UNIVERSITAS INDONESIA
KONTRIBUSI MONETER DAN NON MONETER PEKERJA RUMAH TANGGA YANG DIUPAH DALAM KELUARGA SUAMI ISTRI BEKERJA (STUDI KASUS : PEMAKAI JASA PEKERJA RUMAH TANGGA DI DKI JAKARTA)
TESIS
FILOMENA MARIA DE FATIMA DIAS 1106105493
PROGRAM STUDI KAJIAN GENDER PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA JULI 2013
Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
KONTRIBUSI MONETER DAN NON MONETER PEKERJA RUMAH TANGGA YANG DIUPAH DALAM KELUARGA SUAMI ISTRI BEKERJA (STUDI KASUS : PEMAKAI JASA PEKERJA RUMAH TANGGA DI DKI JAKARTA)
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar M.Si
FILOMENA MARIA DE FATIMA DIAS 1106105493
PROGRAM STUDI KAJIAN GENDER PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA JULI 2013
Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan RahmatNyalah maka saya masih diberi kesehatan, kekuatan dan kesempatan untuk menyelesaikan tesis ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Terselesainya tesis ini juga mendapat dukungan dari berbagai pihak dalam memberi arahan, masukan dan dorongan sehingga tidak lupa saya juga ingin mengucapkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya kepada : 1.
Dr. Kristi Poerwandari selaku ketua program studi Kajian Gender, sekaligus pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memberi masukan pada penulisan tesis ini mulai dari penyusunan, pelaksanaan penelitian sampai selesainya penulisan tesis ini. Untuk itu saya sangat berterima kasih atas bantuannya.
2.
Mbak Shely Adelina, M.Si, Ibu Kusyuniati Ph.D, mbak Iklilah M.Si, Mbak Ruth Eveline beserta seluruh dosen pengajar di PSKG yang selama ini telah membekali saya selama perkuliahan dengan materi-materi sensitivitas gender sehingga memampukan saya memiliki kepekaan terhadap persoalan yang dihadapi kaum perempuan dalam realita sosial.
3.
Seluruh staf PSKG, mbak Yati, mas Sukron yang telah banyak membantu memudahkan saya mengakses buku-buku bacaan selama penyusunan tesis ini serta mbak Dewi yang selalu mengingatkan kami para mahasiswa akan tugastugas selama perkuliahan.
4.
Bapak Dr. Sonny Harmady, selaku direktur Lembaga Demografi yang telah mengenalkan saya pada Program Studi Kajian Gender dan membantu saya sehingga saya dapat menempuh pendidikan S2 di Kajian Gender Universitas Indonesia
5.
Rui Gomes yang telah mendukung saya selama studi di Universitas Indonesia. Selanjutnya, Ibu Nur dan pak Trisno dari Lembaga Demografi UI yang telah banyak membantu saya melalui pengurusan adminisatrasi serta memberi semangat bagi saya.
6.
Secara khusus, ucapan terima kasih bagi Ayahanda dan ibunda saya tercinta, Matias Da Costa Dias dan Agustinha da Costa Vong yang selalu memberi
iv
Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
dukungan baik materi, moril dan doa sehingga saya diberi kekuatan, ketabahan dan kemampuan menyelesaikan studi di PSKG dengan baik dan tepat pada waktunya. 7.
kakak-kakak dan adik-adikku tersayang yang selalu mendukung dan menguatkan saya selama menempuh studi di Universitas Indonesia.
8.
Ibu-ibu dan bapak-bapak responden yang telah bersedia menerima saya, meluangkan waktu bagi saya serta bersedia berbagi pengalaman mereka sehingga proses penyusunan tesis ini dapat berjalan dengan lancar.
9.
Teman-teman Program Studi Kajian Gender angkatan 2011, Christina Hutubessy, Yara Regita, Adriana Rahajeng, Prananingrum, Dewi Rana, Dewi Komala Arilaha dan Eli Ratnasari, yang selama ini bersama-sama telah membagi suka dan duka selama perkuliahan hingga penulisan tesis sampai pada terselesainya penyusunan tesis ini. Kiranya, kesungguhan, kebaikan, dan kerja keras semua pihak akan
dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa. Saya juga menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaannya.
Jakarta, Juli 2013
Filomena Dias
v
Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
ABSTRAK Nama : Filomena Maria De Fatima Dias (1106105493) Program Studi : Kajian Gender Judul : Kontribusi Moneter dan Non Moneter Pekerja Rumah Tangga Yang Diupah Dalam Keluarga Suami Istri Bekerja. Studi Kasus: Pemakai Jasa Pekerja Rumah Tangga di DKI Jakarta. Meningkatnya partisipasi perempuan di ranah publik sebagai pekerja produktif tidak serta merta mengurangi beban domestiknya, perempuan cenderung mengalami beban majemuk. Untuk mengatasi persoalan beban majemuk dalam keluarga yang ibu bekerja, banyak rumah tangga di Jakarta yang mempekerjakan PRT untuk mensubtitusi tugas-tugas rumah tangga PJPRT. Tujuan tesis ini untuk mengetahui bagaimana keluarga dengan ibu bekerja memaknai kehadiran PRT dari sisi kontribusi moneter dan non-moneter dalam penyelenggaraan rumah tangga itu sendiri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berperspektif perempuan dengan menerapkan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan survei pada rumah tangga PJPRT di DKI Jakarta. Hasil temuan meliputi: 1) Perempuan dalam institusi perkawinan masih ditempatkan sebagai penanggung jawab rumah tangga dan anak, sehingga perempuan yang bekerja mengalami beban majemuk. 2) Kehadiran PRT dimaknai sangat penting dalam mensubtitusi tugas-tugas domestik ibu rumah tangga serta mensubtitusi peran ibu bagi sang anak. 3) kehadiran PRT dalam rumah tangga PJPRT secara langsung dan tidak langsung telah turut meningkatkan perekonomian rumah tangga PJPRT baik dari aspek moneter dan non moneter. Namun pemenuhan hak PRT oleh PJPRT masih sangat minim dikarenakan kesadaran PJPRT akan kontribusi nyata kehadiran PRT masih sangat minim. 4) Strategi untuk mengatasi hubungan kerja PRT dan PJPRT perlu diformulasikan melalui suatu peraturan perundangundangan yang spesifik bagi PRT yakni Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Kata Kunci: PRT; Peran Subtitusi; Kontribusi; Moneter dan Non Moneter.
vii Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
ABSTRACT Name Major Title
: Filomena Maria de Fatima Dias (1106105493) : Gender Studies, Post-Graduate Faculty, Universitas Indonesia : Monetary and Non-Monetary Contribution of Waged Domestic Workers at Households with Working Housewives. Case Study: The Utilization of Domestic Workers’ Services in Greater Jakarta.
As the demand for housewives to engage in public affairs increases, so their burden, in terms of productive and reproductive aspects, tends to increase equally. One of the ways to minimize the burden that falls on the housewives who are actively engaged outside their homes is to employ domestic workers who can perform and substitute part of the household routine work and duties. Domestic workers have indeed contributed significantly to improve housewives productivity, hence incomes. The objective of this study is to unveil the extent to which domestic workers can contribute both monetary and non-monetary to households, particularly in big cities. To achieve this objective, this study applies a qualitative approach using data collection techniques through a structured questionnaire and it is complemented with in-depth interviews. Secondary sources have also been used as a means to analyze the issues encountered during the survey. Based on the survey, a number of findings can be summarized as follows: 1) Married women are perceived as the sole responsible figure in the household as a whole not only in terms of routine duties but also as mothers. Consequently, the housewives’ burden tend to triplicate. 2) The housewives who are actively engaged in the public domain perceive the domestic workers as substitutes to their role as mothers and caretakers. Employing domestic workers would improve the overall productivity, hence incomes, of the housewives. 3) Given the critical role played by the domestic worker, it justifies even further the finalization and implementation of the legal environment for the protection of rights of the domestic worker. Key words: Domestic Worker; Substitution Role; Contribution; Monetary and Non-Monetary.
viii Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................... HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ KATA PENGANTAR .................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................. ABSTRAK ...................................................................................................... ABSTRACT .................................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1.1.1 Perempuan Dalam Perekonomian Indonesia ..................... 1.1.2 Perempuan Sebagai Agen Ekonomi Dalam Posisi Lemah 1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ............................ 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.4 Signifikansi Penelitian ................................................................ 1.5 Ruang Lingkup ........................................................................... 1.6 6Sistematika Penulisan ...............................................................
ii iii iv vi vii viii ix xii xiii xiv 1 1 2 4 7 8 8 9 11
BAB 2 LANDASAN TEORI ....................................................................... 2.1 Penelitian Terdahulu ................................................................... 2.2 Konsep dan teori ......................................................................... 2.2.1 Konsep Kerja ..................................................................... 2.2.2 Surplus Kerja Produksi dan Reproduksi ........................... 2.2.3 Perempuan Antara Rumah Tangga dan Karir ................... 2.2.4 Kehadiran Pekerja Rumah Tangga Sebagai Fenomena Ekonomi Ganda ................................................................. 2.2.5 Kontribusi Moneter dan Non-Moneter PRT: Profesi Yang Diabaikan ................................................................ 2.2.6 Harmonisasi Hukum yang Berperspektif Perempuan ....... 2.3 Skema Alur Pikir ........................................................................
13 13 15 15 20 22
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 3.1 Perspektif dan Pendekatan Penelitian ......................................... 3.2 Instrument Penelitian .................................................................. 3.3 Lokasi dan Subjek Penelitian ...................................................... 3.4 Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 3.5 Teknik Analisis Data .................................................................. 3.6 Isu Etis ........................................................................................ 3.7 Pengalaman Lapangan ................................................................ 3.8 Gambaran Umum Subjek Penelitian Yang Diwawancarai .........
37 37 39 40 41 44 46 46 48
25 29 33 34
ix Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
BAB 4 PEMBAGIAN KERJA DALAM KELUARGA IBU BEKERJA TERKAIT KEGIATAN PRODUKTIF DAN REPRODUKTIF . 4.1 Pembagian Kerja Produktif ......................................................... 4.2 Pembagian Kerja Reproduktif .................................................... 4.3 Pengambilan keputusan Dalam Rumah Tangga ......................... 4.4 Beban Majemuk Perempuan dan Kebutuhan jasa PRT .............. 4.5 Kesimpulan Pembagian Kerja Produktif dan Reproduktif ......... BAB 5 HUBUNGAN KERJA ANTARA PEKERJA RUMAH TANGGA DAN PENGGUNA JASA PEKERJA RUMAH TANGGA .......................................................................................... 5.1 Karakteristik Pekerja Rumah Tangga yang Diinginkan oleh PJPRT ......................................................................................... 5.1.1 Preferensi Jenis Kelamin ................................................... 5.1.2 Preferensi Usia .................................................................. 5.1.3 Preferensi Agama .............................................................. 5.1.4 Preferensi Suku.................................................................. 5.1.5 Berkeluarga dan Memiliki Anak ....................................... 5.2 Aktivitas Kerja Rumah Tangga yang Ditangani Ekslusif oleh PRT ............................................................................................. 5.2.1 Cara PJPRT memperoleh PRT .......................................... 5.2.2 Karakteristik Kegiatan PRT Menurut PJPRT ................... 5.2.3 Kegiatan Rumah Tangga yang Ditangani Ekslusif oleh Pekerja Rumah Tangga ..................................................... 5.3 Pengalaman Menggunakan Jasa PRT ......................................... 5.3.1 Pengalaman Positif Dengan PRT ...................................... 5.3.2 Pengalaman Negatif Dengan PRT ..................................... 5.4 Kesimpulan Hubungan Kerja PRT dan PJPRT ..........................
52 52 57 60 62 65
66 66 66 67 69 70 70 73 73 74 77 80 80 82 86
BAB 6 KONTRIBUSI PEKERJA RUMAH TANGGA DALAM KELUARGA IBU BEKERJA ........................................................ 88 6.1 Resiko Tanpa Pekerja Rumah Tangga Dalam Keluarga Ibu Bekerja ........................................................................................ 88 6.2 Penghayatan Perempuan Terhadap Kehadiran PRT ................... 91 6.3 Kontribusi Moneter dan Non Moneter Kehadiran Pekerja Rumah Tangga Dalam Keluarga Ibu Bekerja ............................. 94 6.3.1 Kontribusi Moneter ........................................................... 94 6.3.2 Kontribusi Non Moneter ................................................... 99 6.3.3 Kontribusi PJPRT Terhadap PRT Selama Bekerja ........... 107 6.4 Kesimpulan Kontribusi Moneter dan Non Moneter ................... 111 BAB 7 PEMENUHAN HAK PEKERJA RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF PENGGUNA JASA PEKERJA RUMAH TANGGA .......................................................................................... 113 7.1 Status Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia ....................................................... 113 7.2 Pandangan Masyarakat Terhadap RUU PPRT di Indonesia ...... 115
x Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
7.3 Pemenuhan Hak Pekerja Rumah Tangga dari Perspektif Pengguna Jasa PRT ..................................................................... 118 7.4 Strategi Pemenuhan Hak-Hak PRT di Indonesia. ....................... 120 7.5 Kesimpulan Pemenuhan Hak PRT dari Perspektif PJPRT ......... 122 BAB 8 PENUTUP ......................................................................................... 8.1 Kesimpulan ................................................................................. 8.2 Rekomendasi ...............................................................................
123 123 126
DAFTAR REFERENSI .................................................................................
128
xi Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Responden ................. Tabel 2: Karakteristik Usia PRT ...................................................................... Tabel 3: Cara Memperoleh PRT ...................................................................... Tabel 4: Kontribusi kehadiran PRT dalam Rumah Tangga Ibu Bekerja ......... Tabel 5: Upah dan Non Upah PRT oleh PJPRT ..............................................
42 68 73 103 109
xii Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1: Fungsi-Fungsi Ganda Pemakai Jasa-Pelayanan PRT .................... 31 Gambar 2: Karakteristik Kegiatan PRT .......................................................... 74 Gambar 3: Dampak Ketiadaan PRT dalam Rumah Tangga PJPRT Ditinjau Dari Aspek Moneter ...................................................................... 95 Gambar 4: Dampak Ketiadaan PRT Dalam Rumah Tangga PJPRT Ditinjau Dari Aspek Non Moneter .............................................................. 100 Gambar 5: Upah PRT Oleh PJPRT N=26 ....................................................... 107
xiii Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kuesioner Pengguna Jasa Pekerja Rumah Tangga (PJPRT) Pedoman pertanyaan wawancara Karakteristik rumah tangga Pengguna Jasa Pekerja Rumah Tangga (PJPRT) Karakteristik Subjek Penelitian Kebutuhan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam rumah tangga ibu bekerja Kontribusi anggota keluarga dalam kegiatan rumah tangga
xiv Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
Pekerja rumah tangga adalah aset daripada keluarga saya, karena tanpa pekerja rumah tangga pusing ibu-ibu. Contoh kemarin, istri saya kebingugan ketika Lebaran Pembantu Rumah Tangga (PRT) kami pulang kampung… jadi pekerja sehari-hari di dalam rumah tangga kita dalam konteks keluarga ya akan terhambat. Maka seperti yang saya sampaikan tadi bahwa PRT adalah aset bagi keluarga saya, sehingga saya sangat memerlukan mereka. (komentar Bapak HR, Komisi IX DPR-RI) 1.1 Latar Belakang Saya sengaja memulai bagian ini dengan sebuah kutipan hasil rekaman pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komite Aksi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (KAPPRT) dengan Komisi IX Partai Demokrat, di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) saat magang. Pernyataan tersebut juga didukung oleh sejumlah anggota DPR-RI lainnya yang membenarkan bahwa sekarang ini ibu-ibu anggota DPR-RI bisa memfokuskan diri pada pekerjaannya dengan lebih baik karena fungsi-fungsi domestiknya dikerjakan oleh PRT—bahwa PRT berkontribusi secara signifikan bagi perempuan dengan cara mensubstitusi peran mereka di dalam rumah tangga, sehingga mereka mendapatkan peluang lebih besar untuk mengaktualisasikan diri di ranah publik baik sebagai politikus, akademisi, Pegawai Negeri Sipil, wirausahawan, dan lain-lain. Dengan fungsi substitutisi PRT ini jelas bahwa pengakuan maupun status PRT seyogianya tidak hanya terbatas pada sekedar “pembantu” seperti lazimnya kita dengar, tetapi lebih dari itu sudah selayaknya disebut sebagai “pekerja”. Walaupun peran substitusi PRT ini dianggap penting dalam rumah tangga ibu-ibu yang bekerja, pada kenyataannya upaya pengakuan dan status PRT di Indonesia sering disamakan dengan konsep dan terminologi yang bersifat diminutif seperti “babu”, “bibi”, “jongos”, “ujang”, dan sebagainya, yang biasanya diasosiasikan dengan orang-orang yang bekerja tanpa keterampilan, berpendidikan rendah, dan berada di sektor informal—sesuatu keadaan yang menyulitkan jangkauan pelayanan oleh negara. Persepsi dan situasi yang demikian meletakkan PRT pada posisi yang rentan terhadap berbagai macam kekerasan,
1 Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
2
bentuk eksploitasi, hingga berujung pada perdagangan manusia. Kalau saja kontribusi PRT dalam keluarga yang ibu bekerja cukup signifikan, seperti dikemukakan oleh Bapak HR di atas dan didukung oleh perempuan (ibu-ibu) anggota DPR-RI lainnya, maka menarik untuk diteliti lebih jauh bagaimana keluarga dengan ibu bekerja memaknai jasa PRT dari sisi kontribusi moneter dan non-moneter dalam penyelenggaraan rumah tangga itu sendiri.
1.1.1 Perempuan Dalam Perekonomian Indonesia Ditinjau dari Produk Domestik Bruto (PDB) Republik Indonesia menunjukkan karakteristik sebagai berikut: 85% kontribusinya berasal dari jasa dan industri dan sisanya dari pertanian, termasuk perikanan dan kehutanan; Dari segi jenis pekerjaan 42% berkecimpung di sektor pertanian dengan tingkat produktivitas yang rendah. Dilihat dari aspek Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), dapat dilihat bahwa TPAK untuk perempuan masih cukup rendah dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 51% perempuan sementara laki-laki mencapai 84%. Alasan rendahnya TPAK untuk perempuan adalah karena mereka adalah ibu rumah tangga di satu pihak, dan karena terdapat lebih banyak kesempatan kerja untuk laki-laki daripada perempuan di pihak yang lain. Keadaan yang demikian menjelaskan mengapa 67% dari perempuan memilih untuk menjadi PRT atau bekerja sendiri demi tambahan pendapatan keluarga. Selanjutnya, dari data yang ada, kita mengetahui bahwa 60% dari pekerja Indonesia berkecimpung di sektor informal dengan pendapatan yang tidak menentu dan tidak tetap. Dari 60% pekerja yang berkecimpung di sektor informal ini, 64,5% adalah perempuan dan 59,3% adalah laki-laki. Mengapa perempuan cenderung berkecimpung di sektor informal karena tingkat pendidikan dan keahlian yang rendah, kurangnya jumlah lapangan pekerjaan yang fleksibel dengan situasi perempuan. Walaupun sektor informal menjadi arena beraktivitasnya perempuan, menurut laporan BAPPENAS (2010), sekitar 80% pekerja berkecimpung di perusahaan berskala kecil dan menengah, dan banyak pekerja yang direkrut dari kalangan orang miskin yang berasal dari daerah pedesaan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
3
dimaksud. Karena kurang kapasitas perekonomian untuk mengabsorpsi tenaga kerja, terutama perempuan, maka sebagian besar memilih untuk menawarkan jasanya menjadi PRT baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Situasi yang demikian dijumpai bukan saja di Indonesia tetapi juga di negara-negara berkembang lain. Estimasi International Labor Organization (ILO) tahun 2009 dari berbagai sumber data yang dipakai, PRT merupakan kelompok pekerja perempuan terbesar secara global: lebih dari 100 juta PRT di dunia. Secara jumlah belum ada data resmi mengenai jumlah PRT di Indonesia, karena proses perekrutan PRT tidak selalu melalui proses yang legal atau badan yang mengurus penempatan PRT tersebut. Seringkali, jasa PRT digunakan oleh majikan karena sang PRT adalah bagian keluarga sang majikan. Keadaan yang demikian menyulitkan proses pendataan yang akurat. Namun dari berbagai informasi yang diperoleh dari survei, sensus penduduk, dan sensus ekonomi, menggambarkan jumlah PRT yang bekerja di Indonesia cukup besar meskipun bervariasi dari satu propinsi ke propinsi lain. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2008, jumlah PRT di Indonesia mencapai 1.714.437 jiwa, dan 202.235 jiwa (11,79%) diantaranya adalah Pekerja Rumah Tangga Anak (PRTA) yang berumur dibawah 18 tahun, 90% diantaranya adalah PRT perempuan. Selanjutnya, Rapid Assessment JALA PRT pada tahun 2009 mengatakan ada sekitar 10 juta hingga 16 juta rumah tangga kelas menengah dan menengah atas yang mempekerjakan PRT. Mayoritas PRT (90%) adalah perempuan yang berusia 15-30. Jumlah PRT mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dari stratifikasi sosial majikan, kalau pada awalnya, majikan PRT adalah kalangan menengah atas, tapi meluas juga dari kelas menengah dan menengah bawah. Mulai dari pegawai negeri sipil golongan I dan II, buruh-buruh pabrik juga mempekerjakan PRT. Situasi ini menambah kompleksitas persoalan PRT di Indonesia karena proses monitoring semakin sulit dilakukan (Jurnal Perempuan edisi 39 31-36).
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
4
Meningkatnya jumlah PRT merupakan gabungan dari berbagai kondisi struktural, yaitu kemiskinan (absolute atau relative) dan pemiskinan pedesaan yang berjalan bersamaan dengan proses pertumbuhan perekonomian dan industrialisasi di daerah perkotaan. Peranan PRT cukup penting dalam banyak rumah tangga di daerah perkotaan, terutama ketika peranan sang majikan yang mempekerjakan jasa PRT tersebut sibuk dengan aktivitas di luar rumahnya. Dengan kata lain, hadirnya PRT di sebuah rumah tangga akan memberi peluang lebih besar lagi bagi sang ibu yang bekerja untuk lebih berkonsentrasi pada bidang yang ditekuni dan mencari keuntungan yang lebih besar. Di sini secara langsung (atau tidak langsung) PRT memberi kontribusi baik secara moneter maupun non-moneter. Bukan itu saja, tetapi karena fungsi PRT yang lebih luas lagi, yaitu pekerjaan rutin di rumah (cuci, bersih, masak, seterika, belanja), memandikan dan mengantar anak-anak majikan ke sekolah, memberi makan kepada anak-anak, bahkan menghibur anak-anak majikan yang sedang kesepian karena orang tua yang sibuk di luar rumah, jelas terjadi suatu perubahan fungsi dan peran dari sekadar pembantu. Dengan demikian, maka hubungan resiprositas yang saling menguntungkan antara keluarga ibu yang bekerja (yaitu, pengguna jasa PRT) dan PRT sendiri menjadi semakin menarik untuk diteliti lebih jauh. 1.1.2 Perempuan Sebagai Agen Ekonomi Dalam Posisi Lemah Peningkatan partisipasi perempuan dalam mengisi angkatan kerja yang terus meningkat dari tahun ke tahun memberikan dampak yang signifikan terhadap pendapatan rumah tangga yang pada gilirannya memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, meskipun kontribusi perempuan paling banyak melalui sektor informal. Namun, seiring dengan meningkatnya partisipasi perempuan di ranah publik tidak serta-merta turut meningkatkan posisi tawar perempuan dalam rumah tangga, pasalnya stigma yang melekat pada perempuan mengakibatkan perempuan mengalami diskriminasi dalam lingkup kerjanya dan dianggap sebagai pencari nafkah tambahan. Dikotomi peran gender melalui ruang privat dan ruang publik— laki-laki dianggap sebagai orang yang selayaknya berada di ruang publik
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
5
sebagai pencari nafkah utama dan perempuan di ruang privat sebagai ibu rumah tangga—telah memberi peluang dan keleluasaan yang jauh lebih besar kepada laki-laki masuk dalam pasar tenaga kerja untuk mengembangkan karirnya, sedangkan perempuan cenderung mengalami beban majemuk ketika masuk ke dalam pasar tenaga kerja karena pekerjaan rumah tangga masih dianggap sebagai kodrat dan tanggung jawab perempuan semata. Penelitian yang dilakukan oleh Ruspita (2007), misalnya, membenarkan posisi perempuan yang serba rentan terhadap fungsi ganda. Ruspita menyimpulkan bahwa “meskipun perempuan berdaya secara ekonomi tidak serta merta menunjukkan adanya keseimbangan pola relasi antara suami-istri dalam rumah tangga. Hal ini dikarenakan ketika perempuan terlibat di ranah publik sebagai penyumbang ekonomi bagi rumah tangga tidak selalu diikuti dengan keterlibatan suami dalam ranah domestik”. (JP 74, 25). Pembatasan perempuan di ranah domestik ini dikenal juga dengan istilah “domestifikasi”, seperti ditulis oleh Barbara Rogers dalam Saptari dan Holzner. Ia mengemukakan “bersama dengan terkucilnya perempuan dari kerja upahan dan dari jalur lain dalam ekonomi uang, ideologi tentang ‘kodrat’ domestik mereka didukung kuat, melalui pengajaran keterampilan domestik gaya Barat dan melalui ajaran moral tentang tempat mereka di rumah”. Sejalan dengan Rogers, salah seorang ekonom feminis, Maria Mies, memperkenalkan
housewifezation
atau
pengiburumahtanggaan
yang
menurutnya merupakan suatu proses pendefinisian sosial perempuan sebagai ibu rumah tangga terlepas dari apakah mereka memang ibu rumah tangga atau bukan. Implikasi pendefinisian semacam ini ialah bahwa perempuan dianggap secara ekonomis tergantung pada suami. (11). Perendahan terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dalam rumah tangga semata-mata dikarenakan adanya bias dalam masyarakat yang memandang bahwa aspek moneter (yakni, uang) merupakan tolok ukur atas bernilai/berarti atau tidaknya suatu kegiatan. Padahal jika ditinjau secara seksama bahwa kerja yang tidak langsung menghasilkan uang, seperti pengasuhan anak, pelayanan terhadap anggota rumah tangga, memasak, menyuci, membersihkan rumah adalah jenis pekerjaan yang produktif karena
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
6
tanpa kerja tersebut, kehidupan (biologis, sosial, ekonomis, atau politis) tak dapat berlangsung. “Domestifikasi” ternyata telah mengakar dalam individu kaum perempuan
pada
umumnya,
meskipun
perkembangan
yang
ada
memperlihatkan bahwa keterlibatan perempuan di ranah publik terus mengalami peningkatan dan perubahan yang signifikan, tetapi tidak seyogyanya mengurangi kewajiban dan nilai penting lainnya sebagai istri, ibu, dan ibu rumah tangga. Pertanyaan yang tentu relevan untuk diangkat adalah, sejauhmanakah keberhasilan perempuan bekerja dalam memperbaiki ekonomi rumah tangga, dan faktor-faktor apa saja yang mendorong keberhasilan tersebut? Lebih khusus lagi, sejauhmanakah pembagian kerja dalam keluarga yang ibu bekerja, terkait dengan fungsi produksi dan reproduksi dalam hubungannya dengan kehadiran PRT? Pekerjaan rumah tangga memang adalah salah satu jenis pekerjaan yang paling tua di dunia dan umumnya dilakukan oleh perempuan, dan pada zaman moderen jenis pekerjaan itu berkaitan erat dengan sejarah kapitalisme/ industrialisasi, perbudakan, kolonialisme dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (Bern, 2004). Sejalan dengan Bern, Andall (2004) juga mengatakan bahwa di zaman kontemporer ini, pekerjaan rumah tangga dianggap suatu fenomena global yang cenderung melanjutkan dan memperkuat hirarki berdasarkan
pada
ras,
etnisitas,
status
indigenous,
kasta,
dan
kewarganegaraan. Pekerjaan rumah tangga, baik yang diupah maupun yang tidak, sering dikaitkan dengan pemenuhan tanggung jawab keluarga dan karenanya dianggap penting bagi perekonomian rumah tangga. Akan tetapi, pekerjaan rumah tangga seringkali diabaikan dan bahkan dikategorikan sebagai yang tidak bernilai, karena dianggap sebagai peran tradisional perempuan yang tidak membutuhkan keterampilan tertentu sehingga pengupahan pun seringkali disesuaikan dengan persepsi tersebut. Di Indonesia, jasa PRT dibutuhkan oleh hampir semua rumah tangga, dari berbagai kelas dan kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan yang bervariasi. Di kota-kota besar, di mana waktu untuk keluarga dan anakanak semakin berkurang akibat tuntutan zaman, peran PRT menjadi semakin
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
7
signifikan. Seperti dijelaskan di atas, permintaan akan jasa PRT makin meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah perempuan atau ibu yang bekerja di ranah publik yang dituntut untuk melakukan tanggung jawab reproduktif, seperti mengasuh anak dan mengurus rumah tangga. Hal ini menyebabkan keluarga mempekerjakan PRT untuk menggantikan (subtitusi) peran-peran tersebut. Namun, dalam menjalankan pekerjaannya PRT masuk dalam situasi pekerjaan yang tidak memiliki norma-norma hukum selayaknya pekerja formal, pengawasan dari instansi yang berwenang maupun belum adanya perjanjian kerja. Dengan adanya kondisi tersebut maka beberapa masalah yang biasanya dihadapi oleh PRT dan membutuhkan perlindungan antara lain masalah upah yang rendah atau tidak dibayar, jam kerja yang tidak memiliki batasan, fasilitas yang menunjang bagi PRT untuk keamanan, kesehatan dan keselamatan bekerja belum memadai, hak libur atau cuti, beban kerja yang tidak dibatasi dan rentan terhadap kekerasan fisik dan pelanggaran hak asasi manusia. 1.2 Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Dengan latar belakang di atas, tesis ini mencoba menggali lebih jauh persepsi keluarga-keluarga yang ibu-ibu bekerja terhadap jasa-pelayanan PRT di rumah tangganya, baik itu dari sisi kontribusi moneter maupun dari sisi nonmoneter dalam penyelenggaraan rumah tangga. Pertanyaan inti yang hendak menjadi fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana keluarga ibu bekerja memaknai kehadiran PRT dari sisi kontribusi serta biaya secara moneter dan non-moneter dalam penyelenggaraan rumah tangga? Pertanyaan-pertanyaan turunan dari pertanyaan inti ini adalah, sebagai berikut: 1. Bagaimana pembagian kerja produksi dan reproduksi antara suami istri di dalam keluarga yang keduanya bekerja di luar rumah? 2. Bagaimana relasi antara pengguna jasa PRT dengan PRT dalam penyelesaian tugas rumah tangga? 3. Bagaimana kontribusi moneter dan non moneter yang diberikan oleh PRT di dalam keluarga yang majikan perempuannya bekerja?
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
8
4. Bagaimana strategi pemenuhan hak PRT dalam perspektif Pengguna Jasa Pekerja Rumah Tangga (PJPRT)?
1.3 Tujuan Penelitian Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas akan menjadi pedoman dalam pelaksanaan penelitian ini yang tujuan utamanya adalah untuk menggali dan mengeksplorasi secara mendalam persepsi keluarga dengan ibu bekerja terhadap kehadiran PRT serta hubungan resiprositas yang saling menguntungkan yang menjadi fokus utama penelitian ini. Dengan mengetahui sejauhmana pemaknaan keluarga ibu bekerja terhadap kehadiran PRT melalui instrumen dan metodologi ilmiah, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi studi perempuan. Tujuan umum penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi ilmiah yang meyakinkan bahwa pekerjaan rumah tangga membutuhkan penghargaan (melalui pemaknaan) untuk membantu mengurangi beban ganda perempuan, meningkatkan dan menjamin martabat perempuan sebagaimana layaknya. Selanjutnya, secara khusus penelitian ini hendak mengungkapkan kontribusi riil baik secara moneter maupun non-moneter dalam proses penyelenggaraan rumah tangga, dilihat dari sisi keluarga dengan ibu bekerja sebagai pengguna jasapelayanan PRT. 1.4 Signifikansi Penelitian Kalau tujuan- penelitian tersebut di atas dapat tercapai melalui studi empiris ini, maka penelitian ini akan berguna, antara lain, untuk: 1. Memberi informasi kepada masyarakat luas di Indonesia bahwa PRT yang dipekerjakan oleh keluarga dengan ibu bekerja adalah suatu jenis pekerjaan yang penting, produktif, serta mampu memberikan kontribusi baik secara moneter maupun non-moneter bagi keluarga pengguna jasa-pelayanan PRT. Kontribusi yang bersifat moneter maupun non-moneter tersebut juga berlaku bagi keluarga PRT sendiri. Pada hakekatnya, signifikansi penelitian ini adalah untuk memberi makna bagi kehadiran PRT dalam penyelenggaraan rumah
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
9
tangga, dan karenanya jasa-pelayanan yang diberi oleh PRT bisa dihargai sama seperti pekerjaan formal atau profesional lainnya. 2. Memberi masukan pada Pemerintah dan Instansi-Instansi terkait untuk mengupayakan suatu perlindungan khusus terhadap para pekerja rumah tangga melalui peraturan perundang-undangan yang menjunjung tinggi elemen-elemen penting dari Konvensi Hak Asasi Manusia yang telah dianut dan diratifikasi. 3. Memberi sumbangsih teoretis serta membuka peluang bagi penelitian selanjutnya, terutama di bidang hak asasi manusia, gender, hukum dan ekonomi untuk mengkaji lebih dalam dan secara holistik kompleksitas realitas sosial yang dialami oleh kelompok masyarakat yang rentan ini dan kontribusi riil
yang
diberikan
dalam
proses
pembangunan
perekonomian
dan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. 4. Memberi sumbangsih juga terhadap pemerintah Timor Leste kelak sehingga dalam penyusunan peraturan ketenagakerjaan dapat juga mempertimbangkan jenis pekerjaan PRT atau umumnya dikenal sebagai “kriadu” agar memperoleh perlindungan terhadap hak-haknya sebagai warga negara
1.5 Ruang Lingkup Sebagaimana telah disebutkan di atas, hampir sebagian besar masyarakat di Indonesia mempekerjakan PRT dalam lingkup rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga baik sebagian atau seluruh pekerjaan yang ada dalam rumah tangga, sehingga terjalin suatu kondisi hubungan simbiosis mutualisme antara PRT dan PJPRT. PJPRT membutuhkan PRT untuk mengerjakan pekerjaan kerumahtanggaan dengan tidak terlalu mensyaratkan keterampilan yang tinggi serta didukung latar belakang pendidikan serta pengalaman kerja yang luas. Selanjutnya, PRT dengan segala keterbatasan pendidikan, kemampuan, dan keterampilan yang ada tidaklah sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan dengan imbalan tertentu yang besarnya sangat tergantung pada jenis pekerjaan dan tentu kebaikan hati PJPRT. Hubungan kerja yang demikian menimbulkan terjadinya ketimpangan relasi antara PJPRT sebagai pemilik modal (menyediakan lapangan kerja) dan PRT sebagai orang yang mencari kerja. Selanjutnya, wilayah kerja PRT yang berada dalam ranah
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
10
domestik/kerja kerumahtanggaan menyebabkan jenis pekerjaan ini termajinal dari pekerja formal maupun informal lainnya dan tidak tercakup dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang ada. Hal inilah yang membuat saya tertarik untuk meneliti lebih jauh hubungan kerja yang terjalin antara PRT dan PJPRT melalui hubungan resiprositas yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Namun, di Indonesia (tradisi Jawa) terdapat fenomena hubungan kerja yang disebut Ngenger, yaitu orang yang ikut dalam suatu keluarga baik yang masih memiliki hubungan persaudaraan atau kekerabatan ataupun tidak keduanya. Keluarga yang ditumpangi ini umumnya adalah keluarga kaya dan PRT mengerjakan tugas-tugas kerumahtanggaan keluarga tersebut, dengan kompensasi kebutuhan dasar untuk hidup atau biaya pendidikan. Praktek budaya ngenger ini masih ditemukan pada rumah tangga-rumah tangga moderen hingga saat ini sehingga upaya pemenuhan hak dan pengakuan PRT sebagai pekerja masih membutuhkan suatu proses yang panjang hingga terbentuknya perlindungan bagi PRT di Indonesia. Namun perlu saya kemukakan bahwa, penelitian tesis ini tidak bermaksud membahas aspek kultur/budaya ngenger sebagaimana yang masih dipraktekkan oleh sebagian masyarakat di Indonesia saat ini, melainkan tesis ini lebih memfokuskan pada relasi hubungan kerja antara PRT dan PJPRT terlepas dari konsep budaya/kultur yang ada. Tesis ini juga tidak menjangkau seluruh wilayah yang ada di Indonesia untuk melihat bagaimana hubungan kerja antara PRT dan PJPRT berlangsung tetapi hanya mengambil wilayah DKI Jakarta sebagai area penelitian. Selanjutnya, batasan penelitian tesis ini hanya memfokuskan pada pengguna jasa PRT untuk menggali persepsi keluarga ibu bekerja memaknai kehadiran PRT serta hubungan resiprositas yang saling menguntungkan yang terjalin dalam hubungan kerja PRT dan PJPRT. Adapun beberapa aspek yang menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu; pembagian kerja produksi dan reproduksi suami istri bekerja, relasi PRT dan PJPRT melalui peran subtitusi dalam rumah tangga, kontribusi moneter dan non moneter kehadiran PRT dalam keluarga ibu bekerja serta upaya pemenuhan hak PRT dari perspektif PJPRT.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
11
1.6 6Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini dilakukan dengan menggunakan sistematika penulisan untuk mempermudah pembaca memahami isi dari penelitian yang saya lakukan. Sistematika penulisan tesis ini terbagi dalam beberapa bab yaitu: BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini terbagi dalam enam sub bab yang meliputi latar belakang, rumusan
masalah
dan
pertanyaan
penelitian,
tujuan
penelitian,
signifikansi atau manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB 2 LANDASAN TEORI Bab ini terbagi dalam tiga sub bab. Pertama, beberapa penelitian terdahulu terkait peran majemuk perempuan dalam rumah tangga dan karir serta kajian RUU PPRT bagi pemenuhan hak PRT di Indonesia yang telah dilakukan sebelumnya dan bagaimana kontribusi tesis ini dibandingkan penelitian-penelitian yang telah ada. Kedua, beberapa konsep dan teori yang digunakan sebagai alat untuk melakukan analisis terhadap penelitian ini. Konsep-konsep tersebut terdiri dari beberapa subsub bab yaitu, konsep kerja produktif dan reproduktif, surplus kerja produktif dan reproduktif, perempuan antara rumah tangga dan karir, kehadiran PRT sebagai fenomena ekonomi ganda, kontribusi moneter dan non moneter kehadiran PRT dan harmonisasi hukum berperspektif perempuan. Ketiga, bab ini juga dilengkapi dengan skema alur berpikir.
BAB 3 METODOLOGI Bab ini terdiri atas beberapa sub bab yang terdiri dari langkah-langkah metodologi yang digunakan dalam penelitian, yaitu perspektif dan pedekatan penelitian, lokasi dan subjek penelitian, instrument penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, Isu etis, pengalaman lapangan dan gambaran umum rumah tangga pengguna jasa PRT.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
12
BAB 4 PEMBAGIAN KERJA DALAM KELUARGA IBU BEKERJA TERKAIT KEGIATAN PRODUKTIF DAN REPRODUKTIF Bab ini memuat lima sub bab yang terdiri dari: pembahasan pembagian kerja produktif, pembagian kerja reproduktif, pengambilan keputusan dalam rumah tangga, beban majemuk perempuan dan kehadiran PRT serta diakhiri dengan suatu kesimpulan.
BAB 5 HUBUNGAN
KERJA
PEKERJA
RUMAH
TANGGA
DAN
PENGGUNA JASA PRT Bab ini berisikan empat sub bab yang membahas tentang, karakteristik PRT yang dikehendaki oleh pengguna jasa PRT, aktivitas kerja rumah tangga yang di tangani PRT, pengalaman menggunakan jasa PRT dan diakhiri dengan suatu kesimpulan.
BAB 6 KONTRIBUSI PRT DALAM KELUARGA IBU BEKERJA Bab ini akan memfokuskan pembahasan tentang, resiko tanpa PRT dalam keluarga ibu bekerja, penghayatan perempuan terhadap kehadiran PRT serta kontribusi moneter dan non moneter PRT dalam keluarga ibu bekerja dan diakhiri dengan suatu kesimpulan.
BAB 7 PEMENUHAN HAK PRT DALAM PERSPEKTIF PENGGUNA JASA PEKERJA RUMAH TANGGA Bab ini memfokuskan penjelasan tentang, status Rancangan UndangUndang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia, pandangan masyarakat terhadap RUU PPRT, pemenuhan hak PRT dari perspektif pengguna jasa PRT, strategi pemenuhan hak PRT di Indonesia, dan di akhiri dengan suatu kesimpulan.
BAB 8 PENUTUP Pada bab ini merangkum hasil temuan lapangan dalam dua sub bab yaitu kesimpulan, kemudian diakhiri dengan rekomendasi.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
BAB 2 LANDASAN TEORI
Penelitian ini menggunakan perspektif feminis marxis sosialis dan feminis radikal sebagai kacamata analitis untuk penelitian dan penulisan tesis ini. Selanjutnya, untuk lebih memahami aspek kontribusi pekerja rumah tangga dalam keluarga pengguna jasa PRT maka saya cenderung memakai perspektif gender ekonomi karena perspektif ini akan membantu penulis untuk mendalami tentang berbagai penyimpangan alur pemikiran konvensional dalam bidang ekonomi mikro yang lazimnya berakar pada bias tradisional yang androsentris. Gender ekonomi dapat memberi penekanan khusus pada peran dan relevansi perempuan dalam melaksanakan fungsinya yang kompleks yang tidak hanya terbatas pada fungsi reproduktif, fungsi pekerjaan rumah tangga, tetapi juga selaku pekerja yang menghasilkan uang atau pendapatan (moneter) sekaligus non-moneter (kepuasan, kebahagiaan, ketenangan, dan sebagainya) di pihak yang memakai jasa-pelayanan PRT. Perspektif gender ekonomi ini akan menantang konsepsi-konsepsi ekonomi yang umumnya diyakini benar, dan mencoba mempertanyakan konstruksi sosial pemikiran ekonomi itu sendiri yang tidak lain berbasis preferensi maskulin. 2.1 Penelitian Terdahulu Upaya untuk memahami status dan peran perempuan dalam kaitannya dengan pekerjaan rumah tangga sebagai sebuah aktivitas ekonomi belum banyak dilakukan. Dua penelitian telah dilakukan di Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (PSKG-UI), yang mengangkat tema tentang keterlibatan perempuan dalam ekonomi keluarga dan persoalan beban majemuk yang dialami ketika perempuan berdaya secara ekonomi. Satu penelitian lainnya melalui kajian Hak Asasi Manusia yang mengangkat tema perlindungan dan pemenuhan hak PRT di Indonesia. Ketiga penelitian ini telah dilakukan oleh Idris Azis (1996), Leli Ruspita (2008), dan Nurhayati (2007). Penelitian yang dilakukan oleh Azis (1996) terhadap “pengembangan karir PNS perempuan di Sulteng”, menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan sebagai PNS cenderung mengalami berbagai hambatan dalam rangka penyelenggaraan
13 Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
14
kapabilitas mereka secara realistik karena kurangnya motivasi dan kesempatan untuk itu. Hal ini dikarenakan perempuan selalu dihadapkan pada dua kebutuhan mendasar yaitu dorongan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya (ranah domestik) dan sekaligus pemenuhan kerjanya (ranah publik). Penelitian ini memberikan gambaran kepada saya untuk melihat perempuan sebagai subyek yang sering dilemahkan karena konstruksi gender yang membebankan pekerjaan rumah tangga sebagai tanggung jawab perempuan semata, sehingga perempuan mengalami kesulitan dalam mengaktualisasikan diri secara utuh di ranah publik. Ruspita (2008) lebih jauh meneliti relasi kekuasaan (power relations) suami-istri PNS di Kabupaten Ketapang yang menunjukkan bahwa meskipun perempuan berdaya secara ekonomi, pola relasi antara suami-istri dalam rumah tangga belum tentu seimbang. Hal ini disebabkan karena konstruksi budaya di dalam struktur keluarga dengan stereotipe bahwa perempuan adalah pemegang utama peran ibu rumah tangga dan pencari nafkah sekunder. Akibatnya, perempuan yang bekerja diluar rumah cenderung mengalami beban majemuk. Hasil penelitian ini memberikan pemahaman bagi saya bahwa bentuk opresi terhadap perempuan tidak terletak pada premise ekonomi, melainkan justru pada konstruksi budaya partriarki yang memosisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Di ranah publik, perempuan diposisikan sebagai pekerja kelas kedua karena peran dan fungsi utamanya di dalam ranah domestik. Nurhayati (2007) lebih menfokuskan pada pemenuhan dan perlindungan hak-hak PRT, dan secara kritis menganalisa sejauhmana pemenuhan dan perlindungan yang diberikan oleh negara terhadap PRT apabila nantinya pekerja rumah
tangga
dirubah
menjadi
pekerja
formal.
Hasil
penelitiannya
memperlihatkan bahwa berdasarkan hukum perburuhan, PRT disebut sebagai pekerja karena adanya perjanjian kerja antara PRT dan majikan (atau pemakaian jasa-pelayanan) yang meliputi perjanjian kerja baik lisan maupun tertulis dengan ketentuan pemenuhan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak; adanya pekerjaan tertentu, adanya perintah, adanya upah, dan pekerjaan yang dilakukan dalam waktu tertentu. Dengan terpenuhinya unsur-unsur tersebut maka hubungan antara PRT dan majikan adalah hubungan kerja. Akan tetapi, dengan karakteristik khusus yang melekat pada PRT yaitu dari segi tempat kerja
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
15
yang berada di lingkup domestik, tertutup dan jenis pekerjaan yang berbeda dengan pekerja pada sektor formal, maka penulis berasumsi bahwa PRT perlu diatur secara khusus melalui peraturan perundang-undangan baik dalam tingkat undang-undang maupun perda agar hak-hak PRT lebih terjamin. Dari ketiga penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa konstruksi budaya yang patriaki tetap menempatkan perempuan secara subordinat oleh kaum lakilaki meskipun perempuan berdaya secara ekonomi dilihat dari output yang dihasilkannya. Penelitian-penelitian dimaksud tersebut dapat menguatkan asumsi bahwa perempuan mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tiga fungsi secara bersamaan yaitu fungsi reproduktif, fungsi caring labor dan fungsi pekerja (working class). Dalam penelitian ini secara khusus mengangkat kembali persepsi (baik yang laten maupun yang dikonstruksikan) terkait kemajemukan fungsi-fungsi tersebut yakni produktif, caring dan pekerjaan dalam rumah tangga, terutama di kalangan rumah tangga yang ibu bekerja, dan mencoba mengungkap sejauhmana hubungan resiprositas yang saling menguntungkan ini baik secara moneter maupun non-moneter. Alasan memilih aspek-aspek yang terkait dengan para pemakai jasa pekerja rumah tangga adalah pertama-tama karena kehadiran pekerja rumah tangga di kalangan rumah tangga yang ibu bekerja telah membawa keringanan beban kerja majemuk pada pemakai jasa-pelayanan PRT, sehingga penyelenggaraan rumah tangga dan keterlibatan dalam ranah publik menjadi lebih produktif. Di sinilah terletak nilai tambah dari penelitian ini.
2.2 Konsep dan teori Untuk memecahkan masalah penelitian ini, saya menggunakan beberapa konsep yang menurut saya relevan dengan penelitian ini secara komprehensif melihat persoalan yang berkaitan dengan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan sebagai ibu rumah tangga dan Pekerja Rumah Tangga (PRT).
2.2.1 Konsep Kerja Konsep kerja di dalam masyarakat yang serba komersial, uang seringkali menjadi tolak ukur bernilai atau tidaknya suatu kegiatan.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
16
Kecenderungan masyarakat memandang secara dikotomis gejala sosial yang terjadi, seperti kerja yang menghasilkan uang dan kerja tidak menghasilkan uang yang kemudian
membentuk pekerjaan produktif yakni yang
menghasilkan uang dan pekerjaan reproduktif yakni yang tidak menghasilkan uang. Dalam hal ini, pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan yang tidak menghasilkan uang, maka tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif. (Saptari dan Holzner 14-15). Pekerjaan rumah tangga secara tradisional dibebankan pada perempuan, anak perempuan, istri dan seringkali diidentikkan dengan kewajiban perempuan. Selanjutnya, pekerjaan yang diidentikkan dengan perempuan dalam rumah tangga sering kali tidak kelihatan sehingga terabaikan dalam pencatatan statistik. Pekerjaan rumah tangga tidak dapat diremehkan lagi sebagai pekerjaan reproduktif semata karena jenis pekerjaan ini juga dapat menghasilkan uang. Sesungguhnya yang membuat pekerjaan rumah tangga menjadi tidak produktif
bukan dari pekerjaan itu sendiri,
melainkan status perempuan yang mengerjakan pekerjaan tersebut dan di mana pekerjaan itu berlangsung. Apabila statusnya adalah istri atau anak perempuan, maka pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan tidak tergolong produktif, tetapi ketika dikerjakan oleh PRT yang juga adalah perempuan maka pekerjaan tersebut menjadi produktif. Dengan demikian, Moose (58-59) menyimpulkan bahwa pekerjaan yang dilakukan perempuan cenderung untuk menghidupi keluarga ketimbang mendapatkan penghasilan, terutama kerja bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Perempuan umumnya bekerja untuk mempertahankan kelangsungan hidup rumah tangga. Namun pekerjaan yang dilakukan perempuan tidak hanya dinilai rendah bahkan diremehkan. Dikotomi kerja produktif dan reproduktif yang berkembang dalam masyarakat lebih didasarkan pada nilai ekonomis yang dihasilkan, yakni imbalan moneter untuk kerja produktif dan non moneter untuk kerja reproduktif. Moore (46-48) mengatakan bahwa peran perempuan sebagai tenaga kerja produktif dan reproduktif tidak dapat dipisahkan secara tegas, karena terkait dengan kedudukan perempuan sebagai ibu dan pekerja. Jadi kedua
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
17
konsep tersebut masing-masing memiliki aspek moneter dan non moneter. Para feminis dan ilmuan sosial mulai menyadari bahwa pada hakikatnya kegiatan pengasuhan anak, memasak, menyapu, menyuci dan semua jenis kegiatan rumah tangga yang dilakukan perempuan di dalam rumah tangga adalah termasuk pekerjaan. Hal ini karena pada dasarnya anggota masyarakat tidak dapat melakukan kerja produktif apabila pekerjaan mendasar yang ada dalam rumah tangga tidak dilakukan. Dengan demikian, kerja produktif tidak hanya menyangkut pekerjaan di dalam rumah tangga, melainkan juga kegiatan-kegiatan sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
2.2.1.1 Kerja Produktif Kerja produktif menurut Moser merupakan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki yang dibayar dengan uang atau sejenisnya. Peran produksi meliputi pekerjaan yang dilakukan di pasar dengan pertukaran nilai, dan pekerjaan yang dilakukan di rumah sebagai nafkah dengan nilai yang digunakan secara nyata, tetapi juga sebagai nilai yang potensial untuk ditukar. Namun ia menyadari bahwa definisi kerja produktif penuh kompleksitas. Kerja produktif merupakan aktivitas yang menghasilkan pendapatan, memiliki nilai tukar, baik yang antara maupun yang potensial. Kerja produktif lebih terlihat sebagai perekonomian uang, baik sektor formal dan sektor informal. Dengan demikian menurutnya, penggunaan istilah “produktif” yang hanya mengacu pada jenis pekerjaan dengan nilai tukar uang terlalu menyederhanakan realitas. (31)
2.2.1.2 Kerja Reproduktif Kerja reproduktif menurut Moser merupakan jenis pekerjaan yang seringkali diidentikkan dengan perempuan atas pertimbangan secara alami perempuan melahirkan sehingga dihubungkan dengan kegiatan reproduksi bagi seluruh kehidupan manusia yang tidak menghasilkan uang secara langsung. Peran reproduktif sendiri terbagi menjadi “reproduksi biologis” hanya mengacu pada aktivitas melahirkan saja, sedangkan “reproduksi kerja” diperluas lagi mencakup pengasuhan, sosialisasi dan biaya hidup dari setiap
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
18
individu
sepanjang
kehidupan
mereka
untuk
menjamin
kontinuitas
masyarakat dan generasi mendatang (29). Bruce dan Dwyer dalam hardyastuti dan Watie mengemukakan kegiatan kerja reproduktif perempuan yang dilakukan terus menerus dipandang sebagai kegiatan “alamiah”, sehingga tidak dianggap sebagai kerja nyata dan oleh karena itu tak kelihatan. Karena kerja reproduktif adalah bukan kerja nyata, maka ketika perempuan masuk dalam kerja produktif, waktu
yang
dihabiskan
lebih
panjang
untuk
menyelesaikan
domestiknya.
Perempuan
lebih
banyak
menghabiskan
waktu
kerja untuk
pekerjaannya dibanding dengan laki-laki karena perempuan selain berperan dalam kerja produktif juga berkewajiban untuk menyelesaikan tugas-tugas domestiknya, tetapi biaya ekonomi yang dihasilkan oleh perempuan dari kerja reproduktif kurang diakui. Hal ini dikarenakan kapitalisme membagi kerja menjadi kerja yang dibayar yang dialokasikan dengan nilai tukar uang (produksi) dan kerja yang tidak dibayar yang dialokasikan hanya dengan nilai yang
digunakan
(reproduktif).
Dengan
demikian
ketika
perempuan
menjalankan pekerjaan produktif di luar rumah dan kerja reproduktif di dalam rumah, perempuan dipaksa untuk bekerja dalam kurun waktu yang lebih panjang daripada laki-laki. (10). Perempuan dalam peran produktif dan reproduktifnya memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan laki-laki. Dalam hal ini perempuan tidak lagi berperan ganda, tetapi memiliki “multi peran” atau “peran majemuk”. Untuk mengurangi alokasi waktu kerja yang panjang, maka diperlukan pembagian kerja dalam keluarga secara merata. Para feminis radikal dalam hal ini menentang konsepsi ideologi patriarki yang melahirkan sistem seks/gender sebagai suatu rangkaian
pengaturan
yang
digunakan
oleh
masyarakat
untuk
mentransformasikan seksualitas biologis seseorang menjadi produk kegiatan manusia. Perbedaan laki-laki dan perempuan yang demikian menurutnya membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang memberdayakan laki-laki pada posisi yang superordinat dan melemahkan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
19
perempuan pada posisi yang subordinasi. Pandangan yang demikian menurut Marlyn French, opresi laki-laki terhadap perempuan secara logika mengarahkan sistem lain bentuk dominasi manusia. Jika mungkin memberikan pembenaran atas dominasi laki-laki terhadap perempuan, maka mungkin pula memberikan pembenaran atas segala dan setiap bentuk dominasi yang pada giliriannya mengarahkan kepada stratifikasi kelas, yang elit menguasai orang-orang yang dipandang sebagai lebih dekat ke alam, liar, barbar dan serupa binatang… ia percaya bahwa seksisme adalah model dari isme lain, termasuk rasisme dan kelasisme dan berusaha menjelaskan power over yang menopangnya dan ideology pleasure –with yang membebaskan dapat membongkar ideologi penguasaan itu. (French dalam Tong 80). Menurut Cantor dan Bernay (1992), kekuasaan dari kacamata feminis merupakan pengaturan nilai-nilai sosial dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan maskulinitas dan femininitas. Kekuasaan dalam hal ini mengandung nilai-nilai pemberdayaan terhadap orang lain yang dipengaruhi dengan tujuan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik. Selanjutnya Harstock (1998) dalam Arivia (2003), kekuasaan diperlukan untuk
memahami
bahwa
dalam
kehidupan
material
selalu
terjadi
penstrukturalan yang membatasi pemahaman-pemahaman hubungan sosial. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan maupun dalam perjuangan perempuan yang membicarakan keterpinggiran perempuan, kekuasaan dan relasi kuasa akan memberikan gambaran mengenai kelas yang berkuasa, ras dan gender yang secara aktif menstukturkan hubungan sosial-material dimana semua pihak dipaksa untuk berpartisipasi. Sehingga dalam pembahasan terkait kekuasaan, Rosaldo (1974) melihat kekuasaan dapat diperoleh perempuan dalam peran domestik dan publik. Kesempatan perempuan memperoleh wewenang atau kekuasaan dapat dilakukan dengan memasuki dunia laki-laki, menerima legitimasi fungsi domestik atau menciptakan suatu dunia mereka sendiri, melalui alokasi penghasilan perempuan terhadap ekonomi rumah tangga, mengumpulkan kekayaan melalui kontrol terhadap makanan dan membentuk kelompok atau perkumpulan tertentu dalam keluarga dan masyarakat.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
20
2.2.2 Surplus Kerja Produksi dan Reproduksi Aliran Feminis Marxis umumnya berpendapat bahwa bentuk opresi yang dialami oleh kaum perempuan sesungguhya bersumber dari eksploitasi kelas dan cara produksi yang erat kaitannya dengan kapitalisme. Kegiatan produksi merupakan proses yang sering digambarkan sebagai kegiatan kapitalisme oleh feminis marxis untuk menganalisis hubungan kerja perempuan dan ketertindasan perempuan dalam kerja reproduksi dan produksi dalam masyarakat. Marx memandang kerja produksi sebagai suatu sistem yang eksploitatif, karena dalam kerja produksi sebenarnya menggunakan kekuatan bekerja, pengeluaran energi dan intelegensi pekerja. Dalam hal ini, pemilik produksi hanya membayar sebagian terhadap kekuatan bekerja, energi dan intelegensi pekerja yang dijual pekerja dengan upah. Kemudian menjual komoditi yang dihasilkan oleh kerja untuk mendapatkan keuntungan atau surplus. Dengan monopoli atas modal dan bahan yang digunakan dalam kerja produksi, pekerja dikondisikan dalam pilihan bekerja untuk upah dalam sistem pertukaran yang disebut Marx sebagai “fetisisme komoditi”. Pekerja diyakinkan bahwa sulit bagi mereka untuk mendapatkan uang secara inheren sehingga tidak ada yang salah dalam kondisi hubungan pertukaran yang eksploitatif tersebut. (Marx dalam Tong 141-143) Eksplotasi juga terjadi ketika laki-laki dan perempuan membentuk keluarga.
Untuk
menjaga
stabilitas
dan
kelangsungan
keluarganya,
perempuan dan laki-laki harus melaksanakan kerja produksi yang menghasilkan upah untuk memenuhi tuntutan ekonomi keluarga, kemudian dalam waktu yang bersamaan perempuan juga dituntut untuk melaksanakan kerja reproduksi untuk melestarikan keturunan dan keluarga. Konstruksi sosial terhadap pembagian peran gender yang demikian menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga yang wajib melaksanakan kerja reproduktif, dan laki-laki sebagai kepala keluarga yang melakukan kerja produktif. Ketika kerja produktif diberi nilai upah, dan kerja reproduktif dianggap tidak nyata maka kerja reproduktif yang identik dengan kerja perempuan akan dianggap rendah.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
21
Laki-laki yang bekerja diluar rumah memiliki upah yang bernilai ekonomi yang dibutuhkan dalam membiayai proses reproduktif. Laki-laki memiliki tempat sebagai pemilik modal dan proses reproduktif karena ia mentransformasikan penghasilannya kepada perempuan untuk membiayai proses reproduktif. Hasil dari kerja reproduktif, yang dilakukan oleh perempuan adalah keluarga dan keturunan yang dimiliki laki-laki sebagai kepala keluarga. Sebagai pemilik keluarga dan pemilik modal, laki-laki mengambil surplus dari perempuan dalam pelaksanaan reproduksinya berupa pelayanan seksual, keturunan, dan status yang meningkatkan eksistensi lakilaki ditengah masyarakat. Surplus juga didapat laki-laki dalam keluarga dari pasangan suami istri yang sama-sama bekerja. Pembakuan peran rumah tangga sebagai kewajiban istri secara hukum dan konstruksi sosial pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan perempuan, membuat laki-laki bebas dari kerja reproduktifnya. Di sisi yang lain, beban laki-laki atas kewajiban sebagai kepala keluarga menjadi berkurang dengan adanya kontribusi penghasilan istri. Selanjutnya, Sanderson 2003 dalam Damsar (71) mengemukakan bahwa sistem ekonomi itu sendiri cenderung diorganisasikan, terutama menurut
salah
satu
dari
dua
jenis
nilai.
Masyarakat
prakapitalis
diorganisasikan melalui berbagai aktivitas di mana produksi barang dan jasa untuk nilai adalah perhatian satu-satunya produsen. Dalam konteks ini, barang dan jasa diproduksi agar dapat dikonsumsi, bukan agar dapat dipertukarkan dengan barang lain. Jika aktivitas ini mendominasi tindakan ekonomi, maka sistem ekonomi produksi untuk dipakai (production for use economy) dipandang berlaku. Sebaliknya, pada masyarakat kapitalisme moderen, produksi sejumlah barang dan jasa ditunjukkan terutama untuk nilai tukarnya, untuk memperoleh sejumlah uang yang diterima produsen kapitalis atas barang dan jasa yang dijual di pasar. Motivasi utama produsen kapitalis memproduksi barang dan jasa adalah untuk meraih nilai tukarnya di pasar, bukan nilai gunanya. Dengan demikian, kapitalisme modern merupakan suatu ekonomi produksi untuk di jual (production for exchange economy) atau dengan kata lain produksi yang diprioritaskan untuk dijual di pasar ketimbang
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
22
untuk digunakan sendiri. Dengan masuknya industrialisasi dan transfer produksi barang-barang dari rumah tangga ke tempat kerja umum akhirnya memosisikan perempuan dalam ranah domestik sebagai orang yang nonproduktif. Jika pekerjaan perempuan diklasifikasi sebagai pekerjaan yang non-produktif, maka ketika perempuan bekerja di luar rumah pun mereka akan menjadi pekerja kelas dua dengan bayaran lebih rendah.
2.2.3 Perempuan Antara Rumah Tangga dan Karir Bekerja dalam hal ini merupakan kegiatan eksistensi manusia, karena dengan bekerja seseorang dapat mengaktualisasikan diri, menumbuhkan harga diri, dan menjadi individu yang otonom. Akan tetapi peradaban membebani perempuan dengan stigma, perempuan yang meniti karir tidak dipandang sebagai perempuan yang eksis melainkan sebagai perempuan yang gagal, yakni gagal menyelenggarakan tugas utamanya yaitu rumah tangga. Jika perempuan bekerja, maka perempuan menjalani peran dan tanggung jawab majemuk yang sangat berat sehingga melahirkan “superwomen syndrome”. Stigma yang demikian telah terinternalisasi begitu dalam khususnya pada perempuan, sehingga ketika perempuan masuk ke ranah publik sebagai wanita karir, prioritas utamanya tetap rumah tangga. Dikotomi pembagian kerja produktif dan reproduktif mengakibatkan banyak kaum perempuan yang berada di sektor domestik sebagai ibu rumah tangga cenderung menganggap dirinya bukan pekerja, meskipun secara de facto kegiatan perempuan dalam rumah tangga merupakan kegiatan yang bersifat produktif melalui pelayanan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya. Moore dalam hal ini menentang konsepsi dikotomi peran gender tersebut dan berpendapat bahwa kerja bukan upahan baik yang bersifat domestik maupun yang bukan domestik termasuk kerja. Karena tanpa kerja tersebut kehidupan (biologis, sosial, ekonomi ataupun politik) tidak dapat berlangsung. Dengan demikian, Moore mendefinisikan kerja sebagai ”Segala hal yang dikerjakan oleh seorang individu baik untuk subsistensi; Untuk dipertukarkan atau diperdagangkan; Untuk menjaga kelangsungan keturunan dan kelangsungan hidup keluarga atau masyarakat” (Moore 42-54).
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
23
Para feminis berspekulasi bahwa efek dari partisipasi perempuan, yaitu istri dalam pasar kerja formal memaksa mereka mengalami diskriminasi ganda yang dikembangkan secara sosial. Meskipun demikian perempuan juga mendapatkan keuntungan kenaikan kelas dengan berpartisipasi dalam dunia kerja formal yang berada di luar rumahnya. Kapital sosial, intelektual dan hasil kerja dibagi bersama dalam rumah tangga dan menaikkan kelas sosial dari sebuah pasangan. Menaikkan kelas sosial perempuan dalam ranah publik cenderung dibarengi dengan ketidakadilan bagi perempuan melalui beban majemuk yang dipikulnya. Oleh karena itu, Rose & Carrasco dalam Dewi Candraningrum mengemukakan bahwa keadilan bagi perempuan hanya dapat tercapai apabila laki-laki mau berbagi kerja ketika sampai rumah, yaitu dengan tidak membebankan semua tugas domestik kepada perempuan. (12) Keputusan perempuan tidak lagi menyangkut dirinya sendiri tetapi berdampak juga pada perempuan lain, terutama yang menggantikan perannya di dalam rumah. Richard Layte (1998) dalam Candraningrum mempercayai bahwa ketidakadilan terhadap perempuan dalam karir pekerjaan tidak hanya disebabkan oleh divisi pekerjaan dalam ranah domestik, akan tetapi juga oleh cermin akuntabilitas gender maskulin dan feminin yang kemudian memenjarakan perempuan pada tugas-tugas domestik—karena pada dasarnya, di dunia pekerja formal, perempuan disandingkan dan diberi tugas yang serupa dengan pekerjaan domestik dengan tanpa bayaran. Ideologi gender yang dianut telah melahirkan akibat yang sangat serius pada kelahiran diskriminasi gender atau ketidakadilan gender. (13) Dikotomi pembagian peran gender yang berakibat pada ketidakadilan bagi kaum perempuan tidak terlepas dari pandangan kaum feminis yang meyakini bahwa opresi terhadap perempuan semata-mata merupakan konstruksi ideologi patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan tersubordinasi oleh kaum laki-laki. Kate Millett, dalam bukunya “Sexual Politics, 1970” memfokuskan perhatiannya pada masalah seksualitas perempuan, dengan mengaitkan seks pada politik, dalam arti bahwa hubungan antara pria dan wanita merupakan paradigma sebuah hubungan kekuasaan yang menimbulkan nilai-nilai patriarki dalam masyarakat yang terlalu
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
24
membesar-besarkan aspek biologis semata dan menempatkan pria pada maskulinitas yang dominan, sementara wanita berperan sebagai subordinat/feminin.
Ia
menganjurkan
perlu
adanya
perubahan
dengan
menghancurkan sistem gender dan menciptakan masyarakat baru yang androgini, yaitu masyarakat yang para anggotanya mampu mengintegrasikan sifat-sifat feminin dan maskulin menjadi satu sifat yang dimiliki oleh semua manusia. (Millet dalam Tong 73). Selanjutnya Margareth Benston menekankan bahwa perempuan adalah produsen yang bertanggung jawab atas produksi nilai guna yang diasosiasikan dengan rumah dan keluarga. Perempuan yang diberi akses untuk bekerja di ranah publik tetapi tetap dibebankan dengan pekerjaan rumah tangganya, maka ia akan terus berada di dalam opresi serta memikul beban ganda, Setiap waktu, pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan. Ketika mereka bekerja di luar rumah, dengan cara apapun mereka harus mengatur untuk dapat mengerjakan baik pekerjaan di luar rumah maupun pekerjaan di dalam rumah. Perempuan, terutama perempuan yang sudah menikah dan mempunyai anak, yang bekerja di luar rumah, pada dasarnya melakukan dua pekerjaan; partisipasi mereka di pasar tenaga kerja hanya dimungkinkan jika mereka terus memenuhi kewajiban utama mereka di rumah. (Benston dalam Tong 157). Baik di ranah publik maupun privat perempuan selalu ditempatkan pada jenis pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan stereotipenya, misalnya merawat, membantu, melayani, mengasuh yang sifatnya feminin. Padahal dalam kenyataanya, laki-laki juga memiliki potensi untuk merawat, membantu, dan melayani. Diskriminasi ini dipicu oleh preferensi ideologi patriarki yang mengakar dalam pola pikir masyarakat, termasuk perempuan sendiri ikut menempatkan dirinya untuk tidak menempatkan diri pada pekerjaan-pekerjaan sebagai pemimpin atau pengambil keputusan karena preferensinya adalah keluarga dan rumah tangga. Diskriminasi preferensi ini melanggengkan kesenjangan pencapaian karir antara perempuan dan lakilaki. Pembedaan sosial adalah proses di mana seseorang sejak lahir dibedakan berdasarkan jenis kelamin, etnis, ras, preferensi seksual, status pernikahan dan agama. Pembedaan tersebut merupakan hasil dari impuls proses kognitif
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
25
yang bersifat otomatis untuk mengenali identitas liyan dan dapat digunakan secara arbitrer dalam aktivitas mental seseorang yang mencoba mengenali dan mengidentifikasi liyan.
2.2.4 Kehadiran Pekerja Rumah Tangga Sebagai Fenomena Ekonomi Ganda Untuk memperoleh pemahaman lebih jauh mengenai kehadiran dan status PRT, terlebih dahulu perlu ditinjau kembali asal usul munculnya PRT. Asal usul PRT tidak terlepas dari pendekatan teoretis yang menggunakan pendekatan ekonomi ganda (dual economy). Untuk memahami aspek migrasi tenaga kerja dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan dalam konteks ekonomi ganda, Lewis menjelaskan teori labour supply. Di daerah pedesaan, ia menjelaskan, karakteristik yang paling menonjol adalah pendapatan masyarakat rendah, produktivitas rendah, produksi yang bersifat subsisten (untuk pemenuhan kebutuhan bahan makanan bagi keluarga), dan penduduk yang banyak, sehingga marginal propensity to save sangat kecil. Karena disposable income masyarakat pedesaan yang rendah maka savings pun rendah. Tanpa savings, investment tidak akan bisa dilakukan. Hal ini tentu memberikan kontribusi kemiskinan yang terjadi di daerah pedesaan. Sementara di daerah perkotaan, terdapat masyarakat yang kapitalis, dengan pendapatan tinggi dan produktivitas yang tinggi pula, sehingga marginal propensity to save sangat besar. Dengan demikian maka peluang untuk penciptaan lapangan pekerjaan lebih besar di daerah perkotaan ketimbang di daerah pedesaan. Faktor inilah yang mendorong penduduk pedesaan bermigrasi keluar dari daerahnya ke daerah perkotaan untuk mencari nafkah tambahan. (139-191). Walaupun konsep ekonomi ganda ini mendapat reaksi dan kritik dari para penganut aliran neoklasik, namun kenyataannya, bahwa di banyak negara-negara sedang berkembang pola dualistik ini masih kuat dan empiris. Dengan pemahaman yang demikian, maka dapatlah dijelaskan fenomena migrasi dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan sebagai upaya untuk mencari nafkah tambahan bagi mereka yang tidak terserap oleh ekonomi
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
26
tradisional
yang
berkarakteristik
subsisten
itu.
Karena
kurangnya
keahlian/keterampilan dan pengetahuan para imigran, maka banyak yang berkecimpung di aktivitas-aktivitas ekonomi di perkotaan sebagai buruh kasar, buruh bangunan, pedagang kaki lima, tenaga kebersihan, dan Pembantu Rumah Tangga (PRT). Namun demikian, migrasi tenaga-tenaga yang miskin, kurang pengalaman dan pengetahuan dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan tidak selalu menjawab aspirasi para pencari kerja itu sendiri. Misalnya, Boserup mengungkapkan bahwa sistem peralihan dari cara tradisional menuju modern telah turut memarginalkan kaum perempuan dari produk-produk yang dihasilkan. Demikian observasi Boserup: Sebagaimana yang telah kita lihat bahwa peralihan dari cara bertani tradisional ke yang moderen cenderung meningkatkan martabat pria dengan mengorbankan martabat wanita, dengan melebarkan kesenjangan tingkat pengetahuan dan latihan mereka. Dalam beberapa hal, kecenderungan demikian makin diperkuat oleh perubahan dalam pola produksi, yang memberikan peranan yang bebas kepada pria, yang mengambil keputusan-keputusan, sedangkan peranan wanita merosot menjadi pembantu keluarga atau pekerja upahan di ladang milik petani pria, dan bersama membuat kedudukan pria lebih tinggi dari kedudukan wanita. (47). Di sinilah dapat kita pahami mengapa sebagian besar dari para imigran tersebut, karena pendidikan dan keterampilan yang terbatas, terpaksa bekerja sebagai PRT walaupun dengan kondisi kerja yang tidak layak sekalipun, sebagai jalan keluar dari kemiskinan dan upaya untuk memperbaiki taraf hidup keluarga mereka. Para imigran dari daerah pedesaan yang tidak mampu mendapatkan pekerjaan karena terbatasnya keterampilan dan pengetahuan, bahkan memilih jadi pemulung, tukang ojek, tambal ban, atau melakukan pekerjaan apa saja yang bisa mendatangkan sedikit uang. Situasi yang demikian justru menambah beban pemerintah karena fenomena pemiskinan di daerah perkotaan yang semakin meningkat. Di daerah perkotaan inilah, para PRT memberi kontribusi kepada rumah tangga pemakai jasa dengan melakukan pekerjaan (yang dianggap kasar) yang seharusnya dilakukan oleh anggota rumah tangga. Di dalam rumah tangga yang majikannya bekerja di ranah publik, para PRT melakukan fungsi sebagai
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
27
ibu rumah tangga dengan proses substitutif, sehingga memungkinkan ibu (majikan perempuan) untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Kini, banyak rumah tangga bahkan tidak bisa berdiri sendiri tanpa kehadiran PRT, seperti dikemukakan oleh Bapak HR, dari DPR-RI itu. Bentuk ketidakadilan gender seperti stereotype, subordinasi dan marginalisasi terhadap perempuan menjadi penyebab lain terjadinya kekerasan terhadap PRT. Stereotype atau pelabelan terhadap perempuan telah mengakibatkan perempuan—dan apa saja yang dilakukan serta perannya— sebagai hal yang rendah. Contohnya pelabelan pada pekerjaan domestik yang dianggap kewajiban perempuan sebagai ibu, istri, dan anak perempuan sehingga pekerjaan domestik tidak dihargai. Marginalisasi telah menyebabkan perempuan dipinggirkan dari arena publik, sehingga perempuan yang melakukan pekerjaan di wilayah publik yang sifatnya informal, dianggap tidak menyumbang banyak secara ekonomi kepada negara. Pekerjaan informal salah satunya adalah menjadi PRT. Kenyataannya, pekerjaan informal memberi sumbangan yang sangat besar bagi negara. Apalagi situasi negara seperti saat ini, dimana lapangan pekerjaan formal sangat terbatas. Adanya subordinasi perempuan menyebabkan pekerjaan PRT yang didominasi Subordinasi
kaum selalu
perempuan dikaitkan
menimbulkan dengan
permasalahan
pandangan
tersendiri.
masyarakat
bahwa
perempuan sebagai warga negara kelas dua. Sementara nilai-nilai yang menjadi panutan masyarakat adalah nilai-nilai laki-laki. Hal ini menjadi masalah yang sulit untuk diselesaikan. Faktor-faktor tersebut di atas sangat bervariasi sesuai dengan konteks waktu, situasi, kondisi geografis, dan demografis wilayah asal, dan kerja dari PRT. Namun demikian, secara umum faktor-faktor tersebut saling berkaitan dan menguatkan satu sama lain. PRT merupakan fenomena sosial yang telah lama ada di Indonesia. Ada banyak kekhasan dan karakter khusus dari profesi PRT ini. Mulai dari wilayah kerja PRT yang berada di wilayah domestik. Pendefinisian PRT sampai saat ini juga masih sangat kontroversi, sehingga
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
28
menyebabkan berbagai persoalan terutama kekerasan multidimensional yang sangat dekat dengan PRT. Salah satu karakteristik khas PRT adalah wilayah kerjanya yang berada di wilayah domestik. Hal ini berkaitan erat dengan beban kemiskinan yang mulidimensional dan keterampilan yang terbatas pada hal-hal sekitar pekerjaan rumah tangga, maka perempuan desa pencari kerja di kota telah memilih (meskipun terpaksa) berperan disektor domestik. Sebagai PRT, mereka memperkuat pelestarian pembagian kerja seksual bahwa tanggung jawab perempuan adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan dirumah tangga. Sehingga meskipun sebenarnya bekerja diluar rumah (karena ia mencari kerja di luar keluarganya sendiri), namun tugas-tugasnya masih terpusat pada hal-hal yang secara stereotype dianggap sebagai “pekerjaan perempuan” dan menekankan pada melayani kebutuhan orang lain. Pekerjaan menjadi PRT selalu dianggap sebagai pekerjaan perempuan. Karena pekerjaan yang berada di wilayah domestik biasanya dilakukan oleh perempuan, misalnya memasak, mencuci, menyeterika, mengasuh anak dan masih banyak lagi. Pekerjaan tersebut dianggap sewajarnya dilakukan oleh perempuan. Namun ada beberapa pekerjaan domestik yang dilakukan oleh laki-laki juga, seperti sopir dan tukang kebun, yang dianggap sewajarnya dilakukan oleh laki-laki. Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa pekerjaan memasak, mencuci dan menyeterika dianggap sebagai pekerjaan yang sewajarnya dilakukan oleh perempuan? Mengapa pekerjaan sopir dan tukang kebun dianggap sebagai pekerjaan yang dianggap sewajarnya sebagai pekerjaan laki-laki? Karena pekerjaan memasak, mencuci, menyeterika dan mengasuh anak sudah dianggap wajar dan “kodrat” nya perempuan. Kenyataannya, masyarakat telah memberikan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan diberi peran sebagai orang yang merawat, memelihara dan melayani orang lain, umumnya yang mereka layani adalah anggota keluarganya. Laki-laki diberi peran yang lain oleh masyarakat, yaitu menjadi kepala keluarga, pencari nafkah utama dalam keluarga, menjadi pemimpin, orang
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
29
yang kuat dan pengambil keputusan. Oleh karena itu, wilayah kerjanya juga berada di publik. Kondisi ini menyebabkan mereka memiliki akses kekuasaan dan ekonomi. Kenyataan lain akibat adanya pembedaan peran ini adalah pekerjaan yang dilakukan laki-laki lebih membutuhkan keterampilan, sementara tidak demikian halnya dengan pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Sopir dan tukang kebun dianggap lebih terampil dibandingkan dengan pekerjaan memasak, mencuci, menyeterika dan mengasuh anak. Pekerjaan yang satunya bisa dilakukan bila kursus dulu, sementara pekerjaan yang lain dianggap telah digariskan sejak lahir. Hal ini memberikan asumsi bahwa pekerjaan menjadi sopir dan tukang kebun dapat digaji lebih mahal dibanding pekerjaan yang mengurus kerumahtanggan.
2.2.5 Kontribusi Moneter dan Non-Moneter PRT: Profesi Yang Diabaikan Studi tentang kontribusi PRT dalam rumah tangga dengan ibu bekerja masih sangat sedikit. Para ahli feminist economics menekankan pentingnya perhatian diberikan pada kegiatan-kegiatan yang sering dianggap oleh para ekonom sebagai non-market activities, seperti pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga. Pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga membutuhkan perhatian yang besar, keseriusan, serta waktu dan energi yang banyak. Di sinilah salah satu aspek penting yang menjadi perhatian dan titik tolak analisa ekonomi neoklasik di mana berbagai bentuk pekerjaan seperti pengasuhan anak dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dimasukan dalam berbagai econometric modelling karena dianggap sebagai fenomena non-ekonomi (Lourdes dan Strassmann, 2011). PRT merupakan fenomena sosial yang telah lama ada di Indonesia, sama seperti di negara-negara lainnya. Ada banyak kekhasan dan karakter khusus dari profesi PRT ini, mulai dari wilayah kerja PRT dan jenis pekerjaan yang berada dilingkup domestik. Pendefinisian PRT sampai saat ini masih kontroversial dan kurang mendapat perhatian serius di kalangan para pengambil kebijakan, sehingga menyebabkan berbagai persoalan terutama kekerasan multidimensional sangat dekat dengan kehidupan PRT. Elizabeth
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
30
Anderson dalam bukunya value in Ethnics and Economics (1993) dalam Arivia mengatakan, di dalam nilai-nilai pasar tidak terdapat nilai-nilai yang plural sehingga membatasi pasar. Nilai pasar cenderung bersifat “netral” dan tidak personal. Pasar yang bersifat rasional tidak mempermasalahkan pesoalan-persoalan personal yang menjadi kendala dalam berpartisipasi dalam pasar. Dengan demikian kendala personal tidak diperhitungkan. Misalnya dalam partisipasi kekuatan pasar kerja, jelas terdapat kendala gender. Perempuan cenderung berada di dalam ranah produktivitas yang rendah, kebanyakan bekerja diperusahaan yang kecil sebagai pekerja yang tidak dibayar atau disektor informal, dan perempuan jarang masuk dalam posisi tinggi di dalam pasar kerja. Hal ini disebabkan karena perempuan lebih memilih kerja paruh waktu (pekerjaan informal) sehingga mereka bisa merawat anak-anak mereka dan mengurus rumah tangga. Namun pekerjaan paruh waktu dan pekerjaan informal seringkali rendah bayarannya daripada kerja penuh waktu dan pekerjaan formal. Oleh karena itu, perempuan yang mengambil pekerjaan di sektor informal dan bekerja paruh waktu dengan bayaran rendah sudah barang tentu melemahkan insentif untuk berpartisipasi dalam pasar kerja. Dalam analisa ini perempuan mengalami perangkap produktivitas sehingga berkontribusi pada pelemahan produktifitas bisnisnya. Selanjutnya Anderson menambahkan, nilai ekonomi perempuan yang berkontribusi pada produktifitas yang rendah terjadi karena adanya nilai yang rendah dalam mendefinisikan pekerjaan perempuan. Pekerjaan-pekerjaan yang mayoritas dilakukan oleh perempuan dinilai memiliki pendidikan yang tidak terlalu tinggi sehingga nilai pekerjaan tersebut juga rendah dan alhasil berkontribusi rendah juga secara ekonomi. (12) Pekerjaan rumah tangga merupakan lapangan kerja yang memberikan kontribusi ekonomi yang tidak sedikit bagi keluarga pengguna jasa PRT dan PRT itu sendiri. Keluarga dengan pasangan suami-istri yang bekerja, secara ekonomis pendapatanya lebih besar daripada keluarga dengan pencari nafkah hanya seorang saja, baik suami atau istri. Saat suami-istri bekerja, maka urusan rumah tangga biasanya diserahkan pada PRT. Mulai dari pengurusan anak, kebersihan rumah, belanja dan masak-memasak. Dengan demikian,
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
31
PRT adalah pekerja yang produktif dan karenanya output yang dihasilkan melalui jasa-pelayanan mereka bisa dikuantifikasikan. Kuantifikasi jasapelayanan PRT adalah memungkinkan karena berbagai fungsi substitusi yang dimainkan oleh ibu yang bekerja sekarang dilakukan oleh PRT sendiri. Misalnya, mengasuh anak-anak majikan, mengantar dan jemput anak-anak ke sekolah, bermain dan menghibur anak-anak itu, belanja, mempersiapkan makanan, mengatur rumah, menyuci dan lain-lain, kesemuanya dilakukan selama orang tua anak-anak itu berada di luar rumah. Tidak jarang, para PRT pun bisa dikatakan memeran fungsi-fungsi yang sama seperti para ibu yang bekerja. Alur berpikir ini secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut: PJPRT/PRT
Reproduktif
Caring Labor
Working Class
Gambar 1 : Fungsi-Fungsi Ganda Pemakai Jasa-Pelayanan PRT
Secara fundamental, kontribusi moneter dan non-moneter PRT dalam perekonomian dan keluarga tidak diragukan lagi. Berikut sebuah kutipan dari Serikat PRT Tunas Mulia tentang kontribusi PRT dalam pembangunan dan rumah tangga majikan: Dapat dikatakan kontribusi ekonomi PRT ini sangat besar terhadap roda perekonomian bagi negara, keluarganya, keluarga pengguna jasanya, sampai masyarakat desa asalnya. Dapat kita lihat keberadaan jasa PRT sangat berperan bagi kelancaran aktivitas kehidupan keluarga terutama bagi pasangan yang keduanya bekerja di sektor publik. Sebagian besar bahkan semua pekerjaan/tugas-tugas domestik/rumah tangga, digantikan oleh Pekerja Rumah Tangga. Contoh sewaktu lebaran atau PRT pulang ke kampungnya, bagaimana banyak keluarga kerepotan mengurus anak, dapur dan juga kebersihan rumahnya. Akibatnya banyak pengguna jasa yang tidak masuk kerja, atau mereka tinggal di penginapan yang tentunya membutuhkan biaya yang cukup besar/mahal dari biasanya. Bisa dibayangkan kalau tidak
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
32
ada/sedikit PRT yang bekerja, sedangkan fasilitas umum seperati tempat penitipan anak, cleaning service belum tersedia dengan murah, maka orang kemudian tidak bisa bekerja karena pilihan mengurus rumah tangga. Berbeda kalau ada PRT, pakaian sudah tersedia rapi, rumah bersih, makan bisa tersedia
dan
anak
serta
rumah
ada
yang
menjaga.
(Sumber:http:tunasmulia.blogspot.de/2008/07/kontribusi-prt-dalam pembangunan_23.html). Kontribusi yang disumbangkan melalui kehadiran PRT bagi rumah tangga PJPRT tidak sebanding dengan apa yang diterima oleh PRT selama menjalankan pekerjaannya. Banyak kasus pelanggaran hak terhadap PRT marak terjadi disekitar kita. Selain itu, kasus kekerasanpun sering dialami oleh PRT yang umumnya adalah perempuan. Hal ini disebabkan ketiadaan perlindungan hukum bagi PRT serta terbatasnya lapangan kerja dan kemiskinan menyebabkan PRT bersedia bekerja dalam kondisi yang eksploitatif dan terdiskriminasi dari produk kerjanya. Kadang kala aspek gender dianggap sebagai sesuatu yang peripheral apabila kita berbicara tentang bagaimana performans perekonomian suatu negara. Kebanyakan mainstream analisis bahkan tidak pernah menyinggung masalah gender. Bahwa pentingnya gender dalam memahami bagaimana aktivitas ekonomi yang dilakukan baik oleh laki-laki maupun perempuan tidak diragukan lagi. Aktivitas sosial dan ekonomi yang selama ini kita jumpai, terutama dalam skala ekonomi mirko, adalah terjadinya ketimpangan yang tidak efisien dalam proses distribusi kesempatan antara laki-laki dan perempuan, dalam rangka penyelenggaraan kapabilitas untuk mencapai tingkat kesejahteraan mereka. Sebagaimana diuraikan di atas, perempuan selalu mendapat perlakuan yang kurang dibandingkan laki-laki akibat dari sistem patriarki yang masih kuat dan dominan. Keterlibatan perempuan dalam kegiatan ekonomi adalah subyek yang paling kurang dimengerti dengan baik oleh para pakar dan praktisi pembangunan. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk memenuhi gap ini.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
33
2.2.6 Harmonisasi Hukum yang Berperspektif Perempuan Meskipun PRT telah ada sejak zaman dulu, tetapi perlakuan terhadap mereka tidak mengalami kemajuan. Bahkan di zaman moderen ini PRT tetap dianggap sebagai pembantu bukan sebagai pekerja. Proses sosialisasi dari sejak nenek moyang sampai generasi saat ini menanamkan pengertian bahwa PRT dianggap bisa menjadi hak milik dan mengabaikan kenyataan bahwa PRT manusia bebas, manusia yang bekerja, dan memiliki hak untuk mendapatkan upah. Pengabaian terhadap hak PRT tersebut bukan hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi negara pun turut mengabaikan keberadaan PRT yang jumlahnya sangat besar dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kata “pekerja” (worker) dari PRT sendiri merupakan sebuah wacana baru yang dikembangkan LSM dan ILO untuk mengganti kata “pembantu” (servant). Perubahan istilah ini diharapkan agar pekerjaan domestik bisa lebih diakui dan dihargai sebagai sebuah pekerjaan yang bersifat formal yang dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Definisi PRT menurut ILO adalah orang yang bekerja dalam ruang lingkup rumah tangga dengan mendapatkan upah, mempunyai hak dan kewajiban yang jelas sesuai kesepakatan antara PRT dan Pemberi Kerja yang didasarkan pada prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), sebaliknya pemerintah hanya menyebut pekerjaan ini sebagai pramuwisma. Peristilahan ini telah mengesampingkan fungsi, peran, dan jasa yang sangat berarti dari para PRT dan mengisolasinya pada bentuk pekerjaan yang hanya berhubungan dengan perangkat rumah tangga semata. Indonesia melalui berbagai konvensi yang telah diratifikasi memuat materi pokok pemenuhan HAM bagi warganya sudah selayaknya merangkul dan memberi perlindungan bagi warga negaranya, terlebih kaum perempuan sebagai kelompok yang rentan terhadap berbagai ketidakadilan. Dengan didasarkan pada Convention on the Elimination of all Form of Discrimination Against Women (CEDAW) yang diratifikasi dalam UU RI No 7 tahun 1984, Deklarasi Beijing Platform for Action tahun 1995 yang menetapkan 12 area kritis, UU No. 13 tahun 2003, Surat Edaran Menteri (SEM) No.4/1988
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
34
seharusnya dapat melandasi terbentuknya perlindungan bagi perempuan khususnya PRT. Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada dasarnya telah memiliki peraturan perundangan tentang pekerja rumah tangga sejak zaman kolonial Belanda yang ditetapkan pada tahun 1825. Dalam perkembangannya, pada tahun 1993, DKI Jakarta mengeluarkan dua peraturan perundangan yang berhubungan dengan pekerja rumah tangga. Pertama adalah PP Nomor 6 tahun 1993 tentang peningkatan kesejahteraan pekerja rumah tangga dan yang kedua adalah PP Nomor 6 tahun 2004 tentang ketenagakerjaan. Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1099 tahun 1994 dianggap sebagai langkah positif terhadap perlindungan hak-hak pekerja rumah tangga. Akan tetapi, semua peraturan perundang-undangan ini tidak pernah disosialisasikan dan karenanya tidak dapat diimplementasikan.
2.3 Skema Alur Pikir Berikut ini adalah bagan konseptual tentang proses rasionalisasi dan sistematika berpikir penulis dalam penelitian ini sebagaimana tampak di bagan berikut ini.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
35
Patriarki
Suami
Istri
Produktif
Reproduktif
Non moneter
Moneter
PRT - Ketikdakadilan - Tidak ada kebijakan negara
Dari bagan alur berpikir di atas, tampak bahwa konstruksi budaya patriarki melalui pembagian peran gender dalam masyarakat menempatkan perempuan sebagai pekerja reproduktif yang tidak bernilai moneter dan laki-laki sebagai pekerja produktif yang bernilai moneter. Namun, dalam perkembangannya keterlibatan perempuan dalam ranah publik sebagai pekerja yang produktif yang menghasilkan uang cenderung menghadapkan perempuan pada beban majemuk yakni kerja produktif dan kerja reproduktif (meliputi, pengasuhan anak dan kegiatan rumah tangga) karena secara tradisional perempuan adalah penanggung jawab pekerjaan rumah tangga. Meskipun demikian, perlu diungkapkan juga bahwa terdapat juga rumah tangga yang melibatkan suami untuk menyelesaikan tugas-tugas domestik seperti; memasak, menyuci, mengasuh anak ketika waktu yang dimiliki oleh istri semakin terbatas di ranah domestik. Akan tetapi, kasus yang demikian masih jarang dijumpai dalam masyarakat yang preferensi maskulinitas masih dominan, sehingga di dalam bagan alur berpikir di atas saya menggunakan garis putus-putus untuk menjelaskan fenomena tersebut. Upaya
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
36
untuk mengatasi beban majemuk keluarga yang ibu bekerja yaitu dengan menghadirkan PRT untuk mensubtitusi kegiatan domestik para majikannya sehingga mereka dapat dengan leluasa beraktivitas di luar rumah sebagai pekerja produktif. Akan tetapi selama menjalankan aktivitasnya, PRT seringkali dihadapkan pada berbagai ketidakadilan seperti termarginal dari lingkup kerja produktif, tersubordinasi, mengalami kekerasan hingga pelecehan seksual. Jika kehadiran PRT dalam rumah tangga PJPRT turut meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan bagi PJPRT baik dari aspek moneter (lebih konsentrasi bekerja sehingga meningkatkan pendapatan) dan nonmoneter (memperoleh kepuasan, kebahagiaan, ketenagan dll), maka sudah selayaknya PRT dihargai dan hakhaknya dipenuhi sebagaimana pekerja lainnya. Karakteristik yang dimiliki oleh PRT berbeda dari pekerja baik formal maupun informal lainnya, maka penting dibentuk suatu perlindungan khusus bagi PRT melalui peraturan perundangundangan yang menjunjung tinggi HAM dan mengedepankan hak perempuan sehingga tercapai masyarakat yang adil menuju kesejahteraan.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Pada bagian ini, akan diuraikan metodologi penelitian dalam penelitian tesis ini. Untuk mengetahui persepsi dan pemaknaan kehadiran PRT dalam keluarga yang ibu bekerja, maka pendekatan kualitatif dianggap lebih komprehensif digunakan dalam pengumpulan data di lapangan. Akan tetapi perlu diungkapkan bahwa proses pengumpulan data melalui wawancara dengan responden juga didukung oleh sebuah kuesioner yang kemudian akan dikaji secara mendalam melalui wawancara terfokus dan mendalam. Dengan demikian fokus pembahasan dalam bab ini meliputi: perspektif dan pendekatan penelitian, lokasi dan subjek penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, isu etis, pengalaman lapangan dan gambaran umum subjek yang diwawancarai.
3.1 Perspektif dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan perspektif feminis untuk memahami pengalaman perempuan karena perspektif konvensional lainnya dianggap bias ideologi patriarki. Menurut Sadli (1995), prinsip-prinsip perspektif feminis menjadi penting karena menganggap bahwa gender sebagai faktor yang berpengaruh dalam menentukan persepsi dan kehidupan perempuan, membentuk kesadaran, keterampilan, dan pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Tujuan riset bukanlah terutama perempuan, melainkan pengalaman perempuan sehingga riset yang berperspektif feminis secara jelas menunjukkan keberpihakan pada perempuan dan permasalahannya. Batasan metode riset dipilih berdasarkan kriteria yang ditentukan oleh apa yang dianggap lebih penting untuk dapat memahami perempuan dan permasalahannya. Kesahihan riset berkaitan dengan pengalaman perempuan sebagai indikator realitas. Perspektif feminis mencoba memfokuskan penelitian pada masalah khas perempuan yang dialami sebagai konsekuensi dari hubungan gender, di mana perempuan dan permasalahannya dikaji dengan memilih cara yang dapat membuat perempuan dan permasalahannya terungkap kasat mata. (1-7). Berdasarkan pengertian tersebut
37 Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
38
maka dalam penelitian ini saya akan menggali secara mendalam pengalaman dan penghayatan perempuan Pengguna Jasa Pekerja Rumah Tangga (PJPRT) dalam relasinya dengan PRT di lingkungan rumah tangga yang majikan perempuannya memiliki aktivitas padat di luar rumah. Output yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara utuh mengenai penghayatan dan pengalaman perempuan majikan sebagai pengguna jasa PRT. Untuk memperoleh pemahaman tentang pemaknaan keluarga ibu bekerja terkait
kehadiran
PRT,
maka
pendekatan
kualitatif
dianggap
mampu
mengungkapkan realita sosial pengalaman perempuan baik sebagai ibu rumah tangga, wanita karir serta hubungannya dengan kehadiran PRT. Creswell sebagaimana dikutip dalam Sugiyono mengatakan bahwa “Qualitative research is a means for exploring and understanding the meaning individuals or groups ascribe to a social or human problem” [Penelitian kualitatif merupakan sarana untuk menjelajahi dan memahami individu atau kelompok terhadap persoalan sosial atau persoalan manusia]. (13). Selanjutnya, Saptari dan Holzner menekankan penting bagi studi perempuan untuk menggali dunia kehidupan, perasaan, pikiran perempuan yang telah terabaikan sejak lama dalam ilmu-ilmu sosial atau seringkali pengalaman perempuan dianggap sama seperti pengalaman laki-laki. Inilah alasan mengapa penting penggunaan metode kualitatif dalam menganalisis realita sosial perempuan. (468). Melalui pendekatan kualitatif ini diharapkan informasi yang diperoleh dapat memberikan pemahaman mendalam terkait fenomena dan gejala sosial yang dialami oleh keluarga dengan ibu bekerja (PJPRT) dalam kaitannya dengan kehadiran PRT. Pemahaman tersebut dapat diketahui lewat uraian pembahasan yang bersifat rinci didasarkan pada pengalaman riil atau hasil pengamatan pada subjek penelitian ini. Namun demikian, bukan berarti bahwa pendekatan kualitatif tidak dapat digabungkan dengan pendekatan kuantitatif. Poerwandari (2000) juga mengatakan bahwa pada dasarnya kedua pendekatan tersebut dapat digunakan secara bersamasama. Dalam kenyataanya, sering ditemui penggabungan kedua pendekatan akan memberikan gambaran jelas pada kita mengenai realitas subjektif sekaligus objektif fenomena yang sedang kita teliti”. (58). Oleh karena itu, dalam penelitian
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
39
ini saya juga menggunakan pendekatan kuantitatif melalui survei yang diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang kondisi ekonomi rumah tangga pengguna jasa PRT di DKI Jakarta. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan studi kasus sehingga penelitian ini tidak bermaksud untuk mengeneralisir hasil penelitian melainkan untuk memperoleh penghayatan secara mendalam mengenai perempuan PJPRT. Analisis yang dilakukan merupakan analisis kasus di dalam setiap kategori, sehingga melalui pendekatan studi kasus ini, berbagai persoalan dan pengalaman yang dihadapi oleh keluarga yang ibu bekerja (PJPRT) serta kontribusi PRT dapat dianalisis secara komprehensif dan holistik. Di pihak yang lain, informasi yang diperoleh lewat berbagai instrumen bisa memberi gambaran yang lebih jelas tentang peran PRT dalam keluarga ibu bekerja yang mendukung aspek-aspek moneter maupun non-moneter keluarga, yang selama ini jarang ditemui dalam literatur atau yang sering diabaikan.
3.2 Instrument Penelitian Berlangsungnya penelitian ini tidak terlepas dari beberapa hal, yakni, Kuesioner yang berisikan beberapa pertanyaan tertutup meliputi; Keterangan pemberi kerja; Kebutuhan PRT dalam rumah tangga; Pembagian kerja rumah tangga antar anggota keluarga; Pengeluaran keuangan rumah tangga PJPRT ketika tidak ada PRT; dan Masalah yang dialami PJPRT ketika tidak ada PRT. Panduan pertanyaan wawancara meliput pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada subjek dalam penelitian ini mengarahkan subjek untuk memberikan jawaban baik yang bersifat faktual (data pribadi) dan subjektif (terkait pengalaman perempuan pekerja terhadap beban majemuk sebagai ibu dan istri). Alat tulis berupa buku, bolpoin untuk menulis hasil observasi selama wawancara berlangsung Alat perekam berupa tape rekorder untuk merekam seluruh proses wawancara.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
40
Camera digital untuk mengambil gambar selama wawancara dengan para subjek berlangsung.
3.3 Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian ini adalah DKI Jakarta. Alasan memilih DKI Jakarta sebagai lokasi semata-mata dikarenakan wilayah ini merupakan ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai pusat perputaran ekonomi, memiliki peluang berbagai lapangan pekerjaan sehingga peluang akses kaum perempuan di ranah publik sabagai pekerja sangat tinggi. Hal ini juga dikarenakan, selain kebutuhan ekonomi, sudah menjadi “trend” modernisasi bahwa perempuan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Dengan demikian, kebutuhan akan pekerja rumah tangga sangat tinggi dalam rumah tangga-rumah tangga yang ibu bekerja khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta. Selanjutnya, subjek dalam penelitian ini sebagaimana Sarantakos dikutip oleh Poerwandari, mengatakan bahwa prosedur penentuan subjek dan sumber data dalam penelitian kualitatif memiliki karakteristik: 1) Diarahkan tidak pada jumlah sampel yang besar, melainkan pada kasus-kasus tipikal sesuai kekhususan masalah penelitian; 2) Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam hal jumlah maupun karakteristik sampelnya, sesuai dengan pemahaman konseptual yang berkembang dalam penelitian; 3) Tidak diarahkan pada keterwakilan dalam arti jumlah atau peristiwa acak, melainkan pada kecocokan konteks. (110-102). Dengan demikian, subjek penelitian adalah keluarga pengguna jasa pekerja rumah tangga. Alasan memilih pengguna jasa PRT dalam penelitian ini semata-mata untuk mendalami penghayatan pengguna jasa terkait kehadiran PRT dalam kontribusi riil melalui aspek moneter dan non moneter dalam rumah tangga ibu bekerja. Subjek dalam penelitian ini, baik untuk kebutuhan survei maupun wawancara mendalam, ditentukan melalui beberapa karakteristik sebagai berikut: 1) Perempuan; 2) Bekerja penuh waktu maupun paruh waktu di luar rumah; 3) Menikah dan memiliki anak; 4) Berpendidikan minimal SMA; 5) Bertempat tinggal dan bekerja di Jakarta.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
41
3.4 Teknik Pengumpulan Data Langkah yang di tempuh setelah subjek penelitian diidentifikasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, maka langkah selanjutnya adalah tahap pengumpulan data melalui beberapa tahapan berikut ini: Penyebaran Kuesioner Selama melakukan studi lapangan di Indonesia tidak ditemukan ada data terpilah mengenai jumlah rumah tangga pengguna jasa PRT. Dengan demikian, langkah awal untuk memperoleh gambaran umum kondisi ekonomi rumah tangga PJPRT khususnya di DKI Jakarta dengan menyebarkan kuesioner. Langkah yang ditempuh mula-mula dilakukan pada sekelompok kecil responden, kemudian masing-masing responden menunjukkan kawannya secara terus menerus hingga kelompok responden bertambah besar. Jumlah subjek penelitian ini akan dihentikan jika permasalahan yang hendak dicapai dalam penelitian ini telah diperoleh. Hasil akhir pengumpulan kuesioner yang dilakukan selama satu bulan yakni mulai bulan Februari hingga bulan Maret, saya memperoleh 26 responden yang memenuhi kriteria dan mampu menjawab persoalan penelitian ini. Langkah-langkah pengumpulan data melalui kuesioner meliputi: - Pertama, menyiapkan kuesioner yang berisikan pertanyaan-pertanyaan
tertutup yang akan di isi oleh para responden. - Kedua, mencari responden penelitian sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan. - Ketiga, Menjelaskan pada responden maksud dan tujuan serta
meminta kesediaan para responden yang ditemui untuk mengisi kuesioner yang telah disiapkan. - Keempat, meminta kesediaan para responden untuk menyebarkan
kuesioner selanjutnya pada rekan-rekannya sesuai dengan kriteria yang ada. - Kelima, mengumpulkan kembali kuesiner yang telah diisi oleh para
responden, kemudian melakukan pengecekan data yang ada sesuai kriteria dimasukan kedalam tabel melalui microshoft excel.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
42
Hasil survei (lihat pada lampiran 3) yang dilakukan pada 26 responden memiliki karakteristik sebagai berikut, 77% rumah tangga berusia antara 20 hingga 40 tahun, karena pada rentan usia demikian hampir sebagian besar rumah tangga suami dan istri aktif bekerja di luar rumah. Dilihat dari jumlah anggota keluarga, umumnya terdiri dari keluarga inti yakni ayah, ibu dan anak. Aspek pendidikan para responden cukup bervariatif, mulai dengan pendidikan terendah SMA, D3, S1 dan S2. Selanjutnya, jenis pekerjaan responden juga cukup bervariasi dan umumnya bekerja di sektor swasta sebanyak 46%, wirausaha sebanyak 23%, Guru sebanyak 19% dan Pegawai Negeri Sipil sebanyak 12%. Sama halnya dengan pekerjaan istri, pasangan (suami) responden juga berprofesi sebagai pegawai swasta yakni 46%, Pegawai Negeri Sipil sebanyak 27% dan 23% lainnya bergerak di bidang wirausaha. Dilihat dari rata-rata pendapatan rumah tangga setiap bulannya diperoleh, pendapatan tertinggi rumah tangga yaitu lebih dari Rp 15.000.000 rupiah sebanyak 19%, sedangkan pendapatan terendah yaitu berkisar antara Rp 1.500.000-3.000.000 rupiah juga sebanyak 8%. Umumnya responden mengakui berpenghasilan antara Rp 5.000.000-10.000.000 rupiah yakni sebanyak 38%. Selanjutnya, rata-rata pengeluaran rumah tangga per bulannya cenderung menunjukkan nominal yang relatif kecil yakni antara 3.000.000- 5.000.000 sebanyak 35%, selanjutnya 27% mengaku rata-rata pengeluaran perbulannya berkisar antara 1.500.000-3.000.000. Berikut dapat disimak melalui tabel dibawah ini, Tabel 1 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Responden No 1 2 3 4 5
Kategori Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga Responden per bulan Rata-Rata Pendapatan Total Rata-Rata Pengeluaran Total 1.500.000-3.000.000 8% 1.500.000-3.000.000 4% 3.000.000-5.000.000 31% 3.000.000-5.000.000 27% 5.000.000-10.000.000 38% 5.000.000-10.000.000 35% 10.000.000-15.000.000 4% 10.000.000-15.000.000 15% >15.000.000 19% >15.000.000 75%
Sumber:Hasil Survei Peneliti, 2013
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
43
Wawancara Terfokus (in-depth interview) Menurut Reinhardz (2005), wawancara menawarkan kepada peneliti jalan masuk ke pendapat, pikiran, dan ingatan orang dalam bahasa mereka sendiri ketimbang bahasa peneliti. Nilai ini penting bagi studi perempuan, karena dengan cara ini kita belajar dari pengalaman perempuan yang selama ini diabaikan atau diwakili lewat suara laki-laki. Dengan
demikian,
wawancara
mendalam
memberikan
peluang
terbangunnya kepercayaan dan menyediakan informasi yang tidak bisa dikuantifikasikan (misalnya sikap, dan perasaan). Proses ini membantu peneliti memperoleh gambaran yang spesifik isu-isu konseptual tentang peranan perempuan dalam kehidupannya sebagai istri dan ibu. Setelah mengetahui karakteristik rumah tangga pengguna jasa PRT secara umum sebagaimana dipaparkan di atas, selanjutnya saya menggunakan teknik purposif sampling untuk mengambil 6 dari 26 responden survei untuk wawancara terfokus dan mendalam. Tujuannya agar saya dapat memperoleh informasi yang lebih dalam terkait pengalaman perempuan pengguna jasa PRT dengan kehadiran PRT dalam mensubtitusi kerja domestik selama PJPRT beraktivitas di luar rumah. Berikut tahap-tahap yang ditempuh dalam melakukan wawancara antara lain; - Pertama, menyiapkan pedoman wawancara terstruktur berdasarkan
tujuan penelitian. - Kedua, menghubungi subjek terpilah, meminta kesediaannya untuk
diwawancarai dan dilanjutkan dengan mengatur jadwal pertemuan. - Ketiga, setelah memperoleh waktu dan tempat yang disepakati
bersama, selanjutnya menyampaikan maksud dan tujuan penelitian. - Keempat, meminta kesediaan dari subjek untuk melakukan rekaman
selama proses wawancara berlangsung. - Kelima, memulai pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pedoman yang
telah ada yakni memuat pokok-pokok pertanyaan yang harus diajukan. Meskipun demikian, saya tidak secara kaku berpatokan pada pertanyaan yang tersedia tetapi pertanyaan akan berkembang menjadi
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
44
wawancara yang terbuka serta dapat mengubah formulasi dan urutan pertanyaan bila itu dianggap perlu. - Keenam, mencatat sikap yang diperlihatkan informan selama
wawancara berlangsung. Catatan yang dibuat peneliti bermanfaat dalam proses transkrip verbatim hasil wawancara serta mempermudah peneliti dalam menginterpretasi jawaban informan atas pertanyaanpertanyaan wawancara - Ketujuh, wawancara umumnya berlangsung di rumah subjek, hanya 2
subjek yang mengajak wawancara dilangsungkan di restoran dan 1 subjek lainnya berlangsung di rumah mertua. Waktu pertemuan cukup bervariasi, 3 subjek meminta wawancara di langsungkan pada pagi hari, 2 subjek meminta wawancara dilangsungkan pada sore hari dan 1 subjek meminta wawancara dilakukan pada malam hari. Umumnya wawancara berlangsung dengan baik. Observasi Seringkali wawancara tidak mengungkapkan semua informasi, sehingga observasi akan dipakai dalam penelitian ini sebagai salah satu cara untuk membandingkan informasi yang diperoleh dengan kondisi riil di lapangan. Teknik pengumpulan data melalui observasi ini penting untuk membantu peneliti membandingkan atau memperkuat jawabanjawaban yang diberikan oleh subjek penelitian melalui wawancara. Observasi dapat membantu peneliti untuk mengerti keadaan responden jauh lebih baik, terutama apabila responden tidak bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan
tertentu
atau
merasa
diintimidasi
oleh
lingkungannya sendiri. 3.5 Teknik Analisis Data Proses analisis data akan dilalui melalui tahapan-tahapan berikut; -
Pertama-tama, data kuesioner dari 26 responden dikelola dan dihitung sesuai kategori pertanyaan dan jawaban terhimpun melalui microsoft excel;
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
45
-
Sebaran data kuesioner digambarkan dalam bentuk diagram. Hal ini dilakukan untuk mengetahui persentasi dari sebaran sehingga jumlah pernyataan menampilkan karakter dan gambaran umum;
-
Langkah selanjutnya, data yang diperoleh dari hasil wawancara diurai dengan transkrip verbatim untuk dapat dikelola;
-
Transkrip verbatim diperiksa dan dibaca berulang-ulang untuk menemukan tema-tema yang diidentifikasi dari transkrip tersebut. Tema-tema dimaksud meliputi pembagian kerja dalam keluarga dengan ibu bekerja, terutama terkait tugas-tugas produksi dan reproduksi semua anggota keluarga atau pihak yang terlibat; Kebutuhan rumah tangga dengan ibu bekerja dengan kehadiran PRT; Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh keluarga dengan ibu bekerja dalam kaitannya dengan kehadiran PRT; Kontribusi monenter dan non moneter dalam rumah tangga dengan kehadiran PRT;
-
Transkrip diberi nama dan kode tertentu sehingga mudah dikategorikan berdasarkan tema-tema yang diidentifikasi. Beberapa tema yang saya temukan di dalam transkrip wawancara dapat dipaparkan sebagai berikut; Tema pertama, adalah pembagian kerja produktif dan reproduktif dalam rumah tangga dengan ibu bekerja. Tema kedua, karakteristik rumah tangga yang mempekerjakan PRT. Tema ketiga, kontribusi moneter dan non moneter keluarga pengguna jasa PRT. Tema-tema tersebut akan digunakan sebagai kerangka analisis kasus, antar kasus dan antar kategori untuk memaparkan penghayatan perempuan pekerja dan kehadiran PRT dalam rumah tangga.
-
Menemukan hubungan kategori atau proses atau dinamika-dinamika untuk selanjutnya digeneralisasi untuk membantu proses interpretasi informasi yang diperoleh;
-
Informasi yang diperoleh melalui survei dan wawancara diorganisir dengan menampilkan data survei terlebih dahulu, dilanjutkan dengan penjelasan data hasil wawancara dan kemudian dianalisis sesuai dengan landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini;
-
Seluruh proses penelitian menggunakan analisis induktif, yaitu berorientasi pada eksplorasi, penemuan, dan logika dengan mencoba sedapat mungkin memahami situasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dan apa adanya.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
46
Dengan analisis induktif ini proses penelitian ini menjadi dinamis dan terbuka untuk terus disempurnakan.
3.6 Isu Etis Etika dalam penelitian harus dijaga untuk melindungi kepentingan subjek penelitian sendiri. Sebagaimana diungkapkan Poerwandari, “isu etis adalah dilema-dilema
dan
konflik-konflik
yang
muncul,
serta
pertimbangan-
pertimbangan yang diambil mengenai bagaimana melakukan penelitian secara baik dan benar”. (202). Penelitian yang “baik dan benar” ini menyangkut kerahasiaan data dan informasi yang akan diperoleh dari keluarga dengan ibu bekerja dan PRT yang harus dijaga oleh peneliti. Kalau saja hasil penelitian akan dipublikasi, maka persetujuan tertulis akan dilakukan terlebih dahulu antara peneliti dan responden. Oleh karena itu, identitas responden akan diberikan nama samaran saja dan alamat rumah serta informasi lain yang bersifat sensitif tidak akan ditulis.
3.7 Pengalaman Lapangan Perlu saya kemukakan bahwa penelitian ini pada awalnya tidak hanya berlangsung di DKI Jakarta, melainkan juga di Dili, ibu kota Timor Leste. Tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif terkait kebutuhan kehadiran PRT di dua negara tujuan. Hasil akhir dari penelitian di kedua negara diharapkan nantinya dapat menyumbang pada pembentukan kebijakan yang berpihak pada perempuan pekerja rumah tangga baik di Indonesia maupun di Timor Leste kelak. Akan tetapi, setelah data terkumpul dan diolah, saya mengalami hambatan dalam proses analisisnya. Hal ini dikarenakan, hasil temuan lapangan pada kedua negara menunjukan adanya perbedaan konsep PRT—di Timor Leste, hubungan antara PRT dan PJPRT masih kuat didominasi oleh hubungan kekeluargaan. Sedangkan di Indonesia hubungan kerja yang terjalin antara PRT dan PJPRT merupakan hubungan kerja. Menimbang tujuan awal penelitian ini yaitu hendak mengungkap pemaknaan PJPRT terhadap kontribusi PRT di rumah tangga ibu bekerja dalam suatu hubungan kerja, maka data yang saya peroleh dari Timor Leste terpaksa tidak dapat saya gunakan untuk
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
47
proses penulisan tesis ini. Meskipun demikian, saya yakin bahwa Timor Leste dalam waktu 5-10 tahun mendatang, kebutuhan PRT akan mengalami peningkatan sehingga hubungan kekeluargaan akan terkikis dengan berjalannya waktu dan tuntutan kebutuhan hidup masyarakat. Dengan demikian, di masa yang akan datang hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan peraturan ketenagakerjaan yang juga turut mempertimbangkan hubungan kerja yang adil antara PRT dan PJPRT dalam suatu hubungan kerja yang menjunjung tinggi HAM dan hak perempuan. Tantangan yang saya temui saat pengumpulan data di lapangan, khususnya di DKI Jakarta, yaitu tidak semua subjek bersedia untuk diwawancarai dengan alasan rumah tangganya dalam keadaan baik-baik saja dan tidak ingin persoalan pribadinya dijadikan objek penelitian, sehingga saya terpaksa mengganti beberapa subjek secara berkali-kali karena ketidakbersediaan untuk diwawancarai. Selain itu, penentuan waktu wawancara dengan para subjek yang bersedia untuk diwawancarai juga mengalami beberapa kali hambatan karena subjek yang dihubungi susah untuk ditemui, sehingga wawancara terpaksa hanya dapat dilangsungkan pada hari sabtu dan minggu. Proses wawancara berlangsung mulai dari pagi hingga malam hari, dua subjek bersedia diwawancarai pada pagi hari, satu subjek bersedia diwawancarai pada sore hari dan tiga subjek lainnya bersedia diwawancarai pada malam hari. Kendala yang saya temui, letak rumah antara satu subjek dan subjek lainnya yang cukup berjauhan sehingga jadwal yang sudah ditentukan sering tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati. Akibatnya, saya harus menunggu para subjek menyelesaikan pekerjaan rumahnya (seperti: memasak, mengasuh anak) setelah itu baru wawancara dapat dimulai. Kemudahan bagi saya, selama wawancara umunya berlangsung dengan baik. Pertama-tama wawancara didahului dengan pembicaraan informal sebagai langkah awal membina raport, dilanjutkan dengan ucapan terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh subjek, selanjutnya memperkenalkan diri, dan pada akhirnya saya menyampaikan tujuan penelitian ini. Setelah memperoleh persetujuan subjek, proses wawancara pun berlangsung sambil merekam berjalannya wawancara. Wawancara berlangsung secara informal dan santai sehingga subjek merasa lebih terbuka mengungkapkan persoalan rumah tangga
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
48
hingga persoalan personalnya. Wawancara juga sering diselingi dengan sharing dan curhat pengalaman suka dan dukanya selama menjadi istri dan ibu.
3.8 Gambaran Umum Subjek Penelitian Yang Diwawancarai Subjek pertama, Ibu Ita, berusia 37 tahun, berprofesi sebagai PNS di kementerian sosial dan juga sebagai peneliti di pemda Bekasi. Ia memiliki dua orang putri (masing-masing berusia 4 tahun dan 6 tahun) yang saat ini masih duduk di bangku TK. Pendidikan terakhir yang ditempuh oleh ibu Ita adalah S2. Sementara itu sang suami, berpendidikan S1 dan saat ini bekerja di perusahaan swasta sudah hampir 14 tahun. Ditinjau dari pendapatan rumah tangganya setiap bulannya adalah berkisar antara Rp 5 hingga 10 juta. Sedangkan pengeluaran perbulannya sebanding dengan pendapatannya yakni berkisar antara 5-10 juta. Meskipun pendapatan dan pengelurannya relatif seimbang, Ita mengaku selalu menyisihkan pendapatan yang dia peroleh dari kegiatan penelitian untuk saving bagi masa depan kedua anaknya. Pengamatan saya terkait kondisi rumah ibu Ita, luas rumah tempat tinggal relatif kecil (ukuran perumahan pada umumnya). Di bagian teras depan rumah, terdapat sebuah sepeda motor dan satu unit mobil avanza. Selanjutnya di bagian dalam terdapat ruang tamu dengan ukuran kecil dengan beberapa perabot (sofa, TV 24 inci, kipas angin, lemari untuk menyimpan koleksi perabotan rumah), terdapat 2 kamar tidur dan ruang makan di bagian tengah dan bagian belakang terdapat sebuah dapur dan kamar mandi. Selanjutnya, di lantai dua terdapat satu kamar untuk PRT, dibagian depannya terdapat sebuah mesin cuci dan tempat menjemur pakaian. Rumah yang ditempati ibu Ita sekeluarga adalah rumah hak milik pribadi yang diatasnamakan ibu Ita. Subjek kedua, Ibu Laela berusia 46 tahun, sudah menikah selama 27 tahun dan memiliki 4 orang anak (3 anak perempuan dan 1 anak laki-laki). Anak pertama dan kedua saat duduk di bangku kuliah, anak ke tiga di bangku SMA dan anak keempat saat ini masih duduk di bangku SMP. Pendidikan ibu Laela sendiri adalah S1 dan saat ini bekerja sebagai guru SD, ketua PKK bidang pendidikan, mengajar privat dan mengajar PAUD di RWnya. Suami bekerja di PTKI sudah cukup lama, bulan depan akan pensiun (setelah wawancara berlangsung). Pendapatan rumah tangga ibu Laela perbulannya yakni berkisar antara Rp 5
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
49
hingga 10 juta dan pengeluarannya juga demikian yaitu berkisar antara Rp 5 hingga 10 juta. Pendapatan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan sampingannya dijadikan saving untuk masa depan anak-anaknya. Kondisi rumah ibu Laela cukup luas dengan kondisi rumah 2 lantai. Di bagian halaman depan terdapat dua buah motor milik kedua anaknya dan satu unit mobil. Bagian depan adalah ruang tamu dengan beberapa perabot (dua buah sofa, TV 29 inci, kipas angin, dua buah lemari untuk menyimpan koleksi perabot rumah). Pada bagian tengah terdapat satu set meja makan, sebuah lemari es, sebuah despenser. Dibagian pojok terdapat 1 kamar tidur, sebuah dapur dan kamar mandi. Lantai dua terdiri dari 2 kamar tidur, satu kamar mandi dan di bagian belakangnya terdapat sebuah mesin cuci dan tempat menjemur pakaian. Wawancara dengan ibu Laela berlangsung di teras lantai dua sehingga saya dapat mengamati sekeliling kondisi rumah. Rumah yang ditempati ibu Laela sekeluarga adalah rumah hak milik pribadi atas nama suami. Subjek ketiga, Ibu Nuken berusia 30 tahun, berprofesi sebagai pegawai swasta di PT Astra Honda Motor Cibitung selama hampir 7 tahun. Ia memiliki dua orang anak (masing-masing 3 tahun dan 6 bulan). Pendidikan terakhir adalah S1. Sang suami juga bekerja pada perusahaan yang sama yaitu PT Astra Honda Motor tetapi dengan lokasi yang berbeda, di Sunter sudah hampir 8 tahun. Setiap hari, ia dan suami berangkat kerja pukul 7.00 hingga pukul 18.00, mulai hari senin sampai jumat, kadang-kadang sabtu dan minggu jika dibutuhkan oleh perusahaan. Pendapatan bulanan rumah tangga ibu Nuken berkisar antara Rp 3 hingga 5 juta, serta pengeluarannya juga berkisar antara Rp 3 hingga 5 juta setiap bulannya. Ia mengakui sering mengalami kekurangan keuangan bagi pemenuhan kebutuhan hidup anggota keluarganya, tetapi hal ini dapat teratasi karena gaji yang diperoleh dari perusahaan diterima per dua minggu. Terkait upaya melakukan tabungan, ia mengaku sering mengalami defisit karena tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari. Kekurangan perekonomian keluarga yang dialami ibu Nuken tampak juga melalui kondisi rumah yang ditempati bersama anggota keluarganya. Ia beserta suami dan kedua anak tinggal di perumahan dengan kondisi yang sangat kecil, terdiri dari 2 kamar tidur yang juga sangat kecil dan sebuah ruangan multi fungsi—biasanya dipergunakan sebagai ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga—yang hanya beralaskan karpet, terdapat sebuah televisi 14 inci, dan sebuah kipas angin. Di
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
50
bagian pojok kanan terdapat sebuah dapur dengan perabot makan dan sebuah kompor gas. Di bagian depan rumah terdapat sebuah mesin cuci dan tempat jemuran dan sebuah motor milik suaminya. Rumah tempat tinggal ibu Nuken sekeluarga adalah hak milik sendiri atas nama suami. Subjek keempat, Ibu Nur berusia 30 tahun, berprofesi sebagai guru salah satu SMP swasta di Jakarta Timur. Aktivitas mengajar tidak dilakukan setiap hari, tetapi hanya tiga kali seminggu mulai pukul 7.00 hingga pukul 13.00, selebihnya waktu dihabiskan bersama keluarga di rumah. Ia memiliki 2 orang putra (masingmasing berusia 6 tahun dan 1 tahun), anak pertama saat ini masih duduk di bangku TK. Pendidikan terakhir adalah S1. Pekerjaan suami sehari-hari hanya sebagai freelance untuk proyek-proyek pembangunan. Pendapatan rumah tangga perbulannya, rata-rata berkisar antara Rp 3 hingga 5 juta tetapi sifatnya berubahubah. Sedangkan pengeluaran perbulannya, ia mengaku harus sebisa mungkin mengatur keuangan rumah tangga dan menyisahkan untuk tabungan. Jadi, pengeluaran perbulannya rata-rata Rp 1,5 hingga 3 juta. Terkait kondisi rumah ibu Nur, tidak dapat saya tampilkan karena saat wawancara berlangsung dilakukan di rumah orang tuanya, yang memang letaknya agak berjauhan dari tempat tinggal ibu Nur. Menurut pengakuan ibu Nur, sebelumnya ia bersama keluarganya tinggal bersama orang tuanya. Tetapi tiga bulan terakhir mereka sudah memiliki rumah sendiri dan sekarang ia bersama keluarganya tinggal di rumah pribadi yang mengatasnamakan suami. Subjek kelima, Ibu Tien berusia 38 tahun, sudah menikah selama 12 tahun, berprofesi sebagai guru SMP swasta sejak tahun 1997. Setiap harinya, ibu Nur berangkat kerja mulai hari senin hingga jumat, pukul 7.00 hingga pukul 13.30. Selebihnya, ia berada di rumah mengurus pekerjaan rumah dan mendidik anakanak. Ia memiliki tiga 3 anak (2 anak perempuan dan 1 anak laki-laki), kedua putrinya saat ini duduk di bangku SMP dan SD, dan satu putranya saat ini masih duduk di bangku TK. Pendidikan ibu Tien S1. Suami bekerja sebagai PNS sejak tahun 2000 dan juga mengajar di salah satu universitas swasta di Jakarta. Pendapatan perbulan rumah tangga ibu Tien berkisar antara Rp 5 hingga 10 juta, sedangkan pengeluaran perbulannya berkisar antara 1,5 hingga 3 juta. Hal ini menurut pengakuannya bahwa ia lebih memprioritaskan menabung untuk ketiga
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
51
anaknya kelak agar dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik. Terkait kondisi rumah, luas tempat tinggal tidak terlalu besar (selayaknya perumahan lainnya), dibagian depan rumah (teras) terdapat banyak burung-burung dan ikan-ikan peliharaan (hobi suami). Ruang tamu tidak terlalu besar dengan perabot seperti sebuah sofa, televisi 21 inci, sebuah kipas angin dan sebuah lemari tempat menyimpan benda-benda koleksi. Di bagian tengah terdapat ruang makan dengan satu set meja makan, sebuah lemari es, di sisi kanannya terdapat dua buah kamar tidur. Selanjutnya bagian paling belakang yakni dapur dan sebuah kamar mandi. Rungan atas terdapat sebuah mesin cuci, dan tempat jemuran. Keluarga ibu Tien juga memiliki sebuah kendaraan pribadi yakni sebuah motor. Terkait kepemilikian rumah yang saat ini dihuni bersama keluarga adalah rumah pribadi atas nama suami. Subjek terakhir, ibu Dinah berusia 28 tahun, berprofesi sebagai dosen honorer di universitas swasta yang letaknya di Duren Sawit sejak tahun 2012 serta menyediakan jasa freelance (MC, moderator). Waktu mengajar tidak setiap hari, hanya dua kali seminggu sebanyak lima jam. Ia memiliki seorang putri berusia 1 tahun 9 bulan. Rumah tangga ibu Dinah tergolong masih baru karena usianya baru 2 tahun. Pendidikan ibu Dinah S1 dan sedang melanjutkan ke jenjang S2, tetapi saat ini sedang cuti kuliah karena menunggu proses kelahiran anak ke dua. Pekerjaan suami hanya sebagai wirausaha. Pendapatan rumah tangga perbulannya berkisar antara Rp 3 hingga 5 juta, sedangkan pengeluarannya juga berkisar antara Rp 3 hingga 5 juta perbulan. Ia mengakui bahwa persoalan ekonomi dalam rumah tangganya dirasakan cukup besar karena pendapatannya belum memadai dan tidak tetap. Kondisi rumah ibu Dinah juga hampir sama dengan ibu-ibu yang lainnya, tinggal di kompleks perumahan dengan ukuran yang relatif kecil. Bagian depan rumah (teras) terdapat sebuah mesin cuci dan jemuran, selanjutnya ruang tamu dengan peabotnya sebuah sofa dan sebuah kipas angin, bagian tengah merupakan ruang makan sekaligus ruang santai yang beralaskan karpet dan sebuah televisi 21 inci. Terdapat juga dua kamar tidur, sebuah dapur dan kamar mandi. Rumah yang saat ini dihuni bersama keluarga adalah rumah pribadi atas nama suami.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
BAB 4 PEMBAGIAN KERJA DALAM KELUARGA IBU BEKERJA TERKAIT KEGIATAN PRODUKTIF DAN REPRODUKTIF
Manusia adalah mahkluk yang bekerja untuk memenuhi kelangsungan hidupnya sehingga disebut sebagai mahkluk produktif. Akan tetapi, dalam perkembangannya produk/hasil kerja manusia dalam masyarakat terbagi menjadi kerja produktif dan kerja reproduktif. Kerja produktif yaitu jenis pekerjaan yang langsung menghasilkan uang sehingga dianggap lebih bernilai dan umumnya diidentikan dengan laki-laki di ranah publik. Sedangkan kerja reproduktif yaitu jenis pekerjaan yang tidak langsung menghasilkan uang sehingga sering terabaikan dan diidentikkan dengan perempuan di ranah domestik. Dikotomi terhadap kerja produktif dan reproduktif terjadi karena ukuran bernilai atau tidaknya suatu jenis pekerjaan semata-mata dari aspek moneter sehingga pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak dianggap lebih rendah. Bab ini memulai analisis pada pembagian kerja produktif dan reproduktif melalui beberapa tahapan; Pertama, pembagian kerja produktif; Kedua, pembagian kerja reproduktif; Ketiga, pengambilan keputusan; Keempat, beban majemuk perempuan dan kehadiran PRT.
4.1 Pembagian Kerja Produktif Tiga subjek dalam penelitian ini yakni ibu Nur, ibu Laela dan ibu Dinah mengungkapkan hal yang sama bahwa dengan bekerja seorang perempuan secara ekonomi lebih mandiri, dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa harus bergantung pada suami. Akan tetapi pada kenyataanya aspek moneter penting untuk diselesaikan terlebih kalau kekurangan (atau kelangkaan) itu menjadi lebih menonjol. Misalnya, ibu Nuken mengakui bahwa pendapatannya selama bekerja ternyata tidak dipergunakan untuk diri sendiri melainkan dipergunakan untuk menutupi kekurangan finansial rumah tangganya karena pendapatan suami saja tidak mencukupi. Berikut cuplikan hasil wawancara dengan ibu Nuken: Saya kerja juga untuk bantu suami, jadi yah aku ngerti juga gaji suamiku seperti apa jadi aku bantuin dia. Bukan berarti dia tidak mampu membiayai kebutuhan kehidupan kami,, tetapi siapa tau hasil kerja saya bisa
52 Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
53
membantu dan meringankan beban suami. Memang cape, kadang jenuh dan paling terasa ketika melihat anak sakit, apalagi tidak ada PRT itu sangat berasa bangat. Sampai kadang saya pengen resign aja… hatiku pengen bangat di rumah aja, tetapi karena keadaan belum memungkinkan begitu yah.. saya tetap bekerja. (wawancara, Nuken 9 Maret 2013). Pada dasarnya, partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja dapat meningkatkan pendapatan serta meningkatkan peran perempuan dalam keluarga yang diperoleh dari hasil kerjanya sebagai salah satu personal resources yang dapat memengaruhi hubungan antar suami-istri dalam rumah tangga. Namun realita di lapangan menunjukkan, partisipasi perempuan ke dalam pasar tenaga kerja cenderung menghantarkan perempuan masuk dalam beban majemuk karena perempuan seringkali terjebak pada persepsi tentang ‘kodrat’ sebagai ibu rumah tangga, yang kemudian memengaruhi semua aspek kehidupan perempuan baik di ranah publik maupun ranah privat. Perempuan lebih mementingkan urusan domestik dari pada urusan publik tampak pula tercermin dalam lembaga perkawinan, di mana kepentingan privat selalu didahulukan dari pada kepentingan publik. Dalam situasi yang demikian, perempuan dihadapkan pada suatu pilihan untuk menyeimbangkan perananya baik secara reproduktif dan produktif agar keduanya dapat berjalan dengan baik. Berikut cuplikan hasil wawancara dengan ibu Dinah: Saya memang membatasi kerja publik saya…karena memang ketika saya menikah saya memutuskan akan bekerja yang dalam tanda kutip bisa beradaptasi secara waktu, makanya saya memilih jadi dosen honorer, dengan jam mengajar senin dan kamis. Itupun senin 3 jam, kamis 1 ½ jam meskipun kampus meminta lebih. Tapi saya membatasi dan saya bilang saya punya baby, prioritas dia (anak), kecuali nanti mungkin anak saya sudah sekitar dua tahun saya baru punya planning untuk bekerja secara serius. (wawancara Dinah, 10 Maret 2013) Persepsi sebagaimana diungkapkan ibu Dinah di atas tidak terlepas dari pandangan tradisional dalam masyarakat yang menempatkan perempuan dalam satu ikatan perkawinanan bertanggung jawab penuh atas tugas rumah tangga sehingga ketika perempuan masuk ke ranah publik sebagai pencari nafkah, urusan rumah tangga dan pengasuhan anak tetap menjadi prioritas utama perempuan. Meskipun hal ini dengan jelas disadari oleh hampir sebagian besar subjek dalam penelitian ini, salah satu subjek yakni ibu Ita justru mengatakan tidak
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
54
membatasi aktivitasnya di luar rumah karena hal ini merupakan komitmen awal bersama suami sebelum masuk ke dalam lembaga perkawinan. Berbeda dengan kasus pada subjek lainnya, pengamatan saya terhadap ibu Ita menunjukan bahwa, ia adalah seorang perempuan mandiri, tegas, memiliki prinsip, berpendidikan dan memiliki kedudukan yang cukup tinggi dibandingkan dengan sang suami serta cukup terpandang dalam masyarakat di komunitasnya, menghantarkannya pada satu pola relasi yang lebih egaliter dalam rumah tangga dan mampu menentukan prioritasnya sebagai individu yang otonom. Berikut cuplikan hasil wawancara, Saya bekerja sebagai PNS sudah 7 tahun, saya juga konsultan kegiatan penelitian kota bekasi di pemda kota Bekasi. Saya juga punya pekerjaan sampingan yang memang pekerjaanya itu lebih pada kerjaan lebih banyak menulis dan cari data… Memang sejak belum menikah itu, dia (suami) sudah tau dengan dunia saya gitu, jadi misalnya waktu saat menikah dulu walikota bekasi itu dulu bilang ke suami saya, ‘pak Idris (suami), Ita ini bukan cuma milik keluarga, Ita ini milik masyarakat Bekasi gitu kan, nah makanya dia (suami) mungkin bisa lebih memberi keleluasaan untuk saya beraktivitas. Jadi kalau misalnya saya keluar daerah atau apa, itu bukan lagi persoalan ijin tetapi pemberitahuan saja. (wawancara dengan Ita, 8 Maret 2013). Menurut saya, kasus ibu Ita memberi suatu pemahaman baru bahwa ketika seorang perempuan memiliki pendidikan dan kedudukan yang lebih tinggi dari suami memiliki kecenderungan dapat merubah pola relasi antar suami istri yang opresif menjadi suatu hubungan yang lebih egaliter dalam rumah tangga. Meskipun demikian, ungkapan ibu Ita di atas merupakan suatu kasus khusus yang masih jarang ditemui pada masyarakat yang masih dominan patriarki yang lebih menempatkan laki-laki secara istimewa dan perempuan tersubordinat dalam kehidupan keluarga, masyarakat hingga negara. Ungkapan kelima subjek penelitian di atas menunjukkan bahwa institusi perkawinan turut mengambil bagian memosisikan perempuan secara kurang menguntungkan dari kaum lakilaki. Hal ini dikarenakan, ketika perempuan memasuki lembaga perkawinan, secara sadar ia akan melepaskan “ego-nya” melalui kesempatan kerja yang dimiliki dan memprioritaskan keluarga. Hal serupa justru tidak di alami oleh patnernya yakni kaum laki-laki. Setelah memasuki lembaga perkawinan, laki-laki justru dipaksa lebih giat bekerja karena konstruksi budaya patriaki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama,
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
55
sedangkan perempuan hanya diposisikan sebagai ibu rumah tangga—kalaupun bekerja hanya disebut sebagai pencari nafkah tambahan. Konstruksi budaya patriarki yang demikian ternyata masih berlangsung dalam kehidupan keluarga moderen saat ini. Hal ini tampak dari pengakuan keempat dari enam orang subjek penelitian yakni ibu Tien, Nur, Nuken dan Laela menyebutkan dirinya sebagai pencari nafkah tambahan, suami adalah pencari nafkah utama. Perempuan cenderung
menempatkan
diri
sebagai
pencari
nafkah
tambahan
yang
mengindikasikan bahwa upah yang diperoleh dari hasil kerjanya tidak setara dengan pendapatan suami dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Meskipun kenyataannya bahwa keterlibatan istri sebagai pekerja produktif di luar rumah turut meningkatkan pendapatan rumah tangga. Pendapatan rumah tangga umumnya digunakan oleh para ekonom sebagai indikator penting untuk mengetahui tingkat hidup rumah tangga, apakah tergolong dalam kategori mampu, kurang mampu atau tidak mampu yang selanjutnya sumbangan pendapatan tersebut dapat pula dianalisis dari aspek penggunaannya. Kasus ibu Dinah di mana rumah tangganya sering mengalami pasang surut terkait ekonomi rumah tangga sebagaimana ungkapan berikut, “…namanya kita masih berakit-rakit ya, maksdunya belum mapan, pendapatan juga masih mengalami pasang surut. Dalam arti ya kalau suami saya bisa sebulan minimal 3 juta, saya sendiri sebulan 1,5-2,1 juta, tapi itupun pasang surut dalam arti tanggalnya nggak tetap.. pekerjaan juga nggak tetap..”. Persoalan yang demikian umumnya dialami oleh rumah tangga baru yang secara ekonomi belum mapan di tengah perekonomian global yang terus mengalami fluktuasi, harga barang terus mengalami peningkatan. Akan tetapi, persoalan pengelolaan ekonomi rumah tangga tidak hanya di rasakan oleh ibu Dinah tetapi juga terjadi pada keluarga lainnya yang telah lama membina rumah tangga seperti ibu Nur, ibu Nuken, ibu Laela dan ibu Tien. Langkah yang ditempuh untuk mengatasi persoalan ekonomi rumah tangga umumnya para subjek mengatakan mereka berupaya menekan sisi konsumtifnya dan lebih memprioritaskan kebutuhan anak dan rumah tangga, karena skala prioritas yang diutamakan dalam rumah tangga yakni anak. Berikut kutipan wawancara ibu Nuken dan ibu Laela. Prioritasku lebih pada anak dibanding kebutuhanku sendiri. aku nggak mau egois, aku bisa pinjam uang untuk belanja untuk diriku sendiri dan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
56
aku sempat masih bisa berpikir seperti itu sih tapi aku pengen sebisa mungkin gaji untuk anakku. Jadi aku kerja buat anak, kalau memang aku kerja buat diri sendiri mending aku resign, karena memang tujuan aku utama itu kan untuk anak, memang nyari uang buat anak… kalau itu sudah terpenuhi baru aku pikir yang lainnya. (wawancara, Nuken 9 Maret 2013) Pas lagi kepepet ya saya harus menekan kebutuhan saya yang kurang penting kayak misalnya ada ajakan teman disini ada sale.. gini..gini..itu saya tekan dengan nggak pergi ikut ajakan teman supaya besok biar cukup, gitu aja sih… yang lebih penting aja dulu yang saya iniin (utamakan) dulu kalau yang ini-ini (kurang penting) saya kesampingkan dulu biar bisa balance. Emang kepengen sih bisa beli ini dan itu ya tapi harus disesuaikan dengan keadaan ekonomi juga kan.. (wawancara, Laela 10 Maret 2013). Paparan subjek di atas menunjukkan bahwa keterlibatan mereka dalam pasar tenaga kerja selain sebagai upaya untuk mengaktualisasikan diri, faktor ekonomi juga menjadi pertimbangan utama perempuan ikut bekerja. Dengan bekerja perempuan dapat mengatasi persoalan perekonomian rumah tangga yang dianggap kurang tercukupi dengan hanya mengandalkan pendapatan sang suami. Meskipun demikian, pendapatan suami-istri dirasakan belum mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga, sehingga alternatif yang ditempuh oleh para subjek yakni dengan menekan sisi konsumtifnya dan lebih memprioritaskan kebutuhan anak dan rumah tangga. Hal ini justru tidak terjadi pada pihak yang lain (suami), mereka tetap menggunakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, misalnya paparan ibu Nur, “..untuk kebutuhan sehari-hari memang saya yang mengatur, tapi tidak semua gitu..suami masih punya hak untuk apa yang didapat, ya udah kita bagi-bagi aja”. Ungkapan yang demikian menunjukkan bahwa suami memiliki kecenderungan untuk menguasai hasil kerjanya sendiri guna memenuhi keinginannnya untuk mencapai kepuasan dan kebahagiaan untuk dirinya sendiri. Sedangkan istri menggunakan sumber pendapatan yang ada sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan anak dan rumah tangga dan seringkali mengabaikan hasratnya sendiri. Saya sepakat dengan pandangan Marx yang mengatakan bahwa dengan bekerja manusia dapat mengaktualisasikan diri dan memperoleh kebahagiaan, kepuasan serta kegembiraan karena dengan bekerja manusia membuat dirinya menjadi nyata. Akan tetapi ketika hal itu tidak diperoleh—
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
57
sebagaimana—yang dialami para subjek di atas, perempuan justru teralienasi dari produk kerjanya yang kemudian memengaruhi seluruh kehidupannya.
4.2 Pembagian Kerja Reproduktif Prevalensi persepsi yang kuat bahwa perempuan pada umumnya harus melakukan urusan domestik tampak pula dari hasil penelitian ini (dapat dilihat di lampiran 6). Suami jarang dilibatkan dalam ranah domestik dikarenakan peran laki-laki adalah di ranah publik. Pembagian peran yang demikian memberi dampak bagi kaum perempuan yang juga bekerja di ranah publik cenderung mengalami beban majemuk. Sebagaimana yang dialami ibu Laela, suami tidak pernah ikut membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena ia meyakini bahwa urusan domestik adalah pekerjaan perempuan. suami nggak pernah megang tuh pekerjaan rumah tangga kecuali dulu waktu anak-anak masih kecil, ekonomi kita juga belum ini.. (mapan) dia (suami) masih suka bantu-bantu. Tapi sekarang sih kasihan lah dia (suami) juga pulangnya sore mau magrib, jadi nggak mungkin lah kita sampai suruh dia (suami) bikin ini dan itu… dan ini kan bukan kerjaan suami kan.. kerjaan rumah tangga itu urusan perempuan, tapi kalau suami bantu ya nggak apa-apa tapi kalau nggak juga memang bukan kerjaan dia.. (wawancara, Laela 09022013) Sejalan dengan ibu Laela, ibu Tien juga membenarkan konsepsi urusan domestik adalah tugas dan tanggung jawab perempuan. Namun di satu sisi ia juga mengakui bahwa ketika kondisi sang istri tidak memungkinkan untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, maka suami juga turut mengambil alih menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang biasanya dilakukan oleh ibu rumah tangga. Kontribusi suami dalam penyelesaian tugas rumah tangga didukung oleh ketersediaan waktu luang yang dimiliki oleh suami serta sikap pengertian dari suami yang cukup tinggi untuk membantu sang istri di ranah domestik. Berikut cuplikan hasil wawancara: Memang betul ya bahwa orang selalu bilang urusan domestik itu urusan perempuan, tapi suami saya nggak karena dia (suami) PNS, masih banyak waktu luang di rumah. Dia (suami) masih ada waktu di rumah ngurus burung, ngurus ikan artinya dia masih ada kesempatan. Kalau waktuwaktu tertentu misalkan pembantu nggak ada, suami bantu nyuci walaupun saya tidak meminta tapi suami ngerti sendiri. Kalau saya sakit, suami yang masak… tapi ya itu tidak selamanya dia yang lakukan hanya waktu-waktu tertentu saja. Saya yang melakukan semuanya, mulai dari masak,
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
58
membersihkan rumah, mengasuh anak.. kecuali cuci gosok biasanya sama pembantu ya. Kalau hari-hari libur (sabtu-minggu) ya full saya yang lakukan, kalau hari kerja cuci gosok sama pembantu. (wawancara, Tien 9 Maret 2013) Paparan ibu Tien menunjukkan bahwa pada kasus-kasus tertentu tidaklah benar kaum laki-laki selalu berada di ranah publik sementara perempuan di ranah domestik, karena contoh kasus di atas menunjukkan bahwa laki-laki juga dapat dilibatkan dalam ranah domestik untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga ketika waktu yang dimiliki sang istri semakin terbatas dalam rumah tangga. Apabila hal ini diimplementasikan oleh semua perempuan dalam rumah tangganya maka saya yakin opresi melalui lembaga perkawinan dapat dihancurkan dan menumbuhkan hubungan yang harmonis dan egaliter antara suami istri dalam suatu lembaga perkawinan. Selain persoalan pekerjaan rumah tangga seperti menyuci, membersihkan dan memasak, aspek pengasuhan anak juga mendapat perhatian besar dalam kehidupan rumah tangga. Namun, keputusan untuk memiliki anak, tidaklah selamanya berada di tangan sang istri. Sebagian besar subjek, yakni ibu Nur, Tien, Nuken dan Ita mengatakan bahwa perencanaan jumlah anak dilakukan bersamasama antara suami dan istri, dengan berbagai pertimbangan mulai dari aspek finansial, masa depan, pendidikan anak, serta usia orang tua selanjutnya keputusan akhir juga akan disepakati bersama antara suami dan istri. Pengalaman yang demikian ternyata tidak dialami oleh ibu Laela. Ia mengakui bahwa dalam perencanaan jumlah anak, keputusan berada di tangan suami. Sebagai istri, ia hanya menuruti keinginan suami. Hal ini diakui karena faktor usianya yang masih tergolong muda saat menikah sehingga kemudian memengaruhi pemahamannya terkait fungsi reproduksinya, kendali berada di tangan sang suami. Berikut cuplikan dari hasil wawancara dengan ibu Laela: Keputusan itu ada pada suami, saya dulu nikah karena masih kecil ya mbak jadi nggak ngerti KB, jadi pas hamil saya nggak tau ehhh hamil lagi, sampai anak ketiga kata suamiku, ma, satu lagi dong.. eh perempuan lagi. Terus suami mau anak laki-laki lagi yah.. jawabku ‘ya’.. eh anak yang terakhir laki. Kata suami, Alhamdulilah udah dapat anak laki ya udah kita stop. Sebenarnya waktu itu ambeyen saya karena melahirkan normal terus jadi udah parah bangat jadi suami kasihan, terus pengen anak sekolah yang lebih tinggi jadi empat anak juga udah cukup karena udah dapat anak laki. Suami selalu berpesan kalau nanti saya (suami) nggak ada kan ada anak
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
59
laki-laki enak, ada yang jagain mama gini-gini. (wawancara, Laela 10 Maret 2013). Rupanya kasus ibu Dinah agak berbeda dengan kasus ibu Laela, di mana keputusan memiliki anak cenderung berada pada istri dan suami hanya dilibatkan untuk mendengar pendapatnya dalam forum diskusi antar suami-istri. Demikian hasil wawancara dengan ibu Dinah: Keputusan memiliki anak tentu ada sama saya, tetapi juga dialog dengan suami ketika saya hamil lagi anak ke dua, suami saya bilang ‘terserah kamu mau bagaimana’, ya saya bilang saya mau teruskan kehamilan karena biarpun repot ya, ketika kita tau hamil, ini masih sesuatu hal yang manis lah… yah ampun hamil lagi.. ada perasaan bahagia. Biasanya bahagianya duluan baru yang kedua galaunya baru mikir. (wawancara, Dinah 10 Maret 2013). Walaupun seringkali suami mendominasi dalam proses pengambilan keputusan untuk memiliki anak, kalau anak sudah lahir justru situasi berubah di mana sang suami tidak lagi “peduli” dengan anak. Sebagaimana diungkapkan oleh ibu Nuken bahwa, “…Pengasuhan anak itu lebih banyak ke saya sebagai ibu, kalau bapak kan istilahnya tau beres lah gitu kan jadi kasi kepercayaan sama aku. Jadi aku biasanya memberitahu dan minta persetujuan apa yang harus dilakukan, dan dia (suami) biasanya baiknya gimana..” Selanjutnya ibu Ita juga mengalami hal yang sama dalam pengasuhan anak bahwa ia memiliki peran yang lebih dominan. Akan tetapi ia mengakui bahwa peran suami juga selain cukup meringankan beban istrinya, dampak psikologis pengasuhan anak oleh ayah karena kesibukan sang ibu dianggap lebih baik, misalnya anak cenderung menjadi jauh lebih mandiri dan tidak manja. Berikut petikan wawancara ibu Ita, “..kalau anak-anak nggak ada ibunya itu mereka lebih mandiri jadi nggak manja. Tidur yah tidur, bangun tidur nggak manja. Kalau ada ibunya akhirnya jadi manja karena ibunya kalau ngebangunin sambil ngerayu-ngerayu jangan sampai salah nih anak gitu”. Seringnya anak dititipkan ke ayah karena sang ibu berkecimpung di ranah publik tidak selalu membawa hubungan yang baik dalam berelasi dengan anak, preferensi anak adalah melihat sang ibunya bebas dari ranah publik. Hal ini dialami oleh ibu Ita bahwa kesibukan di tempat kerja sering kali menyebabkan tugas-tugas rumah tangga tidak dapat tertangani dengan sempurna terutama memberi perhatian pada anak-anak. Kondisi ini diakui sering
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
60
memunculkan rasa bersalah dalam dirinya sebagai seorang perempuan karena merasa tidak berhasil memberi kebahagiaan bagi keluarga terlebih bagi sang anak. Munculnya perasaan bersalah seperti ini menunjukkan adanya rasa tanggung jawab yang besar dari perempuan terutama terhadap pengasuhan dan pendidikan bagi anak karena anak-anak biasanya lebih mengharapkan perhatian dari ibunya. Upaya yang dilakukan oleh para subjek dalam mengatasi persoalan relasi dengan anak, umumnya subjek mengakui dengan menyediakan waktu libur atau waktu senggang khusus di rumah bersama keluarga, menemani anak, mengajak anak jalan-jalan hingga menyiapkan makanan kesukaan anak.
4.3 Pengambilan keputusan Dalam Rumah Tangga Persepsi yang umumnya masih menempatkan perempuan sebagai pekerja reproduktif kemudian memengaruhi seluruh proses pengambilan keputusan dalam rumah tangga di mana istri hanya diikutsertakan sebagai anggota dalam forum diskusi keluarga tetapi pengambilan keuputusan berada di tangan suami sebagai kepala keluarga sebagaimana diungkapkan oleh tiga subjek yakni, ibu Nur, ibu Nuken dan ibu Tien. Cuplikan wawancara dengan ibu Tien dapat memberikan paparan bagi kita bagaimana peranan seorang perempuan dalam forum diskusi keluarga, “Biasanya yang mengambil keputusan itu suami tetapi didiskusikan dengan saya, sama anak-anak juga diikutsertakan dalam diskusi sebelum mengambil keputusan. Tapi kalau keputusan akhir tetap suami atas hasil rembukan bersama gitu, yang mana yang baik ya akhirnya suami yang ambil keputusan.. yah udah harus seperti ini aja gitu”. Berbeda dengan ibu Tien, Ibu Laela mengaku bahwa keputusan dalam rumah tangganya berlangsung seimbang antara suami istri, suami selalu mendengar pendapat istri dan istri juga selalu mengembalikan pada suami sebagai pemegang modal dalam keluarga. Namun ia menambahkan bahwa terkait urusan anak—baik itu pendidikan dan segala kebutuhannya—ibu Laela justru dominan dalam pengambilan keputusan, suami hanya menuruti keinginan sang istri. Hal inilah yang menjadikan anak-anak lebih mempercayai dan menyampaikan keinginannya pada sang ibu dikarenakan kedudukan ibu lebih besar dalam memberi keputusan.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
61
Kalau pengambilan keputusan dalam rumah tangga misalnya untuk anak sekolah saya sih yang lebih dominan, paling yah saya bilang ‘pa, ini mau begini-begini, yang dominan dalam memutuskan itu saya dan suami yah udah deh terserah mama.. jadi kayaknya dengar dari saya aja gitu.. kalau anak-anak ada masalah apa-apa, nggak ngomong sama papanya tapi sama saya karena yang memutuskan ya saya. (wawancara, Laela 10 Maret 2013). Hal yang sama juga dialami oleh ibu Ita. Ia lebih dominan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga, misalnya perencanaan jumlah anak, pendidikan bagi anak yang biasanya didiskusikan bersama suami kemudian keputusan akhir oleh istri. Selanjutnya, pengambilan keputusan terkait barangbarang asset dalam rumah tangga, ia dan suami selalu mendiskusikan dan memutuskan bersama tetapi dalam hal kepemiliki justru atas nama istri. Hal ini dikarenakan modal yang ditanamkan pada jenis barang tersebut lebih banyak menggunkaan uang istri. Kalau rumah ini memang rumah yang dibeli pake uang saya tapi ada juga sih suami juga ada ngebantuin, rumah atas nama aku. Terus kalau mobil harganya 158 juta, saya bayar 70 juta cash untuk DP gitu, selebihnya suami yang nyicil. Tapi terus suami tanya, ini mobil mau atas nama siapa? Terus saya bilang, terserah ayah, toh ini mau dipake sama-sama. Yah udah, pake nama kamu aja (nama istri). jadi nggak pernah ada unsur apaapa itu nggak, pake nama aku gitu. (wawancara, Ita 8 Maret 2013) Pengambilan keputusan dalam keluarga biasanya dijadikan tolak ukur untuk mengetahui siapa yang mempunyai wewenang atau kekuasaan dalam keluarga untuk menentukan atau memutuskan aktivitas baik di dalam dan di luar rumah tangga. Jika dilihat dari pengalokasian wewenang menurut masing-masing rumah tangga, ternyata hampir sebagian besar keputusan dalam rumah tangga masih didominasi oleh suami, kecuali dalam urusan sehari-hari seperti memasak dan pengasuhan anak. Menurut saya pengalokasian wewenan dalam rumah tangga antar suami dan istri yang demikian belum menunjukkan adanya perubahan yang signifikan. Suami tetap mendominasi semua pengambilan keputusan rumah tangga, sedangkan wewenang istri hanya berkisar pada urusan anak dan kebutuhan sehari-hari yang erat kaitannya dengan peran reproduktif semata.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
62
4.4 Beban Majemuk Perempuan dan Kebutuhan jasa PRT Pengasuhan anak dalam rumah tangga merupakan salah satu persoalan bagi perempuan ketika menghadapi beban majemuk. Seperti yang dikemukan oleh ibu nuken dan ibu Dinah, anak merupakan prioritas utama dan urusan rumah tangga menjadi prioritas ke dua setelah anak tertangani. Berikut kutipan wawancara ibu Dinah terkait beban majemuk yang dihadapinya. Pokoknya kendali saya ada pada anak sebenarnya. Kadang anak saya kalau lagi bisa tidur, nah saat dia tidur itu saya bisa mengerjakan pekerjaan domestik saya. Saat saya sendiri ya, nggak ada PRT yang disini. Tapi saat dia (anak) lagi nggak bisa tidur otomatis saya menemani dia main, jadi saya meninggalkan pekerjaan rumah tangga saya. Biarpun rumah berantakan saya akan tetap prioritas anak.. jadi kalau dia (anak) udah makan, main baru saya mengerjakan yang lain. Pokoknya saya benarbenar memanfaatkan saat dia tidur. Jangankan begitu, mandi saja saya nunggu dia (anak) rapi, kadang mandi sebelum anak bangun. (wawancara, Dinah 10 Maret 2013) Upaya yang dilakukan oleh para subjek untuk mengatasi beban majemuk, masing-masing subjek mengaku memiliki cara tersendiri untuk mengatasinya, sebagaimana yang diungkapkan oleh ibu Tien yaitu dengan menenangkan diri sehingga timbul rasa iklas untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. …Semua itu tergantung kitanya sendiri menjalankan seperti apa, kalau kita menggerutu sambil ngomel ya cape… kadang memang perasaan stress karena beban kerja rumah tangga itu pasti ada. Kalau saya cara menghandlenya mendingan nggak usah dikerjain dulu nanti kalau sudah iklas baru saya kerjakan. Sebenarnya itu protes dari saya jadi saya biarin aja dulu pekerjaan tersebut mau numpuk, mau berantakan saya biarin aja dulu. Kalau suami saya lihat udah begitu, dia udah paham dan nggak bakalan negor gitu, dia(suami) biarin aja toh nanti dikerjain sendiri lagi. (wawancara, Tien 9 Maret 2013) Selain itu, beban majemuk yang di alami oleh perempuan sebagai pekerja dan ibu rumah tangga dapat dilihat dari ekspresi yang ditangkap lewat pemaparan ibu Nuken. Sebetulnya paling terasa jika anak sakit dan PRT tidak ada, paling repot karena kapan harus memilih untuk memakai cuti dan kadang cutinya bergantian dengan suami.. hari ini dia masuk aku nggak terus besok aku masuk kerja dia nggak, jika kami berdua masuk kerja anak dititipkan pada neneknya.. kadang aku berpikir sebenarnya bukan cape badan tetapi cape hati karena kasihan pada anakku harus dilempar sana-lempar sini yang
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
63
seharusnya di urus sendiri sama ibunya tetapi saya harus kerja. (wawancara, Nuken 9 Maret 2013) Hal yang sama juga di alami ibu Nur, sehingga untuk mengatasi persoalan tersebut dengan mengahadirkan PRT yang berkontribusi bagi rumah tangga dengan ibu bekerja agar ibu-ibu tidak mengalami beban majemuk. Kalau ada yang bantu kita mungkin nggak terlalu repot ya… seperti tadi tuh pembantu kan kebetulan nggak datang, ada kerjaan apa atau urusan keluarga lain. Yang bikin repot itu kita mau berangkat kerja sementara anak ngak ada yang jaga, yah mau nggak mau anak dititipkan ke orang tua, untungnya saya nggak full time seperti pekerja lainnya, cuma setengah hari tapi ya sulitnya itu, kalau nggak ada yang jaga repot juga harus bolak balik gitu. (wawancara, Nur 8 Maret 2013). Perempuan sepertinya tidak dapat melepaskan diri dari beban majemuk selama konstruksi budaya patriarki melalui pembagian peran gender dalam masyarakat masih berlanjut. Saya sepakat dengan pandangan Rose dan Carrasco dalam Candraningrum bahwa keadilan bagi perempuan melalui peran majemuk dapat teratasi apabila laki-laki bersedia dan mau membagi kerja domestik dan tidak membebankan semua pada perempuan. Akan tetapi, situasi yang saya ditemui dalam penelitian ini di mana suami jarang dilibatkan dalam kerja domestik dan menyerahkan semua pada sang istri sehingga menciptakan beban majemuk pada kaum perempuan. Oleh karena itu, langkah yang ditempuh untuk mengatasi beban majemuk kaum perempuan sebagaimana diungkapkan oleh para subjek dalam penelitian ini dengan merekrut PRT untuk mensubtitusi pekerjaan domestik perempuan dalam rumah tangga. Kehadiran PRT dirasakan sangat berpengaruh bagi kaum perempuan sehingga mereka dapat dengan leluasa beraktivitas di luar rumah dan meningkatkan produktivitasnya. Hal ini tercermin dari ungkapan ibu Nuken, ketika PRT berhenti bekerja beban pikiran dan stress terus menghantuinya saat bekerja, terlebih ketika hal itu menyangkut kedua anaknya. Di sinilah terletak manfaat dan makna kehadiran PRT dalam sebuah rumah tangga yang majikan perempuan berkecimpung di ranah publik bahwa kehadiran PRT selain berkontribusi pada ekonomi keluarga PJPRT juga mengurangi beban majemuk dalam keluarga. …memang kita menjadi kurang fokus jadinya, pengalaman aku suka kepikiran misalkan selama ini kalau nggak ada PRT aku titip ama neneknya, pasti aku percaya anakku pasti keurus jadi aku nggak terlalu
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
64
memikirkan itu. Cuma aku selalu berpikir sampai kapan sih aku nggak dapat PRT gitu.. jadi aku tetap berusaha gitu nyari-nyari PRT supaya nggak terlalu membebani mertua gitu.. Caranya, lewat berbagai media sperti facebook, bbm, sms teman, lewat email.. semua ku lakukan buat dapatin PRT. (wawancara, Nuken 9 Maret 2013). Perempuan dalam peran produktif dan reproduktifnya tidak dipungkiri lagi mengalokasikan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan patnernya kaum laki-laki. Perempuan dalam hal ini tidak lagi berperan ganda, tetapi memiliki “multi peran” atau “peran majemuk” yakni sebagai pekerja produktif, sebagai pendidik dan pengasuh anak serta berkewajiban penuh pada pekerjaan domestiknya. Sesungguhnya apabila terjadi pembagian kerja yang seimbang antar anggota keluarga, maka perempuan tidak mengalami beban majemuk dan waktu untuk kerja publik dan domestik dapat teralokasi dengan seimbang serta berjalan dengan baik. Namun, tidaklah mudah untuk ditempuh melihat kondisi riil dalam kehidupan bermasyarakat di mana proses sosialisasi gender telah terjadi terutama dalam keluarga, antara perempuan dan laki-laki terdapat hal-hal yang pantas dan yang tidak pantas dilakukan masing-masing. Perbedaan peran laki-laki dan perempuan tersebut membawa ketimpangan yang menjadikan kaum perempuan berada pada posisi subordinat, sementara laki-laki berada pada posisi superordinat. Oleh karena itu, apabila pembagian peran gender secara sosial terus dilestarikan maka perempuan akan selalu berada dalam posisi subordinat dan mengalami beban majemuk. Saya sependapat dengan pandangan Moser bahwa kerja produktif yang hanya berorienstasi pada aspek moneter semata terlalu menyederhanakan realitas yang ada mengingat persoalan yang dihadapi perempuan sangat kompleks. Menurut saya, baik kerja produktif maupun kerja reproduktif masing-masing berperan penting dalam proses kelangsungan hidup manusia. Kerja reproduktif juga kerja yang menjaga kelangsungsungan proses produktif, misalnya apabila tidak ada yang menyediakan layanan untuk memasak, menyuci, membersihkan, tidak mungkin akan didapatkan makanan, pakaian yang bersih dan kenyamanan sehingga anggota keluarga dapat beraktivitas dengan baik di luar rumah. Dengan demikian, kerja produktif tidak dapat berlangsung tanpa adanya kerja reproduktif, begitu juga sebaliknya kerja reproduktif tidak dapat berjalan dengan baik tanpa ada dukungan dari kerja produktif.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
65
4.5 Kesimpulan Pembagian Kerja Produktif dan Reproduktif Temuan di lapangan menunjukan bahwa perempuan dalam kegiatan terkait peran produktif dan reproduktif umumnya mengalokasikan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini erat kaitannya dengan ketimpangan pola relasi yang tidak seimbang antara suami istri di dalam rumah tangga terkait pembagian kerja domestik sehingga mengakibatkan perempuan diperhadapkan pada beban majemuk sebagai pekerja produktif dan reproduktif. Selanjutnya, perempuan juga kurang dapat memenuhi hasrat dan kebutuhannya sendiri sekaligus karena prioritas utama perempuan yang sudah berkeluarga adalah rumah tangga dan anak. Karenanya, aspek produktivitas perempuan masih terbatas dan keterlibatan perempuan di pasar kerja hanya diklasifikasi sebagai pekerja kelas ke dua. Hal ini diperkuat lagi karena masih latennya persepsi masyarakat yang memosisikan perempuan dan fungsinya di ranah domestik. Walaupun demikian, berbagai kesulitan ekonomi yang dihadapi perempuan dalam rumah tangganya, terutama yang di daerah perkotaan, memaksa mereka untuk juga ikut berkecimpun di ranah publik sebagai pekerja produktif. Konsekuensi keterlibatan perempuan di ranah publik justru menambah beban majemuk yang sudah melekat para dirinya di samping fungsi reproduktif dan fungsi caring yang harus sekaligus dipenuhi. Tentu, kesimpulan ini bukanlah suatu temuan baru, tetapi implikasinya ialah pada bagaimana beban majemuk itu bisa diringankan melalui berbagai intervensi, apakah berupa subsidi pemerintah untuk perempuan agar bisa memberi perhatian penuh kepada anak-anaknya yang merupakan investasi dalam human capital. Bagi rumah tangga yang mampu, beban majemuk itu bisa diringankan dengan menggunakan jasa pekerja rumah tangga. Penelitian ini menunjukan adanya korelasi positif antara pendapatan rumah tangga dan penggunaan jasa pembantu rumah tangga (PRT), terutama di kalangan masyarakat menengah atas bahkan menengah bawah. Penelitian ini telah membuktikan bahwa demand yang semakin besar atas banyak keluarga yang tinggal di daerah perkotaan bisa dikurangi dengan menghadirkan pembantu/pekerja rumah tangga (PRT) untuk meringankan beban majemuk keluarga.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
BAB 5 HUBUNGAN KERJA ANTARA PEKERJA RUMAH TANGGA DAN PENGGUNA JASA PEKERJA RUMAH TANGGA
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, perempuan dalam lingkup kerjanya mengalami beban majemuk karena aspek produktif dan reproduktif yang inheren. Beban yang demikian semakin besar karena para PJPRT menggunakan waktunya untuk berkecimpung di ranah publik. Untuk mengatasi persoalan beban majemuk tersebut, umumnya keluarga yang ibu bekerja (atau PJPRT) memilih untuk mempekerjakan PRT guna mensubtitusi pekerjaan domestiknya. Praktek yang demikian dijumpai hampir di semua rumah tangga— mulai dari kelompok kelas menengah bawah hingga menengah atas—yang cenderung menggunakan jasa PRT untuk mensubtitusi pekerjaan domestik selama sang majikan beraktivitas di luar rumah. Untuk memperoleh pemahaman tentang hubungan kerja dan kehadiran PRT dalam keluarga yang ibu bekerja, bab ini secara khusus membahas tentang; Pertama, karakteristik PRT yang diinginkan oleh PJPRT; Kedua, aktivitas kerja rumah tangga yang ditangani oleh PRT dan; Ketiga, pengalaman menggunakan jasa PRT.
5.1 Karakteristik Pekerja Rumah Tangga yang Diinginkan oleh PJPRT Hasil survei yang saya peroleh dari 26 responden PJPRT dalam penelitian ini menunjukan adanya preferensi yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga ketika memilih dan mempekerjakan PRT. Preferensi yang saya temui terdiri dari, jenis kelamin, usia, agama, suku, kejujur dan cekatan, dan PRT yang telah berkeluarga dan memiliki anak.
5.1.1 Preferensi Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan faktor penentu bagi rumah tangga ketika memilih PRT. Umumnya, subjek yang saya temui baik melalui survei maupun saat wawancara berlangsung mengakui mempekerjakan PRT dengan preferensi kuat berjenis kelamin perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan dianggap memiliki kemampuan dan keahlian khusus untuk mengerjakan
66 Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
67
pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki-laki dianggap tidak memiliki keahlian di ranah domestik. Selain itu, aspek kenyamanan juga menjadi pertimbangan bagi PJPRT (perempuan) dalam mempekerjakan PRT di rumah tangganya. Berikut cuplikan wawancaranya dengan ibu Nur, “Saya maunya (PRT) perempuan dong.. karena kalau untuk beres-beres kan lebih ini ke perempuan ya, jarang laki-laki..dan juga lebih nyaman sama perempuan aja…”. Selain kenyamanan, PRT yang berjenis kelamin perempuan dianggap lebih telaten mengerjakan pekerjaan rumah serta pengasuhan anak-anak PJPRT ketika orang tuanya berada di luar rumah. Berikut kutipan wawancara dengan ibu Ita, “saya memilih PRT perempuan itu ya memang kelihatan lebih telaten ngurus anak gitu ya, saya jadi bisa bilang cucian itu nggak penting, setrika itu nggak penting, yang terpenting itu anak”. Menurut saya, selain hal-hal yang disebutkan di atas bahwa perempuan dianggap lebih telaten, memiliki keahlian mengurus rumah tangga ketimbang kaum laki-laki tidak terlepas dari stereotipe yang melekat pada pola pikir masyarakat melalui dikotomi peran gender yang secara eksplisit menempatkan perempuan di ranah domestik dan laki-laki di ranah publik. Fakta menunjukan bahwa saat ini banyak kaum pria yang bekerja sebagai office boy, kesehariannya mengerjakan pekerjaan yang identik dengan rumah tangga, seperti, membersihkan, mengepel, menata ruangan, menyuci dan tidak jarang juga kita menemui laki-laki yang berprofesi sebagai tukang masak serta dapat memberikan kenyamanan bagi pihak lainnya yang menikmati hasil kerjanya. Dengan demikian, pemilihan PRT yang berjenis kelamin perempuan untuk menyelesaikan tugas rumah tangga merupakan satu kecenderungan untuk melanggengkan pembagian peran gender dalam masyarakat.
5.1.2 Preferensi Usia Selain jenis kelamin, temuan di lapangan juga menunjukan bahwa dua-pertiga (atau 69%) PJPRT menghendaki PRT dengan usia 15-30 tahun, sedangkan sepertiga (atau 31%) PJPRT cenderung mempekerjakan PRT di atas usia 30 tahun. Tabel berikut ini memperlihatkan preferensi dimaksud.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
68
Tabel 2: Karakteristik Usia PRT NO
KARAKTERISTIK USIA PRT
JUMLAH
PERSENTASE
1
PRT usia 15-20 tahun
8
31%
2
PRT usia 21-30 tahun
10
38%
3
PRT usia >30 tahun
8
31%
Sumber: hasil survei peneliti 2013
Terkait
usia
PRT,
ibu
Nuken
cenderung
memprioritaskan
mempekerjakan PRT berusia di atas 20 tahun. Hal ini semata-mata dipengaruhi oleh pengalaman yang dimilikinya saat mempekerjakan PRT usia muda, di mana pekerjaan rumah tangga cenderung terabaikan serta pengasuhan anak tidak tertangani dengan baik. Berikut kutipan wawancara ibu Nuken, “Saya lebih memilih PRT berusia di atas 20 tahun karena jika dibawah usia 20 tahun umumnya jiwa kanak-kanaknya masih ada, dikhawatirkan nanti yang ada anakku nggak terurus dan malah si pembantu ikutan main”. Sejalan dengan ibu Nuken, ibu Nur juga mengaku memiliki pengalaman yang lebih baik ketika mempekerjakan PRT usia dewasa, pekerjaan rumah tangga umumnya ditangani dengan baik. Kalau usia berpergaruh juga sih karena pengalaman ya, kalau yang lebih dewasa atau lebih tua itu kan pengalamannya lebih dari pada yang usia muda, itu dari pengalaman saya sendiri dan teman-teman juga seperti itu, mungkin lebih telaten ya karena dia juga pernah ngurus urusan rumah tangga juga kayak bersih-bersih segala macem itu dia lebih berpengalaman. (wawancara, Nur 8 Maret 2013) Ibu Ita juga menuturkan hal yang sama, sengaja memprioritaskan PRT berusia muda dan produktif karena pertimbangan kesehatan PRT. Menurutnya, mempekerjakan PRT usia yang relatif tua dapat mengakibatkan kondisi fisik PRT terganggu sehingga membebankan tanggung jawab pada PJPRT. “Kalau soal usia enaknya yang usia muda dan masih produktif lah karena kalau pembantu usia tua terus sakit-sakitan kan kita repot juga, bukan persoalan biaya ya tapi kalau nggak ada yang bantuin kita repot lagi”. Meskipun sebagian besar subjek dalam wawancara mengaku pentingnya usia saat mempekerjakan PRT, tetapi tidak sedikit juga subjek dan responden yang saya temui saat wawancara dan survei mengatakan bahwa
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
69
desakan kebutuhan untuk mempekerjakan jasa PRT yang dirasakan semakin meningkat mengakibatkan usia bukan lagi menjadi prioritas utama bagi PJPRT ketika mempekerjakan PRT. Umumnya para PJPRT mengaku bahwa yang terpenting adalah kehadiran orang yang bisa dipercayakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Berikut kutipan wawancara ibu Dinah, “cari PRT saat ini susah, boro-boro dapat seperti yang kita inginkan… dapat aja sudah untung”. Dengan demikian, menurut saya ketika supply tenaga kerja PRT dirasakan semakin berkurang dan langka di satu sisi, sedangkan demand akan PRT terus meningkat maka preferensi mempekerjakan PRT oleh PJPRT cenderung mengalami pergeseran sesuai kebutuhan bukan atas dasar keinginan.
5.1.3 Preferensi Agama Paparan subjek penelitian juga menunjukkan bahwa aspek moral dan kesamaan keyakinan juga penting ketika hendak merekrut PRT. Hal ini dikarenakan PJPRT merasa nyaman dan leluasa meninggalkan anak-anak diasuh oleh PRT dengan harapan PRT dapat membantu mengarahkan dan membimbing anak-anak saat menjalankan ibadah selama orang tuanya berhalangan atau memiliki kesibukan di luar rumah. Berikut penuturan ibu Ita, “kalau dari segi agama yah pastinya buat saya memang seagama jadi penting apalagi dia sampai sholat gitu kan jadi contoh juga lah buat anakanak saya..”. Selain itu, subjek yang lain mengaku belum memiliki pengalaman dengan PRT yang berbeda keyakinan dengan PJPRT. Namun, ibu Dinah merasa bahwa faktor agama atau kesamaan keyakainan antara PRT dan PJPRT tidak begitu penting karena ketersediaan pekerjan rumah tangga yang dirasakan saat ini cukup sulit dijangkau oleh rumah tangga yang ibu bekerja. Kemudian soal agama nggak ya.. apa karena saya belum pernah dapat pengalaman PRT di luar agama saya ya, tapi terus terang saya tidak pernah punya punya kendala sama faktor agama ya. Saya secara pribadi jika misalnya nanti ada PRT yang kerja beda agama nggak masalah, karena dapatnya aja susah bangat iya kan.. jadi kalau ngak ada ya nggak apa-apa. (wawancara, Dinah 10 Maret 2013)
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
70
Menurut saya aspek kesamaan keyakainan bukanlah prioritas utama bagi rumah tangga yang ibu bekerja saat memilih PRT. Ketika memperoleh PRT yang kebetulan beda keyakinan tetapi kebutuhan mendesak maka PJPRT akan tetap mempekerjakan PRT di rumahnya. Hal ini erat kaitannya dengan ketersediaan jasa PRT yang dirasakan semakin berkurang, sementara kebutuhan PRT terus meningkat maka pilihan ibu-ibu mempekerjakan PRT adalah orang yang dapat dipercayakan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dengan demikian, keterbatasan PRT yang dialami rumah tangga-rumah tangga di Jakarta cenderung melemahkan posisi tawar PJPRT saat memilih PRT bukan atas keinginan melainkan berdasarkan pada kebutuhan.
5.1.4 Preferensi Suku Terkait suku dan budaya PRT, menurut semua subjek yang saya temui tidak mempersoalkan ras dan etnis, melainkan hal yang ditekankan adalah kecocokan antara PRT dan PJPRT sehingga hubungan kerja yang terjalin dapat berjalan dengan baik dan lancar. Berikut kutipan hasil wawancaranya, terkait suku bagi saya yang penting dia nyaman saja, dia misalnya dari suku Jawa gitu kan sekarang banyak ya.. kalau dia nyaman dan cocok kerjaannya ama kita, pekerjaannya juga cocok, tingkah lakunya juga cocok ya nggak masalah yang penting cocok aja dan dia masih bisa nyambung dengan kita ya pake aja nggak terlalu dia harus gini-gini.. (wawancara, Nur 8 Maret 2013) Selain kecocokan yang dibutuhkan oleh PJPRT ketika mempekerjakan PRT, kejujuran dan kecekatan juga menjadi pertimbangan PJPRT saat memilih PRT bekerja di rumah tangganya. Bagi saya yang utama PRT jujur, jujur dalam berbagai hal bukan hanya pada masalah keamanan barang-barang saja gitu tapi juga perlakuan dia pada anak saya. Kemudian juga cekatan jadi kita tuh nggak udah merintah ini dan itu, sesuatu yang dianggap nggak pantas ya diberesin. (wawancara, Ita 8 Maret 2013) 5.1.5 Berkeluarga dan Memiliki Anak Ibu Nuken melalui paparannya cenderung mempekerjakan PRT yang dewasa dan telah berkeluarga serta memiliki anak. Hal ini dikarenakan prioritas utamanya mempekerjakan PRT adalah sebagai pengasuh anakanaknya, sehingga harapan dengan kehadiran PRT dalam rumah tangga tidak
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
71
hanya sekedar meringankan beban majemuknya di ranah domestik tetapi PRT lebih diharapkan dapat menggantikan peranan sang ibu di rumah sebagai orang yang mengasuh, mendidik, menemani kedua anak-anaknya selama orang tuanya berada di luar rumah. Berikut cuplikan hasil wawancara: Saya juga lebih memilih PRT yang sudah menikah karena sudah mampu dan mengerti cara mengurus anak. Kalau masih single kemungkinan PRT bisa pacaran terus repot karena nanti suka telpon dan sms gitu yah namanya juga pacaran. Selain itu, lebih mengutamakan yang sudah memiliki anak karena kalau dia udah punya anak, dia pasti bisa mendidik anak dan mengurus anak dengan baik. Dia (PRT) bukan karena pernah kursus baby sitter tapi karena dari dasar hatinya dia seorang ibu, biasanya mau mengurus anak, mendidik anak dengan baik dan aku lebih prefer milih yang seperti itu buat ngasuh anakku. (wawancara, Nuken 9 Maret 2013). Kehadiran PRT dalam rumah tangga ibu bekerja memiliki peran yang sangat besar, selain meringankan beban domestik ibu-ibu, juga mensubtitusi peran orang tua bagi anak-anak selama mereka berada di luar rumah. Selain itu, salah satu subjek, yakni ibu Dinah memilih mempekerjakan PRT yang dapat tinggal bersamanya di rumah dan menjadi teman ketika sang suami sibuk bekerja. Berikut cuplikan wawancara, “PRT yang dibutuhkan yang bisa tinggal di rumah ini kan yang bisa nemenin saya di rumah juga kalau suami saya pulang malam..” Dari paparan keenam subjek di atas menunjukkan bahwa PJPRT umumnya memilih PRT dengan usia yang tergolong dewasa muda dengan berbagai pertimbangan berdasarkan pengalamannya selama mempekerjakan PRT. Umumnya mengatakan hal yang sama bahwa perempuan yang lebih dewasa memiliki keterampilan, pengalaman dan lebih telaten mengerjakan pekerjaan rumah serta pengasuhan anak dibandingkan dengan PRT yang berusia muda ataupun usia tua. Aspek moral melalui kesamaan kepercayaan (agama) dalam penelitian ini juga dianggap cukup penting meskipun sifatnya fleksibel. Pilihan PRT yang seiman oleh para PJPRT diakui cukup penting mengingat keberadaan PRT di rumah bersama anak ketika orang tua anak berada di luar rumah, PRT diharapkan mampu menggantikan peran orang tua sebagai pendidik anak-anak serta lebih dari itu PRT dapat dijadikan sebagai panutan bagi anak saat menjalankan ibadah. Namun, terkait persoalan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
72
kesamaan suku, keenam subjek yang diteliti itu mengatakan tidak mempersoalkannya. Siapapun PRT, berasal dari suku atau budaya manapun, prioritasnya adalah PRT yang memiliki kejujuran, kecocokan dan bisa diandalkan. Menurut saya, usia, agama sebagaimana dipaparkan di atas merupakan suatu hal yang penting tetapi tidak menjadi prioritas utama bagi PJPRT ketika mempekerjakan PRT. Pada prinsipnya identitas seks, yaitu perempuan menjadi prioritas utama PJPRT mempekerjakan PRT. Pandangan yang demikian tidak terlepas dari ideologi patriarki melalui peran gender dengan menekankan
aspek
biologis
(nature)
semata-mata
yang
kemudian
memengaruhi aspek sosialnya (nurture). Perempuan secara biologis identik dengan peran reproduksinya yakni melahirkan, menyusui sehingga peran sosial yang diberikan padanya sebagai orang yang merawat, mengasuh, mendidik selanjutnya bertanggung jawab pada rumah tangga. Ketika keterbatasan struktural yang dimiliki oleh sekelompok perempuan serta keterbatasan lapangan kerja untuk menampung jumlah angkatan kerja yang ada maka pilihan bekerja yang mudah diakses oleh perempuan adalah menjadi PRT yang secara kultural diidentikan dengan perempuan. Konstruksi peran gender yang demikian telah terinternalisasi begitu dalamnya sehingga kecenderungan orang sulit untuk membedakan seks dan gender. Akibatnya pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai “kodrat” perempuan. Saya sepakat bahwa perempuan secara biologis memiliki naluri keibuan dan sifat-sifat yang melekat padanya yakni orang yang merawat, mengasuh, mendidik, dan memberi kehidupan bagi kelangsungan hidup suatu organisme. Namun, saya tidak sepakat dengan peran gender oleh masyarakat yang memosisikan perempuan secara subordinat dari kaum laki-laki melalui perannya di dalam rumah tangga. Tentu Benston benar dalam pendapatnya tentang proses pengikisan dikotomi yang bias gender ini bahwa penting dilakukan sosialisasi pekerjaan rumah tangga sehingga masyarakat menyadari bahwa jenis pekerjaan apapun bagi keberlangsungan hidup manusia setara dengan pekerjaan poduktif lainnya, termasuk jasa PRT itu sendiri.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
73
5.2 Aktivitas Kerja Rumah Tangga yang Ditangani Ekslusif oleh PRT 5.2.1 Cara PJPRT memperoleh PRT Kehadiran
PRT
dalam
rumah
tangga
tidak
diragukan
lagi
keberadaanya, sangat penting dan dibutuhkan. Akan tetapi, upaya perolehan jasa PRT tidaklah semudah itu, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Dari hasil survei yang saya lakukan pada 26 subjek penelitian ini menunjukkan bahwa, 50% subjek dalam penelitian ini memperoleh PRT melalui informasi keluarga, 31% melalui teman, 15% melalui tetangga dan hanya 4% yang mengaku memperoleh PRT atas lamaran PRT itu sendiri (didatangi oleh PRT sendiri). Namun demikian, tidak satupun subjek yang mengaku memperoleh PRT dari yayasan/agen penyalur PRT dengan alasan kehadiran agen penyalur PRT hanya menambah kerumitan proses dalam memperoleh PRT. Tabel 3: Cara Memperoleh PRT NO
KATEGORI
JUMLAH
PERSENTASE
1
Keluarga
13
50%
2
Teman
8
31%
3
Yayasan/Agen
0
0%
4
PRT sendiri
1
4%
5
Tetangga
4
15%
Suber: hasil survei peneliti
Menurut para responden, alasan PJPRT memilih memperoleh PRT melalui keluarga karena adanya keyakinan akan memperoleh PRT yang baik dan dapat dipercaya. Sedangkan pihak penyalur di mata masyarakat hanya merupakan perpanjangan tangan dari aliran kapitalis yang ingin memperoleh keuntungan (profit) lebih banyak dari baik PJPRT sebagai pengguna jasa, maupun PRT sebagai pemberi jasa pelayanan. Agen penyalur PRT yang seharusnya diharapkan dapat menyediakan pelayanan jasa PRT yang profesional dan terstratifikasi telah berubah peranannya menjadi agen pemeras. Padahal seyogianya peranan agen-agen penyalur PRT itu cukup penting dalam memenuhi demand PJPRT. Akan tetapi, praktek mencari keuntungan dalam kesempitan tersebut sudah semakin kehilangan kendali
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
74
karena tidak didukung oleh kebijakan dan regulasi serta pemberian sanksi bagi pihak yang melanggar.
5.2.2 Karakteristik Kegiatan PRT Menurut PJPRT Selanjutnya, jika ditinjau dari kebutuhan kehadiran PRT dalam rumah tangga-rumah tangga yang ibu bekerja, hasil survei menunjukkan bahwa kehadiran PRT hampir ada di semua kegiatan rumah tangga, mulai dari lingkup menyuci, membersihkan, memasak dan pengasuhan anak. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran PRT sangat penting di rumah tangga moderen saat ini di mana waktu yang dimiliki oleh anggota keluarga semakin terbatas di rumah sehingga kebutuhan PRT semakin tinggi untuk mensubtitusi kegiatan domestik ibu-ibu (khususnya) sehingga mereka dapat beraktivitas dengan baik di luar rumah. Hasil survei juga menunjukkan adanya pemisahan antara rumah tangga yang masih memiliki anak balita yakni 58% keluarga mempekerjakan PRT untuk kegiatan seperti: menyuci, membersihkan dan mengasuh anak. Sedangkan rumah tangga yang sudah tidak memiliki anak usia balita yakni 42% keluarga memprioritaskan PRT untuk menyelesaikan kegiatan rumah tangga seperti: menyuci, membersihkan dan memasak.
PRT cuci, bersih2, masak
42% 58%
PRT cuci, bersihbersih, masak, baby sitter
Gambar 2: Karakteristik Kegiatan PRT Sumber: hasil survei peneliti
Tetapi, dari berbagai kasus yang dapat diidentifikasi ditemukan bahwa kehadiran PRT dalam rumah tangga yang ibunya bekerja bukan terbatas pada pekerjaan rutin dan praktis saja. Misalnya, Ibu Ita, ibu Nuken, ibu Nur dan ibu Dinah mengungkapkan bahwa prioritas utama mempekerjakan PRT
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
75
adalah untuk pengasuhan anak, sedangkan untuk urusan memasak, membersihkan dan menyuci adalah prioritas kedua setelah anak tertangani. Berikut penuturan ibu Ita: “Prioritas kerja di sini tuh anak gitu sebenarnya, saya jadi bisa bilang cucian itu nggak penting, setrika juga nggak penting, yang penting itu anak gitu, meskipun ketika dia kerja semua jadi beres”. Sama halnya dengan ibu Ita, ibu Nuken juga mengakui hal yang sama: “tujuan utama aku mencari orang itu untuk anak. Jadi kalau aku dapat PRT yang nggak bisa kepegang urusan lain seperti nyuci, masak, bersihin rumah bagiku nggak masalah yang penting anak kepegang”. Ungkapan kedua subjek di atas juga dialami oleh ibu Dinah, kehadiran PRT dirasakan sangat penting terutama untuk pengasuhan anak, disamping itu juga untuk pekerjaan rumah tangga lainnya. Prioritas untuk ngurus anak sama bantu kerjaan rumah juga. Tapi prioritas sih anak, jadi ada PRT di sini, tugas dia ngasuh anak dan rumah tangga, tapi kalau saya nggak ada hanya anak yang dia pegang. Kalau saya sudah ada baru dia mengerjakan pekerjaan rumah, jadi nggak apa-apa rumah berantakan kayak apa juga, mau hancur lebur yang penting anak saya kepegang. Tapi di saat saya ada, anak saya yang pegang, dia silahkan kerjakan pekerjaan rumah.. kalau saya bisa bantu yah saya bantu. (wawancara, Dinah 10 Maret 2013). Hal tersebut tidak terlepas dari persepsi masyarakat yang menekankan pada peran reproduksi perempuan yang mengandung, melahirkan dan menyusui sehingga tanggung jawab seorang ibu untuk merawat, mendidik, membesarkan anak lebih besar dibandingkan suami. Seorang ibu rela melepaskan pekerjaanya demi anak, rela melepaskan hasratnya untuk memiliki sesuatu yang lebih baik demi memenuhi kebutuhan anak, dan rela menghabiskan waktu lebih panjang demi anak. Anak adalah segalanya bagi seorang perempuan, demikian penuturan keempat subjek di atas. Sehingga ketika seorang ibu yang waktunya lebih banyak di luar rumah dan lebih sedikit untuk sang anak, kehadiran PRT menjadi sangat penting untuk mensubtitusi peranan sang ibu agar anak-anak tidak kehilangan sosok seorang ibu. Itulah juga salah satu alasan mengapa para PJPRT lebih memprioritaskan mempekerjakan PRT perempuan karena secara alamiah perempuan dianggap
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
76
memiliki naluri sebagai ibu sehingga lebih telaten untuk merawat dan mendidik anak. Selanjutnya, bagi rumah tangga yang sudah tidak memiliki anak usia balita, yakni ibu Tien dan ibu Laela, lebih cenderung mempekerjakan PRT untuk jenis pekerjaan rumah tangga yang dianggap lebih berat, seperti mencuci dan menyetrika. Selanjutnya, untuk urusan memasak dikerjakan sendiri. Cuplikan wawancara dengan ibu Tien menunjukkan bahwa jenis pekerjaan rumah seperti mencuci dan menyetrika merupakan jenis pekerjaan yang dianggap paling berat dari pekerjaan rumah lainnya sehingga ia mengakui tidak dapat mengerjakan sendiri. Berikut hasil wawancara de ibu Tien: Saya sudah mempekerjakan pembantu sejak saya nikah karena kondisinya saat itu saya sudah kerja… untuk saya ya cuci-gosok baju itu yang paling repot karena pakaian itu kan pagi dan sore ganti terus, kondisi di rumah ini 5 orang jadi kalau ganti saja untuk satu hari sudah 10 stel baju atas bawah, belum lagi pakaian dalam dan sebagainya, jadi beratnya di situ. (wawancara, Tien 9 Maret 2013). Sejalan dengan ibu Tien, ibu Laela juga mengatakan hal yang sama bahwa ia mempekerjakan PRT khusus untuk membersihkan rumah, mencuci pakaian dan menyetrika. Saya sudah mempekerjakan PRT itu sudah lama ya, sejak anak-anak masih kecil… saat ini butuh PRT lebih untuk kerjaan rumah yang agak berat-berat ya kayak nyuci, setrika terus benah-benah rumah. Pokoknya gini lho, saya pulang sekolah rumah udah bersih gitu lho.. dia (PRT) mau kerjaan di gosok mau rapi atau nggak saya mah terserah, saya masa bodoh yang penting saat saya mau pake baju ini ada. (wawancara, Laela 10 Maret 2013). Dari uraian di atas menunjukkan bahwa kebutuhan PRT dalam rumah tangga yang ibu bekerja tidak diragukan lagi, bahwa sindrom super women sebagaimana yang dilabelkan pada perempuan melalui peran majemuknya ternyata bisa dibuktikan dalam penelitian ini. Meskipun para subjek mengaku tidak menyerahkan semua pekerjaan rumah tangga pada PRT karena sebagian dikerjakan
sendiri,
tetapi
kehadiran
PRT
besar
pengaruhnya
bagi
kelangsungan kelestarian rumah tangga yang ibu bekerja. Ketika tidak ada PRT ibu-ibu mengalami kerepotan dan dipaksa menjadi super women dengan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
77
triple fungsi yakni sebagai pekerja di luar rumah, pengasuh dan pekerja rumah tangga.
5.2.3 Kegiatan Rumah Tangga yang Ditangani Ekslusif oleh Pekerja Rumah Tangga Ibu Nuken, salah satu subjek yang ditemui dalam wawancara, kesehariannya bekerja sebagai pegawai swasta, ia dituntut bekerja dengan waktu yang panjang, mulai jam 7.00 hingga jam 18.00 sore. Kelelahan dan kecapean yang dia alami selama bekerja menyebabkan pekerjaan rumah dan anak tidak dapat tertangani dengan baik. Hal inilah yang menjadi alasan ia harus mempekerjakan PRT untuk menyelesaikan semua tugas-tugas rumah tangga, mulai dari membersihkan rumah, belanja, memasak, mengasuh anak, mencuci dan menyetrika. Berikut cuplikan wawancaranya: Kalau untuk urusan rumah tangga semua diserahkan ke PRT.. kebetulan, ada dua PRT yang kerja sama saya, yang satu untuk bebenah rumah, masak, nyuci pakaian, setrika, ngasuh anak yang pertama… menu belanja saya serahkan sama PRT tergantung mau masak apa, PRT hanya diberi uang sekian ribu karena kalau saya tentukan menunya PRT bingung.. belum tentu juga si PRT sempat masak yang penting buat saya anak kepegang, kalau anak sudah kepegang terus santai dia bisa masak tapi kalau tidak sempat masak tidak masalah. PRT saya bekerja mulai hari senin sampai hari minggu, datang pagi pulang sore saat saya tiba di rumah. Terus yang satunya lagi hanya khusus ngasuh anak yang kedua yang baru berumur 6 bulan terus karena itu tetangga jadi nggak enak disuruh ini dan itu, kerja hari senin sampai hari jumat saja karena saya kerja hari senin sampai jumat, kalau aku lembur baru anak dititipkan padanya. (Wawancara, Nuken 9 Maret 2013) Kasus yang hampir sama juga dialami ibu Ita. Ia mengaku memiliki pekerjaan yang cukup padat di luar rumah, mulai dari profesinya sebagai PNS, peneliti, juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian, waktu yang dimiliki tersita habis di luar rumah sehingga kegitaan rumah tangganya tidak dapat diatasi sendiri. Ia memilih mempekerjakan PRT penuh waktu untuk menyelesaikan tugas rutin rumah tangga, mulai dari cuci, setrika, membersihkan rumah, menjaga rumah, memasak. Selain kegiatan tersebut, PRT juga bertanggung jawab pada kedua anaknya, yakni mengantar anak ke sekolah, menjemput anak-anak dari sekolah dan menemani sang anak
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
78
selama ia dan suami berada di luar rumah. Berikut cuplikan hasil wawancaranya: Semua kerja rumah sama bibi, masak, cucian, gosokan, jemput anak dari sekolah, jagain rumah semua sama dia. Saya sih memang gak pernah rewelin kalo misalnya harus gosok, setiap hari harus gosok, gak boleh ada ini, gak… kalaupun dia gak nyuci juga gak apa-apa, tapi pada kenyataannya ya biasanya dia rapi, setiap hari nyuci… kalo persoalan masak kadang-kadang aja sih. Yang penting kan kalau pagi itu kalau saya sempet masak, belanja gitu, ya udah berarti masak. Tapi kalau misalnya gak pun juga, kita seringnya sih beli di luar..(Wawancara Ita, 8 Maret 2013). Berbeda dengan kedua subjek di atas, ibu Tien justru mengaku mempekerjakan PRT paruh waktu dan hanya menyerahkan sebagian pekerjaan rumah pada PRT, yakni menyuci pakaian, menyetrika dan menyuci bekas piring kotor. Sedangkan untuk urusan masak ditangani sendiri karena ingin memenuhi keinginan suami dan anak-anak seingga urusan memasak tidak diserahkan pada PRT. Pembantu saya kerja kalau saya berangkat kerja baru dia ada di sini tapi kalau saya di rumah pembantu pulang. Biasanya pembantu datang pagi terus nyuci, kalau misalkan ada piring kotor bekas tadi pagi dicucin nanti selesai pakaian kering dia mulai gosok baru dia pulang… jadi biasanya kalau saya pulang semua sudah selesai seperti cuci piring, cuci baju dan setrika udah selesai. Tapi dia (PRT) nggak mau masak karena anak-anak nggak suka masakannya, jadi tetap masak saya kerjakan pagi masak buat sarapan untuk anak-anak dan suami, siang terus nyiapin masak untuk makan malam semua saya yang kerjakan. (wawancara, Tien 9 Maret 2013) Memang diakui bahwa kemajuan teknologi telah turut meringankan beban kerja perempuan dalam rumah tangga, misalnya Rice cooker, vacum cleaner dan mesin cuci turut menyumbang bagi penghematan tenaga yang harus dikeluarkan oleh perempuan di ranah domestik. Tetapi untuk mengoperasikan mesin-mesin tersebut tentu membutuhkan tenaga dan waktu bagi pengerjaannya. Ketika seorang perempuan bekerja maka waktu dan energi lebih banyak dihabiskan di luar rumah, oleh karena itu mereka membutuhkan tenaga pengganti dengan mempekerjakan PRT untuk mensubtitusi waktu IRT yang tersita di luar rumah sebagai pekerja. Kehadian PRT tidak sebatas membersihkan rumah, memasak, mencuci tetapi juga
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
79
mengasuh anak-anak majikan di rumah. Sebagaimana dipaparkan oleh keenam subjek di atas bahwa kehadiran PRT bukan hanya sekedar membantu, tetapi lebih dari itu meggantikan peran sang ibu dalam rumah tangga melalui jasa pengasuhan, pendidikan, penghiburan bagi anak-anak sang majikan ketika waktu orang tuanya dirasa kurang. Selain itu, jasa PRT melalui penyediaan pakaian yang bersih dan rapi sehingga pada saat dibutuhkan sudah siap, membersihkan rumah sehingga memberi kenyamanan bagi anggota keluarga yang menghuni rumah tersebut serta menjaga rumah ketika para PJPRT pergi meninggalkan rumah seharian tanpa berprasangka buruk akan kemalingan ketika rumah di tinggal. Semuannya ini merupakan kontribusi riil yang memang secara kasat mata kurang mendapat perhatian masyarkat dan juga para pengguna jasa PRT itu sendiri. Namun sesungguhnya peranan ini sangat penting dan menunjang dalam meningkatkan produktivitas para PJPRT di luar rumah melalui pelayanan yang diberikan oleh PRT di rumah tangga yang ibu bekerja. Disinilah dapat dijelaskan bahwa kehadiran PRT tidak hanya sekedar “membantu” tetapi lebih dari itu kehadiran PRT menggantikan peran sang ibu selama ia berada di luar rumah. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa rumah tangga yang mempekerjakan PRT—meskipun hanya paruh waktu—PRT diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga, mulai dari lingkup memasak, membersihkan, mencuci, menjaga rumah dan mengasuh anak tidak terlepas dari perintah-perintah lainnya. Sebagian lainnya, hanya mempekerjakan PRT paruh waktu untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang tidak disukai dan dianggap lebih berat, seperti mencuci dan menyetrika. Hal ini menunjukkan bahwa PJPRT berada pada posisi yang menguntungkan dengan mempekerjakan PRT untuk menyelesaikan jenis kegiatan rumah tangga yang tidak disukai dan dianggap berat, tetapi PRT dalam hal ini kurang diuntungkan karena upah yang diterima selama bekerja tidak setara dengan apa yang diberikan pada majikan. Hubungan kerja yang terjalin antara PRT dan IRT memunculkan suatu bentuk dominan melalui kekuasaan (power) yang mengopresi sesama perempuan. Pandangan yang
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
80
demikian menguatkan pendapat French yang mengklaim bahwa opresi lakilaki terhadap perempuan bisa mengarah pada sistem lain dalam bentuk dominasi manusia. Selanjutnya dengan pembenaran melalui dominasi tersebut dapat memungkinkan terjadinya dominasi lainnya melalui stratifikasi kelas yakni kelompok kelas sosial yang lebih tinggi menguasai kelompok dari kelas sosial yang tidak berdaya.
5.3 Pengalaman Menggunakan Jasa PRT Relasi antar PJPRT-PRT selama dalam hubungan kerja yang terjalin tidak terlepas dari berbagai persoalan, perselisihan dan tindakan-tindakan yang kurang menyenangkan bagi kedua belah pihak, baik oleh PRT terhadap sang majikan maupun dari majikan kepada sang PRT. Seringkali kita mendengar PRT mengalami kekerasan, tereksploitasi dan menjadi korban trafiking. Namun, dalam kesempatan ini saya ingin mengangkat pengalaman PJPRT yang selama ini kurang diangkat sehingga mengakibatkan para PJPRT merasa didiskriminasi ketika berbicara mengenai relasi PRT dan PJPRT itu sendiri.
5.3.1 Pengalaman Positif Dengan PRT Umumnya subjek menyadari kehadiran PRT sangat membantu meringankan beban domestik ibu-ibu rumah tangga sehingga mereka dapat dengan leluasa beraktivitas di luar rumah. Lima subjek mengakui memiliki PRT yang telaten, rajin dan sudah mengerti apa yang harus dikerjakan serta hasil kerjanya cukup bagus dan rapih. Sebagaimana dipaparkan ibu Laela bahwa, ia jarang terlibat mengatur kegiatan rumah tangga yang dikerjakan oleh PRT karena ia mempercayakan semua kegiatan rumah tangga pada PRT dan meyakini bahwa tugas-tugas yang diberikan dapat dilaksanakan dengan baik. Berikut kutipan wawancaranya, “PRT saya orangnya rajin, kerjaanya rapi..untuk kerjaan sih ngak masalah karena saya sama pembantu yang mana aja ngak pernah gimana-gimana, yang penting beres gitu..”. Selanjutnya ibu Ita juga menambahkan bahwa dalam hubungan kerja yang terjalin antara PRT dan PJPRT perlu menumbuhkan keluwesan, kesabaran dan pengertian dari pihak PJPRT, sehingga hubungan kerja yang terjalin dapat berjalan dengan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
81
baik dan harmonis, berikut cuplikan wawancara ibu Ita, “.. 98% nya PRT kerjanya baik, ya karena kan kita yang butuh juga, yah …kitanya jangan terlalu presure, kitanya juga jangan terlalu nekan..’. Ibu Nuken mengatakan telah menemukan PRT yang dapat memberi kepuasan dan kenyamanan baginya sehingga ia dapat dengan leluasa beraktivitas di luar rumah. Sosok seorang pekerja profesional ditemukan pada PRT yang saat ini bekerja dan mensubtitusi perannya di ranah domestik. Hal ini ditunjukan melalui pelayanan jasa yang diberikan oleh PRT dengan menyediakan rumah yang aman dan rapi, masakan yang tersedia, juga kehadiran PRT telah mensubtitusi peran sang ibu sebagai pendidik, perawat dan pengasuh anak-anak selama orang tua anak beraktivitas di luar rumah. PRT yang saat ini kerjanya lebih rapih dan lebih baik dibanding yang sebelumnya karena dia bisa mendidik anak dengan benar dan bekerja dengan baik, jadi perasaan saya tentu lebih senang.. PRT yang sekarang bisa masak, rumah rapi, terus anak saya juga jadi pintar karena diajarkan menyanyi dan belajar bahasa ingris dengan dia (PRT), karena dia kan mantan TKW jadi bisa bahasa ingris. Diajarin habis main dirapiin, sekarang anakku setelah main langsung dirapiin mainnannya yang sebelumnya nggak bisa.. jadi aku memutuskan ya udah, daripada aku harus nyari lagi mending saya pertahankan dia apapun saya lakukan buat bantuin dia supaya dia tetap mau kerja di sini, walaupun aku harus mengeluarkan banyak uang nggak masalah toh dia hasilnya baik dan bagus. (wawancara, Nuken 9 Maret 2013) Kehadiran PRT yang yang dirasakan oleh ibu Nuken memberi nuansa baru bahwa perannya bukan sekedar membantu tetapi mensubtitusi peran sang ibu di rumah terlebih dalam mengasuh anak, mengajak anak bermain, mendidik anak, yang seharusnya dilakuan oleh orang tua tetapi karena keterbatasan waktu yang dimiliki maka PRT hadir sebagai orang tua pengganti bagi anak-anak PJPRT di rumah. Meskipun demikian, ibu Nuken mengatakan bahwa kedekatan PRT dan anak tidak mengurangi nilai dari hubungan ibu dan anak sehingga ia merasa semua berjalan dengan baik tanpa ada pikiran bahwa anak akan lebih memilih PRT ketimbang ibunya sendiri. Ia juga menambahkan mengalami kepuasan dengan hasil kerja PRT sehingga apapun akan dilakuan untuk mempertahankan keberadaan PRT meskipun harus mengeluarkan banyak biaya untuk itu. Contoh kasus terakhir ini menurut saya penting untuk terus dikembangkan dalam hubungan kerja antara
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
82
PRT dan PJPRT, pelayanan jasa yang diberikan PRT membawa kepuasan dan kebahagiaan bagi sang PJPRT sehingga dapat berimplikasi pada pemenuhan hak PRT. Dengan demikian, kedua belah pihak tidak akan ada lagi yang dirugikan melainkan keduanya dapat merasakan kepuasan melalui hubungan simbiosis mutualisme yang terjalin dalam hubungan kerja tersebut.
5.3.2 Pengalaman Negatif Dengan PRT Selain berbagai paparan pengalaman baik yang dialami oleh rumah tangga pengguna jasa PRT terhadap kehadiran PRT, ternyata penelitian ini juga menemukan berbagai pengalaman buruk antara PRT dan PJPRT dalam hubungan kerjanya. Temuan lapangan ini mengemukakan bahwa PRT melakukan kekerasan terhadap anak sang majikan salama menjalankan fungsinya serta PRT seringkali melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan hubungan kerja antar PRT dan PJPRT menjadi kurang harmonis.
5.3.2.1 Kekerasan Terhadap Anak Ibu Nuken mengaku bahwa PRT sering melakukan penganiayaan terhadap anaknya yang diasuh selama sang majikan tidak berada di rumah. Pasalnya, sang PRT menuntut dinaikan gaji dengan alasan imbalan yang diterima selama ini tidak sebanding dengan jasa yang diberikan bagi keluarga ibu Nuken. Namun, keinginan sang PRT tidak kunjung dikabulkan, maka PRT melampiaskan amarahnya pada sang anak. PRT yang kedua, dia ngambek lalu pernah menampar anak yang pertama sampai merah.. kebetulan mertuaku tinggal di sebelah rumah, waktu itu anakku nangis lalu diambil mertuaku, anak saya bilang ‘mbak pukul’ karena anak udah bisa ngomong. Kedua, anakku bilang ‘ma, aku dijewer dan ditarik rambutnya’, terus aku tanya ke PRT katanya ‘iya karena dia nakal’. Saya katakan bahwa saya sebagai ibu nggak pernah mukul, nggak pernah jewel, kalau marahin boleh tapi nggak boleh bentak karena hanya saya dan papanya yang berhak, mbak nggak berhak aku bilang… (wawancara, Nuken 9 Maret 2013) Ibu Nuken secara sadar menyadari bahwa kelakukan PRT sudah di luar batas kewajaran, tetapi ia tetap berusaha bertahan mengingat kehadiran PRT
baginya
sangatlah
penting.
Pernah
timbul
pemikiran
untuk
memberhentikan PRT tersebut dan suami menyetujuinya, tetapi desakan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
83
kebutuhan kehadiran PRT maka ia tetap berusaha bertahan dengan PRT yang berkelakuan buruk. Upaya untuk mempertahankan PRT tidak juga membuahkan hasil yang baik pada perubahan sikap PRT, melainkan ibu Nuken harus memendam rasa benci dan kecewa dengan kehadiran PRT dalam rumah tangganya. pernah PRT ngomong sama aku gini, gimana PD (nama anak pertama), kata aku Paid nangis gini.. gini..’oooh baru tau kan kalau anak ibu kayak gitu’, aku langsung kepikiran kok kayak gini ya sama aku, tapi karena aku orangnya nggak mau masukin ke hati, ya udahlah..dia (PRT) selalu ngomong kayak gitu sama saya, katanya, ‘biarin aja supaya tau rasa’.. saya rasa sakit hati cuma ya itu lagi karena aku butuh ya sudahlah.. hatiku itu sakit, nggak terima, merasa kesal dan pengen rasanya aku bunuh PRT saya. Aku berusaha nahan demi anak-anakku, saya tidak pernah memecat PRT karena hal itu tidak terlihat baik... Untuk mengatasi perselisihan ini, ia melibatkan suami untuk berdialog dengan PRT dan berupaya mencari solusi dan pemecahannya. Hasil diskusi sebagaimana disampaikan ibu Nuken, PRT meminta agar gajinya segera dinaikan. Akhirnya ia dan suami sepakat untuk menuruti keinginan PRT dan menaikan gaji sesuai dengan permintaan PRT, yakni dari Rp 600.000 menjadi Rp 700.000, tidak termasuk uang makan. Namun, berselang beberapa minggu, sang PRT kembali meminta gajinya dinaikan menjadi Rp 1.000.000. Hal ini menimbulkan kekesalan dalam diri ibu Nuken, karena menurutnya jasa yang diberikan oleh PRT tidak sepadan dengan tuntutan permintaanya, “Saya mau kasi berapapun yang dia minta asal rumah rapi, beres, anak terurus aku brani ngasi segitu. Tapi kenyataanya saya pulang kerja rumah masih berantakan dan anak saya tidak di urus.. siapa sih yang rela ngasi segitu..”. Akibat tidak terpenuhi permintaannya, sang PRT kembali melakukan kekerasan pada anak hingga akhirnya ia (PRT) dengan sendirinya memutuskan berhenti bekerja. Pengalaman yang dialami Ibu Nuken dalam berelasi dengan PRT tersebut sangat membekas dan membuatnya sakit hati. Ia mengaku sering timbul pemikiran yang buruk untuk mengakhiri hidup sang PRT itu karena
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
84
tidak tahan melihat anaknya terus dianiaya oleh sang PRT. Kejadian sebagaimana yang dialami oleh ibu Nuken juga sering diberitakan di media masa, misalnya, PRT membawa lari anak majikan dan mengintimidasi sang majikan. Hal ini menunjukkan bahwa perselisihan antara pekerja dan pemberi kerja bukanlah temuan baru melainkan praktek yang sudah sering kali kita dengar melalui berbagai pemberitaan media masa, media cetak, media online. Persoalan yang dialami ibu Nuken merupakan contoh kasus kekerasan yang dilakukan PRT terhadap majikan, dan tentunya hal ini tidak hanya terjadi antar PRT pada majikan juga sebaliknya dari majikan terhadap PRT. Namun, upaya penyelesaian perselisihan yang demikian belum ada karena belum ada acuan hukum yang jelas mengatur tentang hubungan kerja PRT dan PJPRT di Indonesia, sehingga alternatif yang ditempuh yakni melalui jalan mediasi dan rekonsiliasi sebagai upaya pendamaian bagi kedua belah pihak.
5.3.2.2 Kelalaian Dalam Menjalankan Tugas Ibu Tien juga menceritakan memiliki pengalaman yang kurang baik dengan sang PRT, terlebih PRT yang masih berusia muda dan belum menikah. Ia mengatakan bahwa PRT dengan kategori usia muda tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik serta cenderung melakukan hal-hal yang tidak diinginkan oleh majikan, misalnya suka menelfon, dandan, dan memiliki berbagai tuntutan selama menjalankan perannya. Pengalaman dengan PRT yang demikian mengakibatkan trauma pada keluarga ibu Tien sehingga suami memutuskan untuk tidak mempekerjakan PRT penuh waktu dan tinggal bersama majikannya. Menurutnya kehadiran PRT dalam rumah tangganya dapat merusak perkembangan anak-anak saat melihat kelakuan dan sikap sang PRT yang kurang baik. Dengan demikian ibu Tien akhirnya memutuskan memilih mempekerjakan PRT yang berusia di atas 40 tahun dan tidak bekerja penuh waktu di rumahnya. Berikut kutipan hasil wawancara dengan ibu Tien: Pembantu saya tuh ngasuh sambil telfon-telfonan, terus lebih banyak ke dandan lah gitu..pembantu yang usianya di bawah 40 tahun gitu apalagi yang belum nikah, anak nggak tertangani dengan baik. Pernah PRT itu yang doyan dandan terus, tawar menawarnya lebih banyak, jadi dia minta uang harian lah.. awalnya saya menerima aja dulu
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
85
karena kepikiran untuk anak ya tapi kondisinya nggak lama, hanya satu bulan saya keluarkan pembantu itu karena saya nggak tahan dengan kelakuannya. Misalnya hari minggu betul-betul keluar gitu, dia bilang bu saya libur ya.. saya mau maen.. dan itu full satu hari gitu dan memang waktu itu pembantu yang ini tinggal sama kita di sini dan saya cuma bertahan satu bulan, mulai dari pengalaman ini suami sampai sekarang nggak mau ada pembantu yang ada di rumah…akhirnya kami memilih pembantu yang usianya di atas 40 tahun, terus tetangga karena kita sudah kenal baik gitu terus supaya rumahnya dekat dia bisa pulang pergi.. PRT udah kerja 5 tahun lebih. (wawancara, Tien 9 Maret 2013) Pengalaman yang sama juga dialami oleh ibu Ita pada PRT yang pernah bekerja dengannya. Awalnya, ia mempekerjakan PRT yang berusia muda tetapi PRT tidak dapat menangani pekerjaan rumah dengan baik karena kebiasaan PRT bekerja sambil menelpon. Sejak saat itu, ia memilih mempekerjakan PRT yang matang secara usia sehingga tugas-tugas yang diberikan dapat dikerjakan dengan baik dan bertanggung jawab. PRT pertama ABG kan, dia sering nelpon mulu sambil nyuci piring sambil ini sambil nelpon kayak gitu sih. Tapi ya udah yang penting kerjaan beres, waktu itu anak-anak masih kecil. Ntar kalau udah sore, anakku buru-buru dimandiin, ntar kalau udah mandi kan dia ajak keluar sekalian dia main sama temen-temenya. (wawancara, Ita 8 Maret 2013). Aspek usia menjadi satu persoalan tersendiri bagi kedua subjek yakni ibu Tien dan ibu Ita ketika mempekerjakan PRT. Pengalaman dengan PRT yang berusia muda (ABG) sifat kekanak-kanakannya masih mendominasi, suka dandan dan suka menelefon dan kurang bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang diberikan. Hal inilah yang menyebabkan kedua subjek cenderung mengeneralisir situasi di mana PRT yang berusia muda bukan tipe PRT yang dikehendaki oleh PJPRT karena alasan-alasan yang disebutkan di atas. Dengan demikian, kedua subjek mengaku pada akhirnya lebih memilih mempekerjakan PRT yang berusia di atas 30 tahun karena dianggap lebih matang, telaten dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Uraian pengalaman ketiga subjek di atas menunjukkan bahwa pola relasi yang kurang baik antara PRT dan PJPRT tidak selamanya berasal dari PJPRT semata sebagaimana lazimnya kita dengar dan kita ketahui. Contoh
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
86
kasus ibu Nuken di atas yang bertahan dengan sikap PRT yang kurang terpuji itu karena tuntutan kebutuhannya akan kehadiran PRT begitu besar. Sama halnya dengan pengalaman ibu Ita dan ibu Tien yang kelihatan sepele tetapi dapat memicu terjadinya konflik antara PJPRT dan PRT dalam hubungan kerja karena perlakuan yang tidak berkenan bagi PJPRT. Menurut saya, UU PPRT itu menjadi semakin penting dan urgen bagi perlindungan hak-hak PRT yang selama ini rentan terhadap diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan selama bekerja. Namun aspek dari pengalaman PJPRT juga perlu diangkat agar terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam hubungan kerja PRT-PJPRT sehingga dapat terjalin hubungan simbiosis mutualisme di antara PRT dan PJPRT.
5.4 Kesimpulan Hubungan Kerja PRT dan PJPRT Relasi antara PJPRT dan PRT tidak hanya terbatas pada aspek produtif tetapi juga reproduktif. Penelitian ini membuktikan bahwa intensitas keterlibatan ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah itu merupakan pendorong PRT untuk melakukan berbagai fungsi subtitusi yang seharusnya dikerjakan oleh sang ibu yang bekerja tadi. Fungsi substitusi ini tidak hanya terbatas pada menyuci piring atau menyeterika pakaian majikan, tetapi lebih dari itu, PRT juga melakukan fungsi caring, menemani, menjaga dan member makan kepada anakanak majikan. Penelitian ini telah membuktikan bahwa kehadiran PRT dalam mensubtitusi kegiatan rumah tangga hampir terlihat pada semua aspek kegiatan rumah tangga, mulai dari lingkup memasak, membersihkan, mencuci dan pengasuhan anak. Dari berbagai fungsi substitusi itu, 58% subjek mengemukakan memprioritaskan PRT pada pengasuhan anak karena PRT dianggap bisa mensubtitusi peran ibu agar anak-anak majikan tidak kehilangan sosok seorang ibu di rumah tangga tersebut. Angka ini cukup signifikan dan karenanya para PJPRT cenderung memilih PRT yang berjenis kelamin perempuan dan matang secara kepribadian. Disamping fungsi pengasuhan anak, 42% rumah tangga yang diwawancarai mempekerjakan PRT untuk kegiatan mencuci dan menyetrika karena kedua jenis kegiatan tersebut dianggap paling berat dan membosankan dan sebaiknya dikerjakan oleh PRT. Namun, dalam hubungan kerja antara PRT dan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
87
PJPRT cenderung terjadi konfik yang merugikan, tetapi upaya penyelesaian konflik tersebut belum tersedia. Oleh karena itu, pentingnya pemerintah menimbang suatu mekanisme perlindungan bagi jenis pekerjaan ini sehingga hubungan yang terjalin dapat berlangsung dengan baik dan memuaskan semua kalangan masyarakat, baik PRT maupun PJPRT.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
BAB 6 KONTRIBUSI PEKERJA RUMAH TANGGA DALAM KELUARGA IBU BEKERJA
Seringkali orang menganggap bahwa kontribusi yang bernilai ekonomi (moneter) adalah hal yang penting dan diprioritaskan, sedangkan bentuk kontribusi yang tidak bernilai ekonomi (non-moneter) dianggap kurang atau bahkan tidak penting. Sama halnya dengan urusan domestik, pekerjaan yang dilakukan seperti memasak, mencuci, mengasuh anak dan semua yang berurusan dengan ranah domestik dianggap sebagai suatu pekerjaan yang tidak bernilai ekonomi. Bab ini secara khusus menganalisis kontribusi yang disumbangkan oleh PRT bagi keluarga pengguna jasa PRT dari aspek moneter dan non-moneter yang meliputi beberapa tahapan yakni; Pertama, pengalaman kerepotan membagi kerja publik dan domestik dalam keluarga ibu bekerja; Kedua, penghayatan perempuan terhadap kehadiran PRT; Ketiga, kontribusi moneter dan non moneter kehadiran PRT dalam rumah tangga PJPRT.
6.1 Resiko Tanpa Pekerja Rumah Tangga Dalam Keluarga Ibu Bekerja Ibu Nuken dalam wawancara mengakui bahwa ketika perempuan mulai memasuki ranah publik, bekerja dan membantu perekonomian rumah tangga, tidak serta merta meringankan bebannya sebagai istri dan ibu di dalam rumah tangga. Baginya, dengan bekerja perempuan justru dihadapkan pada tiga hal secara bersamaan, yakni beban kerja yang diperoleh dari tempat kerja, beban kerja melalui pengasuhan anak dan beban kerja penyelesaian tugas-tugas domestiknya. Berikut cuplikan wawancara dengan ibu Nuken: Jika tidak ada PRT bukan sekedar cape lagi tapi kita ngerjain 3 pekerjaan sekaligus.. Udah kerja di kantor, ngurus anak, terus urus rumah jadi benar kelelahan gitu… Tapi aku lebih stress pada kerjaan kantor dibanding kerjaan rumah… Memang kita menjadi kurang fokus jadinya, pengalamanku aku suka kepikiran misalkan selama ini kalau nggak ada PRT aku titip ama neneknya, pasti aku percaya anakku pasti keurus ya udah jadi aku nggak terlalu memikirkan itu, cuma aku selalu berpikir sampai kapan sih aku nggak dapat PRT gitu, jadi aku tetap usaha gitu nyari-nyari PRT supaya nggak terlalu membebani mertua gitu.. (wawancara, Nuken 9 Maret 2013)
88 Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
89
Beban majemuk yang dialami oleh ibu Nuken juga dirasakan oleh subjek lainnya, yakni ibu Nur dan ibu Tien yang berprofesi sebagai guru. Keduanya mengakui memiliki waktu yang cukup fleksibel sehingga mereka tidak mengalami kerepotan membagi kerja publik dan domestik. Namun, ketika tuntutan profesi semakin meningkat dan tugas-tugas tambahan dari sekolah menyebabkan kedua subjek terpaksa membutuhkan waktu tambahan untuk menyelesaikan tugastugasnya, sehingga tugas rumah tangga kurang tertangani dengan baik maka dibutuhkan suatu strategi untuk mengatasi beban majemuk yang dialami. Berikut cuplikan wawancara dengan kedua subjek: Kalau pekerjaan rumah nggak pernah ya, tapi kalau ada pekerjaan dari sekolah itu biasanya saya kerja sampai malem, paling sampai jam 12 atau jam 1 lah (baru tidur).. itu kalau mepet bangat. Tapi kalau pekerjaan rumah tangga nggak sampai segitunya sih, semua tergantung kitanya… sampai saat ini saya masih tetap bisa handle, namanya persoalan itu pasti ada dalam suatu rumah tangga tapi masih bisa diatasi lah gitu… saya selalu bersyukur, semua dijalani dengan enjoy aja nggak terlalu di bikin stress.. jalani aja. Kadang kalau memang udah nggak bisa yah udah stop gitu. Kayak kalau kerja ya, itu kalau masih bisa saya handle, ya saya lakuin itu di rumah dan di tempat kerja, tapi kalau saya sudah merasa lelah dan cape yah udah saya berhenti cari kegiatan lain. (wawancara, Nur 8 Maret 2013) Paparan yang sama juga diungkapkan oleh ibu Tien: Ada.. ada..banyak seperti itu sebetulnya hanya satu persoalannya karena ada tambahan kerja dari sekolah, kadang pekerjaan rumah tidak tertangani tapi kalau nggak ada kerja tambahan maka kerjaan rumah bisa tertangani semuanya.. sebenarnya, semuanya ini tergantung kitanya sendiri menjalankannya seperti apa, kalau kita menggerutu sambil ngomel ya cape... kadang memang perasaan stress karena beban kerja rumah tangga itu pasti ada jadi kalau saya cara menghandlenya mendingan nggak usah dikerjakan dulu nanti kalau saya sudah iklas baru saya kerjakan. Sebenarnya itu protes dari saya jadi saya biarin aja dulu pekerjaan tersebut mau numpuk mau berantakan saya biarin aja dulu. Kalau suami saya lihat udah begitu dia udah paham dan dia nggak bakalan negor gitu, dia biarin aja toh nanti juga dikerjain sendiri lagi gitu.. Dia (suami) sudah paham betul kondisi saya dan dia juga orangnya nggak banyak menuntut sih… (wawancara, Tien 9 Maret 2013) Berbeda dengan ketiga subjek di atas, ibu Ita justru mengakui bahwa urusan domestik kurang menjadi perhatiannya, semua akan dia kerjakan sendiri saat ada waktu luang. Namun, ketika waktu yang dia miliki tersita habis di luar rumah, maka alternatif yang ditempuh yakni menggunakan tenaga jasa bayaran
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
90
yang tentunya akan berdampak pada peningkatan pengeluaran rumah tangga. Berikut cuplikan wawancaranya: Kalau saya tidak telalu memikirkan pekerjaan-pekerjaan domestik sih ya.. persoalan ngepel itu kan persoalan yang dikerjakan selesai gitu maksud saya. Kalau nyuci misalnya kita mau nyuci ya nyuci, kalau nggak ya bawa ke laundry gitu pernah sih kita seringkali kan enak cuma masukin aja ke mesin cuci terus bilas-bilas tapi nanti nyetrikanya kan yang repot.. ya itu paling kita ngeliat aja tapi terus kalau diliatin aja kan nggak selesai-selesai nih, ya udah.. masa mau dilihatin aja, yakinlah selesai. (wawancara, Ita 8 Maret 2013) Pekerjaan rumah tangga sebagaimana diuraikan panjang lebar pada bab sebelumnya seringkali dikaitkan dengan tugas dan tanggung jawab perempuan semata. Kondisi ini kemudian dilanggengkan atas nama tradisi dan kodrat, yang menempatkan perempuan dianggap sewajarnya bertanggung jawab dalam ranah domestik. Meskipun dewasa ini keterlibatan perempuan dalam ranah publik sangat signifikan, artinya pasar tenaga kerja yang ada saat ini memberi peluang dan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk mengakses. Namun, keterlibatan perempuan dalam pasar tenaga kerja membawa ketidakadilan bagi kaum perempuan dalam lingkup kerjanya. Sejalan dengan ungkapan para subjek di atas, perempuan yang bekerja cenderung mengalami beban majemuk yakni sebagai wanita karir, sebagai pengasuh anak dan sebagai pekerja rumah tangga. Kecenderungan bagi perempuan untuk memilih pekerjaan yang fleksibel baik secara waktu atau tenaga tampak dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan agar tugas domestiknya tetap tertangani dengan baik. Sebagaimana diungkapkan oleh kedua subjek di atas, yakni ibu Nur dan ibu Tien, yang sengaja memilih profesi sebagai guru karena profesi ini dianggap cukup fleksibel agar tanggung jawabnya pada keluarga tetap dapat dijalankan dengan baik. Meskipun demikian, beban majemuk di atas pundak perempuan sebagai istri dan ibu tidak dapat dihindari, rasa cape, lelah, stress dan kurang bahagia sering menghantui mereka. Di sini peran anggota keluarga lainnya (suami dan anak) tampak tidak turut berkontribusi meringankan beban kerja perempuan dalam rumah tangga (lihat pada lampiran 6). Saya sependapat dengan Millet bahwa hubungan laki-laki dan perempuan melalui konstruksi budaya patriarki terlalu membesarkan aspek biologis dengan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
91
menempatkan laki-laki pada maskulinitas yang dominan, sementara perempuan pada femininitas yang tersubordinasi. Akibatnya, ketika perempuan memasuki wilayah publik sebagai pekerja produktif, wilayah domestik tetap dibebankan sepenuhnya pada kaum perempuan sehingga perempuan mengalami beban majemuk melalui peran produktif dan reproduktif. Akumulasi dari ketidakbahagiaan perempuan sebagaimana yang dialami oleh para subjek dalam penelitian ini akan berdampak pada menurunnya tingkat produktivitas,
yakni
kurang
konsentrasi,
kurang
bersemangat,
sehingga
melemahkan kedudukan perempuan dalam pasar tenaga kerja dibandingkan dengan patnernya yakni kaum laki-laki. Di sini dapat dilihat bahwa, peluang /opportunity cost bagi perempuan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik menjadi hilang karena kecenderungan perempuan yang sudah menikah akan memprioritaskan keluarga daripada kerja di luar rumah yang menghasilkan uang atau disebut “produktif”. Jalan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan beban majemuk yang dialami oleh perempuan, ada yang memilih berhenti dari pekerjaannya dan memfokuskan perhatiannya pada keluarga (menjadi murni ibu rumah tangga) atau mempekerjakan PRT untuk mensubtitusi peran sang ibu selama ia berada di luar rumah. Dengan demikian, kondisi di mana suami-istri bekerja mendukung lahirnya tenaga jasa PRT untuk mensubtitusi pekerjaan IRT sehingga mereka dapat dengan leluasa bekerja di luar rumah.
6.2 Penghayatan Perempuan Terhadap Kehadiran PRT Ibu Tien dalam wawancara mengatakan bahwa keberadaan PRT menjadi sangat penting ketika waktu yang digunakan oleh IRT lebih banyak di luar rumah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pekerja sehingga waktu untuk rumah tangga menjadi langka. Keberadaan PRT baginya tidak hanya sekedar membantu tetapi menggantikan posisi IRT di rumah. Berikut cuplikan wawancara dengan ibu Tien: Ketergantungan saya sama PRT saat ini untuk cuci gosok saja kan, kalau memang kondisinya saya ada di rumah maka saya nggak butuh pembantu, saya bisa handle sendiri semuanya. Tapi karena sebagian waktu saya kerja, mau nggak mau, harus ada yang menggantikan poisisi saya yang harus mengerjakan itu.. Mau nggak mau pembantu yang harus ngerjain. (wawancara, Tien 9 Maret 2013)
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
92
Sejalan dengan ibu Tien, ibu Nuken juga mengatakan kehadiran PRT sangat penting, lebih dari pada sekedar membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga semata tetapi peranan PRT baginya merupakan pengganti sang ibu di rumah yang merawat, mengasuh, mengurus dan mendidik anak-anak ketika waktu terasa kurang untuk memberi perhatian pada kelaurga dan anak di rumah. Berikut ungkapan ibu Nuken terkait kehadiran PRT: Bagi aku PRT sangat penting karena dia menjadi ibu bagi anak saya selama saya nggak ada.. itu aja, karena saya memang mengaji dan merekrut PRT dan pengasuh untuk menjaga anak saya karena anak itu penting dan segalanya bagi saya. (wawancara, Nuken 9 Maret 2013) Kelangkaan dan sulitnya memperoleh PRT saat ini cukup membuat resah rumah tangga yang ibu bekerja. Sebagaimana diungkapkan ibu Dinah bahwa mencari PRT untuk bekerja penuh waktu tidaklah mudah diperoleh karena kelangkaan tersebut. Oleh karena itu, dengan keterbatasan pekerjaan PRT yang ada saat ini sedangkan tuntutan kebutuhan terus meningkat maka ia terpaksa mempekerjakan PRT paruh waktu untuk mengatasi kegiatan rumah dan anak selama ia bekerja di luar rumah. Prinsip saya yang penting saya ada yang bantuin.. toh saya harus mengerti kondisi dia. Sekarang cari PRT itu susah bangat…susaaaah sekali, tapi saya nggak pernah berhenti cari PRT, kalau bisa yang bisa nginap karena menjelang melahirkan, tapi susah bangat dapetnya jadi ya udahlah syukuri apa yang ada aja… dengan kondisi seperti saat ini dengan ada anak kecil sangat penting sekali PRT bagi saya (wawancara, Dinah 10 Maret 2013). Penuturan ketiga subjek di atas merupakan fenomena yang kita temui dan hampir sebagian besar rumah tangga-rumah tangga yang ibu bekerja mengalaminya. Beban majemuk antar kerja publik dan domestik menjadikan perempuan teropresi dari lingkup kerjanya. Untuk mengimbangi agar kerja publik dan domestik dapat berjalan dengan baik maka kehadiran PRT menjadi solusi yang ditempuh oleh ibu-ibu rumah tangga untuk mengatasi beban majemuk sehingga terjadi pembagian kerja yang seimbang. Para subjek mengakui bahwa betapa pentingnya kehadiran PRT dalam keluarga yang ibu bekerja, kehadiran PRT membawa ketenangan, kebahagiaan tersendiri bagi IRT yang bekerja. Contohnya, penghayatan ibu Nuken dalam wawancara di atas menuturkan bahwa PRT baginya bukanlah sekedar “pembantu” tetapi “pengganti ibu” di rumah.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
93
Penuturan yang demikian memberi makna bahwa IRT secara sadar mengakui bahwa keberadaan PRT adalah setara dengan IRT yang waktunya lebih banyak tersita di luar rumah sehingga perhatian yang seharusnya dia berikan pada anak dan keluarga tergantikan dengan hadirnya PRT. Di sinilah terjadi pertukaran makna kehadiran PRT bukan sekedar membantu tetapi mensubtitusi peran ibu di rumah tangga sehingga kedudukan PRT adalah sama kedudukannya dengan PJPRT, keduanya saling membutuhkan dan seimbang posisinya. Pertanyaanya, sejauhmana kesadaran masyarakat memberi penghargaan terhadap profesi PRT itu sendiri? Menurut saya penghargaan terhadap PRT oleh masyarakat masih sangat minim sehingga PRT selama menjalani kerjanya di lingkup domestik ini sering mengalami diskriminasi, ketidakadilan dan pangakuan yang bersifat diminuitive pada hasil kerja yang diberikan. Saya sependapat dengan Margaret Benston bahwa pentingnya sosialisasi pekerjaan rumah tangga agar setiap individu memahami betapa pentingnya lingkup domestik dalam kehidupan sehari-hari, semua aktivitas produktif di luar rumah dapat berjalan dengan baik semata-mata karena adanya kontribusi nyata yang diberikan oleh pekerja domestik. Fakta di lapangan saat ini menunjukkan kebutuhan akan PRT terus mengalami peningkatan tetapi kehadiran PRT itu sendiri dirasakan semakin langka. Sebagaimana disampaikan oleh ibu Dinah, “satu realita hari ini, orang yang mau bekerja sebagai PRT makin sedikit, lebih senang berkerja di pabrik”. Menurut saya, kelangkaan jenis pekerjaan PRT sebagaimana diungkapkan ibu Dinah dan ibu rumah tanga lainnya menunjukkan bahwa ketidakadilan yang dialami oleh PRT selama ini menimbulkan penolakan dari kelompok perempuan yang selama ini termarginal dari lingkup kerjanya. Semua orang menginginkan kehidupan yang lebih baik dan diakui hasil kerjanya. Dilihat dari migrasi penduduk dari desa ke kota terus meningkat tetapi preferensinya lebih memilih pekerjaan-pekerjaan yang dianggap lebih baik dan dihargai yakni sebagai TKW, pabrik, restoran dan jenis pekerjaan informal lainya ketimbang menjadi PRT sehingga keberadaan PRT mengalami penurunan. Ditinjau dari perspektif ekonomi, apabila supply tenaga kerja semakin menurun, sedangkan demand terus mengalami peningkatan, maka sudah seharusnya posisi tawar pekerja mengalami peningkatan sehingga terbentuk posisi tawar bagi pekerja ketika berhadapan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
94
dengan sang majikan. Artinya bahwa, kelangkaan PRT yang dialami oleh PJPRT dapat meningkatkan posisi tawar PRT sehingga upaya pemenuhan hak PRT dapat segera terealisasi. Pertanyaannya, apakah hubungan antara PRT dan PJPRT mengalami pergeseran akibat tuntutan demand yang lebih besar berpengaruh pada upaya pemenuhan hak PRT selama menjani kerjanya? Menurut saya, persoalan hubungan PRT dan PJPRT tidak hanya sekedar persoalan ketersediaan lapangan kerja melainkan kompleksitas yang dialami oleh perempuan PRT melalui budaya patriarki yang merendahkan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan sistem kapitalis yang juga merendahkan perempuan dalam pasar tenaga kerja sebagai kelas kedua. Oleh karena itu, perempuan yang umumnya berasal dari kelas bawah, berprofesi sebagai PRT akan terus mengalami opresi apabila eksistensi kedua sistem yakni patriarki dan kapitalisme terus ada dalam kehidupan masyarakat.
6.3 Kontribusi Moneter dan Non Moneter Kehadiran Pekerja Rumah Tangga Dalam Keluarga Ibu Bekerja 6.3.1 Kontribusi Moneter Kata “moneter” dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan uang atau keuangan atau kontribusi yang dapat dipindahkan nilainya ke dalam nilai uang. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kontribusi moneter dalam penelitian ini adalah kontribusi kehadiran PRT dalam rumah tangga PJPRT yang dapat di subtitusi melalui pengeluaran biaya (moneter). Variable-variabel yang diangkat terkait kontribusi moneter kehadiran PRT dalam rumah tangga PJPRT meliputi memasak, membersihkan rumah, menyuci dan menyetrika, pengasuhan anak dan keamanan rumah. Hasil survei yang dilakukan pada 26 responden terkait pengaruh kehadiran PRT dalam rumah tangga PJPRT dari aspek moneter dapat dikemukakan sebagai berikut;
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
95
Dampak Ketiadaan PRT dalam Rumah Tangga PJPRT Ditinjau Dari Aspek Moneter Keamanan rumah 9% Lingkup memasak 31%
Lingkup membersihkan 14%
Lingkup pengasuhan anak 14%
Lingkup menyuci & menyeterika 32%
Gambar 3: Dampak Ketiadaan PRT dalam Rumah Tangga PJPRT Ditinjau Dari Aspek Moneter Sumber: hasil survei peneliti, 2013
Dari paparan hasil analisis diagram di atas menunjukkan bahwa, 32% responden mengaku aspek menyuci dan menyetrika memberikan pengaruh pada peningkatan pengeluaran rumah tangga ketika tidak ada PRT. Selanjutnya, 31% responden mengaku mengalami peningkatan pengeluaran pasa aspek memasak ketika tidak ada PRT. Namun, tiga aspek kegiatan rumah tangga lainnya yakni membersihkan, pengasuhan anak dan keamanan rumah dirasa kurang memberi pengaruh yang signifikan ketika PRT tidak ada. Saya mengakui keterbatasan penelitian ini karena tidak berhasil mengungkapkan berapa besar pendapatan atau biaya yang dikeluarkan oleh PJPRT dengan atau tanpa PRT karena keterbatasan informasi dari pihak responden. Namun saya yakin bahwa sumbangan moneter PRT cukup signifikan bagi PJPRT sebagaimana terpapar dalam kasus-kasus berikut ini. Hampir sebagian besar subjek mengaku mengalami persoalan ketika tidak ada PRT, terutama pada lingkup memasak dan lingkup menyuci tetapi kontribusi moneter secara langsung diakui kurang diperhatikan. Berikut penuturan ibu Nuken bahwa selama ini ia tidak pernah menghitung secara detail terjadi peningkatan atau bahkan penurunan pengeluaran ketika tidak ada PRT. Namun, ia mengakui bahwa ketika tidak ada PRT kemungkinan pengeluaran akan lebih pada lingkup memasak karena diakui ia tidak
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
96
memiliki waktu yang cukup untuk menyediakan makanan bagi anggota keluarganya. Berikut cuplikan wawancara dengan ibu Nuken: Selama ini aku tidak pernah menghitung apakah meningkat atau tidak jadi aku nggak tau. Tapi kayaknya sama aja dan saya nggak pernah mengalami tidak memiliki PRT lebih dari 1 minggu, paling cuma seminggu... tapi kalau lagi nggak ada PRT yang jelas saya nggak bisa masak dan pasti makanan beli diluar itu aja. Kalau untuk menyuci, setrika dan pekerjaan rumah lainnya dikerjakan sendiri, kadang bergantian dengan suami, biasanya dilakukan setelah pulang kerja pada malam hari.. (wawancara, Nuken 9 Maret 2013). Diakui bahwa kehadiran PRT di satu sisi meningkatkan pengeluaran rumah tangga, mulai dari upah bagi PRT, makan dan minum untuk PRT. Namun, di sisi yang lainnya ketika tidak ada PRT, pengeluaran tak terduga menjadi lebih besar dari biasanya, misalnya membeli makan di luar ketika tidak sempat memasak, membayar tukang cuci harian untuk menyuci dan menyetrika ketika tidak ada waktu untuk mengerjakan sendiri. Berikut cuplikan wawancara dengan ibu Nur: Kalau nggak ada pembantu kan sedikit berkurang istilahnya karena kita kan nggak harus mengeluarkan biaya untuk bayar PRT terus buat bayar lain-lain juga kan.. untuk masak sebenarnya pengeluarannya menjadi lebih besar daripada kita masak sendiri, kalau makan di luar kan lebih mahal jadi pengeluaran pasti lebih besar.. kalau libur dan masih bisa saya kerjain sendiri ya saya kerjain sendiri… kalau cuci dan setrika iya biasanya kalau nggak keburu ya kadang-kadang tapi kalau memang sudah numpuk dan saya juga males saya panggil tukang cuci harian. Biasanya tergatung banyaknya cucian, kita kirakira aja kalau segini bayarannya segini nggak per kilo kayak di laundry.. itu masuk dalam pengeluaran tak terduga.. pengeluaran tak terduga meningkat sih otomatis. (wawancara, Nur 8 Maret 2013) Sama halnya dengan ibu Nur, ketiga subjek lainnya yakni ibu Ita, ibu Tien dan ibu Laela juga menghadapi persoalan yang sama ketika tidak ada PRT. Pengeluaran untuk gaji bulanan PRT memang tidak ada, tetapi pengeluaran tak terduga meningkat untuk mengatasi kegiatan rumah tangga yang tidak sempat tertangani oleh mereka, misalnya untuk membayar laundry. Sesungguhnya, persoalan yang dirasakan oleh ibu-ibu dalam rumah tangga bukan persoalan keuangan semata melainkan sebagai ibu rumah tangga pasti mengalami kerepotan dengan urusan domestiknya ketika tidak
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
97
ada PRT. Demikian penuturan ibu Ita terkait kontribusi kehadiran PRT dalam rumah tangganya. “Kalau pengeluarannya meningkat sih nggak terlalu juga sih, sama aja kayaknya. Cuma di kitanya lebih repot aja karena misalnya nggak ada pembantu gaji bulanan dia untuk kita bayarkan buat nyuci laundry gitu kan. Paling di kitanya aja gitu yang suka kebebanan, suka jadi repot, jadi nyuci, ngepel, beres-beres gitu”. Berbeda dengan subjek yang lainnya, ibu Dinah mengatakan bahwa kehadiran PRT sangat membantu perekonomian rumah tangga keluarga PJPRT, apabila tidak ada PRT, ibu-ibu akan mengalami kerepotan dan terjadi peningkatan pengeluaran ekonomi rumah tangga, terlebih pada lingkup menyuci dan membersihkan rumah. Malah lebih boros kayanya kalau nggak ada PRT… baju di laundry, terus nyari orang harian buat bisa ngerjain kerjaan rumah… yang saya alami, misalnya capek kan, suami saya capek, saya juga capek, sebenrnya sih saya kadang gak capek… Tapi suami saya suka khawatir aja takut saya capek, jadi mending kita cari orang aja, jadi perhari kan tuh Jadi malah lebih boros yah.. itu pengalaman yang kita rasain sendiri.. Iyaa ini sesuai pengalaman aja,Kalau soal masak kita ga selalu karena kita fleksibel… Kalau anak saya lagi rewel, ga sempet masak, yaudah beli jadi aja, kalau sempet masak ya masak.. (wawancara, Dinah 10 Maret 2013) Hasil wawancara mendalam yang dilakukan pada keenam subjek di atas mendukung tampilan diagram di atas bahwa kedua lingkup yakni lingkup menyuci-menyetrika dan lingkup memasak merupakan masalah yang umumnya dihadapi oleh ibu-ibu rumah tangga ketika tidak ada PRT. Hal ini dikarenakan kedua jenis pekerjaan tersebut membutuhkan waktu dan tenaga untuk mengerjakannya. Sementara waktu dan tenaga yang dimiliki lebih banyak di luar rumah dengan berabagi aktivitas yang dimiliki, maka kedua kegiatan ini tidak dapat ditangani sendiri oleh ibu-ibu rumah tangga yang bekerja. Selain lingkup memasak dan lingkup menyuci, lingkup pengasuhan anak juga memang menjadi persoalan tersendiri bagi ibu-ibu rumah tangga yang bekerja. Namun kondisi TPA (tempat penitipan anak) yang mudah terjangkau dan murah belum tersedia sehingga alternatif yang dipilih oleh para subjek yakni lebih mempercayakan pengasuhan anak pada orang tua atau mertua selama mereka bekerja. Selanjutnya lingkup kebersihan rumah
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
98
menurut pengakuan para subjek tidak terlalu berpengaruh secara signifikan karena lingkup kebersihan biasanya dikerjakan sendiri oleh PJPRT pada malam hari setelah pulang kerja, sedangkan lingkup keamanan rumah juga tidak menjadi prioritas karena umumnya subjek yang saya temui bertempat tinggal di kompleks perumahan. Selanjutnya, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa hubungan ketergantungan antara PJPRT dan PRT memang tidak diragukan lagi, PRT membutuhkan pekerjaan untuk memperoleh pendapatan dan PJPRT membutuhkan PRT untuk mensubtitusi pekerjaan rumah tangga selama ia berada di luar rumah. Jasa yang diberikan oleh PRT, sebagaimana dipaparkan di atas menunjukkan peranan PRT dalam rumah tangga PJPRT hampir terlihat di semua kegiatan rumah tangga, mulai dari lingkup memasak, menyuci, menyetrika, membersihkan rumah, menjaga rumah dan mengasuh anak-anak majikan sehingga para majikan dapat bekerja dengan leluasa di luar
rumah,
berkonsentrasi
untuk
pekerjaannya
dan
meningkatkan
produktivitasnya. Meskipun kontribusi yang diberikan oleh PRT di rasa cukup signifikan bagi perekonomian rumah tangga PJPRT, tetapi pelayanan jasa yang diberikan oleh PRT cenderung dinilai rendah oleh para PJPRT yang tercermin dari upah yang diterima oleh PRT dan ketiadaan pemenuhan hakhak PRT sebagaimana pekerja lainnya. Hubungan kerja PRT dengan PJPRT menurut kaum feminis marxis merupakan suatu hubungan yang subordinatif antara dua orang perempuan yang mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang berbeda, dimana perempuan PRT memiliki kedudukan yang lebih rendah dari pada perempuan PJPRT. Hal ini tentu tidak terlepas dari stereotipe yang melekat pada perempuan yang bertanggungjawab terhadap masalah rumah tangga adalah istri atau ibu rumah tangga sehingga profesi sebagai PRT umumnya didominasi oleh kaum perempuan. Dalam kehidupan moderen sesungguhnya terjadi suatu ketergantungan dari istri atau ibu rumah tangga terhadap keberadaan PRT. Hal ini terutama pada keluarga muda masa kini di wilayah perkotaan, baik dengan alasan ekonomi maupun dengan alasan pribadi lain menginginkan suatu gaya hidup yang menuntut bahwa suami-istri harus
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
99
bekerja (di luar rumah), sehingga
demi memenuhi aspirasi pribadi
perempuan kota untuk bekerja di ruang publik, maka mereka sangat membutuhkan
kehadirian
PRT
untuk
menggantikan
tugas-tugas
kerumahtanggaan yang masih menjadi tanggung jawab istri atau ibu rumah tangga. Jadi dalam hubungan ini terdapat hubungan yang saling ketergantungan dan saling menguntungkan. Oleh karena itu perlu menumbuhkan kesadaran bahwa pekerjaan sebagai PRT perlu diformulasikan secara jelas, perlu adanya pengakuan dan penghargaan atas jenis pekerjaan ini, maka ke depan akan dijumpai suatu keadaan masyarakat yang lebih baik. Secara Moneter, PJPRT sesungguhnya diuntungkan dengan kehadiran PRT dalam lingkup rumah tangganya sehingga memungkinkan munculnya produktivitas kerja dalam masyarakat yang kemudian mendatangkan manfaat ekonomi bagi keluarga PJPRT.
6.3.2 Kontribusi Non Moneter Selain aspek moneter, aspek non moneter juga menjadi fokus dalam penelitian ini. Kontribusi non-moneter merupakan kebalikan dari aspek moneter, yaitu segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan uang atau keuangan sehingga tidak dapat dipindahkan nilainya ke dalam nilai uang. Dengan demikian, yang dimaksud dengan kontribusi non moneter dalam penelitian ini adalah implikasi psikologis dan sosial yang diberikan PRT dalam rumah tangga PJPRT untuk meningkatkan produktivitas PJPRT. Implikasi psikologis dapat berupa kebahagiaan, kepuasan dan ketenangan bagi PJPRT karena peran reproduktif sang majikan disubtitusi oleh PRT, serta implikasi sosial yaitu dengan memberikan keleluasaan bagi PJPRT untuk beraktivitas, bersosialisasi dan meningkatkan produktivitas PJPRT di luar rumah sebagai pekerja produktif. Variable-variabel yang diangkat terkait kontribusi non moneter kehadiran PRT dalam rumah tangga PJPRT meliputi; mengurangi kekhawatiran PJPRT saat meninggalkan rumah, memastikan anak PJPRT tidak terlantar, meningkatkan aktivitas PJPRT di luar rumah, mengurangi kelelahan, mengurangi stress, mengimbangai beban majemuk PJPRT, meningkatkan konsentrasi PJPRT selama bekerja, meningkatkan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
100
partisipasi PJPRT bekerja di luar rumah. Hasil survei yang dilakukan pada 26 responden dapat dikemukakan sebagai berikut; Dampak Ketiadaan PRT Dalam Rumah Tangga PJPRT Ditinjau Dari Aspek Non Kwatir Moneter Pengeluaran Tdk bisa bekerja di luar rumah 12%
meninggalkan rumah 11%
bertambah 9%
Anak terlantar 10%
Sulit berkonsentrasi dlm kerja 8% Repot membagi kerjaan RT Stress 13% 8%
Kelelahan 15%
Berkurangnya waktu beraktivitas 14%
Gambar 4: Dampak Ketiadaan PRT Dalam Rumah Tangga PJPRT Ditinjau Dari Aspek Non Moneter Sumber: hasil survei penelitian
Berbeda dengan grafik pada kontribusi moneter PRT dalam rumah tangga PJPRT yang hanya dirasakan pada lingkup memasak dan lingkup menyuci, justru kontribusi non moneter (sifatnya berupa kepuasan, kebahagiaan, ketenangan) sebagaimana ditampilkan dalam grafik di atas menunjukkan bahwa kehadiran PRT dalam rumah tangga PJPRT dirasakan cukup signifikan. Sebagian besar responden mengaku kehadiran PRT berkontribusi secara signifikan pada aspek keamanan rumah, pengasuhan anak, meningkatkan aktivitas anggota keluarga dengan ibu bekerja, mengurangi kelelahan PJPRT, mengurangi kerepotan membagi kerja produktif dan reproduktif, meningkatkan konsentrasi para majikan selama menjalankan aktivitas di luar rumah karena peran subtitusi PRT dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, PJPRT lebih leluasa bekerja di luar rumah serta pengeluaran secara ekonomi dirasakan meningkat apabila tidak ada PRT. Ibu Ita mengungkapkan bahwa pekerjaan PRT setara dengan ibu rumah tangga karena peranannya menyelesaikan kegiatan rumah tangga mulai pagi hari saat bangun hingga tidur kembali tugasnya menyelesaikan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
101
pekerjaan rumah tangga. Ia mengakui tidak dapat membagi waktu untuk urusan domestik dan urusan publik apabila tidak ada PRT. Hal yang dia rasakan yakni mengalami kerepotan, kelelahan dan rasa cape karena harus mengurus anak dan rumah tangganya sebelum melakukan rutinitasnya sebagai wanita karir. Akibatnya ia harus mengurangi jam kerjanya sehingga bisa memiliki waktu untuk mengurus kedua anaknya agar tidak membebani kedua orang tua maupun mertua. … sebulan tuh belum dapat PRT, ya itu.. lebih cape aja gitu kan karena saya mesti ngantar mereka (anak) titip ke orang tua.. kalau ke luar kota ya ujung-ujungnya orang tua gitu kalau tidak ada berarti aku yang nganterin mereka ke orang tua saya karena memang lebih dekat, tapi kalau misalnya saya keluar kota atau apa, mertua saya sering datang nginap disini gitu.. kalau pengaruhnya cuma ini aja.. lebih mengurangi waktu jam kerja aja. Kalau kita bisa lebih full kerja tapi karena kita mesti menjemput anak jadi kita prepare waktunya lebih lama jadi lebih sedikit di pekerjaan karena memang mesti ngejemput anak (wawancara, Ita 8 Maret 2013). Tiga subjek yakni ibu Nur, ibu Nuken dan ibu Dinah juga sempat mengalami kebingungan dan stress ketika tidak ada PRT karena tidak ada yang dapat diandalkan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga sementara mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya. Berikut kutipan wawancara dengan ibu Nur: ..iya sempat beberapa hari tidak ada PRT waktu itu saya masih cuti jadi masih bisa di handle.. memang stress dan capek pasti ya karena waktu itu sempat bingung ini besok kalau udah masuk ngajar lagi gimana ya.. stress sih, nanti siapa yang jaga nih? Kalau titip ke orang tua takutnya ngerepotin, bingung.. tapi untungnya cepat dapat lagi (PRT)… sempat mikir gitu, terus suami juga nyaranin, ya udah.. di rumah aja, kan masih mampu.. tapi itu sebelum terjadi untung udah dapat lagi PRT pengganti. PRT itu penting karena dia membantu kita ya bersih-bersih gitu yah.. maksudnya pekerjaan rumah ya sangat membantu. (wawancara, Nur 8 Maret 2013) Selanjutnya ibu Tien juga mengatakan ketika tidak ada PRT terpaksa semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan sendiri. Ia juga mengakui saat PRT pergi ia mengalami beban majemuk, kecapean, kelelahan, hingga sakit karena semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan sendiri. Berikut kutipan wawancara bersama ibu Tien:
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
102
Biasanya kalau begitu kerjaan pembantu saya tangguhkan dan saya kerjakan setelah pulang dari sekolah…Betul kerjaan saya menjadi lebih banyak. Biasanya saya pulang sekolah ya masak ya nyuci juga gitu dan yang tidak tertangani ya gosok (setrika) jadi kalau pembantunya ngadat untuk ngegosok (setrika) ya nanti kalau saya libur kayak sekarang gitu ya sedikit-sedikit di cicil gitu. Artinya kalau pekerjaan rumah yang tidak dapat saya talangi di simpan pas hari sabtu-minggu libur baru di kerjakan. Kalau untuk kecapean, kelelahan sampai sakit ya.. (ketawa).. kalau udah biasa nggak deh kita nggak merasa cape dan lelah memang ada tapi nggak terlalu menganggu gitu.. Ya harus iklas.. Itu dari diri kita sendiri.. karena memang itu tugas kita jadi harus diselesaikan.. mau cape, mau berat itu resikonya sudah seperti itu jadi kitanya yang harus iklas dan sabar gitu.. pekerjaanya numpuk ya mau nggak mau.. (wawancara, Tien 9 Maret 2013) Kontribusi PRT sesungguhnya telah menurun ketika anggota keluarga sudah dapat diberikan tanggung jawab pembagian kerja rumah tangga. Akan tetapi, hal ini dirasakan ibu Laela justru menambah beban pikiran, stress karena pembagian peran kegiatan rumah tangga tidak dapat dijalankan dengan baik akibat dari bebarap prioritas anggota keluarganya. Dengan demikian, ia mengaku bahwa kehadiran PRT masih sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang tidak dapat dikerjakan sendiri. Berikut kutipan hasil wawancara: Sebenarnya tanpa PRT pun bisa ya apalagi anak-anak sudah besar gini ya udah pada bisa di handle ya cuma karena pada masih sibuk kuliah terus bagi-bagi kerjaan rumah ntar malah pada ribut karena anak biasanya main andal-andalan ya.. ade udah gosok.. ade udah ngepel.. ntar malah kayak gitu malah bikin saya pusing.. jadi udah deh saya milih tetap pake PRT padahal sebenarnya udah gede-gede begini sebenarnya udah bisa sih melepas tanggung jawab sendiri.. toh ya pakaian ya pakainnya sendiri sebenarnya.. artinya bahwa ketergantungan itu sebenarnya sudah nggak ada saat ini kecuali dulu anak masih kecil.. (wawancara, Laela 10 Maret 2013). Kehidupan moderen dianggap turut menyumbang terbentuknya peluang lapangan kerja bagi semua elemen masyarakat, mulai dari pekerjaan sebagai PRT, buruh, PNS, Akademisi, Dokter, Insiyur, teknik dan lain sebagainya. Jenis kelamin bukan lagi hambatan atau kendala seseorang meraih puncak karir yang lebih tinggi. Sebagai seorang perempuan yang secara kultural dibebankan tanggung jawab domestik di punggungnya tentu
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
103
memiliki berbagai persoalan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi persoalan beban majemuk dengan menghadirkan PRT untuk mensubtitusi pekerjaan perempuan sebagai ibu dan istri di ranah domestik sehingga mereka dapat dengan leluasa beraktivitas di luar rumah. Dalam penelitian ini saya tidak dapat memisahkan kegiatan yang sifatnya produktif dan reproduktif secara terpisah, karena kedua kegiatan tersebut memiliki hubungan sebabakibat yang sulit untuk dipisahkan. Untuk memperoleh gambaran yang lebih baik, saya akan menampilkan hubungan aspek moneter dan non moneter yang dialami oleh keluarga ibu bekerja ketika tidak memiliki PRT dapat disimak dalam tabel di bawah ini, Tabel 4: Kontribusi kehadiran PRT dalam Rumah Tangga Ibu Bekerja Subjek Keluarga ibu Tien
Moneter - Menurunkan pengeluaran biaya tak terduga untuk aspek menyuci dan menyetrika
Keluarga ibu Nur
-
-
Keluarga ibu Dinah
-
-
Menurunkan pengeluaran biaya tak terduga untuk aspek menyuci dan menyetrika Menurunkan pengeluaran biaya tak terduga untuk aspek memasak
Menurunkan pengeluaran biaya tak terduga untuk aspek menyuci dan menyetrika Menurunkan pengeluaran biaya tak terduga untuk aspek memasak
Non Moneter - Mengurangi beban majemuk perempuan dalam rumah tangga - Memberi kebahagiaan bagi PJPRT karena tidak mengalami kelelahan membagi peran domestik dan publik - Menurunkan tendensi PJPRT mengalami sakit akibat kelelahan mengatasi beban majemuk - Memberi ketenangan bagi PJPRT sehingga tidak mengalami stres - Memberi kebahagiaan dan mengurangi kelelahan PJPRT akibat beban majemuk - Memberi ketenangan bagi PJPRT sehingga tidak mengalami kebingungan mengatasi peran domestik, publik dan pengasuhan anak - Memberi keleluasaan bagi ibu rumah tangga untuk beraktivitas di luar rumah sebagai pekerja produktif - Mengurangi kelelahan dan stres akibat beban majemuk - Meningkatkan produktivitas PJPRT di luar rumah - Mengurangi biaya pengeluaran tak terduga - Memberi ketenangan bagi PJPRT khususnya pada
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
104
Subjek
Moneter
Keluarga ibu Ita
-
Menurunkan pengeluaran biaya tak terduga untuk aspek menyuci dan menyetrika
Keluarga ibu Nuken
-
Menurunkan pengeluaran biaya tak terduga untuk aspek memasak
Keluarga ibu laela
Menurunkan pengeluaran biaya tak terduga untuk aspek menyuci dan menyetrika
Non Moneter pengasuahan anak - Memberi ketenangan bagi PJPRT - Mengurangi beban majemuk perempuan dalam rumah tangga - Mengurangi kelelahan membagi peran domestik dan publik - Memberi keleluasaan PJPRT untuk beraktivitas di luar rumah - Memberi ketenangan bagi PJPRT khususnya pada pengasuahan anak - Mengurangi stress pada PJPRT membagi peran domestik dan publik - Mengurangi kelelahan PJPRT mengatasi beban majemuk - Memberi ketenangan bagi PJPRT sehingga tidak mengalami kebingungan mengatasi peran domestik, publik dan pengasuhan anak - Meningkatkan produktifitas PJPRT di luar rumah - Memberi ketenangan bagi PJPRT khususnya pada pengasuahan anak - Memberi ketenangan bagi PJPRT sehingga - Mengurangi beban majemuk perempuan dalam rumah tangga - Mengurangi stress pada PJPRT membagi peran domestik dan publik - Menurunkan tendensi PJPRT mengalami sakit akibat kelelahan mengatasi beban majemuk
Sumber: hasil penelitian lapangan, 2013
Aspek moneter dan non moneter sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Aspek moneter yakni sesuatu yang bernilai ekonomi sedangkan aspek non moneter yakni sesuatu yang tidak secara langsung menghasilkan uang sehingga tidak bernilai ekonomi. Dalam hubungan antara PRT dan PJPRT kedua aspek tersebut tidak dapat dianalisis secara terpisah, melainkan ada suatu hubungan yang erat di
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
105
mana terjadi hubungan sebab akibat antara keduanya. Misalkan, PJPRT dapat memfokuskan diri pada pekerjaanya karena peran domestiknya di subtitusi oleh PRT sehingga PJPRT dengan leluasa bekerja dan meningkatkan produktivitasnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa kerja yang bersifat moneter/produktif dan non moneter/reproduktif, keduanya berperan penting dalam proses kehidupan manusia. Kerja reproduktif juga kerja yang menjaga kelangsungan kerja produktif. Andaikan tidak ada PRT yang bersedia mensubtitusi pekerjaan rumah tangga para majikannya, maka ibu-ibu akan mengalami kerepotan membangi waktunya untuk kerja domestik dan kerja publik, akibatnya banyak perempuan yang memilih bekerja paruh sehingga mereka bisa merawat dan mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. Dalam hal ini Arivia mengemukakan bahwa pekerjaan paruh waktu seringkali rendah bayarannya dibandingkan kerja penuh waktu. Oleh karena itu, apabila perempuan dengan kondisi yang terbatas memilih bekerja paruh waktu dengan bayaran yang rendah akan melemahkan insentifnya untuk berpartisipasi dalam pasar kerja. Hal ini memungkinkan perempuan mengalami perangkap produktivitas sehingga berkontribusi pada pelemahan produktivitasnya. Di sinilah dapat dilihat kehadiran PRT yang mensubtitusi peran domestik ibu-ibu rumah tangga dapat meningkatkan produktivitasnya di ranah publik sehingga mereka dapat bekerja dan meningkatkan pendapatannya. Moser berpendapat bahwa definisi yang umumnya digunakan untuk menjelaskan peran produktif yang hanya mengacu pada perekonomian uang, mengacu pada jenis pekerjaan dan nilai tukar semata, baik di sektor formal dan informal. Hal ini menurutnya terlalu menyederhanakan realitas tanpa melihat kompleksitas yang ada. Aktivitas yang umumnya dilakukan oleh ibu rumah tangga sehari-hari melalui penyediaan makanan, pakaian yang dicuci dan disetrika, ruangan yang bersih, pengasuhan anak dan masih banyak lagi sesungguhnya dapat diukur secara ekonomi dengan mensejejerkan antara aktivitas ibu rumah tangga dengan aktivitas sejenisnya di pasar ekonomi yang lebih produktif. Misalkan saja, memasak yang dikerjakan oleh ibu-ibu dalam rumah dapat dianalogikan dengan rumah makan atau restoran, pengasuhan
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
106
anak dengan tempat penitipan anak, menyuci pakaian bisa dikerjakan oleh laundry dan lain-lain. Namun sayangnya, produktivitas untuk jasa yang sama tetap dilakukan dalam rumah tangga menjadi tidak bernilai secara ekonomi. Jika dihubungkan dengan laki-laki, sering kita jumpai tidak sedikit laki-laki yang menjadi koki terkenal, koki di restoran, pengasuh anak, pelayanan di hotel, dan lain-lain. Namun ketika lingkup memasak berubah lokasinya di dalam rumah, maka peranannyapun ikut berubah menjadi pekerjaan perempuan semata. Hal ini jelas menunjukkan bahwa dikotomi privat dan publik
dalam
kaitannya
dengan
ekonomi
ternyata
sangat
tidak
menguntungkan perempuan khususnya ibu rumah tangga yang menjalankan kegiatan di dalam rumah tangga. Selanjutnya, ketika PRT hadir untuk mensubtitusi pekerjaan rumah tangga ibu-ibu yang bekerja, upah yang diperoleh relatif lebih rendah dibandingkan pekerja lainnya dikarenakan produktivitasnya dianggap rendah. Saya sepakat dengan pandangan Anderson dalam Arivia yang mengatakan nilai ekonomi perempuan yang berkontribusi pada produktifitas yang rendah terjadi karena adanya nilai yang rendah dalam mendefinisikan pekerjaan perempuan. Sehingga jelas mengapa perempuan baik sebagai PRT maupun ibu rumah tangga dianggap memiliki produktivitas yang rendah secara ekonomi dilihat dari output yang dihasilkan. Perendahan terhadap perempuan dalam lingkup kerjanya tidak dapat dilihat dari ruang hampa, tetapi perlu ditarik ulur ke belakang untuk melihat dan memahami mengapa perempuan termarginal dari lingkup kerjanya dalam konsep masyarakat yang kapitalis dan patriarki. Opresi yang dialami perempuan dalam lingkup kerjanya adalah produk dan cermin dari nilai-nilai patriaki yang telah dianut secara historis selanjutnya memperkuat wacana bahwa perempuan hanya terbatas sebagai alat produksi, sedangkan laki-laki sebagai pemilik atau pengguna alat produksi. Implikasinya, ketika perempuan masuk dalam pasar tenaga kerja hanya dianggap sebagai pekerja kelas kedua karena perempuan lebih dibutuhkan di dalam rumah. Fakta saat ini dimana tuntutan kebutuhan yang terus meningkat menunjukkan bahwa pendapatan yang diperoleh laki-laki saja tidaklah selamanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sehingga memaksa perempuan juga turut bekerja di
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
107
ranah publik sebagai tenaga kerja produktif untuk mengimbangi kekurangan ekonomi rumah tangga. Namun, ketika bekerja perempuan justru dihadapkan pada beban majemuk. Oleh karena itu, rumah tangga yang suami-istri bekerja menggantikan peran pekerja domestik pada PRT.
6.3.3 Kontribusi PJPRT Terhadap PRT Selama Bekerja Sebagaimana diungkapkan oleh para PJPRT melalui berbagai wawancara di atas menunjukkan bahwa, kehadiran PRT dalam rumah tangga PJPRT tidak diragukan lagi berkontribusi pada kesejahteraan PJPRT. PRT menawarkan jasa dengan memberikan kenyamana, kebahagiaan dan ketenangan bagi PJPRT sehingga mereka dapat beraktivitas dengan baik di luar rumah dan meningkatkan pendapatannya bagi perekonomian rumah tangganya. Namun, kondisi yang sebaliknya belum dirasakan oleh PRT yang selama ini bekerja dan menawarkan jasanya bagi sang majikan belum memperoleh pemenuhan hak-haknya sebagai pekerja sebagaimana pekerja lainnya terlepas dari upah yang mereka terima. Misalkan saja PRT yang bekerja tanpa ada jaminan sosial ataupun jaminan keselamatan kerja. Selain itu standar upah PRT belum ada sehingga upah yang diterima PRT sangat tergantung pada niat baik PJPRT untuk mengupah. Hal ini terlihat dari pengakuan para responden dalam penelitian ini yang umumnya menilai upah yang layak bagi PRT adalah di bawah Rp 1.000.000 terlepas dari apakah PRT bekerja paruh waktu atau penuh waktu.
11%
8% 81%
Rp < 1 juta Rp 1 Juta Rp > 1 juta
Gambar 5: Upah PRT Oleh PJPRT N=26 Sumber: hasil survei peneliti
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
108
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar subjek dalam penelitian yakni 81% PJPRT mengaku memberi upah bagi PRT kurang dari 1.000.000, 11% PJPRT yang mengaku memberi upah PRT sebesar Rp 1.000.000 dan 8% lainnya mengupah PRT lebih dari Rp 1.000.000. Dengan demikian, penghargaan yang diberikan PJPRT terhadap PRT selama menjalankan tugas dan fungsinya yang mensubtitusi pekerjaan rumah tangga PJPRT umumnya masih berada dibawah Rp 1.000.000. Selanjutnya, dari penuturan para subjek penelitian dalam penelitian ini bahwa upah yang diperoleh PRT selama bekerja umumnya berkisar antara Rp 500.000- Rp 800.000 per bulannya. Selain itu, PRT hanya diberi makan siang karena umumnya rumah tangga PJPRT (83%) mempekerjakan PRT paruh waktu, yakni PRT yang bekerja mulai pagi hari hingga sore hari. Hanya 17% rumah tangga lainnya yang mempekerjakan PRT penuh waktu. Ibu Ita dan ibu Tien mengakui bahwa nominal uang yang diberikan pada PRT apabila diakumulasikan dapat melebihi satu juta rupiah. Hal ini dikarenakan, selama bekerja PRT dibantu dengan biaya-biaya tambahan lainnya di luar gaji pokoknya, misalnya menyumbang dana bagi pendidikan anak PRT, memberikan bonus pada PRT serta menyediakan dana THR menjelang hari raya. Berikut kutipan hasil wawancara dengan kedua responden: Aku sih biasanya ngegaji berapa gitu, kan kebanyakan kisaran 600700an gitu ya, saya bilang sama dia sih gaji dia itu 600 ribu gitu. itu yang kemudian dia bisa berharap pasti dengan angka 600 ribu itu. Tapi sih pada perjalanannya, ya terus gini juga, kalo THR, kita kasih THR hari raya kita kasih. Terus kemarin juga pas ayahnya dapet bonus dari perusahaan di luar THR, dia juga dapet. Terus kalo saya sih secara pribadi karena dia kan janda ya, punya anak tiga, jadi anak dia yang pertama yang sekolah di Cibubur itu jadi tanggungan saya. Saya memang ngomong ke dia, biarin buat anak yang pertama dia jadi tanggungan saya, kalo ada permohonan ada bayaran, ada mesti apa, mesti apa, bilang aja gitu. Tapi itu di luar gaji. (wawancara, Ita 8 Maret 2013) Sejalan dengan ibu Ita, ibu Tien juga mengakui selalu menyediakan bonus mingguan bagi PRT di luar gaji pokok PRT tiap bulan. Namun, bonus tersebut diberikan sesuai dengan hasil kerja PRT sehingga ketika hasil kerjanya kurang memuaskan maka bonus akan dihentikan.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
109
PRT saya gaji perbulan tapi ada juga gaji perminggunya jadi kalau di totalkan semua makanya lebih dari satu juta itu… Saya kan kasih Rp 800 ribu sebulan kan nah yang 200 ribu itu tetap jatahnya dia kan yang kita simpan kan, nanti yang minggu-mingguannya dia di kasi juga, itu tergantung kita sih kalau yang mingguan kalau kita ada uang 30 ribu ya kita kasi kalau ada uang 50 ribu kita kasi.. Jadi memang untuk yang mingguan itu nggak ada patokan khususnya berapa gitu. Jadi kalau lagi kesal sama pembantu karena kerjanya nggak bener ya nggak usah dikasi uang 50 ribu… (wawancara, Tien 9 Maret 2013) Sebagian besar rumah tangga yang ditemui mempekerjakan PRT paruh waktu sehingga kontribusi yang diberikan pada PRT selama menjalankan pekerjaannya berupa gaji pokok dan menyediakan makan siang bagi PRT. Hanya terdapat satu rumah tangga yang mempekerjakan PRT penuh waktu sehingga selain gaji pokok yang diberikan pada PRT juga terdapat santunan-santunan bagi PRT. Untuk memperoleh gambaran kontribusi PJPRT terhadap PRT dapat disimak melalui tabel berikut ini: Tabel 5: Upah dan Non Upah PRT oleh PJPRT No 1
2 3 4
5 6
Subjek Penelitian Keluarga ibu Tien
Kategori PRT
Upah PRT
PRT paruh waktu
-
Keluarga ibu Nur Keluarga ibu Dinah Keluarga ibu Ita
PRT paruh waktu PRT paruh waktu PRT penuh waktu
Keluarga ibu Nuken Keluarga ibu Laela
PRT paruh waktu PRT paruh waktu
Non Upah PRT Makan siang
-
Rp 800.000 Bonus mingguan: Rp 30.000 Rp 600.000
-
Rp 500.000
Makan siang
-
Rp 600.000 THR: Rp 200.000
-
Rp 600.000
Makan tiga kali sehari Membiayai sekolah anak PRT Makan siang
-
Rp 600.000
Makan siang
Makan siang
-
Kehadiran PRT, walaupun terbukti penting dan bahwa vital bagi berbagai rumah tangga moderen saat ini, tidak terlepas dari berbagai ketidakadilan selama bekerja. Berbagai keterbatasan dan kekurangan yang dimiliki secara struktural oleh kaum perempuan yang berprofesi sebagai PRT, memengaruhi kedudukannya dalam masyarakat kapitalis memosisikan PRT perempuan sebagai objek pekerja yang bisa dan mudah dieksploitasi. Pekerja rumah tangga perempuan merupakan kelompok masyarakat yang sangat
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
110
rentan mengalami berbagai ketidakadilan. Kerentanan ini tidak terlepas dari jenis kelaminnya sebagai perempuan, status sosialnya sebagai masyarakat miskin dan lingkup kerjanya yang berada di dalam rumah tangga. PRT adalah pihak yang sangat membutuhkan pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga diupah berapapun dan disuruh mengerjakan apapun ia tidak menolak. Sedangkan majikan adalah pemberi kerja dalam posisi atas yang dapat memperlakukan PRT sesuka hatinya. Jeratan stratifikasi yang demikian perlu dibongkar untuk memberikan peluang bagi PRT memperoleh pengakuan sebagai tenaga kerja yang setara dengan pekerja lainnya. PRT dan PJPRT
memiliki
hubungan
saling
ketergantungan,
di
mana
PRT
membutuhkan majikan sebagai penyedia lapangan kerja dan majikan membutuhkan PRT sebagai penyedia tenaga kerja. Selanjutnya hasil wawancara dengan keenam subjek mengemukakan upah yang diberikan pada PRT hanya berkisar antara Rp 500.000-800.000. Jika dihubungkan dengan pengakuan para subjek penelitian yang mengatakan bahwa kehadiran PRT sangat penting dan telah berkontribusi secara signifikan pada rumah tangga PJPRT dengan memberikan keamanan rumah majikan saat majikan bepergian, pengasuhan anak saat kedua orang tuanya sibuk bekerja, meningkatkan aktivitas anggota keluarga dengan ibu bekerja di luar rumah, mengurangi kelelahan PJPRT, mengurangi kerepotan membagi kerja produktif dan reproduktif, meningkatkan konsentrasi para majikan selama menjalankan aktivitas di luar rumah, semua ini karena adanya peran subtitusi PRT yang mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sehingga PJPRT dengan leluasa bekerja di luar rumah, meningkatkan produktivitasnya di tempat kerja, lebih fokus pada pekerjaanya. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran PRT dalam keluarga PJPRT secara signifikan meningkatkan produktivitas anggota keluarganya baik secara moneter maupun non moneter. Jika demikian maka sudah seharusnya PRT juga berhak memperoleh pemenuhan hak-haknya sebagai pekerja sebagaimana pekerja lainnya. Dengan demikian, hubungan yang terjalin antara PRT dan PJPRT dapat mencapai suatu hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Akan tetapi kenyataanya, perendahan terhadap jenis pekerjaan PRT masih berlangsung
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
111
dan juga terlihat dalam penelitian ini, di mana sebagian besar subjek melihat PRT hanya sebagai “pembantu” bukan “pekerja”. Kota-kota besar seperti Jakarta, memberi peluang yang besar bagi perempuan dari kelas menengah hingga menengah atas meninggalkan ruang domestik untuk berkarir, berbisnis, bahkan tak sedikit yang terjun ke dunia politik, kegiatan mereka banyak berpindah ke ruang publik. Kekosongan di ranah domestik membuka peluang bagi perempuan kelas bawah untuk mengakses dan memperoleh pendapatan melalui jasa yang ditawarkan dengan menggantikan posisi, peran, dan fungsi domestik para majikan. Akan tetapi, berbagai bentuk ketidakadilan yang dialami oleh PRT terus meningkat. Hal ini disebabkan masih minimnya kesadaran masyarakat memberi penghargaan bagi pekerja rumah tangga sebagai pekerja yang produktif dan berkontribusi pada peningkatan produktivitas rumah tangga PJPRT. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kontribusi PRT tidak hanya meringankan beban majemuk para PJPRT di ranah domestik tetapi lebih dari itu kontribusi melalui jasa yang diberikan telah turut meningkatkan produktivitas PJPRT di luar rumah. Jika demikian maka sudah saatnya hak-hak PRT diperhatikan oleh masyarakat hingga negara mengingat kontribusi yang diberikan pada masyarakat hingga negara tidaklah sedikit. Oleh karena itu diperlukan niat baik masyarakat hingga para pengambil kebijakan—umumnya adalah pengguna jasa PRT—untuk segera membahas suatu bentuk perlindungan bagi pekerja rumah tangga di Indonesia yang berasaskan pada perlindungan hak asasi manusia.
6.4 Kesimpulan Kontribusi Moneter dan Non Moneter Secara langsung atau tidak langsung, kehadiran PRT di rumah tangga membawa dampak positif. Penelitian ini menunjukan bahwa baik produktivitas maupun pendapatan para pemakai jasa PRT naik secara signifikan karena kehadiran PRT di rumah tangga tersebut. Walaupun kontribusi PRT dalam keluarga ibu bekerja selain dianggap dapat meringankan beban majemuk perempuan dalam rumah tangga melalui peningkatan produktivitas dan pendapatan keluarga, juga memberi keuntungan lain berupa pengurangan tingkat
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
112
stress, peningkatan kenyamanan dalam keluarga, dan tidak jarang PRT dianggap sebagai “teman” PJPRT. Penelitian ini telah membuktikan pentingnya kehadiran PRT dan kontribusinya secara moneter maupun non-moneter. Akan tetapi, kontribusi PRT itu tidak setara dengan apa yang diterima oleh PRT. Dari berbagai wawancara ditemui bahwa persepsi rendahnya produktivitas PRT di mata PJPRT masih kuat dan karenanya terjadilah berbagai perlakuan yang bersifat eksploitatif, seperti dalam bentuk pengupahan. Sistem pengupahan yang dirasakan oleh PRT tidak menguntungkan itu dapat mengganggu relasi PRT-PJPRT yang tidak jarang berakhir konflik. Dari segi pandang PJPRT, penelitian ini menemukan bahwa upah yang layak bagi PRT adalah di bawah Rp 1 juta karena selain jenis pekerjaan PRT dinilai praktis dan rutin, kontribusi lainnya berupa insentif dan in-kind apabila dinilai dengan uang melebihi upah tersebut. Akan tetapi, dari sudut pandang PRT, yang merasa telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi PJPRT, menganggap sistem pengupahan yang demikian masih belum memenuhi aspirasinya. Penelitian ini menunjukan bahwa agar dapat mempertahankan hubungan simbiotik mutualistik antara PRT dan PJPRT, maka aspek pengupahan dan insentif itu memegang peranan penting dan determinan dalam keserasian dan kenyamanan kehidupan rumah tangga, terutama yang di daerah perkotaan.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
BAB 7 PEMENUHAN HAK PEKERJA RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF PENGGUNA JASA PEKERJA RUMAH TANGGA
Sebagaimana dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa kehadiran PRT dalam keluarga yang ibu bekerja memberi kontribusi baik dari aspek moneter dan non moneter dan berdampak pada perekonomian rumah tangga PJPRT. Akan tetapi, hal sebaliknya tidak diperoleh PRT dalam lingkup kerjanya; PRT cenderung dianggap tidak produktif karena memiliki keterampilan dan pendidikan yang rendah sehingga berdampak pada pengupahan yang rendah, bekerja tanpa sebuah kontrak kerja serta kerap terjadi perselisihan antara PRT dan PJPRT sulit diselesaikan lewat jalur formal. Oleh karena itu, sudah selayaknya PRT memiliki perlindungan yang sama seperti pekerja professional lainnya serta persoalan yang kiranya muncul antara PRT dan PJPRT dapat diselesaikan melalui jalur formal (atau informal) yang menguntungkan kedua belah pihak. Bagian ini saya memulai analisis dengan meninjau berbagai aspek penting dilihat dari status RUU PPRT di Indonesia dan persepsi masyarakat terhadap RUU PPRT di Indonesia; tinjauan ini kemudian dikaitkan dengan pemenuhan hak-hak PRT baik dari perspektif PJPRT maupun stretagi-strategi yang dipakai di Indonesia umumnya.
7.1 Status Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia Upaya pengakuan PRT sebagai “pekerja” yang diusung oleh ILO rupanya mendapat tanggapan yang cukup baik oleh para pejuang hak-hak PRT yang tercermin
dalam
Rumpun
Cut
Nyak
Din,
Yokyakarta.
Upaya
untuk
menterjemahkan hak-hak PRT tersebut kemudian dituangkan dalam suatu draft RUU PRT pada tahun 2004 yang bertepatan dengan pembuatan sebuah Perda PRT di Yokyakarta. Sebelum pengajuan RUU PRT tersebut, berbagai upaya persiapan dilakukan antara lain melalui sebuah riset terkait isu ketidakadilan terhadap PRT yang temuan-temuannya dituangkan dalam sebuah Naskah Akademik (NA) RUU PRT. Naskah ini diajukan bersamaan dengan draft RUU PPRT ke Dewan Perwakilan Rakyak (DPR) periode 2004-2009. Akan tetapi,
113 Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
114
proses pembahasan dan penyelesaian RUU PRT tersebut mengalami stagnasi. Pada tahun 2009 RUU PRT kembali diajukan dan masuk dalam pembahasan Prolegnas 2013 di Komisi IX DPR-RI tetapi belum juga menunjukkan hasil yang memuaskan hingga saat ini. Pasalnya, belum terjadinya konvergensi dalam persepsi para Anggota Dewan mengenai profesi PRT dimana pandangan yang masih dianut ialah bahwa PRT hanya sebagai pekerja yang membantu di rumah tangga-rumah tangga dan karenanya tidak perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan. Meskipun upaya perlindungan dan pemenuhan hak PRT terus mengalami hambatan, upaya dari berbagai elemen masyarakat yang peduli pada isu PRT yang terhimpun dalam JALA PRT (Jaringan Advokasi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) terus melakukan advokasi baik pada tataran eksekutif maupun pada legislative agar RUU PPRT segera dibahas dan disahkan menjadi UndangUndang. Draft alternatif RUU PPRT yang diusung oleh representatif masyarakat sipil merujuk pada asas kepastian hukum, pengayoman, kemanusiaan, kekeluargaan, keadilan dan ksejahteraan yang bertujuan menciptakan rasa aman dan tentram bagi PRT dalam melaksanakan pekerjaan kerumahtanggaan; meningkatkan kesejahteraan PRT dan keluarganya; meningkatkan harkat dan martabat PRT dan keluarganya; meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan keahlian PRT; mewujudkan hubungan kerja yang harmonis, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan; menjamin terpenuhinya hak PRT. Informasi yang saya peroleh saat magang di JALA PRT bulan September tahun 2012 yang lalu menunjukkan bahwa perkembangan legislasi RUU PPRT di DPR periode Agustus–September 2012 cenderung berjalan sangat lambat serta substansi RUU P PRT versi DPR sendiri masih jauh dari standar seting perspektif perlindungan sebagaimana yang dimuat dalam KILO 189 tentang kerja layak PRT. Untuk memperoleh pemahaman terkait perlindungan dan pemenuhan hak PRT, Komisi IX DPR juga melakukan kunjungan kerja studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina. Kunjungan kerja pada kedua negara ini dengan pertimbangan bahwa Afrika Selatan telah memiliki UU PRT sejak tahun 1997 dan Argentina telah menerapkan UU PRT sejak tahun 1956. Informasi terakhir yang
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
115
saya peroleh dari JALA PRT bahwa RUU PPRT di DPR RI telah masuk dalam pembahasan Prolegnas dan kemungkinan akan disahkan pada tahun 2013 ini.
7.2 Pandangan Masyarakat Terhadap RUU PPRT di Indonesia Terkait kontroversi RUU PRT yang ada saat ini, beberapa sumber yang saya temui baik saat magang dan saat wawancara berlangsung, terdapat kecenderungan bias kelas, karena umumnya subjek yang ditemui baik masyarakat maupun pemerintah cenderung merujuk pada perlakuan yang diberikan pada PRT masing-masing tanpa melihat persoalan PRT secara umum. Penolakan demikian juga nampak melalui penuturan salah seorang anggota DPR dari Fraksi PDIP yang mengatakan “…ketika saya mengaplikasikan hari libur untuk PRT saya, mereka malah ngak mau dan kata PRT saya kami senang melakukan pekerjaan kami… hal ini membuat saya yang tadinya setuju dengan adanya RUU PRT sekarang justru mempertanyakan mengingat adanya ikatan moral antara PRT dan majikan…” (rec Februari, GP, 2012). Selain itu, penolakan RUU PPRT itu juga saya dapatkan melalui penuturan salah seorang anggota Mahkamah Konstitusi (MK) ketika kami melakukan kunjungan lapangan ke MK untuk tugas mata kuliah Gender dan Politik. Beliau mengatakan bahwa “… memang isu tentang PRT itu penting tapi tidak harus diundang-undangkan karena sangat spesifik dan sulit diimplementasikan… yang diperlukan adalah perda tentang PRT…” (rec Mei, MF, 2012). Kedua pandangan di atas menunjukan bahwa umumnya para pengambil kebijakan meragukan implementasi RUU PPRT akan berjalan efektif mengingat ruang lingkup dari jenis pekerjaan sebagai PRT yang kompleks dalam masyarakat PJPRT. Selain itu, beberapa buah pikiran yang juga melandasi penolakan terhadap RUU PPRT ini antara lain, pertama, hakekat hubungan majikan dan pekerja rumah tangga di Indonesia yang umumnya masih bersifat kekerabatan. Kedua, upah bagi PRT sebagaimana tercantum dalam UMR akan berdampak pada para majikan yang turut mempekerjakan PRT yang berasal dari golongan kelas menengah bawah. Ketiga, penetapan jam kerja PRT sebagaimana yang tercantum dalam RUU PRT itu akan mengalami hambatan dalam pengimplementasian
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
116
karena tidak adanya mekanisme pemantauan yang spesifik terhadap pelaksanaan RUU PRT tersebut. Terlepas dari penolakan yang terjadi pada kalangan eksekutif di atas, dalam penelitian ini saya juga ingin mengemukakan pandangan para subjek yang saya temui saat wawancara berlangsung terkait kehadiran RUU PPRT. Umumnya mereka sepakat dengan adanya sebuah UU PPRT di Indonesia dengan pertimbangan bahwa relasi PRT dan PJPRT memiliki satu hubungan simbiosis mutualisme, PRT membutuhkan majikan dan sebaliknya majikan juga membutuhkan PRT, dan karenanya perlu diregulasikan. Karena tidak adanya regulasi secara tertulis maka dalam hubungan kerja PRT-PJPRT seringkali terjadi perselisihan yang dapat berujung pada tindakan-tindakan kekerasan. Berikut cuplikan wawancara dengan ibu Dinah: Ooh, kalau saya sih pada praktisnya ya perlu sih..kita bicara kalau undangundang ini kan tentang banyak orang, jadi itu pasti perlu. Karena tidak semua orang sadar akan hal ini, bahkan banyak yang melanggar. Makanya kenapa ada undang-undang PRT ini, karena pasti banyak yang melanggar kan.. pasti ada problem di lapangan. Tidak semua orang mempunyai perspektif seperti saya yang bisa memanusiakan PRT misalnya yang bisa melihat bahwa PRT adalah hubungan yang equal kemudian adalah simbiosis mutualisme. Tidak semua orang bisa berpikir seperti saya…kenyatannya kebanyakan orang berpikir sebaliknya, berpikir PRT adalah seperti “babu”, di suruh-suruh melulu, tanpa melihat jam kerja, tanpa memikirkan dia capek atau engga. (wawancara, Dinah 10 Maret 2013) Sejalan dengan ibu Dinah, ibu Ita juga mengemukakan hal yang sama bahwa PRT butuh suatu perlindungan khusus karena lingkup kerjanya yang berbeda dengan pekerja lainnya termasuk buruh. Menurutnya, kondisi kerja antara buruh dan PRT berbeda, di mana buruh adalah pekerja yang berhadapan dengan benda mati sedangkan PRT lingkupnya berhadapan dengan manusia serta karakteristik lingkup kerjanya yang juga berbeda dengan tempat di mana seorang buruh bekerja. Hubungan kerja antara PRT dan PJPRT mengandung nilai-nilai yang berbeda dengan pekerja lainnya karena PRT dituntut untuk mengedepankan nilai kasih sayang, kesabaran, kepercayaan dan kejujuran yang tidak diperoleh dari jenis pekerja lainnya seperti halnya seorang buruh. Demikian cuplikan wawancara dengan ibu Dinah:
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
117
Perlu digarisbawahi dan harus dibedakan antara undang-undang buruh dengan undang-undang PRT memang harus beda, karena objeknya berbeda. Mungkin kalau para buruh yang mereka hadapin itu kan benda mati, mereka hanya mengejar target kuantitasnya, berarti hari ini mesti merakit berapa. Sedangkan kalau PRT ini kan berhadapan dengan manusia. Nah makanya saya pikir dari dasar kemanusiaan itu harus jadi landasan utama. Artinya pembantu rumah tangga itu punya nilai-nilai kasih sayang, kesabaran, nah itu yang kemudian bisa jadi pertimbangan. Yang terbesar adalah rasa kepercayaan. Kejujuran. Itu yang nggak ada nilainya...kita tinggalkan rumah seisinya, dia yang meng-cover. Itu kan gak sebanding kalo dia digaji misalkan tapi tanggung jawab yang dikasih ke dia. Berbeda dari penuturan bapak GP dan ibu MF di atas yang menganggap RUU PPRT tidak penting karena selama ini hubungan antara PJPRT dan PRT umumnya dianggap berlangsung baik ternyata tidak ditemui pada kelompok masyarakat yang juga menggunakan jasa PRT, seperti ibu Dinah dan ibu Ita. Menurut keduanya bahwa peraturan khusus bagi PRT penting khususnya pada tataran praktis mengingat PRT adalah kelompok masyarakat yang rentan mengalami kekerasan dan direndahkan dalam lingkup kerjanya. Kehadiran UU PPRT dapat membantu meningkatkan harkat dan martabat PRT sebagai pekerja selayaknya pekerja lainnya. Selain itu, hubungan kerja antara PRT dan PJPRT berbeda dengan pekerja pada umumnya karena nilai-nilai yang terjalin mencerminkan hubungan yang dekat dan mengutamakan nilai kemanusiaan melalui pelayanan jasa yang diberikan oleh PRT bagi rumah tangga PJPRT dengan mensubstitusi fungsi-fungsi PJPRT selama para majikan beraktivitas di luar rumah. Dengan demikian keberadaan PRT menjadi sangat signifikan sehingga sudah selayaknya upaya pemenuhan hak PRT dibentuk dan diformulasikan dalam satu peraturan khusus agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam hubungan kerja ini. Menurut saya, berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan terhadap PRT seperti diberitakan oleh berbagai sumber independen itu akan terus berlanjut dan cenderung mengkristal kalau tidak dibarengi oleh keseriusan para pengambil kebijakan di negeri ini untuk mengatasi persoalan mulai dari akarnya. Kurangnya political will dan keseriusan untuk menangani berbagai keluh kesah PRT diduga karena pertama, profesi pekerja rumah tangga masih dianggap/dipersepsikan oleh para perumus kebijakan sebagai suatu jenis pekerjaan yang tak bernilai; kedua,
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
118
PRT
perempuan
selalu
diperlemah
karena
dominansi
mindset
yang
berkarakteristik maskulin; ketiga, karena status ekonomi dan sosial PRT yang umumnya berasal dari kalangan masyarakat miskin memaksa mereka untuk tunduk pada bentuk-bentuk eksploitasi; dan keempat, PRT dianggap sebagai pekerjaan “informal” dan “reproduktif” sehingga tidak perlu adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur perlindungan hak-haknya. Keempat faktor tersebut di atas umumnya masih mendominasi mindset para pengambil kebijakan dan masyarakat sehingga langkah perumusan perlindungan bagi PRT hingga saat ini berjalan lamban.
7.3 Pemenuhan Hak Pekerja Rumah Tangga dari Perspektif Pengguna Jasa PRT Ketika berbicara mengenai hak PRT, umumnya responden merujuk pada upah PRT dan kontribusi lainnya yang diberikan oleh majikan pada PRT selama bekerja. Misalnya, menurut ibu Dinah, standar upah minimun sebagaimana yang diberikan pada kelompok buruh kurang dapat diaplikasikan pada PRT mengingat hubungan kerja yang terjalin antara PRT dan PJPRT tidak terbatas pada upah bulanan semata melainkan terdapat pula kontribusi lainnya yang diberikan oleh PJPRT bagi PRT selama bekerja. Oleh karena itu, pengaturan upah bagi PRT ke dalam RUU PPRT harus fleksibel dengan mempertimbangkan pengeluaran biaya lainnya oleh PJPRT pada PRT selama bekerja. Demikian cuplikan hasil wawancara dengan ibu Dinah: kalau sudah bicara hak PRT…ya tentu terkait dengan honor, terus dapet makan dan apa saja yang di cover si majikan, selain gaji utamanya…saya pikir kalau misalnya standar upah PRT sama dengan UMR misalnya 2,2jt, katakanlah misal PRT nya sudah dapat 1,5jt, berarti kurangnya 700 lagi.. ya dihabiskan untuk harian dia.. ya makan sehari 3x, yaa mandi, sabun dan sebagainya. Karena kalau kita kerja dikantor kan kantor ngga ngecover makan, dan nggak memberikan tempat tinggal. Kalau PRT kan tempat tinggal nya jelas. (wawancara, Dinah 10 Maret 2013) Sama halnya dengan ibu Dinah, Ibu Ita juga mengatakan bahwa standar upah minimum PRT tidak dapat diberlakukan secara kaku sebagaimana pekerja lainnya melainkan perlu menciptakan kondisi yang fleksibel dan bersifat
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
119
negosiable antara PRT dan PJPRT untuk menentukan upah bagi PRT sesuai dengan jenis pekerjaanya. Bicara soal hak, pasti persoalan gaji.. mungkin perhitungan gaji dia jadi lebih fleksible juga kalo dia menginap. Tapi kan ada pembantu rumah tangga yang paruh waktu. Artinya, masuk pagi, pulang sore. Hanya yang mengerjakan rumah tangga yang sudah jadi kesepakatan, menjaga anak atau menyuci, atau segala macem gitu. Artinya, dia memang, yang ditawarkan kan jasa, ngak seperti perawat tapi dia berjasa yang punya tanggung jawab juga.. Saya pikir harus ada satu tawar-menawar yang sesuai kesepakatannya. (wawancara, Ita 8 Maret 2013). Selanjutnya ibu Ita juga menambahkan bahwa perlu ada analisis ekonomi yang mendalam dengan mempertimbangkan kondisi pendapatan majikan dan kelas sosial majikan yang menggunakan jasa PRT sehingga pemenuhan hak bagi PRT tidak menjadi persoalan bagi sang majikan dalam pengupahan. Berikut kutipan hasil wawancara dengan ibu Ita: kasian juga kalo misalkan pembantunya bekerja di majikannya yang kaya raya kemudian dia mesti dibayar dengan UMR yang paling minimal…kalau pegawai negeri tau sendiri gajinya berapa, sekarang kayak saya aja yang gajinya cuma 3jt gitu kan…sekarang gaji PRT 1,5jt, kalo majikan dua-duanya suami-istri PNS itu akan susah gitu. (wawancara, Ita 9 Maret 2013) Persoalan PRT yang ada di Indonesia saat ini erat kaitannya dengan sistem kapitalis bahwa opresi kaum perempuan dalam produk pekerjaanya melalui kelasisme dan cara produksi. Dalam hal ini, hubungan antar majikan dan pekerja merupakan hubungan kelas yang eksploitatif, di mana PJPRT sebagai kelompok yang berdaya secara ekonomi mempekerjakan PRT yang membutuhkan pekerjaan bagi kehidupannya sehingga PRT rela menerima perlakuan apa saja dari majikan asal ia bisa memperoleh upah. Hubungan semacam ini mengakibatkan perempuan yang bekerja sebagai PRT mengalami opresi ganda baik sebagai pekerja maupun sebagai perempuan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Akibatnya persoalan yang dihadapi oleh PRT semakin kompleks, baik dalam berelasi dengan pengguna jasa, lingkup kerja dan tempatnya bekerja, masih menguatnya anggapan pekerja rumah tangga sebagai pekerjaan non-ekonomis sehingga PRT ditempatkan pada posisi yang tidak layak dan jauh dari standard sebagai pekerja—standar sebagai pekerja yang dimaksud mencakup ruang lingkup kerja, jam kerja, upah, cuti dan penyelesaian perselisihan bagi PRT.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
120
7.4 Strategi Pemenuhan Hak-Hak PRT di Indonesia. Sebagaimana dipaparkan di atas, keberadaan PRT sebagai kelompok sosial yang bekerja dalam rumah tangga atau berada dalam wilayah domestik, memiliki posisi yang rentan untuk diabaikan oleh para pengambil kebijakan dan masyarakat pada umumnya dengan alasan stabilitas dan kesejahteraan pengguna jasa dan pelayanan yang tidak perlu diganggu gugat lagi. Untuk menghadapi mindset yang demikian, diperlukan peningkatan perlindungan warga negara yang vulnerable, yang kebetulan juga merupakan konstituensi para politikus untuk mencari suara pada saat-saat menjelang Pemilu. Persepsi dan perlakuan terhadap PRT yang berakar pada aspek historis-kultural ini harus dirubah kalau tujuannya adalah untuk mensejahterakan semua segmen masyarakat terlepas dari status dan peranannya.
Seyogianya
PRT
tidak
lagi
dipandang
sebagai
sosok
pelayan/pembantu/babu, melainkan pekerja yang memberikan jasa dan pelayanan yang sepatutnya dihargai sebagaimana layaknya pekerjaan yang lain. Sebagai pekerja, PRT mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pekerja lainnya. Keterbatasan lapangan kerja di sektor formal dan kemiskinan yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia menyebabkan pekerjaan sebagai PRT membentuk proporsi yang signifikan dalam angkatan kerja nasional. Namun demikian hingga kini, ketiadaaan perlindungan dan pengakuan terhadap keberadaan sektor pekerjaan rumah tangga menyebabkan pekerja rumah tangga berada dalam kondisi yang mudah untuk dijadikan objek eksploitasi dan kekerasan serta menjadikan pekerjaan rumah tangga sebagai salah satu jenis pekerjaan yang paling termarjinalkan. Hukum ketenagakerjaan di Indonesia selama ini belum ada yang secara khusus dan eksplisit mengatur mengenai PRT, termasuk definisi PRT sebagai bagian dari pekerja. Hal ini terlihat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang hanya mengatur masalah ketenagakerjaan yang berkaitan dengan pekerja di sektor formal artinya yang bekerja dalam suatu hubungan kerja berdasarkan adanya perjanjian kerja. Sedangkan sebagian besar PRT bekerja tanpa adanya perjanjian (atau kontrak) kerja, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai pekerja. Ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai PRT juga membawa implikasi lain, yaitu tempat kerja PRT
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
121
yang berpotensi menimbulkan kekerasan. Sampai saat ini masyarakat luas dan aparat hukum masih memandang kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa orang-orang yang berada di dalamnya, tak terkecuali PRT sebagai permasalahan domestik yang tidak perlu diintervensi oleh pihak luar. Hal ini menunjukkan bahwa hukum yang ada dan diterapkan saat ini cenderung diformulasikan oleh laki-laki, untuk kepentingan laki-laki dengan tujuan memperkokoh hubungan sosial yang patriarki sehingga kepentingan perempuan (PRT) semakin termarginalkan. (Cosman dalam Sulistyowati 93). Menurut saya, RUU PRT merupakan satu langkah positif dan strategis bagi bangsa Indonesia dalam menerapkan konsep keadilan dan kesetaraan gender yang menjunjung tinggi nilai Hak Asasi Manusia (HAM) dan mengedepankan kepentingan kaum perempuan sebagai patner kaum laki-laki dalam berbagai bidang di ranah publik maupun domestik. Penolakan terhadap RUU PRT itu adalah manifestasi kuat masih adanya bias gender dan praktek-praktek diskriminatif terhadap segmen masyarakat yang vulnerable melalui dikotomi pembagian kerja formal dan informal yang sulit diselesaikan hanya melalui suatu undang-undang. Jika RUU PRT disahkan sekalipun, itu hanya merupakan sebuah langkah awal manifestasi kehormatan kita pada hak-hak asasi manusia sebab kesulitan lainnya adalah pada proses monitoring implementasi undang-undang itu sendiri, serta implikasi ekonomi, hukum, dan politik lainnya yang bisa muncul apabila undang-undang tersebut tidak diaplikasikan. Dari segi implikasi ekonomi, misalnya, para pengguna jasa dan pelayanan PRT harus berlakukan upah secara khusus bagi PRT yang mungkin bisa melebihi batas kemampuan ekonominya sendiri. Dari segi hukum, sanksi yang dijatuhkan pada pemakai jasa dan pelayanan PRT yang melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan bisa menjadi beban bagi Pemerintah sendiri. Dari aspek politik, isu PRT bisa dieksploitasi untuk kepentingan para politikus dan akan cenderung mengakibatkan negara dalam ancaman instabilitas sosial dan politik. Terlepas dari semua ketakutan ini, RUU PRT menjadi sangat penting, karena akan menjadi dasar hukum bagi perlindungan PRT dalam setiap aspek kegiatannya, mengingat PRT merupakan pihak yang lemah, seringkali mengalami penyimpangan dan kekerasan dalam bekerja. Penelitian ini memeliki keterbatasan dalam arti tidak sampai kepada
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
122
menawarkan sebuah simulasi alternatif kalau RUU PRT itu diaplikasikan di Indonesia. Meskipun terbatas, penelitian ini telah mencoba membuka horizon baru untuk mendorong peneliti-peneliti mendatang untuk bisa menjawab berbagai aspek sosial, ekonomi dan politik yang kompleks menyangkut kehadiran PRT dalam lingkup kerjanya. Para pemakai jasa PRT tentu mampu membayar jerih payah PRT dan sadar bahwa PRT juga adalah seorang warga negara yang memiliki hak-hak asasi sama seperti majikannya. Diferensiasi muncul karena status dan fungsi yang berbeda-beda. Namun, diferensiasi tersebut tidak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak memperhatikan hak-hak asasi yang melekat pada diri PRT tapi diabaikan. Kekuatiran yang paling besar dalam proses mewujudkan hak-hak PRT justru terletak pada para pengambil kebijakan yang masih berpersepsi sempit dan cenderung melemahkan segmen masyarakat yang vulnerable itu. Dari perpspektif pengguna jasa PRT justru menunjukkan adanya kemauan dan keinginan untuk memperbaiki status PRT karena hubungan yang bersifat simbiotik mutualistik yang ada. Oleh karena itu, perlu diupayakan konvergensi persepsi antara para PJPRT dan para pengambil kebijakan agar bentuk regulasi yang nantinya dibuat bisa menguntungkan kedua belah pihak.
7.5 Kesimpulan Pemenuhan Hak PRT dari Perspektif PJPRT Walaupun jelas kontribusi moneter dan non-moneter yang diberikan oleh PRT pada banyak rumah tangga di Ibukota Jakarta, hak-hak PRT tidak selamanya menjadi aspek penting. Persepsi yang diperoleh dari PRT lewat penelitian ini menunjukan adanya indikasi praktek-praktek ketidakadilan dan eksplotasi yang tidak jarang dilakukan oleh pihak PJPRT. Namun demikian, kasus-kasus eksploitasi (yang bersifat fisik, mental, psikologis) tidak sering dijumpai dalam statistik karena sistem pelaporan dan pemantauan yang lemah. Republik Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi dan implementasi konvensi-konvensi tersebut memaksa semua komponen untuk serius dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, terutama orang-orang yang lemah dan tidak bersuara seperti PRT. RUU PPRT adalah upaya yang patut dijunjung tinggi dalam mencari solusi bagi pemenuhan hak-hak PRT termasuk juga PJPRT.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
BAB 8 PENUTUP
8.1 Kesimpulan Dari hasil pembahasan pada bab-bab terdahulu, beberapa kesimpulan dapat di tarik sebagai berikut: Pertama, temuan di lapangan menunjukan bahwa peranan istri terkait kegiatan produktif dan reproduktif umumnya mengalokasikan waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan suami. Hal ini dikarenakan, keterlibataan istri sebagai pekerja produktif di ranah publik tidak dibarengi dengan pembagian kerja yang adil di ranah domestik antara suami istri, sehingga istri seringkali diperhadapkan pada beban majemuk, sebagai pekerja produktif dan reproduktif. Kedua, perempuan juga kurang dapat memenuhi hasrat dan kebutuhannya sendiri sekaligus karena prioritas utama perempuan yang sudah berkeluarga adalah rumah tangga dan anak. Karenanya, aspek produktivitas perempuan masih terbatas dan keterlibatan perempuan di pasar kerja hanya diklasifikasi sebagai pekerja kelas ke dua. Hal ini diperkuat lagi karena masih latennya persepsi masyarakat yang memosisikan perempuan dan fungsinya di ranah domestik. Walaupun demikian, berbagai kesulitan ekonomi yang dihadapi perempuan dalam rumah tangganya, terutama yang di daerah perkotaan, memaksa mereka untuk juga ikut berkecimpun di ranah publik sebagai pekerja produktif. Konsekuensi keterlibatan perempuan di ranah publik justru menambah beban majemuk yang sudah melekat para dirinya di samping fungsi reproduktif dan fungsi caring yang harus sekaligus dipenuhi. Tentu, kesimpulan ini bukanlah suatu temuan baru, tetapi implikasinya ialah pada bagaimana beban majemuk itu bisa diringankan melalui berbagai intervensi, apakah berupa subsidi pemerintah untuk perempuan agar bisa memberi perhatian penuh kepada anak-anaknya yang merupakan investasi dalam human capital. Bagi rumah tangga yang mampu, beban majemuk itu bisa diringankan dengan menggunakan jasa pembantu rumah tangga. Penelitian ini menunjukan adanya korelasi positif antara pendapatan rumah tangga dan penggunaan jasa pembantu rumah tangga (PRT), terutama di kalangan masyarakat menengah atas
123 Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
124
bahkan menengah bawah. Penelitian ini telah membuktikan bahwa demand yang semakin besar atas banyak keluarga yang tinggal di daerah perkotaan bisa dikurangi dengan menghadirkan pembantu/pekerja rumah tangga (PRT). Ketiga, relasi antara PJPRT dan PRT tidak hanya terbatas pada aspek produtif tetapi juga reproduktif. Penelitian ini membuktikan bahwa intensitas keterlibatan ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah itu merupakan pendorong PRT untuk melakukan berbagai fungsi subtitusi yang seharusnya dikerjakan oleh sang ibu yang bekerja tadi. Fungsi substitusi ini tidak hanya terbatas pada menyuci piring atau menyeterika pakaian majikan, tetapi lebih dari itu, PRT juga melakukan fungsi caring, menemani, menjaga dan member makan kepada anak-anak majikan. Penelitian ini telah membuktikan bahwa kehadiran PRT dalam mensubtitusi kegiatan rumah tangga hampir terlihat pada semua aspek kegiatan rumah tangga, mulai dari lingkup memasak, membersihkan, menyuci dan pengasuhan anak. Dari berbagai fungsi substitusi itu, 58% subjek mengemukakan memprioritaskan PRT pada pengasuhan anak karena PRT dianggap bisa mensubstitusi peran ibu agar anak-anak majikan tidak kehilangan sosok seorang ibu di rumah tangga tersebut. Angka ini cukup signifikan dan karenanya para PJPRT cenderung memilih PRT yang berjenis kelamin perempuan dan matang secara kepribadian. Disamping itu fungsi pengasuhan anak, 42% rumah tangga yang diwawancarai mempekerjakan PRT untuk kegiatan menyuci dan menyetrika karena kedua jenis kegiatan tersebut dianggap paling berat dan membosankan dan sebaiknya dikerjakan oleh PRT. Keempat, secara langsung atau tidak langsung, kehadiran PRT di rumah tangga membawa dampak positif. Penelitian ini menunjukan bahwa baik produktivitas maupun pendapatan para pemakai jasa PRT naik secara signifikan karena kehadiran PRT di rumah tangga tersebut. Walaupun kontribusi PRT dalam keluarga ibu bekerja selain dianggap dapat meringankan beban majemuk perempuan dalam rumah tangga melalui peningkatan produktivitas dan pendapatan keluarga, juga memberi keuntungan lain berupa pengurangan tingkat stress, peningkatan kenyamanan dalam keluarga, dan tidak jarang PRT dianggap sebagai “teman” PJPRT. Penelitian ini telah membuktikan pentingnya kehadiran PRT dan kontribusinya secara moneter maupun non-moneter. Akan tetapi,
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
125
kontribusi PRT itu tidak setara dengan apa yang diterima oleh PRT. Dari berbagai wawancara ditemui bahwa persepsi rendahnya produktivitas di mata PJPRT masih kuat dan karenanya terjadilah berbagai perlakuan yang bersifat eksploitatif, seperti dalam bentuk pengupahan. Sistem pengupahan yang dirasakan oleh PRT tidak menguntungkan itu dapat mengganggu relasi PRT-PJPRT yang tidak jarang berakhir konflik bahwa tindakan quasi-kriminal. Dari segi pandang PJPRT, penelitian ini menemukan bahwa upah yang layak bagi PRT adalah di bawah Rp 1 juta karena selain jenis pekerjaan PRT dinilai praktis dan rutin, kontribusi lainnya berupa insentif dan in-kind apabila dinilai dengan uang melebihi upah tersebut. Akan tetapi, dari sudut pandang PRT, yang merasa telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi PJPRT, menganggap sistem pengupahan yang demikian masih belum memenuhi aspirasinya. Penelitian ini menunjukan bahwa agar dapat mempertahankan hubungan simbiotik mutualistik antara PRT dan PJPRT, maka aspek pengupahan dan insentif itu memegang peranan penting dan determinan dalam keserasian dan kenyamanan kehidupan rumah tangga, terutama yang di daerah perkotaan. Kelima, walaupun jelas kontribusi moneter dan non-moneter yang diberikan oleh PRT pada banyak rumah tangga di Ibukota Jakarta, hak-hak PRT tidak selamanya menjadi aspek penting. Persepsi yang diperoleh dari PRT lewat penelitian ini menunjukan adanya indikasi praktek-praktek ketidakadilan dan eksplotasi yang tidak jarang dilakukan oleh pihak PJPRT. Namun demikian, kasus-kasus eksploitasi (yang bersifat fisik, mental, psikologis) tidak sering dijumpai dalam statistik karena sistem pelaporan dan pemantauan yang lemah. Republik Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi dan implementasi konvensi-konvensi tersebut memaksa semua komponen untuk serius dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, terutama orang-orang yang lemah dan tidak bersuara seperti PRT. RUU PPRT adalah upaya yang patut dijunjung tinggi dalam mencari solusi bagi pemenuhan hak-hak PRT termasuk juga PJPRT. Keenam, perlu diungkapkan bahwa fenomena hubungan antar PRT dan PJPRT di Indonesia tidak hanya terbatas pada hubungan kerja semata, tetapi terdapat juga fenomena hubungan lain yang hampir sama, namun dalam bentuk kompensasi yang berbeda secara material, yang dalam budaya Jawa disebut
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
126
Ngenger. Penelitian ini hanya terbatas pada relasi atau hubungan kerja yang terjalin antara PRT dan PJPRT, tetapi dalam perkembangan penelitian ini saya menemukan bahwa hubungan PRT dan PJPRT cukup erat kaitannya dengan aspek kultural sehingga upaya pemenuhan hak PRT hanya dapat terwujud apabila aspek kultural dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penting dikembangkan suatu penelitian lebih lanjut yang secara spesifik menelaah aspek budaya sehingga diharapkan dapat berkontribusi pada terwujudnya perlindungan dan pemenuhan hak PRT yang lebih baik dan menguntungkan kedua belah pihak, PRT dan juga PJPRT.
8.2 Rekomendasi •
Mengingat penelitian ini menunjukan peran PRT yang sangat penting bagi rumah tangga pengguna jasa PRT, sudah seharusnya pengguna jasa PRT menyadari bahwa hal memberi upah kepada PRT bisa dianggap sebuah bentuk investasi dan bukan cost (biaya). Fungsi substitusi yang dilakukan oleh PRT tidaklah mudah dan karenanya profesi PRT perlu disetarakan dengan social worker atau selayaknya profesi yang lain..
•
Peranan
DPR-RI,
khususnya
komisi
IX
yang
menangani
isu
ketenagakerjaan untuk segera mengupayakan suatu perlindungan khusus terhadap para pekerja rumah tangga melalui peraturan perundangundangan yang menjunjung tinggi elemen-elemen penting dari Konvensi Hak Asasi Manusia serta bentuk perlindungan yang didasarkan pada Konvensi ILO 189 tentang kerja layak PRT. •
Penelitian ini tidak menjawab seluruh kompleksitas menyangkut legalitas perlindungan hak-hak PRT. Namun, penelitian ini membuka peluang bagi penelitian selanjutnya, terutama di bidang hak-hak asasi manusia yang berbagai konvensi telah diratifikasi oleh Indonesia, gender, hukum dalam arti aspek sanksi dan reward bagi yang melanggar atau mentaati peraturan yang ada, aspek budaya melalui hubungan kekerabatan yang terjalin dalam hubungan PRT dan PJPRT serta ekonomi untuk mengkaji lebih dalam dan secara holistik kompleksitas realitas sosial yang dialami oleh kelompok masyarakat yang tergolong vulnerable ini dan kontribusi
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
127
riil yang diberikan dalam proses pembangunan perekonomian dan kesejahteraan rumah tangga dan masyarakat Indonesia. •
Penelitian ini juga hendak memberi masukan bagi Pemerintah TimorLeste kelak sehingga dalam penyusunan peraturan ketenagakerjaan dapat juga mempertimbangkan jenis pekerjaan PRT atau umumnya dikenal sebagai “kriadu” agar memperoleh perlindungan terhadap hak-haknya sebagai warga negara yang layak mendapat perlakukan yang baik oleh Pemerintah.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
128
DAFTAR REFERENSI
Amnesty International. Indonesia: Exploitation and abuse: the plight of women domestic workers, 2007. http//www.amnestyusa.org/document/2007. Diunggah pada 10 September 2012, pukul 10.00, oleh Filomena Dias Ancok, Djamaludin. Peranan Pembantu Rumah Tangga Dalam Kesejahteraan. 2004.http:ancok.staff.ugm.ac.id/file/peranan%20pembantu%20rumah %20tangga.pdf. Diunggah pada 22 Desember 2012, pukul 21.00 WIB, oleh Filomena Dias. Arivia, Gadis. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2003 Beneria, Lourdes, Ann Mari May and Diana Strassmann, "Introduction" in Lourdes Beneria, Ann Mari May and Diana Strassmann, eds., Feminist Economics: Volume 1. Cheltenham, UK and Northhampton, MA: Edward Elgar Publishing Limited, 2011. Bern, Peter Lang. Domestic service and the formation of European identity: Understanding the globalization of domestic work, 16th–21st centuries. 2004 ______Fauve-Chamoux, A. (ed.): scientifiques européennes, 2004. Bhasin, Kamla. Menggugat Patriarki. Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan. Yokyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1996. Boserup, Ester. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984 Budiman, Arief. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Seksologi Peranan Wanita Dalam Masyarakat. 1985 Country
Gender Profile Indonesia Final Report. 2010”, http//www.jica.go.jp./english /operations thematics_issue. Diunggah pada 15 Mei 2012, pkl 21.00WIB, oleh Filomena Dias.
http//www.bisnis.com/articles/mudik-lebaran-pembantu-rumah-tangga-layakdapat-thr. Diunggah pada 20 Desember 2012 pkl 17.30 WIB oleh Filomena Dias. Damsar. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Edisi Revisi. Jakarta: Kencana, 2011 Haryanto, Sindung. Sosiologi Ekonomi. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
129
Ihromi, T.O. Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1995. ILO.A. Rapid Assessment of Bonded Labour in Domestic Work and Begging in Pakistan, Working Paper, Collective for Social Science Research, Karachi. Geneva: 2004. ILO-IPEC. Bunga-Bunga di Atas Pedas. Fenomena Pekerja Rumah Tangga Anak di Indonesia. 2004. J. Andall: Gender, migration and domestic service (Aldershot, Ashgate, 2000); ILO: A rapid assessment of bonded labour in domestic work and begging in Pakistan, Working Paper, Collective for Social Science Research, Karachi. Geneva, 2004. Jacobsen, Joyce P. The Economics of Gender. Oxford: Wesleyan University,1994 Jurnal Perempuan. Mengurai Kemiskinan; Dimana Perempuan?. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2005. 42 Jurnal Perempuan. Pekerja Rumah Tangga. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2005. 39. Jurnal Perempuan. Karier dan Rumah Tangga. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2013. 76 Lapian, Gandhi L.M. Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012 Lewis, A. W. Economic development with unlimited supplies of labour. Manchester School of Economic and Social Studies, 22 (2), 1954. Meer, F. (Ed.). Poverty in the 1990s: The response of urban women. Paris: UNESCO, 1994 Milasari, Aida. “Penting Namun Terabaikan: Potret Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Indonesia,” Lihat: Jurnal Perempuan No. 39: Pekerja Rumah Tangga. 2005. Mulyanto, Dede. Antropologi Marx: Karl Marx Tentang Masyarakat dan Kebudayaan. Bandung: Ultimus, 2011. Moghadam, V. M. Women, Work and Economic Reform in the Middle East and North Africa. Boulder, CO: Lynne Rienner. 1998. Mosse, Julia C. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: pustaka Pelajar, 1996.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013
130
Moser, Caroline. Gender Planning and Development: Therory, Practice and Training. London and New York: Routledge, 1993. Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: LPSP3 UI, 2011. Randall Collin, Nelson-Hall Inc. Sociology of Marriage & the Family. Gender, Love and Property. USA, 1987 Reinharz, Shulamit. Metode-Metode Feminis dalam Penelitian Sosial. Oxford University: Women Research Institute, 1992 Sali Susiana. Urgensi Undang-undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam Perspektif Feminis. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 7 No. 2 Agustus 2010 hal.255. Jakarta:Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementrian Hukum dan Hal Asasi Manusia RI. 2010. Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitle. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Jakarta; Pustaka Utama, 1997. Sarantakos, S. Social Research. Melbourne: University Press, 1993 Sugiyono. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta, 2012 Tanski, J. The impact of Crisis, Stabilization and Structural Adjustment On Women in Lima, Peru. World Development, 1994. Tong, Rosemarie P. Feminist Thought. Pengantar Paling Komprehensif Kepada Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Universitas Indonesia Kontribusi moneter ..., Filomena Maria De Fatima D, 2013