UNIVERSITAS INDONESIA
PENJATUHAN PIDANA OLEH HAKIM DI BAWAH BATAS MINIMUM KHUSUS DARI KETENTUAN UNDANG-UNDANG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Kasus : Putusan No. 2597/PID.B/2009/PN.TNG, Putusan No. 297/PID.B/2010/PN.TNG, dan Putusan No. 904/PID/B/2010/PN.TNG pada Pengadilan Negeri Tangerang)
TESIS
TENDIK WICAKSONO NPM. 0906581800
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JUNI 2011
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
UNIVERSITAS INDONESIA
PENJATUHAN SANKSI PIDANA OLEH HAKIM DI BAWAH BATAS MINIMUM KHUSUS DARI KETENTUAN UNDANG-UNDANG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Kasus : Putusan No. 2597/PID.B/2009/PN.TNG, Putusan No. 297/PID.B/2010/PN.TNG, dan Putusan No. 904/PID/B/2010/PN.TNG pada Pengadilan Negeri Tangerang)
TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Magister Hukum (MH)
TENDIK WICAKSONO NPM. 0906581800
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI PASCASARJANA KEKHUSUSAN HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA JAKARTA JUNI 2011
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
HALAMAN PENGESAHAN Tesis ini diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Tesis
: : : : :
TENDIK WICAKSONO 0906581800 Hukum dan Sistem Peradilan Pidana ”Penjatuhan pidana oleh hakim di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undangundang dalam perkara tindak pidana narkotika (Studi kasus : Putusan No. 2597/PID.B/2009/PN.TNG, Putusan No. 297/PID.B/2010/PN.TNG, dan Putusan No. 904/PID/B/2010/PN.TNG pada Pengadilan Negeri Tangerang)”
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI :
Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. Pembimbing
(
)
Prof. H. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A. Ketua Sidang / Penguji
(
)
Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H. Anggota Sidang / Penguji
(
)
Ditetapkan di
: Jakarta
Tanggal
: 13 Juni 2011
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
:
Tendik Wicaksono
NPM
:
0906581800
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
13 Juni 2011
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada ALLAH SWT, karena hanya berkat Rahmat dan Karunia – Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini tepat pada waktunya, sebagai pertanggungjawaban akademis Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Hukum Jurusan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana di Universitas Indonesia. Shalawat dan salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya yang senantiasa menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Adapun masalah utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah mengenai putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika. Dan tesis ini penulis dedikasikan sebagai sumbangan pemikiran tentang penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika. Penulis menyadari dalam menyelesaikan tesis ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari banyak pihak. Untuk itu dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Safri Nugraha, MA, PHd, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2. Dr. Jufrina Rizal, SH, MA, selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 3. Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, selaku Ketua Bidang Ilmu Hukum Pidana Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 4. Dr. Eva Achjani Zulfa, selaku dosen Pembimbing, yang telah meluangkan waktunya di tengah-tengah kesibukan beliau yang sangat padat, untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini serta memberikan ilmu dan saran dari awal hingga akhir penulisan tesis ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Penguji serta Bapak Ibu Dosen Pengajar Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang telah memberikan ilmu pengetahuan sehingga membuka wawasan penulis untuk lebih mengenal dan memahami akan luasnya ilmu pengetahuan yang ada.
Penjatuhan pidana...,TendikivWicaksono,FHUI,2011
6. Kejaksaan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 7. Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang dan juga Ketua Pengadilan Negeri Tangerang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan pengambilan data dalam rangka penulisan tesis ini. 8. Para Hakim di Pengadilan Negeri Tangerang serta para Jaksa di Kejaksaan Negeri Tangerang, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan sumbangan pemikiran dan ilmu kepada penulis. 9. Rekan-rekan seperjuangan yang mengikuti program Pascasarjana di Fakultas Hukum
Universitas
Indonesia,
khususnya
rekan-rekan
senasib
dan
sepenanggungan, mulai dari awal masuk Kejaksaan lalu penempatan dinas di Papua hingga akhirnya bisa kuliah di Universitas Indonesia.....Eko, Rahmat, Sidharta, Teguh, Yudi... semoga semuanya sukses dalam pendidikan dan pekerjaan...amiiin...dan semoga persahabatan kita tetap terjalin terus....amiin. 10. Semua Pihak, baik yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyusunan tesis ini. ( Maaf bila tidak dapat disebutkan namanya satu – persatu ). Sekali lagi terima kasih atas semuanya. Tak lupa pula dalam kesempatan ini penulis juga ingin secara khusus mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak dan Ibu Soekotjo tersayang, yang dengan kasih sayang dan cintanya yang tulus telah memberikan segala hal yang terbaik kepada penulis dan mengenalkan isi dunia hingga penulis dapat menjalani hidup ini dengan penuh keyakinan. 2. Bapak dan Ibu Djoewari tersayang, yang dengan kasih sayang serta restunya telah memotivasi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. 3. Istriku Lyna Primasari D, S.T, S.H tercinta, yang dengan kesabaran, kesetiaan, dan cintanya telah membuat penulis sanggup menghadapi segala rintangan dalam hidup. 4. Anak-anakku Raasyid Fikriy Wicaksana dan Rasyad Fahmy Wicaksana tercinta… kalianlah yang menjadi alasan bagi penulis untuk selalu berjuang meraih segala mimpi dan harapan dalam kehidupan ini.
Penjatuhan pidana...,TendikvWicaksono,FHUI,2011
5. Kakak-kakakku di Nganjuk dan Adek-adekku di Bojonegoro tersayang, yang dengan doa serta perhatiannya telah memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah SWT senantiasa menyayangi dan melimpahkan karunia-Nya kepada mereka semua....amin. Akhirnya, tiada suatu hal yang sempurna, dan penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan ini. Akhir kata semoga penulisan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang telah membacanya dan dapat diterima sebagai pemanfaatan ilmu...amin.
Jakarta,
Juni 2011
Penulis
Penjatuhan pidana...,TendikviWicaksono,FHUI,2011
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Tendik Wicaksono NPM : 0906581800 Program Studi : Pascasarjana – Sistem Peradilan Pidana Fakultas : Hukum Jenis karya : Tesis demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
PENJATUHAN PIDANA OLEH HAKIM DI BAWAH BATAS MINIMUM KHUSUS DARI KETENTUAN UNDANG-UNDANG DALAM PERKARA TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi Kasus : Putusan No. 2597/PID.B/2009/PN.TNG, Putusan No. 297/PID.B/2010/PN.TNG, dan Putusan No. 904/PID/B/2010/PN.TNG pada Pengadilan Negeri Tangerang) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Di buat di : Jakarta Pada tanggal : 13 Juni 2011 Yang menyatakan
( Tendik Wicaksono )
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
ABSTRAK Nama Program Studi Judul
: Tendik Wicaksono : Pascasarjana – Sistem Peradilan Pidana : Penjatuhan Pidana Oleh Hakim Di Bawah Batas Minimum Khusus Dari Ketentuan Undang-Undang Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus : Putusan No. 2597/PID.B/2009/PN.TNG, Putusan No. 297/PID.B/2010/PN.TNG, dan Putusan No. 904/PID/B/2010/PN.TNG pada Pengadilan Negeri Tangerang)
Dalam penulisan tesis ini membahas permasalahan mengenai penjatuhan pidana oleh hakim di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undangundang dalam perkara tindak pidana narkotika dihubungkan dengan asas nulla poena sine lege, dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Tangerang dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undangundang dalam perkara tindak pidana narkotika, serta penerapan penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika oleh hakim PN Tangerang terhadap pelaku pidana. Dari hasil penelitian yang sifatnya yuridis normatif dan menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi, penelitian pustaka melalui pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, serta penelitian empiris melalui pengisian kuisioner dan teknik wawancara secara depth interview dengan para nara sumber diperoleh kesimpulan yaitu adanya putusan hakim yang berupa penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika jelas tidak dapat dibenarkan berdasarkan asas nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang), sebab di dalam salah satu frasa terciptanya asas legalitas yang dikembangkan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach tersebut telah dijelaskan bahwa hakim tidak dapat atau tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sedangkan dasar pertimbangan yang diajukan oleh hakim PN Tangerang dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undangundang dalam perkara tindak pidana narkotika, utamanya adalah demi terciptanya keadilan, baik bagi terdakwa maupun bagi masyarakat, di samping juga penerapan argumentasi berupa Argumentum ad Misericordian berpengaruh pula atas putusan yang dihasilkan. Terakhir, penerapan penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika oleh hakim PN Tangerang ternyata tidak hanya berlaku bagi pelaku pidana yang masih berusia anak saja melainkan dapat berlaku pula terhadap pelaku pidana berusia dewasa, asalkan hal ini, sebagaimana yang disampaikan oleh hakim PN Tangerang, didukung dengan pertimbangan-pertimbangan yang mengarah pada rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Kata kunci : hakim, pidana di bawah batas minimum khusus dari Undang-Undang Narkotika, asas nulla poena sine lege, Argumentum ad Misericordian, rasa keadilan dan kemanfaatan.
Universitas Indonesia viii Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
ABSTRACT Name Study Program Title
: Tendik Wicaksono : Post Graduate-Criminal Justice System : Criminal Sentencing by Judge Below The Special Minimum Threshold Under The Narcotics Law (Study Case : Verdict No. 2597/PID.B/2009/PN.TNG, Verdict No. 297/PID.B/2010/PN.TNG, and Verdict No. 904/PID/B/2010/PN.TNG at The Tangerang District Court)
This thesis discusses the issue of criminal sentencing by a judge below the special minimum threshold under the Narcotics Law in connection with the nulla poena sine lege principle, the basis for the discretion taken by the judge at the Tangerang District Court in awarding a sentence below the special minimum threshold under the Narcotics Law and the application of a criminal sentence below the special minimum threshold under the Narcotics Law by a judge at the Tangerang District Court to a convicted criminal. The research which is judicial normative in nature and utilizes data gathering methods of literature review including primary legal material, secondary legal material, tertiary legal material, as well as empirical research through questionnaire and in-depth interviews with competent sources. The outcome of such study concludes that the existence of criminal sentence below the special minimum threshold under the Narcotics Law cannot be justified under the nulla poena sine lege principle (no sentence without laws) since one of the phrase by Paul Johan Anslem von Feuerbach on the creation of the legality principle clearly describe that a judge cannot or may not awarding any sentence outside what is prescribe by the laws. Meanwhile, the basis used by the judge at Tangerang District Court in awarding sentences below the special minimum threshold under the Narcotics Law is primarily for creating a sense of justice for both the convict and the public alike. Furthermore, the application of Argumentum ad Misericordian also influences the final verdict. Last but not least, criminal sentence below the special minimum threshold under the Narcotics Law by judge(s) of the Tangerang District Court not only applicable for under age perpetrator(s) but also for adult perpetrator(s), as long as such verdict is supported by considerations directed at the sense of justice and benefits for the community.
Key words: judge, criminal sentence below the special minimum threshold under the Narcotics Law, the nulla poena sine lege principle, Argumentum ad Misericordian, sense of justice and benefits.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,TendikixWicaksono,FHUI,2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................
iii
KATA PENGANTAR .............................................................................
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............
vii
ABSTRAK ................................................................................................
viii
ABSTRACT ...............................................................................................
ix
DAFTAR ISI ............................................................................................
x
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xiv
BAB I. PENDAHULUAN .....................................................................
1
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................
13
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................
16
1.4 Manfaat Penelitian ...............................................................
16
1.5 Kerangka Teori ....................................................................
17
1.6 Kerangka Konseptual ..........................................................
24
1.7 Metodologi Penelitian .........................................................
28
1.8 Sistematika Penulisan ..........................................................
31
BAB II. TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS .............................................
33
2.1 Tindak Pidana Narkotika ......................................................
33
2.1.1 Sejarah Pengaturan Hukum Pidana Narkotika di Indonesia ..............................................................................
33
2.1.2 Pengertian Tindak Pidana Narkotika .........................
43
2.1.3 Pengertian Pelaku Tindak Pidana Narkotika .............
47
2.2 Ancaman Pidana Minimum Khusus ....................................
52
2.2.1 Korelasi Antara Ancaman Pidana Minimum Khusus Dengan Tujuan Pemidanaan .........................
x
53
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
2.2.2 Tujuan Diberlakukannya Ancaman Pidana Minimum Khusus dan Pengaturannya Dalam Undang- Undang Narkotika ......................................
65
BAB III. HAKIM DAN PENJATUHAN PUTUSAN ..........................
70
3.1 Hakim ................................................................................
70
3.1.1 Kekuasaan Kehakiman ............................................
71
3.1.2 Doktrin Kebebasan Hakim vs Asas Legalitas (Nulla poena sine lege) ............................................
76
3.2 Penjatuhan Putusan ............................................................
98
3.2.1 Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan ....................................................................
102
3.2.2 Bentuk-Bentuk Putusan Hakim ...............................
111
BAB IV. ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANGERANG YANG MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH BATAS MINIMUM DARI KETENTUAN UNDANG-UNDANG NARKOTIKA ....................................
117
4.1 Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Terhadap Tindak Pidana Narkotika ...................................................
117
1. Putusan No. 2597/PID.B/2009/PN.TNG Tanggal 11 Januari 2010 2. Putusan No. 297/PID.B/2010/PN.TNG Tanggal 8 Maret 2010 3. Putusan No. 904/PID/B/2010/PN.TNG Tanggal 06 Juli 2010 4.2 Penjatuhan Pidana Oleh Hakim di Bawah Batas Minimum Khusus Dari Ketentuan Undang-Undang Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Dihubungkan Dengan Asas Nulla poena sine lege .................................
157
4.3 Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Dalam Menjatuhkan Pidana Di Bawah Batas Minimum Khusus Dari Ketentuan Undang-Undang Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika ..........................
xi
161
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
4.4 Penerapan Penjatuhan Pidana Di Bawah Batas Minimum Khusus Dari Ketentuan Undang-Undang Narkotika Oleh Hakim PN Tangerang Terhadap Pelaku Pidana ....................................................................
164
BAB V. PENUTUP .................................................................................
168
5.1 Kesimpulan ..........................................................................
168
5.2 Saran ....................................................................................
170
DAFTAR REFERENSI
xii
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Perkara narkotika yang oleh hakim PN Tangerang diputus pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UndangUndang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika .........................
10
Matriks perbandingan perbedaan pemidanaan pada masingmasing Undang-Undang Narkotika ..........................................
40
Data perkara narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) yang diputus oleh hakim PN Tangerang Tahun 2010 .......................
119
Data perkara narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) yang diputus oleh Hakim Tingkat Pertama sampai Hakim Tingkat Kasasi ..........................................................................
122
Perbedaan pertimbangan hakim PN Tangerang dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika ......................................
138
Universitas Indonesia xiii Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Kuisioner Tentang Putusan Hakim Yang Menjatuhkan Pidana Di Bawah Batas Minimum Dari Ketentuan Undang-Undang Narkotika (diisi oleh hakim pada Pengadilan Negeri Tangerang)
Lampiran 2.
Pedoman Wawancara Dengan Hakim pada PN Tangerang
Lampiran 3.
Kuisioner Tentang Putusan Hakim Yang Menjatuhkan Pidana Di Bawah Batas Minimum Dari Ketentuan Undang-Undang Narkotika (diisi oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Tangerang)
Lampiran 4.
Pedoman Wawancara Dengan Jaksa Penuntut Umum pada Kejari Tangerang
Lampiran 5.
Pedoman Wawancara Dengan Ahli Hukum Pidana
Universitas Indonesia xiv Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
1
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kerangka pembangunan di segala bidang, terutama di bidang hukum yang sekarang sedang giat-giatnya berlangsung di negara Indonesia, maka masyarakat makin disadarkan pada peran penting hukum sebagai sarana pengayoman untuk menata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di berbagai bidang kehidupan. Peran hukum sebagai pengayoman tercermin melalui fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (social control), perubahan sosial (social engineering) dan hukum sebagai sarana integratif.1 Selain itu dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.2 Adapun bagi negara Indonesia sendiri, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang aman dan tertib. Berbicara mengenai penegakan hukum di Indonesia, maka perlu untuk diketahui bahwasanya tujuan dari adanya penegakan hukum tersebut adalah untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat dari segala tindakan kriminal yang mungkin terjadi, sehingga dari sini negara berkewajiban
untuk
mengadakan
pencegahan
dan
penanggulangan
kejahatan. Dan hal ini tidak lepas dari diterapkannya hukum pidana oleh negara, yang mana hukum pidana merupakan salah satu bagian aturan hukum sebagai alat untuk melindungi masyarakat. Menurut pendapat dari Moeljatno, hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :3 1
Sajipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : Alumni, 1983, hal. 127-146. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1996, hal. 64. 3 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, cet. 7, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, hal. 1. 2
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
2
1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Menurut Van Hamel dalam bukunya Inleiding studie Ned. Strafrecht 1927, sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Moeljatno, mengatakan bahwa : ”Hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut”. 4 Hukum pidana sebagai suatu hukum publik merupakan hukum sanksi istimewa, karena hukum pidana itu mengatur perhubungan antara para individu dengan masyarakatnya sebagai masyarakat, hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakatnya dan juga dijalankan dalam hal kepentingan masyarakat itu benar-benar memerlukannya. 5 Sebagai suatu hukum sanksi istimewa, maka hukum pidana itu dapat membatasi kemerdekaan manusia (menjatuhkan hukuman penjara atau hukuman kurungan), bahkan menghabiskan hidup manusia (menjatuhkan hukuman mati). Hukum pidana memuat sanksi-sanksi atas pelanggaran kaidah hukum, yang jauh lebih keras dan berakibat lebih luas daripada kerasnya dan akibat sanksi-sanksi yang termuat dalam hukum-hukum lain, seperti hukum privat, hukum tata usaha negara, dan sebagainya.
6
4
Ibid, hal.8 Utrecht, E., Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya : Pustaka Tintamas, 1987, hal. 57- 58. 6 Ibid, hal. 149. 5
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
3
Disini negara, termasuk negara Indonesia, selaku penguasa dan dalam rangka melaksanakan penegakan hukum berhak menjatuhkan sanksi pidana dan merupakan satu-satunya subyek hukum yang mempunyai hak untuk menghukum (ius punindi). Alasan negara berhak untuk menjatuhkan sanksi pidana adalah :7 a. Tugas negara adalah melindungi barang-barang hukum (rechsgoederen) secara menggunakan alat-alat yang sesuai (gepaste middelen). b. Alat-alat yang sesuai itu secara sengaja mengancam atau menjatuhkan penderitaan,
dan penderitaan itu
cukup
keras memaksa
yang
bersangkutan bertindak layak dan menghindarkan yang bersangkutan melakukan perbuatan yang tidak layak. Kewenangan negara untuk memberikan sanksi pidana kemudian didelegasikan kepada para penegak hukum yang bekerja dalam suatu sistem yang dikenal dengan nama Sistem Peradilan Pidana. Dengan kata lain dalam penerapan hukum pidana oleh negara maka hal ini tidak akan terlepas dari adanya sistem sistem peradilan pidana tersebut. Dimana menurut pendapat dari Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.8 Komponen-komponen yang bekerjasama dalam sistem peradilan pidana adalah terutama instansi atau badan yang kita kenal dengan nama : kepolisian – kejaksaan – pengadilan dan (lembaga) pemasyarakatan. 9 Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut :10 a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; c. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 7
Ibid, hal. 178. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), Jakarta : Universitas Indonesia, 2007, hal.84. 9 Ibid, hal. 85. 10 Ibid,.hal. 84-85. 8
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
4
Sistem peradilan pidana itu sendiri sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang kehidupan manusia. Oleh karena itu dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi, interkoneksi, dan interdepedensi dengan lingkungannya serta sub-sub sistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri.11 Sistem ini terdiri atas sub-sub sistem pendukungnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang secara keseluruhan
merupakan
satu
kesatuan
(totalitas)
yang
berusaha
mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) untuk mencapai tujuan sistem peradilan pidana yang berupa resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah), dan kesejahteraan sosial (jangka panjang).12 Dapat digambarkan bahwa sistem peradilan pidana terdiri atas beberapa
tahap : pengusutan, pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan di
muka sidang, eksekusi dari pidana yang dijatuhkan.13 Sebagai sarana untuk mencegah
dan menanggulangi
kejahatan,
sistem
peradilan
pidana
diharapkan dapat bekerja secara baik dan benar. Dengan kata lain sebagai suatu sarana untuk menanggulangi masalah tindak pidana, maka sistem peradilan pidana sangat diharapkan mampu bekerja secara efektif dan efisien. Salah satu sub sistem pendukung yang mempunyai peranan sangat penting di dalam pelaksanan sistem peradilan pidana adalah pengadilan, yang mana di dalamnya berisi para hakim yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.14 Dalam kaitan dengan tugasnya untuk mengadili ini, Roeslan Saleh menyatakan bahwa : “Mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum. Oleh karenanya mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat
11
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang : Universitas Diponegoro, 1995, hal. 7. 12 Ibid. 13 Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Jakarta : Aksara Baru, 1979, hal. 11. 14 Lihat Pasal 1 Angka 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981, LN RI Tahun 1981 No.76, TLN RI No. 3209, yang berbunyi : ”Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili”.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
5
sesama manusia antara hakim dengan terdakwa kerapkali dirasakan sebagai memperlakukan suatu ketidak-adilan”.15 Hakikatnya tugas pokok hakim adalah memeriksa, mengadili, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan pengganti dari undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Dapat pula dikatakan bahwa tugas hakim adalah mengambil atau menjatuhkan keputusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Ia tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya sudah mulai diperiksa. Bahkan perkara yang telah diajukan kepadanya tetapi belum mulai diperiksa tidak wenang ia menolaknya. 16 Mengenai putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap para pelaku kejahatan dapat bermacam-macam bentuknya, hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusan pemidanaan. 17 Sedangkan bentuk pidana atau hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu :18 a. hukuman-hukuman pokok : 1e. hukuman mati, 2e. hukuman penjara, 3e. hukuman kurungan, 4e. hukuman denda; b. hukuman-hukuman tambahan : 1e. pencabutan beberapa hak yang tertentu, 2e. perampasan barang yang tertentu, 3e. pengumuman keputusan hakim.
15
Roeslan Saleh, Op. Cit., hal. 22. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab- Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 40. 17 Lihat Pasal 191 dan Pasal 193 KUHAP. 18 R. Soesilo, Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia, 1996, hal. 34. 16
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
6
Hakim mempunyai kekebasan yang sangat luas untuk memilih jenis pidana (strafsort) sesuai dengan kehendaknya, karena pada asasnya hukum pidana positif Indonesia menggunakan sistem alternatif dalam pencantuman sanksi pidana. 19 Di samping itu dianutnya sistem pidana minimal umum, maksimal umum dan juga maksimal khusus, (untuk masing-masing tindak pidana) juga membuka kesempatan bagi hakim untuk mempergunakan kebebasannya dalam menjatuhkan pidana. Tidak adanya pedoman pemberian pidana yang umum dalam KUHP yang berlaku sekarang ini dipandang pula sebagai dasar hakim untuk dengan bebas menjatuhkan putusannya. Di dalam perkembangan pembuatan undang-undang, saat ini telah terdapat beberapa aturan perundang-undangan yang memuat sistem pidana minimal khusus (di luar KUHP), seperti yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disingkat UndangUndang Narkotika dalam penulisan ini). Dengan adanya sistem pidana minimal khusus maka dapat memberikan batasan terhadap kebebasan yang dimiliki hakim di dalam menjatuhkan putusan, meskipun mengenai sistem pidana minimum khusus ini tidak ada aturan / pedoman penerapannya. 20 Undang-Undang pidana yang baik, yang sejalan dengan tuntutan perkembangan sosial bisa dipandang sebagai sarana untuk melakukan tindakan preverensi umum. Demikian halnya dengan upaya menghadapi bahaya narkotika.21 Dengan adanya sistem pidana minimum khusus, sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika, maka diharapkan terhadap para pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba dapat dikenai hukuman yang berat, hal ini dikarenakan dari tahun ke tahun jumlah pelaku tindak pidana narkotika atau penyalahgunaan narkoba semakin meningkat, yang mana salah satu sebabnya tidak terlepas dari ringannya putusan yang dijatuhkan 19 Muladi, Hal-hal Yang Harus Dipertimbangkan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Dalam Rangka Mencari Keadilan Dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan, Semarang : Universitas Diponegoro, 1995, hal.107. 20 Barda Nawawi Arief, Tinjauan Terhadap Pengenaan Sanksi Pidana Minimal, Pertemuan Ilmiah Sistem Pemidanaan di Indonesia BPHN – Depkumham, Jakarta, 27 Nopember 2007. 21 Moh. Taufik Makarao, dkk, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005, hal. 14.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
7
oleh hakim, atau dapat dikatakan faktor penjatuhan pidana tidak memberikan dampak atau different effect terhadap para pelakunya.22 Padahal sudah jelas bahwa narkoba memberikan dampak yang buruk bagi penggunanya, bahkan tindak pidana narkoba sangat membahayakan kepentingan bangsa dan negara. 23 Narkotika sebenarnya merupakan obat yang sangat diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan24, sehingga ketersediaannya perlu dijamin, melalui kegiatan produksi dan impor. Namun sebaliknya, narkotika dapat juga menimbulkan bahaya
yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama. Penyalahgunaan narkotika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional. 25 Semakin pesat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, transportasi, komunikasi, dan informasi telah mengakibatkan gejala peningkatan peredaran gelap narkotika yang makin meluas serta berdimensi internasional.26 Untuk mengantisipasi semakin luasnya penyalahgunaan narkotika dan untuk melaksanakan pemberantasan peredaran gelap narkotika, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai hal-hal yang berkenaan dengan narkotika, dimana saat ini Undang-Undang yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang merupakan hasil
22
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 8. 23 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta : Djambatan, 2002, hal. 93. 24 Lihat Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, LN RI Tahun 2009 No. 143, TLN RI No. 5062. 25 Hasil penelitian Universitas Indonesia (UI) bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2006 saja jumlah penyalahgunaan Narkoba di Indonesia 1,5% dari populasi (sekitar 3,2 juta jiwa) dan korban orang meninggal 15.000 pertahun akibat penyalahgunaan Narkoba dan tidak ada satupun Kabupaten/ Kota yang bebas dari Narkotika. Akibatnya negara dirugikan baik ekonomi dan sosial dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba; tahun 2004 kerugian negara mencapai 23,6 triliun dimana 11,3 triliun diantaranya adalah biaya konsumsi Narkoba, diunduh dari Republika Online, Wilayah Indonesia Ajang Transit Narkoba, Jakarta 21 Mei 2001, http://plasa.com, tanggal 23 Maret 2008. 26 Komariah, Analisis Efektivitas UU No. 22/1997 Tentang Narkotika dan UU No. 5/1997 Tentang Psikotropika Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba, Legality; Jurnal Ilmiah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2005, hal. 65.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
8
pembaharuan dari Undang-Undang yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, yang di dalamnya antara lain mengatur mengenai : a. Penggunaan
narkotika
untuk
keperluan
pengobatan
dan
ilmu
pengetahuan (Pasal 7), b. Cara mengedarkan dan menyalurkan narkotika (Pasal 36-42), c. Pengobatan dan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika (Pasal 53-59), d. Pembinaan dan pengawasan (Pasal 60-63), e. Pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (Pasal 64-72), f. Peran serta
masyarakat di dalam
membantu
pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (Pasal 104-108), g. Ketentuan pidana (Pasal 111-148). Terkait dengan masalah usaha pemberantasan peredaran gelap narkotika, sebenarnya pernah diadakan konvensi Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika pada tahun 1988 (Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988).27 Konvensi ini membuka kesempatan bagi negara-negara yang mengakui dan meratifikasinya untuk melakukan kerjasama dalam penanggulangan penyalahgunaan dan pemberantasan peredaran gelap narkoba, baik secara bilateral maupun multilateral. Penyalahgunaan narkotika serta peredaran dan perdagangan gelap dapat digolongkan ke dalam kejahatan internasional. Kejahatan internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan kerjasama yang bersifat regional maupun internasional.28 Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh para penegak hukum dan telah pula mendapat putusan hakim di sidang pengadilan. Demikian halnya dengan sejak diberlakukannya Undang-Undang Narkotika, termasuk di dalamnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, sudah cukup banyak pelaku pidana yang terjerat oleh 27 28
Siswanto Sunarso, Op. Cit., hal. 2. Ibid, hal. 3
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
9
ketentuan pidana dalam Undang-undang ini. Penegakan hukum ini diharapkan mampu sebagai faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran dan penyalahgunaan narkotika, tapi dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum semakin meningkat pula peredaran gelap narkotika tersebut. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika sebenarnya cukup berat, di samping dikenakan hukuman penjara dan hukuman denda, juga yang paling utama adalah dikenakannya batasan minimum ancaman pidana, baik penjara mupun denda. Serta adanya ancaman pidana mati menunjukkan beratnya sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika ini. Adapun pengertian dari pidana mati itu sendiri adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tak dapat diperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara-penjara yang demikian besarnya.29 Apabila jika ditinjau melalui pendekatan filosofis kemanusiaan maka hukuman dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para penyalah guna narkoba tersebut, terutama terhadap jaringan dan para pengedarnya. Oleh karena akibat dari perbuatan tersebut sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akhirnya dapat menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah bangsa.30 Berkenaan dengan penjatuhan putusan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana narkotika maka seorang hakim akan menjatuhkan vonisnya diantara batas-batas
yang telah ditentukan
dalam Undang-Undang
Narkotika. Dimana dalam Undang-Undang Narkotika ini terdapat batasan minimum dan maksimum pada ancaman pidananya, yang mana hal ini akan menjadi patokan dalam penjatuhan vonis oleh hakim. Dengan adanya patokan tersebut, seorang hakim dapat saja menjatuhkan vonis dalam batas yang minimal dan bisa juga dalam batas yang maksimal. 31 29
Andi Hamzah, dkk, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984, hal. 27. 30 Moh. Taufik Makarao, dkk, Op. Cit., hal. 47. 31 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, cet. 2., Bandung : Alumni Press, 1998, hal. 57.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
10
Hanya saja di dalam praktek di persidangan, sebagaimana halnya yang terjadi di Pengadilan Negeri Tangerang pada tahun 2010, ternyata masih muncul putusan dari hakim yang menjatuhkan vonis berupa pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Hal ini sebagaimana yang terlihat pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Perkara Narkotika Yang Oleh Hakim PN Tangerang Diputus Pidana Di Bawah Batas Minimum Dari Ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika32 No.
Nomor & Tgl Putusan
Usia Pelaku
1.
2597/Pid.B/2009/PN.TNG 16 Tahun Tanggal 11 Januari 2010
2.
297/Pid.B/2010/PN.TNG Tanggal 08 Maret 2010
16 Tahun
3.
904/Pid.B/2010/PN.TNG Tanggal 06 Juli 2010
15 Tahun
Ancaman Pidana Pasal Yang Dilanggar Pasal 111 Penjara : Ayat (1) Min. 4 Tahun, Maks. 12 Tahun Denda : Min. Rp. 800.000.000,-, Maks. Rp. 8.000.000.000,Pasal 111 Penjara : Ayat (1) Min. 4 Tahun, Maks. 12 Tahun Denda : Min. Rp. 800.000.000,-, Maks. Rp. 8.000.000.000,Pasal 111 Penjara : Ayat (1) Min. 4 Tahun, Maks. 12 Tahun Denda : Min. Rp. 800.000.000,-, Maks. Rp. 8.000.000.000,-
Putusan Hakim
Penjara : 2 Tahun Denda : Rp. 400.000.000,subsidair 1 Bulan Latihan Kerja Penjara : 2 Tahun Denda : Rp. 400.000.000,subsidair 1 Bulan Latihan Kerja Penjara : 3 Tahun Denda : Rp. 800.000.000,subsidair 2 bulan pidana penjara
Dari gambaran yang ada pada tabel di atas dapat dilihat bahwa pelaku tindak pidana narkotika, yang dijatuhi pidana oleh hakim berupa pidana penjara di bawah batas minimum dari ancaman pidana yang ada di Undang-Undang Narkotika, semuanya masih berusia anak.33 Adanya putusan yang dijatuhkan oleh hakim berupa pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika dengan pelakunya berusia anak ini jelas terkait dengan dasar pertimbangan yang diambil atau 32
Data diperoleh dari Pengadilan Negeri Tangerang pada bulan Desember tahun 2010. Lihat Pasal 1 Angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, LN RI Tahun 2002 No. 109, yang berbunyi : ”Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” 33
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
11
dikemukakan oleh hakim, dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tersebut. Selain itu juga adanya kebebasan dari hakim untuk menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinannya, asalkan didasarkan pada dua alat bukti yang sah34, bisa saja mempengaruhi vonis yang dia jatuhkan terhadap pelaku. Memang tidak dapat dipungkiri bahwasanya hakim, sebagai salah satu penegak hukum yang mempunyai peranan sangat penting di dalam pelaksanan sistem peradilan pidana, mempunyai kebebasan ataupun kekuasaan yang merdeka atau bebas di dalam menjatuhkan putusan di pengadilan. Hal ini tercermin dari ketentuan yang terdapat di dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. 35 Menurut Barda Nawawi Arief, kekuasaan kehakiman identik dengan kekuasaan untuk menegakkan hukum atau kekuasaan penegakan hukum.36 Sedangkan menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan bahwa : “Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif, maupun legislatif. Dengan kebebasan yang dimilikinya itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta memberikan manfaat bagi masyarakat”.37 Di dalam kedudukannya yang bebas, hakim diharuskan untuk tidak memihak (impartial judge). Sebagai hakim yang tidak memihak dalam 34 Lihat Pasal 183 KUHAP, yang berbunyi : ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 35 Lihat Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, LN RI Tahun 2009 No.157, TLN RI No. 5076. 36 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 27. 37 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung : Bina Cipta, 1986, hal. 319-320.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
12
menjalankan profesi, mengandung makna, hakim harus selalu menjamin pemenuhan perlakuan sesuai hak-hak asasi manusia khususnya bagi tersangka atau terdakwa. Hal demikian telah menjadi kewajiban hakim untuk mewujudkan persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap warga negara (equally before the law).38 Meskipun seorang hakim mempunyai kekuasaan yang bebas atau merdeka untuk menjatuhkan putusannya, tetap saja putusan berupa pidana di bawah minimum dari ancaman pidana yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika
menimbulkan kontroversi ataupun perdebatan,
walaupun
terpidananya masih berusia anak, sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri Tangerang. Sebab putusan pidana yang di bawah batas minimum ini dapat dianggap terlalu ringan dan dikawatirkan tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Selain itu putusan yang dijatuhkan oleh hakim tersebut dapat dikatakan tidak sejalan dengan semangat pemerintah yang saat ini sedang berusaha secara serius untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, karena sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Dari adanya putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UndangUndang Narkotika, maka menarik untuk dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini, terutama terkait dengan adanya fenomena hukum mengenai dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya. Dimana ada kemungkinan salah satu dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh hakim, dalam hal ini pertimbangan yuridis, adalah didasarkan pada pemahamannya akan ketentuan ancaman pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yaitu hakim memandang ketentuan ancaman pidana penjara bagi anak nakal ½ (setengah) dari maksimum
38
Andi Hamzah dan Bambang Waluyo, Delik –Delik terhadap Penyelenggaraan Peradilan (Conterm of Court), Jakarta : Sinar Grafika, 1988, hal. 11.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
13
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa39, dianggap berlaku pula terhadap ketentuan ½ (setengah) dari minimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal. Hal ini sebagaimana yang terlihat dalam putusan hakim, seperti yang terdapat dalam Tabel 1 di atas, yaitu hakim telah menjatuhkan pidana penjara kepada pelaku selama 2 (dua) tahun, yang mana ini adalah ½ dari minimum ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hakim memandang untuk menyidangkan perkara pidana dengan pelakunya anak, termasuk pula disini perkara tindak pidana narkotika, bukan hanya hukum acara pidananya saja yang mengacu pada ketentuan yang ada di Undang-Undang Pengadilan Anak, melainkan ancaman pidana yang ada dalam Undang-Undang Pengadilan Anak juga dapat diterapkan dalam perkara tersebut.
1.2 Rumusan Masalah Dalam usahanya untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, karena saat ini tindak pidana narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dan dengan korban yang meluas terutama di kalangan generasi muda40, maka negara secara berkelanjutan senantiasa memperbaharui aturan perundang-undangan yang mengatur upaya pemberantasan penyalahgunaan
39
Lihat Pasal 26 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, LN RI Tahun 1997 No. 3, TLN RI No. 3668, yang berbunyi : ” (1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. (2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. (3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b. (4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. 40 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
14
narkoba, terutama yang terkait dengan tindak pidana narkotika. Hal ini semata-mata dilaksanakan oleh negara dengan tujuan untuk membuat jera para pelaku tindak pidana narkotika dengan jalan memberikan ancaman hukuman yang berat bagi para pelaku tindak pidana narkotika tersebut. Adanya
jumlah
korban
yang
meluas
sebagai
akibat
dari
penyalahgunaan narkotika, terutama di kalangan generasi muda, dapat dilihat dari hasil survey yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), yakni tercatat dari total pelajar seluruh Indonesia terdapat 83.000 orang yang mengonsumsi (tahun 2007), termasuk 8.449 siswa Sekolah Dasar (SD), meningkat dibanding dengan tahun 2006 yang hanya 2.543 orang.41 Hal yang sama terjadi juga di kalangan pelajar Sekolah Lanjutan Pertama (SMP) tahun 2004 ada 18.000 pengguna dan tahun 2006 jumlah itu melonjak 400 % hingga mencapai 73.253 pengguna. 42 Terkait dengan adanya peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai tindak pidana narkotika, dalam perkembangannya telah mengalami beberapa perubahan yaitu diawali dari munculnya UndangUndang Nomor 9 Tahun 1976, kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan selanjutnya dilakukan perubahan lagi, dimana saat ini yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Dalam wacana baik teoritis maupun praktis, Undang-Undang Narkotika, baik yang lama maupun yang baru hasil perubahan, mempunyai fungsi sebagai instrumen (alat / sarana) dalam upaya penegakan hukum. Hal ini menandakan bahwasanya alat / sarana untuk mencegah maupun menindak pelaku tindak pidana narkotika atau penyalahgunaan narkoba sudah tersedia sejak lama. Dengan adanya ancaman hukuman yang menganut sistem pidana minimum khusus di dalamnya, yang terdapat pada hampir di semua pasal dalam ketentuan pidana, maka diharapkan penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini mampu memberikan rasa takut bagi para pelaku tindak pidana narkotika, sebab dengan adanya ketentuan pidana yang sudah diatur 41 42
dalam
Undang-Undang
Narkotika,
maka
hakim
di dalam
Diunduh dari Republika Online........, Loc. Cit. Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
15
menjatuhkan pidana pastinya didasarkan pada ketentuan pidana tersebut sehingga terhadap si pelaku tindak pidana narkotika akan dijatuhi hukuman yang berat oleh hakim. Di dalam perkembangannya, terutama dalam praktek pelaksanaannya di lingkup peradilan umum, ternyata hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika di bawah batas minimum dari ancaman pidana yang sudah diatur dalam Undang-Undang Narkotika itu sendiri. Sebagaimana contoh yang terjadi di Pengadilan Negeri Tangerang, dimana di dalam perkara narkotika yang pelakunya berusia anak, hakim telah menjatuhkan putusan berupa pidana penjara maupun pidana denda di bawah batas minimum dari ancaman pidana yang diatur dalam UndangUndang Narkotika. Dari adanya peristiwa hukum tersebut layak untuk dicermati dan dikaji lebih dalam terutama terkait dengan dasar pertimbangan
yang
diajukan oleh hakim di dalam menjatuhkan putusannya, terutama yang perlu dikaji adalah apakah hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, terutama yang berusia anak, selain mengacu pada peraturan Undang-Undang Narkotika itu sendiri, juga mengacu pada peraturan Undang-Undang Pengadilan Anak saja, ataukah ada peraturan lain yang juga menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya. Hal ini dikarenakan seharusnya putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan / hakim di samping harus berfungsi untuk mencapai tujuan hukum yaitu memberi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, juga haruslah sesuai dengan tujuan undang-undang, mengandung aspek stabilitas, serta terdapat fairness.43 Dari penjelasan yang telah dijabarkan di dalam pernyataan permasalahan, maka pertanyaan penelitian (research questions) yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut : 1. Apakah putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak
43
Artidjo Alkostar, Menegakkan Hukum Pidana; Meningkatkan Kualitas Pengadilan dengan Persamaan Persepsi dalam Penerapan Hukum, Tuada Pidana Mahkamah Agung RI.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
16
pidana narkotika dapat dibenarkan berdasarkan asas nulla poena sine lege ? 2. Apa yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim di Pengadilan Negeri Tangerang dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika ? 3. Apakah putusan hakim di Pengadilan Negeri Tangerang yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika hanya diterapkan terhadap pelaku yang masih berusia anak ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan
yang hendak dicapai di dalam penelitian ini diantaranya
adalah : 1. Untuk mengetahui benar tidaknya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika, bila dihubungkan dengan asas nulla poena sine lege. 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan yang digunakan oleh hakim di Pengadilan Negeri Tangerang dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika. 3. Untuk memperoleh gambaran mengenai penerapan penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang narkotika oleh hakim di Pengadilan Negeri Tangerang terhadap pelaku pidana.
1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis, diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum pidana, sehingga nantinya dapat berperan di dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidana narkotika, dan pada akhirnya diharapkan mampu memenuhi tujuan yang hendak dicapai yaitu mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
17
peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, terutama di kalangan anak. b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para penegak hukum, terutama hakim, dalam rangka melaksanakan penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, dan juga dapat memberikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak hakim dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum.
1.5 Kerangka Teori Guna
menganalisis
data
yang
dikumpulkan
dan
menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagaimana tercantum dalam rumusan masalah, maka penelitian ini menggunakan teori dari Lawrence M. Friedman tentang Tiga Unsur Sistem Hukum (Three Elements of Legal System). Dimana menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum tersusun dari tiga unsur yaitu Structure of the Law (Struktur hukum), Substance of the Law (Materi hukum) dan Legal Culture (Budaya hukum). Ketiga unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.44 Dimana Lawrence M. Friedman menjelaskan tentang struktur hukum sebagai berikut : “To begin with, the legal system has the structure of legal system consist of element of the kind the number and size of court; their jurisdiction…..structure. Also means how the legislative is organized. What procedures he police department follow, and go on. Structure in a way is a kind of cross section of the legal system. A kind of photograph, with free the action”. 45 Struktur dalam sistem hukum terdiri dari unsur seperti misalnya, hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu menerapkan prosedur yang seperti apa, sebagaimana hal tersebut telah ditentukan oleh undangundang, atau bisa juga hakim mempertimbangkan hal-hal apa saja di dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara yang terkait dengan tindak
44
Lawrence M. Friedman, American Law, New York : W.W Norton and Company, 1984,
hal. 7. 45
Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
18
pidana narkotika. Jadi struktur hukum (legal structure) yang dimaksudkan disini yaitu suatu lembaga hukum, dalam hal ini pengadilan / hakim, yang berfungsi untuk menjalankan perangkat hukum yang ada yaitu peraturan perundang-undangan. Adapun pemahaman tentang substansi hukum adalah sebagai berikut : “Another aspect of the legal system is its substance. By this means the actual rules, norms behavioral patterns of people inside the system….the stress here is on living law not just rules in law goods”.46 Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansi adalah menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Terkait dengan putusan hakim yang berupa menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang dalam perkara tindak pidana narkotika, Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud antara lain berupa Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dan juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mengenai budaya hukum, Friedman mengatakan : “The third component of legal system of legal culture. By this we mean people’s attitudes toward law and the legal system their bilief, in other word, is the eliminate of social though and social force which determines how law is used avended and afused”.47 Budaya hukum (legal culture) merupakan sikap manusia (termasuk aparat penegak hukum) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat apabila tanpa didukung dengan budaya hukum dari orang-orang yang terlibat di dalam sistem dan juga dari masyarakat, maka penegakan hukum tidak akan 46 47
Ibid Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
19
berjalan secara efektif. Demikian pula kaitannya dengan putusan hakim yang berupa menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika, dimana sebaik apapun penataan struktur hukum, yaitu lembaga pengadilan yang di dalamnya berisi para hakim yang tugasnya menjalankan aturan hukum yang telah ditetapkan undang-undang, termasuk menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat, yaitu berupa peraturan perudang-undangan yang terkait dengan tindak pidana narkotika, apabila tanpa didukung dengan budaya hukum dari orang-orang yang terlibat di dalam sistem yang terdapat pada lembaga pengadilan, terutama dalam hal ini adalah para hakim, maka penjatuhan putusan oleh hakim berupa pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang tidak akan memberikan manfaat bagi banyak pihak, terutama masyarakat dan pemerintah, dan pada akhirnya penegakan hukum atas tindak pidana narkotika itu sendiri tidak akan berjalan secara efektif. Menurut pendapat dari Soerjono Soekanto, budaya hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilainilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).48 Apa yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman di atas merupakan tiga hal yang terkandung di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System). Dimana menurut Muladi di dalam sistem peradilan pidana memerlukan adanya keterpaduan dan sinkronisasi antar sub-sistem. Muladi menyebutkan, perlu adanya sinkronisasi struktural (structural
syncronization),
sinkronisasi
substansi
(substantial
syncronization), dan sinkronisasi kultural (cultural syncronization).49 Dalam hal sinkronisasi kultural, keserempakan dan keselarasan dituntut dalam
48 Soerjono Soekanto, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004, hal.7. 49 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cet. 2, Semarang : Universitas Diponegoro, 2004, hal. 1-2.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
20
mekanisme administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum, lalu menyangkut sinkronisasi subtansial, maka keserempakan itu mengandung makna baik vertikal maupun horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, sedangkan menyangkut sinkronisasi kultural mengandung makna untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikapsikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.50 Selain penggunaan teori peranan struktur hukum dari Lawrence M. Friedman, di dalam penelitian ini juga menggunakan beberapa teori yang bertujuan untuk meninjau permasalahan yang ada. a. Teori mengenai Tujuan Pemidanaan Ada 3 (tiga) golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu : 51 1. Teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien) Teori ini mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakekat suatu pidana ialah pembalasan. 2. Teori relative atau tujuan (doel theorien) Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda : menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik. Sedangkan prevensi khusus bertujuan untuk mencegah niat buruk pelaku 50 51
Ibid Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, cet. 2, Jakarta : Rineka Cipta, 1994, hal. 31-37.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
21
(dader), mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya, atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya. 3. Teori gabungan (werenigingstheorien) Ada yang menitikberatkan pembalasan, ada pula yang ingin agar unsur pembalasan dan prevensi seimbang. Teori ini sama-sama menitikberatkan unsur pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Dapat dikatakan bahwa teori ini tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti yang terdapat dalam teori pembalasan), tetapi juga bersamaan
mempertimbangkan
masa
datang
(seperti
yang
dimaksudkan pada teori tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri di samping kepada masyarakat. 52 b. Teori Pencegahan (detterence) Menjatuhkan hukuman sebagai upaya membuat jera guna mencegah terulangnya kejahatan merupakan ide dasar dari detterence ( pencegahan kejahatan ), maksudnya tujuan hukuman itu sebagai sarana pencegahan. Teori detterence dapat dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :53 1. Detterence theory, yang efek pencegahan diharapkan timbul sebelum pidana dilakukan, misalnya melalui ancaman, contoh keteladanan, dan sebagainya, ini biasa juga disebut dengan “general detterence” yang harus dibedakan dengan teori detterence yang bersifat khusus (special detterence). Teori detterence ini juga dibedakan ke dalam dua macam, yaitu : “special detterence” (pencegahan khusus), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan setelah pemidanaan dilakukan, sehingga si terpidana tidak melakukan kejahatan serupa di masa datang, sedangkan teori “general 52 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta : Storia Grafika, 2002, hal. 63. 53 Jimmly Asshidiqie, Pendekatan Sistem dalam Pemasyarakatan Terpidana menurut Tinjauan Ilmu Hukum, Hukum dan Pembangunan No. 5 Oktober 1987, hal. 17-18.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
22
detterence” (pencegahan umum), efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi sebelum pemidanaan dilakukan melalui ancaman-ancaman / dan pemidanaan yang dijatuhkan secara terbuka sehingga orang lain dapat dicegah dari kemungkinan melakukan kejahatan. 2. Intimidation theory, yang memandang bahwa pemidanaan itu merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Menurut teori ini, sekali seseorang dijatuhi pidana, maka selanjutnya secara mental ia akan terkondisikan untuk menghindari perbuatan serupa yang ia ketahui akan dapat atau mungkin dapat menyebabkan ia dipidana lagi. c. Teori mengenai Asas Legalitas Asas legalitas yang diciptakan dan dirumuskan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775-1833) menurut pendapat dari Bambang Poernomo, sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej, mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi : nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang); nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana); nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang).54 Ketiga frasa tersebut kemudian dikembangkan oleh Feuerbach menjadi adagium Nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali.55 Di Indonesia sendiri, makna asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam bahasa Latin : “Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan : “Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Sering
54
Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta : Erlangga, 2009, hal. 7 dan 27. 55 Ibid, hal. 7.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
23
juga dipakai istilah Latin : “Nullum crimen sine lege stricta“, yang dapat diartikan dengan : “Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. 56 Menurut pendapat dari R. Soesilo, asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia mengandung pengertian yaitu peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam Undang-Undang tidak ada terlebih dahulu.57 Dengan adanya ketentuan ini, dalam menghukum orang hakim terikat oleh Undang-Undang sehingga terjaminlah hak kemerdekaan diri pribadi orang.58 Menurut pendapat dari Roeslan Saleh, sebagaimana dikutip oleh Zainal Abidin Farid, menyatakan bahwa asas legalitas merupakan dasar yang pokok tentang perbuatan pidana, karena tanpa adanya ketentuan hukum pidana lebih dahulu mengenai apa yang dilarang (dan apa yang diperintahkan untuk dilakukan) maka tidaklah diketahui adanya perbuatan pidana.59 Menurut asas legalitas ini dikatakan bahwa untuk menjatuhkan pidana atau sanksi kepada seseorang, disyaratkan bahwa perbuatannya atau peristiwa yang diwujudkannya harus lebih dahulu dilarang atau diperintahkan oleh peraturan hukum pidana tertulis dan terhadapnya telah ditetapkan peraturan pidana atau sanksi hukum. Dengan kata lain harus ada peraturan hukum pidana (strafrechtsnorm) dan peraturan pidana (strafnorm) lebih dahulu daripada perbuatan / peristiwa. 60 Jadi dapat dikatakan bahwa seorang hakim tidak dapat menghukum pelaku pidana atas perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya, apabila perbuatan dari si pelaku serta sanksi pidana yang diancamkan terhadap perbuatan si pelaku tersebut belum diatur dalam suatu Undang-Undang.
56 Muladi, Dkk, Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI , 2003, hal. 17. 57 R. Soesilo, Op. Cit., hal. 27 58 Ibid 59 Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, cet. 2, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hal. 42. 60 Ibid, hal. 132.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
24
Menurut pendapat dari P.A.F. Lamintang, sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, pada dasarnya ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi”, mengandung 3 (tiga) buah asas yang sangat penting, yaitu :61 a. bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis; b. bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat diberlakukan surut; dan c. bahwa penafsiran secara analogis tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan undang-undang
1.6 Kerangka Konseptual Dari penjelasan pada kerangka teori di atas, maka disini akan dibahas mengenai kerangka konseptual yang berisi mengenai beberapa definisi dengan tujuan untuk menghindari salah pengertian di dalam rangka melakukan penelitian. Adapun definisi-definisi tersebut adalah sebagai berikut : a. Hakim Hakim menurut undang-undang didefinisikan sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.62 b. Putusan (Vonnis) Dalam kamus hukum, vonnis adalah keputusan hakim, keputusan
pengadilan. 63
Sedangkan
menurut
KUHAP,
putusan
pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas
61 62 63
Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali, Jakarta : Djambatan, 2007, hal. 28-29. Lihat Pasal 1 angka 8 KUHAP. Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Semarang : Aneka Ilmu, 1977, hal. 884.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
25
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.64 Putusan Pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan barang bukti, ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan.65 Suatu
putusan
hakim
dapat
dijadikan
yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Yurisprudensi adalah putusan hakim yang berkekuatan tetap, yang pada umumnya diberi anotasi oleh ahli hukum. 66 Yurisprudensi dapat juga berarti pengambilan putusan oleh para hakim berdasarkan putusan-putusan hakim sebelumnya. 67 c. Penjatuhan Pidana Oleh Hakim Dalam masalah penjatuhan pidana atau hukuman kepada terdakwa, baik perundang-undangan sendiri, yuridprudensi ataupun ilmu hukum dan doktrin tidak memberikan pegangan yang pasti. Perundangundangan sendiri dalam KUHP tidak memberikan suatu teori hukum pidana sebagai dasar penghukuman, sehingga dapat dikatakan ia memberikan kebebasan kepada hakim teori manakah yang akan dipergunakan dalam menetapkan hukuman. 68 d. Pidana Minimum Khusus Dalam penelitian ini pidana yang dimaksud adalah pidana penjara yang berupa perampasan kemerdekaan seseorang, karena disamping pidana penjara masih ada pidana lain seperti pidana denda. Pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut :69
64
Lihat Pasal 1 angka 11 KUHAP. Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 115. 66 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum; Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, cet. 2, Yogyakarta : UII Press, 2006, hal. 47 67 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, cet.ke-3, Yogyakarta : Kanisius, 1995, hal. 124. 68 Oemar Seno Adji, Hukum-Hukum Pidana, cet. 2, Jakarta : Erlangga, 1984, hal. 12. 69 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., Hal. 4. 65
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
26
1. pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan. 2. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan. 3. pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang. Adapun istilah minimum berarti menunjuk kepada yang paling rendah.70 Jadi dapat dikatakan bahwa pidana minimum adalah keputusan hakim yang serendah-rendahnya. Sedangkan pengertian dari pidana minimum khusus itu sendiri adalah ancaman pidana dengan adanya pembatasan terhadap masa hukuman minimum dengan waktu tertentu. 71 Pidana minimum khusus ini hanya ada pada undang-undang tertentu saja di luar KUHP dan dalam konsep rancangan KUHP yang akan datang. 72 e. Narkotika Menurut pendapat dari Sudarto, perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.73 Sedangkan dalam Encyclopedia Americana dapat dijumpai pengertian “narcotic” sebagai : “a drug that dulls the senses, relieve pai, induces sleep, and can produce addiction in varying degrees”, sedangkan “drug” diartikan sebagai : “a chemical agent that is used therapeutically to treat disease”.74 Jadi narkotika merupakan suatu bahan yang mengumpulkan rasa, menghilangkan rasa nyeri, dan sebagainya.75 Sedangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ( UndangUndang Narkotika) sendiri menjelaskan pengertian narkotika sebagai berikut :
70
Ibid, hal. 745. Diego Tribaskoro Adibrata, Tinjauan Yuridis Terhadap Hukuman Pidana Minimun Khusus Pada Sistem Pemidanaan Di Indonesia, http: // lib.atmajaya.ac.id/ default.aspx?tabID=61&src= K&id=148091, diunduh tanggal 02 Desember 2010. 72 Ibid 73 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, cet. 4, Bandung : Alumni, 2010, hal. 36. 74 Ibid 75 Ibid 71
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
27
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.76 Untuk penggolongan narkotika, Undang-Undang Narkotika membagi jenis narkotika menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu :77 a. Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. b. Golongan II adalah adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. c. Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. f. Definisi Anak Di dalam berbagai peraturan yang ada di Indonesia, terdapat perbedaan mengenai batasan atau definisi usia anak, diantaranya yaitu : 1. Dalam pasal-pasal yang terdapat pada KUHP, ketentuan tentang usia maksimum anak berbeda-beda, misalnya : a. Dalam Pasal 45 dan Pasal 72, dikatakan bahwa batas usia orang yang belum dewasa adalah sebelum berumur 16 tahun. Namun ketentuan Pasal 45 KUHP tersebut sudah tidak berlaku lagi setelah Undang-Undang Pengadilan Anak ditetapkan. b. Dalam Pasal 287 – 293, dikatakan bahwa yang dinamakan dengan anak adalah orang yang berusia di bawah 15 tahun. 76
Lihat bunyi Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Lihat Penjelasan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 77
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
28
2. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, terutama pada Pasal 1 angka 1, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. 3. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terutama pada Pasal 1 angka 1, dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
1.7 Metodologi Penelitian 1. Sifat Penelitian Sifat dari penelitian yang dilakukan ini berupa yuridis normatif yaitu pengujian asas Nulla poena sine lege dalam putusan perkara narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang. Dimana penelitian ini sendiri dilakukan berdasarkan sumber data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.78 Adapun teknik perolehan datanya dilakukan dengan cara terlebih dahulu mencari salinan putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika, kemudian mengadakan wawancara dengan para nara sumber yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Hal ini bertujuan untuk menganalisis putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang tersebut dan juga untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam penelitian ini. 2. Pendekatan Penelitan Pendekatan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah berupa pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), dimana hal ini berkenaan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana narkotika, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 78
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009, hal. 13.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
29
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan juga pendekatan Konseptual (Conceptual Approach), yang berkenaan dengan konsep-konsep yuridis yang mengatur mengenai bentuk-bentuk atau jenis-jenis putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara narkotika, dalam hal ini terkait dengan putusan hakim yang berupa menjatuhkan pidana di bahwa batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika itu sendiri. 3. Metode Pengumpulan Data Adapun pengumpulan data yang dipergunakan di dalam penelitian atas putusan hakim yang berupa menjatuhkan hukuman di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang dalam perkara tindak pidana narkotika ini meliputi : a. penelitian pustaka Dalam studi pustaka akan dicari data pustaka, khususnya pada penelusuran bahan-bahan hukum primer (berupa salinan putusan hakim dan juga peraturan perundang-undangan yang menyangkut tindak pidana narkotika), bahan hukum sekunder (buku-buku yang menjelaskan mengenai narkotika, karya ilmiah dan laporan hasil penelitian) dan juga bahan hukum tersier (Bibliografi, kamus hukum, dan kamus bahasa Indonesia). b. penelitian empiris Untuk memperoleh data dan gambaran konkret mengenai putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang dalam perkara tindak pidana narkotika, maka penulis mengadakan penelitian lapangan dengan jalan menggunakan teknik wawancara dengan narasumber secara depth interview yakni wawancara yang mendalam dengan nara sumber yang mengetahui dengan benar masalah yang akan diteliti. Sedangkan wawancara yang digunakan adalah, baik dalam bentuk kuisioner maupun tanya jawab langsung dengan nara sumber. Adapun yang dijadikan nara sumber adalah orang-orang yang terkait atau paham dengan masalah munculnya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
30
Undang-Undang dalam perkara tindak pidana narkotika, terutama dalam hal ini adalah para hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang pernah menangani perkara narkotika dan juga pernah menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus. Selain itu yang menjadi nara sumber dalam penelitian ini meliputi pula jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Tangerang yang pernah menangani perkara tindak pidana narkotika dan juga ahli hukum pidana. Jumlah orang yang telah dipilih untuk dijadikan nara sumber dalam penelitian ini yaitu sebanyak 12 orang yang terdiri dari : hakim berjumlah 5 orang, kemudian jaksa penuntut umum berjumlah 5 orang, serta ahli hukum pidana berjumlah 2 orang. Sedangkan untuk nama-nama nara sumber, terutama hakim dan jaksa, tidak akan penulis sebutkan dalam penelitian ini dikarenakan ada permintaan dari para nara sumber untuk tidak ditampilkan namanya. Para nara sumber tersebut di atas bersifat homogen yaitu sebagai penegak hukum maupun sebagai orang menguasai bidang hukum dan mempunyai latar belakang pendidikan yang sama serta berkecimpung dalam bidang-bidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikan yang mereka tempuh. 4. Analisis Data Berbagai data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian akan diolah, dianalisis dengan pendekatan deskriptif-analitis, artinya bahwa data yang telah diperoleh akan disistematisasikan secara deskriptif dan selanjutnya akan dilakukan analisis kualitatif. Penyajian data nantinya akan dilakukan terpisah dengan analisis hukumnya. Sehingga diharapkan hasil penelitian akan dapat disampaikan dalam bentuk yang bersifat deskriptif-analitis, dimana beberapa data akan dikemukakan terlebih dahulu, sebelum dirumuskan analisis hukumnya. 5. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di kota Tangerang, tempat dimana munculnya
putusan
hakim
Pengadilan
Negeri
Tangerang
yang
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
31
menjatuhkan hukuman di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang dalam perkara tindak pidana
narkotika, dengan
mengkhususkan penelitian di tempat-tempat tertentu, yaitu di kantor Kejaksaan Negeri Tangerang dan juga di kantor Pengadilan Negeri Tangerang.
1.8 Sistematika Penulisan Secara sistematis penulisan tesis ini akan dibagi ke dalam lima bab, yang mana pada tiap bab berisi hal-hal yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Bab I
:
merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang masalah; rumusan masalah; tujuan dan manfaat penelitian; kerangka teori; kerangka konseptual; metodologi penelitian’ serta sistematika penulisan.
Bab II : menjelaskan tentang tindak pidana narkotika dan ancaman pidana minimum khusus. Pada bab ini akan dijabarkan ke dalam dua sub bab pokok. Sub bab pokok pertama membahas tentang tindak pidana narkotika, yang berisi mengenai sejarah pengaturan hukum pidana narkotika di Indonesia; pengertian tindak pidana narkotika; dan pengertian pelaku tindak pidana narkotika. Sub bab pokok kedua membahas tentang ancaman pidana minimum khusus, yang berisi mengenai korelasi antara ancaman pidana minimum khusus dengan tujuan pemidanaan; serta tujuan diberlakukannya
ancaman
pidana
minimum
khusus
dan
pengaturannya dalam Undang- Undang Narkotika. Bab III : menjelaskan mengenai hakim dan penjatuhan putusan. Pada bab ini akan dijabarkan ke dalam dua sub bab pokok. Sub bab pokok pertama membahas tentang hakim, yang berisi mengenai kekuasaan kehakiman; dan doktrin kebebasan hakim vs asas legalitas (nulla poena sine lege). Sub bab pokok kedua membahas tentang penjatuhan putusan, yang berisi mengenai
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
32
dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan; dan bentuk-bentuk putusan hakim. Bab IV : menguraikan tentang analisis putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Pada bab ini akan dijabarkan ke dalam empat sub bab pokok yaitu berisi mengenai putusan hakim Pengadilan Negeri Tangerang terhadap tindak pidana narkotika; penjatuhan pidana oleh hakim di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika dihubungkan dengan asas nulla poena sine lege; dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Tangerang dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika; dan penerapan penjatuhan pidana di bawah batas
minimum
khusus
dari
ketentuan
Undang-Undang
Narkotika oleh hakim PN Tangerang terhadap pelaku pidana. Bab V : merupakan bab penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
33
BAB 2 TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN ANCAMAN PIDANA MINIMUM KHUSUS 2.1 Tindak Pidana Narkotika 2.1.1 Sejarah Pengaturan Hukum Pidana Narkotika di Indonesia Masalah penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkotika) dalam kurun waktu tiga dasawarsa terakhir ini bukan saja menjadi masalah nasional dan regional ASEAN tetapi juga menjadi masalah internasional. Karena itu upaya penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika di dalam negeri harus disinergikan dan diintegrasikan dengan kebijakan penanggulangan masalah narkotika melalui kerjasama regional maupun internasional.79 Adapun di negara Indonesia sendiri, pengaturan mengenai upaya mengatasi masalah penyalahgunaan narkotika sudah sering dilaksanakan, hal ini sebagaimana yang terdapat di dalam beberapa peraturan Perundangundangan yang khusus mengatur mengenai tindak pidana narkotika, atau dengan kata lain undang-undang pidana khusus80, diantaranya adalah : 1. Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (LN RI Tahun 1976 No. 36, TLN RI No. 3086) Pada awalnya kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika dituangkan dalam The United Nation’s Single Convention on Narcotic Drugs 1961.81 Dan di dalam Konvensi Tunggal Narkotika 79
I Nyoman Nurjaya, Penanggulangan Kejahatan Narkotika : Eksekusi Hak Perspektif Sosiologi Hukum, Legality; Jurnal Ilmiah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2005, hal. 1. 80 Pengertian dari “undang-undang pidana khusus” adalah undang-undang pidana selain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang merupakan induk peraturan hukum pidana. (Sudarto, Op. Cit., hal.64). 81 Konvensi ini pada dasarnya dimaksudkan untuk : 1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8 bentuk perjanjian internasional. 2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan 3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
34
1961 yang ditetapkan di New York tersebut, dalam Pasal 1 dimuat definisi untuk keperluan konvensi itu antara lain tentang : Cannabis (ganja), Cannabis plant (tanaman jenis ganja), Cannabis resin (biji ganja), Coca bush (tanaman koka), Coca leaf (daun koka), Medical opium (opium obat), Opium, Opium poppy (tanaman papaver), Poppy straw (jerami tanaman papaver).82 Indonesia sebagai salah satu negara yang turut menandatangani konvensi tersebut, kemudian meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika
1961
beserta
Protokol
yang
mengubahnya.
Selanjutnya Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah untuk menanggulangi kejahatan narkotika di dalam negeri adalah Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika ini merupakan pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah
kolonial
Belanda,
yaitu
Verdoovende
Middelen
Ordonnantie 1927 (Stbl.1927 No. 278 jo No. 536) tanggal 12 Mei 1927. Ordonansi ini terdiri dari 29 pasal yang pada dasarnya telah cukup banyak mengatur masalah penggunaan dan peredaran narkotika. Ordonansi ini mengatur mengenai bagaimana ekspor dan impor narkotika dapat dilakukan. Selain itu ordonansi ini juga telah memberikan larangan-larangan terhadap penggunaan beberapa jenis narkotika. Dalam hal terjadi pelanggaran, ordonansi ini juga telah dilengkapi dengan aturan pidana. 83 Di samping sebagai pengganti dari undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial Belanda, Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 ini dikeluarkan dengan pertimbangan : Bahwa narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan dan narkotika dapat pula menimbulkan
ketergantungan
yang
sangat
merugikan
apabila
82
Sudarto, Op. Cit., hal. 38. Soedjono D, Hukum Narkotika Indonesia, cet. 2, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 10. 83
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
35
dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama, serta pembuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi peri kehidupan manusia dan kehidupan negara di bidang politik,, keamanan, ekonomi, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia yang sedang membangun. Untuk mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan
narkotika
serta
rehabilitasi
terhadap
pecandu
84
narkotika yang baru.
Pada ketentuan pidana yang ada dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 sudah mengenal ancaman pidana mati atau pidana seumur hidup atau pidana penjara maksimal 20 (duapuluh) tahun serta dikumulasikan dengan pidana denda berkisar antara Rp. 1.000.00,(satu juta rupiah) sampai Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).85 2. Undang-Undang RI No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (LN RI Tahun 1997 No. 67, TLN RI No. 3698) Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan BangsaBangsa (PBB) Tahun 1998 mengenai Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United Nations Convention Against illicit Traffic in Narcotic Drugs aid Psycotropic Substance, 1988) dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997. Sesuai konvensi ini, negara
84
UU No. 9 Tahun 1976 memuat 4 point pertimbangan, yang merupakan produk hukum bangsa Indonesia, dalam mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika serta mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika. 85 Lihat Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Pasal 36 hingga Pasal 53 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, LN RI Tahun 1976 No. 36, TLN RI No. 3086.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
36
yang sudah meratifikasi wajib memerangi peredaran gelap narkoba serta memberikan sanksi yang berat bagi pelakunya.86 Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 kemudian dikeluarkan pada tanggal 1 September 1997 untuk menggantikan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976, selain itu juga dengan pertimbangan bahwa kejahatan narkotika telah bersifat transnational yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situai dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut.87 Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 diperkenalkan adanya ancaman pidana minimal khusus, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan pidana, khususnya pada Pasal 78 – 83 dan juga Pasal 87, atau dengan kata lain hanya beberapa pasal saja yang mengatur mengenai ancaman pidana minimal khusus. Namun demikian ancaman pidana minimal ini hanya dimaksudkan untuk pemberatan hukuman saja, bukan dikenakan pada perbuatan pokoknya. Ancaman pidana minimal ini hanya dapat diterapkan pada keadaan tertentu saja, yaitu jika didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisir atau dilakukan oleh korporasi. 88 Pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini terdapat sistimatik rumusan tindak pidana dan ancaman hukumannya yang mengacu pada fenomena sosial. 89 Yang mana salah satu ciri reformasi hukum adalah masuknya fenomena sosio-kriminologis sebagai pertimbangan dalam penentuan perbuatan yang dilarang dan sanksi pidananya, dimana fenomena tersebut adalah adanya perbuatan kejahatan yang konspiratif oleh organisasi dan korporasi. 90
86 OC Kaligis dan Associates, Narkoba dan Peradilannya di Indonesia Reformasi Hukum Pidana melalui Perundangan dan Peradilan, cet. 2, Bandung : Alumni, 2007, hal. 270. 87 Hal-hal tersebut sebagaimana yang dimuat dalam Konsideran UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, LN RI Tahun 1997 No. 67, TLN RI No. 3698. 88 Gatot Supramono, Op. Cit., hal. 193. 89 OC Kaligis dan Associates, Op. Cit., hal. 63. 90 Ibid, hal. 64.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
37
Adapun aspek-aspek yang reformatif dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 (maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika) yang dimaksud adalah sebagai berikut :91 1. Realita gradasi karena variasi golongan dalam narkotika dan psikotropika dengan ancaman hukuman yang berbeda dengan Golongan I yang terberat disusul Golongan II dan III (tidak dipukul rata); Suatu yang patut dipuji justru dalam pemberatan pidana penjara ada ketentuan hukuman minimal (paling singkat). Hal ini adalah hal baru dalam kaidah hukum pidana. 2. Ketentuan pemberatan selain didasarkan penggolongan juga realita bahwa dalam penyalahgunaan narkoba banyak dilakukan oleh kelompok melalui permufakatan jahat (konspirasi), maka bila penyalahgunaan
beberapa
orang
dengan
konspirasi
sanksi
hukumannya diperberat. 3. Demikian pula pemberatan dilakukan bila pelaku penyalahgunaan narkoba terorganisasi. Ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkoba telah ada sindikat-sindikat yang terorganisasi rapi dalam operasionalnya. 4. Demikian pula apabila korporasi yang terlibat maka pidana dendanya
diperberat,
tetapi
pertanggungjawaban
pidana
korporasinya belum tegas, apakah direkturnya dapat dikenakan hukuman pidana penjara ? Hal ini mungkin harus melalui yurisprudensi. 3. Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (LN RI Tahun 2009 No. 143, TLN RI No. 5062) Awalnya pada saat pelaksanaan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, MPR telah merekomendasikan kepada DPR dan juga kepada Presiden untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika (hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Ketetapan
91
Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
38
MPR RI Nomor VI/MPR/2002)92, dengan tujuan untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini dikarenakan meskipun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 telah diterapkan, yang mana Undang-Undang ini telah dengan tegas mengatur tentang upaya pemberantasan pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati, serta mengatur pula mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial, namun dalam kenyataannya tindak pidana narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas dengan korban yang juga semakin meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, serta generasi muda pada umumnya. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ini juga telah terdapat ancaman pidana minimal, yang mana ketentuan ancaman pidana minimal dalam undang-undang ini merupakan penyempurnaan dari ketentuan yang telah ada sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Dengan kata lain bila di Undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nonor 2 Tahun 1997, pengaturan mengenai ancaman pidana minimal hanya terdapat dalam beberapa pasal saja dalam ketentuan pidananya, maka pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, ancaman pidana minimal terdapat pada hampir di semua pasal yang ada dalam ketentuan pidananya. Selain itu ancaman pidana minimal di dalam undang-undang ini tidak lagi hanya dimaksudkan untuk pemberatan hukuman dan diterapkan pada keadaan tertentu saja, seperti misalnya jika tindak pidananya didahului dengan permufakatan jahat atau apabila dilakukan secara terorganisasi, melainkan diterapkan pula terhadap perbuatan pokoknya yang
92
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
39
dilakukan oleh setiap orang atau setiap individu yang bertindak sebagai pelaku tindak pidana narkotika. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap narkotika, maka dalam undang-undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika, karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika. Selain itu diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan narkotika. Dalam rangka menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika maupun prekursor narkotika, maka undang-undang ini juga mengatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Adapun pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.93 Dari adanya beberapa peraturan Perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana narkotika, maka terhadap pengaturan pemidanaan yang ada dalam ketentuan pidana yang terdapat pada masingmasing undang-undang tersebut, dapat dilakukan perbandingan. Adapun yang akan diperbandingkan adalah beberapa pasal yang mengatur mengenai kejahatan narkotika. Hal ini sebagaimana yang terlihat pada matriks perbandingan perbedaan pemidanaan pada masing-masing undang-undang narkotika di bawah ini.
93
Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
40
Tabel 2. Matriks Perbandingan Perbedaan Pemidanaan pada masing-masing Undang-Undang Narkotika UU No. 9 Tahun 1976 Pasal Yang Pemidanaan Dilanggar
UU No. 22 Tahun 1997 Pasal Yang Pemidanaan Dilanggar
UU No. 35 Yahun 2009 Pasal Yang Pemidanaan Dilanggar
No.
Jenis kejahatan Narkotika
1.
Tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika
Pasal 36 ayat Pidana penjara paling Pasal 78 ayat (3) lama 10 (sepuluh) (1) tahun dan Pidana denda paling tinggi Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)
2.
Tanpa hak dan melawan hukum memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika.
Pasal 36 ayat Pidana penjara paling Pasal 80 ayat Pidana mati atau Pasal 113 ayat Pidana penjara paling (2) lama 20 (duapuluh) (1) pidana penjara seumur (1) singkat 5 (lima) tahun tahun dan Pidana hidup atau pidana dan paling lama 15 (lima Denda paling tinggi penjara paling lama 20 belas) tahun dan Pidana Rp. 30.000.000,(duapuluh) tahun dan denda paling sedikit (tigapuluh juta rupiah) Pidana denda paling Rp.1.000.000.000,- (satu banyak milyar rupiah) dan paling Rp.1.000.000.000,banyak (satu mulyar rupiah) Rp10.000.000.000,(sepuluh milyar rupiah)
Pidana penjara paling Pasal 111 ayat lama 10 (sepuluh) (1) dan Pasal tahun dan Pidana 112 ayat (1) denda paling banyak Rp.500.000.000,(lima ratus juta rupiah)
Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan Pidana denda paling sedikit Rp.800.000.000,(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,(delapan milyar rupiah)
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
41
3.
Tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika
4.
Tanpa hak dan melawan Pasal 36 ayat hukum mengimpor, (5) mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika
5.
Tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.
Pasal 36 ayat Pidana mati atau Pasal 81 ayat Pidana penjara paling Pasal 115 ayat Pidana penjara paling (4) pidana penjara seumur (1) lama 15 (lima belas) (1) singkat 4 (empat) tahun hidup atau pidana tahun dan Pidana dan paling lama 12 (dua penjara paling lama 20 denda paling banyak belas) tahun dan Pidana (duapuluh) tahun dan Rp.750.000.000,denda paling sedikit Pidana denda paling (tujuh ratus lima puluh Rp.800.000.000,tinggi Rp.50.000.000,juta rupiah) (delapan ratus juta (lima puluh juta rupiah) dan paling rupiah) banyak Rp.8.000.000.000,(delapan milyar rupiah) Pidana mati atau Pasal 82 ayat pidana penjara seumur (2) hidup atau pidana penjara paling lama 20 (duapuluh) tahun dan Pidana denda paling tinggi Rp.50.000.000,(lima puluh juta rupiah)
Pasal 36 ayat Pidana penjara paling Pasal 84 (6) lama 10 (sepuluh) tahun dan Pidana denda paling tinggi Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)
Pidana mati atau Pasal 114 ayat pidana penjara seumur (1) hidup atau pidana penjara paling lama 20 (duapuluh) tahun dan Pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,(satu mulyar rupiah)
Pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan Pidana denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,(sepuluh milyar rupiah)
Pidana penjara paling Pasal 116 ayat Pidana penjara paling lama 15 (lima belas) (1) singkat 5 (lima) tahun tahun dan Pidana dan paling lama 15 (lima denda paling banyak belas) tahun dan Pidana Rp.750.000.000,denda paling sedikit (tujuh ratus lima puluh Rp.1.000.000.000,- (satu juta rupiah) milyar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,-
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
42
(sepuluh milyar rupiah) 6.
Tanpa hak dan melawan Pasal 36 ayat Pidana penjara paling hukum menggunakan (7) lama 3 (tiga) tahun narkotika bagi dirinya sendiri
7.
Dengan sengaja Pasal 45 menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di depan Pengadilan perkara tindak pidana yang menyangkut narkotika
8.
Setiap saksi yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar kepada penyidik dalam tindak pidana yang menyangkut narkotika
Pasal 46
Pasal 85
Pidana penjara paling Pasal 127 lama 4 (empat) tahun
Pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
Pidana penjara paling Pasal 92 lama 5 (lima) tahun dan Pidana denda paling tinggi Rp.10.000.000,(sepuluh juta rupiah)
Pidana penjara paling Pasal 138 lama 5 (lima) tahun dan Pidana denda paling banyak Rp.150.000.000,(seratus lima puluh juta rupiah)
Pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan Pidana denda paling banyak Rp.500
Pasal 95
Pidana penjara paling Pasal 143 lama 10 (sepuluh) tahun dan Pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,(tiga ratus juta rupiah)
Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan Pidana denda paling sedikit Rp.60.000.000,(enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)
Pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan Pidana denda paling tinggi Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
43
2.1.2 Pengertian Tindak Pidana Narkotika Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit.94 Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindi Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.95 Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia sendiri tidak ditemukan definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoretis para ahli hukum.96 Para ahli hukum pidana umumnya masih memasukkan kesalahan sebagai bagian dari pengertian tindak pidana. 97 Menurut pendapat dari Simons, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, dia merumuskan bawah Strafbaar feit ialah kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.98 Sedangkan menurut pendapat Van Hamel, sebagaimana dikutip oleh Moeljatno, strafbaar feit adalah kelakuan orang ( menselijke gedraging ) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 99 Dengan demikian jelas bahwa pengertian strafbaar feit mempunyai 2 arti yaitu menunjuk pada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang dan menunjuk pada perbuatan (yang melawan hukum) yang
dilakukan
dengan
kesalahan
oleh
orang
yang
mampu
bertanggungjawab. Lebih lanjut Moeljatno mengatakan, bahwa : ”Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 94
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002, hal. 67. 95 Ibid 96 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori PemisahanTindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, cet. 2, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006, hal. 25. 97 Ibid 98 Andi Hamzah, Op. Cit., hal. 88. 99 Moeljatno, Op.Cit., hal. 56.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
44
Sedangkan menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana adalah perbuatan yang melawan hukum”. 100 Menurut pendapat dari R. Soesilo, dia mengatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh Undang-Undang yang apabila perbuatan itu dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan hukuman. 101 Sedangkan Komariah E. Sapardjaja berpendapat tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu.102 Hal yang sama juga disampaikan oleh Indriyanto Seno Adji yang mengatakan, tindak pidana adalah perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum,
terdapat
suatu
kesalahan
dan
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.
bagi
pelakunya
dapat
103
Adapun pengertian dari narkotika itu sendiri, ada pendapat dari Smith Kline dan Frech Clinical Staff, yang mengatakan bahwa “narcotic are drugs which product insensibillity or stuporduce to their depresant offer on the central nrvous system, included in this definition are opiumopium derivativis (morphine, codein, methadone)”. Dari definisi tersebut, Moh. Taufik Makarao, dkk, menerjemahkan sebagai berikut : ”Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, methadone)”.104 Di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang khusus mengatur mengenai narkotika, awalnya dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tidak memuat definisi tentang narkotika secara umum,
100
Ibid, hal. 54. R. Soesilo, Op. Cit., hal. 6 102 Komariah E. Sapardjaja, Ajaran Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana Indonesia : Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung : Alumni, 2002, hal. 22. 103 Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultan Hukum ”Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, 2002, hal. 155. 104 Moh. Taufik Makarao, dkk, Op. Cit., hal. 18. 101
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
45
melainkan hanya menyebut dalam Pasal 1 ke-1 apa yang dimaksud dengan narkotika dalam undang-undang itu. Bahan-bahan yang disebut adalah : a. Tanaman Papaver, opium mentah, opium masak, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, ekgonia, tanaman ganja, dammar ganja; b. Garam-garam dan turunan-turunan dari morfina dan kokaina; c. Bahan-bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintesis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti morfina atau kokaina; d.
Campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan yang tersebut dalam huruf a,b, dan c. Selanjutnya di dalam peraturan perundang-undangan yang baru,
yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, telah diatur mengenai pengertian dari narkotika, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1. Dimana dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut dijelaskan bahwa yang dinamakan dengan narkotika itu sendiri yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman,
baik sintetis
maupun
semisintetis,
yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Pemberian arti mengenai narkotika oleh undang-undang ini diperlukan untuk menentukan batas-batas dalam pemidanaan terhadap perbuatan-perbuatan yang diancam pidana dalam undang-undang tersebut, jadi apa yang disebut disitu dapat dikatakan sebagai definisi yuridis dari narkotika.105 Dari pengertian-pengertian tersebut di atas, yang meliputi pengertian tindak pidana maupun pengertian narkotika, maka dapat dijelaskan bahwasanya yang dinamakan dengan tindak pidana narkotika 105
Sudarto, Op. Cit., hal. 38.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
46
itu sendiri adalah perbuatan yang dilarang atau diwajibkan oleh UndangUndang Narkotika yang berlaku, yang apabila perbuatan itu dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan hukuman yang telah diatur dalam Undang-undang Narkotika tersebut. Berkaitan dengan tindak pidana narkotika, meskipun di dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009) tidak secara tegas menyebutkan bahwa tindak pidana yang diatur di dalamnya merupakan tindak kejahatan, namun hal ini tidak perlu disangsikan lagi karena semua tindak pidana di dalam undang-undang ini merupakan tindak kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan di luar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan, mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian
narkotika
secara
tidak
sah
sangat
membahayakan bagi jiwa manusia.106 Selain itu tindak pidana narkotika dalam sistem hukum Indonesia dikualifikasikan sebagai kejahatan, dikarenakan tindak pidana narkotika dipandang sebagai bentuk kejahatan yang menimbulkan akibat serius bagi masa depan bangsa ini, merusak kehidupan dan masa depan terutama generasi muda serta pada gilirannya kemudian dapat mengancam eksistensi bangsa dan negara ini.107 Pengaturan mengenai tindak pidana narkotika di dalam UndangUndang Narkotika sendiri terdapat pada Pasal 111 s/d Pasal 148, sebagaimana yang yang tertuang dalam ketentuan pidananya. Sedangkan terkait dengan ancaman pidana minimal yang diatur dalam UndangUndang Narkotika ini, telah diterapkan terhadap perbuatan pokoknya, seperti misalnya tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. Di dalam Undang-Undang Narkotika, kelompok kejahatan di bidang narkotika terdiri atas : kejahatan yang menyangkut produksi narkotika, kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika, kejahatan yang 106 107
Gatot Supramono, Op.Cit., hal. 199. I Nyoman Nurjaya, Op. Cit., hal. 4 -5 .
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
47
menyangkut pengangkutan dan transito narkotika, kejahatan yang menyangkut
penguasaan
narkotika,
kejahatan
yang
menyangkut
penyalahgunaan narkotika, kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika, kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika, kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika, kejahatan yang menyangkut keterangan palsu, kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi lembaga.108
2.1.3 Pengertian Pelaku Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan ketentuan pidana yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, subyek hukum yang dapat dipidana karena kasus penyalahgunaan narkotika adalah orang perorangan (individu) dan korporasi (badan hukum). Sedangkan jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku penyalahgunaan narkotika adalah berupa pidana penjara, pidana seumur hidup sampai pidana mati, yang secara kumulatif ditambah dengan pidana denda. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tidak menjelaskan secara tegas pengertian pelaku tindak pidana narkotika. Yang dijelaskan di dalam undang-undang
ini
yaitu
pengertian
dari
penyalahguna,
dimana
berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 15 dikatakan bahwa yang dinamakan dengan Penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Mengenai jenis pelaku tindak pidana narkotika, pada dasarnya Undang-Undang
Narkotika
mengklasifikasi
pelaku
tindak
pidana
penyalahgunaan narkotika ke dalam beberapa jenis, diantaranya yaitu : a. pengguna Untuk status pengguna narkotika dibagi menjadi 2 yaitu : 1. pengguna narkotika untuk diberikan kepada orang lain Ketentuan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 116, 121 dan 126. Di dalam Pasal 116 memuat aturan yang melarang perbuatan 108
Gatot Supramono, Op.Cit., hal. 200.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
48
tanpa hak dan melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Sedangkan dalam Pasal 121 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Adapun pada Pasal 126 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. pengguna narkotika untuk dirinya sendiri Ketentuan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 127, dimana dalam pasal ini memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika bagi diri sendiri, yaitu untuk narkotika golongan I ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, narkotika golongan II ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan narkotika golongan III ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
49
b. pemilik Ketentuan mengenai jenis pelaku tindak pidana narkotika yang kedudukannya sebagai pemilik narkotika dapat dilihat dalam Pasal 111, 112, 117, dan 122. Pada Pasal 111 dan Pasal 112 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I, baik dalam bentuk tanaman maupun bukan tanaman, yang mana ancaman hukuman yang dijatuhkan kepada pelanggar kedua pasal ini adalah berupa pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Sedangkan Pasal 117 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Adapun Pasal 122 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan
III,
dengan ancaman
hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). c. pengedar Ketentuan mengenai jenis pelaku tindak pidana narkotika yang peranannya sebagai pengedar narkotika dapat dilihat dalam Pasal 114, 119, dan 124. Di dalam Pasal 114 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dengan ancaman
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
50
hukumannya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Sedangkan Pasal 119 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua
belas)
tahun
dan
pidana
denda
paling
sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Adapun Pasal 124 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). d. pengolah Ketentuan mengenai jenis pelaku tindak pidana narkotika yang kedudukannya sebagai pengolah dapat dilihat dalam Pasal 113, 118, dan 123. Di dalam Pasal 113 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa
hak
atau
melawan
hukum
memproduksi,
mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Adapun Pasal 118 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
51
Narkotika Golongan II, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Sedangkan Pasal 123 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). e. pembawa Terhadap jenis pelaku tindak pidana narkotika yang peranannya sebagai pembawa maka ketentuannya dapat dilihat dalam Pasal 115, 120, dan 125. Di dalam Pasal 115 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Pasal 120 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dengan ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Sedangkan Pasal 125 memuat aturan yang melarang perbuatan tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dengan ancaman hukumannya adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
52
juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
2.2 Ancaman Pidana Minimum Khusus Pada dasarnya merumuskan bunyi suatu undang-undang merupakan suatu pekerjaan yang berat dan sulit. Menurut pendapat dari E.Y Kanter dan S.R Sianturi, yang harus dirumuskan bukan sesuatu kejadian yang konkrit, melainkan sedapat mungkin perumusan itu harus sedemikian rupa sehingga meliputi segalanya dan dalam segala keadaan, agar tiada suatu perbuatan atau kesempatan yang tersisa untuk dapat lolos, bagaimanapun telitinya mencari kelemahan perumusan peraturan tersebut.109 Lebih lanjut E.Y Kanter dan S.R Sianturi mengatakan bahwa perumusan bunyi undangundang tersebut harus sederhana akan tetapi jelas dan terang. 110 Selanjutnya pada akhirnya nanti bukan hanya penegak hukum dan keadilan saja yang berkepentingan mengenai perumusan perundang-undangan, melainkan setiap rakyat yang mencari keadilan. Selain dari pada itu sangat penting untuk kepastian hukum.111 Menurut pendapat Marjanne Termorshuizen-Arts, suatu rumusan undang-undang harus memenuhi beberapa asas, yaitu :112 -
Asas Lex Scripta, yakni ketentuan pidana harus sudah dirumuskan lebih dahulu. Selain dapat memberikan kepastian hukum kepada warga negara, akan juga memberikan kepastian serupa bagi pejabat pemerintah yang harus menegakkan hukum pidana, seperti polisi dan jaksa.
-
Asas Lex Certa, yakni rumusan ketentuan perundang-undangan tersebut harus jelas dan terang.
-
Asas Lex Stricta, yakni cara merumuskannya harus cukup ketat dan terbatas jangkauannya.
109
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 63. Ibid 111 Ibid 112 Marjanne Termorshuizen-Arts, Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Belanda, (Makalah disampaikan pada Ceramah Hukum Pidana “Same Root, Different Development”, FH UI Depok, 3-4 April, 2006), hal. 2-3. 110
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
53
Masih menurut pendapat Marjanne Termorshuizen-Arts, yang sama halnya dengan pendapat yang disampaikan oleh E.Y Kanter dan S.R Sianturi di atas, sepatutnya ketentuan perundang-undangan pidana memberikan kepastian hukum kepada warga negara. Secara teoritis, dengan membaca bunyi ketentuan perundang-undangan atau bahkan Kitab Undang-undang, seorang warga dapat menelusuri apakah suatu perbuatan atau tindakan (yang mungkin ingin ia lakukan) diancam dengan sanksi pidana atau tidak. Dengan cara itu, warga dapat mengetahui dan menentukan pilihan termasuk mempertimbangkan konsekuensi dari perbuatan yang akan dilakukannya itu, tentunya dengan syarat bahwa rumusan atau bunyi ketentuan perundangundangan tersebut cukup jelas.113 Dapat dikatakan bahwa rumusan atau bunyi dari suatu ketentuan perundang-undangan haruslah jelas dan terang tidak hanya penting bagi warga negara, melainkan juga penguasa, dalam hal ini negara, yang diwakili oleh para penegak hukum yang bekerja dalam sistem peradilan pidana, meliputi
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan
dan
juga
lembaga
pemasyarakatan. Demikian halnya dengan adanya perumusan pasal-pasal di dalam suatu undang-undang di Indonesia yang mengatur atau berisikan ketentuan mengenai ancaman pidana atau sanksi pidana (strafmaat), termasuk pula ancaman pidana minimum khusus, sudah jelas perumusan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi warga negara Indonesia.
2.2.1
Korelasi Antara Ancaman Pidana Minimum Khusus Dengan Tujuan Pemidanaan Keberadaan ancaman pidana minimum khusus yang terdapat di dalam suatu undang-undang, termasuk pula Undang-Undang Narkotika, pada dasarnya mempunyai korelasi yang erat dengan tujuan pemidanaan atau penjatuhan pidana. Dimana pemidanaan itu sendiri merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh
113
Ibid, hal. 4.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
54
proses
mempertanggungjawabkan
seseorang
yang
telah
bersalah
melakukan tindak pidana.114 Menurut pendapat dari Andrew Ashworth, sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda, dia mengatakan bahwa “A criminal law without sentencing would merely be a declaratory system pronouncing people guilty without any formal consequences following form that guilt”.115 Dari pernyataan Andrew Ashworth tersebut selanjutnya diterjemahkan oleh Chairul Huda, yaitu hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya tersebut.116 Dari adanya pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa di dalam hukum pidana haruslah ada pemidanaan, supaya ada akibat yang pasti atas kesalahan yang telah dilakukan oleh si pelaku kejahatan. Terkait dengan pengertian dari sistem pemidanaan, maka hal ini mencakup pengertian yang sangat luas. Menurut pendapat L.H.C. Hulsman, sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah : “aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan” (the statutory rules relating to penal sanctions and punishment).117 Apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum) pidana. Ini berarti semua aturan perundangundangan mengenai hukum pidana substantif, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.118
114
Chairul Huda, Op. Cit., hal. 125. Ibid 116 Ibid 117 Lilik Mulyadi, Op. Cit., hal. 90. 118 Barda Nawawi Arief, Sistem Pemidanaan Menurut Konsep KUHP Baru dan Latar Belakang Pemikirannya, Kupang : Universitas Cendana Kupang, 1989, hal. 1. 115
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
55
Terkait dengan penjatuhan pidana ini, terdapat 3 (tiga) golongan teori yang membenarkan penjatuhan pidana, yaitu :119 1. Teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien) 2. Teori relative atau tujuan (doel theorien) 3. Teori gabungan (werenigingstheorien) Penjabaran dari ketiga teori tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien) Teori ini mengatakan bahwa hakekat suatu pidana ialah pembalasan. Pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan.120 Menurut pendapat dari Leo Polak, sebagaimana dikutip oleh Andi
Hamzah,
menjadi :
variasi-variasi teori pembalasan
ini diperinci
121
a. Teori pertahanan kekuasaan hukum atau pertahanan kekuasaan pemerintah negara (rechtsmacht of gezagshandhaving) Teori ini menggambarkan pidana sebagai paksaan belaka. Siapa yang secara sukarela menerima putusan hakim pidana dengan sendirinya tidak merasa bahwa putusan tersebut tidak sebagai penderitaan.
119
Andi Hamzah, Loc. Cit. Ibid 121 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia; dari retribusi ke reformasi, cet. 1, Jakarta : Pradnya Paramita, 1986, hal. 18-20. 120
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
56
b. Teori kompensasi keuntungan (voordeelscompensatie) Teori ini mengatakan apabila kejahatan tidak dibalas dengan pidana maka timbullah perasaan tidak enak, Memidana penjahat adalah suatu keharusan menurut estetika. c. Teori melenyapkan segala sesuatu yang menjadi akibat suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan penghinaan (onrechtsfustrering en blaam) Teori ini mengatakan bahwa etika tidak dapat mengizinka berlakunya suatu kehendak subyektif yang bertentangan dengan hukum. Makin besar kehendak menentang hukum makin besar penghinaan yang dijatuhkan. d. Teori pembalasan dalam menyelenggarakan persamaan hukum (talioniserende handhaving van rechtsgelijkheid). Menurut teori ini, asas persamaan hukum yang berlaku bagi semua anggota masyarakat menuntut suatu perlakuan menurut hukum yang sama terhadap setiap anggota masyarakat. e. Teori untuk melawan kecenderungan untuk memuaskan keinginan berbuat yang bertentangan dengan kesusilaan (kering van onzedelijke neigingsbevredining) Teori ini mengatakan bahwa keperluan untuk membalas tidak ditujukan kepada persoalan apakah orang lain mendapat bahagia atau penderitaan, tetapi keperluan untuk membalas itu ditujukan kepada
niat
masing-masing
orang.
Niat-niat
yang
tidak
bertentangan dengan kesusilaan dapat diberi kepuasan, sebaliknya niat-niat yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh diberi kepuasan. f. Teori mengobyektifkan (objectiveringstheorie) Teori ini berpangkal pada etika, dimana tiada seorang pun boleh mendapat keuntungan karena suatu perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya (ne malis expediat asse malos).
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
57
Menurut pendapat dari E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, teori pembalasan ini terbagi menjadi 5 (lima) lagi yaitu :122 a. Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari ethica (moraalphilosophie) Teori ini mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat. b. Pembalasan “bersambut” (dialektis) Teori ini mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. c. Pembalasan demi “keindahan” atau kepuasan (aesthetisch) Teori ini mengatakan bahwa adalah merupakan tuntutan mutlak dari perasaaan ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan,
untuk
memidana
penjahat,
agar
ketidakpuasan
masyarakat terimbangi atau rasa keindahan masyarakat terpulihkan kembali. d. Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama) Teori ini mengemukakan bahwa kejahatan adalah merupakan pelanggaran terhadap pri-keadilan Tuhan dan harus ditiadakan. Karenanya mutlak harus diberikan penderitaan kepada penjahat, demi terpeliharanya pri keadilan Tuhan. e. Pembalasan sebagai kehendak manusia Menurut teori ini adalah merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia akan menerima sesuatu yang jahat. 2. Teori relative atau tujuan (doel theorien) Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan.
Wujud
pidana
ini
berbeda-beda
:
menakutkan,
memperbaiki, atau membinasakan. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik. Sedangkan prevensi khusus bertujuan untuk mencegah niat buruk pelaku (dader), 122
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 59-60.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
58
mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya, atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.123 Di pandang dari tujuan pemidanaan, maka teori ini dapat dibagi-bagi sebagai berikut :124 a. Pencegahan terjadinya suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti caloncalon penjahat. Seorang calon penjahat apabila mengetahui adanya ancaman pidana yang cukup berat diharapkan akan mengurungkan niatnya. b. Perbaikan atau “pendidikan” bagi penjahat (Verbeterings theorie) Kepada penjahat diberikan “pendidikan” berupa pidana, agar ia kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakat dalam keadaan mental yang lebih baik dan berguna. c. Menyingkirkan penjahat dari lingkungan / pergaulan masyarakat (Onschadelijk maken). Caranya ialah kepada penjahat yang sudah kebal kepada ancaman pidana yang berupa usaha menakut-nakuti (afschrikking) supaya dijatuhi perampasan kemerdekaan yang cukup lama, bahkan jika perlu dengan pidana mati. d. Menjamin
ketertiban
umum
(rechtsorde).
Caranya
ialah
mengadakan norma-norma yang menjamin ketertiban hukum. Kepada pelanggar norma tersebut negara menjatuhkan pidana. Ancaman pidana akan bekerja sebagai peringatan (waarschuwing) dan mempertakutkan. 3. Teori gabungan (werenigingstheorien) Teori gabungan ini merupakan gabungan dari teori pembalasan dan teori tujuan, yang mana teori pembalasan dan teori tujuan masingmasing mempunyai kelemahan :125 Terhadap teori pembalasan : 1. Sukar menentukan berat / ringannya pidana. Atau ukuran pembalasan tidak jelas. 123 124 125
Andi Hamzah, Asas-Asas…..,Op. Cit., hal. 34-35. E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 61-62. Ibid, hal. 62-63.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
59
2. Diragukan adanya hak negara untuk menjatuhkan pidana sebagai pembalasan. 3. Hukuman pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi masyarakat. Terhadap teori tujuan : 1. Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan, dijatuhkan pidana yang berat baik oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus, 2. Jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang berat, tidak akan memenuhi rasa keadilan, 3. Bukan hanya masyarakat yang harus diberi kepuasan, tetapi juga kepada penjahat itu sendiri. Berkaitan
dengan
adanya
3
(tiga)
golongan
teori
yang
membenarkan penjatuhan pidana, maka menurut pendapat Oemar Seno Adji, perundang-undangan memberikan kebebasan kepada hakim teori manakah yang akan dipergunakan dalam menetapkan hukuman.126 Berkenaan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri umumnya dihubungkan dengan 2 (dua) pandangan besar, yaitu retributivism dan utilitarianism,127 yang dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Pandangan retributivism Paham ini sangat berpengaruh dalam hukum pidana, terutama dalam menentukan tujuan pemidanaan. Pada pokoknya paham ini menentukan bahwa tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan adalah membalas perbuatan pelaku 128 (hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam teori absolut atau teori pembalasas). Menurut Van Bemmelen, dia mengatakan, “pada dasarnya setiap pidana adalah pembalasan”. 129 Sedangkan menurut Knigge, dia mengatakan bahwa :
126
Oemar Seno Adji, Loc. Cit. Ibid, hal. 128. 128 Ibid 129 Jan Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, terj.Tristam P.Moeliono, Jakarta : Gramedia, 2003, hal. 618. 127
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
60
“Menghukum pada dasarnya adalah melakukan pembalasan, dan hal itu bukan suatu hal yang jelek dalam dirinya sendiri, melakukan pembalasan sebagai reaksi atas perilaku yang melanggar norma adalah tindakan manusia yang teramat wajar”. 130 2. Pandangan utilitarianism Pandangan ini terutama menentukan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori tujuan) dan bukan hanya sekadar membalas perbuatan pembuat.131 Jeremy Bentham sebagai pelopor pemikiran tentang tujuan hukuman yang mengemukakan teori utilitarian, yang menghasilkan paham utilitarianisme.132 Menurut teori ini kejahatan tidak harus dijatuhi dengan suatu hukuman tetapi harus ada manaatnya baik untuk si pelaku tindak pidana maupun untuk masyarakat. Hukuman diberikan bukan saja karena apa yang ditimbulkan si pelaku pada masa lalu, melainkan ada tujuan yang utama untuk masa depan. Sehingga hukuman berfungsi mencegah agar kejahatan tidak diulangi, dan menakut-nakuti
anggota
melakukan kejahatan.
masyarakat
sehingga
menjadi
takut
Barda
Nawawi
Arief,
133
Menurut pendapat
Muladi dan
mengatakan bahwa, “pidana bukanlah sekadar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat”. 134 Adapun menurut Antony Duff dan David Garland, sebagaimana pendapatnya dikutip oleh Harkristuti Harkrisnowo, tujuan pemidanaan
130
Ibid, hal. 619. 131 Chairul Huda, Op. Cit., hal. 129. 132 Menurut Kaum Utilitarianisme, tujuan pembuatan sekurang-kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan yang dilakukan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain (A. Mangunhardjana, Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z, Yogyakarta : Kanisius, 1997, hal. 228.) 133 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1983, hal. 26-27. 134 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hal. 16.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
61
dikelompokkan ke dalam 2 (dua) golongan besar, yakni konsekuensialis dan non-konsekuensialis,135 yang dijabarkan sebagai berikut : 1. Golongan konsekuensialis Bagi kaum konsekuensialis, benar tidaknya sesuatu tergantung sematamata pada konsekuensi secara menyeluruh. Ringkasnya, jika konsekuensinya baik, maka tindakan tersebut benar, namun apabila konsekuensinya buruk, maka tindakan itu salah. Oleh karenanya, untuk mencari pembenaran bagi pemidanaan, maka harus dibuktikan bahwa : a) pidana itu membawa kebaikan; b) pidana mencegah kejadian yang lebih buruk; c) tidak ada alternatif lain yang dapat memberikan hasil yang setara baiknya”. Dalam perspektif ini, pencegahan kejahatan merupakan tujuan utama pemidanaan.
Aliran ini berkarakter
instrumentalis dan berorientasi ke depan (forward-looking), dan menitikberatkan pada asas kemanfaatan penjatuhan pidana.136 2. Golongan non-konsekuensialis Kelompok non-konsekuensialis lebih melihat pada pentingnya upaya pembenaran untuk penjatuhan pidana sebagai suatu respon yang patut (appropriate response) terhadap kejahatan. Mereka beranggapan bahwa salah benarnya suatu tindakan harus berdasar pada karakter intrinsiknya, tanpa memperhitungkan konsekuensinya. Golongan ini menganggap pidana merupakan penderitaan yang harus diberikan kepada pelaku kejahatan. Sehingga tidaklah berlebihan jika aliran ini disebut lebih bersifat intrinsicalist and backward-looking.137 Menurut
pendapat
Herbert
L.
Packer,
dia
mengatakan
bahwa, “In my view, there are two and only two ultimate purposed to be served by criminal punishment : the deserved inflection of suffering on evildoers and the prevention of crime”. Dari pernyataan Herbert L. Packer ini selanjutnya oleh Djisman Samosir disimpulkan bahwa, tujuan 135
Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Guagatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, ( Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003), hal.11. 136 Ibid, hal. 11-12. 137 Ibid, hal. 12.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
62
pemidanaan ialah memberi penderitaan pada si pelaku kejahatan dan untuk mencegah kejahatan.138 Sementara Harry Emer Barnes dan Negley K. Teeters menyatakan bahwa, “An additional purposes of punishment is to deter potential wrongdoers from the commision of similliar or worse crime”, yang mana pernyataan ini oleh Djisman Samosir disimpulkan bahwa, tujuan pemidanaan itu ialah untuk mencegah penjahat yang potensial melakukan kejahatan yang sama atau kejahatan yang lebih buruk.139 Menurut pendapat dari Sudarto, pada umumnya tujuan pemidanaan dapat dibedakan sebagai berikut :140 a. pembalasan, pengimbalan dan retribusi. b. mempengaruhi tindak laku orang demi perlindungan masyarakat. Terhadap hal yang disebutkan terakhir ini, Sudarto menyebutnya dengan istilah “prevensi spesial dan prevensi general.141 Mengenai kedua istilah tersebut adalah berhubungan dengan pemidanaan. Dimana pemidanaan dalam hubungannya dengan “prevensi spesial” yakni dengan pemidanaan akan memberikan pengaruh terhadap terpidana, agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi dan ia akan menjadi orang yang lebih baik daripada sebelum ia dipidana. Sedangkan pemidanaan dalam hubungannya dengan “prevensi general” yakni dengan pemidanaan akan memberikan pengaruh terhadap masyarakat luas, agar masyarakat tidak melakukan suatu tindak pidana atau kejahatan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hulsman, yang menyatakan bahwa hakekat pidana bukannlah pemberian nestapa, tetapi meyerukan untuk tertib (tot de orde roepen).142 Mengenai tujuan pemidanaan di Indonesia, Muladi cenderung mengkombinasikan tujuan pemidanaan dengan pendekatan sosiologis, ideologis dan yuridis filosofis. Tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individu dan sosial yang diakibatkan oleh tindak
138
Djisman Samosir, Fungsi Pidana Penjara dalam Pemidanaan di Indonesia, cet. 1, Bandung : Binacipta, 1992, hal. 29. 139 Ibid 140 Sudarto, Op. Cit., hal. 81. 141 Ibid, hal. 83. 142 Ibid, hal. 81.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
63
pidana.143 Lebih lanjut Muladi menjelaskan tujuan pemidanaan sebagai berikut :144 1. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan umum atau khusus. Untuk mencegah pelaku dan orang lain terhadap kejahatan yang sama atau kejahatan lebih lanjut. 2. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Secara sempit digambarkan sebagai kebijakan pengadilan untuk mencari jalan pemidanaan agar masyarakat terlindungi dari bahaya pengulangan pidana. 3. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat. Pemidanaan bertujuan untuk menegakkan adat istiadat masyarakat dan mencegah balas dendam yang tidak resmi. Tujuan pemidanaan untuk memelihara atau mempertahankan kepaduan yang utuh. Peradilan pidana
merupakan
pernyataan
masyarakat,
bahwa
masyarakat
mengurangi hasrat yang agresif menurut cara yang dapat diterima masyarakat. Jadi solidaritas dikaitkan dengan kompensasi terhadap korban kejahatan. 4. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan / pengimbangan. Teori ini beranggapan bahwa setiap orang dalam keadaan apapun juga mampu untuk berbuat bebas sesuai dengan kehendaknya, hal ini memberikan pembenaran untuk dilakukan pembenaran dengan dijatuhkan pidana. Penjahat harus membayar kembali akibat perbuatan jahat yang telah dilakukannya. Masih terkait dengan tujuan pemidanaan, bertolak dari pemikiran bahwa sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (”purposive system”) dan pidana hanya merupakan alat/sarana untuk mencapai tujuan, maka konsep / Rancangan KUHP Baru merumuskan tujuan pemidanaan bertolak pada keseimbangan dua sasaran pokok, yaitu ”perlindungan masyarakat” dan ”perlindungan/pembinaan 143 Muladi, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Tujuan Pemidanaan, (Makalah Pada Simposium Nasional Tentang Relevansi Pidana Mati di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 15 Juni 1989). 144 Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
64
individu”.145 Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Bab III Buku I Konsep Rancangan KUHP Baru tersebut, khususnya Pasal 54 yang mengatur tentang tujuan pemidanaan, yang bunyinya adalah sebagai berikut : ayat (1) Pemidanaan bertujuan untuk : 1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 2. mengadakan koreksi terhadap terpidana dan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup bermasyarakat; 3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; 4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana ayat (2) Pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dari adanya beberapa pendapat mengenai tujuan pemidanaan, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya dengan adanya ancaman pidana minimum khusus, seperti yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika, maka hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera maupun rasa takut, baik bagi si pelaku pidana itu sendiri maupun bagi orang lain. Dimana pemberian efek jera dan rasa takut dengan jalan menjatuhkan pidana dalam batas minimum ini pada dasarnya bertujuan pada satu pihak sebagai pencegahan umum (general prevention) dan pada pihak lainnya sebagai pencegahan khusus (special prevention), yang dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Pencegahan umum dimaksudkan, bahwa dengan adanya pemidanaan akan mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku orang lain selain si pelaku, dengan kata lain yakni dengan adanya ancaman hukuman minimum diharapkan orang lain menjadi takut untuk melakukan perbuatan serupa, sebab hukuman yang dijatuhkan terhadap si pelaku pastinya lebih berat karena adanya batas minimum tersebut. b. Pencegahan khusus ialah pengaruh langsung dari pemidanaan yang dirasakan oleh diri terpidana (baik lahir maupun batin) dan ia akan 145
Muladi, Dkk, Op. Cit., hal.6.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
65
menjadi warga masyarakat yang lebih baik daripada sebelumnya atau dengan kata lain, bahwa dengan adanya pemidanaan dengan batas minimum diharapkan terpidana menjadi jera sehingga nantinya tidak akan terjadi lagi pengulangan perbuatan kejahatan oleh diri terpidana. Dengan demikian, sebagaimana yang disampaikan oleh Sudarto, pembentukan undang-undang pidana khusus termasuk dalam rangka politik kriminal yaitu usaha masyarakat dengan perantaraan berbagai organ pemerintah untuk secara rasional menanggulangi kejahatan146, sehingga diharapkan dengan munculnya ancaman pidana minimum khusus ini dapat menunjang tercapainya tujuan dari politik kriminal tersebut.
2.2.2
Tujuan Diberlakukannya Ancaman Pidana Minimum Khusus dan Pengaturannya Dalam Undang - Undang Narkotika Munculnya pasal-pasal yang mengatur ketentuan mengenai ancaman pidana minimum khusus tidak hanya terdapat di dalam UndangUndang Narkotika saja, melainkan juga terdapat dalam undang-undang yang lain, seperti misalnya Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi ataupun juga Undang-Undang tentang Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM). Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh kecenderungan internasional. Menurut Muladi, dikembangkannya sanksi minimum khusus untuk tindak pidana tertentu merupakan salah satu dari 7 (tujuh) kecenderungan internasional. 147 Adapun mengenai 7 (tujuh) kecenderungan internasional tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Kecenderungan
untuk
mencari
sanksi
alternatif
dari
pidana
kemerdekaan (alternative sanction); 2. Dikembangkannya sanksi minimum khusus untuk tindak pidana tertentu; 3. Diaturnya sistem pidana kumulatif untuk tindak pidana tertentu; 146
Sudarto, Op. Cit., hal. 67. Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, cet. 2, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002, hal. 15. 147
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
66
4. Polarisasi pidana mati; 5. Dikembangkannya pidana terhadap korporasi; 6. Penggunaan sistem dua jalur (double track- system); 7. Pengaturan secara khusus sistem pidana anak. Lebih lanjut Muladi menjelaskan bahwa dikembangkannya sanksi minimum khusus untuk pidana tertentu ditujukan dalam rangka mengurangi disparitas pidana (disparity of sentencing) dan menunjukkan beratnya tindak pidana yang bersangkutan.148 Pendapat Muladi ini sama halnya dengan yang disampaikan oleh Barda Nawawi Arief, yang mengatakan bahwa : “Perlunya minimal khusus ini dapat dirasakan dari keresahan masyarakat atau kekurang puasan warga masyarakat terhadap pidana penjara yang selama ini dijatuhkan dalam praktek, terutama pidana yang tidak jauh berbeda antara pelaku tindak pidana kelas kakap dengan pelaku tindak pidana kelas teri”.149 Apabila
menggunakan
pengertian,
dikembangkannya
sanksi
minimum khusus untuk pidana tertentu ditujukan dalam rangka untuk menunjukkan beratnya tindak pidana yang bersangkutan, sebagaimana pendapat dari Muladi di atas, maka dapat dikatakan bahwa tindak pidana narkotika merupakan salah satu tindak pidana yang berat, sebab ia juga mempunyai sanksi minimum khusus. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yaitu : Dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama - sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Karena itu untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, 148
Ibid, hal. 155. Barda Nawawi Arief, Masalah Pidana Perampasan Kemerdekaan dalam KUHP Baru, Masalah-masalah Hukum No. Edisi Khusus, Universitas Diponegoro, 1987, hal. 84. 149
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
67
baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. 150 Dari penjabaran di atas dapat diketahui bahwasanya tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana yang berat, sebab tindak pidana ini dari tahun ke tahun telah menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dan tidak lagi dilakukan oleh orang perorang melainkan melibatkan banyak orang dengan jumlah korban yang juga semakin meluas. Sehingga karena hal itulah pada akhirnya pemerintah Indonesia mengambil
langkah
tegas dengan
mengeluarkan
Undang-Undang
Narkotika yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang di dalamnya memuat ketentuan mengenai pemberatan sanksi pidana, termasuk disini adalah dalam bentuk pidana minimum khusus, dengan maksud dan tujuannya tidak lain adalah untuk mencegah maupun memberantas tindak pidana narkotika tersebut. Sebagai salah satu tindak pidana yang berat maka terhadap tindak pidana narkotika sudah seharusnya penanganannya dilakukan secara serius, yang mana salah satunya adalah dengan menerapkan ancaman pidana minimum khusus terhadap pelakunya dengan maksud untuk menimbulkan efek jera. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa tujuan diberlakukannya ancaman pidana minimum khusus dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yaitu dapat disimpulkan dari pernyataan pembuat undang-undang itu sendiri, yang mana dalam penjelasan atas undang-undang tersebut menyatakan : Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus...dst.151 Sebagaimana undang-undang lain yang juga memuat ancaman pidana minimum khusus, maka tujuan diciptakannya aturan ancaman pidana minimum khusus dalam Undang-Undang Narkotika secara umum adalah dalam rangka mengurangi disparitas pidana (disparity of 150 151
Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
68
sentencing) dan menunjukkan beratnya tindak pidana yang bersangkutan. Sedangkan secara khusus yaitu untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku tindak pidana narkotika, sehingga nantinya usaha pencegahan dan pemberantasan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dapat terwujud. Adapun mengenai pengaturan ancaman pidana minimum dalam Undang-Undang Narkotika secara umum dapat dijelaskan bahwa di dalam undang-undang ini diberlakukannya ancaman pidana minimum khusus bagi pelaku tindak pidana narkotika yaitu mencakup pidana penjara maupun pidana denda. Hal ini terlihat dari bunyi pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang yang menyatakan : “ ..... pidana penjara paling singkat ...... dan pidana denda paling sedikit .....”. Ketentuan pidana penjara tersebut terbagi dalam beberapa kategori, yaitu : b. Paling singkat 1 (satu) tahun untuk : Pasal 135, 139, 140, 141, 143, dan 147. c. Paling singkat 2 (dua) tahun untuk : Pasal 122 ayat (1), dan 125 (1). d. Paling singkat 3 (tiga) tahun untuk : Pasal 117 ayat (1), 120 (1), 122 (2), 123 (1), 124 (1), 125 (2), 126 (1), dan 137 huruf b. e. Paling singkat 4 (empat) tahun untuk : Pasal 111 ayat (1), 112 (1), 115 (1), 118 (1), 119 (1), 121 (1), dan 129. f. Paling singkat 5 (lima) tahun untuk : Pasal 111 ayat (2), 112 (2), 113, 114 (1), 115 (2), 116, 117 (2), 118 (2), 119 (2), 120 (2), 121 (2), 123 (2), 124 (2), 126 (2), 133, dan 137 huruf a. g. Paling singkat 6 (enam) tahun untuk : Pasal 114 ayat (2). Sedangkan ketentuan pidana denda juga terbagi dalam beberapa kategori, yaitu : a. Paling sedikit Rp40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) untuk : Pasal 135. b. Paling sedikit Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) untuk : Pasal 143. c. Paling sedikit Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk : Pasal 139, 140, 141, 147.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
69
d. Paling sedikit Rp400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) untuk : Pasal 122, 125. e. Paling sedikit Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk : Pasal 137 huruf b. f. Paling sedikit Rp600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) untuk : Pasal 117, 120, 123, 124, 126. g. Paling sedikit Rp800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) untuk : Pasal 111, 112, 115, 118, 119, 121. h. Paling sedikit Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) untuk : Pasal 113, 114, 116, 133 (2), 137 huruf a. i.
Paling sedikit Rp2.000.000.000,- (dua milyar rupiah) untuk : Pasal 133 ayat (1). Selain mengatur ancaman pidana minimum khusus atas jenis pidana
yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, yakni pidana penjara maupun pidana denda, Undang-Undang Narkotika juga mengatur mengenai subyek hukum atau pelaku tindak pidana yang dapat dijatuhi ancaman pidana minimum, dimana salah satunya yaitu orang. Yang dimaksud dengan orang disini adalah setiap orang, hal ini sebagaimana yang terdapat di dalam bunyi pasal-pasal yang ada di ketentuan pidana Undang-Undang Narkotika itu sendiri. Seperti contohnya bunyi Pasal 111 ayat (1) yakni : “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan
hukum
menanam,
memelihara,
memiliki,
menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I.......dipidana dengan pidana penjara paling singkat......dan pidana denda paling sedikit.......”. Undang-Undang Narkotika tidak memberikan ketentuan secara khusus mengenai siapa saja yang dimaksud dengan setiap orang, oleh karena itu dapat diartikan bahwasanya setiap orang disini adalah orang, baik yang berusia anak maupun dewasa. Sehingga terhadap pelaku pidana, baik berusia anak maupun dewasa, yang melanggar pasal dalam UndangUndang Narkotika yang di dalamnya mengatur ketentuan ancaman pidana minimum, hakim dapat menjatuhkan pidana sesuai dengan ketentuan ancaman pidana minimum tersebut.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
70
BAB 3 HAKIM DAN PENJATUHAN PUTUSAN 3.1 Hakim Hakim (Pengadilan) merupakan salah satu dari empat komponen sistem peradilan pidana (criminal justice system), dimana menurut Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya.152 Adapun komponen lainnya adalah kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan. Di dalam Pasal 1 angka 8 KUHAP disebutkan bahwa hakim merupakan pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili. Sedangkan di dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Hakim sering dianggap sebagai sosok yang menentukan nasib seseorang, dalam hal ini adalah seorang terdakwa. Ditangannya seorang terdakwa bisa saja dijatuhi pidana mati, dihukum seumur hidup, atau bahkan dibebaskan dari segala kesalahan. Di dalam KUHAP sendiri, khususnya sebagaimana diatur di dalam Pasal 183, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kecuali dengan minimal dengan dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang beraslah melakukannya. Hal ini menunjukkan adanya kemandirian, atau kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan. Ia bebas menentukan timbulnya keyakinan dalam dirinya berdasarkan alat-alat bukti yang dihadapkan ke muka sidang.
152
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), Jakarta : Universitas Indonesia, 2007, hal. 140.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
71
Di luar kerangka itu, tidak boleh ada hal yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjatuhkan putusan. 153 Keyakinan hakim yang subyektif ini tidak serta merta mempunyai arti bahwa hakim boleh bertindak sewenang-wenang. Kemandirian atau kebebasan hakim haruslah dikembalikan kepada tujuan hukum yaitu keadilan. Dimana menurut Teori Etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang yang adil dan tidak.154 Dapat dikatakan bahwa keberadaan hakim di dalam sistem peradilan pidana sangatlah penting di dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan melalui putusan-putusan yang diambilnya.
3.1.1 Kekuasaan Kehakiman Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang yudisial, yaitu menerima, memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dengan tugas seperti itu dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang secara fungsional melaksanakan
kekuasaan
kehakiman. 155
Secara
umum
kekuasaan
kehakiman ini dapat dikatakan sebagai alat negara penegak hukum, seperti halnya kepolisian dan kejaksaan. Akan tetapi sifat dan tempatnya menurut hukum ketatanegaraan berbeda dengan kedua institusi tersebut. Kekuasaan Kehakiman terletak dalam bidang yudikatif dengan kebebasan yang diatur dalam undang-undang.156 Secara khusus tentang kekuasaan kehakiman itu sendiri telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, setelah sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan beberapa perubahannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
153
Pontang Moerad, Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana, cet. 1, Bandung : Alumni, 2005, hal. 24. 154 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Op. Cit., hal. 71. 155 Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hal. 5. 156 Sumitro, Inti Hukum Acara Pidana, Surakarta : Sebelas Maret University Press, 1994, hal. 25.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
72
Nomor 35 Tahun 1999, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tersebut dijelaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Di dalam Pasal 18 UU No. 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adapun badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dalam
menyelenggarakan
kekuasaan
kehakiman
tersebut,
Mahkamah Agung berkedudukan sebagai pengadilan negara tertinggi, yang membawahi semua lingkungan peradilan di Indonesia, baik lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara.157 Selanjutnya berdasarkan bunyi Pasal 20 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 dijelaskan bahwa Mahkamah Agung mempunyai wewenang yakni : a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung,
kecuali undang-undang
menentukan lain; b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya, sudah barang tentu 157
Lihat Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
73
membutuhkan kebebasan dari segala bentuk pengaruh badan-badan kenegaraan lainnya, sebab begitu pentingnya dan urgensinya lembaga ini untuk mengemban tugas dalam penegakan hukum yang berintikan keadilan.158 Menurut pendapat dari Oemar Seno Adji, mengatakan bahwa kebebasan lembaga pengadilan, kebebasan hakim sebagai ketentuan konstitusional – yang kemudian digariskan dalam perundang-undangan organik, disebut sebagai salah satu aspek esensial, bahkan unsur fundamental dan conditio qua non dalam negara hukum bagi Indonesia. 159 Adapun sasaran penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk
menumbuhkan
kemandirian
para
penyelenggara
kekuasaan
kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian
para
penyelenggara
dilakukan
dalam
meningkatkan
integritas, ilmu pengetahuan dan kemampuan. Sedangkan peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kinerja para penyelenggara peradilan tersebut.160 Berkenaan dengan kemandirian kekuasaan kehakiman, ada pendapat dari Sudikno Mertokusumo, dalam makalah yang disampaikan pada Seminar 50 Tahun Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa : “Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim merupakan asas yang sifatnya universal, yang terdapat dimana saja dan kapan saja. Asas ini berarti bahwa dalam melaksanakan peradilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas dalam/ untuk memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur tangan atau turun tangan kekuasaan ekstra yudisiil. Jadi pada dasarnya dalam/ untuk memeriksa dan mengadili, hakim bebas untuk menentukan sendiri cara-cara memeriksa dan mengadili. Kecuali itu pada dasarnya tidak ada pihak-pihak, baik atasan hakim yang bersangkutan maupun pihak ekstra yudisiil yang boleh mencampuri jalannya sidang pengadilan”. 161
158
Rusli Muhammad, Kemandirian Pengadilan Indonesia, cet. 1, Yogyakarta : UII Press, 2010, hal. 35. 159 Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta : Erlangga, 1985, hal. 251. 160 Sarwata, Kebijaksanaan dan Strategi Penegakan Sistem Peradilan di Indonesia, Lemhannas, 19 Agustus 1997, hal. 3-6. 161 Sudikno Mertokusumo, Relevansi Peneguhan Etika Profesi Bagi Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, (Makalah disampaikan dalam Seminar 50 Tahun Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia di UGM tanggal 26 Agustus 1995, hal. 2).
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
74
Barda Nawawi Arief mengemukakan gagasan tentang konsep kekuasaan kehakiman dalam arti luas, yaitu “kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”. Dengan pengertian seperti ini, maka kekuasaan kehakiman tidak hanya berarti “kekuasaan mengadili” (kekuasaan menegakkan hukum di badan-badan peradilan), tetapi mencakup kekuasaan menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakkan hukum.162 Lebih lanjut Barda mengatakan bahwa “kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri” harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang penegakan hukum pidana (yaitu “kekuasaan penyidikan”, “kekuasaan penuntutan”, “kekuasaan mengadili”, dan “kekuasaan eksekusi pidana”) seharusnya merdeka dan mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/ eksekutif. 163 Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat penting dalam melakukan kegiatan penemuan hukum oleh hakim di pengadilan. Kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman berarti tidak adanya intervensi dari pihak-pihak extra yudicial lainnya, sehingga dapat mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya di bidang judisial, yaitu dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan sengketa yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara. Lebih lanjut kondisi ini diharapkan dapat menciptakan putusan hakim yang berkualitas, yang mengandung unsur keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. 164 Meskipun demikian, kemandirian kekuasaan kehakiman haruslah disertai dengan integritas moral, keluhuran, dan kehormatan martabat hakim, karena kalau tidak maka manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung di bawah independensi peradilan,
162
Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”, (Makalah sebagai bahan masukan untuk Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode 1998/1999, hal. 3). 163 Ibid 164 Bambang Sutiyoso, Loc. Cit.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
75
sehingga para hakim yang menyalahgunakan jabatannya menjadi sulit tersentuh hukum.165 Kemandirian kekuasaan kehakiman disini dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu :166 1. Kemandirian lembaganya Kemandirian dalam hal ini adalah kemandirian yang berkaitan dengan lembaga peradilannya itu sendiri. Parameter mandiri atau tidaknya suatu institusi peradilan dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu apakah lembaga peradilan tersebut mempunyai ketergantungan (saling mempengaruhi terhadap kemandiriannya dalam melaksanakan tugas) dengan lembaga lain ataukah tidak, misalnya dengan institusi kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan lembaga-lembaga lainnya, dan juga apakah lembaga peradilan tersebut mempunyai hubungan hierarkhis ke atas secara formal, dimana lembaga atasannya tersebut dapat campur tangan dan mempengaruhi kebebasan atau kemandirian terhadap keberadaan lembaga peradilan tersebut. 2. Kemandirian proses peradilannya Kemandirian proses peradilan disini terutama dimulai dari proses pemeriksaan perkara, pembuktian sampai pada putusan yang dijatuhkannya. Parameter mandiri atau tidaknya suatu proses peradilan ditandai dengan ada atau tidaknya campur tangan (intervensi) dari pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang dengan berbagai upaya mempengaruhi jalannya proses peradilan baik secara langsung maupun tidak langsung. 3. Kemandirian hakimnya Kemandirian hakim disini dibedakan tersendiri, karena hakim secara fungsional
merupakan
tenaga
inti
penegakan
hukum
dalam
menyelenggarakan proses peradilan. Parameter mandiri atau tidaknya hakim dalam memeriksa perkara dapat dilihat dari kemampuan dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen 165
Ibid Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 2005, hal. 52-54. 166
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
76
kebebasan profesinya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dari adanya campur tangan dari pihak lain dalm proses peradilan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 167 1. Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yang datangnya dari dalam hakim itu sendiri. Jadi faktor internal disini adalah segala hal yang berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) hakim itu sendiri, yaitu mulai dari rekrutmen/ seleksi untuk diangkat menjadi hakim, pendidikan hakim dan kesejahteraan hakim. 2. Faktor Eksternal Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses penyelenggaraan peradilan yang datangnya dari luar dari diri hakim, terutama berkaitan dengan sistem peradilan atau sistem penegakan
hukumnya.
Adapun
faktor-faktor
eksternal
yang
berpengaruh tersebut meliputi hal-hal yakni : a. peraturan perundang-undangan b. adanya intervensi terhadap proses peradilan c. hubungan hakim dengan penegak hukum lain d. adanya berbagai tekanan e. faktor kesadaran hukum f. faktor sistem pemerintahan (politik)
3.1.2 Doktrin Kebebasan Hakim vs Asas Legalitas (Nulla poena sine lege) Hakim dalam menyelenggarakan persidangan adalah bebas, tidak memihak dan berusaha memutus perkara sesuai dengan kemampuan hukum yang dimilikinya, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan 167
Ibid, hal. 58-64.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
77
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo, bahwasanya kebebasan hakim merupakan asas yang sifatnya universal, yang terdapat dimana saja dan kapan saja. 168 Asas ini berarti bahwa dalam melaksanakan peradilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas dalam/ untuk memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur tangan atau turun tangan kekuasaan ekstra yudisiil. Jadi pada dasarnya dalam/ untuk memeriksa dan mengadili, hakim bebas untuk menentukan sendiri cara-cara memeriksa dan mengadili. Kecuali itu pada dasarnya tidak ada pihak-pihak, baik atasan hakim yang bersangkutan maupun pihak ekstra yudisiil yang boleh mencampuri jalannya sidang pengadilan. Meskipun pada asasnya hakim itu mandiri atau bebas, tetapi kebebasan hakim itu tidaklah mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya hakim secara mikro dibatasi oleh Pancasila, UUD 1945, peraturan perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan kesusilaan. Kalaupun kebebasan hakim itu bersifat universal, tetapi pelaksanaannya di masing-masing negara tidak sama.169 Menurut Paulus Effendie Lotulung, kekuasaan kehakiman yang merdeka juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal judisiil di dalam menjatuhkan putusan. 170 Istilah merdeka yang ada pada kedudukan hakim harus sesuai dengan kedudukan badan kekuasaan kehakiman yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam hal ini merdeka meliputi dua hal, yaitu : 171 1. merdeka dalam keadaan dan kedudukannya, yaitu setiap hakim adalah seorang pejabat yang otonom dan merdeka. Hal itu berarti bahwa di dalam organisasi badan kehakiman tidak berlaku prinsip bahwa hakim
168
Sudikno Mertokusumo, Relevansi Peneguhan Etika Profesi Bagi Kemandirian Kekuasaan Kehakiman, Loc. Cit. 169 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op. Cit., hal. 51-52. 170 Paulus effendie Lotulung, Kebebasan Hakim Dalam Sistem Penegakan Hukum, http:/www. Ifip Org / english / pdf / bali-seminar / Kebebasan%20Hakim%20 - %20paulus%20 lotulong.pdf>, diunduh Tanggal 2 Desember 2010. 171 H. M. Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim Menurut Undang-Undang Dasar 1945, ed.1, cet.1, Surabaya : Ubhara Press, 1998, hal. 66-67.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
78
yang satu sebagai atasan berhak atau berkewajiban memberi instruksi kepada hakim lainnya sebagai bawahannya dalam menghadapi dan dalam usahanya menyelesaikan suatu perkara konflik yang kongkrit individuil yag harus diadilinya. Hakim dalam hal itu tidak boleh dipengaruhi, apalagi diinstruksi oleh atasan atau oleh kalangan luar badan kehakiman, 2. merdeka dalam hal pelaksanaan tugasnya. Dalam melaksanakan tugasnya itu, hakim leluasa dalam usahanya menemukan jawaban atas persoalan kongkrit yang dihadapinya itu. Ikatan satu-satunya yang mengikat hakim dalam hal itu ialah hanya prinsip-prinsip hukum dalam tata hukum Indonesia yang ada di dalam hukum dasar. Sejauh usahanya untuk itu telah dijalankan secara yuridis murni, hakim yang bersangkutan telah menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya. Berkaitan dengan doktrin kebebasan hakim, perlu dipaparkan pula mengenai posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge). Dari hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengketa atau perkaranya. 172
Dan dalam setiap putusan hakim harus mengandung
impartiality atau sikap tidak memihak. Sikap tidak memihak inilah yang pada akhirnya akan melahirkan ide equality atau persamaan, sehingga semua pihak akan diperlakukan sama di muka hukum.173 Mengingat peranan penting dari pengadilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, maka terciptanya pengadilan yang merdeka, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan
172
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. Cit., hal. 32. Aswandi, Kajian Terhadap Putuasan Perkara No. 325/Pid.B/2002/PN.PTK Tentang Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Modal Kerjasama Usaha, Jurnal Yudisial; Kajian Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim, Komisi Yudisial Republik Indonesia, vol-I/no.01/Agustus 2007, hal. 1. 173
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
79
keadilan merupakan conditio sine qua non atau persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.174 Kebebasan hakim yang didasarkan pada kemandirian kekuasaan kehakiman di Indonesia itu sendiri telah dijamin dalam konstitusi Indonesia
yaitu
Undang-Undang
Dasar
1945,
yang
selanjutnya
diimplementasikan ke dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 204 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan selanjutnya diganti lagi dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam memeriksa serta memutus perkara pidana yang ada dihadapannya, hakim memiliki kebebasan untuk melakukan penilaian. Segalanya diserahkan pada pandangannya ataupun juga keyakinannya untuk menentukan salah tidaknya terdakwa. Tentu hal tersebut didasarkan pertimbangan fakta-fakta di persidangan maupun peraturan perundangundangan atau hukum yang berlaku. Di dalam praktik tidak jarang sering dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap atau jelas sejelas-jelasnya. Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Apabila hakim menghadapi situasi yang demikian maka hakim tidak diperbolehkan menolak perkara, hal ini sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menyebutkan : “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa 174
Hermansyah, Peran Lembaga Pengawas Eksternal Terhadap Hakim, Media Hukum dan Keadilan; teropong; Pengawasan Hakim Agung oleh Komisi Yudisial, MaPPI-FHUI, vo.V no. 1, Maret 2006, hal. 10.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
80
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Justru sebaliknya hakim harus memeriksa dan memutus perkara tersebut dengan melakukan penemuan hukum, bahkan kalau perlu dengan jalan menggunakan kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis.175 Hal ini dikarenakan dengan adanya peraturan hukum yang tidak jelas maka harus dijelaskan dan yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, yang mengatakan : “Oleh karena undang-undangnya tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya, harus menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penegakan dan pelaksanaan hukum sering merupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.”176 Dari sini diharapkan hakim dengan inisiatif sendiri, pertimbangan sendiri, menemukan hukum dan memutus perkara yang dihadapinya. Adapun untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut, hakim dalam mengadili perkara mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu : (1) Hakim sebagai corong undang-undang; (2) Hakim sebagai penterjemah undang-undang dengan interpretasi; dan (3) Hakim menggunakan inisiatif sendiri (pertimbangan sendiri) atau otonom.177 Terkait
dengan
fungsi
hakim
dalam
mengadili
perkara,
sebagaimana dijelaskan di atas, awalnya terdapat aliran yang bernama aliran legisme, yang dipelopori oleh Montesqueu,Rousseou, Fennet, dan lain-lain, yang berpandangan bahwa hakim tidak lebih sekedar corong atau terompetnya undang-undang (La bouche de la loi). Hal ini disebabkan undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum, sehingga hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas.178
175
Lihat Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 176 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. Cit., hal. 4. 177 Wiarda, Drie Typen Van de Rechtsvinding, sebagaimana dikutip oleh Lintong O. Siahaan, Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Kontrol Terhadap Hakim, Jurnal Hukum & Pembangunan, FHUI, Tahun ke-35 no. 4, Oktober-Desember 2005, hal. 409. 178 Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hal. 32.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
81
Dalam
perkembangannya,
aliran
legisme
lama-lama
mulai
ditinggalkan, karena dianggap tidak mampu lagi memecahkan problemproblem hukum yang muncul. 179 Kemudian muncul pandangan bahwa hakim bukan lagi sebagai corong undang, undang, dimana menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, sejak kurang lebih 1850, orang condong pada peranan yang mandiri dalam pembentukan hukum oleh hakim. Hakim bukan lagi corong dari undang-undang, tetapi pembentukan hukum
yang
memberi
bentuk
pada
isi
undang-undang
dan
menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan hukum.180 Hal inilah yang selanjutnya dinyatakan oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo sebagai ajaran tentang kebebasan hakim, ajaran bahwa hakim tidak hanya corong pembentuk undang-undang saja, tetapi secara otonom, mencipta, menyelami proses kemasyarakatan. 181 Pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidamidamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. 182 Adapun untuk hakim sendiri pada hakikatnya, dalam menjalankan tugas penemuan hukum, hakim harus bebas, baik dari pengaruh pihak-pihak yang berperkara, maupun pihak-pihak lain seperti : atasan, eksekutif, legislatif, dan sebagainya.183 Berkenaan
dengan
pengertian
dari
penemuan
hukum
(rechtsvinding) itu sendiri, ada pendapat dari Paul Scholten, sebagaimana dikutip oleh Bambang Sutiyoso, yang mengatakan : “Penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya, kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtssvervijning (pengkonkretan hukum).”184
179 180 181 182 183 184
Ibid. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. Cit., hal. 7. Ibid, hal. 89. Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hal. 28. Lintong O. Siahaan, Loc. Cit. Bambang Sutiyoso, Loc.Cit.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
82
Menurut Sudikno Mertokusumo, mengatakan bahwa : “Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Dengan kata lain, merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa kongkret.”185 Ada beberapa peristilahan yang sering diakitkan dengan penemuan hukum, yaitu :186 a. Rechtsvorming (pembentukan hukum), yaitu merumuskan peraturanperaturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang. Lazimnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law) kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya. b. Rechtstoepassing (penerapan hukum), yaitu menerapkan peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa konkret harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. c. Rechtshandhaving (pelaksaan hukum), dapat berarti menjalankan hukum, baik ada sengketa / pelanggaran maupun tanpa sengketa. d. Rechtschepping (penciptaan hukum), berarti bahwa hukumnya sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada. Menurut pendapat Roeslan Saleh, hanya pembuat undangundanglah yang mencipta hukum, tugas hakim adalah semata-mata menerapkan undang-undang.187
185 Sudikno Mertomusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1996, hal. 49. 186 Ibid, hal. 36-37. 187 Roeslan Saleh, Op. Cit., hal. 16.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
83
e. Rechtsvinding (penemuan hukum), dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan. Istilah
rechtsvinding
(penemuan
hukum)
rechtsvorming
(pembentukan hukum) dapat memunculkan polemik dalam penggunannya. Menurut pendapat Algra, sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, orang lebih suka menggunakan istilah “pembentukan hukum” daripada “penemuan hukum” oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada.188 Mengenai macam-macam pembentukan hukum, dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :189 1. Penemuan hukum heteronom (Typisch logicitisch) Penemuan hukum disini dianggap sebagai kejadian yang teknis dan kognitif, yang mengutamakan undang-undang. Sedangkan hakim tidak diberi kesempatan untuk berkreasi atau melakukan penilaian. Hakim dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya. Dalam hal ini hakim tidak bersikap mandiri, karena harus tunduk pada undang-undang (legisme /Typis logicistis). Hakim hanyalah sebagai penyambung lidah atau corong dari undang-undang, sehingga ia tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat menambah dan mengurangi apa yang sudah ditentukan dalam undang-undang. 2. Penemuan hukum otonom (Materiel juridisch) Dalam penemuan hukum otonom, hakim tidak lagi dipandang sebagai corong atau terompetnya undang-undang, tetapi sebagai pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk pada isi undang-undang dan
menyesuaikannya
dengan
kebutuhan
atau
perkembangan
masyarakat. Penemuan hukum otonom bersumber dari hati nurani sendiri, hakim tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya. Hakim di Indonesia menganut penemuan hukum heteronom, sepanjang hakim terikat pada undang-undang. Tetapi dalam penemuan 188 189
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. Cit., hal. 4. Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hal. 38-39.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
84
hukum itu juga mempunyai unsur otonom yang kuat, karena hakim seringkali harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri. Sebagai contoh kalau ada hakim Pengadilan Negeri yang mengacu kepada putusan hakim di atasnya (PT atau MA), tetapi asasnya tetap bahwa hakim tidak terikat pada putusan hakim lain. Hal ini merupakan sifat otonom. Mengacunya hakim pada putusan hakim lain, tidak berarti menganut asas The binding force of precedent, seperti dianut oleh negara-negara Anglo Saxon, tetapi karena adanya keyakinan bahwa putusan yang dianutnya itu memang tepat (The persuacive force of precedent).190 Adapun sumber-sumber untuk menemukan hukum bagi hakim ialah : perundang-undangan, hukum yang tidak tertulis, putusan desa, yurisprudensi, dan ilmu pengetahuan.191 Sedangkan berkenaan dengan metode penemuan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo, sebagaimana dikutip oleh Bambang Sutiyoso, secara garis besar membedakan metode penemuan hukum menjadi tiga, yaitu metode interpretasi, metode argumentasi dan metode eksposisi (konstruksi hukum)192, yang
mana
ketiga metode ini dijabarkan sebagai berikut : 1. Metode Interpretasi Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu. Adapun metode interpretasi ini dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu :193 a. Interpretasi menurut bahasa Metode interpretasi ini yang disebut interpretasi gramatikal merupakan cara penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susun kata atau bunyinya.
190 191 192 193
Ibid, hal. 40 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. Cit., hal. 37. Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hal. 80. Sudikno Mertokusumo dan A. Pittlo, Op. Cit., hal. 14-19.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
85
Interpretasi menurut bahasa ini selangkah lebih jauh sedikit dari hanya sekedar “membaca undang-undang”. Interpretasi menurut bahasa ini harus logis juga. b. Interpretasi teleologis atau sosiologis Metode interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Dengan interpretasi teleologis ini undang-undang yang masih berlaku tetapi sudah usang atau sudah tidak sesuai lagi, diterapkan terhadap peristiwa, hubungan, kebutuhan dan kepentingan masa kini, tidak peduli apakah hal ini semuanya pada waktu diundangkannya undang-undang tersebut dikenal atau tidak. Interpretasi teleologis ini dinamakan juga interpretasi sosiologis, dimana metode ini baru digunakan
apabila
kata-kata
dalam
undang-undang
dapat
ditafsirkan dengan pelbagai cara. c. Interpretasi sistematis Interpretasi sistematis atau interpretasi logis yaitu menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundangundangan dengan jalan menghubungkannya dengan undangundang lain. Hal ini disebabkan terjadinya suatu undang-undang selalu berkaitan dan berhubungan dengan peraturan perundangundangan lain, dan tidak ada undang-undang yang berdiri sendiri lepas sama sekali dari keseluruhan perundang-undangan. d. Interpretasi historis Makna undang-undang dapat dijelaskan atau ditafsirkan juga dengan jelas meneliti sejarah terjadinya. Penafsiran ini dikenal sebagai interpretasi historis. Jadi penafsiran historis merupakan penjelasan menurut terjadinya undang-undang. Ada dua macam interpretasi historis, yaitu penafsiran menurut sejarah undangundang dan penafsiran menurut sejarah hukum. e. Interpretasi komparatif Interpretasi
komparatif
atau
penafsiran
dengan
jalan
memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
86
hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan mengenai suatu ketentuan undang-undang. f. Interpretasi futuristis Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai ketentuan hukum. 2. Metode Argumentasi Metode argumentasi disebut juga dengan metode penalaran hukum, redenering atau reasoning. Metode ini dipergunakan apabila undang-undangnya tidak lengkap, maka
untuk melengkapinya
dipergunakan metode argumentasi.194 Dapat terjadi hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus, disini hakim menghadapi kekosongan atau ketidak-lengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Dalam hal ini apa yang harus dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukumnya ? untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode yaitu :195 a. Argumentum per analogiam Kadang-kadang peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya. Dalam hal ini untuk dapat menerapkan undangundang pada peristiwanya hakim akan memperluasnya dengan metode argumentum per analogiam atau metode berfikir analogi. Dengan analogi maka peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama. Analogi memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya 194 195
Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hal. 105. Sudikno Mertokusumo dan A. Pittlo, Op. Cit., hal. 21-27.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
87
tidak dapat dimasukkan kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. b. Penyempitan hukum Kadang-kadang lagi peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu (penyempitan hukum,
rechtsverfijning).
dibentuklah
Dalam
menyempitkan
pengecualian-pengecualian
atau
hukum
penyimpangan-
penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang sifatnya umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciri-ciri. c. Argumentum a contrario Cara menemukan hukum dengan pertimbangan bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa di luarnya berlaku kebalikannya, ini merupakan metode argumentum a contrario. Ini merupakan cara penafsiran atau
menjelaskan
undang-undang
yang
didasarkan
pada
perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Berkaitan
dengan
penemuan
hukum
melalui
metode
argumentasi ini, terdapat beberapa argumentasi keliru yang hendaknya oleh hakim dihindari, sebab hal ini termasuk merupakan kesesatan dalam hukum. Adapun argumentasi yang keliru tersebut, diantaranya yaitu :196 a. Argumentum ad Baculum Baculum artinya tongkat. Jenis kekeliruan penalaran seperti ini terjadi karena argumen yang diajukan disandarkan pada pengaruh kekuasaan seseorang yang berargumen untuk memaksakan sebuah kesimpulan. Jenis argumentasi yang umumnya terjadi adalah 196
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.2, Malang : Bayumedia, 2006, hal. 259-264.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
88
menerima atau menolak suatu argumentasi karena adanya suatu tekanan atau ancaman dari mereka yang berkuasa, misalnya ancaman akan dipenjarakan, disiksa, bahkan menutup peluang mencari pekerjaan dan berbagai bentuk macam ancaman lain yang menakutkan. Jika suatu kasus yang diproses di pengadilan berakhir dengan keputusan batal demi hukum karena muncul surat sakti yang menghendaki dihentikannya proses hukum tersebut untuk kepentingan para penguasa, maka terjadilah kekeliruan penalaran. b. Argumentum ad Hominem Kekeliruan penalaran seperti ini terjadi karena argumen sengaja diarahkan untuk menyerang orang secara langsung, atau sebaliknya argumen yang menunjukkan pola pikir pada mengutamakan kepentingan pribadi. Contoh lain, yakni mendiskreditkan saksi karena ada anggota keluarganya yang pernah terindikasi terlibat organisasi
terlarang.
Seorang
terdakwa
yang
berusaha
mendapatkan hukuman seringan mungkin mencoba mempengaruhi keputusan hakim dengan mengatakan bahwa penderitaan yang akan dipikulnya sebagai akibat putusan sang hakim juga akan berbalik menimpa sang hakim atau keluarganya. c. Argumentum ad Ignorantiam Sebuah argumen yang bertolak dari anggapan yang tidak mudah dibuktikan kesalahannya, atau juga anggapan tidak mudah dibuktikan kebenarannya. Dalam bentuk yang paling umum, kesesatan seperti itu terjadi karena mengargumentasikan suatu proposisi sebagai sesuatu yang benar karena tidak terbukti bersalah, atau suatu proposisi salah karena tidak terbukti benar. Elaborasi lebih lanjut dalam praktik, misalnya suatu pernyataan menegaskan bahwa para koruptor yang dibebaskan karena tidak terbukti bersalah, adalah bersih. Pernyataan ini belum tentu benar, karena koruptor tersebut sudah sempat menghilangkan barang bukti. Sebaliknya belum tentu seseorang yang dipenjara adalah
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
89
orang yang bersalah, sebagaimana dibuktikan dalam kasus Sengkon dan Karta. d. Argumentum ad Misericordian Suatu argumen yang didasarkan pada perasaan belas kasihan sehingga orang mau menerima atau membenarkan kesimpulan yang diperoleh dari argumen tersebut, namun sebenarnya kesimpulan yang ditarik tidak menitikberatkan pada fakta yang dipersalahkan, melainkan semata-mata pada perasaan belas kasihan. Seorang ibu yang tertangkap tangan di supermarket karena mencuri susu formula untuk bayinya yang sedang sakit, pengacaranya mengargumentasikan bahwa perbuatan melanggar hukum sang ibu hendaknya diabaikan karena ia datang dari keluarga yang tidak mampu. Kesesatan tersebut terjadi untuk pembuktian
tidak
bersalah,
seolah-olah
orang
miskin
diargumentasikan boleh mencuri demi kehidupan anaknya. Dalam pembelaan perkara demi memperoleh keringanan hukuman, argumentasi seperti itu dapat digunakan, tetapi bukan sebagai pembuktian tidak bersalah. e. Argumentum ad Populum Kekeliruan pikir semacam ini sering kali diterjemahkan sebagai kekeliruan salah kaprah atau kekeliruan yang diterima secara umum. Argumen semacam itu digunakan untuk mengendalikan emosi masyarakat terhadap kesimpulan yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang jelas. Argumen seperti itu dalam bentuk lain dilakukan dengan cara menarik massa, misalnya membawa nama rakyat sebagai dasar pembuktian. f. Argumentum ad Verecundiam atau Argumentum Auctoritatis Dalam menghadapi permasalahan hukum yang rumit, pengadilan sering menghadirkan saksi-saksi yang dianggap ahli dan pakar yang menguasai permasalahan hukum yang dihadapi. Orang sering menganggap bahwa para pakar yang dianggap sebagai “dewa” yang menguasai permasalahan tersebut sehingga pendapat mereka
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
90
dianggap paling benar dan sahih. Kesimpulan yang dibuat seperti itu akan sangat menyesatkan. 3. Metode Eksposisi / Konstruksi Hukum Metode eksposisi tidak lain adalah metode konstruksi hukum, yaitu metode untuk menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian (hukum), bukan untuk menjelaskan barang. Pengertian hukum yang dimaksud adalah konstruksi hukum (rechts constructie) yang merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyusun bahan hukum yang dilakukan secara sistematis dalam bentuk bahasa dan istilah yang baik.197 Metode eksposisi atau konstruksi hukum akan digunakan oleh hakim pada saat dia dihadapkan pada situasi adanya kekosongan hukum atau kekosongan undang-undang. Karena pada prinsipnya hakim tidak boleh menolak perkara untuk diselesaikan dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya. Hakim harus terus menggali dan menemukan hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. 198 Meskipun hakim mempunyai kebebasan di dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dihadapinya, termasuk pula bebas dalam melakukan penemuan hukum, namun kebebasan yang dimaksud tersebut tidaklah mutlak, melainkan terdapat batasan-batasan. Dengan kata lain untuk
mencegah
penyalahgunaan
kekuasaan
oleh
hakim
yang
mengatasnamakan kebebasan, maka harus diciptakan batasan-batasan tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman.199 Pembatasan-pembatasan tersebut berlaku dalam bentukbentuk sebagai berikut :200
197
Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hal. 116. Ibid 199 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Bandung : Unisba, 1995, hal. 12 sebagaimana dikutip oleh Pontang Moerad, Op. Cit. 200 Ibid 198
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
91
1. Hakim hanya memutus berdasarkan hukum Setiap putusan hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuan hukum yang diterapkan dalam suatu perkara kongkret. Hal ini sejalan dengan asas legalitas bahwa suatu tindakan haruslah berdasarkan aturan hukum. Asas yang menuntut suatu kepastian hukum bahwa seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan suatu perbuatan yang didakwakan kepadanya, memang telah ada sebelumnya suatu ketentuan perundang-undangan yang mengatur perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Segala putusan hakim /pengadilan selain harus memuat alasanalasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus pula memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 2. Hakim memutus semata-semata untuk keadilan Untuk mewujudkan keadilan ini, hakim dimungkinkan untuk menafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidak menerapkan atau mengesampingkan suatu ketentuan yang berlaku. Apabila hakim tidak dapat menerapkan hukum yang berlaku, maka hakim wajib menemukan hukum demi terwujudnya suatu putusan yang adil. Karena penafsiran, konstruksi, tidak menerapkan hukum atau menemukan hukum tersebut semata-mata untuk mewujudkan keadilan, tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang. Undang-undang telah menggariskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. 3. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi hukum, hakim harus tetap berpegang teguh kepada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan umum (the general principle of natural justice) Tidak ada suatu kekuasaan yang dapat menindak hakim karena putusannya dianggap tidak adil. Bahkan negara pun tidak dapat menuntut tanggungjawab atas kesalahan hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam bidang peradilan. Tindakan terhadap hakim hanya
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
92
mengenai tingkah laku pribadi yang merugikan negara atau menurunkan martabat kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu di dalam melakukan penafsiran, dan konstruksi hukum, hakim harus tetap berpegang teguh kepada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan umum (the general principle of natural justice). Dari adanya pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan hakim, terutama pembatasan mengenai hakim hanya memutus berdasarkan hukum, dapat dilihat terdapat hubungan antara asas legalitas dengan kebebasan hakim. Dimana apabila dikaitkan dengan asas legalitas yang berupa nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang), maka dapat dikatakan bahwa kebebasan yang dimiliki seorang hakim tidaklah mutlak atau dengan kata lain kebebasan hakim dibatasi. Terkait dengan adanya hubungan antara asas legalitas berupa nulla poena sine lege dengan kebebasan hakim dapat diuraikan yakni pada awalnya ajaran asas legalitas ini diciptakan dan dikembangkan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach (1775-1833), juris dari Jerman, yang mana menurut pendapat dari Bambang Poernomo, sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej, apa yang dirumuskan oleh Feuerbach mengandung arti yang sangat mendalam, yang dalam bahasa latin berbunyi : nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang); nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana); nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undangundang).201 Ketiga frasa tersebut kemudian dikembangkan oleh Feuerbach menjadi adagium Nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali,202 yang mengandung arti : tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asas legalitas, sulitlah dinafikan bahwa asas tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan
201 202
Eddy O.S. Hiariej, Loc.Cit. Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
93
individu, sebagai ciri utama tujuan hukum pidana aliran klasik. 203 Dimana menurut pendapat dari Muladi dan Barda Nawawi, sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej, mengatakan aliran klasik ini dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang, yaitu :204 1. Asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undangundang, tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang, dan tidak ada penuntutan tanpa undang-undang; 2. Asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau akibat kesalahan semata; 3. Asas pembalasan yang sekuler yang berisi bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat atau ringannya perbuatan yang dilakukan. Berkaitan dengan asas legalitas yang diajarkan oleh Feuerbach, sebenarnya dikehendaki penjeraan yang tidak melalui pengenaan pidana, namun melalui ancaman pidana di dalam perundang-undangan, sehingga kejahatan dan pidananya harus dicantumkan dengan jelas. Teori asas legalitas Feuerbach ini kemudian dikenal dengan psycologische zwang.205 Artinya untuk menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam suatu undang-undang pidana, bukan hanya perbuatan-perbuatan itu saja yang harus dituliskan dengan jelas dalam undang-undang pidana, tetapi juga macam-macam pidana yang diancamkan. Hal ini dimaksudkan agar orang yang akan melakukan perbuatan pidana dapat mengetahui terlebih dahulu apa pidana yang diancamkan.206 Dengan cara demikian ini maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan.
203 204 205 206 207
207
Dengan demikian dalam batinnya, dalam
Jan Remmelink, Op. Cit. Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hal. 11. Ibid, hal. 13. Ibid Moeljatno, Op. Cit., hal. 25
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
94
psychennya, lalu diadakan tem atau tekanan untuk tidak berbuat, dan kalau toh dia melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. 208 Perihal sejarah perkembangan asas legalitas dalam hukum pidana, menurut Bambang Poernomo, sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej, mengatakan dengan segala faktor yang mempengaruhinya, terdapat 4 (empat) macam sifat ajaran yang dikandung oleh asas legalitas, yaitu :209 1. Asas legalitas hukum pidana yang bertitik berat pada perlindungan individu untuk memperoleh kepastian dan persamaan hukum. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini adalah nulla poena sine lege. Perlindungan individu diwujudkan dengan adanya keharusan lebih dahulu untuk menentukan perbuatan pidana dan pemidanaan dalam undang-undang. 2. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat pada dasar dan tujuan pemidanaan agar dengan sanksi pidana itu hukum pidana bermanfaat bagi masyarakat sehingga tidak ada lagi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh masyarakat. Adagium yang dipakai oleh ajaran ini adalah nullum delictum, nullla poena sine praevia lege poenali. 3. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat tidak hanya pada ketentuan tentang perbuatan pidana saja agar orang menghindari perbuatan tersebut, tetapi juga pada ancaman pidananya, agar penguasa tidak sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana. 4. Asas legalitas hukum pidana bertitik berat pada perlindungan hukum kepada negara dan masyarakat. Asas legalitas disini bukan hanya didasarkan pada kejahatan yang ditetapkan oleh undang-undang saja, akan tetapi didasarkan pada ketentuan hukum yang berdasarkan ukurannya dapat membahayakan masyarakat. Adagium yang dipakai disini adalah nullum crimen sine poena.
208 209
Ibid Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hal. 18.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
95
Adapun mengenai makna yang terkandung dalam asas legalitas itu sendiri, menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa makna dari asas legalitas ada 2 (dua) yaitu : 210 1. sanksi pidana (straf-sanctie) hanya dapat ditentukan dengan undangundang. 2. bahwa ketentuan sanksi pidana ini tidak boleh berlaku surut (geen terugwerkende kracht). Menurut Schaffmeister, Keijzer, dan Sutorius, sebagaimana dikutip oleh Eddy O.S. Hiariej, mengemukakan bahwa terdapat 7 (tujuh) aspek dari asas legalitas, yaitu :211 1. Seseorang tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang. 2. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi. 3. Seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Artinya pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum tentu menghasilkan perbuatan pidana. 4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (penerapan dari asas lex certa). 5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana. 6. Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan undang-undang. 7. Penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang. Artinya seluruh proses pidana, mulai dari penyelidikan sampai pelaksanaan putusan haruslah didasarkan pada undang-undang. Dari kedua pendapat yang menjelaskan mengenai makna yang terkandung dalam asas legalitas, baik pendapat dari Wirjono Prodjodikoro pada poin pertama maupun pendapat dari Schaffmeister, Keijzer, dan 210
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2003, hal. 25. 211 Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hal. 26.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
96
Sutorius, pada poin ke enam, maka apabila dihubungkan dengan asas legalitas yang dikembangkan oleh Feuerbach yang salah satunya berbunyi nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang), terlihat jelas bahwa kedua pendapat tersebut di atas sejalan dengan apa yang telah disampaikan oleh Feuerbach. Disini dijelaskan bahwasanya setiap sanksi pidana haruslah ditentukan dalam undang-undang, sehingga dengan demikian seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan undang-undang. Apabila merujuk pada ketiga frasa yang dikemukakan oleh Feuerbach yang melahirkan asas legalitas, sebagaimana telah dijelaskan di atas, yakni nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang); nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana); nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang), maka asas legalitas ini berlaku baik dalam hukum pidana materiil maupun dalam hukum pidana formil.212 Frasa nulla poena sine lege, nulla poena sine crimine lebih mengarah pada hukum pidana materiil yang berisi perbuatan yang dilarang beserta ancaman pidananya, sedangkan frasa terakhir, nullum crimen sine poena legali lebih mengarah pada hukum pidana formil. 213 Jadi, dari uraian mengenai asas legalitas yang dikembangkan oleh Paul Johan Anslem von Feuerbach di atas, terutama menyangkut tentang salah satu frasa yang melahirkan asas legalitas yakni nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang), apabila dihubungkan dengan kebebasan hakim, maka dapat disimpulkan bahwasanya kebebasan hakim tidaklah mutlak. Hal ini dikarenakan hakim tidak dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang atau pelaku pidana atas perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya, bila ancaman pidana atau sanksi pidana yang diancamkan terhadap perbuatan dari si pelaku tersebut belum diatur dalam suatu Undang-Undang. Dapat pula dikatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan undang-undang. Disini memberikan arti hakim tidak dapat menjatuhkan 212 213
Ibid, hal. 27 Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
97
pidana melebihi dari ancaman pidana yang telah diatur dalam suatu undang-undang. Apabila hal ini dilakukan oleh hakim maka dapat dianggap hakim tersebut telah bertindak secara sewenang-wenang dan melanggar hak asasi manusia, dalam hal ini adalah hak seorang terdakwa. Di samping itu hakim juga tidak dapat menjatuhkan pidana di bawah batas minimum ancaman pidana yang telah diatur dalam suatu undang-undang sebab apabila hal ini dilakukan oleh hakim maka tindakan hakim tersebut bertentangan dengan kepastian hukum yang terkandung dalam undangundang itu sendiri. Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwasanya hakim tidak dapat menjatuhkan pidana, baik di bawah batas minimum maupun melebihi dari ancaman pidana yang telah diatur dalam suatu undangundang, terhadap pelaku kejahatan (dalam hal ini pelaku yang mampu bertanggungjawab serta tidak terdapat alasan pembenar maupun pemaaf atas perbuatan yang dilakukan si pelaku). Apabila hal ini terjadi maka bertentangan dengan asas legalitas yakni nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang). Adapun bila dikaitkan dengan tidak dijatuhkannya pidana terhadap pelaku kejahatan dikarenakan adanya alasan penghapusan pidana maka hal tersebut tidaklah bertentangan dengan asas legalitas yakni nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang). Dengan dengan kata lain tindakan hakim yang tidak menjatuhkan pidana terhadap si pelaku kejahatan dikarenakan adanya alasan penghapusan pidana, baik alasan pemaaf maupun alasan pembenar, tidaklah bertentangan dengan asas legalitas. Hal ini disebabkan adanya alasan penghapusan pidana ini telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni untuk alasan pemaaf telah diatur dalam Pasal 44 KUHP, sedangkan untuk alasan pembenar diatur dalam Pasal 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Menurut pendapat dari Ruslan Saleh, sebagaimana dikutip oleh E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, mengatakan antara lain bahwa penghapusan pidana itu mungkin karena :214 214
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 254.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
98
a. Perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik itu, kemudian dipandang tidak bersifat melawan hukum (dalam arti material), atau dengan pendek adanya “alasan-alasan pembenar”. b. Melihat pada perbuatannya memanglah suatu perbuatan yang mencocoki rumusan delik, tetapi setelah dipertimbangkan keadaan pada orangnya maka dipandang bahwa dia tidak mempunyai kesalahan atau dengan pendek adalah “alasan pemaaf”.
3.2 Penjatuhan Putusan Pada dasarnya putusan hakim atau putusan pengadilan atau biasa juga disebut dengan vonis tersebut sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Dengan adanya putusan hakim ini, diharapkan para pihak dalam perkara pidana khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya, antara lain dapat berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum, bisa berupa banding maupun kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Apabila ditinjau dari optik hakim yang mengadili perkara pidana, putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara mapan dan faktual serta visualisasi etika beserta moral dari hakim yang bersangkutan. 215 Dapat pula dikatakan bahwasanya vonis merupakan puncak idealisme keagungan bekerjanya sistem hukum.216 Sedangkan bila putusan yang dijatuhkan oleh hakim adalah berupa pemidanaan, maka dapat dikatakan bahwa penjatuhan pidana oleh hakim itu merupakan suatu proses dan berakhir dengan diterapkannya olehnya bagi
215 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya, cet. 1, Bandung : Alumni, 2007, hal. 201. 216 Abdul Wahid, Konfusius Melawan Mafia Kasus, Desain Hukum, Newletter Komisi Hukum Nasional, vol.10, no.2, Maret 2010, hal. 18.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
99
tertuduh jenis pidana yang paling tepat, beratnya, dan cara pelaksanaannya (strafsoort, strafmaat dan strafmadaliteit).217 Menurut pendapat Leden Marpaung, putusan hakim merupakan hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya
yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.218
Sedangkan menurut Lilik Mulyadi, mengatakan bahwa : “Putusan pengadilan adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau lepas pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya”. 219 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah : Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.220 Lebih lanjut KUHAP juga menjelaskan bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 195. Menurut pendapat Eva Achjani Zulfa, keputusan hakim (yang berkekuatan tetap) adalah keputusan terhadap perbuatan atau perkara yang berupa : a. pembebasan (vrijspraak) – Pasal 191 ayat (1) KUHAP;
b.
pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtsvervolging) – Pasal 191 ayat (2) KUHAP; c. penjatuhan pidana – Pasal 193 ayat (1)
217 Sudarto, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, dalam Lokakarya Masalah Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional (Buku I), diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1984, hal. 88 218 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua, Jakarta : Sinar Grafika, 1995, hal. 406. 219 Lilik Mulyadi, Op. Cit., hal. 203. 220 Lihat Pasal 1 Angka 11 KUHAP.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
100
KUHAP.221 Lebih lanjut Eva Achjani Zulfa menjelaskan, keputusankeputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak pidana atau kesalahan terdakwa.222 Setiap putusan hakim, baik yang berisi pemidanaan ataupun yang bukan pemidanaan, kepala putusannya selalu berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 197 dan 199 KUHAP). Terhadap hal ini ada pendapat dari Bismar Siregar, seorang mantan hakim agung, yang mengatakan : “Dengan demikian dalam menetapkan putusannya, pertama-tama seorang hakim bermunajat kepada Allah SWT. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan. Ia bersumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itulah hatinya bergetar.”223 Adapun di dalam menjatuhkan putusan berupa pemidanaan, seorang hakim pastinya akan berpedoman pada ketentuan sanksi pidana (starfmaat) yang telah diatur dalam suatu undang-undang, termasuk pula UndangUndang Narkotika. Dimana menurut pendapat dari Collin Howard, sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, dikenal adanya 4 (empat) sistem perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) yaitu :224 1. Sistem fixed / definite sentence berupa ancaman pidana yang sudah pasti. 2. Sistem indefinite sentence berupa ancaman lamanya pidana secara maksimum. 3. Sistem determinate sentence berupa ditentukannya batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana. 4. Sistem interdeminate sentence berupa tidak ditentukan batas maksimum pidana; badan pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan (diskresi) pidana aparat pelaksana pidana yang berada pada tingkatan yang lebih rendah, misalnya dalam menetapkan ukuran, sifat atau lamanya pidana untuk pelaku kejahatan tertentu.
221
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut; Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana, Bogor : Ghalia Indonesia, 2010, hal. 15. 222 Ibid 223 Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Jakarta : Gema Insani Press, 1995, hal. 19. 224 Lilik Mulyadi, Peradilan Bom Bali, Op.Cit., hal. 25-26.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
101
Dari adanya beberapa sistem perumusan tentang lamanya sanksi pidana (strafmaat), sebagaimana disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa sistem perumusan lamanya ancaman pidana atau sanksi pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menganut sistem determinate sentence, yaitu menentukan batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana. Salah satu contohnya terdapat pada Pasal 111 ayat (1), yang menyebutkan : ”Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”. Dengan dianutnya sistem determinate sentence dalam UndangUndang Narkotika, maka penjatuhan putusan yang dilakukan oleh hakim haruslah berpatokan pada batas-batas yang telah ditentukan dalam UndangUndang Narkotika, yaitu antara batas minimum dan maksimum. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Muladi dan Barda
Nawawi, yang
mengatakan, dengan adanya patokan tersebut, seorang hakim dapat saja menjatuhkan vonis dalam batas yang minimal dan bisa juga dalam batas yang maksimal.225 Sehingga dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa dengan telah ditentukannya batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Narkotika, maka hal ini dapat membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhkan pidana. Berkaitan dengan penjatuhan putusan oleh hakim, baik berupa putusan
pemidanaan
maupun
bukan
pemidanaan,
dalam
proses
pelaksanaannya di persidangan dapat dijelaskan bahwasanya penjatuhan putusan dilakukan oleh hakim, setelah melalui musyawarah majelis hakim itu sendiri, yakni sesudah tahap proses penuntutan oleh penuntut umum, lalu pembelaan oleh terdakwa / penasehat hukumnya, selanjutnya jawaban oleh penuntut umum atas pembelaan dari terdakwa / penasehat hukumnya, telah 225
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
102
berakhir atau selesai dilakukan. Dengan kata lain kalau tahap proses penuntutan, pembelaan, dan jawaban telah berakhir, tibalah saatnya hakim ketua menyatakan “pemeriksaan dinyatakan ditutup”. Pernyataan inilah yang mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim guna menyiapkan putusan yang akan dijatuhkan pengadilan. 226
3.2.1 Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Sebelum menjatuhkan putusannya, terlebih dahulu majelis hakim akan mengadakan musyawarah untuk menentukan putusan apa yang nantinya akan dijatuhkan terhadap pelaku pidana. Dan di dalam musyarawah itulah pastinya hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan perkara yang akan diputusnya tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1), (2), dan (3) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : ayat (1) :
Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
ayat (2) :
Dalam
sidang
permusyawaratan,
setiap
hakim
wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. ayat (3) :
Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Menurut pendapat Sudarto, ada 2 (dua) hal yang harus dipertimbangkan oleh hakim sebelum ia menjatuhkan putusannya, dalam hal ini ketentuan mengenai dua hal tersebut di atas ini merupakan ketentuan dalam hukum acara pidana (KUHAP), dimana struktur pengambilan keputusan adalah sebagai berikut :227 226 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed. 2, cet. 6, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 347. 227 Sudarto, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, Loc. Cit.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
103
a. pertama-tama pertimbangan tentang fakta-fakta (apakah terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya ?); b. kemudian pertimbangan tentang hukumnya
(apakah perbuatan
terdakwa merupakan tindak pidana dan terdakwa bersalah, sehingga bisa dijatuhi pidana ? ) Pada dasarnya untuk menjatuhkan putusan, termasuk pula putusan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, hakim dapat menggunakan beberapa hal yang menjadi dasar pertimbangannya, yang mana dasar pertimbangan ini dimasukkan pula ke dalam putusannya. Adapun dasar pertimbangan yang dimaksud adalah : a. Pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non yuridis b. Hal – hal yang memberatkan dan hal –hal yang meringankan pidana Dari kedua dasar pertimbangan tersebut di atas, dapat dijabarkan sebagai berikut : a. Pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non yuridis 1. Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya: a. Surat dakwaan dan surat tuntutan / tuntutan pidana jaksa penuntut umum Surat Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan atas suatu perkara di persidangan dilakukan (Pasal 143 ayat (1) KUHAP). Surat Dakwaan berisi mengenai identitas terdakwa, uraian tindak pidana yang didakwakan, serta waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana (Pasal 143 ayat (2) KUHAP). Selain itu di dalam Surat Dakwaan juga memuat pasal yang dilanggar. Perumusan
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
104
dakwaan didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat
disusun
tunggal,
kumulatif,
alternatif
maupun
subsidair228. Sedangkan surat tuntutan berisi antara lain mengenai hasil pemeriksaan di persidangan, yang meliputi pemeriksaan alat bukti dan juga barang bukti, serta pembuktian atas surat dakwaan yang memuat pasal yang dilanggar dan terakhir tuntutan pidana yang dijatuhkan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa. b. Alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, meliputi : 1. keterangan saksi 2. keterangan ahli 3. surat 4. petunjuk 5. keterangan terdakwa c. Barang bukti Walaupun barang bukti bukan sebagai alat bukti namun penuntut umum menyebutkan barang bukti itu di dalam surat dakwaannya yang kemudian mengajukannya kepada hakim dalam pemeriksaan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi.229 Adanya barang bukti yang diperlihatkan pada persidangan akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin apabila barang bukti itu dikenal dan diakui oleh terdakwa maupun para saksi. Sedangkan mengenai berat ringannya barang bukti yang dimiliki terdakwa, seperti yang terjadi dalam tindak pidana narkotika, hal ini juga mempengaruhi pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam menjatuhkan putusannya.
228 229
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Op. Cit., hal. 125. Lihat Pasal 181 ayat (1) dan (2) KUHAP.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
105
d. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika Hal yang sering terungkap di persidangan adalah pasalpasal yang dikenakan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Pasal-pasal ini bermula dan terlihat dalam surat dakwaan yang diformulasikan oleh penuntut umum sebagai ketentuan hukum tindak pidana narkotika yang dilanggar oleh terdakwa. Dalam persidangan, pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika itu selalu dihubungkan dengan perbuatan terdakwa. Penuntut umum dan hakim berusaha untuk membuktikan dan memeriksa melalui alat-alat bukti tentang apakah perbuatan terdakwa telah atau tidak memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam pasal Undang-Undang Narkotika tersebut. Apabila ternyata perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari setiap pasal yang dilanggar, berarti terbuktilah menurut hukum kesalahan terdakwa melakukan perbuatan seperti dalam pasal yang didakwakan kepadanya. Pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum, sebagaimana yang dituangkan di dalam tuntutan pidananya, menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Menurut Pasal 197 huruf f KUHAP, salah satu yang harus dimuat dalam surat putusan pemidanaan adalah pasal peraturan
perundang-undangan
yang
menjadi
dasar
pemidanaan. Sedangkan menurut Pasal 50 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009, disebutkan bahwa : ”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.” e. Ketentuan perundang-undangan khusus Ketentuan perundang-undangan khusus ini menyangkut mengenai proses persidangan perkara tindak pidana, termasuk
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
106
pula tindak pidana narkotika, yang melibatkan anak sebagai pelakunya. Dimana untuk proses persidangan antara pelaku yang berusia anak dengan pelaku berusia dewasa jelas berbeda pelaksanaannya. Khusus untuk proses persidangan dengan pelaku tindak pidananya berusia anak maka ketentuan perundang-undangan yang diterapkan adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Selain menyangkut proses persidangan perkara tindak pidana, adanya ketentuan perundang-undangan khusus ini juga menjadi pertimbangan bagi hakim di dalam menjatuhkan putusannya. Dimana untuk pelaku pidana berusia anak, putusan pemidanaan yang dapat dijatuhkan terhadapnya bukan hanya dapat berupa pidana, baik pidana pokok maupun tambahan, melainkan juga dapat berupa tindakan. Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 22-24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Khusus untuk pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku pidana berusia anak adalah paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997). Selain hal-hal tersebut di atas, ada satu hal lagi yang juga termasuk dalam pertimbangan yang bersifat yuridis dan sering termuat dalam putusan hakim yaitu adanya laporan penelitian yang disampaikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan yang merupakan petugas pemasyarakatan pada Bapas (Balai Pemasyarakatan). Namun demikian laporan penelitian dari Bapas ini hanya berlaku untuk perkara dengan pelakunya masih berusia anak. Hal ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan yang telah diatur dalam Pasal 56 dan 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
107
2. Pertimbangan yang bersifat non yuridis Di dalam menjatuhkan putusannya, selain mempertimbangkan halhal yang sifatnya yuridis, hakim juga membuat pertimbangan yang bersifat non yuridis. Sebagaimana pula pertimbangan yang bersifat yuridis, pertimbangan yang bersifat non yuridis juga didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan, yang antara lain mencakup hal-hal yaitu : a. Akibat perbuatan terdakwa Perbuatan
terdakwa
dalam
hal
penyalahgunaan
narkotika sudah barang tentu membawa akibat, baik kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain. Selain berakibat buruk kepada dirinya sendiri, kepada keluarganya, juga berakibat buruk kepada masyarakat luas. Seperti yang sudah dikemukakan penulis pada bab sebelumnya dalam penulisan ini, bahwa
dampak dari
penyalahgunaan narkotika ini dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional. Selain itu pada saat ini tindak pidana
narkotika
di
dalam
masyarakat
menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat dan dengan korban yang meluas terutama di kalangan generasi muda. Oleh karena
itulah dengan adanya
akibat-akibat
sebagaimana dijelaskan di atas, bisa menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya. b. Kondisi diri terdakwa Kondisi diri terdakwa disini dapat diartikan sebagai keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan, termasuk status sosial yang melekat pada dirinya. Kondisi fisik yang dimaksud adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah perasaan misalnya dalam keadaan marah, gemetar, keringat dingin, pikiran kacau
ataupun takut. Sedangkan yang
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
108
dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki terdakwa dalam masyarakat yaitu apakah terdakwa seorang pejabat, polisi, kuli bangunan, wiraswasta dan lain sebagainya. c. Peran atau kedudukan terdakwa Maksud peran atau kedudukan terdakwa disini yaitu pada saat melakukan tindak pidana, apakah terdakwa hanya seorang diri ataukah ada orang lain yang juga turut melakukannya. Demikian pula halnya dalam tindak pidana narkotika, apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana narkotika hanya bertindak sebagai pengguna saja ataukah sebagai pengedar. Peran atau kedudukan terdakwa di dalam terjadinya tindak pidana ini pastinya akan menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya, terutama dalam hal penentuan berat ringannya pidana yang dijatuhkan. b. Hal – hal yang memberatkan dan hal –hal yang meringankan pidana Berkenaan dengan hal – hal yang memberatkan dan hal –hal yang meringankan perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa, pada dasarnya kedua hal ini haruslah termuat di dalam setiap putusan pemidanaan yang dijatuhkan oleh hakim. Hal ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, yang menyebutkan
putusan
pemidanaan
memuat
keadaan
yang
memberatkan dan yang meringankan terdakwa. 1. Hal – hal yang memberatkan perbuatan pidana KUHPidana mengenal 3 macam alasan-alasan umum yang menambah beratnya pidana, yaitu : a. kedudukan sebagai pejabat (ambtelijke hoedanigheid) (Pasal 52 KUHP) b. recedive (perulangan) / pernah dijatuhi pidana c. gabungan (samenloop) (titel VI Buku I KUHP) Seringkali di dalam putusannya, selain mempertimbangkan hal-hal sebagaimana yang telah diatur di dalam KUHP, hakim juga
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
109
mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan lainnya yang tidak diatur dalam KUHP, seperti misalnya perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat dan juga barang bukti yang dimiliki terdakwa sangat besar. 2. Hal – hal yang meringankan perbuatan pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) alasanalasan yang meringankan pidana adalah: a. percobaan (Pasal 53 ayat (2) dan (3)) b. membantu (medeplichtigheid) (Pasal 57 ayat (1) dan (2) ) c. belum dewasa (minderjarigheid) (Pasal 47) Adapun di dalam proses persidangan, seringkali muncul hal-hal yang meringankan bagi terdakwa, yang mana hal ini juga menjadi pertimbangan
hakim
di
dalam
menjatuhkan
putusannya,
diantaranya adalah : terdakwa belum pernah dipidana, terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya, dan juga terdakwa masih berusia anak. Selain pertimbangan yang bersifat yuridis dan pertimbangan yang bersifat non yuridis, serta hal – hal yang memberatkan dan hal –hal yang meringankan pidana, terdapat pula hal-hal lain yang juga menjadi dasar pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan putusannya, terutama terkait dengan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, yakni sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 55 pada Bab III Buku I Konsep Rancangan KUHP Baru yang khusus mengatur mengenai pedoman pemidanaan, yang bunyinya sebagai berikut : ayat (1) Dalam pemidanaan wajib mempertimbangkan : a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin pembuat tindak pidana; d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban / keluarga korban; j. pemaafan dari korban dan / atau keluarganya; dan/ atau
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
110
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan; ayat (2) Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Menurut pendapat dari Sudarto, apa yang tercantum di dalam Pasal 55, terutama ayat (1), sebenarnya merupakan suatu daftar yang harus diteliti (check-list) sebelum hakim menjatuhkan putusan.230 Dalam daftar tersebut memuat hal-hal yang bersifat subyektif yang menyangkut orangnya dan juga hal-hal yang diluar pembuat, sehingga dengan memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan.231 Dapat dikatakan bahwa dengan adanya pedoman pemidanaan (yang diatur dalam Pasal 55 pada Bab III Buku I Konsep Rancangan KUHP Baru) akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan. Dengan kata lain, hal ini akan memudahkan hakim dalam menetapkan ukuran pemidanaan. Selain yang terdapat di dalam Pasal 55 pada Bab III Buku I Konsep Rancangan KUHP Baru, mengenai hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan juga telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya Pasal 8 ayat (2).232 Terkait dengan berat ringannya suatu pidana yang dijatuhkan oleh hakim, J.E. Sahetapy mengatakan : ”Patutlah diingat bahwa masalah berat ringan atau takaran pidana sangat erat bertautan dengan konsep penilaian yang hendak diberikan terhadap kejahatan atau jenis kejahatan yang tertentu. In concrete lazimnya takaran atau berat ringannya pidana dikaitkan dengan sikap penjahat selama ia diadili. Selain dari itu takaran tersebut 230
Sudarto, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, Op. Cit., hal. 91. Ibid 232 Lihat Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.” 231
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
111
dipengaruhi juga oleh hal-hal lain, seperti apakah ia mempersulit jalannya sidang, dan sebagainya. Ada pula beberapa hal lain yang tampaknya dilupakan, seperti realitas kehidupan sosial, sepak terjang hidupnya, sifat, bentuk, dan cara kejahatan yang dilaksanakannya serta juga bagaimana skala nilai-nilai sosial masyarakat yang bersangkutan.”233 Dari pendapat J.E. Sahetapy di atas, dapat diketahui bahwasanya untuk menentukan berat ringannya pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap seorang pelaku kejahatan maka hal itu sangat berkaitan dengan sikap dari pelaku kejahatan tersebut selama menjalani proses persidangan. Seperti misalnya apabila selama persidangan si pelaku mempersulit persidangan dengan cara memberikan keterangan yang berbelit-belit dan kadang tidak mengakui perbuatannya, maka hakim bisa saja menjatuhkan pidana yang berat kepada pelaku kejahatan tersebut. Adanya hal-hal yang bersifat non yuridis, seperti misalnya kondisi diri dari pelaku kejahatan (apakah ia berasal dari keluarga kaya atau miskin), dan juga cara kejahatan yang dilakukannya (apakah ia melakukan kejahatan itu karena terpaksa atau karena memang sudah menjadi kerjanya sehari-hari), juga menjadi pertimbangan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Terhadap pelaku pidana yang melakukan kejahatan dikarenakan keterpaksaan, yang mana biasanya pelaku berasal dari keluarga miskin yang hidup dalam masyarakat yang miskin pula, pidana atau hukuman yang dijatuhkan oleh hakim jelasnya berbeda dan bisa jadi lebih ringan dibanding dengan pelaku pidana yang memang sudah sering kali melakukan kejahatan.
3.2.2 Bentuk – Bentuk Putusan Hakim Sebagaimana yang telah dijelaskan pada penulisan sebelumnya, bahwasanya sebelum menjatuhkan putusannya maka hakim terlebih dahulu akan mengadakan musyawarah. Dimana di dalam proses pelaksanaannya, musyawarah tersebut dapat dilakukan atau diadakan oleh
233
J.E. Sahetapy, Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Malang : Setara Press, 2009, hal. 180.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
112
hakim setelah terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum, dan hadirin / pengunjung sidang meninggalkan ruang sidang. 234 Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan hakim / pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasar penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP. Memang tidak mudah bagi hakim untuk membuat putusan, karena sebagaimana pendapat dari Gustav Radbruch yang dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, idealnya putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 unsur yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit).235 Ketiga unsur tersebut semestinya oleh hakim harus dipertimbangkan dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.236 Menurut Sudikno Mertokusumo, mengatakan bahwa : “Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusan secara proporsional, yaitu kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Itu adalah idealnya. Akan tetapi di dalam praktiknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur itu secara proporsional. Kalau tidak dapat diusahakan kehadirannya secara proporsional, maka paling tidak ketiga faktor itu seyogyanya ada dalam putusan. Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. “Hukumnya demikian bunyinya, maka harus dijalankan (kepastian hukum)”, tetapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta : hukum itu kejam tetapi demikianlah bunyinya). Kalau dalam pilihan putusan sampai terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan, maka keadilannyalah yang harus didahulukan” 237. Di dalam Pasal 12 pada Rancangan KUHP Nasional tahun 2008, dijelaskan bahwa : ”Dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas
234 235 236 237
Lihat Pasal 182 ayat (3) KUHAP. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Op. Cit., hal. 15. Bambang Sutiyoso, Op. Cit., hal. 6. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Op. Cit., hal. 79.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
113
kepastian hukum”. Adapun penjelasan dari pasal ini, sebagaimana disusun oleh Prof. Roeslan Saleh yang selanjutnya dikutip oleh Mardjono Reksodiputro, adalah : ”Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pula kemungkinannya aspek keadilan akan terdesak. Ketidaksempurnaan peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus mengutamakan keadilan diatas kepastian hukum”. 238 Adapun mengenai bentuk putusan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, sebagaimana diatur dalam Pasal 191 dan Pasal 193 KUHAP, ada 3 (tiga) macam, yaitu : 1. Putusan Bebas Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP. Pada asasnya, esensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa/Penuntut Umum dalam surat dakwaan.239 Dakwaan tidak terbukti diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal ini memberi penjelasan bahwa adanya dua alat bukti yang sah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana akan tetapi dari 238
Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, cet. 1, Jakarta : Komisi Hukum Nasional, 2009, hal. 321 239 Lilik Mulyadi, Op. Cit., hal. 217.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
114
dua alat bukti yang sah itu hakim juga memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Menurut pendapat Martiman Prodjohamidjojo, dakwaan tidak terbukti berarti bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183 KUHAP tidak dipenuhi, yaitu karena :240 a. Tiadanya sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yang disebut oleh Pasal 184 KUHAP, jadi, misalnya hanya ada satu saksi saja, tanpa diteguhkan dengan bukti lain. b. Meskipun terdapat dua alat bukti yang sah, akan tetapi hakim tidak mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa, misalnya terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa. c. Jika salah satu atau lebih unsur tidak terbukti. 2. Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Dasar hukum dari putusan ini dapat dilihat pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: ”Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Dari bunyi Pasal di 191 ayat (2) KUHAP di atas dapat diartikan bahwasanya pada putusan pelepasan, tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa/ Penuntut Umum memang terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena perbuatan yang dilakukan terdakwa tersebut bukan merupakan ”perbuatan pidana”, tetapi misalnya termasuk yurisdiksi hukum perdata, hukum adat ataukah hukum dagang. 241 3. Putusan Pemidanaan Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi : “Jika Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa 240 241
Martiman Prodjohamidjojo, Putusan Pengadilan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hal. 15. Lilik Mulyadi, Op. Cit., hal. 224.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
115
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. 242 Sesuai dengan Pasal 193 ayat (1), penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
pengadilan
menjatuhkan
hukuman
pidana
kepada
terdakwa. Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya. Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tiada lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan.243 Adapun bentuk putusan pemidanaan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, yang diatur di dalam KUHP, terbagi menjadi beberapa macam yaitu : 1. Pidana pokok, terdiri dari : pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda; 2. Pidana tambahan, terdiri dari : pencabutan beberapa hak yang tertentu, perampasan barang yang tertentu, pengumuman keputusan hakim. Bentuk putusan pemidanaan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, yang diatur dalam KUHP sebagaimana dijabarkan di atas, berbeda dengan yang diatur di dalam undang-undang pidana khusus, seperti misalnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan 242 243
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 354. Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
116
Anak. Dimana di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, dijelaskan bahwa bentuk pemidanaan yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana terbagi menjadi beberapa macam, yaitu : 1. Pidana pokok, terdiri dari : a. pidana penjara b. pidana kurungan c. pidana denda d. pidana pengawasan 2. Pidana tambahan, terdiri dari : a. perampasan barang-barang tertentu b. pembayaran ganti rugi 3. Tindakan, terdiri dari : a. mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh b. menyerahkan
kepada
negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja c. menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan,pembinaan dan latihan kerja. Di
dalam
Undang-Undang
Narkotika
sendiri,
bentuk
pemidanaan yang dapat dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana narkotika dapat berupa pidana penjara maupun pidana denda. Hal ini sesuai dengan ancaman pidana yang telah ditentukan dalam pasal-pasal yang terdapat pada Undang-Undang Narkotika, seperti misalnya Pasal 111 ayat (1) yang menentukan ancaman pidana berupa pidana penjara dan pidana denda bagi setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
117
BAB 4 ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI TANGERANG YANG MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH BATAS MINIMUM DARI KETENTUAN UNDANG-UNDANG NARKOTIKA 4.1 Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Terhadap Tindak Pidana Narkotika Sebagaimana
yang
telah
dijelaskan
pada
bab
sebelumnya,
bahwasanya hakim tidak hanya sebagai corong pembentuk undang-undang melainkan dengan kebebasan yang dimilikinya maka secara otonom, mencipta dan menyelami proses kemasyarakatan. Hal inilah yang menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo dianggap sebagai ajaran tentang kebebasan hakim.244 Dari penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa hakim mempunyai kebebasan di dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dihadapinya. Namun demikian kebebasan yang dimiliki oleh hakim tersebut tidaklah mutlak karena dalam menjalankan tugasnya hakim secara mikro dibatasi oleh Pancasila, UUD 1945, peraturan perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan kesusilaan. 245 Berkaitan dengan kebebasan yang dimiliki oleh hakim, termasuk pula di dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, apabila dikaitkan dengan penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, sebagaimana yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, terlihat bahwa hakim PN Tangerang tidak lagi memposisikan dirinya sebagai corong dari pembentuk undang-undang, sebab putusan yang dijatuhkannya tidak sama dengan ketentuan yang telah diatur di dalam undang-undang tersebut. Selain itu dengan adanya putusan berupa pidana di bawah batas minimum dari ancaman pidana yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika, maka hal ini jelas terkait dengan pertimbangan yang diambil oleh hakim sebelum menjatuhkan putusannya. 244 245
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Loc. Cit. Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Loc. Cit.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
118
Dari hasil penelitian dan pengambilan data yang telah penulis lakukan, baik di Kejaksaan Negeri Tangerang maupun di Pengadilan Negeri Tangerang, diperoleh data mengenai putusan hakim PN Tangerang yang menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana narkotika, yang mana pidana yang dijatuhkan oleh hakim PN Tangerang tersebut tidak sesuai dengan ketentuan ancaman pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang Narkotika. Adapun jumlah putusan hakim PN Tangerang yang dapat penulis peroleh yaitu 5 putusan, yang semuanya dihasilkan oleh hakim PN Tangerang sepanjang tahun 2010. Dimana dari semua putusan tersebut diperoleh data bahwa pelaku tindak pidana narkotika yang telah dijatuhi pidana yang tidak sesuai dengan ketentuan ancaman pidana yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika tersebut adalah berusia anak. Untuk lebih jelasnya mengenai uraian dari 5 (lima) putusan hakim PN Tangerang tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1. di bawah ini.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
119
Tabel 3. Data Perkara Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) yang Diputus oleh Hakim PN Tangerang Tahun 2010 No.
Umur Terdakwa
Psl Yg Dilanggar
Anc. Pidana Min. Dlm UU Narkotika
Tuntutan JPU
Amar & No. Put. PN
1
16 thn
111 ayat (1)
Pidana Penjara min. 4 Tahun Pidana Penjara 4 Tahun dan dan Pidana Denda min. Rp. Pidana Denda Rp. 800.000.000,800.000.000,- subs. 1 Bulan Latihan Kerja
Pidana Penjara 2 Tahun dan Pidana Denda Rp. 400.000.000,- subs. 1 Bulan Latihan Kerja (No.2597/Pid.B/2009/PN.TNG Tgl. 11 Januari 2010)
2.
17 thn
114 ayat (1)
Pidana Penjara min. 4 Tahun Pidana Penjara 4 Tahun dan dan Pidana Denda min. Rp. Pidana Denda Rp. 800.000.000,800.000.000,- subs. 4 Bulan Penjara
Tindakan berupa Mengembalikan Kepada Orang Tua (No. 282/Pid.B/2010/Pn.TNG Tgl. 1 Maret 2010)
3.
16 thn
111 ayat (1)
Pidana Penjara min. 4 Tahun Pidana Penjara 4 Tahun dan dan Pidana Denda min. Rp. Pidana Denda Rp. 800.000.000,800.000.000,- subs. 3 Bulan Penjara
Pidana Penjara 2 Tahun dan Pidana Denda Rp. 400.000.000,- subs. 1 Bulan Latihan Kerja (No. 297/Pid/B/2010/PN.TNG Tgl 08 Maret 2010)
4.
17 thn
111 ayat (1)
Pidana Penjara min. 4 Tahun Pidana Penjara 4 Tahun dan Tindakan berupa dan Pidana Denda min. Rp. Pidana Denda Rp. Menyerahkan kepada Negara 800.000.000,800.000.000,- subs. 1 Bulan untuk menjadi Anak Negara
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
120
Penjara
5.
15 thn
111 ayat (1) jo 132 ayat (1)
Pidana Penjara min. 4 Tahun Pidana Penjara 4 Tahun dan dan Pidana Denda min. Rp. Pidana Denda Rp. 800.000.000,800.000.000,- subs. 6 Bulan Penjara
untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja (No. 629/Pid.B/2010/PN.TNG Tgl. 17 Mei 2010) Pidana Penjara 3 Tahun dan Pidana Denda min. Rp. 800.000.000,- subs. 2 Bulan Penjara (No. 904/Pid/B/2010/PN.TNG Tgl. 06 Juli 2010)
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
121
Dari uraian yang telah dijabarkan pada tabel di atas, maka dalam penelitian ini penulis hanya akan menganalisis tentang putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UndangUndang Narkotika, yakni berjumlah 3 putusan. Dan dari data yang penulis peroleh, diketahui bahwa dari ketiga perkara yang telah diputus oleh hakim PN Tangerang dengan putusan berupa pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, ternyata penyelesaian atas perkaraperkara tersebut telah sampai pada tingkat banding maupun kasasi, yang mana putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Banten maupun Mahkamah Agung pada intinya sama isinya dengan putusan Pengadilan Negeri Tangerang. Hal ini sebagaimana terlihat pada tabel 4.2. di bawah ini.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
122
Tabel 4. Data Perkara Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) yang Diputus oleh Hakim Tingkat Pertama sampai Hakim Tingkat Kasasi No.
Umur Terdakwa
Psl Yg Dilanggar
1
16 thn
111 ayat (1)
Amar & No. Put. PN Tangerang
Amar & No. Put. PT Banten
Pidana Penjara 2 Tahun dan - menerima permintaan banding dari Pidana Denda Rp. 400.000.000,JPU subs. 1 Bulan Latihan Kerja - menguatkan putusan PN Tangerang (No.2597/Pid.B/2009/PN.TNG No. No.2597/Pid.B/2009/PN.TNG Tgl. 11 Januari 2010) Tgl. 11 Januari 2010 (No. 28/PID/2010/PT.BTN Tgl.16 Februari 2010)
2.
16 thn
111 ayat (1)
Pidana Penjara 2 Tahun dan - menerima permintaan banding dari Pidana Denda Rp. 400.000.000,JPU subs. 1 Bulan Latihan Kerja - menguatkan putusan PN Tangerang (No. 297/Pid/B/2010/PN.TNG No. No. 297/Pid/B/2010/PN.TNG Tgl 08 Maret 2010) Tgl 08 Maret 2010 (No. 50/PID/2010/PT.BTN Tgl. 15 April 2010)
3.
15 thn
111 ayat (1) jo 132 ayat (1)
Pidana Penjara 3 Tahun dan - menerima permintaan banding dari Pidana Denda min. Rp. JPU 800.000.000,- subs. 2 Bulan - menguatkan putusan PN Tangerang Penjara No. 904/Pid/B/2010/PN.TNG Tgl. (No. 904/Pid/B/2010/PN.TNG 06 Juli 2010. Tgl. 06 Juli 2010) (No. 107/PID/2010/PT.BTN Tgl. 09 Agustus 2010)
Amar & No. Put. Mahkamah Agung (MA)
--data belum ada di PN Tangerang--
Menolak permohonan kasasi dari JPU pada PN Tangerang (No. 1197 K/Pid.Sus/2010 Tgl.7 Juni 2010)
--data belum ada di PN Tangerang--
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
123
Terkait dengan proses penyelesaian perkara narkotika yang telah sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, sebagaimana terlihat pada tabel 4.2. di atas, dalam penelitian ini penulis hanya akan menganalisis putusan hakim serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus pada tingkat pertama saja yaitu pada PN Tangerang. Selanjutnya dari ketiga putusan hakim PN Tangerang tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Putusan No. 2597/PID.B/2009/PN.TNG Tanggal 11 Januari 2010 Dari putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 2597 / PID.B / 2009 / PN.TNG tanggal 11 Januari 2010, diketahui bahwa terhadap terdakwa yang bernama inisial MN, umur 16 tahun, hakim telah menjatuhkan putusan berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan apabila denda tidak bisa dibayar, maka diganti dengan hukuman 1 (satu) bulan latihan kerja, karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak memiliki, menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman”. Putusan hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa MN dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun tersebut, apabila dikaitkan dengan ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 111 ayat (1) UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009, maka putusannya di bawah dari batas minimum ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 111 ayat (1). Dimana di dalam pasal tersebut telah diatur ancaman pidana bagi pelaku kejahatan yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan,
menguasai,
atau
menyediakan
narkotika
golongan I dalam bentuk tanaman, yakni berupa pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,- (delapan milyar rupiah). Sebelumnya di dalam persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan, jaksa penuntut umum telah menuntut terdakwa MN dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
124
800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsidair 1 (satu) bulan latihan kerja. Adapun dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa yaitu dapat dijabarkan sebagai berikut : ------ Bahwa ia terdakwa MN pada hari Selasa, tanggal 10 Nopember 2009 sekira jam 22.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2009 bertempat di Jalan Raya Cituis Desa Suryabahari Pakuhaji Tangerang, dimana berdasarkan Pasal 84 KUHAP Pengadilan Negeri Tangerang berwenang memeriksa dan mengadili, terdakwa tanpa hak atau melawan hukum memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman berupa daun ganja kering sebanyak 1 sample dengan berat netto 0,3810 gram. Perbuatan terdakwa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : Pada waktu dan tempat tersebut di atas, sewaktu sedang melaksanakan tugas rutin yakni dalam Operasi Kepolisian Unit Narkoba Polsek Pakuhaji, saksi AS dan S (anggota Polisi) mencurigai gerak-gerik terdakwa yang sedang sendirian di pinggir jalan. Selanjutnya kedua saksi tersebut melakukan pemeriksaan dan penggeledahan anggota badan terhadap terdakwa, dan dari hasil pemeriksaan tersebut ditemukan 1 ample daun kering diduga ganja di kantung celana sebelah kanan terdakwa yang diakui terdakwa sebagai ganja miliknya yang dibeli dari A (belum tertangkap) di Kp. Bojong sebesar Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah). Dimana oleh terdakwa ganja tersebut akan dipergunakannya sendiri. Kemudian terhadap barang bukti 1 bungkus /ample daun kering tersebut dibawa ke BNN untuk dilakukan pemeriksaan pada tanggal 13-11-2009 dengan surat nomor : 206.k/XI/2009 / UPT.LAB UJI NARKOBA. Dan dari hasil pemeriksaan diperoleh kesimpulan : 1 ample daun kering tersebut berat nettonya 0,3810 gram, lalu setelah diambil sample sisa 0,2970 gram, dan positif mengandung THC (Tetra Hidro Cannabino/Ganja) serta terdaftar dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. ------ Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 111 Ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam perkara atas nama terdakwa MN ini yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Pertimbangan yang bersifat yuridis, diantaranya yaitu : a. Surat dakwaan dan surat tuntutan / tuntutan pidana jaksa penuntut umum Dari dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa, terlihat bahwa bentuk dakwaannya adalah dakwaan tunggal dengan hanya memuat 1 (satu) aturan pasal yang
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
125
dilanggar oleh terdakwa yaitu Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009. Oleh karena dakwaan hanya berupa dakwaan tunggal, maka dalam pembuktiannya, sebagaimana tertuang dalam surat tuntutan / tuntutan pidananya, jaksa penuntut umum langsung membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, yaitu : Ad. 1. unsur “Barang siapa” Ad. 2. unsur “secara tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”. Selanjutnya dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa semua unsur yang terdapat pada Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tersebut telah terbukti semua, sehingga dari sini hakim menganggap karena terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum dan terdakwa mampu bertanggung jawab, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. b. Alat bukti Alat bukti yang terdapat di dalam perkara ini meliputi : 1. keterangan saksi Adapun yang menjadi saksi dalam perkara ini yaitu saksi AS dan saksi S yang dalam persidangan telah memberikan kesaksiannya di bawah sumpah dan atas keterangan para saksi tersebut terdakwa juga telah membenarkan. 2. surat Dalam perkara ini yang menjadi alat bukti surat yaitu berupa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris BNN pada tanggal 13 Nopember 2009 dengan surat no. : B-206 . k / XI /2009 / UPT.LAB UJI NARKOBA.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
126
3. keterangan terdakwa Dalam persidangan, terdakwa atas nama MN juga telah memberikan keterangan yang pada dasarnya mengakui perbuatannya. c. Barang bukti Barang bukti yang terdapat dalam perkara ini berupa 1 (satu) paket daun ganja dengan berat 0,2970 gram. d. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika Dari perbuatan terdakwa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum diketahui bahwa perbuatan terdakwa tersebut dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. e. Ketentuan perundang-undangan khusus Dalam perkara dengan terdakwa atas nama MN yang masih berumur 16 tahun, maka proses persidangannya menerapkan ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sedangkan berkaitan
dengan
penjatuhan
pidana,
ternyata
dalam
pertimbangannya hakim juga menerapkan ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Pengadilan Anak, dimana ketentuan ancaman pidana penjara yang dapat dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ (setengah) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997, diberlakukan pula dalam perkara ini. Hal ini terlihat dari putusan hakim yang menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun. f. Laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS Dalam perkara ini laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan berasal dari Bapas Serang, Jawa Barat dan hal ini dimungkinkan sebab wilayah kerja Bapas Serang juga meliputi kota Tangerang.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
127
2. Pertimbangan yang bersifat non yuridis a. Kondisi diri terdakwa Dalam pertimbangannya, sebagaimana tertuang dalam putusan, hakim menganggap pelaku yang masih berusia anak dan bekerja sebagai buruh ini masih dapat dibina dan mempunyai masa depan yang masing panjang, sehingga dalam penjatuhan pidana hakim berpatokan pula terhadap hal ini. b. Peran atau kedudukan terdakwa Dalam pertimbangannya hakim menganggap bawah peran terdakwa di dalam terjadinya tindak pidana ini hanyalah sebagai pengguna, dengan kata lain ganja seberat 0,2970 gram tersebut hanya digunakan atau dipakai sendiri oleh terdakwa. 3. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan Selain pertimbangan yuridis maupun non yuridis, di dalam putusannya memberatkan
hakim
juga
maupun
mempertimbangkan
hal-hal
yang
hal-hal
meringankan
yang
perbuatan
terdakwa, yaitu : Hal-hal yang memberatkan : -
Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba;
Hal- hal yang meringankan : -
Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;
-
Terdakwa menyesal dan berjanji tidak mengulangi;
-
Terdakwa masih muda, masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki dirinya di kemudian hari;
-
Terdakwa belum pernah dihukum. Selain mempertimbangkan hal-hal, baik yang bersifat yuridis
dan yang bersifat non yuridis maupun yang memberatkan dan meringankan
terdakwa,
di
dalam
putusannya
hakim
juga
mempertimbangkan rasa keadilan dan kemanusiaan bagi kepentingan masa depan terdakwa.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
128
2. Putusan No. 297/PID.B/2010/PN.TNG Tanggal 8 Maret 2010 Dari putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 297 / PID.B / 2010 / PN.TNG tanggal 08 Maret 2010, diketahui bahwa terhadap terdakwa yang bernama inisial JR, umur 16 tahun, hakim telah menjatuhkan putusan berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan apabila denda tidak bisa dibayar, maka diganti dengan hukuman 1 (satu) bulan latihan kerja, karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak memiliki, menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman”. Sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 2597 / PID.B / 2009 / PN.TNG tanggal 11 Januari 2010 dalam perkara atas nama terdakwa MN, maka putusan hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa JR dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun juga di bawah batas minimum ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Sebelumnya di dalam persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan, jaksa penuntut umum telah menuntut terdakwa JR dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan penjara. Adapun dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa yaitu dapat dijabarkan sebagai berikut : ------ Bahwa ia terdakwa JR pada hari minggu tanggal 10 Januari 2010 sekira jam 23.15 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam tahun 2010 bertempat di pinggir jalan di Kp. Periang Kel. Pondok Jagung Kec. Serpong Kab. Tangerang atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tangerang yang berwenang mengadili dan memeriksa perkaranya, tanpa hak atau melawan hukum, menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, atau menguasai atau menyediakan narkotika golongan 1 dalam bentuk tanaman berupa : 1 (satu) bungkus plastik dan 1 (satu) bungkus kertas yang berisikan daun ganja dengan berat netto seluruhnya 4,0489 gram. Perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara antara lain sebagai berikut : Awalnya saksi AS dan RS memperoleh informasi dari masyarakat bahwa di Kp. Periang Kel. Pondok Jagung Kec. Serpong Kab. Tangerang dijadikan tempat penyalahgunaan narkotika. Kemudian kedua
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
129
saksi tersebut melakukan observasi ke tempat yang dimaksud dan saat berada di tempat yang dimaksud mereka melihat terdakwa sedang berdiri di pinggir jalan di Kp. Periang Kel. Pondok Jagung Kec. Serpong Kab. Tangerang. Kemudian kedua saksi tersebut mendekati dan melakukan penggeledahan badan terdakwa dan menemukan 1 (satu) bungkus kertas yang berisikan daun ganja di kantong celana levis bagian belakang sebelah kanan terdakwa serta 1 (satu) bungkus plastik yang berisikan daun ganja yang di pegang tangan kanan terdakwa. Dari kejadian tersebut selanjutnya terdakwa ditangkap dan diserahkan ke Polres Metro Tangerang berikut barang bukti guna dilakukan pengusutan lebih lanjut. Terhadap 1 (satu) bungkus plastik dan 1 (satu) bungkus kertas masingmasing berisikan bahan / daun ganja tersebut selanjutnya diperiksa di UPT Laboratorium Uji Narkoba Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional dengan Berita Acara Pemeriksaan Labolatoris No. 152A/I / 2010/UPT LAB UJI NARKOBA tanggal 13 Januari 2010 yang diketahui oleh Kuswardani, S. Si.Apt selaku PJS Kepala UPT LABOLATORIUM UJI NARKOBA LAKHAR BNN. Dan dari hasil pemeriksaan diperoleh kesimpulan : bahan / daun tersebut di atas adalah benar ganja dengan berat 4,0489 gram yang setelah diperiksa sisanya 3,6972 gram, dan mengandung THC (Tetrahydrocannabinol) serta terdaftar dalam golongan I Nomor urut 8 dan 9 lampiran Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. ------ Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 111 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam perkara atas nama terdakwa JR ini yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Pertimbangan yang bersifat yuridis, diantaranya yaitu : a. Surat dakwaan dan surat tuntutan / tuntutan pidana jaksa penuntut umum Bentuk surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa JR yaitu dakwaan tunggal dengan hanya memuat 1 (satu) aturan pasal yang dilanggar oleh terdakwa yaitu Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, sehingga dalam pembuktiannya, sebagaimana tertuang dalam surat tuntutan / tuntutan pidananya, jaksa langsung membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009. Kemudian dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa semua unsur yang terdapat pada Pasal 111 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tersebut telah terbukti semua, sehingga dari sini
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
130
hakim menganggap karena terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum dan terdakwa mampu bertanggung jawab, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. b. Alat bukti Alat bukti yang terdapat di dalam perkara ini meliputi : i.
keterangan saksi Adapun yang menjadi saksi dalam perkara ini yaitu saksi RS dan saksi AS yang dalam persidangan telah memberikan kesaksiannya di bawah sumpah dan atas keterangan para saksi tersebut terdakwa juga telah membenarkan. 2. surat Dalam perkara ini yang menjadi alat bukti surat yaitu berupa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris BNN pada tanggal 13 Januari 2010 dengan surat no. : B-152.A/I/2010/UPT.LAB UJI NARKOBA. 3. keterangan terdakwa Dalam persidangan, terdakwa atas nama JR juga telah memberikan keterangan yang pada dasarnya mengakui perbuatannya.
c. Barang bukti Barang bukti yang terdapat dalam perkara ini berupa 1 (satu) paket daun ganja dengan berat 4,0489 gram yang setelah diperiksa sisanya 3,6972 gram. d. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika Dari perbuatan terdakwa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum diketahui bahwa perbuatan terdakwa tersebut dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. e. Ketentuan perundang-undangan khusus Sebagaimana dalam perkara atas nama terdakwa MN, maka dalam perkara atas nama terdakwa JR yang masih berumur 16
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
131
tahun, Majelis Hakim juga menerapkan ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam proses persidangannya maupun dalam penjatuhan pidana. f. Laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS Sebagaimana dalam perkara atas nama terdakwa MN, maka dalam perkara ini laporan hasil Penelitian Kemasyarakatannya juga berasal dari Bapas Serang, Jawa Barat. 2. Pertimbangan yang bersifat non yuridis a. Kondisi diri terdakwa Dalam pertimbangannya, sebagaimana tertuang dalam putusan, hakim menganggap pelaku yang masih berusia anak dan berstatus pelajar ini masih dapat dibina dan mempunyai masa depan yang masing panjang, sehingga dalam penjatuhan pidana hakim berpatokan pula terhadap hal ini. b. Peran atau kedudukan terdakwa Dalam pertimbangannya hakim menganggap bawah peran terdakwa di dalam terjadinya tindak pidana ini hanyalah sebagai pengguna, dengan kata lain ganja seberat 4,0489 gram tersebut hanya digunakan atau dipakai sendiri oleh terdakwa. 3. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan Selain pertimbangan yuridis maupun non yuridis, di dalam putusannya memberatkan
hakim
juga
maupun
mempertimbangkan
hal-hal
yang
hal-hal
meringankan
yang
perbuatan
terdakwa, yaitu : Hal-hal yang memberatkan : -
Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba;
Hal- hal yang meringankan : -
Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;
-
Terdakwa menyesal dan berjanji tidak mengulangi;
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
132
-
Terdakwa masih muda, masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki dirinya di kemudian hari;
-
Terdakwa belum pernah dihukum. Sebagaimana dalam perkara atas nama terdakwa MN, maka
dalam perkara ini selain mempertimbangkan hal-hal, baik yang bersifat yuridis dan yang bersifat non yuridis maupun yang memberatkan dan meringankan
terdakwa,
di
dalam
putusannya
hakim
juga
mempertimbangkan rasa keadilan dan kemanusiaan bagi kepentingan masa depan terdakwa. 3. Putusan No. 904/PID/B/2010/PN.TNG Tanggal 06 Juli 2010 Dari putusan Pengadilan Negeri Tangerang No. 904 / PID/B/ 2010 / PN.TNG tanggal 06 Juli 2010, diketahui bahwa terhadap terdakwa yang bernama inisial YW, umur 15 tahun, hakim telah menjatuhkan putusan berupa pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) dan apabila denda tidak bisa dibayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan, karena terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Permufakatan jahat, tanpa dan melawan hukum memiliki narkotika golongan I dalam bentuk tanaman”. Sebagaimana putusan No. 2597 / PID.B / 2009 / PN.TNG tanggal 11 Januari 2010 dalam perkara atas nama terdakwa MN dan juga putusan No. No. 297 / PID.B / 2010 / PN.TNG tanggal 08 Maret 2010 dalam perkara atas nama terdakwa JR, maka putusan hakim yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa YW dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun juga di bawah batas minimum ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Sebelumnya di dalam persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan, jaksa penuntut umum telah menuntut terdakwa YW dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (delapan ratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
133
penjara. Adapun dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa yaitu dapat dijabarkan sebagai berikut : ------ Bahwa ia terdakwa YW bersama saksi N dan saksi AAF secara bersama-sama atau bertindak sendiri-sendiri pada hari Kamis, tanggal 06 Mei 2010 sekira jam 02.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Mei 2010 di depan Pamulang Square Jalan Siliwangi Kelurahan Pamulang Barat Tangerang Selatan Banten, atau di tempat lain yang termasuk daerah hukum Pengadilan Negeri Tangerang, telah melakukan percobaan atau permufakatan jahat dalam tindak pidana Narkotika dan Prokursor Narkotika yaitu tanpa hak atau melawan hukum, menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman. Perbuatan tersebut dilakukan antara lain dengan cara sebagai berikut : Awalnya saksi HK bersama anggota Polisi dari Polsek Metropolitan Pamulang dan dibantu KSK Kencana (mitra polisi) sedang menggelar Operasi Kepolisian Jaya 21 (razia) yang sasarannya adalah semua kendaraan atau orang yang melintas di depan Pamulang Square Jalan Siliwangi Kelurahan Pamulang Barat. Kemudian pada saat pelaksanaan operasi tersebut, saksi melihat terdakwa bersama saksi N dan saksi AAF sedang duduk di atas kap (kepala) sebuah mobil jenis truk tronton yang sedang melintas. Karena hal tersebut melanggar aturan lalu lintas, maka mobil jenis truk tersebut diberhentikan, dan selanjutnya saksi menyuruh terdakwa bersama saksi N dan saksi AAF untuk turun dari atas kap (kepala) mobil. Namun setelah terdakwa bersama saksi N dan saksi AAF turun dari kap mobil jenis truk tersebut, mereka langsung pergi tergesa-gesa. Melihat gelagat yang kurang baik dan mencurigakan tersebut, kemudian saksi HK dibantu KSK Kencana (mitra polisi) memanggil dan menghampiri terdakwa bersama saksi N dan saksi AAF. Lalu pada saat akan dilakukan pemeriksaan terhadap terdakwa bersama saksi N dan saksi AAF, saksi N mengambil sesuatu barang dari kantong celana depan sebelah kiri yang dipakainya, kemudian barang tersebut dijatuhkan saksi N ke tanah. Melihat kejadian itu saksi SS, yang posisinya berada dekat dengan saksi N, langsung mengambil barang tersebut yang ternyata berupa kotak rokok Djarum Super yang di dalamnya terdapat 3 (tiga) linting kertas warna putih berisi ganja dengan berat netto seluruhnya 0,8744 gram dan 1 (satu) bungkus kertas warna putih berisi ganja dengan berat netto 0,1061 gram, sehingga jumlah seluruhnya adalah 0,9805 gram. Kemudian saksi SS menyerahkan kotak rokok Djarum Super berisi 3 (tiga) linting kertas warna putih berisi ganja dan 1 (satu) bungkus kertas warna putih berisi ganja tersebut kepada saksi HK. Selanjutnya saksi HK menginterogasi terdakwa bersama N dan saksi AAF. Dan setelah diinterogasi akhirnya terdakwa bersama saksi N dan saksi AAF mengakui bahwa 3 (tiga) linting kertas warna putih berisi ganja, dan 1 (satu) bungkus kertas warna putih berisi ganja tersebut adalah milik terdakwa bersama saksi N dan saksi AAF, yang dibeli dari Sdr. A ( belum tertangkap) seharga Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) secara
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
134
patungan, dimana rencananya ganja tersebut akan dipergunakan bersama-sama. Bahwa terdakwa bersama saksi N dan saksi AAF tidak mempunyai izin dari pihak yang berwajib / berwenang, menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman tersebut. Selanjutnya berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris dari UPT Laboratorium Uji Narkoba Pelaksana Harian Badan Narkotika Nasional No. 131e/V/2010/UPT LAB UJI NARKOBA tanggal 11 Mei 2010, diperoleh kesimpulan bahwa barang bukti berupa bahan / daun tersebut di atas adalah benar Ganja mengandung THC (Tetrahidrocannabino) dan terdaftar dalam Golongan I Nomor urut 8 dan 9 Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. ------ Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 111 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Adapun pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam perkara atas nama terdakwa YW ini yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Pertimbangan yang bersifat yuridis, diantaranya yaitu : a. Surat dakwaan dan surat tuntutan / tuntutan pidananya jaksa penuntut umum Dari dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum terhadap terdakwa, terlihat bahwa bentuk dakwaannya adalah dakwaan tunggal dengan hanya memuat 1 (satu) aturan pasal yang dilanggar oleh terdakwa yaitu Pasal 111 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, sehingga dalam pembuktiannya, sebagaimana tertuang dalam surat tuntutan / tuntutan pidananya, jaksa penuntut umum langsung membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 111 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, yaitu : Ad. 1. unsur “Barang siapa” Ad. 2. unsur
“Percobaan atau permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana
narkotika
dan prokusor
narkotika, tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman”.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
135
Selanjutnya dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa semua unsur yang terdapat pada Pasal 111 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tersebut telah terbukti semua, sehingga dari sini hakim menganggap karena terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum dan terdakwa mampu bertanggung jawab, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. b. Alat bukti Alat bukti yang terdapat di dalam perkara ini meliputi : 1. keterangan saksi Adapun yang menjadi saksi dalam perkara ini yaitu saksi HK, N, AAF, yang dalam persidangan telah memberikan kesaksiannya di bawah sumpah dan juga saksi SS dan AS yang dalam persidangan keterangannya dibacakan oleh jaksa penuntut umum. Atas keterangan para saksi tersebut terdakwa telah membenarkan. 2. surat Dalam perkara ini yang menjadi alat bukti surat yaitu berupa Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris BNN pada tanggal 11 Mei 2010 dengan surat no. : B-131E/V/2010/KPT.LAB UJI NARKOBA yang ditandatangani oleh : 1.Maimunah, S.Si, 2. Rieska Dwi Widayati, S.Si dan 3. Tanti, S.T. 3. keterangan terdakwa Dalam persidangan, terdakwa atas nama YW juga telah memberikan keterangan yang pada dasarnya mengakui perbuatannya. c. Barang bukti Barang bukti yang terdapat dalam perkara ini berupa 1 (satu) paket daun ganja dengan berat seluruhnya 0,9805 gram. d. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika Dari perbuatan terdakwa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum diketahui bahwa perbuatan terdakwa tersebut dianggap
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
136
telah melanggar ketentuan Pasal 111 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. e. Ketentuan perundang-undangan khusus Sebagaimana dalam perkara atas nama terdakwa MN maupun perkara atas nama terdakwa JR, maka dalam perkara atas nama terdakwa YW yang masih berumur 15 tahun, Majelis Hakim juga menerapkan ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Sedangkan terkait dengan penjatuhan pidana, di dalam pertimbangannya yang terdapat pada putusan, hakim tidak menyinggung atau menerapkan ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Pengadilan Anak. f. Laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS Secara
tertulis
di
dalam
putusannya
hakim
tidak
mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas. Namun demikian, meskipun secara tertulis tidak tertuang ke
dalam
putusannya,
adanya
laporan
hasil
penelitian
kemasyarakatan dari Bapas ini tetap menjadi pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan pidana, sebab hal ini telah diatur di dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.246 2. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan Selain pertimbangan yuridis, di dalam putusannya hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan maupun hal-hal yang meringankan perbuatan terdakwa, yaitu : Hal-hal yang memberatkan : -
Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana narkotika dan psikotropika;
246
Lihat Pasal 59 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang berbunyi : “ (1) Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh untuk mengemukakan segala hal ikhwal yang bermanfaat bagi anak. (2) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan. (3) Putusan Pengadilan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
137
-
Terdakwa sudah pernah mempergunakan ganja, jauh sebelum terdakwa ditangkap melakukan tindak perkara ini.
Hal- hal yang meringankan : -
Terdakwa masih anak-anak berusia 15 tahun;
-
Terdakwa menyesali perbuatannya
-
Terdakwa berlaku sopan dan mengakui secara terus terang atas perbuatan yang dilakukan. Dari
putusannya,
pertimbangan-pertimbangan ternyata
hakim
dalam
yang
terdapat
perkara
ini
pada hanya
mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Sedangkan terhadap halhal yang bersifat non yuridis hakim tidak mempertimbangkannya. Dari uraian mengenai pertimbangan yang diambil oleh para hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UndangUndang Narkotika dalam perkara narkotika tersebut di atas, maka dapat dilihat adanya perbedaan pertimbangan antara hakim yang menangani perkara atas nama terdakwa MN, umur 16 tahun, dan terdakwa JR, umur 16 tahun, dengan hakim yang menangani perkara atas nama terdakwa YW, umur 15 tahun. Dimana perbedaan pertimbangan hakim tersebut, secara singkat dapat dilihat dalam tabel 4.3. di bawah ini.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
138
Tabel 5. Perbedaan Pertimbangan Hakim PN Tangerang Dalam Menjatuhkan Pidana Di Bawah Batas Minimum Dari Ketentuan Undang-Undang Narkotika No.
Umur Terdakwa
Pasal Yg Dilanggar
No. & Tgl. Putusan
Pertimbangan Hakim
1.
16 Tahun
111 ayat (1)
No.2597/Pid.B/2009/PN.TNG Tgl. 11 Januari 2010
1. Pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu : a. Surat dakwaan dan surat tuntutan / tuntutan pidana jaksa penuntut umum. b. Alat bukti, terdiri dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. c. Barang bukti, yakni berupa 1 (satu) paket daun ganja dengan berat 0,2970 gram. d. Pasal dalam UU Narkotika. e. Ketentuan Perundang-undangan khusus, dalam hal ini adalah UU Peradilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997). f. Laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS Serang, Jawa Barat. 2. Pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu : a. Kondisi diri terdakwa Dalam pertimbangannya, sebagaimana tertuang dalam putusan, hakim menganggap pelaku yang masih berusia anak dan bekerja sebagai buruh ini masih dapat dibina dan mempunyai masa depan yang masing panjang, sehingga dalam penjatuhan pidana hakim berpatokan pula terhadap hal ini. b. Peran atau kedudukan terdakwa Dalam pertimbangannya hakim menganggap bawah peran terdakwa di dalam terjadinya tindak pidana ini hanyalah sebagai pengguna, dengan kata lain ganja
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
139
3.
4.
2.
16 Tahun
111 ayat (1)
No.297/Pid/B/2010/PN.TNG Tgl 08 Maret 2010
1.
2.
seberat 0,2970 gram tersebut hanya digunakan atau dipakai sendiri oleh terdakwa. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan : a. Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba; b. Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya; - Terdakwa menyesal dan berjanji tidak mengulangi; - Terdakwa masih muda, masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki dirinya di kemudian hari; - Terdakwa belum pernah dihukum. Di dalam putusannya hakim juga mempertimbangkan rasa keadilan dan kemanusiaan bagi kepentingan masa depan terdakwa. Pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu : a. Surat dakwaan dan surat tuntutan / tuntutan pidana jaksa penuntut umum. b. Alat bukti, terdiri dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. c. Barang bukti, yakni berupa 1 (satu) paket daun ganja dengan berat 4,0489 gram yang setelah diperiksa sisanya 3,6972 gram. d. Pasal dalam UU Narkotika. e. Ketentuan Perundang-undangan khusus, dalam hal ini adalah UU Peradilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997). f. Laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS Serang, Jawa Barat. Pertimbangan yang bersifat non yuridis, yaitu : a. Kondisi diri terdakwa
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
140
3.
15 Tahun
111 ayat (1) jo 132 ayat (1)
No.904/Pid/B/2010/PN.TNG Tgl. 06 Juli 2010
Dalam pertimbangannya, sebagaimana tertuang dalam putusan, hakim menganggap pelaku yang masih berusia anak dan berstatus pelajar ini masih dapat dibina dan mempunyai masa depan yang masing panjang, sehingga dalam penjatuhan pidana hakim berpatokan pula terhadap hal ini b. Peran atau kedudukan terdakwa Dalam pertimbangannya hakim menganggap bawah peran terdakwa di dalam terjadinya tindak pidana ini hanyalah sebagai pengguna, dengan kata lain ganja seberat 4,0489 gram tersebut hanya digunakan atau dipakai sendiri oleh terdakwa. 3. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan : a. Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba; b. Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya; - Terdakwa menyesal dan berjanji tidak mengulangi; - Terdakwa masih muda, masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki dirinya di kemudian hari; - Terdakwa belum pernah dihukum. 4. Di dalam putusannya hakim juga mempertimbangkan rasa keadilan dan kemanusiaan bagi kepentingan masa depan terdakwa. 1. Pertimbangan yang bersifat yuridis, yaitu : a. Surat dakwaan dan surat tuntutan / tuntutan pidana jaksa penuntut umum. b. Alat bukti, terdiri dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
141
c. Barang bukti, yakni berupa 1 (satu) paket daun ganja dengan berat seluruhnya 0,9805 gram d. Pasal dalam UU Narkotika. e. Ketentuan Perundang-undangan khusus, dalam hal ini adalah UU Peradilan Anak (UU No. 3 Tahun 1997). 2. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan : a. Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana narkotika dan psikotropika; - Terdakwa sudah pernah mempergunakan ganja, jauh sebelum terdakwa ditangkap melakukan tindak perkara ini; b. Hal-hal yang meringankan : - Terdakwa masih anak berusia 15 tahun; - Terdakwa menyesali perbuatannya’ - Terdakwa berlaku sopan dan mengakui secara terus terang atas perbuatan yang dilakukan.
Universitas Indonesia
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
142
Dari penjabaran pada tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk perkara dengan Putusan No.2597/Pid.B/2009/PN.TNG dan Putusan No. 297/Pid/B /2010/PN.TNG,
hakim
dalam
menjatuhkan
putusannya
telah
mempertimbangkan hal-hal, baik yang bersifat yuridis maupun non yuridis, serta juga hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Di samping itu pula hakim dalam perkara ini juga mempertimbangkan rasa keadilan dan kemanusiaan bagi kepentingan masa depan terdakwa. Sedangkan untuk perkara
dengan Putusan No.904/Pid/B/2010/PN.TNG, hakim
hanya
mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan saja. Adanya kesamaan pertimbangan hakim pada kedua putusan tersebut di atas, yaitu Putusan No.2597/Pid.B/2009/PN.TNG dan Putusan No. 297/ Pid/ B/ 2010/ PN.TNG, dimungkinkan terjadi dikarenakan Majelis hakim yang menangani kedua perkara tersebut adalah sama. Di dalam penelitian ini, di samping memperoleh salinan putusan hakim PN Tangerang, penulis juga menyusun kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab oleh para nara sumber. Selain itu penulis juga mengadakan wawancara secara depth interview dengan para nara sumber, yang meliputi para hakim pada Pengadilan Negeri Tangerang (berjumlah 5 orang), jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Tangerang (5 orang), dan ahli hukum pidana (2 orang), dengan maksud untuk menjawab
permasalahan seputar
munculnya putusan
hakim
Pengadilan Negeri Tangerang yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Adapun materi yang dijadikan sebagai bahan kuisioner maupun wawancara dengan para nara sumber mencakup beberapa hal, yang mana pada intinya materi yang ditanyakan kepada para nara sumber tersebut bertujuan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam penelitian ini yang meliputi penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika oleh hakim dihubungkan dengan asas nulla poena sine lege, dasar pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Tangerang dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
143
ketentuan Undang-Undang Narkotika, dan juga penerapan penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan undang-undang narkotika oleh hakim PN Tangerang terhadap pelaku pidana. Dan dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan para nara sumber, diperoleh jawaban ataupun pendapat yang beragam dan antara satu nara sumber dengan nara sumber yang lain bisa berbeda pendapatnya. Berikut akan dijabarkan beberapa materi yang dijadikan sebagai bahan kuisioner maupun wawancara dengan para nara sumber beserta jawaban yang telah disampaikan oleh para nara sumber tersebut.247 1. Adanya ketentuan ancaman pidana minimum dalam Undang-Undang Narkotika dihubungkan dengan kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dari kalangan hakim Dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan 5 (lima) hakim, diperoleh informasi bahwa 4 (empat) hakim mengatakan, adanya ketentuan ancaman pidana minimum dalam Undang-Undang Narkotika telah membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusannya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu hakim, yang mengatakan : “ Adanya ketentuan ancaman pidana minimum dalam UndangUndang Narkotika memang membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhan putusan, hal ini dikarenakan banyak kasus yang sangat ringan, misalnya Barang Bukti (BB) nya sangat sedikit atau BB akan dipakai sendiri, kalau terhadap pelaku dijatuhkan pidana minimal, misal 4 (empat) tahun maka hal itu menjadi berat”.248 Sedangkan 1 (satu) hakim berpendapat bahwa adanya ketentuan ancaman pidana minimum dalam Undang-Undang Narkotika tidak membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusannya, dimana menurutnya dapat saja hakim menjatuhkan putusan di bawah batas
247 Pedoman kuisioner dan wawancara dengan para nara sumber yang terdiri dari hakim pada PN Tangerang, penuntut umum pada Kejari Tangerang, dan ahli hukum pidana. 248 Hasil wawancara dengan hakim A di Pengadilan Negeri Tangerang pada hari Rabu tanggal 17 Januari 2011 bertempat di kantor PN Tangerang.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
144
minimal dengan mempertimbangkan pada rasa keadilan, karena pada intinya hakim bukanlah corong undang-undang semata.249 Kemudian pada saat penulis menanyakan kepada para hakim tentang makna kebebasan hakim seperti apa, maka jawaban yang disampaikan oleh para hakim tersebut hampir sama, yaitu kebebasan yang bertanggung jawab, baik kepada Tuhan Yang Maha Esa dan masyarakat, serta pencari keadilan pada khususnya. Dari kalangan jaksa penuntut umum Dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan 5 (lima) jaksa penuntut umum, diperoleh informasi bahwa pada umumnya para jaksa tersebut berpendapat yang sama yaitu kebebasan hakim tidaklah mutlak, oleh karena itu di dalam memutus perkara, seorang hakim harus tetap berpedoman pada ketentuan yang telah di atur di dalam suatu undang-undang, dimana unsur kepastian hukum tidak boleh dikesampingkan dalam setiap putusan yang dijatuhkannya. Sedangkan berkaitan dengan adanya ketentuan ancaman pidana minimum dalam Undang-Undang Narkotika dihubungkan dengan kebebasan jaksa penuntut umum dalam melakukan penuntutan, maka dari 5 (lima) jaksa penuntut yang telah penulis wawancarai, 3 (tiga) jaksa mengatakan bahwa adanya ketentuan ancaman pidana minimum dalam Undang-Undang Narkotika telah membatasi kebebasan jaksa dalam melakukan penuntutan, sebab mereka berpendapat dengan adanya ancaman pidana minimum membuat jaksa hanya mengacu pada ketentuan / bunyi pasal dari undang-undang tersebut dan tidak bisa menuntut di bawah minimum. Ada pendapat dari salah seorang jaksa yang mengatakan : “Seharusnya tuntutan pidana itu adalah kebebasan jaksa yang didasarkan pada fakta-fakta di persidangan”.250 Adapun 2 (dua) jaksa penuntut umum lainnya mengatakan bahwa adanya ketentuan ancaman pidana minimum dalam Undang-Undang 249 Hasil wawancara dengan hakim B di Pengadilan Negeri Tangerang pada hari Rabu tanggal 17 Januari 2011 bertempat di kantor PN Tangerang. 250 Hasil wawancara dengan jaksa penuntut umum F di Kejaksaan Negeri Tangerang pada hari Rabu tanggal 02 Februari 2011 bertempat di kantor Kejari Tangerang.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
145
Narkotika tidaklah membatasi kebebasan jaksa di dalam melakukan penuntutan sebab mereka berpendapat jaksa hanya melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Ada pendapat dari Chaerul Amir, selaku Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang, yang mengatakan bahwa : “Di dalam melakukan penuntutan jaksa hanya mengacu pada unsurunsur pasal dan ancaman pidana yang ada dalam pasal yang didakwakan. Jaksa oleh undang-undang tidak diberi kewenangan untuk menerapkan selain apa yang tercantum di dalam pasal-pasal yang didakwakan. Namun demikian, menurut teori hukum, idealnya jaksa dalam menuntut juga wajib menggali nilai-nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Oleh karena itu seharusnya Kejaksaan bisa melakukan terobosan hukum untuk menuju asas kemanfaatan dan keadilan hukum, salah satunya adalah dengan melakukan penuntutan di bawah ancaman minimum dengan pertimbangan-pertimbangan keadilan dan kemanfaatan untuk kasus-kasus tertentu, sebab hukum itu sendiri bukan hanya undang-undang. Undang-undang baru menjadi hukum ketika kita mulai menerapkannya ke masyarakat. Undang-undang itu adalah manusia dan bukan sebaliknya”.251 Lebih lanjut para jaksa tersebut mengatakan bahwa, pada dasarnya di dalam melakukan penuntutan seorang jaksa memiliki pedoman sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : SE / 001 / J.A / 4 / 1995 tanggal 27 April 1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana252, yang mana hal ini memiliki maksud mewujudkan tututan pidana yang lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat, membuat jera pelaku tindak pidana, mampu menimbulkan dampak pencegahan dan mempunyai daya tangkal bagi yang lainnya, menciptakan kesatuan kebijaksanaan penuntutan, sejalan dengan asas bahwa kejaksaan adalah satu dan tidak bisa dipisahpisahkan, menghindarkan adanya disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis antara satu daerah dengan daerah lainnya, 251
Hasil wawancara dengan Chaerul Amir, selaku Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang, pada hari Jumat tanggal 03 Desember 2011 bertempat di kantor Kejari Tangerang. 252 Di dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : SE / 001 / J.A / 4 / 1995 dijelakan bahwa dalam rangka guna lebih meningkatkan kualitas penerapan, penegakan, dan pelayanan hukum, khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian dan pelayanan perkara tindak pidana umum maka jaksa penuntut umum mempunyai acuan yang diatur dalam Himpunan Tata Naskah dan Petunjuk Teknis Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI, yang diterbitkan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
146
dengan memperhatikan faktor kasuistik pada setiap perkara pidana. Selanjutnya di dalam Surat Edaran Jaksa Agung tersebut juga menjelaskan berkaitan dengan hal pengajuan tuntutan pidana, terhadap perkara tindak pidana umum, jaksa penuntut umum (JPU) harus memperhatikan / mempertimbangkan faktor-faktor perbuatan terdakwa, keadaan diri pelaku tindak pidana, dan dampat perbuatan terdakwa. Dari kalangan ahli hukum pidana Dari hasil wawancara dengan Mardjono Reksodiputro, yang merupakan ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, diperoleh informasi bahwa terkait dengan adanya ketentuan ancaman pidana minimum dalam Undang-Undang Narkotika terdapat 2 (dua) hal yang menjadi patokan, yaitu :253 1. Hakim itu harus memberi keadilan melalui hati nurani 2. Batasan yang diberikan oleh undang-undang minimal umum 1 hari sudah
minimal
sekali,
sedangkan
untuk
batas
maksimal
dimaksudkan oleh legislator adalah mengenai tingkat keseriusan daripada tindak pidana itu sendiri. Jadi apabila hakim memberikan hukuman diatas maksimal maka hal itu melanggar aturan undangundang dan juga melanggar hak dari terpidana. Hakim harus memberikan keadilan karena terpidana itu tahu ancaman pidana yang dapat dijatuhkan terhadapnya, jadi hakim tidak boleh menjatuhkan pidana di atas batas maksimal. Menurut Mardjono Reksodiputro, adanya ketentuan ancaman pidana minimum dalam Undang-Undang Narkotika tidak secara absolut membatasi kebebasan hakim, sebab hakim dapat menafsirkan isi dari suatu undang-undang. Adapun maksud dari adanya batas minimal pada undang-undang adalah agar tidak ada disparitas pidana yang tinggi. Patokan batas minimal dan maksimal pada undang-undang hanyalah sekedar menjadi pedoman hakim dalam menjatuhkan pidana. Jadi dia
253
Hasil wawancara dengan Mardjono Reksodiputro, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2011 bertempat di Kampus UI Salemba.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
147
dapat menjatuhkan pidana diantara batas-batas tersebut, dan juga dapat pula menjatuhkan pidana di bawah batas minimal. 254 Adapun dari hasil wawancara dengan Gandjar Laksmana Bonaprapta, yang juga merupakan ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, diperoleh pendapat yang berbeda, dimana menurut Gandjar Laksmana Bonaprapta, adanya ketentuan ancaman pidana minimum dalam Undang-Undang Narkotika memang telah membatasi kebebasan hakim, namun hal ini bukan merupakan permasalahan sebab pada dasarnya kebebasan hakim memang haruslah ada batasannya, yang mana hal ini diatur dalam Peraturan Perundang-undangan, dengan tujuan salah satunya adalah untuk mempersempit atau mengurangi disparitas putusan hakim.255 2. Adanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika dikaitkan dengan Peraturan Perundangundangan maupun asas legalitas (nulla poena sine lege) yang di dalamnya mengandung unsur kepastian hukum. Dari kalangan hakim Dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan 5 (lima) hakim, diperoleh informasi bahwa semuanya mengatakan, memang penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika telah melanggar Peraturan Perundangundangan, namun hal ini dapat dibenarkan karena didasarkan pada pemenuhan rasa keadilan. Ada pendapat yang disampaikan oleh salah satu hakim yang mengatakan : “Penjatuhan pidana di bawah batas minimal khusus bukanlah merupakan tindakan sewenang-wenang dari hakim, sebab tindakan menjatuhkan pidana tersebut lebih didasarkan pada pemenuhan rasa keadilan”.256
254
Ibid Hasil wawancara dengan Gandjar Laksmana Bonaprapta, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, pada hari Rabu tanggal 18 Mei 2011 bertempat di Kampus UI Depok. 256 Hasil wawancara dengan hakim C di Pengadilan Negeri Tangerang pada hari Rabu tanggal 26 Januari 2011 bertempat di kantor PN Tangerang. 255
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
148
Sedangkan terkait dengan adanya asas legalitas (nulla poena sine lege) yang di dalamnya terkandung unsur kepastian hukum, 5 (lima) hakim mengatakan bahwa munculnya putusan hakim yang berupa penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UndangUndang Narkotika tidak bertentangan dengan asas legalitas serta hal ini tidak akan menimbulkan ketidakpastian hukum, sebab tujuan penjatuhan pidana di bawah batas minimum tersebut adalah didasarkan pada rasa keadilan masyarakat. Untuk penerapan dari penjatuan pidana di bawah batas minimum khusus tersebut, para hakim mengatakan bahwa tidak semua pelaku tindak pidana narkotika yang berusia anak dijatuhi pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Apabila pelaku berusia anak tersebut melakukan tindak pidana yang berat, seperti misalnya sebagai pengedar narkotika, maka terhadapnya akan dikenai pidana yang tinggi atau setidaknya sesuai dengan ketentuan ancaman pidana minimum yang diatur dalam Undang-Undang Narkotika tersebut. Selain itu penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika bukan hanya dapat diterapkan terhadap pelaku yang berusia anak saja, melainkan bisa saja diterapkan terhadap pelaku yang berusia dewasa, asalkan rasa keadilan dan kemanfaatan, terutama bagi masyarakat, dapat tercapai melalui penjatuhan pidana tersebut. Dari kalangan jaksa penuntut umum Dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan 5 (lima) jaksa penuntut umum, diperoleh informasi bahwa menurut pendapat dari 5 (lima) jaksa, adanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang dilakukan oleh hakim PN Tangerang jelas telah bertentangan dengan undangundang. Hal ini dikarenakan undang-undang telah dengan tegas menyatakan adanya ancaman pidana minimum dan seyogyanya hakim, di samping berpatokan pada rasa keadilan, juga seharusnya berpatokan pada ketentuan yang ada pada undang-undang tersebut dalam
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
149
menjatuhkan putusan. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UndangUndang Narkotika yang dilakukan oleh hakim merupakan bentuk kesewenang-wenangan hakim dalam mengartikan dan menerapkan kebebasan yang dimilikinya. Sedangkan berkaitan dengan asas legalitas (nulla poena sine lege yang berarti tidak ada pidana tanpa undang-undang), menurut pendapat dari 5 (lima) jaksa, semua mengatakan adanya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus jelas bertentangan dengan asas tersebut, sebab makna yang terkandung dalam asas nulla poena sine lege yaitu bahwasanya hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan undangundang. Sehingga apabila hakim menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam undang-undang maka hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Dari kalangan ahli hukum pidana Menurut pendapat Mardjono Reksodiputro, penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang dilakukan oleh hakim PN Tangerang memang dapat dikatakan telah melanggar
undang-undang,
namun
disini
hakim
mempunyai
kewenangan menafsirkan undang-undang, karena itu dikenal istilah undang-undang dibuat oleh hakim (judge made law). Sehingga untuk hal-hal tertentu hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah batas minimal asalkan ada pertimbangan ataupun argumentasi yang mengarah kepada demi keadilan.257 Adapun dari wawancara dengan Gandjar Laksmana Bonaprapta, diperoleh pendapat yang berbeda bahwa penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang dilakukan oleh hakim PN Tangerang pada prinsipnya telah bertentangan dengan undang-undang serta melanggar asas legalitas, sebab di dalam 257
Hasil wawancara dengan Mardjono Reksodiputro, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2011 bertempat di Kampus UI Salemba.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
150
asas legalitas itu sendiri mengandung kepastian hukum. Lebih lanjut Gandjar Laksmana Bonaprapta mengatakan bahwasanya asas legalitas adalah asas yang mendasar / yang utama, dimana pada prinsipnya penerapan
asas
legalitas
adalah
untuk
kepastian
hukum
dan
kesebandingan dalam hukum. Apabila asas legalitas ini dilanggar oleh hakim berarti hakim telah mengurangi prinsip kepastian hukum dan kesebandingan dalam hukum.258 Gandjar
Laksmana
Bonaprapta
juga
mengatakan
bahwa
penjatuhan pidana di bawah minimum khusus yang dilakukan oleh hakim tersebut justru telah mengaburkan asas legalitas, yang menanamkan sifat kepastian hukum yang pada dasarnya hal ini demi mewujudkan keadilan. Disini hakim dapat dikatakan telah secara sewenang-wenang mengartikan kebebasan yang dimilikinya, sebab pada dasarnya kebebasan hakim telah diatur secara jelas dalam Peraturan Perundang-undangan.259 3. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika. Dari kalangan hakim Dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan 5 (lima) hakim, diperoleh informasi bahwa, pada umumnya kelima hakim mengatakan hal yang sama yaitu pertimbangan yang diambil hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara narkotika secara umum sama atau hampir mirip dengan pertimbangan yang diambil hakim dalam menjatuhkan putusan dalam perkara tindak pidana lainnya, yaitu meliputi pertimbangan bersifat yuridis, non yuridis, serta hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Khusus untuk penjatuhan putusan di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, hakim juga mempertimbangkan rasa keadilan, baik bagi
258
Hasil wawancara dengan Gandjar Laksmana Bonaprapta, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, pada hari Rabu tanggal 18 Mei 2011 bertempat di Kampus UI Depok. 259 Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
151
terdakwa maupun masyarakat. Dan terutama untuk pelaku berusia anak, hakim juga mempertimbangkan adanya ketentuan ancaman pidana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dimana hakim menganggap ketentuan ancaman pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, yaitu ½ (setengah) dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa, dapat pula berlaku terhadap ketentuan ½ (setengah) dari minimum ancaman pidana bagi orang dewasa yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal. Terkait dengan rasa keadilan yang dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, terdapat argumentasi dari hakim yang membenarkan hal tersebut, dimana menurut salah seorang hakim PN Tangerang, yang mewakili pendapat dari para hakim yang lain, mengatakan bahwa : “Untuk pelaku pidana yang perannya hanya sebagai pengguna yang sifatnya masih coba-coba dan hanya memiliki barang bukti narkotika yang sangat ringan, misalnya seberat 0,01 gram, tidak selayaknya dijatuhi pidana yang berat. Dengan kata lain sangatlah tidak adil apabila terhadap pelaku yang demikian itu dijatuhi pidana yang berat”.260 Dari adanya argumentasi tersebut di atas, selanjutnya hakim menafsirkan bahwa ancaman pidana yang terdapat dalam ketentuan pidana pada Undang-Undang Narkotika tidak dapat diterapkan secara sama terhadap semua jenis pelaku tindak pidana narkotika. Misalnya disini terhadap pelaku yang perannya hanya sebagai pengguna yang masih dalam taraf coba-coba tidak mungkin dijatuhi pidana yang sama dengan pelaku yang perannya sebagai pengguna berpengalaman dan telah mempunyai sindikat. Atau untuk kasus yang lain misalnya terhadap pelaku yang hanya mempunyai barang bukti narkotika seberat 0,01 gram tidak mungkin dijatuhi pidana yang sama dengan pelaku yang mempunyai barang bukti seberat 1 kg.
260
Hasil wawancara dengan hakim A di Pengadilan Negeri Tangerang pada hari Rabu tanggal 26 Januari 2011 bertempat di kantor PN Tangerang.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
152
Selain adanya pertimbangan yuridis, non yuridis, hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa serta argumentasi, munculnya Rakernas Mahkamah Agung RI dengan jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia yang diadakan di Palembang tanggal 9 Oktober 2009 dengan salah satu poin kesimpulan yang dihasilkan yakni menyebutkan hakim dapat menjatuhkan putusan di bawah pidana minimal khusus dengan syarat asalkan didukung oleh bukti dan pertimbangan hukum yang sistematis, jelas dan logis serta penerapannya hanya bersifat kasuistis dan tidak berlaku umum, juga menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Namun demikian hasil Rakernas ini bukan merupakan pedoman utama bagi hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus, melainkan yang menjadi pedoman utama adalah demi terciptanya rasa keadilan. Terkait dengan salah satu kesimpulan yang dihasilkan oleh Rakernas tersebut, terdapat pendapat dari Valerine, J.L.K, seorang Hakim Agung dan juga sebagai anggota perumus dari Rakernas tersebut, yang mengatakan bahwa : ”Penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan undang-undang boleh saja dilakukan oleh seorang hakim asalkan demi tercapainya rasa keadilan, baik bagi korban, terdakwa dan masyarakat, dan yang terpenting penjatuhan pidana di bawah batas minimum tersebut dapat dilakukan asalkan didukung pertimbangan hukum yang sistematis, jelas dan logis dan penerapannya bersifat kasuistis atau tidak berlaku umum.”261 Dari kalangan jaksa penuntut umum Dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan 5 (lima) jaksa penuntut umum, diperoleh informasi bahwa mereka berpendapat yang sama yaitu apapun pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam rangka menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, hal tersebut kurang tepat,
261
Wawancara dengan Valerine, J.L.K, seorang Hakim Agung, pada hari Senin tanggal 25 April 2011 bertempat di Gedung Pasca Sarjana Fakultas Hukum Kampus Salemba Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
153
meskipun pertimbangan yang diambil oleh hakim demi rasa keadilan dan kemanfaatan. Hal ini dikarenakan keadilan yang dimaksud oleh hakim disini lebih diartikan sebagai keadilan bagi terdakwa dan bukan keadilan bagi masyarakat ataupun negara. Sedangkan terkait dengan hasil Rakernas Mahkamah Agung RI dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia di Palembang tanggal 09 Oktober 2009, yang mana hal ini juga dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, para jaksa juga menganggap hasil Rakernas tersebut telah bertentangan dengan undang-undang dan juga asas legalitas. Dari kalangan ahli hukum pidana Dari pendapat yang disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro, diperoleh informasi bahwa adanya pertimbangan hakim di dalam putusannya yang menyatakan demi terwujudnya rasa keadilan adalah sudah tepat. Hakim mempunyai kebebasan yang luas dan mempunyai kewenangan
untuk
menafsirkan
undang-undang,
sehingga
dia
mempunyai kebebasan menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan undang-undang asalkan berdasarkan pertimbangan ataupun argumentasi yang mengarah kepada demi keadilan.262 Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengatakan, hakim bukan sekedar corong undang-undang, melainkan harus mengikuti perkembangan masyarakat, sehingga hukum yang harus diterapkan oleh hakim adalah “pengalaman merasakan jeritan mereka yang mencari keadilan”.263 Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta, yang mengatakan bahwa adanya pertimbangan hakim di dalam putusannya yang menyatakan demi terwujudnya rasa keadilan adalah kurang tepat, sebab dari sini timbul pertanyaan keadilan yang hendak diwujudkan melalui putusan hakim tersebut keadilan buat
262
Hasil wawancara dengan Mardjono Reksodiputro, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2011 bertempat di Kampus UI Salemba. 263 Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
154
siapa ? apakah keadilan buat terdakwa ataukah keadilan buat masyarakat, negara atau korban ?. Apabila rasa keadilan yang dimaksud disini adalah buat terdakwa, maka hal ini kurang tepat sebab seorang hakim seharusnya mengerti dan memahami bahwa tindak pidana narkotika itu merupakan tindak pidana yang tidak biasa dan bersifat luar biasa, dengan jumlah korban yang meluas, terutama di kalangan anakanak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Oleh karena itulah dimunculkan ancaman pidana minimum bagi para pelakunya. Dan dengan telah diaturnya ancaman pidana minimal, maka orang harusnya tidak melakukan tindak pidana narkotika, sebab dia sudah tahu ancaman pidana yang dapat dikenakan atas perbuatan yang dilakukannya. Jadi, terhadap seringan apapun peran dari pelaku ataupun seringan apapun barang bukti berupa narkotika yang disita dari tangan si pelaku tersebut, harusnya penjatuhan pidana yang sesuai dengan ancaman pidana minimum dapat dilakukan oleh hakim. 264 Terkait dengan adanya Rakernas Mahkamah Agung RI dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia di Palembang tanggal 09 Oktober 2009, Gandjar Laksmana Bonaprapta berpendapat bahwa hasil Rakernas tersebut bertentangan dengan undang-undang, sebab hal itu justru mengaburkan kepastian hukum. Di samping itu Rakernas MA ini secara hirearki Peraturan Perundang-undangan tidak dikenal dan hanya merupakan panduan bagi hakim yang sifatnya adalah internal pada lembaga MA.265 4. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh jaksa penuntut umum atas putusan hakim berupa pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht)
264
Hasil wawancara dengan Gandjar Laksmana Bonaprapta, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, pada hari Rabu tanggal 18 Mei 2011 bertempat di Kampus UI Depok. 265 Ibid
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
155
Dari kalangan hakim Dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan 5 (lima) hakim, diperoleh informasi bahwa pada umumnya mereka berpendapat yang sama yaitu selama putusan hakim belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka apabila para pihak yang berpekara tidak puas dengan putusan tersebut dapat melakukan upaya hukum. Termasuk pula disini pihak jaksa penuntut umum yang apabila tidak puas dengan putusan hakim PN Tangerang yang telah menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, maka dia dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten dan juga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung jika diperlukan. Dari kalangan jaksa penuntut umum Dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan 5 (lima) jaksa penuntut umum, diperoleh informasi bahwa terhadap putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ( in kracht) atau dengan kata lain putusan tersebut telah diputus di tingkat kasasi (Mahkamah Agung), maka ke- 5 (lima) jaksa sepakat mengatakan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan hakim tersebut. Dan karena sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan maka jaksa dapat langsung melakukan eksekusi atas perkara narkotika yang telah diputus oleh hakim tersebut. Namun lain halnya apabila putusan hakim tersebut masih dalam tingkat pertama di Pengadilan Negeri, maka terhadap putusan hakim tersebut seorang jaksa wajib melakukan upaya hukum yaitu banding dan juga kasasi apabila diperlukan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Chaerul Amir, selaku Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang, yang mengatakan : “Selama tidak ada lagi alasan hukum yang menjadi dasar untuk melakukan upaya hukum dan putusan tersebut sudah diterima oleh
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
156
semua pihak yang berperkara maka putusan tersebut harus segera dieksekusi”. 266 Terkait dengan pelaksanaan eksekusi atas perkara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, seorang jaksa telah memiliki pedoman peraturan, yaitu sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Muda Pidana Umum ( JAM PIDUM) No. B-806/E/Euh/04/2010 tanggal 22 April 2010 tentang Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap. Sedangkan khusus untuk Kejaksaan Negeri Tangerang, selain Surat Edaran dari JAM PIDUM tersebut di atas, terdapat pula surat yang berasal dari Kepala Kejaksaan Tinggi Banten No. B-1118 / 06.4/Ep.2 / 05 / 2010 tanggal 5 Mei 2010 tentang Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap, berisi perintah yaitu 2 (dua) hari setelah salinan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap diperoleh atau diterima oleh Jaksa Penuntut Umum (Jaksa P-16A) wajib melaksanakan eksekusi terpidana berdasarkan Surat Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang untuk melaksanakan Putusan Pengadilan (P-48) dan menyerahkan Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan (BA-8). Dari kalangan ahli hukum pidana Dari pendapat yang disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro, diperoleh informasi bahwa selama tidak ada lagi alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan upaya hukum, maka terhadap putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), misalnya sampai pada tingkat kasasi, jaksa penuntut umum dapat melakukan eksekusi atas putusan tersebut. Sedangkan apabila putusan hakim masih belum inkracht atau misalnya masih dalam tahap di Pengadilan Negeri, maka jaksa penuntut umum dapat melakukan upaya hukum, baik berupa banding maupun kasasi jika diperlukan. 267 266 Hasil wawancara dengan Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang pada hari Jumat tanggal 03 Desember 2011 bertempat di kantor Kejari Tangerang 267 Hasil wawancara dengan Mardjono Reksodiputro, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2011 bertempat di Kampus UI Salemba.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
157
Pendapat
senada
juga
muncul
dari
Gandjar
Laksmana
Bonaprapta, yang mengatakan bahwa terhadap putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, apabila para pihak yang berperkara merasa tidak puas terhadap putusan hakim tersebut dapat melakukan upaya hukum, seperti misalnya banding ataupun kasasi. Sedangkan apabila putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu sampai pada tingkat kasasi, seperti contohnya pada perkara narkotika, maka selama tidak ada lagi alasan hukum yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan upaya hukum, terhadap putusan hakim tersebut dapat dilakukan eksekusi yang dijalankan oleh jaksa penuntut umum selaku eksekutor, sebagaimana diatur dalam undang-undang. 268
4.2
Penjatuhan Pidana Oleh Hakim di Bawah Batas Minimum Khusus Dari Ketentuan Undang-Undang Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Dihubungkan Dengan Asas Nulla Poena Sine Lege Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, Paul Johan Anslem von Feuerbach, juris dari Jerman, telah merumuskan tiga frasa, yang dalam bahasa latin berbunyi : nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana), nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang), yang selanjutnya ketiga frasa tersebut kemudian dikembangkan oleh Feuerbach ke dalam asas legalitas yang berbunyi Nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali, yang berarti tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan (sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP). Dari salah satu frasa yang dirumuskan oleh Feuerbach tersebut yaitu nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa undang-undang) memberikan makna bahwa setiap sanksi pidana haruslah ditentukan dalam undang-undang. Oleh karena itu seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan undang-undang. 268
Hasil wawancara dengan Gandjar Laksmana Bonaprapta, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, pada hari Rabu tanggal 18 Mei 2011 bertempat di Kampus UI Depok.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
158
Berkaitan dengan penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan suatu undang-undang oleh hakim, sebagaimana pula penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UndangUndang Narkotika oleh hakim PN Tangerang, dapat diketahui bahwasanya sampai sejauh ini belum ada ketentuan Peraturan Perundangundangan yang mengatur secara khusus mengenai hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang.
Memang
di
dalam
Rancangan
Undang-Undang
Pengadilan Anak telah dijelaskan bahwa ancaman pidana minimum tidak berlaku untuk anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (2). Namun karena undang-undang tersebut masih belum berlaku membuat ketentuan dalam pasal tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum atau pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusannya. Dengan demikian penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang dilakukan oleh hakim, termasuk pula dalam hal ini hakim PN Tangerang, dapat dikatakan tidak dibenarkan berdasarkan asas legalitas (nulla poena sine lege) yang di dalamnya mengandung unsur kepastian hukum. Adanya hasil Rakernas yang diadakan oleh Mahkamah Agung RI dengan jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia yang diadakan di Palembang tanggal 9 Oktober 2009, yang menyatakan hakim dapat menjatuhkan putusan di bawah pidana minimal khusus dengan syarat asalkan didukung oleh bukti dan pertimbangan hukum yang sistematis, jelas dan logis serta penerapannya hanya bersifat kasuistis dan tidak berlaku umum, tetap saja dianggap bertentangan dengan asas legalitas (nulla poena sine lege), hal ini dikarenakan hasil Rakernas tersebut telah mengaburkan kepastian hukum yang terkandung dalam asas legalitas itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta yang mengatakan hasil Rakernas tersebut bertentangan dengan undang-undang, sebab hal itu justru mengaburkan kepastian hukum, selain itu hasil Rakernas MA ini secara hirearki peraturan Perundang-undangan tidak dikenal dan hanya
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
159
merupakan panduan bagi hakim yang sifatnya adalah internal pada lembaga MA.269 Menurut pendapat penulis, putusan yang dijatuhkan oleh hakim PN Tangerang yang berupa pidana di bawah batas minimum khusus dapat dikatakan telah bertentangan dengan undang-undang, dalam hal ini Undang-Undang Narkotika, dikarenakan isi dari putusannya tersebut tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang itu sendiri. Adanya penafsiran dari hakim terhadap ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Narkotika, dimana hakim beranggapan bahwa ancaman pidana yang terdapat dalam ketentuan pidana pada Undang-Undang Narkotika tidak dapat diterapkan secara sama terhadap semua jenis pelaku tindak pidana narkotika, juga tidaklah dapat dibenarkan, meskipun tujuan melakukan penafsiran tersebut demi tercapainya keadilan. Dimana menurut Mardjono Reksodiputro, hakim memang mempunyai kewenangan untuk menafsirkan undang-undang, sehingga dari sini muncul istilah undang-undang dibuat oleh hakim (judge made law).270 Hanya saja adanya penafsiran dari hakim PN Tangerang tersebut di atas tetaplah tidak dapat dibenarkan sebab undang-undang tidak boleh ditafsirkan bertentangan dengan undang-undang itu sendiri (contra legem), lebih-lebih kalau undang-undang itu sudah cukup jelas. 271 Meskipun jelas dikatakan bahwa putusan hakim PN Tangerang tersebut telah melanggar ataupun menyimpang dari asas legalitas (nulla poena sine lege), serta dapat pula dikatakan telah bertentangan dengan undang-undang, namun putusan hakim tersebut tetap saja mempunyai kekuatan hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo, yang mengatakan bahwa, setiap putusan pengadilan dianggap benar dan mempunyai kekuatan hukum, walaupun isi putusan itu bertentangan dengan undang-undang (res judicata pro veritate habetur).272 269
Ibid Hasil wawancara dengan Mardjono Reksodiputro, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2011 bertempat di Kampus UI Salemba. 271 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Op. Cit., hal. 66. 272 Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta : Liberty, 2010, hal. 178. 270
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
160
Penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang dilakukan oleh hakim PN Tangerang, apabila dihubungkan dengan teori tujuan pemidanaan, dalam hal ini teori gabungan, maka putusan hakim tersebut di samping untuk melakukan koreksi ataupun melakukan pembinaan terhadap pelaku pidana, juga untuk memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa keadilan bagi masyarakat. Adanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus oleh hakim dengan mempertimbangkan rasa keadilan, hal ini didasarkan pada teori pencegahan (deterrence). Apabila dihubungkan dengan teori tentang Tiga Unsur Sistem Hukum (Three Elements of Legal System) dari Lawrence M. Friedman, maka dapat dikatakan munculnya putusan hakim tersebut tidak sejalan atau tidak sesuai dengan teori tersebut.
Hal ini dikarenakan pada
penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus tersebut hanya menerapkan unsur struktur hukum (yaitu mengenai pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam menjatuhkan putusan) dan budaya hukum (yaitu sikap dan cara pandang hakim terhadap hukum) saja, sedangkan unsur substansi hukum (yaitu Undang-Undang Narkotika yang di dalamnya mengatur ancaman pidana minimum) diabaikan. Padahal teori dari Lawrence M. Friedman jelas menyebutkan bahwanya ketiga unsur sistem hukum tersebut harus saling terkait dan tidak dapat diterapkan secara terpisah. Adanya unsur sistem hukum yang masih belum terkait satu sama lain, sebagaimana dijelaskan di atas, bukanlah hal yang baru di Indonesia. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Achmad Ali, yang mengatakan, adalah fakta bahwa ketiga unsur sistem hukum Indonesia masih belum harmonis satu sama lain. 273
273
Achmad Ali, Menguak Realitas Hukum : Rampai Kolom & Artikel Pilihan dalam Bidang Hukum, cet.1, Jakarta : Kencana, 2008, hal. 11.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
161
4.3
Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Dalam Menjatuhkan Pidana Di Bawah Batas Minimum Khusus Dari Ketentuan Undang-Undang Dalam Perkara Tindak Pidana Narkotika Sebelum menjatuhkan putusannya, terlebih dahulu majelis hakim akan mengadakan musyawarah untuk menentukan putusan apa yang nantinya akan dijatuhkan terhadap pelaku pidana. Dan di dalam musyarawah itulah pastinya hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan perkara yang akan diputusnya tersebut (hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, khususnya Pasal 14). Dari 3 (tiga) putusan hakim PN Tangerang yang telah diuraikan serta dianalisis, sebagaimana terdapat pada sub bab sebelumnya, terlihat bahwa majelis hakim yang menangani perkara narkotika dengan pelakunya yang masih berusia anak tersebut telah mempertimbangkan beberapa hal yang dijadikan dasar dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Dimana dari ketiga perkara narkotika yang diputus oleh majelis hakim yang berbeda terlihat bahwa pertimbangan yang diajukan oleh majelis hakim yang satu dengan majelis hakim yang lainnya hampir sama, yaitu meliputi pertimbangan yang bersifat yuridis maupun bersifat non yuridis, dan juga hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Seperti misalnya untuk hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, pertimbangan dari para hakim tersebut hampir sama, dimana untuk hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana narkotika. Sedangkan untuk hal yang meringankan, yaitu disamping terdakwa telah mengakui serta menyesali perbuatannya juga yang paling utama yang menjadi pertimbangan dari majelis hakim yaitu bahwa terdakwa masih berusia anak. Dari hasil penelitian di Pengadilan Negeri Tangerang diperoleh data atau informasi bahwasanya pertimbangan yang diambil oleh hakim di dalam menjatuhkan putusan pada perkara narkotika pada dasarnya sama dengan pertimbangan yang diambil oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara tindak pidana lainnya.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
162
Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, ternyata di dalam putusannya hakim juga mempertimbangkan rasa keadilan dan kemanusiaan bagi kepentingan masa depan terdakwa. Hal ini menjadi menarik untuk dianalisis
lebih
lanjut
terutama
terkait
dengan
alasan
hakim
mempertimbangkan rasa keadilan, terutama dalam hal ini adalah bagi terdakwa. Dan dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan 5 (lima) hakim di PN Tangerang, diperoleh data bahwa keadilan bagi terdakwa yang dimaksud disini yaitu hakim akan menjatuhkan pidana yang seringan mungkin terhadap terdakwa yang perannya dalam tindak pidana narkotika tersebut hanyalah sebagai pengguna yang sifatnya masih cobacoba dan barang bukti narkotika yang ada di tangannya sangat ringan, serta usianya masih anak-anak. Terkait dengan rasa keadilan yang menjadi pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, terdapat argumentasi dari hakim yang mengatakan bahwa untuk pelaku pidana yang perannya hanya sebagai pengguna yang sifatnya masih coba-coba dan hanya memiliki barang bukti narkotika yang sangat ringan, misalnya seberat 0,01 gram, tidak selayaknya dijatuhi pidana yang berat. Dengan kata lain hakim menganggap sangatlah tidak adil apabila terhadap pelaku yang demikian itu dijatuhi pidana yang berat. Dari argumentasi ini dapat dikatakan bahwa ada rasa kasihan yang timbul dalam diri hakim terhadap pelaku pidana. Sehingga hakim kemudian menyimpulkan apabila terjadi pertentangan antara keadilan dengan kepastian hukum maka yang diutamakan adalah keadilan. Adanya argumentasi dari hakim PN Tangerang yang mendasarkan pada rasa belas kasihan terhadap pelaku pidana dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, merupakan argumentasi yang keliru dalam penemuan hukum. Dimana menurut Johnny Ibrahim argumentasi semacam itu disebut Argumentum ad Misericordian, yaitu suatu argumen yang didasarkan pada perasaan belas kasihan sehingga orang mau menerima atau membenarkan kesimpulan yang diperoleh dari argumen tersebut, namun sebenarnya kesimpulan yang ditarik
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
163
tidak menitikberatkan pada fakta yang dipersalahkan, melainkan sematamata pada perasaan belas kasihan. 274 Munculnya pertimbangan hakim PN Tangerang yang mendasarkan pada rasa keadilan dan mengabaikan kepastian hukum dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus bisa saja dapat dibenarkan, sebab apabila terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum maka sudah sewajarnya keadilan lebih diutamakan dibanding kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Roeslan Saleh yang selanjutnya dikutip oleh Mardjono Reksodiputro,275 yang mengatakan bahwa keadilan dan kepastian hukum merupakan dua tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit dihindarkan dalam praktik hukum dan apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit, keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh mungkin harus mengutamakan keadilan diatas kepastian hukum. Dengan pertimbangan yang lebih mengutamakan keadilan dibanding kepastian hukum dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus, maka putusan yang dihasilkan oleh hakim PN Tangerang tersebut dapat dikatakan merupakan putusan yang kurang berkualitas. Dimana untuk dapat dikatakan sebagai putusan yang berkualitas maka idealnya putusan tersebut harus memuat ketiga unsur yang ada, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, secara bersama-sama, dan bukan sebaliknya hanya memuat salah satu unsur sedangkan unsur yang lain diabaikan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Bambang Sutiyoso, yang mengatakan bahwa ketiga unsur tersebut, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, semestinya oleh hakim harus dipertimbangkan dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan. 276 Menurut pendapat penulis, pertimbangan hakim PN Tangerang yang lebih mengutamakan unsur keadilan dibanding unsur kepastian hukum di dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan 274 275 276
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Loc.Cit. Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Loc. Cit. Bambang Sutiyoso, Loc. Cit.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
164
Undang-Undang Narkotika bisa saja dapat dibenarkan, sebab, sebagaimana pendapat dari Oliver Wendell Holmes (hakim agung Amerika Serikat, 1881) yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo dan selanjutnya tertuang dalam bukunya Mardjono Reksodiputro berjudul Menyelaraskan Pembaruan Hukum, cet.1, Jakarta : Komisi Hukum Nasional, 2009, dikatakan bahwa ”The life of law has not been logic : it has been experience”, yang mana hal ini mengandung pemahaman arti hukum yang lebih jelas, bahwasanya hukum yang harus diterapkan oleh hakim adalah “pengalaman merasakan jeritan mereka yang mencari keadilan”.277 Namun demikian adanya pertimbangan hakim PN Tangerang yang lebih mengutamakan keadilan dibanding kepastian hukum tetap saja masih menjadi pertanyaan, sebab keadilan yang dimaksud disini memberikan maksud hanyalah keadilan bagi si pelaku pidana dan bukan keadilan bagi masyarakat maupun negara. Padahal munculnya UndangUndang Narkotika terutama adalah bertujuan demi terciptanya keadilan bagi masyarakat dan negara, yaitu dengan jalan memberikan hukuman yang berat bagi setiap pelaku tindak pidana narkotika. Hal ini disebabkan adanya penyalahgunaan narkotika telah meresahkan masyarakat dan menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Dan apabila keadaan seperti ini terjadi terus menerus maka pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan negara.
4.4
Penerapan Penjatuhan Pidana Di Bawah Batas Minimum Khusus Dari Ketentuan Undang-Undang Narkotika Oleh Hakim PN Tangerang Terhadap Pelaku Pidana Dari 3 (tiga) putusan yang dijatuhkan oleh hakim PN Tangerang terhadap pelaku tindak pidana narkotika, sebagaimana telah diuraikan dan dianalisis pada sub bab sebelumnya, terlihat bahwa terdakwa yang telah diputus bersalah oleh hakim dan dijatuhi pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika tersebut masih berusia anak, yakni antara umur 15-16 tahun atau dengan kata lain masih berumur di 277
Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, Op. Cit., hal. 322.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
165
bawah 18 tahun. Sebagaimana bunyi dari Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari munculnya penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang dilakukan oleh hakim PN Tangerang terhadap pelaku narkotika yang masih berusia anak, dapat dikatakan ada korelasi antara usia pelaku pidana narkotika dengan penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan undang-undang. Hal ini memberi maksud bahwa untuk pelaku yang masih berusia anak kemungkinan besar pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim berupa pidana di bawah batas minimum, dengan pertimbangan yang diambil oleh hakim disini yaitu demi terciptanya rasa keadilan dan kemanusiaan bagi kepentingan masa depan pelaku, dikarenakan pelaku masih berusia anak. Adapun dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan para hakim di PN Tangerang, diperoleh informasi bahwa tidak semua pelaku tindak pidana narkotika yang berusia anak dijatuhi pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Apabila pelaku berusia anak tersebut melakukan tindak pidana yang berat, seperti misalnya sebagai pengedar narkotika, maka terhadapnya akan dikenai pidana yang tinggi atau setidaknya sesuai dengan ketentuan ancaman pidana minimum yang diatur dalam pasal yang terdapat pada Undang-Undang Narkotika tersebut. Selain itu dari hasil pengisian kuisioner serta hasil wawancara dengan para hakim di PN Tangerang, diperoleh informasi bahwa penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika bukan hanya dapat diterapkan terhadap pelaku yang berusia anak saja, melainkan dapat pula diterapkan terhadap pelaku yang berusia dewasa. Para hakim tersebut mengatakan bahwa asalkan rasa keadilan dan kemanfaatan, terutama bagi masyarakat, dapat tercapai maka penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika bisa saja dilakukan terhadap pelaku pidana berusia dewasa.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
166
Lebih lanjut para hakim PN Tangerang mengatakan bahwa karena tujuan pemidanaan bukanlah sebagai balas dendam melainkan sebagai pembinaan, serta pada dasarnya hukum tercipta demi memberikan manfaat bagi masyarakat, maka terhadap pelaku pidana berusia dewasa dapat saja dijatuhi pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Hanya saja sampai saat ini hakim PN Tangerang belum pernah menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UndangUndang Narkotika terhadap pelaku berusia dewasa, dengan alasan dikarenakan rasa keadilan dan kemanfaatan yang hendak dicapai belum terpenuhi dalam setiap perkara yang melibatkan orang dewasa sebagai pelakunya. Menurut pendapat penulis, penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang oleh hakim PN Tangerang dapat diterapkan bukan hanya terhadap pelaku anak melainkan pelaku dewasa juga, merupakan tindakan yang kurang tepat sebab hal ini memberikan arti hakim telah salah mengartikan maupun menerapkan kebebasan yang dimilikinya. Memang benar pada asasnya hakim itu mandiri atau bebas, tetapi kebebasan hakim itu tidaklah mutlak, karena dalam menjalankan tugasnya hakim secara mikro dibatasi oleh Pancasila, UUD 1945, peraturan perundang-undangan, kehendak para pihak, ketertiban umum dan kesusilaan.278 Di samping itu memang benar pula bahwa bagi hakim terdapat asas in dubio pro reo, yakni apabila timbul keragu-raguan pada diri hakim, maka lebih baik mengambil putusan yang lebih menguntungkan terdakwa. Hanya saja penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UndangUndang Narkotika dapat dikatakan merupakan tindakan yang kurang tepat, sebab, sebagaimana yang disampaikan oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta, seorang hakim seharusnya mengerti dan memahami bahwa tindak pidana narkotika itu merupakan tindak pidana yang tidak biasa dan bersifat luar biasa, dengan jumlah korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya. Oleh karena itulah dimunculkan 278
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Loc. Cit.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
167
ancaman pidana minimum bagi para pelakunya. Sehingga terhadap seringan apapun peran dari pelaku ataupun seringan apapun narkotika yang disita dari tangan si pelaku tersebut, harusnya penjatuhan pidana yang sesuai dengan ancaman pidana minimum dapat dilakukan oleh hakim.279
279
Hasil wawancara dengan Gandjar Laksmana Bonaprapta, Ahli Hukum Pidana Universitas Indonesia, pada hari Rabu tanggal 18 Mei 2011 bertempat di Kampus UI Depok.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
168
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil pembahasan yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Adanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh hakim, termasuk hakim PN Tangerang, tidak dapat dibenarkan berdasarkan asas legalitas (nulla poena sine lege) yang di dalamnya mengandung unsur kepastian hukum, sebab dalam asas nulla poena sine lege, yang berarti “tiada pidana tanpa undang-undang”, telah dengan tegas menyatakan bahwa setiap sanksi pidana haruslah ditentukan dalam undang-undang. Dengan demikian seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana selain dari yang telah ditentukan dalam ketentuan undang-undang. Adapun di dalam Undang-Undang Narkotika itu sendiri telah dengan jelas mengatur ketentuan ancaman pidana dalam batas minimum dan maksimum, seperti misalnya pada Pasal 111 ayat (1) yang mengatur ancaman pidana bagi setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun, sehingga adanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan ancaman pidana yang ada dalam Undang-Undang Narkotika oleh hakim dengan sendirinya tidaklah dapat dibenarkan menurut asas nulla poena sine lege ini. Adapun menurut pendapat hakim PN Tangerang, tindakan menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang dilakukan oleh seorang hakim tidaklah melanggar asas legalitas, sebab penjatuhan pidana tersebut bertujuan demi terwujudnya keadilan, baik bagi terdakwa maupun masyarakat. Dan menurut hakim, apabila terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum maka
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
169
sudah sewajarnya keadilan lebih diutamakan dibanding kepastian hukum. 2. Pertimbangan yang diambil oleh hakim PN Tangerang dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UndangUndang Narkotika diantaranya adalah : a. pertimbangan yang bersifat yuridis, meliputi : -
surat dakwaan dan surat tuntutan dari jaksa penuntut umum
-
alat bukti yang terungkap di persidangan yang terdiri dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa
-
barang bukti
-
pasal-pasal dalam Undang-Undang Narkotika
-
ketentuan perundang-undangan khusus
-
laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan dari BAPAS
b. pertimbangan yang bersifat non yuridis, meliputi : penjelasan mengenai kondisi diri terdakwa dan juga peran atau kedudukan terdakwa di dalam terjadinya tindak pidana. c. hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa d. rasa keadilan dan kemanusiaan bagi kepentingan masa depan terdakwa. Terkait dengan rasa keadilan yang menjadi pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, terdapat argumentasi dari hakim PN Tangerang yang mengatakan bahwa untuk pelaku pidana yang perannya hanya sebagai pengguna yang sifatnya masih coba-coba dan hanya memiliki barang bukti narkotika yang sangat ringan tidak selayaknya dijatuhi pidana yang berat. Dari argumentasi ini dapat dikatakan bahwa ada rasa kasihan yang timbul dalam diri hakim terhadap pelaku pidana, dimana argumentasi semacam ini dinamakan dengan Argumentum ad Misericordian. Sehingga hakim kemudian menyimpulkan bahwa apabila terjadi pertentangan antara keadilan dengan kepastian hukum maka yang diutamakan adalah keadilan.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
170
3. Dari hasil pengisian kuisioner serta wawancara dengan para hakim PN Tangerang, selaku nara sumber pada penelitian ini, diperoleh informasi bahwasanya penjatuhan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika yang dilakukan oleh hakim PN Tangerang bukan hanya dapat diterapkan terhadap pelaku yang berusia anak saja melainkan bisa saja diterapkan terhadap pelaku berusia dewasa, asalkan rasa keadilan dan kemanfaatan, terutama bagi masyarakat, dapat tercapai. Dan juga tidak semua pelaku tindak pidana narkotika yang berusia anak pasti dijatuhi pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Apabila pelaku berusia anak tersebut melakukan tindak pidana yang berat maka terhadapnya akan dikenai pidana yang tinggi atau setidaknya sesuai dengan ketentuan ancaman pidana minimum yang diatur dalam pasal yang terdapat pada Undang-Undang Narkotika tersebut. Adapun alasan yang disampaikan oleh hakim adalah dikarenakan tujuan pemidanaan bukanlah sebagai balas dendam melainkan sebagai pembinaan, serta pada dasarnya hukum tercipta demi memberikan manfaat bagi masyarakat, maka terhadap pelaku pidana, baik berusia anak maupun berusia dewasa, bisa saja dijatuhi pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika. Namun demikian sampai saat ini, terhadap pelaku pidana berusia dewasa, hakim PN Tangerang belum pernah menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari
ketentuan
Undang-Undang
Narkotika
dikarenakan
hakim
menganggap rasa keadilan dan kemanfaatan yang hendak dicapai belum terpenuhi dalam setiap perkara yang melibatkan orang dewasa sebagai pelakunya.
5.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka untuk menangani permasalahan seputar penjatuhan putusan oleh hakim Pengadilan Negeri Tangerang, yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
171
khusus dari ketentuan undang-undang dalam perkara tindak pidana narkotika, dapat diajukan saran-saran sebagai berikut : 1. Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang, dengan demikian diharapkan tidak ada campur tangan dari pihak manapun terhadap para hakim ketika sedang menangani perkara tindak pidana narkotika. Dan sebaliknya, disisi lain begitu pula untuk para hakim dalam penanganan perkara narkotika hendaknya dapat bertindak arif dan bijaksana, menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran materiel, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktik, serta tidak mudah tergoda kolusi ataupun suap, sehingga
nantinya
dapat
menghasilkan
putusan
yang
bisa
dipertanggungjawabkan baik dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri sendiri maupun demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2. Hendaknya di dalam setiap menjatuhkan putusan dalam perkara narkotika, seorang hakim senantiasa harus berusaha memasukkan ketiga unsur, yang meliputi unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit), di dalam setiap putusannya, dan bukan sebaliknya hanya berusaha memprioritaskan atau mengutamakan satu unsur saja lalu mengabaikan unsur yang lainnya, sehingga nantinya putusan yang dihasilkannya tersebut bisa berkualitas dan sesuai dengan yang diharapkan oleh para pencari keadilan (justiciabellen) yakni putusan yang mengandung legal justice, moral justice, dan social justice. Selain itu yang terpenting, terkait dengan penegakan hukum dan keadilan oleh pengadilan dalam kasus penyalahgunaan narkotika, maka dengan adanya putusan hakim yang berkualitas diharapkan dapat menjadi entry point dalam upaya jaminan hak dan akses terhadap keadilan bagi masyarakat dari terhambatnya pencapaian keadilan, kepastian dan kemanfaatan menuju hidup sejahtera
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
172
lahir dan bathin, dan bukan sebaliknya menjadi entry point bagi berkembangnya penyalahgunaan Narkotika secara organized. 3. Munculnya undang-undang, termasuk pula Undang-Undang Narkotika, sebenarnya tidak lain daripada hasil dari suatu kompromi politik, oleh karenanya rumusan undang-undang itu sendiri dapat dikatakan bukan merupakan kebenaran mutlak. Justru karena rumusannya tersebut bukan kebenaran mutlak, maka di dalamnya pastinya mengandung kekeliruan manusia dan lagi pula rumusan peraturan undang-undang tersebut tidak dapat menunjang maupun mencakup kepentingan manusia yang luas. Oleh karena hal itulah maka hakim sudah selayaknya diberikan kesempatan untuk melakukan interpretasi terhadap suatu undang-undang dalam rangka sebagai koreksi atas undang-undang tersebut, yang mana pada dasarnya hal ini bertujuan guna mewujudkan keadilan. 4. Dikarenakan penanganan terhadap pelaku pidana yang berusia anak berbeda dengan pelaku berusia dewasa serta dalam penjatuhan pidana juga tentunya berbeda pula, maka perlu bagi pemerintah untuk segera mengesahkan Undang-Undang Pengadilan Anak yang baru yang didalamnya telah mengatur mengenai ancaman pidana minimum bagi pelaku pidana berusia anak. 5. Perlunya diterapkan pidana lain selain pidana penjara yang bertujuan untuk rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana narkotika, hal ini dikarenakan apabila si pelaku pidana dimasukkan ke dalam penjara di Lembaga Pemasyarakatan (LP) ternyata bukannya membuat si pelaku menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya melainkan membuat si pelaku menjadi lebih ahli dalam melakukan tindak pidana, sebab sudah menjadi rahasia umum bahwasanya LP justru menjadi tempat atau sarang transaksi narkotika yang paling aman.
.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
DAFTAR REFERENSI
I. BUKU Adji, Indriyanto Seno. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta : Kantor Pengacara & Konsultan Hukum ”Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, 2002. Adji, Oemar Seno. Hukum-Hukum Pidana. Cet.2, Jakarta : Erlangga, 1984. ---------------------. Peradilan Bebas Negara Hukum. Jakarta : Erlangga, 1985. Ali, Achmad. Menguak Realitas Hukum : Rampai Kolom & Artikel Pilihan dalam Bidang Hukum. cet.1, Jakarta : Kencana, 2008. Arief, Barda Nawawi. Sistem Pemidanaan Menurut Konsep KUHP Baru dan Latar Belakang Pemikirannya. Kupang : Universitas Cendana Kupang, 1989. --------------------------. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001. --------------------------. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet.1, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003. Ashworth, Andrew. Principles of Criminal Law, Oxford : Clarendon Press, 1991. Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana I; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002. Farid, Zainal Abidin. Hukum Pidana 1. Cet.2, Jakarta : Sinar Grafika, 2007. Friedman, Lawrence M. American Law. New York : W.W Norton and Company, 1984. Fuady, Munir. Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti, 2003. Hamzah, Andi. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia; dari retribusi ke reformasi. Cet.1, Jakarta : Pradnya Paramita, 1986. -----------------. Asas-Asas Hukum Pidana. Cet.2, Jakarta : Rineka Cipta, 1994. -----------------. Hukum Acara Pidana Indonesia. Ed.2, cet. 4, Jakarta : Sinar Grafika, 2010. Hamzah, Andi dan Bambang Waluyo. Delik –Delik terhadap Penyelenggaraan Peradilan (Conterm of Court). Jakarta : Sinar Grafika, 1988. Hamzah, Andi, dkk. Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
Hamzah, Andi dan Siti Rahayu. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo, 1983. Harahap, M.Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Ed.2, cet.6, Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Hart, H.L.A. Konsep Hukum (The Concept of Law). cet.4, Bandung : Nusa Media, 2011. Hatta, Moh. Kebijakan Politik Kriminal; Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan. Cet.1, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010. Hiariej, Eddy O.S. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Jakarta : Erlangga, 2009. Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori PemisahanTindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. cet.2, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2006. Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. Cet.3, Yogyakarta : Kanisius, 1995. Hulsman, L.H.C., The Dutch Criminal Justice System From A Comparative Legal Perspective, di dalam D.C. Fokkema (Ed), Introduction To Dutch Law For Foreign Lawyers, Kluwer Deventer, The Nederlands, 1978. Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet.2, Malang : Bayumedia, 2006. Kaligis, OC dan Associates. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia Reformasi Hukum Pidana melalui Perundangan dan Peradilan. Cet.2, Bandung : Alumni, 2007. Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya. Jakarta : Storia Grafika, 2002. Kusumaatmadja, Mochtar. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional. Lembaga Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung : Bina Cipta, 1986. Lamintang, P.A.F. Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997. Makarao, Moh. Taufik, dkk. Tindak Pidana Narkotika. Jakarta : Ghalia Indonesia, 2005.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
Manan, Bagir. Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Bandung : Unisba, 1995. Mangunhardjana, A. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta : Kanisius, 1997. Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua. Jakarta : Sinar Grafika, 1995. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty, 1996. -------------------------. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Liberty, 1998. -------------------------. Bunga Rampai Ilmu Hukum. Cet.2, Yogyakarta : Liberty, 2010. Mertokusumo, Sudikno, dan A. Pitlo. Bab- Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Cet.7, Jakarta : Rineka Cipta, 2002. Moerad, Pontang. Pembentukan Hukum melalui Putusan Pengadilan dalam Perkara Pidana. Cet.1, Bandung : Alumni, 2005. Muhammad, Rusli. Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006. -----------------------. Kemandirian Pengadilan Indonesia. Cet.1, Yogyakarta : UII Press, 2010. Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Universitas Diponegoro, 1995. ---------. Hal-hal Yang Harus Dipertimbangkan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Dalam Rangka Mencari Keadilan Dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan, Semarang : Universitas Diponegoro, 1995. ---------. Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Cet.ke-2, Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002. ---------. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Cet.2, Semarang : Universitas Diponegoro, 2004. Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori – Teori dan Kebijakan Pidana. Cet.2, Bandung : Alumni Press, 1998. Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahannya. Cet.1, Bandung : Alumni, 2007. ------------------. Peradilan Bom Bali. Jakarta : Djambatan, 2007. Poernomo, Bambang. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Cet.2, Bandung : Refika Aditama, 2008. Prodjohamidjojo, Martiman. Putusan Pengadilan. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983. --------------------. Kekuasaan Kehakiman dan Wewenang Untuk Mengadili. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984. Puspa, Yan Pramadya. Kamus Hukum. Semarang : Aneka Ilmu, 1977. Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung : Alumni, 1983. Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kelima, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), Jakarta : Universitas Indonesia, 2007. --------------------. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Kelima, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), Jakarta : Universitas Indonesia, 2007. --------------------. Menyelaraskan Pembaruan Hukum. Cet. 1, Jakarta : Komisi Hukum Nasional, 2009. Remmelink, Jan. Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. terj.Tristam P.Moeliono, Jakarta : Gramedia, 2003. Sahetapy, J.E. Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana. Malang : Setara Press, 2009. Saleh, K. Wantjik. Kehakiman dan Peradilan. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1977. Saleh, Roeslan. Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan. Jakarta : Aksara Baru, 1979. Samosir, Djisman. Fungsi Pidana Penjara dalam Pemidanaan di Indonesia. Cet.1, Bandung : Binacipta, 1992. Sapardjaja, Komariah E. Ajaran Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana Indonesia : Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Bandung : Alumni, 2002. Siregar, Bismar. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan. Jakarta : Gema Insani Press, 1995. Soedjono D. Hukum Narkotika Indonesia. Cet.2, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
Soekanto, Soerjono. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004.
Penegakan
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2009. Soesilo, R. Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politeia, 1996. Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Cet.4, Bandung : Alumni, 2010. Sumitro. Inti Hukum Acara Pidana. Surakarta : Sebelas Maret University Press, 1994. Sunarso, Siswanto. Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004. Supramono, Gatot. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta : Djambatan, 2002. Sutiyoso, Bambang. Metode Penemuan Hukum; Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan. Cet.2, Yogyakarta : UII Press, 2006. Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta : UII Press, 2005. Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya : Pustaka Tintamas, 1987. Waluyo, Bambang. Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Ed.1, cet.1, Jakarta : Sinar Grafika, 1992. -------------------. Pidana dan Pemidanaan. Cet.2, Jakarta : Sinar Grafika, 2004. Zulfa, Eva Achjani. Gugurnya Hak Menuntut; Dasar Penghapus, Peringan, dan Pemberat Pidana. Bogor : Ghalia Indonesia, 2010.
II. ARTIKEL Alkostar, Artidjo. Menegakkan Hukum Pidana; Meningkatkan Kualitas Pengadilan dengan Persamaan Persepsi dalam Penerapan Hukum. Tuada Pidana Mahkamah Agung RI. Arief, Barda Nawawi. “Masalah Pidana Perampasan Kemerdekaan dalam KUHP Baru.” Masalah-masalah Hukum No. Edisi Khusus, Universitas Diponegoro, 1987.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
----------------------. Tinjauan Terhadap Pengenaan Sanksi Pidana Minimal. Pertemuan Ilmiah Sistem Pemidanaan di Indonesia BPHN – Depkumham, Jakarta, 27 Nopember 2007. Asshidiqie, Jimmly. “Pendekatan Sistem dalam Pemasyarakatan Terpidana menurut Tinjauan Ilmu Hukum.” Hukum dan Pembangunan 5 ( Oktober 1987). Aswandi. “Kajian Terhadap Putuasan Perkara No. 325/Pid.B/2002/PN.PTK Tentang Tindak Pidana Penggelapan Terhadap Modal Kerjasama Usaha.” Jurnal Yudisial; Kajian Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim, Komisi Yudisial Republik Indonesia, vol-I/no.-01 ( Agustus 2007 ). Komariah. “Analisis Efektivitas UU No. 22/1997 Tentang Narkotika dan UU No. 5/1997 Tentang Psikotropika Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba.” Legality; Jurnal Ilmiah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2005. Muladi, Dkk. “Pengkajian Hukum Tentang Asas-Asas Pidana Indonesia Dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang.” Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI , 2003. Nurjaya, I Nyoman. “Penanggulangan Kejahatan Narkotika : Eksekusi Hak Perspektif Sosiologi Hukum.” Legality; Jurnal Ilmiah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, 2005. Sarwata. “Kebijaksanaan dan Strategi Penegakan Sistem Peradilan di Indonesia.” Lemhannas, 19 Agustus 1997. Sudarto. “Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.” Lokakarya Masalah Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional (Buku I), diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1984. Wahid, Abdul. “Konfusius Melawan Mafia Kasus.” Desain Hukum, Newletter Komisi Hukum Nasional, vol.10, no.2 ( Maret 2010 ).
III. TESIS Dewi, Ursula. “Perbedaan Dalam Pengenaan Sanksi Pidana (Disparitas Pidana) Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Di Wilayah DKI Jakarta.” Tesis Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
IV. MAKALAH Arief, Barda Nawawi. “Pokok-Pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka.” Makalah sebagai bahan masukan untuk Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode 1998/1999. Harkrisnowo, Harkristuti. “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Guagatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia.” Orasi pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003. Mertokusumo, Sudikno. “Relevansi Peneguhan Etika Profesi Bagi Kemandirian Kekuasaan Kehakiman.” Makalah disampaikan dalam Seminar 50 Tahun Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia di UGM tanggal 26 Agustus 1995. Muladi. “Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Tujuan Pemidanaan.” Makalah Pada Simposium Nasional Tentang Relevansi Pidana Mati di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 15 Juni 1989. Termorshuizen-Arts, Marjanne. “Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Belanda.” Makalah disampaikan pada Ceramah Hukum Pidana “Same Root, Different Development”, FH UI Depok, 3-4 April, 2006.
V. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). UU No. 8 Tahun 1981, LN RI Tahun 1981 No.76, TLN RI No. 3209. Indonesia. Undang-Undang Tentang Narkotika. UU No. 35 Tahun 2009, LN RI Tahun 2009 No. 143, TLN RI No. 5062. Indonesia. Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 48 Tahun 2009, LN RI Tahun 2009 No.157, TLN RI No. 5076. Indonesia. Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak. UU No. 23 Tahun 2002, LN RI Tahun 2002 No. 109. Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengadilan Anak. UU No. 3 Tahun 1997, LN RI Tahun 1997 No. 3, TLN RI No. 3668.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
VI. INTERNET Adibrata, Diego Tribaskoro. “Tinjauan Yuridis Terhadap Hukuman Pidana Minimun Khusus Pada Sistem Pemidanaan Di Indonesia.”
. Diunduh tanggal 02 Desember 2010. Republika Online. “Wilayah Indonesia Ajang Transit Narkoba, Jakarta 21 Mei 2001.” . Diunduh tanggal 23 Maret 2008.
Universitas Indonesia Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
KUISIONER tentang
PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH BATAS MINIMUM DARI KETENTUAN UNDANG-UNDANG NARKOTIKA Tanggal
: ........ Januari 2011
Kuisioner no. : .................. Pekerjaan : Hakim PN Tangerang Ket. Berilah tanda (x) pada salah satu jawaban yang tersedia. 1. Apakah Bapak / Ibu pernah menangani perkara narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) ? a. Pernah b. Tidak Pernah 2. Bagaimana pandangan Bapak / Ibu mengenai ancaman pidana minimum yang terdapat dalam UU Narkotika, apakah hal tersebut dapat dikatakan telah membatasi kebebasan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan ? a. Membatasi b. Tidak 3. Apakah Bapak / Ibu pernah menjatuhkan putusan di bawah batas minimum dari ancaman pidana yang diatur dalam UU Narkotika ? a. Pernah b. Tidak Pernah 4. Apakah dalam menjatuhkan putusan di bawah batas minimum dari ancaman pidana yang diatur dalam UU Narkotika, Bapak / Ibu berpedoman pada adanya kebebasan dari seorang Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku kejahatan ? a. Ya b. Tidak 5. Apakah penjatuhan putusan oleh Bapak / Ibu berupa pidana di bawah batas minimum dari ancaman pidana yang diatur dalam UU Narkotika hanya diterapkan terhadap pelaku pidana yang berusia anak saja ? a. Ya b. Tidak 6. Apakah terhadap pelaku tindak pidana Narkotika yang berusia anak, Bapak / Ibu pasti selalu menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan UU Narkotika ? a. Selalu b. Tidak selalu 7. Apakah penjatuhan putusan oleh Bapak / Ibu berupa pidana di bawah batas minimum dari ancaman pidana yang diatur dalam UU Narkotika dapat pula diterapkan terhadap pelaku dewasa ? a. Dapat b. Tidak dapat
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
Universitas Indonesia
8. Apakah dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan UU Narkotika, Bapak / Ibu juga mempertimbangkan tuntutan dari JPU, yang mana di dalamnya memuat hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa ? a. Ya b. Tidak 9. Apakah dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ancaman pidana yang diatur dalam UU Narkotika terhadap pelaku yang berusia anak, dasar pertimbangan yang diajukan oleh Bapak / Ibu salah satunya berasal dari ketentuan ancaman pidana yang diatur dalam Undang- Undang Pengadilan Anak ( UU No. 3 Tahun 1997) ? a. Ya b. Tidak 10. Apakah Bapak / Ibu mengetahui tentang Rakernas Mahkamah Agung RI dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia di Palembang tanggal 09 Oktober 2009 ? a. Ya b. Tidak 11. Apakah ketentuan yang terdapat dari hasil Rakernas tersebut yang isinya antara lain memperbolehkan hakim menjatuhkan putusan di bawah pidana minimal khusus dengan syarat asalkan didukung oleh bukti dan pertimbangan hukum yang sistematis, jelas dan logis serta penerapannya hanya bersifat kasuistis dan tidak berlaku umum, juga menjadi dasar pertimbangan dari Bapak / Ibu dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan UU Narkotika ? a. Ya b. Tidak 12. Menurut pendapat Bapak / Ibu, apakah putusan dari hakim yang berupa menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ancaman pidana yang diatur dalam UU Narkotika dapat dikatakan termasuk sebagai penemuan hukum ? a. Ya b. Tidak 13. Apakah dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan UU Narkotika, Bapak / Ibu juga memperhatikan : - Tujuan Pemidanaan ? a. Ya b. Tidak - Kesalahan ? a. Ya b. Tidak - Cara melakukan tindak pidana ? a. Ya b. Tidak - Sikap batin pelaku tindak pidana ? a. Ya b. Tidak - Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku ? a. Ya b. Tidak - Jenis kelamin ? a. Ya b. Tidak - Usia pelaku ? a. Ya b. Tidak - Pendidikan ? a. Ya b. Tidak - Sikap dan tindakan pelaku selama persidangan ? a. Ya b. Tidak - Motif dan tujuan pelaku melakukan pidana ? a. Ya b. Tidak - Akibat yang ditimbulkan ? a. Ya b. Tidak - Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku ? a. Ya b. Tidak
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
Universitas Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA DENGAN HAKIM Pertanyaan : 1. Bagaimana menurut pendapat Bapak / Ibu dengan adanya batasan minimal ancaman pidana yang terdapat dalam Undang-Undang seperti UU Narkotika, apakah hal tersebut dapat dikatakan telah membatasi kebebasan dari seorang hakim untuk menjatuhkan pidananya terhadap pelaku kejahatan ? Jawab : 2. Menurut pendapat Bapak / Ibu, makna kebebasan bagi seorang Hakim itu sendiri apa artinya ? Jawab : 3. Bagaimana menurut pendapat Bapak / Ibu mengenai penjatuhan pidana oleh hakim yang di bawah batas minimal dari ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ? Apakah hal tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang atau sebaliknya bertentangan dengan Undang-Undang ? Jawab : 4. Apakah di dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana Narkotika, seorang Hakim selalu berpatokan pada berat ringannya jumlah narkotika yang ada pada terdakwa dan menjadi barang bukti di persidangan ? Jawab : 5. Apa yang menjadi dasar pertimbangan Bapak / Ibu dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika ? Apakah hanya mengacu pada ketentuan ancaman pidana yang diatur dalam Undang-Udang Pengadilan Anak saja ataukah terdapat Undang-Undang yang lain yang juga menjadi dasar pertimbangan dari Hakim ? Jawab : 6. Apakah penjatuhan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan UndangUndang Narkotika hanya diterapkan terhadap pelaku pidana berusia anak saja atau dapat juga diterapkan terhadap pelaku dewasa ? Jawab : 7. Kenapa terhadap terdakwa anak tidak selalu dijatuhi pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika ? Apakah hal tersebut berkaitan dengan berat ringannya jumlah narkotika yang ada pada terdakwa ? Jawab :
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011 Universitas Indonesia
8. Seperti diketahui bahwa di dalam putusan pengadilan terdapat pertimbangan Hakim yang salah satunya berisi hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan bagi terdakwa, menurut pendapat Bapak / Ibu hal-hal yang meringankan mana saja yang menjustifikasi dijatuhkannya pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika ? Jawab : 9. Berkaitan dengan asas legalitas, sebagaiamana diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, yang salah satu asasnya memuat ketentuan tiada pidana tanpa undang-undang (nulla poena sine lege), apabila dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Narkotika yang mengatur ancaman pidana minimum khusus, apakah menurut Bapak / Ibu dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus tersebut, hakim telah bertindak sewenang-wenang dan melanggar asas legalitas ? Jawab : 10. Terhadap hasil Rakernas Mahkamah Agung RI dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia di Palembang tanggal 09 Oktober 2009, yang isinya antara lain memperbolehkan hakim menjatuhkan putusan di bawah pidana minimal khusus dengan syarat asalkan didukung oleh bukti dan pertimbangan hukum yang sistematis, jelas dan logis serta penerapannya hanya bersifat kasuistis dan tidak berlaku umum, menurut Bapak / Ibu apakah hal tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan? Jawab : 11. Berkaitan dengan kepastian hukum, menurut Bapak / Ibu apakah dengan adanya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimal khusus dari ketentuan UndangUndang Narkotika tersebut dapat dikatakan menimbulkan ketidakpastian hukum ? Jawab :
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011 Universitas Indonesia
KUISIONER tentang
PUTUSAN HAKIM YANG MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH BATAS MINIMUM DARI KETENTUAN UNDANG-UNDANG NARKOTIKA Tanggal
: ........ Januari 2011
Kuisioner no. :................ Pekerjaan : Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tangerang Ket. Berilah tanda (x) pada salah satu jawaban yang tersedia. 14. Apakah Bapak / Ibu pernah menangani perkara narkotika (UU No. 35 Tahun 2009) ? a. Pernah b. Tidak Pernah 15. Bagaimana menurut pandangan Bapak / Ibu mengenai ancaman pidana minimum yang terdapat dalam UU Narkotika, apakah hal tersebut dapat dikatakan telah membatasi kebebasan seorang jaksa dalam menuntut pelaku kejahatan ? a. Membatasi b. Tidak 16. Apakah Bapak / Ibu pernah menuntut pelaku pidana narkotika dengan pidana, baik penjara maupun denda, di bawah batas minimal khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika ? a. Pernah b. Tidak Pernah 17. Bagaimana menurut pendapat Bapak / Ibu mengenai penjatuhan pidana oleh hakim yang di bawah batas minimal khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, apakah hal tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang atau sebaliknya bertentangan dengan Undang-Undang ? a. Dibenarkan oleh Undang-Undang b. Bertentangan dengan Undang-Undang 18. Berkaitan dengan asas legalitas, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP, yang salah satu asasnya memuat ketentuan tiada pidana tanpa undang-undang, apabila dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Narkotika yang mengatur ancaman pidana minimum khusus, menurut Bapak / Ibu, apakah dalam menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus tersebut hakim telah bertindak sewenang-wenang dan melanggar asas legalitas ? a. Ya b. Tidak 19. Terhadap putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika, apakah jaksa pasti melakukan upaya hukum berupa banding maupun kasasi ? a. Ya b. Tidak selalu
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
Universitas Indonesia
20. Atas adanya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimum dari ketentuan Undang-Undang Narkotika dan putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, apakah masih ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh jaksa ? a. Ada b. Tidak ada 21. Apakah dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana narkotika, Bapak / Ibu juga memperhatikan : - Tujuan Pemidanaan ? a. Ya b. Tidak - Kesalahan ? a. Ya b. Tidak - Cara melakukan tindak pidana ? a. Ya b. Tidak - Sikap batin pelaku tindak pidana ? a. Ya b. Tidak - Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku ? a. Ya b. Tidak - Jenis kelamin ? a. Ya b. Tidak - Usia pelaku ? a. Ya b. Tidak - Pendidikan ? a. Ya b. Tidak - Sikap dan tindakan pelaku selama persidangan ? a. Ya b. Tidak - Motif dan tujuan pelaku melakukan pidana ? a. Ya b. Tidak - Akibat yang ditimbulkan ? a. Ya b. Tidak - Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku ? a. Ya b. Tidak
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011
Universitas Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA DENGAN JAKSA
Pertanyaan : 12. Apakah dengan adanya batasan minimal ancaman pidana yang terdapat dalam UndangUndang seperti UU Narkotika dapat dikatakan telah membatasi kebebasan dari seorang hakim dalam menjatuhkan putusan ? Jawab : 13. Terkait dengan tugas jaksa penuntut umum yaitu melakukan penuntutan, apakah dengan adanya batasan minimal ancaman pidana yang terdapat dalam Undang-Undang seperti UU Narkotika dapat dikatakan telah membatasi kebebasan dari seorang jaksa untuk menjatuhkan tuntutannya kepada pelaku kejahatan ? Jawab : 14. Bagaimana menurut pendapat Anda mengenai penjatuhan pidana oleh hakim yang di bawah batas minimal khusus dari ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ? Apakah hal tersebut dibenarkan oleh Undang-Undang atau sebaliknya bertentangan dengan Undang-Undang dan juga apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan asas legalitas (nulla poena sine lege) ? Jawab : 15. Apakah dengan adanya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimal khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum ? Jawab : 5. Apakah putusan dari hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimal khusus dari ketentuan Undang-Undang dapat dikatakan merupakan bentuk kesewenangwenangan seorang hakim di dalam mengartikan kebebasan yang dimilikinya ? Jawab : 16. Upaya hukum apa atau tindakan hukum apa yang dilakukan oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menjatuhkan hukuman di bawah batas minimum khusus yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ? Jawab :
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011 Universitas Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA DENGAN AHLI HUKUM PIDANA
Pertanyaan : 17. Apakah dengan adanya batasan minimal ancaman pidana yang terdapat dalam UndangUndang seperti UU Narkotika dapat dikatakan telah membatasi kebebasan dari seorang hakim untuk menjatuhkan pidananya terhadap pelaku kejahatan ? Jawab : 18. Bagaimana menurut pendapat Anda mengenai penjatuhan pidana oleh hakim yang di bawah batas minimal khusus dari ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ? Apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan Asas Legalitas (nulla poena sine lege) ? Jawab : 19. Terhadap hasil Rakernas Mahkamah Agung RI dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia di Palembang tanggal 09 Oktober 2009, yang isinya antara lain memperbolehkan hakim menjatuhkan putusan di bawah pidana minimal khusus dengan syarat asalkan didukung oleh bukti dan pertimbangan hukum yang sistematis, jelas dan logis serta penerapannya hanya bersifat kasuistis dan tidak berlaku umum, menurut Bapak / Ibu apakah hal tersebut tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan ? Jawab : 20. Apakah dengan adanya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimal khusus dari ketentuan Undang-Undang Narkotika tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum ? Jawab : 5. Apakah putusan dari hakim yang menjatuhkan pidana di bawah batas minimal khusus dari ketentuan Undang-Undang dapat dikatakan merupakan bentuk kesewenangwenangan seorang hakim di dalam mengartikan kebebasan yang dimilikinya ? Jawab :
Penjatuhan pidana...,Tendik Wicaksono,FHUI,2011 Universitas Indonesia