UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY DAN ASSERTIVE TRAINING PADA KLIEN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL STUART DAN ADAPTASI ROY DIRUANG GATOT KACA RS.DR.H MARZOEKI MAHDI BOGOR
KARYA ILMIAH AKHIR
ARYA RAMADIA 1106122341
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA DEPOK, JUNI 2014
i Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
PENERAPAN TERAPI COGNITIVE BEHAVIOUR THERAPY DAN ASSERTIVE TRAINING PADA KLIEN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL STUART DAN ADAPTASI ROY DIRUANG GATOT KACA RS.DR.H MARZOEKI MAHDI BOGOR
KARYA ILMIAH AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa (Sp.Kep.J)
ARYA RAMADIA 1106122341
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA DEPOK, JUNI 2014
ii Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
LEMBAR PERSETUJUAN Karya llmiah dengan Judul: PENERAPAN COGNITIVE BEHAWO(IR THERAPY DAN,4.S,SER TIVE TRAINING
PADA KLIEN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN MODEL STUART DAN ADAPTASI ROY DIRUANG GATOT
KACA RS.DR.H MARZOEKI MAHDI BOGOR Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing serta telah dipertahankan dihadapan tim
penguji Karya Ilmiah Akhir Spesialis Keperawatan Jiwa Universitas Indonesia
Depok,
hli20l4
Depok, Juli 2014 Pembimbing I
Prof Achir
Pembimbing II
Dr.Novy Helena, CD, S.Kp, MSc
tlt Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya Ilmiah ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baikyang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Arya Rrmadia
NPM: 1106122341
TandaTangan
:
Tanggal
:O7Juni2014
f.s;
lv Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
HALAMAN PENGESAHAN Karya Ilmiah Akhir ini diajukan oleh: Nama NPM Program Studi Judul KIA
Arya Ramadia 1106122341 Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Peneralran cognitive Behsviour Therapy
Training Pada Klien Risiko perilaku
Dan Assertive
Kekerasan Dengan
Menggunakan Pendekatan Model Stuart Dan Adaptasi Roy
Diruang Gatot Kaca Rs.Dr.H Marzoeki Mahdi Bogor
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagran persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Jiwa Fakultas
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
DEWAI\I PENGUJI
Pembimbing
I
: Prof.
Achir yani. S.Hamid, MN., DNSC
Penguji
: Dr. Mustikasari,
Penguji
: dr. Feranindhya Agiananda Sp.KJ
Penguji
:Heni Dwi Windarwati, S.Kp, M.Kep,Sp."*
Ditetapkan
di
Tanggal
MARS
: Depok
:
15 Juli 2014
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
f.lfr
9 :. . ..,
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Arya Ramadia NPM : 1106122341 Program Studi : Pasca Sarjana Fakultas : IImu Keperawatan Jenis Karya : Karya IImiah Akhir Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Penerapan Cognitive Behaviour Therapy Dan Assertive Training
Pada Klien
Risiko Perilaku Kekerasan Dengan Menggunakan Pendekatan Model Stuart Dan Adaptasi Roy Diruang Gatot Kaca Rs.Dr.H Marzoeki Mahdi Bogor.
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
nu
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengaIihmedia/formatkan, mengeIoIa dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 15 Juli 2014 Yang mJya~ak~n,
(ArY~~dia) vi Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
ABSTRAK Nama
: Arya Ramadia
Program Studi
: Pendidikan Perawat Spesialis Jiwa
Judul
: Penerapan Cognitive Behaviour Therapy Dan Assertive Training Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan Dengan Menggunakan Pendekatan Model Stuart Dan Adaptasi Roy Diruang
Gatot Kaca Rs.Dr.H Marzoeki Mahdi
Bogor
Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari marah. Respon Maladaptif yang muncul dari marah dapat mengancam dan membahayakan diri sendiri, keluarga dan lingkungan masyarakat sehingga meraka memerlukan pengobatan dan perawatan dirumah sakit. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan penerapan
terapi cognitive behaviour therapy dan assertive training dengan pendekatan Model Adaptasi Roy pada klien risiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah cognitive behaviour therapy dan assertive training pada 8 orang dan assertive training pada 10 orang klien dalam kurun waktu 17 Februari – 18 April 2014 di Ruang Gatot Kaca RSMM Bogor. Hasil pelaksanaan cognitive behaviour therapy dan assertive training dapat menurunkan tanda dan gejala perilaku kekerasan pada aspek kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial dan peningkatan kemampuan koping adaptif dalam menghadapi peristiwa yang menimbukan perilaku kekerasan. Berdasarkan hasil diatas rekomendasi penulisan ini adalah terapi cognitive behaviour therapy dan assertive training pada klien risiko perilaku kekerasan dapat dijadikan standar terapi spesialis keperawatan jiwa.
Key Word : Risiko Perilaku Kekerasan, Cognitive Behavior Therapy, Assertive Training, Model Adaptasi Roy
vii Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
ABSTRACT Nama
: Arya Ramadia
Program Studi
: Mental Health Care Nursing Specialist Education
Judul
: Application of Cognitive Behaviour Therapy
and
Assertive Training for violent behavior clients by using the approach of Roy Adaptation model and Stuart Model at Marzoeki Mahdi Hospital Bogor
Violence behavior is a maladaptive response of anger. Maladaptive Response that occur in anger can menca and endanger ownself, family and society enviroment so they need treatment and medication in hospital . The aim of this Study is to describe the application of Cognitive Behavior Therapy and assertive training by using Roy Adaptation Model to client risk of violent behavior at Marzoeki Mahdi Hospital. in Bogor. Nursing interventions was cognitive behavior therapy and assertive training on 8 people and assertive training to 10 clients during 17 February to 18 April 2014 at Gatot Kaca Room RSMM in Bogor. The results of the implementation of assertive training and cognitive behavior therapy may reduce signs and symptoms of violence behavior in cognitive, affective, physiological, behavioral and social and increase in adaptive coping skills to face of events that raises violence behavior. Based on the result above, recommendation from this paper is Cognitive Behavior Therapy and Assertive Training can be used as standard therapy of psychiatric nursing specialist to client with risk of violence behavior
Key Word: Risk of Violence Behavior, Cognitive Behavior Therapy, Assertive Training, Roy Adaptation Model
viii Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
KATA PENGANTAR Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir dengan judul “Penerapan Terapi Cognitive Behaviour Therapy dan Assertive Training pada klien Risiko Perilaku Kekerasan Dengan Menggunakan Pendekatan Model Stuart Dan Adaptasi Roy Diruang Gatot Kaca Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor”. Karya Ilmiah Akhir ini disusun dalam rangka menyelesaiakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa pada Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.
Penyusunan Karya Ilmiah Akhir dibantu, dibimbing dan didukung oleh berbagai pihak, dengan segala kerendahan hati penulis penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya atas bantuan, bimbingan serta dukungan pada kesempatan ini kepada yang terhormat : 1. Ibu Dra Juniati Sahar, S.Kp, M.App, Sc, Phd selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2. Ibu Henny Permatasari S.Kp, M.Kep, Sp.Kom selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 3. Ibu Prof. Achir Yani S.Hamid, DNSc selaku pembimbing I karya ilmiah akhir yang telah membimbing penulis dengan sabar dan sudah
memberikan
masukan serta motivasi dalam penyelesaian karya ilmiah akhir ini. 4. Ibu Dr.Novy Helena, CD,S.Kp, M.Sc selaku pembimbing II karya ilmiah akhir, yang dengan sabar membimbing penulis, senantiasa meluangkan waktu, dan sangat cermat memberikan masukan untuk perbaikan karya ilmiah akhir ini. 5. Staf Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah membekali dengan ilmu sehingga penulis mampu menyusun tugas akhir. 6. Direktur Utama RS Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor yang telah memberikan izin untuk praktik klinik keperawatan jiwa 3.
ix Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
7. Seluruh rekan perawat ruangan, khususnya ruang Gatotkaca, terima kasih atas kerja sama selama penulis menjalani praktik klinik keperawatan jiwa 3 8. Bapak Mursyid, S.KM, MMR selaku dekan Fakultas Kesehatan dan MIPA Universitas
Muhammadiyah
Sumatra
Barat
yang telah
memberikan
kesempatan dan izin kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan Pasca Sarjana di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 9. Keluarga tercinta, kedua orang tua penulis yang selalu mengirimkan doa dan restu untuk penulis dalam menggapai cita-cita. 10. Sahabat penulis dalam suka dan duka “Mbak Riris, Bg Jek, kak Muslimah dan Bunda puji” yang saling memotivasi dan berbagi ilmu dan informasi dalam segala hal tentang tesis. 11. Rekan-rekan angkatan 7 khususnya program kekhususan keperawatan jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia atas motivasi dan dukungannya bagi penulis.
Mudah-mudahan karya ilmiah akhir ini dapat menjadi awal untuk melakukan penelitian pengembangan terapi dalam keperawatan jiwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan jiwa.
Depok, Juli 2014
Penulis
x Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL .................................................................................... HALAMAN JUDUL ........................................................................................ LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................ LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ABSTRAK ....................................................................................................... KATA PENGANTAR .................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR SKEMA .......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... BAB 1
BAB 2
i ii iii iv v vi vii ix xi xii xiv xv
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1.2. Tujuan Karya Ilmiah Akhir ......................................................
1 8
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Input ....................................................................................... 2.1.1 Faktor Predisposisi.............................................................. 2.1.2 Faktor presipitasi................................................................. 2.1.3 Penilaian stresor.................................................................. 2.1.4 Sumber Koping................................................................... 2.1.5 Diagnosa Keperawatan....................................................... 2.2 Proses ....................................................................................... 2.2.1 Mekanisme Koping............................................................. 2.2.2 Penatalaksanaan Risiko Prilaku Kekerasan....................... 2.2.2.1 Cognitive Behaviour Therapy............................................. 2.2.2.2 Assertive Trainning............................................................. 2.3 Out Put.................... ................................................................
12 12 17 18 20 22 23 24 25 25 32 39
BAB 3. PROFIL RUMAH SAKIT Dr. H. MARZOEKI MAHDI BOGOR 3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor 3.2 Gambaran Pengembangan Manajemen Keperawatan Jiwa Profesional (MPKP) RSMM Bogor.............................................. 3.3 Model Praktik Keperawatan Profesional di Ruang Gatot Kaca......... BAB 4 MANAJEMEN ASUHAN DAN PELAYANAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HARGA DIRI RENDAH KRONIS 4.1 Hasil Pengkajian Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca ....................................................................... 4.1.1 Karakteristik Klien............................................................ 4.1.2 Faktor Predisposisi........................................................... xi Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
40 42 43
50 50 51
4.1.3 4.1.4 4.1.5 4.1.6 4.1.7
Faktor presipitasi.............................................................. Penilaian Terhadap Stresor ............................................. Diagnosis Keperawatan dan Medik................................... Sumber Koping................................................................. Mekanisme Koping...........................................................
52 53 55 56 57
4.2 Penatalaksanaan Klien dengan Diagnosa Keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan 4.2.1 Rencana Tindakan............................................................. 4.2.2 Implementasi Keperawatan.............................................. 4.2.3 Evaluasi Hasil.................................................................... 4.3 Kendala Pelaksanaan Asuhan Keperawatan........................... 4.4 Rencana Tindak Lanjut...............................................................
58 59 60 63 63
BAB 5 PEMBAHASAN 5.1.Karakteristik Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca............................................................................................... 5.2Hasil Pengkajian Kondisi Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan...................................................................................... 5.3 Penerapan Terapi pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan dengan
64 67 74
Pendekatan Model Adaptation Roy............................... 5.4 Efektifitas Penerapan AT dan CBT pada klien Risiko Perilaku
78
Kekerasan
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN 6.1 . Simpulan .................................................................................... 6.2 . Saran ..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xii Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
81 82
DAFTAR TABEL Tabel 3.1
Pelaksanaan Manajemen Pelayanan MPKP di Ruang Gatot Kaca RSMM Bogor......................................................................................
46
Tabel 4.1
Distribusi karakteristik pasien di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor...................................................................................................
51
Tabel 4.2
Distribusi Faktor Predisposisi Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor....................................
52
Tabel 4.3
Distribusi Faktor Presipitasi Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor..................................
53
Tabel 4.4
Distribusi Penilaian Stresor klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RSMM Bogor....................................................
54
Tabel 4.5
Distribusi Diagnosa Keperawatan yang menyertai pada klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca.............................
56
Tabel 4.6
Distribusi Diagnosa Medis dan Terapi Psikofarmaka pada klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor........................................................................................
57
Tabel 4.7
Distribusi Sumber Koping Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor..........
57
Tabel 4.8
Distribusi Mekanisme Koping Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor.......................
59
Tabel 4.9
Perencanaan Penatalaksanaan pada Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor.......................
61
Tabel 4.10
Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor....................................................................................................
61
Tabel 4.11
Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stresor Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan sebelum dan sesudah Pemberian Cognitive Behavior Therapy dan Assertive training di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor ................................................................
62
Tabel 4.12
Distribusi Evaluasi Kemampuan CBT dan AT pada pasien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor ...................................................................................................
63
xiii Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Tabel 4.13
Distribusi Evaluasi Kemampuan AT pada pasien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor ... DAFTAR SKEMA
63
Skema 2.1 Integrasi Aplikasi Model Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy.................. 11
xiv Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3.
Tanda dan Gejala Risiko Perilaku kekerasan Evaluasi Kemampuan Pasien Pada Pelaksanaan Assertive Trainning Evaluasi Kemampuan Pasien Pada Pelaksanaan CBT
xv Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan menjelaskan bahwa kesehatan merupakan keadaan dimana sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk dapat hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Kesehatan adalah salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan dan merupakan hak asasi manusia yang mana sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Sehat adalah suatu kondisi dimana memungkinkan setiap orang untuk produktif secara sosial dan ekonomi, berada dalam kondisi emosional yang baik, kondisi fisik yang baik dan merupakan unsur kesejahteraan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sehat adalah suatu kondisi dimana memungkinkan setiap orang untuk produktif secara sosial dan ekonomi, berada dalam kondisi emosional yang baik, kondisi fisik yang baik dan merupakan unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan.
Sehat jiwa adalah keadaan fungsi jiwa yang baik, menghasilkan kegiatan yang produktif, adanya hubungan yang baik dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dan mengatasi kesulitan (Stuart,2013). Kesehatan jiwa sangat diperlukan untuk kesejahteraan individu, keluarga dan hubungan interpersonal serta kontribusi seseorang dalam masyarakat (Stuart, 2013). Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan positif yang ditandai dengan adanya rasa tanggung jawab, menunjukkan kesadaran diri, mampu menunjukkan diri, bebas dari rasa cemas dan menghadapi masalah yang dihadapi sehari-hari (Shives, 2012). Kesehatan jiwa dapat juga diartikan sebagai kemampuan individu dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan perkembangan sesuai kemampuannya, baik itu tuntutan dalam diri sendiri maupun dari luar dirinya. (Videbeck, 2010). Mental Action Plan mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai kondisi sejahtera dimanapun mampu mengelola pikiran, perasaan,
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
2
perilaku dan hubungan dengan orang lain (WHO, 2013-2030). Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang individu dikatakan sehat jiwa apabila individu mampu beradaptasi dengan perubahan dalam dirinya maupun dari luar dirinya dan mampu mengengelola dirinya saat menghadapi permasalahan dan tetap produktif.
Menurut WHO (2009) prevalensi gangguan jiwa diperkirakan sebanyak 450 juta jiwa dimana sekitar 10% orang dewasa yang mengalami gangguan jiwa dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Prevalensi gangguan jiwa menurut riskesdas tahun 2007 menunjukkan data prevalensi nasional untuk gangguan jiwa berat yaitu 4,6 per 1.000 penduduk. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat menurut Riskesdas 2013 mencapai 1,7 per 1.000 penduduk populasi di Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa gangguan jiwa yang terjadi baik didunia maupun diindonesia cukup besar.
Gangguan jiwa merupakan perubahan pola perilaku, psikologis, persepsi dan perasaan seseorang akibat stresor yang menyebabkan gangguan fungsi peran sosial serta penurunan kualitas hidup seseorang dimana hal ini bukan akibat penyimpangan sosial atau konflik masyarakat (Stuart, 2013). Salah satu bentuk gangguan jiwa berat adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan penyakit otak kronis berupa sindrom klinis yang melibatkan perubahan pikiran, emosi, persepsi, gerakan dan perilaku individu serta membutuhkan strategi penatalaksanaan jangka panjang dan keterampilan koping (Videback, 2008). Skizofrenia merupakan kombinasi dari gangguan berfikir, persepsi, perilaku dan hubungan sosial. Skizofrenia merupakan penyakit mental serius yang mengganggu kemampuan seseorang untuk berfikir secara jelas, mengelola emosi, membuat keputusan dan kemampuan berhubungan dengan orang lain (NAMI, 2013). Kaplan
& Sadock (2007) menjelaskan bahwa
skizofrenia merupakan sekumpulan sindroma klinik yang ditandai dengan perubahan pikiran, emosi, persepsi dan aspek lain dari perilaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
3
dapat menyebabkan perubahan pikiran, emosi, persepsi, perilaku dan hubungan sosial seseorang.
Gejala yang dapat muncul pada klien skizofrenia dibagi menjadi dua gejala utama yakni gejala positif dan gejala negatif (Stuart, 2013). Gejala positif diantaranya delusi, halusinasi, kekacauan kognitif, disorganisasi bicara dan perilaku tidak teratur dan perilaku kekerasan (Videback, 2008). Gejala negatif yang dialami klien skizofrenia seperti afek datar, tidak punya kemauan, merasa tidak nyaman, kurang motivasi, menarik diri dari lingkungan sosial dan harga diri rendah (Sadock & Sadock, 2004). Fontain (2009) menyebutkan bahwa gejala negatif dari klien skizofrenia dapat dilihat dari terjadinya penurunan motivasi, hilangnya kemampuan dalam melakukan aktivitas seharihari, ketidakmampuan dalam merawat diri, tidak mampu mengekspresikan perasaan serta hilangnya spontanitas dan rasa ingin tahu. Gejala yang muncul pada klien skizofrenia baik berupa gejala positif dan gejala negatif dijadikan sebagai dasar oleh kalangan medis dalam menegakkan diagnosa skizofrenia.
Perilaku kekerasan dapat dijumpai pada pasien skizofrenia yang tidak diobati. Perilaku maladaptif dari gejala positif skizofrenia seperti halusinasi dapat menjadi pencetus terjadinya perilaku kekerasan (Ranjan, Prakash, Sharma & Shigh, 2010). Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah yang mungkin meliputi salah satu dari kelima panca indra (Townsend, 2013). Halusinasi merupakan suatu pengalaman persepsi yang salah tanpa adanya stimulus dan pengalaman persepsi tersebut merupakan hal nyata bagi klien sehingga halusinasi bisa menjadi pemicu terjadinya perilaku kekerasan akibat persepsi yang salah dan perintah-perintah dari halusinasi yang didengar (Lelono, Keliat, & Besral, 2011) . Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kelompok individu yang didiagnosa skizofrenia memiliki insiden lebih tinggi mengalami perilaku kekerasan (APA, 2000 dalam Sadino, 2007). Dari survey yang dilakukan oleh The National Institute of Mental Nursing Health’s Epidemiologic Cathment Area terhadap 10.000 orang yang pernah melakukan perilaku kekerasan ditemukan 37,7 % berhubungan dengan penyalahgunaan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
4
zat, 24,6% alkoholik, 12,7% skizofrenia, 11,7% gangguan depresi berat, 11% gangguan bipolar dan 2,1% tanpa gangguan (Kaplan & Saddock, 1995 dalam keliat 2003).Wahyuningsih (2009) menyatakan bahwa klien skizopenia memiliki riwayat kekerasan baik sebagai pelaku, korban atau saksi sebanyak 62,5%. Sehingga dapat disimpulkan perilaku kekerasan dapat dipicu dari gejala positif skizofrenia yaitu halusinasi.
Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari marah. Perilaku kekerasan dipahami sebagai perilaku atau tindakan seseorang ketika ia tidak mampu mengatasi stresor lingkungan yang dialaminya, dapat juga berupa kebiasaan atau upaya untuk merefleksikan stresor tersebut (Stuart, 2013). Kemarahan merupakan respon yang normal namun apabila tidak diungkapkan dengan tidak tepat dapat menimbulkan permusuhan dan agresi (Videback, 2010). Cara mengekspresikan marah ini berfluktuasi dalam rentang adaptif dan maladaptif mulai dari asertif, pasif dan agresif (Varcarolis, 2009; Stuart, 2013). Kemarahan yang tidak mampu diungkapkan secara asertif dapat memanjang hingga respon yang paling maladaptif yaitu perilaku kekerasan. perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku yang dapat mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik (Stuart & Laraia, 2005). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari marah yang dapat memunculkan perilaku yang dapat mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan baik secara fisik maupun verbal.
Respon Maladaptif yang muncul dari marah dapat mengancam dan membahayakan diri sendiri,keluarga dan lingkungan masyarakat sehingga mereka memerlukan pengobatan dan perawatan dirumah sakit. Penelitian Keliat (2003) tentang pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor menemukan bahwa perilaku kekerasan merupakan salah satu gejala yang menjadi alasan keluarga untuk merawat klien dirumah sakit jiwa. Perilaku kekerasan merupakan penyebab utama klien dibawa kerumah sakit yaitu 68%. Tindakan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
5
keperawatan yang diberikan kepada klien perilaku kekerasan bertujuan untuk mencegah dampak negatif dari perilaku kekerasan terhadap klien, keluarga dan lingkungan.
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien perilaku kekerasan tidak hanya ditujukan kepada klien. Beberapa penelitian mengatakan keluarga harus menjadi pusat pengantar pelayanan kesehatan karena bertanggung jawab untuk mengontrol kebutuhan kesehatan anggota keluarganya yang sakit, kebutuhan sosial dan kebutuhan emosional. Mereka menambahkan sistem kesehatan harus memungkinkan keluarga untuk berfungsi sebagai pembuat keputusan, caregiver, pendidik dan advokat untuk orang sakit (WFMH, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Keliat (2006) bahwa angka kekambuhan pada klien gangguan tanpa terapi keluarga sebesar 25-50% sedangkan angka kekambuhan pada klien yang diberikan terapi keluarga sebesar 5-15%. Ini berarti bahwa tindakan keperawatan yang tepat pada klien dan keluarga baik di pelayanan rumah sakit maupun dimasyarakat dan dukungan keluarga sangatlah penting dalam mengurangi masalah yang muncul akibat perilaku kekerasan dan
mengurangi angka kekambuhan
melalui tindakan psikoterapi.
Tindakan keperawatan generalis yang diberikan kepada klien perilaku kekerasan dapat berupa kelompok maupun individu. Tindakan keperawatan individu yang diberikan pada klien perilaku kekerasan adalah dengan pemberian latihan fisik berupa tarik nafas dalam, pukul bantal kasur, penjelasan mengenai 6 benar obat, melatih klien mengungkapkan secara verbal meminta, menolak dan mengungkapkan marah dengan baik, melatih mengontrol marah dengan spiritual. Tindakan keperawatan kelompok dapat berupa terapi aktivitas kelompok. Untuk keluarga tindakan keperawatan yang diberikan seseuai dengan tugas perkembangan keluarga menurut Friedman (2010) berupa pemberian latihan yang sama dengan klien, menjelaskan cara merawat perilaku kekerasan, menciptakan lingkungan yang nyaman bagi klien dan menggunakan pelayanan kesehatan untuk mencegah kekambuhan.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
6
Tindakan Keperawatan spesialis yang dapat diberikan dan telah diteliti antara lain terapi perilaku kognitif, terapi asertif, Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT). Wahyuningsih (2009) melakukan penelitian terhadap 36 klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan didapatkan hasil terapi Asertive Training (AT) dapat menurunkan respon perilaku kekerasan secara bermakna. Terjadi penurunan respon maladaptif (perilaku, sosial, kognitif, respon fisik dan komposit perilaku kekerasan ) sebesar 7,50-25,78 setelah dilakukan AT. Penelitian Alini (2010) menunjukkan bahwa AT menurunkan komposit perilaku kekerasan (respon kognitif, afektif, perilaku, sosial, fisik) sebesar 50,4%.
Fauziah
(2009)
mengatakan
terapi
perilaku
kognitif
dapat
meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien skizofrenia dengan perilaku
kekerasan.
Kemampuan
kognitif
klien
perilaku
kekerasan
meningkatkan sebesar 7,92 setelah dilakukan CBT dengan p value <α 0,05 dibandingkan dengan kelompok kontrol -0,07. Kemampuan perilaku asertif klien perilaku kekerasan setelah dilakukan CBT meningkat secara bermakna sebesar 25,46 dengan p value < α 0,05 dibandingkan dengan kelompok kontrol 0,92. Terapi yang diberikan pada klien perilaku kekerasan diatas berfokus pada upaya penurunan perilaku kekerasan dengan menstimulasi kognitif atau melihat respon kognitif, respon fisik, respon sosial dan respon perilaku. Penelitian lain Hidayat (2011), Lelono (2011) dan Sudiatmika (2011) tentang pengaruh CBT dan REBT pada klien perilaku kekerasan menunjukkan peningkatan secara bermakna kemampuan klien mengatasi masalah dan penurunan tanda dan gejala marah klien perilaku kekerasan.
Berdasarkan jumlah klien yang dirawat oleh mahasiswa diruangan Gatot kaca sebanyak 81 orang, diperoleh gambaran diagnosis medis antara lain Skizofrenia paranoid 60 klien (85,18%), psikotik akut 10 klien (12,3%) dan gangguan bipolar 2 orang (2,4%). Sedangkan gambaran diagnosa keperawatan diperoleh sebagai berikut resiko perilaku kekerasan 80,24%, halusinasi 87,65%, isolasi sosial 55,5%, HDR 55,5% dan waham 7,4%. Diagnosa keperawatan terbanyak diruang gatot kaca adalah resiko perilaku kekerasan.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
7
Tindakan keperawatan spesialis yang difokuskan pada karya ilmiah ini adalah terapi perilaku kognitif dan terapi asertif untuk klien dengan resiko perilaku kekerasan. Terapi ini diberikan untuk membantu klien meningkatkan fungsi dan keseimbangan perilaku melalui nurturance, protection dan stimulation. Diharapkan dengan pemberian terapi ini dapat membuat klien beradaptasi dengan stimulus baru dan mempertahankan perilaku yang diharapkan (nurturance), melakukan perilaku baru yang dilatih (stimulation) dan mempertahankan perilaku dari stimulus yang kurang menyenangkan (protection).
Pengkajian merupakan tahap penting yang dilakukan untuk mengetahui penyebab klien mengalami gangguan jiwa. Dengan pendekatan Model Stress Adaptation Stuart (2013) membagi pengkajian menjadi beberapa komponen yaitu faktor predisposisi, stressor presipitasi dan penilaian terhadap stressor serta sumber koping. Sedangkan adaptasi Roy membagi kedalam stimulus fokal, stimulus kontekstual dan stimulus residual. Stimulus fokal yaitu semua stimulus yang langsung menyerang individu, stimulus kontekstual yaitu semua stimulus yang ada pada saat itu yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal dan stimulus residual adalah faktor lingkungan yang memberi efek terhadap situasi tertentu. Jika klien tidak mampu beradaptasi terhadap stimulus yang diterimanya dengan menggunakan mekanisme koping yang sesuai, dapat berdampak terhadap konsep diri, fungsi peran dan interdependensi serta perilaku yang memunculkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dapat ditujukan pada diri sendiri, orang lain bahkan dapat merusak lingkungan. Asuhan dasar model teori adaptasi Roy (2009) yang digunakan dalam membahas kasus perilaku kekerasan adalah setiap orang selalu menggunakan koping yang bersifat positif maupun negatif sedangkan kemampuan beradaptasi seseorang dipengaruhi oleh penyebab utama terjadinya perubahan dan pengalaman beradaptasi. Roy mengatakan bahwa proses adaptasi merupakan proses dan hasil dari berfikir dan berperasaan manusia sebagai individu atau kelompok yang menggunakan kesadarannya untuk berintegrasi
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
8
dengan lingkungan (Roy,2009). Model adaptasi Roy digambarkan sebagai suatu model yang terdiri dari input, proses kontrol, efektor dan output. Input terdiri dari stimulus-stimulus yang berasal dari diri maupun lingkungan. Proses kontrol merupakan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi stimulus yang ada. Sedangkan efektor merupakan model sistem adaptasi internal seseorang yang meliputi fungsi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Output merupakan respon adaptif atau respon maladaptif yang muncul pada seseorang. Dengan menggunakan pendekatan model adaptasi stuart dan model Adaptasi Roy, pemberian asuhan keperawatan klien dengan risiko perilaku kekerasan yang dilakukan di ruangan Gatot Kaca RS Dr. Marzoeki Mahdi Bogor dapat optimal dan didukung dengan pemberian pelayanan yang tepat dengan menggunakan manajemen pelayanan model praktek keperawatan profesional (MPKP). Hasil penulisan dan analisis terapi serta model yang digunakan dilaporkan dalam bentuk penulisan karya ilmiah.
1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Menganalisis Penerapan Cognitive Behaviour Therapy dan Assertive Therapy pada klien
Risiko perilaku Kekerasan dengan menggunakan pendekatan
Stuart dan model Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor.
1.2.2
Tujuan Khusus 1.2.2.1 Mengidentifikasi karakteristik klien Risiko Perilaku Kekerasan menggunakan pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor 1.2.2.2 Mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien Risiko Perilaku Kekerasan menggunakan pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor 1.2.2.3 Menyusun rencana asuhan keperawatan pada klien Risiko Perilaku Kekerasan dengan menggunakan pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
9
1.2.2.4 Melaksanakan asuhan keperawatan pada klien Risiko Perilaku Kekerasan dengan menggunakan pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor 1.2.2.5 Mengidentifikasi hasil evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien Risiko Perilaku Kekerasan menggunakan pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor 1.2.2.6 Menyusun rencana tindak lanjut klien Risiko Perilaku Kekerasan menggunakan pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor 1.2.2.7 Menyusun rekomendasi berdasarkan implikasi hasil pelaksanaan asuhan keperawatan Risiko Perilaku Kekerasan menggunakan pendekatan teori Stuart dan Adaptasi Roy di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
10
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Karya tulis ilmiah ini dilandasi oleh teori Stress Adaptasi Model Stuart-Laraia, dan teori keperawatan Adaptasi Roy pada klien Risiko Perilaku kekerasan (RPK) yang mendapatkan Assertive Training (AT) dan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor. Kerangka teori yang digunakan sebagai dasar karya ilmiah ini terdiri dari proses pengkajian (input) yang terdiri dari data awal klien perilaku kekerasan, proses yang merupakan tindakan yang diberikan dalam mengatasi masalah yang ditemukan pada input dan output sebagai hasil dari pencapaian proses yang dilakukan. Pada karya ilmiah ini, input berupa proses pengkajian untuk menetapkan suatu diagnosa dari klien. proses pengkajian pada Model Stress Adaptation Stuart (2013) dimulai dengan mengkaji faktor predisposisi, stresor
presipitasi dan
penilaian terhadap stresor. Faktor predisposisi meliputi biologi, psikologi dan sosiokultural. Penilain terhadap stressor terdiri dari respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Berdasarkan hasil pengkajian yang diperoleh maka ditegakkanlah diagnosa Risiko Perilaku Kekerasan. Selanjutnya
dengan
mengidentifikasi sumber koping dan mekanisme koping yang dimiliki individu dalam menyelesaikan permasalahan dapat menjadi penentu intervensi yang akan diberikan kepada klien untuk menyelesaikan masalah resiko perilaku kekerasan. Pada tahap implementasi (proses), fokus tindakan keperawatan yang diberikan pada klien yaitu dengan memberikan Cognitive Behaviour Therapy dan Assertive therapy. Pemberian terapi ini diharapkan mampu membuat klien beradaptasi dengan perilaku yang baru saat berhadapan dengan stimulus yang baru yang tidak menyenangkan. Output merupakan hasil yang diharapkan setelah melalui tahap implementasi dari proses tindakan yang diberikan berupa perilaku adaptif. Perubahan perilaku kekerasan dapat dilihat dari penurunan tanda dan gejala RPK, peningkatan kemampuan klien dalam menghadapi stresor dan hubungan interpersonal yang meningkat. Berikut akan dijelaskan tentang pelaksanaan mulai dari input, proses dan output dalam framework berikut ini :
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
11
Skema 2.1 Integrasi Aplikasi Model Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy
Input
STIMULUS 1. Stimulus Fokal (Faktor presipitasi klien RPK) : Biologi, psikologi, sosialkultural 2. Stimulus Kontekstual (Faktor Predisposisi klien RPK) : Biologi, psikologi, sosialkultural 3. Stimulus Residual : sikap, norma, keyakinan dan pemahaman individu yang mempengaruhi keadaan tidak efektif
Penilaian terhadap stresor : kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, sosial
Sumber Koping : Kemampuan personal, Dukungan sosial, Material Aset, Keyakinan Positif
Proses kontrol & Efektor
Output
Outcome
Risiko Perilaku Kekerasan Adaptif Mekanisme Koping Klien RPK Regulator Kognator
Perilaku Mode Adaptasi Fisiologis Konsep diri Fungsi peran interdependensi
Tindakan Keperawatan 1. Tindakan Generalis 2. Tindakan Spesialis CBT Sesi 1: Identifikasi pikiran dan keyakinan maladaptif Sesi 2: Mengubah pola pikir dan keyakinan maladaptif Sesi 3 : Mengubah perilaku maladptif Sesi 4 : Penyelesaian masalah Sesi 5 : Evaluasi pelaksanaan CBT AT Sesi 1 :identifikasi kejadian yang membuat marah/kesal Sesi 2 :Mengungkapkan kebutuhan dan keinginan serta cara memenuhinya Sesi 3 : Latihan Sikap asertif dalam mengungkapkan kebutuhan dan keinginan Sesi 4: Latihan mengatakan “Tidak” terhadap permintaan orang lain Sesi 5 : Mempertahankan sikap asertif dalam mengungkapkan Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014 kebutuhan dan keinginan
Perilaku Adaptif
Inefektif
MPKP
Perubahan tanda dan gejala dan peningkatan kemampuan pada klien RPK
Universitas Indonesia
12
2.1 Komponen Input Sistem Asuhan Keperawatan Pengkajian merupakan tahap penting yang dilakukan untuk mengetahui penyebab klien mengalami gangguan jiwa. Dengan pendekatan Model Stress Adaptation Stuart (2013) membagi pengkajian menjadi beberapa komponen yaitu faktor predisposisi, stressor presipitasi dan penilaian terhadap stressor serta sumber koping. Teori adaptasi Roy membagi kedalam stimulus fokal, stimulus kontekstual dan stimulus residual. Stimulus fokal yaitu semua stimulus yang langsung menyerang individu, stimulus kontekstual yaitu semua stimulus yang ada pada saat itu yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal dan stimulus residual adalah faktor lingkungan yang memberi efek terhadap situasi tertentu. Konsep utama dari model adaptasi Roy adalah proses adaptasi. Roy mengatakan bahwa proses adaptasi merupakan proses dan hasil dari berpikir dan berperasaan manusia sebagai individu atau kelompok yang menggunakan kesadarannya untuk berintegrasi dengan lingkungan (Roy,2009). Roy membagi dua bentuk mekanisme koping yaitu regulator dan kognator. Roy juga menjelaskan tentang empat model adaptif pada individu, yakni model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Hasil akhir dari proses adaptasi adalah respons yang adaptif. 2.1.1 Faktor Predisposisi (Stimulus kontekstual) Dengan menggunakan model teori adaptasi Roy terdapat stimulus kontekstual yang merupakan stimulus yang dialami seseorang baik itu berasal dari eksternal maupun internal Stuart mengatakan bahwa pengalaman masa lalu memiliki makna dan pengaruh tersendiri bagi setiap individu. Faktor predisposisi dibagi menjadi tiga elemen yaitu biologi, psikologi dan sosiokultural.
2.1.1.1 Biologi Faktor biologis terjadinya perilaku kekerasan pada individu dikaitkan dengan struktur otak. Struktur otak yang berhubungan dengan perilaku agresif adalah sistem limbik, lobus frontal dan hipotalamus. Sistem limbik
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
13
berkaitan erat dengan mediasi dorongan dasar (basic drive) dan ekspresi emosi serta tingkah laku manusia seperti : makan, agresi dan respon seksual, termasuk proses informasi dan memori. Sintesa informasi dan memori. Sintesa informasi ke dan dari area lain di otak mempengaruhi emosi dan perilaku (Stuart, 2013). Perubahan dalam fungsi sistem limbik mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan perilaku agresif, amuk dan rasa takut (Varcarolis, 2010). Lobus frontal memiliki peran penting dalam mengarahkan perilaku dan berpikir rasional. Kerusakan lobus frontal dapat mengakibatkan perubahan kepribadian, gangguan penilaian, kesulitan dalam mengambil keputusan, melakukan hal yang tidak pantas dan perilaku agresif. Hipotalamus juga berperan dalam mempengaruhi terjadinya perilaku agresif/ kekerasan. Ketika individu menghadapi stres yang berlebihan maka kondisi ini akan meningkatkan level hormon steroid yang disekresi kelenjer adrenal, selanjutnya hipotalamus merangsang kelenjer pituitari untuk menghasilkan lebih banyak steroid (Varcarolis, 2010). Stimulasi yang berulang akan membuat system berespon lebih kuat dan menyebabkan stress traumatik pada individu yang bersifat permanen. Keadaan tersebut dapat merangsang munculnya perilaku kekerasan maupun halusinasi terutama pada individu yang
rentan
mengalami
masalah
tersebut.
Ketidakseimbangan
neurotransmitter juga dapat menyebabkan munculnya perilaku kekerasan. Norepinefrin merupakan neurotransmitter yang mempengaruhi mood dan pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan pada zat ini akan menyebabkan gangguan jiwa terutama yang berhubungan dengan mood, ansietas,
menarik
diri,
dan
depresi.
Serotonin
berperan
dalam
menyebabkan halusinasi, waham dan menarik diri pada pasien skizofrenia. Gangguan pada kadar dopamin akan menimbulkan gangguan psikotik dan parkinson. Asam Gama-amnobutirat berperan penting dalam penyakit degeneratif seperti huttington dan alzheimer (Guyton, 1996;Videbeck, 2008;Stuart, 2009, Varcarilos, 2010).
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
14
Townsend (2013) memaparkan bahwa ada relasi yang kuat antara perilaku kekerasan dengan alkohol dan penggunaan zat terlarang seperti kokain, amfetamin, zat halusinogen dan anbolik steroid. Kejadian perilaku kekerasan ditemukan 12 kali lebih besar pada penggunnaan alkohol dan obat-obatan serta 16 kali lebih besar pada individu dengan ketergantungan obat (Nolan, dkk dalam Stuart, 2013).
Faktor herediter dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya gangguan jiwa. Penelitian akan adanya pengaruh genetik dalam gangguan jiwa telah dikembangkan sejak tahun 1998 hingga 2003 oleh Human Genom Project. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa faktor genetik memiliki peran dalam menyebabkan gangguan jiwa ditandai dengan banyaknya penelitian yang melihat hubungan orang tua dan anak atau kejadian gangguan jiwa pada kembar terutama monozigotik. Faktor genetik berperan dalam kejadian depresi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Joska dan Stein (2008), ditemukan bahwa kejadian depresi meningkat secara signifikan pada kembar monozigotik, yaitu sekitar 37%. Jika salah satu dari kembar monozigotik mengalami depresi maka kembar lainnya akan memiliki kemungkinan sebesar 37% juga.
2.1.1.2 Psikologi Faktor predisposisi psikologi yang dapat menyebabkan gangguan jiwa termasuk
intelegensia,
kemampuan
bicara,
moral,
kepribadian,
pengalaman masa lalu, konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, san kemampuan pengontrolan diri.
Konsep diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya berdasarkan perilaku sesuai dengan ideal dirinya (Stuart, 2013). Konsep diri dapat berkembang dari masa kanak-kanak dan dipengaruhi oleh adanya penerimaan, lingkungan, dan
penghargaan dari orang lain. Ketiadaan
faktor-faktor tersebut atau adanya gangguan dalam masa pertumbuhan akan mempengaruhi konsep diri individu.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
15
Perubahan atau gangguan pada masa tumbuh kembang dianggap menjadi faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa berdasarkan teori psikoanalitik Sigmund Freud’s dan Erikson. Freud (1969, dalam Varcarolis 2010) menyatakan bahwa gangguan perilaku muncul apabila terjadi gangguan dalam perkembangan psikoseksual yang terbagi menjadi 5 tahap yaitu fase oral, anal, phalic, latency dan genital. Misalnya gangguan pada tahap anal (1-3 tahun) dapat memunculkan gejala pola pikir kaku, Obsessive Compulsive Disorder (OCD) atau perilaku merusak, tidak terarah dan kejam. Erik erikson (1963, dalam Varcarolis, 2010) juga menghasilkan teori yang sama seperti gangguan pemenuhan tugas perkembangan industry pada usia sekolah dapat menyebabkan anak menjadi harga diri rendah.
Faktor psikologis lainnya yang dapat menyebabkan gangguan jiwa adalah pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan seperti kejadian pengalaman melihat kecelakaan, peristiwa yang melukai, mendapat vonis penyakit tertentu, saksi pembunuhan atau kekerasan, terpapar perang atau bencana alam, serangan teoris, perampokan, sandera, korban kekerasan fisik, seksual, emosional, termasuk juga konflik sipil. Bahkan pada beberapa kejadian menunjukkan akibat pemberhentian kerja dan perceraian serta proses persidangan kasus karena selama persidangan berlangsung korban kekerasan terus terstimulus untuk mengingat kejadian sehingga korban tidak dapat menganggapnya sebagai kejadian yang telah lalu (Blanchard et al, 1996;Ehlers et al, 1998, dalam NCCMH, 2005).
Pertahanan psikologis juga memiliki peran penting terhadap munculnya gangguan jiwa. Ketahanan seseorang terhadap stresor akan menghasilkan bentuk perilaku yaitu adaptif dan maladaptif. Kemampuan untuk bereaksi secara normal terhadap masalah. Ketahanan psikologis dapat diukur menggunakan instrumen yang mengukur kepribadian, kemampuan, pertahanan, konsep diri dan konflik interpersonal (Stuart, 2013). Gangguan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
16
akibat pengalaman akan kejadian traumatik berhubungan dengan adanya ketidakstabilan
pertahanan
psikologis.
Maknanya,
gejala
hanya
berkembang pada orang yang memiliki kepribadian tidak stabil, sebelumnya pernah memiliki masalah kesehatan mental (Gersons & Carlier, 1992; Kinzie & Goetz, 1996; van der Kolk et al, 1996, dalam NCCMH, 2005).
2.1.1.3 Sosiokultural Predisposisi sosiokultural meliputi faktor usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, pekerjaan, status sosial, latar belakang budaya, agama, keyakinan dan pengalaman sosialisasi (Stuart, 2013).
Identifikasi faktor sosial dianggap penting karena berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa faktor sosial menjadi faktor resiko munculnya gangguan jiwa. Kecenderungan tingginya angka kejadian pada kelompok jenis kelamin tertentu, kelompok usia tidak dapat disimpulkan secara umum karena setiap bentuk gangguan memiliki kekhasan tersendiri. Perubahan status sosial, seperti kehilangan pasangan, adanya penurunan kemampuan fisik, kehilangan pekerjaan, penghasilan atau karena tidak tercapainya suatu keinginan dapat menyebabkan munculnya gangguan konsep diri (Stuart, 2009;Varcarolis & Halter, 2010).
Perbedaan budaya pada setiap wilayah juga mempegaruhi angka kejadian gangguan jiwa atau perilaku maladaptif lainnya.. Sebagai contoh perilaku minum-minuman beralkohol di negara-negara asia cenderung rendah, Hal ini terjadi karena terdapat pengaruh budaya dalam bentuk pola pikir dan perilaku individu. Budaya asia cenderung menganggap minuman beralkohol merupakan minuman haram yang tidak baik dikonsumsi. Contoh lainnya adalah pengguna NAPZA wanita jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini karena wanita pengguna NAPZA akan memiliki citra diri lebih negatif sehingga mencegah peningkatan angka kejadian (Varcarolis & Halter, 2010).
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
17
Dukungan sosial dan hubungan baik dengan orang lain berperan terhadap munculnya gangguan. Sebagaimana dikatakan bahwa tidak adanya dukungan sosial setelah individu mengalami kejadian traumatik akan meningkatkan risiko terjadinya PTSD kronik (Brewin et al, 2000;Ozer et al, 2003). Pengalaman akan kejadian traumatik seringkali menimbulkan rasa tidak percaya dengan orang lain terutama bagi korban kekerasan sehingga
mempengaruhi
hubungan
secara
sosial.
Hal
ini
akan
menyebabkan masalah menjadi semakin berat.
2.1.2 Faktor Presipitasi (Stimulus fokal) Faktor presipitasi terkait dengan stimulus yang dipersepsikan individu sebagai suatu kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stimulus tersebut dapat menguras energi, menyebabkan stres dan tekanan (Cohen, 2000 dalam Stuart, 2013). Sedangkan menurut Roy stimulus fokal yaitu semua stimulus yang ada pada saat itu yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal. Faktor presipitasi dapat berupa elemen yang sama dengan faktor predisposisi yaitu meliputi biologi, psikologi dan sosiokultural namun faktor presipitasi memiliki kejelasan yang meliputi empat hal yaitu sifat stresor, asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang dihadapi oleh seseorang (Stuart, 2013). Faktor presipitasi terjadinya masalah perilaku kekerasan pada klien skizoprenia dengan model adaptasi Roy meliputi stresor biologi, psikologis dan sosial budaya.
Asal stresor terdiri dari stresor internal dan eksternal. Stresor internal meliputi seluruh faktor yang menimbulkan kelemahan, menurunnya rasa percaya diri, takut sakit, hilang kontrol atau terjadinya proses penuaan pada individu. Stresor eksternal adalah stresor yang berasal dari luar individu, seperti keluarga, kelompok masyarakat, dan lingkungan sekitar
Lama dan jumlah stresor yaitu terkait dengan sejak kapan, sudah berapa lama, berapa kali kejadiannya (frekuensi) serta jumlah stresor. Bila baru
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
18
pertama kali terkena masalah, maka penanganannya juga memerlukan suatu upaya yang lebih intensif dengan tujuan untuk tindakan pencegahan primer. Frekuensi dan jumlah stresor juga mempengaruhi individu, bila frekuensi dan jumlah stresor terkena masalah lebih sedikit juga akan memerlukan penanganan yang berbeda dibandingkan dengan yang mempunyai frekuensi dan jumlah stresor lebih banyak. Dengan kata lain seorang perawat harus memahami kondisi stresor yang dialami oleh seorang individu sehingga penanganannya juga akan lebih baik.
Menurut Roy (2009), stimulus residual meliputi sikap, norma, keyakinan dan pemahaman individu yang mempengaruhi keadaan tidak efektif. Stimulu residual terdiri dari faktor internal dan eksternal yang relevan dengan situasi yang ada tetapi sulit untuk diobservasi namun dapat mempengaruhi munculnya gejala. 2.1.3 Penilaian terhadap stresor Penilaian terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap stresor dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart, 2013). Terdapat lima respon yang dapat menggambarkan perubahan keadaan psikologis individu yaitu kognitif, perilaku, afektif, psikologis dan sosial (gambar 2.1). berikut penjelasan kelima faktor tersebut .
Kognitif
Sosial
Afektif
Perilaku
Psikologi
Gambar 2.1 Respon Penilaian Terhadap Stressor (Stuart,2013)
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
19
2.1.3.1 Respon kognitif:Bingung, perubahan status mental secara tiba-tiba, disorientasi, gangguan daya ingat dan ketidakmampuan mengikuti petunjuk, ada isi pikir yang delusi dan paranoid (Boyd & Nihart, 1998; Stuart, 2013), tidak mampu memecahkan masalah, mendominasi (Keliat & Sinaga, 1991). Pada individu dengan perilaku agresif atau perilaku kekerasan berpikir secara irrasional akan tercermin dari kata-kata yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat.
2.1.3.2 Respon afektif: perasaan tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, merasa ingin berkelahi, mengamuk, bermusuhan, sakit hati, menyalahkan, menuntut, mudah tersinggung, euporia yang berlebihan atau tidak tepat, dan afek labil Stuart (2013), iritabilitas, depresi, apatis (Boyd & Nihart, 1998).
2.1.3.3 Respon Fisiologis: frekuensi pernafasan meningkat, ketegangan tubuh, muka memerah, dan sorot mata yang tajam (Rawlins, Williams & Beck, 1993) peningkatan frekuensi nadi, tekanan darah serta keringat yang banyak (Boyd & Nihart, 1998). Respon fisiologis pada perilaku kekerasan timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi epinefrin sehingga tekanan darah meningkat, takikardi (frekuensi denyut jantung meningkat), wajah memerah, pupil membengkak, frekuensi pembuangan urin meningkat. Peningkatan denyut jantung, mempersiapkan orang untuk bergerak, dan peningkatan aliran darah ke tangan, menyiapkan mereka untuk menyerang (Novaco, 2010). Keringat meningkat (terutama ketika kemarahan itu intens), sekresi oleh adrenal medula dari katekolamin, epinefrin, dan norepinefrin dan oleh glukokortikoid korteks adrenal memberikan sistem simpatik efek yang memobilisasi tubuh untuk tindakan segera. Menurut Stuart (2013), Perilaku kekerasan dapat dilihat dari wajah tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan, rahang mengencang, peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba seperti kataton.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
20
2.1.3.4 Respon perilaku: mondar-mandir, tidak mampu untuk duduk tenang, tangan mengepal, menghentikan aktivitas motorik dengan tiba-tiba, kata-kata menekan, suara keras, memerintah (Stuart, 2013). Kekerasan fisik yang ditujukan pada diri sendiri berupa ancaman melukai. Kekerasan pada orang lain berupa serangaan fisik, memukul dan melukai. Kekerasan pada lingkungan berupa merusak perabotan rumah tangga, merusak harta benda dan membanting pintu (Morison, 1993).
2.1.3.5 Respons
sosial:cenderung
menyalahkan
orang
lain,
membicarakan
kesalahan orang lain, mengejek, berkata kasar dan menolak hubungan dengan orang lain, melanggar batas jarak personal saat berinteraksi (Rawlins, Williams & Beck, 1993), kekerasan verbal terhadap orang lain berupa kata-kata kasar, nada suara tinggi dan bermusuhan (Morison, 1993). Ancaman yang ditujukan pada objek nyata atau imajiner, menimbulkan gangguan untuk menarik perhatian, suara keras, kata-kata menekan (Stuart, 2013). 2.1.4 Sumber Koping Sumber koping adalah pilihan atau strategi yang dapat membantu untuk memutuskan apa yang terbaik dilakukan. Menurut Stuart (2013) sumber koping yang dimiliki individu dalam menghadapi depresi yang dialami terdiri dari kemampuan individu (personal ability), dukungan sosial (Social Support), material asset dan positive believe.
2.1.4.1Kemampuan Individu Peningkatan kemampuan personal terutama dalam menghadapi masalah dan dampaknya akan mempengaruhi mekanisme koping pasien. pengetahuan dan intelegensia memungkinkan individu untuk melihat cara yang berbeda dalam menghadapi situasi sulit. Kemampuan personal yang ingin dicapai oleh pasien adalah kemampuan dalam menghadapi situasi sulit, pengetahuan pasien akan kondisi sehat, sakit, cara penyelesaiannya.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
21
2.1.4.2 Dukungan sosial Dukungan sosial menjadi penting keberadaannya bagi pasien dalam menghadapi masalah. Tanpa adanya dukungan sosial yang cukup, pengetahuan dan kemampuan hanya akan menjadi sia-sia karena mengalami hambatan dalam mengaplikasikannya. Dukungan sosial dapat diberikan oleh pasangan, keluarga, lingkungan dan masyarakat sekitar.
Keluarga berperan sebagai pemberi motivasi, pengawas, sumber ekonomi dan lainnya. Adanya dukungan sosial akan meningkatkan motivasi pasien untuk meningkatkan status kesehatannya. Peran ekonomi juga menjadi faktor penting. Hal ini karena pasien dengan gangguan jiwa biasanya akan mengalami penurunan produktivitas sehingga mempengaruhi penghasilan. Ini berarti segala bentuk dukungan hidup sehari-hari dan kebutuhan akan pengobatan sementara akan dipenuhi oleh anggota keluarga lainnya. Fungsi pengawasan
berperan
dalam
mengontrol
pengobatan
dan
melihat
perkembangan kemajuan atau kemunduran keadaan pasien. pengawasan akan aplikasi terapi yang telah dipelajari juga dapat dilakukan.
2.1.4.3 Aset materi Kepemilikan jaminan kesehatan, sumber rujukan dan pelayanan kesehatan dimasyarakan serta sumber keuangan merupakan aset materi yang dimiliki oleh pasien untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi masalah.
2.1.4.4Keyakinan positif Keyakinan diri yang positif dapat meningkatkan harapan sehingga mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi masalah bahkan dalam situasi yang membingungkan.
2.1.5 Diagnosa Keperawatan Hasil dari pengkajian faktor predisposisi, stresor presipitasi dan penilaian terhadap stresor menghasilkan beberapa diagnosa keperawatan. Pada
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
22
penulisan ini diagnosa yang diangkat adalah Resiko Perilaku Kekerasan (RPK).
Risiko perilaku kekerasan adalah
perilaku individu yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain baik secara fisik, emosional dan atau seksualitas (Nanda, 2012). Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stresor, ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan baik secara verbal maupun non verbal (Stuart, 2013).
Dari survey yang dilakukan oleh The National Institute of Mental Nursing Health’s Epidemiologic Cathment Area terhadap 10.000 orang yang pernah melakukan perilaku kekerasan ditemukan 37,7 % berhubungan dengan penyalahgunaan zat, 24,6% alkoholik, 12,7% skizoprenia, 11,7% gangguan depresi berat, 11% gangguan bipolar dan 2,1% tanpa gangguan (Kaplan & Saddock, 1995 dalam keliat 2003).Wahyuningsih (2009) menyatakan bahwa klien skizopenia memiliki riwayat kekerasan baik sebagai pelaku, korban atau saksi sebanyak 62,5%. Sehingga dapat disimpulkan perilaku kekerasan dapat dipicu dari gejala positif skizoprenia yaitu halusinasi.
Berdasarkan jumlah klien yang dirawat oleh mahasiswa diruangan Gatot kaca sebanyak 81 orang, diperoleh gambaran diagnosis medis antara lain Skizoprenia paranoid 60 klien (85,18%), psikotik akut 10 klien (12,3%) dan bipolar 2 orang (2,4%). Sedangkan gambaran diagnosa keperawatan diperoleh sebagai berikut resiko perilaku kekerasan 80,24%, halusinasi 87,65%, isolasi sosial 55,5%, HDR 55,5% dan waham 7,4%.
2.2
Komponen Proses Sistem Asuhan Keperawatan Penatalaksanaan tindakan keperawatan untuk menyelesaikan diagnosa keperawatan
resiko
perilaku
kekerasan
dilakukan
dalam
konteks
Manajemen Pelayanan Keperawatan Profesional (MPKP). MPKP terdiri
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
23
atas 4 pilar utama yaitu Management Approach, Compensatory Reward, Professional Relationship dan Patient Care Delivery.
Pilar pertama adalah pendekatan manajemen yang terdiri dari: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing), dan pengendalian (controlling). Fungsi perencanaan terdiri dari kegiatan merumuskan visi, misi, filosofi, rencana jangka pendek (harian, bulanan dan tahunan). Fungsi pengorganisasian terdiri dari kegiatan pembentukan struktur organisasi, jadual dinas dan daftar alokasi pasien. Fungsi pengarahan terdiri dari kegiatan operan, pre dan post conference, supervisi, pendelegasian dan penciptaan iklim motivasi. Fungsi pengendalian terdiri dari kegiatan penghitungan indikator mutu, survey diagnosa keperawatan dan medis, survey kepuasan, dan audit dokumentasi
Kompensasi dan penghargaan merupakan pilar kedua dari pendekatan manajemen yang mengarahkan bagaimana cara pembenrian penghargaan terhadap staf ruang MPKP terhadap kinerja yang sudah dilakukannya. Kegiatan yang dilakukan dalam pilar ini adalah penilaian kinerja dan pengembangan staf. Pilar yang ketiga yaitu hubungan professional antara perawat dengan dengan perawat sendiri, misalnya dalam melakukan rapat tim keperawatan, dan juga antara perawat dengan profesi kesehatan lain misalnya melalui rapat tim kesehatan, konferensi kasus, dan visit dokter.
Pilar keempat adalah pemberian asuhan keperawatan yang menjelaskan tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh perawat ruang MPKP dalam memberikan asuhan keperawatan bagi klien dan keluarga yang pada penulisan ini lebih menekankan pada penatalaksanaan diagnosa resiko perilaku kekerasan. Berdasarkan paparan penatalaksanaan diagnosa diatas diketahui bahwa terdapat beberapa pikoterapi yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan diagnosa tersebut yaitu Cognitive Behaviour Therapy (CBT) dan Assertiveness Training.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
24
2.2.1 Mekanisme Koping Stuart (2013) menyatakan bahwa mekanisme koping merupakan segala upaya yang diarahkan pada manajemen stres. Ada tiga tipe mekanisme koping yaitu fokus permasalahan, fokus secara kognitif dan fokus pada emosi. Untuk mekanisme konstruktif, individu menjadikan kecemasan sebagai suatu alaram atau tanda peringatan. Individu menerimanya sebagai suatu pilihan dalam penyelesaian masalah seperti negosiasi terhadap, meminta saran pada orang lain. Sedangkan mekamisme koping yang destriktif
yaitu
dengan
menghindari
kecemasan
tersebut
tanpa
menyelesaikan permasalahan yang terjadi.
Roy juga menjelaskan ada dua bentuk .mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator. Selain mekanisme koping, Roy juga menjelaskan tentang empat model adaptif pada individu, yakni model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Hasil akhir dari proses adaptasi berupa respon adaptif, namun jika perilaku yang ditampilkan individu tidak menggambarkan integritas maka akan berubah menjadi respon yang inefektif (Robinson & Kish, 2001).
Roy (2009) menjelasakan bahwa mekanisme koping yang terjadi pada individu diharapkan mampu mencapai mode adaptasi yang telah dilakukan yang terdiri dari proses : 2.2.1.1 Fungsi fisiologis (biologis) yaitu sistem adaptasi terhadap oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan istirahat, integritas kulit, indera, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan endokrin
2.2.1.2
Konsep diri (Psikologis) yaitu kemampuan klien mengenali pola-pola interaksi sosial dalam berhubungan dengan orang lain
2.2.1.3 Fungsi peran (Sosiokultural) yaitu proses penyesuaian yang berhubungan dengan bagaimana peran seseorang dalam mengenal pola-pola interaksi sosial dalan berhubungan dengan orang lain
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
25
2.2.1.4
Interdependen
(Sosiokultural)
merupakan
kemampuan
seseorang
mengenal pola-pola tentang kasih sayang, cinta yang dilakukan melaui hubungan secara interpersonal pada tingkat individu maupun kelompok
2.2.2 Penatalaksanaan Risiko Perilaku Kekerasan 2.2.2.1 Cognitive Behaviour Therapy Pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian Cognitive Behaviour Therapy, tujuan, teknik dan prosedur Cognitive Behaviour Therapy, keuntungan Cognitive Behaviour Therapy.
Cognitive behaviour therapy (CBT) adalah terapi yang membantu individu merubah cara berfikir dan perilakunya sehingga perubahan itu membuat individu merasa lebih baik, dan terapi ini berfokus pada masalah here and now serta kesulitan yang dihadapi (British Association for Behavioural and Cognitive Psychotherapies, 2006).
CBT merupakan kombinasi dari terapi cognitive dan behaviour dan memiliki pengaruh untuk mengatasi gangguan mood dan ansietas (Chambless & Ollendick, 2001; DeRubeis & Crists-Christoph, 1998 dalam Cully & Teten, 2008). CBT adalah salah satu bentuk terapi komunikasi (Kassel & Rais, 2010). Sehingga dapat dikatakan bahwa CBT merupakan terapi yang menggunakan pendekatan penyelesaian masalah dengan mempelajari cara pengontrolan pikiran melalui perubahan persepsi terhadap orang dan situasi tertentu.
CBT dilakukan melalui hubungan interpersonal pasien dengan terapis. Hubungan yang mengedepankan rasa empati, tidak memaksakan, selama pasien membagi pengalamannya mengalami skizofrenia. Pada terapi ini, terapis tidak berorientasi pada mengarahkan klien untuk berfikir bahwa gejala yang dialami tidak rasional melainkan berusaha membantu pasien untuk fokus pada keyakinan pasien akan gejala yang dirasakan dan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
26
menciptakan mekanisme pertahanan yang berhubungan dengan gejala tersebut.
2.2.2.2 Tujuan Stallard (2002), menyebutkan bahwa CBT adalah intervensi terapeutik yang bertujuan untuk mengurangi tingkah laku mengganggu dan maladaptif dengan mengembangkan proses kognitif. CBT didasarkan pada asumsi bahwa afek dan tingkah laku adalah produk dari kognisi oleh karena itu intervensi kognitif dan tingkah laku dapat membawa perubahan dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku. CBT pada dasarnya bertujuan untuk mengubah keadaan atau status emosi individu, akan tetapi emosi tidak dapat diintervensi secara langsung. Emosi dihasilkan dari adanya stimulasn internal dan eksternal dan dipengaruhi oleh adanya perubahan pola pikir dan perilaku. Tujuan untuk menstabilkan emosi dicapai menggunakan CBT dengan merubah pikiran dan perilaku yang berkontribusi menyebabkan distress emosi. CBT bertujuan untuk menciptakan
ketrampilan
yang
memungkinkan
individu
untuk
meningkatkan kesadaran akan pikiran dan perasaannya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran dan perilaku mempengaruhi perasaan dan meningkatkan kemampuan untuk merubah pikiran dan perilaku maladaptif (Cully & Teten, 2008).
2.2.2.3 Teknik Pelaksanaan Terapi Sesi I : Identifikasi pikiran dan keyakinan maladaptif CBT meyakini bahwa terdapat 3 struktur pola pikir maladaptif atau disfungsional terjadi pada pasien yang mengalami gangguan psikologis yaitu pikiran otomatis, keyakinan menengah dan keyakinan inti. Terapi kognitif percaya bahwa respon maladaptif timbul dari distorsi kognitif, distorsi tersebut dapat meliputi kesalahan logika, kesalahan dalam penalaran, atau pandangan dunia individual yang tidak
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
27
mencerminkan realitas yang distorsi mungkin baik positif atau negatif.
Jenis-jenis pikiran negatif atau distorsi pikiran yang ditemukan pada klien depresi menurut Varcarolis (2008), Cullen dan Teten (2008), Stuart (2013) : 1.
All or nothing thinking yaitu seseorang memikirkan segala sesuatu seperti warna hitam dan putih, tidak berupaya untuk menggapai hal yang tinggi karena pada jenis distorsi ini seseorang cenderung menghindari hal-hal yang rumit dalam kehidupannya.
2. Overgeneralization yaitu berpikir bahwa segala sesuatu yang dilakukan tidak akan menghasilkan yang baik, mereka cenderung menggunakan pemikiran sesuatu yang dihasilkan akan berakibat buruk
atau
kurang
bagus.
Labeling
yaitu
bentuk
overgeneralization dimana karakteristik atau kejadian dijadikan sebagai pedoman atau standar bagi diri sendiri atau orang lain. Contohnya : ”karena gagal dalam ujian kompetensi, saya akan mengalami kegagalan dalam hal lain, saya lebih baik mundur”. 3. Mental Filter yaitu fokus pada kejadian negatif atau kejadian buruk dan membiarkan pikiran tersebut mencemari atau mempengaruhi hal yang lain. 4. Disqualifying the positive yaitu mempertahankan pandangan negatif
dengan
mengulang
informasi
yang
mendukung
pandangan positif menjadi sesuatu yang tidak relevan, tidak akurat atau seseuatu yang tidak dipertimbangkan 5. Jumping on conclusions yaitu membuat interpretasi negatif tanpa adanya fakta yang mendukung. Jenis distorsi ini terbagi menjadi dua yaitu : 1) mind reading ditandai dengan menyimpulkan pikiran negatif, respon dan motif dari orang lain,. percaya seseorang mengetahui pikiran orang lain tanpa mengecek kebenarannya. Contoh :”mereka pasti berfikir kalau dirinya
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
28
terlalu gemuk atau terlalu kurus”.; 2) fortune-teeling terror, mengasumsi hasil negatif dari orang lain sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan lagi. 6. Magnification or minimization yaitu melebih-lebihkan sesuatu (seperti kegagagalan atau kesuksesan orang lain) tapi tidak mengakui hal tersebut terdiri dari catastrophizing yaitu sebagai bentuk yang ekstrim dari magnification dimana kesalahan diasumsikan sebagai sesuatu hasil yang akan terjadi. 7. Emotional
reasoning
yaitu
menggambarkan
kesimpulan
berdasarkan atas pernyataan emosional. Should and must statement yaitu memberanikan diri mengarahkan diri sendiri untuk memegang kontrol dari hal-hal yang tidak realistik dari kejadian eksternal. 8. Personalization yaitu merasa bertanggungjawab atas kejadian eksternal atau sistuasi yang terjadi diluar kontrol personal 9. Mudah menyimpulkan (Arbitary Inference) Menggambarkan kesimpulan yang salah tanpa didukung data. Contoh :”teman saya tidak pernah lama menyukai saya sebab ia tidak mau diajak pergi”. 10. Perfeksionis (Perfectionism) Segala harus dilakukan dengan sempurna untuk merasakan kesempurnaan dirinya, contoh : aku akan merasa gagal jika aku tidak mendapatkan nilai A untuk semua ujianku” 11. Ekternalisasi nilai atau standar diri (Externalization self worth) Menentukan tata nilai sendiri untuk diterapkan pada orang lain, contoh :”saya sudah berusaha untuk kelihatan baik setiap waktu tetapi teman-teman saya yang tidak menginginkan saya ada disampingnya.”
Pengkajian terhadap pikiran dan perilaku negatif klien merupakan langkah awal yang dilakukan dalam terapi ini. Klien akan menceritakan tentang pikiran, perasaan dan perilaku negatif yang
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
29
dialami. Pikiran negatif biasa dianggap sebagai pikiran yang nyata. Pikiran otomatis muncul pada situasi tertentu dan muncul lebih cepat dibandingkan dengan munculnya pikiran positif terhadap diri. Pikiran otomatis merupakan manifestasi nyata dari adanya keyakinan yang salah pada pasien dengan gangguan psikiatri.
Keyakinan menengah dapat dianggap sebagai pola yang diikuti oleh individu mengenai kondisi tertentu namun tidak spesifik. Individu menciptakan asumsi berdasarkan informasi yang diterima dari lingkungan dan pola pikirnya akan berkontribusi menciptakan pikiran dan perilaku tertentu. Sedangkan keyakinan inti adalah keyakinan yang dipersepsikan berdasarkan pengalaman. Karena pasien gangguan jiwa cenderung menerima informasi dengan negatif, keyakinan positif akan cenderung perfasif.
Hasil identifikasi pikiran otomatis kemudian di informasikan dan dijelaskan proses terjadinya pikiran tersebut kepada pasien untuk meningkatkan kesadaran akan gangguan kognitif yang terjadi. Hal ini menjadi penting karena kesadaran akan gangguan yang dialami dan pemahaman akan membantu proses pelaksanaan terapi dan tingkat keberhasilan sebagaimana dijelaskan oleh Norcross (2010) pada penelitiannya mendapati bahwa penyusunan tujuan bersama meningkatkan pelayanan kesehatan pada pasien gangguan jiwa sedangkan pada pasien berguna mencegah kegagalan terapi, menurunkan
gejala
dan
meningkatkan
kemampuan
untuk
beradaptasi.
Pada tahap berikutnya, seluruh pikiran otomatis dikategorikan atau diprioritaskan denga melihat berat dan ringannya pikiran otomatis yang muncul. Berbagai
pendekatan dapat
dilakukan untuk
memprioritaskan pikiran ototmatis seperti membuat skala untuk setiap pikiran dan mengurutkannya dari pikiran bernilai besar ke
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
30
kecil. Atau cara lainnya adalah melihat frekuensi kemunculan pikiran ototmatis berdasarkan situasi tertentu. Perawat harus mampu menekankan pada kebutuhan yang berorientasi pada pasien bukan kebutuhan atau berdasarkan persepsinya.
Sesi 2 : Mengubah pola pikir dan keyakinan maladaptif Perawat membantu pasien untuk mengenali pikiran otomatisnya, mengklasifikasikan, mengenal keuntungan dan kerugian pikiran otomatis. Perawat membantu klien untuk mengenal distorsi negatifnya. Perawat dan klien sama-sama mempelajari bentuk distorsi dan mempelajari bentuk distorsi yang ada pada klien. perawat membantu klien untuk mengembangkan keseimbangan berfikir dengan menanyakan beberapa pertanyaan seperti : 1. Bukti apa menunjukkan bahwa pikiran tersebut nyata? 2. Bukti apa yang menunjukkan bahwa pikiran tersebut tidak nyata? 3. Apa yang harus saya katakan pada orang yang saya sayangi jika ia mengalami hal ini? 4. Bila pikiran tersebut nyata apa kejadian buruk yang akan terjadi? 5. Bila pikiran tersebut nyata apa kejadian baik yang akan terjadi? 6. Berdasarkan beberapa sumber yang kamu miliki, apakah ada pikiran alternatif lain yang bisa muncul berdasarkan situasi tersebut? 7. Bisakan orang yang saya percaya, memandang situasi ini dalam cara yang berbeda?
Pada situasi tertentu, pasien tertentu, kemampuan untuk merubah pola pikir otomatis maladaptif tidak berjalan lancar sehingga perlu diberikan
motivasi
lebih
berupa
reinforsemen
positif
dan
pemahaman pentingnya kemampuan mengkounter bagi pasien.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
31
Apabila pasien telah memiliki kemampuan melihat adanya bukti kontraindikasi terhadap pikiran otomatis, langkah selanjutnya adalah membantu pasien untuk menyelesaikan masalah daripada menguji pikiran baru yang tercipta.
Sesi 3 : Perubahan perilaku Pendekatan terapi keperawatan yang bertujuan merubah perilaku maladaptif seperti mondar-mandir, tidak mampu untuk duduk tenang, tangan mengepal, menghentikan aktivitas motorik dengan tiba-tiba, kata-kata menekan, suara keras, memerintah (Stuart, 2013) diawali dengan memberikan pemahaman kepada pasien hubungan perubahan mood dengan perilaku. Langkah selanjutnya yaitu membantu klien mengidentifikasi bentuk aktivitas yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perasaan positif, atau perilaku lain yang dapat membantu mengatasi pikiran otomatis.
Sesi 4 : Penyelesaian masalah Penyelesaian masalah merupakan teknik yang secara umum dalam proses mengidentifikasi mekanisme koping positif dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pengertian lainnya dikatakan bahwa penyelesaian masalah
adalah
langkah
untuk
menganalisa
masalah,
mengidentifikasi berbagai pilihan penyelesaian maslah, evaluasi dan memutuskan perencanaan serta mengembangkan strategi dalam pelaksanaan perencanaan (Cully & Teten, 2008).
Sesi 5 : Evaluasi hasil pelaksanaan CBT Pada sesi lima kegiatan yang dilakukan adalah menjelaskan pentingnya obat dan terapi modalitas untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan serta membudayakan pikiran positif dan perilaku positif yang telah dilatih.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
32
2.2.3 Assertiveness Training Assertiveness Training
merupakan tindakan untuk melatih seseorang
mencapai perilaku asertif (Kaplan & Saddock, 2010). Menurut Hopkins (2005), Assertive Training yaitu terapi untuk melatih kemampuan seseorang untuk mengungkapkan pendapat, perasaan, sikap dan hak tanpa disertai adanya perasaan cemas. Assertive Training merupakan komponen dari terapi perilaku dan suatu proses dimana individu belajar mengkomunikasikan
kebutuhan,
menolak
permintaan
dan
mengekspresikan perasaan positif dan negatif secara terbuka, jujur, langsung dan sesuai dengan pemahaman. Individu menggunakan respon asertif mempertahankan haknya dan respek terhadap hak dan harkat orang lain (Fortinash, 2004).
2.2.3.1 Tujuan Tujuan Assertive Training yaitu meningkatkan penilaian diri dan orang lain, meningkatkan harga diri, mengurangi kecemasan, meningkatkan kemampuan dalam membuat keputusan hidup, mengekpresikan sesuatu secara verbal dan non verbal (Hopkins, 2005), mengekpresikan kebutuhan dan hak (Forkas, 1997), melatih keterampilan interpersonal dasar seseorang (Stuart & Laraia, 2005), mempelajari prosedur kognitif, afektif dan perilaku untuk meningkatkan kemampuan interpersonal, mengurangi penghalang secara kognitif dan afektif untuk berperilaku asertif seperti kecemasan, pikiran tidak rasional, perasaan bersalah dan marah. 2.2.3.2 Teknik Pelaksanaan terapi Menurut Stuart dan Laraia (2005) dalam membentuk perilaku asertif , tahapan yang digunakan yaitu : a. Describing, yaitu menggambarkan perilaku baru untuk dipelajari b. Learning, Yaitu belajar perilaku baru melalui petunjuk dan demonstrasi c. Practicing, yaitu mempraktekkan perilaku baru dengan umpan balik d. Transferring, menerapkan perilaku baru kedalam lingkungan yang nyata
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
33
Dimodifikasi dari penelitian dan teori Forkas (1997), Stuart dan Laraia (2005) dan Vinick (1983) serta Assertiveness Training yang dikembangkan dan diterapkan oleh mahasiswa spesialis keperawatan jiwa angkatan 1 dan 2 tahun 2008 dan 2009 dibagi menjadi lima sesi yaitu : a.
Sesi satu : melatih kemampuan mengungkapkan pikiran dan perasaan. Tujuannya : klien mampu mengidentifikasi pikiran dan perasaan dan mengungkapkan pikiran, perasaan dengan cara yang tepat. Tehnik pelaksanaan melalui describing, modelling, role playing, feedback, transferring.
b.
Sesi dua: melatih kemampuan mengungkapkan keinginan dan kebutuhan. Tujuannya : klien mampu mengidentifikasi kebutuhan (sesuatu yang memang diperlukan oleh klien) dan keinginan (sesuatu yang diinginkan tapi kurang diperlukan oleh
klien) dan mampu
mengungkapkan dengan cara yang tepat. Tehnik pelaksanaan melalui describing, modelling, role playing, feedback, transferring. c.
Sesi tiga : mengekspresikan kemarahan. Tujuannya yaitu: mengidentifikasi penyebab marah, alasan, ekspresi marah yang biasa dilakukan dan dampaknya serta melatih klien cara mengekspresikan marah secara tepat yang meliputi bagaimana, mengapa dan alternatif. Tehnik pelaksanaan melalui describing, modelling, role playing, feedback, transferring.
d.
Sesi empat : mengatakan ”tidak” untuk permintaan yang tidak rasional dan menyampaikan alasan. Tujuannya: melatih klien mengidentifikasi permintaan yang tidak rasional dan alasannya, mengidentifikasi cara biasa klien menolak dan dampaknya,
mengatakan ”tidak” untuk permintaan yang tidak
rasional dan alasan secara asertif. Tehnik pelaksanaan melalui describing, modelling, role playing, feedback, transferring.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
34
e.
Sesi lima : mempertahankan perubahan asertif dalam berbagai situasi. Tujuannya: klien memahami perilaku asertif yang telah dilatih, memahami hambatan perilaku asertif, memahami manfaat perilaku asertif dan mempertahankan perilaku asertif pada situasi yang lain. Tehnik pelaksanaan melalui describing, transferring dan feedback
Penatalaksanaan keperawatan dalam mengatasi resiko perilaku kekerasan dengan menggunakan CBT dan AT dilakukan dengan pendekatan model Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy. Konsep utama model Roy adalah adaptasi. Roy mengungkapkan adaptasi merupakan proses dan hasil dari berpikir dan berperasaan manusia sebagai individu atau kelompok yang menggunakan kesadarannya untuk berintegrasi dengan lingkungan (Roy, 2009).
Model adaptasi Roy digambarkan sebagai suatu model yang terdiri atas input, proses kontrol, efektor dan output. Input pada manusia berupa stimulus-stimulus yang diterima baik yang berasal dari lingkungan luar atau dari dirinya sendiri. Stimulus tersebut meliputi stimulus internal yang merupakan tingkat adaptasi individu dan menggambarkan rentang stimulus yang bisa ditoleransi oleh individu (Fitzpatrick & Whall, 1989). Input selain berupa stimulus yang terdiri dari faktor predisposisi dan presipitasi juga terdiri dari penilaian terhadap stresor dan sumber koping. Stimulus yang masuk melalui input selanjutnya akan diproses melalui proses kontrol. Proses kontrol dari manusia adalah mekanisme koping. Ada dua mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator. Kedua mekanisme koping ini bertindak untuk mencapai mode adaptif. Regulator merupakan mekanisme koping yang berespon terhadap system saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey & Alligood, 2006). Sedangkan kognator merupakan mekanisme koping yang berespon terhadap jalur pikiran dan emosi, meliputi proses persepsiinformasi, proses belajar, pengambilan keputusan, dan emosi (Fitzpatrick & Whall, 1989). Mekanisme koping regulator lebih cenderung untuk masalah
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
35
fisik atau mekanisme tubuh, sedangkan kognator lebih cenderung kearah pikiran dan emosi. Mekanisme koping yang diterapkan bertujuan untuk mencapai model adaptif, yang telah disebutkan sebelumnya. Keempat model ini ditentukan dengan menganalisa dan mengelompokkan perilaku klien, digambarkan sebagai suatu system yang berinteraksi dengan regulator dan kognator, sehingga perilaku yang dihasilkan dari aktivitas regulator dan kognator ini bisa diamati dalam keempat model adaptif tersebut (Fitzpatrick & Whall, 1989). Stimulus yang ada akan mempengaruhi invidivu sehingga akan membuat mekanisme koping bekerja (regulator dan kognator) yang nantinya akan mempengaruhi mode adaptif individu tersebut. Perilaku yang muncul adalah hasil proses mekanisme koping terhadap model adaptif yang terganggu akibat stimulus yang muncul Efektor dalam model Roy ini terbagi atas empat model adaptif yaitu model fisiologis, yaitu berkaitan dengan proses fisik dan kimiawi meliputi fungsi dan aktivitas makhluk hidup. Ada lima kebutuhan yang teridentifikasi pada model ini, yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan tidur, dan perlindungan. Kebutuhan dasar dari model ini adalah tercapainya integritas fisiologis (Tomey & Alligood, 2006). Berdasarkan model fisiologis ini, semua hal yang berkaitan dengan masalah mekanisme kerja tubuh untuk mencapai suatu kondisi yang berdaptasi. Model selanjutnya adalah konsep diri, yang merupakan salah satu model psikososial. Model ini focus pada psikososial dan spiritual makhluk hidup. Kebutuhan dasar dari moel ini adalah bagaimana individu untuk menjadi sesuatu atau bermakna dengan perasaan kesatuan, bermakna dan berguna bagi lingkungan. Konsep diri merupakan gabungan dari keyakinan dan perasaan tentang dirinya yang terbentuk dari persepsi internal dan persepsi dari luar dirinya sendiri (Tomey & Alligood, 2006). Model konsep diri ini adalah merupakan bagaimana persepsi diri individu tentang dirinya dan apa arti dan manfaat individu untuk orang lain dan lingkungan.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
36
Model yang ketiga adalah model fungsi peran, yaitu model sosial yang berfokus pada peran individu di masyarakat. Peran yang merupakan pengharapan tentang bagaimana individu menjalankan posisinya. Peran yang ditampilkan individu bersupa peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer merupakan perilaku utama yang dipakai oleh individu selama periode tertentu, berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tahap perkembangan. Peran sekunder meliputi semua asumsi individu untuk memenuhi tugas yang berkaitan dengan tahap perkembangan dan peran primer. Sedangkan peran tersier berkaitan dengan peran sekunder dan menggambarkan bagaimana inividu memenuhi peran yang mereka jalani. Peran tersier ini menetap secara alami, bebas dipilih oleh individu, dan meliputi aktivitas seperti klub atau hobi (Tomey & Alligood, 2014). Model peran ini adalah peran yang disandang oleh individu dalam kehidupannya, dimana individu tidak hanya menyandang satu peran tapi banyak peran baik untuk diri sendiri atau di komunitas dimana mereka berada. Model
yang
terakhir
adalah
model
interdependensi
atau
saling
ketergantungan. Model ini berfokus pada hubungan dekat dari seseorang. Hubungan saling ketergantungan meliputi keinginan dan kemampuan untuk memberi dan menerima dari orang lain meliputi semua aspek yang ditawarkan. Ada dua hubungan yang fokus pada model ini, yaitu interdependensi dengan orang lain yang berarti, dan interdependensi dengan support system (Tomey & Alligood, 2014). Model interdependensi adalah menggambarkan keterkaitan individu dengan orang lain dan support system dimana akan ada proses memberi dan menerima dengan orang lain dan lingkungan. Setelah input, proses kontrol yang melibatkan mekanisme koping regulator dan kognator, kemudian dilanjutkan dengan efektor. Efektor akan melihat model adaptasi mana yang terganggu, bisa satu model ata beberapa model bisa terganggu pada satu kesempatan. Hasilnya akan terlihat di output. Pada output akan terlihat respon adaptif jika individu mampu mengatasi stimulus yang ada dan respon inefektif jika individu tidak mampu berespon terhadap
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
37
stimulus dengan kemampuan yang dimilikinya (Fitzpatrick & Whall, 1989). Jika yang muncul adalah respon yang tidak efektif ini akan membuat siklus terulang kembali, respon inefektif tersebut menjadi stimulus dan proses terjadi kembali sampai pada output. Roy juga menjelaskan ada empat elemen penting yang masuk dalam teori adaptasi,
yaitu
individu,
lingkungan,
kesehatan
dan
keperawatan.
Keperawatan terdiri atas dua kegiatan yaitu tujuan keperawatan dan aktivitas keperawatan. Roy mendefenisikan keperawatan secara umum sebagai professional kesehatan yang berfokus pada proses dan pola kehidupan manusia, menekankan pada promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sebagai satu kesatuan (Tomey & Alligood, 2006). Jadi keperawatan merupakan suatu profesi yang bekerja untuk meningkatkan kesehatan klien dalam seluruh proses kehidupannya. Keperawatan memegang peranan penting dalam mencapai derajat kesehatan yang optimal. Roy memandang keperawatan sebagai suatu ilmu dan sebagai suatu praktik. Keperawatan sebagai ilmu berfungsi untuk mengamati, menggolongkan, dan menghubungkan proses dimana individu secara positif mempengaruhi status kesehatannya. keperawatan sebagai praktik berfungsi menggunakan ilmu pengetahuan untuk memberikan pelayanan pada kliennya (Fitzpatrick & Whall, 1989). Tujuan keperawatan adalah untuk meningkatkan interaksi seseorang dengan lingkungan dengan cara meningkatkan adaptasi dalam empat model, yaitu : (1) fungsi fisiologis, (2) konsep diri, (3) fungsi peran, (4)
interdependensi.
Adaptasi
akan
meningkatkan
integritas
dan
berkontribusi terhadp kesehatan individu, kualitas hidup, dan meninggal dengan kemuliaan. Tujuan keperawatan dapat dicapai ketika stimulus fokal berada di area adaptasi yang sudah ditetapkan oleh individu, sehingga saat stimulus fokal muncul, individu akan mampu beradaptasi atau berespon secara positif (Fitzpatrick &Whall, 1989). Roy menggambarkan manusia sebagai model yang adaptif. Sebagai suatu model yang adaptif, manusia adalah suatu keseluruhan dengan bagian-
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
38
bagian yang berfungsi sebagai satu kesatuan untuk mencapai tujuan (Tomey & Alligood, 2006). Definisi lain menyebutkan bahwa manusia adalah suatu sistem yang hidup, terbuka dan adaptif yang bertukar energy dan masalah dengan lingkungan. Sebagai system, manusia juga bisa dideskripsikan dalam hal input, proses kontrol dan umpan balik, dan output (Fitzpatrick & Whall, 1989). Jadi manusia adalah suatu sistem yang terdiri dari input, kontrol dan umpan balik dan output yang terbuka dan adaptif yang berinteraksi dengan lingkungannya. Lingkungan digambarkan sebagai dunia di dalam dan sekitar individu. Lingkungan merupakan input untuk individu sebagai sistem yang adaptif dan lingkungan bisa juga sebagai stimulus baik internal maupun eksternal. Stimulus ini yang nantinya bisa dikelompokkan menjadi stimulus fokal, kontekstual dan residual. Sehingga defenisi akhir dari lingkungan adalah semua kondisi, situasi dan pengaruh lingkungan yang mempengaruhi perkembangan dan perilaku dari individu atau kelompok (Fitzpatrick & Whall, 1989). Perubahan lingkungan akan mendorong individu untuk berespon untuk mencapai kondisi yang adaptif. Kesehatan adalah suatu kondisi dan proses hidup dan menjadi individu yang memiliki integritas dan keseluruhan. Jadi, integritas adalah kesehatan, jika tidak ada integritas berarti turunnya kesehatan. Sehingga kesehatan diartikan tidak hanya kondisi yang bebas penyakit, tapi juga usaha mempertahankan kondisi sejahtera (Fitzpatrick & Whall, 1989). Aplikasi model adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan ini akan dijelaskan dengan memasukkan variablevariabel yang berkontribusi terhadap timbulnya resiko perilaku kekerasan kedalam
model adaptasi Roy. Respon resiko perilaku kekerasan
berdasarkan model adaptasi Roy dapat disebabkan oleh tiga stimulus yang muncul dalam kehidupan individu yaitu stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Stimulus fokal adalah segala sesuatu atau stresor yang datang dari luar atau dari dalam individu yang akan mencetuskan terjadinya resiko perilaku kekerasan, diantaranya stresor biologis, psikologis maupun sosial
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
39
kultural. Stimulus fokal pada tulisan ini adalah faktor presipitasi yang memunculkan respon-respon pada klien RPK
seperti: respon kognitif,
afektif, perilaku, dan respon sosial. Stimulus kontekstual adalah stimulus yang berasal dari internal atau eksternal yang mempengaruhi stimulus fokal. Stimulus kontekstual pada klien RPK meliputi biologi, psikologi dan sosialbudaya yang terdiri dari karakteristik klien, yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, status ekononi, dan lama mengalami sakit. Sedangkan stimulus residual adalah faktor lingkungan lain yang mungkin membawa pengaruh pada kondisi klien tapi sulit untuk diukur. Stimulus residual pada klien RPK menurut
Townsend
(2009)
diantaranya
kepercayaan,
pengalaman,
pengetahuan, sikap, atau ancaman yang mempengaruhi perilaku klien. 2.3
Komponen Output Sistem Asuhan Keperawatan Pada komponen output merupakan hasil dari pelaksanaan terapi yang diberikan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan. Dengan pemberian asuhan keperawatan melalui pendekatan model Adaptasi Roy dan Model Adaptasi Stuart menunjukkan terjadinya penurunan tanda dan gejala dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi stimulus yang berdampak negatif pada diri klien, orang lain dan lingkungan. Tujuan pemberian cognitive Behaviour Therapy dan Assertive Therapy adalah untuk meningkatkan kemampuan klien dalam berperilaku adaptif
dalam
menghadapi stimulus. Dengan pemberian Assertive Therapy diharapkan klien mampu mengungkapkan kebutuhan, menolak permintaan dan mengekspresikan perasaan positif dan negatif secara terbuka, jujur, langsung dan sesuai dengan pemahaman. Individu menggunakan respon asertif mempertahankan haknya dan respek terhadap hak dan harkat orang lain (Fortinash, 2004). Dan dengan pemberian terapi CBT dapat membantu klien dalam pengaturan kembali komponen kognitif terhadap perilaku kekerasan. Pengaturan kembali goal,set, choice akan menghasilkan perilaku yang adaptif.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
40
BAB 3 MANAJEMEN PELAYANAN KEPERAWATAN DI RS.MARZOEKI MAHDI BOGOR
Manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien risiko perilaku kekerasan ini dilakukan pada tanggal 18 Februari – 18 April 2014 di Ruang Gatot Kaca RSMM Bogor. Berikut akan di uraikan mengenai gambaran umum RSMM Bogor, ruangan Gatot Kaca dan manajemen ruangan tempat praktik klinik keperawatan jiwa III. 3.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Rumah Sakit Dr.H Marzoeki Mahdi merupakan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) pertama di Indonesia. Didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda mendirikan rumah sakit jiwa Bogor secara resmi pada tanggal 1 Juli 1882. Pada tahun 2001 sesuai dengan visi rumah sakit sebagai model kemandirian dan perkembangan zaman serta adanya peningkatan pengetahuan di bidang keperawatan, dan tahun 2009 berganti nama menjadi RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. RS Dr. H. Marzoeki Mahdi bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) telah mengembangkan bentuk pelayanan keperawatan profesional yang dikenal dengan Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP).
Struktur organisasi RS Dr. H. Marzoeki Mahdi berdasarkan pada keputusan Menteri Kesehatan RI ditetapkan menjadi 15 UPT Depkes dengan menerapkan PPK-BLU berdasarkan SK Menkes No. 756/Menkes/SK/VI/2007 tanggal 26 Juni 2007 dan berubah status menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Struktur organisasni terdiri dari Direktur Utama yang membawahi 3 Direktorat yaitu Medik dan Keperawatan, SDM dan Pendidikan, Keuangan dan Administrasi Umum. Selain itu terdapat Dewan Pengawas, Komite Medik yang membawahi staf medik fungsional, Komite Etik dan Hukum, serta Satuan Pemeriksaan Intern.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
41
Visi dari rumah sakit ini adalah “Terwujudnya Rumah Sakit mandiri melalui profesionalisme dan pelayanan yang bermutu
dengan mengutamakan
kepuasan pelanggan dan terjangkau oleh rakyat miskin”. Misi antara lain 1). Melaksanakan pelayanan dengan unggulan kesehatan jiwa dan NAPZA, 2) Memberdayakan seluruh potensi yang ada di rumah sakit, 3) Mengembangkan pelayanan kesehatan jiwa menjadi pusat rujukan nasional, 4) Mengembangkan pendidikan kesehatan dan penelitian serta kemitraan yang seluas-luasnya, 5) Mencapai kesejahteraan bersama. Tujuan: 1) Tercapainya jasa layanan kesehatan jiwa dengan kualitas prima, 2) Tercapainya produk unggulan dalam bidang kesehatan jiwa, 3) Tersedianya sumber daya manusia bidang kesehatan jiwa yang professional dan kemitraan. Budaya Organisasi: 1) Belajar dan berkembang profesionalisme, 2) Bekerja seimbang kebersamaan, 3) Saling menghargai, 4) Melayani dengan baik dan tulus, 5) Motivasi dan kemitraan.
Jenis pelayanan kesehatan yang tersedia di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi yaitu: 1) Pelayanan kesehatan jiwa: Pelayanan Gawat Darurat Psikiatri, Pelayanan Rawat Jalan Psikiatri, Pelayanan Rawat Inap Psikiatri, 2) Pelayanan NAPZA: Rawat Jalan, Rawat Jalan Spesialistik, Detoksifikasi, Rawap Inap, Gawat Darurat, 3) Pelayanan umum, 4) Pelayanan Penunjang, 5) Pelayanan Hotline Service, 6) Bagian Pendidikan dan Penelitian. Fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia meliputi layanan kesehatan umum, pelayanan gawat darurat umum dan psikiatri, pelayanan Rawat Inap Psikiatri. RSMM juga menyediakan 1 ruangan khusus untuk pelayanan yang mengintegrasikan masalah kesehatan fisik dengan kebutuhan psikososial klien. Ruangan ini dibangun berdasarkan konsep Consultation Laisson Mental Health Nursing (CLMHN). Ruangan yang diberi nama Consultation Laisson Psychiatric (CLP) direncanakan akan dibuka untuk umum April 2013.
Ruang rawat inap psikiatri terdiri dari: Ruang Akut (Ruang Kresna Pria dan Wanita), ruang Intermediate (Ruang Gatot kaca, Utari), Ruang Rehabilitasi : Ruang Bratasena, Antareja, Arimbi, Nakula, Drupadi, Yudistira, ruang khusus Anak dan Remaja (Dewi Amba), Mental Organik (Ruang Abimanyu), dan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
42
Psikogeriatrik (Ruang Saraswati). Ruang psikiatri lain yang dapat menerima klien langsung dari IGD atau Poli Psikiatri adalah ruang Sadewa dan Srikandi.
3.2 Gambaran Pengembangan Manajemen Keperawatan Jiwa Profesional (MPKP) RSMM Bogor Pengembangan manajemen keperawatan di RSMM Bogor merupakan langkah strategik dalam pencapaian visi RSMM pda tahun 2001, yakni profesionalisme dan layanan bermutu. Pengembangan ini selanjutnya dikenal sebagai Manajemen Keperawatan Jiwa Profesional (MPKP). Langkah selanjutnya adalah kerjasama dengan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) dalam pengembangan secara operasional. MPKP pertama kali diterapkan di tiga ruang perawatan yaitu Srikandi, Kresna dan Sadewa. Berdasarkan informasi yang diperoleh terjadi peningkatan mutu setelah MPKP diterapkan. Hal ini dapat dilihat dari BOR sebesar 65-80% dan AvLOS sebesar 25 hari. Angka BOR berada pada rata-rata nasional dengan nilai AvLOS lebih rendah dari standar nasional, hal ini menunjukkan angka yang ditampilkan di ruang MPKP RSMM lebih baik dari standar nasional. Berdasarkan hasil tersebut sejak awal tahun 2006 kerja sama antara FIK-UI dan
RSMM
dilanjutkan
dengan
menempatkan
mahasiswa
magister
keperawatan Jiwa di ruang rawat inap RSMM. Kerja sama antara FIK-UI dan RSMM dilanjutkan dengan menempatkan mahasiswa magister keperawatan jiwa di ruang rawat inap RSMM, dengan tujuan menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa di 4 ruang fisik dan 13 ruang psikiatri. Selain itu mahasiswa juga ditempatkan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Psikiatri, dan Poli Jiwa dengan tujuan pencapaian kompetensi dalam menangani kasus gangguan jiwa akut dengan tujuan mengenalkan dan menerapkan MPKP baik untuk manajemen pelayanan keperawatan maupun manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa dan perkembangan MPKP pada tahun 2013 ini yaitu 4 ruangan fisik, 14 ruangan psikiatri, dan IGD telah melaksanakan MPKP.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
43
Penerapan manajemen pelayanan yang dikembangkan bertujuan untuk menunjang pemberian pelayanan keperawatan yang paripurna, khususnya keperawatan jiwa. Sehingga berdampak pada peningkatan mutu asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa. Semua ruangan psikiatri di RSMM telah menerapkan MPKP, sehingga secara umum kegiatan MPKP sudah membudaya di setiap ruangan. Untuk pemberian asuhan keperawatan, telah terintegrasi antara pemberian terapi generalis dan terapi spesialis keperawatan jiwa. 3.3 Model Praktik Keperawatan Profesional di Ruang Gatotkaca Ruang Gatot Kaca merupakan ruang intermediate psikiatri, kelas III laki-laki yang melayani klien umum. Rata-rata lama rawat klien diruang ini adalah sekitar 7-14 hari. Fasilitas pelayanan yang tersedia diantaranya adalah kantor perawatan, ruang diskusi dan ruang TAK yang merangkap ruang makan, ruang perawatan klien dengan kapasitas 35 tempat tidur, 2 kamar isolasi, kantor perawat, taman, kamar mandi, tempat cuci piring dan gudang. Tenaga kesehatan yang bertanggung jawab atas pemberian pelayanan di Ruang Gatot Kaca adalah 18 orang perawat (2 orang pendidikan S1 Keperawatan, 2 orang pendidikan Ners Keperawatan, 1 orang pendidikan S1 Kesmas, dan 13 orang pendidikan D3), 2 orang pramu husada, 1 orang psikiater, 1 orang psikolog dan 1 orang dokter umum. Pelaksanaan MPKP sejak tahun 2006 sd sekarang dan berada pada level MPKP I (basic). Sudah semua tenaga perawat mengikuti pelatihan MPKP (100%). Indikator mutu pelayanan di Ruang Gatot Kaca pada bulan Maret 2014 yaitu BOR sebesar 89,14 %, ALOS 7,73 hari, TOI 1,25 hari. Masalah keperawatan pada bulan Maret 2014 sesuai dengan urutannya adalah halusinasi 24,53 %, resiko perilaku kekerasan 17,45 %, isolasi sosial 22,41 %, Defisit perawatan diri 14,86%, Harga diri rendah 18,63 %, Waham 1,89 % dan risiko bunuh diri 0,24%. Diagnosa medis terbesar adalah skizofrenia paranoid yaitu sebesar 97,8 %, skizoprenia dan epilepsi sebesar 2,2%. Pelaksanaan manajemen kasus spesialis merupakan bagian dari manajemen pelayanan yang telah di terapkan di ruang Gatotkaca selama ini. Manajemen
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
44
pelayanan
yang
dikembangkan
adalah
pengembangan
ruang
rawat
menggunakan model praktik keperawatan profesional. Model Praktik keperawatan profesional dirancang berdasarkan empat pilar profesional yaitu pendekatan manajemen, sistem kompensasi dan penghargaan, hubungan profesional, dan sistem pemberian asuhan keperawatan (Keliat & Akemat, 2010). Metode penugasan yang diterapkan di ruang MPKP adalah metode penugasan metode tim. Tenaga keperawatan yang ada di ruangan terdiri dari Kepala Ruangan, katim, dan perawat pelaksana dengan latar pendidikan S1 Keperawatan dan D3 Keperawatan.
Pilar pendekatan manajemen berisi kegiatan manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. Fungsi perencanaan terdiri dari kegiatan penentuan visi, misi, filosofi dan pembuatan rencana jangka pendek (tahunan, bulanan, dan harian). Fungsi pengorganisasian terdiri dari kegiatan pembuatan struktur organisasi dan pembagian alokasi klien. Fungsi pengarahan terdiri dari kegiatan operan, pre dan post conference, supervisi, pendelegasian, dan penciptaan iklim motivasi. Fungsi pengarahan terdiri dari kegiatan penghitungan indikator mutu, survei diagnosa medis dan keperawatan, survei kepuasan, dan audit dokumentasi.
Pilar kompensasi dan penghargaan mengatur tentang mekanisme pemberian reward terhadap kinerja staf ruang MPKP. Pilar ini terdiri dari dua kegiatan yaitu penilaian kinerja dan pengembangan staf. Pilar hubungan profesional mengatur tentang bagaimana pola hubungan antar tenaga kesehatan baik antar sesama perawat maupun dengan tenga kesehatan lain. Kegiatan yang tercakup dalam pilar ini adalah rapat tim kesehatan, rapat tim keperawatan, case conference, dan kolaborasi saat visit dokter.
Pilar sistem pemberian asuhan keperawatan mengatur tentang kompetensi yang harus dimiliki perawat ruang MPKP dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dan keluarganya. Kegiatan yang tercakup dalam pilar ini adalah pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga dengan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
45
diagnosa halusinasi, risiko perilaku kekerasan diri, harga diri rendah, isolasi sosial, defisit perawatan diri, waham dan risiko bunuh diri.
Berdasarkan uraian diatas diketahui bahwa jumlah kegiatan MPKP adalah 32 kegiatan. Ke-32 kegiatan ini harus dikuasai oleh kepala ruangan. Kegiatan yang menjadi kompetensi ketua tim berjumlah 19 kegiatan, yaitu pembuatan rencana bulanan dan harian, alokasi klien, pre dan post conference, supervisi, iklim motivasi, pendelegasian, penilaian kinerja, kolaborasi saat visit dokter, case conference dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga pada tujuh diagnosa keperawatan yang sudah ditetapkan. Kegiatan yang menjadi kompetensi perawat pelaksana berjumlah 8 kegiatan yaitu pembuatan rencana kerja harian dan pemberian asuhan keperawatan pada klien dan keluarga pada tujuh diagnosa keperawatan. Pelaksanaan kegiatan MPKP yang dilakukan oleh perawat diruang Gatot Kaca baik itu yang dilakukan oleh kepala ruangan dan ketua Tim telah dilakukan pembudayaan terhadap 32 kemampuan kepala ruangan dan 19 kemampuan ketua Tim. Hasil pelaksanaan tersebut dapat dilihat pada tabel 3.1
Tabel 3.1 Pelaksanaan Manajemen Pelayanan MPKP Ruang Gatot Kaca Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, April 2014
No
Kegiatan
1
Visi
Hasil Res 3 (Februari - April 2014) Ka Ru Katim 1 Katim 2 SE EK SE EK SE EK Management Approach Perencanaan 100 100
2
Misi
100
100
√
3
Filosofi
100
100
√
Pembudayaan
4
Rencana Harian
100
Rencana Bulanan
100
100
Rencana Tahunan
100
100
100
OD
√
RTL
Pembudayaan Pembudayaan
100
90
75
90
√
Pembudayaan
75
100
75
90
√
Pembudayaan
√
Pembudayaan
100
Pengorganisasian
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
46
1
Struktur organisasi
2
Daftar Dinas
3
Daftar Alokasi Pasien
100 100 100
100 100 100
100
100
100
100
100
100
√
Pembudayaan
100
100
√
Pembudayaan
√
Pembudayaan
Pengarahan 100
1
Operan
100
2
Pre conference
100
100
3
Post conference
100
100
4
Iklim motivasi
100
100
5
Pendelegasian
100
6
Supervisi
100
100
85
100
85
100
100
100
100
100
100
75
85
Pembudayaan
75
80
√
Pembudayaan
75
80
√
Pembudayaan
75
90
√
Pembudayaan
100
100
√
Pembudayaan
75
90
√
Pembudayaan
Pengendalian 1
Indikator Mutu
100
100
√
Pembudayaan
2
Audit Dokumentasi
75
90
√
Pembudayaan
3
Survey Kepuasan
100
100
√
Pembudayaan
4
Survey Masalah Keperawatan
100
100
√
Pembudayaan
√
Pembudayaan
1
Penilaian Kinerja
2
Pengembangan Staf
Compensatory Reward 75 100 100 100 100
75
85
Pembudayaan
100
Professional Relatioship 1
Rapat Keperawatan
100
100
2
Case Conference
100
100
3
Rapat Tim Kesehatan
75
90
4
Visite Dokter
100
100
75
100
90
100
75
90
100
100
Pembudayaan
√
Pembudayaan
√
Pembudayaan
√
Pembudayaan
Patient Care Delivery 1
Harga diri rendah
100
100
100
85
100
100
2
Risiko perilaku kekerasan
100
100
100
85
100
100
3
Isolasi sosial
100
100
100
85
100
100
4
GSP: Halusinasi
100
100
100
100
100
100
5
GPP: Waham
100
100
75
90
75
90
6
Risiko bunuh diri
100
100
75
80
75
80
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Pembudayaan Pembudayaan Pembudayaan Pembudayaan Pembudayaan Pembudayaan
Universitas Indonesia
47
7
Defisit perawatan diri
100
100
32 dari 32 kemampuan
Kemampuan
100
100
19 dari 19 kemampuan
100
100
Pembudayaan
19 dari 19 kemampuan
Berdasarkan hasil praktik klinik keperawatan jiwa 3 di ruang Gatotkaca. Diketahui bahwa kepala ruangan Gatotkaca sudah mempunyai 32 kemampuan melaksanakan kegiatan MPKP, ketua tim 19 kegiatan, dan perawat pelaksana 9 kegiatan. Pelaksanaan MPKP khususnya pilar pemberian asuhan keperawatan sangat berkaitan dengan pelaksanaan manajemen kasus spesialis yang dilakukan oleh residen.
Perawat
ruang
Gatotkaca
sudah
mempunyai
kemampuan
dalam
memberikan asuhan keperawatan pada tujuh diagnosa keperawatan jiwa. Asuhan keperawatan klien risiko perilaku kekerasansudah pernah dilakukan supervisi insidentil karena selama praktik klinik keperawatan jiwa III terjadi peningkatan klien risiko bunuh diri, sehingga perlu dilakukan supervisi insidental untuk kasus tersebut, dan juga telah dilakukan penyegaran untuk asuhan keperawatan pada klien dengan risiko bunuh diri. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perawat ruang Gatotkaca mempunyai kemampuan yang baik dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa, khususnya untuk klien dengan risiko perilaku kekerasan.
Ruang Gatotkaca memberikan asuhan keperawatan tidak hanya pada klien namun juga pada keluarga baik secara individu maupun kelompok. Pemberian asuhan keperawatan untuk kelompok klien, diberikan dalam bentuk terapi aktivitas kelompok (TAK). Ruang Gatotkaca mengadakan terapi aktivitas kelompok sebanyak satu kali sehari. Terapi aktivitas kelompok dipimpin oleh perawat ruang Gatotkaca secara bergantian. Jenis TAK yang dilakukan adalah sosialisasi, stimulasi persepsi, orientasi realita, dan stimulasi sensori. Pencatatan pelaksanaan kegiatan dan pencapaian klien TAK dicatat dalam buku laporan TAK.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
48
3.4 Penatalaksanaan Masalah Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatotkaca 3.4.1
Penatalaksanaan Keperawatan Kondisi klien dengan risiko perilaku kekerasan di ruangan Gatot Kaca pada umumnya sudah mengalami penurunan tanda dan gejala kekerasan. Penatalaksanaan manajemen marah sudah dilakukan di ruang Kresna. Klien yang dipindahkan ke ruang Gatot Kaca sudah diajarkan cara mengontrol marah dengan cara fisik (tarik nafas dalam dan pukul bantal). Strategi preventif, antisipasi dan manajemen krisis sesuai Stuart (2009) dilakukan di ruang ini. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain seperti dokter atau psikolog dilakukan dalam pemberian terapi psikofarmaka
(pilar
ke-3).
Kesinambungan
akan
tindakan
keperawatan dilakukan melalui operan, pre dan post conference (pilar ke-1) serta untuk menjamin pelayanan tetap baik dan bermutu maka dilakukan evaluasi mutu serta pemberian reward (pilar ke-2). Penatalaksanaan keperawatan masalah resiko perilaku kekerasan di ruangan Gatotkaca, menggunakan pendekatan proses keperawatan, mulai dengan kegiatan pengkajian tanda dan gejala klien dengan menggunakan format pengkajian keperawatan yang telah tersedia di ruangan, perumusan diagnosis keperawatan, perencanaan berdasarkan standar asuhan keperawatan untuk masalah resiko perilaku kekerasan yang telah tersedia di ruangan, implementasi dan evaluasi yang dilanjutkan dengan pendokumentasian tindakan dan kemampuan klien dan keluarga pada catatan perkembangan klien. Tindakan preventif dan antisipasi perilaku kekerasan sudah dilakukan dengan baik. Perawat menggunakan komunikasi asertif untuk meningkatkan kesadaran diri, pendidikan kesehatan , baik terintegrasi dalam terapi generalis dan TAK Stimulasi Persepsi untuk klien Perilaku Kekerasan. Strategi lingkungan belum dapat dilakukan secara maksimal, terkait dengan faktor lain yng tidak bisa dikontrol, yakni
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
49
saat mahasiswa/praktikan dari beberapa instansi keperawatan dan profesi lain melakukan praktik secara bersamaan dan dalam jumlah yang besar. Lingkungan berubah menjadi padat, ribut, dan tidak adanya privasi di ruang perawatan dan ruangan lain sehingga tidak kondusif untuk proses terapi. Perawat melakukan pengaturan terhadap jadual interaksi oleh perawat dan pengaturan ulang terhadap jadwal klien/ruangan serta tidak memaksakan suatu kegiatan pada klien dan lain-lain. 3.4.2
Penatalaksanaan Medis Penanganan medis klien dengan masalah risiko perilaku kekerasan di ruangan Gatotkaca diberikan berdasarkan diagnosis medis klien. Pemberian terapi medis risiko perilaku kekerasan pada umumnya masih menggunakan antipsikotik generasi pertama (APG 1) sesuai dengan
standar
pengobatan
dari
pembiayaan
pemerintah
(Jamkesda/Jamkesmas). Klien perilaku kekerasan juga mendapat antipsikotik generasi kedua (APG 2) sesuai dengan kondisi penyakit. Obat antipsikotik generasi pertama (APG 1) merupakan obat yang paling sering digunakan.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
50
BAB IV MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA KLIEN DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN DI RUANG GATOT KACA
Bab ini akan menjelaskan tentang pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan dan manajemen pelayanan keperawatan pada klien risiko perilaku kekerasan dengan pemberian Cognitive Behaviour Therapy dan Assertiveness Therapy dengan menggunakan pendekatan teori Adaptasi Roy diruang Gatot Kaca RSMM Bogor. Pelaksanaan asuhan keperawatan dimulai dari pengkajian karakteristik, faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping dan mekanisme koping. 4.1 Pengkajian 4.1.1 Karakteristik Pasien Ruang gatot kaca merupakan ruang intermediette laki-laki. Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan mulai tanggal 17 Februari-18 April diruang gatot kaca pada 18 klien yang mengalami Risiko prilaku kekerasan. Karakteristik klien dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan pada tabel 4.1 Tabel 4.1 Distribusi karakteristik pasien diruang Gatot Kaca RSMM (n=18) No 1
2 3
4
Karakteristik Usia 18-24 tahun 25-60 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Pendidikan SD Menengah (SMP-SMA) Perguruan Tinggi Pekerjaan Bekerja
Jumlah
Presentase (%)
5 13
27,8 72,2
18
100
4 13 1
22,2 72,2 5,6
5
27,8
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
51
5
Tidak Bekerja Status Perkawinan Menikah Belum Menikah Duda
13
72,2
5 9 4
27,8 50 22,2
4.1.2 Faktor Predisposisi Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan sumber daya seseorang yang dapat digunakan dalam menangani stres (Stuart, 2013). Faktor predisposisi meliputi biologi, psikologis dan sosialkultural. Pada klien dengan risiko perilaku kekerasan, faktor predisposisi
terjadinya
masalah
risiko
perilaku
kekerasan
dapat
diidentifikasi berdasarkan tiga komponen tersebut (Stuart, 2013). Secara rinci faktor predisposisi dapat dilihat pada tabel 4.2 Tabel 4.2 Distribusi Faktor Predisposisi Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan Di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari-18 April 2014 (n=18) No Faktor Predisposisi Jumlah Presentase (%) 1
2
3
Biologi Faktor Herediter Riwayat gangguan jiwa sebelumnya Riwayat penggunaan Napza Psikologi Kepribadian Tertutup Riwayat Kegagalan/Kehilangan Pengalaman yang tidak menyenangkan Sosial Kultural Pendidikan Rendah Status ekonomi rendah Masalah Pekerjaan PHK Tidak punya pekerjaan
6 9
33,3 50
5
27,8
13
72,2
18
100
13
72,2
7 11
38,9 61,1
8 13
44,4 72,2
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa faktor predisposisi biologi terbanyak klien risiko perilaku kekerasan adalah riwayat gangguan jiwa sebelumnya
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
52
sebanyak
9
orang
(50%).
Pada
aspek
psikologis
yaitu
riwayat
kehilangan/kegagalan sebanyak 18 orang (100%). Sedangkan aspek sosialkultural yaitu tidak punya pekerjaan sebanyak 13 orang (72,2%).
4.1.3 Faktor Presipitasi Stresor presipitasi adalah stimulus yang berupa tantangan, ancaman/ tuntutan yang datang pada seseorang. Faktor presipitasi terdiri dari empat komponen yaitu sifat stresor (biologis, psikologis dan sosialkultural), asal stresor (eksternal dan internal), waktu (lamanya stresor yang dialami) dan jumlah stresor yang dihadapi klien dengan risiko perilaku kekerasan. Faktor presipitasi dapat dilihat pada tabel 4.3 Tabel 4.3 Distribusi Faktor Presipitasi Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=18) No
Faktor Presipitasi
Jumlah
Presentase (%)
1
2
3
4
5
6
Biologis Putus Obat Obat tidak efektif Psikologis Keinginan yang tidak terpenuhi Kehilangan orang yang berarti Putus Cinta Sosial Kultural Masalah ekonomi Masalah Pekerjaan Konflik Keluarga Asal stressor Internal Eksternal Waktu stresor Kurang dari 6 bulan Lebih dari 6 bulan Jumlah stresor 1-2 stresor >2stresor
15 3
83,3 16,7
18
100
10
55,6
6
33,3
9 13 6
50 72,2 33,3
18 12
100 66,7
18 6
100 33,3
2 16
11,1 88,9
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
53
Berdasarkan tabel 4.3 diatas
dapat dijelaskan bahwa faktor presipitasi
biologis adalah putus obat 15 klien (83,3%). Penyebab klien putus obat adalah karena klien tidak mau minum obat setelah dirumah dan merasa sudah sembuh serta tidak mau kontrol ulang. Faktor psikologis penyebabnya adalah keinginan yang tidak terpenuhi (100%), kehilangan orang yang berarti (55,5%) dan putus cinta (33,3%). Sedangkan pada stresor sosialkutural, sebagian besar penyebabnya adalah masalah pekerjaan 72,2%, masalah ekonomi 50% dan konflik keluarga 33,3%. Waktu stresor terbanyak yaitu kurang dari 6 bulan yaitu sebanyak 18 orang (100%). Jumlah stresor terbanyak yaitu lebih dari 2 stresor yaitu sebanyak 16 orang (88,9%).
4.1.4 Penilaian terhadap stresor Penilaian terhadap stresor meliputi penentuan makna dan pemahaman terhadap situasi yang penuh stres pada seseorang. Penilaian stresor meliputi kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan respon sosial. Dapat dilihat pada tabel 4.4 Tabel 4.4 Distribusi Penilaian Stresor klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=18) No
Respon terhadap stresor
Jumlah
Presentase (%)
1
2
Kognitif a. Tidak mampu mengontrol PK b. Punya pikiran negatif menghadapi stresor c. Mendominasi pembicaraan d. Meremehkan keputusan e. Flight of idea f. Menyalahkan orang lain Afektif a. Afek labil b. Marah
dalam
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
12
66,7
14
77,8
6 6 2 12
33,3 33,3 11,1 66,7
4 18
22,2 100
Universitas Indonesia
54
3
4
5
c. Kecewa/kesal d. Curiga e. Mudah tersinggung f. Frustasi g. Merasa tidak aman dan nyaman h. Merasa Jengkel i. Dendam j. Ingin memukul orang lain Fisiologis a. Muka merah b. Pandangan tajam c. Mengatup rahang dengan kuat d. Mengepalkan tangan e. Tekanan darah meningkat f. Tonus otot meningkat g. Mual h. Wajah tegang i. Kewaspadaan meningkat Perilaku a. Mondar-mandir b. Melempar/memukul benda/orang lain c. Merusak barang d. Agresif e. Sinis f. Perilaku verbal ingin memukul g. Memberontak h. Nada suara keras Sosial a. Bicara kasar b. Suara tinggi, menjerit, berteriak c. Mengancam secara verbal atau fisik d. Pengasingan e. Penolakan f. Ejekan g. Menertawakan h. Menarik diri
16 14 12 4 8 8 4 8
88,9 77,8 66,7 22,2 44,4 44,4 22,2 44,4
8 8 3 9 4 6 5 10 10
44,4 44,4 16,7 50 22,2 33,3 27,8 55,6 55,6
5 16
27,8 88,9
16 12 4 12 6 8
88,9 66,7 22,2 66,7 33,3 44,4
13 6 5 14 14 8 8 15
72,2 33,3 27,8 77,8 77,8 44,4 44,4 83,3
Tabel 4.4 dijelaskan bahwa sebagian besar klien dengan risiko perilaku kekerasan memiliki respon kognitif punya pikiran negatif dalam menghadapi stresor sebanyak 14 orang (77,8%). Respon afektif klien risiko perilaku kekerasan merasa kecewa/kesal sebanyak 18 orang (100%). Respon fisiologis klien ririko perilaku kekerasan yaitu wajah tampak tegang dan kewaspadaan meningkat sebanyak 10 orang (55,6%). Respon perilaku klien ririko perilaku kekerasan yaitu melempar dan merusak
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
55
barang sebanyak 16 orang
(88,9%) dan respon sosial yaitu dengan
menarik diri sebanyak 15 orang (83,3%).
4.1.5 Diagnosa Keperawatan dan Diagnosa Medis 4.1.5.1 Diagnosa Keperawatan Klien yang diberikan asuhan keperawatan oleh penulis tidak hanya memiliki diagnosa risiko perilaku kekerasan saja tetapi memiliki diagnosis keperawatan penyerta aeperti terlihat pada tabel 4.5 Tabel 4.5 Distribusi Diagnosa Keperawatan yang menyertai pada klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=18) Diagnosa Keperawatan
Risiko Perilaku Kekerasan
Diagnosa Penyerta
Jumlah
Persentase (%)
Halusinasi Pendengaran
16
88,9
Harga Diri Rendah
8
44,4
Defisit perawatan diri
8
44,4
Isolasi Sosial
12
66,7
Penatalaksanaan Regimen
13
72,2
8
44,4
Terapeutik Ineffektif Koping Keluarga Ineffektif
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa klien yang dirawat dengan risiko perilaku kekekrasan memiliki diagnosa penyerta yaitu halusinasi pendengaran 16 orang (88,9%), harga diri rendah 8 orang (44,4%), defisit perawatan diri 8 orang (44,4%), isolasi sosial 12 orang (66,7%), PRTI 13 orang (72,2%),KKIE 8 orang (44,4%).
4.1.5.2 Diagnosa Medis dan Terapi Medis Berikut dipaparkan diagnosis medis pada klien risiko perilaku kekerasan di Ruang Gatot Kaca Bogor pada tabel 4.6
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
56
Tabel 4.6 Distribusi Diagnosa Medis dan Terapi Psikofarmaka pada klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=18) No
Aspek Medis
1.
Diagnosa Medis - Skizofrenia paranoid - Psikotik Akut Terapi Medis - Anti Psikotik Tipikal - Antipsikotik Atipikal
2.
n (18)
Persentase (%)
16 2
88,9 11,1
13 5
72,2 27,8
Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan data bahwa sebagian besar klien memiliki diagnosa
medis
skizofrenia
paranoid
(88,9%).
Pemberian
terapi
psikofarmaka jenis anti psikotik tipikal terbanyak adalah chlorpromazine dengan dosis 100 mg (1 tablet perhari), triheksipenidil 2 mg (3 tablet perhari) dan haloperidol 5 mg (2-3 tablet perhari).
4.1.6 Sumber Koping Sumber koping adalah pilihan atau strategi yang dapat membantu untuk memutuskan apa yang terbaik dilakukan. Menurut Stuart (2013) sumber koping yang dimiliki individu terdiri dari kemampuan individu (personal ability), dukungan sosial (Social Support),
material asset dan positive
believe seperti yang terlihat pada tabel 4.7 Tabel 4.7 Distribusi Sumber Koping Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=18) No 1
Sumber Koping Kemampuan personal Tidak tahu cara mengatasi risiko perilaku kekerasan Tahu cara mengatasi risiko perilaku kekerasan
Jumlah
Presentase (%)
10
55,6
8
44,4
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
57
2
3
4
Dukungan Sosial a. Dukungan Keluarga Keluarga tidak mengenal masalah risiko perilaku kekerasan Keluarga tidak mampu merawat klien risiko perilaku kekerasan b. Dukungan Kelompok Tidak ada c. Dukungan Masyarakat Tidak Ada Ketersediaan Aset a. Pembayaran 1) BPJS 2) Pribadi b. Jangkauan ke puskesmas/RS 1) Jauh 2) Dekat Keyakinan Positif 1) Yakin akan sembuh 2) Tidak yakin akan sembuh 3) Yakin dengan pelayanan kesehatan
15
83,3
15
83,3
18 18
100 100
16 2
88,9 11,1
4 14
22,2 77,8
18 0 18
100 0 100
Berdasarkan tabel 4.7 sebagian klien risiko perilaku kekerasan tahu cara mengatasi masalah risiko perilaku kekerasan yaitu 10 orang (55,6%). Sebagian besar keluarga klien tidak mengenal masalah risiko perilaku kekerasan dan tidak mampu merawat risiko perilaku kekerasan yaitu 15 orang (83,3%). Klien tidak mendapat dukungan dari masyarakat dan dukungan kelompok. Sebagian besar jaminan kesehatan yang digunakan klien adalah BPJS. Sumber pelayanan kesehatan rata-rata dekat dari tempat tinggal klien (88,9%). 18 orang klien memiliki keyakinan untuk sembuh dan yakin dengan pelayanan kesehatan yang dijalani.
4.1.7 Mekanisme Koping Mekanisme koping adalah segala upaya yang diarahkan pada manajemen stres. (Tabel 4.8)
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
58
Tabel 4.8 Distribusi Mekanisme Koping Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=18) No
Koping Mekanisme
Jumlah Persentase
1.
Diam/memendam masalah
13
72,2
2.
Merokok berlebihan
6
33,3
3.
Marah-marah
9
50
4.
Menceritakan kepada orang lain
4
22,2
Mekanisme koping yang digunakan klien dengan risiko perilaku kekerasan sebagian besar memilih untuk diam/memendam masalah sebesar 72,2% yaitu sebanyak 13 orang.
4.2 Perencanaan 4.2.1 Rencana Tindakan Rencana tindakan mengacu pada SAK, terapi spesialis yang diberikan pada klien adalah CBT dan AT. Pemberian asuhan keperawatan pada klien dengan risiko perilaku kekerasan dilakukan berdasar upaya pencegahan dan pengelolaan perilaku agresif pada klien dengan ririko perilaku kekerasan dimana berada pada rentang strategi pencegahan, strategi antisipasi dan strategi pembatasan (Stuart, 2013). Perencanaan asuhan keperawatan dapat dilihat pada Tabel 4.9.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
59
Tabel 4.9 Perencanaan Penatalaksanaan pada Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=18) Strategi Pencegahan
Strategi
Strategi
Antisipasi
Pembatasan
Th/Generalis
Th/Spesialis
Th/Spesialis
Manajemen Krisis
Terapi Generalis
Assertive
Cognitive
1. Restrain
Trainning
Behaviour
2. Seclusion
Therapy
4.2.2 Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan yang diberikan meliputi terapi generalis dan terapi spesialis yang dilakukan oleh mahasiswa dan bekerjasama dengan Tim Kesehatan di Ruang Gatot Kaca RSMM Bogor. (Tabel 4.10) Tabel 4.10 Distribusi Pelaksanaan Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Gatotkaca RS.Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=18) No 1 2
Terapi Keperawatan Terapi Generalis Terapi Spesialis a. Cognitive Behaviour Therapy & Assertive Training b. Assertive Training
Terapi generalis dilakukan kepada
Jumlah 18 8 10
18 klien, terapi generalis rata-rata
dilakukan sebanyak 3-4 kali. Tindakan keperawatan yang dilakukan berupa mengevaluasi kemampuan yang telah dimiliki klien untuk mengontrol rasa marahnya dan melatih kemampuan yang belum dimilki untuk mengontrol perilaku kekerasan (cara fisik, verbal, sosial, spiritual dan patuh minum obat). Tindakan generalis sebagian besar juga dilakukan oleh perawat ruangan dan mahasiswa praktik yang lain.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
60
Terapi spesialis merupakan terapi lanjutan, diberikan terhadap 18 klien, yaitu: Assertive training (AT) diberikan pada 10 orang klien. Assertive training diberikan pada klien yang menunjukkan perilaku marah namun tidak dapat mengontrol marah tersebut namun tidak menimbulkan perilaku yang dapat membahayakan diri sendiri,orang lain dan lingkungan. Terapi AT rata-rata diberikan dalam 5-6 kali pertemuan. Keterampilan yang dilatih kepada klien dalam pelaksanaan assertive trainning khususnya dengan masalah
risiko
perilaku
kekerasan
yaitu
melatih
kemampuan
mengungkapkan marah secara langsung dan secara asetif kepada orang lain, mengekspresikan sesuatu secara tepat, menyampaikan kebutuhan dan keinginan. Setelah mengikuti assertive trainning, klien menunjukkan peningkatan kemampuan dalam hal berperilaku secara asertif terutama dalam hal mengekspresikan kebutuhan atau keinginan baik secara verbal maupun non verbal. Cognitive Behavior Therapy dan Assertive training diberikan terhadap 8 klien dengan frekuensi interaksi rata-rata 7-8 kali. Cognitive Behavior Therapy dan Assertive training ini diberikan pada klien yang memiliki pikiran negatif yang dapat memunculkan perilaku negatif yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Tujuan dari pelaksanaan terapi ini adalah merubah pikiran maupun perilaku negatif yang ada dalam diri klien untuk dirubah menjadi hal positif yang bersifat adaptif. Setelah dilakukan terapi kognitif perilaku klien banyak mengalami perubahan khususnya dalam respon kognitif, perilaku dan sosialnya. 4.2.3 Evaluasi Hasil Setelah Pemberian asuhan keperawatan maka dilakukan pengukuran terhadap tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kuesioner penilaian risiko perilaku kekerasan yang dimodifikasi berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya. Alat ukur ini digunakan pada saat sebelum dilakukan pemberian Cognitive Behavior Therapy dan Assertive training dan setelah pemberian terapi selesai. Evaluasi hasil kemampuan klien setelah diberikan tindakan keperawatan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
61
adalah dengan membandingkan kondisi sebelum dan setelah mendapatkan tindakan keperawatan. (Tabel 4.11) Tabel 4.11 Distribusi Evaluasi Respon Terhadap Stresor Klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan sebelum dan sesudah Pemberian Cognitive Behavior Therapy dan Assertive training di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=18) Respon
AT & CBT (n=8)
AT (10)
Pre
Post
Selisih
Pre
Post
Selisih
Kognitif
3,75
1,86
1,89
2,8
1,5
1,3
Afektif
5,5
3
2,5
5,5
3,2
2,3
Fisiologis
3,63
0,63
3
3,4
2
1,4
Perilaku
5
2
3
3,9
1,9
2
Sosial
4,88
2,5
2,38
4,3
2,8
1,5
Berdasarkan tabel 4.11 menunjukkan bahwa terdapat penurunan tanda dan gejala RPK setelah dilakukan pemberian terapi CBT dan AT pada respon kognitif sebesar 1,89 poin, pada respon afektif sebesar 2,5 poin, respon fisiologis sebesar 3 poin, respon perilaku sebesar 3 poin dan respon sosial sebesar 2,38 poin. Pada klien yang mendapatkan terapi AT juga terjadi penurunan tanda dan gejala RPK dimana pada respon kognitif terjadi penurunan sebesar 1,3 poin, pada respon afektif sebesar 2,3 poin, pada respon fisiologis sebesar 1,4 poin, pada respon perilaku sebesar 2 poin dan respon sosial sebesar 1,5 poin.
Kemampuan klien dalam latihan asertif dievaluasi dengan menggunakan alat ukur pada tiap-tiap sesi terapi. Alat ukur ini mengacu pada penelitian Alini (2011). Kemampuan klien dalam latihan CBT juga dilakukan dengan menggunakan alat ukur pada tiap-tiap sesi terapi CBT. Berikut kemampuan klien RPK setelah mendapatkan terapi AT dan CBT. Total kemampuan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
62
untuk CBT adalah 23 kemampuan. Total kemampuan AT adalah 26 kemampuan. (Tabel 4.12)
Tabel 4.12 Distribusi Evaluasi Kemampuan CBT dan AT pada pasien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=8) AT
CBT
Nama Pasien Tn.1
I
∑
II
∑
III
∑
IV
∑
V
∑
I
∑
II
∑
III
∑
IV
∑
V
∑
3
3
4
4
8
9
4
4
5
6
3
3
3
3
3
3
2
3
7
10
Tn.2
3
3
4
4
8
9
3
4
6
6
3
3
3
3
3
3
3
3
10
10
Tn.3
3
3
4
4
8
9
3
4
5
6
1
3
2
3
2
3
3
3
9
10
Tn.4
2
3
3
4
6
9
4
4
6
6
3
3
1
3
2
3
2
3
8
10
Tn.5
3
3
4
4
7
9
2
4
5
6
3
3
3
3
3
3
3
3
9
10
Tn.6
3
3
4
4
7
9
4
4
6
6
2
3
2
3
3
3
3
3
10
10
Tn.7
3
3
3
4
7
9
4
4
6
6
3
3
3
3
2
3
3
3
10
10
Tn.8
3
3
3
4
6
9
2
4
4
6
3
3
3
3
1
3
2
3
4
10
Berdasarkan Tabel 4.12 terlihat bahwa terjadi peningkatan kemampuan dalam mengatasi tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan setelah diberi CBT dan AT pada masing-masing klien meskipun peningkatannya tidak maksimal. Tabel 4.13 Distribusi Evaluasi Kemampuan AT pada pasien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca RS. Marzoeki Mahdi Bogor 17 Februari – 18 April 2014 (n=10) Nama Pasien
AT I
∑
II
∑
III
∑
IV
∑
V
∑
Tn.1
3
3
4
4
8
9
4
4
5
6
Tn.2
3
3
4
4
8
9
3
4
6
6
Tn.3
3
3
4
4
8
9
3
4
5
6
Tn.4
3
3
3
4
6
9
4
4
4
6
Tn.5
3
3
4
4
7
9
2
4
5
6
Tn.6
3
3
4
4
7
9
4
4
6
6
Tn.7
3
3
3
4
7
9
4
4
6
6
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
63
Tn.8
3
3
3
4
6
9
2
4
3
6
Tn.9
2
3
4
4
7
9
4
4
5
6
Tn.10
2
3
4
4
8
9
4
4
5
6
Berdasarkan Tabel 4.13 terlihat bahwa terjadi peningkatan kemampuan dalam mengatasi tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan setelah diberi terapi asertif pada masing-masing klien meskipun peningkatannya tidak maksimal. 4.3 Kendala Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Kendala yang ditemukan saat pelaksanaan terapi adalah kondisi klien yang mudah berubah dengan waktu yang tidak bisa ditenukan/tiba-tiba sehingga dalam pelaksanaan terapi disesuaikan dengan kesiapan klien sehingga perlu dilakukan kontrak ulang. Tingkat kemampuan klien yang berbeda-beda menjadikan pelaksanaan terapi tidak bisa berjalan sama. Hambatan lain kondisi ruangan sering tidak kondusif saat melakukan terapi, hal ini disebabkan karena jumlah praktikan yang banyak dan sering berinteraksi dengan klien dan klien merasa jenuh jika harus berinteraksi lagi. Selain itu belum adanya ruangan khusus yang dapat digunakan untuk perawat saat melakukan terapi, idelanya pelaksanaan terapi membutuhkan privacy agar klien dapat secara terbuka mengungkapkan masalahnya.
4.4 Rencana Tindak Lanjut Rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan pada klien adalah dengan mengevaluasi kegiatan yang sudah dilakukan dan dijadualkan dengan difasilitasi
oleh
perawat
diruangan.
Kemudian
melakukan
asuhan
berkesinambungan dimana saat klien dipindahkan keruang tenang, perawat yang ada diruangan menyampaikan kemampuan apa saja yang sudah dimiliki klien sehingga tidak terjadi pengulangan dalam pemberian tindakan keperawatan saat diruang tenang. Untuk keluarga diharapkan sebagai support system bagi klien agar rutin mengunjungi klien.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
64
BAB 5 PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dijeaskan tentang pembahasan dari hasil pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan spesialis pada klien dengan risiko perilaku kekerasan di Ruang Gatot Kaca RSMM Bogor. Penjelasan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan ini dimulai dengan pendekatan model Stress Adaptation Stuart tahun 2013 dan model Stress Adaptation Roy.
5.1. Karakteristik Klien Risiko Perilaku Kekerasan di Ruang Gatot Kaca Hasil pengkajian karakteristik pada klien risiko perilaku kekerasan meliputi Usia, Pendidikan, Jenis Kelamin, Status perkawinan 5.1.1 Usia Hasil pengkajian usia terbanyak klien risiko perilaku kekerasan pada rentang usia 25-60 tahun. Penelitian Pardede (2013) usia rata-rata klien skizoprenia adalah 35 tahun dimana usia termuda 19 tahun dan usia tertua 58 tahun. Penelitian Sudiatmika (2011) pada klien skizofrenia di RS Marzoeki Mahdi Bogor rata-rata usianya adalah 32 tahun dengan usia termuda 18 tahun dan usia tertua 55 tahun. Penelitian klien skizofrenia juga dilakukan oleh Lelono (2011) di RS marzoeki Mahdi dengan rata-rata usia klien 31 tahun dengan usia termuda 18 tahun dan usia tertua 51 tahun. Sama juga seperti penelitian yang dilakukan oleh Sulistiowati (2012) pada klien skizofrenia di RS Marzoeki Mahdi dengan 60 responden bahwa usia ratarata 30 tahun dengan usia termuda 19 tahun dan usia tertua 45 tahun. Berdasarkan pemaparan tentang usia klien skizofrenia di atas bisa disimpulkan usia rata-rata yang menjadi responden adalah usia dewasa muda dan usia pertengahan dimana sesuai dengan pendapat Stuart (2009) yang menyatakan usia merupakan aspek sosial budaya terjadinya gangguan jiwa dengan risiko frekuensi tertinggi pada usia 25-44 tahun
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
65
5.1.2 Jenis Kelamin Jenis kelamin yang teridentifikasi diruangan Gatot Kaca adalah 100% lakilaki dengan risiko perilaku kekerasan. Ruangan yang dilakukan intervensi untuk pengambilan data adalah ruang intermediete laki-laki. Penelitian yang dilakukan Abel, Drake dan Goldstein (2010) menunjukkan bahwa laki-laki cendrung menunjukkan gejala negatif dari skizofrenia daripada wanita dimana perbedaan dicerminkan dari proses perkembangan saraf dan dampak hubungan sosial. Penelitian yang dilakukan Holey (2010) menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita skizofrenia akan mengalami hubungan interpersonal yang lebih buruk yang ditandai dengan fungsi sosial yang buruk dibanding perempuan yang mengalami skizofrenia. Shives (2012) menyatakan bahwa skizofrenia biasanya muncul lebih awal pada laki-laki dibanding wanita. Pendapat yang sama disampaikan oleh Townsend (2014) bahwa gejala skizoprenia muncul lebih awal pada pria dibanding wanita.
5.1.3 Pendidikan Klien yang dirawat dengan masalah Risiko perilaku kekerasan di ruang Gatot Kaca mayoritas berpendidikan menengah (SMP-SMA) yaitu 72,2%. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hastuti (2013) dimana didapatkan hasil
bahwa
klien
yang
melakukan
tindakan
perilaku
kekerasan
berpendidikan menengah sebanyak 46,5%. Penemuan ini berbeda dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Keliat (2003) dimana bahwa klien yang melakukan tindakan perilaku kekerasan biasanya berpendidikan rendah. Sedangkan penelitian yang dilakukan Pasaribu (2013) dimana 53,84% klien yang dirawat diruang Gatot Kaca yang melakukan tindakan perilaku kekerasan berpendidikan tinggi. Stuart (2013) menjelaskan bahwa strategi koping sangat berhubungan dengan fungsi kognitif. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara berfikir, menganalisa suatu masalah, membuat keputusan dan memecahkan masalah, serta mempengaruhi cara penilaian klien terhadap stresor. Pendidikan yang tinggi mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi tingkat pengetahuan
seseorang
dalam
pembentukan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
perilaku
kesehatan
Universitas Indonesia
66
(Notoatmojo,2010). Perilaku tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan tapi juga diperoleh dari proses belajar dari lingkungan (Hambali & Jaenudin, 2013). Semakin tinggi tingkat pendidikan akan berbanding lurus dengan keterampilan koping yang dimiliki. Stuart & Laraia (2005) menyatakan bahwa pendidikan merupakan salah satu tolak ukur dalam membina hubungan sosial dengan orang lain sehingga semakin tinggi pendidikan maka akan semakin baik strategi koping yang digunakan.
5.1.4 Pekerjaan Pada tulisan ini sebagian besar klien dengan risiko perilaku kekerasan tidak bekerja (72,2%). Townsend (2013) mengatakan bahwa perilaku kekerasan dikaitkan dengan masalah status sosial. Status sosial ekonomi rendah lebih berpotensi mengalami gangguan jiwa dibanding tingkat ekonomi yang tinggi termasuk skizoprenia. hal ini didukung oleh penelitian Sudiatmika (2011) pada klien skizoprenia yang tidak bekerja sebanyak 53,3%. Penelitian Lelono (2011) dalam penelitiannya pada klien skizoprenia yang tidak bekerja sebanyak 51,7%. Keliat (2003) menyatakan bahwa perilaku kekerasan dapat dipengaruhi oleh status klien yang tidak memiliki pekerjaan. Keberhasilan dalam pekerjaan merupakan hal penting bagi kehidupan pria dan wanita dimasa dewasa. Keberhasilan tidak hanya dari segi ekonomi tapi juga hubungan pertemanan, kehidupan sosial dan penghargaan terhadap rekan kerja. Individu yang tidak berhasil dalam mempertahankan pekerjaan dapat menimbulkan stres. (Potter, P.A & Perry, A.D. (2010).
5.1.5 Status Perkawinan Berdasarkan hasil pengkajian, klien yang mengalami gangguan jiwa berada pada usia dewasa. Menurut tahap perkembangan Erikson, pada usia dewasa tahapan yang harus dicapai adalah menjalin hubungan intim dengan lwan jenis dalam ikatan pernikahan. Stuart (2013) menyatakan bahwa faktor predisposisi
terjadinya
perilaku
kekerasan
salah
satunya
adalah
ketidakmampuan mencintai sehingga klien yang bercerai atau tidak punya
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
67
pasangan beresiko mengalami gangguan jiwa. Dari data pengkajian, sebanyak 9 orang (50%) klien dengan risiko perilaku kekerasan belum menikah. Penelitian Pasaribu (2013) sebesar 69,23% dan penelitian Hastuti (2013) sebesar 53,3% klien risiko perilaku kekerasan memiliki status perkawinan belum menikah.
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa
angka kejadian perilaku kekerasan pada klien skizoprenia ditemukan pada klien yang belum menikah (Bobes, Fillat, Arango (2009); Belli dan Ural, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan Choi dan Marks (2011) menunjukkan bahwa individu yang sudah menikah memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibanding individu yang belum menikah. Dikaitkan dengan tahap tumbuh kembang diusia dewasa, pada usia ini individu membangun identitas dirinya,memperdalam rasa kasih sayang dan peduli terhadap orang lain. mereka mencari arti hubungan pertemanan dan mempererat hubungan dengan orang lain. jika seorang dewasa tidak dapat membangun hubungan pertemanan dan keakraban akan terjadi pemisahan karena mereka takut ditolak dan kecewa (Berger, 2005 dalam Potter, P.A & Perry, A.D. (2010). Erickson (1969, dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) mengatakan bahwa seseorang dikatakan berada dalam dewasa awal berada dalam hubungan hangat, dekat dan komunikatif dengan atau tanpa melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam bentuk keintiman/intimasi maka ia akan mengalami apa yang disebut isolasi (merasa tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan orang lain). Dapat disimpulkan bahwa risiko perilaku kekerasan dapat muncul pada klien yang belum mencapai tahap perkembangan di usia muda dimana klien belum memiliki pasangan hidup dan belum menikah.
5.2. Hasil Pengkajian Kondisi dengan Risiko Perilaku Kekerasan Hasil pengkajian pada klien dengan risiko perilaku kekerasan terdiri dari faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping dan mekanisme koping.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
68
5.2.1 Faktor Predisposisi Roy mengatakan stimulus yang dialami seseorang dapat berasal dari eksternal maupun internal. Menurut Stuart (2013) pengalaman masa lalu memiliki makna dan pengaruh tersendiri bagi setiap individu. Faktor predisposisi merupakan bagian dari stimulus kontekstual dalam teori Adaptasi Roy. Faktor predisposisi meliputi biologi, psikologi dan sosiokultural.
Hasil pengkajian faktor predisposisi pada klien dengan risiko perilaku kekerasan di ruang Gatot Kaca didapatkan riwayat gangguan jiwa sebelumnya. Hal ini sesuai dengan hasil pengkajian yang dilakukan Walter (2011) dimana pada klien isolasi sosial diruang yudistira ditemukan 77,1% klien memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya. Penelitian lain menunjukkan bahwa pasien dengan riwayat gangguan jiwa, riwayat trauma, pengalaman yang tidak menyenangkan dan tidak adanya dukungan sosial merupakan faktor risiko terjadinya gangguan jiwa (Brewin et al, 2000 dalam NCCMH, 2005). Faktor biologis klien gangguan jiwa penting untuk diketahui terkait dengan terapi psikofarmaka yang akan diberikan.
Faktor
biologis
terkait
dengan
struktur
dan
fungsi
otak
serta
neurotransmiter, selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor genetik. Pada pengkajian ini faktor genetik menjadi faktor predisposisi pada 6 orang klien atau sebesar 33,3%. Menurut Townsend (2013) faktor genetik biasanya ditemukan pada individu yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Faktor biologis lain adalah penggunaan Napza, hasil pengkajian menunjukkan bahwa sebanyak 27,8% yaitu 5 orang klien memiliki riwayat penggunaan napza.
Faktor predisposisi terkait psikologis ditemukan sebanyak 18 klien (100%) pernah mengalami kegagalan/kehilangan. Stuart (2013) mengatakan bahwa faktor psikologis yang meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, pengalaman masa lalu, koping dan keterampilan komunikasi
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
69
secara verbal mempengaruhi perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.
Pengalaman masa lalu berupa kegagalan/kehilangan akan
mempengaruhi respon individu dalam mengatasi stresornya.
Faktor predisposisi terkait sosialkultural dimana ditemukan pada 13 klien (72,2%) tidak bekerja. Townsend (2013) mengatakan bahwa perilaku kekerasan dikaitkan dengan masalah status sosial. Status sosial ekonomi rendah lebih berpotensi mengalami gangguan jiwa dibanding tingkat ekonomi yang tinggi termasuk skizoprenia. hal ini didukung oleh penelitian Sudiatmika (2011) pada klien skizoprenia yang tidak bekerja sebanyak 53,3%. Keliat (2003) menyatakan bahwa perilaku kekerasan dapat dipengaruhi oleh status klien yang tidak memiliki pekerjaan. Faktor predisposisi terkait sosialkultural lain adalah pendidikan yang rendah, status ekonmi yang rendah dan kasus PHK.
5.2.2 Faktor Presipitasi Faktor presipitasi terkait dengan stimulus yang dipersepsikan individu sebagai suatu kesempatan, tantangan, ancaman/tuntutan. Stimulus tersebut dapat menguras energi, menyebabkan stres dan tekanan (Cohen, 2000 dalam Stuart, 2013). Sedangkan menurut Roy stimulus fokal yaitu semua stimulus yang ada pada saat itu yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal. Faktor presipitasi dapat berupa elemen yang sama dengan faktor predisposisi yaitu meliputi biologi, psikologi dan sosiokultural namun faktor presipitasi memiliki kejelasan yang meliputi empat hal yaitu sifat stresor, asal stresor, lamanya stresor yang dialami, dan banyaknya stresor yang dihadapi oleh seseorang (Stuart, 2013).
Pada hasil pengkajian yang dilakukan pada klien diruang Gatot Kaca ditemukan Faktor presipitasi terbanyak yang menyebabkan timbulnya gangguan jiwa adalah putus obat (83,3%), Keinginan yang tidak terpenuhi (100%), dan masalah pekerjaan (72,2%). Penelitian sebelumnya Pasaribu (2013) dan
Hastuti (2013) juga didapatkan hal yang sama yaitu klien
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
70
mengalami perilaku kekerasan karena putus obat. Klien mengalami putus obat disebabkan oleh beberapa hal seperti klien merasa sudah sembuh, adanya rasa jenuh, adanya kebosanan atau klien merasa ngantuk
jika
minum obat. Varcarolis (2010) juga memaparkan bahwa pemicu klien menghentikan pengobatan secara sepihak karena klien merasa tidak nyaman dan tidak dapat bertoleransi terhadap efek samping dari obat yang dikonsumsinya. Kebanyakkan klien yang dirawat diruang Gatot Kaca mengalami gangguan diakibatkan adanya stresor yang berasal dari luar. Stresor tidak hanya bersumber dari eksternal tetapi juga dari internal klien. Stresor muncul kurang dari 6 bulan dan jumlahnya lebih dari 2 stresor.
Faktor presipitasi dapat dikatakan sebagai stimulus fokal. Konsep Roy menekankan pada proses manusia dalam beradaptasi dengan stimulus yang ada. Stimulus yang ada akan mempengaruhi invidivu sehingga akan membuat mekanisme koping bekerja yang nantinya akan mempengaruhi mode adaptif individu tersebut. perilaku yang muncul adalah hasil proses mekanisme koping terhadap model adaptif yang terganggu akibat stimulus yang muncul. Perilaku kekerasan adalah perilaku yang muncul saat individu menghadapi stimulus dan perilaku kekerasan tersebut bersifat maladaptif atau inefektif sehingga perlu diarahkan untuk menjadi perilaku adaptif. Faktor presipitasi dapat menjadi stimulus pencetus munculnya perilaku kekerasan. 5.2.3 Penilaian Stresor Penilaian terhadap stresor merupakan suatu proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap stresor dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya (Stuart, 2013). Respon Kognitif pada klien dengan risiko perilaku kekerasan yaitu punya pikiran negatif dalam menghadapi stresor sebanyak 14 orang (77,8%). Penderita skizofrenia terdapat penurunan fungsi kognitif dan yang sering ditemukan adalah gangguan memori dan fungsi eksekutif lainnya
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
71
(Sinaga, 2007). Gangguan memori yang paling sering terjadi adalah gangguan memori segera dan memori jangka panjang dan fungsi eksekutif yang terganggu adalah kemampuan berbahasa, memecahkan masalah, mengambil keputusan, atensi dan perencanaan. Respon afektif klien risiko perilaku kekerasan merasa kecewa/kesal sebanyak 18 orang (100%). Sinaga (2007) menjelaskan bahwa respon afektif berhubungan dengan rendahnya metabolisme glukosa di area brodman 22 (korteks bahasa, asosiatif, sensori). Menurut stuart (2013) respon afektif yang muncul perasaan tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel, merasa ingin berkelahi, mengamuk, bermusuhan, sakit hati, menyalahkan, menuntut, mudah tersinggung, euporia yang berlebihan atau tidak tepat, dan afek labil,
iritabilitas, depresi, apatis (Boyd & Nihart,
2002).
Respon fisiologis klien risiko perilaku kekerasan yaitu wajah tampak tegang dan kewaspadaan meningkat sebanyak 10 orang (55,6%). Respon fisiologis pada perilaku kekerasan timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom bereaksi terhadap sekresi epinefrin sehingga tekanan darah meningkat, takikardi (frekuensi denyut jantung meningkat), wajah memerah, pupil membengkak, frekuensi pembuangan urin meningkat. Peningkatan denyut jantung, mempersiapkan orang untuk bergerak, dan peningkatan aliran darah ke tangan, menyiapkan mereka untuk menyerang (Novaco, 2010). Keringat meningkat (terutama ketika kemarahan itu intens), Sekresi oleh adrenal medula dari katekolamin, epinefrin, dan norepinefrin dan oleh glukokortikoid korteks adrenal memberikan sistem simpatik efek yang memobilisasi tubuh untuk tindakan segera. Menurut Stuart (2013), Perilaku kekerasan dapat dilihat dari wajah tegang, tidak bisa diam, mengepalkan atau memukulkan tangan, rahang mengencang, peningkatan pernafasan, dan kadang tiba-tiba seperti kataton.
Respon perilaku klien risiko perilaku kekerasan yaitu melempar dan merusak barang sebanyak 16 orang (88,9%). Sering mondar-mandir, tidak
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
72
mampu untuk duduk tenang, tangan mengepal, menghentikan aktivitas motorik dengan tiba-tiba, kata-kata menekan, suara keras, memerintah (Stuart, 2009). Respon sosial yaitu dengan menarik diri sebanyak 15 orang (83,3%). Klien dengan risiko perilaku kekerasan cenderung menyalahkan orang lain, membicarakan kesalahan orang lain, mengejek, berkata kasar dan menolak hubungan dengan orang lain, melanggar batas jarak personal saat berinteraksi (Rawlins, Williams & Beck, 1998), kekerasan verbal terhadap orang lain berupa kata-kata kasar, nada suara tinggi dan bermusuhan (Morison, 1993). Ancaman yang ditujukan pada objek nyata atau imajiner, menimbulkan gangguan untuk menarik perhatian, suara keras, kata-kata menekan (Stuart, 2013). 5 .2.4 Sumber Koping Sumber koping adalah pilihan atau strategi yang dapat membantu untuk memutuskan apa yang terbaik dilakukan. Menurut Stuart (2013) sumber koping yang dimiliki individu dalam menghadapi depresi yang dialami terdiri dari kemampuan individu (personal ability), dukungan sosial (Social Support), material asset dan positive believe. Dari
hasil
pengkajian,
sebagian klien risiko perilaku kekerasan tahu cara mengatasi masalah risiko perilaku kekerasan yaitu 10 orang (55,6%). Sebagian besar keluarga klien tidak mengenal masalah risiko perilaku kekerasan dan tidak mampu merawat risiko perilaku kekerasan yaitu 15 orang (83,3%). Klien tidak mendapat dukungan dari masyarakat dan dukungan kelompok. Sebagian besar jaminan kesehatan yang digunakan klien adalah BPJS. Dukungan finansial merupakan salah satu penyangga terhadap efek dari stres dimana dengan mempunyai dukungan finansial yang kuat dapat meningkatkan kemampuan koping klien dan keluarga meliputi harga diri dan efikasi diri (Boen, Dalgard, Bjertnerss, 2012). Sumber pelayanan kesehatan rata-rata dekat dari tempat tinggal klien (88,9%). 18 orang klien memiliki keyakinan untuk sembuh dan yakin dengan pelayanan kesehatan yang dijalani.
Peningkatan kemampuan personal terutama dalam menghadapi masalah dan dampaknya akan mempengaruhi mekanisme koping pasien. pengetahuan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
73
dan intelegensia memungkinkan individu untuk melihat cara yang berbeda dalam menghadapi situasi sulit. Dukungan sosial menjadi penting keberadaannya bagi pasien dalam menghadapi masalah. Tanpa adanya dukungan sosial yang cukup, pengetahuan dan kemampuan hanya akan menjadi sia-sia karena mengalami hambatan dalam mengaplikasikannya. Dukungan sosial dapat diberikan oleh pasangan, keluarga, lingkungan dan masyarakat sekitar.
Keluarga berperan sebagai pemberi motivasi, pengawas, sumber ekonomi dan lainnya. Adanya dukungan sosial akan meningkatkan motivasi pasien untuk meningkatkan status kesehatannya. Kepemilikan jaminan kesehatan, sumber rujukan dan pelayanan kesehatan dimasyarakan serta sumber keuangan merupakan aset materi yang dimiliki oleh pasien untuk meningkatkan kemampuan dalam menghadapi masalah. Sedangkan Keyakinan diri yang positif dapat meningkatkan harapan sehingga mempengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi masalah bahkan dalam situasi yang membingungkan.
5.2.5 Mekanisme Koping Mekanisme koping adalah segala upaya yang diarahkan pada manajemen stres. Hasil yang didapat pada klien yang dirawat di Gatot Kaca, mekanisme koping yang paling banyak digunakan adalah mekanisme koping destruktif yaitu diam/memendam masalah sebesar 72,2 %. Stuart (2013) mengatakan pengabaian atau berdiam diri terhadap masalah yang dihadapi adalah mekanisme koping yang berfokus pada kognitif dimana berusaha mengatasi masalah dengan cara meredam permasalahan yang sedang dihadapi. Roy mengatakan mekanisme koping yang diterapkan bertujuan untuk mencapai model adaptif. Ada dua mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator. Kedua mekanisme koping ini bertindak untuk mencapai mode adaptif. Regulator merupakan mekanisme koping yang berespon terhadap system saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey & Alligood, 2010). Sedangkan kognator merupakan mekanisme koping yang berespon terhadap jalur
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
74
pikiran dan emosi, meliputi proses persepsi-informasi, proses belajar, pengambilan keputusan, dan emosi (Fitzpatrick & Whall, 1989). Mekanisme koping regulator lebih cenderung untuk masalah fisik atau mekanisme tubuh, sedangkan kognator lebih cenderung kearah pikiran dan emosi. Hasil akhir dari proses adaptasi berupa respon adaptif, namun jika perilaku yang ditampilkan individu tidak menggambarkan integritas maka akan berubah menjadi respon yang inefektif (Robinson & Kish, 2001). Pemberian tindakan keperawatan CBT dan AT bertujuan untuk membangun mekanisme koping yang bertujuan untuk mengubah perilaku yang inefektif menjadi adaptif ketika individu dihadapkan pada stimulus.
5.2.6 Diagnosa Medis Hasil Pengkajian didapatkan data bahwa sebagian besar klien memiliki diagnosa medis skizoprenia paranoid (88,9%). Kaplan dan Saddock (2007) mengatakan bahwa jenis skizofrenia yang paling sering melakukan perilaku kekerasan adalah skizofrenia paranoid.
5.3. Penerapan Terapi pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan dengan Pendekatan Model Adaptation Roy Penatalaksanaan keperawatan dalam mengatasi resiko perilaku kekerasan dengan menggunakan CBT dan AT dilakukan dengan pendekatan model Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy. Konsep utama model Roy adalah adaptasi. Roy mengungkapkan adaptasi merupakan proses dan hasil dari berpikir dan berperasaan manusia sebagai individu atau kelompok yang menggunakan kesadarannya untuk berintegrasi dengan lingkungan (Roy, 2009).
Roy juga menjelaskan ada dua bentuk .mekanisme koping, yaitu
regulator dan kognator. Selain mekanisme koping, Roy juga menjelaskan tentang empat model adaptif pada individu, yakni model fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi. Hasil akhir dari proses adaptasi berupa respon adaptif, namun jika perilaku yang ditampilkan individu tidak menggambarkan integritas maka akan berubah menjadi respon yang inefektif (Robinson & Kish, 2001).
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
75
Model adaptasi Roy digambarkan sebagai suatu model yang terdiri atas input, proses kontrol, efektor dan output. Input pada manusia berupa stimulusstimulus yang diterima baik yang berasal dari lingkungan luar atau dari dirinya sendiri. Stimulus tersebut meliputi stimulus internal yang merupakan tingkat adaptasi individu dan menggambarkan rentang stimulus yang bisa ditoleransi oleh individu (Fitzpatrick & Whall, 1989). Stimulus yang masuk melaui input selanjutnya akan diproses melalui proses kontrol.
Proses kontrol dari manusia adalah mekanisme koping. Ada dua mekanisme koping, yaitu regulator dan kognator. Kedua mekanisme koping ini bertindak untuk mencapai mode adaptif. Regulator merupakan mekanisme koping yang berespon terhadap system saraf, kimiawi, dan endokrin (Tomey & Alligood, 2010). Sedangkan kognator merupakan mekanisme koping yang berespon terhadap jalur pikiran dan emosi, meliputi proses persepsi-informasi, proses belajar, pengambilan keputusan, dan emosi (Fitzpatrick & Whall, 1989). Mekanisme koping regulator lebih cenderung untuk masalah fisik atau mekanisme tubuh, sedangkan kognator lebih cenderung kearah pikiran dan emosi.
Mekanisme koping yang diterapkan bertujuan untuk mencapai model adaptif, yang telah disebutkan sebelumnya. Keempat model ini ditentukan dengan menganalisa dan mengelompokkan perilaku klien, digambarkan sebagai suatu system yang berinteraksi dengan regulator dan kognator, sehingga perilaku yang dihasilkan dari aktivitas regulator dan kognator ini bisa diamati dalam keempat model adaptif tersebut (Fitzpatrick & Whall, 1989). Stimulus yang ada akan mempengaruhi invidivu sehingga akan membuat mekanisme koping bekerja (regulator dan kognator) yang nantinya akan mempengaruhi mode adaptif individu tersebut. Perilaku yang muncul adalah hasil proses mekanisme koping terhadap model adaptif yang terganggu akibat stimulus yang muncul.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
76
Efektor dalam model Roy ini terbagi atas empat model adaptif yaitu model fisiologis, yaitu berkaitan dengan proses fisik dan kimiawi meliputi fungsi dan aktivitas makhluk hidup. Ada lima kebutuhan yang teridentifikasi pada model ini, yaitu oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan tidur, dan perlindungan. Kebutuhan dasar dari model ini adalah tercapainya integritas fisiologis (Tomey & Alligood, 2010). Berdasarkan model fisiologis ini, semua hal yang berkaitan dengan masalah mekanisme kerja tubuh untuk mencapai suatu kondisi yang berdaptasi. Model selanjutnya adalah konsep diri, yang merupakan salah satu model psikososial. Model ini focus pada psikososial dan spiritual makhluk hidup. Kebutuhan dasar dari moel ini adalah bagaimana individu untuk menjadi sesuatu atau bermakna dengan perasaan kesatuan, bermakna dan berguna bagi lingkungan. Konsep diri merupakan gabungan dari keyakinan dan perasaan tentang dirinya yang terbentuk dari persepsi internal dan persepsi dari luar dirinya sendiri (Tomey & Alligood, 2010). Model konsep diri ini adalah merupakan bagaimana persepsi diri individu tentang dirinya dan apa arti dan manfaat individu untuk orang lain dan lingkungan.
Model yang ketiga adalah model fungsi peran, yaitu model sosial yang berfokus pada peran individu di masyarakat. Peran yang merupakan pengharapan tentang bagaimana individu menjalankan posisinya. Peran yang ditampilkan individu bersupa peran primer, sekunder dan tersier. Peran primer merupakan perilaku utama yang dipakai oleh individu selama periode tertentu, berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tahap perkembangan. Peran sekunder meliputi semua asumsi individu untuk memenuhi tugas yang berkaitan dengan tahap perkembangan dan peran primer. Sedangkan peran tersier berkaitan dengan peran sekunder dan menggambarkan bagaimana inividu memenuhi peran yang mereka jalani. Peran tersier ini menetap secara alami, bebas dipilih oleh individu, dan meliputi aktivitas seperti klub atau hobi (Tomey & Alligood, 2010). Model peran ini adalah peran yang disandang oleh individu dalam kehidupannya, dimana individu tidak hanya menyandang satu peran
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
77
tapi banyak peran baik untuk diri sendiri atau di komunitas dimana mereka berada.
Model
yang
terakhir
adalah
model
interdependensi
atau
saling
ketergantungan. Model ini berfokus pada hubungan dekat dari seseorang. Hubungan saling ketergantungan meliputi keinginan dan kemampuan untuk memberi dan menerima dari orang lain meliputi semua aspek yang ditawarkan. Ada dua hubungan yang fokus pada model ini, yaitu interdependensi dengan orang lain yang berarti, dan interdependensi dengan support system (Tomey & Alligood, 2010). Model interdependensi adalah menggambarkan keterkaitan individu dengan orang lain dan support system dimana akan ada proses memberi dan menerima dengan orang lain dan lingkungan.
Setelah input, proses kontrol yang melibatkan mekanisme koping regulator dan kognator, kemudian dilanjutkan dengan efektor. Efektor akan melihat model adaptasi mana yang terganggu, bisa satu model ata beberapa model bisa terganggu pada satu kesempatan. Hasilnya akan terlihat di output. Pada output akan terlihat respon adaptif jika individu mampu mengatasi stimulus yang ada dan respon inefektif jika individu tidak mampu berespon terhadap stimulus dengan kemampuan yang dimilikinya (Fitzpatrick & Whall, 1989). Jika yang muncul adalah respon yang tidak efektif ini akan membuat siklus terulang kembali, respon inefektif tersebut menjadi stimulus dan proses terjadi kembali sampai pada output.
Roy juga menjelaskan ada empat elemen penting yang masuk dalam teori adaptasi,
yaitu
individu,
lingkungan,
kesehatan
dan
keperawatan.
Keperawatan terdiri atas dua kegiatan yaitu tujuan keperawatan dan aktivitas keperawatan. Roy mendefenisikan keperawatan secara umum sebagai professional kesehatan yang berfokus pada proses dan pola kehidupan manusia, menekankan pada promosi kesehatan untuk individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sebagai satu kesatuan (Tomey & Alligood, 2010).
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
78
Aplikasi model adaptasi Roy pada asuhan keperawatan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan ini akan dijelaskan dengan memasukkan variablevariabel yang berkontribusi terhadap timbulnya resiko perilaku kekerasan kedalam model adaptasi Roy. Respon resiko perilaku kekerasan berdasarkan model adaptasi Roy dapat disebabkan oleh tiga stimulus yang muncul dalam kehidupan individu yaitu stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Stimulus fokal adalah segala sesuatu atau stresor yang datang dari luar atau dari dalam individu yang akan mencetuskan terjadinya resiko perilaku kekerasan, diantaranya stresor biologis, psikologis maupun sosial kultural. Stimulus fokal pada tulisan ini adalah respon-respon yang muncul pada klien RPK seperti: respon kognitif, afektif, perilaku, dan respon sosial.
Stimulus kontekstual adalah stimulus yang berasal dari internal atau eksternal yang mempengaruhi stimulus fokal. Stimulus kontekstual pada klien RPK meliputi karakteristik klien, yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, status ekononi, dan lama mengalami sakit. Sedangkan stimulus residual adalah faktor lingkungan lain yang mungkin membawa pengaruh pada kondisi klien tapi sulit untuk diukur. Stimulus residual pada klien RPK menurut Townsend (2014) diantaranya kepercayaan, pengalaman, pengetahuan, sikap, atau ancaman yang mempengaruhi perilaku klien.
5.4. Efektivitas Penerapan AT dan CBT pada klien Risiko Perilaku Kekerasan Pemberian CBT dan AT pada klien dengan Risiko Perilaku Kekerasan diharapkan dapat membuat klien mampu bertahan dengan perilaku adaptif saat menghadapi stimulus yang muncul. Hasil evaluasi menunjukkan CBT dan AT memberikan dampak yang efektif dalam menurunkan tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan. CBT adalah
intervensi terapeutik yang
bertujuan untuk mengurangi tingkah laku mengganggu dan maladaptif dengan mengembangkan proses kognitif. CBT bertujuan untuk menciptakan ketrampilan yang memungkinkan individu untuk meningkatkan kesadaran
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
79
akan pikiran dan perasaannya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran dan perilaku mempengaruhi perasaan dan meningkatkan kemampuan untuk merubah pikiran dan perilaku maladaptif (Cully & Teten, 2008).
Pola pikir dan perasaan yang negatif dapat mempengaruhi perilaku klien. pada sesi satu CBT klien Klien akan menceritakan tentang pikiran, perasaan dan perilaku negatif yang dialami. Pikiran negatif biasa dianggap sebagai pikiran yang nyata. Pikiran otomatis muncul pada situasi tertentu dan muncul lebih cepat dibandingkan dengan munculnya pikiran positif terhadap diri. Hasil identifikasi pikiran otomatis kemudian di informasikan dan dijelaskan proses terjadinya pikiran tersebut kepada pasien untuk meningkatkan kesadaran akan gangguan kognitif yang terjadi. Kemudian klien diminta untuk memilih pikiran negatif yang dirasa paling sering muncul dan sangat mempengaruhi perasaan klien. Pada sesi dua, klien dilatih untuk melawan pikiran otomatis yang muncul dengan menggantikan pikiran tersebut dengan pikiran yang rasional. Pada sesi ketiga, klien diminta untuk menerima perilaku baru yang lebih adaptif dan perawat membantu memfasilitasi klien dalam melatih perilaku baru yang akan diubah. Disesi keempat, perawat mengevaluasi perkembangan dan perilaku positif dengan mengevaluasi kemampuan klien dalam menyebutkan manfaat dan hasil dari melawan pikiran negatif. Kemudian sesi kelima memberikan penjelasan tentang pentingnya psikofarmaka dan terapi modalitas untuk mencegah kekambuhan dan mempertahankan serta membudayakan pikiran dan perilaku yang baru.
Pada terapi asertif pada sesi satu bantu klien melatih kemampuan mengungkapkan
pikiran
dan
perasaan
pada
kondisi
yang
tidak
menyenangkan. Pada sesi dua bantu klien untuk mampu mengungkapkan keinginan
dan
kebutuhan.
Pada
sesi
ketiga
bantu
klien
melatih
mengekspresikan kemarahan. Pada sesi keempat bantu klien latihan mengatakan “tidak” untuk permintaan yang tidak rasional. Dan pada sesi kelima bantu klien
mempertahankan perubahan asertif dalam berbagai
situasi.
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
80
Dengan pemberian tindakan keperawatan CBT dan AT mampu meningkatkan kemampuan klien dalam mengatasi tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan. Hal ini dilihat dari hasil evaluasi dimana terdapat penurunan tanda dan gejala RPK setelah dilakukan pemberian terapi CBT dan AT pada respon kognitif sebesar 1,89 poin, pada respon afektif sebesar 2,5 poin, respon fisiologis sebesar 3 poin, respon perilaku sebesar 3 poin dan respon sosial sebesar 2,38 poin. Pada klien yang mendapatkan terapi AT juga terjadi penurunan tanda dan gejala RPK dimana pada respon kognitif terjadi penurunan sebesar 1,3 poin, pada respon afektif sebesar 2,3 poin, pada respon fisiologis sebesar 1,4 poin, pada respon perilaku sebesar 2 poin dan respon sosial sebesar 1,5 poin.
Penurunan tanda dan gejala RPK dengan menggunakan CBT juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Fauziah (2011), Hidayat (2011), Sudiatmika (2011) dan Lelono (2011). Penurunan tanda dan gejala RPK dengan menggunakan AT dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Alini (2011).
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
81
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini penulis menyimpulkan hasil penulisan Karya Ilmiah Akhir dan menyajikan saran bagi berbagai pihak yang berubungan dengan praktik klinik keperawatan jiwa ditatanan pelayanan RSMM Bogor. 6.1 Simpulan Karya ilmiah akhir ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan manajemen terapi keperawatan spesialis AT dan CBT di ruang Gatot Kaca RSMM Bogor menggunakan pendekatan Model Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy. Simpulan yang diperoleh antara lain sebagai berikut : 1. Karakteristik klien RPK diruang Gatot Kaca berusia 25 hingga 50 tahun, berpendidikan menengah, tidak bekerja dan
sebagian besar belum
menikah 2. Faktor predisposisi gangguan jiwa pada klien berdasarkan aspek biologi, psikologi dan sosialbudaya adalah memiliki riwayat gangguan jiwa sebelumnya, memiliki riwayat kegagalan/kehilangan seperti putus cinta, kehilangan orang tua, dan tidak punya pekerjaan 3. Faktor presipitasi gangguan jiwa pada klien berdasarkan aspek biologi, psikologi dan sosial budaya adalah putus obat, keinginan yang tidak terpenuhi, memiliki masalah dalam pekerjaan, asal stresor berasal dari internal, waktu stresor kurang dari 6 bulan dan jumlah stresor lebih dari 2. 4. Repon yang muncul pada klien RPK pada aspek kognitif yaitu punya pikiran negatif dalam menghadapi stresor, respon afektif pada klien RPK muncul rasa marah, fisiologi yaitu wajah tampak tegang dan kewaspadaan meningkat,respon perilaku cendrung muncul perilaku melempar/memukul benda/orang lain dan sosial klien RPK cendrung menarik diri. 5. Aplikasi AT dan CBT dapat diterapkan pada klien RPK dengan rata-rata pertemuan 7-8 kali 6. Pelaksanaan AT dan CBT sebagai psikoterapi dengan pendekatan Model Adaptasi Stuart dan Model Adaptasi Roy membantu dalam proses pengkajian sehingga data yang didpatkan lebih komprehensif.Aplikasi
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
82
Model Aadaptasi Roy diharapkan dapat membantu
klien membentuk
perilaku yang Adaptif.
6.2 Saran 6.2.1
Pelayanan Keperawatan
6.2.1.1 Kepala Bidang Keperawatan Memfasilitasi penerapan pelayanan keperawatan spesialis melalui program perencanaan pengembangan tenaga keperawatan spesialis jiwa dan memfasilitasi untuk tersedianya ruang konsultasi keperawatan di unit poli psikiatri sehingga klien yang sudah pulang dari rumah sakit dapat menerima asuhan keperawatan spesialis secara berkelanjutan
6.2.1.2 Kepala Ruangan dan Perawat Gatot kaca a. Mempertahankan dan meningkatkan peran sebagai role model dalam menjalankan kegiatan pelayanan MPKP dan asuhan keperawatan jiwa khususnya pelayanan di ruang intermediete dalam penerapan tindakan keperawatan generalis baik untuk individu, kelompok dan keluarga sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang telah diterapkan.
b. Menerapkan kontuinitas asuhan yang telah diberikan di ruang Gatot kaca untuk dilanjutkan pada ruangan dimana klien dipindahkan sehingga
asuhan
keperawatan
yang
diberikan
kepada
klien
berkelanjutan dan diakhirnya dapat dinilai secara keseluruhan penurunan tanda dan gejala sebelum di Gatot kaca dan setelah dirawat di Gatot kaca dan juga saat klien akan pulang. Kontuinitas asuhan juga untuk
dapat
menilai
peningkatan
kemampuan
klien
setelah
mendapatkan terapi baik psikofarmaka yang diberikan oleh medis maupun terapi keperawatan.
6.2.2
Program Spesialis Keperawatan Jiwa FIK UI Melanjutkan kerjasama dengan pihak rumah sakit Marzoeki Mahdi Bogor dalam memfasilitasi mahasiswa untuk praktik sebagai upaya
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
83
meningkatkan pelayanan kepada klien khususnya klien rirsiko perilaku kekerasan dengan menggunakan konsep dan teori keperawatan yang tepat.
6.2.3 Riset Keperawatan Perlunya dikembangkan penelitian tentang penggunaan konsep model teori yang dapat digunakan di ruang intermediete dengan klien risiko perilaku kekerasan
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka Alini, Keliat, BA., Wardani IY., (2012) Pengaruh Terapi Assertiveness Training dan Progressive Muscle Relaxation terhadap gejala dan kemampuan klien dengan perilaku kekerasan Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th Ed). Washington, DC: Author Arthur & Zheng (2006). Need of Family Member about Schizophrenia. Journal of Psychological Nursing & mental Helath Services. February, Vol.44.pg 38 Boyd, M.A. & Nihart, M.A. (2002). Psychiatric nursing contemporary practice. USA: Lippincott Raven Publisher Christina, (2005). Persepsi Keluarga Terhadap Anggota Keluarga yang Menderita Gangguan Jiwa di Unit Psikiatrik Rumah Sakit Duren Sawit .Skripsi, Tidak dipublikasikan. Cully, J.A., Teten, A.L. (2008). A Therapist’s guide to brief Cognitive Behavioural Therapy. Departement of Veterans Affairs. Houston Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Riset kesehatan dasar 2007. http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/IndonesiaNasional.pdf, diperoleh tanggal 15 Mei 2013. Fauziah, Hamid,A.Y, Nuraini (2009). Pengaruh terapi perilaku kognitif pada klien skizoprenia dengan perilaku kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan Fontaine, K.L. (2009). Mental Health Nursing. (6th ed). New Jersey: Upper saddle River Pearson Prentice Hall Friedman. (2010). Family nursing research, Theory, Practice. Pearson Education : New Jersey. Frisch, N.,C.& Frisch,L.,E (2006) Psychiatric Mental health Nursing. (3th Ed.). Canada: Thomson corporation Fitzpatrick, J.J & Whall, A.L (1989). Conceptual model of nursing analysis and application. (2nd ed). Appleton & Lange. Norwalk, Connecticut San Marino, California. Hambali, A dan Jaenudin, U. (2013). Psikologi Kepribadian. Bandung: Pustaka Setia Hidayat, E Keliat,B.K, Wardani (2011). Pengaruh Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan Rational Emotive Behavioral Therapy (REBT) terhadap klien dengan perilaku
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
kekerasan dan harga diri rendah Di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis. Tidak Dipublikasikan Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri klinis. (Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa Aksara. Keliat & Sinaga.(1991), Asuhan keperawatan pada klien marah, Jakarta : EGC Keliat, B.A. (2003). Pemberdayaan klien dan keluarga dalam perawatan klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan di RSJP Bogor. Disertasi. Jakarta. FKM UI. tidak dipublikasikan Keliat, B.A. & Akemat. (2006). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Lelono SK, Keliat BA, Besral (2011). Efektivitas Cognitive Behavioral Therapy (CBT) dan Rational Emotive Behavioral Therapy (REBT) Terhadap Klien Perilaku Kekerasan, Halusinasi dan Harga Diri Rendah di RS Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis. Tidak dipublikasikan Martin, P.F. (2010). Cognitive Behavior Therapy. http://www.minddisorders.com/BrDel/Cognitive-behavioral-therapy.html. diperoleh 23 Juni 2013 Mohr, W. K. (2006). Psychiatric-mental health nursing. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Morison. (1993). The measurement of agression and violence in hospitalizedpsychiatric patient. International Journal Nursing Muller, N (2004). Mechanisms of Relapse Prevention in Schizophrenia http://www.thiemeconnect.com/ejournals/abstract/pharmaco/doi/10.1055/s-2004-832668 NANDA. (2012). Nursing diagnoses: definition & classification 2012 – 2014. Indianapolis: Willey – Balckwell. NAMI. (2013). Mental Ilness ;What You Need to Know. Airlington National Collaborating for Mental Helath. (2005). Post-traumatic Stress Disorder, The management of PTSD in asults and children in primary and secondary care. Gaskell and the British Paychological Society. London National Institute Mental Health. (2010). The number count : Mental Disorders in America. www.nimh.nih.gov/health/publications/the-number-count-mental-disorder-inamerica/index diakses tanggal 1 Juli 2014. Pukul 20.00 WIB. Notoatmojo. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
O’Brien,P, kennedy,W, Ballard, K (1996). Psychiatric Nursing. An Integration of Theory and Practice. Mc.Graw Hill ompany, USA Parker, M and Smith, M.C (2010). Nursing theories and nursing practice.3rd Edition. Philadelphia. F.A Davis Company. Pasaribu. (2013). Manajemen Kasus Spesialis Keperawatan Jiwa Pada Klien Risiko Perilaku Kekerasan Mengggunakan Pendekatan Johnson’s Behavioural System Model di Ruang Gatot Kaca Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir. Tidak dipublikasikan.
Potter, P.A & Perry, A.D. (2010). Fundamental keperawatan. Edisi 7. Jakarta: Salemba Medika Ranjan. J.K, Prakash. J, Sharma. V. K, & Singh. A. R (2010).Manifestation of Auditory Hallucination in the Cases of Schizophrenia. SIS J. Proj. Psy. & Ment. Health (2010) 17 : 76-79 Rawlin, William & Beck, (1998) Mental health psychiatric nursing a holistic life cycle approach. 2nd edition. St Louis: Mosby Year Book.Inc Riyadi, S & Purwanto, T. (2009). Asuhan keperawatan jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu Roy, C. (2009). The Roy adaptation model. (3rd. Ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc. Sadock & Sadock. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis. Jakarta : EGC Shives
L.R.(2012).Basic Concepts of Psychiatric ed).Philadelphia:Lippincott William & Wilkins
Mental
Health
Nursing.(8th
Sinaga, B.R. (2007). Skizofrenia dan diagnosa banding. Jakarta: Balai Penerbit FIK UI Sudiatmika IK, Keliat BA, Wardani IY, (2011) Efektivitas cognitive behaviour therapy dan rational emotive behaviour therapy terhadap klien dengan perilaku kekerasan dan halusinasi di Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor Stanhope, M, Lancaster, J (2001). Foundation of nursing in community. Community oriented practice. 2nd edition. St. Louis. Mosby Company Stuart, G.W (2013). Principles and practice of psychiatric nursing. (9th edition). St Louis: Mosby
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2014). Nursing theorists and their work. (6th ed). St. Louis: Mosby Years Book Inc. Tomey, M.A (2001), Nursing Theories and Their Work, The C.V. Mosby Company St. Louis : Mosby Years Book Inc. Townsend, C.M. (2013). Essentials of psychiatric mental health nursing. (3th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis Company Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1966 Tentang Kesehatan Jiwa. Varcarolis, Elizabeth M., dan Halter. (2010). Foundations of Psychiatric Mental Health Nursing. (4th edition). Philadelphia: FA Davis Company. Videbeck, S.,L. (2010). Psychiatric mental health nursing. (3rd edition). Philadhelpia: Lippincott Williams & Wilkins. Wahyuningsih, D. Keliat, B A , Hastono SP. ( 2009). Pengaruh assertiveness training terhadap perilaku kekerasan pada klien skizoprenia di RSUD Banyumas, Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak dipublikasikan Walter.(2011). Penerapan Terapi Social Skills Training Pada Klien Isolasi Sosial Dengan Pendekatan Teori Hubungan Interpersonal Peplau di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Karya Ilmiah Akhir. Jakarta.FIK UI. Tidak dipublikasikan. World Federation for Mental Health. (2010). Mental Health and Chronic Physical Illness. http://www.wfmh.org/2010DOCS/WMHDAY2010.pdf diakses tanggal 14 Februari 2013 WHO. (2001). The world health report: 2001: mental health: new Understanding, new hope. http :// www.who.int/whr/2001/en/ diperoleh pada tanggal 15 Mei 2013 WHO. (2009). Improving Health System and Service for Mental Health : WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. WHO. (2006). Investing in mental http://www.who.int/mental_health/en/investing_in_mnh_final.pdf. diperoleh tanggal 15 Mei 2013
health.
WHO. (2011). Skizofrenia. http://www.who.int/mental_health/entity/. diperoleh tanggal 15 Mei 2013
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
EVALUASI TANDA DAN GEJALA RISIKO PERILAKU KEKERASAN NAMA PASIEN : .......................... RUANGAN : ........................................ PENILAI : .................................
No. I 1 2 3 4 5 6 II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 III 1 2 3 4 5 6 7 8 9 IV 1 2 3 5 6 7 8 9 V 1 2 3 4 5 6 7 8
Tanda & Gejala KOGNITIF Tidak mampu mengontrol PK Punya pikiran negatif dalam menghadapi stresor Mendominasi pembicaraan Meremehkan keputusan Flight of idea Menyalahkan orang lain AFEKTIF Afek labil Marah Kecewa/ kesal Curiga Mudah tersinggung Frustasi Merasa tidak aman dan nyaman Merasa jengkel Dendam Ingin memukul orang lain FISIOLOGIS Muka merah Pandangan tajam Mengatup rahang dengan kuat Mengepalkan tangan Tekanan darah meningkat Tonus Otot meningkat Mual Wajah tegang Kewaspadaan meningkat PERILAKU Mondar-mandir Melempar/memukul benda/ orang lain Merusak barang Agresif/ pasif Sinis Perilaku verbal ingin memukul Memberontak Nada suara keras SOSIAL Bicara kasar Suara tinggi, menjerit, berteriak Mengancam secara verbal atau fisik Pengasingan Penolakan Ejekan Mentertawakan Menarik diri
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Tanggal
EVALUASI KEMAMPUAN TERAPI GENERALIS RISIKO PERILAKU KEKERASAN
NAMA PASIEN : ........................ RUANGAN : ..................................... PENILAI : ............................................ No
Tanda & Gejala
I 1 2 3
Kemampuan Mengenali RPK Menyebutkan penyebab marah/ jengkel Menyebutkan tanda dan gejala saat marah Menyebutkan perilaku yang dilakukan saat marah Menyebutkan akibat perilaku yang dilakukan saat marah Kemampuan Terapi Generalis Melakukan relaksasi napas dalam Melakukan pukul bantal / kasur dan membereskan kembali tempat tidur Membereskan kembali tempat tidur setelah pukul bantak Meminta dengan baik pada orang lain Menolak dengan baik ajakan/ permintaan orang lain yang tidak masuk akal Mengungkapkan perasaan jengkel / marah pada orang lain dengan baik Meminta dan minum obat dengan prinsip 6 benar ( nama obat, dosis, jenis, rute/cara minum, waktu minum obat, efek terapeutik dan efek samping obat) Mengontrol marah secara spritual : berdoa, istighfar, sembahyang
4 II 1 2 3 4 5 6 7 8
Penerapan cognitive…., Arya Ramadia, FIK UI, 2014
Tanggal