UNIVERSITAS INDONESIA
Pengaruh Televisi terhadap Agresivitas (Studi Kasus Mengenai Terpaan Materi Kekerasan dalam Media Televisi terhadap Perilaku Agresivitas Khalayak)
Mochammad Dlaify Karami Pembimbing: Hendriyani
Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
E-mail:
[email protected]
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
AB S T R A K
Media televisi sebagai salah satu saluran informasi massal bagi khalayak telah membawa berbagai perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Televisi merupakan media yang berpengaruh terhadap serangkaian aspek kehidupan sosial budaya melalui pembentukan karakter individu. Teori kultivasi berargumen bahwa semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi, semakin tinggi atensi khalayak dalam memberi makna terhadap realitas sosial yang dibentuk oleh media tersebut. Televisi memiliki “long term effect” kepada khalayaknya. Khalayak yang secara konsisten mengkonsumsi konten televisi dalam jangka waktu tertentu akan berpengaruh pada individu dalam mendefinisikan dirinya. Salah satunya yaitu muatan kekerasan di dalam konten televisi. Apabila dikonsumsi hingga intensitas tertentu, secara perlahan akan memberi pengaruh terhadap agresivitas khalayak. Urgensi penulisan jurnal ini yaitu bertujuan untuk menjelaskan pengaruh penayangan konten bermuatan kekerasan dalam media televisi terhadap perubahan persepsi dan behavioral khalayak mengenai agresivitas dengan menggunakan metodologi eksplanatif dan studi kepustakaan melalui literatur serta beberapa hasil penelitian sebelumnya mengenai dampak media yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Kesimpulan dari analisis ini menunjukkan bahwa terpaan materi kekerasan dalam televisi memiliki pengaruh dalam membentuk agresivitas khalayak yang mengarah pada perilaku destruktif. Kata kunci: Televisi, Agresivitas, Kekerasan.
Television media as one of the channels of mass information to the public has brought many changes in social life. Television is a medium that affects the range of socio-cultural aspects of life through the creation of individual characters. Cultivation theory argues that the more time spent watching television, the higher attention of audiences in interpretation of social reality created by the media. Television has a long term effects to society. Audiences who consistently consume television content in a certain period of time will affect the individual in defining himself. One of them is the charge of violence in television content. When consumed up to a certain intensity, gradually will give effect to the aggressiveness of the audience. Urgency of the writing of this journal that aims to explain the influences of exposure to the material of violence on television against adolescent perception and behavior changing about aggressiveness using an explanatory methodology and the study of literature through the literature and some of the results of previous studies on the effects of media that can be accounted for validity. The conclusion of this analysis indicate that exposure to violence in television material has an influence in shaping public aggressiveness that lead to destructive behavior. Keywords: Television, Aggressiveness, Violence
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
PENDAHULUAN Latar Belakang Media televisi sebagai salah satu saluran informasi massal bagi khalayak telah membawa berbagai perubahan dalam kehidupan bermasyarakat. Televisi merupakan media yang berpengaruh terhadap serangkaian aspek kehidupan sosial budaya melalui pembentukan karakter individu. Sebagai salah satu media konvensional yang masih bertahan di tengah gempuran teknologi digital, televisi merupakan media yang relatif lebih sempurna dibandingkan dengan media konvensional lainnya seperti media cetak dan radio. Televisi tidak seperti media cetak yang menekankan pada kempampuan membaca yang baik atau media radio yang hanya mengandalkan indera pendengar. Materi dalam televisi disampaikan secara visual dengan dukungan audio untuk memperjelas informasi. Sehingga konten dalam media televisi lebih mudah dicerna dan terjangkau oleh khalayaknya. Televisi sebagai representasi media konvensional memiliki karakteristik arus komunikasi yang masih satu arah, dimana serangkaian materi atau konten dalam televisi dipenetrasikan secara langsung kepada khalayaknya. Dalam hal ini, posisi khalayak sebagai konsumer media televisi relatif inferior dibandingkan dengan media yang dikonsumsi. Khalayak yang menerima terpaan materi televisi hingga intensitas tertentu akan sangat rentan dalam memaknai realitas sosial sesuai dengan apa yang dilihatnya melalui media tersebut. Terpaan-terpaan inilah yang akan berpengaruh terhadap perubahan sikap, persepsi hingga perilaku. Hal ini meliputi bagaimana khalayak ingin dipandang oleh masyarakat sebagai “sosok” tertentu dan lebih jauh lagi, terpaan materi televisi akan mempengaruhi khalayak dalam bertindak di kehidupan sehari-hari. Tayangan televisi kerap mengandung muatanmuatan yang direkayasa dan dikemas secara menarik agar memperoleh atensi khalayak. Tak semua tayangan televisi mengandung muatan positif, adakalanya kerap ditemui materi yang tidak layak dikonsumsi seperti muatan vulgar dan kekerasan. Inilah dualisme atas heterogenitas program televisi. Televisi tidak seperti manusia yang mampu mengenali khalayaknya hingga tataran personal. Televisi bergerak atas selera pasar bukan didasari atas kebutuhan yang tersegementasi. Misalnya kartun yang seharusnya menjadi tayangan ramah anak, kerap disisipkan unsur kekerasan. Dalam bukunya, Berkowitz menjelaskan bahwa tayangan kekerasan dalam televisi memiliki pengaruh pada agresivitas (Berkowitz & Aliotto, 1973). Menurut Baron dan Byrne (Baron & Byrne, 1979) agresi sendiri memiliki pengertian “setiap perilaku yang memiliki kecenderungan untuk merusak atau melukai orang lain yang menghindari perlakuan seperti itu” (Rakhmat, 2011). Materi kekerasan yang dikonsumsi
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
secara rutin tanpa filter yang kuat, akan melekat pada kognisi dan secara perlahan memicu agresivitas khalayak untuk cenderung berperilaku destruktif. Permasalahan Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kehadiran televisi di tengah kehidupan sosial membawa sejumlah dampak bagi masyarakat khususnya di Indonesia. Serangkaian materi dalam televisi secara signifikan berpengaruh terhadap berbagai perubahan sosial di masyarakat. Pesatnya perkembangan industri penyiaran Tanah Air berdampak pada ketatnya persaingan industri pertelevisian. Televisi kemudian memiliki peran strategis dimana menjadi salah satu media yang vital keberadaannya sebagai motor penggerak industri kreatif. Televisi hadir dengan program-program yang semakin bervariatif dengan konten yang secara konsisten terus bergerak dinamis mengikuti selera pasar. Tingginya tingkat konsumsi masyarakat terhadap media televisi perlu perhatian khusus, mengingat materi atau konten yang disajikan tak selamanya layak untuk dikonsumsi. Muatan kekerasan dalam televisi dapat dikatakan sebagai contoh muatan yang tidak ramah khalayak karena dikhawatirkan mampu memberi konstruksi sosial yang tidak relevan dengan realitas sosial di masyarakat. Televisi memang tidak serta merta membawa pengaruh kepada khalayaknya, namun melalui proses secara berkala dalam jangka waktu relatif panjang akan berpengaruh pada perubahan persepsi, sikap dan berujung pada perilaku khalayak. Masyarakat sebagai khalayak media, jika secara pasif bertindak sesuai dengan apa yang dikonstruksikan oleh televisi akan berpotensi mendorong prilaku khalayak yang devian. Tujuan Penelitian Berangkat dari permasalahan inilah penelitian bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh terpaan materi kekerasan dalam media televisi terhadap agresivitas khalayak. Penulisan jurnal ini menjelaskan pengaruh tayangan konten bermuatan kekerasan yang dikonstruksikan dalam media televisi terhadap perubahan persepsi dan behavioral khalayak mengenai agresivitas dalam realitas sosial sehari-hari.
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
TINJAUAN TEORETIS Teori Kultivasi (Cultivation Theory ) Dalam teori kultivasi, George Gerbner (2010) menjelaskan bahwa konten televisi yang ditransmisikan pada khalayaknya hingga tataran tertentu dengan intensitas yang tinggi mampu mempengaruhi nilai khalayak dalam memaknai konstrusi sosial yang mereka tonton melalui televisi. Nilai tersebut meliputi pandangan, persepsi, sikap hingga perubahan perilaku (West & Turner, 2010). Kata “kultivasi” yang merujuk pada istilah “penanaman” ini memiliki sifat “long term effect” kepada khalayaknya. Khalayak yang menonton televisi dengan kemampuan literasi media yang rendah akan memiliki kecenderungan untuk menerima segenap materi atau konten yang disampaikan secara apa adanya. Efek media televisi memang tidak secara langsung memberi pengaruh kepada khalayaknya, melainkan melalui penanaman nilai secara konsisten sehingga konstruksi sosial yang dibangun oleh media televisi menjadi preferensi khalayak dalam memaknai konstruksi sosial dalam realita sehari-hari. Menonton televisi bagi sebagian besar khalayak di Indonesia memang menjadi hiburan tersendiri, namun terlalu lama menonton televisi membuat khalayak semakin jauh dari aktivitas penting lainnya seperti interaksi sosial, olahraga dan membaca (Dietz, 1990). Dengan kemampuannya yang bersifat audio-visual membuat media televisi lebih diminati daripada media konvensional lainnya karena kemudahan mengakses informasi tidak membutuhkan usaha yang besar, seperti membaca buku yang mengandalkan kemampuan membaca serta penalaran kognitif dalam menangkap informasi atau mendengarkan radio yang menggunakan indera pendengaran. Menonton televisi dapat menurunkan kemampuankemampuan tersebut karena khalayak telah dimanjakan dengan konten audio visual yang membuat mereka menjadi malas untuk membaca teks dalam bentuk tulisan dan mendengar informasi dengan seksama. Gerbner dalam buku Psikologi Komunikasi membagi khalayak ke dalam dua kelompok, yaitu heavy viewers (khalayak berat) dan light viewers (khalayak cerdas). Melalui pengembangan konsep mainstreaming atau mengikuti arus, ketika televisi kerap menampilkan tayangan
bermuatan kekerasan, khalayak cerdas akan memaknai realitas
seseram dengan apa yang dikonstruksikan dalam televisi. Namun dalam kondisi tertentu, bila tayangan kekerasan yang disajikan dalam televisi ternyata memiliki kesamaan dengan realitas
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
sosial khalayaknya, maka dorongan pembentukan ideologi melalui kognitif juga semakin kuat (Rakhmat, 2011). Marcel Danesi (2002) dalam bukunya memaparkan salah satu dari tiga efek utama televisi adalah efek pemampatan kognitif yang menjelaskan bahwa televisi memberikan kisah, individu dan konten lainnya dalam bentuk termampatkan sehingga dapat disiarkan dalam waktu tertentu. Khalayak secara masif dibanjiri dengan padatnya informasi yang telah mengalami proses sunting dan dikemas sedemikian rupa pada waktu yang bersamaan. Konsekuensinya, khalayak menjadi tidak memiliki waktu untuk kritis terhadap topik, implikasi dan makna yang terkandung dalam pesan yang disampaikan oleh media televisi. Hal ini menyebabkan kemampuan kognitif khalayak dalam membaca teks pada konten televisi berlangsung pasif sehingga seluruh rangkaian pesan yang disampaikan oleh televisi dicerna dengan kemampuan literasi yang minim (Danesi, 2002). Muatan kekerasan yang dapat kita temui dengan mudah di segala lini merupakan salah satu contoh penanaman sosial dalam televisi. Muatan kekerasan kerap ditampilkan dalam konteks yang ‘penting’. Misalnya pertandingan tinju, acara smackdown dan adegan kekerasan lainnya dalam tayangan sinetron atau program komedi. Secara perlahan muatanmuatan tersebut akan memberikan pengaruh komulatif bagi khalayaknya. Pengaruh ini tersusun langkah demi langkah: mempengaruhi persepsi khalayak yang kemudian diikuti dengan permisivitas. Selanjutnya muatan kekerasan menjadi hiburan tersendiri yang berpotensi mendorong agresivitas khalayak untuk berperilaku devian. Dalam analisis psikologi, Bandura melalui Experimental Research melakukan percobaan dengan membuat film sederhana yang berisi adegan kekerasan seperti memukul, menendang, melempar dan menjatuhkan sebuah boneka bobo : sejenis boneka tiup yang berbahan plastik. Kemudian film pendek tersebut ditayangkan di hadapan dua balita yang dipilih secara acak. Setelah mereka menonton film tersebut, Bandura memberi boneka Bobo kepada anak tersebut. Mereka berdua menyerang boneka tiup tersebut secara agresif. Mereka meniru apa yang ditontonnya dalam video tersebut dengan cara memukul, menjatuhkan, melempar hingga menendang boneka bobo. Walaupun tindakan tersebut masuk kategori tindakan yang tidak dihargai, anak kecil tersebut tetap melakukan kekerasan seperti apa yang dilakukan seorang model memperlakukan boneka Bobo dalam tayangan singkat tersebut karena mereka merupakan kategori khalayak pasif: yang memiliki kemampuan literasi media rendah (Straubhaar, LaRose, & Davenport, 2012).
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
Dari penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa seseorang sejak usia dini telah memiliki kemampuan imitasi yang baik terhadap apa yang ia lihat, terutama melalui media televisi. Media televisi melalui kontennya melakukan pentransmisian nilai (transmission of values) dimana sosialisasi dilakukan secara halus dan bertahap melalui indera penglihatan, pendengaran serta kemampuan khalayak menangkap pesan yang disampaikan terlebih tanpa melakukan filter diri (Dominick, 2009). Dalam konteks Industri penyiaran di Indonesia, akibat tingginya transmisi tayangan televisi yang bermuatan kekerasan, anak – anak dan remaja di Indonesia terstimulasi untuk meniru perilaku agresi yang dikonstruksikan oleh media televisi mulai dari ucapan kasar hingga tindakan yang mengarah pada kekerasan fisik. Beberapa contoh kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia yaitu pada tahun 2012 seorang anak SD berusia 10 tahun di Situbondo, Jawa Timur mengalami patah tulang di bagian tangan akibat bermain smackdown bersama teman-temannya (Dasuqi, 2012). Mereka menirukan apa yang biasa dilihat di televisi. Anak-anak merupakan khalayak pasif dimana kemampuan kognitif dalam menyerap informasi masih belum matang dan itu sebabnya perlu pengawasan dan perlindungan dari penyelenggara penyiaran
Kekerasan Adegan kekerasan merupakan gambar atau rangkaian gambar dan/atau suara yang menampilkan tindakan verbal dan/atau nonverbal yang menimbulkan rasa sakit secara fisik, psikis dan/atau sosial bagi korban kekerasan (P3SPS, 2012). Sunarto (2007) dalam bukunya membagi kekerasan ke dalam enam bentuk sebagai berikut: 1. Kekerasan fisik merupakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban dengan cara memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau dengan alat, menganiaya, menyiksa dan membunuh. 2. Kekerasan psikologis merupakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, melecehkan, menguntit dan memata-matai atau tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut. 3. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang mengarah pada ajakan atau desakan seksual, seperti membunuh, meraba, mencium atau melakukan tindakan-tindakan lain
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin atau seks korban, memaksa hubungan seks tanpa persetujuan korban, memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, pornografi dan kawin paksa. 4. Kekerasan finansial merupakan tindakan mencuri uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya. 5. Kekerasan spiritual merupakan tindakan merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu. 6. Kekerasan fungsional merupakan tindakan memaksa melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan, menghalangi atau menghambat aktivitas atau pekerjaan tertentu, memaksa kehadiran tanpa dikehendaki dan membantu tanpa dikehendaki. (Sunarto, 2007)
Muatan Kekerasan Sebagai Daya Tarik Industri Penyiaran Hingga akhir tahun 2014, terdapat 10 stasiun televisi swasta nasional yang berpusat di Jakarta dan disiarkan secara luas hingga ke pelosok negeri. Mengusung sistem free to air, persaingan antarperusahaan stasiun televisi pun semakin kompetitif, baik dari segi konten maupun market share sebagai upaya untuk memperoleh atensi khalayak dan pemasukan iklan yang sebesar-besarnya. Ironis, persaingan konten yang dituntut semakin kreatif dan bervariasi ini secara nyata tidak diimbangi dengan kualitas dari setiap acara yang disiarkan. Merujuk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), Komisi Penyiaran Indonesia (selanjutnya disebut KPI) sebagai lembaga yang berperan penting mengawasi program televisi dalam rangka melindungi kepentingan publik kerap menemukan materimateri acara yang melanggar kaidah-kaidah yang terkandung dalam P3SPS. Bulan Mei 2014, KPI merilis 10 tayangan televisi yang tidak layak tonton karena mengandung muatan kekerasan. dalam artikelnya yang berjudul KPI: 10 Sinetron dan FTV Bermasalah dan Tidak Layak Tonton (RG, 2014) memaparkan tayangan apa saja yang mengandung muatan kekerasan berikut bentuk-bentuk kekerasan yang ditampilkan serta jenis sanksi apa saja yang dijatuhkan.
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
*** Jakarta - Beberapa bulan terakhir, kekerasan yang menimpa anak-anak dan remaja semakin banyak jumlahnya dan semakin memprihatinkan bahkan kekerasan tersebut terjadi di sekolah dan lingkungan tempat tinggal yang seharusnya aman bagi anak-anak dan remaja. Sejumlah pihak menduga media khususnya televisi sebagai salah satu pemicu munculnya tindak kekerasan tersebut. Sepanjang tahun 2013 sampai dengan April 2014, KPI menerima sebanyak 1600-an pengaduan masyarakat terhadap program sinetron dan FTV yang dianggap meresahkan dan membahayakan pertumbuhan fisik dan mental anak serta mempengaruhi perilaku kekerasan terhadap anak. Sejak 1 bulan lalu tepatnya tanggal 11 April 2014, KPI telah melakukan evaluasi program sinetron dan FTV yang disiarkan 12 stasiun televisi dalam rangka melakukan pembinaan. Dalam forum evaluasi tersebut hadir juga beberapa production house (PH) yang memproduksi program-program tersebut. Namun demikian, sampai dengan hari ini KPI masih menemukan sejumlah pelanggaran terhadap UU Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Pelanggaran tersebut meliputi: 1.
Tindakan bullying (intimidasi) yang dilakukan anak sekolah.
2.
Kekerasan fisik seperti memukul jari dengan kampak, memukul kepala dengan balok kayu, memukul
dengan botol beling, menusuk dengan pisau, membanting, mencekik, menyemprot wajah dengan obat serangga, menendang, menampar dan menonjok. 3.
Kekerasan verbal seperti melecehkan kaum miskin, menghina anak yang memiliki kebutuhan khusus
(cacat fisik), menghina orang tua dan Guru, penggunaan kata-kata yang tidak pantas “anak pembawa celaka, muka tembok, rambut besi, badan batako”. 4.
Menampilkan percobaan pembunuhan.
5.
Adegan percobaan bunuh diri.
6.
Menampilkan remaja yang menggunakan testpack karena hamil di luar nikah.
7.
Adanya dialog yang menganjurkan untuk menggugurkan kandungan.
8.
Adegan seolah memakan kelinci hidup.
9.
Menampilkan seragam sekolah yang tidak sesuai dengan etika pendidikan.
10.
Adegan menampilkan kehidupan bebas yang dilakukan anak remaja, seperti merokok, minum-
minuman keras dan kehidupan dunia malam. 11.
Adegan percobaan pemerkosaan.
12.
Konflik rumah tangga dan perselingkuhan.
Bahkan program sinetron dan FTV kerap menggunakan judul-judul yang sangat provokatif dan tidak
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
pantas, seperti: Sumpah Pocong Di Sekolah, Aku Dibuang Suamiku Seperti Tisu Bekas, Mahluk Ngesot, Merebut Suami Dari Simpanan, 3x Ditalak Suami Dalam Semalam, Aku Hamil Suamiku Selingkuh, Pacar Lebih Penting Dari Istri, Ibu Jangan Rebut Suamiku, Istri Dari Neraka aka Aku Benci Istriku.
Atas pelanggaran tersebut KPI menyatakan 10 sinetron dan FTV BERMASALAH dan TIDAK LAYAK DITONTON: 1.
Sinetron Ayah Mengapa Aku Berbeda – RCTI
2.
Sinetron Pashmina Aisha – RCTI
3.
Sinetron ABG Jadi Manten – SCTV
4.
Sinetron Ganteng-Ganteng Serigala – SCTV
5.
Sinetron Diam-Diam Suka – SCTV
6.
Sinema Indonesia – ANTV
7.
Sinema Akhir Pekan – ANTV
8.
Sinema Pagi – Indosiar
9.
Sinema Utama Keluarga – MNC TV
10.
Bioskop Indonesia Premier– Trans TV
Atas dasar itu, KPI dengan tegas menyatakan: 1.
Stasiun televisi segera memperbaiki sinetron dan FTV tersebut.
2.
Production House (PH) agar tidak memproduksi program sinetron dan FTV yang tidak mendidik.
3.
Kepada orang tua tidak membiarkan anak menonton program-program tersebut.
4.
Anak-anak dan remaja agar selektif dalam memilih tayangan TV dan tidak menonton sinetron dan FTV
yang bermasalah. 5.
Lembaga pemeringkat Nielsen agar tidak mengukur program siaran hanya berdasarkan pada
penilaian kuantitatif semata. 6.
Perusahaan pemasang iklan agar tidak memasang iklan pada program-program bermasalah tersebut.
KPI akan memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran dalam programprogram tersebut. Terhitung sejak release ini dikeluarkan, KPI Pusat akan menindak tegas stasiun televisi yang tidak melakukan perbaikan. Kami meminta pertanggungjawaban pengelola televisi yang meminjam frekuensi milik publik agar tidak menyajikan program-program yang merusak moral anak bangsa.
***
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
Artikel di atas menunjukkan berbagai bentuk pelanggaran dalam tayangan sinetron dan film televisi (FTV) dengan menayangkan adegan kekerasan yang mencakup kekerasan fisik, kekerasan seksual dan kekerasan fungsional. Tayangan televisi lainnya yang kerap mengandung muatan kekerasan seperti sinetron Tukang Bubur Naik Haji serta komedi Pesbukers malah meraih penghargaan bergengsi Tanah Air, Panasonic Gobel Awards 2014 sebagai Drama Seri Terfavorit dan Komedi Terfavorit. Hal ini mengindikasikan bahwa adegan kekerasan memperoleh atensi yang tinggi dari khalayak hingga akhirnya menjadi tayangan terfavorit. Tentu hal ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa khalayak televisi menyukai adegan kekerasan? Ataukah karena tidak ada lagi alternatif program televisi yang layak untuk ditonton? Dalam buku Theories of Human Communication (Littlejohn & Foss, 2005) salah satu efek menonton tayangan televisi yang mengandung muatan kekerasan yaitu catharsis effect: televisi sebagai media yang digunakan khalayak untuk melampiaskan fantasinya mengenai perilaku kekerasan yang tidak dapat tersalurkan secara nyata. Dengan melihat adegan kekerasan, khalayak dapat terpuaskan sisi emosionalnya. Sigmund Freud dalam psikoanalisis menjelaskan bahwa manusia memiliki dua naluri yaitu naluri konstruktif dan naluri destruktif. Naluri destruktif berargumen bahwa pada dasarnya setiap orang secara alamiah telah memiliki naluri terhadap agresi: keinginan untuk merusak, menghancurkan hingga membunuh. Namun, tak semua tindakan agresi dapat dibenarkan dalam lingkungan masyarakat. Perilaku agresif yang penyalurannya terhambat oleh norma di masyarakat mengalami penumpukan hingga pada titik tertentu. Penumpukan dalam waktu lama akan berdampak pada sisi emosional khalayak dan berpotensi menimbulkan ketegangan serta mendorong meledaknya perilaku agresi. Untuk mencegah perilaku yang semakin parah, rupanya tayangan bermuatan kekerasan mampu mereduksi penumpukan perilaku agresi yang tak dapat disalurkan. Fantasi kekerasan khalayak menjadi terbayarkan dengan menonton tayangan kekerasan, sehingga agresi dapat disalurkan secara konstruktif (Rakhmat, 2011). Pemaparan psikoanalisis Sigmund Freud mengindikasikan bahwa muatan kekerasan dalam media, khusunya televisi sebenarnya berfungsi untuk meredam perilaku agresif karena konten kekerasan dalam televisi dengan tataran intensitas yang rendah berguna mereduksi agresivitas khalayak. Namun jika pesan bermuatan kekerasan kepada khalayak ditransmisikan dalam jangka waktu lama, teori kultivasi berargumen secara perlahan materi tersebut akan tertanam dalam kognitif melalui penggiringan persepsi khalayak dan akan membentuk sifat agresif yang berpengaruh pada perilaku destruktif berupa tindak kekerasan.
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
Di Indonesia, tayangan kekerasan dalam televisi dikemas sedemikian rupa sehingga selalu menarik perhatian khalayaknya. Misalnya adegan kekerasan kerap disajikan dalam bentuk komedi sehingga mengundang tawa khalayak, menganggap hal tersebut sebagai kelucuan belaka. Adegan kekerasan juga dijadikan poros konflik atau titik klimaks dalam sebuah alur cerita sehingga bagian tersebut selalu ditunggu oleh pemirsanya. Muatan kekerasan dalam televisi mengalami peningkatan proporsi penayangan secara periodik karena media kerap memunculkan adegan kekerasan dalam konteks situasi yang sesuai dan terkesan ‘dibutuhkan’ (Rakhmat, 2011). Misalnya beberapa adegan heroik berbumbu kekerasan seperti polisi yang menembak kawanan penjahat maupun tokoh super yang “perlu” membunuh lawannya untuk menyelamatkan umat manusia. Adegan kekerasan sering menjadi bagian yang penting dan ditunggu kehadirannya. Kebiasaan-kebiasaan laten inilah yang berpotensi mengikis rasa intoleran khalayak terhadap perilaku agresi sehingga permisivitas terhadap muatan kekerasan dalam konstruksi televisi semakin menguat. Beberapa argumen tersebut menunjukkan bahwa terpaan adegan kekerasan di televisi secara konsisten dapat membuat khalayak terbiasa melihat kekerasan dalam realitas sehari-hari. Khalayak akan terbentuk pola pikirinya sebagai masyarakat yang mengalami desensitisasi atas perilaku agresi di masyarakat. Ketatnya persaingan industri penyiaran dalam negeri membuat sistem rating dan share menjadi ukuran kesusksesan sebuah program televisi. Dalam usaha meraih kesuksesan tersebut, unsur kekerasan menjadi salah satu materi yang menjanjikan. Hal ini dapat dibuktikan melalui keberhasilan program televisi “Tukang Bubur Naik Haji” sebagai drama terfavorit serta “Pesbukers” sebagai komedi terfavorit pada ajang
bergengsi Panasonic
Gobel Awards 2014 (Pamungkas, 2014). Perlu diketahui kedua program tersebut kerap melanggar kode etik penyiaran karena mengandung muatan kekerasan (Amrullah, 2013) serta pornografi (Rahmadi, 2013). Sistem Rating dan share besutan surveyor ternama di Indonesia sebenarnya tidak merepresentasikan khalayak Indonesia secara utuh, hanya mencakup 10 kota besar yang terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia. Tak hanya itu, sistem ini juga menyisakan banyak pertanyaan terkait mekanisme dan implementasi yang dinilai tidak transparan.
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
Lemahnya Regulasi Penyiaran terhadap Pelarangan Tayangan Kekerasan Indonesia memiliki sejarah kelam perjalanan dunia penyiaran nasional. Pada masa orde baru, di bawah kepemimpinan Presiden Suharto media massa secara menyeluruh diatur dan dikuasai oleh rezim diktator. Seluruh program dan konten yang akan disiarkan melalui televisi harus melalui satu pintu yaitu menteri penerangan melalui departemen penerangan. Partisipasi masyarakat dalam dunia penyiaran berbasis sipil berada pada tataran amat rendah karena tertutupnya sistem penyiaran nasional yang berlaku pada rezin orde baru. Akibatnya, masyarakat sipil sebagai pemegang hak atas penggunaan frekuensi tidak pernah sadar akan haknya dan serta merta menerima regulasi pemerintah. Berakhirnya rezim orde baru tahun 1998 membangkitkan semangat demokrasi dalam dunia penyiaran. Di era reformasi, perkembangan media massa meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun, termasuk industri penyiaran. Masyarakat terlibat aktif dalam mengisi konten media, perusahaan televisi swasta berskala nasional mulai tumbuh hingga dunia penyiaran televisi Indonesia masuk pada era kebebasan yang longgar. Frekuensi sebagai hak asazi publik tentu harus memperoleh perlindungan dari negara terhadap oknum-oknum yang berusaha membalik sistem penyiaran nasional kembali ke skenario orde baru yang berorientasi pada kepentingan segelintir kalangan. Maka dari itu, tahun 2002 dikeluarkanlah sebuah Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 yang bertujuan untuk mengatur penggunaan frekuensi yang lebih tertib, adil dan transparan. Undang-Undang ini menjadi salah satu instrumen maha penting dalam proses demokratisasi Republik Indonesia karena semangat yang dibawa oleh Undang-Undang ini adalah melindungi pengelolaan sistem penyiaran nasional yang sepenuhnya menjadi milik publik dari campur tangan pemerintah dan pihak lain yang kepentingannya bertentangan dengan hajat hidup publik (Dasar Pembentukan, 2009). KPI sebagai Komisi Penyiaran Indonesia sebagai hasil bentukan dari Undang-Undang No. 32 tahun 2002 memiliki wewenang untuk mengatur, mengelola, memberi sanksi hingga perizinan kepada segenap media massa berbasis siar yang berdiri secara independen: bebas dari campur tangan pemodal dan pihak lainnya. KPI berfokus pada prinsip keberagaman isi (diversity of content) yang menyediakan program serta materi yang bervariasi dan prinsip keberagaman kepemilikian (diversity of ownership) yang menjamin bahwa kepemilikan modal tidak akan dijalankan melalui sistem monopoli (Dasar Pembentukan, 2009).
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
Sebagai lembaga independen, KPI harus memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat dari Sabang hingga Merauke dengan berbagai ragam konten yang relevan untuk dikonsumsi. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sistem penyiaran televisi berjaringan dengan mengedepankan entitas lokal sebagai jantung dari sistem tersebut. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan sistem penyiaran yang tidak tersentralisasi dari satu titik pusat (Jakarta) saja menuju daerah lainnya. Tetapi juga sistem televisi berjaringan juga menjadi wadah bagi daerah-daerah untuk mengembangkan jurnalisme warga. Gagasan yang dibawa oleh KPI mendapat penolakan keras dari sejumlah pemegang modal termasuk pemerintah karena berpotensi melemahkan posisi televisi swasta nasional sebagai pengendali sistem penyiaran sekaligus mengancam kepentingan segelintir pemodal besar. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Ade Armando dalam diskusi Yayasan Paramadina (2007) memaparkan bahwa para pemegang modal melalui pemerintah melakukan serangkaian penolakan mulai dari kampanye hitam hingga mengajukan judicial review untuk membatalkan UU tersebut kepada mahkamah konstitusi (MK). Bahkan pemerintah pada saat itu turut andil menunjukkan ketidaknyamanan mereka terhadap lahirnya undang-undang yang berpihak pada kebebasan pers bagi khalayak melalui ketidak-sediaan presiden Megawati dalam menandatangani undang-undang tersebut. Melalui revisi UndangUndang yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa regulasi penyiaran nasional diatur sepenuhnya oleh pemerintah tanpa melibatkan KPI sedikit pun. Per tahun 2005, KPI tidak memiliki lagi wewenang memberi maupun mencabut izin penyiaran di Indonesia. Kembalinya Departemen Penerangan dalam format Departemen Komunkasi dan Informasi di bawah pimpinan menteri Tifatul Sembiring di era pemerintahan SBY membuat kebebasan pers semakin terkungkung. Keputusan-keputusan yang dibuat oleh MK maupun pemerintah sangat memperlihatkan keberpihakannya pada imperialisme yang digalakkan oleh pelaku penyiaran televisi swasta. Dengan realitas seperti ini, membuat industri penyiaran semakin bebas dalam memainkan perputaran arus penyiaran. Berbagai tayangan yang tidak ramah khalayak, seperti tayangan yang mengandung muatan kekerasan justru menjadi komoditas tersendiri. KPI sebagai lembaga yang seharusnya berdiri independen dan memiliki wewenang strategis kini menjadi lemah karena diberi amanat yang lemah oleh undang-undang. Wewenang yang dimiliki oleh KPI sebatas wewenang administratif berupa pemberian teguran, penjatuhan sanksi, pengurangan durasi tayang hingga pengehentian sementara
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
tayangan yang melanggar hukum. Untuk selanjutnya, wewenang yang dimiliki KPI sebatas memberi rekomendasi maupun saran kepada pemerintah. Berbagai sanksi yang dijatuhkan oleh KPI terhadap stasiun televisi swasta nasional juga tidak memberikan efek jera kepada para pelaku industri penyiaran karena sanksi yang diberikan sebatas berupa administratif. Keberanian industri penyiaran dalam menayangkan muatan destruktif kepada khalayak didasari atas kegentingan memenangkan persaingan rating maupun share yang akan memberi dampak ekonomis bagi industri ini. Jika dilihat, bagaimana alur tayangan sinetron yang sangat jakartasentris dirangkai dengan bumbu konflik seperti permusuhan, persaingan hingga perbuatan yang mengarah pada kekerasan memberikan pengaruh bagi kehidupan sosial budaya masyarakat di berbagai daerah, pergeseran moral secara negatif terjadi di masyarakat dari segala lini termasuk munculnya standarisasi bahwa Jakarta merupakan kiblat dari segala perilaku maupun budaya masyarakat Indonesia. Pemerintah sebagai titik bertemunya atas segala regulasi terkesan tidak mempermasalahkan berbagai pelanggaran tersebut sebagai permasalahan serius. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) memaparkan penayangan klasifikasi siaran terhadap segmentasi usia khalayak yang mencakup P (Pra-sekolah), A (Anak). R (Remaja), D (Dewasa), BO (Bimbingan Orangtua) dan SU (Semua Umur). Ironisnya penggolongan usia tersebut tidak diposisikan secara jelas oleh ranah industri penyiaran. Beberapa program dengan klasifikasi usia anak-anak tidak sepenuhnya menjadi tayangan yang ramah anak (Sadewo, 2014). Serta tampilan pop up klasifikasi usia tersebut tidak ditampilkan dengan gamblang: ditampilkan secara bias maupun transparan nyaris tak terlihat. Hal ini dapat dikatakan sebagai usaha industri penyiaran dalam memanipulasi konsumennya ketika mereka menonton televisi sekaligus melemahkan kontrol khalayak terhadap segmentasi usia. Dengan demikian, kesadaran penyelenggara regulasi dalam mencipatakan kebebasan pers yang bertanggung jawab masih jauh dari standar yang seharusnya. Hal ini tak luput dari berbagai faktor yang memiliki korelasi antara pemerintah dengan pemegang modal maupun dengan sistem kepemilikan media. Prinsip keberagaman konten yang selama ini dicitacitakan oleh KPI disalahartikan menjadi konten yang cenderung homogen dan hanya berorientasi pada bisnis semata.
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
METODOLOGI Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian eksplanatif yang didasarkan pada hasil studi literatur sebelumnya mengenai pengaruh tayangan televisi terhadap agresivitas khalayak. Peneliti berusaha mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan agrisivitas khalayak melalui terpaan tayangan kekerasan di media televisi dalam konteks keIndonesiaan. Dalam melakukan studi literatur, peneliti fokus pada tiga koridor utama penelitian dengan kata kunci televisi, agresivitas dan kekerasan. Metodologi ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk membantu peneliti mengelaborasi pengaruh media televisi terhadap agresivitas khalayak.
HASIL PENELITIAN Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang relevan mengenai pengaruh terpaan muatan kekerasan dalam televisi terhadap perilaku agresif khalayak. Teori kultivasi menjelaskan bahwa terpaan muatan kekerasan dalam televisi mampu mendorong khalayaknya berperilaku devian dalam kehidupan sehari-hari melalui distribusi isi pesan media ke dalam kognitif khalayak dalam waktu yang relatif lama. Aktivitas menonton tayangan kekerasan melalui media televisi akan berdampak buruk jika tidak diimbangi dengan kemampuan literasi khalayak yang ideal karena penanaman nilai agresi pada media televisi memiliki dampak jangka panjang dengan mempengaruhi perubahan persepsi secara perlahan, berkelanjutan dan selanjutnya mempengaruhi perilaku indvidu. Ketika kekerasan masuk ke ranah industri penyiaran, maka segala sesuatu telah diatur sedemikian rupa hingga menjadi konten menarik ditayangkan melalui televisi, maka yang terjadi adalah tayangan tersebut dapat dilihat oleh khalayak dari segala penjuru negeri tanpa mempedulikan latar belakang budaya tiap daerah, karkteristik tmasyarakat serta nilai yang dianut. Ketika perbedaan-perbedaan tersebut diterpa oleh sebuah konten yang sama dimana proses pembuatannya tidak mempertimbangakan faktor budaya dengan matang, maka akan memberi konsekuensi berupa pemaksaan pembentukan persepsi serta pandangan khalayak mengenai isi pesan yang disampaikan. Kekerasan yang dikomodifikasi dalam televisi terdapat dalam sinetron anak-anak berjudul “Si Biang Kerok Cilik” yang terdapat muatan kekerasan fisik sebanyak 49 adegan berupa aktivitas memukul, meninju, menendang, menjewer, menjambak dan sebagainya. Di
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
temukan 85 adegan kekerasan verbal dimana 56 di antaranya merupakan cacian dan 29 ancaman. Data ini diperoleh melalui hasi pengamatan tim remotivi terhadap sinetron tersebut pertanggal 24 hingga 30 Desember 2012. Rentetan adegan tersebut dilakukan oleh tokoh sentral yang merupakan anak-anak dengan menampilkan perilaku devian dan tidak ramah anak. Selain itu sinetron “Yang Muda Yang Bercinta” memperoleh kritik karena mengandung banyak adegan kekerasan verbal (Alifa, 2013). Dalam bukunya, Jalaluddin membuat kesimpulan mengenai pengaruh tayangan kekerasan dalam mengubah persepsi dan perilaku khalayak ke dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu observational learning yang menjelaskan bagaimana khalayak mempelajari kekerasan melalui apa yang dilihatnya melalui televisi. Kedua, distribusi tayangan secara bertahap mengurangi kemampuan khalayak dalam melakukan kontrol atas dirinya. Dan tahap ketiga menjelaskan bahwa khalayak tidak menjadi sensitif terhadap isu mengenai perilaku agresi. Maka dari itu muatan kekerasan dalam media khususnya televisi mengajarkan agresi, mereduksi kendali moral khalayaknya dan menumpulkan sensitivitas mereka (Rakhmat, 2011). KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Televisi merupakan media konvensional yang masih dominan di tengah-tengah media baru berbasis teknologi digital. 2. Televisi sebagai media audio visual memiliki kemudahan dalam mencerna isi pesan yang disampaikan. 3. Pesan yang disampaikan dalam media televisi tidak membutuhkan kemampuan kognitif khalayak yang tinggi. 4. Khalayak media televisi cenderung bertindak pasif atas serangkaian informasi yang ditanamkan. 5. Teori kultivasi menjelaskan kinerja televisi dalam mempengaruhi khalayaknya melalui penanaman nilai dan konstruksi sosial dalam jangka waktu tertentu secara konsisten. 6. Terpaan muatan televisi dalam waktu relatif panjang akan mempengaruhi nilai yang dianut khalayak mencakup perubahan pandangan, sikap dan perilaku. 7. Konstruksi sosial yang dibentuk oleh televisi lambat laun akan dimaknai sama oleh khalayak dengan konstruksi sosial di kehidupan nyata.
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
8. Muatan negatif dalam televisi seperti kekerasan apabila ditanamkan terus menerus akan mendorong agresivitas khalayak. 9. Agresivitas mencakup segala tindakan atau perilaku yang mengarah pada upaya untuk melukai orang lain. 10. Experimental research besutan Bandura menunjukkan bahwa khalayak dari usia dini telah memiliki kemampuan peniruan adegan kekerasan dalam televisi secara signifikan. 11. Kekerasan yang masuk dalam ranah industri penyiaran, mengalami komodifikasi sedemikian rupa agar menarik perhatian khalayaknya. 12. Muatan kekerasan dalam media khususnya televisi mengajarkan agresi, mereduksi kendali moral khalayaknya dan menumpulkan sensitivitas mereka
KEPUSTAKAAN
Buku Baron, R. A., & Byrne, D. (1979). Social Psychology: Understanding Human Interacton. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Berkowitz, L., & Aliotto, J. T. (1973). The Meaning of An Observed Event As A Determinant of Its Aggressive Concequencer. Jornal of Personality and Social Psychology , 28, 206-217. Danesi, M. (2002). Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra. Dietz, W. H. (1990). You are What You Eat - What You Eat is What you are. Pediatrics. Dominick, J. R. (2009). The Dynamics of Mass Communication: Media In the Digital Age (Vol. 10th). New York: McGraw-Hill. Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2005). Theories of Human Communication, 8th edition. New York: Thomson Wadsworth. Rakhmat, J. (2011). Psikologi Komunikasi Cetakan ke 27. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Straubhaar, J., LaRose, R., & Davenport, L. (2012). MEDIA NOW : Understanding Media, Culture, and Technology. Canada: Wadsworth. Sunarto. (2007). Strukturasi Gender: Kekerasan terhadap Wanita dalam Program Televisi untuk Anak-anak Indonesia. Jakarta: Disertasi Universitas Indonesia. West, R., & Turner, L. H. (2010). Introducing Communication Theory Fourth Edition (Vol. 4). New York: McGraw Hill.
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014
Internet Alifa, N. (2013, April 24). Sinetron Si Biang Kerok Cilik Berpotensi Ajarkan Kekerasan pada Anak. Dipetik Desember 10, 2014, dari Remotivi: http://remotivi.or.id/meja-redaksi/siaran-pers-izinkananak-anak-tumbuh-tanpa-tayangan-kekerasan Amrullah, A. (2013, April 17). MUI Soroti Sinetron Haji Medit dan Tukang Bubur Naik Haji. Dipetik Desember 10, 2014, dari Republika Online: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/17/mldi74-mui-soroti-sinetron-hajimedit-dan-tukang-bubur-naik-haji Dasar Pembentukan. (2009, November 2). Dipetik Desember 12, 2014, dari Komisi Penyiaran Indonesia: http://www.kpi.go.id/index.php/2012-05-03-14-44-06/2012-05-03-14-44-38/dasarpembentukan Dasuqi, G. (2012, April 26). Korban Smackdown Pelajar SD di Situbondo Bertambah. Dipetik Desember 12, 2014, dari detikNews: http://news.detik.com/read/2012/04/26/165500/1902541/475/korban-smackdown-pelajar-sd-disitubondo-bertambah Pamungkas, A. (2014, April 6). Daftar Pemenang Panasonic Gobel Awards 2014. Dipetik Desember 11, 2014, dari OKEZONE: http://celebrity.okezone.com/read/2014/04/06/533/966082/daftarpemenang-panasonic-gobel-awards-2014 Rahmadi, D. (2013, Juli 30). Ini 40 candaan berlebihan di program Pesbukers yang ditegur KPI. Dipetik Desember 10, 2014, dari merdeka.com: http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-40candaan-berlebihan-di-program-fesbukers-yang-ditegur-kpi.html RG. (2014, Mei 14). KPI: 10 Sinetron & FTV Bermasalah dan Tidak Layak Tonton. Dipetik Desember 11, 2014, dari Komisi Penyiaran Indonesia: http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalamnegeri/32064-kpi-10-sinetron-ftv-bermasalah-dan-tidak-layak-tonton Sadewo, J. (2014, September 23). Jaga Anak Anda dari Tom and Jerry, Little Krisna, Sinchan, dan Spongebob. Dipetik Desember 30, 2014, dari Republika OnLine: http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/14/09/23/ncc907-jaga-anak-anda-daritom-and-jerry-little-krisna-sinchan-dan-spongebob
Pengaruh televisi..., Mochammad Dlaify Karami, FISIP UI, 2014