UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KECAMATAN GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH TAHUN 2012
SKRIPSI
EMBRIYOWATI CATIYAS NPM : 1006819516
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK JULI 2012
i
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KECAMATAN GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN JAWA TENGAH TAHUN 2012
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
EMBRIYOWATI CATIYAS NPM : 1006819516
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KEBIDANAN KOMUNITAS DEPOK JULI 2012
ii
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan nikmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah Tahun 2012”. Skripsi ini merupakan tugas akhir pada semester IV Pendidikan Program Sarjana Kesehatan Masyarakat Peminatan Kebidanan Komunitas di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia tahun 2012. Penulis mengharapkan skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan tambahan bagi mahasiswa yang mengikuti pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan dorongan dari semua pihak, penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini ijinkanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Drs. Bambang Wispriyono, Apt. Ph.D selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2. Bapak Dr. Dian Ayubi, SKM, MQIH, selaku Wakil Dekan Bidang Akademik, yang telah bersedia disibukkan dengan pemberian tanda tangan atas ijin penelitian. 3. Bapak Dr. Tri Krianto, drs. M.Kes, selaku Manager Pendidikan dan Riset, terimakasih atas bimbingan dan arahannya. 4. Bapak Doni Hikmat Ramdhan, SKM, MKKK, Ph.D. terimakasih atas bimbingan, petunjuk dan kesabaran yang telah diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini serta atas ilmu baru yang telah diberikan. 5. DR. Robiana Modjo, SKM, M.Kes dan H. Hermansyah, SKM, MPH, selaku dewan penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji. 6. Ibu dr. Hj. Y. Rini Kristiani, M.Kes, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen yang telah memberikan ijin penelitian 7. Bapak H Sumarno.S.Sos selaku Camat Gombong, para kepala desa dan kelurahan se Kecamatan Gombong yang telah membantu dalam penelitian.
v
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
8. dr Prio Nurono selaku Kepala Puskesmas Gombong I dan dr Sri Setiyani selaku Kepala Puskesmas Gombong II beserta staf yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian. 9. Bapak Imam, Ibu Hj Supadmi, mba Siti B, rekan-rekan bidan Puskesmas Gombong I dan Puskesmas Gombong II, mba Yanti, mba Mei atas kerjasamanya dalam memberikan responden dan membantu dalam pelaksanaan penelitian 10. Para kader kesehatan se Kecamatan Gombong terutama kepada Ibu Rasmini yang telah membantu penelitian ini dan para ibu balita yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 11. Suamiku tercinta Mugiyono yang telah mendorong penulis sehingga tumbuh semangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, juga buat anakanakku tercinta Ghozi Anas Fauzi Pratama dan Ghani Ahnaf Hakim, yang selalu memberikan inspirasi pada penulis. 12. Kedua orang tuaku Bapak Bohid Mustofa dan Ibu Ruminah yang selalu memberikan doa restu kepada penulis agar berhasil dalam studi dan kedua kakakku Mas Eko dan Mas Eli atas semangat dan doa yang diberikan, Ibu Sri A serta Budhe Saroh yang telah menjaga anak-anakku selama ini. 13. Teman-teman Bidkom seangkatan khususnya Bidkom B yang selalu bersama dalam suka duka. 14. Terima kasih pula pada semua pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan, oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta kritik demi perbaikan skripsi ini. Semoga bermanfaat.
Depok, 05 Juli 2012
Penulis
vi
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Embriyowati Catiyas
Tempat Tanggal Lahir
: Pekalongan, 11 Desember 1976
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Telepon
: 082138227888
Alamat
: Banjarsari RT 01 Rw 03 Kec. Gombong Kab. Kebumen, Jawa Tengah
Email
:
[email protected]
Pendidikan : Tahun 1984-1989
: SDN Banjarsari
Tahun 1989-1991
: SMPN 1 Gombong
Tahun1991-1994
: SPK Depkes DI Yogyakarta
Tahun 1994-1995
: PPB A SPK Depkes DI Yogyakarta
Tahun 2001-2004
: DIII Bidan Stikes ‘Aisyiyah Yogyakarta
Tahun 2010-2012
: S1 FKM Universitas Indonesia
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil
Riwayat Pekerjaan : Tahun 1995-1997
: Bidan di Desa Tepakyang Puskesmas Adimulyo Kabupaten Kebumen
Tahun 1997-sekarang
: Bidan di Desa Banjarsari Puskesmas Gombong I Kabupaten Kebumen
ix
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Nama
: Embriyowati Catiyas
Program Studi
: Sarjana Kesehatan Masyarakat
Judul
:
Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Tengah tahun 2012.
ABSTRAK
ISPA merupakan penyakit infeksi yang sering terjadi dan penyebab kematian balita di negara maju. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah semua balita yang berumur 0 – 59 bulan dengan jumlah sampel 166 balita yang di ambil secara systematic random sampling pada karakteristik balita, lingkungan rumah, sumber pencemaran udara dalam rumah dan partikulat debu PM 2,5. Penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara ASI Eksklusif (2,19;1,15,4,16),
status
imunisasi
(3,25;1,14-9,49),
status
gizi
(4,18;1,12-15,59),
pencahayaan (2,32;1,10-4,85), kepadatan hunian (2,08;1,11-3,88), adanya perokok (2,23;0,15-4,322) dan ada hubungan jarak rumah dari jalan raya yang mengandung PM 2,5 (8,00;1,52-42,04) dengan kejadian ISPA pada balita.
Kata kunci: ISPA, karakteristik balita, lingkungan rumah, sumber pencemaran dalam rumah, PM 2,5.
x
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Name of Student
: Embriyowati Catiyas
Study Program
: Bachelor of Publich Health
Title
:
Factors Related to Incidence Of Acute Respiratory Infection On Children Under Five Year In Kebumen Among Regency Gombong Subdistric Of Central Java Province Year 2012.
ABSTRACT
Acute Respiratory Infections (ARI) is an infectious disease it is the most common cause of infant mortality in developing countries. This study aims is to find an overview and factors related of the incidence of ARI in the Kebumen Region, Gombong subdistric of Province Central Java in 2012. This study uses crosssectional design. The population in this study were all children aged 0 days - 59 months with a sample of 166 children under five year old. This study sampling taken by systematic random sampling on factor characteristics of infants, home environment, sources of indoor air pollution and accidental sampling on factor particulate dust PM of 2.5. The results of this study showed significant association between the characteristics of a toddler: breastfeeding status (2,19;1,15 to 4,16), immunization status (3,25;1,14 to 9,49), nutritional status (4,18;1,12to 5,59) home environment factors: density residential (2,08;1,11-3,88), lighthing (2,32;1,104,85), sources of pollution air in the house: the smokers (2,23;0,15-4,322) and association between PM 2,5 of house distance from the main road (8,00;1,5242,04) with acute respiratory infection.
Key Word: ISPA, the characteristics of children, environment of the home, indoors sources of pollution, PM 2.5.
xi
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................. HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... KATA PENGANTAR ..................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................... HALAMAN PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT.......................................... DAFTAR RIWAYAT HIDUP......................................................................... ABSTRAK ....................................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
i iii iv v vii viii ix x xii xiv xv xvi
1. PENDAHULUAN .................................................................................... 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 1.3. Pertanyaan Penelitian .......................................................................... 1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................... 1.4.1. Tujuan Umum ............................................................................ 1.4.2. Tujuan Khusus............................................................................ 1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................. 1.5.1. Masyarakat ................................................................................. 1.5.2. Pengelola Program ..................................................................... 1.5.3. Peneliti ....................................................................................... 1.5.4. Peneliti Lain ............................................................................... 1.6. Ruang Lingkup ....................................................................................
1 1 2 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 2.1. Infeksi Saluran Pencernaan Akut (ISPA) ........................................... 2.1.1. Pengertian ISPA ......................................................................... 2.1.2. Etiologi ISPA ............................................................................. 2.1.3. Klasifikasi ISPA ........................................................................ 2.1.4. Tanda dan Gejala Penyakit ISPA............................................... 2.1.5. Penularan ISPA .......................................................................... 2.1.6. Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit ISPA ..................... 2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian ISPA ........................... 2.2.1. Karakteristik Balita .................................................................... 2.2.2. Lingkungan Rumah.................................................................... 2.2.3. Pencemaran Udara Dalam Rumah ............................................. 2.2.4. Partikulat Debu PM 2,5 .............................................................
5 5 5 5 6 7 8 8 8 8 11 16 17
3. KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ...................................................................................... 3.1. Kerangka Teori ..................................................................................
22 22
xii
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
3.2. Kerangka Konsep ............................................................................... 3.4. Definisi Operasional............................................................................
24 25
4. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 4.1. Desain Penelitian ................................................................................ 4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 4.3. Populasi dan Sampel ........................................................................... 4.3.1. Populasi .................................................................................... 4.3.2. Sampel ...................................................................................... 4.3.3. Besar Sampel ............................................................................ 4.4. CaraPengambilan Sampel ................................................................... 4.5. Pengumpulan Data ............................................................................. 4.5.1.Cara dan Alat Pengumpulan Data ............................................. 4.5.2. Petugas Pengumpul Data .......................................................... 4.5.3. Pengolahan Data ....................................................................... 4.6. Analisis Data ....................................................................................... 4.6.1. Analisis Univariat ..................................................................... 4.6.2. Analisis Bivariat .......................................................................
29 29 29 29 29 29 30 31 32 32 33 33 33 34 34
5. HASIL PENELITIAN ............................................................................ 5.1. Gambaran Umum Wilayah ................................................................ 5.2. Hasil Uji Univariat ............................................................................. 5.3. Hasil Uji Bivariat ............................................................................... 5.4. Partikulat debu PM 2,5 pada jarak rumah dari jalan raya ...................
35 36 36 38 43
6. PEMBAHASAN ...................................................................................... 6.1. Gambaran Kejadian ISPA .................................................................. 6.2. Gambaran dan Hubungan Faktor Karakteristik Balita dengan Kejadian ISPA .................................................................................. 6.3. Gambaran dan Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian ISPA .................................................................................. 6.4. Gambaran dan Hubungan Faktor Sumber Pencemaran Udara dalam Rumah dengan Kejadian ISPA................................................ 6.5 Gambaran dan Hubungan Jarak Rumah dari Jalan Raya Dilihat dari Kandungan Partikulat Debu PM 2,5…………………………… 6.5. Keterbatasan Penelitian .......................................................................
46 46
7. SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 7.1. Simpulan ............................................................................................ 7.2. Saran ...................................................................................................
57 57 58
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
60
LAMPIRAN
xiii
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
46 49 53 55 55
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Definisi Operasional ......................................................................... 25 Tabel 4.1. Jumlah Responden Yang Menjadi Sampel di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012 ................ 31 Tabel 5.1. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012 ......................................................................................... 36 Tabel 5.2. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Variabel di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah tahun 2012 .......................................................................................... 39 Tabel 5.3 Konsentrasi Debu PM 2,5 pada Jarak Rumah dari Jalan Raya di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012 ................................................................... 43 Tabel 5.4 Perbandingan Konsentrasi Debu PM 2,5 Antara Rumah yang Dekat dari Jalan Raya, dan Rumah yang Jauh dari Jalan Raya di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012…………………………………………………………… 44 Tabel 5.4. Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Konsentrasi Debu PM 2,5 pada Jarak Rumah dari Jalan Raya dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah tahun 2012 ...................................................... 45
xiv
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Kerangka Teori ...............................................................................23 Gambar 3.2. Kerangka Konsep ...........................................................................24
xv
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian Lampiran 2. Kuesioner Lampiran 4. Output Uji Statistik
xvi
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang paling sering terjadi dan merupakan penyebab kematian balita di negara maju maupun berkembang. ISPA menyebabkan 4 dari 15 juta kematian pada anak berusia dibawah 5 tahun setiap tahunnya, dimana sebanyak dua pertiga kematian adalah bayi (WHO, 2002). Kematian pada balita di Amerika terjadi lebih dari 1,5 juta kematian setiap tahunnya yang berasal dari infeksi pernapasan yang disebabkan oleh lingkungan. Kejadian ISPA yang terjadi di negara berkembang terdiri dari dua macam infeksi yaitu sekitar 24% menderita infeksi pernapasan bagian atas dan 42% menderita infeksi pernapasan bagian b awah. (Pruss-ustun, 2006). ISPA dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi perumahan, karakteristik balita (umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir, ASI Eksklusif, status imunisasi), kepadatan hunian, polusi udara luar, sumber pencemaran udara dalam ruang (penggunaan anti nyamuk bakar, bahan bakar untuk memasak dan keberadaan perokok). Selain itu juga konsumsi vitamin A memiliki pengaruh terhadap timbulnya ISPA pada balita ( Depkes, 2009). Di Indonesia, episode penyakit batuk pilek pada balita diperkirakan 3-6 kali per tahun. ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan. Sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap rumah sakit disebabkan oleh ISPA (Depkes, 2009). Kematian akibat ISPA terutama pneumonia di Indonesia pada akhir tahun 2000 sekitar 450.000 balita. Diperkirakan sebanyak 150.000 bayi / balita meninggal tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus sehari atau 17 anak perjam atau seorang bayi / balita tiap lima menit (Depkes, 2009). Menurut hasil Riskesdas 2007 prevalensi nasional ISPA adalah 25,5 % dengan prevalensi tertinggi terjadi pada usia balita yaitu 35 %, sedangkan terendah yaitu pada kelompok umur 15 sampai dengan 24 tahun. Kejadian ISPA di Provinsi Jawa Tengah di atas prevalensi nasional, yaitu sebanyak 29,08%.
Universitas Indonesia 1 Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
2
Berdasarkan Laporan Tahunan Kegiatan Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen, yang merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Jawa Tengah mempunyai prevalensi ISPA sebesar 28,05% pada tahun 2009, tahun 2010 sebesar 20%, sedangkan pada tahun 2011 sebesar 29%. Salah satu Kecamatan yang berada di wilayah kabupaten Kebumen yang mengalami peningkatan selama 3 tahun terakhir yaitu Kecamatan Gombong dimana pada tahun 2009 sebesar 48%, tahun 2010 sebesar 49% dan pada tahun tahun 2011 sebesar 53% ( Laporan ISPA, 2011).
1.2 Rumusan Masalah Penelitian tentang ISPA pada balita dilaksanakan karena ISPA merupakan penyakit infeksi yang paling sering terjadi dan merupakan penyebab kematian balita yang cukup tinggi yaitu 1,5 juta kematian setiap tahun. Kecamatan Gombong merupakan salah satu kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yaitu 2009, 2010 dan 2011. ISPA pada balita dapat disebabkan oleh beberapa factor seperti kondisi perumahan, karakteristik balita (umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir, ASI Eksklusif, status imunisasi), kepadatan hunian, polusi udara (partikulat debu PM
2,5
dan PM
10),
sumber pencemaran udara dalam ruang (penggunaan anti
nyamuk bakar, bahan bakar untuk memasak dan keberadaan perokok). Kejadian ISPA pada balita yang meningkat selama 3 tahun terakhir di wilayah kecamatan Gombong kabupaten Kebumen Jawa Tengah serta penyebab dari peningkatan kejadian ISPA belum pernah diteliti sebelumnya, sehingga diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini maka akan sangat membantu kecamatan Gombong untuk dapat melakukan pemecahan maslah tentang kejadian ISPA.
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
3
1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran kejadian ISPA, karakteristik balita, faktor lingkungan rumah, sumber pencemaran dalam rumah, dan partikulat PM 2,5
pada balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen
Jawa Tengah Tahun 2012? 2. Apakah adakah hubungan antara karakteristik balita, faktor lingkungan rumah, sumber pencemaran dalam rumah, dan partikulat PM
2,5
pada
balita dengan kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah Tahun 2012?
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan Umum Menganalisis gambaran dan faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012.
1.4.2
Tujuan Khusus 1. Menganalisis hubungan Faktor Karakteristik Balita (Berat Badan Lahir, ASI Eksklusif, Status Imunisasi, dan Status Gizi )
dengan
kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah Tahun 2012 2. Menganalisis hubungan faktor lingkungan rumah balita ( meliputi ventilasi, jenis lantai, jenis dinding, pencahayaan dan kepadatan hunian) dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah Tahun 2012 3. Menganalisis hubungan faktor sumber pencemaran udara dalam rumah (bahan bakar masak, adanya perokok) dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah Tahun 2012 4. Menganalisis hubungan partikulat debu PM 2,5 dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah Tahun 2012
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
4
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1. Masyarakat Memberikan gambaran kepada masyarkat tentang pentingnya kesehatan lingkungan dan rumah dalam rangka penurunan angka kejadian ISPA 1.5.2. Pengelola Program Dapat memberikan masukan dan informasi pada pengelola program untuk melakukan pemeriksaan rumah secara berkala serta dapat memberikan penyuluhan tentang rumah sehat. 1.5.3. Peneliti Penelelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang faktor-faktor yang dpat mempengaruhi kejadian ISPA. 1.5.4. Peneliti lain Hasil penelitian ini diharapkan dpat menjadi bahan bacaan, masukan serta acuan unutk penelitian selanjutnya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah pada bulan Mei- Juni 2012.
Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Responden pada penelitian ini adalah anak balita usia 0 – 59 bulan. Pengumpulan data melalui kuesioner dengan wawancara pada ibu balita, observasi dan pengukuran dirumah responden.
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT ( ISPA) 2.1.1
Pengertian ISPA ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran pernapasan Akut, disebut
juga dengan istilah Acute Respiratory Infectious (ARI), yang diperkenalkan pada tahun 1984. ISPA terdiri dari tiga unsur, yaitu: Infeksi, Saluran pernafasan dan Infeksi akut. Yang dimaksud dengan Infeksi ialah masuknya Mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit. Saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ Adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Sedangkan Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA, proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. (Depkes, 2009).
2.1.2
Etiologi ISPA ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus,
mycoplasma, jamur dan lain-lain yang jumlahnya lebih 300 macam. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan mycoplasma. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus streptcocus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus (termasuk didalamnya Virus influenza, virus para influenza, dan virus campak), Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, dan Herpesviru. ISPA akibat polusi adalah ISPA yang disebabkan oleh polusi udara yang terjadi diluar ruangan (Indoor) dan dalam ruangan (Outdoor). (Depkes, 2009).
Universitas Indonesia 5 Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
6
2.1.3 Klasifikasi ISPA Untuk kepentingan program pencegahan dan pemberantasan ISPA, maka penyakit ISPA dapat dibedakan menurut Lokasi Anatomik dan klasifikasi penyakit menurut kelompok umur ( Depkes, 2000): 2.1.3.1 Lokasi Anatomik a.
ISPA atas. ISPA atas adalah batuk pilek (common cold), Peradangan pada faring (Pharingitis), peradangan pada tonsil dan kriptanya (Tonsilitis).
b.
ISPA bawah. ISPA bawah diantaranya Bronchiolitis dan pneumonia yang sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian.
2.1.3.2 Klasifikasi penyakit a.
Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas : 1). Pneumonia berat, bila batuk disertai dengan adanya napas cepat (Fast breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam yang kuat (Severe chest indrawing). 2). Non pneumonia, bila batuk dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat.
b.
Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas : pnemonia berat, pnemonia dan bukan pnemonia. 1). Pneumonia berat, jika batuk disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik napas. 2). Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya napas cepat sesuai umur, yaitu > 50 kali / menit untuk umur 2-12 bulan, dan > 40 kali / menit untuk umur 12 bulan sampai 5 tahun. 3). Non pneumonia, batuk pilek biasa dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
7
2.1.4
Tanda dan Gejala Penyakit ISPA Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA (P2 ISPA)
kriteria untuk menggunakan pola tatalaksana penderita ISPA adalah balita, ditandai dengan adanya batuk dan atau kesukaran bernapas disertai adanya peningkatan frekwensi napas (napas cepat) sesuai golongan umur. Dalam penentuan klasifikasi penyakit dibedakan atas dua kelompok yaitu umur kurang dari 2 bulan dan umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun (Depkes, 2002) 2.1.4.1 Pneumonia berat Adanya batuk dan atau kesukaran pernapasan disertai napas sesak atau tarikan dinding dada bagian bawah kedalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Untuk kelompok umur kurang dari 2 bulan diagnosis pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (fast breathing) dimana frekwensi napas 60 kali permenit atau lebih, dan atau adanya tarikan yang kuat dinding dada bagian bawah ke dalam (severe chest indrawing). 2.1.4.2 Bukan pneumonia Apabila ditandai dengan napas cepat tetapi tidak disertai tarikan dinding dada ke dalam. Bukan pneumonia mencakup kelompok penderita dengan batuk pilek biasa yang tidak ditemukan adanya gejala peningkatan frekuwensi napas dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah kedalam. Ada beberapa tanda klinis yang dapat menyertai anak dengan batuk yang dikelompokkan sebagai tanda bahaya : a. Tanda dan gejala untuk golongan umur kurang dari 2 bulan yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor (ngorok), wheezing (bunyi napas), demam. b. Tanda dan gejala untuk golongan umur 2 bulan sampai kurang 5 tahun yaitu tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
8
2.1.5
Penularan ISPA ISPA adalah salah satu penyakit yang tergolong pada air borne disease
(penularan penyakit melalui udara) yang terjadi tanpa adanya kontak dengan penderita maupun benda yang terkontaminasi. Penularan penyakit ISPA terjadi dalam bentuk droplet nuklei (Partikel yang sangat kecil sebagai hasil dari batuk atau bersin dan dapat tinggal dalam udara bebas untuk waktu yang cukup lama dan dihisap langsung pada saat bernapas) maupun dalam bentuk dust (Partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil resuspensi partikel yang terletak dilantai, tempat tidur dan tempat lainnya dan tertiup angin bersama debu) (Noor, 2006)
2.1.6
Penanggulangan dan Pencegahan Penyakit ISPA Bentuk penanggulangan dan pencegahan dilaksanakan dengan cara
pengelolaan kasus, imunisasi, perbaikan kesehatan lingkungan, dan penyuluhan kepada masyarakat. Sedangkan pencegahan diarahkan kepada faktor yang dapat mengurangi kesakitan ISPA antara lain : imunisasi DPT, perbaikan gizi keluarga, peningkatan kesehatan ibu dan bayi berat lahir rendah (BBLR), perbaikan kualitas lingkungan di dalam maupun di luar rumah.(Depkes,2002)
2.2
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN ISPA
2.2.1. Karakteristik Balita 2.2.1.1 Berat Badan lahir Menurut Hull (2008) Berat Badan Lahir Rendah yaitu berat lahir kurang dari 2500 gram yang dikategorikan menjadi dua macam yaitu bayi kecil untuk masa kehamilan dan bayi prematur. Berat badan saat lahir bayi dipengaruhi oleh keadaan lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro adalah segala sesuatu yang berada di sekitar janin yang terdiri dari otot rahim, plasenta, cairan ketuban, kehamilan kembar dan lain-lain. Lingkungan makro mempunyai peranan terhadap berat badan bayi yang terdiri dari usia ibu saat melahirkan, jumlah kehamilan yang pernah dialami oleh ibu,status terminasi kehamilan, gizi ibu,penyakit ibu dan perilaku ibu seperti perilaku merokok baik ibu sebagai perokok pasif maupun aktif (Slamet, 2000).
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
9
Sebuah studi kasus-kontrol dilakukan pada 400 anak di bawah usia 5 tahun di Selatan Kerala, India, untuk mengidentifikasi faktor risiko pneumonia berat. Kasus adalah pasien rawat inap dengan pneumonia berat sebagai dipastikan kriteria WHO, sementara kontrol keluar-pasien dengan non-berat infeksi pernapasan akut. Hanya empat dari banyak faktor risiko kemungkinan muncul sebagai signifikan, yaitu. muda usia, imunisasi, tertunda menyapih, dan berbagi kamar tidur. Faktor-faktor signifikan pada analisis univariat adalah pendidikan orangtua, pencemaran lingkungan, penghentian pemberian ASI pada bayi muda, malnutrisi, hypovitaminosis A, berat badan lahir rendah, riwayat ISPA berat, unresponsiveness untuk pengobatan lebih dini, dan penggunaan non-allopathic obat. Koreksi faktor ini mungkin dapat mengurangi kematian akibat ISPA. 2.2.2.1 ASI Eksklusif Menurut Depkes RI (2004) ASI Eksklusif merupakan pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan lain pada bayi berumur nol sampai 6 bulan, bahkan air putih tidak diberikan dalam tahap ASI Eksklusif ini. ASI Eksklusif
merupakan tindakan efektif untuk
menyelamatkan kehidupan anak dan dapat mencegah 13-15% dari setiap kematian 9 juta anak (Nkala dan Msuya, 2011). Organisasi
Kesehatan
Dunia
(WHO)
dan
UNICEF
merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif enam bulan pertama untuk pemberian makan bayi dan anak kecil yang optimal disamping pemberian ASI pada umur satu jam pertama dan juga pengenalan makanan pelengkap yang cukup bergizi serta aman bagi bayi pada usia enam bulan bersama dengan kelanjutan ASI sampai umur dua tahun (WHO, 2010). 2.2.3.1 Status Imunisasi Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang efektif dan efisien dalam upaya kelangsungan hidup anak. Imunisasi berfungsi agar mencegah penyakit terjadinya penyakit dengan pemberian vaksin, sehingga timbul reaksi didalam tubuh dengan membentuk antibody terhadap antigen tersebut (Rifai, 2004).
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
10
Depkes (2009) menyebutkan bahwa imunisasi melindungi anak dari penyakit, mencegah kecacatan dan mencegah kematian anak. Imunisasi dasar yang harus dimiliki oleh bayi yaitu: a. Vaksin hepatitis B untuk mencegah penyakit hepatitis B atau kerusakan hati. b. Vaksin BCG untuk mencegah penyakit TBC/Tuberkulosis. c. Vaksin polio untuk mencegah penyakit polio atau lumpuh layu pada tungkai kaki dan lengan tangan. d. Vaksin DPT untuk mencegah penyakit difteri atau penyumbatan jalan napas, batuk rejan atau batuk 100 hari serta tetanus. e. Vaksin campak untuk mencegah penyakit campak yaitu radan paru, radang otak dan kebutaan. Vaksin dimasukkan ke dalam tubuh manusia melalui suntikan dan oral atau mulut yang disebut imunisasi. Depkes (2009) mengeluarkan jadwal imunisasi dasar yaitu: a. Usia 0 bulan
: Hepatitis B
b. Usia 1 bulan
: BCG, Polio 1
c. Usia 2 bulan
: DPT/HB 1, Polio 2
d. Usia 3 bulan
: DPT/HB 2, Polio 3
e. Usia 4 bulan
: DPT/HB 3, Polio 4
f. Usia 9 bulan
: Campak
2.2.4.1 Status Gizi Status gizi merupakan keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi serta penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologik akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk tertentu (Supariasa, 2002). Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB), dan Tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB disajikan dalam bentuk tiga indikator antropometri, yaitu BB menurut (BB/U), TB menurut (TB/U) dan BB menurut TB (BB/TB). (Kemenkes RI, 2010).
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
11
Dalam menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai standar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri balita WHO 2005. Berdasarkan nilai Z-score masing- masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut: 1. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/U: •
Gizi buruk
: Z-score < -3,0 SD
•
Gizi kurang
: Z-score ≥ -3,0 SD s/d Z-score < -2,0 SD
•
Gizi baik
: Z-score ≥ -2,0 SD s/d Z-score ≤ 2,0SD
•
Gizi lebih
: Z-score > 2,0 SD
2. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U: •
Sangat pendek : Z-score < -3,0 SD
•
Pendek
: Z-score ≥ -3,0 SD s/d Z-score < -2,0 SD
•
Normal
: Z-score ≥ -2,0 SD
3. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator BB/TB: •
Sangat kurus
: Z-score < -3,0 SD
•
Kurus
: Z-score ≥ -3,0 SD s/d Z-score < -2,0SD
•
Normal
: Z-score ≥ -2,0 SD s/d Z-score ≤ 2,0SD
•
Gemuk
: Z-score > 2,0 SD
4. Klasifikasi status gizi berdasarkan gabungan indikator TB/U dan BB/U •
Pendek-Kurus : Z-score TB/U < -2,0 dan Z-score BB/TB < -2,0
•
Pendek-Normal: Z-score TB/U < -2,0 dan Z-score BB/TB antara -2,0 sampai dengan 2,0
• Pendek-gemuk : Z-score TB/U < -2,0 dan Z-score BB/TB < -2,0 • TB Normal-Kurus : Z-score TB/U ≥ -2,0 dan Z-score BB/TB< -2,0
2.2.2. Lingkungan Rumah 2.2.2.1 Ventilasi Ventilasi merupakan proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Terdapat dua macam ventilasi yaitu ventilasi alamiah dimana aliran udara didalam ruangan terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang-
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
12
lubang pada dinding dan ventilasi buatan dimana mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara, contohnya kipas angin, mesin penghisap debu (Notoatmodjo, 2003). Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal tentang ventilasi alamiah rumah yaitu luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Penularan penyakit saluran pernapasan lebih besar terjadi karena jumlah/konsentrasi kuman lebih banyak pada udara yang tidak tertukar. Untuk itu dalam mengurangi terjadinya pencemaran udara dalam rumah dan lingkungan luar adalah dengan menciptakan ventilasi dan penggunaan jendela yang memenuhi syarat kesehatan, yang menurut APHA (American Public Health Association) yaitu berkisar 10 – 20 % dari luas lantai dengan persyaratan jendela harus dibuka setiap hari, agar proses pertukaran udara dalam rumah dapat berjalan dengan baik. Adapun rumah yang memiliki ventilasi yang jelek akan menyebabkan terganggu pertukaran udara dari dalam dan luar rumah dan dapat menyebabkan terjadinya 3 faktor yaitu : kekurangan oksigen dalam udara, bertambahnya konsentrasi CO2 dan adanya bahan-bahan racun organic yang ikut terhirup. Di samping itu ruangan dengan ventilasi yang tidak baik yang sudah dihuni oleh manusia akan mengalami kenaikan kelembaban yang disebabkan oleh penguapan cairan tubuh dari kulit atau karena uap pernapasan jika udara terlalu banyak mengandung uap air, maka udara basah yang dihirup berlebihan akan mengganggu fungsi paruparu/pernapasan (Soemirat S.J, 2000). 2.2.2.2 Jenis Lantai Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal menyebutkan bahwa syarat lantai yang baik adalah yang kedap air dan mudah dibersihkan, seperti lantai terbuat keramik, kayu yang dirapatkan, ubin atau semen yang kedap dan kuat. Lantai rumah yang tidak kedap air dan
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
13
sulit untuk dibersihkan akan menjadi tempat perkembangan dan pertumbuhan mikroorganisme didalam rumah. 2.2.2.3 Jenis Dinding Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal menyebutkan bahwa jenis dinding tidak tembus pandang, terbuat dari bahan yang tahan terhadap cuaca, rata dan dilengkapi dengan ventilasi untuk sirkulasi udara. Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan penyakit pernapasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke dalam rumah. 2.2.2.4 Jenis Atap Atap rumah mempunyai fungsi sebagai penahan panas sinar matahari dan melindungi masuknya debu, angin dan hujan. Salah satu fungsi atap rumah adalah melindungi masuknya debu dalam rumah. Atap sebaiknya diberi plafon atau langit-langit, agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah (Nurhidayah, 2007 dalam Oktaviani, 2009). Langit-langit untuk menahan dan menyerap panas matahari minimum 2,4 m dari lantai, bisa dari bahan papan, anyaman bambu, tripleks atau gypsum. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan disamping sebagai penahan hantaran panas dari atap sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal. 2.2.2.5 Pencahayaan Cahaya yang masuk ke dalam rumah berfungsi untuk mengatasi perkembangan bibit penyakit, namun jika terlalu menyilaukan akan dapat merusak mata (Notoatmodjo, 2005). Cahaya dibedakan berdasarkan sumbernya menjadi dua yaitu cahaya alami(yang berasal dari matahari). Bersifat penting untuk membunuh kuman (mikroorganisme) yang adda didalam rumah, dimana rumah yang sehat mempunyai jalan cukup untuk masuknya cahaya ke dalam rumah. Lokasi penempatan jendela akan
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
14
mempengaruhi masuknya cahaya ke dalam rumah (intervensi pencahayaan bisa dilakukan dengan mengganti genteng biasa dengan genteng kaca). Dampak dari pencahayaan yaitu jika nilai pencahayaan (Lux) terlalu rendah akan berpengaruh terhadap proses akomodasi mata yang terlalu tinggi, sehingga akan berakibat terhadap kerusakan retina pada mata, sedangkan cahaya yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan. Faktor risiko pencahahayaan yaitu intensitas cahaya yang terlalu rendah, baik cahaya yang bersumber dari alamiah maupun buatan (Kemenkes RI, 2011) Upaya penyehatan yang dapat dilakukan yaitu pencahayaan dalam ruang rumah diusahakan agar sesuai dengan kebutuhan untuk melihat benda sekitar dan membaca berdasarkan persyaratan minimal 60 Lux (Kemenkes RI, 2011) 2.2.2.6 Kepadatan Hunian Kepadatan merupakan Pre-requisite untuk terjadinya proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Untuk itu Departemen Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat, dengan rumus jumlah penghuni/luas bangunan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal menyebutkan bahwa kepadatan hunian harus memenuhi persyaratan luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. Kepadatan hunian dalam rumah perlu diperhitungkan karena mempunyai peranan penting dalam penyebaran mikroorganisme didalam lingkungan rumah. (Depkes, 2003 dalam Achmadi, 2008). 2.2.2.7 Suhu Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal menyebutkan bahwa suhu udara yang nyaman berkisar antara 18°C sampai 30°C. Dampak suhu dalam rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
15
gangguan kesehatan hingga hipotermi, sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat stroke. Perubahan suhu udara dalam rumah dipengaruhi beberapa faktor yaitu penggunaan bahan bakar biomassa, ventilasi yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian, bahan dan struktur bangunan, kondisi topografi , kondisi geografi. Sedangkan upaya penyehatan yang dapat dilakukan adalah jika suhu udara diatas 30°C maka diturunkan dengan cara meningkatkan sirkulasi udara dengan menambahkan ventilasi mekanik atau buatan dan jika suhu udara kurang dari 18°C maka perlu menggunakan pemanas ruangan dengan menggunakan sumber energy yang aman bagi lingkungan dan kesehatan (Kemenkes RI, 2011). 2.2.2.8 Kelembaban Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan rumah tinggal menyebutkan bahwa kelembaban udara dalam rumah yang memenuhi syarat berkisar antara 40% sampai 70%. Salah satu faktor yang mempengaruhi udara dalam rumah yaitu kelembaban, dimana kelembaban yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme. Faktor risiko terjadinya kelembaban adalah konstruksi rumah yang tidak baik, contoh atap yang bocor, lantai dan dinding rumah yang tidak kedap udara dan kurangnya pencahayaan baik buatan maupun alami. Upaya penyehatan untuk kelembaban yaitu bila kelembaban udara kurang dari 40%, maka dapat dilakukan upaya penyehatan diantarnya adalah menggunakan alat untuk meningkatkan kelembaban contohnya alat pengatur kelembaban udara, membuka jendela rumah, menambah jumlah dan luas jendela rumah, memodifikasi fisik rumah (meningkatkan pencahayaan, sirkulasi udara). Jika kelembaban udara lebih dari 60% maka dapat dilakukan upaya penyehatan diantaranya yaitu memasang genteng kaca,
menggunakan
alat
untuk
menurunkan
kelembaban
seperti
humadifier.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
16
2.2.3. Pencemaran Udara Dalam Rumah 2.2.3.1 Bahan Bakar Memasak Penggunaan bahan bakar memasak seperti arang, kayu, minyak bumi, dan batu bara dapat mengakibatkan risiko terjadinya pencemaran udara didalam rumah, yang mana dapt menjadikan sumber pencemaran kimia seperti Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Karbon monoksida (CO), Karbon dioksida (CO2) serta partikel debu diameter 2,5 µ (PM
2,5)
dan partikel debu diameter 10 µ (PM
10)
yang bisa
meningkatkan risiko terjadinya ISPA (Kemenkes RI 2011). 2.2.3.2 Adanya Perokok Asap rokok yang berasal dari perokok dalam rumah dapat menyebabkan pencemaran udara, yang selanjutnya dapat merusak mekanisme pertahanan paru-paru sehingga memudahkan balita yang tinggal serumah dengan perokok menderita ISPA.Sumber pencemar kimia yang dapat menyebabkan pencemaran udara dalam rumah yang dihasilkan oleh asap rokok adalah Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Karbon monoksida (CO), Karbon dioksida (CO2). Asap rokok (Environmental Tobacco Smoke/ETS) merupakan gas beracun yang dikeluarkan
dari
pembakaran
produk
tembakau
yang
biasanya
mengandung polycyclic aromatic hydrocarbon (PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan manusia (Kemenkes RI, 2011). Asap rokok (ETS) mempunyai dampak memperparah gejala anakanak penderita asma, senyawa dalam asap rokok menyebabkan kanker paru-paru, dan bayi serta anak-anak yang orantuanya perokok mempunyai risiko lebih besar terkena gangguan saluran pernapasan dengan gejala sesak napas, batuk dan lender berlebihan.Upaya penyehatannya adalah merokok diluar rumah yang asapnya dipastikan tidak masuk kembali ke dalam rumah, merokok di tempat yang telah disediakan apabila berada di fasilitas atau tempat-tempat umum, melakukan penyuluhan kepada masyarakat, serta penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya menghirup asap rokok (Kemenkes RI, 2011)
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
17
2.2.3.3 Pemakaian Obat Nyamuk Asap yang dihasilkan dari pembakaran obat nyamuk dapat menyebabkan polusi udara yang berasal dari dalam rumah (indoor). Pencemaran udara tersebut dapat berupa partikel debu diameter 2,5 µ (PM 2,5)
dan partikel debu diameter 10 µ (PM
10)
yang dapat menimbulkan
ISPA (Kemenkes RI, 2011) Upaya kesehatan yang dapat dilakukan yaitu rumah dibersihkan dari debu setiap hari dengan kain pel basah atau alat penyedot debu (electro precipitator) pada ventilasi rumah dan dibersihkan secara berkala, menanam tanaman di sekeliling rumah untuk mengurangi masuknya debu k edalam rumah, ventilasi dapur mempunyai bukaan sekurang-kurangnya 40% dari luas lantai dengan sistem silang sehingga terjadi aliran udara atau menggunakan teknologi tepat guna untuk menangkap asap dan zat pencemar udara. (Kemenkes RI, 2011).
2.2.4
Partikulat Debu PM 2,5 Partikel Debu PM 2,5 merupakan partikel debu yang berukuran 2,5 µg /
m3, standar konsentrasi PM 2,5 adalah 35 µg/m3 (24 jam) berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No /PER/V/2011. PM 2,5 merupakan gabungan dari berbagai senyawa antara lain senyawa sulfat, senyawa nitrat; karbon, ammonium, ion hydrogen, senyawa organic, logam dan merupakan partikel debu yang sangat ringan dan bisa berada di udara beberapa
hari bahkan mingguan dan dapat
terbang jauh sampai ratusan mil. Partikel ini sangat membahayakan kesehatan karena terdiri dan berbagai senyawa organik dan logam yang berbahaya dan dapat langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Cara masuk partikel debu PM 2,5 Ke dalam tubuh yaitu partikel debu masuk ke dalam tubuh melalui 2 jalur yaitu inhalasi (dengan proses absorpsi) dan ingesti yaitu bahan pencemar udara dapat masuk ke dalam saluran pencemaan makanan secara langsung, melalui makanan/minuman yang tercemar oleh bahan pencemar udara tersebut. Mekanisme polutan partikel yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui sistem pernafasan akan mengalami berbagai saringan / sistem pertahanan yang mencegah masuknya partikel-partikel, baik yang berbentuk padat
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
18
maupun cair ke dalam paru-paru. Untuk partikel yang besar akan dicegah oleh bulu-bulu hidung, sedangkan partikel-partikel yang lebih kecil akan dicegah masuk oleh membran mukosa yang terdapat disepanjang sistem pernafasan dan merupakan tempat partikel menempel. Pada beberapa bagian sistem pernafasan terdapat bulu-bulu halus (silia) yang bergerak maju dan belakang bersama-sama mukosa sehingga membentuk aliran yang membawa partikel yang ditangkapnya keluar dari sistem pernafasan ke tenggorokan di mana partikel tersebut tertelan. PM 2,5 telah terbukti mengganggu kesehatan. Program dari The Clean Air Europe bekerjasama dengan komisi Eropa menyatakan bahwa partikel PM 2,5 menyebabkan lebih dari 300000 kematian bayi premature setiap hari di Eropa dan menurunkan umur harapan hidup manusia 8,6 bulan (Tainio, 2007) Cara Pengukuran PM 2,5 di dalam ruangan dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu menggunakan metode gravimetric dan sensor. 1. Metode Gravimetric,
Menggunakan alat HVS (High Volume Sampler) yang dilengkapi dengan kertas filter. Cara kerjanya : Filter barn ditimbang dengan analitic balace, dan hasil penimbangannya dicatat sebagai berat filter sebelum sampling. Tentukan posisi alat HVS, yang mewakili daerah yang akan diperiksa, jarak alat dengan sudut ruangan, jendela serta dengan dinding sejauh ± 0,5 m. Sedangkan dari lantai berjarak 145 cm. Lalu Pasang filter pada HVS, nyalakan selama 2 jam. Setelah selesai, kertas filter dilipat dimasukan ke dalam plastik klip, lalu di timbang analitic balace, dan hasil penimbangannya dicatat sebagai berat filter sesudah sampling. Selisih dari berat filter sebelum dan sesudah sampling, itu merupakan hasil pemeriksaan dan dibandingkan dengan baku mutunya. 2. Metode sensor
Pengukuran metode ini menggunakan alat Dust Trak II Tipe 8530 yang bisa langsung membaca hasil pemeriksaan tanpa diolah, alat ini mempunyai keunggulan dapat untuk memeriksa partikel debu berukuran 10, 2,5 dan 1 µg/m3. Posisi menempatkan sampler sama seperti pada metode gravimetric.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
19
Cara Kerja Dust Trak II Aerosol Monitor: 1.
Nyalakan Tombol Power (on/off) pada alat Dust Trak II Aerosol Monitor
2.
Pada tampilan awal akan keluar menu yang akan kita pilih
3.
Siapkan Cyclone (Filter) yang akan kita gunakan, sesuai dengan PM yang akan diukur (jika ingin mengukur PM 2,5 maka Cyclone yang digunakan adalah 2,5 µm)
4.
Kemudian pilih menu “Setup” untuk melakukan kalibrasi pada laju alir (flowrate) dan Cyclone
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
20
5.
Lakukan Kalibrasi:
a.
Flowrate (Laju Alir)
•
Siapkan Dust Track II dan Cyclone
•
Hubungkan cyclone dengan rotameter dengan menggunakan selang silicon
•
Pilih menu “Flow Call”
•
Sesuaikan flowrate pada Dust Trak dengan Rotameter (lihat bola pada
rotameter, jika belum sesuai, maka lakukan adjust pada Dust Trak. Biasanya nilai Flowrate pada Dust Trak lebih kecil dibandingkan dengan rotameter) •
Flowrate yang digunakan 1-2 Lpm (Liter per menit)
•
Setelah sesuai, langkah selanjutnya lakukan kalibrasi terhadap Cyclone (Zero Call)
b.
Cyclone (Zero Call)
•
Lepas selang silicon dan rotameter
•
Pasang alat Zero Call pada Cyclone
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
21
•
Pilih menu “Zero Call” dan “Start”
•
Tunggu selama 60 detik (lihat waktu pada alat)
•
Setelah selesai, lepaskan alat Zero Call dan pasang kembali penutup Cyclone
•
Alat siap untuk digunakan
6.
Untuk pengukuran, siapkan alat lengkap dengan Cyclone dan penutupnya
7.
Pilih menu “Main” dan untuk memulai pengukuran dan record data pilih “Start”
8.
Lama waktu pengukuran dan record data sesuai dengan pengaturan yang kita inginkan.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
22
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori Kejadian ISPA pada balita dapat terjadi karena adanya bahan pencemar seperti mikroorganisme, gas dan partikulat (PM 10, PM 2,5) yang menyerang saluran pernapasan pada balita. Karakteristik balita sangat berperan penting untuk menghindari terjadinya penyakit ISPA misal berat badan lahir, ASI Eksklusif, status imunisasi, status gizi. Sumber pencemaran dalam rumah seperti kegiatan dalam rumah contohnya bahan bakar memasak, adanya perokok juga mempunyai peran sangat besar untuk terjadinya ISPA pada balita. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan fisik rumah seperti ventilasi, jenis lantai, jenis dinding, pencahayaan, suhu, kelembaban dan kepadatan hunian. Faktor karakteristik ibu contoh pendidikan, pekerjaan, pengetahuan dan status ekonomi juga mempengaruhi kejadian ISPA pada balita. Untuk memperjelas hubungan setiap variabel dengan kejadian penyakit ISPA pada balita, maka dibuatlah gambaran kerangka teori seperti gambar 3.1 dibawah ini:
22
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
23
Sumber pencemaran udara dalam rumah • Bahan bakar masak • Adanya perokok • Pemakaian obat nyamuk bakar
• • •
Karakteristik ibu • Pendidikan • Pekerjaan • Pengetahuan • Status ekonomi
Mikroorganisme Gas (CO, Hidrokarbon) Partikulat (debu PM 10, PM 2,5)
Lingkungan fisik rumah • Ventilasi • Jenis lantai • Jenis dinding • Pencahayaan • Suhu • Kelembaban • Kepadatan hunian
ISPA BALITA
Karakteristik balita • Umur • Jenis kelamin • Berat badan lahir • ASI Eksklusif • Status Imunisasi • Pemberian Vitamin A • Status gizi • Pemberian MP-ASI
Sumber : Modifikasi dari beberapa teori : Depkes RI 1999, Depkes RI 2002, Depkes RI 2009
Gambar 3.1 Kerangka Teori
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
24
3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan pertimbangan studi kepustakaan pada kerangka teori di atas maka disusun kerangka konseptual yang menjadi dasar pengukuran variabel dependen maupun independen
Karakteristik balita : • Berat badan lahir • ASI Eksklusif • Status Imunisasi • Status gizi
Faktor Lingkungan Rumah : • Ventilasi • Jenis lantai • Jenis dinding • Pencahayaan • Kepadatan hunian ISPA BALITA
Sumber pencemaran udara dalam rumah : • Bahan bakar masak • Adanya perokok
Partikulat debu PM 2,5
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
25
3.3 Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional No
Variabel
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
1
Kejadian ISPA Anak balita umur 0-59 pada balita bulan yang menderita gangguan saluran pernapasan meliputi batuk, kesukaran bernapas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dengan atau tanpa demam/panas (Depkes, 2007). Dikelompokkan menjadi: 1. Tidak ISPA, jika tidak mengalami gejala. 2. ISPA, jika mengalami satu atau lebih gejala
Wawancara
kuesioner
1. Tidak ISPA 2. ISPA
Ordinal
2
Berat Badan Lahir
Riwayat berat badan bayi saat lahir (Hull, 2008) Dikelompokkan menjadi: 1. Baik, jika BBL ≥ 2500 gram 2. Kurang, jika BBL < 2500 gram
Wawancara
Kuesioner dan KMS
1.Baik 2.Kurang
Ordinal
3
ASI Eksklusif
Pemberian ASI saja kepada balita sampai umur 6 bulan tanpa pemberian makanan/cairan lain (Depkes 2004). Dikelompokkan menjadi: 1. Ya, jika diberikan ASI Eksklusif 2. Tidak jika tidak diberikan ASI Eksklusif
Wawancara dan observasi
Kuesioner kohort bayi
1.Ya 2. Tidak
Ordinal
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
26
4
Status Imunisasi
5
Status gizi
6
Ventilasi
7
Jenis lantai
Wawancara Dan Observasi
Kuesioner dan KMS
1. 2.
Lengkap Tidak lengkap
Ordinal
Wawancara Dan Pengukuran
Kuesioner Timbangan dan KMS
1. 2.
Baik Kurang
Ordinal
Lubang hawa yang berfungsi sebagai tempat pertukaran udara pada kamar tidur dan ruang keluarga responden (Depkes RI,2009) Dikelompokkan menjadi 1. Memenuhi syarat (MS), jika jendela dengan luas ≥ 10% terhadap luas lantai. 2. Tidak memenuhi syarat (TMS), jika jendela dengan luas < 10% terhadap luas lantai.
Dilakukan observasi pada kamar tidur dan ruang keluarga responden dengan mengukur luas jendela dan dibagi dengan luas ruangan dikalikan 100%
Kuesioner Dan rollmeter
1. Memenuhi syarat (MS) 2. Tidak memenuhi syarat (TMS)
ordinal
Bahan dari alas atau dasar sebagai penutup bagian bawah dari kamar tidur dan ruang keluarga responden. Dikelompokkan menjadi: 1. Memenuhi Syarat (MS), jika terbuat dari semen/ tegel/ ubin/ teraso/ keramik dan tidak rusak kondisinya 2. Tidak Memenuhi Syarat (TMS), jika terbuat dari tanah/
Observasi
kuesioner
1. Memenuhi Syarat (MS) 2. Tidak Memenuhi Syarat (TMS)
ordinal
Imunisasi yang didapatkan oleh balita sesuai dengan umur balita sampai dilakukan penelitian (Depkes RI, 2009) Dikelompokkan menjadi: 1. Lengkap, jika status imunisasi lengkap 2. Tidak lengkap, jika status imunisasi tidak lengkap Keadaan gizi balita saat penelitian melalui penimbangan yang diperoleh dari berat badan dibagi umur sesuai dengan KMS berdasarkan standar WHO. (Depkes RI,2010) Dikelompokkan menjadi: 1. Baik, jika Zscore ≥ 2,0 s/d Zscore ≤ 2,0) SD 2. Kurang, jika Zscore < -2,0 SD
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
27
papan/ semen tapi dengan kondisi yang sudah rusak. (Kepmenkes 829/1999) 8
9
Jenis dinding
Pencahayaan
Suatu struktur padat yang membatasi dan melindungi suatu area (umumnya membatasi bangunan dan menyokong struktur lainnya, membatasi ruang, atau melindungi atau membatasi suatu ruang di alam terbuka). Berfungsi sebagai dinding di sebagian besar kamar balita dan ruang keluarga. Dikelompokkan menjadi: 1. Memenuhi syarat, bila terbuat dari tembok dan diplester, serta berwarna terang dan dalam kondisi yang bersih. 2. Tidak Memenuhi Syarat, bila terbuat dari tembok tapi berwarna, kotor, basah (lembab), tembok yang tidak diplester atau dari kayu/ bambu/ triplek/ papan. (Kepmenkes 829/1999)
Observasi
Intensitas cahaya yang masuk pada kamar tidur dan ruang keluarga responden
Pengukuran
Kuesioner
Memenuhi Syarat (MS) Tidak Memenuhi Syarat (TMS)
Ordinal
1. Memenuhi Syarat (MS) 2. Tidak Memenuhi Syarat (TMS)
Ordinal
1. 2.
Kuesioner Dan Luxmeter
Dikelompokkan menjadi: 1. Memenuhi syarat (MS), bila intensitas ≥ 60 lux 2. Tidak Memenuhi Syarat (TMS), bila intensitas < 60 lux (Kepmenkes 829/1999)
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
28
1. Memenuhi syarat (MS) 2. Tidak Memenuhi syarat (TMS)
ordinal
kuesioner
1. Memenuhi syarat 2. Tidak memenuhi syarat
Ordinal
Wawancara Dan Observasi.
Kuesioner
1. 2.
ordinal
Pengukuran
Dust-Tract 1. II Tipe 2. 8350
Tingkat kepadatan yang dihitung dari jumlah orang kecuali balita yang tidur di kamar tidur responden dibagi dengan luas kamar tidur Dikelompokkan menjadi: 1. Memenuhi syarat (MS) jika ruangan ≥ 8m per 2 orang. 2. Tidak Memenuhi syarat (TMS), jika ruangan < 8m per 2 orang.
Menghitung luas lantai kamar tidur kemudian dibandingka n dengan anggota keluarga yang tidur diruangan tersebut
Wawancara Dan
Bahan bakar memasak
Jenis bahan bakar yang biasa dipakai saat memasak Dikelompokkan menjadi: 1. Memenuhi syarat, jika gas, listrik 2. Tidak memenuhi syarat, jika kayu bakar, minyak tanah
Wawancara
12
Adanya Perokok
Adanya salah satu penghuni rumah yang mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah Dikelompokkan menjadi: 1. Ada, jika ada anggota keluarga yang merokok didalam rumah sedikitnya satu batang perhari 2. Tidak ada, jika tidak ada anggota keluarga yang merokok didalam rumah
13
PM 2,5 pada jarak rumah balita dengan jalan raya.
Konsentrasi partikulat berukuran 2,5µg/m3 dalam rumah diukur diruangan balita sering tidur berdasarkan jarak rumah balita dengan jalan raya Dikelompokkan menjadi: 1. Jauh jika > 3 km 2. 1. Dekat jika ≤ 3 km
10
1
Kepadatan hunian
pengukuran
Tidak Ada
Jauh Dekat
Ordinal
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
29
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Disain Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan cross sectional (potong lintang). Disain cross sectional yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang dilakukan dengan cara mengamati status paparan dan penyakit secara serentak serta pada periode yang sama. Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan secara bersamaan yaitu paparan antara faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – Juni 2012. 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Populasi dari penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki balita berusia 0 – 59 bulan dan bertempat tinggal di wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang berjumlah 3.148 orang. 4.3.2 Sampel Sampel dari penelitian ini merupakan bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun criteria inklusi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah: 1. Balita/bayi laki-laki dan perempuan yang berusia 0 bulan sampai 59 bulan. 2. Ibu bayi yang bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini
Universitas Indonesia
29Catiyas, FKM UI, 2012 Faktor-faktor..., Embriyowati
30
Adapun criteria eksklusi yaitu kriteria yang menghilangkan kemungkinan populasi untuk menjadi sampel yaitu: 1. Balita/bayi laki-laki dan perempuan yang berusia 0 bulan sampai 59 bulan namun tidak berdomisili di wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah 2. Ibu bayi yang tidak bersedia menjadi sampel dalam penelitian ini
4.3.3 Besar Sampel Sampel yang diambil dalam penelitian ini dari populasi menggunakan rumus populasi beda dua proporsi menurut Lemeshow (1997). Perhitungan jumlah sampel dengan menggunakan rumus hipotesis beda dua proporsi ini dipilih peneliti karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu ingin mencari hubungan. Adapun rumusnya sebagai berikut : ⁄
n = Keterangan : N
= Besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok
Α
= Probabilitas menolak Ho, padahal Ho benar Dalam penelitian ini α = 5%; Z 1-α/2 = 1,96)
β
= Probabilitas kesalahan menerima Ho, padahal Ho salah Dalam penelitian ini digunakan β = 20%; Z 1-β = 0,842
P1
= Proporsi kelompok yang terpapar dan sakit pada penelitian sebelumnya.
P2
= Proporsi kelompok yang tidak terpapar dan sakit pada penelitian sebelumnya.
Þ
= (P1 + P2) / 2
Berdasarkan rumus diatas, didapatkan besar sampel sebesar 166 responden.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
31
4.4 Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan secara acak sistematis (systematic random sampling) dengan langkah-langkah sebagai berikut : terlebih dahulu melihat proporsi balita di masing-masing kelurahan atau desa sehingga jumlah sampel balita di kelurahan atau desa yang satu dan lainnya berbeda berdasarkan proporsi tersebut. Berdasarkan hasil pendataan diperoleh jumlah balita di wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah sebagai berikut :
Tabel 4.1 Jumlah Responden yang menjadi sampel di wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012 No Nama desa
Jumlah Balita
Jumlah sampel
1.
Banjarsari
124
7
2.
Panjangsari
148
7
3.
Patemon
137
7
4.
Kedungpuji
176
9
5.
Wero
204
11
6.
Semondo
222
12
7.
Kalitengah
370
20
8.
Kemukus
226
12
9.
Wonokriyo
345
18
10. Gombong
271
14
11. Semanding
383
20
12. Sidayu
196
10
13. Wonosigro
125
7
14. Klopogodo
221
12
Jumlah
3.148
166
Setelah mendapatkan jumlah sampel untuk tiap-tiap kelurahan atau desa, kemudian dilakukan penentuan sampel pada tiap kelurahan atau desa dengan langkah sebagai berikut: 1. Membuat daftar balita dengan nomor urut satu dan seterusnya
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
32
2. Menentukan balita secara acak untuk menjadi sampel yang pertama 3. Menetapkan sampel kedua dan selanjutnya dilakukan secara sistematis dengan menggunakan interval hasil pembagian jumlah balita dengan jumlah sampel. Kemudian dari jumlah sampel 166 balita yang ada diambil systematic random sampling sejumlah 30 balita dimana didalam rumah balita diukur kadar PM 2,5, yang teriri dari 15 rumah balita yang dekat jalan raya dan 15 balita yang jauh dari jalan raya.
4.5 Pengumpulan Data 4.5.1
Cara dan Alat Pengumpulan Data Dalam penelitian ini dilakukan pengumpulan data secara primer dan
sekunder. Data sekunder didapat dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen , berupa laporan pelaksanaan kegiatan, laporan penyakit dan profil kesehatan. Sedangkan data primer, dikumpulkan dengan cara melakukan wawancara terhadap responden yaitu ibu balita dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner). Wawancara dengan menggunakan kuesioner dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang karakteristik balita (berat badan lahir, ASI Eksklusif, status imunisasi), pada faktor sumber pencemaran udara dalam rumah (adanya perokok) dengan kejadian penyakit ISPA pada balita. Untuk status gizi dilakukan pengukuran berat badan balita dengan cara menimbang balita dengan timbangan dan pengukuran tinggi badan dengan mengukur tinggi badan balita. Observasi dilakukan pada jenis lantai dan jenis dinding sedangkan pada ventilasi dilakukan observasi dan pengukuran menggunakan rollmeter. Pada pencahayaan dilakukan pengukuran dengan luxmeter, pada kepadatan hunian dilakukan pengukuran pada luas lantai kamar tidur dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidur diruangan tersebut sedangkan pada kandungan PM 2,5 dilakukan dengan pengukuran menggunakan dust-tract II tipe 8350.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
33
4.5.2 Petugas Pengumpul Data Pengumpulan data penelitian ini dilakukan oleh peneliti dibantu operator alat Dust Trak II, dan kader kesehatan Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah
4.5.4 Pengolahan data Pengolahan data adalah salah satu hal yang sangat penting mengingat data yang terkumpul dari lapangan masih merupakan data mentah yang berguna sebagai bahan informasi untuk menjawab tujuan penelitian. Pengolahan data meliputi kegiatan berikut : 1. Editing data Maksud dilakukan editing data adalah untuk mengetahui apakah ada kuesioner atau check-list yang telah diisi masih ada kesalahan atau belum lengkap.Apabila masih ada kesalahan atau tidak lengkap, akan dilakukan perbaikan atau wawancara ulang. 2. Coding data Adalah salah satu pemberian kode terhadap masing-masing kuesioner maupun check-list yang berguna untuk mempermudah peneliti dalam entri data maupun analisis data. 3. Entri data Adalah tahapan selanjutnya dalam manajemen data yaitu salah satu cara memasukkan data dengan bantuan program computer. 4. Cleaning data Adalah salah satu cara untuk melakukan pengecekan kembali terhadap data yang sudah kesalahan yang bertujuan untuk segera diperbaiki.
4.6.Analisis Data Analisis data dimaksudkan untuk memecahkan masalah penelitian sekaligus untuk menyampaikan informasi tentang hasil penelitian. Analisis data dilakukan dengan perangkat computer, yaitu meliputi :
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
34
4.6.1 Analisis Univariat. Analisis ini bertujuan menampilkan distribusi frekuensi yang berbentuk table tentang gambaran penelitian baik variabel independen maupun variabel dependen.
4.6.2.Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan terhadap variabel independen yang meliputi factor karakteristik balita, factor lingkungan rumah, factor sumber pencemaran dalam rumah dan
factor partikulat PM 2,5 dengan kejadian ISPA. Analisa
bivariat dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Chi-square untuk semua variabel. Dengan asumsi bahwa batas kemaknaan α = 0,05, hal ini berarti bahwa jika nilai p ≤ 0,05 dapat dikatakan mempunyai hubungan yang bermakna, namun jika nilai p > 0,05 dikatakan mempunyai hubungan yang tidak bermakna.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
35
BAB 5 HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Wilayah Kecamatan Gombong merupakan salah satu kecamatan yang terletak di sebelah barat Kabupaten Kebumen, memiliki luas wilayah sebesar 19,49 Km² atau 1.949 hektar, dimana semua desa/ kelurahan adalah daerah datar. Batas-batas wilayah Kecamatan Gombong adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara
: Wilayah Kecamatan Sempor.
b. Sebelah Selatan
: Wilayah Kecamatan Kuwarasan.
c. Sebelah Timur
: Wilayah Kecamatan Karanganyar
d. Sebelah Barat
: Wilayah Kecamatan Buayan
Kecamatan Gombong mempunyai wilayah kerja 14 desa/kelurahan yang terdiri dari 12 desa dan 2 kelurahan, yaitu Desa Banjarsari, Desa Panjangsari, Desa Patemon, Desa Kedungpuji, Desa Wero, Desa Semondo, Desa Kalitengah, Desa Kemukus, Kelurahan Wonokriyo, Kelurahan Gombong, Desa Semanding, Desa Sidayu, Desa Wonosigro dan Desa Klopogodo. Jumlah penduduk Kecamatan Gombong adalah 51.420 jiwa yang terdiri dari 25.146 jiwa ( 49,18 %) dan penduduk perempuan 26.274 jiwa (51,39 %). Tingkat pendidikan penduduk di wilayah Kecamatan Gombong paling banyak adalah penduduk dengan tingkat pendidikan tamat SD sebanyak 15.230 orang, tamat SLTP sebanyak 10.591 oramg, tamat SLTA sebanyak 9.921 orang, tidak tamat SD sebanyak 5.707 orang, Diploma sebanyak 1.461 orang, Sarjana S1 sebanyak 1.335 orang, Sarjana S2 sebanyak 40 orang, dan Sarjana S3 sebanyak 3 orang (profil kecamatan Gombong, 2011).
35
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
36
5.2. Hasil Uji Univariat Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012 Variabel
n
%
Tidak ISPA
84
50.6
ISPA
82
49.4
Baik
149
89.8
Kurang
17
10.2
Ya
64
38.6
Tidak
102
61.4
Lengkap
147
88.6
Tidak lengkap
19
11.4
Baik
152
91.6
Kurang
14
8.4
Memenuhi syarat
114
68.7
Tidak memenuhi syarat
52
31.3
Memenuhi syarat (MS)
145
87.3
Tidak memenuhi syarat (TMS)
21
12.7
Memenuhi syarat (MS)
111
66.9
Tidak memenuhi syarat (TMS)
55
33.1
Memenuhi syarat (MS)
126
75.9
Tidak memenuhi syarat (TMS)
40
24.1
Memenuhi syarat (MS)
92
55.4
Tidak memenuhi syarat (TMS)
74
44.6
Memenuhi syarat (MS)
103
62.0
Tidak memenuhi syarat (TMS)
63
38.0
Tidak
56
33.7
Ada
110
66.3
ISPA
Berat Badan Lahir
ASI Eksklusif
Status Imunisasi
Status Gizi
Ventilasi
Jenis Lantai
Jenis Dinding
Pencahayaan
Kepadatan Hunian
Bahan Bakar Memasak
Adanya Perokok
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
37
Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang tidak menderita ISPA yaitu 50,6% dan yang menderita ISPA sebesar 49,4%. Pada faktor karakteristik balita, hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang berat badan lahir balitanya baik yaitu sebesar 149 (89.8%), sedangkan responden yang berat badan lahir balitanya kurang adalah sebanyak 17 (10,2%). Berdasarkan pemberian ASI Ekslusif, distribusi responden yang balitanya mendapatkan ASI eksklusif yaitu sebanyak 64 (38,6%) dan responden yang
balitanya tidak mendapatkan ASI
ekslusif sebanyak 102 (61,4%). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang balitanya mendapatkan imunisasi lengkap adalah sebanyak 147 (88.6%) sedangkan responden yang balitanya tidak mendapatkan imunisasi lengkap yaitu sebanyak 19 (11,4%). Sedangkan responden yang balitanya berstatus gizi baik adalah sebanyak 152 (91,6%), dan responden yang balitanya berstatus gizi kurang yaitu sebanyak 14 (8,4%). (Tabel 5.1). Hasil penelitian pada faktor lingkungan rumah berdasarkan ventilasi rumah responden yang memenuhi syarat yaitu sebanyak
114 (68,7%),
dan
ventilasi rumah responden yang tidak memenuhi syarat sebanyak 52 (31,3%). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa jenis lantai rumah responden yang memenuhi syarat adalah sebanyak 145 (87,3%) dan jenis lantai rumah responden yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebanyak 21(12,7%). Jenis dinding rumah responden yang memenuhi syarat sebanyak 111 (66,6%), sedangkan jenis dinding rumah responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 55 (33,1%). Selain
itu dapat diketahui juga bahwa rumah responden menurut
pencahayaan yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 126 (75,9%), dibandingkan rumah responden menurut pencahayaan yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 40 (24,1%). Kemudian dari jumlah kepadatan hunian dalam rumah responden yang memenuhi syarat adalah sebanyak 92 (55,4%) sedangkan jumlah kepadatan hunian responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 74 (44,6%) (Tabel 5.1) Sumber pencemaran dalam rumah menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan bahan bakar memasak yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 103 (62,0%), sedangkan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 63 (38,0%). Pada variabel merokok didapatkan tidak ada anggota keluarga yang
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
38
merokok dalam rumah sebanyak 56(33,7%), dan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah sebanyak 110(66,3%). (Tabel 5.1).
5.3. Hasil Uji Bivariat Analisis bivariat dilakukan terhadap variabel independen yang meliputi factor karakteristik balita, factor lingkungan rumah, factor sumber pencemaran dalam rumah dan
factor partikulat PM 2,5 dengan kejadian ISPA. Analisa
bivariat dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Chi-square untuk semua variabel. Dengan asumsi bahwa batas kemaknaan α = 0,05, hal ini berarti bahwa jika nilai p ≤ 0,05 dapat dikatakan mempunyai hubungan yang bermakna, namun jika nilai p > 0,05 dikatakan mempunyai hubungan yang tidak bermakna.
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
39
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Variabel di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah tahun 2012 Variabel
ISPA Tidak Sakit (%)
Sakit
(%)
P value
OR
(95% CI)
0.282
2.014
(0.708– 5.729)
0.023*
2.197
(1.158- 4.167)
0.045*
3.253
(1.114- 9.496)
0.045*
4.183
(1.122- 15.593)
0.202
1.626
(0.838- 3.153)
0.321
1.790
(0.700 – 4.578)
0.153
1.697
(0.883- 3.262)
0.037*
2.321
(1.109- 4.859)
0.030*
2.084
(1.118- 3.884)
0.41
2.038
(1.077- 3.858)
0.025*
2.234
(0.155- 4.322)
Faktor Karakteristik Balita Berat Badan Lahir Baik
78
52.3%
71
47.7%
Kurang
6
35.3%
11
64.7%
ASI Eksklusif Ya (tidak berisiko)
40
62.5%
24
37.5%
Tidak (berisiko)
44
43.1%
58
56.9%
Status Imunisasi Lengkap
79
53.7%
68
46.3%
Tidak lengkap
5
26.3%
14
73.7%
Status Gizi Baik
81
53.3%
71
46.7%
Kurang
3
21.4%
11
78.6%
Ventilasi Memenuhi syarat (MS)
62
54.4%
52
45.6%
Tidak memenuhi syarat (TMS)
22
42.3%
30
57.7%
Jenis Lantai Memenuhi syarat (MS)
76
52.4%
69
47.6%
Tidak memenuhi syarat (TMS)
8
38.1%
13
61.9%
Jenis Dinding Memenuhi syarat (MS)
61
55.0%
50
45.0%
Tidak memenuhi syarat (TMS)
23
41.8%
32
58.2%
Pencahayaan Memenuhi syarat (MS)
70
55.6%
56
44.4%
Tidak memenuhi syarat (TMS)
14
35.0%
26
65.0%
Memenuhi syarat (MS)
54
58.7%
39
41.3%
Tidak memenuhi syarat (TMS)
30
40.5%
44
59.5%
Faktor Lingkungan Rumah
Kepadatan Hunian
Faktor Pencemaran Udara dalam Rumah Bahan Bakar Memasak Memenuhi syarat (MS)
59
57.3%
44
42.7%
Tidak memenuhi syarat (TMS)
25
39.7%
38
60.3%
Adanya Perokok Tidak
63
57.3%
47
42.7%
Ada 21 37.5% Keterangan: * signifikan pada level ≤ 0,05
35
62.5%
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
40
1.
Hubungan berat badan lahir dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara berat badan lahir dan kejadian ISPA balita diperoleh bahwa balita dengan berat badan lahir baik dan menderita ISPA sebanyak 71 (47,7%),
sedangkan balita dengan berat badan lahir
kurang dan menderita ISPA sebanyak 11 (64,7%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,282 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara balita yang berat badan lahir dengan kejadian ISPA pada balita.
2.
Hubungan ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dan ISPA pada balita diperoleh bahwa balita yang mendapatkan ASI Eksklusif dan menderita ISPA sebanyak
24 (37,5%), sedangkan balita yang tidak
mendapat ASI Eksklusif dan menderita ISPA yaitu sebanyak 58 (56,9%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,023, berarti ada hubungan yang signifikan antara ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 2,197 artinya balita yang tidak mendapat ASI Eksklusif memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk menderits ISPA dibandingkan dengan balita yang mendapat ASI Eksklusif.
3.
Hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara status imunisasi dan ISPA pada balita diperoleh bahwa balita yang mendapatkan imunisasi lengkap dan menderita ISPA sebanyak 68 (46,3%), sedangkan balita yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap dan menderita ISPA adalah sebanyak 14 (73,7%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,045 berarti ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 3,253 artinya balita yang status imunisasi tidak lengkap memiliki risiko 3,25 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi lengkap.
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
41
4.
Hubungan status Gizi dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara status gizi dan ISPA pada balita diperoleh bahwa balita yang mempunyai status gizi baik dan menderita ISPA sebanyak 71 (46,7%), sedangkan balita yang berstatus gizi kurang dan menderita ISPA sebanyak 11 (78,6%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,045 berarti ada hubungan yang signifikan antara status balita dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 4.183 artinya balita yang mempunyai status gizi kurang mempunyai peluang 4,1 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang status gizi baik.
5.
Hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara ventilasi rumah dan ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 52 (45,6%), sedangkan responden yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 30 (57,7%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,202 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita.
6.
Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian dan ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang
rumahnya memenuhi syarat untuk
kepadatan hunian dan balitanya menderita ISPA sebanyak 39 (41,3%), sedangkan kepadatan
responden yang rumahnya tidak memenuhi syarat untuk hunian
dan balitanya
menderita ISPA adalah sebanyak 44
(59,5%) . Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,030 berarti ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 2,084 artinya balita yang kepadatan hunian tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 2 kali lebih besar mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang kepadatan hunian memenuhi syarat .
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
42
7.
Hubungan adanya perokok dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara adanya perokok dan ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang di rumahnya tidak ada anggota keluarga yang merokok dan balitanya menderita ISPA sebanyak 47 (42,7%), sedangkan
responden yang di dalam rumahnya terdapat perokok dan
balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 35 (62,5%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,025 berarti ada hubungan yang signifikan antara adanya perokok dengan kejadian pada ISPA. Nilai OR = 2,234 artinya balita yang didalam rumahnya terdapat perokok memiliki risiko 2,2 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang tidak terdapat perokok dirumahnya.
8.
Hubungan bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara bahan bakar memasak dan ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang menggunakan bahan bakar memasak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 44 (42,7), sedangkan responden yang menggunakan bahan bakar
memasak tidak
memenuhi syarat dan menderita ISPA adalah sebanyak 38 (60,3%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,41 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita.
9.
Hubungan jenis lantai dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara jenis lantai rumah dan ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang jenis lantai rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 69 (47,6%), sedangkan responden yang jenis lantai rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 13 (61,9%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,321 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA.
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
43
10. Hubungan jenis dinding dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara jenis dinding rumah dan ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang jenis dinding rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 50 (45 %), sedangkan responden yang tidak memenuhi syarat jenis dinding dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 32 (58,2%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa pvalue sebesar 0,153 berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita.
11. Hubungan pencahayaan dengan kejadian ISPA Hasil analisis hubungan antara pencahayaan rumah dan ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang pencahayaan rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 56 (44,4%), sedangkan responden tidak memenuhi syarat pencahayaan dan balitanya menderita ISPA adalah sebanyak 26 (65,0%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,037 berarti ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil analisis didapatkan nilai OR=2,321 artinya balita yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2,3 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan balita yang rumahnya memenuhi syarat ventilasi.
5.4 Partikulat debu PM 2,5 pada jarak rumah dari jalan raya
Tabel 5.3 Konsentrasi Debu PM 2,5 pada Jarak Rumah dari Jalan Raya di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012 Dekat Jalan Raya
Jauh Jalan Raya
Konsentrasi debu PM 2,5
-
Minimum
1,7 µg/m3
0,3 µg/m3
-
Maksimum
6,3 µg/m3
1,7 µg/m3
-
Mean
3,68 µg/m3
2,24 µg/m3
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
44
Konsentrasi debu PM 2,5 µg/m3 yang dilakukan pada rumah responden sebanyak 30 rumah diperoleh bahwa konsentrasi debu PM 2,5 µg/m3 pada rumah yang dekat dengan jalan raya yaitu minimum 1,7 µg/m3, maksimum 6,3 µg/m3 dan rata rata 3,68 µg/m3 , sedangkan pada rumah yang jauh dari jalan raya yaitu minimum 0,3 µg/m3 , maksimum 1,7 µg/m3 dan rata-rata 2,24 µg/m3, dimana balita yang menderita ISPA pada rumah yang dekat jalan raya sejumlah 10 (66,7%) dan balita yang menderita ISPA pada rumah yang jauh dari jalan raya sejumlah 3 (20%) balita.
Tabel 5.4 Perbandingan Konsentrasi Debu PM 2,5 Antara Rumah yang Dekat dari Jalan Raya, dan Rumah yang Jauh dari Jalan Raya di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012
Lokasi Jumlah Mean SD SE Rumah Responden Jauh Jalan 0,0041102 0,0010613 15 0,0022467 Raya Dekat Jalan Raya
15
0,0036800
0,0012968 0,0003348
95% CI (minimalmaksimal) -0,000030 – 0,004523 0,002962 0,004398
P value 0,053 0,000
Rata-rata konsentrasi debu PM 2,5 pada rumah balita yang jauh dari jalan raya adalah 0,00224 µg/m3 dengan standar deviasi 0,0041 µg/m3, sedangkan ratarata konsentrasi debu PM 2,5 pada rumah balita yang dekat dengan jalan raya adalah 0,00368 µg/m3 dengan standar deviasi 0,00033 µg/m3. Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,053 untuk variabel rumah yang jauh dari jalan raya, artinya pada alpha 5% terlihat tidak ada perbedaan yang bermakna rata-rata konsentrasi debu PM 2,5 pada rumah-rumah balita yang letaknya jauh dari jalan raya. Sedangkan untuk variabel rumah yang letaknya dekat dengan jalan raya, hasil analisis menunjukkan bahwa nilai p=0,000, artinya ada perbedaan yang bermakna rata-rata konsentrasi debu PM 2,5 pada rumah-rumah balita yang letaknya dekat dengan jalan raya jalan raya. Konsentrasi debu terendah dan tertinggi pada rumahrumah yang letaknya jauh dari jalan raya adalah -0,000030 µg/m3 dan 0,004523 µg/m3, sedangkan konsentrasi debu terendah dan tertinggi pada rumah-rumah
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
45
yang letaknya dekat dengan jalan raya adalah 0,002962 µg/m3 dan 0,004398 µg/m3. Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Hubungan Konsentrasi Debu PM 2,5 pada Jarak Rumah dari Jalan Raya dengan Kejadian ISPA di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah tahun 2012
Variabel
Kejadian ISPA ISPA + ISPA - (%) (%)
P value
12 (80%) 5 (33,3%) 17(56,7%)
0,027*
OR
CI 95%
a. Faktor Partikulat PM 2,5 Jauh jalan raya Dekat dari jalan raya Total
3 (20%) 10 (66,7%) 13 (43,3%)
8,000
(1,522 –42,042)
Keterangan: * signifikan pada level ≤ 0,05
Hasil analisis hubungan antara partikulat PM 2,5 dan jarak rumah dari jalan raya dengan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa balita yang tinggal dalam rumah yang dekat jalan raya yang menderita ISPA sebesar 10 (66,7%), sedangkan balita yang tinggal dalam rumah yang jauh jalan raya yang menderita ISPA sebesar responden 3 (20%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,027 berarti ada hubungan yang signifikan antara jarak rumah dari jalan raya dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil analisis didapatkan nilai OR=8,000 artinya balita yang tinggal dekat jalan raya memiliki risiko 8 kali mengalami ISPA dibandingkan balita yang tinggal jauh dari jalan raya.
Universitas Indonesia Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1. Gambaran Kejadian ISPA Kejadian penyakit ISPA pada balita di wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah yaitu sebesar 49%, dan balita yang tidak menderita ISPA 51%. Pada saat penelitian didapatkan hasil balita yang tidak menderita ISPA lebih banyak karena sampel diambil secara acak tanpa melihat data yang ada di puskesmas.
6.2 Gambaran dan Hubungan Faktor Karakteristik Balita dengan Kejadian ISPA A. Berat Badan Lahir Responden yang berat badan lahir balitanya baik yaitu sebesar 149 (89.8%), sedangkan responden yang berat badan lahir balitanya kurang adalah sebanyak 17 (10,2%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fidiani (2011) yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di India dimana penelitian dilakukan pada 400 anak di bawah usia 5 tahun di Kerala Selatan, India yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dan kejadian ISPA (Sathy & Shah, 1994). Penelitian ini memang tidak berhubungan namun berat badan bayi saat lahir mempengaruhi daya tahan tubuh untuk menderita penyakit tertentu, sesuai dengan Depkes RI (2009) yang menyatakan bahwa berat badan bayi saat lahir merupakan faktor risiko pasti terjadinya penyakit ISPA pada balita. Sedangkan kelahiran prematur membawa sejumlah masalah terhadap kesehatannya misalnya masalah pernafasan, hipotermi, infeksi setelah lahir dan lain-lain. (Hull, 2008). Program-program puskesmas sudah mencakup penyuluhan kesehatan, agar tidak terjadi berat badan lahir rendah, dalam hal ini bidan dan petugas gizi lebih
46
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
47
mengoptimalkan pemberian informasi pada saat pemeriksaan kehamilan seperti gizi ibu hamil dimana keperluan pertumbuhan dan perkembangan janin diperoleh dari ibu jika tidak mencukupi akan mempengaruhi bayi yang akan dilahirkan, perilaku ibu dimana jika ibu hamil merokok akan membuat berat badan bayi lahir rendah.
B. ASI Eksklusif Organisasi
Kesehatan
Dunia
(WHO)
dan
UNICEF
memberikan
rekomendasi pemberian ASI eksklusif 6 bulan pertama untuk pemberian makan bayi dan anak kecil yang optimal, di samping pemberian ASI pada bayi umur satu jam pertama dan juga pengenalan makanan pelengkap yang cukup bergizi dan aman bagi bayi setelah usia 6 bulan bersama dengan kelanjutan ASI sampai umur 2 tahun (WHO, 2010). Menurut WHO diperkirakan kira-kira hanya 35% bayi berumur 0-6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif. Sebagian bayi tidak menerima pemberian makan secara optimal salah satunya melalui ASI eksklusif. Berdasarkan pemberian ASI ekslusif, distribusi responden yang balitanya mendapatkan ASI eksklusif yaitu sebanyak 64 (38,6%) dan responden yang balitanya tidak mendapatkan ASI ekslusif sebanyak 102 (61,4%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Balita yang tidak mendapat ASI eksklusif memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk menderits ISPA dibandingkan dengan balita yang mendapat ASI eksklusif. Penelitian ini sejalan dengan penelitian di Tanzania yang menyatakan bahwa ASI eksklusif adalah tindakan efektif untuk menyelamatkan kehidupan anak dan dapat mencegah 13 - 15 % dari setiap kematian 9 juta anak (Nkala dan Msuya, 2011). Pemberian ASI eksklusif sampai 6 bulan dapat mencegah kematian bayi dari pneumonia, diare dan sepsis pada bayi dimana mencegah 13% dari seluruh kematian anak balita ( WHO, 2010) Proporsi balita dengan riwayat ASI tidak eksklusif lebih besar dari pada yang diberikan ASI Eksklusif, hal ini didukung oleh perilaku keluarga yang memberikan madu ketika bayi baru lahir, serta ketika bayi sering menangis, menandakan bayi lapar dan tidak cukup dengan ASI sehingga bayi tetap diberikan susu formula. Penyuluhan yang sudah dilakukan oleh pihak puskesmas dalam hal
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
48
ini dilakukan oleh bidan di desa sebagai pembina desa dan petugas gizi, sebaiknya frekuensi penyuluhan ditambah dari sebulan sekali menjadi dua kali memberikan pengetahuan melalui penyuluhan kepada masyarakat, ibu-ibu, keluarga terutama ibu mertua atau nenek dan suami sehingga mereka dapat mendukung pemberian ASI secara Eksklusif. Penyuluhan ini dapat dilakukan pada saat posyandu, arisan PKK RT, PKK RW maupun PKK tingkat desa, arisan padi, pengajian maupun tempat dimana masyarakat biasanya berkumpul.
C. Status Imunisasi Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa responden yang balitanya mendapatkan imunisasi lengkap adalah sebanyak 147 (88.6%) sedangkan responden yang balitanya tidak mendapatkan imunisasi lengkap yaitu sebanyak 19 (11,4%). Ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dan kejadian ISPA pada balita. Balita yang status imunisasinya tidak lengkap memiliki risiko 3,25 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi lengkap. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Irianto (2006) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA. Imunisasi berguna untuk memberikan kekebalan untuk melindungi anak dari serangan penyakit menular. Imunisasi yang paling efektif mencegah penyakit ISPA yaitu imunisasi campak dan DPT (Achmadi, 2006). Balita yang terserang campak akan mendapatkan kekebalan alami terhadap pneumonia (pneumonia merupakan komplikasi dari campak). Kematian karena ISPA sebagian besar berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi misal difteri, pertusis dan campak. Imunisasi lengkap berguna untuk mengurangi mortalitas ISPA, sehingga balita yang mempunyai status imunisasi lengkap jika terkena ISPA maka diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi berat. (Achmadi, 2006). Cakupan imunisasi hampir mencapai target, tetapi sebaiknya lebih meningkatkan peran bidan di desa selaku pembina desa dan di dukung oleh kader kesehatan setempat untuk lebih meningkatkan keaktifan ibu datang ke posyandu setiap bulan, untuk mendapatkan imunisasi serta apabila ada ibu balita yang tidak
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
49
datang agar bidan di desa dan kader kesehatan melakukan kunjungan rumah ke rumah balita tersebut.
D. Status Gizi Responden yang balitanya berstatus gizi baik adalah sebanyak 152 (91,6%), dan responden yang balitanya berstatus gizi kurang yaitu sebanyak 14 (8,4%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA, Balita yang mempunyai status gizi kurang mempunyai peluang 4,1 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang status gizi baik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di India yang melakukan penelitian untuk memastikan faktor risiko Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada anak-anak, di komunitas kumuh perkotaan di Calcutta dimana menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA (Duta and Biswas, 1999). Balita dengan keadaan status gizi kurang maupun status gizi buruk lebih mudah untuk menderita penyakit infeksi dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik. (Arisman, 2004). Memberikan pengertian dan informasi untuk keluarga mengenai status gizi balita adalah jalan yang baik walaupun membutuhkan waktu yang lama untuk mengintervansinya. Program puskesmas sudah mencakup penyuluhan kesehatan diantaranya pemberian informasi tentang kadarzi (keluarga sadar gizi), mengenai kandungan gizi, cara pengolahan makanan, Pemberian Makananan Tambahan (PMT) pada balita dan diharapkan melakukan usulan kepada pihak desa melalui posyandu untuk anggaran PMT masuk dalam Anggaran Desa.
6.3 Gambaran dan Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian ISPA A. Ventilasi Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah tinggal tentang ventilasi alamiah rumah adalah luas penghawaan atau ventilasi alamiah rumah yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Ventilasi merupakan proses untuk
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
50
mengganti udara di dalam rumah dengan udara segar dalam jumlah yang sesuai kebutuhan (Depkes, 2002). Dampak dari ventilasi yang tidak memenuhi syarat yaitu pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikroorganisme, yang mengakibatkan gangguan terhadap kesehatan manusia (Kemenkes, 2011). Hasil penelitian pada faktor lingkungan rumah berdasarkan ventilasi rumah responden yang memenuhi syarat yaitu sebanyak
114 (68,7%),
dan
ventilasi rumah responden yang tidak memenuhi syarat sebanyak 52 (31,3%). Tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gertrudis (2012), dan Budiaman (2008) yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani (2009), dan Cahya (2011) yang menyatakan hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA. Walaupun hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA akan tetapi hal tersebut bukanlah berarti langsung terjadi gangguan pernapasan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya seperti konstruksi rumah dengan jendela yang lebar dengan udara yang mudah keluar masuk disamping penghuninya mempunyai kebiasaan membuka jendela sepanjang hari terutama pada pagi hari dan pada saat memasak. Program Kesehatan Lingkungan sudah mencakup penyuluhan kesehatan pada masyarakat, akan tetapi sebaiknya meningkatkan pemberian penyuluhan kepada masyarakat tentang rumah sehat dan agar membuka jendela setiap pagi supaya aliran udara dan cahaya matahari dapat masuk kedalam ruangan untuk mengganti udara yang ada dalam ruangan dan dapat membunuh kuman penyakit.
B. Jenis Lantai Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah tinggal, dimana lantai yang baik harus kedap air dan mudah dibersihkan, tetapi jika jenis lantai yang tidak kedap air, contohnya lantai dari tanah atau tidak diplester semen
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
51
dengan baik, maka apabila musim kemarau akan menimbulkan debu yang akan mengganggu sistem pernapasan, sedangkan pada musim penghujan menyebabkan kelembaban ruangan menjadi tinggi, karena lingkungan rumah dan lantai akan menjadi basah yang disebabkan sifat tanah yang absorben, kondisi seperti ini sangat baik untuk perkembangan mikroorganisme. (Kemenkes, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis lantai rumah responden yang memenuhi syarat adalah sebanyak 145 (87,3%) dan jenis lantai rumah responden yang tidak memenuhi syarat kesehatan yaitu sebanyak 21(12,7%). Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012), dan Budiaman (2008) yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai dengan kejadian ISPA, tetapi tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fidiani (2011), Kristina (2011) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai dengan kejadian ISPA. Walaupun hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis lantai dengan kejadian ISPA, sebaiknya pada saat perencanaan rumah tinggal yang perlu diperhatikan adalah jenis lantai yang akan digunakan harus memenuhi syarat.
C. Jenis Dinding Jenis dinding rumah responden yang memenuhi syarat sebanyak 111 (66,6%), sedangkan jenis dinding rumah responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 55 (33,1%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding rumah dengan kejadian ISPA, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012) dan Gertrudis (2012) yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding dengan kejadian ISPA, tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kristina (2011), Anthony (2008), dan Oktaviani (2009) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara jenis dinding dan kejadian ISPA. Walaupun hasil penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan antara dinding rumah dengan kejadian ISPA, akan tetapi secara substansi dinding dapat
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
52
mempengaruhi kualitas udara di dalam atau ruangan. Dinding yang tidak kedap air dapat menyebabkan kelembaban udara menjadi tinggi dan dapat menimbulkan debu. Rumah yang konstruksi dindingnya tidak baik akan sulit untuk dibersihkan. Dinding yang tidak rapat akan menyebabkan masuknya pengotoran dari luar ruangan contohnya debu, asap atau kotoran lainnya.
D. Pencahayaan Rumah responden menurut pencahayaan yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 126 (75,9%), dibandingkan rumah responden menurut pencahayaan yang
tidak
memenuhi
syarat yaitu sebanyak 40 (24,1%). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan rumah dengan kejadian ISPA. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2012), dan Budiaman (2008) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan dengan kejadian ISPA, tetapi tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Kristina (2011), dan Oktaviani (2009) yang
menyatakan tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian ISPA. Pencahayaan yang baik dapat menurunkan kadar jasad renik karena sinar matahari pagi memasukkan sinar ultraviolet ke dalam rumah (Notoatmojo, 2009). Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan pemasangan beberapa genteng kaca pada atap rumah, dan pembuatan ventilasi sesuai dengan kriteria yang berlaku.
E. Kepadatan Hunian Kepadatan hunian dalam rumah responden yang memenuhi syarat adalah sebanyak 92 (55,4%) sedangkan jumlah kepadatan hunian responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 74 (44,6%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita. Balita yang kepadatan hunian tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 2 kali lebih besar mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang kepadatan hunian memenuhi syarat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan terhadap 718 anak Bangladesh
dimana ditemukan
bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dan kejadian ISPA (Murray EL, Klein M, et al, 2012) tetapi tidak sejalan dengan penelitian yang
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
53
dilakukan oleh
Oktaviani (2009) dan penelitian yang dilakukan di Antalya
(Turki), dimana penelitian ini pada bayi 204 kota Antalya, hasil dari penelitian yang dilakukan adalah kejadian ISPA sebesar 6,53 episode per anak per tahun antara anak-anak dalam kelompok penelitian dan tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA (Aktekin dkk, 2002). Kepadatan hunian dapat di intervensi dengan melakukan penyuluhan kepada keluarga bahwa kepadatan hunian harus memenuhi persyaratan luas tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun (Depkes RI, 2002). Kepadatan hunian dalam suatu rumahtangga dapat diatasi dengan menggalakkan program KB, pembangunan rumah juga seharusnya memperhatikan jumlah penghuni yang akan tinggal dan memperhatikan sarana sanitasi dasar rumah (Irianto, 2006).
6.4. Gambaran dan Hubungan Faktor Sumber Pencemaran Udara dalam Rumah dengan Kejadian ISPA A. Bahan Bakar Memasak Sumber pencemaran dalam rumah menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan bahan bakar memasak yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 103 (62,0%), sedangkan yang tidak memenuhi syarat sebanyak 63 (38,0%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh
Irianto (2006), Rahayu (2011), dan Kristina (2011)
dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara balita yang rumahnya memakai bahan bakar memasak tidak memenuhi syarat dengan kejadian ISPA. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Birmingham (Inggris) yang menyebutkan bahwa paparan asap dari pembakaran bahan bakar padat meningkatkan risiko ISPA/ pneumonia pada anak, serta ada beberapa bukti bahwa pengurangan paparan asap penggunaan kompor untuk memasak mengurangi risiko ISPA pada anak (Kurmi dkk 2012). Penelitian yang dilakukan di Nepal menyebutkan sekitar 87 persen rumah tangga yang menggunakan bahan bakar biomassa padat sebagai sumber utama bahan bakar, terdapat sejumlah 1.284 yang terkena ISPA dan pneumonia (Maskey dkk 2010),
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
54
sedangkan di Perancis ada bukti kuat bahwa infeksi saluran pernapasan akut pada anak dan penyakit paru obstruktif kronik pada wanita berhubungan dengan asap biomassa dalam ruangan (Chemarin C dkk 2011). Walaupun hasil penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA, tetapi tetap memberikan penyuluhan terkait dengan bahaya dari asap yang ditimbulkan oleh proses pembakaran, penyuluhan tentang dapur dilengkapi dengan cerobong asap, serta dilengkapi dengan ventilasi dapur yang memadai.
B. Adanya Perokok Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1077/ Menkes/PER/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah menyebutkan bahwa kualitas udara dalam ruang rumah dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah perilaku merokok dalam rumah yang mempunyai dampak pada bayi dan anak-anak yang orangtuanya perokok yang mempunyai resiko lebih besar terkena gangguan saluran pernapasan dengan gejala sesak napas, batuk dan lender berlebihan. Pada variabel merokok didapatkan
tidak ada anggota keluarga yang
merokok dalam rumah sebanyak 56(33,7%), dan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah sebanyak 110(66,3%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara adanya perokok dengan kejadian pada ISPA. Balita yang didalam rumahnya terdapat perokok memiliki risiko 2,2 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang tidak terdapat perokok dirumahnya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan di Perancis yang menyebutkan ada bukti kuat bahwa partikel polusi udara terdiri dari polusi udara diluar dan polusi dalam ruangan, yang mana polusi udara dalam ruangan berasal salah satunya merokok yang menyebabkan paparan berbagai partikel ultrafine yang mengakibatkan ISPA pada Balita (Vincent dan Chemarin, 2011) dan penelitian yang dilakukan di India yang menyatakan ada hubungan yang signifikan (Duta, 1999). Dalam penelitian Gertrudis (2012) menyatakan hal yang sama yaitu ada hubungan yang bermakna dengan nilai p value 0,03 dg OR 1,8, dan sesuai dengan
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
55
hasil penelitian Rahayu (2011) dan Bambang Irianto (2006) yang sama-sama menyatakan ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Antalya (Turki) yang menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara adanya perokok dengan kejadian ISPA (Aktekin dkk, 2002).
6.5 Gambaran dan Hubungan Jarak Rumah dari Jalan Raya Dilihat dari Kandungan Partikulat Debu PM 2,5 Konsentrasi debu PM 2,5 µg/m3 yang dilakukan pada rumah balita sebanyak 30 rumah diperoleh bahwa konsentrasi debu PM 2,5 µg/m3 pada rumah balita yang dekat dengan jalan raya yaitu minimum 1,7 µg/m3, maksimum 6,3 µg/m3 dan rata rata 3,68 µg/m3 , sedangkan pada rumah balita yang jauh dari jalan raya yaitu minimum 0,3 µg/m3 , maksimum 1,7 µg/m3 dan rata-rata 2,24 µg/m3, dimana balita yang menderita ISPA pada rumah yang dekat jalan raya sejumlah 10 (66,7%) dan balita yang menderita ISPA pada rumah yang jauh dari jalan raya sejumlah 3 (20%) balita. Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan antara jarak rumah dari jalan raya dengan kejadian ISPA pada balita. Balita yang tinggal dalam rumah yang dekat dari jalan raya memiliki risiko 8 kali mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah yang jauh dari jalan raya.
6.6 Keterbatasan Penelitian Rancangan yang dipakai dalam penelitian ini bersifat cross sectional, dimana rancangan ini mempunyai kelemahan yaitu kesulitan dalam membedakan variabel yang menjadi penyebab dan variabel yang menjadi akibat, disebabkan kedua variabel ini diukur pada saat bersamaan. Hubungan yang bisa digambarkan melalui rancangan ini hanya menunjukkan keterkaitan saja, bukan menunjukkan hubungan yang bersifat kausalitas (hubungan sebab akibat). Disamping itu, penelitian cross sectional merupakan penelitian sesaat (sewaktu), maka apabila penelitian dilakukan pada waktu yang berlainan, kemungkinan hasil dari penelitian ini akan berbeda. Selain itu, berdasarkan hasil pemantauan mengenai variabel kondisi lingkungan rumah, pencemaran udara dalam rumah belum dapat
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
56
menggambarkan seluruh aspek yang diharapkan banyak berhubungan dengan kejadian ISPA secara lengkap. Kelemahan dalam pemilihan sampel penelitian (responden) adalah terjadi ketika responden yang sudah ditetapkan secara acak sistematis tidak ditemukan di lapangan karena sedang pergi keluar kota atau pindah sehingga sulit melacak keberadaannya, sehingga sebagai penggantinya diambil responden yang alamatnya masih sama (satu RT) dengan responden yang dipilih. Instrumen yang dipakai dalam penelitian ini berupa kuesioner dan alat ukur lingkungan rumah. Kelemahan kuesioner yang mana sudah disediakan alternatif jawabannya (bersifat tertutup), sehingga jawaban yang diberikan responden terpaku pada jawaban yang sudah ada dan tidak bisa mengembangkan jawaban yang luas serta lengkap. Jawaban responden yang sangat terbatas ini dirasakan masih kurang menggambarkan keadaan responden yang sebenarnya. Alat yag dipergunakan (luxmeter) tidak dikalibrasi secara teratur, pengukuran hanya dilakukan sesaat, sedangkan pemeriksaan partikulat debu PM 2,5 belum dilakukan untuk semua rumah responden. Bias informasi yang terjadi saat pengukuran adalah recall bias, dimana responden tidak dapat menjawab dengan tepat pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang terjadi di masa lampau. Bias dari objek juga terjadi wawancara dimana responden tidak memberikan jawaban yang sebenarnya, atau responden kurang memahami pertanyaan yang disampaikan pewawancara.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN
7.1. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 166 responden yang ada di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah tahun 2012, dapat disimpulkan : 1 Kejadian ISPA pada balita sebesar 49,4%. 2 Gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA: -
Balita dengan berat badan lahir baik sebesar 89,8%, balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif sebesar 61,4%, dan 88,6% balita yang status imunisasinya lengkap, serta balita yang berstatus gizi baik sebesar 91,6%.
-
Ventilasi rumah balita yang memenuhi syarat sebesar 68,7%, jenis lantai rumah balita yang memenuhi syarat sebesar 87,3%, dan jenis dinding rumah balita yang memenuhi syarat sebesar 66,9%, pencahayaan didalam rumah balita memenuhi syarat sebesar 75,9% sedangkan kepadatan hunian rumah balita sebesar 55,4%.
-
Bahan bakar memasak yang digunakan dirumah balita yang memenuhi syarat sebesar 62% dan 66,3% dirumah balita ada anggota keluarga yang merokok didalam rumah.
-
Balita yang menderita ISPA dalam rumah yang dekat dengan jalan raya sebesar 66,7%.
3 Faktor Karakteristik Balita yang memiliki hubungan dan bermakna adalah ASI Eksklusif, status imunisasi dan status gizi. Sedangkan berat badan lahir memiliki hubungan yang tidak bermakna. 4 Faktor Lingkungan Rumah yaitu pencahayaan, dan kepadatan hunian yang berhubungan dan bermakna, sedangkan ventilasi, jenis lantai,
dan jenis
dinding memiliki hubungan yang tidak bermakna. 5 Faktor Sumber Pencemaran Udara dalam Rumah yang memiliki hubungan dan bermakna adalah adanya perokok, sedangkan untuk bahan bakar memasak memiliki hubungan yang tidak bermakna.
57
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
58
7.2. SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, ada beberapa hal yang dapat peneliti sarankan sebagai masukkan bagi pihak-pihak terkait dengan program penanggulangan ISPA, sehingga akan menurunkan penyakit ISPA pada balita di Wilayah Kecamatan Gombong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. 7.2.1. Bagi Puskesmas Meningkatkan kerjasama lintas program (pemegang program ISPA, petugas promosi kesehatan, petugas kesehatan lingkungan, pemegang program gizi dan bidan di desa sebagai pembina wilayah) agar mengoptimalkan pemberian informasi kepada masyarakat tentang pentingnya rumah sehat ( syarat-syarat rumah sehat), PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) seperti tidak merokok, pentingnya peranan keluarga di dalam menunjang kesehatan anak (balita), kerentanan pada usia balita (terkait factor dari dalam diri balita maupun yang berasal dari lingkungannya), cara merawat balita yang baik dan benar (terkait pentingnya ASI Eksklusif, kapan balita diberi makanan tambahan dan imunisasi)
serta
dampak
atau
akibat
yang
ditimbulkan
apabila
mengabaikannya, manfaat imunisasi, dan melakukan kunjungan rumah ke rumah balita.
7.2.2. Masyarakat Setiap warga masyarakat diharapkan selalu memperhatikan dan berusaha agar rumahnya memenuhi syarat kesehatan seperti ventilasi minimal 10% luas lantai, jendela harus dibuka setiap hari terutama pada pagi hari dan pada saat memasak, memasang genteng kaca yang transparan agar cahaya matahari dapat masuk kedalam rumah. Bagi rumah yang padat penghuninya diharapkan agar keluarga balita dapat tinggal dirumah secara mandiri dan mengikuti program KB,
ibu-ibu yang mempunyai balita
diharapkan rutin datang ke posyandu setiap bulannya untuk mendapatkan imunisasi dan melakukan penimbangan pada balita.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
59
7.2.3. Bagi Peneliti Lain Mengembangkan penelitian ini pada beberapa factor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita, seperti factor partikulat debu PM 2,5 diukur terhadap ruang dalam rumah dan luar rumah dimana balita sering bermain, dan factor penderita ISPA yang tinggal serumah dengan balita. Serta dapat lebih dalam dalam mengkaji setiap keterangan yang diberikan oleh responden, sehingga diperoleh informasi yang lebih akurat.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. (2008) . Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Anthony. (2008). Partikulat Debu (PM10) Dalam Rumah Dengan Gangguan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita (Tesis). Depok: Program Sarjana FKM UI. Aktekin. (2002). Incidence of acute respiratory infections and the relationship with some factors in infancy in Antalya, Turkey.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kebumen, (2011). Kecamatan Gombong Dalam Angka.Kebumen. Budiaman, (2008). Hubungan Kadar PM10 Dalam Rumah, Lingkungan Fisik Rumah Dan Karakteristik Balita Dengan Penyakit Gangguan Saluran Pernapasan Balita Di Wilayah Puskesmas Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau Tahun 2008 (Tesis). Depok: Program Pasca Sarjana FKM UI. Cahya. (2011). Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Mergangsan Kota Yogyakarta Tahun 2011. Depok: Program Sarjana FKM UI. Depkes RI. (2000). Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut.Direktorat PPM&PL. Jakarta. Depkes RI. (2000). Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Pe Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Direktorat PPM&PL. Jakarta. Depkes RI. (2002). Pedoman pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk menanggualngi Pneumonia pada Balita. Depkes RI, Jakarta Depkes RI. (2004). Pedoman Program Pemberantasan Penyakit ISPA.Depkes RI, Jakarta Depkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta
60
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
61
Depkes
RI. (2007). Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita. Dirjen Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, Depkes RI Jakarta.
Depkes RI. (2009). Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Dirjen pengendalian penyakit penyehatan Lingkungan, Depkes RI Jakarta. Depkes RI. (2009). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Depkes RI. Jakarta Depkes RI. (2009). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia Tahun 2007. Jakarta. Dutta and Biswas. (1999) Risk factors of acute respiratory infections in underfives of urban slum community. Fidiani. (2011). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Jabung, Kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur Tahun 2011. Depok: Program Sarjana FKM UI. Gertrudis, T. (2010). Hubungan Antara Kadar Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Sekitar Pabrik Semen PT Indocement, Citereup, Tahun 2010 (Tesis). Depok: Program Pasca Sarjana FKM UI. Hull. (2008). Dasar-dasar pediatric. EGC. Jakarta Irianto. (2006). Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Karakteristik Balita dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Balita Di Wilayah Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon Tahun 2006 (Tesis). Depok: Program Pasca Sarjana FKM UI. Kecamatan Gombong, (2011). Data Base Dan Profil 8(Delapan) Kecamatan Gombong Semester II Tahun 2011.Kecamatan Gombong, Kebumen. Kristina. (2011). Hubungan Faktor Kondisi Fisik Rumah Dengan Kajadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Puskesmas Pabuaran Tumpeng Kota Tangerang Tahun 2011. Depok: Program Sarjana FKM UI. Kemenkes RI.(2011). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Direktorat jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta Kemenkes RI. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
62
Menkes RI.2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumah.Cetakan kedua,Jakarta Lemeshow S, et al. (1997). Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan. Gajah Mada Universitye Press, Yogyakarta. Nkala, T.E. and S.E. Msuya. “Prevalence and Predictors of Exclusive Breastfeeding Among Women in Kigoma Region, Western Tanazania: A Community Based Cross-sectional Study.” International Breastfeeding Journal 6:17 (2011). Noor.(2006).Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular.Rineka Cipta, Jakarta Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Murray EL, Klein M, et al. Rainfall, household crowding, and acute respiratory infections in the tropics.USA, Epidemiol Infect. 2012 140(1):78-86. Oktaviani. (2009). Hubungan Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) pada Balita di Desa Cepogo Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali.FKM UMS. Rahayu, Yuyu Sri. (2011). Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu, Karakteristik Balita, Sumber Pencemar Dalam Ruang Dan Lingkungan Fisik Rumah Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011.Depok: Program Sarjana FKM UI. Rifai. (2004). Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dan Karakteristik Individu dengan Gangguan Saluran Pernapasan Anak Balita di Wilayah Puskesmas Pekik Nyaring Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu Tahun 2004. Depok FKM UI Sathy and Shah (1994). Risk factors for severe pneumonia in children in south Kerala: a hospital-based case-control study. Sinaga, Epi Ria Kristina. (2012). Kualitas Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Utara Tahun 2011. Depok: Program Sarjana FKM UI.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
63
Soemirat, S J. (2000). Mortality and Morbidity as Related to Air Polution. A Paper. University of Minnoseto. Suhandayani. (2007). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita di Puskesmas Pati Kabupaten Pati Tahun 2006. Universitas Negeri Semarang. Semarang. Slamet. (2000). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada. University Press. Supariasa. (2002). Penilaian Status Gizi. EGC. Jakarta Tainio, Marko. (2007). Parameter and model uncertainty in a life-table model for fine particles (PM 2,5): a statistical modeling study. Environmental Health. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. (2006). Diseases Control Priorities in Developing Countries. Oxford University Press, New York. World Health Organization. Infant and Young Child Feeding. Geneva. Media Centre WHO, 2010.
Universitas Indonesia
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KECAMATAN GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012
LEMBAR PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN Saya yang bertandatangan di bawah ini adalah : 1. Nama
: ………………………………………………….
2. Tanggal Lahir / Umur
: ………………………………………………….
3. Jenis Kelamin
: ………………………………………………….
4. No Telepon / HP
: ………………………………………………….
5. Nama Anak
: ………………………………………………….
6. Tanggal Lahir
: ………………………………………………….
7. Anak ke
: ………………………………………………….
8. Alamat
: …………………………………………………. ………………………………………………….
Dengan ini menyatakan
: a. Bersedia b. Tidak Bersedia
Untuk berperan serta dalam penelitian ini.
Gombong, ……/……/ 2012 Responden
(…………………………..)
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KECAMATAN GOMBONG KABUPATEN KEBUMEN PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2012
KUESIONER PENELITIAN
Nomor Kode Responden
: …………………………………………………………
Nama pewawancara
: …………………………………………………………
Tanggal wawancara
: …………………………………………………………
Pukul
: …………………………………………………………
I.
INDENTITAS RESPONDEN 1. Nama Ibu
: …………………………………………………………
2. Tanggal lahir/umur: ……………………………………………………….. 3. Alamat
: ………………………………………………………...
II KARAKTERISTIK BALITA 4. Nama Balita
:
5. Tanggal Lahir
:
6. Umur
: ………bulan
7. Jenis Kelamin
: L/P
8. Anak ke
: ……..dari ………saudara.
9. Apakah dalam dua minggu terakhir ini balita ibu menderita sakit dengan gejala ( tuliskan semua gejala) : a. Batuk b. Pilek c. Berdahak/berlendir d. Demam e. Sesak nafas
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
10. Kategori : 1. Tidak ISPA 2. ISPA
III BERAT BADAN LAHIR 11. Berapa berat badan balita ibu saat lahir? 1. 2500 gram atau lebih 2. Kurang dari 2500 gram 12. Apakah saat lahir balita ibu cukup bulan? 1. Ya 2. Tidak 13. Kategori berat badan lahir balita 1. Baik 2. Kurang
IV STATUS ASI 1. Apakah balita ibu diberi ASI Eksklusif? 1. Ya 2. Tidak V STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI 1. Bagaimana status imunisasi balita ibu? 1. Lengkap 2. Tidak lengkap 2.
Status Gizi Balita :
Berat Badan = Tinggi Badan
Perbandingan dengan tabel baku, hasilnya : 1. Baik 2. Kurang
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
VI BAHAN BAKAR MEMASAK 3. Apakah jenis bahan bakar yang paling sering digunakan untuk memasak? (jawaban boleh lebih dari satu) 1. Memenuhi syarat (gas, listrik) 2. Tidak memenuhi syarat (minyak tanah, kayu bakar)
VII ADANYA PEROKOK 4. Apakah ada anggota keluarga ibu yang mempunyai kebiasaan merokok? 1. Tidak 2. Ada
VIII OBSERVASI KEADAAN RUMAH Uraian
0. Memenuhi syarat
1. Tidak memenuhi syarat
Kepadatan hunian
Luas ruang tidur ≥ 8 m2
Luas ruang tidur < 8 m2 per 2
kamar
per 2 orang
orang
Tembok dan diplester
Tembok yang tidak diplester/
Jenis dinding a. Kamar tidur
kayu/bambu/triplek/papan b.Ruang keluarga
Tembok dan diplester
Tembok yang tidak diplester/ kayu/bambu/triplek/papan
Jenis lantai a. Kamar tidur
Ubin, semen, kayu
Tanah
b. Ruang keluarga
Ubin, semen, kayu
Tanah
Jendela ≥ 10% terhadap
Jendela < 10% terhadap luas
luas lantai kamar tidur
lantai kamar tidur
Jendela ≥ 10% terhadap
Jendela < 10% terhadap luas
luas lantai ruang tidur
lantai ruang tidur
a. Kamar tidur
≥ 60 lux
< 60 lux
b.Ruang keluarga
≥ 60 lux
< 60 lux
Jauh > 3 km
Dekat ≤ 3 km
Ventilasi a. Kamar tidur b. Ruang keluarga
Pencahayaan
PM 2,5 dalam rumah dari jarak jalan raya
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Jawaban
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
A. Analisis Univariat 1. ISPA ISPA Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
Tidak sakit ISPA
84
50.6
50.6
50.6
Sakit ISPA
82
49.4
49.4
100.0
166
100.0
100.0
Total
2. Karakteristik Balita Berat badan lahir Frequency Valid
Baik (Tidak berisiko)
Cumulative Percent
Valid Percent
149
89.8
89.8
89.8
17
10.2
10.2
100.0
166
100.0
100.0
Kurang (berisiko) Total
Percent
Status ASI Frequency Valid
Ya
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
64
38.6
38.6
38.6
Tidak
102
61.4
61.4
100.0
Total
166
100.0
100.0
Status imunisasi Frequency Valid
Lengkap Tidak lengkap Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
147
88.6
88.6
88.6
19
11.4
11.4
100.0
166
100.0
100.0
Status gizi Frequency Valid
Baik Kurang Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
152
91.6
91.6
91.6
14
8.4
8.4
100.0
166
100.0
100.0
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
3. Faktor Lingkungan Rumah Ventilasi Frequency Valid
Memenuhi syarat (MS) Tidak memenuhi syarat (TMS) Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
114
68.7
68.7
68.7
52
31.3
31.3
100.0
166
100.0
100.0
Jenis lantai Frequency Valid
Memenuhi syarat (MS) Tidak memenuhi syarat (TMS) Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
145
87.3
87.3
87.3
21
12.7
12.7
100.0
166
100.0
100.0
Jenis dinding Frequency Valid
Memenuhi syarat (MS) Tidak memenuhi syarat (TMS) Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
111
66.9
66.9
66.9
55
33.1
33.1
100.0
166
100.0
100.0
Pencahayaan Frequency Valid
Memenuhi syarat (MS) Tidak memenuhi syarat (TMS) Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
126
75.9
75.9
75.9
40
24.1
24.1
100.0
166
100.0
100.0
Kepadatan hunian Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Memenuhi syarat (MS)
92
55.4
55.4
55.4
Tidak memenuhi syarat (TMS)
74
44.6
44.6
100.0
166
100.0
100.0
Total
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
4. Sumber pencemaran udara dalam rumah Bahan bakar memasak Frequency Valid
Gas, listrik
Cumulative Percent
Valid Percent
103
62.0
62.0
62.0
63
38.0
38.0
100.0
166
100.0
100.0
kayu, minyak tanah Total
Percent
Keberadaan perokok Frequency Valid
Ada
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
110
66.3
66.3
66.3
Tidak
56
33.7
33.7
100.0
Total
166
100.0
100.0
B. Analisis Bivariat 1. Berat Badan Lahir Balita Berat badan lahir * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Berat badan lahir
Baik (Tidak berisiko)
Count
Kurang (berisiko)
Count
% within Berat badan lahir
% within Berat badan lahir Total
Total
78
71
149
52.3%
47.7%
100.0%
6
11
17
35.3%
64.7%
100.0%
84
82
166
50.6%
49.4%
100.0%
Count % within Berat badan lahir
Sakit ISPA
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
1.776a
1
.183
1.159
1
.282
1.797
1
.180
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.209 1.765
1
.184
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,40. b. Computed only for a 2x2 table
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Exact Sig. (1sided)
.141
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Berat badan lahir (Baik (Tidak berisiko) / Kurang (berisiko))
2.014
.708
5.729
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
1.483
.765
2.874
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.736
.499
1.087
N of Valid Cases
166
2. Status ASI Status ASI * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Status ASI
Ya
Count % within Status ASI
Tidak
Count % within Status ASI
Total
Count % within Status ASI
Sakit ISPA
Total
40
24
64
62.5%
37.5%
100.0%
44
58
102
43.1%
56.9%
100.0%
84
82
166
50.6%
49.4%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
5.898a
1
.015
5.149
1
.023
5.946
1
.015
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.017 5.863
1
.015
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 31,61. b. Computed only for a 2x2 table
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Exact Sig. (1sided)
.011
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Status ASI (Ya / Tidak)
2.197
1.158
4.167
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
1.449
1.081
1.941
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.659
.461
.944
N of Valid Cases
166
3. Status Imunisasi Status imunisasi * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Status imunisasi
Lengkap
Count % within Status imunisasi
Tidak lengkap
Total
68
147
53.7%
46.3%
100.0%
5
14
19
26.3%
73.7%
100.0%
Count % within Status imunisasi
Total
79
Count % within Status imunisasi
Sakit ISPA
84
82
166
50.6%
49.4%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
5.063a
1
.024
4.025
1
.045
5.239
1
.022
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.029 5.032
1
.025
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,39. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Status imunisasi (Lengkap / Tidak lengkap)
3.253
1.114
9.496
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
2.042
.948
4.398
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.628
.456
.865
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Exact Sig. (1-sided)
.021
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Status imunisasi (Lengkap / Tidak lengkap)
3.253
1.114
9.496
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
2.042
.948
4.398
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.628
.456
.865
N of Valid Cases
166
4. Status Gizi Status gizi * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Status gizi
Baik
Count % within Status gizi
Kurang
Count % within Status gizi
Total
Count % within Status gizi
Sakit ISPA
Total
81
71
152
53.3%
46.7%
100.0%
3
11
14
21.4%
78.6%
100.0%
84
82
166
50.6%
49.4%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
Exact Sig. (2-sided)
5.206a
1
.023
4.009
1
.045
5.494
1
.019
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.027 5.175
1
.023
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,92. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Status gizi (Baik / Kurang)
4.183
1.122
15.593
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
2.487
.902
6.855
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.594
.431
.820
N of Valid Cases
166
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Exact Sig. (1-sided)
.021
5. Ventilasi*ISPA Ventilasi * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Ventilasi
Memenuhi syarat (MS) Count
Sakit ISPA
Total
62
52
114
% within Ventilasi
54.4%
45.6%
100.0%
Tidak memenuhi syarat Count (TMS) % within Ventilasi
22
30
52
42.3%
57.7%
100.0%
84
82
166
50.6%
49.4%
100.0%
Total
Count % within Ventilasi Chi-Square Tests Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction
Asymp. Sig. (2sided)
df
2.084a
1
.149
1.629
1
.202
2.090
1
.148
b
Likelihood Ratio Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2sided)
.181
Linear-by-Linear Association
2.072
N of Valid Cases
1
.150
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 25,69. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Ventilasi (Memenuhi syarat (MS) / Tidak memenuhi syarat (TMS))
1.626
.838
3.153
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
1.285
.898
1.841
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.791
.582
1.075
N of Valid Cases
166
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Exact Sig. (1sided)
.101
6. Jenis Lantai Jenis lantai * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Jenis lantai Memenuhi syarat (MS)
Count
Tidak memenuhi syarat (TMS)
Count
Total
% within Jenis lantai
% within Jenis lantai
Total
69
145
52.4%
47.6%
100.0%
8
13
21
38.1%
61.9%
100.0%
84
82
166
50.6%
49.4%
100.0%
Count % within Jenis lantai
Sakit ISPA
76
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
1.505a
1
.220
.986
1
.321
1.516
1
.218
Exact Sig. Exact Sig. (2-sided) (1-sided)
Fisher's Exact Test
.250
Linear-by-Linear Association
1.495
N of Valid Cases
1
.221
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,37. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Jenis lantai (Memenuhi syarat (MS) / Tidak memenuhi syarat (TMS))
1.790
.700
4.578
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
1.376
.781
2.425
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.769
.528
1.120
N of Valid Cases
166
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
.160
7. Jenis Dinding Jenis dinding * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Jenis dinding
Memenuhi syarat Count (MS) % within Jenis dinding Tidak memenuhi syarat (TMS)
Total
50
111
55.0%
45.0%
100.0%
23
32
55
41.8%
58.2%
100.0%
84
82
166
50.6%
49.4%
100.0%
Count % within Jenis dinding
Sakit ISPA
61
Count % within Jenis dinding
Total
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
2.539a
1
.111
2.041
1
.153
2.547
1
.110
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Exact Sig. (1sided)
.138 2.524
1
.076
.112
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27,17. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Jenis dinding (Memenuhi syarat (MS) / Tidak memenuhi syarat (TMS))
1.697
.883
3.262
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
1.314
.922
1.873
.774
.571
1.049
For cohort ISPA = Sakit ISPA
166 N of Valid Cases
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
8. Pencahayaan Rumah Pencahayaan * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Pencahayaan
Memenuhi syarat Count (MS) % within Pencahayaan Tidak memenuhi syarat (TMS)
Total
126
55.6%
44.4%
100.0%
14
26
40
35.0%
65.0%
100.0%
84
82
166
50.6%
49.4%
100.0%
Count % within Pencahayaan
Total
56
Count % within Pencahayaan
Sakit ISPA
70
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
Asymp. Sig. (2-sided)
df
5.132a
1
.023
4.343
1
.037
5.191
1
.023
b
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2- Exact Sig. sided) (1-sided)
Fisher's Exact Test
.029
Linear-by-Linear Association
5.101
N of Valid Cases
1
.024
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 19,76. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Pencahayaan (Memenuhi syarat (MS) / Tidak memenuhi syarat (TMS))
2.321
1.109
4.859
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
1.587
1.012
2.490
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.684
.507
.923
N of Valid Cases
166
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
.018
9. Kepadatan Hunian Kepadatan hunian * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Kepadatan hunian
Memenuhi syarat Count (MS) % within Kepadatan hunian Tidak memenuhi syarat (TMS)
Total
38
92
58.7%
41.3%
100.0%
30
44
74
40.5%
59.5%
100.0%
84
82
166
50.6%
49.4%
100.0%
Count % within Kepadatan hunian Chi-Square Tests Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig. (2-sided) (2-sided) (1-sided)
df
5.408a
1
.020
4.706
1
.030
5.437
1
.020
Fisher's Exact Test
.029
Linear-by-Linear Association
5.375
N of Valid Cases
1
.020
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 36,55. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Total
54
Count % within Kepadatan hunian
Sakit ISPA
Upper
Odds Ratio for Kepadatan hunian (Memenuhi syarat (MS) / Tidak memenuhi syarat (TMS))
2.084
1.118
3.884
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
1.448
1.046
2.004
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.695
.511
.945
N of Valid Cases
166
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
.015
10. Bahan Bakar Memasak Bahan bakar memasak * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Bahan bakar Gas, listrik memasak
Count % within Bahan bakar memasak
Total
103
57.3%
42.7%
100.0%
25
38
63
39.7%
60.3%
100.0%
84
82
166
50.6%
49.4%
100.0%
Count % within Bahan bakar memasak
Total
44
kayu, minyak tanah Count % within Bahan bakar memasak
Sakit ISPA
59
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
4.844a
1
.028
4.165
1
.041
4.870
1
.027
Exact Sig. (2-sided)
Fisher's Exact Test
.037
Linear-by-Linear Association
4.814
N of Valid Cases
1
.028
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 31,12. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Bahan bakar memasak (Gas, listrik / kayu, minyak tanah)
2.038
1.077
3.858
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
1.443
1.020
2.043
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.708
.525
.956
N of Valid Cases
166
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
.020
11. Keberadaan Perokok di Lingkungan Rumah Keberadaan perokok * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak sakit ISPA Keberadaan perokok
Ada
Count % within Keberadaan perokok
Tidak
47
57.3%
Count
35
37.5%
Count
82
50.6%
Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided) sided) sided)
df
5.804a
1
.016
5.040
1
.025
5.849
1
.016
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.021 5.769
1
.012
.016
166
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 27,66. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Keberadaan perokok (Ada / Tidak)
2.234
1.155
4.322
For cohort ISPA = Tidak sakit ISPA
1.527
1.050
2.221
For cohort ISPA = Sakit ISPA
.684
.508
.920
N of Valid Cases
166
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
56
166
49.4% 100.0%
Chi-Square Tests Value
110
62.5% 100.0%
84
% within Keberadaan perokok
Total
42.7% 100.0%
21
% within Keberadaan perokok Total
Sakit ISPA
63
C. PM 2,5 1. Analisis Univariat a. Jarak Jauh Statistics Jauh N
PM2.5
Valid Missing
15
15
0
0
Mean
.002247
Median
.001000
Minimum
.0003
Maximum
.0170 PM2.5 Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
.0003
1
6.7
6.7
6.7
.0007
2
13.3
13.3
20.0
.0010
5
33.3
33.3
53.3
.0013
2
13.3
13.3
66.7
.0017
2
13.3
13.3
80.0
.0020
2
13.3
13.3
93.3
.0170
1
6.7
6.7
100.0
Total
15
100.0
100.0
Jauh Frequency Valid
Jauh dari jalan Raya
Percent
15
Valid Percent
100.0
100.0
Cumulative Percent 100.0
ISPA Frequency Valid
Tidak Menderita ISPA Menderita ISPA Total
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
12
80.0
80.0
80.0
3
20.0
20.0
100.0
15
100.0
100.0
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
b. Jarak Dekat Statistics dekat N
Valid Missing
PM 2.5 15
15
0
0
Mean
.003680
Median
.003300
Minimum
.0017
Maximum
.0063 PM 2.5 Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
.0017
1
6.7
6.7
6.7
.0027
4
26.7
26.7
33.3
.0030
2
13.3
13.3
46.7
.0033
1
6.7
6.7
53.3
.0037
2
13.3
13.3
66.7
.0040
1
6.7
6.7
73.3
.0047
1
6.7
6.7
80.0
.0053
1
6.7
6.7
86.7
.0057
1
6.7
6.7
93.3
.0063
1
6.7
6.7
100.0
Total
15
100.0
100.0
dekat Frequency Valid
Dekat dari Jalan Raya
Percent
15
Cumulative Percent
Valid Percent
100.0
100.0
100.0
ISPA Frequency Valid
Tidak menderita ISPA
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
5
33.3
33.3
33.3
Menderita ISPA
10
66.7
66.7
100.0
Total
15
100.0
100.0
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
2. Analisis Bivariat Jarak Rumah Responden * ISPA Crosstabulation ISPA Tidak Menderita ISPA Menderita ISPA Jarak Rumah Responden
Jauh dari Jalan Count Raya % within Jarak Rumah Responden Dekat dari Jalan Raya
12
3
15
80.0%
20.0%
100.0%
5
10
15
33.3%
66.7%
100.0%
17
13
30
56.7%
43.3%
100.0%
Count % within Jarak Rumah Responden
Total
Count % within Jarak Rumah Responden Chi-Square Tests Value
Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2- Exact Sig. sided) (2-sided)
df
6.652a
1
.010
4.887
1
.027
6.946
1
.008
Fisher's Exact Test
.025
N of Valid Cases
30
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.50. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value
Lower
Upper
Odds Ratio for Jarak Rumah Responden (Jauh dari Jalan Raya / Dekat dari Jalan Raya)
8.000
1.522
42.042
For cohort ISPA = Tidak Menderita ISPA
2.400
1.123
5.127
.300
.103
.878
For cohort ISPA = Menderita ISPA N of Valid Cases
30
One-Sample Statistics
N
Mean
Std. Deviation
Total
Std. Error Mean
PM 2,5 (jauh)
15
.002247
.0041102
.0010613
PM 2,5 (dekat)
15
.003680
.0012968
.0003348
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Exact Sig. (1-sided)
.013
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of
the Difference
t
PM 2,5 (jauh)
2.117
14
.053
.0022467
-.000030
.004523
PM 2,5 (dekat)
10.990
14
.000
.0036800
.002962
.004398
df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Faktor-faktor..., Embriyowati Catiyas, FKM UI, 2012
Lower
Upper