UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA PASIEN KEHAMILAN DENGAN SINDROMA DEFISIENSI IMUN AKUT (SIDA) DI RSUPN CIPTO MANGUNKUSUMO
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
EVINA SARI PURBA 1006823255
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI NERS DEPOK JULI 2013 i Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
ii Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
iii Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah akhir ini berjudul “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Pasien Kehamilan Dengan Sindroma Defisiensi Imun Akut (SIDA) di RSUPN Cipto Mangunkusumo”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan karya ilmiah akhir ini terutama kepada Ibu Hayuni Rahmah, S.Kp., MNS selaku pembimbing yang memberi saran, masukan dan koreksi dalam menyusun karya ilmiah akhir ini. Ucapan terima kasih ini juga disampaikan kepada: 1. Ibu Ns. Tri Budiarti, S.Kep., M.Kep, Sp.Mat, selaku Koordinator Peminatan Maternitas Program Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia 2. Ibu Riri Maria, S.Kp., MANP selaku Koordinator Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 3. Orang tua yang memberikan dukungan dalam bentuk moril dan material. 4. Kakak
Residen S2
Program
Kekhususan
Maternitas
Fakultas
Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan saran dalam pencarian jurnal khusus maternitas. 5. Rekan-rekan Ners Program Ekstensi Angkatan 2010 dan Rekan-rekan Ners peminatan maternitas Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah memberikan masukan dalam proses penyelesaian karya ilmiah akhir.
Akhir kata, saya mengharapkan saran dan masukan pembaca yang mendukung demi kesempurnaan karya ilmiah akhir ini. Semoga karya ilmiah akhir ini bermanfaat bagi pembaca serta pihak-pihak yang berkepentingan.
Depok, Juli 2013
Penulis
iv Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
v Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
ABSTRAK Nama
: Evina Sari Purba
Program Studi : Profesi Ilmu Keperawatan Judul
:
Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Pada Pasien Kehamilan Dengan Sindroma Defisiensi Imun Akut (SIDA) di RSUPN Cipto Mangunkusumo”.
Masalah Ibu hamil adalah sub populasi beresiko untuk terkena SIDA. Resiko kelahiran prematur adalah kondisi bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan SIDA. Pilihan persalinan pada ibu hamil dengan SIDA adalah seksio sesarea dan perlu mendapat dukungan dari suami dan keluarga. Perawat maternitas berperan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada ibu SIDA pasca seksio sebagai pemberi asuhan, pendidik, konselor, agen pembaharu, pembela, dan peneliti. Tujuan penulisan ini menggambarkan asuhan keperawatan maternitas secara holistik dan profesional pada kehamilan dengan SIDA. Tindakan yang dilakukan yaitu pencegahan penularan kepada bayi dan perawatan bayi prematur di rumah dengan perawatan metode kangguru. Hasil tindakan menunjukkan bahwa perawatan metode kangguru efektif diterapkan pada kehamilan SIDA dengan bayi prematur. Kata kunci: Kehamilan dengan SIDA, bayi prematur
vi Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
ABSTRACT
Name Program Study Title
: Evina Sari Purba : Professional Science Keperawatan : Analysis of Public Health Nursing Clinical Practice Urban Pregnancy In Patients With Acute Immune Deficiency Syndrome (SIDA) in RSUPN Cipto Mangunkusumo ".
Pregnant women issue is sub-populations at risk for getting SIDA. Risk of preterm birth is the condition of babies born to mothers with SIDA. Choice in pregnant women with childbirth is SIDA Caesarean section and need the support of her husband and family. Maternity nurse role in providing nursing care to mothers after Caesarean section SIDA as caregivers, educators, counselors, agents reformers, advocates, and researchers. The purpose of this paper describing the holistic nursing care and maternity professionals in pregnancy with SIDA. Actions taken that prevention and treatment of infections in preterm infants in the home with kangaroo care method. Outcome measures showed that kangaroo care method effectively applied on pregnancy SIDA with premature babies. Keywords: Pregnancy with SIDA, premature babies
vii Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii KATA PENGANTAR
..................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .......................
v
ABSTRAK .........................................................................................................
vi
ABSTRACT ........................................................................................................ vii DAFTAR ISI .......................................................................................................viii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1 Latar Belakang
....................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah
.....................................................................................
5
1.3 Tujuan Penulisan ...........................................................................................
5
1.4 Manfaat Penulisan
.....................................................................................
6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................
8
2.1 Konsep Perkotaan .........................................................................................
8
2.2 Populasi at Risk HIV/AIDS ......................................................................... 10 2.3 Populasi Penderita HIV/AIDS Sebagai Populasi Rentan............................... 11 2.4 Strategi Penanggulangan HIV/AIDS ............................................................ 15 2.5 Kehamilan dengan SIDA .............................................................................. 18 2.6 Pengobatan HIV Pada Ibu Bersalin ................................................................ 19 2.7 Aspek Psikososial pada Ibu dengan HIV ....................................................... 21 2.8 Dukungan Keluarga .........................................................................................22 2.9 Peran Perawat Maternitas .............................................................................. 25 2.10 Konsep bayi prematur ................................................................................. 27 2.11 Asuhan Keperawatan Bayi Prematur di Rumah dan Intervensi Inovasi..... 29
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN ...................................................... 32
viii Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
3.1 Gambaran Kasus Kelolaan ............................................................................ 32 3.2 Pengkajian Postnatal ..................................................................................... 35 3.3 Diagnosa Keperawatan................................................................................. 39 3.4 Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan.................................. 40
BAB 4 ANALISA KASUS ............................................................................... 48 4.1 Profil lahan Praktik ...................................................................................... 48 4.2 Analisis Masalah Keperawatan Terkait Konsep KKMP..............................
49
4.3 Analisis Masalah Konsep Kehamilan SIDA dan Penelitian Terkait.............. 51 4.4 Analisis Masalah Terkait Intervensi Inovasi................................................. 56 4.5 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan..................................................57
BAB 5 PENUTUP............................................................................................... 60 5.1 Kesimpulan........................... ........................................................................ 60 5.2 Saran ............................................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 63
ix Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1
Pemberian ARV Pada Ibu Hamil dan Bersalin dan ARV profilaksis Pada Bayi....................................................................................... 20
x Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab satu ini mendeskripsikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan manfaat penulisan.
1.1 Latar Belakang Kota dapat diartikan sebagai suatu daerah yang memiliki gejala pemusatan penduduk yang merupakan suatu perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografis sosial, ekonomi, kultur, yang terdapat di daerah tersebut dengan adanya pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lainnya (Bintarto, 2000). Pada ruang-ruang kota tersebut tercipta lingkungan fisik, sebagai tempat warga kota beraktivitas, dalam bentuk yang sangat kompleks. Berbagai kepentingan, kesibukan dan kehangatan bergelut di dalamnya. Keramaian penduduknya bukan saja karena banyaknya jumlah orang yang menghuninya dan lalu lintas yang hiruk pikuk, melainkan juga karena irama pertumbuhan kota itu sendiri. Keramaian itu merupakan gejala terjalinnya sekian banyak kebutuhan dan peranan yang terdapat di dalamnya.
Urbanisasi merupakan salah satu faktor pemicu perkembangan kota. Urbanisasi yang tinggi menjadikan lahan pemukiman semakin sempit, pemukiman yang padat dan tata ruang kota yang buruk. Mobilitas penduduk merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam mempercepat penularan HIV/AIDS di suatu daerah.
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang dapat menular dan mematikan (Bare & Smeltzer, 2001). Virus tersebut menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Akibatnya, individu yang terinfeksi akan mengalami penurunan daya tahan tubuh yang ekstrim sehingga mudah terjangkit penyakit-penyakit infeksi dan keganasan yang dapat menyebabkan kematian (Price & Wilson, 2005). 1 Universitas Indonesia Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
2
Epidemi HIV/AIDS saat ini telah melanda seluruh negara di dunia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga mengalami peningkatan jumlah penderita HIV dari tahun ke tahun. Selama sepuluh tahun terakhir Indonesia sudah menjadi negara urutan ke lima di Asia paling berisiko HIV/AIDS dan tergolong sebagai negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena memiliki jumlah populasi paling rawan tertular HIV seperti: pekerja seks komersial, narapidana, pengguna narkoba jarum suntik dan ibu hamil (Dirjend PP & PL Kemenkes RI, 2011). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan penyakit ini sebagai wabah paling mematikan sepanjang sejarah, sehingga untuk mengantisipasinya WHO membentuk organisasi khusus penanggulangan HIV/AIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS) dan menetapkan tanggal 1 Desember sebagai AIDS sedunia.
Dari sekian banyak kasus HIV/AIDS di Indonesia, Jakarta merupakan salah satu kota yang menduduki posisi tiga besar prevalensi kasus per 100.000 penduduk. Berdasarkan data Depkes RI, sejak posisi DKI Jakarta bergeser ke peringkat ketiga setelah Papua dan Bali pada 2009 lalu dan masih bertahan hingga Maret 2010, tingkat prevalensi di ibukota masih cukup tinggi yakni berkisar 31,67 kasus per 100 penduduk. Lebih lanjut, Dinkes DKI mengungkapkan bahwa jumlah keseluruhan kasus HIV/AIDS di Jakarta pada tahun 2009 mencapai 5.857 kasus. Itu terdiri dari 2.849 kasus HIV dan 3.008 kasus AIDS. Angka ini menurun pada Maret 2010 hingga mencapai jumlah 2.828 kasus. Diantaranya, 2002 orang menderita HIV/AIDS dari pengguna jarum suntik, sisanya menderita dari non jarum suntik. Dari jumlah tersebut, diketahui 426 orang telah meninggal dunia (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010).
Banyaknya kasus HIV/AIDS di Jakarta dapat dilihat juga dari jumlah pasien HIV/AIDS yang berobat di rumah sakit pusat rujukan nasional yaitu RSCM. ODHA yang berobat di Unit Pelayanan Terpadu HIV RSCM (Pokdisus)
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
3
sampai awal bulan Juni 2011 tercatat 5414 orang. Lebih dari sepertiganya merupakan perempuan. Ada lebih dari 200 ODHA bayi dan anak yang hampir semuanya diasuh oleh ibu atau keluarga perempuan yang berobat jalan (Pokdisus RSCM, 2013). Hal tersebut menunjukkan perlunya perhatian yang serius dari berbagai pihak khususnya terhadap penanganan pasien ini.
Pemerintah Indonesia telah menerapkan Program Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT) untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal akibat HIV/AIDS pada masa perinatal. Ada empat elemen program ini diantaranya adalah memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif ke anak saat persalinan (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010). Cara persalinan harus berdasarkan pedoman yang sudah ditentukan dengan memperhatikan usia kehamilan, kondisi kesehatan ibu dan janin, jumlah virus di dalam tubuh, pengobatan yang didapatkan ibu selama kehamilan (American College of Obstetricians and Gynecologist, 2000).
Ibu hamil yang menderita HIV/AIDS jumlahnya sekitar 2,5% dari mereka yang positif menderita HIV/AIDS. Bayi yang dikandung seorang ibu HIV positif, kemungkinan besar akan tertular baik selama kehamilan, persalinan, maupun setelah persalinan. Terdapat beberapa faktor penting yang memegang peranan dalam proses penularan HIV, yang pertama adalah faktor maternal (faktor ibu), kedua faktor bayi yang dikandung, dan ketiga cara penularannya. Faktor yang paling utama mempengaruhi resiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah kadar virus HIV di dalam darah. Faktor bayi yang mempengaruhi penularan HIV adalah usia kandungan saat bayi dilahirkan dan berat bayi saat lahir. Faktor lain yang mempengaruhi penularan HIV dari ibu ke anak adalah cara penularannya, dimana sebagian besar terjadi saat persalinan berlangsung. Cara persalinan ibu hamil HIV positif yang lebih dianjurkan adalah dengan operasi, sebab dengan persalinan melalui operasi akan meminimalkan kontak kulit dan mukosa membran bayi dengan serviks (leher rahim) dan vagina, sehingga semakin kecil resiko penularan (Mulyana,2008).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
4
Resiko kematian, berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur adalah kondisi yang terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian Fang, et al (2009) risiko kematian adalah 9,87 kali lebih besar pada bayi yang lahir dari: ibu yang terinfeksi HIV yang berada dalam stadium lanjut HIV, kelompok ibu yang CD4 (+) TLC kurang dari 200 sel/micro, ibu tidak ada pengobatan ARV, bayi lahir prematur, bayi yang terinfeksi. Penelitian lain pada 803 anak-anak yang lahir dari ibu yang terdeteksi HIV di Spanyol, didapatkan bahwa tingkat kelahiran prematur dan berat lahir rendah adalah tinggi pada ibu yang terdeteksi HIV tanpa terkait dengan kombinasi rejimen ART apa pun (Tome et al, 2011). Tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ke empat memuat tentang pengurangan jumlah angka kematian anak. Tingginya angka kematian anak di Indonesia pada usia hingga satu tahun menunjukkan masih rendahnya status kesehatan ibu dan bayi barulahir, rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak; serta perilaku ibu hamil, keluarga, serta masyarakat yang belum mendukung perilaku hidup bersih dan sehat. Indonesia membuat suatu program nasional untuk kesehatan anak-anak berdasarkan isu kematian bayi dan balita tersebut. Program ini dilaksanakan berdasarkan pertimbangan bahwa Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKBA) merupakan indikator yang umum untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat pada tingkat nasional maupun propinsi (MDGs, 2008).
Bayi prematur merupakan kelompok neonatus risiko tinggi yang mudah mengalami
sindroma
aspirasi,
hiperbilirubinemia,
hipoglikemia,
dan
hipotermi akibat dari belum matangnya organ tubuh. Komplikasi dari belum sempurnanya organ tersebut yang membuat bayi tidak dapat mempertahankan hidupnya (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2004). Bayi dengan berat badan lahir rendah memerlukan proses penyesuaian kehidupan dari dalam uterus ke luar uterus, hal tersebut merupakan masa yang sulit bagi bayi. Umumnya bayi yang dilahirkan dalam keadaan prematur atau bayi yang lahir dengan penyulit lebih sulit untuk melalui proses adaptasi itu (Surasmi, Handayani, & Kusuma,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
5
2003). Oleh karena itu bayi tersebut umumnya perlu perawatan intensif yang lama di rumah sakit.
Di Indonesia biaya perawatan bayi prematur cukup tinggi. Umumnya bayi prematur berasal dari keluarga kurang mampu, sehingga tidak cukup biaya untuk melakukan perawatan bayi di rumah sakit dan memilih merawat bayinya di rumah. Selama bayi berada di rumah sakit dan di bawah perawatan tim
kesehatan
profesional,
ibu
tidak
terlampau
khawatir
tentang
ketidakberdayaannya. Akan tetapi, bila bayi sudah dibawa pulang ibu bertanggung jawab atas perawatannya. Ibu yang memiliki bayi prematur merasa belum mampu memberikan perawatan yang sesuai, oleh karena itu harus meningkatkan kepercayaan dirinya untuk mampu merawat bayinya (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2004).
1.2 Rumusan Masalah Jumlah kasus ibu hamil dan melahirkan dengan HIV dari tahun ke tahun semakin meningkat baik di dunia maupun di Indonesia. Resiko kematian, berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur adalah kondisi yang terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV. Bayi berat lahir rendah masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di beberapa negara, termasuk Indonesia. Tingginya angka kejadian BBLR akan berdampak pada meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Pada prinsipnya perawatan bayi prematur mencakup pemenuhan kebutuhan termoregulasi, kebutuhan nutrisi, dan pencegahan infeksi. Perawatan bayi prematur oleh ibu sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diperoleh ibu dan keluarga dalam melakukan perawatan bayi prematur, hal ini menjadi alasan pentingnya ibu dengan SIDA dan keluarga mendapat asuhan keperawatan.
1.3 Tujuan Penulisan 1.3.1 Tujuan Umum Mendeskripsikan asuhan keperawatan maternitas secara holistik dan profesional pada kehamilan dengan SIDA.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
6
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Mahasiswa mampu menjelaskan gambaran lingkungan perkotaan yang dapat mempengaruhi kehamilan dengan SIDA. 2. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian secara menyeluruh pada klien dengan kehamilan SIDA di periode postnatal. 3. Mahasiswa mampu menetapkan diagnosa keperawatan sesuai prioritas masalah pada klien dengan kehamilan SIDA di periode postnatal. 4. Mahasiswa mampu menyusun rencana intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah pada klien dengan kehamilan SIDA di periode postnatal. 5. Mahasiswa mampu melaksanakan intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah pada klien dengan kehamilan SIDA di periode postnatal. 6. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi tindakan yang telah dilakukan. 7. Mahasiswa mampu menganalisis kesenjangan antara asuhan keperawatan maternitas yang diberikan dengan teori dan penelitian terkait.
1.4
Manfaat Penulisan 1.4.1 Pengembangan Ilmu Keperawatan Maternitas Karya
ilmiah
ini
diharapkan
memiliki
kontribusi
terhadap
pengembangan keilmuan maternitas, dukungan sosial pada ibu hamil dengan SIDA yang dapat dikembangkan untuk memberikan asuhan keperawatan yang tepat bagi ibu dengan SIDA yang mempunyai bayi prematur.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
7
1.4.2 Manfaat praktis 1. Praktik pelayanan keperawatan Karya ilmiah akhir ini dapat menjadi sumber informasi bagi perawat, khususnya di ruang lingkup keperawatan maternitas dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan kehamilan SIDA. 2. Rumah sakit/sarana pelayanan kesehatan Karya ilmiah akhir ini dapat menjadi masukan bagi rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan pada Pasien dengan kehamilan SIDA terkait intervensi yang dapat dilakukan terhadap masalah prioritas yang ditemukan. 3.
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Karya ilmiah akhir ini berguna sebagai sumber pengetahuan tentang kehamilan dengan Sindroma Defisiensi Imun Akut pada kalangan ODHA sehingga dapat meminimalkan berbagai risiko yang mungkin terjadi selama kehamilan dan pentingnya dukungan keluarga selama proses kehamilan, persalinan dan melahirkan. Menambah pengetahuan dan pengalaman baru dalam merawat bayi baru lahir prematur dengan Ibu yang SIDA.
4.
Penulis sendiri Hasil karya ilmiah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam merawat ibu hamil dengan SIDA yang memiliki bayi baru lahir prematur yang dirawat di rumah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab dua ini mendeskripsikan tentang konsep keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, populasi at risk HIV/AIDS, penderita HIV&AIDS sebagai populasi rentan, strategi penanggulangan HIV/AIDS. Kehamilan dengan SIDA, pengobatan pada ibu bersalin, aspek psikososial pada ibu dengan SIDA, dukungan keluarga, peran perawat maternitas. Konsep bayi prematur dan asuhan keperawatan bayi prematur di rumah dengan menggunakan intervensi inovasi unggulan yang dapat diterapkan. Uraian konsep ini akan dijadikan bahan rujukan dalam menganalisa situasi masalah keperawatan, terkait konsep keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, konsep keperawatan maternitas, analisa konsep terkait intervensi inovasi pada bab berikutnya.
2.1 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan Urbanisasi merupakan salah satu faktor pemicu perkembangan kota. Keinginan mendapatkan penghasilan yang lebih baik untuk mencukupi kebutuhan hidup merupakan penyebab utama terjadinya urbanisasi. Di perkotaan mempunyai peluang besar untuk mencari lapangan pekerjaan dan fasilitas yang lengkap untuk dapat bertahan hidup, sehingga menyebabkan orang mencari pekerjaan di kota. Pertambahan jumlah penduduk yang tinggi di kota menimbulkan berbagai masalah sosial. Masalah ini disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang begitu cepat, dibandingkan dengan peningkatan jumlah lapangan kerja. Penyebaran HIV/AIDS terutama di kota metropolitan seperti Jakarta terjadi akibat adanya mobilitas penduduk. Perpindahan penduduk sering melibatkan pemisahan antar suami dengan istri untuk jangka waktu lama sehingga sang suami menggunakan jasa pekerja seks komersial selama terpisah dari istri. Mobilitas itu sendiri tidak dapat disalahkan, namun “lingkungan” di sekitar penduduk yang berpindah tersebut membuat mereka menjadi rentan (Chantavanich, Beesey & Paul, 2000; Skeldon, 2000).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
9
Menurut penelitian Chantavanich, Beesey dan Paul, (2000) terkait mobilitas penduduk dan HIV/AIDS yaitu: perilaku beresiko dari individu dan kelompok penduduk sangat dipengaruhi oleh keadaan beresiko yang mereka hadapi dan penyebaran HIV dengan cepat terjadi melalui hubungan seks komersial dan penggunaan jarum suntik saat mengkonsumsi narkoba. Daerah rawan merupakan daerah yang beresiko bagi mereka yang belum sadar akan resikonya dan terdapat konsentrasi kelompok-kelompok pendatang tertentu yang beresiko terinfeksi HIV. Daerah rawan misalnya: situasi “in transit” dimana kaum pendatang sedang beralih dari daerah asal menuju tempat tujuan, di dalam atau di dekat tempat kerja dan ada banyak pekerja pendatang seperti kaum pendatang, pelabuhan dan bandar, daerah perkotaan khususnya daerah metropolitan yang besar, lokasi pertambangan khususnya lokasi yang terletak di daerah terpencil, lokasi pembangunan konstruksi yang utama, rute transportasi dan tempat pemberhentian transportasi, daerah lintas perbatasan yang baru dan belum memahami tentang populasi HIV/AIDS. Daerah rawan tidak akan menjadi rawan apabila tingkat penggunaan kondom di tempat tersebut cukup tinggi; atau jika ada praktek penggunaan jarum suntik yang aman dan jika kalangan perempuan diberdayakan dengan baik.
Menurut
Bandyopadhyay
dan
Thomas
(2000
dalam
Hugo,
2001)
menyebutkan bahwa secara global perempuan semakin rentan terinfeksi yaitu: (1) pernikahan heteroseksual kini menjadi mode penularan yang dominan; (2) secara biologis, perempuan mempunyai tingkat kerentanan yang lebih tinggi (2-4 kali) terhadap penyakit ini; (3) perempuan sering berada dalam kondisi yang tidak berdaya dimana mereka tidak mampu melindungi diri sendiri dan dipaksa untuk melakukan hubungan seksual; (4) perempuan sering memiliki status ekonomi yang lebih lemah dibandingkan laki-laki sehingga mereka ikut memiliki perilaku seksual yang beresiko tinggi.
Berdasarkan penjelasan tentang HIV di masyarakat perkotaan bahwa penyalahgunaan narkoba melalui jarum suntik, perilaku seks bebas, pelacuran di kalangan masyarakat perkotaan lebih tinggi. Penulis juga menemukan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
10
kesimpulan bahwa mobilitas penduduk dapat memicu penyebaran HIV di daerah perkotaan. Situasi beresiko yang membuat penduduk suka berpindahpindah rentan terhadap penyakit HIV/AIDS. Perbandingan penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan juga mengarah pada marak dan menyebarnya industri seks komersial yang menjadi titik persebaran penyakit menular. Hal ini sampai sekarang berlanjut menjadi kasus perkotaan di Indonesia.
2.2 Populasi “At Risk” HIV/AIDS Resiko didefinisikan sebagai suatu kemungkinan peristiwa akan terjadi terhadap kesehatan, namun kemungkinan tersebut akan terjadi setelah terpapar oleh hal-hal yang berbahaya (Communicable Disease/ CDC, 2009). Sedangkan yang dimaksud dengan population at risk diartikan sebagai kumpulan individu-individu atau kelompok yang memiliki aktivitas atau karakteristik meskipun sedikit atau kecil yang dapat menyebabkan peningkatan resiko atau potensial terjadinya penyakit, injuri, atau masalah kesehatan (Stanhope & Lanchaster, 2004; Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999). Munculnya penyakit, injuri, dan masalah kesehatan tergantung dari paparan faktor spesifik yang terjadi pada populasi, tetapi paparan oleh faktor resiko yang sama belum tentu menyebabkan masalah kesehatan yang sama (Swanson, 1997).
Beberapa faktor resiko dapat berkontribusi terhadap munculnya kondisi sehat atau tidak sehat dan tidak setiap orang yang terpapar dengan peristiwa yang sama akan memiliki akibat yang sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan dapat disebabkan oleh interaksi beberapa faktor, ketika beberapa faktor resiko tersebut diperoleh dalam waktu bersamaan, maka kemungkinan peluang untuk timbulnya masalah kesehatan semakin besar (Stanhope & Lanchaster, 2004). Dicontohkan populasi pengguna narkoba jarum suntik yang menggunakan secara bersama-sama jarum suntik dapat terinfeksi HIV, hal ini dikarenakan ada kecenderungan pengguna narkoba jarum suntik juga mempunyai perilaku seksual aktif sehingga berpotensi untuk menularkan pada orang lain.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
11
Menurut Stanhope dan Lanchaster, (2004) beberapa faktor resiko timbulnya masalah kesehatan antara lain: 1) risiko sosial, berkaitan dengan kejadian sosial masyarakat seperti daerah konflik, wilayah bencana, daerah kriminal, dan lingkungan dengan kekerasan psikologi, 2) risiko ekonomi, berkaitan dengan kemiskinan, 3) risiko gaya hidup, berkaitan dengan pola kebiasaan perilaku, dan 4) risiko kejadian dalam hidup, berkaitan dengan kejadiankejadian besar yang dialami dalam hidup termasuk tumbuh kembang.
Penyebaran epidemi HIV/AIDS sangat dipengaruhi oleh populasi kunci berisiko yang berada di wilayah tersebut. Kelompok subpopulasi berisiko terinfeksi HIV/AIDS berbeda untuk setiap wilayah, hal ini dipengaruhi oleh keragaman penduduk, dinamika masyarakat, dan perilaku berisiko mereka. WHO/UNAIDS, (2009) menggambarkan subpopulasi beresiko terhadap penyebaran HIV/AIDS hampir sama untuk setiap wilayah negara, tetapi yang membedakan adalah tingkat presentase untuk setiap subpopulasi yang dipengaruhi oleh karakteristik wilayah masing-masing. Subpopulasi beresiko untuk terjadinya infeksi HIV antara lain: pekerja seks, pengguna narkoba jarum suntik, homoseksual, anak dari ibu dengan HIV/AIDS, dan narapidana.
2.3 Populasi Penderita HIV/AIDS Sebagai Populasi Rentan Populasi rentan diartikan sebagai sebuah kelompok sosial dimana memiliki resiko yang relatif meningkat atau mudah sekali untuk menjadi lebih buruk status kesehatannya (Flaskend & Winslow, 1998 dalam Stanhope & Lanchaster , 2004). Anggota kelompok rentan memiliki risiko kumulatif yang membuat mereka lebih rentan terhadap efek merugikan sedangkan orang lain mampu mengatasi (Nicholas, Wright & Murphy, 1996 dalam Stanhope & Lanchaster 2004). Kerentanan berarti bahwa beberapa orang lebih sensitif terhadap risiko daripada yang lain (O’connor, 1994 dalam Stanhope & lanchaster 2004). Populasi HIV/AIDS dikategorikan sebagai populasi rentan dapat dijelaskan dari beberapa dimensi yaitu disempowerment, dimensi victim blaming, dimensi disenfranchisement, dimensi diadvantages status dan dimensi health risk (Stanhope & Lanchaster , 2004).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
12
Disempowerment (ketidakberdayaan). Menurut Maccia dan Mason (1986, dalam Stanhope & Lanchaster, 2004) menggambarkan bahwa faktor kemiskinan sangat berpengaruh terhadap ketidakberdayaan dalam mengontrol status kesehatan. Kemiskinan penyebab dari kerentanan terhadap masalah kesehatan dan menyebabkan kesulitan dalam memerankan fungsi sosial. Penderita HIV/AIDS menurut WHO/UNAIDS (2009), 97% berkembang dengan pesat di beberapa negara miskin di wilayah Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Kemiskinan ini semakin memperburuk kondisi kesehatan karena ketidakmampuan mereka mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak. Kemiskinan pada populasi HIV/AIDS menyebabkan ketidakberfungsian peran dan fungsi masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan karena kurangnya informasi, kurangnya ketrampilan, rendahnya pendidikan, rendahnya perilaku sehat, dan rendahnya kesadaran mereka dalam mengatasi masalah kesehatan (Stanhope & Lanchaster, 2004).
Victim blaming (korban kesalahan). Menurut Dever et al (1988, dalam Stanhope & Lanchaster, 2004), menggambarkan bahwa ketidakmampuan individu mengontrol perilaku disebabkan karena sedikitnya pilihan perilaku mengontrol kesehatan akibat dari korban kesalahan di luar individu. Korban kesalahan karena kurangnya tanggungjawab sosial terhadap isu lingkungan dan isu pelayanan kesehatan. Kurangnya tanggungjawab ini merupakan dampak dari keterbatasan desain kebijakan pemerintah terkait dengan pembiayaan perawatan dan ketersediaan fasilitas kesehatan serta korban akibat persepsi yang salah di masyarakat terhadap suatu penyakit tertentu. Populasi HIV/AIDS saat ini telah berkembang dengan pesat, salah satunya disebabkan oleh keterlambatan pihak berwenang menyangkut kebijakan penanggulangan penyebaran infeksi dan kurangnya ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat dijangkau oleh penderita (Irwanto dkk, 2008).
Perlakuan yang negatif didapatkan oleh Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dari pemberi pelayanan kesehatan seperti diskriminasi dalam memberikan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
13
pelayanan kesehatan seperti yang diungkapkan dalam penelitian kualitatif Sanders (2007) terhadap 9 ibu hamil dengan HIV bahwa semua partisipan mengalami perasaan tersingkir dan diperlakukan kurang layak dari orang pemberi pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan penderita HIV. Penelitian lain yang berkaitan dengan stigma adalah penelitian Hayati (2009) tentang pengalaman perawat merawat ibu positif HIV dengan seksio caesar. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa perawat merasa takut tertular infeksi HIV saat merawat ibu dengan HIV.
Disenfranchisement (terpisah). Berkaitan dengan perasaan terpisah dari dukungan sosial dimana individu tidak memiliki hubungan emosional dengan beberapa bagian kelompok atau sosial masyarakat yang lebih luas. Perasaan terpisah terjadi karena tidak adanya dukungan sosial yang diperlukan untuk mengontrol secara efektif emosional dan kesehatan fisik (Stanhope & Lanchaster, 2004). Keterbatasan terhadap jaringan sosial disebabkan karena mereka tidak bergabung dengan organisasi sosial formal yang berada di masyarakat dan mereka memiliki sedikit sumber dukungan informal seperti keluarga, teman dan tetangga. Populasi HIV/AIDS tidak memiliki hubungan sosial yang kuat dengan masyarakat disebabkan karena adanya stigma dan diskriminasi dampak dari persepsi salah terhadap HIV/AIDS.
Stigma dan diskriminasi ini menyebabkan mereka menutup diri dan tidak berani mengungkapkan status HIV/AIDS serta menjauhkan diri dari pergaulan hidup bermasyarakat. Penderita HIV/AIDS sudah terikat dengan penilaian bahwa mereka mempunyai perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama yang dianut. Stigma yang paling sering dihadapi oleh ODHA seperti merahasiakan status HIV dari keluarga dan masyarakat, hal ini dikarenakan mereka tidak ingin kehilangan sumber kasih sayang, perhatian dan kebutuhan untuk diakui (Carter, 2009). Hasil penelitian Jenifer (2007) dengan menggunakan pendekatan diskusi kelompok terpusat (FGD) untuk mengeksplorasi dampak stigma didapatkan gambaran muncul perasaan bersalah pada ODHA, stereotype atau pemberian cap sebagai penderita HIV,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
14
perasaan takut berhubungan dan menutup status sebagai akibat stigma dari masyarakat. Perasaan bersalah, pesalah pada ODHA, stereotype, dan ketakutan untuk berhubungan merupakan kunci utama stigma yang memiliki pengaruh kuat terhadap diri pribadi seseorang termasuk harga diri dan penerimaan diri.
Disadvantage status (status tidak beruntung). Menurut Stanhope dan Lanchaster (2004) menjelaskan populasi rentan memiliki keterbatasan dalam mengontrol secara lebih potensi dan kebutuhan kesehatan aktual yang diderita. Kelompok yang tidak diuntungkan ini memiliki keterbatasan sumber-sumber sosial dan ekonomi untuk mengontrol status kesehatan mereka. Hasil studi etnografi feminisme menggambarkan bahwa status sebagai wanita, ibu dan istri juga memberikan pengaruh terhadap penerimaan pelayanan kesehatan dan ketersediaan fasilitas pada wanita dengan HIV/AIDS (Bila & Egrot, 2009). Akibat dari status yang tidak menguntungkan ini menyebabkan populasi HIV/AIDS memiliki masalah dalam menjalani kehidupan sehari-hari, seperti mereka harus mengeluarkan biaya belanja kesehatan sendiri untuk mendapatkan pengobatan infeksi opotunistik, ditolak oleh pelayanan kesehatan, ditolak untuk dilakukan tindakan operasi, ditolak oleh pelayanan kesehatan saat melahirkan, dikeluarkan dari pekerjaan, dan dikeluarkan dari sekolah.
Health risk (resiko kesehatan). Populasi rentan mengalami pengalaman yang kompleks dan terpapar resiko secara komulatif yang menyeabbkan mereka sensitif terhadap masalah kesehatan. Faktor resiko bisa berasal dari bahaya lingkungan atau bahaya sosial, perilaku individu, dan faktor genetik (Stanhope & Lanchaster, 2004). Seseorang yang terinfeksi HIV sangat rentan untuk timbulnya infeksi oportunistik dari bahaya lingkungan seperti bakteri TBC, Influensa, jamur, dan Virus yang dapat menimbulkan penyakit sekunder seperti TBC, Kandidiasis (pharigeal, oropharing, paru), Sarkoma, dan Diare (Bare & Smeltzer, 2001).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
15
Penderita HIV/AIDS juga rentan terhadap bahaya sosial seperti adanya stigma dan diskriminasi. Stigma dan diskriminasi menyebabkan mereka tidak mampu menjangkau pelayanan perawatan, dukungan, dan pengobatan. Resiko genetik pada populasi HIV/AIDS terkait dengan penularan infeksi HIV kepada anak keturunan dari ibu yang menderita HIV/AIDS
2.4 Strategi Penanggulangan HIV/AIDS Upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS diarahkan pada perubahan perilaku melalui program ABCD. Abstinence, artinya menahan diri untuk tidak berhubungan seksual sebelum menikah dan meyakinkan pasangan untuk siap menikah. Being Faithful, artinya bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan) dan menggunakan kondom dengan benar dan konsisten. Tujuan dari program ini disarankan adanya kesetian yang saling menguntungkan dan menurunkan jumlah pasangan seksual. Condom use, artinya program perubahan perilaku dengan penggunaan kondom pada pasangan seksual aktif khususnya pada pengguna narkoba jarum suntik dan pekerja seks komersial. Drug No, artinya dilarang menggunakan narkoba (WHO/UNAIDS, 2009; Kemenkes RI, 2011) .
Upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS di tingkat masyarakat diawali dengan memahami masalah kesehatan dan faktor-faktor yang berpengaruh terjadinya kesakitan. Peran perawat dalam usaha penanggulangan masalah kesehatan di masyarakat, pendekatan yang digunakan melalui promosi kesehatan dan pencegahan penyakit. Fokus tujuan dari upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit adalah melalui perubahan gaya hidup, perubahan lingkungan, dan perubahan dalam pelayanan kesehatan masyarakat dalam memberikan pelayanan keperawatan (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999).
Peran perawat dalam upaya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit adalah dengan cara memobilisasi dan mengarahkan sumber-sumber yang dimiliki oleh masyarakat untuk mencapai tujuan. Perawat harus mampu
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
16
meningkatkan
peran
serta
masyarakat
dalam
mengidentifikasi
dan
meningkatkan kesadaran rasa memiliki terhadap isu-isu masalah kesehatan. Upaya untuk mencapai tujuan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit dilakukan dengan menggunakan pendekatan tiga tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier (Stanhope & Lanchaster, 2004). 1. Pencegahan Primer Pencegahan primer bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan antara lain menyebarluaskan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu maupun kelompok, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara penularan dan cara pencegahan, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perilaku yang lebih sehat dengan cara menghindari narkoba, setia pada pasangan, dan menghindari hubungan seksual sebelum waktunya. Pencegahan primer pada kelompok berisiko seperti penjaja seks dan pengguna narkoba jarum suntik adalah dengan cara kampanye penggunaan kondom dengan benar, dan penggunaan jarum suntik steril (Kemenkes RI, 2011).
2. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder difokuskan pada deteksi dini terhadap penyakit dan penanganan awal terhadap penyakit. Deteksi dini terhadap penyakit dapat dilakukan melalui program skrining. Pendidikan kesehatan tentang pentingnya mengambil keuntungan dari program skrining secara teratur penting untuk diberikan, karena adanya anggapan program skrining untuk mendeteksi awal adanya penyakit dapat dilakukan dengan cara wawancara mendalam, riwayat kesehatan, dan pemeriksaan fisik (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
17
Mengenai skrining HIV pada wanita hamil, Society of Obstetricians and Gynecologists of Canada, (2006 dalam Dirjen Bina Pelayanan Medik Kemenkes RI, 2010) mengeluarkan panduan skrining sebagai berikut:
a. Semua wanita hamil harus ditawarkan untuk mengikuti skrining HIV dengan konseling yang memadai. Pemeriksaan harus bersifat sukarela. Skrining harus dipertimbangkan sebagai salah satu bagian dari standar pelayanan antenatal, pasien tetap wajib diinformasikan mengenai manfaat dan risiko pemeriksaan ini serta hak mereka untuk menolak. Mereka tidak boleh diperiksa tanpa sepengetahuannya. b. Konseling pre-tes dan keputusan pasien mengenai pemeriksaan ini harus didokumentasikan di dalam rekam medik pasien. c. Pasien yang menolak untuk dilakukan skrining tetap berhak mendapatkan pelayanan antenatal yang optimal. d. Pasien sebaiknya ditawarkan untuk skrining HIV pada kunjungan pertama ke pelayanan antenatal. e. Pasien yang hasil tesnya negatif dan berperilaku risiko tinggi harus dites ulang setiap trimester. f. Wanita hamil yang tidak pernah menerima pelayanan antenatal dan tidak diketahui status HIV-nya harus ditawarkan untuk mengikuti pemeriksaan HIV ketika masuk Rumah Sakit untuk melahirkan. Wanita yang berisiko tinggi mengidap HIV dan tidak diketahui status HIV-nya harus diberikan profilaksis saat persalinan. Profilaksis HIV harus diberikan pada bayi baru lahir. g. Wanita hamil yang hasil tesnya positif selanjutnya ditangani oleh dokter yang berpengalaman dalam menatalaksana wanita hamil yang positif HIV.
3. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier difokuskan pada rehabilitasi dan pemulihan setelah terjadi sakit untuk meminimalkan kesakitan, kecacatan, dan meningkatkan kualitas hidup (Hitchock, Schubert & Thomas, 1999). Peran sebagai konseling dan pendidik dengan cara menjelaskan kembali, memberikan penguatan, dan memberikan arahan peningkatan kesehatan merupakan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
18
bagian dari rehabilitasi, atau meminimalkan kecacatan pada tingkat yang paling rendah. Rehabilitasi dan usaha meningkatkan kesejahteraan termasuk didalamnya adalah pengobatan, pemberi nutrisi, latihan, penyembuhan psikologi dan spiritual, dan kelompok dukungan sosial (Stanhope & Lanchaster, 2004).
2.5 Kehamilan dengan SIDA Angka kejadian HIV di negara berkembang termasuk Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Tingginya angka kejadian HIV tersebut berpengaruh pula terhadap tingginya angka kejadian HIV pada ibu hamil, yaitu sekitar 2,5% dari mereka yang positif menderita HIV (Mulyana, 2008). Cara terbaik untuk mengetahui seseorang terdeteksi HIV yaitu dengan melakukan pemeriksaan test HIV karena pada stadium awal pasien tidak menunjukkan gejala yang spesifik. Pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui apakah seseorang sudah terinfeksi HIV yaitu pemeriksaan antibodi HIV. Dalam kebijakan operasional Kementrian Kesehatan RI tes HIV yang digunakan adalah Rapid Test karena memiliki keuntungan lebih cepat
memberikan
hasil,
sensitivitas
dan
spesifiditas
diatas
98%.
Perkembangan virus HIV dipantau dengan pemeriksaan CD4 dalam tubuh penderita (Kemenkes RI, 2011).
Penilaian imunologis untuk penderita HIV/AIDS dengan menggunakan CD4. Jumlah CD4 adalah cara terpercaya dalam menilai status imunitas seorang ODHA. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 yang < 350 sel/mm3. Semakin rendah jumlah sel CD4, pada umumnya risiko penularan HIV akan semakin besar. Sebuah studi menunjukkan bahwa ibu dengan CD4 <350 sel/mm 3 memiliki risiko untuk menularkan HIV ke anaknya jauh lebih besar (Kemenkes RI, 2011).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
19
Faktor yang berperan penularan HIV dari ibu ke anak (Kemenkes RI, 2011): a. Faktor Ibu meliputi jumlah virus (viral load), jumlah sel CD4, status gizi selama hamil, penyakit infeksi selama hamil, gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI. b. Faktor Bayi meliputi usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir, periode pemberian ASI, adanya luka di mulut bayi. Bayi lahir prematur dengan berat badan lahir rendah (BBLR) lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik. c. Faktor Obstetrik meliputi jenis persalinan yaitu risiko penularan persalinan per vaginam lebih besar daripada persalinan melalui bedah sesar (seksio sesaria). Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke bayi semakin tinggi karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam. Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
2.6 Pengobatan HIV Pada Ibu Bersalin Selama ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV & AIDS, obatobatan Antiretroviral (ARV) hanya berfungsi menekan kadar HIV dalam darah (viral load) dengan cara menghentikan proses penggandaan diri virus sehingga tidak menginfeksi sel-sel baru (Yayasan Spiritia, 2009). Menurut Kemenkes RI (2011) tujuan terapi ARV: mengurangi laju penularan HIV di masyarakat, menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV, memperbaiki kualitas hidup ODHA, memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh dan menekan replikasi virus secara maksimal. Pada ibu yang hamil dan akan melahirkan, pengobatan bertujuan untuk mempertahankan kesehatan ibu dan mencegah penularan HIV ke janin.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
20
Protokol pemberian obat antiretroviral untuk ibu hamil dan yang akan melahirkan mengikuti pedoman Nasional Pengobatan ARV pada ibu hamil dan bersalin adalah seperti di dalam tabel sebagai berikut:
Gambar 2.1 Pemberian ARV Pada Ibu Hamil dan Bersalin dan ARV profilaksis Pada Bayi Kondisi Ibu
Regimen Untuk Ibu
ODHA hamil dengan indikasi Tunda terapi sampai setelah trimester I terapi ARV
berikan terapi ARV seperti ODHA biasa tetapi tidak dianjurkan pemberian EFT pada trimester I.
ODHA hamil dan
AZT dimulai pada usia kehamilan 28
belum ada indikasi terapi ARV
minggu dilanjutkan selama persalinan. AZT + 3TC sejak kehamilan 36 minggu dianjurkan hingga 1 minggu pasca persalinan.
Ibu HIV positif yang datang pada Untuk ibu yang belum diketahui status saat
persalinan
tetapi
belum HIVnya, bila ada waktu tawarkan
pernah mendapatkan pengobatan pemeriksaan dan konseling segera ARV
setelah persalinan. Bila hasil testnya positif berikan NVP dosis tunggal Bila persalinan sudah terjadi jangan berikan NVP atau berikan AZT + 3TC pada
saat
persalinan
intravenous
dilanjutkan hingga 1 minggu setelah persalinan. Profilaksis ARV untuk Bayi AZT (zidovudine) 4 mg/KgBB, 2x/hari, mulai hari ke-1 hingga 6 minggu. Sumber: Kemenkes RI (2011).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
21
2.7 Aspek Psikososial pada Ibu dengan SIDA Persalinan adalah akhir kehamilan yang terdiri dari serangkaian proses dimana terjadi kontraksi uterus dan tekanan abdominal untuk mengeluarkan fetus/janin dan plasenta dari dalam uterus melalui jalan lahir dari tubuh wanita (Pilliteri, 2003; Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2004). Respon psikologis pada persalinan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya pengalaman sebelumnya, kesiapan emosi, persiapan menghadapi persalinan (fisik, mental, materi), support system, budaya, sikap terhadap kehamilan (Hockenbery & Wilson, 2009).
Respon psikologis yang dirasakan oleh ibu dengan HIV pada saat hamil terutama kecemasan tentang kondisi kesehatannya, bayi yang akan dilahirkan, hubungan dengan pasangan, dukungan keluarga, kondisi anggota keluarga yang lain, pembiayaan, pelayanan yang akan didapatkan. Pertanyaan yang muncul terhadap kondisi bayinya adalah apakah bayinya akan sehat?, apakah bayinya akan terinfeksi HIV? (Kennedy, 2003).
Resiko kematian, berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur adalah kondisi yang terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV. Seperti yang dijelaskan dalam penelitian Fang, et al (2009) risiko kematian adalah 9,87 kali lebih besar pada bayi yang lahir dari: (1) ibu yang terinfeksi HIV yang berada dalam stadium lanjut HIV, (2) kelompok ibu yang CD4 (+) TLC kurang dari 200 sel/micro, (3) ibu tidak ada pengobatan ARV, (4) bayi lahir prematur, (5) bayi yang terinfeksi. Penelitian lain pada 803 anak-anak yang lahir dari ibu dengan HIV di Spanyol, didapatkan bahwa tingkat kelahiran prematur dan berat lahir rendah adalah tinggi pada ibu dengan HIV tanpa terkait dengan kombinasi rejimen ART apa pun (Tome et al, 2011).
Selain kecemasan terhadap bayi dan kelahirannya, stigma, diskriminasi, dan isolasi sosial menimbulkan masalah psikososial yang dirasakan oleh penderita HIV yang ada di masyarakat. Penderita HIV & AIDS sudah terikat dalam penilaian terstigmatisasi. Mereka dianggap mempunyai perilaku yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
22
bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral yang dianut (Bare & Smeltzer, 2001).
2.8 Dukungan Keluarga Dukungan keluarga adalah pemberian informasi atau nasehat baik secara verbal maupun non verbal, bantuan materi atau tindakan yang diberikan yang didapat dari keberadaan mereka yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai dan dicintai dengan tujuan menguntungkan bagi individu yang menerima terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga (Nursalam & Kurniawati, 2007). Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien HIV/AIDS sebagai support
system
atau
sistem
pendukung utama sehingga ia dapat
mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani stressor yang ia hadapi terkait penyakitnya baik fisik, psikologi, maupun sosial (IYW, 2005; Lasserman & Perkins, 2001).
Proses persalinan merupakan peristiwa yang menuntut dukungan dari seluruh anggota keluarga. Konsep keperawatan maternitas yang berpusat pada keluarga juga diarahkan pada pemenuhan kebutuhan ibu pada masa kehamilan, persalinan dan nifas (Pilliteri, 2003). Untuk mewujudkan pelayanan keperawatan maternitas yang berpusat pada keluarga, perawat diharapkan dapat mengetahui apa yang diharapkan ibu dan suami atau keluarganya, dan diharapkan dapat bekerja sama dengan ibu hamil, suami dan keluarganya untuk mencapai pelayanan kesehatan yang optimal.
Melalui penerapan Family Center Maternity Care (FCMC) selama persalinan terdapat berbagai macam bentuk dukungan seperti menurut Vandall-Walker dalam Bomar (2004), empat dimensi dukungan keperawatan untuk keluarga meliputi dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan spiritual. Menurut Friedman, Bowden & Jones (2010) mengatakan bahwa dukungan emosional merupakan fungsi afektif keluarga yang harus diterapkan kepada seluruh anggota keluarga dalam memenuhi kebutuhan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
23
psikososial anggota keluarga dengan saling mengasihi, cinta kasih, kehangatan, dan saling mendukung dan menghargai antar anggota keluarga. Dukungan emosional dari pasangan, orang yang dicintai atau teman merupakan faktor utama persepsi tentang persalinan yang positif (Reeder, Martin & Giffin, 2011).
Dukungan kedua adalah instrumental. Dukungan ini merupakan suatu dukungan penuh keluarga dalam bentuk memberikan tenaga, dana, maupun meluangkan waktu untuk membantu dalam perawatan anggota keluarga (Koentjoro, 2002). Menurut Friedman, Bowden & Jones (2010), dukungan ini merupakan fungsi ekonomi dan perawatan kesehatan yang diterapkan keluarga terhadap anggota keluarga. Fungsi ekonomi keluarga merupakan pemenuhan semua kebutuhan anggota keluarga dan anggotannya, sedangkan fungsi perawatan kesehatan keluarga adalah mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga, diantaranya merawat pasien yang sakit, menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan keluarga, dan membawa anggota keluarga ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan kesehatannya.
Dukungan ketiga adalah dukungan informasi mencakup pemberian nasehat, saran, pengetahuan dan informasi serta petunjuk. Dukungan informasi akan lebih efektif bila diberikan oleh orang yang sudah berpengalaman atau mempunyai keahlian dalam hal itu. Informasi yang dibutuhkan oleh ibu yang akan melahirkan adalah pengobatan dan prosedur kelahiran, mengatasi nyeri, menyusui, perawatan bayi (Reeder, Martin & Giffin, 2011; Hockenbery & Wilson, 2009).
Dukungan yang lain yaitu dukungan spiritual. Spiritual yang dimiliki seseorang memungkinkan individu tersebut untuk mencintai, memiliki keyakinan dan harapan, menemukan makna hidup dan menjaga hubungan dengan orang lain. Penyakit HIV menimbulkan ancaman pada individu disebabkan ketakutan, kecemasan, rasa putus asa dan ketidakberdayaan secara menyeluruh. Pemahaman spiritual yang dimiliki individu dapat
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
24
menjadi faktor signifikan bagaimana seseorang beradaptasi terhadap perubahan akibat dari penyakitnya. Pemahaman spiritual ini memungkinkan seseorang mempunyai keyakinan yang lebih kuat yang membuat individu tersebut lebih baik dan memiliki semangat hidup (Potter & Perry, 2005).
Beberapa dukungan yang dibutuhkan ibu dengan HIV terkait dengan kondisi yang dialaminya antara lain (Kemenkes RI, 2011): a. Pengobatan ARV jangka panjang. b. Pengobatan gejala penyakitnya. c. Pemeriksaan kondisi kesehatan dan pemantauan terapi ARV (termasuk CD4 dan viral load). d. Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengakhiran reproduksi. e. Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi. f. Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya. g. Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan pencegahannya. h. Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat. i. Kunjungan ke rumah (home visit). j. Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV k. Adanya pendamping saat sedang dirawat. l. Dukungan dari pasangan. m. Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga n. Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak
Dukungan yang diberikan pada ibu dengan HIV tidak hanya terhenti setelah ibu melahirkan saja. Ibu tersebut akan menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya, menjalankan perannya sebagai ibu yang harus merawat anaknya, menghadapi masalah stigma dan diskriminasi dari masyarakat terhadap ODHA (Kemenkes RI, 2011).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
25
2.9 Peran Perawat Maternitas Perawat maternitas merupakan tenaga kesehatan profesional di bidang keperawatan maternitas yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, yang memberikan pelayanan kepada individu pada masa kehamilan, persalinan dan nifas sesuai dengan kebutuhannya (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2004). Berkaitan dengan peran dan fungsi perawat maternitas yang berhubungan dengan pelaksanaan asuhan keperawatan kepada ibu HIV positif pasca seksio sesarea, maka perawat maternitas memiliki peran antara lain sebagai pemberi asuhan, pendidik, konselor, agen pembaharu, pembela, dan peneliti. 1. Perawat sebagai pemberi asuhan (caregiver) Sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat memberikan asuhan keperawatan mulai dari pengkajian, penentuan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Peran perawat yang paling mendasar pada ibu HIV positif pasca seksio sesarea adalah pemulihan, pencegahan infeksi dan penularan melalui tindakan langsung dengan melakukan asuhan keperawatan. Tujuan asuhan keperawatan ibu HIV positif pasca seksio sesarea adalah bebas dari infeksi dan penularan, bebas dari kecemasan, peningkatan pengetahuan serta mampu beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis.
2. Perawat sebagai pendidik (educator) Pendidikan kesehatan baik pada individu, keluarga maupun masyarakat, merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan yang komprehensif. Pendidikan dapat mendorong klien dan keluarga untuk berpartisipasi dan bertanggungjawab meningkatkan, mempertahankan, serta memperbaiki kesehatan. Pada peran perawat sebagai pendidik ini, perawat dapat berpartisipasi dalam memberikan pendidikan pada ibu HIV positif pasca seksio sesarea dan keluarga tentang pentingnya nutrisi, pencegahan infeksi dan penularan, perilaku yang beresiko, praktek seksual yang aman, serta pengobatan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
26
3. Perawat sebagai konselor (conselor) Berbagai permasalahan akan dihadapi oleh klien. Kadang-kadang tidak menutup kemungkinan klien dihadapkan pada hal-hal yang merupakan pilihan dalam pengambilan suatu keputusan. Perawat mencari alternatif solusi seperti cara perawatan dan pengobatan HIV/AIDS, pola hidup bersih dan sehat sehingga penularan terhadap janin dapat dihindari. Perawat berperan membangun kembali kognitif ibu dengan tujuan untuk mengurangi ancaman
terhadap
penilaian
yang
negatif,
memfasilitasi
ibu
menyeimbangkan emosi melalui pendekatan strategi koping yang lebih nyata. Pada saat ini perawat maternitas dapat berperan sebagai konselor bagi klien (Kennet, Pakenham & Rinaldis, 2001).
4. Perawat sebagai agen pembaharu (change agent) Perawat maternitas sebagai agen pembaharu terpanggil untuk melakukan perubahan
yang
dapat
menjamin
peningkatan
kualitas
pelayanan
keperawatan. Perawat maternitas membuat inovasi-inovasi baru dengan menjadi role model pada institusi pelayanan, pendidikan, serta aktif dalam mendesiminasikan
hasil-hasil
penelitian
sehingga
kualitas
asuhan
keperawatan meningkat (Alspach, 2006).
5. Perawat sebagai pembela (advocat) Perawat maternitas juga memiliki peran sebagai pembela. Peran ini akan mengarahkan perawat untuk berperilaku melindungi klien dan keluarga dalam setiap kondisi selama dilakukan perawatan. Perawat juga berperan sebagai penghubung dengan pihak-pihak terkait dalam penatalaksanaan HIV/AIDS meliputi: memfasilitasi pasien HIV/AIDS berkomunikasi dengan pemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli HIV/AIDS, membantu menjalin kontinuitas hubungan dengan sesama ODHA, keluarga, rekan kerja, tenaga profesional maupun non profesional, serta mengkoordinasikan berbagai aspek yang terkait dengan pemberian dukungan sosial (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2004).
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
27
6. Perawat sebagai peneliti (researcher) Di area klinik, dibutuhkan kesadaran perawat akan pentingnya penelitian untuk mengembangkan asuhan keperawatan. Sensitif terhadap isu-isu yang berhubungan dengan perlindungan terhadap hak azasi manusia, serta berpartisipasi dalam mengidentifikasi masalah penelitian yang signifikan. Pada peran ini diharapkan ditemukan hasil-hasil penelitian yang nantinya dapat menunjang praktek keperawatan serta mengoptimalkan asuhan keperawatan (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2004).
2.10 Konsep bayi prematur Bayi prematur atau preterm adalah bayi yang dilahirkan sebelum akhir usia gestasi 37 minggu, tanpa memperhitungkan berat badan lahirnya. Bayi prematur merupakan kasus terbanyak dari semua pasien yang masuk ke ruang NICU yang membutuhkan perawatan khusus, karena berisiko mengalami masalah kesehatan pada masa awal kehidupannya. Masalah yang sering terjadi pada bayi prematur berhubungan dengan kondisi imaturitas organnya, antara lain: masalah ketidakstabilan suhu tubuh (hipotermi), ketidakstabilan berat badan (kesulitan penambahan berat badan), sindroma aspirasi,
hipoglikemia,
hiperbilirubinemia,
dan
lain-lain
(Bobak,
Lowdermilk, & Jensen, 2004).
Penyebab kelahiran prematur pada sebagian besar kasus belum banyak diketahui. Insiden tingginya prematuritas terjadi pada kelas sosioekonomi rendah dengan kombinasi keadaan buruk, antara lain: kondisi kesehatan yang rendah, kecukupan gizi yang kurang, dan asuhan prenatal awal yang kurang komprehensif (Wong, et al, 2008). Penyebab terjadinya kelahiran prematur ada tiga: (1) Faktor ibu, yaitu toksemia gravidarum, kelainan bentuk uterus, tumor, ibu menderita penyakit dan trauma masa kehamilan; (2) Faktor janin, yaitu kehamilan ganda, hidroamnion, ketuban pecah dini, cacat bawaan, infeksi (rubella, toksoplasmosis), insufisiensi placenta, inkompabilitas darah ibu dan janin (faktor rhesus, golongan darah ABO);
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
28
(3) Faktor plasenta yaitu placenta previa, solusio placenta (Ladewig, London & Olds, 2006).
Klasifikasi prematur (Bobak, Lowdermilk, & Jensen, 2004; Hockenberry & Wilson, 2009) adalah: (1) Bayi yang sangat prematur (extremely premature): masa gestasi 24-30 minggu. Berat badan: 500-1400 gram; (2) Bayi prematur sedang (moderately premature): masa gestasi 31-36 minggu. Berat badan: 1500-2500 gram; (3) Borderline premature; masa gestasi 37 minggu. Berat badan: 2500-3250 gram. Bayi prematur memiliki risiko tinggi terjadi masalah kesehatan. Permasalah prematuritas (Hockenberry & Wilson, 2009) diantaranya: hipothermia, hiperbilirubin, respiratory distress syndrome,
congenital
anomalies,
gangguan
persyarafan,
gangguan
pendengaran, gangguan jantung, gangguan pernafasan (hipoksia, apnea), rendahnya daya tahan tubuh terhadap infeksi, kekurangan nutrisi.
Pengaruh masalah tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, dikemukakan Potts & Manleco (2007) pengaruh umum prematuritas terhadap perkembangan selanjutnya, diantaranya: 1. Perkembangan
fisik
bayi
prematur
lebih
lambat
mencapai
pertumbuhannya pada awal kehidupan. Hasil penelitian Fieldman & Eidelman (2006) menyimpulkan bayi prematur berisiko tinggi terjadi keterlambatan perkembangan dan kognitif sehingga harus mendapatkan perawatan klinis dan perawatan khusus. 2. Kesehatan pada tahun pertama lebih banyak sakit terutama pada gangguan pernafasan, dengan bertambahnya usia, mereka lebih sering menderita gangguan fisik seperti kurang gizi, kecebolan, dan kegemukan. Gangguan yang paling berbahaya yang berkaitan dengan prematuritas ialah kerusakan berat pada mata, misalnya retinopathy of prematurity (ROP). 3. Kecerdasan pada bayi prematur lebih banyak gangguan mental, sebagian besar gangguan karena adanya perdarahan otak pada saat atau segera
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
29
setelah lahir. Bayi prematur risiko tinggi terjadi retardasi mental dan cerebral palcy (Hockenberry & Wilson, 2009). 4. Pengendalian motorik bayi duduk, berdiri dan berjalan pada usianya lebih lambat dibandingkan dengan bayi normal. 5. Bahasa, bayi prematur mengalami keterlambatan dibandingkan bayi yang lahir cukup bulan, keterlambatan tersebut meningkat pada usia selanjutnya. 6. Perilaku emosional bayi lembut tetapi cenderung sering menangis. 7. Penyesuaian sosial, umumnya penyesuaian lebih baik pada tahap awal kehidupannya daripada tahap selanjutnya.
2.10 Asuhan Keperawatan Bayi Prematur di Rumah dan Intervensi Inovasi Bayi prematur akan beradaptasi pada kehidupan ekstrauterin sebelum sistem organ berkembang. Bayi prematur belum dapat mempertahankan suhu tubuh, menghisap, menelan sebagaimana bayi yang dilahirkan dengan cukup bulan, dan akan mengalami penurunan berat badan (Rudolph, Hoffman & Rudolph, 2006).
Penurunan berat badan bayi hingga 10 % pada beberapa hari pertama masih dikatakan wajar. Setelah mengalami penurunan berat badan, berat badan akan berangsur meningkat diantara 7 dan 14 hari setelah kelahiran. Pertambahan berat harian yang cukup pada minggu kedua bagi bayi adalah 15 gram/kg BB/hari (WHO, 2002).
Bayi prematur yang bertambah berat badannya dan kondisi kesehatannya stabil dapat dirawat di rumah. Kriteria untuk pemulangan bayi prematur menurut WHO (2002): (1) informasi yang memadai telah diberikan kepada ibu dan keluarga tentang perawatan bayi prematur di rumah pada saat pemulangan, dan (2) ibu sudah menerima instruksi tentang pengenalan tanda bahaya (Perinasia, 2008): kesulitan bernapas – dada tertarik ke dalam, merintih, bernapas sangat cepat atau sangat lambat, serangan apnea/ henti napas sering dan lama, bayi teraba dingin, suhu bayi di bawah normal
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
30
walaupun telah dilakukan penghangatan, bayi demam/ teraba panas, sulit minum, bayi tidak lagi terbangun untuk minum, berhenti minum atau muntahmuntah, kejang, diare/mencret, kulit menjadi kuning. Ibu dan keluarga tahu kapan dan di mana mencari pertolongan jika tanda bahaya tersebut terjadi.
Trachtenberg dan Goleman (1998) menetapkan kriteria pemulangan bayi prematur dari NICU antara lain: reflek hisap yang baik, suhu tubuh dapat dipertahankan normal dan stabil, serta tercapai peningkatan berat badan sebesar 20-30 gram per hari. Trachtenberg dan Goleman (1998) juga menambahkan kriteria sosial untuk pemulangan bayi dari NICU adalah: (1) orang tua dapat memenuhi kebutuhan fisik dasar bayi, (2) orang tua memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengidentifikasi masalah yang muncul setelah pemulangan bayi di rumah, dan (3) adanya rencana tindak lanjut pelayanan kesehatan dan bimbingan menjadi orang tua.
Salah satu intervensi inovasi yang dapat diterapkan pada bayi prematur yang dirawat di rumah yaitu perawatan metode kangguru (PMK). PMK merupakan perawatan dengan melakukan kontak langsung antara kulit bayi dengan kulit ibu (skin-to-skin contact). Perawatan metode kangguru telah dikembangkan sebagai alternatif inkubator untuk bayi prematur karena sering mengalami masalah tidak hanya terkait pemberian makan dan pertumbuhan. Selama ini penelitian-penelitian PMK telah banyak di lakukan dan semakin berkembang dari segi pemanfaatannya dan untuk melihat efeknya secara lebih jelas dibanding perawatan bayi dengan inkubator. Hasil penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa PMK efektif untuk mengontrol suhu tubuh, kedekatan ibu dengan bayi, peningkatan berat badan dan perbaikan klinis bayi (WHO, 2003).
PMK adalah kontak dari kulit ke kulit antara bayi dan orangtuanya, dimana bayi biasanya berada pada posisi dada bagian kanan atas dengan posisi pronasi (tengkurap). PMK adalah salah satu intervensi yang bermanfaat pada perkembangan bayi. PMK umumnya didefinisikan sebagai kontak kulit ke
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
31
kulit antara ibu dan bayinya. Konsep PMK meliputi ibu dan bayinya secara eksklusif, untuk kehangatan dan memberikan efek yang positif, salah satunya pada pemberian makan bayi. Penelitian telah mengidentifikasi keuntungan lain dari metode perawatan kangguru, yang dapat dikerjakan oleh ibu atau ayah bayi. Metode perawatan kangguru dipertimbangkan sebagai metode dimana menggendong bayi secara langsung pada dada orangtua bayi. Bergantung pada prematuritas dan beratnya penyakit pada kelahiran, perawatan kangguru mungkin dimulai segera setalah kelahiran atau dapat di tunda beberapa minggu. Tim pemberi perawatan kesehatan menyetujui bahwa intervensi ini dapat ditarpkan pada rencana perawatan harian (Dimenna, 2006).
PMK dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara terus menerus dalam 24 jam atau yang disebut juga dengan secara intermitten atau disebut juga dengan cara selang-seling dan secara kontinyu (Depkes, 2008). Secara intermitten maksudnya PMK tidak diberikan sepanjang waktu tetapi hanya dilakukan saat ibu mengunjungi bayinya yang masih berada dalam perawatan di inkubator dengan durasi minimal satu jam secara terus-menerus dlam satu hari. Metode ini dilakukan di Unit Perawatan Khusus (level II) dan Intensif (level III). Sedangkan perawatan metode kangguru secara kontinyu maksudnya PMK yang diberikan sepanjang waktu dan dapat dilakukan di unit rawat gabung atau ruangan yang dipergunakan untuk PMK. Setelah bayi pulang dari rumah sakit, pelaksanaan PMK secara kontinyu bisa dilanjutkan di rumah. ibu dapat menggendong bayinya selama 24 jam sambil melakukan aktivitas di rumah.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
32
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN
Bab tiga ini mendeskripsikan kasus kelolaan ibu hamil dengan Sindroma Defisiensi Imun Akut (SIDA) dan perkembangan bayi baru lahir dengan prematur yang dirawat di Special Care Nursery RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Walaupun penulis belum merawat bayi prematur secara langsung, tetapi penulis belajar mencoba membuat resume perkembangan bayi prematur yang dirawat di Special Care Nursery selama praktek di Gedung A Lt 2 Ruang Obstetri & Gynecologi Zona B RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Bab tiga ini juga berisi tentang asuhan keperawatan ibu postnatal selama perawatan di rumah sakit sampai kunjungan rumah dan asuhan keperawatan bayi prematur selama kunjungan rumah dengan menerapkan intervensi inovasi yaitu perawatan metode kangguru.
3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Ibu A, 26 tahun dengan G2P1H32 minggu, HPHT: 26/9/2012. Tanggal 9 April 2013 datang ke Poliklinik Obstetri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo untuk memeriksa kehamilan dan USG feto maternal. Pasien rujukan Puskesmas Kecamatan Senen, dirujuk ke RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo karena diperkirakan berat badan janin kecil dan posisi bayi sungsang dengan presentasi kaki. Selama ini pemeriksaan antenatal care di Puskesmas Kecamatan Senen. Hasil USG feto maternal TBJ: 1967 gram, hasil pemeriksaan dokter kandungan mengatakan kondisi bayi dalam keadaan baik dan direncanakan untuk operasi seksio caesar karena ibu A hamil dengan HIV on ARV obat Aluvia 2x2 tablet dan Tenofovir 1x1 tablet (malam hari). Ibu A mengatakan terdeteksi HIV sejak 3 tahun yang lalu (Tahun 2010) saat kehamilan pertama usia 7 bulan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penyakit HIV didapat dari (Alm) suami pertama yang meninggal bulan Juni 2012 karena narkoba. Ibu A memiliki seorang anak laki-laki dari pernikahan yang pertama, usia 3 tahun, berat lahir: 3000 gram dengan operasi seksio caesar di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
33
Ibu A menikah yang kedua bulan Juli 2012 dan sedang hamil saat ini. Ibu A dengan G2P1H34 minggu, BSC 1x, HPHT: 26/9/2012. Tanggal 17 Mei 2013 Pkl 23.00 WIB, Ibu A mengatakan segera (jarak dekat antara rumah orang tua ibu A (Kramat Raya- RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) ke IGD RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan keluhan utama: keluar air-air dari kemaluannya. Warna: air ketuban bening, belum inpartu HIV on ARV. Hasil pemeriksaan dokter kandungan mengatakan bahwa air ketuban belum kering dan masih cukup untuk persalinan. Riwayat alergi: tidak ada, riwayat penyakit dalam keluarga: Hipertensi, DM, asma, penyakit jantung disangkal. Pasien direncanakan akan dilakukan operasi seksio caesar cito, Sel CD4: 380 sel/mm3, HbsAg non reaktif. Pasien diantar ke Ruang Operasi tanggal 18 Mei 2013 Pkl 07.00 WIB.
Tanggal 18 Mei 2013 lahir seorang bayi laki-laki Pkl 07.30 WIB dengan seksio caesar atas indikasi ibu HIV dan ketuban pecah dini 8 jam, BB: 2040 gr, PB: 45 cm, lingkar kepala: 31,5 cm, lingkar dada: 27 cm, lingkar perut: 23 cm, lingkar lengan 8,5 cm, panjang lengan: 19 cm, lipatan paha: 13 cm. Saat lahir tidak ada resusitasi aktif, apgar score: nilai menit pertama: 9, nilai menit kelima: 10.
Saat observasi atas indikasi ruang transisi bayi tampak tidak terlalu aktif, tidak ada instabilitas suhu, refleks hisap tidak baik, belum buang air kecil dan buang air besar, menangis lemah, merintih, kebiruan. Observasi: Nadi: 180x/mnt, Saturasi Perifer: 63%, Suhu: 36,30C. Bayi kemudian dirawat di inkubator Special Care Nursery IV tanggal 18 Mei-23 Mei 2013), bayi masih merintih saturasi perifer: 67 %, dilakukan pemasangan CPAP dengan PEEP 7. Bayi tampak memerah dengan saturasi perifer: 98%. Terdapat periodik apnea ± 20 detik disertai desaturasi hingga 70%.
Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Terapi Medik Tanggal 18 /5/2013:
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
34
Hb: 12,3 g/dl / Ht: 37%/ Leukosit: 9.600 /uL / Trombosit: 152.000 /uL Hasil AGD: PCO2: 52,5/ PO2: 41,5/ HCO3: 27,8/ SaO2: 73,8% BE: 1,2 kesan: Hiperkabnia Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Terapi Medik Tanggal 20 /5/2013 Bilirubin Total: 9,38 mg/dl /Bilirubin Direk: 0,45 mg/dl Hasil Pemeriksaan Laboratorium dan Terapi Medik Tanggal 20 /5/2013: Bilirubin Indirek: 8,93 mg/dl kesan: Hiperbilirubin Tanggal 21/5/2013 Albumin: 2,88 mg/dl
Terapi Medik selama perawatan di Special Care Nursery IV: - Zidovudin 2x 8 mg (PO) SIDA - Amoxycian 2 x 115 mg atasi infeksi - Gentamycin 11,5 mg/ 36 jam atasi infeksi - Aminophilin 2x 6 mg atasi apnea - Kafein shunt 1x10 mg
Bayi dipindahkan ke Special Care Nursery III tanggal 23 Mei 2013 Pkl 22.00-26 Mei 2013 Pkl 07.00. Catatan perkembangan bayi laki-laki usia 8 hari, kesadaran: compos mentis, bayi tanpa menggunakan antibiotik, sedang dalam light terapi dan minum secara bertahap. Saat ini bayi aktif, tidak ada instabilitas suhu, toleransi minum baik. Ekstremitas: akral hangat, rawat inkubator.
Bayi dipindahkan ke Special Care Nursery V tanggal 26 Mei 2013 Pkl 07.00-29 Mei 2013. Kesadaran: compos mentis, keadaan umum: perbaikan, bayi dirawat di inkubator, tidak menggunakan light terapi. Bayi direncanakan pulang tanggal 29 Mei 2013 Pkl 15.00 karena keadaan umum perbaikan, kebutuhan nutrisi seperti minum sudah baik dan kadar bilirubin dalam rentang normal. Penulis mengkaji tentang penjelasan apa yang diberikan oleh perawat Special Care Nursery V ketika bayi mau dibawa pulang ke rumah. Ibu A mengatakan perawat telah memberikan penjelasan tentang tanda-tanda bahaya bayi yang dirawat di rumah seperti kejang,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
35
sesak, ada kebiruan segera dibawa ke rumah sakit, cara memberikan susu formula kepada bayi dan rencana kontrol ke tumbuh kembang anak dan pemeriksaan alergi. Obat yang dibawa pulang profilaksis bayi: Zidovudin 2x 8 mg.
3.2
Pengkajian Postnatal Tanggal Pengkajian: 20 Mei 2013 Ruangan/ RS : Gedung A Lt 2 Ruang Obstetri & Gynecologi Zona B RSCM
DATA UMUM KLIEN Initial Klien : Ibu A
Initial Suami: Bapak S
Usia : 26 Tahun
Usia : 30 Tahun
Status Perkawinan: Menikah
Status Perkawinan: Menikah
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Pekerjaan: Pedagang
Pendidikan terakhir: SMA
Pendidikan terakhir: SMA
Riwayat Kehamilan dan Persalinan Yang Lalu No
Tahun
Tipe
Penolong
Persalinan 1
2010
Jenis
BB lahir
kelamin
Seksio
Dokter
Laki-
3000
Caesar
kandungan
Laki
gram
Keadaan
Masalah
Bayi
Kehamilan
Sehat
Tidak ada
RSCM 2
2013
Seksio
Dokter
Laki-
2040
Bayi di
Ketuban
Caesar
kandungan
Laki
gram
rawat di
pecah dini
RSCM
SCN RSCM
Pengalaman menyusui: tidak ada
Riwayat Kehamilan Saat ini 1. Berapa Kali Periksa Hamil: Ibu A mengatakan 7 kali periksa antenatal care di Puskesmas Kecamatan Senen dan 1 kali pemeriksaan kehamilan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. 2. Masalah Kehamilan: Ketuban Pecah Dini dengan Ibu hamil SIDA on ARV
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
36
Riwayat Persalinan 1. Jenis Persalinan: Operasi seksio caesar atas indikasi Ibu SIDA on ARV, Ketuban Pecah Dini (KPD) warna: bening. 2. Jenis Kelamin Bayi: laki-laki, BB: 2040 gr/ PB: 45 cm. A/S: 9/10. 3. Masalah dalam persalinan: tidak ada
Riwayat Ginekologi 1. Masalah Ginekologi: Tidak ada 2. Riwayat KB
: Pil KB
DATA UMUM KESEHATAN SAAT INI Ibu A, status obstetrik: NH3P2A0, Bayi tidak rawat gabung karena BBLR: 2040 gram, ketidakstabilan suhu, refleks hisap kurang baik, menangis lemah, merintih, kebiruan sehingga memerlukan perawatan intensif di Special Care Nursery. Keadaan umum: baik, kesadaran: compos mentis, BB/ TB: 55 kg/ 155 cm. Observasi tanda-tanda vital: TD: 100/70 mmHg, N: 80x/mnt, kuat, teratur, arteri radialis, S: 36 C, P: 18x/mnt, teratur.
Hasil pemeriksaan fisik ibu nifas dilakukan head to toe. Hasil pemeriksaan dari kepala – leher didapatkan: kepala: distribusi rambut merata, warna hitam, bersih, tidak ada lesi. Mata : Bulat, isokor ø 3 mm/3mm, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Hidung : septum deviasi di tengah, bersih dan tidak ada peradangan. Mulut: Membran mukosa mulut lembab, gigi bersih dan lengkap, tidak ada karies. Telinga: simetris, membran tympani utuh, tidak ada cairan keluar dari telinga dan tidak ada pembengkakan di belakang telinga. Leher: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, refleks menelan baik.
Hasil pemeriksaan fisik Dada-Jantung didapatkan: Dada: simetris, tidak ada retraksi dinding dada. Jantung : BJ I-II normal, tidak ada murmur, dan tidak ada Gallop. Paru: pengembangan di kedua paru memadai, vesikuler +/+,
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
37
Ronkhi -/-, Wheezing -/-. Payudara: Inspeksi: simetris, hiperpigmentasi aerola, putting susu: menonjol, bersih. Palpasi: tidak teraba massa, tidak teraba pembengkakan dan tidak terdapat pengeluaran ASI.
Pemeriksaan fisik abdomen dilakukan dari inspeksi, auskultasi, dan palpasi. Palpasi dilakukan terakhir untuk mencegah adanya nyeri tekan sehingga akan mengganggu pemeriksaan. Inspeksi: tampak balutan luka post operasi seksio caesar bersih, tidak ada rembesan, linea nigra. Auskultasi: bising usus 8x/mnt di kuadran kanan bawah. Palpasi: Fundus uterus: keras, kontraksi baik, posisi 3 jari bawah pusat. Kandung kemih teraba kosong. Dari hasil pengkajian pasien post operasi seksio caesar didapatkan: P: Nyeri bagian luka post op seksio caesar Q: Seperti di tusuk-tusuk dan terasa mules R: Daerah perut S: Skala 3, tidak mengganggu aktivitas dan dapat ditahan T: Nyeri timbul ketika bergerak miring kanan, miring kiri dan berjalan ke kamar mandi. Berjalan secara perlahan-lahan, istirahat dan nafas dalam dapat mengurangi nyeri.
Pemeriksaan fisik perineum dan genital: vagina: Integritas kulit tidak ada edema, tidak ada memar, tidak ada hematom. Perineum: utuh, kebersihan: bersih. Lokia: Rubra, jenis/warna: Konsistensi: tidak
merah kecoklatan. Jumlah: ¼ softex.
banyak, Bau: tidak berbau. Hemoroid: tidak ada.
Pemeriksaan fisik ekstremitas atas dan bawah : tidak ada edema, varises: tidak ada, tanda Homan Sign: -/-.
Pengkajian Eliminasi: Urine: Kebiasaan BAK: 7-8x/hari warna: kuning jernih, tidak ada kesulitan BAK. BAK saat ini: Ibu A mengatakan sudah BAK di kamar mandi sejak di lepas folley kateter kemarin sore (19/5/2013). Kebiasaan BAB: 2x/hari. BAB saat ini: Ibu A mengatakan sudah BAB. Konsistensi: padat, tidak keras, banyak warna: kuning kecokelatan. Ibu A tampak mobilisasi aktif seperti duduk dan berjalan secara mandiri.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
38
Pola istirahat dan kenyamanan. Ibu A mengatakan tidur malam Pkl 22.0006.00 WIB dan pola tidur saat ini: tidak ada kesulitan tidur. Keluhan atau ketidaknyamanan yang dirasakan yaitu nyeri luka post operasi seksio caesar tetapi tidak mengganggu tidur.
Pola nutrisi dan cairan didapatkan data bahwa Ibu A mendapat asupan nutrisi: 2000 kalori/hari, diet protein: 62 mg/hari. Asupan cairan: 1500cc/hari. Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan baik dan status hidrasi adekuat.
Pengkajian tentang keadaan mental didapatkan data dari adaptasi psikologis : Ibu A mengatakan senang karena orang tua (ibu) dan suami menemani saat selama hamil sampai proses setelah melahirkan saat ini. Ibu A berharap supaya cepat pulang dan dapat melihat anak di Special Care Nursery (SCN). Dirinya dan keluarga merasa bersyukur anaknya mampu bertahan hidup walaupun kecil BB: 2040 gram dan dirawat di Special Care Nursery (SCN). Tampak ibu A dan keluarga menerima anggota baru dengan kehadiran anak keduanya. Rencana untuk pemberian susu kepada bayi, Ibu A memutuskan memberikan susu formula sama seperti anaknya yang pertama karena aman untuk mencegah penularan HIV.
Pada saat melakukan pengkajian tentang pengobatan ARV, penulis menanyakan apakah obat ARV diminum rutin? Apa efek samping yang dirasakan minum obat ARV?. Ibu A mengatakan selalu minum obat ARV setiap hari dan suami mengingatkan untuk minum obat ARV. Selama minum obat ARV belum pernah mengalami efek samping obat yang dirasakan oleh kebanyakan orang yang menggunakan obat ARV. Ibu A juga sering kontrol ke Pokdisus RSCM untuk pengobatan ARV dan mengikuti perkumpulan sesama ODHA setiap akhir bulan tepatnya tanggal 28 dan pertemuan diadakan di daerah Tebet. Ibu A mengatakan perkumpulan sesama ODHA tergantung dari kondisi wilayah tempat tinggal.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
39
Obat-obatan yang di konsumsi saat ini: Bromokriptin 2x2,5 mg, Ultracet 3x37,5 mg. Hasil pemeriksaan penunjang: Hasil Laboratorium 18/5/2013 Pkl 09.33 Post seksio caesar: Hb/ Hematokrit/ Leukosit/ Trombosit/: 12,7 g/dl/ 37,3% / 10,4/uL/ 257.000/uL. Hasil Lab 18/5/2013 Pkl 01.42: Albumin/ GDS: 3,07 g/dl/ 92 mg/dl.
3.3 Diagnosa Keperawatan Penegakkan diagnosa keperawatan, ditentukan setelah penulis menganalisa hasil pengkajian yang diperoleh. Diagnosa keperawatan yang diangkat berdasarkan NANDA 2012-2014 yaitu: 1. Nyeri akut berhubungan dengan efek involusi uterus 2. Diskontinuitas pemberian ASI berhubungan dengan penyakit SIDA pada Ibu A 3. Kesiapan meningkatkan kemampuan menjadi orang tua berhubungan dengan perawatan bayi prematur di rumah 4. Kesiapan meningkatkan nutrisi berhubungan dengan intake yang adekuat
Berdasarkan diagnosa keperawatan diatas, penulis mengangkat tiga diagnosa yang berdasarkan prioritas keperawatan yaitu: nyeri akut berhubungan dengan efek involusi uterus, diskontinuitas pemberian ASI berhubungan dengan penyakit SIDA pada Ibu A dan kesiapan meningkatkan kemampuan menjadi orang tua berhubungan dengan perawatan bayi prematur di rumah.
Diagnosa Keperawatan pertama: Nyeri akut berhubungan dengan efek involusi uterus. Data yang mendukung berdasarkan data subjektif : P: Nyeri bagian luka post operasi seksio caesar, Q: seperti di tusuk-tusuk dan terasa mules, R: Daerah perut, S: Skala 3, tidak mengganggu aktivitas dan dapat ditahan, T:
Nyeri timbul ketika bergerak miring kanan, miring kiri dan
berjalan ke kamar mandi. Jika nyeri timbul berjalan pelan-pelan, istirahat dan nafas dalam. Data Obyektif meliputi: kesadaran: compos mentis, keadaan umum: baik, terapi Ultracet 3 x 37,5 mg.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
40
Diagnosa Keperawatan kedua: Diskontinuitas pemberian ASI berhubungan dengan penyakit SIDA pada Ibu A. Data yang mendukung berdasarkan data subjektif: Ibu A mengatakan HIV diketahui sejak 3 tahun yang lalu dan mendapat obat ARV, HIV didapat dari (Alm) suami pertama dan terdeteksi saat hamil 7 bulan (kehamilan anak pertama), memutuskan untuk memberikan susu formula sama seperti anak pertama karena aman untuk mencegah penularan HIV. Data Obyektif: Jenis Persalinan: Operasi seksio caesar atas indikasi ibu SIDA on ARV, ketuban pecah dini warna: bening, hasil pemeriksaan fisik payudara: Inspeksi: simetris, hiperpigmentasi aerola, putting susu: menonjol, bersih. Palpasi: tidak teraba massa, tidak teraba pembengkakan dan tidak ada pengeluaran ASI. Terapi: Bromokriptin 2 x 2,5 mg.
Diagnosa Keperawatan ketiga: Kesiapan meningkatkan kemampuan menjadi orang tua berhubungan dengan perawatan bayi prematur di rumah. Data yang mendukung berdasarkan data subjektif: Ibu A mengatakan senang karena orang tua (ibu) dan suami menemani saat selama hamil sampai proses setelah melahirkan saat ini. Ibu A berharap supaya cepat pulang dan dapat melihat anak di Special Care Nursery (SCN). Ibu A dan keluarga merasa bersyukur anaknya mampu bertahan hidup walaupun kecil BB: 2040 gram dan dirawat di Special Care Nursery (SCN). Data Obyektif: tampak ibu dan keluarga menerima anggota baru dengan kehadiran anak keduanya.
3.4 Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan Diagnosa Keperawatan pertama: Nyeri akut berhubungan dengan efek involusi uterus. Tujuan intervensi: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, nyeri berkurang. Kriteria Evaluasi: Ekspresi wajah rileks, intensitas skala 1, teknik relaksasi nafas dalam dapat dilakukan dengan benar, Mobilisasi secara aktif seperti berjalan, duduk dan miring secara mandiri dengan postur tubuh tegak ketika berjalan, posisi fundus uterus turun satu cm setiap 24 jam sesuai dengan masa nifas.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
41
Intervensi keperawatan: 1) Kaji mengenai adanya nyeri P = Paliatif atau penyebab nyeri, Q = Quality/kualitas nyeri, R= Regio (daerah) lokasi atau penyebaran nyeri, S= Subyektif deskripsi oleh pasien mengenai tingkat nyerinya, T=
Periode/waktu yang berkaitan dengan nyeri. 2) Lakukan
pemeriksaan fisik ibu nifas sesuai dengan status generalis dan status obstetrik. 3) Jelaskan kepada pasien tentang tujuan dilakukan pemeriksaan fisik dan gunakan
komunikasi
terapeutik
agar
pasien
dapat
menyatakan
pengalamannya terhadap nyeri serta dukungan dalam merespon nyeri. 4) Fasilitasi tingkat kebutuhan pasien yang dapat memberikan kenyamanan pada pasien (k/p). 5) Evaluasi cara teknik relaksasi nafas dalam yang pasien ketahui. 6) Ajarkan kembali untuk menggunakan teknik non-farmakologi seperti: teknik relaksasi nafas dalam. 7) Beri pujian kepada ibu cara teknik relaksasi nafas dalam yang telah dipraktekkan dengan benar. 8) Anjurkan untuk istirahat/tidur secukupnya untuk mengurangi nyeri. 9) Beri obat pengurang rasa nyeri sesuai dengan terapi medik seperti: ultracet 3x37,5 mg.
Implementasi keperawatan yang sudah dilaksanakan dalam mengurangi nyeri pasien tanggal 20 Mei 2013 yaitu: 1) mengobservasi pasien kondisi yang dapat meningkatkan nyeri dan cara yang dapat mengurangi nyeri. 2) mengobservasi tanda-tanda vital. 3) mengevaluasi tentang teknik relaksasi nafas dalam dan tujuan yang pasien ketahui dan mencoba untuk mempraktekkannya.
4)
memberikan
pujian
kepada
pasien
tentang
demonstrasi teknik relaksasi nafas dalam dengan benar. 5) memberikan penjelasan tentang tujuan teknik relaksasi nafas dalam yaitu kebutuhan suplai oksigen dapat terpenuhi ke dalam otak sehingga rasa nyeri berkurang. 6) mengajarkan kembali bersama pasien teknik relaksasi nafas dalam. 7) memberikan obat ultracet 3x37,5 mg. 8) melakukan pemeriksaan fisik ibu nifas head to toe. 9) memberikan penjelasan kepada pasien tentang tujuan dilakukan pemeriksaan fisik yaitu untuk memeriksa kondisi kesehatan dari kepala sampai kaki. 10) memberitahu kepada pasien hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
42
Evaluasi keperawatan terdiri dari suyektif, obyektif, analisa dan perencanaan (S, O, A, P). Tanggal 20 Mei 2013: Subyektif: Ibu A mengatakan nyeri masih ada saat bergerak seperti berjalan, miring dan duduk tetapi tidak mengganggu aktivitas. Operasi seksio caesar nyeri lebih lama dirasakan dan untuk mengurangi nyeri dengan minum obat ultracef 1 tablet, nafas dalam dan istirahat. Obyektif: kesadaran: compos mentis, keadaan umum perbaikan, observasi TTV: TD: 110/80 mmHg, N: 84x/mnt, S: 36 0C, P: 18x.mnt. Tampak ekspresi wajah: menahan rasa sakit ketika bergerak, tampak pasien terlihat antusias ketika diajarkan kembali teknik nafas dalam untuk mengurangi nyeri. Pemeriksaan fisik status generalis: kepala: rambut bersih tidak ada lesi, mata: bulat, isokor ø 3 mm/3mm, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik. Leher: refleks menelan baik, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening. Dada: simetris, pengembangan di kedua paru memadai, vesikuler +/+, suara nafas tambahan tidak ada. Jantung: BJ I-II normal, tidak ada suara nafas tambahan. Payudara: Inspeksi: simetris, puting susu menonjol, bersih. Palpasi: tidak ada pengeluaran asi, tidak ada pembengkakan. Status obstetrik: abdomen: tampak balutan luka operasi seksio caesar bersih, tidak ada rembesan, linea nigra, fundus uteri: keras, kontraksi: baik, Posisi: 3 jari di bawah pusat. Lokea rubra, tidak berbau. Ekstremitas bawah: Homan sign -/-. Hemoroid: tidak ada. Analisa: nyeri mulai berkurang skala 2. Perencanaan: Rencana pulang besok tanggal 21 Mei 2013, evaluasi teknik relaksasi nafas dalam yang sudah diajarkan, motivasi ibu A untuk tidak menggaruk balutan luka post operasi seksio caesar bila nyeri timbul, kontrak untuk kunjungan rumah tanggal 25 Mei 2013 dan evaluasi tingkat nyeri pasien dan pemeriksaan fisik ibu nifas.
Tanggal 25 Mei 2013 melakukan kunjungan rumah ke rumah Ibu A. Penulis menanyakan kondisi pasien dan tingkat nyeri yang dirasakan. Ibu A mengatakan kondisi lebih baik, nyeri sudah berkurang dan tidak minum obat ultracef. Tampak pasien ditemani oleh keluarga, ekspresi wajah rileks dan segar. Pemeriksaan Fisik: Payudara: simetris, puting susu menonjol keluar, tidak ada pengeluaran ASI, tidak ada pembengkakan. Abdomen: tampak
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
43
balutan luka operasi bersih dan tidak ada rembesan. Tinggi fundus uteri: satu jari diatas symfisis pubis, pengeluaran lokea berwarna kekuningan. Diagnosa keperawatan nyeri teratasi.
Diagnosa Keperawatan kedua: Diskontinuitas pemberian ASI berhubungan dengan penyakit SIDA pada Ibu A. Tujuan intervensi: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, pasien mampu memberikan pengganti ASI seperti susu formula untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi. Kriteria Evaluasi: Ibu mengetahui persyaratan pemberian susu formula yaitu Acceptable = mudah diterima, Feasible = mudah dilakukan, Affordable = harga terjangkau, Sustainable = berkelanjutan, Safe = aman. Payudara pasien tidak mengalami nyeri dan tidak mengalami pembengkakan. Bayi mendapat pemberian susu formula setiap 3 jam sesuai dengan takaran yang dianjurkan. Intervensi keperawatan: 1) Kaji payudara dan pemeriksaan fisik pada payudara dan pastikan tangan dalam kondisi bersih. 2) Evaluasi tingkat pengetahuan pasien tentang pemberian ASI, susu formula, campuran ASI dan susu formula dan syarat pemberian susu formula kepada bayi dengan ibu yang mendapatkan pengobatan ARV. 3) Beri pujian kepada pasien atas jawaban yang tepat tentang pengetahuan pemberian nutrisi kepada bayi dan memutuskan pilihan susu formula untuk kebutuhan nutrisi bayi. 4) Beri edukasi tambahan dengan menggunakan kalimat sederhana tentang pemberian ASI, susu formula, campuran ASI dan susu formula, dan syarat pemberian susu formula kepada bayi dengan ibu yang mendapatkan pengobatan. 5) Anjurkan pasien untuk melakukan pembebatan pada payudara jika ASI masih berproduksi (k/p). 6) Ajarkan pasien cara pembebatan payudara (k/p). 7) Beri obat Bromokriptin 2 x 2,5 mg sesuai dengan terapi medik.
Implementasi keperawatan yang sudah dilaksanakan dari diagnosa kedua tanggal 20 Mei 2013 yaitu: 1) mengkaji keluhan yang dirasakan pasien dan melakukan pemeriksaan fisik payudara. 2) mengevaluasi tingkat pengetahuan pasien tentang manfaat pemberian ASI, susu formula, campuran ASI dan susu
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
44
formula. 3) mengevaluasi tingkat pengetahuan pasien tentang syarat pemberian susu formula. 4) memberikan pujian kepada pasien atas jawaban yang tepat. 5) memberikan edukasi tentang syarat pemberian susu formula dengan menggunakan kalimat sederhana, contoh: susu formula yang dikonsumsi perlu mudah diterima oleh ibu dan keluarga dan mudah dilakukan cara pemberiannya dan harga terjangkau. Pemberian susu formula perlu diberikan secara berkelanjutan dan penyimpanan susu formula ditempatkan di tempat aman. 6) ajarkan posisi pemberian susu formula kepada bayi. 7) memberikan obat bromokriptin 2 x2,5 mg sesuai terapi medik.
Evaluasi keperawatan tanggal 20 Mei 2013. Subyektif: Ibu A mengatakan payudara tidak bengkak dan tidak sakit. Produksi ASI tidak keluar karena minum obat bromokriptin. Ibu A mengatakan susu formula mencegah penularan HIV ke anak dan campuran antara ASI dan susu formula dapat meningkatkan penularan HIV lebih cepat ke anak. Ibu A mengatakan jika mau memberi ASI kepada anak selanjutnya diberi ASI, jika memberi susu formula kepada anak selanjutnya diberi susu formula. Podiksus RSCM memberikan susu formula secara gratis kepada bayi. Kondisi botol susu dalam keadaan bersih dan direbus dengan air hangat. Obyektif: Pemeriksaan fisik payudara: simetris, puting susu menonjol, bersih, tidak ada pengeluaran asi, tidak ada pembengkakan. Tampak ibu mengerti dan berpengalaman tentang syarat pemberian susu formula kepada bayi. Analisa: Ibu A memutuskan memberikan susu formula kepada bayi. Perencanaan: kontrak untuk kunjungan rumah tanggal 25 Mei 2013 dan observasi payudara dan tanyakan kondisi, keluhan pasien.
Tanggal 25 Mei 2013 melakukan kunjungan rumah ke rumah Ibu A. Penulis menanyakan kondisi dan keluhan yang dirasakan pasien tentang payudara. Ibu A mengatakan kondisi lebih baik, tidak ada bengkak pada payudara dan tidak ada pengeluaran ASI karena minum obat bromokriptin 2x2,5 mg. Pemeriksaan Fisik: Payudara: Inspeksi: simetris, puting susu menonjol keluar, Palpasi: tidak ada pengeluaran ASI, tidak ada pembengkakan. Penulis
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
45
menanyakan kondisi bayi kepada pasien terkait rencana pemulangan bayi ke rumah. Ibu A mengatakan anak pulang jika minum sudah baik. Kontrak yang akan datang: penulis melakukan kunjungan rumah kembali tanggal 8 Juni 2013. Jika bayi sudah diperbolehkan pulang, evaluasi tingkat pengetahuan ibu dan keluarga secara langsung terkait cara pemberian susu formula kepada bayi dan ajarkan bersama pasien dan keluarga cara memberikan susu formula kepada bayi dan posisi memberikan susu formula kepada bayi. Beri pujian kepada ibu dan keluarga terkait pemberian susu formula.
Penulis melakukan kunjungan rumah ke rumah Ibu A tanggal 8 Juni 2013. Penulis menanyakan kepada Ibu A tentang kondisi bayi, nama bayi dan jam pemberian minum susu. Ibu A mengatakan anak diberi nama bayi F, kondisinya baik dan pemberian susu 8x60 ml. Pada saat tiba jam pemberian susu, penulis memperhatikan cara Ibu A menyediakan susu formula kepada bayi F. Hasil observasi: Ibu A memperhatikan kebersihan air dan botol susu dan takaran yang diberikan yaitu 60 ml. Kondisi air yang disediakan dalam botol susu dalam keadaan hangat dan dilakukan pengecekan tingkat suhu air yang diberikan dengan menggunakan punggung tangan penulis. Dari segi pemberian susu kepada bayi, Ibu A terlihat memberikan susu kepada bayi dalam posisi bayi dipangku dengan posisi kepala lebih tinggi. Respon bayi saat pemberian susu formula dan setelah diberikan juga diperhatikan oleh Ibu A. Tampak Ibu A dan keluarga terlihat senang ketika melihat bayi F minum susu dengan baik.
Diagnosa Keperawatan ketiga yaitu: Kesiapan meningkatkan kemampuan menjadi orang tua b.d perawatan bayi prematur di rumah. Tujuan intervensi: setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x kunjungan rumah, pasien dan keluarga mampu memberikan perawatan pada bayi baru lahir (prematur) di rumah. Kriteria Evaluasi: Pasien dan keluarga memiliki perasaan senang saat merawat bayi prematur di rumah, memberikan imunisasi kepada bayi sesuai dengan kriteria usia bayi di pelayanan kesehatan terdekat seperti puskesmas, klinik dokter 24 jam, dan rumah sakit, mengenal tanda bahaya
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
46
merawat bayi prematur di rumah, membawa anak untuk kontrol ke pelayanan kesehatan terkait pertumbuhan dan perkembangan bayi, mampu melihat respon bayi dan tanggap dengan cermat saat merawat bayi prematur di rumah. Intervensi keperawatan: 1) kaji perasaan pasien dan keluarga tentang kelahiran anak keduanya. 2) kaji harapan pasien dan keluarga ketika merawat bayi prematur di rumah. 3) kaji tingkat pengetahuan orang tua dan keluarga tentang tanda bahaya bayi yang di rawat di rumah. 4) kaji tingkat pengetahuan orang tua tentang cara merawat bayi di rumah. 5) beri pujian atas jawaban yang benar. 6) tanyakan kepada pasien jadwal kontrol bayi ke perinatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Implementasi keperawatan yang sudah dilaksanakan dari diagnosa ketiga saat kunjungan rumah tanggal 25 Mei 2013 yaitu: 1) menanyakan perasaan Ibu A tentang kelahirannya yang kedua. 2) menanyakan harapan pasien dan keluarga terhadap bayi baru lahir (prematur). 3) menanyakan kepada pasien mengenai yang merawat bayi di rumah. 4) memberikan informasi kepada Ibu A dan keluarga tentang perkembangan bayi di SCN. 5) memberikan motivasi dan dukungan kepada ibu A tentang perawatan kepada bayi
Evaluasi keperawatan saat kunjungan rumah tanggal 25 Mei 2013. Subyektif: Ibu A mengatakan perasaan senang dengan kelahiran keduanya saat ini karena ditemani oleh suami dan orang tua (ibu). Anak yang kedua ini lahir kecil sebesar telapak tangan. Harapan supaya anak cepat pulang ke rumah. Ibu A mengatakan waktu lahir anak pertama dirawat oleh orang tua (ibu) yang tinggal di Kramat Raya. Ibu A dan Bapak S tinggal di rumah orang tua (ibu A) di Kramat Raya dan merawat bayi keduanya selama 40 hari dan selanjutnya ke depok (rumah Ibu A dan Bapak S). Obyektif: Tampak Ibu A dan keluarga senang menerima kehadiran anak kedua. Analisa: Kesiapan meningkatkan kemampuan menjadi orang tua. Perencanaan: jika bayi diperbolehkan untuk di rawat di rumah kaji tanda bahaya bayi prematur, ajarkan ibu dan keluarga untuk melakukan perawatan metode kangguru.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
47
Kontrak yang akan datang: penulis melakukan kunjungan rumah kembali tanggal 8 Juni 2013.
Kunjungan rumah kedua tanggal 8 Juni 2013, penulis mengajarkan kepada orang tua tentang perawatan metode kangguru di rumah (intervensi inovasi). Penulis menjelaskan pengertian tentang metode kangguru dengan kalimat sederhana, manfaat perawatan metode kangguru kepada orang tua, bayi dan cara melakukan metode perawatan metode kangguru.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
48
BAB 4 ANALISA KASUS
Analisa kasus dalam Bab 4 ini akan dipaparkan profil lahan praktik, analisis masalah keperawatan terkait konsep keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan, analisis masalah keperawatan kehamilan SIDA dengan konsep dan penelitian terkait, analisis masalah terkait intervensi inovasi dan alternatif pemecahan yang dapat dilakukan.
4.1 Profil Lahan Praktik RSUPN Cipto Mangunkusomo merupakan Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional, yang senantiasa memberikan pelayanan kesehatan berkualitas dan terjangkau. RSCM mempunyai fasilitas lengkap berupa poliklinik dan rawat jalan. Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo juga mempunyai Unit Pelayanan Terpadu HIV atau dikenal sebagai Kelompok Studi Khusus (Podiksus) AIDS, merupakan salah satu unit kerja fungsional dalam organisasi RSCM. Unit ini berperan sebagai penyelenggara kegiatan pelayanan, penyuluhan, dan penelitian bidang HIV&AIDS. Hal ini dilakukan agar peran tersebut dapat berjalan tertib, lancar dan sesuai ketentuan peraturan yang telah ditetapkan. Unit Pelayanan Terpadu berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Medik dan Keperawatan.
Gedung A merupakan satu wujud komitmen peningkatan mutu pelayanan rawat inap Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusomo (RSCM) dengan pelayanan terstandarisasi bertaraf Internasional. Sesuai namanya pelayanan rawat inap terpadu ini merupakan integrasi dengan sembilan departemen di RSCM terdiri dari obstetri dan Gynecologi, bedah, bedah syaraf, THT, penyakit dalam, anestesi, mata, kulit dan dan kelamin, geriatri. Gedung A terdiri dari delapan lantai, menempati bangunan seluas 26.000 m 2, menjadikan Gedung A sebagai Unit Rawat Inap terbesar di Indonesia. Berorientasi pada Continous Quality Improvement Public Wing menerapkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
49
dimensi mutu dalam pelayanan. Sebagai bagian dari Rumah Sakit Umum Pusat Nasional, Gedung A memiliki keunggulan dari aspek kualitas sumber daya manusia baik Dokter Spesialis maupun Perawat. Para Dokter Senior, Ahli dan Profesional berbagai disiplin ilmu kedokteran yang siap melayani pasien dengan kemampuan terbaik yang dimilikinya. Perawat merupakan mitra dokter dalam merawat pasien memiliki keterampilan dan pengetahuan Ilmu Kedokteran dan Keperawatan yang memadai, memungkinkan pasien aman dalam perawatan mereka.
Penulis menggunakan lahan praktik profesi peminatan maternitas 2013 di Gedung A lantai dua Ruang Obstetrik dan Gynecology (Zona B). Ruangan dari kasus kelolaan di ruang obstetrik terdiri dari ruang ibu post partum dengan bayi rawat gabung dan ruang Kanggoro Mother Care (KMC). Ibu A merupakan bagian dari pasien ibu post partum kelolaan yang dirawat di lantai dua ruang obstetrik (Zona B).
4.2 Analisis Masalah Keperawatan Terkait Konsep KKMP Populasi HIV/AIDS dikategorikan sebagai population at risk diartikan sebagai kumpulan individu-individu atau kelompok yang memiliki aktivitas atau karakteristik meskipun sedikit atau kecil yang dapat menyebabkan peningkatan resiko atau potensial terjadinya penyakit, injuri, atau masalah kesehatan (Stanhope & Lanchaster, 2004; Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999). Munculnya penyakit, injuri, dan masalah kesehatan tergantung dari paparan faktor spesifik yang terjadi pada populasi, tetapi paparan oleh faktor resiko yang sama belum tentu menyebabkan masalah kesehatan yang sama (Swanson, 1997).
Beberapa faktor resiko dapat berkontribusi terhadap munculnya kondisi sehat atau tidak sehat dan tidak setiap orang yang terpapar dengan peristiwa yang sama akan memiliki akibat yang sama. Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan dapat disebabkan oleh interaksi beberapa faktor, ketika beberapa faktor resiko tersebut diperoleh dalam waktu bersamaan, maka
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
50
kemungkinan peluang untuk timbulnya masalah kesehatan semakin besar (Stanhope & Lanchaster, 2004). Dicontohkan populasi pengguna narkoba jarum suntik yang menggunakan secara bersama-sama jarum suntik dapat terinfeksi HIV, hal ini dikarenakan ada kecenderungan pengguna narkoba jarum suntik juga mempunyai perilaku seksual aktif sehingga berpotensi untuk menularkan pada orang lain.
Menurut Stanhope dan Lanchaster (2004) beberapa faktor resiko timbulnya masalah kesehatan antara lain: 1) risiko sosial, berkaitan dengan kejadian sosial masyarakat seperti daerah konflik, wilayah bencana, daerah kriminal, dan lingkungan dengan kekerasan psikologi, 2) risiko ekonomi, berkaitan dengan kemiskinan, 3) risiko gaya hidup, berkaitan dengan pola kebiasaan perilaku, dan 4) risiko kejadian dalam hidup, berkaitan dengan kejadiankejadian besar yang dialami dalam hidup termasuk tumbuh kembang.
Risiko sosioekonomi. Risiko ekonomi berkaitan dengan tuntutan kebutuhan keuangan dalam keluarga dan risiko sosial berkaitan dengan kurang pengetahuan terkait dengan penyakit HIV/AIDS yang berisiko menyebabkan terjadinya penularan infeksi HIV. Kurangnya pengetahuan pada keluarga Ibu A disebabkan karena kurang terpaparnya informasi yang berkaitan dengan penyakit HIV/AIDS.
Berdasarkan kasus kelolaan Ibu A mengatakan (alm) suami pertama meninggal karena narkoba. Narkoba didapat dari teman sekitar lingkungan tempat tinggal. Awal mula memakai narkoba dari sekedar coba-coba yang ditawarkan oleh teman sepergaulannya, namun menjadi kecanduan. Ibu A dan (alm) suami belum mengetahui informasi dampak dari menggunakan narkoba yaitu HIV/AIDS. Tingkat ekonomi berada pada kondisi ekonomi menengah ke bawah dan tinggal di tempat padat penduduk.
Risiko perilaku. Risiko perilaku merupakan kebiasaan atau gaya hidup yang dapat berdampak terjadinya masalah kesehatan. Perilaku penyalahgunaan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
51
jarum suntik pada pengguna narkoba dilakukan dengan cara penggunaan jarum suntik secara bergantian sesama pengguna dapat terinfeksi HIV, hal ini dikarenakan ada kecenderungan pengguna narkoba jarum suntik juga mempunyai perilaku seksual aktif sehingga berpotensi untuk menularkan pada orang lain. Berdasarkan data yang diperoleh, Ibu A mengatakan penyakit HIV didapat dari (alm) suami yang pertama. Ibu A terdeteksi HIV di RSCM ketika sedang hamil anak pertama dan saat usia kandungan tujuh bulan.
Penyesuaian tumbuh kembang. Penyesuaian tumbuh kembang menjadi faktor berisiko terjadinya penularan infeksi HIV bila kematangan berfikir belum sepenuhnya berkembang yang memicu bahwa (alm) suami Ibu A belum berfikir panjang dan perilaku ikut-ikutan menggunakan narkoba suntik sesama teman kelompok.
Berkaitan dengan mobilitas penduduk dapat menyebarkan penularan HIV, berdasarkan data dari Ibu A mengatakan teman kelompok (alm) suami yang pertama, mayoritas masyarakat tempat tinggal di sekitar adalah kaum pendatang. Menurut Chantavanich, Beesey dan Paul, (2000) menyimpulkan bahwa Mobilitas penduduk merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam mempercepat penularan HIV di suatu daerah. HIV akan menyebar beserta orang-orang, yang saat pindah, juga menyebarkan berbagai situasi yang beresiko sehingga mendesak atau mendorong mereka untuk terlibat dalam perilaku seks yang tidak aman atau dalam penggunaan narkoba. Mobilitas itu sendiri tidak dapat disalahkan, namun “lingkungan” di sekitar penduduk yang berpindahlah yang membuat mereka menjadi rentan.
4.3 Analisis Masalah Konsep Kehamilan SIDA Dengan dan Penelitian Terkait Proses persalinan merupakan peristiwa yang menuntut dukungan dari seluruh anggota keluarga. Peristiwa persalinan pada satu anggota keluarga dianggap sebagai tanggung jawab bersama seluruh anggota keluarga. Pengembangan
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
52
Family Center Maternity Care (FCMC) merupakan salah satu cara yang digunakan dalam perawatan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan dengan melibatkan keluarga secara aktif. Konsep ini berfokus pada pemenuhan kebutuhan fisik dan psikososial pada wanita, bayi dan keluarga sebagai individu yang unik dan melihat setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dan keinginan khusus yang dapat di penuhi melalui proses keperawatan dalam upaya memberikan pelayanan yang berkualitas (Philip, 2003). Hal ini sejalan dengan konsep keperawatan maternitas yaitu pemenuhan kebutuhan ibu pada masa persalinan yang berpusat dengan keluarga, memberikan kesejahteraan ibu dan bayinya dengan melibatkan suami dan keluarga dalam melakukan intervensi keperawatan persalinan (Pilliteri, 2003).
Ibu hamil dengan SIDA sangat membutuhkan dukungan keluarga. Dukungan keluarga sangat dibutuhkan sebagai support system atau sistem pendukung utama sehingga ia dapat mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk beradaptasi dengan baik dalam menangani stressor yang ia hadapi terkait penyakitnya baik fisik, psikologi, maupun sosial (IYW, 2005; Lasserman & Perkins, 2001).
Berdasarkan kasus kelolaan, Penulis menanyakan kepada Ibu A dan keluarga pada saat kunjungan rumah tentang dukungan yang diperoleh selama ibu A hamil. Ibu A mengatakan selama hamil anak kedua ini merasa senang karena suami dan orang tua (ibu) memberi dukungan. Dukungan yang diberikan berupa suami menemani Ibu A kontrol ke Puskesmas Kecamatan Senen dan RSCM. Suami memberi penguatan dan semangat, memperhatikan kebutuhan pangan dan kenyamanan diri. Ibu A merasakan dukungan keluarga sangat berharga ketika dirinya dalam situasi stress seperti ketuban pecah di rumah sebelum persalinan. Keluarga seperti orang tua (ibu) dan suami dengan segera mengantar Ibu A ke IGD RSCM dan mengurus segala kebutuhan Ibu A.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
53
Dukungan lain yang didapat oleh Ibu A selama hamil yaitu pemeriksaan kondisi kesehatan selama hamil dan pemantauan terapi ARV yaitu obat aluvia dan temopopil di Podiksus RSUPN Cipto Mangunkusumo, mendapat informasi dan pendidikan pemberian makanan bayi, pencegahan dan pengobatan infeksi untuk Ibu A dan bayinya, dukungan perkumpulan sesama ODHA juga dapat memberikan semangat dalam menjalani proses persalinan saat ini. Bentuk dukungan yang dibutuhkan ibu dengan SIDA terkait dengan kondisi yang dialaminya sesuai dengan dukungan menurut Kemenkes RI (2011). Dukungan yang diberikan pada ibu dengan HIV tidak hanya terhenti setelah ibu melahirkan saja. Ibu tersebut akan menjalani hidup dengan HIV di tubuhnya, menjalankan perannya sebagai ibu yang harus merawat anaknya, menghadapi masalah stigma dan diskriminasi dari masyarakat terhadap ODHA (Kemenkes RI, 2011).
Pilihan persalinan paling sering dilakukan pada ibu hamil dengan SIDA adalah seksio sesarea karena berdasarkan kemanfaatan seksio sesarea untuk mencegah penularan HIV ke bayi yang dilahirkan. Menurut Mulyana (2008) mengatakan cara persalinan ibu hamil HIV positif yang lebih dianjurkan adalah dengan operasi, sebab dengan persalinan melalui operasi akan meminimalkan kontak kulit dan mukosa membran bayi dengan serviks (leher rahim) dan vagina, sehingga semakin kecil resiko penularan. Selain itu, operasi juga meminimalkan penularan akibat bayi menelan darah atau lendir ibu. Dampak terhadap bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan HIV/AIDS selain tertular virus HIV, mereka juga berisiko melahirkan anak prematur dan kemungkinan memiliki harapan hidup yang pendek (Fang et al, 2009).
Proses persalinan yang dilakukan oleh ibu A melalui operasi seksio caesar. Operasi seksio caesar dilakukan sito karena ketuban pecah dini berwarna bening. Resiko yang meningkatkan penularan hingga dua kali lipat terjadi apabila ketuban pecah lebih dari empat jam sebelum persalinan dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam sebelum persalinan (American College of Obstetricians and Gynecologists, 2000). Ibu dengan sel CD4 yang
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
54
rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 yang < 350 sel/mm3. Semakin rendah jumlah sel CD4, pada umumnya risiko penularan HIV akan semakin besar. Sebuah studi menunjukkan bahwa ibu dengan CD4 < 350 sel/mm3 memiliki risiko untuk menularkan HIV ke anaknya jauh lebih besar (Kemenkes RI, 2011).
Berdasarkan teori, penelitian terkait terdapat persamaan dari hasil analisa penulis. Persamaan yang ditemukan berdasarkan kasus kelolaan yaitu Ibu A mempunyai sel CD4 380/mm3 dan selama hamil Ibu A rutin mengkonsumsi ARV yaitu Aluvia dan Tenofovir, sehingga berpeluang sedikit untuk terjadi penularan kepada janin yang dikandungnya. Namun, yang menjadi pemicu lainnya yang dapat beresiko penularan HIV yaitu ketuban pecah dini. Ketuban pecah dini yang dialami oleh Ibu A berkisar antara 8 jam (lebih dari 4 jam) dari ketuban pecah di rumah Pkl 23.00 dan segera di bawa ke RSCM oleh keluarga. Operasi seksio caesar di RSCM Pkl 07.00. Hasil pemeriksaan dokter kandungan RSCM mengatakan bahwa air ketuban belum kering dan masih ada untuk persalinan.
Berdasarkan analisa penulis, kemungkinan besar bayi yang dilahirkan Ibu A adalah bayi prematur. Penyebab terjadinya kelahiran prematur ada tiga (Ladewig, London & Olds, 2006) yaitu faktor ibu, faktor janin dan faktor plasenta. Pada kasus yang dialami oleh ibu A, penyebab kelahiran bayi prematur disebabkan oleh faktor janin yaitu ketuban pecah dini. Hal ini dibuktikan dengan Ibu A mengalami ketuban pecah usia gestasi 32 minggu, dimana keluar air-air dari kemaluan merupakan tanda memulai persalinan. Bayi prematur yang dilahirkan juga dapat berpeluang terkena infeksi karena ketuban pecah lebih dari 4 jam sesuai dengan penelitian American College of Obstetricians and Gynecologists, (2000).
Pada saat bayi Ibu A dilahirkan tanggal 18 Mei 2013 tidak ada resusitasi aktif dan nilai apgar menit pertama: 9 dan menit kelima: 10. BB: 2040 gram, PB: 45 cm. Saat observasi atas indikasi ruang transisi bayi tampak tidak terlalu
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
55
aktif, tidak ada instabilitas suhu, refleks hisap tidak baik, belum buang air kecil dan buang air besar, menangis lemah, merintih, kebiruan. Klasifikasi bayi prematur Ibu A yaitu bayi prematur sedang (moderately premature): masa gestasi 32 minggu. Berat badan: 2040 gram. Sehingga bayi memerlukan perawatan di ruang Special Care Nursery selama dua belas hari (tgl 18 Mei 2013- 29 Mei 2013).
Bayi mengalami kondisi perbaikan sehingga dianjurkan untuk perawatan dirumah tanggal 29 Mei 2013. Ibu A mengatakan setelah satu minggu bayi diperbolehkan pulang dari Special Care Nursery (SCN) RSCM, Ibu A membawa anaknya untuk kontrol ke perinatologi dan pelayanan tumbuh kembang anak RSCM. ibu A memberikan penjelasan kepada penulis bahwa bayi yang lahir dengan berat badan kurang dapat berakibat gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan. Pernyataan ini dijelaskan oleh dokter perinatologi ketika Ibu A diperbolehkan membawa bayi di rawat di rumah. Tanggal 7 Juni 2013 hasil USG kepala bayi: kesan dalam batas normal. Pelayanan tumbuh kembang anak menganjurkan supaya bayi dilakukan pemeriksaan bagian telinga dan mata. Hasil pemeriksaan telinga dalam batas normal.
Pemeriksaan mata dilakukan terkait penggunaan light terapi selama perawatan di Special Care Nursery (SCN) RSCM. Hasil pemeriksaan mata menyatakan bahwa tidak ada gangguan penglihatan. Hasil pemeriksaan alergi dinyatakan tidak ada alergi. Bayi juga dinyatakan tidak terdeteksi HIV, namun bayi lahir prematur berpeluang lebih rentan tertular HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik. Penulis berfikir hal positif yang sudah dilakukan Ibu A dalam segi kekebalan tubuh untuk anaknya ketika kunjungan rumah yang ketiga, Ibu A mengatakan membawa bayi F usia satu bulan untuk imunisasi di puskesmas. Terlihat dari buku berwarna pink, Tanggal 3 Juni 2013 bayi F sudah diberi imunisasi BCG, HB0 dan polio1.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
56
Pengobatan juga diberikan kepada bayi prematur selama dirawat di rumah yaitu profilaksis ARV untuk bayi: AZT (zidovudine) 4 mg/KgBB, 2x/hari, mulai hari ke-1 hingga 6 minggu (Kemenkes, 2011). Berat badan bayi 2040 gr, Jadi dosis yang diberikan kepada bayi AZT (zidovudine) 4 mgx 2040 gr = 8 mg. Dosis yang diberikan kepada bayi Zidovudine 2x 8 mg (PO). Tatalaksana pemberian makanan kepada anak, Ibu A memutuskan untuk memberikan susu formula. Menurut Kemenkes (2011) bahwa perbandingan risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada pemberian ASI eksklusif 5-15%, susu formula 0%, dan mixed feeding (24,1%). Pemberian susu formula harus memenuhi lima persyaratan dari WHO yaitu Acceptable, Feasible, Affordable, Sustainable, Safe (AFASS). Dalam pemberian susu formula kepada anaknya, Ibu A mampu memahami dengan benar tentang pemberian susu formula kepada anaknya dari penyuluhan yang diberikan di kelompok ODHA dan Pokdisus RSCM.
4.4 Analisis Masalah Terkait Intervensi Inovasi Penulis menerapakan metode perawatan kangguru sebagai salah satu intervensi inovasi yang diterapkan kepada pasien kelolaan Ibu A dengan perawatan bayi prematur di rumah. Alasan dilakukan intervensi perawatan kangguru karena prinsip dari perawatan metode kangguru (PMK) adalah kontak kulit antara orang tua (ibu dan ayah) dengan bayi yang dapt dilakukan di berbagai setting tempat dan waktu. Sehingga menunjukkan efek positif PMK pada perawatan di rumah. Salah satu metode perawatan yang dapat diberikan pada bayi prematur yang dirawat di rumah yaitu perawatan metode kangguru (PMK).
PMK merupakan perawatan dengan melakukan kontak langsung antara kulit bayi dengan kulit ibu (skin-to-skin contact). Perawatan metode kangguru telah dikembangkan sebagai alternatif inkubator untuk bayi prematur karena sering mengalami masalah tidak hanya terkait pemberian makan dan pertumbuhan. Selama ini penelitian-penelitian PMK telah banyak dilakukan dan semakin berkembang dari segi pemanfaatannya dan untuk melihat
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
57
efeknya secara lebih jelas dibanding perawatan bayi dengan inkubator. Hasil penelitian yang dilakukan telah menunjukkan bahwa PMK efektif untuk mengontrol suhu tubuh, kedekatan ibu dengan bayi, peningkatan berat badan dan perbaikan klinis bayi (WHO, 2003).
Pada penelitian lain tentang efek PMK adalah penelitian yang dilakukan oleh Deswita, Besral dan Rustina (2012) menunjukkan adanya dampak yang positif pada bayi setelah dilakukan PMK. Adanya perbaikan suhu tubuh, denyut jantung dan frekuensi nafas ke nilai dalam batas normal setelah dilakukan PMK.
Manfaat yang dirasakan bayi adalah dapat menyenangkan bagi kelima indera bayi. Bayi merasakan kehangatan (sentuhan) dari ibu, mendengarkan suara dan frekuensi denyut jantung ibu (pendengaran), kontak mata dengan ibu (penglihatan) dan mencium aroma tubuh ibu atau penciuman (Arora, 2008). Kontak dari kulit ke kulit antara bayi dan orangtuanya, dimana bayi biasanya berada pada posisi dada orangtuanya, dimana bayi biasanya nberada pada posisi dada ke dada bagian kanan atas dengan posisi pronasi (tengkurap). Keadaan ini yang dapat menstimulasi semua sistem yang ada pada bayi dalam tumbuh kembangnya.
4.5 Alternatif Pemecahan yang Dapat Dilakukan Ibu dengan SIDA yang memiliki bayi baru lahir prematur dirawat di rumah menganggap bayi prematur itu rentan karena ukuran bayi yang kecil, ibu merasa khawatir tidak bisa memenuhi kebutuhan anak. Harapan ibu adalah memiliki bayi yang sehat dan kenyataannya adalah mereka memiliki bayi prematur. Rasa ketakutan, keraguan, kesedihan, dan penerimaan terhadap bayi prematur terintegrasi menjadi satu. Ibu dengan SIDA yang memiliki bayi baru lahir prematur merasakan bahwa bayinya membutuhkannya.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
58
Meskipun bayi prematur diperbolehkan pulang telah mencapai stabil, penulis mengajarkan Ibu A dan keluarga tentang perawatan kangguru. Selain itu, alternatif pemecahan yang dapat dilakukan berupa Ibu A mampu memberikan yang terbaik untuk anaknya mencegah supaya tidak tertular, karena bayi prematur rentan tertular HIV dan sistem organ, sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan baik. Dalam hal pemenuhan kebutuhan nutrisi, Ibu A memutuskan untuk memberikan susu formula kepada bayinya dan memperhatikan respon bayi sebelum dan sesudah diberikan susu formula.
Kedekatan ibu A dengan bayinya dan pola interaksi hubungan antara orang tua dan bayi antara lain menggendong, mendekap, berbicara, dan memandang bayi terjalin dengan baik. Memberikan kehangatan seperti mempertahankan suhu lingkungan yang hangat bagi bayi dengan memodifikasi tempat tidur bayi. Tempat tidur bayi diberikan alas yang tebal dan hangat seperti selimut. Upaya lain yang dapat keluarga lakukan dengan membatasi aliran udara seperti kipas angin. Sebelum kontak dengan bayi, pastikan bahwa tangan ibu atau orang yang kontak dengan bayi tangan dalam keadaan hangat atau tidak dingin. pakaian, popok, alas bayi juga tidak dingin atau lembab.
Memandikan dan merawat kebersihan kulit bayi dipertahankan dengan memandikan bayi setidaknya dua kali sehari. Ibu perlu memastikan kehangatan air mandi, sabun ataupun produk perawatan bayi yang digunakan. Penggunaan talc pada lipatan kulit harus dihindari karena sifat talc yang menahan air sehingga akan membuat daerah ini semakin lembab.
Hal mendasar dalam pencegahan infeksi dicapai melalui mencuci tangan dengan tenik yang benar sebelum memegang bayi. Ibu A perlu memperhatikan kondisi kulit bayi, karena kulit yang terluka dan tidak terawat akan menimbulkan infeksi. Sesegera mungkin ibu harus membersihkan bayi jika mengompol atau buang air besar. Pastikan bahwa perabotan bayi (botol susu) yang digunakan untuk bayi dalam kondisi bersih untuk mencegah
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
59
kontaminasi yang dapat menyebabkan infeksi. Imunisasi anak juga penting dalam mencegah infeksi.
Hasil implementasi yang dilakukan Ibu A dan keluarga mampu merawat anaknya yang lahir prematur dengan baik dan dilakukan dengan rasa senang. Hal ini terbukti dari bayi mengalami peningkatan berat badan menjadi 2200 gram, imunisasi diberikan kepada bayi, kebutuhan bayi dipenuhi dengan benar. Berdasarkan analisa penulis, hasil implementasi berjalan dengan baik di keluarga Ibu A jika mendapatkan dukungan dari keluarga dalam merawat bayi prematur di rumah dan dilakukan dengan rasa senang.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
60
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil karya ilmiah ini dapat dibuat kesimpulan secara umum sebagai berikut: 1. Masalah perkotaan yang dapat terjadi penularan HIV yaitu adanya mobilitas penduduk, urbanisasi dan mayoritas penduduk didominasi oleh para pemukim laki-laki sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan perbandingan penduduk perempuan dan laki-laki dan mengarah pada marak dan menyebarnya industri seks komersial yang menjadi titik persebaran penyakit menular. Wanita sangat bersiko terkena HIV. Jumlah pasien HIV wanita semakin meningkat karena masalah rumah tangga dan kehamilan. Ibu hamil dengan SIDA harus mendapat PMTCT.
2. Asuhan keperawatan Ibu hamil dengan SIDA dilakukan secara komprehensif yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencaan, implementasi dan evaluasi. Pengkajian dilakukan selama ibu berada dalam perawatan ibu nifas di RSCM sampai pulang ke rumah. Pengkajian tentang status obstetrik, pemeriksaan fisik ibu nifas dan pengobatan ARV selama kehamilan dan perawatan bayi di rumah.
3. Diagnosa keperawatan postnatal yaitu nyeri akut berhubungan dengan efek involusi uterus, diskontinuitas pemberian ASI berhubungan dengan penyakit SIDA pada Ibu A dan kesiapan meningkatkan kemampuan menjadi orang tua berhubungan dengan perawatan bayi prematur di rumah.
4. Rencana intervensi yang disusun untuk menyelesaikan masalah keperawatan yang ditemukan. Salah satu intervensi yang dilakukan adalah perawatan mother kangguru (PMK). Penulis melibatkan keluarga dalam melakukan intervensi inovasi tersebut.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
61
5. Hasil evaluasi intervensi keperawatan yang telah dilakukan kepada keluarga Ibu A didapatkan hasil bahwa perawatan metode kangguru yang dilakukan sangat efektif. Hal ini dibuktikan dengan terjadi kedekatan antara orang tua dengan bayi, peningkatan berat badan dan perbaikan kondisi klinis bayi. Selain itu, penulis mengevaluasi tingkat pengetahuan tentang cara penularan HIV kepada bayi dan pemberian PASI. Keluarga sudah mengetahui tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi dan cara pemberian PASI yang dilakukan sesuai AFASS. 6. Berdasarkan hasil analisis penulis terdapat kesamaan antara kasus kelolaan dengan penelitian terkait bahwa Ibu dengan SIDA dan dididukung oleh adanya ketuban pecah dini sebelum usia gestasi kehamilan dan lebih dari empat jam berpeluang memiliki risiko kehamilan bayi prematur, penularan lebih besar dan terjadi infeksi. Namun, peluang tersebut dapat ditangani jika Ibu dengan SIDA melakukan kontrol selama hamil, pengobatan ARV rutin diminum, persalinan dengan operasi seksio caesar, pemberian PASI sesuai AFASS, imunisasi bayi dan tingkat pengetahuan tinggi tentang transmisi penularan HIV ke bayi disertai dukungan keluarga dapat meminimalkan penularan HIV kepada anak.
6.2 Saran 5.2.1 Institusi Pendidikan Diharapkan penulisan ini dapat menjadi bahan referensi dalam mengatasi masalah keperawatan yang terjadi pada kehamilan dengan SIDA dan bayi baru lahir dengan prematur.
5.2.2 Institusi Pelayanan Diharapkan
penulisan
ini
menjadi
bahan
referensi
dalam
pengembangan program di rumah sakit untuk memberikan konseling
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
62
terhadap ibu dengan kehamilan SIDA terutama dengan ibu yang memiliki bayi prematur, sehingga Ibu dengan SIDA dan keluarga dapat memiliki pengalaman yang menyenangkan dalam merawat bayi prematur di rumah.
5.2.3 Penelitian atau Keilmuan Diharapkan penulisan ini dapat menjadikan bahan referensi untuk malakukan penelitian di lahan praktik lain yang menemukan masalah keperawatan pada kasus kehamilan dengan SIDA yang memiliki bayi prematur dan dukungan keluarga sangat mempengaruhi proses kehamilan, persalinan dan melahirkan.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
63
DAFTAR PUSTAKA American College of Obsteticians and Gynecologists. (2000). Scheduled cesarean delivery and the prevention of vertical transmission of HIV infection: ACOG commite opinion, no. 234 (replaces no 219). International Journal Gynecologists Obstetric, 73: 279-281 Bandyopadhy, M., & Thomas, J. (2000). Social Context of Women Migrant Workers’ Vulnerability to HIV Infection in Hong Kong, China, hal.49-65 in UNDP South East Asia HIV and Development Project, Population Mobility in Asia: Implications for HIV/AIDS Action Programmes, UNDP, South East Asia HIV and Development Project, Bangkok Bobak, I. M., Lowdermilk, D.L., Jensen, M.D., & Perry, S.E. (2004). Buku ajar keperawatan maternitas. Edisi 4. Alih bahasa: Maria, A.W., & Peter I. N. Jakarta: EGC Bare, B. G., & Smeltzer, S. C. (2001). Buku ajar keperawatan medikah bedah. Volume 3. Alih bahasa: Agung waluyo, dkk. Jakarta: EGC Carter, M. (2009). Bentuk stigma tertentu sangat menyakitkan hati ODHA. http://spiritia.or.id/news/bacanews.php?nwno=1743. Diunduh tanggal 17 Juni 2013 Chantavanich, S., Beesey, A. & Paul, A. (2000). Cross-Border Migration and HIV/AIDS: Vulnerability at the Thai—Cambodia Border. Aranyaaprathet and Khiong Yai, Asian Research Center for Migration, Bangkok Djoerban, Z. (2010). Menanggulangi HIV/AIDS dengan Pencegahan Biomedik. http://satudunia.net/content/menanggulangi-hivaids-dengan-pencegahan biomedik. Diunduh tanggal 15 Juni 2013 Dirjen Bina Pelayanan Medik Kemenkes RI. (2010). Skrining HIV di Rumah Sakit dalam upaya pencegahan penyebaran HIV.
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
64
Fang, et al. (2009). Influencing factor on death of infant born to HIV infected mothers.
http://
www.ncbi.nih.gov/pubmed/20137523.html.
Diunduh
tanggal 1 Juli 2013 Jenifer, et al. (2007). Experience of social stigma and implication for healthcare among a diverse population of HIV positive adult. Journal of Urban Health: Buletin of the New York Academy of medicine, 84,6 Hayati, S. (2009). Tesis Pengalaman perawat dalam merawat ibu HIV positif dengan seksio sesarea. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan UI Hockenbery, M.J., & Wilson, D. (2009). Wong’s nursing care of infants and children. (8th )ed. Vol.1. St.Louis missouri: Mosby Komisi Penanggulangan AIDS. (2010). Jakarta Peringkat Ketiga Kasus HIV/AIDS. http://www.aidsindonesia.or.id. Diunduh tanggal 15 Juni 2013 Lodewig, P.W., London, M.L., Olds, S.B. (2006). Asuhan ibu dan bayi baru lahir. Edisi 5. Alih bahasa: Salmiyatun. Jakarta: EGC MDGs
(2008,
Oktober).
Millennium
Development
Goals,
2,
1-42.
http://www.undp.or.id/pubs/docs/Let%20Speak%20Out%20for%20MDGs %20-%20ID.pdf. Diunduh tanggal 1 Juli 2013 Mulyana, R.S. (2008). HIV dalam kehamilan. Jakarta: EGC Pillitteri, A. (2003). Maternal & child health nursing: care of childbearing & childbearing family. 4 th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Price, S., Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Alih bahasa: Brahm U. Pendit et al. Editor edisi bahasa Indonesia: Huriawati Hartanto. Jakarta: EGC Reeder, S., Martin, L., & Griffin, D. (2011). Keperawatan maternitas: kesehatan wanita, bayi & keluarga. (Ed.18), Vol. 2. Alih bahasa: Yati Afiyanti et al. Editor edisi bahasa Indonesia: Eka Anisa Mardella. Jakarta: EGC
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013
65
Sanders, L., B. (2007). Women;s Voices: The Lived Experience of Pregnancy and Motherhood After Diagnosis With HIV. Journal of The Association Of Nurses In AidsCare, 19(1): 47-57 Stanhope, M. & Lancaster, J. (2004). Community health nursing: promoting health of agregates, families and individuals. (4th ed). St.Louis; Mosby, inc Surasmi, A., Handayani, S., & Kusuma, H.N. (2003). Perawatan bayi risiko tinggi. Jakarta: EGC Tome, M., I., et al. (2010). Risk Factor birth of preterm delivey and low weight in a multicenter Cohort of HIV+ pregnant women. 18th Conference on retroviruses and opportunistic infections. Paper 744. http://www. Retroconference. Org/2011/Abstracts/4194. Html. Diunduh tanggal 1 Juli 2013 Wong, D.L., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L. & Schwartz, P. (2008). Wong buku ajar keperawatan pediatrik. Alih bahasa: Agus, S, Neti Juniarti, H.Y. Kuncara. Jakarta: EGC
Universitas Indonesia
Analisis praktik ..., Evina, FIK UI, 2013