, penurunan kekuatan umum dan rentan gerak sendi, serta terdapat kelemahan dan paralisis otot termasuk otot pernapasan (jika terdapat penurunan potasium yang bermakna). j. Seksualitas Wanita akan merasakan rabas vagina (cenderung infeksi) hingga kesulitan orgasme dan pria akan mengalami masalah impoten.
2.2.6.2.Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penderita diabetes melitus, antara lain (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010): a. Kurang volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik dari hiperglikemi, pengeluaran dari saluran pencernaan yang berlebihan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
23
(diare, muntah), atau pembatasan masukan (mual, penurunan kesadaran). b. Ketidakseimbangan tingkat gula darah berhubungan dengan manajemen diabetes yang kurang, defisiensi insulin, penurunan atau penambahan berat badan, perubahan status kesehatan fisik, tahap hipermetabolik, atau proses infeksi. c. Risiko infeksi berhubungan dengan hiperglikemi, penurunan fungsi leukosit, perubahan sirkulasi, atau adanya infeksi saluran pernapasan dan saluran kemih. d. Risiko gangguan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan kimia tubuh atau ketidakseimbangan glukosa, insulin, dan elektrolit. e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik, perubahan kimia tubuh, dan peningkatan kebutuhan energi. f. Kurang pengetahuan terkait penyakit, prognosis, penatalaksanaan, perawatan, dan kebutuhan rencana pulang berhubungan dengan kurang terpapar informasi, salah memahami informasi, atau tidak kenal dengan sumber informasi.
2.2.7. Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan diabetes adalah untuk menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah sehingga dapat menurunkan perkembangan komplikasi vaskular dan neuropati (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Penatalaksanaan diabetes melitus dikenal juga dengan empat pilar, yaitu edukasi, diet, medikasi, dan aktivitas.
Tujuan umum manajemen diet diabetes melitus adalah untuk membantu klien meningkantan kontrol metabolisme dengan membuat perubahan pada kebiasaan makan (Black & Hawks, 2009). Tujuan spesifik terapi diet antara lain memperbaiki kadar glukosa dan lemak darah, menfasilitasi manajemen berat badan, dan menyediakan nutrisi yang adekuat (Black & Hawks, 2009). Penatalaksanaan nutrisi ditegakkan berdasarkan kadar glukosa darah, lemak, tekanan darah, dan status ginjal. Makanan dianjurkan seimbanga dengan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
24
komposisi energi dari karbohidrat 45-65%, protein 10-15%, dan lemak 2025% (Depkes RI, 2008). Alkohol tidak mempengaruhi kerja insulin, namun dapat merusak proses glukoneogenesis sehingga dapat menyebabkan hipoglikemi pada klien dengan terapi insulin (Black & Hawks, 2009). Sedangkan pemanis buatan yang disarankan bagi penderita DM antara lain pemanis non-nutritif seperti sakarin, aspartam, dan sucralose karena sedikit atau tidak menghasilkan kalori dan tidak meningkatkan kadar glukosa.
Terapi medikasi terdiri dari obat antidiabetes oral dan terapi insulin yang diberikan apabila pasien tidak dapat mencapai nilai glukosa darah normal atau mendekati normal (Black & Hawks, 2009). Pasien harus diberi pemahaman bahwa agen medikasi oral diberikan bukan untuk pengganti tetapi sebagai terapi tambahan terapi modalitas lain seperti penatalaksanaan nutrisi dan latihan (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Obat hipoglikemik oral (OHO) menurut Perkeni (2011) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (sulfonilurea dan glinid), peningkatan sensitivitas terhadap insuli (metformin dan tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (metformin), penghambat absorpsi glukosa (penghambat glukosidase alfa/acarbose), dan DPP-IV inhibitor. Apabila antibiotik oral tidak dapat mengontrol diabetes (batas waktu 1 bulan sejak pemberian pertama obat oral) karena penurunan fungsi beta sel maka pasien tersebut akan diobati dengan insulin (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010).
Pengobatan suntikan pada DM terdiri dari insulin dan agonis GLP-1/incretin mimetic. Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat badan cepat, hiperglikemi berat dengan ketosis, KAD, hiperglikemi hiperosmolar non ketotik, hiperglikemi dengan asidosis laktat, OHO gagal, stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), DM gestasional tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal atau hati berat, dan alergi OHO (Perkeni, 2011). Insulin dibagi menjadi empat jenis berdasarkan lama kerja, yaitu insulin kerja cepat, kerja pendek, menengah, panjang, dan campuran tetap/premixed. Namun insulin memiliki efek samping antara lain efek Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
25
samping utama dapat terjadinya hipoglikemi dan reaksi imunologi terhadap insulin yang menimbulkan alergi atau resistensi insulin (Perkeni, 2011). Pengobatan Agonis GLP-1 merupakan pengobatan terbaru DM. Agonis GLP1 bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin, menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan memperbaiki cadangan sel beta pankreas (Perkeni, 2011). Namun pemberian obat ini dapat menyebabkan rasa sebah dan muntah.
Aktivitas fisik sehari-hari yang dianjurkan oleh Perkeni (2011) terdiri dari aktivitas dikurangi, aktivitas dipersering, dan aktivitas harian. Aktivitas yang dikurangi adalah kebiasaan kurang gerak atau bermalas-malasan misalnya menonton televisi. Sedangkan kegiatan harian seperti berjalan ke pasar, menggunakan tangga, dan berkebun harus tetap dilakukan. Aktivitas yang dipersering dalam 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit, yaitu latihan jasmani yang menjadi salah satu pilar penatalaksanaan DM tipe 2. Latihan jasmani menjadi pilar penatalaksanaan DM tipe 2 karena dapat menjaga kebugaran, menurunkan berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin sehingga memperbaiki pengendalian glukosa (Perkeni, 2011). Latihan jasmani yang dianjurkan antara lain jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani dapat disesuaikan dengan umur dan status kesehatan jasmani, yaitu status kesehatan relatif baik dapat meningkatkan intensitas latihan sedangkan pasien dengan komplikasi DM dapat dikurangi (Perkeni, 2011). Salah satu latihan jasmani yang disarankan oleh Perkeni (2011), yaitu olah otot. Senam kaki merupakan salah satu bentuk olah otot yang dapat dilakukan untuk penderita DM tipe 2.
2.3.Terapi Senam Kaki Sebagian besar diabetes tipe 2 disebabkan oleh kelebihan berat badan dan kurang aktivitas fisik (WHO, 2013). Senam kaki merupakan pencegahan tersier pada diabetes melitus agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut walaupun sudah mengalami komplikasi (Misnadiarly, 2006). Oleh karena itu, pencegaha tersier
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
26
masalah diabetes melitus ini menjadi tugas perawat perkotaan dan aktivitas fisik khususnya pada kaki sangat dibutuhkan oleh penderita diabetes melitus.
2.3.1. Definisi Senam Kaki Senam merupakan suatu gerakan atau kombinasi beberapa gerakan yang disusun secara sistematis untuk mencapai kondisi tubuh yang sehat, bugar, dan indah serta untuk meningkatkan keterampilan dan kesiapan mental spiritual (Nenggala, 2006). Senam menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online (2014) adalah gerak badan dengan gerakan tertentu seperti menggeliat. Senam kaki dapat membantu siruklasi darah dan memperkuat otot-otot kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki (Misnadiarly, 2006). Maka dapat disimpulkan bahwa senam kaki merupakan kombinasi beberapa gerakan yang dapat membantu siruklasi darah, memperkuat otototot, dan mencegah komplikasi pada kaki. Menurut Priyanto (2012), terdapat pengaruh antara kadar glukosa darah dan sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah dilakukan senam kaki pada agregrat lansia diabetes melitus di Magelang pada kelompok intervensi dan kelompok terkontrol. Intervensi dilakukan selama 4 minggu dengan frekuensi latihan 3 kali seminggu pada 62 responden kelompok intervensi dan 63 responden kelompok kontrol. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Padang (2002) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara senam kaki dengan parastesia sensori neuropati pada penderita diabetes. Hal ini disebabkan karena penelitian Padang (2002) menggunakan responden pasien poliklinik DM RS OMC Jakarta yang dibagi menjadi kelompok yang melakukan senam kaki secara teratur setiap hari dan kelompok kontrol yang tidak melakukan senam kaki secara teratur setiap hari dalam rentang waktu 1 bulan. Instrumen evaluasi parastesia sensori neuropati menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden. Sedangkan Priyanto menggunakan alat untuk menilai sensitivitas kaki berupa jarum, sikat, dan kapas. Penilaian menggunakan skala 3 jika terasa rangasangan menggunakan kapas, skala 2 jika terasa rangasangan menggunakan sikat, skala 1 jika terasa rangasangan menggunakan jarum, dan nilai 0 jika tidak merasakan adanya rangsangan. Menurut Priyanto (2012) Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
27
senam kaki merupakan ketrampilan untuk mencapai peningkatan memerlukan waktu yang lama dan teratur dalam pelaksanaannya. a. Indikasi Senam kaki dapat diberikan kepada seluruh penderita diabetes melitus tipe 1 maupun 2 khusunya sejak didiagnosa menderita diabetes melitus sebagai tindakan pencegahan dini (Priyanto, 2012). b. Kontraindikasi Senam kaki tidak boleh dilakukan oleh penderita diabetes yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dipsnea atau nyeri dada (Priyanto, 2012).
2.3.2. Prosedur Senam Kaki Sebelum melakukan senam kaki, perhatikan terlebih dahulu indikasi dan kontraindikasi gerakan. Kemudian kaji keadaan umum untuk mengetahui kondisi pasien dapat melakukan senam kaki, periksa tanda-tanda vital, dan kaji status emosi. a. Duduk secara benar di atas kursi dengan meletakkan kaki di lantai.
Gambar 2.1. Gerakan ke-1 Senam Kaki Sumber i-Care Clinic (2014)
b. Meletakkan tumit di lantai, jari-jari kedua kaki diluruskan ke atas lalu tekuk ke bawah seperti cakar ayam sebanyak 10 kali.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
28
Gambar 2.2. Gerakan ke-2 Senam Kaki Sumber i-Care Clinic (2014)
c. Meletakkan tumit di lantai, angkat telapak kaki ke atas. Kemudian jari kaki diletakkan di lantai dengan tumit kaki diangkat ke atas dan dilakukan sebanyak 10 kali.
Gambar 2.3. Gerakan ke-3 Senam Kaki Sumber i-Care Clinic (2014)
d. Tumit kaki diletakkan di lantai. Bagian depan kaki diangkat ke atas dan buat putaran 360 derajat dengan pergerakan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali.
Gambar 2.4. Gerakan ke-4 Senam Kaki Sumber i-Care Clinic (2014)
e. Jari kaki diletakkan di lantai. Tumit diangkat dan buat putaran 360 derajat dengan pergerakan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
29
Gambar 2.5. Gerakan ke-5 Senam Kaki Sumber i-Care Clinic (2014)
f. Kaki diangkat ke atas dengan meluruskan lutut. Buat putaran 360 derajat dengan pergerakan pada pergelangan kaki sebanyak 10 kali.
Gambar 2.6. Gerakan ke-6 Senam Kaki Sumber i-Care Clinic (2014)
g. Lutut diluruskan lalu dibengkokkan kembali ke bawah sebanyak
10 kali. Ulangi langkah ini untuk kaki yang sebelahnya.
Gambar 2.7. Gerakan ke-7 Senam Kaki Sumber i-Care Clinic (2014)
h. Luruskan salah satu kaki, angkat sejajar lutut, lalu putar kaki di udara dengan membentuk angka 0 sampai 9. Lakukan secara bergantian. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
30
i. Letakkan sehelai kertas surat kabar di atas lantai. Bentuk kertas tersebut menjadi seperti bola dengan kedua belah kaki. j. Buka kembali surat kabar yang berbentuk seperti bola kemudian potong menjadi dua bagian sama besar dengan kedua belah kaki.
Gambar 2.8. Gerakan ke-10 Senam Kaki Sumber i-Care Clinic (2014)
k. Potong kembali salah satu potongan surat kabar menjadi bagianbagian yang kecil dengan kedua belah kaki. l. Pindahkan satu persatu potongan kecil surat kabar dengan satu kaki ke atas setengah potongan besar surat kabar sisanya. m. Setelah semua potongan kecil dipindahkan, bungkus potongan kecil kertas dengan potongan besar surat kabar hingga membentuk seperti bola. n. Terakhir, masukkan bola surat kabar ke tempat sampah menggunakan kaki.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1. Pengkajian 3.1.1.
Identitas Pasien
Nyonya T. A. (55 tahun 9 bulan) masuk ke ruang rawat penyakit dalam lantai 5 utara Gedung Teratai RS Fatmawati pada tanggal 8 Mei 2014. Pasien datang dari IGD (Instalasi Gawat Darurat) RS Fatmawati diantar oleh petugas dan anak pasien. Ny. T. A. adalah seorang janda dengan 1 orang anak perempuan yang sudah menikah. Pasien tinggal di Ciputat Tangerang Selatan bersama dengan anak, menantu, dan cucu. Rumah klien dekat dengan Puskesmas Ciputat (10 menit) dan ditempuh dengan motor pribadi. Pasien beragama islam, pendidikan terakhir sekolah dasar (SD), dan bersuku betawi.
3.1.2.
Anamnesa a. Keluhan Utama saat Dirawat Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan
lemas sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit serta mual dan muntah. Sebelum datang ke IGD Fatmawati, pasien sempat datang ke rumah sakit umum daerah (RSUD) Tangerang. Pasien didiagnosa mengalami gagal ginjal kronis (GGK) atau Chonic Kidney Disease (CKD) stage V dari RSUD Tangerang namun belum mendapatkan hemodialisa (HD). Masalah ginjal klien ini disebabkan riwayat diabetes melitus tipe 2 serta hipertensi grade 1. Kemudian RSUD Tangerang merujuk pasien ke RS Fatmawati untuk mendapatkan program HD dan penatalaksanaan penyakit kronis pasien, yaitu diabetes melitus dan hipertensi.
b. Riwayat Kesehatan yang Lalu Pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak 10 tahun yang lalu dan hipertensi tingkat I. Pasien pernah mengkonsumsi obat 31
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Universitas Indonesia
32
diabetes dan hipertensi di rumah seperti metformin, simvastatin, amlodipin, dan captopril. Namun, obat-obat tersebut tidak rutin dikomsumsi kecuali jika pasien merasakan tidak enak badan. Pasien juga jarang memeriksakan gula darah atau tekanan darah. Pasien pernah dirawat di RS Fatmawati pada Desember 2013 karena luka di kakinya.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga Tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit diabetes, hipertensi, asma, atau sakit ginjal.
d. Aktivitas/Istirahat Pasien sudah tidak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga yang mengasuh cucunya di rumah. Sebelumnya pasien pernah membuka warung makan sejak suami meninggalkan pasien dan anaknya. Kebiasaan pasien di rumah antara lain menonton sinetron di televisi namun penglihatan pasien yang sudah tidak jelas membuat analisis di televisi terlihat buram. Aktivitas pasien tidak menggunakan alat bantu namun untuk mobilisasi pasien butuh dipegangi oleh anaknya. Sejak terdiagnosa menderita beberapa penyakit kronis tersebut, pasien harus membatasi makan garam, jajan, dan minum hanya 1 liter sehari. Pasien tidur nyenyak satu jam di malam hari. Sedangkan tidur siang tidak pernah karena di kamar hanya sepi dan hanya berisi 3 orang. Pasien tidak mengalami insomnia kecuali jika badannya terasa gatal maka pasien akan sulit tidur. Respon terhadap aktivitas yang teramati antara lain lemas dan keseimbangan berkurang akibat rasa baal di kedua telapak kakinya. Status mental sadar dan kesadaran compos mentis. Hasil pengkajian neuromuskular menunjukkan massa/tonus otot sebanding, postur kifosis, rentan gerak sendi maksimal di ekstremitas atas namun berkurang di ekstremitas bawah, dan deformitas di jari kaki kanan. Kekuatan otot: Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
33
5555 5555 4555 5544 e. Sirkulasi Pasien memiliki riwayat penyembuhan luka di kaki kanan selama 1 bulan akibat tertusuk paku payung. Pasien merasakan kebas di kedua kaki dari telapak kaki hingga ¾ betis. Sebelum masuk rumah sakit, pasien biasanya buang air kecil (BAK) >8 kali sehari. Namun sekarang hanya 8 kali sehari dan sekitar 1,5 liter urine yang ditampung selama sehari dengan warna kuning keruh. Tekanan darah tangan kanan 140/70 mmHg dan tangan kiri 140/80 mmHg pada saat berbaring. Sedangkan saat duduk, tekanan darah tangan kanan 130/70 mmHg dan tangan kiri 130/80 mmHg. Nadi karotis memiliki kekuatan denyut +3. Nadi radialis dan dorsal memiliki kekuatan +1. Getaran jantung kuat dan teratur dengan frekuensi 76 kali per menit. Tidak terdengar friksi gesek atau murmur. Bunyi napas vesikuler dan tidak ada distensi vena jugularis. Ekstremitas terasa hangat, berwarna merah muda pucat, pengisian kapiler < 3 detik, tanda Homan’s negatif, tidak ada varises, dan kuku jari kaki menebal serta melengkung normal. Warna badan kuning langsat, membran mukosa merah muda, konjungtiva anemis, dan sklera baik.
f. Integritas Ego Faktor stres yang dimiliki pasien adalah anak tunggalnya dan kondisi kesehatannya. Cara menangani stres yang biasa dilakukan dengan bercerita dengan anaknya atau melakukan hobinya menonton televisi. Masalah finansial tidak terlalu membebani pasien karena menantunya mau membantu ekonomi keluarga karena berperan sebagai pencari nafkah di keluarga dan kebutuhan pengobatan sudah dibiayai oleh jaminan kesehatan nasional. Gaya hidup pasien dan keluarga menengah ke bawah dengan satu orang Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
34
pencari nafkah. Budaya yang terlihat jelas di kehidupan pasien adalah budaya betawi di perkotaan. Pasien kadang-kadang melakukan ibadah saat dirawat di rumah sakit. Pasien lebih sering terlihat tenang namun pasien masih senang menceritakan hal yang lucu atau terkadang cemberut dan menurunkan bahu jika sedang kesal dengan anaknya.
g. Eliminasi Pasien buang air besar (BAB) biasanya 2 hari sekali dan tidak menggunakan laksatif. Pasien BAB terakhir pagi tadi dengan karakter feses keras. Pasien tidak memiliki masalah pencernaan seperti riwayat perdarahan, hemoroid, konstipasi, atau diare. Saat di rumah, pasien biasanya BAK >8 kali sehari dengan karakter urin kuning keruh tanpa ada keluhan nyeri saat BAK. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan abdomen tidak ada nyeri, teraba lunak, tidak ada masa, lingkar abdomen 95 cm, tidak ada hemoroid, tidak ada perubahan kandung kemih, dan bising usus 3 kali per menit.
h. Makanan/Cairan Pasien mendapatkan diet diabetes yang dikombinasikan dengan diet ginjal 1700kkal dengan jumlah makanan 3 kali makanan padat dan 3 kali makanan ringan. Pasien dibatasi minumnya sebanyak 750 ml sehari. Pasien mengatakan tidak menyukai makanan rumah sakit sehingga untuk mengatasinya, pasien menambahkan saos sambal botol yang dibawa dari rumah. Pasien kadang merasa mual namun tidak sampai muntah karena akan hilang dengan sendirinya. Berat badan pasien pernah mencapai 100kg saat didiagnosa memiliki diabetes. Sedangkan berat badan saat masuk RS Fatmawati hanya 58 kg (4 hari yang lalu) dan berat badan saat dilakukan pengkajian sebesar 57 kg dengna tinggi badan 145 cm. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan pasien memiliki bentuk Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
35
tubuh kifosis, turgor kulit cepat, membran mukosa lembab, bising usus aktif di empat kuadran, dan bunyi napas bersih.
i. Higiene Sebagian besar aktivitas dilakukan secara mandiri kecuali mobilisasi membutuhkan sedikit bantuan dari anak karena tidak ada alat bantu. Pasien biasanya mandi pukul 07.00 WIB. Pasien tampak bersih, rapi dengan baju daster, tidak tercium bau badan, kulit kepala bersih, dan tidak ada kutu.
j. Neurosensori Masalah neurosensori yang dirasakan pasien antara lain kaki terasa kebas dari ¾ betis hingga telapak kaki dan penglihatan kedua mata untuk melihat jarak jauh kabur. Hasil pemeriksaan fisik diketahui bahwa status mental baik; terorientasi tempat, waktu, dan orarng; kesadaran compos mentis dan dapat bekerjasama; memori saat ini dan masa lalu baik; ukuran pupil kanan 2 mm dan kiri 2 mm; reaksi cahaya pipil baik; tidak ada facial drop; menelan terganggu karena radang; genggaman kedua tangan kuat; postur kifosis; refleks tendon dalam positif; dan tidak ada paralisis.
k. Nyeri/Ketidaknyamanan Pasien tidak ada keluhan nyeri sehingga tidak terlihat tanda mengerutkan muka, menjaga area yang sakit, respon emosional, atau penyempitan fokus.
l. Pernapasan Pasien tidak memiliki keluhan batuk ; tidak memiliki riwayat penyakit
pernapasan
seperti
bronkitis,
asma,
tuberkulosis,
pneumonis, atau pemajanan udara berbahaya; tidak merokok; dan tidak menggunakan alat bantu pernapasan. Pasien bernapas dengan frekuensi 16 kali per menit, kedalaman normal, simetris, tidak Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
36
menggunakan otot bantu pernapasan, tidak ada napas cuping hidung, tidak ada fremitus, bunyi napas vesikuler, tidak ada sianosis, jari tubuh normal, tidak ada sputum, dan fungsi mental tenang.
m. Keamanan Pasien tidak memiliki riwayat alergi, perubahan sistem imun, riwayat penyakit menular seksual, perilaku berisiko tinggi, riwayat transfusi, riwayat kecelakaan, fraktur, dislokasi, artritis, sendi tidak stabil, masalah punggung, protase, kerusakan pendengaran, atau alat ambulasi. Namun pasien mengalami penurunan fungsi penglihatan sejak menderita diabetes. Hasil pengkajian fisik diketahui suhu tubuh 36,7°C, tidak ada diaforesis, terdapat pruritus yang kadang membuat kulit gatal, jari kaki kanan kedua berwarna hitam dan sulit digerakkan karena riwayat luka tertusuk paku payung, cara berjalan lambat, rentan gerak sendi berkurang di jari kaki, tidak ada parestesia atau paralisis, dan kekuatan otot 5555 5555 4555 5544 n. Seksualitas Aktivitas melakukan hubungan seksual berhenti sejal suami meninggalkan pasien (20 tahun yang lalu). Pasien lupa usia menarkenya, namun lama siklus menstruasi sebulan sekali, durasi 5-7 hari, dan periode menstruasi terakhir pada usia 40an. Tidak ada masalah payudara atau genitalia dari hasil inspeksi.
o. Interaksi Sosial Status perkawinan pasien adalah janda selama 20 tahun dan sekarang hidup dengan anak perempuan, menantu, dan cucu usia 2 tahun. Keluarga besar pasien kadang berkunjung ke rumah sakit dan membantu mengurus cucu pasien yang ditinggal di rumah. Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
37
Orang pendukung lain adalah tetangga pasien yang ikut mengurus cucu pasien selama anak pasien menunggu di rumah sakit. Peran pasien di keluarga adalah sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Komunikasi verbal maupun nonverbal pasien baik dan pola interaksi keluarga terihat baik dan saling mendukung.
p. Penyuluhan/Pembelajaran Bahasa dominan pasien adalah bahasa indonesia, pasien dapat membaca karena pendidikan terakhir SMP. Pasien tidak memiliki ketidakmampuan belajar, keterbatasan kognitif, orientasi spesifik terhadap perawatan kesehatan, dan faktor risiko dari keluarga. Diagnosa saat masuk gagal ginjal kronis tingkat 5 dengan alasan dirawat rencana HD dan pemasangan CDL (Catheter Double Lumen) serta diabetes melitus tipe 2 dan hipertensi grade I.
3.1.3.
Pemeriksaan Diagnostik a. Pemeriksaan Laboratorium Terdapat beberapa nilai laboratorium yang berada di luar nilai rujukan. Hasil hematologi hemoglobin (Hb) menurun (9,4 g/dl), hematokrit (Ht) menurun (27%), dan eritrosi menurun (3,73 juta/uL). Hasil pemeriksaan fungsi ginjal menunjukkan ureum darah meningkat (163 mg/dl) dan kreatinin darah (4,7 mg/dl). Nilai klorida darah meningkat 120 mmol/l namun turun mendekati normal menjadi 113 mmol/l pada pemeriksaan kedua. Calsium ion juga meningkat (1,17 mmol/l). Klien mengalami asidosis metabolik terkompensasi sebagian (pH 7,358; pCO2 27,4 mmHg; HCO3 15,1 mmol/L; BE -8,7 mmol/L). Hasil pemeriksaan urin menunjukkan terdapat protein urin (positif 3), darah/Hb (positif 1), glukosa, dan eritrosit (1-3). Hasil laboratorium yang lebih jelas dapat dilihat di lampiran.
b. Kurva Gula Darah Harian (KGDH) Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
38
Hasil pemeriksaan KGDH menunjukkan nilai glukosa darah berada pada rentang 104-157 mg/dl selama 10-12 Mei 2014.
c. Hasil Pemeriksaan USG Abdomen Hasil
analisis
pemeriksaan
USG
abdomen
menunjukkan
echostruktur cortex kedua ginjal sedikit meningkat ec. DD/AKI Akut On
CKD.
Tak
tampak
hydronefrosisi
atau
nefrolithiasis,
cholelithiasis multiple dengan suspek cholecystitis kronik, hepar, pankreas, lien, dan buli-buli dalam batas normal.
3.1.4.
Daftar Terapi Medikasi
Klien tidak mendapatkan terapi medikasi untuk diabetes melitus karena glukosa darah klien terkontrol dengan pentalaksanaan diet sehingga klien hanya mendapatkan obat untuk gagal ginjal kronis, mencegah infeksi, dan hipertensi. Penatalaksanaan gagal ginjal kronis yang digunakan untuk CaCO3 (mengatasi asidosis metabolik), asam folat (terapi anemia), bicarbonat (mengatasi asidosis metabolik), lasix (diuretik), dan omeprazole (mengatasi mual dan muntah). Klien mendapatkan valsartan untuk mengontrol antihipertensi. Sedangkan anti infeksi yang diberikan pertama, yaitu ceftriaxon dan selanjutkan digantikan dengan azithromycin. Dosis dan waktu pemberian terapi dapat dilihat di lampiran.
3.2. Analisis Data Masalah keperawatan yang menjadi fokus utama penelitian dari empat masalah keperawatan yang ditemukan dari hasil pengkajian, yaitu hambatan mobilitas fisik. Hambatan mobilitas fisik adalah kemandirian yang terbatas, pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas yang disengaja (Herdman, 2012). Hambatan mobilitas fisik ditegakkan dari data fungsi neuromuskular klien. Klien merasa kaki baal dari ¾ betis hingga telapak kaki. Klien mengalami penurunan fungsi penglihatan sehingga semua terlihat buram. Klien terlihat mengalami penurunan waktu reaksi, gaya berjalan membungkuk dan lambat, penurunan rentan gerak sendi terutama sendi jari Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
39
kaki, dan penurunan kekuatan otot. Faktor yang berhubungan dengan masalah keperawatan ini antara lain gangguan metabolisme sel (hiperglikemi kronis), penurunan kontrol dan kekuatan otot, kurang pengetahuan tentang pentingnya aktivitas fisik, gangguan neuromuskular, dan gangguan sensori perseptual (Herdman, 2012). Hasil analisis data yang lebih lengkap dapat dilihat di bagian lampiran.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
40
3.2.1.
Web of Causation (WOC) Gaya hidup (obesitas, kurang aktivitas, stres)
Respon sel beta pankreas terbatas Produksi glukagon berlebihan
Gagal memproduksi insulin dan/atau retensi insulin Hiperglikemi kronis (Glukosa darah 104-157 mg/dl)
Hiperglikemi
Risiko ketidakseimbangan glukosa darah
Peningkatan osmolaritas
Deposit glikoprotein di dinding sel
Polidipsi, Poliuri, Polifadi
Mikroangiopati
Pembuangan glukosa melalui polyol
Glukosilasi protein struktur glomerulus Penumpukan matriks merengial
Azotemia, peningkatan ureum (163mg/dl) dan kreatinin (4,7 mg/dl)
Iskemik glomerulus Pruritus
Diabetik neuropati Balance -1595, Ht 27 %; Klorida darah 120 mmol/L, Calsium Ion darah 1,17 mmol/L
Pembakaran cadangan masa tubuh
Kelemahan
Hambatan mobilitas fisik
Penimbunan polyol dan penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR 12,17)
Hemodialisa (CKD stage V)
Produksi glukosa dari protein dan lemak
Diabetik neuropati
Risiko ketidakseimb angan volume cairan
Penurunan Berat badan (1 kg dalam 4 hari)
Makroangiopati
Glukomeruloskerosis
Penebalan membran basal kapsul glomerulus
Proteinuria (Protein urin Positif 3)
Universitas Indonesia
Risiko gangguan Gambar 3.1. Web of Causation Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016 integritas kulit Sumber telah diolah kembali dari Black dan Hawks (2009)
41
3.3. Rencana Asuhan Keperawatan dan Intervensi Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, hambatan neuromuskular, dan gangguan sensori persptual penglihatan. Tujuan setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam antara lain pasien akan menunjukkan kemampuan untuk bergerak mandiri dengan atau tanpa alat bantu ditandai oleh mentoleransi keseimbangan, koordinasi, perpindahan posisi tubuh, berjalan, pergerakan sendi dan otot, dan dapat bergerak dengan mudah. Intervensi yang berkaitan tentang pengkajian dan pemantauan, yaitu kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan di rumah dan kebutuhan terhadap peralatan pengobatan dan pantau tanda-tanda vital, sensitivitas kaki, dan kadar gula darah sebelum dan sesudah latihan. Intervensi mandiri keperawatan yang dilakukan antara lain ajarkan dan bantu pasien dalam ROM aktif dan senam kaki, berikan penguatan positif selama aktivitas, motivasi pasien untuk menggunakan alas kaki, libatkan keluarga dalam aktivitas dan promosi kesehatan.
3.4. Evaluasi Keperawatan Hasil implementasi keperawatan yang telah dilakukan untuk mengatasi hambatan mobilitas fisik, menunjukkan pasien mengalami penurunan kekuatan otot, hambatan neuromuskular berupa penurunan sensitivitas telapak kaki, dan gangguan penglihatan yang membuat pasien kesulitan dalam mobilisasi. Mahasiswa menganjurkan pasien untuk selalu memakai alas kaki ketika akan berjalan. Selain itu, peneliti juga mengajarkan senam kaki untuk meningkatkan sensitivitas dan menurunkan kadar gula darah sebanyak 3 kali selama seminggu (tanggal 17, 21, dan 23 Mei 2014). Pasien dapat mentoleransi senam kaki ditandai oleh tanda-tanda vital yang tidak jauh berbeda pada sebelum (tekanan darah 140/80mmHg, nadi 82x/menit, napas 14x/menit) dan sesudah (tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 84x/menit, napas 16x/menit) latihan pertama. Pasien tampak kesulitan melakukan gerakan menyobek kertas koran karena ibu jari kaki pasien sulit untuk menjepit koran sehingga pada latihan pertama membutuhkan waktu 50 menit. Namun pada latihan ketiga, pasien dapat menyobek koran dengan lebih cepat sehingga Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
42
latihan hanya membutuhkan waktu 30 menit. Pasien mengatakan latihan senam kaki terasa melelahkan walaupun gerakannya sederhana dan dengan posisi duduk. Hasil evaluasi di latihan ketiga menunjukkan glukosa sewaktu pasien sebelum (203 mg/dl) dan sesudah (188mg/dl) menurun. Tanda-tanda vital sebelum latihan tekanan darah 150/70mmHg, nadi 88x/menit, napas 15x/menit dan sesudah latihan tekanan darah 140/70mmHg, nadi 84x/menit, napas 16x/menit. Sedangkan sensitivitas kaki pasien tidak mengalami perubahan dari sebelum ke sesudah latihan senam kaki.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
BAB 4 PEMBAHASAN
4.1. Profil Lahan Praktik Rumah Sakit Fatmawati merupakan rumah sakit rujukan yang sudah berstandar internasional. RS Fatmawati lolos dari sertifikasi JCI (Joint Commision International) yang memberi akreditasi international di rumah sakit seluruh dunia. Rumah sakit yang tepat merayakan ulang tahun ke-64 pada tahun ini memiliki visi terdepan, paripurna, dan terpercaya di Indonesia. Sehingga dapat memberikan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian diseluruh disiplin ilmu, dengan unggulan bidang orthopaedi dan rehabilitasi medik. RS Fatmawati memiliki beberapa gedung pelayanan kesehatan dan salah satunya Gedung Teratai.
Gedung Teratai merupakan gedung rawat inap yang lengkap dari mulai anak, dewasa, hingga ibu melahirkan. Masing-masing lantai memiliki bidang pelayanan masing-masing seperti lantai 5 untuk pelayanan kesehatan penyakit dalam. Lantai 5 bagian utara menjadi rawat inap penyakit dalam dewasa terbesar di Gedung Teratai dengan kapasitas 51 tempat tidur. Lantai 5 utara memiliki kekhususan tersendiri dibandingkan ruang rawat lain di gedung teratai. Lantai 5 utara merupakan rawat inap penyakit dalam dewasa yang sebagian besar pasien memiliki diagnosa medis diabetes melitus tipe 2, gagal ginjal, dan penyakit hati kronis (sirosis hepatis atau hepatitis). Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu penyakit dalam terbanyak di lantai 5 utara dengan jumlah total diagnosa masuk diabetes 19 orang dari 170 pasien masuk pada bulan Mei 2014. Sebagian besar pasien yang masuk di RS Fatmawati berasal dari perkotaan seperti Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Oleh karena itu, lantai 5 utara sangat sesuai untuk mempresentasikan masalah kesehatan diabetes melitus tipe 2 di kawasan perkotaan.
43
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Universitas Indonesia
44
4.2. Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP Kasus Nyonya T. A. dengan diabetes melitus tipe 2 dan CKD stage V on HD merupakan salah satu contoh masalah kesehatan di perkotaan. Tempat tinggal pasien berada di perkotaan, yaitu Ciputat Tangerang Selatan. Hal ini terlihat dari akses fasilitas kesehatan termasuk cepat (≤15 menit menuju puskesmas ciputat) dan biaya transportasi murah dengan motor pribadi (≤ Rp 10.000) sesuai dengan pambagian keterjangkauan fasilitas kesehatan Litbang Kemenkes RI (2013) yang disampaikan di tinjauan pustaka. Area persawahan juga sudah tidak ditemukan di sekitar rumah klien. Pasien dan keluarga telah menempuh pendidikan formal sehingga tidak ada hambatan dalam proses belajar karena tidak ada anggota keluarga yang buta huruf. Di rumah pasien, sebagian besar anggota keluarga termasuk ke dalam tahap usia dewasa, yaitu anak dan menantu pasien yang keduanya masih produktif. Ciri tempat tinggal dan keluarga pasien termasuk ke dalam ciri demografi dan lingkungan perkotaan menurut Stanhoper dan Lancaster (2014). Sedangkan hubungan sosial keluarga cukup dekat ditandai dengan cucu klien yang dititpkan pada keponakan klien. Namun, tidak ada keluarga lain yang menggantikan anak klien menjaga klien di rumah sakit karena kesibukan masingmasing. Bentuk hubungan sosial keluarga pasien sesuai dengan karakteristik perkotaan yang menyebabkan kurang terbentuknya faktor pengamanan (Allender, Rector, & Warner, 2010). Kondisi perkotaan tersebut menyebabkan klien memiliki risiko tinggi terkena masalah kesehatan diabetes melitus tipe 2 sejak 10 tahun yang lalu.
Diabetes melitus tipe 2 yang dialami pasien merupakan akibat dari gaya hidup perkotaan yang dimiliki klien sebelum didiagnosa memiliki DM. Klien mengatakan bahwa hampir selalu minum teh manis karena klien memiliki warung yang dikelola sendiri. Kebiasaan makan klien juga tidak dijaga sehingga klien mengalami obesitas dengan berat badan mencapai 100 kg sepuluh tahun yang lalu. Klien mengaku juga jarang melakukan aktifitas fisik karena sibuk memasak di warung. Aktivitas yang paling sering dilakukan antara lain duduk dan meracik bumbu masakan di dapur. Klien mengatakan juga memiliki beban pikiran. Menurut anak klien, klien mengalami stres akibat ditinggal oleh suaminya Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
45
sehingga klien harus mencari nafkah sendiri sejak anak klien bayi. Faktor risiko riwayat diet, obesitas, penurunan aktivitas, dan stres tersebut yang meningkatkan risiko diabetes militus di perkotaan menurut Wild, Rogilc, Green, Sicree, dan King (2004). Sedangkan karakteristik Nyonya T. A. hampir sama dengan karakteristik penderita DM tipe 2 pada pasien rumah sakit area perkotaan Ghana (Danquah, et al., 2012). Nyonya T. A. mengalami DM pada usia pertengahan (45 tahun), status ekonomi menengah kebawah, obesitas, hipertensi, dan albuminuria (Protein urin positif 3). Klien menyangkal memiliki keluarga dengan DM dan hasil pemeriksaan lemak serum tidak dilakukan. HbA1c klien dalam batas normal (5,9%) yang menunjukkan bahwa pasien biasa menggunakan fasilitas kesehatan menurut penelitian Rhee, et al. (2005) yang dijelaskan pada tinjauan pustaka. Untuk memahami kasus diabetes melitu tipe 2 pada Nyonya T. A., analisis lebih dalam terhadap kasus akan dijabarkan pada poin selanjutnya.
4.3. Analisis Kasus Kasus DM tipe 2 pada Nyonya T. A. akan dianalisis berdasarkan etiologi, tanda gejala, komplikasi, hasil pemeriksaan keperawatan, hasil pemeriksaan diagnostik, dan penatalaksanaan.
4.3.1.
Etiologi
Faktor penyebab DM tipe 2 pada Nyonya T. A. dari hasil pengkajian antara lain obesitas dan faktor lingkungan. Klien mengalami obesitas (100 kg) sebelum didiagnosa DM namun kini berat badan klien sudah turun (57 kg). Hal ini sejalan dengan pernyataan Black dan Hawks (2009) yang menyatakan bahwa 85% penderita DM mengalami obesitas. Sedangkan penelitian Danquah, et al. (2012) yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka menunjukkan bahwa faktor risiko terkuat DM di perkotaan selain riwayat keluarga adalah adiposa abdominal. Riwayat keluarga dengan DM dibantah oleh klien sedangkan adiposa abdominal sebelum didiagnosa DM tidak diketahui. Namun dengan indeks masa tubuh jauh di atas normal (47,56), maka dapat diperkirakan bahwa nilai adiposa abdominal juga
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
46
berada di nilai abnormal. Faktor risiko DM pada Nyonya T. A. yang lain, yaitu lingkungan tempat tinggal perkotaan.
Nyonya T. A. juga memiliki faktor risiko lingkungan seperti tempat tinggal padat, perpanjangan waktu kerja, dan tempat tinggal pinggir kota yang sesuai dengan hasil penelitian Danquah, et al. (2012) tentang DM tipe 2 di perkotaan. Tempat tinggal Nyonya T. A. di daerah Ciputat merupakan kawasan pinggir ibu kota Jakarta yang cukup padat yang ditandai sudah tidak adanya area perkebunan. Walaupun pasien saat ini sudah tidak bekerja, namun sebelum didiagnosa memiliki DM, Nyonya T. A. memiliki tanggung jawab menjadi orang tua tunggal dan pencari nafkah untuk anak perempuannya dengan berdagang makanan. Kondisi tempat tinggal padat dan perpanjangan waktu kerja menggambarkan kondisi kehidupan yang penuh tekanan yang dapat menimbulkan asupan yang meningkat dan latihan yang kurang serta meningkatkan aktivitas saraf simpatik yang mengganggu regulasi jaringan adiposa dan pankreas sehingga mengakibatkan resisten insulin (Danquah, et al., 2012). Meskipun pasien dan keluarga pernah melalui pendidikan formal, namun pengetahuan tentang DM tidak dapat dijamin adekuat. Hal ini ditandai oleh pengobatan DM yang tidak teratur. Tempat
tinggal
Nyonya
T.
A.
di
pinggir
kota
menunjukkan
ketidakadekuatan akses informasi menurut Danquah, et al. (2012).
4.3.2.
Komplikasi
Komplikasi akut DM tipe 2 seperti hipoglikemi, KAD, dan hiperglikemi hiperosmolar nonketotik tidak ditemukan pada saat pasien di rawat. Sedangkan beberapa komplikasi kronis masih ditemukan pada Nyonya T. A. saat dilakukan pengkajian, yaitu hipertensi dan mikroangiopati (retinopati, nefropati, dan neuropati). Klien mengalami penurunan penglihatan sejak mengalami DM dan hingga sekarang. Hal ini menyebabkan klien hanya bisa mendengarkan tayangan sinetron karena wajah pemeran di televisi tidak tampak jelas. Selain itu, klien juga harus berjalan dengan pelan-pelan untuk menghindari terjatuh atau terluka karena benda di atas lantai juga tidak Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
47
terlihat jelas. Namun klien mengatakan belum pernah diperiksa oleh dokter mata. Menurut Hedayati, et al. (2012), diabetik retinopati merupakan prediktor penyakit arteri koroner yang kuat dan tingkat retinopati berhubungan dengan luas dan keparahan iskemik sehingga disarankan pasien dengan retinopati untuk dievaluasi menggunakan MPI seperti yang telah dijabarkan pada tinjauan pustaka. Sedangkan alasan klien dirawat adalah karena klien didiagnosa CKD stage V dengan rencana HD.
Nefropati pada klien sudah mencapai tahap akhir gagal ginjal (CKD stage V). Nefropati ini sebenarnya dapat dicegah secara efektif dengan modifikasi gaya hidup seperti aktivitas fisik teratur dan menjaga berat badan (Ayodele, Alebiosu, & Salako, 2014). Berat badan klien saat masuk rumah sakit masih lebih dari nilai ideal. Sedangkan aktivitas fisik klien di rumah juga berkurang. Klien lebih sering duduk di rumah dan mendengarkan televisi karena klien sudah tidak bekerja dan fungsi penglihatan serta kebas pada kaki membuat klien sulit untuk beraktivitas. Klien dengan CKD stage V baru harus mengontrol gula darah, lemak darah, tekanan darah, dan menggunakan ACE Inhibitor dan ARBs karena protein urin klien positif menurut Ayodele, Alebiosu, dan Salako (2014). Klien juga sudah mendapatkan program HD di sebuah klinik swasta setiap dua kali seminggu. Selain untuk membantu mengurangi perpindahan cairan, HD bermanfaat untuk mempermudah dalam pemeriksaan dan memonitor ulang kondisi Nyonya T. A. setelah keluar dari rumah sakit karena klien memerlukan pemantauan gula darah, lemak darah, dan tekanan darah yang sulit dilakukan di rumah.
Diabetik neuropati yang dialami oleh Nyonya T. A. termasuk jenis neuropati saraf perifer. Hal ini ditandai oleh munculnya parestesi hingga perubahan gaya berjalan. Penatalaksanaan neuropati harus dilakukan untuk menurunkan risiko jatuh akibat gangguan persepsi getaran, mengganggu kekuatan pergelangan kaki dan keseimbangan pada neuropati perifer (Patel, Hyer, Tweed, Kerry, Allan, Rodin, & Barron, 2008). Cara utama untuk mengatasi komplikasi ini adalah dengan kontrol glukosa darah sehingga menghambat Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
48
proses neuropati (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Risiko ini semakin bertambah tinggi karena klien mengalami abnormalitas penglihatan yang selanjutnya akan menimbulkan risiko fraktur (Patel, Hyer, Tweed, Kerry, Allan, Rodin, & Barron, 2008).
4.3.3.
Hasil Pemeriksaan Keperawatan
Hasil pengkajian keperawatan menunjukkan tidak semua tanda gejala DM dimiliki oleh Nyonya T. A. karena tanda gejala komplikasi DM tipe 2 lebih terlihat jelas. Tanda gejala diabetes melitus menurut Doenges, Moorhouse, dan Murr (2010) yang masih dialami oleh klien antara lain merasa lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun, gangguan tidur/istirahat, perubahan tekanan darah postural, hipertensi, memiliki stres, tergantung pada orang lain, memiliki masalah finansial, haus, mual/muntah, tidak mengikuti diet, kebas kelemahan pada otot, parestesia, dan gangguan penglihatan. Tanda gejala pada sistem eliminasi seperti poliuri sudah mulai berkurang frekuensinya akibat kerusakan ginjal tahap akhir. Sebelum masuk rumah sakit, klien mengaku buang air kecil >8 kali sehari terutama malam hari dan saat ini menjadi < 8 kali sehari. Sedangkan tanda gejala lain seperti polifagi dan polidipsi tidak terlihat akibat klien dapat mematuhi regimen terapetik diabetes dan gagal ginjal terutama pada makanan dan minuman.
4.3.4.
Hasil Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien terdiri dari pemeriksaan laboratorium, kurva gula darah harian (KGDH), dan pemeriksaan abdomen. Pemeriksaan glukosa serum dipantau setiap hari sebanyak tiga kali sehari setiap sebelum makan yang dicatat dalam KGDH untuk mengetahui pencapaian terapi dan penyesuaian dosis obat yang diperlukan (Perkeni, 2011). Hasil pemeriksaan KGDH klien menunjukkan kadar glukosa darah berkisar 104-157 mg/dl selama dua hari (lebih lanjut lihat di lampiran). Hasil ini lebih tinggi dari nilai rujukan yang digunakan di ruang rawat (90 mg/dl) namun masih dalam nilai yang memuaskan karena <200 mg/dl (Smeltzer, Bare, Hinkle, & Cheever, 2010). Sedangkan nilai HbA1c klien masih berada Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
49
pada nilai normal. Hal ini menunjukkan bahwa efek terapi 8-12 minggu sebelumnya berjalan dengan baik (Perkeni, 2011). Hasil pemeriksaan asam lemak, osmolaritas serum, glukagon, dan insulin serum tidak dapat dianalisis karena tidak dilakukan pemeriksaan tersebut selama klien dirawat.
Hasil pemeriksaan elektrolit darah hampir semua dalam batas normal kecuali klorida dan kalsium ion darah. Peningkatan kadar klorida darah ini disebabkan oleh diet tinggi garam yang dikonsumsi oleh klien di rumah (Connealy, 2012). Namun pada pemeriksaan laboratorium dua hari kemudian, kadar klorida darah klien mulai turun mendekati normal karena diet rendah garam yang diberikan selama dirawat di rumah sakit. Sedangkan hiperkalsemia muncul akibat penurunan penyaringan glomerulus dan asidosis metabolik terkompensasi sebagian yang dialami klien berdasarkan hasil analisis gas darah (Connealy, 2012). Keasaman darah yang meningkat menyebabkan pelepasan kalsium dari tulang yang diperparah dengan penurunan kecepatan penyaringan glomerulus sehingga kadar kalsium darah meningkat. Selain itu, pemeriksaan urin juga dilakukan untuk mengetahui kadar elektrolit dan osmolaritas sebagai tanda dehidrasi.
Hasil pemeriksaan spesimen urin menunjukkan beberapa nilai abnormal. Hasil urinalisis menunjukkan kandungan protein, darah/Hb, eritrosit, dan glukosa dalam urin. Albuminuria yang tinggi ditambah dengan adanya sel darah di urin pada klien menunjukkan kerusakan glomerulus (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010). Sedangkan kandungan glukosa pada urin menunjukkan kondisi hiperglikemi pada klien. Nilai positif glukosa urin tidak diikuti oleh nilai positif pada keton yang menyatakan bahwa klien tidak dalam kondisi komplikasi akut diabetes KAD. Berat jenis urin klien dalam batas normal yang menunjukkan bahwa status hidrasi klien masih baik (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2010).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
50
4.3.5.
Penatalaksanaan
Masalah keperawatan yang didapat dari hasil analisis data pengkajian dan pemeriksaan antara lain risiko ketidakseimbangan volume cairan, risiko gangguan integritas kulit, risiko ketidakseimbangan tingkat glukosa darah, dan hambatan mobilitas fisik. Risiko ketidakseimbangan volume cairan tidak terjadi karena klien dapat mematuhi pembatasan cairan dan klien sudah mengikuti program HD setiap dua kali seminggu. Klien juga dapat mematuhi diet diabetes melitus yang diberikan dari rumah sakit sehingga kadar glukosa darah pasien relatif stabil dalam batas memuaskan (<200mg/dl). Intervensi untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik senam kaki dapat menurunkan glukosa darah secara langsung namun belum dapat meningkatkan sensitivitas kaki. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Padang (2002) yang menyatakan tidak ada hubungan antara senam kaki dan parestesia neuropati sensori. Hal ini disebabkan karena intervensi hanya dilakukan dalam seminggu dan seharusnya dilakukan selama 1 bulan karena senam kaki memerlukan waktu yang lama dan teratur dalam pelaksanaannya untuk mencapai peningkatan (Priyanto, 2012). Risiko gangguan integritas kulit tidak terjadi karena klien mampu menjaga kondisi kuku, menahan diri untuk menggaruk, mendapatkan terapi yang memperbaiki kondisi asidosis, dan klien melakukan HD untuk memperbaiki nilai ureum.
4.4. Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan Intervensi senam kaki dilakukan sebanyak tiga kali selama satu minggu. Intervensi tidak dapat dilakukan karena klien sudah mendapatkan klinik untuk HD sehingga klien dapat pulang. Intervensi dilakukan dengan tambahan alat kertas koran, alat pengukur tanda-tanda vital, alat pemeriksaan sensitivitas telapak kaki (kapas, sikat, jarum), dan alat pemeriksaan glukosa darah fingerstick yang digunakan pada latihan hari terakhir. Sebelum dan sesudah latihan, klien diperiksa tanda-tanda vital dan sensitivitas telapak kaki. Pemeriksaan glukosa darah hanya dilakukan pada latihan terakhir. Latihan senam kaki dilakukan selama 30-45 menit. Semakin lama, latihan semakin cepat karena klien mengalami kesulitan di latihan awal. Hasil pemeriksaan glukosa darah pada latihan terakhir menunjukkan Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
51
penurunan sebesar 15 mg/dl (sebelum 203 mg/dl; sesudah 188 mg/dl). Penurunan glukosa darah ini juga dialami oleh pasien lain (Ny. S. B.) yang diberikan intervensi senam kaki namun hanya 1 kali dengan penurunan 36 mg/dl (sebelum 284 mg/dl; sesudah 248 mg/dl). Namun, sensitivitas kaki menunjukkan hasil yang sama karena latihan dilakukan kurang dari 1 bulan (Priyanto, 2012).
Pemecahan
masalah
yang
dapat
dilakukan
untuk
mengatasi
masalah
ketidakstabilan gula darah atara lain dengan edukasi, pengaturan diet, aktivitas, dan terapi medikasi. Namun, pemberian intervensi aktivitas bagi penderita diabetes melitus masih belum terlihat di asuhan keperawatan rumah sakit. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala antara lain keterbatasan waktu perawat, kurangnya tenaga keperawatan sehingga beban kerja bertambah, dan belum adanya fasilitas untuk memberikan latihan fisik di rumah sakit. Penulis mencoba untuk mencari solusi agar keempat pilar penatalaksanaan diabetes melitus dapat berjalan di pusat pelayanan kesehatan, yaitu rumah sakit. Penulis memberikan alternatif solusi, yaitu intervensi senam kaki diabetes melitus, untuk menurunkan kadar gula darah dan pendidikan kesehatan. Latihan senam kaki ini cukup mudah karena hanya membutuhkan peralatan sederhana seperti kursi dan kertas surat kabar serta membutuhkan waktu yang relatif singkat, yaitu kurang dari 1 jam. Latihan ini terbukti efektif langsung menurunkan gula darah >10mg/dl.
Terdapat beberapa kekurangan dalam intervensi ini. Salah satunya pemeriksaan gula darah seharusnya dilakukan sebelum dan sesudah setiap kali latihan. Selain itu, kelanjutan latihan ini agar dilakukan pasien di rumah belum terjamin. Maka sebaiknya pasien perlu dibekali leaflet senam kaki (contoh terlampir) atau video senam kaki yang dapat dibaca atau dilihat ketika pasien berada di rumah untuk mengantisipasi pasien lupa dengan gerakan senam. Solusi ini juga dapat ditawarkan kepada perawat di ruang penyakit dalam dengan membimbing pasien melakukan senam kaki secara individu atau berkelompok saat di rawat di rumah sakit. Selain itu, evaluasi kondisi neuropati perifer pada klien dapat diperiksa dengan tiga alat yang sudah dipraktikkan atau dengan pemeriksaan ABI. ABI merupakan pemeriksaan diagnostik arteri perifer yang sederhana dan murah Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
52
sehingga dapat juga diterapkan di ruang rawat (Xu, et al., 2010). Menurut penelitian Papanas, Symeonidis, Mavridis, Georgiadis, Papas, Lazarides, dan Maltezos (2007), ABI pada pasien yang memiliki komplikasi mikrovaskuler diabetes tipe 2 secara signifikan lebih rendah dibandingkan yang tidak memiliki komplikasi. Prosedur lebih lengkap ABI dapat dilihat di tinjauan pustaka. Diharapkan setelah adanya alternatif sederhana ini perawat ruangan bersedia untuk melanjutkan latihan dan pemeriksaan ini sampai ada intervensi aktifitas fisik yang lebih efektif dan efisien dibandingkan latihan senam kaki untuk menurunkan kadar gula darah dan mencegah komplikasi ulkus kaki pada penderita diabetes melitus di ruang perawatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
BAB 5 PENUTUP
5.1. Kesimpulan Kesimpulan dari hasil analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkoraan pada pasien diabetes melitus di ruang penyakit dalam lantai 5 utara Gedung Teratai RSUP Fatmawati adalah sebagai berikut: a. Diabetes melitus banyak ditemukan di perkotaan karena faktor risiko yang muncul di area tersebut, yaitu obesitas, kurang aktivitas, dan tingkat stres yang dihadapi dengan koping maladaptif. b. Pasien diabetes melitus tipe 2 berisiko mengalami komplikasi kronis mikrovaskuler
maupaun
makrovaskuler.
Komplikasi
tersebut
mengurangi kualitas hidup karena dapat menimbulkan kecacatan seumur hidup apabila tidak diatasi dengan tepat. c. Penatalaksanaan diabetes melitus terdiri dari empat pilar, yaitu pendidikan kesehatan, diet, aktivitas, dan terapi medikasi. Terapi medikasi diberikan apabila pendidikan kesehatan, diet dan aktivitas tidak dapat mencapai target kardar glukosa darah yang memuaskan. d. Perawat dapat melakukan terapi aktivitas fisik berupa latihan senam kaki untuk menurunkan tingkat glukosa darah secara langsung dan mencegah komplikasi ulkus kaki pada penderita diabetes melitus.
5.2. Saran Penulis memberikan beberapa saran tentang asuhan keperawatan pasien diabetes melitus tipe 2 untuk menurunkan kadar glukosa darah dan mencegah komplikasi ulkus kaki.
5.2.1. Penelitian Selanjutnya Penelitian selanjutnya dapat menggunakan penelitian eksperimen dengan kontrol variabel untuk mengetahui komponen-komponen penerapan senam kaki yang terbukti secara efektif dapat menurunkan glukosa darah pasien 53
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Universitas Indonesia
54
secara signifikan misalnya seperti lama waktu. Penelitian selanjutnya sebaiknya juga melihat pengaruh kelompok di rumah sakit terkait motivasi dan perilaku penderita diabetes melitus untuk menurunkan atau mengontrol glukosa darah. Selain itu, pemberi asuhan keperawatan juga dapat diteliti untuk mengetahui keefektifan dan keefisienan asuhan keperawatan terkait terapi diabetes melitus yang diberikan.
5.2.2. Perawat Perawat penyakit dalam pada khususnya sebaiknya dapat meneruskan pemberian terapi aktifitas latihan senam kaki pada penderita diabetes melitus di rumah sakit. Perawat sebaiknya memberikan intervensi sesuai dengan 4 pilar penatalaksanaan diabetes melitus sehingga komplikasi penyakit diabetes melitus dapat dicegah secara optimal. Intervensi keperawatan yang diberikan sebaiknya juga mengadaptasi dari penelitianpenelitian terbaru tentang intervensi keperawatan diabetes melitus. Fasilitas intervensi senam kaki juga dapat ditingkatkan dengan menambahkan leaflet atau video yang dapat dibaca di rumah sakit atau dibawa pulang.
5.2.3. Pendidikan Keperawatan Institusi pendidikan sebaiknya bekerja sama dalam memberikan tambahan informasi tentang penelitian-penelitan atau intervensi terbaru atau melakukan pelatihan kepada perawat ruangan. Hal ini untuk menambah keterampilan dan wawasan bagi perawat ruangan serta menekan angka komplikasi penyakit kronis seperti diabetes melitus.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
DAFTAR PUSTAKA
ADA. (2014). Diabetes Basics. Diakses dari http://www.diabetes.org/diabetesbasics/?loc=db-slabnav pada 20 Mei 2014 pukul 05.20 WIB Allender, J. A., Rector, C., & Warner, K. D. (2010). Community health nursing: Promoting & protecting the public’s health. 7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health | Lippincott Williams & Wilkins. Ayodele, O. E., Alebiosu, C. O., & Salako, B. L. (2004). Diabetic nephropathy-A review of the natural history, burden, risk factors and treatment. Journal of the National
Medical
Association, 96(11),
1445-54.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/214061888?accountid=17242 Black, J. M. & Hawks, H. (2009). Medical-surgical nursing: clinical management for positive outcomes, 8th Edition. Philadelphia: Saunders/Elsevier Connealy, L. E. (2012). A guide to understanding blood test results. Diakses dari http://www.newportnaturalhealth.com/2012/08/a-guide-to-understandingblood-tests/ pada 5 Juli 2014 pukul 23.00. Danquah, I., Bedu-Addo, G., Terpe, K., Micah, F., Amoako, Y. A., Awuku, Y. A., . . . Mockenhaupt, F. P. (2012). Diabetes mellitus type 2 in urban ghana: Characteristics and associated factors. BMC Public Health, 12, 210. doi:http://dx.doi.org/10.1186/1471-2458-12-210 Danquah, I., Othmer, T., Frank, L. K., Bedu-Addo, G., Schulze, M. B., & Mockenhaupt, F. P. (2013). The TCF7L2 rs7903146 (T) allele is associated with type 2 diabetes in urban ghana: A hospital-based case-control study. BMC Medical Genetics, 14, 96. doi:http://dx.doi.org/10.1186/1471-2350-14-96 Depkes RI. (2008). Pedoman pengendalian diabetes melitus dan penyakit metabolik.
Diakses
dari
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/1359/1/BK2008Sep13.pdf pada 5 Juli 2014 pukul 22.00. Doenges, M.E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C. (2010). Nursing care plans: guidelines for individualizing client care across the life span. Philadelphia: F. A. Davis Company
55 Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
56
Hedayati, R., Malek, H., Yaghoobi, N., Rastgou, F., Rajabi, A. B., Amouzadeh, H., . . . Firouzabadi, H. (2012). The relationship between retinopathy in diabetes mellitus
type
2 with
severity and extent of myocardial
ischemia. Iranian Journal of Nuclear Medicine, 20(1), 65. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/1346924527?accountid=17242 Herdman, T. H. (2012). NANDA international nursing diagnoses: Definitions & Classification, 2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell i-Care Clinic (2014). Senam kaki diabetes. Juli 3, 2014. http://i-care.co.id/brosuri-care-clinic/senam-kaki-diabetes KBBI. (2014). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Kamus versi online/daring (dalam jaringan). Diakses dari http://kbbi.web.id/senam pada 5 Juli 2014 pukul 22.00. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Diabetes Melitus Penyebab Kematian Nomor 6 di Dunia. Diakses dari http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2383 pada 20 Mei 2014 pukul 05.20 WIB Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan
Dasar
(Riskesdas)
2013.
Diunduh
dari
http://labmandat.litbang.depkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2013/La poran_riskesdas_2013_110314.pdf pada 20 Mei 2014 pukul 05.39 WIB Lundy, K. S. & Janes, S. (2009). Community Health Nursing: Caring for the Public's Health. 2nd ed. Sudbury: Jones and Bartlett Publishers Misnadiarly. (2006). Diabetes melitus: Gangren, ulcer, infeksi, mengenal gejala, menanggulangi, dan mencegah komplikasi. Jakarta: Pustaka Populer Obor Nenggala, A. K. (2006). Pendidikan jasmani dan kesehatan. Jakarta: Grafindo Media Pratama. Padang, K. (2002). Hubungan senam kaki diabetes dengan parestesia sensory neuropaty pada klien DM di RS OMNI Medical Center Jakarta. Riset Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok Papanas, N., Symeonidis, G., Mavridis, G., Georgiadis, G. S., Papas, T. T., Lazarides, M. K., & Maltezos, E. (2007). Ankle-brachial index: A surrogate marker of microvascular complications in type 2 diabetes mellitus?
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
57
International
Angiology,
26(3),
253-7.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/229800613?accountid=17242 Patel, S., Hyer, S., Tweed, K., Kerry, S., Allan, K., Rodin, A., & Barron, J. (2008). Risk factors for fractures and falls in older women with type 2 diabetes mellitus.
Calcified
Tissue
International,
82(2),
87-91.
doi:http://dx.doi.org/10.1007/s00223-007-9082-5 Perkeni. (2011). Revisi final konsensus DM Tipe 2 Indonesia 2011. Diakses dari http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/31587792/revisi_final_KO NSENSUS_DM_Tipe_2_Indonesia_2011libre.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAJ56TQJRTWSMTNPEA&Expires=140457 5946&Signature=cem%2F3Y98m1cGcNqX1wjjoUy5Juo%3D pada 5 Juli 2014 pukul 22.00. Priyanto, S. (2012). Pengaruh Senam Kaki Terhadap Sensitivitas Kaki dan Kadar Gula Darah pada Aggregat Lansia Diabetes Melitus di Magelang. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok Rhee, M. K., Cook, C. B., Dunbar, V. G., Panayioto, R. M., & al, e. (2005). Limited health care access impairs glycemic control in low socioeconomic status urban african americans with type 2 diabetes. Journal of Health Care for the
Poor
and
Underserved,
16(4),
734-46.
Retrieved
from
http://search.proquest.com/docview/220586237?accountid=17242 Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L., & Cheever, K. H. (2010). Brunner & Suddarth’s textbook of medical-surgical nursing. 12th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health / Lippincott Williams & Wilkins Soewondo, P., Ferrario, A., & Tahapary, D. L. (2013). Challenges in diabetes management in indonesia: A literature review. Globalization and Health, 9, 63. doi:http://dx.doi.org/10.1186/1744-8603-9-63 Stanhope, M. & Lancaster, J. (2014). Public health nursing: Population-centered health care in the community, revised reprint. 8th ed. Missouri: Elsevier WHO. (2010). Global strategy on diet, physical activity and health: Physical activity. Diakses dari http://www.who.int/dietphysicalactivity/pa/en/ pada 20 Mei 2014 pukul 05.20 WIB
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
58
WHO. (2011). Global status report on noncommunicable diseases 2010. Geneva: WHO Press WHO.
(2013).
Diabetes.
Diakses
dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en/ pada 20 Mei 2014 pukul 05.20 WIB Wild, S., Roglic, G., Green, A., Sicree, R., & King, H. (2004). Global Prevalence of Diabetes: Estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care
27(5),
1047–1053.
Retrieved
from
www.who.int/diabetes/facts/en/diabcare0504.pdf Xu, D., Li, J., Zou, L., Xu, Y., Hu, D., Pagoto, S. L., & Ma, Y. (2010). Sensitivity and specificity of the ankle--brachial index to diagnose peripheral artery disease:
A
structured
review.
Vascular
Medicine,
15(5),
361-9.
doi:http://dx.doi.org/10.1177/1358863X10378376
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Lampiran 1
Pemeriksaan Laboratorium Jenis Pemeriksaan
Nilai
Nilai
Nilai
(08-05-2014)
(09-05-2014)
(10-05-2014)
Satuan
Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin (Hb)
9,4
g/dl
11,7-15,5
Hematokrit (Ht)
27
%
33-45
Leukosit
9,7
ribu/ul
5-10
Trombosit
161
ribu/ul
150-440
Eritrosit
3,73
juta/uL
4,40-5,90
86,7
fl
80,0-100,0
30,0
pg
26,0-34,0
34,6
g/dl
32,0-36,0
15,3
%
11,5-14,5
0
%
0-1
4
%
1-3
73
%
50-70
15
%
20-40
7
%
2-8
1
%
<4,5
1,6
%
0,50-1,50
VER/HER/KHER/RDW
VER
HER
KHER
RDW
Hitung Jenis
Basofil
Eosinofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
LUC
Retikulosit
Hemostasis
APTT
30,6
detik
27,4-39,3
Kontrol APTT
31,5
detik
-
PT
13,5
detik
11,3-14,7
Kontrol PT
13,5
detik
-
INR
1,00
Feritin
591
ng/ml
Serum Iron
135,0
mg/dl
TIBC
252
mg/dl
228-428
3,60
g/dl
3,40-4,80
28-365
Kimia Klinik Fungsi Hati
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Jenis Pemeriksaan
Nilai
Nilai
Nilai
(08-05-2014)
(09-05-2014)
(10-05-2014)
Satuan
Nilai Rujukan
mg/dl
2,4-5,7
Albumin 3,6
Fungsi Ginjal
Asam urat darah
163
mg/dl
20-40
Ureum darah
4,7
mg/dl
0,6-1,5
Kreatinin darah 5,9
%
4,5-6,3
4,9
mg/dl
2,4-4,9
Diabetes
HbA1c
Elektrolit Darah
Fosfor
Natrium (darah)
Kalium (darah)
Klorida (darah)
Calsium Ion
143
137
mmol/dl
135-147
4,99
3,92
mmol/l
3,10-5,10
120
113
mmol/l
95-108
mmol/l
1-1,15
1,17
7,370-7,440
7,358
Analisis Gas Darah
pH
PCO2
PO2
BP
HCO3
O2 Saturasi
BE (Base Excess)
Total CO2
27,4
mmHg
35-45
83,1
mmHg
83-108
751,0
mmHg
15,1
mmol/L
21-28
96
%
95-99
-8,7
mmol/L
-2,5-2,5
15,9
mmol/L
19,0-24,0
Sero-Imunologi Hepatitis
HbsAg
<0,10
-
(Non Reaktif)
Anti HCV
0,18
-
(Non Reaktif)
Urinalisis
Urobilinogen
0,2
EU/dl
<1
Protein urine
Positif 3
-
Negatif
Berat jenis
1,015
-
(1,005-1,030)
Bilirubin
Negatif
-
Negatif
Keton
Negatif
-
Negatif
Nitrat
Negatif
-
Negatif
pH
6,0
-
4,8-7,4
lekosit
Negatif
-
Negatif
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Jenis Pemeriksaan
Darah/Hb
Glukosa
Nilai
Nilai
Nilai
Satuan
Nilai Rujukan
(08-05-2014)
(09-05-2014)
(10-05-2014)
Positif 1
-
Negatif
Trace
-
Negatif
urin/reduksi
Warna
Kuning
-
Kuning
Kejernihan
Jernih
-
Jernih
Positif
-
Sedimen Urin
Epitel
Lekosit
1-2
/LPB
0-5
Eritrosit
1-3
/LPB
0-2
Slinder
Negatif
/LPK
Negatif
Kristal
Negatif
-
Negatif
Bakteri
Negatif
-
Negatif
Lain-lain
Negatif
-
Negatif
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Lampiran 2
Kurva Gula Darah Harian (KGDH) Tanggal 10 Mei 2014
11 Mei 2014
12 Mei 2014
Waktu
Nilai
11.00
152
17.00
157
06.00
118
11.00
155
17.00
120
06.00
104
11.00
113
17.00
141
Nilai Rujukan
90 mg/dl
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Lampiran 3
Daftar Terapi Medikasi Obat
Dosis
Waktu
CaCO3
500mg
07,12,18
Asam Folat
400mcg
07
Pengobatan anemia
Bicarbonat
650mg
07, 12,18
Asidosis metabolik
Omeprazole
20mg
07,18
Valsartan
80mg
07
Antihipertensi
Lasix
40mg
07
Diuretik
2g
18
Antibiotik
500mg
07
Antibiotik
Ceftriaxone Azithromycin
Tujuan Hiperacidity, hiperfosfatemia
GERD
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Lampiran 4
Analisis Data Data
Masalah Keperawatan
DS: BAK 1500 cc selama 24 jam dengan
Risiko ketidakseimbangan
warna kuning keruh. Minum 750 cc sehari.
volume cairan
DO:
Berat badan saat masuk 58 kg, berat badan sekarang atau 4 hari setelah masuk 57 kg
Turgor kulit cepat, membran mukosa lembab, tidak ada edema, tidak ada peningkatan distensi vena jugularis
Tekanan darah (TD) 140/80 mmHg, nadi 76 x/menit, napas 16 x/menit, dan suhu 36°C.
Keseimbangan cairan Insensible Water Loss (IWL) = 15 x Berat Badan = 15 x 57 = 855 cc
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
Hasil laboratorium: 8 Mei 2014: Hb ↓ 9,4 g/dL; Ht ↓ 27 %; Klorida darah ↑ 120 mmol/L, Calsium Ion darah ↑ 1,17 mmol/L. 10 Mei 2014: Ureum darah ↑ 163 mg/dl; Kreatinin darah ↑ 4,7 mg/dl
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Data (
Masalah Keperawatan
)
(
) (
)
DS: Kulit kadang terasa gatal. Baal di kaki.
Risiko gangguan integritas kulit
DO:
Inspeksi: Pruritus (+), Lesi (-), Kuku panjang dan hitam.
Keseimbangan cairan kurang dari kubutuhan (-1595 cc)
Hasil laboratorium: 10 Mei 2014: Ureum darah ↑ 163 mg/dl; pH ↓ 7,358; pCO2 ↓ 27,4 mmHg; HCO3 ↓ 15,1 mmol/L; BE ↓ -8,7 mmol/L (asidosis metabolik terkompensasi sebagian) Hiperglikemia kronis (Gula darah sewaktu 104-155 mg/dL)
DS: Keinginan segera pulang dan khawatir
Risiko ketidakseimbangan
tentang program HD dan pemasangan CDL.
tingkat glukosa darah
Riwayat DM tipe 2 sejak 10 tahun yang lalu. DO:
Penurunan aktivitas akibat baal di kaki dan penurunan fungsi penglihatan. Aktifitas di rumah sakit, yaitu istirahat di tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.
Hiperglikemia kronis (Gula darah sewaktu 104-155 mg/dL)
Penurunan berat badan 1 kg selama 4 hari
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Data
Masalah Keperawatan
DS: Kaki terasa baal dari ¾ betis hingga
Hambatan mobilitas fisik
telapak kaki. Penurunan fungsi penglihatan sehingga semua terlihat buram. DO: Penurunan waktu reaksi. Gaya berjalan membungkuk dan lambat. penurunan rentan gerak sendi terutama sendi jari kaki. Penurunan kekuatan otot
5555 5555
.
4555 5544
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Lampiran 6
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN No. 1.
Diagnosa Keperawatan Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulatori (gagal ginjal) dan diuresis osmotik (hiperglikemi)
Tujuan Intervensi Setelah dilakukan intervensi Mandiri selama 5x24 jam, pasien akan 1. Pantau denyut jantung, tekanan darah, menunjukkan keseimbangna turgor kulit, dan membran mukosa. cairan tubuh ditandai oleh keseimbangan masukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam, berat jenis atau hasil laboratorium mendekati normal, hipertensi stabil, tidak ada edema, turgor kulit cepat, membran mukosa lembab, denyut nadi normal, hipotensi 2. Catat masukan dan pengeluaran cairan. ortostatik tidak terjadi, dan tidak pusing.
Rasional Takikardia dan hipertensi terjadi karena (1) kegagalan ginjal untuk mengeluarkan urine, (2) pembatasan cairan berlebihan selama mengobati hipovolemia/hipotensi atau perubahan fase oliguria gagal ginjal, dan/atau perubahan pada sistem reninangiotensin. Catatan: Pengawasan invasif diperlukan untuk mengkaji volume kular, khususnya pada pasien dengan fungsi jantung buruk. Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan, dan penurunan risiko kelebihan cairan. Catatan: Hipervolemia terjadi pada fase anurik pada GGA.
3.
Awasi berat jenis urin.
Mengukur kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan urine. Pada gagal intrarenal, berat jenis biasanya sama/kurang dari 1,010 menunjukkan kehilangan kemampuan untuk memekatkan urine.
4.
Timbang berat badan setiap minggu.
Membantu menghindari periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan pilihan yang terbatas dan menurunkan rasa kekurangan dan haus.
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Intervensi Kaji kulit, wajah, area tergantung untuk edema. Evaluasi derajat edema (pada skala +1 sampai +4).
Rasional Edema terjadi terutama pada jaringan yang tergantung pada tubuh, contoh tangan, kaki, area lumbosakral. BB dapat meningkat sampai 4,5 kg cairan sebelum edema pitting terdeteksi. Edema periorbital dapat menunjukan perpindahan cairan ini, karena jaringan rapuh ini mudah distensi oleh akumulasi cairan walaupun minimal.
6.
Auskultasi paru dan bunyi jantung.
Kelebihan cairan dapat menimbulkan edema paru dan GJK dibuktikan oleh terjadinya bunyi napas tambahan jantung ekstra.
7.
Kaji tingkat kesadaran; selidiki perubahan mental, adanya gelisah.
Dapat menunjukkan perpindahan cairan, akumulasi toksin, asidosis, ketidakseimbangan elektrolit, atau terjadinya hipoksia.
5.
Kolaborasi 8. Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh: BUN, kreatinin.
Natrium dan kreatinin urine
Natrium serum
Kalium serum.
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Mengkaji berlanjutnya dan penanganan disfungsi/gagal ginjal. Meskipun kedua nilai mungkin meningkat, kreatinin adalah indikator yang lebih baik untuk fungsi ginjal karena tidak dipengaruhi oleh hidrasi, diet, dan katabolisme jaringan. Pada NTA, integritas fungsi tubular hilang dan resorpsi natrium terganggu, mengakibatkan peningkalan ekskresi natrium. Kreatinin urine biasanya menurun sesuai dengan peningkatan kreatinin serum. Hiponatremia dapat diakibatkan dari kelebihan cairan (dilusi) atau ketidakmampuan ginjal untuk menyimpan natrium. Hipernatremia menunjukkan defisit cairan tubuh total. Kekurangan ekskresi ginjal dan/atau retensi selektif kalium untuk mengekskresikan kelebihan ion
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Hb/Ht
9.
Batasi cairan sesuai indikasi.
10. Berikan obat sesuai indikasi seperti antihipertensi Valsartan. 2.
Risiko ketidakseimbangan tingkat glukosa darah berhubungan dengan diet, faktor stres, penurunan aktivitas fisik, perubahan status kesehatan fisik (CKD stage V), dan penurunan berat badan.
Setelah dilakukan intervensi Mandiri selama 6x24 jam, glukosa darah 1. Pantau glukosa darah dan pemeriksaan dalam kisaran yang memuaskan sesuai dengan rencana (senin, rabu, ditandai oleh fruktosamin jumat) dengan fingerstick. glukosa urin, glukosa darah (<200mg/dl), glycosylated hemoglobin (HbA1c), dan keton urin dalam kisaran yang memuaskan. 2. Tinjau program diet pasien dan pola yang biasa; bandingkan dengan asupan baru-baru ini.
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Rasional hidrogen (memperbaiki asidosis) menimbulkan hiperkalemia. Penurunan nilai dapat mengindikasikan hemodilusi (hipervolemia); namun selama gagal lama, anemia sering terjadi sebagai akihat kehilangan/penurunan produksi SDM. Kemungkinan penyebab lain (perdarahan aktif atau nyata) juga harus dievaluasi. Manajemen cairan diukur untuk menggantikan pengeluaran dari semua sumber ditambah perkiraan kehilangan yang tak tampak (metabolisme, diaforesis). Gagal prerenal (azotemia) diatasi dengan penggantian cairan dan/atau vasopresor. Pasien oliguria dengan volume sirkulasi adekuat atau kelebihan cairan yang tak responsif terhadap pembatasan cairan dan diuretik memerlukan dialisis. Diberikan untuk mengatasi hipertensi dengan efek berbalikan dari penurunan aliran darah ginjal, dan/atau kelebihan volume sirkulasi. Semua monitor glukosa yang tersedia akan memberikan bacaan yang memuaskan jika digunakan dengan benar dan dipelihara secara rutin dan dikalibrasi. Catatan: glukosa darah yang tidak stabil sering dikaitkan dengan kegagalan untuk melakukan pengujian pada jadwal teratur. Mengidentifikasi defisit dan penyimpangan dari rencana terapi, yang dapat memicu glukosa tidak stabil dan hiperglikemia tidak terkendali .
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan 3.
4.
5.
Intervensi Auskultasi suara usus. Catatan laporan sakit perut dan kembung, mual, atau muntah.
Identifikasi preferensi makanan, termasuk kebutuhan etnis dan budaya.
Amati tanda-tanda hipoglikemiaperubahan tingkat kesadaran, kulit dingin dan lembab, denyut nadi cepat, lapar, lekas marah, kecemasan, sakit kepala, penglihatan kabur, dan kegoyahan.
Kolaborasi 6. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa serum, aseton, pH, dan HCO3.
3.
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan prnurunan kekuatan otot, hambatan neuromuskular, dan gangguan sensori persptual penglihatan.
Setelah dilakukan intervensi Mandiri selama 3x24 jam, pasien akan 1. Kaji kebutuhan terhadap bantuan menunjukkan kemampuan pelayanan kesehatan di rumah dan untuk bergerak mandiri dengan kebutuhan terhadap peralatan atau tanpa alat bantu ditandai pengobatan. oleh mentoleransi
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Rasional Hiperglikemia dan cairan dan gangguan elektrolit menurunkan motilitas lambung dan fungsi yang mengakibatkan gastroparesis, mempengaruhi pilihan intervensi. Catatan: jangka panjang kesulitan pada gastroparesis dan motilitas usus buruk menunjukkan neuropati otonom yang mempengaruhi saluran pencernaan dan memerlukan pengobatan simtomatik. Memasukkan sebanyak makanan pilihan klien ke paket makan mungkin meningkatkan kerjasama dengan pedoman diet setelah pulang. Setelah metabolisme karbohidrat dimulai, kadar glukosa darah akan jatuh, dan insulin sedang disesuaikan, hipoglikemia mungkin terjadi. Jika klien koma, hipoglikemia mungkin terjadi tanpa perubahan penting dalam tingkat kesadaran . Hal ini berpotensi mengancam jiwa darurat harus dinilai dan diperlakukan cepat per protokol. Glukosa darah akan menurun perlahan dengan dikendalikan cairan penggantian dan terapi insulin. Dengan administrasi dosis insulin yang optimal, glukosa kemudian dapat masuk ke dalam sel dan digunakan untuk energi. Ketika ini terjadi, tingkat aseton menurun dan asidosis dikoreksi. Memfasilitasi program peningkatan mobilitas fisik hingga di rumah.
toleransi
No.
4.
Diagnosa Keperawatan
Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan substansi kimia, gangguan status metabolisme, dan gangguan sensasi.
Tujuan keseimbangan, koordinasi, 2. perpindahan posisi tubuh, berjalan, pergerakan sendi dan otot, dan dapat bergerak dengan mudah. 3.
Intervensi Pantau tanda-tanda vital, sensitivas kaki, dan kadar gula darah sebelum dan sesudah latihan.
Rasional Mengetahui toleransi aktivitas, efektivitas latihan, dan memantau glukosa darah.
Ajarkan dan bantu pasien dalam ROM aktif dan senam kaki.
Untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot, mempertahankan aliran darah adekuat, mencegah kelainan bentuk kaki, dan menjaga rentan gerak sendi.
4.
Berikan penguatan aktivitas.
selama
Meningkatkan semangat dan rasa percaya diri klien.
5.
Motivasi pasien untuk menggunakan alas kaki.
Mendukung untuk berjalan dan menjaga keamanan kaki.
6.
Libatkan keluarga dalam aktivitas dan promosi kesehatan.
Meningkatkan rasa harapan kemajuan dan perbaikan, dan menyediakan beberapa rasa kontrol dan kemerdekaan.
positif
Setelah dilakukan intervensi Mandiri selama 2x24 jam, pasien akan 1. Inspeksi dan perubahan kulit (warna, menunjukkan integritas kulit turgor, dan vaskularitas). Catat adanya dapat terjaga dibuktikan dengan kemerahan, eksoriasi, ekimosis dan elastisitas baik, perfusi jaringan purpura. baik, integritas kulit terjagam dan tidak muncul lesi pada kulit. 2. Monitor masukan cairan dan hidrasi kulit serta membran mukosa.
3.
Inspeksi adanya edema, tinggikan bagian kaki jika terdapat edema.
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Mengindikasikan area yang kekurangan sirkulasi dan kulit yang rusak mungkin dapat menyebabkan luka tekan dan enfeksi
Mendeteksi kondisis dehidrasi atau overhidrasi yang mempengaruhi sirkulasi dan integritas jaringan pada tingkat selular Jarinagn edema lebih mudah rusak. Elevasi bagian yang edema dapat membantu vena balik, membatasi venoustasis dan pembentukan edema
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional
4.
Minta keluarga untuk berikan minyak atau krim kulit.
Minyak atau krim kulit dapat meringankan kulit yang kering dan bersisik
5.
Jaga linen tetap kering dan tidak berlipat-lipat
Mengurangi iritasi dan resiko kulit rusak.
6.
Jaga kuku pasien tetap pendek
Mengurangi ketidaknyamanan dan merngurangi resiko cedera pada kulit
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Lampiran 6
CATATAN ASUHAN KEPERAWATAN No. 1.
Diagnosa Keperawatan Risiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan mekanisme regulatori (gagal ginjal) dan diuresis osmotik (hiperglikemi)
Tanggal 12 Mei 2014
1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
13 Mei 2014
1. 2.
3. 4.
Implementasi Mengkaji tingkat kesadaran. Memantau denyut jantung, tekanan darah, turgor kulit, dan membran mukosa. Mengkaji edema. Mengauskultasi paru dan bunyi jantung. Mencatat pengeluaran dan pemasukan cairan. Menimbang berat badan. Membatasi pemasukan cairan <1 liter/hari.
Evaluasi S: BAK 1500ml/hari, minum 750ml/hari. Pusing (-). Mual (+). Muntah (-). O: Kesadaran compos mentis. TD 140/80mmHg, nadi 76 x/menit, napas 16 x/menit, suhu 36,7°C. Edema (-). Bunyi paru vesikuler, bunyi jantung S1/S2. Turgorkulit cepat, membran mukosa lembab. Berat badan 57 kg. Keseimbangan cairan: Masukan-Keluaran = (750+843)-(1500+855) = 1593-2355 = -762 A: Risiko ketidakseimbangan volume cairan terjadi sebagian dibuktikan dengan ketidakseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam. P: Pantau tingkat kesadaran, status hidrasi, pemasukan dan pengeluaran cairan, dan edema. Pantau hasil laboratorium. Batasi masukan cairan <1 liter/hari.
Mengkaji tingkat kesadaran. Memantau denyut jantung, tekanan darah, turgor kulit, dan membran mukosa. Mengkaji edema. Mengauskultasi paru dan bunyi jantung.
S: BAK 1500ml/hari, minum 750ml/hari. Pusing (-). Mual (-). Muntah (-). O: Kesadaran compos mentis. TD 140/80mmHg, nadi 88 x/menit, napas 18 x/menit, suhu 36,5°C. Edema (-). Bunyi paru vesikuler, bunyi jantung S1/S2. Turgorkulit
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
No.
Diagnosa Keperawatan
Tanggal 5. 6. 7. 8.
14 Mei 2014
1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
Implementasi Mencatat pengeluaran dan pemasukan cairan. Menimbang berat badan. Membatasi pemasukan cairan <1 liter/hari. Memantau hasil laboratorium hematologi dan kimia klinik.
Evaluasi cepat, membran mukosa lembab. Berat badan 57 kg. Keseimbangan cairan: Masukan-Keluaran = (750+843)-(1500+855) = 1593-2355 = -762 Hasil laboratorium (13/5/14): Hb rendah 9,4 g/dl, Ht rendah 29%, Ureum darah tinggi 180 mg/dl, Kreatinin darah tinggi 6,1 mg/dl, Natrium darah 142 mmol/l, Kalium darah 3,35 mmol/l, Klorida darah tinggi 113 mmol/l. A: Risiko ketidakseimbangan volume cairan terjadi sebagian dibuktikan dengan ketidakseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam serta nilai Hb dan Ht di bawah nilai rujukan. P: Pantau tingkat kesadaran, status hidrasi, pemasukan dan pengeluaran cairan, dan edema. Batasi masukan cairan <1 liter/hari.
Mengkaji tingkat kesadaran. Memantau denyut jantung, tekanan darah, turgor kulit, dan membran mukosa. Mengkaji edema. Mengauskultasi paru dan bunyi jantung. Mencatat pengeluaran dan pemasukan cairan. Menimbang berat badan. Membatasi pemasukan cairan <1 liter/hari.
S: BAK 8 x/hari, minum 750ml/hari. O: Kesadaran compos mentis. TD 130/80mmHg, nadi 96 x/menit, napas 18 x/menit, afebris. Edema (-). Bunyi paru vesikuler, bunyi jantung S1/S2. Turgorkulit cepat, membran mukosa lembab. Berat badan 57 kg. A: Risiko ketidakseimbangan volume cairan tidak terjadi. P: Pantau tingkat kesadaran, status hidrasi, pemasukan dan pengeluaran cairan, dan edema. Batasi masukan cairan <1 liter/hari.
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
No.
Diagnosa Keperawatan
Tanggal 16 Mei 2014
1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
17 Mei 2014
1. 2.
3. 4. 5. 6. 7.
2.
Risiko ketidakseimbangan tingkat
12 Mei 2014
1.
Implementasi Mengkaji tingkat kesadaran. Memantau denyut jantung, tekanan darah, turgor kulit, dan membran mukosa. Mengkaji edema. Mengauskultasi paru dan bunyi jantung. Mencatat pengeluaran dan pemasukan cairan. Menimbang berat badan. Membatasi pemasukan cairan <1 liter/hari. Memantau hasil laboratorium. Memantau hasil post HD pertama.
Evaluasi S: BAK 8 x/hari, minum 600ml/hari. Lemas (+). O: Kesadaran compos mentis. TD 140/70mmHg, nadi 80 x/menit, napas 20 x/menit, suhu 36°C. Edema (-). Bunyi paru vesikuler, bunyi jantung S1/S2. Turgorkulit cepat, membran mukosa lembab. Berat badan 57 kg. Hasil laboratorium (15/5/14): Ureum darah tinggi 105 mg/dl, Kreatinin darah tinggi 3,6 mg/dl. Keseimbangan cairan HD: = (minum+makan+infus+sisa priming+wash out)-UF = (50+50+50+50)-500 = -300 ml A: Risiko ketidakseimbangan volume cairan tidak terjadi. P: Pantau tingkat kesadaran, status hidrasi, pemasukan dan pengeluaran cairan, dan edema. Batasi masukan cairan <1 liter/hari.
Mengkaji tingkat kesadaran. Memantau denyut jantung, tekanan darah, turgor kulit, dan membran mukosa. Mengkaji edema. Mengauskultasi paru dan bunyi jantung. Mencatat pengeluaran dan pemasukan cairan. Menimbang berat badan. Membatasi pemasukan cairan <1 liter/hari.
S: BAK 5 x/hari, minum 600ml/hari, Pusing (-), Mual (-). O: Kesadaran compos mentis. TD 140/80mmHg, nadi 84 x/menit, napas 14 x/menit, afebris. Edema (-). Bunyi paru vesikuler, bunyi jantung S1/S2. Turgorkulit cepat, membran mukosa lembab. Berat badan 57 kg. A: Risiko ketidakseimbangan volume cairan tidak terjadi. P: Pantau tingkat kesadaran, status hidrasi, pemasukan dan pengeluaran cairan, dan edema. Batasi masukan cairan <1 liter/hari. S:
Memantau glukosa darah sesuai
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
No.
Diagnosa Keperawatan glukosa darah berhubungan dengan diet, faktor stres, penurunan aktivitas fisik, perubahan status kesehatan fisik (CKD stage V), dan penurunan berat badan.
Tanggal
2.
3. 4.
13 Mei 2014
1. 2. 3. 4.
Implementasi rencana (senin, rabu, jumat) dengan fingerstick. Memantau program diet dan pola klien biasanya, membandingkan dengan asupan baru-baru ini. Mengauskultasi bising usus dan mencatat keluhan. Mengamati tanda-tanda hipoglikemi dan hiperglikemi.
Evaluasi Kebiasaan makan menggunakan banyak bumbu, namun selama di RS klien menambahakan saos botol ke makanannya agar lebih terasa. Keluahan kadang merasa mual. Makan habis ¾ porsi. O: KGDH (12/5/14) pukul 08.00 104 mg/dl, pukul 11.30 113 mg/dl, pukul 17.00 141 mg/dl. Bising usus 3 x/menit. Tidak ada tanda hipoglikemi atau hiperglikemi A: Risiko ketidakseimbangan tingkat glukosa darah tidak terjadi. P: Tinjau program diet. Pantau glukosa darah. Amati tanda hipoglikemi atau hiperglikemi.
Memantau asupan diet harian. Mengidentifikasi pilihan makanan (kebutuhan dan etnis). Mengamati tanda-tanda hipoglikemi dan hiperglikemi. Memantau glukosa darah sesuai rencana (senin, rabu, jumat) dengan fingerstick.
S: Kebiasaan makan makanan khas betawi seperti ikan air tawar, sambal trasi, semur jengkol. Makan habis ¾ porsi. Mudah lapar (-), cemas (+), sakit kepala (-), penglihatan kabur (+). O: Kesadaran kompops mentis, akral hangat, tenang, kelemahan (-), nadi 88 x/menit. KGDH (13/5/14) pukul 06.00 125 mg/dl, pukul 11.00 147 mg/dl, pukul 16.00 219 mg/dl, pukul 17.00 170 mg/dl A: Risiko ketidakseimbangan tingkat glukosa darah tidak terjadi. P: Pantau asupan diet. Pantau glukosa darah. Amati tanda hipoglikemi atau hiperglikemi.
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
No.
Diagnosa Keperawatan
Tanggal 14 Mei 2014
1. 2. 3.
16 Mei 2014
1. 2. 3.
17 Mei 2014
1. 2. 3.
Implementasi Memantau asupan diet harian. Mengamati tanda-tanda hipoglikemi dan hiperglikemi. Memantau glukosa darah sesuai rencana (senin, rabu, jumat) dengan fingerstick.
Evaluasi S: Mudah lapar (-), cemas (+), sakit kepala (-), penglihatan kabur (+). BAB 1x pagi. O: Makan habis ¾ porsi. Kesadaran kompops mentis, akral hangat, tenang, kelemahan (-), nadi 96 x/menit. KGDH (14/5/14) pukul 06.00 138 mg/dl, pukul 18.00 183 mg/dl A: Risiko ketidakseimbangan tingkat glukosa darah tidak terjadi. P: Pantau asupan diet. Pantau glukosa darah. Amati tanda hipoglikemi atau hiperglikemi.
Memantau asupan diet harian. Mengamati tanda-tanda hipoglikemi dan hiperglikemi. Memantau glukosa darah sesuai rencana (senin, rabu, jumat) dengan fingerstick.
S: Mudah lapar (-), cemas (+), sakit kepala (-), penglihatan kabur (+). BAB 1x pagi. O: Makan habis ¾ porsi. Kesadaran kompops mentis, akral hangat, tenang, kelemahan (-), nadi 80 x/menit. KGDH (16/5/14) pukul 05.00 123 mg/dl, pukul 10.00 174 mg/dl A: Risiko ketidakseimbangan tingkat glukosa darah tidak terjadi. P: Pantau asupan diet. Pantau glukosa darah. Amati tanda hipoglikemi atau hiperglikemi.
Memantau asupan diet harian. Mengamati tanda-tanda hipoglikemi dan hiperglikemi. Menyertakan keluarga dalam perencanaan makan di rumah.
S: Keluarga mengatakan akan membuat porsi dan jenis makanan seperti di rumah sakit. Mudah lapar (-), cemas (+), sakit kepala (-), penglihatan kabur (+). BAB 1x pagi. O:
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
No.
3.
Diagnosa Keperawatan
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan prnurunan kekuatan otot, hambatan neuromuskular, dan gangguan sensori persptual penglihatan.
Tanggal
13 Mei 2014
Implementasi
1.
2. 3. 4.
Mengkaji tanda-tanda vital, sensitivas kaki, dan glukosa darah sewaktu. Mengajarkan klien dalam ROM aktif. Memberikan penguatan positif selama aktivitas. Memotivasi klien untuk menggunakan alas kaki.
Evaluasi Makan habis ¾ porsi. Kesadaran kompops mentis, akral hangat, tenang, kelemahan (-), nadi 84 x/menit. A: Risiko ketidakseimbangan tingkat glukosa darah tidak terjadi. P: Pantau kadar gula darah harian. S: Klien sudah memiliki alas kaki dan akan memakainya untuk berjalan keluar dari tempat tidur. O: TD 140/80mmHg, nadi 88 x/menit, napas 18 x/menit, suhu 36,5°C. Sensitivitas telapak kaki: 2 2 3 3 1 1 kanan kiri Skala 3 dengan kapas, skala 2 dengan sikat, skala 1 dengan jarum, skala 0 tidak terasa sama sekali. Glukosa darah sebelum latiha (07.00) 170 mg/dl. Keseimbangan masih berkurang dan berjalan lambat. mudah berpindah posisi dan tempat, rentan gerak sendi berkurang di jari kaki kanan. A: Hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian dibuktikan dengan gangguan keseimbangan, penurunan rentan gerak, dan kekuatan otot. P: Kaji tanda-tanda vital, sensitivitas telapak kaki, dan glukosa darah. Ajarkan senam kaki dengan bahan kertas koran.
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
No.
Diagnosa Keperawatan
Tanggal 17 Mei 2014
1.
2.
3. 4. 5. 6.
Implementasi Mengkaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan di rumah. Mengkaji tanda-tanda vital, sensitivas kaki, dan glukosa darah sewaktu. Mengajarkan klien senam kaki. Memberikan penguatan positif selama aktivitas. Memotivasi klien untuk menggunakan alas kaki. Melibatkan keluarga dalam aktivitas senam kaki dan membuat kontrak latihan 3x/meninggu.
Evaluasi S: Klien lebih sering beraktivitas di rumah sehingga tidak membutuhkan alat bantu mobilisasi. Jika keluar rumah, klien ditemani anak. Anak dan cucu setiap hari di rumah bersama klien. Klien mau melakukan latihan senam kaki 3x seminggu. O: Sebelum latihan TD 140/80mmHg, nadi 82 x/menit, napas 14 x/menit. Sesudah latihan TD 140/80mmHg, nadi 84 x/menit, napas 16 x/menit. Sensitivitas telapak kaki: Sebelum latihan 2 2 3 3 1 1 kanan kiri Sesudah latihan 2 2 3 3 1 1 kanan kiri Skala 3 dengan kapas, skala 2 dengan sikat, skala 1 dengan jarum, skala 0 tidak terasa sama sekali. Keseimbangan masih berkurang dan berjalan lambat. mudah berpindah posisi dan tempat, rentan gerak sendi berkurang di jari kaki kanan. A: Hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian dibuktikan dengan gangguan keseimbangan, penurunan rentan gerak, dan kekuatan otot. P: Kaji tanda-tanda vital, sensitivitas telapak kaki, dan
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
No.
Diagnosa Keperawatan
Tanggal
21 Mei 2014
Implementasi
1.
2. 3.
Mengkaji tanda-tanda vital, sensitivas kaki, dan glukosa darah sewaktu. Mengajarkan klien senam kaki. Memberikan penguatan positif selama aktivitas.
Evaluasi glukosa darah. Ajarkan senam kaki dengan bahan kertas koran. S: Setelah latihan terasa capek dan berkeringat. O: Sebelum latihan TD 140/80mmHg, nadi 84 x/menit, napas 15 x/menit. Sesudah latihan TD 140/80mmHg, nadi 86 x/menit, napas 16 x/menit. Sensitivitas telapak kaki: Sebelum latihan 2 2 3 3 1 1 kanan kiri Sesudah latihan 2 2 3 3 1 1 kanan kiri Skala 3 dengan kapas, skala 2 dengan sikat, skala 1 dengan jarum, skala 0 tidak terasa sama sekali. Keseimbangan masih berkurang dan berjalan lambat. mudah berpindah posisi dan tempat, rentan gerak sendi berkurang di jari kaki kanan. A: Hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian dibuktikan dengan gangguan keseimbangan, penurunan rentan gerak, dan kekuatan otot. P: Kaji tanda-tanda vital, sensitivitas telapak kaki, dan glukosa darah. Ajarkan senam kaki dengan bahan kertas
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
No.
Diagnosa Keperawatan
Tanggal
Implementasi
Evaluasi koran.
23 Mei 2014
1.
2. 3. 4.
Mengkaji tanda-tanda vital, sensitivas kaki, dan glukosa darah sewaktu. Mengajarkan klien senam kaki. Memberikan penguatan positif selama aktivitas. Memotivasi klien untuk melanjutkan di rumah.
S: Setelah latihan terasa capek dan berkeringat. O: Sebelum latihan TD 150/70mmHg, nadi 88 x/menit, napas 15 x/menit. Sesudah latihan TD 140/70mmHg, nadi 84 x/menit, napas 16 x/menit. Sensitivitas telapak kaki: Sebelum latihan 2 2 3 3 1 1 kanan kiri Sesudah latihan 2 2 3 3 1 1 kanan kiri Skala 3 dengan kapas, skala 2 dengan sikat, skala 1 dengan jarum, skala 0 tidak terasa sama sekali. Glukosa darah sebelum latihan 203 mg/dl Glukosa darah setelah latihan 188 mg/dl Keseimbangan masih berkurang dan berjalan lambat. mudah berpindah posisi dan tempat, rentan gerak sendi berkurang di jari kaki kanan. A: Hambatan mobilitas fisik teratasi sebagian dibuktikan dengan gangguan keseimbangan, penurunan rentan gerak, dan kekuatan otot. P: Kaji tanda-tanda vital, sensitivitas telapak kaki, dan
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
No.
4.
Diagnosa Keperawatan
Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan substansi kimia, gangguan status metabolisme, dan gangguan sensasi.
Tanggal
14 Mei 2014
Implementasi
1. 2. 3. 4.
5. 6.
16 Mei 2014
1. 2.
Meninspeksi perubahan kulit. Memonitor status hidrasi Menginspeksi adanya edema. Meminta keluarga untuk memberikan minyak pada kulit klien. Menjaga linen tetap kering dan rapi. Memotong kuku klien.
Menginspeksi perubahan kulit dan adanya edema. Memonitor status hidrasi
Evaluasi glukosa darah. Ajarkan senam kaki dengan bahan kertas koran. S: Minum 750 cc/hari. Klien mengatakan akan mengambil minyak di rumah. O: Kemerahan (-), eksoriasis (-), ekimosis (-), ekimosis (-), pur-pura (-), edama (-). Turgor kulit cepat, membran mukosa lemabab. A: Risiko gangguan integritas kulit tidak terjadi. P: Inspeksi perubahan kulit dan pantau status hidrasi. S: Minum 600 cc/hari. O: Kemerahan (-), eksoriasis (-), ekimosis (-), ekimosis (-), pur-pura (-), edama (-). Turgor kulit cepat, membran mukosa lemabab. A: Risiko gangguan integritas kulit tidak terjadi. P: Minta keluarga untuk memberikan minyak untuk pelembab kulit. Minta klien untuk menjaga kuku agar tetap pendek dan bersih.
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Lampiran 7
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Lampiran 8 PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI JAWA TENGAH 2013
PENGARUH SENAM KAKI TERHADAP SENSITIVITAS KAKI DAN KADAR GULA DARAH PADA AGGREGAT LANSIA DIABETES MELITUS DI MAGELANG Sigit Priyanto¹, Junaiti Sahar², Widyatuti³ 1)
Keperawatan Kmunitas FIKES UNIV. MUHAMMADIYAH MAGELANG JL. Mayjend Bambang Soegeng Mertoyudan Magelang Email:
[email protected] 2)
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 3)
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Abstrak Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki dan kadar gula darah pada aggregate lansia diabetes melitus di Magelang. Penelitian eksperimen semu desain pre and post test group design with control group. Sampel secara aksidental atau convenience sampling, 125 responden (62 lansia kelompok intervensi dan 63 kelompok kontrol). Instrumen penilaian menggunakan skala sensitivitas dan nilai kadar gula darah. Senam kaki dilakukan 3 kali seminggu selama 4 minggu. Hasil penelitian kadar gula darah lebih baik pada lansia sesudah diberikan senam kaki (p value 0,000). Sensitivitas kaki lebih baik pada lansia sesudah diberikan latihan senam kaki (p value 0,000). Kata kunci: senam kaki, sensitivitas kaki, kadar gula darah
. Pengaruh Senam Kaki Terhadap Sensitivitas Kaki Dan Kadar Gula Darah 76Pada Aggregat Lansia Diabetes Melitus Di Magelang Sigit Priyanto, Junaiti Sahar, Widyatuti
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI JAWA TENGAH 2013 PENDAHULUAN Proses menua menjadikan lanjut usia (lansia) sebagai populasi yang rentan terhadap masalah, baik fisik, psikologis, dan sosial, khususnya yang terkait dengan proses menua. Kerentanan mengacu pada kondisi individu yang lebih sensitif terhadap faktor risiko daripada yang lain (O’Connor, 1994 dalam Stanhope & Lancaster, 2000). Kelompok beresiko (population risk) dapat menyebabkan terjadinya diabetes melitus. Population risk meliputi kelompok tertentu di komunitas atau masyarakat yang mengalami keterbatasan fisik, sosial, ekonomi, gaya hidup dan kejadian hidup atau pengalaman hidup dapat sebagai penyebab terjadinya masalah kesehatan (Stanhope & Lancaster, 2004). Suatu kelompok yang memiliki risiko atau kombinasi risiko salah satunya misalnya kemiskinan atau status sosial ekonomi rendah (DHHS, 2000, 2008 dalam Lundy & Janes, 2009), yang dapat mempengaruhi kesehatan, biasanya menjadi lebih lebih mudah atau rentan terserang penyakit. Kelompok sosial yang mempunyai peningkatan risiko atau kerentanan terhadap kesehatan yang buruk (Fkaskerud and Winslow, 1998 dalam Stanhope & Lancaster, 2004), Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, dan atau peningkatan resistensi insulin seluler terhadap insulin. Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik diabetik melitus lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular. Ulkus diabetikum merupakan salah satu komplikasi diabetes melitus pada sistem integumen, diawali dengan adanya rasa baal Kelompok
Sebelum Intervensi Mean SD
Sesudah Intervensi Mean SD
Intervensi 271,94 60,53 243,23 49,73 Kontrol 264,08 52,64 273,35 50,85 Catatan: *) sampel sebelum dan sesudah intervensi sama
menjadi suatu tindakan pemotongan amputasi kaki. Adanya luka dan masalah lain pada kaki merupakan penyebab utama kesakitan morbiditas, ketidakmampuan disabilitas, dan kematian mortalitas pada seseorang yang menderita diabetes melitus (Soegondo, 2009). Peran perawat komunitas dalam memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat sangat diperlukan dalam mengelola permasalahan kesehatan yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas dan kadar gula darah pada aggregate lansia di Magelang. METODOLOGI Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitian yaitu quasi eksperimental. Kelompok subyek yang diobservasi sebelum dilakukan intervensi, kemudian diobservasi kembali segera setelah dilaksanakan intervensi (Sastroasmoro & Ismael, 2010). Menggunakan rancangan pre and post test group design with control group. Pengamatan terjadinya penurunan kadar gula darah dan peningkatan sensitivitas ujung telapak kaki sesudah dilakukan senam kaki diabet. Hal ini dilakukan pada responden penelitian untuk melihat pengaruh senam kaki diabet terhadap penurunan kadar gula darah dan peningkatan sensitivitas ujung telapak kaki pada lansia diabetes melitus di Desa Pasuruhan Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang. Rancangan tersebut diatas dapat dilihat pada gambar sebagai berikut menurut Burn dan Grove, (2005). t
p value
7,59 3,18
0,000 0.02
atau kesemutan. Kebiasaan maupun perilaku masyarakat seperti kurang menjaga kebersihan kaki dan tidak menggunakan alas kaki saat beraktivitas akan beresiko terjadi perlukaan pada daerah kaki. Keadaan kaki diabetik lanjut yang tidak ditangani secara tepat dapat /berkembang
HASIL Analisis Kadar Gula Darah Sebelum dan Sesudah Perlakuan Senam Kaki Pada Lansia di Magelang tahun 2012 (n=125) Menunjukkan rata-rata kadar gula darah sebelum perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 271,94 (SD= 60,53) dan pada kelompok kontrol
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI JAWA TENGAH 2013 rata-rata kadar gula darah sebesar 264,08 (SD= 52,64).
Menunjukkan ada perbedaan secara bermakna rata-rata kadar gula darah sebelum dilakukan senam kaki dengan kadar gula darah sesudah dilakukan senam kaki pada kelompok intervensi (t= 7,59; p value = 0,000).
Rata-rata kadar gula darah sesudah perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 243,73 (SD= 49,73) dan pada kelompok kontrol rata-rata kadar gula darah sebesar 273,35 (SD= 50,85).
Ada perbedaan secara bermakna rata-rata kadar gula darah sebelum dilakukan senam kaki dengan kadar gula darah sesudah dilakukan senam kaki pada kelompok kontrol (t= 3,18; p value= 0,02).
Analisis Sensitivitas Kaki Sebelum dan Sesudah Perlakuan Senam Kaki Pada Lansia di Magelang tahun 2012 (n=125)
Analisis Perbedaan Sensitivitas Kaki Sebelum dengan Sesudah Perlakuan Senam Kaki Pada Lansia di Magelang tahun 2012 (n=125)
Tabel 5.2 menunjukkan rata-rata sensitivitas kaki sebelum perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 1,81 (SD= 0,72) dan pada kelompok kontrol rata-rata sensitivitas kaki sebesar 1,92 (SD= 0,75).
Kelompok Intervensi Kontrol
Sebelum Intervensi Mean SD 1,81 0,72 1,92 0,75
Sesudah Intervensi Mean SD 2,68 0,47 1,87 0,73
Kelompok
Selisih mean
Intervensi Kontrol
0,87 0,48
Rata-rata sensitivitas kaki sesudah perlakuan pada kelompok intervensi sebesar 2,68 (SD= 0,47) dan pada kelompok kontrol rata-rata sensitivitas kaki sebesar 1,87 (SD= 0,73). Selisih mean sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah pada kelompok intervensi sebesar 28,71 sedangkan pada kelompok kontrol sebesar 9,27. Analisis Perbedaan Kadar Gula Darah Sebelum dengan Sesudah Perlakuan Senam Kaki Pada Lansia di Magelang tahun 2012 (n=125) Catatan: *) sampel sebelum dan sesudah intervensi sama
Intervensi Kontrol
Sebelum Intervensi Mean SD 271,94
60,5 3
264,08
52,6 4
Sesudah Intervensi Mean SD 243,23 49,73 273,35 50,85
Selisih mean 28,71 9,27
Catatan: *) sampel sebelum dan sesudah intervensi sama
Catatan: *) sampel sebelum dan sesudah intervensi sama
Kelompok
Sebelum Intervensi Mean SD 271,94 60,53 264,08 52,64
Menunjukkan ada perbedaan secara bermakna rata-rata sensitivitas kaki sebelum dilakukan senam kaki dengan sensitivitas kaki sesudah dilakukan senam kaki pada kelompok intervensi (t= 14,87; p value= 0,000). Tidak ada perbedaan secara bermakna rata-rata sensitivitas kaki sebelum dilakukan senam kaki dengan sensitivitas kaki sesudah dilakukan senam kaki pada kelompok kontrol (t= 1,76; p value= 0,083). Analisis Perbedaan Kadar Gula Darah Sesudah Perlakuan Senam Kaki Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol Pada Lansia di Magelang tahun 2012 (n=125)
t
p value
0,56
0,581
Sesudah Intervensi Mean SD 243,2 3
49,73
273,3 5
50,85
t
p value
6,34
0,000
Catatan: *) sampel sebelum dan sesudah intervensi sama
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI JAWA TENGAH 2013 Menunjukkan tidak ada perbedaan secara bermakna rata-rata kadar gula darah sebelum dilakukan senam kaki pada kelompok intervensi dengan kadar gula darah sebelum dilakukan senam kaki pada kelompok kontrol (t= 0,56; p value= 0,581)
Ada perbedaan secara bermakna rata-rata kadar gula darah sesudah dilakukan senam kaki pada kelompok intervensi dengan kadar gula darah sesudah dilakukan senam kaki pada kelompok kontrol (t= 6,34; p value= 0,000)
Analisis Perbedaan Sensitivitas Kaki Sesudah Perlakuan Senam Kaki Kelompok Intervensi dengan Kelompok Kontrol Pada Lansia di Magelang tahun 2012 (n=125)
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI JAWA TENGAH 2013
Kelompok Intervensi Kontrol
Sebelum Intervensi Mean SD 1,81
0,72
1,92
0,75
t
p value
1,93
0,059
Sesudah Intervensi Mean SD 2,68
0,47
1,87
0,73
t
p value
10,64
0,000
Menunjuk kan tidak ada perbedaan secara bermakna rata-rata kadar gula darah sebelum dilakukan senam kaki pada kelompok intervensi dengan kadar gula darah sebelum dilakukan senam kaki pada kelompok kontrol (t= 1,93; p value= 0,059). Ada perbedaan secara bermakna rata-rata kadar gula darah sesudah dilakukan senam kaki pada kelompok intervensi dengan kadar gula darah sesudah dilakukan senam kaki pada kelompok kontrol (t= 10,636; p value= 0,000) Sensitivitas kaki lebih baik pada lansia sesudah diberikan senam kaki pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh senam kaki terhadap sensitivitas kaki. PEMBAHASAN/ DISKUSI Perubahan nilai kadar gula darah sebelum dan sesudah lansia diberikan intervensi di Kabupaten Magelang. Berdasar hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan perbedaan selisih mean rata-rata kadar gula darah sebelum dengan sesudah intervensi pada kelompok intervensi lebih tinggi dibanding selisih mean rata-rata sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah intervensi pada kelompok kontrol. Hal ini menggambarkan bahwa lansia yang diberikan intervensi atau perlakuan senam kaki relatif memiliki nilai kadar gula darah yang rendah darah. Nilai kadar gula darah yang rendah ini menggambarkan terjadinya perbaikan nilai kadar gula darah setelah dilakukan senam kaki. Penurunan kadar gula darah menunjukkan terjadinya penurunan tingkat gangguan diabetes, karena tingkat keparahan diabetes melitus lansia akan ditunjukkan dengan adanya kadar gula darah yang semakin tinggi, melebihi nilai ambang batas normal.
Hal tersebut sejalan pernyataan dari WHO, 2008, diabetes melitus merupakan keadaan hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersamasama, dan mempunyai karakteristik hiperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Faktor utama yang harus dikendalikan adalah nilai kadar gula darah, diupayakan dalam rentang normal atau mendekati rentang normal. Tingginya angka atau kadar gula darah menunjukkan tingkat kesakitan yang terjadi. Tanda-tanda awal yang
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI JAWA TENGAH 2013
biasanya dirasakan lansia seperti banyak makan, banyak kencing, banyak minum seandainya dilakukan pemeriksaan gula darah lebih lanjut akan menunjukkan adanya peningkatan. Pendapat Stanhope & Lancaster, 2004 yang menyatakan bahwa lansia termasuk suatu kelompok rentan (vulnerable population) yang lebih mudah untuk mengalami masalah kesehatan sebagai akibat terpajan resiko atau akibat buruk dari masalah kesehatan. Salah satu masalah yang berkaitan dengan bertambahnya usia yaitu diabetes melitus. Lansia yang kadar gula darahnya tinggi, akan menjadikan viskositas atau kekentalan darah tinggi, sehingga akan menghambat sirkulasi darah dan persyarafan terutama daerah atau ujung kaki sebagai tumpuan tubuh utama. Viskositas yang tinggi ini juga akan meningkatkan kemampuan bakteri untuk merusak sel-sel tubuh, sehingga kalau terjadi luka cenderung sulit atau lama proses penyembuhannya. Salah satu upaya yang dapat membantu meningkatkan sirkulasi darah yaitu melakukan aktivitas atau latihan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Miller, 2004, dengan teori aktivitasnya yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses tergantung dari bagaimana lansia merasakan kepuasan dalam melakukan dan mempertahankan aktivitas. Hal ini berkaitan dengan interaksi sosial dan keterlibatan lansia di lingkungannya sehingga kehilangan peran akan menghilangkan kepuasan seorang lansia. Pendapat itu juga diperkuat oleh Barnedh 2006 yang menyatakan bahwa aktivitas fisik mempunyai hubungan bermakna dengan gangguan ekstremitas dimana aktivitas fisik yang rendah, salah satunya tidak teratur berolahraga berisiko untuk terjadinya gangguan gerak. Masalah lain yang sering terjadi pada lansia berkaitan pengendalian gula darah adalah sering terjadinya kebosanan, tidak adanya motivasi dan keputusasaan pada lansia. Kondisi tersebut menurut teori Health Promotion Model perlu diberikan intervensi melalui edukasi, supporting dari perawat, dengan juga menerapkan prinsipprinsip teori psikososial, sehingga permasalahan kurangnya motivasi untuk menjaga kesehatan pada lansia dapat diatasi. Penulis berpendapat, kalau akan mengatasi atau mengelola diabetes melitus, harus diikuti dengan mengendalikan kadar gula darah. Kondisi ini mutlak harus dilakukan karena tingkat kesakitan yang terjadi disebabkan atau ditunjukkan seberapa tinggi terjadinya penyimpangan kadar gula darah dari ambang normal. Upaya mengendalikan gula darah tidak efektif hanya dilakukan dengan pengobatan saja. Hal tersebut dikarenakan lansia yang mengalami diabetes melitus disebabkan oleh kerusakan pancreas dalam memproduksi insulin, dimana insulin ini berfungsi dalam mengendalikan kadar gula darah. Untuk menunjang peran pankreas yang mengalami kerusakan tadi, perlu didukung faktor lain yang mempunyai fungsi yang sama yaitu dalam mempengaruhi produksi gula darah. Faktor penting lain yang mempengaruhi produksi insulin adalah diit dan latihan. Diit berkaitan pemilihan dan kepatuhan dalam mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar gula yang dianjurkan. Terutama makan makanan yang rendah gula. Sedang latihan yang dianjurkan adalah aktivitas yang dapat membantu menurunkan kadar gula darah seperti jalajalan, senam tubuh dan senam kaki sesuai kebutuhan. Perubahan nilai sensitivitas kaki sebelum dan sesudah lansia diberikan intervensi di Kabupaten Magelang. Berdasar hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan perbedaan selisih mean rata-rata sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah intervensi pada kelompok intervensi lebih tinggi dibanding selisih mean rata-rata sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah intervensi pada kelompok kontrol. Hal ini menggambarkan bahwa lansia yang diberikan intervensi atau perlakuan relatif memiliki sensitivitas lebih tinggi dibandingkan lansia yang tidak mendapatkan perlakunan senam kaki. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian di Spanyol yang dilakukan oleh Calle dkk. Pada 318 diabetisi dengan neuropati dilakukan perawatan kaki diabet yang dilakukan dengan menjaga sirkulasi darah kaki dihasilkan kelompok yang tidak
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI JAWA TENGAH 2013
melakukan perawatan kaki 13 kali berisiko terjadi ulkus diabetika dibandingkan kelompok yang melakukan perawatan kaki secara teratur (Calle, Pascual, Duran, 2001). Senam kaki merupakan salah satu bentuk keterampilan dimana untuk mencapai peningkatannya diperlukan waktu yang lama dan teratur serta harus dipraktekkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Sahar (2002) yang menyebutkan bahwa ada peningkatan keterampilan secara signifikan setelah 6 bulan latihan. Begitu pula penelitian Barnett, et al. (2003, dalam Anonim, 2007) yang mendapati bahwa latihan fisik yang dilakukan 1 jam per minggu selama satu tahun dapat menurunkan angka kerusakan sebesar 40 %. Oleh karena itu, senam kaki yang dilakukan secara teratur dan seimbang dapat berdampak positif bagi lansia. Penelitian yang dilakukan oleh Hastuti (2008) didapatkan proporsi perawatan kaki diabetisi tidak teratur pada kasus sebesar 88,9% dan kontrol 52,8%. Sedang menurut Perkeni, 2006, perawatan kaki diabetisi yang teratur akan mencegah atau mengurangi terjadinya komplikasi kronik pada kaki. Menurut penulis, aktivitas fisik khususnya senam kaki akan membantu meningkatkan aliran darah di daerah kaki sehingga akan membantu menstimuli syaraf-syarat kaki dalam menerima rangsang. Hal ini akan meningkatkan sensitivitas kaki terutama pada penderita diabetes melitus. Kondisi tersebut didukung hasil penelitian yang dilakukan di Magelang yang menunjukkan peningkatan rata-rata sensitivitas kaki pada kelompok intervensi yang dilakukan senam kaki dibanding kelompok yang tidak dilakukan senam kaki. Lansia yang melakukan senam kaki mempunyai sensitivitas lebih baik dibandingkan lansia yang tidak melakukan senam kaki. Pada kelompok kontrol, responden tidak dilakukan intervensi berupa senam kaki ataupun pergerakan daerah kaki, hasil penelitian didapatkan ada perbedaan sensitivitas kaki sebelum dan sesudah, tetapi perubahan rata-rata mean nya lebih kecil daripada perubahan ratarata mean kelompok intervensi. Hasil penelitian ini senada dengan penelitian di Swiss oleh Rocher dikutip oleh Wibisono pada penderita diabetes melitus dengan neuropati, hasil penelitian olah raga tidak teratur akan beresiko terjadi ulkus diabetika lebih tinggi 4 kali dibandingkan dengan olah raga yang teratur. Komplikasi menahun dari diabetes melitus, salah satunya adalah kelainan pada kaki diawali dengan terjadinya gangguan sensitivitas yang disebut sebagai kaki diabetik. Komplikasi yang paling sering dialami pengidap diabetes adalah komplikasi pada kaki 15% yang kini disebut kaki diabetes (Hendratmo, 2004, Wibowo, 2004, Cunha, 2005). Menurut Misnadiarly, 2007, di negara berkembang prevalensi kaki diabetik didapatkan jauh lebih besar dibandingkan dengan negara maju yaitu 2-4%, prevalensi yang tinggi ini disebabkan kurang pengetahuan penderita akan penyakitnya, kurangnya perhatian tenaga kesehatan terhadap komplikasi serta rumitnya cara pemeriksaan yang ada saat ini untuk mendeteksi kelainan tersebut secara dini Pengelolaan kaki diabetes mencakup pengendalian gula darah, debridemen/ membuang jaringan yang rusak, pemberian antibiotik, dan obat-obat vaskularisasi.. Komplikasi kaki diabetik adalah penyebab amputasi ekstremitas bawah nontraumatik yang paling sering terjadi di dunia industri. Sebagian besar komplikasi kaki diabetik mengakibat kan amputasi yang dimulai dengan pembentukan ulkus di kulit. Risiko amputasi ekstremitas bawah 15-46 kali lebih tinggi pada penderita diabetik dibandingkan dengan orang yang tidak menderita diabetes melitus. Selain daripada itu menurut Amstrong & Lawrence, 1998, komplikasi kaki merupakan alasan tersering seseorang harus dirawat dengan diabetes, berjumlah 25% dari seluruh rujukan diabetes di Amerika Serikat dan Inggris. Gangguan sensitivitas akan menyebabkan berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang kemudian menyebabkan degenerasi dari serabut saraf. Keadaan ini
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI JAWA TENGAH 2013
akan mengakibatkan neuropati. Di samping itu, dari kasus ulkus/ gangren diabetes kaki diabetes melitus, 50% akan mengalami infeksi akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteribakteri yang akan tumbuh subur terutama bakteri anaerob. Hal ini karena plasma darah penderita diabetes yang tidak terkontrol dengan baik, mempunyai kekentalan (viskositas) yang tinggi. Sehingga aliran darah menjadi melambat. Akibatnya, nutrisi dan oksigen jaringan tidak cukup. Hal ini menyebabkan luka sukar sembuh dan kuman anaerob berkembang biak. SIMPULAN Rata-rata kadar gula darah sebelum dilakukan senam kaki pada kelompok intervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Rata-rata kadar gula darah sesudah dilakukan senam kaki pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok kontrol. Rata-rata sensitivitas kaki sebelum dilakukan senam kaki pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok kontrol. Rata-rata sensitivitas kaki sesudah dilakukan senam kaki pada kelompok intervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Rata-rata kadar gula darah sebelum dengan sesudah dilakukan senam kaki kelompok intervensi menurun sedang pada kelompok kontrol meningkat. Rata-rata sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah dilakukan senam kaki kelompok intervensi meningkat sedang pada kelompok kontrol menurun. Rata-rata kadar gula darah sesudah dilakukan intervensi pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok kontrol. Rata-rata sensitivitas sesudah dilakukan intervensi pada kelompok intervensi lebih tinggi daripada kelompok kontrol Ada pengaruh kadar gula darah dan sensitivitas kaki sebelum dengan sesudah dilakukan senam kaki pada aggregat lansia diabetes melitus di Magelang pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. SARAN Puskesmas dan dinas kesehatan, perlu adanya pelatihan senam kaki oleh puskesmas pada lansia di wilayah kerjanya, melalui kegiatan posbindu. Sedangkan kader kesehatan posbindu ikut memotivasi dan memonitor kegiatan selanjutnya yang dilakukan secara teratur dan kontinu. Dinas kesehatan berperan serta meregulasi dan mensupport kegiatan melalui dukungan kebijakan dan penyediaan sumber daya, sumber dana dan fasilitas yang diperlukan. Institusi Pendidikan Keperawatan, menerapkan praktik keperawatan berdasarkan peran perawat salah satunya dalam memberikan asuhan dan merancang suatu model pelatihan yang efektif berdasar hasil-hasil penelitian yang dapat diterapkan petugas puskesmas dalam melatih senam kaki. Perlunya pemberian informasi kepada pihak puskesmas khususnya dalam meningkatkan pemahaman mengenai perubahan yang terjadi pada lansia dan cara mencegah serta mengatasinya melalui kegiatan workshop maupun pertemuan ilmiah lainnya. Penelitian berikutnya, perlu diteliti lebih lanjut dengan menggunakan variabel perancu lain yang dapat mempengaruhi sensitivitas kaki dan kadar gula darah seperti faktor obat-obatan, penyakit yang diderita, makanan dan minuman serta kekuatan otot. Perlu dikembangkan untuk penelitian yang akan datang mengenai lamanya intervensi, waktu latihan senam kaki, pagi atau sore. KEPUSTAKAAN Allender, & Spradley. 2001. Community Health Nursing: Concepts and Practice, fifth edition. Philadelphia: Lippincott. Berg Balance Test oleh Berg, K., Dauphinee,
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
PROSIDING KONFERENSI NASIONAL PPNI JAWA TENGAH 2013
W., Williams, J.I., & Maki, B.,(1992,http://www.fallspreventiontaskf orce.org/pdf/BergbalanceScale.pdf, diperolah 23 Februari 2012). Burn, N., & Grove, S.K. (2005). The Practice of Nursing Research Conduct, Critique, . and Utilization. (4th edition). Philadelphia: W.B. Saunders Company. Lueckenotte, A.G. (2000). Gerontologic Nursing. (2nd Edition). St. Louis, Missouri: Mosby, Inc. Meiner, S.E., & Lueckenotte, A.G. (2006). Gerontologic Nursing. (3rd Edition). St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier. Miller, C.A. (2004). Nursing for Wellness in Older Adults. Theory and Practice. (4th Edition). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Nies, M.A., & McEwen, M. (2007). Community/ Public Health Nursing: Promoting the Health of Populations. St. Louis, Missouri: Saunders Elsevier. Sastroasmoro, S., & Ismael, S. (2010). Dasardasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto. Soegondo, (2008), Melawan diabetes dengan banyak beraktivitas, diakses dari http://www.indodiabetes.com, 12 Pebruari 2012. Stanhope, M., & Lancaster, J. (2004). Community & public health nursing. Sixth edition. St Louis Missouri: Mosby. Stanley, M., & Beare, P.G. (1999). Gerontological Nursing. (2nd Edition). Philadelphia: F.A. Davis Company. WHO (2008), Technical brief for Policy Maker, Geneva, Switzerland
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016
Lampiran 9
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Tika Widowati
Tempat Tanggal Lahir: Tulungagung, 19 Oktober 1991 Jenis Kelamin
: Perempuan
Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Alamat Asal
: Purwokinanti PA I/199 Yogyakarta 55112
Alamat Tinggal
: Jl. H. Kodja I Gang Male No. 54 Kukusan, Beji, Depok, Jawa Barat
Email
:
[email protected]/
[email protected]
Telepon
: 089671817588
Riwayat Pendidikan : Tahun 2013
: Sarjana Ilmu Keperawatan FIK UI
Tahun 2009
: SMA Negeri 1 Yogyakarta
Tahun 2006
: SMP Negeri 2 Yogyakarta
Tahun 2003
: SD Puro Pakualaman II Yogyakarta
Analisis praktik ..., Tika Widowati, FIK UI, 2016