UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT KIMIA FARMA TBK UNIT RESEARCH AND DEVELOPMENT JL. CIHAMPELAS NO. 5, BANDUNG, JAWA BARAT PERIODE 3 – 28 MARET 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
GEUSAN NARISWARI ERDIANTY PUTERI, S. Farm 1306343624
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT KIMIA FARMA TBK UNIT RESEARCH AND DEVELOPMENT JL. CIHAMPELAS NO. 5, BANDUNG, JAWA BARAT PERIODE 3 – 28 MARET 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
GEUSAN NARISWARI ERDIANTY PUTERI, S. Farm 1306343624
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014
ii Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Depok,
Juni 2014
Geusan Nariswari Erdianty Puteri
iii Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanyalah untuk Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini tepat waktu. Penulisan laporan ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker. Pelaksanaan Praktek Kerja Pofesi Apoteker di PT Kimia Farma Tbk, Unit Research and Development berlangsung pada periode 3 – 28 Maret 2014. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Drs. Efrinaldi, Apt. selaku Asisten Manajer Bagian Pengembangan Produk dan pembimbing penulis dalam Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT. Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development. 2. Dra. Maryati Kurniadi, M. Si., Apt, selaku pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan banyak masukan dalam penulisan laporan ini. 3. Dra. Endang Widiastuti, selaku Manajer PT. Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development. 4. Dra. Fitrileni, M.Si., Apt. selaku Asisten Manajer Bagian Pemastian Mutu di PT. Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development. 5. Dra. Yuti Mutiawati, Apt. selaku Peneliti Bagian Pengembangan Produk di PT. Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development 6. Dr. Mahdi Jufri, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi UI yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini. 7. Dr. Hayun, Apt., selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas FarmasUniversitas Indonesia dan pembimbing PKPA. 8. Karyawan dan staf PT. Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development yang telah membantu dalam pelaksanaan dan penyusunan laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini. 9. Seluruh dosen Fakultas Farmasi UI atas segala ilmu pengetahuan dan didikannya selama ini.
vii
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
10. Keluarga tercinta, Papa, Mama, Kinanti, atas segenap kasih sayang, perhatian, dukungan, doa, serta motivasi untuk menyelesaikan penelitian serta pendidikan di farmasi sebaik mungkin. 11. Teman-teman Profesi Apoteker Angkatan LXXVIII dan sahabat-sahabat yang telah membantu dan memberikan perhatian, semangat selama proses penyusunan dan penulisan laporan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah memberikan dukungannya selama penelitian dan penulisan laporan ini. Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima segala kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang.
Penulis 2014
viii
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
ABSTRAK
Nama NPM Program Studi Judul Laporan
: Geusan Nariswari Erdianty Puteri, S. Farm. : 1306343624 : Apoteker - Fakultas Farmasi UI : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT Kimia Farma Tbk, Unit Research and Development berlangsung pada periode 3 – 28 Maret 2014.
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dilaksanakan di PT Kimia Farma Tbk, Unit Research and Development berlangsung pada periode 3 – 28 Maret 2014. Kegiatan PKPA ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami fungsi dan peran PT Kimia Farma Tbk. Unit Riset dan Pengembangan dan untuk mengetahui dan memahami peran dan tugas Apoteker secara umum di bidang riset dan pengembangan dan secara khusus di PT Kimia Farma Tbk. Unit Riset dan Pengembangan. Pada PKPA ini diberikan juga tugas khusus yang berjudul Rancangan Formulasi Morfin Sulfat dalam Sediaan Sirup yang bertujuan menyusun rancangan formulasi yang tepat dalam pembuatan sediaan morfin sulfat dalam sirup.
Kata kunci
: Morfin Sulfat, PT Kimia Farma Tbk, Unit Research and Development. Tugas umum : ix + 48 halaman; 13 lampiran Tugas khusus : iv + 39 halaman; 7 gambar; 2 tabel Daftar Acuan Tugas Umum : 7 (2001-2013) Daftar Acuan Tugas Khusus : 28 (1961-2011)
ix
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
ABSTRACT
Name NPM Program Study Title
: Geusan Nariswari Erdianty Puteri, S. Farm. : 1306343624 : Apothecary profession : Report of Apothecary Profession Internship at PT. Kimia Farma Tbk, Research and Development Unit on March 3rd – 28th 2014
Apothecary Profession Internship (PKPA) held in PT. Kimia Farma Tbk, Research and Development Unit. Apothecary student needs to understand about the role of apothecary in pharmaceutical industries especially the role and duties of pharmacists in general in the field of research and development and specifically in PT Kimia Farma Tbk. Research and Development Unit. The special assignment of this PKPA was Formulation and Preparation of Morphine Sulfate Syrup which aimed to at compiling a precise formulation of morphine sulfate preparations in syrup.
Keywords
: Morphine Sulphate, PT Kimia Farma Tbk, Unit Research and Development. General Assignment : ix + 48 pages; 13 appendices Special Assignment : iv + 39 pages; 7 pictures; 2 tables Bibliography of General Assignment : 7 (2001-2013) Bibliography of Special Assignment : 28 (1961-2011)
x
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ..................... vi DAFTAR ISI ..................................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... ix BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Tujuan ........................................................................................
1 2
BAB 2 TINJAUAN UMUM PT. KIMIA FARMA Tbk. 2.1 Sejarah Singkat ........................................................................... 3 2.2 Visi dan Misi .............................................................................. 4 2.2.1 Visi ................................................................................. 4 2.2.2 Misi ................................................................................ 4 2.3 Struktur Organisasi .................................................................... 5 2.4 Sumber Daya Manusia ............................................................... 5 2.5 Budaya Perusahaan .................................................................... 5 2.6 Bidang Usaha ............................................................................. 6 2.6.1 PT. Kimia Farma (holding) ............................................ 6 2.6.2 PT. Kimia Farma Trading and Distribution (PT. KFTD) .................................................................... 8 2.6.3 PT. Kimia Farma Apotek (PT. KFA) ............................. 9 2.6.4 PT. Sinkona Indonesia Lestari ....................................... 10 BAB 3 TINJAUAN KHUSUS PT. KIMIA FARMA Tbk. UNIT RESEARCH AND DEVELOPMENT 3.1 Latar Belakang Berdirinya Unit Research and Development .... 11 3.2 Visi dan Misi .............................................................................. 11 3.2.1 Visi ................................................................................. 11 3.2.2 Misi ................................................................................ 11 3.3 Fungsi ......................................................................................... 12 3.4 Struktur Organisasi .................................................................... 12 3.4.1 Bagian Pengembangan Produk ...................................... 13 3.4.2 Bagian Pemastian Mutu ................................................. 16 3.4.3 Bagian Umum dan Sumber Daya Manusia .................... 17 3.4.4 Sub Bagian Akuntansi dan Keuangan ............................ 20 3.5 Fasilitas ...................................................................................... 21 BAB 4 PEMBAHASAN .................................................................................. 4.1 PT. Kimia Farma Tbk. ................................................................ 4.2 PT. Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development ........... 4.2.1 Sub Bagian Pengembangan Produk Farma .................... xi
22 22 23 24
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
4.2.2
4.3
Sub Bagian Pengembangan Produk Non Farma dan Produk Bioteknologi ...................................................... 4.2.3 Bagian Pemastian Mutu ................................................. 4.2.4 Gudang ........................................................................... Peran Apoteker dalam Riset dan Pengembangan Obat ..............
26 28 30 31
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 33 5.1 Kesimpulan ............................................................................... 33 5.2 Saran ......................................................................................... 33 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 34 LAMPIRAN ..................................................................................................... 35
xii
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Struktur Organisasi Divisi Pengembangan Bisnis Strategi PT. Kimia Farma Tbk.. ................................................................................... 36 Lampiran 2. Form Surat Permintaan Pengadaan Barang atau Jasa .................... 37 Lampiran 3. Form Bon Permintaan Bahan Penelitian dari Gudang ................... 38 Lampiran 4.Form Bon Permintaan Barang Alat Lab/ Kemasan dari Gudang .... 39 Lampiran 5.Form Bon Permintaan Alkohol 95% dari Gudang .......................... 40 Lampiran 6.Form Bon Permintaan Aquadest dari gudang.................................. 41 Lampiran 7. Form Bon Permintaan Barang Teknik/Investasi dari Gudang ....... 42 Lampiran 8.Form Bon Permintaan Barang Lain-lain dari Gudang..................... 43 Lampiran 9. Berita Acara Penerimaan Barang Dagangan (BAPBD) ................. 44 Lampiran 10. Berita Acara Penerimaan Barang Non Dagangan (BAPBND) .... 45 Lampiran 11. Contoh Surat Jalan ........................................................................ 46 Lampiran 12. Contoh Surat Pesanan Barang ...................................................... 47 Lampiran 13. Contoh Surat Pengantar ................................................................ 48
xiii
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pembangunan
kesehatan
merupakan
komponen
penting
dalam
pembangunan kualitas sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi. Dengan mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya,
pembangunan
kesehatan
menjadi
bagian
dalam
mendukung
pertumbuhan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2013). Industri farmasi merupakan salah satu industri strategis yang menyangkut kesehatan manusia dalam rangka perwujudan kesehatan nasional. Selain itu, industri farmasi dikontrol dan diawasi dengan ketat oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) baik ditinjau dari segi lisensi, sertifikasi maupun evaluasi produk obat yang diedarkan (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2001). Hal tersebut menuntut industri farmasi agar dapat menghasilkan produk obat yang memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan. Ketersediaan obat yang bermutu tentunya ditunjang penelitian, pengembangan dan penerapan IPTEK kesehatan di bidang obat (Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2006). PT Kimia Farma, Tbk. merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara dan merupakan industri farmasi besar di Indonesia yang memproduksi produkproduk paten baik produk sintesis maupun produk herbal serta juga memproduksi produk generik sebagai bentuk kerjasama dengan pemerintah (PT Kimia Farma Tbk., 2013). Produk-produk yang dihasilkan tersebut merupakan hasil penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh PT Kimia Farma, Tbk. Unit Riset dan Pengembangan. Sumber daya manusia yang berkompeten diperlukan agar pelaksanaan tugas PT Kimia Farma, Tbk., berjalan secara profesional. Sebagai salah satu sumber daya manusia yang dibutuhkan di PT Kimia Farma, Tbk., apoteker sangat dibutuhkan kesiapannya sebagai tenaga kesehatan yang memiliki dasar pengetahuan di bidang formulasi, analisis dan registrasi obat. Apoteker
1
Univeristas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
2
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif bagi tercapainya produksi obat yang terjamin aman, bermanfaat dan bermutu. Untuk mencapai hal tersebut, Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Indonesia bekerjasama dengan PT Kimia Farma Tbk., khususnya di Unit Research and Developmentmenyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) pada tanggal 3 – 28 Maret 2014. Praktek kerja ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan praktis yang dapat berguna nantinya untuk diterapkan dalam dunia kesehatan.
1.2 Tujuan Penulisan Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker di PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Developmentadalah : a. Untuk mengetahui dan memahami fungsi dan peran PT Kimia Farma Tbk. Unit Riset dan Pengembangan. b. Untuk mengetahui dan memahami peran dan tugas Apoteker secara umum di bidang riset dan pengembangan dan secara khusus di PT Kimia Farma Tbk. Unit Riset dan Pengembangan.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA PT KIMIA FARMA Tbk. 2.1
Sejarah Singkat (PT Kimia Farma Tbk., 2013) Kimia Farma adalah perusahaan industri farmasi pertama di Indonesia
yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1817. Nama perusahaan ini pada awalnya adalah NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co. Berdasarkan kebijaksanaan nasionalisasi atas eks perusahaan Belanda di masa awal kemerdekaan, pada tahun 1958, Pemerintah Republik Indonesia melakukan peleburan sejumlah perusahaan farmasi menjadi PNF (Perusahaan Negara Farmasi) Bhinneka Kimia Farma. Pada tanggal 16 Agustus 1971, bentuk badan hukum PNF diubah menjadi Perseroan Terbatas sehingga nama perusahaan berubah menjadi PT Kimia Farma (Persero). Sejarah berdirinya PT Kimia Farma (Persero) Tbk. terdiri atas beberapa periode yaitu : a. Periode I (1957-1959) Pada periode ini dilaksanakan nasionalisasi perusahaan farmasi milik bangsa Belanda yang ada di Indonesia. Program nasionalisasi ini dikoordinasi oleh Badan Pengambilalihan Farmasi (BAPHAR). b. Periode II (1960-1968) Periode ini adalah periode pembentukan Perusahaan Negara farmasi (PNF) dari perusahaan-perusahaan
farmasi
nasionalisasikan sebelumnya.
milik
Pembentukan
Belanda PNF
yang ini
telah
di
berdasarkan
PP.
No.60/1961 dibawah koordinasi Badan Pimpinan Umum Farmasi Negara sebagai peleburan BAPHAR yang bernaung di bawah Departemen kesehatan. c. Periode III Untuk meningkatkan efisiensi setiap BUMN maka dikeluarkan instruksi Presiden No.17/1967 sehingga Departemen Kesehatan melebur perusahaan milik negara tersebut ke dalam Perusahaan Negara Farmasi dan Alat-Alat Kesehatan Bhinneka Kimia Farma dan PNF Kasa Husada di Surabaya dirubah menjadi perusahaan umum dan perusahaan daerah, kemudian PN Sari Husada di Yogyakarta berdiri sendiri sebagai anak perusahaan. 3
Univeristas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
4
d. Periode IV Periode IV dimulai tahun 1971 dan ditandai dengan dikeluarkannya PP No. 116 tahun 1971 yang berlaku sejak tanggal 19 maret 1971. Perusahaan Negara Farmasi dan Alat-Alat Kesehatan Bhinneka Kimia Farma setelah melalui proses audit dinyatakan lulus untuk menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang selanjutnya disahkan pada tanggal 16 agustus 1971 sebagai PT Kimia Farma (Persero) dengan Akta Notaris dan diumumkan dalam berita negara. e. Periode V Pada periode ini tepatnya tanggal 28 Juni 2001, PT Kimia Farma (Persero) menjadi Perusahaan terbuka (Tbk) dengan nama PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Bersama dengan perubahan tersebut, PT Kimia Farma (Persero) Tbk. telah dicatat pada Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang kedua bursa telah merger dan kini bernama Bursa Efek Indonesia). Berbekal pengalaman selama puluhan tahun, Perseroan telah berkembang menjadi perusahaan dengan pelayanan kesehatan terintegrasi di Indonesia. Perseroan
kian
diperhitungkan
kiprahnya
dalam
pengembangan
dan
pembangunan bangsa khususnya pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia.
2.2
Visi dan Misi
2.2.1
Visi
Menjadi korporasi bidang kesehatan terintegrasi dan mampu menghasilkan pertumbuhan nilai yang berkesinambungan melalui konfigurasi dan koordinasi bisnis yang sinergis (PT Kimia Farma Tbk., 2013) . 2.2.2
Misi
Menghasilkan pertumbuhan nilai korporasi melalui usaha di bidang-bidang (PT Kimia Farma Tbk., 2013): a. Industri kimia dan farmasi dengan basis penelitian dan pengembangan produk yang inovatif. b. Perdagangan dan jaringan distribusi. c. Pelayanan kesehatan yang berbasis jaringan retail farmasi dan jaringan pelayanan kesehatan lainnya.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
5
d. Pengelolaan
aset-aset
yang
dikaitkan
dengan
pengembangan
usaha
perusahaan.
2.3
Struktur Organisasi PT Kimia Farma Tbk. dipimpin oleh seorang Direktur Utama yang
membawahi empat Direktorat, yaitu Direktorat Pemasaran, Direktorat Produksi, Direktorat Umum dan SDM, dan Direktorat Keuangan, yang masing-masing dipimpin oleh seorang direktur (Direksi PT Kimia Farma Tbk., 2009).
2.4
Sumber Daya Manusia Jumlah karyawan perusahaan dan anak perusahaan per 30 Juni 2011 yaitu
sebanyak 5.306 orang. Dalam menjalankan operasional perusahaan, manajemen menyadari bahwa peran sumber daya manusia sangat penting. Strategi manajemen untuk menggali kemampuan karyawan yaitu dengan mengalokasikan dana setiap tahunnya untuk program pengembangan sumber daya manusia, meliputi pelatihan, seminar, lokakarya di dalam negeri maupun luar negeri. Selain itu, setiap tahunnya perusahaan juga mengirimkan karyawannya untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi untuk menambah wawasan dan meningkatkan kemampuan karyawan (PT Kimia Farma Tbk., 2007).
2.5
Budaya Perusahaan Dalam menjalankan usaha, PT Kimia Farma Tbk. mengacu pada nilai-nilai
perusahaan “I CARE” (Innovative, Costumer First, Accountability, Responsibility, Eco Friendly) yang menjadi pedoman dalam berkarya membangun kesehatan bangsa. Yang dimaksud dengan I CARE tersebut adalah(PT Kimia Farma Tbk., 2013): I
: Innovative, memiliki budaya berpikir out of the box dan membangun produk unggulan.
C : Costumer First, mengutamakan pelanggan sebagai rekan kerja/mitra. A : Accountability, bertanggung jawab atas amanah yang dipercayakan oleh perusahaan dengan memegang teguh profesionalisme, integritas, dan kerjasama.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
6
R : Responsibility, memiliki tanggung jawab pribadi untuk bekerja tepat waktu, tepat sasaran dan dapat diandalkan. E : Eco Friendly, menciptakan dan menyediakan produk maupun jasa layanan yang ramah lingkungan.
2.6
Bidang Usaha PT Kimia
Farma Tbk. memiliki beberapa bidang usaha yang
pengelolaannya dibagi antara PT Kimia Farma Tbk. dan dua anak perusahaannya. Bidang usaha industri didukung oleh riset dan pengembangan serta pemasaran, yang dikelola oleh PT Kimia Farma Tbk. (holding). Sedangkan, bidang usaha ritel farmasi/ apotek, klinik, dan laboratorium klinik, serta perdagangan dan distribusi dikelola oleh anak perusahaan, yaitu PT Kimia Farma Apotek dan PT Kimia Farma Trading and Distribution (PT Kimia Farma Tbk., 2013).
2.6.1
PT Kimia Farma (holding) Dengan dukungan kuat riset dan pengembangan, segmen usaha yang
dikelola oleh perusahaan induk ini memproduksi obat jadi dan obat tradisional, yodium, kina, dan produk-produk turunannya, serta minyak nabati. Lima fasilitas produksi yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia merupakan tulang punggung dari segmen industri, dimana kelimanya telah mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan sertifikat ISO 9001 dan 140001 dari institusi luar negeri (Llyod’s, SGS, TUV) (PT Kimia Farma Tbk., 2011). Hasil produksi yang dihasilkan berupa produk obat-obat kimia dan herbal, dibagi dalam enam lini produksi yaitu etikal, obat bebas, generik, narkotik, lisensi dan bahan baku. Hampir semua kelas terapi diakomodasi oleh produk perusahaan yang terdiri dari 385 item produk dan dipasarkan ke seluruh Indonesia serta diekspor ke beberapa negara melalui jaringan distribusi perseroan atau yang memiliki perjanjian dengan perseroan (PT Kimia Farma Tbk., 2011). PT Kimia Farma Tbk. memiliki lima fasilitas produksi yang tersebar di lima kota di Indonesia. Kelima fasilitas produksi tersebut, yaitu (PT Kimia Farma Tbk., 2011): a. Unit Produksi Jakarta di Pulogadung DKI Jakarta
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
7
Pabrik Jakarta merupakan satu-satunya pabrik obat di Indonesia yang mendapat tugas dari Pemerintah untuk memproduksi obat golongan narkotika. Pabrik ini telah memperoleh sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan ISO-9002 serta mendapat rating ”A” untuk sertifikasi dari Badan POM. Di pabrik ini telah beroperasi fasilitas pembuatan produk Antiretroviral (ARV) yang sudah mendapat sertifikat CPOB untuk memenuhi kebutuhan obat HIV/ AIDS dalam negeri. Pabrik ini juga mendapatkan Proper Biru dalam pengolahan limbah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta untuk Ketaatan dan Kinerja Pengolahan Lingkungan. Sediaan yang diproduksi di Pabrik Jakarta antara lain tablet, tablet salut, kapsul, granul, sirup kering, suspensi/ sirup, tetes mata, krim, dan injeksi (PT Kimia Farma Tbk., 2011). b. Unit Produksi Bandung di Jawa Barat Pabrik Bandung memproduksi bahan baku kina dan turunannya, obat-obat herbal, serta Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR). Pabrik ini telah mendapatkan US-FDA Approval (Badan Pengawas Makanan dan ObatObatan Amerika Serikat) dan menerima sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk produksi tablet, sirup, serbuk, dan pil KB. Selain itu, pabrik ini juga menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO-9002, serta mendapat rating ”A” untuk sertifikasi dari Badan POM dan Kosher Certificated dari Court of the Chief Rabbi Beth Din London. Pabrik Bandung juga mendapatkan sertifikat produk garam kina dari European Directorate for the Quality of Medicines (EDQM) dan sertifikat halal MUI Jawa Barat (PT Kimia Farma Tbk., 2011). c. Unit Produksi Semarang di Jawa Tengah Pabrik Semarang mengkhususkan diri pada produksi minyak jarak, minyak nabati, dan kosmetik (bedak). Pabrik ini telah menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO-9001 serta telah mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB) (PT Kimia Farma Tbk., 2011). d. Unit Produksi Watudakon di Jombang Jawa Timur Pabrik Watudakon merupakan satu-satunya pabrik yang mengolah tambang yodium di Indonesia dan telah mendapatkan sertifikat CPOB, ISO-9001 dan
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
8
ISO 14001. Pabrik ini juga memproduksi bahan baku fero sulfat sebagai bahan utama pembuatan tablet besi untuk obat penambah darah serta kapsul lunak “yodiol” yang merupakan obat untuk pencegahan gondok. Selain itu, Pabrik Watudakon juga memproduksi obat dalam sediaan tablet, tablet salut, salep, sirup, dan cairan obat untuk penggunaan luar dan dalam (PT Kimia Farma Tbk., 2011). e. Unit Produksi Tanjung Morawa di Medan Sumatera Utara Produk dari Pabrik Tanjung Morawa ditujukan untuk memasok kebutuhan obat di wilayah Sumatera dan sudah mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) serta mendapat rating ”A” untuk sertifikasi dari Badan POM. Sediaan yang diproduksi oleh pabrik ini antara lain tablet, krim, dan kapsul (PT Kimia Farma Tbk., 2011). Bidang industri PT Kimia Farma Tbk. didukung oleh Unit Research and Development yang berlokasi di Bandung. Unit Research and Development ini melaksanakan kegiatan penciptaan produk baru dan pengembangan produkproduk PT Kimia Farma Tbk. Dalam bidang riset dan pengembangan, PT Kimia Farma Tbk. telah menjalin kerja sama dengan beberapa perguruan tinggi, antara lain Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Sumatra Utara, Universitas Padjajaran, Universitas Airlangga, dan Universitas Gadjah Mada (PT Kimia Farma Tbk., 2011).
2.6.2
PT Kimia Farma Trading and Distribution (PT KFTD) Awalnya bidang perdagangan dan distribusi dikelola oleh Divisi Pedagang
Besar Farmasi (PBF) dari PT Kimia Farma Tbk. Berbekal kemampuan dan pengalaman dalam menangani pendistribusian produk-produk PT Kimia Farma Tbk., pada tanggal 4 Januari 2003, Divisi PBF berkembang menjadi anak perusahaan dengan nama PT Kimia Farma Trading and Distribution (PT KFTD). Tugas utama PT KFTD adalah mendistribusikan produk-produk Kimia Farma ke berbagai jaringan yang tersebar di seluruh nusantara, yang mencakup 33 provinsi dan 466 kabupaten/ kota. Saat ini, terdapat 41 cabang PT KFTD yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
9
Sebagai penyedia Jasa Layanan Distribusi, KFTD mendistribusikan aneka produk dari perusahaan induk, produk dari prinsipal lainnya serta produk-produk non prinsipal. KFTD mendistribusikan produk-produk tersebut melalui penjualan reguler ke Apotek (Apotek Kimia Farma dan Apotek selain Kimia Farma), Rumah Sakit, Toko Obat, Supermarket dan lain sebaginya. Di bidang Jasa Perdagangan atau Trading, KFTD melayani dan membantu program-program Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan bagi masyarakat di seluruh Indonesian (PT Kimia Farma Tbk., 2011).
2.6.3
PT Kimia Farma Apotek (PT KFA) PT KFA adalah anak perusahaan PT Kimia Farma Tbk. yang didirikan
berdasarkan akta pendirian Nomor 6 tanggal 4 Januari 2003 yang dibuat dihadapan notaris yang telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. PT KFA memiliki tujuan untuk memberikan layanan prima atas penjualan produk farmasi, serta solusi jasa layanan kefarmasian untuk seluruh rakyat Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, PT KFA melakukan beberapa hal antara lain usaha dalam bidang pengelolaan apotek dan klinik
(PT
Kimia Farma Tbk., 2011). Jumlah outlet Apotek Kimia Farma saat ini berjumlah 390 dan menyumbang pendapatan terbesar. Klinik Kimia Farma menyediakan layanan berupa klinik dasar, klinik spesialis, dan klinik gigi. Saat ini klinik kesehatan Kimia Farma berjumlah 9 buah (PT Kimia Farma Tbk., 2011). Pada tahun 2010 dibentuk anak perusahaan PT KFA, yaitu PT Kimia Farma Diagnostika (PT KFD). Tujuannya adalah agar bisnis jasa layanan kesehatan dapat lebih fokus sehingga makin berkembang mendukung layanan one stop health care service. PT KFD menyediakan layanan laboratorium klinik. Untuk meningkatkan penjualan, PT KFD melakukan kerja sama dengan beberapa perusahaan BUMN dan swasta untuk melaksanakan medical check up karyawan. Saat ini, terdapat 38 laboratorium klinik yang dikelola oleh PT KFD (PT Kimia Farma Tbk., 2011).
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
10
2.6.4
PT Sinkona Indonesia Lestari PT Sinkona Indonesia Lestari (SIL) berdiri di kawasan hijau perkebunan
teh milik PTPN VIII di Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Perusahaan yang bergerak di bidang industri garam kina dan derivatnya ini diresmikan oleh Menteri Pertanian RI dan Menteri Kesehatan RI pada 31 Agustus 1991. Saham PT SIL saat ini dimiliki oleh tiga pemegang saham yaitu PT Kimia Farma (Persero) Tbk, PTP Nusantara VIII dan Yayasan Kartika Eka Paksi dimana PT Kimia Farma (Persero) Tbk. merupakan pemegang saham mayoritas dengan 56% saham. Pemasaran produk hampir 100% ke luar negeri, sehingga agar dapat bersaing di pasar global, sejak tahun 1996 SIL telah menerapkan SMM ISO 9002 : 1994 dan tahun 1999 menerapkan SML ISO 14001 : 1996 dengan sertifikasi PT SGS Indonesia. Selanjutnya, sertifikasi sistem-sistem manajemen tersebut diperbaharui hingga saat ini menjadi SMM ISO 9001 : 2008 dan ISO 14001 : 2004. Selain SMM dan SML, SIL mendapatkan pula sertifikat CPOB dari Badan POM, Halal dari MUI dan Kosher dari London Beth Din.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
11
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS PT KIMIA FARMA Tbk. UNIT RISET DAN PENGEMBANGAN 3.1
Latar Belakang Berdirinya Unit Riset dan Pengembangan Kegiatan penelitian dan pengembangan pada mulanya dilakukan oleh
setiap unit produksi PT Kimia Farma Tbk. Seiring berjalannya waktu, dilakukan pemusatan kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut. Hal ini dikaitkan dengan adanya perubahan pola konsumsi di tengah masyarakat dan persaingan pasar sehingga diperlukan penelitian dan pengembangan secara terpadu dan terfokus dari seluruh unit produksi untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat terhadap obat. Untuk mewujudkan hal tersebut maka PT Kimia Farma Tbk. membangun Divisi Riset dan Teknologi di bawah Direktorat Produksi pada tanggal 19 Juni 1991 yang berlokasi di Jalan Cihampelas Nomor 5 Bandung (PT Kimia Farma Tbk., 1999). Pada tahun 2003 bersamaan dengan perubahan struktur organisasinya, divisi ini berubah menjadi Unit Research and Development(Unit Research and Development) (Direksi PT Kimia Farma Tbk., 2009).
3.2
Visi dan Misi
3.2.1
Visi (PT Kimia Farma Tbk., 2013) Menjadi unit yang menghasilkan produk unggulan yang bermutu, inovatif
dan kompetitif di pasar
3.2.2
Misi
a. Mengembangkan produk baru farmasi, bahan baku kimia dan bahan baku obat alami unggulan yang bermutu, berkhasiat dan kompetitif di pasaran (PT Kimia Farma Tbk., 2013). b. Mengembangkan produk baru melalui kerja sama dengan lembaga penelitian alam dan luar negeri (PT Kimia Farma Tbk., 2013). c. Mengembangkan penelitian produk eksis di pabrik untuk meningkatkan mutu dan efisiensi (PT Kimia Farma Tbk., 2013).
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
12
d. Mengembangkan sumber daya manusia yang mempunyai akhlak tinggi, berkompetensi tinggi dalam kaidah-kaidah pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berorientasi pasar (PT Kimia Farma Tbk., 2013).
3.3
Fungsi
a. Sebagai pusat penelitian produk baru dari bahan sintesis dan bahan alam melingkupi penyediaan bahan baku, formulasi, dan analisis (PT Kimia Farma Tbk., 2013). b. Sebagai pusat penelitian renovasi produk eksis, bantuan teknis teknologi bagi unit lain, dan pengembangan berkelanjutan yang efisien dalam proses (PT Kimia Farma Tbk., 2013). c. Sebagai pusat informasi produk dan perkembangan ilmu pengetahuan serta peraturan yang berhubungan dengan kefarmasian (PT Kimia Farma Tbk., 2013). d. Sebagai koordinator kerja sama penelitian dengan institusi di luar PT Kimia Farma Tbk (PT Kimia Farma Tbk., 2013).
3.4
Struktur Organisasi Menurut SK. Dir. No 38/ DIR/ IX/ 2012 tanggal 18 September 2012,
struktur organisasi Unit Research and Development dipimpin oleh seorang manajer yang terdiri dari dua bagian yaitu Bagian Pengembangan Produk dan Bagian Pemastian Mutu. Kedua bagian ini dipimpin oleh asisten manajer. Bagian pengembangan produk membawahi sub bagian pengembangan produk farma, sub bagian pengembangan produk non farma, sub bagian pengembangan produk bioteknologi, dan sub bagian pengembangan tanaman obat sedangkan bagian pemastian mutu membawahi sub bagian pemastian mutu dan sub bagian sistem mutu. Sub bagian Sumber Daya Manusia dan Umum serta Sub bagian Akuntansi dan keuangan berada langsung dibawah manajer. Setiap sub bagian dipimpin oleh supervisor. Sementara itu, terdapat jabatan fungsional yang dalam hal ini adalah peneliti. Jabatan fungsional ini mempunyai kedudukan setara dengan asisten
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
13
manajer. Struktur Organisasi Divisi Pengembangan Bisnis Strategi PT Kimia Farma Tbk. dapat dilihat pada Lampiran 1. 3.4.1
Bagian Pengembangan Produk Bagian Pengembangan Produk memiliki tugas dan fungsi, antara lain
menciptakan produk baru dengan mengembangkan formula dari zat aktif bahan sintesis atau bahan alam, mengerjakan reformulasi produk yang sudah ada atau sudah eksis, dan melakukan bantuan teknis baik untuk internal maupun eksternal PT Kimia Farma Tbk. Pengembangan produk baru dilaksanakan berdasarkan ide yang diusulkan oleh Unit Research and Development, Unit Marketing, Unit Produksi, Direksi PT Kimia Farma Tbk., maupun program Pemerintah yang kemudian diajukan dalam rapat koordinasi yang dinamakan rapat produk baru, penelitian tiap tahun dituangkan dalam RKAP sedangkan reformulasi produk eksis berasal dari pemintaan pabrik. Bagian Pengembangan Produk mempunyai empat sub bagian yaitu Sub Bagian Pengembangan Produk Farma, Sub Bagian Pengembangan produk Non Farma, Sub Pengembangan Produk Bioteknologi, dan Sub Bagian Pengembangan Tanaman Obat (PT Kimia Farma Tbk., 2013). 3.4.1.1 Sub Bagian Pengembangan Produk Farma Proses pengembangan produk diawali dengan preformulasi. Formulator melakukan studi literatur mengenai zat aktif dan zat tambahan yang akan digunakan, juga tentang bentuk sediaan yang akan dibuat serta fasilitas pabrik yang akan memproduksinya. Sebelum membuat rancangan formula, dilakukan uji interaksi antar zat yang digunakan. Uji interaksi dilakukan dengan mencampur bahan aktif dan bahan tambahan dengan perbandingan 1:5 kemudian campuran ini disimpan pada suhu ruang dan 60oC selama 1 bulan. Campuran ini diperiksa ada tidaknya interaksi fisik yang muncul pada hari ke 15 dan hari ke 30. Uji interaksi dilakukan untuk semua bahan tambahan. Pemeriksaan terhadap hasil uji interaksi terbatas pada pengamatan fisik saja.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
14
Formula alternatif dirancang berdasarkan hasil preformulasi dan hasil uji interaksi. Formula-formula tersebut dibuat dalam skala laboratorium. Sediaan yang baik dan memenuhi spesifikasi secara fisik diserahkan ke Sub bagian pemastian untuk dievaluasi. Jika hasil analisis menunjukkan sediaan tersebut dapat memenuhi spesifikasi yang dipersyaratkan maka selanjutnya akan dilakukan validasi proses pembuatan skala laboratorium. Setelah dipilih formula yang terbaik, tahap berikutnya yang dapat dilakukan adalah uji stabilitas. Uji yang dilakukan adalah uji stabilitas dipercepat yang dilakukan pada suhu 40±2ºC dengan RH 75±5% dan uji stabilitas jangka panjang pada suhu 30±2ºC dengan RH 75±5%. Untuk skala laboratorium, uji stabilitas boleh dilakukan atau tidak dilakukan dimana uji ini berfungsi sebagai percepatan informasi mengenai stabilitas sebelum masuk ke tahap skala pilot. Sediaan yang stabil kemudian dibuat dalam skala pilot dan divalidasi proses pembuatannya. Selanjutnya, juga dilakukan uji stabilitas dipercepat selama 6 bulan dan uji stabilitas jangka panjang hingga diperoleh waktu kadaluwarsa produk. Untuk persyaratan dokumen registrasi dibutuhkan data stabilitas selama 1 tahun baik uji stabilitas dipercepat maupun jangka panjang. 40 jenis obat disyaratkan oleh Badan POM untuk diuji ekuivalensi atau bioavailabilitas dan uji bioekuivalensi (Uji BA/BE). Jika sediaan yang dibuat termasuk dalam obat yang harus diuji ekuivalensi, maka sediaan tersebut dapat diuji ekuivalensi bersamaan dengan pendaftaran pra registrasi, dengan syarat uji ekivalensi harus selesai pada pendaftaran registrasi tersebut. Ada beberapa dokumen dan laporan yang harus dibuat oleh Subunit Formulasi, antara lain Catatan Pengolahan/ Pengemasan Bets (CPB), protokol validasi, laporan validasi, dan dokumen pengembangan produk. Dokumen dan laporan tersebut digunakan untuk melengkapi dokumen registrasi. Jika sediaan telah mendapatkan nomor izin edar, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan skala produksi yang dilakukan di Unit Produksi. Tiga bets pertama dari skala produksi sediaan tersebut dalam pembuatannya masih didampingi dan merupakan tanggung jawab Unit Pengembangan Produk Farma.
3.4.1.2 Sub Bagian Pengembangan Produk Non Farma
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
15
Sub bagian Pengembangan Produk Non Farma melakukan kegiatannya di Laboratorium Ekstraksi bahan Alam (EBA). Sub bagian ini terdiri dari dua unit yaitu budidaya dan penyediaan bahan alam serta laboratorium atau pilot ekstraksi bahan alam. Sasaran Sub bagian Pengembangan Produk Non Farma adalah: a. Perbaikan proses produksi yang eksis di pabrik, yaitu memperoleh teknologi proses yang efisien. b. Pengembangan produk dari produk yang eksis di pabrik, yaitu memperoleh produk kimia dan bahan alam bermutu dan efisien yang berasal dari produk yang sudah ada. c. Perolehan produk dan proses baru, yaitu memperoleh produk baru kimia dan bahan alam bermutu dan efisien sebagai bahan baku farmasi, produk penunjang pertanian, dan produk pengolahan limbah d. Pelayanan kebutuhan ekstrak, yaitu melayani kebutuhan bahan alam dan proses bahan alam baik untuk internal maupun eksternal Kimia Farma. Terdapat tiga fasilitas yang menunjang budidaya tanaman di PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development, yaitu Kebun Tanaman Obat Bintang di Cianjur seluas 500 Ha, Kebun Percobaan Banjaran di Bandung seluas 5 Ha, dan laboratorium kultur jaringan. Bagian budidaya tanaman memiliki dua target dalam pelaksanaannya yaitu menghasilkan kuantitas tanaman yang maksimal dan kualitas tanaman yang memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan (kadar zat identitas maksimal). Sebelum melakukan budidaya tanaman, dilakukan studi literatur meliputi pencarian informasi nomenklatur tanaman, bagian tanaman yang digunakan, khasiat, dan kandungan kimia. Lalu pada pembudidayaan tanaman, diaplikasikan teknologi budidaya mulai saat pembibitan, penanaman (meliputi kondisi tanah, perlakukan jarak tanam, pemupukan, dan kondisi lain), pemeliharaan (meliputi pemupukan dan penyiraman), panen (meliputi cara panen dan umur panen), serta pacapanen (meliputi penyimpanan tanaman segar, pengeringan menjadi simplisia, dan pengemasannya). Bagian laboratorium atau pilot ekstraksi bahan alam bertanggung jawab dalam pembuatan bahan baku dari bahan alam berupa ekstrak atau isolat untuk kepentingan penelitian atau produksi. Dalam pelaksanaannya terdapat tiga target
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
16
yaitu kualitas memenuhi standar mutu, kuantitas maksimal (rendemen maksimal), layak secara teknik (dapat diaplikasikan skala industri), ekonomis (biaya relatif rendah), dan ramah lingkungan (relatif tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan). Sebagian besar ekstraksi dilakukan dengan metode refluks. Ekstrak yang dihasilkan disampling untuk dihitung kadarnya, kemudian disaring dan ditampung sebelum dipekatkan. Pemekatan ekstrak dilakukan dengan menggunakan metode pemanasan dan destilasi etanol. Setelah didapatkan ekstrak pekat, dilakukan sampling kembali sebelum diserahkan ke bagian produksi.
3.4.2
Bagian Pemastian Mutu Bagian Pemastian Mutu mempunyai fungsi dan tugas untuk mencari atau
meneliti metode analisis yang valid untuk produk-produk yang dikembangkan oleh PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development dimana terdiri dari produk bahan kimia dan produk bahan alam, serta melakukan analisis produkproduk tersebut. Penelitian metode analisis dilakukan dengan studi literatur yang dicari dari farmakope dan percobaan. Jika tidak ada, digunakan metode analisis yang berasal dari jurnal atau supplier. Metode analisis juga bisa diperkirakan dari metode analisis bahan yang memilki kesamaan atau analog. Penelitian metode analisis bahan alam lebih sulit karena beragamnya kandungan kimia dalam bahan alam. Metode analisis yang terpilih kemudian divalidasi. Selanjutnya, dibuat prosedur tetap pengujian, prosedur tetap validasi, protokol validasi, serta dokumen stabilitas dan datanya, termasuk untuk bahan pembantu. Analisis yang dilakukan oleh bagian pemastian mutu antara lain: a. Uji identifikasi bahan baku; b. Uji stabilitas sediaan meliputi penetapan kadar dan pengamatan fisik; c. Uji disolusi dan uji disolusi terbanding; d. Uji identifikasi profil kromatografi lapis tipis; e. Uji stabilitas sediaan meliputi penetapan kadar dan pengamatan fisik; f. Uji mikrobiologi meliputi uji potensi sediaan antibiotik, uji sterilitas sediaan steril, dan uji Angka Lempeng Total (ALT).
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
17
Instrumen yang menunjang proses analisis di Subunit Analisis antara lain kromatografi
cair
kinerja
tinggi
(KCKT),
spektrofotometer
UV-Vis,
spektrofotometer infra merah, spektrofotometer serapan atom, kromatografi lapis tipis densitometer, potensiometer, alat uji disolusi, dan lain-lain. Alat-alat tersebut dikaliberasi secara berkala, yaitu antara enam bulan sampai setahun sekali oleh orang yang memiliki sertifikat kompetensi dalam bidang kalibrasi.
3.4.3
Sub Bagian Umum dan Sumber Daya Manusia Bagian ini dipimpin oleh seorang supervisor yang membawahi beberapa
bagian, yaitu Umum, Bagian Sumber Daya Manusia (SDM), Bagian Pemeliharaan dan Keamanan, Bagian Pengadaan, Bagian Gudang.
3.4.3.1 Pemeliharaan dan Keamanan Bagian Pemeliharaan dan Bagian Keamanan bertugas melakukan pemeliharaaan dan menjaga keamanan gedung, laboratorium, rumah dinas, kendaraan dinas, kebun tanaman obat, kebun percobaan, dan instalasi listrik di PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development.
3.4.3.2 Pengadaan Bagian Pengadaan PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development bertanggung jawab terhadap pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang yang dilakukan, antara lain bahan baku dan zat kimia, alat laboratorium, kemasan, barang teknik, dan barang lain-lain. Beberapa contoh bahan baku dan zat kimia yang diadakan adalah zat aktif obat, zat tambahan obat, zat kimia pro analisis, dan pelarut. Contoh pengadaan jasa yang dilakukan, antara lain jasa perbaikan alat laboratorium dan jasa perbaikan gedung. Permintaan pengadaan barang diajukan oleh masing-masing subunit dan bagian dengan menggunakan Surat Permintaan Pemesanan Barang/ Jasa (SPPBJ) ke Bagian Pengadaan (Lampiran 2). SPPBJ tersebut diisi oleh subunit atau bagian yang meminta dengan persetujuan penanggung jawab (asisten manajer atau supervisor) subunit atau bagian tersebut. Formulir juga harus mendapat persetujuan bagian keuangan dan akuntansi, serta dari Manajer Unit Research and
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
18
Development. Setelah SPPBJ mendapatkan persetujuan dari Manajer Unit Research and Development untuk diadakan selanjutnya Bagian Pengadaan mencari penawaran dari supplier. Hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan supplier adalah kualitas barang, harga, ketepatan waktu pengiriman barang, dan jangka waktu pembayaran. Pengadaan barang atau jasa selain dari supplier juga bisa dari unit lain di PT Kimia Farma Tbk. Contoh pengadaan dari unit lain adalah pengadaan bahan baku obat dari Unit Produksi. Permohonan pengadaan bahan baku ke PT Kimia Farma unit produksi ini dilakukan langsung oleh pimpinan Unit Research and Development ke Manajer bagian Produksi. Bahan yang dimaksud dihitung sebagai barang pembebanan dan pembayarannya langsung diurus antar bagian akuntansi kedua perusahaan melalui NPI (Nota Pembebanan Intern). Setelah
supplier
didapatkan,
Bagian
Pengadaan
membuat
Surat
Pemesanan Barang atau Jasa (SPB) ke supplier (Lampiran 12). Untuk pembelian bahan baku impor, pemesanan dilakukan melalui kantor pusat di Jakarta, namun pembebanan biaya tetap dikenakan kepada Unit Research and Development.
3.4.3.3 Gudang Bagian Gudang PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development bertanggung jawab terhadap penerimaan, penyimpanan, dan pendistribusian barang yang datang ke Unit Research and Development. Selain itu, Bagian Gudang juga bertanggung jawab dalam pengiriman barang dari Unit Research and Development ke unit lain di Kimia Farma. Supplier akan mengantarkan barang yang dipesan bersama dengan Surat Jalan dan Surat Pengantar (Lampiran 11 dan Lampiran 13). Bagian gudang akan memeriksa Surat Jalan dan Surat Pengantar, kemudian memeriksa kesesuaian barang dengan SPPBJ dan melakukan pemeriksaan fisik barang yang diterima. Jika sudah sesuai maka dibuatkan Berita Acara Penerimaan Barang (BAPB) baik berupa barang dagangan atau non barang dagangan (Lampiran 9 dan Lampiran 10). BAPB tersebut kemudian diserahkan ke Bagian Keuangan dan Akuntansi untuk dicatat dan dibayarkan tagihannya ke supplier. Untuk bahan baku dan zat kimia, BAPB harus disertai Laporan Analisis (LA) yang menyatakan bahwa
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
19
barang yang datang tersebut benar dan memenuhi spesifikasi yang dipesan. Barang yang datang juga diberi kode, antara lain menunjukkan subunit atau bagian yang meminta barang, bulan dan tahun permintaan barang, serta nomor urut permintaan barang. Gudang Unit Research and Development merupakan gudang transit. Hampir tidak ada barang yang disimpan di gudang. Barang yang datang langsung didistribusikan ke masing-masing subunit atau bagian yang meminta. Barang yang disimpan di gudang hanya alkohol 95% dan aquadest. Gudang tempat penyimpanan alkohol dibuat terpisah dari bangunan gedung Unit Research and Development. Pengiriman barang dari gudang Unit Research and Development ke unit lain disertai dengan Surat Pengantar. Barang tersebut baru dapat dikirim jika Surat Pengantar tersebut telah ditandatangi oleh Bagian Gudang, Bagian Umum dan Administrasi Personalia, serta Manajer Unit Research and Development. Contoh pengiriman barang yang dilakukan adalah pengiriman ekstrak kental tanaman ke Unit Produksi. Barang yang masuk ke Gudang dibedakan menjadi dua yaitu Barang Dagangan (BD) dan Barang Non Dagangan (BND). Barang Dagangan yaitu semua barang yang berperan dalam produksi suatu barang lain yang mempunyai nilai jual. Contoh Barang Dagangan adalah bahan baku dan bahan kimia, bahan kemasan, serta alat-alat lab. Sedangkan Barang Non Dagangan adalah barang lain yang hasilnya tidak mempunyai nilai jual seperti kebutuhan rumah tangga, Alat Tulis Kantor (ATK), dan lain-lain. Selain itu, terdapat juga Bon Permintaan yang dibuat oleh bagian gudang sebagai pendukung SPPBJ. Bon Permintaan ini berbeda-beda tergantung pada jenis barang yang dikeluarkan dari gudang, seperti bahan baku penelitian, alkohol teknis 95%, aquadest, alat laboratorium/ kemasan, barang teknik/ investasi dan barang lain-lain dimana bon tersebut akan diserahkan kepada bagian keuangan (Lampiran 3 – Lampiran 8).
3.4.4
Sub Bagian Akuntansi dan Keuangan
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
20
Bagian Keuangan dan Akuntansi terdiri dari Bagian Akuntansi dan Bagian Keuangan. Bagian Akuntansi bertanggung jawab untuk melakukan verifikasi keuangan dan memeriksa kelengkapan dokumen. Bagian Akuntansi membukukan semua biaya kegiatan di Unit Research and Development, serta membuat laporan yang ditujukan kepada kantor pusat setiap bulannya dalam bentuk laporan neraca laba rugi dan cash flow. Bagian Keuangan bertanggung jawab terhadap pembayaran penagihan atas pengeluaran dana Unit Research and Development, termasuk biaya pajak. Unit Research and Development hanya melakukan pengeluaran dana dan tidak ada dana pemasukan. Oleh karena itu, Unit Research and Development disebut sebagai Cost Center. Permintaan dana dari ke PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development dinyatakan dalam bentuk Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) yang dibuat setiap tahun. RKAP tersebut merupakan gabungan dari rencana kerja dari semua subunit dan bagian di Unit Research and Development. RKAP dibuat berdasarkan rapat koordinasi dengan seluruh subunit dan bagian, kemudian dievaluasi oleh Bagian Keuangan. Setelah diketahui dan disetujui oleh Manajer Risbang, RKAP ini diserahkan ke kantor pusat untuk mendapatkan persetujuan direksi. Laporan realisasi anggaran harus dibuat dan diserahkan kepada pihak manajemen kantor pusat. Laporan tersebut dibuat per bulan, per triwulan, per semester, dan per tahun. Laporan keuangan juga dibuat setiap akhir periode akuntansi (tutup buku). Setiap tiga bulan dilakukan konsolidasi neraca untuk pelaporan penggunaan dana kepada direksi dan komisaris. Auditor PT Kimia Farma Tbk. dapat berasal dari pemegang saham yang menggunakan jasa akuntan publik, pemerintah melalui Badan Pemeriksa Keuangan, dan pihak internal perusahaan yang tergabung dalam Satuan Pengawas Intern dari kantor pusat di Jakarta.
3.5
Fasilitas Fasilitas yang terdapat di PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and
Development antara lain laboratorium, kantor, perpustakaan, kebun percobaan, kebun tanaman obat, dan gudang. Laboratorium yang terdapat di Unit Research
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
21
and Developmentantara lain laboratorium pengembangan formula, laboratorium analisis,
laboratorium
biologi,
laboratorium
mikrobiologi,
laboratorium
bioteknologi, dan laboratorium kultur jaringan, laboratorium produksi skala pilot, laboratorium ekstraksi bahan alam.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
22
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
PT Kimia Farma Tbk. PT Kimia Farma Tbk. merupakan salah satu perusahaan BUMN yang
bergerak di bidang farmasi yang berperan penting dalam menghasilkan obat baru dan produksi obat-obat generik di Indonesia. Selain bidang industri farmasi, perusahaan juga melakukan pengembangan usaha dalam bidang ritel farmasi atau apotek, klinik, dan laboratorium klinik, serta dalam bidang perdagangan dan distribusi. Pengelolaan bidang-bidang usaha tersebut dibagi antara PT Kimia Farma Tbk. (holding) dan dua anak perusahaannya, yaitu PT Kimia Farma Apotek dan PT Kimia Farma Trading and Distribution. PT Kimia Farma Tbk. (holding) mengelola bidang usaha industri yang didukung oleh riset dan pengembangan, serta pemasaran. Produk-produk yang dihasilkan Kimia Farma tidak terbatas pada obat saja, namun ada juga obat tradisional, kosmetik, minyak, dan senyawa kimia. Fasilitas produksi PT Kimia Farma Tbk. tersebar di lima kota di Indonesia, antara lain di Pulogadung DKI Jakarta, di Bandung Jawa Barat, di Semarang Jawa Tengah, di Watudakon Jombang Jawa Timur, dan di Tanjung Morawa Medan Sumatera Utara. Masingmasing unit produksi memiliki kekhususan jenis produk yang dihasilkan (PT Kimia Farma Tbk., 2011). PT Kimia Farma Trading and Distribution (PT KFTD) mengelola bidang usaha perdagangan dan distribusi dengan tugas utamanya yaitu mendistribusikan produk-produk Kimia Farma ke berbagai jaringan yang tersebar di seluruh nusantara. Saat ini terdapat 41 cabang PT KFTD yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia (PT Kimia Farma Tbk., 2011). PT Kimia Farma Apotek (PT KFA) mengelola usaha ritel farmasi atau apotek, klinik, dan laboratorium klinik. Pada tahun 2010 layanan laboratorium klinik diserahkan pengelolaannya kepada anak perusahaan PT KFA, yaitu PT Kimia Farma Diagnostika (PT KFD). Saat ini terdapat 390 apotek, 9 klinik, dan 38 laboratorium klinik yang tersebar di seluruh nusantara (PT Kimia Farma Tbk., 2011).
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
23
Seiring dengan pertumbuhan industri farmasi yang semakin pesat maka diperlukan inovasi baru dalam perkembangan obat di Indonesia. Oleh karena itu, PT Kimia Farma, Tbk. membentuk Unit Research and Developmentyang bertugas melakukan penelitian dan pengembangan produk Kimia Farma.
4.2
PT Kimia Farma Tbk. Unit Riset dan Pengembangan Secara struktural, terdapat dua bagian dan delapan sub bagian di Unit Riset
dan Pengembangan. Selain itu, juga terdapat jabatan fungsional yaitu kelompok peneliti. Dua bagian di PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development adalah Bagian Pengembangan Produk dan Bagian Pemastian Mutu. Masingmasing bagian dipimpin oleh asisten manajer yang bertanggung jawab kepada Manajer Risbang.
Bagian pengembangan produk membawahi Sub bagian
Pengembangan Produk Farma, Sub Bagian Pengembangan Produk Non Farma, Sub Bagian Pengembangan Produk Bioteknologi, dan Sub Bagian Pengembangan Tanaman Obat sedangkan Bagian Pemastian Mutu membawahi dua Sub Bagian, yaitu Sub Bagian Pengawasan Mutu dan Sub Bagian Sistem Mutu. Dua sub bagian lainnya adalah Sub Bagian Sumber Daya Manusia dan Umum serta Sub Bagian Akuntansi dan Keuangan. Bagian Pengadaan PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development bertanggung jawab terhadap pengadaan barang yang diperlukan untuk menunjang kegiatan riset dan pengembangan. Permintaan pengadaan barang diajukan oleh masing-masing subunit dan bagian dengan menggunakan Surat Permintaan Pemesanan Barang/ Jasa (SPPBJ) ke Bagian Pengadaan. SPPBJ tersebut diisi oleh subunit atau bagian yang meminta dengan persetujuan penanggung jawab (asisten manajer atau supervisor) subunit atau bagian tersebut. Formulir juga harus mendapat persetujuan bagian keuangan dan akuntansi, serta dari Manajer Unit Research and Development. Setelah SPPBJ mendapatkan persetujuan dari Manajer Unit Research and Development untuk diadakan, selanjutnya Bagian Pengadaan mencari penawaran dari supplier. Hal yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan supplier adalah kualitas barang, harga, ketepatan waktu pengiriman barang, dan jangka waktu pembayaran. Pengadaan barang atau jasa selain dari supplier juga bisa dari unit
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
24
lain di PT Kimia Farma Tbk. Contoh pengadaan dari unit lain adalah pengadan bahan baku obat dari Unit Produksi. Permohonan pengadaan bahan baku ke PT Kimia Farma unit produksi ini dilakukan langsung oleh pimpinan Unit Research and Development ke Manajer bagian Produksi. Bahan yang dimaksud dihitung sebagai barang pembebanan dan pembayarannya langsung diurus antar bagian akuntansi kedua perusahaan melalui NPI (Nota Pembebanan Intern). Setelah
supplier
didapatkan,
Bagian
Pengadaan
membuat
Surat
Pemesanan Barang atau Jasa (SPB) ke supplier. Untuk pembelian bahan baku impor, pemesanan dilakukan melalui kantor pusat di Jakarta, namun pembebanan biaya tetap dikenakan kepada Unit Research and Development.
4.2.1
Sub Bagian Pengembangan Produk Farma Sumber ide untuk pengembangan produk baru maupun reformulasi produk
eksis dapat berasal dari Unit Research and Development, Unit Marketing, Unit Produksi, Direksi PT Kimia Farma Tbk., ataupun berasal dari program pemerintah. Seluruh ide tersebut akan dibahas pada rapat koordinasi
yang
dilakukan setiap 1 bulan atau 2 bulan sekali. Hasil rapat tersebut akan dituangkan dalam Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) yang berisi keputusan produk baru yang akan diproduksi, waktu produk tersebut mulai diproduksi dan mulai diedarkan ke pasaran. Pemilihan produk baru yang akan diproduksi dilakukan berdasarkan pertimbangan tren pasar, minat konsumen dan anggaran dana yang ada. Setelah itu, manajer Risbang akan melakukan disposisi ke sub bagian Risbang terkait mengenai produk baru yang akan diproduksi kemudian masing-masing sub bagian akan melakukan kegiatan untuk merealisasikan produk baru tersebut sesuai dengan bidang kerjanya masing-masing. Proses pengembangan produk diawali dengan proses praformulasi. Formulator melakukan studi literatur untuk mengetahui sifat fisikokimia bahan aktif dan bahan tambahan seperti pemerian, kelarutan, stabilitas, kompatibilitas, pH dan sifat lain yang diperlukan informasinya sehubungan dengan formulasi. Selanjutnya mencari informasi mengenai produk kompetitor, teknologi yang dimiliki serta ketersediaan bahan baku dan kesiapan alat produksi.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
25
Sebelum rancangan formula dibuat, dilakukan uji interaksi untuk melihat ada tidaknya interaksi yang terjadi antara zat aktif dan zat tambahan. Uji interaksi ini dilakukan dengan mencampur bahan aktif dan bahan tambahan (tunggal) dengan perbandingan 1 : 5. Campuran ini disimpan pada suhu 60ºC kemudian diamati tampilan fisiknya apakah terjadi interaksi atau tidak. Uji interaksi dilakukan untuk semua bahan tambahan. Selanjutnya, dirancang formula alternatif berdasarkan hasil preformulasi dan hasil uji interaksi untuk dibuat dalam skala laboratorium terlebih dahulu. Hasil sediaan yang baik dan memenuhi spesifikasi secara fisik akan diserahkan ke sub bagian Pemastian Mutu untuk dievaluasi. Apabila hasil dari bagian Pemastian Mutu menunjukkan sediaan tersebut dapat memenuhi spesifikasi yang dipersyaratkan, selanjutnya dilakukan validasi proses skala laboratorium. Pembuatan formula skala laboratorium ini harus diulang dua sampai tiga kali untuk memastikan bahwa hasil yang diperoleh bukan karena faktor kebetulan. Tahapan selanjutnya adalah uji stabilitas dipercepat untuk skala laboratorium. Uji ini dilakukan untuk mendapatkan profil stabilitas suatu sediaan secara cepat. Formula sediaan yang memenuhi syarat stabilitas kemudian dibuat dalam skala pilot yang jumlahnya 1/10 dari bets atau 100.000 tablet dan pembuatan formula skala pilot ini juga harus diulang dua sampai tiga kali untuk memastikan bahwa hasil yang diperoleh bukan karena faktor kebetulan. Kemudian, hasil dari skala pilot dikirim ke sub bagian Pemastian Mutu kemudian dievaluasi. Sebagai tambahan, pada skala pilot dilakukan stabilitas jangka panjang (on going) . Hasil dari uji stabilitas ini digunakan untuk menentukan perkiraan masa kadaluwarsa suatu produk. Dari skala pilot sudah dapat dibuat dokumen batch record, protokol validasi proses dan metode analisis, data stabilitas, dan data pengembangan produk. Dokumen-dokumen tersebut untuk kelengkapan registrasi obat di Badan POM. Untuk produk obat yang mengandung zat aktif berupa zat kimia baru dibutuhkan penilaian efikasi, keamanan,dan mutu secara lengkap. Sedangkan untuk produk obat yang merupakan obat copy dibutuhkan standar mutu antara lain berupa uji biokeivalensi (BE) dengan produk obat innovator sebagai produk pembanding/komparator. Uji ekuivalensi adalah uji in vivo dan/ atau in vitro
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
26
untuk menentukan ekuivalensi antara obat uji (obat copy) dengan obat komparator. Uji BE untuk membuktikan kesetaraan terapetik antara obat copy terhadap obat inovatornya agar dapat dikatakan interchangeable. Sub bagian pengembangan produk farma bekerja sama dengan institusi atau laboratorium independen yang telah terakreditasi untuk melakukan uji BE sesuai dengan protokol yang telah disetujui komisi etik. Sebelum melakukan uji BE perlu diketahui profil disolusi obat copy dibandingkan dengan obat inovator dengan uji disolusi terbanding. Pada proses uji BE, PT Kimia Farma, Tbk. bertindak sebagai sponsor yang berperan menyediakan dana, produk uji, data pendukung awal dan mengawasi jalannya uji BE. Beberapa hal yang perlu diawasi diantaranya adalah fasilitas, pemenuhan prosedur Good Laboratory Practice (GLP), kesesuaian alur proses BE dengan protokol serta pemenuhan hak volunter oleh institusi pelaksana BE. Ada sebelas kategori dalam daftar obat copy yang mengandung zat aktif yang wajib uji biokuivalensi. Daftar lengkap obat-obat tersebut dapat dilihat pada Peraturan Kepala Badan POM RI Tahun 2011 tentang Obat Wajib Uji Ekuivalensi (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2011). Jika sediaan telah mendapatkan nomor izin edar, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan skala produksi. Tiga bets pertama dari skala produksi sediaan tersebut dalam pembuatannya masih didampingi dan merupakan tanggung jawab sub bagian pengembangan produk farma. Pada tiga bets pertama tersebut juga dilakukan uji stabilitas on going untuk mengetahui stabilitas dan masa kadaluwarsa sebenarnya dari sediaan.
4.2.2
Sub Bagian Pengembangan Produk Non Farma dan Produk Bioteknologi Saat ini, banyak bukti penelitian tentang bahan alam yang memberikan
khasiat yang bermanfaat bagi manusia. Hal ini yang memperkuat perkembangan budidaya tanaman berhasiat sebagai lahan potensial di bidang farmasi. Bahan alam yang digunakan sebagai bahan baku antara lain tanaman segar, simplisia, ekstrak atau isolat yang diperoleh melalui proses tertentu dan terstandardisasi. Oleh karena itu, PT Kimia Farma Unit Research and Development mempunyai
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
27
Sub Bagian Pengembangan Produk Non Farma yang bekerja di Laboratorium Ekstraksi Bahan Alam (EBA). Sub Bagian Pengembangan Produk Non Farma Dalam memiliki tiga sasaran, yaitu perbaikan proses produksi yang eksis di pabrik (memperoleh teknologi proses yang efisien); pengembangan produk dari produk yang eksis di pabrik (memperoleh produk kimia dan bahan alam yang bermutu dan efisien yang berasal dari produk yang sudah ada); produk dan proses baru (memperoleh produk baru kimia /isolat dan bahan alam yang bermutu dan efisien untuk obat tradisional, pangan, pertanian dan alternatif bahan bakar minyak) dan pelayanan (melayani kebutuhan bahan alam dan proses pengolahan bahan alam). Terdapat tiga fasilitas yang menunjang budidaya tanaman di PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development yaitu Kebun Percobaan Banjaran di Bandung, Kebun Tanaman Obat Bintang di Cianjur dan laboratorium kultur jaringan. Budidaya tanaman memiliki dua target dalam pelaksanaannya yaitu menghasilkan kuantitas tanaman yang maksimal dan kualitas tanaman yang memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan (kadar zat identitas maksimal). Program untuk tanaman kina di Kebun Tanaman Obat Bintang (KTO Bintang) yang dilaksanakan bersama dengan Sub Bagian Pengembangan Produk Bioteknologi yaitu : a. Kultur jaringan kina Tujuan dilakukan kultur jaringan kina adalah untuk mempertahankan kualitas bibit, untuk mempercepat proses perbanyakan bibit, serta untuk mengurangi biaya pembibitan, tingkat kematian bibit, dan tingkat keragaman kualitas bibit. b. Optimalisasi pembibitan tanaman kina dan peremajaan tanaman kina dengan sistem sambung tempel Optimalisasi dan peremajaan ini bertujuan supaya didapatkan bibit kina yang optimal dalam sisi kualitas, waktu, dan jumlah. Cara sambung silang yang diterapkan adalah dengan menyambungsilangkan (stek) dua varietas kina, yaitu ledgeriana dan succirubra. Kina ledgeriana memiliki kadar kinin yan tinggi, namun kurang tahan terhadap penyakit. Sedangkan, kina succirubra lebih than terhadap penyakit, namun kadar kininnya rendah. Dengan melakukan stek
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
28
terhadap dua varietas tersebut, diharapkan didapat kina yang tahan penyakit dengan kadar kinin tinggi. c. Sistem panen baru tanaman kina Selama ini sistem panen kina adalah dengan menebang pohon kina. Sistem panen baru yang diterapkan adalah dengan menguliti batang kina secara selangseling atau berjarak. Diharapkan dengan sistem panen ini untuk mendapatkan kulit batang kina yang siap panen, tidak perlu menunggu waktu delapan tahun seperti sebelumnya. Sistem panen ini masih beberapa bulan diterapkan dan masih dalam tahap penelitian mengenai kadar kinin dalam kinanya. Dalam memulai pembudidayaan tanaman, ada dua cara atau jalur yang dilakukan. Pertama atas usul dari Direksi atau Unit Marketing untuk membuat sediaan yang menggunakan ekstrak tanaman tertentu. Kemudian, ditindaklanjuti dengan penelitian dan pembudidayaan tanaman tersebut. Kedua adalah atas ide Subunit EBA tentang tanaman berkhasiat tertentu. Tanaman tersebut dijadikan tanaman koleksi dan diteliti. Jika khasiatnya terbukti, maka tanaman tersebut dapat diusulkan untuk dimanfaatkan dengan dibuat sediaannya. Tahap awal dalam pengembangan produk bahan alam adalah melakukan studi literatur berkaitan dengan budidaya tanaman untuk mendapatkan informasi mengenai tanaman yang digunakan sebagai bahan baku, kandungan kimia yang terkandung dalam tanaman yang memiliki efek farmakologi, bagian tanaman yang akan digunakan, efek farmakologi yang ditimbulkan, cara pembibitan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan yang baik serta metode ekstraksi dan isolasi yang sesuai. Setelah tanaman berhasil dipanen akan didistribusikan ke subunit laboratorium Ekstraksi Bahan Alam (EBA) untuk dilakukan trial metode ekstraksi. Setelah diperoleh metode ekstraksi yang sesuai maka dilakukan optimasi jenis pelarut, jumlah pelarut, waktu ekstraksi dan suhu. Selanjutnya dilakukan validasi metode ekstraksi sebanyak 3 bets untuk menunjukan hasil yang konstan. Jika metode ekstraksi valid, maka prosedurnya dicatat dalam Catatan Pengolahan Bets untuk dilakukan scale up skala pilot. 4.2.3
Bagian Pemastian Mutu Bagian Pemastian Mutu mempunyai fungsi dan tugas untuk mencari atau
mengembangkan metode analisis yang valid untuk produk-produk yang Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
29
dikembangkan oleh PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development. Metode analisis yang dikembangkan disesuaikan dengan kondisi pabrik tempat sediaan akan diproduksi. Metode analisis dicari yang juga mungkin dilakukan di pabrik tersebut terkait dengan ketersediaan instrument maupun alat analisis. Selain itu, bagian pemastian mutu juga melakukan analisis produk-produk tersebut. Analisis yang dilakukan oleh bagian pemastian mutu antara lain: a. Uji identifikasi bahan baku. b. Uji stabilitas sediaan meliputi penetapan kadar dan pengamatan fisik. c. Uji disolusi dan uji disolusi terbanding. d. Uji mikrobiologi meliputi uji potensi sediaan antibiotik, uji sterilitas sediaan steril, dan uji Angka Lempeng Total (ALT).
Pengujian stabilitas dilakukan terhadap sediaan farmasi untuk menentukan waktu kadaluarsa dari suatu sediaan farmasi serta menjamin apakah produk farmasi tersebut memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan khasiat. Bagian stabilitas memiliki tugas untuk membuat protokol dan uji stabilitas terhadap suatu formulasi. Uji stabilitas ini dibagi menjadi dua yaitu uji stabilitas dipercepat sebagai perkiraan awal batas kadaluarsa produk dan uji stabilitas jangka panjang (on going) untuk menentukkan tanggal kadaluarsa suatu produk jadi. Kegunaan lain uji stabilitas yaitu untuk meningkatkan penggunaan dan kepercayaan konsumen karena dapat memperkirakan penggunaan produk farmasi yang telah diketahui waktu kadaluarsanya. Uji mikrobiologi dilakukan pada produk bahan alam, antibiotik, dan sediaan steril. Analisis mikrobiologi yang dilakukan oleh subunit ini meliputi uji potensi sediaan antibiotik, uji sterilitas sediaan steril, dan uji Angka Lempeng Total (ALT). Uji potensi digunakan pada sediaan antibiotika untuk menetapkan konsentrasi minimal obat yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Uji sterilitas digunakan pada sediaan steril yang bertujuan untuk menentukan apakah sediaan steril tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan sedangkan uji Angka Lempeng Total (ALT) untuk menentukan jumlah total bakteri yang terdapat pada sampel yang diperiksa.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
30
Bagian Pemastian Mutu juga melakukan uji ekuivalensi in vitro yaitu uji disolusi terbanding (UDT) yaitu uji disolusi komparatif yang dilakukan untuk menunjukkan similiaritas profil disolusi antara obat uji dengan obat innovator atau komparator. UDT dapat dilakukan sebagai pendahuluan uji BE. Jika UDT menunjukkan hasil yang kurang baik maka tidak perlu membuang dana dan waktu untuk melakukan uji BE. Selain melakukan analisis sampel yang berasal dari internal Unit Research and Development dan unit lain di Kimia Farma, Subunit Analisis juga menyediakan layanan jasa analisis untuk eksternal Kimia Farma.
4.2.4 Gudang Bagian Gudang PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development bertanggung jawab terhadap penerimaan, penyimpanan, dan pendistribusian barang yang datang ke Unit Research and Development. Selain itu, Bagian Gudang juga bertanggung jawab dalam pengiriman barang dari Unit Research and Development ke unit lain di Kimia Farma. Barang yang sampai di gudang Unit Research and Development diperiksa kesesuaiannya dengan SPPBJ, jika sudah sesuai dbuatkan Berita Acara Penerimaan Barang (BAPB). BAPB tersebut kemudian diserahkan ke Bagian Keuangan dan Akuntansi untuk dicatat dan dibayarkan tagihannya ke supplier. Untuk bahan baku dan zat kimia, BAPB harus disertai Laporan Analisis (LA) yang menyatakan bahwa barang yang datang tersebut benar dan memenuhi spesifikasi yang dipesan. Barang yang datang juga diberi kode, antara lain menunjukkan subunit atau bagian yang meminta barang, bulan dan tahun permintaan barang, serta nomor urut permintaan barang. Gudang Unit Research and Development merupakan gudang transit. Hampir tidak ada barang yang disimpan di gudang. Barang yang datang langsung didistribusikan ke masing-masing subunit atau bagian yang meminta. Barang yang disimpan di gudang hanya alkohol 95% dan aquadest. Gudang tempat penyimpanan alkohol dibuat terpisah dari bangunan gedung Unit Research and Development. Pengiriman barang dari gudang Unit Research and Development ke unit lain disertai dengan Surat Pengantar. Barang tersebut baru dapat dikirim jika Surat
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
31
Pengantar tersebut telah ditandatangi oleh Bagian Gudang, Bagian Umum dan Administrasi Personalia, serta Manajer Unit Research and Development. Contoh pengiriman barang yang dilakukan adalah pengiriman ekstrak kental tanaman ke Unit Produksi. Barang yang masuk ke Gudang dibedakan menjadi dua yaitu Barang Dagangan (BD) dan Barang Non Dagangan (BND). Barang Dagangan yaitu semua barang yang berperan dalam produksi suatu barang lain yang mempunyai nilai jual. Contoh Barang Dagangan adalah bahan baku dan bahan kimia, bahan kemasan, serta alat-alat lab. Sedangkan Barang Non Dagangan adalah barang lain yang hasilnya tidak mempunyai nilai jual seperti kebutuhan rumah tangga, Alat Tulis Kantor (ATK), dan lain-lain.
4.3
Peran Apoteker dalam Riset dan Pengembangan Obat Peran apoteker di PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development
meliputi berbagai bagian, baik di Bagian Pengembangan Produk maupun Bagian Pemastian Mutu. Pada Bagian Pengambangan Produk, Apoteker berperan dalam memformulasikan produk baru maupun reformulasi produk yang sudah ada. Peran apoteker juga dibutuhkan dalam bagian pemastian mutu, yaitu sebagai analis bahan baku maupun produk yang akan dikembangkan. Selain itu, apoteker juga berperan sebagai peneliti untuk pengembangan produk bahan alam, mulai dari pembudidayaan hingga pembuatan sediaan. Peranan apoteker dalam berbagai aspek inilah yang menjadikan apoteker memiliki kompetensi untuk bekerja dalam bidang-bidang tersebut. Berkenaan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa peran apoteker sangat dibutuhkan dalam riset dan pengembangan produk obat baru, termasuk di PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
32
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan a. PT Kimia Farma Tbk. Unit Research and Development berfungsi dan berperan sebagai pusat penelitian produk baru dari bahan sintesis dan bahan alam mencakup penyediaan bahan baku, formulasi, dan analisis; sebagai pusat penelitian renovasi produk eksis, dan bantuan teknis teknologi bagi unit lain; sebagai pusat informasi produk dan perkembangan ilmu pengetahuan serta peraturan yang berhubungan dengan kefarmasian; dan sebagai koordinator kerja sama penelitian dengan institusi di luar PT Kimia Farma Tbk. b. Apoteker memiliki peran secara umum dalam melakukan riset dan pengembangan produk obat baru dan obat yang sudah beredar. Di PT Kimia Farma Tbk. Unit Riset dan Pengembangan, secara khusus apoteker berperan dan bertugas di Sub Bagian Pengembangan Produk Farma dan Non Farma serta di Sub Bagian Pemastian Mutu farma dan non farma.
5.2
Saran Perlu ditingkatkan kinerja dan komunikasi antar bagian maupun sub
bagian yang ada agar tercipta lingkungan kerja yang kondusif dan pengembangan obat yang dilakukan dapat memberikan hasil yang optimal.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
33
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2001). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Nomor: 02001/SK/KBPOM, Tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.11.10217 Tahun 2011 tentang Obat Wajib Uji Ekivalensi. Jakarta. Direksi PT Kimia Farma Tbk. (2009). Surat Keputusan Direksi PT Kimia Farma (Persero) Tbk. No. KEP. 12 A/ DIR/ VI/2009 tentang Struktur Organisasi PT Kimia Farma Persero Tbk. Jakarta: PT Kimia Farma Tbk. Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. (2006). Indonesia 2005 – 2025 Buku Putih: Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Kesehatan dan Obat. Jakarta. PT Kimia Farma Tbk. (2007). Company Profile Kimia Farma, Entering The Health Care Industri. Jakarta: PT Kimia Farma Tbk. PT Kimia Farma Tbk. (2011). 40 Tahun Kimia Farma, Melayani Sepenuh Hati. Jakarta: PT Kimia Farma Tbk. PT Kimia Farma Tbk. (2013). Company Profile PT Kimia Farma Tbk. Jakarta: PT Kimia Farma Tbk.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
34
LAMPIRAN
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
35
Lampiran 1. Struktur Organisasi Unit Research and Development PT Kimia Farma Tbk
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
36
Lampiran 2. Form Surat Permintaan Pengadaan Barang / Jasa (SPBB/J)
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
37
Lampiran 3 . Form Bon Permintaan Bahan Penelitian dari Gudang
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
38
Lampiran 4. Form Bon Permintaan Barang Alat Lab/Kemasan dari Gudang
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
39
Lampiran 5. Form Bon Permintaan Alkohol Tk 95% dari Gudang
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
40
Lampiran 6. Form Bon Permintaan Barang Teknik/Investasi dari Gudang
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
41 Lampiran 7. Form Bon Permintaan Barang Lain – Lain dari Gudang
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
42
Lampiran 8. Form Berita Acara Penerimaan Barang (BAPB) Barang Dagangan
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
43
Lampiran 9. Form Berita Acara Penerimaan Barang (BAPB) Non Barang Dagangan
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI PT KIMIA FARMA TBK UNIT RESEARCH AND DEVELOPMENT JL. CIHAMPELAS NO. 5, BANDUNG, JAWA BARAT PERIODE 3 – 28 MARET 2014
RANCANGAN FORMULASI MORFIN SULFAT DALAM SEDIAAN SIRUP
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
GEUSAN NARISWARI ERDIANTY PUTERI, S.Farm. 1306343624
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI PROGRAM PROFESI APOTEKER DEPOK JUNI 2014
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ iii DAFTAR TABEL ..................................................................................................... iv BAB 1
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1.2 Tujuan ..................................................................................................
1 1 2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 2.1 Larutan ................................................................................................. 2.2 Sirup ............................................................................................ 2.3 Komponen dalam sirup ................................................................. 2.4 Pembuatan sirup ........................................................................... 2.5 Morfin Sulfat ................................................................................
3 3 4 6 8 9
BAB 3
PENGEMBANGAN FARMASETIKA................................................. 3.1. Komponen Produk Obat .................................................................... 3.2. Produk Obat ................................................................................ 3.3. Pengembangan Proses Produksi .................................................. 3.4. Sistem Penutupan Wadah............................................................ 3.5. Kompabilitas ......................................................................................
10 10 15 25 25 26
BAB 4
EVALUASI SEDIAAN ............................................................................ 4.1. Evaluasi Fisik Morfin Sulfat ............................................................. 4.2. Evaluasi Kimia Morfin Sulfat ........................................................... 4.3. Evaluasi Biologi Morfin Sulfat .........................................................
27 27 32 34
BAB 5
PEMBAHASAN ........................................................................................ 35
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 38 5.1 Kesimpulan.......................................................................................... 38 5.2 Saran .................................................................................................... 38 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 39
ii
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Gambar 3.2 Gambar 3.3 Gambar 3.4 Gambar 3.5 Gambar 4.1 Gambar 4.2
Struktur kimia morfin sulfat ........................................................ Rumus bangun gliserin ............................................................... Rumus bangun natrium benzoat .................................................. Rumus bangun asam sitrat monohidrat ...................................... Rumus bangun natrium sitrat ...................................................... pH meter ..................................................................................... Alat viscometer Hoopler (viscometer bola jatuh) .......................
iii
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
17 19 21 23 24 28 30
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Istilah Kelarutan ................................................................................ 5 Tabel 3.1 Formulasi sediaan sirup..................................................................... 16
iv
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kanker merupakan salah satu penyebab utama kematian di seluruh dunia.
Diperhitungkan 7,4 juta kematian (sekitar 13% dari semua kematian) pada tahun 2004, dari semua kematian akibat kanker, sekitar 70% terjadi pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2009). Kematian akibat kanker di seluruh dunia diproyeksikan akan terus meningkat, dengan perkiraan 12 juta kematian di tahun 2030 (WHO, 2009). Kasus kanker meningkat dari tahun ke tahun menurut data WHO tahun 2009, setiap tahun jumlah penderita kanker di dunia bertambah 6,25 juta orang. Dua pertiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara yang sedang berkembang, salah satunya Indonesia (WHO, 2009). Walaupun kanker memiliki gejala gangguan fisik yang beranekaragam, keluhan nyeri pada kanker sering dianggap yang paling penting. Nyeri merupakan manifestasi klinis yang hampir selalu dijumpai dan yang paling ditakuti pada kanker. Kanker menghasilkan nyeri melalui dua cara, yaitu melalui pertumbuhan dan metastasis sel-sel kanker dan melalui beragam pengobatan yang dilakukan untuk mengontrol pertumbuhan sel kanker tersebut (Allard, Maunsell, Labbe & Dorval, 2001). Tiga puluh persen penderita kanker didiagnosa mengalami nyeri dan 90% dari semua pasien kanker dalam stadium lanjut (Swierzewski, 2007). Nyeri yang tidak teratasi akan mempengaruhi kualitas hidup dan menurunkan kemampuan dalam menjalani terapi untuk kembali sehat ataupun untuk mendapatkan proses kematian yang tenang. Prevalensi nyeri pada kanker diperkirakan sebesar 25% pada pasien yang baru didiagnosis, 33% pada pasien yang sedang menjalani terapi dan 75% pada stadium akhir. Nyeri kronik pada pasien kanker yang sudah menjalani terapi diperkirakan sekitar 33%. Faktorfaktor yang mempengaruhi terjadinya nyeri kronik pada pasien kanker adalah kemoterapi, radioterapi dan pembedahan (Paice J. A. & Betty F., 2011) Nyeri sebagai pengalaman yang tak menyenangkan pada penderita kanker, maka dalam penanggulangannya dicapai dengan merubah pengalaman penderita
1
Univeristas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
2
sendiri. Salah satu penanggulangan nyeri kanker adalah dengan pemberian analgesik, baik golongan opiat maupun non-opiat. Petunjuk Badan Kesehatan Dunia WHO membolehkan kombinasi analgetik opiat dan non-opiat terhadap penderita kanker dengan tingkat nyeri menengah sampai berat. Opiat merupakan analgetik sentral menghambat transduksi syaraf di medulla spinalis. Sedangkan analgetik non-opiat, terutama analgetik antiinflamasi non-steroid (AINS), merupakan analgetik perifer menghambat aktivitas cyclooxygnase dalam pembentukan prostaglandin sehingga sistem nosiseptor perifer tidak teraktivasi. Namun analgetik opiate morfin masih tetap sebagai baku emas dalam penanggulangan nyeri kanker. Morfin harus digunakan dengan benar, termasuk pengaturan dosis morfin yang diberikan (hendaknya dibawah kadar sedasi) (Lickiss, 2001). Morfin adalah senyawa analgetik opiat yang diperoleh dari bunga opium dengan insisi kelopak bijinya setelah daun bunganya dibuang. R1-O pada morfin berupa gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga disebut sebagai OH alkoholik. Gugus OH fenolik bebas mencerminkan adanya analgesik, hipnotik, depresi napas, dan obstipasi. Hal ini yang menyebabkan morfin sebagai analgesik yang kuat dan biasa digunakan dalam terapi analgetik terhadap pasien penderita kanker. Untuk meningkatkan kenyamanan dan kualitas hidup pasien, maka dipilih bentuk sediaan larutan berupa sirup morfin sulfat. Sediaan sirup dipilih karena penerimaan yang baik oleh pasien, dapat segera diabsorbsi karena sudah berada dalam bentuk larutan (tidak mengalami proses disintegrasi dan pelarutan), obat secara homogen akan terdistribusi ke seluruh sediaan, dan mengurangi resiko iritasi pada lambung oleh zat-zat iritan, karena larutan akan segera diencerkan oleh isi lambung. Rancangan formulasi morfin sulfat dalam sirup disusun berdasarkan berbagai aspek untuk menghasilkan sediaan yang baik, memenuhi persyaratan mutu dan dapat diterima oleh pasien.
1.2 Tujuan Penulisan Menyusun rancangan formulasi yang tepat dalam pembuatan sediaan morfin sulfat dalam sirup. .
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Larutan Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia
terlarut, misal: terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran pelarut yang saling bercampur. Karena molekul-molekul dalam larutan terdispersi secara merata maka penggunaan larutan sebagai bentuk sediaan, umumnya memberikan jaminan keseragaman dosis dan memiliki keltelitian yang baik jika larutan diencerkan atau dicampur (Depkes RI, 1995). Berdasarkan cara pemberiannya, larutan digolongkan menjadi larutan oral, larutan parenteral, larutan topikal, larutan otik dan larutan optalmik (Depkes RI, 1995): a. Larutan oral Larutan oral sediaan cair yang dibuat untuk pemberian oral, mengandung satu atau lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis atau pewarna yang larut dalam air atau campuran kosolven-air. Larutan oral dapat diformulasikan untuk diberikan langsung secara oral kepada pasien atau dalam bentuk lebih pekat yang harus diencerkan dahulu sebelum diberikan. Larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain kadar tinggi, dinyatakan sebagai sirup. Larutan hampir jenuh dalam air dikenal sebagai Sirup atau Sirup Simpleks. Larutan oral yang mengandung etanol sebgai kosolven dinyatakan sebagai Elixir. b. Larutan topikal Larutan topikal adalah larutan yang biasanya mengandung air tetapi seringkali mengandung pelarut lain, seperti etanol dan poliol, untuk penggunaan topikal pada kulit / penggunaan pada permukaan mukosa mulut. Istilah Lotio adalah larutan atau suspensi yang digunakan secara topikal.
3
Univeristas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
4
c. Larutan otik Larutan otik adalah larutan yang mengandung air atau gliserin atau pelarut lain dan bahan pendispersi, untuk pengunaan dalam telinga luar, misalnya larutan otik Hidrokortison. d. Larutan optalmik Larutan optalmik adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai digunakan pada mata. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan formula sediaan larutan adalah kelarutan zat aktif, kestabilan zat aktif dalam bentuk sediaan, dan dosis takaran. Kelarutan zat aktif dalam pelarut yang digunakan adalah hal yang penting dalam sediaan larutan. Kelarutan zat aktif dalam pelarutnya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya sifat fisikokimia senyawa, suhu, pH larutan, bentuk senyawa, dan lain-lain. Beberapa usaha yang dilakukan untuk zat aktif yang sukar larut dalam pelarut yang digunakan dapat dilakukan subtitusi dengan bentuk garamnya, pengecilan ukuran partikel, penggunaan kosolven atau agen peningkat kelarutan, peningkatan suhu, pengocokan / pengadukan kuat, dan lain-lain (Allen, Popovich, Ansel, 2009). Kriteria atau syarat sediaan larutan yang baik adalah larutannya jernih (tidak berawan), seluruh bahan terlarut dalam pelarut yang digunakan, dan tidak ada presipitat (endapan). Suatu bahan baik zat aktif maupun zat tambahan dalam sediaan larutan harus dapat larut dalam pelarut yang digunakan. Kelarutan adalah jumlah bahan / senyawa tertentu yang dapat terlarut dalam sejumlah pelarut yang ditentukan. Pengertian istilah larut dan tidak larut suatu bahan dalam pelarutnya dapat dilihat pada Tabel 2.1.
2.2 Sirup Sirup adalah larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain dengan kadar tinggi. Larutan sukrosa hampir jenuh dalam air dikenal sebagai Sirup atau Sirup Simpleks. Sirup obat adalah sirup yang mengandung bahan terapeutik atau bahan obat (Depkes RI, 1995). Sirup merupakan sediaan yang sering dipilih untuk pemberian suatu bentuk cairan dari suatu obat yang rasanya tidak enak. Sirup
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
5
terutama efektif dalam pemberian obat untuk anak-anak karena rasanya yang enak biasanya menghilangkan keengganan pada sebagian anak untuk meminum obat. Karena ketidakmampuan beberapa pasien anak-anak dan orang tua untuk menelan bentuk sediaan padat, hal ini cukup umum untuk meminta apoteker untuk menyiapkan obat dalam sediaan cair oral untuk obat yang tersedia di apotek hanya sebagai tablet atau kapsul (Allen, Popovich, Ansel, 2009).
Tabel 2.1 Istilah kelarutan Istilah Kelarutan
Jumlah bagian pelarut diperlukan untuk melarutkan 1 bagian zat
Sangat mudah larut
Kurang dari 1
Mudah larut
1-10
Larut
10-30
Agak sukar larut
30-100
Sukar larut
100-1000
Sangat sukar larut
1000-10000
Praktis tidak larut
Lebih dari 10000 [Sumber: Depkes RI, 1995]
Sebagian
besar
sirup
mengandung
komponen-komponen
berikut
disamping air murni dan semua zat-zat obat yang ada: (1) Gula, biasanya sukrosa atau pengganti gula yang digunakan untuk memberi rasa manis dan kekentalan larutan yang sesuai, (2) Pengawet antimikroba, (3) Perasa, dan (4) Pewarna. Kebanyakan sirup (yang dibuat dalam perdagangan) juga mengandung pelarutpelarut khusus, kosolven atau pembantu kelarutan, pengental dan stabilisator (Ansel, 2009). Keuntungan bentuk sediaan sirup: a. Lebih mudah ditelan dibanding bentuk padat, sehingga dapat digunakan untuk bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia b. Segera diabsorpsi karena sudah berada dalam bentuk larutan c. Obat secara homogen terdistribusi ke seluruh sediaan
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
6
d. Zat yang mengiritasi mukosa lambung akan berkurang karena larutan akan segera diencerkan oleh cairan lambung.
Kerugian bentuk sediaan sirup: a. Stabilitas dalam bentuk larutan lebih jelek dibandingkan bentuk sediaan tablet atau kapsul, terutama jika bahan mudah terhidrolisis. b. Larutan merupakan media ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme. c. Ketepatan dosis tergantung kepada kemampuan pasien untuk menakar. d. Rasa obat yang kurang menyenangkan akan lebih terasa jika diberikan dalam larutan dibandingkan dalam bentuk padat.
2.3 Komponen dalam sirup (Allen, Popovich, Ansel, 2009) 2.3.1
Pemanis Sukrosa adalah gula yang paling sering digunakan dalam sirup, meskipun
dalam keadaan khusus, dapat diganti secara keseluruhan atau sebagian oleh gula lain atau zat-zat seperti sorbitol, gliserin, dan propilen glikol. Dalam beberapa kasus, semua zat glikogenetik (bahan yang diubah menjadi glukosa dalam tubuh), digantikan
oleh
zat
nonglikogenetik,
seperti
metilselulosa
atau
hidroksietilselulosa. Kedua bahan ini tidak dihidrolisis dan diabsorpsi ke dalam aliran darah, dan hasilnya adalah sediaan yang mirip sirup untuk obat yang dimaksudkan untuk digunakan oleh pasien diabetes dan pasien lain yang dietnya harus dikontrol dan dibatasi untuk zat nonglikogenetik. Karakteristik sediaan dengan sukrosa dan agen alternatif berusaha untuk mengahasilkan sirup dengan viskositas yang tepat. Sirup dengan viskositas yang tepat, bersama dengan tambahan pemanis dan perasa, menghasilkan sediaan farmasi yang dapat menutupi rasa bahan aktif yang tidak enak. Kebanyakan sirup mengandung proporsi sukrosa yang tinggi, biasanya 60% sampai 80%, bukan hanya karena rasa manis yang diinginkan dan kekentalan larutan saja, tetapi juga karena stabilitas sediaan yang pekat berbeda dengan larutan sukrosa yang encer. Larutan gula sukrosa yang encer merupakan media nutrien yang efisien untuk pertumbuhan mikroorganisme, khususnya ragi dan jamur. Di sisi lain, larutan gula terkonsentrasi cukup (pekat) tahan terhadap
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
7
pertumbuhan mikroba karena tidak tersedianya air yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Namun, jika sirup benar-benar jenuh dengan sukrosa, dalam penyimpanan di tempat dingin dan sejuk, sebagian sukrosa mungkin mengkristal dari larutan. Seperti disebutkan sebelumnya, sirup berbasis sukrosa bisa diganti secara keseluruhan atau sebagian oleh agen-agen lain dalam pembuatan sirup mengandung obat. Suatu larutan poliol, seperti sorbitol, atau campuran poliol, seperti sorbitol dan gliserin, umum digunakan.
2.3.2
Pengawet mikroba
Besarnya pengawet yang diperlukan untuk melindungi sirup terhadap pertumbuhan mikroba bervariasi tergantung proporsi air yang tersedia untuk pertumbuhan, sifat dan aktivitas pengawet dari beberapa bahan dalam formulasi (misalnya, beberapa flavoring oil bersifat steril dan memiliki aktivitas antimikroba), dan kemampuan pengawet itu sendiri. Di antara bahan pengawet yang umum digunakan dalam sirup dengan konsentrasi efektif biasanya adalah asam benzoat 0,1% sampai 0.2%, natrium benzoat 0,1% sampai 0.2%, dan berbagai kombinasi metillparaben, propilparaben, dan butilparaben berjumlah sekitar 0,1%.
2.3.3
Perasa (flavoring)
Kebanyakan sirup yang diberi rasa dengan perasa sintetis atau dengan bahan alami, seperti minyak atsiri (misalnya, minyak jeruk), vanili, dan lain-lain, menghasilkan sirup dengan rasa yang enak. Karena sirup adalah sediaan cair, perasa ini harus larut dalam air. Namun, terkadang sejumlah kecil alkohol ditambahkan ke sirup untuk memastikan perasa larut.
2.3.4
Pewarna
Untuk meningkatkan daya tarik sirup, digunakan zat pewarna yang sesuai dengan perasa yang digunakan (yaitu, hijau dengan mint, cokelat dengan cokelat, dll). Umumnya, pewarna yang larut dalam air, tidak bereaksi dengan komponen
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
8
lain dalam sirup, dan warnanya stabil pada kisaran pH dan di bawah intensitas cahaya yang mungkin ditemui selama penyimpanan.
2.4 Pembuatan sirup Sirup dibuat tergantung pada sifat kimia dan fisika bahan-bahan. Secara umum, cara pembuatan sirup adalah: 2.4.1
Larutan yang dibuat dengan bantuan panas
Sirup dibuat dengan cara ini bila dibutuhkan untuk dibuat sirup secepat mungkin dan bila komponen sirup tidak rusak atau menguap oleh panas. Pada cara ini gula umumnya ditambahkan ke air, dan panas digunakan sampai larutan terbentuk. Kemudian komponen-komponen lain yang tidak tahan panas ditambahkan ke sirup panas, campuran dibiarkan dingin, dan volumennya disesuaikan sampai jumlah yang tepat dengan penambahan air. Dalam keadaan dimana zat-zat tidak tahan panas atau senyawa menguap, seperti misalnya minyak mudah menguap penambah rasa dan alkohol akan ditambahkan, maka biasanya ditambahkan ke sirup sesudah larutan gula terbentuk oleh pemanasan, dan larutan cepat-cepat didinginkan sampai temperatur ruang. Penggunaan panas membantu melarutnya gula dengan cepat juga komponen tertentu lainnya dari sirup. Namun bila sirup dipanaskan sangat berlebihan, maka akan menjadi bewarna kuning coklat karena pembentukan caramel dari sukrosa. Sirup-sirup yang dibuat dengan melarutkan dengan bantuan panas yaitu sirup akasia, sirup coklat, dan sirup pembawa obat.
2.4.2 Larutan yang dibuat tanpa bantuan panas Untuk menghindari panas yang merangsang invers sukrosa, sirup dapat dibuat tanpa pemanasan dengan pengadukan. Pada skala kecil, sukrosa dari zat formula lain dapat dilarutkan dalam air dengan menempatkan bahan-bahan dalam botol yang kapasitasnya lebih besar daripada volume sirup yang akan dibuat, dengan demikian memungkinkan pengadukan campuran dengan seksama. Proses ini memakan waktu lebih lama daripada yang dibutuhkan panas untuk memudahkan melarutnya sukrosa, tetapi produk mempunyai kestabilan yang maksimal. Tangki besar dari stainless steel atau tangki yang dilapisi gelas
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
9
dilengkapi dengan pengadukan mekanik atau pemutar digunakan dalam pembuatan sediaan sirup skala besar. Kadang-kadang sirup sederhana atau beberapa sirup bukan obat yang lain, lebih baik daripada sukrosa, digunakan sebagai zat pemanis dan pembawa. Dalam keadaan ini, cairan-cairan lain yang larut dalam sirup atau bercampur dengannya mungkin ditambahkan dan dicampur seksama untuk membentuk produk yang merata. Bila bahan padat akan ditambahakan ke sirup, senyawa umumnya dilarutkan pelan-pelan karena sifat kental sirup tidak memungkinkan senyawa padat tersebar cepat ke seluruh sirup untuk pelarut yang tersedia dan juga karena terbatasnya air yang tersedia dalam sirup pekat.
2.5 Morfin Sulfat Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai trombosis koroner; neoplasma; kolik renal atau kolik empedu; oklusio akut pembuluh daraf perifer, pulmonal atau koroner; perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan; dan nyeri akibat trauma maupun nyeri hebat lainnya seperti kanker (Katzung, B. G., 2002). Morfin sulfat merupakan bentuk garam dari morfin. Gugus OH fenolik bebas pada morfin mencerminkan adanya efek analgesik, hipnotik, depresi napas dan obstipasi. Gugus OH alkoholik bebas merupakan lawan efek gugusan OH fenolik, adanya kedua gugusan OH bebas disertai efek konvulsif dan efek emetik yang tidak begitu kuat (Katzung, B. G., 2002).
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
BAB 3 PENGEMBANGAN FARMASETIKA
3.1. Komponen Produk Obat 3.1.1 Zat Aktif Formula mengandung morfin sulfat merupakan analgetik golongan opiat, efek farmakodinamik yang ditimbulkan morfin terhadap susunan saraf pusat menyebabkan reaksi analgesia, sedasi, euforia, deprsei napas dan efek sentral lain. 3.1.1.1. Aspek Farmakologi Zat Aktif Farmakokinetik (Croom, Curran, Karen, & Caroline, 2004; Charles. L, 2000). - Absorbsi: Morfin terabsorbsi baik dari tempat subkutis dan intramuskular maupun dari permukaan mukosa hidung dan gastrointestinalis. Analgesik opioid
dengan
gugusan
hidroksil
bebas
seperti
morfin
biasanya
dimetablosime oleh konjugasi dengan asam glukuronat. Karena jumlah enzim yang bertanggung jawab bagi reaksi ini bervariasi besar dalam individu berbeda, maka efek dosis oral khusus suatu senyawa yang akan dimetabloisme dengan konjugasi sukar diramalkan. - Distribusi: Ambilan opiat oleh berbagai organ dan jaringan merupakan fungsi faktor fisiologik dan kimia. Walaupun semua analgesik narkotika terikat ke protein plasma dengan berbagai tingkat afinitas setelah absorbsi, senyawa ini cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi dalam konsentrasi tertinggi di dalam jaringan parenkimatosa seperti paru, hati, ginjal, dan limpa. - Metabolisme: Senyawa yang mempunyai gugusan hidroksil bebas mudah dikonjugasi dengan asam glukuronat. orfin cepat dihidrolisis oleh esterase jaringan yang umum. - Eksresi: Metabolit polar opiat terutama dieksresikan ke dalam urin. Sejumlah kecil obat yang tak berubah bisa juga dieksresikan ke dalam urin. 3.1.1.2. Farmakodinamik dan Mekanisme Kerja (Katzung, B. G., 2002) Morfin bergabung secara selektif pada banyak tempat yang telah dikenal di seluruh tubuh untuk menghasilkan efek farmakologi. Lokus otak yang terlibat dalam hantaran nyeri dan dalam perubahan reaktivitas rangsangan nosiseptif (nyeri) terlihat sebagai temoat kerja utama opiat efek analgesik morfin sangat 10
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
11
selektif dan tidak disertai oleh hilangnya fungsi sensorik lain seperti rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan, dan pendengaran; bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selaluhilang setelah pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adalah suatu perubahan reaksi terhadap stimulasi nyeri itu, penderita sering mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi tidak menderita lagi. Efek analgesik morfin timbul berdasarkan 3 faktor antara lain adalah morfin meninggikan ambang rangsang nyeri. Faktor ini berperan penting jika morfin diberikan sebelum terjadinya rangsangan atau stimulasi nyeri; morfin dapat mempengaruhi emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri dari talamus. Setelah pemberian morfin morfin penderita masih tetap merasakan nyeri, tetapi reaksi terhadap nyeri misalnya rasa khawatir, takut, reaksi menarik diri (withdrawal) tidak timbul; morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat.
3.1.1.3.Indikasi (Katzung, B. G., 2002) Morfin diindikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-narkotik. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai trombosis koroner; neoplasma; kolik renal atau kolik empedu; oklusio akut pembuluh daraf perifer, pulmonal atau koroner; perikarditis akut, pleuritis dan pneumotoraks spontan; dan nyeri akibat trauma maupun nyeri hebat lainnya seperti kanker. Sebagai medikasi preanestetik, morfin sebaiknya hanya diberikan pada penderita yang sedang menderita nyeri. Bila tidak ada nyeri dan obat pranastestik hanya dimaksudkan untuk menimbulkan ketenangan atau tidur.
3.1.1.4.Dosis (Katzung, B. G., 2002) Dewasa: - 10 – 20 mg mg tiap 4 jam Anak-anak: -
6 – 12 tahun: 5 – 10 mg tiap 4 jam
-
1 – 5 tahun : 5 mg tiap 4 jam
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
12
3.1.1.5.Efek Samping (Katzung, B. G., 2002) Efek samping yang paling sering terjadi adalah konstipasi, nausea dan muntah, kemerahan, retensi urin, sedasi, depresi sirkulasi dan respiratori, dan miosis.
3.1.1.6.Perhatian dan Kontraindikasi (Katzung, B. G., 2002) Hindari penggunaan opioid pada pasien yang diketahui memiliki reaksi hipersensitivitas, depresi saluran pernafasan, alkoholik atau luka pada kepala. Penggunaan opioid harus hati-hati terhadap penderita asma akut, Penyakit Paru Obstruksi Akut (PPOK) atau gagal pernafasan, riwayat ketergantungan obat, dan pada pasien dengan tekanan intrakranial yang tinggi, kolik bilier atau pankreatitis (dapat menyebabkan spasme otot bilier dan sphincter).
3.1.1.7.Interaksi (Katzung, B. G., 2002) Efek depresi SSP dapat diparah dan diperpanjang oleh fenotiazin, penghambat monoamin oksidase dan antidepresi trisiklik. Mekanisme supraaditif in tidak diketahui dengan tepat, mungkin menyangkut prubahan dalam kecepatan biotransformasi opioid atau perubahan pada neurotransmitter yang berperan dalam kerja opioid yang diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu.
3.1.2.
Eksipien
3.1.2.1. Gliserin Gliserin mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 101,0% C3H8O3. Gliserin berupa cairan jernih seperti sirup, tidak berwarna, rasa manis, bersifat higroskopis dan netral terhadap lakmus. Kelarutan gliserin dapat bercampur dengan air dan dengan etanol, tidak larut dalam klorofom, dalam eter, dalam minyak lemak dan dalam minyak menguap (Departemen Kesehatan RI, 1995). Gliserin merupakan suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas tiga atom karbon yang mempunyai gugus –OH. Gliserin harus disimpan dalam eadah yang tertutup rapat dan terhindar dari cahaya, karena sifat gliserin yang higroskopis sehingga
menyebabkan
mudahnya
terjadi
proses
hidrolisis
yang
dapat
menghasilkan asam lemak bebas dan dapat menjadi media tumbuhnya
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
13
mikroorganisme. Di samping itu dapat pula terjadi proses oksidasi terhadap asam lemak tidak jenuh yang hasilnya akan menambah bau dan rasa yang tidak enak. Oksidasi asam lemak tidak jenuh akan menghasilkan peroksida dan selanjutnya akan terbentuk aldehida. Inilah yang menyebabkan terjadinya bau dan rasa yang tidak enak atau tengik.
3.1.2.2.Sucrose Syrup Sukrosa merupakan gula yang diperoleh dari Saccahrum officinarum Linne (Familia Gramineae), Beta vulgaris Linne (Familia Chenopodiaceae) dan sumbersumber lain. Tidak mengandung bahan tambahan. Kelarutannya sangat mudah larut dalam air; lebih mudah larut dalam air mendidih; sukar larut dalam etanol; tidak larut dalam kloroform dan dalam eter (Departemen Kesehatan RI, 1995). Sukrosa merupakan gula yang paling sering digunakan dalam sediaan sirup, meskipun dalam keadaan khusus, dapat diganti secara keseluruhan atau sebagian oleh gula lain atau zat-zat seperti sorbitol, gliserin, dan propilen glikol (Mc Donald, M., 1984). Sirup dengan viskositas yang tepat, bersama dengan tambahan pemanis dan perasa, menghasilkan sediaan farmasi yang dapat menutupi rasa bahan aktif yang tidak enak. Kebanyakan sirup mengandung proporsi sukrosa yang tinggi, biasanya 60% sampai 80%, bukan hanya karena rasa manis yang diinginkan dan kekentalan larutan saja, tetapi juga karena stabilitas sediaan yang pekat berbeda dengan larutan sukrosa yang encer. Larutan gula sukrosa yang encer merupakan media nutrien yang efisien untuk pertumbuhan mikroorganisme, khususnya ragi dan jamur. Di sisi lain, larutan gula terkonsentrasi cukup (pekat) tahan terhadap pertumbuhan mikroba karena tidak tersedianya air yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme (Mc Donald, M., 1984).
3.1.2.3.Natrium Benzoat Natrium benzoat mengandung tidak kurang dari 99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C7H5NaO2, dihitung terhadap zat anhidrat. Natrium benzoat berupa serbuk hablur, putih; tidak berbau atau praktis tidak berbau; stabil di udara. Kelarutan
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
14
natrium benzoat mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, dan lebih mudah larut dalam etanol 90% (Departemen Kesehatan RI, 1995). Natrium benzoat efektif menghambat khamir dan bakteri dan mampu mempertahankan keasaman (Hughes, 1987). Mekanisme kerja natrium benzoat sebagai pengawet adalah berdasarkan permebilitas membran sel mikroba terhadap molekul-molekul asam benzoat. Molekul asam benzoat tersebut dapat mencapai sel mikroba yang membran selnya mempunyai sifat permeabel terhadap molekulmolekul asam benzoat yang tidak terdisosiasi. Sel mikroba yang mempunyai pH cairan sel netral akan dimasuki molekul-molekul asam benzoat, maka molekul asam benzoat akan terdisosiasi dan menghasilkan ion-ion H+. Akhirnya metabolisme sel akan terganggu dan akhirnya sel mati (Winarno & Laksmi, 1974). Jika mikroba tumbuh dalam sediaan maka mikroba dapat menyebabkan berbagai perubahan. Pada penampakan fisik, maupun secara kimia. Perubahan yang dapat dilihat dari luar misalnya perubahan warna, pembentukan film atau lapisan pada permukaan, pembentukan lendir, terbentuk endapan, kekeruhan, pembentukan gas, asam, ataupun perubahan lainnya (Fardiaz, 1992). Asam benzoat dan garamgaramnya serta turunannya adalah suatu kelompok zat pengawet kimia yang sudah digunakan secara luas dalam pengawetan makanan maupun sediaan obat (Fardiaz, 1992)..
3.1.2.4.Asam Sitrat Asam sitrat berbentuk anhidrat atau mengandung satu molekul air hidrat. Mengandung tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari 100,5% C 6H8O7, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemeriannya berupa hablur bening tidak berwarna, atau serbuk hablur granul sampai halus, putih; tidak berbau atau praktis tidak berbau, rasa sangat asam. Bentuk hidrat mekar dalam udara kering. Kelarutannya sangat mudah larut dalam air; mudah larut dalam etanol; agak sukar larut dalam eter (Departemen Kesehatan RI, 1995).
3.1.2.5.Natrium Sitrat Natrium sitrat berbentuk anhidrat atau mengandung dua molekul air, berbentuk hidrat, mengandung tidakkurang dari 99,0% dan tidak leih dari 100,5%
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
15
C6H5Na3O7, dihitung terhadap zat anhidrat. Pemeriannya berupa hablur tidak berwarna atau serbuk hablur, putih. Kelarutan dalam bentuk hidrat mudah larut dalam air; sangat mudah larut dalam air mendidih; tidak larut dalam etanol (Departemen Kesehatan RI, 1995).
3.1.2.6.Aquadest Aquadestilata atau air suling digunakan sebagai pelarut.
3.2.
Produk Obat
3.2.1. Pengembangan Formula Dalam pembuatan produk morfin sulfat dalam sediaan sirup, dipilih bahan tambahannya antara lain: sucrose syrup sebagai pemanis dan pelarut, gliserin sebagai humektan dan anti cap-locking agent, natrium benzoat sebagai antimikroba, buffer sitrat sebagai pendapar digunakan asam sitrat dan natrium sitrat untuk menjaga pH sediaan yang diinginkan yaitu pH 3,5 – 4,5 dan aquadest sebagai pelarut. Pada formulasi larutan ini, gliserin digunakan sebagai humektan. Gliserin memiliki kelebihan yaitu dapat memberikan rasa manis serta juga mempunyai sifat pengawet (antimikroba) apabila digunakan konsentrasi < 20%. Gliserin pada penggunaan sirup juga dapat berfungsi sebagai anti cap-locking. Konsentrasi yang dipilih adalah 10%, konsentrasi ini dianggap cukup efektif untuk mewaili berbagai sifat dan fungsi yang dimiliki oleh gliserin. Gliserin merupakan bahan yang bersifat higroskopis, sehingga penyimpanannya perlu disimpan dalam wadah kedap udara. Sucrose syrup biasa digunakan sebagai pembawa oral sirup dan dapat memberikan rasa manis untuk menutupi rasa pahit dari zat aktif. Stabilitas sucrose syrup mudah terurai dengan adanya udara dari luar. Natrium benzoat merupakan antimikroba yang berfungsi sebagai pengawet pada sediaan, memiliki aktivitas bakteriostatik dan antifungi. Aktivitas optimumnya pada pH 2-5. Natrium benzoat juga dianggap cukup efektif dalam pH asam dimana molekul tidak mengalami ionisasi dan baik untuk mencegah pertumbuhan mikroba.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
16
Asam sitrat merupakan agen pembuffer, pengkhelat, antioksidan, dan pemberi rasa. Asam sitrat dan garamnya berupa natrium sitrat digunakan sebagai larutan buffer dalam sedian sirup morfin untuk menjaga pH sediaan yang diinginkan yaitu pH 3,5 – 4,5 dan sesuai untuk pH aktif Na Benzoat (pH 2-5). Stabilitas asam sitrat harus tersimpan dalam wadah yang tertutup rapat, sejuk dan kering. Natrium sitrat merupakan agen pendapar, digunakan sebagai pendapar pH 3,5 – 4,5 pada penggunaan bersama dengan asam sitrat, sesuai untuk pH aktif Natrium benzoat (pH 2 – 5). Stabilitas natrium sitrat harus tersimpan dalam wadah yang tertutup rapat, sejuk dan kering. Aquadestilata atau air suling digunakan sebagai pelarut.
Formula untuk 1 botol, banyaknya volume per botol 30 ml. Tabel 3.1 Formulasi untuk 1 sediaan sirup No.
Nama Bahan
Fungsi
1
Morfin Sulfat (10 mg/ 5ml)
Zat Aktif
2
Sucrose Syrup
3
Gliserin
4
Natrium Benzoat
5
Buffer Sitrat (pH 3,5 – 4,5)
Jumlah Bahan (%) F1
F2
F3
60 mg
60 mg
60 mg
20
30
40
Humektan
10
10
10
Antimikroba
0,1
0,1
0,1
Pendapar
5
5
5
Pembawa, Pemanis
6
-
Asam Sitrat
Pendapar
0,0428 0,0428 0,0428
7
-
Natrium Sitrat
Pendapar
4,9572 4,9572 4,9572
8
Aquadest
9
Pelarut
64,9
59,9
54,9
Total
100
100
100
10 Adjust pH
4
4
4
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
17
3.2.2. Sifat Fisika Kimia dam Mikrobiologi 3.2.3.1 Zat Aktif (Departemen Kesehatan, 1995)
(Sumber : British Pharmacopoeia, 2009) Gambar 3.1 Struktur kimia Morfin Sulfat
Morfin Sulfat mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0% (C17H19NO3)2.H2SO4.5H2O, dihitung terhadap zat anhidrat. Nama Kimia
: 7,8-Dehidro-4,5α
Rumus Molekul
: (C17H19NO3)2.H2SO4.5H2O
Bobot Molekul
: 758,83
Pemerian
: serbuk hablur atau hablur halus, bentuk kubik, putih; tidak berbau; di udara secara bertahap akan kehilangan air hidrat; menjadi gelap jika lama terpapar cahaya.
Kelarutan
:Larut dalam air; mudah larut dalam air panas; sedikit larut dalam etanol, tetapi labih banyak dalam etanol panas, tidak larut dalam kloroform dan dalam eter.
Identifikasi
:
A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan pada suhu 145 o selama 1 jam dan didispersikan dalam kalium bromida, menunjukkan maksimum hanya pada panjang gelombang yang sama seperti pada Morfin Sulfat BPFI. B. Pada 1 mg zat dalam krus porselen atau cawan kecil, tambahkan 0,5 ml asam sulfat P yang tiap ml mengandung 1 tetes formaldehida LP: segera terbentuk warna ungu dan segera berubah menjadi biru tua lembayung (perbedaan dengan kodein yang segera membentuk warna lembayung biru, dan
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
18
hidromorfon yang mula0mula memberikan warna kuning hingga coklat berubah menjadi merah muda dan kemudian merah keunguan). C. Ke dalam larutan 5 mg zat dalam 5 ml asam sulfat P dalam tabung raksi tambahkan 1 tetes besi (III) klorida LP, campur dan panaskan dalam air mendidih selama 2 menit: terjadi warna biru, bila ditambahkan 1 tetes asam nitrat P, warna segera berubah menjadi merah coklat gelap (kodein dan etil morfin memberikan reaksi warna yang sama, tetapi hidromorfon dan papaverin tidak memberikan perubahan warna) D. Larutan (1 dalam 50) menunjukkan reaksi sulfat (FI IV; 924). i.
Tambahkan barium klorida LP ke dalam larutan terbentuk endapan putih, yang tidak larut dalam asam klorida P dan asam nitrat P.
ii.
Tambahkan timbal(II) asetat LP: terbentuk endapan putih yang larut dalam ammonium asetat LP.
iii.
Tambahkan asam klorida P ke dalam larutan; tidak terbentuk endapan (perbedaan dari tiosulfat)
iv.
Tambahkan 0,1 ml iodium-kalium iodida LP ke dalam suspensi yang didapat dari reaksi A: suspensi tetap kuning (perbedaan dari sulfit dan ditionit), tetapi dengan penambahan timah(II) klorida LP tetes demi tetes: warna suspensi hilang (perbedaan dari iodat). Didihkan campuran; tidak terbentuk endapan berwarna (perbedaan dari selenat dan tungstat).
Kadar air
: 10,4% - 13,4%
Penetapan Kadar
:.
Larutan A Fase gerak Larutkan 730 mg natrium 1-heptansulfonat P dalam 720 ml air, tambahkan 280 ml metanol P dalam 10 ml asam asetat glasial P, saring dan awaudarakan. Larutan Kesesuaian Sistem Larutkan sejumlah Morfin Sulfat BPFI dan fenol P dalam fase gerak hingga diperoleh larutan dengan kadar masing-masing lebih kurang 0,24 mg dan 0,15 mg per ml.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
19
Larutan Baku Timbang saksama sejumlah Morfin Sulfat BPFI larutkan dalam fase gerak dan jika perlu encerkan secara bertahap dan kuantitatif dengan fase gerak hingga diperoleh larutan dengan kadar lebih kurang 0,24 mg per ml. Buat larutan segar tiap hari. Larutan Uji Timbang saksama lebih kurang 24 mg larutkan dengan fase gerak dalam labu tentukur 100 ml, encerkan dengan fase gerak sampai tanda. Sistem Kromatografi Detektor
: UV 284 nm
Kolom
: L1, 4,8 mm x 30 cm
Laju alir
: 1,5 ml/menit
Volume injeksi : 25 µL Kesesuaian Sistem Sampel: Larutan kesesuaian sistem dan larutan baku Persyaratan Kesesuaian Faktor ikutan untuk morfin sulfat tidak lebih dari 2,0. Waktu retensi relatif fenol dan morfin sulfat masing-masing adalah lebih kurang 0,7 dan 1,0 Resolusi
: Tidak kurang dari 2,0 antara puncak fenol dan puncak morfin sulfat.
Standar deviasi relatif (RSD)
: Tidak lebih dari 2,0%, larutan baku.
Analisis Kriteria penerimaan :
98,0% - 102,0%.
3.2.3.2. Sifat Fisika Kimia Bahan Tambahan (Rowe, R. C., Sheskey, P. J., dan Quinn, M. E. (Ed.), 2009; Departemen Kesehatan RI, 1995) a. Gliserin
Gambar 3.2 Rumus Bangun gliserin Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
20
Rumus Molekul : C3H8O3 Berat molekul
: 92,09
Sinonim
: gliserol, glycerolin, propana 1,2,3 triol
Pemerian
: Cairan, jernih, tidak berbau dan manis (0,6 kali sukrosa) diikuti rasa hangat
Kelarutan
: Larut dalam air, metanol, dan etanol 95% dan propilenglikol, agak larut dalam aseton, praktis tidak larut dalam kloroform, benzen dan campuran minyak.
Titik leleh
: 290°C
Konsentrasi
: Humektan ≤ 30% Sweetening agent < 20% Anti mikroba < 20%
Kegunaan
: Sebagai antimikroba preservatif, emolien, humektan dan memberi rasa manis.
Stabilitas
: Gliserin bersifat higroskopis, sehingga di simpan dalam wadah kedap udara, jika di simpan dalam temperatur rendah gliserin mungkin akan menjadi kristal. Kristalnya tidak akan melebur sampai temperatur diatas 200C
b. Sucrose Syrup Pemerian
: Cairan jernih, hablur, massa hablur berbentuk kubus, manis dan tidak berbau
Kelarutan
: Larut dalam air, mudah larut dalam air mendidih, sukar larut.dalam etanol, tidak larut dalam kloroform dan eter
Titik leleh
: 186°C
Konsentrasi
: Sweetening agent dan pembawa sirup 20 – 60 %
Kegunaan
: Sebagai pembawa sirup, memberi rasa manis.
Stabilitas
: Lebih mudah terurai dengan adanya udara dari luar.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
21
c. Natrium Benzoat
Gambar 3.3. Rumus bangun natrium benzoat
Rumus Molekul
: C7H5NaO2
BM
: 144,11
Sinonim
: Sodium benzoate
Pemerian
:
Butiran atau serbuk hablur berwarna putih, tidak berasa dan tidak berbau atau hampir tidak berbau.
Kelarutan
: 1:1,8 (air), 1:50 (etanol)
Aktivitas
: Natrium benzoat memiliki aktivitas bakteriostatik
antimikroba
dan antifungi. Aktivitas optimumnya pada pH 2-5.
pH
: pH 8.0 (larutan jenuh pada 25○C).
Konsentrasi
: Sebagai pengawet antimikroba dengan konsentrasi 0,02-0,5% b/v.
Kegunaan
: Sebagai pengawet antimikroba dengan konsentrasi 0,02-0,5% b/v, aktivitas antimikroba bekerja pada pH 2-5.
Stabilitas
: Larutan encer mungkin steril dengan penggunaan autoklaf dan filtrasi, harus disimpan dalam botol tertutup rapat, dalam tempat yang sejuk dan tempat yang kering.
d. Buffer Sitrat Buffer sitrat yang digunakan terdiri dari asam sitrat dan garamnya yaitu natrium sitrat. Apabila pH sediaan yang ingin dipertahankan adalah 4, maka perbandingan
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
22
konsentrasi asam sitrat dan garamnya yang dibutuhkan untuk membuat buffer sitrat adalah:
4 = 3,18 + = 0,82 = 6,61 ~ 7 Maka perbandingan konsentrasi Natrium sitrat dan asam sitrat yang dibutuhkan adalah 7:1.
Perhitungan Massa Asam Sitrat dan Natrium Sitrat
Maka, perbandingan massa natrium sitrat dan asam sitrat yang diperlukan dalam sirup morfin sulfat adalah 6:1. Massa Na sitrat dan asam sitrat yang digunakan:
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
23
Asam Sitrat
Gambar 3.4. Rumus bangun asam sitrat monohidrat
Rumus Molekul
: C10H14N2Na2O8
Berat molekul
: 210,14
Sinonim
: Acidum
citricum
monohydricum;
E330;
hydroxypropane-1,2,3-tricarboxylic
2acid
monohydrate. Pemerian
: Serbuk kristalin berwarna putih atau tidak berwarna, tidak berbau, rasanya sangat asam.
Kelarutan
: Sangat mudah larut dalam air ( 1 : kurang dari 1) dan larut dalam etanol.
Konsentrasi
: Agen pembuffer 0,1–2,0%
pH
: pH = 2.2 (1% b/v)
Kegunaan
: Agen pembuffer, agen pengkelat, antioksidan, pemberi rasa.
Stabilitas
: Sebaiknya disimpan dalam wadah yang tertutup rapat, sejuk dan kering.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
24
Natrium Sitrat
Gambar 3.5. Rumus bangun Na Sitrat Dihidrat
Rumus Molekul
: C10H14N2Na2O8
Berat molekul
: 294,10
Sinonim
: Trisodium 2 – hydroxypropane - 1, 2, 3 tricarboxylate dehydrate.
Pemerian
: Serbuk kristalin tidak berwarna, tidak berbau, rasanya agak asin dan dingin.
Kelarutan
: Mudah larut dalam air (1:1,5) dan dalam air panas (1:0,6) serta praktis tidak larut dalam etanol.
Konsentrasi
: Agen pembuffer 0,3–2,0%
pH
: pH = 7,0–9,0 (5% b/v)
Kegunaan
: Agen pembuffer
Stabilitas
: Sebaiknya disimpan dalam wadah yang tertutup rapat, sejuk dan kering.
e. Aquadest Pemerian
: Cairan jernih, tidak berwarna dan tidak berbau
pH
: Antara 5,0 – 7,0
Fungsi
: Pelarut zat aktif dan zat tambahan.
3.3. Pengembangan Proses Produksi Cara pembuatan dari larutan sirup Morfin Sulfat adalah sebagai berikut: a. Siapkan bahan-bahan dan peralatan yang dibutuhkan. Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
25
b. Buat buffer sitrat dengan melarutkan masing-masing asam sitrat dan Natrium sitrat secara terpisah ke dalam aquadest, kemudian keduanya dicampur. Natrium benzoat dilarutkan dalam buffer ini, lalu diadkan 10 ml aquadest. c. Ke dalam beaker glass tersebut masukkan gliserin dan Sucrose Syrup. Aduk isi beaker glass hingga homogen d. Masukkan Morfin sulfat ke dalam beaker glass, aduk homogen e. Cek pH sediaan (pH =3,5 – 4,5) f. Apabila diluar rentang yang telah disyaratkan sesuaikan pH dengan larutan natrium sitrat 10%. g. Tambahkan sisa aquadest ke dalam beaker glass sampai volume batas. Aduk hingga homogen h. Ambil sampel dari larutan tersebut untuk dilakukan pengujian sesuai dengan prosedur i. Jika sudah memenuhi syarat, sediaan sirup siap dimasukkan ke dalam wadah dan dikemas
3.4. Sistem Penutupan Wadah Sediaan sirup Morfin sulfat dalam kemasannya harus dilindungi dari cahaya. Wadah yang digunakan merupakan botol gelas coklat tipe NP yang digunakan untuk larutan oral. Wadah yang digunakan dengan tujuan untuk melindungi dari cahaya atau wadah tidak tembus cahaya, memenuhi persyaratan transmisi cahaya, perlindungan atau daya tahan wadah terhadap cahaya dihubungkan dengan sifat khas komposisi bahan wadah, termasuk pelapis yang digunakan. Wadah yang dibuat dari bahan kaca memenuhi persyaratan wadah kaca-tahan bahan kimia.
3.5. Kompabilitas 3.5.1. Gliserin Eksipien gliserin dapat meledak jika dicampur dengan oksidator yang kuat seperti kalium permanganat, kalium klorat.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
26
3.5.2. Sucrose syrup Sucrose syrup inkompatibel apabila di campur dengan oksidator kuat seperti kalium permanganat, kalium klorat, dapat meledak.
3.5.3. Natrium Benzoat Natrium benzoat inkompatibel dengan senyawa kuaterner, gelatin, garam besi, garam kalsium, dan dari garam logam berat, termasuk perak, timah danmerkuri. Aktivitas natrium benzoat dapat mengurangi interaksi kaolin atau surfaktan nonionik.
3.5.4. Buffer Sitrat 3.5.4.1.Asam Sitrat Inkompatibel dengan kalium tartrat, alkali, asetat dan sulfida. Juga inkompatibel dengan agen pengoksidasi, basa, reduktor dan nitrat. Akan meledak jika dikombinasikan dengan logam nitrat.
3.5.4.2.Natrium Sitrat Eksipien natrium sitrat inkompatibel terhadap agen pengoksidasi dan pereduksi.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
BAB 4 EVALUASI SEDIAAN
4.1. Evaluasi Fisik Sediaan Morfin Sulfat dalam Sirup 4.1.1. Organoleptik Penampilan keseluruhan dari produk cair penting bagi penerimaan konsumen. Pengamatan ini mengenai uji kejernihan, warna, rasa, dan bau apakah sudah sesuai dengan spesifikasi. Pemilihan warna biasanya dibuat konsisten dengan rasa, misalnya hijau atau biru untuk rasa permen, merah untuk rasa strawberry. Warna dapat segera diukur dengan spektrofotometri dan serapan pada panjang gelombang yang sesuai, sehingga dapat dibandingkan dengan standar, untuk menentukan tingkat perubahan warna. Kejernihan dapat ditentukan dengan menyinari larutan langsung dengan cahaya. Adanya partikel yang tidak larut akan menyebarkan sinar dan kondisi ini menyebabkan larutan seperti berkabut. Dengan alat light scatter dapat digunakan untuk penilaian secara kuantitatif dengan metode turbiditi. Tahap pemurnian yang tidak berubah dibutuhkan untuk mencapai kejernihan maksimum. Partikel-partikel kecil mungkin masuk melalui serat-serat dari pelarut, atau sedikit kontaminan yang tidak larut dalam satu atau lebih komponen formulasi. Sebagai contoh sangat umum, bila larutan-larutan pemberi rasa alami dalam alkohol mengendapkan pektin dan resin pada penambahan kelarutan air bulk. Hilangnya ini dan bendabenda asing lain dikenal sebagai polishing, dan secara teknik bisa diatasi dengan berbagai cara : 1. Dengan mendiamkan atau mengendapkan dan selanjutnya mendekantasi. 2. Dengan sentrifugasi 3. Dengan penyaringan. Penyaringan adalah satu-satunya metode praktis bila volume cairan besar. Pengkajian harus dilakukan sebelum dan sesudah penyaringan. Untuk menentukan besarnya, jika ada, zat aktif, pengawet, pemberi rasa, pemberi warna, serta komponen produk penting lainnnya yang diabsorpsi. Kondisi produksi harus disimulasi sedekat mungkin, khususnya diperhatikan laju penyaringan dan rasio luas permukaan cairan ke penyaring. 27
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
28
Absorpsi yang diamati dalam penyaringan batch kecil dimana rasio permukaan absorptif ke volume cairan adalah besar, mungkin menyesatkan. Dibawah kondisi-kondisi produksi, bila rasio permukaan absorptif ke volume cairan adalah kecil, efek ini mungkin tidak bermakna. Jika absorpsi merupakan suatu masalah yang berarti dan penyaring non absorptif tidak diperoleh, suatu proses penyaringan yang memuaskan mungkin membutuhkan penggunaan dari kelebihan yang tepat atau praekuilibrasi dari medium-medium penyaring dengan komponen-komponen pemformulasi yang diabsorpsi. Hasil yang diharapkan sirup morfin sulfat berwarna jernih, dan memilki rasa manis.
4.1.2. Penetapan pH <1071> (FI IV, hal 1039) pH meter dikalibrasi menggunakan buffer standar. Ukur pH cairan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi. Pemeriksaan pH sediaan menggunakan pH-meter yang telah distandarisasi. Cara pelaksanaannya, yaitu : elektroda dicuci dengan air suling dan dikeringkan, elektroda dimasukkan ke dalam larutan pH standar 7,0 sampai pH konstan, elektroda dicuci lagi dengan air suling dan dikeringkan, elektroda dimasukkan ke dalam larutan pH standar 4,0 sampai pH konstan, elektroda dicuci kembali dengan air suling dan dikeringkan, sediaan sebanyak 50 ml dimasukkan dalam beaker glass, elektroda pH dicelupkan dalam sediaan sirup dan diamati pH-nya. Hasil yang diharapkan pH dari sirup morfin sulfat adalah 3,5 – 4,5.
Gambar 4.1 pH meter 4.1.3. Penetapan bobot jenis (FI IV hal 1030 )<981> Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, penetapan bobot jenis digunakan hanya untuk cairan, dan kecuali dinyatakan lain, didasarkan pada perbandingan bobot zat di udara pada suhu 25°C terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Bila suhu ditetapkan dalam monografi, bobot jenis Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
29
adalah perbandingan bobot zat di udara pada volume dan suhu yang sama. Bila pada suhu 25°C zat berbentuk padat, tetapkan bobot jenis pada suhu yang tertera pada masing-masing monografi, dan mengacu pada air pada suhu 25°C. Prosedur:
Gunakan piknometer bersih, kering, (dicuci terlebih dahulu dengan larutan
sulfokromik dan bilas dengan etanol lalu aseton) dan telah dikalibrasi dengan menetapkan bobot piknometer dan bobot air yang baru didihkan, pada suhu 25°C.
Atur hingga suhu zat uji lebih kurang 20°C, masukkan ke dalam
piknometer. Atur suhu piknometer yang telah diisi hingga suhu 25°C, buang kelebihan zat uji dan timbang.
Kurangkan bobot piknometer kosong dari bobot piknometer yang telah
diisi.
Bobot jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot
zat dengan bobot air, dalam piknometer. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi, keduanya ditetapkan pada suhu 25°C. BJ =
W2 W0 W1 W0
dimana, W0 = bobot piknometer kosong W1 = bobot piknometer yang diisi air W2 = bobot piknometer yang diisi sediaan
4.1.4 Viskositas (Farmasi Fisika, hal 1100-1101) Sediaan larutan termasuk dalam jenis cairan newton, karena itu viskositasnya hanya dipengaruhi shearing stress (F) dan rate of share (R). Sehingga untuk menguji viskositas dari sediaan ini dapat digunakan alat viskometer bola jatuh.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
30
Gambar 4.2 Alat viscometer Hoepler (viscometer bola jatuh)
Prosedur : 1. Isi tabung dengan cairan yang akan diukur viskositasnya (jangan sampai penuh) 2. Masukkan bola yang sesuai 3. Tambahkan cairan sampai penuh dan tabung ditutup (jangan sampai ada gelembung udara) 4. Pengukuran dilakukan dengan menghitung waktu yang dibutuhkan oleh bola untuk menempuh jarak tertentu melalui cairan tabung 5. Hitung bobot jenis cairan dengan menggunakan piknometer 6. Viskositas cairan dihitung dengan rumus : η = B ( ρ 1 – ρ2 ) t Keterangan : η = viskositas cairan ρ1 = bobot jenis bola ρ2 = bobot jenis cairan B = konstanta bola t = waktu yang dibutuhkan bola untuk menempuh jarak tertentu
4.1.5 Volume Terpindahkan <1261> (FI IV, hal 1089) Uji berikut dirancang sebagai jaminan bahwa larutan oral yang dikemas dalam wadah dengan volume yang tertera dalam etiket tidak lebih dari 250 mL, yang tersedia dalam bentuk sediaan cair, jika dipindahkan dari wadah asli, akan memberikan volume sediaan seperti yang tertera pada etiket.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
31
Untuk penetapan volume terpindahkan, pilih tidak kurang dari 30 wadah, kocok isi wadah satu persatu, dan selanjutnya ikuti prosedur berikut: 1. Tuang isi perlahan-lahan dari tiap wadah ke dalam gelas ukur kering terpisah dengan kapasitas gelas ukur tidak lebih dari dua setengah kali volume yang diukur dan dikalibrasi secara hati-hati untuk menghindarkan pembentukan gelembung udara pada waktu penuangan dari tiap wadah ke dalam gelas ukur kering terpisah. 2. Diamkan selama tidak lebih dari 30 menit. 3. Jika telah bebas gelembung udara, ukur volume dari tiap campuran: volume rata-rata sediaan yang diperoleh dari 10 wadah tidak kurang dari 100% dan tidak satupun volume wadah yang kurang dari 95% dari volume yang dinyatakan pada etiket. Kriteria Keberterimaan :
Volume rata-rata larutan, suspensi atau sirup yang diperoleh dari 10 wadah tidak kurang dari 100% dan tidak satupun volume wadah yang kurang dari 95% dari volume yang dinyatakan pada etiket.
Jika A adalah volume rata-rata kurang dari 100% dari yang tertera pada etiket akan tetapi tidak ada satupun wadah volumenya kurang dari 95%, tetapi tidak kurang dari 90% dari volume yang tertera pada etiket, lakukan pengujian terhadap 20 wadah tambahan.
Volume rata-rata larutan, suspensi, atau sirup yang diperoleh dari 30 wadah tidak kurang dari 100% dari volume yang tertera pada etiket, dan tidak lebih dari 30 wadah volume kurang dari 95%, tetapi tidak kurang dari 90% seperti yang tertera pada etiket. Hasil yang diharapkan adalah sebagai jaminan bahwa larutan yang
dikemas, jika dipindahkan dari wadah asli, akan memberikan volume seperti yang tertera pada etiket.
4.1.6 Homogenitas Homogenitas dapat ditentukan berdasarkan jumlah partikel maupun distribusi ukuran partikelnya dengan pengambilan sampel pada berbagai tempat (ditentukan menggunakan mikroskop untuk hasil yang lebih akurat. Jika sulit Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
32
dilakukan atau membutuhkan waktu yang lama, homogenitas dapat dilakukan secara visual. Prosedur: 1. Pengambilan sampel dilakukan pada bagian atas, tengah dan bawah. 2. Sampel diteteskan pada kaca objek kemudian diratakan dengan kaca objek lain sehingga terbentuk lapisan tipis. 3. Partikel diamati secara visual
4.2 Evaluasi Kimia Morfin Sulfat 4.2.1 Identifikasi A. Spektrum serapan inframerah zat yang telah dikeringkan pada suhu 145 o selama 1 jam dan didispersikan dalam kalium bromida, menunjukkan maksimum hanya pada panjang gelombang yang sama seperti pada Morfin Sulfat BPFI. B. Pada 1 mg zat dalam krus porselen atau cawan kecil, tambahkan 0,5 ml asam sulfat P yang tiap ml mengandung 1 tetes formaldehida LP: segera terbentuk warna ungu dan segera berubah menjadi biru tua lembayung (perbedaan dengan kodein yang segera membentuk warna lembayung biru, dan hidromorfon yang mula0mula memberikan warna kuning hingga coklat berubah menjadi merah muda dan kemudian merah keunguan). C. Ke dalam larutan 5 mg zat dalam 5 ml asam sulfat P dalam tabung raksi tambahkan 1 tetes besi (III) klorida LP, campur dan panaskan dalam air mendidih selama 2 menit: terjadi warna biru, bila ditambahkan 1 tetes asam nitrat P, warna segera berubah menjadi merah coklat gelap (kodein dan etil morfin memberikan reaksi warna yang sama, tetapi hidromorfon dan papaverin tidak memberikan perubahan warna) D. Larutan (1 dalam 50) menunjukkan reaksi sulfat (FI IV; 924). a. Tambahkan barium klorida LP ke dalam larutan terbentuk endapan putih, yang tidak larut dalam asam klorida P dan asam nitrat P. b. Tambahkan timbal(II) asetat LP: terbentuk endapan putih yang larut dalam ammonium asetat LP.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
33
c. Tambahkan asam klorida P ke dalam larutan; tidak terbentuk endapan (perbedaan dari tiosulfat) Tambahkan 0,1 ml iodium-kalium iodida LP ke dalam suspensi yang didapat dari reaksi A: suspensi tetap kuning (perbedaan dari sulfit dan ditionit), tetapi dengan penambahan timah(II) klorida LP tetes demi tetes: warna suspensi hilang (perbedaan dari iodat). Didihkan campuran; tidak terbentuk endapan
4.2.2 Penetapan Kadar Penetapan kadar dilakukan dengan cara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Larutan A Fase gerak Larutkan 730 mg natrium 1-heptansulfonat P dalam 720 ml air, tambahkan 280 ml metanol P dalam 10 ml asam asetat glasial P, saring dan awaudarakan. Larutan Kesesuaian Sistem Larutkan sejumlah Morfin Sulfat BPFI dan fenol P dalam fase gerak hingga diperoleh larutan dengan kadar masing-masing lebih kurang 0,24 mg dan 0,15 mg per ml. Larutan Baku Timbang saksama sejumlah Morfin Sulfat BPFI larutkan dalam fase gerak dan jika perlu encerkan secara bertahap dan kuantitatif dengan fase gerak hingga diperoleh larutan dengan kadar lebih kurang 0,24 mg per ml. Buat larutan segar tiap hari. Larutan Uji Timbang saksama lebih kurang 24 mg larutkan dengan fase gerak dalam labu tentukur 100 ml, encerkan dengan fase gerak sampai tanda.
Sistem Kromatografi Detektor
: UV 284 nm
Kolom
: L1, 4,8 mm x 30 cm
Laju alir
: 1,5 ml/menit
Volume injeksi : 25 µL
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
34
Kesesuaian Sistem Sampel: Larutan kesesuaian sistem dan larutan baku Persyaratan Kesesuaian Faktor ikutan untuk morfin sulfat tidak lebih dari 2,0. Waktu retensi relatif fenol dan morfin sulfat masing-masing adalah lebih kurang 0,7 dan 1,0 Resolusi
: Tidak kurang dari 2,0 antara puncak fenol dan puncak morfin sulfat.
Standar deviasi relatif (RSD)
: Tidak lebih dari 2,0%, larutan baku.
Kriteria penerimaan
: 98,0% - 102,0%.
4.3 Evaluasi Biologi Morfin Sulfat Evaluasi biologi meliputi uji batas mikroba dan uji efektivitas pengawet antimikroba. Uji batas mikroba dilakukan untuk memperkirakan jumlah mikroba viable dalam sediaan jadi dan untuk menyatakan sediaan tersebut bebas dari spesies mikroba tertentu, sedangkan uji efektivitas pengawet antimikroba untuk mengetahui efektivitas penggunaan asam benzoat sebagai antimikroba pada sediaan ini dalam menghambat pertumbuhan mikroba dan efek toksik yang mungkin disebabkan terhadap konsumen.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Nyeri sebagai pengalaman yang tak menyenangkan pada penderita kanker, maka dalam penanggulangannya dicapai dengan merubah pengalaman penderita sendiri. Nyeri kronik yang dialami oleh pasien kanker dianggap dapat menganggu kualitas hidup dan kemampuan menjalani terapi. Salah satu penanggulangan nyeri kanker adalah dengan pemberian analgesik, baik golongan opioid maupun nonopioid. WHO merekomendasikan morfin dalam meredakan atau menghilangkan nyeri sedang hingga nyeri hebat terutama pada penderita kanker (WHO, 1986). Senyawa morfin yang memiliki gugus fenolik pada posisi 3 mudah terdegradasi melalui reaksi oksidasi. Maka pH larutan merupakan faktor penting yang mempengaruhi stabilitas morfin, dimana morfin stabil pada pH asam (Yeh, S.Y. & Lach, J.L., 1961). Morfin yang terdegradasi di dalam sediaan larutan, merupakan senawa pseudomorfin, morfin-N-oksida dan sebagian kecil apomorfin. Dari penelitan Vermeire, A. dan Remon, J.P. (1999), kecepatan degradasi morfin meningkat akibat adanya oksigen dan pH yang tinggi, sedangkan suhu dan cahaya sedikit berpengaruh terhadap degradasi morfin. Untuk menjaga pH stabilitas morfin, maka digunakan buffer sitrat buffer sitrat sebagai pendapar digunakan asam sitrat dan natrium sitrat untuk menjaga pH sediaan yang diinginkan yaitu pH 3,5 – 4,5. Bahan tambahan lainnya yang digunakan dalam formula antara lain sucrose syrup sebagai pemanis dan pelarut, gliserin sebagai humektan dan anti cap-locking agent, natrium benzoat sebagai antimikroba dan aquadest sebagai pelarut. Pada formulasi ini digunakan gliserin sebagai humektan. Berdasarkan penelitian Preechagoon et. al (2005), gliserin diketahui dapat membantu menjaga stabilitas morfin dalam sediaan sirup pada pH 3,5 – 4,5. Selain itu gliserin memiliki kelebihan yaitu dapat memberikan rasa manis dan mempunyai sifat pengawet (antimikroba) apabila digunakan konsentrasi <20%. Gliserin pada penggunaan sirup juga dapat berfungsi sebagai anti cap-locking. Konsentrasi yang 35
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
36
dipilih adalah 10%, konsentrasi ini dianggap cukup efektif untuk mewakili berbagai sifat dan fungsi yang dimiliki oleh gliserin. Selain itu morfin yang memiliki rasa pahit juga merupakan salah satu tantangan agar didapatkan sediaan yang dapat diterima baik oleh pasien, maka digunakan sucrose syrup yang biasa digunakan sebagai pembawa oral sirup dan dapat memberikan rasa manis. Dalam sediaan sirup, komposisi terbesar pada umumnya adalah air. Air atau aquadest pada sediaan larutan berfungsi sebagai pelarut untuk melarutkan bahan obat maupun bahan lain dalam produk obat tersebut. Dengan tingginya kandungan air pada sediaan sirup atau larutan menyebabkan sediaan ini rentan akan kontaminasi mikroorgansme, karena air adalah media yang sesuai untuk pertumbuhan mikroorgansme. Untuk mengantisipasi tumbuhnya mikroorgansme maka ditambahkan pengawet sediaan. Natrium benzoat merupakan antimikroba yang berfungsi sebagai pengawet pada sediaan, memiliki aktivitas bakteriostatik dan antifungi. Aktivitas optimumnya pada pH 2 – 5. Natrium benzoat juga dianggap cukup efektif dalam pH asam dimana molekul tidak mengalami ionisasi dan baik untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Sel mikroba yang mempunyai pH cairan sel netral akan dimasuki molekul-molekul asam benzoat, maka molekul asam benzoat akan terdisosiasi dan menghasilkan ion-ion H+. Akhirnya metabolisme sel akan terganggu dan akhirnya sel mati Metode pembuatan dengan cara pencampuran dan pelarutan zat terhadap solvennya dalam hal ini digunakan aquadest. Pertama-tama, dibuat larutan buffer sitrat dengan cara melarutkan masing-masing asam sitrat dan Natrium sitrat secara terpisah ke dalam aquadest, kemudian keduanya dicampur. Natrium benzoat dilarutkan dalam buffer ini, lalu diadkan 10 ml aquadest. Kemudian ke dalam beaker glass tersebut masukkan gliserin dan Sucrose syrup, isi beaker glass diaduk hingga homogen. Setelah itu, Morfin sulfat dimasukkan ke dalam beaker glass dan diaduk homogen. pH sediaan dicek sesuai dengan pH stabilitas morfin yaitu 4. Lalu sisa aquadest dtambahkan ke dalam beaker glass sampai volume batas dan diaduk hingga homogeny. Larutan sampel diambil dari larutan tersebut untuk dilakukan evaluasi sediaan sesuai dengan prosedur. Jika sudah memenuhi syarat, sediaan sirup dimasukkan ke dalam wadah dan dikemas.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
37
Dalam pembuatan sediaan larutan maka perlu diperhatikan parameterparameter penting yang dapat berpengaruh terhadap sediaan, antara lain kelarutan, stabilitas, pengawetan, kekentalan dan penampilan secara keseluruhan baik berupa bau, rasa, warna, dan penampilan. Wadah yang akan digunakan harus dapat melindungi sediaan dari cahaya atau wadah tidak tembus cahaya, memenuhi persyaratan transmisi cahaya, perlindungan atau daya tahan wadah terhadap cahaya dihubungkan dengan sifat khas komposisi bahan wadah, termasuk pelapis yang digunakan. Sediaan sirup Morfin sulfat yang telah dikemasi harus terlindungi dari cahaya. Wadah yang digunakan merupakan botol gelas coklat tipe NP yang digunakan untuk larutan oral. Wadah yang dibuat dari bahan kaca memenuhi persyaratan wadah kacatahan bahan kimia.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Nyeri pada penderita kanker yang tidak teratasi akan mempengaruhi kualitas hidup, menurunkan kemampuan dalam menjalani terapi, maupun untuk mendapatkan proses kematian yang tenang. Morfin merupakan salah satu pilihan terapi dalam penanggulangan nyeri pada penderita kanker. Namun senyawa morfin dapat terdegradasi dengan adanya perubahan pH, oksigen, suhu dan cahaya. Maka dalam rancangan formulasi sediaan sirup morfin sulfat yang dibuat, pH larutan merupakan faktor penting yang mempengaruhi stabilitas morfin, dimana morfin stabil pada pH asam. Sehingga dalam formula ditambahkan larutan buffer sitrat dalam menjaga pH stabilitas dari sediaan morfin sulfat. Selain itu dipilih bentuk sediaan sirup yang dapat menutupi rasa pahit dari zat aktif, memudahkan bagi pasien yang sulit menelan dan memudahkan terjadinya absropsi obat .
5.2 Saran a. Untuk mengetahui keberhasilan formlasi yang telah dibuat sebaiknya rancangan formulasi sediaan sirup morfin sulfat ini diujicobakan secara langsung. b. Perlu dilakukan evaluasi mengenai rancangan formula yang telah dibuat berikut uji stabilitas sediaan.
38
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
DAFTAR PUSTAKA
Allard, P., Maunsell, E., Labbé, J., & Dorval, M. (2001). Educational interventions to improve cancer pain control: a systematic review. Journal of Palliative Medicine, 4(2), 191-203. Allen, Loyd V., et.al. (2009). Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and Drug Delivery Systems, 9th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer. Ansel, Howard C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi 4. Jakarta : Penerbit UI Press. Chisholm, M. A., et al. (2008). Pharmacotherapy principles and practice Section 1. USA: McGraw- Hill Companies, Inc. Dipiro, J.T., and Robel L.T. (2005). Pharmacotherapy a pathophysiologic approach (6th ed., Chapter 13). USA: McGraw- Hill Companies, Inc. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta. Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Gunawan, S. G.. (2007). Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Teraupetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gilman and Goodman. (2006). The pharmacological basis of therapeutics (11th ed., Chapter 32). USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. Hughes C. (1987). Food Additive Guides. Jhon Willy and Sons. New York. Katzung, B. G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi II. Jakarta, Salemba Medika. Halaman 671, 677-678. 39
Universitas Indonesia
Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
40
Lachman, L, Herbert, A.L dan Joseph, L. K. (1994). Teori dan Praktek Industri Farmasi, edisi 3. Terj. Siti Suyatmi. Jakarta : Penerbit UI Press. Lacy, C. F. (2000). Drug information handbook (13th ed., Pages 826-827). USA: Lexi Comp. Lickiss JN. Approaching cancer pain relief. Eur J Pain. 5(Suppl A):5-14,2001 Mc Donald, M. (1984). Uses Glucose Syrup in The Food Insutry. Elsevier Apllied Science Pun., Ltd., Essex. Rowe, R.C., Sheskey, P. J. dan Quinn, M. E. (Ed.). (2009). Handbook of Pharmaceutical Excipients. London: Pharmaceutical Press. Sweetman, S.C. (Ed.). (2009). Martindale: The Complete Drug Reference 36st. London: The Pharmaceutical Press. Swierzewski, SJ. (Ed.). (2007). Cancer Overview, incidence and prevalence of pain. US: Oncology Channel Preechagoon et. al. (2005). Formulation Development and Stability Testing of Oral Morphine Solution Utilizing Preformulation Approach. J Pharm Pharmaceut Sci 8: (2) 362-369, 2005 Paice J. A.,& Betty Ferrell. (2011). The Management of Cancer Pain. Journal of Cancer Clinic ;61:157–182 United States Pharmacopeial Convention. (2006). USP 30 NF 25: United States Pharmacopeia [and] National Formulary, Vol. 1. USA. United States Pharmacopeial Convention. (2009). U&SP 32 NF 27: United States Pharmacopeia [and] National Formulary, Vol. 3. USA.
Vermeire, A. & Remon, J.P. (1999). Stability and compatibility of morphine. Int. J. Pharm. 187:17-51.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014
41
Winarno F.G. & B.S. Laksmi. (1974). Dasar Pengawetan Pangan, Sanitasi dan Peracunan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian IPB-Press. Bogor.
World Health Organization. (1986). Cancer pain relief. Geneva.
World Organzation Health. (2009). Cancer Statistics 2009. UK: Journal of Cancer. Yeh, S.Y. & Lach, J.L. (1961). Stability of morphine in aqueous solution: kinetics of morphine degradation in aqueous solution. J. Pharm. Sci. 50:35-42.
Universitas Indonesia Laporan praktek..., Geusan Nariswari Erdianty Puteri, FF UI, 2014