UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK P KERJA PROFESII APOTEKE APOTEKER DII DIREKTO DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASI EFARMASIAN DIREKTO DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN ARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERI EMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK K INDONE INDONESIA PERIO PERIODE 21 JANUARI – 4 FEBRUARI ARI 2013
LAPORAN PRAKTEK P KERJA PROFESII APOTEKE APOTEKER
RAHMI RAMDANIS, S. Farm. 1206313583
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK P KERJA PROFESII APOTEKE APOTEKER DII DIREKTO DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASI EFARMASIAN DIREKTO DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN ARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERI EMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA INDONE PERIO PERIODE 21 JANUARI – 4 FEBRUARI ARI 2013
LAPORAN PRAKTEK P KERJA PROFESII APOTEKE APOTEKER
Diajukan an sebagai salah s satu syarat untuk memperoleh roleh gelar A Apoteker
RAHMI RAMDANIS, S. Farm. 1206313583
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013 ii Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Rahmi Ramdanis S.Farm
NPM
: 1206313583
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
Juli 2013
iii Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini diajukan oleh: Nama : Rahmi Ramdanis, S. Farm NPM : 1206313583 Program Studi : Apoteker – Fakultas Farmasi Universitas Indonesia Judul Laporan : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 21 Januari – 4 Februari 2013
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing I
: Desko Irianto, SH., MM.
Pembimbing II
: Pharm, Dr. Joshita Djajadisastra, MS, PhD.
Penguji I
: Dr. Harmita, Apt.
Penguji II
: Nadia Farhanah Syafhan, M.Si, Apt.
Penguji III
: Sutriyo, M.Si, Apt
Ditetapkan di Tanggal
: Depok : 6 Juli 2013
iv Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada periode 21 Januari – 4 Februari 2013. Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Apoteker di Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan. Penulis menyadari sangat sulit menyelesaikan Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Desko Irianto, SH., MM. selaku Kasubbag Tata Usaha Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dan pembimbing atas bantuan, bimbingan, dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis;
2.
Pharm, Dr. Joshita Djajadisastra, MS, PhD selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan laporan ini;
3.
Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S, selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan praktek kerja profesi apoteker ini;
4.
Dr. Harmita, Apt. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
5.
Universitas Indonesia yang telah membantu penulis melaksanakan praktek kerja profesi apoteker ini;
6.
Dra. Maura Linda Sitanggang, Apt., Ph.D selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengenal Kementerian Kesehatan Republik Indonesia;
7.
Dra. Dettie Yuliati, Apt., M.Si. selaku Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian atas bantuan, bimbingan dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis untuk mengenal direktorat ini;
8.
dr. Zorni Fadia selaku Kasubdit Standardisasi, Dra. Dara Amelia, Apt., MM. iv Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
selaku Kasubdit Farmasi Komunitas, Drs. Bon Sirait, Apt., M.Sc., PH. selaku Kasubdit Farmasi Klinik, Dra. Hidayati Mas’ud, Apt., MM. selaku Kasubdit Penggunaan Obat Rasional beserta staf yang telah banyak membantu dan membimbing penulis; 9.
Seluruh staf dan karyawan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atas segala keramahan, pengarahan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama melaksanakan PKPA;
10. Seluruh staf pengajar dan tata usaha Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis; 11. Orang tua, saudara dan seluruh keluarga atas segala kasih sayang, dukungan, kesabaran, perhatian, semangat, dorongan dan do’a yang diberikan; 12. Teman-teman
Apoteker
Angkatan
76
Universitas
Indonesia
atas
kebersamaan, semangat, dukungan dan kerja sama selama ini; 13. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama penyusunan laporan ini. Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan ini, namun penulis berharap semoga laporan ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Penulis,
2013
v Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis karya
: Rahmi Ramdanis : 1206313583 : Profesi Apoteker : Farmasi : Farmasi : Karya Ilmiah: Laporan Kerja Praktek
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 21 Januari – 4 Februari 2013 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : Juli 2013 Yang menyatakan
( Rahmi Ramdanis )
vi Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .........................................................................................i HALAMAN PENGESAHAN ...........................................................................iii KATA PENGANTAR .......................................................................................iv DAFTAR ISI ......................................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................viii BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang............................................................................. 1 1.2 Tujuan .......................................................................................... 2 BAB 2 TINJAUAN UMUM ........................................................................... 3 2.1 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .................................3 2.2 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ...........7 2.3 Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ...............................................................................9 2.4 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan ...............10 2.5 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ........................................11 2.6 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan ..............12 2.7 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian ..................13 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS ........................................................................15 3.1 Tugas dan Fungsi ...........................................................................15 3.2 Struktur Organisasi.........................................................................16 3.3 Kegiatan .........................................................................................19 BAB 4 PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN ........................................22 BAB 5 PEMBAHASAN ..................................................................................25 5.1 Subdirektorat Farmasi Komunitas ..................................................25 5.2 Subdirektorat Farmasi Klinik..........................................................27 5.3 Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional ......................................28 5.4 Subdirektorat Standardisasi ............................................................29 5.5 Persiapan Dalam Implementasi SJSN.............................................29 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................32 6.1 Kesimpulan .....................................................................................32 6.2 Saran ...............................................................................................32 DAFTAR ACUAN.............................................................................................34
vii Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3.
Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia......................................................................................35 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan ......................................................................36 Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian .................................................................................37
viii Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak dasar setiap individu dan salah satu unsur kesejahteraan yang dapat diwujudkan melalui upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah kegiatan memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan (preventif), (rehabilitatif)
melalui
penyembuhan yang
peningkatan penyakit
dilaksanakan
kesehatan (kuratif), secara
dan
(promotif), pemulihan
menyeluruh,
pencegahan kesehatan
terpadu,
dan
berkesinambungan. Upaya kesehatan dapat terlaksana bukan hanya melalui peran serta pemerintahan dan masyarakat, namun juga perlu diimbangi dengan peran serta dari tenaga kesehatan antara lain dokter, apoteker dan perawat dalam mendukung program kesehatan pemerintah. Pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif akan berkaitan dengan obat-obatan. Oleh karena itu salah satu upaya dalam bidang pelayanan kesehatan adalah peningkatan mutu pelayanan obat melalui peningkatan ketepatan, rasionalisasi, efisiensi penggunaan dan informasi obat. Peran apoteker harus secara maksimal dapat dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 47 Tahun 2009, Kementerian Kesehatan RI sebagai regulator memiliki Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat ini bertanggung jawab dalam perumusan kebijakan, standarisasi teknis dan regulasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan yang mendorong peningkatan peran apoteker dalam pelayanan kesehatan. Pelayanan kefarmasian yang pada awalnya berorientasi ke obat (drug oriented) berubah menjadi orientasi kepada pasien (patient oriented) sesuai dengan tujuan dari Pharmaceutical Care, yaitu tanggung jawab profesi apoteker dalam mengoptimalkan terapi obat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang komprehensif menuntut apoteker dan calon apoteker untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku agar dapat berinteraksi aktif dengan pasien secara langsung. Bentuk interaksi yang 1 Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
2
dapat dilakukan antara lain melaksanakan pemberian informasi, konseling dan monitoring penggunaan obat. Tercapainya terapi obat yang optimal maka apoteker harus memiliki pengetahuan yang memadai untuk menyadari dan mengawasi kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan serta mampu berkomunikasi dengan pasien dan tenaga kesehatan lain dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Program Profesi Apoteker Universitas Indonesia menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Tujuan diselenggarakan PKPA ini agar para calon apoteker dapat mengetahui dan memahami peran, tugas, dan fungsi dari Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Selain itu, diharapkan mahasiswa apoteker mengetahui, mempelajari, dan memahami kebijakankebijakan, penyusunan standar, norma, pedoman, kriteria, prosedur, dan bimbingan teknis serta evaluasi di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.
1.2 Tujuan Tujuan dilaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sebagai berikut : 1. Memahami ruang lingkup kerja, tugas pokok dan fungsi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. 2. Memahami program kerja yang sedang dijalankan oleh masing-masing subdirektorat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, yakni : a. memahami program kerja yang dijalankan subdirektorat Farmasi Komunitas b. memahami program kerja yang dijalankan subdirektorat Farmasi Klinik c. memahami program kerja yang dijalankan subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) 3. Memahami kerja sama subdirektorat dalam Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dalam rangka persiapan implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
BAB 2 TINJAUAN UMUM
2.1 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) merupakan badan pelaksana pemerintah di bidang kesehatan, dipimpin oleh Menteri Kesehatan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, nama Kementerian Kesehatan digunakan untuk mengganti nama sebelumnya yaitu Departemen Kesehatan (Presiden Republik Indonesia, 2009). Tugas Kementerian Kesehatan adalah menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
2.1.1 Dasar Hukum a. Peraturan Presiden RI No. 47 tahun 2009 tentang pembentukan dan organisasi kementerian negara b. Peraturan Presiden RI No. 24 tahun 2010 tentang kedudukan, tugas dan fungsi kementerian negara serta susunan organisasi, tugas dan fungsi eselon I kementerian negara c. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang organisasi dan tata kerja kementerian kesehatan
2.1.2 Visi dan Misi Kemenkes RI periode 2010-2014 memiliki visi “Masyarakat Sehat yang Mandiri dan Berkeadilan” (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Untuk mencapai visinya maka Kementerian Kesehatan menetapkan misi sebagai berikut (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011) : a. Meningkatkan
derajat
kesehatan
masyarakat,
melalui
pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani. b. Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan. 3 Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
4
d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.
2.1.3 Tujuan Tujuan Kementerian Kesehatan adalah Terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil-guna dan berdaya-guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
2.1.4 Nilai-Nilai Untuk mewujudkan visi dan misi yang telah dirumuskan maka nilai-nilai yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh Kementerian Kesehatan adalah sebagai berikut (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011) : a. Prorakyat Kementerian kesehatan selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan menghasilkan yang terbaik untuk rakyat. Hal tersebut dimaksudkan agar tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang. Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi. b. Inklusif Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan saja. Oleh sebab itu, seluruh komponen masyarakat (meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat, pengusaha, masyarakat madani, dan masyarakat bawah) harus ikut berpartisipasi secara aktif. c. Responsif Program kesehatan yang dirancang Kementerian Kesehatan harus sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat. Kementerian Kesehatan harus tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerah, disesuaikan dengan situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis. Faktor-faktor tersebut menjadi dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda sehingga penanganan yang diberikan dapat berbeda pula.
Universitas Indonesia Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
5
d. Efektif Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah ditetapkan, dan bersifat efisien. e. Bersih Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), transparan, dan akuntabel.
2.1.5 Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan memiliki susunan organisasi yang menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Struktur organisasi Kementerian Kesehatan terdiri atas (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Sekretariat Jenderal. b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. c. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. e. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. f. Inspektorat Jenderal. g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. i. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi. j. Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat. k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan. l. Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi. m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal. n. Pusat Data dan Informasi. o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri. p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. q. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. r. Pusat Komunikasi Publik. s. Pusat Promosi Kesehatan. t. Pusat Inteligensia Kesehatan. u. Pusat Kesehatan Haji. Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
6
Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran 1.
2.1.6 Fungsi Dalam
melaksanakan
tugasnya,
Kementerian
Kesehatan
RI
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan. b. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan. d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan di daerah. e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.
2.1.7 Strategi Untuk mewujudkan visi Kementerian Kesehatan periode tahun 2010-2014 dan sesuai dengan misi yang telah ditetapkan maka pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011): a. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta, dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global. b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu, dan berkeadilan, serta berbasis bukti dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif. c. Meningkatkan
pembiayaan
pembangunan
kesehatan,
terutama
untuk
mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. d. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu. e. Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
7
f. Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna, dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab.
2.2 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi Tugas pokok Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan Standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melaksanakan tugas dan menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. b. Pelaksanaan kebijakan bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dibidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2.2.2 Sasaran Kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian memiliki Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Sasaran hasil program yang tersusun dalam Rencana Strategis (RENSTRA) 2010-2014 Kementerian Kesehatan adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. Untuk mencapai sasaran hasil tersebut, maka kegiatan yang akan dilakukan meliputi: a. Peningkatan Ketersediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
8
Luaran: Meningkatnya ketersediaan Obat Esensial Generik di Sarana Pelayanan Kesehatan Dasar. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%. - Persentase penggunaan obat generik di fasilitas pelayanan kesehatan sebesar 80%. - Persentase instalasi farmasi Kab/Kota sesuai standar sebesar 80%. b. Peningkatan Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Luaran: Meningkatnya mutu dan keamanan alat kesehatan dan Peralatan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT). Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase produk alat kesehatan dan PKRT yang beredar memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan manfaat sebesar 95%. - Persentase sarana produksi alat kesehatan dan PKRT yang memenuhi persyaratan cara produksi yang baik sebesar 60%. - Persentase sarana distribusi alat kesehatan yang memenuhi persyaratan distribusi sebesar 70%. c. Peningkatan Pelayanan Kefarmasian Luaran: Meningkatnya penggunaan obat rasional melalui pelayanan kefarmasian yang berkualitas untuk tercapainya pelayanan kesehatan yang optimal. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Persentase Instalasi Farmasi Rumah Sakit Pemerintah yang melaksanakan pelayanan kefarmasiaan sesuai standar sebesar 45%. - Persentase Puskesmas Perawatan yang melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai standar sebesar 15%. - Persentase penggunanaan obat rasional di sarana pelayanan kesehatan dasar pemerintah sebesar 60%. d. Peningkatan Produksi dan Distribusi Kefarmasian Luaran: - Meningkatnya produksi bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi dan distribusi kefarmasian. - Meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian. Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
9
- Meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri. Indikator pencapaian luaran tersebut pada tahun 2014 adalah: - Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri sebanyak 45 jenis. - Jumlah standar produk kefarmasian yang disusun dalam rangka pembinaan produksi dan distribusi sebanyak 10 standar.
2.2.3 Struktur Organisasi Ditjen Binfar dan Alkes dipimpin oleh Direktur Jenderalyang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kesehatan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Struktur Ditjen Binfar dan Alkes terdiri atas (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Sekretariat Direktorat Jenderal b. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan c. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian d. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan e. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. f. Bagan struktur organisasi dapat dilihat di Lampiran 2.
2.3 Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2.3.1 Tugas Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan memiliki tugas untuk melaksanakan pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Ditjen Binfar dan Alkes (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
2.3.2 Fungsi Fungsi Sekretariat Ditjen Binfar dan Alkes terdiri dari (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Koordinasi dan penyusunan rencana, program dan anggaran. b. Pengelolaan data dan informasi. Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
10
c. Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional dan hubungan masyarakat. d. Pengelolaan urusan keuangan. e. Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan gaji, rumah tangga dan perlengkapan. f. Evaluasi dan penyusunan laporan.
2.3.3 Struktur Organisasi Sekretariat Ditjen Binfar dan Alkes terdiri atas (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Bagian Program dan Informasi. b. Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat c. Bagian Keuangan d. Bagian Kepegawaian dan Umum e. Kelompok Jabatan Fungsional.
2.4 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan 2.4.1 Tugas Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK), serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
2.4.2 Fungsi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
11
c. Penyiapan penyusunan NSPK di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan,serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan, dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan, dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat
2.4.3 Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terdiri atas (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat. b. Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. c. Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. d. Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional.
2.5 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian 2.5.1 Tugas Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
12
2.5.2 Fungsi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional. c. Penyiapan penyusunan NSPK di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional. d. Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional. e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik dan penggunaan obat rasional. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
2.5.3 Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terdiri atas (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Subdirektorat Standardisasi b. Subdirektorat Farmasi Komunitas c. Subdirektorat Farmasi Klinik d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional e. Subbagian Tata Usaha f. Kelompok Jabatan Fungsional. Bagan struktur organisasi dapat dilihat di Lampiran 3.
2.6 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan 2.6.1 Tugas Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan serta perbekalan kesehatan rumah tangga (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
13
2.6.2 Fungsi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. c. Penyusunan NSPK di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.
2.6.3 Struktur Organisasi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan terdiri atas : a. Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan b. Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik In Vitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga c. Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga d. Subdirektorat Standardisasi dan Sertifikasi e. Subbagian Tata Usaha f. Kelompok Jabatan Fungsional.
2.7 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian 2.7.1 Tugas Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
14
2.7.2 Fungsi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. c. Penyiapan penyusunan NSPK di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. e. Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. f. Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.
2.7.3 Struktur Organisasi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri atas: a. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. b. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan. c. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus. d. Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. e. Subbagian Tata Usaha. f. Kelompok Jabatan Fungsional
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PELAYANAN KEFARMASIAN
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah direktorat baru yang berada dibawah Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat ini adalah gabungan dari Direktorat Farmasi Klinik dan Direktorat Penggunaan Obat Rasional. Adapun Dasar hukum perubahan struktur organisasi tersebut ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan yang merupakan perubahan dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010; Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2005).
Dalam peraturan tersebut diatur fungsi dan tugas Direktorat Bina
Pelayanan Kefarmasian.
3.1 Tugas dan Fungsi Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010
pasal
568,
Direktorat
Bina
Pelayanan
Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 568, Direktorat Pelayanan Kefarmasian menyelengarakan fungsi: a. Penyiapan perumusan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. b. Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. c. Penyiapan penyusunan NSPK di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas,farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. 15
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
16
e. Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
3.2 Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri atas: a. Subdirektorat Standardisasi b. Subdirektorat Farmasi Komunitas c. Subdirektorat Farmasi Klinik d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional e. Subbagian Tata Usaha f. Kelompok Jabatan Fungsional Tiap subdirektorat dan subbagian dipimpin oleh seorang kepala subdirektorat dan Kepala Subbagian untuk bagian Tata Usaha. Setiap subdirektorat memiliki dua
seksi, seperti Subdirektorat Standardisasi yang
memiliki Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian dan Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional. Kemudian, Subdirektorat Farmasi Komunitas terdiri atas Seksi Pelayanan Farmasi Komunitas dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas. Subdirektorat Farmasi Klinik memiliki seksi Pelayanan Farmasi Klinik dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik. Serta yang terakhir Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional yang terdiri atas Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Selanjutnya, tiap subdirektorat tersebut membawahi empat staf untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.
3.2.1
Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan
bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK di bidang Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
17
pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Dalam melaksanakan tugas tersebut,
Subdirektorat
Standardisasi
menyelenggarakan
fungsi
(Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. b. Penyiapan bahan penyusunan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian dan pedoman di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. c. Penyiapan bahan evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat rasional. Subdirektorat Standardisasi terdiri atas: a. Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan NSPK di bidang pelayanan kefarmasian. b. Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan NSPK di bidang penggunaan obat rasional.
3.2.2
Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat Farmasi Komunitas mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Dalam melaksanakan tugas tersebut Subdirektorat Farmasi Komunitas menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi komunitas. b. Penyiapan bahan penyusunan NSPK dan pedonman di bidang farmasi komunitas. c. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi komunitas. d. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
18
Subdirektorat Farmasi Komunitas terdiri atas: a. Seksi pelayanan Farmasi Komunitas Seksi pelayanan Farmasi Komunitas mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang farmasi komunitas. b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Komunitas mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas.
3.2.3
Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik mempunyai tugas melaksanakan penyiapan
bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Dalam
melaksanakan
tugas
tersebut
Subdirektorat
Farmasi
Klinik
menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang farmasi klinik. b. Penyiapan bahan penyusunan NSPK dan pedoman di bidang farmasi klinik. c. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang farmasi klinik. d. Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Subdirektorat Farmasi Klinik terdiri atas: a. Seksi Pelayanan Farmasi Klinik Seksi pelayanan Farmasi Klinik mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang farmasi klinik. b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang farmasi klinik.
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
19
3.2.4
Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melaksanakan
penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional menyelenggarakan fungsi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a. Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penggunaan obat rasional. b. Penyiapan bahan bimbingan teknis promosi dan pemberdayaan masyarakat di bidang penggunaan obat rasional. c. Penyiapan bahan pengendalian, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional terdiri atas: a. Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK di bidang penggunaan obat rasional. b. Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional tugas melakukan penyiapan bahan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional.
3.3 Kegiatan 3.3.1
Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi memiliki kegiatan sebagai berikut :
a. Penyusunan daftar obat esensial nasional (DOEN) b. Penyusunan formularium nasional 2013 c. Review data obat berdasarkan bukti ilmiah d. Pencetakan buku pedoman dan standar e. Advokasi implementasi pedoman dan standar di wilayah barat f. Advokasi implementasi pedoman dan standar di wilayah tengah Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
20
g. Advokasi implementasi pedoman dan standar di wilayah timur
3.3.2
Subdirektorat Farmasi Komunitas Subdirektorat Farmasi Komunitas memiliki kegiatan sebagai berikut :
a. Penyusunan konsep peraturan perizinan toko obat b. Koordinasi lintas sektor dalam rangka peningkatan pelayanan kefarmasian c. Updating software PIO d. Advokasi pelayanan kefarmasian di Puskesmas kepada mahasiswa program profesi apoteker e. Revisi pedoman pelayanan informasi obat (PIO) f. Revisi modul TOT pelayanan kefarmasian di Puskesmas g. Pembuatan audiovisual tentang pelayanan kefarmasian di komunitas h. Percepatan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas perawatan wilayah timur i. Percepatan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas perawatan wilayah tengah j. Percepatan mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas perawatan wilayah barat
3.3.3
Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik memiliki kegiatan sebagai berikut :
a. Penyusunan pedoman evaluasi penggunaan obat b. Pencetakan buku standar pelayanan kefarmasian di RS c. Penyusunan pedoman pelayanan kefarmasian untuk terapi HIV AIDS d. Sosialisasi standar dan pedoman pelayanan kefarmasian e. Peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit (SDM IFRS) dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian Regional I - Jawa Timur f. Peningkatan kemampuan SDM IFRS dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian Regional II - Jawa Timur g. Peningkatan kemampuan SDM IFRS dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian Regional III - Jawa Timur
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
21
h. Peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian apoteker dalam menghadapi Universal Coverage untuk meningkatkan Patient Safety -Jakarta i. Peningkatan kapasitas SDM IFRS dalam rangka menghadapi akreditasi Rumah Sakit versi 2012 j. Joint training tenaga kesehatan (dokter/apoteker/perawat) k. Sosialisasi sistem pelaporan pelayanan kefarmasian secara elektronik l. Health technology assesment (HTA) terkait kajian aplikasi Indonesian Case Base Groups (INA CBGs)
3.3.4
Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) memiliki kegiatan
sebagai berikut : a. Penggerakan POR di provinsi Papua b. Evaluasi implementasi penggerakan POR di 12 provinsi c. Penggerakan POR di provinsi Bengkulu d. Peningkatan kapasitas teknik tenaga kesehatan (KAPTEK NAKES) di Puskesmas melalui implementasi modul PPOR dan sistem pelaporan e-yanfar e. Sosialisasi modul POR di Puskesmas (Jambi) f. Sosialisasi modul POR di Puskesmas (Kalimantan Selatan) g. Evaluasi penggerakan POR di provinsi Kep. Riau h. Evaluasi penggerakan POR di provinsi Sulawesi Barat i. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan POR di provinsi Lampung j. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan POR di provinsi Bali k. Rapat
koordinasi
lintas
sektor
dalam
rangka
pemantapan
program
pemberdayaan masyarakat l. Penyebaran informasi POR dan obat generik (OG) m. Sosialisasi modul POR dan sistem pelaporan e-yanfar di Puskesmas (Sulawesi Selatan) n. Workshop penggunaan antibiotik yang tepat bagi tenaga kesehatan di Kalimantan Tengah.
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
BAB 4 PELAKSANAAN DAN PENGAMATAN
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) UI angkatan LXXVI di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dilaksanakan pada tanggal 21 Januari hingga 04 Februari 2013. Hari pertama kegiatan PKPA dimulai pada pukul 10.00 WIB diawali dengan acara perkenalan antara pihak Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dengan pihak program profesi apoteker UI. Acara perkenalan ini dilaksanakan di ruang 805 yaitu ruang rapat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pihak Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan diwakili oleh Bapak Kamit Waluyo, SH. selaku perwakilan dari sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Pada acara perkenalan ini para peserta PKPA diberikan pengantar umum dan pengarahan yang berkaitan dengan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Peserta PKPA diberikan pembekalan berupa penjelasan mengenai visi, misi, kedudukan, tugas, fungsi, dan struktur organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI oleh Bapak Kamit Waluyo, SH. Selaku Kepala Subbagian Kepegawaian. Pembekalan ini dilakukan agar para peserta PKPA dapat menjalankan tugas selama berlangsungnya kegiatan PKPA di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan baik. Pada pelaksanaan PKPA ini, peserta dibagi menjadi empat kelompok yang masing-masing terdiri dari 6-7 orang, dan dibagi ke dalam empat direktorat di bawah koordinasi Ditjen Binfar Alkes. Kelompok peserta PKPA yang ditempatkan di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dibimbing oleh Bapak Desko Irianto SH., MM. selaku Kasubbag Tata Usaha Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pada hari pertama pelaksanan PKPA, peserta belum berkenalan dengan Direktur, Kepala Subdirektorat dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha karena sedang tidak ada di tempat (tugas dinas). Para peserta hanya diperkenalkan dengan sebagian staf Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pada hari kelima peserta PKPA mendapatkan pengarahan dari Ibu Fachriah selaku Kepala Seksi 22 Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
23
Pelayanan Farmasi Komunitas dari subdirektorat Farmasi Komunitas yang menjadi salah satu subdirektorat yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Ibu Fachriah memberikan penjelasan umum singkat mengenai Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian dan memberikan pemaparan panjang mengenai hal-hal yang dilakukan pada bagian pekerjaannya yakni di subdirektorat Farmasi Komunitas. Kegiatan PKPA dilanjutkan dengan pemberian materi oleh subdirektorat lainnya yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Materi subdirektorat Penggunaan Obat Rasional diberikan oleh Ibu Erie Gusnellyanti, S.Si., Apt. selaku Kepala Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Materi subdirektorat Farmasi Klinik diberikan oleh Bapak Candra Lesmana, S.Farm. Selanjutnya, peserta PKPA mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat yang ada di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Dua orang peserta PKPA mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat Farmasi Komunitas berupa analisa perbandingan good pharmacy practice (GPP) di India dan Afrika Selatan dengan GPP Indonesia. Dua orang peserta PKPA lainnya mendapatkan tugas khusus dari subdirektorat Farmasi Klinik berupa pelayanan kefarmasian di ruang ICU (Intensive Care Unit) dan Drug Related Problems (DRP) yang terjadi di ruang ICU. Sisa peserta PKPA lainnya mendapat tugas khusus dari subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) berupa pemantauan dan evaluasi POR di fasilitas pelayanan kesehatan, pengendalian biaya obat melalui penggunaan obat rasional, dan seleksi obat yang cost-effective untuk mendukung SJSN. Kegiatan PKPA di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian berlangsung selama dua pekan. Dalam pekan pertama, peserta PKPA diberikan kesempatan untuk menyelesaikan laporan umum kegiatan PKPA. Peserta PKPA mendapatkan informasi mengenai kegiatan yang dilakukan di setiap subdirektorat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Penyusunan laporan umum dilakukan melalui observasi dan diskusi dengan pembimbing–pembimbing beberapa subdirektorat dari pemaparan materi yang diberikan. Selain itu, penyusunan juga dilakukan dengan menelusuri beberapa literatur yang disarankan pembimbing seperti Permenkes No.1144 Tahun 2011. Pada pekan kedua, peserta PKPA diberikan kesempatan untuk berdiskusi dengan pembimbing dalam penyelesaian tugas Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
24
khusus yang diberikan oleh subdirektorat. Penyusunan laporan khusus dilakukan dengan mendalami literatur yang ditelusuri secara individual disertai diskusi intensif antar individu dengan pembimbing masing-masing. Pada pertemuan akhir PKPA, peserta mempresentasikan hasil dari tugas yang telah dikerjakan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
BAB 5 PEMBAHASAN
Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian merupakan gabungan dari Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik dengan Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional yang dibentuk sesuai Permenkes No. 1144 tahun 2010. Jam kerja operasional direktorat ini pada hari senin hingga kamis dimulai pukul 08.00 - 16.00 WIB sedangkan hari jumat dimulai pada pukul 07.30 – 16.30. Direktorat ini terdiri dari 38 orang personil (14 struktural dan 24 staf). Jabatan struktural terdiri dari seorang Direktur Bina Pelayanan Kefarmasian, seorang Kepala Subbagian Tata Usaha, empat orang Kepala Subdirektorat dan dua kepala seksi yang masing-masing berada di bawah Kepala Subdirektorat. Staf yang berada di bawah Kepala Subbagian Tata Usaha sebanyak 5 orang ditambah 4 orang staf honorer. Staf yang berada di bawah Subdirektorat Farmasi Klinik sebanyak 3 orang ditambah 1 staf honorer. Staf yang berada di bawah Subdirektorat Standardisasi sebanyak 3 orang ditambah 2 orang staf honorer. Staf yang berada di bawah Subdirektorat Farmasi Komunitas sebanyak 4 orang, dan staf yang berada di bawah Subdirektorat POR sebanyak 1 orang ditambah 1 orang staf honorer. Staf-staf yang ada tersebut berasal dari latar belakang pendidikan yang beragam, yakni apoteker, ahli madya farmasi, dokter, sarjana komputer dan hukum.
5.1 Subdirektorat Farmasi Komunitas Salah satu subdirektorat yang berada di bawah Direkorat Bina Pelayanan Kefarmasian adalah bidang farmasi komunitas. Subdirektorat ini mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi komunitas. Salah satu program yang sedang di fokuskan adalah peningkatan peran dan fungsi Apoteker di puskemas. Puskesmas merupakan unit pelayanan teknis dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang berada di wilayah kecamatan yang melaksanakan tugas-tugas operasional di bidang kesehatan. Peningkatan sumber daya manusia di Puskemas memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan mutu pelayanan dalam rangka memelihara 25 Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
26
kesehatan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut dilakukan upaya seperti pelatihan-pelatihan bagi tenaga kesehatan di Puskesmas. Masalah yang dihadapi oleh Subdirektorat Farmasi Komunitas dalam menjalankan program ini adalah pada saat ini diketahui bahwa penyebaran apoteker di Puskesmas masih belum merata, hanya sekitar 18%. Setelah dilakukan pemantauan, ternyata masalah ini timbul dikarenakan banyaknya apoteker yang tidak bekerja sesuai bidang profesi pendidikannya dan beralih bekerja di bidang lain. Kurangnya pengaturan penyebaran kerja apoteker di sarana pelayanan kesehatan seperti Puskesmas serta ketidaktahuan peran apoteker di Puskesmas juga berkontribusi menimbulkan terjadinya masalah ini. Hal ini memberikan dorongan untuk dilakukannya pemerataan distribusi apoteker di Indonesia agar semua Puskesmas di Indonesia memiliki apoteker sehingga pelayanan kefarmasian untuk masyarakat dapat terlaksana dan lebih terjangkau khususnya di sarana pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah. Subdirektorat Farmasi Komunitas pun banyak menjalankan advokasi ke perguruan tinggi mengenai peran dan fungsi apoteker di Puskesmas. Program lain yang sedang dijalankan oleh Subdirektorat Farmasi Komunitas yaitu melakukan advokasi mengenai peran dan fungsi apoteker di apotek. Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah bergeser, semula hanya berorientasi pada pelayanan produk (product oriented) menjadi pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (patient oriented). Advokasi mengenai peran dan fungsi apoteker di apotek bertujuan untuk pemerataan distribusi pelayanan kesehatan dimana apotek sebagai salah satu tempat pelayanan informasi obat kepada masyarakat. Dalam hal ini berlaku bahwa tidak ada pelayanan bila tidak ada apoteker. Subdirektorat Farmasi Komunitas juga membuat Software PIO (Pelayanan Informasi Obat) yang diupdate setiap dua tahun sekali. Software PIO dalam bentuk compact disc dan online melalui website ini dikembangkan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan kefarmasian yang lebih baik menuju pelayanan kesehatan yang paripurna. Pelayanan informasi obat adalah salah satu bentuk pekerjaan kefarmasian yang diberikan kepada konsumen selaku pengguna obat berdasarkan kepada konsep pharmaceutical care. Software PIO ini juga Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
27
melengkapi buku-buku, leaflet, poster, standar dan pedoman pelayanan kefarmasian yang sudah ada.
5.2 Subdirektorat Farmasi Klinik Subdirektorat Farmasi Klinik mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan NSPK serta bimbingan teknis, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang farmasi klinik. Subdirektorat Farmasi Klinik terdiri atas Seksi Pelayanan Farmasi Klinik serta Seksi Pemantauan dan Evaluasi Farmasi Klinik. Salah satu tujuan dari Subdirektorat Farmasi Klinik adalah meningkatkan peran dan fungsi apoteker di instalasi farmasi rumah sakit dalam rangka peningkatan pelayanan kefarmasian. Subdirektorat Farmasi Klinik melakukan upaya peningkatan pelayanan farmasi klinik melalui program seperti advokasi kepada manajemen rumah sakit, training atau pelatihan untuk apoteker dan tenaga kefarmasian tentang pelayanan farmasi klinik, penyusunan NSPK, dan program lain yang dapat meningkatkan kompetensi tenaga kefarmasian. Salah satu program yang sedang dijalankan oleh Subdirektorat Farmasi Klinik adalah penyusunan pedoman pelayanan kefarmasian di ruang ICU. Pelayanan Farmasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pelayanan lain di rumah sakit, oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengarahkan kesatuan pandang para apoteker menuju terwujudnya peningkatan mutu pelayanan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan guna mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Pasien yang di rawat diruang perawatan intensif rentan terhadap permasalahan yang terkait dengan terapi obat karena umumnya polifarmasi. Polifarmasi dapat meningkatkan resiko terjadinya interaksi obat sehingga menimbulkan masalah baru bagi pasien. Peranan apoteker pada pasien perawatan intensif masih terbatas. Oleh karena itu perlu diidentifikasi terlebih dahulu frekuensi dan jenis masalah terkait obat, serta intervensi apoteker untuk menurunkan jumlah masalah terkait dengan obat yang bermanfaat meminimalkan resiko yang timbul oleh terapi obat. Pelayanan kefarmasian di ruang ICU bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
28
kesehatan lainnya. Dengan demikian, sistem yang efektif dalam penulisan resep, pengeluaran dan memberikan terapi obat yang optimal harus dibentuk, untuk mengurangi morbiditas terkait obat.
5.3 Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional (POR) terdiri dari Seksi Promosi Penggunaan Obat Rasional dan Seksi Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional. Salah satu program dari subdirektorat ini yaitu membuat kebijakan-kebijakan tentang penggunaan obat rasional di Puskesmas dan rumah sakit. Penggunaan obat rasional penting untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi biaya pengobatan, mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga yang terjangkau, mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat yang dapat membahayakan pasien dan meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa lebih dari 50% dari seluruh obat di dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Permasalahan tentang pemberian obat yang berlebihan pada pasien ISPA merupakan masalah umum di Indonesia. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah obat yang diberikan cenderung berlebih terutama obat antibiotik dan steroid (Dwiprahasto, 2006). Dalam kenyataannya, masih banyak terdapat praktek penggunaan obat yang tidak rasional yang terjadi dalam praktek seharihari dan umumnya tidak disadari oleh para klinisi, misalnya asam mefenamat diresepkan untuk mengatasi demam padahal tersedia parasetamol yang jelas lebih aman. Dalam rangka meningkatkan penggunaan obat rasional agar tercapai pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat di fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan penggerakan penggunaan obat rasional. Penggerakan penggunaan obat rasional merupakan kegiatan pembinaan POR yang terarah, sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan dengan menyertakan wilayah atau daerah dan lembaga atau perorangan untuk melaksanakan POR bersamasama dengan mengembangkan pelaksanaannya pada pelayanan kesehatan dasar, Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
29
rujukan, maupun kepada masyarakat. Prioritas pengembangannya yaitu dengan melakukan pembinaan kepada tenaga kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar Pemerintah dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Rujukan Pemerintah serta dilakukan pemberdayaan masyarakat dengan melakukan edukasi mengenai POR. Keberhasilan program penggerakan POR sangat bergantung kepada penerapan langkah-langkah program penggerakan POR yang didukung oleh Puskesmas dan rumah sakit serta seluruh upaya berbagai pemangku kepentingan terkait (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan membina kader-kader disetiap Puskesmas di daerah sebagai wujud usaha pendekatan pemerintah kepada masyarakat. Promosi penggunaan obat rasional dilaksanakan secara gencar sebagai antisipasi penanggulangan kesadaran masyarakat yang rendah terhadap penggunaan obat rasional. Penggunaan obat tidak rasional dapat berakibat buruk bagi kesehatan masyarakat dan apabila tidak ditanggulangi dapat mempengaruhi generasi yang akan datang. Penggunaan obat rasional (POR) tidak dapat dipisahkan dari Pelayanan Farmasi Klinik dan Komunitas karena tercapainya POR merupakan hasil dari kualitas pelayanan Farmasi Klinik dan Komunitas yang baik.
5.4 Subdirektorat Standardisasi Subdirektorat Standardisasi menyusun standar dan pedoman sebagai acuan dalam melaksanakan pelayanan farmasi klinik dan komunitas sehingga mewujudkan pengobatan yang rasional. Subdirektorat Standardisasi terdiri dari Seksi Standardisasi Pelayanan Kefarmasian dan Seksi Standardisasi Penggunaan Obat Rasional. Program kerja Subdirektorat Standardisasi pada tahun 2013 antara lain penyusunan daftar obat esensial nasional (DOEN), penyusunan formularium nasional 2013, review data obat berdasarkan bukti ilmiah, pencetakan buku pedoman dan standar serta advokasi implementasi pedoman dan standar.
5.5 Persiapan Dalam Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin agar setiap rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak. Kebutuhan dasar hidup yang layak yang dimaksud oleh UU SJSN adalah Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
30
kebutuhan esensial setiap orang agar dapat hidup layak demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep dasar jamkesnas telah diatur dalam dua Undang-Undang (UU) yaitu UU SJSN nomor 40/2004 dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) nomor 24/2011. Program jamkesnas diatur oleh UU SJSN sedangkan UU BPJS mengatur tatalaksana badan penyelenggaranya. Walaupun undang-undang sudah ditetapkan sejak tahun 2004 namun untuk mengimplementasikannya tidak mudah. Pemerintah yang berfungsi sebagai regulator harus menetapkan peraturanperaturan dan standar-standar terkait SJSN. Pemerintah harus mengatur sistem pelayanan kesehatan, mengatur standarisasi kualitas pelayanan kefarmasian, obat, dan alat kesehatan, mengatur tarif pelayanan kesehatan. Dalam
rangka
menghadapi
SJSN,
Direktorat
Bina
Pelayanan
Kefarmasian sedang bekerja keras untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang terkait dengan SJSN. Semua subdirektorat yang berada di bawah Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian sedang menyusun kebijakan dan program yang nantinya diharapkan dapat digunakan dalam implementasi SJSN. Fokus persiapan implementasi SJSN antara lain fasilitas kesehatan, sistem rujukan dan infrastruktur, pembiayaan, tranformasi kelembagaan dan program, regulasi, kefarmasian dan alat kesehatan, SDM, sosialisasi dan advokasi. Subdirektorat farmasi komunitas misalnya sedang bekerja keras membuat peraturan dimana pada nantinya setiap Puskesmas harus memiliki apoteker. Hal ini penting karena pada era SJSN nantinya setiap pasien yang sakit pertama kali akan dirujuk terlebih dahulu ke sistem pelayanan kesehatan dasar yaitu Puskesmas. Sehingga kebutuhan tenaga apoteker dalam manajemen pengadaan obat dan pelayanan informasi obat kepada pasien sangat diperlukan. Saat ini tidak semua Puskesmas sudah memiliki apoteker. Penyebabnya antara lain kurang meratanya penyebaran apoteker itu sendiri di indonesia dan juga kurangnya informasi bagi para apoteker untuk bisa bekerja di Puskesmas. Bila SJSN sudah diterapkan maka pengobatan segala jenis penyakit akan dijamin oleh BPJS. Akan tetapi pengobatan untuk satu jenis penyakit saja terdapat banyak pilihan. Oleh karena itu BPJS akan menjamin pengobatan yang paling cost Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
31
effective. Namun bila peserta ingin mendapatkan pengobatan yang terbaik dan lebih mahal maka peserta dapat membayar sendiri selisih biaya yang tidak dijamin oleh BPJS. Walaupun pengobatan yang dijamin oleh BPJS adalah yang paling cost effective tapi bukan berarti pengobatan tersebut dibawah standar dan tidak rasional. Untuk menjamin hal tersebut tidak terjadi maka subdirektorat standarisasi dan penggunaan obat rasional harus menjamin bahwa masyarakat memperoleh obat yang aman, bermutu, dan efektif dengan biaya yang terjangkau. Adapun upaya yang dilakukan untuk meningkatkan penggunaan obat rasional antara lain melalui penetapan DOEN dan formularium nasional yang memuat daftar obat yang akan digunakan dan dijamin oleh BPJS, pedoman penggunaan obat berbasis bukti ilmiah (Evidence Based Medicine/EBM), monitoring dan evaluasi peresepan dan kepatuhan terhadap formularium nasional, advokasi, sosialisasi dan promosi penggunaan obat generik dan penggunaan antibiotik secara rasional, peningkatan mutu pelayanan kefarmasian melalui pembinaan dan peningkatan kapasitas SDM (apoteker), penerapan farmasi klinik dalam pelayanan yang sesuai standar, pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan obat rasional
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan a. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan NSPK serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. b. Program peningkatan peran dan fungsi apoteker di Puskesmas dan apotek yang sedang dijalankan oleh Subdirektorat Farmasi Komunitas bertujuan untuk pemerataan distribusi pelayanan kesehatan dimana Puskesmas dan apotek sebagai salah satu tempat pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan informasi obat kepada masyarakat. c. Penyusunan pedoman pelayanan kefarmasian di ruang ICU yang merupakan salah satu program Subdirektorat Farmasi Klinik bertujuan untuk memberikan terapi obat yang tepat, aman, rasional dan efisien untuk pasien dalam kerjasama dan tanggung jawab bersama dengan profesional kesehatan lainnya. d. Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional melakukan program penggerakan penggunaan obat rasional agar tercapainya pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat di fasilitas pelayanan kesehatan. e. Dalam
rangka
persiapan
implementasi
SJSN
berbagai
subdirektorat
bekerjasama dalam penyusunan kebijakan-kebijakan yang terkait SJSN yaitu mengatur sistem pelayanan kesehatan, mengatur standarisasi kualitas pelayanan kefarmasian, obat, dan alat kesehatan, mengatur tarif pelayanan kesehatan.
6.2 Saran a. Sebaiknya kegiatan PKPA di Kemenkes RI dilaksanakan dengan waktu yang lebih lama agar peserta mendapat bekal pengetahuan yang lebih mendalam. b. Sebaiknya penempatan peserta PKPA sesuai dengan peminatan studi yang diambil, misalnya di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian ditempatkan peserta PKPA yang memiliki peminatan di bidang yang sama, seperti peminatan pelayanan.
32 Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
33
c. Sosialisasi program pemerintah mengenai pelayanan informasi obat lebih ditingkatkan agar masyarakat bisa memperoleh penjelasan yang akurat mengenai obat dan pengobatan terutama masyarakat di pedalaman. d. Pedoman-pedoman yang telah dibuat sebaiknya didistribusikan ke sarana pelayanan kesehatan dan institusi pendidikan.
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
DAFTAR ACUAN
Dwiprahasto, I. (2006). Peningkatan mutu penggunaan obat di puskesmas melalui pelatihan berjenjang pada dokter dan perawat. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan , 9 (2), 94-101. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1575/Menkes/PER/XI/2005 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 Tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Modul Penggerakan Penggunaan Obat Rasional. Jakarta. Presiden Republik Indonesia. (2009). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 47 Tahun 2009 Nomor 144 Tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara. Jakarta.
34 Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Lampiran 1.Struktur OrganisasiKementrianKesehatanRepublik Indonesia
35
Universitas Indonesia Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
36
Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan DIREKTUR JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN SEKRETARIS DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DIREKTUR BINA OBAT PUBLIK DAN PERBEKALAN KESEHATAN
DIREKTUR BINA PELAYANAN KEFARMASIAN
DIREKTUR BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI ALAT KESEHATAN
DIREKTUR BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
37
Lampiran 3. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
DIREKTUR BINA PELAYANAN KEFARMASIAN Dra. Dettie Yuliati, Apt., M.Si
KASUBBAG TU Desko Irianto, SH
KASUBDIT FARMASI KLINIK Ellon Sirait, Apt., M.Sc.,PH
KASUBDIT FARMASI KOMUNITAS Dara Amelia, Apt.,MM
KASUBDIT PENGGUNAAN OBAT RASIONAL Dra. Hidayati Mas'ud, Apt., MM
KASUBDIT STANDARISASI dr. Zorni Fadia
KASIE PELAYANAN FARMASI KLINIK Sri Bintang L., Apt., M.Si.
KASIE PELAYANAN FARMASI KOMUNITAS Fachriah Syamsuddin, S.Si.,Apt
KASIE PROMOSI POR Dra. Vita Picola H., Apt.
KASIE STANDARISASI POR Dra. Ardiyani, Apt., M.Si
KASIE PEMANTAUAN & EVALUASI FARKLIN Helsy Pahlemy Apt., M.Farm.
KASIE PEMANTAUAN & EVALUASI FARKOM Indah Susanti D., S.Si., Apt.
KASIE PEMANTAUAN & EVALUASI POR Erie Gusnellyanti S.Si, Apt..
KASIE STANDARISASI YANFAR Sari Mutiarani, S.Si., Apt
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS NALISIS HASIL PEMANTAUAN DAN AN EVALU EVALUASI PENGGUNAA NGGUNAAN OBAT RASIONAL DII PUSKESM PUSKESMAS DITINJAU AU DARI INDIKATOR PERESEPAN PADA PERIODE P TAHUN 2010 - 2012
TUGAS S KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI OFESI APOTEKER APO
RAHMI RAMDANIS, S. Farm. 1206313583
ANGKATAN LXXVI
FAKULTAS FARMASI PROG PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2013
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ iv BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................1 1.1 Latar Belakang..................................................................................1 1.2 Tujuan ...............................................................................................2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................3 2.1 Penggunaan Obat Rasional ...............................................................3 2.2 Kebijakan Penggunaan Obat Rasional .............................................6 2.3 Indikator Penggunaan Obat Rasional ...............................................7 2.4 Indikator Peresepan ..........................................................................9 2.5 Pemantauan dan Evaluasi POR. .....................................................12 BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN .........................................................16 3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian .......................................................16 3.2 Metode Pengkajian .........................................................................16 BAB 4 PEMBAHASAN .....................................................................................17 4.1 Analisis Parameter pada Indikator Peresepan. ...............................17 4.2 Analisis Hasil Pemantauan dan Evaluasi POR pada Tahun 20102012 . ...........................................................................................18 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................24 5.1 Kesimpulan .....................................................................................24 5.2 Saran ...............................................................................................24 DAFTAR ACUAN................................................................................................25
ii
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Indikator inti penggunaan obat rasional menurut WHO .......................8 Tabel 4.1 Data 10 penyakit terbanyak di Indonesia pada tahun 2010.................18 Tabel 4.2 Persentase hasil pemantauan dan evaluasi POR berdasarkan indikator peresepan di Puskesmas pada tahun 2010, 2011 dan 2012 .................19
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1Alur pelaporan pemantauan indikator peresepan di Puskesmas .........15 Gambar 4.1Grafik jumlah provinsi dan persentase indikator peresepan a. tahun 2010; b. tahun 2011; c. tahun 2012. ....................................................21
iii
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan ISPA Non Pneumonia.......27 Lampiran 2. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan Diare Non Spesifik ...........29 Lampiran 3. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan Myalgia ...........................31 Lampiran 4. Formulir Laporan Indikator Peresepan di Puskesmas. ......................33 Lampiran 5. Formulir Laporan Triwulan Indikator Peresepan di Puskesmas .......34 Lampiran 6. Formulir Laporan Triwulan Indikator Peresepan di Kabupaten/Kota ..................................................................................35 Lampiran 7. Hasil Pemantauan dan Evaluasi POR 2010-2012..............................36
iv
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tidak rasional merupakan masalah global yang sangat ekstrim. Di negara-negara berkembang, kurang dari 40% pasien di pelayanan kesehatan dasar milik pemerintah dan 30% pasien di pelayanan kesehatan swasta diterapi sesuai dengan standar yang ditetapkan (Holloway dan van Dijk, 2011). World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 50% obat di seluruh dunia diresepkan, diracik atau dijual dengan tidak tepat, dan sekitar 50% tidak digunakan secara tepat oleh pasien. Masalah yang ditimbulkan akibat penggunaan obat yang tidak tepat adalah pemborosan, berlanjutnya masalah kesehatan atau timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan (World Health Organization, 2013). Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan penjaminan mutu proses penggunaan obat. Hal ini menjadikan apoteker harus ikut bertanggung jawab bersama profesi kesehatan lainnya serta pasien, untuk tercapainya tujuan terapi yaitu dengan penggunaan obat rasional (Kementerian Kesehatan RI dan PPIAI, 2011). Penggunaan obat rasional (POR) merupakan keadaan dimana kondisi pasien didiagnosis dengan tepat, obat yang paling tepat diberikan dengan dosis dan formula yang tepat, dan pasien (sistem kesehatan) dapat menyediakan obat yang dibutuhkan dan memastikan bahwa obat tersebut digunakan dalam periode waktu yang adekuat. Selain itu, POR didefinisikan dengan kepahaman pasien terhadap obat dan pentingnya terapi sehingga pasien patuh dalam menggunakan obat yang diberikan (World Health Organization, 2013). Penggunaan obat rasional ditinjau dari tiga indikator utama yaitu peresepan, pelayanan pasien, dan fasilitas (World Health Organization, 1993). Resep dapat menggambarkan masalah – masalah umum terkait penggunaan obat dan kualitas pelayanan (World Health Organization, 2011). Ketidaktepatan peresepan dapat mengakibatkan masalah seperti tidak tercapainya tujuan terapi, meningkatnya kejadian efek samping obat, meningkatnya resistensi antibiotik,
1
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
2
penyebaran infeksi melalui injeksi yang tidak steril, dan pemborosan obat (World Health Organization, 2009). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) telah melakukan pemantauan dan evaluasi POR ditinjau dari indikator peresepan di Puskesmas di beberapa provinsi di Indonesia setiap tahun. Sistem pemantauan yang dilakukan terdiri dari pemantauan langsung dan tidak langsung. Pemantauan tidak langsung dilakukan dengan sistem pelaporan bertingkat dari Puskesmas hingga ke Kemenkes RI. Selanjutnya, Kemenkes RI mendapatkan angka kinerja POR berdasarkan perhitungan indikator peresepan. Berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014, Kemenkes RI menargetkan kinerja POR di pelayanan kesehatan dasar pemerintah pada tahun 2010, 2011 dan 2012 berturut-turut adalah 30%, 40% dan 50% (Menteri Kesehatan RI, 2011). Untuk mengetahui kinerja POR tersebut diperlukan data POR sehingga dilakukan pemantauan dan evaluasi POR di pelayanan kesehatan dasar. Data hasil pemantauan dan evaluasi POR tersebut dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan kebijakan dan program kesehatan terkait POR yang ditetapkan Kemenkes RI dan untuk merencanakan kegiatan promosi yang tepat untuk mengatasi masalah terkait POR. Oleh karena itu, kami melakukan analisis data hasil pemantauan dan evaluasi POR selama tiga tahun berturut-turut yaitu dari tahun 2010 – 2012 untuk mengetahui perkembangan POR di Indonesia terkait pencapaian target yang telah ditetapkan.
1.2 Tujuan Tujuan dari penyusunan tulisan ini adalah menganalisis hasil pemantauan dan evaluasi penggunaan obat rasional ditinjau dari indikator peresepan pada pelayanan kesehatan dasar yaitu Puskesmas di beberapa provinsi di Indonesia yang telah ditetapkan pada periode tahun 2010 - 2012 serta memberikan saran untuk mengatasi hambatan yang ada.
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penggunaan Obat Rasional Penggunaan obat yang rasional menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau (Kementerian Kesehatan RI, 2012a). Seorang pelaku pelayanan kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan harus selalu memegang prinsip rasional yaitu selalu bertindak berbasis bukti ilmiah dan prinsip tepat manfaat serta tepat biaya agar memberikan hasil optimal. Kerasionalan dalam penggunaan obat sangat diperlukan dengan alasan sebagai berikut (Kementerian Kesehatan RI, 2012a): a. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi biaya pengobatan b. Mempermudah akses masyarakat untuk memperoleh obat dengan harga terjangkau c. Mencegah
dampak penggunaan
obat
yang
tidak
tepat
yang
dapat
membahayakan pasien d. Meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu pelayanan kesehatan Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria (Kementerian Kesehatan RI, 2012a): a. Tepat diagnosis Penggunaan obat dikatakan rasional jika obat diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemberian obat dipilih berdasarkan diagnosis yang keliru. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. b. Tepat indikasi penyakit Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Dengan demikian, obat yang diberikan harus disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien. c. Tepat pemilihan obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus memiliki 3
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
4
efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit dan selalu waspada terhadap kemungkinan pasien alergi terhadap obat-obat tertentu. d. Tepat dosis Dosis, cara, dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat dengan rentang terapi sempit, akan beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya, dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. e. Tepat cara pemberian Obat harus digunakan sesuai dengan petunjuk penggunaan, waktu dan jangka waktu terapi sesuai anjuran. Pemberian obat yang tidak benar dapat berpengaruh pada kadar obat yang diabsorpsi, efek samping dan efektivitas obat. f. Tepat interval waktu pemberian Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Semakin sering frekuensi pemberian obat per hari, semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval 8 jam. g. Tepat lama pemberian Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing. Misalnya untuk penggunaan obat tuberkulosis dan kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan. h. Waspada terhadap efek samping Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek yang tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi. i. Tepat penilaian kondisi pasien Respon setiap individu terhadap pemberian obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Oleh sebab itu, kondisi pasien harus dinilai dengan tepat sebelum pemberian obat. Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
5
j. Pemberian obat yang efektif, aman, mutu terjamin serta tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB. k. Tepat Informasi Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan
keberhasilan
pengobatan.
Tenaga
kefarmasian
harus
mampu
menyediakan dan memberikan informasi kepada pasien dan tenaga kesehatan lain untuk menunjang penggunaan obat yang rasional. Informasi yang diberikan meliputi nama obat, aturan pakai, lama pemakaian, efek samping yang ditimbulkan oleh obat tertentu, dan interaksi obat tertentu dengan makanan. l. Tepat tindak lanjut (follow up) Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami efek samping. Sebagai contoh, pemberian obat anti diabetes harus selalu diikuti dengan pemeriksaan kadar gula darah beberapa hari (minimal 1 minggu) setelah pemberian. Harus dijelaskan juga tanda-tanda hipoglikemi dan upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi hipoglikemi. m. Tepat penyerahan obat (dispensing) Penggunaan obat rasional melibatkan juga Tenaga Kefarmasian sebagai yang menyerahkan obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa
ke
apotek
atau
tempat
penyerahan
obat
di
Puskesmas,
apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan pembuat resep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
6
penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana mestinya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien. Dalam label obat harus menyebutkan dua suku kata untuk identitas, misal bayi Dewi. n. Kepatuhan pasien Ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut: -
Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak
-
Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
-
Jenis sediaan obat terlalu beragam
-
Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
-
Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara minum/menggunakan obat
-
Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau efek ikutan (urin menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa diberikan penjelasan terlebih dahulu
2.2 Kebijakan Penggunaan Obat Rasional (Kementerian Kesehatan RI, 2012a) Kebijakan penggunaan obat rasional merupakan salah satu upaya untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan, efektivitas serta biaya yang terjangkau dari suatu pengobatan yang diberikan kepada masyarakat di fasilitas pelayanan kesehatan maupun pada pengobatan sendiri (self medication).
2.2.1 Landasan Dasar Kebijakan Untuk mencapai tujuan program penggunaan obat rasional ditetapkan landasan kebijakan yang merupakan penjabaran dari prinsip dasar Sistem Kesehatan Nasional (SKN), yaitu: a. Obat harus diperlakukan sebagai komponen yang tidak tergantikan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Dalam kaitan ini aspek teknologi dan ekonomi harus diselaraskan dengan aspek sosial dan ekonomi. b. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan obat esensial yang dibutuhkan masyarakat. Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
7
c. Pemerintah dan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk menjamin agar pasien mendapat pengobatan yang rasional d. Pemerintah melaksanakan pembinaan dan pengawasan dalam penggunaan obat yang rasional e. Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar, lengkap dan tidak menyesatkan. Pemerintah memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pengobatan.
2.2.2 Langkah-langkah Kebijakan Langkah-langkah kebijakan yang perlu diambil dalam mendukung program peningkatan POR adalah: a. Penyusunan pedoman pengobatan berbasis bukti ilmiah yang direvisi secara berkala b. Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi di Rumah Sakit c. Pembinaan pengawasan, audit dan umpan balik dalam penggunaan obat rasional d. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk menggunakan obat secara tepat dan benar, serta meningkatkan kepatuhan penggunaan obat e. Regulasi untuk menunjang penerapan berbagai langkah kebijakan penggunaan obat rasional f. Promosi penggunaan obat rasional dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif dan terus menerus kepada tenaga kesehatan dan masyarakat melalui berbagai media Pelaksanaan kebijakan POR memerlukan pengorganisasian, penggerakan, pemantauan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Selain itu keberhasilan pelaksanaan kebijakan POR sangat tergantung pada moral, etika, dedikasi, kompetensi, integritas, ketekunan, dan kerja keras segenap pemangku kepentingan di bidang obat.
2.3 Indikator Penggunaan Obat Rasional Dalam melakukan identifikasi masalah maupun melakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan obat rasional, WHO menyusun indikator, yang dibagi Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
8
menjadi indikator inti dan indikator tambahan sebagai acuan dalam melakukan pengukuran terhadap capaian keberhasilan upaya dan intervensi dalam peningkatan penggunaan obat yang rasional dalam pelayanan kesehatan.
2.3.1 Indikator Inti Tabel 2.1 Indikator inti penggunaan obat rasional menurut WHO Indikator peresepan 1. Rerata jumlah item dalam tiap resep 2. Persentase peresepan dengan nama generik 3. Persentase peresepan dengan antibiotik 4. Persentase peresepan dengan suntikan 5. Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial
Indikator pelayanan 1. Rerata waktu konsultasi 2. Rerata waktu penyerahan obat 3. Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan 4. Persentase obat yang dilabel secara adekuat 5. Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar
Indikator fasilitas 1. Ketersediaan Daftar Obat Esensial 2. Ketersediaan key drugs
[Sumber : World Health Organization, 1993]
2.3.2 Indikator Tambahan Indikator ini dapat diperlakukan sebagai tambahan terhadap indikator inti. Indikator ini tidak kurang pentingnya dibandingkan indikator inti, namun seering data yang dipergunakan sulit diperoleh atau interpretasi terhadap data tersebut mungkin sarat muatan lokal. Adapun yang termasuk indiaktor tambahan antara lain: a. Persentase pasien yang diterapi tanpa obat b. Rerata biaya obat tiap peresepan c. Persentase biaya untuk suntikan d. Peresepan yang sesuai dengan pedoman pengobatan e. Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan f. Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses kepada informasi yang obyektif
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
9
2.4 Indikator Peresepan (Kementerian Kesehatan RI, 2012a) Indikator peresepan mengukur kinerja fasilitas pelayanan kesehatan dalam beberapa hal yang berkaitan dengan penggunaan obat yang tepat (World Health Organization, 1993). Kemenkes RI memilih parameter indikator peresepan yang dievaluasi berdasarkan permasalahan
yang sering terjadi di Indonesia.
Permasalahan tersebut adalah tingginya polifarmasi serta peresepan antibiotik dan injeksi yang berlebihan. Empat parameter utama yang dinilai dalam pemantauan dan evaluasi penggunaan obat yang rasional adalah: - Penggunaan standar pengobatan - Proses pengobatan - Ketepatan diagnosis - Ketepatan pemilihan intervensi pengobatan Selanjutnya keempat parameter tersebut dijabarkan dalam indikator penggunaan obat yang terdiri atas: - rata-rata jumlah obat per lembar resep - persentase penggunaan antibiotik - persentase penggunaan injeksi - persentase penggunaan obat generik Data yang diambil adalah data pasien yang berobat ke Puskesmas dengan diagnosis tunggal ISPA non pneumonia (batuk pilek), diare akut non spesifik, dan penyakit sistem otot dan jaringan. Adapun dasar Kemenkes RI menetapkan ISPA non pneumonia, diare non spesifik dan myalgia sebagai parameter pemantauan dan evaluasi POR adalah (Kementerian Kesehatan, 2012a): a. Termasuk 10 penyakit terbanyak b. Diagnosis dapat ditegakkan oleh petugas tanpa memerlukan pemeriksaan penunjang c. Pedoman terapi untuk ketiga diagnosis jelas d. Tidak memerlukan antibiotika/injeksi e. Selama ini ketiganya dianggap potensial untuk diterapi secara tidak rasional
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
10
2.4.1 Rata-rata jumlah obat yang diresepkan untuk tiap kunjungan pasien Tujuan dari parameter ini adalah untuk mengukur tingkat polifarmasi yang terjadi. Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung rata-rata yaitu dengan membagi jumlah total produk obat yang diresepkan dengan jumlah total resep (World Health Organization, 1993). Jika obat diberikan dengan jumlah berlebihan maka dapat mengurangi kualitas terapi obat, pemborosan, peningkatan biaya terapi, peningkatan interaksi obat maupun efek samping obat dan efek psikososial yang mengakibatkan pasien bergantung pada obat. WHO menyarankan rata-rata jumlah obat yang diresepkan untuk tiap pasien adalah sebanyak 1,6 – 1,8 obat (Bhartiy, Shinde, Nandheswar, & Tiwari, 2008).
2.4.2 Persentase peresepan antibiotik Bentuk ketidakrasionalan penggunaan antibiotika cukup beragam, mulai dari ketidaktepatan dalam pemilihan jenis antibiotika sampai cara dan lama pemberiannya. Penggunaan antibiotika cenderung berlebihan dan umumnya justru diberikan pada penyakit atau kondisi yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotika. Hampir semua penderita ISPA non pneumonia (92-98%), baik dewasa maupun balita mendapatkan paling tidak satu jenis antibiotika jika mereka berobat ke Puskesmas (Kristin, et al, 1998). Penggunaan antibiotika yang berlebihan dapat meningkatkan terjadinya resistensi antibiotika. Kebiasaan memberikan antibiotika dengan dosis yang tidak tepat (umumnya dosis yang tidak adekuat), frekuensi pemberian yang keliru, atau waktu pemberian terlalu singkat atau terlalu lama selain mengurangi efikasi sebagai pembunuh mikroba juga menimbulkan masalah resistensi (Dwiprahasto, 2007). Tujuan parameter ini adalah untuk mengukur tingkat penggunaan antibiotik yang umumnya digunakan secara berlebihan dan meningkatkan biaya terapi. Persentase dihitung dengan membagi jumlah pasien yang menerima antibiotik dengan total jumlah pasien lalu dikali seratus persen (World Health Organization, 1993). Indikator POR yang dipantau adalah persentase peresepan
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
11
antibiotik pada ISPA non pneumonia atau diare non spesifik. Hasil yang diharapkan adalah persentase peresepan antibiotik yang rendah.
2.4.3 Persentase peresepan injeksi Penggunaan injeksi yang mahal dan seringkali tidak aman di saat formulasi oral lebih tepat digunakan, dapat meningkatkan peningkatan kejadian hepatitis B dan C serta HIV (World Health Organization, 2006). Penggunaan injeksi yang tidak steril dapat menyebabkan penularan hepatitis, HIV/AIDS dan penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Di Indonesia, penggunaan injeksi yang berlebihan umumnya terjadi pada sektor pelayanan kesehatan publik (Hutin, Hauri, & Armstrong, 2003 dan Staa & Hardon, 1993). Tujuan parameter ini adalah untuk mengukur tingkat penggunaan injeksi yang umumnya digunakan secara berlebihan dan meningkatkan biaya terapi. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah pasien yang menerima injeksi dengan total jumlah pasien lalu dikali seratus persen (World Health Organization, 1993). Indikator POR yang dipantau adalah persentase peresepan injeksi pada myalgia. Hasil yang diharapkan adalah persentase peresepan injeksi yang rendah.
2.4.4 Persentase peresepan obat generik Tujuan parameter ini adalah mengukur kecenderungan dokter untuk meresepkan obat generik. Persentase dihitung dengan cara membagi jumlah total obat generik yang diresepkan dengan jumlah total obat yang diresepkan lalu dikali seratus persen (World Health Organization, 1993). Hasil yang diharapkan adalah tingginya persentase peresepan obat generik. Untuk Renstra 2009-2014, persentase peresepan obat generik tidak termasuk pada indikator POR yang dipantau. Kemenkes RI menetapkan toleransi terkait parameter peresepan yang dimonitor berdasarkan beberapa pertimbangan para ahli. Nilai toleransi yang disetujui oleh Kemenkes RI terkait kategori kerasionalan parameter indikator peresepan adalah sebagai berikut : a. Rata-rata jumlah obat tiap pasien : 2,6. b. Persentase peresepan antibiotik pada ISPA non pneumonia : 20%. Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
12
c. Persentase peresepan antibiotik pada diare non spesifik : 8%. d. Persentase injeksi pada myalgia : 1%. Penggunaan obat rasional dikatakan 100% apabila persentase untuk masing-masing komponen dan rerata tidak melebihi toleransi yang ditetapkan (Kementerian Kesehatan, 2011).
2.5 Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Rasional Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional dibawah Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian bertugas melakukan kegiatan promosi, pemantauan dan evaluasi serta penyusunan laporan di bidang penggunaan obat rasional (Kementerian Kesehatan, 2010). Dalam melakukan kegiatan pemantauan, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian telah melakukan pengkajian dan penyusunan sistem pelaporan indikator peresepan (Kementerian Kesehatan, 2012a). Penggunaan obat rasional selain sangat penting untuk menjamin akses obat, juga ketersediaan dan keterjangkauannya, untuk menjamin mutu pelayanan kesehatan. Salah satu cara untuk melakukan evaluasi penerapan penggunaan obat rasional adalah dengan cara supervisi dan pemantauan. Dengan adanya supervisi dan pemantauan tersebut diharapkan dapat diketahui penyebab ketidakrasionalan penggunaan obat. Pemantauan penggunaan obat yang rasional bertujuan untuk menilai apakah praktek penggunaan obat yang dilakukan telah sesuai dengan pedoman pengobatan yang berlaku. Adapun manfaat pemantauan penggunaan obat rasional antara lain (Kementerian Kesehatan, 2012a): - Bagi dokter/pelaku pengobatan Pemantauan penggunaan obat dapat digunakan untuk melihat mutu pelayanan pengobatan dan mutu keprofesian. Dengan pemantauan ini maka dapat dideteksi adanya kemungkinan penggunaan obat yang berlebih (over prescribing), kurang (under prescribing), maupun tidak tepat (incorrect prescribing). - Dari segi perencanaan obat Pemantauan penggunaan obat secara teratur dapat digunakan untuk membuat perencanaan obat dan perkiraan kebutuhan obat secara rasional. Upaya tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Perencanaan yang didasarkan pada data Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
13
morbiditas dan pola konsumsi yang akurat memberikan jaminan kecukupan ketersediaan obat. - Dari segi fasilitas pelayanan kesehatan Pemantauan obat tidak saja bermanfaat terhadap mutu pelayanan dan upaya intervensi, tetapi juga sebagai sarana pembinaan bagi kinerja tenaga kesehatan setempat. Pada dasarnya pemantauan penggunaan obat dilakukan untuk menemukan ada tidaknya masalah dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan kepada pasien di fasilitas pelayanan kesehatan terutama dalam hal penggunaan obat. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan pemantauan penggunaan obat perlu ditentukan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut (Kementerian Kesehatan, 2012a): - Mengidentifikasi masalah spesifik dalam penggunaan obat - Menentukan prioritas masalah yang akan diatasi - Menentukan indikator dan sumber datanya - Mengidentifikasi sasaran spesifik kegiatan dan target intervensi Kemenkes RI melakukan dua jenis monitoring POR di Puskesmas yang berkaitan dengan indikator peresepan, yaitu (Kementerian Kesehatan, 2012a): - Pemantauan langsung Pemantauan secara langsung dilakukan dengan mengamati proses pengobatan mulai dari anamnesis, pemeriksaan, peresepan, hingga penyerahan obat ke pasien. Pemantauan dengan cara ini dapat dilakukan secara berkala pada waktu-waktu yang tidak diberitahukan sebelumnya, sehingga diperoleh gambaran nyata mengenai praktek pemakain obat yang berlangsung saat itu. - Pemantauan tidak langsung Pemantauan secara tidak langsung dilakukan dengan penggambilan data dari kartu status pasien dan buku registrasi pasien yang kemudian dilakukan pelaporan dari Puskesmas yang dilakukan bertingkat hingga ke Kemenkes RI Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. Pelaporan awal indikator peresepan dilakukan oleh tenaga di Puskesmas dengan cara mengisi formulir pelaporan indikator peresepan (lihat Lampiran 1, 2, dan 3). Cara pengisian formulir pemantauan indikator peresepan adalah sebagai berikut (Kementerian Kesehatan, 2012a): Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
14
- Data pasien diambil dari register harian, 1 kasus per hari untuk setiap diagnosis terpilih. Dengan demikian, dalam 1 bulan diharapkan terkumpul 25 kasus per diagnosis terpilih. - Bila pada hari tersebut tidak ada pasien dengan diagnosis tersebut, kolom dikosongkan, dan diisi dengan diagnosis yang sama, dapat diambil pada harihari berikutnya. - Untuk masing-masing diagnosis, diambil pasien dengan urutan pertama pada hari pencatatan. Diagnosis diambil yang tunggal, tidak ganda atau yang disertai penyakit/keluhan lain. - Puyer dan obat kombinasi ditulis rincian jenis obatnya. - Jenis obat termasuk obat minum, injeksi dan obat luar. - Imunisasi tidak dimasukkan dalam kategori injeksi. - Istilah antibiotik termasuk kemoterapi dan anti amuba. - Kolom “kesesuaian dengan pedoman” dikosongkan. Kolom ini akan diisi oleh pembina pada saat kunjungan supervisi (diambil 10 sampel secara acak untuk diskusi). Supervisi adalah suatu metode yang digunakan untuk keperluan pengawasan/pengendalian serta bimbingan dan pembinaan. Supervisi penggunaan obat terdiri dari pengawasan dan pengendalian terhadap mutu penggunaan obat, pencatatan serta pelaporannya dan membina dan membimbing pelaksana pengobatan agar senantiasa meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka dalam rangka pemakaian obat yang rasional serta membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi di lapangan. Pengumpulan data peresepan dilakukan oleh petugas Puskesmas, satu kasus setiap hari untuk diagnosis yang telah ditetapkan sehingga didapat 25 data untuk setiap kasus per bulan. Puskesmas menyerahkan laporan monitoring tersebut setiap bulan ke dinas kesehatan kabupaten/kota dalam bentuk rekapitulasi (lihat Lampiran 4). Di tingkat Kabupaten/Kota data dari setiap Puskesmas di wilayahnya di rekapitulasi setiap tiga bulan untuk dikirimkan ke tingkat provinsi (lihat Lampiran 5). Di tingkat provinsi data dari setiap Puskesmas dari Kabupaten/Kota direkapitulasi dan diteruskan ke Kemenkes RI (lihat Lampiran 6). Alur pelaporan monitoring indikator peresepan dapat dilihat pada Gambar 2.1. Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
15
Laporan ke dinas kesehatan kabupaten/kota
Laporan harian
Rekapitulasi puskemas
• dilakukan oleh tiap puskesmas •dilakukan setiap hari
•dilakukan oleh puskesmas induk setiap bulan
• dinas kesehatan kabupaten/kota melakukan rekapitulasi data seluruh puskesmas di wilayahnya setiap tiga bulan
Laporan ke Kemenkes RI
Laporan ke dinas kesehatan provinsi
•rekapitulasi data dari seluruh provinsi di Indonesia
• dinas kesehatan provinsi melakukan rekapitulasi data seluruh kabupaten/kota di wilayahnya
Gambar 2.1 Alur pelaporan pemantauan indikator peresepan di Puskesmas
Data
nilai
tiap
parameter
yang
didapat
dari
masing-masing
Kabupaten/Kota direkapitulasi menjadi data nilai setiap provinsi sebelum digabung menjadi satu nilai. Keberhasilan POR dinilai menggunakan angka kinerja POR yang dihitung menggunakan rumus :
Kinerja POR
=
Jumlah persentase capaian masing-masing parameter indikator peresepan jumlah komponen parameter
=
100
100
100
4
(100-a)× 80 + (100-b)× 92 + 100-c × 99 + (100-d)×1,4 4
Keterangan : a = persentase penggunaan antibiotik pada ISPA nonpneumonia b = persentase penggunaan antibiotik pada diare nonspesifik c = persentase penggunaan injeksi pada myalgia d=
rata-rata jumlah obat per lembar resep x 100% 4
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
BAB 3 METODOLOGI PENGKAJIAN
3.1 Waktu dan Tempat Pengkajian Pengkajian dilakukan pada tanggal 21 Januari 2013 – 4 Februari 2013 yang bertempat di Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3.2 Metode Pengkajian Metode yang digunakan dalam pengkajian adalah melalui penelusuran literatur (studi pustaka) dan analisis data hasil pemantauan dan evaluasi POR. Pustaka digunakan untuk mengkaji parameter kriteria kerasionalan penggunaan obat terkait indikator peresepan. Data diperoleh dari hasil pemantauan dan evaluasi POR di Puskesmas di beberapa provinsi di Indonesia pada periode tahun 2010, 2011 dan 2012. Selanjutnya dilakukan analisis data dan permasalahan yang ada serta solusi yang dapat dilakukan.
16
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Parameter pada Indikator Peresepan Parameter yang dievaluasi oleh Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian terkait indikator peresepan adalah rata-rata jumlah obat, persentase penggunaan antibiotik pada penyakit ISPA non pneumonia dan diare non spesifik serta persentase penggunaan injeksi pada myalgia. Parameter tersebut lebih spesifik dibandingkan dengan parameter yang ditetapkan oleh WHO. WHO menetapkan parameter persentase penggunaan antibiotik secara umum. Parameter tersebut untuk analisis awal tentang tingkat penggunaan antibiotik. Apabila hasilnya tinggi maka dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penyakit yang tinggi tingkat penggunaan antibiotiknya (World Health Organization, 1993). ISPA non pneumonia merupakan penyakit rawat jalan dengan prevalensi tertinggi sedangkan diare non spesifik merupakan penyakit dengan prevalensi tertinggi pada rawat inap di rumah sakit di Indonesia pada tahun 2010 (lihat Tabel 4.1). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua penyakit tersebut termasuk ke dalam 10 besar penyakit terbanyak di Indonesia pada tahun 2010. WHO juga menyatakan bahwa pasien diare dan ISPA cenderung diresepkan antibiotik secara berlebihan, hanya sekitar 40% pasien yang menerima terapi sesuai dengan standar (World Health Organization, 2007).
17
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
18
Tabel 4.1 Data 10 besar penyakit rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit tahun 2010 No 1
2
3 4 5 6
7 8 9 10
Rawat Inap
Rawat Jalan
Diare dan gastroenteritis oleh Infeksi saluran napas bagian atas akut penyebab infeksi tertentu (kolitis lainnya infeksi) Demam Berdarah Dengue Cedera YDT (Yang Dengan Trauma) lainnya, YTT (Yang Tidak Trauma) dan daerah badan Multipel Demam tifoid dan paratifoid Penyakit kulit dan jaringan subkutan lainnya Penyulit kehamilan dan persalinan Gangguan refraksi dan akomodasi lainnya Dispepsia Diare dan gastroenteritis oleh penyebab infeksi tertentu (kolitis infeksi) Cedera YDT (Yang Dengan Trauma) Dispepsia lainnya, YTT (Yang Tidak Trauma) dan daerah badan Multipel Hipertensi esensial (primer) Penyakit pulpa dan periapikal Cedera intrakranial Hipertensi esensial (primer) Infeksi saluran napas bagian atas akut Konjungtivitis dan gangguan lain lainnya konjungtiva Pneumonia Penyakit telinga dan prosesus mastoid [sumber : Kemenkes RI, 2012b]
4.2 Analsis Hasil Pemantauan dan Evaluasi POR pada tahun 2010-2012 Kemenkes RI telah melaksanakan pemantauan dan evaluasi POR di Puskesmas di beberapa provinsi di Indonesia. Pada tahun 2010 diperoleh data pemantauan dan evaluasi POR dari 33 provinsi. Pada tahun 2011 diperoleh data dari 26 provinsi sedangkan pada tahun 2012 diperoleh data dari 21 provinsi dengan 85 kabupaten/kota (lihat Tabel 4.2).
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
19
Tabel 4.2 Persentase hasil pemantauan dan evaluasi POR berdasarkan indikator peresepan di Puskesmas pada tahun 2010, 2011 dan 2012 Indikator Peresepan % Penggunaan Antibiotik pada ISPA Non-Pneumonia
2010
2011
2012
58,39%
45,08%
49,07%
57,84%
41,28%
48,00%
3,64%
3,36%
5,43%
3,01
3,56
3,51
30 %
40 %
50%
66,53%
66,12%
62,63%
Jumlah Provinsi
33
26
21
Jumlah Kab/Kota
NA
NA
85
% Penggunaan Antibiotik pada Diare Non-spesifik % Penggunaan Injeksi pada Myalgia Rerata Item Jenis Obat / Lembar Resep % Target Penggunaan Obat Rasional % Pengunaan Obat Rasional
Keterangan: NA = Not Available
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa rata-rata penggunaan antibiotik pada ISPA nonpneumonia maupun diare nonspesifik menunjukkan penurunan pada tahun 2011 tetapi mengalami kenaikan pada tahun 2012. Kenaikan juga terjadi pada persentase penggunaan injeksi pada myalgia dan rerata item jenis obat. Oleh karena itu, persentase penggunaan obat rasional yang dihasilkan juga mengalami penurunan dari tahun 2010 meskipun masih dalam rentang 60%. Persentase POR selama tiga tahun tersebut memenuhi target kinerja POR yang ditetapkan dalam Rencana Strategis (Renstra) yaitu pada tahun 2010, 2011, 2012 berturut-turut adalah 30%, 40% dan 50%. Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa persentase penggunaan antibiotik di Indonesia sangat tinggi. Hal ini dikhawatirkan dapat mempercepat terjadinya resistensi karena negara dengan penggunaan antibiotik yang tinggi cenderung mengalami resistensi antimikroba yang tinggi pula (Holloway dan van Dijk, 2011). Penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan masalah global. Penyakit infeksi yang telah ada maupun yang baru semakin meningkat dan mengancam populasi yang sehat. Jika antibiotik menjadi tidak efektif, penyakit tersebut dapat menyebabkan peningkatan morbiditas, penggunaan pelayanan kesehatan, dan mortalitas. Selain itu, antibiotik juga diperlukan untuk terapi Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
20
lainnya seperti operasi dan kemoterapi yang akan menjadi tidak bisa digunakan jika keefektifan antibiotik telah hilang. Saat ini, resistensi antibiotik generasi lama terus meningkat padahal perkembangan antibiotik generasi baru sangat lambat. Oleh karena itu, penggunaan antibiotik secara efisien sangat diperlukan untuk memastikan ketersediaannya dalam jangka panjang sebagai terapi infeksi bakteri. Penggunaan yang efisien ini termasuk pembatasan dan penggunaan antibiotik secara tepat (Holloway dan van Dijk, 2011).
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
21
35
31
33
30 25 20
16
15 10 5
4
9
8
6 7
6 5
4
2
1
0 <20%
20-40%
40-60%
60-80%
>80%
a 30
25 26
25 20 15 10 5
8
7
6 7
6
5
2
1
5
4
2
0 <20%
20-40%
40-60%
60-80%
>80%
b
25
20 21
20 15 8
10 5
4 4
5 2
4
6 5
1
1
3
0 <20%
20-40%
40-60%
60-80%
>80%
Penggunaan Antibiotik pada ISPA Non-Pneumonia Penggunaan Antibiotik pada Diare Non-spesifik Penggunaan Injeksi pada Myalgia Rerata Item Jenis Obat / Lembar Resep
c Gambar 4.1 Grafik jumlah provinsi dan persentase indikator peresepan a. tahun 2010; b. tahun 2011; c. tahun 2012 Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
22
Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi POR tahun 2010 (Gambar 4.1a), terdapat 13 provinsi dengan
persentase penggunaan antibiotik >80%.
Jumlah ini menurun menjadi 7 provinsi pada tahun 2011 (Gambar 4.1b) dan 4 provinsi pada tahun 2012 (Gambar 4.1c). Sedangkan untuk rerata item jenis obat/lembar resep selama tiga tahun berturut-turut berada pada rentang <20% di seluruh provinsi yang dievaluasi. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat polifarmasi di Puskesmas tergolong rendah. Penggunaan injeksi pada myalgia sebagian besar juga berada pada rentang <20%. Akan tetapi, rentang tersebut belum memenuhi toleransi yang ditetapkan oleh Kemenkes RI. Peresepan antibiotik merupakan masalah yang paling banyak terjadi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada hasil pemantauan dan evaluasi POR di beberapa provinsi di Indonesia (Lampiran 7). Pada rentang waktu tiga tahun, terdapat beberapa provinsi yang menunjukkan penurunan penggunaan antibiotik pada ISPA non pneumonia maupun diare non spesifik, tetapi terdapat beberapa provinsi yang cenderung mengalami peningkatan, misalnya Bengkulu, NTB, dan Jawa Barat. Selain itu, penggunaan injeksi pada myalgia juga menunjukkan peningkatan meskipun masih berada dalam rentang <20%, tetapi terdapat provinsi yang mengalami peningkatan sangat ekstrim yaitu Gorontalo. Rerata jumlah resep cenderung berada dalam rentang yang konstan meskipun terdapat beberapa provinsi yang mengalami kenaikan pada tahun 2011 diikuti dengan penurunan pada tahun 2012, misalnya provinsi Jawa Barat. Berdasarkan perhitungan persentase POR, provinsi yang memiliki % POR terendah dari tahun 2010-2012 berturut-turut adalah Maluku, Sumatra Utara, dan Gorontalo (Lampiran 7). Provinsi dengan kinerja POR yang masih rendah harus diprioritaskan dalam kegiatan promosi penggunaan obat rasional untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan tentang pentingnya penggunaan obat secara rasional. Bervariasinya hasil pemantauan dan evaluasi POR dari tahun ke tahun mungkin disebabkan jumlah sampel yaitu data pemantauan dan evaluasi dari provinsi ke Subdit POR juga mengalami perbedaan dan penurunan. Misalnya provinsi Bengkulu hanya mengirimkan data pada tahun 2010 dan 2012 saja atau Maluku yang hanya terdapat pada tahun 2010 saja, padahal berdasarkan hasil Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
23
perhitungan persentase POR, kinerja POR di provinsi Maluku merupakan yang paling rendah dibandingkan 32 provinsi lain (Lampiran 7). Salah satu hal yang menjadi hambatan kelancaran pelaporan pemantauan POR adalah beban kerja petugas Puskesmas yang sudah tinggi sehingga sulit melakukan pengisian formulir. Oleh sebab itu, ketentuan pengisian yang sebelumnya dilakukan setiap hari kerja setiap bulan, dapat dikurangi menjadi 15 hari kerja setiap bulan sehingga dalam setahun Puskesmas dapat memiliki total jumlah sampel 180/diagnosis. Jumlah tersebut masih memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh WHO yaitu minimal 100 sampel untuk tujuan membandingkan antar fasilitas atau 15 sampel untuk tujuan supervisi (World Health Organization, 1993). Adanya keterlambatan data atau tidak adanya pelaporan dari Puskesmas merupakan hambatan yang menyebabkan tidak lengkapnya hasil perhitungan kinerja POR di Indonesia. Hal ini menyebabkan terdapat beberapa provinsi yang tidak diketahui perkembangan kinerja POR dari tahun ke tahun. Padahal hal tersebut sangat penting untuk diketahui untuk mengevaluasi apakah sistem yang digunakan sudah berhasil atau tidak. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan pelaporan secara online yaitu dengan menggunakan internet, kecuali Puskesmas yang tidak memiliki fasilitas komputer, masih dapat menggunakan pelaporan secara manual. Hal tersebut dapat menghemat dana dan waktu yang diperlukan untuk pelaporan. Kemenkes RI sebenarnya sudah memiliki sistem eyanfar untuk rumah sakit dan Puskesmas. Akan tetapi, sistem software tersebut masih dalam tahap pengembangan. Selain itu, untuk meningkatkan penggunaan obat rasional diperlukan peran aktif dan dukungan dari pemerintah, tenaga kesehatan serta masyarakat. Pemerintah harus meningkatkan sistem kesehatan nasional yang terkoordinasi untuk melakukan promosi penggunaan obat rasional termasuk pencegahan penggunaan antibiotik yang tidak tepat yang dapat menyebabkan resistensi. Kegiatan Pergerakan Penggunaan Obat Rasional (PPOR) juga harus semakin ditingkatkan terutama di daerah dengan kinerja POR yang masih rendah.
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan a. Kinerja POR di Indonesia berdasarkan indikator peresepan pada tahun 20102012 berturut-turut adalah 66,53%, 66,12%, dan 62,63% b. Penggunaan antibiotik pada ISPA nonpneumonia dan diare nonspesifik di Indonesia masih tergolong sangat tinggi yaitu >40%. Hal ini menandakan penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan masalah yang banyak terjadi di pelayanan kesehatan dasar yaitu Puskesmas di Indonesia c. Pemantauan dan evaluasi POR di Indonesia masih mengalami hambatan berupa tidak adanya pelaporan dari beberapa Puskesmas di beberapa provinsi di Indonesia d. Keterlambatan atau tidak adanya pelaporan POR dapat diatasi dengan penggunaan sistem online berbasis internet yaitu dengan menggunakan sistem e-yanfar
5.2 Saran Peningkatan penggunaan obat rasional memerlukan peran aktif dan dukungan dari pemerintah, tenaga kesehatan serta masyarakat. Kegiatan promosi dan penggerakkan obat rasional harus lebih ditingkatkan terutama di daerah dengan kinerja POR yang rendah.
24
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Bhartiy, S. S., Shinde, M., Nandheswar, S., & Tiwari, S. C. (2008). Pattern of prescribing practices in the Madhya Pradesh, India. Kathmandu University Medical Journal , 6 (1), 55-59. Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Dwiprahasto, I. (2007). Penggunaan obat yang tidak rasional dan implikasinya dalam sistem pelayanan kesehatan. Yogyakarta: Bagian Farmakologi & Terapii/Clinical Epidemiology & Biostatistics Unit FK-UGM/RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Holloway, K dan Liset van Dijk. (2011). The World Medicines Situation 2011 3rd Ed: Rational Use of Medicine. Geneva: World Health Organization. Hutin, Y. J., Hauri, A. M., & Armstrong, G. L. (2003). Use of injections in healthcare settings worlwide, 2000: literature review and regional estimates. BMJ , 327, 1-5. Kristin E, Thobari JA, Kirmawanto P, dan Dwiprahasto I. (1998). Laporan Studi Data Dasar Pengelolaan dan Penggunaan Obat di Dati II Propinsi Jawa Timur. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Menteri Kesehatan RI. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010b Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Menteri Kesehatan RI. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 021/MENKES/SK/I/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan RI. (2011). Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan RI dan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. (2011). In Mashuda, A (Ed.): Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
25
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Universitas Indonesia
26
Kementerian Kesehatan RI. (2012a). Modul Penggerakan Penggunaan Obat Rasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan RI. (2012b). Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Staa, A. v., & Hardon, A. (1993). Injection practices in the developing world. Result and recommendations from field studies in Uganda and Indonesia. Amsterdam: University of Amsterdam. Subdirektorat POR. (2013). Laporan Monitoring Indikator Peresepan Tahun 2010-2012. World Health Organization. (1985). The Rational Use of Drugs. WHO Health Assembly Resolution WHA39.27. Geneva: World Health Organization. World Health Organization. (1993). How to Investigate Drug Use in Health Facilities. Geneva: World Health Organization. World Health Organization. (2006). Using indicators to measure country pharmaceutical situations; Fact book on WHO Level I and Level II monitoring indicators. Geneva: World Health Organization. World Health Organization. (2007). Progress in the rational use of medicines. Geneva: World Health Organization. World Health Organization. (2009). Medicines Use in Primary Care in Developing and Transitional Countries : Fact Book Summarizing Results from Studies Reported between 1990 and 2006. Geneva: World Health Organization. World Health Organization. (2011). How to Investigate Drug Use in Health Facilities. Geneva: World Health Organization. World
Health Organization. (2013). Rational Use. 5 Februari http://www.euro.who.int/en/what-we-do/health-topics/Health systems/medicines/policy/rational-use
2013.
Universitas Indonesia
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
27
Lampiran 1. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan ISPA Non Pneumonia FORM-1 FORMULIR PELAPORAN INDIKATOR PERESEPAN ISPA NON PNEUMONIA Puskesmas : Kabupaten : Provinsi :
..... .. ..
Bulan : Tahun :
Tgl
No.
Nama
Umur
Jumlah Item Obat
Antibiotik Ya/Tidak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Nama Obat
Dosis Obat
Lama Pemakaian (hari)
Sesuai Pedoman Ya/Tidak
(7)
(8)
(9)
( 10 )
a. b.
1
c. d. a. b.
2
c. d. a. b.
3
c. d. a. b.
4
c. d. a. b.
dst
c. d.
N=
Total Item Obat Rerata Item Obat/ Lembar Resep Persentase AB
A
B
A/N B/Nx 100 %
Petugas,
............................................ NIP.
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
28
Keterangan: Kolom 1: diisi dengan tanggal-bulan-tahun yang tertulis pada resep Kolom 2: diisi sesuai dengan nomor urut data resep Kolom 3: diisi sesuai dengan inisial nama pasien Kolom 4: diisi sesuai dengan umur pasien dalam tahun atau bulan (untuk bayi) Kolom 5: diisi sesuai dengan jumlah zat aktif obat yang tercantum pada setiap lembar resep Kolom 6: diisi dengan ya atau tidak untuk menyatakan penggunaan antibiotik pada lembar resep Kolom 7: diisi sesuai dengan nama obat yang tertulis dalam setiap lembar resep Kolom 8: diisi sesuai dengan dosis pemakaian yang tercantum pada lembar resep Kolom 9: diisi sesuai dengan lama pemakaian yang tercantum dalam lembar resep/hari misal 3 x 1 Kolom 10: diisi oleh petugas supervisor pada saat kunjungan supervisi dengan mengacu pada standar pengobatan N
: Jumlah lembar resep
A
: Jumlah item obat pada semua lembar resep
B
: Jumlah pasien yang mendapatkan antibiotik
AB
: Antibiotik
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
29
Lampiran 2. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan Diare Non Spesifik FORM-2 FORMULIR PELAPORAN INDIKATOR PERESEPAN DIARE NON SPESIFIK Puskesmas : Kabupaten : Propinsi :
.. .. ..
Bulan : Tahun :
Tgl
No.
Nama
Umur
Jumlah Item Obat
Antibiotik Ya/Tidak
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1
2
3
4
dst Total Item Obat Rerata Item Obat/ Lembar Resep
N=
Persentase AB
A
Nama Obat (8) a. b. c. d. a. b. c. d. a. b. c. d. a. b. c. d. a. b. c. d.
B
A/N B / N x 100 %
Petugas,
............................................ NIP.
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Dosis (9)
Lama Pemakaian (hari) ( 10 )
Sesuai Pedoman Ya/Tidak ( 11 )
30
Keterangan: Kolom 1: diisi dengan tanggal-bulan-tahun yang tertulis pada resep Kolom 2: diisi sesuai dengan nomor urut data resep Kolom 3: diisi sesuai dengan inisial nama pasien Kolom 4: diisi sesuai dengan umur pasien dalam tahun atau bulan (untuk bayi) Kolom 5: diisi sesuai dengan jumlah zat aktif obat yang tercantum pada setiap lembar resep Kolom 6: diisi dengan ya atau tidak untuk menyatakan penggunaan antibiotik pada lembar resep Kolom 7: diisi sesuai dengan nama obat yang tertulis dalam setiap lembar resep Kolom 8: diisi sesuai dengan dosis pemakaian yang tercantum pada lembar resep Kolom 9: diisi sesuai dengan lama pemakaian yang tercantum dalam lembar resep/hari misal 3 x 1 Kolom 10: diisi oleh petugas supervisor pada saat kunjungan supervisi dengan mengacu pada standar pengobatan N
: Jumlah lembar resep
A
: Jumlah item obat pada semua lembar resep
B
: Jumlah pasien yang mendapatkan antibiotik
AB
: Antibiotik
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
31
Lampiran 3. Formulir Pelaporan Indikator Peresepan Myalgia FORM-3 FORMULIR PELAPORAN INDIKATOR PERESEPAN MYALGIA Puskesmas : Kabupaten : Propinsi :
.. .. ..
Bulan : Tahun :
Tgl
No.
Nama
Umur
Jumlah Item Obat
Injeksi Ya/Tidak
Nama Obat
Dosis
Lama Pemakaian (hari)
Sesuai Pedoman Ya/Tidak
(1)
(2 )
(3)
(4)
(5)
(6)
(8)
( 9)
( 10 )
( 11 )
a. b.
1
c. d. a. b.
2
c. d. a. b.
3
c. d. a. b.
4
c. d. a. b.
dst
c. d. N=
Total Item Obat
A
Rerata Persentase Injeksi
A/N
B B/Nx 100 %
Petugas,
............................................ NIP.
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
32
Keterangan: Kolom 1: diisi dengan tanggal-bulan-tahun yang tertulis pada resep Kolom 2: diisi sesuai dengan nomor urut data resep Kolom 3: diisi sesuai dengan inisial nama pasien Kolom 4: diisi sesuai dengan umur pasien dalam tahun atau bulan (untuk bayi) Kolom 5: diisi sesuai dengan jumlah zat aktif obat yang tercantum pada setiap lembar resep Kolom 6: diisi dengan ya atau tidak untuk menyatakan penggunaan antibiotik pada lembar resep Kolom 7: diisi sesuai dengan nama obat yang tertulis dalam setiap lembar resep Kolom 8: diisi sesuai dengan dosis pemakaian yang tercantum pada lembar resep Kolom 9: diisi sesuai dengan lama pemakaian yang tercantum dalam lembar resep/hari misal 3 x 1 Kolom 10: diisi oleh petugas supervisor pada saat kunjungan supervisi dengan mengacu pada standar pengobatan N
: Jumlah lembar resep
A
: Jumlah item obat pada semua lembar resep
B
: Jumlah pasien yang mendapatkan injeksi
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
33
Lampiran 4. Formulir Laporan Indikator Peresepan di Puskesmas
LAPORAN INDIKATOR PERESEPAN DI PUSKESMAS Nama Puskesmas Jenis Puskesmas Jumlah Apoteker Jumlah AA/D3 Farmasi Jumlah Dokter Kabupaten/Kota Provinsi :
: : Perawatan/Bukan Perawatan : : : : :
Bulan: Tahun: ............................
Rerata Item / lembar Resep
% Penggunaan Antibiotik pada ISPA NonPneumonia
% Penggunaan Antibiotik pada Diare NonPneumonia
% Penggunaan Injeksi pada Myalgia
ISPA
Diare
Myalgia
Rata- rata
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Petugas,
............................................ NIP.
Keterangan: Bulan
: bulan periode waktu pengambilan data
Tahun
: tahun pengambilan data
Kolom 1 : diisi dari hasil perhitungan Persentase Penggunaan Antibiotik pada diagnosis ISPA Non Pneumonia (Form 1) Kolom 2 : diisi dari hasil perhitungan Persentase Penggunaan Antibiotik pada diagnosis Diare Non Spesifik (Form 2) Kolom 3 : diisi dari hasil perhitungan Persentase Penggunaan Injeksi pada diagnosis Myalgia (Form 3) Kolom 4 : diisi dari hasil perhitungan Rerata Item Obat per lembar Resep pada diagnosis ISPA Non Pneumonia (Form 1) Kolom 5 : diisi dari hasil perhitungan Rerata Item Obat per lembar Resep pada diagnosis Diare Non Spesifik (Form 2) Kolom 6 : diisi dari hasil perhitungan Rerata Item Obat per lembar Resep pada diagnosis Myalgia (Form 3) Kolom 7 : merupakan nilai rerata item obat per lembar resep dari ketiga diagnosis yang diisi dengan rumus sebagai berikut:
$=
%&'&( ())* %&'&( (+)* %&'&( (,) -
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Lampiran 5. Formulir Laporan Triwulan Indikator Peresepan di Puskesmas REKAPITULASI DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA LAPORAN TRIWULAN INDIKATOR PERESEPAN DI PUSKESMAS Kabupaten : Provinsi :
Periode Bulan: Tahun: ...................... Data Umum Puskesmas
No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 dst
PKM (2)
Jenis Puskesmas (3)
Jumlah Apoteker (4)
Jumlah AA (5)
Jumlah Dokter (6)
% Penggunaan Antibiotik pada ISPA non pneumonia Bulan Bulan Rata....*) ....*) rata (8) (9) (10)
Bulan ....*) (7)
Persentase AB ISPA Nonpneumonia Kab/Kota Persentase AB Diare Non spesifik Kab/Kota Persentase Injeksi Kab/Kota Rerata Item Obat Kab/Kota *) Berdasarkan data pada laporan bulanan puskesmas yang dikirim ke Dinkes Kab/Kota, laporan puskesmas terlampir
% Penggunaan Antibitik pada Diare non spesifik Bulan Bulan Rata....*) ....*) rata (12) (13) (14)
Bulan ....*) (11)
% Penggunaan Injeksi pada Myalgia Bulan ....*) (15)
Bulan ....*) (16)
Bulan ....*) (17)
Ratarata (18)
Rerata Item / lembar Resep Bulan ....*) (19)
Bulan ....*) (20)
Bulan ....*) (21)
Ratarata (22)
A
B
C
D
................, ..............................20.. Mengetahui Pejabat/Penanggungjawab Farmasi ................................................ NIP.
Petugas, ............................................ NIP.
Keterangan: A: Persentase Penggunaan Antibiotik pada ISPA Non Pneumonia di Kab/Kota B: Persentase Penggunaan Antibiotik pada Diare Non Spesifik di Kab/Kota C: Persentase Penggunaan Injeksi pada Myalgia di Kab/Kota D: Rerata Item Obat per lembar Resep di Kab/Kota
34
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
KET (23)
35
Lampiran 6. Formulir Laporan Triwulan Indikator Peresepan di Kabupaten/Kota REKAPITULASI DINAS KESEHATAN PROVINSI LAPORAN TRIWULAN INDIKATOR PERESEPAN DI KABUPATEN/KOTA
Provinsi :
Periode Bulan: Tahun: ..............
Jumlah Puskesmas No
Jumlah Tenaga
Kabupaten/Kota
(1)
(2)
Perawatan
Non Perawatan
AA / D3 Farmasi
Apoteker
Dokter
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
% Penggunaan Antibiotik pada ISPA NonPneumonia
% Penggunaan Antibiotik pada Diare Non-spesifik
% Penggunaan Injeksi pada Myalgia
Rerata Item Jenis Obat / Lembar Resep
KET
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 dst
Persentase AB ISPA Nonpneumonia Kab/Kota
A
Persentase AB Diare Non spesifik Kab/Kota
B
Persentase Injeksi Kab/Kota
C
Rerata Item Obat Kab/Kota
D
*) Berdasarkan data pada laporan triwulan Dinkes Kab/Kota yang dikirim ke Dinkes Provinsi, laporan Dinkes Kab/Kota terlampir
................, ..............................20.. Petugas,
Mengetahui Pejabat/Penanggung jawab Farmasi Dinkes Prov
............................................
................................................
NIP.
NIP.
Keterangan: A: Persentase Penggunaan Antibiotik pada ISPA Non Pneumonia di Provinsi B: Persentase Penggunaan Antibiotik pada Diare Non Spesifik di Provinsi C: Persentase Penggunaan Injeksi pada Myalgia di Provinsi D: Rerata Item Obat per lembar Resep di Provinsi
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Lampiran 7. Hasil Pemantauan dan Evaluasi POR 2010-2012
No
Provinsi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sumatera Selatan Sumatera Barat Bengkulu Lampung Jambi Sumatera Utara Kepulauan Riau Riau Bangka Belitung Aceh DKI Jakarta Jawa Timur Bali NTB Banten Kalimantan Tengah NTT Kalimantan Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Jawa Tengah Jawa Barat DI Yogyakarta Maluku Utara Sulawesi Tengah
% AB pada ISPA non pneumonia 2010 60,99 22,79 66,67 65,90 34,00 91,37 82,45 70,55 74,09 75,48 51,00 27,88 44,15 0,00 30,99 78,87 68,22 77,09 86,50 45,77 24,73 34,30 77,47 52,75 67,28
2011 63,41 20,39
2012 24,88 13,88 84,25
37,00 11,06 93,61 90,77 1,00 38,33 47,78 31,50 22,89
42,19 50,00
0,00 54,26
16,93 31,00 42,55
95,24 39,36 44,08 55,56 38,31 18,97 46,70 52,00
46,39 79,69 59,64
4,58 48,07 58,03 9,16 74,50 61,32
% AB pada diare non spesifik 2010 44,24 22,79 91,67 75,77 32,48 91,42 74,77 63,02 72,81 66,62 31,50 27,88 46,93 0,28 45,19 71,10 88,71 80,63 93,00 48,77 14,21 34,30 58,57 52,75 74,15
2011 63,41 20,39
2012 43,76 13,88 92,50
36,00 11,06 93,61 62,41 89,00 38,33 47,68 14,00 22,89
26,67 25,00
0,00 54,26
24,45 15,50 31,35
1,54 46,71 44,08 55,56 38,31 19,32 60,00 24,00
47,67 52,18 21,48
7,31 65,87 44,88 12,22 73,00 61,41
% Injeksi pada myalgia 2010 2,69 0,00 0,00 8,04 0,00 1,39 0,00 0,00 16,44 1 0,00 1,34 31,23 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 22,00 8,10 0,00 0,00 0,00 0,00 9,38
2011 10,78 0,28
2012 17,56 0,04 0,00
0,28 0,66 7,73 0,00 0,00 5,05 1,34 0,00 29,41
0,00 0,00
0,00 1,64
3,56 0,00 5,29
2,44 6,46 3,61 0,00 1,33 1,40 2,50 1,00
5,35 4,90 5,48
0,00 2,77 0,00 0,00 9,70 9,88
Rerata jenis obat 2010 3,30 3,37 0 3,44 3,15 3,51 3,4 3,24 4,17 3,92 4,25 2,08 3,1 2,53 3,07 3,56 0,00 0,00 0,00 0,00 3,44 3,49 4,12 4,75 3,74
2011 3,55 3,21
2012 3,00 3,12 3,88
3,34 3,02 4,23 3,20 3,96 3,65 4,83 3,00 2,94
3,54 5,50
2,93 3,04
2,58 3,14 3,60
3,20 3,64 3,40 4,11 7,60 3,25 4,09 3,7
3,29 3,49 3,40
2,79 3,23 3,69 3,05 4,40 3,89
%POR 2010 64,42 81,54 109,43 50,48 79,46 38,69 48,33 58,11 33,56 43,16 54,76 101,42 65,36 109,95 78,37 47,59 109,75 109,18 97,32 125,61 82,15 72,80 41,43 39,48 44,79
2011 51,98 85,69
2012 77,49 91,29 34,39
76,48 91,75 27,04 52,42 53,71 66,31 55,48 87,72 81,88
71,54 34,50
94,12 68,69
96,37 85,21 67,73
65,42 63,52 67,77 48,49 61 85,29 52,17 66,07
67,64 52,55 68,57
100,00 63,79 58,93 94,54 30,98 47,35
36
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
26 27 28 29 30 31 32 33
Sulawesi Utara Maluku Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Papua Papua Barat Gorontalo
63,95 93,44 70,52 61,08 73,74 50,42 41,97 60,39
67,86 88,76 24,00 0,54
72,65 78,98 57,89
88,74
73,81
47,38 91,67 90,28 79,45 84,65 9,69 8,41 93,77
14,88 77,83 8,00 71,11
81,56 95,31 71,43
58,77
79,23
0,00 10,83 0,00 0,00 0,00 0,00 1,25 6,25
0,00 0,51 0,00 6,02
4,35 0,00 11,11
5,00
23,08
4,16 4,23 3,69 3,69 3,62 3,46 3,59 3,23
1,05 4,09 3,63 2,74
3,41 3,97 3,13
3,15
4,11
47,99 22,72 42,65 48,55 44,43 75,00 75,35 51,51
83,24 34,55 80,36 85,69
48,36 33,72 58,94
38,74
31,26
Keterangan: = tidak ada data
37
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013
Laporan praktek...., Rahmi Ramdanis, FF, 2013