UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK PRAKT K KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DANDISTRIBUSI KEFARMASIANDIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIANDAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 17 MARET - 28 MARET 2014
LAPORAN PRAKTEK PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
TIA ERVIZA ULFA 1306344293
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK PRAKT K KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DANDISTRIBUSI KEFARMASIANDIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIANDAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 17 MARET – 28 MARET 2014
LAPORAN PRAKTEK PRAKT K KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
TIA ERVIZA ULFA 1306344293
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan PKPA ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, Juli 2014
Tia Erviza Ulfa
Laporan ini diajukan oleh
:
Nama
: Tia Erviza Ulfa, S.Farm
NPM
: 1306344293
Program Studi
: Apoteker - Fakultas Farmasi UI
Judul Laporan
: Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma No. 7, Jl. Ir. H. Juanda No.30, Bogor Periode 2 Januari - 14 Februari 2014
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.
DEWAN PENGedy Hidayat, Apt
( ............................... ) iii
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS
Laporan ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Tia Erviza Ulfa
NPM
: 1306344293
Tanda Tangan
:
Tanggal ............................... )
: 28 Juni 2014..................
iv Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
(
HALAMAN PENGESAHAN Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini diajukan oleh: Nama
: Tia Erviza Ulfa, S.Farm
NPM
: 1306344293
Program Studi
: Apoteker - Fakultas Farmasi UI
Judul Laporan
: Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal
Bina
Kefarmasian
dan
Alat
Kesehatan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 17 Maret - 28 Maret 2014 Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Pembimbing I : Drs. Riza Sultoni, Apt., MM.
( ............................... )
Pembimbing II : Prof. Dr. Endang Hanani, Apt., MS.
( ............................... )
Penguji I
:
( ............................... )
Penguji II
:
( ............................... )
Penguji III
:
( ............................... )
Ditetapkan di
: Depok
Tanggal
: 28 Juni 2014
v Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada periode 17 Maret - 28 Maret 2014. Kegiatan PKPA bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan. Laporan PKPA ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menempuh ujian akhir Apoteker pada Fakultas Farmasi UI. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini, yaitu kepada : 1. Dra. Maura Linda Sitanggang, Ph.D, selaku Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2. Dra. R. Dettie Yuliati, M.Si., Apt., selaku Direktur Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. 3. Anwar Wahyudi, SE., S.Farm., Apt., MKM, selaku Kepala Subbagian Tata Usaha. 4. Drs. Riza Sultoni, M.M., Apt., selaku Kepala Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotik, Psikotropik, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus dan pembimbing dalam penulisan tugas umum yang selalu memberi saran dan mendukung penulis 5. Prof. Dr. Endang Hanani, MS., Apt. selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, saran serta bimbingan kepada penulis dalam penulisan laporan PKPA. 6. Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 7. Dr. Hayun, M.Si., Apt., selaku Ketua Program Pendidikan Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia. 8. Seluruh staf dan karyawan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia atas segala pengarahan dan bantuan selama penulis melaksanakan PKPA.
vi Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
9. Seluruh dosen pengajar dan tata usaha program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia 10. Keluarga tercinta, Papa, Mama dan Adik-adikku (Doni, Yuda, Clara) atas semua dukungan, kasih sayang, perhatian, kesabaran, dorongan, semangat, dan doa yang tak pernah putus mengiringi setiap langkah perjalanan hidup penulis. 11. Seluruh teman-teman Apoteker angkatan 78 Universitas Indonesia atas kebersamaan, kerjasama dan kesediaan berbagi suka dan duka, dukungan dan semangat yang diberkan kepada penulis. 12. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungannya kepada penulis Penulis menyadari bahwa laporan PKPA ini jauh dari sempurna. Semoga pengetahuan dan pengalaman yang penulis dapatkan selama kegiatan PKPA ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembaca. Penulis 2014
vii Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Tia Erviza Ulfa
NPM
: 1306344293
Program Studi : Profesi Apoteker Fakultas
: Farmasi
Jenis karya
: Laporan PKPA
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker Di Direktorat Bina Produksi danDistribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan AlatKesehatan Kementerian Kesehatan Republik IndonesiaPeriode 17 Maret – 28 Maret 2014 beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia /format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : Juli 2014 Yang menyatakan
(Tia Erviza Ulfa)
viii Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
ABSTRAK Nama NPM Program Studi Judul
: Tia Erviza Ulfa : 1306344293 : Profesi Apoteker : Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker Di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Periode 17 Maret – 28 Maret 2014
Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan AlatKesehatan bertujuan untuk mengetahui fungsi apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian dan memahami tugas Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, khususnya di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Tugas khusus yang diberikan berjudul peralatan dan proses ekstraksi terstandar untuk memproduksi bahan baku obat tradisional yang baik, tugas khusus ini bertujuan untuk mendukung perkembangan produksi bahan baku obat yang terstandarisasi.
Kata Kunci : Produksi dan distribusi kefarmasian, bahan baku obat tradisional Tugas Umum : xv + 57 halaman; 4 gambar; 4 tabel; 8 lampiran Tugas Khusus : v + 33 halaman; 8 gambar; 4 tabel Daftar Acuan Tugas Umum : 5 (2009-2013) Daftar Acuan Tugas Khusus : 8 (2005-2013)
ix Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
ABSTRACT Name NPM Program Study Title
: Tia Erviza Ulfa : 1306344293 : Apothecary profession : Pharmacist Internship Report In Directorate Of Production and Distribution Of Pharmaceutical Directorate General Of Pharmaceutical and Medical Devices Ministry Of Health Of The Republic Of Indonesia Period 17 March - 28 March 2014
Pharmacists Professional Practice at Directorate Of Production and DistributionOf Pharmaceutical Directorate General Of Pharmaceutical and Medical Devices Ministry Of Health Of The Republic Of Indonesia aims to understand the dutiesand functions of pharmacists pharmacy in pharmacies and pharmacist understandthe activities in Pharmaceutical Directorate General of Pharmaceutical andMedical Devices Ministry of Helath at the Republic Indonesia, especially atdirectorate of production and distribution pharmaceutical. Given a specialassignment titled equipmentandstandardizedextractionprocesstoproducethe good rawmaterialsof traditionalmedicine, this particular taskaimstosupport thedevelopment of theproduction ofraw materials thatstandardized Keywords : Production and Distribution of Pharmaceutical, rawmaterialsof traditionalmedicine General Assignment : xv + 57 pages; 4 pictures; 4 tables; 8 appendices Specific Assignment : v + 33 pages; 8 pictures; 4 tables Bibliography of General Assignment: 5 (2009-2013) Bibliography of Specific Assignment: 8 (2005-2013)
x Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS .............................................. iv HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... v KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................... viii ABSTRAK ......................................................................................................... ix DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1 1.2 Tujuan ........................................................................................... 3 BAB 2. TINJAUAN UMUM ........................................................................... 4 2.1 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia................................. 4 2.2 Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan .......... 15 BAB 3. TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN ....................................................... 23 3.1 Tugas Pokok dan Fungsi.............................................................. 23 3.2 Tujuan .......................................................................................... 24 3.3 Visi dan Misi................................................................................ 24 3.4 Sasaran ......................................................................................... 25 3.5 Indikator....................................................................................... 25 3.6 Arah program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian ............................................................................... 25 3.7 Stategi .......................................................................................... 26 3.8 Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian................................................................................. 26 3.9 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional………………………………………………………26 3.10 Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan ....................... 28 3.11 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus ..................................... 29 3.12 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat.............30 3.13 Subbagian Tata Usaha .................................................................31 3.14 Strategi Pelaksanaan ....................................................................33 3.15 Sumber Daya................................................................................34 BAB 4. PEMBAHASAN ...................................................................................36 4.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional ................................................................................... 36 4.2 Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan .........................39 4.3 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus ..................................... 32 4.4 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat.............44 xi Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................48 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 48 5.2 Saran ............................................................................................ 48 DAFTAR ACUAN.............................................................................................49 LAMPIRAN.......................................................................................................50
xii Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1. Penampilan Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Tahun 2011....... 38 Gambar 4.2. Rekapitulasi Perizinan Sub Direktorat Produksi dan Makanan Tahun 2013........................................................... 41 Gambar 4.3.
Proses Penyelesaian Perizinan Sub Direktorat Produksi Kosmetik dan Makanan Tahun 2013.................................... 42
Gambar 4.4.
Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri................................................................................... 47
xiii Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Jumlah Pegawai di Lingkungan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tahun 2013 ................................................34
Tabel 4.1 Perizinan Bidang Obat dan Obat Tradisional Tahun 2013 ................37 Tabel 4.2
Izin Impor/Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Tahun 2013 yang diterbitkan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus ................................................................................43
Tabel 4.3 Target, Realisasi dan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negri Tahun 2013..................................................................................................45 Tabel 4.4
Perbandingan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negri Tahun 2013 .................................................................................................46
xiv Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Struktu Organisasi Kementrian Kesehatan RI...................... 50
Lampiran 2.
Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan.............................................................. 51
Lampiran 3.
Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal............ 52
Lampiran 4.
Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kefarmasian ..................................................... 53
Lampiran 5.
Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian.......................................................................... 54
Lampiran 6.
Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan..................................................................... 55
Lampiran 7.
Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian ........................................................................56
Lampiran 8.
Daftar Nama Bahan Baku Obat dan Bahan Baku Obat Tradisional yang Telah Siap Diproduksi Didalam Negeri.................................................................................57
xv Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
LatarBelakang Definisikesehatanmenurut UU No. 36 tahun 2009 adalahkeadaansehat,
baiksecarafisik, mental, spiritual maupunsosial yang memungkinkansetiap orang untukhidupproduktifsecarasosialdanekonomis.Kesehatanmerupakanfaktor
yang
sangatpentingdalamkehidupan,
yang
halinidikarenakandengantubuh
sehatsetiapindividudapatmenjalankansegalaaktivitaskehidupannyadenganbaikdanb erkualitas.Kesehatanmerupakanhakasasimanusiadanmerupakansalahsatuunsurkese jahteraan
yang
harusdiwujudkansesuaidengancita-citabangsa
Indonesia
sebagaimanadimaksuddalamPancasiladanUndang-UndangDasar Negara Republik Indonesia.Olehkarenaitupembangunankesehatanmerupakanhal
yang
sangatpentinguntukmeningkatkankualitaskesehatanrakyat
Indonesia
halinidikarenakandenganmeningkatnyaderajatkesehatanmasyarakat, jugaberartiinvestasibagipembangunannegara. kesehatanadalahupaya
yang
Pembangunan
dilaksanakanolehsemuakomponenbangsa yang
bertujuanuntukmeningkatkankesadaran,
kemauan,
dankemampuanhidupsehatbagisetiap
orang
terwujudderajatkesehatanmasyarakat
agar
yang
setinggi-tingginya,
sebagaiinvestasibagipembangunansumberdayamanusia produktifsecarasosialdanekonomis
yang
(KementerianKesehatan
MenurutUndang-UndangRepublik
Indonesia
Nomor
36
RI,
2009).
tahun
2009
tentangKesehatan, pembangunankesehatandibangundenganasasperikemanusiaan, keseimbangan,
manfaat,
perlindungan,
penghormatanterhadaphak,
dankeadilanbagiseluruhrakyat Indonesia. Pemerintahbertanggungjawabdalampembangunankesehatan, yaitumerencanakan,
mengatur,
menyelenggarakan,
membina,
danmengawasipenyelenggaraanupayakesehatan
yang
meratadanterjangkauolehmasyarakatgunatercapinyaderajatkesehatan
yang
setinggi-tingginya.
1 Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
2
Pemerintahjugabertanggungjawabatasketersediaansegalasumberdaya dibutuhkanuntukmendukungpembangunankesehatan inidikarenakanseluruhrakyatIndonesia
yang
RI.
Hal
berhakmemilikihak
yang
samadalammemperolehaksesatassumberdaya
di
bidangkesehatandalammemperolehpelayanankesehatan
yang
aman,
bermutu,
danterjangkau (KementerianKesehatan RI,2009). Kesehatanmerupakanhak
yang
fundamental,
olehkarenaituuntukPemerintahmelaluiKementerianKesehatanterusberupaya pelayanankesehatanmemilikikualitas
yang
semakinbaik.
agar Salah
satuupayauntukmeningkatkanpelayanankesehatanadalahdenganpelayanankefarma sian
yang
profesional.Terwujudnyapelayanankefarmasian
yang
mumpunimerupakantanggungjawabdariberbagaipihak, salahsatunyaadalahapoteker.Apotekerselakutenagakesehatan
yang
bertanggungjawabataspelayanankefarmasiandituntutuntukdapatmeningkatkanpen getahuandanketerampilanmelaluipembinaanpelayanankefarmasian.Untukmenunja nghaltersebut,
makapemerintahmelaluiKeputusanMenteriKesehatanNo.
1277/MENKES/SK/2001 membentukDirektoratJenderalPelayananKefarmasiandanAlatKesehatan (DitjenYanfardanAlkes)
yang
selanjutnyabergantinamamenjadiDirektoratJenderalBinaKefarmasiandanAlatKese hatan (DitjenBinfardanAlkes) berdasarkanPeraturanMenteriKesehatan RI No. 1575/MENKES/PER/XI/2005. BerdasarkanPeraturanMenteriKesehatanRepublik 1144/Menkes/Per/VIII/2010
Indonesia
tentangOrganisasidan
No. Tata
KerjaKementerianKesehatan, DirektoratJenderalBinaKefarmasiandanAlatKesehatandibagimenjadiempatdirekto rat,
salahsatunyaadalahDirektoratBinaProduksidanDistribusiKefarmasian.
Direktoratinibertugasmelaksanakanpenyiapan, danpelaksanaankebijakandanpenyusunannorma,
perumusan, standar,
dankriteriasertabimbinganteknisdanevaluasi
prosedur, di
bidangproduksidandistribusikefarmasian. Peranapoteker
di
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
3
pemerintahanberkaitandalampenanganansediaanfarmasidanalatkesehatan, halinimerupakanhal
yang
sangatpenting,olehkarenaitudiperlukanadanyapembekalanbagiparacalonapotekerm engenaitugasdanfungsiapotekerdalambidangkefarmasian
yang
bertujuanmemperkenalkan program pemerintahdalammeningkatkanperanapoteker di
masyarakat.
Olehkarenaitu,
diselenggarakanPraktkKerjaProfesiApoteker
di
KementerianKesehatan,
(PKPA)
denganharapancalonapotekerdapatmemperolehgambarannyatatentangperanapotek er
di
masyarakatsecaraumumdan
di
DirektoratJenderalBinaKefarmasiandanAlatKesehatansecarakhusus, terutama di DirektoratBinaProduksidanDistribusiKefarmasian. 1.2
Tujuan PraktikKerjaProfesiApoteker (PKPA) di DirektoratJenderalBina
KefarmasiandanAlatKesehatanbertujuan agar calonapoteker : a.
MengetahuidanmemahamitugasDirektoratJenderalBinaKefarmasiandanAlat KesehatanKementerianKesehatan
RI,
khususnya
di
DirektoratBinaProduksidanDistribusiKefarmasian. b.
Memahamiperandanfungsiprofesiapotekerdalammelaksanakanpekerjaankefa rmasian
di
DirektoratJenderalBinaKefarmasiandanAlatKesehatanKementerianKesehata n RI, khususnya di DirektoratBinaProduksidanDistribusiKefarmasian.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN UMUM 2.1
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Kementerian Kesehatan Republik Indonesia merupakan badan pelaksana
pemerintah di bidang kesehatan yang dipimpin oleh Menteri dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 nama Kementerian Kesehatan digunakan untuk menggantikan nama sebelumnya yaitu Departemen Kesehatan 2.1.1 Dasar Hukum Kementrian Kesehatan dibentuk berdasarkan dasar hukum, berikut adalah dasar hukum yang dimiliki oleh kementrian kesehatan : a.
Perpres RI No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara.
b.
Perpres RI No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara.
c.
Permenkes RI No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan.
2.1.2 Visi dan Misi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia memiliki sebuah Visi, yaitu “Sehat Yang Mandiri ,dan Berkeadilan” Indonesia, 2011). Oleh karena itu
(Kementerian Kesehatan Republik
agar visi tersebut tercapai,Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia menetapkan beberapa misi, dimana misi tersebut yaitu sebagai berikut: a.
Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani.
4 Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
5
b.
Melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata bermutu dan berkeadilan.
c.
Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumber daya kesehatan.
d.
Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik.
2.1.3 Strategi Untuk mewujudkan Visi dan Misi yang telah ditetapkan guna untuk meningkatkan pembangunan kesehatan, maka Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah menyusun beberapa strategi. Adapun strategi tersebut adalah : a.
Meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerja sama nasional dan global.
b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif. c.
Meningkatkan
pembiayaan
pembangunan
kesehatan,
terutama
untuk
mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. d. Meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan SDM kesehatan yang merata dan bermutu. e.
Meningkatkan ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan.
f.
Meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan berdayaguna dan berhasilguna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggungjawab.
2.1.4 Nilai-Nilai Untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia membuat beberapa strategi guna tercapainya visi dan misi tersebut, akan tetapi strategi tersebut harus menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai sebagai berikut berikut (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) :
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
6
a.
Pro Rakyat Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, Kementerian Kesehatan selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan haruslah menghasilkan yang terbaik untuk rakyat.Diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi setiap orang adalah salah satu hak asasi manusia tanpa membedakan suku, golongan, agama, dan status sosial ekonomi.
b.
Inklusif Semua program pembangunan kesehatan harus melibatkan semua pihak karena pembangunan kesehatan tidak mungkin hanya dilaksanakan oleh Kementerian
Kesehatan
saja.Dengan
demikian,
seluruh
komponen
masyarakat harus berpartisipasi aktif, yang meliputi lintas sektor, organisasi profesi, organisasi masyarakat pengusaha, masyarakat madani dan masyarakat akar rumput. c.
Responsif Program kesehatan haruslah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan rakyat, serta tanggap dalam mengatasi permasalahan di daerah, situasi kondisi setempat, sosial budaya dan kondisi geografis.Faktor-faktor ini menjadi dasar dalam mengatasi permasalahan kesehatan yang berbeda-beda, sehingga diperlukan penanganan yang berbeda pula.
d.
Efektif Program kesehatan harus mencapai hasil yang signifikan sesuai target yang telah ditetapkan dan bersifat efisien.
e.
Bersih Penyelenggaraan pembangunan kesehatan harus bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), transparan, dan akuntabel.
2.1.5 Tujuan Sebagai penjabaran dari Visi Kementrian Kesehatan, maka tujuan yang akan dicapai adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasilguna dan berdaya-guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Kementrian Kesehatan repuplik Indonesia, 2011). Tujuan
tersebut
dicapai
melalui
pembinaan,
pengembangan,
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
7
danpelaksanaan, serta pemantapan fungsi-fungsi administrasi kesehatan yang didukung oleh system informasi kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, serta hukum kesehatan. 2.1.6 Sasaran Strategis Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud.Pembangunan kesehatan
diselenggarakan
dengan
berdasarkan
pada
perikemanusiaan,pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, lanjut usia (lansia), dan keluarga miskin. Oleh sebab itu diperlukan sasaran-sasaran starategis guna meningkatkan pembangunan kesehatan di Indonesia, berikut adalah sasaran strategis dalam pembangunan kesehatan tahun 2010–2014, yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011): a.
Meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat, dengan: 1) Meningkatnya umur harapan hidup dari 70,7 tahun menjadi 72 tahun 2) Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 228 menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup 3) Menurunnya angka kematian bayi dari 34 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup 4) Menurunnya angka kematian neonatal dari 19 menjadi 15 per 1.000 kealahiran hidup 5) Menurunnya prevalensi anak balita yang pendek (stunting) dari 36,8 persen menjadi kurang dari 32 persen 6) Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh naskes terlatih (cakupan PN) sebesar 90% 7) Persentase puskesmas rawat inap yang mampu melaksanakan Pelayanan Obstetri Neonatus Esensial Dasar (PONED) sebesar 100% 8) Persentase Rumah Sakit Kabupaten Kota yang melaksanakan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komperhensif (PONEK) sebesar 100% 9) Cakupan kunjungan neonatal lengkap (KN lengkap) sebesar 90%.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
8
b. Menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular, dengan : 1) Menurunnya prevalensi Tuberculosis dari 235 menjadi 224 per 100.000 penduduk 2) Menurunnya kasus malaria (Annual Paracite Index-API dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk 3) Terkendalinya prevalensi HIV pada populasi dewasa dari 0,2 menjadi di bawah 0,5% 4) Meningkatnya cakupan imunisasi dasar lengkap bayi usia 0-11 bulan dari 80% menjadi 90% 5) Persentase desa yang mencapai Universal Child Immunization (UCI) dari 80% menjadi 100% 6) Angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) dari 55 menjadi 51 per 100.000 penduduk c.
Menurunnya disparasitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender, dengan menurunnya disparasitas separuh dari tahun 2009.
d.
Meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam rangka mengurangi resiko financial akibat gangguan kesehatan bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin.
e.
Meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah tangga dari 50 persen menjadi 70 persen.
f.
Terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).
g.
Seluruh provinsi melaksanakan program pengendalian penyakit tidak menular.
h.
Seluruh Kabupaten/kota melaksanakan Standar Pelayanan Minimal (SPM).
2.1.7 Rencana Strategis (Renstra) Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka sebagai salah satu pelaku pembangunan kesehatan, Kementrian Kesehatan telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) Kementrian Kesehatan periode 2010-2014.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
9
Renstra Kementrian Kesehatan merupakan dokumen perencanaan yang bersifat indikatif dan memuat berbagai program pembangunan kesehatan yang akan dilaksanakn langsung oleh Kementrian Kesehatan untuk kurun waktu 20102014, dengan penekanan pada penetapan sasaran Prioritas Nasional, Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan Millenium Development Goals’s (MDG’S). Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan dilaksanakan melalui beberapa upaya untuk peningkatan : 1. Upaya kesehatan 2. Pembinaan kesehatan 3. Sumber daya manusia kesehatan 4. Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan 5. Manajemen dan informasi kesehatan 6. Pemberdayaan masyarakat Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RPJPK) 2005-2025 dalam tahap ke-2 (2010-2014), kondisi pembangunan kesehatan diharapkan telah mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat
yang
ditunjukkan
dengan
membaiknya
berbagai
indikator
pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), seperti meningkatnya derajat kesehatan dan status gizi masyarakat, meningkatnya kesetaraan gender, meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan dan perlindungan anak, terkendalinya jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, serta menurunnya kesenjangan antar individu, antar kelompok masyarakat, dan antar daerah. 2.1.8 Arah Kebijakan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesis, 2011) Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan bidang sosial budaya dan kehidupan beragama yang diarahkan untuk mencapai sasaran peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang ditandai dengan meningkatnya IPM dan Indeks Pembangunan Gender (IPG), yang didukung oleh tercapainya penduduk tumbuh seimbang, serta semakin kuatnya jati diri dan karakter bangsa. Sesuai visi misi Presiden, kebijakan pembangunan kesehatan periode 5
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
10
tahun ke depan (2010-2014) diarahkan pada tersedianya akses kesehatan dasar yang murah dan terjangkau terutama pada kelompok menengah ke bawah guna mendukung pencapainya MDG’s pada tahun 2015. Tema Prioritas Pembangunan Kesehatan pada tahun 2010-2014 adalah “Peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan” melalui : 1.
Program Kesehatan Masyarakat
2.
Program Keluarga Berencana (KB)
3.
Sarana Kesehatan
4.
Obat
5.
Asuransi Kesehatan Nasional Prioritas Pembangunan Kesehatan pada tahun 2010-2014 difokuskan pada
delapan fokus prioritas, yaitu : 1.
Peningkatan kesehatan ibu, bayi, balita, dan Keluarga Berencana (KB)
2.
Perbaikan status gizi masyarakat
3.
Pengendalian penyakit menular serta penyakit tidak menular diikuti penyehatan lingkungan
4.
Pemenuhan, pengembangan, dan pemberdayaan SDM kesehatan
5.
Peningkatan ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan, keamanan, mutu, dan penggunaaan obat serta pengawasan obat dan makanan
6.
Pengembangan sistem Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
7.
Pemberdayaan masyarakat dan penanggulangan bencana dan krisis kesehatan
8.
Peningkatan pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier Arah kebijakan dan strategi Kementerian Kesehatan didasarkan pada arah
kebijakan dan strategi nasional sebagaimana tercantum di dalam Rencana Pembangunan jangka
Menengah
Nasional
(RPJMN)
2010-2014
dengan
memperhatikan permasalahan kesehatan yang telah diindentifikasi melalui hasil review pelaksanaan pembangunan kesehatan sebelumnya. Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan periode tahun 20102014.Perencanaan program dan kegiatan secara keseluruhan telah dicantumkan di dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan.Namun untuk menjamin terlaksanannya berbagai upaya kesehatan yang dianggap prioritas dan mempunyai
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
11
daya ungkit besar di dalam pencapaian hasil pembangunan kesehatan, dilakukan upaya yang bersifat reformatif dan akseleratif. Upaya tersebut meliputi pengembangan Jaminan Kesehatan Masyarakat, peningkatan pelayanan kesehatan di DTPK, ketersediaan, keterjangkauan obat di seluruh fasilitas kesehatan, saintifikasi jamu, pelaksanaan reformasi birokrasi, pemenuhan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), Penanganan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK), pengembangan pelayanan untuk Rumah Sakit Indonesia Kelas Dunia (World Class Hospital). Langkah-langkah pelaksanaan upaya reformasi tersebut disusun di dalam dokumen tersendiri, dan menjadi dokumen yang tidak terpisahkan dengan dokumen Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014 ini. Upaya kesehatan tersebut juga ditujukan untuk peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan status kesehatan dan gizi masyarakat antar wilayah, gender, dan antar tingkat sosial ekonomi, melalui: pemihakan kebijakan yang lebih membantu kelompok miskin dan daerah yang tertinggal, pengalokasikan sumber daya yang lebih memihak kepada kelompok miskin dan daerah yang tertinggal, pengembangan instrument untuk memonitor kesenjangan antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi, dan peningkatan advokasi dan capacity building bagi daerah yang tertinggal. Selain itu, untuk dapat meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, kedelapan fokus prioritas pembangunan nasional bidang kesehatan didukung oleh peningkatan kualitas manajemen dan pembiayaan kesehatan, sistem informasi dan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, melalui: a.
Peningkatan
kualitas
perencanaan,
penganggaran
dan
pengawasan
pembangunan kesehatan b. Pengembangan perencanaan pembangunan kesehatan berbasis wilayah c.
Penguatan peraturan perundangan pembangunan kesehatan
d. Penataan dan pengembangan sistem informasi kesehatan untuk menjamin ketersediaan data dan informasi kesehatan melalui pengaturan sistem informasi yang komprehensif dan pengembangan jejaring e.
Pengembangan penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
12
kesehatan dalam bidang kedokteran, kesehatan masyarakat, rancang bangun alat kesehatan dan penyediaan bahan baku obat f.
Peningkatan penapisan teknologi kesehatan dari dalam dan luar negeri yang cost effective
g. Peningkatan pembiayaan kesehatan untuk kegiatan preventif dan promotif; h. Peningkatan pembiayaan kesehatan dalam rangka pencapaian sasaran luaran dan sasaran hasil i.
Peningkatan pembiayaan kesehatan di daerah untuk mencapai indikator SPM
j.
Penguatan advokasi untuk peningkatan pembiayaan kesehatan
k. Pengembangan kemitraan dengan penyedia pelayanan masyarakat dan swasta l.
Peningkatan efisiensi penggunaan anggaran
m. Peningkatan biaya opersional Puskesmas dalam rangka peningkatan kegiatan preventif dan promotif dengan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) 2.1.9 Struktur Organisasi Struktur
organisasi
Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1144/ MENKES/PER/VIII/2010 pasal 4 menyatakan bahwa Kementerian Kesehatan Republik Indonesia terdiri atas (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010a) : a.
Sekretariat Jenderal.
b. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. c.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
d. Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. e.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
f.
Inspektorat Jenderal.
g. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. h. Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. i.
Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi.
j.
Staf Ahli Bidang Pembiayaan dan Pemberdayaan Masyarakat.
k. Staf Ahli Bidang Perlindungan Faktor Risiko Kesehatan. l.
Staf Ahli Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
13
m. Staf Ahli Bidang Mediko Legal. n. Pusat Data dan Informasi. o. Pusat Kerja Sama Luar Negeri. p. Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. q. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. r.
Pusat Komunikasi Publik.
s.
Pusat Promosi Kesehatan.
t.
Pusat Inteligensia Kesehatan.
u. Pusat Kesehatan Haji. Bagan struktur organisasi Kementerian Kesehatan dapat dilihat pada lampiran 1. 2.1.10 Kedudukan Berdasarkan
Peraturan
Menteri
No.1144/MENKES/PER/VIII/2010
Kesehatan
pasal
1,
Republik
kedudukan
dari
Indonesia Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia adalah (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : 1.
Kementrian Kesehatan berada di bawah dan beranggung jawab kepada Presiden.
2.
Kementrian Kesehatan dipimpin oleh Menteri Kesehatan.
2.1.11 Tugas Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 2, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 2.1.12 Fungsi Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/MENKES/PER/VIII/2010 pasal 3 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
menyelenggarakan
fungsi
(Kementerian
Kesehatan
Republik
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
14
Indonesia, 2010) : a. Perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kesehatan. b. Pengelolaan barang milik atau kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. c. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di daerah. e. Pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional. 2.1.13 Kewenangan Dalam menyelenggarakan fungsinya, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia mempunyai kewenangan, berikut adalah kewenangan Kementrian Kesehatan RI : a.
Penetapan kebijakan nasional di bidang kesehatan untuk mendukung pembangunan secara makro
b. Penetapan pedoman untuk menetukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/Kota di bidang Kesehatan c.
Penyusunan rencana nasional secara makro di bidang kesehatan
d. Penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan e.
Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi daerah yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidang kesehatan
f.
Pengaturan penerapan perjanjian atau persetujuan internasional yang disahkan atas nama Negara di bidang kesehatan
g. Penetapan standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan h. Penanggulangan wabah dan bencana yang berskala nasional di bidang kesehatan i.
Penetapan kebijakan sistem informasi nasional di bidang kesehatan
j.
Penetapan persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan
k. Penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
15
l.
Penetapan kebijakan pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak
m. Penetapan kebijakan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat n. Penetapan pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan o. Penetapan pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan p. Penetapan pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan dan standar etika penelitian kesehatan q. Penetapan standar nilai gizi dan pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi r.
Penetapan standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan
s.
Surveilan epidemiologi serta pengaturan pemberantasan dan penanggulangan wabah, penyakit menular dan kejadian luar biasa
t.
Penyediaan obat esensial tertentu dan obat untuk pelayanan kesehatan dasar sangat esensial (buffer stock nasional)
u. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : 1) Penempatan dan pemindahan tenaga kesehatan tertentu 2) Pemberian izin dan pembinaan produksi dan distribusi alat kesehatan 2.2.
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
2.2.1 Kedudukan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Direktorat Jenderal adalah unsur pelaksana yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.Direktorat Jenderal dipimpin oleh Direktur Jenderal. 2.2.2 Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya, Direkorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a.
Perumusan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
16
b.
Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
c.
Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
d.
Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan.
e.
Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
2.2.3 Tujuan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) a.
Terjaminnya ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan perbekalan kesehatan bagi pelayanan kesehatan;
b.
Terlindunginya masyarakat dari penggunaan obat dan perbekalan kesehatan yang tidak memenuhi standar mutu, keamanan, dan kerasionalan; dan
c.
Meningkatnya mutu pelayanan farmasi komunitas dan farmasi rumah sakit dalam kerangka pelayanan kesehatan komprehensif yang didukung oleh tenaga farmasi yang profesional.
2.2.4 Sasaran dan Indikator ( Ditjen Binfar dan Alkes,2013) Sasaran
hasil
program
kefarmasian
dan
alat
kesehatan
adalah
meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat. Indikator tercapainya sasaran hasil pada tahun 2014 adalah persentase ketersediaan obat dan vaksin sebesar 100%.. 2.2.5 Kegiatan (Ditjen Binfar dan Alkes,2013) Untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan , maka diperlukan dilakukan upaya kegiatan untuk mencapai sasaran tersebut. kegiatan yang akan dilakukan meliputi: a.
Peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan;
b.
Peningkatan produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga;
c.
Peningkatan pelayanan kefarmasian; dan
d.
Peningkatan produksi dan distribusi kefarmasian.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
17
2.2.6 Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dipimpin oleh Direktur Jenderal
yang bertanggung jawab
langsung kepada Menteri
Kesehatan.Struktur Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran 2. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan terdiri dari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a. Sekretariat Direktorat Jenderal. b. Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan. c. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian. d. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan. e. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian 2.2.6.1 Sekretariat Direktorat Jenderal Sekretariat Direktorat Jenderal mempunyai tugas melaksanakan pelayanan teknis administrasi kepada semua unsur di lingkungan Direktorat Jenderal Kesehatan . Struktur Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dapat dilihat pada Lampiran 3. Dalam melaksanakan tugasnya,
Sekretariat
Direktorat
Jenderal
menyelenggarakan fungsi, berikut adalah fungsinya ((Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010) : a.
Koordinasi dan penyusunan rencana, program, dan anggaran.
b. Pengelolaan data dan informasi. c.
Penyiapan urusan hukum, penataan organisasi, jabatan fungsional, dan hubungan masyarakat.
d. Pengelolaan urusan keuangan. e.
Pelaksanaan urusan kepegawaian, tata persuratan, kearsipan, gaji, rumah tangga, dan perlengkapan.
f.
Evaluasi dan penyusunan laporan. Sekretariat Direktorat Jendral terdiri atas (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2010): 1) Bagian Program dan Informasi. 2) Bagian Hukum, Organisasi, dan Hubungan Masyarakat.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
18
3) Bagian Keuangan. 4) Bagian Kepegawaian dan Umum. 5) Kelompok Jabatan Fungsional. 2.2.6.2 Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang obat publik dan perbekalan kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya,
Direktorat
Bina
Obat
Publik
dan
Perbekalan
Kesehatan
menyelenggarakan fungsi, yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
b.
Pelaksanaan kegiatan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
c.
Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
d.
Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan; dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
e.
Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang analisis dan standardisasi harga obat, penyediaan dan pengelolaan obat publik dan perbekalan kesehatan, serta pemantauan dan evaluasi program obat publik dan perbekalan kesehatan.
f.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
19
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan mempunyai struktur organisasi yang terdiri dari (Lampiran 4): a.
Subdirektorat Analisis dan Standardisasi Harga Obat.
b.
Subdirektorat Penyediaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
c.
Subdirektorat Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
d.
Subdirektorat Pemantauan dan Evaluasi Program Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.
e.
Subbagian Tata Usaha.
f.
Kelompok Jabatan Fungsional.
2.2.6.3 Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian Direktorat
Bina
Pelayanan
Kefarmasian
mempunyai
tugas
melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, serta penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pelayanan kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya, Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian menyelenggarakan fungsi, yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010): a.
Penyiapan
perumusan
kebijakan
di
bidang standardisasi,
farmasi
komunitas,farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional. b.
Pelaksanaan kegiatan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
c.
Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
d.
Pemberian bimbingan teknis di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
e.
Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang standardisasi, farmasi komunitas, farmasi klinik, dan penggunaan obat rasional.
f.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian mempunyai struktur organisasi
yang terdiri atas (Lampiran 5):
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
20
1) Subdirektorat Standarisasi 2) Subdirektorat Farmasi Komunitas 3) Subdirektorat Farmasi Klinik 4) Subdirektorat Penggunaan Obat Rasional 5) Subbagian Tata Usaha 6) Kelompok Jabatan Fungsional 2.2.6.4 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 588, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
b. Pelaksanaan kegiatan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. c.
Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. e.
Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian, inspeksi, standardisasi dan sertifikasi alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga.
f.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan
mempunyaiStruktur organisasi Direktorat Bina Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan terdiri atas (Lampiran 6):
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
21
1) Subdirektorat Penilaian Alat Kesehatan. 2) Subdirektorat Penilaian Produk Diagnostik Invitro dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. 3) Subdirektorat Inspeksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga. 4) Subdirektorat Standarisasi dan Sertifikasi. 5) Subbagian Tata Usaha. 6) Kelompok Jabatan Fungsional. 2.2.6.5 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. Dalam melaksanakan tugasnya,
Direktorat
Bina
Produksi
dan
Distribusi
Kefarmasian
menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
b. Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. c.
Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
d. Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis di bidang produksi dan distribusi kefarmasian. e.
Pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
f.
Pelaksanaan perizinan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
g. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat. Struktur organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi kefarmasian terdiri atas (Lampiran 7): 1) Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional. 2) Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
22
3) Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus. 4) Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. 5) Subbagian Tata Usaha. 6) Kelompok Jabatan Fungsional.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN 3.1
Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempuyai tugas
melaksanakan
penyiapan
perumusan
dan
pelaksanaan
kebijakan,
penyusunannorma, standar, prosedur, dan kriteria serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menyelenggarakan fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010): a.
Penyiapan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
b.
Pelaksanaan kegiatan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
c.
Penyiapan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dibidang produksi dan distribusi kefarmasian.
d.
Penyiapan pemberian bimbingan teknis, pengendalian, kajian dan analisis dibidang produksi dan distribusi kefarmasian.
e.
Pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
f.
Pelaksanaan perizinan dibidang produksi dan distribusi kefarmasian.
g.
Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat.
3.2
Tujuan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian mempunyai tujuan
yaitu : “industri Farmasi dan Makanan Yang Memenuhi Syarat dan Mampu Memenuhi
Kebutuhan
Dalam
Negeri
Serta
Bersaing
di
Era
Globalisasi”(Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013).
23Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
24
3.3
Visi dan Misi Agar tujuan yang telah ditetapkan oleh direktorat Bina Produksi dan
Distribusi Kefarmasian dapat tercapai, aktivitas operasional Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian beradasarkan Visi dan Misi sebagai berikut (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013): 1.
Visi Industri farmasi dan Makanan yang mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dan bersaing di era globalisasi.
2.
Misi a.
Menyusun dan mengembangkan standar dan persyaratan di bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan.
b.
Melaksanakan pelayanan publik yang prima dalam bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan.
c.
Membentuk aliansi strategis dalam bidang obat, obat tradisonal, sediaan farmasi khusus, kosmetik dan makanan.
d.
Melaksanakan pembinaan sarana produksi dan distribusi farmasi dan makanan.
3.4
Sasaran Guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan maka, Direktorat Bina
Produksi dan Distribusi Kefarmasian telah menetapkan beberapa sasaran, berikut adalah sasarannya :(Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013) a.
Menciptakan iklim industri yang kondusif melalui penyusunan regulsi, standar dan pedoman yang dapat mengakomodir pengembangan di bidang farmasi dan makanan.
b.
Melaksanakan pelayanan publik yang prima dalam bidang produksi dan dsitribusi kefarmasian dan makanan
c.
Melaksanakan pembinaan sarana produksi dan distribusi farmasi dan makanan
d.
Menciptakan kemandirian di bidang kefarmasian
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
25
3.5
Indikator Kegiatan Peningkatan produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki
luaran sebagai berikut : a.
Meningkatnya produks bahan baku dan obat lokal serta mutu sarana produksi dan distribusi kefarmasian
b.
Meningkatnya kualitas produksi dan distribusi kefarmasian
c.
Meningkatnya produksi bahan baku obat dan obat tradisional produksi dalam negeri.
3.6
Arah program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Arah program Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
dilaksanakan melalui 10 program, meliputi (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013) : a.
Menyusun norma, standar, persyaratan serta regulasi di bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan;
b.
Mengupayakan kemandirian di bidang obat, bahan baku obat dan obat tradisional Indonesia melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati;
c.
Meningkatkan pelaksanaan pelayanan prima didalam perijinan di bidang obat, narkotika, psikotropika, prekursor dan obat tradisional dan sediaan farmasi khusus, dan kosmetika;
d.
Membentuk aliansi strategis dalam rangka meningkatkan kemandirian obat, obat tradisional, kosmetika dan makanan;
e.
Menintegrasikan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal;
f.
Meningkatkan daya saing industri farmasi dan makanan;
g.
Meningkatkan keamanan, khasiat dan mutu sediaan farmasi dan makanan yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan yang salah danpenyalahgunaan sediaan farmasi dan makanan;
h.
Melaksanakan pembinaan terhadap sarana dan prasarana kefarmasiaan dan makanan;
i.
Peningkatan kemampuan sumber daya manusia dalam bidang produksi dan distribusi kefarmasian dan makanan;
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
26
j.
Monitoring dan evaluasi program Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian
3.7
Strategi Strategi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran Direkorat Bina
Produksi dan Distribusi Kefarmasian dengan cara sebagai berikut(Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013) : a.
Menyusun regulasi, standar dan pedoman yang dapat mengakomodir pengembangan di bidang farmasi dan makanan.
b.
Membentuk aliansi strategis dan mengintegrasikan sumber daya.
c.
Melaksanakan koordinasi dan pembinaan yang terpadu.
d.
Meningkatkan kapasitas SDM yang kompeten dan profesional.
3.8
Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Direktorat Bina Produksi dan
Distribusi
Kefarmasian memiliki Struktur Organisasi sebagai berikut
(Kementerian Kesehatan RI, 2010): a.
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional.
b.
Sudirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan.
c.
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus.
d.
Subdirekorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat.
e.
Subbagian Tata Usaha.
f.
Kelompok Jabatan Fungsional.
3.9
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional
3.9.1 Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010) Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
27
di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi: a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelak sanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
b.
Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
c.
Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
d.
Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
e.
Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
3.9.2 Struktur Organisasi (Kementerian Kesehatan RI, 2010) Struktur Organisai Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional terdiri atas : a.
Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi Seksi Standardisasi Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
b.
Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi Seksi Perizinan Sarana Produksi dan Distribusi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional
menangani penerbitan usaha industri farmasi, pedagang besar farmasi, pedagang besar bahan baku farmasi, industri obat tradisional dan penyusunan standar dan pedoman di bidang produksi dan distribusi kefarmasian.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
28
3.10
Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan
3.10.1 Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan RI, 2010) Subdirektorat Poduksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan
bahan perumusan
dan pelaksanaan kebijakan,
penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang produksi kosmetika dan makanan. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan menyelenggarakan fungsi: a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dibidang produksi kosmetika dan makanan.
b.
Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang kosmetika dan makanan.
c.
Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi kosmetika.
d.
Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi kosmetika dan makanan.
e.
Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan.
3.10.2 Struktur Organisasi Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan terdiri atas(Kementerian Kesehatan RI, 2010): a.
Seksi Standarisasi Produksi Kosmetika dan Makanan Standarisasi Produksi Kosmetika dan Makanan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang produksi kosmetika dan makanan.
b. Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika Seksi Perizinan Sarana Produksi Kosmetika mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pelaksanaan perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang sarana produksi kosmetika. Subdirektorat Produksi Kosmetika dan Makanan menangani penerbitan
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
29
izin usaha di bidang produksi kosmetika dan makanan dan penyusunan standar dan pedoman di bidang produksi ksometika dan makanan. 3.11
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus
3.11.1 Tugas dan Fungsi (Kementerian Kesehatan RI,2010) Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Sediaan Farmasi Khusus menyelenggarakan fungsi: a.
Penyiapan bahan perumusan kebijakan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan.
b.
Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria dan pedoman di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan.
c.
Pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan.
d.
Penyiapan bahan bimbingan dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan.
e.
Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan perizinan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor, dan sediaan farmasi khusus dan makanan.
3.11.2 Struktur Organisasi Struktur Organisasi Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika,
Prekursor,
dan
Sediaan
Farmasi
Khusus
terdiri
dari
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
30
atas(Kementerian Kesehatan RI, 2010): a.
Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Seksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi.
b. Seksi Sediaan Farmasi Khusus Seksi Sediaan Farmasi Khusus mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang sediaan farmasi khusus dan makanan. Subdirekorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekusor dan Sediaan Farmasi Khusus sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, maka dalam hal ini Subdirektorat tersebut menangani/menerbitkan izin import/eksport prekusor, psikotropika. 3.12
Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat
3.12.1 Tugas dan Fungsi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. Dalam
melaksanakan
tugas
sebagaimana
dimaksud
Subdirektorat
Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat menyelengarakan fungsi: a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat.
b. Penyiapan bahan penyusunan norma standar, prosedur, dan kriteria di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. c.
Penyiapan bahan koordinasi serta pelakasanaan kerjasama lintas program
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
31
dan lintas sektor di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. d. Penyiapan bahan bimbingan teknis di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. e.
Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan dibidang kemandirian obat dan bahan baku obat.
3.12.2 Struktur Organisasi Struktur Organisasi Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat terdiri atas(Kementerian Kesehatan RI, 2010): a. Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat Seleksi Analisis Obat dan Bahan Baku Obat mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta bimbingan teknis, pemantauan, evaluasi, dan penyusunan laporan di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. b. Seksi Kerjasama Seksi Kerjasama mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan koordinasi, pelaksanaan kerjasama lintas program dan lintas sektor, pengendalian serta evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kerjasama di bidang kemandirian obat dan bahan baku obat. 3.13
Subbagian Tata Usaha Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas untuk melaksanakan urusan tata
usaha dan rumah tangga Direktorat sebagai berikut (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013) : 3.13.1Umum a.
Pencatatan surat menyurat (surat masuk dan surat keluar) dengan sistem arsiparis.
b.
Distribusi surat masuk dan surat keluar ke subdit maupun eksternal Direktorat
c.
Pengetikan (komputerisasi) surat terutama untuk keperluan pimpinan
d.
Penyusunan daftar kepustakaan Direktorat
e.
Kearsipan dengan pola atau sistem arsiparis.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
32
3.13.2Kepegawaian Tugas Subbagian Tata Usaha Kepegawaian adalah membuat data dan informasi kepegawaian. Data dan informasi tersebut antara lain: a.
Daftar nama-nama pejabat berdasarkan nomor urut kepangkatan berikut nama jabatan, eselon dan golongan.
b.
Daftar seluruh pegawai berdasarkan nomor urut kepangkatan dan nama jabatan serta alamat.
c.
Informasi tentang kenaikan pangkat maupun memasuki masa pensiun.
d.
Menyusun dan menyimpan berkas-berkas data KP4 (Surat Keterangan Untuk Mendapat Tunjangan Keluarga) maupun daftar riwayat hidup seluruh pegawai.
e.
Menyusun dan menyimpan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) seluruh pegawai berdasarkan urutan tahun penilaian.
f.
Menyusun dan menyimpan berkas-berkas yang berkaitan dengan pegawai untuk seluruh pegawai.
g.
Mengurus data kenaikan pangkat pegawai yang mau naik pangkat.
h.
Membantu pengurusan pembuatan SIMKA (Sistem Informasi Kepegawaian).
3.13.3 Kerumahtanggaan Direktorat Tugas Subbagian Tata Usaha kerumahtangaan adalah sebagai berikut : a.
Melakukan inventarisasi barang-barang inventaris milik negara.
b.
Melakukan pendataan yang berkaitan dengan pemeliharaan barang-barang inventaris dan bekerjasama dengan bagian umum dan kepegawaian Setditjen (Sekertaris Direktorat Jenderal) Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
c.
Melakukan pendataan barang-barang inventaris yang akan diusulkan penghapusannya secara administratif yang selanjutnya diteruskan ke Bagian Umum dan Kepegawaian Setditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
d.
Menyiapkan bahan-bahan untuk keperluan rapat atau tamu-tamu Direktur.
e.
Menata dan mengatur ruang penyimpanan berkas/barang inventaris di Gudang Direktorat.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
33
3.14
Strategi Pelaksanaan Strategi yang dilaksanakan oleh masing –masing Subdirektorat untuk
mencapai target indikator adalah sebagai berikut (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013): 3.14.1 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional a.
Aliansi strategis dalam kemandirian di bidang obat tradisional
b.
Penyusunan NSPK di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional
c.
Pembinaan kepada sarana di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional
d.
Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, dan kabupaten/kota di bidang pembinaan obat dan obat tradisional
e.
Membangun jejaring kerja dengan pemangku kepentingan nasional di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional
3.14.2 Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan a.
Aliansi strategi di bidang produksi kosmetik dan makanan
b.
Penyusunan NSPK di bidang produksi kosmetik dan makanan
c.
Pembinaan kepada produsen kosmetik dan makanan
d.
Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, kabupaten/kota di bidang pembinaan produksi makanan
e.
Membangun jejaring kerja dengan pemangku kepentingan nasional di bidang produksi kosmetik dan makanan
3.14.3 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus a.
Membangun jejaring kerjasama dengan stake holder terkait melalui aliansi strategi di bidang produksi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan farmasi khusus
b.
Penyusunan NSPK di bidang produksi narkotik, psilotropik, prekursor dan sediaan farmasi khusus
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
34
c.
Pembinaan terhadap industri farmasi dan PBF yang melakukan produksi dan distribusi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan farmasi khusus
d.
Penguatan kapasitas SDM pusat, provinsi, kabupaten/kota di bidang pembinaan produksi dan distibusi narkotika, psikotropika, prekursor dan sediaan farmasi khusus dan pelaporan Narkotika dan Psikotropika.
3.14.4 Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat a.
Pendirian kelompok kerja kemandirian bahan baku obat. Kelompok kerja kemandirian bahan baku obat beranggotakan lintas kemandirian dan stakeholder terkait lain dengan kementrian kesehatan sebagai koordinator
b. Kerjasama dan fasilitas penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT dan LIPI) di bidang pengembangan bahan baku obat c.
Pembentukan jejaring kerja dengan berbagai stake holder diantaranya institusi penelitian, kalangan indutri dan asosiasi pengusaha
3.15
Sumber Daya(Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2014)
3.15.1 Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia yang bertugas di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan sampai akhir tahun 2013 berjumlah 47 orang yang terdiri dari 34 PNS dan 13 Non PNS. Berdasarkan jabatan, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian terdiri dari 14 orang dengan jabatan struktural dan 20 orang dengan jabatan fungsional umum/staf. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Jumlah pegawai di lingkungan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tahun 2013 No
Jabatan
Jumlah
Menurut Jabatan 1
Jabatan Struktural
14 orang
Jabatan Fungsional Umum/Staf
20 orang
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
35
Menurut Golongan 2
Golongan II
4 orang
Golongan III
23 orang
Golongan IV
7 orang
Menurut Pendidikan
3
S2
24 orang
S1
4 orang
D3
2 orang
SLTA
2 orang
SLTP
1 orang
Menurut Jenis Kelamin 4
Pria
9 orang
Wanita
25 orang
Menurut Kelompok Usia 5
< 30 tahun
9 orang
31 – 40 tahun
12 orang
41 – 50 tahun
5 orang
51 – 58 tahun
8 orang
Total SDM
34
3.15.2 Sarana dan Prasarana (Direktorat Bina Prodis Kefarmasian, 2013) Sarana dan prasarana yang tersedia di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian sesuai dengan Laporan Barang Milik Negara (BMN) pada Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian menggunakan data yang berasal dari Sistem Manajemen Akuntansi Barang Milik Negara (SIMAK BMN).
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
BAB 4 PEMBAHASAN Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian merupakan suatu Direktorat yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan yang terdiri dari 4 subdirektorat yaitu Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional, Subdirektorat Produksi Kosmetika Dan Makanan, Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus Dan Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat. 4.1
Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional
mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional menyelenggarakan fungsi: a.
Penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
b.
Penyiapan bahan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
c.
Pelaksanaan pemberian izin sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
d.
Penyiapan bahan bimbingan teknis dan pengendalian di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional.
e.
Penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi dan distribusi obat dan obat tradisional. Berdasarkan pengamatan selama PKPA di Subdirektorat Produksi dan
Distribusi Obat dan Obat Tradisional, subdirektorat telah melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Kerja nyata yang telah dilaksanakan oleh Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional antara lain:
36 Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
37
a.
Pemetaan industri farmasi, industri obat tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat.
b.
Perizinan industri farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat.
c.
Penyusunan Farmakope Indonesia
d. Penyusunan Kurikulum Modul Pembinaan di bidang Obat dan Obat Tradisional e.
Penyusunan Pedoman Pembinaan IOT dan IEBA.
f.
Penyusunan Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan di Bidang Obat dan Obat Tradisional
g. Sosialisasi perizinan dalam mewujudkan pelayanan perizinan terhadap Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat. Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional telah mengeluarkan izin terhadap Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat telah mengeluarkan izin sebanyak 577 selama tahun 2013 yang terbagi dalam 7 jenis. Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional yang telah diterbitkan pada tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 4.1 dan gambar 4.1 Tabel 4.1 Daftar Perizinan Bidang Obat dan Obat Tradisional Tahun 2013 No.
Jenis Kategori
Izin yang Dikeluarkan
1.
Izin IF
90
2.
Persetujuan Prinsip IF
6
3.
Izin IOT
15
4.
Persetujuan Prinsip IOT
1
5.
Izin IEBA
2
6.
Izin PBF
420
7.
Izin PBF Bahan Obat
43
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
38
REKAPITULASI PERIZINAN SUBDIREKTORAT PRODUKSI DAN DISTRIBUSI OBAT DAN OBAT TRADISIONAL TAHUN 2013
JUMLAH IZIN
500 400 300 200 100 0 IF
Prinsip IF
IOT
Prinsip IOT
IEBA
PBF
PBFBO
JENIS IZIN
Gambar 4.1 Rekapitulasi Perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obatdan ObatTradisional Tahun 2013 Subdirektorat Produksi dan Distribusi Obat dan Obat Tradisional melakukan sosialisasi perizinan Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan Alam, Pedagang Besar Farmasi Obat dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat secara berkesinambungan. Sosialisasi yang telah dilakukan dalam bentuk : 1.
Aliansi strategis di bidang obat dan obat tradisional,
2.
Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Obat Tradisional melalui media cetak
3.
Pendampingan tenaga kesehatan Provinsi terhadap perizinan dalam rangka pelayanan prima
4.
Pembekalan terhadap sarana produksi dan distribusi obat dan obat tradisional
5.
Pendampingan bagi KUMKM bidang obat tradisional
6.
Pembekalan tenaga kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dalam rangka pembinaan industri dan usaha obat tradisional Sosialisasi ini terus dilakukan dalam rangka meningkatkan kemampuan
dan pemahaman industri farmasi, industri obat tradisional, Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat (PBFBO) agar mampu memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Menurut pengamatan yang dilakukan selama Praktik Kerja Profesi Apoteker mengenai proses pengajuan perizinan Industri Farmasi, Industri Obat Tradisional, Pedagang Besar Farmasi dan Pedagang Besar Farmasi Bahan Obat Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
39
yang dilakukan di loket 1 Unit Layanan Terpadu, masih banyak berkas perizinan yang belum lengkap sehingga pemohon harus datang berulang-kali. Perizinan yang ditangani Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian ini merupakan suatu perizinan yang kompleks dan melibatkan juga instansi lainnya seperti Dinas Kesehatan Propinsi, Badan Pengawas Obat dan Makanan dan BKPM. Rekomendasi dari instansi lain tersebut merupakan salah satu persyaratan dari permohonan perizinan, sehingga tertundanya pengeluaran surat rekomendasi menyebabkan proses perizinan menjadi lebih lama. Selain itu, dari sekian banyak kegiatan pelayanan perizinan sarana produksi dan distribusi yang ditangani oleh Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, baru perizinan ekspor/impor narkotika saja yang menerapkan sistem online registration. Perizinan lainnya masih dilakukan pemeriksaan secara manual saja, namun akan diarahkan menjadi pelayanan online ke depannya. Dengan adanya sistem online registration ini, diharapkan proses akan lebih cepat dan efisien. 4.2
Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan Subdirektorat produksi kosmetika dan makanan bertanggung jawab dalam
mengatur
regulasi
produksi
kosmetik
dan
makanan
yaitu
penyiapan
bahanperumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, perizinan, bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan di bidang produksi kosmetika dan makanan, serta bertanggung jawab dalam pembinaan terhadap industri kosmetik dan makanan untuk dapat memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Berdasarkan Pemenkes RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang izin produksi kosmetika, diatur mengenai tata cara perizinan produksi kosmetika. Syarat yang harus dipenuhi dalam memperoleh izin produksi kosmetika adalah industri kosmetika harus menerapkan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB) dalam produksinya.CPKB bertujuan untuk menjamin agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Izin produksi diberikan sesuai bentuk dan jenis kosmetik yang akan dibuat. Izin produksi dibedakan atas dua golongan sebagai berikut,
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
40
industri kosmetik golongan A yaitu izin produksi yang dapat membuat semua bentuk dan jenis sediaan kosmetik dan wajib menerapkan seluruh aspek CPKB. Pada industri kosmetik golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetik yang dapat membuat bentuk dan jenis sediaan kosmetik tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana, namun harus mampu menerapkan hygiene sanitasi dan dokumentasi sesuai dengan CPKB.Hal ini bertujuan untuk menjaminmutu, keamanan dan kemanfaatan kosmetika yang beredar di masyarakat. Di Indonesia peraturan kosmetik disesuaikan dengan harmonisasi ASEAN tahun 1998.Penerapkan harmonisasi ASEAN di Indonesia pada tahun 2011 dalam bentuk notifikasi kosmetika.Tujuan perubahan alur registrasi menjadi notifikasi ialah agar masyarakat dilindungi dari peredaran dan penggunaan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, klaim manfaat produk serta mempermudah perolehan izin edar kosmetik. Notifikasi kosmetik, menetapkan aturan mengenai tata cara untuk memperoleh notifikasi dari suatu produk kosmetik sebelum diedarkan kemasyarakat yang diatur dalam Permenkes RI No. 1175Menkes/Per/VIII/2010 dan di bawah kewenangan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Penerapan sistem online dalam melakukan notifikasi mempermudah industri
kosmetik
dalam
mendaftarkan
produknya
http://notifkos.pom.go.id/bpom-notifikasi/.Notifikasi
melalui
memiliki
website
kelemahan,
yaitukonsumen sulit untuk mengetahui apakah produk yang beredar tersebut telah ternotifikasi atau belum ternotifikasi.Hal ini disebabkan karena dalam notifikasi tidak wajib mencantumkan nomor notifikasi di dalam kemasan produk kosmetik.Pada subdit ini juga dilakukan standarisasi kosmetik yang beredar dengan menyusun Formularium Kosmetik Indonesia. Pada pengaturan produksi makanan, kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan regulasi, pembinaan, pengawasan terhadap industri makanan yang ada di Indonesia. Pada subdit ini, dilakukan penetapan standar terhadap bahan tambahan dalam pangan yang diatur dalam Permenkes RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), serta pembinaan terhadap Industri Rumah Tangga (IRT). Diharapkan produk yang sampai ke konsumen memenuhi
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
41
syarat mutu dan keamanan. Subdirektorat produksi kosmetik dan makanan melaksanakan perizinan di bidang produksi kosmetik sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.Selama tahun 2013,, Subdirektorat Produksi dan Distribusi Kosmetika dan Makanan telah memberikan izin di bidang Kosmetika dan melakukan pembinaan pada Industri Rumah Tangga yang memproduksi makanan.Pada tahun 2013, jumlah izin produksi kosmetika yang masuk adalah sebanyak 106 buah, ditamba ditambah dengan jumlah izin yang masuk di tahun sebelumnya sehingga jumlah yang diterbitkan adalah sebanyak 118 buah izin, dengan rincian 113 izin (95,76%) diselesaikan tepat waktu dan izin (4,24%) tidak tepat waktu. Dinyatakan tepat waktu apabila waktu penyelesaian ian izin kurang dari 14 hari kerja, yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika.Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi Kosmetik dan Makanan yang telah diterbitkan pada tahun 2013 dapat dapat dilihat pada Grafik dan Diagram di bawah ini.
JUMLAH IZIN
REKAPITULASI PERIZINAN SUB DIREKTORAT PRODUKSI KOSMETIK DAN MAKANAN TAHUN 2013
100 80 60 40 20 0
83
16
IZIN PRODUKSI KOSMETIK
4
3
PERGANTIAN PENAMBAHAN PERUBAHAN PJ BENTUK SEDIAAN
JENIS IZIN
Gambar 4.2 Rekapitulasi Perizinan Sub Direktorat Produksi Kosmetik dan Makanan Tahun 2013
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
42
4%
≤ 14 HK (Sesuai Permenkes 1175) ≥ 14 HK (Tidak Sesuai Permenkes 1175)
96%
Gambar 4.3.. Proses Penyelesaian Perizinan Sub Direktorat Produksi Kosmetik dan Makanan Tahun 2013 4.3 Subdirektorat ektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika dan Sediaan Farmasi Khusus Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus merupakan subbagian dari Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian yang khusus menangani hal-hal hal hal yang terkait perizinan di bidang impor/ekspor narkotika, narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi seperti Surat Persetujuan Impor (SPI), Surat Persetujuan Ekspor (SPE), Importir Produsen (IP), Importir Terdaftar (IT), Eksportir Produsen (EP) dan Eksportir Terdaftar (ET). Selain menangani perizinan narkotika, Subdirektorat Subdirektorat ini juga menangani pengadaan sediaan farmasi khusus melalui jalur SAS ((Special Access Scheme) untuk sediaan farmasi yang belum memiliki izin edar di Indonesia. Pemberian izin sebagai IP narkotika, psikotropika maupun prekursor farmasi serta Surat urat Persetujuan impor/ekspor narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi dapat diberikan atas persetujuan Menteri Kesehatan. Dalam hal impor/ekspor narkotika, PT Kimia Farma ditunjuk sebagai Industri tunggal yang memiliki izin sebagai IP (Importir Produsen) Produsen) dan PBF tunggal sebagai
IT
(Importir Terdaftar) narkotika di mana impor/ekspor psikotropika dan prekursor farmasi dapat dilakukan oleh industri farmasi maupun PBF lainnya.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
43
Narkotika dan Psikotropika memerlukan penanganan khusus terkait produksi dan distribusinya mulai dari pengadaan bahan baku hingga dalam bentuk produk jadi yang siap diedarkan. Selain narkotika dan psikotropika, dikenal istilah prekursor atau bahan kimia yang dengan reaksi sederhana dapat diubah menjadi narkotika dengan penambahan senyawa lain. Prekursor farmasi juga memiliki tingkat resiko penyalahgunaan yang tinggi sehingga memerlukan pengawasan khusus seperti Narkotika dan Psikotropika. Sediaan Farmasi Khusus merupakan sediaan yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia tetapi belum memiliki izin edar di Indonesia yang dapat diperoleh dari sumbangan negara lain. Obat tersebut digunakan untuk pengobatan penyakit langka atau menyangkut keselamatan jiwa manusia seperti obat untuk penyakit Hemofilia. Kurangnya nilai komersial dari sediaan farmasi khusus menyebabkan tidak ada importir atauprodusen yang bersedia menangani registrasi dan izin edarnya. Pengadaan sediaan farmasi khusus ini melalui jalur khusus yang dikenal dengan istilah SAS (Special Access Scheme). Berdasarkan Laporan Tahunan Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Tahun 2013, Rekapitulasi perizinan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus yang telah diterbitkan dapat dilihat pada grafik di bawah ini : Tabel 4.2.Izin Impor/Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Tahun 2013 yang diterbitkan Subdirektorat Produksi dan Distribusi Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Sediaan Farmasi Khusus. No
Jumlah SPI
SPE
IP
EP
IT
1.
Narkotika
63
1
1
0
0
2.
Psikotropika
175
149
22
0
0
3.
Prekursor
245
76
41
0
0
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
44
4.4
Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Subdirektorat Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat melaksanakan
tugasnya yang bertujuan menjadikan negara Indonesia dapat mandiri dalam hal pengadaan obat dan bahan baku obat karena hampir 96% kebutuhan produk obat tersebut tergantung pada bahan baku obat (BBO) impor. Ada beberapa faktor yang menghambat kemandirian obat dan bahan baku obat dalam negeri diantaranya bahan baku hasil penelitian tidak sesuai kebutuhan bahan baku obat di industri dan tingginya pajak yang dikenakan untuk komponen pembuatan bahan baku obat. Hal ini mengakibatkan harga bahan baku hasil produksi dalam negeri menjadi lebih tinggi daripada harga bahan baku impor. Kemandirian yang dimaksud adalah industri farmasi mudah mendapatkan bahan baku obat hasil produksi dalam negeri sehingga tidak terpengaruh dengan kondisi pasar global. Keadaan ini akan menjaga kestabilan harga obat dalam negeri. Untuk mencapai tujuan kemandirian obat dan dan ketersediaan bahan baku obat, pemerintah melakukan beberapa hal, dimulai dengan pengalokasian dana riset bekerjasama dengan lembaga terkait dan industri farmasi, menstimulasi berdirinya industri bahan baku obat, dan mengupayakan kerjasama distribusi bahan baku obat produksi dalam negeri ke pasar internasional. Definisi operasional dari bahan baku obat dan obat tradisional yang diproduksi di dalam negeri yaitu : “bahan awal penyusun sediaan farmasi (obat dan obat tradisional) dapat berupa bahan berkhasiat maupun bahan tambahan yang merupakan hasil penerapan teknologi maupun bahan alam yang siap diproduksi”. Untuk memenuhi bahan baku obat dalam negeri, pemerintah menyusun roadmap pengembangan bahan baku. Dengan roadmap ini diharapkan terjalin kerjasama antara instansi/lembaga terkait dengan industri farmasi. Dalam roadmap tersebut telah ditetapkan strategi yaitu mengembangkan kebijakan yang berpihak pada pengembangan bahan baku obat; meningkatkan sinergitas Academic Business Goverment (ABG); menguatkan riset di bidang bahan baku obat yang berorientasi pada kebutuhan; meningkatkan kemampuan iptek; dan meningkatkan produksi bahan kimia sederhana, pemanfaatan sumber daya alam, dan bioteknologi. Untuk pengembangan bahan baku obat yang lebih efektif, saat ini telah dibentuk POKJANAS pengembangan bahan baku yang terdiri dari
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
45
beberapa lembaga, yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Badan POM, Kemenkokesra, BPPT, LIPI, universitas, dan industri farmasi. Pada tahun 2013, jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri yang tersedia mencapai 39 jenis dari target yang telah ditetapkan, seperti yang tertera pada tabel 4.4 Tabel 4.3. Target, Realisasi dan Capaian Indikator Kinerja Jumlah Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Tahun 2013 INDIKATOR
TARGET
REALISASI
CAPAIAN
KINERJA
2013
2013
(%)
Jumlah bahan baku obat
35
39
111,43
dan
obat
tradisional
produksi di dalam negeri Upaya yang dilakukan adalah dengan pendirian kelompok kerja kemandirian bahan baku obat beranggotakan lintas kementrian dan stakeholder terkait lainnya dengan Kementrian Kesehatan sebagai koordinator. Pencapaian kemandirian obat dan bahan baku obat juga terutama dilakukan melalui kerjasama dan fasilitasi penelitian dengan lembaga penelitian (BPPT, LIPI dan Perguruan Tinggi) di bidang pengembangan bahan baku obat serta pembentuk jejaring dengan berbagai stakeholder diantaranya institusi penelitian, kalangan industri dan asosiasi pengusaha. Optimalisasi koordinasi dengan pihak terkait dilakukan melalui perluasan jaringan kerja sama dengan universitas negeri yang memiliki basis riset dan bermitra dengan industri farmasi dan atau industri obat tradisional. Pada tahun 2012 kerja sama ini baru dilakukan dengan Kementrian Riset dan Teknologi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Pada tahun 2013 dilakukan optimalisasi dengan kementrian terkait yaitu Kementrian Keuangan, Kementrian Perindustrian, Kementrian Perdagangan, Kementrian Negara Ristek, dan Kementrian Perekonomian.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
46
Juga telah dilakukan perbaikan skema kerja pengembahan bahan baku dan bahan baku obat tradisional yang tidak hanya berorientasi pada produk, tetapi juga pada proses produksi lebih lanjut. Hal ini diperkuat dengan adanya Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku dan Rencana Induk Pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional di Indonesia. Untuk mencapai kemandirian di bidang obat tradisional, Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian telah melaksanakan pembangunan berupa: a.
Fasilitasi peralatan untuk Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) diempat tempat yaitu Kabupaten Kaur (Bengkulu), Kabupaten Bangli (Bali), Kabupaten sukoharjo (Jawa Tengah) dan Kabupaten Tegal (Jawa Tengah).
b.
Fasilitasi peralatan untuk Pusat Ekstrak Daerah (PED) di Kota Pekalongan (Jawa Tengah).
c.
Fasilitasi peralatan Laboratorium Mikrobiologi untuk tiga daerah penerima P4TO tahun 2012, yaitu Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Sumatera Utara dan Kota Pekalongan. Tiga puluh sembilan jenis bahan baku obat dan obat tradisional yang telah
siap diproduksi di dalam negeri (kumulatif 2011-2013) dapat terlihat pada Lampiran 8. Kinerja pemerintah untuk meningkatkan jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negri guna meningkatkan kemandirian bahan baku terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Persentase peningkatannya dapat dilihat pada tabel 4.5 dan gambar 4.4. Tabel 4.4. Perbandingan capaian indikator kinerja jumlah bahan baku obat dan obat tradisional produksi di dalam negeri tahun 2011 - 2013 Tahun 2011
INDIKATOR KINERJA Jumlah
T bahan 15
baku
obat
obat
tradisional
Tahun 2012
Tahun 2013
R
C
T
R
C
4
26,67 %
25
15 60,00 %
T
R
C
35
39 111,43 %
dan
produksi di dalam negeri
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
47
Ket : T = Target R = Realisasi C = Capaian
Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Jumlah BBO dan BBOT
50 40 30 20
Target
10
Realisasi
0 2010
2011
2012
2013
2014
Tahun
Gambar 4.4. Perbandingan Capaian Indikator Jumlah Bahan Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional Produksi di Dalam Negeri Jika bahan baku obat berhasil diproduksi secara mandiri di dalam negeri, maka pemerintah akan turut serta membantu dalam hal pemasaran bahan baku dengan menjalin kerja sama internasional untuk memperluas pasar bahan baku obat di luar negeri. Hal tersebut dilakukan jika hasil produksi dari industri bahan baku obat lokal telah memenuhi standar internasional. Dengan adanya pemasaran bahan baku obat ke luar negeri, diharapkan industri bahan baku obat akan mendapatkan profit yang lebih besar.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Berdasarkan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang telah
dilaksanakan di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian, Kementerian Kesehatan dapat disimpulkan bahwa : 1. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian memiliki tugas melaksanakan penyimpanan, perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria serta bimbingan teknis dan evaluasi dibidang Produksi dan Distribusi Kefarmasian. 2. Peran dan fungsi profesi apoteker dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian yaitu berkaitan dengan pembuatan regulasi, pembinaan, serta mengawasi produsen dan distributor di bidang farmasi, kosmetika, dan makanan yang bertujuan untuk memastikan bahwa produk yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan serta terjamin mutu dan keamanannya. 5.2
Saran Saran yang dapat diberikan dari kesimpulan di atas adalah sebagai berikut:
a. Kebijakan dan regulasi yang sudah ditetapkan segera disosialisasikan kepada semua pihak yang terkait. b. Disarankan setiap subdit menyusun protap pelaksanaan kegiatannya, agar pemantauan lebih mudah dilaksanakan dalam rangka antisipasi untuk melakukan perbaikan dan rencana tindak lanjut yang akan dilakukan. c. Mahasiswa sebaiknya dilibatkan secara langsung dalam teknis pelaksanaan kerja di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
48 Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian RI. (2013). Laporan Tahunan Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan RI. (2014). Laporan Tahunan 2013 Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian. Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Jakarta. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor021/MENKES/SK/1/2011 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta.
49 Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
2
Lampiran 1. Struktur Organisasi Kementrian Kesehatan
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
51
Lampiran 2.
Struktur Organisasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
52
Lampiran 3. Struktur Organisasi Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
53
Lampiran 4. Struktur Organisasi Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
54
Lampiran 5. Struktur Organisasi Direktorat Bina Pelayanan Kefarmasian
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
55
Lampiran 6. Struktur Organisasi Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
56
Lampiran 7. Struktur Organisasi Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
PERALATAN DAN PROSES EKSTRAKSI TERSTANDAR UNTUK MEMPRODUKSI BAHAN BAKU OBAT TRADISIONAL YANG BAIK
TUGAS KHUSUS PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 17 MARET – 28 MARET 2014
TIA ERVIZA ULFA 1306344293
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK MARET 2014
Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
PERALATAN DAN PROSES EKSTRAKSI TERSTANDAR UNTUK MEMPRODUKSI BAHAN BAKU OBAT TRADISIONAL YANG BAIK
TUGAS KHUSUS PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI DIREKTORAT BINA PRODUKSI DAN DISTRIBUSI KEFARMASIAN DIREKTORAT JENDERAL BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA PERIODE 17 MARET – 28 MARET 2014 Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
TIA ERVIZA ULFA 1306344293
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK MARET 2014
ii Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i DAFTAR ISI................................................................................................... ii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iii DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................ 1 1.1 Latar Belakang............................................................................ 1 1.2 Tujuan ......................................................................................... 2 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 2.1 Tumbuhan Indonesia................................................................... 2.2 Ekstrak ........................................................................................ 2.3 Ekstraksi...................................................................................... 2.4 Standarisasi Ekstrak.................................................................... 2.5 Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat...................................
3 3 3 6 13 18
BAB 3. METODE PENELITIAN................................................................ 19 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tugas Khusus ........................ 19 3.2 Metode Pengumpulan Data......................................................... 19 BAB 4. PROSEDUR DAN PERALATAN EKSTRAKSI ......................... 4.1 Penggilingan ............................................................................... 4.2 Ekstraksi...................................................................................... 4.2 Pemurnian Ekstrak ...................................................................... 4.4 Pemekatan Ekstrak...................................................................... 4.5 Pengeringan................................................................................. 4.6 Standarisasi Ekstrak .................................................................... 4.7 Pengemasan.................................................................................
20 20 22 23 24 25 25 29
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 32 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 32 5.2 Saran ........................................................................................... 32 DAFTAR ACUAN.......................................................................................... 33
ii Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
DAFTAR GAMBAR Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8
Hammer Mill ............................................................................ Perkolator ................................................................................. Alat Vacuum Fulter .................................................................. Rotary Evaporator .................................................................... Penetapan Susut Pengeringan................................................... Penentuan Bobot Jenis.............................................................. Mesin Pengemas Serbuk........................................................... Mesin Pengemas Cairan ...........................................................
iii Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
27 29 30 31 35 36 37 39
DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4
Spesifikasi Hammer Mill............................................................... Spesifikasi Perkolator.................................................................... Spesifikasi Rotary Evaporator....................................................... Spesifikasi Mesin Pengemas Cairan .............................................
iv Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
28 29 31 39
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya hayati kedua
terbesar yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Di Indonesia terdapat lebih kurang 30.000 jenis tumbuh-tumbuhan, lebih kurang 7.500 jenis diantaranya termasuk tanaman berkhasiat obat (Dirjen Binfar dan Alkes, 2007), lebih dari 1.800 jenis tanaman telah diidentifikasi dari beberapa formasi hutan, namun hingga saat ini pemanfaatannya belum optimal. Jumlah tanaman obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat baru sekitar 1.000 hingga 1.200 jenis, dan yang digunakan secara rutin dalam industri obat tradisional baru sekitar 300 jenis. Pengembangan obat tradisional diusahakan agar dapat sejalan dengan pengobatan modern. Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan kemajuan tekhnologi juga dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kepercayaan terhadap manfaat obat tradisional tersebut. Pengembangan obat tradisional juga didukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, tentang fitofarmaka, yang berarti diperlukan adanya pengendalian mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau sediaan galenik (BPOM, 2005; Tjitrosoepomo,G., 1994). Ekstrak merupakan bentuk-bentuk hasil proses sederhana herba tanaman obat yangbanyak digunakan dalam industri obat. Penggunaan simplisia danekstrak memiliki keunggulan dibandingkan bahan baku segar, dimanasimplisia maupun ekstrak tahan disimpan untuk waktu yang lamatanpa mengalami kerusakan. Khusus untuk ekstrak kandungan bahanaktif didalamnya jauh lebih tinggi dibanding bahan baku asalnya.Pemilihan pelarut sangat penting dalam proses ekstraksi
sehinggabahan
berkhasiat
yang
akan
ditarik
dapat
tersari
sempurna.Departemen Kesehatan merekomendasikan air, alkohol dan air denganalkohol untuk cairan penyari ekstrak untuk keperluan bahan baku obattradisional (Farouq, 2003).
1 Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
2
Sekitar 3 dasawarsa terakhir, teknologi pembuatan Obat Tradisional mengalami banyak perubahan sejalan dengan meningkatnya permintaan pembuktian khasiat dan
keamanan secara ilmiah. Penggunaan bahan Obat
Tradisionalbentuk serbuk mulai diganti dengan ekstrak. Untuk mengantisipasi peredaran dan penggunaan ekstrak tumbuhan obat yang tidak memenuhi persyaratan, pada sehingga tahun 2000, Departemen Kesehatan membuat parameter standar umum untuk ekstrak Tumbuhan Obat (Meteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Salah satu cara untuk mengendalikan mutu ekstrak adalah dengan melakukan standarisasi ekstrak. Standarisasi diperlukan agar dapat diperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat menjamin efek farmakologi tanaman tersebut (BPOM, 2005).Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan melakukan fasilitasi Pembangunan Pusat Ekstrak Daerah (PED) dan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) dalam rangka mendukung kemandirian obat dan bahan baku obat. Pendirian PED dan P4TO dimaksudkan sebagai upaya pengembangan Bahan Baku Obat Tradisional (BBOT) yang memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku di Indonesia sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan mutu obat tradisional yang secara luas digunakan untuk tujuan preventif, promotif dan kuratif dan juga dapat digunakan untuk mendukung program saintifikasi Jamu (Dirjen Binfar dan Alkes Kemenkes RI. 2013). 1.2 a.
Tujuan Mengetahui dan memahami tahapan dalam pembuatan simplisia untuk menghasilkan simplisia yang memenuhi standar mutu.
b.
Mengetahui peralatan yang digunakan dalam setiap tahapan pembuatan simplisiadan pengaruhnya terhadap mutu simplisia yang dihasilkan.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tumbuhan Obat Indonesia Tumbuhan obat Indonesia atau yang saat ini lebih dikenal dengan nama
obat bahan awal Indonesia, telah semakin banyak dimanfaatkan baik sebagai obat tradisional Indonesia (Jamu). Obat Herbal Terstandar ataupun Fitofarmaka. Berbagai penelitian dan pengembangan yang memanfaatkan kemajuan teknologi juga dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan kepercayaan terhadap manfaat obat bahan alam tersebut (Badan POM RI, 2005). Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa memenuhi persyaratan yang berlaku. Keamanan dan mutu obat tradisional tergantung dari bahan baku, bangunan, prosedur, dan pelaksanaan pembuatan, peralatan yang digunakan, pengemasan termasuk bahan serta personalia yang terlibat dalam pembuatan obat tradisional (Dirjen POM, 1994). Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah pembuatan ekstrak tumbuhan berkhasiat obat yang dilanjutkan dengan standarisasi kandungannya untuk memelihara keseragaman mutu, keamanan dan khasiat (Badan POM RI, 2005). 2.2
Ekstrak
2.2.1 Definisi Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
3 Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
4
sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditentukan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan menggunakan tekanan (Depkes RI, 1995). Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia dapat digunakan sebagai (BPOM RI, 2005) : 1. Bahan awal 2. Bahan antara atau 3. Bahan produk jadi Ekstrak sebagai bahan awal dianalogkan dengan komoditi bahan baku yang dengan teknologi fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Sedangkan ekstrak sebagai bahan antara merupakan bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan ekstrak lain. Ekstrak tersebut bisa dalam bentuk ekstrak kering, ekstrak kental dan ekstrak cair yang proses pembuatannya disesuaikan dengan bahan aktif yang dikandung serta maksud penggunaannya, apakah nantinya akan dibuat menjadi sediaan dalam bentuk kapsul, pil, tablet, cairan, obat-obat topikal (krim, salep). Terpenuhinya standar mutu produk/bahan ekstrak tidak terlepas dari pengendalian proses, artinya bahwa proses yang terstandar dapat menjamin produk yang terstandar. Untuk itu perlu dilakukan standarisasi baku dan proses yang terkendali dan terstandar, sehingga dapat diperoleh produk atau bahan ekstrak terstandar tanpa penerapan pengujian dan pemeriksaan. Padahal pengujian atau pemeriksaan persyaratan parameter standar umum ekstrak mutlak harus dilakukan dengan berpegang pada manajemen pengendalian mutu eksternal oleh badan formal dan atau bahan independen. Keuntungan penggunaan ekstrak dibandingkan dengan simplisia asalnya adalah penggunaannya lebih mudah dan bobot pemakainya lebih sedikit dibandinkan bobot tumbuhan asalnya.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
5
2.2.2 Jenis-jenis Ekstrak Terdapat beberapa jenis ekstrak baik ditinjau dari segi pelarut yang digunakan ataupun hasil akhir dari ekstrak tersebut. Adapun jenis-jenis ekstrak adalah sebagai berikut : a.
Ekstrak air Menggunakan pelarut air sebagai cairan pengekstraksi. Pelarut air merupakan pelarut yang mayoritas digunakan dalam proses ekstraksi. Ekstrak yang dihasilkan dapat langsung digunakan atau diproses kembali seperti melalui pemekatan atau proses pengeringan.
b.
Tinktur Sediaan cari yang dibuat dengan cara maserasai ataupun perkolasi simplisia. Pelarut yang umum digunakan dalam proses produksi tinktur adalah etanol. Satu bagian simplisia diekstrak dengan menggunakan 2-10 bagian menstrum/ekstraktan.
c.
Ekstrak cair Bentuk dari ekstrak cair mirip dengan tinktur namun telah melalui pemekatan hingga diperoleh ekstrak yang sesuai dengan ketentuan farmakope.
d.
Ekstrak encer Dikenal sebagai ekstrak tenuis, dibuat seperti halnya ekstrak cair. Namun kadang masih perlu diproses lebih lanjut.
e.
Ekstrak kental Ekstrak ini merupakan ekstrak yang telah mengalami proses pemekatan. Ekstrak kental sangat mudah untuk menyerap lembab sehingga mudah untuk ditumbuhi oleh kapang. Pada proses industri ekstrak kental sudah tidak lagi digunakan, hanya merupakan tahap perantara sebelum diproses kembali menjadi ekstrak kering.
f.
Ekstrak kering (extract sicca) Ekstrak kering merupakan ekstrak hasil pemekatan yang kemudian dilanjutkan ke tahap pengeringan. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu: 1) Menggunakan bahan tambahan seperti laktosa, aerosil
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
6
2) Menggunakan proses kering beku, proses ini mahal 3) Menggunakan proses proses semprot kering atau fluid bed drying g.
Ekstrak minyak Dilakukan dengan cara mensuspensikan simplisia dengan perbandingan tertentu dalam minyak yang telah dikeringkan, dengan cara seperti maserasi.
h.
Oleoresin Merupakan sediaan yang dibuat dengan cara ekstraksi bahan oleoresin (misalnya Capsicum fructus dan Zingiberis rhizom) dengan pelarut tertetu umumnya etanol.
2.3
Ekstraksi
2.3.1 Pengertian Ekstraksi Ekstraksi merupakan suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat didalam bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut dan metode yang tepat. Sedangkan ekstrak adalah hasil dari proses ekstraksi, bahan yang diekstraksi merupakan bahan alam. Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan penyari tertentu. Zat aktif yang terdapat dalam simplisia yang diekstraksi tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Depkes, 2000). Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan (Syamsuni, 2006). 2.3.2 Prinsip Ekstraksi Pada prinsipnya ekstraksi adalah melarutkan dan menarik senyawa dengan menggunakan pelarut yang tepat. Ada tiga tahapan proses pada waktu ekstraksi yaitu: 1.
Penetrasi pelarut kedalam sel tanaman dan pengembangan sel
2.
Disolusi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel
3.
Difusi bahan yang terekstraksi ke luar sel
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
7
Proses diatas diharapkan terjadinya kesetimbangan antara linarut dan pelarut. Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada suhu, pH, ukuran partikel dan gerakan partikel. Prinsip yang utama adalah yang berkaitan dengan kelarutan, yaitu senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam pelarut nonpolar. 2.3.3 Metode Ekstraksi Ada beberapa macam cara untuk melakukan ekstraksi berdasarkan bahan yang akan kita ambil diantaranya : a.
Berdasarkan energi yang digunakan Terbagi menjadi ekstraksi cara panas dan ekstraksi cara dingin.ekstraksi
cara panas entara lain reflux, soxhlet, destilasi, infusa, dekokta. Sedangkan ekstraksi cara dingin antara lain pengocokan, maserasi, perkolasi. Ekstraksi cara panas lebih cepat untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan karena panas akan memperbesar kelarutan suatu senyawa. Sedangkan untuk ekstraksi cara dingin dikhususkan untuk senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan. Kelemahan ekstraksi cara panas terkadang akan terbentuk suatu senyawa baru akibat peningkatan suhu menjadi senyawa yang berbeda. Makadaripada itu untuk senyawa yang diperkirakan tidak stabil maka digunakanlah ekstraksi cara dingin. b.
Berdasarkan bentuk fase Ekstraksi ini didasarkan berdasarkan pada larutan yang bercampur dan
pelarut yang tidak bercampur. Berdasarkan bentuk fasenya ekstraksi dibagi menjadi beberapa golongan yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair-padat. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu : a. Cara Dingin 1. Maserasi Maserasi berasal dari kata “macerare” artinya melunakkan. Maserat adalah hasil penarikan simplisia dengan cara maserasi, sedangkan maserasi adalah penarikan cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
8
tersebut dalam cairan penyari (Syamsuni, 2006) dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Depkes, 2000). Keuntungan dari metode maserasi yaitu prosedur dan peralatannya sederhana (Agoes, 2007) . 2. Perkolasi Percolare berasal dari kata ”colare”, artinya menyerkai dan ”per” = through, artinya menembus (Syamsuni, 2006). Dengan demikian, perkolasi adalah suatu cara penarikan memakai alat yang disebut perkolator dimana simplisia terendam dalam cairan penyari, zat-zat akan terlarut dan larutan tersebut akan menetes secara beraturan (Syamsuni, 2006). Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) sampai diperoleh ekstrak (Depkes, 2000). Keuntungan dari metode perkolasi ini adalah proses penarikan zat berkhasiat dari tumbuhan lebih sempurna, sedangkan kerugiannya adalah membutuhkan waktu yang lama dan peralatan yang digunakan mahal (Agoes, 2007). b. Cara Panas 1. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Pelarut akan terdestilasi menuju pendingin dan akan kembali ke labu (Depkes, 2000). 2. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan merendam sampel yang mengisi bagian tengah alat soklet, setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi, demikian berulang-ulang (Depkes, 2000).
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
9
3. Infus Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 900C) selama 15 menit (Depkes, 2000). 4. Digesti Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar yaitu pada 40-500C (Depkes RI, 2000). 5. Dekok Dekok adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur 900C selama 30 menit (Depkes RI, 2000). 2.3.4 Parameter Yang Mempengaruhi Ekstraksi Beberapa parameter atau faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi yaitu: a.
Pengembangan/Pemelaran Bahan Tanaman Hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah
perlakuan awal tanaman yang akan diekstraksi dengan menggunakan pelarut. Berikut adalah beberapa alasannya : 1.
Untuk mencegah pemelaran atau pembengkakkan tanaman di dalam kemasan tertutup (wadah proses ekstraksi) secara tiba-tiba. Hal ini terjadi jika pelarut yang digunakan adalah air, maka simplisia dapat memelar atau membengkak 2 - 3 kali dari volume awal yang akan menyebabkan peledakan (pecahnya) alat ekstraksi yang mengakibatkan ekstraksi tidak berlangsung dengan baik.
2.
Untuk menjamin proses pembasahan secara merata dari tanaman yang akan diekstraksi, dan juga meningkatkan kontak dan aliran pelarut dalam alat ekstraksi, serta mencegah timbulnya gelembung udara penyebab timbulnya saluran udara.
3.
Untuk meningkatkan porositas dinding sel yang akan mempermudah difusi zat aktif yang akan diekstraksi dari sel menuju pelarut atau penentrasi sel oleh pelarut.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
10
Pengembangan atau pembengkakan bahan tanaman dalam hal ini akan menjamin permeasi pelarut, dan konsekuensinya akan menghilangkan zat terlarut didalam secara sederhana dan selektif. b. Difusi, pH, Ukuran Partikel, dan Temperatur 1. Difusi Dalam mengekstraksi bahan aktif dari simplisia, pelarut harus berdifusi ke dalam sel. Dan selanjutnya zat aktif harus cukup larut dalam pelarutnya. Sehingga kesetimbangan akan tercapai antara solute dan solvent. 2. pH pH berperan dalam selektifitas 3. Ukuran Partikel Ukuran partikel biasanya disesuaikan dengan komposisi senyawa yang akan diekstraksi. Secara umum serbuk yang lebih halus akan mudah di ekstraksi. 4. Temperatur Temperatur dan gerakan cairan dalam proses ekstraksi akan akan mempengaruhi kesetimbangan dan mengubahnya menuju saturasi pelarut. Gerakan cairan dapat dicapai dengan membuat bahan tanaman tetap dan melakukan sirkulasi pelarut baik itu menggunakan pompa atau pengadukan mekanik. c.
Pilihan Pelarut Ekstraksi Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang
perlu diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki kepolaran yang sama akan lebih mudah tertarik/ terlarut dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama. Berkaitan dengan polaritas dari pelarut, terdapat tiga golongan pelarut yaitu : 1.
Pelarut polar Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak
senyawa-senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung universal digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap dapat menyari senyawa-
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
11
senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Contoh pelarut polar adalah : air, metanol, etanol, asam asetat. 2.
Pelarut semipolar Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan senyawasenyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah: aseton, etil asetat, kloroform. 3.
Pelarut nonpolar Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik untuk
mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh: heksana, eter. 2.3.5 Kriteria Pemilihan Pelarut Dalam memilih pelarut yang akan dipakai harus diperhatikan sifat kandungan kimia (metabolit sekunder) yang akan diekstraksi. Sifat yang penting adalah sifat kepolaran, dapat dilihat dari gugus polar senyawa tersebut yaitu gugus OH, COOH. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar, dan senyawa non polar akan lebih mudah larut dalam pelarut non polar. Derajat kepolaran tergantung kepada ketetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik makin polar pelarut tersebut. Kepolaran dan kelarutan memiliki dasar teori yaitu: a.
Kepolaran terjadi apabila ada dipolmomen, kepolaran suatu senyawa merupakan jumlah seluruh dipole momen yang ada.
b.
Asosiasi pelarut dengan zat terlarut disebut solvent, terjadi bila ada analogi struktur. Kelarutan terjadi bila energi solvatasi lebih besar dari energi Kristal.
c.
Untuk molekul yang tidak terionisasi terjadi mekanisme pembentukan pasanga ion dengan pelarut sebagai donor atau akseptor pelarut.
d.
Dalam hal dua senyawa berstruktur berdekatan kelarutannya merupakan fungsi dari tekanan uap dari titik lelehnya.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
12
Penggolongan pelarut berdasarkan polaritas, berdasarkan gugus fungsi, dan berdasarkan bahan organik dan non organiknya. Syarat-syarat pelarut adalah sebagai berikut: a. Kapasitas besar b. Selektif, mampu mengekstrak semua senyawa dalam simplisia c. Volabilitas cukup rendah (kemudahan menguap atau titik didihnya cukup rendah) Cara memperoleh penguapannya adalah dengan cara penguapan diatas penangas air dengan wadah lebar pada temperature 600C, destilasi, dan penyulingan vakum. d. Harus dapat diregenerasi e. Relatif tidak mahal f. Non toksik, non korosif, tidak memberikan kontaminasi serius dalam keadaan uap g. Viskositas cukup rendah h. Mudah untuk dihilangkan dari ekstrak i. Tidak bereaksi dengan senyawa-senyawa dalam simplisia yang diekstrak Dalam melakukan ekstraksi zat aktif tertentu secara sempurna digunakan pelarut ideal yang mempunyai selektifitas maksimum, kapasitas terbaik ditinjau dari koefisien saturasi produk dalam medium dan kompatibel dengan sifat-sifat bahan yang diekstraksi. Parameter ini untuk setiap tanaman biasanya didapatkan dari eksperimental karena pilihan pelarut ini akan bergantung pada stabilitas senyawa yang diekstrask serta adanya kemungkinan antaraksi antara pelarut dengan zat lain yang terdapat dalam proses ekstraksi. Menurut farmakope, etanol merupakan pelarut pilihan untuk memperoleh ekstrak secara klasik seperti tinktur, ekstrak cair, kental, dan kering yang masih digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi. Pelarut tersebut disamping mempunyai daya ekstraktif yang tinggi, minimal harus bersifat selektif dan dapat digunakan tidak hanya untuk ekstraksi klasik, tapi dapat juga digunakan untuk ekstraksi tanaman yang bahan aktifnya belum diketahui dengan baik, dan inginkan ekstrak yang paling lengkap.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
13
Dalam
proses
ekstraksi
pilihan
pelarut
yang
digunakan
akan
mempengaruhi selektivitas pelarut terhadap senyawa aktif dari tanaman obat tersebut. 2.3.6 Urutan Ekstraksi Secara umum, ekstraksi dilakukan secara berturut-turut mulai dengan pelarut non polar (n-heksan) lalu dengan pelarut yang kepolarannya menengah (diklormetan, kloroform) kemudian dengan pelarut polar (etanol atau metanol). Dengan demikian, akan dieroleh ekstrak awal (crude extract) yang secara berturut-turut mengandung senyawa nonpolar, kepolaran menengah, dan senyawa polar. Pengekstraksian dengan senyawa nonpolar biasanya diperlukan juga sebagai pengawalemakan (deffating) sebelum diekstraksi dengan pelarut yang sesuai (ekstrak yang diperoleh bersifat bebas lemak). Selanjutnya adalah penghilangan pelarut organik atau pelarut air yang digunakan, pelarut tersebut harus dihilangkanatau diperkecil volumenya. Untuk pelarut organik biasanya dilakukan dengan penguapan putar vakum. Sedangkan untuk pelarut air biasanya dilakukan
dengan
pengeringbekuan
(freeze-drying).
Mula-mula
ekstrak
dihilangkan pelarut organiknya kemudian dibekukan dalam wadah kaca khusus dan bahan yang beku. 2.4
Standarisasi Ekstrak Standarisasi adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran
yang hasilnya merupakan unsur-unsur yang memenuhi standar dan jaminan stabilitas produk. Untuk menjaga kualitas bahan baku obat alam perlu dilakukan usaha budidaya dan standarisasi terhadap bahan baku tersebut, baik dalam bentuk simplisia maupun yang berbentuk ekstrak. Dalam rangka standarisasi ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan telah melakukan penelitian bekerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian serta lembaga terkait guna menetapkan bilangan parameter eksrak tumbuhan obat.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
14
Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar spesifik. Dengan standarisasi, pemerintah melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan serta melindungi konsumen dan untuk menjamin mutu, keamanan dan manfaat produk akhir. Standarisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan. Khasiat ekstrak dengan simplisia asalnya belum tentu sama persis, karena simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda akan mempengruhi kelarutan serta stabilitas senyawa tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia, akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ektraksi yang tepat. Dalam memperoleh ekstraksi yang baik harus diperhatikan parameterparameter sebagai berikut : Parameter Nonspesifik a. Parameter susut pengeringan Adalah pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada temperature 1050C selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang dinyatakan sebagai nila prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di atmosfer/lingkungan udara terbuka. Tujuannya adalah untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. b. Parameter bobot jenis Adalah masa per satuan volume pada suhu kamar tertenru (250C) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat lainnya. Tujuannya untuk memberikan batasan tentang besarnya masa persatuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat (kental) yang masih dapat dituang. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
15
c. Kadar air Pengukuran kandungan air yang berada didalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau gravimetri. Tujuannya untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air didalam bahan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. d. Kadar abu Bahan dipanaskan pada temperature dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga menyisakan unsur mineral dan anorganik. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbantuk ekstrak. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. e. Sisa pelarut Menentukan
kandungan
sisa
pelarut
tertenru
(yang
memang
ditambahkan) yang secara umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya, misalnya kadar alkohol. Tujuannya adalah memberikan jaminan bahwa selama proses tidak meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada. Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlahh pelarut (alkohol) sesuai denngan yang ditetapkan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. f. Residu pestisida Menentukan kandungan sisa pestisida yang mungkin saja pernah ditambahkan atau mengkontaminasi pada bahan simplisia pembuat ekstrak. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
16
g. Cemaran logam berat Menentukan kandungan logam berat secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. h. Cemaran mikroba Menentukan adanya mikroba yang patogen secara analisis mikrobiologis. Tujuannya untuk memberikan jaminan bahwa ektrak tidak boleh mengandung mikroba patogen dan tidak mengandung mikroba non patogen melebihi batas yang ditetapkan karena berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya bagi kesehatan. Nilai atau rentang yang diperbolehkan terkait dengan kemurnian dan kontaminasi. Parameter Spesifik a. Identitas Meliputi deskripsi tata nama (nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, nama tumbuhan indonesia) dan dapat mempunyai senyawa identitas. Tujuannya untuk memberikan identitas objektif dari nama dan spesifik dari senyawa identitas. b. Organoleptik Meliputi penggunaan panca indra untuk mendeskripsikan bentuk (padat, serbuk-kering, kental, cair, dll), warna (kuning, coklat, dll), bau (aromatik, tidak berbau, dll), rasa (pahit, manis, kelat, dll). Tujuannya untuk pengenalan awal yang sederhana. c. Senyawa terlarut dalam pelarut tertentu Melarutkan pelarut ekstrak dengan pelarut (alkohol atau air) untuk ditetapkan jumlah solute yang identik dengan jumlah senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa terlarut dalam palarut lain misalnya heksana, diklormetan, metanol.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
17
Tujuannya untuk memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan. d. Uji Kandungan Kimia Ekstrak 1. Pola kromatogram Ekstrak ditimbang, diektraksi dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram yang khas. Tujuannya adalah memberikan gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatografi (KLT, KCKT, KG). 2. Kadar total golongan kandungan kimia Dengan penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetric, gravimetric atau lainnya. Dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas linieritas. Ada beberapa golongan kandungan kimia yang dapat dikembangkan dan ditetapkan metodenya, yaitu golongan: minyak atsiri, steroid, tannin, flavonoid, triterpenoid (saponin), alkaloid, antrakinon. Tujuannya adalah untuk memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan efek farmakologis. 3. Kadar kandungan kimia tertentu Dengan tersedianya suatu kandungan kimia yang berupa senyawa identis atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan kadar kandungan kimia tertentu. Instrument yang dapat digunakan adalah Densitometer, Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau instrument lain yang sesuai. Metode penetapan kadar harus diuji dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linieritas, ketelitian, ketepatan dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk memberikan data kadar kandungan kimia tertentu
sebagai
senyawa
identitas
atau
senyawa
yang
diduga
bertanggungjawab pada efek farmakologi.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
18
Contohnya adalah penetapan kadar andrografolid dalam ekstrak sambiloto secara HPLC atau penetapan kadar pinostorbin dalam ekstrak temu kunci secara densitometri. 2.5.
Kemandirian Obat dan Bahan Baku Obat Saat ini kebutuhan dalam negeri maupun internasional terhadap obat-
obatan yang terstandarisasi untuk obat program semakin tinggi. Dengan adanya produk farmasi Indonesia yang terstandarisasi diharapkan dapat menjamin ketersediaan obat program dalam penanggulangan penyakit di Indonesia serta dapat menjadi sumber pendapatan yang besar bagi negara. Selain itu dengan penerapan standarisasi maka produk farmasi Indonesia dapat bersaing di pasar regional maupun internasional. Pada tahun 2012, telah dilakukan kegiatan Evaluasi Penerapan dan Sosialisasi Penerapan standarisasi bahan baku obat. Langkah lainnya dalam menciptakan kemandirian obat dan bahan baku obat adalah fasilitasi penelitian bahan baku obat. Pada tahun 2012, telah dilaksanakan fasilitasi penelitian bahan baku obat melalui kerjasama dengan lembaga penelitian seperti BPPT dan LIPI. Langkah menuju kemandirian juga diwujudkan dengan mendorong pemanfaatan potensi bahan alam Indonesia, yaitu dengan pembangunan Pusat Penanganan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO). Pelaksanaan pembangunan Pusat Pengolahan Pasca Panen Tanaman Obat (P4TO) melalui kerjasama Kemenkes dengan pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten. Pusat pengolahan pasca panen ini diharapkan dapat menjadi fasilitas pengolahan yang terstandar sehingga produk pasca panen tanaman obat Indonesia dapat semakin berdaya saing disertai kualitas, keamanan dan manfaat yang baik (Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2013).
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
BAB 3 METODOLOGI EVALUASI 3.1
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Tugas Khusus Tugas khusus dilaksanakan selama Praktek Kerja Profesi Apoteker pada
periode 17 Maret - 28 Maret 2014 di Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 3.2
Metode Pengumpulan Data Dilakukan studi literatur untuk mengetahui peralatan dan proses ekstraksi
yang benar sehingga dapat menghasilkan ekstrak yang memenuhi standar mutu sehingga nantinya dapat digunakan untuk memproduksi bahan bahu obat yang baik. Proses ekstraksi ini dimulai dari penggilingan simplisia yang telah dikeringkan hingga pengemasan. Peralatan yang digunakan mengacu kepada alat yang digunakan pada pusat pengolahan pasca panen tanaman obat (P4TO) tahun 2013.
19 Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB 4 PEMBAHASAN Terdapat beberapa tahapan dalam proses ekstraksi skala industri, meliputi: 1. Penghalusan/ penggilingan simplisia 2. Ekstraksi tanaman obat 3. Pemurnian ekstrak 4. Pemekatan ekstrak 5. Pengeringan ekstrak 6. Standardisasi ekstrak 7. Pengemasan 4.1 a.
Penggilingan Konsep umum dan tujuan penggilingan Penggilingan atau penghalusan tanaman obat adalah penurunan ukuran
atau penghalusan secara mekanik dari bahan tanaman tertentu menjadi unit sangat kecil. Tahap ini merupakan tahap pertama dari pengolahan tanaman obat. Dalam proses penggilingan/penghalusan, homogenitas ukuran partikel merupakan parameter utama karena akan mempengaruhi keseragaman tahapan ekstraksi bahan aktif, yang tergantung pada kecepatan difusi zat aktif dari granul (serbuk) tanaman obat menuju pelarut, waktu kontak, kecepatan pelarut melewati bahan serbuk tanaman obat, dan aspek lainnya. b.
Peralatan untuk penggilingan (penghalusan) tanaman obat. Diantara alat penggiling standar yang luas digunakan adalah jenis alat
standar yang dikenal dengan nama alat mesin penggiling palu (Hammer Mill).
Gambar 3.1. Hammer Mill
20 Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
21
Tabel 4.1. Spesifikasi Hammer Mill
Munson Hammer Mill, dapat mengecilkan ukuran partikel menjadi material halus yang seragam dengan ukuran 20 hingga 300 mesh. Standar Oprasional Prosedur Hammer Mill : 1.
Operator harus memakai pelindung mata dan telinga serta masker sepanjang waktu saat mengoperasikan mesin.
2.
Sebelum digunakan, periksa pendingin dan oli dari motor diesel. Periksa dan pastikan bahwa semua baut dikencangkan pada frame dan belt dengan erat.
3.
Ikat kantong ke tabung output dan tutupi bagian atas pembuka mesin dengan kantong lain untuk meminimalkan hilangnya material halus.
4.
Hati-hati terkena tangan. Semua bahan harus kering, bahan lembab akan membuat sumbatan.
5.
Jauhkan jari dan lengan dari hopper .
6.
Masukkan bahan dimana mesin dapat mengolah material.
7.
Jika mesin tampaknya tidak beroperasi seperti biasa, matikan dan laporkan masalah ini ke pimpinan.
8.
Seorang pekerja harus memantau isi kantong yang menampung semua material.
Ketika
kantong
penuh,
operator
harus
menghentikan
memasukkan bahan kedalam mesin. Kemudian keluarkan kantong yang telah penuh dan diganti dengan kantong baru, Ketika mengganti kantong, cobalah untuk menjaga agar kehilangan material halus seminimal mungkin. 9.
Setelah menyelesaikan pekerjaan, matikan mesin, bersihkan tempat kerja, dinginkan mesin dan kembalikan mesin ke lokasi penyimpanan.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
22
4.2
Ekstraksi
Proses ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai macam teknik, antara lain : 1.
Maserasi Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simpisia
yang dihaluskan sesuai dengan syarat farmakope (umumnya dipotong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalis oleh cahaya atau perubahan warna) dan dikocok berulang-ulang (kirakira 3 kali sehari). Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope mencantumkan 4-10 hari (Voight, 1995). 2.
Perkolasi Perkolasi dilakukan dalam wadah berbentuk silindris atau kerucut
(perkolator) yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan pengekstraksi yang dialirkan secara kontinu dari atas, akan mengalir turun secara lambat melintasi simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Jumlah bahan yang dapat diekstraksi mencapai 95% (Voight, 1995).
Gambar 4.2. Perkolator (sumber : http://www.alibaba.com)
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
23
Tabel 4.2. Spesifikasi Perkolator
3.
Sokletasi Sokletasi dilakukan dengan cara bahan yang akan diekstraksi diletakkan
dalam kantung ekstraksi (kertas, karton, dan sebagainya) di bagian dalam alat ekstraksi dari gelas yang bekerja kontinu. Wadah gelas yang mengandung kantung diletakkan diantara labu penyuling dengan pendingin aliran balik dan dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut berisi bahan pelarut yang menguap dan mencapai kedalam pendingin aliran balik melalui pipet yang berkondesasi didalamnya. Menetes keatas bahan yang diekstraksi dan menarik keluar bahan yang diekstraksi. Larutan berkumpul didalam wadah gelas dan setelah mencapai tinggi maksimalnya, secara otomatis dipindahkan kedalam labu. Dengan demikian zat yang terekstraksi terakumulasi melalui penguapan bahan pelarut murni berikutnya (Voight, 1995). 4.3
Pemurnian Ekstrak Pemurnian ekstrak adalah perlakuan ekstraksi cairan untuk menghilangkan
residu simplisia atau bahan yang tidak diperlukan selama proses. Untuk mempercepat proses filtrasi, dapat digunakan alat filtrasi sistem vakum (proses filtrasi dalam keadaan vakum atau dengan menggunakan pompa). Penggunaan filterpenyaring bisa dipasang berapa mikron yang akan dipakai, menyesuaikan bahan baku yang diekstraksi. Kemudian filtrat yang diperoleh selanjutya dievaporasi atau diuapkan agar diperoleh ekstrak murni.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
24
Gambar 4.3. Alat Vacuum Filter 4.4
Pemekatan Ekstrak Sesudah dilakukan ekstraksi simplisia, akan dihasilkan larutan yang
mengandung fraksi terlarut. Jika tahap selanjutnya bertujuan untuk mendapat komponen tertentu, lazimnya dilakukan proses pemekatan atau proses ekstraksi cair/cair. Pemekatan ekstrak di industri, untuk larutan berjumlah besar, salah satu alat konsentrator yang digunakan adalah Evaporator.
(a)
(b)
Gambar 4.4. Rotary Evaporator (Rotavapor), (a) Rotavapor R-210 (b) Rotavapor R-215
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
25
Tabel 4.3. Spesifikasi Rotary Evaporator
4.5
Pengeringan Jika ekstrak kering dibuat secara benar maka ekstrak kering sangat sesuai
untuk pembuatan sediaan farmasi. Bila produk terkontaminasi dapat disterilkan dengan penyinaran dengan sinar gamma. Ada beberapa macam alat untuk memperoleh ekstrak kering, mulai dari pengering vakum dingin (vacuum freeze dryers) untuk produk yang termolabil sampai alat pengering vakum tradisional. 4.6
Standarisasi Ekstrak Penentuan parameter-parameter Standarisasi, berdasarkan parameter
spesifik dan parameter nonspesifik. 4.6.1 Parameter spesifik (Depkes RI, 1980) 1.
Penetapan organoleptik ekstrak, meliputi bentuk, warna, bau, dan rasa.
2.
Penetapan kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu.
a.
Kadar senyawa yang larut dalam air. Sejumlah 5 g ekstrak disari selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform LP, menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam, saring. Diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap, residu dipanaskan pada
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
26
suhu 105C hingga bobot tetap. Dihitung kadar dalam persen senyawa yang larut dalam air terhadap berat ekstrak awal. b.
Kadar senyawa yang larut dalam etanol. Sejumlah 5 g ekstrak dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml etanol 95% menggunakan labu bersumbat sambil berkali kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring cepat dengan menghindari penguapan etanol, kemudian diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan penguap yang telah ditara, residu dipanaskan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Dihitung
kadar dalam persen
senyawa yang larut dalam etanol terhadap berat ekstrak awal. 4.6.2 Parameter Non Spesifik (Depkes RI, 1980) 1.
Susut Pengeringan Ditimbang seksama 1 g ekstrak dalam krus porselen bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105C selama 30 menit dan telah ditara. Ratakan dengan menggoyangkan hingga merupakan lapisan setebal (5 mm – 10 mm) dan dikeringkan pada suhu penetapan hingga bobot tetap, buka tutupnya, biarkan krus dalam keadaan tertutup dan mendingin dalam desikator hingga suhu kamar, kemudian dicatat bobot tetap yang diperoleh untuk menghitung persentase susut pengeringannya.
Gambar 4.5. Penetapan Susut Pengeringan
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
27
2.
Penetapan Kadar Air Metode Gravimetri, prosedur : 10 gram ektrak timbang dalam wadah, kemudian dikeringkan pada suhu 105ºC selama 5 jam, stelah itu timbang dan
lanjutkan pengeringan,
timbang setelah 1 jam (hingga selisih < 0,25%). Metode Karl Fischer, prosedur : Larutkan 63 gram iodium P dalam 100 ml piridina, dinginkan dalam air es, alirkan belerang dioksida P hingga 32,3 gram, kemudian tambahkan metanol mutlak P hingga 500 ml, biarkan selama 24 jam. 3.
Penetapan Kadar Abu Ditimbang 2 g ekstrak dengan seksama ke dalam krus yang telah ditara, dipijarkan perlahan lahan. Kemudian suhu di naikkan secara bertahap hingga 600 + 25C sampai bebas karbon, selanjutnya didinginkan dalam desikator, serta timbang berat abu. Kadar abu dihitung dalam persen terhadap berat sampel awal. Kadar abu yang tidak larut dalam asam Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu, didihkan dengan 25 ml asam klorida encer P selama 5 menit, bagian yang tidak larut asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, disaring dan ditimbang, ditentukan kadar abu yang tidak larut asam dalam persen terhadap berat sampel awal.
4.
Penentuan Bobot Jenis (Depkes RI, 2000) Bobot jenis ekstrak ditentukan terhadap hasil pengenceran ekstrak (5% dan 10%) dalam pelarut tertentu (etanol) dengan alat piknometer.
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
28
Gambar 4.6. Penentuan Bobot Jenis 5. Penentuan total bakteri dan total kapang (Depkes RI, 2000) a. Penetuan total bakteri Dipipet dengan pipet steril 1 ml ekstrak dari
pengenceran 10-4,
ditanamkan dalam medium NA, lalu diinkubasi pada suhu 37C selama 24 jam. Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran. b. Penentuan total kapang Dipipet dengan pipet steril 1 ml ekstrak dari pengenceran 10-4 ditanam dalam medium PDA, lalu diinkubasi pada suhu 25C selama tiga hari. Kemudian diamati dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh dan dikalikan dengan faktor pengenceran. 6. Penentuan Batas Logam Timbal (Pb). Penentuan batas logam Pb di dalam ekstrak dilakukan secara destruksi basah ekstrak dengan asam nitrat dan hydrogen peroksida, kadar Pb ditentukan dengan spektrofotometri serapan atom (Depkes RI, 1995; Raimon, 1992; Slavi, 1978; Haswell, 1991).
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
29
4.6.3 Uji Kandungan Kimia Ekstrak 1. Pola kromatogram Ekstrak ditimbang, diektraksi dengan pelarut dan cara tertentu, kemudian dilakukan analisis kromatografi sehingga memberikan pola kromatogram (KLT, KCKT, KG) yang khas.. 2. Kadar total golongan kandungan kimia Dengan penerapan metode spektrofotometri, titrimetri, volumetri, gravimetri atau lainnya. Dapat ditetapkan kadar golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya, terutama selektivitas dan batas linieritas. 3. Kadar kandungan kimia tertentu Instrument yang dapat digunakan adalah Densitometer, Kromatografi Gas, Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau instrument lain yang sesuai. Metode penetapan kadar harus diuji dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linieritas, ketelitian, ketepatan dan lain-lain. 4.7
Pengemasan Setelah semua tahapan ekstraksi dilalui, langkah terakhir adalah
pengemasan. Ekstrak yang diperoleh dapat berupa serbuk atau ekstak kental yang telah terstandarisasi.
Gambar 4.7. Mesin Pengemas dalam Bentuk Serbuk
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
30
Spesifikasi Mesin Pengemas Nama Alat
: Powder Packing Machine
Tipe
: Filling Machine
Nama Dagang
: Jieswisu
Model
: CJTBP-40
Dimensi (L x W x H)
: 1100 x 578 x 1358 mm
Berat
: 145KG
Sertifikasi
: CE ISO
Tipe Kemasan
: Karton, Kaleng, Botol, Barrel, kantung, Case
Bahan Kemasan
: Plastik, kertas, logam, kaca, nylonPlastic.
Automatic Grade
: Automatic
Driven Type
: Electric
Voltage
: 380V 220V 110V
Power
: 0.15 KW
Particle content
: 2 ± 0.5g / kantung (dapat diatur)
Working Pressure
: 0.65 - 1.0 MPa
Sealing accuracy
: ≤ ±1%
Kapasitas Produksi
: 200 - 300 kantung/jam
Sealing the form
: 20 - 450 ml
Kapasitas Pengemasan : 3000 kantug/jam (tergantung bahan pengemas). Ukuran Kemasan
: 1000 x 590 x 160 mm, 180 kg
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
31
Gambar 4.8. Mesin Pengemas dalam Bentuk Cairan atau Ekstrak Kental Tabel 4.4. Spesifikasi Mesin Pengemas Cairan Machine name
Vertical automatic piston liquid filling machine
Model
HP-CD
Metering methods
Pistons quantitative
Mode of operation
Foot or automatic
Filling container
Arbitrary shape
Filling range
Filling speed
25-250ml, 50-500ml, 100-1000ml, 250-2500ml, 5005000ml 40 bottles/min (according to the material characteristics an d filling volume set)
Filling precision
<1%
Air pressure
0.4-0.6Mpa
Voltage
220v/50hz
Power
20w
Dimension
1000*410*880mm
Weight
50Kg (50-500ml)
Universitas Indonesia Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
BAB 5 PENUTUP 5.1 1.
Kesimpulan Untuk menghasilkan simplisia yang memenuhi standar mutu ada 6 (enam) tahapan antara lain sortasi basah, pencucian, perajangan,pengeringan, sortasi kering, dan pengepakan serta penyimpanan.
2.
Penggunaan peralatan yang sesuai dapat menghasilkan simplisia yang bermutu baik.
5.2 1.
Saran Pemerintah seyogyanya meningkatkan anggaran untuk mendukung pengembangan produksi bahan baku obat tradisional.
2.
Meningkatkan sosialisasi dan pembinaan mengenai standar proses pembuatan dan peralatan yang digunakan untuk menghasilkan simplisia yang memenuhi standar mutu.
3.
Perlu adanya kerja sama antara pemerintah dengan swasta dalam berbagai bidang seperti pemberian fasilitas, kemudahan perizinan, dan pelaksanaan penelitian untuk mendukung kemandirian bahan baku obat tradisional.
32 Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN Arifin, Helmi, Nelvi Anggraini, Dian Handayani, Roslinda Rasyid. (2006). Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Eugenia Cumini Merr. Skripsi. Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Andalas. Padang Badan POM RI. (2005). Standarisasi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia, Salah Satu Tahapan Penting Dalam Pengembangan Obat Asli Indonesia Vol.6 No.4, 1-5. Info POM. ISSN 1829-9334 Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2007). Kebijakan Obat Tradisional. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.381/Menkes/SK/III/2007. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. (2013). Komitmen Untuk Kesehatan : Kinerja Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan 2012. Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Hal 18-20 Dirjen Binfar dan Alkes Kemenkes RI. 2013. Buletin Infarkes. Informasi Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Edisi IV, Hal 12-13 E. Tommy, Ashfar K., Budi Utami, Liliek ND., Adhen M. (2011). Konsep Herbal Indonesia: Pemastian Mutu Produk Herbal.
Fakultas
matematika dan ilmu pengetahuan alam departemen farmasi program studi magister ilmu herbal, Universitas Indonesia. Depok Farouq. 2003. Ekstrak sebagai salah satu pengembangan bentuk obat tradisional. Seminar POKJANAS TOI XXIII. Unversitas Pancasila, Jakarta. Hal. 12. S. Ma’mun, Suhirman, F. Manoi, B. S. Sembiring, Tritianingsih, M. Sukmasari, A. Gani, Tjitjah F., D. Kustiwa. (2006). Teknik Pembuatan Simplisia Dan Ekstrak Purwoceng. Laporan Pelaksanaan Penelitian Tanaman Obat Dan Aromatik Tahun 2006
33 Laporan praktek…., Tia Erviza Ulfa, FFar UI, 2014
Universitas Indonesia