UNIVERSITAS INDONESIA
PERAN SERUAN PANJANG (LONG CALL) ORANGUTAN JANTAN BERPIPI DALAM ORGANISASI SOSIAL ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN KETAMBE, TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER, ACEH TENGGARA
DISERTASI
TATANG MITRA SETIA NPM: 0906506391
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI PASCASARJANA BIOLOGI DEPOK JULI 2015
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
PERAN SERUAN PANJANG (LONG CALL) ORANGUTAN JANTAN BERPIPI DALAM ORGANISASI SOSIAL ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN KETAMBE, TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER, ACEH TENGGARA
DISERTASI
TATANG MITRA SETIA NPM: 0906506391
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI PASCASARJANA BIOLOGI DEPOK JULI 2015
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
PERAN SERUAN PANJANG (LONG CALL) ORANGUTAN JANTAN BERPIPI DALAM ORGANISASI SOSIAL ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN KETAMBE, TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER, ACEH TENGGARA
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
TATANG MITRA SETIA NPM: 0906506391
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI PASCASARJANA BIOLOGI DEPOK JULI 2015
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Tatang
Mitra Setia
NPM Tanda Tangan
Tanggal
:
: 13 Juli 2015
ilt
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
JUDUL
:
PERAN SERUAN PANJANG (LONG CALL) ORANGUTAN
JANTAN BERPIPI DALAM ORGANISASI SOSIAL ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI STASIUN PENELITIAN KETAMBE, TAMAN NASIONAL GT]NUNG LEUSER, ACEH TENGGARA
NAMA
:
NPM
: 0906506391
TATANG MITRA SETIA
MENYETUJUI
1.
Komisi Pembimbing
Dr. Noviar Andfyani. M.Sc Ko-Promotor 2
2. Penguji
*
Prof. Dfh. Dondin Sajuthi. Ph.D Penguji 1
o'w,
rt
unu
Penguji 2
THU/u*,$"
Dr. Luthfiralda Sjahfirdil M.Biomed Penguji 3
3. Ketua Program Studi rjana Biologi FMIPA UI
NIP.l
251987031004
1994031001
Tanggal Lulus: 13 Juli 2015
lv
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
HALAMAII PENGESAHAN Disertasi diaj ukan oleh :
Mitra Setia
Nama
: Tatang
NPM
:0906506391
Program Studi : Pascasarjana Biologi Judul Disertasi: Peran Seruan Panjang (Long Call) Orangutan Jantan Berpipi Dalam Organisasi Sosial Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Stasiun Penelitian Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser,
Aceh Tenggara.
Telah berhasil saya pertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Doktor pada Program
Studi Pascasarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Promotor
Jatna Supriatna, Ph.D
Ko-Promotor I
Dr. Noviar Andayani, M.Sc
Ko-Promotor 2
Serge
Penguji
Prof. Drh. Dondin Sajuthi, Ph.D
(........\
Penguji 2
Dr. Dadang Kusmana
,W;il*b
Penguji 3
Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed
lh'u,,ffifi
1
Ditetapkan
di
Tanggal
A. Wich, Ph.D
:Depok :
13
Juli 2015
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
G..*eL*.........)
1
HALAMAN PERIIYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI GAS AKHIR KEPENTINGAN AKADE Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
Tatang Mitra Setia
NPM
0906s0639 I
Program Studi Pascasarjana Biologi Departemen
Biologi
Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Spesies Karya
Disertasi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas namakarya saya yang berjudul: Peran Seruan Panjang (Long Call) Orangutan Jantan Berpipi Dalam Organisasi
Sosial Orangutan Sumatera(Pongo abelii) di Stasiun Penelitian Ketambe, Taman
Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara. beserta perangkatnyayang ada
jika diperlukan. Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan atau format-kan, mengolah dalam bentuk pangkalan data (data base),merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan rurma saya sebagai penulis atau pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyatan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di: Depok Pada tanggal: 13
Juli 20ls
Yang menyatakan,
)JC (Tatang Mitra Setia) vt
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
KATA PENGANTAR Disertasi yang berjudul: “Peran Seruan Panjang (Long Call) Orangutan Jantan Berpipi Dalam Organisasi Sosial Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Di Stasiun Penelitian Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara” ini merupakan hasil penelitian jangka panjang dan merupakan kumpulan dari 3 makalah yang masing-masing berjudul: Interaksi Antara Orangutan Jantan Berpipi, Seruan Panjang dan Pemilihan Jantan Oleh Betina ; Respon Jelajah Orangutan Terhadap Seruan Panjang (long call) dan Lokasi Penyuaraan Seruan Panjang (long call). Hasil penelitian yang ditulis dalam disertasi ini diharapkan dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya bidang Primatologi dan memberi hasil baru dalam mengungkap dan membenarkan bahwa seruan panjang orangutan jantan berpipi dapat berfungsi sebagai pemelihara dan pemandu antara individu yang berada dalam asosiasi radius jangkauan suara (earshot association). Penelitian dan penulisan disertasi ini tentunya dapat terlaksana berkat bantuan dan kerja sama berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini, pertama penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak dan ibu komisi pembimbing: Jatna Supriatna, Ph.D sebagai promotor; Dr. Noviar Andayani, M.Sc dan Serge A. Wich, Ph.D sebagai ko-promotor atas segala perhatian, bantuan, waktu yang diberikan untuk diskusi dan arahan mulai dari awal penulisan proposal hingga akhir penulisan disertasi. Terima kasih penulis sampaikan juga kepada bapak dan ibu staf pengajar pada Fakultas MIPA, Program Studi Pascasarjana Biologi dan khususnya kepada ibu Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed sebagai ketua Prodi Biologi ( hingga Februari 2015) dan penguji, serta ibu Dr. Nisyawati, MS. sebagai Sekretaris Prodi Pascasarjana Biologi (hingga Februari 2015) yang telah banyak memberikan pengetahuan baik dalam pembelajaran, meluangkan waktu dan juga memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan disertasi. Kepada bapak Dr. Dadang Kusmana, dan Prof. Drh. Dondin Sajuthi, Ph.D sebagai penguji yang telah banyak memberikan masukan ketika ujian proposal penelitian, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak
vii
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
Dr. Abinawanto sebagai Ketua Program Studi Pascasarjana Biologi yang telah memberikan masukan dan dorongan ilmiah. Pada kesempatan ini pula, khususnya kepada Prof. Dr. J.A.R.A.M van Hooff, Prof. Dr. Carel van Schaik, Dr. Maria van Noordwijk, Dr. Elisabeth H.M. Sterck dan Dr. Sri Suci Atmoko penulis ucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan yang diberikan berupa dukungan penelitian dan diskusi sejak penelitian dimulai hingga saat analisis data dan penulisan disertasi. Juga kepada Jan van’t Land, Eibert, Martin Nun, Dr. Yossa Istiadi, Dr. Dolly Priatna, Rahman Dedi, S.Si, Rizal, S.Si, Karen Mandagi, S.Si, Untung Wijayanto, S.Si, Drs. Chairul Saleh, M.Si, Hario Tabah Wibisono, M.Sc, Astri Zulfa, M.Si, Fitriah Basalamah, M.Si., Ike N. Nayasilana, M.Si., Fikty, M.Si dan Tomi Ariyanto, M.Si penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan di lapangan dan dukungan analisis data lapangan. Penelitian jangka panjang untuk penulisan disertasi ini tentunya tidak akan berjalan lancar jika tidak dibantu oleh para asisten di lapangan maupun para mahasiswa yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih. Kepada Pimpinan Universitas Nasional, khususnya ibu Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.Si., Apt., dan Pimpinan Fakultas Biologi, khususnya Drs. Imran S.L. Tobing, M.Si., penulis mengucapkan banyak terima kasih atas dukungan, bantuan, dan memberikan kesempatan serta waktu untuk melakukan penelitian di lapangan dan pendidikan S3 di UI. Kepada kedua orangtua dan istri serta keluarga yang tercinta penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga atas dukungan dan doa untuk keberhasilan penulis mulai dari penelitian hingga penulisan disertasi. Sebagai penutup, walau penulisan disertasi ini telah selesai, tetapi penulis masih mengharapkan adanya masukan dan kritikan untuk penyempurnaan yang lebih baik.
Jakarta, 13 Juli 2015 Tatang Mitra Setia
viii
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
Nama
: Tatang Mitra Setia
Program Studi : Pascasarjana Biologi Judul Disertasi: Peran Seruan Panjang (Long Call) Orangutan Jantan Berpipi Dalam Organisasi Sosial Orangutan Sumatera (Pongo abelii) di Stasiun Penelitian Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara.
ABSTRAK
Komunikasi suara memainkan peran penting dalam sistem sosial primata. Dalam kehidupan sosial, orangutan berkomunikasi jarak jauh dengan individu lain melalui seruan panjang (long call). Kemampuan mengeluarkan seruan panjang yang dapat terdengar jauh ini terbatas hanya pada orangutan jantan berpipi. Studi jangka panjang telah dilakukan sejak tahun 1988 di Stasiun Penelitian Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara mengenai seruan panjang ini. Tujuan dari penelitian ini adalah: Pertama, mengidentifikasi interaksi antara orangutan jantan berpipi dan antara orangutan jantan berpipi dengan betina. Kedua, menentukan fungsi seruan panjang bagi asosiasi jangkauan suara (earshot association). Ketiga, menentukan pola seruan panjang orangutan jantan, apakah mengeluarkan seruan panjang di lokasi tertentu misalnya pohon Ficus spp., pohon nonFicus spp., dan pohon sarang. Asosiasi jangkauan suara yang digunakan oleh jantan berpipi adalah suatu strategi jantan untuk menjaga jarak dekat dengan betina dan menolak kehadiran jantan lain yang berada di sekitarnya. Meskipun strategi seperti ini pernah diamati oleh para peneliti sebelumnya, kejadiannya di lapangan belum pernah secara kuantitatif diverifikasi. Data dikumpulkan dengan mengikuti individu target menggunakan metode Ad Libitum untuk merekam interaksi yang terjadi. Berdasarkan studi jangka panjang ini, telah dikonfirmasi ada hirarki non-linier antara jantan berpipi dan ada satu jantan dominan. Selain itu, status sosial yang tinggi dari orangutan jantan berpipi adalah tidak permanen. Selanjutnya, betina dewasa diketahui paling sering ditemukan di sekitar jantan berpipi yang dominan, sehingga membentuk asosiasi di sekitar jantan yang dominan. Respon jelajah jantan terhadap seruan panjang saling menjauhi, sebaliknya respon jelajah betinan terhadap seruan panjang saling mendekati. Penelitian yang juga menunjukkan bahwa, asosiasi bergerak mengikuti di sekitar lokasi dan posisi seruan panjang yang dikeluarkan oleh jantan yang dominan telah membuktikan ada asosiasi jangkauan suara (earshot association). Seruan panjang lebih sering dipancarkan di tepi studi area dan juga di pohon sarang tidur. Hasil ini menyimpulkan bahwa seruan panjang berfungsi menjaga dan memandu betina yang tinggal dalam radius jangkauan suara terdengar. Key words: fungsi seruan panjang, interaksi jantan dengan betina, hierarki dominasi, asosiasi jangkauan suara (earshot association). xviii+66 pp.; 23 plates; 7 tables Bibl. 65 (1969-2013)
ix Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
Name
: Tatang Mitra Setia
Study Program
: Biology
Title
: The Roles of Flanged Male’s Long Call in the Social Organization of the Sumatran Orangutan (Pongo abelii) in Ketambe Research Station, Gunung Leuser National Park, Southeast Aceh
ABSTRACT
Vocal communication plays an importan role in primate social system. In a social life, orangutans communicate with other individual through long calls. However, this behavior is limited to the flanged males orangutan. The long-term studies were conducted since 1988 in Ketambe Research Station, Gunung Leuser National Park, Southeast Aceh regarding this behavior; nonetheless, the reasons of long calls are still unclear. Therefore, the purposes of the study are: First, identify the interactions of males and females orangutan while long-calls are emitted. Second, determine the function of long-calls as a guidance to keep earshot association. Third, determine the pattern of male orangutans’ long call at a specific locations e.g. fig tree, non-fig tree, and nest tree. Earshot association is a spacing strategy employed by the flanged males to keep close distance to females, while repelling other males orangutan. Although this strategie has been observed by previous researchers, its existence in the field has never been quantitatively verified before. Data were collected by following the individual target using Ad Libitum method to record their interaction. Based on this long-term study, a non-linear hierarchy between flanged males and a dominant flanged male is confirmed. In addition, the high social status of flanged males orangutan is not permanent. Furthermore, adult females are most frequently found around the dominant flanged male, thus forming associations around the dominant male. This study also shows the association is moving around to follow the location and position of long call emitted by the dominant male confirming earshot association. Long calls act as a guidance to keep the association between flanged male and other individuals. When the long-calls emitted by a dominant male, other flanged males are generally keep their distance whereas females are approaching the long-calls’ source. The dominant male spend a long time in the fig trees than other males. In addition, males spend their time in the middle of the study area in which overlapped with adult females. Based on the rate of long calls, flanged males more frequently emitted the long calls on the edge of study area and also in the nest tree. These results conclude the long-calls could maintain the association with adult females who live in the similar range with the flanged male (earshot association). Key words: long calls function, male-female association, dominance hierarchy, earshot association. xviii+66 pp.; 23 plates; 7 tables Bibl. 65 (1969-2013)
x Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………...
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………………
iii
HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………………...
iv
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………
v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………………………………….
vi
KATA PENGANTAR………………………………………………………….
vii
ABSTRAK ……………………………………………………………………..
ix
ABSTRACT……………………………………………………………………..
x
DAFTAR ISI …………………………………………………………………...
xi
.
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………..
xiv
SUMMARY....................................................................................................
xvi
PENGANTAR PARIPURNA ………………………………………………….
1
DAFTAR ACUAN …………………………………………………………….
8
MAKALAH I: INTERAKSI ANTARA ORANGUTAN JANTAN BERPIPI, SERUAN PANJANG DAN PEMILIHAN JANTAN OLEH BETINA Abstract ………………………………………………………………………... Pendahuluan Cara kerja ……………………………………………………………………… Hasil dan Pembahasan ………………………………………………………… Kesimpulan ……………………………………………………………………. Daftar Acuan …………………………………………………………………...
12 13 16 18 29 30
MAKALAH II: RESPON JELAJAH ORANGUTAN TERHADAP SERUAN PANJANG (LONG CALL) Abstract ………………………………………………………………………... Pendahuluan …………………………………………………………………… xi
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
34 35
Cara kerja ……………………………………………………………………… Hasil dan Pembahasan Kesimpulan ……………………………………………………………………. Daftar Acuan …………………………………………………………………...
36 38 43 44
MAKALAH III: LOKASI PENYUARAAN SERUAN PANJANG (LONG CALL) Abstract ………………………………………………………………………... Pendahuluan …………………………………………………………………… Cara kerja ……………………………………………………………………… Hasil dan Pembahasan ………………………………………………………… Kesimpulan ……………………………………………………………………. Daftar Acuan …………………………………………………………………..
46 47 48 50 56 57
PEMBAHASAN PARIPURNA ……………………………………………….
59
KESIMPULAN ………………………………………………………………..
63
DAFTAR ACUAN …………………………………………………………….
64
xii
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
I.1. Interaksi antara jantan berpipi di Stasiun Penelitian Ketambe (periode November 1988 hingga Oktober 1991) …..…………………………..
19
I.2. Respon betina terhadap status hirarki pada jantan dewasa berpipi …………………………………………………..........
25
II.1. Indeks jelajah jantan ………………………………………………….
39
II.2. Durasi seruan panjang jantan di lokasi pohon ……………………….
42
III.1 Pemanfaatan waktu oleh individu jantan berpipi di wilayah betina (A,C dan B) …………………………………………………………..
52
III.2 Laju long call jantan berpipi di wilaya betina di lokasi A, C dan B …
54
III.3 Laju long call jantan berpipi di pohon Ficus, non-Ficus dan pohon sarang tidur
55
xiii
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Bimaturisme orangutan jantan dewasa …………………………………
4.
I.1. Lokasi dan Jalur Penelitian di Stasiun Penelitian Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser Aceh Tenggara ……………………………..
16
I.2. Penghitungan indeks pertumbuhan pipi orangutan ……………………
18
I.3. Cacat pada bagian tubuh akibat perkelahian antara jantan berpipi ……
20
I.4. Interaksi dan hirarki enam jantan berpipi ……………………………..
21
I.5. Perbandingan indeks pertumbuhan pipi empat individu jantan berpipi ………………………………………………………………..…
22
I.6. Perubahan pertumbuhan pipi jantan boris, X, dan Bas berdasarkan pertambahan indeks pipi ………………………….................................
23
I.7. Korelasi laju seruan long call dan dominansi jantan ………………...…
27
I.8. Distribusi waktu penyuaraan long call jantan Erik, I, Jon, Miki dan Nur …………………………………………………………………
28
II.1. Skema pengukuran respon jarak arah jelajah individu target (ATLc) setelah 30 menit mendengar long call .....................................
36
II.2. Skema pengukuran jarak antar pohon tidur dua individu orangutan pada pagi dan sore hari ………………………………………………...
37
II.3. Pengkukuran indeks jelajah …………………………………………...
38
II.4. Indek jelajah jantan berpipi …………………………………………...
39
II.5. Selisih jarak antara pohon tempat tidur pagi dan sore hari ……………
41
II.6. Durasi penyuaraan long call oleh orangutan jantan berpipi …………..
43
III.1. Contoh Georeferencing Scanned Map..................................................
49
III.2. Pembagian 3 daerah kawasan Stasiun Penelitian Ketambe …..……....
50
III.3. Daerah jelajah jantan berpipi periode November 1988 hingga Oktober 1991.…………………………………………..………………………...
51
xiv
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
Gambar
Halaman
III.4. Lokasi pemanfaatan waktu jantan berpipi di wilayah betina ………… .
53
III.5. Pemanfaatan waktu jantan berpipi di wilayah betina ………………….
53
III.6. Laju long call jantan berpipi di wilayah A+C dan B ………………….
55
III.7. Laju long call jantan berpipi di pohon Ficus, nonFicus dan pohon sarang …………………………………………………………………...
56
2. Asosiasi jangkauan suara (earshot) pada orangutan di Stasiun Penelitian Ketambe ……………………………………………………
xv
Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
63
Name
: Tatang Mitra Setia
Date, 13 Juli 2015
Title
: The Roles of Flanged Male’s Long Call in the Social Organization of the Sumatran Orangutan (Pongo abelii) in Ketambe Research Station, Gunung Leuser National Park, Southeast Aceh
Promotor Co-Promotor 1 Co-Promotor 2
: Jatna Supriatna, Ph.D : Dr. Noviar Andayani, M.Sc : Serge A. Wich, Ph.D
SUMMARY Orangutans are a great ape species that live semi-solitary and form a loose community. This differs from other great apes, such as gorillas, that live in groups consisting of several females, which are led by a dominant silverback, adult male. Although some gorilla groups have younger males, there is typically only one dominant silverback male. Meanwhile, chimpanzees and bonobos also live in groups, but sometimes have a fission-fusion system in which some individuals might split from the main community to form a small sub-groups or travel as a single individual, which then returns to the community after some period of separation. The social behavior of orangutans is not easy to recognize as a form of a social unit. Individuals are often seen solitary, but sometimes interact with other individuals to obtain social benefits. There are several social forms of behavior in orangutans, i.e.: parents live with their offspring, males consort with females, individuals form feeding groups, and individuals travel together at times (travel band). Therefore, social life in orangutans is described as a model of a loose community among individuals, in which consistent interactive relationships are absent but associations between the dominant male and females occur. As part of their social repertoire , all great apes communicate among individuals using a variety of acoustic signals. Compared to the other signals that are emitted by the other great ape species, the orangutans’ sound is louder and can be heard from far away distance (more than a kilometer); this vocalization is called long-calls. The
xvi Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
difference is likely due to the loose social organization form found in orangutans and ecological conditions where orangutans live compared to other great apes, all of which are found in Africa except the orangutan. The long call vocalization is made possible because of the throat pouch, and is characterized as a sexual secondary trait in adult male orangutans. Long calls are emitted only by adult flanged males and can be used as a communication media to other individuals. Through this behavior, flanged males orangutans advertise his existence to other orangutans, both females and males. There are several questions regarding the function of long calls in orangutans: Why are long-calls important in the social life of male orangutans? Are long calls related to the social organization form in orangutans? Through these questions, the implications of long-calls in terms of orangutans’ unique social organization likely influences the daily behavior among individuals, especially the interactions and associations between adult males and females who live within hearing range of the long calls source (earshot association). Long-term research was conducted since 1988 in the Ketambe Research Station, Gunung Leuser National Park, and Southeast Aceh. The results of this study are discussed in three different papers, i.e.: First, interactions between flanged male orangutans, long calls, and female choice. This paper discusses the interaction among male orangutans that produced a dominance hierarchy. This hierarchy consequently influenced the female’s behavior and associations with other flanged males, as well as adult females. Second, how the day journey path of other orangutans within hearing distance varies in response to the flanged male orangutan’s long calls. This paper discussed the function of long calls in terms of guidance and how the long-call facilitates the maintenance of associations with other individual in the range of long calls that are heard (earshot association). Finally, the third paper discusses how patterns of long calls vary depending on the specific location from where they are emitted. This paper provides an overview of where long call vocalizations are most commonly emitted within the home range of the focal animal. . Long-term research shows that the dominant social status of flanged male orangutans is not permanent and a hierarchy between other flanged males and dominant males exists. During the study, there were two reported cases of takeovers by a dominant male, i.e.: during Jon’s period, he was replaced by another adult male (Nur) in 1990; and during Nur’s period he was replaced by Boris, an interaction which
xvii Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
occurred in 1994. Based on these results, the data support that females remain close to the dominant flanged male, formed associations around the dominant male, and these associations varied based on the location and position of the dominant male. Furthermore, the long calls facilitate different types of associations within the range of long calls’ source (earshot association). In general, flanged males will respond negatively to the long calls source but females typically approach the source. When observing the daily journeys of individuals simultaneously, males typically make night nests in locations that are far away from each other, while the location of night nest trees between males and females are typically close. The dominant male, such as Nur, spent more time in fig trees compared to other males. Out of 22 interactions between the flanged male and other individuals, 81% occurred around or in fig trees. Many of the males spent more time in the middle of the study area, which is in part B, a region that overlaps with adult females. In contrast, the long calls were most commonly emitted by flanged male on the edge of area (location A + C) and not in the middle. Long calls were mostly emitted during the afternoon and from the nest tree compared to others trees. These results support the hypothesis that long calls are used to maintain and guide the females in earshot association.
xviii+66 pp.; 23 plates; 7 tables Bibl. 65 (1969-2013)
xviii Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
PENGANTAR PARIPURNA
Faktor ekologi sangat menentukan bentuk organisasi sosial primata (Wrangham 1980; van Schaik 1989). Menurut para ahli sosioekologi primata, kualitas habitat seperti kelimpahan pakan dan keberadaan pemangsa, bertanggungjawab membentuk pola temporal-spatial distribusi individu dan dapat menyebabkan persaingan di antara individu, sehingga selanjutnya membentuk interaksi sosial di antara individu tersebut (van Schaik 1989). Dengan demikian, kualitas habitat sangat menentukan organisasi sosial primata, seperti ukuran dan komposisi kelompok, serta tipe kelompok sosial (Shumaker & Beck 2003). Ada beberapa tipe organisasi sosial pada kera besar. Gorila, misalnya, hidup dalam kelompok yang terdiri dari banyak betina (termasuk betina dengan anaknya) dengan dipimpin oleh satu jantan dewasa dominan berpunggung perak (Watts 1996). Kera besar lainnya, simpanse dan bonobo, hidup berkelompok, tetapi terkadang dalam keseharian setiap individu berpisah membentuk kelompok kecil atau sendiri dan kemudian berkumpul kembali. Tipe organisasi seperti ini menurut White (1996) disebut fission-fusion society. Organisasi sosial pada orangutan yang hidup lebih arboreal dibandingkan gorila dan simpanse dilaporkan soliter, tetapi terkadang setiap individu terlihat bertemu dan berinteraksi dengan individu lain. Pada saat tertentu ketika orangutan berada di sekitar pohon pakan terlihat beberapa individu berada dalam kumpulan kecil untuk mendapatkan manfaat sosial seperti bertemu pasangan atau melakukan kopulasi (Te Boekhorst 1990; Mitani et al. 1991, van Schaik & van Hooff 1996; van Schaik 1999). Berdasarkan pengamatan tersebut, Sugarjito dkk. (1987) menggambarkan organisasi sosial orangutan sebagai semi-soliter, dan pada kondisi tertentu dapat terlihat berkumpul bersama, misalnya: interaksi induk dengan anak; ketika berpasangan (consort); saat melakukan aktivitas makan berkelompok (feeding group), dan ketika bersama-sama berpindah tempat dari satu pohon ke pohon lainnya (travel band). Organisasi sosial pada orangutan digambarkan juga sebagai bentuk komunitas yang longgar (loose community). Istilah ini didiskripsikan oleh MacKinnon (1974), sebagai komunitas yang terdiri dari banyak individu, tetapi
1 Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
2
antara individu satu dengan yang lain jarang bertemu dan saling menjaga jarak serta tidak berkaitan satu sama lain. Selain digambarkan hidup dalam komunitas yang longgar, para peneliti sosio-ekologi primata juga menyimpulkan, bahwa organisasi sosial orangutan adalah fission-fusion (MacKinnon 1974; Sugarjito dkk.1987; van Schaik 1999; Degaldo & van Schaik 2000). Artinya, setiap individu orangutan membentuk jejaringan sosial dengan individu-indivdu lain. Asosiasi berbasis individu itu dikenal sebagai kelompok sosial berupa kumpulan dari individu yang terkadang dapat memisahkan diri dan kemudian berkumpul kembali. Menurut MacKinnon (1974), jejaring sosial tersebut biasanya terjadi di sekitar jantan berpipi (flanged male) yang dominan. Hasil studi terkini menunjukkan bahwa faktor-faktor ekologi belum cukup untuk menjelaskan organisasi sosial pada primata (van Schaik 1996; Sterck dkk. 1997). Proses seleksi seksual dianggap sangat penting untuk menentukan bentuk organisasi sosial pada primata (van Schaik 1996, Trevers & Chapman 1996, Sterck dkk .1997; van Schaik & Kappeler 1997; van Schaik & Janson 2000). Seleksi intraseksual antara jantan dapat menyebabkan pengembangan karaktek yang mendukung keberhasilan kompetisi antara jantan. Hasil seleksi di antara individu jantan dewasa selanjutnya akan berkaitan dengan adanya pengembangan karakter seksual sekunder dan kemudian dipergunakan untuk berkompetisi (Short 1981). Kompetisi ini terjadi karena ada pemilihan betina terhadap jantan sebagai pasangan untuk reproduksi. Orangutan menunjukkan dimorfisme seksual, yaitu individu jantan dan betina dewasa mempunyai penampakan yang berbeda, dapat dibedakan secara morfologi dengan mudah. Dimorfisme seksual pada orangutan merupakan hasil dari seleksi seksual yang bekerja melalui dua cara, yaitu melalui kompetisi intraseksual (mendukung pengembangan karakter untuk keberhasilan kompetisi) dan kompetisi interseksual (mendukung pengembangan karakter yang menarik terhadap seks yang berlawanan). Setiap mamalia semenjak lahir sudah memiliki karakter seksual primer berupa alat kelamin jantan dan betina. Kemudian menjelang masa matang kelamin, akan ada perubahan tubuh berupa pengembangan karakter seksual sekunder. Salah satu karakter seksual sekunder pada individu jantan dewasa
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
3
orangutan yang menjadi daya tarik bagi betina adalah tubuh berukuran besar, rambut lengan yang panjang, bantalan pipi, dan suara long call (MacKinnon 1974; Rijksen 1978). Beberapa karakter seksual sekunder seperti tubuh yang besar, bantalan pipi dan perubahan suara yang keras memberikan keuntungan pada jantan yang menjadi dominan, misalnya mampu bersaing mengatasi jantan lain. Jantan yang unggul menjadi dominan mempunyai akses mendapatkan betina dan mempunyai kesempatan kawin sebanyak mungkin. Pada akhirnya karakter yang unggul untuk bersaing seperti bantalan pipi dan suara yang keras dapat terseleksi diantara jantan. Selain perbedaan penampakan yang jelas antara jantan dan betina, orangutan jantan dewasa juga memperlihatkan perbedaan morfologi, yang dikenal sebagai bimaturisme (Utami-Atmoko 2000; Utami-Atmoko & van Hooff 2004). Ciri-ciri bimaturisme pada jantan yaitu: jantan dewasa tidak berpipi (unflanged male) dan jantan dewasa yang berpipi (flanged male, Gambar 1A dan 1B). Menurut UtamiAtmoko dkk. (2002) dan Goossens dkk. (2006), secara fisiologis kedua tipe jantan dewasa tersebut sudah matang kelamin. Perbedaan pada kedua tipe jantan tersebut hanya karakter seksual sekundernya saja, yaitu: bantalan pipi (cheek pad), kemampuan mengeluarkan long call dan ada pelebaran kantong suara (throat pouch). Orangutan jantan berpipi mempunyai bantalan pipi (cheek pad) berupa jaringan lemak yang telah tumbuh berkembang ke lateral pipi, dan sudah mengeluarkan long call serta mempunyai pelebaran kantung suara (throat pouch). Karakter ini dapat mendukung mengeluarkan suara yang lebih keras dan memantulkan seruan panjang (long call) sebagai ciri-ciri karakter seksual sekunder yang sudah berkembang sempurna. Sebaliknya, orangutan jantan tidak berpipi belum mengalami pertumbuhan bantalan pipi dan kantung suara serta belum mengeluarkan suara long call. Orangutan jantan dewasa berpipi memiliki ukuran dan berat tubuh hampir dua kali lebih besar dari pada orangutan betina dewasa.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
4
Gambar 1. Bimaturisme orangutan jantan dewasa: A) jantan tidak berpipi; B) jantan berpipi dan C) kantong pipi.
Seluruh kera besar menggunakan komunikasi untuk berinteraksi dalam kehidupan sosialnya. Salah satu cara berkomunikasi adalah dengan menggunakan berbagai sinyal suara. Berdasarkan jenis-jenis suara yang dikeluarkan oleh kera besar, hanya orangutan dan simpanse yang diketahui mengeluarkan suara keras (loud call) dengan amplitudo yang tinggi, sehingga dapat terdengar walaupun pada saat ada suara-suara lain di lingkungan hutan (Hohmann & Fruth 1995). Komunikasi dengan suara keras pada simpanse dan orangutan diperkirakan berkaitan dengan organisasi sosial yang longgar dan sistem fission-fussion yang berlaku pada kedua jenis kera besar itu (MacKinnon 1974; Galdikas, 1983; Ramos-Fernández 2005). Orangutan mempunyai banyak jenis tipe suara dalam sistem komunikasinya (Spillmann dkk. 2010). Suara keras (loud call) pada orangutan disebut seruan panjang (long call) dan dapat terdengar sejauh 1,5 km (Mitra-Setia 1995). Seruan panjang yang keras dan dapat terdengar dari jarak jauh tersebut didukung oleh adanya perkembangan laryngeal dan pelebaran kantung suara yang besar serta berhubungan dengan perkembangan somatik bantalan pipi (Mackinnon 1974; Galdikas 1983). Oleh karenanya, seruan panjang pada orangutan hanya dapat disuarakan oleh individu jantan dewasa berpipi. Seruan panjang berperan penting dalam kehidupan sosial orangutan yang hidupnya soliter atau semi-soliter. Dengan
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
5
mengeluarkan seruan panjang keberadaan jantan dapat diketahui oleh orangutan lain, baik betina maupun jantan, sehingga dalam organisasi sosial orangutan dapat menjadi panduan arah bagi individu jantan dan betina yang mendengar (MacKinnon 1974; Galdikas 1983; Mitani 1985; Ryan 1988). Penggunaan suara keras yang dapat terdengar jauh banyak dilakukan oleh satwa, termasuk primata, yang hidup pada habitat hutan dengan jarak pandang terbatas. Penelitian yang dilakukan pada berbagai spesies primata, misalnya pada monyet diana Cercopithecus Diana (Zuberbiihler dkk. 1997), orangutan (Wich & Nunn 2002), dan monyet Alouatta spp. (da Cunha & Byrne 2006), menunjukkan bahwa suara keras yang dikeluarkan oleh setiap individu jantan mempunyai variasi yang berbeda. Variasi suara memudahkan individu lain yang mendengar untuk mengenali identitas individu jantan yang bersuara, sehingga dapat mengetahui posisi dari individu yang menyuarakan dan mengetahui pula maksud dari komunikasi tersebut. Bagi individu betina dewasa, seruan panjang sangat penting sebagai petunjuk untuk menemukan dan menentukan jantan dewasa pasangannya. Penelitian Ryan (1988) menunjukkan bahwa sinyal akustik dapat membantu mediasi proses berpasangan. Sinyal akustik yang dikeluarkan lebih sering dan keras merupakan pertimbangan betina untuk memilih pasangannya (female choice). Namun, sinyal akustik yang disuarakan jantan dewasa berpipi juga membuka peluang kompetisi dengan jantan dewasa lain (Mitra-Setia & van Schaik 2007). Dengan demikian, variasi sinyal akustik dapat digunakan untuk mengkaji mekanisme seleksi seksual dan strategi reproduksi pada orangutan. Studi mengenai perilaku sinyal akustik dapat dilakukan, karena (1) sinyal akustik dapat dengan mudah diukur, dan (2) korelasi antara aspek sinyal akustik jantan dewasa dan keberhasilan berpasangannya dapat diukur juga (Ryan 1988). Individu betina kemungkinan lebih menyukai suara seruan yang dikeluarkan lebih sering dan keras. Faktor itulah yang membedakan kemampuan setiap individu jantan dewasa untuk mendapatkan individu betina pasangannya (Ryan 1988). Interaksi sosial antara individu jantan dewasa, serta antara individu jantan dewasa dan individu betina dewasa pada orangutan merupakan tanggapan
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
6
terhadap keberadaan dan distribusi individu betina. Individu betina merupakan sumberdaya yang terbatas bagi individu jantan, sehingga di satu sisi menyebabkan kompetisi di antara individu jantan dewasa untuk menjadi jantan dominan, dan di sisi lain terjadi pemilihan pasangan oleh individu betina (female choice). Daerah jelajah orangutan jantan dewasa dilaporkan bertumpang-tindih dengan daerah jelajah individu betina dewasa (Te Boekhorst 1990), sehingga keberadaan jantan yang menyuarakannya Seruan panjang dapat diketahui oleh individu betina atau jantan lainnya. Hal ini dapat dijadikan petunjuk oleh jantan subordinate untuk menghindari jantan dewasa berpipi yang memang tidak toleran terhadap kehadiran jantan dewasa lainnya (Utami-Atmoko et al. 2009). Penelitian mengenai seruan panjang dan organisasi sosial pada orangutan telah sejak lama dilakukan di Indonesia. Kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya (periode 1970 hingga 1990) adalah, bahwa seruan panjang berperan sebagai sarana komunikasi jarak jauh dan sebagai penanda posisi jantan di suatu tempat, sehingga jantan lain dan betina dapat mengetahui keberadaan jantan yang menyuarakan seruan panjang (MacKinnon 1974; Galdikas 1983; Mitani, 1985). Penelitian-penelitian yang dilakukan mengenai seruan panjang tersebut berupa penelitian dengan melihat respon sesaat dan bagaimana respon orangutan ketika mendengar suara seruan panjang jantan dengan membunyikan seruan panjang hasil rekaman (playback) jantan. Selain itu, penelitian juga berfokus untuk melihat adanya perbedaan suara seruan panjang antara individu jantan dewasa, sehingga seruan panjang bisa dijadikan ciri pengenal individu oleh betina (Mitani 1985; Mitra-Setia; 1995; Delgado 2003; Dellgado 2007; Davila-Ross & Geisman 2007; Delgado 2009; Spillmann et al. 2010). Sampai saat ini fungsi lain seruan panjang dalam organisasi sosial orangutan masih belum banyak dikaji. Penelitian mengenai apakah seruan panjang dapat memandu individu betina dewasa dan menolak jantan dewasa lain yang berada di sekitar jantan yang mengeluarkan seruan panjang masih perlu dibuktikan. Selain itu, pengamatan mengenai adanya asosiasi individu pada radius jangkauan seruan panjang (earshot association) juga masih harus dikaji. Selanjutnya, penelitian mengenai lokasi seruan panjang disuarakan dan
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
7
mengaitkannya dengan fungsi seruan panjang dalam mempertahankan sumberdaya, khususnya betina, juga penting untuk dilakukan. Dengan demikian, peran seruan panjang dalam membentuk organisasi sosial semi-soliter orangutan dapat dipahami lebih baik. Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hal-hal baru mengenai peran seruan panjang dalam organisasi sosial orangutan, yaitu apakah seruan panjang dapat memandu dan menjaga betina yang berada dalam asosiasi dengan menolak jantan pesaing (male rivals repulsion). Pada penelitian ini, peneliti melihat bagaimana respon jelajah jantan dan betina terhadap suara seruan panjang asli yang dikeluarkan oleh jantan berpipi. Hasil penelitian akan disajikan menjadi tiga makalah. Makalah pertama berjudul “Interaksi antara orangutan jantan berpipi, seruan panjang dan pemilihan jantan oleh betina”. Makalah ini akan membahas bagaimana interaksi antara jantan dan betina memilih jantan dengan melihat pola dominansi, indeks long call dan distribusi waktu menyuarakan seruan panjang . Pada makalah kedua yang berjudul “Respon jelajah orangutan terhadap seruan panjang ” membahas fungsi seruan panjang sebagai pemandu arah dan menjaga asosiasi orangutan dalam radius jangkauan seruan panjang yang dapat didengar (earshot association). Adanya earshot association dapat dilihat dari respon jelajah seharian orangutan jantan berpipi dan orangutan betina ketika mendengar seruan panjang . Perbedaan respon dilihat dengan mengukur selisih jarak antara pohon bersarang dua individu pada pagi dengan jarak pohon bersarang dua individu sore hari. Makalah ketiga berjudul: “Lokasi penyuaraan seruan panjang “ Penulisan makalah ketiga ini bertujuan untuk memberikan gambaran apakah orangutan jantan mempunyai pola untuk mengeluarkan seruan panjang di lokasi tertentu dalam daerah jelajahnya, misalnya di pohon pakan, pohon nonpakan, atau pohon sarang tidur. Pohon sarang pada sore hari dipilih sebagai tempat tujuan akhir dari penjelajahan harian orangutan, karena di pohon ini orangutan istirahat pada malam hari. Diduga seruan panjang akan sering disuarakan agar individu betina dapat mengetahui posisi akhir dari jantan.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
8
Penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, khususnya bidang Primatologi, dengan mengungkap dan memverifikasi fungsi seruan panjang oleh individu jantan berpipi dalam organisasi sosial orangutan. Seruan panjang telah lama dipercaya berperan penting dalam strategi reproduksi orangutan jantan, tetapi dalam penelitian ini perlu diungkap apakah berfungsi sebagai pengikat dan pemandu arah “Komunitas Longgar” dalam radius jankauan terdengar seruan panjang dan orangutan jantan dominan sebagai pusatnya (earshot association).
DAFTAR ACUAN da Cunha, R. G. T. & Byrne, R. W. 2006: Roars of black howler monkeys (Alouatta caraya): evidence for a function in inter-group spacing. Behaviour, 143:1169-1199. Davila-Ross, M., & Geissmann, T. 2007. Call diversity of wild male orangutans: A phylogenetic approach. Am. J. Primatol. 69: 305-324. Delgado, R.A., & van Schaik, C.P. 2000. The behavioral ecology and conservation of the orangutans: a tale of two islands. Evol. Anthropol. 9(5): 201-218, Delgado, R.A. 2003. The Function of Adult Male Long Calls. PhD Thesis, Duke University, Durham NC. : 422 hlm. Degaldo, R.A. 2007. Geographic variation in the long calls of male orangutans (Pongo spp.). Ethology, 113: 487-498 Galdikas, B. M. F. 1983. The orangutan long call and snag crashing at Tanjung Puting Reserve. Primates, 24: 371- 384. Goossens, B., Setchell, J.M., James, S.S., Funk, S.M., Chicli, L., Abulani, A., Ancrenaz, M., Lackman-Ancrenaz, I. and Bruford, M.W. 2006. Philopatry and reproductive success in Bornean orangutans (Pongo pymaeus). Moleculer Ecology, 15: 2577-2588. Hohmann, G., & Fruth, B. 1995. Loud calls in great apes: Sex differences and social correlates. In: Zimmermann, E(Eds) Current topics in primate vocal communication, Plenus Press, New York: 161-184 e man and rgens .
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
9
MacKinnon, J. R. 1974. The ecology and behavior of wild orang-utans (Pongo pygmaeus). Anim. Behav. 22: 3-74. Mitani, J. C. 1985. Sexual selection and adult male orangutan long calls. Anim. Behav. 33: 272-283. Mitani, J. C., Grether, G. F., Rodman, P. S. & Priatna, D. 1991. Associations among wild orangutans: sociality, passive aggregations or chance ?. Anim. Behav. 42: 33-46. Mitra-Setia, T. 1995. Hirarki dominasi jantan dewasa serta tanggapan jantan dan betina dewasa orangutan terhadap seruan panjang (long call) dari jantan dewasa lain di Pusat Penelitian Ketambe, Taman nasional Gunung Leuser. Tesis Pascasarjana Program Studi Biologi, UI.: 38 hlm. Mitra-Setia, T., & van Schaik , C. P. 2007. The response of adult orangutans to flanged male long calls: Inferences about their function. Folia Primatol. 78: 215-226. Ramos-Fernández, G. 2005. Vocal communication in a fission-fusion society: do spider monkeys stay in touch with close associates? Int. J. Primatol. 26(5), 1077-1092. Ryan, M.J. 1988. Energy, calling and selection. Amer.Zool. 28: 885-898. Short, R.V. 1981. Sexual selection in man and the great apes. In: Graham, C.E. (Ed) Reprodukctive biology of the great. Academic Press, New York: 319-341. Rijksen, H. D. 1978. A fieldstudy on Sumatran Orang Utans (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1827): Ecology, behaviour and conservation. Wageningen: H. Veenman & Zones B. V.: 421 hlm. Shumaker, R. W. & Beck, B. B. 2003. Primates In Question: The Smithsonian answer book. Smithsonian Institute, Washington: 194 hlm.
Spillmann, B., Dunkel, L. P., Noordwijk, M.A., Amda, R.N.A., Lameira, A.R., Wich. S.A., & van Schalk, C.P. 2010. Acoustic properties of long calls given by flanged male orang-utans (Pongo pygmaeus wurmbii) Reflect Both Individual Identity and Context. Ethology, 116: 85-395.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
10
Sterck E. H. M., Watts, D. P., & van schaik, C. P. 1997. The evolution of female choice reationships in nonhuman primates. Behav. Ecol. Sociobiol. 41: 291-309. Sugarjito, J., te Boekhorst, I.J.A, & van Hoof, J.A.R.A.M. 1987. Ecological constrains on the grouping of wild orangutans (Pongo pygmaeus) in the Gunung Leuser National Park, Sumatra, Indonesia. Int. J. Primatol. 8:1741. Treves, A., & Chapman, C. A. 1996. Conspecific threat, predation avoidance, and resource defense: implications for grouping in langurs. Behav. Ecol. Sociobiol. 39: 43-53. Utami-Atmoko S.S. 2000. Bimaturisme in Orangutan Male: Reproductive and Ecological Strategies. PhD Thesis, Utrecht University: 145 hlm. Utami-Atmoko S. S., Goossens B., Bruford M.W., de Ruiter J.R., & van Hooff JARAM. 2002. Male bimaturism and reproductive success in Sumatran orang-utans. Behav. Ecol. 13: 643–652. Utami-Atmoko, S.S., & van Hooff, J.A.R.A.M. 2004. Alternative male reproductive strategies: Male bimaturism in orangutan. In P.P. Kappeler and C.P. van Schaik (eds). Sexual selection in primates: New and comparative perspectives. Cambridge , Cambridge University Press: 196207 hlm. van Schaik C. P. 1989. The ecology of social relationships among female primates. In: Standen, V and Foley, R. A. (Eds) Comparative socioecology, Blackwell Press, Oxford: 195-218 hlm. van Schaik. C. P. 1996. Social evolution in primates: The role of ecological factors and male behavior. Proc. Brit. Ac. 88: 9-31. van Schaik C. P. & van Hooff JARAM. 1996. Toward an understanding of the orangutan’s social system In: McGrew WC, Marchant LF, Nishida T. (eds.), Great Ape Societies, Cambridge University Press, Cambridge: 3– 15 hlm. van Schaik, C. P., & Kappeler, P. M. 1997. Infanticide risk and the evolution of male-female association in primates. Proc. Roy. Soc. Lond. B. 264: 16871694.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
11
van Schaik, C.P. 1999. The Socio ecology of fission-fusion sociality in orangutans. Primates, 40(1): 69-87. van Schaik, C. P., & Janson, C. H. 2000. Infanticide by males and its implications. Cambridge University Press, Cambridge: 569 hlm. Watts D. P. 1996. Comparative socio-ecology of gorillas. In: Great ape societies (McGrew WC, Marchant LF, Nishida T, eds). Cambridge (England): Cambridge Univ Press: 16-28 hlm. White, F.J. 1996. Comparative socio-ecology of Pan paniscus. In: Great ape societies (McGrew WC, Marchant LF, Nishida T, eds). Cambridge (England): Cambridge Univ Press: 29-44 hlm. Wich, S. A. & Nunn, C. L. 2002: Do male "long-distance calls" function in mate defense?: A comparative study of long-distance calls in primates. Behav. Ecol. Sociobiol. 54: 474-484. Wrangham, R. W. 1980. An ecological model of female-bonded groups. Behaviour, 75: 262-300. Zuberbfihler, K., Na, R. & Seyfarth, R. M. 1997: Diana monkey long-distance calls: messages for conspecifics and predators. Anim. Behav. 53: 589-604.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
MAKALAH I
INTERAKSI ANTARA ORANGUTAN JANTAN BERPIPI, SERUAN PANJANG DAN PEMILIHAN JANTAN OLEH BETINA Tatang Mitra Setia1), Jatna Supriatna1), Noviar Andayani1) dan Serge A. Wich2)
[email protected] 1). Program Studi Pascasarjana Biologi, Departemen Biologi, FMIPA UI 2). University of Liverpool, UK
ABSTRACT
Interaction between males in orangutan always occurs in relation to the competition for limited resources, such as food and females. The interaction will determine which male has the dominant rank and leaves the others to be the subordinates in this loose community system. This study examines how domination and hierarchy among individual flanged males are developed during 12 years of this long-term observation; the rate and time distribution of the long call and the presence of females around male. Data were collected using adlibitum to all events related to long call, which comprised the following parameters: the number of interactions between males; time of long call; long call rate per hour; and number of females around flanged male within a radius of 50 meters. The data were analyzed using Landau Linearity Index Landau and Coefficient of Dominance, and show that interaction between flanged males produce a non - linear rank with only one dominant male.Adult females prefere a dominant flanged male, so that there is an association formed around dominant male. This association moves around to follow the location and position of long call by the dominant male. However, a dominant position was not permanent. over the course of this study, there have been two times takeover between dominant flanged males: (1) during the reign of a flanged male, named Jon (before 1988 up to 1990), which was replaced by a flanged male Nur, and (2) when nur was later replaced by flanged male boris in 1994. Dominant males have the cheek pads size larger than the subordinate male and emitting long call more often. Long call more often emitted in the afternoon. Females in the association will use long call as a guide for approaching the male who is preferred. Key words: Dominance hierarchy, long call, female choice
12 Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
13
PENDAHULUAN
Satwa yang hidup berkelompok mempunyai organisasi sosial. Anggota kelompok dalam suatu populasi terorganisasi dan memiliki struktur sosial, yaitu ada pertalian hubungan dari anggota kelompok. Setiap anggota kelompok sosial (social group) akan berinteraksi secara teratur dan membentuk jejaring sosial (social network) untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya (Di Fiore & Rendall 1994). Interaksi sosial (social interactions) antara individu dilakukan menggunakan berbagai media komunikasi, salah satunya adalah dengan menggunakan komunikasi suara (Mitani 198; Chapman & Weary 1990 ) Faktor ekologi sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk organisasi sosial primata (Wrangham 1980; van Schaik 1989). Sebaran dan kelimpahan pakan, serta keberadaan betina merupakan faktor ekologi kunci yang menentukan pola temporal-spatia atau distribusi individu, memicu persaingan antara individu, dan membentuk pola hubungan antara individu (van Schaik 1989). Selain itu, keberadaan pemangsa dan kualitas habitat, turut menentukan organisasi sosial primata, seperti ukuran kelompok (group size), kompetisi kelompok (group competition), sistem berpasangan atau kawin (mating systems), kestabilan anggota kelompok (tetap atau berubah-ubah), dan keberadaan unit reproduktif heteroseksual (Kappeler & van Schaik 2002). Penelitian mengenai organisasi sosial pada orangutan selama lebih dari 30 tahun memberikan gambaran bahwa umumnya orangutan hidup soliter dan hanya membentuk kelompok yang terdiri dari unit induk dan anak. Namun, terkadang individu-individu orangutan membentuk kelompok sementara berupa feeding group atau travel group, sehingga tampak seperti berkelompok yang longgar (loose community) tanpa ikatan yang kuat di antara mereka (MacKinnon 1974; Rijksen 1978; Galdikas; 1979, Sugarjito 1987; van Schaik & van Hooff 1996). Menurut van Schaik (1999), organisasi orangutan juga menunjukkan tipe fissionfusion, yaitu kelompok kecil yang terbentuk dari interaksi sementara dan berulang antara individu jantan dan betina soliter. Orangutan mempunyai sistem kawin poligami. Individu betina sangat selektif memilih pasangan jantan (female choice), dan hal inilah yang
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
14
menyebabkan adanya kompetisi di antara jantan orangutan, terutama jantan dewasa berpipi (Utami-Atmoko & Mitra-Setia 1995; Mitra-Setia 1995; Utami-Atmoko 2000). Studi terkini mengenai organisasi sosial pada primata menunjukkan bahwa faktor-faktor ekologi saja belum cukup untuk menjelaskan organisasi sosial primata (van Schaik 1996; Sterck dkk. 1997). Pada primata, proses terjadinya seleksi seksual dianggap penting untuk membentuk organisasi sosialnya (van Schaik 1996; Trevers & Chapman 1996; Sterck et al. 1997; van Schaik & Kappeler 1997; van Schaik & Janson 2000). Menurut Wrangham (1997), betina subur merupakan sumber yang terbatas bagi jantan, sehingga interaksi antara jantan dewasa pada primata merupakan tanggapan terhadap distribusi dan ketersediaan betina yang subur (fertile). Orangutan menunjukkan dimorfisme seksual, individu jantan dewasa berukuran jauh lebih besar dari betina dewasa. Dimorfisme seksual pada orangutan merupakan hasil dari seleksi seksual (Rodman & Mitani 1987) yang bekerja melalui dua cara, yaitu melalui kompetisi intraseksual yang mendukung terbentuknya karakter untuk keberhasilan kompetisi, dan melalui kompetisi interseksual yang mendukung terbentuknya karakter yang dapat menarik terhadap seks yang berlawanan (McFarland 1993; Krebs & Davies 2009). Hasil seleksi intraseksual berupa adanya perbedaan ukuran tubuh, bantalan pipi, rambut lengan yang panjang dan suara long call dan karakter ini merupakan daya tarik betina orangutan untuk memilih pasangannya (MacKinnon 1974; Rijiksen 1978). Pada orangutan dikenal ada dua tipe jantan dewasa (bimaturisme), yaitu jantan berpipi dan jantan dewasa tidak berpipi (Utami 2000; Utami & van Hooff 2004). kedua tipe itu sudah mampu dan siap bereproduksi, namun yang membedakan hanya karakter seksual sekundernya saja (Utami-Atmoko dkk. 2002; Goossens dkk 2006), yaitu ada atau tidaknya bantalan pipi (cheek pad) dan kantong suara (throat pouch). Jantan dewasa berpipi mempunyai bantalan pipi dan kantong suara yang lebar, sedangkan pada jantan tidak berpipi kedua karakter tersebut belum terlihat. Individu betina memilih jantan dengan memprakarsai perilaku seksual (Smut 1987). Menurut Schurmann & van Hooff (1986) orangutan betina lebih
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
15
memilih jantan dewasa berpipi dibanding individu jantan yang tidak berpipi dan menolak kopulasi dengan jantan tidak berpipi. Perbedaan akses terhadap betina antara individu-individu jantan dewasa sering menyebabkan perkelahian yang berakhir dengan ada individu yang menang dan kalah. Individu yang menang menjadi jantan dewasa dominan, sedangkan individu yang kalah akan menjadi jantan peringkat rendah (subordinate), sehingga menciptakan hirarki dalam sistem sosial orangutan. Dominansi dipertahankan sebagai akses untuk mendapatkan betina dan sumber pakan (Smutt 1987). Lehner (1979) melaporkan ada dua bentuk hirarki pada primata, yaitu linier dan non-linier (sirkuler). Pada hirarki linier hanya ada satu jantan peringkat yang paling tinggi dan selalu menang terhadap jantan peringkat di bawahnya, sedangkan hirarki sirkuler berarti jantan peringkat di atas sewaktu-waktu masih bisa dikalahkan oleh jantan peringkat di bawahnya. Bantalan pipi merupakan pengembangan bagian lateral wajah (pipi) yang menjadi ciri karakter seksual sekunder bagi jantan dewasa orangutan. Kantung suara yang juga karakter seksual sekunder sangat berhubungan dengan kemampuan menghasilkan seruan panjang atau long call (Galdikas 1984). Bantalan pipi diduga dapat membantu dalam memantulkan dan memfokuskan suara long call bagi jantan yang menyuarakan (Galdikas 1984; van Schaik 2014). Keduanya berperan penting dalam membentuk hirarki antara individu jantan dewasa, serta menentukan interaksi antara individu jantan dan betina. Pertumbuhan bantalan pipi dapat dipengaruhi oleh faktor tekanan stres akibat kondisi sosial di sekitarnya, misalnya keberadaan jantan-jantan lain di sekitarnya (Kingsley 1988). Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terjadinya interaksi akan menyebabkan hirarki jantan berpipi dan apakah status hirarki tersebut permanen. Kemudian penelitian ini juga untuk mengetahui bagaimana kaitan hirarki jantan berpipi dengan suara long call, pertumbuhan bantalan pipi, respon betina terhadap jantan berpipi dan apakah ada betina di sekitar jantan. Diharapkan informasi ini mempunyai kontribusi untuk memahami strategi reproduksi pada orangutan jantan.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
16
CARA KERJA A.
Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Stasiun Penelitian Ketambe, Taman Nasional
Gunung Leuser, Aceh Tenggara, dengan luas area penelitian adalah lebih kurang 450 Ha (Gambar I.1). Lokasi penelitian diapit oleh dua aliran sungai, yaitu Sungai Ketambe (sebelah Barat) dan Sungai Alas (sebelah Timur), berada pada ketinggian antara 350 – 1000 m dpl. Pada lokasi penelitian sudah ada jalur setapak untuk memudahkan mengikuti dan membuat pemetaan penjelajahan orangutan (Gambar I.1). Penelitian dilakukan dalam jangka panjang. Pencatatan data penjelajahan, interaksi jantan dan long call dilakukan secara terus menerus sejak tahun 1988 sampai dengan 1991. Penambahan data dilanjutkan secara periodik untuk melihat keberadaan individu jantan yang telah diikuti pada periode sebelumnya dilakukan
LEGENDA: JP= Jalur Penelitian Kantor & Rumah Peneliti Tanda Jalur
JP Gambar I.1. Lokasi dan jalur penelitian di Stasiun Penelitian Ketambe,Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh Tenggara.
pada tahun 1994, 1995,1996 dan 1998. Akibat konflik di Aceh, maka pengecekan keberadaan jantan dilanjutkan lagi pada tahun 2007, 2008, 2009, dan 2010.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
17
Pengamatan periode tahun 1994 hingga 2010 dilakukan oleh 4 orang yang tergabung dalam tim peneliti untuk memantau keberadaan dan perkembangan jantan berpipi dan jantan tidak berpipi.
B.
Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan mengikuti 6 orangutan jantan dewasa
berpipi sebabagi individu target sebelum keluar dari pohon sarang tidur (pukul 05.00) hingga kembali lagi ke pohon sarang tidur (pukul 19.00). Kemudaian mengamati 3 jantan dewasa tidak berpipi untuk meihat perkembangannya hingga menjadi jantan berpipi. Ketika mengikuti individu target, peneliti mencatat segala kejadian interaksi sosial dan penyuaraan long call dengan pencatatan secara Ad-Libitum (Martin & Batenson 2007). Long call rate setiap individu jantan ditentukan sebagai jumlah long call perhari dibagi jumlah jam pengamatan selama sehari. Data lain yang dicatat adalah jumlah kehadiran individu betina dan jantan yang berada dalam radius 50 meter dari setiap individu jantan yang mengeluarkan long call. Jika ada perjumpaan antara individu target dengan individu lainnya, interaksi yang terjadi juga dicatat, termasuk siapa yang menjauh dan mendekati satu sama lain. Penentuan adanya peringkat di antara jantan dewasa berpipi, dipergunakan perhitungan Koefisein Dominansi (Lehner 1979) dengan rumus sebagai berikut:
(
)
a = jumlah interaksi yang dimenangkan b = jumlah total interaksi yang terjadi i = jumlah interaksi yang dilakukan oleh individu bersangkutan
Selanjutnya menentukan tipe hirarki di antara jantan berdasarkan nilai h atau Indeks Linearitas Landau (Lehner 1979). Rumus Indeks Linearitas Landau (h) adalah :
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
18
∑{
}
n = jumlah individu jantan dewasa berpipi dalam kelompok Va = jumlah individu yang dikalahkan
Nilai h berkisar dari 0 hingga 1. Jika nilainya 1, maka hirarki besifat linear dan sebaliknya jika nilai kurang dari 1, maka hirarki bersifat non-linear. Untuk mengetahui pertumbuhan bantalan pipi pada setiap jantan dewasa, dilakukan pengukuran: lebar tulang orbita atau biorbital breadth (BB) dan lebar bantalan pipi atau total width of the face (TF; Gambar I.2). Pengukuran dilakukan pada foto individu orangutan jantan dewasa yang sudah diambil gambarnya, kemudian dihitung Indeks Pertumbuhan Pipi, yaitu: TF dibagi BB (Kingsley 1988).
Gambar I.2. Penghitungan Indeks Pertumbuhan Pipi orangutan (BB = lebar tulang orbita; TF = lebar bantalan pipi ).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan selama lebih kurang 3.882 jam terhadap 6 jantan dewasa berpipi memperlihatkan 22 kali interaksi antar individu, seluruhnya berupa perkelahian yang dapat menyebabkan luka dan cacat pada bagian tubuh,
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
19
misalnya jari tangan dan bagian pipi (Gambar I.3). Pada kejadian perkelahian tersebut, ada jantan yang menang dan ada yang kalah (Tabel I.1). Hirarki di antara jantan berpipi dapat ditentukan dengan membandingkan frekuensi menang setiap individu dengan jumlah interaksi terjadi, Nur memenangkan 9 kali perkelahian dari 22 kali interaksi yang teramati pada seluruh jantan berpipi dan menempati hirarki tertinggi dengan Koefisien Dominansi 4,09. sebaliknya, I merupakan jantan berpipi terlemah dengan Koefisien Dominansi 0,57 (Tabel I.1).
Tabel I.1. Interaksi antara jantan berpipi di Satasiun Penelitian Ketambe (Periode November 1988 hingga Oktober 1991) INTERAKSI JANTAN BERPIPI Menyerang dan Menang Jantan
Nur W
Nur W Jon Erik Miki I
X 0 0 0 0 0 KD (-) -)
1 X 0 0 0 0
Jon
Eri k
Mik i
I
4 1 X 0 1 0
1 0 1 X 0 1
2 0 3 1 x 0
1 0 4 0 1 x
Jumlah Menang
9 1 8 1 2 1
KD
Peringkat
4,09 1,51 2,42 0,91 1,01 0,57
1 3 2 5 4 6
Laju Long call
Indeks Pipi
0,39 (-) 0,21 0,18 0,27 0,008
3,28 (-) 2,70 2,25 -) 2,25
= Koefisien Dominansi = Jantan W tidak diikuti, tidak mengeluarkan long call dan tidak ada foto untuk pengukuran Indeks Pipi = Miki tidak ada pengukuran Indeks Pipi kareda tidak ada foto Berdasarkan nilai h (Indeks Linearitas Landau) yang diperoleh adalah 0,81,
dapat disimpulkan bahwa, tipe hirarki dari 6 individu jantan yang ada di Stasiun Penelitian Ketambe adalah non-linier. Pada hirarki tipe non-linier, jantan peringkat teratas (dominant male) masih dapat dikalahkan oleh jantan peringkat di bawahnya (Tabel I.1, Gambar I.4). Misalnya, Jon yang sebelumnya pernah menjadi jantan dominan (Mitra Setia, 1995) bisa dikalahkan oleh Nur, yang kemudian mengambil alih status menjadi jantan dominan.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
Indeks
Kopulasi
0,42 0 0,16 0,20 0 0
20
Gambar I.3. Cacat pada bagian tubuh akibat perkelahian antara jantan berpipi. (A) Jari kaku dan (B) Bantalan pipi sobek.
Selama pengamatan yang berlangsung sejak 1988 sampai 1998, terlihat ada dua kali pergantian masa dominan jantan. Jon yang sudah menjadi dominan sejak penelitian pada Desember 1988, diganti oleh periode dominansi Nur. Pergantian dan pengambilalihan posisi dominan itu terjadi setelah Nur menyerang Jon pada 1990. Pergantian dominansi selanjutnya terjadi saat Boris menyerang dan mengalahkan Nur pada 1994 (Gambar I.4). Boris bertahan menjadi jantan paling dominan setidaknya selama 4 tahun berikutnya (1994-1998). Status Boris sejak tahun 1998 tidak diketahui oleh karena tidak dilakukan pengamatan akibat konflik di Aceh hingga tahun 2005. Di antara ketiga jantan dominan tersebut, Jon bertahan hanya selama 2 tahun, sementara Nur mampu mempertahankan dominansinya selama 4 tahun. Sejak 1988 terlihat ada 4 individu jantan tidak berpipi yang selalu berada di sekitar jantan berpipi, yaitu Boris, Bas, Wiba dan X (Gambar I.4) dan merupakan jantan yang subordinate. Akan tetapi, sejak 1993 bantalan pipi Boris mengalami
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
21
pertumbuhan . Boris, bahkan menunjukan tingkat agresivitas yang tinggi terhadap jantan-jantan berpipi lainnya. Boris yang sudah berpipi pada 1993 mencapai status dominan setelah menang dalam perkelahian menyerang Nur. Kedua Jantan lainnya, Bas dan X yang sebelumnya tidak berpipi Bas mulai terlihat pertumbuhan bantalan pipi pada 1994, sedangkan X pada 2006 (Gambar I.6). Wiba sejak tahun 1992 tidak terlihat perkembangannya. Keberadaan jantan berpipi X dan Bas terlihat hingga akhir 2010, tetapi status hirarkinya tidak diketahui.
Gambar I.4. Interaksi dan hirarki enam jantan berpipi. (Ketebalan arah panah menununjukkan seringnya menang) A = Periode penelitian tahun 1988 hingga tahun 1991 B = Periode penelitian tahun 1991 hingga tahun 2010 C = Periode dominansi jantan berpipi Jon dan Nur D = Periode jantan-jantan tidak berpipi hingga tumbuh berpipi E = Periode Boris dari sejak tidak berpipi hingga berpipi dan menjadi jantan dominan
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
22
Setiap individu jantan berpipi memiliki pelebaran bantalan pipi yang berbeda. Jon yang pernah menjadi jantan dominan memiliki indeks pertumbuhan bantalan pipi masing dengan nilai 2,7 sedangkan Nur yang menjadi jantan dominan selama 4 tahun mempunyai indeks pertumbuhan 3,28. Jantan peringkat di bawahnya Erik dan I masing memiliki indeks pertumbuhan 2,25 (Gambar I.5, Tabel 1). Bantalan pipi Nur memiliki indeks pipi yang paling lebih lebar dan tegar. Sementara Boris yang menggatikan kedudukan dominan Jon sejak 1994 mepunyai indeks 2,8 (Gambar I.6).
Gambar I.5. Perbandingan Indeks Pertumbuhan Pipi empat jantan dewasa berpipi: Erik, I, Jon dan Nur (Tahun 1989-1991).
Jantan tidak berpipi lainya X dan Bas memiliki indeks masing-masing 2,6 dan 2,56 (Gambar I.6). Jantan tidak berpipi Boris, X dan Bas sejak tahun 1978
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
23
Boris: 1993-1998
Gambar I.6. Perubahan pertumbuhan pipi jantan Boris, X dan Bas.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
24
belum mengalami pertumbuhan bantalan, baru kemudian sejak tahun 1993 mulai ada pertumbuhan (Gambar I.6) berdasarkan perubahan Indeks Pipi. Berdasarkan penelitian jangka panjang ini, terlihat bahwa jantan tidak berpipi setelah periode tertentu akan mengalami perubahan karakter seksual sekundernya, yaitu ada pertumbuhan bantalan pipi dan mampu mengeluarkan long call. Selain berkembangnya karakter sekunder, jantan tidak berpipi yang status sosialnya merupakan jantan peringkat paling rendah akhirnya mampu menjadi jantan berpipi yang dominan, seperti jantan Boris. Menurut Kingsley (1988), tertahannya pertumbuhan bantalan pipi pada jantan tidak berpipi adalah akibat dari tekanan stress sosial dari keberadaan jantan-jantan berpipi di sekitarnya. Menurut Rodman & Mitani (1987) adanya perbedaan morfologi pada bantalan pipi berfungsi untuk dapat membedakan jantan dengan morfologi betina dan mendukung pendapat yang menyatakan dimorfisme seksual pada orangutan berkembang sebagai akibat dari kompetisi yang kuat dari strategi reproduksi jantan. Fungsi bantalan pipi pada jantan adalah untuk membantu pemusatan arah pemancaran suara long call (van Schaik 2014). Hasil penelitian Kingsley (1988) menyimpulkan bahwa pertumbuhan bantalan pipi pada setiap jantan dewasa orangutan sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial, khususnya keberadaan jantan-jantan peringkat lebih dominan di sekitarnya akan menyebabkan stress. Jantan Jon merupakan jantan berpipi yang lebih menetap di kawasan penelitian Ketambe, sejak 1972 dibandingkan dengan jantan berpipi lainnya dan status awalnya sudah diketahui sebagai jantan dominan (Rijksen 1978). Jon pernah dalam waktu singkat kedudukan dominannya diambil alih oleh Erik pada 1987 (Djojosudharmo 1988, wawancara pribadi) dan pada tahun 1988 Jon menjadi dominan kembali. Setelah terjadi pengambilalihan status dominan oleh jantan Nur pada tahun 1991, keberadaan Jon tidak pernah terlihat lagi di kawasan penelitian Ketambe. Sama kejadiannya dengan Nur yang mulai terlihat di kawasan penelitian pada Oktober 1990 setelah masa dominansinya digantikan Boris 1994, Nur tidak terlihat kehadirannya di Ketambe. Pada bulan April 1989 ada jantan berpipi W mencoba masuk ke kawasan Ketambe, tetapi setelah dikalahkan oleh Jon dan Nur, maka pada akhir 1989 tidak terlihat lagi di Ketambe. Jantan-jantan yang dikalahkan dalam kompetisi akan
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
25
menghindar dan keluar dari kawasan Ketambe dan kemungkinan suatu waktu akan kembali lagi untuk mencoba menjadi dominan. Menurut Te Boekhorst (1990) kehadiran jantan di suatu kawasan tergantung dari sebaran individu betina yang reproduktif. Bagi orangutan jantan, ada dua cara untuk mencapai keberhasilan reprodukifnya, yaitu dengan menjelajah secara luas untuk menemukan betina dan kemudian memonopoli beberapa betina di daerah tertentu (Utami-Atmoko 2000). Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa ada ketertarikan betina terhadap jantan tertentu yang berada di kawasan Ketambe. Pada Tabel I.2, terlihat frekuensi tertinggi 0,30 betina berinisiatif mendekati jantan peringkat teratas Nur. Betina lebih lama bersama jantan dominan Nur (67,98 %) dibanding dengan jantan lainya. Di kawasan Pusat Penelitian Ketambe ada lebih kurang 7 betina dewasa. Dalam radius 50 meter dari jantan peringkat teratas Nur, ada lebih dari satu betina (1,01 individu) dibanding jumlah betina di sekitar jantan subordinate lainnya. Tabel I.2. Respon betina terhadap status hirarki pada jantan dewasa berpipi. Jantan
Peringkat
Frekuensi intisiatif betina mendekati jantan
Kebersamaan betina dengan jantan (%)
Jumlah ratarata betina di sekitar jantan
Nur
1
0,30
67,98
1,01
Jon
2
0,16
33,33
0,54
Miki
3
0,14
29,58
0,53
Erik
4
0,05
11,72
0,2
I
5
0,02
0,82
0,008
Berdasarkan data tersebut membuktikan, bahwa ada beberapa betina yang mempunyai inisiatif untuk mendekati jantan pilihannya. Selanjutnya individu betina tersebut akan berada di sekitar jantan. Berdasarkan Uji Friedman, ada perbedaan nyata (P=0,007) di antara jantan berpipi dengan status peringkat yang berbeda. Jantan peringkat teratas Nur paling dipilih oleh betina. Gambaran respon betina terhadap hirarki jantan dewasa
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
26
berpipi seperti yang diuraikan di atas menunjukan bahwa paling tidak dalam radius 50 meter di sekitar individu jantan berpipi terlihat ada asosiasi betina. Interaksi perkelahian antara jantan berpipi di Stasiun Penelitian Ketambe kasusnya terjadi ketika 72,73% jantan dikelilingi oleh betina di dan betina-betina tersebut kemudian akan mendekati jantan yang menang dalam perkelahian. Berdasarkan pengamatan Utami-Atmoko & Mitra-Setia (1995), Mitra-Setia (1995) yang membandingkan antara periode Jon menjelang pergantian posisi dominansi oleh Nur dan ketika Nur sudah menduduki status jantan dominan, terihat ada penurunan respon betina terhadap Jon. Sebaliknya ada peningkatan respon betina terhadap Nur. Betina-betina lebih mendekati dan memilih berada bersama di sekitar Nur. Kejadian ini menunjukan adanya pemilihan betina terhadap jantan. Individu betina dapat mengenal jantan dari suara long call yang berbeda karena dapat diketahui dari sifat akustik yang berbeda (Rijksen 1978 & Delgado 2003). Dengan adanya individu disekitar jantan seperti yang telah digambarkan di atas, menguatkan bahwa ada asosiasi betina di sekitar jantan dan asosiasi betina ini akan bergerak mengikuti posisi jantan pilihannya berada. Terkait dengan keberadaan betina di sekitar jantan dengan status hirarki berbeda selanjutnya, jika dilihat dengan kejadian kopulasi (Tabel I.1). Indeks kopulasi Nur perhari 0,42 lebih besar dibanding jantan peringkat di bawahnya, Jon dan Erik. Jantan I dengan status peringkat terendah tidak terlihat melakukan kopulasi. Jantan Erik melakukan kopulasi lebih sering dari pada jantan Jon yang pernah dominan karena hal tersebut merupakan suatu strategi reproduksi dari jantan peringkat rendah. Menurut Schurmann & van Hooff (1986) jantan peringkat rendah akan lebih agresif mendekati betina dengan tujuan kopulasi, hal ini terjadi karena betina tidak memilih jantan peringkat rendah untuk tujuan reproduksi. Setelah satu tahun Nur menduduki status dominan yaitu sejak 1990, terlihat ada satu betina menunjukkan gejala kehamilan, yaitu ada pembengkakan pada bagian vulva dan selanjutnya terjadi kelahiran dari betina tersebut. Jantan-jantan berpipi mengeluarkan long call yang berbeda jumlah. Laju seruan panjang per jam dapat dilihat pada Tabel I.1 dan Gambar I.7. Jantan dominan Nur cenderung mengeluarkan seruan panjang lebih sering dibanding jantan subordinate lainnya. Berdasarkan uji Minimisasi Inkonsistensi tidak
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
27
terlihat adanya korelasi yang kuat (rs = -0,70, p=0,16) antara laju long call dengan peringkat jantan (Mitra-Setia & van Schaik 2007). Hal ini terjadi karena adanya hirarki yang nonliner di antara individu jantan tersebut. Akan tetapi jika dibandingkan dengan jantan peringkat paling rendah, yaitu jantan I, terlihat ada perbedaan jumlah long call.
Laju longcall per jam
1
3 2 4
5
Koefisien Dominansi = Peringkat jantan
Gambar I.7. Korelasi laju long call dan dominansi jantan.
Setiap jantan mengeluarkan long call agar dapat diketahui posisinya oleh individu lainnya, terutama betina. Individu jantan lain memanfaatkan long call untuk mengetahui lokasi jantan saingannya sehingga jantan saingan bisa memutuskan untuk mendekati atau menjauhi dan jika ingin menuju ke posisi teratas, kemudian akan menantang untuk berkelahi. Orangutan jantan berpipi menyuarakan long call mulai dari pagi hingga sore hari. Berdasarkan hasil penelitian seperti yang digambarkan berupa kurva pada Gambar I.8, menunjukkan bahwa orangutan jantan berpipi cenderung menyuarakan long call pada sore hari.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
28
a )
b
c
d
)
)
)
e
) Catatan: Tebal tipisnya histogram menggambarkan banyak atau sedikit sedikit jantan menyuarakan long call pada periode jam tersebut. Semakin tebal semakin jarang long call pada periode tersebut.
Gambar I.8. Distribusi waktu penyuaraan long call oleh jantan Erik (a), I (b), Jon (c), Miki (d) dan Nur (e).
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
29
Jantan Nur menyuarakan seruan panjang pada pukul 13.00 hingga 14.00, sama seperti jantan Erik menyuarakan seruan panjang pada periode antara pukul 13.00 dan 14.00. Jantan Jon menyuarakan pada pukul 13.00, sementara jantan lainnya Miki menyuarakan seruan panjang pada periode pukul 12.00 hingga 13.00. jantan peringkat rendah I hanya menyuarakan seruan panjang pada sore hari, pukul 16.00. Secara keseluruhan, seruan panjang dibunyikan oleh jantan berpipi menjelang sore hari. Melihat adanya kecenderungan penyuaraan long call menjelang sore hari, ini membuktikan bahwa long call berperan untuk memandu individu, khususnya betina yang berada dalam asosiasi dengan jantan agar mengetahui lokasi tidur jantan. Dengan demikian individu lain, khususnya betina dapat mengetahui posisi terakhir keberadaan jantan, yaitu di pohon tidur.
KESIMPULAN Orangutan diketahui bersifat semi soliter dan hidup dalam komunitas longgar memanfaatkan long call sebagai sarana informasi, sehingga antara individu dapat mengetahui lokasi keberadaan jantan. Informasi keberadaan lokasi jantan diperlukan bagi betina, karena betina mempunyai sifat untuk memilih pasangannya. Adanya sifat memilih dari betina menyebabkan meningkatkan interaksi antara jantan. Berdasarkan hasil penelitian mengikuti orangutan jantan berpipi selama 3.882 jam dapat disimpulkan, bahwa : 1. Di antara jantan berpipi terjadi interaksi sehingga terbentuk hirarki non-linier (sirkular) dan hanya ada satu jantan dominan. Posisi dominansi tidak permanen, dapat berubah dalam periode tertentu. 2. Ada respon pemilihan betina terhadap jantan peringkat teratas, sehingga terlihat ada asosiasi betina di sekitar jantan berpipi. 3. Laju long call masing-masing jantan berpipi berbeda. Laju long call jantan dominan lebih tinggi dibanding jantan peringkat paling rendah. 4. Distribusi waktu long call disuarakan menjelang sore.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
30
DAFTAR ACUAN Chapman, C. A. & Weary, D. M. 1990: Variability in spi-der monkeys' vocalizations may provide basis for indi-vidual recognition. Am. J. Primatol. 22: 279-284 Delgado, R. A., & van Schaik, C.P. 2000. The behavioral ecology and conservation of the orangutans: a tale of two islands. Evol.Anthropol. 9(5): 201-218, Delgado, R.A. 2003. The Function of Adult Male Langcalls. PhD Thesis, Duke University, Durham NC: 422 hlm. Di Fiore, A. & Rendall, D. 1994. Evolution of social organization: A reappraisal for primates by using phylogenetic methods. Proc. Natl. Acad. Sci., 91: 9941-9945. Eberle, M. & Kappeler, P.M. 2002. Mouse lemurs in space and time: a test of the socioecological model. Behav. Ecol. Sociobiol. 51(2), 131-139. Galdikas, B. M. F. 1983. The orangutan long call and snag crashing at Tanjung Puting Reserve. Primates, 24:371- 384. Galdikas, B. M. F. 1979. Orangutan adaptation at Tanjung Putting Reserve: Mating and ecology. In: Hamburg, D. A., and McCown, E.R. (eds.), The Great Apes, Benyamin/Cummings, Menlo Park: 195-233. Goossens, B., Setchell, J.M., James, S.S., Funk, S.M., Chicli, L., Abulani, A., Ancrenaz, M., Lackman-Ancrenaz, I. & Bruford, M.W. 2006. Philopatry and reproductive success in Bornean orangutans (Pongo pymaeus). Moleculer Ecology, 15: 2577-2588. Kappeler, P.M., & van Schaik, C.P. 2002. Evolution of primate social system. Int. J. Primatol. 23: 707-740. Kingsley, S.R. 1988. Physiological Development of male orang-utan and gorillas (pp.123-131). In: Jeffery H. Schwartz (ed), Orang-utan Biology, Oxford University Press: 383 hlm. Krebs, J.R., & N. B. Davis. 2009. Behavioral Ecology: An Evolutionary Approach , John Wiley & Sons: 464 hlm. Lehner, P.N. 1979. Handbook of Ehological Methods. Garland STPM Press, London: 403 hlm.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
31
MacKinnon, J. R. 1971. The orang-utan in Sabah today: A study of a wild population in the Ulu Segama Reserve. Oryx, 11: 141-191. MacKinnon, J. R. 1974. The ecology and behavior of wild orang-utans (Pongo pygmaeus). Anim. Behav. 22: 3-74. McFarland, D. 1993. Animal Behaviour: Psychobiology, Ethology and Evolution. Longman Scientific & Technical, England: 585 hlm. Martin, P. & P. Bateson. 2007. Measuring Behaviour. Cambridge University Press, Cambridge: 176 hlm. Mitani, J. C. 1985. Sexual selection and adult male orangutan long calls. Anim. Behav. 33: 272-283. Mitra-Setia, T. 1995. Hirarki Dominasi Jantan Dewasa Serta Tanggapan Jantan dan Betina Dewasa Orangutan Terhadap Seruan Panjang (long call) dari Jantan Dewasa Lain di Pusat Penelitian Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser. Tesis Pascasarjana Program Studi Biologi, UI: 38 hlm. Mitra-Setia, T., & C. P. van Schaik . 2007. The Response of Adult Orangutans to Flanged Male Long calls: Inferences About Their Function. Folia Primatol. 78: 215-226. Rijksen, H. D. 1978. A Fieldstudy on Sumatran Orang Utans (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1827): Ecology, behaviour and conservation. Wageningen: H. Veenman & Zones B. V. : 421 hlm. Rijksen, H.D. & Meijaard, E. 1999. Vanishing Relative: The Status of Wild Orangutans at the Close of the Twentieth Century, Dordrecht, Kluwer. Rodman, P.S. & J.C. Mitani. 1987. Orangutans: Sexual Dimorphism in a Solitary Spesies. In: B.B.Smuts, D.L. Cheney, R.M. Seytarth, R.W. Wrangham and T.T. Struhsaker, (eds.), Primates Societies, The University of Chicago Press, Chicago: 146–154 hlm. Schurmann, C. & van Hoof, J.A.R.A.M. 1986. Reproductive strategies of the orangutan: New data and a reconsideration of existing sociosexual models. Int. J. Primatol. 7 (3): 265-288.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
32
Sugarjito, J., te Boekhorst, I.J.A, & van Hoof, J.A.R.A.M. 1987. Ecological constrains on the grouping of wild orangutans (Pongo pygmaeus) in the Gunung Leuser National Park, Sumatra, Indonesia. Int. J. Primatol. 8:1741. Smuts, B.B. 1987. Sexual Competition and Mate Choice. In: B.B.Smuts, D.L. Cheney, R.M. Seytarth, R.W. Wrangham and T.T. Struhsaker (eds.), Primates Societies, The University of Chicago Press, Chicago: 385-399. Sterck E. H. M., Watts, D. P., & van schaik, C. P. 1997. The evolution of female choice reationships in nonhuman primates. Behav. Ecol. Sociobiol. 41: 291-309. te Boekhorst, I.J.A, Schürmann. C. L, & Sugardjito, J. 1990. Residential status and seasonal movement of wild orangutan in Gunung Leuser Reserve (Sumatra, Indonesia). Anim. Behav. 39: 1098–1109. Treves, A., & Chapman, C. A. 1996. Conspecific threat, predation avoidance, and resource defense: implications for grouping in langurs. Behav. Ecol. Sociobiol. 39: 43-53. Utami-Atmoko, S.S, & Mitra Setia, T. 1995. Behavioral changes in wild male and female sumatran orangutans (Pongo pygmaeus) during and following a resident male take-over. In. Nadler, R.D., Galdikas, BMF, Sheeran, L.K. Rosen, N (Eds.) The Negleted Ape. Plenum Press, New York: 183-190. Utami-Atmoko, S.S. 2000. Bimaturisme in Orangutan Male: Reproductive and Ecological Strategies. PhD Thesis, Utrecht University: 145 hlm. Utami-Atmoko S. S., Goossens B., Bruford M.W., de Ruiter J.R., & van Hooff JARAM. 2002. Male bimaturism and reproductive success in Sumatran orang-utans. Behav. Ecol. 13: 643–652. Utami-Atmoko S.S., and & Hooff, J.A.R.A.M. 2004. Alternative male reproductive strategies: Male bimaturism in orangutan. In: P.P. Kappeler and C.P. van Schaik, (eds). Sexual selection in primates: New and comparative perspectives. Cambridge , Cambridge University Press: 196207. van Schaik C. P. 1989. The ecology of social relationships among female primates. In: Standen, V and Foley, R. A. (Eds) Comparative socioecology, Blackwell Press, Oxford: 195-218.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
33
van Schaik C. P. 1996. Social evolution in primates: The role of ecological factors and male behavior. Proc Brit. Ac. 88: 9-31. van Schaik C. P. & van Hooff JARAM. 1996. Toward an understanding of the orangutan’s social system In: McGrew WC, Marchant LF, Nishida T. (eds.), Great Ape Societies, Cambridge, Cambridge University Press: 3– 15. van Schaik, C. P., & Kappeler, P. M. 1997. Infanticide risk and the evolution of male-female association in primates. Proc. Roy. Soc. Lond. B. 264:16871694. van Schaik, C.P. 1999. The Socio ecology of fission-fusion sociality in orangutans. Primates, 40(1): 69-87. van Schaik, C. P., & Janson, C. H. 2000. Infanticide by males and its implications. Cambridge University Press, Cambridge. van Schaik, C.P, Damerius, L. & Isler, K. 2013. Wild Orangutan Males Plan and Communicate Their Travel Direction One Day in Advance. PLoS One 8(9):1-10. Wrangham, R. 1979. On the evolution of ape social system. Soc.Sci.Info., 18: 334368.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
MAKALAH II RESPON JELAJAH ORANGUTAN TERHADAP SERUAN PANJANG (LONG CALL) Tatang Mitra Setia1), Jatna Supriatna1), Noviar Andayani1), Serge A. Wich2)
[email protected] 1). Program Studi Pascasarjana Biologi, Departemen Biologi, FMIPA UI 2). University of Liverpool, UK
ABSTRACT
Vocal communication among social or semi-social primates is very important for spatial coordination. The long call vocalization emitted by orangutans is one form of communication media that likely facilitates the spatial coordination and movement patterns among individuals. The loose community social organization of orangutans may promote the use of long calls so that individuals can coordinate movement and social behavior with other individuals. This study explored the relationship between long calls and this loose form of social organization of orangutans. In addition, the daily response of individuals might be influenced by the distance between males and females orangutans, especially if the source of the long calls is close. Data were collected by simultaneously following flanged males focal animals from nest to nest. The movement direction of males and females was measured every 30 minutes after the long calls were emitted. In addition the distances bet een males’ night nest and bet een males and females’ night nests were quantified. The results show that flanged male orangutans will maintain a distance from the long calls source, whereas females approach the source of the vocalization.
Key words: Long calls, function of long call and association, response toward long call
34 Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
35
PENDAHULUAN Satwa yang hidup soliter, semi soliter maupun yang berkelompok, berinteraksi satu sama lainnya dengan melakukan dua hal, yaitu: mengatur jarak ruang (spatial relation) dan mengatur koordinasi posisi di antara individu atau kelompok (spatial coordination). Kordinasi spasial ini dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan sinyal suara. Seruan panjang (long call) pada orangutan merupakan salah satu media komunikasi di antara individu memenuhi kedua fungsi tersebut (Mitani 1985). Suara long call merupakan suara yang keras, diawali dengan suara seperti “mengorok” (bubbling) yang berfrekuensi dan beramplitudo rendah, kemudian dilanjutkan secara berulang-ulang dengan suara “melenguh” (roaring), dan terakhir sebagai suara penutup terdengar lagi suara “mengorok” (Mitani 1985). Menurut Rijksen (1978) dan Delgado (2003) suara long call dari masing-masing individu jantan dewasa dapat dikenali dari sifat akustik yang berbeda. Berbagai penelitian (MacKinnon 1971; 1974; Rijksen 1978; Galdikas 1983; Mitani 1985) menunjukkan, bahwa long call berfungsi untuk menjaga jarak antara jantan (inter-male spacing), sementara hasil penelitian lain menunjukkan, bahwa long call berperan untuk menarik perhatian betina yang reseptif (MacKinnon 1969, Horr 1972, 1975; Rodman 1973; Galdikas 1983). Hasil penelitian lainnya juga menyimpulkan bahwa long call berperan sebagai penarik perhatian bagi betina, baik betina reseptif maupun yang punya anak (Mitra-Setia & van Schaik 2007). Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan respon individu jantan atau betina dewasa terhadap seruan panjang melalui pergerakan jelajahnya: apakah arah jelajah linier atau tidak dan apakah lokasi pohon tidur antara jantan dan antara jantan dengan betina saling mendekati atau menjauh setelah mendengar long call pada siang harinya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa long call jantan sebagai pemandu dan perekat betina dalam berasosiasi dengan jantan.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
36
CARA KERJA Pengamatan dilakukan dengan mengikuti orangutan jantan berpipi sebagai individu target dari sebelum keluar dari pohon sarang tidur pagi hari hingga masuk kembali ke pohon sarang tidur pada sore hari. Mengukur arah jelajah individu yang diikuti setelah 30 menit mendengar long call. Respon diekspresikan sebagai arah setelah 30 menit terhadap sumber long call (ATLc30). Cara mengukur ATLc30 adalah :
d0 = jarak antara titik awal (t0) ketika orangutan target mendengar long call ke titik sumber long call d1 = jarak antara titik setelah 30 menit (t30) orangutan mendengar long call ke titik sumber long call.
Kalau hasil selisihnya positif (+) berarti arah jelajah mendekati, tetapi kalau hasil selisihnya negatif (-) berarti arah jelajah menjauh dari sumber suara long call (Gambar II.1).
ATLc30
Gambar II.1. Skema pengukuran respon jarak arah jelajah individu target (Dtolc) setelah 30 menit mendengar long call.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
37
Untuk mengetahui respon jelajah sehari terhadap suara long call, pengambilan data dengan mengikuti dua individu target dilakukan secara simultan. Kemudian mengukur jarak antara dua lokasi pohon sarang tidur pagi (d0) dua individu jantan atau jantan betina dan mengukur jarak antara dua lokasi pohon sarang tidur sore (dt) dari dua individu jantan atau jantan betina (Gambar II.2). Tujuan pengambilan data secara simultan, untuk mengetahui kordinasi mendekat atau menjauh dari dua individu target sebagai respon terhadap long call pada siang harinya. Jika selisih d0-dt = positif (+) berarti kedua orangutan saling mendekati, tetapi jika selisihnya negatif (-) berarti saling menjauh.
Pohon sarang tidur sore
dt
d0
Pohon sarang tidur pagi
Gambar II.2. Skema pengukuran jarak antara pohon sarang tidur dua Individu orangutan pada pagi dan sore hari (A dan B = Sarang; Lc = long call; d0 = Jarak antara pohon sarang tidur pagi; dt = Jarak antara pohon sarang tidur sore)
Untuk mengetahui apakah arah penjelajahan jantan berpipi sejak keluar dari pohon sarang tidur pagi hari hingga ke pohon sarang tidur sore hari lurus atau melengkung, maka diukur indeks jelajah (Gambar II.3). Nilai indeks jelajah (IJ) :
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
38
JL JJS
= jarak lurus antara pohon tidur pagi dan sore sehari dibagi = jarak jelajah sehari
Jika nilai IJ = 1 maka arah jelajah sehari adalah lurus dan jika nilai IJ >1 maka arah jelajah tidah lurus. Pengukuran ini untuk mengetahui apakah orangutan bergerak sambil menunggu dan melihat individu lain disekitarnya.
Gambar II.3. Pengukuran Indeks Jelajah (IJ)
HASIL DAN PEMBAHASAN Orangutan jantan berpipi dalam sehari menjelajah dengan panjang jarak jelajah berkisar dari 100 meter hingga 1000 meter. Arah jelajah jantan berpipi mulai dari posisi awal lokasi pohon tidur pada saat bangun hingga ke lokasi posisi pohon tidur sore harinya adalah melengkung, nilai indeks adalah 0,52 (berkisar dari 0,47-0,63). Berdasarkan nilai tersebut, berarti penjelajahan orangutan jantan berpipi dalam sehari mulai keluar dari pohon sarang tidur pagi hari hingga ke pohon sarang tidur berikutnya pada sore hari adalah tidak lurus. Pola indeks jelajah untuk semua jantan berpipi yang diikuti (Gambar II.3, Tabel II.1) adalah tidak berbeda (Uji Kruskal Wallis P= 0,07), berarti semua jantan berpipi mempunyai pola yang sama untuk arah pergerakannya.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
39
Arah jelajah yang tidak lurus ini dipergunakan jantan untuk menunggu atau berada di suatu kawasan tertentu agar posisinya melalui media long call dapat mudah diidentifikasi oleh individu lain (jantan maupun betina). Di antara ke lima jantan, terlihat Nur jantan dominan yang memiliki nilai indeks jelajah paling rendah (Gambar II.4). Nilai indeks jelajah Nur rendah berarti arah jelajah tidak lurus, sehingga bisa memberi kesempatan betina untuk mengikuti. Sebaliknya nilai indeks jantan peringkat rendah I adalah 0, 63 lebih tinggi dari jantan lainnya, berarti jantan I berjalan tanpa menunggu agar terhindar dari jantan peringkat di atasnya.
Miki
Gambar II.4. Indeks jelajah jantan berpipi.
Tabel II.1. Indeks jelajah jantan berpipi. Jantan Berpipi Nur Jon Miki Erik I Semua Jantan
Jarak Jelajah (m) 977.69 668.02 1010.35 781.79 622.11
Jarak Lurus (m) 456.50 330.97 516.18 430.14 393.56
Indeks 0.47 0.50 0.51 0.55 0.63
4059.97
2127.34
0.52
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
40
Penelitian terhadap respon jelajah jantan berpipi dan betina setelah 30 menit mendengarkan suara long call terdapat perbedaan. Jantan berpipi lainnya ketika mendengarkan suara long call pada umumnya akan menghindar, kecuali jantan dominan ada kecenderungan akan mendekati sumber long call. Sebaliknya, betina akan mendekati sumber long call (Mitra-Setia 1995; Mitra-Setia & van Schaik 2007). Jantan berpipi dan betina ketika mendengar suara long call dengan jarak kurang 400 m dari sumber suara akan memberikan respon jelajah menjauh (bagi jantan) dan mendekati (bagi betina). Berbeda halnya ketika sumber long call yang terdengar berjarak lebih dari 400 m, baik jantan maupun betina akan mengabaikannya (Mitra-Setia 1995; Mitra-Setia & van Schaik 2007). Ketika mengikuti individu secara simultan antara dua jantan berpipi dan antara jantan berpipi dan betina pada saat ada suara long call dalam keseharian, memberikan respon yang berbeda. Jarak antara lokasi pohon tidur pada sore hari antara kedua jantan berpipi saling menjauhi. Jarak antara pohon tidur dua jantan berpipi pada hari sebelum mendengar suara long call adalah rata-rata 533,33 m sedangkan jarak antara pohon tidur pada hari mendengar suara long call rata-rata berjarak 860 m (nilai selisih jarak = - 326,67 m), berarti kedua jantan berpipi tersebut saling menjauhi. Sebaliknya ketika mengikuti secara simultan individu jantan berpipi dan individu betina dewasa ketika sehari ada long call, maka jarak antara dua lokasi tempat tidur pada sore hari saling mendekati. Jarak lokasi pohon tidur jantan dan betina ketika sehari sebelum mendengar long call adalah 512,27 m. Ketika dalam penjelajahan selama sehari betina mendengar long call maka jarak lokasi pohon sarang tidur sore antara jantan dan betina tersebut, jaraknya menjadi rata-rata 451,81 m (Gambar II.5). Jaraknya terlihat lebih mendekati satu sama lain dibanding lokasi pohon tidur pada hari sebelumnya (nilai selisih jarak = 55,91 m). Berdasarkan Uji Mann-Whitney, terdapat perberbedaan nyata, p=0,028) respon antara jantan dan antara jantan dengan betina.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
41
(A )
(B)
Keterangan: Nilai (-) = Jarak antar pohon tidur sore saling menjauhi Nilai (+ ) = Jarak antar pohon tidur sore saling mendekati
Gambar II.5. Selisih jarak antar pohon tempat pagi dan sore hari (A= dua jantan berpipi diikuti secara simultan; B= jantan berpipi dan betina dewasa diikuti secara simultan).
Berdasarkan gambaran respon jelajah yang telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa ada kordinasi antara individu jantan dan antara individu jantan dan betina. Di antara individu jantan sangat tidak toleran untuk mendekati satu sama lain, tetapi sebaliknya di antara individu betina dan jantan terlihat adanya respon mendekati. Respon jelajah akan cepat ditanggapi jika jarak orangutan yang mendengar suara long call dengan sumber suara sangat dekat, yaitu kurang dari 400 m. Penelitian Mitani (1985) berdasarkan eksperimen dengan suara rekaman orangutan menyimpulkan bahwa jarak sumber long call yang sangat menentukan adanya respon mendekati atau menjauh adalah jika jaraknya kurang 400 m. Dengan demikian walaupun orangutan tidak memberikan respon jelajah terhadap sumber long call akan tetapi menggunakannya juga sebagai pemandu arah
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
42
terhadap lokasi jantan yang menyuarakan long call. Adanya informasi lokasi suara long call selama sehari penuh dapat dipergunakan oleh jantan atau betina di sekitar jantan sebagai panduan penjelajahan satu sama lain dalam radius terdengarnya suara (earshot) dan ini terlihat dari jarak antar pohon tidur pada sore hari sesama jantan saling menjauh atau jantan-betina yang saling berdekatan. Hasil ini membuktikan, bahwa peran long call adalah sebagai pengatur jarak dan perekat bagi asosiasi khususnya asosiasi betina di sekitar radius terdengarnya seruan panjang (earshot association). Orangutan betina dapat memanfaatkan suara long call jantan karena suara long call orangutan jantan dapat terdengar hingga 1,5 km dan orangutan jantan berpipi setiap kali mengeluarkan long call dengan durasi antara 58,21 hingga 138,11 detik. Hasil penelitian terhadap 4 individu jantan berpipi menunjukkan bahwa, durasi orangutan jantan berpipi menyuarakan seruan panjang ketika berada di lokasi pohon tidur pada sore hari lebih lama dibanding ketika orangutan jantan berada di lokasi pohon lainnya (Gambar II.6, Tabel II.2). Hasil uji Friedman (p=0,03) menyimpulkan ada perbedaan bermakna durasi penyuaraan di lokasi pohon tidur dengan di lokasi pohon lainnya.
Tabel II.2. Durasi seruan panjang jantan di lokasi pohon. Lokasi Pohon Ficus Non-Ficus Pohon Tidur
Nur 64.98 68.84 75.83
Durasi Long Call (") Jon 58.2 61.71 60.25
Miki 0 85.73 88.33
Erik 86.67 89.52 138.11
Seruan panjang dengan durasi yang lebih panjang di pohon tidur dilakukan jantan agar betina dalam asosiasi di sekitar jantan dapat lebih jelas mendengar dan dapat menuju ke arah lokasi pohon tempat tidur jantan. Walau dalam penelitian ini tidak diukur kerasnya suara long call tetapi suara yang dibunyikan dengan waktu yang panjang akan dapat memberikan informasi kepada individu betina atau jantan lainnya. Delgado (2003) telah mengukur kerasnya suara long call orangutan jantan berpipi adalah 0,400 hingga 1500 kHz.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
43
Gambar II.6. Durasi penyuaraan long call oleh orangutan jantan berpipi.
Jantan Erik yang statusnya tidak dominan menyuarakan long call dengan durasi paling panjang. Hal ini dilakukan merupakan strategi jantan peringkat rendah untuk berkompetisi dengan jantan lainnya.
KESIMPULAN Penjelajahan orangutan dalam sehari berkisar antara 100m hingga1000 m. Selama penjelajahannya itu orangutan dapat mendengar long call dari jantan berpipi. Berdasarkan penelitian yang telah diuraian diatas dapat disimpulkan, bahwa : 1. Arah jelajah sehari jantan berpipi adalah tidak linier. 2. Respon jelajah singkat (setelah 30 menit mendengar suara long call) dan respon jelajah seharian terhadap suara long call di antara sesama jantan berpipi saling menghindar sedangkan respon betina adalah saling mendekati.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
44
3. Respon jelajah sehari ketika mendengar suara long call maka lokasi pohon tidur antara jantan berpipi dan betina saling mendekati sebaliknya lokasi pohon tidur antara jantan berpipi saling menjauh. 4. Durasi suara long call lebih lama ketika orangutan berada di pohon sarang tidur. 5. Ada asosiasi betina dan jantan dalam radius terdengarnya suara long call dari jantan berpipi (earshot association) dan long call yang disuarakan adalah sebagai media pemandu dan perekat individu betina.
DAFTAR ACUAN Delgado, R.A. 2003. The Function of Adult Male Long Calls. PhD Thesis, Duke University, Durham NC.: 422 hlm. Galdikas, B. M. F. 1983. The orangutan long call and snag crashing at Tanjung Puting Reserve. Primates, 24: 371- 384. Galdikas, B.M.F. 1984. Adult female sociality among wild orangutans at Tanjung Puting Reserve. In: Small MF, (ed.), Female Primates: Studies by Woman Primatologist, New York: 217–235. Horr, D. A. 1972. The Borneo orang utan. Borneo Res. Bull. 4: 46-50. Horr, D. A. 1975. The Borneo Orang-utan: Population Structure and Dynamics in relationship to ecology and reproductive strategy. In: Rosenblum, L.A. (Ed.), Primate Behavior, New York, Academic Pres: 307-323. MacKinnon, J. 1969. Report of the expedition to Sabah 1968 No. 17.4. Oxford University Exploration Club Bulletin. MacKinnon, J. 1971. The orang-utan in Sabah today: A study of a wild population in the Ulu Segama Reserve. Oryx, 11: 141-191. MacKinnon, J. R. 1974. The ecology and behavior of wild orang-utans (Pongo pygmaeus). Anim. Behav. 22: 3-74. McFarland, D. 1993. Animal Behaviour: Psychobiology, Ethology and Evolution. Longman Scientific & Technical, England: 585 hlm.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
45
Martin, P. & P. Bateson. 2007. Measuring Behaviour. Cambridge University Press, Cambridge: 176 hlm. Mitani, J. C. 1985. Sexual selection and adult male orangutan long calls. Anim. Behav. 33: 272-283. Mitra-Setia, T., & C. P. van Schaik . 2007. The response of adult orangutans to flanged male long calls: Inferences about their function. Folia Primatol. 78: 215-226. Rijksen, H. D. 1978. A fieldstudy on Sumatran Orang Utans (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1827): Ecology, behaviour and conservation. Wageningen: H. Veenman & Zones B. V.: 421 hlm. Rodman, P. S. 1973. Population Composition and Adaptive Organization among Orang-utans of the Kutai Reserve. In: Michael, R. P. & Crook, J. H. (Eds.), Comparative Ecology and Behaviour of Primates, Academic Press, London: 171-209.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
MAKALAH III LOKASI PENYUARAAN SERUAN PANJANG (LONG CALL) Tatang Mitra Setia1), Jatna Supriatna1), Noviar Andayani1) Serge A. Wich2)
[email protected] 1). Program Studi Pascasarjana Biologi, Departemen Biologi, FMIPA UI 2). University of Liverpool, UK
ABSTRACT
Flanged male orangutans have a wider home range relative to females. Male and female ranges typically overlap where there are sources of food, such as fruits of Ficus spp.. The goal of this study was to determine whether there are patterns in the location that male orangutans emit long calls from as if they prefer to emit these long calls in specific types of locations. In addition, this research examined if long calls are emitted more in Ficus trees, non- Ficus trees, or in nest trees. Data were collected by following focal flanged male orangutans from the time they left their nest in the morning until the time they made a new nest in the afternoon. The daily range of every focal male was recorded and the location (e.g. tree) of all long calls was marked on the map. The map was made in the field, and then digitized using a georeferencing method called Scanned Map (i.e. by scanning the travel map of the focal animal), so that the data could then be synchronized with the topographic information map of the Ketambe research site that have already been digitized. NUR, the dominant male, spent more time in Ficus trees compared to other males. There were 22 interactions between flanged males and 81% of these incidents were located around or in Ficus trees. Flanged males tended to spend more time in the middle of the research areas, namely in section B. In contrast, flanged male tended to frequently emit long calls on the edge of the area (location A + C). Long calls were emitted more often in nest trees than in Ficus and non-Ficus trees. These results demonstrate that the long call vocalization likely serves to maintain close associations with females.
Key words: home range; day range; long call rate.
46 Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
47
PENDAHULUAN Orangutan sering dianggap sebagai jenis primata diurnal yang tidak memperlihatkan unit sosial (Bearder 1987; Eberle & Kappeler 2002). Sebaliknya, hasil penelitian Sugarjito & Boekhorst (1987) menyimpulkan pada orangutan ada dua tipe hidup berkelompok, yaitu: travel band dan feeding group. Hasil penelitian lainnya menyebutkan bahwa pada orangutan ada unit sosial yang biasa sering terlihat, yaitu: betina dewasa dengan anaknya dan orangutan betina yang selalu memilih berdekatan dengan jantan dewasa tertentu (Utami-Atmoko & Mitra-Setia 1995 & van Schaik 1999). Orangutan jantan mempunyai daerah jelajah yang lebih luas dari daerah jelajah betina, meskipun daerah jelajah keduanya saling tumpang tindih. Di dalam daerah jelajah terdapat banyak sumber pakan, khususnya pohon buah-buahan, misalnya buah dari jenis beringin (Ficus spp). Berdasarkan keberadaan individu orangutan di suatu tempat, maka dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: penetap (residen), penglaju, dan penjelajah (Utami-Atmoko 2000). Orangutan jantan berpipi bersifat penglaju dan tidak penetap di suatu daerah, sedangkan orangutan betina lebih bersifat menetap (residen). Singleton & van Schaik (2002) melaporkan bahwa orangutan betina betina sumatera bersifat residen dibanding jantan berpipi, dan di antara betina dalam kesehariannya membentuk kelompok-kelompok kecil. Anggota kelompok betina itu berada pada daerah jelajah yang tumpang tindih dengan jantan. Situasi seperti ini mirip dengan yang ditemukan pada beberapa jenis primata prosimian yang hidupnya soliter (Eberle & Kappeler 2002). Pada orangutan, asosiasi yang terdiri atas individu betina ini juga memiliki anggota jantan dewasa di sekitarnya. Singleton dan van Schaik (2001) menyatakan bahwa diantara betina tersebut dapat saling berinteraksi. MacKinnon (1974) telah menggambarkan adanya komunitas campuran jantan dan betina dalam kawasan jelajah yang sama, sementara te Boekhorst et al. (1990) menemukan adanya pola migrasi musiman yang konsisten dengan keberadaan komunitas tersebut . Di antara individu jantan akan saling menghindar, sebaliknya individu betina akan memilih dan mendekati jantan (Galdikas 1985; Schurmann & van Hooff 1986; Fox 2002) kemudian individu jantan yang dominan dapat membentuk komunitas bersama dengan
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
48
beberapa betina. Komunikasi suara long call dipergunakan untuk komunikasi dalam organisasi sosial pada orangutan. Pada makalah 1 dan 2 telah diketahui bahwa ada asosiasi di sekitar jantan dan asosiasi berfokus di sekitar jantan dominan. Long call dipergunakan sebagai media komunikasi di daerah jelajah jantan yang tumpang tindih dengan betina. Suara long call dikeluarkan lebih sering pada sore hari dan durasinya lebih lama di lokasi pohon tidur, sehingga bisa lebih menguatkan fungsi long call untuk memandu agar betina ketika menjelang sore menuju ke lokasi pohon tidur yang berdekatan dengan jantan. Jika orangutan jantan menyuarakan long call di tempat tertentu, terutama di pohon tidur maka akan memperkuat pembuktian bahwa long call berperan sebagai pemandu dan perekat asosiasi betina di sekitar jantan. Pembahasan pada makalah ke tiga ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang apakah orangutan jantan dalam daerah jelajahnya mempunyai pola menyuarakan long call di tempat-tempat tertentu, misalnya apakah lokasinya di diseluruh daerah jelajah, di daerah pinggiran daerah jelajah atau hanya di bagian tengah. Selain itu apakah penyeruan long call tempatnya di pohon pakan Ficus, pohon nonpakan selain Ficus atau di pohon tidur.
CARA KERJA Peneliti mengikuti orangutan jantan berpipi sebagai individu target mulai dari sebelumorangutan keluar pohon sarang tidur pada pagi hari hingga masuk kembali ke pohon sarang tidur sore hari. Kemudian sambil mengikuti individu target, peneliti membuat peta jelajah harian (home range) individu yang diikuti tersebut dan menandai pada peta, dimana saja lokasi individu target mengeluarkan long call dan juga menandai setiap pohon pakan, nonpakan atau pohon sarang tidur yang dikunjungi. Kemudian peta tersebut dibuat digitasi dengan metode Georeferencing Scanned Map yaitu dengan memindai peta jelajah dari lapangan, sehingga informasi datanya dapat diselaraskan dengan peta lokasi penelitian Ketambe yang sudah didigitasi (Gambar III.1). Kemudian setelah diolah dengan program ArgGIS dan ArcMap dapat diketahui gambaran daerah jelajah.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
49
Gambar III.1. Contoh Georeferencing Scanned Map
Lokasi Stasiun Penelitian Ketambe dibagi atas 3 bagian (Gambar III.2) untuk melihat berapa lama individu jantan berada di wilayah jelajah betina dan dimana long call disuarakan. Pembagian lokasi tersebut atas dasar pemanfaatan daerah jelajah oleh individu betina di Ketambe. Bagian A adalah wilayah paling ujung utara, terjepit antara sungai Alas dan Sungai Ketambe; bagian B adalah wilayah tengah, merupakan kawasan tumpang tindih atau kawasan inti dari seluruh individu betina yang menggunakan daerah tersebut dan bagian C merupakan daerah awal individu jantan masuk ke kawasan Stasiun Penelitian Ketambe.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
50
U Sungai
A Sungai
B C
Gambar III.2. Pembagian 3 daerah (A, B dan C) kawasan Stasiun Penelitian Ketambe.
HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah jelajah 5 orangutan jantan berpipi di Stasiun Penelitian Ketambe adalah saling tumpang tindih (Gambar III.3). Luas masing-masing daerah jelajah individu jantan berpipi di kawasan Ketambe berkisar antara 119 – 211ha. Daerah jelajah jantan Nur luasnya adalah 185,03 ha, sedangkan luas daerah jelajah jantan Jon = 211,28 ha, Miki = 153,96 ha, Erik = 187, 39 ha dan I = 119,39 ha. Pada daerah jelajah jantan berpipi ini juga merupakan daerah yang tumpang tindih dengan daerah jelajah betina. Hasil penelitian mengenai berapa luas yang pasti dari daerah jelajah jantan berpipi hingga saat ini masih menjadi perdebatan di antara peneliti. Hal ini terjadi karena ada beberapa orang utan jantan berpipi yang bersifat penglaju (UtamAtmoko 2000). Orangutan yang bersifat penglaju ini kadang-kadang melakukan
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
51
penjelajahan keluar dan masuk kawasan di Stasiun Penelitian Ketambe. Oleh sebab itu walaupun hasil perhitungan luas daerah jelajah setiap individu jantan berpipi pada penelitian ini sudah diketahui dan jika dengan luas studi area lebih kurang 450 ha, maka dapat dikatakan luas dari daerah jelajah jantan pada penelitian ini dapat melebihi dari 500 ha.
Gambar III.3. Daerah jelajah jantan berpipi periode November 1988 hingga Oktober 1991.
Jantan Nur yang dominan dalam penjelajahannya menghabiskan waktu lebih lama di pohon Ficus spp. dibanding jantan lainnya. Ficus spp. merupakan jenis beringin yang merupakan tumbuhan khas di hujan hujan tropis dan keberadaaannya di Ketambe cukup tinggi dan merupakan sumber pakan utama bagi primata, khususnya orangutan (Utami-Atmoko, 2000). Karakter pohon Ficus
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
52
spp. yang tinggi dan lebar memungkinkan untuk mendukung keberadaan beberapa ekor orangutan yang masuk ke dalamnya. Pada penelitian ini terlihat ada 8 ekor orangutan jantan dan betina yang masuk dan berada secara bersamaan di dalam satu pohon untuk melakukan aktivitas makan atau interaksi sosial. Orangutan jantan yang dominan sering menggunakan pohon Ficus spp. sebagai arena sosial, khususnya untuk akses mendapatkan betina. Nilai indeks antara lamanya waktu orangutan berada di pohon Ficus dan lamanya waktu observasi pada jantan Nur = 0,3, Jon = 0,21, Miki = 0,02, Erik = 0,15 dan jantan I = 0,15. Di sekitar pohon Ficus spp. sering terjadi interaksi antar jantan. Pada periode penelitian November 1988 hingga Oktober 1991 ada kejadian 22 kali interaksi antar jantan berpipi dan kejadian tersebut 18 kali (81%) terjadi di sekitar pohon Ficus spp. Individu jantan cenderung menghabiskan waktu di daerah tengah kawasan penelitian, yaitu di bagian B (Gambar III.4; III.5 dan Tabel III.1). Kawasan B merupakan daerah jelajah tumpang tindih 7 individu betina di Ketambe. Walau lima individu jantan berpipi yang diteliti lebih cenderung berada di daerah B dari pada daerah A dan C, tetapi hasil uji Friedman (p=0,65) tidak menunjukan perbedaan yang bermakna.
Tabel III.1. Pemanfaatan waktu oleh individu jantan berpipi di wilayah betina (A, C dan B).
Nur Jon Miki Erik I Total Jantan
Pemanfaatan waktu di wilayah betina (menit) A+C B 111:58:00 161:33:00 194:19:00 307:56:00 24:06:00 20:10:00 246:07:00 159:22:00 133:04:00 236:48:00 709:34:00 885:49:00
Total 273:31:00 502:15:00 44:16:00 405:29:00 369:52:00 1595:23:00
Di antara jantan berpipi ada jantan Miki dan Erik yang menghabiskan waktu lebih sering di kawasan A dan C. Kedua jantan berpipi ini tidak dominan,
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
53
sehingga keberadaannya di daerah tepi A dan C hanya untuk menghindar dari kompetisi jantan-jantan lain yang lebih sering menggunakan kawasan B.
Gambar III.4. Lokasi pemanfaatan waktu jantan berpipi di wilayah betina.
Gambar III.5. Pemanfaatan waktu jantan berpipi di wilayah betina
Sebaliknya, berdasarkan hasil perhitungan laju penyuaraan long call per jam ternyata jantan berpipi lebih cenderung menyuarakan long call pada lokasi tepi
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
54
kawasan penelitian (lokasi A dan C), yaitu kawasan sebelum atau sesudah memasuki kawasan bagian tengah B. Walaupun berdasarkan uji Friedman (p= 0,18) tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Ini berarti semua jantan mempunyai pola yang sama mengenai laju long call di kawasan B dan A+C. Tentunya perilaku membunyikan suara ini merupakan informasi awal agar diketahui oleh individu lainnya, khususnya betina yang berada di lokasi tengah (Gambar III.6 dan Tabel III.2).
Tabel III.2. Laju long call jantan berpipi di wilaya betina di lokasi A, C dan B
Nur Jon Miki Erik I Total Jantan
Laju long call jantan berpipi di wilayah betina A+C B 0.26 0.17 0.26 0.23 0.7 1.24 0.31 0.15 0.02 0.01 0.25
0.17
Gambar III.6. Laju long call jantan berpipi di wilayah A+C dan, B.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
55
Rendahnya laju long call di daerah bagian tengah, dimana lokasi tersebut merupakan lokasi tumpang tindih betina ada kaitannya dengan jantan yang berada pada daerah yang mudah ditemukannya betina, sehingga mengurangi menyuarakan long call. Demikian halnya ketika orangutan berada di pohon Ficus juga laju long call-nya berkurang karena di pohon tersebut mudah ditemukannya dan ada kehadiran betina (Utami-Atmoko 2000, Utami-Atmoko et al. 2009). Menurut Mitra-Setia & van Schaik (2007), bahwa laju long call orangutan jantan berpipi akan rendah ketika bersama-sama dengan betina dan akan lebih tinggi ketika berpisah dengan betina atau ketika jantan tersebut sendirian. Kejadian ini membuktikan bahwa, fungsi long call untuk akses mendapat betina dan menjaga betina. Penyuaraan long call lebih sering di pohon sarang tidur dibandingkan di pohon lainnya semakin menguatkan bahwa hal itu lebih efektif untuk menginformasikan keberadaan jantan di akhir kegiatan sehariannya, sehingga betina dapat memanfaatkan sebagai pedoman untuk mendekatinya Orangutan lebih sering menyuarakan long call di pohon sarang tidurnya dibanding dengan di pohon Ficus spp. dan non Ficus spp. (Gambar III.7 dan Tabel III.3). Uji Friedman p=0,02 menunjukkan ada perbedaan yang bermakna. Hasil ini menunjukkan bahwa ke lima individu tersebut umumnya lebih sering bersuara long call di lokasi pohon tidurnya. Di antara jantan lainnya, long call Erik yang merupakan jantan peringkat di bawah dominan adalah yang paling sering long call dibanding jantan lainnya. Perilaku ini merupakan strategi jantan peringkat rendah untuk bersaing dengan jantan lainnya agar didengar betina.
Tabel III.3. Laju long call jantan berpipi di pohon Ficus, non-Ficus dan pohon sarang tidur.
Nur Jon Miki Erik I
Tempat long call Fiscus Non Ficus 0.19 0.27 0.24 0.71 0.17 0.21 0.08 0.29 0 0.02
Pohon Sarang 1.21 1.2 1.33 1.8 0
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
56
Gambar III.7. Laju long call jantan di pohon Ficus, non Ficus dan pohon sarang.
KESIMPULAN Orangutan jantan berpipi mempunyai daerah jelajah yang luas berkisar dari 153,96 Ha hingga 211,28 Ha. Selama menjelajah, orangutan jantan berada di area betina. Oleh sebab itu orangutan mempunyai strategi menyuarakan long call di lokasi atau tempat tertentu. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa : 1. Daerah jelajah di antara orangutan jantan berpipi saling tumpang tindih. 2. Orangutan jantan berpipi memanfaatkan waktu yang lama di wilayah tengah yang merupakan kawasan betina, tetapi menyuarakan long call lebih sering di wilayah tepi kawasan betina.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
57
3. Orangutan jantan berpipi menyuarakan long call lebih sering di pohon tidur sebagai pemandu betina dalam asosiasi earshot untuk menentukan lokasi akhir jantan yang dipilihnya.
DAFTAR ACUAN Eberle, M. & Kappeler, P.M. 2002. Mouse lemurs in space and time: a test of the socioecological model. Behav. Ecol. Sociobiol. 51(2), 131-139. Fox, E. A. 2002. Female tactics to reduce sexual harassment in the Sumatran orangutan (Pongo pygmaeus abelii) . Behav. Ecol. Sociobiol. 52: 93– 101. Galdikas, B. M. F. 1985. Adult male sociality and reproductive tactics among orangutans at Tanjung Putting. Folia Primatol. 45: 9-24. MacKinnon, J. R. 1974. The ecology and behavior of wild orang-utans (Pongo pygmaeus). Anim. Behav. 22: 3-74. Schurmann, C. & van Hoof, J.A.R.A.M. 1986. Reproductive strategies of the orangutan: New data and a reconsideration of existing sociosexual models. Int. J. Primatol. 7 (3): 265-288. Singleton I. and van Schaik, C.P. 2001. Orangutan home range size and its determinants in a Sumatran swamp forest. Int. J. Primatol. 22: 877– 911. Singleton, I. and van Schaik, C.P. 2002. The social organisation of a population of Sumatran orang-utans. Folia Primatol. 73: 1–20. Sugarjito, J., te Boekhorst, I.J.A, and van Hoof, J.A.R.A.M. 1987. Ecological constrains on the grouping of wild orangutans (Pongo pygmaeus) in the Gunung Leuser National Park, Sumatra, Indonesia. Int. J. Primatol. 8:1741. Te Boekhorst, I.J.A, Schürmann. C. L, Sugardjito, J. 1990. Residential status and seasonal movement of wild orangutan in Gunung Leuser Reserve (Sumatra, Indonesia). Anim. Behav. 39: 1098–1109.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
58
Utami-Atmoko, S.S, and Mitra Setia, T. 1995. Behavioral changes in wild male and female sumatran orangutans (Pongo pygmaeus) during and following a resident male take-over. In: Nadler,R.D., Galdikas, BMF, Sheeran, L.K. Rosen, N. (eds.), The Negleted Ape, Plenum Press, New York:183-190. Utami-Atmoko, S.S. 2000. Bimaturisme in Orangutan Male: Reproductive and Ecological Strategies. PhD Thesis, Utrecht University: 145 hlm. van Schaik, C.P. 1999. The Socio ecology of fission-fusion sociality in orangutans. Primates, 40(1): 69-87.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
PEMBAHASAN PARIPURNA
Orangutan merupakan primata semi soliter, kadang-kadang berkumpul dalam komunitas longgar (loose community) dan fission-fusion (MacKinnon 1974; Rijksen 1978; Galdikas 1979; van Schaik & van Hooff 1996). Sugarjito dkk(1987) menyatakan pada kondisi tertentu terlihat beberapa individu berkumpul bersama-sama, berupa: kebersamaan induk dengan anak; kebersamaan ketika berpasangan (consort); kebersamaan dalam suasana aktivitas makan (feeding group) dan kebersamaan dalam suasana berpindah tempat dari satu pohon ke pohon lainnya secara bersama (travel band). Setiap individu dapat bertemu satu sama lain seakan mempunyai kordinasi. Masing-masing individu berusaha mengetahui dimana posisi masing-masing sehingga antara jantan dapat saling menghindar dan antara betina dan jantan dewasa dapat saling mendekati. Hal ini terjadi karena adanya komunikasi suara keras yang dapat terdengar jarak jauh yang disebut long call. Suara long call pada orangutan di bunyikan oleh jantan yang telah memiliki pertumbuhan dan pengembangan karakter seksual sekunder, yaitu berupa kantong suara sehingga mampu menyuarakan long call. Pada orangutan jantan dewasa dikenal ada dua tipe jantan dewasa dikenal sebagai bimaturisme (Utami, 2000; Utami & van Hooff, 2004). Tipe jantan tersebut adalah jantan dewasa berpipi (flanged male) dan jantan tidak berpipi (unflanged male). Secara kemampuan reproduktif, keduanya sudah matang dan yang membedakan hanya karakter seksual sekundernya (Utami et al. 2002; Goossens et al. 2006), yaitu; ada atau tidaknya bantalan pipi (cheek pad) dan kantong suara (throat pouch). Jantan dewasa berpipi mempunyai bantalan pipi dan kantong suara yang lebar, sedangkan jantan tidak berpipi kedua karakter bantalan pipi dan kantung suara belum tumbuh sempurna. Adanya perbedaan karakter ini menyebabkan persaingan antara jantan. Persaingan ini dipicu karena betina memilih pasangan kawinnya. Alcock (1979) mengatakan bahwa betina memilih jantan-jantan sebagai pasangan kawin antara lain dengan memilih kemampuan jantan secara seksual, yaitu dengan memperhatikan kesempurnaan karakter. Pada orangutan
59 Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
Universitas Indonesia
60
kesempurnaan karakter jantan yang terkait dengan betina memilih adalah bantalan pipi dan suara long call serta kemampuan menang bersaing antara jantan. Kemampuan dan strategi menyuarakan long call bagi jantan adalah merupakan hasil dari seleksi seksual di antara jantan dewasa. Dengan demikian keberadaan jantan dalam suatu tempat dapat diketahui dan menjadi target pemilihan pasangan oleh betina. Sistem memberi sinyal (signalling system) antara sipemberi atau sipenerima akan terbentuk oleh sejauh mana di antaranya saling memiliki kepentingan bersama (Bergstrom & Lachmann 2001). Konsep ini secara umum menggambarkan bahwa individu betina mempertimbangkan pemilihan pasangan terhadap jantan dan jantan kemudian secara serius memperlihatkan perilaku atraktif dan keunggulan tubuhnya yang merupakan tanda kualitas bagi jantan. Hal tersebut merupakan cost bagi jantan, karena jantan harus bersaing sesama jantan untuk mempertahankan keunggulannya, baik itu karakter tubuh maupun keunggulan sosial. Wrangham (1979) mengasumsikan bahwa interaksi antara jantan dewasa terjadi sebagai tanggapan terhadap distribusi dan ketersediaan betina subur (fertile). Betina subur merupakan sumber terbatas bagi jantan, sehingga menjadikan kompetisi antar jantan sebagai suatu akses untuk mendapatkan betina. Hasil yang digambarkan pada penelitian ini membuktikan adanya interaksi antara jantan berpipi yang menghasilkan hirarki dengan satu jantan dominan. Interaksi di antara jantan dewasa sebagian besar berupa perkelahian dan sering menyebabkan terjadinya luka dan cacat pada bagian tubuh, misalnya jari tangan dan bagian pipi. Ada lebih kurang 7 betina dewasa di daerah penelitian Ketambe dan betina memilih untuk mendekati dan tinggal bersama di sekitar jantan dominan. Dengan demikian terlihat ada asosiasi di sekitar jantan berpipi dominan. Dipicu oleh adanya betina memilih jantan, maka jantan dominan berupaya untuk mempertahankan kedudukannya, sebaliknya setiap jantan subordinate akan selalu mencari kesempatan untuk menuju ke posisi teratas. Jantan dominan yang mendapat akses betina akan melakukan kopulasi lebih sering dibanding jantan lainnya, dan dalam penelitian ini terlihat jantan Nur sejak
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
61
satu tahun setelah menjadi dominan, berhasil memberikan satu keturunan bayi baru. Seekor bayi yang lahir ini merupakan hasil kopulasinya dengan salah satu betina pada awal tahun kedua, yaitu tahun 1992 setelah Nur menduduki posisi dominan. Pada penelitian ini terbukti bahwa masa periode jantan dominan tidak stabil dan bisa digantikan oleh jantan berpipi lainnya. Adanya pergantian kedudukan jantan dominan ini juga diikuti dengan ada pindahnya pemilihan oleh betina (female choice) terhadap jantan baru yang menggantikan posisi dominan. Berdasarkan kejadian ini dapat dikatakan bahwa ada asosiasi betina yang bergerak (mobile association) di sekitar jantan dominan. Betina dapat mengetahui keberadaan jantan dominan pilihannya dengan mengenal suara long call. Suara long call orangutan dari masing-masing individu jantan dewasa dapat dikenali dari sifat akustik yang berbeda (Mitani 1985; Mitra Setia 1995; Delgado 2003; Dellgado 2007; Delgado 2009; Davila-Ross d & Geisman 2007; Spillmann et al. 2010). Jantan dominan cenderung lebih sering menyuarakan long call daripada jantan peringkat rendah. Komunikasi dengan suara long call dalam organisasi sosial orangutan dapat berperan terkait hubungan antara jantan dan antara jantan dan betina yang berada dalam jangkauan terdengarnya suara long call (earshot) sehingga pada saat tertentu beberapa individu orangutan dapat membentuk kumpulan kecil untuk melakukan interaksi sosial (Te Boekhorst 1990; Mitani et al. 1991; van Schaik & van Hooff 1996; van Schaik 1999; Delgado & van Schaik 2000; Singleton & van Schaik, 2001. Pada penelitian ini jarak suara long call dapat didengar dengan pendengaran manusia adalah sejauh 1,5 km. Utami-Atmoko (2000) mengasumsikan orangutan jantan mempunyai dua strategi mencapai keberhasilan reprodukifnya, yaitu dengan cara menjelajah pada daerah yang luas untuk menemukan betina dan memonopoli beberapa betina di daerah tertentu. Di antara jantan berpipi tidak saling toleran atas kehadiran satu sama lain dan betina memilih jantan tertentu untuk pasangan kawinnya. Individu betina dapat mengetahui keberadaan jantan dengan memanfaatkan suara long call yang terdengar. Individu betina dapat membedakan suara di antara jantan karena masing masing jantan memiliki karakter suara yang beda (Delgado 2003).
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
62
Mitani (1985) menegaskan bahwa, respon jelajah individu betina terhadap sumber long call yang jaraknya kurang dari 400m akan segera mendekati, sebaliknya individu-individu jantan akan menjauh. Ketika individu jantan atau betina mendengar sumber suara long call pada jarak yang jauh, keduanya jantan maupun betina seakan tidak memberikan respon jelajah. Namun demikian respon jelajah seharian terhadap seruan panjang dalam penelitian ini menegaskan bahwa sebenarnya ada reaksi jelajah individu betina yang mendekati sumber long call dan reaksi jelajah sesama individu jantan yang saling menjauhi. Hasil ini dapat membuktikan bahwa long call berperan dalam memandu individu betina yang berada dalam asosiasi di sekitar jantan. Jantan akan memonopoli dan menjaga asosiasi betina di sekitarnya dan menolak kehadiran jantan adalah dengan terlihat mendekatnya lokasi pohon sarang tidur betina dengan jantan yang mengeluarkan long call dan menjauhnya lokasi pohon sarang tidur sesama jantan. Orangutan mempunyai strategi untuk memilih waktu, lokasi dan tempat untuk menyuarakan long call. Distribusi waktu penyuaraan long call dilakukan menjelang sore hari dan durasi long call lebih lama serta frekuensi long call lebih sering di lokasi pohon tidur. Orangutan jantan berpipi cenderung menyuarakan long call sebelum masuk ke daerah inti jelajah betina (lokasi A dan C) sebagai pertanda untuk pemberitahuan kehadirannya terhadap betina. Strategi penyuaraan long call yang dilakukan di pohon sarang tidur akan lebih efisien dibanding menyuarakan long call di beberapa tempat lainnya. Penelitian van Schaik et al. (2013) menyimpulkan bahwa orangutan jantan ketika long call mengarahkan suaranya ke suatu tempat dan akan merencanakan (planning) penjelajahan untuk kegiatan keesokan harinya. Dengan demikian bersuaranya jantan berpipi di pohon sarang tidur dan hadirnya betina mendekati lokasi pohon tidur jantan memperkuat bahwa ada asosiasi dalam jangkauan terdengarnya long call (earshot association) dan long call berfungsi untuk memandu, menjaga dan memberitahu betina dalam asosiasi agar mendekati dan dapat mengikutinya pada keesokan hari ketika jantan tersebut akan mulai menjelajah (Gambar 2).
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
63
1,5 Km
Gambar 2. Asosiasi earshot pada orangutan di Stasiun Penelitian Ketambe
KESIMPULAN Berdasarkan rangkuman dari tiga makalah yang telah dibahas dalam disertasi ini, maka disimpulkan sebagai berikut: 1. Ada interaksi antara jantan berpipi sehingga terbentuk hirarki tipe nonlinier (sirkular) dengan satu jantan dominan dan posisi dominansi tidak permanen 2. Ada betina di sekitar jantan berpipi dan ada pemilihan betina terhadap jantan peringkat teratas sehingga ada asosiasi betina di sekitar jantan berpipi 3. Laju long call pada masing-masing jantan berpipi berbeda jantan dominan cenderung lebih sering mengeluarkan long call dibanding jantan subordinate. 4. Respon jelajah terhadap long call sesama jantan berpipi saling menjauhi sebaliknya betina mendekati long call
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
64
5. Jantan mempunyai strategi menyuarakan long call: pada sore hari, lebih sering dan durasinya lebih lama di pohon tidur. 6. Ada asosiasi dalam radius terdengarnya suara long call (earshot association). 7. Long call berperan sebagai pemandu dan menjaga asosiasi betina yang berada dalam radius earshot
DAFTAR ACUAN Bergstrom, C. T. & Lachmann, M. 2001. Alarm calls as costly signals of antipredator vigilance: the watchful babbler game. Anim. Behav. 6 (3): 535–543. Davila-Ross, M., & Geissmann, T. 2007. Call diversity of wild male orangutans: A phylogenetic approach. Am. J. Primatol. 69: 305-324. Delgado, R. A., & van Schaik, C.P. 2000. The behavioral ecology and conservation of the orangutans: a tale of two islands. Evol. Anthropol. 9(5): 201-218, Delgado, R. A. 2003. The Function of Adult Male Long Calls in Wild Orangutans (Pongo pygmaeus). PhD dissertation, Duke University: 422 hlm. Degaldo, R.A. 2007. Geographic variation in the long calls of male orangutans (Pongo spp.). Ethology 113: 487-498. Galdikas, B. M. F. 1979. Orangutan adaptation at Tanjung Putting Reserve: Mating and ecology. In: Hamburg, D. A., and McCown, E.R. (eds.), The Great Apes, Benyamin/Cummings, Menlo Park: 195-233. Goossens, B., Setchell, J.M., James, S.S., Funk, S.M., Chicli, L., Abulani, A., Ancrenaz, M., Lackman-Ancrenaz, I. & Bruford, M.W. 2006. Philopatry and reproductive success in Bornean orangutans (Pongo pymaeus). Moleculer Ecology, 15: 2577-2588. MacKinnon, J. R. 1974. The ecology and behavior of wild orang-utans (Pongo pygmaeus). Anim. Behav. 22: 3-74. Mitani, J. C. 1985. Sexual selection and adult male orangutan long calls. Anim. Behav. 33: 272-283.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
65
Mitani, J. C., Grether, G. F., Rodman, P. S. & Priatna, D. 1991. Associations among wild orangutans: sociality, passive aggregations or chance ?. Anim. Behav. 42: 33-46. Mitra-Setia, T. 1995. Hirarki Dominasi Jantan Dewasa Serta Tanggapan Jantan dan Betina Dewasa Orangutan Terhadap Seruan Panjang (long call) dari Jantan Dewasa Lain di Pusat Penelitian Ketambe, Taman nasional Gunung Leuser. Tesis Pascasarjana Program Studi Biologi, UI : 38 hlm. Mitra-Setia, T. & C. P. van Schaik . 2007. The response of adult orangutans to flanged male long calls: Inferences about their function. Folia Primatol. 78: 215-226. Rijksen, H. D. 1978. A fieldstudy on Sumatran Orang Utans (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1827): Ecology, behaviour and conservation. Wageningen: H. Veenman & Zones B. V.: 421 hlm. Singleton I. & van Schaik, C.P. 2001. Orangutan home range size and its determinants in a Sumatran swamp forest. Int. J. Primatol. 22: 877– 911. Spillmann, B., Dunkel, L. P., Noordwijk, M.A., Amda, R.N.A., Lameira, A.R., Wich. S.A., & van Schalk, C.P. 2010. Acoustic properties of long calls given by flanged male orang-utans (Pongo pygmaeus wurmbii) reflect both individual identity and context. Ethology, 116: 85-395. Sugarjito, J., te Boekhorst, I.J.A, & van Hoof, J.A.R.A.M. 1987. Ecological constrains on the grouping of wild orangutans (Pongo pygmaeus) in the Gunung Leuser National Park, Sumatra, Indonesia. Int. J. Primatol. 8:1741. te Boekhorst, I.J.A, Schürmann. C. L, & Sugardjito, J. 1990. Residential status and seasonal movement of wild orangutan in Gunung Leuser Reserve (Sumatra, Indonesia). Anim. Behav. 39: 1098–1109.
Utami-Atmoko, S.S. 2000. Bimaturisme in Orangutan Male: Reproductive and Ecological Strategies. PhD Thesis, Utrecht University: 145 hlm. Utami-Atmoko S. S., Goossens B., Bruford M.W., de Ruiter J.R., & van Hooff, JARAM. 2002. Male bimaturism and reproductive success in Sumatran orang-utans. Behav. Ecol. 13: 643–652.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.
66
Utami-Atmoko S.S., & van Hooff, J.A.R.A.M. 2004. Alternative male reproductive strategies: Male bimaturism in orangutan. In: P.P. Kappeler and C.P. van Schaik, (eds). Sexual Selection In Primates: New and Comparative Perspectives. Cambridge University Press, Cambridge: 196207. van Schaik C. P. & van Hooff JARAM. 1996. Toward an understanding of the orangutan’s social system In: McGrew WC, Marchant LF, Nishida T, (eds.), Great Ape Societies, Cambridge University Press, Cambridge: 3– 15. van Schaik, C.P. 1999. The Socio ecology of fission-fusion sociality in orangutans. Primates, 40(1): 69-87. van Schaik, C.P, Damerius, L. & Isler, K. 2013. Wild orangutan males plan and communicate their travel direction one day in advance. PLoS ONE 8(9):1-10. Wrangham, R. 1979. On the evolution of ape social system. Soc.Sci. Info., 18: 334-368.
Universitas Indonesia Peran seruan..., Tatang Mitra Setia, FMIPA UI, 2015.